Hukum Tentang Darah Haid MASA SUCI DI SELA-SELA HAID Para ahli fiqih bersepakat bahawa haid tidak disyaratkan darahnya harus keluar secara berkesinambungan pada masa haid itu, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukum masa suci yang berada di hari-hari haid. Bila seorang perempuan merasakan adanya darah keluar sehari dan suci sehari, para ulama fiqih terbagi dalam dua pendapat mengenai ini. Pertama, Mazhab hanafi berpendapat bahwa masa bersih haid di hari-hari haid dianggap sebagai saat-saat haid. Sedangkan Mazhab Syafi’I, dalam ucapannya yang paling sahih, berpendapat bahwa itu dianggap haid bila memenuhi 3 syarat. 1. Masa suci itu terjadi di antara dua darah haid. 2. Tidak terjadi pada masa lebih dari 15 hari. 3. Darah haid tidak kurang dari batas minimal masa haid, iaitu 1 hari 1 malam. Pendapat kedua adalah kompromi antara dua pendapat di atas. Iaitu menganggap bersih sebagai suci, kerana jika keluarnya darah dianggap haid maka ketika bersihnya adalah masa suci. Inilah pendapat yang dianut oleh mayoritas pengikut Mazhab Maliki dan Hanafi. Itu juga pendapat kedua Mazhab Syafi’i . Adapun tentang masa bersih setelah darah terakhir haid, maka itu adalah masa suci secara mutlak. Pangkal perbedaan tersebut terletak pada solat, puasa, dan sejenisnya. Adapun untuk batas masa idah, ketiadaan darah tidak secara otomatis dianggap masa suci. Demikianlah ijmak ulama. Menurut pendapat pertama, perempuan tidak solat dan tidak puasa kerana ia masih dalam masa haid. Namun menurut pendapat kedua, wajib mengerjakannya, kerana ia dalam keadaan suci. Wallahu a’lam. TANDA-TANDA AKHIR MASA HAID Imam Nawawi rahimahullah berkata, “ Tanda-tandaberhentinya haid dan hadirnya kesucian adalah terputusnya aliran darah dan keluarnya cairan kuning dan keruh. Bila darah telah terhenti maka itu bererti suci, baik setelah itu keluar kelembaban yang berwarna putih mahupun
1/3
tidak.” Demikianlah. Pernah kaum perempuan mengutus salah seorang dari mereka untuk menghadap Aisyah dengan membawa sobekan kain yang membungkus kapas yang ada darah kuningnya. Aisyah pun berkata, “ Janganlah kalian tergesa-gesa hingga melihat warna putih bersih.” Yang dimaksudkan oleh ucapan Aisyah ini adalah “hingga engkau benar-benar suci dari haid” hingga kapas yang dimasukkan ketika diambil tidak ada lagi bekas warna kuning darah. Dari Asma’ Binti Abu Bakar r.a, bahwa ia ditanya tentang warna kuning tipis (yang tersisa usai haid), maka Asma berkata, “Jauhilah solat ketika kalian melihat itu, sampai kalian tidak lagi melihat kecuali putih berseri.” Inilah yang menjadi dasar Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki. Wallahu a’lam.
Isu Tentang Haid
PEMAKAIAN UBAT HAID, BAIK UNTUK MELANCARKAN MAHUPUN UNTUK MENCEGAH Tidaklah mengapa seorang perempuan memakai ubat-ubatan pencegah haid atau perangsangnya selama tidak dikhuatirkan hal itu membahayakan dirinya. Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari ditanya tentang kisah seorang perempuan yang terlambat datang bulannya dari waktu biasanya, lalu ia memasukkan kayu ke rahimnya untuk memancing darah haidnya keluar. Keluarlah darah dengan segera. Darah itu terus-menerus mengucur. Sekali waktu terhenti namun keluar lagi. Jarak antara keluar dan terhentinya tidak sampai satu hari satu malam. Demikianlah, ini berlangsung terus hingga 15 hari, dan ini terjadi di beberapa
2/3
bulan. Pertanyaannya, apakah ia memang harus hati-hati menghadapi ini? Bagaimana persoalannya bila dilihat dari sudut pandang ibadah dan bagaimana pula hukumnya bersetubuh dengan suami? apakah darah yang keluar itu darah istihadah atau bukan? Syaikhul Islam Zakaria Al-Anshari menjawab bahwa hendaklah ia melakukan apa yang mestinya dilakukan ketika darah keluar tanpa sebab. Jika darah keluar terputus-putus lebih dari 15 hari maka itu adalah darah istihadah, dan darah istihadah tidak menghalangi perempuan unutk tetap berpuasa, solat dan bersetubuh dengan suaminya, tidak sebagaimana bila haid. Ia berkata dalam Al- I’tina’ (dalam kaidah 32), “ Barangsiapa berbuat sesuatu yang menyebabkan ia terhalang untuk solat, setelah itu penyebab tersebut hilang, maka ia harus mengqadha’ apa yang ia tinggalkan pada masa itu, kecuali dalam dua masalah: Pertama, apabila seorang perempuan merangsang kehadiran haid dengan meminum ubat, kemudian ia haid dengan sebab itu, maka ia tidak perlu mengqhada’ masa haid itu. Kedua, apabila perempuan mengalami keguguran dan keluarlah janinnya, lalu setelah itu mengalami nifas, maka hukum baginya adalah: tidak perlu qhada’. Dalam fiqih haid, istihadah dan nifas, ada redaksi kaidah yang menyebutkan bahwa penggunaan ubat pencegah haid boleh saja dilakukan dengan dua syarat: Pertama, tidak dikhuatirkan mengandung bahaya. Jika ternyata berbahaya maka tidak boleh dilakukan, berdasar firman Allah SWT. Dan janganlah kalian campakkan diri kalian dalam kebinasaan ( Al-Baqarah: 195).
Kedua, jika mendapatkan izin suami, bila hal itu berkaitan dengan kebutuhannya. Misalnya si perempuan biasa melakukan itu untuk melayani suaminya. Ia memakai ubat pencegah haid itu unutuk memperpanjang masa sucinya demi menambah masa pelayanannya kepada suami. Pada kebiasaan seperti ini, si perempuan tidak boleh menggunakan ubat pencegah kecuali dengan keizinan suaminya. Demikian pula bila positif bahwa ubat pencegah haid menjadikannya tidak hamil, maka penggunaannya harus seizin suami.
Nasihat Agama
3/3 Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)