MIQOT VOL. XXXVII NO. 2 Juli-Desember 2013

Page 1


MIQOT

Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Daftar Isi

Hadis-Hadis Antropomorfisme: Analisis terhadap Takwil Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam Fath al-Bârî Abdul Hamid Ritonga ..........................................................................

235-259

Andalusia: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik L. Hidayat Siregar .................................................................................

260-271

Struktur Paradigmatik Ilmu-Ilmu Keislaman Klasik: Dampaknya terhadap Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku Keberagamaan Ichwansyah Tampubolon ...................................................................

272-289

Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam Syamsuri ................................................................................................

290-312

Dialog al-Qur’an dengan ‘Urf Arab dan Implikasinya terhadap Pembentukan Hukum Islam Hadri Hasan ...........................................................................................

313-326

Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah Jaih Mubarok, et al. .............................................................................

327-346

Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial di Indonesia Ismed Batubara ....................................................................................

347-373

Religious Education and Empowerment: Study on Pesantren in Muslim Minority West Papua Ismail Suardi Wekke ............................................................................

374-395

Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut ibn Miskawaih Rosnita ...................................................................................................

396-414


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 The Role of Pesantren on the Development Islamic Science in Indonesia M. Mujab ................................................................................................

415-437

Konflik Agama dan Penyelesaiaannya: Kasus Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat Muhamad Zuldin ..................................................................................

438-448

Aceh in History: Preserving Traditions and Embracing Modernity Amirul Hadi ...........................................................................................

449-464


HADIS-HADIS ANTROPOMORFISME: Analisis terhadap Takwil Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam Fath al-Bârî Abdul Hamid Ritonga Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara DPK STAI-UISU Pematangsiantar Jl. Sangnawaluh Km. 3.5 Pematangsiantar, 21136 e-mail: abdulhamidritonga52@gmail.com

Abstrak: Dalam sejarah teologi Islam, perbincangan tentang ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW. yang menjelaskan tentang antropomorfisme memiliki sejarah panjang, berawal dari perdebatan antara ahli hadis yang literalis dengan ahli kalam dan Muktazilah yang rasionalis. Tulisan ini mencoba mengelaborasi pendapat Ibn Hajar sebagai ahli hadis dalam memahami hadis yang menyamakan sifat Allah dengan sifat manusia. Dalam upayanya untuk menghindari kemungkinan keliru (syirk) dan adanya kesamaan (tasybîh) Allah dengan makhluk-Nya, Ibn Hajar menafsirkan hadis tersebut dengan metode takwil. Ibn Hajar melakukan penakwilan karena kondisi objektif sosial, politik, dan ajaran teologis yang mengitarinya yang mengharuskannya mendukung ajaran Asy‘ariyah. Pada sisi lain, ia ingin menyelamatkan akidah kaum Muslim, khususnya orang awam dari menyerupakan Allah dengan makhluk. Abstract: Anthropomorphism in Hadith: An Analysis of Ibn Hajar al‘Asqalânî’s Ta’wîl in Fath al-Bârî. In the history of Islamic theology, discussion on Quranic verses and the Prophetic traditions that deal with anthropomorphism has undergone long history starting from heated debate between literal hadith centrists with those of rationalists theologians and the Muktazilah. This essay attempts to elaborate Ibn Hajar’s view, as an advocate of tradition, in understanding the hadiths that describe the attributes similar to that of His creatures. In order to avoid potential error and confusion in understanding the attributes of God, Ibn Hajar utilized ta’wîl method and departed from his root due to socio-political condition and the prevailing theological teachings that led him to support the tenets of Asy‘ariyah. Conversely, he was very keen on safeguarding the Muslim’s creed from equating God’s attributes with His creatures.

Kata Kunci: teologi, hadis, antropomorfisme, takwil, Fath al-Bârî

235


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Pendahuluan Ibn Hajar al-‘Asqalânî yang dikenal sebagai tokoh dalam kajian hadis telah menulis sejumlah buku yang umumnya terkait dengan disiplin ilmu hadis, namun secara insidentil juga membahas akidah (teologis). Dari sejumlah karyanya, Fath al-Bârî merupakan salah satu yang terdepan dan populer dibaca, ditelaah, dan dikomentari para peminat ilmu-ilmu keislaman. Kitab ini dalam batas tertentu juga membahas tentang ajaran-ajaran teologi Islam. Sebagai seorang ahli hadis yang bermazhab al-Syâfi‘î, Ibn Hajar al-‘Asqalânî di dalam ranah fikih cenderung kepada pendapat madzhab al-Syâfi‘î, di dalam ranah akidah ia tidak mewarisi tradisi ulama hadis generasi awal dan beberapa abad sebelumnya. Ulama hadis, umumnya para mukharrij dan kritikus hadis, adalah berpaham Salaf sebagaimana al-Syâfi‘î sendiri. Sebagai contoh dapat dirujuk ke dalam biografi Ahmad ibn Hanbal, alBukhârî, Muslim, al-Nasâ’î, al-Baihaqî, Abû Hâtîm, al-Tirmidzî, Abû Dâwûd, dan ulama hadis lainnya dengan karyanya masing-masing. Dari sejumlah ulama Hadis dikecualikan Ibn Hajar al-‘Asqalânî. Ia cenderung ke dalam mazhab ’Asy‘ariyyah. Hal itu dapat dilihat di dalam Fath al-Bârî. Karya ini sebenarnya adalah sebuah syarah terhadap hadis-hadis yang terdapat di dalam Shahîh al-Bukhârî. Karena kitab ini sebuah syarah terhadap kumpulan hadis Nabi SAW. yang menjelaskan segala aspek ajaran Islam, maka ia bersinggungan dengan hadis-hadis teologis. Kebersinggungan inilah yang menyebabkan Fath al-Bârî merespons hadis tersebut berdasarkan perspektif Kalam yang dianut penulisnya. Dalam kedudukan Fath al-Bârî sebagai kitab syarah hadis, maka ada dua faktor yang menjadi catatan terhadapnya. Pertama, Fath al-Bârî adalah sebuah kitab syarah hadis yang ditulis oleh tokoh yang lebih dikenal sebagai ahli hadis (muhaddîts). Umumnya ahli hadis berakidah Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah.1 Namun, Ibn Hajar cenderung menggunakan takwil seperti yang dianut oleh ‘Asy‘ariyyah dan Muktazilah. Ini menyelisihi pemahaman (akidah) yang umum dari ahli hadis. Kedua, kendatipun Fath al-Bârî memiliki kecenderungan yang berbeda dalam pemahaman akidah dari tokoh-tokoh hadis generasi Salaf, namun kitab ini mendapat tempat yang luas di kalangan kaum Muslim, tidak terkecuali aliran Ahli Sunnah yang berorientasi Salaf.2 Oleh sebab itu, perlu pengkajian tentang kecenderungan paham akidah yang dianut olehnya. Di antara persoalan yang ditakwilkan Ibn Hajar adalah berkenaan dengan hadis antropomorfisme, yaitu hadis yang terkait dengan konsep ketuhanan, apakah Tuhan yang disebutkan dalam firman Allah dan hadis Nabi-Nya yang memiliki tangan, betis, wajah, Akidah Ahli Hadis adalah Ahli Sunah Waljamaah. Lihat Shâlih Alu al-Syaikh, Syarh Aqîdah al-Thahawiyah (t.t.p.: t.p., t.t.), h. 5. 2 Lihat misalnya, di dalam tulisan ‘Ali ibn ‘Abdil ‘Azîz ibn ‘Alî al-Syibli, al-Tanbîh ‘Alâ alMukhâlifat al-‘Aqîdah fî Fath al-Bârî (t.t.p.: t.p., t.t.), h. 25-27 dan h. 31-33. 1

236


Abdul Hamid Ritonga: Hadis-hadis Antropomorfisme

mata, bersemayam, turun ke langit dunia, dan lainnya perlu mendapatkan pengalihan makna (takwil) atau tidak agar sesuai dengan konsep teologis yang sudah terbangun dalam sejumlah aliran teologis. Dalam persoalan ini, Ibn Hajar menjadi menarik perhatian karena ia memainkan peran yang banyak dalam kitab syarah-nya Fath al-Bârî. Sebab, sebagai kitab syarah terhadap Shahîh al-Bukhârî, mau tidak mau ia harus merespons setiap hadis yang tertera di dalam kitab Shahîh al-Bukhârî tersebut. Karena itu, ia harus menjelaskan problematika penelitian sanad dan matan, merespon berbagai persoalan hukum, dan teologis, termasuk hadis antropomorfisme. Alasan umum yang digunakan oleh ahli kalam ketika menakwilkan antropomorfisme seperti Allah bertangan, berwajah, dan memiliki betis adalah untuk menghindarkan terjadinya antropomorfisme pada sifat dan zat Allah dengan makhluk-Nya. Di sinilah nama dan sifat yang antropomorfisme tersebut dimaknai dengan makna yang layak pada sifat dan Zat Allah. Dalam sejarah teologi Islam, perbincangan tentang ayat-ayat al-Qur’an dan hadishadis Nabi SAW. yang menjelaskan bahwa Tuhan memiliki tangan, betis, wajah, dan bersemayam di atas ‘Arasy, memiliki sejarah panjang. Perdebatan tentang hal ini pada awalnya dikenal sebagai perdebatan antara ahli hadis atau ahli sunnah yang literalis dan ahli kalam dan Muktazilah yang rasionalis. Namun, belakangan kalangan ahli hadis seperti Ibn Hajar juga menggunakan takwil dalam memahami hadis antropomorfisme tersebut. Untuk mempertajam ulasan maka kajian terhadap paham teologis dibatasi pada masalah hadis antropomorfisme yang mendapat penakwilan dari Ibn Hajar al-‘Asqalânî, hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, bagaimanakah pemaknaan hadis antropomorfisme dilakukan Ibn Hajar di dalam kitab Fath al-Bârî. Kedua, metode apakah yang digunakan Ibn Hajar di dalam kitab Fath al-Bârî dalam memaknai hadis antropomorfisme. Ketiga, apakah yang melatar belakangi Ibn Hajar memaknai hadis antropomorfisme di dalam Fath al-Bârî menurut paham ‘Asy‘ariyah. Kajian ini merupakan deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan studi naskah terhadap pemikiran seorang tokoh di dalam sebuah kitab. Yakni, sebuah pendekatan penelitian yang mengkaji tentang suatu ajaran teologi, sumber ajaran, dan sistem ajaran tersebut di dalam sebuah naskah, yaitu Fath al-Bârî. Kajian ini juga didukung pendekatan sejarah (historical approach) karena bersentuhan dengan sejarah masa lalu. Untuk mengumpulkan data yang diperlukan terhadap hadis sifat Allah yang dimaksudkan dalam penelitian ini, maka digunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yakni dengan cara meneliti buku karya Ibn Hajar al-‘Asqalânî., khususnya Fath al-Bârî serta menjadikannya sebagai data primer (data pokok).

237


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Mengenal Ibn Hajar al-‘Asqalânî dan Kitab Fath al-Bârî Mengenal Ibn Hajar al-‘Asqalânî Ibn Hajar dilahirkan pada penghujung abad VIII Hijriyah. Ia hidup pada era pemerintahan al-‘Asyraf Nâsir al-Dîn Sya‘bân II (w. 762 H.1361 M). Al-‘Asyraf merupakan penguasa yang kedua puluh dua dari dinasti Mamluk yang berpusat di Mesir. 3 Dinasti Mamluk memerintah di Mesir dan Syria antara tahun 648 H/1250M-923 H/1517 M. Kata Mamluk berarti hamba sahaya yang dimiliki. Penyebutan ini memiliki korelasi dengan asal-usul keturunan mereka sebagai hamba sahaya, yaitu ras kulit putih dari bangsa Turki. Setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 656 H.1258 M, banyak pusat-pusat studi dan kajian-kajian ilmu pengetahuan telah dimusnahkan musuh Islam. Namun, dalam hal ini dikecualikan Mesir. Wilayah Afrika yang terdekat dengan Timur Tengah itu, merupakan satu-satunya negara Islam saat itu yang selamat dari serangan musuh. Karena itu, belakangan Mesir muncul sebagai pusat studi terdepan di bidang pendidikan dan kebudayaan.4 Pada era inilah Ibn Hajar al-‘Asqalânî hidup dan berkiprah. Di dalam kitab Raf ‘al-Ishr, Ibn Hajar menyebut asal-usul keturunannya dimulai dari ayahnya ‘Alî ibn Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Alî ibn Ahmad.5 Lebih lengkap lagi, di dalam’Anbâ’ al-Gumar, ia menyebut ranji silsilahnya yaitu diawali dari ayahnya ‘Alî ibn Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Alî ibn Ahmad Ibn Mahmûd ibn Ahmad ibn Hajar.6 Ibunya adalah Tujjâr binti Muhammad ibn Ibrâhîm al-Ziftâwî. Di dalam sejumlah karya, Ibn Hajar sering menisbatkan dengan al-Kinânî ketika menyebut nama dan keturunannya. Ini mengindikasikan bahwa Ibn Hajar berasal dari keturunan Kinan salah satu asal usul Arab. Hal tersebut dapat dilihat di dalam tulisan ‘Abd al-Ra‘uf al-Manâwî ketika mensyarahkan Nukhbah al-Fikr karya Ibn Hajar.7 Dari sudut bahasa, ‘Asqalân bermakna bagian tertinggi di kepala. 8 Karena itu, penisbatan ‘Asqalânî pada nama Ibn Hajar menunjukkan asal-usul daerah keturunannya yang bermukim di dataran tinggi. ‘Asqalân merupakan nama satu daerah yang terletak di tepi pantai di antara Gaza dan Bayt Jibrin. Kawasan ini dahulunya terletak di bagian dataran tertinggi Syam dan Syria, namun sekarang berada di dalam wilayah Palestina.9

Abû al-Fadhl, Diwân Ibn Hajar al-‘Asqalânî (Beirut: Dâ‘irah al-Ma‘ârif al-‘Usmâniyyah, 1962),

3

h. 6. Ibid. Ibn Hajar, Raf‘ al-‘Ishr ‘an Qudhah Mishr (Qaherah: al-Matba‘ah al-Âmiriyyah, t.t.), h. 15. 6 Ibn Hajar, ’Anbâ’ al-Gumar (al-Maktabah al-Syâmilah, t.t.), h. 1-3. 7 ‘Abd al-Ra‘ûf al-Manâwi, al-Yawâqit wa al-Durar fî Syarh Nukhbah Ibn Hajar (al-Maktabah al-Syamilah, t.t.), h. 2. 8 Yâqût Hamâwî ibn ‘Abdillâh, Mu‘jam al-Buldân (Beirut: Dâr Ihya‘ Turasy al-‘Arabî, 1979), Juz. IV, h. 122 9 Ibid. 4 5

238


Abdul Hamid Ritonga: Hadis-hadis Antropomorfisme

Ini menunjukkan bahwa keturunan Ibn Hajar berasal dari ‘Asqalân di Palestina, namun ia tidak lahir di sana karena keluarganya pindah ke Mesir. Ibn Hajar dilahirkan pada Sya‘bân 773 H. di wilayah yang terletak di tepi Sungai Nil, yaitu berdekatan dengan Dâr al-Nahâs di Kairo. Al-Syaukânî berpendapat bahwa Ibn Hajar dilahirkan pada 2 Sya‘bân 773 H.10 Sementara itu, al-Suyûthi dan Ibn al-‘Imîd al-Hanbali berpendapat bahwa Ibn Hajar telah dilahirkan pada 12 Sya‘bân 773 H.11 Adapun Ibn Tagribardî berpendapat bahwa Ibn Hajar dilahirkan pada 22 Sya‘bân 773 H. Al-Sakhâwî mengatakan bahwa tahun dan waktu kelahiran gurunya tersebut tanggal 12 Sya’bân 773.12 Perselisihan pendapat para ulama adalah menentukan angka 2, 12, dan 22 Sya‘bân sebagai tanggal kelahiran Ibn Hajar. Namun demikian, ulama sepakat menentukan tahun 773 H. sebagai tahun kelahiran Ibn Hajar. Ketika berusia 5 tahun, ia mengawali pendidikannya dengan mempelajari membaca dan menghafal al-Qur’an. Ini merupakan kebiasaan yang terjadi di Dunia Islam pada masa itu. Setelah berusia 6 tahun ia memasuki maktab dan mempelajari dasar-dasar ilmu fikih secara khusus dengan Ibn ‘Utrusy (w. 784 H.).13 Dalam usia 9 tahun ia telah membaca kitab matan dan mampu menghapal al-Qur’an di bawah bimbingan Shadr al-Dîn al-Suftî (w. 845 H.). Memasuki usia 12 tahun, al-Kharrubî membawa Ibn Hajar ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji, yaitu pada tahun 784 H. Al-Kharrubî adalah pengasuh Ibn Hajar. Setelah melaksanakan ibadah haji, mereka tidak langsung kembali ke Mesir, namun menetap di Tanah Suci selama dua tahun. Dalam rentang waktu itu, Ibn Hajar berguru kepada Syaikh Afîf al-Dîn al-Nishawarî (w. 790 H) yang mengajarnya kitab Shahîh al-Bukhârî.14 Setelah berlalunya dua tahun, Ibn Hajar dan al-Kharrubî kembali ke Mesir dengan membawa ilmu dan pengalaman belajar di Tanah Suci. Setahun setelah kembalinya dari Makkah al-Kharrubî meninggal dunia. Hal ini menyebabkan terhentinya pendidikan Ibn Hajar selama tiga tahun. Pada tahun 790 H., Ibn Hajar melanjutkan pendidikannya yang terputus itu. Dalam rentang waktu selanjutnya, ia diasuh Muhammad al-Qathân al-Mishrî (w. 830 H.). Di bawah bimbingan Muhammad al-Qathan, Ibn Hajar mempelajari asas-asas ilmu Usul Fikih, ilmu bahasa dan ilmu hisab. Ketika berusia 19 tahun, Ibn Hajar mendalami ilmu kesusastraan dan menghasilkan satu antologi, yaitu Diwân Ibn Hajar.15 Ketika mencapai usia 23 tahun (795 H.), Ibn Hajar telah menjadi sarjana di dalam

Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min al-Ushûl (Riyadh: Dâr al-Fadhîlah, 2000) h. 88. 11 Al-Suyûthi, Tadrîb al-Rawî fî Syarh Taqrîb al-Nawawî (Madinah al-Munawarah: Maktabah al-Ilmiyyah, t.t.) h. 130. 12 Al-Sakhâwî, al-Daw‘ al-Lâmi’ (al-Maktabah al-Syamilah, t.t.) Juz X, h. 458. 13 Ibid., h.22 14 Ibid., h.19 15 Ibid. 10

239


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Ilmu Fikih, Mantik, Filsafat, kesusasteraan, Hisab, Retorika, Bahasa, Khath, dan ilmu yang berkaitan dengan kamus.16 Al-Sakhâwî mengatakan bahwa awal dari puncak pendidikan Ibn Hajar terjadi pada tahun 796 H., yaitu ketika ia berguru kepada Zain al-Dîn al-‘Irâqî (w. 806 H.) salah seorang ulama tersohor sebagai ahli hadis pada zamannya. Selama 10 tahun belajar dengan al-‘Irâqî dalam bidang tersebut akhirnya telah mengantarkannya sebagai seorang tokoh dan ilmuan di bidang ini. 17 Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Sakhâwî bahwa Ibn Hajar telah menulis karya ilmiah dalam jumlah yang banyak. Sukar untuk menyebutkan semua karya itu disebabkan belum ada upaya khusus yang dilakukan setelah kewafatannya. Namun, dengan kerja keras al-Sakhâwî sebagian dari karya tersebut telah ditemukan dan dicatatkan di dalam biografi Ibn Hajar. Saat ini sebagian dari karya Ibn Hajar tersebut telah dicetak dalam bentuk buku dan yang lainnya masih dalam bentuk manuskrip. Berikut ini dinukilkan sejumlah karya Ibn Hajar tersebut yang mencakup beberapa disiplin ilmu seperti Hadis, Tafsir, Kesusasteraan Arab, dan Sejarah:18 al-Durar al-Kâminah fî ‘Ayan al-Mi’ah al-Tamimah, Lisân al-Mîzân, al-Ahkâm li Bayân mâ fî al-Qur’an min al-Ahkâm, Diwân Syâ’ir, al-Kâfî al-Syâfî fî Takhrîj al- Hadîts al-Kasyf, Zail al-Durar al-Kâminah, al-Alqâb al-Ruwât, Taqrîb al-Tahzîb, al-Ishâbah fî Tamyîz al-Asma’ al-Shahâbah, Tahzîb al-Tahzîb, Ta’jîl al-Manfa`ah bi-Zawâ`id Rijâl alA’immah al-Arba`ah, Ta’rîf ahl al-Taqdîs, Bulûgh al-Marâm min Adillah al-Ahkâm, al-Majma’ al-Mu’assis bi al-Mu’jam al-Mufahras, Tuhfat Ahl al-Hadîs an Syuyûkh al-Hadîs, Nuzhah al-Nazhr fî Taudhih Nukhbah al-Fikr, al-Majâlis, al-Qaul al-Musyaddad fî al-Zab ‘an Musnad al-Imâm Ahmad, Diwân Khutb, Tasdîd al-Qaus fî Mukhtashar al-Firdaus lî al-Dubli, Tabsyîr al-Muntahah fî Tahrîr al-Mustahah, Raf’ al-‘Ishr ‘an Qudhât Mishr, Anbâ’ al-Gumar bi Anbâ’ al-‘Umr, Ithâf al-Mahârah bi Athrâf al-Isyrâh, al-I’lâm fî man Wallâ Mishr fî al-Islâm, Nuzhah al-Albâb fî al-Alqâb, al-Dibâjah, Muqaddimah Fath al-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî, alTalkhîsh al-Habîr fi Takhrîj Ahâdis al-Rafi’ al-Kabîr, dan Ta’lîq al-Ta’lîq.

Mengenal Kitab Fath al-Bârî Kitab Fath al-Bârî fî Syarh Shahîh al-Bukhârî ( ‫ ) ﻓﺘـ ـ ـ ـ ـ ــﺢ اﻟﺒ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎري‬adalah kitab syarah hadis yang paling dihargai masyarakat Sunni karena keluasan dan ketajaman pembahasannya. Kitab ini merupakan penjelasan dan komentar terhadap Shahîh al-Bukhârî. yang ditulis oleh Imam al-Bukhârî. Oleh Ibn Hajar dilaporkan bahwa penulisan kitab syarah ini memakan waktu sekitar 26 tahun, yaitu sejak tahun 817 H. hingga tahun 842 H.

Ibid. Ibid., h. 20 18 Khair al-Dîn Ziriklî, Al-A‘lâm, Qâmus Tarâjum Li asyhur al-Rijâl wa al-Nisâ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribîn wa al-Mustasyriqîn, Juz I (Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayin, 1974), h. 178; B. Lewis, V.L Menage, C.H Pellat and J. Schact, The Encyclopedia of Islam, Vol. III (London: 1986), h. 778. 16

17

240


Abdul Hamid Ritonga: Hadis-hadis Antropomorfisme

‘Abd al-Hayy ibn’ Abd al-Kabîr al-Kathani berkomentar, “Ibn Khaldûn mengatakan bahwa penjelasan dari Shahîh al-Bukhârî. merupakan utang kaum Muslim, namun utang itu telah dibayar Ibn Hajar.19 Oleh sebab itu, disarankan kepada Muhammad ibn ‘Ali alSyaukani untuk menulis syarah terhadap al-Jami ‘al-Shahîh karya al- Bukhârî tersebut, maka al-Syaukani menjawab, “Tidak ada “hijrah” setelah “al-Fath,” merujuk Fath al-Bârî“.20 Ini menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap karya ini. Hal ini juga dikutip oleh Syaikh ‘Alî Ibn ‘Abd al-‘Azîz ‘Alî al-Syiblî. ‘Abd al-Hakim Murad mengatakan dalam pengantar terhadap sebuah buku kecil tentang terjemah Shahîh al-Bukhârî bahwa pentingnya literatur Shahîh al-Bukhârî dapat diukur dengan fakta bahwa setidaknya ada tujuh puluh komentar yang telah ditulis ulama terhadap Shahîh al-Bukhârî, namun yang paling terkenal adalah Fath al-Bârî oleh Imam Ibn Hajar al-‘Asqalânî. Ia mengatakan bahwa Fath al-Bârî merupakan sebuah karya yang luar biasa baik ditinjau dari genre maupun dari hal lainnya. Di dalam kitab Fath al-Bârî ditemukan cakupan uraian yang lengkap terhadap hadis-hadis al-Bukhârî, penguasaannya atas ilmu-ilmu bahasa Arab, kepiawaiannya dalam menarik sejumlah manfaat (fawa’id) dari hadis-hadis al-Bukhârî, dan keterampilannya dalam menyelesaikan berbagai pertentangan yang ada. Dalam kaitan apresiasi di atas, ‘Abd al-Khauli menyatakan bahwa Fath al-Bârî karya Ibn Hajar telah menenggelamkan banyak karya syarah hadis yang lain yang menguraikan hadis-hadis yang ada di dalam Shahîh al-Bukhârî.21 Kendatipun banyak sarjana Islam dari berbagai penjuru dunia mencoba untuk membuat satu karya yang komprehensif terhadap Shahîh Bukhârî namun mereka tidak berhasil mencapai apa yang dihasilkan oleh Ibn Hajar. Upaya untuk mensyarahkan Shahîh al-Bukhârî tersebut telah dimulai sejak pertengahan abad keempat Hijriyah. Namun demikian, sebagaimana yang dikatakan lbn Khaldûn, karya-karya yang dihasilkan hingga penghujung suku abad ke-8 H. itu kurang memadai. Ketika menulis Fath al-Bârî , Ibn Hajar menulisnya setiap hari sedikit demi sedikit secara gradual. Setelah itu ia menyerahkan tulisannya kepada anak-anak muridnya untuk disalin. Satu kali dalam seminggu Ibn Hajar melakukan diskusi di seputar tulisannya tersebut. Di sini terjadilah dialog dengan Ibn Hajar, khususnya kasus-kasus yang samar dan pelik dengan para muridnya. Dari diskusi itu Ibn Hajar melakukan perbaikan, pengurangan, dan penambahan.22 Dalam Fath al-Bârî, Ibn Hajar mengawali uraiannya dengan melaporkan isnad dari 4 orang yang menyimak Shahîh al-Bukhârî, dan sekaligus merupakan pengikut Bukhârî Penjelasan ini dapat dilihat secara langsung di dalam karya Ibn Khaldûn, Muqaddimah (Beirut: Dâr al-Jayl, t.t.), h. 1142. 20 Ibid, h. 322-3. 21 Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl, h. 42. 22 Al-Sakhâwî, al-Jawâhir wa al-Durar, fî Tarjamah Syaikh al-Islâm Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Cet. 2. Qâhirah: Majlis al-A‘lâ li al-Syû‘un al-Islâmiyyah, t.t. , 158. 19

241


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 yang telah membaca kitab Shahîh bersama dengan Bukhârî dan telah menyalin kitab ini, yaitu Hammâd ibn Syâkîr al-Nasawî (w. 290 H/902 M), Ibrâhîm ibn Ma‘qal al-Nasafî (w. 295 H/907 M), Abû ‘Abdillâh Muhammad ibn Yûsuf ibn Matar al-Firabrî (w. 320 H/ 932 M), dan Abû Talhah Mansûr ibn Muhammad ibn ‘Alai ibn Qarina al-Bazdâwî (w.329 H/ 940 M).23 Kitab ini diawali dengan mengetengahkan hadis, baru menjelaskan riwayat dan jalur sanad. Setelah itu menjelaskan kata-kata yang perlu penjelasan, dan diakhiri dengan syarah atau penjelasan hadis.

Memahami Hadis Antropomorfisme Antropomorfisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu kombinasi dari kata anthropos (manusia) dan morphe (bentuk). Kata ini (morphe) dipahami sebagai atribut dan karakteristik manusia yang diasumsikan (hanya milik manusia) dengan hewan, non-makhluk hidup, fenomena, benda atau konsep abstrak, seperti organisasi, komunitas, pemerintah dan lainnya seperti roh dan dewa. Dengan demikian, antropomorfisme adalah metafora (majaz) yang menjadi atribut dan karakteristik manusia kepada entitas selain manusia. Di dalam ajaran Islam, antropomorfisme, diidentikkan dengan “tasybîh” atau “tajassum”, sebagaimana yang terlihat pada tulisan Harun Nasution ketika membahas tentang sifat-sifat jasmani bagi Allah yang tertera di dalam al-Qur’an dan Hadis.24 Tasybîh berarti menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam pengertian teologis, tasybîh berarti penyerupaan Allah dengan manusia dalam bentuk dan sifat-sifat-Nya. Sedangkan tajassum berarti penggambaran kebertubuhan Allah seperti yang terdapat pada manusia. Hal tersebut sebagaimana yang terlihat di dalam definisi berikut, “Tasybîh adalah penggambaran tuhan dengan manusia, baik pada zat maupun pada sifatnya. Musyabbihah adalah kelompok yang menyerupakan Allah dengan makluk-Nya dan menyamakan-Nya dengan yang baharu.” Pada substansinya, tajassum dalam teologi Islam semakna dengan tasybîh, yaitu menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Sebab, pada tajassum ditemukan adanya keyakinan bahwa Tuhan memiliki jasad atau anggota tubuh sebagaimana manusia. Hal ini sesuai dengan yang disebutkan oleh al- Syahrastani sebagai berikut, “Demikianlah! sesungguhnya menyerupakan Tuhan dengan makhluk adalah menjadikannya setara di dalam bentuk dan keadaannya, demikian pula bahwa makhluk memiliki jism (tubuh), maka Tuhan juga memiliki jism dan memiliki sifat jismiyah (jismiyah). Karena makhluk membutuhkan ruang untuk jism-nya maka kelompok Musyabbihah pun menetapkan jism bagi Allah dengan ukuran tertentu dan juga memberikan batasan tempatnya. Oleh sebab itu, tajsim di sini adalah konklusi dari tasybîh. Sungguh, mereka Ibn Hajar, Fath al-Bârî, Juz I (Kairo: Dâr al-Fikr, 1383 H.), h. 2-3. Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1986), h. 137-139. 23 24

242


Abdul Hamid Ritonga: Hadis-hadis Antropomorfisme

menggunakan kedua istilah ini dalam satu standar (makna) dan menetapkan keduanya dalam makna yang identik.” 25 Jika antropomorfisme dipahami sebagai tasybîh dalam definisi di atas, maka seluruh mainstream aliran teologi Islam yang tergolong ke dalam Ahli Sunnah, tentu akan menolaknya. Sebab hal itu akan bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Penggambaran dan tindakan mempersamakan Tuhan dengan manusia, baik pada zat maupun pada sifat-Nya merupakan kemusyrikan. Di dalam al-Qur’an dengan tegas dikatakan bahwa tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan Allah. Karena itu, penggunaan term Antropomorfisme dalam ajaran Islam tanpa penjelasan yang khusus tentu tidak dapat diterima dari mainstream Ummat Islam. Menurut Ibn ‘Usaimin tasybîh ada tiga tingkatan. Pertama, tasybîh kâmil, semakna dengan tamsîl, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk. Misalnya, seseorang berkata, “Tangan-Nya sama seperti dengan tanganku,” sebagaimana yang dilakukan kelompok mujassimah dan kelompok-kelompok yang sepaham dengan mereka. Ini merupakan tasybîh kâmil (penyerupaan yang sempurna), yaitu penyerupaan kaifiyat (cara) dan makna sekaligus antara Tuhan dan makhluk-Nya. Pendapat ini dikafirkan oleh Ahli Sunah. 26 Kedua, tasybîh pada sebagian sifat, yaitu tidak menyamakan Allah pada kaifiyat (cara) dari sifat itu, namun penyerupaan hanya pada makna semata. Seperti ungkapan seseorang, “Kami tidak mengetahui bagaimana kaifiyat sifat Allah, namun makna sifat yang ada pada Allah tersebut ditemukan pengertiannya pada makhluk.” Dengan demikian, sifat itu ditemukan pada Allah dan ditemukan juga pada makhluk-Nya. Misalnya, Allah memiliki sifat sama‘ (mendengar), makhluk juga memiliki sifat sama‘ (mendengar). Namun demikian tidak sama sifat sama‘ bagi Allah dengan sama‘ bagi makhluk. Allah memiliki sifat kesempurnaan dalam sama‘ tanpa sedikit pun ada kekurangan, sementara makhluk tidak memiliki kesempurnaan dalam sifatnya. Kesamaan di sini hanya pada pengertian (makna) semata tidak pada kaifiyat dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, sifat sama‘ Allah tidak bisa disamakan dengan sifat sama‘ makhluk. Di sini, konsep-konsep tentang sifat Allah dipahami dari makna sifat yang ada pada manusia dengan catatan adanya ketidaksamaan. Memahami Allah, mau tidak mau, ditempatkan dalam makna “keserupaan pada makna” dan “ketakterbandingan pada kaifiyat dan hakikat” sekaligus.27 Ketiga, tasybîh makhluk dengan Allah, yaitu menyerupakan makhluk dengan Allah. Maksudnya, menetapkan bagi makhluk adanya satu sifat atau beberapa sifat yang seyogianya hanya ada pada Allah. Misalnya, Allah memiliki sifat ‘alim al-ghaib (mengetahui sesuatu yang gaib), lalu seseorang mengatakan bahwa dia mengetahui masalah-masalah yang Lihat al-Syahrastani, al-Milâl wa al-Nihâl (t.t.p.: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 105. Shalîh Ibn ‘Abd al-‘Azîz Alu al-Syaikh, Ittihaf al-Sa‘il bima fî al-Thâhawiyah min Masâ’il, Juz I (al-Maktabah al-Syâmilah, t.t.), h. 168. 27 Ibid. 25 26

243


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 gaib. Padahal sifat ini hanya ada pada Allah sebagaimana yang difirmankan-Nya di dalam surah al-Naml/27: 65,

Penyifatan makhluk dengan sifat-sifat yang hanya dimiliki Allah ditentang oleh Ahli Sunah karena hal itu menyelisihi tunjukan al-Qur’an dan Sunnah serta tidak sesuai dengan kenyataannya.28 Berdasarkan penjelasan di atas, maka makna antropomorfisme di dalam tulisan ini memiliki makna khas, yaitu mengacu kepada makna tasybîh pada bagian kedua dari pembagian yang dilakukan oleh Syaikh Ibn ‘Usaimin. Karena itu, antropomorfisme yang dimaksudkan adalah tasybîh pada makna tetapi tidak pada kaifiyat sifat tersebut. Berdasarkan hal ini, maka hadis-hadis antropomorfisme dipahami sebagai hadis-hadis yang menggambarkan sifat-sifat Allah yang maknanya ditemukan juga ada pada makhluk-Nya, namun berbeda pada kaifiyat dan kesempurnaannya.

Analisis terhadap Pemahaman Ibn Hajar al-‘Asqalânî terhadap Antropomorfisme dalam Hadis Ditemukan bahwa Ibn Hajar al-‘Asqalânî memiliki kecenderungan yang kuat untuk memberikan pemaknaan terhadap hadis antropomorfisme di luar makna literal redaksi hadis tersebut. Pemaknaan seperti ini dikenal dengan metode takwil. Dalam metode ini ditemukan pemaknaan di luar makna asal suatu kata atau redaksi agar sesuai dengan sesuatu yang dipahami atau diyakini oleh Ibn Hajar al-‘Asqalânî. Kajian terhadap takwil atas hadis antropomorfisme tersebut memiliki korelasi dengan pembahasan lainnya, khususnya tentang al-muhkam wa al-mutasyâbbih pada satu sisi dan al-haqîqah wa al-majâz pada sisi yang lain. Dalam pembahasan al-muhkam wa al-mutasyabbih dijumpai suatu kenyataan bahwa betapa dalam sumber teologi Islam, al-Qur’an dan hadis ada lafal dan redaksi yang mudah untuk dipahami dan ada lafal yang sukar untuk dipahami dan sukar diberikan pemaknaan sehingga membutuhkan penakwilan. Dalam pembahasan al-haqiqah wa al-majâz ditemukan suatu lafal atau redaksi yang memiliki makna literal dan makna metaforis yang membutuhkan penjelasan atau penakwilan. Dua rumpun pembahasan ini akan dijadikan landasan pemahaman untuk memahami metode takwil Ibn Hajar al-‘Asqalânî.

Aplikasi Takwil dalam Hadis Antropomorfisme Ibn Hajar al-‘Asqalânî melakukan takwil terhadap nash-nash yang terdapat di dalam hadis Rasul SAW., yang ditemukan di dalam Shahîh al-Bukhârî. hadis yang dimaksud adalah Ibid.

28

244











MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 menakwilkannya, dan inilah yang diperpegangi mazhab salaf. Dalam wacana Mujassimah, kata ‘ain yang ada dalam hadis di seputar Dajjâl mengindikasikan bahwa mata Allah sama dengan mata makhluk. Sebab, Nabi SAW. mengisyaratkan telunjuk ke matanya sendiri ketika menjelaskan masalah ini. Namun, tajsim ini dibantah oleh Ibn Hajar sendiri dengan merujuk kepada eksistensi manusia yang baharu dan Allah adalah qadîm. Tidak mungkin sesuatu yang bersifat baharu sama dengan zat yang bersifat qadîm.51 Jika dilihat dari konteks hadis yang disyarahkan oleh Ibn Hajar, masalah ini terkait dengan masalah Dajjâl yang memiliki satu mata (buta sebelah/celek) sementara Allah tidak celek (sebelah matanya buta) seperti Dajjâl tersebut. Jika ini adalah komparasi antara ‘ainullâh terhadap ‘ain Dajjâl yang buta sebelah, maka menakwilkan ‘ain dengan makna lain kelihatannya problematik. Sebab tidak ada arti komparasi itu di dalam sabda Rasul. Jika mata Allah ditakwilkan ke dalam makna metaforis, maka mata Dajjâl juga harus dipahami sebagai makna metaforis. Sebab, tidak mungkin melakukan komparasi antara makna hakiki dengan makna metaforis. Oleh sebab itu, apa yang dipilih al-Baihaqî dalam masalah ini, yaitu merujuk kepada pendapat Salaf, yaitu suatu tindakan menyerahkan hakikat makna ‘ain kepada Allah merupakan upaya agar terhindar dari kondisi takwil problematik. Namun dalam hal ini, walaupun tidak membantah Ibn Hajar tetap berusaha melakukan takwil terhadap kata ‘ain tersebut. Ibn Hajar menegaskan bahwa bermata sebelah (celek) adalah indikasi kekurangan, sementara tidak celek adalah dalil kesempurnaan. Ini adalah hanya sebuah contoh (tamtsîl) untuk mendekatkan pemahaman semata bukan untuk menetapkan adanya anggota tubuh bagi Allah.52 Dalam pada itu, kendatipun Ibn Hajar menunjukkan pembelaaannya kepada takwil, namun apresiasi Ibn Hajar kepada mazhab Salaf sangat kelihatan dalam masalah ini. Hal tersebut terlihat ketika ia mengutip pendapat Syihâb al-Dîn al-Suhrawardî. Tokoh yang dinukil Ibn Hajar itu mengatakan bahwa Allah telah memberitakan di dalam kitab-Nya dan di dalam Sunnah Rasul-Nya tentang istiwâ‘, nuzûl, nafs, yad, dan ‘ain, maka tidak dilakukan pendistribusian maknanya ke dalam tasybîh (menyerupakan Allah dengan makhluk) dan juga tidak ke dalam ta‘thîl (menafikan sifat itu bagi Allah). Sebab, jika tidak ada pemberitaan dari Allah tentu akal tidak mampu untuk membahasnya. Pendapat Suhrawardî tersebut mendapat dukungan pula dari al-Thîbî yang mengatakan bahwa pendapat Salaf adalah mazhab yang mu‘tamad.53 Ibn Hajar juga mengutip pendapat lainnya yang menjelaskan bahwa tidak ada sedikitpun riwayat yang bersumber dari Nabi SAW. dan dari seorang sahabat dengan redaksi yang benar-benar jelas (syarîh) tentang wajibnya melakukan takwil dan juga tidak ada riwayat yang mencegahnya. Mustahil Nabi SAW. yang memiliki sifat tablîgh (menyampaikan wahyu) dan amanah tidak menjelaskan bab ini jika Allah telah mewahyukan kepadanya. Para sahabat pun tidak mungkin menyembunyikan penjelasan yang mereka terima dari Ibid., XIII, h. 390. Ibid., Juz XIII, h. 390. 53 Ibid. 51 52

252


Abdul Hamid Ritonga: Hadis-hadis Antropomorfisme

Nabi SAW. secara berjamaah atau bersama-sama jika mereka mengetahuinya, sebab Nabi SAW. bersabda, “Hendaklah orang yang menyaksikan (syâhid) menyampaikan terhadap orang yang tidak menyaksikan (ghaib).” Dalam pada itu, di dalam sejarah ditemukan bahwa sahabat adalah generasi yang paling antusias mengikuti Sunnah Nabi SAW., tidak terkecuali di dalam masalah akidah. Namun dalam masalah sifat-sifat Antropomorfisme tidak ditemukan atsar yang sahih dari mereka yang menjelaskannya, sebagaimana yang dikatakan Ibn Hajar. Mereka hanya mengimani nash yang dijelaskan oleh al-Qur’an dan Sunnah berdasarkan apa yang dikehendaki Allah dengan melakukan tanzîh (penyucian) terhadap kesamaanNya dari makhluk.54 Dalam masalah hadis “Allah tidak buta mata sebelah seperti Dajjâl” –sebagaimana yang dijelaskan di atas, Ibn Hajar menyatakan bahwa seseorang boleh saja menggunakan redaksi itu dan melakukan seperti yang dilakukan oleh Rasul SAW. (menunjuk matanya) ketika menjelaskan masalah ini. Namun, ia mensyaratkan bahwa seseorang tersebut harus mengiktikadkan bahwa Allah Mahasuci dari sifat-sifat baharu; tindakan itu hanya sebagai mendekatkan paham (ta‘assi). Walaupun Ibn Hajar memperbolehkan sikap ta‘assi dalam masalah ini, namun yang paling utama (awlâ) adalah tidak melakukannya disebabkan sikap itu dikhawatirkan akan menjebak seseorang ke dalam syubhat tasybîh (menyamakan Allah dengan makhluk). Isyarat telunjuk Nabi SAW. ke matanya bukanlah menyamakan mata Allah dengan mata Nabi SAW, akan tetapi isyarat itu adalah menjelaskan keberadaan mata Dajjâl yang seyogianya adalah sehat namun menjadi buta sebelah yang mengindikasikan kedustaan propaganda Dajjâl sebagai tuhan. Di samping itu ia sendiri (Dajjâl) tidak bisa menolak kelemahan yang jelas pada dirinya. 55 Demikianlah terhadap hadis-hadis Antropomorfisme yang lain yang ditemukan di dalam Shahîh al-Bukhârî, ditakwilkan Ibn Hajar ke dalam makna yang layak untuk Allah dan tidak mengindikasikan kesamaan dengan makhluk, seperti tertawa dengan rahmat, kata qarîb ditakwil dengan al-‘ilm (ilmu) dan al-qudrah (kekuasaan), qadam (telapak kaki) ditakwil menjadi izlal (hinaan) terhadap objek, misalnya neraka.56 Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa sikap Ibn Hajar terhadap hadis Antropomorfisme dapat dilihat dari dua sisi. Satu sisi ia menghargai sikap Salaf al-Ummah yang tidak melakukan takwil dan menyerahkan hakikat dari sesuatu yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan hadis tentang masalah Antropomorfisme kepadaNya. Bahkan ia membela pendapat yang terkesan memojokkan Salaf, sebagaimana yang akan terlihat berikut ini. Pada sisi yang lain ia mengharuskan melakukan takwil terhadap ayat dan hadis Antropomorfisme agar Allah tidak dipahami sama dengan makhluk. Secara umum, Ibn Hajar menafsirkan hadis Antropomorfisme karena kebutuhan

Ibid. Ibid. 56 Ibid. 54 55

253


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 temporal umat yang cenderung menginginkan penjelasan untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya. Penakwilan merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar lafal (redaksi) terhindar dari kehampaan makna yang mengakibatkan kebingungan manusia karena membiarkan lafal tersebut terlantar tanpa makna. Di samping tindakan membiarkan lafal tanpa penjelasan sebagaimana yang dilakukan oleh ulama Salaf, akan membuka ruang penafsiran yang bebas dari orang awam dan orang-orang yang menginginkan liberalisasi pemikiran teologis. Jika hal ini terjadi maka meluaslah kerusakan dan hiresi paham teologis dengan alasan mengikut redaksi ayat dan Sunnah sebagaimana yang terjadi di dalam sejarah munculnya paham Musyabbihah dan Mujassimah. Oleh sebab itu, maka harus dilakukan pencarian makna yang sesuai dengan bahasa Arab dan sistem teologis yang terbangun di dalam paham Ahli Sunnah. Dengan demikian, penakwilan dilakukan agar akidah umat selamat dari penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya seperti yang dilakukan kelompok Musyabbihah dan Mujassimah tersebut.57 Kendatipun takwil diperkenankan namun hal itu dilakukan dengan syarat bahwa penakwilan harus diperankan oleh orangorang yang benar-benar mengetahui isi al-Qur’an, bahasa Arab, dan didukung oleh dalil atau qarinah. Dalam pada itu, sebagian ulama menyebutkan bahwa mazhab Salaf dikatakan lebih aman dan selamat (aslam) karena tidak dikhawatirkan jatuh ke dalam penafsiran dan penakwilan yang keliru. Adapun mazhab Khalaf dikatakan lebih kuat (ahkam) karena dapat mempertahankan pendapatnya dengan argumen aqli.58 Namun pengkategorisasian Salaf dan Khalaf kepada aslam dan ahkam memiliki kekeliruan subtantif. Sebab, bagaimana pun madzhab Salaf tetap menggunakan pemahaman yang mereka perlukan untuk memahami redaksi al-Qur’an dan hadis. Dalam pada itu, mereka juga menahan diri untuk tidak melakukan takwil karena alasan pemahaman teologis, yaitu agar tidak memberikan pemahaman yang jauh dari redaksi al-Qur’an dan hadis. Sementara ulama Khalaf melakukan takwil dengan alasan teologis juga, yaitu untuk menyelamatkan umat dari kekeliruan dan tasybîh. Namun mereka juga tidak serampangan memberikan penakwilan itu, mereka tetap juga meperhatikan makna lahir suatu lafal. Oleh sebab itu, Ibn Hajar al-‘Asqalânî mengatakan pembagian ini tidaklah lurus. 59

Analisis terhadap Sikap Ibn Hajar atas Hadis-hadis Antropomorfisme Dalam sub-bab ini akan diketengahkan tentang latar belakang mengapa Ibn Hajar al-‘Asqalânî mengikut pendapat khalaf yang melakukan takwil terhadap hadis-hadis antropomorfisme dan meninggalkan pendapat Salaf. Hal ini dilakukan untuk mengetahui alasan-alasan Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam mendukung pilihannya tersebut. Berdasarkan Ibid, h. 128. Ibid, h. 222. 59 Ibid,. 57 58

254


Abdul Hamid Ritonga: Hadis-hadis Antropomorfisme

hal ini, maka kajian akan merujuk kepada segala kemungkinan yang dapat dipahami dari alasan-alasan Ibn Hajar ‘Asqalânî tersebut, baik itu terkait dengan latar belakang kehidupannya maupun manfaat memilih takwil dalam masalah ini. Sebagaimana diketahui bahwa Ibn Hajar hidup pada era pemerintahan al-‘Asraf Nâsir al-Dîn Sya‘bân II (w.762 H./ 1361M.). Al-‘Asraf merupakan penguasa yang kedua puluh dua dari dinasti Mamluk yang berpusat di Mesir. Dinasti Mamluk eksis di Mesir dan Syria di antara tahun 648 H./ 1250 M.- 923 H./ 1517 M. Dinasti Mamluk terbagi kepada dua, yaitu Bahri (648 H./ 1250 M.-792 H./ 1396 M.) dan Burji (784 H./ 1382 M.- 922 H./ 1517 M.)60 Ibn Hajar hidup berada di bawah dua pemerintahan Dinasti Mamluk tersebut. Pemerintahan Dinasti Mamluk tidaklah berada pada situasi yang stabil secara politik, selalu saja ada pergolakan, namun dari aktivitas intelektual dan kesusasteraan Islam, tetap saja berjalan dalam sejarah yang menggembirakan. Setelah kejatuhan Bagdad pada tahun 656 H./ 1258 M, banyak pusat-pusat studi dan kajian-kajian ilmu pengetahuan telah dimusnahkan musuh Islam. Namun, dalam hal ini dikecualikan Mesir. Wilayah Afrika yang terdekat dengan Timur Tengah itu, merupakan satu-satunya negara Islam saat itu yang selamat dari serangan musuh. Karena itu, belakangan Mesir muncul sebagai pusat studi terdepan di bidang pendidikan dan kebudayaan. 61 Dalam pada itu, pada tahun 898 H./ 1492 M. Dinasti Umayyah telah jatuh ke dalam kekuasaan Kristen Spanyol di bawah pimpinan Aragon dan Latile. Ini menyebabkan ribuan orang Islam meninggalkan wilayah tersebut.62 Mesir merupakan salah satu wilayah yang menjadi pelarian kaum Muslim dari Spanyol. Penguasa Mesir saat itu memberikan perlindungan kepada orang-orang Islam dari Spanyol.63 Di antara orang-orang yang melarikan diri itu dijumpai sejumlah sastrawan, ulama, ahli astronomi, kedokteran dan lainnya. Hal ini telah memberikan dampak positif terhadap perkembangan aktivitas intelektual dan kesusastraan di Mesir, termasuk teologi. Oleh karena itu, bermunculan kembali sejumlah madrasah, halaqah, zawiyah dan pengajian di masjid. 64 Dalam suasana perkembangan keilmuan dan budaya inilah Ibn Hajar dan ulama sezamannya berkesempatan menimba ilmu dan mengembangkan keahlian dengan baik. Perhatian dan apresiasi yang tinggi dari beberapa orang Sulthan dalam Dinasti Mamluk terhadap ulama dan ilmu pengetahuan menjadi faktor penting lainnya yang mendukung perkembangan aktivitas intelektual pada masa itu. Ada beberapa hal membuat Mesir saat itu begitu maju dalam bidang keilmuan. Pertama, kehadiran ulama-ulama terkemuka ke Mesir sebagai pusat pemerintahan Mamalik, baik

Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: McMillan Publishing, 1970), h. 671. Ibid 62 Ibid, h. 845 63 Ibid. 64 Ibid. h. 687 60 61

255


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 dari Barat maupun dari Timur. Di wilayah Barat ummat Islam diserang oleh pasukan Kristen Eropa dan kebiadaban inkuisisi terhadap umat Islam. Banyak ulama dan cendekiawan yang lari ke Mesir untuk mendapatkan perlindungan dan melanjutkan karir keintelektualannya. Di wilayah Timur ummat Islam berada dalam kegoncangan politik dan sosial karena diserang oleh bangsa Mongol. Karena itu, tidak sedikit kaum Muslimin dari wilayah itu ke Mesir. Kedua, tersedianya harta wakaf umat Islam untuk memenuhi kegiatan pendidikan di Mesir. Sultan, Amir, dan para hartawan di kota itu berlomba-lomba membentuk pusat studi ilmiah. Ketiga, keuletan para ilmuan dalam mengumpulkan literatur dan mengembangkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Keempat, munculnya pusat-pusat kajian dan studi seperti madrasah, masjid, perpustakaan, halaqah, dan zawiyah. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika terjadi perkembangan keilmuan di Mesir waktu itu. Dalam era tersebut ditemukan ulama terkemuka seperti Ibn Khaldûn, Ahmad Ibn Muhammad Ibn Khallikan (w. 681 H.1282 M), Abû al-Fidâ’ Ibn Katsir (w. 773 H), al-Maqrîzî (w. 845 H./ 1441 M.), Ibn Tagribardî (w. 874 H./ 1470 M.), Ibn Taimiyah (w. 728 H./ 1328 M.). Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa Ibn Hajar hidup pada era ilmu pengetahuan dan aktivitas intelektual sangat berkembang. Di samping perkembangan keilmuan internal umat Islam, penetrasi keilmuan Yunani dan Persia ke dalam khazanah keilmuan Islam juga menjadi kenyataan sejarah yang telah berlangsung bebarapa abad sebelum Ibn Hajar al-‘Asqalânî. Dengan kata lain pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan rasio telah menjadi beban teologis. Karena pada masa Abbasiyah terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Yunani ke dunia Islam yang banyak mempengaruhi diskusi keilmuan Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dipahami dan dicerna akal. Berdasarkan hal di atas diskusi tentang keilmuan telah merambat ke dalam bidang teologis sebagaimana yang terlihat pada masa Imam Ahmad bin Hanbal di seputar kekadiman al-Qur’an. Diskusi-diskusi teologis itu terus berlangsung hingga masa Ibn Hajar yang sangat dekat dengan era perang salib. Karena itu pula, keberadaan teologi Islam berada pada dua sisi yang dinamis, yaitu antara mempertahankan ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami generasi Salaf dan upaya untuk menjawab penetrasi filsafat yang sarat dengan rasio. Ibn Hajar memiliki kecenderungan kuat untuk mengadaptasikan kedua arus ini ke dalam suatu kompromi. Ia tetap mengakui keberadaan nash-nash Antropomorfisme dan sekaligus memberikan pemaknaan terhadapnya sesuai dengan tuntutan teologis filosofis yang berkembang. Oleh sebab itu, ditemukan pemahaman terhadap ajaran-ajaran akidah yang manggabungkan antara dalil naqlî dan aqlî sekaligus. Sebagai contoh dapat dilihat pada pembahasan terhadap hadis Antropomorfisme yang lalu, di sana Ibn Hajar mendasari pendapatnya dengan hadis Nabi SAW., lalu hadis itu diadaptasikannya dengan paham teologis ‘Asy`ariyah. Misalnya, Ibn Hajar mengajukan nash-nash dari hadis Nabi SAW. tentang 256


Abdul Hamid Ritonga: Hadis-hadis Antropomorfisme

istiwa` bagi Allah, lalu hadis itu diterjemahkannya dengan makna di luar makna lahir nash. Inilah yang disebut takwil, seperti memaknai istiwa` dengan khalaqa. Kata khalaqa yang dijadikan takwil dari istiwa` mengacu kepada surah al-A`la, yaitu menyempurnakan ciptaanNya, bukan bermakna bersemayam atau duduk bersila sebagaimana makna awal istiwa`. Namun demikian makna di luar makna nash itu didukung pula oleh nash. Namun demikian, apa yang dilakukan Ibn Hajar di dalam Fath al-Bârî bukanlah sesuatu yang baru tanpa memiliki akar sejarah teologis sebelumnya. Kompromisasi antara dalil aqlî dan naqlî tersebut telah dirintis dan dibangun generasi sebelumnya, yaitu pemuka-pemuka teologis Asy‘ariyah, seperti al-Juwainî, al-Baqillanî, al-Ghazâlî, dan ‘Izz al-Dîn. Pada awalnya, kemunculan Asy‘ariyah tidak lepas dari ketidakpuasan terhadap pemahaman Salaf yang literal dan cenderung mengharamkan filsafat di satu sisi dan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang liberal pada sisi yang lain. Pemahaman Salaf sangat sukar untuk menjawab arus rasional yang dibawa oleh filsafat yang telah mengambil peran sangat besar dalam ranah keilmuan Islam saat itu. Oleh karenanya, mau tidak mau kenyataan tersebut tidak boleh diabaikan dan harus direspon secara keilmuan pula. Di samping itu, paham Muktazilah telah menafikan eksistensi literalitas nash secara absurd sehingga menjadikan nash di bawah bayang-bayang rasional yang seakan-akan nash-lah yang harus mendukung capaian-capaian rasio manusia. Selain, dari keinginan untuk mengadaptasikan ajaran literal Salaf dan rasional Muktazilah, pemihakan Ibn Hajar terhadap Asy‘ariyah dijumpai karena kondisi objektif yang mengitarinya. Ibn Hajar hidup (terjebak) di dalam suatu ruang sosial, politik, keilmuan, dan historis yang membuatnya tidak memiliki pilihan lain untuk tidak mendukung ajaran Asy‘ariyah. Secara sosial, masyarakat saat itu adalah orang-orang yang secara mayoritas mengikuti ajaran Asy‘ariyah. Sebab, pada masa itu eksistensi teologi Asy‘ariyah berada dalam kemapanannya setelah beberapa abad berbenturan dengan teologi Muktazilah. Secara politik, Ibn Hajar berada di dalam kekuasaan politik yang menganut paham Asy‘ariyah, bahkan ia terlibat di dalam kekuasaan rejim politik sebagai Hakim Agung. Secara keilmuan, Ibn Hajar telah berguru kepada pemuka-pemuka Asy‘ariyah pada zamannya. Hal ini secara psikologis dan keilmuan tentu mempengaruhi kerangka pikir Ibn Hajar. Secara historis, ia tidak bisa keluar dari tuntutan sejarah bahwa pada era ia hidup masyarakat tidak lagi berada pada kondisi sebagaimana kondisi generasi Salaf yang memiliki tingkat keimanan dan kepasrahan yang tinggi dan tidak suka memperdebatkan masalah agama. 65 Kendati pun Ibn Hajar berpihak kepada pemikiran takwil, yaitu pengikut ajaran Asy‘ariyah namun ia tetap menghargai pemikiran ulama Salaf yang tidak memberikan takwil kepada nash-nash yang mengindikasikan Antropomorfisme. Berdasarkan pembenaran ini, maka dapat dipahami bahwa keberpihakan Ibn Hajar terhadap mazhab takwil bukanlah karena alasan teologis an sich tetapi lebih besar kepada alasan sosial, politik, dan historis. Ditemukan di dalam ajaran Salaf agar tidak melakukan mira‘ dan banyak pertanyaan.

65

257


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Sebab, tanpa melakukan takwil, pada prinsipnya Ibn Hajar mengakui keabsahan akidah. Oleh sebab itu, keberpihakannya kepada pemikiran takwil bukanlah karena kekeliruan madzhab Salaf tetapi karena pertimbangan-pertimbangan kebutuhan temporal pada ranah sosial, politik, dan adaptasi teologis-filosofis.

Penutup Latar berlakang Ibn Hajar melakukan penakwilan terhadap hadis-hadis antropomorfisme disebabkan kondisi objektif sosial, politik, dan ajaran teologis yang melingkunginya. Ia hidup di dalam suatu zaman di mana keberadaan teologi Islam berada pada dua sisi yang dinamis, yaitu antara mempertahankan ajaran-ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang dipahami generasi Salaf dan upaya untuk menjawab penetrasi filsafat yang sarat dengan rasionalitas. Pada dimensi sosial, Ibn Hajar hidup (terjebak) di dalam suatu ruang sosial, politik, keilmuan, dan historis yang mengharuskannya mendukung ajaran Asy‘ariyah. Secara sosial, masyarakat saat itu adalah orang-orang yang secara mayoritas mengikuti ajaran ‘Asy‘ariyah. Sebab, pada masa itu eksistensi teologi Asy‘ariyah berada dalam kemapanannya setelah beberapa abad berbenturan dengan teologi Muktazilah. Secara politik, Ibn Hajar berada di dalam kekuasaan politik yang menganut paham Asy‘ariyah, bahkan ia terlibat di dalam kekuasaan rejim politik sebagai Hakim Agung. Secara kelimuan, Ibn Hajar telah berguru kepada pemuka-pemuka Asy‘ariyah pada zamannya. Hal ini secara psikologis dan keilmuan tentu mempengaruhi kerangka fikir Ibn Hajar. Secara historis, ia tidak bisa keluar dari tuntutan sejarah bahwa pada era ia hidup, masyarakat tidak lagi berada pada kondisi sebagaimana kondisi generasi Salaf yang memiliki tingkat keimanan dan kepasrahan yang tinggi dan tidak suka memperdebatkan masalah agama. Kendati pun Ibn Hajar berpihak kepada mazhab takwil, namun ia tidak menyalahkan pemikiran ulama Salaf yang tidak memberikan takwil kepada nash-nash yang mengindikasikan antropomorfisme, bahkan ia membenarkannya. Berdasarkan pembenaran ini, maka dapat dipahami bahwa keberpihakan Ibn Hajar terhadap mazhab takwil bukanlah karena alasan teologis an sich tetapi lebih besar kepada alasan sosial, politik, dan historis.

Pustaka Acuan Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. ’Anbâ’ al-Gumar. al-Maktabah al-Syâmilah, t.t. Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. Fath al-Bârî, Juz I. Kairo: Dâr al-Fikr, 1383 H. Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. Hady al-Sâri, Muqaddimah Fath al-Bârî. Kairo: Dâr al-Fikr, 1383 H. Al-‘Asqalânî, Ibn Hajar. Raf‘ al-‘Ishr ‘an Qudhah Mishr. Qaherah: al-Matba‘ah al-Âmiriyyah, t.t. 258


Abdul Hamid Ritonga: Hadis-hadis Antropomorfisme

Al-Bukhârî. Shahîh al-Bukhârî, Juz XXII. Beirut: Dâr Kutub ‘Ilmiyah, 1974. Al-Fadhl, Abû. Diwân Ibn Hajar al-‘Asqalânî. Beirut: Dâ‘irah al-Ma‘ârif al-‘Usmâniyyah, 1962. Al-Manâwi, ‘Abd al-Ra‘ûf. al-Yawâqit wa al-Durar fî Syarh Nukhbah Ibn Hajar. al-Maktabah al-Syamilah, t.t. Al-Sakhâwî, al-Daw‘ al-Lâmi’. al-Maktabah al-Syamilah, t.t. Al-Sakhâwî, al-Jawâhir wa al-Durar, fî Tarjamah Syaikh al-Islâm Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Cet. 2. Qâhirah: Majlis al-A‘lâ li al-Syû‘un al-Islâmiyyah, t.t. Al-Suyûthi, Tadrîb al-Rawî fî Syarh Taqrîb al-Nawawî. Madinah al-Munawarah: Maktabah al-Ilmiyyah, t.t. Al-Syaikh, Shalîh Alu. Ittihaf al-Sa‘il bima fî al-Thâhawiyah min Masâ’il, Juz I. al-Maktabah al-Syâmilah, t.t. Al-Syaikh, Shâlih Alu. Syarh Aqîdah al-Thahawiyah. t.t.p.: t.p., t.t. Al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min al-Ushûl. Riyadh: Dâr al-Fadhîlah, 2000. Al-Syibli, ‘Ali ibn ‘Abdil ‘Azîz ibn ‘Alî. al-Tanbîh ‘Alâ al-Mukhâlifat al-‘Aqîdah fî Fath al-Bârî. t.t.p.: t.p., t.t. Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: McMillan Publishing, 1970. Ibn ‘Abdillâh, Yâqût Hamâwî. Mu‘jam al-Buldân, Juz IV. Beirut: Dâr Ihya‘ Turasy al-‘Arabî, 1979. Ibn Khaldûn. Muqaddimah. Beirut: Dâr al-Jayl, t.t. Lewis, Bernard, et al. The Encyclopedia of Islam, Vol. III. London: 1986. Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press, 1986. Ziriklî, Khair al-Dîn. Al-A‘lâm, Qâmus Tarâjum Li asyhur al-Rijâl wa al-Nisâ min al-‘Arab wa al-Musta‘ribîn wa al-Mustasyriqîn, Juz I. Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malayin, 1974.

259


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

STRUKTUR PARADIGMATIK ILMU-ILMU KEISLAMAN KLASIK: Dampaknya terhadap Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku Keberagamaan Ichwansyah Tampubolon Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Padangsidimpuan Jl. H.T Rizal Nurdin, Km. 4,5 Padangsidimpuan, 22733 e-mail: ichwansyah.tampubolon@yahoo.com

Abstrak: Artikel ini mengkaji struktur paradigma Ilmu-ilmu keislaman klasik yang mendominasi diskursus intelektualisme Islam di dunia Islam Sunni. Secara epistemologis, dalam upaya meletakkan dasar-dasar keilmuannya, otoritas teks-teks kewahyuan dan pola pikir ulama salaf bercorak analogis (qiyâs), konsensus (ijmâ‘), dan intuitif (dzauqî) sangat mendominasi model pendekatan daripada penalaran akal secara filosofis. Secara ontologis, Ilmu Kalam, Fikih/Usul Fikih dan Ilmu Tasawuf lebih berorientasi pada transformasi nilai-nilai keislaman secara moral spiritual daripada upaya pemenuhan kebutuhan hidup dan peningkatan kesejahteraan hidup secara duniawi. Dalam pada itu, secara umum, pola pikir keilmuan Islam kasik itu berpengaruh terhadap pembentukan corak pemahaman, sikap dan perilaku umat beragama menjadi bersifat eksklusif, kaku, fanatik, tidak kreatif, dan anarkis. Abstract: Paradigmatic Structure of Classical Islamic Sciences, its Impact on Mindset, Attitude and Religious Experience. The aims of this article is to study the paradigmatic structure of the classical Islamic knowledge which had dominated the discources of Islamic intellectualism in the world of Sunni Muslim. Epistemologically, in order to contruct the principles of classical Islamic knowledge, the revealed textsand the thought patterns of ulama Salaf such as analogy (qiyâs), consensus (ijmâ’), and intuitive (dzauqî) had dominated. Axiologically, the purpose of classical Islamic knowlegde is more oriented to transform Islamic values and defense of “religious” in order to gain the here after happiness, howeverthe aspects of socially realistic “secular” life tends to be periferal.In general, both textual-bayânî and ‘irfâni paradigm which till now have been established in the world of Islamic education had affected the mindset, attitude, and conduct of Ummah’s religiosity in order to respon the problems, opportunities, and challenges of modernity and globalization.

Kata Kunci: sejarah Islam, tekstual-bayânî, irfânî, intelektualisme Islam klasik 272


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

Pendahuluan Ilmu-ilmu Keislaman klasik merupakan warisan (turâts) peradaban Islam yang ditransmisikan dan dikaji ulang secara intensif dan simultan oleh para cendekiawan Muslim dari masa ke masa sehingga menciptakan tautan mata rantai kebudayaan yang hidup (a living culture), khususnya di dunia Islam. Keterkaitan mata rantai intelektualisme itu pada gilirannya membentuk kebudayaan teks (hadharah al-nashsh) sebagaimana terwujud setidak-tidaknya dalam empat bidang ilmu, yaitu: Kalam, Fikih/Ushul Fikih, Falsafah, dan Tasawuf1 yang dirancang dan disusun pada era klasik-skolastik Islam, sekitar abad ke10 hingga abad ke-12.2 Dalam pandangan M. Abed al-Jabiri, keempat bidang Ilmu-ilmu Keislaman klasik itu memiliki karakteristik paradigmatik masing-masing, yaitu bercorak tekstual-bayânî (Kalam, Fikih/Ushul Fikih), burhânî (Falsafah), dan irfânî (Tasawuf).3 Namun, dari keempat disiplin ilmu itu, sejak berakhirnya era Ibn Rusyd (w. 1198) hingga kini hanya tiga bidang ilmu yang dilestarikan di dunia Islam Sunni, mencakup Kalam, Fikih/Ushul Fikih, dan Tasawuf, sedangkan Ilmu Falsafah dikucilkan dari kancah pengkajian Ilmu-ilmu keislaman. Berbeda halnya dengan dunia Islam Sunni, dunia Islam Syi‘ah tetap menghidupkan dan mengembangkan tradisi keilmuan rasional-filosofis dengan variasi corak pemikirannya yang sangat khas dan beragam sehingga mampu melahirkan beberapa filsuf terkemuka di hampir setiap abad. Jadi, sekalipun al-Ghazâlî (w. 1111) telah berupaya meredupkan lampu filsafat di dunia Islam Sunni, namun tidak sampai satu abad setelah serangan al-Ghazâlî itu, tradisi dan filsafat Ibn Sînâ (w. 1037) telah dihidupkan kembali dan dikembangkan dengan modifikasi iluminatif oleh Syihâb al-Dîn Suhrawardî al-Maqtûl (w. 1191) serta dipertahankan dan dikembangkan kemudian oleh Quthb al-Dîn al-Syîrâzî (w.1311). Demikian juga serangan terhadap filsafat Ibn Sînâ oleh Fakhr al-Dîn al-Râzî (w. 1209) telah dijawab oleh Nashir al-Dîn al-Thûsî (1274), seorang filsuf dan astronom Syi‘ah yang terkenal. Pemikiran filsafat juga dikembangkan oleh generasi intelektual zaman berikutnya yang tergabung dalam mazhab Isfahan, seperti Mir Damad atau Muhammad Baqir Astarabadi (w. 1632) dan muridnya Mullâ Shadrâ atau Shadr al-Dîn Syîrâzî (w. 1641), Mulla ‘Abd al-Razzâq Lahîjî (w. 1661) dan Mulla Faidz Kâsyânî (w. 1091), dan lain-lain hingga zaman kontemporer, misalnya Murtadha Mutahhari (1979), Muhammad Thabathaba`i (1981), Mahdi Ha`iri Yazdi, M. Taqi Misbah Yazdi, Shadr al-Baqir, dan Seyyed Hossein Nasr. Di tangan para filsuf inilah tradisi filsafat Islam dan ilmu-ilmu rasional lainnya dipelihara, diolah, dan dikembangkan secara sistematik sehingga mencapai tingkat kecanggihan Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, cet. 4(Jakarta: Paramadina, 2000), h. 201-252. M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h. 142-143. Bandingkan, Falur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997), h. 275. M. Abed al-Jabiri, Post-Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: LkiS, 2000), h. xxxix. 2 M. Arkoun, Al-Islâm: al-Akhlâq wa al-Siyâsah, terj. Hashim Shaleh (Bairut: Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1990). 3 M. Abed al-Jabiri, Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî (Bairut: Markaz Dirâsât al-Wihdah al-`Arabiyyah, 1989). 1

273


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 tertinggi. Konservasi dan pengembangan tradisi filosofis dan ilmiah inilah yang memungkinkan para filsuf Syi‘ah mampu membangun sistem-sistem filosofis besar, kokoh, dan independen, juga mampu menyusun metodologi filosofis yang cocok dengan semangat pencarian filosofis dan sesuai dengan perkembangan zaman. Sistem-sistem filosofis ini pada gilirannya memungkinkan mereka untuk mengadakan respons, dialog, dan bahkan koreksi yang konstruktif terhadap rekan filosofisnya dari dunia Barat. Thabathaba’i dan diteruskan oleh muridnya Murtadha Mutahhari berhasil dengan baik dalam berdialog atau mengkritisi dengan jitu paham Marxisme yang pernah dikembangkan di Iran oleh Partai Tudeh dan sangat berpengaruh terhadap kaum intelektual muda Iran.4 Di satu sisi, kekayaan khazanah intelektualisme Islam klasik itu membuktikan betapa peradaban Islam memiliki vitalitas, kreativitas, dan kemampuan adaptabilitas secara inklusif terhadap berbagai budaya dari segala penjuru dunia. Di sisi lain, khazanah keilmuan itu sekaligus menjadi warisan (turâs) yang sangat berharga dan penting kedudukannya bagi pembangunan peradaban umat manusia zaman kekinian dan yang akan datang. Namun, seiring dengan massifnya penyebaran Ilmu Kalam, Fikih/Ushul Fikih, dan Tasawuf di dunia Islam Sunni, khususnya, secara sadar atau tidak, tersebar pulalah pola pikir bercorak tekstualbayânî dan “irfânî di kalangan mayoritas umat yang pada gilirannya memengaruhi dan mendominasi cara pandang mereka dalam memahami berbagai persoalan kehidupan. Hal ini pada gilirannya ditengarai turut memengaruhi dan membentuk sikap dan perilaku keberagamaan umat Islam dewasa ini. Pada zaman kontemporer ini, sebagian besar umat Islam cenderung reaktif berhubungan dengan upaya menjawab kompleksitas persoalan yang muncul dan berkembang di zaman kekinian.5

Paradigma Kalam, Falsafah, Fikih, dan Tasawuf Paradigma Paradigma, secara etimologis, berarti matriks, disipliner, model/pola pikir, pandangan dunia (world view), konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, prosedur, dan tema pemikiran. Sementara secara terminologis, setidaknya terdapat dua puluh satu pengertian paradigma, di antaranya adalah seperangkat asumsi, tersurat maupun tersirat, yang berfungi sebagai

Setelah abad ke-7H/13M tradisi filsafat Islam masih tumbuh dan berkembang, khususnya di dunia Islam Syi‘ah, di antaranya Filsafat Illuminatif (Isyrâqiyyah) yang digagas oleh Suhrawardî al-Maqtûl dan teosofi al-Hikmah al-Muta‘âliyah yang digagas oleh Mullâ Shadrâ, Seyyed Hossein Nasr, “Filsafat Hikmah Suhrawardî,” dalam Jurnal Ulum al-Qur’an, Edisi ke-3/VII/1997, h. 52. Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 30-32. 5 Bandingkan dengan Ismail Raji al-Faruqi, “Islamization of Knowledge: Problems, Principles and Prospective,” dalamThe International Institute of Islamic Thought, Islam: Source and Purpose of Knowledge (Herndon, Virginia, U.S.A.: IIIT, 1988), h. 15-63, terutama h. 18-19. 4

274


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

dasar bagi gagasan-gagasan ilmiah,6 model-model fundamental atau kerangka pemahaman yang digunakan untuk mengatur suatu observasi dan penaralan,7 dan seperangkat asumsi metafisis, ontologis, epistemologis, teoretis, hukum-hukum, teknik-teknik aplikasi, dan sistem nilai yang dianut oleh suatu komunitas ilmiah sebagai kerangka konseptual untuk memahami dan memaknai fenomena-fenomema eksperimental maupun realitas sosial dalam kerangka pemahaman (frame of reference) yang sama, sehingga mereka dapat melangsungkan komunikasi antara satu dengan lainnya.8

Postulat Postulat adalah kebenaran-kebenaran atau proposisi yang tidak dibuktikan oleh ilmu yang bersangkutan, akan tetapi dipinjam dari ilmu lain, seperti metafisika. Metafisika adalah ilmu tentang prinsip-prinsip pertama berkenaan dengan hal-hal atau entitas-entitas yang berada di belakang/di atas dunia fisik (mâ ba‘d al-thabî‘ah/mâ fawq al-thabî‘ah), meliputi Tuhan sebagai sumber dari segala yang ada, konsep-konsep umum tentang wujud, kesatuan, jenis-jenis, aksiden-aksiden, alam akhirat, alam spiritual, dan entitas-entitas immaterial, di antaranya akal, jiwa, dan malaikat. Metafisika bertugas menguji, membuktikan kebenarankebenaran postulat dan menjadi dasar bagi hal-hal umum yang diperlukan oleh semua ilmu, termasuk di bidang etika.9 Postulat-postulat keilmuan di bidang Kalam, Fikih, dan Tasawuf, khususnya didasarkan atas informasi kewahyuan sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Postulatpostulat ketiga ilmu itu bersumber dari pengetahuan ilahiah yang disampaikan secara verbal (al-âyât al-kitâbiyyah/al-qauliyah) kepada umat manusia melalui risalah kenabian. Sedangkan, filsafat Islam postulat-postulatnya berasal dari penalaran akal yang kemudian dilegitimasi melalui dalil-dalil kewahyuan. Ringkasnya, pada umumnya postulat-postulat intelektualisme Islam klasik itu bersifat theistic/fedeistic subjectivism.

Ontologi Secara ontologis, Ilmu Kalam memfokuskan kajiannya pada aspek ketuhanan (teologis) dan berbagai dimensi yang berhubungan dengannya misalnya Zat Tuhan, sifat-sifat Tuhan, Bernard S. Philips, Social Research, Strategy and Tactics (New York: Macmillan, 1971), h. 44. Earl Babbie, The Practice of Social Research (Belmont: Wadsworth, 2001), h. 42. 8 T. Mautner (ed.), Dictionary of Philosophy (London: Pinguin Books, 1996), h. 408. Bandingkan, Thomas Kuhn, The Structures of Scientific Revolution (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). 9 Arthur Burts, The Metaphysical Foundation of Modern Science (New York: Doubleday Anchor Books, 1954). Charles Genequand, “Metaphysics,” dalam Seyyed Hossein Nasr, History of Islamic Philosophy (London and New York: Routledge, 1996), h. 783-801, terutama h. 784-785. Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007), h. 52-54. 275 6 7


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 perbuatan Tuhan, makhluk-makhluk gaib, iman, takdir, perbuatan manusia, dosa, pahala, unsur-unsur eskatologis dan kepemimpinan. Ilmu Falsafah memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan metafisik atau hal-hal yang bersifat perenungan tentang segala wujud secara radikal, kritis, rasional, komprehensif, dan universal. Ilmu Fikih memberikan perhatian utama terhadap sistem dan tata cara peribadatan secara formal kepada Tuhan, seperti salat, zakat, puasa, haji, dan juga mencakup hukum Islam, baik secara perdata maupun pidana, hubungan antarsesama manusia, seperti jual beli, wakaf, perkawinan, hubungan sosial-politik, dan sebagainya. Oleh karena itu, Ilmu Fikih lebih berorientasi eksoterik, mengenai hal-hal keagamaan yang bersifat lahiriah guna membangun tindakan praktis. Sementara Ilmu Fikih/Ushul Fikih menginferensi nilai-nilai yurisprudensial berdasarkan dalil-dalil kewahyuan.Ilmu Tasawuf memberikan perhatian khusus terhadap aspek kejiwaan-spritualistik. Ia lebih menekankan aspek esoterik atau kedalaman spiritualitas batiniah pengalaman keberagamaan Islam. Ilmu Tasawuf membidangi segi-segi penghayatan dan pengalaman keagamaan yang lebih bersifat pribadi, sehingga titik tekan orientasinya pun bercorak ruhaniah.

Epistemologi Secara epistemologis, Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih/Ushul Fikih menggunakan model penafsiran dan pemahaman secara analogis (qiyâs) dalam membahas berbagai ajaran dasar kewahyuan, khususnya persoalan-persoalan akidah dan syariah. Argumentasi-argumentasinya lebih banyak didasarkan pada teks-teks keagamaan daripada premis-premis logis yang ada di balik teks. Jadi, argumentasi kalam dan Fikih sangat erat kaitannya dengan dalil-dalil al-Qur’an dan hadis daripada argumentasi rasio. Kalaupun dalam hal ini digunakan kemampuan akal, maka hal itu lebih dimaknai sebagai penalaran analogis dengan didominasi oleh logika bahasa (lughawiyyah).Dalam analogi kebahasaan, kata asal (al-ashl) diposisikan sebagai rujukan atau acuan guna melahirkan kata baru/”cabang” (al-far’) yang “sebenarnya tidak ada” secara faktual. Kedudukan kata baru/”cabang” (al-far`) yang diperoleh hanyalah sebagai hipotesis teoretis, bukan sebagai sebuah data induktif atau tidak berasal dari pengalaman empirik. Karena itu, kata baru/”cabang” (al-far`) yang dihasilkan dari metode analogi itu merupakan suatu “kemungkinan” (al-mumkin), ia mungkin diadakan selama terdapat suatu kata asal (al-asl) yang menjadi rujukannya.10 Demikian pula halnya berkenaan dengan lafaz dan makna (al-lafzh wa al-ma‘nâ). Teks terbentuk dari kata-kata yang memiliki lafaz dan makna tertentu, bersifat umum (‘âmm) maupun khusus (khâshsh), memiliki banyak makna (musytarak), bermakna hakiki (haqîqî) kiasan (majâzî), perumpamaan (mutasyâbih), tertentu (muhkam), tampak nyata (zhâhir), tersembunyi (khâfî) dan menyeluruh/global (mujmal). Hubungan antara lafal (teks) dan makna (isi) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan secara monistik, 10

Al-Jabiri, Post-Tradisionalism, h. 67.

276


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

sehingga tidak ada kemungkinan perbedaan pendapat dalam memahami teks. Sebab, teks dengan maknanya merupakan satu kesatuan.11 Sementara itu, dalam hal ini penggunaan akal sebagaimana mestinya dicurigai dan dipinggirkan oleh karena dianggap dapat menjauhkan teks dari kebenaran maksud yang dikandungnya. Konsekuensinya, akal tidak difungsikan, misalnya,sebagai alat untuk menganalisis sesuatu secara kritis-kategoris, misalnya dari sudut sebab-akibat (idrâk al-sabab wa al-musabbab), esensi, substansi, manfaat, ruang, waktu, kuantitas, kualitas, genus dan korelasi. Wilayah kerja akal dibatasi sedemikian rupa dan peranannya dialihkan menjadi pengekang dan pengatur hawa nafsu, sebagai alat untuk membenarkan (fungsi justifikatif), mengulang-ulang (fungsi repetitif) guna mengukuhkan kebenaran teks. Potensi akal dibatasi hanya pada tataran “pengambilan kesimpulan berdasarkan lafaz atau bahasa teks atau melalui metode analogi (qiyâs). Artinya, penarikan kesimpulannya cenderung mengutamakan metode istintâjiyyah12yang lebih berorientasi pada pengambilan intisari atau hikmah dari dalil-dalil keagamaan secara tekstual. Dalam Ilmu Fikih, misalnya, penggunaan metode analogi (qiyâs) sering menjadi primadona dalam proses penentuan keputusan hukum (istinbâth al-hukm). Dalam konteks ini, para ahli Fikih (fuqahâ’) berupaya menganalogisasi hal-hal yang belum ada hukumnya dengan sesuatu yang sudah ditetapkan status hukumnya oleh teks/nashsh (qiyâs alghaib ‘alâ syâhid). Imam Syâfi‘î (w. 204H) sangat besar peranannya membakukan cara berpikir secara analogis ini, terutama menyangkut hubungan antara bentuk formal lafziyah dengan makna, dan antara bahasa dengan teks al-Qur’an. Imam al-Syâfi‘î sering diposisikan sebagai perumus “nalar Islam atau nalar Arab”. Di tangan Imam al-Syâfi‘î-lah hukumhukum bahasa Arab dijadikan acuan untuk menafsirkan teks-teks suci dengan menggunakan metode qiyâs. Atas dasar itu, satu-satunya metode penalaran yang digunakan untuk menarik kesimpulan tentang suatu kasus baru (al-far‘) adalah metode analogi (qiyâs), di mana nashsh dijadikan sebagai sumber rujukan/asal (al-asl). Metode analogi seperti ini lazim disebut dengan istilah qiyâs al-‘illah, yaitu suatu metode yang menganalogisasi suatu entitas yang lain (yang belum ada hukumnya) dengan suatu entitas yang tercantum di dalam teks atas dasar kesamaan sifat yang dimilikinya. Hal serupa juga terjadi di bidang Ilmu Kalam sebagaimana dikukuhkan oleh al-Asy‘ari (w. 324 H). Dalam hal ini, Ilmu Kalam menggunakan analogi berdasarkan argumentasi dialektik-tekstual (qiyâs al-dalâlah) dengan mengacu pada model pola pikir Stoik dan bukan lewat silogisme atau premis-premis logika (mantiq) sebagaimana yang dikembangkan oleh Aristoteles atau Plato.13 Artinya, di bidang kalam, sebagaimana yang digunakan oleh

Burhan Nurgiantoro, Teori Pengkajian Fiksi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995), h. 282. 12 Al-Jabiri, Post-Tradisionlism, h. xii. 13 Josep Van Ess, “The Logical Structure of Islamic Theology,” dalam Issa J Boullata, (ed.), 11

277


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 generasi awal mereka, analogisasi dunia riil terhadap dunia abstrak (istidlâl bi al-syâhid ‘alâ al-ghaib).14 Dalam hal ini, penalaran berangkat dari sesuatu yang nyata (dunia riil/ empirik) untuk mengukuhkan yang gaib (seperti masalah-masalah metafisik, keimanan dan eskatologis). Metode ini digunakan oleh al-Asy‘ari dalam melahirkan argumen-argumen tentang masalah-masalah ketuhanan yang sebenarnya juga merupakan kelanjutan dari argumen serupa yang berlaku di kalangan Mu‘tazilah. Di tangan Mu‘tazilah inilah persoalanpersoalan kalam terkait erat dengan metode-metode yang berlaku dalam bahasa, seperti qiyâs. Mereka mengunakan al-Qur’an, akal (qiyâs), dan ijma‘ sebagai basis epistemologisnya. Sebab, bagi mereka fungsi akal hanya “mengembalikan satu hukum cabang ke hukum asal”.15 Penalaran analogis melahirkan argumentasi bertipe dialektik (jadâliyyah). Tujuannya adalah untuk mempertahankan kebenaran teks secara dogmatik-apologetik. Tolok ukur kebenaran suatu kesimpulan dari sebuah penalaran analogis adalah kesamaan atau kedekatan realitas empirik dengan nash. Semakin dekat suatu kesimpulan dengan nash, semakin valid kebenaran kesimpulan itu dan sebaliknya. Oleh karena sangat terkait dan tergantung kepada nash, kesimpulan yang diambilnya tentang sesuatu pun bersifat terpisah-pisah secara atomistik (infisâl) tanpa mengkaitkannya dengan faktor-faktor atau unsur-unsur lain yang mengitarinya secara kontekstual, misalnya dari sudut ideologis, sosiologis, kultural, politik, dan lain-lain. Semua boleh dijadikan sebagai dasar penyimpulan (tajwîz) asal hal itu terwakili di dalam nash, tanpa mempertimbangkan sisi rasionalitas berdasarkan hukum sebab-akibat. Pola pikir tekstual-bayânî, dalam tataran tertentu, memiliki kemiripan dengan pola pikir deduktif Plato. Menurut Plato, segala sesuatu yang dapat diketahui oleh manusia berasal dari “ide-ide asal” (innead ideas), yaitu ide-ide yang tertanam dan melekat dalam diri manusia secara intrinsik-kodrati sejak awal mulanya. Manusia memiliki ide-ide bawaan yang sudah ada dalam dirinya sejak sebelum ia dilahirkan. Manusia tinggal mengingat kembali (recollection) ide-ide bawaan yang melekat begitu rupa dalam keberadaannya.16 Sedangkan perbedaannya, jika pola pikir deduktif model Plato didasarkan atas kemampuan intrinsik manusia, maka pola pikir deduktif model tekstual-bayânî didasarkan atas premispremis kitab suci secara tekstual. Artinya, pola pikir tekstual-bayânî semacam islamisasi pola pikir deduktif model Plato yang didasarkan atas ide-ide bawaan yang dimiliki oleh manusia secara intrinsik, diganti dengan pola pikir bayânî yang berpangkal atau berdasarkan pada teks kewahyuan. Konsekuensinya, pola pikir logika deduktif model Plato dapat dikritik dan dipertanyakan ulang oleh pola pikir manusia yang datang belakangan tanpa rasa takut

Anthology of Islamic Studies (Montreal Canada: Mc. Gill and Indonesia IAIN Development Project, 1992). 14 Al-Jabiri, Post-Tradisionalism, h. 89. 15 Ibid., h. xlii. 16 Edith Hamilton dan Huntington Cairns (ed.), Plato: The Collected Dialogues (USA: Princeton University Press, 1961).

278


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

dan segan, maka pola pikir deduktif keagamaan (Kalam dan Ushul Fikih) nyaris tidak boleh dipertanyakan ulang, dikritik, ditinjau atau ditelaah ulang. Hal ini semata-mata karena bahan dasar deduksi yang digunakan adalah ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi, sehingga produk rumusan pemikiran kalam pada umumnya telah dikunci rapat, tertutup, tidak dapat dikurangai atau diubah.17 Kemudian daripada itu, berbeda dengan pola pikir textual-bayânî di bidang Ilmu Kalam dan Ilmu Fikih, di bidang Ilmu Falsafah digunakan penalaran akal (logika) secara rasional dalam membahas dan menganalisis persoalan-persoalan yang dikajinya. Ilmu Falsafah diposisikan sebagai alat intelektualisme yang menanamkan kebiasaan dan melatih akal pikiran untuk bersikap kritis-analitis dan mampu melahirkan ide-ide segar yang sangat dibutuhkan untuk pengembangan filsafat itu sendiri maupun untuk pengembangan disiplin-disiplin keilmuan yang lain, tidak terkecuali berkaitan dengan persoalan-persoalan keagamaan dan teologis.18 Falsafah lebih memfokuskan tekanan pembahasannya pada premis-premis logis yang ada di balik teks. Falsafah lebih tertuju perhatiannya pada upaya pencarian makna, substansi, dan esensi pesan dalam teks-teks melalui penalaran logis. Selanjutnya, Ilmu Tasawuf mengedepankan intuisi/kemampuan rasa (qalb). Di satu sisi, ia muncul sebagai reaksi terhadap menyatupadunya pola pikir Kalam dan Fikih yang dianggap terlalu kering dan formal. Di sisi lain, ia muncul sebagai upaya mengkritisi pemikiran filsafat yang dianggap terlalu mementingkan akal dan menepikan hati (qalb) dan rasa (dzauq).19 Dalam pandangan M. Abid al-Jabiri, keempat disiplin ilmu keislaman klasik ini, khususnya Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fikih, dan Ilmu Fikih, tidak saja terkait dengan teksteks keagamaan (ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks hadis), bahkan seringkali sampai ke pola pikir ulama salaf dalam bentuk konsensus (ijmâ’) dan analogi (qiyâs) sebagaimana dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi Ushul Fikih klasik. Dalam pada itu, pola pikir ilmu-ilmu keislaman klasik juga sangat dipengaruhi oleh hukum-hukum bahasa Arab, terutama Ilmu Nahw/Ilmu Gramatika dan Ilmu Balâghah/Stilistika. Konsekuensinya, pola pikir epistemologi bahasa Arab (lughawiyyah) juga yang sangat dipengaruhi oleh kultur Arab (Badui) itu mengarahkan segenap mekanisme dan prosedur epistemologi ilmu-ilmu keislaman klasik. Ironisnya, menurut al-Jabiri, semenjak kodifikasi (tadwîn) bahasa Arab dilakukan oleh para ahli bahasa Arab, di antaranya: Abu Amr ibn al-A‘lâ (w. 154 H), Hammad al-Râwiyah (w. 155 H), dan Khalil ibn Ahmad al-Farahidi (w. 170 H), ruang lingkup “dunia” bahasa Arab telah mengalami penyempitan. Oleh karena dalam pen-tadwîn-an bahasa Arab mereka mengambil bahan-bahan materialnya terbatas dari kalangan Arab Badui, Arkoun, Al-Islâm, h. 172-172. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), h. 157-158. 19 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 142-143. 17 18

279


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 bukan dari komunitas penutur bahasa Arab lainnya. Padahal, masyarakat Arab Badui hidup dalam dunia yang sangat terbatas ruang lingkupnya. Kehidupan mereka masih sangat sederhana, primitif, nomaden, pedesaan (Badui), kasar, tertutup, dan inderawi. Atas dasar itu pula, al-Jabiri berkesimpulan bahwa kaum Arab Badui lah yang sebenarnya pencipta “dunia” orang Arab yang kaya dengan kata-kata, ungkapan, persepsi, dan imajinasi dan bahkan juga pada level pikiran dan perasaan. Padahal dunia mereka sangat terbatas, sempit, kering, dan miskin. Keadaannya mirip dengan dunia yang dipantulkan oleh bahasa Arab pada masa jahiliyyah, masa prasejarah bangsa Arab,20 sehingga ruang lingkup bahasa Arab secara tidak disadari sesungguhnya telah mengalami penyempitan.

Aksiologi Khazanah intelektualisme Islam klasik sebagaimana yang ditransmisikan atau diwariskan secara turun-temurun itu sesungguhnya merupakan teori-teori keilmuan yang dirumuskan dan disistematisasi21 oleh manusia (termasuk di dalamnya Nabi, sahabat, fuqahâ’, ushûliyyûn, failasûf). Oleh karena itu, faktor-faktor yang mengitari kehidupan mereka, seperti keadaan psikis/intelektual, tempat, waktu, kepentingan dan perubahan sosial, politik, ekonomi dan budaya turut memberi warna bagi rumusan-rumusan keilmuan yang mereka hasilkan. Konsekuensinya, tidak ada jaminan immunitas ilmu-ilmu keislaman dari unsur campur tangan “kepentingan” manusia di dalamnya. Namun, masyarakat Muslim pada umumnya tidak jarang menerimanya secara dogmatik tanpa kritik sama sekali. Bahkan, di antara komunitas Muslim ada yang memosisikannya sebagai “ideologi keagamaan” bahwa khazanah keislaman yang diwariskan oleh para ulama itu memiliki kesempurnaan dan tidak dapat diganggu gugat (ghayru qâbilin li taghyîr wa li al-niqâs) layaknya sebagai doktrin, dogma atau akidah. Ilmu Kalam, misalnya, lebih menekankan aspek pembenaran dan pembelaan akidah secara sepihak, sehingga coraknya bersifat doktrinal, dogmatik, tegas, tegar, keras, agresif, defensif, dan apologis. Ilmu Kalam digulirkan untuk menetapkan persepsi terhadap ideologi-ideologi religius melalui dalil-dalil ideologis berdasarkan asas-asas rasionalisme demonstratif, sehingga memungkinkan untuk memahami, memunculkan, dan membela ideologi Islam.22 Hal ini tidak terlepas dari tujuan pengajaran Ilmu Kalam itu sendiri, yaitu menanamkan paham keagamaan yang benar, sebagaimana diajarkan di madrasah-madrasah dan pesantrenpesantren. Kalaupun terdapat sebagian kalangan yang berupaya untuk “mengkaji dan mengembangkannya” secara ilmiah, aktivitas intelekutalisme tentang hal itu biasanya tidak jauh dari semangat apologetik-legitimatik dan menyebarluaskan paham atau mazhab Al-Jabiri, Post-Tradisionalism, h. xxxix, 59-65. M. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Posmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 79-94; Abdullah, Islamic Studies, h. 154. 22 Hasan Hanafi, Islamologi dari Teologi Statis ke Anarkhis, terj. Miftah Faqih (Yogyakarta: LKiS, 1992), h. 1. 280 20 21


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

tertentu, sebagaimana yang terwujud melalui tradisi syarah (penjelasan-penjelasan) dan tradisi hâSyi‘ah (komentar-komentar). Para sarjana Muslim yang hidup pada paruh akhir abad pertengahan mempelajari seluruh bidang pengetahuan melalui komentator-komentator yang ada ketika itu. Dalam perkembangannya, tradisi intelektualisme Islam berpola syarah dan hâsyiah itu melahirkan para sarjana Muslim bertipikal komentator dan sekaligus sebagai kolektor karya-karya komenter yang ada. Mereka secara garis besar terbagi kepada dua tipe, yaitu tipe pemikir yang komprehensif, dan tipe pemikir yang kurang atau tidak komprehensif. Pengkajian keilmuan seperti itu hanya memunculkan para sarjana bertipe ensiklopedik dan mereka sendiri tidak pernah menyumbangkan gagasan-gagasan baru. Fenomena ini menunjukkan bahwa kegiatan intelektual tidak dipandang sebagai suatu usaha yang bertujuan untuk mencari dan menemukan hal-hal yang baru sebagai suatu dorongan kreatif untuk menggapai pikiran-pikiran yang belum diketahui, akan tetapi lebih dipandang sebagai penyerapan secara pasif terhadap pengetahuan yang telah ada. Ringkasnya, kegiatan keilmuan berpola syarah dan hâsyiah ini, secara substantif tidak memberikan sumbangsih apa pun terhadap pengembangan keilmuan atau pemikiran Islam. Dalam perwujudannya, merujuk kepada hasil penelitian Aziz al-Azmeh dan Martin van Bruinessen,23 jenis karangan ulama dan ilmuan Islam abad pertengahan yang didominasi oleh tradisi syarah dan hâsyiah itu pada umumnya dapat dipastikan termasuk dalam salah satu jenis dari delapan jenis kegiatan keilmuan sebagai berikut, yaitu melengkapi teks yang belum lengkap; memperbaiki teks yang mengandung kesalahan; menjelaskan atau menafsirkan teks yang samar; meringkas (ikhtisar) dari teks yang panjang-panjang; menggabungkan teks yang terpisah-pisah tetapi saling berkaitan (namun tanpa ada usaha yang sistematis); menata tulisan yang masih simpang siur; mengembalikan kesimpulan dari premis-premis yang sudah diketahui; dan menerjemahkan ke dalam bahasa lokal. Model kegiatan ilmiah tersebut berhasil melahirkan karya-karya ilmiah dalam bentuk manuskrip-manuskrip atau dicetak dalam bentuk “kitab-kitab kuning” (al-kutub al-safra’), namun secara substantif “upaya pengembangan keilmuan keislaman” ketika itu cenderung berjalan di tempat untuk tidak mengatakan mengalami stagnasi atau proses pembakuan/pembekuan keilmuan. Dalam pada itu, transmisinya melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional, seperti halaqah, zâwiyah, khandaqah, meunasah, surau, pesantren, madrasah dan universitas (jamiah), pun sering dipengaruhi oleh dan (atau) berorientasi kepada pentradisian dan penyebarluasan mazhab tertentu. Tujuannya tidak lebih dari upaya pentransmissian secara turun-temurun dan upaya mempertahankan khazanah intelektualisme Islam klasik yang sudah terpatri dengan kokoh dalam tradisi turâts tersebut apa adanya. Sedangkan kritik dan mempertanyakan ulang mana aspek normativitas dan mana aspek historisitasnya guna pengembangan temuan-temuan keilmuan

Sebagaimana dikutip dalam Martin van Bruinessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1995), h. 31. 23

281


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 terhadapnya, dipandang oleh mayoritas umat sebagai sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh karena hal itu ditengarai dapat menggoyahkan sendi-sendi keilmuan yang dipandang sudah mapan dan bahkan sakral. Di zaman modern, muncul upaya untuk mereaktualisasi khazanah intelektualisme Islam klasik itu sebagaimana yang diusung oleh gerakan tradisionalisme Islam. Di samping menggunakan pendekatan tekstual, tradisionalisme Islam sebagaimana yang dipelopori oleh S.H. Nasr, misalnya, juga mulai menggunakan pendekatan filosofis sekalipun hal itu lebih ia tekankan pada aspek iluminatif. Yaitu, suatu usaha yang ingin menggabungkan kemampuan akal dan rasa dalam upaya mencapai keutuhan pemahaman terhadap realitas. Akan tetapi, secara keseluruhan, model pendekatan filosofis-iluminatif itu kurang begitu simpati terhadap pendekatan sosial dan pendekatan sejarah terhadap realitas keberagamaan manusia,24 sehingga kontribusinya dalam melahirkan ilmu-ilmu keislaman dalam konteks kekinian tidak banyak memberikan sumbangsih, terutama berkenaan dengan persoalanpersoalan kehidupan iptek, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Sekalipun demikian, upaya reaktualisasi khazanah intelektualisme Islam klasik sebagaimana yang diusung oleh gerakan tradisionalisme Islam itu tampaknya lebih ditujukan untuk menggali solusi bagi kegersangan spiritualisme keagamaan dan keterpecahan kepribadian manusia di zaman modern yang didominasi oleh pola pikir sekularisme-matarialistik.

Pola Interaksi Paradigma Kalam, Fikih, Falsafah dan Tasawuf Sekalipun keempat disiplin ini memperoleh inspirasi awal dari al-Qur’an dan hadis, pola pikir konsensus (ijmâ‘) dan logika bahasa Arab (pola pikir qiyâs), tidak berarti hal itu dapat menyatukan visi keilmuan di antara mereka. Sekalipun berada dalam satu rumpun ilmu-ilmu keislaman, dalam praktiknya keempat disiplin itu hampir-hampir tidak mau akur. Bahkan, klaim supremasi interpretasi yang dimiliki oleh satu disiplin ilmu atas disiplin ilmu yang lainnya sering kali terjadi dan bahkan tidak jarang berpola persekutuan secara kolaboratif. Secara umum, di satu pihak pola interaksinya berwujud persekutuan antara pola pikir Kalam dengan pola pikir Fikih. Persekutuan secara kolaboratif antara keduanya samasama bermuara pada penekanan finalitas, ketertutupan (closed system), ketetapan (stationary), dan eksklusivitas pemikiran Islam. Di pihak lain, pola interaksinya berbentuk persekutuan antara pola pikir tasawuf dengan falsafah di mana keduanya sama-sama menekankan sifat ketidakfinalan suatu pemikiran (open ended), keterbukaan (open system), kesedang berprosesan (on going process), dan inklusivitas pemikiran Islam. Kolaborasi pola pikir tasawuf dan falsafah menitikberatkan dimensi kedalaman, psikologis, transhistorikalitas-esoterikspritualitas yang tidak harus terbelenggu dan terjebak oleh keberagamaan secara eksoteris24

75-95.

Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Sacred (Lahore: Suhail Acakemy, 1988), h.

282


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

organisatoris. Filsafat dan tafsir bercorak esoterik-sufistik pernah dipandang sinis oleh para ulama yang menggeluti dan mengajarkan Ilmu Fikih/Ushul Fikih dan Ilmu Kalam, baik dalam tradisi Islam Sunni maupun Islam Syi‘ah. Bahkan, pemangku antarilmu keislaman tidak jarang saling menafikan.25 Pertentangan antara kelompok-kelompok itu tidak terlepas dari perbedaan metode yang mereka gunakan dalam memaknai teks-teks keagamaan. Para filosof Muslim dan juga para sufi pada umumnya berpegang pada model pemaknaan secara allegoris atau ta`wîl terhadap ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks hadis. Sedangkan kelompok fuqahâ’ dan kalangan mutakallim pada umumnya berpegang pada makna literaltekstualis. Perbedaan metode ini pada gilirannya berdampak terhadap munculnya sikap saling reaktif bercorak fanatisme mazhab. Dalam pandangan kelompok nonliteralis (kalangan filosof dan sufi), kelompok literalis (fuqahâ’ dan mutakallim) terlalu memaksakan keunggulan otoritas teks-teks kewahyuan atas penggunaan nalar manusia. Sebaliknya, dalam pandangan kelompok literalis, kelompok nonliteralis memperlakukan teks-teks kewahyuan secara tidak lazim, sulit dicerna, bid’ah, sesat, dan bahkan kufur.26

Pengaruh Pola Pikir Tekstual-Bayânî/Irfânî terhadap Pembentukan Corak Pemahaman, Sikap, dan Perilaku Keberagamaan Umat Dalam perkembangannya, keragaman pola kolaborasi sistem dan pola pikir dalam tradisi keilmuan Islam klasik pada gilirannya berdampak terhadap terbentuknya institusiinstitusi keagamaan yang saling bergesekan atau berhadap-hadapan antara satu dengan yang lain. Bahkan, secara hegemonik antarpenganut epistemologi masing-masing tidak jarang saling mengkafirkan, saling memurtadkan, dan saling mensekulerkan. Fenomena tersebut dapat diperhatikan dalam sejarah pemikiran Islam klasik yang tumbuh dan berkembang tergantung pada konteks dan cuaca pergumulan sosial-politik yang sedang dihadapi oleh umat Islam pada suatu era dan wilayah. Secara teoretis, pendekatan tekstual-bayânî cenderung menggiring seseorang kepada pola pikir keagamaan yang bersifat absolut, yaitu klaim kebenaran terhadap pemikirannya sendiri secara mutlak. Model pemikiran ini selalu mengambil jarak sejauh mungkin dari campur tangan dan intervensi orang lain. Pola pikir model ini sangat kaku dan tidak mengenal kompromi. Model pemikiran ini mudah terjebak dalam pensakralan pemikiran keagamaan (taqdîs al-afkâr al-dînî). Pola pikir model ini melupakan dimensi ruang dan waktu kesejarahan (târîkhiyyât) dari pemikiran keagamaan. Selanjutnya, para pemangku model pemikiran seperti ini pada gilirannya sangat

Abdullah, Islamic Studies, h.154; Hanafi, Islamologi, h. 4. Muhammad Taqi’ Misbah Yazdi, Philosophical Introduction: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy (New York: University of Binghamton, 1999), h. xv-xvi. 25

26

283


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 rentan tergiring kepada sikap dan perilaku fanatisme buta (taqlîd), cenderung menyerang pola pikir dan keimanan yang dimiliki oleh orang lain (al-‘uqûl al-mutanâfisah), dan sulit diajak dialog bertukar pikiran secara jernih dengan kesediaan untuk melakukan proses take and give. Para penganut pola pikir keagamaan yang bercorak absolut teguh dalam bersikap, tidak luwes dalam berkomunikasi dan bergaul dengan sesamanya. Pemahaman teks-teks wahyu secara tekstual (harfiyyah) menjadi stumbling block untuk melakukan kajian sosial dan budaya lebih lanjut terhadap perilaku keagamaan.27 Selanjutnya, dalam kaitannya dengan hubungan antarumat beragama, oleh karena sifatnya yang kaku dan rigid, pola pikir tekstual-bayânî, jika tidak berhati-hati, dapat mengarah pada pembentukan sikap eksklusif-absolut dalam beragama, terlebih-lebih ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa, dan masyarakat yang beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas yang berlainan agama, corak argumentasi penganut agama yang memiliki pola pikir tekstual-bayânî biasanya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, opologetik, dan polemik, sebagaimana yang biasa digunakan oleh para ahli Fikih (fuqahâ’), para ahli Kalam (mutakallimûn), para ahli tata bahasa Arab (nuhâ). Dalam skala yang lebih luas, khususnya ketika berhadapan dengan perubahan dan perkembangan zaman modern, pola pikir deduktif-tekstual-skriptual-bayânî sebagaimana yang biasanya mewarnai pola pikir kalam dan Fikih akan mengalami kesulitan yang luar biasa. Dominasi pola pikir ini menjadikan sistem epistemologi ilmu-ilmu keislaman klasik kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual, aktual, dan faktual. Kalau pun dipaksakan, sudut pandangnya kurang tajam dalam melihat dan mencermati fenomena alam, budaya, dan sosial kemasyarakatan yang selalu berubah dan berkembang dengan sangat cepat dan massif.28 Oleh karena itu, pengembangan metodologi ilmu-ilmu keislaman klasik sangat dimungkinkan dan harus dilakukan agar tidak mengalami penyempitan horizon cara pandang terhadap realitas keberagamaan manusia di dunia kekinian yang semakin kompleks dan global.

Kritik terhadap Pola Pikir Tekstual-Bayânî dan ‘irfânî Pola pikir model tekstual-bayânî berikut sikap dan perilaku keberagamaan secara eksklusif mungkin bagus dan terpuji untuk wilayah keagamaan yang bersifat homogen. Dalam struktur masyarakat yang homogen itu, pola pikir, sikap, dan perilaku keagamaan mereka selalu memandang bahwa ajaran agama seluruhnya bersifat tauqify. Unsur wahyu lebih dikedepankan dari pada akal. Teks lah yang dianggap sebagai satu-satunya otoritas yang memiliki kekuasaan secara hegemonik. Sedangkan akal dalam hal ini sifatnya pasif 27 28

415.

Abdullah, Islamic Studies, h. 82-84. Hasan Hanafi, Dirâsât Islâmiyah (Kairo: Maktabah al-Anjilu al-Misriyyah, t.t.), h. 393-

284


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

berfungsi sebagai abdi dari teks, akal tidak memiliki kreativitas atau kebebasan intelektual sama-sekali. Perananakal pikiran dalam memahami dan menafsirkan hal-hal yang terkait dengan soal keberagamaan manusia sangat terbatas. Fungsi dan peranan akal diletakkan pada posisi pengukuhan dan pembenaran terhadap otoritas teks. Bahkan, hal-hal yang dicurigai sebagai produk akal cepat-cepat dituduh sebagai bid‘ah yang sesat menyesatkan bahkan dapat menggiring seseorang ke neraka. Artinya, pendekatan tekstual-bayânî lebih menekankan dimensi kepatuhan secara otalitas (ta‘abbdudy) daripada dimensi rasionalitas (ta‘aqquly). Berkaitan dengan persoalan ini, secara epistemologis, dapat pula dikemukakan kritikan Ibn Hazm al-Andalusi yang sering digolongkan oleh para penulis sebagai tokoh Fikih yang literalis (zhâhirî)29 itu. Ia tidak saja menyerang sikap bertaklid30 kepada mazhab-mazhab Fikih, akan tetapi juga melontarkan kritikannya terhadap prinsip-prinsip epistemologi bayânî. Metode qiyâs, menurut Ibn Hazm hanya berlaku dan dibenarkan dalam konteks satuan unsur-unsur yang punya jenis yang sama dan sepadan. Artinya, qiyâs dapat diterima dalam kategori yang mempertemukan keseluruhan individu atau partikularitas dalam satu karakter dan sifat yang sama. Sebaliknya, jika dipakai dalam satuan-satuan atau individu-individu yang berasal dari kategori yang berbeda atau tidak dipertemukan oleh satu karakter wujud yang sama, qiyâs tidak dapat diterima atau tidak berlaku. Dalam ilmu Fikih, misalnya, fuqahâ’ menganalogikan antara satu wujud dengan wujud lainnya yang berbeda jenis dan karakter satu sama lain, sementara yang dikedepankan dalam hal ini hanyalah aspek keserupaan atau kemiripan di antara keduanya. Padahal, Namun, pandangan seperti itu, dalam hemat al-Jabiri merupakan sebuah kesesatan yang disengaja atau tidak disengaja. Bagi al-Jabiri, Ibn Hazm adalah seorang tokoh besar perintis munculnya satu babak baru dalam sejarah tradisi pemikiran Islam. Literalisme yang dikedepankan Ibn Hazm adalah literalisme yang kritis dan berdimensi epistemologis. Disebut kritis, oleh karena Ibn Hazm memberontak terhadap mazhab-mazhab fikih resmi, terlebih-lebih terhadap otoritas negara yang melegitimasi satu mazhab fikih tertentu. Selanjutnya, disebut berdimensi epistemologis, oleh karena argumentasinya bertitik tolak dari pandangan yang integral dan utuh tentang akidah dan syariah dengan mengadopsi logika, ilmu-ilmu alam, dan filsafat. Jadi, literalismenya bukan literalisme tekstual yang mentaklid kepada orang lain. Al-Jabiri, PostTradisionalisme, h. 119-121. 30 Menurutnya, siapa pun tidak diperkenankan untuk bertaklid kepada seseorang, baik terhadap faqih yang masih hidup maupun yang sudah wafat. Setiap orang berhak melakukan ijtihad sesuai dengan kemampuannya. Mereka yang bukan berkategori ulama, berkewajiban bertanya kepada para ulama yang lebih tahu tentang persoalan-persoalan agama. Selanjutnya, para ulama harus menyampaikan ajaran-ajaran agama berserta dalil-dalilnya kepada si penanya sehingga bisa mengetahui dengan pasti objek yang ditanyakannya itu. Dengan cara inilah sang penanya telah memikul suatu tanggung jawab dan sekaligus telah melakukan ijtihad berdasarkan kemampuannya. Artinya, sekalipun tidak sampai pada tataran mujtahid mutlak, Ibn Hazm setidaknya telah membuka ruang bagi seseorang untuk cerdas (ittiba’) dan bertanggung jawab dalam beragama. Dalam salah satu pernyataan, Ibn Hazm menegaskan, “Ketahuilah, siapapun yang bertaklid kepada seorang sahabat, tokoh kharismatik, seorang raja, atau bertaklid kepada Abu Hanifah, al-Syafi`i, Sufyan al-Tsauri, al-Auza`i, Ahmad ibn Hanbal, atau Daud al-Zahiri, mereka semuanya tidak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh orang-orang yang bertaklid itu”. Ibid. 29

285


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 menurut Ibn Hazm, unsur keserupaan atau kemiripan di antara wujud tidaklah mengharuskan adanya persamaan dalam hukum-hukumnya. Sebab, seandainya dibenarkan menerima hal seperti itu, konsekuensinya sesuatu yang dipersamakan itu akan memiliki status hukum yang sama. Di sisi lain, kalaupun terdapat argumen yang menyatakan bahwa “ suatu bentuk kemiripan yang lebih besar dapat dijadikan sebagai dasar atau alasan (`illah) bagi lahirnya suatu ketentuan hukum, sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas fuqahâ’, dalam hemat Ibn Hazm hal itu hanyalah rekaan semata (zhan). Sementara bagi Ibn Hazm, persoalan agama haruslah didasarkan atas suatu kepastian, bukan dugaan, dan kepastian itu hanya dapat diperoleh dari teks agama (wahyu). Selanjutnya, berkaitan dengan metode qiyâs yang lazim digunakan di bidang ilmu kalam oleh para mutakallim, Ibn Hazm juga menilainya tidak sah. Sebab, hakikat wujud dunia riil atau tampak oleh panca indera (alsyâhid) yang bersifat insaniah berbeda dengan dunia abstrak (al-ghaib) yang bersifat ilahiah. Bagaimana mungkin wujud sesuatu dianalogikan dengan wujud sesuatu lainnya padahal di antara keduanya terdapat perbedaan “dunia” yang sangat tajam. Dunia manusia adalah dunia yang penuh dengan kekurangan dan kerusakan, sedangkan dunia ilahiah adalah dunia penuh kesempurnaan dan kekekalan. Atas dasar pemikiran ini, Ibn Hazm menyatakan bahwa metode qiyâs dalam Ilmu Fikih atau Ilmu Kalam merupakan metode yang tidak absah. Bila merujuk pada diskursus wacana kontemporer sebagaimana yang dikaji oleh pendekatan hermeneutik, ternyata beragam model pemaknaan terhadap teks sangat dimungkinkan, tidak semata-mata melalui pola pikir bayânî. Secara hermeneutik, makna teks tidak semata-mata ditentukan oleh pengarang teks, akan tetapi tidak bisa dilepaskan dari bahasa manusia dan teks itu sendiri. Jika menggunakan pendekatan ini dalam hal pemahaman terhadap perintah-perintah Tuhan (divine instructions), jelas bahwa keterkaitan antara pengarang (Tuhan), teks (kitâbah, qawliyah), dan pembaca tidak dapat dipisahkan. Di sini lah mulai muncul persoalan oleh karena pesan-pesan ilahiah yang bersifat mutlak disampaikan melalui simbol-simbol atau teks kebahasaan tertentu yang memerlukan bantuan dan dukungan asosiasi-asosiasi tertentu, gambaran-gambaran, emosi para pengguna dan pendengar bahasa yang berbeda-beda dan bisa saja berubah dari waktu ke waktu. Artinya, bahasa memiliki realitas objektifnya sendiri, maknanya tidak dapat ditentukan secara efektif dan sepihak oleh pengarangnya maupun pembacanya. Begitu sebuah teks dilahirkan, ia memiliki dunia kehidupan, hak-hak, dan integritasnya sendiri. Sedangkan teks yang tidak mampu membebaskan diri dari tekanan kekuasaan pengarangnya atau tidak dapat memberi inspirasi segar bagi para pembacanya (reader) atau tidak mampu merangsang dengan berbagai nuansa makna yang terkandung di dalamnya akan mengalami nasib yang menjemukan, mudah ditebak, kaku, dan tertutup. Sedangkan dominasi yang berlebih pada salah satu pihak akan menyebabkan kebuntuan intelektual. Hanya teks yang mampu menjaga keterbukaannya yang akan tetap hidup, relevan, dan memiliki resonansi yang kuat. Paradigma ‘irfânî, karena sifatnya “sebagai pengetahuan yang diperoleh (al-hudhurî/ ladûnî)” sering dipandang sebagai penyebab terhambatnya laju daya kreativitas dalam 286


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, dalam hal ini posisi manusia lebih cenderung bersifat pasif dan nrimo daripada kreatif dan positif,31 menunggu munculnya ilham secara spritualistik. Kemudian daripada itu, jika metode textual-bayânî lebih menonjolkan dimensi materialistik-eksoterik dari berbagai simbol dan kategorisasi suatu objek, maka metode ‘irfânî lebih menonjolkan spritualitas-esoterik. Dampaknya, pengetahuan ‘irfânî sangat kuat kecenderungannya mengantarkan pola pikir dan tolok ukur validasinya secara empati, simpatik, inklusif, intersubjektif, toleran, dan pluralistik (unity in difference)32 daripada bersifat objektif-rasionalistik atau positivistik. Atas dasar itu, pola pikir tekstual-bayânî dan irfâni harus mampu memahami, berdialog, dan mengambil manfaat sisi-sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir burhânî (optimalisasi fungsi akal dan observasi/eksperimentasi) secara integral-interkonektif sesuai dengan ranah kajiannya masing-masing, guna menggali esensi ajaran atau doktrin keagamaan, terutama bila dihadapkan dengan berbagai persoalan dalam kehidupan manusia dengan konteks yang beragam, sehingga kesimpulan atau solusi yang ditawarkannya tentang suatu persoalan dapat lebih arif, bijaksana, kontekstual, dan tepat guna.33

Penutup Struktur paradigmatik ilmu-ilmu keislaman zaman klasik, mencakup bidang Ilmu Kalam, Ilmu Fikih/Ushul Fikih, dan Ilmu Tasawuf, sebagaimana yang tersebar di dunia Muslim Sunni berparadigma tekstual-bayânî dan irfânî. Postulat-postulatnya didasarkan atas informasi kewahyuansebagaimana yang termaktub di dalam al-Qur’an dan hadis. Secara ontologis, objek-objek kajiannya terbatas pada persoalan-persoalan normativitas keislaman, mencakup akidah, syariah, dan akhlak. Secara epistemologis, otoritas teks dan corak penafsiran terhadapnya secara analogis (qiyâs) dan konsensus (ijmâ‘) sangat dominan guna menjelaskan, menguraikan, dan melegitimasi informasi yang diperoleh dari teks daripada penalaran akal. Secara aksiologis, ilmu-ilmu keislaman klasik itu lebih berorientasi pada upaya penuntunan dan pembinaan karakter dan moral-spiritual (ukhrawi oriented) keagamaan secara islami, di samping mempertahankan ajaran-ajaran dan doktrin-doktrin keislaman itu secara dogmatik-apologetik. Sedangkan pola pikir burhânî, sebagaimana yang dimiliki oleh bidang Ilmu Falsafah, tidak begitu berkembang di dunia Islam, dan bahkan cenderung disisihkan, sehingga ruang kreativitas dan inovasi intelektual secara bebas tidak dapat dilahirkan. Ia takluk di bawah bayang-bayang otoritas teks keagamaan dan pola pikir ulama salaf dalam bentuk ijmâ‘ dan analogi (qiyâs). Akibatnya,

Rahman, Islam, h. 279 Abdullah, Islamic Studies, h. 380-381. Bandingkan, Hasan Askari dan Jon Avery, Towards A Spritual Humanism: A Muslim-Humanist Dialogue (Ledds: Seven Mirrors Publishing House Limited, 1991), h. 69-90. 33 Abdullah, Islamic Studies, h. 203-204. 31 32

287


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 pendekatan dan pemahaman terhadap persoalan-persoalan baru yang muncul dalam kehidupan ummat zaman kekinian menjadi sangat kaku dan eksklusif. Bahkan, hal itu pada gilirannya turut pula membentuk worldview sebagian besar umat Islam dalam meyongsong dan menghadapi tantangan modernitas dan globalisasi, mereka bersikap dan berperilaku stagnan, tidak kreatif, fanatik dan cenderung emosional-anarkis.

Pustaka Acuan Abdullah, M. Amin. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Askari, Hasan dan John Avery. Towards A Spritual Humanism: A Muslim-Humanist Dialogue. Ledds: Seven Mirrors Publishing House Limited, 1991. Arkoun, Mohammed. Al-Islâm: al-Akhlâq wa al-Siyâsah. Beirut: Markaz al-Inma‘ alQaum, 1990. Babbie, Earl. The Practice of Social Research. Belmont: Wadsworth, 200. Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat. Bandung: Penerbit Mizan, 1995.Burts, Arthur. The Metaphysical Foundation of Modern Science. New York: Doubleday Anchor Books, 1954. Faqih, Mansur. “Teologi Kaum Tertindas,” dalam Ahmad Suedy (ed.) Spritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei, 1994. Al-Faruqi, Ismail Raji. “Islamization of Knowledge: Problems, Principles and Prospective,” dalam The International Institute of Islamic Thought, Islam: Source and Purpose of Knowledge. Herndon, Virginia, USA: IIIT, 1988. Hamilton, Edith dan Cairns, Huntington (ed.) Plato: The Collected Dialogues. USA: Princeton University Press, 1961. Hanafi, Hasan. Dirâsat Islâmiyah. Kairo: Maktabah al-Anjilu al-Misriyyah, t.t. Hanafi, Hasan. Islamologi dari Teologi Statis ke Anarkhis. Penerjemah Miftah Faqih. Yogyakarta: LKiS, 1992. Al-Jabiri, M. Abed. Takwîn al-‘Aql al-‘Arabî. Beirut: Markaz Dirâsât al-Wihdah al-`Arabiyyah, 1989. Al-Jabiri, M. Abed. Post-Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKiS, 2000. Genequand, Charles. “Metaphysics,” dalam Seyyed Hossein Nasr. History of Islamic Philosophy. London and New York: Routledge, 1996. Kartanegara, Mulyadhi. Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan Manusia. Jakarta: Erlangga, 2007. Kartanegara, Mulyadhi. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons terhadap Modernitas. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2007. 288


Ichwansyah Tampubolon: Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

Kuhn, Thomas. The Structures of Scientific Revolution. Chicago: The University of Chicago Press, 1970. Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 2000. Mautner, T. (ed.), Dictionary of Philosophy. London: Pinguin Books, 1996. Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Lahore: Suhail Academy, 1988. Nasr, Seyyed Hossein. “Filsafat Hikmah Suhrawardi,” dalam Jurnal Ulum al-Qur’an, Edisi ke-3/VII/1997. Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995. Philips, Bernard S. Social Research, Strategy and Tactics. New York: Macmillan, 1971. Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982. Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: The University of Chicago Press, 1979. Rahman, Fazlur. Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Penerbit Pustaka, 1997. Ess, Josep van. “The Logical Structure of Islamic Theology”, dalam Issa J Boullata, (ed.), Anthology of Islamic Studies. Montreal Canada: McGill and Indonesia IAIN Development Project, 1992. Yazdi, M.T. Misbah. Philosophical Introduction: An Introduction to Contemporary Islamic Philosophy. New York: University of Binghamton, 1999.

289


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

MEMADUKAN KEMBALI EKSOTERISME DAN ESOTERISME DALAM ISLAM Syamsuri Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, Jakarta, 15419 e-mail: syams_fuf@yahoo.com

Abstrak: Di kalangan sebagian Muslim terjadi kesenjangan pemahaman terhadap dimensi eksoterisme (dimensi lahir, syariat) dan esoterisme (dimensi batin, tasawuf) Islam. Bagi yang mengutamakan dimensi eksoterisme, dimensi esoterisme dianggap tidak penting dan bahkan kadang-kadang keluar dari ajaran Islam. Sementara yang mengutamakan dimensi esoteris memandang bahwa eksoterisme tidak diperlukan lagi, karena manusia sudah mampu menyingkap rahasia Tuhan. Sejatinya, antara dimensi eksoterisme dan esoterisme ini tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya merupakan bagian ajaran Islam yang integral. Tulisan ini hendak mengungkapkan tarik-menarik pemahaman antara dimensi eksoterisme dan esoterisme Islam. Pada akhirnya, penulis menyimpulkan bahwa dimensi esoterisme (tasawuf) diperlukan manusia agar terjadi perimbangan dalam menghadapi hidup dan lebih memberi ruh dari pemahaman syariat yang dianggap kaku dan kering. Abstract: Reintegrating Exoterisme and Esoterisme in Islam. There have been a misnderstanding amonngst some Muslims between the exoteric of rituals or syariah and the esoteric dimension of tasawuf or mystisism in Islam. Those who give more weight for exoteric dimension regarded the esoteric of no great concern and even sometimes have departed from the Islamic teachings. For those who support the esoteric dimension, however, considered the exoteric to be unusefull, since man had been able to uncover the mystery of God. Ideally, the exoteric and esoteric dimensions are separate whole, both of which are an integrated part of Islamic tenets. This essay, is going to shed some lights on esoteric and exoteric dimension of Islam. The author concludes that the esoteric dimension of tasawuf is need by human being so that equilibrium can be maintained in facing their lives and will give more spiritual impetus in understanding the deemed rigid and wither syariah.

Kata Kunci: tasawuf, fikih, esoterisme, eksoterisme, pemikiran Islam

290


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

Pendahuluan Seperti agama lain, Islam memiliki dua dimensi, dimensi luar (eksoterik, lahir) yang mengambil bentuk syariat, dan dimensi dalam (esoterik, batin) yang kemudian mengambil bentuk tasawuf. Tarekat (jalan spiritual) yang dikenal lebih popular dengan nama tasawuf adalah dimensi batin dan esoterik Islam. Sebagai jantung ajaran Islam, tasawuf seperti juga jantung manusia tersembunyi dari pandangan, meskipun ia menjadi sumber batin kehidupan dan menjadi pusat yang mengatur seluruh organisme keagamaan Islam. Sementara syariat adalah hukum Tuhan yang membuat seseorang menjadi Muslim dengan menerimanya. Hanya dengan hidup sesuai ajaran syariat orang dapat mencapai keseimbangan yang menjadi dasar untuk memasuki tasawuf (tarekat). Hanya orang yang dapat berjalan di tanah datar yang dapat berharap untuk dapat mendaki gunung. Tanpa menjalani syariat, kehidupan tasawuf adalah mustahil, dan sesungguhnya di dalam tasawuf terjalin hal-hal yang diterangkan dalam syariat. Baik tasawuf maupun syariat kedua-duanya bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi.1 Seorang penganut Islam yang benar adalah seorang yang menghayati dan melaksanakan kedua dimensi tersebut secara seimbang. Akan tetapi dalam kenyataannya terdapat sekelompok masyarakat Muslim yang penghayatan keislamannya lebih mengutamakan dimensi luar atau lahirnya saja, yang kemudian terkenal dengan sebutan Ahl Zhâhir atau kaum Syariat. Kelompok ini dalam keberagamaannya lebih menitikberatkan perhatian pada segi-segi syariat atau hukum yang bersifat formal legalistik. Selain itu banyak pula di antara masyarakat Islam yang penghayatan keislamannya lebih mengutamakan dimensi dalam atau batinnya, yang kemudian dikenal kaum Batini dan kaum Tarekat (Ahl al-Bâthin). Ibrâhîm al-Randi menjelaskan bahwa kaum Muslim dalam ibadah mereka terbagi menjadi dua. Kelompok pertama adalah mereka yang orientasi keislaman lebih menitik beratkan pada hukum-hukum luar (al-ahkâm al-zhawâhir) yakni segi-segi lahiriah. Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang lebih menitikberatkan pada hukum-hukum dalam (al-ahkâm al-dhamâir), yakni segi-segi batiniah.2 Lewat tulisan ini, akan digambarkan hubungan kedua dimensi tersebut dalam pemikiran Islam dan pandangan pemikir Barat terhadap tasawuf Islam.

Rekonsiliasi Tasawuf dan Syariat dalam Pemikiran Ulama Beberapa sufi tradisional, terutama dari golongan Syâdziliyyah, menggunakan lambang lingkaran untuk menggambarkan hubungan antara kedua dimensi dasar Islam ini. Dari setiap titik dalam ruang dapat dibuat lingkaran dan jari-jari dalam jumlah tidak terhingga

Seyyed Hossein Nasr, Ideals and Realities of Islam (Chicago: ABC International, 1999), h. 121; Seyyed Hossein Nasr, Islamic Life and Thought (Chicago: ABC International, 2001), h. 193. 2 Muhammad ibn Ibrâhîm al-Randî, Syarh al-Hikam (Singapura: t.p., t.t.), h. 11. 1

291


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 yang menghubungkan setiap titik dalam lingkaran dengan pusat lingkaran. Lingkaran ini adalah syariat yang keseluruhannya membentuk masyarakat Muslim. Setiap Muslim yang mengakui Hukum Tuhan adalah sebuah titik dalam lingkaran ini. Jari-jari melambangkan thurûq (bentuk ganda dari tharîqah). Setiap jari-jari adalah jalan yang menuju ke pusat. Para sufi mengatakan bahwa jumlah jalan yang menuju Tuhan sama banyaknya dengan jumlah keturunan Adam. Tharîqah (tarekat), yang terdiri dari berbagai bentuk, sesuai dengan kebutuhan dan temperamen spiritual manusia, adalah jari-jari yang menghubungkan setiap titik ke pusat. Hanya dengan berdiri di dalam lingkaran, yaitu menerima syariat, manusia dapat mencari jalan yang menuju ke pusat. Hanya dengan menjalani syariat kemungkinan terbukanya pintu kehidupan spiritual dapat disadari. Di pusat terletak hakikat atau kebenaran, yang menjadi sumber tarekat dan syariat. Laksana titik yang membentuk lingkaran dan jari-jari, begitu pula hakikat menciptakan tarekat dan syariat, hakikat itu “ada dan tidak ada”. Syariat dan tarekat diciptakan oleh Tuhan yang menjadi Kebenaran. Keduanya mencerminkan hakikat dengan cara yang berbeda. Menjalani syariat adalah hidup dalam mencerminkan hakikat, sebab lingkaran adalah refleksi pusat. Ini adalah cara yang penting dan mencukupi untuk mencapai kehidupan yang utuh dan sejahtera. Tetapi selalu ada orang memiliki batin sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat hidup hanya dalam refleksi atas hakikat, melainkan harus mencapainya. Bagi mereka, Islam adalah perjalanan ke pusat. Bagi mereka, tarekat adalah cara yang diturunkan Tuhan dengan mana mereka dapat mencapai tujuan akhir, yaitu hakikat yang menjadi asal segala hal, dari mana tradisi integral dengan hukum dan cara atau lingkaran dan jari-jari berasal.3 Dalam perjalanan sejarahnya, Islam mampu mempertahankan keseimbangan antara kedua dimensi tersebut. Akan tetapi, kadang-kadang muncul orang-orang yang memberikan penekanan pada satu segi dengan mengorbankan segi yang lainnya. Pernah ada golongan yang menolak validitas tarekat demi syariat. Beberapa di antara mereka mengaku sebagai penjaga syariat yang mempertahankan syariat dan peranan yang mutlak. Sedangkan di lain pihak mereka menerima bahkan menjalani tarekat. Mereka ini disebut ulama al-Zhâhir (ahli-ahli hukum) yang kewajibannya adalah menjaga kelangsungan syariat. Yang lain telah melangkah demikian jauh, sampai mereka menolak tarekat sama sekali, dan merasa puas dengan penafsiran agama secara lahiriah semata-mata. Mereka ini disebut ulama palsu (qishri) yang akan merusak keseimbangan antara dimensi esoterik dan eksoterik, seandainya mereka berkuasa atas seluruh masyarakat Muslim. Tetapi, meskipun sebagai reaksi terhadap dunia Barat Modern, trend tertentu yang berhubungan dengan pandangan tersebut telah mendapat dukungan di beberapa tempat, pandangan ini tidak dapat diterima oleh seluruh ortodoksi Islam dan hanya berperan secara terbatas. Bagi sebagian besar Muslim, seorang sufi tetap dipandang sebagai Muslim

Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 122; Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Bandung: Arasy-Mizan Utama, 2005), h. 60. 3

292


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

yang saleh dan dihormati karena kehidupan agamanya sangat dalam, meskipun apa yang ia lakukan sering tidak dapat dimengerti oleh masyarakat pada umumnya.4 Di lain pihak, ada orang-orang yang mencoba untuk merusak keseimbangan dengan memberi penekanan yang berlebihan pada tarekat saja, seolah-olah tarekat dapat bertahan dalam dunia tanpa syariat, yang menjadi perlindungannya dari berbagai pengaruh duniawi yang merusak. Sebenarnya, gerakan-gerakan yang berakhir pada penciptaan sekte atau bahkan menyimpang dari ortodoksi Islam, timbul sebagai akibat dari usaha eksteriorisasi dimensi batin tanpa bantuan syariat. Pada umumnya kebanyakan agama semu dan sekte yang menyimpang timbul dari latar belakang esoterik yang setelah berpisah dari lindungan syariat menyimpang dari sifat yang asli, yang berakhir pada pembentukan sekte kecil yang tidak berbahaya atau menjadi agama semu yang betul-betul berbahaya, tergantung pada suasana di mana gerakan itu tumbuh.5 Dalam totalitasnya, Islam telah mampu menjaga keseimbangan eksoteris dan esoteris, atau tafsir dan takwil, sejauh berhubungan dengan penafsiran al-Qur’an. Sebagian besar ortodoksi dalam masyarakat Muslim telah mampu menjaga terpisahnya syariat dari tarekat dan terasingnya tarekat dari syariat, yang akan merusak keseimbangan masyarakat Islam. Vitalitas keagamaan dan spiritual Islam timbul dari kehadiran kedua dimensi ini selama berabad-abad yang secara bersama-sama telah membentuk tradisi keagamaan integral yang mampu menciptakan masyarakat religius dan norma kehidupan batin. Banyak ulama yang berusaha agar kedua orientasi (penghayatan) keagamaan tersebut tidak menghasilkan kepincangan yang menyalahi prinsip keseimbangan, jalan tengah (tawâzun) dalam Islam. Keduanya terintegrasi dalam penghayatan dan pengalaman keagamaan seorang Muslim. Hal ini dilakukan terutama setelah pelaksanaan hukuman mati terhadap diri al-Hallâj pada awal abad keempat hijriyah, yang menimbulkan kesan dalam pandangan umum bahwa apa yang disebut tasawuf itu adalah suatu kesesatan. Al-Hârits ibn Asad al-Muhâsibî (w. 837) adalah salah seorang sufi yang berusaha mengintegrasikan tasawuf dan syariat tersebut. Bagian terbesar tulisan al-Muhâsibî berkenaan dengan disiplin diri.6 Ulama lain yang berusaha melakukan rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat adalah Abû Nashr al-Sarrâj (w. 988 M) yang menulis buku al-Luma‘. Untuk menolak kesan negatif terhadap tasawuf, al-Sarrâj memberikan suatu uraian panjang bahwa tasawuf yang benar itu tidak menyimpang, bahkan tasawuf itu sendiri adalah inti dan jiwa dari ajaran Islam itu sendiri. Di samping itu, ia juga menjelaskan bermacammacam kesesatan yang terdapat di kalangan orang-orang yang disebut sufi itu, sebagai akibat dari kesalahpahaman. Al-Sarrâj berusaha keras membuktikan bahwa tasawuf

Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 123. Ibid., h. 123. 6 A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystic of Islam (London: George Allen and Unwin Ltd., 1979), h. 46-47. 4 5

293


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 sepenuhnya sesuai dengan al-Qur’an, sunah dan syariat. Banyak sufi terkemuka menjadi muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.7 Sufi lainnya yang berusaha mengkompromikan tasawuf dan syariat adalah Abû Thâlib al-Makkî (w. 996). Dalam bukunya, Qûth al-Qulûb, yang mengandung lebih banyak argumen yang berhati-hati dan lebih sedikit kutipan yang aneh, al-Makkî telah berhasil membangun desain menyeluruh untuk tasawuf Sunni.8 Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî juga berupaya menemukan jalan tengah dan mendamaikan ortodoksi dengan tasawuf dengan menulis buku yang berjudul al-Ta‘ârruf li Madzhab Ahl al-Tashawwûf. 9 Selanjutnya sufi yang berusaha mendamaikan tasawuf dan syariat adalah Abû alQâsim al-Qusyayrî (w. 1072). Sufi ini memandang tasawuf pada masanya telah menyimpang dari perkembangannya yang pertama, baik dari segi akidah maupun moral. Dalam rangka menanggapi hal itu, ia menulis buku yang berjudul al-Risâlah untuk mengembalikan tasawuf kepada jalur yang benar, seperti tasawuf para guru golongan sufi yang telah membangun kaidah-kaidah mereka di atas prinsip-prinsip tauhid yang benar. Mereka memelihara akidahakidah mereka dari bidah dan dekat dengan tauhid kaum Salaf dan Ahli Sunah.10 Abû al-Hasan ‘Âlî ibn ‘Utsmân al-Hujwîrî (w. 1076), lewat karyanya yang berjudul Kasyf al-Mahjûb, berusaha mengemukakan sebuah sistem tasawuf yang komprehensif, bukan hanya menghimpun sejumlah ajaran para guru sufi juga mendiskusikan dan menjelaskan doktrin-doktrin dan praktik-praktik para sufi. Ia tetap bersikap moderat dan menghindari kecenderungan panteistik. Lewat bukunya itu, ia memperingatkan para pembacanya agar tetap menaati syariat (hukum Islam) sebagaimana yang dicontohkan oleh semua sufi yang mencapai derajat kesucian yang tinggi.11 Demikianlah, para ulama tersebut telah memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya mendamaikan tasawuf dan syariat dan mempertahankan ortodoksi Ahli Sunah Waljamaah. Pengaruh mereka atas perkembangan tasawuf di kemudian hari, khususnya di dunia Sunni sangat besar.12 Pada masa al-Ghazâlî (w. 1111 M), nuansa ketegangan antara tasawuf dan syariat masih ada, sehingga ia juga meneruskan usaha penyesuaian itu. Tampaknya, al-Ghazâlî memiliki modal yang lebih besar daripada apa yang dimiliki oleh para penulis sufi sebelumnya, sehingga usahanya mencapai hasil yang lebih gemilang dalam melakukan rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Dalam kitabnya, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, ia berusaha menghidupkan Ibid., h. 67. Arberry, Sufism, h. 68. 9 Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, The Doctrine of the Sufis, trans. A.J. Arberry (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1979). 10 Abû al-Qâsim al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilm al-Tashawûf (Beirut: Dâr al-Khair, t.t.), h. 41. 11 Abû al-Hasan ‘Âlî ibn ‘Utsmân al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, trans. R.A. Nicholson (London, 1976), h. 12. 12 Kautsar Azhari Noer, Tasawuf Perenial Kearifan Kritis Kaum Sufi (Jakarta: Serambi, 2002), h. 190-198. 7 8

294


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

pengalaman ilmu-ilmu agama dengan pendalaman spiritualisme tasawuf. Bagi al-Ghazâlî, tasawuf tidak untuk mengabaikan syariat, tetapi justru sebaliknya untuk menghidupkan dan menggairahkan pengamalan syariat. Pandangan tersebut tercermin dari struktur kitabnya itu. Pada juz pertama dan kedua, al-Ghazâlî mengajarkan proses pematangan ilmu syariat dan akidah. Pada juz ketiga al-Ghazâlî memberi kesempatan pada umat Islam untuk menerjuni ilmu tasawuf. Sementara pada juz keempat al-Ghazâlî mengarahkan tasawuf pada akhlak terpuji (akhlâq al-karîmah).13 Ulama lain yang berusaha melakukan rekonsiliasi tasawuf dengan syariat selain mereka adalah Ahmad Sirhindî (w. 1624 M). Ia mengkritik keras terhadap tasawuf yang dipraktikkan tanpa syariat. Menurutnya, syariat bukan semata-mata sistem aturan lahiriah (eksoterik) belaka, dan para sufi yang mencari kenyatan di luar syariat sebenarnya sedang mengejar impian. Demikianlah, ia berupaya mempertemukan nilai-nilai tasawuf dengan nilai-nilai syariat.14 Dalam menjelaskan hubungan tasawuf dengan syariat, seperti sudah dijelaskan, Seyyed Hossein Nasr berpendirian bahwa ajaran Islam itu terdiri dari dua kategori. Pertama, yang berhubungan dengan dimensi lahir atau eksoterik, yang kemudian lebih terkenal dengan istilah syariat. Kedua, yang berkaitan dengan dimensi batin atau esoterik, yang selanjutnya dikenal dengan tasawuf. Tasawuf tidak bisa dipraktikkan oleh seorang Muslim tanpa terlebih dahulu mempraktikkan ajaran-ajaran syariat secara benar. Dalam hal ini, Nasr juga menganggap penting untuk melakukan rekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ia menegaskan, dalam hal yang sama dimensi batin (tasawuf) sangat erat hubungannya dengan dimensi lahir (syariat), dan dimensi lahir diperlukan sebagai dasar pijakan untuk menggapai dimensi batin, sehingga pengalaman Ilahiah yang selalu bergantung pada kondisi batin seseorang selalu berada dalam ikatan transendental.15 Menurut Nasr, beberapa ucapan sufi besar yang secara harfiah terlihat sebagai penolakan terhadap syariat, harus ditinjau dalam latar belakang kondisi yang ada dan kepada siapa ucapan tersebut ditujukan. Bila seorang Hâfizh menulis, agar orang membuang tikar sembahyangnya jauh-jauh, atau seorang Ibn al-‘Arabî menulis bahwa hatinya adalah kuil berhala, ini tidak berarti bahwa mereka menolak syariat. Sebetulnya mereka menunjukkan ucapan tersebut kepada orang-orang yang menjalankan syariat seenaknya saja dan mereka mengajak orang-orang ini untuk mengatasi dunia bentuk dan menerobos ke dalam arti batin syariat. Banyak perbedaan yang terdapat di antara masyarakat yang

Lebih lanjut lihat Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ’ ‘Ulûm alDîn, Juz I-IV (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980). 14 Muhammad ‘Abd al-Haq al-Anshârî, Sufism and Syari‘a: A Study of Syaikh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism (Jakarta: Rajawali, 1990), h. 85-139. 15 Nasr, Islamic Life and Thought, h. 193. 13

295


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 setiap orang menjalankan syariat dan masyarakat yang tidak seorang pun menjalankannya.16 Dalam pengamatan Nasr, sekarang ini banyak orang yang ingin mengatasi dunia bentuk tanpa memiliki bentuk itu sendiri. Mereka ingin membakar kitab-kitab, dalam istilah Buddhis, tanpa memiliki kitab-kitab itu. Tetapi orang tidak dapat membuang apa yang tidak ia miliki. Para sufi yang mengajak manusia membuang bentuk lahiriah sebetulnya berbicara kepada mereka yang telah memiliki bentuk ini. Tidak ada bahaya bahwa orang akan jatuh di bawah bentuk, syariat selalu ada untuk mencegah bahaya serupa itu. Saat ini banyak sekali orang yang hidup tanpa bentuk religius dan tidak bisa membedakan antara mengatasi bentuk dan jatuh di bawah bentuk. Tarekat tidak dapat dicapai kecuali melalui syariat, dan penolakan terhadap tarekat bukanlah dari syariat melainkan pembatasan terhadap kebenaran sebagai bentuk lahir semata-mata. Tidak ada yang lebih mustahil dalam tujuan para sufi selain usaha untuk merusak syariat dan mengetengahkan individualisme, serta memberontak terhadap bentuk-bentuk religius seperti yang dilakukan para modernis dengan meminjam nama tasawuf. Kebebasan yang diberikan oleh tarekat melalui penerimaan dan transendensi bentuk syariat adalah antipoda kebebasan kuantitatif penolakan syariat. Yang satu menyerupai yang lain hanya dalam pengertian bahwa setan adalah kera Tuhan. Hanya orang bodoh atau orang yang tidak mau mengerti yang tidak dapat membedakan yang satu dari yang lain. Orang tidak dapat menolak eksoterisme demi esoterisme yang tidak dimilikinya. Pohon selalu dinilai dari buahnya dan tidak ada bukti yang lebih jelas tentang kesia-siaan usaha serupa itu selain buah yang getir yang tumbuh dari pohon itu.17 Kalau para pembaharu lain bersikap negatif terhadap tasawuf, bahkan menilai tasawuf sebagai salah satu penyebab kemunduran dan kejumudan umat Islam,18 Nasr malah berpendapat sebaliknya. Ia menilai sangat positif terhadap peranan tasawuf bagi perkembangan sejarah Islam. Menurut Nasr, tasawuf tidak dapat dijadikan kambing hitam atas segala problema yang dihadapi umat Islam. Kemunduran umat Islam justru disebabkan antara lain oleh penghancuran tarekat sufi oleh rasionalisme puritan seperti gerakan Wahabisme di Arab Saudi dan Ahli Hadis di India. Dengan menolak tasawuf dan mengkambinghitamkannya sebagi penyebab kemunduran umat Islam, berarti Islam telah direduksi sampai tinggal doktrin fikih yang kering kaku yang tidak akan berdaya menghadapi gempuran kebudayaan Barat.19 Padahal, tidak ada bukti yang lebih jelas tentang hubungan batin antara tarekat dan syariat selain fakta bahwa di berbagai pelosok dunia, Islam tersebar melalui tarekat. Nasr, Ideals and Realities of Islam, h.124. Ibid., h. 125. 18 Muhamad ibn ‘Abd al-Wahhâb (w. 1792 M), dan para pengikutnya, misalnya berpendapat bahwa kemunduran Islam disebabkan oleh berbagai macam tahayul, bidah dan khurafat, yang salah satunya berasal dari ajaran tasawuf atau tarekat yang menyimpang. 19 Nasr, Islamic Life and Thought , h. 12. 16 17

296


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

Di beberapa daerah India, Asia Tenggara dan di sebagian besar Afrika, Islam mula-mula tersebar melalui contoh pribadi para sufi dan berdirinya aliran tarekat. Kemudian sesudah itu syariat tersebar dan Islam diterima secara luas. Apabila tarekat adalah unsur yang terasing dalam Islam, seperti yang dinyatakan oleh kebanyakan orientalis, bagaimana ia dapat menjadi ujung tombak penyebaran syariat? Hubungan batin antara syariat dan tarekat telah memungkinkan penyebaran Islam di pelbagai daerah melalui para sufi dan orang suci yang telah menjadi contoh hidup spiritualitas Islam.20 Hubungan integral dan dinamis antara aspek batin (esoteris) dengan aspek lahir eksoteris), antara tasawuf dan syariat inilah yang menjadi ciri khas tasawuf Islam (mistisisme dalam Islam) yang membedakannya dari mistisisme-mistisisme di luar Islam. Karena itu, peranan tasawuf (tarekat) sebagai dimensi batin syariat telah diakui pula oleh otoritas dan pendiri mazhab Mâlikî dalam fikih, yang menekankan pentingnya peranan tasawuf dalam pemurnian etika Muslim. Imâm Mâlik pernah mengatakan, orang yang mempelajari syariat dan menolak tasawuf menjadi orang yang fasik (tafassaqa), orang yang bertasawuf dengan menolak fikih (syariat) akan menjadi zindik (tazandaqa), dan yang menerima serta mempelajari keduanya (tasawuf dan syariat) akan menjadi orang yang benar (tahaqqaqa).21 Imâm Syâfi‘î, pendiri mazhab fikih terbesar di Indonesia, juga berpendirian sama yang berkata “ada tiga hal yang berarti bagiku di dunia ini yaitu kejujuran, kelakuan yang baik, dan mengikuti jejak para sufi.” Bukan saja al-Ghazâlî yang menjadi ahli hukum, teolog dan sufi, yang menganggap jalan para sufi sebagai jalan yang terbaik, tetapi juga teolog Asy‘âriyyah seperti Fakhr al-Dîn al-Râzî yang bukan sufi menganggap pengikut tarekat sebagai orang-orang yang melakukan pemurnian jiwa dengan melepaskannya dari ikatan kebendaan, dan menyebut mereka sebagai kelompok terbaik di antara manusia.22 Seyyed Hossein Nasr mengibaratkan, orang yang mempraktikkan tasawuf tanpa syariat, atau esoterisme tanpa eksoterisme laksana menanam pohon di awang-awang. Dalam ungkapan lain, Islam itu laksana buah kenari yang kulitnya berupa syariat, isinya adalah tasawuf (tarekat) dan minyaknya yang tidak tampak tetapi ada di mana-mana adalah hakikat. Kenari tanpa kulit tidak dapat tumbuh di dunia alamiah dan tanpa isi tidak berarti. Syariat tanpa tasawuf ibarat tubuh tanpa jiwa, dan tasawuf tanpa syariat tidak mempunyai bentuk lahiriah dan tidak akan mampu bertahan serta memanifestasikan dirinya dalam dunia ini. Bagi keutuhan dan kesempurnaan Islam tradisi keduanya mutlak diperlukan. Nasr berkesimpulan, hanya dengan menerima dan menjalankan syariat seseorang akan dapat menelusuri jalan tarekat (tasawuf) sehingga ia akan berhasil mencapai Kebenaran (Haqîqat) yang menjadi jantung segala sesuatu.23 Nasr, Ideals and Realities of Islam, h.125. Muhammad Zakî Ibrâhîm, Abjâdiyyat al-Tashawwuf al-Islâmî (Kairo: al-‘Asyîrah alMuhammadiyyah, 1989), h. 146. 22 Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 126. 23 Ibid., h. 123. 20 21

297


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Sejalan dengan pandangan Nasr tersebut, Muhammad Zakî Ibrâhîm menjelaskan, penyatuan dari syariat dan hakikat terwujud dalam diri Nabi Muhammad SAW. Syariat adalah perkataan Nabi Muhammad SAW. tarekat adalah perbuatan Nabi Muhammad SAW., sedangkan hakikat adalah kondisi spiritual Nabi Muhammad SAW. Syariat tanpa hakikat adalah kosong, dan hakikat tanpa syariat adalah batil. Karena itu, di kalangan ulama dikenal sebuah ungkapan yang berbunyi, “barang siapa yang melaksanakan syariat tanpa memahami hakikatnya, maka ia akan menjadi fasik, dan barang siapa yang menjalani hakikat tanpa syariat, maka ia akan menjadi seorang yang zindik.”24 Muhammad Zakî Ibrâhîm menjelaskan: Jika seorang Muslim mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tercerminlah penyatuan antara hakikat dan syariat. Syahadat tauhid (kalimat pertama) dalam dua kalimat syahadat merupakan cerminan dari hakikat, dan syahadat Nabi Muhammad SAW. merupakan cerminan dari syariat. Renungilah kalimat yang selalu kita baca setiap melaksanakan salat. Di saat kita membaca “iyyâka na‘budu”, maka hal tersebut merupakan perwujudan dari syariat. Ketika kita membaca “wa iyyâka nasta‘în” merupakan perwujudan dari hakikat. Keduanya adalah satu. Mustahil memisahkan keduanya. Ibadah adalah lahir sebuah perintah, dan pertolongan Allah SWT. adalah bersifat batin. Setiap sesuatu pasti mempunyai sisi lahir dan sisi batin, sebagaimana jasad dan ruh manusia atau seperti air dan tempatnya.”25 Bagi Muhammad Zakî Ibrâhîm, hubungan antara syariat dan hakikat itu laksana hubungan buah dengan pohonnya, laksana hubungan bunga dengan keharumannya, dan laksana bara api dengan panasnya. Semuanya adalah sesuatu yang saling bergantungan. Karena itu, satu hal yang mustahil jika dikatakan hakikat bisa tegak tanpa syariat. Syariat merupakan hakikat itu sendiri, dan hakikat tidak lain adalah syariat itu sendiri. Keduanya adalah satu, tidak akan sempurna satu sisi tanpa sisi yang lain. Allah Swt. telah menggabungkan keduanya, oleh karena itu suatu hal yang mustahil jika seseorang mau memisahkan sesuatu yang telah digabungkan oleh Allah SWT.26 Menurut Nasr bahwa tasawuf memberikan sarana yang lengkap bagi manusia untuk mencapai tujuan mulia. Tuhan sendiri memungkinkan untuk didekati dengan perjalanan dari luar (outward) menuju ke dalam (inward), sebagimana wahyu mempunyai dimensi lahir dan dimensi batin. Tasawuf juga ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh. Tasawuf merupakan jantung (the heart) dari wahyu Islam, yang telah meniup semangatnya ke dalam seluruh struktur atau aspek ajaran Islam. Tentang pentingnya syariat dalam praktik tasawuf, Nasr menjelaskan, seluruh ibadah wajib maupun sunat akan membawa manusia menuju pantai “Keesaan”. Ibadah-ibadah pokok seperti salat, puasa, zakat, naik haji dan Ibrâhîm, Abjâdiyyat al-Tashawwuf al-Islâmî, h.145. Ibid., h.146. 26 Ibid. 24 25

298


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

jihad merupakan sarana untuk menyucikan kehidupan duniawi manusia, dan memungkinkan untuk hidup dan mati sebagai suatu makhluk sentral yang ditakdirkan mampu memandang kehadiran Tuhan. Ibadah-ibadah ini, bagi sufi, tidak terbatas pada bentukbentuk lahiriahnya belaka, tetapi mempunyai dimensi-dimensi batin dan tingkat-tingkat makna yang dapat dicapai manusia dengan memfungsikan keimanannya dan meningkatkan intensitas dan kualitas kebajikan (ihsân).27

Kesalahpahaman terhadap Tasawuf Mengomentari tentang hubungan tasawuf (tarekat) dengan syariat, Kautsar Azhari, salah seorang guru besar Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, menjelaskan, di antara orang-orang Muslim sendiri banyak yang mengecam tasawuf. Kelompok yang mengecamnya memandang bahwa tasawuf adalah aliran dan gerakan yang ditambahkan kepada Islam (bidah) setelah periode Nabi Muhammad SAW. Menurut mereka, tasawuf bukan asli Islam, tidak pernah diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW. Di mata mereka, tasawuf adalah aliran sesat, atau paling tidak merugikan umat Islam. Di antara para sufi sendiri, ada sebagian yang mengecam sebagian yang lain karena yang pertama menganggap bahwa yang terakhir menganut tasawuf palsu. Tidak mengherankan jika beberapa tuduhan terhadap tasawuf sering dilontarkan oleh para pengecamnya. Tuduhan-tuduhan itu timbul karena kesalahpahaman mereka tentang tasawuf.28 Salah satu tuduhan adalah bahwa tasawuf mengabaikan atau tidak mementingkan syariat. Tuduhan ini berlaku hanya bagi kasus-kasus tertentu yang biasanya terdapat dalam tasawuf tipe “keadaan-mabuk” (sukr, intoxication), yang dapat dibedakan dengan tasawuf tipe “keadaan-tidak-mabuk” (shahw, sobriety). “Keadaan mabuk” dikuasai oleh perasaan kehadiran Tuhan: para sufi melihat Tuhan dalam segala sesuatu dan kehilangan kemampuan untuk membedakan antara makhluk-makhluk. Keadaan ini disertai oleh keintiman (uns), rasa kedekatan Tuhan yang mencintai. “Keadaan-tidak-mabuk” dipenuhi rasa takut dan hormat (haybah), rasa bahwa Tuhan betapa agung, perkasa, penuh murka, dan jauh, yang tidak peduli pada persoalan-persoalan kecil umat manusia.29 Menurut Kautsar bahwa para sufi “yang mabuk” merasakan keintiman dengan Tuhan dan sangat yakin pada kasih sayang-Nya, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” dikuasai oleh rasa takut dan hormat kepada Tuhan dan tetap khawatir terhadap kemurkaanNya. Para sufi “yang-mabuk” cenderung kurang mementingkan syariat dan menyatakan dengan terang-terangan persatuan dengan Tuhan, sedangkan para sufi “yang-tidak-mabuk” memelihara kesopanan (adab) terhadap Tuhan. Para sufi yang dalam ungkapan Ibn ‘Arabî, Nasr, Islamic Life and Thought, h. 193-196. Noer, Tasawuf Perenial, h. 17. 29 Ibid., h. 18. 27 28

299


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 “melihat dengan kedua mata” selalu memelihara akal dan kasyf (penyingkapan intuitif) dalam keseimbangan yang sempurna dengan tetap mengakui hak-hak “yang-tidak-mabuk” dan “yang-mabuk”. Karena itu, tuduhan bahwa tasawuf mengabaikan syariat tidak dapat diterima apabila ditunjukkan kepada tasawuf tipe “keadaan tidak mabuk” karena tasawuf tipe ini sangat menekankan pentingnya syariat. Tasawuf tipe ini tidak dapat dipisahkan dari syariat karena bagi para penganutnya syariat adalah jalan awal yang harus ditempuh untuk menuju tasawuf.30 Dalam suatu bagian al-Futûhât al-Makkiyyah, Ibn ‘Arabî menjawab pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan tasawuf. “Jika anda bertanya, ‘apa itu tasawuf?’ kami menjawab: [tasawuf adalah] mengingat diri kepada kelakuan-kelakuan baik menurut syara’ secara lahir dan batin, dan itu adalah akhlak mulia.” Ungkapan “kelakuan-kelakuan baik menurut syara‘ (al-adab al-syar‘iyyah) dalam perkataan Ibn ‘Arabî ini menunjukkan bahwa tasawuf harus berpedoman kepada syara‘ atau syariat. Menurut sufi ini, syariat adalah timbangan dan pemimpin yang harus diikuti dan ditaati oleh siapa saja yang menginginkan keberhasilan tasawuf.31 Untuk mengetahui lebih jauh tentang siapa saja sufi-sufi yang menganut dan mengembangkan tasawuf tipe “keadaan mabuk” dan tasawuf tipe “keadaan tidak mabuk” dapat disimak dalam penjelasan al-Hujwîrî (w. 1073-1076 M) dalam kitab Kasyf al-Mahjûb. Dalam kitab tersebut, ia menyebut dua belas aliran tasawuf yang masing-masing menganut ajaran tasawuf yang dinilai berasal dari tokoh sufi abad ketiga Hijriyah. Sepuluh aliran di antaranya dinilai sebagai aliran tasawuf yang benar, sedangkan dua di antaranya dianggap sebagai aliran tasawuf yang menyimpang. Para sufi abad ketiga Hijriyah itu dibagi pula oleh al-Hujwîrî menjadi dua kelompok besar. Pertama, para sufi yang memandang keadaan mabuk (sukr) atau ekstasi lebih utama daripada keadaan sadar (sahw) dan kedua, para sufi yang berpandangan sebaliknya. Abû Yazîd al-Busthâmî, al-Hallâj, Ibn ‘Athâ’, alSyiblî, Bundar ibn Husain, Abû Hamzah al-Baghdâdî, Sumnûn al-Muhibb, dan sejumlah tokoh sufi Irak, dimasukkannya ke dalam golongan pertama. Sedangkan al-Junaid alBaghdâdî, al- Muhâsibî, Sahl ibn ‘Abd Allâh, Abû Ja‘far al-Haddâd, Hamdûn al-Qashshâr, dan Abû Muhammad ibn Khafîf dimasukkannya ke dalam kelompok kedua. Dari ucapanucapan para sufi yang termasuk kelompok pertama tadi dapat ditemukan bibit-bibit ajaran yang selanjutnya dikembangkan oleh Ibn ‘Arabî dalam sistem ajaran wahdat al-wujûd. Sedangkan dari kelompok kedua dapat ditemukan bibit-bibit ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh al-Ghazâlî. Dua aliran besar tasawuf tersebut pada gilirannya berkembang di seluruh dunia Islam.32

Kautsar Azhari Noer, “Memahami Tasawuf: Suatu Tanggapan terhadap Beberapa Tuduhan,” dalam Ahmad Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf Positif (t.t.p.: t.p., t.t.) h. 81-82. 31 Ibn al-‘Arabi, al-Futûhât al-Makkiyyah, 4 Vol (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 128. 32 Al-Hujwîrî, Kasyf al-Mahjûb, h. 176-266. 30

300


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

Menurut Kautsar bahwa Islam adalah agama yang menekankan keseimbangan memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syarî’ah (Hukum Tuhan) dan tharîqah (jalan spiritual, yang sering disebut tasawuf). Apabila syariat adalah dimensi eksoterik Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek lahiriah, maka tarekat adalah dimensi esoterik Islam, yang lebih banyak berurusan dengan aspek batiniah. Pentingnya menjaga kesatuan syariat dan tharîqah dituntut oleh kenyataan bahwa segala sesuatu di alam ini, termasuk manusia, mempunyai aspek lahiriah dan aspek batiniah. Aspek lahiriah adalah manifestasi aspek batiniah. Menekankan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lain akan menimbulkan ketidakseimbangan dan kekacauan.33 Landasan metafisis bagi pemeliharaan keseimbangan antara aspek lahiriah dan aspek batiniah dengan keharusan menyatukan syarî‘ah dan tharîqah adalah teori bahwa alam dan seluruh isinya adalah “penampakan diri” (tajallî, self-disclosure, theophany) Tuhan, yaitu penampakan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Teori “penampakan diri” Tuhan adalah dasar pandangan dunia tasawuf. Tuhan mengatakan bahwa “Dia adalah Yang Awal (alAwwâl) dan Yang Akhir (al-Âkhir), Yang Lahir (al-Zhâhir) dan Yang Batin (al-Bâthin). Karena Tuhan adalah Yang Lahir dan Yang Batin, maka segala sesuatu dalam alam ini sebagai penampakan diri Tuhan mempunyai aspek lahiriah dan batiniah. Aspek lahiriah mempunyai gerak menjauh dan memisah dari Tuhan sebagai Pusat, yang tidak lain adalah Yang Batin. Aspek batiniah mempunyai kecenderungan untuk menggerak kembali kepada Tuhan sebagai Sumbernya. Mengabaikan salah satu dari kedua aspek ini adalah mengingkari kodrat manusia, yang selalu cenderung berusaha memenuhi kebutuhan lahiriah dan batiniah, atau material dan spiritual.34 Namun, tujuan akhir hidup manusia adalah kembali kepada Tuhan. Firman Tuhan yang dikutip di atas, “Dia adalah Yang Awal dan Yang Akhir,” berarti bahwa Dia adalah sumber segala sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu. Pengertian firman ini sejalan dengan firman-Nya, “Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita kembali” (Q.S. al-Baqarah/2: 156). Perjalanan yang harus ditempuh oleh manusia adalah perjalanan dari yang lahir kepada yang batin, dari pinggir lingkaran keberadaan kepada Pusat Yang Transenden. Perjalanan ini akan sampai kepada tujuannya bila dilakukan dengan melalui dua jalan yaitu syarî‘ah dan tharîqah akan membawa manusia kepada tujuannya, yaitu haqîqah (Realitas Terdasar, Ultimate Reality, yaitu Tuhan). Tiga dimensi agama Islam ini, syariat, tarekat dan hakikat dari suatu sudut pandangan, sejajar dengan tiga dimensi lain, Islâm, Îmân dan Ihsân.35 Sebutan al-Qur’an untuk fenomena yang oleh generasi-generasi Muslim belakangan disebut “tasawuf” adalah ihsân (berbuat kebaikan), suatu kualitas ilahi dan insani yang banyak sekali diungkapkan oleh al-Qur’an, yang secara khusus Noer, Tasawuf Perenial, h. 20. Ibid., h. 21. 35 Frithjof Schuon, Understanding Islam, trans. Macleod Matheson (London: Allen and Unwin, 1963), terutama bab 4. 33 34

301


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 menyebutkan bahwa Allah mencintai orang-orang yang mempunyai kualitas ini. Dalam hadis yang terkenal, Nabi Muhammad SAW. mendeskripsikan ihsân sebagai dimensi terdalam dari Islam, setelah Islâm (“penyerahan diri” atau perbuatan yang benar) dan îmân (“iman” atau pemahaman yang benar). Ihsân adalah suatu pemahaman dan pengalaman yang dalam kata-kata hadis tadi, membolehkan seseorang menyembah Allah seolah-olah anda melihat-Nya” (anta‘buda Allâh kaannaka tarâhu). Ini berarti bahwa para sufi selalu berusaha keras untuk menyadari kehadiran Tuhan dalam alam dan diri mereka sendiri dan untuk berbuat sebaik-baiknya. Secara historis, islâm termanisfestasi melalui syarî‘ah (syariat) dan fikih, sedangkan îmân terlembaga melalui kalâm (ilmu kalam) dan bentukbentuk ajaran doktrinal. Dengan cara yang sama, ihsân memperlihatkan kehadirannya terutama melalui ajaran-ajaran dan praktik-praktik sufi.36 Dengan mengodifikasikan syariat, fikih menetapkan cara yang tepat bagi manusia untuk menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Ilmu Kalam mendeskripsikan kandungankandungan iman. Tasawuf memusatkan perhatian untuk memberikan hak yang penuh kepada penyerahan diri dan iman. Tasawuf dalam arti ini adalah jalan utama menuju Tuhan. Tasawuf, yang diidentifikasikan dengan ihsân, adalah jalan atau tahap tertinggi yang harus ditempuh melalui islâm dan îmân terlebih dahulu. Tasawuf, dengan demikian, adalah intisari agama Islam.37 Sejalan dengan pandangan Nasr dan Kautsar tersebut, Haidar Bagir menegaskan, di antara masalah-masalah yang kontroversial tentang tasawuf adalah anggapan bahwa kaum sufi menyepelekan keharusan menaati kewajiban-kewajiban syariat. Barangkali tidak ada anggapan tentang tasawuf yang lebih salah dari ini. Kerena sesungguhnya tidak ada satu pun tokoh tasawuf sepanjang sejarah yang pernah menyatakan atau menunjukkan sikap meremehkan syariat. Sebaliknya justru merupakan suatu ciri menonjol tasawuf adalah ketaatan pada syariat. Kaum sufi pada saat yang sama dikenal sebagai ‘âbid atau ‘ubbâd (para ahli ibadah). Bahkan, dalam pandangan mereka, tidak ada jalan lain untuk menempuh tasawuf (tharîqah) kecuali melalui penyelenggaraan ibadah-ibadah syariat. Semakin menjadi sufi seseorang, maka semakin intens ibadah-ibadah yang dilakukannya. Dengan kata lain, tingkatan kesufian seseorang justru ditentukan oleh intensitas ibadahnya.38 Selain itu, hampir semua kitab standar tasawuf selalu mengutip hadis tentang ihsân. Ihsân adalah beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya; atau, kalau engkau tidak dapat melihat-Nya, percaya bahwa Dia melihatmu. Hal ini karena umumnya kaum sufi mengidentikkan tasawuf dengan ihsân. Artinya, tasawuf pada intinya adalah beribadah kepada Allah SWT. Hanya saja, dalam tasawuf ditekankan agar ibadah hendaknya tidak semata-mata gerakan-gerakan fisik yang kosong, melainkan penuh khusyû‘ dan

Noer, Tasawuf Perenial, h. 22. Noer, “Memahami Tasawuf,” h. 83-85. 38 Bagir, Buku Saku Tasawuf, h. 139 36 37

302


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

khudhû‘ (menghadirkan hati dengan penuh kerendahan di hadapan Allah). Hadis lain yang biasa dikutip dalam buku-buku tasawuf adalah tentang hamba-hamba Allah yang mendekatkan diri secara terus-menerus dangan melakukan ibadah sunnah, sehingga Allah mencintainya, Dia menjadi matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar, kakinya untuk berjalan dan seterusnya. Lagi-lagi di sini ibadah dipahami oleh kaum sufi sebagai inti tasawuf. Adalah kaum sufi juga yang menekankan bahwa salat sebagai tangga (mi‘râj) kaum Mukmin. Bahwa salatlah yang bisa membawa seseorang bertemu dengan Allah. Demikian juga halnya puasa, haji, zakat, bersedekah dan sebagainya. Sudah merupakan suatu kelaziman bahwa para sufi secara khusus membahas kegiatan-kegiatan ibadah mahdhah (ritual) dalam buku-buku mereka, dan itu tidak terbatas pada para sufi “ortodoks” seperti al-Ghazâlî, melainkan juga dalam karya-karya para sufi lain seperti Ibn ‘Arabî dan Sayyid Haidar Amuli. Bagi kaum sufi, syariat adalah landasan tasawuf (tharîqah), sedangkan tharîqah adalah jalan menuju hakikat (haqîqah/ kebenaran sejati).39 Sejalan dengan itu, kaum sufi amat menekankan perlunya manusia menahan diri dari nafsu-nafsu duniawi demi mendekatkan diri kepada Allah. Al-Qusyairî, penulis kitab Risâlah al-Qusyairiyyah,40 misalnya menyatakan bahwa tanpa syariat seseorang tidak akan berhasil meraih hakikat. Bahkan, menurutnya, hakikat identik dengan syariat, dan sebaliknya. Abû Bakr Muhammad al-Kalâbâdzî, penulis buku al-Ta‘arruf li Madzhab Ahl al-Tashawwuf, juga berupaya menemukan jalan tengah dan mendamaikan ortodoksi dengan tasawuf. Dalam buku tersebut dia menyatakan bahwa kewajiban menjalankan perintah-perintah syariat mengikat siapa pun, bahkan para wali yang telah mencapai tingkat tertinggi. Tidak ada satu maqâm (tataran) pun yang membuat orang yang telah meraihnya bebas dari kewajiban syariat. Justru sebaliknya, makin tinggi maqâm seseorang dalam tasawuf, seharusnya makin keraslah kesetiaannya terhadap ajaran-ajaran syariat. Al-Hujwîrî, penulis Kasyf alMahjûb, menisbahkan kemunafikan kepada orang-orang yang mengaku sufi, tetapi tidak menjalankan perintah-perintah syariat. Bahkan Ibn ‘Arabî, tokoh sufi yang pikiran-pikirannya seringkali disalahpahami orang sehingga dituduh sebagai kafir itu, mendefinisikan tasawuf sebagai “mengikatkan diri kepada perilaku-perilaku terpuji menurut syariat baik secara lahir maupun batin”.41 Kesalahpahaman tersebut mungkin lahir dari adanya suatu kelompok tertentu dalam sejarah tasawuf yang disebut sebagai malâmatiyyah, yang mendedahkan diri terhadap celaan orang. Kelompok ini berpendapat bahwa untuk dapat terjauhkan dari dunia dan dekat kepada Allah mereka harus mendedahkan diri mereka kepada celaan-celaan orang lain. Semakin banyak mereka dicela dan semakin rendah kedudukan mereka di hadapan

Ibid., h. 140-141 Abû al-Qâsim al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilm al-Tashawwuf (Beirut: Dâr al-Khair, t.t.) 41 Ibn al-‘Arabî, al-Futûhât al-Makkiyyah, Vol. II (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 128; Bagir, Buku Saku Tasawuf, h. 141-143. 39 40

303


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 manusia, menurut kelompok ini, maka semakin mungkin mereka untuk bersikap rendah diri di hadapan Allah. Meski pendapat seperti ini bukannya sama sekali tidak berdasar, namun hal ini terkadang disalahgunakan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Ada sekelompok di antara orang-orang yang mengaku sufi seperti ini (mustashwifîn, kaum ‘berlagak sufi’) menampilkan diri sebagai orang-orang yang tidak menjalankan perintah syariat agar orang menganggap buruk dan mencela mereka. Terhadap kelompok (yang menyalahgunakan pandangan kaum malâmatiyyah) seperti ini, al-Hujwîrî bersikap amat keras dengan menyatakan bahwa mereka telah nyata-nyata melakukan kesalahan, kejahatan, dan mengumbar nafsu. Yang mereka cari sesungguhnya hanyalah popularitas di mata orang. Dengan kata lain, tindakan-tindakan mereka yang seolah-olah agar tidak populer itu justru hanyalah untuk mencari popularitas. Berbeda dengan kaum malâmatiyyah sejati,42 yang memang sudah populer (sebagai sufi), orang-orang seperti ini biasanya tidak dikenal orang. Mereka sama sekali bukan ahli atau tokoh tasawuf, alias bukan siapa-siapa. Dengan demikian, jelaslah bahwa kaum sufi tidak pernah meremehkan syariat, sebaliknya mereka menempatkan syariat pada posisi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Bahkan, bagi mereka, tidak ada tasawuf, tidak ada pencapaian hakikat tanpa syariat. Tegasnya, maqâm kesufian seseorang sepenuhnya sangat tergantung pada intensitasnya dalam menjalankan perintahperintah syariat.43 Karena tasawuf merupakan “jantung” (the heart) ajaran Islam, tidak semua orang bisa mencapai tingkat tertinggi spiritualitas tasawuf. Dalam kenyataannya, umat Islam terbagi menjadi dua golongan besar, golongan khawas dan golongan awam. Pada golongan khawas, Nasr percaya adanya individu-individu istimewa yang sengaja dipilih oleh Tuhan sebagai penunjuk jalan bagi golongan yang lain. Mereka, karena dipilih, tidak mustahil berhasil mencapai maqâm (stasiun) tertinggi dalam tasawuf. Sedangkan bagi golongan masyarakat awam dipandang cukup dengan menempuh kehidupan sesuai dengan ajaran syariat agar dapat masuk surga. Akan tetapi, bagi mereka yang ingin mencapai realitas ruhani yang lebih sempurna, maka Islam juga telah menyediakan sarana untuk itu, yaitu tasawuf.44 Demikian uniknya pengamalan tasawuf, Nasr mengingatkan, bagaimanapun dalam melakukan perjalanan spiritual (tasawuf) harus ditempuh dengan bimbingan seorang syaikh, mursyid atau pir terpercaya, yang memungkinkan terjadinya kelahiran kembali Malâmatiyyah adalah segolongan orang-orang tasawuf yang muncul di Nisyapur dan sekitarnya, sejak paruh kedua abad ke-9 (3 H) sampai awal abad ke-11 (5 H). Mereka disebut demikian, karena mereka berupaya terus-menerus melakukan malâmat (celaan, kritik, atau koreksi) terhadap keadaan batin atau jiwa mereka sendiri. Upaya demikian mereka pandang sebagai metode terbaik untuk menghindari kelengahan diri dan sekaligus memacu jiwa untuk senantiasa berjuang meningkatkan kualitas batin dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Lihat Harun Nasution (ed.)., Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 607. Lihat juga Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam (Bandung, Mizan, 2002), h. 278-279. 43 Bagir, Buku Saku Tasawuf, h. 144-146. 44 Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (New York: Caravan Book, t.t.), h. 57. 42

304


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

mencapai transformasi ruhani. Demikian sentralnya peran seorang syaikh, mursyid atau pir dalam tasawuf, karena menurut Nasr, ada hubungan antara seorang syaikh atau mursyid dengan Rasulullah SAW. melalui silsilah yang dilengkapi fungsi untuk melakukan inisiasi (wilâyah) yang menyatu (inheren) dengan misi kenabian, karena itu seorang syaikh atau mursyid sufi mampu mengeluarkan muridnya dari lingkungan dunia material untuk masuk ke dalam kehidupan ruhani yang amat luas tidak bertepi. Lebih jauh ditegaskan Nasr, bahwa tidak ada jalan keruhanian asli yang mungkin tanpa guru, apalagi tasawuf. Guru sufi adalah wakil dari peranan esoterik Nabi Muhammad SAW., dan dengan cap yang sama ia adalah alamat dari rahmat Tuhan yang menyediakan diri kepada mereka yang ingin berpaling kepadanya. Syarî‘ah (hukum Tuhan) diperuntukan bagi seluruh orang Islam, bahkan bagi seluruh umat manusia. Akan tetapi, tarekat (tasawuf) hanya diperuntukkan bagi mereka yang mencari Tuhan dan yang mencari Kebenaran di balik yang berubah ini, yang walaupun hadir di sini dan sekarang, pada saat yang bersamaan merupakan sumber semua wahyu yang transenden dan kekal. Tarekat (tasawuf) dengan demikian merupakan upaya di mana manusia dapat kembali kepada sumber wahyu keislaman sendiri dan menjadi, dalam arti keruhanian, baik sebagai sahabat maupun sebagai penerus Nabi Muhammad SAW. dan para wali.45 Manusia mengalami masa tua, renta dan mati, sementara orang yang dikarunia kekayaan rohani selalu tetap muda secara batin. Setelah mabuk meminum dari sumber kehidupan yang kekal dan setelah memperoleh kedekatan dengan mukjizat kebakaan ia hidup di musim semi jiwa yang langgeng, bahkan juga tubuhnya berhasil melalui musim dingin kehidupan. Itulah sebabnya guru mampu memberikan kemudaan kepada muridnya, berapa pun usianya. Menyaksikan guru yang sempurna adalah memperoleh puncak nikmat dan kegembiraan musim semi hidup, dan terpisah dari guru adalah merasakan dukacita umur tua. Rûmî menuturkan “aku menjadi tua oleh bencana, tapi kala Tabriz kau sebut, seluruh mudaku kembali kepadaku lagi.”46 Orang mungkin mencari sumber hidup sendiri. Ia mungkin berusaha menemukan prinsip-prinsip pewarisan kerohanian melalui usaha-usahanya sendiri. Tetapi usaha ini akan sia-sia dan takkan pernah memberikan hasil sebelum seorang guru hadir bersama muridnya yang hanya dia saja yang dapat memberikannya. Tanpa batu filosuf tak mungkin terjadi perubahan kimia. Hanya kuasa syeik yang dapat membebaskan seseorang dari dirinya dan nafsu rendahnya. Demikian pula gurulah yang memungkinkan seseorang menyaksikan alam semesta sebagaimana adanya sesungguhnya dan menyeru laut Kebenaran Universal. Rûmî menegaskan “tanpa kuasa raja Syams al-Haqq dari Tabriz, seseorang tidak bisa melihat bulan dan menjelma laut.”47

Ibid. R. A. Nicholson, Selected Poems from Divani Shamsi Tariz (Cambridge, 1952), h. 25. 47 Ibid., h. 79 45

46

305


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Untuk melakukan pendakian spiritual, seorang sufi harus melalui jenjang stasiunstasiun (maqâmât) spiritual yang dikenal dalam tasawuf secara bertahap. Maqâmât tersebut mulai dari bawah yaitu taubat, zuhud, warak, fakir, sabar, tawakal, rida dan seterusnya. Dalam menyikapi banyaknya variasi susunan maqâmât yang dikemukakan para sufi, Nasr tidak menentukan pilihan salah satu pandangan lalu membuang yang lain, tetapi ia hanya mengemukakan teori maqâmât dalam tasawuf secara umum. Namun, ia tetap menekankan bagi mereka yang ingin menjadi sufi secara total, maqâmât tersebut harus dilalui mulai dari jenjang yang paling bawah sampai ke tingkat yang teratas.48

Pandangan Barat terhadapTasawuf Seperti sudah dijelaskan, baik tasawuf maupun syariat kedua-duanya bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Namun demikian, menurut Nasr, jarang ada sarjana Barat yang mempelajari Islam yang menyadari bahwa akar tasawuf terdapat dalam alQur’an. Sebenarnya, bertahun-tahun yang lalu Massignon telah menulis bahwa dengan membaca al-Qur’an beberapa kali saja sudah cukup untuk menyadarkan orang bahwa tasawuf bersumber dari al-Qur’an. Margoliuth juga mengakui al-Qur’an sebagai sumber tasawuf; dan tentunya juga Corbin, yang memiliki pandangan berbeda dengan kebanyakan orientalis dan melakukan penelitiannya tentang Islam dengan rasa keikutsertaan, telah memastikan kenyataan essensial ini berkali-kali. Tetapi sebagian besar pengarang Barat, barangkali karena tidak mau mengakui kehadiran dimensi spiritual dalam Islam, telah mengajukan berbagai teori tentang asal usul tasawuf, teori yang sesungguhnya hanya menyinggung ekspresi lahir tasawuf dan bukan tasawuf yang sebenarnya.49 Ada yang berpendapat bahwa tasawuf terbentuk karena pengaruh Neoplatonisme, monatisisme Kristen, “reaksi Arya” terhadap agama semit, Zoroastrianisme, Manichaeaisme, Hinduisme, dan Buddhisme. Di dalam setiap kasus, beberapa persamaan bentuk atau bahkan peminjaman metode atau ekspresi tertentu ditonjolkan sebagai bukti tentang asal usul tasawuf yang non-Islam. Tetapi apa yang ada di balik argumen ini hampir selalu berupa Para sufi abad ketiga hijriyah membicarakan tingkatan-tingkatan (maqâmât) dan penemuanpenemuan kerohanian (ahwâl) yang harus dilalui satu demi satu oleh setiap calon sufi (sâlik). Jumlah dan urutannya tidak ada kesepakatan antara para penulis sufi yang menjelaskannya. Al-Sarrâj menjelakan tujuh maqâmât (taubat, warak, zuhud, fakir, sabar, tawakal, dan rida), dan sepuluh ahwâl (muraqabah, kedampingan, cinta, takut, harap, rindu, tentram, memandang Tuhan dan yakin). Sedangkan Abû Thâlib al-Makkî menjelaskan lebih banyak lagi. Tetapi seluruhnya bermula dari taubat, dan secara keseluruhannya, apa yang yang disebut maqamat itu mencerminkan proses perkembangan kejiwaan sufi seperti apa yang disebut purgative, illuminative, dan unitive stages, dalam istilah mistik Barat. Lihat al-Sarrâj, Al-Luma’ (t.t.p.: t.p., t.t.), h. 70104; Abû Thâlib al-Makkî, Qût al-Qulûb (Kairo: t.p., 1332 H), h. 364-530; Nasr, Sufi Essays, terutama bab V (The Spiritual States in Sufism), h. 68-83. 49 Lebih lanjut lihat Abû al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî (Kairo: Dâr al-Tsaqâfah li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr, 1979), h. 23-34; Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 127. 48

306


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

asumsi apriori bahwa Islam bukanlah wahyu Tuhan dan karena itu tidak mungkin memiliki dimensi spiritual yang asli. Ada keyakinan yang telah lama berakar di dunia Barat bahwa Islam hanyalah agama kekerasan yang telah membentuk tata masyarakat dengan paksaan,50 sehingga semua hal yang bersifat kontemplatif dan metafisis di dalamnya pasti merupakan peminjaman dari luar. Apa yang terlampaui dari pandangan mereka yang mengajukan teori tentang sumber tarekat yang eksternal adalah sifatnya sebagai petunjuk spiritual. Jalan spiritual adalah petunjuk dengan mana orang akan mampu mengatasi batas-batas manusiawi dan mendekati yang agung. Karenanya, jalan-jalan itu bukanlah ciptaan manusia. Mencoba untuk mengatasi sifat manusiawi dengan sesuatu yang diciptakan manusia adalah absurd. Setiap orang yang mengakui adanya kehidupan spiritual harus mengakui bahwa jalan hidup tersebut mengandung karunia yang bukan ciptaan manusia, bahwa ia haruslah sebuah jalan yang diciptakan Tuhan dan ditempatkan di hadapan manusia untuk ditempuh.51 Kebenaran yang mendasar ini dapat diterapkan pula dalam tasawuf. Kata Nasr, tasawuf dalam Islam adalah jalan spiritual yang dapat menghasilkan kesucian, yang buahnya menunjukkan asal usul yang suci melalui keharuman spiritual yang menyertainya; atau ia dipinjam dari luar Islam, yaitu dipinjam dan diciptakan oleh manusia sehingga dalam hal mana ia bukanlah jalan spiritual. Jika tasawuf dapat menciptakan orang-orang yang suci dan memiliki kekuatan spiritual, maka tentunya barakah yang memungkinkan transformasi jiwa tersebut berasal dari sesuatu Yang Suci, dan lebih dari pada itu, berasal dari sumber wahyu Islam sendiri. Barakah itu harus berupa “barakah Muhammadiyah”, sebab barakah Kristen atau Buddha tentu tidak akan mampu menciptakan seorang Muslim yang suci, yang menjadi tanda kelebihan religius Islam, seperti juga barakah Muhammadiyah tidak bisa menciptakan seorang Kristen atau Budha yang suci. Dalam kedua hal ini, barakah dari bentuk tradisi lain akan bisa, dalam keadaan tertentu, membantu ke arah kesadaran tentang tujuan spiritual. 52 Nasr menegaskan bahwa bagi mereka yang menolak otentika kehidupan spiritual, argumen serupa itu tidak mempunyai arti apa-apa, tetapi orang tentunya tidak dapat menerima otentika, misalnya spiritualitas Kristen dan menolak spiritualitas Islam dengan berpegang pada argumen historis murni. Di dalam setiap tradisi pohon spiritual memiliki akar di dalam sumber tradisi tersebut. Setiap pemeluk Kristen akan menganggap absurd setiap pernyataan bahwa spiritualitas St. Augustinus berasal dari Yunani karena ia memahami Platonisme dan Neoplatonisme, sebab ia tahu bahwa St. Augustinus menjadi seorang Santo bukan dengan membaca tulisan-tulisan para filosuf, melainkan melalui karunia

Lebih lanjut baca apendik 3 “Pandangan Barat tentang Islam, Hasil Sejarah Panjang” dalam Thâriq Ramadlân, Menjadi Modern Bersama Islam, terj. Zubair dan Ilham Saenong (Jakarta: Teraju, 2003), h. 421-429. 51 Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 128. 52 Ibid. 50

307


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Kristus. Bijak bestari Yunani seperti Plato dan Plotinus hanya memberikan kepadanya bahasa yang tepat untuk mengekspresikan kebenaran Kristen. Tetapi ada beberapa orang yang tidak menyadari bahwa juga merupakan hal yang absurd untuk mengatakan bahwa spiritualitas al-Hallâj atau Ibn ‘Arabî atau Rûmî bersifat non-Islam karena mereka berbicara tentang cinta yang menyerupai ajaran Kristen atau menggunakan perumusan doktriner yang dipinjam dari Neoplatonisme atau juga Hermetisisme. Yang membuat mereka menjadi orang-orang suci bukanlah ide ini atau itu yang pernah diucapkan oleh bijak bestari Kristen atau Yunani tertentu, melainkan berkah Muhammad, kehadirannya yang dikandung oleh metode dan teknik tasawuf. Mereka adalah buah pohon spiritual Islam dan tidak ada pohon dapat berbuah kecuali bila akarnya tertanam kokoh di tanah tempat tumbuhnya. Dalam hal pohon spiritual “tanah” tersebut haruslah berupa wahyu Tuhan dan akarnya harus berupa ikatan langsung yang menghubungkan setiap manifestasi spiritual dalam suatu tradisi dengan sumbernya.53 Nasr menambahkan, sebagai perbandingan perlu dikemukakan bahwa tasawuf juga mempunyai pengaruh atas gerakan Bhakti di India dan beberapa orang suci Hindu, bahkan telah menulis sajak-sajak mistik yang didasarkan pada sajak-sajak sufi Persia. Tetapi apabila mereka ini betul-betul orang suci, waktu mereka bersemadi dan menyebut nama “Rama“ atau nama suci lainnya, yang hadir adalah kekuatan yang timbul dari tradisi Hindu dan menunjukan kekuasaannya dengan membuat mereka menjadi orang suci, yang di dalam anggapan pemeluk Hindu adalah inkarnasi dari kekuatan spiritual Hinduisme. Bukan sajak-sajak sufi yang membuat mereka menjadi orang suci melainkan kehadiran kekuatan spiritual Hinduisme sendiri, meskipun di India dalam Abad Pertengahan, di mana terdapat dua tradisi keagamaan besar secara bersamaan, sering kali seseorang tersentuh oleh kekuatan spiritual tradisi lain. Di sini terlihat kembali bahwa setiap tradisi memiliki norma spiritual tersendiri, yang tampak dengan jelas pada orang-orang suci dalam tradisi tersebut.54 Kesalahan pandangan orientalis tentang usul-usul tasawuf disebabkan karena pandangan tersebut mengacaukan tinjauan tentang keseluruhan struktur Islam, dan tidak memungkinkan pemahaman yang sebenarnya tentang tasawuf. Jika tasawuf dianggap sebagai sesuatu yang dipinjam dari luar, maka Islam di mata orang asing akan dianggap sebagai sistem sosial politik belaka, yang tidak berhubungan dengan kebutuhan spiritual menusia yang paling dalam. Pengabaian studi tentang Islam di bidang perbandingan agama adalah karena diabaikannya aspek Islam yang kontemplatif dan yang sering dianggap tidak asli. Lagi pula, tasawuf tidak dapat dipahami dengan baik dan dibahas dengan serius sebelum disadari bahwa tasawuf, atau dimensi esoterik Islam, seperti gejala aspek ortodoksi Islam didasarkan pada al-Qur’an dan hadis.55 Nasr, Ideals and Realities of Islam, h. 129. Ibid. 55 Ibid., h. 130. 53 54

308


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

Upaya untuk menjawab tuduhan keliru para orientalis Barat tentang asal usul tasawuf juga dilakukan oleh para ulama lain. Di antaranya adalah Abû al-Wafâ’ al-Ghanîmî alTaftâzânî yang menulis buku Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî (Kairo: Dâr al-Tsaqâfah li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr, 1979). Dalam kitab tersebut, ia mengetengahkan pandangan keliru dari para orientalis yang menganggap bahwa tasawuf bersumber dari luar Islam. Di antaranya adalah Thouluck, seorang orientalis dari abad ke-19, yang menganggap bahwa tasawuf ditimba dari sumber Majusi, dengan alasan bahwa sejumlah besar orangorang Majusi di Iran Utara, setelah penaklukan Islam, tetap memeluk agama mereka, dan banyaknya tokoh sufi yang berasal dari sebelah utara kawasan Khurasan. Di samping itu, kenyataan bahwa sebagian pendiri aliran-aliran sufi angkatan pertama berasal dari kelompok orang-orang Majusi. Orientaris lain, yaitu Dozy, yang berpendapat bahwa tasawuf dikenal oleh kaum Muslim lewat orang-orang Persia yang telah berkembang di sana karena diajarkan orang-orang India sebelum datangnya Islam. Sejak masa purba, di Persia telah hidup suatu gagasan yang menganggap bahwa asal-muasal timbulnya segala sesuatu adalah dari Tuhan, semesta ini tidak mempunyai wujud tersendiri, dan wujud yang riil hanyalah Tuhan. 56 Sekelompok orientalis lain (seperti Von Kramer, Ignaz Goldziher, Asin Palacios, dan O’leary) beranggapan bahwa tasawuf berasal dari sumber Kristen. Dengan alasan, adanya suatu interaksi antara orang-orang Arab dan kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam; adanya segi-segi persamaan antara kehidupan asketis ataupun sufi, dalam ajaran serta tata cara mereka ketika melatih jiwa dan mengasingkan diri, dengan kehidupan al-Masih dan ajaran-ajarannya, dan dengan para rahib dalam cara mereka beribadat dan berpakaian.57 Kaum orientalis lainnya, seperti M. Horten dan R. Hartman, berpendapat bahwa tasawuf ditimba dari sumber India. Mereka berpendapat sebagian teori tasawuf dan bentukbentuk dari latihan ruhaniahnya menyerupai bentuk-bentuk dan latihan-latihan dalam mistisisme orang-orang India, karena itu mereka berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari aliran Vedanta di India.58 Menanggapi beberapa pandangan para orientalis tersebut, al-Taftazani menegaskan, para sufi tidaklah sekedar menukil orang-orang Persia, Kristen, dan India, karena tasawuf pada dasarnya berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia adalah satu, sekalipun terdapat perbedaan bangsa atau rasnya. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan-latihan ruhaniah, memang bisa saja sama, meskipun tidak terjadi kontak antara keduanya. Ini berarti adanya benang merah di antara pegalaman para sufi, betapapun berbedanya interpretasi antara seorang sufi yang satu dengan yang lainnya

Al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf, h. 23. Ibid., h. 24-25. 58 Ibid., h. 27-28. 56 57

309


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 sesuai dengan beragam budaya di mana mereka hidup. Atas dasar ini, maka terdapatnya kesamaan antara tasawuf dengan berbagai bentuk mistisisme asing tidak selalu berarti bahwa gagasan tasawuf ditimba dari sumber-sumber lain. Yang lebih tepat adalah gagasan tasawuf muncul dari kaum Muslim sendiri. Sebab, pengetahuan mereka, seperti kata mereka, muncul dari intuisi dan pemahaman mereka sendiri terhadap sumber-sumber agama Islam baik al-Qur’an maupun hadis. Lebih lanjut, Abû al-Wafâ’ al-Ghanîmî al-Taftâzânî menegaskan, semua tingkatan (al-maqâmât) dan keadaan kejiwaan (al-ahwâl) para sufi, yang pada dasarnya merupakan obyek utama tasawuf, semuanya berlandaskan al-Qur’an.59

Penutup Sebagai agama kesatuan (tawhîd), semua aspek ajaran dan praktik Islam yang benar menunjukkan prinsip yang sentral dan penting ini. Syariat Islam merupakan jaringan amanat dan aturan yang luas yang mempertalikan dunia yang jamak secara batin dengan Pusat Yang Tunggal, yang berbeda dengan kemajemukan yang berada di sekitarnya. Tasawuf sebagai intisari (dimensi dalam) wahyu Islam adalah sebagai upaya yang luhur untuk mencapai tauhid. Seluruh jalan keruhanian (tharîqah) dalam tasawuf bertujuan membebaskan manusia dari penjara kemajemukan, mengobati manusia dari kemunafikan dan membuatnya menjadi manusia yang utuh, karena hanya dengan keutuhan itulah manusia dapat menjadi suci. Dengan kata lain, tujuan utama tasawuf adalah pengutuhan manusia dengan seluruh kedalaman dan keluaran keberadaannya dan seluruh keluasan yang tercakup dalam pribadi manusia, yang kemudian terkenal dengan sebutan manusia sempurna (al-insân al-kâmil).60 Tasawuf yang bertujuan tercapainya kesadaran murni dan menyeluruh ini, bukan dengan meniadakan akal seperti dilakukan dalam praktik kesalehan gerakan keagamaan modern, tetapi melalui pengetahuan tiap unsur dari wujud seseorang menuju pusatnya sendiri yang benar. Manusia yang terdiri dari tubuh, pikiran (mind) dan jiwa (spirit) masing-masing perlu diutuhkan menurut tingkatnya sendiri. Meskipun tubuh merupakan aspek paling luar dari manusia, memiliki keberadaan obyektif dan ragam tindakan sendiri, ia bukanlah rintangan paling besar dalam upaya pengutuhan itu.61 Ajaran tasawuf diperlukan bagi manusia yang pikirannya kebingungan sebagai suatu pengetahuan teoritis tentang susunan kenyataan dan tempat manusia di dalamnya. Ia Ibid., h. 31-32. Sejalan dengan pandangan Nasr ini, Muhammad Zakî Ibrâhîm menegaskan bahwa tasawuf, sebagai inti ajaran Islam, mengajarkan manusia untuk menjadi manusia merdeka, mengajarkan manusia untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Tasawuf mengajarkan manusia untuk menaklukkan hawa nafsu dan syahwatnya serta mengalahkan setan. Tasawuf mengajak manusia meninggalkan semua bentuk pengabdian kecuali hanya kepada Allah. Tasawuf adalah kebebasan mutlak dari setiap pengaruh kebendaan dan hawa nafsu, sebab seorang sufi adalah seorang yang telah menyelami makna lâ ilâha illâ Allâh (tiada Tuhan selain Allah). Muhammad Zakî Ibrâhîm, Abjâdiyyat al-Tashawwuf al-Islâmî, h. 155. 61 Nasr, Sufi Essays, h. 43-44. 310 59 60


Syamsuri: Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

dengan sendirinya adalah hasil dari penglihatan ruhani para salik dan wali yang, setelah mencapai martabat kesemestaan, telah diberi penglihatan tentang semesta. Dengan demikian, ia berdiri di awal dan akhir jalan kerohanian. Peranan ajaran tasawuf dalam pengutuhan pikiran dan kehidupan manusia modern merupakan suatu hal yang sangat mendesak tidak bisa dihindari.

Pustaka Acuan Arberry, A.J. Sufism: An Account of the Mysticof Islam. London: George Allen and Unwin Ltd., 1979. Al-Anshârî, Muhammad ‘Abd al-Haq. Sufism and Syari‘a: A Study of Syaikh Ahmad Sirhindi’s Effort to Reform Sufism. Jakarta: Rajawali. 1990. Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf. Bandung: Arasy-Mizan Utama, 2005. Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad. Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Juz I-IV. Beirut: Dâr al-Fikr. 1980. Al-Hujwîrî, Abû al-Hasan ‘Âlî ibn ‘Utsmân. Kasyf al-Mahjûb. trans. R.A. Nicholson. London, 1976. Ibn ‘Arabi. Al-Futûhât al-Makkiyyah. 4 Vol. Beirut: Dâr al-Fikr. t.t. Ibrâhîm, Muhammad Zakî. Abjâdiyyat al-Tashawwuf al-Islâmî. Kairo: al-‘Asyîrah alMuhammadiyyah. 1989. Al-Kalâbâdzî, Abû Bakr Muhammad. The Doctrine of the Sufis. trans. A.J. Arberry. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1979. Al-Makkî, Abû Thâlib. Qût al-Qulûb. Kairo: t.p.. 1332 H. Al-Naisâbûrî, Abû al-Qâsim al-Qusyairî. Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilm al-Tashawwuf. Beirut: Dâr al-Khair, t.t. Nasr, Seyyed Hossein. Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam. Bandung. Mizan. 2002. Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realities of Islam. Chicago: ABC International, 1999. Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Life and Thought. Chicago: ABC International, 2001. Nasr, Seyyed Hossein. Sufi Essays. New York: Caravan Book, t.t. Nicholson, R. A. Selected Poems from Divani Shamsi Tariz. Cambridge. 1952. Noer, Kautsar Azhari. Tasawuf Perenial Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta: Serambi, 2002. Noer, Kautsar Azhari. “Memahami Tasawuf: Suatu Tanggapan terhadap Beberapa Tuduhan,” dalam Ahmad Najib Burhani (ed). Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf Positif. t.t.p.: t.p., t.t. Nasution, Harun (ed.). Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan. 1992. Al-Naisâbûrî. Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilm al-Tashawwuf. Beirut: Dâr al-Khair. t.t. Al-Randî, Muhammad ibn Ibrâhîm. Syarh al-Hikam. Singapura & Jeddah, t.t. 311


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Ramadhân, Thâriq. Menjadi Modern Bersama Islam, terj. Zubair dan Ilham Saenong. Jakarta: Teraju, 2003. Al-Sarrâj. Al-Luma’. t.t.p.: t.p., t.t. Schuon, Frithjof. Understanding Islam. trans. Macleod Matheson. London: Allen and Unwin. 1963. Al-Taftazani, Abû al-Wafa’ al-Ghanimi. Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî. Kairo: Dâr al-Tsaqâfah li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr, 1979.

312


DIALOG AL-QUR’AN DENGAN ‘URF ARAB DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBENTUKAN HUKUM ISLAM Hadri Hasan Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura, Jambi, 36124 e-mail: yanibangko@yahoo.com

Abstrak: Al-Qur’an yang merupakan mukjizat terpenting Nabi Muhammad SAW. dan diturunkan dalam bahasa komunitas masyarakat Arab sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia, telah mereformasi ‘urf Arab pra Islam. Reformasi yang dibawa al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat yang memiliki konsep dan implikasi yang berdampak terhadap penetapan hukum baru. Penulis mengemukakan bahwa implikasi perubahan yang dibawa al-Qur’an terhadap ‘urf Arab ada yang diakomodasi, dihapuskan dan bahkan ada yang ditolak oleh al-Qur’an seperti halnya praktik syirkah, hukum anak angkat, dan mengharamkan meminum khamar, maisir, dan ribâ. Ketiga bentuk reformasi tersebut kemudian menjadi bagian dari sistem hukum Islam di bidang mu‘âmalah, munâkahat dan jinâyah sebagaimana dijumpai dalam sistematika buku fikih Islam dewasa ini. Abstract: Qur’anic Dialogue with Arab Tradition and its Implication for the Formation of Islamic Law. Al-Qur’an as the most important miracle of the Prophet Muhammad (may peace be upon him) which was revealed in the language of the Arab society guiding the life of human kind, has brought with it changes to pre-Islamic Arab traditions. The Qur’anic reformation covers various aspects of social lives the concept and implication of which gave rise into the formation of new laws. The author maintains that the implication of the changes introduced by the Qur’an might accommodate, abolish and even reject the Arab traditions such as the practice of syirkah, child adoption and the prohibition of intoxicating drink, gambling and interest on loan respectively. The three types of reform then became part of Islamic legal system in the realms of mu’amalah, munakahat dan jinayah as found in today’s book of Islamic jurisprudence.

Kata Kunci: hukum Islam, al-Qur’an, ‘urf Arab

313


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Pendahuluan Berbicara tentang dialog antara al-Qur’an dengan ‘urf Arab (budaya lokal Arab), setidaknya harus mengungkapkan kembali kehidupan bangsa Arab pra-Islam yang dikenal dengan kehidupan Arab Jahiliyah. Salah satu topik yang menarik di kalangan ilmuwan Muslim dan orientalis dalam hal ini adalah perbincangan tentang pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam yang kemudian dikenal dengan fikih Islam atau syariat Islam. Ketiga istilah ini diartikan oleh para ahli sebagai koleksi dan upaya para fukaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sebagian orientalis Barat seperti Joseph Schacht beranggapan bahwa pemikiran hukum Islam baru muncul pada akhir masa pemerintahan Bani Umayyah dan bukti tentang hukum Islam hanya didapatkan pada tahun seratus Hijriyah. Maksudnya, selama abad pertama hijriyah, dalam pengertian teknis sebenarnya hukum Islam belum ada.1 Dalam hal ini Schacht seperti dikutip Arfa mengatakan kewenangan Nabi Muhammad SAW. dalam pembentukan hukum Islam dapat disimpulkan bahwa; Muhammad hampir tidak mempunyai alasan untuk mengganti hukum yang berdasarkan ‘urf atau budaya lokal yang sudah ada. Tugasnya sebagai Rasulullah bukan untuk menciptakan suatu sistem hukum yang baru, melainkan untuk mengajarkan manusia bagaimana bertindak, apa yang harus dan yang tidak boleh diajarkan. Tujuannya agar nanti mendapat keselamatan pada hari pembalasan dan berhak masuk surga. Wewenang Muhammad bukan dalam masalah hukum, melainkan pada masalah agama dan politik.2 Sanggahan terhadap pandangan Schacht yang demikian muncul dari kalangan penulis Barat sendiri, seperti David S. Power yang mengatakan bahwa, hukum Islam telah muncul pada abad pertama hijriyah, tepatnya pada masa Nabi Muhamamd SAW. Power menyebutkan bahwa “setiap usaha untuk menyelidiki dan memahami asal mula pertumbuhan hukum Islam harus menempatkan al-Qur’an sebagai landasan dan titik tolaknya.”3 Hal senada juga dkemukakan oleh S.D. Goitien yang berpendapat bahwa ide-ide tentang syariat (hukum Islam) bukanlah merupakan hasil dari perkembangan yang terjadi pasca turunnya al-Qur’an, melainkan hasil formulasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. sendiri. Selanjutnya Goitien mempertanyakan apakah syariat Islam mempunyai keterkaitan dengan Nabi Muhammad sebagai pembawa syariat? Jika ada kaitannya, maka hal itu dapat dijadikan bukti bahwa syariat Islam telah diformulasikan dalam oleh alQur’an dan peristiwa sejarah periode Madinah sebagai dasar argumentasinya.4 N. J. Coulson seperti dikutip Arfa juga menjelaskan bahwa kegiatan hukum Islam telah terjadi sejak awal M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falasafah Hukum Islam, Cet. 5 (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 44. Faisar Ananda Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis tentang Hukum Islam di Barat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996), h. 1. 3 David S. Power, Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of Islamic Law of Inheritance (Berkeley: University of California Press, 1986), h. xii. 4 S.D. Goitein, Studies in Islamic History and Institution (Leiden: E.J. Brill, 1968), h. 23-29. 1 2

314


Hadri Hasan: Dialog Al-Qur’an dengan ‘Urf Arab

pertama hijriyah. Menurut Coulson, Muhammad adalah seorang tokoh yang secara alamiah dipandang sebagai orang yang ideal untuk mendamaikan perselisihan, karenanya wajar saja bila berbagai masalah hukum dihadapkan kepadanya untuk diselesaikan.5 Para ahli sejarah dan filsafat hukum Islam berpendapat bahwa hukum Islam muncul pada zaman Muhammad SAW. Hal itu ditandai dengan penetapan dasar-dasar musyawarah dan sistem pemerintahan, larangan perang yang bersifat opensif, perintah berbuat adil dan ihsan, perbaikan kedudukan wanita dan anak-anak di bawah umur, pengakuan terhadap hak milik perorangan, kewajiban menetapi janji, larangan melakukan penipuan, perbedaan antara hak-hak Allah atau hak-hak umum dengan hak perorangan dan sebagainya.6 Sebelum Islam datang, masyarakat Arab hidup dalam suatu tatanan budaya lokal (‘urf) yang terkenal dengan sistem kesukuan yang fanatik, di mana setiap kelompok mempunyai kepala suku dan jabatan diwarisi turun menurun. Sistem hukum yang hidup (living law) di kalangan masyarakat Arab berbentuk budaya lokal atau konvensi yang tertulis dan mempunyai spesifikasi sesuai dengan suku masing-masing. Schacht mengatakan bahwa istilah hukum dalam budaya lokal bangsa Arab sebelum Islam adalah asli (native) sampai masa tertentu tetap berlangsung dalam istilah hukum Islam, yaitu Sunnah. Tetapi dengan datangnya perubahan bukan merupakan masalah, karena istilah-istilah hukum Islam tidaklah mesti tanpa bukti positif yang diduga berasal dari produk sebelum Islam. Dalam hal ini Schacht mengatakan bahwa apa yang kemudian disebut dengan Sunnah merupakan sebuah istilah baru yang diperkenalkan oleh Islam untuk menyebut salah satu aspek budaya lokal atau ‘urf Arab yang diintrodusir menjadi hukum Islam, tanpa legislasi dari al-Qur’an dan tanpa kewenangan Nabi Muhammad SAW untuk merubahnya.7 Tulisan ini tidak berpretensi untuk mendeskripsikan seluk-beluk dan awal mulanya pertumbuhan budaya lokal bangsa Arab sebelum diturunkannya al-Qur’an, tetapi secara sepintas membicarakan tentang eksistensi budaya lokal atau ‘urf Arab dalam konteksnya dengan dialog al-Qur’an dalam mensikapi, menilai dan kemudian menjustifikasi, merenovasi dan melakukan resistensi yang berimplikasnya terhadap pembentukan hukum Islam. Sementara pembahasan tentang hukum Islam dibatasi pada berbagai persoalan hukum waris, hukum keluarga, muamalah dan jinayah.

Keberadaan al-Qur’an dan ‘Urf Arab Al-Qur’an yang secara harfiah berarti bacaan sempurna merupakan salah satu nama pilihan Allah SWT. yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi al-Qur’an, bacaan

Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum, h. 44. Shobhi Mahmashani, Filsafat Hukum Islam, Cet. 2 (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h. 32-33. 7 Arfa, Sejarah Pembentukan Hukum, h. 11. 5 6

315


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 yang sempurna lagi mulia ini.8 Al-Qur’an adalah kitab Allah SWT. Diturunkan kepada Rasulullah SAW. yang tertulis dalam lembaran dan dinukilkan kepada manusia secara mutawatir tanpa keragaman.9 Al-Qur’an mempunyai ciri tersendiri dari sejumlah kitab yang diturunkan Allah, seperti Taurat, Injil, dan sebagainya, meskipun kitab-kitab ini milik Allah SWT., tetapi bukan kitab yang diperuntukkan buat manusia.10 Kata al-Qur’an terdapat pada berbagai ayat antara lain dalam Q.S. al-Qiyâmah/75: 17-18:

∩⊇∇∪ …çμtΡ#u™öè% ôìÎ7¨?$$sù çμ≈tΡù&ts% #sŒÎ*sù ∩⊇∠∪ …çμtΡ#u™öè%uρ …çμyè÷Ηsd $uΖøŠn=tã ¨βÎ) Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dalam) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaan itu.”11 Al-Raghib al-Isfahânî mengutip riwayat Ibn ‘Abbâs menjelaskan bahwa pengertian ayat di atas; “apabila kami telah mengumpulkannya dan kami menetapkannya di dalam dadamu dan untuk itu beramallah dengan bacaan itu.” Selanjutnya kata al-Isfahânî sebagian ulama mengatakan bahwa penamaan kitab suci sebagai al-Qur’an di antara kitab-kitab Allah yang lainnya karena al-Qur’an menghimpun substansi atau prinsip-prinsip pokok kitab-kitab lainnya, bahkan karena ia menghimpun substansi berbagai ilmu pengetahuan, sebagaimana dipahami dari kalimat “tafshîl li kulli syai’i” dan “tibyân li kulli syai’i”.12 Sebagai kitab suci yang diturunkan dalam bahasa Arab, al-Qur’an membicarakan berbagai aspek yang menyangkut dengan kehidupan masyarakat di mana ia diturunkan sesuai dengan kandungan dan tujuannya. Salah satu tujuan diturunkannya al-Qur’an ialah untuk menata kehidupan masyarakat di bidang hukum, seperti dikatakan Mahmûd Syaltût bahwa al-Qur’an berisikan prinsip-prinsip hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan sesamanya, meliputi persoalan ‘ibâdah, munâkahah, mu‘âmalah, jinâyah dan dustûriyah.13 Sebagian dari prinsip hukum itu dalam praktiknya telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab, kemudian al-Qur’an memberikan justifikasi atau pengakuan serta mengakomodasi sebagian nilai-nilai itu. Sementara praktik yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an ditolak dan dilarang. Penerimaan, penyesuaian dan penolakan itu menyangkut hukum-hukum yang terpisah dalam berbagai bidang hukum tertentu. Pada konteks itu menurut Mahmashani, ayat-ayat al-Qur’an diturunkan secara terpisahM. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Cet. 2 (Bandung: Mizan, 1996), h. 3. ‘Abd al-Karim Zaidan, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Tauzi` wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1993), h. 155. 10 Abû al-Hasan ‘Ali Ibn ‘Ali Ibn Muhammad al-Âmidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Jilid I (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, t.t.), h. 137-138. 11 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama RI, 1985), h. 999. 12 Al-Raghib al-Isfahânî, Mu‘jam Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Arabî, t.t.), h. 414. 13 Mahmud Syaltût, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Kairo: Dâr al-Qalâm, 1965), h. 8-11. 8 9

316


Hadri Hasan: Dialog Al-Qur’an dengan ‘Urf Arab

pisah sesuai dengan kejadian dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat pada zamannya. Ayat-ayat yang menyangkut dengan aturan-aturan hukum diturunkan secara berangsur-angsur sejalan dengan situasi sebab-sebab turunnya ayat dan disesuaikan dengan kemampuan masyarakat Arab saat itu untuk meninggalkan ‘urf atau kebiasaannya serta kemampuan untuk mengganti ‘urf dimaksud dengan hukum baru al-Qur’an, seperti terlihat dalam larangan dan penetapan hukum khamar dan maisir.14 Turunnya ayat-ayat hukum secara berangsur-angsur sesuai dengan konteksnya, terkait dengan kemukjizatan al-Qur’an itu sendiri yang oleh ‘Abd al-‘Azîz al-‘Arûsyi disebut sebagai upaya memudahkan setiap orang untuk memahami al-Qur’an sesuai dengan kadar pengetahuan dan kemampuan berpikir yang dimilikinya. Untuk itu al-Qur’an cocok untuk semua komunitas dan setiap generasi. Al-Qur’an cocok untuk masyarakat Arab primitif pada masa Rasul, sebagaimana juga cocok untuk masyarakat yang hidup di negara maju dan berperadaban tinggi. Kesesuaian al-Qur’an dengan tingkat pemahaman masyarakat merupakan prinsip kemudahan dalam mempelajarinya, seperti dijelaskan dalam alQur’an surat al-Qamar/54: 17 dan 22.15 Al-Qur’an yang dikenal sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW. dan merupakan kitab suci umat Islam, pada hakikatnya merupakan suatu kitab yang berisikan panduanpanduan yang bersifat global dan memerlukan rincian. Persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum ibadah tertentu hanya dibicarakan secara umum dan berbentuk dasar. Sejalan dengan hal itu Muhammad Rasyid Ridhâ mengatakan: Ulama-ulama salaf berpendapat bahwa al-Qur’an tidak mencakup semua perincian hukum segala sesuatu yang diperlukan, baik dari segi nash maupun kandungannya. Hanya saja al-Qur’an menetapkan kewajiban mengikuti Rasulullah. Dengan demikian, segala apa yang terbukti bersumber dari Sunnah termasuk dalam cakupannya.16 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa al-Qur’an tidak menguraikan secara terperinci tentang berbagai persoalan hukum ibadah dan rincian itu dikelaskan melalui Sunnah. Karena Sunnah ini menyangkut dengan praktik dan pengamalan nabi sebagai interpretator al-Qur’an dan hidup dalam komunitas masyakat Arab yang memiliki ‘urf atau tradisi tertentu, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam Sunnah itu sendiri terakomodasi apa yang disebut dengan ‘urf Arab. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa ‘urf Arab telah memberikan kontribusi yang cukup penting dalam pembentukan hukum Islam, baik dalam bentuk perintah, larangan, atau anjuran. Menafikan sumbangan ‘urf Arab dalam pembentukan hukum Islam dapat diartikan sebagai bagian dari resistensi

Mahmashani, Filsafat Hukum Islam, h. 106-107. Abdul Aziz al-‘Arusyi, Menuju Islam yang Benar: Kajian Kritis Qur’ani Menjelaskan Hakekat Islam, Cet. 2 (Semarang: Dina Utama, 1994), h. 33-34. 16 Muhammad Rasyid Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Jilid VII (Kairo: Maktabah al-Manâr, 1367 H), h. 395. 14 15

317


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 kedudukan Nabi Muhammad SAW. dan peranannya sebagai pembawa syariat Islam kepada umatnya yang dimulai dari masyakat Arab. Dalam mengemukakan berbagai persoalan yang berkaitan dengan hukum, al-Qur’an biasanya tidak menjelaskan dengan gamblang ada tidaknya ‘urf Arab yang diakomodasi dalam ketetapan itu. Sementara wujudnya mengindikasikan bahwa sebagian hukum itu sejalan dengan apa yang telah tumbuh dan berkembang sebagai ‘urf dalam kehidupan masyarakat Arab, meskipun tidak semua bagian yang tercakup dalam ketetapan itu bersumber dari ‘urf Arab. Sejarah menunjukkan bahwa sebagian ‘urf Arab diterima dengan baik, sementara sebagian lainnya disesuaikan dengan ajaran al-Qur’an dan yang selebihnya ditolak. Kewenangan itu berada di tangan Allah SWT. sebagai al-Syari’ dan dalam hal-hal tertentu menjadi kewenangan Rasulullah SAW., sebagai pembawa syariat untuk menjelaskannya. Dapat dikatakan bahwa keberadaan al-Qur’an dan segala kandungannya tidak memberikan perincian terhadap semua persoalan yang menyangkut dengan perbuatan hukum manusia dari rincian itu menjadi kewenangan Rasulullah SAW., melalui sunnahnya. Menurut Amir Syarifuddin; sunnah Nabi dalam berbagai bentuknya menjelaskan kehendak Allah SWT. dalam al-Qur’an dengan bahasa yang mudah dipahami oleh umat Islam waktu dan sejauh yang dapat dijangkau oleh kemampuan akal mereka dengan contoh-contoh yang terdapat dalam lingkungan kehidupan mereka. Karena itu, terlihat bahwa sunnah nabi begitu sederhana, sesederhana kehidupan umat Arab waktu itu.17 Dari berbagai persoalan hukum yang ditampilkan dalam al-Qur’an, menujukkan adanya ‘urf Arab yang diterima tanpa perubahan, dikukuhkan dengan berbagai penyesuaian seperti halnya hukum qishash pembunuhan, pemberian mahar dalam perkawinan, pembatasan waktu dalam melakukan ila’ kepada istri. Di samping juga al-Qur’an melakukan penolakan terhadap berbagai aspek ‘urf Arab seperti khamar, maisir, dan ribâ.

Dialog al-Quran terhadap Pembentukan Hukum Islam Tujuan utama al-Qur’an diturunkan ialah untuk menjelaskan segala sesuatu dalam bentuk petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri kepada Allah. Al-Qur’an diturunkan bukan sekedar utnuk mengatur hubungan antar sesama manusia, melainkan juga kualitas etika yang terdapat dalam al-Qur’an begitu dominan tentang kebesaran Tuhan. Sementara ayat-ayat yang menyentuh ketentuan hukum tidaklah banyak. Ayat-ayat yang menyangkut dengan hukum berkisar enam ratus ayat dan kebanyakan ayat itu membahas persoalan kewajiban agama dan praktik ibadah, berupa

Farouq Abu Zaid, Hukum Islam antara Tradisionalis dan Modernis, Cet. 1 (Jakarta: P3M, 1986), h. ix. 17

318


Hadri Hasan: Dialog Al-Qur’an dengan ‘Urf Arab

salat, zakat puasa dan haji. Sedangkan ayat-ayat yang membicarakan topik hukum, tidak lebih dari delapan puluh ayat.18 Keberadaan ayat-ayat yang menyangkut dengan persoalan hukum diturunkan sebagai jawaban terhadap berbagai peristiwa yang muncul dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh disebutkan bahwa dengan banyaknya jumlah laki-laki yang gugur di medan perang dalam melawan orang kafir, telah membuka jalan bagi kebolehan melakukan poligami.19 Begitu juga dalam persoalan anak angkat, di mana al-Qur’an mengakui keabsahan perkawinan Nabi Muhammad dengan Zainab binti Jahsyin, janda dari Zaid yang juga anak angkat beliau (Q.S. al-Ahzâb/33:37). Dengan turunnya ayat ini telah menghapuskan hukum anak angkat yang merupakan bagian dari ‘urf Arab yang berkembang saat itu. Demikian juga halnya dalam penetapan hukum cambuk sebanyak delapan puluh kali bagi penuduh perempuan beriman melakukan perbuatan zina (Q.S. al-Nûr/24:4), pada dasarnya hukuman itu ditetapkan untuk memberikan jawaban atas tuduhan terhadap ‘Aisyah istri Rasulullah SAW. berbuat zina dengan salah seorang sahabatnya.20 Memperhatikan realitas kandungan al-Qur’an, terlihat adanya interaksi al-Qur’an dengan berbagai aspek ‘urf Arab yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Arab dan al-Qur’an memberikan respons dan jawaban atas berbagai peristiwa yang terjadi pada saat itu. Respons al-Qur’an terhadap ‘urf Arab dapat diartikan sebagai sikap akomodatif terhadap ‘urf dimaksud tanpa perubahan seperti halnya praktik syirkah dalam bidang muamalah. Perhatian itu juga menyangkut dengan perubahan dan penyesuaian ‘urf Arab dengan ajaran al-Qur’an, seperti pemberian mahar kepada istri dalam perkawinan, batasan melakukan ila’ terhadap istri, ketentuan jumlah bilangan istri dan sebagainya. Sementara itu al-Qur’an melakukan penolakan terhadap ‘urf Arab dan menetapkannya sebagai larangan, seperti khamar, maisir, dan ribâ. Secara terbatas dalam tulisan ini dapat dikemukakan bahwa dialog al-Qur’an terhadap ‘urf Arab meliputi persoalan antara lain:

Pembagian Harta Warisan Pada dasarnya al-Qur’an telah merombak sistem pembagian harta warisan yang menafikan hak perempuan menurut ‘urf masyarakat Arab. Coulson menyebutkan bahwa pada masa Jahiliyah peraturan tentang harta waris dirancang sedemikian rupa guna menghimpun kekuatan para anggota kabilah dalam perang yang sering terjadi antara kabilah, di samping juga masyarakat Arab memilki struktur patrilineal yang semata-mata mengikuti garis keturunan laki-laki. Untuk menjaga harta kabilah, ditentukan bahwa yang berhak mendapat harta waris hanyalah keluarga laki-laki yang disebut dengan ‘ashabah. Mereka adalah anak, bapak, saudara laki-laki dan anak-anaknya, nenek dari ayah dan paman N. J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah (Jakarta: P3M, 1987), h. 15. D. Pearl, A Text on Muslim Personal Law (London: Croom Helm, 1987), h. 1. 20 Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif, h. 16. 18 19

319


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 serta keturunannya.21 Perombakan ini dapat diartikan sebagai pemberian akses bagi perempuan untuk mendapatkan harta warisan secara bersama-sama dengan kelompok laki-laki, sedangkan praktik penentuan bagian laki-laki dua kali jumlah bagian perempuan tetap dipertahankan. Dengan demikian sistem farâ’idh yang diamalkan golongan Sunni merupakan kombinasi dari kedua sumber dimaksud. Ibn Qudâmah seperti dikutip oleh Coulson menyebutkan bahwa riwayat tentang istri Sa‘ad al-Rabi’ bersama dua orang perempuannya menjumpai Rasulullah dan mengadukan bahwa saudara bapak mereka telah mengambil semua harta benda peninggalan Sa‘ad sesuai ketentuan ‘urf Arab (male agnates) atau ‘ashabah. Dalam kasus itu turun ayat al-Qur’an tentang pembagian harta waris dan Rasulullah menjumpai saudara bapak anak dimaksud, lalu mengatakan kepadanya: “Berikanlah kepada dua orang anak perempuan Sa‘ad sebanyak dua pertiga dari harta peninggalannya, sementara ibunya (istri Sa‘ad) berikan seperdelapan dan yang masih tersisa untuk bagian kamu”. Turunnya ayat dimaksud pada dasarnya tetap mengakui dan menerima haknya masing-masing. Ketentuan itu juga merupakan konsep dalam ilmu farâ’idh yang berkembang di kalangan Sunni, di mana ahli waris terdekat didahulukan dari ahli waris yang jauh.22 Terkait dengan persoalan di atas, pada perkembangan berikutnya al-Qur’an memberikan penjelasan bagian-bagian tertentu dari harta warisan yang diperuntukkan bagi sembilan kerabat. Enam di antaranya adalah perempuan, istri, ibu, anak perempuan, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah dan saudara perempuan seibu. Sedangkan selebihnya adalah kerabat dari kaum laki-laki. Dua di antaranya yang dalam ‘urf Arab tidak mendapat harta warisan ialah suami dan saudara laki-laki seibu, sedangkan yang satu ialah ayat si mayit, yang dalam ‘urf Arab tidak mendapat harta warisan jika yang meninggal mempunyai anak laki-laki.23 Dengan demikian, meskipun al-Qur’an telah mereformasi dominasi kerabat lakilaki dalam hukum waris yang didasarkan pada praktik ‘urf masyarakat Arab, namun al-Qur’an tetap menentukan bagian anak-anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Demikian pula saudara laki-lak adalah dua kali bagian saudara perempuan. Hal itu menunjukkan bahwa titik tekan reformasi al-Qur’an bukan menghapus sama sekali sistem pemberian hak kepada kerabat laki-laki, tetapi melakukan perubahan terhadap sistem warisan menurut ‘urf masyarakat Arab yang berkembang pada waktu itu dengan cara memperkenalkan para pewaris baru. Pewaris dimaksud adalah anak perempuan, tanpa menafikan kelebihan kerabat laki-laki atas kerabat perempuan yang dalam ‘urf Arab tidak mendapat bagian dalam harta warisan.

Ibid, h. 19. N. J. Coulson, Succession in the Muslim Family (London: Cambridge University, 1971), h. 108 dan 112. 23 Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif, h. 20. 21 22

320


Hadri Hasan: Dialog Al-Qur’an dengan ‘Urf Arab

Peningkatan Status Perempuan dalam Hukum Reformasi kedua yang dibawa al-Qur’an menyangkut dengan hukum keluarga berupa ketentuan yang mengatur kedudukan kaum perempuan yang pada masa Arab Jahiliyah dipandang rendah, bahkan kelahiran anak perempuan dianggap pembawa bencana, sehingga harus dikubur hidup-hidup. Al-Qur’an telah memberikan penegarasan tentang kedudukan kaum perempuan secara berulang-ulang dengan materi penjelasan yang terpisah dan diturunkan dalam waktu yang berlainan. Bila penjelasan itu dikumpulkan dan dilihat keterkaitannya akan nampak sebagai suatu penyelesaian hukum terperinci. Dalam hal ini al-Qur’an menjelaskan duduk persoalan kaum perempuan yang menyangkut dengan perkawinan, perceraian, dan keragamannya. Usaha al-Qur’an untuk meningkatkan status atau kedudukan kaum perempuan telah dijelaskan melalui ketentuan-ketentuan yang radikal terhadap ‘urf masyarakat Arab.24 Dalam perkawinan, al-Qur’an mereformasi sistem pembayaran mahar dan memerintahkan suami agar membayar mahar kepada istri. Meskipun dalam ‘urf Arab terdapat ketentuan pembayaran mahal dalam perkawinan, tetapi konsep yang mendasarinya ialah perkawinan dalam bentuk transaksi jual beli antara suami selaku pihak pembeli dengan ayah atau kerabat laki-laki pihak perempuan sebagai pihak penjual, bukan kepada istri yang bersangkutan. Aturan al-Qur’an yang begitu sederhana ini mempunyai dampak yang cukup penting dalam merubah ‘urf Arab yang menempatkan kedudukan istri sebagai barang “dagangan” menjadi pihak yang terlibat dalam akad perkawinan dimaksud, maka istri mendapatkan mahar dalam jumlah yang pantas. Demikian istri mendapatkan kewenangan hukum yang tidak pernah mereka dapatkan dalam ‘urf masyarakat Arab.25 Al-Qur’an juga telah merubah ‘urf Arab yang membolehkan seorang laki-laki menikahi perempuan yang pernah dinikahi oleh ayahnya (Q.S. Âli `Imrân/4:22).

¸ξ‹Î6y™ u™!$y™uρ $\Fø)tΒuρ Zπt±Ås≈sù tβ$Ÿ2 …çμ¯ΡÎ) 4 y#n=y™ ô‰s% $tΒ ωÎ) Ï™!$¡ | ÏiΨ9$# š∅ÏiΒ Νà2äτ!$t/#u™ yxs3tΡ $tΒ (#θßsÅ3Ζs? Ÿωρu ∩⊄⊄∪ Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang pernah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). 26 Demikian juga dengan mewariskan perempuan yang telah diceraikan oleh keluarga laki-laki kepada orang lain yang dimaksud untuk mengambil sebagian maharnya, sebagaimana disebutkan dalam Q.S.. Alî Imran/4:19:

Ibid, h. 119. Ibid, h. 17-18. 26 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 120. 24 25

321


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 £⎯èδθßϑçF÷?s #u™ !$Βt ÇÙ÷èt7Î/ (#θç7yδõ‹tGÏ9 £⎯èδθè=àÒ÷ès? Ÿωuρ ( $\δöx. u™!$¡ | ÏiΨ9$# (#θèOÌs? βr& öΝä3s9 ‘≅Ïts† Ÿω (#θãΨΒt #u™ z⎯ƒÏ%!© $# $y㕃r'¯≈tƒ ª!$# Ÿ≅yèøgs†uρ $\↔ø‹x© (#θèδtõ3s? βr& #©|¤yèsù £⎯èδθßϑçF÷δÌx. βÎ*sù 4 Å∃ρã÷èyϑø9$$Î/ £⎯èδρçÅ°$tãuρ 4 7πoΨÉit6•Β 7πt±Ås≈xÎ/ t⎦⎫Ï?ù'tƒ βr& HωÎ) ∩⊇®∪ #ZÏWŸ2 #Zöyz ÏμŠÏù Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.27 Al-Qur’an telah mereformasi ‘urf Arab di bidang perceraian dengan memperkenalkan sistem ‘iddah (masa tunggu) bagi istri yang ditalak. Dalam ‘urf Arab suami dapat menceraikan istrinya kapan saja, karena talak merupakan hak suami yang diperoleh melalui statusnya sebagai “pembeli” dan dapat berbuat apa saja untuk memutuskan perkawinan tanpa syarat. Dengan sistem ‘iddah yang diajarkan al-Qur’an telah menunda akibat talak (putusnya hubungan perkawinan) sampai berakhirnya masa ‘iddah bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada suami guna kembali lagi kepada istrinya. Karena selama masa ‘iddah itu suami diharapkan dapat berpikir dan merenung kembali apakah ia akan rujuk atau melepasnya dan dalam masa ‘iddah itu si istri berhak mendapat nafkah dari suaminya.28 Reformasi yang dibawa oleh al-Qur’an bertujuan untuk memperbaiki kedudukan istri dalam perkawinan. Karena pada hakikatnya ‘iddah dalam perceraian merupakan rambu-rambu untuk melakukan “imsâk bi al-ma`rûf aw tasrih bi ihsân”. Penampilan ramburambu itu dalam al-Qur’an pada prinsipnya untuk menghapus keangkuhan kaum lakilaki dalam memperlakukan kaum perempuan, sehingga kaum perempuan mendapatkan kepastian arah dan status dirinya, baik dengan rujuk kembali kepadanya dengan hak dan kewajiban sebagai istri atau dilepaskan dengan baik, sehingga tidak terikat di bawah kekuasaan laki-laki. Al-Qur’an juga memberikan batasan yang tegas tentang hak poligami bagi seorang suami dengan jumlah tertentu dan dengan pernyataan yang cukup ketat, berupa kemampuan dan keadilan. Firman Allah SWT. dalam Q.S. ‘Ali ‘Imrân/4: 3:

ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ y]≈n=èOuρ 4©o_÷WtΒ Ï™!$|¡ÏiΨ9$# z⎯ÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßs3 Å Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? ωr& ÷Λä⎢øÅz ÷βÎ)uρ ∩⊂∪ (#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka kawinilah seorang saja.29 Ibid, h. 119. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif, h. 18. 29 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 115. 27 28

322


Hadri Hasan: Dialog Al-Qur’an dengan ‘Urf Arab

Ayat di atas menunjukkan kelebihan yang diberikan Allah kepada kaum laki-laki untuk memiliki istri lebih dari satu orang sesuai dengan kodrat dan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan persyaratan mampu untuk berlaku adil. Ketentuan itu juga dipandang sebagai perombakan terhadap ‘urf perkawinan yang berkembang dalam masyarakat Arab yang tidak bersamaan, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh beberapa sahabat sebelum masuk Islam.

Bidang Muamalah Reformasi ketiga yang diperkenalkan oleh al-Qur’an adalah dalam bidang muamalah. Berbagai praktik muamalah yang berjalan dalam kehidupan masyarakat Arab diberi tempat dan diakomodasi oleh al-Qur’an, baik dalam bentuk penerimaan tanpa perubahan atau dalam bentuk pengubahsuaian. Dalam bidang muamalah al-Qur’an menerima konsep akad syirkah dan sebagainya yang merupakan bagian penting dalam sistem perekonomian masyarakat Arab waktu itu. Bahkan di antara akad itu ada yang telah dipraktikkan Nabi Muhammad dalam bentuk perkongsian dagang dengan Siti Khadijah sebelum turunnya al-Qur’an. Di samping itu al-Qur’an telah merubah akad pinjaman yang mengeksploitasi pihak peminjam dengan kadar riba yang berganda, sekaligus menolaknya. Al-Qur’an menukarnya dengan sistem kontrak mudhârabah berupa kesepakatan perkongsian antara shâhib al-mâl dengan mudhârib dalam berusaha dengan nisbah keuntungan yang disepakati bersama.

Bidang Jinayah Reformasi keempat yang diperkenalkan al-Qur’an menyangkut dengan persoalan jinayah dalam rangka memelihara jiwa raga manusia. Dalam kasus pembunuhan (Q.S. al-Baqarah/2: 178-179) dan penganiayaan fisik, al-Qur’an menetapkan hukuman qishâsh atau hukum balas yang adil, yaitu nyawa dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka ada qishâshnya (Q.S. al-Mâ’idah/5: 45). Penetapan qishâsh dalam al-Qur’an yang kemudian menjadi bagian dari hukum jinayah Islam bertujuan untuk memodifikasi dan menyesuaikan ‘urf Arab jahiliyah pra Islam yang dipandang mengandung kezaliman. Apabila terjadi pembunuhan terhadap anggota suatu kabilah oleh anggota kabilah lain, maka kabilah pihak pembunuh harus membayar dengan nyawa anggotanya, baik dengan nyawa pembunuh sendiri maupun dengan nyawa orang lain. Akan tetapi satu nyawa cenderung menilai anggotanya secara subjektif dan berlebihan. Untuk itu mereka menuntut dua nyawa atau lebih, sebab kabilah secara kolektif bertanggung jawab atas masing-masing anggotanya.30 Meskipun al-Qur’an merespons dan memberikan perhatian terhadap berbagai aspek ‘urf Arab yang berkembang para pra Islam, namun dalam persoalan-persoalan yang 30

Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif, h. 21-22.

323


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 menyangkut dengan hukum tertentu, al-Qur’an memberikan peluang kepada Rasulullah SAW. untuk menerima dan memakai ‘urf Arab yang dinilai tidak bertentangan dengan maksud maksud al-Qur’an. Hal itu dimungkinkan karena kehadiran Rasulullah SAW. dan keberadaan ‘urf Arab memainkan peranan penting dalam menyelesaikan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan masyarakat. Pada beberapa persoalan hukum tertentu, menurut Harun Nasution, al-Qur’an pada umumnya membawa ajaran-ajaran dalam bentuk garis besar, tanpa perincian dan cara pelaksanaan, bukan hanya dalam persoalan kehidupan ukhrawi, tetapi juga dalam kehidupan duniawi. Dalam persoalan ibadah salat, al-Qur’an hanya memerintahkan pelaksanaannya, tanpa penjelasan rinci kapan dan berapa kali dilakukan. Hal itu semua diketahui dari hadis yang merinci bahwa salat dilakukan lima kali sehari semalam dan menentukan bacaan serta rakaat dalam tiap salat.31 Pada berbagai persoalan hukum, al-Qur’an hanya menjelaskan tentang ketetapan wajibnya secara berulang-ulang, tanpa menjelaskan spesifikasi dan syarat-syaratnya, seperti halnya zakat dan ibadah-ibadah lainnya. Dalam hal ini al-Qur’an memberikan peluang kepada Rasulullah SAW. untuk menentukan jenis-jenis benda yang wajib dizakatkan serta persyaratan. Boleh jadi dalam menentukan dan menetapkan benda-benda yang wajib dizakatkan (al-Amwâl al-Makhshûshah) termasuk syarat wajibnya sedikit banyak dipengaruhi oleh kondisi yang mengitari kehidupannya sebagai pribadi yang hidup dalam komunitas masyarakat Arab. Begitu juga dengan berbagai perbuatan yang dilarang dalam al-Qur’an pada umumnya hanya menjelaskan kedudukan hukumnya tanpa penjabaran yang praktis. Coulson mencontohkan persoalan hukum meminum khamar dan masalah riba. Meskipun kedua perbuatan itu ditegaskan secara eksplisit tentang keharamannya, namun al-Qur’an tidak memberikan penjelasan tentang cara mempraktikannya dalam peristiwa hukum. Pada perkembangan selanjutnya meminum khamar menjadi tindak pidana yang bisa dijatuhkan hukuman cambuk (jild), sementara riba tetap digolongkan dalam kategori hukum perdata murni, yaitu sebagai transaksi atau kontrak yang tidak sah dan batal.32

Penutup Berdasarkan uraian di atas dipahami bahwa keberadaan al-Qur’an telah membawa berbagai perubahan terhadap ‘urf Arab yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Arab pra Islam. Sebagian di antara ‘urf Arab diakomodasi oleh al-Qur’an, seperti halnya praktik syirkah yang kemudian menjadi bagian dari sistem hukum Islam dalam bidang mu‘amalah. Sementara sebagian lainnya dihapuskan disesuaikan oleh al-Qur’an, seperti

Harun Nasution, Metode Berpikir Keislaman dalam Rangka Mengembangkan Ilmu-Ilmu Islam dan Memecahkan Berbagai Masalah Kemasyarakatan (Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988), h. 20. 32 Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif, h. 14. 31

324


Hadri Hasan: Dialog Al-Qur’an dengan ‘Urf Arab

penghapusan hukum anak angkat dan perubahan hak menerima mahar dalam perkawinan dari hak bapak menjadi hak istri. Ketentuan-ketentuan itu kemudian dijadikan sebagai bagian dari hukum munakahah dalam Islam, bahkan itu sebagian ‘urf Arab ditolak oleh al-Qur’an, seperti mengharamkan meminum khamar, maisir, dan ribâ yang kemudian menjadi perbuatan yang dijelaskan hukumnya secara fisik dan menjadi bagian dari sistem hukum jinayah Islam di samping ada pula yang berbentuk sanksi moral berupa hukum yang akan diterima di akhirat. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberadaan al-Qur’an yang merupakan mukjizat kenabian Nabi Muhammad SAW. dan diturunkan dalam bahasa komunitas masyarakat Arab sebagai pedoman bagi kehidupan umat manusia, telah melakukan reformasi terhadap ‘urf Arab yang berkembang pada masa pra Islam. Reformasi yang dibawa alQur’an mencakup bidang yang luas dan menyangkut dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat yang cukup luas untuk dikaji baik konsep maupun implikasinya. Reformasi itu berdampak terhadap penetapan hukum baru sebagai hukum Islam yang kemudian disusun dan dituangkan ke dalam pembahasan bab atau pasal tertentu dalam sistem hukum Islam sebagaimana yang dijumpai dalam sistematika buku-buku fikih Islam dewasa ini.

Pustaka Acuan Al-Âmidi, Abû al-Hasan ‘Ali Ibn ‘Ali Ibn Muhammad. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, Jilid I. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, t.t. Arfa, Faisar Ananda. Sejarah Pembentukan Hukum Islam: Studi Kritis tentang Hukum Islam di Barat. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Al-‘Arusyi, Abdul Aziz. Menuju Islam yang Benar: Kajian Kritis Qur’ani Menjelaskan Hakikat Islam, Cet. 2. Semarang: Dina Utama, 1994. Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. Falasafah Hukum Islam, Cet. 5. Jakarta: Bulan Bintang, 1993. Coulson, N. J. Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: P3M, 1987. Coulson, N. J. Succession in the Muslim Family. London: Cambridge University, 1971. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI, 1985. Goitein, S.D. Studies in Islamic History and Institution. Leiden: E.J. Brill, 1968. Al-Isfahânî, al-Raghib. Mu’jam Alfâzh al-Qur’ân. Beirût: Dâr al-Kutub al- ‘Arabî, t.t. Mahmashani, Shobhi, Filsafat Hukum Islam, Cet. 2. Bandung: Al-Ma’arif, 1981. Nasution, Harun. Metode Berpikir Keislaman dalam Rangka Mengembangkan Ilmu-Ilmu Islam dan Memecahkan Berbagai Masalah Kemasyarakatan. Jakarta: Hikmah Syahid Indah, 1988. Pearl, D. A Text on Muslim Personal Law, Edisi 2. London: Croom Helm, 1987.

325


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Power, David S. Studies in Qur’an and Hadish: The Formation of Islamic Law of Inheritance. Berkeley: University of California Press, 1986. Ridha, Muhammad Rasyîd. Tafsîr al-Manâr, Jilid VII. Kairo: Maktabah al-Manâr, 1367 H. Shihab, M. Quraish. Wawasan al-Qur’an, Cet. 2. Bandung: Mizan, 1996. Syaltut, Mahmûd. Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm. Kairo: Dâr al-Qalâm, 1965. Zaid, Farouq Abu. Hukum Islam antara Tradisionalis dan Modernis. Jakarta: P3M, 1986. Zaidan, ‘Abd al-Karîm, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh. Kairo: Dâr al-Tauzi’ wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1993.

326


FATWA TENTANG HADIAH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Jaih Mubarok Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Jl. Raya Cipadung, No. 105, Cibiru, Bandung, 10614 e-mail: jaihmubarok@yahoo.com

Hasanudin Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, Jakarta, 15419 e-mail: umafaz@yahoo.co.id

Yulizar D. Sanrego Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Tazkia Jl. Ir. H. Djuanda No. 78, Sentul City, Bogor, 16810 e-mail: senapate@yahoo.com

Abstrak: Kajian ini dilakukan untuk menggali hukum tentang pemberian hadiah oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada nasabah berupa cindera mata maupun hadiah yang bersifat material pada saat pembukaan rekening dengan cara undian. Akad wadî‘ah dalam produk penghimpunan dana LKS secara substantif sama dengan akad qardh karena di dalamnya terkandung izin penggunaan objek yang dititipkan. Karena itu, akad wadî‘ah tersebut termasuk domain akad tabarru’. Sedangkan akad mudhârabah termasuk akad bisnis yang dikategorikan sebagai akad mu‘âwadhat/ tijârî. Jâ’izah tasjî‘iyah juga sama kedudukannya dengan akad mudhârabah, yaitu termasuk domain mu‘âwadhat. Karena itu, penulis menyimpulkan bahwa tidak relevan penggunaan jâ’izah tasjî‘iyah dalam memasarkan produk penghimpunan dana LKS yang menggunakan akad wadî‘ah atau qardh. Sebaliknya, jâ’izah tasjî‘iyah layak dipertimbangkan untuk digunakan dalam mempromosikan produk LKS yang menggunakan akad yang termasuk domain mu‘âwadhat. Abstract: Personal Legal Opinion on Present in Syari’ah Financial Institution. This study is aimed at deducting legal ruling of material gift or present offered by the Syari’ah financial institution (LKS) for their clients at the time of opening account by way of lottery. Wadî‘ah contract in collecting LKS funds is substantially similar to that of qardh contract because permission to usufruct the stored object is inherent in the contract, therefore such wadî‘ah contract is included in the domain of tabarru’. Mudhârabah contract, on the other hand, comprises business contract which is categorized

327


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 as mu‘âwadhat or tijârî contract. Jâ’izah tasjî‘iyah also have the same status as mudhârabah contract which is included in the mu‘âwadhat domain. As such, the authors conclude that it is irrelevant to use jâ’izah tasjî‘iyah in selling the product of LKS fund collection with wadî‘ah or qardh contract. Conversely, jâ’izah tasjî‘iyah is worthy of considering to be used in promoting LKS product using contract that comprises in the mu‘âwadhat sphere.

Kata Kunci: hadiah, fatwa, mu‘âwadhat, qardh, wadî‘ah

Pendahuluan Lembaga Keuangan Syariah (LKS), termasuk perbankan syariah, merupakan institusi bisnis yang di antara karakternya berorientasi pada keuntungan (profit oriented).1 Keuntungan yang diharapakan oleh Lembaga Keuangan Syariah berasal dari tiga kegiatan bisnis yang dilakukannya, yaitu penghimpunan dana (funding), penyaluran dana (financing) dan jasa.2 Dalam rangka mendapatkan keuntungan dimaksud, Lembaga Keuangan Syariah melakukan pemasaran (marketing), promosi,3 dan/atau kegiatan lainnya yang berupa pemberian hadiah/cindera mata pada saat pembukaan rekening, dan undian yang bersifat material seperti hadiah kendaraan, dan/atau perjalanan ibadah haji/umrah.4 Kajian ini dilakukan untuk menggali dan menemukan hukum tentang pemberian hadiah oleh Lembaga Keuangan Syariah kepada nasabah yang berupa cindera mata pada saat pembukaan rekening, dan hadiah yang bersifat material berupa kendaraan dan/atau perjalanan haji/umrah yang diproses dengan cara undian. Hasil kajian ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak terkait (industri dan regulator) dalam hal kejelasan hukum pemberian hadiah dalam promosi Lembaga Keuangan Syariah dari aspek syariah.

Fatwa Terkait Lembaga Keuangan Syariah dan Produknya Fatwa pada prinsipnya termasuk instrumen hukum Islam.5 Muhammad Atho Mudzhar, Dalam kitab fikih dijelaskan antara untung (profit/ribh) dan rugi (khasarah). Untung adalah pertambahan modal setelah di-tasharruf-kan; sedangkan rugi adalah berkurangnya modal setelah di-tasharruf-kan. Lihat Muhy al-Dîn al-Qurrah Daghi, Buhûts fî al-Bunûk al-Islâmî (Beirut: Dâr al-Basya’ir al-Islâmiyah, 2009), h. 11. 2 Lihat Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), h. 339-355; Muhammad Imran Ashraf Usmani, Meezanbank’s Guide to Islamic Banking (Karachi: Darul Ishaat, 2002), h. 87-163. 3 Lihat Khalid Abd Allah al-Mushlih, al-Hawâfiz al-Tijâriyah al-Taswîqiyah wa Ahkâmuhâ fi al-Fiqh al-Islâmi (t.t.p.: t.p. t.t.), h. 9. 4 Pemasaran merupakan kegiatan yang sangat penting dalam bisnis. Lihat antara lain Ricky W. Griffin dan Ronald J. Ebert, Bisnis, Vol. II (Jakarta: Indeks, 2006), h. 89-125. 5 Hukum Islam seringkali dipahami sebagai terjemahan dari term fikih (al-fiqh), al-syarî‘ah, al-hukm al-Islâmi, Syari‘a Law, dan Islamic Law. Busthanul Arifin mengatakan bahwa hukum Islam 1

328


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

Guru Besar Hukum Islam pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang memperkenalkan empat instrumen hukum Islam, yaitu fikih, fatwa, qanun, dan qâdha’,6 masing-masing memiliki karakter dan kekhasan yang ragam. Ma‘ruf Amin dalam pidato ilmiah pada

adalah kata ganti dari dua istilah yaitu al-syarî`at dan al-fiqh. Penggantian kata ini, jelas Busthanul Arifin, telah menimbulkan kekacauan pengertian dan menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat. Lihat Amrullah Ahmad (ed.), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia: Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthaul Arifin, SH (Jakarta: IKAHA dan Gema Insani Press, 1994), h. 61; dan Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law (Oxford: Oxford University Press. 1964). N.J. Coulson menyebutnya sebagai Islamic law dan Islamic Jurisprudence. Lihat N.J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press. 1991), dan N.J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago & London: The University of Chicago Press. 1969). Setiap terminologi memiliki kerangka pemikiran tersendiri. Karena itu, ulama dalam berbagai tulisan dan forum telah berusaha ikut serta menjelaskan terminologi-terminologi tersebut sehingga antara yang satu dengan yang lainnya dapat dibedakan dan ditempatkan secara proporsional. Ibrahim Hosen (mantan ketua Komisi Fatwa MUI) yang turut serta menjelaskan hal ini. Menurutnya, hukum Islam itu ada dua. Pertama, hukum Islam yang secara langsung dan tegas ditetapkan oleh Allah melalui dalil qath`iy. Kedua, hukum Islam yang ditetapkan pokok-pokoknya saja dan ditetapkan oleh Allah melalui dalil zhanniy. Hukum Islam yang pertama disebut syarî‘ah; Syariah diyakini bersifat konstan, sempurna, dan tetap berlaku universal (sepanjang zaman), tidak mengenal perubahan dan tidak dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sedangkan hukum Islam yang kedua disebut fikih. Fikih bersifat dinamis dan fleksibel, tidak bersifat universal, dan dapat mengalami perubahan. Lihat Ibrahim Hosen, “Fungsi dan Karakteristik Hukum Islam dalam Kehidupan Umat Islam,” dalam Amrullah Ahmad (ed.), Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia: Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthaul Arifin, SH (Jakarta: IKAHA dan Gema Insani Press, 1994), h. 128; dan Oyo Sunaryo, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru tentang Kewarisan Islam dalam Tata Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, Vol. I, No. 3, 2000, h. 100. 6 Pertama, fikih sebagai jenis produk pemikiran hukum Islam bersifat menyeluruh dan meliputi semua aspek hukum Islam, sehingga di antara cirinya cenderung kebal pada perubahan karena revisi atas sebagiannya dianggap mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Dalam sejarah terbukti bahwa beberapa buku fikih telah diperlakukan sebagai kitab undang-undang, meskipun ketika kitab-kitab fikih itu ditulis tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negara. Kitab-kitab fikih ketika ditulis oleh pengarangnya tidak secara eksplisit disebut masa berlakunya, sehingga cenderung dianggap berlaku untuk sepanjang masa. Kedua, fatwa, yaitu produk pemikiran hukum Islam yang bersifat kasuistik karena merupakan respons atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti bahwa peminta fatwa tidak harus mengikuti fatwa yang diberikan kepadanya. Demikian pula masyarakat luas tidak harus terikat dengan fatwa itu, karena fatwa seorang ulama di suatu tempat bisa saja berbeda dari fatwa ulama lain di tempat yang sama. Fatwa cenderung bersifat dinamis karena merupakan respons terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat peminta fatwa; meskipun isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis. Ketiga, qanun, yaitu produk pemikiran hukum Islam yang berupa peraturan perundang-undangan di negaranegara Islam yang bersifat mengikat; bahkan daya ikatnya lebih luas dalam masyarakat. Pihak yang terlibat dalam perumusannya juga tidak terbatas pada kalangan ulama atau fukaha, tetapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya. Masa berlaku peraturan perundang-undangan biasanya dibatasi, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Keempat, qadha’, yaitu keputusan-keputusan pengadilan agama; qadha’ cenderung bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap perkaraperkara nyata yang dihadapi masyarakat. Ciri keputusan pengadilan agama adalah tidak meliput semua aspek pemikiran hukum Islam seperti halnya fikih. Tetapi dari segi kekuatan hukumnya, ia lebih mengikat terutama bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Lihat M. Atho Mudzhar, “Penerapan

329


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam bidang Hukum Ekonomi Syariah, melanjutkan hubungan antara fikih dengan fatwa yang secara akademik mengutip pendapat ulama yang substansinya adalah bahwa fikih berarti pengetahuan tentang hukum syariah amaliah yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Sedangkan fatwa adalah penjelasan hukum syariah kepada pihak yang menanyakannya (tabyîn alhukm syar‘iy li-man sa’ala ‘anhu), sedangkan al-Barazi menjelaskan bahwa fatwa adalah tabyîn al-hukmi al-syar‘iy ‘an dalîl li-man sa’ala ‘anhu.7 Dalam Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga DSN-MUI dikenalkan institusi bisnis syariah, yaitu Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berupa bank, dan LKS nonbank. LKS-bank dibedakan menjadi tiga. Pertama. Bank Umum Syariah (BUS), yaitu bank yang secara penuh menjalankan bisnis dengan menerapkan sistem syariah. Kedua. Unit Usaha Syariah (UUS); yaitu bank konvensional yang memiliki unit yang menjalankan bisnis dengan menerapkan sistem syariah. Ketiga. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), yaitu rural bank, bank yang cakupan dan wilayah bisnisnya relatif terbatas yang secara penuh menjalankan bisnis dengan menerapkan sistem syariah. LKS-nonbank (sekarang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan [OJK] dikenal terminologi IKNB, yaitu Industri Keuangan non-Bank) di antaranya adalah. Pertama. Perasuransian Syariah (asuransi syariah dan reasuransi syariah), baik yang full syariah maupun yang masih unit syariah; yang menjalankan usaha di bidang asuransi umum maupun asuransi jiwa. Kedua. Reksadana Syariah. Ketiga. Pegadaian Syariah. Keempat. Multifinance Syariah. Kelima. Jakarta Futures Exchanges (JFX) Syariah. Keenam. Koperasi Syariah baik yang full syariah (antara lain Koperasi Baitul Mal wat Tamwil/KBMT) maupun yang berupa Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS). Ketujuh. Pegadaian Syariah. Kedelapan. Penjaminan Syariah. Kesembilan. Modal Ventura Syariah.8 Industri Keuangan Bank (IKB) adalah industri keuangan yang paling kompleks dari segi produk, baik menyangkut penghimpunan dana (funding) atau disebut juga simpanan (dari segi nasabah) dan penyaluran dana (financing), serta jasa. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank syariah dibedakan menjadi tiga,

Pendekatan Sejarah Sosial dalam Hukum Islam,” makalah disampaikan dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian UNISBA, di Bandung (8 Januari 1992), h. 2-4; dan M. Atho Mudzhar, “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), h. 369-370. 7 Maruf Amin, “Pembaharuan Hukum Ekonomi Syariah dalam Pengembangan Produk Keuangan Kontemporer (Transformasi Fikih Muamalat dalam Pengembangan Ekonomi Syariah),” Pidato Ilmiah pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (5 Mei 2012), h. 7. Lihat juga Muhammad Fu’ad al-Barazi, Mas’ûliyat al-Fatwâ al-Syar‘iyah wa Dhawâbituhâ wa Atsaruhâ fi Rasyad al-Ummah (t.t.p.: t.p. t.t.), h. 5-6; dan Nasrun Haroen (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. I (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 2003), h. 326-328. 8 Lihat Direktori Syariah Indonesia (Jakarta: Dewan Syariah Nasional MUI. t.t.).

330


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

yaitu Bank Umum Syariah (BUS), Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS),9 dan Unit Usaha Syariah (UUS), yaitu unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.10

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, BPRS adalah singkatan dari Bank Perkreditan Rakyat Syariah; setelah tahun 2008, kata Perkreditan diubah menjadi Pembiayaan. Hal ini penting untuk diketahui umum karena dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (pasal 1 angka 12) didefinisikan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian keuntungan. Hal yang sama juga ditegaskan kembali dalam UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (pasal 1 angka 11) yang mendefinisikan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kespakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Karena itu, dalam terminologi kredit terkandung bunga; sedangkan bunga (baca: bunga uang) hukumnya haram karena termasuk riba nasi’ah. Lihat Muhammad Abû Zahrah, Buhuts fî al-Riba (Mesir: Dâr al-Buhuts al-‘Ilmiyah. 1970), h. 36-48; Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang, dan Gadai, Cet. 2 (Bandung: al-Ma‘arif, 1983), h. 28; Mahmud Abu al-Saud, “Islamic View of Riba: Usury and Interest,” dalam Syaikh Ghazali Syaikh Abod, et al. (ed.), An Introduction to Islamic Finance (Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992), h. 70-73; Thahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, terj. Anshori Umar Sitanggal (Bandung: al-Ma`arif, 1985), h. 282; Isa Abduh, Bunuk bila Fawa’id (Mesir: Dâr al-I`tisham, t.t.), h. 117-120; Muhammad Baqer Sadr dan Ayatullah Sayyid Mahmud Taleghani, Islamic Economics: Contemporary Ulama Perspective (Kuala Lumpur: Iqra’, 1991), h. 9-10; M. Mohsen, “A Profile of Riba-Free Banking,” dalam Mohammad Arief (ed.), Monetary and Fiscal Economics of Islam (Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics, King Abdulaziz University, 1982), h. 187-210; A. Hassan, Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama, Juz II, Cet. 10 (Bandung: Diponegoro, 1988), h. 678; Aswita Taizir, “Muhammad Abduh and The Reformation of Islamic Law,” (Thesis McGill University, 1994), h. 93-94; PP Muhamadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (Yogyakarta: Pengurus Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, t.t.), h. 304-305; Hussain Hamid Hassan, “The Jurisprudence of Financial Transactions (Fiqh Mu`âmalât),” dalam Ausaf Ahmad dan Kazim Raja Awan (ed.), Lectures on Islamic Economics (Jeddah: Islamic Research and Training Institute, Islamic Development Bank, 1992), h. 107; Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama (Surabaya: PP Rabithah Ma`ahidil Islamiyah dan Dinamika Press, 1977), h. 146-147; PB Mathla‘ul Anwar, Keputusan-Keputusan Majelis Fatwa Mathla`ul Anwar (Jakarta: Sekretariat PB Mathla`ul Anwar, 1985), h. 27; MUI Pusat, “Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga (Interest/Fa’idah), Terorisme, dan Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, Jakarta,” (16 Dember 2003); M. M. Metwally, Principles of Islamic Economics (Australia: Departement of Economics University of Wollongong, t.th.), h. 16; dan Irfan Ul Haq, Economic Doctrines of Islam: A Study of Doctrines of Islam and Their Implications for Poverty, Employment, and Economic Growth (USA: International Institute of Islamic Thought, 1996), h. 131-132. 10 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 1, angka 7, 8, 9, dan 10. 9

331


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Penghimpunan dana di Bank Syariah dilakukan dengan akad wadî‘ah atau akad mudhârabah dalam bentuk giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.11 Istilah penghimpunan dana bagi bank syariah dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 adalah investasi, yaitu dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan akad mudhârabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Penyaluran dana bank (financing) disebut pembiayaan, yaitu penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa sejumlah hal berikut. Pertama, transaksi bagi hasil dalam bentuk mudhârabah dan musyârakah. Kedua, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijârah atau sewa beli dalam bentuk ijârah muntahiya bi al-amlîk. Ketiga, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murâbahah, salam, dan istishnâ’. Keempat, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh. Kelima, transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijârah untuk transaksi multijasa, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lalin yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.12 Sumber hukum tidak tertulis dalam mengoperasikan perbankan syariah adalah fatwa DSN-MUI. Fatwa DSN-MUI sampai dengan bulan Mei 2013 berjumlah 87 buah. Pada umumnya, fatwa tersebut terkait dengan perbankan syariah, selain itu ada juga fatwa tentang perasuransian syariah, pasar modal syariah, pegadaian syariah, dan industri syariah lainnya. Empat fatwa DSN yang terbaru adalah fatwa Nomor: 84/DSN-MUIIXII/2012 tentang Metode Pengakuan Keuntungan al-Tamwil bi al-Murâbahah (Pembiayaan Murâbahah) di Lembaga Keuangan Syariah; fatwa Nomor: 85/DSN-MUI/XII/2012 tentang Janji (wa‘d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah; fatwa Nomor: 86/DSN-MUI/XII/2012 tentang Hadiah dalam Penghimpunan Dana Lembaga Keuangan Syariah; dan fatwa Nomor: 87/ DSN-MUI/XII/2012 tentang Metode Pengaturan Pendapatan dan Cadangan Penyesuaian Keuntungan (Profit Equalization Reserve) dalam Bagi Hasil Dana Pihak Ketiga.

Tabungan adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi dana berdasarkan akad mudhârabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu. Deposito adalah Investasi dana berdasarkan akad mudhârabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah; dan Giro adalah simpanan berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan. Lihat Undang-Undang Nomor: 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 1. 12 Undang-Undang Nomor: 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 1. 11

332


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

Konsep Hadiah dan Akad Hibah Terminologi “hadiah”13 dalam kegiatan penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah masih memerlukan penjelasan yang lebih rinci. Dalam beberapa literatur terdapat term lain yang mirip dengan hadiah, yaitu imbalan, ‘athayâ, dan bonus. Hadiah dijelaskan oleh ulama sebagai objek pemberian dari salah satu pihak (di antaranya pihak Lembaga Keuangan Syariah) kepada pihak lain (di antaranya nasabah) yang merupakan penghargaan, sementara akadnya diidentikkan dengan akad hibah.14 Terminologi lain yang berhubungan dengan terminologi hadiah adalah ‘athayâ (jamak dari ‘athiyah yang berakar pada kata a‘thâ15 [berarti menyerakan harta]). ‘Athayâ sering diartikan ke dalam bahasa Indonesia menjadi pemberian dan/atau bonus. Dalam praktik bisnis Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, dibedakan antara hadiah dengan bonus.16 Dijelaskan bahwa arti hibah, sedekah, hadiah, dan `athiyah saling berkaitan. Dari segi tujuan, pemberian yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah disebut shadaqah, yaitu pemberian yang tujuannya untuk melahirkan rasa hormat dan cinta disebut hadiah; dan pemberian yang tujuannnya tidak untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak pula untuk melahirkan rasa hormat dan cinta, disebut hibah. Sedangkan al-‘athiyah dalam sejarah diartikan sebagai pemberian seseorang kepada pihak lain pada saat pemberi sedang sakit.17 Ulama menjelaskan akad hibah dari segi empat hal. Pertama, kepindahan kepemilikan objek (mawhûb); yaitu akad hibah termasuk akad yang menyebabkan kepemilikan mawhûb berpindah dari milik wâhib menjadi milik mawhûb lah (‘aqd yufîd al-tamlîk). Kedua, penggantian (‘iwadh), yaitu wâhib tidak memperoleh penggantian dari pihak mawhûb lah. Ketiga, waktu, yaitu akad hibah dilakukan antara wâhib dan mawhûb lahu ketika mereka hidup (hal al-hayat). Keempat, hukum, yaitu hukum melakukan hibah adalah sunah (tathawwu‘). Sedangkan ulama Hanabilah menambah hal yang kelima, yaitu mawhûb harus benda yang berwujud dan dapat diserahterimakan (mawjûd wa maqdûr ‘alâ taslîmih).18 Dasar hukum akad hibah adalah al-Qur’an dan hadis. Di antaranya adalah Q.S. alNisâ’/4: 4 tentang kebolehan suami menerima kembali pemberian (mahar) dari istrinya, Hadiah dalam ilmu bisnis adalah pemberian kepada konsumen karena yang bersangkutan membeli produk tertentu. Pemberian hadiah termasuk bentuk promosi yang paling terkenal. Lihat Griffin dan Ebert, Bisnis, Vol. II, h. 125. 14 ‘Ala’ al-Ashma’ Dîn Za‘tari. Fiqh al-Mu‘amalat al-Maliyah al-Muqarin: Shiyaghah Jadidah wa Amtsilah Mu‘ashirah (Damaskus: t.p., 2008), h. 410-411. 15 Terminologi al-‘athâ (baca: al-‘athiyah) dalam sejarah digunakan sebagai gaji bulanan/ tahunan yang diserahkan negara kepada tentara. Lihat Rafiq Yunus al-Mishrî, Ushûl al-Iqtishâd al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2005), h. 239. 16 Text Book Fiqh al-Mu‘âmalat, h. 734. 17 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, Vol. VI (Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006), h. 3980. 18 Ibid., h. 3980-3981. 13

333


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 dan Q.S. al-Baqarah/2: 177 tentang tergolongnya pemberian harta kepada pihak lain sebagai perbuatan baik (al-birr). Di antara hadis Nabi Muhammad SAW. yang menjelaskan tentang hibah adalah hadis dari Abû Hurairah, ’Abd Allâh Ibn ’Umar dan ’Aisyah yang substansinya Rasulullah SAW. memerintahkan umatnya untuk saling memberi hadiah (tahâdû) karena akan melahirkan rasa saling cinta (tahâbû).19 Lalu hadis Nabi Muhammad SAW. yang substansinya mengajarkan umatnya jangan merasa hina (rendah diri) karena memberi hadiah berupa ceker ayam kepada tetangga.20 Lalu hadis dari Ibn ’Abbâs tentang cegahan meminta kembali mawhûb, yaitu Rasulullah SAW. mengumpamakan orang yang meminta kembali mawhûb laksana anjing yang memakan kembali muntahnya (al-‘â’id fî hibatihi ka al-kalb yaqi`u tsumma ya‘ûdu fi qâ’ihi).21 Kemudian hadis fi‘liyah yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. menerima hadiah dan menyerahkan `iwadh (tsawâb/ balasan).22 Rukun hibah adalah wâhib (pemberi), mawhûb lah (penerima), objek yang diberikan (mawhûb), dan akad (ijab dan qâbûl). Menurut ulama Hanafiah, rukun yang paling inti adalah akadnya. Akad hibah adalah bertemunya penawaran (ijab/offer) dari wâhib dan penerimaan (qâbûl/acceptance) dari mawhûb lah yang menggunakan kata hibah, hadiah, ‘athiyah, atau nihlah.23 Tetapi, karena akad hibah termasuk akad tabrru’, ulama Hanafiah menjelaskan bahwa hibah boleh dilakukan hanya dalam bentuk ucapan/perbuatan yang menunjukkan kehendak hibah dari pihak wâhib, tanpa disyaratkan adanya penerimaan (qabûl) dari pihak mawhûb lah.24 Syarat wâhib adalah cakap hukum (ahliyyat al-wujûb wa al-adâ’, dan termasuk ahliyyat al-tabarru‘) dan berkedudukan sebagai pemilik benda yang dihibahkan. Sedangkan syarat mawhûb lah (penerima hadiah) tidak disyaratkan cakap hukum (tidak mesti termasuk

‘Ali Fikri, Mu‘âmalat al-Mâdiyah wa al-Adabiyah, Vol. II (Mesir: Musthafa al-Bâbî al-Halabi wa Awladuh, 1938), h. 160. ’Ali Fikri menjelaskan bahwa hibah dan hadiah melahirkan rasa cinta dalam hati dan dapat menghilangkan dendam dan permusuhan. 20 Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlani, Subul al-Salâm, Vol. III (Bandung: Dahlan. t.t.), h. 93. 21 Al-Kahlani, Subul al-Salâm, h. 90. Dijelaskan oleh al-Sayyid Sabiq bahwa yang dimaksud haram meminta kembali hibah (baca: hadiah) adalah hibah mutlak. Sementara hibah dari orang tua kepada anaknya, dan hibah bi al-tsawab (baca: hibah bi al-‘iwâdh), boleh diminta kembali apabila ’iwâdh yang diharapkan oleh muhib tidak ditunaikan oleh mawhûb lah. Lihat al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Vol. III (Beirut: Dâr al-Fikr. 1983), h. 366-367; dan Syams al-Dîn Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Qayyim al-Jauziyah, I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn, Vol. II (Beirût: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 314-316. 22 Abâ Dâwud Sulaimân Ibn al-Asy’ats al-Sijistâni al-Azdari, Sunan Abî Dâwûd, Vol. III (Bandung: Dahlan, t.t.), h. 290. 23 Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, h. 3981-3982. 24 Lihat Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthubi al-Andalûsi, Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, Vol. II (Semarang: Toha Putra, t.t.), h. 245-248; al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, h. 3982-3983; dan Muhammad Ibn Ahmad, Fath al-Rahîm ‘ala Fiqh al-Imâm Mâlik bi al-Adillah, Vol. II (Beirût: Dâr al-Fikr, 1979), h. 157-165. 19

334


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

pihak yang ahliyyat al-wujûb wa al-adâ’); dan syarat mawhûb (objek hibah) adalah setiap benda yang boleh dimiliki dan tertentu atau dapat ditentukan.25 Syarat-syarat mawhûb secara rinci adalah mawhûb harus sudah ada (wujûd) pada saat akad hibah dilakukan. Mawhûb harus termasuk benda halal (mutaqawwim). Mawhûb harus harus termasuk benda yang dapat dimiliki (mamlûk fî nafsih). Mawhûb harus termasuk milik wâhib. Mawhûb harus benda yang teretntu dan bukan dari benda yang tidak berharga apabila dibagi (muharaj/mufaraj). Mawhûb harus benda yang dapat dipisahkan dari yang lain (mutamayiz ‘an ghairihi). Mawhûb harus benda yang dapat dikuasai (al-qabdh).26 Hibah dibedakan menjadi dua, yakni hibah muthlaqah dan hibah muqayyadah (hibah mu‘âlaqah bi syarth). Hibah yang tidak boleh diminta kembali adalah hibah muthlaqah. Hibah mu‘âlaqah bi syarth antara lain berupa al-‘umrâ,27 al-ruqbâ,28 dan al-mânihah29 yang hukumnya diikhtilafkan ulama. Hibah mu’aqqayyadah (tepatnya hibah mu‘âlaqah bi syarth) sangat relevan untuk dibahas karena kaitannya dengan hadiah yang diberikan oleh Lembaga Keuangan Syariah kepada nasabah termasuk dalam domain hibah mu‘âlaqah bi syarth. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Abû Hurairah dijelaskan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, wâhib lebih berhak atas mawhûb selama belum diterima imbalannya (al-wâhib ahaqq bi hibatihi Isu yang berkaitan dengan mawhûb antara lain adalah mengenai benda yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi. Hibah sebagian rumah yang luas yang tidak merusak fungsinya boleh hukumnya; akan tetapi, objek hibah yang berupa rumah yang kecil (baca: sempit) yang dapat merubah fungsinya jika dibagi, ulama berbeda pendapat (ikhtilâf); ulama Malikiah, Syafi‘iah, dan Hanabilah membolehkannya; sedangkan ulama Hanafiah tidak membolehkannya. Lihat al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, h. 3990-3991. 26 Lihat al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, h. 3988-3995. 27 Al-‘umrâ adalah pemberian manfaat benda dari pihak wâhib kepada pihak mawhûb lah selama mawhûb lah hidup. Apabila mawhûb lah meninggal, mawhûb harus dikembalikan kepada wâhib. Al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, h. 3986. Pemberian berupa ‘umra diikhtilafkan hukumnya oleh ulama karena menyangkut kepemilikan mawhûb: apakah kepemilikan mawhûb berpindah dari wâhib kepada mawhûb lah atau tidak? Jika kepemilikan mawhûb tidak berpindah (tetap milik wâhib), maka akad hibah tersebut secara substansi sama dengan akad al-‘âriyah (hibat al-manaf); yaitu akad hibah manfaat suatu benda tanpa menghibahkan objeknya. Apabila dihubungkan dengan meninggalnya wâhib, maka mawhûb berubah menjadi tirkah (berpindahnya kepemilikan dari wâhib kepada ahli warisnya); maka sepantasnya al-‘umrâ berakhir karena harus digunakan untuk keperluan mayat dan sisanya dibagikan kepada ahli waris. 28 Al-ruqbâ adalah sepakatnya pihak wâhib dengan pihak mawhûb lah bahwa apabila wâhib atau mawhûb lah meninggal, maka mawhûb menjadi milik yang masih hidup. Ulama Hanafiah dan Malikiah melarang terjadinya al-ruqbâ, tetapi mereka mengakui keabsahan al-‘umrâ. Lihat al-Zuhaili, al-Fiqh al-Isâmi wa Adillatuh, h. 3986. 29 Al-manihah berhubungan dengan objek hibah (mawhûb); al-mânihah sama dengan al‘âriyah, karena itu, objeknya harus benda yang tidak habis sekali pakai. Mawhûb yang habis sekali pakai atau habis/rusak karena dipakai hanya dapat dijadikan objek hibah; mawhûb yang tidak habis sekali pakai (seperti kendaraan dan rumah) dapat dijadikan objek al-‘âriyah. Sedangkan menghibahkan manfaat dinar (baca: uang) disebut akad qardh. Lihat al- Zuhaili, al-Fiqh al-Isâmi wa Adillatuh, h. 3986. 25

335


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 ma lam yutsab minha). Hadis tersebut merupakan dasar dibolehkannya meminta kembali mawhûb selama imbalannya (‘iwadh) belum diterima wâhib, meskipun mawhûb sudah dikuasai (qabdh) oleh mawhûb lah. Tetapi, ulama berpendapat meminta kembali mawhûb dihukumi makruh karena meminta kembali mawhûb tidaklah sah kecuali atas dasar rela atau keputusan kadhi. Karena itu, pengambilan kembali mawhûb atas dasar kerelaan para pihak termasuk iqâlah.30

Mempertimbangkan Jâ’izah Tasjî‘iyah Terminologi baru yang dikenalkan dalam penyerahan hadiah adalah jâ’izah (jawa’iz, jamak). Arti al-jâ’izah secara etimologis adalah al-‘athiyah (‘athayâ, jamak; pemberian). Konsep al-‘athiyah berhubungan dengan domain lain. Pertama, al-‘athiyah yang dihubungkan dengan domain ihsân berarti al-mukafa’ah, yaitu membalas kebaikan pihak lain dengan balasan yang setimpal (bimitslih) atau lebih baik (biziyadah). Kedua. Al-‘athiyah yang dihubungkan dengan domain tha‘ah berarti al-tsawâb (ganjaran/pahala). Ketiga. Al-‘athiyah yang dihubungkan dengan domain ju‘alah (dalam pengertian al-wa‘du bi lamal) berarti imbalan ju‘alah (ju‘i).31 Terminologi al-jâ’izah berhubungan dengan terminologi hibah (tabarru‘). Hamd Fâruq al-Syaikh menjelaskan, jâ’izah tasyjî‘iyah merupakan terminologi yang relatif baru. Jâ’izah tasyjî‘iyah diawali janji dan/atau komitmen dari pihak tertentu yang disampaikan kepada pihak lain (baca: masyarakat umum) yang harapannya adalah agar pihak tersebut melakukan pekerjaan tertentu yang dibenarkan syariah, dan yang berhasil mengerjakan pekerjaan tersebut berhak menerima jâ’izah (tabarru‘). Hamd Fâruq al-Syaikh menjelaskan tentang operasional jâ’izah tasyjî‘iyah, yaitu di antaranya berupa “pengumuman” mengenai perlombaan (musabaqah, misalnya Perlombaan Karya Tulis Ilmiah [PKTI]) dari pihak pemerintah (atau pihak bank) kepada masyarakat (atau nasabah), dan pihak yang berhasil berhak mendapatkan hadiah.32 Pada prinsipnya, ulama berpendapat bahwa jâ’izah tasyjî‘iyah boleh dilakukan dengan syarat telah dipenuhi ketentuan umum dan ketentuan khususnya. Ketentuan umumnya adalah sebagai berikut. Pertama, jâ’izah tasyjî‘iyah harus terhindar dari qimar Al-iqâlah adalah “mengurungkan” menidakjadikan, atau membatalkan; karena itu, substansi iqalah di sini adalah keridhaan dari pihak mawhûb lah atas diambilnya kembali oleh mawhûb berarti membatalkan hibah yang dilakukan oleh wâhib. Lihat al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh, h. 4004. 31 Ahmad Ahmad al-Sa‘d, “al-Jawâ’iz al-Tasyji‘iyyah fî al-Bunûk al-Islâmiyyah: Dirâsah Hâlat al-Bunk al-Islâmi al-Ardâni,” (Tesis: Universitas Yarmuk, 2001), h. 2, 5-6. Al-Thâlib Hamd Fâruq al-Syaikh menjelaskan bahwa terminologi al-jawa’iz berhubungan dengan terminlogi al-mukafa’ah, al-ajr (baca: ujrah), al-jazâ’ (balasan), hadiah, dan hibah. Lihat Hamd Fâruq al-Syaikh, “al-Rusum wa al-Gharamat wa al-Jawa’iz fî al-Mu’assasat al-Mâliyah al-Islâmiyyah (fî Dhaw’ al-Syarî‘ah alIslâmiyyah)” (Tesis: Fakultas Imam al-Auza‘i li al-Dirasat al-Islamiyyah. 2012), h. 123-124. 32 Al-Syaikh, al-Rusum wa al-Gharamat, h. 122. 30

336


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

(judi) dan maisir (untung-untungan). Kedua. jâ’izah tasyjî‘iyah harus terhindar dari gharar. Ketiga, jâ’izah tasyjî‘iyah harus terhindar dari riba. Keempat, jâ’izah tasyjî‘iyah harus terhindar dari menggunakan/mengkonsumsi harta pihak lain secara batil. Sedangkan ketentuan khususnya adalah sebagai berikut. Pertama, jâ’izah tasyjî‘iyah mengharuskan pihak peserta (baca: nasabah) mengerjakan pekerjaan yang mubah (boleh secara syariah). Kedua, jâ’izah tasyjî‘iyah (baca: hadiah) haruslah benda yang halal. Ketiga, jâ’izah tasyjî‘iyah haruslah benda yang sudah menjadi milik pemberi (baca: Lembaga Keuangan syariah).33 Keempat, jâ’izah tasyjî‘iyah haruslah benda yang berwujud. Kelima, jâ’izah tasyjî‘iyah haruslah benda yang sudah diketahui secara pasti (empirik dan terukur).34 Jâ’izah tasyjî‘iyah pada operasionalnya diawali dengan komitmen yang berupa “janji melalui media tertentu agar pihak lain (baca: nasabah) melakukan perbuatan mubah tertentu, dan yang berhasil melakukannya berhak mendapatkan jâ’izah (hadiah) baik secara langsung maupun dengan cara-cara lain yang dibenarkan syariah (misalnya dengan cara pengundian/tasyjî‘iyah), sebagaimana Yâsir Dâwûd Sulaimân Manshûr menjelaskan bahwa tasyjî‘iyah dipraktikkan dalam mu‘amalah maliyah.35

Lihat Abd Allah Khalid Abd al-Mun’im, “al-Takyif al-Fiqhi li Jawa’iz Hisabat al-Tawafir,” dalam munem79@hotmail.com diakses tanggal 15 Oktober 2012. 34 Al-Syaikh, al-Rusum wa al-Gharamat, h. 126-129. Lihat pula “Hukm Jawa’iz al-Bunuk al-Islamiyyah,” dalam http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option= fatwaId&Id=3720 diakses tanggal 15 Oktober 2012; “Hukm al-Hadaya al-Tasyji’iyyah al-lati Taqdimuha al-syirkat,” dalam http:// www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa& Option=fatwaId&Id=145749 diakses tanggal 15 Oktober 2012; “Hukm al-Jawa’iz al-Tasyji’iyyah li Ashhab al-Mahalat wa al-Musytarin,” dalam http:// www.islamweb.net/fatwa/index.php?page= showfatwa&Option=fatwaId&lang=A&Id=138383 diakses tanggal 15 Oktober 2012; “Hukm Jawa’iz Musabaqat al-Jara’id wa al-Majalat,” dalam http://www.islamweb. net/fatwa/index. php?page=showfatwa&Option=fatwaId&lang=A&Id=1243 diakses tanggal 15 Oktober 2012; “Hukm al-Jawa’iz al-lati Tamnahuha al-Mahalat li al-Zaman,” dalam http://www.islamweb. net/ fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=fatwaId&Id=127641 diakses tanggal 15 Oktober 2012; “al-Hibah aw al-Ja’izah ala Istihdam al-Fiza al-Ribawiyah Mal Muharam,” dalam http:// www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option= fatwaId&Id=169107 diakses tanggal 15 Oktober 2012; “Tabarru’ li Jam’iyyah Farih Sayarah,” dalam http://www. islamweb.net/ fatwa/index.php?page=showfatwa&Option= fatwaId&Id=156573 diakses tanggal15 Oktober 2012; “Hukm al-Jawa’iz al-lati Tarshuduha al-Mahalat al-Tijariyah wa Hukm al-Isytirak fiha,” dalam http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option= fatwaId&lang= A&Id=3817 diakses tanggal 15 Oktober 2012; “Jawa’iz al-Bunuk fi Minzhar al-Syar’,” dalam http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option= fatwaId&Id=96428 diakses tanggal 15 Oktober 2012; “Hukm al-Hadaya al-Tasyji’iyyah al-lati Yuqaddimuha alBunk li al-Muwadi’in,” dalam http://www.islamweb.net/fatwa/index.php? page=showfatwa& Option=fatwaId&lang=A&Id= 47146 diakses tanggal 15 Oktober 2012; dan “Jawa’iz Hisabat al-Tawfir fi al-Bunuk,” dalam http://www.yasaloonak.net/ 2008-09-18-36-26/ 2009-07-07-1225-03/1012.html diakses tanggal 15 Oktober 2012. 35 Yasir Dawud Sulaiman Manshur, Ahkâm al-Qur‘ah fî al-Fiqh al-Islâmi (Palestina: Universitas Nasional al-Najah. 2000), h. 90-96. 33

337


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Relevansi Jâ’izah Tasyjî‘iyah dengan Produk LKS dari Segi Akad Fatwa DSN-MUI yang berkaitan dengan penghimpunan dana ada tiga. Pertama, fatwa nomor: 01/DSN–MUI/IV/2000 tentang Giro. Kedua, fatwa nomor: 02/DSN–MUI/ IV/2000 tentang Tabungan. Ketiga, fatwa nomor: 03/DSN–MUI/IV/2000 tentang Deposito. Dari fatwa itu tergambar bahwa penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah adalah berupa giro, tabungan, dan deposito. Akad yang terdapat dalam produk penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah dibedakan menjadi dua, yakni akad wadî‘ah (titipan), dan akad mudhârabah. Tiga produk penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah dilihat dari segi akad yang digunakan dibedakan menjadi lima yaitu giro wadî‘ah, giro mudhârabah, tabungan wadî‘ah, tabungan mudhârabah, dan deposito mudhârabah. Akad wadî‘ah yang terdapat dalam produk penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah merupakan akad yang di dalamnya terdapat izin dari pemilik bagi penerima titipan (Lembaga Keuangan Syariah) untuk menggunakan uang yang dititipkan. Dari segi teori tahawwul al-‘aqd,36 akad wadî‘ah yang di dalamnya terkandung izin penggunaan objek wadî‘ah dari penitip kepada penerima titipan, secara substantif sama dengan akad qardh.37 Karenanya, diberlakukanlah kaidah-kaidah akad qardh yang antara lain berupa cegahan adanya imbalan yang diperjanjikan di awal akad karena termasuk riba qardh.38 Karena itu, tidaklah relevan jika jâ’izah tasyjî‘iyah digunakan untuk mempromosikan/memasarkan produk tabungan wadî‘ah dan giro wadî‘ah; karena secara substantif akad yang digunakan adalah akad qardh yang termasuk dalam domain akad tabarru’.39 Akad mudhârabah termasuk akad mu‘âwadhat (tijârî/bisnis).40 Karenanya, jâ’izah Lihat antara lain ‘Ali Ibrâhim al-Rasyid, al-Tahawul fî al-Asyya’ wa al-Tasharrufat wa al‘Uqûd wa Atsaruhu fi al-Hukm al-Syar`i (Kairo: Universitas Kairo. 2001); dan Ibrâhîm Ibn ‘Abd al-Rahmân Ibn Sa‘d al-Suhaili, Tahawwul al-‘Aqd: Dirâsah Muqâranah (Saudia Arabia: Universitas Imam Muhammad Ibn Sa‘ud al-Islamiyah, 1425 H). 37 Pernyataan bahwa wadhî‘ah dalam akad tabungan dan giro (hisâbat al-mashârif) secara hukum sama dengan akad qardh dapat dilihat pada Hanan Binti Muhammad Husen Jistaniyah, Aqsâm al-‘Uqûd fî al-Fiqh al-Islâmi (Saudi Arabia: Universitas Umm al-Qura. 1999), tesis magister, h. 115; lihat Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI (Jakarta: DSN-MUI dan Bank Indonesia, 2006), h. 467-468. Terminologi lainnya adalah al-wadîah al-istitsmâriyah. Lihat Badr Ibn ‘Alî Ibn ‘Abd Allâh al-Zamil, al-Hisâbat al-Istitsmâriyah ladai al-Mashârif al-Islâmiyyah (Riyadh: Dâr Ibn al-Jauzi, 1431 H), h. 55; dan Nazih Hammad, ‘Aqd al-Wadîah fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993), h. 89-131. 38 Dengan mengutif pendapat Ustaz al-Jawahiri, Rafiq Yunus al-Mishrî menyebut riba alqardh sebagai risiko, yaitu risiko qardh yang ribawi. Lihat Rafiq Yûnus al-Mishrî, Buhûts fî al-Iqtishâd al-Islâmi (Damaskus: Dâr al-Maktabi, 2009), h. 117. 39 Di antara ulama yang memperkenalkan akad dari segi tujuannya dibedakan menjadi akad tabarru’ dan akad mu‘âwadhat adalah Rafiq Yûnus al-Mishrî. Lihat Rafiq Yûnus al-Mishrî, Fiqh al-Mu‘âmalat al-Mâliyah (Damaskus: Dâr al-Qalam, 2007), h. 165, 237. 40 Penjelasan rinci mengenai akad mudhârabah antara lain dapat dilihat dalam Muhammad ‘Abd al-Mun‘im Abû Zaid, Nahw Tathwîr Nizhâm al-Mudhârabah fî al-Mashârif al-Islâmiyyah 36

338


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

tasyjî‘iyah relevan digunakan untuk memasarkan/mempromosikan produk penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah yang berupa giro mudhârabah, tabungan mudhârabah, dan deposito mudhârabah.

Isu Qimar dan Tasyjî‘iyah dalam Menentukan Hadiah Kajian tentang qimar dan/atau tasyjî‘iyah berkaitan dengan cara menentukan hadiah (jâ’izah tasyjî‘iyah). Apabila hadiah ditentukan secara langsung, maka tidak terkait dengan isu qimar dan tasyjî‘iyah. Umpamanya pihak Lembaga Keuangan Syariah berkomitmen untuk memberikan hadiah berupa sepeda motor merek tertentu kepada setiap yang menyimpan dana dalam bentuk giro/tabungan/deposito mudhârabah dengan jumlah minimal 1 milyar dalam jangka waktu minimal 6 bulan, maka Lembaga Keuangan Syariah secara langsung menyerahkan hadiah berupa sepeda motor kepada nasabah pada saat nasabah telah melakukan perbuatan mubah yang diharapkan oleh Lembaga Keuangan Syariah. Di antara hal yang menarik didiskusikan adalah sebagai berikut. Pertama, isu tentang kesempurnaan pekerjaan (al-natijah al- tammah atau al-a‘mal al-tam); apakah hadiah boleh diserahterimakan pada saat nasabah mulai menabung dengan jumlah tabungan 1 milyar (misal) sebelum jangka waktunya berakhir (6 bulan), atau penyerahan hadiah hanya boleh dilakukan apabilan jumlah tabungan minimalnya terpenuhi (misal 1 milyar) dan jangka waktu penyimpanan (6 bulan) telah dijalani. Dengan mempertimbangkan daya saing Lembaga Keuangan Syariah, maka mestinya serahterima hadiah boleh dilakukan sebelum jangka waktunya berakhir, dengan syarat terdapat janji dari pihak nasabah untuk menyempurnakan jangka waktu minimal penyimpanannya. Kedua, isu undian (tasyjî‘iyah),41 yaitu pengundian bagi setiap pihak yang melakukan penyimpanan dana giro/tabungan/deposito mudhârabah dalam jumlah tertentu dengan jangka waktu tertentu berhak untuk diundi dalam rangka mendapat “hadiah” berupa paket perjalanan umrah (misalnya). Hadiah yang disediakan berjumlah 10 paket untuk 10 pemenang, sementara jumlah penabung yang berhasil melakukan prestasi yang diharapkan Lembaga Keuangan Syariah misalnya mencapai 3000 orang. Dalam contoh yang kedua ini, pengundian boleh dilakukan dengan syarat dilakukan secara transparan dan dianjurkan melibatkan pihak yang berwenang agar terhindar dari selisih/sengketa.

(Kairo: al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikr al-Islâmi. 2000); dan Muhammad Shalah Muhammad alShâwî, Musykilât al-Istitsmâr fî al-Bunuk al-Islâmiyah wa Kaifa ‘Alajaha al-Islâm (Kairo: Dâr al-Wafa’, 1990), h. 19-111. 41 Bacaan lebih lanjut yang relevan adalah Yasir Dâwud Sulaimân Manshûr, Ahkâm alQur‘ah fî al-Fiqh al-Islâmi (Palestina: Universitas Nasional al-Njah, 2000); Sulaimân Ibn Ahmad al-Mulhim, al-Qimar: Haqîqatuhu wa Ahkamuhu (Riyadh: Dâr Kunuz Isybiliya, 2008); dan Rafiq Yûnus al-Mishrî, al-Maisir wa al-Qimar: al-Musâbaqat wa al-Jawâ’iz (Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993).

339


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Hadiah dan Risywah Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional VI Tahun 2000 telah menetapkan fatwa tentang risywah (suap), ghulul (korupsi) dan hadiah kepada pejabat. Fatwa ini terkait dengan isu hadiah dalam produk penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah. Dalam fatwa tersebut dijelaskan empat hal. Pertama, risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang (baca: pihak) kepada pihak lain dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Kedua, suap/uang pelicin/money politic dapat dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan sesuatu yang hak. Ketiga, hadiah adalah suatu pemberian dari satu pihak kepada pihak lain karena penghormatan. Keempat, korupsi adalah tindakan pengambilan sesuatu yang ada di bawah kekuasaannya dengan cara yang tidak sah menurut syariat Islam. Setelah menjelaskan definisi-definisi tersebut, ditetapkan tiga hal. Pertama, hukum memberikan risywah dan menerimanya adalah haram. Kedua, hukum melakukan korupsi adalah haram. Ketiga, hukum memberikan hadiah adalah 1) jika pemberian hadian tidak terkait dengan kekuasaan dan jabatan seseorang, maka hukum memberi dan menerima hadiah adalah tidak haram; 2) jika antara pemberi hadiah dengan penerima hadiah (pejabat) tidak ada atau tidak akan ada urusan apa-apa, memberikan dan menerima hadiah tersebut tidaklah haram; 3) jika antara pemberi hadiah dengan penerima hadiah (pejabat) terdapat urusan (perkara), maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut; dan bagi pemberi, haram memberikannya apabila pemberian dimaksud bertujuan untuk meluluskan sesuatu yang batil (bukan haknya); dan 4) jika antara pemberi dan penerima hadiah (pejabat) ada suatu urusan, dan pemberian hadiah tidak bertujuan untuk sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah tersebut, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.42 Fatwa MUI tentang Risywah (suap), ghulul (korupsi) dan hadiah kepada pejabat, secara tidak langsung berhubungan dengan imbalan ju‘alah yang sedang dikaji dan didiskuskan. Dalam fatwa tersebut dipersamakan antara “meluluskan sesuatu yang batil” dengan “bukan haknya.”43 Kata kunci “bukan haknya” dapat jelaskan sebagai berikut. Ketentuan nomor empat berkaitan dengan suap yang dilakukan oleh pihak tertentu agar penerima suap (pihak otoritas) berhenti melakukan kezaliman; suap tersebut tujuannya baik, yaitu sebagai bagian dari upaya mengimplementasikan keadilan; maka memberi suap hukumnya boleh, tapi hukum menerimanya adalah haram. Lihat Za‘tari, Fiqh al-Mu‘âmalat, h. 348. 43 Ulama menjelaskan bahwa risywah dibedakan menjadi empat bentuk: 1) penyuap menyerahkan suap kepada pihak lain dengan harapan pihak penerima dapat menyerahkan suatu benda/ pelayanan yang bukan haknya kepada penyuap; 2) penyuap menyerahkan suap kepada pihak lain dengan harapan agar penerima meniadakan hak pihak lain karena penyuap dihinggapi penyakit dengki; 3) penyuap menyuap pihak tertentu agar pihak penerima suap menyerahkan pekerjaan meskipun tidak sesuai dengan kapasitas/kompetensinya; dan 4) penyuap menyuap pihak otoritas agar hak penyuap berjalan secara baik. Lihat Za‘tari, Fiqh al-Mu‘âmalat, h. 347. 42

340


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

Pertama, pejabat yang menyimpan dana milik kantor ataun perusahaan yang berada di bawah kekuasannya pada Lembaga Keuangan Syariah dalam bentuk tabungan mudhârabah, giro mudhârabah, atau tabungan mudhârabah, tidak berhak mendapatkan hadiah/imbalan ju‘alah dan/atau bagi hasil dari tabungan/deposito/giro mudhârabah secara pribadi; hadiah/ imbalan ju‘alah dan/atau bagi hasil mudhârabah harus diakui/dibukukan sebagai pendapatan kantor atau perusahaan (bukan menjadi milik pribadi). Kedua, dana haji setoran BPIH yang termasuk daftar tunggu dalam fatwa MUI ditetapkan sebagai dana milik calon haji. Karena itu, pejabat yang menyimpan dana tersebut tidak berhak mendapatkan hadiah/imbalan ju‘alah dan/atau bagi hasil dari simpanan mudhârabah secara pribadi. Hadiah/imbalan ju‘alah dan/atau bagi hasil dari tabungan/giro/deposito mudhârabah harus dibukukan sebagai pendapatan calon jamaah haji yang bersangkutan (bukan menjadi milik pejabat).44

Ragam Hadiah dalam Praktik di Perbankan Syariah Hadiah merupakan bagian integral dari promosi/pemasaran produk industri, termasuk industri keuangan syariah. Griffin dan Ebert menegaskan bahwa hadiah dalam ilmu bisnis merupakan bentuk promosi yang paling terkenal. Berdasarkan wawancara dengan sejumlah pegawai bank syariah, dapat dijelaskan ragam hadiah yang diberikan bank syariah kepada nasabah dan disederhanakan menjadi lima corak berikut.45 Pertama, undian, yang dimaksud undian di sini adalah menyangkut cara (metode) penentuan pihak atau pihak-pihak yang berhak mendapatkan hadiah. Pada umumnya, undian dilakukan terhadap pemilik dana pihak ketiga yang tabungan/deposito/gironya mencapai jumlah tertentu dan pada jangka waktu tertentu berhak diundi untuk mendapatkan hadiah tertentu yang pada umumnya bersifat material (seperti hadiah umrah atau kendaraan roda empat/ roda dua). Kedua, gimik/langsung, yaitu hadiah yang diberikan bank kepada setiap pihak yang membuka rekening (baru) tabungan/deposito/giro; pada umumnya hadiah bersifat immaterial (seperti hadiah berupa paying, pulpen, topi, dan/atau kaos). Ketiga, individual, yaitu hadiah yang dijanjikan bank hanya kepada nasabah tertentu; atau nasabah yang diminta menempatkan dananya di bank meminta hadiah kepada bank. Pada umumnya, hadiah yang bercorak individual ini bersifat material. Keempat, bonus (‘athayâ), yaitu hadiah yang diberikan bank kepada nasabah yang menyimpan dananya di bank berupa tabungan atau giro wadî`ah. Pada umumnya bonus bersifat immaterial. Kelima, discount, yaitu pemberian hadiah dari bank kepada nasabah yang berupa potongan kewajiban pembayaran karena melakukan pelunasan sebelum jatuh tempo. Dari sudut bank, corak discount merupakan tanazul al-haq atau isqâth al-haq. Lihat M. Ichwan Sam, et al. (peny.), Himpunan Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa seIndonesia IV Tahun 2012 (Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2012), h. 98-103. 45 Wawancara dengan pegawai Perbankan Syariah bulan Oktober 2012 di Jakarta. 44

341


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Penutup Berdasarkan deskripsi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, hadiah yang ditawarkan sebagai upaya pemasaran produk penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah hanya relevan dengan produk penghimpunan dana yang menggunakan akad mu‘âwadhat, yaitu giro mudhârabah, tabungan mudhârabah, dan depositi mudhârabah. Karenanya, promosi produk mudhârabah yang menggunakan jâ’izah tasyjî‘iyah tidak relevan dengan produk penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah yang menggunakan akad wadî`ah yang di dalamnya terkandung izin untuk menggunakan uang yang dititipkan, karena wadî`ah tersebut secara substantif sama dengan akad qardh yang tidak termasuk akad mu‘âwadhat. Kedua, pihak yang berhak menerima hadiah (gift) adalah pihak penyimpan sekaligus pemilik dana yang disimpan dalam bentuk tabungan/giro/deposito mudhârabah. Karena itu, pejabat yang menempatkan dana kantor/perusahaan tempatnya bekerja, tidak berhak mendapat hadiah. Hadiah adalah milik kantor/perusahaan yang bersangkutan (bukan milik pribadi), kecuali hadiah tersebut bersifat immaterial. Ketiga, jâ’izah tasyjî‘iyah pada prinsipnya tidak hanya dapat digunakan dalam promosi/pemasaran produk penghimpunan dana Lembaga Keuangan Syariah. Tetapi, jâ’izah tasyjî‘iyah dapat diimplementasikan dalam produk penyaluran dana, terutama apabila hadiah diharapkan dapat mengakibatkan disiplinnya nasabah Lembaga Keuangan Syariah dalam mengembalikan dana milik Lembaga Keuangan Syariah.

Pustaka Acuan Abû Zaid, Muhammad ‘Abd al-Mun‘im. Nahw Tathwîr Nizhâm al-Mudhârabah fî alMashârif al-Islâmiyyah. Kairo: al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikr al-Islâmi, 2000. Al-Azdari, Abâ Dâwud Sulaimân Ibn al-Asy’ats al-Sijistâni. Sunan Abî Dâwûd. Vol. III. Bandung: Dahlan, t.t. Al-Andalûsi, Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd al-Qurthubi. Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid. Vol. II. Semarang: Toha Putra, t.t. ‘Abduh, Isa. Bunuk bila Fawa’id. Mesir: Dâr al-I`tisham. t.t. Ahmad, Amrullah (ed.). Prospek Hukum Islam dalam Kerangka Pembangunan Hukum Nasional di Indonesia: Sebuah Kenangan 65 Tahun Prof. Dr. H. Busthaul Arifin. SH. Jakarta: IKAHA dan Gema Insani Press, 1994. Amin, Maruf. “Pembaharuan Hukum Ekonomi Syariah dalam Pengembangan Produk Keuangan Kontemporer. Transformasi Fikih Muamalat dalam Pengembangan Ekonomi Syariah,” Pidato Ilmiah pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan. Doctor Honoris Causa. dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah di Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 5 Mei 2012.

342


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

Al-Barazi, Muhammad Fu’ad. Mas’ûliyat al-Fatwâ al-Syar‘iyah wa Dhawâbituhâ wa Atsaruhâ fi Rasyad al-Ummah. t.t.p.: t.p., t.t. Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang, dan Gadai. Cet. 2 . Bandung: al-Ma‘arif. 1983. Coulson, N.J. A History of Islamic Law. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1991. Coulson, N.J. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago & London: The University of Chicago Press, 1969. Daghi, Muhy al-Dîn al-Qurrah. Buhûts fî al-Bunûk al-Islâmî. Beirût: Dâr al-Basya’ir alIslâmiyah, 2009. Direktori Syariah Indonesia. Jakarta: Dewan Syariah Nasional MUI, t.t. Fikri, ‘Ali. Mu‘âmalat al-Mâdiyah wa al-Adabiyah. Vol. II. Mesir: Musthafa al-Bâbî alHalabi wa Awladuh, 1938. Griffin, Ricky W., dan Ronald J. Ebert. Bisnis. Vol. II. Jakarta: Indeks, 2006. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI. Jakarta: DSN-MUI dan Bank Indonesia, 2006. Haroen, Nasrun (ed.) Ensiklopedi Hukum Islam. Vol. I. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. 2003. Hassan, A. Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama. Juz II. Cet. 10. Bandung: Diponegoro, 1988. Hammad, Nazih. ‘Aqd al-Wadîah fî al-Syarî‘ah al-Islâmiyah. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993. “Hukm Jawa’iz al-Bunuk al-Islamiyyah,” dalam http://www.islamweb.net/fatwa/index. php?page=showfatwa&Option=fatwaId&Id=3720 diakses tanggal 15 Oktober 2012. “Hukm al-Hadaya al-Tasyji’iyyah al-lati Taqdimuha al-syirkat,” dalam http:// www. islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=fatwaId&Id=145749 diakses tanggal 15 Oktober 2012. “Hukm al-Jawa’iz al-Tasyji’iyyah li Ashhab al-Mahalat wa al-Musytarin,” dalam http:// www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=fatwaId&lang= A&Id=138383 diakses tanggal 15 Oktober 2012. “Hukm Jawa’iz Musabaqat al-Jara’id wa al-Majalat,” dalam http://www.islamweb. net/ fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=fatwaId&lang=A&Id=1243 diakses tanggal 15 Oktober 2012. “Hukm al-Jawa’iz al-lati Tamnahuha al-Mahalat li al-Zaman,” dalam http://www.islamweb. net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=fatwaId&Id=127641 diakses tanggal 15 Oktober 2012. Hukm al-Jawa’iz al-lati Tarshuduha al-Mahalat al-Tijariyah wa Hukm al-Isytirak fiha,” dalam http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa& Option= fatwaId&lang=A&Id=3817 diakses tanggal 15 Oktober 2012. “Hukm al-Hadaya al-Tasyji’iyyah al-lati Yuqaddimuha al-Bunk li al-Muwadi’in,” dalam 343


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 http://www.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option= fatwaId&lang=A&Id=47146 diakses tanggal 15 Oktober 2012. “Al-Hibah aw al-Ja’izah ala Istihdam al-Fiza al-Ribawiyah Mal Muharam,” dalam http:// www.islamweb.net/ fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=fatwaId&Id= 169107 diakses tanggal 15 Oktober 2012. Hassan, Hussain Hamid. “The Jurisprudence of Financial Transactions. Fiqh Mu`âmalât.,” dalam Ausaf Ahmad dan Kazim Raja Awan. ed... Lectures on Islamic Economics . Jeddah: Islamic Research and Training Institute. Islamic Development Bank, 1992. Ibn Ahmad, Muhammad. Fath al-Rahîm ‘ala Fiqh al-Imâm Mâlik bi al-Adillah. Vol. II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1979. Al-Jauziyah, Syams al-Dîn Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Qayyim. I‘lâm al-Muwaqqi‘în ‘an Rabb al-‘Âlamîn. Vol. II. Beirût: Dâr al-Fikr, t.t. “Jawa’iz al-Bunuk fi Minzhar al-Syar’,” dalam http://www.islamweb.net/fatwa/index. php?page=showfatwa&Option=fatwaId&Id=96428 diakses tanggal 15 Oktober 2012. “Jawa’iz Hisabat al-Tawfir fi al-Bunuk,” dalam http://www.yasaloonak.net/ 2008-09-1836-26/2009-07-07-12-25-03/1012.html diakses tanggal 15 Oktober 2012. Jistaniyah, Hanan Binti Muhammad Husen. Aqsâm al-‘Uqûd fî al-Fiqh al-Islâmi. Saudi Arabia: Universitas Umm al-Qura, 1999. Al-Kahlani, Muhammad Ibn Isma’il. Subul al-Salâm. Vol. III. Bandung: Dahlan, t.t. Karim, Adiwarman A. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010. Manshur, Yasir Dawud Sulaiman. Ahkâm al-Qur‘ah fî al-Fiqh al-Islâmi. Palestina: Universitas Nasional al-Najah, 2000. Masyhuri, Abdul Aziz. Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul Ulama. Surabaya: PP Rabithah Ma‘ahidil Islamiyah dan Dinamika Press, 1977. Manshûr, Yasir Dâwud Sulaimân. Ahkâm al-Qur‘ah fî al-Fiqh al-Islâmi. Palestina: Universitas Nasional al-Najah, 2000. Al-Mulhim, Sulaimân Ibn Ahmad. Al-Qimar: Haqîqatuhu wa Ahkamuhu. Riyadh: Dâr Kunuz Isybiliya, 2008. Al-Mun’im, Abd Allah Khalid Abd. “al-Takyif al-Fiqhi li Jawa’iz Hisabat al-Tawafir,” dalam munem79@hotmail.com diakses tanggal 15 Oktober 2012. Al-Mishrî, Rafiq Yûnus. Buhûts fî al-Iqtishâd al-Islâmi. Damaskus: Dâr al-Maktabi, 2009. Al-Mishrî, Rafiq Yûnus. Fiqh al-Mu‘âmalat al-Mâliyah. Damaskus: Dâr al-Qalam, 2007. Al-Mishrî, Rafiq Yûnus. al-Maisir wa al-Qimar: al-Musâbaqat wa al-Jawâ’iz. Damaskus: Dâr al-Qalam, 1993. Al-Mishrî, Rafiq Yunus. Ushûl al-Iqtishâd al-Islâmî. Damaskus: Dâr al-Qalam, 2005. Mohsen, M. “A Profile of Riba-Free Banking,” dalam Mohammad Arief. (ed.), Monetary 344


Jaih Mubarok, et al.: Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

and Fiscal Economics of Islam. Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics. King Abdulaziz University, 1982. Mudzhar, M. Atho. “Penerapan Pendekatan Sejarah Sosial dalam Hukum Islam,” makalah disampaikan dalam acara diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian UNISBA. di Bandung, 8 Januari 1992. Mudzhar, M. Atho. “Fiqh dan Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Budhy Munawar-Rachman. (ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina. 1994. MUI Pusat. “Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga. Interest/Fa’idah.. Terorisme. dan Penetapan Awal Ramadhan. Syawal. dan Dzulhijjah. Jakarta,” 16 Dember 2003. Metwally, M. M. Principles of Islamic Economics. Australia: Departement of Economics University of Wollongong, t.t. Al-Mushlih, Khalid Abd Allah. al-Hawâfiz al-Tijâriyah al-Taswîqiyah wa Ahkâmuhâ fi alFiqh al-Islâmi. t.t.p.: t.p., t.t. PP Muhamadiyah. Himpunan Putusan Tarjih. Yogyakarta: Pengurus Pusat Muhammadiyah Majlis Tarjih, t.t. PB Mathla‘ul Anwar. Keputusan-Keputusan Majelis Fatwa Mathla`ul Anwar. Jakarta: Sekretariat PB Mathla`ul Anwar, 1985. Al-Rasyid, ‘Ali Ibrâhim. al-Tahawul fî al-Asyya’ wa al-Tasharrufat wa al-‘Uqûd wa Atsaruhu fi al-Hukm al-Syar`i. Kairo: Universitas Kairo, 2001. Al-Suhaili, Ibrâhîm Ibn ‘Abd al-Rahmân Ibn Sa‘d. Tahawwul al-‘Aqd: Dirâsah Muqâranah. Saudia Arabia: Universitas Imam Muhammad Ibn Sa‘ud al-Islamiyah, 1425 H. Al-Shâwî, Muhammad Shalah Muhammad. Musykilât al-Istitsmâr fî al-Bunuk al-Islâmiyah wa Kaifa ‘Alajaha al-Islâm. Kairo: Dâr al-Wafa’, 1990. Sam, M. Ichwan. et al. (peny.) Himpunan Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV Tahun 2012. Jakarta: Majelis Ulama Indonesia, 2012. Al-Sa‘d, Ahmad Ahmad. “al-Jawâ’iz al-Tasyji‘iyyah fî al-Bunûk al-Islâmiyyah: Dirâsah Hâlat al-Bunk al-Islâmi al-Ardâni,”. Tesis: Universitas Yarmuk, 2001. Al-Syaikh, Hamd Fâruq. “al-Rusum wa al-Gharamat wa al-Jawa’iz fî al-Mu’assasat alMâliyah al-Islâmiyyah fî Dhaw’ al-Syarî‘ah al-Islâmiyyah.” Tesis: Fakultas Imam alAuza‘i li al-Dirasat al-Islamiyyah, 2012. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Vol. III. Beirût: Dâr al-Fikr, 1983. Al-Saud, Mahmud Abu. “Islamic View of Riba: Usury and Interest,” dalam Syekh Ghazali Syaikh Abod. et al. (ed.) An Introduction to Islamic Finance. Kuala Lumpur: Quill Publishers, 1992. Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford: Oxford University Press, 1964. Sadr, Muhammad Baqer, dan Ayatullah Sayyid Mahmud Taleghani. Islamic Economics: Contemporary Ulama Perspective. Kuala Lumpur: Iqra’, 1991. 345


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam. terj. Anshori Umar Sitanggal. Bandung: al-Ma‘arif. 1985. Sunaryo, Oyo. “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru tentang Kewarisan Islam dalam Tata Hukum Indonesia” dalam al-Tadbir. Vol. I. No. 3. 2000. Taizir, Aswita. “Muhammad Abduh and The Reformation of Islamic Law,”. Thesis McGill University, 1994. “Tabarru’ li Jam’iyyah Farih Sayarah,” dalam http://www.islamweb.net/fatwa/index. php?page=showfatwa&Option= fatwaId&Id=156573 diakses tanggal 15 Oktober 2012. Usmani, Muhammad Imran Ashraf. Meezanbank’s Guide to Islamic Banking. Karachi: Darul Ishaat, 2002. Ul-Haq, Irfan. Economic Doctrines of Islam: A Study of Doctrines of Islam and Their Implications for Poverty. Employment. and Economic Growth. USA: International Institute of Islamic Thought, 1996. Zahrah, Muhammad Abû. Buhuts fî al-Riba. Mesir: Dâr al-Buhuts al-‘Ilmiyah. 1970. Al-Zamil, Badr Ibn ‘Alî Ibn ‘Abd Allâh. al-Hisâbat al-Istitsmâriyah ladai al-Mashârif alIslâmiyyah. Riyadh: Dâr Ibn al-Jauzi, 1431 H. Za‘tari, ‘Ala’ al-Ashma’ Dîn. Fiqh al-Mu‘amalat al-Maliyah al-Muqarin: Shiyaghah Jadidah wa Amtsilah Mu‘ashirah. Damaskus: t.p., 2008. Al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuh. Vol. VI. Damaskus: Dâr al-Fikr, 2006.

346


PERSPEKTIF HUKUM ISLAM TENTANG DINAMIKA HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA Ismed Batubara Fakultas Hukum Universitas Al Washliyah Medan Jl. Sisingamangaraja Km. 5,5, Medan, 20147 e-mail: ismed.batubara@yahoo.co.id

Abstrak: Dinamika Hubungan Industrial di Indonesia mengalami sejarah yang cukup panjang sejak dari masa Kolonialisme sampai pada era Reformasi. Tulisan ini berupaya menjelaskan pola hubungan ideologi kerja yang dipengaruhi oleh dua kutub paham Liberalisme dan Komunisme dan dilanjutkan oleh paham ekstrimitas sistem ekonomi Kapitalisme dan Sosialisme vis-Ă -vis sistem Islam. Penulis menyatakan bahwa walaupun peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan telah tersedia, namun perselisihan atau disharmoni hubungan antara buruh dan pengusaha masih saja terjadi. Secara substansial peraturan perundangan masih memiliki masalah yang terbukti dari fakta empiris ketidakmampuan pemerintah menangani permasalahan perburuhan dengan baik. Penulis menyimpulkan bahwa konsep Islam menjadi alternatif dalam hubungan industrial dengan menekankan prinsip kesetaraan dan keadilan sehingga terbebas dari kesewenang-wenangan dan eksploitasi model Kapitalisme dan kediktatoran model Komunisme. Abstract: Islamic Law Perspective of the Dynamic of Industrial Relation in Indonesia. The dynamic of industrial relation in Indonesia has undergone very long history since Colonial period to the Reformation era. This essay tries to elucidate relation pattern of labor ideology which seem to be influenced by Liberalism and Communism followed by two extreme economic ideologies vis-Ă -vis Islamic system. The author asserts that although regulations pertaining to labor have been made available, disputes and disharmony between workers and company or employer still occur repeatedly. Substantially, the regulations encompass delicate problems which are evident form the fact that the government is incapable of handling labor problem efficiently. The author concludes that Islamic concept should become an alternative in dealing with industrial relation which emphasizing equality and just principles and thus it is free from authoritarianism and expoloistation of Capitalistic models as well as from dictatorship of Communism ideology.

Kata Kunci: hubungan industrial, Kapitalisme, Komunisme, hukum Islam, Indonesia

347


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Pendahuluan Manusia harus bekerja untuk mempertahankan kehidupannya dan memenuhi kebutuhannya dengan banyak cara. Pola hubungan ini disadari atau tidak, sengaja atau kebetulan bersentuhan dengan ideologi kerja, yang dalam masyarakat Modern dipengaruhi dua paham, yaitu liberalisme dan komunisme. Pada dataran yang konkrit, paham-paham ini muncul dalam postur negara/pemerintah, masyarakat, pengusaha dan organisasi pekerja/buruh. Baik pihak pengusaha, masyarakat dan organisasi pekerja/buruh secara langsung maupun tidak memiliki kepentingan bersama untuk mencapai tujuan. Sampai di sini, ideologi sebagai landasan kerja dapat diperdebatkan, apakah dapat atau tidak memenuhi ketentuan para pemegang peran tersebut (role of holder). Sejarah pergerakan kaum buruh nasional, hal ini dapat dibuktikan di mana paham liberalisme dan komunisme menjadi ideologi. Setelah komunisme padam, masih terdapat stereotip bahwa persoalan industri sangat ditentukan oleh dua ekstrimitas sistem ekonomi, yaitu kapitalisme1 dan sosialisme. Sistem kapitalisme diasumsikan cenderung mengeksploitasi kaum buruh, karena di dalam sistem ini buruh diperas tenaganya untuk menghasilkan apa yang disebut sebagai2 nilai lebih (surplus value). Sementara itu, sosialisme3 cenderung bersikap sebaliknya, yaitu membela Kapitalisme adalah ideologi yang tegak di atas pemisahan agama dengan kehidupan (publik) atau yang dikenal dengan sekularisme. Sekularisme menjadi asasnya, atau akidahnya, sekaligus menjadi fikriyah dan qa‘idah fikriyahnya. Pemberian nama kapitalisme sebagai identitas ideologi ini didasarkan pada kenyataan bahwa ekonomi kapitalis adalah ciri yang yang paling menonjol. Memang ia juga mengingat sistem pemerintahan demokrasi, tapi demokrasi bukan ciri khas kapitalisme, karena sosialisme juga menganutnya. Kapitalisme memiliki doktrin asasi bahwa manusia berhak membuat peraturan untuk mengatur kehidupan manusia di dunia ini. Mereka menjunjung tinggi sekali kebebasan manusia, yang termanifestasikan dalam wujud kebebasan berakidah, kebebasan berpendapat, kebebasan hak milik dan kebebasan pribadi. Dari kebebasan hak milik ini lahir sistem ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalis inilah yang menjadi jantung ideologi ini. Para kapitalis ini mampu memengaruhi aktivitas pemerintahan dan kehidupan secara luas. Kaum elit pengusaha juga tunduk para kehendak kapitalis ini. Oleh karena itu, ideologi ini sah disebut kapitalisme. M. Ramadhan Adi, Globalisasi Skenario Mutakhir Kapitalisme (Bogor: al-Azhar Press, 2005), h. vi-vii; Adnan Khan, Kapitalisme di Ujung Tanduk (Jakarta: Pustaka Thariqul Izza, 2008), h. 80. 2 Pandangan Marx mengenai nilai barang adalah sama dengan Ricardo (klasik). Ricardo mengatakan bahwa jumlah buruh itu menentukan nilai barang. Marx menambahkan selain itu bahwa buruh adalah sumber dari segala nilai. Alasannya, kata Marx, apabila ada dua macam barang dipertukarkan maka tentu ada yang mempersamakan nilainya. Kalau nilainya sama maka tentu ada sesuatu ukuran persamaan. Nilai pakai tentu tidak mungkin, sebab karena justru perlainan nilai-pakai itu maka orang itu mau menukarkannya. Jadi satu-satunya yang dapat menyamakan kedua barang itu adalah hasil kerja (product) dari tenaga manusia. Jadi satu-satunya yang menentukan nilai barang itu adalah beberapa jumlah buruh dalam keadaan berlaku dibutuhkan untuk membuat barang itu. Kalau dua macam barang misalnya dibuat oleh jumlah buruh yang sama, maka samalah nilai kedua barang itu. Adapun perbedaan antara seorang buruh ahli dengan yang tidak, maka itu kata Marx dapat diatasi dengan memperkalikan buruh biasa menjadi sama dengan buruh ahli. Taher Ibrahim, Islam, Marx dan Keynes (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), h. 20. 3 Marx telah meramal kedatangan Sosialisme. Menurutnya, terdapat tanda-tanda yang konkrit yang menunjukkan bahwa masyarakat kapitalis ini menuju kepada masyarakat sosialis atau kolektivis. 1

348


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

buruh. Pembelaan itu dilakukan dengan menempatkan buruh sebagai pelopor utama perubahan dan kepemimpinan negara. Kapitalisme yang sekarang banyak dianut negara-negara di dunia ini memberikan dampak yang kuat kepada pemerintahan dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator dalam hubungan industrial. Dalam kapitalisme, pemilik modal dalam hal ini pengusaha/ majikan lebih diuntungkan dibandingkan dengan para buruh. Di lain pihak, paham sosialisme yang notabene berpihak kepada kepada kaum buruh, mencoba memberikan solusi atas kesemena-menaan yang dilakukan oleh para pihak pemilik modal kepada kaum buruh dengan konsep harta merupakan milik negara, dan tidak diakuinya kepemilikan pribadi, dengan harapan terjaminnya pemerataan bagi semua golongan masyarakat. Kedua paham di atas, sangatlah ekstrim dalam memandang setiap permasalahan yang ada, terlebih lagi dalam kaitannya dengan permasalahan dunia kerja. Islam sebagai agama yang lengkap dan menyeluruh menawarkan konsep keseimbangan dan keadilan. Islam memiliki pandangan sendiri tentang usaha dan dunia usaha. Usaha yang tidak adil dan salah adalah sangat tercela. Sebab, hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam masyarakat dan akhirnya akan membawa kepada kehancuran. Karena itu, sistem Islam bebas dari kesewenang-wenangan, eksploitasi model kapitalisme dan ketidaktatoran model komunisme.4 Salah satu satu sasaran pokok Islam adalah mengangkat manusia dari kemiskinan dan kelaparan menuju suatu kehidupan yang menyenangkan dan membahagiakan. Nabi sendiri selain diutus untuk untuk membasmi belenggu perbudakan yang telah memaksa manusia hidup menderita dan miskin juga memberikan kebebasan kepada mereka untuk beribadah dan mencari penghidupan. Karena itu, al-Qur’an memberikan penekanan keras terhadap usaha-usaha produksi manusia dan mendorongnya untuk bekerja keras mengembangkan kekayaan alam agar mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.5 Banyaknya disharmoni hubungan antara majikan dan buruh mengindikasikan bahwa sistem yang dianut pemerintah tidak memberikan solusi penyelesaian kasusAdapun tanda-tanda itu adalah sebagai berikut. Pertama, apa yang dinamakannya undang-undang konsentrasi. Di dalam masyarakat kapitalis terdapat satu dorongan menuju kepada konsentrasi ini. Perusahaan-perusahaan yang kecil-kecil terus menerus ditelan oleh perusahaan menengah dan perusahaan menengah lambat laun dibeli oleh perusahaan besar dan salah satu waktu hanya ada satu atau dua saja perusahaan raksasa yang menguasai seluruh aktivitas-aktivitas ekonomi. Bila ini telah tercapai maka soal waktu saja lagi untuk berpindah dari masyarakat kapitalis kepada masyarakat sosialis. Kedua, apa yang dinamakannya undang-undang akumulasi. Dengan adanya konsentrasi di atas maka harta kekayaan berada di tangan segelintir manusia dan di hadapan beberapa kapitalis ini berdiri rakyat yang tidak punya akibat dari pemerasan dan peng-hisapan yang disebut proletar. Ibid, h. 23-24; Fachry Ali, Islam, Ideologi Dunia dan Dominasi Struktural (Bandung: Mizan, 1985), h. 99. 4 Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Seorang Pedagang (Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy, t.t.), h. 221. 5 Ibid, h. 224.

349


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 kasus per-buruhan, masalah UMP/UMR, pemogokan, kebebasan berserikat hingga pemutusan hubungan kerja.

Hubungan Industrial di Indonesia Hubungan industrial yaitu sistem hubungan yang terbentuk antar pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Usia hubungan industrial yang mengatur hubungan majikan dan buruh di Indonesia lebih tua dari usia kemerdekaan bangsa ini. Hubungan industrial sangat erat kaitannya dengan industrialisasi yang dipraktikkan Belanda di Indonesia.6 Kondisi kerja yang demikian buruk memicu munculnya bentuk perlawanan yang khas sebuah gerakan buruh: pemogokan. Salah satu pemogokan pertama dalam sejarah Indonesia tercatat di tahun 1882 di Yogyakarta, di mana pada puncak gelombang pemogokan ini 21 pabrik gula terpaksa menghentikan produksinya karena pemogokan. Isu yang diangkat adalah upah, kerja gugur-gunung yang terlalu berat, kerja jaga 1 hari tiap 7 hari, kerja moorgan yang tetap dijalankan padahal tidak lazim lagi, upah tanam sering tidak dibayar, banyak pekerjaan tidak dibayar padahal bukan kerja wajib, harga yang dibayar pengawas terlalu murah dibandingkan harga pasar, dan pengawas Belanda sering memukul petani. Sejarah perburuhan di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa masa, yaitu masa Kolonial, masa Orde Lama, masa Orde Baru, dan masa Reformasi. Sejarah setiap masa tersebut akan diuraikan di bawah ini.

Masa Kolonial Kapitalisme perkebunan awal di Indonesia muncul sejak abad 17-18 di Jawa dan Sumatra Timur. Kapitalisme perkebunan ini merupakan kolonisasi resmi Belanda, yang sebelumnya dirintis oleh kapitalisme dagang Belanda, yakni VOC. Berkembang biaknya kapitalisme perkebunan di Jawa dan Sumatra Timur akibat berkurangnya peran negara kolonial dalam memaksa penduduk-penduduk pribumi menyediakan produk komoditi tertentu, yang dikerjakan secara paksa. Setelah mengalami pergeseran politik di negeri Belanda, akibat banyaknya kritikan dari tanah jajahan dan dari Belanda sendiri, di samping Di Indonesia, sejarah hubungan industrial, dalam arti hubungan antara orang yang melakukan pekerjaan pada orang atau badan hukum, dimulai dengan perbudakan yang dilakukan oleh budak dan hamba. Mereka ini merupakan buruh pada zaman itu. ‘Upah’ yang mereka terima adalah makanan, pakaian dan perumahan. Upah berupa uang biasanya tidak diberikan kepada mereka. Orang lain atau badan itu merupakan “majikan� yang berkuasa penuh dan mutlak, bahkan menguasai hidup-mati para budak itu. Lihat Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja (Jakarta: Djambatan, 1987), h. 10; Edi Cahyono, Pekalongan 1830-1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan (Bandung: LEC, 2001). 6

350


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

mulai bangkrutnya VOC, maka kaum kapitalis Belanda memaksa menghapuskan monopoli negara kolonial atas sistem kapitalis dagang. Kaum borjuis baru ini mengusulkan untuk mengembangkan sistem kapitalis perkebunan di tanah jajahan seperti Jawa dan Sumatera Timur yang cocok untuk sejumlah komoditi ekspor dan ditemukan sumber energi baru seperti minyak bumi. Pada masa kolonial Belanda kehidupan buruh sangat terkekang. Sebagai contoh, kehidupan kaum buruh yang terdapat pada perkebunan di Sumatera Timur. Para buruh sering ditipu oleh para pemilik kebun saat memberikan gaji. Kuli ditempatkan dalam barak sebagai tempat tidur bersama. Barak itu tidak dilengkapi dengan perabotan yang memadai. Barak hanya berdinding papan, berlantai tanah dan beratap daun rumbia. Untuk toilet biasanya kuli menggali lubang di sekitar barak. Kondisi barak yang demikian menyebabkan kuli sangat rentan terkena penyakit. Ordonansi kuli pada waktu itu mewajibkan perusahaan memberikan pelayanan kesehatan bagi kuli. Namun realitasnya perawatan kesehatan yang memadai kuli tidak pernah ada. Rumah sakit perkebunan tidak dilengkapi dengan fasilitas kesehatan, tidak ada kamar mandi, tidak ada penerangan di malam hari, tidak ada ruang khusus untuk pasien penyakit menular, tidak ada bantal atau kasur, dan dokter yang jarang memeriksa keadaan pasien. Kondisi demikian menyebabkan kuli sering tidak mau dirujuk ke rumah sakit. Rumah sakit dianggap sebagai pintu menuju kematian. Pemaksaan terhadap kuli agar mau bekerja tidak hanya dilakukan lewat mekanisme hukuman. Cara lain yang dipakai adalah dengan memberi hadiah pada kuli yang rajin dan tunduk pada perusahaan. Bentuk hadiahnya seperti diangkat jadi pengawas atau diberi sepetak lahan kebun. Untuk menjamin kuli tidak melarikan diri, pemilik kebun membangun tembok sekeliling kebunnya. Pemilik kebun juga membentuk semacam tim untuk mengawasi tindak-tanduk para kuli. Ada juga tim pelacak yang dibentuk untuk melacak kuli yang melarikan diri. Para pemilik kebun memanfaatkan kekuasaannya dengan sesuka hati menghukum kuli. Bentuk-bentuk hukuman yang sering diterima kuli seperti disekap satu hari, dipenjara, dicambuk, diikat pada tiang selama beberapa hari, dipukul, ditendang, ditampar, dipasung, diborgol, dirantai, dijemur selama 2 minggu, dibenamkan ke air, digosok kemaluannya dengan merica halus, ditusuk bagian bawah kukunya, diseret dengan kuda, dipukuli dengan jekatang dan setelahnya disiram air. Kesemua bentuk hukuman ini dilakukan di tempat terbuka dan sengaja diperlihatkan pada semua kuli dengan maksud agar kuli tidak melakukan pelanggaran lagi. Wilayah pelarian yang paling sering dituju adalah pedalaman Sumatera Timur. Untuk melacak kuli yang melarikan diri, maka pemilik kebun menggunakan orang Batak yang sudah lama dikenal sebagai pemburu premi atau hadiah. Menjalin kontrak dengan perusahaan lain juga merupakan salah satu tujuan kuli melarikan diri. Namun bentuk perlawanan yang paling ekstrim yang dilakukan kuli adalah bunuh diri. Kuli perempuan adalah golongan kuli yang paling sering mengalami kekerasan seksual dan fisik. Banyak kuli perempuan yang terjebak pada ikatan tanpa pernikahan dengan sesama kuli. Perempuan 351


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 juga dipaksa untuk menjadi gundik staf perusahaan, pemilik kebun atau mandor. Setelah Indonesia diserahkan kembali kepada Nederland, pemerintah Hindia-Belanda mulai membuat regulasi perbudakan, namun tidak sampai menghapuskannya. Yang terjadi justru pada tahun 1930-an terjadi peralihan status dari budak menjadi buruh. Hubungan industrial yang kapitalistik mulai terbentuk dengan adanya produksi komoditas internasional secara massal (generalized commodity production). Statistik Hindia-Belanda tahun 1930 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang hidup di sektor buruh ada sekitar 6 juta orang. Dari jumlah ini, sekitar setengah jutanya merupakan buruh yang sudah bersentuhan teknologi seperti tambang, transportasi dan bengkel. Sedangkan sisanya terdiri dari buruh industri kecil (2.208.900), buruh lepas (2.003.200), dan buruh musiman yang umumnya terdiri dari buruh tani dan tani miskin.7 Willem Daendels yang sangat mengagumi revolusi Perancis melakukan kapitalisasi yang lebih strategis dengan mendirikan lembaga keuangan pendukung konsep negara,8 yaitu Nederlansche Handels Maatschapij (NHM) dan Javasche Bank. Kehadiran kedua lembaga juga dimaksudkan untuk menghambat arus perdagangan Inggris di pulau Jawa, karena saat Inggris sudah memiliki 100 kapal yang berlabuh di Batavia, sementara Belanda hanya memiliki 43 buah.9 Untuk melancarkan proyeknya, Williem Daendels juga memberlakukan kerja paksa (rodi)10 dan poenale sanctie, yakni pidana terutama atas penolakan untuk melakukan pekerjaan dan melarikan diri serta mengangkut buruh kembali ke perusahaan dengan bantuan polisi. 11 Lembaga punale sanksi ini semata-mata diadakan dengan maksud mengikat buruh, sebab dari ketentuan-ketentuan dalam kuli ordonansi tersebut jelas bahwa majikan sama sekali tidak terikat pada perjanjian kerja. Dengan aturan tersebut, buruh, selama masa kontrak, kehilangan kemerdekaannya karena tidak dapat mempersingkat, apalagi membatalkan kontrak.12 Keharusan memenuhi kewajiban memang berlaku bagi semua orang. Tetapi, dalam punale sanksi ini, buruh diwajibkan dengan ancaman pidana, atau ancaman dibawa kembali oleh polisi ke pekerjaannya. Dengan demikian, pihak majikan memiliki hak atas pribadi buruh untuk kepentingannnya. Punale sanksi telah memberikan kekuasaan kepada pengusaha untuk berbuat kepada buruh-buruh yang dapat menimbulkan perlakuan tidak adil.13 Edi Cahyono, “Perburuhan dari Masa ke Masa: Zaman Kolonial Hindia Belanda Sampai Orde Baru,� dalam Gerakan Serikat Buruh (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), h. 132-133. 8 Perlu diingat bahwa saat itu status Hindia-Belanda hanya mitra dagang VOC (Vereenigde Osst-Indische Compagnie). Dengan kemandirian keuangan, ia ingin mempertegas posisi Hindia Belanda sebagai sebuah Koloni. 9 Polak, “Tentang Cultuurstelsel dan Penggantiannja,� dalam Penelitian Sedjarah, No 4, Th. II, September 1961, h. 18. 10 Salah satu bentuk rodi yang sangat tersohor adalah membuat jalan dari Anyer sampai Panarukan. 11 Mohammad Said, Koeli Kontrak di Tanah Deli (Medan: Waspada, 1978), h. 5. 12 Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan (Jakarta: Djambatan, 1999), h. 31. 13 Jen Breman menulis beberapa bentuk kekejaman yang terjadi saat itu. Jacobus Nienhuys, 7

352


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

Oleh para serikat buruh, ketidakadilan harus dilawan dengan menuntut pemerintah untuk pendirian sistem pengadilan arbitrase (scheidgererechten). Pada saat itu, salah satu organisasi serikat buruh yang terkenal adalah VSTP (Vreniging van Spooren Tramweng Personeel Nederlandsh Indie). Pemerintah Hindia Belanda lalu mendirikan Dewan Perdamaian (Verzoenningsraad) untuk bidang kereta api di Jawa dan Madura. Dewan itu terdiri dari wakil pemerintah, wakil pengusaha dan wakil buruh, dan tugasnya memberi perantaraan jika di perusahaan kereta api timbul sengketa perburuhan atau pemogokan. Komisi ini bisa didirikan dengan inisiatif dari ketua (wakil pemerintah) atau usulan dari anggota, termasuk wakil dari buruh. Pada tahun 1937, sistem ini kemudian diterapkan untuk industri kereta api di seluruh Indonesia.

Masa Orde Lama Sebelum memasuki Orde Lama telah banyak terdapat organisasi-organisasi pergerakan buruh, seperti Serikat Kereta Api Negeri (1905), Serikat Buruh Gula (1906), Serikat Pengawas Perkebunan Deli (1907), dan Serikat Buruh Kereta Api dan Trem (1908). Sekalipun pada awalnya serikat-serikat buruh ini dibangun oleh buruh-buruh kulit putih, namun semangat internasionalis dari gerakan buruh, yang saat itu sedang kuat di Eropa, meluas juga ke Hindia Belanda. Banyak serikat buruh yang tadinya eksklusif untuk kulit putih ini perlahanlahan membuka pintu untuk bergabungnya buruh-buruh pribumi. Selain itu, persinggungan antara buruh-buruh pribumi dengan buruh-buruh kulit putih telah menularkan pula keinginan untuk membangun serikat buruh sendiri di kalangan pribumi. Di antara serikatserikat buruh yang dibangun oleh pribumi, layak disebut Perkoempoelan Boemipoetera Pabean (1911), Persatoean Goeroe Bantoe (1912) dan Personeel Fabriek Bond (1917). PFB adalah sebuah serikat buruh yang dibentuk oleh Soerjopranoto, yang kelak akan dikenal sebagai salah seorang “radja mogok” Hindia Belanda. Pemogokan yang dilakukan PFB tertuju pada 3 sasaran, yaitu “berusaha mendapat kuasa dalam pemerintahan negeri supaya negeri terperintah oleh rakyat sendiri mengurus jalannya rezeki, mengeratkan kaum buruh dalam pekerjaannya guna merubah nasibnya, dan mengadakan perdagangan oleh dan buat rakyat (koperasi).” Pada masa awal kemerdekaan, hubungan industrial relatif berjalan baik. Serikatserikat pekerja mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, pemerintahan dan kegiatan-kegiatan politik praktis. Para anggotanya memandang bahwa organisasinya dapat dipakai sebagai alat (vehicle) untuk memperjuangkan kepentingan mereka. 14

pemilik Deli Maatschappij menghukum cambuk 7 buruhnya hingga mati. Dalam kasus lain, seorang buruh perempuan diikat pada bungalow oleh tuan kebunnya dan kemaluannya digosok dengan lada. Data selengkapnya baca Jen Breman, Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial Pada Awal Abad ke 20 (Jakarta: Grafitti Press, 1997), h. xxi-ii. 14 Fenomena tersebut nampak, misalnya, dari berdirinya beberapa serikat buruh. Yang ber-

353


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Pada tahun 1950, Soekarno memutuskan untuk mengundang unsur-unsur progresif dalam pembentukan kabinetnya. SOBSI telah kembali berdiri dan semakin menguat dalam dasawarsa tersebut. Pada dasawarsa tersebut, SOBSI adalah serikat buruh terbesar dan terkuat di Indonesia, dengan 2,5 juta anggota dan 34 serikat buruh anggota. Selain SOBSI, ada dua lagi serikat buruh beraliran progresif yang patut disebut. Pertama adalah GASBRI (Gabungan Serikat Buruh Revolusioner Indonesia) yang dekat dengan Partai Murba. Partai Murba sendiri adalah hasil pengembangan dari sekelompok orang yang pada tahun 1946 memisahkan diri dari SOBSI. Dalam kongresnya tahun 1951, GASBRI berubah nama menjadi SOBRI (Sentral Organisasi Buruh Revolusioner Indonesia). Kedua adalah SARBUPRI (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia) yang didirikan tahun 1947. SARBUPRI memiliki kedekatan dengan SOBSI dan ormas lain yang juga dekat dengan PKI. Ketiga serikat buruh ini kerap mengadakan pemogokan besar yang berujung pada kemenangan bagi buruh. Statistik menunjukkan bahwa antara tahun 1921-1955, terjadi 11.763 pemogokan yang melibatkan 918.739 buruh. Aksi-aksi nasionalisasi yang dilancarkan oleh serikatserikat ini menghasilkan kemenangan besar di mana-mana, sekalipun kemudian kemenangan ini tidak banyak mereka nikmati malah banyak perusahaan Belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian malah diambil alih oleh Angkatan Darat. Tuntutan untuk dilibatkan dalam proses produksi juga berhasil dimenangkan. Presiden Soekarno mendukung program ini dan memerintahkan membentuk Dewan Perusahaan pada tahun 1960 di mana buruh berkedudukan dalam Dewan Pertimbangan. Kehadiran tiga serikat buruh besar yang beraliran progresif ini menyebabkan partaipartai politik lainnya juga berusaha untuk membangun serikat buruhnya sendiri. PNI membangun Kesatuan Buruh Marhaen (KBM, berdiri 1952), NU membentuk Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi, berdiri 1956), PSII membentuk GOBSI (berdiri 1959), orang-orang Katolik membangun Ikatan Buruh Pantjasila, dan Masjumi mendirikan Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII). SBII inilah yang kelak memainkan peranan penting dalam mengubah wajah gerakan serikat buruh, terutama memasuki era Orde Baru. SBII menganut ideologi harmoni. Bagi mereka, jangan sampai ada permusuhan antara buruh dengan majikan. Jadi, apabila ada perselisihan perburuhan, SBII akan mengusahakan

haluan kiri berdiri Partai Buruh Indonesia (PBI) dan Partai Rakyat Sosialis (PRS) yang akhirnya melebur diri menjadi Barisan Buruh Indonesia (BBI). Di kalangan buruh perempuan, muncul Barisan Buruh Wanita (BBW) yang akhirnya berganti nama menjadi Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GABSI) setelah kongres di Madiun pada tahun 1946. Organisasi buruh juga muncul berdasarkan jenis pekerjaan mereka. Misalnya muncul Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SARBUPRI) dan Serikat Buruh Rokok Kudus. Pada tanggal 29 November 1946, seluruh serikat buruh membentuk serikat gabungan yang bernama Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Pada tahun 1950, organisasi ini beranggotakan 2.5 juta orang yang terdiri dari 34 serikat buruh. Data lebih dalam dapat ditelusuri dalam tulisan Lance Castle, Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus (Yogyakarta: Sinar Harapan, 1982), h. 133; Suri Suroto, “Gerakan Buruh dan Permasalahannya,� dalam Prisma, No. 11 Tahun 1981, h. 11.

354


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

bantuan materiil pada buruh yang menjadi korban, baik berupa uang ataupun bentuk lainnya. Ini supaya lambat-laun akan terjadi perdamaian dan harmoni di setiap pusatpusat buruh. Pada 1956, pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ILO No. 98/1949 tentang Dasar-Dasar Hak dari pada untuk Berorganisasi dan Perundingan Bersama (ILO Convention on the Right to Organise and Bargain Collectively). Implikasinya, pada periode 1960-an, jumlah dan keanggotaan serikat buruh menjamur dan sangat sulit dihitung. Namun demikian, tingkat kesejahteraan para buruh ternyata tidak memiliki hubungan signifikan untuk menumbuhkan peningkatan standar kehidupan para buruh dan keluarganya. 15 Pada masa awal pemerintahan Orde Baru, pemerintahan berhasil membentuk MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) yang diarahkan untuk membicarakan berbagai hal untuk mengkonsolidasi kehidupan serikat buruh. Pada tahun 1972, dua puluh satu serikat buruh disatukan sehingga melahirkan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Dalam perjalanannya, federasi ini dinilai tidak demokratis. Tuduhan tidak demokratis pertamatama dilontarkan oleh gerakan serikat buruh Internasioanal, di antaranya WCL (World Convenderation of Labour) dan ICFTU (International Convenderation of Free Trade Unites). Tuntutan mereka adalah agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan yang seluasluasnya bagi kaum buruh untuk berorganisasi dan menentukan tempat kerja yang nyaman, terhindar dari unsur eksploitasi, tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari polusi industri. Pada tahun 1974, pemerintah bersama komponen masyarakat lainnya merumuskan apa yang disebut dengan HIP (Hubungan Industrial Pancasila). Melalui konsep ini, diharapkan agar sistem hubungan industrial di Indonesia berjalan sesuai budaya bangsa yang tercermin dalam UUD 45 dan Pancasila. Dalam perkembangannya, konsep ini memang telah melahirkan praktik-praktik hubungan industrial yang mantap dan serasi. Akan tetapi, dari sisi pekerja, hubungan ini belum menghasilkan manfaat optimal yang bisa dirasakan oleh mereka. Partnership sebagaimana yang diharapkan antara pengusaha dengan pekerja ternyata belum berjalan dengan baik. Belum pernah ada UU yang mengatur tentang hubungan industrial secara khusus di Indonesia, tidak seperti Inggris dan bekas jajahannya yang relatif memiliki UU seperti itu. Peraturan yang ada juga lebih mengacu pada stabilitas, sehingga nasib buruh tetap berada pada posisi inferior. Peraturan-peraturan Menteri Tenaga Kerja yang dirasa tidak sesuai dengan Perundang-undangan Perburuhan adalah Permen (Peraturan Menteri) No. 342/1986 tentang intervensi militer sebagai perantara dalam perselisihan perburuhan; Permen No. 1108/1986 tentang keharusan kalau terjadi perselisihan perburuhan supaya diselesaikan terlebih dulu dengan atasan langsung, sebelum lewat perantara atau P4; Permen No. 1109/1986 tentang pembentukan UK (Unit Kerja) di

Soegiri, “Gerakan Serikat Buruh,� dalam Gerakan Serikat Buruh Zaman Kolonial Belanda Hingga Orde Baru (Jakarta: Hasta Mitra, 2003), h. 91-92. 15

355


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 perusahaan harus melibatkan pengusaha; Permen No. 04/1986 tentang pemberian izin kepada majikan untuk merumahkan buruh sewaktu-waktu tanpa menunggu P4.16 Beberapa Peraturan Menteri (Permen) itulah yang memicu gejolak masyarakat yang peduli terhadap masalah-masalah perburuhan, karena dirasakan sangat merugikan dan membatasi gerak buruh. Walaupun beberapa Permen tersebut dicabut tahun 1993, tetapi dampaknya masih nampak dari tindakan-tindakan pengusaha, sehingga posisi, nasib dan kesejahteraan pekerja masih sangat memperihatinkan.17 Memang, Upah Minimum Regional (UMR), yang kemudian berubah menjadi UMP (Upah Minimum Propinsi) dan UMK (Upah Minimum Kabupaten), terus mengalami kenaikan sesuai dengan perkembangan daya beli masyarakat. Namun, persentase kenaikan UMR tersebut tidak memiliki korelasi kuat dengan peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Itu berarti tingkat kesejahteraan buruh masih di bawah standar sehingga eskalasi tuntutan dan demontrasi semakin meningkat khususnya yang dilancarkan oleh pekerja. 18 Berkaitan dengan ratifikasi itu, pada 18 Juni 1998, ILO mendeklarasikan prinsipprinsip dan hak-hak mendasar di tempat kerja. Deklarasi ini merupakan tonggak sejarah baru bagi ILO untuk mengubah persepsi yang berkembang, seolah-olah ILO hanya mendukung kepentingan negara maju, sekaligus merupakan jawaban terhadap tantangan globalisasi pasar kerja dan perdagangan yang telah menjadi fokus perdebatan internasional, merekonsiliasi keinginan semua pihak dalam hubungan industrial, menggairahkan usaha-usaha nasional seiring dengan kemajuan sosial-ekonomi, mengakomodir perbedaan kondisi lokal masing-masing negara, dan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun di pihak perusahaan, para pengusaha tidak dapat segera memenuhi standar perburuhan yang baru, di samping karena pertumbuhan ekonomi yang rendah, juga karena mereka menghadapi sejumlah pilihan sulit, terutama berkaitan dengan pengeluaran sejumlah biaya ‘siluman,’ yang tidak berhubungan dengan proses produksi. Selain itu, persediaan tenaga kerja yang berlimpah juga menjadi salah satu pertimbangan pengusaha untuk tidak segera merespons tuntutan pekerja yang ada. 19 Agnes Widanti, “Buruh di Sektor Industri dalam Perdagangan Global,” Makalah Sarasehan nasional dan Kongres Forum Mahasiswa Syari’ah seluruh Indonesia (FORMASI) (Semarang, 27 Maret 1997). 17 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Buruh Sebelum Keringatnya Kering (Jakarta: PPMI, 2000), h. 23-25. 18 Muhaimin Iskandar, Membajak di Ladang Mesin (Semarang: Yawas, 2004), h. 84. 19 Struktur hubungan ini digambarkan Antonio Gramci sebagai berikut. Lapisan yang tertinggi adalah negara/pemerintah dan aparat-aparatnya, kemudian di bawahnya para kapitalis, di bawahnya buruh, sedangkan yang paling bawah adalah petani. Petani adalah golongan masyarakat yang memproduksi pangan untuk menghidupi para buruh dan masyarakat lainnya. Sementara itu buruh bekerja untuk kepentingan golongan kapitalis dalam upaya terus meningkatkan produksi sekaligus mengembangkan kapital atau modalnya. Demi kepentingan peningkatan produksi para kapitalis melakukan eksploitasi terhadap buruh. Akan tetapi, para kapitalis tidak akan mampu melakukan eksploitasi tanpa adanya dukungan dan perlindungan dari pihak negara/pemerintah. 16

356


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

Untuk keluar dari situasi ini, banyak negara, termasuk Indonesia, kemudian mengadopsi konsep negara sejahtera (welfare state), yang sesungguhnya lahir sebagai respon atas depresi ekonomi 1935 dan Perang Dunia II. Landasan filosofisnya berbeda dengan Darwinisme Sosial tentang kapitalisme laissez-faire. Negara sejahtera berkeyakinan bahwa kesejahteraan individu merupakan sesuatu yang sangat penting dan tidak mungkin hanya tergantung dengan operasi pasar. Paradigma filsosofis ini mengindikasikan pengakuan formal terhadap ekonomi mainstream yang menyatakan bahwa kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhannya bukanlah dalil atas kegagalannya. Para pekerja yang terpaksa melakoni pekerjaan dengan gaji di bawah Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK), para pengangguran dan mereka yang jatuh miskin tidak semata-mata disebabkan oleh kesalahannya sendiri.

Masa Orde Baru Orde Baru bergerak dengan kekuatan dukungan20 modal asing dan21 militer, cepat merekonstruksi perekonomian Indonesia, sementara para aktivis buruh progresif tengah Sebagai imbalannya, para kapitalis membayar pajak kepada negara yang digunakan untuk membiayai aparat-aparatnya. Dalam upaya itu negara melakukan hegemoni melalui aparat-aparatnya, yang secara umum terdiri dari empat macam, yaitu aparat hukum, militer, pendidikan dan agama. Aparat hukum bertugas memproduksi aturan perundang-undangan untuk menekan dan mengendalikan rakyat (terutama buruh) agar tidak melakukan protes dan kritik terhadap para kapitalis dan negara itu sendiri. Aparat hukum berfungsi sebagai alat hegemoni melalui eksekusi undangundang, sedangkan aparat militer berfungsi sebagai kekuatan represif yang menindak rakyat dengan cara-cara kekerasan (repressive state apparatus). Militerlah yang secara fisik melakukan pengendalian dan tekanan kepada rakyat agar tetap tenang dan menerima kebijakan negara apa adanya. Hegemoni melalui aparat hukum dan militer masih belum cukup dan dianggap terlalu vulgar, sehingga juga harus dilakukan melalui pendidikan, informasi dan agama. Melalui ‘aparat’ pendidikan dan informasilah negara melakukan hegemoni kultural dan kesadaran masyarakat (ideological state apparatus). Sementara itu, para pengkhutbah dan tokoh-tokoh agama yang lain, melalui ceramah dan khutbahnya, bertugas menggiring kesadaran rakyat pada sikap sabar dan pasrah dengan berharap adanya imbalan dari Allah di surga nanti. Agama yang difungsikan seperti ini, sebenarnya untuk melindungi kepentingan kapitalis atau kepentingan negara yang telah menjadi alat bagi kaum kapitalis. Itulah sebabnya agama dengan fungsinya yang seperti ini oleh Karl Mark disebut sebagai candu. Antonio Gramsci, “Ekonomi dan Korporasi Negara,� dalam Catatan-Catatan Politik, terj. Gafna Raiza (Surabaya: Pustaka Promethea, 2001), h. 64-68. 20 Disahkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967 adalah gelombang pertama liberalisasi di Indonesia (1967-1974) di mana sektor swasta semakin terlibat dalam pembangunan. Saat itu, pemerintahan Orde Baru yang terbentuk dihadapkan pada kebangkrutan ekonomi dan ketiadaan modal dalam negeri. Masuknya kapital asing dinilai akan memberi dua keuntungan, yakini menciptakan investasi tanpa pemerintah mengeluarkan modal dan membuka lapangan kerja. Produk kebijakannya adalah Undang-undang PMDN No. 6 Tahun 1968. Syamsul Hadi, et al., Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF (Jakarta: Granit, 2004), h. 27-28 21 Bagi Orde Baru bahwa communist are barbaraous and bad, the army is virtous and good (komunis adalah biadab dan buruk, dan militer berbudi luhur dan baik). Michael R.J. Vatikiotis, Indonesian Politics under Soeharto: The Rise dan Fall of the New Order (New York: Roudletge, 1998), h. 2.

357


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 meregang nyawa di tangan para pembunuh yang sampai sekarang tidak pernah diadili. Orde Baru membuka pintu lebar-lebar kepada perusahaan-perusahaan asing. Soeharto juga membuka pintu bagi mengalirnya pinjaman luar negeri untuk berbagai proyek yang kemudian dikelola oleh mitra-mitra dan kerabat dekatnya. Dengan bantuan Frederich Ebert Stiftung, sebuah yayasan milik Partai Sosial Demokrat Jerman yang pro pasar bebas, pemerintahan militer ini juga merekonstruksi gerakan buruh. Melalui sebuah seminar yang disponsori FES di tahun 1971, disusunlah konsep baru serikat buruh Indonesia yang akan didukung oleh Orde Baru, yaitu gerakan buruh harus sama sekali lepas dari kekuatan politik manapun; keuangan organisasi tidak boleh tergantung dari pihak luar; kegiatan serikat buruh dititikberatkan pada soal-soal sosial ekonomis; penataan ulang serikat-serikat buruh yang mengarah pada penyatuan; dan perombakan pada struktur keserikatburuhan mengarah pada serikat sekerja untuk masing lapangan pekerjaan. Di beberapa negara, termasuk di Indonesia, banyak pengusaha yang tidak menerima serikat buruh (SB) sebagai representasi kolektif buruh. Manajemen perusahaan lebih memilih melakukan komunikasi dengan buruh secara personal daripada tawar-menawar kolektif dengan SB. Namun perusahaan masih memberikan ruang bagi SB-SB yang bisa dikontrol oleh pengusaha. Setidaknya, itulah prinsip yang dicanangkan secara teoritik. Kenyataannya, rekonstruksi serikat buruh dilaksanakan dalam bentuk FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) yang diketuai Agus Sudono, mantan Ketua Umum Gasbindo, dan Sekretaris Jendralnya adalah Suwarto, seorang mantan perwira Opsus (Operasi Khusus, pendahulu Kopkamtib). Di bawah komando dua orang petinggi Golkar ini, serikat buruh memang dilepaskan dari kekuatan politik manapun dan jatuh ke dalam cengkeraman Golkar. Di tahun 1985, FBSI diganti menjadi SPSI, keadaan menjadi bertambah parah karena SPSI dijadikan sebuah “wadah tunggal�, sebuah penghalusan istilah bagi dijalankannya sistem korporatisme negara oleh Orde Baru. Pada masa Cosmos Batubara memperkenalkan konsep Upah Minimum dan Jamsostek sebagai sogokan bagi buruh yang sekarang tidak lagi memiliki kebebasan untuk berorganisasi.

Masa Reformasi Semasa pemerintahan B.J. Habibie (1998-1999), keluar Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 yang mengesahkan Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, dan diratifikasinya Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan bekerja yang memberi perlindungan hak asasi anak dengan membuat batasan usia untuk diperbolehkan bekerja melalui undang-undang No. 20 Tahun 1999. Sementara pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001) dikeluarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Sementara pada pemerintahan Megawati Soekarno Putri (2001-2004), peraturan Ketenagakerjaan yang dihasilkan masa Megawati sangat fundamental 358


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

yaitu22 undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang menggantikan 15 peraturan Ketenagakerjaan, sehingga undang-undang ini merupakan payung hukum bagi peraturan lainnya. Undang-undang yang juga sangat mendasar lainnya adalah Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang disahkan pada 14 Januari 2004. Pada pemerintahan Soesilo Bambang Yoedhoyono (2004-2009), diundangkan23 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Hubungan Industrial dalam Perspektif Hukum Islam Salah satu sasaran pokok Islam adalah mengangkat manusia dari kemiskinan dan kelaparan menuju suatu kehidupan yang menyenangkan dan membahagiakan. Nabi sendiri selain diutus membasmi belenggu perbudakan yang telah memaksa manusia hidup menderita dan miskin, juga memberikan kebebasan kepada mereka untuk beribadah dan mencari penghidupan. Karena itu al-Qur’an memberikan penekanan keras terhadap usaha-usaha produksi manusia dan mendorongnya untuk bekerja keras untuk mengembangkan kekayaan alam agar mencapai angka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Islam mendorong umatnya untuk bekerja. Hal tersebut disertai jaminan Allah SWT. yang menetapkan rizki kepada setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Islam bahkan melarang umatnya untuk mengemis.24 Afzalur Rahman25 mengatakan bahwa kerja adalah segala usaha atau ikhtiar yang dilakukan oleh anggota badan atau pikiran untuk mendapatkan imbalan yang pantas.26 Dengan demikian, tidak dibenarkan bagi seseorang untuk merendahkan diri mengharap rezeki dari seseorang, sebab rezeki mereka itu berada di tangan Allah SWT. semata, dan

Undang-undang No. 13 tahun 2003 banyak menuai kritik, Mochtar Pakpahan menilai kebebasan berserikat akan sulit diwujudkan dengan adanya undang-undang No.13 tahun 2003 itu, karena undang-undang memperlemah serikat buruh dan sepanjang serikat buruh lemah, maka tidak mungkin buruh akan makmur. “Buruh Nilai kebebasan Berserikat Status Quo, Acukan ILO� (29 Agustus 2008), h. 1; Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Research Summary Kajian Terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Jakarta: t.p., 2008), h. 3, 27. 23 Konsekuensi dari lembaga baru ini, maka persoalan perburuhan kini bergeser dari hubungan publik menjadi hubungan privat. Surya Tjandra, Pengadilan Hubungan Industrial di Indonesia (Jakarta: Jurnal Hukum, 2008), h. 35. Pengadilan hubungan industrial juga menandai dialihkannya sistem perselisihan perburuhan dari pemerintah (eksekutif) ke dalam sistem peradilan umum. Lihat, Tjandra Surya dan Jafar Suryomenggolo, Sekedar Bekerja: Analisis UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Perspektif Buruh (Jakarta: Trade Union Centre, 2004), h. 4. 24 Afzalurrahman, Muhammad sebagai Seorang Pedagang, h. 224. 25 Afzlur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I (Jakarta: Dana Bhakti Waqah, 1995), h. 248. 26 Sayyid Quthb, Keadilan Sosial dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1984), h. 51. 22

359


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 tidak ada sedikit pun kekuasaan bagi salah seorang di antara hamba-Nya yang lemah itu untuk memutuskan rezeki manusia lainnya, serta tidak pula mempersempitnya. Islam memandang aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban umat, yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Kerja yang merupakan unsur utama faktor produksi mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan karena hal ini merupakan penunjang pelaksanaan ibadah manusia kepada Allah SWT. Karena itu, hukum bekerja adalah wajib.27 Sulit membayangkan seseorang yang tidak bekerja dan berusaha, terlepas dari bentuk dan jenis pekerjaannya, dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah dan memakmurkan bumi serta bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.28 Relevan dengan hal ini, Umar Chapra29 mengatakan bahwa penekanan Islam terhadap kesejahteraan ekonomi bersumber dari pesan yang dibawanya sendiri. Islam datang dengan fungsi sebagai “rahmat” bagi seluruh umat manusia, dengan tujuan membuat hidup lebih kaya dan berharga, bukannya lebih miskin dan penuh kesusahan. Pemberian mandat dan amanah dari Allah kepada manusia mengenai bumi ini memiliki tujuan. Pertama, agar manusia memanfaatkan isi bumi. Kedua. Agar manusia memeroleh pendidikan agar ingat kepada nikmat dari-Nya. Pada akhirnya, amanah Allah kepada umat manusia ini akan dipertanggungjawabkan. Karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bekerja dan mencari karunia Allah. Islam melarang bermalasmalasan, namun Islam sangat mendorong umatnya untuk bekerja. 30 Islam sebagai suatu sistem kehidupan yang berasal dari nilai-nilai ketuhanan mengatur adanya hubungan antara sesama manusia. Islam menghubungkan majikan dan buruh dalam jalinan persahabatan dan persaudaraan. Dalam Islam, sangat ditekankan agar orang-orang yang beriman terjalin dalam cinta dan kasih sayang serta memiliki kepentingan bersama. Terdorongnya menghormati hak-hak orang lain, persamaan dan kejujuran dan cinta kasih menciptakan adanya hubungan yang harmonis antara majikan dan buruh. Dari nilai-nilai luhur inilah, tidak akan ada perbedaan kepentingan majikan dengan kepentingan pekerja meskipun dalam kemampuan dan kedudukan yang berbeda. Karena keduanya bekerja untuk kepentingan masyarakat guna memperoleh rida Allah dengan senantiasa berbuat baik kepada manusia. Islam telah membantu terjalinnya hubungan yang baik antara buruh dan majikan terutama melalui ajaran moral dan pengalaman keteladanan hidup Rasulullah SAW.

Q.S. al-Jum‘ah/62: 10. Mustafa Edwin Nasution, et al., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana Pranada Group, 2006), h. 106. 29 Umar Chapra, “Tujuan Tata Ekonomi Islam,” dalam Khurshid Ahmad (ed.), Pesan Islam (Bandung: Pustaka,1983), h. 216. 30 M. Sholahuddin, Asas-asas Ekonomi Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 31. 27 28

360


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

Dalam cerita Nabi Musa dan Nabi Syu‘aib, terdapat pelajaran untuk meningkatkan hubungan dalam industri dan menghilangkan konflik antara buruh dan majikan. 31 Prinsip-prinsip hubungan industrial dalam Islam adalah kesetaraan dan keadilan. Kesetaraan menempatkan majikan dan buruh pada kedudukan yang setara. Pada saat menentukan hak dan kewajiban masih didasarkan pada asas kesetaraan. 32 Keadilan menempatkan para pihak untuk memenuhi perjanjian yang telah mereka buat dan memenuhi semua kewajibannya.33 Dengan adanya kejelasan hak dan kewajiban ini merupakan syarat kerja, begitu penting untuk memelihara adanya kepastian, dan sekaligus merupakan perlindungan, khususnya bagi pekerja sehingga terbina kepercayaan di antara keduanya yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan. Hak-hak pokok buruh dalam Islam34 adalah sebagai berikut. Pertama, pekerja berhak menerima upah yang memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang layak. Kedua, pekerja tidak boleh diberi pekerjaan yang melebihi kemampuan fisiknya. Jika dia dipercaya menangani pekerjaan yang berat, maka ia harus diberi imbalan dalam bentuk beras atau modal yang lebih banyak atau kedua-duanya. Ketiga, pekerja harus diberi bantuan pengobatan yang tepat jika sakit dan membayar biaya pengobatan yang sesuai pada saat itu. Keempat, penentuan yang layak harus dibuat untuk pembayaran pensiun bagi pekerja. Majikan dan pegawai bisa dimintai untuk dana itu, tapi sebagian besar akan disumbang oleh negara dari zakat. Kelima, para majikan harus didorong untuk mengeluarkan sedekah terhadap pekerja dan keluarganya. Keenam, pekerja harus dibayar dari keuntungan asuransi pengangguran pada musim pengangguran yang berasal dari dana zakat. Hal itu akan memperkuat kekuatan perjanjian dan akan membantu dalam menstabilkan tingkat upah pada suatu tingkat yang wajar. Ketujuh, pekerja harus dibayar dengan ganti rugi yang sesuai dengan atas kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan. Kedelapan, barangbarang yang dibuat dalam pabrik tempat mereka bekerja harus diberikan kepada mereka secara gratis atau menjual kepada mereka dengan biaya yang lebih murah. Kesembilan, mereka harus diperlakukan dengan baik dan sopan dan dimaafkan jika mereka melakukan kesalahan dalam bekerja. Kesepuluh, mereka harus disediakan akomodasi yang layak agar kesehatan dan efisiensi kerja mereka tidak terganggu. Selain dari hak-hak yang diperoleh seorang buruh, Islam juga mengatur kewajibankewajiban-kewajiban yang harus ditunaikannya, baik kepada perusahaan maupun kepada negaranya. Dikatakan bahwa pendapatan terbaik adalah pendapatan seorang pekerja yang melakukan pekerjaannya dengan berhati-hati dan ia hormat kepada majikannya. Bagi mereka yang bekerja menjalankan perintah atasannya dengan setia, hal itu sama halnya Q.S. al-Qashshash/28: 26-27. Q.S. al-Hujarat/49: h. 13. 33 Q.S Âli ‘Imrân/3: 17; Q.S. al-Baqarah/2: 177; Q.S. al-Mukminûn/23: 18; Q.S. al-Mâ’idah/ 31 32

5: 1. Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, h. 391, 302.

34

361


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 dengan mereka yang memberi derma. Lagi pula, ada kewajiban seorang pekerja untuk berbuat menurut syarat-syarat kerja. Nabi Muhammad SAW. mengatakan bahwa kaum Muslim akan terikat oleh syarat yang mereka yang buat. Jelaslah, syarat kerja tidak membolehkan para karyawan untuk menerima sesuatu apapun sebagai hadiah, mereka hanya berhak akan gaji dan upahnya saja. Setidaknya, ada konsep Islam berkaitan dengan permasalahan hubungan industrial, yaitu upah, serikat buruh, perselisihan dan pemogokan. Keempat masalah tersebut akan diuraikan di bawah ini.

Masalah Upah Dalam prinsip Islam, upah harus diberikan sebelum kering keringat buruh.35 Maksud perkataan Rasulullah SAW. ini adalah agar pemberian upah tidak boleh berlarut-larut atau ditunda-tunda. Selain itu, penetapan besaran upah yang akan diterima oleh para pekerja harus ditetapkan terlebih dahulu. Tidak diperkenankan melakukan kerjasama usaha tanpa adanya kesepatan tentang bagian yang akan diperoleh bagi masing-masing pihak. Untuk menjaga hubungan industrial maka upah ditentukan dengan cara yang paling tepat tanpa harus menindas pihak manapun. Setiap pihak memperoleh bagian yang sah dari hasil kerjasama mereka tanpa adanya ketidakadilan terhadap pihak lain. 36 Umar Chapra mengatakan batasan upah yang “adil” dan apa yang disebut “eksploitasi” terhadap kaum buruh haruslah ditentukan berdasarkan keterangan-keterangan dari ajaran al-Qur’an dan Sunnah. Islam tidak mengakui kontribusi produksi yang dihasilkan oleh faktor-faktor produksi selain kerja buruh, dan karena itu konsep eksploitasi buruh dalam Islam tidak punya sangkut paut dengan konsep nilai lebih (surplus value) yang digagaskan oleh Karl Marx. Secara teoritis dapat diajukan bahwa upah yang “adil” haruslah upah yang senilai dengan nilai kontribusi terhadap kontribusi yang diberikan oleh buruh. Tetapi batasan ini sulit ditentukan dan tidak memiliki nilai kepraktisan yang cukup dalam pengaturan upah. Akan tetapi ada sejumlah hadis yang daripadanya dapat disimpulkan secara kualitatif tingkat upah yang “minimum” dan “adil”. Menurut Nabi Muhammad SAW., seorang buruh (laki-laki atau perempuan) berhak setidaknya memperoleh makanan dan pakaian yang baik dengan ukuran moderat dan tidak dibebani pekerjaan di luar batas kekuatannya.37 Berdasarkan hadis ini dapat disimpulkan bahwa upah “minimum” haruslah upah yang memungkinkan seorang buruh untuk memperoleh makanan dan pakaian yang baik dan layak dalam jumlah yang cukup untuk dirinya dan keluarganya tanpa harus bekerja terlalu

Yusuf as-Sabatin, Bisnis Islami & Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis (Bogor: al-Azhar Press, 2009), h. 323. 36 Q.S. al-Baqarah/2: 279. 37 Imam Malik, Muwaththa, Jilid II (Kairo: t.p., 1951), h. 980. 35

362


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

keras. Ukuran ini dipandang oleh sahabat-sahabat Nabi sebagai ukuran minimum untuk mempertahankan standar spiritual masyarakat Islam. ‘Utsmân ibn ‘Affân38 berkata: Janganlah kamu bebani buruh perempuan di luar batas kekuatannya dalam usahanya mencari penghidupan, karena bila kau lakukan hal itu terhadapnya, ia mungkin akan melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan moral; dan janganlah kamu bebani bawahanmu yang laki-laki dengan tugas di luar batas kemampuannya, karena bila kau lakukan hal itu terhadapnya, mungkin ia akan melakukan pencurian. Berlakulah penuh pertimbangan terhadap pegawai-pegawaimu, niscaya Allah akan berlaku penuh pertimbangan terhadapmu. Wajiblah bagimu untuk memberi mereka makanan yang baik dan halal. Dalam hal upah ideal, yakni upah yang memungkinkan seorang pegawai memperoleh makanan dan pakaian yang sama dengan yang bisa diperoleh majikannya, dapat dilihat dari hadis berikut: “pegawai-pegawaimu adalah saudara-saudaramu yang telah dijadikan Allah SWT. sebagai bawahan-bawahanmu. Karena itu, barang siapa yang mempunyai saudara yang menjadi bawahannya, maka hendaklah ia memberinya makanan dengan apa yang dimakannya sendiri dan memberinya pakaian dengan apa yang dipakainya sendiri.”39 Karena itu, upah yang “adil” tidak bisa berada di bawah upah “minimum. Tentu saja, tingkat upah “adil” yang sangat baik adalah yang mendekati upah “ideal” agar dapat meminimalkan perbedaan pemasukan dan menjembatani jurang antara tingkat hidup majikan dan buruh, yang cenderung menciptakan dua kelas masyarakat yang berbeda: the haves dan the haves not, yang demikian akan melemahkan ikatan persaudaraan yang merupakan sifat yang mendasar dari suatu masyarakat Islam yang sejati. Di antara kedua batas upah tersebut, upah minimum dan upah ideal, maka tingkat upah yang aktual akan ditentukan oleh interaksi persedian dan permintaan (supply dan demand), tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat kesadaran moral dan masyarakat Islam yang bersangkutan, dan tingkat peranan yang dimainkan oleh negara. 40 Buruh tidak boleh dibayar secara tidak adil, tetapi majikan juga tidak boleh dipaksa untuk membayar upah buruh melebihi dari kemampuan mereka. Islam menegaskan upah setiap orang harus ditentukan berdasarkan kerja dan sumbangsihnya dalam proses produksi dan untuk itu harus dibayar tidak kurang dan tidak juga lebih dari apa yang telah dikerjakannya.41 Syaikh Yusuf Ahmad Lubis, salah seolang ulama terkemuka organisasi Al Washliyah, pernah mengatakan bahwa setiap majikan hendaklah mengupah buruh dengan

Ibid, h. 981. Imam Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Jilid III (Beirut: t.p., t.t.), h. 15; Imam Muslim, Shahîh Muslim, Jilid II (Beirut: t.p., t.t.), h. 1283. 40 Chapra, “Tujuan Tata Ekonomi Islam,” h. 226. 41 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, h. 363-364. 38 39

363


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 upah yang cukup. Di dalam cerita Ashhâb al-Raqîm, dikisahkan tiga orang yang tertutup dalam sebuah gua runtuhan batu besar. Tidak ada jalan lain selain dari mereka mendoa kepada Allah dengan amal-mal yang baik yang pernah dilakukan seperti berbakti terhadap kedua ibu bapak, memelihara kehormatan, dan memberi upah yang cukup bagi buruh.42 Penentuan tingkat upah minimumnya ditetapkan dengan pertimbangan perubahan kebutuhan dan upah minimum sewaktu-waktu pun harus ditinjau kembali dan tidak boleh berada di bawah minimum. Dalam hal UMR, pemerintah bertanggung jawab dalam menetapkan besarannya dan menjamin terlaksananya penetapan aturan itu.43 Rasulullah SAW. bersabda “siapa yang memperkerjakan seorang pekerja, hendaknya ia memberitahukan upahnya kepadanya.” Rasulullah SAW. berkata “ada tiga orang yang digugatnya di hari akhirat kelak. Salah satu di antaranya adalah majikan yang tidak memberikan hak pekerja sebagaimana layaknya, padahal pekerja mereka telah memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya.”44 Dengan demikian, diperbolehkan untuk memanfaatkan tenaga pekerja, sebab syariat Islam telah menggariskan adanya penentuan pekerjaannya berdasarkan jenis, jangka waktu, upah dan tenaga. Upah yang diperoleh pekerja yang merupakan kompensasi pelaksanaan pekerjaan itu. Data sejarah menunjukkan bahwa upah minimum pada masa Nabi Muhammad (tahun 5 H) adalah 200 Dirham, sedang upah maksimumnya adalah 2000 dirham, dengan perbandingan 1:10. Seiring dengan perkembangan perekonomian Madinah saat itu, upah minimumnya menjadi 300 dirham dan upah maksimumnya 3000 dirham.45

Serikat Buruh Jika majikan berusaha menghisap dan mengeksploitas pekerja, maka terbuka bagi mereka jalan musyawarah bersama agar bisa mendapatkan upah yang layak dan dibenarkan Islam. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu organisasi pekerja/buruh. Jika buruh melakukannya sendiri-sendiri akan dengan mudah ditaklukan, sebab kemampuan perundingannya sangat lemah. Suatu organisasi serikat pekerja/buruh dapat memperbaiki kelemahan kedudukan perundingan antara para pekerja. Secara konseptual, dalam Islam tidak terdapat kebutuhan yang mendesak selama suatu pemerintahan tersebut memegang teguh nilainilai Islam, niscaya akan senantiasa akan berlaku adil sehingga kepentingan buruh akan Yusuf Ahmad Lubis, Kedudukan Buruh dan Majikan (Medan: Budi Pekerti, 1968), h. 43. Ibid, h. 366-368. 44 Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Keislaman (Bandung: Mizan, 1993), h. 194. 45 Dengan melakukan konversi dinar ke emas, bisa ditentukan berapa UMR pada masa Nabi Muhammad SAW. Menurut perhitungan Wahbah al-Zuhailî dan Muhammad Maksum ibn ‘Ali, 1 dirham pada masa Nabi sama dengan 1.4 gram emas. Dengan mengasumsikan 1 gram emas seharga 90.000 saat ini, maka UMR pada awal pemerintahan Nabi Muhammad SAW. di Madinah adalah 90.000 x 200 = 18.000.000, dan selanjutnya naik menjadi 27.000.000,-. Sebuah angka fantastis untuk ukuran Indonesia. Lihat Afzalurahman, Doktrin Ekonomi Islam, h. 378; Maksum ibn Ali, Fath al-Qâdir (Surabaya: Ahmad Nabhan, t.t.), h. 18. 42

43

364


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

terlindungi. Di suatu negara Islam, serikat buruh yang dengan sesuka hatinya melakukan sabotase, berupa sejumlah kegiatan atau mulai sikap dari bermalas-malasan sampai melakukan tindakan kejahatan dengan merusak pabrik dan peralatan, tidak didukung. Bahkan, suatu negara Islam, sesungguhnya berhak menyusun suatu undang-undang yang melarang serikat buruh untuk mengikuti kegiatan anti sosial. 46 Sejak abad keenam belas hingga kesembilan belas, serikat-serikat pekerja terorganisir di seputar wilayah perdagangan dan kegiatan pertukangan. Mereka hidup di pasar kota, termasuk pasar yang dikelola oleh pedagang besar, rempah-rempah dan pedagang kain yang merupakan bagian dari sistem itu. Tidak hanya pedagang besar, pedagang kecil-pun mempunyai serikat pekerja. Bahkan, pencuri tampaknya juga mempunyai serikat pekerja.47 Serikat pekerja umumnya dikepalai oleh seorang syaikh (Timur Dekat) yang dipilih oleh anggota serikat pekerja, dan disahkan oleh otoritas lokal atau penguasa pusat, sebagaimana dibuktikan oleh sarana nominasi di Istanbul. Tampaknya, mereka juga punya otoritas melakukan intervensi, khususnya ketika muncul masalah dengan nominasi seorang Syaikh.

Perselisihan Kedudukan majikan dan buruh memiliki perbedaan sehingga berbeda pula pendapatan dan imbalan materialnya. Kenyataannya, bahwa para buruh hanya menerima sebagian dari hasil produksi yang ditahan oleh perusahaan. Padahal Rasulullah SAW. sangat menentang hal ini. Jika terjadi perselisihan antara buruh dan majikan, maka Islam memberikan konsep pemilikan, yang mana hak milik mutlak atas segala-galanya hanyalah ada pada Allah.48 Manusia adalah khalifah di bumi, dengan demikian maka hak milik yang sah dari individu yang berupa kekayaan juga merupakan bagian masyarakat, bahkan hewan sekalipun.49 Secara filosofis, Yusuf Ahmad Lubis mengatakan satu celaan dan hinaan bagi majikan yang punya harta itu yang menyangka ia lebih mulia dari pekerja. Satu kebodohan baginya yang mengira pekerja-pekerja itu merendahkan martabat seseorang.50 Menurut al-MawardĂŽ, jika ada seorang melanggar hak-hak pekerja, seperti misalnya membayar mereka dengan upah yang kurang atau memperkerjakan mereka di luar batas waktu, maka pemerintah akan menggunakan kekuasaannya untuk ikut campur tangan dan menghentikan mereka dari perbuatan tersebut. Dengan demikian, hak-hak buruh sepenuhnya terlindungi dari pelanggaran dari pihak majikan. 51 M.A. Manan, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global (Jakarta: Zikrul Hakim, 1992), h. 92. 47 Andre Raymond, “Serikat Pekerja,â€? dalam John L. Esposito (ed.), Dunia Islam Modern (Jakarta: Mizan, 1997), h. 146. 48 Q.S. Ali Imron/3: 189. 49 Q.S. al-Dzariyat/51: 19. 50 Lubis, Kedudukan Buruh, h.21. 51 Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, h. 395-396. 46

365


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Pemerintah dapat membantu mencegah perbuatan zalim yang dilakukan oleh para majikan yang tidak menunaikan hak-hak para pekerja dengan tiga cara. Pertama, pemerintah dapat menggunakan dana dari zakat untuk membantu buruh tanpa ada bantuan dari badan lain dalam negara. Kedua, pemerintah dapat menciptakan suatu organisasi yang terdiri dari perwakilan buruh dan majikan demi kepentingan golongan pekerja. Ketiga, mempertahankan kedua organisasi tersebut dan pembagian dananya terpisah demi perbaikan keadaaan para pekerja.

Pemogokan Pemogokan yang dilakukan buruh berarti menarik diri dari pekerjaan dengan maksud memperoleh penghasilan dengan kondisi yang lebih baik. Prinsip Islam, pemogokan tidak menjadi relatif tidak penting, melainkan bagaimana caranya memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam kerangka pengembangan industri. Apapun alasannya, baik mogok ataupun pemecatan (termasuk lock out) sebenarnya bukan pilihan ideal, karena keduanya berdampak negatif dalam skala makro. Karena itulah, Islam mengidealkan musyawarah kolektif dengan prinsip-prinsip Islam untuk menyelesaikan perselisihan industrial. Majikan dilarang menghisap buruh, buruh-pun dilarang menuntut sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh majikan. Dalam Islam, ada beberapa norma yang bisa dijadikan sebagai nilai-nilai dasar untuk menyelesaikan perselisihan antara buruh dan majikan secara damai, jujur dan menjamin rasa keadilan bagi kedua belah pihak. Pertama-tama harus dipahami, bahwa kedua belah pihak terikat dengan norma amanah. Seorang majikan mempunyai amanah untuk mengelola perusahaan dengan cara yang adil dan tidak menindas, sementara buruh juga mempunyai amanah untuk melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak curang, apalagi mengkhianati majikan. Dalam konteks inilah Allah SWT. berfirman:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihatâ€? (Q.S. al-Nisâ’/ 4: 58) Berdasarkan prinsip ini, hubungan industrial buruh majikan akan berjalan dengan damai, aman, kondusif dan produktif, yang diperlukan adalah maaf dan penyelesaian. Nabi Muhammad SAW. bersabda: 366


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

Seorang laki-laki datang kepada Nabi. Ia bertanya ‘wahai Rasul, berapa kali seorang buruh layak dimaafkan (jika melakukan kesalahan). Nabi diam saja. Kemudian ia bertanya lagi, dan Nabi pun hanya diam. Untuk pertanyaan yang ketiga kalinya, Nabi menjawab ‘buruh harus dimaafkan, walau ia melakukan kesalahan 70 kali sehari.” Jika mereka tidak mau melaksanakannya, maka tidak ayal lagi, situasi kerja menjadi tidak kondusif dan produktivitas menjadi rendah. Dalam konteks inilah al-Qur’an berpesan agar kondusivitas dirawat sedemikian rupa.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” Sikap angkuh tidak akan menghasilkan apapun kecuali perselisihan, yang berakhir pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Kedua belah pihak akan sama-sama rugi dengan tindakan tersebut. Nabi bersabda:

‫ﺍﻟﻨﱠﺒﹺ ﱠﻲ‬ ‫ﻓﹶﻘﹶﺎﻝﹶ‬

‫ﻓﹶﻜﹶﺎﻥﹶ‬

‫ﺇﹺﻟﹶﻰ ﺍﻟﻨﱠﺒﹺﻲﱢ‬

‫ﺍﻟﻨﱠﺒﹺﻲﱢ‬

‫ﻗﹶﺎﻝﹶ ﻛﹶﺎﻥﹶ‬ 53

(‫)ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻯ‬

.

“Salah satu dari dua orang bersaudara datang kepada Nabi dan mengeluhkan saudaranya yang tidak mau bekerja. Nabi menjawab: Justru (anda terpacu kerja) sehingga mendapatkan hasil sebab dia.” Apabila perselisihan tersebut tidak mampu didamaikan secara intern, yaitu penyelesaian secara bersama antara majikan dan buruh, maka kasus tersebut bisa diselesaikan

Ahmad Ibn Hanbal, Musnad al-Imâm Ahmad (Mesir: Dâr al-Ma’ârif, 1988), h. 633. Abû ‘Îsa al-Tirmidzî, Sunan al-Tirmidzî (t.t.p.: Dâr al-Kutub, t.t.), h. 2267.

52 53

367


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 segera oleh badan arbitrase (al-tahkîm) untuk mendamaikannya, sehingga masing-masing pihak merasa puas dengan keputusan itu. Penyelesaian kasus ini pertama-tama dilakukan oleh lembaga yang bertanggung jawab terhadap stabilitas sosial perdagangan yang dikenal dengan nama Wilayah al-Hisbah. Dasar arbitrase dalam al-Qur’an terdapat dalam Q.S. al-Hujurat/49: 9,

Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Menurut Satria Effendi Zein, kata tahkîm, kata kerjanya adalah hakkama, secara harfiah berarti menjadikan seorang sebagai penengah bagi suatu sengketa. Pengertian tersebut erat hubungannya dengan dengan pengertian menurut istilah. Berbagai redaksi terdapat dalam buku-buku fikih, dalam mendefinisikan tahkîm, misalnya Abû al-‘Ainain ‘Abd alFattah Muhammad, dalam bukunya al-Qadhâ wa al-Itsbat fî al-Fiqh al-Islâm, mendefinisikan tahkîm sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang meridai keputusannya untuk menyelesaikan pertikaian mereka. 54 Pada zaman sebelum Islam, manusia telah mengenai arbitrase atau juru damai dan makin berkembang pada waktu Islam datang dan berkembang sebagai pusat perdagangan, khususnya di kota Makkah untuk menyelesaian sengketa bisnis di antara mereka. Demikian juga lembaga arbitrase berkembang di Madinah sebagai daerah agraris untuk menyelesaikan sengketa di bidang pertanian.55

Suhrawardi K. Lubis dan Farid Wajdi, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994),

54

h. 186.

A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), h. 43, 50. Di Indonesia, lahirnya arbitrase diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan Muslim, praktisi hukum, para kiai dan ulama tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992 dan setelah beberapa kali rapat dan penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur, akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), sekarang telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) dalam putusan Rakernas MUI tahun 2002 (SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003) tanggal 24 Desember 2003. 55

368


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

Wewenang Wilayah al-Hisbah sebagaimana dikatakan oleh Isma’il Raji al-Faruqi,56 adalah sebagai berikut. Pertama, menginspeksi timbangan dan takaran untuk mencegah terjadinya kecurangan. Kedua, memeriksa notaris yang menulis kontrak atas nama pihakpihak pembuat kontrak dan penjualan. Ketiga, mendengarkan keluhan masyarakat, mengunjungi mereka, dan memberikan perhatian khusus kepada anak-anak dan wanita. Keempat, mengawasi pelayanan publik seperti kebebasan berjalan di jalan raya, pemeliharaan fasilitas umum, penerangan, kebersihan, kesejahteraan umum, ketertiban dan kebersihan masjid, restoran, dan tempat pemandian umum. Kelima, menginspeksi kuttab, hukum pengadilan, dan semua tempat berkumpulnya orang untuk mengupayakan pelaksanaan hukum dan etika Islam. Keenam, memeriksa barang dan jasa di seluruh dusun dan kota untuk mencegah terjadinya penipuan kualitas atau ukuran dengan menyimpan ukuran standar di kantornya. Ketujuh, mengupayakan agar hewan dan kapal tidak berlebihan muatan, supaya tidak membahayakan jiwa manusia dan hewan. Kedelapan, bertanggung jawab atas keamanan non-Muslim agar mereka tidak dianiaya atau diganggu, dapat menikmati kemerdekaan, dan dapat menjalankan kewajiban berdasarkan syariat agamanya. Kesembilan, bertanggung jawab atas kehadiran tamu di wilayahnya. Menurut Ibn Khaldûn, pengawasan terhadap hal-hal seperti ini diserahkan kepada pejabat ini. Tugas pengawasan ini merupakan jabatan keagamaan dengan melihat posisinya yang berada di bawah naungan khalifah. Pada awalnya, ia berada di bawah lembaga pengadilan, lalu berdiri sendiri, pada masa sekarang. 57 Ibn al-Qayyim menyatakan bahwa kewenangan Wilayat al-Hisbah adalah bersifat penegakan hukum dengan tanpa perlu adanya suatu gugatan suatu pihak.58 Keberadaan lembaga ini diadopsi Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan pemberlakuan Qanun No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam yang disahkan pada tanggal 14 Oktober 2002 dan didukung oleh Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden RI No. 11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syariah, lalu ditetapkan dan dinyatakan berlaku pada tanggal 4 Maret 2003.59 Berdasarkan kewewenangan muhtasib tersebut, dapat dikatakan bahwa melalui lembaga hisbah ini negara dapat mengontrol kondisi sosio-ekonomi secara komprehensif atas kegiatan perdagangan dan praktek-praktek ekonomi, jasa profesional, dan standarisasi produk. Selain itu, muhtasib juga mengawasi perilaku sosial penduduk dan aktivitas mereka dalam melaksanakan kewajiban agama, serta ketaatan mereka terhadap aturan-aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Isma’il Raji al-Faruqi, Cultural Atlas of Islam (New York: Macmillan Publishing Company, 1986), h. 157. 57 Ibn Khaldûn, Mukaddimah, terj. Masturi Irham et al. (Jakarta: al-Kautsar, 2011), h. 404. 58 Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam (Yogyakarta: BPFE, 2004), h. 250. 59 Azwir, “Penerapan Hukum Islam via Mahkamah Agung Analisis Kasasi dari Nanggroe Aceh Darussalam,” dalam Fuji Rahmadi (ed.), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: Menggugat Kemapanan Tradisionalisme (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), h. 93. 56

369


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Lebih lanjut, al-Faruqi menjelaskan bahwa setiap orang dapat memohon kepada muhtasib untuk mengatasi ketidaksempurnaan pasar. Namun muhtasib tidak boleh memata-matai warganya. Muhtasib tidak boleh menjadikan dirinya sebagai hakim yang mendengarkan saksi dan bukti dalam suatu perselisihan yang kontroversial. Ketidakberesan yang dikuasakan kepadanya adalah ketidakberesan yang nampak saja yang kemudian diteruskan kepada Wilayah al-Qadhâ’60 atau Wilayah al-Mazhâlim,61 sesuai dengan jenis pelanggarannya. Ketiga kekuasaan ini, masing-masing mempunyai tugas dan wewenang tersendiri yang berbeda antara satu dengan yang lain, tetapi ketiganya mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan keamanan, ketertiban, dan keadilan di dalam kehidupan masyarakat.

Penutup Konsep Islam dalam hubungan industrial adalah membuat kompromi yang langgeng antara buruh dan majikan dengan memberikan nilai moral kepada seluruh persoalan mengenai

Wilayâh al-Qâdha’ adalah lembaga peradilan yang dibentuk untuk menangani kasus-kasus yang membutuhkan putusan berdasarkan hukum Islam. Kasus yang ditangani lembaga ini adalah kasus yang timbul dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Muslim atau non-Muslim. Menurut al-Mawardi, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Qâdhî, yaitu laki-laki, berakal dan memiliki kecerdasan yang dapat menjauhkan dirinya dari kelalaian, merdeka, adil, sehat pendengaran dan penglihatan, dan memiliki pengetahuan yang luas tentang syariah. Sedangkan tugas dan wewenang al-Qâdha adalah menyelesaikan persengketaan baik secara damai maupun secara paksa; membebaskan orang-orang yang tidak bersalah dari sanksi dan hukuman, memberikan sanksi kepada yang bersalah baik dengan pengakuan maupun sumpah; menetapkan penguasaan harta benda orang-orang yang tidak bisa menguasai diri sendiri karena gila, anakanak, atau idiot; mengawasi waktu dengan memelihara prinsip-prinsipnya dan mengembangkan cabang-cabangnya; melaksanakan wasiat dari orang yang berwasiat sesuai dengan syariat; menikahkan janda dengan orang yang sederajat jika tidak ada wali dan menghendaki menikah; melaksanakan hukuman bagi para terhukum; mengawasi pegawai demi kemaslahatan mereka; meneliti para saksi dan sekretarisnya serta menentukan penggantinya; menegakkan persamaan di depan hukum antara yang kuat dan lemah, bangsawan maupun rakyat biasa. Lihat. Abû al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habîb al-Bashrî al-Baghdâdî al-Mawardî, Kitâb al-Ahkâm al-Sulthâniyyah (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.), h. 70-71. 61 Wilayah al-Mazhâlim merupakan lembaga peradilan yang khusus menangani kasus pelanggaran yang dilakukan oleh para penyelenggara negara, para hakim, maupun anak-anak orang yang berkuasa. Al-Mawardî menjelaskan bahwa tugas dan wewenang lembaga ini adalah penganiayaan para penguasa baik terhadap perorangan maupun terhadap golongan; kecurangan pegawai-pegawai yang ditugaskan untuk mengumpulkan zakat dan harta-harta kekayaan negara lainnya; mengontrol dan mengawasi keadaan para pejabat; pengaduan yang diajukan oleh tentara karena gaji mereka dikurangi ataupun dilambatkan pembayarannya; mengembalikan kepada rakyat harta-harta mereka yang dirampas oleh penguasa-penguasa yang zalim; memperhatikan harta-harta wakaf; melaksanakan putusan-putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan oleh hakim-hakim sendiri, karena yang dijatuhkan hukumannya adalah orang-orang yang tinggi derajatnya; meneliti dan memeriksa perkara-perkara yang berkaitan dengan kemaslahatan umum yang tidak dapat dilaksanakan oleh muhtasib; memelihara hak-hak Allah yaitu ibadah-ibadah seperti salat Jumat, salat ‘id, ibadah haji, dan jihad; menyelesaikan perkara-perkara yang telah menjadi sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Ibid., h. 80-83. 60

370


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

hubungan mereka, dan dengan menjadikan kewajiban dari masing-masing pihak sebagai bagian dari iman. Islam membuktikan dirinya lebih unggul daripada sekularisme, dengan menekankan prinsip kesetaraan dan keadilan sehingga terbebas dari kesewenang-wenangan dan eksploitasi model kapitalisme dan kediktatoran model komunisme. Setiap permasalahan yang timbul dalam hubungan industrial, haruslah diselesaikan dengan cara-cara yang baik. Tidak diperkenankan sebagian orang atau kelompok menindas sebagian lainnya dengan alasan apapun. Jika timbul suatu kezaliman yang dilakukan oleh suatu pihak, maka pemerintah berhak campur tangan dalam penyelesaiannya. Berkaitan dengan itu, negara tidak boleh lalai melakukan pengawasan pelaksanaan produk hukum ketenagakerjaan dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran hak-hak buruh sebagai upaya meminimalisir terjadinya pelanggaran hak-hak buruh. Negara memainkan peranan penting sebagai pengatur (regulator), mediasi (mediator/arbitrator) dan pelindung (protector), bahkan berperan aktif dalam menjamin kesejahteraan semua pihak.

Pustaka Acuan Ali, Fachry. Islam. Ideoogi Dunia dan Dominasi Struktural. Bandung: Mizan. 1985. Afzalurrahman. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang. Jakarta: Yayasan Swarna Bhumy. t.t.. Afzlurrahman. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I. Jakarta: Dana Bhakti Waqah. 1995. Azwir. “Penerapan Hukum Islam via Mahkamah Agung Analisis Kasasi dari Nanggroe Aceh Darussalam,” dalam Fuji Rahmadi (ed.), Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia: Menggugat Kemapanan Tradisionalisme. Bandung: Citapustaka Media Perintis. 2009. Adi, M. Ramadhan. Globalisasi Skenario Mutakhir Kapitalisme. Bogor: al-Azhar Press. 2005. Basyir, Ahmad Azhar. Refleksi atas Persoalan Keislaman. Bandung: Mizan. 1993. Breman, Jen. Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial Pada Awal Abad ke 20. Jakarta: Grafitti Press. 1997. Chapra, Umar. “Tujuan Tata Ekonomi Islam,” dalam Khurshid Ahmad (ed.). Pesan Islam. Bandung: Pustaka,1983. Castle, Lance. Tingkah Laku Agama. Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus. Yogjakarta: Sinar Harapan. 1982. Cahyono, Edi. Pekalongan 1830-1870: Transformasi Petani Menjadi Buruh Industri Perkebunan. Bandung: LEC. 2001. Cahyono, Edi. “Perburuhan dari Masa ke Masa: Zaman Kolonial Hindia Belanda Sampai Orde Baru,” dalam Gerakan serikat Buruh. Jakarta: Hasta Mitra. 2003. Al-Faruqi, Isma’il Raji. Cultural Atlas of Islam. New York: Macmillan Publishing Company. 1986. Gramsci, Antonio. “Ekonomi dan Korporasi Negara,” dalam Catatan-Catatan Politik. terj. Gafna Raiza. Surabaya: Pustaka Promethea. 2001. 371


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Hadi, Syamsul. et al. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. Jakarta: Granit. 2004. Ibn Khaldûn. Mukaddimah, terj. Masturi Irham, et al. Jakarta: al-Kautsar. 2011. Ibn Ali, Maksum. Fath al-Qâdir. Surabaya: Ahmad Nabhan. t.t.. Ibn Hanbal, Ahmad. Musnad al-Imâm Ahmad. Mesir: Dâr al-Ma’ârif. 1988. Imam Malik. Muwaththa’, Jilid II. Kairo: t.p.. 1951. Imam Bukhârî. Shahîh al-Bukhârî, Jilid III. Beirut: t.p.. t.t.. Imam Muslim. Shahîh Muslim, Jilid II. Beirut: t.p.. t.t.. Iskandar, Muhaimin. Membajak di Ladang Mesin. Semarang: Yawas. 2004. Ibrahim, Taher. Islam, Marx dan Keynes. Jakarta: Bulan Bintang. 1967. Khan, Adnan. Kapitalisme di Ujung Tanduk. Jakarta: Pustaka Thariqul Izza. 2008. Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Research Summary Kajian Terhadap Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Jakarta: t.p.. 2008. Lubis, Yusuf Ahmad. Kedudukan Buruh dan Majikan. Medan: Budi Pekerti. 1968. Lubis, Suhrawardi K., dan Farid Wajdi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 1994. Al-Mawardî, Abû al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Bashrî al-Baghdâdî. Kitâb al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Beirut: Dâr al-Fikr. t.t. Manan, M.A. Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global. Jakarta: Zikrul Hakim. 1992. Muhammad dan Alimin. Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: BPFE. 2004. Nasution, Mustafa Edwin. et al. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Pranada Group. 2006. Polak. “Tentang Cultuurstelsel dan Penggantiannja,” dalam Penelitian Sedjarah. No 4. Th. II. September 1961. Quthb, Sayyid. Keadilan Sosial dalam Islam. Bandung: Pustaka. 1984. Raymond, Andre. “Serikat Pekerja,” dalam John L. Esposito. (ed.). Dunia Islam Modern. Jakarta: Mizan. 1997. Rosyadi, A. Rahmat, dan Ngatino. Arbitrase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002. Surya, Tjandra, dan Jafar Suryomenggolo. Sekedar Bekerja: Analisis UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Perspektif Buruh. Jakarta: Trade Union Centre. 2004. Sholahuddin, M. Asas-asas Ekonomi Islam. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2006. Al-Sabatin, Yusuf. Bisnis Islami & Kritik atas Praktik Bisnis Ala Kapitalis. Bogor: al-Azhar Press. 2009. Soepomo, Imam. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja. Jakarta: Djambatan. 1987. Said, Mohammad. Koeli Kontrak di Tanah Deli. Medan: Waspada. 1978. 372


Ismed Batubara: Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial

Soepomo. Pengantar Hukum Perburuhan. Jakarta: Djambatan. 1999. Suroto, Suri. “Gerakan Buruh dan Permasalahannya,” dalam Prisma. No. 11 Tahun 1981. Soegiri. “Gerakan Serikat Buruh,” dalam Gerakan Serikat Buruh Zaman Kolonial Belanda Hingga Orde Baru. Jakarta: Hasta Mitra. 2003. Sudjana, Eggi. Bayarlah Upah Buruh Sebelum Keringatnya Kering. Jakarta: PPMI. 2000. Al-Tirmidzî, Abû ‘Îsa. Sunan al-Tirmidzî. t.t.p.: Dâr al-Kutub. t.t.. Vatikiotis, Michael R.J. Indonnesian Politics under Soeharto: The Rise dan Fall of the New Order. New York: Roudletge. 1998. Widanti, Agnes. “Buruh di Sektor Industri dalam Perdagangan Global,” Makalah Sarasehan nasional dan Kongres Forum Mahasiswa Syari’ah seluruh Indonesia, FORMASI. Semarang, 27 Maret 1997.

373


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

RELIGIOUS EDUCATION AND EMPOWERMENT: Study on Pesantren in Muslim Minority West Papua Ismail Suardi Wekke Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong Jl. Klamono-Sorong, KM. 17, Klablim, Sorong, West Papua, 98417 e-mail: iswekke@gmail.com

Abstrak: Pendidikan Islam dan Pemberdayaan: Studi Kasus Pesantren pada Muslim Minoritas Papua Barat. Pendidikan Islam Indonesia merupakan salah satu pilar pendidikan nasional yang memiliki sejarah panjang. Dalam dinamika pembangunan, pesantren kembali membuktikan diri sebagai elemen penting bangsa. Tulisan ini membahas aktivitas dan gerakan madrasah di daerah minoritas Muslim dalam upaya membangun kapasitas umat melalui pembelajaran kewirausahaan. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan ragam studi kasus. Observasi dan wawancara diterapkan untuk mengumpulkan data. Penulis menemukan adanya pelatihan dan pembelajaran berbasis kebutuhan mendorong siswa untuk menekuni keterampilan untuk aktivitas sehari-hari. Pesantren Roudhotul Khuffadz mengembangkan pola pembelajaran dengan mengacu kepada lingkungan peserta didik. Disimpulkan bahwa pendidikan Islam dengan tumpuan pada kebutuhan dan kepedulian akan lingkungan dapat memberdayakan santri untuk penguasaan keterampilan, walaupun itu dilaksanakan dengan keterbatasan komunitas di wilayah minoritas Muslim. Abstract: Islamic education in Indonesia is one pilar in national education whis has a long history. In the course of time with development dynamics, pesantren (Islamic boarding school) proves as a nation-wide important element. Therefore, this paper will explore dicsuccion on activity and madrasah movement in Muslim minority in term capacity building through enterprenurship learning. This study was employed qualitative approach with miscellaneous case study. Observation and in-depth interview were conducted on collecting data. This research shows that daily-need based training and learning encourages students to enhance their skills during day after day activities. Pesantren Roudhatul Khuffadz enlarges learning cycle according to students’ environment. Finally, it can be concluded that Islamic education can develop students’ skill acquicition, although it is practiced with community limitation in Muslim minority area.

Keywords: pesantren, religious education, Muslim minority, West Papua 374


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

Introduction Wang discoveres that education is a means to pass down values, which will in turn become the aid and determinant in everyday human life and at the same time, will improve the fate and civilization of man.1 Without education, it is certain that today’s generation will be no different from the generation of the past, whereby when compared, we are so different in opinion and practice, whether in term of quality of life or even the process of empowerment. Another fact, although rather extreme, that the progress and regression or good and bad of a civilization and nation will be determined by the education employed by that civilization and nation.2 This proves that education is indeed a process of transformation for civilizations between generations. Through this space, pesantren (Islamic boarding school) contributes to the nation. Genç, Avest and Miedema presented regarding religion in education, the most remarkable points of religious education respect to both state schools as well as denominational schools respectively in the form of teaching about worldviews.3 In this era of the 21st century, an Islamic education approach is taken through operational processes toward desired goals, needing a consistent model that can support the moral-spiritual and intellectual values that underline them. From the history of the Prophet Muhammad SAW., these values can be actualized based on the needs and development of man, together with current cultural influences. Therefore, aspirations and purpose to elevate quality of life in all aspects of life can be achieved. Elyas and Picard shows that education indicates a direct link between teaching practices and the current processes that construct understanding.4 However, the reality of Islamic education nowdays is disappointing and can even be assessed as outdated. All this lies in the weaknesses within it. The flaw of Islamic education lies mainly in its concept, system and curriculum.5 It is beginning to be seen as less relevant in the development of today’s civilization or it cannot be paired with other discipline of knowledge relevant to the community’s requirements. The reality at this moment, Islamic education is classified as yet to satisfactorily be Qiyun Wang, “A Generic Model for Guiding the Integration of ICT into Teaching and Learning,” in Innovations in Education and Teaching International, Vol. XLV, No. 4 (November 2008), p. 411–419. 2 Anwar Arifin, Format Baru Pengelolaan Pendidikan (Jakarta: Pustaka Indonesia, 2006), p. 115. 3 M. Fatih Genç, Ina ter Avest, and Siebren Miedema, “Religious Education in Two Secular Multicultural Societies: the Turkish and Dutch Case Compared,” in Procedia Social and Behavioral Sciences, 15, (2011), p. 801 – 805. 4 Tariq Elyas and Michelle Picard, “Saudi Arabian Educational Histori: Impacts on English Language Teaching,” in Education, Business and Society: Contemporary Middle Eastern Issues, Vol. III, No. 2, (2010), p. 136 – 145. 5 The curriculum is always changing from one year to the next, so much so that educators are only confused by the changes. See Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), p. 10. 1

375


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 implemented and produce desired outcome. One of the innovations is teaching foreign language as a tool to enhance students’ skill in acquiring recently growth.6 The matter has yet been able to answer to the rapid development of today’s world, such as the emergence of aspirations and ideals that are of multi-interest and multiple dimensions that go together with various life demands and rapid technological growth.7 Moreover, education is seen as unable to respond to existing development and requirement. On the other hand, that it is always pushed aside, compared to the demands of development and needs. Furthermore, the choice for formal education institution can sometimes be threatened. Even worse, there is a growing phenomenon of educational institutions that cater to the desire for instant education. There is also a threat growing, whereby such training facilities are spreading like wild fire and the education institutions are seemingly helpless and incapable of managing education itself. Consequently, Islamic education needs serious attention in order to achieve rightful empowerment by reviewing its current state, especially in Indonesia. This necessity, of course, will involve reviewing its relevance and role in educational endeavours of Indonesia, where Muslims are the majority, and breakthroughs such as change in implementation of model and strategies to answer to the changing times. However, in several regions such as Papua and West Papua, the Islamic community is the minority. And so, we were not able to provide justification in general because development in Islamic education also occurs in minority regions. All the while, this educational survey is more focused on locations where Muslims are the majority. Rearrangement efforts will yield various advantages; firstly, Islamic education as the subsystem of Indonesia’s national education will garner positive support and experience. Secondly, Islamic education will be able to contribute and provide an alternative to improve and better the problems, weaknesses and flaws in Indonesia’s education system. Thirdly, an Islamic education system that can be developed will acquire a stronger hold in the reality of community’s everyday life.8 With this development, pesantren in the form of madrasah (religious school) will be more supportive and advocative of advancing human resource. Generally, such problems in education can happen anywhere. In the scale of the Sorong City, West Papua Province, where Muslims are minority, it is important that there be a study on how Islamic education plays a role in empowering the community.

Ismail Suardi Wekke, “Amalan Pendidikan Bahasa Arab Berasaskan Kepelbagaian Budaya di Pesantren Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia,” in Ringkasan Eksekutif Penyelidikan Siswazah, Jilid II, No. 2 (April 2009), p. 40 – 45. 7 Latika Chaudhary and Jared Rubin, “Reading, Writing, and Religion: Institutions and Human Capital Formation,” in Journal of Comparative Economics, 39 (2011), p. 17 – 33. 8 A. M. Gade, “Tradition and Sentiment in Indonesian Enviromental Islam,” in Worldviews: Environment, Culture and Religion, Vol. XVI, Issue 3 (2012), p. 263 – 285. 6

376


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

Islamic Education and Its Problems Islamic education is defined by the efforts put to transfer the cultural values of Islam to its young generation, and it is faced with a dichotomous question it its education system. Islamic education is observed and summarized as being stuck in its own regression, defeat, out datedness, helplessness, divide and poverty.9 The same goes with the majority of other Islamic countries and community compared to the non-Islamic counterpart. What’s worse is that education with Islamic appendages have also brought about negative connotation of being old-fashioned and uninnovative, even with the gradual improvement and show of advancement in many Islamic education institutions.10 Unfortunately, this view significantly affects the Islamic education system, which ultimately, is always deemed as second class in the constellation of Indonesia’s education system, even though the national education law affirmed that Islamic education is a subsystem of the national education. The seemingly inevitable predicate of out datedness and old-fashion is stuck to it, and Islamic education has often been associated with the less capable or poor population. Islamic education has had more access in the rural areas and among lower income class, whereby its cost does not burden its followers. With such view in mind, Islamic education in today’s Indonesia has not yield satisfactory impact. According to Kristiansen and Pratikno, even if it was not viewed as evidence in the past,11 there are still conclusive opinions that deem their observation as fact seeing that every time students of Islamic education participate in educational competitions among institutions, they, usually, obtain the lowest scores. The second evidence is Islamic education students’ participation in the national youth scientific composition competition is still very low.12 This has been the norm for Islamic education institutions in Indonesia. Both of these measures cannot be deemed as the main parameter of out datedness for Islamic education because there are still many other factors that show Islamic education have indeed experienced development in term of its dynamics. In the configuration of the national education system, Islamic education in Indonesia is one the variations included but in reality, it does not have a big window of opportunity to compete in developing the population at large. When considering this matter, it does seem odd that even in a community of Muslim, Islamic education is limited in its opportunity

Risti Permani, “The Presence of Religious Organisations, Religious Attendance and Eranings: Evidence from Indonesia,” in the Journal of Socio-Economics, 40 (2011), p. 247 – 258. 10 Raihani, “An Indonesian Model of Succesful School Leadership,” in Journal of Educational Administration, Vol. 46, No. 4 (2008), p. 481 – 496. 11 Stein Kristiansen and Pratikno, “Decentralising Education in Indonesia,” in International Journal of Educational Development, 26 (2006), p. 513 – 531. 12 Florian Pohl, Islamic Education and Civil Society: Reflections on the Pesantren Tradition in Contemporary Indonesia,” in Comparative Education Review, Vol. L, Issue 3 (August 2006), p. 389-409. 9

377


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 to empower its own people. Furthermore, the attention given by the government on Islamic education is miniscule although Indonesians have always hoped to be regarded as a religious socialistic community.13 Islamic education is seen as being a self-reliant entity in nature. So much so that even without the aid of stakeholders, Islamic education has survived and is thriving. It not being a burden instead, Islamic education has become the pride of the people amidst minimal support from education policy makers. In general, the reality of Islamic education is acknowledged as experiencing out datedness even with the recent gradual development observed in the system. This is apparent with the establishment of various Islamic education institutions and educational models being implemented. But the challenges are still complex and demand innovation from Islamic education itself, and this is a huge and complicated task. As recently research shows, the disclosure of Islamic education’s weaknesses in recent years is caused by several factors, namely weakness inmastering the system and method, language as a tool to enrich perception, interpretational accuracy, and weakness within the institution, knowledge and technology.14 Then, Islamic education is called to be more innovative, not only in relation to their curriculum and management but also it term of their operational strategies and tactics. The tactical strategies involve a revamp of both educational models and institutions, to be more effective and efficient from pedagogical, sociological and cultural perspectives in playing its role.

Islamic Education Program in Indonesia In general, the education limits in Indonesia, according to Welch, is categorized into four main crises, namely problem in quality, relevance, elitism and management.15 Various quantitative indicators have been highlighted for the above including a comparative analysis of the education situation in various Asian countries. It is well-known that the four problems mentioned are significant problems; underlying and multidimensional in nature, finding its distinction from one another is difficult. This crisis affects education in general, including Islamic education, which is deemed to be more problematic. Among the problems are environmental issues as global discourse within society. Therefore, according to Saniotis, the situation of today’s Islamic education in Indonesia is not so different from the above generalization. The system of pesantren, which developed in the region with all its advantages, has also been overlooked and unequipped F. M. Mangunwijaya, “Developing Enviromental Awareness and Conservation Through Islamic Teaching,” in Journal of Islamic Studies, Vol. XXII, Issue 1 (January 2011), p. 36-49. 14 Ismail Suardi Wekke, “Pesantren dan Pengembangan Kurikulum Kewirausahaan: Kajian Pesantren Roudahtul Khuffadz Sorong Papua Barat,” in Jurnal Inferensi, Vol. VI, No. 2 (December 2012), p. 203-226. 15 V. Anthony Welch, “The Limits of Regionalism in Indonesian Higher Education,” in Asian Education and Development Studies, Vol. I, No. 1 (2012), p. 24-42. 13

378


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

to develop the civilization.16 Considering the dilemma, an arrangement for an Islamic education model in Indonesia is very much needed. A development strategy for Islamic education needs to be chosen from the most urgent of educational activities that is central, and which will be the model foundation of future development efforts. Therefore, educational institutions such as family, school, madrasah, mosque, pesantren and other education outside of school, are still being defended. In order to re-arrange Islamic education, we need to look back in history to the Islamic development of the 19th century, when the Islamic world first saw the emergence of the madrasah system that caused radical changes within the system of Islamic education. The madrasah system was formally organized and it gradually overcame other more liberal education centers. The curriculum contents of the madrasah were based on the Qur’an, Hadith, fiqh and Arabic language. Other forms of knowledge that could not be learnt at the madrasah such as philosophy, chemistry, astronomy and mathematics were learnt separately and with limited means. These disciplines were placed under other subjects such as medical science. This practices not only in the majority muslim area but also at the minority conditions.17 In several models, Islamic education began teaching subjects that were also taught at regular schools. Even philosophy and logic science were included in the curriculum. The existence of such Islamic education institution significantly varied and their role and function in the national education are still being questioned. Therefore, the function of Islamic education provided at those institutions or place of learning needs to be formulated more specifically, effectively and in higher quality as to overcome the challenges that arise. Should we examine the literature on Islamic education, we will find that the function and purpose of Islamic education is placed with more importance compared to the function of general education. The reason; the function and purpose of Islamic education are to empower or aim to help mankind to achieve happiness in this world and the hereafter. And so, its founding concept is to yield quality humans or often mentioned in the Qur’an as insan kamil (comprehensive human), with the main responsibility of managing and benefitting the earth with knowledge to achieve happiness based on a spiritual concept and move on to happiness in the hereafter. As asserted by scholars, Islamic education is capable of developing all aspects of human life that include spiritual, intellectual, imagination, and scholarly (be it individual or in groups), and it provides support and encouragement for the dynamic aspects above towards good and the fulfillment of a complete life in

A. Saniotis, “Muslim and Ecology: Fostering Islamic Enviromental Ethics,” in Contemporary Islam, Vol. VI, Issue 2 (July 2012), p. 155 – 171. 17 M. Sartawi and G. Sammut, “Negotiating British Muslim Identity: Everyday Concerns of Practising Muslim in London,” in Culture and Psycology, Vol. XVIII, No. 4 (December 2012), p. 559-576. 16

379


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 relation to al-Khaliq (God), with each other, as well as with the universe.18 However, from the operational point of view, these ideal formulations have yet to be fulfilled. Even with the variety of Islamic education institutions and efforts to implement those concepts, it is still lacking. In light of this, innovations or an arrangement of sort for the function of Islamic education, especially in the school system, needs to be continuously and constantly employed so that these efforts can achieve progress in the expansion and development of Islamic education system outside of school. In addition to innovations to be made on the institution side, the factor of educators should also be improved in term of their work ethics and professionalism, improvement in the materials or contents (curriculum), which methodology is still traditionally oriented, and improvement of the education management itself. For that to happen, efforts to garner innovations must not be just to patch things up but it should start from the foundation and wholesome in nature, covering function and purpose, method, learning materials, institution of education, and its management. Meanwhile, Islamic education’s function can be seen by observing its pattern in the occupational arena. This is because the job world has sufficient contribution and time period in individual and collective lives of the community. The improvement of education enables the selection of a target education model for a group of community who are less fortunate among adults. A development of vision, attitude, knowledge, skill is hoped to improve their sosio-cultural and economic life. The next target for selection is to be focused on education for children. The education and entertainment consumption of this particular group have yet to be clearly developed, except for the natural efforts passed down from time to time.19 The improvement of Islamic education’s functions at the next level that should be done is to unite with other Islamic education institutions, such as mosques with their congregation, madrasah, Muslim families, Muslim community of a territory and so on. In this context, there will be at least four types of Islamic education institutions that can play out their role, namely pesantren, mosque, madrasah, and others Islamic-based education. In this matter, Asmani placed these types of education institution, called first and second, as Islamic education institutions that can expand or improve the non-formal education system, which caters to education including various disciplines, for example, agriculture, farming, electronic, health, arts, scout, technology development, all sort of skills, and so forth. In addition, pesantren should expand their services to the community appropriately and systematically so that everything given to the community is beneficial in their daily lives and is felt Islamic in nature. The same for activities at the mosques, whereby pesantrens Glenn Hardaker, “An Insight Into Islamic Pedagogy at the University of al-Qarawiyyin,” in Multicultural Education & Technology Journal, Vol. VI, No. 2 (2012), p. 106-110. 19 Tahir Andrabi, Jishnu Das, and Asim Ijaz Khwaja, “Students Today, Teachers Tomorrow: Identifyng Constraints on the Provision of Education,” in Journal of Public Economics, 100 (2013), p. 1-14. 18

380


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

and mosques need to garner the collaboration of ulama (Islamic clerics) and Muslim scholars of the local colleges. In the meantime, type third and fourth, which are the madrasah education and general education, are aimed to find renovations for the formal education system that include effective teaching methods in religious or general education. These include innovations in curriculum, teaching tools, educational environment, creative and dedicated teachers, and so on.20 Truthfully, there are already Islamic education institutions that have become the favorite and popular schools among the community, even if their aspiration for Islamic schools is still considered to be low. On many levels, the underlying problem is caused by the inability of Islamic education institutions to fulfill the demands of the changing times.21 With the establishment of Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK – Special Program Islamic High School), which later transformed into Madrasah Aliyah Khusus (MAK – Special Islamic High School) and is categorized as a phenomenon of Islamic education excellence, is truly an asset of Islamic education that also participate in the arena of education along with other regular schools. With that said however, it has yet to profit in the national education configuration. Later, owing to the intellectuals at the Ministry of Religious Affairs, MAK was dissolved becoming a regular Madrasah Aliyah (Islamic High School). From another perspective, there was the establishment of education outside of school for Muslim children such as TPA (Taman Pendidikan al-Qur’an – pre-elementary school in learning holy Qur’an), which emerged with new methods and techniques to ensure children can read the Qur’an in a relatively short time.22 The product of TPA became the pride of local Muslim community when their graduation was attended by a Minister and not just any minister but the President. But until today, there has yet to be a follow-up effort for this school because after graduation, the education ceased. This is also apparent in colleges of Islamic education. It seems that there is a need to broaden from a institutions that support muslim in enhancing their quality of religious activities. Not only as a formal school but also facilitate in every day activity. The weaknesses of Islamic education as discussed above, of course, will not be further discussed, instead we should strive to carefully rectify and correct those education programs being implemented. We should work toward blurring the line that separates Islamic education with general education in the configuration of national education. The purpose and function of Islamic education, its method, material (curriculum) should be 20 Apart from that, the teacher must be motivated to read a lot, produce outcome, as well as becoming a figure of inspiration and motivation to students and community. See Jamal Ma’ruf Asmani, Manajemen Pengelolaan dan Kepemimpinan Pendidikan Profesional: Panduan Quality Control bagi Para Pelaku Lembaga Pendidikan (Yogyakarta: Diva Press, 2009), p. 58. 21 Hery Noer Aly and Munzier S., Watak Pendidikan Islam (Jakarta Utara: Friska Agung Insani, 2003), p. 234. 22 M. Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an: Integrasi Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani (Yogyakarta: Mikraj, 2005), p. 15.

381


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 boldly corrected and revised, and its organization (institution) improved as to attract the interest of future students without compromising the principles of Islam.23 In addition, Islamic education will once again become solid in empowering the Muslims of Indonesia, who are currently on their way to becoming an industrial population facing all kinds of challenges related to work ethics, professionalism and morals. No matter how close Islamic education is to the truth and al-Khaliq, its excellence can only be guaranteed with relentless effort. On the other hand, we shall suffer the wrath of Allah SWT. for failing Islamic education, which according to the scholars is the one and only education institution that can create balance in the development of every man and woman, whereas social development is burdened with various matters such as community change including industrialization.

Islamic Education and Empowerment in West Papua Islamic education, in the form of madrasah has played a dynamic role in Indonesia’s national education. Even during the colonization era, the pesantren produced tangible outcomes by employing efforts to develop a literate (literacy) and cultured (cultural literacy) community.24 It is all written in history as fact that in the development of pesantren, education was only one of the efforts implemented to expand its system. Therefore, we need to review the role of pesantren in the context of community empowerment. The pesantren was developed alongside modernization, marked by the beginning of modern methods and strategies used for learning. But this does not mean westernization; instead it was the answer to the stigma and label given of being traditional. However, one renowned pesantren, Gontor, at the time when the system of pesantren was being established, was still employing traditional methods. Teaching and learning were still relying on sorogan and bandongan (method of teaching where the student has a one-to-one session with the teacher), halaqah and memorization for knowledge transference to occur.25 In the learning process at Gontor, a new method was inspired by the Dutch system of education.26 At the time, there were two models of education, whereby pesantren education was the only formal form of education that existed before the colonization. After that, in the advent of the Dutch’s arrival, modern schools that employed the schooling system of Europe were introduced.27 Apart from that, the word pesantren not only meant an ineffective education 23

p. 121.

A. Malik Fadjar, Holistika Pemikiran Pendidikan (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005),

M. Sirry, “The Public Expression of Traditional Islam: The Pesantren and Civil Society in Post-Suharto Indonesia,” in Muslim World, Vol. C, Issue 1 (January 2010), p. 60-77. 25 Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), p. 61. 26 In Abuddinnata explanation, Islamic education in Indonesia began adopting learning methods employed by the Dutch since 1906. Abudinnata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005) p. 12. 27 Potoceanu Nadia, Gillich Nicoleta, Rada Doina, and Hamat Codruta, “Some Contributions 24

382


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

system but it also brought about meaning of static thinking. By attaching the word modern in Gontor’s education system, it was articulated as freedom to think, effective and efficient management, and the introduction of modernism to the students.28 And so, the pesantren no longer depended on just following (taqlid) certain sect, it was encouraged to think for themselves. Meanwhile, effective and efficient management were implemented in the form of transparent and accountable handling of the pesantren’s finance and administration. This also included the top management not focusing only on certain individuals and kiyai families but on the pesantren as a whole Badan Waqaf (a body of religious endowment). The previous ownership of kiyai and families were fully handed over to the institution in the form of badan waqaf. In the opinion of one Greg Barton29, Islamic education like Gontor is an educational institution that successfully combined the learning requirement of classical Islamic knowledge with modern approach. The use of a teaching system for Islamic subjects made it possible for students to not be trapped in the past and become out-of-date in order to compete in current times. Furthermore, with the integration of current teaching methodologies into inherited Islamic knowledge, a comprehensive education institution was born and it became an important solution to the Muslims’ education. During those times, Islamic education institutions were limited to teaching classical Islamic knowledge by using traditional methods. Eventhough, there were several pesantrens bold enough to adopt the education styles employed at the colonial schools of the Dutch. Teaching materials maintained their traditional Islamic values, whereby emphasis was given to mastering the holy books, but the method of delivery utilized a modern strategy. If we look further into history, it is obvious that the pesantren took devotion of efforts in the domain of education. This paper will attempt to address how the role played by the pesantren is related to community empowerment. Data presented in the paper was obtained from the Pesantren Roudhatul Khuffadz, Sorong, Papua Barat.

Islamic Education in Minority Muslim Studies on Islamic education have obtained special attention from scholars. Even so, the focus given is still limited to the type of Islamic education in Muslim majority areas and where it is considered to be mainstream education. Studies and publication on education

to the Developmentof Education Projects in European Area,” in Procedia Social and Behavioral Science, 1 (2009), p. 2390-2395. 28 Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi, Biografi K.H. Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pondok Modern (Ponorogo: Gontor Press, 1996). 29 Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980, transl. Nanang Tahqiq (Jakarta: Paramadina, 1999), p. 75-77.

383


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 in Muslim minority areas are lacking. For that reason, this paper attempts to discuss Islamic education in minority area. The existence of Islamic education in areas such as Sorongbe it at the municipal level or regency, have not only strengthened the religious identity but also has become a statement of religion for the Indonesian people. In term of identity, as insisted by Lily Kong30, being a minority has encouraged them to defend their identity to the majority, but in the context of religion in Indonesia, while Muslims in other municipalities enjoy the freedom to practice their religion because of their significant number, the Muslims of Sorong Raya enjoy freedom of religion because of their status as the minority. Not because of the religion they believe in but due to their courage to be different from other Papuans. In the meantime, the segregation that occur in other parts of the world, where there are minority Muslims, has not occurred in every day community life in Papua, Sorong Raya. If we compare to the situation in Thailand,31 where the Malay ethnic people are isolated and prohibited to openly show their identity, the life of the Sorong community involves no segregation. This may be because of the local minority status but the majority at the national level factor. Although sometimes the ethnicity of Papuans is considered to be different from Indonesians in general, ever since 2001, this perspective has waned down.32 During the New Order, according to Aspinnal and Berger,33 a primordial sentiment began to form and it implied a choice for independence, which became a purpose that could not be faded. The pesantren in the city of Sorong has significantly contributed as an institution that advocates harmony in social interaction between different religions and ethnicity34. Mujahidah’s observation shows the presence of Islamic education institutions is catalytic as well as supporter of capacity among students to defend the existing harmony through interaction, which not only involve social relations but also helping each other out in religious activities. In the context of Sorong, the phenomenon of cooperation is not alien, even in a community of different ethnicity, religion and other social status. With the interaction that goes on, however, they may be boundaries that differentiate the group in social relation.35 Lily Kong, “Cultural Icons and Urban Development in Asia: Economic Imperative, National Identity, and Global City Status”, in Political Geography, 26 (2007), p. 383 – 404. 31 Azam Othman and Natyada Wanlabeh, “Teachers’ Perspectives on Leadership Practices and Motivation in Islamic Private Schools, Southern Thailand,” in Asian Education and Development Studies, Vol. I, No. 3, (2012), p. 237 – 250. 32 Syafuan Rozi, “Nasionalisme, Demokratisasi, dan Sentimen Primordialisme di Indonesia: Problematika Identitas Keetnisan versus Keindonesiaan pada Studi kasus Aceh, Papua, Bali, dan Riau,” in Jurnal Penelitian Politik, 6, 1 (2009), p. 75-84. 33 E. Aspinall and M. T. Berger, “The Break Up of Indonesia? Nationalism after Decolonisation and the Limits of the Nation-State in Post-Cold War Southeast Asia,” in Third World Quarterly, 22, 6, (2001), p. 139-169. 34 Mujahidah, Analisis Terhadap Interaksi Sosial Antar Pemeluk Agama dan Etnis di Kota Sorong (Sorong: Pustaka Rafana, 2010), p. 61. 35 He An E, “Bridging the Gap Between Teacher Educator and Teacher in a Community of Practice: A Case of Brokering,” in System, 37, (2009), p. 153 – 163. 30

384


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

Considering the interaction pattern mentioned above, it is vital that there would be identity awareness. Such identification is important to individuals in relation to the situation within a community.36 Individuals are no longer considered to be merely personal beings but they are members of the society.37 Therefore, it is crucial for the pesantren as an education institution to provide a scene for formal socialization to occur according to the interaction and behavior patterns of a multiracial community without surrendering religious identity. Even if the perfect portrait of Papua’s education is still far from realization,38 the establishment of Pesantren Roudatul Khuffadz will be the pioneer and beacon among the community. The educational service provided will be close to the Muslims of Papua, developed and implemented for them. It not only provides education in formal form but it goes beyond to strengthen the skills of Muslims. In the midst of limits to education access and presumptions, the existence of this pesantren has gained a special place. If we look at the history in Europe, ethnic identity, religion, class, skin color far exceeded against the identity of a nation-state.39 The fate of minority does not necessarily mean isolation and limited access to politics because, according to Azyumardi Azra, the process that the minority group goes through is not one and identical.40 There has been minority Muslims in several provinces that underwent dynamic national processes.

Community Empowerment and Pesantren One cause of poverty, as stated de Noble, is the subsistence of structural poverty due to agricultural land polarization.41 Then, empowering agricultural management will lessen the potential of poverty. The selection of agriculture as a means for food management will address the utmost important matter in poverty itself, which is to manage food requirement. This will ultimately allow the community to overcome the problem by addressing individual needs. However, empowerment efforts are not exclusive to land management. There is also a need for skills in understanding technology, whereby technological transfer to rural

Yisrael Rich and Elli P. Schachter, “High School Identity Climate and Student Identity Development,” in Contemporary Educational Psychology, 37 (2012), p. 218 – 228. 37 Craig S. Galbraith and Devon M. Galbraith, “An Empirical Note on Entrepreneurial Activity, Intrinsic Religiosity and Economic Growth,” in Journal of Enterprising Communities: People and Places in the Global Economy, Vol. I, No. 2 (2007), p. 188 – 201. 38 Ahmad Arif dan Luki Aulia, “Frederick Sitaung, Guru Sejati di Papua,” in Kompas (1 September 2007). 39 Wanda Alberts, Integrative Religious Education in Europe: A Study of Religions Approach (Berlin-New York: Walter de Gruyter, 2007), p. 42. 40 Azyumardi Azra, “Discourse on Minority Muslims,” in M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini (Jakarta: Rajawali Pers, 2005), p. xxv. 41 Alex de Noble, “Market Juctice, Religious Orientation and Entrepreneurial Attitudes An Empirical Study,” in Journal of Entreprising Communities People and Places in The Global, Vol. I, No. 2 (2007), p. 121 – 134. 36

385


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 areas is hoped to, later, increase the local well-being.42 For this, there is one empowerment program that was successfully implemented in the rural area. The rural empowerment program as the community’s main group is one of the means to empower the community.43 This perspective is relevant in a country where the majority of its population lives in the rural areas such as Indonesia. It is the rural area that supplies the food to the cities. Should development and empowerment cease in the countryside, the cities will indeed lose its support to continue to grow. The pesantren has grown and progressed in rural environment. Its establishment in these rural areas has significantly affected the growth of local community. Not only in term of religious understanding but also in term of the community’s life and skills.44 Even though it is famous for its traditionalism, the pesantren has become a beacon of light in society. With activities that revolve around education, the pesantren has enlightened the mindset of society, which was later termed as the renewal of mindset. This ultimately caused an increase in human resource. As a basis for culture in rural areas, the pesantren has become the driving force for quality in human resource. This will of course become an agent of change in the community.45 The pesantren also provides support for skill acquirement in the form of vocational education, even though still limited to co-op and animal farming. By managing the co-op in turns, students will be able to obtain the ability to manage an organization or company for economic interest. This will indirectly train them and provide experience with hands-on skills by instilling a sense of responsibility in them to conduct business.46 The development of IPTEK (knowledge and technology) outside of the pesantren is a rapid one and so, the pesantren must also accelerate in the area of knowledge and technology. The pesantren is responsible to adapt the culture that is most suitable with the nature and values of the pesantren community. And this will then make the socio-cultural aspect of the pesantren an important factor in improving human resource (SDM).47 The pesantren is multidimensional in nature. It is resilient against change, with the exception that the change is drafted by the pesantren itself, which then will emerge a dynamic and positive

M. A. Lubis, M. A. Embi, M. Md. Yunus, I. S. Wekke, and N. M. Nordin, “The Application of Multicultural Education and Applying ICT on Pesantren in South Sulawesi, Indonesia,” in WSEAS Transactions on Information Science and Applications, Vol. VI, Issue 8, (2009), p. 1401– 1411. 43 Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), p. xv. 44 Abd. A’la, Pembaruan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), p. 1-2. 45 Rofiq. A, et al., Pemberdayaan Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), p. xii-xiii. 46 P. Nilan, “The ‘Spirit of Education’ in Indonesian Pesantren,” in British Journal of Sociology of Education, Vol. 30, Issue 2 (March 2009), p. 219 – 232. 47 H. Sonhadji Sholeh, Konsep-konsep Pengembangan SDM, in A. Halim, et al. (ed.), Manajemen Pesantren (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), p. 7. 42

386


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

revival for the development of the pesantren.48 In history, the pesantren has contributed a lot in Indonesia’s national development.49 Elements within the pesantren itself made it possible for high level of participation in development.50 Florian Pohl shows that the pesantren is where humanistic values and social justice is nurtured.51 With that sad, the pesantren’s role can be expanded into empowerment of life. This includes providing students with the tools and skills needed for managing a farming organization. In short, the existence of pesantren in rural areas will indeed empower the local environment. The pesantren itself has undergone a significant metamorphosis,52 suitable for their survival and subsistence. Adaptability toward local environment makes the pesantren more valuable in the eyes of the community. It is based on this that an observation related to community empowerment through agriculture becomes important. How does the pesantren manage their potential to provide relevant skills to their students? Why, for all this time, the pesantren has been identified with only religious education? From another aspect, the pesantren has begun creating local potential and its role can be further maximized.

Pesantren Roudhatul Khuffadz Sorong The Pesantren Roudhatul Khuffadz is located in Aimas, the capital of Sorong regency. The pesantren holds diniyah (religious learning material) classes in the afternoon (after Ashr pray) that continues until night (after Isha pray). While formal education provided is still limited to madrasah ibtidaiyah (elementary school) and in 2011, it was their first graduation. The students living at the pesantren come from various regions in West Papua. During their stay at the pesantren’s dormitory, they still attend formal education at the nearest school especially those in high school. In the meantime, students of elementary school age attend classes at the madrasah ibtidaiyah, which is located within the pesantren’s campus. In the afternoon, students return from school and rest, and after that, they attend classes in the form of halaqah guided by the pesantren’s elders. At night, they attend classes that are appropriate to the curriculum of madrasah diniyah. During weekend or school holidays, students are assigned activities that interest them and according to their Raihani, “Report on Multicultural Education in Pesantren,” in Compare, Vol. XXXXII, Issue 4 (July 2012), p. 585 – 605. 49 D. Izfanna and N. A. Hisyam, “A Comprehensive Approach in Developing Akhlaq: A Case Study on the Implementation of Character Education at Pondok Pesantren Darunnajah,” in Multicultural Education and Technology Journal, Vol. VI, Issue 2 (June 2012), p. 77 – 86. 50 Abdullah Syukri Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), p. 4. 51 Florian Pohl, “Interreligious Harmony and Peacebuilding in Indonesian Islamic Education,” in Cristina Jayme Montiel & Noraini N. Noor (ed.), Peace Psychology in Asia (London: Springer Science+Business Media, 2009), p. 147. 52 M. Amin Haedari, Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial (Jakarta: LeKDiS, 2006) p. 50. 48

387


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 own capability. As mentioned by Kiyai Yasin, “students are assigned into groups according to their interest and capability. If the student is at elementary school age, then they will be tasked with feeding the farm animals. But if they’re of high school age, they will then be tasked with taking care of the farm animals.”53 In the surrounding area of the pesantren, various pieces of land are available and they are managed by the students themselves. In the compound, there are chicken farming, cattle farming, ducks, as well as short-term crops such as chilies, tomatoes and other catch crops such as corn. Other than that, there is a need to supply fodder for the livestock and so there is Napier grass. There is also inter-cropping for chicken farming, which is combined with an embankment for catfish, and around the mosque at the wudhu’ (ablution) area, used ablution water is collected into a pond of tilapia. By providing opportunity for the students to learn hands-on, their skills will be honed and they will not just learn from theories. In the meantime, should there be a mistake while carrying out practical activities in the field, theory of the correct way will be directly explained. As with instructions and guidance from the kiyai and elders at the pesantren, there will be given at certain times during the day. The part for theory is kept at a minimum and when compared, practical activities in the field very much dominate the process of learning. And so Kiyai Yasin explained: By giving the chance for interaction and experience to learn, the students will be able to focus more and make their own conclusion of their recurring experiences. As an education process, this will indirectly become a way of completely not giving theoretical instructions but to learn directly from experience. If this is nurtured, students will retain more memory permanently and for a long time, compared to just by lecturing in classes.54 Agriculture and farming was chosen as the focus of learning because it has the natural potential in Papua, which is dominated by its vast land. With agriculture, comes animal farming. Equipped with that they learn at the pesantren, students will continue to live in the outside world with skills that are not far from reality. And so they will not be estranged and become a useful member of society. Agriculture and animal farming is an important requirement for the community in Sorong, whereby several grocery items need to be imported or shipped from other areas. With the skill to manage agricultural land, surely the community is provided for and can become self-reliant. The internal production of grocery items can easily compete with imported products. Furthermore, this skill acts as a supplement to the more crucial capacity that is religious knowledge, which should also be taught to the community. At the very least, religious knowledge and skills obtained at the pesantren can be used by individuals to teach their own little cluster called family. Interview with the leader at Pesantren Roudhatul Khuffadz, on April 12, 2011. In effort to data enhacement interview and observation were extended from June to December 2012. 54 This initial data was collected first time on interview with Kiyai Yasin, March 8, 2011. Data validation was employed on November and December 2012. 53

388


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

Guidance in religious capacity is of the utmost importance, while skills are complimentary and enriching. When students return to society, their skills will become their communication tools to complement their daily lives. In addition, pesantren alumni are also called to become the driving force for religious activities in their respective community in a place where Muslims are the minority and religious understanding is very limited, especially for a newly converted Muslim. In turn, pesantren alumni will also become the preacher in their hometown. This is so by being a good example and show that a pesantren alumnus is not only capable at the mosque’s rostrum but more importantly, he has the skills to manage the community’s potential. With that, the face of Islam is sound and dominant compared to just being a person who can start a discourse and discussion. Consequently, sympathy and desire to socialize with the Muslim community will be generated. This depiction shows that a pesantren alumnus can indeed carry out his responsibilities as caliphs on this earth. He is no longer a burden to his family and community but instead, a pioneer for the growth of his family and environment. Not only limited to Muslims but others around him, whereby they live in a community where Muslims are not the majority, and to grow and progress together with followers of other religions. Equipped with the knowledge and skills learnt at the pesantren, the alumnus possesses the foundation for creative process to implement at his hometown. As the number of alumni grows, all spread out in different areas of the region, surely it would be the making of community empowerment. The learning experience gained at Pesantren Roudhatul Khuffadz is, in actual fact, a form of effort to provide freedom to each and every student in learning skills related to livestock farming and agriculture day by day. This supplementary activity is planned to hone students’ ability in mastering various skills. As soon as they are free to choose their activities, then that is the moment they contribute to their self-growth. Finally, once they are able to develop themselves, surely they will be more than able to help the community around them grow in capacity too.

Theoretical Implications The pesantren has provided a lot of effort, not only in the field of education but it has also begun reinforcing the empowerment of the community. The skills taught at the pesantren are not limited to religious knowledge but includes skills in agriculture. The study on Pesantren Roudhatul Khuffadz has yielded proof that a pesantren can indeed bring about transformation at all levels of the community. This corresponds to the theory presented Maldonado, Khan, Moon, and Rho in term of education and developing countries, which depicts a pesantren as social influence in on the rise of societies. The advent of modern technology, joined by the discussion of globalization, has brought about dynamic trans-

389


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 formation that affects the very existence of educational system.55 Encounter with modern values is, in the view of Yasmadi,56 a dynamic development, which ultimately solidifies the pesantren’s existence. Such transformation will propel the pesantren intro progress and establish its position within the community. Then, the religious education institution will no longer be just a topic for discourse but becomes more of a spiritual awareness that also emphasizes the need to hone various skills in order to influence the behavior of society.57 This proves that the existence of pesantren in the past has never been overlooked by those around it. In addition, the growth of a pesantren begins with an observation of it surrounding condition. This is due to the fact that with pesantren’s development, only then a synergy can occur with the environment – the community at large can become partners with the pesantren to develop each other. Another research was conducted in this pesantren. The study was concluded that Pesantren Roudhatul Khuffadz tried to enhance students’ capacity through entrepreneurship.58 One of the main problems of education is the irrelevancy of the contents in the working world. It has often been the case where formal education graduates are unqualified to compete in the job market that relies on skills. In the words Steenkamp and McCord, education is unable to respond to and anticipate the needs of the community in working matters. It is a need to maintain media and information technology.59 There is no creativity among education institutions to bridge the gap that exists. Therefore, the findings of this paper, Pesantren Roudhatul Khuffadz does indeed polish students’ skills to farm, prove that the generalization of education institutions’ inability to provide sound curriculum in order to anticipate the working world has yet to be supported completely. The pesantren actively equips students to become entrepreneurs in the field of agriculture. Pesantren alumni are found able to develop themselves in modern agriculture. This may be because a lot of the land in Papua has yet to be developed and this is indeed valuable to students who are about to dive into the community. In the context of Pesantren Roudhatul Khuffadz, the process of education has become a process of transfer in several matters, namely knowledge, values and skills. Education Ursula Paola Torres Maldonado, Gohar Feroz Khan, Junghoon Moon, and Jae Jeung Rho, “E-Learning Motivation and Educational Portal Acceptance in Developing Countries,” in Online Information Review, Vol. XXXV, No. 1 (2011), p. 66 – 85. 56 Yasmadi, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Ciputat Press, 2005), p. 3. 57 N. van Der Straten Waillet and I. Roskam, “Are Religious Tolerance and Pluralism Reachable Ideals? A Psychologhical Perspective,” in Religious Education, Vol. CVIII, Issue 1 (2013), p. 69 – 87. 58 Ismail Suardi Wekke, “Pendidikan Islam dan Pemberdayaan Masyarakat (Tinjauan Pendidikan Vokasional Pesantren Roudhatul Khuffadz, Sorong),” in Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Hermenia, Vol. X, No. 1 (December 2011), p. 23 – 53. 59 Annette Lerine Steenkamp and Samual Alan McCord, “Approach to Teaching Research Methodology for Information Technology,” in Journal of Information Systems Education, 18, 2, (Summer 2007), p. 255 – 266. 55

390


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

that empowers is education that will not only provide cognitive knowledge but goes further to provide skills as useful tools to illustrate the knowledge obtained. The findings of this study correspond to the theory presented by Haidar Putra Daulay that states the process of education cannot only be given in the formal form.60 Education can also be defined as the process of understanding. Therefore, the installation of values in the form of skills can in fact be the actual content of the education itself. Only the form is informal and its delivery is performed outside of the classroom. Finally, such processes will be more meaningful and provide better and comprehensive understanding to the students.

Conclusion Based the above discussion, it can be concluded that the crisis of Islamic education is not mere discussion but it is indeed a problem to be solved. The separation of Islamic education from general education in the configuration of national education can be overcome. Islamic education has become the catalyst and has answered various criticisms that a pesantren is where the seed of terrorism is sowed. The purpose and function of Islamic education, its method, materials (curriculum) must be corrected and revised boldly and its organization (institution) must be improved. With such efforts, Islamic education can once again return to its true position in empowering the Muslims of Indonesia, who are gearing toward becoming an industrial population faced with all sort of challenges including work ethics, professionalism and morals. Simultaneously, distancing Islamic education from discussions of dichotomic education, whereby there no longer exist a line between Islamic education and general education, and that both are the same. The implementations at Pesantren Roudhatul Khuffadz have proven that even being in an area where Muslims are the minority, the pesantren can still prosper. By being the minority, Islamic identity is felt stronger and this ultimately will become the supporting force that contributes to the development of local education.

References A, Rofiq. et al. Pemberdayaan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005. A’la, Abd. Pembaruan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006. Alberts, Wanda. Integrative Religious Education in Europe: A Study-of-Religions Approach. Berlin-New York: Walter de Gruyter, 2007. Aly, Hery Noer and S, Munzier. Watak Pendidikan Islam. Jakarta Utara: Friska Agung Insani, 2003.

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), p. 13–14. 60

391


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Andrabi, Tahir., Das, Jishnu., and Khwaja, Asim Ijaz. “Students Today, Teachers Tomorrow: Identifyng Constraints on the Provision of Education,” in Journal of Public Economics, 100, 2013. Arif, Ahmad., and Aulia, Luki. “Frederick Sitaung, Guru Sejati di Papua,” in Kompas, 1 September 2007. Arifin, Anwar. Format Baru Pengelolaan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Indonesia, 2006. Asmani, Jamal Ma’ruf. Manajemen Pengelolaan dan Kepemimpinan Pendidikan Profesional: Panduan Quality Control bagi Para Pelaku Lembaga Pendidikan. Yogyakarta: Diva Press, 2009. Aspinall, E., and Berger, M. T. “The Break Up of Indonesia? Nationalism after Decolonisation and the Limits of the Nation-State in Post-Cold War Southeast Asia,” in Third World Quarterly, 22, 6, 2001. Azra, Azyumardi. “Discourse on Minority Muslims, Introduction,” in M. Ali Kettani, Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini. Jakarta: Rajawali Pers, 2005. Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Ahmad Wahib, dan Abdurrahman Wahid, 1968-1980, transl. Nanang Tahqiq. Jakarta: Paramadina, 1999. Chaudhary, Latika., and Rubin, Jared. “Reading, Writing, and Religion: Institutions and Human Capital Formation,” in Journal of Comparative Economics, 39, 2011. Daulay, Haidar Putra. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2007. E, He A. “Bridging the Gap between Teacher Educator and Teacher in a Community of Practice: A Case of Brokering,” in System, 37, 2009. Elyas, Tariq., and Picard, Michelle. “Saudi Arabian Educational Historu: Impacts on English Language Teaching,” in Education, Business and Society: Contemporary Middle Eastern Issues, Vol. III, No. 2, 2010. Fadjar, A. Malik. Holistika Pemikiran Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Gade, A. M. “Tradition and Sentiment in Indonesian Enviromental Islam,” in Worldviews: Environment, Culture and Religion, Vol. XVI, Issue 3, 2012. Galbraith, Craig S., and Galbraith, Devon M. “An Empirical Note on Entrepreneurial Activity, Intrinsic Religiosity and Economic Growth,” in Journal of Enterprising Communities: People and Places in the Global Economy, Vol. I, No. 2, 2007. Genç, M. Fatih. Avest, Ina ter., and Miedema, Siebren. “Religious education in two secular multicultural societies: the Turkish and Dutch case compared,” in Procedia Social and Behavioral Sciences, 15, 2011. Haedari, M. Amin. Transformasi Pesantren: Pengembangan Aspek Pendidikan, Keagamaan, dan Sosial. Jakarta: LeKDiS, 2006. Hardaker, Glenn. “An Insight Into Islamic Pedagogy at the University of al-Qarawiyyin,” in Multicultural Education & Technology Journal, Vol. VI, No. 2, 2012. 392


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

Izfanna, D., and Hisyam, N. A. “A Comprehensive Approach in Developing Akhlaq: A Case Study on the Implementation of Character Education at Pondok Pesantren Darunnajah,” in Multicultural Education and Technology Journal, Vol. VI, Issue 2, June 2012. Kong, Lily. “Cultural Icons and Urban Development in Asia: Economic Imperative, National Identity, and Global City Status,” in Political Geography, 26, 2007. Kristiansen, Stein., and Pratikno, “Decentralising Education in Indonesia,” in International Journal of Educational Development, 26, 2006. Lubis, M. A., Embi, M. A., Yunus, M. Md., Wekke, I. S., and Nordin, N. M. “The Application of Multicultural Education and Applying ICT on Pesantren in South Sulawesi, Indonesia,” in WSEAS Transactions on Information Science and Applications, Vol. VI, Issue 8, 2009. Maldonado, Ursula Paola Torres. Khan, Gohar Feroz. Moon, Junghoon., and Rho, Jae Jeung. “E-Learning Motivation and Educational Portal Acceptance in Developing Countries,” in Online Information Review, Vol. XXXV, No. 1, 2011. Mangunjaya, F. M. “Developing Enviromental Awareness and Conservation Through Islamic Teaching,” in Journal of Islamic Studies, Vol. XXII, Issue 1, January 2011. Mastuhu. Dinamika Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS, 1994. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Mujahidah. Analisis Terhadap Interaksi Sosial Antar Pemeluk Agama dan Etnis di Kota Sorong. Sorong: Pustaka Rafana, 2010. Nadia, Potoceanu., Nicoleta, Gillich., Doina, Rada., and Codruta, Hamat. “Some Contributions to the Developmentof Education Projects in European Area,” in Procedia Social and Behavioral Science, 1, 2009. Nata, Abudien. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005. Nilan, P. “The ‘Spirit of Education’ in Indonesian Pesantren,” in British Journal of Sociology of Education, Vol. XXX, Issue 2, March 2009. Noble, Alex de. “Market Juctice, Religious Orientation and Entrepreneurial Attitudes An Empirical Study,” in Journal of Entreprising Communities People and Places in The Global, Vol. I, No. 2, 2007. Othman, Azam., and Wanlabeh, Natyada. “Teachers’ Perspectives on Leadership Practices and Motivation in Islamic Private Schools, Southern Thailand,” in Asian Education and Development Studies, Vol. I, No. 3, 2012. Panitia Penyusunan Riwayat Hidup dan Perjuangan K.H. Imam Zarkasyi. Biografi K.H. Imam Zarkasyi: Dari Gontor Merintis Pondok Modern. Ponorogo: Gontor Press, 1996. Permani, Risti. “The Presence of Religious Organisations, Religious Attendance and Eranings: Evidence from Indonesia,” in The Journal of Socio-Economics, 40, 2011. 393


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Pohl, Florian. “Interreligious Harmony and Peacebuilding in Indonesian Islamic Education,” in Cristina Jayme Montiel & Noraini N. Noor (ed.), Peace Psychology in Asia. London: Springer Science+Business Media, 2009. Pohl, Florian. “Islamic Education and Civil Society: Reflections on the Pesantren Tradition in Contemporary Indonesia,” in Comparative Education Review, Vol. 50, Issue 3, August 2006. Raihani. “An Indonesian Model of Succesful School Leadership,” in Journal of Educational Administration, Vol. XLVI, No. 4, 2008. Raihani. “Report on Multicultural Education in Pesantren,” in Compare, Vol. XLI, Issue 4, July 2012. Rich, Yisrael, and Schachter, Elli P. “High School Identity Climate and Student Identity Development,” in Contemporary Educational Psychology, 37, 2012. Rozi, Syafuan. “Nasionalisme, Demokratisasi, dan Sentimen Primordialisme di Indonesia: Problematika Identitas Keetnisan versus Keindonesiaan pada Studi Kasus Aceh, Papua, Bali, dan Riau,” in Jurnal Penelitian Politik, 6, 1, 2009. Saniotis, A. “Muslim and Ecology: Fostering Islamic Enviromental Ethics,” in Contemporary Islam, Vol. VI, Issue 2, July 2012. Sartawi, M., and Sammut, G. “Negotiating British Muslim Identity: Everyday Concerns of Practising Muslim in London,” in Culture and Psycology, Vol. XVIII, No. 4, December 2012. Sholeh, H. Sonhadji. “Konsep-konsep Pengembangan SDM,” in A. Halim, et al., Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005. Sirry, M. “The Public Expression of Traditional Islam: The Pesantren and Civil Society in Post-Suharto Indonesia,” in Muslim World, Vol. 100, Issue 1, January 2010. Steenkamp, Annette Lerine., and McCord, Samual Alan. “Approach to Teaching Research Methodology for Information Technology,” in Journal of Information Systems Education, 18, 2, Summer 2007. Sumodiningrat, Gunawan. Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas Tentang Pembangunan Manusia Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007. Suyudi, M.. Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an Integrasi Epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani. Yogyakarta: Mikraj, 2005. Waillet, N. van Der Straten, and Roskam, I. “Are Religious Tolerance and Pluralism Reachable Ideals? A Psychologhical Perspective.” in Religious Education, Vol. 108, Issue 1, 2013. Wang, Qiyun. “A Generic Model for Guiding the Integration of ICT into Teaching and Learning,” in Innovations in Education and Teaching International, Vol. XLV, No. 4, November 2008. Wekke, Ismail Suardi. “Amalan Pendidikan Bahasa Arab Berasaskan Kepelbagaian Budaya di Pesantren Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia,” in Ringkasan Eksekutif Penyelidikan Siswazah, Jilid. 2, No. 2, April 2009. 394


Ismail Suardi Wekke: Religious Education and Empowerment

Wekke, Ismail Suardi. “Pesantren dan Pengembangan Kurikulum Kewirausahaan: Kajian Pesantren Roudahtul Khuffadz Sorong Papua Barat,” in Jurnal Inferensi, Vol. 6, No. 2, December 2012. Wekke, Ismail Suardi. “Pendidikan Islam dan Pemberdayaan Masyarakat (Tinjauan Pendidikan Vokasional Pesantren Roudhatul Khuffadz, Sorong),” in Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Hermenia, Vol. 10, No. 1, December 2011. Welch, V. Anthony. “The Limits of Regionalism in Indonesian Higher Education,” in Asian Education and Development Studies, Vol. 1, No. 1, 2012. Yasmadi. Modernisasi Pesantren. Jakarta: Ciputat Press, 2005. Zarkasyi, Abdullah Syukri. Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

395


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

PEMBENTUKAN AKHLAK ANAK USIA DINI MENURUT IBN MISKAWAIH Rosnita Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan, 20371 e-mail: asaponeru@yahoo.co.id

Abstrak: Selama era Reformasi, sistem pendidikan nasional sedang menghadapi sejumlah problem. Dalam aspek tujuan pendidikan nasional, misalnya, lembagalembaga pendidikan tampak belum bisa mencapai tujuan pendidikan nasional secara utuh. Pembentukan akhlak mulia dalam diri anak sebagai salah satu bagian dari tujuan pendidikan nasional masih menjadi persoalan. Banyak faktor penyebab problem ini, antara lain adalah kurangnya peran orangtua dan guru dalam membentuk akhlak anak sejak usia dini. Tulisan ini akan menyajikan pandangan Ibn Miskawaih tentang urgensi pembentukan akhlak anak sejak usia dini. Kajian ini menemukan bahwa seorang anak akan mampu menampilkan akhlak mulia manakala pendidik, baik orangtua maupun guru, mampu memahami kejiwaan anak sembari mulai mengajari dan membiasakan anak dengan akhlak mulia sejak kecil, serta memilih lingkungan yang sehat secara moral untuk anak tersebut. Abstract: Early Childhood Character Building in the View of Ibn Miskawaih. During the reformation era, the national education system is apparently facing some problems. On the goal of national education, for instance, educational institutions have not achieved their goals in the true sense. The noble character building in the child as part of the national education objective has yet become problem. There are a number of factors that led to these problems, some of which are the minor role of the parents and teachers in building child’s character since early childhood. This writing cast some lights on the importance of child character building since early childhood in Ibn Miskawaih’s view. This study finds that a child will be able to be acquainted with noble character when educators, whether parents or teachers, are capable of understanding the child’s psychological state and begin teaching to live with it since childhood. Also contributed to the character building success is choosing healthy environment morally for the child.

Kata Kunci: akhlak, anak usia dini, Ibn Miskawaih

396


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

Pendahuluan Di Indonesia, pendidikan Islam merupakan sub-bagian dari sistem pendidikan nasional. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) Nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”1 Dengan demikian, pendidikan Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional juga berupaya menggapai misi tujuan pendidikan nasional tersebut. Berdasarkan rumusan undang-undang tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan nasional ini mencakup tiga dimensi pendidikan, yaitu pendidikan jasmani, pendidikan akal dan pendidikan akhlak. Dikatakan mencakup pendidikan jasmani dikarenakan tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan peserta didik yang sehat. Disebut mencakup pendidikan akal adalah karena pendidikan nasional bertujuan membentuk peserta didik yang berilmu, cakap dan kreatif. Sedangkan dikatakan mencakup pendidikan akhlak adalah karena pendidikan nasional memiliki misi untuk melahirkan peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dari urutan teks, tampak bahwa pendidikan nasional mengutamakan pendidikan akhlak, yang dibuktikan dari pernyataan awal tujuan pendidikan nasional yaitu “untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia...” Dapat disimpulkan bahwa pendidikan nasional tidak hanya memerhatikan integrasi pendidikan akal semata, tetapi juga pendidikan jasmani dan pendidikan akhlak. Akan tetapi, banyak fakta menjadi bukti kuat bahwa lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia belum mampu mencapai tujuan pendidikan nasional secara maksimal. Kegagalan tersebut mencakup kegagalan dalam pendidikan akal, pendidikan jasmani dan pendidikan akhlak. Kegagalan dalam pendidikan akal, misalnya, dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusia Indonesia dalam skala global. Sampai tahun 2007, Human Development Index (HDI) Indonesia masih menempati posisi 107 dari 174 negara. Selain itu, World Competitiveness Yearbook menempatkan peringkat daya saing sumber daya manusia Indonesia dari urutan ke-39 pada tahun 2007 dan menjadi urutan ke-46 dari 47 negara pada akhir abad XX.2 Menurut laporan International Educational Acheivement (IEA) diketahui bahwa kemampuan membaca peserta didik Sekolah Dasar di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara yang diteliti. Sedangkan kemampuan matematika Lihat Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, h. 4. 2 Al Rasyidin, “Isu-isu Krusial dalam Pendidikan Nasional: Belajar Memetakan Masalah,” dalam Jurnal Pemikiran Islam dan Kependidikan al-Ta’lim, Vol. XII, No. 22, 2005. 1

397


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 peserta didik Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di Indonesia berada pada urutan ke-39 dari 42 negara dan kemampuan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berada pada urutan ke10 dari 42 negara peserta.3 Berbagai data ini membuktikan bahwa tujuan nasional dalam cakupan pendidikan akal belum tercapai secara maksimal. Kegagalan dalam bidang pendidikan jasmani dapat diketahui dari sejumlah laporan berikut. Asosiasi Toilet Indonesia pada tahun 2011 melaporkan bahwa kebersihan toilet umum di Indonesia menduduki peringkat 12 terburuk dari 18 negara di Asia, bahkan Indonesia berada di bawah Vietnam.4 Pada tahun 2010, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat ke-3 dalam urutan negara dengan layanan sanitasi terburuk di Asia Tenggara. Dilaporkan bahwa sebanyak 70 juta warga Indonesia masih membuang air sembarangan.5 Sementara itu, Kementerian Pariwisata melaporkan bahwa tingkat kebersihan Indonesia menempati peringkat 120 dari 139 negara dunia. Artinya, Indonesia adalah negara terjorok di urutan ke-19 di dunia.6 Data ini menjadi indikator kuat bahwa penyelenggaraan pendidikan jasmani di Indonesia belum menuai hasil maksimal. Kegagalan dalam pendidikan akhlak dapat dilihat dari sejumlah fakta tentang perilaku peserta didik di Indonesia. Berdasarkan laporan penelitian Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2010 diketahui bahwa 62,7 persen remaja SMP di Indonesia sudah tidak perawan; 93,7 persen siswa SMP dan SMA pernah melakukan ciuman; 21,2 persen remaja SMP mengaku pernah aborsi, dan 97 persen remaja SMP dan SMA pernah melihat film forno.7 Selain itu, perilaku korupsi juga menjadi indikator lain bahwa pendidikan akhlak di Indonesia masih mandul. Data dari Political & Economic Risk Consultancy (PERC) menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik.8 Laporan Transparency International (TI) tahun 2011 menyebutkan bahwa Indonesia masih berada satu kelompok dengan negara-negara terkorup di dunia seperti Argentina, Meksiko, Suriname dan Tanzania. Sedangkan laporan KPK menyebutkan bahwa Kementerian Agama sebagai lembaga yang mengurusi masalah keagamaan menjadi lembaga paling korup di Indonesia.9 Data-data ini menjadi bukti lain bahwa tujuan pendidikan nasional, yang salah satunya adalah menciptakan peserta didik yang berakhlak mulia, belum tercapai secara maksimal, dan para pendidik berbagai institusi pendidikan di Indonesia masih perlu merealisasikan konsep pendidikan akhlak secara baik dan benar. Program Pembangunan Nasional 2000-2004 (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 166; Fachruddin Azmi, “Sertifikasi Guru: Telaah Urgensinya terhadap Kompetensi dan Profesionalisme Guru Agama,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. XXXIII, No. 1, Januari-Juni 2009, h. 139. 4 "Toilet Umum di Indonesia Tergolong Terburuk di Asia,” dalam Kompas (14 Oktober 2011). 5 "Sanitasi Buruk, Kerugian Triliunan,” dalam Kompas (21 Oktober 2010). 6 "Indonesia, Negara Terjorok ke-19 di Dunia,” dalam Kompas (13 April 2012) 7 "62,7 Persen Remaja SMP Tidak Perawan,” dalam Kompas (13 Juni 2010). 8 "Survei PERC: Indonesia Terkorup di Asia Pasifik,” dalam Kompas (22 Februari 2012). 9 "Indonesia Masih Negara Terkorup,” dalam Suara Karya (2 Desember 2011). 3

398


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

Berdasarkan tinjauan faktual di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia belum tercapai secara maksimal. Berbagai data di atas menjadi indikator lain bahwa bangsa Indonesia, khususnya sejumlah besar peserta didiknya, belum memiliki akhlak mulia. Perilaku para peserta didik dan pejabat pemerintahan sebagai out put institusi pendidikan masih jauh dari akhlak mulia. Melihat problem ini, pihak pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional (KEMENDIKNAS) dan Kementrian Agama (KEMENAG) telah menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengatasi sejumlah problem pendidikan ini, meski hasilnya belum menggembirakan. Tampaknya, kegagalan bangsa Indonesia dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional adalah belum adanya sinergi antara pendidikan keluarga, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat. Dalam tataran praktik, pemerintah masih hanya mengandalkan pendidikan sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, padahal pendidikan sekolah membutuhkan peran pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat. Kegagalan pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah sejauh ini, salah satunya, adalah karena pendidikan informal seperti lingkungan keluarga belum maksimal dalam menjalankan perannya. Dalam hal ini, tujuan pendidikan nasional akan berhasil tercapai secara maksimal manakala pendidik dalam keluarga maupun dalam lingkungan sekolah, baik orangtua maupun para guru, telah memahami dan mampu mengaplikasikan teori pembentukan akhlak bagi anak usia dini. Teori ini penting diketahui bahwa akhlak anak mulai dan harus dibentuk bukan ketika mereka beranjak remaja apalagi dewasa, melainkan ketika mereka masih berusia masih dini. Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 28 telah disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini bisa diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. Dalam hal ini, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanakkanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan bagi anak sejak lahir sampai dengan enam tahun, dan bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar.10 Perilaku menyimpang anak bangsa selama ini lebih dikarenakan oleh belum maksimalnya implementasi teori pembentukan akhlak anak sejak usia dini oleh orangtua dan guru. Pada dasarnya, teori tersebut telah dikenalkan sejak lama oleh salah seorang filosof akhlak Muslim, yakni Ibn Miskawaih. Tulisan ini akan mencoba untuk menganalisis pemikirannya tentang teori pembentukan akhlak mulia bagi anak usia dini. Harapannya, teori ini mampu dipahami dan diaplikasikan secara nyata oleh pendidik Muslim di Indonesia,

10

Lihat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, h. 9, 30.

399


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 baik orangtua maupun guru, dalam rangka membentuk akhlak mulia anak usia dini, sebagai salah satu dari agenda tujuan pendidikan nasional.

Ibn Miskawaih: Filosof Akhlak Muslim Dalam dunia pemikiran Islam, menurut Nasr dan Amin, Ibn Miskawaih dikenal sebagai penulis karya filsafat etika terkemuka,11 meski tidak banyak ahli mengikuti dan melanjutkan usaha Ibn Miskawaih dalam mengembangkan teori akhlak.12 Padahal, teorinya tentang akhlak sangat bagus dan terus menjadi inspirasi para ahli pendidikan Islam. Rajendra Prasad bahkan mensejajarkan Ibn Miskawaih dengan para filosof etika terkemuka seperti alFârâbî, Ibn Sînâ dan al-Thûsî.13 Apresiasi ini menunjukkan kebesaran Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak. Ibn Miskawaih dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 320 H/932 M,14 dan wafat di Isfahan, Iran, pada 9 Shafar 421 H15/1030 M.16 Ia adalah seorang penganut mazhab Syi‘ah. Mazhab ini adalah mazhab yang cukup berkembang di Persia sejak era Dinasti Buwaihi, bahkan sampai sekarang. Ibn Miskawaih menghabiskan waktu muda dengan mempelajari karya-karya dalam berbagai bidang. Ia belajar sejarah dengan mengkaji kitab Tarîkh al-Thabârî di bawah asuhan Abû Bakar Ahmad ibn Kâmil al-Qâdhî (w. 960 M). Dalam bidang filsafat, ia berguru kepada Ibn al-Khammar yang menguasai karya-karya Aristoteles17 dan al-Hasan bin Siwâr yang mumpuni dalam bidang filsafat dan kedokteran.18 Para gurunya tersebut dikenal sebagai mufasir terkemuka ajaran Aristoteles.19 Ia juga diketahui menguasai ilmu bahasa, ilmu kedokteran, ilmu fikih, hadis, matematika, musik, dan ilmu militer.20 Dengan demikian, ia mumpuni dalam banyak bidang, meskipun ia lebih dikenal sebagai pakar filsafat akhlak.

Seyyed Hossein Nasr, Islamic Philosophy from Its Origin to the Present (New York: State University of New York Press, 2006), h. 112, 139; Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma’ruf (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), h. 149. 12 Ahmad Azhar Basyir, Miskawaih: Riwayat Hidup dan Filsafatnya (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1988), h. 4. 13 Rajendra Prasad (ed.), A Historical-Developmental Study of Classical Indian Philosophy of Morals (New Delhi: Center for Studies in Civilizations, 2009), h. 518. 14 M. Luthfi Jum‘ah, Tarîkh Falsafah al-Islâm (Mesir: t.p., 1927), h. 304. 15 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Ibn Miskawaih,” dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 162. 16 Muhammad Iqbal, Metafisika Persia, terj. Joebar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), h. 50. 17 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 56. 18 Abdul Aziz Dahlan, “Filsafat,” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 195-196; Muhsin Labib, Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra (Jakarta: Al-Huda, 2005), h. 110. 19 Ary Nilandari, Memahat Kata Memugar Dunia (Bandung: MLC, 2005), h. 43. 20 Ahmad Amîn, Zuhr al-Islâm, Juz II (Beirut: Dâr al-Kitab al-‘Arâbî, 1969), h. 66. 11

400


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih mengenyam pendidikan ketika dunia Islam mengalami kemajuan pesat, dan karya-karya berbagai peradaban sangat mudah diperoleh. Selama belajar, ia menelaah seluruh karya filsafat dari berbagai peradaban seperti Yunani, Persia, India dan Romawi.21 Tidak salah bila berbagai pemikiran tokoh-tokoh dari berbagai peradaban itu memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran Ibn Miskawaih, khususnya pemikirannya dalam bidang akhlak. Dalam bidang ini, ia mengkombinasikan pemikiran Plato, Aristoteles, dan Galen dengan al-Qur‘an dan hadis.22 Selama kehidupannya, Ibn Miskawaih hidup dalam lingkungan dinasti Buwaihi, bahkan mendapat posisi terhormat. Ia pernah bekerja kepada al-Muhallabi, seorang wazir pangeran Buwaihi, Mu‘iz al-Daulah di Baghdad.23 Selain itu, ia cukup akrab dengan Ibn al-‘Amîd di Ray, wazir dari Rukn al-Daulah, salah seorang saudara Mu’iz al-Daulah. Ibn al-‘Amîd adalah tokoh sastra terkenal dan pustakawan. Pada saat itu, Ibn al-‘Amîd diangkat menjadi wazir oleh Rukn al-Daulah. Akibat kedekatan dengan Ibn al-‘Amîd, Ibn Miskawaih mendapat kedudukan terhormat di ibukota pemerintahan dinasti Buwaihi tersebut.24 Pada tahun 970 M, al-‘Amîd wafat, lalu Abû al-Fath diangkat menjadi wazir. Ibn Miskawaih tetap memeroleh kedudukan terhormat sampai Abû al-Fath wafat tahun 976 M. Akan tetapi, jabatan wazir diambil alih oleh oposisi Abû al-Fath, yakni al-Shahib ibn ‘Abbad. Akibatnya, Ibn Miskawaih tersingkir dan segera meninggalkan Ray dan berangkat menuju Baghdad untuk bekerja kepada penguasa Dinasti Buwaihi, yakni ‘Adhud al-Daulah. Pada masa ini, Ibn Miskawaih diangkat sebagai bendahara dinasti Buwaihi, bahkan sampai pada kekuasaan Shamsham al-Daulah (w. 998 M) dan Baha’ al-Daulah (w. 1012 M).25 Selama periode ini, Ibn Miskawaih menyaksikan para petinggi dinasti saling berebut pengaruh, dan berkuasa tanpa memperhatikan akhlak. Ia menyaksikan bahwa kemajuan dinasti Buwaihi dalam bidang ilmu dan teknologi tidak diimbangi dengan kemajuan dan integritas akhlak. Ia sadar bahwa semua ini terjadi karena lemahnya sistem politik, kurangnya perhatian penguasa terhadap akhlak, sehingga akhlak masyarakat ikut mengalami dekadensi dibuktikan merajalelanya kejahatan dan kemaksiatan. Tampaknya, kondisi ini membuat Ibn Miskawaih mengambil peran sebagai agen perubah kondisi masyarakat dengan menulis karya-karya dalam bidang akhlak. Karenanya, meski disibukkan oleh berbagai aktifitas dalam lingkungan istana, Ibn Miskawaih tetap produktif menulis hingga menghasilkan banyak karya seperti Tahdzîb al-Akhlâq, Tajârib al-Umâm, Uns al-Farid, al-Fauz al-Akbâr, al-Fauz al-Ashgâr, al-Jami‘, al-

SM. Ziauddin Alawi, Muslim Educational Thought in Middle Ages (New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1988), h. 30. 22 Ibid. 23 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, “Ibn Miskawaih,” h. 162. 24 Oliver Leaman, “Ibn Miskawaih,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), The History of Islamic Philosophy (London-New York: Kegal Paul, 2003), h. 252. 25 Labib, Para Filosof, h. 110-111. 21

401


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Siyâ’, Tartîb al-Sa‘âdah, al-Mustaufa, Kitab al-Asyribah, Ajwibah wa As’ilah fî al Nafs wa al-‘Aql, Risâlah fî al-Lazzah wa al-Alam fî Jauhar al-Nafs, al-Jawâb fî al-Masâ’il al-Tsalas, Risâlah fî Jawâb fî Su’al ‘Alî ibn Muhammad Abû Hayyan al-Shûfî fî Haqîqah al-‘Aql dan Thaharah al-Nafs.26 Menurut Watt, buku-buku Ibn Miskawaih banyak digunakan oleh para tokoh belakangan seperti al-Ghazâlî,27 seorang yang menulis kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn. Gagasan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak terdapat dalam kitab Tahdzîb al-Akhlâq. Anwar Jundi mengungkap bahwa Ibn Miskawaih ahli dalam banyak bidang, antara lain, sejarah, filsafat, kimia dan logika. Sedangkan keahliannya dalam bidang sastra dan prosa sangat memukai para pujangga semasanya.28 Kemampuannya dalam bidang kedokteran juga mengimbangi kemampuannya dalam bidang kedokteran.29

Tujuan Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih menjabarkan konsep pendidikan akhlak secara luas dalam karyanya yang berjudul Tahzib al-Akhlâq. Dalam kitab tersebut, ia menegaskan bahwa akhlak adalah suatu keadaan jiwa dan keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir dan dipertimbangkan terlebih dahulu.30 Ia membagi asal keadaan jiwa ini menjadi dua jenis, yaitu alamiah dan bertolak dari watak, dan tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Menurutnya, akhlak itu alami sifatnya, namun akhlak juga dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasehat-nasehat yang mulia. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus menerus akan menjadi akhlak.31 Dengan demikian, sesuai dengan definisi tersebut, akhlak anak usia dini bertolak dari wataknya dan ia dapat berubah melalui latihan dan pembiasaan. Berdasarkan karya Ibn Miskawaih, setidaknya ada tiga tujuan pendidikan akhlak. Pertama. Mencetak tingkah laku manusia yang baik, sehingga manusia itu dapat berperilaku terpuji dan sempurna sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia. Kedua. Mengangkat

Abdurrahman Badawi, “Miskawaih,” dalam M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1963), h. 469-470; Corbin, History of Islamic Philosophy, h. 176. 27 William Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theology (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985), h. 1985), h. 70-71. 28 Anwar Jundi, Pancaran Pemikiran Islam, terj. Afif Mohammad (Bandung: Pustaka, 1985), h. 131. 29 Muhammad Syarif Khan dan Muhammad Anwar Salim, Muslim Philosophy and Philosophers (New Delhi: SB Nangia, 1994), h. 67. 30 Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, trans. CK Zurayk (Beirut: American University Press, 19680, h. 6-7; Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Daras Pertama Tentang Filsafat Etika, terj. Helmi Hidayat (Bandung: Mizan, 1997), h. 56; Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan (Jakarta: Imperial Bhakti Utama, 2007), h. 21; Alawi, Muslim Educational, h. 31. 31 Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, h. 6-7. 26

402


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

manusia dari derajat yang paling tercela, derajat yang dikutuk oleh Allah SWT. Ketiga. Mengarahkan manusia menjadi manusia yang sempurna (al-insân al-kâmil).32 Dalam konteks ini, tujuan pendidikan akhlak anak usia dini adalah menumbuhkan dan membentuk perilaku mulia dalam diri anak agar dapat menjadi manusia sempurna, sehingga anak dapat menjadi manusia mulia di hadapan Allah SWT. Ibn Miskawaih telah menegaskan bahwa kesempurnaan manusia memiliki hierarki. Kesempurnaan manusia terdiri atas dua macam: kesempurnaan kognitif dan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan kognitif akan terwujud apabila manusia mendapatkan banyak ilmu sehingga pandangan dan kerangka berpikir manusia menjadi benar. Sedangkan kesempurnaan praktis ialah kesempurnaan akhlak. Dalam hal ini, kesempurnaan kognitif berkenaan dengan kesempurnaan praktis. Kesempurnaan teoritis tidak lengkap tanpa kesempurnaan praktis, dan kesempurnaan praktis tidak lengkap tanpa kesempurnaan teoritis, karena Islam menghendaki ilmu sebagai permulaan dan perbuatan sebagai akhir. Dalam hal ini, kesempurnaan manusia terwujud manakala kesempurnaan teoritis dan praktis saling mendukung.33 Dalam perspektif ini, kesempurnaan anak usia dini sebagai seorang manusia terletak pada kemampuan anak mencapai kesempurnaan kognitif (ilmu) dan kesempurnaan praktis (akhlak). Artinya, ilmu dan akhlak menjadi indikator kesempurnaan seorang anak. Konsep Ibn Miskawaih tentang manusia sempurna (al-insân al-kâmil) dapat dilacak dalam kitab Tahzîb al-Akhlâq. Ia menulis bahwa manusia terdiri atas dua unsur: tubuh dan jiwa. Tubuh manusia terdiri atas materi dan bentuk. Tubuh manusia dan segala potensinya memeroleh ilmu pengetahuan melalui panca indera. Karenanya, tubuh membutuhkan inderanya. Selain itu, tubuh juga memiliki keinginan terhadap hal-hal yang bersifat inderawi. Apabila keinginan tersebut terpenuhi, maka kekuatan tubuh akan bertambah dan tubuh akan menjadi sempurna. Sementara itu, jiwa tidak cocok dengan hal-hal material. Apabila jiwa berhasil menjauhi hal-hal material, maka ia akan semakin sempurna. Dalam hal ini, jiwa memiliki kecenderungan kepada selain hal-hal material. Jiwa mendambakan sesuatu hal yang lebih mulia dari hal-hal material. Jiwa ingin menjauhkan diri dari segala kenikmatan jasmani, dan berharap memeroleh kenikmatan akal. Kesenangan jiwa adalah bahwa ia ingin mengetahui hakikat Ketuhanan.34 Dengan demikian, secara substansi, tubuh dan jiwa berbeda, dan keduanya memiliki perbedaan kecenderungan. Dengan kata lain, menurut Ibn Miskawaih, karena manusia terdiri atas dua unsur (tubuh dan jiwa), maka kebahagiaan meliputi kedua unsur tersebut. Artinya, kebahagiaan terdiri atas dua tingkat, yakni kebahagiaan jasmani dan kebahagiaan jiwa. Menurutnya, kebahagiaan seorang manusia berada pada salah satu dari dua tingkatan tersebut. Pertama.

Ibid, h. 60-63. Ibid, h. 64-65. 34 Ibid., h. 35-37; Alawi, Muslim Educational, h. 29. 32 33

403


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Ketika manusia itu berada pada tingkatan hal-hal jasmani menyatu dengan keadaan-keadaan rendah mereka dan berbahagia di dalamnya. Keadaan-keadaan rendah ini diartikan sebagai segala hal yang dapat dijangkau oleh indera. Kedua, ketika manusia itu mencari hal-hal mulia, berupaya mendapatkan, menyukai, dan merasa puas dengannya. Ketika manusia itu berada pada tingkatan ruhani, dekat dengan hal-hal spiritual, dan berbahagia di dalamnya. Bersamaan dengan ini, manusia mengamati dan menelaah hal-hal material, mengambil pelajaran darinya, merenungkan tanda-tanda kebesaran Ilahi dan bukti-bukti kearifan, mengikuti contoh-contohnya, mengaturnya, melimpahkan bermacam-macam kebaikan padanya, dan memandunya memeroleh kebaikan demi kebaikan sebatas kesanggupannya. Jadi, seorang manusia akan bahagia bila ia berada pada salah satu dari dua tingkatan itu.35 Tetapi, menurut Ibn Miskawaih, kesempurnaan manusia itu terletak pada kebahagiaan jiwa, bukan kebahagiaan jasmani.36 Dalam hal ini, pendidik, baik orangtua maupun guru, bertugas membimbing anak agar meraih kebahagiaan jiwa dengan melatih untuk tidak tergantung kepada dan mulai meminimalisir kebahagiaan jasmani, sebab akhlak mulia akan tumbuh sepanjang anak hanya lebih memerhatikan kebahagiaan jiwa daripada kebahagiaan jasmani. Ibn Miskawaih membagi kekuatan jiwa seorang manusia menjadi tiga jenis: kekuatan akal (al-quwwah al-nâthiqah/the rational faculty), kekuatan syahwat (al-quwwah syahwiyyah/ the concupiscent faculty), dan kekuatan ghadab (al-quwwah al-ghadabiyyah/the irascible faculty). Al-quwwah al-nathiqah adalah sebuah fakultas yang berkaitan dengan berpikir dan mempertimbangkan sesuatu. Fakultas ini dinamakan fakultas raja dan fakultas ini menggunakan otak sebagai sarananya. Sementara al-quwwah syahwiyyah adalah sebuah fakultas yang berkaitan dengan marah, berani, ingin berkuasa, menghargai diri, dan menginginkan kehormatan. Fakultas ini dinamakan fakultas binatang dan organ tubuh yang digunakannya adalah hati. Kemudian, al-quwwah al-ghadabiyyah adalah sebuah fakultas yang berkenaan dengan nafsu syahwat dan makan, keinginan pada nikmatnya makanan dan minuman, serta bersetubuh. Fakultas ini dinamakan fakultas binatang buas dan menggunakan organ jantung adalah sarananya.37 Para pendidik harus memahami dengan benar bahwa anak usia dini sebagai manusia memiliki ketiga kekuatan jiwa ini dan mereka harus mengetahui fungsi serta kekuatan dan kelebihan setiap kekuatan, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan pembentukan akhlak anak. Ibn Miskawaih menghendaki jiwa anak menjadi jiwa sempurna. Kesempurnaan jiwa akan tersebut terletak pada kecenderungannya kepada jiwa itu sendiri, yakni ilmu, dan tidak cenderung pada keinginan jasmani. Kebajikan jiwa diukur dari sejauh mana jiwa anak mengupayakan kebajikan dan menginginkannya. Kesempurnaan ini akan terus meningkat ketika jiwa anak memperhatikan jiwanya sendiri serta berusaha keras Ibid, h. 95-97. Ibid, h. 64-65. 37 Ibid, h. 43-44; Alawi, Muslim Educational Thought, h. 30. 35 36

404


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

menyingkirkan segala rintangan bagi pencapaian tingkat kesempurnaan ini. Tetapi, Ibn Miskawaih mengakui bahwa pencapaian tingkat kesempurnaan ini memiliki banyak penghambat. Penghambat ini tidak lain adalah segala hal yang bersifat jasmani dan inderawi. Apabila penghambat ini berhasil dihadapi oleh jiwa anak sehingga suci dari segala perbuatan tercela, maka kesempurnaan akan tercapai.38 Jadi, kesempurnaan jiwa anak akan terwujud manakala jiwanya telah suci dari nafsu jasmani. Dengan begitu, pendidik harus membimbing dan memotivasi anak agar cenderung kepada ilmu dan kecenderungan tersebut hanya akan muncul manakala anak tidak cenderung kepada kenikmatan jasmani. Karenanya, pendidik harus mulai sejak dini mengurangi ketergantungan anak terhadap kenikmatan jasmani karena ketergantungan tersebut akan mengurangi anak cinta terhadap ilmu, dan pada akhirnya, jiwa anak tidak akan mencapai kesempurnaan. Jadi, pendidik harus mulai menyucikan jiwa anak dari nafsu jasmani dan hal ini menjadi syarat mutlak pembentukan akhlak anak. Menurut Ibn Miskawaih, jiwa anak akan bisa menjadi sempurna manakala jiwanya berhasil melahirkan kebajikan-kebajikan. Menurutnya, tiga kekuatan jiwa manusia, yakni al-quwwah al-n창thiqah, al-quwwah syahwiyah, dan al-quwwah ghad창biyah, mampu melahirkan berbagai sifat keutamaan, asalkan al-quwwah al-n창thiqah mampu menjadi pemimpin dari dua kekuatan jiwa lainnya (al-quwwah syahwiyah dan al-quwwah gh창dabiyah). Adapun jumlah keutamaan tersebut adalah sama dengan jumlah kekuatan jiwa manusia dan kebalikan dari keutamaan-keutamaan ini. Menurut Ibn Miskawaih, ketika jiwa berpikir cenderung kepada ilmu, maka jiwa ini akan mencapai sikap arif. Kemudian, ketika aktifitas jiwa kebinatangan dikendalikan oleh jiwa berpikir, dan jiwa itu tidak tenggelam dalam memenuhi keinginannya sendiri, maka jiwa ini akan mencapai kebajikan sikap sederhana yang diiringi oleh kebajikan dermawan. Sedangkan ketika jiwa amarah memadai dan mematuhi segala aturan yang ditetapkan oleh jiwa berpikir serta tidak bangkit pada waktu yang tidak tepat, maka jiwa ini akan mencapai kebajikan sikap sabar yang diiringi kebajikan sikap berani. Dari ketiga kebajikan itu, akan muncul satu kebajikan lain sebagai pelengkap dan penyempurna tiga kebajikan itu, yakni kebajikan sifat adil dan sikap adil ini berhubungan dengan tepat antara kebajikan satu dengan kebajikan lainnya.39 Dengan demikian, kesempurnaan jiwa manusia terletak pada sejauh mana jiwa manusia memunculkan empat keutamaan (kebajikan) manusia, yakni sikap arif, sederhana, berani, dan adil. Dalam konteks ini, maka pendidik harus melatih sejak dini kekuatan akal anak sehingga akal menjadi pemimpin dan pengendali jiwa kebinatangannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara membiasakan anak untuk cenderung dan cinta kepada ilmu sejak dini sehingga anak akan mulai menjadi arif, sederhana, berani dan adil. Menurut Ibn Miskawaih, keempat keutamaan ini memiliki lawannya. Lawan dari keempat keutamaan ini ada empat, yakni bodoh, rakus, pengecut dan lalim. Keempat 38 39

Ibid, h. 39. Ibid, h. 44.

405


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 sifat ini dapat dikatakan sebagai penyakit jiwa dan menimbulkan banyak kepedihan seperti perasaan takut, sedih, marah, berbagai jenis cinta, dan keinginan.40 Dengan melatih akal anak, dan memulai serta terus menanamkan kecintaan kepada ilmu ke dalam dirinya, dengan melatih anak untuk mengurangi dan menikmati nafsu jasmani, maka anak akan memiliki keutamaan-keutamaan tersebut dan menghancurkan lawan-lawan dari semua keutamaan tersebut. Dalam kitab TahzÎb al-Akhlâq, Ibn Miskawaih telah memberikan definisi dari empat keutamaan tersebut, dan berbagai macam dari keempat keutamaan itu. Pertama. Kearifan adalah keutamaan dari jiwa berpikir dan mengetahui. Kearifan ini memiliki bagian-bagian seperti pintar, ingat, berpikir, cepat memahami dan benar pemahamannya, jernih pikiran, serta mampu belajar dengan mudah. Kedua. Sederhana adalah keutamaan dari bagian hawa nafsu. Ketiga. Keberanian adalah keutamaan jiwa amarah. Keberanian ini dibagi menjadi beberapa bagian, yakni besar jiwa, ulet, tegar, tabah, menguasai diri, perkasa serta ulet dalam bekerja. Sederhana ini memiliki bagian-bagian yakni rasa malu, tenang, dermawan, integritas, puas, loyal, berdisiplin diri, optimis, kelembutan, anggun berwibawa dan warak. Keempat. Keadilan adalah kebajikan jiwa yang timbul akibat menyatunya tiga kebajikan tersebut. Keadilan ini dibagi atas beberapa bagian, yakni bersahabat, bersemangat, sosial, silaturahmi, memberi imbalan, bersikap baik dalam kerjasama, jeli dalam memutuskan masalah, cinta kasih, beribadah, jauh dari rasa dengki, memberi imbalan terbaik meski sedang ditimpa keburukan, berpenampilan lembut, berwibawa dalam segala bidang, menjauhkan diri dari bermusuhan, tidak menceritakan hal yang tidak layak, mengikuti orang-orang yang berkata dengan benar, tidak bicara tentang sesama Muslim bila tidak ada kebaikannya, menjauhi diri dari kata-kata buruk, tidak suka banyak bicara apalagi untuk menjatuhkan seseorang, tidak peduli pada perkataan orang kikir waktu berbicara di depan umum, mendalami masalah seseorang yang perlu dibantu, dan mengulang pertanyaan bila belum jelas.41 Dengan demikian, tiga kekuatan jiwa manusia tersebut mampu melahirkan empat keutamaan dan turunan dari empat keutamaan tersebut manakala kekuatan berpikir menjadi pengendali dua kekuatan jiwa lain. Artinya, pendidik harus mampu mendidik kekuatan berpikir (akal) anak agar mampu mengendalikan dua kekuatan jiwa anak lainnya. Ibn Miskawaih menegaskan bahwa berbagai keutamaan tersebut juga tidak akan bisa dicapai manakala anak diasingkan dari masyarakat. Sebab, keutamaan-keutamaan itu hanya akan diperoleh manakala anak tersebut bersosialisasi dengan masyarakat. Anak memerlukan sebuah komunitas terbaik agar ia bisa mencapai kebahagiaan. Seorang anak harus bergaul dengan manusia lain sebab mereka akan dapat melengkapi eksistensinya serta kemanusiaannya. Tanpa berinteraksi dengan suatu masyarakat, maka anak itu

40 41

Ibid, h. 45. Ibid, h. 45-50.

406


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

tidak akan mampu memiliki dan membiasakan keutamaan.42 Tetapi, anak harus berada dalam masyarakat yang berakhlak, karena hal tersebut dapat menjadi sarana bagi anak untuk mengenal akhlak mulia, apalagi setiap anak suka meniru orang dewasa.

Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 pasal 28 menjelaskan bahwa pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar baik melalui jalur pendidikan formal (sekolah), nonformal (masyarakat), maupun informal (keluarga). Pendidikan anak usia dini ini diselenggarakan untuk anak, sejak lahir sampai berusia enam tahun.43 Dengan pendidikan anak usia dini ini, diharapkan seluruh potensi anak dapat berkembang dengan baik, baik potensi jasmani maupun ruhaninya. Dalam periode ini, pembentukan akhlak seorang anak sangat penting. Kegagalan Sejumlah lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yang salah satunya adalah akhlak mulia, adalah karena pendidikan keluarga gagal dalam menjalankan perannya dalam menanamkan akhlak mulia sejak dini. Semestinya, akhlak mulia mulai diajarkan dan dibiasakan oleh anak sejak berusia dini, bukan ketika anak tersebut sudah beranjak dewasa. Dalam hal ini, Ibn Miskawaih telah memberikan pedoman-pedoman tentang pendidikan akhlak anak berusia dini. Menurutnya, seorang pendidik, baik orangtua maupun guru, harus memahami bahwa jiwa seorang anak ibarat sebagai mata rantai antara jiwa binatang dengan jiwa manusia berakal. Pada jiwa anak-anak, jiwa binatang berakhir, sementara jiwa manusia mulai muncul. Karenanya, anak-anak harus dididik mulai dengan menyesuaikan rencana-rencananya dengan urutan daya-daya yang ada pada anak-anak, yakni daya keinginan, daya marah, dan daya berpikir. Dengan daya keinginan, anak-anak dididik dalam hal adab makan, minum dan berpakaian. Sementara daya berani diterapkan untuk mengarahkan daya marahnya. Sedangkan daya berpikir dilatih dengan menalar, sehingga anak akan dapat mengendalikan berbagai tingkah laku.44 Ibn Miskawaih menyatakan bahwa seorang pendidik, baik orangtua maupun guru, harus menyadari bahwa akhlak anak-anak muncul sejak awal pertumbuhannya. Mereka tidak akan menutupi setiap perilakunya secara sengaja dan sadar, sebagaimana dilakukan orang dewasa. Seorang anak terkadang merasa malas untuk memperbaiki akhlaknya. Akhlak mereka juga bervariasi, mulai dari yang berkarakter keras sampai yang berkarakter pemalu. Kadang-kadang, akhlak anak-anak itu baik, tetapi ada juga yang berakhlak buruk seperti kikir, keras kepala dan dengki. Keberadaan berbagai karakter anak ini menjadi bukti Ibid, h. 54; Khan dan Salim, Muslim Philosophy, h. 68. Lihat UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, h. 9, 30. 44 Ibn Miskawaih, The Refinement of Character, h. 60; Alawi, Muslim Educational Thought, h. 32-33. 42 43

407


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 bahwa anak-anak memiliki tingkatan karakter yang tidak sama. Dengan kata lain, sebagian mereka tanggap dan sebagian lainnya tidak, sebagian mereka lembut dan sebagian lagi keras, sebagian mereka baik dan sebagian lain buruk, dan sebagian mereka berada pada posisi tengah di antara dua kubu ini. Sebagai pendidik, maka orangtua dan guru harus mendisiplinkan akhlak mereka. Jika berbagai tabiat buruk diabaikan, tidak didisiplinkan bahkan tidak dikoreksi, maka mereka akan tumbuh berkembang mengikuti tabiat buruknya tersebut. Selama hidupnya, kondisi akhlaknya tidak akan berubah dan mereka akan memuaskan diri sesuai dengan selera tabiatnya.45 Dengan demikian, pendidik mesti mendisiplinkan akhlak anak sejak usia dini, sebab pembiaran terhadap tabiat anak akan membuat mereka terbiasa dengan tabiat buruk. Dalam hal ini, seorang pendidik harus menyadari bahwa jika seorang anak sudah dididik dengan kenikmatan jasmani sejak usia dini, sehingga jiwa dan raganya telah terbiasa dengan hal-hal yang bersifat jasmani itu, maka hal ini sangat membahayakan anak. Pendidik hendaknya mengajari anak bahwa semua kesenangan dan kenikmatan jasmani tersebut sebagai kesengsaraan dan kerugian, bukan sebagai kebahagiaan dan keberuntungan. Pendidik hendaknya mengajari anak agar menjauhkan dirinya dari kenikmatan jasmani secara perlahan-lahan.46 Dengan demikian, seorang pendidik harus mampu memahami jiwa anak-anak secara umum. Pendidik harus paham bahwa seorang anak memiliki sifat pemalu. Ia akan menundukkan kepalanya ke bawah dan takut, serta tidak berani menatap wajah orang dewasa. Sebab mereka sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk. Rasa malunya itu merupakan pengekangan diri yang terjadi karena anak itu khawatir jika ada keburukan yang muncul dari dalam dirinya. Jiwa seperti ini siap menerima pendidikan dan cocok untuk dibina.47 Bila demikian, pendidik harus mulai membina dan membiasakan anak dengan akhlak mulia. Kemudian, Ibn Miskawaih memberikan pedoman bahwa syariat agama dapat menjadi faktor penting lain untuk meluruskan akhlak seorang anak. Syariat agama dapat membiasakan anak untuk melakukan perbuatan yang baik. Syariat agama mampu mempersiapkan diri anak untuk menerima kebijaksanaan, mengupayakan kebajikan dan mencapai kebahagiaan melalui berpikir dan penalaran yang benar. Sebagai pendidik, orangtua dan guru harus mendidik anak-anak agar selalu menaati syariat agama agar mereka memiliki tingkah laku yang baik. Hal ini dilakukan melalui nasehat, serta pemberian ganjaran dan hukuman. Jika anak telah membiasakan diri dengan perilaku ini, dan kondisi ini terus berlangsung lama, maka mereka akan melihat hasil dari perilaku mereka itu.48 Dalam

Ibid, h. 50. Ibid, h. 70-71. 47 Ibid, h. 72. 48 Ibid, h. 59-60. 45 46

408


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

hal ini, seorang pendidik hendaknya mendidik anak untuk senantiasa mengikuti syariat agama agar terbiasa mengerjakan kewajiban-kewajiban agama, membaca buku-buku akhlak agar akhlak mulia terinternalisasi secara baik dalam dirinya melalui dalil-dalil rasional, dan mempelajari matematika sehingga terbiasa dengan perkataan dan argumentasi yang benar dan tepat. Ibn Miskawaih memberikan pedoman lain bahwa seorang pendidik, baik orangtua maupun guru, harus mengetahui kekurangan-kekurangan tubuh dan jiwa dengan berbagai kebutuhannya, agar dapat melenyapkan berbagai kekurangan tersebut dalam diri anak serta dapat memperbaikinya. Seorang pendidik harus mengetahui kekurangan-kekurangan jasmani dan kebutuhan-kebutuhan primernya untuk dapat melenyapkan kekurangankekurangan itu serta memperbaikinya. Kebutuhan-kebutuhan jasmani seorang anak antara lain makanan, minuman dan pakaian. Karena itu, seorang pendidik harus mengarahkan anak-anaknya agar memenuhi kebutuhan jasmaninya dengan arif. Pendidik harus mengajarkan anak agar jangan melampaui batas dalam memenuhi kebutuhan tubuhnya. Dalam konteks jiwa, maka seorang pendidik harus mengetahui kekurangan-kekurangan jiwa dan kebutuhan-kebutuhan dasarnya untuk dapat melenyapkan berbagai kekurangan tersebut lalu memperbaikinya. Kebutuhan-kebutuhan jiwa tersebut antara lain pengetahuan, mendapatkan objek-objek pikiran, membuktikan kebenaran pendapat, dan menerima kebenaran. Seorang pendidik harus mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan jiwa anak ini, serta mengetahui kekurangan dan melenyapkan kekurangan tersebut.49 Dalam hal ini, menurut Ibn Miskawaih, seorang pendidik juga harus mampu menjauhkan diri anak dari berbagai penyakit jiwa. Pendidik harus mampu mengidentifikasi pelbagai penyakit jiwa serta cara penyembuhannya. Penyakit-penyakit jiwa itu tidak lain adalah lawan dari kebajikan-kebajikan jiwa. Penyakit-penyakit jiwa itu adalah seperti bodoh, rakus, pengecut, dan lalim. Ibn Miskawaih membagi lagi kejahatan dan kehinaan menjadi delapan bagian. Jumlah ini dua kali jumlah kebajikan yang empat. Kedelapan bagian itu adalah sembrono, pengecut, memperturutkan hawa nafsu, bodoh, tolol, lalim, dan berwatak budak. Kedelapan penyakit jiwa anak ini, sebagai tanda keburukan jiwa, sangat bertolak belakang dengan empat kebajikan sebagai tanda kesehatan jiwa.50 Ibn Miskawaih menegaskan bahwa penyakit jiwa manusia memiliki bentuk-bentuk yang lain. Pertama. Sifat marah. Penyebab marah ini adalah sombong, cekcok, mental peminta, canda tawa, mengolok-olok, mengejek, berkhianat, suka kemasyhuran dan bersaing diri. Sifat marah ini menimbulkan hal-hal buruk seperti menyesal, mengharap dihukum cepat atau lambat, perubahan tempramen serta kepedihan. Sifat marah ini dapat disembuhkan dengan cara menyingkirkan sebab-sebab marah, melemahkan daya marah, mencabut

49 50

Ibid, h. 669-670 Ibid, h. 162-195.

409


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 substansi marah dan melindungi diri dari akibat-akibatnya. Selain itu, sifat marah dapat disembuhkan melalui cara menghentikan sikap melampaui batas. Kedua. Sifat takut. Sifat ini disebabkan oleh sejumlah hal, yakni merasa bakal terjadi sesuatu yang buruk, serta takut pada kejadian-kejadian yang akan terjadi. Sebenarnya kejadian ini baru sebatas kemungkinan saja sehingga bisa terjadi dan bisa tidak terjadi. Karena itu jangan ditetapkan di dalam hati bahwa hal itu pasti terjadi, karena hal ini membuat takut. Selain itu, sifat takut disebabkan oleh pilihan buruk dan dosa sendiri. Hal ini dapat disembuhkan dengan jalan mengekang diri untuk tidak mengulangi perbuatan itu, tidak melakukan perbuatan bahaya, dan meninggalkan semua perbuatan keji. Ketiga. Sifat sedih. Sifat ini disebabkan oleh hilangnya sesuatu yang sangat disukai atau gagal mendapatkan sesuatu yang dicari. Hal ini karena seseorang serakah, mengikuti nafsu jasmani, dan merasa rugi ketika salah satu dari itu semua gagal diperoleh. Penyembuhannya dilakukan melalui memberikan pemahaman tentang hakikat dirinya dan menjelaskan bahwa seluruh alam semesta akan hancur karena tidak kekal. Jika hal ini telah dilakukan, maka seseorang yang terkena penyakit sedih hati tidak akan sedih lagi. Jika sudah demikian, maka ia akan mengarahkan tujuannya bukan kepada hal-hal jasmaniah lagi, melainkan ke tujuan-tujuan suci dan hanya mencari kebaikan-kebaikan kekal saja.51 Dalam hal ini, Ibn Miskawaih menghendaki agar seorang pendidik menjauhkan anak dari berbagai penyakit jiwa ini dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab dan solusi mengatasi berbagai penyakit jiwa tersebut. Selain itu, Ibn Miskawaih telah memberikan pedoman bahwa seorang pendidik, baik orangtua maupun guru, harus menyadari bahwa kehidupan utama anak-anak memerlukan dua syarat, yakni syarat kejiwaan dan syarat sosial. Kedua syarat tersebut akan diuraikan di bawah ini:

Syarat Kejiwaan Menurut Ibn Miskawaih, syarat kejiwaan adalah upaya menumbuhkan watak cinta anak usia dini terhadap kebaikan. Penumbuhan watak cinta tersebut sangat mudah bagi anak yang berbakat baik, tetapi sulit bagi anak-anak tidak berbakat. Bagi anak yang tidak berbakat, penumbuhan watak cinta anak usia dini tersebut bisa dilakukan dengan cara latihan dan pembiasaan diri agar cenderung pada kebaikan.52 Dengan demikian, seorang pendidik, baik orangtua maupun guru, harus mulai mengajari, melatih dan membiasakan anak agar suka melakukan kebaikan sejak dini. Ibn Miskawaih memberikan beberapa cara praktis mengenai pembiasaan dalam melakukan kebaikan kepada anak usia dini. Pertama, pendidik harus membiasakan anak

51 52

Ibid, h. 162-195. Ibid., h. 60.

410


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Kedua, seorang pendidik harus mengajari anak agar berpakaian baik dan sesuai dengan jenis kelaminnya serta memakai pakaian putih. Ketiga, pendidik hendaknya memerintahkan seorang anak agar menghapal pelajaranpelajaran dan syair-syair berkenaan dengan sikap terpuji. Keempat, pendidik hendaknya mengajari anak tentang adab makan dan minum yang baik, terutama mengajari anak bahwa tujuan makan adalah bukan demi kenikmatan semata, melainkan demi kesehatan. Makan tidak boleh berlebihan dan melampaui batas. Pendidik harus memberi anak banyak makan pada malam hari, sebab makan pada siang hari akan membuat anak menjadi malas, mengantuk dan otaknya menjadi lamban. Kelima, pendidik hendaknya mengajari anak agar tidak menyembunyikan perbuatan buruknya. Keenam, pendidik harus mengajari anak agar anak itu tidak tidur terlalu lama dan tidur di tempat mewah, karena akibatnya membuat otak anak menjadi tumpul dan mematikan pikirannya. Pendidik harus membiasakan anak hidup sederhana. Ketujuh, pendidik harus mengajari anak berolah raga seperti berjalan, bergerak dan berkuda. Pendidik harus mengajari anak agar tidak berjalan secara tergesa-gesa dan tidak bersikap angkuh. Kedelapan, pendidik harus mengajari anak agar tidak memanjangkan rambut bila anak tersebut laki-laki, tidak boleh memakai pakaian yang tidak sesuai dengan jenis kelaminnya, tidak boleh memakai perhiasan, tidak membanggakan kedua orangtuanya, tidak boleh sombong, dan keras hati. Kesembilan, pendidik harus mengajari anak agar tidak meludah, menguap dan membuang ingus ketika sedang bersama orang lain. Pendidik harus membiasakan anak tidak berbohong dan tidak boleh bersumpah. Kesepuluh, pendidik harus mengajari anak agar membiasakan untuk tidak banyak bicara dan hanya menjawab pertanyaan. Hendaknya anak itu mendengarkan kata-kata orangtua dan diam di hadapan orang dewasa. Anak diajari agar tidak berkata kotor, sumpah, menuduh, dan bicara senonoh. Anak harus dibiasakan dengan kata-kata baik dan bermuka manis kepada orang lain. Anak mesti diajari untuk mandiri. Kesebelas, pendidik harus mengajari anak agar ketika dipukul guru tidak boleh mengadu dan tidak boleh meminta perlindungan orang lain, karena tindakan itu hanya pantas dilakukan para budak. Keduabelas, pendidik tidak boleh menakuti anak. Anak harus diberi semangat, dan diberikan hadiah bila berbuat baik. Upayakan mereka agar mereka benci kepada perhiasan dan agar mereka lebih takut pada keduanya ketimbang takut pada hewan buas. Ketigabelas, pendidik harus membiasakan anak agar taat kepada orangtua dan gurunya, dan memperkenankan anak bermain dengan permainan baik. Keempatbelas, pendidik harus memuji anak ketika anak tersebut melakukan kebaikan dan akhlak mulia.53 Dalam hal ini, gagasan Ibn Miskawaih tentang cara membiasakan anak melakukan kebaikan mesti dilakukan sedini mungkin, sebelum anak beranjak dewasa.

53

Ibid, h. 162-195; Alawi, Muslim Educational, h. 34.

411


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Syarat Sosial Menurut Ibn Miskawaih, syarat sosial adalah bahwa pendidik harus memilih temanteman terbaik untuk anak berusia dini. Caranya adalah dengan menjauhkan anak dari lingkungan pergaulan dengan teman-temannya yang berakhlak buruk dan menjauhkan anak dari lingkungan keluarga pada saat-saat tertentu, dan memasukkan mereka ke lingkungan sosial yang baik.54 Karena itu, pendidik harus memilih teman bergaul yang berakhlak mulia untuk anaknya. Seorang anak tidak boleh dibiarkan bergaul dengan orangorang yang berakhlak tercela, karena orang-orang seperti itu akan merusak jiwanya. Sebab, jiwa anak masih begitu sederhana karena belum mampu menerima gambar apa pun dan belum mempunyai pendapat untuk mengubahkan dari satu keadaan kepada keadaan lain. Jika jiwa anak itu telah menerima perilaku tertentu, maka anak ini akan tumbuh sesuai dengan jiwa seperti perilaku yang diterimanya. Sebab itu, jiwa seorang anak harus diupayakan agar mencintai kebaikan dan membenci keburukan.55 Dalam hal ini, salah satu metode dari Ibn Miskawaih dalam mendidik jiwa agar menjadi sempurna adalah tidak bergaul dengan orang-orang yang jiwanya tidak berakhlak. Jika seseorang ingin mendidik jiwanya, maka orang tersebut harus menjauhi orangorang keji, suka berbuat dosa, bangga, dan tenggelam dalam dosa. Bergaul dengan orangorang seperti mereka akan membuat jiwa anak menjadi kotor, dan jiwa kotor tidak dapat dibersihkan kecuali melalui waktu yang sangat lama. Karenanya, seseorang harus bergaul dengan orang yang berjiwa mulia, suka mencari dan ingin memiliki kebajikan, rindu dan suka kepada ilmu.56 Prinsip dasar ini menghendaki bahwa seorang pendidik harus menjauhkan anak dari orang-orang yang berakhlak tercela dan mereka hanya boleh bergaul dengan orang-orang yang berakhlak mulia dan berilmu.

Penutup Pendidikan nasional memiliki tujuan mulia dan ideal. Sistem pendidikan nasional hendak mewujudkan peserta didik yang beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pemerintah Indonesia telah menelurkan banyak kebijakan demi mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut, meskipun capaian-capaian pemerintah belum menuai hasil maksimal. Buktinya, pembangunan akhlak anak bangsa masih menjadi sebuah problem pendidikan tersendiri dan belum terselesaikan. Perumusan konsep pendidikan karakter yang disponsori oleh Kementerian Pendidikan Nasional menjadi agenda penting belakangan ini demi mewujudkan anak bangsa yang berkarakter. Namun konsep ini baru beberapa tahun saja dicetuskan, sehingga hasilnya belum bisa dilihat. Ibid., h. 60. Ibid, h. 72-74. 56 Ibid, h. 162-164. 54 55

412


Rosnita: Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

Dalam perspektif pendidikan Islami, gagasan pendidikan karakter (akhlak) telah lama digagas oleh Ibn Miskawaih. Dalam hal ini, lembaga-lembaga pendidikan Islam seharusnya telah lama memainkan peranan dalam membentuk karakter anak bangsa, mengingat gagasan akhlak Ibn Miskawaih telah lama dikenal oleh pendidik-pendidik Muslim. Namun, gagasan tersebut kurang direalisasikan secara baik, sehingga lembagalembaga pendidikan Islam modern belum begitu sukses melahirkan peserta didik yang berkarakter mulia. Deskripsi pembentukan akhlak anak usia dini menurut Ibn Miskawaih memberikan pelajaran bahwa pendidik Muslim, baik orangtua maupun guru, harus mampu menanamkan dan membiasakan akhlak mulia dalam diri anak sejak dini. Terlebih dahulu, para pendidik harus memahami hakikat kejiwaan anak-anak, lalu mulai mengajarkan, menanamkan dan membiasakan akhlak mulia dalam diri mereka. Poin penting dari gagasan Ibn Miskawaih adalah bahwa pengajaran, nasehat, pembiasaan, pendisiplinan, pemberian hukuman dan ganjaran sangat penting dilakukan oleh pendidik kepada anak sejak dini. Dalam hal ini, pendidik harus mulai mengajari dan membiasakan anak untuk berakhlak mulia dan menjauhi akhlak tercela, membiasakan anak untuk mulai menaati syariat agama, dan tidak membiarkan anak hidup bersama dengan manusia-manusia yang tidak berakhlak. Mendidik akhlak anak sejak usia dini akan lebih berhasil daripada mendidik anak ketika sudah beranjak remaja.

Pustaka Acuan Alawi, SM. Ziauddin. Muslim Educational Thought in Middle Ages. New Delhi: Adam Publishers and Distributors, 1988. Al Rasyidin. “Isu-isu Krusial dalam Pendidikan Nasional: Belajar Memetakan Masalah,” dalam Jurnal Pemikiran Islam dan Kependidikan al-Ta’lim, Vol. XII, No. 22, 2005. Azmi, Fachruddin. “Sertifikasi Guru: Telaah Urgensinya terhadap Kompetensi dan Profesionalisme Guru Agama,” dalam MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman, Vol. XXXIII, No. 1, Januari-Juni 2009. Amîn, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak), terj. Farid Ma’ruf. Jakarta: Bulan Bintang, 1986. Amîn, Ahmad. Zuhr al-Islâm, Juz II. Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arâbî, 1969. Basyir, Ahmad Azhar. Ibn Miskawaih: Riwayat Hidup dan Filsafatnya. Yogyakarta: Nur Cahaya, 1988. Badawi, Abdurrahman. “Miskawaih,” dalam M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I. Wiesbaden: Otto Harrosowitz, 1963. Corbin, Henry. History of Islamic Philosophy. London: Kegan Paul, 1983. De Boer, T.J. The History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publication, t.t. Dahlan, Abdul Aziz. “Filsafat,” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003. 413


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. “Ibn Miskawaih,” dalam Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003. Iqbal, Muhammad. Metafisika Persia, terj. Joebar Ayoeb. Bandung: Mizan, 1990. Ibn Miskawaih. The Refinement of Character, trans. CK Zurayk. Beirut: American University Press, 1968. Ibn Miskawaih. Menuju Kesempurnaan Akhlak: Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika, terj. Helmi Hidayat. Bandung: Mizan, 1997. Jum‘ah, M. Luthfi. Tarîkh Falsafah al-Islâm. Mesir: t.p., 1927. Jundi, Anwar. Pancaran Pemikiran Islam, terj. Afif Mohammad. Bandung: Pustaka, 1985. Khan, Muhammad Syarif dan Muhammad Anwar Salim. Muslim Philosophy and Philosophers. New Delhi: SB Nangia, 1994. Kompas. 21 Oktober 2010. Kompas. 13 April 2012. Kompas. 13 Juni 2010. Kompas. 22 Februari 2012. Labib, Muhsin. Para Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra. Jakarta: Al-Huda, 2005. Leaman, Oliver. “Ibn Miskawaih,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.), The History of Islamic Philosophy. London-New York: Kegan Paul, 2003. Nilandari, Ary. Memahat Kata Memugar Dunia. Bandung: MLC, 2005. Nasr, Seyyed Hossein. Islamic Philosophy from Its Origin to the Present. New York: State University of New York Press, 2006. Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Prasad, Rajendra (ed.). A Historical-Developmental Study of Classical Indian Philosophy of Morals. New Delhi: Center for Studies in Civilizations, 2009. Program Pembangunan Nasional 2000-2004. Jakarta: Sinar Grafika, 2001. Suara Karya. 2 Desember 2011. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Jakarta: Imperial Bhakti Utama, 2007. Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, h. 4. Watt, William Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1985.

414


THE ROLE OF PESANTREN ON THE DEVELOPMENT ISLAMIC SCIENCE IN INDONESIA M. Mujab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maulana Malik Ibrahim Jl. Gajayana No. 50, Malang, 65144 e-mail: mujab_muhammad@yahoo.com

Abstrak: Peran Pesantren dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman di Indonesia. Keberhasilan pesantren dalam mengembangkan ilmu-ilmu keislaman klasik telah memberikan kontribusi konkret bagi perkembangan pendidikan nasional. Akan tetapi, munculnya sekolah formal dan Perguruan Tinggi Islam terutama pasca kemerdekaan menjadikan pesantren harus beradaptasi dengan lingkungan barunya. Studi ini adalah literatur review hasil penelitian pada tiga pesantren: Tebuireng, Tambakberas dan Gontor; bagaimana peran masing-masing dalam mengembangkan ilmu keislaman melalui modernisasi pendidikan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Pesantren Tambakberas dan Tebuireng telah melakukan modernisasi dengan membuka sekolah formal dari tingkat MI dan SMP/MTs. sampai Perguruan Tinggi dan pada saat yang sama tetap menjaga tradisi klasiknya. Sebaliknya pola pendidikan di Pesantren Gontor lebih mudah beradaptasi karena sejak awal pendiriannya telah menerapkan sistem pendidikan Modern. Abstract: The success of Pesantrens in developing Islamic sciences has significantly contributed to the development of national education. However, with the emergence of formal schools and universities, especially in the post-independence era the Pesantrens have to adapt to the novel system. This study is a literature review of research at three Islamic Boarding Schools namely, Pesantren Tebuireng, Tambakberas and Gontor; what role do they play in developing Islamic sciences through modernization of education. The research uncover that Pesantren Tambakberas Bahr Ulum and Tebuireng while maintaining the Islamic tradition each has modernized the educational system by providing formal schools at primary and elementary to university levels. However, adaptation to modern system is much easier for Modern Pesantren Gontor as it has applied modern educational system since the beginning of its establisment.

Keywords: pesantren, Islamic science, Indonesia, education 415


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Introduction One of the most important institutions that have been playing great role in the development of Islamic sciences in Indonesia is called pesantren (traditional Islamic boarding school). Every Indonesian Muslim who wants to study Islam would definitely choose pesantren as the place of study due to its significance. Pesantren is one distinct characteristics of Islamic education in Indonesia. The emphasis of education in pesantren is on the teaching of religious knowledge, the mental and spiritual training of students and social interaction. However, there are some pesantrens that provide some skills to the students like the plantation, husbandry, carpentry and some other skills. In its development, there are some modifications and improvement in the system of education in the pesantren. This is due to the unavoidable contact with the modern system of education. We notice that at present, there are some pesantrens that combine the system of madrasa and pesantren, so it creates a new order in the system of education in the pesantren. Itis important to remember that the contact between these two Islamic educational systems occurred only in the early 70s. The period before the 70s was marked by tendency the two sides to walk separately.1 There are thousands of pesantrens in Indonesia but, for the purpose of this study, we will only discuss some important pesantrens. This is so because the purpose of the study is to describe the important role played by the pesantren as a non-governmental institution in the development of Islam and its influence to the communities in Indonesia. The pesantrens that will be discussed are the pesantrens which are having historical roots and represent the general description of pesantren in Indonesia that includes the system of education used in the pesantren as well as the materials being taught there.

Pondok Pesantren Tebuireng Tebuireng is one important pesantren in Indonesia that has been playing a very important role in the development of Islamic institutions in Indonesia. Besides, the contributions it made by producing many great personalities and ulamas, the Pesantren is also regarded as the pioneer in the establishment of many other pesantrens. Pesantren Tebuireng was founded by KH. Hasyim Asy’ari in 1899. During the periods that have passed by, Pesantren Tebuireng has undergone many changes in its physical appearance as well as its educational system and also the up and downs in the number of students who study there. But one thing should be remembered that in this Pesantren, many ulamas and scholars have been produced. It is also one religious institution that,

Marzuki Wahid, Suwendi, Saefuddin Zulu-I (ed.), Pesantren dan Masa Depan (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), p. 198. 1

416


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

on one hand, can manage to keep its traditional characteristics and on the other, is able to develop new systems of education.

The Background of Its Establishment Before we start the discussion on this Pesantren, it should be remembered that putting Pesantren Tebuireng as an object of case study is based on several reasons. The first reason is that Pesantren Tebuireng is a pesantren that has been playing a significant and dominant role in the preservation and development of traditional institutions in the 20th century. It has also been playing the role of a resource-builder for the leadership in all the pesantrens in Java and Madura since the first decade of the 1900s. Second, the Pesantren has become the role model for the traditional pesantrens in the system of teaching, leadership, organization and the extra curricular activities. The Tebuireng also focussed its attention primarily on teaching of Quran as eternal programme of life. It also took up the teaching of Arabic grammar as the most importance subject since it held the key to the understanding of the Quran and other branches of Islamic sciences. Besides, Pesantren Tebuireng is known as the first Islamic traditional Institution that uses the class system before any other pesantrens. In short, we can say that Pesantren Tebuireng is the imâm, the leader, of pesantrens in Indonesia, especially in Java and Madura. In the beginning the institution was a very simple construction, a building of 6 by 8 square meters. This building was divided into two parts, one room was used as the house of the kyai, Kyai Hasyim Asy’ari, and the other functioned as praying room for 28 students. With the increasing number of students studying there, the building was also increased in number and size. At present, the building complex of Pesantren Tebuireng is built on an area of some two square hectares with some sport grounds and also an area of more than nine square hectares used as the Pesantren’s farm. The complex consists of four building units: the first building is used as the main mosque located in the center of the complex, the second building is used as the house of the director of Pesantren Tebuireng, the third is used as the hostel for the students and the fourth unit is functioned as the madrasa and the university. At present, there are some three thousand students studying in this Institution.2 Within a period of 10 years after its establishment in 1899, Tebuireng became a centre of Islamic learning for students, not only of beginners but also of the students from other pesantrens who have received enough Islamic knowledge, but still wanted to learn more. The tremendous development of Pesantren Tebuireng could not be separated from the charisma and personal character of its founder, KH. Hasyim Asy’ari. He was known for his deep knowledge of Islam and his great personality. However, he was not the only Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), p. 102.

2

417


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 sole factor for the tremendous development of Pesantren Tebuireng as a leading pesantren in Java. His aides like Kyai Ali Ma’sum, Kyai Baidhawi, Kyai Ilyas and Kyai Wahid Hasyim were also important personalities who have helped in nurturing the Pesantren Tebuireng.3 Like the pesantren in general, the method of teaching in Pesantren Tebuireng was sorogan (a system of teaching where the students will come forward to the teacher and read the materials given one by one). But this kind of system was no longer in use therealthough this system might still be in use in some traditional pesantrens. Between 1916 to 1934, Pesantren Tebuireng used a class system where there were seven classes that were further divided in to two stages. The first stage was called sifir awwal and the second was known as sifr thânî. These two stages were known as preparation stages where the students were being prepared with basic knowledge for the study in the next five years. The mastery of Nahw and sharf, as the basic requirement for anyone who wants to learn Arabic, was the main emphasizing in these two stages.4 In the period of 1916 to 1919, the curriculum in Pesantren Tebuireng was restricted to the teaching of religious sciences. But from 1919 onwards, some modern sciences were included in the curriculum like the introduction of subject’s Indonesian language, mathematics and geography. From 1926, the Dutch language, world history and some other subjects were included in the curriculum.5

Stages of Education Some significant improvements were apparently there during the leadership of the oldest son of KH. Hasyim Asy’ari, Kyai Wahid Hasyim. In 1933 he suggested five points for the improvement of Pesantren Tebuireng. Some of these suggestions were that he wanted the bandongan system (the method of teaching where the teacher read the materials and the students listening to him carefully and without any class system) to be replaced by a more systematic tutorial class and he wanted to add more general sciences to the Pesantren’s curriculum so that it would be beneficial for the students once they graduated from the Pesantren. He also suggested that the teaching of classical books only to be offered by the students who really wanted to study them. The teaching of all these classical books to all the students would be useless and time wasting, because there were a number of students who came to study in the Pesantren not to learn about it but to know the modern sciences offered by the Pesantren’s curriculum and receive some religious knowledge. But this suggestion was turned down by K.H. Hasyim Asy’ari. The implementation of the suggestion would be very radical and would be creating some havoc and crisis in

Ibid. lbid., p. 103. 5 Ibid., pp. 104-105. 3 4

418


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

the Pesantren. However, KH. Hasyim Asy’ari agreed with a suggestion to build a new madrasah called Madrasah Nizamiyah in 1934 where the general knowledge received some 70% of the total curriculum and 30% for religious education. Another significant development in Pesantren Tebuireng was that some additional courses like the art of speech, language courses (the Dutch and English languages), typing, and some other skills that would be beneficial for the students in the future were introduced. Unfortunately, the Madrasah did not last long since Kyai Wahid Hasyim, who responsible for the running of Madrasah, did not pay much attention to it and instead he was busy with his position as the party leader, Nadlatul Ulama, as well as opening up his career in politics. When the Indonesian declared its independence in 1945 and Soekarno was the first President of the new Republic, he chose KH Wahid Hasyim as his cabinet Minister for Religious Affairs during the period of 1949-1952. As a minister, KH Wahid Hasyimissued a decree on 20 January 1950 regarding religious education. Through the decree, he made religious education a compulsory subject in all educational institutions, both the governmental as well as private. He also established schools for religious teachers and judges in Malang, Aceh, Bandung, Bukit Tinggi and Yogyakarta. Besides, he set up governmental institutions for religious teachers in Aceh, Padang, Banjarmasin, Jakarta, Tanjungkarang, Bandung, Pamekasan and Salatiga.6 It was because of the contribution of KH. Wahid Hasyim that until this period, all institutions, private as well as governmental, have religious education in their curriculums. Since 1950s Pesantren Tebuireng has improved the organization of its educational institutions. The madrasah was divided into different stages: Madrasah Ibtidaiyah (elementary school), Madrasah Tsanawiyah (junior secondary school), Madrasah Aliyah (senior secondary school) and Madrasah Mu‘allimin. These divisions are present even today, only Madrasah Mu‘allimin has been removed from the educational structure in 1964. During the leadership of KH. Yusuf Hasyim in 1967, the Pesantren established its own university called the University of Hasyim Asy’ari. This university was established to accommodate graduates from the Madrasah Aliyah in Pesantren Tebuireng and also from Madrasah Aliyah from another pesantrens. There are four departments in the University: Department of Syari’ah (Islamic Law), specialized in Islamic justice; Department of Da’wah (Islamic Propagation); Department of Tarbiyah (Education), specialized in religious education; and Department of Ushûluddin (Islamic Thought). In 1971, Pesantren Tebuireng established a madrasah for the study of Qur’an. The emphasis of study in this madrasah is to produce graduates who have good mastery of Qur’an. The subjects of study are religious knowledge, Arabic language and qirâ’ah sab‘ah (seven methods of reading the Holy Qur’an).

Ibid., pp. 106-107.

6

419


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

The Method of Teaching The method of teaching in this madrasah was that in the first, second and third grade, they used group study. Each group had 7 students with one senior who acted as the right hand of the kyai. His main duty was to check the memorization of junior students in his group before sending them to the kyai for test. Qirâ’ah sab‘ah was started when the students reached the fourth, fifth and sixth grade. At these grades, the students have completed the memorization of the whole chapters of the Holy Qur’an, 30 chapters. It means that before reaching the fourth grade, the students must have completed the memorization of the whole chapters of the Holy Qur’an.7 At the same time, Pesantren Tebuireng also opened a preparatory school that was divided into two stages. These preparatory classes were meant for those students who did not have any basic in Arabic or that their skill in Arabic was unsatisfactory. After passing these preparation classes, it was hoped that the students would be able to join theclasses in the Pesantren along with those students form Madrasah Tsanawiyah easily because they known the basic of Arabic language. In the later development, Pesantren Tebuireng opened its private junior high school and senior high school in 1975. The establishment of these two schools was in the pace with the appearance of such type of schools outside the Pesantren. Hence, in order to prepare its graduates to be competitive with other graduates from the schools outside the Pesantren, knowledge in science and technology was also necessary.8

The Development of Pesantren in Different Periods Pesantren Tebuireng has produced thousands of graduates who have spread all over Indonesia from the time it was established. Almost all the leaders of the pesantrens in Java and Madura are graduates from this institution. This has become possible because of the fact that Pesantren Tebuireng was established and led by great ulama, KH. Hasyim Asy’ari. He was a Muslim scholar who was known for his mastery of hadith (tradition) and spent most of his time teaching and spreading Islamic knowledge. His mastery of Arabic language was also an additional aspect to support his subject of study. But after his death in 1947, Pesantren Tebuireng faced some drawbacks, especially in the teaching of classical books. Although the physical appearance of the Pesantren improved and the number of students kept on increasing, but the educational orientation of the Pesantren has shifted. Before the death of KH Hasyim Asy’ari, the orientation was on higher education while after his death, the stress was on basic education.

7 Muhammad Ridlwan Nasir, Dinamika Sistem Pendidikan (Surabaya: Central Media, 1996), p. 235. 8 Ibid., pp. 204-207.

420


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

Fortunately, before the situation went out of control, K.H Idris recognized the situation. He is a son in law of KH, Hasyim Asy’ari who started teaching in the Pesantren in 1953. He tried to introduce special training that focused on educating selected students. This system was very personal, not include to all students in Pesantren. The students should have a good mastery of Arabic language. First, the selected students should memorize the basic book on Arabic grammar, matan jurumiyyah, with additional books like sharah jurumiyyah, Asnawi and Kafrawi. Then, the student should memorize another book on Arabic grammar, Alfiyah ibn Mâlik that would be followed by the study of Asmuni (sharh Alfiyah) and Mughni Labîb (a book on Arabic grammar by Ibn Hisham) Another change that occurred in the Pesantren was in its leadership. The kyai, did not have supreme control over the Pesantren. The policies and decisions in the Pesantren would be taken and discussed by the collective leadership, the board of kyai and teachers. This change occurred during the leadership of KH Yusuf Hasyim,9 when he formally established the board of kyai and the board of education. These two boards were responsible for the running of the Pesantren. KH. Yusuf Hasyim himself would be responsible for the treasury and the maintenance of the Pesantren. The leadership of KH. Yusuf Hasyim was regarded as a diversion from the tradition in the Pesantren where the kyai was the supreme leader of the pesantren and was responsible for the running of the pesantren. The kyai is also responsible for the process of teaching and learning in the pesantren and as the religious leader of the community.10

Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Bahrul Ulum is one of the oldest pesantrens in Jombang, a town in East Java. This Institution was founded by KH. Sihah, grandfather of KH. Hasyim Asy’ari in 1830 AD, and it was the first Islamic Institution that used the class system which introduced in 1920. However, the sorogan and bandongan methods of teaching are also still being used. This Pesantren experienced a tremendous development under the leadership of KH. Abdul Wahab Hasbullah, a prominent figure and the founder of Nahdlatul Ulama organization. The Pesantren has more than 3000 students, both boys and girls.11

He is the son of K.H. Hasyim Asy’ari who replaced the position of Khaliq Hasyim as the leader of the Pesantren in 1965. He was born in 1929 and was active in politics when he was young. He was the member of Hizbullah squad during the Japanese occupation of 1942-1945. He was also a member of the People’s Representative Assembly and also a leader in Nadlatul Ulama. See, Dhorier. Tradisi Pesantren, p. 107. 10 Ibid., pp. 108-109. 11 Direktori Pesantren (Jakarta: P3M, 1986), p. 238. 9

421


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

The Establishment of Pesantren Bahrul Ulum Pesantren Bahrul Ulum was built in 1838 by KH. Sihah. He was the father in law of KH. Uthman, the founder of Pesantren Gedang, the grandfather of KH. Hasyim Asy’ari, the founder of the famous Pesantren Tebuireng. The development of Pesantren Bahrul Ulum was very slow. Though the Pesantren has been established since 1838, but until 1950 there were only 200 students enrolled in this Institution. This situation was contrary to Pesantren Tebuireng that within ten years after its establishment, there were about 2000 students studied there. The slow development of Pesantren Bahrul Ulum was because of the fact that the Pesantren was located in the heart of the city so the DutchGovernment, the colonial ruler of Indonesia at the time, always monitored every move made by the Pesantren. The most significant development of Bahrul Ulum took place during the leadership of KH. Abdul Wahab Hasbullah,12 the son of KH. Hasbullah, who was born in 1888. The progress of the Pesantren was due to the personal character of KH. Abdul Wahab Hasbullah. It was his personality and his deep understanding of Islam that brought the Pesantren into a better position. Besides, he was also known as an important figure who had also participated in the birth of Nahdlatul Ulama organization. He was also active in politics. It was during his leadership that the Pesantren introduced the class system. The old systems of bandongan and sorogan were not abandoned with the introduction of class system, it would be easier for teachers to group students into different groups or classes on the basis of their individual capability. This system is also known as madrasah system. Pesantren Darul Ulum was a Pesantren with distinct characteristics and it was not only taught various kinds of religious matters but also taught about nationalismto its students. It has been proved during the Dutch military aggression in 1948 where many students from Pesantren Bahrul Ulum joined the Hizbullah squad to fight against the Dutch from occupying the independent Indonesia.13 This action was due to the fact that the Rais Am of Nahdlatul Ulama at the time, KH. Hasyim Asy’ari, issued a fatwa that said: to fight against the Dutch colonialism is a must and is equal to jihad, the holy war. Hence many students from different pesantrens in Java and Madura joined the Hizbullah squad to defend Indonesia from the aggression of the Dutch colonialism. On 29 December 1971, KH Abdul Wahab Hasbullah passed away and the leadership of the Pesantren was taken up by his son, Muhammad Najib Wahab, a graduate from the Faculty of Law and Islamic Jurisprudence of al-Azhar University in Cairo.Under the leadership of KH. Najib Wahab, Pesantren Bahrul Ulum registered some improvements. This showed KH. Abdul Wahab Hasbullah received his early religious education from his father, KH. Hasbullah, the leader of Pesantren Bahrul Ulum at the time. He started his journey of knowledge when he was only 13 years old by studying in various pesantrens in Java like Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Mojosari, Nganjuk, Pesantren Tebuireng and once he studied with KH Khalil of Bangkalan, Madura before leaving for Mecca to continue his study there. 13 Nasir, Dinamika Sistem Pendidikan, p. 161. 12

422


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

by the increasing number of the hostels for the students and the establishment of some new educational facilities. Besides, during the tenure of KH. Najib Wahab, the school for Qur’anic teaching was established. The students, who were interested in studying the Holy Book, would be able to continue in the madrasah which was established in 1980. However, improvements did not satisfy the Kyai. Because, those students who have graduated from the high school of Bahrul Ulum could not be retained to study in the Pesantren since there was no higher institution available. Then, the board of Pesantren Bahrul Ulum decided to establish an academy called Akademi Bahasa Arab (the Academy of Arabic Language) in 1983. In 1986, this academy was converted into Universitas Bahrul Ulum (Bahrul Ulum University), opening some new faculties and departments. Unfortunately, when Bahrul Ulum was enjoying the advancement in almost every aspect, KH. Najib Wahab passed away in 1986. This pushed Pesantren into a crisis of leadership that was quickly resolved by establishing a collective board of teachers that would be responsible for the running of the Pesantren. This board had some members who were the close relative of KH. Abdul Wahab Hasbullah.14

Stages of Education Pesantren Bahrul Ulum has several stages of education, ranging from the basic to the higher education. These stages of education in the Pesantren are as the following Madrasah Tsanawiyah (three years), Madrasah Aliyah (three years), Madrasah Mu‘allimin (for boys, six years), Madrasah Mu‘allimat (for girls, six years), Junior High School (three years), and Senior High School (three years).

Madrasah Tsanawiyah and Aliyah Madrasah Tsanawiyah Bahrul Ulum is a madrasah that follows the curriculum provided by the State’s Religious Affairs Department. In this curriculum, a madrasah will have 30% of religious education and 70% of general subject. The religious education includes the study of Qur’an, hadith, fiqh, akhlaq (ethics), Arabic and Islamic history. The rest, 70% will be general knowledge. This kind of curriculum is also applied in the Madrasah Aliyah. The only difference between the two is that Madrasah Aliyah is a higher than Madrasah Tsanawiyah (Madrasah Aliyah is a Senior High School while Madrasah Tsanawiyah is Junior High School). This State policy of education in the madrasah is a real disadvantage for the madrasah as an institution. Besides, differentiating itself from the mainstream of education will not be beneficial for the students since it would be impossible for them to continue to the higher education. The tendency among students and parents is that after completing the education in the Madrsah, the students hope that they will be able to study in a higher 14

Ibid., p. 165.

423


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 institution. Another reason is that not only that the religious education is 30% of the total curriculum, the value of the materials given is also very light. This material will help the students to know the ‘skin’ only and not the meaning inside.15 To cover this disadvantage, the Bahrul Ulum imparts the students some extra religious education. This step has been taken by providing compulsory lectures to the students on religious knowledge with the help of some religious books held in their free periods. The halaqah system of teaching is used in this process. This step also has been taken by some other pesantrens that have the same curriculum in their madrasahs. This lecture is held everyday after prayers. In a halaqah system, the teacher read the book and the students gather around him and to write notes. The explanation from the teacher is the most importantaspect in this kind of learning system. Without the presence of teacher and without any clear of his explanation, the students will find it difficult to study. The weakness of this system is no student attendance list and no evaluation process. Only some senior students who have better knowledge and understanding of Arabic grammar usually follow this halaqah. Although many have accepted that this system of learning is having some weaknesses, but till now, there is no other alternative system to replace it. Hence the system is still widely used in almost pesantrens in Indonesia.

Madrasah Mu’allimin and Mu’allimat Madrasah Mu‘allimin and Mu‘allimat are two madrasahs that are being used by Pesantren Bahrul Ulum’as its formal educational unit since 1954. These two madrasahs have certain distinct characteristics. This is due to the curriculum used in the madrasah where in an ordinary madrasah, the religious education is having a smaller portion in its curriculum as compared to the curriculum in these two madrasahs. The great emphasize on religious education in these madrasahs has produced graduates having sound knowledge on religion as compared to the graduates from ordinary madrasahs. Besides, the graduates from these madrasahs have same opportunity and possibility to study in higher education institutions as the graduates from ordinary madrasahs since they are also eligible for it.16

Junior and Senior High Schools The establishment of these two schools in Bahrul Ulum was due to the demand of the parents of the students in Pesantren. They demanded that the Pesantren should provide more chances to students to go for higher education by establishing an institution that will give general knowledge than the religious knowledge only. Thus the idea of the establishment 15

Ibid. Ibid., pp. 173-74.

16

424


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

originated that implementation of this idea, however, created its own problems since they have to arrange extra classes for the students so that they would also able to acquaint with religious knowledge. This extra class held by the pesantren by holding halaqah for the students has been the advantageous for the graduates from the madrasahs as compared to the graduates from ordinary madrasahs. Besides receiving general knowledge as their counterparts in ordinary school, the students in the madrasah run by pesantren are also receiving better religious education and also have the same chance to get higher education after the completion of their schooling.

The Religious Books Used in Pesantren Bahrul Ulum In general, the books taught in the Pesantren Bahrul Ulum and pesantrens in Indonesia are uniform. They use the same books in teaching the students about the religious knowledge. This uniformity in the pesantrens in Indonesia is because of the fact that pesantren is an institution in Indonesia that has specialize itself in religious teaching. There are, however, some differences in these pesantrens in terms of subjectof specialization. Some pesantrens teach certain branches of Islamic science like fiqh, tafsîr and nahw (Arabic grammar) while others have specialized in other branches. However, this does not mean that the pesantrens are neglecting the basic function of pesantren as religious institution by not providing the students the basic knowledge they need. Hence they would still provide the students the basic knowledge of Islam in their syllabus though they have specialized in certain branches of knowledge. In general, the books taught in these pesantrens are classical books, popularly known as kitab kuning (yellow book). The books being taught in Pesantren Bahrul Ulum are the following based on the stages of education: Madrasah Tsanawiyah 1.

Mabâdi’ al-Fiqhiyah

2.

Aqîdah al-’Awwâm

3.

Hidâyat al-Shibyân

4.

Muhâwarat al-Athfâl

5.

Tuhfat al-athfâl

6.

Tashîl an-Nahwi

7.

Amtsilah Tasrîf S. Badul ‘Amal

9.

Lughat al-‘Arabiyah

10. Al-Akhlâq lil Banât 11. Fathul Qarîb 12. Nahw al-Wâdhih 13. Jawâhir Kalamiyah 425


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 14. Muhâdastah Awwaliyah 15. Nûrul Yaqîn 16. Hadîts Arba‘în 17. ‘Imrithi 18. Iddat Farid 19. Târîkh al-Islâm 20. Bulûghul Marâm 21. Takhrîr 22. Alfiah 23. Tafsîr Jalâlain 24. Sullam al-Lughat al-‘Arabiyah Madrasah Mu‘allimin dan Mu‘allimat: 1.

Fath al-Mu‘în

2.

Fath al-Wahâb

3.

Alfiah Ibn Mâlik •

4.

Bulûgh al-Marâm

5.

Târîkh al-Islâm

6.

Qirâ’at Tadrîjiyah

7.

Qirâ’at Râsyidah

8.

Tafsîr Jalâlain

9.

HUshûl al-Hamîdiah

10. Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyah 11. Muzakkirât 12. Jawâhir al-Bukhârî 13. Jauharah al-Maknûn 14. Waraqât 15. Tajrîd al-Shorîkh 16. Al-Sullam 17. Baiquniyah 18. Farâ’id al-Bahiah 19. Tarbiyah wa al-Tahzîb 20. Tarbiyah Adabiyah 21. Durûs Falakiyah 22. Sullam Nirain. 17 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya Jakarta 1995), p. 246. 17

426


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

Pesantren Bahrul Ulum is one of Islamic institutions in Indonesia that has been a place of study of many great personalities. Many alumni of the Pesantren have been successful in their live as many of them have became teachers, members of civil service and members of social organization spread all over Indonesia. Hence the Pesantren has got its place in the hearts of the Indonesian people as an ideal place for religious study.

Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Pesantren Darussalam is located in Gontor village, Merak district, Ponorogo, a town in East Java Province. This pesantren was built in an area of 8.5 hectare comprising of three houses for the guardians, two mosques, nine hostels for students with 450 rooms. There are some 2600 male students in the Pesantren. Besides, there are 6 houses for the teachers, three guesthouses, one meeting hall, one clinic, two stores and four school buildings. The institution was built in 1926 by three brothers, KH. Zarkasi, KH. Sahal and KH. Fanani, based on the idea of creating a modern religious institution that will providethe students more chances to compete with the students and graduates from other institutions so that there would be some improvement in the quality of young Muslims to face the new challenges in the modern life. The model of education used in the Pesantren has given an inspiration for others to establish similar institutions in other parts of Indonesia.

The Background of the Establishment The idea of establishing the “Darussalam, Gontor� came up before the meeting held by Muktamar Alam Islami in Mecca in 1926. Indonesia, as the most populous Muslim country, also participated in the conference. Hence a meeting was held to decide the delegation to be sent to Muktamar. Two persons would be selected as the Indonesian delegation and the member of the delegation should have good mastery of English as well as Arabic language. However, there was not even a single participant in the meeting who fulfilled the criteria. Then the board of meeting finally decided to choose two persons, H. Oemar Said Cokroaminoto, who was good in English, and KH. Mas Mansur who was fluent in Arabic, as the member of the Indonesian delegation for Muktamar held in Mecca. From the incident in this meeting, an idea to establish new Islamic institution came up, that will provide young Muslims better religious as well as general or modern knowledges. The three brothers, inspired by the situation in the meeting, decided to start their work to establish an institution that would help young Muslims to be acquainted withreligious as well as non-religious knowledge. The establishment of Darussalam was the result of this idea. The system of education used in this institution was the combination of several systems used in different institutions like the al-Azhar University in Cairo, for its role as the center of Islamic learning, Pondok Sanggit in North Africa for its various scholarships for its students, the Aligarh Muslim University, India, for its ability to get along with the demand 427


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 of time and its reformist tendency and Shanti Niketan of Rabindranath Tagore in India for its ability in preserving the culture and love for peace.18

The Development of the Pesantren in Different Periods There have been so many developments that have taken the Darussalam Gontor to this stage. It has been through a long and tiring process to survive and adjust itself with the time and to be a role model for many new pesantrens built later. Many pesantren that have been built in the later period, especially in the 80s, followed the method and system in this institution. This tendency to use the Gontor’s system in new pesantrens might be because of the fact that many of the alumni established these new pesantrens. Besides, the board of Pesantren Gontor also provides helps for the establishment of new pesantrens by sending its alumni to teach in these new pesantrens and to provide the new pesantrens with the syllabus and the material to be taught there. Hence uniformity is created through this process. The development of Darussalam Gontor can be divided into three different phases from the time of its establishment in 1926. The first phase occurred between 1926 and 1936 where there was a process of creating a religious community in the area where the Pesantren was built. An early religious education for young children was held as a preparation to create educated members of community and to make them aware of their duties and responsibilities as a religious community. The second phase was from 1937 to 1954 where the education in the Pesantren was concentrated on Tsanawiyah and Aliyah levels (junior and senior high schools respectively). It means that the students who wanted to study in the Pesantren should have passed elementary education and the duration of study was three years, three years shorter as against the present six years. The third phase was between 1945 to 1954 where the duration of study in Pesantren Gontor was increased from three years to six years. This phase was marked by the establishment of Kulliatul Mu‘allimin al-Islamiyah. With this Kulliat, the students who have passed junior high school can directly apply to class four by clearing an entrance test. It was only in 1963 that Pesantren Gontor opened its own university known as Darussalam Institute with three years duration of study. Another important development at Darussalam Gontor is that since 1957, the graduates from KMI (Kulliyat Mu‘allimin al-Islamiyah) are eligible for applying to graduate course in Al-Azhar University as well as the University of Cairo in Egypt.19 Besides, there are many graduates from Darussalam Gontor who study in foreign universities, especially the universities in the Middle East, and many of them have got important posts in the government. 18

M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3ES. 1995), pp. 135-136. Ibid.,pp. 141-142.

19

428


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

The Curriculum and Activities in Pesantren Darussalam Gontor Pesantren Gontor is a pesantren of distinct characteristics. It has differentiated itself from the traditional pesantrens in order to create a distinct atmosphere for producing graduates of distinct characteristics. The programs and syllabus in the Pesantren are meant for producing able graduates in religious as well as non-religious knowledge. Pesantren Gontor has two stages of education, Kulliyat Mu‘allimin Islamiyah (KMI) with the duration of 6 years and Darussalam Institute, an institute having a status of university that offers graduate degree, in three years.There is one distinct characteristic of Pesantren Gontor that it has a very high discipline. The students must speak either Arabic or English daily in the complex andonce they are found to speak in a language other than these two, a sanction will be given to the student and the sanction varies depending upon the mistake of the student.20 The curriculum is followed in the Pesantren Gontor: The Curiculum of Arabic in Pesantren Darussalam Gontor21 1. Arabic language

: All the classes, from Ito VI

2. Imlak

: All the classes except class V and VI

3. Composition

: All classes

4. Nahw(grammar)

: All classes except class I

5. Caligraphy

: All classes except class I and VI

6. Balaghah (rhetoric)

: For class V and VI only

7. Adab al-Lughah (literature)

: For class V and VI only

Religious Science 1. Alqur’an

: For class I and II

2. Tajwid

: For class I and II

3. Tafsîr

: All classes, Ito VI

4. Hadith

: All classes

5. Ilmu Hadith

: Class V and VI only

6. Ushûl Fiqh

: All classes except class I and II

7. Fiqh

: All classes

8. Ilmu Mantiq

: Class VI only

9. Tarikh Islam

: All classes except class V and VI

10. Tauhid/Akidah

: All classes, Ito VI

20 21

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), pp. 121-122. Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, p. 251.

429


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 General Knowledge 1. Algebra

: All classes

2. Arithmatics

: All classes

3. Science

: All classes

4. Biology

: Class I and II

5. History

: All classes

6. Geography

: All classes

7. Psychology

: From class IV to VI

8. Teaching

: For class V and VI only

9. Administration

: Class III, IV and V

10 English language

: All classes

11 Indonesian language

: All classes

Pesantren Gontor has been known for its high discipline in everyday activities. This has been shown in the rules and regulations for the students to comply with in their everyday activities. The rules and regulation of the Pesantren are the following: The Daily Activities of the Students in the Pesantren Gontor22 NO 1

TIME 04.00

2 3 4

05.30-06.30 06.30-06.45 07.00-12.30

5

12.30

6

12.30-14.00

7

14.00-15.00 15.30-17.15

8 9 10

17.15-17.45 17.45-18.30

11

18.30-19.99

12

19.10-22.00

13

22.00-04.00

22

ACTIVITIES Get up, take a bath, Morning Prayer together, reading the Qur'an, repeating the lesson, breakfast, ready for school Exercise Breakfast, go to school School time Midday Prayer, lunch Relaxing by reading (nap is prohibited) Continue the study in school, or following the Arabic/English course and additional lesson, Afternoon Prayer Sport, extra curricular like boy scout, drama, etc. All the students should gather in the mosque to perform Sunset Prayer together Sunset Prayer, reading the Qur'an (30 minutes), dinner Preparation for Evening Prayer in the mosque Studying, repeating the previous lesson and preparing next day lesson Resting, sleeping. The amount of sleep for every student should not be less than 6 hours and should not exceed 8 hours Resting.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, pp. 122-123.

430


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

Besides, there are also weekly activities in Pesantren Gontor: 1. 2. 3. 4. 5.

Morning exercise on every Tuesday and Friday mornings, from 05:30 - 06:30 Speech exercise in English on every Sunday night from 19:20 - 21:00 Speech exercise in Arabic on every Thursday morning from 11:00 - 12:30 Speech exercise in Indonesian on every Thursday evening from 19:20 - 21:00 Boy scout on every Thursday afternoon

Though the Darussalam has a very high discipline for its students but in terms of religious understanding, the graduates of this Pesantren are less capable as compared to the graduates from traditional pesantrens. However, they win over the graduates from traditonal pesantrens in terms of their language skill. This has been proved with many of its alumni who study in the Middle East more easily and greater in number as compared to the graduates from traditional pesantren. Darussalam is an Islamic institution that consistently develops its own idealism and braving itself in breaking the age-old tradition of religious teaching in Indonesia. The aim of this institution is to develop a high character, a broad knowledge, a sound body and independent thinking. With the help of visiting teachers from al-Azhar in Cairo, pupils are taught to speak Arabic in such a way that some of them continue their study in Cairo without difficulty. Many new Islamic thinkers in Indonesia who studied in this institution have showed this evident. Former pupils of this Institution are, for instance, KH. Prof. ldham Chalid, exminister and chairman of Indonesia’s Peoples’Consultative Assembly and Prof. Dr. Nurcholish Madjid, an Indonesian liberal thinker and the founder of Paramadina Mulya University in Jakarta, are two prominent personalities that have been born from the Pesantren.23 The Indonesian government is, of course, concerned with this Islamic institution by granting subsidies which depend on certain conditions. With the development of modern education, the number of pesantren is also increasing. Improvement in the economic life of the Indonesian people has brought the process of modernization in the pesantrens. The process is related to development since the pesantren, is charging the fees monthly from its students for its running. The fees vary from one pesantren to another. However, the government also provides some financial help to certain pesantrens. This financial help from the government or from certain individuals is not permanent and depends on the situation. Hence pesantren has to take a decision to support itself independently. The monthly fee from student is the only answer available. This monthly fee helps the pesantren in providing better facilities. So far, there is no pesantren that provides free education to the students.

23

B.J. Boland, The Struggle of Islam in Indonesia (Leiden: Martinus Nijhoff, 1971), p. 117.

431


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Popular Books of Tafsir Used in the Pesantrens in Indonesia According to the result of a survey by a Dutch scholar, Van den Berg, there are only a few Tafsîrs used in the pesantrens in Indonesia. Tafsir was a subject of study that lacked the interest of the Muslims in Indonesia till the 19th century. It was only after the launch of reform movement with a slogan of “return to Qur’an and Hadith” that echoed from Egypt to Indonesia spear headed by Muhammad ‘Abduh, many ulama’s in Indonesia started paying more attention to the study of tafsir. The limited number of Tafsirs used in Indonesia can be seen in the table. Jalâlain is the most widely used Tafsir in Indonesia. This is followed by Tafsîr Baidâwî, Tafsîr al-Munîr (written by Shaikh Nawawi Banten) and Tafsîr Ibn Katsir. A tafsir by Muhammad ‘Abduh and Rashid Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, and Tafsîr al-Marâghî, written by Ahmad Mushtafa alMarâghî, are two Tafsirs by modernists known by the Indonesian Muslims. Only recently a few number of pesantrens in Indonesia have made these two Tafsirs part of their syllabus. These two Tafsirs are yet to be acceptable to the Muslims in the pesantren.24 This has been shown by an incident when the great KH. Hasyim Asy’ari forbade his students to read Tafsîr al-Manâr of Muhammad ‘Abduh while he himself studied the Tafsir. The reason behind the prohibition was that the Tafsir has criticized traditional ulamas. A tafsir by Zamakhsyârî called Tafsîr al-Kasysyâf does not have much approval of the Indonesian Muslim scholars in Indonesia because of the fact that he was a Mu’tazilite.There are some tafsirs by Indonesian ulamas that are popular in the pesantren in Indonesia. The oldest tafsir known as Tarjumân al-Mustafid was written by Indonesian ulama called ‘Abd Rauf bin ‘Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili. This tafsir was written in Malay and had been widely used in Indonesia for more than three decades.25 Al-Iklil fî Ma`rifah Ma`âni al-Tanzîl by KH. Misbah bin Zain al-Mustafa, comprising of 30 volumes, 4800 pages and al-Ibriz li Ma’rifati al-Tafsîr by KH. Bisri Mustafa (Rembang), comprising of 3 big volumes, are among the popular tafsirs in Indonesia. These two Tafsîrs are better to be called as the translation of the Qur’an than tafsir. However, the word tafsir was included in the title of these two translations to show that these books were written with certain degree of explanation so they deserved to be known as tafsirs.26 A great Indonesian modernist, Prof. Dr. Buya HAMKA has also written a tafsir called Tafsir al-Azhar, comprising of 30 volumes. This Tafsir was also widely accepted by the Indonesian Muslims, especially by Muslim academicians.

24

p. 159.

Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan, 1999),

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1994), p. 204. 26 Ibid., p.159. 25

432


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

The books of Tafsir are popular in Pesantrens in Indonesia Region Number of Pesantren Tafsir. Tafsîr Jalâlain Tafsîr al-Munîr Tafsîr Ibn Katsir Tafsîr Baidhâwî Jami‘ al-Bayân

SumaWest S.Kalimantan tera Java 3 4 9

Center of Java 12

East Java 18

Total 46

4 0 1 1 0

1 1 0 0 0

9 3 3 1 2

9 2 0 2 0

16 5 3 0 0

39 11 7 4 3

Marâghi

0

0

2

1

0

3

Tafsîr al-Manâr Tafsir DEPAG

0 0

0 0

2 0

0 1

1 1

3 2

0 0

0 0

2 0

0 0

1 2

3 2

‘Ilm Tafsîr Itqân Itmam al-Dirâyah

Level

Aliyah Aliyah Aliyah Aliyah Khawash

Aliyah/ Khawash Khawash Tsanawiyah Aliyah

Hadith and Science of Hadith The study of hadith is a subject that is very popular among the Indonesian Muslims. However the populartiy of hadith is far behind the popularity of fiqh and sufism. Different kinds of books on hadith are available in pesantrens in Indonesia. Many of these books became the syllabus of these pesantrens and some of these are being regularly read in the month of Ramadhan in the pesantrens. These are Shahîh al-Bukhârî and Shahîh Muslim that are read and finished within one month but wihout any further understanding of them. Muwaththa’ and Sunan Abû Dâwûd are two other books of hadith that have been recently introduced in these pesantrens. Other books of hadith like Sunan Ibn Majah and Sunan Tirmizi only available in the libraries as the reference books. Shahîh al-Bukhârî and Shahîh Muslim are two most popular books in Indonesia and are used as the muqarrar in many pesantrens. Bulûgh al-Marâm, a collection of hadith by Ibn Hajar al-’Asqalânî (d. 852/1449AD) is placed second rank. This book has been translated into local language, Javanese, by Subki Masyhadi from Pekalongan, Central Java. Subul alSalâm, an explanation of Bulûgh al-Marâm by Muhammad ibn Ismâîl al-Kahlânî (d.1182/ 1769 AD), is also popular and has also been translated into Indonesian. Two books of selection from Shahîh al-Bukhârî, Tajrîd al-Shârih by Syihab al-Din Ahmad al-Syarji al-Zabidî (d. 893H/ 1488) and Jawâhir al Bukhârî by Musthafa M. Umarah, are two books of hadith that are part of the syllabus of many traditional pesantrens in Java.27 27

Bruinessen, Kitab Kuning, p. 61.

433


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Besides, there are also many other books of hadith that are read and used in the Pesantren. These books like Riyâdh al-Shâlihîn, Hadith Arba‘în, a collection of hadith by Imam Nawawi, Tankikh al-Qaul, Mukhtarât al-Ahâdith and Ushfuriyah. The last three books are compulsory books on hadith in almost pesantrens. However, it should be kept in mind that a serious study of hadith is yet started in Indonesia. The interest for the study of hadith is appearing to develop among the Indonesian Muslims along with the insertion of Wahabi movement in Indonesia. The standard books of hadith in Indonesia are Baiquniyah by Thaha bin Muhammad al-Fattuh al-Baiquni (d.1080H/1669) along with its explanation (sharh) and Minhâj alMughîth, a book on hadith by the ulama of al-Azhar, Hafiz Hasan Mas’udi. Two standard books of hadith used in India, Muqadimah Ibn Shalah and Nuhbah al-Fikr, are not generally used in Indonesia. It was only recently book like Minhâj Zawi M-Nazar, the explanation (Sharh) of Nazam Alfiyah Suyuthî by Muhammad Mahfud al-Turmusi is used as a compulsory book in traditonal pesantrens.

Popular Books on Fiqh and Ushûl Fiqh Fiqh is the most popular subject of study in Indonesia. It is because of its importance in the daily life of the community. The popularity of fiqh among the Indonesian Muslims has made the subject the backbone of the pesantrens in Indonesia. The popularity of fiqh in Indonesia is not without any reason. The contribution by Shaikh Nawawi Banten and Shaikh Mahfud Al-Turmusi in the early 19th century to the development of fiqh cannot be undermined. They have written books in a simple and clear language have helped ordinary Muslims to understand the materials easily. They were also teachers for the generation of ulamas in the later period. However, great Indonesian ulamas before them like Hamzah al-Fansuri (d. 1590) and Syamsuddin Sumatrani (d.1630), both were from Aceh, and also Nuruddin al-Raniri (died in India in 1659) and Abdurrauf al-Singkli. These ulamas left some noted works on fiqh but they were the strict followers of Sufism. Hence it was only after the emergence of great Shaikh Nawawi Banten and Shaikh Mahfud al-Turmusi in the early 19th century that fiqh received more impetus to develop as the most popular branch of Islamic sciences in Indonesia. The most popular books of fiqh in Indonesia are al-Taqrîb fî al-Fiqh, Fath al-Mu‘în, (written by Zain al-Dîn Al-Malibari from south India) Fath al-Wahab, Tuhfah al-Muhtâj (written by Ibn Hajar al-Haitami), Safînah al-Najah, Sullam Taufiq Minhâj al-Qawim, alHawasyi al-Madaniyah, Bajuri, Iqna’ and Tausi‘. The last three books are explanations (sharh) of Taqrîb fî al-Fiqh. These books are part of the curriculum in the pesantrens. Bigger books like I’ânah al-Thâlibîn, the explanation (sharh) of Fath al-Mu‘în, Sharh Muhazzab by Imam Nawawi and Nihâyah al-Muhtâj are only being used as the books of reference by the ulamas.

434


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

The Books of Fiqih and Ushûl Fiqh which used in most of the Traditional School in Indonesia28 Region

Suma tera

South West Center East Kalimantan Java of Java Java

Total

Number of Pesantren Fiqih Fath al-Mu’in I'ânah Thâlibîn Taqrîb Fath al-Qarîb Kifyah al-Akhyâr

4

3

9

12

18

46

2 2 2 2 1

1 2 0 1 0

7 0 6 4 6

6 0 5 7 4

16 0 7 9 7

32 4 20 23 18

Bajuri Igna’ Minhaj al-Thâlibîn Minhaj al-Thullâb Fath al-Wahab Mahalli Minhâj al-Qawin Safînah Kasyfat al-Saja Sullâm al-Taufîq Tahrir Riyadh al-Badiah Sullâm al-Munajat Uqud al-Lujain Sittin/Syarah Sittin Muhadzab Bughyat alMustarsyidîn Mabâdi‘ Fiqhiyah Fiqh al-Wadhih Ushûl al-Fiqh Waraqat/ Syarah/ al-Waraqat Lahtâ’if al-Isyârat Jam’ al-Jawâmi’

1 0 2 0 0 4 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0

1 1 2 0 5 1 2 6 1 5 2 2 2 1 2 0 1

0 0 0 0 4 2 2 7 0 2 1 1 1 1 0 1 0

1 5 1 1 10 1 3 7 3 13 5 3 2 2 0 2 2

3 7 5 1 20 9 7 21 4 21 9 6 5 4 3 3 3

0 0

0 0

1 0

2 1

5 3

8 4

2

1

6

1

2

12

1 1

0 0

3 6

0 1

6 2

10 10

Luma’ Al-Asybah wa alNazhâ’ir Bayân

1 0

0 0

2 1

1 1

3 4

7 5

0

0

1

0

2

3

Bidâyah al-Mujtahîd

0

0

2

0

0

2

28

Ibid., p. 115.

435

Level

Aliyah Tsanawiyah Aliyah Tsanawiyah/ Aliyah

Aliyah Aliyah Aliyah Tsanawiyah Tsanawiyah Aliyah

Tsanawiyah

Tsanawiyah Tsanawiyah

Aliyaah/ Khawash Khawash Aliyah/ Khawash Khawash Tsanawiyah/ Aliyah Khawash


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 After the arrival of the modernists in Indonesia in the early 1900s, there are a number of books on fiqh written by them that are said to be slightly different from those early books written by the traditionalists. These books are like Bidâyah al-Mujtahîd written by Ibn Rushd and Fiqh al-Sunnah, comprising of 14 volumes written by a modern Egyptian writer Sayyid Sabiq. These books soon became very popular in Indonesia and have become the compulsory subject in the pesantrens. These books have also been translated into Indonesian. Ushûl fiqh is another branch of Islamic science that is also very popular in Indonesia, placed second after fiqh. There is a great interest among the Indonesian. Ushûl fiqh is another branch of Islamic science that is also very popular in Indonesia, placed second after fiqh. There is a great interest among the Indonesian ulamas in studying the subject. But the number of books on this subject in Indonesia are lesser than the number of books on fiqh. Al-Waraqat fî Ushûl Fiqh of Imam al-Haramain ‘Abd al-Malik al-Juwainî (d. 487 AH/1085 AD) and its explanation (sharh), Latha’if al-Isyarah written by ‘Abd al-Hamid ibn Muhammad ‘Ali al-Qudûsî (d.1334 AH/1916AD), are two books on Ushûl Fiqh prescribed in the pesantrens and madrasahs in Indonesia. At the higher level, al-Luma’ fî Ushûl alFiqh of Ibrâhîm bin ‘Alî Syîrâzî al-Fairuzâbadî is used. Jam‘ al-Jawami’ of Taj al-Dîn ‘Abd al-Wahab al-Subki that contains the texts of the basic of Islamic law is used at the highest level. Al-Ashbah wa al-Naza’ir fî Qawa’id wa Furu’ Fiqh al-Imâm Syafi’iyah of Jalâl al-Dîn al-Shuyuthi is also an important book on Ushûl Fiqh that is widely used in Indonesia.29 AlUmm and al-Risalah, two books of Imam Shafi’i, are important books of the Shafi’i School. But these two books are not used as part of the syllabus in the pesantrens. This is quite strange as in Indonesia, Shafi’i School is followed by the majority of the Muslims.

Conclusion Although Islam entered in Indonesia some centuries earlier, but the significant development of Islamic sciences in Indonesia occurred only after the 19th century. The geographical position of Indonesia has isolated Indonesia from the center of Islam in the Middle East. Historical records have reinforced the view that the stumbling block for the development of Islamic sciences in Indonesia was the period of 300 years of Dutch occupation in this country. However, there are three phenomenal pesantrens in Indonesia succeed to develop Islamic science and became reference for other pesantrens such as Pesantren Tebuireng, Pesantren Bahrul Ulum and Pesantren Darussalam Gontor. In general we can conclude that the role of pesantren in Indonesia in imparting Islamic sciences among the Muslims masses is very significant. It was Tebuireng at first that has introduced modern sciences into Islamic traditional institutions in Indonesia because its founders realized that education should also meet the needs of a new society, which was

29

Ibid., pp. 117-124.

436


M. Mujab: The Role of Pesantren on The Development Islamic Science in Indonesia

under the impact of the modern education. The pesantrens above then, adjust their academic curriculum based on the demand and putting general science and knowledge into curriculum. New strategies have been devised by some Pesantrens to overcome the problems created by the system. Pesantrens like Tebuireng and other Islamic educationalinstitutions founded their own private university to ensure continuation of education for the students of their highest classes, the university as known as Universitas Hasyim Asy’ari, pesantren Bahrul Ulum has also Bahrul UlumUniversity and Gontor has Institut Studi Islam Darusaalam (ISID – at university level too). Establishing university is, however, easier to achieve acceptable standard of education and getting recognition from the government based on satisfactory standards. This new type of private Islamic course at university level has made great advances for pesantrens in Indonesia.

References Azra Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan. 1994. Boland B.J. The Struggle of Islam in Modern Indonesia. Leiden: Martinus Nijhoff. 1971. Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan. 1999. Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES. 1982. Direktori Pesantren. Jakarta: P3M. 1986. Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. 1994. Rahardjo, M. Dawam. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. 1995. Ridlwan, Nasir M. Dinamika Sistem Pendidikan. Surabaya: Central Media. 1996. Wahid, Marzuki, Suwendi, and Saifuddin Zuhri. Pesantren Masa Depan. Bandung: Pustaka. 1999.

437


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

KONFLIK AGAMA DAN PENYELESAIAANNYA: Kasus Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat Muhamad Zuldin Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UIN Sunan Gunung Djati Jl. A.H. Nasution 105 Cibiru, Bandung, 40614 e-mail: muhammadzuldin@yahoo.com

Abstrak: Tulisan ini bertujuan untuk menyelidiki faktor-faktor penyebab konflik antara Islam mainstream dengan Ahmadiyah, resolusi konfliknya, peran SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 sebagai media resolusi konflik, dan respons terhadap SKB dan Pergub. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa faktor-faktor penyebab konflik bermula dari aspek teologis, kemudian berkembang menjadi aspek politik, ekonomi, sosial, ketidaktegasan pemerintah, Ahmadiyah eklusif dalam beribadah, dan pengaruh pemberitaan media massa. Resolusi konflik berupa non litigasi dilakukan melalui mediasi yang melibatkan aparat pemerintah, tokoh masyarakat, kepolisian, dan litigasi melalui proses peradilan. Ahmadiyah menganggap SKB dan Pergub tidak bisa berperan sebagai media resolusi konflik agama sehingga mereka menolak serta berusaha membatalkannya secara hukum. Sebaliknya, Islam mainstream menerima namun tetap menginginkan keluarnya Keppres atau Undang-Undang untuk membubarkan Ahmadiyah. Abstract: Religious Conflict and Its Resolution: A Sutdy of Ahmadiyah in Tasikmalaya, Weste Java. This writing is aimed at analyzing factors that underly conflicts between mainstream Islam and Ahmadiya, its resolution, the role of SKB Tiga Menteri of 2008 and Pergub 2011 as a media of conflict resolution, as well as the responese to the two statutes. The findings of this study reveal that the religious conflicts stem from theological aspects that extend to political, socio-economic, government’s inambiguity in implementing the regulation, Ahmadiya’s exclusiveness in their religious duties and the influence of media. Conflict resolution in non-litigation is carried out through mediation that involving the goverment’s apparatus and the police, and litigation via judicial process. Ahmadiya argues that SKB and Pergub are incapable of playing any role in resolving religious conflict and thus reject and try to revoke them judicially. Mainstream Islam, however, argues to the opposite and insists in issuance of President Act or statute to disperse Ahmadiya organization.

Kata Kunci: konflik agama, Ahmadiyah, SKB, Pergub, Tasikmalaya 438


Muhamad Zuldin: Konflik Agama dan Resolusinya pada Masyarakat Pedesaan

Pendahuluan Jemaat Ahmadiyah adalah nama ajaran dan gerakan yang yang ditokohi oleh Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) di Qodian, Punjab, India. Ajaran dan gerakan ini oleh kalangan Muslim Sunni Ortodoks, dianggap menyimpang dari ajaran Islam sebenarnya. Ajaranajaran Ahmadiyah yang umumnya dianggap menyimpang adalah, terutama, mengenai tiga hal, yaitu penyaliban Nabi ’Isa a.s., al-Mahdi yang dijanjikan akan muncul di akhir zaman, dan tentang penghapusan kewajiban berjihad.1 Ajaran Ahmadiyah ini, tidak hanya ditolak oleh mayoritas Muslim, tetapi juga oleh komunitas Kristen dan Hindu. Hal itu disebabkan karena disamping mengklaim dirinya sebagai Nabi, Mirza Ghulam Ahmad juga sebagai al-Masih yang dijanjikan, penjelmaan Nabi ‘Isa, yang merupakan konsep dalam Kristen. Sedangkan dalam Hindu, Mirza menganggap dirinya sebagai avatar (kendaraan) dari Krisna. Pengklaiman itu pada awalnya ditujukan untuk merespons situasi pluralisme agama yang sedang berkembang di India pada saat itu.2 Penyebaran Ahmadiyah ke daerah Tasikmalaya bermula dari ditugaskannya Entoy Mohammad Tayyib yang berasal dari Singaparna oleh M. Rahmat Ali pada akhir 1934 untuk melakukan dakwah Ahmadiyah di daerah Jawa Barat, khususnya daerah Priangan (Bandung, Sumedang, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis). Tasikmalaya adalah tempat pertama yang dikunjungi oleh Entoy Mohammad Tayyib.3 Pada masa-masa awal penyebarannya, Ahmadiyah telah mendapat penentangan dari masyarakat dan beberapa ulama setempat. Penentangan pada saat itu baru berupa perdebatan teologis yang berkisar tentang kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Meskipun penentangan masyarakat terhadap Jemaat Ahmadiyah tidak pernah padam, organisasi ini masih tetap eksis. Bahkan secara nasional, keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia sebagai suatu organisasi telah diakui oleh pemerintah Indonesia sebagai badan hukum dengan Penetapan Menteri Kehakiman Republik Indonesia tanggal 13 Maret 1953 No.J.A.5/23/13.4 Pada masa pemerintahan Soeharto, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa sesat terhadap Jemaat Ahmadiyah pada tahun 1980. Fatwa MUI ini gemanya tidak seberapa dan respons umat pun tidak banyak. Hal ini disebabkan oleh pemerintahan Soeharto

Muhammad Iqbal, Islam dan Ahmadiyah, terj. Machnun Husain (Jakarta: Bumi Restu, 1991),

1

h. vii. William Montgomery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London and New York: Routledge, 1988), h. 58-59. 3 Kunto Sofianto, “Gerakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat, 1931-2000: Penyebaran Ideologi dan Respons Masyarakat, 2011” (Tesis: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2011), h. 88-92. 4 Munasir Sidik, Dasar-Dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah (Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2008). h. 21; Fawzy Sa’ied Thaha, Ahmadiyah dalam Persoalan (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), h. 361. 2

439


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 yang sedang berkuasa pada saat itu sangat represif yang mengutamakan ketertiban dan kurang tahunya masyarakat tentang fatwa MUI tersebut.5 Pada masa Reformasi, MUI mengeluarkan fatwa kembali pada 2005. Fatwa ini menguatkan kembali fatwa sebelumnya dengan tambahan agar pemerintah berkewajiban membubarkan aliran Jemaat Ahmadiyah. Pada masa ini, terjadi penentangan yang luar biasa terhadap keberadaan Ahmadiyah, khususnya setelah bermunculan ormas-ormas Islam garis keras. Konflik antara Jemaat Ahmadiyah dengan Islam mainstream6 tidak terhindarkan dan terjadi di beberapa tempat seperti Jakarta, Bogor, Cianjur, Garut dan Tasikmalaya. Untuk menghindari konflik dan kekerasan lebih lanjut, pemerintah pusat dan daerah telah mengeluarkan beberapa peraturan berupa SKB (Keputusan Bersama) Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub (Peraturan Gubernur) tahun 2011. Meskipun beberapa peraturan telah dikeluarkan, konflik Jemaat Ahmadiyah dengan Islam mainstream masih juga terjadi. Masalah penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, faktor-faktor apa saja yang menyebabkan konflik antara Ahmadiyah dengan kelompok Islam mainstream di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat? Kedua, bagaimana resolusi konflik antara Ahmadiyah dengan kelompok Islam mainstream di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat? Ketiga, Apakah SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 dapat dijadikan media untuk meresolusi konflik antara Islam mainstream dengan Ahmadiyah? Keempat, Bagaimana pandangan Ahmadiyah dan Islam mainstream terhadap SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 ?

Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif fenomenologi dengan Di tingkat Internasional, para ulama yang tergabung di Liga Muslim Dunia (Rabithah ‘Alam Islâmî) telah melangsungkan konferensi tahunannya di Makkah Saudi Arabia dari tanggal 14 s/d 18 Rabiul Awwal 1394 H (6 s/d 10 April 1974) yang diikuti oleh 140 delegasi negaranegara Muslim dan organisasi Muslim dari seluruh dunia juga telah menfatwakan sesat terhadap aliran ini dan menganggap berada di luar Islam. Fatwa MUI tahun 1980 ini keluar di samping ada tuntutan dari masyarakat juga mendapat pengaruh fatwa dari Rabithah ‘Alam Islâmî. negara tetangga, seperti Malaysia dan Brunai Darusalam, juga telah melarang keberadaan Jemaat Ahmadiyah di wilayah teritorial mereka. Namun demikian, keberadaan mereka di negara-negara tersebut masih tetap eksis. 6 Istilah mainstream menurut Van Bruneissen, secara sosiologis disebut juga ortodoksi yang bukan merupakan konsep yang mutlak, namun relatif dan dinamis. Dikatakan mainstream karena paham ini–dalam hal ini faham Ahli Sunah Waljamaah–dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia berdasarkan preferensi sebagian besar ulama atau lebih tepatnya golongan ulama yang dominan. Kelompok ini menjadi mapan ketika mendapat dukungan politik dari penguasa, sehingga kelompok lain yang tidak disetujui dicap sesat. Pengaruh mainstream, menurut Azyumardi Azra, dapat dilihat perannya sebagai bagian dari civil society yang bermain dalam high politics yang mengambil peran politik dalam pemerintahan, turut memengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Lihat Dewi Nurrul Maliki, “Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia,” dalam JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Multikulturalisme dan Pergulatan Identitas, Vol. XIV, No 1, Juli 2010. 5

440


Muhamad Zuldin: Konflik Agama dan Resolusinya pada Masyarakat Pedesaan

model naturalistik. Data primer diperoleh dari para informan (pelaku, tokoh ormas Islam, tokoh Ahmadiyah, para birokrat, dan grassroot). Informan penelitian ini ditentukan secara purposif, dengan menggunakan teknik snowball sampling. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini didapat dengan melakukan analisis dokumen administrasi di kantor-kantor pemerintah, dokumen berbagai instansi, laporan penelitian, jurnal penelitian, majalah, surat kabar dan buku teks. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan observasi terlibat (participant observation) dan wawancara mendalam (in depth interview) dengan para informan.

Konflik Agama Penelitian ini berangkat dari teori konflik klasik Karl Marx dan teori konflik kontemporer, yang diwakili oleh dua mazhab, yakni mazhab Positivistik (Ralp Dahrendorf dan Lewis Coser) dan mazhab Humanis (Herbert Blumer dan Peter L. Berger). Karl Marx berpendapat bahwa konflik terjadi dalam sepanjang sejarah manusia karena faktor determinasi ekonomi. Sedangkan Dahrendorf berpendapat bahwa konflik terjadi karena faktor perebutan wewenang dan kekuasaan. Menurutnya, ada dua macam kelompok konflik, yaitu kelompok laten dan manifest. Kelompok laten tidak terlibat langsung dalam peristiwa konflik, sedangkan kelompok manifest terlibat langsung. Herbert Blumer mengatakan bahwa konflik dapat terjadi karena perbedaan dalam menafsirkan simbol-simbol. Berger berpandangan bahwa konflik dapat terjadi karena pembenaran terhadap realitas sosialnya. Konflik dibagi ke dalam dua tipe dasar konflik, yaitu konflik realistis dan konflik non realistis. Konflik realistis memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh sumber rebutan itu, dan bila dapat diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi dengan baik. Konflik non realistis didorong keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik agama dan etnis. Antara konflik pertama dan kedua, konflik non realistis cenderung sulit untuk menemukan resolusi konflik. Sangat memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus sehingga menghasilkan situasi konflik yang lebih rumit.7 Konflik agama dibagi ke dalam empat tipe. Pertama, konflik antara agama dengan ilmu pengetahuan dan budaya, misalnya konflik antara agama dan ilmu pengetahuan yang terjadi pada Abad Pertengahan dalam agama Katholik. Kedua, konflik karena pemanfaatan agama untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konflik jenis ini, agama dijadikan Lewis Coser, The Functions of Social Conflict (Glencoe, IL: Free Press, 1956), h. 157. Bandingkan dengan Nasikun yang membagi dua macam tingkatan konflik, yaitu konflik ideologis dan konflik politis. Konflik ideologis terwujud dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang dianut dan menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Konflik ini mudah disimak di dalam hubungan perbedaan agama dan keyakinan, dan konflik antar suku bangsa. Konflik bersifat politis terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas di masyarakat. Nasikun, Sistem Sosial Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1992), h. 63. 7

441


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 alat untuk mencapai tujuan politik, ekonomi, dan sosial dari pihak-pihak tertentu. Ketiga, konflik di antara para penganut agama yang berbeda. Konflik jenis ini sering menimbulkan konflik fisik dan kekerasan, misalnya Perang Salib yang terjadi hampir tiga ratus tahun antara Islam dan Kristen. Keempat, konflik para penganut satu agama yang terjadi dalam aliranaliran dalam satu agama. Sumber konflik adalah adanya penafsiran yang berbeda mengenai tafsiran kitab suci atau ajaran agama oleh para pemimpin agamanya.8 Lebih lanjut, kekerasan agama digolongkan ke dalam tiga tipe. Pertama, kekerasan intern agama. Kekerasan ini biasanya terjadi dalam agama tertentu. Para tokoh agama yang ingin melakukan kritik internal (sebagai usaha pembaharuan atau purifikasi) harus berhadapan dengan kelompok yang menghendaki status quo. Dari sini muncul kecenderungan radikalisme progresif atau radikalisme ortodoks yang berujung pada hubungan kekerasan akibat dari kebuntuan komunikasi dan sikap saling mempertahankan dan menyalahkan pihak lain. Kedua, kekerasan muncul ketika agama memandang dirinya berada di tengahtengah masyarakat yang zalim. Agama mempunyai tuntutan moral untuk melawan dan memberantasnya. Ketiga, kekerasan muncul ketika agama merasa terancam eksistensinya oleh agama-agama lain. Dalam sejarah, ini merupakan kekerasan yang memilukan.9 Untuk mengatasi konflik agar tidak menjadi menjadi lebih destruktif, diperlukan campur tangan pihak ketiga yang berperan sebagai safety valve atau katup penyelamat. Dalam hal ini, untuk mengatasi konflik yang bernuansa agama dalam masyarakat Indonesia, diperlukan intervensi pemerintah dengan membuat peraturan dalam rangka meresolusi konflik yang ada supaya tidak menjadi lebih destruktif dan menciptakan hubungan antar pemeluk dan inter pemeluk umat beragama yang lebih konstruktif dan harmonis. Negara berkewajiban menyelesaikan konflik-konflik umat beragama. Ada dua cara yang umum di dalam penyelesaian konflik yaitu melalui litigasi dan non litigasi, di samping cara-cara yang lainnya. Proses non ligitasi yang sering digunakan adalah negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrasi. Sedangkan resolusi konflik litigasi atau peradilan adalah resolusi yang menggunakan proses hukum nasional dan dilakukan di pengadilan. Para pihak yang terlibat dalam konflik kekerasan tersebut diadili menurut ketentuan hukum nasional yang berlaku dan diselengarakan di pengadilan. Biasanya keputusan akan diambil oleh hakim setelah mempertimbangkan bukti-bukti hukum dari kedua pihak yang terlibat dalam suatu konflik itu.10 Negara dibangun untuk tujuan mengelola konflik. Pemerintah menjadi aktor penting Wirawan, Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), h. 72-73. 9 St. Sunardi, “Keselamatan Kapitalisme Kekerasan,� dalam Haqqul Yakin (ed.), Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2009) h. 50. 10 Wijoyo, “Resolusi Litigasi dan Non Litigasi,� dalam Yohanes Bahari (ed.), Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamakang dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat (Bandung: Program PPS Unpad, 2005), h. 57. 8

442


Muhamad Zuldin: Konflik Agama dan Resolusinya pada Masyarakat Pedesaan

memelihara iklim harmoni dengan memberikan ruang demokratik bagi para pemeluk agama dan/atau keyakinan apapun. Pemerintah memiliki peran otoritas dalam melakukan kontrol atas berbagai faksi yang ada untuk tujuan memelihara suasana harmonis.11 Berbagai kebijakan dan peraturan telah dikeluarkan oleh pemerintah dalam upaya mengatasi konflik umat beragama di Indonesia, seperti SKB, pembentukan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), dan Peraturan-peraturan kepala daerah. Berhubungan dengan keluarnya kebijakan dan peraturan tersebut, posisi pemerintah memang sudah memerankan fungsinya, meskipun kebijakan dan peraturan yang telah diambil itu tidak memuaskan semua pihak. Dalam hal konflik antara Islam mainstream dengan Ahmadiyah, pemerintah baik pusat maupun daerah, telah mengeluarkan kebijakan peraturan-peraturan berupa SKB (Surat Keputusan Bersama) Tiga Menteri Tahun 2008 dan Pergub (Pergub) Tahun 2011 guna mencegah konflik yang lebih besar. Peraturan yang telah dikeluarkan ini mendapat tanggapan yang beragam dari masyarakat.

Hasil dan Pembahasan Faktor penyebab konflik antara Islam mainstrem dengan Ahmadiyah di kabupaten Tasikmalaya bermula dari aspek teologis. Kemudian berkembang menjadi aspek politik, ekonomi, eklusivitas, tidak ada tokoh pemersatu dari kedua belah pihak, Jemaat Ahmadiyah eklusif dalam beribadah, tuduhan pelanggaran terhadap SKB dan Pergub, ketahanan masyarakat lokal rendah, pengaruh pemberitaan di media massa tentang konflik antara Ahmadiyah dengan Islam mainstream di daerah lain, dan masyarakat di tataran Sunda, khususnya di kabupaten Tasikmalaya, tidak ditemukan lembaga adat yang berfungsi menyatukan masyarakatnya, selain agama. Aspek teologi ialah karena terdapat perbedaan pemahaman ajaran dari keduanya. Islam mainstream menganggap tidak ada lagi kenabian, setelah kenabian Nabi Muhammad SAW. Perbedaan ini timbul karena terjadi penafsiran dan pemahaman yang berbeda antar Jemaat Ahmadiyah dengan Islam mainstream. Hal ini, menurut perspektif teori interaksi simbolik, disebabkan karena telah terjadi perbedaan penafsiran dan pemaknaan simbol kata-kata dan ayat –ayat dalam al-Qur’an dan hadis. Pemaknaan terhadap satu simbol yang tidak sama terhadap objek yang sama berpotensi menimbulkan konflik. Perbedaan itu selanjutnya, menurut Herbert Blumer, dikonstruksi ke dalam realitas sosial masingmasing di mana mereka berada dan membentuk doktrin serta pandangan hidup (way of life) yang berbeda. Jemaat Ahmadiyah menganggap doktrin dan pandangan hidupnyalah yang benar (truth claim). Di pihak lain, Islam mainstream menganggap bahwa Jemaat Ahmadiyah telah menodai ajaran Islam yang mereka anut selama ini. Pada awalnya, perThomas R. Dye, Politics in States and Communities (New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1988) h. 1., dalam Asep Saeful Muhtadi. Radikalisme Agama: Tinjauan Sosial Politik, Makalah disampaikan dalam diskusi dosen Fakultas Ushuluddin pada tanggal 11 April 2012. 11

443


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 bedaan ini hanya bersifat polemik saja, namun setelah muncul kelompok-kelompok Islam aliran keras, seperti Front Pembela Islam (FPI), perbedaan doktrin dan pandangan hidup ini mengarah pada konflik kekerasan. Aspek politik terlihat adanya konflik by design, konflik yang direncanakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Konflik antara Jemaat Ahmadiyah dengan Islam mainstream di kabupaten Tasikmalaya sering terjadi pada saat akan ada pemilihan umum (PEMILU), baik tingkat daerah maupun pusat. Konflik dirancang sedemikian rupa untuk tujuan-tujuan politis tertentu, terutama oleh calon kepala daerah. Keberadaaan Jemaat Ahmadiyah di kabupaten Tasikmalaya oleh sebagian besar masyarakat dianggap sebagai stigma umat Islam. Isu ini dimanfaatkan oleh partai-partai yang dalam kampanyenya ingin menghilangkan stigma tersebut, dengan tujuan untuk mendapat simpatik dan dukungan suara pemilih di kabupaten Tasikmalaya. Di samping itu, konflik dan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah juga sering terjadi pada saat peringatan hari-hari besar Islam, seperti peringatan tahun baru Islam (1 Muharam) dan menjelang bulan puasa Ramadhan. Kelompok Islam mainstream yang dikomandani oleh aliran Islam garis keras sering melakukan pawai dan arak-arakan menuju perkampungan Ahmadiyah. Tujuannya untuk membuat anggota Ahmadiyah shock therapy sehingga menyadari akan kesesatan ajaran Ahmadiyah. Dalam arakan-arakan tersebut sering terjadi perusakan masjid, rumah, dan simbol-simbol lain milik Ahmadiyah. Dari aspek ekonomi, ketika terjadi penyerangan dan perusakan tidak jarang terjadi penjarahan harta milik warga Ahmadiyah. Tentu saja tujuan penyerangan dan perusakan milik Ahmadiyah itu bukan untuk menjarah, tetapi sering kali dimanfaatkan oknum-oknum tertentu guna kepentingan pribadi dalam situasi konflik. Secara ekonomi, konflik juga terjadi karena dipicu oleh ketidaksenangan kelompok Islam mainstream kepada Ahmadiyah di salah satu lokasi penambangan pasir di Sukaratu Kabupaten Tasikmalaya. Penambangan itu banyak mempekerjakan dari kalangan Ahmadiyah, sedangkan pekerja dari kelompok Islam mainstrem hanya sedikit. Perusakan juga terjadi di pertokoan dan peternakan domba milik Ahmadiyah. Pihak Islam mainstream bertambah semangat ‘menggebuk’ Ahmadiyah agar anggaran penanganan masalah Jemaat Ahmadiyah dari Gubernur Jawa Barat dapat dikeluarkan. Terjadinya konflik juga disebabkan oleh tuduhan sepihak dari masing- masing kelompok. Pihak Islam mainstream menuduh Ahmadiyah banyak melanggar Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tahun 2008 dan Peraturan Gubernur (Pergub) tahun 2011, seperti masih melakukan kegiatan ibadah berjamaah dan merekrut anggota baru. Di pihak lain, Ahmadiyah berketetapan hati bahwa melaksanaan ibadah baik sendiri-sendiri maupun berjamaah merupakan hak asasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945. Potensi konflik juga terjadi karena adanya pelaksanaan program-program sosial dari Ahmadiyah seperti pengobatan gratis dan donor darah untuk warga sekitar. Kegiatan sosial ini seringkali menimbulkan ketidaksenangan bagi kelompok Islam masinstream, 444


Muhamad Zuldin: Konflik Agama dan Resolusinya pada Masyarakat Pedesaan

terutama para elitnya. Mereka mengganggap kegiatan itu hanya sebagai ‘kedok’ saja untuk merekrut anggota baru Ahmadiyah. Aspek tidak adanya figur pemersatu bagi kedua pihak, juga memicu terjadinya konflik. Di beberapa tempat di kabupaten Tasikmalaya, seperti Singaparna, Sukaraja, dan Sukaratu, terdapat hubungan keluarga atau hubungan darah antara Islam mainstream dengan Ahmadiyah. Seiring berjalannya waktu, para sesepuh yang dianggap dapat mempersatukan kelompok-kelompok yang bertikai tersebut banyak yang sudah meninggal dunia. Bila terjadi perselisihan antara kedua kelompok tersebut, tidak ada lagi tokoh yang menengahinya, bahkan memicu ke arah yang lebih besar. Sedangkan keturunan-keturunan dari kedua belah pihak, rasa persaudaraan dan kekeluargaannya semakin memudar. Aspek eklusivitas pihak Ahmadiyah dalam menjalankan ibadah juga memicu terjadinya konflik. Pihak Ahmadiyah tidak mau berbaur dengan Islam mainstream dalam hal beribadah, seperti salat. Keadaan demikian membuat rasa ketidaksenangan di kalangan Islam mainstream. Aspek pemberitaan oleh media massa, khususnya TV (Televisi), yang gencar memberitakan penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di berbagai tempat di luar kabupaten Tasikmalaya, juga dapat menstimulus terjadinya konflik kekerasan di beberapa tempat di kabupaten Tasikmalaya. Hal ini berbeda dengan masa pemerintahan Soeharto di mana masyarakat belum banyak yang memiliki Televisi (TV). Dalam masyarakat Sunda tidak dikenal marga seperti dalam masyarakat Batak. Akibatnya apabila terjadi potensi konflik, tidak bisa diselesaikan secara adat kekeluargaan. Agama adalah satu-satunya faktor pemersatu. Apabila ada pihak luar yang berbeda keyakinan maka timbul rasa persatuan untuk menghadapi keyakinan pihak luar yang berbeda keyakinannya. Secara umum konflik antara Ahmadiyah dengan Islam mainstream di kabupaten Tasikmalaya banyak terjadi setelah keluarnya fatwa MUI yang kedua pada tahun 2005, dan keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Walikota dan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2007 bila dibanding dengan keluarnya SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat tahun 2011. Konflik Islam mainstream dengan Ahmadiyah lebih bersifat laten sedangkan konflik dengan ormas Front Pembela Islam (FPI) bersifat manifest. FPI adalah ormas Islam terdepan dalam menghadapi Ahmadiyah di kabupaten Tasikmalaya. Resolusi konflik antara Ahmadiyah dengan Islam mainstream di kabupaten Tasikmalaya melalui dua cara, yaitu resolusi konflik non litigasi dan resolusi konflik litigasi. Resolusi konflik non litigasi dilakukan dengan proses mediasi yang melibatkan aparat pemerintah, mulai dari tingkat RT, RW, desa, Muspika, Muspida, dan kepolisian. Pihak FPI melalui intelnya dan laporan masyarakat mendapat informasi tentang kegiatan-kegiatan Jemaat Ahmadiyah yang dianggap melanggar peraturan yang ada. Kemudian minta kepada pemerintah untuk menegur dan memberhentikan kegiatan-kegiatan. Bila pemerintah dan pihak aparat tidak memberhentikan kegiatan Ahmadiyah, maka FPI dan ormas Islam lainnyalah yang turun tangan. Biasanya didahului dengan proses mediasi. Dalam proses ini, sering tidak dicapai 445


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 titik temu karena masing-masing mempertahankan pendapatnya. Akibatnya terjadi tindakan kekerasan terhadap Ahmadiyah berupa perusakan masjid dan aset-aset lainnya. Sedangkan resolusi konflik litigasi dilakukan melalui proses peradilan. Proses ini dilakukan setelah tidak ada kesepakatan dari kedua pihak dan telah memenuhi unsur pidana. Ahmadiyah menganggap SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 tidak dapat berfungsi sebagai resolusi konflik. SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 dianggap merugikan Ahmadiyah. Setelah keluarnya SKB Tiga Menteri tahun 2008 kegiatan Ahmadiyah menjadi sangat terbatas. Apalagi setelah keluarnya Pergub tahun 2011, Ahmadiyah merasa seperti terjepit dan tercekik. Meskipun demikian, Ahmadiyah mengakui SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 dapat dianggap sebagai jalan tengah yang merupakan resolusi konflik sementara bagi kedua kelompok yang bertikai. Sedangkan Islam mainstream menganggap SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 dapat dijadikan resolusi konflik dengan beberapa pesyaratan. Pada umumnya, SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 di kabupaten Tasikmalaya dapat dijadikan resolusi konflik agama antara Jemaat Ahmadiyah dengan Islam mainstream. Data lapangan menunjukkan bahwa konflik di Kabupaten Tasikmalaya banyak terjadi pada periode tahun 2005-2007 sebelum dikeluarkannya SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011. Setelah dikeluarkannya SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 angka konflik cenderung menurun. Islam mainstream tetap menginginkan agar organisasi Ahmadiyah di Indonesia dibubarkan oleh pemerintah dengan menggunakan Keputusan Presiden (Keppres) atau Undang-Undang. Jika tidak dibubarkan, agar Jemaat Ahmadiyah tidak lagi menggunakan nama Islam. Sebaliknya, Jemaat Ahmadiyah tetap berusaha memperjuangkan agar SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 dapat dibatalkan. Konflik Ahmadiyah dengan Islam mainstream di kabupaten Tasikmalaya akan terus terjadi, karena konflik yang disebabkan oleh faktor non realistik seperti agama, tidak mudah untuk diselesaikan. Konflik menjadi lebih rumit karena penyebabnya tidak hanya dari faktor non realistik, tetapi juga dari faktor realistik seperti masalah politik dan ekonomi. Peraturan-peraturan yang ada untuk meresolusi konflik antara Jemaat Ahmadiyah dengan Islam mainstream hanya bersifat jalan tengah sementara, yang sewaktu-waktu konflik dapat terulang kembali.

Penutup Faktor penyebab konflik antara Islam mainstrem dengan Ahmadiyah di kabupaten Tasikmalaya tidaklah tunggal. Penyebab konflik adalah sebagai berikut. Pertama, Ahmadiyah dianggap telah menistakan keyakinan umat Islam yang sebenarnya. Kedua, isu politik sering dijadikan sebagian masyarakat untuk melakukan tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah. Ketiga, Ahmadiyah dianggap sering melanggar SKB dan Pergub. Islam mainstream meng446


Muhamad Zuldin: Konflik Agama dan Resolusinya pada Masyarakat Pedesaan

anggap SKB dan Pergub melarang semua kegiatan Ahmadiyah, termasuk kegiatan beribadah. Ahmadiyah menganggap SKB dan Pergub tidak membatasi mereka dalam beribadah. Keempat, pemerintah tidak tegas dalam penerapan hukum. Kelima, ada pihak-pihak luar yang berusaha membenturkan. Keenam, faktor ekonomi. Ketujuh Ahmadiyah eklusif dalam melaksanakan ibadah. Kedelapan, pengaruh pemberitaan media massa tentang konflik di daerah lain, dan para tokoh pemersatu banyak yang sudah meninggal dunia. Resolusi konflik antara Ahmadiyah dengan Islam mainstream di kabupaten Tasikmalaya melalui resolusi konflik non litigasi yaitu dengan mediasi, dan resolusi konflik litigasi yaitu dengan proses peradilan. Poses mediasi seringkali mengalami jalan buntu, karena masing-masing pihak berpegang pada kebenaran masing-masing. Di beberapa daerah yang jumlah Ahmadiyahnya sangat sedikit, konflik bisa berhenti karena mengalami kelelahan dan Ahmadiyah akhirnya mengalah. Ahmadiyah menganggap SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 tidak dapat berfungsi sebagai resolusi konflik. Sedangkan Islam mainstream menganggap sebaliknya dengan beberapa persyaratan. Namun demikian, keduanya menganggap SKB dan Pergub dapat dianggap sebagai resolusi konflik sementara. Berdasarkan jumlah konflik, ditemukan kecenderungan menurun dari tahun ke tahun setelah dikeluarkan SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011. Islam mainstrem menerima keberadaan SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 dalam menangani masalah kontemporer terhadap Ahmadiyah tetapi tetap menginginkan Jemaat Ahmadiyah dibubarkan oleh pemerintah dengan menggunakan Keputusan Presiden (Keppres) atau Undang-Undang. Jika tidak dibubarkan, agar Ahmadiyah tidak lagi menggunakan nama Islam. Sedangkan Ahmadiyah menolak keberadaan SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 dan tetap berusaha memperjuangkan agar SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 dapat dibatalkan. Meskipun SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 hanya bersifat sementara dan masih diperdebatkan, untuk saat ini, SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011 masih bisa dipertahankan di Jawa Barat, khususnya kabupaten Tasikmalaya, guna mengatasi konflik antara Islam mainstream dengan Ahmadiyah. Karena masih terdapat perbedaan penafsiran terhadap SKB Tiga Menteri tahun 2008 dan Pergub tahun 2011, pemerintah daerah diharapkan dapat mensosialisasikannya secara lebih intensif baik di kalangan Islam mainstream maupun Ahmadiyah.

Pustaka Acuan Coser, Lewis. The Functions of Social Conflict. Glencoe, IL: Free Press, 1956. Dye, Thomas R. Politics in States and Communities. New Jersey: Prentice Hall,Inc: 1988. Iqbal, Muhammad. Islam dan Ahmadiyah, terj. Machnun Husain. Jakarta: Bumi Restu. 1991. 447


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Maliki, Dewi Nurrul. “Resistensi Kelompok Minoritas Keagamaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia,” dalam JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik: Multikulturalisme dan Pergulatan Identitas, Vol. XIV, No. 1, Juli 2010. Muhtadi, Asep Saeful. “Radikalisme Agama: Tinjauan Sosial Politik,” Makalah disampaikan dalam diskusi dosen Fakultas Ushuluddin pada tanggal 11 April 2012. Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1992. Sidik, Munasir. Dasar-Dasar Hukum & Legalitas Jemaat Ahmadiyah. Jakarta: Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 2008. Sofianto, Kunto. “Gerakan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat, 1931-2000: Penyebaran Ideologi dan Respons Masyarakat.” Thesis Ph.D: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2011. Thaha, Fawzy Sa’ied. Ahmadiyah dalam Persoalan. Bandung: Al-Ma’arif, 1981. Yakin, Haqqul. Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: eLSAQ Press, 2009. Watt, William Montgomery. Islamic Fundamentalism and Modernity. London and New York: Routledge, 1988. Wijoyo. “Resolusi Litigasi dan Non Litigasi,” dalam Yohanes Bahari (ed.), Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamakang dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat. Bandung: PPS UNPAD, 2005. Wirawan. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

448


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

ANDALUSIA: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik L. Hidayat Siregar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan, 20371 e-mail: lindunghidayatsiregar@yahoo.com

Abstrak: Andalusia merupakan satu bab yang sangat menarik dalam sejarah Islam, karena hentakan awalnya, tetapi juga karena ketragisan akhirnya. Tulisan ini memusatkan perhatian pada pembahasan mengenai interaksi yang terjadi antara orang Islam sebagai bangsa penakluk di satu sisi dan bangsa lokal Andalusia sebagai bangsa tertakluk di sisi lain. Kenyataan ini terkadang menimbulkan penafsiran yang hitam putih dan serba revolusioner terhadap pola hubungan dan saling pengaruh antara Muslim dan penduduk asli Andalusia dalam hal agama dan bahasa. Artikel ini mengargumentasikan bahwa, sebagaimana di tempat lain, pengaruh religius dan linguistik merupakan aspek kehidupan yang lebih substantif dan mendasar bagi sebuah masyarakat bila dibandingkan dengan aspek politik dan militer dan hal ini memerlukan proses interaksi yang intens untuk terjadi di Andalusia. Artikel ini menelusuri tahapan-tahapan interaksi tersebut dan menggarisbawahi faktorfaktor terpenting yang terlibat di dalamnya. Abstract: Al-Andalus (Islamic Spain): A History of Religious and Linguistic Interaction. Islamic Spain is a chapter of Islamic history that has alway been very interesting, not only because of its shocking beginning but also because of its tragic end. The main thrust of this essay is focused on discussing the interaction between the Muslim peoples as conqueror on one side and the lokcal Andalusians as the conquered on the other. This fact often results in a black-and-white revolutionary interpretation of the relations between the conquering Arab Muslims and the conquerred Latin Christians. This article argues that, as in anywhere else in the Muslim world, religious and linguistic influence is the most substantive and fundamental aspects of social life compared to political and military aspects and such to occur in the Arab Muslims upon the locals of al-Andalus requires a long intensive interaction. The most relevant factors of the process are explained in this article.

Kata Kunci: Andalusia, Islamisasi, Arabisasi, Reconquista

260


L. Hidayat Siregar: Andalusia: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik

Pendahuluan Di antara sejumlah besar capaian peradaban umat Islam masa klasik adalah penaklukan (dalam sumber Arab, futuhat) yang mereka lakukan ke arah Barat, yakni dari Hijaz menuju Syiria (Syam), lalu kemudian ke wilayah Mesir, Afrika Utara (Ifriqiyya) hingga menyeberang ke Andalusia, Semenanjung Iberia. Penaklukan ini begitu penting dikarenakan oleh dua hal. Pertama, Andalusia adalah titik barat terujung dari wilayah yang ditaklukkan umat Islam. Tidak hanya itu, wilayah ini dapat pula dipersepsi sebagai perwakilan dari peradaban Barat, sehingga penaklukannya memiliki relevansi kultural tersendiri, lebih dari wilayahwilayah lainnya.1 Kedua, bahwa ternyata pencapaian sosial dan budaya yang dilakukan oleh umat Islam di Andalusia berakhir secara ‘tragis’, dan hampir tidak menyisakan apaapa. Dapat disebut bahwa penaklukan Andalusia berakhir dengan sebuah anti-klimaks dalam berbagai aspek.2 Tulisan ini memusatkan perhatian pada pembahasan mengenai interaksi yang terjadi antara orang Islam sebagai bangsa penakluk di satu sisi dan bangsa lokal Andalusia sebagai bangsa tertakluk di sisi lain. Meskipun interaksi yang terjadi pastilah mencakup banyak sekali aspek, tetapi tulisan ini akan memusatkan perhatian pada dua aspek saja, yakni aspek keagamaan dan aspek kebahasaan. Pilihan ini didasari oleh kenyataan bahwa sesungguhnya beberapa aspek lainnya, seperti aspek politik dan militer, sudah mendapatkan perhatian yang lebih banyak dalam berbagai karya terkait Islam di Andalusia. Di samping itu, aspek keagamaan dan kebahasaan dipandang sebagai aspek kehidupan yang lebih substantif dan mendasar bagi sebuah masyarakat bila dibandingkan dengan aspek politik dan militer.

Masa Formatif: Berguru ke Timur Sejarah Islam Andalusia bermula dengan penaklukan yang dilakukan oleh tentara Muslim pada awal abad ke 2H/8M. Di bawah ini dikutipkan sebuah paragraf dari sejarawan Albert Hourani: The Arabs first landed in Spain in 710 and soon created there a province of the caliphate which extended as far as the north of the peninsula. The Arabs and Berbers of the first settlement were joined by a second wave of soldier from Syria, who were to play an important part, for after the ‘Abbasid revolution a member of the Umayyad family was able to take refuge in Spain and found supporters there. A new Umayyad dynasty was created and ruled for almost three hundred years, although it was not until the middle of the tenth century that the ruler took the title of caliph. In their new kingdom the Umayyads were involved in the same process of change as took place in the east. A society where Muslims ruled Bernard Lewis, The Muslim Discovery of Europe (New York: W.W. Norton & Co., 1982). Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 254-257. 1 2

261


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 over a non-Muslim majority gradually changed into one where a considerable part of the population accepted the religion and language of the rulers, and a government which ruled at first in a decentralized way, by political manipulation, became a powerful centralized one ruling by bureaucratic control.3 Penjelasan Hourani di atas menekankan pentingnya penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam dan betapa penaklukan itu memengaruhi secara sangat signifikan keadaan sosial dan kultural Andalusia. Namun demikian, Hourani dengan jelas pula menekankan betapa perubahan yang ada, khususnya yang berkaitan dengan agama dan bahasa, terjadi secara gradual dan perlahan, bukan sebuah perubahan mendadak dan revolusioner. Dengan kata lain, meskipun Andalusia mengalami perubahan yang relatif drastis pada aspek politik dan kemiliteran, perubahan tersebut terjadi dalam tempo yang relatif lebih perlahan dalam urusan agama dan budaya, khususnya bahasa.4 Hal ini perlu dinyatakan untuk mempertanyakan secara amat serius dua pandangan ekstrem terkait tema ini, yang selama ini telah dikemukakan. Kedua pendapat itu adalah: pertama, yang menyatakan bahwa orang-orang Arab memaksakan perubahan agama dan bahasa secara serta merta kepada para penduduk asli Andalusia, yang mayoritasnya adalah penganut Kristen. Pendapat ini menyatakan bahwa tidak terdapat proses yang evolusioner dalam proses penyerapan bahasa Arab maupun pengenalan (dakwah) agama Islam terhadap penduduk asli.5 Ringkasnya, tantara muslim penakluk melakukan pemaksaan secara revolusioner. Pendapat yang kedua menyatakan sebaliknya, bahwa meskipun umat Islam menguasai Andalusia selama lebih dari tiga abad, tidak terjadi perubahan yang signifikan terhadap agama dan bahasa orang Andalusia. Pendapat ini jelas secara ekstrem ingin meniadakan relevansi dan arti penting kehadiran orang Islam di Andalusia.6 Padahal realitas seringkali menunjukkan bahwa keragaman adalah kekayaan yang memberi kemungkinan perkembangan kebudayaan.7 Kedua pandangan ekstrem semacam itu tidak mungkin terjadi dalam sejarah kemanusiaan, terutama sekali oleh adanya sifat bawaan manusia dalam bentuk rasa ingin tahu yang kemudian dilengkapi oleh kemampuan dasarnya untuk menyesuaikan diri kepada berbagai situasi baru. Oleh karenanya, yang paling mungkin terjadi dalam situasi penaklukan adalah interaksi antar dua bangsa dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Tampaknya, proses inilah yang nantinya membentuk satu peradaban khas Andalusia Albert Hourani, A History of the Arab Peoples (Cambridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press, 1991), h. 41-42. 4 Ibid., h. 42. 5 Anwar G. Chejne, “Islamization and Arabization in al-Andalus: A General View,� dalam Speros Vryonis (ed.) Islam and Cultural Change in the Middle Ages (Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1973), h. 60. 6 Ibid., h. 59. 7 Hourani, A History of the Arab Peoples, h. 194. 3

262


L. Hidayat Siregar: Andalusia: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik

yang menampilkan ciri Arab-Islam, tetapi pada saat yang sama juga tidak kehilangan sepenuhnya cita rasa Andalusianya.8 Penting untuk ditegaskan bahwa dari perspektif makro, peristiwa masuknya Islam ke Andalusia dan segala perubahan religius dan linguistik yang kemudian mengikutinya adalah sebuah fase semata dari sejarah panjang semenanjung tersebut. Sebuah fase yang bukan paling awal dan bukan pula paling akhir dari sejarahnya. Ini penting untuk membangun landasan teoretis dan faktual bahwa pengaruh Islam dan bahasa Arab berproses dalam satu rangkaian realitas keagamaan dan linguistik serta bungkusan kerangka sosio politik yang sangat rumit. Misalnya, pada saat kedatangan Islam pada awal abad ke 2/8, Andalusia telah berada di bawah pengaruh Visigoth selama lebih kurang tiga abad. Masa ini adalah cukup panjang dan karenanya cukup membekas pula. Umat Islam datang dan secara literal mewarisi pengaruh Visigoth tersebut dalam arti menyeluruh, yang baik maupun yang buruk, sebelum secara berangsur membubuhkan pula pengaruhnya yang bercirikan Islam dan Arab. Interaksi yang intens terjadi antara para pendatang penganut agama Islam dan penduduk tempatan penganut agama Kristen, antara pendatang penutur bahasa Arab dengan penduduk setempat penutur bahasa Latin (Romance).9 Pada masa-masa awal umat Islam di Andalusia adalah merupakan minoritas dalam jumlah namun mengendalikan kekuasaan politik dan kekuatan militer. Jarak yang begitu jauh dari pusat peradaban Islam di Timur (Syria-Hijaz) mengakibatkan pertambahan jumlah penduduk Muslim berjalan relatif lambat, dan karenanya penanaman pengaruh Islam dan penyebarluasan penggunaan bahasa Arab juga berjalan sangat perlahan. Malah pada masa awal terdapat kecenderungan terjadinya asimilasi budaya Arab Muslim dengan budaya setempat. Ini misalnya terlihat dalam kasus amir pertama, ‘Abd al-‘Aziz ibn Musa yang menikahi janda dari Jenderal Roderick yang dia kalahkan. Sang amir kemudian dituduh telah terpengaruh oleh isterinya dan beralih agama, sehingga akhirnya dia dieksekusi.10 Kasus ini diangkat sekedar untuk menunjukkan betapa saling pengaruh adalah hal yang lumrah dalam interaksi sosial kultural, bahkan religius. Adalah ‘Abd al-Rahmân I, pangeran Bani Umayyah yang berhasil melarikan diri dari pemberontakan Bani Abbas, dianggap sangat berprestasi dalam mengubah arah interaksi antar umat Islam pendatang dan penduduk asli Andalusia. Dengan kepiawaiannya, ‘Abd al-Rahmân I membangun kebijakan yang menjadikan kedua penduduk yang berbeda budaya tersebut hidup bersama dengan Islam dan bahasa Arab sebagai pilar utamanya. Gelombang demi gelombang imigran Muslim yang datang belakangan ke Andalusia semakin memudahkan proses tersebut. Para pendatang Muslim, sebagai penguasa, secara

Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 61. Ibid. 10 Ibid., h. 67. 8 9

263


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 alamiah menduduki berbagai posisi penting di tengah masyarakat.11 Namun demikian mereka membutuhkan bantuan dan layanan dari para penduduk lokal untuk menjalankan fungsinya. Dalam pola seperti inilah secara perlahan terbentuk sekelompok penduduk asli yang menjadi penolong bagi para Muslim berkuasa. Seiring berjalannya waktu sejumlah besar orang lokal kemudian memeluk agama Islam. Semakin menguatnya posisi Islam dengan sendirinya semakin menguatkan pula posisi bahasa Arab; dan setidaknya sejak abad ke 3/9 sejumlah penduduk asli Andalusia telah mempelajari dan bahkan ahli dalam bahasa Arab.12 Ini sama sekali tidak berarti bahwa bahasa-bahasa lain menjadi terlupakan. Hourani malah berpendapat bahwa salah satu alasan kecemerlangan Andalusia adalah keragaman budaya dan bahasa yang dikenal di tengah masyarakatnya.13 Menarik untuk dicatat bahwa ternyata permusuhan politik antara Dinasti Abbasiyah (yang menguasai dunia Islam Timur) dengan Umayyah di Andalusia tidak menghalangi Muslim Andalusia untuk belajar dari Muslim di Timur dalam hal pengembangan kebudayaan Islam. Chejne menulis sebagai berikut: Although al-Andalus assumed an independent political posture from the outset, the Muslims of al-Andalus turned not inward for self-development, but outward toward the East for religiocultural inspiration and guidance. In fact, borrowing from Spain was relatively small, indeed much smaller than the heavy borrowing from the East. There is no indication of extensive translation from Greek or Latin into Arabic in al-Andalus as in the East ... Nor is there any indication that the intellectual life in Spain was in a state of development sufficient to exert appreciable influence on the intellectual perspective of the Muslims... Under those circumstances, al-Andalus was the recipient, slavishly dependent on the East for intellectual nourishment, and remained so for a long time.14 Catatan-catatan sejarah menunjukkan bahwa Andalusia mengimpor sejumlah besar buku-buku karya para ulama dari dunia Islam Timur, sejumlah besar orang pindah dari Timur ke Andalusia dan sebaliknya.15 Beberapa contoh ilmuan Andalusia yang belajar ke Timur dan kemudian kembali ke Andalusia dapat ditemukan dalam bab khusus mengenai wilayah ini dalam karya Al-Andalusi, Thabaqât al-Umâm.16 Di antara yang paling populer adalah sufi besar Muhy al-Dîn ibn ‘Arabî, yang bertualang belajar dan mengajar ke berbagai penjuru dunia Islam Timur. Sebuah karya menarik tentang hal ini dapat dirujuk ‘Abd al-Wahid Taha. The Muslim Conquest and Settlement of North Africa and Spain (London: Routledge, 1989). 12 Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 67-68. 13 Hourani, A History of the Arab Peoples, h. 194. 14 Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 72. 15 Sekadar contoh dapat dilihat dalam karya Al-Maqarri, Nafh al-Tib, ed. Ihsan ‘Abbas (Beirut: Dar Sadir, 1968), jld. I, h. 290-298. 16 Sa‘id al-Andalusi, Science in the Medieval World (Tabaqat al-Umam), terj. Sema‘an I. Salem dan Alok Kumar (Austin, Texas: University of Texas Press, 1991), h. 58-78. 11

264


L. Hidayat Siregar: Andalusia: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik

Ringkas kata, interaksi religius dan linguistik berjalan sangat intens di Andalusia sejak masa yang paling awal. Proses ini banyak ditentukan oleh pergeseran posisi umat Islam di sana, mulai dari kekuatan kekuasaan politik, jumlah penduduk, dan intensitas hubungan mereka dengan penduduk asli Andalusia. Salah satu aspek menarik dalam kaitan ini adalah keterikatan yang sangat kuat Andalusia dengan Dunia Islam Timur dalam hal pengembangan Islam dan bahasa Arab.

Masa Kegemilangan: Membangun Identitas Sendiri ‘Abd al-Rahman III pada dekade kedua abd ke 4/10 adalah penguasa yang pertama kali mendeklarasikan dirinya sebagai khalifah di Andalusia (sebelumnya gelar yang dipakai adalah amîr), dan penggunaan gelar ini memiliki makna penting. Dengan bergelar khalifah, maka Andalusia menyatakan secara tegas kesetaraannya dengan Dunia Islam Timur yang berada di bawah Dinasti Abbasiyah di Baghdad dan khilafah Fathimiyah di Kairo. Jadi, pendeklarasian Andalusia sebagai sebuah khilafah menjadikan dunia Islam memiliki tiga khilafah sekaligus pada saat yang bersamaan.17 Di bawah khalifah ‘Abd al-Rahmân III dan penerusnya, al-Hakam II dan al-Manshûr, Andalusia benar-benar mencapai puncak kejayaannya dalam bidang keagamaan maupun kebudayaan. Kota Kordova berkembang menjadi pusat kebudayaan yang sebanding dengan Kairawan, Damaskus, atau Baghdad. Menurut satu laporan pada pengujung abad ke 4/ 10 kota Kordova saja memiliki 1.600 masjid, 900 pemandian umum, 60.300 villa, 213.077 rumah, dan 80.455 toko.18 Kemegahan dan kemeriahan kota Kordova juga dimiliki oleh kota-kota lain di Andalusia. Ibn Hawqal yang mengunjungi Andalusia pada pertengahan abad ke 4/10 melaporkan bahwa semua kota di wilayah tersebut besar dan ramai, memiliki fasilitas perkotaan yang sangat lengkap: jalan-jalan yang lapang dan bersih, pemandian, dan penginapan. Pada saat yang sama dia juga mencatatkan bahwa Andalusia masih memiliki sejumlah wilayah pedesaan yang kurang berkembang, biasanya dihuni oleh penduduk beragama Kristen.19 Implisit dalam pernyataan ini adalah bahwa kesediaan berinteraksi dengan Islam dan bahasa Arab dipersepsi sebagai satu jalan menuju kemajuan dan perkembangan peradaban saat itu.20 Menurut analisis Chejne, laporan tentang banyaknya pemandian umum dapat digunakan sebagai indikasi tingkat Islamisasi yang telah terjadi di kota-kota Andalusia. Sebab, pemandian umum adalah sebuah fitur budaya yang tidak dikenal di Andalusia sebelum Keadaan ini merupakan sesuatu yang sangat menarik, khususnya dari perspektif kesatuan umat (ummah wâhidah) dan bagaimana realisasi konsep ideal tersebut dalam realitas sejarah. 18 Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 74. 19 Ibn Hawqal, Kitab Surat al-Ard, Jilid II (Leiden: E. J. Brill, 1938), h. 109-111. 20 Sebuah studi singkat tentang pengaruh Islam dan Arab dalam perkotaan Andalusia dapat dilihat melalui James Dickie, “Granada: A Case Study of Arab Urbanism in Muslim Spain,” dalam Salma Khadra Jayyusi (ed.) The Legacy of Muslim Spain (Leiden: E.J. Brill, 1992), h. 88-111. 17

265


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 masuknya Islam. Lagi pula pemandian umum pada masa tersebut lebih banyak dipergunakan untuk kepentingan keagamaan. Karena itu pula (asosiasi pemandian umum dengan agama Islam) penduduk Kristen Andalusia pada umumnya tidak menyukai pemandian umum, sama seperti mereka tidak menyukai adanya masjid dalam jumlah besar.21 Pada masa kejayaan ini, ketergantungan kultural Andalusia kepada Dunia Islam Timur sudah berakhir, dan Andalusia mulai mengembangkan kebudayaannya sendiri dengan identitasnya yang khas Andalusia. Islam dan bahasa Arab jelas merupakan faktor terpenting dan sekaligus menjadi identitas dalam kemajuan budaya Andalusia saat itu, sama dengan di berbagai belahan dunia Islam lainnya. Akan tetapi, kini Andalusia mulai membangun identitas sosio kulturalnya sendiri. Sekadar contoh, jika di berbagai tempat lain pendidikan anak dimulai dengan menghapal al-Qur’an, di Andalusia pendidikan anak dimulai dengan pelajaran membaca dan menulis menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai materi. Dengan cara itu mereka dapat menguasai keterampilan membaca, menulis dan penguasaan kitab suci pada saat yang bersamaan.22 Contoh lain adalah penggunaan penanggalan non-hijri oleh sementara penulis Muslim di Andalusia. Bukan hal yang aneh jika seorang penulis Muslim di Andalusia menggunakan secara paralel penanggalan hijri (Islam), penanggalan Romawi (Masehi), dan penanggalan Koptik. Praktik ini misalnya dapat dilihat dalam karya-karya Ibn al-Banna’ al-Marakkusyi, Ibn al-Idzari, dan Ibn alKhathib. Di sisi lain hal yang sama juga dilakukan oleh beberapa penulis beragama Kristen.23 Pada masa keemasan ini Islamisasi Andalusia benar-benar mengalami kemajuan. Kemajuan ini tentu saja dimungkinkan karena tersedianya stabilitas dan kemapanan sosial politik yang diupayakan oleh para penguasanya. Dalam iklim yang mendukung inilah kemudian tercapai berbagai pencapaian spektakuler pada berbagai bidang. Ilmu-ilmu keagamaan berkembang sedemikian rupa mengimbangi perkembangan yang terjadi di lingkup dinasti Abbasiyah. Lembaga pendidikan madrasah juga berkembang dengan baik dan menjadi wadah pengembangan ilmu-ilmu keislaman secara umum.24 Ibn Rusyd dikenal sebagai seorang penulis besar di bidang fikih, terutama sekali karena karyanya Bidâyah al-Mujtahid. Perkembangan di bidang ini dapat juga diapresiasi secara umum melalui berbagai karya yang merekam biografi para ulama, di bidang fikih khususnya.25

Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 75. Ibid. Lihat juga Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas LembagaLembaga Pendidikan (Bandung: Citapustaka Media, 2007), h. 29. Dalam karya monumentalnya, ‘Abd al-Rahman ibn Khaldun, Al-Muqaddimah (Beirut: Dar al-Jayl, t.t.), h. 594-595, membandingkan beberapa tradisi pendidikan dasar di berbagai wilayah dunia Islam, yang merupakan bagian dari kreativitas dan identitas kependidikan di wilayah-wilayah tersebut. 23 Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 82. 24 George Makdisi, “The Madrasa in Spain: Some Remakrs,” dalam Revue de L’Occident Musulman et de Mediterenne, Vol. XV-XVI, 1973, h. 153-158. 25 Sekedar contoh-contoh dapat dilihat dalam Abû al-Hasan bin ‘Abd Allâh al-Nubahi al-Andalusi, Tarîkh Qudhat al-Andalus (Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadidah, 1983). 21 22

266


L. Hidayat Siregar: Andalusia: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik

Sebuah observasi menarik disampaikan oleh Watt dan Cachia tentang dominannya paham dan pengamalan mazhab Maliki di Andalusia berbanding dengan mazhab-mazhab fikih lainnya yang lebih popular di bagian dunia Islam lainnya. Menurut mereka, kuatnya akar Helenisme di provinsi-provinsi Islam Timur menjadi landasan bagi populernya mazhab Hanafi dan Syafi‘i yang lebih rasionalistik di lingkungan dinasti Abbasiyah. Sementara itu di Andalusia, agama dan kebudayaan Islam dapat dikatakan sepenuhnya ditafsirkan dan diamalkan sesuai dengan selera asli orang Arab pendatang, dan karenanya menjadi lebih cenderung kepada penafsiran imam Malik yang lebih literalistik dan berbasis pada pengalaman umat Islam Hijaz. Dengan kata lain Islam Andalusia tidak bersentuhan secara intens dengan Helenisme.26 Ibn Rusyd juga dikenal luas berkat pemikiran-pemikiran filsafatnya yang kemudian menjadi sebuah paham tersendiri, lumrah dikenal sebagai Averroisme.27 Masih dalam kelompok filsafat dan sains terdapat nama-nama popular semacam Ibn Bajah atau Ibn Thufayl. Tetapi ada juga Ibn Barghut, Ibn Khayrah al-‘Attar, Ibn Ahmad al-Sarqasti, atau Muhammad ibn al-Layth. Pada bidang bahasa dan sastra Arab, zaman keemasan Andalusia juga melahirkan sejumlah besar nama-nama cemerlang. Al-Andalusi, misalnya, mencantumkan nama-nama Ibn Syahr al-Ra‘ini, Yahya ibn Hisyâm al-Qarsyi, dan sejumlah nama lainnya.28 Tentu saja sejumlah besar nama lain dapat dengan mudah ditambahkan sebagai bintang-bintang terang para ilmuan besar dari Andalusia. Khusus berkenaan dengan bahasa dan sastra Arab, setelah masa awal ketergantungan dengan dunia Islam Timur, pada akhirnya Andalusia melahirkan invensinya sendiri yang menjadi keunikan kontribusinya. Ella Marmura menyatakan sebagai berikut: In poetry the Andalusian poets had at first modelled their compositions after the eastern poets, but by the end of the tenth century a new strophic form had appeared called the muwashshah, ‘the girdled’. Using the lighter metres and having a refrain sugegstive of its origin as song, it broke with the monorhyme and developed varied rhyme shemes of its own. The themes of a muwashshah were usually love and description of nature... Another strophic form was to appear later in the West, the zajal, i.e. melody, expressed mostly in the vernacular.29 Perkembangan syair yang ditorehkan oleh umat Islam di Andalusia, nantinya berpengaruh cukup signifikan terhadap perkembangan puisi di kalangan bangsa-bangsa

William Montgomery Watt dan Pierre Cachia, A History of Islamic Spain (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1977), h. 65-66. 27 Paham Averroisme ini telah dibahas secara menarik, khususnya dalam kaitannya dengan agama oleh Muhammad Iqbal, Ibn Rusyd & Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004). 28 Al-Andalusi, Science in the Medieval World, h. 66-68. 29 Ella Marmura, “Arabic Literature: a Living Heritage,” dalam R. M. Savory, (ed.) Introduction to Islamic Civilization (Cambridge: Cambridge University Press, 1991), h. 69. 26

267


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Eropa. Hal ini telah ditelusuri oleh seorang peneliti, Roger Boase.30 Jelaslah dengan demikian bahwa pada penghujung abad ke 4/10 Andalusia telah mengalami perkembangan peradaban yang sangat tinggi, dan dalam perkembangan ini Islam dan bahasa Arab jelas merupakan unsur pembentuk yang sangat penting. Ketika dinasti Umayyah Andalusia mulai memasuki masa keruntuhannya, untuk kemudian digantikan oleh penguasa yang berasal dari Afrika Utara (al-Murabitun dan al-Muwahhidun), lalu kemudian para penguasa lokal (Mulûk al-Thawâ’if), kekacauan politik dan kekuasaan tersebut tampaknya tidak terlalu berpengaruh terhadap kebudayaan. Kegiatan intelektual tetap berlangsung semarak, dan para ilmuan umumnya berupaya untuk tidak didikte oleh perselisihan politik para penguasa. Dengan demikian, maka kemajuan kebudayaan di Andalusia masih terus berlanjut setidaknya untuk satu hingga dua abad, meskipun kemajuan kebudayaan tersebut dibayangi oleh perselisihan, kekacauan dan kemunduran politik.31

Reconquista: Masa Kemunduran Islam di Andalusia Sejumlah sumber sejarah menggambarkan Reconquista sedemikian dramatis sehingga menimbulkan kesan bahwa setiap kali sebuah provinsi atau daerah berhasil dikuasai oleh pasukan Reconquista maka secara otomatis keberadaan Islam, orang Islam dan kebudayaan Islam berakhir secara drastis. Penggambaran semacam ini belakangan telah ditantang oleh beberapa peneliti dengan diungkapkannya berbagai data terbaru yang sebelumnya mungkin tidak tersedia bagi penulis. Dalam kenyataannya, penaklukan kembali dan proses mengembalikan Andalusia menjadi wilayah Kristen memerlukan waktu yang panjang dan proses yang sangat kompleks, bahkan dalam bahasa Chejne, harus berlangsung “under dire and inhuman conditions.”32 Sebagaimana diketahui upaya Reconquista bermula bersamaan dengan melemahnya Dinasti Umayyah karena perselisihan internal antar berbagai faksi di dalamnya. Namun upaya ini terhambat untuk waktu yang cukup lama, ketika kekuasaan di Andalusia beralih ke tangan bangsa Berber dari Afrika Utara yang mendirikan dinasti al-Murabitun dan al-Muwahhidun. Walaupun secara umum kedua dinasti ini tidak dapat mengembalikan kedigjayaan politik sebagaimana dicapai oleh dinasti Umayyah, kegiatan kebudayaan dan intelektual berlangsung baik. Sebagian dari para intelektual kelas wahid Andalusia justeru lahir dari zaman ini, seperti Ibn Rusyd dan Ibn Thufayl. Ini sekali lagi menunjukkan bahwa perkembangan agama dan budaya Islam di Andalusia tidak secara penuh terganggu oleh kemunduran politik militer Islam. Ini tidak lain karena kebudayaan adalah sebuah medium Roger Boase, “Arab Influences on European Love-Poetry,” dalam Salma Khadra Jayyusi (ed.) The Legacy of Muslim Spain (Leiden: E.J. Brill, 1992), h. 457-483. 31 Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 79. 32 Ibid. 30

268


L. Hidayat Siregar: Andalusia: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik

dan sekaligus esensi kehidupan, dan karenanya kebudayaan mengikat semua orang yang menghidupi zaman tertentu, terlepas dari afiliasi religiusnya. Karena itu pula maka peralihan kebudayaan selalu memerlukan proses sosial psikologis yang panjang. Dalam konteks pembahasan sekarang perlu ditekankan bahwa sesungguhnya realitas sejarah menunjukkan bahwa bahkan setelah penaklukan-kembali Andalusia oleh pasukan Kristen, sejumlah besar umat Islam tetap hidup menetap di sana di bawah kekuasaan politik Kristen.33 Para penguasa Kristen pada awalnya bahkan sangat tergantung pada penduduk Muslim (biasa disebut sebagai kelompok Mudejares (Spanyol) Mudajjanun (Arab)34 yang menjalankan berbagai fungsi di tengah masyarakat sesuai keahliannya: pegawai pemerintahan, penasihat, pengumpul pajak, petani, seniman, dan berbagai keahlian lainnya. Sebagai imbalan, mereka diperbolehkan untuk mengamalkan agamanya, menggunakan bahasa Arab, dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan kulturalnya.35 Untuk waktu yang sangat panjang Islam bagi para penguasa Kristen adalah “musuh yang sangat besar tetapi pada saat yang sama adalah sumber utama kebudayaan material dan intelektual.”36 Perlakuan tegas baru mulai diambil oleh penguasa Kristen ketika ketergantungan mereka terhadap Muslim benar-benar telah hilang, yakni setelah abad ke 7/13. Pada tahapan inilah trade mark Reconquista, yakni pengusiran atau pemaksaan pindah agama, mulai berlangsung.37 Penting diingatkan bahwa peristiwa perintah pemusnahan semua buku berbahasa Arab yang seringkali dikutip itu baru terjadi pada paruh kedua abad ke 10/16 di bawah perintah raja Philip II,38 jauh setelah umat Islam hilang dari tanah Andalusia. Pernyataan di atas sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa Reconquista tidak besar pengaruhnya terhadap keberadaan Islam dan budaya Arab di Andalusia. Dalam kenyataannya, peristiwa ini akhirnya bersifat sangat fatal terhadap arah sejarah Islam Andalusia. Yang ingin ditekankan hanyalah bahwa sama halnya ketika Islam dan bahasa Arab menancapkan akarnya di Andalusia membutuhkan berabad-abad, maka demikian pula lah halnya ketika Islam dan bahasa Arab dikalahkan oleh arus agama dan budaya Kristen. Intinya adalah bahwa setiap pergeseran agama dan budaya, khususnya bahasa, pasti melalui serangkaian proses dan memerlukan waktu tertentu untuk terjadi. Ibn Khaldun, ahli sosiologi yang berlatar belakang Afrika Utara dan Andalusia mengatakan bahwa sebuah bangsa dengan kebudayaan yang lebih rendah pasti terpesona dan akan mengadopsi secara perlahan kebudayaan yang lebih maju; dan hal ini berlaku universal sebagai sebuah hukum dasar interaksi sosial.

Watt dan Cachia, A History of Islamic Spain, h. 150. L. P. Harvey, “The Mudejars,” dalam Salma Khadra Jayyusi (ed.) The Legacy of Muslim Spain (Leiden: E.J. Brill, 1992), h. 176-187. 35 Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 79-80. 36 Watt dan Cachia, A History of Islamic Spain, h. 172. 37 Hourani, A History of the Arab Peoples, h. 85. 38 Chejne, “Islamization and Arabization,” h. 81. 33 34

269


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Penutup Di bawah kekuasaan politik dan militer Islam, penduduk asli Andalusia diberi kebebasan untuk menjalankan agama mereka, menggunakan bahasa mereka, dan mempraktikkan tradisi-tradisi kultural mereka. Akan tetapi, seiring dengan perjalanan waktu kedua pihak saling berinteraksi dan dalam proses tersebut ‘saling’ belajar dan kemudian saling mempengaruhi. Islam secara perlahan tersebar di kalangan penduduk asli Andalusia, demikian juga dengan bahasa Arab. Keunggulan politik dan peradaban umat Islam memosisikan mereka menjadi sumber kebudayaan bagi penduduk lokal. Akan tetapi penduduk asli Andalusia yang beralih agama ke Islam tetap saja merupakan minoritas. Betapa pun umat Kristen benar-benar terpesona dengan keunggulan peradaban Islam, mayoritas terbesar dari mereka tetap mempertahankan agamanya. Perjalanan peradaban Islam di Andalusia menyaksikan sebuah interaksi yang sangat intens dan menarik antara agama Islam dan bahasa Arab di satu sisi dan agama Kristen dan bahasa Latin (Romance) di sisi lainnya. Interaksi religius dan linguistik ini sesungguhnya lebih substantif daripada sejarah politik militer yang kerap kali mendominasi wacana sejarah Islam di Andalusia. Sebab dalam interaksi inilah sesungguhnya cita-cita dan filosofi masingmasing saling bersentuhan, saling menguji, dan saling belajar. Secara umum, interaksi religius dan linguistik ini dapat dibagi ke dalam tiga periode. Periode pertama adalah periode awal masuknya Islam ke Andalusia. Periode ini ditandai oleh upaya umat Islam menyebarluaskan agama Islam dan bahasa Arab dengan cara damai, tanpa meninggalkan bukti adanya pemaksaan. Pada periode ini Islam Andalusia sangat banyak melakukan peniruan dari Islam Timur di bawah dinasti Abbasiyah. Islam dan bahasa Arab telah menanamkan akarnya di Andalusia, namun masih mendapatkan resistensi di sana sini dari para penduduk asli. Periode kedua adalah periode kematangan dan keemasan kebudayaan Islam di Andalusia. Pada periode ini kebudayaan Islam-Arab benar-benar mendominasi Andalusia. Kebudayaan Islam Andalusia memasuki masa kreatifnya dan mampu membangun identitasnya sendiri, yang dalam banyak hal terbedakan dari kebudayaan Islam di wilayah-wilayah lainnya. Identitas ini lahir dari berbagai keunikan realitas sosial kultural wilayah Andalusia dan interaksi yang berlangsung di antara unsurunsur yang terdapat di sana. Periode ketiga adalah periode kemunduran dan akhir kebudayaan Islam di Andalusia. Resistensi penduduk lokal beragama Kristen mendapatkan angin ketika struktur politik umat Islam di Andalusia mengalami kemunduran akibat perpecahan internal. Reconquista, nama bagi gerakan penaklukan kembali ini, menemukan celah untuk berkembang meskipun berlangsung perlahan. Dalam periode kemunduran ini pun, interaksi dan saling belajar secara kultural tetap berlangsung, dan Islam tetap saja memberikan kontribusi bagi Analusia, terlepas dari pergeseran posisi politik mereka.

270


L. Hidayat Siregar: Andalusia: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik

Pustaka Acuan Al-Andalusi, Abû al-Hasan bin ‘Abd Allâh al-Nubahi. Tarîkh Qudhatal-Andalus. Beirut: Dâr al-Afaq al-Jadîdah, 1983. Al-Andalusi, Sa‘id. Science in the Medieval World (Thabaqat al-Umâm), terj. Sema‘an I. Salem dan Alok Kumar. Austin, Texas: University of Texas Press, 1991. Asari, Hasan. Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah: Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik. Bandung: Citapustaka Media, 2006. Asari, Hasan. Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-Lembaga Pendidikan. Bandung: Citapustaka Media, 2007. Boase, Roger. “Arab Influences on European Love-Poetry,” dalam Salma Khadra Jayyusi (ed.) The Legacy of Muslim Spain. Leiden: E.J. Brill, 1992. Chejne, Anwar G. “Islamization and Arabization in al-Andalus: A General View,” dalam Speros Vryonis (ed.) Vryonis, Speros. Islam and Cultural Change in the Middle Ages. Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1973. Dickie, James. “Granada: A Case Study of Arab Urbanism in Muslim Spain,” dalam Salma Khadra Jayyusi (ed.) The Legacy of Muslim Spain. Leiden: E.J. Brill, 1992. Harvey, Leonard P. Islamic Spain 1250 to 1500. Chicago: The University of Chicago Press, 1990. Harvey, Leonard P. “The Mudejars,” dalam Salma Khadra Jayyusi (ed.) The Legacy of Muslim Spain. Leiden: E.J. Brill, 1992. Hourani, Albert. A History of the Arab Peoples. Cambridge, Mass.: The Belknap Press of Harvard University Press, 1991. Ibn Hawqal. Kitab Surat al-Ard. Leiden: E. J. Brill, 1938. Ibn Khaldûn, ‘Abd al-Rahmân. Al-Muqaddimah. Beirut: Dâr al-Jayl, t.t. Iqbal, Muhammad. Ibn Rusyd & Averroisme: Sebuah Pemberontakan terhadap Agama. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004. Lewis, Bernard. The Muslim Discovery of Europe. New York: W.W. Norton & Co., 1982. Makdisi, George. “The Madrasa in Spain: Some Remakrs,” dalam Revue de L’Occident Musulman et de Mediterenne, Vol. XV-XVI (1973). Marmura, Ella. “Arabic Literature: a Living Heritage,” dalam R. M. Savory, (ed.) Introduction to Islamic Civilization. Cambridge: Cambridge University Press, 1991. Taha, Abd al-Wahid. The Muslim Conquest and Settlement of North Africa and Spain. London: Routledge, 1989. Watt, William Montgomery and Pierre Cachia. A History of Islamic Spain. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1977.

271


ACEH IN HISTORY: Preserving Traditions and Embracing Modernity Amirul Hadi Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Jl. Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh 23111 e-mail: hadi@fulbrightmail.org

Abstrak: Aceh dalam Sejarah: Mempertahankan Tradisi dan Mengawal Modernitas. Tulisan ini berupaya mendiskusikan secara kritis tentang bagaimana masyarakat Aceh dalam sejarah, sementara mencoba menyesuaikan diri dengan dunia modern, mereka melakukan segala upaya untuk mempertahankan tradisi. Sebagai sebuah etnik yang memiliki masa lalu yang gemilang, Aceh senantiasa memiliki keterikatan kuat dengan “identitas”, dan hal ini dituangkan dalam banyak hal, termasuk “ingatan sosial.” Untuk itu, “tradisi”, digali dan dipertahankan. Namun, tantangan modernitas juga merupakan hal yang harus direspon dan disikapi. Dalam konteks inilah kelihatannya masyarakat Aceh berada di persimpangan jalan. Di satu pihak mereka berupaya mempertahankan tradisi yang telah ada namun juga harus melibatkan diri dalam kehidupan modern. Penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Aceh masih menemukan kesulitan dalam hal ini, karena mereka masih terpaku kepada “romantisasi sejarah”, bukan “kesadaran sejarah”, sehingga “ruh” masa lalu belum mampu dibawa ke masa kini. Abstract: This paper attempts to critically discuss on how the Acehnese in history, while trying to embrace the modern world, have made every effort at preserving their traditions. As an ethnic group which has a glorious past, Aceh has strongly been connected to “identity”; and this is expressed in various means, including “social memory.” For this very reason, “traditions”, including those of the past, are explored and preserved. Yet, the challenges of modernity are also apparent. It is in this context that the Acehnese are trapped at the crossroad. On the one hand, they tend to preserve their traditions, yet, on the other, they need to embrace modern lives. The Acehnese seem to have encountered considerable obstacles on this issue, for they tend to focus more on historical “romanticism” (nostalgia) rather than historical “awareness” (consciousness). Eventually, the “spirit” of the past cannot be brought into light.

Keywords: Aceh, history, traditions, modernity

449


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Introduction As a province within the Republic of Indonesia, Aceh has been regarded as a unique region. This brand is not without its reasons. In history, Aceh was known as a powerful and prosperous Islamic kingdom (sultanate) in the western archipelago. As the champion of Islam, it played significant roles in propagating the religion in the surrounding areas and contributing significantly to the development of the Islamic-Malay culture. During its heydays as a sultanate, Aceh played major roles in the region’s economic and political constellation; it was even engaged in trade competition in the far remote areas, such as the Indian Ocean and the Red Sea. Diplomatic relations with major powers in the region and European countries were established. In the meantime, Aceh’s military power was respected by both neighboring states and the Europeans. The long military encounter between Aceh and the Portuguese during the sixteenth century and the first half of the seventeenth century showed its strong military capability, which was driven by its people’s strong Islamic commitment. Indeed, as Richard V. Weeks has astutely suggested, “adherence to Islam is perhaps the primary factor in a person’s self identification as Acehnese...”.1 In addition to the impressive achievements that it successfully secured in the past, especially during the course of the sixteenth and the seventeenth centuries, Aceh has also experienced unprecedented historical dynamics. In the following eighteenth and the nineteenth centuries, the sultanate had to struggle for survival in many ways, mainly in political, economic and even military terms. To some degree, its intellectual role in the Malay world also declined. Yet, their military and political struggles against the European powers, especially the Dutch, proved that the Acehnese were still powerful. Early twentieth century shows the Acehnese efforts at encountering with modernity; and this was later followed by the transformation of the region into a newly established state, the Republic of Indonesia. This marks the new era of its history. The dynamics of Aceh’s history show some “continuity” and “discontinuity,” and this is the nature of the history itself. Yet, one thing that one might have noticed among the Acehnese recently is that there has been a lasting consciousness of being Acehnese. In other words, the people of the region are proud to be called the “Acehnese”; and this very fact has its far reaching impacts on their modern history. The main bulk of this paper will be devoted to a concise discussion on how the Acehnese in history, while trying to embrace the modern world, have made every effort at preserving their traditions. This will be done in the first place by enquiring into the Acehnese identity.

Richard V. Weeks, Muslim People: A World Ethnographic Survey, Vol. I (Westport, Connecticut: Greenwood, 1984), p. 3. 1

450


Amirul Hadi: Aceh in History

Aceh as an Identity What does it mean to be the Acehnese? This is an important point to discuss here briefly, for it has something to do with identity. One of the many interesting phenomena of the Acehnese is the fact that even though Aceh has now become one of the provinces under the administration of the Republic of Indonesia, they are still proud of themselves as an ethnic group. The same notion is certainly to be found in other ethnic groups, as hundreds of ethnic groups are now living under the Republic, including Aceh. Yet, Aceh occupies a special status within the nation, a fact that owes much to its remarkable history. The region is considered to be the place where Islam first came and established itself as an Islamic kingdom. Its major contributions in Islamic terms are to be seen not only in its role in propagating Islam as a new faith in the archipelago, but also in enriching IslamicMalay cultures and traditions. This eventually made it as the stronghold of the new faith and the champion of Islam. An Islamic-based resistance against the colonial power was shown by the Acehnese, especially during the war against the Dutch from the end of the nineteenth century to the early twentieth century, which is known as the longest and the bloodiest war that the European power had ever experienced in the Netherland East Indies. In the meantime, the Acehnese also worked together with other people in other regions in an effort to drive the colonial power out of the region and played significant role in creating a new nation-state, called the Republic of Indonesia. Interestingly, it was towards the central government of the newly-established nation that the Acehnese rebelled, in an effort to win independence for the region as an Islamic state from 1953 to 1962. This was then followed by a similar political and armed movement for the Acehnese independence, known as Gerakan Aceh Merdeka (GAM, Free Aceh Movement). Founded in 1976, this movement was engaged in extended armed conflict with the Indonesian military until the signing of the Helsinki agreement in 2005. This is indeed a unique and, somehow, tragic story of the Acehnese, which leads us to consider them as a distinct society. At this point, let us pose a fundamental question on this issue: what does Aceh mean? This is not easy question to answer, since there has been no definite and simple definition of Aceh provided by scholars. C. Snouck Hurgronje discusses this issue concisely in his monumental work on this people. There is no need to reiterate his words on this point. Yet, one thing that might be useful to note here is that Snouck, by referring to the well-known ulama and war leader Tengku Kutakarang (d. 1895), mentions a popular belief among the Acehnese that their ancestors are composed of various elements, mainly the Arabs, the Persians and the Turks.2 Although this belief is not supported by reliable sources, there must be some truth in it. As a matter of fact, there is no homogeneous physical appearance C. Snouck Hurgronje, The Achehnese, trans. by A.W.S. O’Sullivan, Vol. I (Leiden: E.J. Brill, 1906), p. 18. 2

451


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 of the Acehnese, as some of them look like the Arabs and even the Europeans, while others, even mostly, look like those who are originated from South Asia. Geographical factor was also to play its parts. Located in the northernmost part of Sumatra facing the Indian Ocean, the ports of Aceh were frequently visited by people from all around the world. Traces of outsiders’ cultures are evident, suggesting the multi-ethnic and multi-cultural nature of the Acehnese. There is another way of defining Aceh, namely by limiting the Acehnese to those who speak local dialect, known as Aceh dialect. This being the case, only those who speak the dialect are considered to be the Acehnese, while those who speak other dialects within the region, such as Gayo and Malay (Tamiang), are excluded from it. This definition is certainly unhistorical and misleading. At the end of the 19th century, the Acehnese, according to Snouck, referred to themselves in accordance with the territorial boundaries of the sultanate, ranging from Tamiang on the East Coast to “far more to the South on the Western Coast, viz... Baros or whatever other point they regard as marking the boundary between the territory of the princes of Menangkabau and that of the Sultans of Acheh.”3 This is clearly the territorial-based definition, which includes all other ethnic groups and their own dialects, cultures and traditions. Another definition of Aceh given by G.P. Tolson is worth quoted here. He writes that, in precise terms, Aceh “is the correct name of that part of Sumatra extended from Tamiang point on the east to Trumon on the west coast,...”4 All the above mentioned definitions have one main point in common, namely the term “Acehnese” referred to those who lived in the region that is now known as the province of Aceh; and they consisted of people of various ethnic groups, including—among others— Gayo, Tamiang (Malay), though the dominant group of the region were those who speak Aceh dialect. Yet, we have to go back to history in order to be able to grasp a more comprehensive definition of Aceh. Aceh was originally the name of a small kingdom in Dar al-Kamal, the hinterland located about one mile from the coast at the northern tip of the region.5 As an inland kingdom, it was neither known nor visited by many foreign travelers. It was only after its unification with Lamuri of Mahkota Alam around the end of the fifteenth century or early sixteenth century that the early signs of the emergence of Aceh are observable.6 This is considered to be the beginning of the new era of the kingdom. Its first sultan was ‘Ali Mughayat Shah

Ibid., p. 1. G.P. Tolson, “Acheh, Commonly Called Acheen,” in JSBRAS 5 (1880), p. 37. See also T.C.R. Westpalm, “Geography of Achin,” trans. by Bierber, in JSBRAS 3 (1879), pp. 120-123; William Marsden, The History of Sumatra, a reprint of the third edition, intro. by John Bastin (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966), p. 396. 5 Teuku Iskandar, De Hikajat Atjeh (‘s-Gravenhage: N.V. De Nederlandsche Boek-en Steendrukkerij VH. HL. Smits, 1959), p. 31. 6 Ibid., pp. 31-32, 37. 3 4

452


Amirul Hadi: Aceh in History

(d. 1530), who later conquered Daya (west coast) in 1520, Pidie in 1521 and Pasai in 1524. It was only after the inclusion of all these earlier Islamic kingdoms into the Acehnese state that the popular name of the kingdom, i.e. Aceh Dar al-Salam, came into being. 7 R.O. Winstedt calls the new kingdom as “Greater Aceh.”8 The conquest of these three kingdoms by ‘Ali Mughayat Shah was absolutely essential for the later development of this newly fledged state. All of them were well known not only as important international ports and trade centers but also producers of several natural resources, including pepper, rice, silk and even benzoin. Pasai was even well known as a center for Islamic learning and Malay culture. The rulers of Aceh Dar alSalam had successfully administered all these potentials and resources and were determined to continue their predecessors’ legacy. This was among the main reasons behind the spectacular rise of the newly established state in early sixteenth century. The Acehnese sultanate continued to prosper and reached its zenith in the seventeenth century. Banda Aceh became an important port and a cosmopolitan city, where people from various ethnic groups came and lived. It also became the center of Malay culture, since Malay was adopted as an official language of the state, not Acehnese language (local dialect). Eventually, Aceh was able to contribute significantly to the development of the Malay language and literature, especially in cultural and Islamic terms.9 Islamic learning was so prosperous that a large number of works of different fields of Islam were produced there in Malay language. Islam was adopted and adapted in the state, and it even became the foundation of the state cultures and traditions. Indeed, Islam constituted a “binding element” in the heterogeneous and multicultural nature of the Acehnese state.10 Therefore, to explore more about Aceh in the past, once needs to perceive it from three perspectives. The first is Aceh as an ethnic group with its own characteristics (even though it consists of several sub-ethnic groups). Secondly, it should also be seen as a part of Southeast Asian community. The third is it needs to be viewed as a part of the Islamic world. All these elements were to play their parts in shaping the Acehnese identity. That being the case, it becomes easier now to propose the definition of Aceh, that is the region of the northernmost part of Sumatra whose people were heterogeneous, Nur al-Din al-Raniri, Bustanu’s-Salatin, bab 2, Pasal 13, ed. by T. Iskandar (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966), pp. 22, 31. See also Raden Hoesein Djajadiningrat, “Critisch overzicht van de in Malaische werken vervatte over de geschiedenis van het Soeltanat van Atjeh,” in BKI 65 (1911), p. 152; Iskandar, De Hikajat Atjeh, p. 38. 8 R.O. Winstedt, “The Early Rulers of Perak, Pahang and Acheh,” in JMBRAS 10 (1932), p. 43. 9 For further discussion on this issue, see Leonard Y. Andaya, “Aceh’s Contribution to Standards of Malayness,” in Archipel 61 (2001), pp. 29-68. 10 For further discussion on this matter, see Amirul Hadi, Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh (Leiden: Brill, 2004). 7

453


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 multicultural, committed Muslims, and whose identity was strongly connected to Islam. Islam is believed to have played substantial roles in shaping the Acehnese community, cultures and traditions. All of these have become the fundamentals of Acehnese identity, which are Islamic, plural and tolerant. Once might question this definition, as it might seems too idealistic and historical. Yet, these are the points that the Acehnese believe to have in mind and their memories. Both “Islam” and the “Acehnese” continue to become key concepts in the mind of the Acehnese in modern times. These two conceptions are believed to be the main issues behind the “social revolution” of 194611 and the Acehnese rebellion against Jakarta under the banner of the Darul Islam from 1953 to 1962. It was to meet these demands that the central government issued the decree of 1959, known as “Special Region” (Daerah Istimewa), allowing the province to have an extended autonomy (otonomi yang seluas-luasnya) in conducting their own affairs, mainly in religion, tradition and education.12 Similar tone is also provided in the government decree of 1999,13 2001,14and even 2006.15 All these documents consitute the responses to the strong commitment of the Acehnese to maintain their identity.

Traditions versus Modernity One thing that once might observe of the Acehnese is that they have strong collective memories (social memories) of their past, especially the seventeenth century Aceh. Particular emphasis is given to the reign of Iskandar Muda (r. 1607-1637), when the sultanate was at its zenith. Therefore, the seventeenth century Aceh becomes the ideal model that the Acehnese wish to achieve. The question that should be raised here is that: is it possible for the Acehnese to realize the desire? In the following paragraphs we shall provide a brief survey on the efforts of the Acehnese in securing their traditions in the modern world. Of course, not all traditions of the Acehnese will be presented here, for the space will not allow us to do so. Therefore, only few main examples will be discussed here. As Aceh is identical with Islam, this religion became the foundation of its social and political lives. As an Islamic kingdom, the ruler (sultan) was seen as khalîfah Allâh fî alArdh (the deputy of God on earth) or Zhill Allâh fî al-Ardh (the shadow of God on earth). In a traditional Islamic state, ruler was always placed at the pinnacle of the state hierarchy and was seen to symbolize the unity of state. These two were in fact inseparable in that

Eric Morris, “Aceh: Social Revolution and the Islamic Vision,” in Audrey R. Kahin, (ed.), Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity (Honolulu: University of Hawai Press, 1985), pp. 87-91. 12 Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959. 13 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999. 14 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001. 15 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006. 11

454


Amirul Hadi: Aceh in History

they were integrated in the concept of the “politico-religious unity” of the ummah. Briefly, the state was the ruler himself, and vice versa. Therefore, an attack on ruler means an assault not only on the state itself but also on Islam, as the ruler was the holder of “religiously-sanctioned authority,” or as the one through whom the implementation of God’s religion would be realized.16 It is this concept of ruler, though in its modern form, that is still to be observed in the Acehnese modern history. The attack of the Dutch on Aceh’s soil, which officially began on March 26th 1873, meant an assault on Islam itself, and therefore jihad should be carried out by any Muslim, since it was a fardh ‘ayn (individually incumbent duty). It is this religious concept that lay behind the long and severe war waged by the Acehnese.17 The religious nature and duties of ruler or leader in Aceh is also to be seen during post colonial times. Acehnese leaders demanded the central government to officially authorize the implementation of the shari’ah in the province. The rejection of the central government of the demand and the inclusion of the region into the province of North Sumatra eventually led the Acehnese to rebel against Jakarta, as mentioned earlier. These are the examples of the continuation of the old concept of the role of state in implementing the shari‘ah. In the Acehnese past, Islam became a “binding element” among the people. The concept of Islamic brotherhood was in place in the sultanate. It was therefore any Muslim, regardless of his/her ethnic origins, could live in Aceh and even some of them occupied key positions in the sultanate, such as Nur al-Din al-Raniri, a Gujarati by origins. Having foreign-born rulers in the sultanate was a common phenomenon. In the sixteenth century two Aceh’s rulers were foreign origins, namely Sultan ‘Ala’ al-Din (r. 1579-1586), the son of Mansur Shah of Perak, and Sultan ‘Ala’ al-Din Ri‘ayat Shah (r. 1586-1589), the son of Munawwar Shah of Indera Pura (West Sumatra). Iskandar Thani (r. 1636-1641), the husband of Safiyyat al-Din, was in fact the son of Sultan Ahmad X of Pahang. Both Arab and Bugis dynasties were also to rule Aceh in the eighteenth century. However, the role of Islam as a binding element in the region is being questioned recently. Somehow the Acehnese are portrayed as less tolerant, closed-minded, and even anti-strangers. These negative stigmas of the Acehnese are not without reasons, as few cases show that new comers or outsiders are not welcome, even though they are Muslims. This happened mainly during the times of conflict. Indeed, this is not the nature of the Acehnese society, as they still hold the tradition of respecting guest (peumulia jamee). In fact, some of the province’s populations are non-Acehnese by origins. Nevertheless, the Acehnese have yet to become an open society, as it is the case with some other societies. Their historical background plays its role in this case. The long colonial war against the Dutch was to have its deep impacts in destroying people’s lives. This was followed by a See Hadi, Islam and State, esp. Chapter Two and Three. Amirul Hadi, “Exploring Acehnese Understandings of Jihad: A Study of Hikayat Prang Sabi,” in R. Michael Feener, et al., (ed.), Mapping the Acehnese Past (Leiden: KITLV, 2011), pp. 183-198. 16 17

455


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 number of military conflicts during the course of the twentieth century, leaving the society in isolation and backwardness with little room for recovery and development. This issue brings us to the intellectual traditions that the region had in the past. One of the impressive achievements of the Acehnese state in the past, especially in the sixteenth and the seventeenth century, was in intellectual traditions. Aceh rose as the center of learning, to which people from the archipelago and even from Muslim world came. The ulama wrote many books. Islamic discourses were taking place not only in mosques and schools but also in royal palace, suggesting the royal patronage of learning; and this indeed played significant role in advancing the intellectual traditions in the sultanate. Aceh also took another brilliant measure in this issue, namely by adopting the intellectual traditions of its predecessor, especially those of Pasai. Perhaps, one of the most interesting steps taken by the Acehnese rulers was the adoption of Malay as an official language of the state. It did have far reaching impacts, not only in economic and political terms, but also in intellectual discourses. All the works written in Aceh were widely read by students throughout Nusantara. It is in this sense that the Acehnese played a role in enriching the Malay and made it the language of the Islamic learning. The other role in this case was also to be seen in Acehnese efforts at coloring the Malay literatures and cultures with Islamic flavors.18 The eighteenth and nineteenth centuries demonstrated the decline of Aceh’s economic and political roles in the region. Yet, the intellectual traditions continued to play their roles, though in a more limited scale. Islamic scholars were to continue their predecessors’ footsteps in teaching and producing works. Among the prominent ulama of this era were Jalal al-Din al-Turasani, Muhammad Zayn al-Asyi, Muhammad al-Langgini, ‘Abbas al-Asyi (Tengku Kutakarang) and Ismail al-Asyi.19 These scholars wrote their works both in Aceh dialect and Arabic. Nevertheless, substantial decrease of works, both in number and quality, produced in Aceh was evident. Acehnese scholars tended to write their works in local dialect rather than in Malay, as it ceased to be the official language of the state. Therefore, the circulation of their works was only to meet local needs, except few works which were written in Arabic and printed in the Arab land. The long military encounter with the Dutch had left the Acehnese without having good education. The Islamic learning and its intellectual traditions could not be pursued, since the ulama and their students were engaged in war. It was only about five decades later that the Acehnese were eventually able to focus on educational programs, represented by All-Aceh Union of Ulama (PUSA, Persatuan Ulama Seluruh Aceh)—this was besides the

Andaya, “Aceh’s Contribution,” pp. 29-68; Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011), especially chapter V. 19 For further discussion on this issue, see Erawadi, Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abd XVIII dan XIX (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, 2009). 18

456


Amirul Hadi: Aceh in History

existing traditional boarding schools (dayahs) throughout Aceh area. Compared to other regions in the area, Aceh was far behind in starting the worldwide Islamic modernist movement. By the time the modernist movement entered Indonesia (first to Minangkabau) at the end of the nineteenth century,20 Aceh was still at war with the Dutch. It was only in 1939 that PUSA was established in Aceh. PUSA was the first organization of its type in Aceh. As a modernist movement, PUSA was intended in the first place to strengthen the implementation of Islam in the region. This also includes the purification of Islam. Inspired by the modernist idea from the Middle East, the PUSA ulama also attempted to deliver their agendas through education, and therefore one of their programs was to establish modern Islamic schools in the region. Yet, PUSA was also seen as an Acehnese movement with local contents and agendas. Its grave concerns for social condition of the Acehnese had led this organization to carry out socio-political agendas. Even, PUSA was also involved in military movement. This organization was successful in its missions. Many future ulama and leaders of Aceh were also the products of PUSA. It is for this very reason that scholars suggest that PUSA was the Acehnese model of a socio-religious and political organization.21 The brief survey of the intellectual traditions in Aceh from its heyday in the sixteenth and the seventeenth century until the rise of PUSA in the first half of the twentieth century leads us to question ourselves: where are we now? History proves significant decline of the intellectual traditions in this region recently. The worse period was certainly during the long war with the Dutch. Even though the current condition of education in Aceh is getting better than that of few decades ago, yet it is still below the national standard, not to compare with that of the seventeenth century. We certainly cannot go back to the history, but there is the “intellectual spirit” of the past that should be grasped and followed. Talking about Islamic learning, intellectual traditions and the syari’ah, we have to refer to the ulama, as the holders of religious authority. They are learned- men or the scholars of Islam. Therefore, in any Muslim society the ulama played central roles. The prominent roles played by the ulama were apparent in Aceh’s history. They were highly respected by the rulers of Pasai. The same picture was also to be seen later in Aceh. The seventeenth century Aceh shows the notable status of the ulama, as they not only occupied the highest position in religious hierarchy in the sultanate as syaikh al-Islâm and spiritual leader but also acted as advisers to the ruler and even functioned as chief councilors, as in the case of Shams al-Din al-Sumatrani (d.1630). Other prominent ulama in the seventeenth century Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia. 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), pp. 38-65. 21 For further discussion on this issue, see Harry J. Benda, “South-East Asian Islam in the Twentieth Century,” in P. M. Holt, et al. (ed.). The Cambridge History of Islam, Vol. 2A (Cambridge: Cambridge University Press, 1970), pp. 182-208; Agus Budi Wibowo, et al., Dinamika dan Peran PUSA dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2005). 20

457


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Aceh were Nur al-Din al-Raniri (d. 1658) and ‘Abd al-Ra’uf al-Singkili (d. 1693). Other ulama also played important roles in state and society with different functions and positions.22 In Aceh’s history, the ulama symbolized the spiritual dimension of the state, while the ruler was the head of the state. The former was the holder of religious authority, while the latter was the one who possessed the authority to lead the state. Yet, the latter’s authority also contained religious meaning, known as a “religiously-sanctioned authority.” The harmonious collaboration between them was evident, and it was only when the ruler ceased to exist that the ulama took his position. This was apparent during the Acehnese war against the Dutch. When the last ruler of Aceh, Muhammad Daud Shah, was exiled to Ambon in 1907, the ulama took the control of the war, especially Tengku Chik Di Tiro and Tengku Chik Kutakarang.23 During the post war, the role of the ulama in Acehnese society was increasingly central. Their prominent roles were seen not only in dealing with religious matters but also in social and political issues. They themselves led the war against the colonial power, those who were considered traitors (in the case of the social revolution), and even the central government (such as the Tgk. Daud Beureu’eh’s DI TII rebellion). All of these were conducted under the banner of Islam and the Acehnese (humanity and justice).24 However, signs of the decline of their roles are to be observed in contemporary Acehnese society. Their roles are confined to religious matters, having no power of execution as such. This can be seen in the case of the Council of the Ulama (MPU, Majelis Permusyawaratan Ulama). It is a normative body which is in charge of issuing fatwa (religious legal opinion) and taushiyyah (religious recommendation). Other ulama organizations are traditional boarding school based bodies, such as the Union of the Ulama of Acehnese Dayah (HUDA, Himpunan Ulama Dayah Aceh) and Inshafuddin. These two organizations administer and supervise Islamic boarding schools (dayah) in Aceh, and in many cases also issue fatwa and taushiyyah (recommendation). No matter how limited their formal positions are, the ulama are still influential in society, especially those of the dayah-based. Their role as the guardians of the faith is still apparent and powerful, mainly in rural areas. The dayahs constitute their main bases, where the process of the transformation of Islamic knowledge takes place. There are also some signs of their adoption of modernism, which would eventually make them closer to the modernist ulama. Yet, in general the roles of the ulama in Acehnese society are declining, and modernism is among the main factors for this.

Hadi, Islam and State, especially Chapter Four. Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), p. 68, 151-173. 24 Alfian, “The Ulama in Acehnese Society,” in Southeast Asian Journal of Social Sciences 3, 1 (1975), pp. 27-41. 22 23

458


Amirul Hadi: Aceh in History

One of the most important, and probably controversial, issues in the contemporary Acehnese society is the topic of “gender” and the role of women in the public sphere. This is of course not a new issue, as it has been a hot topic in the modern world, including the Muslim world. Discourse on gender becomes a hot issue in Aceh during post-tsunami disaster of Desember 26th, 2004. The coming of the international community with their aids has to some degree changed the region’s looks, as it becomes prone to be influenced by outside’s cultures. As there is no place in this planet is able to escape from globalization, Aceh is no exception. Yet, the influx of outside’s cultures has been too sudden that the people are not well-prepared for it and are mostly in shock. Recently, women, especially young generation, are more exposed to the public sphere. The tradition of strict gender relations has somehow been violated. The Acehnese young girls, mainly in urban areas, are now accustomed to enjoying themselves in cafe. Recent development shows a drastic raise of the number of divorce cases in Aceh, most of which are initiated by women. Calls for equal rights and opportunities between men and women have strongly been voiced by gender activists. These are few examples of recent development of gender issues in Aceh. A question should be raised here as to whether or not women are being discriminated against in the Acehnese society. Aceh is well known for its tradition of having women to play significant roles in society. The best example of this is the rule of four queens (sultanahs) in the Acehnese state from 1641 to 1699. Among other prominent women in Aceh were Laksamana Keumala Hayati, a commander of Aceh’s navy during the reign of al-Mukammil (d. 1604),25 Cut Meutia and Cut Nyak Dien (both the military commanders during the war against the Dutch) and others. Aceh was not alone in this case, as there were other regions in the area in which women played prominent roles, even, as in the case of Aceh, held power as rulers or the holders of power behind the throne. Between the second half of the fourteenth century and the first half of the fifteenth century Pasai experienced the rule of two queens: Nur Ilah (d. 1380) and Nahrasiyyah (d. 1428).26 Starting from the fourteenth century, the kingdom of Bone in Sulawesi was ruled by six queens in all. 27 It is also well known that even though women never ruled Melaka, powerful ladies of the court were said to have played pivotal roles in the affairs of state.28 A powerful queen Kali Nyamat ruled Japara during the third John Davis, “The Voyage of Captaine John Davis to the Easterne India, Pilot in a Dutch Ship; Writen by Himself,” in The Voyages and Works of John Davis the Navigator, ed. by A. H. Markham (London: The Hakluyt Society, 1880), p. 150. 26 See Ibrahim Alfian, et al., (ed.), Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, or Prominent Women in the Glimpse of History (Jakarta: Jayakarta Agung, 1994), pp. 1-13; H.K.J. Cowan, “Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van het rijk Samoedra-Pase,” in TBG 78 (1938), pp. 209-210. 27 J. Brooke, Narrative of Events in Borneo and Celebes down to the occupation of Labuan: From the Journals of J. Brooke... by Captain Rodney Mundy, Vol. I (London: John Murray, 1848), pp. 74-75. 28 Sejarah Malay or Malay Annals, annot. and trans. by C.C. Brown, introd. by R. Roolvink (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970), pp. 160-161; Cheach Boon Keng, “Power Behind 25

459


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 quarter of the sixteenth century.29 Another best example of a state being ruled by queens was Patani, which came under consecutive rule of women from 1584 to 1688.30 These are the best examples that show the significant roles that women played in both state and society. In his study on female roles in Southeast Asia in pre-colonial times Anthony Reid found the pivotal roles played by women in various areas, including family, economy, diplomacy, war, entertainment, and even politics.31 If the history shows the remarkable roles played by women in the past in the region, including Aceh, is it still the case at present time? In the case of Aceh, it certainly can be ascertained that it is still there. There is no tradition in the Acehnese society that denies women their own rights; nor there any discriminatory policy of any sorts taken by the local government against women. All men and women have their own responsibilities and functions in family and society. Yet, there is certainly no assurance that everything goes as it should have been. There is a possibility that domestic violence still takes place in society. This is in addition to the frequent practices—even it has become a custom—among some segments of society of denying women their own rights, including good education. The reason for this is that women would only be doing domestic works, regardless their educational background. Therefore, there is no need to grant them high education, for it is a waste of time, energy and money. This also means that women are denied the rights to play a role in public sphere. This tendency among some elements of society seems to have been driven mainly by their rigid interpretation of Islam. It is appealing to learn how the Acehnese women in the past were to play pivotal roles in the public sphere, yet still kept the teachings of Islam consistently, as shown during the reigns of female rule in the seventeenth century. Due to the scanty of materials available at our disposal, we can only provide here some instances from the stately practices, not from society at large. In general, there were no substantial differences in the ways of running the state between male and female rulers. The only differences are seen in some of traditions that were based on gender bases, especially from the Islamic point of view. Based on the teachings of Islam, Taj al-Salatin—a Southeast Asian variant of the mirrors work that was written the Throne: The Role of Queens and Court Ladies in Malay History,” in JMBRAS 66 1 (1993), pp. 1-4. 29 H.J. de Graaf and Th.G.Th. Pigeaud, De eerste Moslimse vorstendommen of Java (Leiden: Martinus Nijhoff, 1974), pp. 103-107; idem, Islamic States in Java 1500-1700 (The Hague: Martinus Nijhoff, 1976), p. 11. 30 Ibrahim Syukri, History of the Malay Kingdom of Patani, trans. by Connor Bailey and John N. Miksic (Athens, Ohio: Center for International Studies, Ohio University, 1985), pp. 2238; Hikayat Patani: The Story of Patani, ed. by A. Teeuw and D.K. Wyat (The Hague: Martinus Nijhoff, 1970), pp. 13-20. 31 Anthony Reid, “Female Roles in Pre-Colonial Southeast Asia,” in Modern Asian Studies 22, 3 (1988), pp. 629-645.

460


Amirul Hadi: Aceh in History

in Aceh in 1603—prescribes that a female ruler was neither to be seen in public, nor could she meet with any man face to face. Only her voice was allowed to be heard.32 Apparently, this ordinance was strictly followed by the queens. Speaking of the throne in their time, William Marsden insists that “a curtain of gauze was hung before it, which did not obstruct the audience, but prevented any perfect view.”33 Thomas Bowrey, through his personal experience, provides an even more accurate description. At his audience with Queen Shafiyyat al-Din, Bowrey found the female sovereign seated within a lodge. Therefore, anyone who had an audience with her had to sit facing this lodging. According to Bowrey, “she all the while looketh upon us, although wee cannot see her.”34 Similar scene was also described by the English ambassadors on the throne of Queen Zakiyyat al-Din in 1684.35 The tradition of the royal procession to the mosque every Friday was not conducted during the reigns of the four queens, as women have no religious obligation to perform Jum’ah prayer. 36 All the historical evidences mentioned above demonstrate that even though women played significant roles in the public sphere, they still kept their religious norms. This is perhaps good historical lessons that can be learned from the past. Yet, modernism with all its values has some impacts on the Acehnese society, including on the issue of gender. There are some signs of tendency towards the breakdown of traditional family in society. Young couples, for instance, tend to live in and focus more on “nuclear” rather than “extended” family. This is the nature of modern way of life, which is more individual rather than communal in outlook. The notion of togetherness in a big family has slowly eroded as a highly competitive life has becomes a new trend. The tradition of mutual-cooperation (gotong royong or meuseuraya) among society continues to decrease, especially in urban areas. Indeed, traditional merits and practices are believed to have contained valuable solutions for modern problems. Therefore, efforts have been made by some people and local government at exploring and preserving customs, traditions and local wisdoms. Yet, the endeavors are yet to be successful, for they are not done in systematic and comprehensive manners. The formal institutions that are in charge of conducting the works are normative bodies, without having any executive power, as in the case of the Council of Acehnese Adat (MAA, Majelis Adat Aceh).

Bukhari al-Jawhari, Taj al-Salatin (De kroon aller konigen), ed. and trans. into Dutch by P.P. Roorda van Eijsinga (Batavia: Lands Drukkerij, 1827), pp. 63-64; idem, Taj al-Salatin, ed. by Khalid Hussain (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966), pp. 64-65. 33 William Marsden, The History of Sumatra, a reprint from the 3rd edition, ed. and introd. by John Bastin (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966), p. 402. 34 Thomas Bowrey, A Geographical Account of Countries Round theBay of Bengal, 1669 to 1679, ed. by R.C. Temple (Cambridge: Printed for the Hakluyt Society, 1905), pp. 307, 309. 35 Anthony Farrington (ed.), “Negotiations at Aceh in 1684: An Unpublished English Document,” in Indonesia and the Malay World 27 (1999), p. 25. 36 For further discussion on this issue, see Hadi, Islam and State, p. 123-146. 32

461


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Closing Remarks Traditions are no doubt a fundamental aspect of any society, as they are to form an identity. The Acehnese are fully aware of the importance of traditions in their lives. Therefore, they are proud of their own traditions, which have been handed down from their ancestors, by trying to preserve them. Yet, the question which should be raised here is that: do the Acehnese fully understand their own traditions? The question is very much related to history, as tradition itself is handed down from one generation to another. While they are proud of their past traditions, the Acehnese seem not to know what really happened in the past. They are proud of their own history; and the seventeenth century Aceh, with its greatest ruler Sultan Iskandar Muda, occupies a special place in the memory of the Acehnese. But, they do not precisely know how the ruler achieved the remarkable reputation. The same case can also be said of the intellectual traditions of Aceh in the past. While the Acehnese are aware and proud of the intellectual achievement attained by their predecessors in the past, they do not exactly know how it took place. Eventually, they have never been able to grasp lessons from their own past. That being the case, it is safe to suggest that the Acehnese are in general inclined to “social memory,” rather than “historical awareness,” two terms which are very much different from each other. While historical awareness is “to value the past for its own sake,”37 social memory “reflects the rationale of popular knowledge about the past.”38 It is this later tendency that is to be found in Aceh. In other words, the Acehnese are leaning towards having collective memory for the purpose of contemporary needs, including “sustaining a politically active identity.”39 Indeed, respect for tradition is one of the main features of social memory,40 and it touches many areas of life. In this sense, tradition is considered as a perfect precedent that should be a model for the present. Therefore, social memory is extremely selective in deciding which aspects of the past would be suitable for current social and political needs. In this respect John Tosh insists that “there is very little of the historical about appeals to tradition.”41 It is necessary for the Acehnese to discover more about their traditions through historical analysis. Otherwise, they would fall into nostalgia and romanticism.

References Alfian. “The Ulama in Acehnese Society,” in Southeast Asian Journal of Social Sciences 3, 1, 1975. John Tosh, The Pursuit of History, revised third edition (London: Pearson Education Limited, 2002), p. 6. 38 Ibid, p. 3. 39 Ibid’, p. 4. 40 Ibid., p. 13. 41 Ibid. 37

462


Amirul Hadi: Aceh in History

Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Alfian, Ibrahim, et al., (ed.). Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, or Prominent Women in the Glimpse of History. Jakarta: Jayakarta Agung, 1994. Andaya, Leonard Y. “Aceh’s Contribution to Standards of Malayness,” in Archipel 61, 2001. Benda, Harry J. “South-East Asian Islam in the Twentieth Century,” in P.M. Holt, et al., (ed.), The Cambridge History of Islam, Vol. 2A. Cambridge: Cambridge University Press, 1970. Bowrey, Thomas. A Geographical Account of Countries Round the Bay of Bengal, 1669 to 1679, edited by R.C. Temple. Cambridge: printed for the Hakluyt Society, 1905. Brooke, J. Narrative of Events in Borneo and Celebes Down to the Occupation of Labuan: From the Journal of J. Brooke…by Captain Rodney Mundy, Vol. I. London: John Murray, 1848. Cowan, H.K.J. “Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van het rijk Samoedra-Pase,” in TBG 78, 1938. Davis, John. “The Voyage of Captaine John Davis to the Easterne India, Pilot in a Dutch Ship, Written by Himself,” in The Voyages and Works of John Davis the Navigator, edited by A.H. Markham. London: The Hakluyt Society, 1880. De Graaf, H.J. and Th. G. Th. Pigeaud. De eerste Moslimse vorstendommen of Java. Leiden: Martinus Nijhoff, 1974. De Graaf, H.J. and Th. G. Th. Pigeaud. Islamic States in Java 1500-1700. The Hague: Martinus Nijhoff, 1976. Djajadiningrat, Raden Hoesein. “Critisch overzicht van de in Malaische werken vervatte over de geschiedenis van het Soeltanat van Atjeh.” In BKI 65, 1911. Erawadi. Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, 2009. Farrington, Anthony (ed.), “Negotiations at Aceh in 1684: An Unpublished English Document,” in Indonesia and the Malay World 27, 1999. Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh. Leiden: E.J. Brill, 2004. Hadi, Amirul. “Exploring Acehnese Understandings of Jihad: A Study of Hikayat Prang Sabi,” in R. Michael Feener, et al., (ed.), Mapping the Acehnese Past. Leiden: KITLV, 2011. Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011. Hikayat Patani: The Story of Patani, edited by A. Teeuw and D.K. Wyat. The Hague: Martinus Nijhoff, 1970. Iskandar, Teuku. De Hikajat Atjeh. ‘s-Gravenhage: N.V. De Nederlandsche Boek-en Steendrukkerij VH. HL. Smits, 1959. Al-Jawhari, Bukhari. Taj al-Salatin (De kroon aller konigen), edited and translated into Dutch by P.P. Roorda van Eijsinga. Batavia: Lands Drukkerij, 1827. 463


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Al-Jawhari, Bukhari. Taj al-Salatin, ed. by Khalid Hussain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966. Keng, Cheach Boon. “Power behind the Throne: The Role of Queens and Court Ladies in Malay History,” in JMBRAS 66, 1 (1993): 1-21 Marsden, William. The History of Sumatra, a reprint of the third edition, intro. by John Bastin. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966. Morris, Eric.” Aceh: Social Revolution and the Islamic Vision,” in Audrey R. Kahin, (ed.), Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu: University of Hawaii Press, 1985. Noer, Deliar. Gerakan Modernis Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980. Al-Raniri, Nur al-Din. Bustanu’s-salatin, bab 2, fasal 13, ed. by T. Iskandar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966. Reid, Anthony. “Female Roles in Pre-Colonial Southeast Asia,” in Modern Asian Studies 22, 3, 1988. Sejarah Melayu or Malay Annals, annot. and trans. by C.C. Brown, introd. by R. Roolvink. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970. Snouck Hurgronje, C. The Achehnese, trans. by A.W.S. O’Sullivan, Vol. I. Leiden: E.J. Brill, 1906. Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia, Nomor 1/Missi/1959. Syukri, Ibrahim. History of Malay Kingdom of Patani, trans. by Connor Bailey and John N. Miksic. Athens, Ohio: Center for International Studies, Ohio University, 1985. Tolson, G.P. “Acheh, Commonly Called Acheen,” in JSBRAS 5, 1880. Tosh, John. The Pursuit of History, revised third edition. London: Pearson Education Limited, 2002. Undang-Undang, Nomor 44 Tahun 1999. Undang-Undang, Nomor 18 Tahun 2001. Undang-Undang, Nomor 11 Tahun 2006. Weeks, Richard V. Muslim People: A World Ethnographic, Vol. I. Westport, Connecticut: Greenwood, 1984. Westpalm, T.C.R. “Geography of Achin,” trans. by Bierber, in JSBRAS 3, 1879. Wibowo, Agus Budi, et al., Dinamika dan Peran PUSA dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2005. Winstedt, R.O. “The Early Rulers of Perak, Pahang and Acheh,” in JMBRAS 10, 1932.

464


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Closing Remarks Traditions are no doubt a fundamental aspect of any society, as they are to form an identity. The Acehnese are fully aware of the importance of traditions in their lives. Therefore, they are proud of their own traditions, which have been handed down from their ancestors, by trying to preserve them. Yet, the question which should be raised here is that: do the Acehnese fully understand their own traditions? The question is very much related to history, as tradition itself is handed down from one generation to another. While they are proud of their past traditions, the Acehnese seem not to know what really happened in the past. They are proud of their own history; and the seventeenth century Aceh, with its greatest ruler Sultan Iskandar Muda, occupies a special place in the memory of the Acehnese. But, they do not precisely know how the ruler achieved the remarkable reputation. The same case can also be said of the intellectual traditions of Aceh in the past. While the Acehnese are aware and proud of the intellectual achievement attained by their predecessors in the past, they do not exactly know how it took place. Eventually, they have never been able to grasp lessons from their own past. That being the case, it is safe to suggest that the Acehnese are in general inclined to “social memory,” rather than “historical awareness,” two terms which are very much different from each other. While historical awareness is “to value the past for its own sake,”37 social memory “reflects the rationale of popular knowledge about the past.”38 It is this later tendency that is to be found in Aceh. In other words, the Acehnese are leaning towards having collective memory for the purpose of contemporary needs, including “sustaining a politically active identity.”39 Indeed, respect for tradition is one of the main features of social memory,40 and it touches many areas of life. In this sense, tradition is considered as a perfect precedent that should be a model for the present. Therefore, social memory is extremely selective in deciding which aspects of the past would be suitable for current social and political needs. In this respect John Tosh insists that “there is very little of the historical about appeals to tradition.”41 It is necessary for the Acehnese to discover more about their traditions through historical analysis. Otherwise, they would fall into nostalgia and romanticism.

References Alfian. “The Ulama in Acehnese Society,” in Southeast Asian Journal of Social Sciences 3, 1, 1975. John Tosh, The Pursuit of History, revised third edition (London: Pearson Education Limited, 2002), p. 6. 38 Ibid, p. 3. 39 Ibid’, p. 4. 40 Ibid., p. 13. 41 Ibid. 37

462


Amirul Hadi: Aceh in History

Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Alfian, Ibrahim, et al., (ed.). Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, or Prominent Women in the Glimpse of History. Jakarta: Jayakarta Agung, 1994. Andaya, Leonard Y. “Aceh’s Contribution to Standards of Malayness,” in Archipel 61, 2001. Benda, Harry J. “South-East Asian Islam in the Twentieth Century,” in P.M. Holt, et al., (ed.), The Cambridge History of Islam, Vol. 2A. Cambridge: Cambridge University Press, 1970. Bowrey, Thomas. A Geographical Account of Countries Round the Bay of Bengal, 1669 to 1679, edited by R.C. Temple. Cambridge: printed for the Hakluyt Society, 1905. Brooke, J. Narrative of Events in Borneo and Celebes Down to the Occupation of Labuan: From the Journal of J. Brooke…by Captain Rodney Mundy, Vol. I. London: John Murray, 1848. Cowan, H.K.J. “Bijdrage tot de kennis der geschiedenis van het rijk Samoedra-Pase,” in TBG 78, 1938. Davis, John. “The Voyage of Captaine John Davis to the Easterne India, Pilot in a Dutch Ship, Written by Himself,” in The Voyages and Works of John Davis the Navigator, edited by A.H. Markham. London: The Hakluyt Society, 1880. De Graaf, H.J. and Th. G. Th. Pigeaud. De eerste Moslimse vorstendommen of Java. Leiden: Martinus Nijhoff, 1974. De Graaf, H.J. and Th. G. Th. Pigeaud. Islamic States in Java 1500-1700. The Hague: Martinus Nijhoff, 1976. Djajadiningrat, Raden Hoesein. “Critisch overzicht van de in Malaische werken vervatte over de geschiedenis van het Soeltanat van Atjeh.” In BKI 65, 1911. Erawadi. Tradisi, Wacana dan Dinamika Intelektual Islam Aceh Abad XVIII dan XIX. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat, Departemen Agama RI, 2009. Farrington, Anthony (ed.), “Negotiations at Aceh in 1684: An Unpublished English Document,” in Indonesia and the Malay World 27, 1999. Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh. Leiden: E.J. Brill, 2004. Hadi, Amirul. “Exploring Acehnese Understandings of Jihad: A Study of Hikayat Prang Sabi,” in R. Michael Feener, et al., (ed.), Mapping the Acehnese Past. Leiden: KITLV, 2011. Hadi, Amirul. Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, 2011. Hikayat Patani: The Story of Patani, edited by A. Teeuw and D.K. Wyat. The Hague: Martinus Nijhoff, 1970. Iskandar, Teuku. De Hikajat Atjeh. ‘s-Gravenhage: N.V. De Nederlandsche Boek-en Steendrukkerij VH. HL. Smits, 1959. Al-Jawhari, Bukhari. Taj al-Salatin (De kroon aller konigen), edited and translated into Dutch by P.P. Roorda van Eijsinga. Batavia: Lands Drukkerij, 1827. 463


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Al-Jawhari, Bukhari. Taj al-Salatin, ed. by Khalid Hussain. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966. Keng, Cheach Boon. “Power behind the Throne: The Role of Queens and Court Ladies in Malay History,” in JMBRAS 66, 1 (1993): 1-21 Marsden, William. The History of Sumatra, a reprint of the third edition, intro. by John Bastin. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1966. Morris, Eric.” Aceh: Social Revolution and the Islamic Vision,” in Audrey R. Kahin, (ed.), Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity. Honolulu: University of Hawaii Press, 1985. Noer, Deliar. Gerakan Modernis Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1980. Al-Raniri, Nur al-Din. Bustanu’s-salatin, bab 2, fasal 13, ed. by T. Iskandar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pelajaran Malaysia, 1966. Reid, Anthony. “Female Roles in Pre-Colonial Southeast Asia,” in Modern Asian Studies 22, 3, 1988. Sejarah Melayu or Malay Annals, annot. and trans. by C.C. Brown, introd. by R. Roolvink. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1970. Snouck Hurgronje, C. The Achehnese, trans. by A.W.S. O’Sullivan, Vol. I. Leiden: E.J. Brill, 1906. Surat Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia, Nomor 1/Missi/1959. Syukri, Ibrahim. History of Malay Kingdom of Patani, trans. by Connor Bailey and John N. Miksic. Athens, Ohio: Center for International Studies, Ohio University, 1985. Tolson, G.P. “Acheh, Commonly Called Acheen,” in JSBRAS 5, 1880. Tosh, John. The Pursuit of History, revised third edition. London: Pearson Education Limited, 2002. Undang-Undang, Nomor 44 Tahun 1999. Undang-Undang, Nomor 18 Tahun 2001. Undang-Undang, Nomor 11 Tahun 2006. Weeks, Richard V. Muslim People: A World Ethnographic, Vol. I. Westport, Connecticut: Greenwood, 1984. Westpalm, T.C.R. “Geography of Achin,” trans. by Bierber, in JSBRAS 3, 1879. Wibowo, Agus Budi, et al., Dinamika dan Peran PUSA dalam Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat Aceh. Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2005. Winstedt, R.O. “The Early Rulers of Perak, Pahang and Acheh,” in JMBRAS 10, 1932.

464


Kontributor Volume XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

Abdul Hamid Ritonga Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara, Medan. DPK Universitas Islam Sumatera Utara, Pematang Siantar. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Pengkajian Islam, dan Doktor dalam bidang Agama dan Filsafat Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. L. Hidayat Siregar Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Magister Agama dan Doktor dalam bidang Tasawuf dari Program Pasca-sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Syamsuri Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Memperoleh gelar Magister Agama dan Doktor dalam bidang Pengkajian Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ichwansyah Tampubolon Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Padangsidimpuan, Padangsidimpuan. Memperoleh gelar Magister Agama dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan, dan Doktor dalam bidang Pemikiran Islam dari Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Hadri Hasan Dosen Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Memperoleh gelar Doktor dalam bidang Tafsir dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Jaih Mubarok Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung. Memperoleh gelar Master Agama dan Doktor dalam bidang Pengkajian Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. 465


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Hasanudin Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Memperoleh gelar Master of Arts dan Doktor dalam bidang Hukum Islam dari Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Yulizar D. Sanrego Dosen Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Bogor. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Ekonomi dan Manajemen dari Universitas Islam Antar Bangsa, Malaysia dan Doktor dalam bidang Ekonomi Islam dari Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ismed Batubara Dosen Fakultas Hukum Universitas Al Washliyah (UNIVA), Medan. Memperoleh gelar Magister Hukum dalam bidang Hukum Bisnis dari Program Pascasarjana Universitas Medan Area, Medan. Ismail Suardi Wekke Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong, Papua Barat. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Pendidikan Bahasa dari Western Carolina University, Amerika Serikat dan Doktor dari National University of Malaysia. Rosnita Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sumatera Utara, Medan. Memperoleh gelar Master of Arts dalam bidang Pendidikan Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan. M. Mujab Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim. Memperoleh gelar Master of Arts dan Doktor dalam bidang Teologi Islam dari Aligarh Muslim university, New Delhi, India. Muhamad Zuldin Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung. Amirul Hadi Guru Besar dalam bidang Sejarah pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Memperoleh gelar Master of Arts dan Doktor dalam bidang Islamic Studies dari Institute of Islamic Studies McGill University, Montreal, Kanada.

466


UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada mitra bestari/penyunting ahli dalam proses penerbitan MIQOT Volume XXXVII Nomor 2, Juli-Desember 2013 atas kontribusi mereka dalam mereview dan mengomentari artikel-artikel dalam edisi ini. Mereka adalah: 1. Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, MA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta) 2. Prof. Dr. Ahmad Syukri, MA (Institut Agama Islam Negeri Thaha Saifuddin, Jambi) 3. Prof. Dr. Imam Fuadi, M.Ag. (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tulung Agung) 4. Prof. Dr. Gunaryo, MA (Institut Agama Islam Negeri Wali Songo, Semarang) 5. Prof. Dr. Detri Karya, MA (Universitas Negeri Riau, Pekanbaru) 6. Dr. Su‘adi Ashari, MA (Universitas Islam Negeri Thaha Saifuddin, Jambi) 7. Dr. Sahirun Syamsuddin, MA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta) 8. Dr. Yusuf Rahman, MA (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta) 9. Dr. Abdul Muhaya, MA (Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang) 10. Dr. Su‘adi Ashari, MA (Universitas Islam Negeri Thaha Saifuddin, Jambi) 11. Prof. Dr. Nur A. Fadhil Lubis, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 12. Prof. Dr. Ramli Abdul Wahid, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 13. Prof. Dr. Nawir Yuslem, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 14. Prof. Dr. Saiful Akhyar Lubis, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 15. Prof. Dr. Dja’far Siddik, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 16. Prof. Dr. Haidar Putera Daulay, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 17. Prof. Dr. Amroeni Drajat, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 18. Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 19. Prof. Dr. Hasyimsyah Nasution, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 20. Prof. Dr. Hasan Bakti Nasution, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan)

467


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

INDEKS PENULIS

MIQOT Vol. XXXVII No. 1 dan 2 Tahun 2013 No

Penulis

Judul Tulisan

Halaman

1

Abdul Hamid Ritonga

Hadis-Hadis Antropomorfisme: Analisis terhadap Takwil Ibn Hajar al-‘Asqalânî dalam Fath al-Bârî

235-259

2

Amirul Hadi

Aceh in History: Preserving Traditions and Embracing Modernity

449-464

3

Basri

Epistemologi Psikologi Islam

141-158

4

Daud Rasyid

5

Hadri Hasan

Dialog al-Qur’an dengan ‘Urf Arab dan Implikasinya terhadap Pembentukan Hukum Islam

313-326

6

Ichwansyah Tampubolon

Struktur Paradigmatik Ilmu-Ilmu Keislaman Klasik: Dampaknya terhadap Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku Keberagamaan

272-289

7

Ismed Batubara

Perspektif Hukum Islam tentang Dinamika Hubungan Industrial di Indonesia

347-373

8

Ismail Suardi Wekke

Religious Education and Empowerment: Study on Pesantren in Muslim Minority West Papua

374-395

9

Jaih Mubarok, et al. Fatwa Tentang Hadiah di Lembaga Keuangan Syariah

327-346

10

L. Hidayat Siregar

Andalusia: Sejarah Interaksi Religius dan Linguistik

260-271

11

M. Mujab

The Role of Pesantren on the Development Islamic Science in Indonesia

415-437

12

Muhamad Zuldin

Konflik Agama dan Penyelesaiaannya: Kasus Ahmadiyah di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

438-448

13

Mahli Ismail

Kewenangan Pemerintah terhadap Pendistribusian dan Pemanfaatan Tanah Negara dalam Islam

27 - 45

14

Mohammad Al Farabi

Bayt al-Hikmah: Institusi Awal Pengembangan Tradisi Ilmiah Islam

61 - 86

15

Muh. Saerozi

127-140

16

M. Yakub

Pergeseran Posisi Agama dalam UndangUndang Pendidikan di Indonesia 468 Indonesia: Perspektif Historiografi Islam

17

Muhammad Nasir

Syariat Islam dan Ngangkang Style: Mengenal Kearifan Lokal dan Identitas Perempuan Aceh

198-213

18

Rosnita

Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut

396-414

‫ﻣﻮﻗﻒ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻭ ﺍﻟﺸﻴﻌﺔ ﳓﻮ ﺍﻟﻌﺘﺮﺓ ﺍﻟﻨﺒﻮﻳﺔ‬ "...‫ﺩﺭﺍﺳﺔ ﲣﻠﻴﻠﻴﺔ ﳊﺪﻳﺚ "ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭﻋﺘﺮﰐ‬

Sejarawan Informal

1 - 26

159-179


Indeks Penulis

15

Muh. Saerozi

Pergeseran Posisi Agama dalam UndangUndang Pendidikan di Indonesia

127-140

16

M. Yakub

Historiografi Islam Indonesia: Perspektif Sejarawan Informal

159-179

17

Muhammad Nasir

Syariat Islam dan Ngangkang Style: Mengenal Kearifan Lokal dan Identitas Perempuan Aceh

198-213

18

Rosnita

Pembentukan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Ibn Miskawaih

396-414

19

R.A. Anggraeni Notosrijoedono

Peran Keluarga Muslim Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Usia Dini

109-126

20

Syamsuri

Memadukan Kembali Eksoterisme dan Esoterisme dalam Islam

290-312

21

Syafiq M. Hanafi

Financial Risk Management in Syariah Contracts: a Review of Current Literature

46 - 60

22

Suhaimi

Integrasi Dakwah Islam dengan Ilmu Komunikasi

214-228

23

Tarmizi

Problem Solving dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islami

87-108

24

Zulkifli

The Ulama in Indonesia: Between Religious Authority and Symbolic Power

180-197

469


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013

MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah 1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain; 2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh; 3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; 4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman; 5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah: a. Judul; b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata; d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan; f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan); g. Penutup; h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 6. Sistematika resume hasil penelitian adalah: a. Judul; b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; d. Kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian f. Metode; g. Hasil dan pembahasan; h. Kesimpulan dan saran; i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan catatan kaki serta pustaka acuan; 8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman; 470


Petunjuk Pengiriman Naskah

9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis, atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com; 10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut: ‫= ا‬a

‫ = خ‬kh

‫ = ش‬sy

‫ = غ‬gh

‫=ن‬n

‫=ب‬b

‫=د‬d

‫ = ص‬sh

‫=ف‬f

‫=و‬w

‫=ت‬t

‫ = ذ‬dz

‫ = ض‬dh

‫=ق‬q

‫=ه‬h

‫ = ث‬ts

‫=ر‬r

‫ = ط‬th

‫=ك‬k

‫’=ء‬

‫=ج‬j

‫=ز‬z

‫ = ظ‬zh

‫=ل‬l

‫ = ي‬ya

‫=ح‬h

‫=س‬s

‫`=ع‬

‫=م‬m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut: â = a panjang, seperti, al-islâmiyah î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah û = u panjang, seperti al-dustûr Kata-kata yang diawali dengan alif lam (‫ )ال‬baik alif lam qamariyah maupun alif lam syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah. 11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah. 12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî, Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl. 13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan: a. Catatan kaki (foot note) Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548. 1

2

Ibid.

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 3

4

Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.

6

Ibid, h. 224.

b. Pustaka Acuan 471


MIQOT Vol. XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013 Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, juz IV. Kairo: t.p., t.t. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001. 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis; 15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah; 16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut; 17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

472


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.