Kajian tematik analisis legal standing pemohon dalam uu pemilu

Page 1

TINJAUAN HUKUM LEGAL STANDING PEMOHON DALAM GUGATAN UU PEMILU TERKAIT PASAL PASAL YANG DICABUT DALAM UUPA

JARINGAN SURVEI INISIATIF Alamat : Jln. T. Di Haji, Lr. Ujong Blang, Np. 36, Gp. Lamdingin, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Telepon : (0651) 6303 146 Email : js.inisiatif@gmail.com, Website : www.jsthopi.org

COPYRIGHT @ 2017 JARINGAN SURVEI INISIATIF


JARINGAN SURVEY INISIATIF

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG UNDANG

DILARANG mengubah, mengutip dan memperjualbelikan sebagian atau seluruh isi dokumen ini tanpa seizin dari Jaringan Survei Inisiatif.

|2


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|3

TINJAUAN HUKUM LEGAL STANDING PEMOHON DALAM GUGATAN UU PEMILU TERKAIT PASAL PENCABUTAN UUPA Oleh : Tim Riset JSI Meskipun secara kelembagaan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh telah memutuskan untuk tidak menggugat UU Pemilu. Namun dua anggota komisioner KIP Aceh yaitu Hendra Fauzi dan Robby Syahputra diikuti dengan seorang warga Aceh timur, bersikukuh untuk mengugat Pasal 571 huruf d UU Pemilu yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku dua pasal dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), yaitu Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UUPA.Hendra mengaku punya tanggung jawab moral untuk mempertahankan UUPA sebagai simbol kekhususan Aceh. Tanggung jawab ini sudah diikat melalui penandatanganan pakta integritas KIP Aceh (Serambi, 15 Sept 2017) sebelumnya dua orang mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Samsul Bahti bin Amiren (Tiyong) dan Kautsar, juga mengajukan uji materi UU Pemilu terkait pasal yang sama ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (22/8/2017).Menurut Kautsar dan Tiyong, Pasal 571 huruf d UU Pemilu telah menghapus keterlibatan rakyat Aceh yang diwakili DPRA. pencabutan pasal tersebut menujukkan bahwa Pusat telah menafikan keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki Aceh. Pasal tersebut mengatur soal keanggotaan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan pembentukan pengawas pemilihan yang sedianya melibatkan DPRA. Langkah Tiyong dan Kautsar di ikuti oleh Ketua DPR Aceh, Tgk H Muharuddin, mewakili lembaga DPR Aceh, yang juga mendaftarkan permohonan judicial review (JR) terhadap Norma hukum Pasal 557 dan Pasal 571 huruf (d) Undang-Undang No.7 Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum, ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan didaftarkan melalui tiga kuasa hukum H Burhanuddin SH MH, Mukhlis Mukhtar SH, dan Zaini Djalil SH, di Gedung MK, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (28/8/2017). Lantas bagaimana gugatan sejumlah anggota KIP , Anggota DPRA dan Lembaga DPRA ditinjau dari segi hukum?


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|4

A. TINJAUAN HUKUM LEGAL STANDING PEMOHON Gugatan uji materi terhadap aturan perundang undangan tidak dilepaskan dari konsep legal standing atau kedudukan hukum pemohon. Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi. Menurut Mahfud MD (2011: 348) , Legal standing adalah satu konsep yang digunakan untuk menentukan sejauh mana pemohon terkena dampak dengan cukup sehingga satu perselisihan diajukan ke depan pengadilan. persyaratan legal standing telah memenuhi syarat jika pemohon memiliki kepentingan nyata dan secara hukum harus dilindungi. Pendapat senada dikemukakan oleh Harjono (2008: 176) yang menjelaskan legal standing merupakan suatu keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon yang tidak memiliki kedudukan hukum akan menerima putusan MK yang menyatakan permohonannya tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) Dengan ditentukannya legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak mempunyai hak mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Hanya mereka yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon, sesuai dengan adigium ada kepentingan hukum, boleh mengajukan gugatan (point d’interet point d’action) Syarat-Syarat Legal Standing Kedudukan hukum (legal standing) dapat dilihat dalam Pasal 51 ayat (1) UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 24/2003”) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mana telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitutionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;Yang dimaksud dengan “perorangan” termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama. b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|5

c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Achmad Roestandi, dalam buku Mahkamah Konstitusi Dalam Tanya Jawab (hal. 4344), juga menjelaskan hal serupa, bahwa dengan merujuk pada Pasal 51 UU 24/2003, MK dalam beberapa putusannya telah merumuskan kriteria agar seseorang atau suatu pihak memiliki legal standing, yaitu: 1. Kriteria Pertama berkaitan dengan kualifikasinya sebagai subjek hukum, dimana pemohon harus merupakan salah satu dari subjek hukum berikut ini: a. Perorangan warga negara; b. Kesatuan masyarakat hukum adat; c. Badan hukum publik atau privat; atau d. Lembaga negara. 2. Kriteria kedua yang berkaitan dengan anggapan pemohon bahwa hak dan wewenang konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang dengan rincian sebagai berikut: a. adanya hak/kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak/kewenangan konstitusional permohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh undang-undang yang sedang diuji; c. kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; dan e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkan permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tersebut akan atau tidak lagi terjadi. Dengan dipenuhinya persyaratan tentang kualifikasi subjek hukum dan persyaratan kerugian tersebut di atas, maka pemohon mempunyai legal standing. Adanya ketentuan mengenai legal standing, berarti tidak semua orang atau pihak mempunyai hak mengajukan permohonan ke MK. Hanya mereka yang benar-benar mempunyai kepentingan hukum saja yang boleh menjadi pemohon. Redaksional Pasal 51 UU tentang Mahkamah Konstitusi akan memetakan beberapa unsur penting legal standing. Pertama, unsur "hak dan/atau kewenangan konstitusional". Hak dan kewenangan konstitusional adalah hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi sehingga harus merupakan hak yang diatur dalam UUD. Hal ini hampir secara tunggal diterima oleh setiap pemikir hukum. Kedua, unsur kata "menganggap". Kata ini melahirkan dua jenis arti yang berangkat dari ranah pemikiran yang juga berbeda. Dari sisi gramatikal, kata ini beraliran subyektif. Karena itu, tiap orang yang menganggap dirinya dirugikan merasa berhak mengajukan permohonan oleh perasaan yang dirugikan itu sehingga dapat


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|6

mengajukan permohonan. Sementara dari penafsiran hukum, kata ini bukan diartikan dalam bingkai subyektivitas, tetapi include di dalamnya keharusan untuk membuktikannya sehingga kata-kata yang lebih tepat adalah "mendalilkan". Ketiga, unsur kata "dirugikan". Ini unsur penting karena merasa dirugikan, subyek hukum merasa berkepentingan. Zonder belang, het is geen rechtsingang. Kepentingan ini lahir karena adanya kerugian tadi sehingga ia harus merupakan kerugian yang telah aktual dan bukan sekadar potensial. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengajukan permohonan perkara jika hanya bersandarkan pada adanya peluang untuk dirugikan Namun, dari hal ini muncul peluang perbedaan pendapat tentang batasan peluang dirugikan. Ada perbedaan dalam memahami manakah yang merupakan kerugian potensial dan manakah yang merupakan kerugian aktual. mantan hakim konstitusi Prof. Dr. M. Laica Marzuki, S.H. (dalam Sutiyoso, 2006:51) , memiliki pendapat mengenai legal standing : “legal standing tidak dapat langsung diterjemahkan menjadi kedudukan hukum, karena makna legal standing adalah suatu dasar dari seseorang atau kelompok orang untuk mengajukan permohonan pengujian undang- undang�. Menurut Laica Marzuki dalam rumusan Pasal 51 Pasal 51 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi terdapat beberapa anasir, yang pertama adalah hak dan kewenangan konstitusional, yaitu hak dan kewenangan konstitusional, yaitu hak dan kewengan yang ber oleh konstitusi. Unsur kedua adalah unsur dirugikan dimana karena dirugikan tersebut maka subjek hukum merasa berkepentingan. Dengan demikian, apabila seorang pemohon tidak dirugikan oleh adanya undang-undang tersebut, ia dapat dipandang tidak memiliki legal standing. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga memberikan pendapat dalam salah satu wawancara dengan Harian Kompas pada tahun 2003 mengenai legal standing. Ia memberikan contoh mengenai pengujian Undang- Undang Pemilu (khususnya Pasal 60 huruf g mengenai larangan anggota PKI menjadi menjadi calon legislatif). Dalam permohonan itu ternyata pemohon sebagian besar adalah orang yang tidak pernah menjadi anggota PKI. Menurutny perlu dilihat apakah pemohonnya itu memiliki legal standing atau tidak. Secara konstitusional, apakah memang mereka itu dirugikan atau tidak, hal inilah yang masih harus diperdebatkan. Ia kemudian menyatakan bahwa jauh lebih mudah bagi Mahkamah Konstitusi untuk menilai apabila yang mengajukan permohonan itu adalah anak bekas anggota PKI (Sutiyoso, 2006:52) Melihat rumusan yang diuraikan sejumlah ahli dan aturan perundangan diatas, maka untuk perkara gugatan UU Pemilu yang mencabut Pasal 57 dan Pasal 60 ayat (1), ayat (2), serta ayat (4) UUPA. Harus dilihat dua kriteria, pertama kualifikasi pemohon sebagai subjek hukum dan berkaitan dengan keyakinan pemohon bahwa hak dan wewenang konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|7

Dikarenakan pasal yang dicabut di UUPA adalah berkaitan dengan lembaga KIP dan Panwaslih. Maka yang lebih tepat untuk mengajukan gugatan ini, secara kualifikasi subjek hukum, adalah lembaga yang terkait dengan pencabutan pasal dalam UUPA. Sedangkan DPRA dan sejumlah warga Aceh (meskipun ada komisioner KIP namun dalam kapasitas personal) secara hukum berada dalam posisi lemah untuk mengajukan gugatan pencabutan pasal UUPA yang terkait dengan kelembagaan KIP dan Panwaslih. Kesulitan lain apabila gugatan di ajukan oleh personal warga dan lembaga yang tidak memiliki hirarki atau setidaknya merupakan satu kesatuan dengan lembaga penyelenggara pemilu, maka akan sulit untuk merumuskan kerugian faktual yang dialami berkaitan dengan dicabutnya pasal pasal dalam UUPA oleh UU Pemilu. kerugian tersebut bersifat khusus (spesifik) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan terjadi. Dalam hal ini bagaimana merumuskan kerugian yang bersifat spesifik tadi mengingat person dan lembaga yang mengugat tidak mewakili lembaga penyelengara Pemilu di Aceh, yaitu KIP dan Panwaslih. Selain itu merumuskan hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji. Maka pihak pihak personal dan lembaga DPRA harus merumuskan secara jelas bagaimana bentuk kerugian yang dialami berkaitan dengan di undangkannya UU Pemilu. Apakah ada kewenangan DPRA yang dipangkas melalui UU Pemilu? Apakah ada hak konstitusional personal warga yang dirugikan dengan dicabutnya pasal pasal dalam UUPA mengenai kelembagaan KIP dan Panwaslih Aceh?

TINJAUAN HUKUM PENCABUTAN PASAL UUPA DALAM UU PEMILU Terkait dengan pencabutan dua pasal UUPA oleh RUU Pemilu. Sebagian pendapat menyatakan bahwa perubahan itu tidak bisa dilakukan sebab pasal 260 ayat (3) UUPA secara tegas telah mengatur bahwa setiap adanya rencana perubahan UUPA terlebih dahulu harus melalui prosedur konsultasi untuk mendapatkan pertimbangan DPRA. Akan tetapi perlu dipahami, bahwa dari segi hukum, definisi PERUBAHAN dan PENCABUTAN berbeda pengertiannya. Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya (hal. 174) mengatakan bahwa pencabutan peraturan perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perubahan peraturan perundang-undangan Kemudian menurut M. Naufal Fileindi, S.H. dalam artikel Aturan Pencabutan dan Tidak Berlakunya UndangUndang1, istilah ‘mencabut’ adalah proses untuk membuat suatu peraturan 1

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f8e7835a3286/aturan-pencabutan-dan-tidakberlakunya-undang-undang, diakses 28 Juli 2017


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|8

perundang-undangan atau ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan, ‘tidak berlaku’ adalah sebuah keadaan ketika suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Untuk meninjau atau membatalkan suatu peraturan perundang-undangan (UUD 1945, TAP MPR, UU/Perpu, PP, Pepres, Perda) atau produk hukum daerah (Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Daerah), maka UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan telah “memfasilitasi� hanya dengan cara yaitu merubah atau mencabut. Pertama, mencabut. (1) Jika ada peraturan perundang-undangan lama yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan peraturan perundang-undangan baru. Peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas mencabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan itu.(2) Jika materi dalam peraturan perundang-undangan yang baru menyebabkan perlu penggantian sebagian atau seluruh materi dalam peraturan perundang-undangan yang lama, di dalam peraturan perundang-undangan yang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan sebagian atau seluruh peraturan perundang-undangan yang lama. (3) Peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut melalui peraturan perundang-undangan yang setingkat atau lebih tinggi. Pencabutan melalui peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. Kedua, merubah. (1) Perubahan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan: (a) menyisip atau menambah materi ke dalam peraturan perundangundangan; atau (b) menghapus atau mengganti sebagian materi peraturan perundang-undangan. (2) Perubahan peraturan perundang-undangan dapat dilakukan terhadap: (a) seluruh atau sebagian buku, bab, bagian, paragraf, pasal, dan/atau ayat; atau (b) kata, frasa, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca. Dalam UUPA yang dilarang adalah perubahan terhadap pasal pasal dalam UUPA. Sedangkan mekanisme pencabutan pasal pasal dalam UUPA tidak diatur mengenai keharusan adanya konsultasi untuk mendapatkan pertimbangan DPRA.

KEDUDUKAN PENYELENGGARA PEMILU DI ACEH Pasal 557 ayat (1) huruf a yang mengatur kedudukan KIP dan huruf b yang mengatur tentang Panwaslih yang merupakan satu kesatuan hirarki dengan lembaga penyelenggara pemilu di tingkat Pusat (KPU RI dan Bawaslu RI). Pada ayat (2) ditegaskan bahwa Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh wajib mendasarkan


JARINGAN SURVEY INISIATIF

|9

dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini. Penjelasan dalam RUU Pemilu mengenai pasal ini disebutkan bahwa ketentuan dalam pasal ini cukup jelas. Ketentuan pasal 557 ayat (1) huruf a yang mengatur kedudukan KIP yang merupakan satu kesatuan hirarki dengan KPU pusat pada dasarnya tidak bertentangan dengan UUPA. Sebab ketentuan serupa diatur dalam Pasal 1 ayat (12) UUPA: Komisi Independen Pemilihan selanjutnya disingkat KIP adalah KIP Aceh dan KIP kabupaten/kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota. Frasa “merupakan satu bagian dari KPU” pada UUPA dengan frasa “merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan KPU” pada RUU Pemilu pada dasarnya adalah tidak berbeda dalam hal definisi. Artinya KIP Aceh adalah bagian tidak terpisahkan dan merupakan satu kelembagaan dengan KPU yang berada di pusat. Hanya pada RUU Pemilu ditegaskan hubungan antara KIP dan KPU merupakan hubungan kelembagaan yang bersifat hirarkis. Kemudian ketentuan selanjutnya pada Pasal 557 ayat (1) huruf b dinyatakan bahwa Panitia Pengawas Pemilihan Provinsi Aceh dan Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan kelembagaan yang hierarkis dengan Bawaslu. Ketentuan tentang hubungan hirarki antara Panwaslih dan Bawaslu pusat tidak diatur secara rinci dalam UUPA. Hanya pada pasal 60 UUPA disebutkan bahwa Panitia Pengawas Pemilihan Aceh dan kabupaten/kota dibentuk oleh panitia pengawas tingkat nasional dan bersifat ad hoc. Pasal ini kemudian dicabut oleh RUU Pemilu.

Kemudian pada pasal 557 ayat (2) terdapat ketentuan yang memicu perdebatan. Dimana disebutkan bahwa : Kelembagaan Penyelenggara Pemilu di Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya berdasarkan Undang-Undang ini. Ketentuan dalam pasal ini dinilai multitafsir. Bisa saja terkait seleksi penyelenggara pemilu yang selama ini diseleksi oleh DPRA/DPRK akan berubah menjadi seleksi oleh KPU sebagaimana yang diatur dalam RUU Pemilu. Pada dasarnya ketentuan ini tidak berdasar. Hal tersebut dapat dilihat dari setidaknya dua indikator. Pertama, tidak ada satupun pasal yang menyatakan mencabut kewenangan DPRA/DPRK dalam proses seleksi penyelenggara pemilu pada RUU Pemilu.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 10

Kemudian pada pasal 571 RUU Pemilu hanya mencabut pasal 60 ayat (1), ayat (2) dan ayat (4). Sedangkan Pasal 60 ayat (3) tidak dicabut oleh RUU Pemilu. Artinya ada satu pasal yang disisakan dari pasal 60 UUPA dari keseluruhan 4 pasal. Pasal yang disisakan adalah pasal 60 ayat (3) yang mengatur tentang seleksi pemilihan panwas oleh DPRA/DPRK. Selengkapnya bunyi pasal tersebut : Anggota Panitia Pengawas Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), masing-masing sebanyak 5 (lima) orang yang diusulkan oleh DPRA/DPRK Artinya dengan disisakan pasal yang mengatur tentang seleksi DPRA/DPRK. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa RUU Pemilu tidak mencabut kewenangan DPRA maupun DPRK dalam hal seleksi anggota KIP dan Anggota Panwaslih.

KESIMPULAN 1. Berdasarkan pembahasan diatas maka argumentasi hukum dalam merumuskan kerugian pemohon dengan dicabutnya pasal pasal UUPA oleh UU Pemilu, apabila dilihat dengan kualifikasi pemohon yang merupakan person yang dalam hal ini tidak terkait langsung dengan kelembagaan KIP Aceh, adalah lemah ditinjau dari segi hukum. 2. Tidak ada kewenangan Parlemen lokal (DPRA/DPRK) yang dipangkas dalam UU Pemilu. Terutama terkait dengan mekanisme seleksi. Dimana dalam UU Pemilu ketentuan rekrutmen oleh parlemen lokal tidak dihapus. Sehingga dalam hal ini tidak ada kerugian konstitusional DPRA. 3. Dalam UUPA yang dilarang adalah perubahan terhadap pasal pasal dalam UUPA. Sedangkan mekanisme pencabutan pasal pasal dalam UUPA tidak diatur mengenai keharusan adanya konsultasi untuk mendapatkan pertimbangan DPRA.


JARINGAN SURVEY INISIATIF

| 11

Referensi 

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006,

Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa. Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2008.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Press, 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.