Jurnal poltekkes jambi vol 5

Page 1

ISSN 2085-1677

Pemberitaan Ilmiah

Alamat Redaksi : Politeknik Kesehatan Jambi, Jl. Haji Agus Salim No.09, Kota Baru, Jambi

Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2009-2010 Sri Yun Utama, Nurmisih Latief, Asmuni HS Faktor-Faktor Yang Berhubungan dDengan Perilaku Pencegahan Penularan TBC di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010 Daryono, Jisman Karim, Yusnaini Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Pemberian Asi Dini di Klinik Bersalin Kota Jambi Tahun 2010 Taty Nurti, Sri Yun Utama, Suharti The Factors Related With The Occurrence of Pneumonia Disease on Balita (Baby Under Five Years Old) In Simpang IV Sipin Primary Health Care Area Jambi Year 2011 Erris Siregar, V.A. Irmayanti H Faktor Yang Berhubungan Dengan Persepsi Orang Tua Tentang Kekerasan Pada Anak di Kelurahan Legok Kecamatan Telanaipura Kota Jambi Nurmisih Latief Gambaran Pelaksanaan Palpasi Abdominal pada Ibu Hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2011 Erlina Nikelas, Nirdawati, Winda Triana Hubungan Motivasi dan Pengetahuan dengan Perilaku Mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi dalam Program Pengendalian Plak Terhadap Status Kesehatan Jaringan Periodontal David Rudi, Retno Dwi Sari, Rina Kurnianti Hubungan Pengetahuan, Teman dan Keluarga Terhadap Penyalahgunaan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Rusmimpong, Erna Heryani, Siti Aisyah Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Endemis Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010 Ahmad Dahlan, Erris Siregar

Volume 5 Edisi Desember Volume 4 2011

Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Perawat Pelaksana Melalui Pelatihan Keperawatan Spiritual di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manap Kota Jambi Tahun 2011 Abbasiah Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Karies Baru Berdasarkan Cariogram Pada Siswa Sekolah Dasar Kelas VI di Kecamatan Kotabaru Jambi Tahun 2010 Linda Marlia, Hendry Boy, Sukarsih Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dengan Derajat Keparahan Karies dan Penyakit Periodontal Pada Kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011 Rosmawati, Rusmiati dan Pahrur Razi


Editorial

REDAKSI JURNAL POLTEKKES JAMBI

Pembaca Yth, Pelindung :

Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi bulan Desember 2011 telah dapat diterbitkan. Penantian yang panjang untuk terkumpulnya naskah ilmiah sebagai materi utama terbitan kita. Untuk itu penelitian ilmiah di lingkup Poltekkes Jambi harus lebih kita galakkan sebagai salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kepada penulis yang telah mempercayakan kepada kami untuk menerbitkan karyanya kami ucapkan terimakasih . Untuk edisi kali ini kita sajikan beberapa karya ilmiah dari bidang kesehatan gigi, kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi serta ilmu keperawatan dan manajemen. Semoga bermanfaat, maju terus dan selamat berkarya.

Direktur Poltekkes Jambi : Asmmuni HS, SKM,MM Pengarah : Pudir I: Hj.Tati Nurty, S.Pd, M.Kes Pudir II: Rusmimpong, S.pd, M.Kes Pemimpin Redaksi drg. Naning Nur Handayatun, M.Kes Konsultan : Syamsul Ridjal, SKM, MM., M.KES drg. Ahmad Khairullah, M.Kes Krisdiyanta, S.KM, M.Kes Nuraidah, S.Pd, M.Kes

Anggota Redaksi: Erris Siregar, S.KM, M.Kes Dra. Neni Heriani, M.Kes Vivanti Dewi, S.Pd, M.Kes Sekretaris Redaksi drg. Karin Tika Fitria

Pemimpin Redaksi,

Pencetakan dan Distribusi Slamet Riyadi, S.KM

drg. Naning Nur Handayatun, M.Kes email: ningfendi2@yahoo.co.id

Alamat Redaksi Politeknik Kesehatan Jambi Jl. Haji Agus Salim No 09 Kota Baru Jambi

ISSN

2085-1677 Vol V Edisi Desember 2011

i


Pemberitaan Ilmiah

JURNAL POLTEKKES JAMBI ISSN 2085-1677 Politeknik Kesehatan Jambi

Volume V Edisi Desember 2011

DAFTAR ISI

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Editorial ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Isi--------------------------------------------------------------------------------------------------------------Ketentuan Penulisan Jurnal Ilmiah -----------------------------------------------------------------------------

i ii iii

Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini (KPD) di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2009-2010 ------------------------------------------------------Sri Yun Utama, Nurmisih Latief, Asmuni HS

1

Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Perilaku Pencegahan Penularan TBC di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010 -----------------------------Daryono, Jisman Karim, Yusnaini

7

Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Pemberian Asi Dini di Klinik Bersalin Kota Jambi Tahun 2010 ------------------------------------------------------------------------------------------Taty Nurti, Sri Yun Utama, Suharti

12

The Factors Related With The Occurrence of Pneumonia Disease on Balita (Baby Under Five Years Old) In Simpang IV Sipin Primary Health Care Area Jambi Year 2011 ---------------------------------------------------------------------------------------------------Erris Siregar, V.A. Irmayanti H

17

Faktor Yang Berhubungan dengan Persepsi Orang Tua Tentang Kekerasan pada Anak di Kelurahan Legok Kecamatan Telanaipura Kota Jambi --------------------------------Nurmisih Latief

23

Gambaran Pelaksanaan Palpasi Abdominal Pada Ibu Hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2011 -------------------------------------------------------------Erlina Nikelas, Nirdawati, Winda Triana

29

Hubungan Motivasi, Pengetahuan dengan Perilaku Mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi dalam Program Pengendalian Plak Terhadap Status Kesehatan Jaringan Periodontal --------------------------------------------------------David Rudi, Retno Dwi Sari, Rina Kurnianti Hubungan Pengetahuan, Teman dan Keluarga Terhadap Penyalahgunaan Narkoba Pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011. -------------------------------------------------------------------------------------Rusmimpong, Erna Heryani, Siti Aisyah Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Daerah Endemis Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010 ------------------------------------------------------------------------------------------Ahmad Dahlan, Erris Siregar

10. Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Perawat Pelaksana Melalui Pelatihan Keperawatan Spiritual di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manap Kota Jambi Tahun 2011 -------------------------------------------------------------------Abbasiah 11. Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Karies Baru Berdasarkan Cariogram Pada Siswa Sekolah Dasar Kelas VI di Kecamatan Kotabaru Jambi Tahun 2010 ---------------Linda Marlia, Hendry Boy, Sukarsih

ii

37

43

53

59

65


KETENTUAN PENULISAN JURNAL ILMIAH ISSN 2085-1677 Politeknik Kesehatan Jambi

Volume IV Edisi Desember 2011

PERSYARATAN UMUM Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa inggris dengan lay out kertas A4, batas tepi 3 cm, jarak 1 spasi, menggunakan huruf Arial dengan ukuran 10. Naskah tidak menggunakan catatan kaki di dalam teks, panjang naskah 5-15 halaman termasuk tabel dan gambar. Tabel ditulis dengan huruf Arial ukuruan 8 atau 9 tanpa garis tegak. Gambar tanpa warna. Bila mencantumkan diagram, gunakan diagram lingkaran atau batang dengan arsir. File diketik menggunakan aplikasi Microsoft Word (versi 2000, XP, 2003 atau 2007). Naskah harus sudah sampai di sekretariat

redaksi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan Januari dan Juli sebelum penerbitan dan dikirim dalam bentuk CD-ROM disertai print out sebanyak tiga rangkap. Penulis yang naskahnya akan dimuat dikenakan biaya Rp 150.000 per artikel yang dananya diserahkan langsung ke sdri Naning Nur Handayatun, M.Kes. Penulis akan menerima 1 (satu) eksemplar nomor jurnal yang memuat artikelnya. Jika mengiginkan eksemplar tambahan, dipersilahkan mengantikan biaya cetak sebesar Rp.50.000,-.

PERSYARATAN KHUSUS

Artikel Kupasan (Review)

Artikel Riset (Research Paper)

Artikel harus mengupas secara kritis dan komprehesif perkembangan suatu topik berdasarkan temuan-temuan baru yang didukung oleh kepustakaan yang cukup dan terbaru,sistematika penulisan artikel kupasan terdiri-dari : Judul Artikel, Nama Penulis (ditulis Dibawah Judul dan tanpa gelar), Abstraks, Pendahuluan (berisi latar balakang dan Tujuan Penulisan) , Bahan dan Cara (berisi tentang jenis penelitian, populasi dan sampel atau subjek penelitian, tehnik pengumpulan dan tehnik analisa data), Hasil dan pembahasan, Hasil penelitian berisikan tabel atau grafik dan hasil uji statistik, kemudian dibahas, Penutup (berisi tentang kesimpulan atas isi bahasan yang disajikan pada bagian inti dan saran yang sejalan dengan kesimpulan), Ucapan terima kasih (bila diperlukan), Rujukan

Naskah terdiri atas judul dan nama penulis lengkap dengan nama institusi dan alamat korespodensi diikuti oleh abstrak (dengan kata kunci) Pendahuluan bahan dan metode hasil dan pembahasan kesimpulan dan saran ucapan terima kasih bila diperlukan dan daftar pustaka Judul (Title) Judul harus informatif dan deskriptif (maksimum 28 kata) Judul dibuat memakai huruf kapital dan diusahakan tidak mengandung singkatan Nama lengkap penulis tanpa gelar dan nama institusi tempat afiliasi masingmasing penulis yang disertai dengan alamat korespodensi

iii


Abstrak (abstract)

Kesimpulan dan Saran

Abstrak merupakan sari tulisan yang meliputi latar belakang riset secara ringkas, tujuan, metode, hasil dan simpulan riset panjang astrak maksimum 250 kata dan disetai kata kunci

Berisi kesimpulan atas isi bahasan yang disajikan pada bagian inti dan saran yang sejalan dengan kesimpulan Ucapan Terima Kasih (Acknowledgement)

Pendahuluan (Introduction) Justifikasi tentang subjek yang dipilih didukung dengan pustaka yang ada Harus diakhiri dengan menyatakan apa tujuan tulisan tersebut

Dibuat ringkas sebagai ungkapan terima kasih kepada pihak yang membantu riset, penelaahan naskah, atau penyedia dana riset. Daftar Pustaka (Literatures Cited/References)

Bahan dan Cara Kerja (Materials and Method) Harus detil dan jelas sehingga orang yang berkompeten dapat melakukan riset yang sama (repeatable dan reproduceable) Jika metode yang digunakan telah diketahui sebelumnya pustaka yang diacu harus dicantumkan Spesifikasi bahan harus detil agar orang lain mendapat informasi tentang cara memperoleh bahan tersebut

Hasil (Result) (Discussion)

dan

Pembahasan

Hasil dan pembahasan dirangkai menjadi satu pada bab ini Melaporkan apa yang diperoleh dalam eksperiment/percobaan diikuti dengan analisis atau penjelasannya Tidak menampilkan data yang sama sekaligus dalam bentuk tabel dan grafik Tidak mengulang data yang disajikan dalam tabel atau grafik satu persatu, kecuali untuk hal-hal yang menonjol Membandingkan hasil yang diperoleh dengan data pengetahuan (hasil riset orang lain) yang sudah dipublikasikan Menjelaskan implikasi dari data ataupun informasi yang diperoleh bagi ilmu pengetahuan ataupun pemanfaatannya (aspek pragmatisnya)

iv

Pustaka yang disitir dalam teks harus persis sama dengan yang ada di daftar pustaka begitu pula sebaliknya Daftar pustaka ditulis dengan lengkap secara alpabetis, sehingga pembaca yang ingin menelusuri pustaka aslinya akan dapat melakukannya dengan mudah


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KETUBAN PECAH DINI (KPD) DI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI TAHUN 2009-2010

Sri Yun Utama, Nurmisih Latief dan Asmuni HS Staf Pengajar Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK

Ketuban Pecah Dini atau spontaneous / early / premature rupture of membran atau KPD merupakan penyebab yang paling sering terjadi pada saat mendekati persalinan. Kejadian Ketuban Pecah Dini mendekati 10% dari semua persalinan. Ketuban Pecah Dini bila dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal akibat imaturitas janin, disamping itu bila kelahiran tidak terjadi dalam 24 jam, terjadi risiko peningkatan infeksi intrauterin. Desain penelitian ini menggunakan rancangan case control. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan kejadian Ketuban Pecah Dini dengan usia dan paritas ibu bersalin di RSUD Raden Mataher Jambi Tahun 2009 – 2010. Populasi adalah seluruh ibu bersalin dengan sampel terdiri dari kasus dan control sebanyak 350. Data yang diambil adalah data sekunder. Analisa data dilakukan secara bertahap yaitu univariat dan bivariat. Hasil penelitian yang dilakukan tahun 2009 – 2010, sebagian besar responden yang mengalami Ketuban Pecah Dini terjadi pada kehamilan 37 minggu (aterm) Sebagian besar responden mengalami Ketuban Pecah Dini pada usia kurang dari 35 tahun dan dengan paritas kurang dari 2, namun pada usia dan paritas tinggi, berisiko lebih banyak terjadi KPD daripada ketuban normal. Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan usia ibu, dengan kecenderungan 2,03 dan p value 0,034. Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan paritas. Berdasarkan dari hasil penelitian ini disarankan bagi tenaga kesehatan dapat mendeteksi secara cermat Ketuban Pecah Dini dan dapat melakukan penatalaksanaan sesegera mungkin dan meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat melalui pendidikan dan konseling sehubungan dengan faktor risiko dari kejadian KPD agar tidak terjadi kasus KPD berulang pada pasien yang sama serta bagi peneliti lain diharapkan dapat digunakan sebagai referensi atau melanjutkan penelitian ini dengan variabel risiko dan matching yang berbeda. Kata Kunci: Ketuban pecah dini, usia, dan paritas.

PENDAHULUAN Ketuban Pecah Dini atau spontaneus/ early/premature rupture of membran atau KPD merupakan penyebab yang paling sering terjadi pada saat mendekati persalinan. Kejadian Ketuban Pecah Dini mendekati 10% dari semua persalinan. Ketuban Pecah Dini bila dihubungkan dengan kehamilan preterm, ada risiko peningkatan morbiditas dan mortalitas perinatal akibat imaturitas janin, disamping itu bila kelahiran tidak terjadi dalam 24 jam juga

terjadi risiko peningkatan infeksi intrauterin (Taber, 1994). Insidensi dan fakta Ketuban Pecah Dini (KPD) sebanyak 6-19% mengalami ketuban pecah spontan sebelum persalinan. Semakin lamanya waktu antara ketuban pecah dan saat persalinan, semakin meningkat pula risiko infeksi, maka manajemen yang memungkinkan tidak boleh melebihi 96 jam (Vicky, 2006). Kejadian KPD di RS Dr. Pirngadi Medan sebesar 2,27% dari seluruh persalinan, RS Hasan Sadikin Bandung sebesar 5,05%, RS Dr.

1


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Cipto Mangunkusumo Jakarta sebesar 11,22% dan RSUD. A. Yani Metro Jakarta (2006) sebesar 2,27%. Angka infeksi dalam 24 jam pertama untuk kehamilan minggu ke-37 sampai ke-42 gestasi telah dilaporkan beragam dari 1,6% sampai 29% bergantung pada ras, faktor sosial ekonomi, asuhan perinatal yang diterima, dan usia gestasi. Pada kehamilan cukup bulan, terjadi peningkatan insiden demam intrapartum jika periode laten sejak pecah ketubaan sampai saat persalinan lebih dari 24 jam. Jika periode laten ini lebih dari 72 jam, terdapat peningkatan mortalitas perinatal yang signifikan. Namun pada kehamilan yang kurang dari trisemester ke-3 gestasi, angka itu bervariasi sesuai dengan usia gestasi, dan risiko terkait permaturitas lebih besar daripada risiko infeksi setelah Ketuban Pecah Dini (Varney, 2007). Menurut data Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007, AKI di Indonesia adalah 228 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini berarti bahwa lebih dari 18.000 ibu meninggal pertahun atau 2 ibu meninggal tiap jam oleh sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas (BPS dan Macro Internasional, 2007). Menurut penelitian Mariana di RSU DR. Sardjito Yogyakarta tahun 2002 faktor predisposisi terjadinya Ketuban Pecah Dini adalah sebagian besar 55,66% penyebabnya tidak diketahui, umur ibu > 35 tahun sebesar 16,03% dan multipara sebesar 15,09%. Lainnya karena malposisi sebesar 5,66%. Sedangkan menurut penelitian Rosanti di RB Triyanti dalam Mariana, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Ketuban Pecah Dini adalah sebagian besar pada usia > 35 tahun 18,75% dan multipara 37,59%. RSUD Raden Mattaher Jambi merupakan salah satu Rumah Sakit rujukan untuk wilayah Provinsi Jambi dan sekitarnya. Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti Desember 2010 di Ruang Bersalin RSUD Raden Mattaher Jambi jumlah persalinan keseluruhan baik normal maupun persalinan atas indikasi medis tahun 2009 berjumlah 1471 orang, sedangkan persalinan normal 1299 orang dan yang mengalami Ketuban Pecah Dini sebanyak 85 orang. Tahun 2010 jumlah persalinan keseluruhan 1411 orang, persalinan normal 856 orang dengan kasus Ketuban Pecah Dini 179 orang.

2

BAHAN DAN CARA KERJA Kerangka pikir dalam penelitian ini mengacu pada faktor predisposisi terjadinya Ketuban Pecah Dini diantaranya infeksi vagina, serviks, infeksi cairan ketuban, selaput ketuban abnormal, inkompetensi serviks, amniotomi terlalu dini, hipermolalitas uterus, trauma fisik, malposisi, multipara dan umur ibu lebih dari 35 tahun (Manuaba, 2001 & Morgan, 2009). Peneliti mengambil faktor usia dan paritas karena berdasarkan pendapat Winkjosastro (2006) usia ibu saat melahirkan merupakan salah satu faktor risiko kematian perinatal namun jika kehamilan terjadi pada kurun waktu reproduksi sehat pada usia 20-30 tahun merupakan masa aman untuk kehamilan dan persalinan. Sedangkan paritas 2-3 merupakan kondisi yang paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Faktor lain tidak diteliti karena merupakan situasi yang sulit untuk diprediksi dan dicegah, disamping kemungkinan tidak tersedia data sekunder yang lengkap dalam medical record. Penelitian ini menggunakan pendekatan case control dalam studi ini ingin diketahui apakah suatu faktor risiko tertentu yaitu usia dan paritas benar berpengaruh terhadap terjadinya efek (KPD) yang diteliti dengan membandingkan kekerapan pajanan faktor risiko tersebut pada kelompok kasus dengan pajanan kelompok kontrol. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Agustus 2011 di RSUD Raden Mattaher Jambi. Populasi kasus dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin yang mengalami Ketuban Pecah Dini RSUD Raden Mattaher Jambi dari 2009 – 2010 yang berjumlah 264 orang. Sedangkan populasi kontrol seluruh ibu yang bersalin dengan ketuban pecah sesuai waktu di RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2009 – 2010 yang berjumlah 2242 orang. Besar sampel kasus berdasarkan jumlah ibu yang bersalin dengan Ketuban Pecah Dini pada bulan Januari sampai Desember 2009 dan 2010 yang berjumlah 264 orang. Sampel kasus diambil sebanyak 175 orang. Sedangkan sampel kontrol berbanding sama banyak dengan kasus yaitu perbandingan 1:1, berjumlah 175 orang, sehingga jumlah sampel keseluruhannya adalah 350 orang.


Sri Yun Utama, Nurmisih, Asmuni, Faktor-Faktor Yang Berhubungan ...

Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok Kasus adalah ibu bersalin yang mengalami Ketuban Pecah Dini di RSUD Raden Mattaher Jambi dari bulan Januari sampai Desember 2009 – 2010. Kelompok Kontrol adalah ibu bersalin yang tidak mengalami Ketuban Pecah Dini di RSUD Raden Mattaher Jambi dari bulan Januari sampai Desember 2009 – 2010. Teknik sampling kasus adalah secara random sampling, sedangkan teknik pengambilan kontrol dengan purposive sampling, jika didapatkan satu kasus, maka diambil satu sampel kontl dengan menggunakan proses matching masa gestasi. Variabel Penelitian yang digunakan adalah Ketuban Pecah Dini, pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan yang dinyatakan dengan diagnosis pada medical record, Usia ibu saat datang ke Rumah Sakit untuk melahirkan anak terakhir atau rujukan atas Ketuban Pecah Dini yang tercatat pada medical record, selanjutnya umur dikatagorikan dengan berisiko bila 35 tahun dan tidak berisiko jika ≤ 35 tahun, Paritas, jumlah anak kandung yang telah dilahirkan oleh ibu baik hidup maupun yang telah meninggal, tercatat sebagai status persalinan ibu/para pada medical record yang selanjutnya paritas dikatagorikan berisiko bila  2 dan tidak berisiko jika ≤ 2. Data dikumpulkan dengan studi dokumentasi yang diambil secara random sampling dari tanggal 1 sampai 30 Juli 2011 dari registrasi Ruang Bersalin dan medical record di RSUD Raden Mattaher Jambi tahun 2009 – 2010. Pengolahan data dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel yang akan diteliti yaitu usia, paritas dengan kejadian Ketuban Pecah Dini sebagai variabel dependen.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Responden Berdasarkan Kejadian Ketuban Pecah Dini di RSUD Raden Mattaher Jambi berdasarkan hasil penelitian dari 350 persalinan diketahui kejadian Ketuban Pecah Dini sebanyak 50 % dan yang tidak mengalami Ketuban Pecah Dini sebanyak 50 %. Data yang diperoleh dari hasil penelitian

2011

ditemukan sebagian besar responden pada usia kehamilan  37 minggu mengalami ketuban pecah dini. Insidensi Ketuban Pecah Dini mendekati 10% dari semua persalinan, pada umur kehamilan kurang dari 34 minggu angka kejadian KPD sekitar 4% (http://obstetriginekologi.com/etiologi-danmekanisme-kpd/20/08/11). Penyebab Ketuban Pecah Dini belum diketahui dengan pasti, menurut Cunnigham dkk (2005) dan Manuaba (2007) faktor predisposisi Ketuban Pecah Dini adalah usia ibu lebih dari 35 tahun, multipara, infeksi vagina, serviks, cairan amnion, hidramnion, malposisi, inkompetensi serviks dan chepahao pelvic disproportion (CPD). Semakin lama kejadian KPD berlangsung seperti pada periode laten, makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematur dan selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan bayi atau janin dalam rahim. Disamping itu Ketuban Pecah Dini yang disertai kelainan letak akan mempersulit pertolongan persalinan yang dilakukan pada tempat dengan fasilitas belum memadai (Manuaba, 2007). Menurut penelitian National Institute of Perinatology di Meksiko City 120 wanita hamil yang secara acak, menyatakan bahwa Ketuban Pecah Dini merupakan keadaan berisiko menimbulkan infeksi pada janin maupun terjadi kelahiran yang prematur. Risiko ini dapat dikurangi bila ibu mengkonsumsi suplemen vitamin C pada saat memasuki usia separuh masa kehamilan. Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian terhadap 120 wanita hamil yang secara acak diberikan 100 mg vitamin C, pada saat kehamilan memasuki usia 20 minggu. Berdasarkan hasil pemberian suplemen vitamin C yang dimulai pada saat usia kehamilan 20 minggu, menunjukkan peningkatan dari kadar vitamin C dalam darah dibanding dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan suplemen vitamin C. Peningkatan tersebut berhubungan juga dengan menurunnya risiko untuk mengalami KPD. Untuk kelompok kontrol, terjadi KPD sebanyak 25%, sedang pada kelompok ibu yang diberikan vitamin C, terjadi penurunan KPD, yaitu menjadi 8% dari jumlah kehamilan (http://www.infosehat.com/news.phpnid/22/08/11The American Journal of Clinical Nutrition). Berbagai masalah komplikasi kesehatan pada ibu yang mungkin terjadi akibat kasus Ketuban Pecah Dini diantaranya meningkatnya sectio caesaria akibat

3


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

penanganan aktif, sulutio placenta, trauma persalinan akibat induksi, infeksi masa nifas dan perdarahan post partum, sedangkan kemungkinan dampak terhadap bayi adalah kelahiran prematur, infeksi intra uterin, BBLR, prolap bagian janin terutama tali pusat, malposisi dan infeksi. Vitamin C telah diketahui berperan penting dalam mempertahankan keutuhan membran (lapisan) yang menyelimuti janin dan cairan ketuban. Mungkin dengan pemberian suplemen Vitamin C dapat membantu para ibu mencegah terjadinya ketuban pecah dini, sehingga kehamilan dapat dipertahankan hingga tiba masa persalinan. Gambaran usia responden diperoleh dari data yang terdapat dalam medical record diketahui dari 350 responden usia ibu yang berisiko lebih dari 35 tahun sebanyak 51 (14,6%) responden, sedangkan usia yang tidak berisiko ≤ 35 tahun 299 (85,4%) responden. Hasil pada penelitian ini menggambarkan bahwa proporsi pada usia berisiko lebih banyak terjadi Ketuban Pecah Dini dibandingkan dengan ketuban normal. Berdasarkan uji statistik diperoleh pola hubungan menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara kejadian KPD dengan usia responden, dengan p value 0,034 dan OR 2,03 yang artinya responden dengan usia risiko memiliki kecenderungan 2,03 kali akan mengalami KPD dibandingkan usia tidak berisiko. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Varney (2007) bahwa salah satu faktor yang berkaitan dengan kejadian Ketuban Pecah Dini adalah faktor ibu seperti usia ibu ≤ 35 tahun dan > 35 tahun, ibu dengan usia ≤ 35 tahun kemungkinan mengalami gangguan psikologi karena ketidaksiapan ibu untuk menerima tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua dan usia > 35 tahun dimana kesehatan ibu sudah menurun, akibatnya ibu mempunyai kemungkinan lebih besar untuk mengalami gangguan kehamilan, paritas ibu yang tinggi, keadaan sosial ekonomi yang rendah, malnutrisi dan kehamilan yang tidak diinginkan, asuhan perinatal yang diterima dan usia. Gambaran paritas responden dengan kejadian Ketuban Pecah Dini di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2009 – 2010 diperoleh dari data yang terdapat dalam medical record diketahui dari 350 responden, terdapat paritas yang berisiko sebanyak 109 (31,1%) responden, sedangkan yang yang tidak berisiko 241 (68,9%) responden. Menurut Winkjosastro (2006) paritas 2-3 merupakan paritas paling

4

aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas 1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi paritas, lebih tinggi kematian materna. Risiko pada paritas 1 dapat ditangani dengan obstetrik yang lebih baik, sedangkan risiko pada paritas tinggi dapat dikurangi atau dicegah dengan keluarga berencana. Sebagian kehamilan pada paritas tinggi tidak direncanakan. Pecahnya ketuban dalam persalinan disebabkan oleh kontraksi uterus dan peregangan berulang akibat kehamilan sebelumnya, KPD terjadi karena lemahnya selaput ketuban yang kemungkinan disebabkan kurangnya jaringan ikat dan vaskularisasi serta distensi dari rahim akibat kehamilan yang berulang. KPD menyebabkan mudahnya terjadi infeksi akibat hubungan langsung antara dunia luar dan ruangan dalam rahim. Hubungan antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan usia di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2009 – 2010 berdasarkan hasil analisa data diketahui bahwa dari 51 responden dengan usia berisiko, sebanyak 33 (18,9%) mengalami KPD, dan 18 (10.3%) tidak mengalami KPD. Sedangkan untuk usia yang tidak berisiko ≤ 35 tahun, 81,1% KPD dan tidak KPD sebanyak 89.7%. Menurut Manuaba, dkk (2001) etiologi Ketuban Pecah Dini belum diketahui dengan pasti, namun usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat dari pada ibu muda. Ibu hamil dengan usia lebih dari 35 tahun akan berisiko tinggi mengalami Ketuban Pecah Dini disebabkan kondisi kesehatan pada usia tersebut mulai menurun, tingkat kecemasan lebih tinggi dan emosional ibu sulit dikendalikan sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin, pada usia tersebut kondisi organ reproduksi ibu yang berperan selama masa kehamilan dan persalinan juga semakin menurun dibandingkan dengan usia yang aman untuk hamil dan melahirkan. Hubungan Kejadian Ketuban Pecah Dini dengan Paritas di RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2009 – 2010 diperoleh setelah dilakukan uji chi square terhadap data yang ada dengan tingkat kemaknaan 0,05, terlihat bahwa proporsi responden dengan kejadian Ketuban Pecah Dini lebih banyak pada yang memiliki paritas berisiko dibandingkan dengan tidak berisiko, diperoleh p value 0,021 yang berarti secara statistik terdapat hubungan bermakna


Sri Yun Utama, Nurmisih, Asmuni, Faktor-Faktor Yang Berhubungan ...

antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan paritas, dengan OR 1.76. Dari hasil analisa data diketahui bahwa dari 109 responden dengan paritas berisiko, sebanyak 65 (37,1%) mengalami KPD dan tidak KPD 25.1%. Sebaliknya untuk paritas yang tidak berisiko dengan ≤ 2 anak, 62.9 % mengalami KPD dan yang tidak mengalami KPD lebih banyak yaitu 74.9%. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian responden mengalami ketuban pecah dini, KPD sebagian besar terjadi pada kehamilan  37 minggu (aterm), Sebagian besar responden mengalami Ketuban Pecah Dini pada usia kurang dari 35 tahun, Sebagian besar responden mengalami Ketuban Pecah Dini dengan paritas kurang dari 2, Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan usia ibu, dengan kecenderungan 2,03 dan p value 0,034, Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan paritas. Data yang diperoleh dari hasil penelitian menunjukkan sebagian responden mengalami Ketuban Pecah Dini pada paritas ibu bersalin yang berisiko >2 anak lebih tinggi dan paritas yang tidak berisiko ≤ 2 anak. Uji statistik menghasilkan p value 0,021 artinya terdapat pola hubungan yang signifikan antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan paritas dengan OR 1,76. Responden dengan paritas berisiko memiliki kecenderungan 1,76 kali akan mengalami Ketuban Pecah Dini dibandingkan responden paritas tidak berisiko. Hasil penelitian ini selaras dengan pendapat Manuaba, dkk (2001) bahwa usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat dari pada ibu muda, sehingga terjadi ketuban pecah sebelum waktunya. Selanjutnya Taylor dalam penelitian Suci Syahril (2009) menyatakan bahwa faktor predisposisi yang turut mengakibatkan terjadinya Ketuban Pecah Dini adalah multipara, malposisi, disproporsi, cerviks inkompeten, dan lain-lain. Kemudian menurut Rusli juga dalam penelitian Suci Syahril (2009) multigravida adalah salah satu predisposisi kejadian ketuban pecah dini. dan penelitian Mariana (2002) menemukan bahwa paritas juga turut mempengaruhi terjadinya ketuban pecah dini.

2011

KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden yang mengalami Ketuban Pecah Dini terjadi pada kehamilan 37 minggu (aterm). Sebagian besar responden yang mengalami Ketuban Pecah Dini terjadi pada usia kurang dari 35 tahun dan dengan paritas kurang dari 2. Pada usia dan paritas tinggi, beresiko terjadi lebih banyak KPD daripada ketuban normal. Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan usia ibu, dengan kecenderungan 2,03 dan p value 0,034. Terdapat hubungan yang bermakna antara kejadian Ketuban Pecah Dini dengan paritas. Diharapkan bagi tenaga kesehatan dapat mendeteksi secara cermat Ketuban Pecah Dini dan dapat melakukan penatalaksanaan sesegera mungkin, Meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan kepada masyarakat melalui pendidikan dan konseling sehubungan dengan faktor risiko dari kejadian KPD agar tidak terjadi kasus KPD berulang pada pasien yang sama dan bagi peneliti lain diharapkan dapat digunakan sebagai referensi atau melanjutkan penelitian ini dengan variabel risiko dan matching yang berbeda

DAFTAR PUSTAKA BPS dan Makro Internasional. 2007. Survei Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta Cunningam, F Gary, dkk. 2005. Obstetri William. Jakarta: EGC Depkes RI. 2003. Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu Dan Anak. Jakarta Dinkes Provinsi Jambi, Profil Kesehatan Provinsi Jambi tahun 2007. Jambi Manuaba, Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta. EGC _______.2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta. EGC

5


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

_______,2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB, Penerbit EGC. Jakarta Mariana, Ngundju Awang. 2002. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kejadian Ketuban Pecah Dini Pada Partus Prematur Tahun 2001 Di RSUD DR. Sardjito Yogyakarta. Syahril, Suci. 2009. Gambaran Kejadian Ketuban Pecah Dini dengan Usia dan

6

Parietas Ibu Bersalin di Kamar Bersalin RSUD Rd. Mattaher Jambi tahun 2009 Taber, Ben-Zion. 1994. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC Varney, Helen dkk., 2001. Buku Saku Bidan. Jakara: EGC http://www.infosehat.com/news.php?nid=211/22/08/11 The American Journal of Clinical Nutrition


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENULARAN TBC DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2010. Daryono, Jisman Karim dan Yusnaini Staf Pengajar Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Penyakit tuberculosis di Indonesia kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2008). Indonesia masih menduduki urutan ketiga setelah India dan Cina dalam hal jumlah penderita penyakit tuberkulosis (TBC) paru menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO). Peningkatan terbesar kasus penyakit tuberkulosis terjadi di Puskesmas Putri Ayu yaitu dari 33 kasus pada tahun 2008 menjadi menjadi 53 kasus penyakit tuberkulosis pada tahun 2009. (Dinkes Propinsi Jambi, 2010) Penelitian ini dengan desain kuantitatif dengan pendekatan penelitian dilakukan secara cross sectional yaitu pengumpulan data baik untuk variabel independen (variabel sebab) maupun variabel dependen (variabel akibat) dilakukan secara bersama-sama atau simultan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TBC kecuali anak –anak yang ada di wilayah kerja Puskesmas Putri Ayu di Kota Jambi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru. Penelitian ini merupakan deskriptif dengan metode cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TBC kecuali anak –anak yang ada di wilayah kerja Puskesmas Putri Ayu di Kota Jambi. Sampel pada penelitian ini adalah total populasi yang berjumlah 39 orang. Penelitian dilakukan pada tanggal 21 September s/d 30 Oktober 2010. Pengolahan data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian diketahui dari 38 responden, sebagian (38,5 %) responden memiliki perilaku yang positif dalam melakukan pencegahan penularan TBC paru, sebagian (38,5 %) memiliki pengetahuan yang tinggi tentang pencegahan penularan TBC paru, sebagian (51,3%) memiliki sikap yang positif terhadap perilaku pencegahan penularan TBC paru, ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru dengan p value 0,01, dan ada hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru. Diharapkan bagi Dinas Kesehatan Bagi Dinas Kesehatan Kota Jambi agar dapat meningkatkan upaya untuk mencegah penularan TBC dengan memberikan informasi yang luas kepada masyarakat dan bagi perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu di kota Jambi agar berupaya terus memberikan pendidikan kesehatan dalam bentuk penyuluhan dan konseling kepada masyarakat tentang TBC cara pencegahan dan penularannya. Kata Kunci : TBC Paru, Pengetahuan, Perilaku dan Sikap

PENDAHULUAN Micobacterium tuberculosis (TB) telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 8 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta orang per tahun. Di negara berkembang kematian ini merupakan 25% dari kematian penyakit yang sebenarnya dapat diadakan pencegahan penularan. Diperkirakan 95% penderita TB berada di negara-negara berkembang dengan munculnya

epidemi HIV/AIDS di dunia jumlah penderita TB akan meningkat. Kematian wanita karena TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan serta nifas (Depkes, 2002: 57). Penyakit tuberculosis di Indonesia kembali muncul sebagai penyebab kematian utama setelah penyakit jantung dan saluran pernafasan. Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2008). Indonesia masih menduduki urutan

7


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

ketiga setelah India dan Cina dalam hal jumlah penderita penyakit tuberkulosis (TBC) paru menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada peringatan World TB Day atau Hari TB Sedunia setiap tanggal 24 Maret (Depkes RI, 2008). Jumlah penderita TBC paru di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa setiap tahun ditemukan 583.000 penderita tuberkulosis (TBC) baru dan 50% diantaranya (296.000) adalah penderita dengan kategori baksil tahan asam (BTA) positif yang menular, akibatnya 140.000 orang meninggal dunia setiap tahun (Sukana, 2000:3). Hasil survei lembaga Perkumpulan Pemberantasan Tuberkolosis Indonesia (PPTI) menyebutkan, setidaknya 1 orang meninggal dalam 4 menit di Indonesia akibat tuberkolosis. Sejak tahun 2002 ditemukan 582 ribu kasus baru setiap tahun. Setahun kemudian, terdapat setidaknya 8,8 juta kasus baru dengan angka kematian mencapai 1,7 juta. Angka tersebut mulai menurun pada tahun 2005 yaitu jumlah kasus yang ditemukan rata-rata sekitar 300.000 kasus per tahun (Depkes, 2008:4). Risiko penularan setiap tahun di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 - 2 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara 1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk atau HIV/AIDS (Depkes, 2007:2). Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinkes Kota Jambi, dapat diketahui telah terjadi peningkatan penyakit tuberkulosis dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Secara umum hampir seluruh Puskesmas yang ada di Kota Jambi mengalami peningkatan penyakit tuberkulosis. Secara khusus peningkatan terbesar kasus penyakit tuberkulosis terjadi di Puskesmas Putri Ayu yaitu dari 33 kasus pada tahun 2008 menjadi menjadi 53 kasus penyakit tuberkulosis pada tahun 2009.

8

BAHAN DAN CARA KERJA Kerangka konsep pada penelitian ini berdasarkan teori Green L ada 3 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu faktor predisposisi, (pengetahuan, kepercayaan, pendidikan, sikap, persepsi dan motivasi), Faktor pendukung (lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana dan prasarana kesehatan), Faktor pendorong, (sikap dan prilaku petugas kesehatan atau petugas lain). Pada penelitian ini yang menjadi variabel yang diteliti yaitu pada faktor predisposisi yang mencakup pengetahuan dan sikap yang berpengaruh secara langsung terhadap perilaku pencegahan penularan TBC. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriftip kuantitatif dengan metode cross sectonal yang bertujuan untuk melihat hubungan perilaku pencegahan penularan TBC engan pengetahuan dan sikap di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi tahun 2010. Penelitian dilakukan dari tanggal 12 Juli s/d 14 September 2010. Populasi pada penelitian ini adalah semua penderita TBC kecuali anak –anak yang ada di wilayah kerja Puskesmas Putri Ayu di Kota Jambi. Sampel pada penelitian ini adalah total sampling. Variabel Penelitian yang digunakan yaitu Perilaku pencegahan penularan TBC Paru, Pengetahuan dan Sikap. Perilaku pencegahan penularan TBC Paru adalah aktivitas, kegiatan, tindakan yang dilakukan oleh penderita untuk pencegah penularan TBC meliputi menutup mulut dengan tisue atau sapu tangan saat batuk/bersin, membuang tisue pada tempat tertutup setelah batuk/bersin, membuang sputum pada tempat penampung sputum yg berisi cairan sabun/lisol, memaskai masker saat berbicara dengan orang lain. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui dan dipahami penderita yang meliputi pengertian, gejala, dan penularan penyakit Tbc. Sikap adalah Respon psikologis responden terhadap perilaku pencegahan penularan penyakit TBC Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui pengisian kuesioner dengan menggunakan metode wawancara secara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan langsung terhadap perilaku pencegahan penularan Tbc menggunakan lembar observasi Analisa data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat dilakukan untuk mendapatkan


Daryono, Jisman K, Yusnaini, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan ‌

gambaran distribusi frekuensi dari variabel dependen dan independen yang berskala nominal dan ordinal dan analisis bivariat untuk melihat hubungan antara variabel perilaku pencegahan penularan TBC Paru dengan variabel pengetahuan dan sikap.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil distribusi responden menurut perilaku pencegahan penularan TBC paru diketahui perilaku penderita TBC dalam kategori positif sebanyak 15 responden (38,5%) sedangkan kategori negatif sebanyak 24 responden (61,5%). Hal ini berarti responden belum mampu melaksanakan perilaku pencegahan TBC menurut Depkes (2008:79) dengan baik yang terdiri dari pasien dianjurkan untuk batuk atau bersin dan mengeluarkan ludah pada tissue dan menghindari meludah disembarang tempat, tissue tersebut tidak boleh dibuang disembarang tempat, tangan dicuci dengan menggunakan air mengalir dan sabun, tindakan kontrol infeksi sementara dengan memakai masker, jangan menghentikan terapi pengobatan, makanlah obat secara teratur dan berbicara dengan orang lain tidak berhadapan dalam jarak dekat. Besarnya persentase proporsi responden yang tidak melakukan perilaku pencegahan penularan TBC dalam penelitian ini dikarenakan masyarakat atau responden bersikap kurang baik atau negatif terhadap pencegahan penularan TBC. Penelitian ini sesuai dengan teori (Notoatmodjo, 2003) bahwa, perilaku yang baik dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap yang baik dan juga sebaliknya. Hal ini juga ditunjang dengan usia responden yang sebagian besar di atas 50 tahun sehingga mereka sulit untuk melakukan prilaku tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa perilaku yang ditunjukkan sekarang ini bisa dilakukan berdasarkan dari pengalaman pribadi yang dapat merupakan sumber pengetahuan untuk menarik kesimpulan dari pengalaman yang benar (Notoatmodjo, 2003: 13). Hasil penelitian tentang gambaran pengetahuan responden terhadap perilaku pencegahan penularan TBC paru diketahui sebahagian kecil 15 responden (38,5 %) memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang pencegahan penularan TBC dan sebahagian besar 24 responden (61,5 %) memiliki tingkat pengetahuan yang rendah

2011

tentang pencegahan penularan TBC. Menurut Indah (2000:54), pencegahan penularan TBC Paru adalah dengan cara hindari berbicara terlalu dekat dan berhadapan dengan penderita TBC Paru atau dengan menggunakan masker saat berbicara, anjurkan penderita untuk berobat teratur, karena pengobatan yang tidak teratur dapat menyebabkan kekebalan ganda kuman TBC Paru terhadap Obat Anti TBC (OAT), anjurkan pada penderita untuk tidak batuk, bersin, dan meludah di sembarang tempat, cuci tangan dengan sabun dan air mengalir setelah kontak dengan penderita TBC Paru dan jangan menghentikan program pengobatan sebelum selesai. Pengetahuan adalah merupakan hasilhasil dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap sutau objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia (Notoatmodjo, 2003:127). Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt behavior). Dimana pengetahuan yang baik akan memberi dampak baik dalam pencegahan penularan TBC, begitu pula sebaliknya. Hasil distribusi responden berdasarkan gambaran sikap dapat diketahui bahwa proporsi terbesar sikap responden berada dalam kategori sikap positif yaitu sebanyak 20 responden (51, 3 %) sedangkan kategori sikap negatif sebanyak 19 responden (48,7 %). Azwar (2005:42) mengemukakan bahwa sikap berkaitan dengan nilai (value) dan opini (pendapat). Sikap adalah perasaan memihak (favorable) atau pun perasaan tidak memihak (unfavorable) terhadap suatu objek psikologis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sikap merupakan perasaan yang muncul karena adanya stimulus dan ada kecenderungan untuk berespon positif atau negatif terhadap suatu objek, organisme, atau situasi tertentu. Menurut Elizabet J Corwin orang – orang yang paling berisiko untuk tertular TBC Paru adalah orang-orang yang tinggal serumah dengan atau yang berdekatan dengan penderita TBC Paru tersebut, seperti perawat, dokter, dan keluarga penderita itu sendiri. (Corwin, 2005) Menurut Depkes RI, ( 2005 ) hal-hal yang perlu diperhatikan bila ada penderita dalam keluarga adalah jangan tidur sekamar dengan penderita TBC Paru, usahakan agar penggunaan piring, gelas, dan alat-alat yang lain bagi penderita terpisah atau bedakan dengan anggota keluarga yang lain, dan memeriksakan semua anggota keluarga untuk

9


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

dapat mengetahui ada anggota keluarga lain yang tertular. Hubungan antara Pengetahuan dengan Perilaku Pencegahan Penularan TBC Paru dilihat menggunakan uji chi square didapatkan nilai v value = 0,01 disimpulkan bahwa dalam penelitian ini ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru. Dari uji statistik juga didapat nilai OR yang besarnya 13,75 (95 % CI= 2,86-66,03), artinya responden yang memiliki pengetahuan tinggi tentang pencegahan penularan TBC paru mempunyai peluang sebesar 13,75 kali melakukan perilaku pencegahan penularan TBC paru. Sebagian besar responden tidak mengetahui tentang pencegahan penularan saat batuk atau bersin, tempat pembuangan dahak yang benar, dan perlunya menggunakan masker saat bicara. Sebagian besar responden mengetahui pengertian TBC, gejala dan cara penularannya. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru (p value 0,01) dengan nilai OR 13,75 (95 % CI 2,86 – 66,0) artinya responden yang memiliki pengetahuan tinggi tentang pencegahan penularan TBC paru mempunyai peluang sebesar 1,75 kali melakukan perilaku pencegahan penularan TBC paru. Besarnya proporsi responden yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang pencegahan penularan penyakit TBC paru dalam penelitian ini dapat dihubungkan dengan tingkat pendidikan responden yang sebagian besar masih rendah. Data penelitian ini menunjukkan dari 22 responden yang rendah pengetahuannya atau (53,7%) terdapat yang tidak tamat SD sebanyak 12 (54.5%) orang responden sedangkan yang tamat SD 4 (2.0%) orang responden yang tamat SMP sebanyak 3 (13,6%) orang responden dan 3 (13,6%) orang responden adalah lansia. Faktor penyebab responden memiliki pengetahuan yang kurang baik tentang pencegahan penularan TBC karena kurangnya informasi yang diberikan. Menurut Notoatmodjo (2007:139) bahwa pengetahuan seseorang adalah merupakan hasil dari tahu dan dapat diperoleh dari pengalaman serta keyakinan terhadap sumbernya. Faktor lain yaitu karena pemahaman atau persepsi yang keliru tentang suatu informasi yang di sampaikan. Menurut Notoatmodjo (2005:50) bahwa pengetahuan

10

sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Terdapatnya hubungan antara pengetahuan dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru sesuai dengan pendapat Green dalam Notoatmodjo (2003:13) yang menyatakan perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat. Salah satu faktor predisposisi yang mempengaruhi perilaku kesehatan adalah pengetahuan. Lebih lanjut Notoatmodjo (2003:121) menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (Overt behavior). Dimana pengetahuan yang baik akan memberi dampak baik, begitu pula sebaliknya. Hasil uji chi square didapatkan nilai p value = 0,01 disimpulkan bahwa dalam penelitian ini ada hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru. Dari uji statistik juga didapat nilai OR yang besarnya OR= 15,78 ( 95 % CI= 2,8 88,99), artinya responden yang memiliki sikap posiif tentang pencegahan penularan TBC paru mempunyai peluang sebesar 15,78 kali melakukan perilaku pencegahan penularan TBC paru. Sebagian besar responden menyatakan setuju untuk tidak akan menghentikan program pengobatan sebelum selesai, akan menutup mulut dan hidung dengan tissue/saputangan pada saat batuk/bersin, akan membuang dahak pada tempat tertutup atau tempat penampung dahak yang berisi cairan sabun/lisol. Sebagian responden tidak setuju untuk mencuci tangan setiap selesai batuk/bersin dan akan memeriksakan semua anggota keluarga untuk dapat mengetahui penularan pada orang lain. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru dengan p value 0,01 (CI 95 %= 2,8 - 88,99) artinya responden yang memiliki sikap positif tentang pencegahan penuaran TBC paru mempunyai peluang sebesat 15,78 kali melakukan perilaku pencegahan penularan TBC paru. Besarnya proporsi responden yang memiliki sikap yang positif terhadap pencegahan penularan TBC Paru dan terdapatnya hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru dalam penelitian ini dapat dihubungkan dengan respon emosi yang memegang peranan penting terhadap objek yang disikapi (pencegahan


Daryono, Jisman K, Yusnaini, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan ‌

penularan TBC). Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003: 124) yang menyatakan bahwa dalam penentuan sikap, komponen pengetahuan, pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan yang penting. Dalam menyikapi perilaku pencegahan penularan penyakit TBC paru responden yang mengetahui manfaat dari pencegahan penularan TBC Paru ini akan berpikir dan berusaha agar keluarganya atau orang lain tidak tertular penyakit TBC paru. Dalam bersikap ini komponen emosi dan keyakinan ikut bekerja sehingga responden berniat positif melakukan pencegahan penularan TBC paru. Selain itu objek yang disikapi juga hal yang positif sehingga respon responden cenderung untuk positif. Adanya hubungan antara sikap dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru dapat dihubungkan dengan pendapat Snehandu B. K ar dalam Notoadmodjo (2003 :66) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh sikap tetapi juga dipengaruhi oleh niat, dukungan sosial, ada tidaknya informasi, otonomi pribadi dan situasi. Perilaku sangat ditentukan oleh kesukaan seseorang terhadap objek dalam proses penentuan sikap.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian ini dapat dikemukakan kesimpulan bahwa sebagian kecil responden memiliki perilaku yang positif dalam melakukan pencegahan penularan TBC sebanyak 15 responden (38,5%), sebagian kecil responden memiliki pengetahuan yang tinggi tentang pencegahan penularan TBC paru sebanyak 15 responden (38,5%), sebagian besar responden memiliki sikap yang positif tentang pencegahan penularan TBC paru sebanyak 20 responden (51, 3%), Ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan

2011

dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru dengan p value 0,01 serta ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku pencegahan penularan TBC paru dengan p value 0,01. Diharapkan bagi Dinas Kesehatan Kota Jambi agar dapat meningkatkan upaya untuk mencegah penularan TBC dengan memberikan informasi yang luas kepada masyarakat dan bagi perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu di kota Jambi agar dapat memberikan penyuluhan dan konseling kepada masyarakat tentang TBC cara pencegahan dan penularannya.

DAFTAR PUSTAKA Azwar. 2005. Pengukuran Sikap Manusia. Jakarta: Gramedia Corwin, EJ. 2005. Dalam Depkes 2007, Pedoman Nasional Penanganan TBC. Edisi 2 Depkes RI, 2002. Buku Pedoman Surveilans Penyakit. ______. 2007, Pedoman Nasional Penangan Tuberkulosis. Depkes. Edisi 2 Depkes dan WHO, 2008. Lembar fakta tuberkolosis . Dipublikasikan dalam http://www.Depkes.htm/download. 9 Agustus 2010 Dinas Kesehatan Propinsi Jambi, 2010, Profil Kesehatan Propinsi Jambi, Depkes Jambi. Indah, E. 2004. Pencegahan TBC Paru. Diakses dari http/pusdiknakes.tuberkolosa.or.id Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. ______. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsipprinsip Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. ______. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: Sukana, B, et al, 2000, Pengaruh Penyuluhan terhadap Pengetahuan Penderita TB Paru di Kabupaten Tangerang.

11


2011

Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMBERIAN ASI DINI DI KLINIK BERSALIN KOTA JAMBI TAHUN 2010 Taty Nurti, Sri Yun Utama dan Suharti Staf Pengajar Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 128 ayat 1 mengatakan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI ekslusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis (Depkes, 2009:47). Berdasarkan data yang didapat dari beberapa Klinik Bersalin di Kota Jambi dari 1448 jumlah persalinan pada tahun 2009 hanya 45,9 % bayi mendapatkan ASI dini. Pemberian ASI secara dini dapat mencegah terjadinya hipotermi, hipoglikemia neonatal, infeksi, ikterus neonatal (WHO, 2004:22). Hasil penelitian diketahui dari 38 responden, sebagian besar (60,5%) memberikan ASI dini, sebagian kecil (18,4%) memiliki pengetahuan baik tentang pemberian ASI dini, sebagian besar (63,2%) memiliki sikap yang baik tentang pemberian ASI dini, sebagian besar (73,7%) memiliki komitmen klinik tentang pemberian ASI dini, sebagian besar (68,5%) memiliki peran yang baik dalam pemberian ASI dini, ada hubungan antara pengetahuan dan peran bidan dengan pemberian ASI dini, serta tidak ada hubungan antara sikap dan komitmen klinik terhadap pemberian ASI dini. Diharapkan bagi Dinas Kesehatan Kota Jambi dapat meningkatkan pengawasan ke Klinik Bersalin, merencanakan pelatihan-pelatihan yang ada di wilayah kerjanya dan melakukan sosialisasi mengenai pemberian ASI dini dan memberikan izin kepada bidan-bidan yang ingin meningkatkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi. Bagi IBI diharapkan pada penyusunan rencana kerja IBI, dapat dimasukkan supervisi terhadap bidan-bidan dan melakukan sosialisasi UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 128 ayat 1 tentang pemberian ASI dini pada saat pembinaan dan pertemuan rutin sehingga dapat membantu anggota bidan untuk melaksanakan pemberian ASI dini pada setiap pertolongan persalinan. Kata Kunci: pengetahuan, sikap, komitmen klinik dan pemberian ASI dini.

PENDAHULUAN Pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara dini setelah bayi baru lahir belum optimal dilaksanakan, pemberian ASI merupakan salah satu kontribusi terpenting bagi kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi baru lahir, bayi dan anak-anak (Shelov, 2005:192). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2002-2003 ditemukan hanya 40% bayi yang disusui dalam satu jam setelah dilahirkan, sedangkan berdasarkan SDKI tahun 2007 sebesar 43,9 % bayi yang ditolong oleh tenaga kesehatan profesional disusui dalam satu jam setelah dilahirkan. UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 128 ayat 1 mengatakan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI ekslusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis (Depkes, 2007:47).

12

Data Dinkes Propinsi Jambi dari profil kesehatan Propinsi Jambi tahun 2009, pencapaian ASI ekslusif 8,99 % pada tahun 2006, tahun 2007 pemberian ASI ekslusif 8,45 % dan pada tahun 2008 42,17 %, walaupun terjadi peningkatan namun target yang ingin dicapai pada tahun 2008 adalah 80 % (Dinkes prov. Jambi, 2010:tabel 32). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Jambi pemberian ASI ekslusif pada tahun 2008 sebanyak 50,6 % dan berdasarkan data yang didapat dari beberapa Klinik Bersalin di Kota Jambi dari 1448 jumlah persalinan pada tahun 2009 hanya 45,9 % bayi mendapatkan ASI dini dan pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni tahun 2010 dari 575 persalinan hanya 50,6 % bayi yang mendapatkan ASI dini. Pemberian ASI sejak awal menurut Irawati dan Junaidi (1996) sangat penting karena ASI adalah satu-satunya makanan dan


Taty Nurti, Sri Yun U, Suharti, Faktor-Faktor Yang Berhubungan ...

minuman terbaik untuk bayi dalam masa enam bulan pertama kehidupannya, bahkan pemberian ASI secara ekslusif diperkirakan dapat menekan angka kematian bayi (AKB). Pemberian ASI secara dini juga merupakan kontak awal antara ibu dan bayinya, satu jam pertama merupakan waktu sensitif untuk melakukan kontak pertama antara ibu dan bayi, kontak yang dekat antara ibu dan bayi segera setelah bayi dilahirkan membantu mengembangkan hubungan ibu dan bayi (WHO, Unicef, 1993:4).

BAHAN DAN CARA KERJA Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu pada kerangka teori dikemukakan Green (1998:120) bahwa perilaku seseorang dipengaruhi faktor predisposisi (pengetahuan, kepercayaan, nilai dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan sarana kesehatan, dan prioritas/komitmen masyarakat/pemerintah terhadap kesehatan) dan faktor penguat (keluarga, teman, guru, pengalaman, petugas kesehatan dan dukungan sosial). Penulis tidak meneliti semua aspek yang ada pada dari ketiga variabel yang dikemukakan oleh Green, seperti kepercayaan, nilai, tersedianya sarana kesehatan, keluarga, teman, pengalaman kerja dan dukungan sosial) karena tidak secara langsung mempengaruhi perilaku pemberian ASI secara dini. Variabel yang diteliti adalah peran bidan, pengetahuan ibu, sikap ibu dan komitemen klinik karena variabel tersebut dianggap dapat mewakili faktor yang berhubungan dengan perilaku ibu dan tenaga kesehatan dalam pelaksanaan pemberian ASI dan merupakan fenomena yang sering terjadi dilapangan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan metode cross sectional yang bertujuan untuk melihat hubungan antara peran bidan, pengetahuan ibu, sikap ibu dan komitmen klinik dengan pemberian ASI secara dini di Klinik Bersalin Kota Jambi tahun 2010. Penelitian dilakukan dari tanggal 21 September s/d 30 Oktober 2010. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah seluruh Klinik Bersalin yang ada dikota Jambi yang memberikan pertolongan persalinan sebanyak 38 Klinik Bersalin. Cara pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah data

2011

primer yang diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dan observasi langsung terhadap bidan yanng melakukan pemberian ASI dini pada bayi yang baru lahir. Data yang dikumpulkan dari ibu bersalin adalah pengetahuan dan sikap ibu tentang pemberian ASI dini dan data dari bidan adalah pengetahuan, peran bidan dan komitmen klinik dalam pemberian ASI dini. Analisa data pada penelitian ini adalah analisis univariat yang bertujuan untuk melihat gambaran distribusi frekuensi dari masingmasing variabel dengan menyajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan analisis bivariat yang bertujuan untuk melihat kemaknaan hubungan antara variabel pemberian ASI secara dini dengan variabel pengetahuan ibu, sikap ibu, komitmen klinik dan peran bidan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian diketahui gambaran pemberian asi secara dini di Klinik Bersalin Kota Jambi tahun 2010 yaitu bayi yang diberikan ASI setelah lahir sebanyak 68,4 %, ASI pertama kali diberikan kepada bayi ≤ 1 jam setelah lahir sebanyak 60,5 % dan yang memberikan ASI pada bayi > 1 jam setelah lahir sebanyak 15 orang (39,5%). Menurut JNPKKR, (2008:4-7) sebaiknya memberi ASI sesegera mungkin setelah bayi lahir dalam waktu setengah jam setelah lahir. Memulai pemberian ASI secara dini akan merangsang produksi ASI, memperkuat refleks hisap bayi, memperkuat keterikatan ibu dan bayi, memberikan kolostrum, merangsang kontraksi uterus. Berdasarkan penelitian seluruh bayi diberikan susu formula sebagai penganti ASI yang belum keluar. Hal ini tidak sesuai menurut Perinasia (2003) bahwa ASI adalah makanan terbaik yang dapat diberikan ibu kepada bayi yang baru lahir dan dapat memenuhi kebutuhan bayi secara optimal sampai usia 6 bulan. Hasil penelitian didapatkan pula gambaran responden berdasarkan pengetahuan tentang pemberian asi secara dini di klinik bersalin kota jambi tahun 2010. Pengetahuan ibu tentang pemberian ASI secara dini di Klinik Bersalin Kota Jambi sebagian kecil 7 (18,4 %) responden berpengetahuan baik dan sebagian besar 31 (81,6 %) responden berpengetahuan kurang baik. Menurut Irawati dan Junaidi (1996)

13


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

dengan pengetahuan yang kurang, ibu-ibu sering menganggap bahwa ASI colostrum tidak baikk diberikan pada bayi sehingga masih banyak praktek yang menyebabkan bayi kurang mendapat colostrum yang kaya nutrien dan sangat berguna bagi bayi. Proses menyusui sangat dipengaruhi oleh pengetahuan ibu tentang manfaat ASI itu sendiri bagi bayinya dan untuk meningkatkan pengetahuan tersebut dapat dilakukan melalui penyuluhan, siaran radio/televisi/artikel majalah/surat kabar dan sebagainya. Gambaran Responden berdasarkan Sikap tentang Pemberian ASI secara Dini di Klinik Bersalin Kota Jambi tahun 2010 menujukkan bahwa 23 responden(60,5 %) memiliki sikap baik dan 15 responden(39,5 %) memiliki sikap tidak baik dalam pemberian ASI dini di Klinik Bersalin Kota Jambi Tahun 2010. Sikap merupakan reaksi tertutup dari seseorang, dari suatu stimulan atau objek. Tindakan adalah wujud dari sikap yang nyata. Untuk terwujudnya ini perlu faktor pendukung yang memungkinkan terbentuknya suatu perilaku dari si objek dimulai dari stimulus berupa materi atau objek yang diberikan sehingga menimbulkan respon lebih jauh lagi yaitu tindakan terhadap stimulus atau objek tadi Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi yang terbuka atau tingkah laku yang terbuka (Notoatmodjo, 2003:130). Gambaran responden berdasarkan komitmen klinik tentang pemberian ASI secara dini di klinik bersalin kota jambi tahun 2010 yang berupa tulisan yang menyatakan pentingnya pemberian ASI pada bayi baru lahir/ASI ekslusif sebanyak 73,7 %. Hal ini tidak sesuai dengan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 pasal 128 ayat 1 mengatakan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI ekslusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis (Depkes, 2007:47) dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 900/Menkes/SK/VIII/2002 tentang registrasi dan praktik bidan yang menyatakan bahwa pelayanan neonatal esensial bidan adalah pemberian ASI dalam 30 menit setelah melahirkan. Kepmenkes RI 450/Menkes/SK/IV/ 2004 tentang pemberian ASI secara ekslusif bagi bayi di Indonesia sejak lahir sampai usia 6 bulan dan dianjurkan sampai usia 2 tahun (Http://kebijakan Menkes Indonesia.) dan WHO merekomendasikan semua bayi perlu mendapat kolostrum untuk melawan infeksi dan mendapat

14

ASI ekslusif selama 6 bulan untuk menjamin kecukupan gizinya. Peran bidan dalam pemberian ASI secara Dini di Klinik Bersalin Kota Jambi tahun 2010 bedasarkan hasil penelitian didapatkan 26 responden(68,5%) memiliki peran baik dan 12 responden(31,6%) memiliki peran tidak baik tentang pemberian ASI secara dini di Klinik Bersalin Kota Jambi Tahun 2010. Hal ini sesuai menurut Roesli, bahwa peranan petugas kesehtan terutama bidan sangat membantu menambah pengetahuan ibu-ibu bersalin akan pentingnya pemberian ASI sedini mungkin (Http://www.kolostrumzatterbaik.com.) Hubungan Pengetahuan Responden dengan pemberian ASI secara Dini di Klinik Bersalin Kota Jambi tahun 2010 menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan responden dengan pemberian ASI secara dini ≤ 1 jam setelah lahir. Kurangnya pengetahuan ibu tentang tentang pemberian ASI dini disebabkan oleh kurangnya informasi atau pengalaman ibu tersebut seputar proses menyusui (laktasi). Keadaan ini sesuai dengan teori yang menyatakan akibat kurang informasi, banyak ibu menganggap susu formula sama baiknya bahkan lebih baik dari ASI. Hal ini menyebabkan ibu lebih cepat memberikan susu formula jika merasa ASI-nya kurang atau terbentur kendala menyusui (Irawati dan Junaidi. 2006:48). Jadi perilaku seseorang dalam pemberian ASI secara dini ditentukan atau dipengaruhi oleh pengetahuan serta sikap seseorang. Ini sesuai menurut Perinasia (1994) bahwa tingkat pengetahuan seseorang akan mempengaruhi perilaku individu, makin tinggi pengetahuan maka makin tinggi kesadaran untuk berperan serta dalam tugasnya. Oleh karena itu untuk menambah pengetahuan ibu tengan inisiasi dini diperlukan upaya pendidikan kesehatan atau penyuluhan kesehatan yang diberikan secara intensif dan berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap responden dengan pemberian ASI secara dini ≤ 1 jam setelah lahir. Sikap ibu yang positif dalam menyusui bayinya harus sudah ada pada saat kehamilan atau bahkan jauh sebelumnya. Sikap ibu dipengaruhi oleh adat/kebiasaan, kepercayaan, dukungan dan pengalaman menyusui sebelumnya. Sikap yang positif dari ibu akan mendorong dirinya untuk memberikan ASI dini pada bayinya, namun untuk mewujudkan hal tersebut juga dibutuhkan


Taty Nurti, Sri Yun U, Suharti, Faktor-Faktor Yang Berhubungan ...

perhatian dan dukungan dari keluarga maupun tenaga kesehatan. Hubungan Komitmen Klinik Responden dengan pemberian ASI secara Dini di Klinik Bersalin Kota Jambi tahun 2010 menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara Komitmen klinik responden dengan pemberian ASI secara dini ≤ 1 jam setelah lahir. UU kesehatn No. 36 tahun 2009 pasal 128 ayat 1 menyatakan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan ASI ekslusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) kecuali atas indikasi medis (Depkes, 2007:47). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 369/Menkes /SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan bahwa bidan memiliki keterampilan dasar untuk memberikan leingkungan yang aman dan meningkatkan hubungan/ikatan tali kasih ibu dan bayi baru lahir dengan inisiasi dini dan memfasilitasi ibu untuk menyusui sesegera mungkin dan mendukung ASI eklusif (Depkes, 2007:16). Hubungan Peran Bidan dengan pemberian ASI secara Dini di Klinik Bersalin Kota Jambi tahun 2010 menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peran bidan dengan pemberian ASI secara dini ≤ 1 jam setelah lahir. Berdasarkan kode etik profesi, tugas utama bidan adalah mengupayakan kesejahteraan perempuan dan bayi baru lahir melalui konseling dan pendidikan kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan agar dapat memahami segala sesuatu yang berkenaan dengan kesehatan baik bagi individu, keluarga maupun masyarakat. Dalam hal ini konseling dan pendidikan kesehatan oleh bidan mengenai pemberian ASI dini pada bayi baru lahir merupakan tugas utama bidan yang harus dijalankan dan diterapkan (Depkes, 2007:57). Peran bidan yang kurang baik dalam mebantu ibu memberikan ASI dini menyebabkab banyak ibu-ibu yang tidak memberikan ASI dini kepada bayinya. Menurut Soetjningsih (1997:78) petugas kesehatan harus memberikan perhatian dan memperlihatkan simpatinya kepada ibu agar ia tertarik untuk menyusui bayinya. Dengan fenomena diatas, maka setiap petugas kesehatan harus memberikan suatu informasi dan edukasi yang bersifat memotivasi pada setiap intervensi yang diberikan terutama masalah yang menyangkut tentang pemberian kolostrum/ASI.

2011

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian didapatkan kesimpulan bahwa sebagian besar responden melaksanakan pemberian ASI dini dengan baik, sebagain besar responden memiliki pengetahuan baik tentang pemberian ASI dini, sebagian besar memiliki sikap yang baik tentang pemberian ASI dini, sebagian besar memiliki komitmen klinik tentang pemberian ASI dini, sebagian besar memiliki peran yang baik dalam pemberian ASI dini, ada hubungan antara pengetahuan dan peran bidan dalam pemberian ASI dini dan tidak ada hubungan antara sikap dan komitmen klinik dengan pemberian ASI dini. Diharapkan bagi Dinas Kesehatan Kota Jambi untuk meningkatkan pengawasan ke Klinik Bersalin, merencanakan pelatihan yang ada diwilayah kerjanya dan memberikan izin kepada bidan-bidan yang ingin meningkatkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi dan pada penyusunan rencana kerja IBI dapat dimasukkan supervisi terhadap bidan-bidan dan melakukan sosialisasi UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 ayat 1 tentang pemberian ASI dini pada saat pembinaan dan pertemuan rutin sehingga dapat membantu anggota bidan untuk melaksanakan inisiasi menyusui dini (IMD), pada setiap pertolongan persalinan.

DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 2007, Standar Profesi Bidan. Jakarta. 36 hlm Dinkes Provinsi Jambi, 2010, Profil Kesehatan Provinsi Jambi 2009. Green. L. et al, 1998, Perencanaan Pendidikan Kesehatan sebuah Pendekatan Diagnostik. Terjemahan Zarfial Fatal Mamdy dan Sudarti Tresn. 1999, Proyek Pengembangan FKM Dekdikbud RI, Jakarta Irawati dan Junaidi, 1996, Pola Inisiasi ASI dan Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Keterlambatan Inisiasi ASI di Indonesia dalam : Majalah Gizi Indonesia Journal of the Indonesia Nutrion Association. Jakarta : 12 hlm. JNPK-KR, 2008, Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta

15


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Notoadmodjo, Soekidjo, 2003, pendidikan dan perilaku kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta : x + 210 hlm. Perinasia, 1994, Melindungi, Meningkatkan dan Mendukung Menyusui: Peran Khusus pada pelayanan Kesehatan Ibu hamil dan Menyusui. Jakarta : xi + 37. Shelov,2005, Panduan Lengkap Perawatan Untuk Bayi dan Balita, Penerbit Arcan. Jakarta: xv + 686 hal

16

Soetjiningsih, 1997, ASI : Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta EGC : xv + 196 hal WHO, 2004, Pedoman Praktis Safe Mother Hood Paket Ibu dan bayi: Penerapan Program Safe Mother Hood. Penerbit Buku Kedokteran.EGC WHO,Unicef. 1993/1994, Konseling Menyusui: Pelatihan untuk tenaga kesehatan, Manual Peserta http://www. Kolostrum zat terbaik. co. id 2010 http:/www. kebijakanmenkesindonesia.com 2010


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

THE FACTORS RELATED WITH THE OCCURRENCE OF PNEUMONIA DISEASE ON BALITA (BABY UNDER FIVE YEARS OLD) IN SIMPANG IV SIPIN PRIMARY HEALTH CARE AREA JAMBI YEAR 2011 Erris Siregar, V.A. Irmayanti H Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Pneumonia is the inflammation of lungs that occure on the children especially on the baby. The pneumonia is one of the Public Health Problems in Indonesia. In the end of 2000, the Pneumonia is estimated as a primary cause of death in Indonesia that is until 5 cases among 1000 Balita. Based on the data from Department of Health of Jambi in 2009, the cases of Pneumonia in Simpang IV Sipin Primary Health Care are in the first rank among all primary health care in Jambi City with the amount of sufferer 766 peoples. This research was done to know the correlation of knowledge, social economic and the density of residents with the occurrence of pneumonia in Simpang IV Sipin Primary Health Care Area Jambi year 2011. The sample was 27 samples with the comparation of control 2 : 1 was taken from case group 54 respondents, the total of sample was 81 respondents. The samples was taken by simple random sampling with the lottery technique. The result of this research was taken by statistical test with Chi Square test, Confidence Interval was 95%. From the Chi Square Test, obtained the p-value of knowledge 0,000 (p < 0,05), social economic 0,000 (p < 0,05) and the density of resident 0,000 (p < 0,05). It is concluded that there is correlation between knowledge, social economic, and the density of resident with the occurrence of pneumonia on the Balita in Simpang IV Sipin Primary Health Care Area Jambi year 2011. Key Words : The occurrence of pneumonia, Factors of Knowledge, Social Economic and The density of residents

PENDAHULUAN ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju dan sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Pneumonia merupakan peradangan pada paru yang terjadi pada masa anak-anak dan sering terjadi pada masa bayi. Penyakit ini timbul sebagai penyakit primer dan dapat juga akibat penyakit komplikasi (Aziz, 2006). Pneumonia merupakan masalah kesehatan utama dinegara berkembang. Kematian akibat Pneumonia sebesar 13,5% (1,5 juta) dari angka kematian total (11,1 juta). Di Indonesia Pneumonia merupakan penyebab kematian balita (WHO, 1997). Pneumonia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Pada akhir tahun 2000 diperkirakan kematian akibat sebagai penyebab utama Pneumonia di Indonesia mencapai 5 kasus diantara 1000 balita (Depkes. RI, 2003). Di Propinsi Jambi Pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit yang ada. Berdasarkan data penyakit rawat jalan yang ada di puskesmas dan rumah sakit, penyakit Pneumonia merupakan penyakit yang menduduki peringkat kedua, di puskesmas maupun di rumah sakit dalam Provinsi Jambi (Dinkes Prov.Jambi, 2001). Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Jambi pada tahun 2009, kasus penyakit Pneumonia di Puskesmas Simpang IV Sipin Kota Jambi termasuk urutan pertama dari 20 puskesmas besar di Kota Jambi dengan jumlah penderita 766 orang. Sedangkan data jumlah penderita Pneumonia di wilayah kerja Puskesmas

17


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Simpang IV Sipin Kota Jambi, untuk di Kelurahan Telanaipura pada Tahun 2008 sebanyak 289 orang (17,5%) dan Tahun 2009 sebanyak 182 orang(10%). Di Kelurahan Murni pada Tahun 2008 sebanyak 69 orang dan Tahun 2009 sebanyak 68 orang. Di Kelurahan Solok Sipin pada Tahun 2008 sebanyak 87 orang dan Tahun 2009 sebanyak 96 orang dan Di Kelurahan Rawasari pada Tahun 2008 sebanyak 40 orang dan Tahun 2009 sebanyak 18 orang. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti dengan cara memberikan koesioner, observasi dan wawancara yang dilakukan, pada 10 orang ibu sebagai responden di Kelurahan Telanaipura. Dari 10 responden yang dapat menjawab benar hanya 4 orang dari masing-masing pertanyaan mengenai pengetahuan dan observasi pada lingkungan hanya 3 orang yang memiliki lingkungan baik, sedangkan pada sosial ekonomi rata–rata penghasilan keluarga kurang dari Rp. 980.000 per bulan. Berdasarkan data tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Pneumonia Pada Balita Wilayah Kerja Puskesmas Simpang IV Sipin Kota Jambi Tahun 2011.”

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini merupakan jenis penelitian eskploratif dengan menggunakan pendekatan case control yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen (pengetahuan, sosial ekonomi, dan kepadatan hunian) dengan variabel dependent (kejadian Pneumonia) di Kelurahan Telanaipura. Lokasi penelitian di Kelurahan Telanaipura wilayah kerja Puskesmas IV Sipin Jambi. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 27 sampel. Kontrol 2 : 1 diambil dari kelompok kasus sebanyak 54 responden, jadi keseluruhannya sampel 81 responden. Pengambilan sampel dilakukan secara random atau acak dengan teknik acak sederhana (Simple Random Sampling) yaitu dengan cara mengundi reponden dalam hal ini adalah KK (lottery tecnigue) atau teknik undian. Dengan cara ini setiap anggota atau unit dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk diseleksi sebagai sampel (Notoatmodjo, 1993).

18

HASIL DAN PEMBAHASAN Puskesmas Simpang IV Sipin Kecamatan Telanaipura Kota Jambi. Luas wilayah Kelurahan Telanaipura ± 129 Ha terdiri dari 14 RT. Sarana dan Prasarana di wilayah kelurahan Telanaipura Jambi terdiri dari 4 Posyandu, 1 Puskesmas, 1 Rumah Sakit, 2 Masjid, 3 SD, 2 SMA, 1 Universitas. Jumlah penduduk pada tahun 2011 sebanyak 6.307 jiwa dengan kepadatan penduduk 49 jiwa/Ha yang terdiri dari laki-laki 3.056 jiwa (48,5%) dan perempuan 3.251 jiwa (51,5%). Tabel 1. Data Penduduk Golongan Usia 0-70 Tahun 2011 Kelompok umur

Jumlah

0-4 tahun

345

5-9 tahun

885

10-14 tahun

782

20-26 tahun

831

27-40 tahun

1127

41-70 tahun

2337

Jumlah

6307

Berdasarkan tabel, golongan umur 0-4 tahun 345 jiwa, 5-9 tahun 885 jiwa, 10-14 tahun 782 jiwa, 20-26 tahun 831 jiwa, 27-40 tahun 1127 jiwa dan 41-70 tahun sebanyak 2337 jiwa. Penduduk menggambarkan mata pencaharian antara lain adalah sebagai PNS/ABRI 1.435 orang, Wiraswasta 600 orang, Buruh 29 orang, Pensiunan 120 orang dan Pedagang 20 orang.

Tabel. 2 Distribusi Kriteria Responden Tentang Penyakit Pneumonia pada Balita Di Wilayah Kerja PKM Simpang IV Sipin Kota Jambi Tahun 2011 Kriteria

Jml

%

Jml

%

Buruk

19

70,4

14

25,9

Baik

8

29,6

40

74,1

Jumlah

27

100

54

100


Erris Siregar, Irmayanti, The Factors Related With The Occurrence ‌

Berdasarkan tabel 2, dari 27 kasus diketahui bahwa pengetahuan responden tentang penyakit pneumonia yang paling dominan adalah pengetahuan dengan kriteria buruk yaitu sebesar 70,4%. Sedangkan pada 54 kelompok kontrol pengetahuan dengan kriteria paling dominan adalah kriteria baik sebesar 74,1%. Keadaan sosial ekonomi juga berperan dalam mengambil keputusan tentang pelayanan kesehatan yang sesuai dengan status ekonominya. Salah satu tindakannya yaitu tindakan pencarian pelayanan kesehatan. Masyarakat kalangan sosial ekonomi yang rendah pada umumnya lebih sedikit mempunyai kesempatan menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan karena ketidakmampuan dalam mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi seperti memenuhi kebutuhan–kebutuhan terhadap gizi, lingkungan yang sehat, pendidikan, dan kebutuhan- kebutuhan lainnya. Berpotensi dalam mewawancarai terjadinya Pneumonia. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3 Distribusi Sosial Ekonomi Responden Tentang Penyakit Pneumonia pada Balita Wilayah Kerja PKM Simpang IV Sipin Kota Jambi Tahun 2011 Kasus Kontrol Sosial Pneumonia (+) Pneumonia (-) Ekonomi Jlh % Jlh Persentase Rendah

21

77,8

18

33,3

Tinggi

6

22,2

36

66,7

Jumlah

27

100

54

100

Berdasarkan tabel 3, dari 27 kasus diketahui bahwa sosial ekonomi responden tentang penyakit pneumonia yang paling dominan adalah sosial ekonomi dengan kriteria rendah yaitu sebesar 77,8%. Sedangkan pada 54 kelompok kontrol sosial ekonomi dengan kriteria paling dominan adalah kriteria tinggi sebesar 66,7%. Perumahan merupakan salah satu faktor penting dalam penyebaran penyakit Pneumonia. Hal ini disebabkan karena banyaknya orang dalam satu rumah akan mempercepat penyebaran suatu penyakit dari seseorang ke orang lain. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 4. berikut :

2011

Tabel 4. Distribusi Kepadatan Hunian Responden mengenai Penyakit Pneumonia pada Balita di Wilker PKM Simpang IV Sipin Kota Jambi Tahun 2011 Kasus Kontrol Kepadatan Pneumonia (+) Pneumonia (-) Hunian Jml % Jml Persentase Padat

20

74,1

15

27.8

Tidak padat

7

25,9

39

72,2

27

100

54

100

Jumlah

Berdasarkan tabel 4. tentang kepadatan hunian, dari 27 kasus diketahui bahwa hunian yang padat lebih besar dari pada hunian yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 74,1%. Sedangkan pada kelompok kontrol yang paling dominan yaitu hunian yang tidak padat yaitu sebesar 72,2%. Pengetahuan merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan kejadian penyakit Pneumonia. Pada tabel berikut ditampilkan hasil analisis bivariat untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan dan kejadian penyakit Pneumonia pada Balita. Tabel 5. Hubungan Pengetahuan dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita Di Wilayah Kerja PKM Simpang IV Sipin Kota Jambi Tahun 2011 Kejadian Penyakit Pneumonia

Penge tahuan

Kasus

Kontrol

Jml

%

Jml

Kurang Baik

19

70,4

14

25,9

Baik

8

29,6

40

74,1

Total

27

100

54

100

OR

pvalue

%

6,786 0,000

Berdasarkan tabel 5. hubungan pengetahuan dengan kejadian penyakit Pneumonia pada balita dalam kelompok kasus menunjukkan bahwa untuk pengetahuan kurang baik lebih besar yaitu sebanyak 70,4%. Sedangkan pada kelompok kontrol yang paling besar adalah pengetahuan baik sebanyak 74,1%. Dari hasil uji statistik Chi-square diperoleh p-value 0,000 (p < 0,05) dengan

19


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

demikian terdapat hubungan antara pengetahuan dengan kejadian penyakit Pneumonia pada anak balita, dapat disimpulkan hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian penyakit Pneumonia pada anak balita. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR sebesar 6,786 maksudnya adalah anak balita dengan pengetahuan Ibu yang kurang baik mempunyai peluang 6,786 kali untuk menderita penyakit Pneumonia dibandingkan dengan pengetahuan yang baik. Pengetahuan merupakan bagian yang sangat penting untuk terjadinya tindakan seseorang sedangkan kedalaman pengetahuan seseorang dapat diketahui melalui tingkatan yang mereka miliki mulai dari tingkat tahu, seseorang hanya mampu menyebutkan istilahistilah saja berdasarkan pada apa yang dipelajari dan dialaminya. Kemudian masuk ke tingkatan memahami, aplikasi, analisa, sintesis dan evaluasi dalam hal ini kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi, yang didasari pada suatu kriteria yang sudah ada. Misalnya : dapat membedakan anak yang menderita Pneumonia dan tidak menderita Pneumonia, sebab terjadinya, pencegahan dari penyakit tersebut dan sebagainya. Pengetahuan orang tua yang buruk tentang Pneumonia tentunya akan mempengaruhi kejadian Pneumonia pada balita, dimana dari hasil kuesioner diketahui bahwa pada umumnya responden tidak mengetahui tentang penyebab penyakit Pneumonia, dan cara penularan penyakit Pneumonia serta pencegahan terhadap penyakit Pneumonia. Pengetahuan merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi perilaku seseorang. Responden yang tidak mengetahui tentang penyakit Pneumonia akan mempengaruhi perilaku dalam menjauhkan anak dari penyebab terjadinya Pneumonia. Adapun yang dapat dilakukan Ibu untuk mencegah yaitu dengan menjaga keadaan gizi anak agar tetap baik, imunisasi, menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan serta mencegah anak berhubungan dengan penderita Pneumonia. Peningkatan pengetahuan Ibu tentang penyakit Pneumonia dapat dilakukan dengan penyuluhan kader atau petugas kesehatan secara rutin misalnya, pada saat kegiatan posyandu. Peningkatan pengetahuan dilakukan oleh kader atau petugas kesehatan pada masyarakat dengan menggunakan media seperti poster, leaflet. Dan materi penyuluhan yang diberikan mengenai penyakit Pneumonia

20

yang mencakup pengertian Pneumonia, gejalagejala Pneumonia, penyebab Pneumonia dan cara penularan Pneumonia serta cara pencegahan Pneumonia (Setiowulan, 2000). Sosial ekonomi merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan kejadian penyakit Pneumonia. Data variabel tersebut dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 6. Hubungan Sosial Ekonomi dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita Di Puskesmas Simpang IV Sipin Kota Jambi Tahun 2011

Sosial Ekonomi

Kejadian Penyakit Pneumonia Kasus

OR

pvalue

7,000

0,000

Kontrol

Jml

%

Jml

%

Rendah

21

77,8

18

33,3

Tinggi

6

22,2

36

66,7

Total

27

100

54

26,1

Berdasarkan tabel 6 hubungan kejadian Pneumonia pada anak balita pada kelompok kasus menunjukkan bahwa sosial ekonomi keluarga yang rendah 77,8%. Sedangkan pada kelompok kontrol sosial ekonomi keluarga yang tinggi sebanyak 66,7%. Hasil Uji stastik Chisquare diperoleh p-value 0,000 (p < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara sosial ekonomi keluarga yang rendah dengan kejadian Pneumonia pada anak balita. Dari hasil analisis juga diperoleh nilai OR sebesar 7,000 maksudnya adalah balita dengan sosial ekonomi rendah mempunyai peluang 7 kali untuk menderita penyakit Pneumonia, dibandingkan dengan sosial ekonomi tinggi, dengan derajat kepercayaan 95%. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan Yanti (2008) di puskesmas Pakuan Baru Kota Palembang yang menunjukkan ada hubungan antara tingkat sosial ekonomi dengan kejadian penyakit Pneumonia pada balita dengan nilai pvalue 0,000 (P < 0,05). Hasil ini sesuai dengan teori yang mengatakan faktor resiko yang mempengaruhi kejadian penyakit Pneumonia antara lain umur, status gizi, tidak mendapatkan ASI yang memadai, polusi udara, imunisasi yang tidak memadai, sosial ekonomi, tingkat pendidikan Ibu yang rendah, lingkungan,


Erris Siregar, Irmayanti, The Factors Related With The Occurrence ‌

kepadatan tempat tinggal, dan ventilasi (Depkes. RI, 2001). Status ekonomi merupakan faktor yang dapat mempengaruhi kejadian Pneumonia karena status ekonomi (penghasilan) dapat dipakai untuk penyediaan perumahan yang baik dan sehat, perawatan kesehatan, status gizi anak, gizi Ibu yang menyusui yang akan mempengaruhi kualitas ASI dan lamanya pemberian ASI yang dapat meningkatkan daya tahan tubuh dari serangan suatu penyakit termasuk penyakit Pneumonia pada anak. Status ekonomi seseorang akan berbeda antara satu dengan yang lainnya, hal ini identik dengan jenis pekerjaan dan pada akhirnya akan tercemin dengan pendapatan. Pendapatan ekonomi seseorang berkaitan dengan daya beli untuk kebutuhan termasuk kebutuhan gizi pemenuhan kebutuhan gizi. Keadaan status ekonomi masyarakat yang buruk/lemah (miskin), menimbulkan ketidakmampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari yang akan berpengaruh pada rendahnya daya tahan tubuh seseorang terutama anak-anak, sehingga akan mempermudah timbulnya penyakit. Hasil penelitian diketahui bahwa anak yang menderita Pneumonia pada umumnya berasal dari keluarga yang berpenghasilan rendah yang biasanya mempunyai penghasilan tetap sehingga tidak dapat menyediakan secara pasti kebutuhan keluarga untuk menyediakan kebutuhan sehari-hari termasuk dalam hidangan untuk konsumsi anak. Tingkat sosial ekonomi juga berkaitan dengan status gizi seseorang. Ekonomi yang rendah, daya beli yang rendah akan mempengaruhi status gizi. Tingkat sosial ekonomi rendah cenderung mengkonsumsi makanan yang kurang memenuhi gizi seimbang, akibatnya daya tahan tubuh terhadap kuman penyakit sangat rentan dalam hal ini penyakit Pneumonia pada anak. Menurut penelitian Sumargono (1989) sosial ekonomi sangat mempengaruhi terjadinya resiko penyakit Pneumonia. Hal ini dikarenakan pengobatan Pneumonia tidak dapat bersandarkan pada pengobatan spesifik yaitu antibiotika yang diukur dari tingkat pengeluaran keluarga. Untuk responden dengan tingkat sosial ekonomi rendah, selain mengusahakan agar mengkonsumsi makanan gizi seimbang juga perlu memperhatikan kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat untuk mencegah terjadinya Pneumonia pada anak dengan

memperhatikan keadaan rumah, ventilasi yang memenuhi syarat.

2011

misalnya

Kepadatan hunian merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan kejadian penyakit Pneumonia. Data variabel hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit Pneumonia pada Balita tersebut dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 7. Hubungan kepadatan hunian dengan Kejadian Penyakit Pneumonia pada Balita Di Puskesmas Simpang IV Sipin Kota Jambi Tahun 2011 Kejadian Penyakit Pneumonia Kepadatan Hunian

Kasus

Kontrol

Jml

%

Jml

%

Padat

20

74,1

15

27,8

Tidak Padat

7

25,9

39

72,2

Total

27

100

54

100

OR

7,429

p-value

0,000

Berdasarkan tabel 7 hubungan kepadatan hunian dengan kejadian penyakit Pneumonia pada balita pada kelompok kasus menunjukkan bahwa yang paling tinggi adalah hunian yang padat yaitu sebesar 74,1%, sedangkan pada kelompok kontrol menunjukkan bahwa hunian yang tidak padat lebih tinggi yaitu 72,2%. Hasil uji statistik Chi-square diperoleh pvalue 0,000 (p < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian penyakit Pneumonia pada balita. Dari hasil analasis juga diperoleh nilai OR sebesar 7,429 maksudnya balita dengan kepadatan hunian kurang baik mempunyai peluang 7,429 kali untuk menderita penyakit Pneumonia dibandingkan balita dengan kepadatan hunian yang baik, dengan derajat kepercayaan 95%. Dengan demikian kepadatan hunian sangat berpengaruh dalam besarnya jumlah penderita, rumah yang tidak sehat seperti rumah kecil yang berpenghuni banyak dan perilaku hidup yang kurang sehat, maka memudahkan terjadinya penularan penyakit Pneumonia. David Marley (2003) mengemukakan bahwa angka kepadatan hunian sangat berpengaruh dengan besarnya jumlah penderita, rumah yang tidak sehat

21


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

seperti rumah kecil dengan jumlah penghuni yang banyak.

KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kejadian Pneumonia pada balita dari 81 responden. Selain itu terdapat pula hubungan yang bermakna antara sosial ekonomi dengan kejadian Pneumonia pada balita dari 81 responden serta hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian Pneumonia pada balita dari 81 responden.

22

DAFTAR PUSTAKA Aziz, Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Salemba Medika. Jakarta. David Marley, 2003 Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Puskesmas Anggrek Baru Kota Gorontalo Tahun 2003, STIKES Muhamadiyah : Gorontalo Depkes RI. 2001. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta ________. 2003. Paradigma Sehat Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta. Dirjen Kesmasy Setiowulan, 2008 Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Puskesmas sulta Baru Kota manado Tahun 2008, STIKES Mutiara: Manado Sumargono, 1989 Penilaian Status Gizi, EGC : Jakarta Yanti, S. 2008. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Puskesmas Pakuan Baru Kota Palembang Tahun 2008, STIKES Perdikha Caritas : Palembang


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERSEPSI ORANG TUA TENTANG KEKERASAN PADA ANAK DI KELURAHAN LEGOK KECAMATAN TELANAIPURA KOTA JAMBI Nurmisih Latief Staf Pengajar Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK Kasus kekerasan pada anak di Indonesia makin lama semakin bertambah. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan persepsi orang tua tentang kekerasan terhadap anak di Kelurahan Legok Kecamatan Telanaipura Kota Jambi Tahun 2009. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan persepsi orang tua tentang kekerasan pada anak. Kata kunci: Kekerasan pada anak, pengetahuan, sikap dan persepsi orang tua

PENDAHULUAN Sekitar 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis, 12.726 anak mengalami kekerasan seksual, 70.000 – 95.000 anak menjadi korban perdagangan anak untuk tujuan komersial seksualitas. Berdasarkan analisis data yang dimuat media masa, disimpulkan bahwa anak yang menjadi korban tindakan kekerasan separuhnya berusia dibawah 13 tahun dan sekitar 20% diantaranya berusia dibawah 10 tahun, dan laporan Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan bahwa 80% anak yang mengalami tindakan kekerasan berusia di bawah 15 tahun (Wiknjosastro, 2006:15). Ada paradigma keliru tentang anak dikalangan orang tua, seolah anak adalah hak milik orang tua yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut orang tua masuk akal. Data komnas perlindungan anak menunjukkan, kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Di kalangan menengah kebawah, kekerasan pada anak karena faktor kemiskinan, sedangkan dikalangan menengah ke atas, karena ambisi orang tua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah dan di masyarakat. Anak-anak korban kekerasan

umumnya menjadi sakit hati, dendam dan menampilkan perilaku menyimpang dikemudian hari. Berdasarkan data Polsek Kecamatan Telanaipura Kota Jambi, pada tahun 2008, terdapat 5 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, tahun 2009 dari Januari – Juni mengalami peningkatan yaitu 9 kasus kekerasan pada perempuan dan anak, yang terdapat di Kelurahan Legok 4 kasus, Sei Putri 3 kasus, Pematang Sulur 1 kasus dan di Kelurahan Solok Sipin 1 kasus. Jumlah kasus ini dapat lebih tinggi karena masih banyak korban yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, namun tidak melapor, kemungkinan karena masih dianggap masalah keluarga.

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Legok Kecamatan Telanaipura Kota Jambi. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pengetahuan dan sikap sebagai variabel independen serta persepsi orang tua adalah variabel dependen.

23


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh berdasarkan jawaban responden melalui kuesioner. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 26 September – 1 Oktober 2009. Data yang terkumpul diolah melalui tahapan editing, coding, scoring, entry dan cleaning, selanjutnya dianalisis secara univariat dan bivariat, uji statistik menggunakan chi square dengan derajat kepercayaan 95% (p value=0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Persepsi Setelah dilakukan skoring, dari jawaban responden didapatkan skor minimal 22 dan skor maksimal 42, kemudian persepsi dikategorikan menjadi dua berdasarkan nilai median sehingga diperoleh hasil penelitian sebanyak 53 (57%) responden memiliki persepsi baik terhadap faktor yang berhubungan dengan kekerasan pada anak, selebihnya berpersepsi kurang baikseperti pada diagram 1

43.0%

Baik

57.0%

Kurang baik

Diagram 1 Distribusi Responden Berdasarkan Persepsi tentang Kekerasan pada Anak (n=93)

Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa, sebagian responden memiliki persepsi baik, namun pada pernyataan tertentu seperti menggunakan tenaga anak untuk bekerja demi keuntungan orang tua termasuk tindakan kekerasan, sebagian besar responden tidak menyetujui. Bentuk kekerasan ekonomi diantaranya adalah menggunakan tenaga anak untuk bekerja dan kegiatan lainnya demi keuntungan orang tuanya atau orang lain seperti menyuruh anak bekerja secara berlebihan, menjerumuskan anak pada dunia prostitusi untuk kepentingan ekonomi (http://Fransiskusateng.blogspot.com/2008/04/tind akan-kekerasan-pd-anak.html. 11/06/2009).

24

Kondisi tersebut menyebabkan semakin banyaknya tindak kekerasan yang disebabkan orang tua tidak menyadari bahwa yang dilakukan merupakan salah satu bentuk kekerasan pada anak. Sebagian besar responden tidak setuju bahwa memberikan kebebasan berpikir, berekspresi dan menentukan cita-cita merupakan penerapan dari hak-hak anak. Padahal menurut undang-undang No. 23/2002 tentang perlindungan anak dengan tujuan menjamin hak-hak anak dan prinsip-prinsip yang tercantum dalam konvensi hak anak mengemukakan hal tersebut. Menariknya dari proporsi persepsi, pernyataan tentang bentakan, ancaman, sindiran sebagian besar responden tidak menyetujui bahwa tindakan tersebut termasuk bentuk kekerasan psikologis. (Wiknjosastro, 2006) kekerasan psikologis adalah tindakan yang bertujuan mengganggu atau menekan emosi korban, seperti kutukan, mengecilkan, menolak atau tindakan lain meliputi memarahi tanpa alasan, mengancam, menghukum secara berlebihan, membuatnya takut, tidak nyaman dan tidak aman. Kekerasan psikologis memang tidak terlalu banyak diketahui masyarakat dan apa yang dilakukan orang tua terhadap anak dianggap sebagai suatu upaya memberikan pendidikan dan pembelajaran pada anak, padahal banyak sekali dampak yang timbul disebabkan kondisi tersebut terhadap kesehatan jiwa dan mental anak seperti anak menjadi ketakutan, cemas, gugup, malu dengan teman, timbul rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri, kehilangan harga diri serta kepercayaan diri bahkan sampai pada percobaan bunuh diri. Kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Dikalangan menengah kebawah, kekerasan pada anak dikarenakan faktor kemiskinan. Dikalangan menengah ke atas kekerasan pada anak terjadi, karena ambisi orang tua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah dan masyarakat. Anak-anak korban kekerasan pada anak umumnya menjadi sakit hati, dendam dan menampilkan perilaku menyimpang dikemudian hari. Ada paradigma keliru tentang anak dikalangan orang tua. Seolah anak adalah hak milik orang tua yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut orang tua masuk akal. Di samping itu, persepsi keliru tentang kekerasan terhadap perempuan


Nurmisih Latief,, Faktor Yang Berhubungan Dengan Persepsi Orang Tua ‌

2. Pengetahuan Hasil penelitian tentang pengetahuan, diperoleh presentasi tertinggi (100%) pada pernyataan bentuk/jenis kekerasan pada anak sedangkan presentasi terendah adalah 23,7% mengenai bentuk kekerasan fisik. Pengetahuan responden dikategorikan menjadi dua bagian berdasarkan cut off point 76 % yaitu pengetahuan baik dan kurang baik, sehingga pada penelitian ini sebanyak 24 (25,8%) responden memiliki pengetahuan baik, seperti terlihat pada diagram 2.

25.8%

74.2% Baik

Kurang Baik

Diagram 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Kekerasan pada Anak (n = 93)

Hubungan antara persepsi responden tentang kekerasan terhadap anak dengan pengetahuan di Kelurahan Legok Kecamatan Telanaipura Tahun 2009. Pola hubungan yang diperoleh setelah dilakukan uji chi square terhadap data yang ada dengan tingkat kemaknaan 0,05, terlihat bahwa proporsi yang memiliki persepsi baik lebih banyak pada responden yang berpengetahuan kurang baik, dibandingkan dengan pengetahuan

baik, diperoleh p value 0,067 yang berarti secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan responden dan persepsi tentang kekerasan terhadap anak, sebagaimana terlihat pada tabel 1 Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dengan Persepsi Tentang Kekerasan Terhadap Anak

Kurang Baik

Baik

Total

Jml

%

Jml

%

Kurang Baik

34

49,3

35

50,7

69

Baik

6

25,0

18

75,0

24

Total

40

43,0

53

57,0

93

p-value

Persepsi Pengetahuan

dan anak dianggap sebagai hak dari pelaku. Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat dan terus terjadi sepanjang ketimpangan hubungan laki-laki dan perempuan masih diyakini dan dimanifestasikan dalam kehidupan sosial. Persepsi merupakan proses yang terjadi di dalam diri individu yang dimulai dengan diterimanya rangsang, sampai rangsang itu disadari dan dimengerti oleh individu sehingga individu dapat mengenali dirinya sendiri dan keadaan di sekitarnya (http://id.shvoong.com/social-sciences/ psychology/definisi-persepsi/11/06/ 2009).

2011

0,067

Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar responden tidak mengetahui tentang dampak kekerasan terhadap anak. Wiknjosastro (2006) mengemukakan bahwa dampak kekerasan pada anak dan remaja dapat terjadi terhadap kesehatan fisik, seperti luka robek, patah tulang dan gigi, retak pada rahang, retak pada kepala dan sakit kepala/migraine dikarenakan benturan maupun tarikan rambut. Terjadi pula dampak terhadap kesehatan jiwa dan mental seperti ketakutan, kecemasan, kegugupan, fobia, rasa malu, perasaan bersalah, menyalahkan diri sendiri, kehilangan harga diri dan kepercayaan diri bahkan sampai pada percobaan bunuh diri. Dampak lain dari insiden kekerasan pada anak adalah terhadap kesehatan reproduksi diantaranya infeksi saluran reproduksi dan urin seperti radang serviks, radang vagina, penyakit menular seksual, HIV/AIDS dan kehamilan yang tidak diinginkan. Korban kekerasan terhadap anak, selain dapat mengalami masalah kesehatan, juga menyebabkan keputusasaan, kemarahan, rasa malu atau bersalah, perilaku agresif, mimpi buruk, mengompol, diam, luka, kematian, tidak mampu berkonsentrasi di sekolah, gangguan pola makan. Sebagian besar responden tidak mengetahui tentang bentuk kekerasan fisik.

25


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Menurut Wiknjosastro (2006), bentuk-bentuk kekerasan fisik terhadap anak adalah memukul, menampar, mencubit dan menjewer. Ketidaktahuan orang tua tentang bentuk kekerasan fisik dapat menyebabkan semakin banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak, karena dianggap bahwa kondisi tersebut merupakan hal yang wajar semata. Padahal segala tindakan yang disengaja dengan atau tanpa alasan dan dapat menyebabkan luka fisik merupakan suatu tindakan kekerasan. Sebagian responden tidak tahu bahwa pelaku kekerasan terhadap anak biasanya adalah orang yang dikenal. Umumnya pelaku kekerasan terhadap anak yaitu orang tua, orang tua tiri, saudara tiri, teman-teman dan orangorang yang berinteraksi dilingkungan jalanan (http://Fransiskusateng. blogspot.com/2008/04/tindakan-kekerasan-padaanak. html.11/06/2009). Menurut Notoatmodjo (2005), banyak faktor yang mempengaruhi persepsi, selain pengetahuan pengalamanpun sangat berpengaruh terhadap persepsi seseorang dalam memandang suatu objek. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku maka orang tersebut harus tahu tentang arti dan manfaaat dari tindakan yang akan dilakukannya, sehingga pengetahuan sangat berpengaruh penting terhadap tindakan yang akan dilakukan. Ketidaktahuan tentang tindakan yang dikatagorikan dalam bentuk kekerasan menyebabkan orang tua tidak menyadari bahwa pada dasarnya perlakuan yang berlebihan dari orang tua atau dan orang terdekat dari korban seperti mencubit, memukul, memarahi dan berkata kasar pada anak merupakan tindakan kekerasan fisik dan psikologis, biasanya sering dilakukan oleh orang dikenal yang berada disekitar anak. Fenomena tersebut juga terlihat dalam hasil penelitian ini, pada uji statistik chi square tidak terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dengan persepsi responden tentang kekerasan terhadap anak, meskipun secara statistik tidak bermakna, namun jika dilihat presentase terdapat peningkatan yang cukup besar, 75% lebih banyak responden yang berpersepsi baik jika pengetahuan mereka juga baik.

26

3. Sikap Hasil penelitian tentang sikap responden terhadap kekerasan pada anak di Kelurahan Legok Kecamatan Telanaipura Tahun 2009 setelah dilakukan skoring terhadap jawaban 12 pertanyaan yang diajukan sehingga diperoleh skor minimal 21 dan maksimal 42, kemudian sikap dikategorikan berdasarkan nilai median menjadi 2 katagori yaitu sikap baik dan kurang baik, sehingga diperoleh hasil 51 (54,8%) responden memiliki sikap yang baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram 3 Hasil pada penelitian ini menggambarkan bahwa proporsi sikap yang baik lebih besar memiliki persepsi yang baik dibandingkan sikap yang kurpula ang baik. Pola hubungan yang diperoleh dari uji statistik bivariat menunjukan adanya hubungan yang signifikan antara sikap dan persepsi orang tua tentang kekerasan terhadap anak. Pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterprestasikan stimulus yang diperoleh sedangkan sikap menggambarkan suka atau tidak suka terhadap objek. Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut (Notoatmodjo, 2005). Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian responden memiliki sikap yang baik, namun pada pernyataan tentang anak boleh diperlakukan semaunya asal dengan alasan yang menurut orang tua masuk akal sebagian besar responden setuju dengan alasan bahwa anak merupakan hak milik orang tua. Menurut undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 tentang hak dan kewajiban anak bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Mengacu pada pernyataan tentang hak dan kewajiban anak, tentunya sebagai orang tua tidak diperkenankan untuk memperlakukan anak semaunya asal dengan alasan yang menurut orang tua masuk akal. Orang tua sekalipun dapat menerima sangsi jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak yang telah dikemukakan dalam undang-undang.


Nurmisih Latief,, Faktor Yang Berhubungan Dengan Persepsi Orang Tua ‌

Sebagian besar responden menyetujui anak menjadi sasaran kemarahan orang tua jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Wiknjosastro (2006) kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan dalam keluarga yang terjadi baik dari pihak ayah, ibu dansaudara yang lain dan seringkali anak menjadi sasaran kemarahan orang tua. Kondisi tersebut dianggap hal yang wajar, sehingga berlangsung terus menerus yang dapat menyebabkan anak akan menjadi tertekan. Sebagian besar responden setuju bahwa pola asuh apapun berhak dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Menurut undang-undang perlindungan anak no. 23 tahun 2002 pasal 1, orang tua berkewajiban mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan bakat serta minatnya. Bentuk-bentuk pola asuh orang tua sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur-unsur watak seseorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih-benihnya kedalam jiwa seseorang individu sejak awal yaitu pada masa ia masih kanak-kanak. Dengan demikian bahwa pola asuh yang diterapkan oleh orang tua sangat dominan dalam membentuk kepribadian anak. Kondisi ini dapat menyebabkan sikap otoriter orang tua yang terlalu berlebihan terhadap anak sehingga berdampak bagi perkembangan psikologis dan fisiologis anak (http://www.perkembangananak.com/2008/02/kebe basan-selekif-adalah-caramengasuh html. 11/06/2009). Sebagian besar responden tidak menyetujui jika harus memberikan kebebasan berfikir, berekspresi dan menentukan cita-cita terhadap anak dan menghormati pribadi anak sebagai individu yang utuh lahir batin dalam keluarga merupakan hak anak. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan (2002) dalam undang-undang perlindungan pasal 10 menyatakan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya. Pemerintah maupun orang tua dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak agar anak dapat berpartisipasi, bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai hati nurani dan agamanya, bebas

2011

menerima informasi sesuai dengan tahapan usia dan perkemabangan anak, bebas berserikat dan berkumpul, bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi dan berkarya seni budaya. Anak berhak menerima, mencari dan diberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan diri sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan, sehingga anak sebagai generasi penerus bangsa dapat berkembangan secara optimal. Sebagian responden tidak setuju jika anak melakukan kesalahan sebaiknya dinasehati. Mengasuh anak dengan cara terlalu mengekang dan terlalu memberi kebebasan adalah sama-sama memberi dampak negatif kepada anak. Ada cara yang baik dapat orang tua lakukan kepada anak selain dua cara tersebut yaitu dengan cara memberikan kebebasan selektif. Kondisi ini akan menyebabkan terjadinya kekerasan pada anak (http://www.perkembangan-anak. com/2008/02/kebebasan-selekif-adalah-cara-mengasuh.html.11/06/2009). Lingkungan keluarga merupakan faktor yang sangat berperan dalam perkembangan anak. Terutama peran orang tua sebagai orang yang terdekat dengan anak sebelum anggota keluarga yang lain. Orang tua sebagai pengasuh dan pendidik anak mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap kelangsungan hidup anak pada masa yang akan datang. Peran orang tua terhadap perkembangan anak tersebut tidak luput dari pengetahuan orang tua tentang perkembangan anak. Sikap orang tua dalam mengasuh dan mendidik anak. Salah satu penyebab gangguan perkembangan pada anak adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua (Depkes RI, 2000).

KESIMPULAN DAN SARAN Sebagian responden memiliki persepsi yang baik tentang kekerasan pada anak namun masih ada sebagian besar responden yang tidak setuju jika menggunakan tenaga anak untuk bekerja demi keuntungan orang tua termasuk tindakan kekerasan dan sebagian responden setuju bila terjadi KDRT wajar anak menjadi sasaran kemarahan orang tua. Sebagian kecil responden memiliki pengetahuan yang baik namun masih ada

27


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

responden yang belum mengetahui tentang dampak kekerasan dan bentuk-bentuk kekerasan fisik pada anak. Sebagian responden memiliki sikap yang baik namun masih ada responden yang tidak setuju dengan pernyataan menggunakan tenaga anak untuk bekerja atau kegiatan lain demi keuntungan orang tua, memberikan kebebasan kepada anak untuk berfikir, berekspresi dan menentukan cita-cita. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan persepsi orang tua tentang kekerasan pada anak. Terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dan persepsi orang tua tentang kekerasan terhadap anak. Bagi Dinas Kesehatan Kota Jambi diharapkan dapat merancang suatu program dan kebijakan untuk mengurangi kejadian kekerasan di seluruh wilayah Kota Jambi, melalui kegiatan promotif dan preventif kepada tokoh masyarakat dan pemangku kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak sebagai generasi penerus bangsa dan mensosialisasikan tentang undang-undang perlindungan anak kepada masyarakat. Sedangkan bagi Petugas Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesms Putri Ayu diharapkan dapat merancang suatu program pemberian informasi dan penyuluhan tentang kekerasan pada anak kepada orang tua di kelurahan-kelurahan yang merupakan wilayah kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi. Bagi Peneliti Lain, diharapkan dapat melanjutkan pada kelurahan dan kecamatan lain di Kota Jambi dan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel lebih kompleks dan triangulasi metoda yang lebih lengkap seperti indepth interview, focus group discussion dan observasi, mengingat kekerasan terhadap anak masih dianggap masalah keluarga semata.

DAFTAR PUSTAKA Depkes RI, 2000. Pedoman Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita. Jakarta

Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: v + 389 hlm. Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2002. Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta Wikjosastro, 2006. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.YPKP.Jakarta. http://www.wikimu.com/news/DisplayNews

28

http://Fransiskusateng.blogspot.com/2008/04/tindakankekerasanpadaanak.html. 11/06/2009 http://id.shvoong.com/social-sciences/ psychology/1837978-definisi-persepsi. 11/06/2009 http://www.perkembangananak.com/2008/02/kebebasanselekif-adalah-cara-mengasuh.html. 11/06/2009


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

GAMBARAN PELAKSANAAN PALPASI ABDOMINAL PADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS PERAWATAN PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2011 Erlina Nikelas, Nirdawati, Winda Triana Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Pemeriksaan antenatal care yang tidak sesuai dengan standar dikhawatirkan dapat menimbulkan komplikasi yang sering terjadi pada saat persalinan. Ibu yang berkatagori tidak beresiko ternyata mengalami komplikasi, sebaliknya diantara ibu yang dikatagorikan beresiko ternyata persalinannya berlangsung normal. SDKI tahun 2007 menunjukkan pelayanan yang paling sering didapatkan selama kehamilan adalah pemeriksaan abdomen 96%, pengaturan tekanan darah 92%, pengaturan tinggi badan 29% sedangkan informasi tanda-tanda komplikasi kehamilan 40% dan wanita yang mendapatkan tablet besi hanya 77%. Dilihat dari data 20 Puskesmas di Kota Jambi, target kunjungan ibu hamil, puskesmas Putri Ayu tahun 2010 pencapaian K1 sebanyak 91,5%, sedangkan kunjungan K4 hanya sebanyak 89,9%. Dari survey awal pelaksanaan palpasi abdominal terhadap pelayanan antenatal care di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi masih ditemukan pelayanan belum terlaksanannya sepenuhnya oleh petugas (bidan), antara lain belum dianjurkan ibu hamil berkemih dahulu sebelum dilaksanakan palpasi abdominal dan pencegahan infeksi, yakni mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan antenatal care. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan palpasi abdominal pada ibu hamil di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan rancangan cross sectional, variabelnya adalah pelaksanaan prasyarat dan proses palpasi abdominal pada ibu hamil, teknik pengambilan sampel accidental sampling berupa spot pelayanan sebanyak 57pengamatan. Hasil penelitian terhadap 57 spot pelayanan palpasi abdominal, proses palpasi pada ibu hamil sesuai standar 73,7% dan tidak sesuai standar 26,3%, standar prasyarat pada palpasi abdominal yang sesuai 43,9%, tidak sesuai standar 56,1%. Hasil penelitian yang didapatkan dari pelaksanaan palpasi abdominal pada ibu hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu tahun 2011 adalah sebagian terlaksana sesuai standar. Diharapkan agar Dinas Kesehatan Kota Jambi dapat meningkatkan keterampilan bidan khususnya pelaksanaan palpasi abdominal pada ibu hamil, sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang telah baku, melalui pelatihan-pelatihan dan seminar.

Kata kunci: palpasi abdominal, ibu hamil,

PENDAHULUAN Kesehatan ibu dan Anak masih merupakan masalah nasional yang perlu mendapat prioritas utama, karena sangat menentukan kualitas sumber daya manusia generasi mendatang. Berdasarkan data Bappenas, 2008 saat ini. Tingginya angka kematian ibu (AKI) dan kematian Bayi (AKB) 34 per 1.000 kelahiran hidup, maupun kematian anak (AKA). Menurut SDKI 2007 AKI di Indonesia sebanyak 228/100.000

kelahiran hidup. Adapun target Millennium Development Goals (MDGs) untuk tahun 2015, penurunan AKI adalah 110 per 100.000 Stalker, 2008). Lambatnya penurunan kedua angka tersebut mencerminkan bahwa mutu pelayanan terhadap ibu belum berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Fenomena diatas menunjukkan bahwa saat ini kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak sangat mendesak untuk ditingkatkan (BPS Macro Internasional, 2007).

29


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Pelaksanaan pemeriksaan Antenatal Care yang tidak sesuai dengan standar dikhawatirkan dapat menimbulkan komplikasi, kebanyakan komplikasi itu terjadi pada saat persalinan. Banyak diantara ibu berkategori tidak beresiko ternyata mengalami komplikasi sebaliknya, diantara ibu yang dikategorikan beresiko ternyata persalinan berlangsung normal (Saifuddin 2006: 6). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa pelayanan yang paling sering didapatkan selama pemeriksaan kehamilan adalah pemeriksaan perut 96%, pengukuran tekanan darah 92%, pengukuran tinggi badan 29%, informasi tanda-tanda komplikasi kehamilan 40%, dan wanita yang mendapatkan tablet besi 77% (BPS dan Macro Internasional, 2007:135). Pelayanan Antenatal Care di Provinsi Jambi tahun 2006 yaitu berjumlah 63,90% tahun 2007 yaitu berjumlah 68,42% tahun 2008 yaitu berjumlah 72,12% sedangkan tahun 2009 yaitu berjumlah 72,48% (Dinkes Prop. Jambi, 2010). Data Dinas Kesehatan Kota Jambi diketahui rata-rata cakupan K1 tahun terjadi peningkatan tahun 2008 cakupan K1 adalah 94,69% menjadi 99% tahun 2009. Begitu juga dengan cakupan K4 tahun 2009 mengalami peningkatan dari 89,43% pada tahun 2008, menjadi 91,74% pada tahun 2009, berdasarkan data kunjungan ibu hamil tahun 2009 Kota Jambi telah melebihi target nasional yaitu 90%, adapun cakupan K1 tahun 2010 adalah 104,1% dan K4 adalah 94%. Namun bila dilihat dari data 20 Puskesmas yang ada di Kota Jambi, target kunjungan ibu hamil Pukesmas Putri Ayu tahun 2010 pencapaian K1 sebanyak 91,5% dan kunjungan K4 sebanyak 89,9%. (Dinkes Kota Jambi, 2010) Berdasarkan survey awal pada pelaksanaan palpasi abdominal terhadap pelayanan Antenatal Care di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi, masih ditemukan pelayanan palpasi abdominal belum terlaksana sepenuhnyanya oleh petugas kebidanan, antara lain belum terlaksananya anjuran berkemih pada ibu hamil dan pencegahan infeksi sebelum dan sesudah melakukan pemeriksaan antenatal care tidak mencuci tangan.

30

BAHAN DAN CARA KERJA Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui standar prasyarat sarana prasarana dan standar proses palpasi abdominal pada ibu hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2011. Secara khusus penelitian ini bertujuan agar diketahuinya standar proses dalam palpasi abdominal pada ibu hamil oleh bidan di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi tahun 2011 serta diketahuinya standar prasarat sarana dan prasarana palpasi abdominal pada ibu hamil oleh bidan di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi tahun 2011. Kerangka teori yang digunakan pada pelaksanaan pemeriksaan antenatal care mengacu pada kerangka teori PP IBI: 2006 terdiri dari kegiatan pelayanan antenatal: Identifikasi ibu hamil, pemeriksaan dan pemantauan antenatal, palpasi abdominal, pengelolaan anemia pada kehamilan, pengelolaan dini hipertensi pada kehamilan, persiapan persalinan.

Pernyataan Standar Bidan melakukan pemeriksaan abdomen dengan seksama dan melakukan partisipasi untuk memperkirakan usia kehamilan bila umur kehamilan bertambah, memeriksa posisi, bagian terendah masuknya kepala janin kedalam rongga panggul, mencari kelainan, serta rujukan.

Hasil Perkiraan usia kehamilan yang lebih baik Diagnosis dini kelainan letak, dan merujuknya sesuai dengan kebutuhan Diagnosis dini kehamilan ganda dan kelainan lain, serta merujukknya sesuai dengan kebutuhan

Bagan1. Kerangka Teori Penelitian

Kerangka konsep pada penelitian ini mengacu pada teori PP IBI 92006) tentang standar prasarat pemeriksaan palpasi abdominal meliputi (ruangan khusus, tempat tidur, stetoskop, tensimeter, timbangan,patella hammer, buku KMS). Standar proses adalah langkah-langkah protap yang perlu diikuti sesuai standar yang telah baku dalam pelaksanaan pelayanan kebidanan.


Erlina N, Nirdawati, Winda T, Gambaran Pelaksanaan Palpasi Abdominal ‌

Variabel yang diteliti adalah standar prasarat dan standar proses pada pelayanan pemeriksaan palpasi abdominal, bidan melakukan peningkatan kesehatan ibu hamil dalam tahap awal, karena melalui pelaksanaan pemeriksaan Antenatal Care dapat melakukan deteksi dini terhadap komplikasi kehamilan kerangka teori penelitian secara skematis dapat digambarkan pada bagan berikut: Pemeriksaan Palpasi Abdominal pada Ibu Hamil: 1. Standar prasyarat pemeriksaan palpasi abdominal 2. Standar proses pemeriksaan palpasi abdominal pada ibu hamil

Bagan 2. Kerangka Palpasi Abdominal

Pelayanan Antenatal Care pada ibu hamil

Konsep

Pemeriksaan

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional untuk mengambarkan apa adanya tentang suatu variable, gejala atau keadaan (Arikunto, 2006:2340 yaitu mengenai gambaran standar prasarat dan standar proses pada palpasi abdominal di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah chek list (lembar observasi) berisi daftar kegiatan yang akan diamati tentang standar proses dan standar prasarat palpasi abdominal di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi . Menurut Arikunto (2006:134) Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian, berdasarkan pengertian ini dapat disimpulkan bahwa populasi yang dimaksud adalah semua ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi pada bulan Juli s.d Agustus 2011, jumlah belum diketahui. Sampel menurut Arikunto (2006: 134) adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Jika sampel kurang dari 100 orang dapat lebih baik diambil semua, dan jika sampel lebih dari 100 orang dapat diambil 10-15% atau 20-25%. Besarnya sampel dalam penelitian ini diambil seluruh populasi ibu hamil trimester II dan trimester

2011

III di Puskesmas Perawatan Putri Ayu. Bulan Juli s.d Agustus 2011 yaitu total populasi. Variabel Penelitian yang digunakan ialah Spot pelayanan standar proses dalam pelaksanaan palpasi abdominal pada ibu hamil trimester II dan trimester III dan Spot pelayanan standar prasarat sarana dan prasarana yang dipergunakan dalam pelaksanaan palpasi abdominal pada ibu hamil. Data primer yaitu pengumpulan data dilakukan langsung kepada responden untuk pengambilan data pelayanan Antenatal Care yang dilakukan di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi pada bulan Juli s.d Agustus 2011. Dalam pengumpulan data, peneliti mengobservasi langsung seluruh spot pelayanan ibu hamil yang memeriksakan kehamilannya di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi pada bulan Juli s.d September tahun 2011. Pengolahan data dan analisys data dilakukan dengan computer untuk mendapatkan distribusi dan frekuensi, besarnya proposisi masing-masing variable standar prasarat sarana dan standar proses dalam pelaksanaan palpasi abdominal di Puskesmas Perawatanh Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2011.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan standar proses proses Palpasi Abdominal pada ibu hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi tahun 2011 dilakukan dengan menggunakan observasi (palpasi abdominal) berisi dalam daftar kegiatan yang diamati dalam standar proses pelaksanaan palpasi abdominal pada seluruh pelayanan ibu hamil, pengamatan menggunakan kuesioner yang berisi 21 item pengamatan. Selanjutnya untuk mengetahui standar pelayanan yang sesuai standar dan yang tidak sesuai standar dilakukan skoring disetiap jawaban. Untuk mengetahui gambaran standar proses Palpasi Abdominal pada ibu hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi tahun 2011 berikut doitampilkan distribusi frekuensi dan presentase berdasarkan pelaksanaan palpasi abdominal pada kehamilan yang dapat dilihat pada tabel 5.1.

31


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Standar Proses Pelaksanaan Palpasi Abdominal Pada IBu Hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2011 (n=57)

No

Aspek Pengamatan Standar Proses Palpasi Abdominal

Distribusi Tidak DIlakukan Dilakukan f % f %

1

Bidan menanyakan kapan HPHT

57

100

0

0

2

Bidan menanyakan tanda-tanda kehamilan sebelumnya

41

71,9

16

28,1

3

Bidan menanyakan tanda-tanda kehamilan sebelumnya

50

87,7

7

12,3

4

Bidan menanyakan pada ibu berapa kali pergerakan janin

29

50,9

28

49,1

4

7,0

53

93,0

55

96,5

2

3,5

57

100

0

0

49

86,0

8

14,0

5 6 7 8

Sebelum palpasi bidan meminta ibu mengosongkan kandung kemih Bidan melakukan pemeriksaan ibu dengan posisi terlentang, kepala disanggah dengan bantal Bidan mengetahui apakah ada tanda-tanda parut/bekas SC pada kehamilan sebelumnya Bidan melihat apakah ada tanda-tanda peregangan uterus yang berlebihan

9

Bidan mengetahui kehamilan ganda

56

98,2

1

1,8

10

Bidan mengukur tinggi fundus uteri dengan menggunakan meteran setelah minggu ke-24

57

100

0

0

11

Bidan melakukan palpasi dengan hati-hati

57

100

0

0

12

Bidan mencatat hasil pengukuran tinggi fundus dari simfisis kerundus uteri

53

93.0

4

7,0

13

Tinggi uteri dibandingkan dengan perkiraan usia kehamilan

31

54,4

26

45,6

54

94,7

3

5,3

53

93,0

4

7,0

51

89,5

6

10,5

51

89,5

6

10,5

54

94,7

3

5,3

52

91,2

5

8,8

57

100

0

0

25

43,9

32

56,1

14 15 16 17 18 19 20 21

Bidan melakukan rujukan jika ditemukan kelainan letak pada trimester III Bidan menganjurkan agar persalinan dilakukan di rumah sakit jika bukan preskep Jika primipara dengan usia kehamilan 37 minggu kepala belum masuk PAP bidan segera rujuk kerumah sakit JIka tidak menemukan DJJ/ pergerakan janin lemah rujuk segera kerumah sakit Bidan menjelaskan hasil pemeriksaan yang dilakukan Bidan menjelaskan tanda-tanda bahaya dari setiap trimester kehamilan Setelah pemeriksaan bidan melakukan pendokumentasian pada buku KIA/ Register kehamilan Bidan cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan

Hasil penelitian berdasarkan standar proses pelaksanaan palpasi abdominal yang dilakukan dan tidak dilakukan discoring pada masing-masing jawaban. Kategori

32

pelaksanaan palpasi abdominal diperoleh bila cut off point ≼ 80 % sesuai standar dan dikategorikan tidak sesuai standar bila cut off < 80%.


Erlina N, Nirdawati, Winda T, Gambaran Pelaksanaan Palpasi Abdominal ‌

Berdasarkan data distribusi jawaban dari 57 respondenyng telah diteliti di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Tahun 2011, didapatkan standar proses pelaksanaan palpasi abdominal yang sesuai standar adalah 42 pelayanan (73,7% ) dan yang tidak sesuai dengan standar adalah 15 pelayanan ( 26,3% ). Standar prasarat dalam Pemeriksaan Abdominal Pada Ibu Hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2011, dilakukan menggunakan observasi berisi daftar kegiatan yang diamati dalam proses pelaksanaan pemeriksaan pada seluruh pelayanan ibu hamil, pengamatan menggunakan lembar checklist yang berisi 10 item pengamatan. Disribusi frekuensi berdasarkan standar proses pada pelaksanaan palpasi abdominal dapat dilihat dalam diagram 5.1 berikut : Diagram 5.1 Disrtibusi Responden Berdasarkan standar proses Pelaksanaan Palpasi Abdominal Pada

2011

Ibu Hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Tahun 2011 (n=57)

26.3

Sesuai standar Tidak sesuai standar

73.7

Selanjutnya untuk mengetahuin kelengkapan standar prasarat srana dan prasrana dilakukan skoring di setap masingmasing jawaban. Untuk mengetahui distribusi frekuensi dan presentase berdasarkan kelengkapan standar prasarat sarana prasarana pada pemeriksaan ibu hamil dapat dilihat pada tabel 5.2 berikut :

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Standar Prasarat Pada Palpasi Abdominal Pada IBu Hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2011 (n=57)

No

Aspek Pengamatan Standar Proses Palpasi Abdominal

Distribusi Tidak DIlakukan Dilakukan f

%

f

%

1

Tersedinaya ruang khusus untuk pemeriksaan ibu hamil

57

100

0

0

2

Tersedianya tempat tidur khusus untuk pemeriksaan ibu hamil

57

100

0

0

3

Tersedianya tempat tidur khusus untuk pemeriksaan ibu hamil

57

100

0

0

4

Tersedianya timbangan berat badan untuk pemeriksaan ibu hamil

57

100

0

0

5

Tersedianya patella hamer

25

43,9

32

93,0

6

Tersedinya obat yang diperlukan ibu hamil

57

100

0

0

7

Tersedianya stetoskop janin/dopler

57

100

0

0

8

Tersedianya meteran kain untuk mengukur tinggi fundus ibu hamil

57

100

0

0

9

Menggunakan KMS/Buku KIA/KartuIbu

57

100

0

0

10

Tersedianya format/bangko rujukan/adanya system rujukan

57

100

0

0

11

Tempat mencuci tangan air mengalir

57

100

0

0

33


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Diagram 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Standar Prasarat Pada Palpasi pada Ibu Hamil Di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Tahun 2011 (N= 57)

Sesuai standar 43.9 56.1

Tidak sesuai standar

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis penelitian tentang standar proses pelaksanaan palpasi abdominal ibu hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Tahun 2011terdapat seluruh pelayanan menanyakan kapan HPHT, seluruh pelayanan melakukan palpasi dengan hati-hati untuk menentukan leytak janin, seluruh pelayanan memeriksa apakah ada tanda-tanda parut/bekas SC pada kehamilan sebelumnya, seluruh pelayanan mengukur tinggi fundus uteri denganmenggunaan meteran setelah minggu ke 24, seluruh pelayanan melakukan pendokumentasian ppada bukuKIA/ register kehanilan setelah pemeriksaan. Namun masih ada yang tidak melakukan yaitu sebagian pelayanan tidak meminta ibu untuk mengosongkan kandung kemih, dan sebagian tdak melakukan mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, serta sebagian bidan tidak menanyakan kepada ibu berapa kali pergerakan janin. Hasil penelitian ini didukung oeh Depkes RI (1997:10) hal-hal yang perlu dilakukan oleh bidan dalam palpasi abdominal secara seksama dan melakukan palpasi untuk mmencari kelainan serta melakukan rujukan tepat waktu. Tinggi fundus uteri bertambah sesuai dengan pertumnuhan janin tetapi paritas dapat mempengaruh tinggi fundus, tinggi fundus dapat diukur menggunakan meteran mlalui 2 cara yaitu dengan cara palpasi( leopold) yang terdiri darai leopold1 sampai leopold 4.

34

Tujuan pemeriksaan tinggi fundus uteri menggunakan teknik Mc.Donald menetukan umur kehamilan berdasarkan minggu, dan hasilnya dibandigkan dengan hasil anamnesis, haid pertama harinterakhir (HPHT) dapat menentukan tafsiran persalianan, dan kapan gerakan janin dapat dirasakan (Mandriawati, 2008:84). Mengukur tinggi fundus uteri tinggi puncak rahim diperiksa dan diukur untu memeriksa letak janin dan umur kehmilan (Manuaba, 2003:15). Pengukuran tinggi fundus uterin dari batas sympisis sampai tinngi fundus uteri untuk menetukan umur kehamilan ibu, bila tinggi fundus uteri kurang dari perhitungan, kemungkinan terdapat gangguan perumbuhan janin begitu sebaliknya bila tinggi fundus uteri lebih kemungkinan terdapat hidramnion, gemeli atau mola hidatidosa (Syahlan, 1996:48). Sementara haasil penelitian ini menghasilkan data sebagian besar pelayanan tidak meminta ibu untuk mengosongkan kandung kemih. Bila dilihat standar pelayanan untuk melakuakn palpasi tinggi fundus uteri agar akurat dan teraba dengan baik apa yang ada didalam uterus sebaiknya kandung kemih dikosongkan dari urine (Mandriwati, 2008:83). Pemeriksaan fundus sebaiknya dalam keadaan kandung kemih kosong karena bila ada bendungan urine yang tertampung di vesika urinaria di depan uterus dapat menjadi kabur akibat terhalang dari posisi vesika urinaria yang penuh. Mencuci tangan merupakan kebiasaan yang sederhan aynag membutuhkan pelatihan yang minim. Mencuci tangan dengan air dan sabun akan banyak mengurangi jumlah mikroorganisme dari kuluit dan tangan. Mencuci tangan merupakan cara terbaik untuk menghindari sakit dan penyebaran penyakit. Seorang tenaga kesehatna mencuci tangan sebelum dan setelah menangani luika sayatan, menyentuh orang sakit dan luka, ketika menggunakan fasilitas umum (http://indonesia.com/f/13768-mencuci tangancara mudah menghindari infeksi/7/22/2011 2:3 PM. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa bila bidan tidak terampil dalam hal melakukan palpasi abdominal maka tidak akan terpantau kelainan-kelainan dan komplikasi pada kehamilan, sehingga palpasi sangat diperlukan agar kehamilan dapat terdeteksi secara dini. Bila bidan tidak melakukan mencuci tangan secara septik dan antiseptik maka tangan bidan adalah sebagai media p[enghantar


Erlina N, Nirdawati, Winda T, Gambaran Pelaksanaan Palpasi Abdominal ‌

dan penyebar perpindahan bakteri dari ibu hamil ke ibu hamil lainnya. Berdasarkan data distribusi jawaban dari 57 responden yang telah diteliti di Puskesmas Perawatan Putri Ayu didapatkan standar proses pelaksanaan palpasi abdonminalm sebagian besar sesuai standar dan hanya sebagian kecuil tidak sesuai dengan standar. Kelengkapan standar sarana prasarana dalam pemeriksaan palpasi abdominal pada ibu hamil di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Tahun 2011 dijabarklan dalam 11 item pengamatan ketersedian standar prasarat sarana. Dari hasil pengamatan yang diperoleh hasil 10 aspek pengamatan semua spot pelayanan melakukannya dan hanya 1 aspek pelayanan yang tidak dilakukan yaitu tersedianya patella hammer hanya sebagian spot pelayanan melakukan pemeriksaan menggunakan patella hammer. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Saifuddin (2006:90) bahwa pelatyanan antenatal meliputi 7T yaitu Timbang berat badan, Ukur Tekanan darah,ukur tinggi fundus uteri, pemberian Tetanus Toksoid (TT), pemberian tablet besi minimal 90 tablet selama masa kehamilan, tes terhadap penyakit menular seksual, temu wicara dalam rangka rujukan. Dapat dilihat bahwa prasarat tensi meter, timbangan, stetoskop, meteran adalah prasarat dalam melakukan antenatal yang baik. Menurut PP IBI (2006) menjelaskan bahwa kunjungan pertama bidan: melakukan anamnesa riwayat dan mengisi KMS ibu hamil/buku KIA, tentukan hari taksiran persalinan (HTP), memeriksa kadar Hb, berikan imunisasi TT (Tetanus Tosoid), menilai keadaan umum (fisik) dan psikologis ibu hamil, memeriksa urine untuktes protein dan glukosa urine atas indikasi. Mengukur berat badan dan lingkar lengan atas. Jika beratnya tidak bertambah, atau pengukuran lengan menunjukkan kurang gizi, beri penyuluhan tentang gizi dan rujuk untuk pemeriksaan dengan pengobatan lebih lanjut, periksa Hb, pemberian tablet besi berisi 60 mg zat besi dan 500 Lg asam folat, periksa gejala penyakit menular seksual (PMS), pemeriksaan fisik ibu hamil secara lengkap payudara, tinggi fundus uteri, denyut jantung janin, penyuluhan tentang gizi, semua ibu hamil memerlukan dukungan moril selama kehamilannya, bicarakan tempat persalinan, persiapan transportasi, catat semua temuan pada KMS ibu hamil/buku KIA.

2011

Hasil penelitian diketahui bahwa sebagian spot pelayanan tidak melakukan pemeriksaan reflek hammer pada lutut dengan menggunakan patella hammer, hal ini kemungkinan disebabkan bidan yang melakukan pemeriksaan kehamilan tidak mengetahui seberapa pentingnya memeriksa kekuatan reflek pada lutut karena merupakan deteksi dini pada kekuatan dan kelemahan otot dan syaraf pada tungkai. Bila bidan melakukan pemeriksaan reflek hammer maka akan diketahui apakah ada penyulit persalinan. Menurut asumsi penulis kelengkapan standar prasarat sarana dan prasarana adalah sarat mutlak yang harus ada pada setiap pemeriksaan ibu hamil untuk memudahkan menegakkan diagnosis dan anamnesa sehingga komplikasi yang mungkin akan terjadi dapat diantisipasi.

KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar spot pelayanan melakukan standar proses palpasi abdominal yang sesuai standar pemeriksaan pada ibu hamil, dan hanya sebagian kecil yang tidak sesuai standar. Selain itu, sebagian kecil spot pelayanan menggunakan standar prasarat kelengkapan sarana dan prasarana sesuai dengan standar pemeriksaan ibu hamil, dan sebagian besar tidak sesuai standar. Setelah melakukan penelitian ini kami menyarankan bagi Dinas Kesehatan Kota Jambi agar dapat meningkatkan keterampilan bidan khususnya pelaksanaan palpasi abdominal pada ibu hamil sesuai dengan standar pelayanan antenatal yang telah baku, melalui pelatihan-pelatihan dan seminar. Bagi Bidan di Puskesmas Putri Ayu diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan antenatal care (ANC) dengan belajar dan berlatih serta mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi yang baru. Selain itu, bagi peneliti lain agar dapat lebih ditingkatkan dan diteliti dengan variable yang berbeda dan untuk melaksanakan penelitian selanjutnya dengan topik yang berkaitan dengan pelaksanaan palpasi abdominal pada kehamila

35


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta, Jakarta: xi + 368 hlm. BPS dan Macro Internasional, 2007. Survei Demografi Internasional, Jakarta: ix + 355 hlm Depkes RI, 1997. Pedoman Pertumbuhan Anak dan Keluarga, Jakarta , 2003. Pedoman Pertolongan Persalinan Dinkes Kota Jambi, 2010. Profil Kesehatan Kota Jambi Dinkes Propinsi Jambi, 2010. Laporan pelayanan Antenatal Tahun 2007-2010 PP IBI Pusat, 2006. Bidan Menyongsong Masa Depan, PPIBI, Jakarta: xxxiv + 341 hlm Manuaba, IBG, 2001. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi

36

dan KB, Penerbit EGC. Jakarta: xiii + 797 hlm , 2003. Konsep Obstetri dan Ginekologi Sosial Indonesia. EGC, Jakarta: x + 215 hlm Mandriawati, 2008. Penuntun Belajar Asuhan Kebidanan Ibu Hamil. EGC. Jakarta: xii + 199 hlm Saifuddin, Abdul Bari, 2006 Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, YBP-SP Jakarta: xvii + 601 hlm Stalker Peter, 2008, Laporan MDGs 2008 “Mari Kita Suarakan MDGs Demi Pencapaiannya di Indonesia, Bappenas dan UNDP, Jakarta Syahan. 1996. Asuhan Kebidanan pada Ibu Hamil dalam Konteks Keluarga Depkes RI. Pusdiknakes Jakarta:48 http://indonesia.com/f/1376mencucitangan caramudahmengindahariinfeksi/7/22/2011 2:3PM


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

HUBUNGAN MOTIVASI DAN PENGETAHUAN DENGAN PERILAKU MAHASISWA JURUSAN KESEHATAN GIGI POLTEKKES JAMBI DALAM PROGRAM PENGENDALIAN PLAK TERHADAP STATUS KESEHATAN JARINGAN PERIODONTAL David Rudi, Retno Dwi Sari, Rina Kurnianti Dosen Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Berdasarkan SKRT tahun 2004, prevalensi penyakit periodontal sebesar 96,58% (Depkes, 2005). Penyebab terjadinya gangguan gigi dan mulut dapat terjadi dari penyebab langsung seperti bakteri, maupun tak langsung seperti karakteristik penderita, kebiasaan, perilaku dan faktor budaya (Notoatmodjo, 2005). Untuk mencegah terjadinya penyakit maka perlu motivasi dari individu itu sendiri dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Dan motivasi merupakan rangsangan dorongan dan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut memperlihatkan perilaku tertentu (Azwar,1996). Juga dikatakan Notoatmodjo (2005), bahwa persepsi, pengetahuan, keyakinan, keinginan, motivasi niat dan sikap mempengaruhi perilaku seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan motivasi, pengetahuan dengan perilaku dalam dalam program pengendalian plak terhadap status kesehatan jaringan periodontal. Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif-analitik dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan terhadap seluruh mahasiswa Jurusan Kesehatan gigi poltekkes jambi tingkat I, II dan III yang memenuhi kriteria. Sebagai alat ukur digunakan kuesioner serta indikator CPITN. Analisa data digunakan uji korelasi. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara motivasi dengan perilaku mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi dalam program pengendalian plak (r=0,473, p=0,000). Kemudian antara pengetahuan dengan perilaku tidak terdapat hubungan (r=0,067, p=0,524). Serta tidak terdapat hubungan antara perilaku dalam program pengendalian plak dengan status kesehatan jaringan periodontal (r=0,003, p=0,973). Kata Kunci : Prevalensi, Periodontal, plak,

PENDAHULUAN Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit dalam rongga mulut yang sering terjadi dan bisa mengenai siapa saja serta tidak mengenal usia. Penyakit periodontal merupakan penyebab utama tanggalnya gigi pada orang dewasa yang disebabkan infeksi bakteri dan menimbulkan kerusakan gusi, serat perekat dan tulang di sekitar gigi. Penyebab utamanya adalah plak dan pada umumnya tidak menimbulkan rasa sakit. Penyakit ini terjadi karena terabaikannya kebersihan gigi dan mulut. Menurut hasil survei kesehatan gigi dan mulut di Jatim tahun 1995, penyakit periodontal terjadi pada 459 orang diantara 1000 penduduk dan lebih banyak di pedesaan daripada perkotaan. Di Asia dan Afrika prevalensi dan intensitas penyakit periodontal terlihat lebih

tinggi daripada di Eropa, Amerika dan Australia. Di Indonesia penyakit periodontal menduduki urutan ke dua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat (Wahyukundari, 2009). Berdasarkan SKRT (2004), prevalensi penyakit periodontal sebesar 96,58% dan sebelumnya menurut SKRT (2003), penduduk usia 10 tahun ke atas, 46% mengalami penyakit gusi. Kemudian prevalensi semakin tinggi pada umur yang lebih tinggi. (Depkes, 2005). Kunjungan berkala ke dokter gigi sangat berarti untuk mendapatkan diagnosa dini dan perawatan penyakit periodontal. Kira-kira 15% orang dewasa usia 21 – 50 tahun dan 30% usia di atas 50 tahun mengalami penyakit ini. Jaringan penyangga gigi atau jaringan periodontal terdiri dari gingiva, sementum, periodontal ligament dan processus alveolaris. Adanya gangguan terhadap salah satu struktur ini akan menyebabkan kelainan periodontal

37


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

yang memicu terjadinya penyakit periodontal. Penyakit ini berhubungan dengan infeksi mikroba yang disebabkan oleh akumulasi biofilm plak atau kalkulus. Bakteri ini berkolonisasi pada dental plak, komposisi dari plak itu memicu terjadinya penyakit periodontal. Untuk mengatasi penyakit periodonal dapat bervariasi. Biasanya terdiri atas 4 fase yaitu: 1) pengendalian plak bakteri, 2) terapi bedah, 3) perawatan restoratif dan 4) pemeliharaan (Fedi, P.F., Vernino, A.R., Gray, J.L., 2005). Menurut American Dental Association (ADA) sejumlah periodontist menyatakan bahwa terdapat hubungan antara periodontal disease dengan penyakit jantung, stroke dan bakteri pneumonia, kemudian juga terdapat suatu statement dari American Academy of Periodontology yang menyatakan bahwa bakteri periodontal mampu untuk masuk ke aliran darah dan berjalan menuju ke organ dan mampu untuk memulai atau memicu infeksi baru. Penyebab terjadinya gangguan gigi dan mulut pada prinsipnya sama dengan penyebab terjadinya penyakit lainnya baik penyebab langsung seperti bakteri, maupun tak langsung seperti karakteristik penderita, persepsi, kebiasaan, perilaku dan faktor budaya (Notoatmodjo, 2007). Untuk mencegah terjadinya penyakit maka perlu motivasi dari individu itu sendiri dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Dan motivasi merupakan rangsangan dorongan dan ataupun pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut memperlihatkan perilaku tertentu (Azwar,1996). Juga dikatakan Notoatmodjo (2005), bahwa persepsi, pengetahuan, keyakinan, keinginan, motivasi niat dan sikap mempengaruhi perilaku seseorang. Berdasarkan observasi, belum semua mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi yang melakukan perawatan secara optimal terhadap program pengendalian plak. Hal ini terlihat dari mahasiswa tingkat I dan II, 22,62% belum pernah dilakukan tindakan skaling. Kemudian 15,48% pernah dilakukan skaling tetapi lebih dari 6 bulan. Oleh karena itu dengan melihat kondisi di atas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan motivasi, pengetahuan dengan perilaku mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi dalam program pengendalian plak terhadap status kesehatan jaringan periodontal.

38

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian adalah penelitian deskriptif-analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Jambi. Teknik pengambilan sampel secara total sampling yaitu seluruh mahasiswa tingkat I, II dan III dengan kriteria tidak dalam perawatan orthodonti, tidak memakai protesa, jacket crown dll, bila dilakukan pencabutan, waktunya > 1 bulan serta gigi memenuhi syarat mempunyai 6 sextan. Variabel pendahulu adalah motivasi dan pengetahuan mahasiswa dalam program pengendalian plak. Variabel bebas adalah perilaku mahasiswa dalam program pengendalian plak serta Variabel terikat adalah status kesehatan jaringan periodontal. Alat ukur yang dipergunakan adalah kuesioner mengenai motivasi , pengetahuan dan perilaku mahasiswa dalam program pengendalian plak. Setelah kuesioner dilakukan uji validitas dan realibitas, maka didapat jumlah kuesioner dengan rincian sebagai berikut: Tabel 1. Kisi-kisi Kuesioner Motivasi, Pengetahuan dan Perilaku Dalam Program Pengendalian Plak Materi Kontrol plak Menyikat gigi Penggunaan dental floss Penggunaan obat kumur Tindakan skaling Jumlah pertanyaan

Motivasi Pengetahuan

Perilaku

1, 2 3, 7, 8

1, 2 3, 4

1 2, 3

4

5, 6, 7

4, 5

5, 10

8, 9, 10

6, 7, 9

6, 9

11, 12, 13

8

10

13

9

Indikator CPITN digunakan untuk melihat status kesehatan jaringan periodontal. Prinsip kerja CPITN adalah penilaian berdasarkan skor status periodontal dan selanjutnya ditentukan kebutuhan perawatan penyakit periodontal. CPITN diukur dengan menggunakan alat pengukur poket yang disebut pocket probe pada gigi yang paling parah di setiap sextant. Untuk mencatat berbagai kondisi dari jaringan periodontal, tidak diperiksa semua gigi, melainkan hanya beberapa gigi saja. Gigi yang diperiksa untuk pengukuran indeks CPITN disebut gigi indeks, yaitu:


David Rudi, Retno DS dan Rina K, Hubungan Motivasi, Pengetahuan dan Perilaku ‌

17/16

1

6/27

47/46

1

36/37

2011

kesehatan jaringan periodontal digunakan uji nonparametrik dengan uji korelasi Kendall karena diketahui sebaran data tidak normal.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pada gigi molar, skor yang dipakai adalah skor tertinggi diantara gigi 6 dan gigi 7 yang diperiksa. Seleksi sampel dengan mengambil dari seluruh mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi yang memenuhi kriteria. Kemudian dilakukan pemeriksaan untuk melihat status kesehatan jaringan periodontal dengan memakai alat ukur CPITN. Prinsip kerja CPITN ada beberapa hal yaitu: 1. Mempergunakan sonde khusus yang disebut WHO Periodontal Examining Probe. 2. Terdapat sextan yang meliputi 6 buah sextan 3. Terdapat gigi indeks 4. Terdapat nilai (skor) untuk berbagai tingkatan kondisi jaringan periodontal (Herijulianti, 2002). Selanjutnya responden diminta untuk mengisi kuesioner motivasi, pengetahuan dan perilaku mahasiswa dalam program pengendalian plak. Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan tabel distribusi relative. Untuk melihat hubungan motivasi, pengetahuan dengan perilaku mahasiswa dalam program pengendalian plak terhadap status kesehatan jaringan periodontal dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji korelasi. Untuk menentukan uji statistik apakah parametrik atau nonparametrik maka dilakukan terlebih dahulu uji normalitas sebaran data. Uji Normalitas sebaran data dilakukan dengan uji Kolmogorov Smirnov. Data yang sebarannya normal dilanjutkan dengan uji parametrik dan data yang sebarannya tidak normal dilakukan dengan uji nonparametrik. Uji Normalitas ini dilakukan untuk data motivasi, pengetahuan dan perilaku terhadap status periodontal. Untuk menguji ada tidaknya hubungan motivasi, pengetahuan dengan perilaku mahasiswa dalam program pengendalian plak digunakan uji parametrik dengan uji korelasi Pearson karena diketahui sebaran data normal. Untuk menguji ada tidaknya hubungan perilaku mahasiswa dalam program pengendalian plak terhadap status

Dari seluruh mahasiswa Jurusan kesehatan Gigi Poltekkes Jambi yang memenuhi kriteria penelitian, didapat 93 mahasiswa dengan karakteristik responden terlihat dalam tabel 2.. Tabel 2. Distribusi Subyek Berdasarkan Karakteristik Responden Variabel

Distribusi

n

%

Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan

23 70

24,7 75,3

Tingkat

I II III

39 24 30

41,9 25,8 32,3

Usia

18 19 20 21 22 23 24 28

11 33 28 12 5 1 2 1

11,8 35,5 30,1 12,9 5,4 1,1 2,2 1,1

Hasil analisa deskriptif pada data motivasi, pengetahuan dan perilaku mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Jambi dalam program pengendalian plak terlihat pada tabel 3. Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Kriteria Motivasi, Pengetahuan dan Perilaku dalam program pengendalian plak Variabel

n

%

Motivasi Rendah Motivasi Cukup Motivasi Tinggi

0 4 89

0 4,3 95,7

Pengetahuan Rendah Pengetahuan Sedang Pengetahuan Tinggi

1 14 78

1,1 15,1 83,9

Perilaku Kurang Perilaku Cukup Perilaku Baik

68 25 0

73,1 26,9 0

39


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Dari tabel 3 terlihat bahwa dari seluruh sampel (93 responden) ternyata yang termasuk kriteria pengetahuan tinggi mempunyai frekuensi paling banyak sebesar 83,9%. Untuk motivasi, yang paling dominan adalah kriteria motivasi tinggi (95,7%), sedangkan pada perilaku ternyata yang paling banyak kriteria perilaku kurang sebesar (68%). Distribusi responden berdasarkan status periodontal terlihat pada tabel 4. Hasil analisa deskriptif memperlihatkan bahwa pada poket dangkal atau yang mempunyai skor 3 adalah yang paling banyak dipunyai responden (57%), sedangkan yang terdapat karang gigi sebesar 36,6%.

Dari hasil uji statistik nonparametrik yaitu uji korelasi Kendall terlihat bahwa perilaku dalam program pengendalian plak tidak mempunyai hubungan bermakna terhadap status periodontal (r = 0,003, p = 0,973). Tabel 6. Hasil Uji Statistik Hubungan Perilaku Dalam Program Pengendalian Plak Terhadap Status Periodontal Uji statistic Uji Norma- Parametrik/ Variabel N litas Non Sig. (Sig.) parametrik Non r = 0,003 Parametrik p = 0,973 Perilaku 93 0,000 (Uji korelasi Kendall) Sumber : Perhitungan dengan komputer

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Status Kesehatan Periodontal Variabel Sehat (skor 0) Gingivitis (skor 1) Karang gigi (skor 2) Poket dangkal (skor 3) Poket dalam (skor 4) Total

n

%

0 3 34 53 3

0 3,2 36,6 57,0 3,2

93

100

Dari uji statistik parametrik yaitu uji korelasi Pearson terlihat bahwa yang mempunyai hubungan bermakna terhadap perilaku responden dalam program pengendalian plak adalah pada variabel motivasi (r = 0,473, p = 0,000). Tabel 5. Hasil Uji Statistik Hubungan Motivasi dan Pengetahuan Terhadap Perilaku Responden Dalam Program Pengendalian Plak Uji statistic Uji Norma- Parametrik/ Variabel N litas Non Sig. (Sig.) parametrik Parametrik r = Motivasi 93 0,200* (Uji korelasi 0,473* Pearson) p = 0,000 Pengetahuan 93

0,200*

Parametrik r = 0,067 (Uji korelasi p = 0,524 Pearson)

Sumber : Perhitungan dengan komputer, * = bermakna

40

Walaupun terdapat hubungan bermakna antara motivasi dan perilaku dari responden, tetapi dari hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa motivasi dari responden dalam program pengendalian plak mayoritas mempunyai kriteria motivasi tinggi sebesar 95,7%, sedangkan pada perilaku mayoritas mempunyai kriteria berperilaku kurang sebesar 73,1%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa motivasi yang tinggi belum tentu akan membuat seseorang berperilaku yang baik. Hal ini disebabkan karena motivasi yang mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang muncul melalui beberapa tahapan (Rogers, 1983 in Gochman, D.S.,1997). Dalam penelitian ini ditemukan bahwa pengetahuan tidak mempunyai hubungan bermakna dengan perilaku mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi (r = 0,067, p = 0,524). Menurut Ashley (1996) dikatakan bahwa pengetahuan mengenai kesehatan gigi mulut merupakan syarat penting untuk perilaku kesehatan gigi mulut yang baik, walaupun dari banyak penelitian kros seksional menunjukkan hubungan yang lemah antara pengetahuan dan perilaku (Ashley, 1996). Walaupun begitu ada penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dan status kesehatan gigi mulut yang baik (Ashley, 1996). Dari hasil analisa deskriptif memperlihatkan bahwa pengetahuan dari responden dalam program pengendalian plak mayoritas mempunyai kriteria berpengetahuan tinggi sebesar 83,9%, sedangkan pada perilaku mayoritas mempunyai kriteria berperilaku kurang sebesar 73,1% . Kondisi tersebut


David Rudi, Retno DS dan Rina K, Hubungan Motivasi, Pengetahuan dan Perilaku ‌

menggambarkan bahwa pengetahuan yang tinggi belum menjadi jaminan akan mempunyai perilaku yang baik, apalagi dari hasil uji statistik juga tidak menunjukkan hubungan yang bermakna. Kenyataan tersebut memperlihatkan bahwa kemungkinan pengetahuan responden yang tinggi tersebut belum sampai pada tahap aplikasi. Menurut Herijulianti (2002), mengubah perilaku manusia bukanlah usaha yang mudah. Hal tersebut disebabkan manusia merupakan individu yang mempunyai sikap, kepribadian, dan latar belakang social ekonomi yang berbeda. Perlu kesungguhan dari berbagai komponen masyarakat untuk ikut andil dalam mengubah perilaku. Dari pengalaman dan penelitian lain, terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bertahan lebih lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers menyebutkan bahwa penerimaan perilaku baru yang didasarkan oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bertahan lama. Namun sebaliknya, bila perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan bertahan lama (Efendi & Makhfudli, 2009). Hasil penelitian yang didapat, hampir menyerupai penelitian lain yang dilakukan pada mahasiswa kedokteran gigi, kedokteran umum dan perawat di Institut Yenepoya, Mangalore yang menunjukkan bahwa pengetahuan dan perilaku kesehatan gigi mulut pada mahasiswa kedokteran gigi lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa kedokteran umum dan keperawatan (Usman, et al, 2007). Jadi dapat dikatakan bahwa responden yang merupakan mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi mempunyai nilai tambah dengan adanya sebagian besar responden memlilki kriteria pengetahuan yang tinggi, sehingga setidaknya terhindar dari permasalahan kesehatan periodontal yang lebih lanjut. Gambaran perilaku responden yang mayoritas mempunyai kriteria berperilaku kurang menunjukkan bahwa perilaku responden dalam program pengendalian plak belum sampai pada proses adoption. Rogers mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni: a) awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti menyadari stimulus (objek) terlebih dahulu; b) interest, yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus; c) evaluation, (menimbang-

2011

nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya); d) trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru; e) adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2003). Status kesehatan periodontal responden mayoritas mempunyai poket dangkal sebesar 57% (tabel. 5). Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa pada responden mempunyai sulkus/ saku gusi yang lebih dalam dari normal sedalam 4-5 mm dimana terjadi kerusakan tulang alveolar dan ligament periodontal, selain itu juga mempunyai karang gigi serta mengalami perdarahan gingiva atau biasa disebut penyakit gingivitis. Penyakit periodontal dapat dicegah oleh tenaga kesehatan dengan cara pembersihan karang gigi dan penghalusan akar (scalling and root planing) secara rutin, memotivasi penderita untuk penjagaan kebersihan gigi mulut (oral hygene) dengan berbagai cara seperti penyikatan gigi yang baik dan benar, yaitu dengan menyikat seluruh permukaan gigi serta punggung ludah dengan tekanan seringan mungkin namun dilakukan berulang kali dan frekuesinya 3 kali sehari (setelah makan pagi, setelah makan siang dan sebelum tidur malam). Selain itu dapat dilakukan juga dental flossing untuk membersihkan plak di interdental gigi serta penggunaan medikamentosa antimikroba lokal yang dikumur secara rutin (Mustaqimah, 2003). Obat kumur yang umum dapat digunakan ialah Listerine, Clorhexidine, Povidone iodine dan Hidrogen peroksida (Djais, 2000). Pertahanan jaringan periodontal dapat ditingkatkan dengan nutrisi yang baik. Salah satu nutrisi yang berkaitan dengan peningkatan pertahanan jaringan periodontal adalah vitamin C. Apabila kadar vitamin C rendah maka metabolisme akan terganggu sehingga menurunkan daya regenerasi dan reparasi jaringan periodontal. Selain itu terganggunya pembentukan tulang alveolar dan meningkatnya permeabilitas ekologis subgingiva sehingga meningkatkan patogenesis mikroorganisme tertentu (Pintauli,dkk, 2008).

41


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan adanya hubungan antara motivasi dengan perilaku mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi dalam program pengendalian plak (r = 0,473, p = 0,000). Kemudian tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan perilaku mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi dalam program pengendalian plak (r = 0,067, p = 0,524). Serta tidak terdapat hubungan antara perilaku mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi dalam program pengendalian plak dengan status kesehatan jaringan periodontal (r = 0,003, p = 0,973). Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi mahasiswa dalam melakukan perilaku kesehatan pengendalian plak. Selain itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efektifitas perilaku pengendalian plak yang dilakukan mahasiswa Jurkesgi Poltekkes Jambi terhadap status kesehatan jaringan periodontal. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status kesehatan jaringan periodontal khususnya pada mahasiswa Jurkesgi Poltekkes Jambi.

DAFTAR PUSTAKA Ashley FP, 1996, Role of dental health education in preventive dentistry. In: Murray JJ, editor. Prevention of dental disease. 3. Oxford: Oxford University Press, p. 406–414. Azwar, A., 1996, Pengantar Administrasi Kesehatan, ed.3, Binarupa Aksara, Jakarta. Carpenito, Juall.L, 2002, Diagnosis Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinis, Ed.9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

42

Depkes ., 2005. Survei Kesehatan Nasional, Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Vol.3 Jakarta, Badan Litbangkes: 18-20. Djais, Ariadna A, Sunarto, Hari, 2000, Penelaahan Penggunaan Antimikroba dan Antiseptik pada Terapi Penyakit Periodontal. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 7(3): 20-25 Efendi, F. & Makhfudli, 2009, Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori dan Praktik dalam Keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Fedi, P.F, Vernino, A.R., Gray, J.L., 2005, Silabus Periodonti, EGC, Jakarta. Gochman, David S, 1997, Handbook of Health Behaviour Research I. Personal and Social Determinants. New York: Plenum Press. Herijulianti, dkk, 2002, Pendidikan Kesehatan Gigi, EGC, Jakarta. Mustaqimah, Dewi. N, 2003, Pencegahan Penyakit Periodontal yang Dapat Diterapkan di Puskesmas dan di Tempat Praktek. Jurnal Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.; 10(3): 57-65 Notoatmodjo, S., 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineka Cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S., 2005, Promosi Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Notoatmodjo, S., 2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Pintauli, S dan Hamada, T. 2008. Menuju Gigi dan Mulut Sehat. Pencegahan dan Pemeliharaan. Medan. USU Press Usman, Shiraz, Bhat SS, Sargod, SS, 2007, Oral Health Knowledge and Behaviour of Clinical Medical, Dental and Paramedical Stidents in Mangalore. J Oral Health Community Dental; 1(3): 46-48 Wahyukundari, M.E., 2009, Perbedaan Kadar Matrix Metalloproteinase-8 Setelah Scaling dan Pemberian Tetrasiklin pada Penderita Periodontitis Kronis, Jurnal PDGI, Vol. 58 No.1.


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

HUBUNGAN PENGETAHUAN, TEMAN DAN KELUARGA TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B KUALA TUNGKAL TAHUN 2011.

Rusmimpong, Erna Heryani, Siti Aisyah Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Berdasarkan data dari Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kuala Tungkal, bahwa jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan pada tahun 2010 berjumlah 304 orang dengan kasus narkoba 71 orang terdiri dari 62 orang laki-laki dan 9 orang perempuan, sementara pada tahun 2011 sampai bulan Mei jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan 308 orang, khusus kasus narkoba 71 orang (59 orang laki-laki dan perempuan 12 orang). Sementara berdasarkan kelompok umur, diperoleh penyalahgunaan narkoba terbanyak terjadi pada kelompok umur 20-24 tahun (24,1%), umur 25-34 tahun (34,5%) dan umur 35-44 tahun (22,8%). Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui gambaran penyalahgunaan narkoba dan hubungan pengetahun, teman dan keluarga terhadap penyalahgunaan Narkoba pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011. Penelitian dilakukan di lembaga Pemasyaraktan Klas II B Kuala Tungkal dari tanggal 24 Juli sampai 23 Agustus 2011 dengan menggunakan rancangan cross sectional. Sampel Penelitian adalah narapidana kasus narkoba yang ada pada bulan Juni 2008. Sampel adalah total populasi yaitu 62 orang narapidana. Hasil penelitian menunjukkan dari 62 narapidana, sebanyak 29 ( 46,8%) termasuk penyalahgunaan narkoba katagori ringan dan 33 orang ( 53,25) termasuk penyalahgunaan narkoba katagori berat, sebanyak 45 orang (72.6%) mempunyai pengetahuan baik sedangkan 17 orang (27.4%) narapidana mempunyai pengetahuan kurang baik, sebanyak 16 orang (25.8%) narapidana mempunyai teman baik sedangkan 46 orang (74.2%) narapidana mempunyai teman kurang baik sedangkan 11 orang (17.7%) narapidana mempunyai kelaurga baik dan 51 orang (82.3%) mempunyai keluarga kurang baik. Hasil uji statistik menggunakan uji Chi-Square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan terhadap penyalahgunaan narkoba sementara ada hubungan antara teman dan keluarga narapidana terhadap penyalahgunaan narkoba. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan untuk memberikan penyuluhan secara berkala dan berkesinambungan kepada masyarakat dan narapidana bekerjasama dengan tenaga kesehatan dan kepolisian, mengadakan komuniaksi dan dialog serta berbagi pengalaman dengan para mantan pengguna narkoba agar narapidana dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak kembali menggunakan narkoba, mengajak narapidana melakukan kegiatan yang positif seperti olah raga, kesenian, kerajinan tangan dan sebagainya, memberikan penjelasan kepada orang tua narapidana bahwa orang tua agar memberikan waktu luang untuk berkumpul bersama keluarga dan jangan mendidik anak terlalu keras atau memanjakan anak secara berlebihan serta melakukan latihan daya tangkal ( berkata �TIDAK�) pada setiap ajakan teman yang kurang baik. Kata kunci : penyalahgunaan narkoba, lembaga pemasyarakatan

PENDAHULUAN Pembangunan Nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945. Untuk mewujudkan

masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usahausaha dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat disamping untuk pengembangan ilmu pengetahuan (Depkes RI,1997:50). Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila

43


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standart pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang akan akhirnya akan melemahkan ketahanan nasional. Bahaya narkoba sudah merasuk dalam kehidupan kita bahkan telah membahayakan kehidupan bangsa. Berdasarkan data tahun 1995 , jumlah pasien penderita ketergantungan Napza sudah mencapai 130.000 jiwa dengan asumsi jumlah pengguna Napza diperkirakan mencapai 1,3 juta jiwa (Dahlan,2005). Sampai tahun 2005, data Dit. IV BNN ( Badan Narkotika Nasional) tentang kasus narkoba tercatat narkotika berjumlah 19.921 kasus, Psikotropika 16.490 kasus dan bahan Adiktif 2.758 kasus dengan rata-rata pertahun persentase kenaikan 51,3 % (Amriel, 2008:10). Hasil penelitian BNN menunjukkan bahwa 1,5 persen dari penduduk Indonesia atau sekitar 3,2 juta orang, terlibat dalam penyalahgunaan narkotika. Setiap tahunnya, sekitar 15 ribu orang meninggal dunia karena narkotika dan dari jumlah tersebut 78 % adalah anak muda yang berusia antara 19-21 tahun (BNN,2005:8) dan tiga perempat pengguna narkoba adalah mereka yang memiliki pekerjaan layaknya orang-orang normal (Amriel.2008:6). Untuk mencegah penyalahgunaan narkoba bukanlah hal yang mudah karena harus berhadapan dengan jaringan internasional. Dari data yang terkumpul, transaksi narkoba diseluruh dunia diperkirakan mencapai 390 milliar rupiah per hari dan pemakainya berasal dari berbagai usia dengan berbagai latar belakang dan profesi. Penyalahgunaan narkoba tidak hanya melemahkan sistem kekebalan tubuh seseorang, tetapi hal itu juga kerap dikaitkan dengan berbagai perilaku berbahaya seperti pemakaian jarum suntik secara bergantian, dan perilaku seks bebas. Kombinasi dari keduanya akan sangat berpotensi meningkatkan resiko tertular penyakit HIV/AIDS, Hepatitis, dan beragam penyakit infeksi lainnya. Perilaku berbahaya tersebut biasanya berlaku bagi penggunaan narkoba berjenis heroin, kokain, steroid, dan methamphetamin (shabu-shabu). Penelitian RS. Cipto Mangkusumo mendapatkan angka kekerapan Hepatitis C dikalangan penggunaan Narkoba suntikan

44

mencapai 77 % sedangkan kekerapan HIV pengguna narkoba suntikan berkisar antara 60 % sampai 90 %. Di Cina sekitar 70 persen pengguna narkoba suntikan tertular HIV/AIDS (Blogfam magazine,2006). Karena begitu buruknya dampak yang timbul akibat penyalahgunaan narkotika maka banyak upaya dilakukan oleh masyarakat untuk menanggulangginya. Data dari Bimmas Polda Jambi kasus narkoba di Propinsi Jambi pada tahun 2008 berjumlah 375 kasus, yang terdiri dari laki-laki 335 orang dan perempuan 40 orang. Pada tahun 2009 jumlah kasus narkoba mengalami penurunan menjadi 219 kasus dan pada Tahun 2010 sampai bulan februari kasus narkoba berjumlah 33 kasus. Saat ini penyalahgunaan narkoba meningkat secara dratis, tidak ada Kabupaten/Kecamatan/Kelurahan yang bebas dari narkoba ( Sofyan:2007: 2) termasuk Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Kabupaten Tanjung Jabung Barat secara geografis letaknya berdekatan dengan Palembang, Pulau Batam, Riau (Tiga Sejori) dan tempat transit (persinggahan) orang-orang yang ingin berdagang terutama antara Batam dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat dengan menggunakan transportasi laut (kapal, Speed Boat) dengan barang-barang yang mudah terangkut dengan kapasitas yang banyak merupakan daerah yang rawan untuk masuk barang-barang ilegal. Berdasarkan data dari Lembaga Pemasyarakatan Kuala Tungkal, bahwa jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan pada tahun 2008 berjumlah 289 orang, dengan kasus narkoba berjumlah 79 orang terdiri dari 58 orang laki-laki dan 21 orang perempuan. Pada tahun 2010 jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan 304 orang dengan kasus narkoba 71 orang terdiri dari 62 orang laki-laki dan 9 orang perempuan, sementara pada tahun 2011 sampai bulan April jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan 308 orang, khusus kasus narkoba 71 orang (59 orang laki-laki dan perempuan 12 orang). Sementara berdasarkan kelompok umur, diperoleh penyalahgunaan narkoba terbanyak terjadi pada kelompok umur 20-24 tahun (24,1%), umur 25-34 tahun (34,5%) dan umur 35-44 tahun (22,8%). Hasil survei awal yang dilakukan terhadap 10 orang narapidana yang terdiri dari 6 orang laki-laki dan 4 orang perempuan menyatakan alasan penyalahgunaan narkoba


Rusmimpong, Erna H, Siti A, Hubungan Pengetahuan, Teman Dan Keluarga ...

karena dipengaruh teman, ingin mencoba-coba sebesar 100 % dan kondisi keluarga yang meliputi keutuhan keluarga dan hubungan antara orang tua dan anak yang kurang harmonis/sering bertengkar (60%) serta kemudahan memperoleh narkoba seperti : ganja, shabu-shabu, heroin, inek, pil koplo dan ekstasi ( 60 %) . Sementara dari aspek pengetahuan masih rendah (80%) terutama dari segi efek samping penggunaan narkoba. Berdasarkan data dan fakta yang terlihat dari besarnya kasus penyalahgunaan narkoba serta dampaknya terjadi pada semua kelompok usia maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara pengetahuan, teman dan keluarga terhadap penyalahgunaan narkoba pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011.

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini menggunakan pendekatan Kuantitatif rancangan Studi Cross Sectional. Pendekatan ini dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independent (pengetahuan, teman dan keluarga) dengan variabel dependent (Penyalahgunaan Narkoba) yang akan dikumpulkan dalam waktu bersamaan (Notoatmojo,2003). Penellitian dilakukan di Lembaga Permasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan penelitian di lakukan selama satu bulan terhitung tanggal 24 Juli sampai dengan 24 Agustus 2011. Populasi penelitian ini adalah seluruh narapidana kasus narkoba yang berada di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal pada bulan Juli Tahun 2011 yang berjumlah 62 orang. Menurut Arikunto (2006:134), apabila jumlah populasi kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitian merupakan penelitian populasi. Untuk Penyalahgunaan Narkoba, Variabel penyalahgunaan narkoba ada 5 pertanyaan : bila menjawab “ya” maka diberi nilai 2, bila “ tidak” diberi nilai 1. Untuk tingkat pengetahuan terdiri dari 5 pertanyaan, apabila jawabannya “a” diberi nilai skor 2, bila menjawab b dan c diberi skor 1. Untuk teman terdiri dari 5 pertanyaan, apabila jawabannya “Ya” diberi nilai skor 2, bila jawabanya “tidak” diberi skor 1. Variabel penyalahgunaan

2011

narkoba ada 8 pertanyaan : untuk pertanyaan nomor 1 bila bila menjawab “ya” maka diberi nilai 1 , bila menjawab “b” diberi nilai 2, untuk pertanyaan nomor 2 s/d 5 bila menjawab “ya” maka diberi nilai 2, bila “tidak” diberi nilai 1. sementara untuk pertanyaan nomor 6 s/d 8 bila menjawab “ya” maka diberi nilai 1 bila “tidak” diberi nilai 2. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah kuesioner dan wawancara. Data primer diperoleh melalui hasil sebaran kuesioner kepada narapidana sebagai responden dan melakukan wawancara. Data sekunder diperoleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Kuala Tungkal, Kantor Polres Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Polda Jambi. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara dan menyebarkan kuesioner terhadap narapidana kasus penyalahgunaan Narkoba Pada penelitian ini menggunakan analisis Univariat yang bertujuan untuk menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik masing-masing variabel yang diteliti, yaitu variabel independen meliputi: pengetahuan, teman dan keluargadan variabel dependen (penyalahgunaan narkoba). Dan menggunakan analisis bivariat yang bertujuan untuk melihat kemaknaan hubungan antara pengetahuan, teman dan keluarga terhadap Penyalahgunaan Narkoba dengan menggunakan rumus chisquare dengan derajat kepercayaan 95% dengan p value=0.05. Bila p- value < 0.05 berarti ada hubungan yang bermakna (Ho ditolak), sedangkan P-value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna (Ho gagal ditolak)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari Penelitian di Lembaga Pemasarakatan Kelas IIB Kuala Tungkal yang dilakukan mulai tanggal 24 Juli sampai dengan 24 Agustus 2011 yaitu tentang Hubungan Pengetahuan, Teman dan Keluarga terhadap Penyalahgunaan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011, didapatkan data sebagai berikut :

45


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Tabel 1. Distribusi Responden Menurut Perolehan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Sumber Narkoba

Jumlah

Persentase

Tabel 3 Distribusi Responden Menurut Jenis Narkoba yang Dikonsumsi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Jenis Narkoba

Jumlah

Persentase

Ekstasi/Inex

33

53.2

69.4

Ganja

19

30.6

0

0

Shabu-Shabu

10

16.2

Kios-kios rokok

0

0

Jumlah

62

100

Dll ( Penanam)

1

1.6

Jumlah

62

100

Penjual dan pengedar gelap

18

29

Teman

43

Apotik

Dari tabel 1 terlihat sebagian besar narapidana memperoleh narkoba dari teman sebanyak 42 orang (67.7 %) sedangkan dari penjual dan pengedar sebanyak 18 orang (29 %). Tabel 2 Distribusi Responden Menurut Lama Penggunaan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Lama Penggunaan Jumlah Persentase Narkoba ≤ dari 1 tahun

33

53.2

> 1 – 5 tahun

16

25.8

≼ 5 tahun

13

20.9

Jumlah

62

100

Dari tabel 2. terlihat sebagian besar narapidana menggunakan narkoba kurang dari 1 tahun sebanyak 33 orang (53.2 %), sedangkan yang menggunakan lebih dari 5 tahun sebanyak 13 orang (20.9 %).

46

Dari tabel 3 terlihat sebagian besar narapidana menggunakan jenis narkoba Ekstasi/Inex sebanyak 33 orang (53.2 %), sedangkan yang menggunakan Shabu-shabu sebanyak 10 orang (16.2 %).

Tabel 4 Distribusi Responden Menurut Penyalahgunaan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Penyalahgunaan Jumlah Persentase Narkoba Ringan

29

46.8

Berat

33

53.2

Jumlah

62

100

Dari tabel 4 diatas terlihat sebagian besar narapidana penyalahgunaan narkoba dengan katagori ringan sebanyak 29 orang (46.8 %) sedangkan narapidana yang penyalahgunaan narkoba dengan katagori berat sebanyak 33 orang (53.2 %).


Rusmimpong, Erna H, Siti A, Hubungan Pengetahuan, Teman Dan Keluarga ...

Tabel 5 Distribusi Responden Menurut Pengetahuan Narapidana Terhadap Penyalahgunaan Narkoba di Lembaga Permasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Pengetahuan

Jumlah

Persentase

Baik

45

72.6

Kurang Baik

17

27.4

Jumlah

62

100

Berdasarkan tabel 5 diatas diketahui pengetahuan narapidana tentang narkoba yaitu 45 orang (72.6%) berpengetahuan baik dan 17 orang ( 27.4 %) narapidana mempunyai pengetahuan kurang baik. Tabel 6 Distribusi Responden Menurut Keluarga terhadap Penyalahgunaan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Keluarga

Jumlah

Persentase

Baik

11

17.7

Kurang Baik

51

82.3

Jumlah

62

100

Dari tabel 6 terlihat bahwa narapidana yang keluarganya kurang baik sebanyak 51 orang (82.3%) sedangkan keluarga narapidana yang baik sebanyak 11 orang (17.7% ).

Tabel 7. Distribusi Responden Menurut Teman terhadap Penyalahgunaan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Teman

Jumlah

Persentase

Baik

16

25.8

Kurang Baik

46

74.2

Jumlah

62

100

2011

Dari tabel 7 terlihat bahwa teman narapidana yang kurang baik sebanyak 46 orang ( 74.2 %) sedangkan teman responden yang baik sebanyak 16 orang ( 25.8%) . Hasil penelitian tentang analisis penyalahgunaan narkoba narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas II B di Kuala Tungkal menunjukan bahwa sebanyak 29 narapidana ( 46.8 %) penyalahgunaan narkoba katagori ringan, sedangkan penyalahgunaan narkoba katagori berat sebanyak 33 narapidana (53.2%). Tingginya penyalahgunaan narkoba katagori berat didukung dengan lamanya narapidana menggunakan narkoba yaitu lebih dari 1 tahun yaitu 46.8 % dan dengan jenis narkoba yang mereka konsumsi terbanyak yaitu 53.2% jenis ekstasi / inex ( Psikotropika Golongan I) yang mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan dan hanya boleh digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Penyalahgunaan obat adalah pemakaian zat sedemikian rupa sehingga terdapat pola penggunaan yang patologik dan menimbulkan gangguan dalam fungsi sosial atau pekerjaan paling sedikit satu bulan lamanya. Penelitian Hawari 1990, membuktikan bahwa penyalahgunaan zat menimbulkan dampak antara lain merusak hubungan kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk perubahan perilaku menjadi anti sosial, merosotnya produktivitas kerja, gangguan kesehatan : mempertinggi kecelakaan lalu lintas, kriminalitas dan tindak kekerasan baik kuantitatif maupun kualitatif (Soekrama,1999). Alasan penyalahgunaan narkoba bermacam-macam, para remaja memakainya karena rasa ingin tahu atau karena bujukan teman sebagai bentuk pengungkapan solidaritas yang sebenarnya memang salah. Adapula yang melakukannya sebagai semacam bentuk perlawanan terhadap orang tua atau masyarakat yang dianggap telah memusuhi dirinya. Sedangkan orang dewasa yang memanfaatkan narkoba, umumnya sebagai pelarian dari kesulitan hidup sehari-hari yang menekan dan tidak kunjung ada solusinya, terkena PHK, mempunyai hutang uang yang tidak bisa ditanggulangi atau mengalami stres dan depresi dan adapula untuk mengatasi kebosanan atau sekedar aksi karena gengsi ( takut disebut kuper, kurang pergaulan dan ketinggalan zaman (Indrawan, 2007:16)

47


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk pencegahan penyalahgunaan narkoba menurut Badan Narkotika Nasional (BNN.2007:63-66) meliputi Pencegahan Primer yang ditujukan kepada pemberian informasi dan pendidikan kepada individu, kelompok, komunitas atau masyarakat luas, yang belum nampak tanda-tanda adanya kasus penyalahgunaan narkoba, meliputi kegiatan alternatif untuk menghidarkan individu, kelompok atau komunitas dari penyalahgunaan narkoba serta memperkuat kemampuannya untuk menolak narkoba. Pencegahan sekunder yang ditujukan kepada individu, kelompok, komunitas atau masyarakat luas yang rentan terhadap atau telah menunjukkan adanya gejala kasus penyalahgunaan narkoba, melalui pendidikan dan konseling kepada mereka yang sudah mencoba-coba menggunakan narkoba agar mereka menghentikan dan mengikuti perilaku yang lebih baik. Serta pencegahan

tertier, pencegahan yang ditujukan kepada mereka yang sudah menjadi pengguna biasa (habitual) atau yang telah menderita ketergantungan, melalui pelayanan perawatan dan pemulihan dan pelayanan untuk menjaga agar tidak kambuh. Menurut peneliti ada beberapa cara untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkoba yaitu lebih meningkatkan penyuluhan tentang narkoba dan ceramah agama secara kontinyu ( sebulan sekali ) dengan melibatkan tenaga kesehatan dan kepolisian sehingga narapidana yang menggunakan narkoba pada akhirnya mereka tidak mau menggunakannya lagi Untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan variabel dependen, maka dilakukan analisis bivariat dengan mengunakan uji statistik chi-square dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 8. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dan Penyalahgunaan Lembaga Permasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011

Narkoba pada Narapidana di

Penyalahgunaan Narkoba Ringan

Pengetahuan

Jumlah %

Berat

Jml

%

Jml

%

Baik

21

46.7

24

53.3

45

72.6

Kurang Baik

8

47.1

9

52.9

17

27.4

Total

29

46.8

33

53.2

62

100

Hasil analisis hubungan antara pengetahuan dengan penyalahgunaan narkoba diperoleh bahwa ada sebanyak 24 orang dari 45 orang (53.3%) narapidana yang pengetahuan baik penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Sedangkan diantara narapidana yang pengetahuannya kurang baik ada 9 orang dari 17 orang (52.9%) yang penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value = 1.000 maka dapat dikatakan tidak ada perbedaan proporsi kejadian penyalahgunaan narkoba antara narapidana yang pengetahuannya baik dengan kurang baik. Dengan kata lain dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan narapidana dengan penyalahgunaan narkoba.

48

Or 95%CI

P- Value

1.016 ( 0.332-3.107)

1.000

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Damayanti (2005:53) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan Napza pada pasien rawat jalan dan rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Jambi diketahui tidak terdapat hubungan antara pengetahuan dengan perilaku penyalahgunaan Napza (Narkoba) dan sejalan dengan penelitian yang dilakukan Utomo (2005 ) yang mengatakan bahwa pengetahuan tidak selalu sejajar dengan praktek. Pengetahuan tentang narkoba dan HIV/AIDS lebih tinggi justru mempunyai prevalensi penyalagunaan Narkoba dan perilaku berisiko yang lebih tinggi. Penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Notoatmodjo yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan bagian yang penting dalam menentukan perilaku seseorang .


Rusmimpong, Erna H, Siti A, Hubungan Pengetahuan, Teman Dan Keluarga ...

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan sebagian besar narapidana yaitu 45 orang (72.6 %) narapidana berpengetahuan baik dan 17 orang (27.4 %) narapidana mempunyai pengetahuan kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa penyalahgunaan narkoba tidak hanya dilakukan oleh narapidana yang mempunyai pengetahuan kurang baik tetapi sebahagian besar dilakukan oleh narapidana yang berpengetahuan baik. Hal ini disebabkan walaupun sebagaian besar narapidana berpendidikan rendah (58.1%) tetapi mereka sering mendengar informasi tentang narkoba baik secara langsung maupun tidak langsung dari media cetak maupun media elektronik. Dengan demikian semakin baik pengetahuan narapidana tentang narkoba tidak menjamin narapidana untuk tidak melakukan penyalahgunaan narkoba tetapi malah membuat mereka penasaran dan ingin mencoba menggunakan narkoba.

2011

Upaya yang dapat dilakukan adalah bukan dengan memberikan penyuluhan tentang narkoba, melainkan bagaimana mengubah perilaku narapidana agar tidak menggunakan narkoba kembali setelah selesai menjalankan hukumannya yaitu dengan cara mengembalikan kepercayaan diri narapidana dengan mengadakan komunikasi dan dialog dalam suasana yang demokratis serta berbagi pengalaman dengan para mantan penggunaan narkoba agar tidak kembali menggunakan narkoba dan narapidana dapat kembali bersosialisasi dengan masyarakat. Upaya lain dapat dilakukan dengan mengajak narapidana melalukan berbagai kegiatan seperti olah raga, musik, kerajinan tangan dan lain sebagainya yang dapat menumbuhkan minat dan bakat sehingga narapidana memiliki keterampilan yang dapat digunakan setelah selesai menjalani hukuman.

Tabel 9. Distribusi Responden Menurut Keluarga Terhadap Penyalahgunaan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Penyalahgunaan Narkoba Keluarga

Ringan

Jumlah %

Berat

Jml

%

Jml

%

Baik

9

81.8

2

18.2

11

17.4

Kurang baik

20

39.2

31

60.8

51

82.6

Total

29

46.8

33

53.2

62

100

Hasil analisis hubungan antara keluarga dengan penyalahgunaan narkoba diperoleh bahwa ada sebanyak 2 orang dari 11 orang (18.2 %) narapidana yang keluarganya baik penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Sedangkan diantara narapidana yang keluarganya kurang baik ada 31 orang dari 51 orang (60.8 %) narapidana yang penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value = 0.025 maka dapat dikatakan ada perbedaan proporsi kejadian penyalahgunaan narkoba antara kelaurga yang baik dengan kurang baik . Dengan kata lain dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara keluarga dengan penyalahgunaan narkoba pada narapidana. Dari hasil analisis diperoleh pula

Or 95%CI

P- Value

6.975 (1.364-35.672)

0.025

nilai Odds Ratio (OR) = 6.975 artinya narapidana yang memiliki keluarga kurang baik mempunyai peluang 6.975 kali untuk melakukan penyalahgunaan narkoba katagori berat bila dibandingkan narapidana dengan keluarga yang baik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Diana (2006:47) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penyalahgunaan Napza bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kota Jambi, diketahui bahwa ada hubungan antara keluarga dengan perilaku penyalahgunaan Napza. Penelitian ini didukung oleh pendapat Soekrama (1999) yang menyatakan bahwa penyebab penyalahgunaan zat-zat yang

49


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

berbahaya adalah lingkungan yang tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis para remaja / pelajar, karena sikap kedua orangnya, diantaranya sebagai berikut : sikap orang tua yang terlalu keras, sikap orang tua yang masa bodoh terhadap anaknya dan sikap orang tua yang memanjakan anaknya secara berlebihan. Keluarga merupakan lingkungan yang terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan didalamnya anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali. Hubungan keluarga yang kurang serasi akan mengakibatkan perkembangan jiwa sang anak yang tidak serasi pula, jika dalam keluarga yang sering terjadi pertengkaran, maka akibatnya menipiskan rasa sosial dan kemanusiaan anak. Oleh karena itu keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak, keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak, sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif (Sudarsono,2004:125). Menurut Drs. Soeito (Soekrama.1999:110), kenakalan anak-anak dan remaja banyak disebabkan oleh keadaan keluarga yaitu kurangnya perhatian orang tua dalam keluarga, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannnya dengan kemewahan sehingga membiarkan anaknya berlaku keamanan itu sendiri serta ketidaklengkapan orang tua dalam keluarga, karena salah satu orang tua meninggal dunia atau karena perceraian, yang biasa disebut “broken home�. Bila dilihat dari hubungan keluarga terhadap penyalahgunaan narkoba maka diperoleh ada sebanyak 2 orang (18.2 %) narapidana yang keluarganya baik penyalahgunaan narkoba termasuk katagori

berat. Sedangkan diantara narapidana yang keluarganya kurang baik ada 31 orang (60.8%) narapidana yang penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga mempengaruhi narapidana dalam mengkomsumsi narkoba. Upaya yang dapat dilakukan untuk memfungsikan peranan keluarga pada narapidana dalam mengkomsumsi narkoba dapat dilakukan dengan cara menciptakan rumah yang sehat, serasi, harmonis, cinta, kasih sayang dan komunikasi terbuka. Mengasuh, mendidik anak yang baik.Menjadi role model yang baik serta mengikuti jaringan orang tua. Orang tua sebagai pengawas perlu mengetahui teman-teman mereka, ke mana mereka pergi, apa yang mereka lakukan. Menyusun peraturan keluarga tentang “ Keluarga Bebas Narkoba� Selain upaya diatas yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan penjelasan kepada orang tua narapidana tentang peran keluarga agar orang tua tidak terlalu keras dalam mendidik anak atau terlalu membebaskan anak dalam bergaul serta mau mendengarkan pendapat dan masalah yang dihadapi anak sehingga anak akan merasa lebih diperhatikan dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Diharapkan dengan penjelasan tersebut orang tua dapat memberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup kepada anakanak mereka sehingga dapat mencegah terjadinya perilaku yang menyimpang seperti penyalahgunaan narkoba Hasil analisis hubungan antara teman dengan penyalahgunaan narkoba dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10. Distribusi Responden berdasarkan Teman terhadap Penyalahgunaan Narkoba pada Narapidana di Lembaga Permasyarakatan Klas II B Kuala Tungkal Tahun 2011 Penyalahgunaan Narkoba Teman

50

Ringan

Berat

Jumlah Jml %

Jml

%

Jml

%

Baik

13

81.3

3

18.8

16

25.8

Kurang baik

16

34.8

30

65.2

36

74.2

Total

29

46.8

33

53.2

62

100

Or 95%CI

8.125 (2.01532.762)

P- Value

0.004


Rusmimpong, Erna H, Siti A, Hubungan Pengetahuan, Teman Dan Keluarga ...

Hasil analisis hubungan antara teman dengan penyalahgunaan narkoba diperoleh bahwa ada sebanyak 3 orang dari 16 orang (25.8%) narapidana yang temannya baik penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Sedangkan diantara narapidana yang temannya kurang baik ada 30 orang dari 36 orang (65.2%) narapidana yang penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value = 0.004 maka dapat dikatakan ada perbedaan proporsi kejadian penyalahgunaan narkoba antara narapidana yang mempunyai teman baik dengan kurang baik . Dengan kata lain dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan antara teman dengan penyalahgunaan narkoba pada narapidana. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai Odds Ratio (OR) = 8.125 artinya narapidana yang memiliki teman kurang baik mempunyai peluang 8.125 kali untuk melakukan penyalahgunaan narkoba katagori berat bila dibandingkan narapidana yang memiliki teman yang baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Green (1980) yang mengatakan bahwa perilaku anak remaja menggunakan obat/racun adalah kebanyakan dipengaruhi oleh teman terutama seorang sabahat baik Penelitian ini didukung dengan penelitian yang dilakukan Yayasan Citra Anak Bangsa (YCAB) yang mengatakan bahwa faktor resiko yang membuat seseorang pada akhirnya menggunakan narkoba salah satunya yaitu faktor pertemanan. Pertemanan menjadi faktor risiko untuk menggunakan narkoba apabila seseorang memiliki teman-teman yang merokok, suka mabuk minuman keras, mengkonsumsi obat terlarang, jarang olahraga, tidak pernah memikirkan prestasi sekolah dan menghabiskan 4-5 hari dalam 1 minggu untuk berkumpul bersama teman-temannya. Teman adalah sahabat, kawan atau orang yang bersama-sama berkerja, berbuat, berjalan, lawan bercakap-cakap sesuatu yang jadi pelengkap . Teman itu berarti seseorang diluar diri kita yang mengenal kita dan berkenan berbicara dengan kita. Dia bisa siapa saja, bisa orang tua kita, bisa tetangga, bisa rekan kantor atau saudara kita sendiri ( Kharisma.2007) Pada masa remaja, teman menduduki peran utama pada kehidupan mereka, bahkan menggantikan peran keluarga/orang tua dalam sosialisasi dan aktivitas waktu luang dengan hubungan yang bervariasi dan membuat norma dan sistem nilai yang berbeda (Saputra,2007).

2011

Bila dilihat dari hubungan teman terhadap penyalahgunaan narkoba maka diperoleh ada sebanyak 3 orang ( 18.8 %) narapidana yang temannya baik penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Sedangkan diantara narapidana yang temannya kurang baik ada 30 orang ( 65.2 %) narapidana yang penyalahgunaan narkoba termasuk katagori berat. Asumsi penulis menyatakan bahwa lingkungan dari pergaulan dengan teman besar pengaruhnya terhadap penyalahgunaan narkoba karena berdasarkan hasil penelitian bahwa 67.7% narapidana memperoleh narkoba dari teman-temanya sehingga faktor teman hendaknya harus diwaspadai bagi setiap orang terutama remaja karena teman bisa membuat seseorang untuk berperilaku kurang baik atau negatif juga berperilaku baik atau positif. Upaya yang dapat dilakukan kepada narapidana untuk menghadapi kontak dengan teman-temannya adalah menghindari kelompok temanmu yang (kamu tahu) merupakan pengguna narkoba. Kemudian memilih temanteman yang bijak dan bersih dari narkoba. Melakukan latihan daya tangkal ( berkata �TIDAK�) pada setiap ajakan teman yang kurang baik. Tidak sekali-kali menerima ajakan teman/siapapun untuk mencoba menggunakan narkoba walaupun secara gratis. Selain itu dapat pula dilakukan dengan melakukan latihan mengubah pola pikir dan perilaku, mengenal gejala dini, konseling dan merujuk kasus.

KESIMPULAN DAN SARAN Dari uraian hasil penelitian diperoleh dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa dari 62 narapidana yang diteliti, narapidana yang penyalahgunaan narkoba katagori ringan sebanyak 46.8% sedangkan naparidana yang penyalahgunaan narkoba katagori berat sebanyak 53.2%. Kemudian dari 62 narapidana yang diteliti, narapidana yang pengetahuannya baik tentang narkoba sebanyak 72.6% sedangkan yang kurang baik sebanyak 27.4%, sebanyak 25.8% narapidana mempunyai teman yang baik sedangkan 74.2% narapidana mempunyai teman yang kurang baik dan sebanyak 17,7% narapidana mempunyai

51


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

keluarga yang baik sedangkan 82.3% napidana mempunyai keluarga yang kurang baik. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan penyalahgunaan narkoba, dimana nilai p-value = 1.00. Ada hubungan yang bermakna antara teman dengan penyalahgunaan narkoba, dimana nilai pvaluenya = 0.004 serta ada hubungan yang bermakna antara keluarga dengan penyalahgunaan narkoba, dimana p-valuenya = 0.025 Dari pembahasan dan hasil penelitian ini, ada beberapa hal dapat dilakukan sebagai bahan pertimbangan didalam menanggani masalah penyalahgunaan narkoba terhadap narapidana antara lain bagi Dinas Kesehatan Tanjung Jabung Barat agar lebih meningkatkan program penyuluhan tentang narkoba secara berkala dan berkesinambungan kepada masyarakat terutama anak sekolah (SD,SLTP/SLTA). Bagi Lembaga Permasyarakatan agar dapat mengembalikan kepercayaan narapidana dengan mengadakan komunikasi dan dialog dalam suasana demokratis serta berbagi pengalaman dengan para mantan pengguna narkoba sehingga narapidana dapat berinteraksi kembali dengan masyarakat. Menggali bakat narapidana untuk melakukan bermacam kegiatan seperti membuat kerajinan tangan, musik, melukis dan sebagainya yang dapat menumbuhkan bakat dan minat sehingga dapat dipergunakan bila narapidana telah selesai melaksanakan hukumannya. Mengadakan kerjasama dengan pihak kepolisian dan Dinas Kesehatan untuk memberikan penyuluhan tentang narkoba kepada narapidana secara berkala ( sebulan sekali ) sehingga bila telah selesai melaksanakan hukumannya tidak menggulanginnya lagi. Memberikan penjelasan kepada orang tua narapidana tentang peran keluarga agar orang tua tidak terlalu keras mendidik anak atau terlalu membebaskan anak dalam bergaul serta mau mendengarkan pendapat dan masalah yang dihadapi anak sehingga anak akan merasa lebih diperhatikan dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya.

52

DAFTAR PUSTAKA Arie,Damayanti,2005. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Perilaku Penyalagunaan NAPZA pada pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap di Rumah sakit Jiwa Jambi , Skripsi.FKM.STIKES Arikunto, Suharsimi 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : PT.Rineka Cipta. Amriel, Indragiri. 2008. Psikologi Kaum Muda Pengguna Narkoba. Jakarta: Salemba Humanika. BNN, 2005. Narkoba Musuh Bangsa Bangsa. Jakarta : Mitra Bintibmas ____, 2007, Narkoba Musuh Bersama, Jakarta Blogfam, 2006. Bahaya Narkoba Pada Remaja / http: // bz. blogfam. Com / 2006 /07. Dahlan, Djaward, 2005, Kiat Menghindari Narkoba, CV Sagung Seto, Jakarta Depkes, 1997, Pedoman Nasional Penanggulangan Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya. Diana, Wahyu, 2006, Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan Perilaku Penyalagunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA) bagi Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kota Jambi , Skripsi.FKM.STIKES. Green, Lawrence,1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approuch. The Johns Hopkins University : Mayfield Publishing Company. Indrawan,2007. Kiat Ampuh Menangkal Narkoba. Bandung : Pionir jaya Kharisma, 2007, Tanpa Narkoba Hidup Aman, http://www.bnn.go.id Notoatmojo, Soekidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Soekrama, dkk, 1999. Pencegahan Terhadap Narkoba ( narkotika dan Obat-obatan terlarang). Jakarta :Yayasan Purna Bhakti Negara. Sudarsono,2004. Kenakalan Remaja. Jakarta : Rineka Cipta Sofyan, Ahmadi, 2007. Narkoba Mengincar Anak Anda. Jakarta : Prestasi Pustaka. _____________. 2007. Gaul Tanpa Narkoba Jakarta : Prestasi Pustaka. Saputra, Adi.2007. Peran Generasi Muda Dalam Penanggulanggan Bahaya Narkoba. Http: // www. Utomo, Budi, 2005, Survey Nasional Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Rumah Tangga di Indonesia, http://www.bnn.go.id


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI DAERAH ENDEMIS KELURAHAN SIMPANG III SIPIN KECAMATAN KOTA BARU KOTA JAMBI TAHUN 2010

Ahmad Dahlan, Erris Siregar Dosen Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Angka penderita DBD dari tahun 2005-2009 penderita DBD dari 8 Kecamatan yang ada di Kota Jambi tertinggi berada di Kecamatan Kota Baru, pada tahun 2008 sebanyak 45 kasus dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 59 kasus berarti terjadi peningkatan kasus sebanyak 14 kasus demam berdarah dengue yang dilaporkan oleh pelayanan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi tahun 2010. Jenis penelitian ini adalah observasi dengan menggunakan metode survei dan wawancara dengan pendekatan cross sectional study. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 100 ibu rumah tangga. Teknik pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengamatan secara langsung pada kontainer. Hasil penelitian di uji secara statistik dengan uji chi square pada tingkat kepercayaan 95% menggunakan program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer (p=0,041), kebiasaan menggantung pakaian (p=0,011), ketersediaan tutup pada kontainer (p=0,019), frekuensi pengurasan kontainer (p=0,017), pengetahuan responden tentang DBD (p=0,037) dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010. Saran kepada masyarakat bahwa aktif dalam kegiatan 3M plus harus lebih diintensifkan secara mandiri agar dapat mengurangi keberadaan jentik, masyarakat juga harus merubah kebiasaan menggantung pakaian dengan maksud untuk menekan penularan penyakit DBD.

Kata Kunci: Kejadian DBD, Faktor lingkungan,Pengetahuan, Ibu rumah tangga.

PENDAHULUAN Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien serta semakin luas penyebarannya. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara–negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15 tahun. Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue

biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga terjadi peningkatan aktifitas vektor dengue pada musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit DBD pada manusia melalui vektor Aedes. Sehubungan dengan morbiditas dan mortalitasnya, DBD disebut the most mosquito transmitted disease (Djunaedi, 2006). Penyakit DBD di Indonesia pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968, dan di Jakarta dilaporkan pada tahun 1969. Pada tahun 1994 kasus DBD menyebar ke 27 provinsi di Indonesia. Sejak tahun 1968 angka kesakitan kasus DBD di Indonesia terus meningkat, tahun 1968 jumlah kasus DBD sebanyak 53 orang

53


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

(Incidence Rate (IR) 0.05/100.000 penduduk) meninggal 24 orang (42,8%). Pada tahun 1988 terjadi peningkatan kasus sebanyak 47.5732 orang (IR 27,09/100.000 penduduk) dengan kematian 1.527 orang (3,2%) (Hadinegoro dan Satari, 2002). Jumlah kasus DBD cenderung menunjukkan peningkatan baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit, dan secara sporadis selalu terjadi KLB. KLB terbesar terjadi pada tahun 1988 dengan IR 27,09/100.000 penduduk, tahun 1998 dengan IR 35,19/100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 2 %, pada tahun 1999 IR menurun sebesar 10,17/100.000 penduduk (tahun 2002), 23,87/100.000 penduduk (tahun 2003) (Kusriastusi, 2005). Demam berdarah dengue termasuk salah satu penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, maka sesuai dengan Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular serta peraturan menteri kesehatan No. 560 Tahun 1989, setiap penderita termasuk tersangka DBD harus segera dilaporkan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam oleh unit pelayanan kesehatan. Tabel 1. Distribusi Penderita DBD Menurut Kecamatan Tahun 2005 s.d 2009 Tahun Kecama tan

2005

2006

2007

2008

2009

P/M

P/M

P/M

P/M

P/M

38/2

35/1

35/1

33/1

12/0

45/2

27/1

26/0

28/1

18/2

52/2

43/4

47/1

44/0

31/1

0/0

2/0

1/0

0/0

0/0

5/1

0/0

3/0

0/0

2/0

20/0

8/1

3/0

4/0

4/0

Jelutung

17/1

10/1

24/0

15/1

28/0

Kota Baru

73/2

65/2

59/0

45/1

59/1

Jumlah 240/10 190/10 198/2

169/4

154/4

Telanai Pura Jambi Timur Jambi Selatan Danau Teluk Pelaya ngan Pasar Jambi

Sumber : P2M Dinkes Kota Jambi Tahun 2010 Ket : P = Penderita M = Meninggal

54

Data pada tabel 1 dapat dilihat bahwa angka penderita DBD dari tahun 2005-2009 penderita DBD dari 8 Kecamatan yang ada di Kota Jambi tertinggi berada di Kecamatan Kota Baru, pada tahun 2008 sebanyak 45 kasus dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 59 kasus berarti terjadi peningkatan kasus sebanyak 14 kasus demam berdarah dengue yang dilaporkan oleh pelayanan kesehatan (Puskesmas). Penyakit DBD dapat berjangkit dimana saja, baik di rumah maupun tempat-tempat umum seperti sekolah, tempat ibadah, hotel, rumah sakit/puskesmas, kantor, pabrik dan tempat – tempat lain (Depkes RI, 1990 : 4). Nyamuk Aedes aegypti termasuk nyamuk yang memperhatikan kebersihan lingkungan, tidak sembarang meletakkan telurnya di air kotor seperti halnya nyamuk biasa. Mereka lebih suka meletakkan telurnya di tempat penampungan air atau air yang menggenang tidak berhubungan langsung dengan tanah. Berdasarkan laporan tahun 2009 Subdin P2M dinas Kesehatan Kota Jambi bahwa pada tahun 2009, angka bebas jentik (ABJ) di Kota Jambi 93,90%, hal ini menunjukkan bahwa angka bebas jentik Kota Jambi masih jauh dari target yang ingin dicapai yakni sebesar >95%. Keberadaan jentik di suatu wilayah dapat diketahui dengan indikator angka bebas jentik (ABJ). Angka bebas jentik merupakan prosentase rumah /tempat-tempat umum yang tidak ditemukan jentik (Depkes RI, 1992 : 16). Di Puskesmas Rawasari angka bebas jentiknya sebesar 90,55% dengan jumlah rumah yang ditemukan positif jentik sebanyak 453 rumah yang merupakan terbanyak diantara 20 Puskesmas. Sebelum menetapkan angka bebas jentik (ABJ) terlebih dahulu perlu dilakukan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang bertujuan untuk mengetahui adanya jentik nyamuk Aedes aegypti di rumah dan tempattempat umum secara teratur yang dilakukan oleh petugas pemantau jentik (PPJ) sekurangkurangnya tiap sebulan sekali untuk mengetahui keadaan populasi jentik nyamuk Aedes aegypti, baru kemudian hasil rekapan dari pemeriksaan jentik berkala yang dilakukan setiap bulan dapat direkapitulasi menjadi angka bebas jentik (ABJ). Berdasarkan informasi awal kondisi di wilayah Puskesmas Rawasari melalui wawancara dengan petugas penanggung jawab kegiatan pemeriksaan jentik berkala pada bulan


Ahmad Dahlan, Erris Siregar, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan ‌

Mei 2010 diketahui bahwa kegiatan pemeriksaan jentik berkala (PJB) sudah dilaksanakan tetapi hasilnya belum optimal serta didapatkan bahwa ABJ di wilayah kerja Puskesmas Rawasari pada tahun 2009 belum mencapai 95% yaitu 94,1% dan kasus DBD di sana masih cukup tinggi di Kota Jambi yaitu dengan 31 kasus dan meninggal 1 orang yang mana hal ini dimungkinkan karena adanya rumah yang masih memiliki jentik. Untuk rata-rata ABJ Puskesmas Rawasari pada tahun 2009, triwulan I sebesar 94,2%, triwulan II menurun menjadi 93,2%, triwulan III menjadi 94,5% dan pada triwulan IV sebesar 94,1%. Hal ini menunjukkan hasil yang masih jauh dari target yakni 95%. Berdasarkan data dari Wilayah kerja Puskesmas maka terlihat dari keempat kelurahan tersebut masih tergambarnya beberapa faktor lingkungan yang ada di Kelurahan Simpang III Sipin Kota Baru Kota Jambi peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai beberapa faktor lain yang berhubungan dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin yang meliputi keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer, kebiasaan menggantung pakaian, ketersediaan tutup pada kontainer, frekuensi pengurasan kontainer dan pengetahuan responden tentang DBD, sehingga dapat membantu dalam menurunkan jumlah kesakitan dan kematian akibat penyakit DBD serta membantu masyarakat untuk lebih memperhatikan faktor-faktor apa saja yang bisa menjadi penyebab penularan penyakit DBD.

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian yang dilakukan adalah observasional dengan menggunakan metode survei dan wawancara dengan pendekatan cross sectional study, yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit pada individu-individu dari populasi tunggal pada satu saat atau periode (Murti, 1997). Subjek dalam penelitian ini adalah Ibu rumah tangga yang memenuhi kriteria yaitu Ibu rumah tangga yang bertempat tinggal dan tercatat sebagai penduduk di wilayah Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru, dapat berkomunikasi dengan baik serta bersedia

2011

menjadi responden. Adapun lokasi penelitian di wilayah Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Jambi September 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah ibu rumah tangga yang sesuai dengan kriteria inklusi dengan jumlah sebanyak 4.331 orang dengan sampel sebanyak 100 ibu rumah tangga. Teknik Pengambilan Sampel pada penelitian ini menggunakan Simple Random Sampling, yaitu metode pengambilan sampel secara acak sederhana dimana setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama besar untuk terpilih sebagai sampel (Sugiarto, et al. 2001). Langkah-langkah pengambilan sampel yaitu dengan membuat undian sejumlah ibu rumah tangga yang ada di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi. Sebanyak 4.331 orang kemudian dari jumlah tersebut di kocok dan diambil 100 ibu rumah tangga yang kemudian dijadikan sampel pada saat penelitian. Variabel yang diteliti pada penelitian ini adalah beberapa faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi tahun 2010. Data tentang variabel yang diteliti diambil dengan melakukan wawancara kepada responden dengan menggunakan kuesioner dan melakukan observasi disetiap tempat penampungan air yang ada di setiap rumah responden. Sampel sebanyak 100 ibu rumah tangga di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi tahun 2010. Pengujian hipotesis penelitian ini menggunakan uji Chi Square. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamata Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengujian hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III disajikan pada Tabel berikut ini.

55


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Tabel 2. Distribusi Hasil Perhitungan Keberadaan jentik aedes aegypti pada Kontainer Di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamata Kota Baru tahun 2010 Keberadaan jentik aedes Frekuensi Persen (%) aegypti pada kontainer Tidak ada jentik

42

42,00

Ada jentik

58

58,00

100

100

Jumlah

Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa kejadian DBD pada responden yang pernah sakit DBD ada 66 responden, dimana 33 responden (56,9%) dengan rumah ada jentik dan 33 responden (78,6%) dengan rumah tidak ada jentik. Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p = 0,041 (p <0,05) Ho ditolak, artinya terdapat hubungan antara keberdaan jentik Aedes aegypti pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010. Hasil pengujian hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara kebiasaan menggatung pakaian dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010 disajikan pada Tabel berikut ini : Tabel 3. Distribusi Hasil Perhitungan Kebiasaan menggantung pakaian Di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamata Kota Baru tahun 2010 Kebiasaan menggantung Frekuensi Persen (%) pakaian Tidak biasa 60 60,00 menggantung Biasa 40 40,00 menggantung Jumlah

100

100

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa kejadian DBD pada responden yang pernah sakit DBD ada 66 responden, dimana 20 responden (50,0%) memiliki kebiasaan menggantung pakaian dan 20 responden (50,0%) tidak biasa menggatung pakaian. Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p = 0,011 (p <0,05) Ho ditolak, artinya terdapat hubungan antara kebiasaan menggatung pakaian dengan kejadian DBD di Kelurahan

56

Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010. Hasil pengujian hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010. disajikan pada tabel berikut. Tabel 4. Distribusi Hasil Perhitungan Ketersediaan tutup pada kontainer Di Kel Simpang III Sipin Kecamata Kota Baru Tahun 2010 Ketersediaan tutup pada Frekuensi Persen (%) Kontainer Tidak ada tututp

72

72,00

Ada tutup

28

28,00

100

100

Jumlah

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa kejadian DBD pada responden yang pernah sakit DBD ada 66 responden, dimana 36 responden (48,0%) tidak terdapat tutup pada kontainernya dan 13 responden (46,4%) terdapat tutup pada kontainernya. Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p = 0,019 (p <0,05) Ho ditolak, artinya terdapat hubungan antara ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010. Hasil pengujian hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara frekuensi pengurasan kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010. Disajikan pada Tabel berikut ini : Tabel 5. Distribusi Hasil Perhitungan Frekuensi pengurasan kontainer Di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamata Kota Baru 2010 Frekuensi pengurasan Frekuensi Persen (%) kontainer > 1 kali seminngu

59

59,00

1 - 2 kali seminggu

41

41,00

Jumlah

100

100


Ahmad Dahlan, Erris Siregar, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan …

Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa kejadian DBD pada responden yang pernah sakit DBD ada 66 responden, dimana 45 responden (76,3%) menguras kontainer > 1 kali dalam 1 minggu dan 21 responden (51,2%) menguras kontainer 1 – 2 kali dalam 1 minggu. Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p = 0,017 (p <0,05) Ho ditolak, artinya terdapat hubungan antara frekuensi pengurasan kontainer dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2010. Hasil pengujian hipotesis yang menyatakan ada hubungan antara pengetahuan responden tentang DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi tahun 2010.

Tabel 6. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Kejadian DBD Kejadian DBD Pengetahuan Tidak Responden Pernah pernah n Baik Kurang Baik Jumlah

%

n

%

Total n

P Value

%

16 50,0 16 50,0 32 100

2011

Tabel 7. Ringkasan Hasil Uji Chi Square antara faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi tahun 2010. Hubungan Kejadian DBD dan Keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer Kejadian DBD dan kebiasaan menggantung pakaian Kejadian DBD dan ketersediaan tutup pada kontainer Kejadian DBD frekuensi pengurasan kontainer Kejadian DBD pengetahuan responden tentang DBD

X

Pvalue

4,180

0,041

6,464

0,011

5,482

0,019

5,695

0,017

4,371

0,037

2

Keputusan

Ho ditolak

Ho ditolak

Ho ditolak

Ho ditolak

Ho ditolak

50 73,5 18 26,5 68 100 0,037 66 66,0 34 34,0 100 100,0

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa kejadian DBD pada responden yang pernah sakit DBD ada 66 responden, dimana 50 responden (73,5%) pengetahuannya tentang DBD kurang dan 16 responden (50,0%) pengetahuannya tentang DBD baik. Hasil uji statistik Chi Square menunjukkan bahwa p = 0,037 (p <0,05) Ho ditolak, artinya terdapat hubungan antara pengetahuan responden dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Kota Jambi tahun 2010. Hasil uji bivariat menggunakan chi square pada masing–masing variabel yaitu variabel keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer, kebiasaan menggantung pakaian, ketersediaan tutup pada kontainer, frekuensi pengurasan kontainer dan pengetahuan responden tentang DBD ditampilkan pada Tabel berikut.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan pada bab sebelumnya, peneliti mengambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer, kebiasaan menggantung pakaian, ketersediaan tutup pada kontainer, frekuensi pengurasan kontainer dan pengetahuan responden tentang DBD dengan kejadian DBD di Kelurahan Simpang III Sipin Kecamatan Kota Baru Tahun 2010. Sebaiknya pihak instansi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kota Jambi lebih mengintensifkan kegiatan pemeriksaan jentik berkala dan menggalakkan program 3M plus di lingkungan sekitar, sehingga dapat dijadikan sebagai monitoring. Bagi Masyarakat untuk lebih memperhatikan kegiatan 3M plus dan pelaksanaan PSN–DBD secara mandiri dan teratur sesuai standar agar dapat mengurangi keberadaan jentik dan masyarakat harus lebih memperhatikan perilaku kebiasaan menggantung, karena nyamuk itu menyukai

57


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

benda yang menggantung seperti pakaian. Dengan melaksanakan dan merubah kebiasaan tersebut maka penularan penyakit demam berdarah dengue dapat ditekan. Bagi Peneliti lain, diharapkan hasil penelitian ini dapat diteruskan oleh peneliti lain dengan menambah jumlah variabel dan jumlah sampel penelitian, sehingga diharapkan dapat memperkuat keputusan yang akan diambil.

DAFTAR PUSTAKA Djunaedi D. 2006. Demam Berdarah [Dengue DBD] Epidemiologi, Imunopatologi, Patogenesis, Diagnosis dan Penatalaksanaannya. Malang:UMM Press. Depkes RI. 1992. Petunjuk Teknis. Jakarta: Depkes RI Dirjen P2M dan P2L

58

Hadinegoro dan Satari. 2002. Demam Berdarah Dengue Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD. Jakarta: FK UI. Huda AH. 2004. Selayang Pandang PenyakitPenyakit Yang diTularkan Oleh Nyamuk Di Propinsi Jawa Timur Tahun 2004. Diakses : 8 Oktober2008. http://www.dinkesjatim.go.id/images/datainfo /200501031458-Selpandnyamuk.pdf. Kusriastuti R. 2005. Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue Dan Kebijaksanaan Penangulangannya Di Indonesia. Disampaikan Pada Simposium Demam Berdarah Dengue, UGM, 2 Juni 2005. Murti B. 1997. Prisip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sugiarto, Siagian D., Lasmono TS., Oetomo DS. 2001. Teknik Sampling. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

PENINGKATAN PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN PERAWAT PELAKSANA MELALUI PELATIHAN KEPERAWATAN SPIRITUAL DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MANAP KOTA JAMBI TAHUN 2011 Abbasiah Dosen Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan keperawatan spiritual terhadap pengetahuan dan keterampilan perawat di ruang rawat inap RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi. Penelitian menggunakan metode pra eksperimen dengan pretest posttest design without control group. Sampel berjumlah 35 perawat. Intervensi yang dilakukan adalah pelatihan dan bimbingan keperawatan spiritual. Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan yang signifikan (p value = 0,000) pada tingkat pengetahuan dan keterampilan perawat sesudah dilakukan pelatihan. Kesimpulan dari penelitian adalah adanya pengaruh pelatihan keperawatan spiritual terhadap pengetahuan dan keterampilan perawat. Rekomendasi penelitian adalah menerapkan keperawatan spiritual secara berkesinambungan dengan penetapan SOP, SAK, dan supervisi terhadap pelaksanaan keperawatan spiritual. Kata kunci : Keterampilan, Pelatihan Keperawatan Spiritual, Pengetahuan, Perawat Pelaksana

PENDAHULUAN Pemenuhan kebutuhan spiritualitas merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Kebutuhan spiritualitas telah terbukti dapat memberikan kekuatan pada pasien pada saat menghadapi penyakitnya. Pasien yang dalam keadaan sakit tentu membutuhkan penguatan dan pendampingan spiritual selama di rawat. Untuk itu dibutuhkan peran aktif perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien selama berada di rumah sakit. Namun pada kenyataannya kebutuhan pasien akan spiritual jarang sekali terpenuhi oleh perawat selama pasien dirawat di rumah sakit. Keadaan ini tentu akan mengurangi kepuasan pasien, karena salah satu dari kebutuhannya tidak terpenuhi. Perawat merupakan tenaga kesehatan yang berperan dalam memenuhi kebutuhan spiritualitas pasien selama di rawat di rumah sakit. Perawat yang paling mengetahui keadaan kesehatan dan kebutuhan pasien, karena perawat berada selama 24 jam mendampingi pasien setiap hari. Oleh karena itu perawat membutuhkan keterampilan dalam perawatan spiritual. Setiap perawat harus memahami tentang spiritual dan bagaimana keyakinan spiritual mempengaruhi kehidupan setiap orang. Spiritualitas memberi dimensi luas pada

pandangan holistik kemanusiaan (Potter & Perry, 2005, P; 279). Kesejahteraan spiritual merupakan suatu aspek yang terintegrasi dari manusia secara keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan (Clark et al, 1991, dalam Potter dan Perry, 2005). Pelatihan yang terkait dengan keperawatan spiritual belum pernah didapatkan oleh perawat. Masalah spiritual pasien ditangani langsung oleh rohaniawan apabila diperlukan. Saat ini rumah sakit sangat membutuhkan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan keterampilan asuhan keperawatan. Hasil pelatihan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perawat dan meningkatkan citra profesi keperawatan dan selanjutnya meningkatkan mutu layanan keperawatan di rumah sakit.

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini menggunakan metode penelitian pra exsperiment dengan rancangan one group pretest posttest without control. Penelitian ini dilakukan terhadap 35 perawat di instalasi rawat inap. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan soal tes dan lembar observasi. Soal tes digunakan dalam penelitian

59


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

ini untuk mengetahui pengetahuan keperawatan spiritual perawat, dan lembar observasi digunakan untuk mengetahui keterampilan keperawatan spiritual perawat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menjawab seluruh tujuan dalam penelitian. Hasil penelitian ini meliputi pengetahuan dan keterampilan perawat tentang keperawatan spiritual, serta karakteristik perawat pelaksana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada peningkatan yang signifikan pada tingkat pengetahuan perawat pelaksana sesudah mendapat pelatihan keperawatan spiritual (p = 0,000, Îą = 0,05). Peningkatan dikatakan optimal karena terjadi peningkatan dari rata-rata 12,94 (kuartil dua) menjadi 16,89 (kuartil empat). Peningkatan yang signifikan juga didapati pada tingkat keterampilan perawat pelaksana sesudah mendapat pelatihan keperawatan spiritual (p = 0,000, Îą = 0,05). Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat keterampilan tentang keperawatan spiritual pada perawat pelaksana sesudah mendapatkan pelatihan keperawatan spiritual meningkat secara optimal. Peningkatan dikatakan optimal dikarenakan peningkatan terjadi dari rata-rata 35,89 yang berada pada kuartil dua menjadi 46,94 yang berada pada kuartil empat. Karakteristik perawat meliputi umur, lama kerja, jenis kelamin, dan status perkawinan tidak menunjukkan hubungan yang bermakna dengan variabel pengetahuan dan keterampilan perawat sesudah diberikan pelatihan keperawatn spiritual. Pengetahuan perawat tentang keperawatan spiritual sebelum mendapat pelatihan keperawatan spiritual secara keseluruhan belum optimal. Ketidakoptimalan pengetahuan perawat pelaksana tentang keperawatan spiritual dikarenakan masih rendahnya pemahaman dan perhatian perawat pelaksana tentang keperawatan spiritual, dan tidak adanya pelatihan asuhan keperawatan spiritual yang didapatkan perawat pelaksana (rerata nilai pre test 12,94). Rendahnya pemahaman perawat tentang keperawatan spiritual juga disebabkan kurangnya pengajaran tentang konsep keperawatan spiritual pada saat perawat masih menjalani masa pendidikan, hal ini dapat ditunjukkan dengan kurikulum yang

60

dilaksanakan salah satu institusi pendidikan, keperawatan spiritual merupakan bagian dari mata kuliah Keperawatan Dasar Manusia, dan mendapatkan alokasi waktu 2 x 50 menit (satu kali pertemuan), belum adanya pelatihan tentang keperawatan spiritual yang bisa diikuti perawat. Hal ini didukung oleh penelitian yang menyatakan bahwa perawat banyak mengalami hambatan dan kendala dalam melakukan asuhan keperawatan spiritual, sehingga menyebabkan kebutuhan spiritual pasien tidak terpenuhi (Vance, 2001; Hoffer & Hensaw, 2007;, Chism & Magnan, 2008). Kurangnya pengajaran tentang konsep keperawatan spiritual di institusi pendidikan, tidak adanya panduan asuhan keperawatan spiritual, dan kurangnya literatur (MLanzh, 2007), kurangnya pendidikan dan pelatihan tentang pemenuhan kebutuhan spiritual pasien (Vance, 2001) merupakan fenomena yang banyak terjadi di layanan keperawatan. Pengetahuan perawat pelaksana tentang keperawatan spiritual mengalami peningkatan sesudah dilakukan pelatihan. Peningkatan pengetahuan perawat pelaksana dikarenakan adanya dukungan pemahaman perawat pelaksana terhadap konsep keperawatan spiritual. Peningkatan pengetahuan ini dimungkinkan dapat meningkatkan perhatian dan penerapan keperawatan spiritual perawat pelaksana kepada pasien. Menurut Rivai (2004), Rosidah dan Sulistiyani (2009), dan Siagian (2009) pelatihan adalah proses sistematis mengubah tingkah laku dan pengetahuan perawat untuk mencapai tujuan organisasi, dan membantu perawat untuk mencapai keahlian dan kemampuan tertentu agar berhasil melaksanakan pekerjaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan perawat tentang keperawatan spiritual sebelum mendapat pelatihan keperawatan spiritual secara keseluruhan belum optimal. Belum optimalnya keterampilan keperawatan spiritual dikarenakan kurangnya penerapan keperawatan spiritual oleh perawat dan belum adanya panduan yang bisa dijadikan acuan untuk pengkajian keperawatan spiritual pada pasien. MLanzh (2007) mengemukakankan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya keterampilan perawat dalam penerapan keperawatan spiritual adalah kurangnya literatur atau buku-buku mengenai keperawatan spiritual.


Abbasiah, Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan‌

Keterampilan perawat pelaksana tentang keperawatan spiritual mengalami peningkatan sesudah dilakukan pelatihan. Peningkatan keterampilan keperawatan spiritual perawat dikarenakan meningkatnya pemahaman perawat tentang konsep dasar keperawatan spiritual dan adanya panduan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengkajian keperawatan spiritual. Pemilihan metode belajar role playing juga dimungkinkan memudahkan perawat pelaksana dalam menerapkan pengkajian dan pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien. Menurut Bernadin dan Russell (dalam Rosidah & Sulistiyani, 2009) dan Siagian (2009) bahwa metode role playing selain tepat digunakan untuk peningkatan keterampilan, juga untuk menumbuhkan sikap empati dan meningkatkan interaksi positif dengan orang lain. Materi pelatihan yang terarah dan terfokus hanya pada keperawatan spiritual juga turut menunjang terjadinya peningkatan keterampilan pada perawat pelaksana. Materi penelitian yang banyak dan kurang terarah akan menyebabkan kurang optimalnya keterampilan pada peserta pelatihan. Hal ini didukung hasil penelitian Zazri (2004) yang menunjukkan bahwa hasil pelatihan tidak terdapat hubungan antara pelatihan klinis dengan keterampilan mengisi partograph, hal ini dimungkinkan karena materi pelatihan yang terlalu banyak sehingga proporsi materi utama menjadi berkurang. Peningkatan keterampilan perawat tentang keperawatan spiritual harus dijaga dan dikembangkan secara terus menerus. Oleh karena itu rumah sakit harus memikirkan pengembangan sumber daya keperawatan melalui perencanaan pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan, agar keterampilan perawat selalu mengalami peningkatan, selain itu adanya SOP dan SAK untuk keperawatan spiritual akan menjadi pedoman bagi perawat dalam menerapkan keperawatan spiritual sehingga keperawatan spiritual dapat diterapkan secara berkesinambungan. Sejalan dengan pendapat Rosidah dan Sulistiyani (2009) yang mengemukakan pelatihan penting dilakukan karena merupakan cara yang digunakan organisasi untuk mempertahankan, menjaga, memelihara, dan sekaligus meningkatkan keahlian para pegawai untuk selanjutnya dapat meningkatkan prodiktivitasnya. Hal ini didukung pendapat Siagian (2009) yang mengemukakan bahwa

2011

efek pelatihan bermanfaat bagi individu dan organisasi. Kurangnya pengalaman dalam melaksanakan keperawatan spiritual juga mengakibatkan belum optimalnya keterampilan keperawatan spiritual pada perawat. Hal ini sesuai dengan pendapat Rubbenfeld dan Scheffer (2007) bahwa pengetahuan dan pengalaman merupakan hal yang mendasari perawat dalam melakukan tindakan kepada pasien. Oleh karena itu disarankan kepada manajer keperawatan untuk memasukkan pelatihan keperawatan spiritual dalam program perencanaan pendidikan dan pelatihan, agar keterampilan perawat pelaksana selalu meningkat. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan pengetahuan (p = 0,066) perawat. Umur perawat tidak berhubungan dengan pengetahuan dikarenakan semua perawat pelaksana berada pada rentang usia produktif yaitu 22 – 35 tahun. Pernyataan ini didukung oleh Wursanto (2003, dalam Sari, 2009) pegawai mempunyai produktivitas tinggi antara umur 20-45 tahun. Levinston (1994, dalam Susana, 2003) menyatakan usia antara 22-30 tahun merupakan tahap usia memasuki dewasa, pada umumnya pada masa ini seseorang memulai komitmen untuk masa depan dan merupakan fase pekerjaan yang ditunjukkan dengan pencarian identitas dan pencapaian tujuan karir yang memuaskan. Berbeda dengan pendapat Robbins (2002) yang menyatakan bahwa faktor umur dapat mempengaruhi produktifitas, dan Riani (2011) yang mengemukakan bahwa pengetahuan dan keterampilan akan menurun dengan bertambahnya usia seseorang maka akan semakin menurun kecepatan, kecekatan, dan kekuatan, serta meningkatnya kejenuhan dan kurangnya rangsangan intelektual. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan pengetahuan perawat. Tidak adanya hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan pengetahuan dikarenakan pengetahuan tentang keperawatan spiritual merupakan pengetahuan yang dianggap baru yang samasama perawat pelaksana dapatkan, sehingga tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan perawat pelaksana dengan lama kerja yang perawat miliki. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa keperawatan spiritual tidak menjadi perhatian perawat, dengan kata lain

61


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

bahwa pemenuhan kebutuhan spiritual pasien belum terpenuhi selama dirawat di rumah sakit. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan dari pihak manajer keperawatan untuk menetapkan keperawatan spiritual sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki perawat dengan memasukkan keperawatan spiritual dalam rencana supervisi dan audit keperawatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin perawat dengan pengetahuan. Tidak adanya hubungan antara jenis kelamin perawat laki-laki dan perempuan dikarenakan tidak adanya perbedaan pada pekerjaan yang dilakukan perawat selama bertugas di ruang rawat inap. Perawat pelaksana bekerja sesuai dengan uraian kegiatan yang telah ditetapkan dan berlaku untuk semua perawat dengan tidak memandang jenis kelamin. Berdasarkan hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan pengetahuan (p= 0,946) dan keterampilan (p= 0,987). Hal ini didukung oleh Riani (2011) yang mengemukakan bahwa status perkawinan tidak mempunyai efek secara langsung terhadap produktivitas perawat, namun karyawan yang menikah lebih sedikit absensinya, pergantian yang lebih rendah, dan lebih puas terhadap pekerjaannya. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dengan pengetahuan. Hal ini dikarenakan semua perawat pelaksana berada pada rentang usia produktif. Pernyataan ini didukung oleh Wursanto (2003, dalam Sari, 2009) pegawai mempunyai produktivitas tinggi antara umur 2045 tahun. Levinston (1994, dalam Susana, 2003) menyatakan usia antara 22-30 tahun merupakan tahap usia memasuki dewasa, pada umumnya pada masa ini seseorang memulai komitmen untuk masa depan dan merupakan fase pekerjaan yang ditunjukkan dengan pencarian identitas dan pencapaian tujuan karir yang memuaskan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara lama kerja dengan pengetahuan keperawatan spiritual perawat. Tidak adanya hubungan dimungkinkan karena keperawatan spiritual belum menjadi perhatian perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa keperawatan spiritual belum menjadi perhatian perawat dalam memenuhi kebutuhan spiritual

62

pasien, karena apabila keperawatan spiritual telah dilaksanakan dengan baik tentu akan terjadi perbedaan tingkat keterampilan antara perawat yang baru dengan perawat yang telah lama bekerja. Oleh karena itu perlu adanya pedoman bagi perawat untuk menerapkan keperawatan spiritual seperti adanya SOP, dan SAK, dan diikuti dengan rencana supervisi dan audit keperawatan sehingga penerapan keperawatan spiritual dapat berjalan secara terus menerus. Berdasarkan hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan keterampilan (p = 0,611). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Burdayat (2009), Rohman (2009), dan Sari (2009) bahwa jenis kelamin perawat pelaksana tidak berhubungan secara bermakna dengan kinerja. Robbins (2002) mengemukakan bahwa jenis kelamin laki-laki dan perempuan jika dihubungkan dengan produktivitas kerja tidak memiliki perbedaan yang signifikan, namun perbedaan cenderung terjadi pada faktor psikologis perempuan yang berbeda dalam mematuhi otoritas, dan laki-laki cenderung lebih agresif dalam mencapai kesuksesan dibandingkan perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar status perkawinan perawat pelaksana di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi adalah kawin (62,9%). Berdasarkan hasil analisis lanjutan menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status perkawinan dengan pengetahuan (p= 0,946) dan keterampilan (p= 0,987). Hal ini didukung oleh Riani (2011) yang mengemukakan bahwa status perkawinan tidak mempunyai efek secara langsung terhadap produktivitas perawat, namun karyawan yang menikah lebih sedikit absensinya, pergantian yang lebih rendah, dan lebih puas terhadap pekerjaannya. Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu dimulai dengan memberikan pelatihan keperawatan spiritual kepada kepala ruangan. Pelatihan pada kepala ruangan diperlukan karena kepala ruangan dilibatkan sebagai tenaga observer pada penelitian keperawatan spiritual ini. Hal ini memungkinkan kepala ruangan memberikan informasi tentang keperawatan spiritual sebelum pre test tentang pengetahuan dan keterampilan kepada perawat pelaksana. Waktu pelatihan yang diberikan pada perawat pelaksana terbagi menjadi 4 hari, dengan 4 kelompok perawat yang berasal dari


Abbasiah, Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan…

tiga ruangan rawat inap, memungkinkan terjadinya pemaparan informasi dari perawat yang telah dilatih kepada perawat yang belum dilatih. Namun bias eksternal tersebut telah diminimalisir peneliti dengan memberikan pemahaman akan tujuan penelitian kepada kepala ruangan dan perawat pelaksana yang telah dilatih terlebih dahulu untuk tidak memberikan informasi apapun sehubungan dengan intervensi yang telah diberikan kepada perawat pelaksana yang belum mendapatkan pelatihan tentang keperawatan spiritual. Pada sesi akhir pelatihan, perawat diberikan materi tentang pemenuhan kebutuhan spiritual pasien. Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien khususnya untuk intervensi pendampingan dan membantu pasien berdo’a/ mendo’akan pasien, direncanakan akan disesuaikan dengan agama yang dianut oleh perawat, dalam hal ini secara Islam dan Kristen. Akan tetapi karena peserta pelatihan berdasarkan jadual shift jaga perawat, sehingga untuk perawat yang beragama Kristen menjadi terbagi ke beberapa kelompok, dan tidak memungkinkan untuk dilatih secara khusus, selain itu RSUD H. Abdul Manap belum memiliki rohaniawan dari agama lain tersebut. Untuk itu diharapkan adanya pelatihan lanjutan tentang keperawatan spiritual untuk berbagai agama atau keyakinan agar pemenuhan kebutuhan spiritual dapat diterapkan pada berbagai agama/keyakinan pasien. Pada pihak manajemen RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi untuk mengadakan kerjasama dengan rohaniawan dari berbagai agama/keyakinan untuk membantu memberikan materi tentang pemenuhan kebutuhan spiritual sesuai dengan agama/ keyakinannya pada perawat pada rencana pelatihan berikutnya, sehingga diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan perawat tentang pemenuhan kebutuhan spiritual pasien dari berbagai agama/keyakinan. Keterbatasan penelitian lainnya adalah desian penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah pra experiment dengan rancangan one group pre test post test without control.. Peneliti menyadari keterbatasan dalam pemilihan desian penelitian karena tidak adanya kelompok control sebagai pembanding terhadap keberhasilan intervensi pada kelompok intervensi. Tidak adanya kelompok control dikarenakan tidak adanya rumah sakit dengan karakteristik yang sama dengan rumah sakit tempat penelitian dilaksanakan. Akan tetapi

2011

adanya penilaian terhadap pengetahuan dan keterampilan sebelum dilakukan intervensi dapat dijadikan dasar penilaian sejauhmana pengaruh variabel intervensi/ pelatihan keperawatan spiritual terhadap pengetahuan dan keterampilan perawat sesudah mendapatkan intervensi/ pelatihan.

UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Peneliti mengucapkan terima kasih kepada Direktur Politeknik Kesehatan Jambi, Direktur Rumah Sakit Kota Jambi, Tim Risbinakes Litbang Poltekkes Jambi, serta teman-teman dosen jurusan keperawatan Poltekkes Jambi.

DAFTAR PUSTAKA Burdayat. (2009). Hubungan Budaya Organisasi Dengan Kinerja Perawat Pelaksana di RSUD. Sumedang. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI). Tidak dipublikasikan. Chism, LA. & Magnan, MA. ( 2009). The Relationship Of Nursing Students’ Spiritual Care Perspectives To Their Expressions Of Spiritual Empathy. http://proquest.umi.com. di peroleh 17 Februari 2011. Hoffert & Henshaw. (2007). Enhanching The Ability Of Nursing Students To Perform A Spiritual Assessment. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/sites/entrez?db=pubmed &cmd=showdetailview&termto search=17496821&ordinalpos. Diperoleh 18 Februari 2011. MLanzh, C. (2007). Teaching Spiritual Care In A Public Institution: Legal Implications, Standards Of Practice, And Ethical Obligations. http://proquest.umi.com. Di peroleh 17 Februari 2011. Marquis, BL., & Huston, CJ. (2003). Leadership Roles And Management Functions In Nursing: Theory & Application. Philadelphia: Lippincot William & Wilkins Potter, PA. & Perry, AG. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik. (Y. Asih, M. Sumarwati, D. Evriyani, L.Mahmudah, Ellen.P., Kusrini, Sari,K., E. Novieastari, Penerjemah). Edisi

63


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

4. Jakarta: EGC. (Buku asli dipublikasikan 1997). Riani, AL. (2011). Budaya Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rivai. V., & Mulyadi, D. (2010). Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada Robbin, SP. (2002). Perilaku Organisasi. Jilid 2. Jakarta: PT. Indeks Kelompok Gramedia. Rohman. (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemberian Asuhan Spiritual Oleh Perawat di RS. Islam Jakarta. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI). Tidak dipublikasikan. Rosidah & Sulistiyani, AT. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia; Konsep, Teori, Dan Pengembangan Dalam Konteks Organisasi Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rubbenfeld, MG. & Scheffer, BK. (2007). Berpikir Kritis Dalam Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC Rusmiati. (2006). Hubungan Lingkungan Organisasi Dan Karakteristik Perawat Dengan Kinerja Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat Inap

64

RSUP Persahabatan. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI). Tidak dipublikasikan. Sari, M.T. (2009). Hubungan Budaya Organisasi Dan Gaya Kepemimpinan Kepala Ruangan Terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di RSD. Rd. Mattaher Jambi. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI). Tidak dipublikasikan. Siagian, SP. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Susana, A. (2003). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Budaya Kerja Perawat Pelaksana Di Rumah Sakit Immanuel Bandung. Tesis Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI). Tidak dipublikasikan. Vance, (2001). Nurses’ Attitudes Towards Spirituality And Patient Care. http://proquest.umi.com. Diperoleh Diperoleh tanggal 12 Maret 2011. Veithzal, R. (2004). Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.


Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

2011

FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERJADINYA KARIES BARU BERDASARKAN CARIOGRAM PADA SISWA SEKOLAH DASAR KELAS VI DI KECAMATAN KOTABARU JAMBI TAHUN 2010 Linda Marlia, Hendry Boy, Sukarsih Dosen Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Prevalensi karies gigi yang tinggi merupakan salah satu masalah kesehatan gigi di Indonesia. Salah satu upaya untuk mengurangi tingginya angka prevalensi karies adalah dengan deteksi awal resiko terjadinya karies dengan Cariogram. Cariogram merupakan suatu cara yang sangat membantu untuk mengekspresikan urutan besarnya faktor – faktor risiko untuk terbentuknya karies baru, dan membentuk pengertian yang lebih baik tentang kejadian karies gigi yang multi faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor risiko terjadinya karies baru berdasarkan cariogram pada siswa sekolah dasar kelas VI di Kecamatan Kotabaru Jambi. Jenis penelitian adalah penelitian Observasional dengan rancangan cross sectional. Pada penelitian ini analisis data secara statistik mengunakan analisis kai kuadrat (Chi square) dan Program Cariogram.Hasil penelitian menunjukkan urutan faktor resiko terjadinya karies baru pada siswa kelas VI sekolah dasar Kecamatan Kotabaru Jambi adalah bakteri, kerentanan, faktor lain yang berpengaruh, dan pola makan. Penyebab utama terjadinya karies baru adalah bakteri. Persentase resiko terjadinya karies baru sebagian besar yaitu antara 57% (kategori sedang). Persentase peluang menghindari karies baru sebagian besar yaitu antara 57% (kategori sedang). Prevalensi karies adalah 84% (DMF-T 2,23±2,92 dan def-t 0,59±2,2). Terdapat hubungan antara DMF-T/def-t dengan variabel pengalaman karies (p=0,000), volume sekresi saliva (p=0,010), kapasitas buffer saliva (0,005), sedangkan dengan variabel penyakit yang berhubungan dengan karies (p = 0,380), banyaknya plak (p=0,090) dan program fluor (p=0,405) tidak memiliki hubungan yang bermakna (tingkat kepercayaan 95%).

Kata kunci : faktor resiko karies, cariogram

PENDAHULUAN Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh ikut berperan dalam menentukan status kesehatan seseorang. Status kesehatan gigi dapat dilihat dari prevalensi penyakit gigi diantaranya dengan menentukan prevalensi karies gigi. Hasil survei Direktorat Kesehatan Gigi menunjukan bahwa prevalensi karies gigi di Indonesia masih tinggi, bahkan ada kecenderungan akan naik dari tahun ke tahun. Survei di DKI dan daerah Jawa Barat tahun 1994/1995, hanya sekitar 14% anak umur 5-6 tahun bebas karies. Tingkat prevalensi

karies gigi penduduk Indonesia umur 12 tahun sebesar 2,21 gigi per orang termasuk rendah menurut WHO, namun nilai tersebut sudah berada dalam batas nilai ambang maksimal. Angka 2,21 tersebut menunjukkan bahwa target yang diinginkan sebesar ≤ 3 sudah dicapai. Namun untuk target pencapaian tahun 2010 sebesar rata-rata 1 gigi pernah mengalami kerusakan, maka hal tersebut diatas menunjukan belum tercapai sesuai target yang diinginkan (Depkes RI, 1999). Karies gigi adalah penyakit yang disebabkan karena adanya bakteri dalam plak, ditandai dengan demineralisasi email, dentin

65


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

dan/atau sementum yang progresif dan terus menerus. Proses karies disebabkan oleh sejumlah faktor (multifaktorial) di dalam mulut yang berinteraksi satu sama lain. Ada tiga faktor utama penyebab terjadinya karies gigi yaitu gigi, mikroorganisme dan substrat serta satu faktor tambahan yaitu faktor waktu. Karies gigi merupakan proses patologi yang terjadi karena adanya interaksi faktor-faktor di dalam mulut antara lain struktur gigi, morfologi gigi, susunan gigi geligi, derajat keasaman (pH) saliva, kebersihan mulut serta jumlah dan frekuensi makanan kariogenik. Faktor-faktor tersebut berkaitan dan mempunyai peranan yang besar (Suwelo, 1992). Karies gigi dapat dirawat dengan melakukan penambalan gigi, tetapi keadaan ini kadang-kadang tidak terlaksana karena adanya faktor eksternal seperti; tingkat sosial, penghasilan, pendidikan, budaya dan pola makan, dan faktor internal seperti; bakteri kariogenik, saliva, karbohidrat yang dapat terfermentasi dan kandungan fluor dalam lingkungan mulut. Pembatasan komsumsi gula merupakan salah satu faktor penting untuk menurunkan prevalensi karies gigi. Upaya pencegahan karies gigi yang lainnya adalah fluoridasi yang telah ditetapkan di negara maju. Program pencegahan karies gigi dapat menggunakan Cariogram yang ditujukan pada pasien anak maupun dewasa, dan gambaran karies gigi yang didapat akan lebih teliti. Cariogram merupakan suatu cara yang sangat membantu untuk mengekspresikan urutan besarnya faktor – faktor risiko untuk terbentuknya karies baru, dan membentuk pengertian yang lebih baik tentang kejadian karies gigi yang multi faktor. Dari cariogram akan terekspresikan kemungkinan besarnya interaksi faktor – faktor yang mempunyai hubungan erat dengan kejadian karies gigi (Brathal, 1977 cit. Supartinah, 2000). Besarnya setiap faktor penyebab karies gigi mempunyai urutan yang berbeda – beda. Cariogram dapat memberikan estimasi besarnya faktor risiko terjadinya karies gigi baru, karena cariogram dapat menggambarkan persentase bebas karies, kombinasi makanan dan frekuensi diet, plak dan bakteri, fluoridasi dan saliva, dan pengalaman karies gigi dengan penyakit yang berhubungan. Masing – masing kombinasi dalam cariogram akan tergambarkan persentasenya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui Faktor-faktor risiko terjadinya karies

66

baru berdasarkan Cariogram pada siswa sekolah dasar kelas VI di Kecamatan Kotabaru Jambi.

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Observasional dengan rancangan cross sectional, populasi penelitian adalah anak Sekolah Dasar pada 10 kelurahan di Kecamatan Kotabaru Kota Jambi. Besaran sampel diambil dengan menggunakan rumus dari Lameshow, dkk (1997).

Z1-/2 P(1-P) n=

2

d

Keterangan : n

= besar sampel

Z1-/2 = koefisien keterandalan, nilai : 1,96 tingkat kepercayaan 95% P

= proporsi yang ingin diduga, dalam penelitian iniditetapkan p = 0,5 ; sehingga p(1-p) = 0,25

D

= presisi (0,1)

Dengan rumus diatas, maka besar sampel untuk menduga P dalam jarak d persen absolut dengan kepercayaan 95%, didapatkan : 96 (pada table) sehingga peneliti mengambil 100 orang siswa kelas VI. Metode pengambilan sampel stratified random sampling, Variabel penelitian pada penelitian ini adalah pengalaman karies, penyakit umum yang berhubungan dengan karies, frekuensi makan, banyaknya plak, program fluor, volume


Linda Marlia, Hendri Boy, Sukarsih, Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Karies…

sekresi saliva, kapasitas buffer saliva, penilainan klinik, DMF-T/def-t, dan prevalensi karies. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Cariogram untuk mengukur Pengalaman karies (skala rasio) dengan me lakukan pemeriksaan keadan gigi-geligi responden dengan mengumpulkan data menggunakan indeks def-t dan indeks DMF-T; Penyakit umum yang ada hubungannya dengan karies, (skala interval); Frekuensi makan, (skala rasio); Banyaknya plak, (skala rasio) dengan mengukur kebersihan mulut individu berdasarkan timbunan plak pada permukaan gigi, menggunakan metode pengukuran PHPM. Program fluor, (skala interval) untuk mengetahui pemberian atau pemakaian fluor dengan cara menanyakan langsung pada responden atau melihat data UKGS yang pernah dilakukan pada Sekolah Dasar tersebut; PH saliva (skala rasio) untuk mengetahui derajat keasaman (pH) saliva di ukur dengan menggunakan dental saliva pH indikator. Volume sekresi saliva (skala rasio) untuk mengetahui volume sekresi saliva per menit tanpa stimulus; Penilaian klinik merupakan pendapat pemeriksa berdasarkan pemeriksaan klinis responden. Pemeriksa mempunyai penilaian klinis terhadap masingmasing responden yang diperiksa. Kuesioner yang berisikan tentang frekuensi makan untuk mendapatkan data mengenai pola makan responden. Kebersihan mulut individu diukur berdasarkan plak pada permukuaan gigi. Permukaan yang diperiksa adalah bagian bukal dan labial. Pengukuran dilakukan dengan metode PHP-M (Patient Hygiene Performance-Modified) Martens dan Meskit (1992 cit. Priyono, 2001). Indeks def-t, yaitu untuk mengukur kondisi karies gigi sulung; indeks DMF-T, yaitu untuk mengukur kondisi karies gigi permanen.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian faktor-faktor resiko karies menunjukkan bahwa pengalaman karies sebagian besar yaitu 51% lebih buruk dari normal (≥2,1). Penyakit yang berhubungan dengan karies gigi paling banyak yaitu 95% pada kriteria tidak ada penyakit Frekuensi makan 3x sehari yaitu 100%. Banyaknya plak

2011

dengan kriteria kebersihan gigi baik yang paling banyak yaitu 38% sedangkan buruk hanya 26%. Program fluor sebagian besar didapat dari pasta gigi yaitu 98%, hanya 2% dari pemberian fluor tambahan. Volume sekresi saliva paling besar pada kriteria normal yaitu 70%. Kapasitas buffer saliva paling besar pada pH normal yaitu 79%, pH rendah hanya 1%. Penilaian klinik 100% normal. Prevalensi karies siswa kelas VI yaitu 84%. DMF-T rata-rata 2,23±2,92 dan def-t ratarata 0,59±2,2. Angka ini masih tinggi bila dibandingkan dengan target nasional tahun 2010 yaitu DMF-T ≤ 1 dan hasil penelitian Irma dkk (2000) yaitu DMF-T rata-rata siswa berusia 12 tahun di Provinsi Jambi 1,75. Hasil analisis chisquare untuk melihat hubungan faktor-faktor resiko karies dengan angka DMF-T adalah sebagai berikut Terdapat hubungan antara DMF-T/def-t dengan variabel pengalaman karies (p=0,000), volume sekresi saliva (p=0,010), kapasitas buffer saliva (0,005), sedangkan dengan variabel penyakit yang berhubungan dengan karies (p = 0,380), banyaknya plak (p=0,090) dan program fluor (p=0,405) tidak memiliki hubungan yang bermakna (tingkat kepercayaan 95%). Hasil ini juga di dukung oleh penelitian Petterson dkk (2002). Hasil analisis dengan program kariogram menunjukkan besarnya resiko terjadinya karies baru dan peluang menghindari karies. Pada tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Persentase Peluang Menghindari Karies dan Resiko Terjadinya Karies Baru Sangat Peluang Sangat Rendah Sedang Tinggi Tinggi Bebas Rendah 81Karies 0-20% 21-40% 41-60% 61-80% 100% Resiko Terjadinya Sangat Sangat Karies Tinggi Sedang Rendah Tinggi Rendah Baru Frekuensi

-

18

57

17

8

%

-

18

57

17

8

67


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

Resiko terjadinya karies baru pada siswa kelas VI paling besar pada kategori sedang yaitu 57%, sedangkan kategori tinggi hanya 18%. Sedangkan peluang menghindari karies berbanding terbalik dengan resiko terjadinya karies baru dengan paling besar kategori sedang 57% dan kategori rendah 18%. Cariogram digunakan untuk menghitung kemungkinan tidak terjadinya karies. Dari parameter yang digunakan dalam model diketahui risiko terjadinya karies yang dinyatakan dalam persen. Bila persentase terjadinya karies baru rendah berarti kemungkinan tidak terjadinya karies tinggi dan sebaliknya, bila persentase tinggi berarti kemungkinan tidak terjadinya karies sangat rendah (Hoesin, 2000).

Faktor keadaan lain 13% Faktor Kerenta nan 25%

Pola makan 12%

Peluang bebas karies 21%

Bakteri 29%

Diagram 1. Besarnya Peluang menghindari karies dan urutan faktor resiko penyebab karies (5 Sektor Cariogram)

Pada diagram 1 tampak urutan yang pertama penyebab karies adalah bakteri (29%), faktor kerentanan 25% (volume sekresi saliva, kapasitas buffer saliva). Berdasarkan penelitian bakteri merupakan penyebab utama dari terjadinya karies gigi.

68

KESIMPULAN DAN SARAN

Urutan faktor resiko terjadinya karies baru pada siswa kelas VI sekolah dasar Kecamatan Kotabaru Jambi adalah bakteri, kerentanan, faktor lain yang berpengaruh, dan pola makan. Penyebab utama terjadinya karies baru adalah bakteri. Persentase resiko terjadinya karies baru sebagian besar yaitu antara 57% (kategori sedang). Persentase peluang menghindari karies baru sebagian besar yaitu antara 57% (kategori sedang). Prevalensi karies adalah 84% (DMF-T 2,23Âą2,92 dan def-t 0,59Âą2,2). Terdapat hubungan antara DMF-T/def-t dengan variabel pengalaman karies (p=0,000), volume sekresi saliva (p=0,010), kapasitas buffer saliva (0,005), sedangkan dengan variabel penyakit yang berhubungan dengan karies (p = 0,380), banyaknya plak (p=0,090) dan program fluor (p=0,405) tidak memiliki hubungan yang bermakna (tingkat kepercayaan 95%). Berdasarkan hasil penelitian ini, maka kami neyarankan bagi Siswa Kelas VI Sekolah Dasar diharapkan dapat lebih meningkatkan kesehatan gigi dan mulut dengan menerapkan kebiasaan dan kedisiplinan dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Bagi Sekolah Dasar diharapkan dukungan sekolah dalam upaya kesehatan gigi dan mulut dengan menyediakan sarana dan prasarana untuk program UKGS atau pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut. Bagi Poltekkes Kemenkes Jambi sebagai institusi pendidik tenaga kesehatan yang berada di wilayah kecamatan kotabaru Jambi, mempunyai tanggung jawab untuk membina dan meningkatkan derajat kesehatan gigi masyarakat khususnya sekolah dasar di kecamatan Kotabaru Jambi perlu mengadakan program pelayanan kesehatan gigi dan mulut di sekolah bekerjasama dengan Puskesmas.


Linda Marlia, Hendri Boy, Sukarsih, Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Karies‌

DAFTAR PUSTAKA

Bratthal, D., Allander, L., Lybegard, K.O., 1997, Cariogram, International Health Care Fundation. Dept. Of Cariology, Univ. Lund, Sweden. Dir Jen. Pelayanan Medik, Direktorat Kesehatan Gigi, Jakarta.,1999, Profil Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia pada Pelita VI, Dir Jen. Pelayanan Medik, Direktorat Kesehatan Gigi, Jakarta. Ford, P.T.R., 1993, Restorasi Gigi (terj.) Edisi 2, EGC, Jakarta.

2011

Hoesin, S., 2000, Kariogram dan Perannya Dalam Meramalkan Kemungkinan Terjainya Karies, KKIPKG : 7 : 475-476 Pettersson G, Twetman S, Bratthal D, 2002 Evaluation of a computer program for caries risk assessment in schoolchildren. http.www.pubmed Priyono, B., 2001, Epidemiologi, FKG UGM, Yogyakarta. Supartinah, S., 2000, Peran Cariogram Dalam Pencegahan Terjadinya Karies Baru Pada Anak, Pidato dies Natalis ke 40, FKG UGM, Yogyakarta. Suwelo, I.S., 1992, Karies Gigi Pada Anak Dengan Pelbagai Faktor Etiologi, EGC, Jakarta.

69


2011

Jurnal Poltekkes Jambi Vol V Edisi Desember ISSN 2085-1677

HUBUNGAN PERILAKU PEMELIHARAAN KESEHATAN GIGI DENGAN DERAJAT KEPARAHAN KARIES DAN PENYAKIT PERIODONTAL PADA KADER POSYANDU MANDIRI DI KOTA JAMBI TAHUN 2011 Rosmawati, Rusmiati dan Pahrur Razi Dosen Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Karies gigi merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di rongga mulut bersama-sama dengan penyakit periodontal, sehingga merupakan masalah utama kesehatan gigi dan mulut. Tujuan Penelitian untuk menganalisis hubungan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies dan penyakit periodontal pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011. Desain penelitian dengan studi cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011, yakni N= 75 orang. Cara pengambilan sampel total sampling. Cara Penelitian dengan pemeriksaan kesehatan gigi dan pengisian kuesioner. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran perilaku pemeliharaan kesehatan gigi pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011 yakni pengetahuan sebanyak 44 orang (58,7%) berkategori rendah, sikap sebanyak 46 orang (61,7%) berkategori rendah, sedangkan tindakan sebanyak 53 orang (71,7%) berkategori rendah, derajat keparahan karies sebanyak 52 orang (69,3%) berkategori tinggi dan derajat keparahan penyakit periodontal sebanyak 55 orang (73,3%) berkategori tinggi. Selain itu terdapat hubungan antara pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies dan penyakit periodontal pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011. Kata kunci: Pemeliharaan Kesehatan Gigi, Karies Gigi dan Penyakit Periodontal

PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan nasional yang antara lain mempunyai tujuan untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula serta mempunyai sikap kejiwaan yang menopang dan mendorong kreatifitas. Oleh karena itu, maka pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek jasmani dan kejiwaan disamping aspek spiritual dan sosial termasuk kepribadian yang ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas dan produktif serta mempunyai daya juang yang tinggi (Depkes, 2004). Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Kesehatan gigi juga merupakan salah satu komponen kesehatan

70

secara menyeluruh dan tidak dapat diabaikan terutama pada tingkat Sekolah Dasar, karena kesehatan gigi dan mulut ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak yang sempurna bertujuan untuk mewujudkan manusia sehat, cerdas dan produktif serta mempunyai daya juang yang tinggi (Depkes, 2004). Masalah kesehatan gigi merupakan salah satu problema kesehatan secara keseluruhan, kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi walaupun tidak menimbulkan kematian tetapi dapat menurunkan produktifitas kerja (Depkes, 2004). Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan RI menunjukkan secara umum bahwa diantara penyakit yang dikeluhkan dan tidak dikeluhkan, prevalensi penyakit gigi dan mulut yang tertinggi yakni 60% penduduk (Depkes, 2007). Penyakit gigi yang banyak diderita masyarakat adalah karies dan penyakit periodontal yang sebenarnya mudah dicegah dengan menanamkan kebiasaan/perilaku


Rosmawati, Rusmiati, Pahrur Razi, Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi ‌

pemeliharaan kesehatan gigi yang baik. Upaya pembinaan kesehatan gigi masyarakat telah dilaksanakan melalui pendekatan UKGMD sejak tahun 1979 yang dirubah menjadi UKGM pada tahun 1998, dimana upaya promotif dan preventif dilaksanakan secara terpadu dengan upaya kesehatan lainnya terutama melalui Posyandu. Pada tahun 1999 UKGM diintegrasikan pada kegiatan Posyandu, tetapi saat ini cakupan baru mencapai 24,76% posyandu (Depkes, 2004). Maka rendahnya pencapaian ini salah satu penyebabnya adalah kurang pengetahuan dan kemampuan kader dalam melakukan upaya promotif dan preventif kesehatan gigi. Padahal kader kesehatan itu merupakan perwujudan peran serta aktif masyarakat dalam pelayanan terpadu, dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan telah dilatih dibidang kesehatan. Upaya kesehatan gigi perlu ditinjau dari aspek lingkungan, pendidikan, kesadaran masyarakat dan penanganan kesehatan gigi termasuk pencegahan dan perawatan. Aspek tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi; baik cara pencegahan dan perawatan gigi masyarakat (upaya kesehatan gigi masyarakat) maupun keadaan kesehatan gigi masyarakat (pencegahan penyakit gigi), perlu diketahui masalah yang berkaitan dengan proses terjadinya kerusakan gigi (karies) termasuk etiologi karies gigi, resiko yang menyebabkan timbulnya karies gigi, dan juga faktor distribusi penduduk, lingkungan serta perilaku masyarakat terhadap kesehatan gigi (Suwelo, 1992). Karies gigi merupakan penyakit pada jaringan keras gigi yang disebabkan oleh kerja mikroorganisme pada karbohidrat yang dapat diragikan yang ditandai dengan adanya demineralisasi email, dentin dan diikuti kerusakan bahan organiknya. (Kidd, 1991) Karies gigi adalah proses patologis yang terjadi karena adanya interaksi faktorfaktor di dalam mulut. Faktor di dalam mulut (faktor dalam) yang berhubungan langsung dengan proses terjadinya karies gigi antara lain struktur gigi, morfologi gigi, susunan gigi geligi di rahang, derajat keasaman (pH) saliva, kebersihan mulut, jumlah dan frekuensi makan makanan kariogenik. Selain itu ada beberapa faktor luar sebagai faktor predisposisi dan penghambat yang berhubungan tidak langsung dengan proses terjadinya karies antara lain usia, jenis kelamin, suku bangsa, letak

2011

geografis, tingkat ekonomi, kultur sosial, serta pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap pemeliharaan kesehatan gigi (Suwelo, 1992:. 4). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 menyatakan prevalensi karies sebesar 46,5% dan yang mempunyai pengalaman karies sebesar 72,1%. Menurut provinsi, prevalensi karies aktif tertinggi (lebih dari 50%) ditemukan di Jambi (56,1%). Sedangkan sepuluh provinsi dengan prevalensi pengalaman karies tertinggi, Provinsi Jambi berada urutan ke-8 yakni sebesar 77,9% (Depkes, 2008). Sedangkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2004 yang dilakukan Departemen Kesehatan RI menyatakan prevalensi penyakit periodontal di Indonesia sampai mencapai 86,58%. Rata-rata 3,52 hari terganggu hari kerja akibat karies gigi dan penyakit periodontal (Depkes, 2007). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 menyatakan prevalensi karies sebesar 46,5% dan yang mempunyai pengalaman karies sebesar 72,1%. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga yang dilakukan Departemen Kesehatan Tahun 2004 Prevalensi penyakit periodontal di Indonesia sampai mencapai 86,58%. Di Propinsi Jambi, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2007 menyatakan proporsi penduduk bermasalah gigi dan mulut menurut karakteristik responden ternyata berdasarkan kelompok umur yang tertinggi adalah umur 35-44 tahun sebanyak 31,6% bermasalah kesehatan gigi dan mulut dan 2,4% sudah hilang seluruh gigi asli. Berdasarkan jenis kelamin yang tertinggi adalah perempuan yakni 25,8% dan 1,7% sudah hilang seluruh gigi asli. Hal ini menunjukkan masalah gigi dan mulut lebih tinggi terjadi pada kelompok umur 35-44 dan ini tentunya termasuk kelompok umur kader Posyandu Mandiri. Perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut dalam hal ini berperilaku benar menyikat gigi menurut karakteristik responden kelompok umur 35-44 hanya 6,1% menggosok gigi sesudah makan pagi dan 14% sebelum tidur malam. Berdasarkan jenis kelamin perempuan 3,5% dan laki-laki 3,8%. Melihat kondisi ini maka penulis tertarik menganalisis hubungan perilaku kesehatan gigi dengan status kesehatan gigi dan mulut pada Kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi tahun 2011.

71


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian adalah penelitian Cross Sectional Study. Analisa yang digunakan bersifat deskriptif analitik yang akan menggambarkan hubungan pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies gigi dan penyakit periodontal pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011. Populasi penelitian ini adalah seluruh kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011, yakni N= 75 orang dengan teknik pengambilan sampel total sampling dengan jumlah 75 orang. Variable penelitian pada penelitian ini adalah pemeliharaan kesehatan gigi (pengetahuan, sikap dan tindakan), derajat keparahan karies gigi dan derajat keparahan penyakit periodontal. Alat penelitian yang digunakan adalah formulir pemeriksaan kesehatan gigi untuk variabel derajat keparahan karies gigi dan penyakit periodontal, kuesioner untuk variabel pengetahuan dan sikap, tindakan kesehatan gigi.

HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dianalisis derajat keparahan karies pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi, kategori derajat keparahan karies yang terbanyak adalah kategori tinggi (69,3%). Herijulianti (2001,) menyatakan bahwa walaupun telah dilakukan upaya pelayanan kesehatan gigi dan mulut angka kesakitan penyakit gigi dan mulut terus meningkat. Menurut Kidd (1991) karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Apabila karies tidak dihentikan, akan berakhir dengan kerusakan total pada mahkota gigi. Hasil analisis penyakit periodontal pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi, kategori penyakit periodontal yang terbanyak adalah tinggi (73,3%). Status periodontal adalah kondisi derajat kesehatan jaringan penyangga gigi yang diukur berdasarkan CPITN dari WHO.Glickman (1992 cit. Koerniati, 2006 )menyebutkan bahwa prevalensi dan keparahan penyakit periodontal bertambah sesuai dengan bertambahnya usia. Menurut data SKRT 2001 60% penduduk Indonesia

72

menderita penyakit gigi dan mulut, salah satunya penyakit periodontal sebesar 87,84% pada penduduk di desa dan di kota. Gambaran tentang pengetahuan responden tentang pemeliharaan kesehatan gigi menunjukkan bahwa kategori pengetahuan tentang pemeliharaan kesehatan gigi pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi yang terbanyak adalah rendah (58,7%). Menurut Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Menurut peneliti pengetahuan para kader Posyandu mandiri di Kota Jambi yang rendah disebabkan masih kurangnya kegiatan promotif tentang kesehatan gigi dan mulut di Posyandu dan kurangnya pelatihan kader tentang kesehatan gigi dan mulut. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kategori sikap terhadap pemeliharaan kesehatan gigi pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi terbanyak adalah rendah (61,7%).Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007: 144). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kategori tindakan pemeliharaan kesehatan gigi pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi terbanyak adalah rendah (71,7%). Menurut Setiawati (2008), Perilaku kesehatan adalah tindakan/aktivitas kegiatan baik yang bisa diobservasi secara kasat mata ataupun tidak terhadap stimulus/rangsangan yang berkaitan dengan kesehatan. Untuk terwujudnya tindakanl tersebut diperlukan beberapa faktor diantaranya lain fasilitas, sarana dan prasarana. Gambaran tentang pengetahuan tentang pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies adalah sebagai berikut termasuk kategori pengetahuan tinggi sebesar 51,6% yang kategori derajat keparahan karies rendah, sedangkan kategori pengetahuan rendah sebesar 15,9% yang kategori derajat keparahan karies rendah. Dari hasil pengujian chi square antara pengetahuan tentang


Rosmawati, Rusmiati, Pahrur Razi, Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi ‌

pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies ternyata ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies. Sedangkan gambaran tentang pengetahuan pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan penyakit periodontal adalah sebagai berikut termasuk kategori pengetahuan tinggi sebesar 51,6% yang kategori derajat keparahan penyakit periodontal rendah, sedangkan kategori pengetahuan rendah sebesar 9,1% yang kategori derajat keparahan penyakit periodontal rendah. Dari hasil pengujian chi square antara pengetahuan tentang pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan penyakit periodontal ternyata ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan penyakit periodontal. Pengetahuan seseorang bisa diperoleh secara alami maupun secara terencana yaitu melalui proses pendidikan. Secara ilmiah bisa diperoleh berdasarkan pengalaman pribadi, atau mendengar keluhan orang tentang sakit dan cara mengatasinya. Oleh karena pengalaman tersebut maka orang tersebut berusaha untuk mendapatkan pengetahuan tentang cara memelihara kesehatan dan upayaupaya untuk mencegah supaya tidak sakit. Pengetahuan kesehatan yang diperoleh melalui proses pendidikan (baik formal, informal maupun nonformal) yang terencana dan terarah akan lebih mempercepat proses perubahan perilaku kesehatan seseorang atau kelompok masyarakat (Budiharto, 1995). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan sikap kategori tinggi ternyata 62,1% dengan derajat keparahan karies kategori rendah, yang bersikap kategori rendah hanya 10,9% yang derajat keparahan karies kategori rendah. Dari hasil uji chi square ada hubungan yang bermakna secara statistik nilai p< 0,05 antara sikap terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi. Sedangkan analisis hubungan sikap terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan penyakit periodontal menunjukkan bahwa responden dengan sikap kategori tinggi ternyata 58,6% dengan derajat keparahan penyakit periodontal kategori rendah, yang bersikap kategori rendah hanya 6,5% yang derajat keparahan penyakit periodontal kategori rendah. Dari hasil uji Chi square ada hubungan

2011

yang bermakna secara statistik nilai p< 0,05 antara sikap terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan penyakit periodontal pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi. Menurut Budiharto (1995), pembentukan sikap pada umumnya dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang terhadap objek. Sikap merupakan suatu evaluasi seseorang dalam hal menanggapi suatu objek sosial, artinya hasil evaluasi baik, maka seseorang akan cenderung mendekati objek misalnya hasil mengenai manfaat menyikat gigi, ternyata membuat gigi bersih akan menayatakan sangat setuju bahwa menyikat gigi 2 kali sehari mampu menjaga kebersihan gigi dan mulut serta membuat percaya diri, begitu juga sebaliknya bila menyikat gigi tidak memberi manfaat dan keuntungan bagi dirinya maka orang tersebut tidak setuju menyikat gigi. Hasil penelitian memberikan informasi bahwa responden yang tindakan pemeliharaan kesehatan gigi kategori tinggi 90,9% dengan derajat keparahan karies kategori rendah, sedangkan responden yang tindakan pemeliharaan kesehatan gigi kategori rendah hanya 5,7% yang derajat keparahan karies rendah. Pengujian secara statistik dengan chi square menunjukkan ada hubungan antara tindakan pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies pada nilai p< 0,05. Sedangkan analisis hubungan tindakan pemeliharaan kesehatan gigi kategori tinggi 86,4% dengan derajat keparahan penyakit periodontal kategori rendah, sedangkan responden yang tindakan pemeliharaan kesehatan gigi kategori rendah hanya 1,9% yang derajat keparahan penyakit periodontal rendah. Pengujian secara statistik dengan chi square menunjukkan ada hubungan antara tindakan pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies pada nilai p< 0,05. Menurut Suwelo (1992), menyatakan bahwa pengetahuan, sikap terhadap kesehatan gigi dan kebiasaan pemeliharaan kesehatan gigi mempunyai hubungan yang erat dengan terbentuknya karies gigi.

KESIMPULAN DAN SARAN Gambaran perilaku pemeliharaan kesehatan gigi pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011 yakni pengetahuan

73


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. V Edisi Desember 2011

sebanyak 44 orang (58,7%) berkategori rendah, sikap sebanyak 46 orang (61,7%) berkategori rendah, sedangkan tindakan sebanyak 53 orang (71,7%) berkategori rendah, derajat keparahan karies sebanyak 52 orang (69,3%) berkategori tinggi dan derajat keparahan penyakit periodontal sebanyak 55 orang (73,3%) berkategori tinggi. Ada hubungan antara pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies dan penyakit periodontal pada kader Posyandu Mandiri di Kota Jambi Tahun 2011. Berdasarkan hasil penelitian adapun saran untuk Dinas Kesehatan Kota Jambi, agar lebih memprioritaskan program di bidang kesehatan gigi terutama program UKGM di Posyandu. Untuk Puskesmas di Kota Jambi, agar melaksanakan pelatihan kader UKGM di Posyandu meliputi promotif dan preventif kesehatan gigi seperti penyuluhan dan menyikat gigi. Untuk Politeknik Kesehatan Jurusan Kesehatan Gigi Jambi, agar mengembangkan ilmu perilaku kesehatan di bidang kesehatan gigi, seperti perbanyak literatur dan buku perpustakaan tentang perilaku kesehatan gigi. Untuk peneliti selanjutnya, agar meneliti hubungan perilaku pemeliharaan kesehatan gigi dengan derajat keparahan karies dan penyakit periodontal dengan sampel yang lebih besar yang mencakup seluruh tingkatan umur.

DAFTAR PUSTAKA Budiharto, 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan dengan Contoh Bidang Ilmu Kesehatan Gigi. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta: vii + 115 hlm. Depkes, 2004. Pedoman Upaya Kesehatan Gigi Masyarakat (UKGM). Jakarta: iii + 61 hlm. -----------, 2007. Kebijakan Pelayanan Kedokteran Gigi Keluarga. Jakarta: viii+36 hlm. -----------, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Propinsi Jambi tahun 2007. Jakarta: i + 235 hlm. Herijulianti, E. et.al, 2001. Pendidikan Kesehatan Gigi. EGC, Jakarta: x + 150. Kidd, E.A.M & Bechal, S.J. 1991. Dasar-dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya. EGC, Jakarta: vii + 218 hlm. Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: v + 389 hlm.

74

Setiawati, S. 2008. Proses Pembelajaran Dalam Pendidikan Kesehatan. Penerbit TIM, Jakarta: xiv + 128 hlm. Suwelo, I.S. 1992. Karies Gigi pada Anak dengan Pelbagai Faktor Etiologi: Kajian pada anak usia prasekolah. EGC, Jakarta: v +143 hlm.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.