Jurnal poltekkes jambi vol 6

Page 1

ISSN 2085-1677

Pemberitaan Ilmiah

Alamat Redaksi : Politeknik Kesehatan Jambi, Jl. Haji Agus Salim No.09, Kota Baru, Jambi

Pengaruh Teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di RSUD Raden Mattaher Jambi Junita, Cek Masnah, Sugirto Pemanfaatan Cangkang Kerang untuk Menurunkan Kadar Fe Dalam Air Sumur Bor Syahrial, Emilia Chandra Evaluasi Program Promosi Kesehatan Mencuci Tangan Menggunakan Sabun Melalui Metode Ceramah, Demonstrasi dan Latihan dalam Upaya Pencegahan Penyakit Diare pada Siswa Sekolah Dasar di Kota Jambi Tahun 2010 Wittin Khairani, Maimunah, Widya Sepalanita Gambaran Prevalensi Kasus Maloklusi pada Siswa SMP Daerah Rural dan Urban di Kota Jambi Tahun 2011 Ahmad Khairullah, Junaidi, Karin Tika Fitria Gambaran Prevalensi Karies Gigi Sulung pada Murid Taman Kanak-Kanak Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2011 Akmam Agoes, Sartika Sanurwati Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Keikutsertaan Usila dalam Melakukan Senam Usila di Budi Luhur Paal V Jambi Tahun 2011 Rosmaria, Nuraidah Faktor-Faktor yang Behubungan dengan Depresi Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi Tahun 2011 Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani Efektifitas Alat Penyedot Larva dalam Pengendalian Larva Nyamuk Aedes Aegipty Krisdiyanta, Ahmad Dahlan, Muridi Mudehir Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Buku KIA oleh Ibu Hamil di Puskesmas Kota Jambi Tahun 2010 Nurmisih Latief, Asmuni HS dan Winda Triana Pengaruh Pelatihan Keperawatan Spiritual Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien di RSU H.Abdul Manap Kota Jambi Sugirto, Gusti Lestari Handayani, Wilda Sinaga, Abbasiah

Volume 6 Edisi Juli 2012 Volume 4

Gambaran Perilaku Ibu Nifas Tentang Perawatan Bayi Sehari-Hari di Kelurahan Bagan Pete Kota Jambi Tahun 2011 Neny Heryani Efektivitas Berbagai Macam Sumba Sebagai Bahan Pengganti Disclosing Solution untuk Mendeteksi Adanya Plak di Dalam Mulut Valentina Nurwati Kayo, Naning Nur Handayatun, Muridi Mudehir


Editorial

REDAKSI JURNAL POLTEKKES JAMBI

Pembaca Yth, Pelindung :

Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi bulan Juli 2012 telah dapat diterbitkan. Penantian yang panjang untuk terkumpulnya naskah ilmiah sebagai materi utama terbitan kita. Untuk itu penelitian ilmiah di lingkup Poltekkes Jambi harus lebih kita galakkan sebagai salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kepada penulis yang telah mempercayakan kepada kami untuk menerbitkan karyanya kami ucapkan terimakasih . Untuk edisi kali ini kita sajikan beberapa karya ilmiah dari bidang kesehatan gigi, kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi serta ilmu keperawatan dan manajemen. Semoga bermanfaat, maju terus dan selamat berkarya.

Direktur Poltekkes Jambi : Asmmuni HS, SKM,MM Pengarah : Pudir I: Hj.Tati Nurty, S.Pd, M.Kes Pudir II: Rusmimpong, S.pd, M.Kes Pemimpin Redaksi drg. Naning Nur Handayatun, M.Kes Konsultan : Syamsul Ridjal, SKM, MM., M.KES drg. Ahmad Khairullah, M.Kes Krisdiyanta, S.KM, M.Kes Nuraidah, S.Pd, M.Kes

Anggota Redaksi: Erris Siregar, S.KM, M.Kes Dra. Neni Heriani, M.Kes Vivanti Dewi, S.Pd, M.Kes Sekretaris Redaksi drg. Karin Tika Fitria

Pemimpin Redaksi,

Pencetakan dan Distribusi Slamet Riyadi, S.KM

drg. Naning Nur Handayatun, M.Kes email: ningfendi2@yahoo.co.id

Alamat Redaksi Politeknik Kesehatan Jambi Jl. Haji Agus Salim No 09 Kota Baru Jambi

ISSN

2085-1677 Vol VI Edisi Juli 2012

i


Pemberitaan Ilmiah

JURNAL POLTEKKES JAMBI ISSN 2085-1677 Politeknik Kesehatan Jambi

Volume VI Edisi Juli 2012

DAFTAR ISI Editorial ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Isi--------------------------------------------------------------------------------------------------------------Ketentuan Penulisan Jurnal Ilmiah ----------------------------------------------------------------------------1.

2.

3.

4.

5.

Pengaruh Teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) Terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di RSUD Raden Mattaher Jambi ................................................................................. Junita, Cek Masnah, Sugirto Pemanfaatan Cangkang Kerang Untuk Menurunkan Kadar Fe Dalam Air Sumur Bor ............................................................................................................................ Syahrial, Emilia Chandra Evaluasi Program Promosi Kesehatan Mencuci Tangan Menggunakan Sabun Melalui Metode Ceramah, Demonstrasi dan Latihan Dalam Upaya Pencegahan Penyakit Diare Pada Siswa Sekolah Dasar di Kota Jambi Tahun 2010. ............. Wittin Khairani, Maimunah, Widya Sepalanita Gambaran Prevalensi Kasus Maloklusi Pada Siswa SMP Daerah Rural dan Urban di Kota Jambi Tahun 2011 .......................................................................................... Ahmad Khairullah, Junaidi, Karin Tika Fitria Gambaran Prevalensi Karies Gigi Sulung Pada Murid Taman Kanak-Kanak Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2011........................................................................................................................... Akmam Agoes, Sartika Sanurwati

i ii iii

1

8

13

21

28

Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Keikutsertaan Usila Dalam Melakukan Senam Usila di Budi Luhur Paal V Jambi Tahun 2011.............................. Rosmaria, Nuraidah

33

Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Depresi Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi Tahun 2011 ............................................................ Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani

37

Efektifitas Alat Penyedot Larva Dalam Pengendalian Larva Nyamuk Aedes Aegipty ....................................................................................................................... Krisdiyanta, Ahmad Dahlan, Muridi Mudehir

50

Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Buku KIA oleh Ibu Hamil di Puskesmas Kota Jambi Tahun 2010 .................................................................................. Nurmisih Latief, Asmuni HS dan Winda Triana

55

10. Pengaruh Pelatihan Keperawatan Spiritual Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien di RSU H.Abdul Manap Kota Jambi .............................................................. Sugirto, Gusti Lestari Handayani, Wilda Sinaga, Abbasiah

63

11. Gambaran Perilaku Ibu Nifas Tentang Perawatan Bayi Sehari-Hari di Kelurahan Bagan Pete Kota Jambi Tahun 2011 ................................................................. Neny Heryani

71

12. Efektivitas Berbagai Macam Sumba Sebagai Bahan Pengganti Disclosing Solution Untuk Mendeteksi Adanya Plak di Dalam Mulut ...................................................... Valentina Nurwati Kayo, Naning Nur Handayatun, Muridi Mudehir

78

6.

7.

8.

9.

ii


KETENTUAN PENULISAN JURNAL ILMIAH ISSN 2085-1677 Politeknik Kesehatan Jambi

Volume VI Edisi Juli 2012

PERSYARATAN UMUM Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa inggris dengan lay out kertas A4, batas tepi 3 cm, jarak 1 spasi, menggunakan huruf Arial. Abstrak dan daftar pustaka ditulis dengan ukuran 9, sementara bagian yang lainnya berukuran 10. Naskah tidak menggunakan catatan kaki di dalam teks, panjang naskah 5-15 halaman termasuk tabel dan gambar. File diketik menggunakan aplikasi Microsoft Word (versi 2000, XP, 2003 atau 2007). Naskah harus sudah sampai di sekretariat redaksi selambat-lambatnya tanggal 31 Mei untuk edisi Juli dan 31 November untuk edisi Desember dan dikirim dalam bentuk CD-R/ CDRW disertai print out sebanyak tiga rangkap. Penulis yang naskahnya akan dimuat dikenakan biaya Rp 200.000 per artikel yang

dananya diserahkan langsung ke drg. Naning Nur Handayatun, M.Kes. Penulis akan menerima 1 (satu) eksemplar nomor jurnal yang memuat artikelnya. Jika mengiginkan eksemplar tambahan, dipersilahkan mengantikan biaya cetak sebesar Rp.50.000,-/eksemplar. Peneliti utama harus melampirkan lembar pernyataan (1 lembar per penelitian) bahwa penelitian yang dilakukan bukan plagiat dan belum pernah dipublikasikan di media manapun yang ditandatangani di atas materai Rp. 6000,-. Setiap peneliti juga melampirkan lembar validasi penelitian (1 lembar per-peneliti) yang ditandatangani oleh Direktur Poltekkes Jambi dan sebelumnya diparaf terlebih dahulu oleh tim konsultan masing-masing jurusan.

PERSYARATAN KHUSUS

ARTIKEL KUPASAN (REVIEW) Artikel harus mengupas secara kritis dan komprehesif perkembangan suatu topik berdasarkan temuan-temuan baru yang didukung oleh kepustakaan yang cukup dan terbaru, sistematika penulisan artikel kupasan terdiri-dari : Judul Artikel, Nama Penulis (ditulis Dibawah Judul dan tanpa gelar), Abstraks, Pendahuluan (berisi latar balakang dan Tujuan Penulisan) , Bahan dan Cara (berisi tentang jenis penelitian, populasi dan sampel atau subjek penelitian, tehnik pengumpulan dan tehnik analisa data), Hasil dan pembahasan, Hasil penelitian berisikan tabel atau grafik dan hasil uji statistik, kemudian dibahas, Penutup (berisi tentang kesimpulan atas isi bahasan yang disajikan pada bagian inti dan saran yang sejalan dengan kesimpulan), ucapan terima kasih (bila diperlukan) serta rujukan

ARTIKEL RISET (RESEARCH PAPER) Naskah terdiri atas judul dan nama penulis lengkap dengan nama institusi dan alamat korespodensi diikuti oleh abstrak (dengan kata kunci), Pendahuluan, Bahan dan Cara kerja, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Ucapan Terima Kasih bila diperlukan serta Daftar Pustaka.

JUDUL (TITLE) Judul harus informatif dan deskriptif (maksimum 28 kata). Judul dibuat memakai huruf kapital dan diusahakan tidak mengandung singkatan. Nama lengkap penulis ditulis tanpa gelar dan nama institusi tempat afiliasi masing-masing penulis yang disertai dengan alamat korespodensi.

iii


ABSTRAK (ABSTRACT) Abstrak merupakan sari tulisan yang meliputi latar belakang riset secara ringkas, tujuan, metode, hasil dan simpulan riset panjang astrak maksimum 250 kata dan disetai kata kunci PENDAHULUAN (INTRODUCTION) Justifikasi tentang subjek yang dipilih didukung dengan pustaka yang ada. Harus diakhiri dengan menyatakan apa tujuan tulisan tersebut BAHAN DAN CARA KERJA (MATERIALS AND METHOD) Harus detil dan jelas sehingga orang yang berkompeten dapat melakukan riset yang sama (repeatable dan reproduceable). Jika metode yang digunakan telah diketahui sebelumnya pustaka yang diacu harus dicantumkan. Spesifikasi bahan harus detil agar orang lain mendapat informasi tentang cara memperoleh bahan tersebut

HASIL (RESULT) DAN PEMBAHASAN (DISCUSSION) Hasil dan pembahasan dirangkai menjadi satu pada bab ini dan tidak dipisahkan dalam sub bab lagi. Melaporkan apa yang diperoleh dalam eksperimen/percobaan diikuti dengan analisis atau penjelasannya. Tidak menampilkan data yang sama sekaligus dalam bentuk tabel dan grafik. Tabel ditulis dengan huruf Arial ukuruan 8 atau 9 tanpa garis tegak. Gambar tanpa warna/ hitam putih. Bila

iv

mencantumkan diagram, gunakan diagram lingkaran atau batang dengan arsir/gradasi hitam putih. Tidak mengulang data yang disajikan dalam tabel atau grafik satu persatu, kecuali untuk hal-hal yang menonjol. Membandingkan hasil yang diperoleh dengan data pengetahuan (hasil riset orang lain) yang sudah dipublikasikan. Menjelaskan implikasi dari data ataupun informasi yang diperoleh bagi ilmu pengetahuan ataupun pemanfaatannya (aspek pragmatisnya). KESIMPULAN DAN SARAN Berisi kesimpulan atas isi bahasan yang disajikan pada bagian inti dan saran yang sejalan dengan kesimpulan

UCAPAN TERIMA KASIH (ACKNOWLEDGEMENT) Dibuat ringkas sebagai ungkapan terima kasih kepada pihak yang membantu riset, penelaahan naskah, atau penyedia dana riset. DAFTAR PUSTAKA (LITERATURES CITED/REFERENCES) Pustaka yang disitir dalam teks naskah jurnal harus persis sama dengan yang ada di daftar pustaka begitu pula sebaliknya. Daftar pustaka ditulis dengan lengkap secara alpabetis, sehingga pembaca yang ingin menelusuri pustaka aslinya akan dapat melakukannya dengan mudah. Minimal menggunakan 10 referensi ilmiah.


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

PENGARUH TEKNIK PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION (PMR) TERHADAP PENURUNAN KADAR GLUKOSA DARAH PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2 DI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI Junita, Cek Masnah, Sugirto Staf Pengajar Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK Diabetes mellitus menjadi masalah kesehatan yang serius, baik di negara maju maupun di negara berkembang karena insidensinya yang terus meningkat. Penderita penyakit Diabetes Mellitus biasanya datang mencari pertolongan ke palayanan kesehatan karena penyakit lain yang sebenarnya merupakan komplikasi dari penyakit diabetes tersebut. Kondisi ini membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat. Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh teknik Progressive Muscle Relaxation terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe II di RSUD Raden Mattaher Jambi. Penelitian ini dilaksanakan di ruang perawatan Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Provinsi Jambi pada pada tanggal 22 September sampai 22 Oktober 2010 pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang di rawat. Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan pre and post with control group. Hasil t-test menunjukkan ada pengaruh yang signifikan teknik PMR dalam menurunkan kadar gula darah pada penderita dengan DM. Untuk itu bidang perawatan dapat memberikan intervensi-intervensi keperawatan khususnya teknik Progressive Muscle Relaxation kepada pasien, sehingga pasien menjadi tidak stress dan lebih rileks, serta memberikan pelatihan kepada perawat tentang teknik-teknik relaksasi Kata Kunci : Teknik PMR, pasien DM tipe II

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus menjadi masalah kesehatan yang serius, baik di negara maju maupun di negara berkembang karena insidensinya yang terus meningkat. Jumlah penderita diabetes di dunia saat ini mencapai 200 juta jiwa dan diprediksi angka tersebut terus bertambah menjadi 350 juta jiwa pada tahun 2020. Di Indonesia jumlah penderita diabetes melitus menurut survey WHO tahun 2001 berjumlah 17 juta jiwa atau 8,6% dari jumlah penduduk Indonesia ( 220 juta jiwa), menduduki urutan terbesar keempat setelah India, Cina, dan Amerika Serikat (Siti Fadilah Supari, 2009). Penderita penyakit Diabetes Mellitus biasanya datang mencari pertolongan ke palayanan kesehatan karena penyakit lain yang sebenarnya

merupakan komplikasi dari penyakit diabetes tersebut. Kondisi ini membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat. Selama aktivasi respons stres, regulasi sistem saraf dan endokrin melakukan adaptasi dengan meningkatkan pelepasan kortisol dari korteks adrenal. Pelepasan kortisol dalam jumlah yang banyak akan meningkatkan glukosa darah melalui proses glukoneogenesis dan resistensi insulin. Jadi, penurunan tegangan emosional dengan intervensi yang tepat dapat menormalkan kadar glukosa darah dan mengurangi komplikasi diabetes. Hiperglikemia akibat resistensi insulin dapat diatasi dengan manajemen standar, yaitu manajemen diet, terapi anti hiperglikemik (OHO/ insulin), dan olahraga. Sedangkan stres dan kecemasan dapat diatasi dengan tehnik relaksasi.

1


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli 2012

Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatetis dan parasimpatetis. Teknik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi ketegangan dan kecemasan (Jacobs, GD., 2001). Yildirim &nFadiloglu (2006) dari hasil penelitiannya bahwa PMR menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani dialisis. Selanjutnya penelitian Sheu, et al, (2003) menjelaskan bahwa PMR menurunkan rata-rata tekanan darah sistolik sebesar 5,4 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik sebesar 3,48 mmHg pada pasien hipertensi di Taiwan. Maryani (2007), mengukur efektivitas PMR untuk mengurangi kecemasan yang berimplikasi pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani kemoterapi. Penelitian tentang pengaruh progressive muscle relaxation terhadap penurunan kadar glukosa darah pada diabetes melitus tipe 2 belum ada. Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi merupakan rumah sakit Provinsi yang menerima rujukan dan merawat penderita Diabetes Mellitus. Berdasarkan survei awal, terjadi peningkatan kasus Diabetes Mellitus dari tahun 2008 sampai 2009. Pada tahun 2008 jumlah kasus DM sebanyak 209 kasus, meningkat pada tahun 2009 menjadi 267 kasus. Berdasarkan wawancara dengan salah seorang kepada ruangan rawat inap, tidak pernah dilakukan teknik progressive muscle relaxation pada penderita diabetes mellitus. Dari uraian terebut, peneliti merasa tertarik untuk mengetahui apakah ada pengaruh teknik Progressive Muscle Relaxation dalam menurunkan kadar glukosa darah pada penderita DM di RSUD Raden Mattaher Jambi. Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh teknik Progressive Muscle Relaxation terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita DM tipe II di RSUD Raden Mattaher Jambi.

2

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan pre and post with control group, yaitu suatu desain yang memberikan perlakuan pada dua atau lebih kelompok, kemudian diobservasi sebelum dan sesudah implementasi. Penelitian ini dilaksanakan di ruang perawatan Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Provinsi Jambi. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 22 September sampai 22 Oktober 2010. Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien diabetes mellitus tipe 2 yang di rawat di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Jambi. Sedangkan teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu menjadikan semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada saat penelitian berlangsung. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah penderita diabetes melitus tipe 2 yang mengalami stres dan kecemasan, dirawat di RSUD Raden Mattaher Jambi, dapat membaca dan menulis dan bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent. Sedangkan kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah : Penderita diabetes mellitus yang mengalami gangguan kesadaran (koma). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen DASS test untuk skrening stres dan kecemasan, lembar observasi untuk pelaksanaan PMR dan pengukuran kadar glukosa darah responden sebelum dan sesudah intervensi. Responden dibagi dalam 2 kelompok, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Responden yang di beri perlakukan dan tidak diberi perlakuan akan dilakukan proses matching yaitu dokter yang memberikan pengobatan. Di awal kegiatan, kedua kelompok responden diminta untuk mengisi kuesioner DASS 42 (Depression Anxiety Stress Scale), diukur tandatanda vitalnya, jika menunjukkan stress, maka diperiksa kadar glukosa darahnya. Responden pada kelompok


Junita, Cek Masnah, Sugirto Pengaruh Teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR)...

kontrol, diminta menjalankan terapi yang diberikan dokter tanpa relaksasi PMR. Sedangkan responden pada kelompok intervensi, selain menjalankan terapi yang diberikan dokter juga dilakukan relaksasi PMR 2 kali sehari masing-masing selama 25 menit, dilakukan selama dua minggu. Di akhir kegiatan kedua kelompok responden dilakukan pengukuran kadar glukosa darahnya. Analisis untuk menguji pengaruh intervensi dengan menggunakan uji beda dua mean (ttest) independent. Uji dilakukan dengan membandingkan penurunan kadar glukosa darah antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kadar glukosa darah pasien diabetes mellitus tipe 2 pada pemeriksaan pertama dan pemeriksaan kedua pada kelompok intervensi dapat dilihat pada tabel 1 berikut Tabel 1. Distribusi Rata-rata Kadar Glukosa Darah Pemeriksaan Pertama dan Kedua Pada Kelompok Intervensi Variabel Kadar Gula Mean Median Darah

SD

Min-Max

Pemeriksaan 255,86 258,00 73,397 125 - 367 Pertama Pemeriksaan 120,00 130,00 25,736 96 - 174 Kedua

Dari tabel 1 diketahui bahwa rata-rata kadar gula darah pemeriksaan pertama pada kelompok intervensi adalah 255,86 mg/dl dengan median 258 mg/dl serta standar deviasi 73,397 mg/dl. Kadar gula darah paling rendah 125 gr% dan paling tinggi 367 mg/dl. Setelah dilakukan intervensi sebanyak 2 kali sehari selama 15 hari didapat kadar glukosa darah pada pemeriksaan kedua dengan rata-rata 120 mg/dl, median 130 mg/dl dan standar deviasi 25,736 mg/dl. Kadar gula darah paling rendah 96 mg/dl dan paling tinggi 174 mg/dl.

2012

Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik relaksasi yang mudah dan sederhana serta sudah digunakan secara luas. PMR merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan tegangan pada kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks, merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang (Richmond, 2007). Rileksasi otot ini akan menginhibisi hipotalamus untuk menghentikan sekresi CRH, sehingga sekresi ACTH dan kortisol juga berhenti. Hal ini akan berdampak pada penurunan glukosa darah pasien. Relaksasi PMR merupakan relaksasi yang mudah untuk diajarkan kepada pasien dalam rangka meningkatkan kemandirian pasien dalam mengatasi masalah kesehatannya. Perawat berperan dalam memfasilitasi kemandirian pasien, hal ini sesuai dengan konsep self-care Orem. Menurut teori self-care Orem, pasien dipandang sebagai individu yang memiliki potensi untuk merawat dirinya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan, dan mencapai kesejahteraan. Kesejahteran/ kesehatan yang optimal dapat dicapai pasien apabila dia mengetahui dan dapat melakukan perawatan yang tepat sesuai dengan kondisi dirinya sendiri. Perawat menurut teori self-care berperan sebagi pendukung atau pendidik bagi pasien (Tomey & Alligood, 2006). Dari hasil penelitian diketahui kadar glukosa darah paling rendah pada pemeriksaan pertama (sebelum dilakukan teknik PMR) 125 mg/dl dan paling tinggi 242 mg/dl. Setelah dilakukan teknik PMR sebanyak 2 kali sehari selama 15 hari dihasilkan gula darah paling rendah 96 mg/dl dan paling tinggi 174. Terlihat disini perbedaan antara sebelum dan setelah dilakukan teknik PMR pada gula darah paling rendah dan paling tinggi. Jika

3


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli 2012

dilihat satu persatu gula darah responden, bahwa semuanya mengalami penurunan kadar gula darah setelah dilakukan terapi PMR. Penurunan paling tinggi sebanyak 202 mg/dl, dan paling kecil sebanyak 6 mg/dl. Namun jika dilihat penurunan paling rendah tersebut sudah sesuai karena kadar glukosa darah awal 125 mg/dl, setelah dilakukan intervensi menjadi 119 mg/dl. Dengan terjadinya penurunan kadar gula darah pada penderita DM, perawat dapat berperan serta dalam penerapannya kepada pasien langsung. Perawat harus bisa melakukan teknik PMR ini, sehingga dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada penderita DM dengan cara mengajarkan langsung teknik PMR ini kepada pasien. Menurut Orem (dalam Tomey & Alligood, 2006), perawatan merupakan suatu kebutuhan universal untuk menjaga dan meningkatkan eksistensi diri, kesehatan, dan kesejahteraan hidup. Oleh karena itu, perawat harus membantu pasien untuk mencapai kemampuan dalam melakukan perawatan diri dengan mengajarkan teknik relaksasi otot progresif untuk menghilangkan ketegangan dan kecemasan yang pada akhirnya berimplikasi pada penurunan kadar glukosa darahnya Analisis kadar glukosa darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2 pengukuran pertama dan pengukuran kedua pada Kelompok Kontrol seperti pada tabel 2. Tabel 2 Distribusi Rata-rata Kadar Glukosa Darah Pemeriksaan Pertama dan Kedua Pada Kelompok Kontrol Variabel Kadar Gula Mean Median SD Min-Max Darah Pemeriksaan 220,43 213,00 78,536 115 - 341 Pertama Pemeriksaan 192,14 217,00 42,62 126 - 234 Kedua

4

Dari tabel 2 diketahui bahwa rata-rata kadar gula darah pemeriksaan pertama pada kelompok kontrol adalah 220,43 mg/dl dengan median 213,00 mg/dl serta standar deviasi 78,536 mg/dl. Kadar gula darah paling rendah 115 mg/dl dan paling tinggi 341 mg/dl. Setelah 15 hari didapat kadar glukosa darah pada pemeriksaan kedua dengan rata-rata 192,14 mg/dl, median 217,00 mg/dl dan standar deviasi 42,62 mg/dl. Kadar gula darah paling rendah 126 mg/dl dan paling tinggi 234 mg/dl. Jika dianalisis satu persatu responden yang tidak diberikan intervensi teknik PMR, tidak semua responden mengalami penurunan kadar glukosa darah setelah dilakukan observasi selama 15 hari, bahkan ada yang kadar glukosanya meningkat walaupun masih dalam batas normal. Hal ini bisa juga dikarenakan responden sudah pulang dari rumah sakit, sehingga kontrol terhadap makanan menjadi kurang. Namun demikian pada saat peneiti mengunjungi rumah responden tetap dimotivasi untuk patuh terhadap pengobatan dan perawatan. Pada kelompok kontrol terjadi penurunan kadar gula darah paling tinggi sebesar 178 mg/dl, namun ada yang naik sebanyak 11 mg/dl. Jika hal ini terjadi kenaikan terus, maka penderita DM akan semakin tinggi kadar glukosa darahnya, dan penderita yang tadinya diperbolehkan pulang, kemungkinan dapat dirawat kembali karena gula darahnya meningkat lagi. Melihat fenomena tersebut, perlu kiranya memberikan pendidikan kesehatan pada penderita DM tentang hal-hal yang perlu dilakukan dan tidak boleh dilakukan ketika penderita berada dirumah. Disamping itu juga perlu dilatih teknik PMR sehingga penderita dapat melakukannya dirumah secara mandiri. Dari hasil analisis uji statistik t-test dependen terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita DM kelompok intervensi diperoleh seperti pada tabel 3.


Junita, Cek Masnah, Sugirto Pengaruh Teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR)...

Tabel 3 Distribusi Rata-rata Penurunan Kadar Gula Darah Pada Kelompok Intervensi Variabel

Mean

SD

SE

P.V

n

Kadar Gula Darah pada pemeriksaan 7 255,86 73,397 27,742 pertama Kelompok Intervensi 0.002 Kadar Gula Darah pada pemeriksaan 120,00 25,736 25,736 7 kedua Kelompok Intervensi

Berdasarkan tabel 3 didapatkan terlihat nilai perbedaan mean antara pemeriksaan kadar gula darah pertama (sebelum dilakukan intervensi) dan pemeriksaan kadar glukosa darah kedua (setelah dilakukan intervensi) yaitu 135,857 mg/dl. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.002 dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan teknik PMR dalam menurunkan kadar gula darah pada penderita dengan DM. Analisis uji statistik t-test dependen terhadap penurunan kadar gula darah pada penderita DM kelompok kontrol dapat dilihat seperti tabel 4.

Mean

SD

SE

Kadar Gula Darah pada pemeriksaan 220,43 78,536 29,684 pertama Kelompok Kontrol Kadar Gula Darah pada pemeriksaan 192,14 42,620 16,109 kedua Kelompok kontrol

P.V

Berdasarkan tabel 4 terlihat nilai perbedaan mean antara pemeriksaan kadar gula darah pertama dan pemeriksaan kadar glukosa darah kedua (setelah observasi selama 15 hari) yaitu 28,286 mg/dl. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.187 dapat disimpulkan tidak ada perbedaan yang bermakna dari kadar gula darah pada kelompok kontrol antara pemeriksaan pertama dengan kedua. Selanjutnya analisis dilakukan untuk mengetahui perbedaan penurunan kadar gula darah antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol seperti terlihat pada tabel 5 berikut: Tabel 5 Distribusi Rata-rata Penurunan Kadar Gula Darah Pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Variabel

Mean SD

SE

P.V

n

Penurunan Kadar Gula Darah pada 125,86 65,62 24,80 Kelompok Intervensi

7

0,022 Penurunan Kadar Gula Darah pada 35,14 43,51 16,45 Kelompok kontrol

Tabel 4 Distribusi Rata-rata Penurunan Kadar Gula Darah Pada Kelompok Kontrol Variabel

2012

n

7

0.187

7

7

Berdasarkan tabel 5 terlihat nilai mean perbedaan antara penurunan kadar gula darah pada kelompok intervensi dan penurunan kadar glukosa darah pada kelompok kontrol yaitu 90, 71 mg/dl. Hasil uji statistik didapatkan nilai p = 0.022 dapat disimpulkan ada pengaruh yang signifikan teknik PMR terhadap penurunan kadar gula darah). Teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR) merupakan suatu prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan tegangan pada kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks, 5


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli 2012

merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang (Richmond, 2007). Rileksasi otot ini akan menginhibisi hipotalamus untuk menghentikan sekresi CRH, sehingga sekresi ACTH dan kortisol juga berhenti. Hal ini akan berdampak pada penurunan glukosa darah pasien. Jadi pada dasarnya teknik PMR secara langsung tidak menurunkan kadar gula darah, tetapi membuat otot menjadi rileks, penderita tidak tegang dan cemas yang dapat berdampak pada pemakaian glukosa lebih banyak lagi. Stres fisik atau emosional pada pasien diabetes dapat menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah, hal ini terjadi karena tubuh melakukan adaptasi terhadap stres/ ketegangan yang terjadi dengan mengaktivasi regulasi sistem saraf maupun sistem endokrin. Hipotalamus menstimulasi neuron-neurosekretori untuk melepaskan hormon CRH (corticotropin- releasing hormone) ke hipofisis anterior, hipofisis anterior melepaskan hormon lain yaitu ACTH (adrenocorticotropic hormone) ke dalam darah. ACTH sebagai gantinya menstimulasi kelenjar adrenal, yaitu korteks adrenal untuk mensekresi glukokortikoid (kortisol). Kortisol ini yang akan diubah menjadi glukosa (glukoneogenesis) untuk metabolesme sel, namun karena resistensi insulin glukosa tidak bisa diambil untuk metabolisme sel. Penderita DM tipe 2 biasanya datang mencari pertolongan ke pelayanan kesehatan karena penyakit lain yang sebenarnya merupakan komplikasi dari penyakit DM tersebut. Kondisi ini membuat pasien stress dan mengalami kecemasan. Dengan dilakukan penurunan tegangan emosional dapat menurunkan kadar gula darah pasien. Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara kerja sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Teknik relaksasi semakin sering dilakukan karena terbukti efektif mengurangi

6

ketegangan dan kecemasan (Jacobs, 2001) Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Yildirim &nFadiloglu (2006) dari hasil penelitiannya bahwa PMR menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani dialisis. Selanjutnya penelitian Sheu, et al, (2003) menjelaskan bahwa PMR menurunkan rata-rata tekanan darah sistolik sebesar 5,4 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik sebesar 3,48 mmHg pada pasien hipertensi di Taiwan.. Maryani (2007), mengukur efektivitas PMR untuk mengurangi kecemasan yang berimplikasi pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani kemoterapi. Adanya pengaruh teknik PMR terhadap penurunan kadar glukosa darah pada penderita diabetes mellitus, sebaiknya segera disambut baik oleh institusi pelayanan kesehatan maupun pendidikan. Institusi pendidikan harus memasyarakatkan teknik PMR ini melalui mahasiswa, sehingga intervensi ini merupakan intervensi yang baik untuk dilakukan dalam mengatasi ketegangan dan stress pada pasien. Dengan teratasinya stres dan ketegangan, maka relaksasi akan terjadi. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Rata-rata kadar gula darah pemeriksaan pertama pada kelompok intervensi adalah 255,86 mg/dl dan kadar glukosa darah pada pemeriksaan kedua dengan ratarata 120 mg/dl, terlihat penurunan kadar glukosa darah sebanyak 135,86 mg/dl. Rata-rata kadar gula darah pemeriksaan pertama pada kelompok kontrol adalah 220,43 mg/dl dan kadar glukosa darah pada pemeriksaan kedua dengan rata-rata 192,14 mg/dl, terlihat penurunan kadar glukosa darah sebanyak 28,29 mg/dl. Serta ada pengaruh yang signifikan teknik PMR terhadap penurunan kadar gula darah, dengan p value 0,022. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disarankan bagi Rumah Sakit Umum Darah Raden


Junita, Cek Masnah, Sugirto Pengaruh Teknik Progressive Muscle Relaxation (PMR)...

Mattaher Jambi dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien, bidang perawatan dapat memberikan intervensi-intervensi keperawatan khususnya teknik Progressive Muscle Relaxation kepada pasien, sehingga pasien menjadi tidak stress dan lebih rileks. Bagi Profesi Keperawatan agar Perawat lebih meningkatkan mutu pelayanan dengan cara memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien khususnya mengajarkan teknik PMR kepada semua pasien sebagai salah satu terapi komplementer.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Rata-rata kadar gula darah pemeriksaan pertama pada kelompok intervensi adalah 255,86 mg/dl dan kadar glukosa darah pada pemeriksaan kedua dengan ratarata 120 mg/dl, terlihat penurunan kadar glukosa darah sebanyak 135,86 mg/dl. Rata-rata kadar gula darah pemeriksaan pertama pada kelompok kontrol adalah 220,43 mg/dl dan kadar glukosa darah pada pemeriksaan kedua dengan rata-rata 192,14 mg/dl, terlihat penurunan kadar glukosa darah sebanyak 28,29 mg/dl. Serta ada pengaruh yang signifikan teknik PMR terhadap penurunan kadar gula darah, dengan p value 0,022. Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disarankan bagi Rumah Sakit Umum Darah Raden Mattaher Jambi dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien, bidang perawatan dapat memberikan intervensi-intervensi keperawatan khususnya teknik Progressive Muscle Relaxation kepada pasien, sehingga pasien menjadi tidak

2012

stress dan lebih rileks. Bagi Profesi Keperawatan agar Perawat lebih meningkatkan mutu pelayanan dengan cara memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien khususnya mengajarkan teknik PMR kepada semua pasien sebagai salah satu terapi komplementer.

DAFTAR PUSTAKA Jacobs, GD. 2001. The Physiology of MindBody Interaction: The Stress Response and the Relaxation Response. The Journal of Alternative and Complementary Research, April 20, 2000. Maryani. 2007. Pengaruh Progressive Muscle Relaxation terhadap Kecemasan yang Berimplikasi pada Mual dan Muntah pada Pasien Post Kemoterapi di Poliklinik Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Tesis FIKUI. Richmond. 2007. A Guide to Psycology and its Practice. April 20, 2010. http//www.guidetopsycology.com Sheu, et al. 2003. Effect of Progressive Muscle Relaxation on Blood Pressure and Psychososial Status for Clients with Essential Hypertension in Taiwan. Holistic Nursing Practice. April 20, 2010. http://www,ncbi.nlm.nih.gov/pubme d Siti Fadillah Supari. 2009. Indonesia Urutan ke-4 Penderita Kencing Manis (diabetes melitus/DM), http://www.ottopharm.com/news/15 .php diakses tanggal 13 April 2010. Tomey & Alligood. 2006. Nursing Theorist and Their Work. (6th edition). Elsevier Mosby. Yildirim & Fadiloglu. 2006. The Effect of Progressive Muscle Relaxation Training on Anxiety levels and Quality of Life in dialysis Patients. April 20, 2010. Journal

7


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

PEMANFAATAN CANGKANG KERANG UNTUK MENURUNKAN KADAR Fe DALAM AIR SUMUR BOR Syahrial, Emilia Chandra

Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Air yang memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat sehingga keberadaan air perlu diperhatikan dan dijaga kualitasnya agar tetap baik, sehat dan aman untuk dikonsumsi. Model filtrasi menggunakan media cangkang kerang merupakan salah satu alternatif pengolahan untuk menurunkan kadar besi dalam air karena bahan yang digunakan relatif murah dan didapat cangkang kerang mempunyai kandungan CaO dan MgO yang dapat berfungsi sebagai oksidator dan adsorber besi sehingga air yang dialirkan kadar besinya akan menurun. Karena Masih tingginya kandungan kadar besi (Fe) dalam air sumur bor maka peneliti melakukan penelitian Pemanfaatan cangkang kerang untuk menurunkan kadar Fe dalam air sumur bor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kandungan kadar Fe sebelum dan sesudah melewati lapisan cangkang kerang dengan berbagai ketebalan dan ketebalan yang efektif. Jenis penelitian ini bersifat eksprimen dengan rancangan desain pre Test-post Test Only dan One Group Postest. Populasi pada penelitian ini adalah air sumur bor. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian air sumur bor yang kandungan besinya tinggi. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna pada penurunan kadar Fe sesudah melewati lapisan cangkang kerang ketebalan 100 cm dengan 80 cm, 100 cm dengan 60 cm dan 80 cm dengan 60 cm, Kata Kunci : cangkang kerang, kadar Fe, air sumur bor

PENDAHULUAN

Air merupakan kebutuhan utama makhluk hidup. Dalam kehidupan sehari-hari manusia menggunakan air untuk kebutuhan kehidupan baik untuk minum, mandi, mencuci, masak dan keperluan rumah tangga lainnya. Air yang digunakan oleh masyarakat seyogyanya adalah air yang memenuhi syarat kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan akan air sehari-hari masyarakat mendapat dari berbagai sumber, salah satunya adalah dari air tanah atau sumur bor (Sugiharto, 2005). Sutrisno, 2002 menyatakan air tanah mengandung unsur-unsur mineral 8

sangat dibutuhkan oleh tubuh seperti Fe, namun dalam keadaan yang berlebih dalam air dapat menyebabkan air berwarna kuning kecoklatan, berbau amis, meninggalkan noda pakaian yang dicuci dan menyebabkan gangguan pada sistem pencernaan. Menurut Kepmenkes no. 492 tahun 2010 kandungan Fe dalam air minum maksimal adalah 0,3 mg/l. Sebagian besar tubuh hewan moluska yang lunak dilindungi oleh cangkang (exoskleton) yang keras (Ghufran dan Kordi, 2011). Cangkang (exoskleton) yang melindungi tubuh hewan moluska seperti kerang terbuat dari kalsium karbonat (CaCo3). Kalsium karbonat (CaCo3) ini dapat berfungsi


Syahrial, Emilia Chandra Pemanfaatan Cangkang Kerang ...

sebagai oksidator dan adsorben untuk menurunkan kandungan Fe dalam air. Hasil survey pendahuluan di salah satu rumah masyarakat di RT. 17 No. 47 kel. Kenali Asam Bawah Kecamatan Kotabaru Jambi yang menggunakan sumur bor sebagai sumber air keperluan sehari-hari diketahui kandungan Fe nya 2 Mg/l.

2012

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Kadar Fe pada Sampel AirSebelum dan Sesudah Melewati Lapisan Cangkang Kerang No 1. 2. 3. 4. 5. Jumlah x

Kadar Fe Sebelum 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 2.0 0.4

60 cm 0.19 0.18 0.26 0.22 0.21 1.06 0.21

Kadar Fe Sesudah 80 cm 100 cm 0.09 0.09 0.11 0.07 0.16 0.07 0.13 0.07 0.1 0.08 0.59 0.38 0.12 0.08

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian sudah dilakukan di Laboratorium Kimia lingkungan Jurusan kesehatan Lingkungan Poltekkes Jambi pada bulan Juni 2011. Penelitian ini bersifat eksprimen dengan rancangan Pre-Test Post-Test only desain dan one group posttest. Populasi pada penelitian ini adalah air sumur bor. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagian air sumur bor yang kandungan besinya tinggi. Pengumpulan Data terdiri Data primer diperoleh dari hasil pemeriksaan laboratorium berupa kadar Fe pada sampel air sumur bor dan Data sekunder diperoleh dari penelusuran literatur-literatur yang digunakan Tahap penelitian terdiri tahap persiapan yaitu persiapan alat, bahan dan reagen untuk pemeriksaan laboratorium. Sedangkan pada tahap pelaksanaan melakukan pemeriksaan kadar fe pada sampel air sumur bor di laboratorium. Untuk menguji hipotesa dalam analisa data digunakan uji statistik yaitu t-Test dan Analisa Varians HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa penurunan kadar Fe air sumur bor sesudah melewati lapisan cangkang kerang 60 cm, 80 cm dan 100 cm adalah 0,21mg/l, 0,12 mg/l dan 0,08 mg/l, sehingga dari tiga lapisan tersebut, terlihat adanya penurunan kadar Fe air Sumur bor setelah melewati lapisan cangkang kerang. Tabel 2. Persentase Perbedaan Kadar Fe Sebelum dan Sesudah Melewati Lapisan Cangkang Kerang 60 Cm Lapisan cangkang kerang No

1. 2. 3. 4. 5. Jumlah x

Sebelum

Sesudah

Perbedaan penurunan kadar Fe

0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 2.0 0.4

0.19 0.18 0.26 0.22 0.21 1.06 0.21

0.21 0.22 0.14 0.18 0.19 0.94 0.19

% Perbedaan kadar Fe

52.5 55.0 35.0 45.0 47.5 235.00 47.00

Berdasarkan tabel 2 rata-rata penurunan kadar Fe adalah 0,21 mg/l perbedaan persentase sebesar 47 %. Penurunan ini sudah memenuhi syarat kesehatan yang ditetapkan untuk air bersih sebesar 0,3 mg/l.

Data yang diperoleh dari penelitian Tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

9


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Tabel 3 Persentase Perbedaan Kadar Fe Sebelum dan Sesudah Melewati Lapisan Cangkang Kerang 80 Cm Lapisan cangkang Sebelum Sesudah 1. 0,4 0,09 2. 0,4 0,11 3. 0,4 0,16 4. 0,4 0,13 5. 0,4 0,1 Jumlah 2,0 0,59 x 0,4 0,12 No

Perbedaan % penurunan Perbedaan 0,31 77,5 0,29 72,5 0,24 60,0 0,27 67,5 0,3 75 1,41 352,50 0,28 70,50

Berdasarkan tabel 3 rata-rata penurunan kadar Fe adalah 0,12 mg/l perbedaan persentase sebesar 70,50 % Penurunan ini sudah memenuhi syarat kesehatan yang ditetapkan untuk air bersih sebesar 0,3 mg/l Tabel 4 Persentase Perbedaan Sebelum dan Sesudah Melewati Lapisan Cangkang Kerang 100 cm Lapisan cangkang Sebelum Sesudah 1. 0,4 0,09 2. 0,4 0,07 3. 0,4 0,07 4. 0,4 0,07 5. 0,4 0,08 Jumlah 2,0 0,38 x 0,4 0,08 No

Perbedaa % n Perbedaa 0,31 77,5 0,33 82,5 0,33 82,5 0,33 82,5 0,32 80,0 1,62 405,00 0,32 81,00

Berdasarkan tabel diatas ratarata penurunan kadar Fe adalah 0,08 mg/l perbedaan persentase sebesar 81 % Penurunan ini sudah memenuhi syarat kesehatan yang ditetapkan untuk air bersih sebesar 0,3 mg/l Tabel 5. Rerata Besar Penurunan Kandungan Fe Air Sumur Bor Sebelum dan Sesudah Melewati Ketebalan Lapisan Cangkang Kerang dengan Ketebalan yang Berbeda No 1. 2. 3.

Ketebalan lapisan cangkang kerang 60 cm 80 cm 100 cm

Rerata besar kadar Penurunan Fe 0,21 0,12 0,08

Berdasarkan tabel 5 terlihat penurunan kadar Fe sudah memenuhi persyaratan kesehatan yang ditetapkan untuk air bersih yaitu 0.3 mg/l.

10

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisa dengan uji statistik yaitu T-test dari uji tersebut diketahui bahwa ketebalan 60cm dan 80 cm taraf signifikasi sebesar 0,000 antara ketebalan 60 cm dan 100 cm diperoleh taraf signifikasi 0,001 antara ketebalan 80 cm dan 100 cm diperoleh taraf signifikasi 0,055 berarti ada perbedaan yang bermakna. Hasil penelitian terhadap kadar Fe air sumur bor sebelum dan sesudah melewati lapisan cangkang kerang dengan ketebalan yang bervariasi sebagaimana terlihat di tabel 1 adalah sebelum disaring rata-rata kadar Fe tersebut 0,4 mg/l melebihi kadar maksimal yang diperbolehkan dalam Kepmenkes Nomor : 907/Menkes/SK/VII/2002, yaitu untuk air bersih sebesar 0,3 mg/l. Dari tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa rata-rata kadar besi air sumur bor sebesar 0,4 mg/l, ini masih tinggi jika dibandingkan dengan syarat yang diperbolehkan dalam Kepmenkes Nomor :907/Menkes/SK/VII/2002, yaitu untuk air bersih sebesar 0,3 mg/l Kadar besi dalam air ini dapat disebabkan karena pada umumnya air tanah mempunyai konsentrasi besi yang tidak larut menjadi konsentrasi besi yang larut dalam bentuk unsur / ion yang bervalensi (Fe+2). Jumlah zat besi yang sedikit dalam air tidak akan menimbulkan masalah, jika terdapat dalam jumlah yang berlebihan pada sistem penyediaan air bersih dapat mengurangi kualitas air tersebut dimana pada pakaian yang berwarna putih/terang apabila dipakai untuk mencuci. 4 Fe2+ 02 +10H20 → 4 Fe [OH] 3 + H+ Adanya kandungan besi dalam air juga dapat menyebabkan tumbuhnya bakteri besi dalam kelompok besi, dalam kelompok besar dapat menimbulkan sumbatan pada pipa serta dapat menyebabkan bau dan rasa yang tidak enak. Dari tabel 1 dapat dilihat adanya perbedaan kadar Fe air


Syahrial, Emilia Chandra Pemanfaatan Cangkang Kerang ...

sebelum melewati lapisan cangkang kerang dibandingkan sesudah melewati lapisan cangkang kerang. Dari lapisan cangkang kerang 60 cm dapat menurunkan kadar Fe menjadi 0,21 mg/l dengan persentase penurunan 47 % dan pada lapisan 80 cm mampu menurunkan kadar Fe menjadi 0,12 mg/l dengan persentase penurunan 70,50 %, dan pada lapisan 100 cm mampu menurunkan kadar Fe menjadi 0,08 mg/l dengan persentase penurunan 81%. Penurunan kadar besi ini disebabkan cangkang kerang mengandung kalsium karbonat (CaCO 3) dalam kadar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan batu gamping, cangkang telur, keramik atau bahan lainnya. Hal ini terlihat dari tingkat kekerasan cangkang kerang. Semakin keras cangkang, maka semakin tinggi kandungan kalsium karbonat (CaCO3) nya. Maka jika direaksikan dengan asam kuat seperti HCL dan ion logam yang terlarut dalam air dapat mengendapkan kandungan logam. Dari hasil penelitian dan pembahasan tersebut dapat diketahui bahwa pemakaian lapisan dengan menggunakan cangkang kerang mampu menurunkan kadar Fe dalam air, hal ini disebabkan oleh kalsium karbonat (CaCO3) bereaksi dengan kadar Fe yang terlarut dalam air sehingga kadar Fe terendap. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 907/Menkes/SK/VII/2002 kadar Fe maksimum yang diperbolehkan adalah 0,3 mg/l. Dari hasil pengujian dapat dilihat penyaringan melewati lapisan cangkang kerang dengan ketebalan 60 cm, 80 cm dan 100 cm dapat menurunkan kadar Fe yang sebelumnya sebesar 0,4 mg/l dapat diturunkan menjadi 0,21 mg/l, 0,12 mg/l dan 0,08 mg/l dengan demikian cangkang kerang dapat menurunkan kadar Fe pada air sumur bor. Adanya Fe dalam air tidak boleh melebihi dari 0,3 mg/l karena jika melebihi dapat menimbulkan akibat antara lain pengotoran pada bak, bau

2012

amis, memberikan warna dan noda coklat pada pakaian. Untuk itu perlu usaha penurunan yang diantaranya dengan melewati air pada media berpori-pori yang sering disebut penyaringan. Dari pemberian lapisan cangkang kerang ternyata terdapat endapan pada dasar wadah air tersebut. Penyaringan dengan menggunakan lapisan cangkang kerang ternyata dapat menurunkan kadar Fe dalam air. Penurunan Fe tersebut karena adanya pengaruh kalsium karbonat (CaCO3) dalam kadar yang tinggi Maka jika direaksikan dengan asam kuat seperti HCL dan ion logam yang terlarut dalam air dapat mengendapkan kandungan logam sehingga terjadilah penurunan kadar Fe.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ditemukan perbedaan yang bermakna pada penurunan kadar Fe sesudah melewati lapisan cangkang kerang ketebalan 100 cm dengan 80 cm, 100 cm dengan 60 cm dan 80 cm dengan 60 cm, Ketebalan cangkang kerang yang efektif menurunkan kadar besi dalam penelitian ini adalah dengan ketebalan 100 cm dikarenakan persentase penurunannya lebih besar yaitu 81% Disarankan bagi masyarakat untuk dapat dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari khususnya yang tinggal di daerah yang air tanahnya memiliki kadar Fe yang tinggi. Bagi peneliti lain dapat dijadikan inspirasi untuk melakukan kajian terhadap penurunan kadar logam lainnya pada air tanah lainnya

11


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini, 2008. Manajemen Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta. Depkes RI, 1998. Pedoman Upaya Penyehatan Air Bagi Petugas Sanitasi Puskesmas. Direktorat Jenderal PPM dan PLP, Jakarta. Sutrisno, Totok, dkk, 2002. Teknologi Penyediaan Air Bersih, Rineka Cipta, Jakarta Achmad R. 2004. Kimia Lingkungan. Jakarta: Andi Basset J. 2004. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Jakarta: EGC Ghufran MH, Kordi K. 2011. Budidaya 22 Komoditas Laut. Yogyakarta: Lily Publisher Sugiharto. 2005. Penyediaan Air Bersih Bagi Masyarakat Tanjung Karang. Proyek Pengembangan Pendidikan Tenaga Sanitasi Pusat Depkes Kepmenkes no 492 Tahun 2010 diakses melalui http://www.hukor.depkes.go.id Permenkes no 907/Menkes/SK/VII/2002 diakses melalui http://www.hukor.depkes.go.id

12


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

EVALUASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN MENCUCI TANGAN MENGGUNAKAN SABUN MELALUI METODE CERAMAH, DEMONSTRASI DAN LATIHAN DALAM UPAYA PENCEGAHAN PENYAKIT DIARE PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KOTA JAMBI TAHUN 2010 Wittin Khairani, Maimunah, Widya Sepalanita Staf Pengajar Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK

Masalah kasus diare merupakan masalah yang multidimensi dan dipengaruhi banyak faktor salah satunya faktor pendidikan. Langkah strategis dalam upaya pencegahan kasus diare diantaranya menggalangkan promosi kesehatan melalui penyuluhan dan pendidikan kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun. Pada kenyataannya kasus diare masih banyak terjadi di Kota Jambi pada anak usia sekolah dasar. Oleh sebab itu perlu adanya evaluasi program untuk menilai efektivitas program yang sudah dilaksanakan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif eksploratif dengan pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview), selanjutnya data di analisis dengan pendekatan Content Analysis untuk mengetahui program promosi kesehatan mencapai kelompok sasaran/tidak, mengetahui gambaran nilai pengetahuan serta pemahaman dan sikap siswa sekolah dasar setelah diberikan promosi kesehatan, dan untuk mengetahui program tersebut terimplementasi seluruhnya atau tidak. Sampel penelitian adalah siswa sekolah dasar kelas 6, pada SDN 47, SDN 68, SD Pertiwi I, dan SDN 02 di Kota Jambi, dengan jumlah 50 orang dengan teknik sampel purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan 33 informan dari 50 informan belum pernah mendapatkan penyuluhan promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun, 17 informan dari 50 informan yang memiliki pengetahuan serta pemahaman dan sikap yang baik terhadap tindakan mencuci tangan menggunakan sabun dan 23 informan dari 50 informan belum mengetahui teknik mencuci tangan menggunakan sabun yang benar dalam upaya pencegahan penyakit diare, artinya program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun belum terimplementasi seluruhnya secara baik. Kata kunci : promosi kesehatan, mencuci tangan menggunakan sabun.

PENDAHULUAN Masalah kasus diare merupakan masalah yang multidimensi dan dipengaruhi banyak faktor seperti ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan kesehatan. Hingga saat ini ada beberapa faktor yang langsung diyakini menyebabkan timbulnya kasus diare, yaitu: buruknya kondisi sanitasi lingkungan, kualitas air, maupun

pengendalian lalat. Pemerintah terus berupaya menanggulangi kasus diare melalui upaya kearah perbaikan kondisi sanitasi lingkungan, memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui promosi kesehatan. Upaya program promosi kesehatan yang telah dilakukan adalah menerapkan perilaku mencuci tangan menggunakan sabun dalam kehidupan sehari-hari, sebagai langkah yang strategis dan paling

13


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

mudah dalam upaya pencegahan kasus diare. Mencuci tangan menggunakan sabun dengan teknik yang benar mempunyai manfaat besar dalam upaya pencegahan penyakit diare. Upaya memelihara kesehatan dan mencegah risiko terjadinya penyakit serta melindungi dirinya dari ancaman penyakit melalui tindakan mencuci tangan menggunakan sabun, maka akan banyak mengurangi jumlah mikroorganisme dari tangan. Hasil studi Curtis & Caircross tahun 2003 dalam metastudinya mengungkapkan bahwa praktik mencuci tangan menggunakan sabun dapat mengurangi insiden diare sebanyak 42% - 47% kasus diare (Anonim, 2007). Berdasarkan Survei Health Service Program tahun 2006 mengungkapkan tentang perilaku masyarakat terhadap kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun, bahwa hanya 3% yang menggunakan sabun untuk mencuci tangan. Perilaku masyarakat pada 5 waktu kritis mencuci tangan tercatat 12 % setelah buang air besar, 9 % setelah membantu buang air besar pada bayi, 14 % sebelum makan, 7 % sebelum memberi makan bayi dan 6 % sebelum menyiapkan makanan (Kandun, 2007). Permasalahan yang terjadi selama ini setelah dilakukan promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun belum dapat menuntaskan kasus diare pada kelompok anak usia sekolah dasar. Adanya peningkatan kasus diare dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 sebesar 15 % kasus diare yang terjadi pada kelompok umur 6-12 tahun di Kota Jambi dengan jumlah kasus diare pada tahun 2008 adalah 5.201 kasus dan pada tahun 2009 menjadi 7.106 kasus diare (Dinkes Kota Jambi, 2009) Untuk mengatasi terus meningkatnya jumlah penderita diare, Dinas Kesehatan Kota Jambi telah melakukan beberapa upaya penanggulangan. Upaya yang telah ditempuh berupa penyuluhan yang berkala setiap 3 bulan sekali kepada masyarakat Kota Jambi. Metode yang

14

digunakan bervariasi meliputi ceramah, demonstrasi serta latihan oleh petugas kesehatan pada anak-anak usia sekolah dasar di Kota Jambi dan pemasangan poster, spanduk di kantorkantor dan di sekolah-sekolah. Namun dari intervensi yang sudah dilaksanakan belum dapat memberikan hasil yang optimum untuk menekan angka kesakitan diare, khususnya pada penderita kelompok umur 6-12 tahun. Oleh sebab itu perlu adanya evaluasi program untuk menilai efektivitas program yang sudah dilaksanakan yaitu promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun melalui metode ceramah, demonstrasi dan latihan terhadap pengetahuan serta pemahaman dan sikap siswa sekolah dasar dalam upaya pencegahan penyakit diare. Evaluasi program dilaksanakan setelah program di implementasikan bertujuan untuk mengetahui pencapaian dan mengidentifikasi keterbatasan dari suatu program. Melalui evaluasi program data-data dapat dikumpulkan, dinafsirkan dan dianalisis secara sistematis dengan tujuan untuk menetapkan nilai dari satu program. Selanjutnya dengan nilai yang ada dapat digunakan untuk pengembangan program selanjutnya (Dignan & Carr, 1992). Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran evaluasi program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun melalui metode ceramah, demonstrasi dan latihan pada siswa sekolah dasar di Kota Jambi. Teori yang dikemukakan Dignan & Carr(1992), mengemukakan bahwa evaluasi program digunakan untuk menyakini bahwa program telah berjalan sesuai dengan rencana dan berjalan sesuai yang dinginkan. Ada tiga pertanyaan utama dalam evaluasi program untuk mengukur sejauh mana efektivitas program, yaitu: (1) apakah program telah mencapai kelompok sasaran ?; (2) apakah program telah mencapai target nilai yang diharapkan?;


Wittin Khairani, Maimunah, Widya Sepalanita, Evaluasi Program Promosi Kesehatan Mencuci Tangan...

(3) apakah semua aktivitas program telah diimplementasi ?. Kelompok sasaran adalah kelompok yang mempunyai masalah kesehatan yaitu siswa-siswa sekolah dasar di Kota Jambi. Target nilai yang diharapkan setelah dilaksanakan promosi kesehatan pada siswa sekolah dasar yaitu: adanya peningkatan pengetahuan serta pemahaman dan sikap anak sekolah dasar terhadap pentingnya mencuci tangan

2012

menggunakan sabun dalam upaya mencegah penyakit diare. Aktivitas program yang diimplementasikan adalah program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun dengan melalui metode ceramah, demonstrasi dan latihan, mulai persiapan sampai pelaksanaan program. Kerangka pikir penelitian ini seperti skema dibawah ini :

KERANGKA KONSEP PENELITIAN Program mencapai sasaran anak SD ?

Pengetahuan, sikap, perilaku anak SD ttg CTPS

Program terimplemen tasi sebagian/ semua

Evaluasi Program Promosi Kesehatan Mencuci tangan menggunakan sabun

Gambar 1 : Skema Kerangka penelitian.

BAHAN DAN CARA KERJA Desain/rancangan penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif Eksploratif Teknik pengumpulan data melalui observasi dan menggunakan wawancara mendalam (in-depth interview) untuk mengali semua informasi dari responden. Prosedur pengumpulan data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa sekolah dasar kelas 6. Jumlah sampel penelitian 50 informan siswa sekolah dasar pada 4 sekolah dasar yang dipilih sebagai

lokasi penelitian. Teknik pengambilan sampel secara purposive sampling. Teknik pengambilan sampel ini dari sumber data dengan pertimbangan tertentu. Selanjutnya data kualitatif dilakukan validitas dan reliabilitas dengan cara pendekatan triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk pengecekan atau sebagai penbanding (Utarini, 2007). Triangulasi dilakukan terhadap sumber dan data. Dalam menganalisis data, hasil dari wawancara mendalam (in-depth interview) dilakukan pendekatan Content Analysis dari Miles dan Huberman ( 1992 ) Analisis data model

15


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

interaktif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus dari tahap pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Keempat proses ini dipengaruhi oleh interaksi sejak awal sampai berakhirnya penelitian (Miles & Huberman, 1992).

HASIL DAN PEMBAHASAN Permasalahan kasus diare pada siswa sekolah dasar di Kota Jambi perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah lintas sektoral maupun lintas program mengingat kasus diare di Kota Jambi banyak menimpa pada anak usia sekolah dasar umur 6 – 12 tahun. Kasus diare ini terus meningkat sebesar 15 % dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009. Kenyataan yang ada program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan diare pada anak usia sekolah dasar di Kota Jambi terus kita laksanakan sesuai dengan program yang sudah dicanangkan, tetapi sebaliknya kasus diare terus meningkat. Perlu adanya evaluasi untuk menilai serta mengetahui pelaksanaan program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun melalui metode ceramah, demonstrasi dan latihan dalam mencapai kelompok sasaran. Pelaksanaan program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun terhadap pencapaian kelompok sasaran pada anak usia sekolah dasar di Kota Jambi tidak merata, hanya terfokus pada sekolah – sekolah dasar tertentu. Hasil penelitian menunjukkan 33 informan dari 50 informan menyatakan bahwa belum pernah sama sekali mendapatkan penyuluhan dan pendidikan kesehatan melalui promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan diare dari praktisi promosi kesehatan pada lintas progam terkait. Informan tersebut bersekolah di SDN

16

68, kelurahan Legok dan SD swasta Pertiwi 1, Kelurahan Broni, Kota Jambi. Informan menyatakan bahwa informasi mencuci tangan menggunakan sabun mereka dapatkan sebagian dari media massa, televisi, dari orang tua tetapi informasi yang diperoleh belum lengkap tentang sabun apa yang semestinya dipakai, waktu - waktu penting mencuci tangan menggunakan sabun, bagaimana teknik yang benar dalam melakukan mencuci tangan menggunakan sabun. Seperti beberapa petikan kalimat informan berikut: ”...... Penyuluhan mencuci tangan pake sabun aku dapat cuma pado waktu di TK dulu, bu..., tapi selamo sekolah di SD belum pernah dapat penyuluhan.... kadang - kadang kami pernah dengar dari TV tentang pentingnya cuci tangan pake sabun…. Kami belum nian dapat penyuluhan tentang cuci tangan pake sabun dari ibu-ibu bidan , tapi kawankawan kami di sekolah lain ado yang dapat penyuluhan,…. Ado jugo yang belum seperti kami……”(K-6)

Dari kenyataan yang ada perlu kita sadari bersama dan perlu mengkajian mendalam tentang kebutuhan (Need Assesment) akan kelompok sasaran atau target yang berisiko tinggi terjadinya penularan penyakit diare. Hal ini guna perbaikan dan pembenahan dalam merencanakan program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun terhadap siswa –siswa sekolah dasar di Kota Jambi yang akan datang. Dari hasil penelitian ini terungkap bahwa dalam memberikan informasi melalui promosi kesehatan tidaklah merata pada sekolah-sekolah dasar yang ada di Kota Jambi. Pemberian promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun hanya difokuskan pada sekolah-sekolah dasar yang berstandar menengah ke atas, sekolah yang permanen, sekolah yang berstandar Nasional atau Internasional. Sebaliknya sekolah dasar yang tidak berstatus Nasional atau Internasional, berstatus sekolah dasar swasta dan


Wittin Khairani, Maimunah, Widya Sepalanita, Evaluasi Program Promosi Kesehatan Mencuci Tangan...

sekolah dasar yang terbuat dari papan berdiri ditepi Sungai BatangHari, sekolah dasar tersebut belum pernah sama sekali mendapatkan promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun dari praktisi promosi kesehatan, sedangkan angka kesakitan diare banyak terjadi pada daerah tersebut. Informan yang menyatakan pernah mendapatkan informasi promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun berjumlah 17 informan. Informasi tersebut didapat dari dinas kesehatan, puskesmas setempat dan dari Depkes Jakarta. Informan tersebut bersekolah di SDN 47, dan SDN 02 Kebun Jahe, Kota Jambi. Seperti beberapa petikan kalimat informan berikut : “…. Dulu, ….bu, kami dikasih tau oleh bapak-bapak dari kesehatan katonyo dari Jakarta kalo,…. ndak salah pado tahun 2009 dulu,…. Bapak itu memperagakan kayak mano cuci tangan yang betul… terus diperagakan dillapangan,… kami disuruh menirukan….” ( K- 15).

Secara umum anak pada usia sekolah dasar telah memiliki potensi, anak-anak relatif lebih mudah dididik daripada masa sebelumnya dan sesudahnya. Selanjutnya pada fase ini anak telah memahami adanya hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi, dimana apabila jasmani sehat maka banyak prestasi yang diperoleh. Pada masa usia sekolah dasar anak telah mempunyai kemampuan untuk belajar, mengetahui, berpikir realistik dan adanya minat untuk belajar ,mengetahui dan melaksanakan tugastugas sehari-hari yang praktis (Yusuf, 2006). Menurut WHO, promosi kesehatan adalah proses pemberdayaan untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat. Diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan serta mengembangkan lingkungan sehat. Pemberdayaan melalui peningkatan

2012

pengetahuan, sikap dan perilaku sehat (WHO, 2001). Promosi kesehatan pada hakekatnya adalah suatu usaha menyampaikan (pesan) informasi kesehatan kepada masyarakat, kelompok dan individu, agar memperoleh pengetahuan tentang kesehatan dengan adanya pengetahuan diharapkan dapat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat, yaitu perilaku sehat. Perilaku sehat diartikan sebagai perilaku proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berperan dalam gerakan sehat (Depkes, 2000b). Peranan promosi kesehatan sangat strategis pada masa anak sekolah dasar karena menanamkan perilaku hidup bersih dan sehat sejak dini terhadap siswa sekolah dasar dengan selalu membudayakan kebiasaan mencuci tangan menggunakan sabun pada waktu-waktu penting merupakan tindakan proaktif untuk memelihara dan mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi dirinya dari ancaman penyakit. Pengetahuan merupakan hasil tahu, ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengetahuan penting dan menentukan sikap dan untuk memotivasi seseorang untuk berperilaku sehat, kedua unsur tadi mempunyai hubungan positif (Green, 1980). Pemerintah telah berupaya untuk menekan angka kasus diare melalui upaya kearah perbaikan kondisi sanitasi lingkungan, memberikan pengetahuan kepada masyarakat melalui promosi kesehatan dengan metode yang tepat merupakan langkah tindakan yang tepat dengan adanya peningkatan pengetahuan, sikap dan perilaku sehat maka merupakan tindakan proaktif dari masyarakat, kelompok dan individu untuk memelihara dan mencegah risiko terjadinya penyakit, melindungi dirinya dari ancaman penyakit. Dengan

17


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

mencuci tangan menggunakan sabun maka akan banyak mengurangi jumlah mikroorganisme dari tangan (Indriyono, 2007). Setelah program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun dilaksanakan, perlu dievaluasi untuk mengetahui pencapaian dan mengidentifikasi keterbatasan dari suatu program. Melalui evaluasi program data-data dapat dikumpulkan, ditafsirkan dan dianalisis secara sistematis dengan tujuan untuk menetapkan nilai dari satu program. Selanjutnya dengan nilai tersebut dapat digunakan untuk perbaikan dan pengembangan program selanjutnya (Dignan & Carr, 1992). Pengetahuan, pemahaman serta sikap informan siswa sekolah dasar terhadap promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan diare hampir sama, setelah mendapatkan penyuluhan atau promosi kesehatan. Informan memahami dengan baik sabun apa yang sebaiknya digunakan, manfaat dan pentingnya mencuci tangan menggunakan sabun terutama pada waktu-waktu penting serta teknik yang benar dalam mencuci tangan menggunakan sabun. Promosi kesehatan dengan menggunakan metode yang tepat merupakan langkah strategis untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman serta sikap siswa sekolah dasar dalam melakukan tindakan mencuci tangan menggunakan sabun. Informan yang menyatakan dengan benar sabun yang sebaiknya digunakan, manfaat dan pentingnya, waktu-waktu penting dan teknik yang benar dalam mencuci tangan menggunakan sabun berjumlah 17 informan. Informasi tersebut didapat dari dinas kesehatan, puskesmas setempat dan dari depkes Jakarta. Informan tersebut bersekolah di SDN 47, SDN 02, Kebun Jahe, di Kota Jambi. Seperti beberapa petikan kalimat informan berikut : sabun

18

“….. Cuci tangan pake Lifeboy atau sabun

antiseptik… supaya kuman yang menempel di tangan mati …pake air yang mengalir.. dari keran air,.. tangan dicuci, dikasih sabun digosok-gosok pada sela-sela jari, punggung tangan, dan kuku-kuku digosok dengan sikat dan sabun lalu dibersihin…., trus dibilas samo air bersih yang mengalir…. “ (K 24). “…. Kami., tuh kalo cuci tangan pake sabun, kalo mau makan, habis dari BAB atau dari WC, dari habis pegang-pegang hewan seperti kucing, ayam… atau habis main dengan kawankawan…supayo kito tidak sakit perut dan keno mencret… bu…” ( K- 36 ).

Setelah dilaksanakan promosi kesehatan pengetahuan, pemahaman serta sikap informan mengenai mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan diare dari hasil penelitian menunjukkan peningkatan. Tetapi peningkatan pengetahuan, pemahaman serta sikap tersebut dari hasil penelitian menunjukkan sangat kurang dari jumlah semua informan yang berjumlah 50 orang hanya 17 orang informan yang memiliki pengetahuan, pemahaman serta sikap yang benar terhadap tindakan mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan diare. 33 orang informan yang memiliki pengetahuan, pemahaman serta sikap yang kurang terhadap manfaat, pentingnya mencuci tangan menggunakan sabun, waktuwaktu penting dan teknik yang benar dalam melakukan tindakan mencuci tangan pakai sabun. Informan tidak dapat mengungkapkan dengan tepat tentang sabun apa yang sebaiknya digunakan, manfaat dan penting mencuci tangan menggunakan sabun, waktu-waktu penting dan teknik yang benar dalam melakukan tindakan mencuci tangan menggunakan sabun tetapi mereka telah berusaha menyampaikan beberapa informasi yang sebatas yang mereka ketahui. Penyebab tingkat pengetahuan, pemahaman serta sikap informan yang kurang tentang tindakan mencuci tangan menggunakan sabun


Wittin Khairani, Maimunah, Widya Sepalanita, Evaluasi Program Promosi Kesehatan Mencuci Tangan...

dalam upaya pencegahan diare. Dikarenakan mereka belum pernah sama sekali mendapatkan penyuluhan dan pendidikan kesehatan melalui promosi kesehatan situasi ini terjadi sekolah mereka belum pernah mendapatkan kunjungan dari praktisi promosi kesehatan pada instansi terkait hanya sekolah dasar tertentu saja yang dikunjungi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 23 orang informan dari 50 informan belum mengetahui teknik mencuci tangan menggunakan sabun yang benar dalam upaya pencegahan penyakit diare, artinya belum terimplementasi seluruhnya program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun secara baik. Permasalahan tersebut menunjukkan dalam proses perencanaan yaitu tahapan need assessment (pengkajian kebutuhan promosi kesehatan untuk melihat sasaran dengan menggunakan metode yang tepat) belum dilakukan sepenuhnya. Dalam tahapan promosi kesehatan, sebelum program dilaksanakan seharusnya pemberi program melakukan need assessment terhadap komunitas yang akan menerima program. Informan tidak dapat mengungkapkan dengan tepat tentang teknik yang benar dalam melakukan tindakan mencuci tangan menggunakan sabun tetapi mereka telah berusaha menyampaikan beberapa informasi yang sebatas yang mereka ketahui. Penyebab tingkat pemahaman informan yang kurang tentang teknik yang benar mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan diare. Dikarenakan mereka mendapatkan penyuluhan dan pendidikan kesehatan tidak lengkap dengan metode yang tidak tepat pula untuk usai anak sekolah dasar. Seperti dalam beberapa petikan kalimat informan berikut : “…… Kurang tau… bu (menggelengkan kepala)… cuci tangan pakai sabun colek atau sabun LUX..... Yah, cuci- cuci gitu,… bu… pake air sampe ,… baseng-baseng, be….

2012

(sembarangan)… tangan dicuci dulu, bu… baru pake sabun (dipraktekkan), baru dicuci lagi pake sabun.....” ( K- 28 ).

Berdasarkan teori Dignan & Carr (1992), suatu program promosi kesehatan harus melalui tahapan analisis komunitas untuk mengkaji kebutuhan sasaran, metode yang tepat digunakan dilanjutkan dengan proses pengembangan program kemudian dimplementasikan, setelah pelaksanaan program diperlukan evaluasi. Pada penelitian ini memberikan gambaran bahwa promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan diare pada siswa sekolah dasar di Kota Jambi belum sesuai dengan tahapan program promosi kesehatan yang dikembangkan oleh Dignan & Carr, untuk itu program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan penyakit diare perlu dibenahi dan disempurnakan.

KESIMPULAN DAN SARAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif eksploratif dengan pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam (in-depth interview). Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun melalui metode ceramah, demonstrasi dan latihan belum mencapai semua atau tidak merata pada semua kelompok sasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 33 informan dari 50 informan belum pernah sama sekali mendapatkan promosi kesehatan tentang mencuci tangan menggunakan sabun dalam upaya pencegahan penyakit diare. Setelah program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun melalui metode ceramah, demonstrasi dan latihan dilaksanakan dapat meningkatkan

19


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

pengetahuan, pemahaman dan sikap siswa sekolah dasar terhadap manfaat/pentingnya, waktu-waktu penting dan teknik mencuci tangan menggunakan sabun yang benar, meskipun dalam jumlah yang sedikit dari jumlah total informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 17 informan dari 50 informan yang memiliki pengetahuan, pemahaman dan sikap yang baik. Program promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun melalui metode ceramah, demonstrasi dan latihan belum terimplementasi sesuai dengan rencana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 23 informan dari 50 informan belum mengetahui tentang manfaat, waktu-waktu penting, dan teknik mencuci tangan menggunakan sabun yang benar dalam upaya pencegahan penyakit diare. Para pembuat kebijakan program promosi kesehatan, hendaknya mengkaji kebutuhan (need assesment) kelompok sasaran dengan memprioritaskan kelompok yang mempunyai resiko tertular dan menggunakan metode promosi kesehatan yang tepat untuk anak usia sekolah dasar sehingga promosi kesehatan mencuci tangan menggunakan sabun yang diberikan tepat dan sesuai dengan sasaran (anak SD). Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pikiran bahwa banyak sekali permasalahan yang terjadi ditengah-tengah masyarakat kita khususnya masalah kesehatan pada umumnya. Pengungkapan permasalahan tersebut dapat digali dengan menggumpulkan data-data yang banyak dan bervariatif, melalui pendekatan kualitatif dapat menjawab tantangan tersebut. Tidak selamanya melalui pendekatan kuantitatif dapat menjawab permasalahan kesehatan yang terjadi pada masyarakat kita.

20

DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2007, Cuci tangan pakai sabun efektif cegah Diare Bulletin Gerakan Cuci Tangan Pakai Sabun. Koalisi Untuk Indonesia Sehat dengan dukungan Sheel Indonesia. Edisi Pertama Januari Maret 2007. Dignan, M.A and Car, P.A. 1992 , Program Planning for Health Education and Promotion, Lea & Febiger, Philadelpia. Dinas Kesehatan Kota Jambi. 2009, Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Jambi Tahun 2009. Departemen Kesehatan RI. 2000b. Buku Panduan Program PHBS Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Green, L,W., Kreuter, H,W., Deeds, S.G and Patridge, K,B. 1980, Health Education Planning; A Diagnostic Approach, Mayfield Publishing Compeny, California. Indriyono. 2007. Cuci Tangan Cegah Diare dan ISPA (internet) Available from republika .co.id (Accessed 13 juli 2007). Kandun. 2007. Cara Sedernaha Hindari Penyakit (Internet), Available from http: //www.depkes.go.id/popups(Accessed 19 juli 2010). Miles, M.B & Huberman, AM. 1992. Analisa Data Kualitatif, Buku Sumber tentang metode-metode Baru, Rohidi, TjR ( 1992 ) ( alih bahasa ), Jakarta Universitas Indonesia ( UI )- Press. Utarini, A. 2007. Metode penelitian Kualitatif di Bidang Kesehatan. Modul mata kuliah, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. World Health Organization,& DepkesRI. 2001. Konferensi Nasional Promosi Kesehatan, Pemberdayaan Masyarakat Menuju Indonesia Sehat 2010 Kumpulan Makalah dan Hasil Konferensi, Jakarta. Yusuf, S. 2007. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Cetakan ketujuh, Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung.


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

GAMBARAN PREVALENSI KASUS MALOKLUSI PADA SISWA SMP DAERAH RURAL DAN URBAN DI KOTA JAMBI TAHUN 2011 Ahmad Khairullah, Junaidi, Karin Tika Fitria Staf Pengajar Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK Pembangunan kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dengan pembangunan Bangsa Indonesia seutuhnya. Salah satu indikator kesehatan gigi dan mulut adalah indeks DMF-T anak usia 12 tahun < 1. Namun indeks untuk kasus maloklusi belum ada, demikian pula hasil RISKESDAS 2007 belum tersedianya data tentang maloklusi ini baik di Propinsi Jambi maupun di Indonesia. Sementara itu trend pemakaian alat Orthodonsi cekat di Kota Jambi khususnya para remaja meningkat pesat, hal ini dapat dijadikan bahwa kasus maloklusi / gigi berjejal / crowded juga meningkat. Untuk itulah peneliti merasa perlu kiranya dilakukan penelitian epidemiologi kasus maloklusi di kota Jambi khususnya para remaja. Sedangkan prevalensi maloklusi remaja di Indonesia tahun 2006 sebesar 89%. Jenis Penelitian adalah penelitian survei dengan rancangan kros seksional. Populasi penelitian adalah murid SMP daerah rural dan urban ada di Kota Jambi. Besar sampel di daerah rural dan urban masing-masing 40 orang yang diambil secara multi stage cluster random sampling. Penentuan prevalensi maloklusi menggunakan indeks Treatment Priority Index. Analisa data yang dipergunakan adalah uji beda mean dengan Kolgomorov Smirnov Z test. Dari hasil penelitian diperoleh prevalensi kasus maloklusi siswa SMP daerah rural sebesar 90% dengan kasus yang memerlukan perawatan orthodonsi sebesar 32,5%. Sedangkan pada siswa SMP daerah urban, prevalensi kasus maloklusi sebesar 95% dengan kasus yang memerlukan perawatan orthodonsi sebesar 35%. Tidak ada perbedaan bermakna antara prevalensi kasus maloklusi daerah rural dan daerah urban serta antara siswa laki-laki dan perempuan. Kata kunci: prevalensi maloklusi, urban, rural, kesehatan gigi dan mulut

PENDAHULUAN

Penelitian tentang karies gigi dan kebersihan gigi mulut baik dampaknya maupun penyebabnya sudah banyak dilakukan para peneliti maupun oleh mahasiswa. Begitu pula indikator-indikator tentang karies dan kebersihan gigi dan mulut sudah ditentukan oleh Depkes RI. Sebaliknya penelitian tentang kasus maloklusi masih sedikit sekali dilakukan, khususnya di Indonesia. Hal ini kemungkinan di karenakan

kasus maloklusi belum menjadi prioritas program kesehatan gigi di Indonesia. Namun saat ini di kota trend anak remaja menggunakan alat orthodonti cekat sangat meningkat. Hal ini bisa menunjukkan bahwa kasus maloklusi juga meningkat jumlahnya di tengah masyarakat dan seiring juga meningkatnya kebutuhan perawatan gigi berjejal/maloklusi masyarakatpun. Data maloklusi di Kota Jambi maupun Provinsi Jambi termasuk dari data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 belum ada.

21


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Sementara hasil penelitian di beberapa daerah sudah ada walaupun baru sedikit sekali. Prevalensi maloklusi remaja di Indonesia pada tahun 2006 sebesar 89%(cit. Dewi, 2008). Sementara Dewi, (2008) mendapatkan prevalensi maloklusi remaja SMU Kota Medan sebesar 60,5%, dengan kebutuhan perawatan orthodonsi sebesar 23%. Wijanarko(1999) mendapatkan prevalensi maloklusi sebesar 83,4% pada siswa SMP di Jakarta usia 12 – 14 tahun dan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Di Surabaya tahun 2007 Ardiansyah mendapatkan 76% remaja autis usia 9 – 14 tahun yang menderita maloklusi. Di Amerika Serikat anak usia 12 – 17 tahun anatara tahun 1966-1970 Kelly & Harvey(1977) melaporkan hanya 11% yang mempunyai oklusi normal, sisanya sebesar 89% maloklusi. (cit. Dewanto,1993). Sedangkan di Malaysia, Esa R dkk tahun 2001 mendapatka prevalensi maloklusi anak usia 12 – 13 tahun sebesar 37,4%. Maloklusi sebagai kelaianan pada gigi dan mulut memang sebagian tidak menyebabkan rasa sakit, Namun akibat dari maloklusi ini dapat menyebabkan penderita merasa minder dalam pergaulannya dan lebih jauh lagi bisa menyebabkan tidak bisa melanjutkan pendidikan ke institusi tertentu, misalnya untuk masuk pendidikan kepolisian, tentara, pilot, pramugari dan lain-lain. Maloklusi adalah segala keadaan yang menyimpang dari oklusi yang diterima sebagai bentuk standar yang normal. Maloklusi bukanlah suatu kelainan yang sederhana, tetapi lebih kepada suatu seri kelainan yang berbedabeda dan saling berhubungan. Pengertian oklusi menurut Dewanto adalah berkontaknya permukaan oklusal gigi-geligi di rahang atas dengan permukaan oklusal gigi-geligi di rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang bawah menutup(Dewanto, 1993). Menurut Dewanto Oklusi normal adalah suatu

22

hubungan gigi geligi di satu rahang terhadap gigi-geligi di rahang yang lain apabila kedua rahang tersebut dikatupkan dan condylus mandibularis berada pada fossa glenoidea. Kelainan maloklusi saat ini semakin sering kita jumpai pada para remaja dengan kasat mata orang awam yaitu dengan melihat gigi gingsul atau gigi berjejal. Kejadian ini mungkin jarang kita jumpai pada remaja pada tahun 1970 -1980 di Jambi khususnya. Apakah hal ini berhubungan dengan pola makan-makanan modern yang cenderung serba renyah, lunak dan tidak memerlukan kekuatan gigi untuk mengunyah. Kita ambil satu contoh sederhana saja, dulu bila ingin minum air tebu kita harus memerasnya dengan gigi geligi dahulu, dengan demikian gigi dan rahang mendapatkan rangsangan yang cukup sehingga pertumbuhannya baik dan dapat menampung pertumbuhan gigi dengan bai pula. Sebaliknya sekarang bila ingin minum air tebu cukup dengan membeli air tebu yang telah diperas dengan begitu gigi dan rahang tidak berfungsi dengan baik, akibatnya rahang tidak dapat menampung gigi geligi dengan baik. Tidak adanya definisi maloklusi yang tepat untuk studi epidemiologi, maka sampai saat ini belum ada indeks maloklusi yang seragam dan digunakan secara luas. Namun diantara indeks maloklusi yang ada, yang paling banyak digunakan di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa untuk melihat gambaran yang luas tentang prevalensi adalah indeks Treatment Priority Index (TPI). (Dewanto, 1993) Uji TPI ini merupakan salah satu indeks yang direkomendasikan oleh WHO untuk epidemiologi maloklusi (Dewanto, 1993). Indeks ini diperkenalkan oleh Grainger pada tahun 1967 dan penyusunannya berdasarkan konsep bahwa malokusi bukan merupakan keadaan yang sederhana tetapi lebih kepada seri kelainan yang berbeda-beda, namun


Ahmad Khairullah, Junaidi, Karin Tika Fitria, Gambaran Prevalensi Kasus Maloklusi pada Siswa SMP‌

antara satu dan lainnya saling berhubungan. (Gardner, 1967) Pemakaian indeks ini dapat diandalkan karena Sciever dkk.pada tahun 1974 telah membuktikan dengan penelitian bahwa cara penilaian dengan TPI merupakan metode yang objektif dan reliable untuk menilai derajat keparahan maloklusi bagi tujuan epidemiologi. Indeks tersebut didapat dengan pemberian skor tertentu pada ciri-ciri maloklusi diantaranya yaitu Jarak Gigit (Overjet), Gigitan Terbalik (Crossbite), Tumpang Gigit (Overbite), Gigitan terbuka anterior (Openbite anterior), Gigi insisiv agenesis, Hubungan Molar Distoklusi, Hubungan Molar Mesioklusi, Gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas bukoversi(Posterior Crossbitemaxillary molar buccoversion), Gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas linguoversi(Posterior Crossbitemaxillary molar linguoversion), Malposisi gigi, Celah langit, kondisi traumatik lain dan anomali dentofasialyang berat. (Dewanto, 1993) Pemerikasaan epidemiologis maloklusi ditujukan untuk menentukan prioritas perawatan bagi sekelompok populasi berdasarkan tenaga, fasilitas dan dana yang tersedia. Beberapa studi maloklusi telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Peneliian yang dilakukan pada siswa SMP di wilayah kotamadya Bandung yang dilakukan oleh Gan-gan pada tahun 1997 menunjukkan prevalensi yang mencapai 90,79%. Keadaan ini mencakup maloklusi berat 26,32%, maloklusi sedang 11,84% dan maloklusi ringan 11,84%. (Gan-gan, 1997) Di Medan, prevalensi maloklusi pada 4 Sekolah Umum bahkan mencapai 83%(Marpaung, 2006 cit. Dewi, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran prevalensi kasus maloklusi pada siswa SMP daerah rural dan urban di Kota Jambi tahun 2011.

2012

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian adalah survei dengan rancangan kros seksional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat prevalensi kasus maloklusi dan melihat apakah ada perbedaan antara SMP daerah rural dengan urban serta antara siswa laki-laki dan perempuan dan pengukuran variabel-variabel tersebut dilakukan sekaligus pada waktu yang bersamaan (Pratiknya, 1993). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SMP di daerah rural dan urban di Kota Jambi. Metode yang digunakan untuk pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan multi stage klaster random sampling, dengan memilih masing-masing daerah satu kelas. Besar sampel ditentukan menggunakan rumus untuk uji beda dua mean dengan hasil masingmasing 40 orang dengan derajat kepercayaan 90%, dan presisi sebesar 5%(Ariawan, 1997). Variabel penelitian yang digunakan adalah variabel bebas yaitu prevalensi kasus maloklusi siswa SMP di daerah rural dan urban di Kota Jambi tahun 2011. Maloklusi adalah segala keadaan yang menyimpang dari oklusi yang diterima sebagai bentuk standar yang normal. SMP daerah rural adalah SMP yang lokasinya secara geografis terletak di pinggiran wilayah Kota Jambi, atau berbatasan dengan Kabupaten Muara Jambi. SMP daerah urban adalah SMP yang lokasinya secara geografis terletak di tengah wilayah Kota Jambi. Penelitian dilakukan pada 80 siswa Sekolah Menengah Pertama di Kota Jambi yang dibagi menjadi 40 siswa dari SMP yang mewakili daerah urban dan 40 siswa SMP yang mewakili daerah rural. SMP yang mewakili daerah urban adalah SMP Muhamaddiyah sedangkan SMP yang mewakili daerah rural adalah SMP YKPP. Sampel berusia antara 12-15 tahun dengan jumlah keseluruhan lakilaki sebanyak 38 siswa dan perempuan sebanyak 42 siswa.

23


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Indeks yang digunakan untuk mengukur keparahan maloklusi secara epidemiologi adalah Treatment Priority Index (TPI). Indeks ini memberikan skor pada keadaan ciri-ciri maloklusi yang berupa Jarak Gigit (Overjet), Gigitan Terbalik (Crossbite), Tumpang Gigit (Overbite), Gigitan terbuka anterior (Openbite anterior), Gigi insisiv agenesis, Hubungan Molar Distoklusi, Hubungan Molar Mesioklusi, Gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas bukoversi (Posterior Crossbite-maxillary molar buccoversion), Gigitan silang posterior dengan segmen gigi atas linguoversi (Posterior Crossbite-maxillary molar linguoversion), Malposisi gigi serta Celah langit, kondisi traumatik lain dan anomali dentofasialyang berat. Dari skor yang didapat kemudian total skor akan dikategorikan sebagai berikut: 0 : Normal Oklusi 1-3 : Maloklusi Ringan (Minor Manifestations and Treatment Need is Slight) 4-6 : Maloklusi Sedang (Definite Maloklusion but Treatment Elective) 7-9 : Maloklusi Berat (Severe Handicap, Treatment Highly Desirable) >10 : Maloklusi Sangat Parah (Very Severe Handicap with Treatment Mandatory) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil yang tampak pada tabel 1. Tabel 1. Tabel Deskriptif Hasil Skor TPI diantara kedua sekolah Range URBAN RURAL TOTAL Skor TPI Jumlah % Jumlah % Jumlah % 0 2 5 4 10 6 7.5 1-3

17

42.5

13

32.5

30

37.5

4-6

7

17.5

10

25

17

21.25

7-9

9

22.5

6

15

15

18.75

≼10

5

12.5

7

17.5

12

15

80

100

40

24

40

Dari tabel 1 tampak bahwa prevelensi maloklusi siswa SMP daerah urban tampak 5% dari siswa yang memiliki oklusi normal, sementara siswa lainnya mengalami maloklusi dengan kasus yang segera memerlukan perawatan orthodonsi sebesar yaitu maloklusi berat dan sangat parah sebanyak 35% dan kasus yang dominan adalah kasus ringan (42,5%). Sedangkan Prevalensi kasus maloklusi (ringan - sangat parah) pada siswa SMP daerah rural sebesar 90% dengan kasus yang segera memerlukan perawatan orthodonsi ( maloklusi berat – sangat parah) sebesar 32,5% dan kasus yang dominan adalah kasus ringan (32,5%). Apabila dilihat secara keseluruhan maka diperoleh hasil bahwa sampel sebanyak 7,5% termasuk oklusi normal, 21,25% merupakan maloklusi sedang, 18,75% maloklusi berat dan 15 % maloklusi sangat parah. Persentasi paling dominan yaitu 37,5% sampel mengalami maloklusi ringan. Hasil penelitian ini sedikit lebih tinggi dari prevalensi remaja di Indonesia tahun 2006 sebeasr 89% dan jauh lebih tinggi dibanding remaja di Kota Medan tahun 2008 dengan prevalensi maloklusi sebesar 60,5%.(Dewi, 2008). Hasil ini juga menunjukkan remaja di Kota Jambi mempunyai kasus maloklusi lebih tinggi dibanding remaja /siswa SMP di Jakarta tahun 1999 sebesar 83,4% (Wijanarko,1999). Hasil ini juga sejalan dengan remaja usia 12 – 17 tahun di Amerika Serikat dengan maloklusi sebesar 89% (Kelly&Harvey, 1977). Namun hasil penelitian ini jauh lebih besar bila dibanding remaja usia 12 – 13 tahun di Malaysia yang hanya mempunyai maloklusi sebesar 37,4% pada tahun 2001 (Esa,2001). Tingginya maloklusi pada siswa SMP di Kota Jambi ini juga seiring dengan semakin kurangnya jenis makanan yang memerlukan daya kunyah tinggi sehingga rangsangan terhadap rahang juga kecil akibatnya pertumbuhan rahang tidak sesuai


Ahmad Khairullah, Junaidi, Karin Tika Fitria, Gambaran Prevalensi Kasus Maloklusi pada Siswa SMP‌

dengan jumlah dan ukuran gigi permanen. Hal ini ssesuai dengan penyebab maloklusi salah satunya adalah sifat alami makanan pada proses pengunyahan dan gigi berlubang. (Moyers, 1988 in Singh, 2007). Jumlah dominan pada maloklusi ringan juga tampak pada hasil pemeriksaan TPI yang dilakukan oleh Kelly dan Harvey pada tahun 1977. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada anak-anak berusia 12-17 tahun di Amerika Serikat paling banyak (34%) mengalami maloklusi ringan. Bila dibandingkan antara remaja berkulit hitam dan berkulit putih, remaja berkulit hitam lebih banyak mengalami oklusi normal dan maloklusi ringan dibandingkan remaja kulit putih, serta wanita remaja kulit hitam memiliki kecenderungan maloklusi sangat berat yang lebih tinggi dibandingkan prianya, namun pada remaja kulit putih tidak terdapat perbedaan signifikan antara pria dan wanitanya. (Dewanto, 1993) Sementara pada uji TPI yang dilakukan pada 572 pelajar di Sekolah Dasar berusia 6-10 tahun 1998 di Ankara Turki tampak dominasi maloklusi pada kriteria sedang sebanyak 25,17%. Sementara Oklusi normal ditemukan pada 40,38% populasi, maloklusi ringan 21,85%, Maloklusi Parah 7,5% serta 5,08% mengalami maloklusi sangat parah. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan. Secara umum maloklusi disebabkan 2 faktor utama yaitu faktor genetik (hereditary factor) dan faktor lingkungan (environmental effect). Namun timbulnya maloklusi sebagian besar diakibatkan oleh penyebab yang multifaktorial. Berbagai ahli telah menjabarkan etiologi dari maloklusi,salah satu yang paling banyak digunakan adalah klasifikasi etiologi maloklusi berdasarkan Moyers, (Moyer 1988 in Singh. 2007) yaitu secara herediter, cacat tumbuh

2012

kembang, trauma, agen fisik (ekstraksi gigi dini pada gigi susu dan Sifat alami makanan pada proses pengunyahan), Kebiasaan buruk (menghisap jempol dan jari, tongue thrusting-kebiasaan mendorong lidah ke langit langit di arah depan, menghisap bibir dan menggigit bibir, kebiasaan posisi postural yang tidak baik, Menggigit kuku dan kebiasaan buruk lainnya), penyakit gigi mulut maupun sistemik, serta malnutrisi Maloklusi bila tidak dilakukan perawatan dapat mempengaruhi kesehatan gigi mulut antara lain karies, penyakit periodontal, trauma gigi anterior, fungsi mastikasi/pengunyahan terganggu, gangguan fungsi bicara impaksi gigi akibat kurangnya ruang untuk tumbuhnya gigi dan gangguan sendi temporo mandibular serta masalah psikologis. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan pada perawatan ortodonsi ialah masalah estetik, kesehatan gigi mulut, perbaikan fungsi-fungsi dalam gigi mulut serta stabilitas dari perawatan itu sendiri. Perminataan terhadap perawatan ortodonsi sendiri berbeda-beda tiap individu. Beberapa individu sangat peduli terhadap maloklusi yang sebenarnya ringan, sementara yang lain tidak perduli pada maloklusi yang parah dan jelas terlihat. (Mitchell, 2007) Peningkatan permintaan terhadap perawatan ini meningkat pada wanita, keluarga dengan tingkat sosial ekonomi tinggi, pada lingkungan yang sudah awam dengan perawatan orthodonsi. (Mitchell, 2007) Dilihat dari kebutuhan perawatan orthodonsi segera yakni untuk kasus maloklusi berat dan sangat berat di Kota Jambi cukup tinggi (33,75%) dengan rincian siswa SMP daerah rural sebesar 32,5% dan siswa SMP daerah urban 35% dibanding dengan remaja di Kota Medan yang membutuhkan perawatan orthodonsi segera sebesar 23% (Dewi,2008).

25


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Perempuan

Laki-laki

MALOKLUSI SANGAT PARAH

Kriteria TPI

14,29 15,79

MALOKLUSI BERAT

21,43 15,79

MALOKLUSI SEDANG

14,29 28,95

MALOKLUSI RINGAN

NORMAL OKLUSI

40,48 34,21 9,52 5,26 % Jumlah

Diagram 1. Daigram batang Perbedaan Kriteria TPI antara Laki-laki dan Perempuan

Pada diagram 1 tampak bahwa Prevalensi kasus maloklusi pada siswa SMP laki-laki sebesar 94,74% dengan kasus yang segera memerlukan perawatan orthodonsi sebesar 31,58%, sedangkan pada siswa SMP perempuan sebesar 90,48% dengan kasus yang segera memerlukan perawatan orthodonsi sebesar 35,72%. Pada siswa laki laki maupun perempuan persentase paling besar yaitu mengalami maloklusi ringan, walaupun pada perempuan sedikit lebih tinggi yaitu 40,48% dibandingkan laki-laki yaitu 34,21%. Rata-rata skor TPI untuk SMP daerah urban sedikit lebih besar, yaitu 5,39 sedangkan untuk SMP daerah rural adalah 5,34. Rata-rata TPI untuk

26

laki-laki sedikit lebih besar yaitu sebesar 5,63, dibandingkan pada perempuan yaitu 5,09. Hasil skor yang diperoleh kemudian diuji normalitas sebaran datanya menggunakan uji normalitas dari Kolgomorov-Smirnov. Dari hasil uji normalitas tersebut diperoleh hasil sig. atau p yaitu 0,002. Karena p<0,1 maka dapat hasil data yang diperoleh pada penelitian ini memiliki sebaran data yang tidak normal. Sehingga untuk pengujian beda rata-rata antara dua variabel dipilih menggunakan uji Kolgomorov-Smirnov Z. Setelah dilakukan uji beda rata-rata antara kedua sekolah terlihat bahwa p=0,913 yang dapat diartikan bahwa p>0,05 atau tidak terjadi perbedaan bermakna antara sekolah rural maupun urban, Pada uji beda rata-rata yang dilakukan untuk membedakan antara rata-rata skor TPI laki laki dan perempuan juga menunjukkan p>0.05 yaitu p=0,96. Sehingga tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna antara laki-laki dan perempuan. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian di SMP Jakarta tahun1999 (Wijanarko,1999). Sarana komunikasi dan transportasi yang baik dan lebih merata, sehingga antara rural dan urban hampir sama mendapatkan fasilitas dan tayangan iklan televisi, mengakibatkan pola makan dan kebiasaan antara siswa di daerah rural dan urban serta antara siswa laki-laki dengan perempuan tidak ada perbedaan. Semua ini berpengaruh terhadap prevalensi kasus maloklusi.

KESIMPULAN DAN SARAN Setelah dilakukan penelitian tentang gambaran prevalensi kasus maloklusi siswa SMP daerah rural dan urban di Kota Jambi tahun 2011, dapat ditarik kesimpulan bahwa prevalensi kasus maloklusi siswa SMP daerah rural di Kota Jambi tahun 2011 sebesar 95% dengan kasus yang


Ahmad Khairullah, Junaidi, Karin Tika Fitria, Gambaran Prevalensi Kasus Maloklusi pada Siswa SMP‌

segera memerlukan perawatan orthodonsi sebesar 35%. Selain itu prevalensi kasus maloklusi siswa SMP daerah urban di Kota Jambi tahun 2011 sebesar 90% dengan kasus yang segera memerlukan perawatan orthodonsi sebesar 32,5%. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara prevalensi kasus maloklusi siswa SMP daerah rural dan urban di Kota Jambi tahun 2011. Tidak ada perbedaan yang bermakna antara prevalensi kasus maloklusi siswa SMP laki-laki dan perempuan di Kota Jambi tahun 2011. Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat dapat kiranya menyelenggarakan upaya kesehatan gigi secara menyeluruh, terpadu, merata dan berkesinambungan, serta perlu melakukan peningkatan upaya kesehatan gigi di sekolah hingga pervalensi kasus maloklusi dapat ditangani sedini mungkin. Bagi pihak Sekolah diharapkan dapat kiranya berkoordinasi dengan lintas sektoral guna dapat melakukan program promotif dan preventif di sekolah serta meningkatkan peran serta dan motivasi orang tua siswa dalam pemeliharaan kesehatan gigi anaknya. Sementara bagi peneliti yang lain diharapkan untuk melakakukan penelitian lanjutan baik di kabupaten maupun Provinsi Jambi guna mengetahui prevalensi kasus maloklusi agar diperoleh data yang akurat tentang permasalahan kesehatan gigi dan mulut di Provinsi Jambi

DAFTAR PUSTAKA Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM UI. Dewanto, Harkati. 1993. Aspek-aspek Epidemiologi Maloklusi.

2012

Yogyakarta: Gajah Mada University Press Dewi, Oktavia. 2008. Analisis Hubungan Maloklusi dengan Kualitas Hidup pada Remaja SMU Kota Medan tahun 2007. USU e-repository. http://repository.usu.ac.id. Esa, R Razak IA, Allister JHl. 2001. Epidemiology of Malocclussion and Orthodontic Treatment Need of 12-13 Year-old Malaysian Schoolchildren. Community Dent Health. Mar;18(1):31-6 Gan Gan, P., Soemantri, ES., Sowondo, S., 1997. Penelitian Survei Maloklusi Murid-murid Sekolah Lanjutan Pertama di Wilayah Kotamadya Bandung. J. Of Dentistry UNPAD.9(2): 14-20 Gardner, John W. 1967. Orthodontic Treatment Priority Index. U.S. Departement of Health, Education and Welfare. National Center for Health Statistic. (2)25. Hastono, S.P., 2001. Modul Analisis Data. Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Mitchell, Laura. 2007. An Introduction to Orthodontics.New York: Oxford University Press. Pratiknya, A.W. 2007. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Rakosi, T., Jonas I., Graber M., 1993. Color Atlas of Dental Medicine. Orthodontoc Diagnosis. Stuttg, Germany: Thieme. Sciever, GA, Menezes, DM, and Parker, CD. 1974. A Pilot Study to Asses the Validity of The Orthodontic Treatment Priority Index in English Schoolchildren. Com. Dent. Oral Epidemiology.2:246252 Singh, Gurkeerat. 2007. Textbook of Orthodontics. New Delhi: Ajanta Offset & Packaging. Ugur, Tulin, et.al. 1998. An Epidemiological Survey Using the Treatment Priority Index (TPI). European Journal of Orthodontics 20: 189-193 Wijanarko, Andi Gatot. 1999. Prevalensi maloklusi pada remaja usia 12-14 tahun pada Sekolah Menengah Pertama di Jakarta. Jakarta: Tesis FKG Universitas Indonesia

27


2012

Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

GAMBARAN PREVALENSI KARIES GIGI SULUNG PADA MURID TAMAN KANAK-KANAK PERMATA HATI DESA JEBUS KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2011 Akmam Agoes, Sartika Sanurwati

Staf Pengajar Jurusan Keperawatan Gigi Poltekkes Kemenkes Jambi

ABSTRAK Tahun 1985, frekuensi karies gigi sulung di 100 sekolah Taman Kanak-kanak di Yogyakarta sebesar 85 % (Rinaldi dan Iwa Sutardjo, 1985 cit. Suwelo, 1992). Tujuan dari penelitian ini untuk melihat gambaran prevalensi karies gigi pada murid TK Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi tahun 2011. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan survei deskriptif. Sampel penelitian ini secara total sampling pada murid TK Permata Hati Desa Jebus tahun 2011 dengan jumlah responden sebanyak 30 orang, yang terdiri dari 19 orang murid perempuan (63,3%), dan 11 orang murid laki-laki ( 36,7% ). Tingkat pendidikan orang tua murid TK Permata Hati Desa Jebus yang terbanyak adalah SD, yaitu 15 orang (50 %), dan yang paling sedikit adalah SLTA dan Perguruan Tinggi, yaitu masingmasing sebanyak 3 orang (10%). Pekerjaan orangtua yang terbanyak adalah tani 16 orang ( 53,3% ) dan yang paling sedikit adalah PNS sebanyak 3 orang (10%) .Prevalensi karies gigi sulung pada murid TK Permata Hati Desa Jebus sebesar 83,3%. Prevalensi karies pada murid perempuan lebih tinggi dari pada murid laki-laki, yaitu pada murid perempuan sebesar 89,5 %, dan pada murid laki-laki sebesar 72,7%. Prevalensi karies lebih tinggi pada murid dengan pendidikan orangtua SD, yaitu sebesar 93,3 %, dan lebih rendah pada murid dengan pendidikan orang tua SLTA dan Perguruan Tinggi, yaitu masing-masing berjumlah 3 orang (66,7%). Prevalensi karies lebih tinggi pada murid dengan pekerjaan orang tua tani, yaitu sebesar 87,5% dan lebih rendah pada murid dengan pekerjaan orang tua PNS, yaitu sebesar 66,7%. Kata kunci

: Prevalensi karies gigi sulung

PENDAHULUAN

Pembangunan di bidang kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan nasional yang antara lain mempunyai tujuan untuk mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin (Depkes, 2004). Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat agar tingkat kesehatan masyarakat menjadi lebih baik. Pembangunan di bidang kesehatan gigi merupakan bagian integral pembangunan kesehatan nasional. Artinya dalam melaksanakan

28

pembangunan kesehatan, pembangunan di bidang kesehatan gigi tidak boleh ditinggalkan, demikian juga sebaliknya, bila ingin melaksanakan kegiatan di bidang kesehatan gigi tidak boleh dilupakan kerangka yang lebih luas, yaitu pembangunan di bidang kesehatan umumnya (Suwelo, 1992). Karies gigi merupakan penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan dimulai dari permukaan gigi kemudian meluas ke arah pulpa (Tarigan, 1990). Proses karies pada gigi sulung berjalan lebih cepat dibanding gigi tetap dan mudah terbentuk Karies Rampant. Menurut Harsanur (1991), gigi sulung berguna


Akmam Agoes, Sartika Sanurwati Gambaran Prevalensi Karies Gigi Sulung ‌

untuk kesehatan individu, perkembangan rahang, perkembangan fisik, serta mental anak-anak. Kurangnya perhatian terhadap gigi sulung pada usia prasekolah disebabkan karena adanya anggapan bahwa gigi sulung tidak perlu dirawat, karena akan diganti dengan gigi tetap. Keadaan gigi sulung yang dijumpai di klinik biasanya sudah parah. Gigi sulung yang karies dan tidak dirawat lubangnya akan semakin dalam dan luas sehingga jaringan pulpa di dalamnya terinfeksi, timbul rasa sakit yang hebat dan abses pada akar gigi yang mungkin akan merusak benih gigi tetap atau gigi penggantinya (Narendra dkk, 2002). Sampai sekarang ini, di Indonesia belum ada data tentang prevalensi karies gigi sulung yang cukup luas, data yang ada tidak dapat dipakai sebagai indikator kesehatan gigi anak, karena tidak mewakili keadaan gigi sulung di Indonesia, kendati diperkirakan banyak terdapat rampant karies pada gigi sulung (Armasastra dan Raharjo, 1986 cit. Suwelo, 1992). Di Yogyakarta, dari 7 lokasi pemeriksaan didapatkan angka frekuensi karies gigi sulung anak usia 3-5 tahun sebesar 75%, dengan def-t rata-rata 5,2 (Supartinah, 1978 cit. Suwelo, 1992). Tahun 1985 dilaporkan frekuensi karies gigi di 100 sekolah Taman Kanak-kanak di Yogyakarta sebesar 85% tanpa melaporkan indeks def-t nya (Rinaldi dan Iwa Sutardjo, 1985 cit. Suwelo, 1992). Masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan dan pedesaan yang situasi dan kondisinya berbeda akan terdapat pebedaan juga dalam pengetahuan dan kesadaran mengenai kesehatan gigi anaknya. Perbedaan disebabkan di daerah perkotaan sarana komunikasi dan transportasi lebih merata, sehingga tiap pelosok lebih dapat dijangkau dalam program usaha kesehatan umum dan kesehatan gigi (Suwelo, 1992).

2012

Taman Kanak-Kanak menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) adalah suatu lembaga pendidikan formal yang pertama setelah pendidikan keluarga dan merupakan jembatan antara keluarga dengan masyarakat yang luas yaitu Sekolah Dasar. Taman Kanak-kanak Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi berada di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Kecamatan Kumpeh. Jarak antara Puskesmas dan TK Permata Hati Desa Jebus Âą 8 km. Berdasarkan keterangan kepala sekolah, di TK tersebut tidak pernah dilakukan kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan gigi. Padahal tindakan pencegahan apabila dilakukan tidak memerlukan biaya yang cukup besar dibandingkan biaya perawatan bila terjadi kerusakan. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian mengenai gambaran prevalensi karies gigi sulung pada murid TK Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi tahun 2011. BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian yang dilakukan pada murid TK Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi adalah penelitian survei deskriptif, yaitu merupakan survei yang menggambarkan suatu keadaan berdasarkan fakta (Priyono, 1999). Dengan survei ini, didapat gambaran prevalensi karies gigi sulung pada murid TK Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi tahun 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh murid TK Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi tahun 2011 sebanyak 30 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh murid TK Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Teknik

29


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

sampling yang digunakan untuk mengambil sampel adalah teknik total sampling, yaitu dengan memakai seluruh populasi dalam pelaksanaan penelitian (Fiyanti, 2003). Variabel penelitian ini adalah gambaran prevalensi karies gigi sulung pada murid TK Permata Hati Desa Jebus Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi tahun 2011. Definisi operasional antara lain: karies gigi adalah suatu lubang gigi yang ditandai dengan kerusakan jaringan dimulai dari permukaan gigi (pit, fissure, interproksimal) meluas kedaerah pulpa. Saat dilakukan pemeriksaan dengan sonde terasa nyangkut dan terdapat pelunakan. Prevalensi karies gigi sulung adalah angka yang mencerminkan jumlah penderita karies gigi sulung pada periode tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian yaitu distribusi frekuensi murid TK Permata Hati Desa Jebus tahun 2011 diketahui bahwa jumlah murid perempuan lebih banyak daripada jumlah murid lakilaki. Murid perempuan berjumlah 19 orang (63,3 %), sedangkan murid lakilaki berjumlah 11 orang (36,7 %), dengan jumlah murid keseluruhan yaitu 30 orang. Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa tingkat pendidikan orang tua muris TK Permata Hati Desa Jebus cukup bervariasi, dimana tingkat pendidikan SD lebih banyak, yaitu berjumlah 15 orang (50 %), sedangkan SLTP sebanyak 9 orang (30%), SLTA sebanyak 3 orang (10 %), dan perguruan tinggi sebanyak 3 orang (10 %). Pada hasil penelitian diketahui bahwa pekerjaan orang tua murid TK Permata Hati Desa Jebus yang paling banyak adalah tani, yaitu sebanyak 16 orang (53,3 %), sedangkan orang tua dengan pekerjaan swasta sebanyak 11 orang (36,7 %), dan yang paling sedikit adalah orang tua dengan

30

pekerjaan PNS, yaitu sebanyak 3 orang (10 %). Dari hasil penelitian diketahui bahwa prevalensi karies gigi sulung pada murid TK Permata Hati Desa Jebus tahun 2011 cukup tinggi, yaitu sebesar 83,3 %. Sedangkan prevalensi bebas karies hanya sebesar 16,7 %, masih jauh dari target nasional Indonesia Sehat 2010, yaitu diharapkan prevalensi anak yang bebas karies sebesar 90 %. Tingginya prevalensi karies gigi sulung pada murid TK Permata Hati Desa Jebus disebabkan anak usia prasekolah masih sangat tergantung pada orang dewasa (Suwelo, 1992). Hal ini sesuai dengan pendapat Riyanti (2007), bahwa orang tua mempunyai peran yang cukup besar dalam mencegah terjadinya karies pada anak. Orang tua sangat diperlukan dalam membimbing, memberi pengertian, mengingatkan, dan menyediakan fasilitas kepada anak agar dapat memelihara kebersihan gigi dan mulut anaknya. Tingginya angka karies juga disebabkan karena penjalaran karies itu sendiri dimulai dari lapisan email (lapisan terluar dari gigi), dan pada keadaan ini belum memberikan keluhan sehingga anak tidak mengetahui kalau giginya sudah terkena karies dan dibiarkan tanpa adanya pemeriksaan dan perawatan sehingga karies akan terus berlanjut (Depkes, 1999). Hal ini sesuai dengan pendapat Frencken (1999), bahwa gigi sulung lebih rentan terhadap karies karena email gigi sulung lebih tipis daripada gigi permanen, sehingga karies pada gigi sulung lebih cepat berkembang ke dalam email, dentin dan pulpa. Menurut penulis, hal ini juga disebabkan karena di TK tersebut belum pernah dilakukan kegiatan penyuluhan tentang kesehatan gigi, sehingga pengetahuan anak tentang kesehatan gigi dan mulut masih kurang. Berdasarkan hasil penelitian, prevalensi karies anak perempuan lebih tinggi dari anak laki-laki, yaitu


Akmam Agoes, Sartika Sanurwati Gambaran Prevalensi Karies Gigi Sulung ‌

anak perempuan sebesar 89,5% sedangkan anak laki-laki sebesar 72,7%. Hal ini dikarenakan erupsi gigi anak perempuan lebih cepat dari anak laki-laki sehingga gigi anak perempuan lebih lama berada dalam rongga mulut. Akibatnya gigi anak perempuan akan lebih lama berhubungan dengan faktor resiko terjadinya karies (Suwelo, 1992). Dari hasil penelitian diketahui bahwa anak dengan pendidikan orang tua SD dan SLTP prevalensi kariesnya lebih tinggi daripada anak dengan pendidikan orang tua SLTA dan perguruan tinggi. Prevalensi karies gigi sulung pada murid TK Permata Hati Desa Jebus dengan pendidikan orang tua SD adalah sebesar 93,3 %, sedangkan anak dengan pendidikan orang tua SLTP sebesar 77,8 %, SLTA 66,7% dan perguruan tinggi sebesar 66,7 %. Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan orang tua yang rendah dapat mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut anaknya, yang menyebabkan pengetahuan dan kesadaran orang tua mengenai pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut menjadi kurang, sehingga resiko anak terkena penyakit gigi dan mulut lebih tinggi. Menurut Riyanti, dkk (2004), pendidikan orang tua yang rendah menyebabkan pengetahuan juga rendah mengenai kesehatan gigi mulut. Karena pendidikan dan pengetahuan orang tua sangat penting dalam mendasari prilaku yang mendukung terhadap kebersihan gigi dan mulut anaknya. Hal ini juga sependapat dengan Suwelo (1992), bahwa tingkat pendidikan, pengetahuan, kesadaran dan prilaku orang tua dapat mempengaruhi terjadinya karies pada anak. Dari tabel 7 diketahui bahwa anak dengan pekerjaan orang tua tani lebih tinggi, yaitu sebesar 87,5 %, sedangkan anak dengan pekerjaan swasta sebesar 36,7 %, dan PNS sebesar 10 %. Hal ini menunjukkan bahwa status sosial ekonomi dapat mempengaruhi derajat kesehatan

2012

sesorang. Dalam hal ini kemampuan ekonomi dalam memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut Pertiwi (2007), bahwa kemampuan finansial juga dapat mempengaruhi keputusan untuk merawat gigi anak, sehingga perawatan gigi anak diabaikan dengan alasan ketidakmampuan atau ketidaktahuan. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Kent (2005) bahwa banyak penduduk membutuhkan pelayanan kesehatan gigi, tetapi mereka tidak berusaha untuk mencarinya dengan berbagai alasan.

KESIMPULAN DAN SARAN Prevalensi karies gigi sulung pada murid TK Permata Hati Desa Jebus tahun 2011 adalah sebesar 83,3 %. Prevalensi karies gigi sulung berdasarkan jenis kelamin pada murid TK Permata Hati Desa Jebus tahun 2011 yang paling tinggi adalah angka karies pada murid perempuan, yaitu sebesar 89,5 %, sedangkan pada murid laki-laki sebesar 72,7 %.Prevalensi karies gigi sulung berdasarkan pendidikan orang tua pada murid TK Permata Hati Desa Jebus tahun 2011 yang paling tinggi adalah murid dengan pendidikan orang tua SD, yaitu sebesar 93,3 %, sedangkan murid dengan pendidikan orang tua SLTP sebesar 77,8 % dan yang paling rendah adalah murid dengan pendidikan orang tua dengan pendidikan orang tua SMA dan Perguruan Tinggi, yaitu masingmasing sebesar 66,7%. Prevalensi karies gigi sulung berdasarkan pekerjaan orang tua pada murid TK Permata Hati Desa Jebus tahun 2011 yang paling tinggi adalah murid dengan pekerjaan orang tua tani, yaitu sebesar 87,5 %,sedangkan murid dengan pekerjaan orang tua swasta sebesar 87,5 %, dan yang paling rendah adalah murid dengan pekerjaan orang tua PNS, yaitu sebesar 66,7 %.

31


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bagi Puskesmas Tanjung Kecamatan Kumpeh agar dapat meningkatkan program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah khususnya pada Taman Kanak-kanak. Bagi pihak sekolah agar dapat menjalin kerjasama yang baik dengan petugas kesehatan gigi dalam menjalankan program kesehatan gigi dan mulut disekolah untuk menunjang kesehatan gigi dan mulut anak didiknya. Bagi pembaca agar dapat melakukan penelitian selanjutnya, terutama mengenai pengetahuan, sikap dan prilaku murid serta orang tua murid sehingga dapat diketahui penyebab tingginya prevalensi karies yang ditemukan.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes

RI, 2004, Pedoman Upaya Kesehatan Gigi Masyarakat (UKGM), Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Jakarta. Depkes RI, 1999, Profil Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia pada Pelita VI, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Jakarta. Fiyanti, A.R, 2003, Hubungan Antara Kecemasan dengan Kegagalan Bersaing pada Siswa Program Unggulan di SMU Muhammadiyah I, Gresik. http/www.google.com/htm ac cessed. Frencken, J., Phantumvanit, P., Pilot, T., Songpaisan, Y., Amerongen, EV., 1999, Pedoman Perawatan Restoratif Atraumatik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Harshanur, I. W, 1991, Anatomi Gigi, EGC, Jakarta. Kent. G.G., 2005, Pengelolaan Tingkah Laku Pasien pada Praktek Kedokteran Gigi, Terjemahan, EGC, Jakarta. Narendra, M. B., Sularyo, T. S., Soetjiningsih., Suyitno, H.,

32

Ranuh, IG. N. G., 2002, Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Sagung Seto, Jakarta. Pertiwi, A,S., 2007, Gambaran Pola Karies Gigi Permanent Ditinjau Dari Dental Neglect, http/www.google.com/htm, 2007. Priyono, B., 1999, Pengantar Epidemiologi untuk Kesehatan Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi UGM, Yogyakarta. Riyanti, E., 2007, Pengenalan & Perawatan Gigi Sejak Dini, http / www.google.com./htm, 2007. Suwelo, I., S., 1992 , Karies Gigi Pada Anak Dengan Pelbagai Faktor Etiologi, EGC, Jakarta. Tarigan, R., 1995, Karies Gigi, Hipokrates, Jakarta.


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEIKUTSERTAAN USILA DALAM MELAKUKAN SENAM USILA DI BUDI LUHUR PAAL V JAMBI TAHUN 2011 Rosmaria, Nuraidah

Staf Pengajar Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK Salah satu tolak ukur keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia adalah meningkatkannya usia harapan hidup 65 tahun untuk laki – laki dan 69 tahun untuk perempuan. Sehingga prediksi penduduk usia tahun 2005 – 2010 mencapai 8,5% atau 19 juta jiwa. Kondisi ini menuntut perhatian kita semua untuk melakukan yang terbaik terhadap usila agar mereka bahagia dan tetap berkarya serta sehat, salah satu upaya nyata adalah menggerakkan senam usila. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional, bertujuan untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan keikut sertaan usila dalam melakukan senam usila. Penelitian dilakukan di Budi Luhur Paal V Jambi. Populasi adalah semua usila yang berada di Budi Luhur Paal V Jambi. Sampel adalah semua usila yang dengan umur 60 – 70 tahun yang berada di Panti Jompo Budi Luhur tahun 2011. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2011. Analisis yang digunakan univariat dan bivariat. Usila yang mengikuti senam usila sebanyak 36,9%, yang mempunyai pengetahuan baik sebanyak 33,8%, motivasi yang baik sebanyak 69,2%, dan petugas yang berperan sebanyak 86,2% untuk membantu usila untuk membantu usila dalam melakukan senam usila. Tidak ada hubungan pengetahuan dengan keikut sertaan usila dalam melakukan senam usila, ada hubungan para petugas dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila. Petugas perlu memberikan penyuluhan kepada usila betapa pentingnya usila untuk melakukan senam usila, hingga para usila akan menjadi sehat dan kuat. Kata Kunci : Senam Usila,

PENDAHULUAN

Kebutuhan pelayanan kesehatan merupakan maslah utama bagi usia lanjut, maka perhatian kepada kelompok usia lanjut merupakan hal yang perlu dilakukan. Olahraga secara rutin dapat membantu menghadapi hari tua dengan baik dalam arti dapat tetap beraktivitas. Dengan melaksanakan olahraga secara teratur kemungkinan sakit lebih rendah dibandingkan orang yang kerjanya hanya duduk saja (Darmojo dan Martono, 1999).

Peningkatan umur harapan hidup membawa dampak peningkatan jumlah penduduk usia lanjut. Tahun 2000 jumlah usila sekitar 6,8% dari total penduduk dunia. Jumlah ini akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2025 atau sekitar 9,7% dari total penduduk dunia. Menjadi tua adalah suatu hal yang tidak terhindarkan, tetapi menjadi tua tidak selalu identik dengan tubuh yang rentan. Dengan peningkatan usia harapan hidup maka kelompok usila harus di upayakan agar tetap mempunyai kondisi fisik mental dan prima untuk menjadi sumberdaya manusia yang optimal. Gangguan kesehatan pada usila

33


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

sering disebabkan oleh proses degeneratif yang dialami oleh usila, seperti gangguan sirkulasi, tuberkulosis, gangguan sistim pencernaan, pernafasan dan penyakit infeksi, dengan melakukan olahraga seperti senam usila maka akan memberikan pengaruh yang baik (positif) terhadap tingkat kemampuan fisik seseorang apabila dilakukan secara baik dan benar (Depkes RI,1999). Senam lansia merupakan olahraga ringan dan mudah dilakukan serta tidak memberatkan yang dilakukan pada usila. Aktivitas olahraga ini akan membantu tubuh agar tetap bugar dan tetap segar karena melatih tulang tetap kuat, mendorong jantung bekerja optimal dan membantu menghilangkan radikal bebas yang berkeliaran dalam tubuh. Senam usila tersebut sangat bermanfaat untuk menghambat proses degeneratif/penuaan dengan menggunakan senam usila efek minimalnya adalah lansia merasa bahagia, senantiasa bergembira, bisa tidur lebih nyenyak, serta fikiran tetap segar. Permasalahan biasanya terjadi adalah hambatan dalam melakukan senam usila seperti adanya rasa bosan. Perasaan ini wajar saja dan muncul mungkin dikarenakan tidak adanya variasi senam. Untuk macam atau jenis senam sebaiknya selalu bervariasi atau berganti – ganti. Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh usila maka senam usila ini sangat diperlukan sekali untuk memberika kesehatan dan kebugaran bagi usila. Usila bukanlah suatu penyakit, tetapi usila mempunyai banyak masalah kesehatan, oleh karena itu senam usila adalah salah satu upaya untuk mempertahankan dan memelihara kesehatan usila. Di Kota Jambi tempat untuk melakukan senam usila adalah di Budi Luhur. Penelitian dilakukan di Budi Luhur dengan pertimbangan adanya usila yang bersifat heterogen sehingga

34

sampelnya diharapkan dapat menggambarkan kelompok usila yang melakukan senam usila. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode cross sectional bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel pengetahuan, motivasi, dan peran petugas dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila dalam waktu yang bersamaan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua usila yang berada di Budi Luhur. Sampel dalam penelitian ini adalah usila yang berada di Budi Luhur dengan umur 60 sampai 70 tahun. Teknik pengambilan sampel secara purposif dengan jumlah sampel sebanyak 65 orang. Kriteria sampel : 1. Umur 60-70 tahun; 2. Kondisi fisik dalam keadaan sehat. Data yang dikumpulkan kemudian dianalisa secara univariat, yang bertujuan untuk melihat frekuensi dari masing – masing variabel. Selanjutnya dilakukan analisis bivariat untuk melihat hubungan pengetahuan, motivasi, dan peran petugas dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila. Untuk melihat hubungan digunakan uji chi-square dengan p = 0,05. Artinya jika hasil hitung analisis diatas 0,05 maka tidak ada hubungan antara variabel independen dan dependan begitu juga sebaliknya. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila di Budi Luhur Paal V Kota Baru Jambi dari 65 Usila ternyata yang mengikuti senam usila hanya 24 usila (36,9%). Rendahnya partisipasi usila dalam melakukan senam usila karena adanya rasa bosan yang memandang bahwa senam usila adalah merupakan hal yang biasa – biasa saja.


Rosmaria, Nuraidah Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Keikutsertaan Usila‌

Menurut Nugroho (1999), senam lansia ditujukan untuk penguatan, daya tahan, dan kelenturan tulang dan sendi, sehingga sistim muskuloskeletal yang menurun dapat diperbaiki. Selain itu senam lansia juga bermanfaat untuk memelihara kebugaran jantung dan paru – paru. Usia lanjut mudah mengalami penurunan massa otot serta kekuatannya, laju denyut jantung yang maksimal, dan peningkatan lemak. Bukti – bukti yang ada menunjukkan bahwa latihan dan olahraga pada usia lanjut dapat mencegah atau melambatkan kehilangan fungsional. Bahkan dengan latihan yang teratur dapat memperbaiki morbiditas dan mortalitas yang dilakukan oleh penyakit kardiovaskuler (Nugroho,1999). Dengan banyaknya perubahan yang terjadi pada usila maka banyak pulalah masalah kesehatan yang dihadapi. Untuk mempertahankan kesehatan perlu adanya upaya – upaya, seperti salah satunya adalah dengan melakukan senam lansia. Pengetahuan usila diukur dengan apa yang dipahami oleh usila tentang senam usila cut of poin yang di gunakan untuk menetapkan pengetahuan usila baik atau kurang baik bila skor ≤ 76% dikatakan pengetahuan kurang baik, jika skor ≼76% pengetahuan baik. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa usila mempunyai pengetahuan kurang baik (59,5%). Berdasarkan hasil uji statistik bahwa hubungan pengetahuan dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila di peroleh p = 0,782, artinya tidak ada hubungan pengetahuan dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila. Tidak adanya hubungan pengetahuan dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila diasumsikan karena sebagian besar usila merasa tidak senang dalam melakukan senam usila, dan

2012

sebagian lagi merasa malu untuk senam usila karena merasa sudah tua. Pengetahuan merupakan pedoman penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, apabila perilaku tersebut di dasari pengetahuan, kesadaran dan sikap positif maka prilaku tersebut akan bersifat langgeng, maka dari itu pengetahuan saja tidak cukup tetapi di perlukan sikap-sikap usila yang mendukung dari kegiatan senam usila. Dengan mengikuti senam usila maka efek minimal yang d rasakan adalah usila akan mersa berbahagia, senantiasa bergembira, bisa tidur nyenyak, dan pikiran tetap segar (Powell,2000). Motivasi usila sangat menunjang dalam melakukan senam usila. Jika motivasi tidak ada maka keinginan untuk melakukan senam usila tidak akan terwujud. Cut of poin yang di gunakan untuk motivasi dengan menggunakan median. Dari hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa motivasi usila dalam melakukan senam usila adalah baik (81,5%). Berdasarkan hasil uji statistik menunjukan bahwa motivasi dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila di peroleh p =0.007 artinya ada hubungan yang bermakna antara motivasi dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila. Menurut Notoatmodjo (2003) motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Adanya hubungan motivasi dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila diasumsikan bahwa usila dalam bertindak terhadap kegiatan senam usila menunjukan bagaimana perilaku atau kecenderungan perilaku yang ada dalam diri usila tersebut untuk berpartisipasi dalam melakukan senam usila.

35


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Dengan melakukan olahraga seperti senam lansia dapat mencegah atau melambatkan kehilangan fungsional tersebut. Bahkan dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa dengan senam usila dapat mengeliminasi berbagai resiko penyakit (Darmojo, 1999). Peran petugas merupakan tanggapan responden tentang peran petugas adalah menggerakkan usila untuk melakukan senam usila. Petugas berperan atau tidak berperan dengan menggunakan median. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petugas berperan untuk menggerakkan usila dalam melakukan senam usila yaitu 58,5%. Berdasarkan hasil uji statistik peran petugas dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila di peroleh p = 0,018 artinya ada hubungan antara peran petugas dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila. Peran petugas dalam memberikan pengarahan, maupun support kepada usila sangatlah besar artinya kepada usila sehingga dengan dihimbau atau diingatkan makka usila akan termotivasi untuk melakukan senam usila. Senam lansia memiliki dampak positif terhadap peningkatan fungsi organ tubuh juga berpengaruh dalam meningkatkan imunitas dalam tubuh manusia setelah latihan teratur (Powell,2000). Peran petugas sangat penting dalam meningkatkan pemahaman usila tentang pentingnya usila untuk melakukan senam usila dengan memberikan penyuluhan kepada usila. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagian usila tidak mengikuti senam usila, sebagian usila mempunyai pengetahuan kurang baik, sebagian usila mempunyai motivasi baik, dan petugas berperan untuk

36

menggerakkan usila dalam melakukan senam usila. Tidak ada hubungan pengetahuan dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila di Budi Luhur tahun 2011. Ada hubungan motivasi dengan keikutsertaan usia dalam melakukan senam usila di Budi Luhur tahun2011. Ada hubungan peran petugas dengan keikutsertaan usila dalam melakukan senam usila di Budi Luhur tahun 2011. Kepada petugas Budi Luhur diharapkan dapat menggerakkan para usila untuk melakukan senam usila karena dengan melakukan senam usila dapat dikatakan bugar dengan perkataan lain mempunyai kesegaran jasmani yang baik bila jantung dan peredaran darah baik sehingga tubuh dapat menjalankan fungsinya dalam waktu yang cukup lama.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 1999, Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan Darmojo & Martono, 1999, Manfaat Senam Lansia Terhadap Kebugaran, Jakarta : Rineka Cipta Menuh, 2000, Permasalahan Usila, Jakarta : Serambi Medika Nugroho, 1999, Manfaat Olahraga Bagi Lansia, Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Jakarta : Rineka Cipta ------------, 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta Powell, 2000, Senam Lansia Kebugaran, Jakarta


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

FAKTOR-FAKTOR YANG BEHUBUNGAN DENGAN DEPRESI PADA LANSIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG PINANG KOTA JAMBI TAHUN 2011 Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani

ABSTRAK

Setiap individu tentunya berharap dapat menjalani masa tuanya dengan bahagia namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami hal sebaliknya, masa tua dijalani dengan rasa ketidakbahagiaan, sehingga menyebabkan rasa ketidaknyamanan. Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi merupakan Puskesmas dengan masalah depresi pada lansia nomor dua tertinggi yaitu sebanyak 2,7% dari 1207 lansia pada tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011. Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara umur, jenis kelamin, riwayat pekerjaan, dukungan keluarga, interaksi sosial, status kesehatan dan faktor psikologis dengan depresi pada lansia di wilayah kerja puskesmas Tanjung Pinang. Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang ada di 5 kelurahan yang ada di wilayah Puskesmas Tanjung Pinang yang berjumlah 90 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, dan analisis data menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara umur, dukungan keluarga, interaksi sosial, status kesehatan dan keadaan psikologis dengan depresi pada lansia, serta tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan riwayat pekerjaan dengan depresi pada lansia. Variabel status kesehatan merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan depresi pada lansia. Kata Kunci : depresi, lansia

PENDAHULUAN

Setiap individu tentunya berharap dapat menjalani masa tuanya dengan bahagia namun tidak sedikit dari mereka yang mengalami hal sebaliknya, masa tua dijalani dengan rasa ketidakbahagiaan, sehingga menyebabkan rasa ketidaknyamanan (Suardiman, 2004). Salah satu bentuk ketidaknyamanan adalah penyakit pada lansia sering timbul akibat penyakit dan proses menua, sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Siburian, 2007). Berbagai persoalan hidup yang mendera lanjut usia sepanjang hayatnya, seperti: kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik

dengan keluarga atau anak, atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya depresi (Syamsuddin, 2006).Lansia yang menderita depresi mempunyai resiko bunuh diri. Hal ini telah banyak dialami lansia di Amerika, Hongkong, Australia, serta dapat pula terjadi di Indonesia (Martina, 2002). Hasil wawancara terhadap beberapa lansia yang bertempat tinggal di desa Mandong Trucuk Klaten menunjukkan bahwa sebagian besar lansia yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak yang memiliki beberapa dari gejala depresi Selain itu sebagian besar lansia yang tidak bekerja ternyata lebih banyak yang memiliki gejala depresi karena sudah tidak dapat memperoleh penghasilan sendiri sehingga harus

37


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

menggantungkan kehidupannya dalam mencukupi kebutuhan seharihari pada anak-anaknya maupun cucu-cucunya. Permasalahan lain yang dihadapi oleh lansia, mereka juga kurang dalam mendapatkan perhatian dan dukungan dari keluarga. Hal ini disebabkan oleh kesibukan dari anakanaknya, tempat tinggal yang jauh sehingga anak jarang untuk mengunjungi, anaknya telah lebih dulu meninggal, adanya konflik antara orang tua dengan anaknya dan anak tidak mau direpotkan dengan urusan orang tuanya serta orang tua sudah jarang di libatkan dalam penyelesaian masalah yang ada dalam keluarga. Dari penyebab itu lansia merasa sudah tidak dibutuhkan lagi, tidak berguna, tidak dihargai di dalam keluarganya dan merasa menjadi beban bagi keluarganya. Hampir 30% lansia menderita depresi dan timbulnya depresi selain karena penyakit yang diderita lansia juga diakibatkan post power syndrom, dukungan keluarga, status sosial dan keadaan psikologis. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Jambi tahun 2010, Puskesmas Tanjung Pinang adalah puskesmas ke dua terbanyak setelah puskesmas Putri Ayu dengan jumlah lansia yang mengalami gangguan mental emosional (depresi). Puskesmas Tanjung Pinang yang mencakup 5 kelurahan serta 5 posyandu lansia mencatat adanya peningkatan jumlah lansia yang mengalami gangguan mental emosional (depresi) dalam tiga tahun terakhir. Tahun 2008 terdapat 17 orang (1,9%) lansia yang mengalami gangguan mental emosional (depresi). Tahun 2009 diketahui sebanyak 65 (2,4%) lansia yang mengalami gangguan mental emosional (depresi), sedangkan tahun 2010 dari 1207 lansia sebanyak 125 (2,7%) lansia mengalami gangguan mental emosional (depresi) (Dinas Kesehatan Kota Jambi, 2010). Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-

38

faktor yang berhubungan dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011

BAHAN DAN CARA

Penelitian ini menggunakan rancangan studi cross sectional, bertujuan untuk mendapatkan hubungan antara umur, jenis kelamin dan riwayat pekerjaan, dukungan keluarga, interaksi sosial, status kesehatan dan keadaan psikologis lansia dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah depresi pada lansia dan variabel independen adalah umur, jenis kelamin dan riwayat pekerjaan, dukungan keluarga, interaksi sosial, status kesehatan dan keadaan psikologis lansia. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Juli sampai 3 Agustus 2011 di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang berusia 60 tahun keatas di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi berjumlah 1207 orang. Sampel dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan besar sampel menurut Lemeshow, dkk (1997) :

n =

z21-Îą/2 *p*(1-p)N

d2(N-1)+ z21-Îą/2 *p(1-p) Berdasarkan rumus perhitungan di atas dapat diketahui besar sampel dalam penelitian ini sebanyak 90 orang. Teknik sampling dengan cara proporsional random sampling. Caranya terlebih dahulu mencari data jumlah posyandu lansia yang ada di wilayah kerja Puskesmas


Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Depresi Pada Lansia‌

Tanjung Pinang. Setelah didapat masing-masing jumlah lansia ditiaptiap posyandu lansia, kemudian sampel diambil secara proporsional dengan teknik random sampling. Pengumpulan data dilaksanakan pada 5 kelurahan yang ada di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi yaitu Kelurahan Tanjung Pinang, Kasang, Kasang Jaya, Rajawali dan Sijenjang. Pengumpulan data tentang variabel yang diteliti menggunakan kuesioner. Kuesioner untuk mengukur depresi menggunakan kuesioner Inventaris Depresi Beck yang berisikan 13 hal (Lueckenotte, 1998). Instrumen variabel dukungan keluarga menanyakan tentang perhatian dari keluarga dan keterlibatan lansia dalam pengambilan keputusan dengan alternatif jawaban ya dan tidak. Untuk variabel riwayat pekerjaan ditanyakan tentang pekerjaan yang dulu pernah dilakukan lansia dan sekarang masih memperoleh penghasilan. Untuk variabel interaksi sosial menggunakan skala Likert dengan alternatif jawaban selalu, kadang-kadang, tidak pernah. Untuk variabel status kesehatan ditanyakan penyakit yang sedang diderita oleh lansia dan mengakibatkan terganggunya aktivitas sehari-hari. Dan untuk variabel keadaan psikologi diperoleh dengan menanyakan tentang keadaan kejiwaan yang dirasakan saat ini oleh lansia meliputi perasaan sudah tidak dibutuhkan lagi, tidak berguna, tidak dihargai di dalam keluarganya dan merasa menjadi beban bagi keluarganya dengan pilihan jawaban ya dan tidak. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari analisis univariat, bivariat dan multivariat. Analisis bivariat menggunakan uji statistik chi sguare, dan uji t independen serta uji korelasi dan regresi linier. Sedangkan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik untuk mengetahui faktor yang paling dominan berhubungan dengan depresi pada lansia.

2012

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data untuk mengukur depresi lansia terdiri dari 13 item penyataan tentang depresi. Hasil analisis data dapat dilihat seperti pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Rata-rata Skor Depresi Pada Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung PinangKota Jambi Tahun 2011 Variabel Mean Median SD

Depresi 7,87

9,00

Min95% CI Max

2,554 0 - 10 7,3– 8,40

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rata-rata skor depresi adalah 7,87 dengan median 9. Responden dengan skor tertinggi 10 dan skor terendah 0. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa 95% kita yakini bahwa skor depresi berkisar antara 7.33 sampai 8,4. Dari hasil analisis data juga dapat didistribusikan tingkatan depresi pada lansia seperti pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Depresi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi Tahun 2011 Tingkatan Depresi

Frekuensi Persentase

Tidak Depresi

27

30,0

Depresi Ringan

18

20,0

Depresi sedang

37

41,1

Depresi Berat

8

8,9

Total

90

100

Dari tabel 2 lansia yang mengalami depresi sedang lebih banyak dibandingkan tingkat depresi lainnya yaitu sebanyak 37 (41,1%), yang mengalami depresi berat sebanyak 8 (8,9%) responden serta

39


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

sebanyak 27 (30,0%) responden tidak mengalami depresi. Depresi adalah perasaan sedih, ketidakberdayaan, dan pesimis, yang berhubungan dengan suatu penderitaan yang dapat berupa serangan yang ditujukan kepada diri sendiri atau perasaan marah yang dalam. Depresi yang terjadi pada lansia dapat disebabkan karena faktor umur, dimana rata-rata umur lansia adalah 66,43 tahun, lansia berumur diatas 70 sebanyak 13,3%. Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi tetapi suatu keadaan penyakit medis kronis dan masalahmasalah yang dihadapi lansia yang membuat mereka depresi. Dari hasil penelitian ternyata sebanyak 41,1% lansia mengalami masalah kesehatan dan mengganggu kegiatan sehari-hari. Menurut Amir (2005) bahwa faktor yang menyebabkan depresi adalah jenis kelamin, usia, status perkawinan, geografis, riwayat keluarga, kepribadian, interaksi sosial, dukungan keluarga, pekerjaan dan aspek genetik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lansia memiliki dukungan keluarga kurang baik memiliki depresi yang lebih tinggi dibandingan lansia yang mendapat dukungan baik dari keluarga. Lansia yang memiliki interaksi sosial kurang baik memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan yang mempunyai interaksi sosial baik. Lansia yang menderita depresi mempunyai resiko bunuh diri. Hal ini telah banyak dialami lansia di Amerika, Hongkong, Australia, serta dapat pula terjadi di Indonesia. Depresi yang lambat ditangani akan menjadi lebih parah, menetap serta menimbulkan resiko kekambuhan. Depresi yang dapat ditangani dengan baik dapat menghilangkan keinginan pasien untuk melukai dirinya sendiri termasuk upaya bunuh diri (Martina, 2002 dalam Aryani, 2008). Berdasarkan hasil penelitian tentang perbedaan tingkat depresi pada lansia sebelum dan sesudah dilakukan senam bugar lansia di Panti

40

Wredha Wening Wardoyo Ungaran diketahui bahwa ada perbedaan tingkat depresi lansia sebelum dan sesudah dilakukan senam bugar lansia. Kenyataan terlibat dalam kegiatan bermanfaat menyebabkan penurunan depresi pada lansia yang mengalami depresi fisiologis. Dengan demikian direkomendasikan untuk mempertahankan kegiatan senam yang dikombinasikan dengan kegiatan lain untuk menghindari rutinitas (http://eprints.undip.ac.id/10264/). Psikoterapi diharapkan membantu lansia agar lebih mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Lansia juga disarankan untuk mengubah pola hidup misalnya dengan membiasakan berolah raga untuk meningkatkan gairah hidup. Lansia dibiasakan berjalan kaki setiap pagi atau sore sehingga energi dapat ditingkatkan serta mengurangi stress karena kadar norepinefrin meningkat. Selain itu, pasien juga dapat diperkenalkan pada kebiasaan meditasi serta yoga untuk menenangkan pikirannya. Diet sehat untuk mengurangi asupan gizi yang menambah kadar stress juga perlu dilakukan. Hasil penelitian tentang gambaran usia dapat dilihat seperti pada tabel 3. Tabel 3. Rata-rata umur Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi Tahun 2011 Variabel Mean Median Umur 66,43 65,00

SD

Min95% CI Max

5,663 60 - 81

65,25– 67,62

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa rata-rata umur lansia adalah 66,43 tahun dengan median 65 tahun. Responden dengan umur termuda 60 tahun dan umur paling tua adalah 81 tahun. Hasil analisis dapat disimpulkan bahwa 95% kita yakini bahwa umur lansia berkisar antara 65,25 tahun sampai 67,62 tahun.


Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Depresi Pada Lansia‌

Gambaran Jenis Kelamin Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi Tahun 2011 ditunjukkan pada tabel 4.

Tabel 5. Analisis Korelasi dan Regresi Umur dengan Depresi Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Tahun 2011 Variabel

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis kelamin, Riwayat pekerjaan, Dukungan Keluarga, Interaksi sosial, Status kesehatan dan keadaan Psikologi Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Tahun 2011 Variabel

n

%

30 60

33 67

74 16

82 18

Dukungan Keluarga: - Kurang Baik - Baik

42 48

46,7 53,3

Interaksi Sosial: - Kurang baik - Baik

37 53

41,1 58,9

Status Kesehatan: - Kurang sehat - Sehat

37 53

41,1 58,9

Keadaan psikologi - Kurang baik - Baik

43 47

47,8 52,2

Jenis Kelamin: - Laki-laki - Perempuan Riwayat Pekerjaan: - Tidak Memperoleh Penghasilan - Memperoleh penghasilan

Analisis hubungan umur dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011dengan menggunakan uji beda dua mean (uji t) independen. Hasil analisis dapat dilihat pada tabel 5.

2012

Umur

r

R

2

p value

Persamaan garis

0,25 0,062 D=-8,931+0,252*umut 0,018

Dari tabel 5. diketahui bahwa hubungan antara umur dengan depresi lansia menunjukkan hubungan yang lemah (r=0,25) dan berpola positif, artinya semakin tua umur semakin tinggi skor depresinya. Nilai koefisien determinasi adalah 0,062 artinya persamaan garis regresi yang kita peroleh kurang baik untuk menerangkan variabel skor depresi. Hasil uji statistik didapatkan ada hubungan yang signifikan antara umur dengan depresi pada lansia (p=0,018). Sebenarnya usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi tetapi suatu keadaan penyakit medis kronis dan masalah-masalah yang dihadapi lansia yang membuat mereka depresi. Disamping itu semakin tua seseorang semakin banyak terjadi perubahan fisik, mental, psikososial. Untuk itu di usia lansia, perlu melaksanakan tugas-tugas perkembangan dengan baik seperti mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan, menyesuiakan pendapatan yang menurun, mempertahankan hubungan perkawinan serta mempertahankan ikatan keluarga antar generasi. Memang usia tidak bisa dimodifikasi, tetapi perlu meningkatkan kualitas hidup lansia mengingat usia harapan hidup semakin meningkat. Hubungan antara jenis kelamin dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011 tampak pada tabel 6.

41


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Tabel 6. Distribusi Rata-rata Depresi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Tahun 2011 Variabel Jenis Mean Kelamin - Laki-laki 8,97 - Perempuan 7,22

SD

p Value

n

7,039 4,883

0,172

30 60

Dari Tabel 6. diketahui bahwa rata-rata skor depresi responden dengan jenis kelamin 8,97 (depresi sedang). Sedangkan rata-rata skor depresi responden perempuan adalah 7,22 (depresi ringan). Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,172, berarti dengan Îą 5% terlihat tidak ada perbedaan yang bermakna jenis kelamin dengan depresi pada lanisa. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat Amir (2005) bahwa depresi lebih sering terjadi pada wanita. Ada dugaan bahwa wanita lebih sering mencari pengobatan sehingga depresi lebih sering terdiagnosis. Selain itu, ada pula yang menyatakan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stresor lingkungan dan ambangnya terhadap stresor lebih rendah bila dibandingkan dengan pria. Adanya depresi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan hormon pada wanita menambah tingginya prevalensi depresi pada wanita, misalnya adanya depresi pra haid, post-partum, dan postmenopause. Tidak bermaknanya hasil penelitian ini bisa saja dikarenakan faktor lain, seperti banyak lansia yang sudah tidak mempunyai lagi pasangan hidup, sehingga akan berpengaruh terhadap timbulnya depresi. Kemungkinan lain juga bisa karena lansia mempunyai status kesehatan yang kurang baik sehingga tidak dapat melaksanakan aktivitas sehari hari secara mandiri. Dari hasil analisis deskriptif diketahui bahwa lansia yang berjenis

42

kelamin perempuan lebih banyak dari pada laki-laki, namun kedua-duanya mengalami depresi yang tidak berbeda. Dukungan keluarga dapat mengatasi depresi pada lansia, disamping itu juga perlu adanya interaksi sosial yang lebih baik lagi sehingga lansia tidak merasa kesepian, apalagi jika lansia tersebut tidak hidup dengan anak dan cucunya. Untuk itu perlu adanya aktivitas yang menarik minat lansia melalui kegiatan posyandu, misalnya melakukan senam bersama, mengadakan kegiatan masak memasak bersama dan lainnya, sehingga lansia dapat memandang kehidupan ini dengan lebih bahagia lagi. Hasil analisis hubungan antara riwayat pekerjaan dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011dapat dilihat pada tabel 7. Tabel 7. Distribusi Rata-rata Depresi Responden Berdasarkan Riwayat Pekerjaan Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Tahun 2011 Variabel Riwayat Pekerjaan

Mean SD p Value n

- Memperoleh 5,69 5,225 16 penghasilan 0,093 - Tidak memperoleh 8,26 5,744 74

Dari Tabel 7. diketahui bahwa rata-rata skor depresi responden yang masih memperoleh penghasilan adalah 5,69 (depresi ringan). Sedangkan rata-rata skor depresi responden yang tidak memperoleh penghasilan adalah 8,26 (depresi sedang). Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,093, berarti dengan alpha 5% terlihat tidak ada perbedaan yang bermakna riwayat pekerjaan dengan depresi pada lansia. Tidak bermaknanya hasil penelitian ini disebabkan karena sebagian lansia mengalami status kesehatan yang kurang baik sehingga


Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Depresi Pada Lansia‌

tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri. Walaupun secara finansial lansia tidak bermasalah, tapi lansia tidak dapat melakukan aktivitasnya, seperti berinteraksi dengan sesama lansia dikarenakan penyakitnya. Disamping itu juga dapat disebabkan lansia kehilangan pasangan hidupnya dan tidak diperhatikan oleh keluarganya. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Amir (2005) bahwa seseorang yang tidak mempunyai pekerjaan atau menganggur merupakan faktor risiko terjadinya depresi. Suatu survei yang dilakukan terhadap wanita dan pria di bawah 65 tahun yang tidak bekerja sekitar enam bulan melaporkan bahwa depresi tiga kali lebih sering pada pengangguran daripada yang bekerja. Banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko depresi pada lansia, untuk itu lansia perlu memanfaatkan waktu luangnya dengan aktivitas yang bermanfaat dengan didampingi oleh keluarganya, dan bentuk dukungan dari keluarga sangat diperlukan untuk mengatasi gejala-gejala depresi. Hasil analisis hubungan antara dukungan keluarga dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011dapat dilihat pada tabel 8 berikut : Tabel 8. Distribusi Rata-rata Depresi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Tahun 2011 Variabel Dukungan Keluarga - Mendukung - Tidak Mendukung

p Value

n

5,90 3,686 0,001 9,98 6,795

48 42

Mean

SD

Dari Tabel 8 diketahui bahwa rata-rata skor depresi responden yang mendapat dukungan dari keluarga adalah 5,90 (depresi ringan). Sedangkan rata-rata skor depresi

2012

responden yang tidak memperoleh dukungan keluarga adalah 9,98 (depresi sedang). Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,001, berarti dengan Îą 5% terlihat ada hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan depresi pada lansia. Lanjut Usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia. Masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkan perlakuan yang sama untuk mengecap kondisi hidup idaman ini. Berbagai persoalan hidup yang mendera lanjut usia sepanjang hayatnya, seperti: kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya depresi. Tidak adanya media bagi lanjut usia untuk mencurahkan segala perasaan dan kegundahannya merupakan kondisi yang akan mempertahankan depresinya, karena dia akan terus menekan segala bentuk perasaan negatifnya kealam bawah sadar. Cita-cita seseorang untuk dapat hidup bersama dan mendapatkan perawatan dari keluarga terutama anak/cucu pada saat lanjut usia bukanlah sebuah jaminan, sebab ada beberapa faktor, sehingga lanjut usia tidak mendapatkan perawatan dari keluarga, seperti: tidak memiliki keturunan, punya keturunan tapi telah lebih duluan meninggal, anak tidak mau direpotkan untuk mengurus orang tua, anak terlalu sibuk dan sebagainya. Untuk itu perlu peran aktif dari keluarga dalam memberikan dukungan kepada lansia seperti memperhatikan kebutuhan lansia, memperhatikan keluhan yang

43


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

dirasakan lansia, selalu berkomunikasi dan melibatkan lansia dalam pengambilan keputusan, dan membuat lansia merasa dibutuhkan dalam keluarga.Hasil penelitian didapat bahwa masih banyak lansia yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dan banyak lansia tidak menceritakan masalah yang dirasakannya. Memberikan pengertian kepada keluarga akan pentingnya memberi dukungan kepada lansia sehingga dalam menjalankan kehidupannya, lansia tidak mengalami tekanan-tekanan. Hasil analisis hubungan antara interaksi sosial dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9. Distribusi Rata-rata Depresi Responden Berdasarkan Interaksi Sosial di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Tahun 2011 Variabel Interaksi Sosial

Mean

SD

pValue

N

Baik Kurang Baik

6,70 9,38

4,697 6,668

0,028

48 53

Dari Tabel 9 diketahui bahwa rata-rata skor depresi responden yang mengatakan interaksi sosial baik adalah 6,70 (depresi ringan). Sedangkan rata-rata skor depresi responden yang mengatakan interaksi sosial kurang baik adalah 9,36 (depresi sedang). Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,028, berarti dengan Îą 5% terlihat ada hubungan yang bermakna antara interaksi sosial dengan depresi pada lansia. Faktor-faktor dalam lingkungan sosial dapat memodifikasi pengaruh stresor psikososial terhadap depresi. Seseorang yang tidak terintegrasi ke dalam masyarakat cenderung menderita depresi. Dukungan sosial terdiri dari empat

44

komponen: jaringan sosial, interaksi sosial, dukungan sosial yang didapat, dan dukungan instrumental. Interaksi sosial dapat ditentukan dengan frekuensi interaksi antara subyek dengan anggota-anggota jaringan kerja yang lain. Selain frekuensi, kualitas interaksi jauh lebih penting dalam menentukan terjadinya depresi. Dukungan sosial yang didapat. dinilai dengan penentuan evaluasi subyektif mengenai mudahnya interaksi dengan jaringan kerja atau kelompok, perasaan memiliki, perasaan keintiman dengan jaringan kerja atau kelompok. Tidak adekuatnya dukungan yang diterima berkaitan dengan depresi. Dukungan instrumental dapat dinilai dengan adanya pelayanan konkrit yang diberikan pada subyek oleh jaringan sosial (misalnya makanan, bantuan keuangan, dan pelayanan perawatan untuk yang sakit (Amir, 2005). Menurut teori kegiatan pada saat seseorang menginjak usia lanjut, maka mereka tetap mempunyai kebutuhan dan keinginan yang sama seperti pada masa-masa sebelumnya. Mereka tidak ingin mengundurkan diri dari lingkungan sosialnya. Lansia yang aktif melaksanakan perananperanannya di masyarakat akan mencapai usia lanjut yang optimal (Watson, 2003). Namun hasil penelitian ini menunjukkan masih banyak lansia yang mempunyai interaksi sosial kurang baik, dan ini dikarenakan status kesehatan lansia yang tidak mendukung. Dari pertanyaan yang diajukan kepada lansia mengatakan bahwa mereka tidak merasa mampu melakukan aktifitas sehari-hari, lansia tidak mampu mampu mengikuti kegiatan- kegiatan seperti kegiatan keagamaan, senam, dll dilingkungan rumahnya. Ketidakmampuan lansia ini dikarenakan status kesehatan lansia yang kurang baik, dan ini berdampak kurang baik terhadap timbulnya gejala-gejala depresi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan


Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Depresi Pada Lansia‌

Yulianto(2010) tentang hubungan interaksi sosial dengan depresi pada lansia di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Lanjut Usia Jombang di Kediri, dimana terdapat hubungan yang signifikan antara interaksi sosial dengan depresi pada lansia. Untuk meningkatkan interaksi lansia dengan lingkungan sosialnya, lansia perlu meningkatkan status kesehatannya dengan cara melaksanakan pola hidup sehat, rajin berrolahraga sesuai kemampuan dan mengkonsumsi makanan yang sehat. Disamping itu juga perlu dukungan dari keluarga dalam upaya berinteaksi dengan lingkungannya. Hasil analisis hubungan antara status kesehatan dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011dapat dilihat pada tabel 10. Tabel 10. Distribusi Rata-rata Depresi Responden Berdasarkan Status Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Tahun 2011 Variabel Mean Status Kesehatan - Sehat - Kurang Sehat

5,89 10,54

SD

4,196 6,492

p Value

0,000

n

53 37

Dari Tabel 10 diketahui bahwa rata-rata skor depresi responden yang sehat adalah 5,89 (depresi ringan). Sedangkan rata-rata skor depresi responden dengan status kurang sehat adalah 10,54 (depresi sedang). Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,000, berarti dengan Îą 5% terlihat ada hubungan yang bermakna antara status kesehatan dengan depresi pada lanisa. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara status kesehatan dengan depresi lansia, dimana lansia yang mempunyai status kesehatan kurang baik mempunyai tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan

2012

dengan lansia yang mempunyai status kesehatan baik. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa sebanyak 97,8% lansia sedang mengalami suatu masalah kesehatan. Hanya 2,2% lansia yang tidak sedang mengalami masalah kesehatan. Adapun masalah kesehatan yang dialami oleh lansia sebagian besar adalah penyakit rematik, hipotensi, dan hipertensi. Umumnya lansia yang mempunyai penyakit rematik mengatakan terganggu aktivitas sehari-harinya. Dari hasil analisis diperoleh sebagian besar (58,9%) lansia mengatakan bahwa kurang sehat mengganggu aktivitasnya. Menurut Watson (2003) setelah orang memasuki masa lansia, umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang bersifat patologis. Misalnya, tenaga berkurang, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, berkurangnya fungsi indra pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia misalnya badan menjadi bungkuk, pendengaran berkurang, penglihatan kabur, sehingga menimbulkan keterasingan. Dari hasil analisis multivariat diketahui bahwa status kesehatan merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi depresi. Untuk mengurangi keadaan depresi pada lansia yang dikarenakan status kesehatan, maka perlu dukungan keluarga untuk selalu memperhatikan keluhan-keluhan yang dirasakan oleh lansia dan rutin melakukan pengobatan, serta rajin melakukan olahraga ringan dan melaksanakan pola hidup yang sehat. Hasil analisis hubungan antara keadaan psikologi dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011dapat dilihat pada tabel 11.

45


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Tabel 11. Distribusi Rata-rata Depresi Responden Berdasarkan Keadaan Psikologi Di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Tahun 2011 Variabel Status Psikologi

Mean

- Baik - Kurang

6,47 9,02

SD

p Value

n

4,939 6,138

0,033

47 43

Dari Tabel 11 diketahui bahwa rata-rata skor depresi responden dengan status psikologis baik adalah 6,47 (depresi ringan). Sedangkan ratarata skor depresi responden dengan status psikologis kurangbaik adalah 9,02 (depresi sedang). Hasil uji statistik didapatkan nilai p=0,033, berarti dengan Îą 5% terlihat ada hubungan yang bermakna antara status psikologis dengan depresi pada lanisa. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara status kesehatan dengan depresi pada lanisa, dimana rata-rata skor lansia yang mempunyai status kesehatan kurang baik lebih tinggi dibandingkan lansia yang mempunyai status kesehatan baik. Perubahan psikologis pada lansia meliputi short-term memory, frustasi, kesepian, takut kehilangan kebebasan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, depresi, dan kecemasan. Dalam psikologi perkembangan, lansia dan perubahan yang dialaminya akibat proses penuaan dapat digambarkan oleh hal-hal berikut; keadaan fisik lemah dan tidak berdaya, sehingga harus bergantung pada orang lain, status ekonomi sangat terancam, mencari teman baru untuk mengganti suami atau istri yang telah meninggal atau pergi jauh. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan aspek psikologis yan berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.

46

Dari butir pertanyaan yang diajukan kepada lansia, sebagian besar mengatakan bahwa lansia merasa hidupnya kosong, lansia merasa tidak dibutuhkan lagi dalam keluarga, lansia akan marah jika tidak diperhatikan oleh keluarga, dan lansia merasa bahwa kehidupan yang dijalankan sekarang ini merupakan hal yang sia-sia. Perubahan psikologis ini akan menimbulkan perubahan perilaku pada lansia Perubahan psikologis lansia juga dapat diakibatkan karena perubahan pekerjaan. Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering diartikan sebaliknya karena pensiun sering diartikan kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, dan harga diri. Proses menua yang dialami oleh lansia menyebabkan mereka mengalami berbagai macam perasaan seperti sedih, cemas, kesepian, dan mudah tersinggung. Perasaan tersebut merupakan masalah kesehatan jiwa yang menggambarkan keadaan psikologis pada lansia (Maryam, 2008). Keadaan psikologis lansia merupakan keadaan kejiwaan yang dirasakan saat ini oleh lansia meliputi perasaan sudah tidak dibutuhkan lagi, tidak berguna, tidak dihargai dan merasa menjadi beban bagi keluarganya. Jika lansia mengalami masalah psikologis, maka kondisi tersebut dapat mengganggu kegiatan sehari-hari lansia. Mencegah dan merawat lansia dengan masalah gangguan psikologis adalah hal yang sangat penting dalam upaya mendorong lansia bahagia dan sejahtera di dalam keluarga dan masyarakat (Rosidawati, 2008). Faktor risiko terjadinya masalah gangguan psikologis pada lansia antara lain; kesehatan fisik yang buruk, perpisahan dengan pasangan, perumahan dan transportasi yang


Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Depresi Pada Lansia‌

tidak memadai, sumber finansial berkurang, dan dukungan sosial berkurang (Maryam, 2008). Untuk mengatasi keadaan psikologi perlu adanya perhatian dari keluarga dalam bentuk dukungan keluarga sehingga lansia merasa masih berguna dan dihargai. Hasil analisis multivariat untuk mengetahui faktor yang paling dominan berhubungan dengan depresi lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi Tahun 2011dapat dilihat seperti tabel 12. Tabel 12. Hasil analisis Multivariat Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Depresi Lansia Variabel

B

p Value

OR

Dukungan Keluarga

0,902

0,054

2,464

Status Kesehatan

1,535

0,001

4,641

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel status kesehatan yang mempunyai p value di bawah 0,05, berarti variabel status kesehatan yang paling dominan berhubungan secara signifikan dengan depresi pada lansia. Bila dibandingkan dengan variabel lain yang berhubungan dengan depresi lansia yaitu umur, dukungan keluarga, interaksi sosial dan keadaan psikologis, ternyata variabel status kesehatan yang paling berhubungan dengan depresi lansia. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kesehatan sangatlah penting bagi lansia, karena walaupun lansia mempunyai penghasilan dan dukungan keluarga serta sosial yang baik, tapi jika kesehatan tidak baik, maka akan mempengaruhi psikologis lansia. Menurut Watson (2003) pada masa lansia sistem imun mengalami kemunduran, walaupun demikian kemunduran kemampuan sistem yang terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga

2012

merupakan faktor yang berkontribusi dalam proses penuaan. Hal ini dimanifestasikan dengan meningkatnya infeksi autoimun dan kanker. Perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia akan berdampak terhadap sistem muskuloskeletal yang merupakan komponen struktur yang utama, dimana sistem ini mengalami perubahan dalam muskular yaitu otot yang mengecil serta progresif (atrofi) dan tulang kehilangan kalsium secara progresif (dekalsifikasi) (Tortora & Anaqnostakos,1990 dalam Watson, 2003). Perubahan yang lambat akan membuat tulang pada lansia lebih mudah fraktur karena penurunan elastisitas sendi yang disebabkan oleh adanya perubahan dalam sintesis kolagen yang cenderung mengalami kerusakan (Watson, 2003). Lansia yang mengalami masalah pada muskuloskeletal dapat mengakibatkan lansia sulit untuk beraktivitas. Dengan demikian interaksi sosialpun akan jarang terjadi, dan lama kelamaan lansia bisa menarik diri dari lingkungannya dan merasa sedih, pesimis, tidak mau makan, dan lainnya. Menurut Beck & Deck(1972) dalam Lueckenotte (1998) gejala dan sikap yang berhubungan dengan depresi adalah kesedihan, pesimisme, rasa kegagalan, ketidakpuasan, rasa bersalah, tidak menyulai diri sendiri, membahayakan diri sendiri, menarik diri dari sosial, keragu-raguan, perubahan gambaran diri, sulit bekerja, keletihan dan anoreksia. Untuk menurunkan gejala gejala tersebut perlu dukungan dari keluarga untuk memperhatikan setiap keluhan yang dirasakan oleh lansia, selalu memeriksakan kesehatan lansia, sehingga perubahan fisik lansia tidak mengganggu aktivitasnya.

47


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa rata-rata skor depresi adalah 7,87. Sebanyak 41,1% lansia mengalami depresi sedang di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011. Ratarata umur lansia adalah 66,43 tahun, 66,7% lansia perempuan. Sebanyak 82% tidak memperoleh penghasilan, sebanyak 53,3% lansia mendapatkan dukungan yang baik dari keluarganya, 58,9% responden mempunyai interaksi sosial yang baik, 58,9% responden mempunyai status kesehatan kurang baik dan 52,2% lansia mempunyai keadaan psikologis baik. Ada hubungan antara umur, dukungan keluarga, interaksi sosial, status kesehatan, dan keadaan psikologis dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dan riwayat pekerjaan dengan depresi pada lansia di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi tahun 2011. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan depresi pada lansia adalah status kesehatan lansia. Dari pembahasan maka dapat disarankan kepada Dinas Kesehatan Kota Jambi agar dapat mengalokasikan anggaran untuk melengkapi sarana dan prasarana dan melaksanakan program kegiatan lansia dengan melibatkan posyandu lansia, serta merencanakan mengadakan lomba lansia sehat, Untuk Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi disarankan agar pihak Puskesmas lebih banyak lagi merencanakan kegiatan lansia yang lebih bervariasi, seperti membuat kelompok kerja lansia dan aktif mempersiapkan kegiatan yang bermanfaat bagi lansia, serta mengikutsertakan lansia pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Dinas Kesehatan. Selain itu juga memberikan pendidikan kesehatan

48

pada keluarga tentang perubahanperubahan dan kebutuhan-kebutuhan pada masa lansia. Kepada para lansia disarankan agar lansia dapat mempersiapkan diri dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi akibat proses penuaan, sehingga lansia lebih siap lagi untuk menjalankan kehidupan di masa berikutnya dengan lebih berkualitas. Disamping itu juga lansia dapat menjalankan pola hidup seat seperti berolahraga, pola makan yang sehat, serta berinteraksi dengan oranglain.

UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, perkenankan penulis untuk menghaturkan terima kasih kepada Kepala Badan PPSDM Kementrian Kesehatan RI, Kepala Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, Direktur Politeknik Kesehatan Jambi, beserta Pembantu Direktur dan staf administrasi, Ketua Jurusan Keperawatan, yang telah memberikan izin selama proses peneitian, Kepala Puskesmas Tanjung Pinang Kota Jambi, dan Tim peneliti yang sudah bekerjasama dalam pengumpulan data, bapak/ibu lansia sebagai responden serta semua pihak yang membantu hingga selesainya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA Amir,

N. 2005. Depresi, Aspek Neurobiologi Diagnosis dan Tatalaksana, Jakarta : Balai Penerbit FKUI Aryani, A. (2008). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Depresi Pada Lansia di Desa Mandong Trucuk Klaten. Skripsi Sarjana Mahasiswa Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan


Syamsul Ridjal, Junita, Nur Insani Faktor-Faktor Yang Behubungan Dengan Depresi Pada Lansia‌

2012

Universitas Muhammadiyah Surakarta: Tidak diterbitkan Lemeshow. 1997 . Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan, Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada Lueckenotte, (1998) Pengkajian Gerontologi . Jakarta : EGC Maryam.S.R. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika. Jakarta Rosidawati. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya.Salemba Medika. Jakarta Siburian. 2007.Panduan Gerontology: Tinjauan dari Berbagai Aspek. PT Gramedia. Jakarta Suardiman. 2004. Gerontologi: Rahasia dan Resep Umur Panjang. Penerbit Grafindo Utama. Jakarta Watson. 2003. Perawatan pada Lansia. EGC. Jakarta Yulianto, RH. 2010. Hubungan Interaksi Sosial dengan Tingkat Depresi pada Lansia di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosian Lanjut Usia Jombangdi Kediri.Tugas Akhir Mahasiswa Program Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Airlangga. Diakses melalui http://ners.unair.ac.id/alumnidetail .ners.php?id=29970

49


2012

Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

EFEKTIFITAS ALAT PENYEDOT LARVA DALAM PENGENDALIAN LARVA NYAMUK Aedes aegipty Krisdiyanta, Ahmad Dahlan, Muridi Mudehir Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK

Pegendalian nyamuk dewasa umumnya dilakukan dengan fogging, sedangkan larva dilakukan dengan menggunakan abate. Pengendalian nyamuk dewasa dan larva nyamuk masih dititikberatkan pada insektisida kimia karena dianggap efektif dan hasilnya dapat diketahui dengan cepat. Akan tetapi sebagai akibat penggunaan insektisida kimia dalam pengendalian dapat menimbulkan masalah baru yaitu membunuh serangga yang bukan target dan timbulnya resistensi vektor. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui efektivitas alat penyedot larva dalam pengendalian Larva Nyamuk Aedes Aegypti yang ramah lingkungan. Metode penelitian eksperimen dengan rancangan Postest Group Design. Populasi adalah larva nyamuk Aedes aegypti yang dikolonisasi di insektarium Jurusan Kesehatan Lingkungan. Sampel Penelitian berjumlah 10.000 ekor larva nyamuk Aedes aegypti. Hasil penelitian ada perbedaan waktu terhadap jumlah larva yang tertangkap. Namun pada waktu 3 menit dan 4 menit tidak ada perbedaan yang signifikan, hal ini ditunjukkan pada nilai p=0,125 (p > 0,005). Kesimpulan Waktu efektif dalam penyedotan larva nyamuk Aedes Aegypti dalam setiap kontainer air bersih adalah 5 menit dengan persentase penangkapan sebanyak 99,4%. Kata Kunci : Alat Penyedot Larva, Aedes Aegypti

PENDAHULUAN Wabah penyakit demam berdarah yang sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia beberapa tahun yang lalu di Indonesia perlu mendapat perhatian. Begitu pula vektor Aedes aegypti yang terdapat baik di daerah pedesaan maupun diperkotaan memberi resiko timbulnya wabah penyakit di masa yang akan datang (Depkes RI, 2000). Untuk mengatasi masalah penyakit demam berdarah di Indonesia telah puluhan tahun dilakukan berbagai upaya pemberantasan vektor, tetapi hasilnya belum optimal. Kejadian luar biasa (KLB) masih sering terjadi secara teoritis ada empat cara untuk memutuskan rantai penularan DBD

50

ialah melenyapkan virus, isolasi penderita, mencegah gigitan nyamuk (vektor) dan pengendalian vektor. Untuk pengendalian vektor dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara kimia dan pengelolaan lingkungan, salah satunya dengan cara pembersihan sarang nyamuk (Depkes RI, 2003) Pengendalian nyamuk dapat dilakukan dengan fogging, sedangkan larva dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida kimia, misalnya abate atau insektisida hayati. Sampai saat ini pemberantasan nyamuk masih dititikberatkan pada insektisida kimia karena dianggap efektif dan hasilnya dapat diketahui dengan cepat. Akan tetapi sebagai akibat penggunaan insektisida kimia dalam pengendalian nyamuk dapat menimbulkan masalah baru yaitu


Krisdiyanta, Ahmad Dahlan, Muridi Mudehir Efektifitas Alat Penyedot Larva…

membunuh serangga yang bukan target dan timbulnya resistensi vektor (Widiati, et. al, 2004). Oleh karena itu perlu dicari cara lain yaitu pengendalian larva nyamuk dengan menggunakan alat penyedot larva

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian ini adalah Eksperimen dengan rancangan Postest Group Design, dengan rancangan ini memungkinkan dapat mengukur waktu perlakuan (intervensi) dalam hal ini adalah waktu yang dibutuhkan untuk penyedotan larva nyamuk. Larva nyamuk Aedes aegypti yang ada dalam kontainer dilakukan penyedotan dengan cara membandingkan waktu efektif setiap kontainer dengan pengulangan untuk mencari rerata waktu efektif.

Kelompok Perlakuan X1

O1

Keterangan : X1 = Perlakuan penyedotan larva dengan alat dengan waktu yaitu 1’,2’,3’,4’,5’ O1 = Pengamatan waktu dan jumlah larva nyamuk yang tertangkap dengan alat penyedot larva

Variabel Independen adalah waktu yang diperlukan dalam uji alat, sedangkan variabel dependennya adalah jumlah larva nyamuk aedes aegyptii yang tertangkap pada alat. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat waktu efektif dalam penyedotan larva, nyamuk Aedes aegypti serta ada perbedaan berbagai waktu dalam melakukan penyedotan larva nyamuk Aedes aegypti dalam setiap kontainer air bersih Populasi dalam penelitian ini adalah larva nyamuk Aedes Aegypti yang dikolonisasi di insektarium

2012

Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Jambi. Sampel Larva nyamuk Aedes aegypti berjumlah 10.000 ekor larva nyamuk Aedes aegypti yang diperoleh dari hasil kolonisasi larva nyamuk Aedes aegypti, setiap kontainer air bersih dimasukan larva nyamuk Aedes aegypti sebanyak 1000 ekor. Besar Sampel penelitian diambil dengan kriteria inklusi yaitu larva dengan instar III dengan alasan instar ini mampu bergerak secara aktif. Jumlah perlakuan terdiri dari lima waktu dengan penggulangan sebanyak lima kali ulangan. Adapun pengulangan dihitung dengan rumus sebagai berikut (Hanafiah KA, 1991) :

(t -1)(r–1) ( 5 - 1 ) ( 5 – 1) (4) (4) 16

15 15 15 15

Keterangan : t : Jumlah rangkaian waktu perlakuan. r : Jumlah ulangan Prosedur Kerja.

Alat dan bahan yang harus dipersiapkan adalah: Alat penyedot larva satu unit ; Kontainer air bersih volume 250 liter sebanyak 5 buah ; Baki plastik sebanyak 10 buah, untuk menaruh larva sementara ; Alat penyaring, untuk mengambil larva ; Counter 2 buah, untuk menghitung larva ; Pipet 5 buah untuk mengambil larva dari baki ; Larva sebanyak 10.000 larva dan Air bersih ; Label ; alat tulis dan alat hitung waktu Larva instar III diperoleh dengan cara menetaskan telur Ae. aegypti . Penetasan dilakukan dengan cara sebagai berikut : Disiapkan 10 buah baki untuk menetaskan telur dan 10 buah baki untuk pemeliharaan larva ; 10 buah baki di isi air sumur, pada bagian dinding diberi kertas saring agar telur yang menempel dinding di baki tidak kering ; Ditunggu 1 – 2 hari sampai telur menetas menjadi larva, larva kemudian dipindahkan ke baki lainnya ; Untuk

51


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

pemeliharaan larva diberi makan dengan cara memberi dogfood (makanan anjing), sampai pertumbuhan menjadi stadium larva instar III ; Penentuan stadium larva instar III dilakukan 3 hari setelah telur menetas. Setelah melakukan kolonisasi larva nyamuk Aedes aegipty di insektarium dan didapatkan larva ; Pilih larva pada stadium instar II1 sebagai bahan penelitian ; Pindahkan larva nyamuk Aedes aegipty ke kontainer uji sebanayak 1000 ekor larva ; Lakukan penyedotan larva pada kontainer dengan watktu 1 menit, kemudian hitung larva yang tertangkap ; Lakukan pengulangan sebanyak 5 kali. Kemudian hitung larva nyamuk yang tertangkap dengan waktu penyedotan 1 menit ; Lakukan poin d dan e dengan waktu 2 menit, 3 menit, 4 menit dan 5 menit ; Catat semua data dan lakukan analisa data. Tahap pengolahan data dilakukan dengan cara tabulasi data, kemudian dilakukan analisis dengan mengunakan uji beda atau uji Anava, untuk mengetahui perbedaan waktu yang digunakan untuk menangkap larva terhadap jumlah larva yang tertangkap dengan tingkat kepercayaan 95% dan untuk mengetahui waktu efektif yang digunakan dalam menangkap larva nyamuk. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Pengukuran Suhu dan pH pada Media Pengkuran pada media air Kontainer Suhu pH (oC)

Kontrol Suhu (oC)

pH

1

28

6,5

28

6,5

2

28

6,5

28

6,5

3

29

6,5

28

6,5

4

29

6,5

28

6,5

5

29

6,5

28

6,5

52

Alat pengukur suhu media larutan menggunakan thermometer air, keasaman pH menggunakan pH Meter. Pengukuran dilakukan pada media air selama pengamatan yaitu suhu media berkisar antara 28 – 29 °C, derajat keasaman media air antara pH 6,6 – 6, sedangkan, sedangkan pada kontrol menunjukkan angka yang konstan. Hasil uji pendahuluan disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Persentase Larva Aedes aegypti yang Tertangkap pada Berbagai waktu Percobaan (Uji Pendahuluan)

Gambar 1. menunjukan persentase larva Aedes Aegypti yang tertangkap pada uji pendahuluan dengan berbagai waktu percobaan penyedotan larva yaitu 1 menit, 3 menit, 5 menit, 7 menit, dan 9 menit. Berdasarkan hasil uji, bahwa rerataa larva yang tertangkap pada menit ke 5, 7, dan 9 tidak ada perbedaan sehingga penulis menentukan waktu uji lanjutan terlama adalah 5 menit dengan rangkaiaan waktu 1, menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit. Uji lanjut penentuan efektifitas waktu penyedotan dilakukan yaitu lima kali ulangan dengan lima waktu penyedotan yaitu: 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit. Perhitungan larva Ae.aegypti yang tertangkap dengan berbagai waktu percobaan penyedotan larva yaitu 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit disajikan dalam gambar 2.


Krisdiyanta, Ahmad Dahlan, Muridi Mudehir Efektifitas Alat Penyedot Larva‌

Gambar 2. Persentase Rerata Larva Aedes aegypti tertangkap pada Berbagai waktu Percobaan (Uji Lanjutan)

Analisis ini digunakan untuk mengetahui perbedaan larva yang tertangkap antar perlakuan yaitu berbagai waktu percobaan penyedotan larva 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit. Hasil uji Test of Homogeneity of Variances menunjukkan pada level statistik 1.918 dan nila signifikansi 0,147 yang artinya bahwa data yang diperoleh homogen sehingga dapat dilakukan uji varian lanjutan. Tabel 2. Uji ANOVA Antara berbagai waktu percobaan penyedotan Sum of Mean df Squares Square Between 1485454 4 Groups 1453853 1 Linear Term

37136

F

Sig.

57.8

.000

14538 226.397 .000

31601.4 3 10533. 1.640

Within Groups

128434. 20 6421.7

Total

1613888 24

.212

Berdasarkan hasil uji anava, menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan antara waktu percobaan penyedotan larva 1 menit, 2 menit, 3 menit, 4 menit, dan 5 menit. Hal ini ditunjukaan dengan nilai p=0,000 (p<0,005), yang artinya bahwa setiap waktu percobaan mempunyai perbedaan jumlah larva tertangkap. Berdasarkan hasil uji LSD, menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan waktu yang diperlukan dalam percobaan terhadap jumlah

2012

larva yang tertangkap. Hal ini ditunjukaan dengan nilai p<0,005, yang artinya bahwa ada perbedaan waktu terhadap jumlah larva yang tertangkap. Namun pada waktu 3 menit dan 4 menit tidak terjadi perbedaan yang signifikan, hal ini ditunjukkan pada nilai p=0,125 (p>0,005). Pada Survei Entomologi DBD ada 5 Kegiatan Pokok, yaitu pengumpulan data terkait, survei telur, survei jentik atau larva, survei nyamuk, dan survei lain-lain. Pengamatan perilaku dari berbagai lingkungan, vektor, cara-cara pemberantasan vektor dan cara-cara menilai hasil pemberantasan vektor. Vaksin untuk mencegah demam berdarah belum ditemukan dan obat untuk membunuh virusnya belum ada. Oleh karena itu, satusatunya upaya pencegahannya ialah dengan memberantas nyamuk penularnya. Cara yang paling mudah ialah dengan membasmi jentik nyamuk penular tersebut. Cara yang paling tepat untuk mencegah demam berdarah adalah dengan membersihkan (kuras) bak mandi sekurang-kurangnya seminggu sekali, menutup tempayan rapat-rapat setelah mengambil air, Membuang sampah plastik dan sampah lainnya yang dapat menampung air hujan pada tempatnya, serta mengganti air di vas bunga dan pot tanaman air setiap hari (Hendarwanto, 1996). Untuk memberantas jentik di tempat penampungan air yang tidak mungkin dikuras, tutup yang rapat agar nyamuk tidak dapat masuk atau peliharalah ikan atau dapat juga dengan memberikan bubuk abate (Depkes RI, 2003). Program pencegahan DBD yang tepat guna harus dilaksanakan secara integral (mencakup penyuluhan, pendidikan penderita bagi dokter dan paramedic serta partisipasi masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk. Pemberantasan vektor nyamuk dapat dilakukan secara intensif dengan cara menggunakan

53


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

alat penyedot larva dalam pengendalian vektor penyaakit dan merupakan salah satu alternatif pengendalian larva ramah lingkungan (Hendarwanto, 1996). Berdasaarkan pembahasan tersebut di atas, saran yang diberikan kepada masyarakat adalah agar tetap melaksanakan pengendalian vektor penyakit (ramah lingkungan) khususnya demam berdarah dengan melakukan program 3 M (menguras, menutup dan mengubur), namun ada salah satu alternatif pengendalian larva nyamuk yaitu dengan menggunalan alat penyedot larva.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasar data penelitian dan pembahasan yang dilakukan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa waktu efektif dalam penyedotan larva nyamuk Aedes aegypti dalam setiap kontainer air bersih adalah 5 menit dengan prosentase penangkapan sebanyak 99,4%. Ada perbedaan kemampuan alat dengan berbagai waktu penyedotan larva nyamuk Aedes aegypti dalam setiap kontainer dengan nilai p = 0,000. Saran yang diberikan kepada masyarakat adalah agar tetap melaksanakan pengendalian vektor penyakit (ramah lingkungan) khususnya demam berdarah dengan melakukan program 3 M (menguras, menutup dan mengubur), namun ada salah satu alternatif pengendalian larva nyamuk yaitu dengan menggunalan alat penyedot larva. DAFTAR PUSTAKA

Dep Kes RI. 2000. Membina Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan DBD (PSN_DBD). Jakarta ________2003, Pencegahan dan Penang gulangan Penyakit Demam Berdarah Dengue. Jakarta

54

Hanafiah KA. 1996. Rancangan Percobaan, Teori dan Aplikasi. Rajawali Press. Jakarta Hendarwarto, 1996, Demam Berdarah Dengue, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta Hoedojo, 1993, Vektor DBD dan Upaya Penanggulangannya.. jakarta Widiarti, et. Al. 1991. Uji bioefikasi Insektisida Rumah, Badan Litbang Kesehatan. Jakarta Widianti, 2004, Pengaruh Modifikasi Ovitrap Terhadap Nyamuk Aedes aegypti. Semarang


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PEMANFAATAN BUKU KIA OLEH IBU HAMIL DI PUSKESMAS KOTA JAMBI TAHUN 2010 Nurmisih Latief, Asmuni HS dan Winda Triana Staf Pengajar Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK Pemanfaatan buku KIA belum maksimal dilakukan, menurut Andryansyah (1998) dalam study evaluasi pengembangan buku KIA di Provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa rendahnya pengetahuan ibu mungkin karena kurangnya informasi dari tenaga kesehatan. Rendahnya pengetahuan ibu terhadap pemanfaatan buku KIA menyebabkan komplikasi yang mungkin terjadi dalam kehamilan tidak dapat dideteksi sedini mungkin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan buku KIA di Puskesmas Kota Jambi Tahun 2010. Rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah mixi research, data diperoleh melalui observasi, exit interview dan indepth interview, dilaksanakan pada bulan September - Oktober 2010 terhadap 96 responden dan 1 orang pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) KIA Dinas Kesehatan Kota Jambi, meliputi faktor predisposisi (pengetahuan, pendidikan dan sikap), faktor pemungkin (ketersediaan sarana) dan faktor penguat (peran petugas). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas buku KIA tersedia dan responden telah memanfaatkan buku KIA, faktor predisposisi (sebagian besar responden memiliki pendidikan tinggi dan pengetahuan baik serta sebagian memiliki sikap positif terhadap pemanfaatan buku KIA). Peran petugas dalam penggunaan buku KIA sebagian baik. Terdapat hubungan yang bermakna antara pendidikan dan pengetahuan dengan pemanfaatan buku KIA dan tidak terdapat hubungan antara sikap, ketersediaan sarana dan peran petugas dengan pemanfaatan buku KIA. Kata Kunci: Buku KIA, Pemanfaatan Buku KIA

PENDAHULUAN Kesehatan Ibu dan Anak masih merupakan masalah nasional yang perlu mendapat prioritas utama, karena sangat menentukan kualitas sumber daya manusia generasi mendatang. Tingginya angka kematian ibu (AKI) dan kematian Bayi (AKB) maupun kematian anak (AKA), yang menurut SDKI 2007 AKI di Indonesia sebanyak 228/100.000 kelahiran hidup serta lambatnya penurunan kedua angka tersebut mencerminkan bahwa mutu pelayanan terhadap ibu belum berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Fenomena di atas menunjukkan bahwa saat ini kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak sangat mendesak untuk ditingkatkan (BPS & Macro Internasional, 2007).

Kesehatan Ibu dan Anak masih merupakan masalah nasional yang perlu mendapat prioritas utama, karena sangat menentukan kualitas sumber daya manusia generasi mendatang. Tingginya angka kematian ibu (AKI) dan kematian Bayi (AKB) maupun kematian anak (AKA), yang menurut SDKI 2007 AKI di Indonesia sebanyak 228/100.000 kelahiran hidup serta lambatnya penurunan kedua angka tersebut mencerminkan bahwa mutu pelayanan terhadap ibu belum berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Fenomena di atas menunjukkan bahwa saat ini kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak sangat mendesak untuk ditingkatkan (BPS & Macro Internasional, 2007). Upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya pelayanan

55


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

terhadap ibu dan anak salah satunya melalui penggunaan buku KIA. Buku KIA digunakan oleh ibu dan kader untuk memantau serta memperoleh informasi tentang kesehatan ibu dan anak. Di Indonesia buku KIA belum diterapkan keseluruh provinsi namun sambutan yang diterima sangat positif. Menurut Azwar buku KIA telah digunakan di 140 kabupaten dalam 24 provinsi, meskipun belum tersebar pada semua fasilitas kesehatan. Pemanfaatan buku KIA belum maksimal dilakukan, menurut Andryansyah (1998) dalam study evaluasi pengembangan buku KIA di Provinsi Jawa Tengah menyebutkan bahwa rendahnya pengetahuan ibu mungkin karena kurangnya informasi dari tenaga kesehatan. Rendahnya pengetahuan ibu terhadap pemanfaatan buku KIA menyebabkan komplikasi yang mungkin terjadi dalam kehamilan tidak dapat dideteksi sedini mungkin (http : // www. Kompas .com / kompas – cetak / 0308 / 08 / iptek / 481686. htm). Penggunaan buku KIA juga merupakan upaya terobosan guna menciptakan komunikasi dua arah antara petugas kesehatan, kader dengan ibu hamil atau ibu balita dalam rangka penyampaian pesan-pesan kesehatan. Lancarnya komunikasi dua arah tersebut diharapkan akan mempengaruhi mutu layanan dan konseling terhadap ibu hamil. Pesan kesehatan yang tercantum dalam buku KIA merupakan masukan bagi ibu dan keluarganya untuk dapat mengambil keputusan dan bertindak dalam memelihara kesehatan ibu dan anak. Studi pendahuluan yang dilakukan pada Puskesmas Putri Ayu terhadap 20 orang ibu hamil di Ruang KIA tentang komplikasi kehamilan dan bagaimana pemanfaatan buku KIA, sebagian besar tidak mengetahui jenis komplikasi kehamilan dan pemanfaatan buku KIA tersebut. Data riil tentang penerapan dan pemanfaatan buku KIA di Kota Jambi

56

masih sulit diperoleh karena Profil Kesehatan Kota Jambi belum menampilkan data tersebut. Kota Jambi terdiri dari 8 kecamatan dan setiap kecamatan masing-masing memiliki puskesmas induk sebagai unit pelayanan kesehatan, sehingga penelitian ini dilakukan pada seluruh puskesmas induk tersebut. BAHAN DAN CARA KERJA Kerangka pikir dalam penelitian ini mengacu pada teori perilaku yang menyatakan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi tiga faktor, predisposing, enabling dan reinforcing (Green, 1980:71). Peneliti mengambil aspek pengetahuan dan sikap karena berdasarkan pendapat Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2005) bahwa penerimaan perilaku atau terjadinya perubahan perilaku itu akan bersifat langgeng (berlangsung lama) didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif. Penulis tidak meneliti semua aspek yang ada pada dari ketiga variabel yang dikemukakan oleh Green, seperti kepercayaan, nilai, tersedianya sarana kesehatan, keluarga, teman, pengalaman kerja dan dukungan sosial) karena tidak secara langsung mempengaruhi pemanfaatan buku KIA. Variabel yang diteliti adalah pendidikan, pengetahuan, sikap, ketersediaan sarana, dan peran petugas karena variabel tersebut dianggap dapat mewakili faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan buku KIA oleh ibu hamil karena merupakan fenomena yang sering terjadi dilapangan. Penelitian ini merupakan mixi research bertujuan untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan pemanfaatan buku KIA oleh ibu hamil ditinjau dari predisposisi, pemungkin dan penguat. Penggunaan rancangan dikarenakan data untuk variabel bebas dan terikat diambil melalui kuesioner untuk ibu hamil dan observasi


Nurmisih Latief, Asmuni. HS dan Winda Triana Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Buku KIA‌

terhadap kegiatan pelayanan antenatal serta wawancara mendalam terhadap pengambil kebijakan tentang buku KIA yaitu pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) KIA Dinas Kesehatan Kota Jambi. Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas Kota Jambi pada bulan September sampai dengan Oktober 2010. Populasi dalam penelitian ini seluruh Puskesmas yang melaksanakan pelayanan pada ibu hamil berjumlah 20 unit, tersebar di 8 kecamatan. Penentuan besar sampel dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan pendapat Aga Khan University & Aga Khan Fondation dalam BKKBN (2000) bahwa jumlah klinik pelayanan kurang dari 50 maka besar sampel 30–50 %, sehingga ditentukan jumlah sampel sebanyak 40% dari populasi yaitu 20 Puskesmas yang melaksanakan pelayanan ibu hamil, sehingga diperoleh 8 Puskesmas, karena Kota Jambi terdiri dari 8 kecamatan, maka dipilih satu Puskesmas pada setiap kecamatan yang diambil secara acak sederhana, setiap Puskesmas terdiri dari 12 pelayanan ibu hamil sehingga secara keseluruhan berjumlah 96 pelayanan ibu hamil. Informan dalam penelitian ini adalah pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) KIA Dinas Kesehatan Kota Jambi. Pengambilan sampel menggunakan teknik simple random sampling. Pemanfaatan buku KIA adalah yang dilakukan responden terhadap buku KIA, memiliki, dibawa pada saat periksa, dibaca dan mengetahui isi buku KIA. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden yang berhubungan dengan isi dan pemanfaatan buku KIA meliputi hal-hal yang perlu dilakukan ibu hamil, tandatanda bahaya pada ibu hamil dan gizi serta cara makan yang baik selama hamil. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan responden. Sikap adalah reaksi atau respon responden tentang pemanfaatan buku KIA yang menunjukkan tingkat

2012

persetujuan/ketidaksetujuan untuk pernyataan positif atau negatif dengan nilai yang berbeda. Ketersediaan sarana adalah tersedianya buku KIA sesuai dengan kunjungan ibu hamil. Peran petugas adalah pemberian informasi yang meliputi isi buku KIA, kegunaan/manfaat buku KIA serta mendiskusikan dengan ibu hamil dan keluarga tentang isi buku KIA serta anjuran untuk selalu membawa buku KIA tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Responden menurut Pemanfaatan Buku KIA didapatkan dari beberapa pertanyaan yang diajukan, meliputi memiliki, membawa, membaca dan mengetahui isi buku KIA. Hasil penelitian tentang pemanfaatan buku KIA oleh ibu hamil diperoleh sebanyak 91.7% memanfaatkan buku KIA Penelitian Frimarlita (2010) tentang pemanfaatan buku KIA di Puskesmas Kota Baru diperoleh hasil mayoritas ibu hamil hanya mengetahui sebagian dari isi buku KIA dan masih ditemukan ibu hamil yang berkunjung untuk mendapatkan pelayanan tidak membawa buku KIA. Menurut Depkes RI (2009) manfaat buku KIA adalah sebagai alat komunikasi dan penyuluhan, dilengkapi informasi penting bagi ibu, keluarga dan masyarakat tentang kesehatan, gizi dan paket standar pelayanan KIA. Buku KIA juga bermanfaat sebagai alat untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan atau masalah kesehatan ibu dan bayi serta catatan pelayanan kesehatan ibu dan anak dan rujukan. Buku KIA adalah alat yang sederhana, tetapi ampuh sebagai sarana informasi, edukasi dan komunikasi dalam menyebarkan informasi penting mengenai kesehatan ibu dan anak kepada keluarga. Buku KIA sangat potensial untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku keluarga dan ibu mengenai

57


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

kesehatan reproduksi dan kesehatan anak. Buku KIA juga merupakan catatan kesehatan lengkap yang disimpan ditingkat rumah tangga, merupakan milik keluarga sehingga keluarga ataupun ibu dan petugas kesehatan, baik formal maupun non formal dapat menggunakannya untuk memantau perkembangan intervensi pelayanan kesehatan dasar yang dirancang untuk menjamin kesehatan, keselamatan, dan kelangsungan hidup ibu hamil dan janinnya. Hasil penelitian terhadap pendidikan responden tentang buku KIA diperoleh hasil sebanyak 50 (52.1%) responden memiliki pendidikan tinggi Proporsi responden yang memanfaatkan buku KIA ditinjau dari katagori pendidikan tinggi lebih besar jika dibandingkan dengan pendidikan rendah. Hasil uji statistik diperoleh p value 0,026, berarti terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pemanfaatan buku KIA, dengan OR 8.79 Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2005) menegaskan bahwa menegaskan bahwa pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti didalam pendidikan terjadi proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah yang lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, kelompok atau masyarakat. Pendidikan akan mempengaruhi peningkatan pengetahuan masyarakat, tingginya pendidikan seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat pengetahuannya, sehingga dengan semakin tingginya pendidikan seseorang diharapkan keinginan untuk memanfaatkan sesuatupun akan semakin baik, seperti memanfaatkan buku KIA sebagai sumber informasi untuk meningkatkan status kesehatannya. Hasil penelitian terhadap pengetahuan responden tentang buku KIA diperoleh berdasarkan 20 pertanyaan yang diajukan dengan

58

menggunakan kuesioner. Berdasarkan analisis diperoleh hasil sebanyak 89 (92.7%) responden mengetahui isi buku KIA tentang tujuan pemberian tablet tambah darah, sebanyak 83 (86.5%) responden tahu tentang tujuan penimbangan berat badan pada ibu hamil, tempat melahirkan yang aman dan alat kontrasepsi setelah melahirkan namun sebanyak 45 (46.9%) responden tidak tahu tentang cara merangsang pertumbuhan otak janin. pada penelitian ini diperoleh hasil 77 (80,2%) responden memiliki pengetahuan baik. Uji statistik menghasilkan p value 0,047 artinya terdapat pola hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan pemanfaatan buku KIA, dengan OR 4,86 responden yang berpengetahuan baik memiliki kecenderungan 4,86 kali memanfaatkan buku KIA dibandingkan responden berpengetahuan kurang baik. Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian Wibowo (1992) tentang pelayanan ante natal yang menemukan bahwa pengetahuan ibu yang tinggi cenderung untuk memanfaatkan pelayanan ante natal serta merupakan salah satu variabel utama yang mempengaruhi pemanfaatan tersebut, fenomena ini diperkuat oleh Nurmisih (2002) bahwa variabel pengetahuan berhubungan bermakna dengan pemanfaatan layanan kesehatan dalam hal ini pelayanan pertolongan persalinan. Hasil penelitian tentang sikap responden terhadap buku KIA di Puskesmas Kota Jambi Tahun 2010, terdapat sebanyak 73 (76%) responden setuju buku KIA akan selalu dibaca bila ada kesempatan, ibu hamil tidur menggunakan kelambu dan merencanakan penggunaan alat kontrasepsi setelah melahirkan, namun masih ada yang tidak setuju untuk melakukan imunisasi TT selama masa kehamilan, ibu hamil selalu mengkonsumsi tablet fe, ibu hamil makan makanan bergizi dan porsi lebih banyak. Proporsi responden


Nurmisih Latief, Asmuni. HS dan Winda Triana Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Buku KIA…

berdasarkan katagori pemanfaatan buku KIA ditinjau dari sikap positif lebih besar jika dibandingkan dengan sikap yang negatif. Hasil uji statistik diperoleh p value 0,463 lebih besar dari alpha 0,05, berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara sikap dengan pemanfaatan buku KIA Buku KIA terbukti dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan ibu mengenai kesehatan ibu dan anak. Pemahaman ini diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian bayi dan angka kematian ibu di Indonesia. Selain menjadi acuan dan sumber pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan ibu dan anak, buku ini juga berfungsi sebagai buku catatan kesehatan ibu dan anak, alat monitor kesehatan oleh petugas/tenaga kesehatan, meningkatkan komunikasi antara petugas kesehatan dan pasien. Buku KIA merupakan instrumen pencatatan sekaligus edukasi bagi ibu dan keluarganya. Buku KIA berisi informasi dan materi penyuluhan tentang kesehatan ibu dan anak termasuk gizi, yang dapat membantu keluarga khususnya ibu dalam memelihara kesehatan dirinya sejak ibu hamil sampai anak berumur 5 tahun. Hasil penelitian ini jelas memberikan suatu gambaran bahwa sikap bukan merupakan suatu tindakan atau aktifitas melainkan predisposisi tindakan atau perilaku, sikap adalah reaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan suatu objek. Menurut Allport ada tiga komponen pokok dari sikap yang secara bersama-sama membentuk total attitude yakni kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek dan kecenderungan untuk bertindak (Notoatmodjo, 2005). Hasil penelitian terhadap ketersediaan sarana buku KIA di delapan Puskesmas dari delapan Kecamatan, didapatkan melalui observasi langsung terhadap

2012

pelayanan ibu hamil dan wawacara mendalam dengan pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) KIA Dinas Kesehatan Kota Jambi. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh sebanyak 95 (99%) sarana tersedia. Berdasarkan hasil wawancara terhadap pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) KIA Dinas Kesehatan Kota Jambi tentang ketersediaan sarana buku KIA Buku KIA diperoleh dari pemerintah pusat (Depkes tahun 2009-2010) dengan sitiran ucapan sebagai berikut : “Sumber buku KIA dari dana APBD Kota dan APBN Propinsi, untuk APBD kota dicetak TK II sebanyak 3000 buah buku, untuk sasaran ibu hamil 13.000.000 untuk APBN Propinsi dari dinas tingkat I di distribusikan untuk kabupatenkabupaten langsung oleh pengelola pelaksana program.”

Selanjutnya tentang bagaimana pendistribusian buku KIA dari Pusat ke Propinsi dan dari Dinkes Propinsi ke daerah, sitiran ucapan informan adalah: “Kalau buku KIA dari pusat diberikan oleh Propinsi jumlahnya tidak tahu”. “Buku KIA dikirim dari Propinsi ke Kota dan Kabupaten, dari dinas kesehatan Kabupaten menyalurkannya ke Puskesmas dan diteruskan ke Pustu, Polindes serta BPS, dengan jumlah terbatas” “Laporan dari Puskesmas, Pustu, Polindes, BPS dan dilaporkan ke Dinas kesehatan tingkat II serta Dinas Kesehatan tingkat I”

Informasi lainnya tentang bagaimana pemantauan dan evaluasi Dinas kesehatan ke daerah sesuai hasil wawancara dengan informan, berikut sitirannya: “Pemantauan oleh pengelola program KIA yang ada di Kabupaten meminta tingkat II serta Dinas kesehatan tingkat I”

59


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Kemudian laporan yang diterima mengenai pemanfaatan buku KIA selama ini, berikut sitirannya: “Kalau laporan yang kami terima di dinas kesehatan kota Jambi pemegang buku KIA, (Ibu Hamil) sudah bagus dan pemegang buku KIA rata-rata sudah memakainya untuk kontrol kehamilan sebagai buku pasien yang selalu dibawa. Bila pakai buku KIA, dimanapun wilayah kunjungan pasien dapat dipantau dan bila pasien dari wilayah lain berobat bawa buku KIA akan melaporkan dimana asal tempat tinggal.�

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh sebanyak 95 (99%) sarana tersedia. Proporsi responden berdasarkan pemanfaatan buku KIA ditinjau dari tersedianya sarana lebih besar jika dibandingkan dengan sarana tidak tersedia. Hasil uji statistik diperoleh p value 0,083, berarti tidak ada hubungan bermakna antara sikap dengan pemanfaatan buku KIA. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa proporsi pemanfaatan buku KIA lebih banyak jika sarana tersebut cukup, meskipun dari pola hubungan diperoleh tidak adanya hubungan yang bermakna antara ketersediaan sarana dengan pemanfaatan buku KIA. Hasil penelitian menemukan bahwa buku KIA hanya diberikan pada ibu hamil yang masuk dalam wilayah kerja Puskesmas saja, jika ada ibu hamil dari luar wilayah tidak diberikan buku KIA dengan alasan keterbatasan persediaan sarana. Hasil di atas sesuai dengan masalah yang diungkapkan informan melalui wawancara mendalam bahwa masalah pasien yang berkunjung dari luar wilayah yang menyebabkan ketersediaan buku KIA untuk kesehatan ibu hamil setempat berkurang jumlahnya. Sumber buku KIA dari dana APBD Kota dan APBN Propinsi, APBD Kota dicetak TK II sebanyak 3000 buah buku, untuk sasaran ibu hamil sebanyak

60

13.000.000, sedangkan APBN Propinsi dari dinas tingkat I di distribusikan untuk kabupatenkabupaten langsung oleh pengelola pelaksana program. Buku KIA dikirim dari Propinsi ke Kota dan Kabupaten selanjutnya dinas kesehatan Kabupaten menyalurkan ke Puskesmas untuk diteruskan ke Pustu, Polindes serta BPS, dengan jumlah terbatas. Hasil penelitian terhadap peran petugas dalam pemanfaatan buku KIA di delapan Puskesmas dari delapan Kecamatan Kota Jambi meliputi mengisi buku KIA, menjelaskan pada responden, menganjurkan membaca dan membawa buku KIA. Data tentang peran petugas didapatkan melalui observasi langsung pada saat pelayanan ibu hamil diberikan serta exit interview terhadap responden. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh sebanyak 91 (94.8%) petugas tidak mendiskusikan isi buku KIA pada pasien namun 81 (84.4%) petugas menganjurkan untuk selalu membawa buku KIA setiap kali periksa. Menurut Depkes RI (2009) petugas kesehatan harus menggunakan buku KIA dalam setiap pelayanan. Untuk memudahkan pemahaman pada ibu, petugas membantu memberikan penjelasan dan keterangan tentang kesehatan ibu dan anak yang tercantum dalam buku KIA. Buku KIA merupakan sarana bagi ibu dan keluarga untuk mendapatkan pelayanan komprehensif, untuk itu petugas harus mampu mengaitkan buku KIA dengan pelayanan lain yang dibutuhkan ibu. Saat berkomunikasi dan memberi penjelasan pada ibu, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti serta menunjukkan gambar, memberi peragaan cara merawat kesehatan ibu dan anak yang terdapat dalam buku KIA. Petugas menganjurkan ibu mengikuti kegiatan kelas ibu hamil


Nurmisih Latief, Asmuni. HS dan Winda Triana Faktor Yang Berhubungan Dengan Pemanfaatan Buku KIA‌

atau kelas ibu balita dan setiap selesai memberikan penjelasan ibu diminta mengulangi dengan kata-kata dan peragaan, selanjutnya diberi reinforcment jika ibu dapat melakukan dengan benar serta ulangi, jika ibu belum memahami. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian dan pemahaman bagi ibu hamil, dengan pemahaman yang baik ibu hamil dapat melaksanakan seluruh anjuran yang terdapat dalam buku KIA sehingga peran dan fungsi buku KIA sebagai upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan ibu hamil dan anak sebagai salah satu strategi nasional dalam menurunkan AKI dan AKB dapat terwujud. Hasil penelitian melalui wawancara mendalam tentang laporan penggunaan buku KIA, dikatakan bahwa sudah bagus dan pemegang buku KIA rata-rata sudah menggunakan untuk kontrol kehamilan sebagai buku pasien yang selalu dibawa. Bila menggunakan buku KIA, dimanapun wilayah kunjungan pasien dapat dipantau, dan bila pasien dari wilayah lain berobat dengan membawa buku KIA akan melaporkan dimana asal tempat tinggal pasien bersangkutan, hal ini sesuai dengan petunjuk teknik penggunaan buku KIA.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden telah memanfaatkan buku KIA Variabel faktor predisposisi: sebagian besar responden memiliki pendidikan tinggi, Sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang baik, Sebagian responden memiliki sikap yang positif, Mayoritas buku KIA di Puskesmas Kota Jambi tersedia, Peran petugas sebagai faktor penguat sebagian baik, namun mayoritas petugas belum melakukan dengan baik tentang mendiskusikan isi buku KIA dengan ibu maupun keluarganya.

2012

Adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan pemanfaatan buku KIA, dengan OR 8,79.Terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan pemanfaatan buku KIA, dengan OR 4,86. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan pemanfaatan buku KIA. Tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan sarana dengan pemanfaatan buku KIA. Tidak terdapa hubungan yang bermakna peran petugas dengan pemanfaatan buku KIA di Puskesmas Kota Jambi Diharapkan bagi dinas Kesehatan Kota Jambi dapat merancang suatu program dan kebijakan untuk pengadaan buku KIA yang cukup serta melaksanakan pemantauan yang optimal terhadap penggunaan buku KIA sesuai petunjuk teknis, dengan turun langsung ke lapangan untuk melihat kesesuaian laporan. Bagi Puskesmas Kota Jambi Diharapkan dapat mengusulkan penambahan petugas di bagian KIA, dapat memberikan penjelasan dan diskusi dengan pasien saat proses, meningkatkan upaya evaluasi berkala terhadap penggunaan buku KIA, baik melalui pengawasan langsung, diskusi dengan petugas maupun exit interview terhadap ibu hamil. Bagi Petugas Bagian KIA Diharapkan dapat menerapkan pelaksanaan penggunaan buku KIA sesuai dengan petunjuk teknis yang telah ditetapkan, mengingat pesan kesehatan yang tercantum dalam buku KIA merupakan masukan bagi ibu dan keluarganya untuk dapat mengambil keputusan dan bertindak dalam memelihara kesehatan ibu dan anak.

DAFTAR PUSTAKA BPS & Macro Internasional, 2007. Survey Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta Frimarlita, Intan, 2010. Pemanfaatan Buku KIA Oleh Ibu Hamil di Puskesmas

61


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Kecamatan Kota Baru Jambi Tahun 2010. Karya Tulis Ilmiah. Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi Green, LW, Marshal.W.K. Sigrid.G.D & Kay.B.P, 1980 Depkes RI, 2009. Petunjuk Teknis Penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta Notoatmodjo, Soekidjo,2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta ---------------,---------- 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, PT Rineka Cipta, Jakarta ---------------,----------,2005. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Andi Offsed. Yogyakarta Nurmisih, 2002. Hubungan antara Akses Pelayanan dan Pemanfaatan Layanan Pertolongan Persalinan di Kabupaten Sarolangun Propinsi Jambi Tahun 2002.Thesis. Universitas Indonesia. Jakarta http://www.kompas.com/kompascetak/0308/iptek/481686.htm Buku KIA untuk Turunkan Kematian Ibu dan Bayi. http://www.kompas.com/kompascetak/0010/13/iptek/turu 10.htm Turunkan AKI Melalui Pelayanan Kebidanan .

62


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

PENGARUH PELATIHAN KEPERAWATAN SPIRITUAL TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN SPIRITUAL PASIEN DI RSU H.ABDUL MANAP KOTA JAMBI Sugirto, Gusti Lestari Handayani, Wilda Sinaga, Abbasiah Staf Pengajar Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK Kebutuhan spiritualitas dapat memberikan kekuatan pada pasien pada saat menghadapi penyakitnya. Pemenuhan kebutuhan spiritual merupakan hal penting namun kenyataannya pemenuhan kebutuhan spiritual pasien masih jauh dari yang diharapkan. Hasil analisis situasi saat ini dari beberapa literatur dan survei awal di Rumah Sakit Umum H. Abdul Manap Kota Jambi menunjukkan kenyataan bahwa asuhan spiritual (spiritual care) belum diberikan oleh perawat secara kompeten disebabkan berbagai faktor salah satunya adalah dikarenakan perawat kurang menguasai konsep keperawatan spiritual yang seharusnya didapatkan perawat sejak dalam masa pendidikan. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian dengan judul Pengaruh pelatihan keperawatan spiritual terhadap pengetahuan dan keterampilan perawat pelaksana di ruang rawat inap di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh pelatihan keperawatan spiritual terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual pasien di ruang rawat inap Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi. Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment, Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah perawat pelaksana yang bekerja diunit rawat inap rumah sakit H. Abdul Manap. Jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling yaitu berjumlah 36 perawat pelaksana. Pelaksanaan penelitian pada bulan Agustus 2011. Data dikumpulkan sebelum dan sesudah diberikan pelatihan dengan menggunakan check list/daftar tilik dengan melakukan observasi. Analisa data menggunakan uji statistik Mc. Nemart. Hasil analisis menunjukan bahwa pemberian pelatihan keperawatan spiritual memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pelaksanaan pengkajian serta pemenuhan kebutuhan spiritual pasien. Penelitian ini menunjukan pelaksanaan pengkajian keperawatan spiritual pada pasien berbeda secara bermakna dengan signifikansi p 0,021. Perbedaan yang bermakna juga dapat dilihat pada pelaksanaan/implementasi pemenuhan kebutuhan spiritual sebelum dan sesudah pelatihan dengan nilai p 0,001. Sehingga perlu dilakukan pelatihan keperawatan spiritual secara periodik untuk meningkatkan keterampilan sebagai usaha untuk peningkatan produktivitas kerja yang akan berujung pada peningkatan produktivitas rumah sakit. Kata Kunci: Keperawatan spiritual, Pelatihan

PENDAHULUAN Spiritualitas merupakan suatu kekuatan yang dibutuhkan pasien selama dirawat di rumah sakit. Spiritualitas dapat mempengaruhi proses penyembuhan dan penguatan diri atau koping pada pasien dalam menghadapi penyakitnya. Penelitian pada 50 perawat keluarga dengan lansia, menunjukkan perawat keluarga dengan kesejahteraan spiritual positif

berbanding terbalik dengan kesehatan mental negatif (Yeh & Bull, 2009). Fosarelli (2008, dalam Lim & Yi, 2009) menambahkan seseorang akan berbalik kepada iman ketika menghadapi tantangan kehidupan. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas merupakan hal yang tidak bisa diabaikan. Kebutuhan spiritualitas telah terbukti dapat memberikan kekuatan pada pasien pada saat menghadapi penyakitnya. Pasien yang

63


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

dalam keadaan sakit tentu membutuhkan penguatan dan pendampingan spiritual selama dirawat. Untuk itu dibutuhkan peran aktif perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien selama berada di rumah sakit. Namun pada kenyataannya kebutuhan pasien akan spiritual jarang sekali terpenuhi oleh perawat selama pasien dirawat di rumah sakit. Keadaan ini tentu akan mengurangi kepuasan pasien, karena salah satu dari kebutuhannya tidak terpenuhi. Perawat merupakan tenaga kesehatan yang berperan dalam memenuhi kebutuhan spiritualitas pasien selama di rawat di rumah sakit. Perawat yang paling mengetahui keadaan kesehatan dan kebutuhan pasien, karena perawat berada selama 24 jam mendampingi pasien setiap hari. Oleh karena itu perawat membutuhkan keterampilan dalam perawatan spiritual. Setiap perawat harus memahami tentang spiritual dan bagaimana keyakinan spiritual mempengaruhi kehidupan setiap orang. Spiritualitas memberi dimensi luas pada pandangan holistik kemanusiaan (Potter & Perry, 2005, P;279). Kesejahteraan spiritual merupakan suatu aspek yang terintegrasi dari manusia secara keseluruhan, yang ditandai oleh makna dan harapan (Clark et al, 1991, dalam Potter dan Perry, 2005). Pemenuhan kebutuhan spiritual merupakan hal penting namun kenyataannya pemenuhan kebutuhan spiritual pasien masih jauh dari yang diharapkan. Hasil analisis situasi saat ini dari beberapa literatur menunjukkan kenyataan bahwa asuhan spiritual (spiritual care) belum diberikan oleh perawat secara kompeten disebabkan berbagai faktor. Lantz (2007) menunjukkan bahwa kurangnya kemampuan perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual dikarenakan perawat kurang menguasai konsep keperawatan spiritual yang seharusnya didapatkan

64

perawat sejak dalam masa pendidikan. Rumah sakit H.Abdul Manap saat ini memiliki 72 tenaga perawat pelaksana di unit rawat inap dengan pendidikan DIII Keperawatan 57 orang, dan SPK 15 orang. Data bulan Desember 2010 menunjukkan bahwa diperoleh rata-rata angka penggunaan tempat tidur (Bed Occupancy Rate/BOR) 17,71%, rata-rata lama hari rawat (Length of Stay/LOS) 3,85, dan selang waktu antara pemakaian tempat tidur (Turn Over Interval/TOI) 2,52. Data-data tersebut menunjukkan bahwa kunjungan pasien di rumah sakit masih kurang. Pelatihan yang terkait dengan keperawatan spiritual belum pernah didapatkan oleh perawat. Masalah spiritual pasien ditangani langsung oleh rohaniawan apabila diperlukan. Saat ini rumah sakit sangat membutuhkan pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan keterampilan asuhan keperawatan. Hasil pelatihan diharapkan dapat meningkatkan kemampuan perawat dalam pemenuhan kebutuhan pasien dan selanjutnya meningkatkan mutu layanan keperawatan di rumah sakit H. Abdul Manap Kota Jambi. Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian dengan judul Pengaruh pelatihan keperawatan spiritual terhadap pengetahuan dan keterampilan perawat pelaksana di ruang rawat inap di Rumah Sakit H. Abdul Manap Kota Jambi (Abbasiah, 2011). BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment dengan pendekatan rancangan rangkaian waktu (time series design) untuk melihat pengaruh pelatihan keperawatan spiritual terhadap perilaku keperawatan spiritual perawat pelaksana di ruang rawat inap rumah sakit H. Abdul Manap. Data dikumpulkan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi.


Sugirto, Gusti Lestari Handayani, Wilda Sinaga, Abbasiah Pengaruh Pelatihan Keperawatan Spiritual...

Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah perawat pelaksana yang bekerja diunit rawat inap rumah sakit H. Abdul Manap. Teknik penentuan jumlah sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling. Sampel pada penelitian ini adalah perawat pelaksana yang bekerja di rawat inap rumah sakit H. Abdul Manap Kota Jambi yang tersebar di ruang kelas satu, dua, dan tiga rawat inap yang memenuhi kriteria inklusi. Total sampel pada penelitian ini berjumlah 36 perawat pelaksana. Lokasi penelitian adalah di RSUD H. Abdul Manap Kota Jambi Data dikumpulkan dengan menggunakan check list/daftar tilik dengan melakukan observasi (terlampir). Kegiatan pre test akan dilakukan sendiri oleh peneliti. Pre test keterampilan dilakukan sebanyak dua kali dengan metode observasi. Penilaian keterampilan/psikomotor perawat dilakukan dengan mengamati keterampilan perawat dalam memenuhi kebutuhan keperawatan spiritual pada pasien. Data yang telah dikumpulkan akan di analisis secara deskriptif dengan melihat karakteristik perawat dan selanjutkan dilakukan analisis bivariat untuk melihat pengaruh pelatihan terhadap keterampilan mengkaji kebutuhan spiritual pasien serta implementasinya dengan menggunakan uji statistik Mc.Nemart. Hasil analisis karakteristik responden dan hasil observasi pengkajian kebutuhan serta implementasi keperawatan spiritual. Responden yang diberikan intervensi berupa pelatihan dan di observasi pada penelitian ini adalah 35 orang, Distribusi responden berdasarkan karakteristik dapat dilihat pada tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sebagian besar responden berumur <27 tahun dan berjenis kelamin perempuan dengan pengalaman bekerja sebagian besar 62,9% adalah lebih dari 4,5 tahun.

2012

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Umur, Jenis Kelamin dan Lama Bekerja Karakteristik Jumlah Frekuensi (N =35) (%) Umur < 27 tahun ≼ 27 tahun Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Lama Bekerja < 4,5 tahun ≼ 4,5 tahun

22 13

62,9 37,1

7 28

20 80

13 22

37,1 62,9

Hasil observasi terhadap pengkajian dan implementasi pemenuhan kebutuhan spiritual sebelum dan sesudah diberi pelatihan dikelompokan menjadi kategori baik dan kurang baik (tabel 2). Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa sebagian besar perawat belum melaksanakan pengkajian kebutuhan spiritual pasien (60%) dan belum melaksanakan pemenuhan kebutuhan tersebut terhadap pasien57,1%. Setelah diberikan pelatihan terlihat perubahan pengkajian dan implementasi sudah terjadi peningkatan. Tabel 2. Hasil Observasi Pengkajian Dan Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien Sebelum dan Sesudah Pelatihan Keperawatan Spiritual Kategori

Pengkajian kebutuhan spiritual pasien Sebelum pelatihan Sesudah pelatihan Pemenuhan Kebutuhan spiritual pasien Sebelum pelatihan Sesudah pelatihan

Jumlah (N=35) Baik %

Frekuensi (%) Kurang Baik

%

14

40

21

60

24

68,6

11

31,4

15

42,9

20

57,1

29

82,9

6

42,9

Hasil analisis untuk melihat pengaruh pemberian pelatihan keperawatan spiritual terhadap

65


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

pelaksanaan pengkajian serta pemenuhan kebutuhan spiritual pasien dilakukan dengan uji Mc.Nemart dengan nilai p <0,005. Pelatihan keperawatan yang telah dilakukan pada penelitian ini menunjukan pelaksanaan pengkajian keperawatan spiritual pada pasien berbeda secara bermakna dengan signifikansi p 0,021 (tabel.3). Perbedaan yang bermakna juga dapat dilihat pada pelaksanaan / implementasi pemenuhan kebutuhan spiritual sebelum dan sesudah pelatihan dapat dilihat pada tabel 3 dengan nilai p 0,001. Tabel 3. Pengaruh Pelatihan Keperawatan Spiritual Terhadap Pelaksanaan Pengkajian Spiritual Pasien. Sesudah pelatihan Baik Kurang baik Baik

Sebelum Kurang pelatihan baik

11

3

13

8

p

0,021

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan perawat tentang keperawatan spiritual sebelum mendapat pelatihan keperawatan spiritual secara keseluruhan belum optimal. Hal ini ditunjukkan sebanyak 60% perawat belum melakukan pengkajian keperawatan spiritual dengan baik begitu pula dengan implementasi dalam pemenuhan kebutuhan pasien sebanyak 57%. Belum optimalnya keterampilan keperawatan spiritual dikarenakan kurangnya penerapan keperawatan spiritual oleh perawat dan belum adanya panduan yang bisa dijadikan acuan untuk pengkajian keperawatan spiritual pada pasien. MLanzh (2007) mengemukakankan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya keterampilan perawat dalam penerapan keperawatan spiritual adalah kurangnya literatur atau bukubuku mengenai keperawatan spiritual.

66

Kurangnya pengalaman dalam melaksanakan keperawatan spiritual juga mengakibatkan belum optimalnya keterampilan keperawatan spiritual pada perawat. Hal ini sesuai dengan pendapat Rubbenfeld dan Scheffer (2007) bahwa pengetahuan dan pengalaman merupakan hal yang mendasari perawat dalam melakukan tindakan kepada pasien. Oleh karena itu disarankan kepada manajer keperawatan untuk memasukkan pelatihan keperawatan spiritual dalam program perencanaan pendidikan dan pelatihan, agar keterampilan perawat pelaksana selalu meningkat. Keterampilan perawat pelaksana tentang keperawatan spiritual mengalami peningkatan sesudah dilakukan pelatihan. Peningkatan keterampilan dapat dilihat dari hasil analisis untuk pengkajian keperawatan spiritual yaitu 68,6% dan implementasi keperawatan spiritual 82,9%. Pemilihan metode belajar role playing juga dimungkinkan memudahkan perawat pelaksana dalam menerapkan pengkajian dan pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien. Menurut Bernadin dan Russell (dalam Rosidah & Sulistiyani, 2009) dan Siagian (2009) bahwa metode role playing selain tepat digunakan untuk peningkatan keterampilan, juga untuk menumbuhkan sikap empati dan meningkatkan interaksi positif dengan orang lain. Materi pelatihan yang terarah dan terfokus hanya pada keperawatan spiritual juga turut menunjang terjadinya peningkatan keterampilan pada perawat pelaksana. Materi penelitian yang banyak dan kurang terarah akan menyebabkan kurang optimalnya keterampilan pada peserta pelatihan.


Sugirto, Gusti Lestari Handayani, Wilda Sinaga, Abbasiah Pengaruh Pelatihan Keperawatan Spiritual...

Tabel 4. Pengaruh Pelatihan Keperawatan Spiritual Terhadap Pelaksanaan/Implementasi Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Pasien. Sesudah Pelatihan Baik Kurang Baik Baik

Sebelum Kurang pelatihan baik

15

0

14

6

p

0,001

Analisis hubungan umur, jenis kelamin dan lama bekerja dilakukan dengan uji statistik Chi-Square dengan jenis variabel kategorik. Pada uji dengan Chi Square didapatkan nilai expected kurang dari 5 sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji Fisher. Hasil analisis pada tabel 5 memperlihatkan bahwa tidak ada hubungann yang bermakna antara umur, jenis kelamin dan lama bekerja perawat di rumah sakit terhadap pemenuhan kebutuhan spiritual pasien dengan nilai p > 0,05. Hasil penelitian menunjukan bahwa pelatihan keperawatan memiliki signifikansi dalam pelaksanaan pengkajian keperawatan dengan nilai p 0,021. Pengkajian keperawatan merupakan bagian proses holistik yang dilaksanakan dalam perawatan pasien dimulai dengan penilaian atau pengkajian. Pengkajian didefinisikan sebagai proses mengumpulkan, menganalisis, dan mensintesis data bisu, dalam rumus multidimensional yang menjadi landasan pengambilan keputusan (Hodge, 2001, dalam Young & Koopsen, 2007). Penilaian, diagnosis, dan penanganan yang tepat merupakan ciri perawatan pasien terbaik (O’Connor, 2001, dalam Young & Koopsen, 2007). Proses penilaian menyediakan suatu kerangka kerja untuk mengidentifikasi kebutuhan spiritual pasien. Kerangka kerja memungkinkan pengumpulan informasi secara efisien, terorganisir, dan mudah dikomunikasikan kepada mereka yang memerlukannya

2012

(Benedict, 2002 dalam Young & Koopsen, 2007). Pengkajian yang baik menunjukkan keterampilan professional yang merupakan dasar dalam perencaan sehingga dapat menjadi acuan tentang apa yang akan dilakukan oleh tim kesehatan lainnya (Mauk & Schmidt, 2004). Peningkatan keterampilan perawat tentang keperawatan spiritual harus dijaga dan dikembangkan secara terus menerus. Oleh karena itu rumah sakit harus memikirkan pengembangan sumber daya keperawatan melalui perencanaan pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan, agar keterampilan perawat selalu mengalami peningkatan, selain itu adanya SOP dan SAK untuk keperawatan spiritual akan menjadi pedoman bagi perawat dalam menerapkan keperawatan spiritual sehingga keperawatan spiritual dapat diterapkan secara berkesinambungan. Sejalan dengan pendapat Rosidah dan Sulistiyani (2009) yang mengemukakan pelatihan penting dilakukan karena merupakan cara yang digunakan organisasi untuk mempertahankan, menjaga, memelihara, dan sekaligus meningkatkan keahlian para pegawai untuk selanjutnya dapat meningkatkan prodiktivitasnya. Hal ini didukung pendapat Siagian (2009) yang mengemukakan bahwa efek pelatihan bermanfaat bagi individu dan organisasi. Implementasi sebelum dan sesudah pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan spiritual pasien menunjukan perbedaan yang bermakna dengan nilai p 0,001. Manfaat pelatihan dan tujuan pelatihan tidak hanya untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, akan tetapi juga untuk mengembangkan bakat seseorang, sehingga dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Moekijat (1993 : 2) menjelaskan tujuan pelatihan sebagai berikut: untuk mengembangkan keahlian, sehingga

67


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

pekerjaan dapat diselesaikan dengan lebih cepat dan lebih efektif; untuk mengembangkan pengetahuan, sehingga pekerjaan dapat diselesaikan secara rasional; dan untuk mengembangkan sikap, sehingga menimbulkan kemauan kerjasama dengan teman-teman pegawai dan dengan manajemen (pimpinan). Robbin (2002) menambahkan bahwa karyawan yang kompeten tidak selamanya tetap kompeten, untuk itu diperlukan pelatihan di setiap perusahaan. Pelatihan merupakan kegiatan yang perlu dilakukan, karena banyak sekali manfaat yang diperoleh melalui kegiatan ini. Oleh karena itu sebaiknya pelatihan dilakukan secara berkala, teratur, dan sesuai dengan tujuan rumah sakit. Pelatihan yang diatur dengan baik akan dapat meningkatkan pengetahuan, kemampuan, atau keterampilan (Ilyas, 2004). Manfaat tersebut dapat dirasakan baik bagi organisasi atau rumah sakit, maupun bagi pegawai atau perawat. Manfaat untuk organisasi antara lain (Siagian, 2009): peningkatan produktivitas kerja organisasi, terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan, terjadinya proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat, meningkatkan semangat kerja seluruh tenaga kerja dalam organisasi dengan komitmen organisasional yang lebih tinggi, mendorong sikap keterbukaan manajemen, memperlancar jalannya komunikasi yang efektif, penyelesaian konflik secara fungsional, memenuhi kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan pribadi dan mempersiapkan karyawan untuk promosi (Simamora,1996 dalam Rosidah & Sulistiyani, 2009).

68

Tabel 5. Hubungan Umur, Jenis Kelamin Dan Lama Bekerja Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Pasien Kategori

Umur - <27 Tahun - ≼27 Tahun Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan

Pemenuhan ĆŠ Kebutuhan Keperawatan Spiritual Pasien Baik Kurang Baik

p

OR 95% CI

17 12

5 1

22 0,377 1,271 23 1,079-1,464

5 24

2 4

7 0,576 1,657 28 1,477-1,838

12 17

1 5

13 1,471 0,377 22 1,290-1,653

Lama Bekerja

- <4,5 tahun - ≼ 4,5 tahun

Hasil penelitian menunjukan bahwa umur responden rata-rata adalah 27 tahun dengan usia termuda 22 tahun dan tua 35 tahun. Umur perawat tidak berhubungan dengan pengetahuan dikarenakan semua perawat pelaksana berada pada rentang usia produktif yaitu 22 – 35 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan Pernyataan Wursanto (2003, dalam Sari, 2009) pegawai mempunyai produktivitas tinggi antara umur 20-45 tahun. Levinston (1994, dalam Susana, 2003) menyatakan usia antara 22-30 tahun merupakan tahap usia memasuki dewasa, pada umumnya pada masa ini seseorang memulai komitmen untuk masa depan dan merupakan fase pekerjaan yang ditunjukkan dengan pencarian identitas dan pencapaian tujuan karir yang memuaskan. Dalam penelitian ini tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dan pemenuhan kebutuhan spiritual pasien dengan nilai p 0,377. Pertambahan umur akan diikuti dengan perkembangan spiritualitas, namun ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi seseorang dalam memberikan asuhan keperawatan spiritual yaitu pengetahuan dan keterampilan yang didapatkan individu semasa hidupnya baik yang didapat dari formal maupun informal. Menurut


Sugirto, Gusti Lestari Handayani, Wilda Sinaga, Abbasiah Pengaruh Pelatihan Keperawatan Spiritual...

Kozier (2008) hanya perawat yang memperhatikan spiritual diri sendiri akan memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Jenis kelamin responden lebih dominan perempuan yaitu 28 orang, Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan antara jenis kelamin perawat laki-laki dan perempuan dengan nilai p 0,576. Hal ini dikarenakan tidak adanya perbedaan pada pekerjaan yang dilakukan perawat selama bertugas di ruang rawat inap. Perawat pelaksana bekerja sesuai dengan uraian kegiatan yang telah ditetapkan dan berlaku untuk semua perawat dengan tidak memandang jenis kelamin. Tidak adanya hubungan pada penelitian ini sesuai dengan pendapat Robbins (1996) bahwa kemampuan dalam memecahkan masalah, analisis, dorongan kompetitif, motivasi, sosiabilitas dan kemampuan belajar antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Sehingga tidak ada perbedaan yang tegas antara jenis kelamin laki laki dan perempuan dalam kinerjanya. Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata pengalaman bekerja perawat adalah 4,5 tahun dan sebagian besar lebih dari 60% lebih dari 4,5 tahun. Riani (2011) yang mengemukakan bahwa lama kerja perawat tidak menjamin produktivitas kerja yang dihasilkannya. Produktivitas kerja yang baik merupakan cerminan dari kinerja perawat yang baik. Namun menurut pendapat Robbins (2002) yang menyatakan ada keyakinan bahwa semakin lama bekerja, profesionalisme atau keterampilan akan semakin baik. Faktor yang berperan dalam peningkatan kinerja perawat diantaranya adalah pengetahuan dan keterampilan. Sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Huber (1996, dalam Hafizurrachman, 2009) bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan peran kinerja adalah pengetahuan dan keterampilan.

2012

KESIMPULAN DAN SARAN Keperawatan spiritual memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan pengkajian keperawatan spiritual pasien. Pelatihan keperawatan spiritual memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan/imlementasi pemenuhan kebutuhan spiritual pasien. Umur, Jenis kelamin dan lama bekerja tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap pelaksanaan pememenuhan kebutuhan spiritual pasien. Berdasarkan penelitian ini, perlu dilakukan pelatihan keperawatan spiritual secara periodik mengingat bahwa pelatihan meningkatkan keterampilan sebagai usaha untuk peningkatan produktivitas kerja yang akan berujung pada peningkatan produktivitas rumah sakit serta perlu dukungan organisasi dan institusi dalam pelaksanaan kegiatan

DAFTAR PUSTAKA

Abbasiah. 2011. Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan Perawat Pelaksana Melalui Pelatihan Keperawatan Spiritual Di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Manap Kota Jambi Tahun 2011. Jurnal Poltekkes Jambi edisi V Desember 2011 Adikoesoemo,S. 2003. Manajemen rumah sakit. Jakarta: Pustaka sinar harapan. Assaf, A.F. 2003. Mutu pelayanan kesehatan: Perspektif internasional. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Azwar, A. 1996. Menjaga mutu pelayanan kesehatan: Aplikasi prinsip lingkaran pemecahan masalah. Jakarta: Pustaka sinar harapan. Carpenito,LJ. 1999/2001. Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 8. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Kozier, et al. 2004. Fundamental of nursing: Concepts, process, and

69


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

th

practice. 7 Ed. New Jersey: Person prentice hall. Lantz, CM. 2007. Teaching spiritual care in a public institution: Legal implications, standards of practice, and ethical obligations. http://proquest.umi.com/pqdweb?i ndex=53&did=1900811311&srch mode=1&sid=1&fmt=6&vinst=pro d&vtype=pqd&rqt=309&vname=p qd&ts=1297910300&clientid=456 25 Di peroleh tanggal 17 Februari 2011. Leeuwen, RRV., Tiesinga,LJ., & Jochemsen,DP. 2011. An instrument to measure nursing competencies in spiritual care: Validity and reability of the spiritual care competence scale (SCCS). Chapter 6. P.132-151. http://proquest.umi.com/pqdweb. Lim, JW. & Yi, J. 2009. The effects of religiosity, spirituality, and social support on quality of life: A comparison between Korean American and Korean Breast and gynecologic cancer survivors. Jurnal oncology nursing forum. Vol. 36 (6). 699. Mauk, LK. & Schmidt, NK. 2004. Spiritual care in nursing practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Nelson, BA.1997. Patients perceptions of spiritual needs and the role of nurses to resolve spiritual needs. http://proquest.umi.com/pqdweb?i ndex=6&did=2074323211&srchm ode=1&sid=2&fmt=6&vinst=prod& vtype=pqd&rqt=309&vname=pqd &ts=1298194614&clientid=45625 Diperoleh 20 Februari 2011. Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. __________________. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Potter, PA. & Perry, AG. 2005. Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses, dan praktik. (Fundamental of nursing: Consepts, process, and practice, 1997) Alih bahasa: Yasmin Asih, Made Sumarwati, Dian Evriyani, Laily Mahmudah, Ellen.P., Kusrini, Sari,K., Enie Novieastari. Edisi 4. Vo.1. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC. Rosidah & Sulistiyani, AT. 2009. Manajemen sumber daya

70

manusia; Konsep, teori, dan pengembangan dalam konteks organisasi publik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rubbenfeld, MG. & Scheffer, BK. 2007. Berpikir kritis dalam keperawatan. Edisi 2. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC Sopiah. 2008. Perilaku organisasional. Yogyakarta: Andi Sumantri,S. 2000. Pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran. Watanabe, M. & Tamura, K. 2005. Caring for spiritual pain of patients with advanced cancer: A phenomenological approach to the lived experience. Palliative and Supportive Care. USA: Cambridge University Press. 189. Young, C. & Koopsen, C. 2005. Spiritualitas, kesehatan, dan penyembuhan. Medan: Bina media perintis. Yeh, PM. & Bull, M. 2008. Influences of spiritual well-being and coping on mental of family caregivers for elders. Research in Gerontological Nursing. Vo


Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

2012

GAMBARAN PERILAKU IBU NIFAS TENTANG PERAWATAN BAYI SEHARI-HARI DI KELURAHAN BAGAN PETE KOTA JAMBI TAHUN 2011 Neny Heryani

Staf Pengajar Jurusan Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK Lebih dari 50% kematian bayi terjadi dalam periode neonatal yaitu dalam bulan pertama kehidupan. Perawatan bayi yang tidak adekuat dapat menyebabkan terjadinya berbagai penyakit infeksi melalui tali pusat, mata dan telinga baik pada waktu memandikan bayi maupun dalam perawatannya sehari-hari. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional dilakukan untuk mengetahui gambaran perilaku ibu nifas tentang perawatan bayi sehari-hari di Kelurahan Bagan Pete Kota Jambi Tahun 2011. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu nifas bulan September Tahun 2011, dengan jumlah sampel sebanyak 48 orang ibu nifas. Teknik pengambilan sampel dengan teknik total sampling yang dilakukan pada tanggal 20-30 September 2011. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 48 responden, 30 (60,2%) responden berperilaku baik, 18 (37,5%) berperilaku kurang baik terutama peilaku ibu membersihkan tali pusat, 22 (45,8%) mempunyai pengetahuan baik, 26 (54,2%) responden memiliki pengetahuan kurang baik terutama persiapan ibu sebelum menyusui dan 47 (97,7%) responden mempunyai motivasi tinggi serta 10 (20,8%) responden memiliki motivasi yang rendah dalam hal mengolesi areola mammae dengan ASI sebelum menyusui. Dari hasil penelitian tersebut diharapkan bagi bidan agar memberikan informasi tentang perawatan bayi sehari-hari kepada ibu-ibu yang telah selesai bersalin di kliniknya sebelum pulang kerumah. Kata Kunci: perilaku ibu nifas dan perawatan bayi sehari-hari.

PENDAHULUAN Merawat bayi sehari-hari merupakan tugas yang harus dikuasai dan mampu dilakukan oleh setiap orang tua. Dukungan emosional dan bantuan dalam keterampilan merawat, sangat dibutuhkan oleh mereka. Perawatan bayi yang terpenting didalamnya mencegah komplikasi akibat perawatan yang kurang baik (Bobak, 2005:645). Pada dasarnya, setiap ibu yang telah melahirkan mampu menjalankan tugasnya untuk merawat bayi. Namun tidak setiap ibu yang mempunyai bayi mengerti cara merawat bayi sehari-hari, seperti halnya pada ibu yang baru pertama kali memiliki bayi, kemungkinan besar ibu tersebut tidak mengetahui

bagaimana cara merawat bayi karena hal tersebut belum pernah dialami dan diketahui oleh ibu (Henderson, 2005:392). Berdasarkan kondisi di lapangan masih ada diantara para ibu yang belum mampu memberikan perawatan bagi bayinya yang baru lahir. Ibu nifas masih nampak kaku dan mempunyai rasa takut untuk memegang dan menggendong bayinya, apalagi memandikan, merawat tali pusat dan memberikan ASI. Dengan demikian dapat dipelajari bahwa masih ada ibu belum memberikan perawatan pada bayi baru lahir (http://blogspot/perawatanbayiseharihari/01/08/2011 com). Menurut Saifuddin (2009:132) penelitian telah menunjukkan bahwa

71


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

lebih dari 50% kematian bayi terjadi dalam periode neonatal yaitu dalam bulan pertama kehidupan. Kurang baiknya penanganan bayi baru lahir yang lahir sehat akan menyebabkan kelainan-kelainan yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup bahkan kematian. Ketidak mampuan ibu merawat bayi baru lahir normal kemungkinan besar dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pengetahuan, pendidikan, sosial budaya, pekerjaan, peran petugas kesehatan (perawat atau bidan), peran keluarga, motivasi dan sosial ekonomi (http://Blogspot/perawatanbayiseharihari/01/08/2011 .com). Kelurahan Bagan Pete merupakan kelurahan yang berada dalam wilayah kerja Puskesmas Simpang Rimbo. Hampir seluruh bayi yang dilahirkan ibu di BPS di kelurahan Bagan Pete diberikan layanan tambahan oleh bidan penolong persalinan dengan mendatangi rumah ibu nifas tiap hari untuk memandikan bayinya hingga tali pusat lepas hal ini dikarenakan ketakutan ibu nifas untuk memandikan bayi sebelum tali pusat lepas. Data yang diperoleh dari dari BPS di kelurahan Bagan Pete didapatkan ibu nifas pada bulan September 2011 sebanyak 48 ibu. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan variabel penelitian perilaku, pengetahuan dan motivasi. Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu nifas di kelurahan Bagan Pete Kota Jambi pada bulan September tahun 2011 yaitu sebanyak 48 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini secara total sampling, yaitu semua populasi dijadikan sampel yang berjumlah 48 orang dengan mendatangi rumah-rumah ibu nifas. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

72

primer. Pengumpulan data dilaksanakan pada tanggal 20-30 September 2011 dengan mendatangi rumah-rumah ibu nifas. Penelitian ini menggunakan analisis univariat. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian diketahui gambaran responden yang mempunyai perilaku yang baik sebanyak 48 (100%) terutama dalam hal mengganti bedong bayi, menjaga kebersihan mata, mulut dan kulit bayi sendiri, responden juga mengganti bedong bayi setiap basah dan kotor serta akan membersihkan alat kelamin bayi setiap habis BAK, namun masih 24 (50 %) responden yang membersihkan tali pusat dengan air bersih dan sabun lalu di keringkan dengan kain bersih. Berdasarkan analisa data didapatkan 30 (62,5%) responden berperilaku baik dalam hal perawatan bayi sehari-hari dan 18 (37,5%) responden berperilaku kurang baik dalam hal perawatan bayi sehari-hari. Untuk jelasnya dapat dilihat pada diagram 1 di bawah ini:

Baik, 37.50% Kurang Baik, 62.50%

Diagram 1. Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku tentang Perawatan Bayi Sehari-hari (n = 48)


Neny Heryani Gambaran Perilaku Ibu Nifas Tentang Perawatan Bayi‌

Hasil penelitian diketahui sebagian responden sudah memiliki perilaku yang baik dalam hal perawatan bayi sehari-hari, hanya saja masih ada sebagian responden yang perilaku kurang baik dalama hal perawatan bayi sehari-hari. Perilaku sebagian responden yang baik ialah diantaranya, ibu mengganti bedong bayi sendiri, ibu menjaga kebersihan mata, mulut dan kulit bayi, ibu mengganti bedong bayi setiap basah dan kotor, dan ibu membersihkan alat kelamin bayi setiap habis BAK. Robert Kwick (1974) cit. Notoatmodjo (2007:138-139) menyatakan bahwa proses pembentukan atau perubahan, perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam individu dan faktor yang berasal dari luar individu. Faktor-faktor dari dalam individu tersebut antara lain yaitu susunan syaraf pusat, persepsi, pengetahuan, motivasi, emosi, dan sebagainya. Faktor dari luar individu tersebut antara lain yaitu lingkungan baik fisik maupun non fisik antara lain yaitu iklim, manusia, sosial-ekonomi, kebudayaan dan sebagainya. Perilaku sebagian responden yang kurang baik mengenai cara yang benar membersihkan tali pusat jika kotor. Responden tidak membersihkan tali pusat dengan air bersih dan sabun, serta tidak dikeringkan dengan kain bersih, tetapi kebanyakan responden membersihkan tali pusat dengan alkohol. Menurut Sodikin (2009:69-70) jika puntung tali pusat kotor, cuci secara hati-hati dengan air matang dan sabun kemudian keringkan secara seksama dengan kain bersih.

2012

Ibu yang membersihkan tali pusat dengan air bersih dan sabun akan lebih efektif karena tidak mengandung zat-zat lain yang dapat menimbulkan efek samping lain, karena air matang tingkat kesterilannya lebih terjamin dibandingkan dengan alkohol maupun antimikrobial lainnya. Alkohol menurut (Sodikin, 2009:57) kurang efektif dalam mengontrol kolonisasi pada tali pusat dan infeksi kulit. Observasi klinis telah membuktikan bahwa membersihkan tali pusat dengan alkohol menyebabkan tali pusat menjadi lembut dan lembab. Selain itu alkohol di daerah panas mudah menguap dan terjadi penurunan efektivitas, terutama bila dalam suasana kelembapan tinggi. Alkohol perlu dijaga agar tetap dalam keadaan suasana dingin dan kering (Sodikin, 2009:72). Informasi tentang cara membersihkan tali pusat yang baik dan benar dari tenaga kesehatan/ bidan akan memberikan dampak yang baik dalam perubahan perilaku ibu untuk melakukan perawatan tali pusat yang tidak merugikan kesehatan. Hasil penelitian tentang pengetahuan responden diperoleh bahwa mayoritas (93,8%) responden mengetahui bahwa bagian kulit bayi yang harus selalu dijaga agar tetap kering dan waktu yang tepat untuk membersihkan alat kelamin bayi, sebanyak 44 (91,7%) responden mengetahui posisi bayi yang baik saat mengganti popok, namun 39 (81,2%) responden tidak mengetahui persiapan sebelum menyusui. Berdasarkan penilaian tersebut, hasil analisis data terhadap jawaban responden mengenai pengetahuan tentang perawatan bayi sehari-hari didapat bahwa 22 (45,8%) responden mempunyai pengetahuan baik dan 26 (54,2%) responden memiliki pengetahuan kurang baik, Untuk jelasnya dapat dilihat pada diagram 2.

73


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Baik; 37,50% Kurang Baik; 62,50%

Diagram 2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang perawatan bayi sehari-hari (n = 48)

Berdasarkan analisis data diketahui bahwa sebagian responden memiliki pengetahuan yang baik dapat dilihat dari jawaban sebagian responden yang mengetahui tentang bagian kulit bayi yang harus selalu dijaga agar tetap bersih, waktu yang tepat untuk membersihkan alat kelamin bayi dan posisi bayi pada saat mengganti popok serta tindakan yang dilakukan oleh ibu jika tali pusat merah, bernanah, berdarah atau berbau. Menurut Notoatmodjo (2007:50) pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dsb). Bagian kulit bayi yang harus dijaga agar tetap kering yaitu daerah pantat dan lipatan-lipatan, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Farrer (2001: 184) daerah pantat dan lipatan paha bayi harus dibasuh dengan air bersih dan dikeringkan dengan seksama setiap kali setelah popok bayi yang kotor dan basah diganti. Bagian tungkai bayi juga harus diperiksa agar selalu bersih mengingat

74

bagian ini mudah sekali tercemar pada saat penggantian popok. Menurut Sodikin (2009: 69-70) keadaan tali pusat harus selalu dilihat untuk memastikan apakah ada perdarahan atau tanda-tanda infeksi (kemerahan, adanya pus dan lainlain). Tanda-tanda infeksi paling tidak boleh diabaikan. Infeksi umbilikus yang berat (omfalitis) dapat menyebabkan kematian. Setiap kemerahan pada umbilikus harus segera dilaporkan ke tenaga kesehatan untuk mendapat penanganan. Sebagian besar responden mengetahui waktu yang tepat untuk memberikan ASI pada bayi yaitu tidak dijadwal. Waktu pemberian ASI sesuai dengan yang dikemukakan oleh Depkes (2000: 14) memberikan ASI pada bayi sesering mungkin/tidak dijadwal (on demand), karena bayi akan menentukan sendiri kebutuhannya. Ibu harus menyusui bayinya bila menangis bukan karena sebab lain (menangis, dan lain-lain) atau ibu sudah merasa perlu menyusui bayinya. Bayi yang sehat akan dapat mengosongkan satu payudara dalam waktu 5-7 menit dan ASI dalam lambung bayi akan kosong dalam waktu 2 jam. Berdasarkan analisis data, juga didapatkan sebagian responden memiliki pengetahuan kurang baik tentang perawatan bayi sehari-hari terutama dalam hal persiapan ibu sebelum menyusui, cara yang benar untuk membersihkan jika tali pusat kotor, cara memakaikan popok pada bayi yang tali pusatnya belum lepas dan cara memandikan bayi agar tidak kedinginan. Pengetahuan responden yang kurang baik ini dapat menyebabkan terjadinya berbagai penyakit infeksi melalui tali pusat, mata dan telinga baik pada waktu memandikan bayi maupun dalam perawatannya seharihari (Saifuddin, 2009: 132). Pengetahuan kurang baik sebagian responden tentang cara membersihkan tali pusat jika kotor.


Neny Heryani Gambaran Perilaku Ibu Nifas Tentang Perawatan Bayi‌

Upaya untuk mencegah infeksi tali pusat sesungguhnya merupakan tindakan sederhana, yang penting adalah tali pusat dan daerah sekitar tali pusat selalu bersih dan kering, dan mencuci tangan dengan sabun sebelum merawat tali pusat (Sodikin, 2009: 57). Hal-hal yang perlu diperhatikan ibu jika tali pusat kotor, cuci secara hati-hati dengan air matang dan sabun dan keringkan secara seksama dengan kain kering (Sodikin, 2009: 72). Sebagian responden juga tidak tahu cara memandikan bayi agar tidak kedinginan. Pada saat memandikan bayi perhatikan keadaan ruangan jika udara dingin pakaikan topi pada bayi. Selanjutnya, buka pakaian bayi tetapi tutupi tubuhnya dengan selimut hangat atau handuk agar bayi tidak menggigil (Simkin, 2007: 340). Menurut ibu memandikan bayi di tempat tidur tidak efektif karena memakan waktu yang lama, semakin lama tubuh bayi terpapar dengan udara luar maka bayi akan kedinginan, sehingga ibu-ibu lebih memilih untuk memandikan bayi dengan memasukkan bayi ke bak mandi karena waktu memandikan lebih singkat. Kurangnya pengetahuan ibu dalam perawatan tali pusat seperti membersihkan tali pusat yang kotor dapat memberikan dampak yang kurang baik terhadap bayinya. Tali pusat bayi bisa terkena infeksi, jika ibu membersihkan tali pusat dengan menggunakan air dan sabun tanpa mengeringkannya terlebih dahulu sehingga tali pusat menjadi lembab. Lembabnya tali pusat merupakan media yang baik untuk terpapar oleh virus dan bakteri. Selain itu tali pusat yang basah juga memperlambat lepasnya tali pusat. Rendahnya pengetahuan sebagian responden pada penelitian ini mengenai perawatan bayi seharihari dinilai kemungkinan disebabkan kurangnya mendapat informasi yang lebih lengkap mengenai cara yang

2012

benar merawat bayi sehari-hari masih kurangnya wawasan dan informasi dari petugas kesehatan. Hasil penelitian tentang motivasi tinggi dalam hal memeriksa suhu air yang pas untuk memandikan bayi,sebanyak 47 (97,7%) responden memandikan bayi sendiri, sebanyak 46 (95,8%) responden memberikan ASI atas perintah suami atau orang tua, namun 25 (52,1%) responden yang tidak mengolesi areola mammae dan putting susu dengan ASI sebelum menyusui bayi. Berdasarkan analisa didapatkan 38 (79,2%) memiliki motivasi tinggi tentang perawatan bayi sehari-hari dan 10 (20,8%) responden memiliki motivasi yang rendah tentang perawatan bayi sehari-hari. Untuk jelasnya dapat dilihat pada diagram 3 di bawah ini:

Rendah, 33.30%

Tinggi, 66.70%

Diagram 3. Distribusi Responden berdasarkan Motivasi tentang Perawatan Bayi Sehari-hari (n= 48)

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa, sebagian besar responden sudah memiliki motivasi

75


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

yang tinggi tentang perawatan bayi sehari-hari. Motivasi sebagian sebagian responden yang tinggi diantaranya responden akan memeriksa suhu air yang pas untuk memandikan bayi, akan memandikan bayi sendiri dan akan membersihkan alat kelamin bayi dengan air jika mengganti bedong bayi. Motivasi responden yang tinggi ini sesuai dengan teori motivasi seperti dirumuskan oleh Terry G (1986) dalam Notoatmodjo (2010: 119) adalah keinginan yang terdapat pada diri seseorang individu yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan (perilaku) untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut peneliti motivasi responden yang tinggi ini akan mempengaruhi perilakunya karena motivasi merupakan dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan tindakan, apabila motivasinya tinggi maka akan baik pula perilakunya dalam melakukan suatu tindakan dalam hal ini perawatan bayi sehari-hari. Motivasi sebagian kecil responden yang rendah untuk mengolesi area hitam di sekitar puting susu dan puting susu dengan ASI sebelum dan sesudah menyusui bayi cara membersihkan tali pusat dengan air bersih dan sabun kemudian dikeringkan dengan kain bersih. Responden tidak termotivasi untuk mengolesi areola mammae dan puting susu dengan ASI sebelum dan sesudah menyusui. Sebelum menyusui, pijat puting sedikit agar keluar air susunya. Air susu tersebut digunakan untuk mengolesi puting dan sekitar areola mammae (bagian hitam payudara). Hal yang sama dilakukan sesudah menyusui, dengan demikian puting selalu bersih dan terhindar dari infeksi sebab di dalam ASI ada pelumas yang bisa melembutkan areola mammae dan puting susu, juga terkandung disinfektan yang bisa membersihkan (http://www.Indowebster. web.id /21/10/2011).

76

Motivasi yang rendah pada sebagian kecil ibu menurut peneliti karena anggapan ibu bahwa areola mammae dan puting susu tidak perlu diolesi dengan ASI terlebih dahulu sebelum menyusui karena hal tersebut justru akan membuat kotor dan tidak baik dimasukkan ke mulut bayi. Motivasi responden yang rendah dalam hal membersihkan tali pusat dengan air bersih dan sabun serta dikeringkan dengan kain bersih, ini dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu dan tidak ada dorongan dari individu lain yang dalam hal ini keluarga maupun bidan. Dorongan dari bidan dan keluarga mengenai persiapan menyusui dan cara membersihkan tali pusat dapat membantu ibu untuk melakukan perawatan bayinya dengan baik sehingga akibat-akibat yang mungkin ditimbulkan akibat tidak baiknya perawatan bayi sehari-hari dapat dihindari. KESIMPULAN DAN SARAN Sebagian responden berperilaku baik dalam hal perawatan bayi sehari-hari terutama dalam hal mengganti bedong bayi, menjaga kebersihan mata, mulut dan kulit bayi sendiri, responden juga mengganti bedong bayi setiap basah dan kotor serta akan membersihkan alat kelamin bayi setiap habis BAK. Sebagian responden memiliki pengetahuan baik tentang perawatan bayi sehari-hari terutama mengenai bagian kulit bayi yang harus selalu dijaga agar tetap kering, waktu yang tepat untuk membersihkan alat kelamin bayi dan posisi bayi yang baik saat mengganti bedong bayi. Sebagian besar responden memiliki motivasi tinggi tentang perawatan bayi sehari-hari dalam hal akan memeriksa suhu air yang pas untuk memandikan bayi dan akan memandikan bayi sendiri. Diharapkan agar bidan memberikan informasi tentang perawatan bayi sehari-hari kepada


Neny Heryani Gambaran Perilaku Ibu Nifas Tentang Perawatan Bayi‌

2012

ibu-ibu yang telah selesai bersalin di kliniknya sebelum pulang ke rumah. DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermilk Jensen, 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas, EGC. Jakarta: xx + 1121 hlm Depkes RI, 2000. Ibu Sehat Bayi Sehat, Departemen Kesehatan. Jakarta: ii + 68 hlm Farrer, Helen, 2001. Perawatan Maternitas, EGC. Jakarta: vii + 267 hlm Henderson, Christine & Jones, Kathleen, 2005. Buku Ajar Konsep Kebidanan, EGC. Jakarta: xvii + 755 hlm Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Ilmu Perilaku kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta: ix + 174 hlm _____________, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta: xix + 243 hlm Saifuddin, Abdul Bari, 2009. Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka. Jakarta: xxiv + 608 hlm Shelov, Steven P et al, 2006. Panduan Lengkap Perawatan Untuk Bayi Dan Balita, Arcan. Jakarta: xv + 686 hlm Simkin, Penny et al, 2007. Panduan Lengkap Kehamilan, Melahirkan dan Bayi. Arcan. Jakarta: xiv + 430 hlm Sodikin, 2009. Buku Saku Perawatan Tali Pusat. EGC. Jakarta: ix + 104 hlm http://Blogspot/perawatanbayiseharihari/01/08/2011.com http://www.indowebster.web.id/21/10/2011

77


2012

Jurnal Poltekkes Jambi Vol VI Edisi Juli ISSN 2085-1677

EFEKTIVITAS BERBAGAI MACAM SUMBA SEBAGAI BAHAN PENGGANTI DISCLOSING SOLUTION UNTUK MENDETEKSI ADANYA PLAK DI DALAM MULUT *Valentina Nurwati Kayo, *Naning Nur Handayatun, **Muridi Mudehir * Staf Pengajar Jurusan Keperawatan Gigi Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi ** Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

Abstrak Lapisan plak yang tipis tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa alat bantu pewarna yaitu disclosing solution. Plak merupakan penyebab terjadinya penyakit periodontaL dan gigi berlubang. Bahan pewarna plak dioleskan pada gigi sebelum menggosok gigi sehingga plak yang terlihat akan dapat dibersihkan dengan optimal. Namun bahan disclosing ini sulit ditemukan di pasaran khususnya di kota Jambi karena hanya tersedia di toko bahan kedokteran gigi di kota besar. Disamping itu harga disclosing solution relatif mahal, padahal seharusnya bahan ini ada pada setiap rumah tangga sebagai alat bantu untuk menjaga kesehatan gigi. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan penampakan warna plak pada beberapa sumba warna merah dan hijau dengan disclosing solution. Jenis penelitia adalah eksperimental semu dengan desain post test only control design. Bahan utama penelitian ini adalah sumba kue cair A warna merah tua dengan pewarna carmocyn, sumba cair A warna merah rose dengan pewarna erytrocyn, sumba cair A warna hijau dengan pewarna brilliant blue, sumba cair B warna rose pink dengan bahan pewarna erytrocyn dan sumba bubuk warna merah dengan pewarna erytrocyn sebanyak 5 gram yang diencerkan dengan 20 cc air, dan disclosing solution. Subyek penelitian adalah 30 orang mahasiswa dengan kriteria inklusi tidak mempunyai karies aktif dan kondisi oralhygiene baik. Obyek penelitian adalah plak yang melekat pada gigi subyek penelitian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumba cair merah tua yang mengandung pewarna carmocyn kurang efektif dalam mewarnai plak dibandingkan dengan disclosing solution.Sumba cair yang mempunyai efektifitas sama dengan disclosing solution dalam mewarnai plak dengan sig>0,05 adalah sumba merah rose dengan pewarna erytrocyn, sumba cair warna rose pink dengan pewarna erytrocyn dan sumba bubuk merah yang mengandung pewarna erytrocyn. Sumba cair hijau dan sumba bubuk hijau yang mengandung perwarna briliant blue kurang efektif dalam mewarnai plak dibandingkan dengan disclosing solution.Secara klinis sumba bubuk merah paling terlihat jelas dalam mewarnai plak diantara sumba yang lain. Jadi dalam memilih pengganti disclosing solution tidak hanya memilih warna merah saja tetapi harus memperhatikan komposisinya. Kata Kunci : sumba, plak, disclosing solution

PENDAHULUAN Plak adalah endapan lunak yang tidak terkalsifikasi dan melekat erat pada gigi geligi dan bagian lain yang ada di rongga mulut seperti tambalan gigi, gigi tiruan dan karang gigi. Beberapa detik setelah penyikatan gigi akan terbentuk deposit selapis tipis dari protein saliva yang

78

terutama terdiri dari glikoprotein pada permukaan gigi serta pada restorasi dan geligi tiruan. Lapisan ini disebut pelikel; tipis (0,5Îźm), translusen, halus dan tidak bewarna. Lapisan ini melekat erat pada permukaan gigi dan hanya dapat dilepas dengan friksi positif. Komposisi plak terdiri atas 70% mikrobial dan sisa produknya yaitu glikoprotein, karbohidrat dan lemak.


Valentina NK, Naning NH, Muridi M Efektivitas Berbagai Macam Sumba ‌

Komponen organik utama adalah kalsium, phosphor dan magnesium, potassium dan sodium (Manson dan Eley, 1993). Plak merupakan penyebab terjadinya penyakit periodontal (Ferdi, 2005) dan gigi berlubang (Houwink, 1984). Lapisan plak yang tipis tidak dapat terlihat dengan jelas tanpa alat bantu pewarna yaitu disclosing solution dan plak yang tebal terlihat sebagai deposit kekuning-kuningan atau keabu-abuan yang tidak bisa lepas dengan kumur-kumur (Manson dan Eley, 1993). Bahan pewarna plak dioleskan pada gigi sebelum menggosok gigi sehingga plak yang terlihat akan dapat dibersihkan dengan optimal. Namun bahan disclosing ini sulit ditemukan di pasaran khususnya di kota Jambi karena hanya tersedia di toko bahan kedokteran gigi di kota besar. Disamping itu harga disclosing solution relatif mahal, padahal seharusnya bahan ini ada pada setiap rumah tangga sebagai alat bantu untuk menjaga kesehatan gigi. Sumba kue merupakan bahan pewarna makanan yang aman bagi tubuh manusia. Penelitian Anggareni tahun 2000 diperoleh hasil bahwa sumba kue merek Koepoe-Koepoe warna merah yang diencerkan 0,05% dapat digunakan sebagai bahan untuk mewarnai plak secara invitro. Namun dalam penelitian tersebut hanya dilakukan terhadap 1(satu) merek dan 1 warna sumba. Kondisi di laboratorium sangat berbeda dengan di dalam mulut karena adanya ludah dan gesekan dari mukosa mulut dan lidah. Penggunaan eritrosin diperkenalkan oleh Arnim (1963, cit Tan, 1984) karena menurutnya bahan pewarna plak harus menampakkan plak dengan warna merah yang mengesankan. Kemudian muncul publikasi yang mengumumkan zat pewarna lain. Mereka berpendapat bahwa plak harus ditampakkan untuk dapat “menegur� orang-orang. Warna merah tidak memberikan kontras kuat

2012

dengan gingiva, sehingga beberapa pasien mengeluh tidak mampu menghilangkan plak dengan baik dirumah. Oleh karena itu digunakan zat pewarna yang disusun dari warna merah dan hijau. Zat pewarna ini mempunyai keuntungan bahwa pelikel dan plak baru yang tipis menjadi merah, tetapi plak lama yang tebal menjadi biru. Dengan ini dapat dibedakan umur plak akan tetapi di dalam praktek perbedaan ini sukar dibuat Bahan disclosing dapat menunjukkan umur plak, plak muda akan bewarna merah dan plak tua akan bewarna hijau kebiruan. Fedi (2005) mengatakan bahwa eritrosin yaitu bahan pewarna merah dapat mewarnai plak bakteri sehingga terlihat merah muda terang. Eritrosin ini juga terdapat dalam sumba kue yang bewarna merah dan merupakan bahan yang diizinkan oleh Balai Pengawasan Obat dan Makanan. Menurut Fedi dkk (2005), dahulu yodium, pewarna makanan, Bismarck brown, mercurochrome dan basic fuscin digunakan sebagai zat pewarna plak. Namun dewasa ini, eritrosin adalah zat yang paling sering dipakai. Zat ini tersedia dalam bentuk cairan atau tablet kunyah. Dengan eritrosin ( bahan pewarna merah untuk mewarnai plak bakteri), pelikel terlihat bewarna merah muda terang. Menurut Tan (1984), penggunaan fuksin, larutan yodium dan merkurokrom dapat merugikan. Fuksin mewarnai plak dan selaput lendir selama beberapa jam; yodium mempunyai rasa yang tidak enak dan sukar dihilangkan. Selanjutnya Kidd dan Bechal (1992) mengatakan bahwa cairan, tablet, dan kapsul yang berisi eritrosin atau pewarna sayuran bisa digunakan untuk mewarnai plak dan disebut bahan penyingkap. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh sumba kue yang efektif, murah dan mudah diperoleh sebagai pengganti

79


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

disclosing solution yang sulit diperoleh dan mahal harganya. Di pasar kota Jambi ditemukan sumba kue dengan beberapa merek dan komposisi yang berbeda. Harga sumba kue ini bervariasi dari Rp 1500,00 sampai dengan Rp 5000,00, jauh lebih murah dari harga disclosing solution, sehingga terjangkau oleh ibu rumah tangga, praktisi kesehatan dan institusi kesehatan. Dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh sumba kue yang efektif, murah dan mudah diperoleh sebagai pengganti disclosing solution yang sulit diperoleh dan mahal harganya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan penampakan warna plak pada beberapa sumba warna merah dan hijau dengan disclosing solution. Hipotesa penelitian adalah tidak ada perbedaan penampakan warna plak yang diolesi dengan sumba cair warna merah dan hijau dengan disclosing solution. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Tenaga Kesehatan Gigi dan masyarakat Jambi pada umumnya dengan diperolehnya bahan pengganti disclosing solution yang mudah didapat dengan harga yang lebih murah untuk mendeteksi adanya plak. . . BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilakukan di Klinik Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi sebagai tempat untuk melakukan eksperimental. Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 27 September 2010 sampai dengan 02 Oktober 2010. Jenis penelitian ini adalah eksperimental semu dengan desain posttest only control design. Penelitian dilakukan terhadap 3 (tiga) merek sumba kue masing – masing berwarna merah dan hijau yang tersedia di pasaran di kota Jambi deng izin Balai POM yang di ambil

80

secara acak . Bahan utama dalam penelitian ini adalah sumba kue cair A warna merah tua dengan pewarna carmocyn, sumba cair A warna merah rose dengan bahan pewarna erytrocyn, sumba cair A warna hijau dengan bahan pewarna brilliant blue, sumba cair B warna rose pink dengan bahan pewarna erytrocyn dan sumba bubuk warna merah dengan bahan pewarna erytrocyn sebanyak 5 gram yang diencerkan dengan 20 cc air, dan disclosing solution. Alat yang dibutuhkan adalah alat diagnosa seperti kaca mulut, pinset, sonde, serta kapas, cotton bud, gelas kumur. Bahan penunjang yang diperlukan adalah sikat gigi, pasta gigi, handuk. Subyek penelitian adalah 30 orang mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi dengan kriteria inklusi tidak mempunyai karies aktif dan kondisi oral hygiene baik dan telah menandatatangani informconsent. Obyek penelitian adalah plak yang melekat pada gigi subyek penelitian tersebut. Selama penelitian diet responden dan perilaku menyikat gigi dikendalikan agar karbohidrat yang ada dalam mulut dalam kondisi yang hampir sama sehingga kondisi plak yang terbentuk pada gigi mereka pun hampir sama. Hasil penelitian diukur dengan kriteria: Plak tidak terlihat skor 1, Plak terlihat samar-samar skor 2 . Plak jelas terlihat (ada batas tegas antara permukaan gigi yang ada plak dan tidak) diberi skor 3. Gigi yang diperiksa adalah gigi anterior rahang atas dan sebagai konrol adalah gigi anterior rahang bawah. Untuk menyamakan kondisi awal pada penelitian ini setiap responden secara bergiliran akan mendapat kesempatan untuk diolesi sumba kue dengan 3 macam merek yang masing-masing berwarna merah dan hjau serta disclosing solution. Untuk melihat plak, responden diminta tidak menggosok gigi sebelum tidur dan pagi hari sebelum menggosok gigi diperiksa plaknya dengan diolesi


Valentina NK, Naning NH, Muridi M Efektivitas Berbagai Macam Sumba ‌

sumba warna merah pada gigi anterior rahang atas sebelah kiri dan gigi anteror rahang atas sebelah kanan diolesi disclosing solution. Sebagai kontrol adalah gigi anterior rahang bawah. Prosedur ini dilakukan bergiliran untuk 3 (tiga) merek sumba kue kue lainnya dengan warna merah dan hijau.Pemeriksaan plak dilakukan di klinik di atas dental unit. Plak diperiksa dengan mata telanjang dengan pencahayaan cukup dengan jarak pandang 30 cm. Pengamatan terlihat tidaknya plak dilakukan oleh 3 orang pemeriksa secara double blind. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada tahap pre penelitian telah dicoba beberapa merek sumba yang lain namun sumba tersebut sama sekali tidak menempel pada gigi. Pemeriksaan dilakukan segera setelah pengolesan setelah responden sekali menutup mulut dan setelah 5 menit pengolesan. Selama 5 menit tersebut responden tidak diperbolehkan makan dan minum tetapi diperkenankan berbicara seperti biasa. Hal ini untuk melihat apakah sumba tersebut berkurang efektivitasnya dalam mewarnai plak karena adanya pergeseran oleh mukosa dan bibir karena plak yang sudah terlanjur menempel pada gigi hanya dapat hilang dengan menggosok gigi. Pada sumba warna merah ditemukan bahwa plak dapat terlihat dengan jelas segera setelah pengolesan. Pada seluruh merek sumba yang berwarna merah dapat mewarnai plak. Terlihat warna merah pada gigi responden yang tidak disikat selama 12 jam. Namun, intensitas warna merah berbeda-beda pada ke 3 (tiga) merek sumba tersebut.

2012

Tabel 1. Hasil Uji Statistik Penampakan Plak Setelah Diwarnai Dengan Sumba Merah Signifikansi Setelah dioles

5 menit setelah dioles

Sumba >< Disclosing

0,000

0,000

Sumba >< Kontrol

0,000

0,000

Sumba >< Disclosing

0,317

0,878

Sumba >< Kontrol

0,000

0,000

0,200

0,369

0,000

0,000

0,720

0,226

0,000

0,000

0,000

0,00

Uraian Sumba cair A warna merah tua Sumba cair A warna merah rose Sumba cair B rose pink Sumba bubuk C warna Merah

Sumba >< Disclosing Sumba >< Kontrol Sumba >< Disclosing Sumba >< Kontrol

Disclosing solution >< Kontrol Sig. 2 (dua) ekor Îą = 5%

Pada tabel 1 dapat dilihat hasil uji statistik pada kelompok sumba cair A warna merah tua dibandingkan dengan disclosing solution diperoleh sig.=0,000. Keadaan ini berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna antara sumba cair A merah tua dengan disclosing solution dalam mewarnai plak pada taraf kepercayaan 5%. Hasil pengujian pada sumba cair A merah tua ketika dioles pada gigi yang dilapisi plak terlihat merah namun tidak se-merah disclosing solution. Dari hasil uji statistik sumba cair A merah tua dengan kontrol diperoleh sig.= 0,000. Hal ini berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna antara plak yang diwarnai dengan sumba cair A merah tua dengan kontrol. Keadaan ini juga ditemukan pada pengamatan setelah 5 menit. Kondisi ini menunjukkan bahwa sumba cair A merah tua dapat digunakan untuk

81


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

mewarnai plak namun tidak sekuat disclosing solution. Dari hasil wawancara dengan responden, keseluruhan responden menyatakan bahwa rasa sumba cair A merah tua tidak berasa atau tawar. Pada plak yang diwarnai dengan sumba cair A warna merah rose terlihat hampir sama jelas jika dengan disclosing solution. Pada uji statistik diperoleh sig.= 0,317 pada saat setelah pengolesan dan sig.= 878 setelah 5 menit. Hal ini berarti sig > 0,05 sehingga efektivitas sumba cair B merah rose terbukti sama dengan disclosing solution sehingga Ho diterima pada taraf kepercayaan 5%. Penampakan plak yang diwarnai dengan sumba cair B warna rose pink sebagian besar terlihat jelas dan berbatas tegas. Jika dibandingkan dengan penampakan plak yang dioles dengan disclosing solution dan skor yang diperoleh tidak jauh berbeda. Setelah dilakukan uji statistik ternyata diperoleh hasil sig.= 0,200 pada saat setelah pengolesan dan sig.=0,369 untuk penampakan plak setelah 5 menit. Jika sumba cair B warna rose pink dibandingkan dengan kontrol diperoleh sig.=0,000 Hal ini berarti tidak ada perbedaan efektivitas sumba cair B warna rose pink dengan disclosing solution dalam mewarnai plak pada taraf kepercayaan 5%. Rasa sumba cair B warna rose pink menurut responden ditampilkan pada gambar 1. Pada pengolesan plak dengan sumba bubuk C warna merah yang telah dicairkan ternyata dari 30 gigi subyek penelitian, skor yang diperoleh sama dengan skor dari disclosing solution baik setelah pewarnaan maupun 5 menit setelah pewarnaan. Dengan uji statistik terbukti tidak ada perbedaan yang bermakna antara efektivitas sumba bubuk C warna merah dalam mewarnai plak (sig.= 0,720 dan sig.=226, dengan Îą =5%). Pada penampakan visual, dari keseluruhan sumba yang diteliti ternyata sumba bubuk C warna merah yang paling terlihat jelas dalam

82

mewarnai plak. Dari skor yang diperoleh , keseluruhan penampakan plak sama dengan skor disclosing solution. Penampakan plak setelah 5 menit sama dengan sesaat setelah pengolesan, sehingga sumba ini cukup bagus sebagai bahan pendeteksi plak karena tidak hilang dengan gesekan mukosa mulut. Persepsi rasa responden terhadap sumba bubuk C warna merah ternyata sebagian besar merasa agak asin (gambar 2).

tawar, 3.3%

agak kelat; 20%

agak pahit, 76.7%

Gambar 1. Persepsi Rasa Responden Terhadap Sumba Cair B Warna Rose Pink


Valentina NK, Naning NH, Muridi M Efektivitas Berbagai Macam Sumba ‌

2012

Tabel 4. Hasil Uji Statistik Penampakan Plak Setelah Diwarnai Dengan Sumba Hijau Signifikansi Uraian

Tawar; 36,70% AgakAsin, 50%

AgakPahit, 10%

Agakasam, 3.30%

Gambar 2. Persepsi Rasa Responden Terhadap Sumba Bubuk C Warna Merah

Hasil uji statistik untuk penampakan plak yang diwarnai dengan sumba warna hijau dengan disclosing solution, dan sumba warna hijau dengan kontrol disajikan pada tabel 4. Pada seluruh sumba warna hijau yang dioleskan pada gigi yang dilapisi plak ternyata diperoleh skor yang berbeda dengan gigi yang dioles dengan disclosing solution. Gigi yang dioles dengan sumba warna hijau plaknya terlihat samar-samar dan skornya berkurang setelah 5 menit pengolesan. Dengan uji statistik diperoleh hasil sig.< 0,05 pada seluruh merk sumba dengan disclosing solution baik sesaat setelah pengolesan maupun 5 menit kemudian. Keadaan ini menunjukkan adanya perbedaan penampakan plak yang bermakna antara plak yang diwarnai dengan sumba hijau dan disclosing solution. Jika dibandingkan dengan kontrol, maka penampakan plak juga terdapat perbedaan skor, karena warna hijau plak hanya terlihat samar-samar atau tidak jelas. Jika warna hijau tipis dari plak diulang oles dengan disclosing solution ternyata menunjukkan plak dengan warna merah dan berbatas tegas.

Sumba Cair A warna Hijau

Sumba Cair B Warna Hijau

Sumba Bubuk C Warna Hijau

Sumba >< Disclosing Sumba >< Kontrol Sumba >< Kontrol Sumba >< Disclosing Sumba >< Kontrol Sumba >< Disclosing Sumba >< Kontrol

Disclosing >< Kontrol

solution

Setelah dioles

5 menit setelah dioles

0,000

0,000

0,000

0,001

0,000

0,000

0,028

0,000

0,000

0,000

0,000

0,000

0,000

0,000

0,000

0,00

Persepsi responden terhadap rasa sumba cair A warna hijau, sumba cair B hijau dan sumba bubuk C warna hijau disajikan pada gambar 3,gambar 4 dan gambar 5.

Gambar 3. Persepsi Rasa Responden Terhadap Sumba Cair A warna Hijau

83


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

Gambar 4. Persepsi Rasa Responden Terhadap Sumba Cair B Warna Hijau

Gambar 5. Persepsi Rasa Responden Terhadap Sumba Bubuk C Warna Hijau

Plak yang merupakan penyebab terjadinya karies gigi dan

84

penyakit jaringan periodontal tidak terlihat jika tidak diwarnai. Hal ini terlihat pada kelompok kontrol yang keseluruhan berskor 1 karena memang tidak terlihat warna sama sekali dan pada kelompok tersebut jika di cek ulang dengan disclosing ternyata memang terdapat plak pada gigi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Arnim (1963, cit. Tan, 1984) bahwa plak hanya dapat terlihat dengan bahan penyingkap. Dari hasil analisa, seluruh sumba yang dipergunakan dalam penelitian ini dapat digunakan untuk mewarnai plak, namun dari masingmasing sumba mempunyai efektifitas yang berbeda dalam mewarnai plak jika dibandingkan dengan disclosing solution (Tabel 1). Sumba cair A warna merah tua ternyata kurang efektif dalam mewarnai plak dibanding dengan disclosing solution sedangkan sumba cair merah rose dengan merek yang sama ternyata mempunyai efektifitas yang sama dengan disclosing solution (Tabel 1). Jika dilihat dari komposisinya ternyata sumba cair A warna merah tua mengandung pewarna Charmosin sedangkan sumba cair B warna merah rose mengandung pewarna erytrocin. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Kidd dan Bechal (1992) yang mengatakan bahwa cairan, tablet, dan kapsul yang berisi eritrosin atau pewarna sayuran bisa digunakan untuk mewarnai plak yang disebut bahan penyingkap.Dengan demikian dalam memilih bahan pengganti disclosing tidak hanya warna merah yang diperhatikan namun yang paling penting adalah komposisinya. Sumba cair B warna rose pink mempunyai efektifitas yang sama dengan disclosing solution dalam mewarnai plak (sig.=0,200 dan sig.=0,369 setelah 5 menit dioles). Bertahannya warna merah pada gigi setelah 5 menit pengolesan sumba menunjukkan bahwa sumba tersebut akurat untuk mendeteksi adanya plak karena setelah dioles responden tetap boleh berbicara dan meludah. Secara


Valentina NK, Naning NH, Muridi M Efektivitas Berbagai Macam Sumba ‌

teoritis, gesekan oleh mukosa bibir dan pipi tidak dapat menghilangkan plak. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Manson dan Eley (1993) bahwa plak melekat erat pada permukaan gigi dan hanya dapat dilepas dengan friksi positif. Keadaan ini menunjukkan bahwa sumba cair B warna rose pink dapat digunakan sebagai bahan pengganti disclosing solution. Komposisi warna merah dari sumba B adalah Erytrocin. Sumba ini juga dilengkapai dengan ijin BPPOM dan tanggal kadaluwarsa sehingga aman digunakan untuk masyarakat. Namun sebanyak 76,7 % responden menyatakan rasa sumba cair C rose pink agak pahit dan 23 % merasakan agak kelat sehingga rasa sumba ini kurang diterima oleh responden. Dalam penelitian umur responden di atas 17 tahun, sehingga jika digunakan untuk anak-anak tentunya sumba cair B warna rose pink rasanya kurang dapat diterima sehingga perlu diberikan penambah rasa misalnya pemanis supaya anakanak lebih menyukainya. Pada sumba bubuk C warna merah ternyata juga dapat digunakan sebagai disclosing solution, hal ini terbukti dengan hasil uji statistik yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara plak yang diwarnai dengan sumba tersebut dengan disclosing solution. Sumba bubuk C warna merah merupakan sumba bubuk yang diencerkan dengan air. Pada penelitian ini 5gr sumba dilarutkan dalam 20cc air. Petunjuk pabrik menunjukkan jika untuk pewarna makanan digunakan 3mg/kg. Namun sumba ini meskipun ada izin dari BPPOM, akan tetapi dalam kemasannya tidak dicantumkan tanggal kadaluwarsa. Rasa sumba bubuk C warna merah juga lebih bisa diterima oleh responden dibandingkan sumba cair B warna rose pink karena 50% responden merasa agak asin dan 36,7% tawar. Komposisi bahan pewarna merah dalam sumba bubuk merah merek Bebek Angsa adalah Erytrocin. Erytrocyn merupakan salah

2012

satu pewarna merah makanan yang diijinkan oleh BPPOM (Permenkes RI). Selain sebagai bahan untuk mewarnai plak, Erytrocyn juga merupakan bahan photosensitizer yang dapat mematikan Streptococcus Mutans pada photodinamic therapy (Wood.dkk, 2006). Ikatan yang terjadi antara plak dengan larutan sumba (bahan pewarna sintetis ) adalah ikatan kimia. Diasumsikan secara teoritos terbentuk ikatan C===N yang terjadi antara gugus karbonil ( C==O ) dari glukosa dan fruktosa, dengan amine primer (NH2) dari larutan sumba. Dari reaksi tersebut dihasilkan air (H2O) yang terbentuk dari ion hidrogen yang bersifat mudah lepas pada senyawa primer amine dengan oksigen pada gugus karbonil. Tetapi perlu diteliti lebih jauh tentang ikatan yang terjadi sesungguhnya secara kimia (Anggraeni,dkk,2000). Sumba warna hijau yang digunakan dalam penelitian ini merupakan merek yang sama dari sumba merah. Dari hasil penelitian terhadap 3 (tiga) merek sumba diperoleh hasil bahwa sumba hijau dapat mewarnai plak namun mempunyai efektifitas yang berbeda dengan disclosing solution (Tabel 5). Sumba warna hijau kurang dapat mewarnai plak dengan jelas. Setelah 5 menit pengolesan, warna hijau sebagian besar larut dalam air ludah namun masih berbeda bermakna jika dibandingkan dengan kelompok gigi yang tidak diwarnai (kontrol). Pada disclosing solution produksi pabrik, ada yang bisa menunjukkann umur plak jika diwarnai dengan sumba hijau. Namun dalam penelitian ini sukar untuk dilakukan. Hali ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Arnim (1963, cit Tan, 1984). Komposisi sumba bubuk C warna hijau dan sumba cair A warna hijau terdiri atas brilian blue dan tartazine. Sementara sumba cair B warna hijau merek terdiri atas tartrazine, brilianblue dan propylene glycol.

85


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. VI Edisi Juli 2012

KESIMPULAN DAN SARAN Sumba cair merah tua yang mengandung pewarna carmocyn kurang efektif dalam mewarnai plak dibandingkan dengan disclosing solution.Sumba cair merah rose mengandung pewarna erytrocyn mempunyai efektifitas yang sama dengan disclosing soluton dalam mewarnai plak. Sumba cair warna rose pink yang mengandung pewarna erytrocyn mempunyai efektifitas yang sama dengan disclosing solution dalam mewarnai plak. Sumba bubuk merah yang mengandung pewarna erytrocyn mempunyai efektifitas yang sama dengan disclosing solution dalam mewarnai plak. Sumba cair hijau dan sumba bubuk hijau yang mengandung perwarna briliant blue kurang efektif dalam mewarnai plak dibandingkan dengan disclosing solution. Berdasarkan penelitian ini perlu penelitian lebih lanjut mengenai ikatan kimia yang terjadi antara sumba dan plak serta perlu penambahan rasa yang enak pada sumba jika akan digunakan sebagai bahan pendeteksi plak apabila akan digunakan pada anak-anak. Selain itu perlu dilakukan pula penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi sumba yang tepat yang dapat mendeteksi plak.

86

DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, D. Dkk., 2000, Penentuan Konsentrasi Optimal Dan Waktu Efektif Larutan Sumba Kue Cair Secara Invitro Sebagai Bahan Pendeteksi Plak, Jurnal Kedokteran Gigi Indonesia , Vol. 7/No. 2/2000, Jakarta. Fedi, P.F, Vernino, A.R., Gray, J.L., 2005, Silabus Periodonti, EGC, Jakarta. Kidd, EA.M, Bechal, S.J., 1992, DasarDasar Karies, Penyakit Dan Penanggulangannya, EGC, Jakarta. Manson, J.D., Eley, B.M., 1993, Buku Ajar Periodonti, Hipokrates, Jakarta. Nazir, M, 1985, Metoda Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. Pratiknya, A.W., 1993, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Santosa,S, 2000, SPSS Mengolah Data Statistik Secara Profesional Versi,7,5, PT. Elex Media Komputindo, Group Gramedia ,cetakan 3, Jakarta Tan, H.H., et al, 1984, Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Wood S., et al. 2006. Erythrosine Is A Potential Photosensitizer for the Photodynamic Therapy of Oral Plaque Biofilms. J. Antimicrob. Chemother. 57: 680–684.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.