MIQOT XXXVIII NO. 2 Juli-Desember 2014

Page 1


MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Terbit dua kali dalam setahun, edisi Januari-Juni dan Juli-Desember. Berisi tulisan atau artikel ilmiah ilmu-ilmu keislaman, baik berupa telaah konseptual, hasil penelitian, telaah buku dan biografi tokoh Ketua Penyunting Mhd. Syahnan Penyunting Pelaksana Hasan Asari Al Rasyidin Muhammad Iqbal Harun Al Rasyid Sakti Ritonga Penyunting Ahli Zulkiple Abd. Ghani (Universiti Sains Islam Malaysia, Kuala Lumpur) Ahmad Hidayat bin Buang (University of Malaya, Kuala Lumpur) Sapora Sipon (Universiti Sains Islam Malaysia, Kuala Lumpur) Khoiruddin Nasution (UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) Suaidi Asyari (IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi) Saiful Akhyar Lubis (IAIN Sumatera Utara, Medan) Andi Faisal Bakti (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) Yusuf Rahman (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta) Amiur Nuruddin (IAIN Sumatera Utara, Medan) Amroeni Drajat (IAIN Sumatera Utara, Medan) Dja’far Siddik (IAIN Sumatera Utara, Medan) Amirul Hadi (UIN Ar-Raniry, Banda Aceh) Salmadanis (IAIN Imam Bonjol, Padang)

Tata Usaha Asrul Daulay Muhammad Nasir Saidatul Khairiyah Ja’far


MIQOT

Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Daftar Isi

Analisis Metodologis-Filosofis: Konsep Tafsir Jamâl al-Bannâ Mukhammad Zamzami .......................................................................

245-262

Pengaruh Tafsîr al-Manâr terhadap Tafsir al-Azhar Abdul Manan Syafi’i ............................................................................

263-275

Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam al-Qur’an Menurut Amina Wadud M. Rusydi ..............................................................................................

276-294

Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam Ilhamuddin ...........................................................................................

295-318

Kontekstualisasi Pemikiran KH. Hasyim Asy‘ari tentang Persatuan Umat Islam Ahmad Khoirul Fata & M. Ainun Najib ............................................

319-334

Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman dalam Perspektif M. Amin Abdullah Parluhutan Siregar ...............................................................................

335-354

‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ‬ Muhammad Amar Adly .......................................................................

355-373

Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakan dan Problem HAM di Indonesia Masykuri Abdillah ................................................................................

374-394

Persepsi Perempuan tentang Perceraian di Kota Padang Rozalinda & Nurhasanah....................................................................

395-416

Konsep Pendidikan Humanis dalam Pengembangan Pendidikan Islam Muh. Idris ..............................................................................................

417-434


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Muslim-Christian Debates in the Early ‘Abbasid Period: the Cases of Timothy I and Theodore Abu Qurra Hans Abdiel Harmakaputra ...............................................................

435-445

Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru Zainal .....................................................................................................

446-465


ANALISIS METODOLOGIS-FILOSOFIS KONSEP TAFSIR JAMÂL AL-BANNÂ Mukhammad Zamzami Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Jl. Ahmad Yani No. 117, Surabaya, Jawa Timur, 60237 e-mail: zamzami81@yahoo.com

Abstrak: Artikel ini mencoba untuk mengulas metode penafsiran Jamâl al-Bannâ secara metodologis dan filosofis. Dimulai dengan upaya untuk mendekonstruksi interpretasi hasil dari semua mufasir klasik, Jamâl al-Bannâ mengusulkan tiga tahap dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu pendekatan seni, pendekatan psikologis, dan pendekatan rasional. Ketiganya merupakan tahapan hierarkis untuk bisa sampai pada sebuah penafsiran. Setelah bisa sampai pada tahap penafsiran, Jamâl al-Bannâ tidak merekomendasikan metode tertentu atau membatasi ilmu pengetahuan tertentu sebagai metode analisa penafsiran. Ia menolak jika salah satu metode tertentu memiliki garansi sebagai satu-satunya cara untuk menemukan kebenaran, karena al-Qur’an tidak harus dibatasi. Dalam sosiologi pengetahuan, pemikirannya mirip dengan Against Method (Anarkisme Metode) Paul K. Feyerabend. Bagi Jamâl al-Bannâ, manusia sangat otonom dan bebas untuk menafsirkan selama itu sejalan dengan prinsip-prinsip humanis dan universal yang terkandung dalam al-Qur’an. Abstract: Methodological and Philosophical Analysis of Jamâl al-Bannâ’s Qur’anic Exegesis. This article seeks to analyze the method of Jamâl al-Bannâ’s interpretation. Beginning with an attempt to deconstruct the interpretation of the results of all classical mufassir, Jamâl al-Bannâ proposed three stages in the interpretation of the Qur’an that include such approaches as stylistic, psychological, and rational method. All three approaches are utilized hierarchically in order to come to an interpretation. At the rational stage of Qur’anic exegesis, Jamâl al-Bannâ didn’t recommend a specific method or limit the science to a particular method. He refused that one particular method has the warranty as the only interpretation to seek the way for the truth, because the Qur’an should not be restricted. In the sociology of knowledge, his thinking is similar to that of Paul K. Feyerabend’s Against Method. According to Jamâl al-Bannâ, human beings are very autonomous and free to interpret the Qur’an as long as it is in line with the principles of humanistic and universal values as enshrined there in.

Kata Kunci: Tafsir al-Qur’an, Jamâl al-Bannâ, pendekatan seni, metode penafsiran 245


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pendahuluan Al-Qur’an adalah sumber pengetahuan yang diwariskan oleh sejarah intelektual Muslim. Sejak Muhammad hadir, al-Qur’an selalu menghiasi kecerdasannya baik secara intelektual maupun spiritual, sehingga al-Qur’an eksis memberikan pewarnaan interpretasi demi kemaslahatan umat. Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia yang berakal untuk menyelesaikan problematika kehidupan sehari-hari sesuai dengan ruang dan waktu. Diakui atau tidak, wahyu adalah bahasa Tuhan yang transendental dan sakral, sedangkan tafsir adalah bahasa manusia ditafsirkan secara imanen oleh para mufassir sesuai dengan pengalaman hidup masing-masing. Kemunculan para penafsir dalam menafsirkan alQur’an dengan penawaran metodologi yang beragam adalah bukti adanya parameter yang dimiliki setiap penafsir. Sesungguhnya, para penafsir menyadari bahwa jika alQur’an tidak ditafsirkan berdasarkan pada konteks perkembangan dan peradaban manusia, maka al-Qur’an akan mengalami kemandekan intelektual, sehingga pesan-pesan alQur’an menjadi tertutup. Senada apa yang dikatakan oleh ‘Alî b. Abî Thâlib bahwa “tanpa manusia, al-Qur’an tidak bisa berbicara apa-apa”. Dengan demikian, fungsi penafsiran al-Qur’an harus didasarkan pada problem keagamaan kontemporer dan tidak harus merujuk pada khazanah pemikiran klasik, akan tetapi tawaran penafsiran yang kontekstual harus terus dilakukan. Di era kontemporer ini, geliat pemikir pembaru Muslim yang sudah menawarkan gagasan baru terhadap penafsiran al-Qur’an, tidak terkecuali Jamâl al-Bannâ. Jika Hasan Hanafî (l.1935) mengembangkan tafsir realis1, Fazlur Rahman (1919-1998) dengan tafsir tematik-kontekstual dengan teori Double Movement2, Muhammad Arkûn (l. 1928) dengan trilogi linguistik, antropologis dan historis3, Nasr Hâmid Abû Zayd (1943-2010) dengan pendekatan sastra4, serta Muhammad Shahrûr (l. 1938) dengan lingusitik-strukturalisnya5, maka kontribusi Jamâl al-Bannâ hadir dengan gagasan tafsir humanisnya. Artikel ini secara khusus akan mengupas metode penafsiran Jamâl al-Bannâ yang menawarkan tiga tahapan penafsiran dalam menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Pendekatan seni, psikologi, dan rasional diwacanaM. Mansur, “Metodologi Penafsiran Realis ala Hassan Hanafi”, dalam Jurnal al-Qur’an dan Hadits, Vol. 1, No. 1 (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2000), h. 16-18. 2 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), 72; bandingkan Abd. A’la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Dian Rahmat, 2009), h. 85. 3 Mustaqim, Epistemologi Tafsir, 75; Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000), h. 195. 4 Lihat Nasr Hâmid Abû Zayd, Ishkâlîyât al-Qirâah wa Âlîyât al-Ta’wîl (Beirut: Markaz alThaqâfî, 1994), h. 48. 5 Pendekatan tersebut berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan sifat yang khas yang dimiliki oleh bahasa. Hal ini dilakukan dengan melibatkan telaah sinkronik-diakronik, menggunakan analisis hubungan sintagmatik dan paradigmatik. Lihat Mustaqim, Epistemologi Tafsir, h. 77. 1

246


Mukhammad Zamzami: Analisis Metodologis-filosofis

kan Jamâl al-Bannâ dianggap sebagai rujukan ideal dalam rangka memperoleh penafsiran yang memihak kepada keadilan dan kemaslahatan manusia.

Sketsa Biografis Jamâl al-Bannâ Ahmad Jamâl al-Dîn Ahmad ‘Abd al-Rahmân atau yang akrab dipanggil Jamâl alBannâ merupakan adik bungsu dari Hasan al-Bannâ (1906-1949 M), pendiri kelompok al-Ikhwân al-Muslimûn. Ia lahir pada bulan Desember 1920 di sebuah desa yang masih asri dan cukup terkenal di Propinsi Bukhayrah, yakni Desa Mahmûdîyah, sekitar 50 kilometer dari kota wisata Alexandaria-Mesir6 dan meninggal pada 30 Januari 2013 dalam usia lebih dari 93 tahun. Ayahnya bernama Ahmad b. ‘Abd al-Rahmân b. Muhammad al-Bannâ al-Sâ‘atî7 atau yang biasa dipanggil Shaykh al-Bannâ. Sedangkan ibunya bernama Umu Sa‘ad Saqar.8 Orang tuanya memberi nama Jamâl agar kelak menjadi sosok revolusioner besar seperti Jamâl al-Dîn al-Afghânî. Berbeda dengan kakaknya yang menjadi aktivis, juru dakwah, dan terhitung pembaru Islam (mujaddid) abad 20 M, sang adik bungsu justru dikenal luas dengan reputasinya sebagai seorang pemikir dan penulis liberal. Jamâl al-Bannâ dikenal cukup berani menggugat ajaran-ajaran pokok yang telah baku dalam sharî‘at Islam. Jamâl al-Bannâ adalah seorang tokoh yang secara intelektual dididik dan dibesarkan dalam tradisi keislaman kuat.9 Pada prosesnya, sense of crisis-nya sanggup mengantarkannya untuk mendeklarasikan sebuah mazhab baru yang ia beri nama dengan Revivalisme Islam (al-Ihyâ’ al-Islâmî atau Islamic Revivalism). Di antara isu yang diangkat dalam ide pembaruannya adalah pentingnya merekonstruksi metode penafsiran al-Qur’an. Di sini Jamâl mencoba menegaskan bahwa untuk menjadi rasional dan progresif, umat Islam bisa menggali rasioanalitas dari sumber utamanya, al-Qur’an. Seperti ini pula yang ditegaskan oleh Hâshim Sâlih—spesialis penerjemah karya-karya Muhammad Arkûn dari bahasa Prancis ke dalam bahasa Arab—dalam surat kabar al-Sharq al-Awsat yang menulis artikel dengan judul “Jamâl al-Bannâ bayn al-Islâh al-Dînî wa al-Tanwîr” (Jamâl al-Bannâ antara reformasi keagamaan dan pencerahan), di mana dalam artikel tersebut http://ar.wikipedia.org/wiki/Jamâl_al_Banna. Ia adalah pengarang kitab al-Fath al-Rayyân fî Tartîb al-Musnad al-Imâm Ahmad b. Hanbal al-Shaybânî sebanyak 24 jilid. Lihat Muhammad ‘Ajjâj al-Khâtib. Usûl al-Hadîth: Ulûmuh wa Mustalahuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), h. 329. Lihat juga Ashraf ‘Abd. al-Qâdir, “Jamâl al-Bannâ: al-‘Almânîyah laysat diddu al-Dîn wa lâkin diddu an Yadkhula al-Dîn fî al-Siyâsah” (wawancara) dalam www.ahewar.org/debat/14-02-2003/diakses 09-05-2007. 8 Lihat Ensiklopedi tokoh yang memuat profil ibunda Hasan al-Bannâ dalam www.egyptwindow. net/nafidatumasr/07-08-2007. 9 Walaupun begitu, sistem pendidikan yang diterapkan oleh Ayahnya, Ahmad al-Bannâ, yang juga pengarang al-Fath al-Rayyân fî Tartîb al-Musnad al-Imâm Ahmad b. Hanbal al-Shaybânî, sangat pluralistik. Lihat al-Qâdir, “Jamâl al-Bannâ: al-‘Almânîyah”. 6 7

247


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 ia memandang Jamâl al-Bannâ sebagai pemikir yang setelah melalui proses mendekonstruksi ideologi yang bersemayam dalam khazanah turâts Islam kemudian digalilah prinsipprinsip rasionalitas yang bersumber dalam sumber utamanya, al-Qur’an. Oleh karenanya, Sâlih kemudian menjulukinya dengan Martin Luther-nya Islam karena kedua tokoh, baik Luther maupun Jamâl, sama-sama menggerakkan reformasi keagamaan (al-islâh aldînî) dalam agamanya masing-masing. 10 Jamâl al-Bannâ merupakan pemikir prolifik yang karyanya mencapai ratusan buku. Ada beberapa karyanya yang khusus mengupas tentang metodologi penafsiran al-Qur’an. Karya-karya tersebut antara lain: Al-Aslân al-‘Azîmân: al-Kitâb wa al-Sunnah (Ru’yah Jadîdah) (1982); Al-Awdah ilâ al-Qur’an (1984); Al-Hukm bi al-Qur’an wa Qadiyyat Tatbîq al-Sharî‘ah (1986); Nahw Fiqh Jadîd: Muntaliqât wa Mafâhim, Fahm al-Khitâb al-Qur’anî (1995); Tathwîr al-Qur’an (2001); Tafsîr al-Qur’an al-Karîm bayn al-Quddâmâ wa al-Muhaddithîn (2003); Tafnîd Da‘wâ Hadd al-Naskh fî al-Qur’an al-Karîm (2004), Tajdîd al-Islâm wa I‘âdat Ta’sîs Manzûmat al-Ma‘rifah al-Islâmîyah (2005), dan lain-lain.

Penafsiran al-Qur’an Menurut Jamâl al-Bannâ Al-Qur’an sebagai Kitab Mukjizat Al-Qur’an merupakan mukjizat Islam dan menjadi media untuk mendapatkan hidayah. Menurut Jamâl, hal ini harus dipahami sebagai kunci dalam memahami eksistensi alQur’an. Selama al-Qur’an menjadi pegangan umat Islam, sudah semestinya ia memenuhi standar maupun unsur mukjizat: sebuah ‘kekuatan’ khusus yang akan memberikan kebenaran al-Qur’an sebagai esensi keimanan di setiap masa. Ini berarti setiap masa, bahkan tempat sekalipun, mempunyai hak yang sama untuk tidak memonopoli keistimewaan al-Qur’an dalam memberikan petunjuk.11 Setiap model dakwah dalam Islam selalu mengusung spirit bahwa al-Qur’an merupakan sumber utama, seperti slogan yang diungkapkan oleh gerakan al-Ikhwân al-Muslimûn, “al-Qur’an dustûrunâ” (al-Qur’an adalah undang-undang kita). Demikian halnya dengan pembaruan Jamâl al-Bannâ yang menempatkan al-Qur’an sebagai kerangka utamanya. Perbedaan keduanya adalah jika model yang pertama memahami al-Qur’an melalui kitabkitab tafsîr klasik seperti tafsîr al-Tabarî, al-Qurtubî, Ibn Katsîr, al-Râzî, dan lain-lain), maka pembaruan Jamâl al-Bannâ justru mengasi seluruh produk tafsir klasik, karena

Hâshim Sâlih juga menempatkan proyek pemikiran Jamâl al-Bannâ setara dengan proyek para pemikir Islam kontemporer yang lain, seperti Muhammad al-Thalabî, ‘Abd. al-Majîd alSharafî, Hasan Hanafî, Muhammad Arkûn, Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, ‘Abd. al-Karîm Shoroush dan lain-lain. Lihat Hâshim Sâlih, “Jamâl al-Bannâ… Bayn al-Islâh al-Dînî wa al-Tanwîr” dalam www.assyarqalawsat.com/24-Mei-2004. 11 Jamâl al-Bannâ, al-Islâm kamâ Tuqaddimuhu Da‘wat al-Ihyâ’ al-Islamî (Kairo: Dâr alFikr al-Islâmî, 2004), h. 59. 10

248


Mukhammad Zamzami: Analisis Metodologis-filosofis

baginya setiap tafsir merupakan produk masanya.12 Bagi Jamâl, produk tafsir klasik tersebut banyak dicemari oleh riwayat hadîth-hadîth mawdû‘, konservatisme sebagai worldview, maupun penyusupan cerita-cerita Isrâîlîyat. Di samping itu, konstruksi intelektual setiap mufassir banyak berkontribusi dalam memproduksi penafsiran. Dengan begitu, al-Zamakhsharî yang berpaham Muktazilah-Linguistis (mu‘tazilîyan lughawîyan) memberikan tafsîrnya atas ideologi Muktazilahnya, sama halnya dengan penafsir lain seperti Ibn Kathîr dan al-Tabarî yang memberikan kontribusi tafsîrnya atas dasar periwayatan, penggunaan dalil-dalil naqli, dan lain-lain.13 Dalam memahami al-Qur’an sebagai kitab mukjizat, Jamâl al-Bannâ tidak berpijak pada penafsiran klasik. Karena menurutnya, khazanah tafsîr tersebut menjadi penghalang bagi kaum Muslim dalam memahami makna yang dikehendaki al-Qur’an. Dalam bukunya, Mâ ba‘d al-Ikhwân al-Muslimîn, Jamâl al-Bannâ menyampaikan beberapa kritik terhadap tafsîr al-Qur’an: Pertama, semua tafsîr hanya dijadikan justifikasi terhadap wahyu Tuhan, baik secara riwayat maupun maknawi, dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi, dari yang bersifat mungkin kepada yang bersifat meyakinkan. Kedua, satu-satunya penafsiran al-Qur’an yang tidak mungkin salah adalah tafsîr al-Qur’an itu sendiri, yakni ayat al-Qur’an yang menafsirkan ayat yang lain. 14 Dengan kata lain, satu ayat mungkin tidak secara rinci menjelaskan tentang sebuah permasalahan, kemudian ada ayat lain yang menjelaskannya. Penafsiran suatu ayat harus sesuai dengan konteksnya, dan semua itu terdapat dalam diri al-Qur’an sendiri. Ia tidak membutuhkan “tafsîr luar”.15 Ketiga, pada dasarnya al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk kepada manusia. Inilah yang telah dilakukan al-Qur’an dengan caranya sendiri (pendekatan seni dan psikis). Setelah itu, al-Qur’an mengalirkan nilai-nilai universalnya. Dalam konteks ini, al-Qur’an tidak jauh berbeda dengan mukjizat-mukjizat yang lain. Dia seperti matahari yang bersinar, lautan yang bergelombang, dan bulan yang terang. Hingga al-Qur’an mampu memengaruhi jiwa seseorang. Al-Qur’an berhasil menciptakan jiwa-jiwa yang beriman di masa Nabi. Pada masa itu, tidak ada tafsîr maupun penjelasan. Namun demikian, para sahabat mampu menciptakan iklim yang progresif serta peradaban yang luhur dan meninggal dunia tanpa melakukan seperti yang dilakukan oleh para mufassir.16 Jamâl al-Bannâ, Mâ Ba‘d al-Ikhwân al-Muslimîn (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 1996), h. 129. Ibid., h. 126. 14 Jamâl al-Bannâ, Hâ Huwa Dhâ al-Barnâmij al-Islâmî (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmi, 1991), 12

13

h. 17.

Jamâl al-Bannâ, Tajdîd al-Islâm wa I‘âdat Ta’sîs Manzûmat al-Ma‘rifah al-Islâmîyah (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 2005), h. 228. 16 al-Bannâ, Mâ ba‘d, h. 127-128. 15

249


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Tiga Tahapan dalam Memahami al-Qur’an Dalam rekonstruksi penafsiran al-Qur’an, Jamâl al-Bannâ mengajukan model yang berbeda dengan pemikir lainnya. Ia mengetengahkan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh setiap penafsir dalam memahami al-Qur’an. Trilogi pendekatan itulah yang dapat menghantarkan penafsir untuk sampai pada makna hakiki al-Qur’an. Di antara tiga pendekatan itu antara lain: pendekatan seni, pendekatan psikis, dan pendekatan rasional. Sebagian ulama berpendapat bahwa agama—terutama Islam—bertentangan dengan seni. Namun, bagi Jamâl, seni adalah sarana interaksi dengan hati dan yang berkaitan dengannya, seperti perasaan, cinta, dan keadilan. Seni membuka diri dengan kebaikan dan menjauhi keburukan. Seni juga dapat membedakan antara kebaikan dari sebuah perbuatan baik. Begitu juga sebaliknya. Inilah yang menjadi poros agama-agama. 17 Apabila seni adalah pintu masuk menuju segala kebaikan, sementara poros agama juga di sana, maka jelaslah bahwa di antara agama dan seni terjalin hubungan yang erat. Bagi Jamâl, seni adalah pintu masuk dan sebuah alat dalam agama. Dengan demikian, seni juga bisa hadir dalam ritual agama. Pertentangan yang muncul disebabkan asumsi yang melihat seni sebagai sesuatu yang lahir dari hawa nafsu dan dilakukan untuk kepentingan seni semata. Sementara seni yang digunakan al-Qur’an adalah seni untuk mereformasi dan memperbaiki keadaan manusia. Untuk merealisasikan hal itu, seni tentu tidak bisa dilepaskan, karena tidak mungkin memperbaiki jiwa dan hati seseorang tanpa melalui jalur seni.18 Bahkan, panca indra pun bisa tunduk olehnya. Seperti yang tertuang dalam Q.S. al-Zumar: 2319: “Gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seorang pemimpin pun.” Rasulullah juga menyatakan bahwa hati dapat memperbaiki (dan merusak) jiwa seseorang.

.‫ﺍﻥ ﰱ ﺍﳉﺴﺪ ﻣﻀﻐﺔ ﺇﺫﺍ ﺻﻠﺤﺖ ﺻﻠﺢ ﺍﳉﺴﺪ ﻛﻠﻪ ﻭﺇﺫﺍ ﻓﺴﺪﺕ ﻓﺴﺪ ﺍﳉﺴﺪ ﻛﻠﻪ ﺃﻻ ﻭﻫﻲ ﺍﻟﻘﻠﺐ‬ “Sesungguhnya dalam jiwa seseorang terdapat segumpal daging. Bila daging itu baik, seluruh jiwa akan baik. Bila tidak, seluruh jiwa akan rusak. Itulah hati.” 20

Jamâl Al-Bannâ, Nahw Fiqh Jadîd: Muntaliqât wa Mafâhîm: Fahm al-Khitâb al-Qur’ânî, Vol. 1 (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 1996), h. 154. 18 Ibid. 19 Jamâl al-Bannâ, al-Awdah ilâ al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Shurûq, 2008), h. 48. 20 al-Bannâ, Nahw, Vol. 1, h. 154. 17

250


Mukhammad Zamzami: Analisis Metodologis-filosofis

Dari sini, Jamâl menegaskan bahwa pemahaman kaum salaf yang keliru terhadap al-Qur’an adalah pemikiran bahwa al-Qur’an merupakan kitab sastra, sehingga penafsiran yang dihasilkan berkutat kepada al-i‘jâz al-bayânî. Baginya, al-Qur’an adalah kitab seni terbesar dan kemukjizatan terbesarnya adalah penggunaan bahasa sebagai alat untuk memahami seni yang terdapat dalam al-Qur’an. Rahasia kemukjizatan (pembacaan) musikal yang dimunculkan dari al-Qur’an bisa menjadi pendekatan psikologis, hanya dengan mendengar bacaan al-Qur’an. Ini adalah karakteristik seni. Hanya dengan mendengarkan seseorang bisa tercuci otaknya, seperti penikmat musik di Barat yang tercuci otaknya ketika mendengarkan Beethoven atau opera-opera musikal. Hal ini juga ditegaskan dalam al-Qur’an surah al-Hasyr/59: 21:21 “Kalau sekiranya Kami turunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.”22 Untuk membumikan nilai seninya, al-Qur’an menggunakan pendekatan baru dalam pengungkapan. Sebuah cara yang tidak terkenal sebelumnya. Dalam tradisi Arab, hanya ada pengungkapan nathr (prosa) yang kekuatannya terletak pada keserasian makna dan konteks, atau syair yang kekuatannya terletak di penyeragaman kata akhir. Al-Qur’an datang dengan pendekatan baru. Dia bukan nathr karena di setiap akhir kata terdapat “kunci”, bukan juga syair karena dia tidak mengikuti jalur syair seperti wazn (aturan dalam syair arab) dan keseragaman kata akhir (qawâfi). Pendekatan yang diusung al-Qur’an tidak pernah terbayangkan oleh orang-orang Arab sebelumnya. Tidak seorang pun bisa meniru gaya bahasa dan penyampaian al-Qur’an. Oleh karenanya, benar bila dikatakan bahwa bahasa Arab adalah nathr, syair, dan al-Qur’an (inna al-lughah al‘Arabîyah nathr, wa shi‘r, wa Qur’an).23 Gaya penyampaian al-Qur’an ini berpengaruh besar terhadap orang-orang yang menggunakan bahasa Arab, dan pada akhirnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari susunan kalimat bahasa Arab. 24 Dalam konteks seni, hal pertama yang dapat dipahami manusia adalah struktur musik, sebab al-Qur’an harus disuarakan melalui pembacaan. Maka, membaca al-Qur’an yang baik membutuhkan pendengaran dan talaqqî (membaca di hadapan guru). Dalam al-Qur’an, terdapat kalimat-kalimat yang membutuhkan cara khusus dalam membacanya. Contohnya, dalam surah al-Fajr “alam tara kayf fa‘al rabbuk bi ‘Âd” (Apakah kamu [Muhammad] tidak mengetahui apa yang dilakukan Tuhanmu terhadap kaum ‘Âd). Kalimat “alif-lâm-

Jamâl al-Bannâ, Istrâtîjîyah al-Da‘wah al-Islâmîyah fî Qarn 21 (Kairo: Dâr al-Fikr alIslâmî, 2000), 59. 22 Lihat juga Q.S. al-Isrâ’/17: 107-108. 23 Jamâl al-Bannâ, al-Aslân al-‘Azîmân “Al-Qur’ân wa al-Sunnah”; Ru’yah Jadîdah (Kairo: Matba‘ah Hisân, 1982), h. 20. 24 al-Bannâ, Nahw, Vol. 1, h. 156-157. 21

251


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 mîm” dalam ayat ini dibaca “alam”. Padahal dalam ayat lain dengan tulisan yang sama dibaca “alif-lâm-mîm” seperti yang terdapat dalam awal surah al-Baqarah. Oleh karena itu, menurut Jamâl, al-Qur’an pertama kali semestinya dibacakan kepada ahli al-Qur’an untuk memperbaiki dan membenarkan bacaannya. Berbeda dengan kitab-kitab yang lain, membaca al-Qur’an yang baik membutuhkan nada tinggi, rendah, panjang, pendek, dengung, dan seterusnya, yang terlebih dahulu harus diketahui pembaca al-Qur’an. Membacakannya kepada mereka yang ahli akan menghindarkan seseorang dari kesalahan membaca.25 Terlepas dari itu semua, membaca al-Qur’an dengan cara yang keras dapat menghadirkan ketenangan tersendiri. Struktur seninya terdengar indah. Seseorang yang beriman dan berinteraksi dengan al-Qur’an, seperti seniman berinteraksi dengan nada musik atau petikan lagu. Walaupun terdapat perbedaan yang sangat besar antar-keduanya. Al-Qur’an mempunyai struktur musik tersendiri. Tajwîd pada titik tertentu dapat mengungkap musik al-Qur’an, karena ia adalah ilmu dan penadaan musik al-Qur’an yang bisa memperindah bacaan dan hiasan membaca, meski tanpa bantuan alat musik tertentu. Maka, ketika suara tertata sesuai dengan kaidah musik, dia dapat meninggalkan kesan cukup mendalam dalam jiwa.26 Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak satu kitab pun yang menggunakan pengaruh musik seperti al-Qur’an. Al-Qur’an memberikan kreasi musik tersendiri kepada kita. Komposisi huruf dan kata dalam al-Qur’an seakan menjadi bel pelantun musik walaupun tanpa gitar, nada, bahkan suara. Itulah cara-cara memperindah suara dalam bahasa dan mempunyai dampak psikologis. Kelebihan mukjizat al-Qur’an dalam suara ini dapat mempengaruhi, baik bagi orang yang memahami artinya atau tidak. Oleh karenanya, dengan mendengarkan al-Qur’an, terlepas paham atau tidak, seseorang telah tertarik. 27 Menurut Jamâl, berbeda dengan musik bergitar lainnya, musik al-Qur’an pada dasarnya adalah musik bahasa yang diatur oleh tata bahasa itu sendiri. Itulah “lagu yang indah”.28 Itulah perbedaan mendasar antara tajwîd dan nada. Tajwîd diatur oleh kaidah, sedangkan nada lebih bebas sesuai dengan psikologi dan pemahaman yang bersangkutan. Oleh karenanya, penadaan seseorang terhadap teks akan berbeda dengan yang lain. Nada bebas tidak bisa diterapkan dalam al-Qur’an. Dalam konteks musik al-Qur’an, menurut Jamâl, sebenarnya al-Qur’an tidak memberikan “ruang lebih” bagi para ahli nada dan musik, karena setiap ayat dalam al-Qur’an membawa musiknya sendiri. Karena pengaruh musik ini, telinga kemudian menerima,

al-Bannâ, al-Aslân, h. 15. Ibid., h. 16-17. 27 al-Bannâ, al-Awdah, h. 50. 28 al-Banna, Nahw, Vol. 1, h. 162. 25 26

252


Mukhammad Zamzami: Analisis Metodologis-filosofis

bahkan tertarik untuk terus mendengarkannya.29 Dari sini kemudian tercipta pengaruh keimanan.30 Tujuan sebenarnya dari musik al-Qur’an bukanlah keindahan itu sendiri, tapi penyatuan makna dengan emosi. Oleh karenanya, bagusnya suara—walaupun itu penting—bukan segala-galanya. Yang lebih penting adalah penyatuan suara dan makna. Deskripsi seni di sini tidak hanya menjadi salah satu cara al-Qur’an mempengaruhi jiwa, akan tetapi menjadi sarana satu-satunya untuk bisa memahami Allah dan hal gaib lainnya. Bahkan deskripsi seni ini dapat digunakan untuk menerangkan hal yang tampak, tapi tidak bisa diterangkan secara ilmiah dan pasti.31 Ketika al-Qur’an diharapkan menjadi petunjuk bagi manusia, menurut Jamâl, tidak mengejutkan bila deskripsi seni dijadikan salah satu jalannya—untuk tidak mengatakan jalan satu-satunya—untuk bisa mewujudkan semua itu. Semua tentang Allah dan hal gaib lainnya adalah sasaran dari pendekatan ini.32 Disamping itu, karena tujuan al-Qur’an adalah memperbaiki manusia, maka memperbaiki tersebut harus melalui pendekatan psikis dan nurani sebagai penyempurna dari pendekatan awal melalui jalur musik dan seni. Substansi dua pendekatan di atas mengarah kepada jiwa.33 Yang perlu ditegaskan adalah, al-Qur’an tidak berhenti sampai di sini (pendekatan rasa). Ia juga menggunakan pendekatan rasional yang mungkin tidak pernah dilakukan oleh kitab-kitab lain. Contoh-contoh yang telah disampaikan adalah buktinya. Al-Qur’an menggunakan sesuatu yang fitrah dan rasional. Al-Qur’an menggunakan pendekatan rasa untuk mempersiapkan jiwa hingga bisa menerima tujuan al-Qur’an, yang dapat diringkas dalam dua hal: Pertama, penggunaan akal dan mengimani nilai-nilai universal. Tidak ditemukan satu kitab pun, seperti al-Qur’an, yang mendorong pembacanya untuk berkeliling dunia guna mengetahui dan mempelajari peninggalan orang-orang terdahulu.34 Dengan begitu, mereka dapat mengetahui keagungan Allah dan menemukan hikmah-hikmah tersimpan. Al-Qur’an menganjurkan agar manusia menggunakan akal pikirannya. Untuk mendukung argumentasinya, Jamâl banyak mengutip potongan-potongan ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Baqarah/2: 73 dan 242, la‘allakum ta‘qilûn (agar supaya engkau berpikir), Q.S. al-Baqarah/2: 219, la‘allakum tatafakkarûn (agar supaya engkau berpikir), Q.S. al-An‘âm/6: 50, afalâ tatafakkarûn (apakah engkau Proses transferensi dari suara yang diterima oleh telinga mampu menjadi alat memperlancar proses hidayah. Menurut Jamâl, hal ini seperti yang tergambar dalam Q.S. al-Jin/72: 1 dan 13; Q.S. al-Mâidah/5: 83. Lihat al-Bannâ, al-Awdah, h. 48-49. 30 al-Banna, al-Aslân, h. 22. 31 al-Bannâ, Nahw, Vol. I, h. 172. 32 Q.S. al-Nûr/24: 35-41. Lihat al-Bannâ, al-Islâm Kamâ, h. 66. 33 Adapun contoh pendekatan psikis bisa ditelusuri Q.S. al-Mu’minûn/23: 37-38 dan 90; Q.S. Saba’/34: 3; Q.S. al-Taghâbun/64: 7; Q.S. Qâf/50: 39-40; Q.S. al-Baqarah/2: 204-205; Q.S. Ali Imrân/3: 75; Q.S. al-Qiyâmah/75: 33; Q.S. al-Thûr/52]: 35; Q.S. al-Anbiyâ’/21: 23; dan Q.S. Yûnus/10: 79. 34 al-Bannâ, al-Islâm kamâ, h. 67. 29

253


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 tidak berpikir), dan lain sebagainya.35 Dalam ayat lain, Allah juga menjelaskan penyebutan orang-orang yang berakal dengan ûlû al-albâb. Hal ini seperti yang tertuang dalam Q.S. al-Baqarah/2: 179 dan 269, Q.S. Âli Imrân/3: 7.36 Adapun sasaran kedua dari tujuan al-Qur’an adalah beriman kepada nilai-nilai universal, seperti kebaikan, cinta-kasih, kebebasan, keadilan, kebenaran, kehormatan, dan semua hal yang menjauhkan seorang Muslim dari kejelekan, kezaliman, egoisme, dan mengikuti hawa nafsu.37 Rasionalisasi al-Qur’an, sebagai tahapan terakhir yang hendak dibangun Jamâl al-Bannâ, sebenarnya tidak membatasi kepada sebuah metode tertentu dalam ‘membaca’ al-Qur’an. Karena baginya, al-Qur’an sebagai media revolusi peradaban manusia yang berkeimanan tidak akan membatasi satu metode tertentu untuk menafsirkan al-Qur’an. Namun, Jamâl menolak jika satu metode tertentu mempunyai garansi sebagai satu-satunya cara menemukan kebenaran. Apa saja boleh dan siapapun boleh/otonom untuk menafsirkan selama hal itu secara aksiologis diorientasikan untuk memupuk kesadaran imaniah seseorang. Hal ini jugalah yang mendasari Jamâl al-Bannâ untuk menempatkan hikmah sebagai sumber ketiga Islam karena sifatnya yang fleksibel dalam membangun pola pikir yang otonom, humanis, dan berbasis kemaslahatan manusia. Bahwa penafsir harus menguasai ilmu-ilmu kekinian, setidaknya berbagai teori-teori, ilmu sejarah, ilmu sosiologi, ilmu ekonomi, maupun ilmu politik menjadi kerangka referensial mutlak bagi seorang penafsir dalam membaca teks al-Qur’an. 38 Semua itu menunjukkan adanya optimalisasi akal dan iman dalam nilai-nilai universal. Apalagi, semua itu melalui pendekatan musik dan seni. Al-Qur’an mempersiapkan jiwa untuk bisa menerimanya, dapat membumikan yang menjadi cita-cita Islam. Berakal dan beriman akan membuat seseorang bisa menerima dengan tulus, tidak tersesat oleh khurafât dan tidak dikalahkan oleh syahwat. Lebih jauh, nilai-nilai itu dapat tercerminkan dalam kehidupan masyarakat.

Akar Teoretis Penafsiran Jamâl al-Bannâ: dari Kritik Ideologi hingga Anarkisme Metode Dalam pandangan penulis, lontaran kritik yang diajukan Jamâl al-Bannâ terhadap setiap produk pemikiran Islam, seperti tafsir di atas, adalah usaha menolak sistem pengetahuan Islam klasik yang dianggapnya sebagai ideologi.39 Ideologi—yang bermula dari konsep al-Bannâ, al-Awdah, h. 54-55. Ibid., h. 55. 37 al-Bannâ, al-Islâm kamâ, h. 67. 38 al-Bannâ, al-Awdah, h. 94. 39 Pada prinsipnya terdapat tiga arti utama dari kata ideologi, yaitu (1) ideologi sebagai kesadaran palsu; (2) ideologi dalam arti netral; dan (3) ideologi dalam arti keyakinan yang 35 36

254


Mukhammad Zamzami: Analisis Metodologis-filosofis

idola Francis Bacon (1561-1626)40—secara sistemik hanya akan melahirkan konservatisme dan ketidaksadaran betapa kekuasaan-kekuasaan klasik sangat menghegemoni pemikiran Islam saat ini. Di sini terlihat kesamaan visi antara apa yang diungkapkan Jamâl al-Bannâ dengan kritik ideologi ala Jürgen Habermas yang terakomodasi dalam “Teori Kritis”41. Teori tersebut dikonstruksi oleh Habermas melalui dua cara, yakni melontarkan kritik terhadap saintisme atau positivisme sebagai ideologi pengetahuan modern 42 dan menunjukkan bagaimana positivisme—yang berhenti pada tatanan fakta-fakta objektif—telah menghasilkan masyarakat yang irasional dan ideologis. Menurut tradisi teori kritis, suatu pengetahuan yang terungkap dalam teori senantiasa terkait dengan praksis-sosial, dan dengan pemisahan teori atau pengetahuan dengan praksis-sosial justru membuat teori itu menjadi ideologis. Dengan kata lain, teori kritis merupakan sebuah teori dengan maksud praktis.43 Caranya adalah melalui analisis hermeneutik sebagai cara untuk menemukan dan memahami makna suatu teks, karya seni, serta produk kebudayaan lainnya. Hal tersebut disebabkan produk dan aktivitas kebudayaan sebagai objek tidak terpisah dari subjek yang melahirkan atau yang menciptakan. Ini berarti teori kritis berusaha untuk dapat menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis guna menemukan kondisi kondisi yang bersifat transendental yang melampaui data empiris. Senada dengan Habermas yang menolak dimensi positivisme yang terlalu mendewakan saintisme, Jamâl al-Bannâ juga menolak gagasan penafsiran yang dilakukan baik oleh tidak ilmiah. Lebih jauh lihat Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 230; Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Tindakan, terj. F. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. xvii. 40 Di sini, Francis Bacon mengelompokkan idola sebagai hal-hal irasional itu menjadi empat golongan: 1) idola terhadap suku bangsa (awhâm al-jins aw awhâm al-qabîlah), yaitu kecenderungan untuk menerima begitu saja berbagai proposisi dengan alasan mempertahankan nilai adat dan kepercayaan mitis; 2) idola terhadap goa (awhâm al-kahfi), yaitu kecenderungan untuk menerima realitas begitu saja dan tidak bisa bersikap kritis; 3) idola terhadap pasar (awhâm al-sûq), yaitu kecenderungan untuk terpengaruh kepada opini publik (gosip) yang pada masa Bacon biasa diajukan di pasar; 4) idola terhadap teater (awhâm al-masrah), yaitu kecenderungan untuk menerima begitu saja teori-teori dan dogma-dogma tradisional. Idola dalam pengertian Bacon bernilai negatif, semacam pengetahuan palsu yang sering menyesatkan. Lihat Yûsuf Karam, Târîkh al-Falsafah al-Hadîthah (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, 1986), h. 47-48; Mahmûd Hamdî Zaqzûq, Dirâsât fî al-Falsafah al-Hadîthah (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1993), h. 42-43. 41 Melalui teori kritis ini, Jürgen Habermas membedakan tiga macam ilmu pengetahuan yaitu: Pertama, Ilmu-ilmu empiris-analitis. Yang dimaksud adalah kelompok ilmu-ilmu alam. Kedua, Ilmu-ilmu historis-hermeneutis. Di sini termasuk ilmu sejarah, dan sebagainya. Ketiga, Ilmu-ilmu kritis-refleksif. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah filsafat, kritik ideologi, dan psikoanalisis. Lingkungannya adalah kekuasaan. Dikutip dari Franz Magnis-Suseno, PijarPijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2005), h. 157. 42 Lebih jauh, lihat ulasan dalam Ben Agger, Teori Sosial Kritis (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), 16; F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 160-163. 43 F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 54-59.

255


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Nasr Hâmid Abû Zayd atau Muhammad Shahrûr yang “terlalu” mengilmiahkan al-Qur’an atau membatasi penafsiran terhadap metode tertentu.44 Bagi Jamâl, semangat pengetahuan modern sebagai basis penafsiran hanya akan menahbiskan manusia sebagai objek penafsiran semata yang justru mengeliminir eksitensi manusia sebagai muara teks-teks keagamaan. Meminjam istilah Habermas di atas, benih-benih modernisme sebagai ciri khas pemikiran positivistik telah menghasilkan masyarakat yang irasional dan ideologis. Cara analisis hermeneutis seperti yang diusung oleh Habermas tidak lantas menjadi cara kerja Jamâl al-Bannâ dalam menafsirkan sebuah teks. Secara kategoris, kerangka berpikir Jamâl al-Bannâ menolak dua klan pemikiran (salafisme dan westernisme). Dalam tafsîr al-Qur’an, misalnya, jika kacamata insider menjadi dalih menolak khazanah intelektual outsider (Barat) karena merasa cukup dengan khazanah metode tafsîr klasik, ini tentu berbeda dengan pemikir Islam yang menggunakan perspektif outsider seperti hermeneutik sebagai alternatif metode, untuk tidak mengatakan satu-satunya metode, dalam menafsirkan al-Qur’an karena dianggap paling mampu menjangkau problematika penafsiran. Bagi pendukung hermeneutika, pada prinsipnya metode ini merupakan suatu ilmu atau teori metodis tentang penafsiran yang bertujuan menjelaskan teks mulai dari ciricirinya, baik secara objektif (arti gramatikal kata-kata dan bermacam variasi historisnya) maupun subjektif (maksud pengarang). Teks-teks yang dihampiri terutama berkenaan dengan teks-teks otoritatif (authoritative writings), yakni teks-teks kitab suci (sacred scripture). Pemaknaan hermeneutik sedemikian sebanding-maksud dengan tafsîr dalam khazanah Islam.45 Memaksakan hermeneutik sebagai ikon utama tafsîr boleh jadi mengusik kemapanan dinamika pemikiran keislaman, tidak hanya dalam disiplin ilmu-ilmu al-Qur’an tapi juga ilmu-ilmu Hadîts. Karena apa yang dicanangkan oleh metode ini pada dasarnya ingin mengkritisi sakralitas teks. Bahkan, trend sakralisasi itu juga melebar pada produk pemikiran keagamaan yang jelas-jelas sekadar pemahaman atas ajaran dan bukan Islam itu sendiri. Alhasil, kerangka tafsîr yang ditawarkan hermeneutik boleh jadi akan menghentak kesadaran keagamaan sebagai “kritik diri” dalam membaca Islam yang terlanjur membatu berabad-abad lamanya. Bagi Jamâl al-Bannâ, dua paradigma berpikir di atas mempunyai kekurangan. Jika yang pertama terlalu menitikberatkan kepada pemahaman klasik dan harus didekonstruksi karena sifatnya yang jumûd, maka rekonstruksi tafsîr yang diusung tidak boleh terlalu mengilmiahkan al-Qur’an. Baginya, ada dimensi seni (irfânî) dalam al-Qur’an yang harus diresapi sebagai pondasi awal dalam mempersiapkan diri untuk menafsirkan al-Qur’an. Dimensi itulah yang nanti akan memberikan ruang spiritualitas manusia dalam bentuk kokohnya keimanan.

Selengkapnya lihat Jamâl al-Bannâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm mâ bayn al-Quddâmâ wa al-Muhaddithîn (Kairo: Dâr al-Shurûq, 2008), h. 218-245. 45 Abû Zayd, Ishkâlîyât al-Qirâ’ah, h. 13. 44

256


Mukhammad Zamzami: Analisis Metodologis-filosofis

Dalam metodologi studi al-Qur’an yang dikonstruksi, Jamâl al-Bannâ menekankan pentingnya makna al-Qur’an menjadi media revolusi peradaban manusia yang berkeimanan. Jamâl tidak menegaskan satu metode tertentu untuk menafsirkan al-Qur’an dan tidak membatasi ilmu atau metode apapun, atau bahkan anti metode, untuk membaca al-Qur’an. Ia menolak jika satu metode tertentu dianggap mempunyai garansi sebagai satu-satunya cara menemukan kebenaran. Apa saja dan siapa pun boleh untuk menafsir, selama hal itu secara aksiologis diorientasikan untuk memupuk kesadaran imaniah seseorang. Hal ini jugalah yang mendasari Jamâl al-Bannâ untuk menempatkan hikmah sebagai sumber ketiga Islam, karena sifatnya yang fleksibel dalam membangun pola pikir yang otonom, humanis, dan berbasis kemaslahatan manusia. Bahwa penafsir harus menguasai ilmuilmu kekinian, setidaknya berbagai teori-teori, ilmu sejarah, ilmu sosiologi, ilmu ekonomi, maupun ilmu politik itu sudah menjadi kerangka referensial mutlak bagi seorang penafsir dalam membaca teks al-Qur’an.46 Apa yang diusung oleh Jamâl al-Bannâ adalah hal yang sangat penting secara teoretis jika dilihat dari perspektif sosiologi pengetahuan47, mengingat otonomi manusia sekaligus perkembangan ilmu pengetahuan juga terus mengalami evolusi. Bagaimanapun, paradigma baru ilmu-ilmu keislaman merupakan persoalan tersendiri yang tidak mudah diselesaikan. Konstruksi teoretis Jamâl al-Bannâ ini sesungguhnya sangat kental dengan nuansa pemikiran yang dikembangkan oleh Paul K. Feyerabend yang terkenal dengan Anarkisme Metode.48 Istilah anarkis menunjuk pada setiap gerakan protes terhadap segala bentuk kemapanan. Anarkisme epistemologis yang dimaksudkan oleh Feyerabend adalah anarkisme teoretis dengan alasan historis bahwa sejarah ilmu pengetahuan tidak hanya bermuatan fakta dan kesimpulan-kesimpulannya, tetapi juga bermuatan gagasan-gagasan dan interpretasi. Beradasarkan analisis historis kritis, ia menemukan bahwa oleh para ilmuwan, fakta hanya

al-Bannâ, al-Awdah, h. 94. Lihat Mannheim, Ideologi dan Utopia, h. 287. 48 Walaupun kedua sosok ini tidak terkait satu sama lain, namun secara sosiologis karakter keduanya tidak jauh berbeda, sama-sama sebagai pemberontak, pendukung kebebasan, serta anti kemapanan terhadap siklus kehidupan yang mapan. Jika Feyerabend pada umur lima tahun, misalnya, sudah melarikan diri dari rumah. Karakter emosi yang sedemikian rupa secara tidak langsung memengaruhi keberpihakan intelektualnya dalam bingkai philosophy of science. Secara sederhana, tentu kita bisa menerima pendapat a priori yang menyatakan bahwa, seorang pribadi emosional cenderung lebih mudah bertindak anarkis ketimbang orang lain yang tidak emosional. Jika asumsi ini benar, maka, terdapat korelasi antara emosionalitas pribadi Feyerabend dengan kecenderungan anarkis dalam aras epistemologi. Selain itu, tindakan melarikan diri dari rumah, semakin menguatkan asumsi awal bahwa, ia sangat mengedepankan kebebasan dirinya. Lihat Qusthan Abqary, Melawan Fasisme Ilmu (Jakarta: Kelindan, 2009), h. 22. Sebanding dengan sosok Jamâl al-Bannâ yang tidak menyukai aturan-aturan yang mengikat, dimulai dengan keengganannya mengikuti aturan guru Bahasa Inggrisnya yang berujung kepada boikotnya meneruskan sekolahnya sampai penolakan dia terhadap ajakan Hasan al-Bannâ masuk kepada organisasi al-Ikhwân al-Muslimûn. 46 47

257


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 ditinjau dari dimensi ide belaka. Maka tidak mengherankan jika sejarah ilmu pengetahuan menjadi pelik, rancu, dan penuh kesalahan.49 Secara garis besar, ada dua buah prinsip yang ditawarkan oleh Feyerabend, yakni prinsip pengembangbiakan (proliferation) dan prinsip apa saja boleh (anything goes). Adapun yang pertama, pengembangbiakan, sebenarnya bukan aturan metodologis melainkan suatu prinsip bahwa kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan mengikuti metode atau teori tunggal. Kemajuan ilmu pengetahuan akan dicapai dengan membiarkan teoriteori yang beraneka ragam dan berbeda satu sama lain berkembang sendiri-sendiri. Sedangkan prinsip kedua apa saja boleh berarti membiarkan segala sesuatu berlangsung dan berjalan tanpa banyak aturan. Semua metode, termasuk yang paling jelas sekalipun pasti memiliki keterbatasan, sehingga tidak harus dipaksakan untuk menyelidiki semua objek. Apabila produk tafsîr bertujuan menguatkan akidah seseorang tentang Tuhan beserta rahasiaNya, maka persoalan menguatkan iman sesungguhnya tidak bisa diatur oleh siapa pun, karena keimanan, sebagai implikasi dari akidah, membutuhkan proses. 50 Pemikiran Feyerabend ini berimplikasi pada pengembangan ilmu pengetahuan, bahwa dalam pengembangan alangkah baiknya seorang ilmuan ketika melakukan penelitian membebaskan diri dari metode-metode yang ada, meskipun terbuka kemungkinan menggunakan metode itu. Tidak ada metode tunggal. Setiap ilmuwan perlu menerapkan pluralitas teori, sistem pemikiran sesuai dengan kecenderungan masing-masing, karena setiap orang memiliki pilihan.51 Prinsip ini sejalan dengan pandangan Jamâl al-Bannâ bahwa setiap manusia/mujtahid dapat secara sadar memaknai doktrin-doktrin Islam sesuai dengan pengalaman keagamaan dan situasi sosialnya sendiri. Dengan begitu, maka orang tidak lagi saling mengkafirkan dan merasa dirinya benar. Apalagi, pluralisme teori ataupun pluralitas metodologi dalam segala riset studi Islam dapat dibenarkan untuk dilakukan. Apabila mengacu kepada probem teologis dalam upaya memahami doktrin-doktrin al-Qur’an, terutama pada wilayah akidah, maka bagi Jamâl al-Bannâ persoalan menguatkan iman sesungguhnya tidak bisa diatur oleh siapa pun, karena keimanan, sebagai implikasi dari akidah, membutuhkan proses.52 Begitu juga dengan pemberlakuan sharî‘ah (tathbîq al-sharî‘ah). Maka dari itu, dari keinginan (akidah) ke praktik (sharî‘ah) sangat bergantung kepada kesiapan individu dalam memupuk kesadaran imaniahnya, tanpa ada pretensi

Prasetya T.W., “Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu”, dalam Tim Redaksi Driyarkara (Jakarta: Gramedia, 1993), h. 54. 50 Jamâl al-Bannâ, Hal Yumkin Tathbîq al-Sharî‘ah (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 2005), h. 53. 51 Paul Karl Feyerabend, “How to be a Good Empiricist”, dalam Brody, Barucho, Grandy, A. Richard, Reading in the Philosophy of Science (New Jersey: Prentince Hall Engleewood Clifft, 1989), 105. Dikutip dari Sarjuni, “Anarkisme”, h. 158. 52 al-Bannâ, Hal Yumkinu, h. 53. 49

258


Mukhammad Zamzami: Analisis Metodologis-filosofis

orang lain.53 Bukankah Allah itu memberi petunjuk kepada siapa pun yang dikehendakiNya? Bukankah Dia sendiri berfirman, “Apakah engkau [Muhammad] memaksa manusia sehingga mereka beriman?”54 Upaya membaca Jamâl al-Bannâ melalui kacamata Paul Karl Feyerabend didasarkan atas kesamaan prinsip apa saja boleh dalam riset-riset keilmuan. Semua itu dipraktikkan oleh Jamâl al-Bannâ dalam metodologi tafsirnya. Setelah melakukan pendekatan rasa dan psikologis, selanjutnya rasionalisasi pemahaman teks-teks keagamaan bersifat anarkis dan apa saja boleh, semuanya berbasis kebutuhan dan kemaslahatan. Tidak hanya tafsir, nuansa anarkistis dapat dijumpai dalam pemikiran segenap pemikiran Jamâl al-Bannâ baik dalam bidang fikih dan teologi. Bahkan dengan prinsip anarkistisnya, Jamâl mampu menyejajarkan kedudukan laki-laki dan perempuan.55 Artinya, metode penafsiran Jamâl al-Bannâ ingin mengajak siapa pun untuk dapat menjadi seorang mujtahid, dengan metode apa saja dan kapan saja. Dengan kata lain, metode pengembangan studi Islam, baik tafsîr, teologi, maupun fikih, dapat dilakukan dengan cara atau pendekatan apapun. Setiap orang bebas dan boleh mengikuti kecenderungannya melakukan usaha kritis memahami tafsîr sehingga ia mampu mencapai tingkat keyakinan yang lebih tinggi.56 Berdasarkan prinsip kebebasan ini, pengembangan tafsîr menjadi tugas yang tidak pernah berakhir. Penelitian untuk pengembangan tafsîr harus dilakukan secara terusmenerus. Sebagai ilmu, disiplin keilmuwan Islam—baik tafsîr, fikih, teologi, dan lainlain—tidak bisa melepaskan diri dari teori Brown yang mengatakan bahwa pengembangan suatu ilmu harus melalui continuing research.57 Pandangan Brown ini menjadi dasar bahwa pengembangan ilmu-ilmu Islam harus dilakukan terus-menerus dengan mengerahkan segala upaya termasuk menggunakan disiplin ilmu lain dan keragaman metodenya demi terwujudnya penafsiran yang dinamis dan hidup. Berpijak pada kebebasan metodis ini, sosiologi pengetahuan bermanfaat bagi pengayaan metodis penelitian ilmu-ilmu Islam, tidak terkecuali tafsîr. Seperti argumentasi Jamâl, studi Islam sudah selayaknya dilihat dengan berbagai cara (apa saja boleh) sesuai dengan

Jamâl al-Bannâ, Tathwîr al-Qur’ân (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 2000), h. 110; bandingkan al-Bannâ, Hal Yumkinu, h. 52-53. 54 al-Bannâ, al-Mashrû‘ al-Hadârî, h. 26. 55 Ia mendefinsikan perempuan dengan “al-insân awwalan wa unthâ thâniyan” [pertama sebagai manusia, dan yang kedua adalah perempuan] 56 Prasetya, “Hakekat Pengetahuan”, 57; Sarjuni, “Anarkisme Epistemologis”, h. 156. 57 Harold I. Brown, Perception, Theory and Commitment: The New Philosophy of Science (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), 166. Dikutip dari Muhyar Fanani, Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 124. 53

259


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 perkembangnnya,58 asalkan semua cara itu dilakukan dengan bertanggung jawab dan dapat memperluas perspektif para pengkaji.

Penutup Metode pembaruan penafsiran Jamâl al-Bannâ dimunculkan karena situasi sosial di Mesir, Timur-Tengah, dan dunia Islam pada umumnya yang terlihat tiranik dan jauh dari nuansa demokratis. Absolutisme mewabah ke seluruh sudut kehidupan, baik dalam bentuk rezim penguasa yang otoriter (mulk ‘adûd atau Islâm al-sultân) maupun para agamawan yang otoriter.59 Secara garis besar, dalam rangka mengatasi krisis ini, Jamâl mengusulkan dua hal sebagai manifesto Muslim kontemporer. Pertama, membangun sistem pengetahuan yang baru sehingga umat Islam kembali membaca al-Qur’an dan sunnah dengan berpijak kepada kaca pandang keilmuan yang berjalan pada masa kontemporer. Dalam kerangka ini, Jamâl yang dikenal sebagai pemikir humanis (the humanitarian thinker) sesungguhnya dipengaruhi oleh cita-cita kemanusiaan universal yang termuat dalam Islam. Tidak bisa dipungkiri bahwa kesadaran akan kekhasan manusia, kesamaannya, keluhuran dan keterbatasannya sebagai ciptaan mendapat penajaman dalam Islam. Di hadapan Allah, seseorang—baik budak atau bebas, terdidik atau tidak terdidik, pria wanita dan kaya miskin—tidak akan menentukan mutunya sendiri sebagai manusia. Dalam rangka melapangkan jalan bagi terwujudnya tafsir humanis, hal pertama yang dilakukan Jamâl adalah menciptakan paradigma baru bagi pemahaman agama, khususnya teks al-Qur’an. Dalam banyak bukunya, sebagaimana telah disebutkan di depan, ia menegaskan bahwa al-Qur’an harus dipahami sesuai dengan sistem pengetahuan revolusioner yang dicapai oleh umat manusia. Artinya, al-Qur’an tidak boleh dipahami dengan menggunakan sistem pengetahuan yang sudah kadaluarsa. Permasalahan-permasalahan sosial yang tengah dialami masyarakat Mesir, TimurTengah, dan dunia Islam pada umumnya, menurut Jamâl, muncul karena umat Islam selama ini terbelenggu oleh sistem pengetahuan lama sehingga mereka salah dalam memahami agama yang seharusnya merupakan rahmat dan solusi atas semua problem tersebut. Dari situlah Jamâl terdorong untuk menciptakan paradigma dan konsepsi baru dalam memahami Islam. Ketakberpihakan Jamâl terhadap satu metode apapun atau anarkisme metode atas nama humanitas, dalam konstruksi penulis, adalah salah satu dari konsepsi barunya dalam wilayah pemikiran Islam. Anarkisme metode merupakan upaya kreatif Jamâl untuk memasukkan unsur Jamâl al-Bannâ, al-Mashrû‘ al-Hadârî li Da‘wah al-Ihyâ’ al-Islâmî (Kairo: Dâr al-Fikr alIslâmî, t.th.), 44. 59 Ibid., h. 21. 58

260


Mukhammad Zamzami: Analisis Metodologis-filosofis

utama masyarakat modern, yakni kebebasan dan demokrasi ke dalam struktur pemikiran Islam. Dengan demikian, studi Islam diharapkan dapat menjadi pengetahuan yang demokratis dan modern. Jamâl menyadari bahwa untuk memodernisir pemikiran Islam tidak mungkin berhasil tanpa membebaskan perangkat metodisnya kepada siapa pun. Hal ini disebabkan karena semua klaim teori tertentu sebagai satu-satunya metode dalam menjangkau kebenaran sudah tidak lagi mampu mewujudkan tuntutan semua orang dan masa. Anarkisme metode dimaksudkan oleh Jamâl sebagai prinsip baru, untuk tidak mengatakan sebagai perangkat metodis yang rigid, dalam upayanya membebaskan manusia dalam menelaah pemikiran Islam di semua masa dan tempat. Anarkisme metode merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya Jamâl untuk merekonstruksi sistem pengetahuan Islam, dari yang semula yang berorientasi teosentris (ketuhanan) menjadi antroposentris (kemanusiaan) yang dinamis, demokratis, dan tetap mengindahkan titah Tuhan. Titah Tuhan tersebut oleh Jamâl kemudian diperas sedemikian rupa sehingga hanya berbentuk prinsip-prinsip universal. Dengan demikian, anarkisme metode merupakan perpaduan antara kebebasan manusia dan wahyu Tuhan. Ia merupakan hasil dialektika antara keduanya. Anarkisme metode merupakan teori khas Jamâl untuk menciptakan sistem pengetahuan Islam menjadi sistem tafsir yang humanis.

Pustaka Acuan A. F. Chalmers. Apa itu yang Dinamakan Ilmu? Suatu Penilaian tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya, terj. Redaksi Hasta Mitra. Jakarta: Hasta Mitra, 1983. A’la, Abd. Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal. Jakarta: Dian Rahmat, 2009. Abqary, Qusthan. Melawan Fasisme Ilmu. Jakarta: Kelindan, 2009. Abû Zayd, Nasr Hâmid. Ishkâlîyât al-Qirâah wa Âlîyât al-Ta’wîl. Beirut: Markaz al-Thaqâfî, 1994. Agger, Ben. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. al-Bannâ, Jamâl. al-Aslân al-‘Azîmân “Al-Qur’an wa al-Sunnah”: Ru’yah Jadîdah. Kairo: Matba‘ah Hisân, 1982. al-Bannâ, Jamâl. al-Awdah ilâ al-Qur’an. Kairo: Dâr al-Shurûq, 2008. al-Bannâ, Jamâl. al-Mashrû‘ al-Hadârî li Da‘wah al-Ihyâ’ al-Islâmî. Kairo: Dâr al-Fikr alIslâmî, t.t. al-Bannâ, Jamâl. Hâ Huwa Dhâ al-Barnâmij al-Islâmî. Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmi, 1991. al-Bannâ, Jamâl. Hal Yumkin Tatbîq al-Sharî‘ah. Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 2005. al-Bannâ, Jamâl. Mâ ba‘d al-Ikhwân al-Muslimîn. Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 1996. al-Bannâ, Jamâl. Nahw Fiqh Jadîd: Muntaliqât wa Mafâhîm: Fahm al-Khitâb al-Qur’anî, Vol. 1. Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 1996. al-Bannâ, Jamâl. Tafsîr al-Qur’an al-Karîm mâ bayn al-Quddâmâ wa al-Muhaddithîn. Kairo: Dâr al-Shurûq, 2008. 261


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 al-Bannâ, Jamâl. Tajdîd al-Islâm wa I‘âdat Ta’sîs Manzûmat al-Ma‘rifah al-Islâmîyah. Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 2005. al-Bannâ, Jamâl. Tathwîr al-Qur’an. Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî, 2000. Brown, Harold I. Perception, Theory and Commitment: The New Philosophy of Science. Chicago: The University of Chicago Press, 1979. Ensiklopedi tokoh yang memuat profil ibunda Hasan al-Bannâ dalam www.egyptwindow.net/ nafidatumasr/07-08-2007 Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan sebagai Cara Pandang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. Feyerabend, Paul Karl. “How to be a Good Empiricist”, dalam Brody, Barucho, Grandy, A. Richard, Reading in the Philosophy of Science. New Jersey: Prentince Hall Engleewood Clifft, 1989. Hardiman, F. Budi. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius, 1990. Hardiman, F. Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta: Kanisius, 2003. Hidayatullah, Syarif. Intelektualisme dalam Perspektif Neo-Modernisme. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. http://ar.wikipedia.org/wiki/Jamâl_al_Banna Karam, Yûsuf. Târîkh al-Falsafah al-Hadîthah. Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, Cet. Ke-5, 1986. Lee, Robert D. Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, terj. Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan, Cet. Ke-2, 2000. Magnis-Suseno, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992. Magnis-Suseno, Franz. Pijar-Pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisius, 2005. Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Tindakan, terj. F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1998. Mansur, M. “Metodologi Penafsiran Realis ala Hassan Hanafi” dalam Jurnal al-Qur’an dan Hadits, Vol. 1, No. 1. Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, 2000. Mustaqim, Abdul Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS, 2010. Sâlih, Hâshim. “Jamâl al-Bannâ… Bayn al-Islâh al-Dînî wa al-Tanwîr” dalam www.assyarqalawsat. com/24-Mei-2004. Sarjuni. “Anarkisme Epistemologis Paul Karl Feyerabend”, dalam Listiyono Santoso dkk, Epistemologi Kiri. Yogyakarta: ar-Ruzz, 2003. T.W., Prasetya. “Hakikat Pengetahuan dan Cara Kerja Ilmu-Ilmu”, dalam Tim Redaksi Driyarkara. Jakarta: Gramedia, 1993. Zaqzûq, Mahmûd Hamdî. Dirâsât fî al-Falsafah al-Hadîthah. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1993. 262


PENGARUH TAFSÎR AL-MANÂR TERHADAP TAFSIR AL-AZHAR Abdul Manan Syafi’i Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Sulthan Thaha Saifuddin DPK pada STAI Muara Bulian Jl. Arif Rahman Hakim Telanaipura, Jambi, 36124 e-mail: abdulmanansyafei@yahoo.co.id

Abstrak: Tafsir al-Azhar adalah sebuah masterpiece dan merupakan manifestasi corak pemikiran serta aspirasi HAMKA sebagai seorang ulama dan sastrawan terkemuka. Karya ini sarat dengan berbagai pesan pembaharuan dan ide-ide kritis yang menggugah pembaca supaya bangkit memperbaiki kondisi umat Islam baik dalam aspek keagamaan, pendidikan, sosial, ekonomi maupun politik. Dalam kajian ini penulis berusaha melihat pengaruh Muhammad ‘Abduh terhadap HAMKA dalam perumusan tafsirnya. Penelitian ini merupakan kajian perpustakaan terhadap Tafsir al-Azhar serta karya-karya tafsir Muhammad ‘Abduh, disamping rujukan-rujukan penting lainnya. Hasil kajian antara lain menemukan bahwa Tafsir al-Azhar mempunyai hubungan yang sangat erat dengan gerakan pembaharuan tafsir yang dipelopori oleh Syaikh Muhammad ‘Abduh. Banyak gagasan pembaharuan ‘Abduh yang diadopsi HAMKA. Penulisan Tafsir al-Azhar sendiri mempunyai hubungan yang sangat signifikan dengan ketokohan serta jasa yang telah ditinggalkan oleh ‘Abduh. Abstract: The Influence of Tafsir al-Manâr on Tafsir al-Azhar. Tafsir alManâr is a masterpiece that has become a manifestation characterizes HAMKA’s thought and aspiration as a celebrated Muslim scholar and a man of letters. It contains various critical ideas and message of renewals that stimulate the reader to stand still and improve the aspects of religious, education, social, economic and politics of the Muslim community. This study is an attempt to see clearly to what extent the relationship between the commentary of al-Azhar with that of Muhammad ‘Abduh’s. This study is a library research on al-Azhar as well as Muhammad ‘Abduh’s al-Manâr. The most important outcome of the study is that the interpretation applied in al-Azhar has a very close relationship with that of reform movement exegesis led by Muhammad ‘Abduh. Many an idea of ‘Abduh’s reforms are adopted by HAMKA. The writing of the al-Azhar itself has a significant connection with the scholarship profile and academic services that have been inherited by ‘Abduh.

Kata Kunci: Tafsîr al-Manâr, Tafsir al-Azhar, HAMKA, Muhammad ‘Abduh 263


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pendahuluan Muhammad ‘Abduh dikenal sebagai tokoh modernis yang banyak memberi pengaruh bagi perkembangan pemikiran Islam modern. Ia menulis dalam berbagai aspek keislaman, seperti teologi, filsafat, politik, sosial, budaya, dan tafsir. Pemikiran keislaman ‘Abduh meletakkan akal pada posisi yang sangat terhormat. Gagasan dan pemikiran keislaman ‘Abduh memengaruhi para tokoh pemikir Islam masa berikutnya. Tidak terkecuali juga di Indonesia. Salah seorang tokoh ulama yang termasuk terpengaruh pada gagasan-gagasan ‘Abduh adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang biasa dikenal HAMKA. Ulama otodidak ini banyak mendapat inspirasi dari ‘Abduh, terutama dalam karya Tafsîr al-Manâr, ketika ia menuangkan gagasan-gagasan keislamannya. HAMKA sendiri, ketika menerima penganugerahan Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar tahun 1958, menyampaikan pidato pengukuhan tentang pengaruh Muhammad ‘Abduh dalam pembaruan Islam di Indonesia. Sebagaimana ‘Abduh yang menulis tafsirnya dengan menggunakan metode ijtimâ‘i, HAMKA juga menggunakan metode ini dalam penulisan Tafsir al-Azhar-nya. Dalam pendahuluan Tafsir al-Azhar, HAMKA sendiri mengakui bahwa pemikiran tafsirnya sangat terpengaruh pada Tafsîr al-Manâr, di samping tafsir-tafsir lain yang menjadi rujukannya. Tulisan ini hendak mengelaborasi bagaimana pengaruh Tafsîr al-Manâr terhadap Tafsir al-Azhar, dan aspek-aspek dan contoh pengaruh Tafsir al-Manâr terhadap Tafsir alAzhar. Secara sistematis, tulisan ini mengungkapkan biografi HAMKA, pengaruh Muhammad ‘Abduh dalam perkembangan ilmu Tafsir, latar belakang Tafsir al-Azhar, pengaruh pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir al-Azhar dan contoh pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir al-Azhar.

Biografi Intelektual HAMKA Haji Abdul Malik Karim Amrullah, atau yang lebih akrab disapa HAMKA, dilahirkan pada Ahad malam 14 Muharram 1326/17 Februari 1908 di Kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang Maninjau, Minangkabau, Sumatera Barat. Ia berasal dari keturunan ulama yang terkenal di Sumatera. Moyangnya, Syaikh Abdullah Arif, adalah seorang ulama besar yang terkenal dengan gelar Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo yang menjadi pelopor gerakan Islam di Minangkabau. Datuknya Syaikh Muhammad Amrullâh yang dikenal dengan gelar “Fakih Kisai”, sebuah gelar bagi hafiz al-Qur’an. Bapaknya Haji Abdul Karim Amrullah yang terkenal dengan julukan “Haji Rasul” juga merupakan pelopor gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau. Awal tahun 1906, ia pernah diasingkan oleh Belanda ke Sukabumi Jawa Barat, karena fatwa-fatwanya yang dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum. Setelah dibebaskan Haji Rasul menetap di Jakarta dan wafat pada 21 Juni 1945. HAMKA dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang senang dengan ilmu keislaman. Meskipun ia tidak pernah tamat belajar pada lembaga pendidikan formal, berkat kegigihan 264


Abdul Manan Syafi’i: Pengaruh Tafsîr Al-Manâr Terhadap Tafsir Al-Azhar

dan ketekunannya menuntut ilmu pengetahuan di mana saja dan pada siapa saja; baik pada lembaga formal, non formal, baik pada ulama-ulama lain, abang iparnya dan pada orang tuanya sendiri, akhirnya HAMKA tumbuh sebagai seorang ulama besar yang dihormati. HAMKA amat aktif dalam penulisan; baik tulisan novel, artikel ilmiah. Tidak kurang dari 118 judul yang telah diterbitkan oleh berbagai majalah, di antaranya Majalah Panji Masyarakat, majalah yang diasuhnya sendiri. Karya monumental HAMKA adalah Tafsir al-Azhar yang dijadikannya saluran dakwah ketika itu. Di antara karyanya yang lain yang terkenal adalah Keadilan Sosial dalam Islam, Falsafah Ideologi Islam, Islam dan Demokrasi, Tasauf Modern, Lembaga Hidup, Di Bawah Lindungan Ka‘bah, Tenggelamnya Kapal van Der Wijk, Merantau ke Deli, Ayahku (Biografi Dr. A. Karim Amrullah) dan Pengaruh Muhammad ‘Abduh di Nusantara. HAMKA tidak hanya menulis untuk mayoritas rakyat Indonesia, bahkan kepada siapa pun di persada bumi ini dalam berbagai tingkatannya. Inilah yang membuatnya terkenal di kalangan masyarakat. Ia tidak hanya populer tapi juga populis. Hal ini berbeda dengan karya-karya Barat yang secara sosiologis dan kultur budaya tidak memiliki mayoritas masyarakat pembaca. Dari sini dapat ditegaskan bahwa suksesnya tulisan HAMKA terletak pada penerimaan yang lebih oleh masyarakat yang bersifat agraris rural bukan yang industrial–urban. Ini sejalan dengan kesimpulan S.I. Poerwadisastra, di saat ia membandingkan karya HAMKA dengan karya-karya sastrawan yang terpengaruh oleh kesusastraan Eropa. Pada tanggal 27 Januari 1964, HAMKA dipenjara oleh pemerintahan Demokrasi Terpimpin Soekarno. Ia difitnah sebagai berkomplot ingin membunuh Presiden dan Menteri Agama. HAMKA tidak pernah diadili dan tuduhan itu pun tidak terbukti. Tiga tahun ia dipenjara di Sukabumi.1 Ternyata, hikmahnya ia dapat menyelesaikan 30 Juz Tafsir al-Azhar.2 Kehidupan HAMKA kembali seperti semula di zaman Orde Baru; menjadi mubaligh, pengarang, pimpinan majalah Pandji Masyarakat, menjadi delegasi Indonesia ke konperensikoperensi Internasional dan terakhir menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), suatu kedudukan yang kritis dan sensitif. HAMKA mengibaratkan posisinya seperti “kue bika”3, ketika menyampaikan pidato pengangkatannya sebagai Ketua Umum MUI. Sebab, di atas dipanggang api dan di bawah dipanggang api; rakyat dan pemerintah. Karenanya ia harus mampu memainkan peranannya agar “kue bika” tersebut tidak gosong terbakar. Sebagai bukti ketokohannya, HAMKA telah dianugerahkan berbagai penghargaan; baik tingkat nasional maupun internasional, seperti Doktor Kehormatan dari Universitas al-Azhar tahun 1958, Doktor Kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia tahun DS. Moeljanto, et.al., Prahara Budaya (Bandung: Mizan, 1995), h. 40. Lihat HAMKA, Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (t.t.p.: t.p., 1985), h. 40. 3 Sejenis makanan ringan yang dimasak dengan cara dibakar pada tungku api; api pembakarannya harus diatur sedemikian rupa, jika apinya terlalu besar akan hangus namun di dalamnya mentah, tapi jika apinya kecil ia tidak akan matang selamanya. 1 2

265


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 1974; dan gelar Datuk Indomo sebagai ninik mamak di Minangkabau dan Pangeran Wiroguno dari pemerintah RI. Setelah sekian banyak menorehkan jasa dan menaburkan bakti, akhirnya tepat pada tanggal 24 Juli 1981 ia wafat dan dimakamkan di Jakarta. 4

Pengaruh Muhammad ‘Abduh dalam Perkembangan Ilmu Tafsir Pengaruh dan sumbangan Muhammad ‘Abduh terhadap perkembangan tafsir di Nusantara telah dinyatakan sendiri oleh muridnya Syaikh Muhammad Rasyid Ridha yang menyebutkan bahwa gerakan pembaharuan pimpinan Muhammad ‘Abduh telah membuahkan hasilnya, dimana para ulama bangkit menyebarkan ajaran Islam berpedoman pada prinsip dan pendekatan yang telah digariskan oleh Muhammad ‘Abduh.5 Dari satu kajian yang dikemukakan oleh HAMKA mengenai pengaruh Muhammad ‘Abduh di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa usaha pembaharuan yang dibawa Muhammad ‘Abduh umumnya dan pembaharuan tafsir khususnya semenjak kehidupan pembaharu ini, penyebarannya dibawa oleh masyarakat Arab yang berhijrah untuk berdagang, dan seterusnya menetap di Indonesia sejak awal abad 19. Mereka adalah pelanggan tetap majalah al-‘Urwat al-Wutsqa yang berisikan ide-ide pembaharuan Jamal al-Dîn al-Afghaniy dan Muhammad ‘Abduh secara umum, serta bibit-bibit pembaharuan dalam tafsir yang seterusnya dikembangkan oleh Muhammad ‘Abduh. Setelah penjajah Belanda melarang beredarnya majalah tersebut di Indonesia, sebagaimana penjajah Inggeris melarang di wilayah jajahannya, para pelanggan setia itu masih dapat memperolehnya secara selundupan melalui sebuah pelabuhan kecil di Jawa Timur, bahkan setelah majalah ini tidak lagi terbit mereka beralih kepada majalah al-Manâr, yang juga memuat kuliah tafsir yang diasuh oleh Muhammad ‘Abduh.6 HAMKA menyebut bahwa pengaruh Muhammad ‘Abduh di Nusantara dipelopori oleh Syaikh Tahir Jalaluddin,7 yang merupakan pelanggan setia majalah al-Manâr sejak

Abdul Manan Syafi’i, “Islah Wanita di Indonesia: Kajian Pemikiran HAMKA dalam Tafsir al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah,” (Tesis Ph.D. Universiti Malaya, 2012) h. 63-71. 5 ‘Abd al-Ghaffar ‘Abd al-Rahîm, al-Imâm Muhammad ‘Abduh wa Manhajatuh fî al-Tafsîr (t.t.p.: al-Markaz al-‘Arabi li al-Tsaqafah wa al-‘Ulûm, t.t.), h. 322. 6 HAMKA, Pengaruh Muhammad ‘Abduh di Indonesia (Jakarta: Tintamas, 1961), h. 30-31. 7 Beliau lahir 4 Ramadhan 1286/1869 dan meninggal 26 Oktober 1956 dikebumikan di Kuala Kangsar Perak. Ia berasal dari Minangkabau, keturunan pahlawan-pahlawan Islam menentang penjajahan barat Asia Tenggara. Beliau berhijrah ke Makkah ketika berusia 11 tahun untuk mempelajari ilmu agama Islam, kemudian ke Mesir dan kembali ke tanah air tahun 1899. Hijrah ke Malaka kemudian diangkat menjadi Mufti Kerajaan Perak, Nazir sekolah-sekolah agama Daerah Muar dan Batu Pahat, Johor, dan guru agama di Johor dan Pulau Pinang di samping memegang jabatan penting lainnya, lihat: Mohd. Yaakub/ Zulkifli Haji Yusoff, “Pengaruh Pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam Gerakan Islam di Malaysia,” dalam Muhammad Kamil Hj. Abd. Madjid (ed.), Tokoh-Tokoh Pemikir Dakwah (Petaling Jaya: Dewan Pustaka Islam, 1990), h. 104 – 107. 4

266


Abdul Manan Syafi’i: Pengaruh Tafsîr Al-Manâr Terhadap Tafsir Al-Azhar

awal hingga akhir terbitnya. Ia melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar Mesir sekitar tahun 1310/1892, ketika nama Muhammad ‘Abduh sedang memuncak dengan berbagai usaha pembaharuannya.8 Ketika berada di Mesir, ia banyak terpengaruh dengan pemikiran Muhammad ‘Abduh karena ia bersahabat dengan Muhammad Rasyid Ridha, dan kuat dugaan ia pernah belajar dengan Muhammad ‘Abduh sendiri. Dalam hal ini, HAMKA tidak mengakui bahwa Tahir Jalaluddin pernah berguru dengan Muhammad ‘Abduh, namun diyakini bahwa ia pernah belajar dengan Muhammad ‘Abduh, karena ia sendiri bermukim di Mesir dan Muhammad ‘Abduh senantiasa memberi pengajian di masjid-masjid bahkan di rumahnya sendiri. Tokoh lain yang juga terkenal di Nusantara dari Kelantan yang bernama Tok Kenali9 yang turut memberi sumbangan dalam perkembangan pengajian dan penulisan tafsir. Ia adalah seorang yang sangat terpengaruh dengan gerakan pembaharuan pimpinan Jamal al-Din al-Afghaniy dan Muhammad ‘Abduh. Di dalam tafsirnya, HAMKA menyebutkan bahwa ketika belajar di Sumatera Thawalib10 Padang Panjang tahun 1922, Tafsir surah al-‘Asr karangan Muhammad ‘Abduh yang diterbitkan secara berkala oleh Muhammad Rasyid Ridha, adalah salah satu kitab yang diajarkan pada lembaga pendidikan tersebut.11 Tidak hanya tafsir itu saja, bahkan juga terjemahan Tafsir Juz’ ‘Amma karangan Muhammad ‘Abduh ke dalam bahasa Indonesia juga digunakan di madrasah ini. Penggunaan karya-karya Muhammad ‘Abduh itu dimulai sejak tahun 1924 dan berlanjut sampai sekarang.

Latar Belakang Tafsir al-Azhar Tafsir al-Azhar adalah karya yang memperlihatkan keluasan pengetahuan HAMKA

Ibid. Nama aslinya adalah Muhammad Yusof bin Ahmad al-Kenali, dikenal dengan panggilan Tok Kenali, beliau adalah ulama, pemikir, wartawan dan politikus terkenal pada masanya. Pakar dalam ilmu Nahu, Tauhid, fikih, Tafsir dan Tasawuf, pendidikan awaknya dengan ulama-ulama yang ada di Kelantan, kemudian melanjutkan ke Makkah pada tahun 1305H/1886 sampai tahun 131322H/1903 bertempat di Masjid al-Haram dan kemudian di Mesir tahun 1322H/1903 sampai 1327H/1908. Setelah pulang ke Malaka ia dinobatkan menjadi pengajar tetap Masjid Muhammadi di Kelantan tahun 1917 – 1925. Banyak muridnya tersebar di nusantara, tidak hanya di Malaysia, akan tetapi di Indonesia, Singapura, Thailand, Vietnam dan Kamboja. Lahir di Kubang, Kerian, Kota Bharu pada 1287H/1868 dan meninggal tahun 1352H/1933. Lihat Shafi’i Ibrahim, “Tok Kenali,” dalam Ismail Mat (ed.), Ulama Silam dalam Kenangan (Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1993), h. 30 – 37; Abdul Rahmad al-Ahmadi, Tokoh dan Pokok Pemikiran Tok Kenali (Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia, 1983), h. 23 – 45. 10 Sebuah perguruan yang dibangun oleh para pendukung gerakan pembaharuan di Indonesia tahun 1915 yang bergerak di bidang pendidikan, penerbitan, kemasyarakatan dan politik. Lihat Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah tentang Pemikiran HAMKA dalam Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1990), h. 28 – 31. 11 HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz 30 (t.t.p.: t.p., t.t.), h. 237. 8 9

267


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 dalam berbagai disiplin ilmu. Karya ini berawal dari kuliah subuh yang disampaikannya di Masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru Jakarta sejak akhir tahun 1958. Nama masjid itu diberikan oleh Syaikh Mahmoud Syaltout, Rektor Universitas al-Azhar Mesir sewaktu ia berkunjung ke Indonesia pada Desember 1960, dengan harapan masjid ini akan menjadi al-Azhar di Jakarta. Nama Tafsir al-Azhar itu diberikan oleh pengarangnya untuk mengingat sejarah tempat asal mulanya sebagai cikal bakal penyusunannya dari tempat yang bersejarah itu. Menurut HAMKA,12 ada dua hal yang mendorongnya untuk menulis tafsirnya itu. Pertama, bangkitnya minat angkatan muda Islam di Tanah Air Indonesia dan di daerahdaerah yang berbahasa Melayu hendak mengetahui isi al-Qur’an pada zaman sekarang, padahal mereka tidak mempunyai kemampuan mempelajari bahasa Arab. Beribu bahkan berjuta sekarang angkatan muda Islam mencurahkan minat kepada agamanya, karena menghadapi rangsangan dan tantangan dari luar dan dari dalam. Semangat mereka terhadap agama telah tumbuh, tetapi “rumah telah kelihatan, jalan ke sana tidak tahu”, untuk mereka inilah khusus yang pertama “Tafsir” ini saya susun. Kedua, ialah golongan peminat Islam yang disebut muballigh atau ahli dakwah. Kadang-kadang mereka pun ada mengetahui banyak atau sedikit bahasa Arab, tetapi kurang pengetahuan umumnya, sehingga mereka pun agak canggung menyampaikan dakwahnya, padahal mereka mempunyai kewajiban sudah lebih luas daripada muballigh-muballigh zaman lampau. HAMKA memulai kuliah subuhnya di masjid al-Azhar dengan menafsirkan surah al-Mu’minûn yang diterbitkan dalam majalah “Pandji Masyarakat”. Dengan kegiatan dan penerbitan itu pula mereka dituduh oleh Orde Lama Soekarno sebagai tempat neo Masyumi dan HAMKAisme sehingga majalah tersebut dilarang terbit. Namun HAMKA tidak kehilangan akal, tulisannya satu setengah juz dimuatkannya dalam majalah Gema Islam sampai akhir Januari 1962, yaitu dari juz 18 sampai juz’ 19 yang dimulai dengan surah al-Mu’minûn. Pada tanggal 27 Januari 1964 HAMKA ditangkap dan dihukum penjara tanpa proses peradilan selama tiga tahun, kemudian tahanan rumah dua bulan, dan tahanan kota dua bulan pula dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Selama dalam tahanan itulah HAMKA menulis dan menyempurnakan Tafsir al-Azhar itu.13 Tafsir al-Azhar disusun sebanyak 30 juz, penerbitan pertama tahun 1968 diterbitkan oleh “Pembimbing Masa” yaitu juz pertama sampai juz keempat, terbit berikutnya juz 15-30 oleh penerbit Pustaka Islam Surabaya tahun 1973. Terakhir juz kelima sampai juz keempat belas oleh penerbit Yayasan Nurul Islam Jakarta tahun 1979.14 Ditinjau dari sisi corak tafsir, maka Tafsir al-Azhar memiliki corak tafsir bi al-ra’yi.15 Ibid, Juz I, h. 4. Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, h. 50 – 51. 14 Ibid., h. 55. 15 Dinamai dengan tafsîr bi al-ra’yi, karena yang dominan adalah penalaran atau ijtihad mufassir itu sendiri. 12 13

268


Abdul Manan Syafi’i: Pengaruh Tafsîr Al-Manâr Terhadap Tafsir Al-Azhar

Hal ini didasarkan oleh dua hal. Pertama, pernyataan HAMKA sendiri di dalam kitab tafsirnya itu. Kedua, berdasarkan penelusuran terhadap uraiannya dalam menafsirkan ayat demi ayat dimana terlihat jelas bahwa HAMKA tidak hanya menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an, atau ayat al-Qur’an dengan hadis saja. Tidak semua ayat penafsirannya dapat dirujukkan kepada Sunnah. Dalam hal ini HAMKA membagi tiga. Pertama, untuk ayat-ayat yang menyangkut hukum halal dan haram, fara’idh, perintah yang mesti dilakukan (wâjibât), yang dianjurkan (mandûbât), atau yang dilarang dan dihukum bagi yang melanggarnya (mahzhûrât), beberapa peraturan, undang-undang dan hukum yang berkenaan dengan kenegaraan, merujuk kepada Sunnah Rasul SAW. dalam penafsirannya, akal tidak banyak berperan untuk mencari penafsirannya. Kedua, untuk ayat-ayat yang menyangkut rahasia kejadian alam, langit dan bumi, perjalanan matahari, bulan dan bintang-bintang, tiupan angin dan awan, turunnya hujan dan suburnya bumi dan lain-lain semisalnya yang banyak diungkapkan al-Qur’an untuk meneguhkan keimanan kepada Allah SWT. Sunnah tidak banyak meninggalkan penjelasan tentang hal itu karena keterbatasan perkembangan ilmu pengetahuan pada masa itu; baik pada masyarakat Arab maupun pada diri Rasulullah SAW. sendiri. Dalam permasalahan itu mufasir mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Ketiga, untuk ayat-ayat yang menyangkut tentang kisah-kisah masa lampau, mufasir sangat berhati-hati dalam mengutip hadishadis yang menjelaskan kisah-kisah itu karena banyaknya riwayat-riwayat yang tergolong israiliyat.16 Di samping merujuk kepada Sunnah Rasul, HAMKA juga mencarinya dari penafsiran para sahabat Rasul karena mereka hadir dan menyaksikan atau diceritakan oleh Rasul ketika ayat itu turun, sehingga mereka mengetahui latar belakang turunnya ayat ayatayat tertentu. Dalam pandangan HAMKA, penafsiran para sahabat yang menyang-kut hukum syara‘ hampir sama kedudukannya dengan Sunnah Rasul, karena HAMKA yakin para sahabat itu menerima langsung dari Rasul. Lain halnya, jika sahabat itu berbicara berdasarkan pendapat atau ijtihadnya masing-masing, maka HAMKA dapat menerima atau menolak dengan pertimbangan yang sangat kritis.17 Ada penafsiran tabiin, HAMKA menjadikannya sebagai sumber ketiga dengan pengkajian yang lebih kritis dibandingkan dengan sikapnya terhadap para sahabat, terutama dalam hal yang menyangkut kisahkisah umat Yahudi dan Nasrani. 18 Tafsir ini banyak digemari tidak hanya di Indonesia bahkan juga di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Thailand. Hal itu disebabkan uraian-uraiannya yang mendalam dengan mengutip mufasir terdahulu bahkan membandingkan dengan agama dan kepercayaan lain berikut kitab sucinya, di samping memiliki

Lihat HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jilid I, h. 25-30. Ibid. h. 30-31. 18 Ibid., h. 33. 16 17

269


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 ciri khasnya sebagai seorang sastrawan ulung. Dengan demikian tafsirnya itu selalu dicetak ulang oleh penerbit dalam dan luar negeri. Di Indonesia Tafsir al-Azhar dicetak berulangulang oleh percetakan yang sama. Hal itu menandakan banyak penggemarnya karena bahasanya yang mudah dicerna, sehingga para da’i banyak menggunakannya sebagai referensi dakwahnya.

Pengaruh Pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir al-Azhar Tafsir al-Azhar merupakan gabungan antara tafsîr bi al-ma’tsûr dengan tafsîr bi al-ra’y yang tidak hanya menukilkan riwayat-riwayat dari kitab-kitab terdahulu dan tidak pula memberikan kebebasan tanpa batasan kepada akal pikiran. Sebaliknya, pengarang menggunakan sepenuhnya kebijaksanaan dan pengalaman luasnya untuk memilih, mengkritik dan menambah apa yang perlu. Ia berupaya sekuat tenaga untuk memberikan maksud sebenarnya suatu ayat dengan menguraikan makna lafaz-lafaznya dari sudut bahasa ke dalam bahasa Indonesia tanpa menyertakan perbedaan pendapat ulama terhadap bahasa yang terkandung di dalamnya dan tidak memaksakan pendapat dari mana aliran itu muncul. Sebaliknya ia memberikan kebebasan sepenuhnya kepada para pembaca untuk menggunakan akal pikiran masing-masing dalam memahami dan menghayati kandungan al-Qur’an setelah mengetahui maksud sebenarnya secara umum. Bagaimana pun, ia tetap memberi penilaian dan pandangannya dalam hal-hal yang tidak disepakati oleh para ulama, khususnya dalam bab akidah dan ibadah, tanpa bersikap ta‘asub kepada suatu mazhab. Ia juga menghindari tafsirnya dari riwayat-riwayat isrâ’iliyat atau riwayat-riwayat yang lemah, kecuali untuk peringatan para pembaca supaya tidak terpengaruh dengan riwayat tersebut. Selain daripada itu, ia juga sedikit mengulas tentang isu-isu aktual yang berkaitan dengan politik, sosial, pemikiran, sains dan lain sebagainya setiap ada ruang dan kebutuhan untuk itu. Suatu hal yang menarik di dalam tafsir ini ialah penulisnya ikut mencantumkan pendapat-pendapat para ulama Indonesia yang tidak ditemukan dalam tafsir lain. 19 Penjelasan di atas jelas dapat menunjukkan bahwa tafsir ini sangat terpengaruh dengan gerakan pembaharuan tafsir Muhammad ‘Abduh. Lagi pula, hal tersebut dikemukakannya secara gamblang dalam mukaddimah tafsirnya bahwa pemikirannya sangat terpengaruh dengan Tafsir al-Manâr di samping tafsir-tafsir lain yang menjadi rujukannya.20 Dari muqaddimah itu pula dapat dipahami bahwa selain mengambil dari nama masjid yang berada di samping rumahnya itu, tempat ia menyampaikan kuliah tafsirnya, sekaligus merupakan rasa syukurnya terhadap Universitas al-Azhar yang telah menganugerahkannya gelar tertinggi Doktor Honoris Causa, yang dalam istilah Universitas al-Azhar disebut Ustâdziyyah Fakhriyah. HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jilid I, h. 25-42. Ibid., h. 41.

19 20

270


Abdul Manan Syafi’i: Pengaruh Tafsîr Al-Manâr Terhadap Tafsir Al-Azhar

Terdapat kesamaan antara Tafsir al-Azhar dengan Tafsir al-Manâr dalam proses. Keduanya lahir dari ceramah-ceramah di depan jamaah yang kemudian disusun dalam bentuk tulisan. Karenanya tafsir ini terkesan komunikatif dan dekat dengan suasana dan problematika yang sedang dihadapi masyarakat. Meskipun berbeda setting tempatnya; Tafsir al-Manâr lahir dari latar belakang masyarakat Mesir, sedangkan Tafsir al-Azhar lahir dari latar belakang masyarakat Indonesia. Selain itu, karya ini juga merupakan bentuk dedikasi ia kepada tokoh pembaharu dan ulama kebanggaan Universitas al-Azhar dalam ceramahnya yang disampaikan di depan ulama dan cendekiawan Mesir di Kairo yang bertemakan: Pengaruh Faham Muhammad ‘Abduh di Indonesia dan Malaysia. Dengan dasar itulah HAMKA diberi kehormatan oleh al-Azhar untuk menerima anugerah tersebut yang amat besar artinya dalam sejarah hidupnya.

Contoh Pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir al-Azhar Mufasir abad ini di Nusantara yang paling banyak mengambil rujukan kepada Tafsir al-Manâr adalah HAMKA. Dalam tafsirnya ia menguraikan pendapat-pendapat dari tafsir Muhammad ‘Abduh. Secara jelas ia menyatakan bahwa pandangannya itu adalah dari pendapat Muhammad ‘Abduh. Justru itu para pembaca akan berpendapat apa yang dikemukakan itu merupakan ide yang telah dirintis oleh Muhammad ‘Abduh. Dari sekian banyak pemahaman Muhammad ‘Abduh yang diadopsi HAMKA dalam tafsirnya, antara lain:

              



Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru (berdakwah) kepada kebajikan (mengembangkan Islam), dan menyuruh berbuat segala perkara yang baik, serta melarang dari segala yang salah (buruk dan keji), dan merekalah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Âli ‘Imrân/3: 104). Setelah menerangkan tentang kepentingan dakwah Islamiyah dalam kehidupan manusia pada zaman modern yang jauh berbeda dari zaman yang lalu, HAMKA mengalihkan uraiannya kepada syarat-syarat yang perlu dipenuhi oleh seseorang yang ingin melibatkan diri dalam bidang dakwah. Ia menulis: Enam puluh tahun yang lalu, artinya permulaan abad kedua puluh ini, al-Ustaz alImam Syaikh Muhammad ‘Abduh telah menguraikan apa saja syarat yang harus dipenuhi di dalam jiwa seorang da’i. Meskipun telah 60 tahun berlalu, ingin kita menyalin di sini, menurut catatan yang dituliskan oleh Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsîr al-

271


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Manâr. Rasa-rasanya syarat-syarat yang harus dipenuhi itu patut menjadi perhatian setiap Muslim yang berminat dalam lapangan dakwah. 21 HAMKA lalu menukilkan syarat-syarat yang disebutkan oleh Muhammad ‘Abduh ke dalam tafsirnya. Pertama, mempunyai pengetahuan yang cukup tentang al-Qur’an, alSunnah, sejarah perjuangan para sahabat serta salaf al-shâlihîn dan perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum-hukum. Kedua, mengetahui tentang latar belakang pendidikan, penempatan, budaya, asal-usul, serta akhlak masyarakat yang menjadi sasaran dakwah. Ketiga, mempunyai pengetahuan dalam ilmu sejarah secara umum. Keempat, mempunyai pengetahuan dalam ilmu geografi. Kelima, mempunyai pengetahuan dalam ilmu psikologi. Keenam, menguasai ilmu akhlak. Ketujuh, mempunyai pengetahuan tentang ilmu sosiologi. Kedelapan, mengetahui tentang sistem dan perkembangan politik di negeri tempat berdakwah. Kesembilan, mengetahui tentang bahasa masyarakat yang di dakwah. Kesepuluh, mengetahui serba sedikit tentang kesenian dan kemahiran yang menguasai kehidupan masyarakat setempat guna memberi penjelasan mengenai pandangan Islam jika terdapat kemusykilan. Kesebelas, mengetahui tentang pokok-pokok ajaran dalam berbagai agama dan madzhab serta perbedaan-perbedaannya bagi memudahkan masyarakat memahami dakwah yang disampaikan secara perbandingan.22 Setelah selesai menguraikan tentang hal-hal tersebut di atas dengan memberi contoh-contoh dalam konteks masyarakat di nusantara, HAMKA menulis lagi: “Demikianlah secara ringkas kita terangkan 11 ilmu alat dakwah yang dipandang amat perlu dipersiapkan oleh seseorang yang berkecimpung dalam bidang dakwah, menurut ajaran Syaikh Muhammad ‘Abduh.” Ketika HAMKA menafsirkan ayat

     Adapun nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau sebut-sebutkan (dan zahirkan). (Q.S. al-Dhuhâ/93: 11). HAMKA menulis “berkata al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh dalam tafsir Juz ‘Ammanya: Sudah menjadi kebiasaan orang yang bakhil menyembunyikan bahwa dia orang kaya, untuk menjadi alasan baginya menahan dari memberikan bantuan kepada orang lain atau untuk kepentingan umum, biasa saja dia sedang susah! Adapun orang yang sudah terlatih diri jadi dermawan senantiasalah mereka memberikan harta karunia Allah SWT. yang telah diterimanya, dan selalu dia memuji Tuhan karena telah mencurahkan rezeki kepadanya. Lantaran itulah, mendermakan harta, memberi makanan kepada fakir miskin dan membantu orang-orang yang sangat membutuhkan bantuan, diujung ayat ini disebutkan: fahaddits yang artinya secara harfiah; hendaklah sebut-sebut, bukan disebutHAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz IV, h. 47. ‘Abduh, Tafsir al-Qur’ân, Jilid V, h. 66-69; HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jilid IV, h. 47-51.

21 22

272


Abdul Manan Syafi’i: Pengaruh Tafsîr Al-Manâr Terhadap Tafsir Al-Azhar

sebut dengan mulut, melainkan dibuktikan dengan perbuatan sampai akhirnya mau tidak mau akan menjadi sebutan yang baik dari orang yang dibantu. Ayat ini, terhadap Nabi Muhammad, perluaslah bantuan terhadap fakir miskin, bukan menyebut-nyebut “saya kaya, kekayaan saya sekian”, karena itu namanya membangga atau menyombongkan diri. Bukan itu yang disuruhkan Allah kepada Rasul-Nya. Tidak pernah disebutkan di dalam riwayat bahwa ia membanggakan kekayaan, tetapi yang disebut bagaimana cepatnya ia mengeluarkan hartanya untuk membantu orang lain, malahan kadang-kadang untuk keperluan dirinya sendiri dia lupa.” Demikian isi tafsir Syaikh Muhammad ‘Abduh.”23 Ketika HAMKA menafsirkan ayat:

                             

Dan orang-orang (Yahudi dan Nashrani) yang diberi kitab (Taurat dan Injil) itu, tidak berpecahbelah melainkan setelah datang kepada mereka bukti yang jelas dan nyata. Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan meng-ikhlaskan ibadah kepadaNya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat. Dan yang demikian itulah agama yang benar. (Q.S. al-Bayyinah/98: 4-5) HAMKA menulis “Syaikh Muhammad ‘Abduh dalam Tafsîr Juz ‘Ammanya memberi peringatan bahwa meskipun ayat ini turun mengisahkan sikap ahlul kitab, namun penyakit semacam itu telah banyak bertemu di dalam kalangan kaum Muslim. Meskipun firman Ilahi dan sabda Rasulullah SAW. telah terang benderang dan jelas isinya, masih pula terdapat perpecahan di kalangan kaum Muslim, ta’assub mem-pertahankan golongan masingmasing, sehingga di antara Muslim sesama Muslim pun terjadi perpecahan. Ia berkata: Bagaimana pendapatmu tentang keadaan kita (kaum Muslim)? Bukankah hal ini telah diingatkan oleh kitab suci kita sendiri, yang telah membuktikan buruknya amal-amal kita, sehingga kita berpecah-belah dalam agama, sampai bergolong-golong, sampai amalan kita penuh dengan perbuatan baru yang diada-adakan dan perbuatan bid`ah?”.24 Tulisan ini dinyatakan sendiri oleh HAMKA adalah nukilan atau uraian terhadap apa yang telah diterangkan oleh Muhammad ‘Abduh ketika menafsirkan ayat di atas. Ketika menafsirkan ayat:

              Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat Lihat HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz XXX, h. 173-174; ‘Abduh, Muhammad, “Tafsîr Juz’ `Amma,” Muhammad ‘Imarah (ed.), al-A’mal al-Kamilah li al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Jilid V (Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nashr, 1972), h. 440-441. 24 HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz XXX, h. 211. 23

273


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S. al-Zalzalah/99: 7-8) HAMKA menukil dan menguraikan pandangan yang telah dikemukakan oleh Muhammad ‘Abduh, dengan menulis: Syaikh Muhammad ‘Abduh dalam tafsirnya menegaskan ayat ini telah dinyatakan bahwa segala amalan dan usaha, baiknya dan buruknya, besarnya dan kecilnya akan dinilai oleh Tuhan. Baik yang berbuatnya itu orang beriman atau orang kafir. Tegasnya lagi, amal kebaikan orang kafir dihargai Tuhan meskipun dia dengan demikian tidak terlepas daripada hukuman kekafirannya. HAMKA melanjutkan uraiannya dengan mendukung dan menambah argumennya seperti yang disebut oleh Muhammad ‘Abduh.25 Dalam menafsirkan ayat:

          Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia. (al-Nas/114: 5-6) HAMKA menjelaskan macam-macam was-was yang senantiasa menghantui kehidupan manusia, dengan menyesuaikan uraiannya dengan yang diuraikan oleh Muhammad ‘Abduh ketika ia menafsirkan ayat yang sama, maka HAMKA menulis: “Tafsir Ustaz al-Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh lebih menjelaskan lagi. HAMKA menulis: Yang membisik-bisikkan (was-was) ke dalam hati manusia itu adalah dua macam: pertama, ialah yang disebut Jin itu yaitu makhluk yang tak nampak oleh mata dan tidak diketahui mana orangnya tetapi terasa bagaimana dia memasukkan pengaruhnya ke dalam hati, membisikkan, merayukan. Dan kedua, ialah perayu yang kasar, yaitu manusia-manusia yang mengajak dan menganjurkan kepada jalan yang salah. 26 Demikian beberapa contoh dari Tafsir al-Azhar yang menunjukkan hubungannya dengan pemikiran serta gerakan pembaharuan tafsir yang dipelopori oleh Muhammad ‘Abduh yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh terkemuka lain pada lembaga-lembaga pengajian lainnya.

Penutup Dari hasil penelitian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan HAMKA dengan Muhammad ‘Abduh berkelanjutan sejak dari ayahnya sebagai seorang tokoh Ibid., h. 218; ‘Abduh, Tafsir Juz’ ‘Amma, Jilid V, h. 483 – 484. HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz XXX, h. 296; ‘Abduh: Tafsir Juz’ ‘Amma, Jilid V, h. 573.

25 26

274


Abdul Manan Syafi’i: Pengaruh Tafsîr Al-Manâr Terhadap Tafsir Al-Azhar

Minangkabau yang menyebarkan dan mempertahankan pemikiran pembaharuan yang dipelopori oleh Muhammad ‘Abduh bersama gurunya Jamal al-Dîn al-Afghaniy. Hasil karya Muhammad ‘Abduh dan tokoh-tokoh lain dari aliran pemikiran pembaharuan ini merupakan rujukan utama HAMKA dalam membina pemikiran dan keilmuannya, termasuk karyakarya tafsir Muhammad ‘Abduh seperti Tafsîr Juz Amma dan Tafsîr al-Manâr. Justru itu, tidak heran jika nukilan, sanjungan, serta uraian panjang lebar terhadap ide tafsir Muhammad ‘Abduh dapat dilihat dengan begitu meluas dalam Tafsir al-Azhar. Pengaruh Muhammad ‘Abduh dalam Tafsir al-Azhar bukan saja dapat dilihat melalui nukilan atau uraian lansung HAMKA terhadap pemikiran atau idea yang dilontarkan oleh Muhammad ‘Abduh dalam menafsirkan suatu ayat, akan tetapi dapat dilihat dengan jelas dari metodologi, pendekatan, serta penekanan yang diaplikasikan oleh HAMKA dalam penafsirannya. Dari kajian ini juga dapat dirumuskan bahwa Tafsir al-Azhar merupakan sebuah dedikasi HAMKA terhadap tokoh yang telah banyak menyumbang dalam pembinaan intelektual serta jati dirinya, juga yang menjadi sumber inspirasinya dalam meneruskan perjuangan sebagai seorang ulama, sastrawan, da’i, dan aktivis Islam, yaitu tidak lain dan tidak bukan adalah al-Ustaz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh.

Pustaka Acuan ‘Abd. al-Rahim, ‘Abd. al-Ghaffar, al-Imâm Muhammad ‘Abduh wa Minhâjuh fi al-Tafsîr. t.t.p.: al-Markaz al-‘Arabiy li al-Tsaqafah wa al-‘Ulûm, t.t. ‘Abduh, Muhammad. “Tafsîr Juz’ `Amma,” dalam Muhammad ‘Imarah (ed.), al-A’mal al-Kamilah li al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Jilid V. Beirut: al-Mu’assasah al-‘Arabiyyah li al-Dirasat wa al-Nashr, 1972. Al-Ahmadi, Abdul Rahmad. Tokoh dan Pokok Pemikiran Tok Kenali. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan Malaysia, 1983. DS. Moeljanto. et.al., Prahara Budaya. Bandung: Mizan, 1988. HAMKA. Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian. t.t.p.: t.p., 1985. HAMKA. Pengaruh Muhammad ‘Abduh di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1961. Ibrahim, Shafi’i. “Tok Kenali,” dalam Ismail Mat (ed.), Ulama Silam dalam Kenangan. Bangi: Universiti Kebangsaan Malaysia, 1993. Syafi’i, Abdul Manan. “Islah Wanita di Indonesia: Kajian Pemikiran HAMKA dalam Tafsir al-Azhar dan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah.” Tesis Ph.D. Universiti Malaya, 2012. Yusoff, Mohd. Yaakub Zulkifli Haji. “Pengaruh Pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam Gerakan Islam di Malaysia,” dalam Muhammad Kamil Hj. Abd. Madjid (ed.), Tokoh-Tokoh Pemikir Dakwah. Petaling Jaya: Dewan Pustaka Islam, 1990. Yusuf, Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar: Sebuah Telaah tentang Pemikiran HAMKA dalam Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Panji Masyarakat, 1990. 275


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

RELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DALAM AL-QUR’AN MENURUT AMINA WADUD M. Rusydi Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Jl. A. Yani KM. 4,5 Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 70235 e-mail: madibiqbal@gmail.com

Abstrak: Tulisan ini menganalisis pandangan Amina Wadud tentang problem gender dalam Islam. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana konstruksi pembacaan Amina Wadud terhadap relasi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur’an. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa bagi Wadud, al-Qur’an memiliki tiga prinsip utama dalam menyelesaikan problem gender yakni prinsip tauhid, takwa dan khalifah. Prinsip tauhid dan takwa menunjukkan kesetaraan, sebab al-Qur’an menegaskan bahwa tidak ada yang lebih mulia kecuali dengan takwa. Wadud menyebut prinsip ini dengan istilah paradigma tauhid. Sedangkan prinsip khalifah dalam al-Qur’an menekankan agar semua Muslim, baik laki-laki maupun perempuan, menjadi agen moral untuk menjaga keharmonisan dunia. Ia juga menyarankan agar al-Qur’an dibaca secara holistik dengan memperhatikan tiga aspek seperti konteks pewahyuan ayat, komposisi dan gramatika teks, dan pandangan dunia teks. Ia menyebut metolodogi ini dengan istilah hermeneutika tauhid, yang dijadikan argumen bahwa al-Qur’an memandang laki-laki dan perempuan setara. Abstract: Men and Women Relation in the Quran in Amina Wadud’s Thought. This writing analyzes Amina Wadud’s view on gender in Islam. The issue put forward is on the question of Wadud’s reading method on gender in the Qur’an. This paper reveals that according to Wadud there are three main principles to solve gender problems, namely, tauhîd, taqwa and khalîfah. The principles of tauhîd and taqwa show equality because al-Qur’an prescribes that no one is being having more self-esteem except with the quality of taqwa. Wadud calls these principles as tauhidic paradigm. While the principle of khalîfah in al-Qur’an requires Muslim, both man and woman alike, to become an agent of moral custodian to maintain the harmony of the world. She also urges that the Qur’an be interpreted holistically by considering three aspects; the context of revelation, stylistic and grammar of text, as well as weltanschauung or worldview of the text. As such she designates her methodology as a tauhidic hermeneutic, since upon this methodology, it can be argued that the Qur’an looks at man and woman equally.

Kata Kunci: al-Qur’an, gender, hermeneutika, kesetaraan, tauhid 276


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

Pendahuluan Muhammad Legenhausen ketika menanggapi perkembangan dunia kontemporer yang semakin pesat, diiringi dengan perkembangan pemikiran teologi Kristen di Barat dan fenomena modernitas yang semakin maju, ia menyarankan agar teologi Islam juga berperan aktif dan berwawasan luas serta memiliki keunikan tersendiri dalam menjawab fenomena-fenomena di atas dibanding ideologi lainnya. Oleh karena itu, menurutnya, Islam hendaknya menelaah dan merumuskan kembali konsep teologinya. Dia menyarankan agar teologi Islam tidak lagi dibatasi pada kalam, tetapi juga menyentuh wilayah tasawuf, etika agama, fikih, ushul fikih, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, teologi Islam harusnya mampu menyentuh fenomena-fenomena transenden dan juga fenomena kemanusiaan modern, seperti HAM, multikulturalisme, gender, demokrasi, globalisasi dan lain sebagainya.1 Selain itu, Islam juga harus berdialog dengan keilmuan lain untuk memperkaya wawasannya. Apa yang disarankan oleh Legenhausen tersebut telah membangkitkan sebagian para pemikir Islam untuk mengkonstruk pemikiran Islam dari berbagai ranah baik materi maupun metodologinya agar Islam mampu eksis di dunia kontemporer. Di antara pemikir tersebut adalah Amina Wadud yang berupaya melihat pesan-pesan al-Qur’an dari kacamata perempuan melalui pendekatan hermeneutis sehingga mampu memberikan pemaknaan yang berbeda dari makna-makna “normal”. 2 Tulisan berikut menguraikan pemikiran Wadud tentang gender, terutama yang terangkum dalam karyanya Qur’an and Woman dan Inside The Jihad Gender.

Kerangka Pikir Gender Amina Wadud Ada tiga prinsip dasar yang diajukan Wadud dalam mengkonstruk pemikiran gendernya yakni prinsip tauhid, takwa dan khalifah. Ketiga prinsip dasar tersebut akan diuraikan berikut ini.

Tauhid (Prinsip Egaliter) dan Takwa (Kesadaran Moral) Dari karyanya, Qur’an and Woman dan Inside The Jihad Gender, Wadud menyatakan bahwa kerangka teori yang ia gunakan adalah universalitas al-Qur’an. Di samping universalitas al-Qur’an, terdapat prinsip dasar yang menjamin kesetaraan manusia dalam kehidupan dunianya, prinsip itu adalah taqwa (Q.S. 49:13). Menurutnya, semua ayat-ayat tentang

Muhammad Legenhausen, “The Relationship between Philosophy And Theology in The Postmodern Age”, dalam Contemporary Topics of Islamic Thought (Teheran: Alhoda, 2000), h. 38. Hal yang senada ia ungkapkan dalam artikel lain dari buku yang sama dengan judul “Contemporary Problems of Christian Theology in Islamic Thought”, h. 33. 2 Amina Wadud, Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text From A Woman’s Perspective (New York: Oxford University Press, 1999), h. 2. 1

277


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 taqwa memberikan jaminan bahwa tidak ada stratifikasi gender dalam Islam, dan kemuliaan manusia bukan dilihat berdasar jenis kelamin melainkan berdasar kualitas. Adapun posisi wanita muslim yang selalu berada di bawah laki-laki (inferior) adalah disebabkan oleh faktor eksternal yang merujuk kepada budaya Arab klasik dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam baik dari al-Qur’an maupun sunnah. 3 Semangat kesetaraan gender yang diusung oleh Wadud tercermin pada paradigma yang ia sebut Tauhidic Paradigm yaitu martabat laki-laki dan perempuan adalah sama di mata Tuhan. Tauhid membuka prinsip kesetaraan yang harmonis pada gender, tidak ada kepentingan politik di dalamnya. Semua berkesempatan menjadi hamba yang bertakwa, Takwa tidak pernah membedakan gender dan tidak pernah memandang manusia dengan menggunakan ukuran yang bersifat duniawi, kebangsaan, kekayaan, ataupun budaya klasik yang patriarkis. Inilah pendekatan Tauhidic Paradigm yang digunakan Wadud untuk memahami relasi laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, paradigma yang ditawarkan Wadud ini berangkat dari persamaan ontologis antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat muslim. Di tengah-tengah pembacaan al-Qur’an yang cenderung patriarkis dengan memarjinalisasi perempuan, maka paradigma ini menawarkan “penampakan” nilai-nilai keadilan Tuhan melalui kontekstualisasi ayat-ayat yang secara spesifik telah membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan seks atau biologis.4 Melalui pendekatan ini, Wadud menemukan bahwa perbedaan biologis bukan faktor yang menentukan derajat atau status manusia dalam Islam. Jika prinsip ini dipahami dan diyakini dengan baik, maka seorang laki-laki tidak memandang wanita dari sisi kemampuan reproduksi atau fungsi biologis saja tetapi ia akan melihat wanita dari sisi fungsi sosial atau peran mereka pada sektor publik, dan ini akan mendukung terwujudnya egalitarianisme.5 Wadud menjelaskan bahwa ayat-ayat spesifik perlu dipahami sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih besar. Paradigma tauhid adalah bagian dari upaya pemahaman Islam secara totalitas dalam rangka mendukung hak asasi manusia yang lebih besar untuk perempuan.6 Al-Qur’an bahkan mengakui adanya kesetaraan manusia di hadapan Allah. Banyak ayat dalam al-Qur’an yang menegaskan bahwa masing-masing jenis kelamin, lakilaki atau perempuan, adalah setara di hadapan Allah. Keduanya dinilai dengan perbuatan, bukan gender mereka. Lebih lanjut, Wadud menolak adanya penafsiran patriarkis terhadap ayat-ayat al-Qur’an karena hal itu sama saja menafikan paradigma tauhid dan taqwa. Dia menyatakan, “Tidak ada indikasi bahwa al-Qur’an menyatakan adanya perbedaan primordial antara laki-laki dan wanita berdasar potensi spiritual mereka”. 7 Amina Wadud, Inside The Gender Jihad (Oxford: Oneworld, 2006), h. 97. Wadud, Qur’an and Woman, h. 102-103. Wadud, Inside The Gender Jihad, h. 96-97. 5 Wadud, Inside The Gender Jihad, h. 46. 6 Ibid., h. 15. 7 Ibid., h. 35. 3 4

278


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa segala sesuatu berpasangan. Pasangan tersebut merupakan bagian dari sistem dualisme. Semua pasangan seperti laki-laki dan perempuan tunduk kepada sang pencipta. Oleh karena itu, makhluk apapun, termasuk kaum lakilaki, tidak berhak merasa lebih tinggi dibanding perempuan. Namun hal ini berbeda dengan realitas dunia Islam. Bahkan, doktrin-doktrin agama pun diinterpretasikan dengan bias gender. Pernyataan seperti laki-laki derajatnya “di atas perempuan” adalah contoh yang nyata dan masih bergema di dunia Islam. Pemahaman tekstual dipilih demi mengokohkan struktur patriarkhi yang telah ada. Sistem al-Qur’an tentang hubungan pasangan (laki-laki dan perempuan) bersifat saling melengkapi dan keduanya dalam posisi yang sama (equal). Pasangan lain, seperti siang dan malam, di dalam dan di luar, atas dan bawah, adalah berlawanan namun saling membutuhkan. Berdasarkan hal di atas maka sangat tepat jika tauhidic paradigm menjadi inspirasi untuk menghilangkan stratifikasi gender dalam setiap interaksi sosial; baik di ruang publik dan ruang privat, atau dalam ranah ritual dan politik. Dalam paradigma tauhid ini, eksistensi saya (laki-laki) dan kamu (perempuan), tidak hanya berarti sama, lebih dari itu, keduanya dianggap sebagai satu (oneness) dalam kesatuan Allah. Dalam paradigma tauhid ini pula, fungsi sosial dan politik dapat didasarkan pada kapasitas dan kapabalitas laki-laki atau perempuan itu sendiri.8 Asumsi dasar inilah yang menjadi kerangka pikir Wadud yang menyatakan bahwa al-Qur’an merupakan sumber nilai tertinggi yang secara adil mendudukkan laki-laki dan perempuan secara setara (equal).9 Dalam teks-teks keislaman Wadud mengakui sering merasa terganggu dengan realita double-talk yang ditemukan pada teks-teks keagamaan yang berbicara seputar posisi lakilaki dan perempuan. Double-talk, menurutnya, membawa kepada ketidakjelasan linguistik dan memberikan makna yang multivalen. Fenomena bahasa yang sering ambigu membuka peluang pihak tertentu untuk memanipulasi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Dalam sebuah ayat dinyatakan bahwa “perempuan dan laki-laki itu setara” namun ditemukan juga ayat lain yang menyatakan “derajat laki-laki lebih tinggi dari perempuan”. Menurut Wadud, double-talk seperti ini harus diwaspadai oleh setiap pembaca supaya tidak terjebak dalam pemahaman yang hirarkis, dan inilah problem ambiguitas dalam bahasa. Untuk memperjelas double-talk ini, Wadud memberikan ilustrasi dua silogisme berikut: A

B

Semua laki-laki adalah manusia. Ahmad adalah seorang laki-laki. Ahmad adalah manusia.

Semua manusia bisa menjadi pemimpin Perempuan adalah manusia. Perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.

Ibid. Kurdi, et al., Hermeneutika al-Qur‘an dan Hadis (Yogyakarta: Etsaq Pres, 2010), h. 181.

8 9

279


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Dari dua silogisme ini, kolom B jelas mengandung double-talk karena silogisme dalam kolom itu tidak benar. Jika double-talk seperti ini dilestarikan dalam setiap kajian gender, maka penderitaan wanita akan semakin panjang karena bias gender akan terus mewarnai undang-undang dan peradilan Islam. 10

Khalifah (Agen Moral) Sikap ketundukan dan upaya menjaga harmonisasi universal hanya akan ada dengan otonomi dan kesadaran penuh sebagai agen Tuhan (khalifah Allah) yang selalu dinamis, baik di ruang domestik atau ruang publik, demi menegakkan keadilan, dan sebagainya. Sikap ini tidak hanya dimonopoli dan berlaku bagi kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan. Khalifah juga dimaknai Wadud dalam perspektif keadilan gender. Laki-laki dan perempuan sama-sama ciptaan Allah SWT. Semuanya diberi amanah sebagai khalifah Allah di muka bumi. Menjadi khalifah berarti memenuhi takdir manusia sebagai agen moral yang bertanggungjawab atas keharmonian alam semesta. Dalam konteks kemasya-rakatan, harmoni tersebut terwujud dengan menegakkan keadilan. Tanggungjawab tersebut tidak didasarkan ras, perbedaan seks dan gender, namun didasarkan pada kapasitas dan kemampuan yang dimiliki seorang hamba. Bagi Wadud, masing-masing individu dalam masyarakat mengindikasikan kelebihan baik laki-laki maupun perempuan. Prinsip inilah yang diterangkan oleh al-Qur’an sebagai konsekuensi dari potensi kebebasan yang dimiliki manusia dalam mengatur kehidupan mereka agar menjadi khalifah. Khalifah tidak identik dengan kekuasaan laki-laki atas perempuan tetapi khalifah lebih diartikan sebagai wali, penganti dalam arti sosok seorang yang harus memiliki sifat dan karakter seperti yang diwakilinya, yaitu Tuhan. Khalifah membawa amanah yang mulia, sebagai agen moral, agen perubahan dalam rangka mencari ridha Allah. Menurut Wadud, kata zhulm dalam al-Qur’an berarti penindasan dan ketidakadilan, dan ini lawan kata dari al-‘adl (keadilan), meskipun sebenarnya makna zhulm bisa dipahami secara lebih luas. Namun pendapatnya ini didasari oleh universalitas norma etik dan nilai-nilai al-Qur’an. Jadi konsep-konsep tauhid, taqwa dan khalifah bagi Wadud merupakan bagian dari pemahaman Islam secara total dan egaliter.

Hermeneutika Tauhid Amina Wadud: Sebuah Konstruksi Metodologis Wadud berpendapat bahwa praduga ketidakadilan gender dalam beberapa ayat al-Qur’an didasarkan pada kesalahan penerapan ayat-ayat khusus (khâsh) untuk konsep universal atau umum (‘âmm), dan mengabaikan prinsip-prinsip etika yang diisyaratkan oleh al-Qur’an yang merupakan bagian nilai dari tauhid. Dia berpendapat bahwa penggunaan Wadud, Inside The Gender Jihad, h. 15-17.

10

280


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

al-Qur’an untuk memvonis kelemahan perempuan dalam status sosialnya diakibatkan oleh pembacaan yang salah atas al-Qur’an yang justru banyak mengajarkan etika dalam menghadapi perbedaan, juga etika keadilan dan kesetaraan manusia. Dia memberikan contoh ayat yang melarang menikahi janda Nabi Muhammad setelah dia wafat. Menurut Wadud, ayat ini dengan jelas bermakna khusus dan ayat ini tidak dapat diterapkan ke dalam konteks umum atau konteks universal. 11 Demikian juga ayat ‘âmm tidak sekonyong-konyong dapat diterapkan secara leksikal tetapi juga harus memperhatikan makna lain di balik makna harfiyah tersebut, dan ayat universal tidak berarti selalu universal setiap saat. Selain itu, ayat-ayat universal harus dievaluasi dan ditafsirkan berdasarkan perubahan norma-norma budaya dan perubahan alamiah masyarakat lintas generasi dan zaman. Wadud mencatat, metode interpretasi yang ia tawarkan menemukan bahwa dalam memahami ayat ‘âmm seorang penafsir hendaknya kembali kepada realitas sejarah, dan melakukan kajian studi mengenai waktu dan tempat secara komprehensif, sementara pemahaman ayat-ayat transenden yang bersifat ilahi dan tidak dapat dibahas dalam batas kemampuan kebahasaan manusia dapat dimaknai sebagai simbol dalam sistem pemaknaannya. 12 Menurutnya, perlu ditarik benang merah di sini bahwa setiap penafsir yang ingin menafsirkan sebuah ayat maka ia dihadapkan pada beragam pilihan dan alternatif makna. Setiap pembaca bebas menggali makna berdasarkan persepsi atau kesimpulan yang terbentuk oleh realitas mereka tetapi teks kitab suci tidak boleh dibatasi oleh pemahaman perorangan atau oleh kebenaran yang ‘terbatas’.13 Wadud juga mengingatkan pembaca akan pentingnya metode semantik dengan mengadopsi konsep basic meaning dan relation meaning yang ditawarkan Toshihiku Izutsu. Kedua konsep itu menjadi kata kunci dalam konsep metodologis Semantik.14 Izutsu memaknai kata Allah, misalnya, dengan melihat sisi basic meaning dan relation meaning ini.15 Menurutnya, Tuhan dalam pandangan umum al-Qur’an (Qur’anic Weltanschauung) bukanlah sebagai zat yang menyendiri dengan segala kemuliaan-Nya, sebagaimana yang dipahami oleh Filsafat Yunani, namun Tuhan dalam al-Qur’an adalah Tuhan yang maha dekat dengan manusia.16 Seperti itulah Izutsu menganalisis kata Allah melalui metode semantik dengan konsep basic meaning dan relation meaning-nya. Konsep ini yang kemudian diadopsi oleh Wadud untuk memahami teks al-Qur’an. Pendekatan semantik sekaligus menjadi dasar upaya menafsirkan al-Qur’an sesuai weltanschauung tanpa mengurangi sisi-sisi transenden Wadud, Inside The Gender Jihad, h. 196. Ibid. 13 Ibid. 14 Ibid., h. 16-17. 15 Ibid. 16 Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur’an, Semantics of the Qur’anic Weltanschauung (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2008), h. 100. 11 12

281


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 al-Qur’an. Dari sini, Wadud menganggap bahwa sekarang saatnya al-Qur’an ditafsirkan oleh para mufassir wanita atau oleh siapa saja yang mengetahui sejarah dan pengalaman wanita. Wadud berharap dari para reformis untuk tidak hanya mengedepankan sisi egalitarian saja melainkan juga mereka harus berani mengelaborasi prinsip ini demi membebaskan teks dari kungkungan budaya tertentu terutama dari ungkapan atau pernyataan yang bersifat khusus.17 Sebenarnya tujuan utama Wadud dalam karya gender-nya adalah upaya untuk memberikan pembacaan yang lebih adil pada perempuan yang selama ini tidak bisa ikut berperan aktif dalam berbagai penafsiran al-Qur’an. Dia menunjukkan bahwa selama ini penafsiran al-Qur’an selalu didominasi oleh penafsiran tradisional yang bercorak atomistik.18 Parahnya lagi, tafsir-tafsir ini mayoritas ditulis oleh laki-laki, dan tentu saja pengalaman laki-lakilah yang mewarnai penafsiran tersebut. 19 Oleh karena itu, ia menyarankan agar dalam melihat al-Qur’an harus memperhatikan hal-hal berikut; 1) apa yang dikatakan oleh al-Qur’an? 2) bagaimana al-Qur’an mengatakan hal tersebut? 3) apa yang dikatakan tentang al-Qur’an? 4) siapa yang mengatakannya? 5) apa yang belum dikatakan oleh al-Qur’an?20 Pertanyaan-pertanyaan kritis seperti ini akan mampu meletakkan pembacaan al-Qur’an secara lebih seimbang. Selanjutnya, Wadud secara jelas menyebut cara bacanya ini dengan istilah hermeneutika Tauhid. 21 Hermeneutika ini adalah cara baca yang berupaya menunjukkan dinamika partikularitas dan universalitas dalam al-Qur’an, sekaligus memperlihatkan al-Qur’an sebagai sebuah kesatuan, bukan sebuah pesan yang dibaca secara terpisah-pisah. 22 Agar al-Qur’an dapat dibaca secara holistik, ia mengharuskan pembacaan al-Qur’an dengan memperhatikan tiga aspek berikut; 1) konteks saat teks diturunkan atau kondisi awal teks, 2) komposisi dan stuktur gramatika teks, dan 3) pandangan dunia yang dimiliki oleh teks tersebut, weltanschauung, atau teks sebagai keseluruhan.23 Secara perinci aktivitas di atas diuraikan sebagai berikut; 1) ayat yang hendak diinterpretasi harus dicarikan konteks-konteks yang meliputinya baik bersifat mikro maupun makro, 2) selanjutnya, ayat tersebut harus diletakkan dalam tema-tema yang sama yang ada di dalam al-Qur’an untuk dikomparasi dan dianalisis, 3) kemudian, bahasa dan struktur sintaksis yang sama yang ada di dalam al-Qur’an harus juga dianalisa, 4) selanjutnya, perlu juga menganalisa ayat tersebut dengan prinsip-prinsil al-Qur’an yang menolaknya Wadud, Inside The Gender Jihad, h. 22. Tafsir atomistik adalah suatu bentuk penafsiran yang dilakukan dengan mengupas ayat per ayat secara berurutan dan tidak ada upaya untuk menempatkan dan mengelompokkan ayat-ayat sejenis ke dalam pokok-pokok bahasan (tematik). 19 Wadud, Qur’an and Woman, h. 2. 20 Ibid., h. xiii. 21 Ibid., h. xii. 22 Ibid. 23 Ibid., h. 3. 17 18

282


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

atau kontradiktif, 5) terakhir, melakukan analisis pandangan dunia yang diinginkan oleh ayat tersebut.24 Menemukan prinsip, ideal moral, atau pandangan dunia al-Qur’an ini sangat penting, sebab setiap pembacaan tentunya memiliki prior text, dan prior text bisa mengakibatkan relativitas. Relativitas bisa mengakibatkan kerapuhan keyakinan. Namun, hal ini bisa dihindarkan dengan adanya prinsip-prinsip dasar al-Qur’an tersebut yang menjiwai setiap perbedaan. Jadi, kalau pun ada perbedaan pemahaman, maka itu adalah perbedaan partikularitas bukan perubahan pada teks atau prinsip al-Qur’an.25 Demikianlah konstruksi metodologis penafsiran yang ditawarkan oleh Wadud.

Beberapa Konsep Teologi Gender Amina Wadud: Aplikasi Metodologis Asal Usul Kejadian Manusia Di antara ayat yang berbicara tentang asal-usul kejadian manusia adalah surah al-Nisâ’/04: 01, sebagaimana berikut;

                ...  

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak…26

Dari ayat tersebut, menurut Wadud, ada beberapa kata kunci yang harus diperhatikan yakni min, nafs, zawj.27 Di sinilah akan dilakukan analisis bahasa dan tema-tema yang serupa. Menurut Wadud, min dalam bahasa Arab memiliki dua fungsi dasar yakni bisa digunakan sebagai kata depan (berarti “dari”), yang menunjukkan penarikan suatu hal Ibid., h. xii – xiii & 5. Ibid., h. 5. 26 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (t.t.p. : PT. Syaamil Cipta Media, t.t.), 24 25

h. 77.

Sebenarnya Wadud menyatakan ada empat kata kunci yang perlu diperhatikan dari ayat di atas, yakni min, nafs, zawj dan âyât. Sayang sekali, Amina Wadud sepertinya tidak berhati-hati dalam mengutip ayat al-Qur’an, sebab dalam surah al-Nisâ’ ayat 1 tidak ada kata-kata “âyât”. Seharusnya surah al-Nisâ’ ayat 1 adalah sebagaimana yang penulis cantumkan di atas namun Amina Wadud malah menuliskan sebagai berikut; Wa min ayatihi an khalaqa-kum min nafsin wahidatin wa khalaqa min-ha zawjaha wa baththa minhuma rijalan kathiran wa nisa’an (4:1). And min His ayat (is this:) that He created You (humankind) min a single nafs, and created min (that nafs) its zawj, and from these two He spread (through the earth) countless men and women. (4:1). Bandingkan, Wadud, Qur’an and Woman, h. 17. Kesalahan seperti ini memang terlihat sepele, namun untuk seorang Amina Wadud yang sedang berupaya memberikan makna baru terhadap al-Qur’an bisa mengurangi nilai kredibilitas terhadap dirinya. 27

283


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 dari hal lain; selain itu min juga bisa menunjukkan “kesamaan sifat/kualitas”. Pengunaan min dalam arti “kesamaan sifat/kualitas”, dicontohkan oleh tafsir al-Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat di atas. Adapun min dalam arti “dari”, yang berkaitan dengan penciptaan manusia ini, misalnya adalah al-Qur’an surah al-A’râf ayat 7 dan al-Zumar ayat 6; yang menyatakan bahwa Allah ja’ala dari nafs itu zawj-nya. Kata ja’ala ini berarti “menciptakan sesuatu dari sesuatu yang lain”, sehingga implikasinya min berarti “dari”, penarikan dari sesuatu. Hasilnya, pemahaman terhadap ayat ini berarti bahwa manusia pertama yang diciptakan (seorang laki-laki) adalah lengkap, sempurna dan mulia. Sedangkan manusia kedua yang diciptakan (seorang perempuan) tidaklah sama dengan yang pertama, sebab dia diambil dari yang sempurna sehingga merupakan derivasi saja dan ia tentunya tidak sesempurna yang pertama.28 Kata yang kedua, nafs. Kata ini, menurut Wadud, tidak digunakan kepada selain manusia. Kata ini merupakan asal semua manusia secara umum. Kemudian, secara gramatikal, kata ini adalah feminim dan merupakan anteseden dari kata sifat atau kata kerja feminim, namun, secara konseptual, kata ini tidaklah maskulin maupun feminim, bahkan kata ini merupakan bagian essensial bagi setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, kata ini dapat mempunyai anteseden maskulin.29 Jadi kata nafs dalam alQur’an tidak bisa diartikan sebagai laki-laki yakni Nabi Adam, sebagaimana penafsiran yang selama ini berlaku, namun harus diartikan sebagai sumber kejadian itu sendiri, baik laki-laki maupun perempuan. Selanjutnya, kata zawj. Kata ini bisa diartikan “teman”, “pasangan”, dan “kelompok”. Bentuk plural dari kata ini adalah azwâj dalam arti “pasangan”. Kata ini, dalam konteks penciptaan manusia pertama, sering dirujuk kepada ibu pertama manusia, Hawa. Padahal secara gramatikal, kata ini adalah maskulin dan merupakan anteseden dari kata sifat dan kata kerja maskulin. Secara konseptual, kata ini tidak maskulin dan tidak pula feminim, bahkan al-Qur’an pun juga menggunakan kata ini untuk merujuk pada tumbuh-tumbuhan (Q.S. 55:52) dan binatang (Q.S. 11:40). Sayangnya, menurut Wadud, penjelasan tentang kata ini dalam konteks penciptaan di atas tidak terlalu banyak, selain penjelasan bahwa zawj berasal dari nafs, dan zawj berkaitan erat dengan nafs. Ketiadaan penjelasaan ini, menurut Wadud, kemungkinan karena tiga hal; 1) pembaca sudah memiliki rincian penjelasan untuk memahami sebuah kisah sehingga rincian penjelasan lainnya tidak diperlukan, 2) rincian penjelasan ini tidak penting bagi poin yang sedang disebutkan al-Qur’an pada waktu tertentu, 3) al-Qur’an menunjuk pada sesuatu yang gaib, yang tidak terjangkau oleh bahasa manusia.30 Meskipun demikian, menurut Wadud, di dalam al-Qur’an ada penggunaan kata zawj dalam arti berpasangan seperti Q.S. al-Dzâriyât/51: 49 berikut: Ibid., h. 18-19. Ibid., h. 19-20. 30 Ibid., h. 20. 28 29

284


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

        Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.31 Pemaknaan dalam arti “berpasangan” ini dalam setiap penciptaan sangat penting diperhatikan sebab ini menunjukkan adanya dualisme dalam penciptaan. Dengan kata lain, laki-laki memerlukan perempuan, begitu juga sebaliknya. Dan ini menunjukkan kesetaraan dalam penciptaan tersebut.32 Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya untuk dianalisa dalam konteks penciptaan manusia pertama ini adalah peristiwa turunnya Nabi Adam dan Hawa dari surga, yang sering dipahami bahwa perempuan-lah yang menyebabkan laki-laki terjerumus dalam kesalahan. Menurut Wadud, dalam cerita godaan setan terhadap Nabi Adam dan Hawa di dalam surga itu, al-Qur’an selalu menggunakan bentuk ganda kata Arab, dan tidak menunjukkan pada salah satunya saja (Nabi Adam atau Hawa). Ini mengindikasikan kesalahan dilakukan oleh keduanya, dan ini juga mematahkan berbagai implikasi negatif dari mitologi YunaniRomawi dan Kristen-Yahudi yang beranggapan bahwa perempuan adalah sumber kejahatan dan bencana.33 Akhirnya, bisa disimpulkan bahwa setiap manusia berasal dari satu nafs. Tidak ada yang lebih antara satu dengan yang lain. Selain itu, meskipun laki-laki dan perempuan adalah dua tokoh dalam penciptaan namun tidak ada peran atau fungsi kultural spesifik yang ditetapkan pada saat keduanya diciptakan. Yang tidak kalah pentingnya juga, adalah kata nafs dalam penciptaan di atas menunjukkan individualitas.34 Jadi, amal apapun yang dikerjakan akan dikembalikan secara individual juga. Dengan kata lain, amal perbuatan perempuan (istri, misalnya) tidak tergantung pada laki-laki (suami), atau sebaliknya.

Konsep Nusyûz Konsep nusyûz biasanya dikaitkan dengan Q.S. 4:34. Berdasarkan ayat ini, seorang perempuan seakan-akan harus mematuhi suaminya, jika tidak, maka suami sepertinya dibolehkan untuk memukulnya. Menurut Wadud, sebenarnya bagian ini dimaksudkan untuk memberi jalan keluar bagi ketidakharmonisan antara suami dan istri. Untuk menganalisis ayat ini, Wadud, pertama-tama menganalisa kata qânitât yang ada di ayat ini. Menurutnya, kata ini digunakan untuk menggambarkan para perempuan yang baik karena keimanan kepada Allah. Namun tak jarang kata ini dipahami sebagai ‘taat’, sehingga Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 522. Wadud, Qur’an and Woman, h. 20-23. 33 Ibid., h. 25. 34 Ibid., h. 25-27. 31 32

285


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 sering diasumsikan bermakna “taat kepada suami”. Padahal, menurut Wadud, dalam alQur’an, kata ini digunakan untuk laki-laki (Q.S. 2:238, 3:17, 33:35) dan juga untuk perempuan (Q.S. 4:34, 33:35, 66:5, 12). Sekali lagi, kata ini cenderung menggambarkan karakteristik kepribadian orang-orang yang beriman kepada Allah. Mereka cenderung bersikap kooperatif satu sama lain dan tunduk di hadapan Allah. Ini jelas berbeda dengan ketaatan di antara makhluk ciptaan yang ditunjukkan oleh kata taat (thâ’ah). Menurut Wadud, pilihan kata ini menunjukkan bahwa yang dimaksud al-Qur’an adalah respons emosional pribadi, bukan mengikuti perintah eksternal sebagaimana yang ditunjukkan oleh kata thâ’ah (taat). Dan taat kepada suami adalah bentuk ketaatan dikarenakan adanya perintah eksternal. Selanjutnya, menurut Wadud, kata nusyûz juga digunakan baik untuk laki-laki (Q.S. 4:128) maupun perempuan (Q.S. 4:34). Oleh karena itu, kata ini tidak bisa diartikan “ketidakpatuhan kepada suami”. Berdasarkan pendapat Sayid Qutb, Wadud mengartikannya sebagai keadaan disharmonis di antara pasangan perkawinan. Disharmonis ini bisa disebabkan oleh suami atau istri. Bila kondisi ini terjadi, maka al-Qur’an menyarankan beberapa solusi, namun harus diingat bahwa al-Qur’an lebih mengutamakan kondisi harmonisasi dan menegaskan pentingnya memulihkannya. Dengan kata lain, kalau nanti setelah mengikuti langkah-langkah solutif yang diberikan oleh al-Qur’an tidak berhasil dilakukan maka tidak boleh melakukan tindakan yang mengarah kepada kekerasan, sebab hal ini tidak sesuai dengan semangat dasar Islam itu sendiri yakni upaya mengembalikan keharmonisan. Adapun solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an adalah (1) Solusi verbal baik antara suami dan istri (seperti pada Q.S. 4:34) maupun antara suami dan istri dengan bantuan penengah (seperti pada 4:35, 128). Menurut Wadud, inilah solusi yang paling sesuai dan diutamakan oleh al-Qur’an sebab solusi ini menurutnya dibicarakan dalam kedua contoh di atas, selain itu solusi ini juga sesuai dengan prinsip umum al-Qur’an, yakni musyawarah atau syûra, sebagai metode terbaik untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, menurut Wadud, al-Qur’an sangat menekankan kata al-shulhu, damai, sebagaimana yang terekam dalam Q.S. 4:128. Jika ini masih gagal juga, maka solusi yang lebih tegas yaitu pemisahan. Namun pemisahan ini harus dipahami sebagai berikut; pemisahan tidur hanya efektif terhadap pasangan suami-istri yang secara terus-menerus tidur bersama, dan tidak efektif bagi mereka yang tidak seperti ini, misalnya bagi mereka yang melakukan poligami di mana suami tidak selalu tidur bersama dengan satu istri. Jika demikian, maka langkah ini akan sia-sia. Jadi, kondisi kedua ini, harus dipahami sebagai masa tenang antara suamiistri untuk sama-sama saling merenungkan masalahnya, minimal selama satu malam. Namun jika permasalahan belum juga selesai maka masa tenang ini bisa berlangsung lebih lama tanpa batas waktu. Jadi, setelah sekian lama masa tenang belum berhasil bukan berarti laki-laki harus mulai melakukan kekerasan fisik kepada istrinya. Justru, pelanjutan ini memungkinkan dicapainya solusi bersama secara damai, atau perpisahan selama286


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

lamanya yakni cerai. Perceraian juga sebenarnya membutuhkan masa tunggu, dan pemisahan tempat tidur itulah ciri dari masa tunggu itu. Jika sudah tidak bisa lagi diselesaikan maka dibolehkan melakukan tindakan ketiga yakni “wadhribûhunna”(Q.S. 4:34). Namun ini pun tidak boleh sampai menjurus kepada kekerasan.

Pendamping di Surga Salah satu kenikmatan surga yang dijanjikan Allah adalah pendamping di surga. Pendamping di surga ini biasanya diartikan sebagai bidadari, ilustrasi tentang wanita yang sangat cantik. Jika laki-laki mendapatkan yang demikian itu, lalu bagaimana dengan perempuan? Inilah yang ingin dijawab oleh Wadud. Menurut Wadud, untuk memahami ayat tentang pendamping di surga ini, harus dipahami dulu konteks-konteks kronologis ayat serta bahasa-bahasa yang digunakan untuk menguraikannya. Menurutnya, ada tiga bahasa dan tiga tingkatan yang diungkapkan oleh al-Qur’an tentang teman di surga ini yakni hûr ‘ayn, zawj, dan ‘inda Allâh. Hûr ‘ayn adalah kata yang digunakan al-Qur’an untuk memikat masyarakat Arab Mekah yang merupakan masyarakat pertama menerima al-Qur’an agar mereka yakin akan adanya akhirat dan agar mereka berusaha keras untuk mencapainya dengan janji wanita perempuan yang masih muda berkulit putih dan bermata hitam (hûr ‘ayn). Mekanisme komunikasi seperti ini sengaja dibuat oleh al-Qur’an karena al-Qur’an mengerti kondisikondisi yang menjadi impian dan hasrat masyarakat saat itu. Ini adalah teman di surga dalam pengertian yang masih rendah. Adapun tingkat kedua dan perkembangan selanjutnya tentang teman di surga ini adalah dalam istilah zawj. Kata ini digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan pembatasan terhadap gambaran yang pertama, ketika komunitas orang beriman kian bertambah jumlahnya dan menetap di Madinah. Menurut Wadud, sesudah periode Makkah, al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah hûr al-‘ayn lagi untuk menggambarkan pendamping di surga. Setelah di Madinah, al-Qur’an menggambarkan pendamping di surga dengan istilah umum yakni zawj (Q.S. 3: 15). Dalam konteks ini, kata ini tentu saja berarti “pasangan”, yang diperuntukkan bagi orang-orang beriman baik laki-laki maupun perempuan, sebab kata (zawj, plural azwâj) digunakan dalam al-Qur’an untuk laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, penekanan pada kata ini adalah kemitraan, persahabatan, kesenangan, dan harmoni dalam surga, sebagai kebalikan dari pengasingan, kesendirian, dan keputusasaan dalam neraka. Di surga, kita mungkin saja dipersatukan kembali dengan pasangan kita di dunia, asalkan kita memiliki keimanan dan amal saleh yang sama. Akhirnya, teman di surga yang paling tinggi adalah ‘inda Allah. Dalam perspektif ini yang paling penting dari surga adalah tercapainya kedamaian, terpenuhinya semua kebutuhan, terlampauinya semua batasan duniawi, dan, akhirnya, menjadi “sahabat” Allah. Kesenangan tertinggi ini dipersembahkan secara sama untuk para penghuni surga, baik perempuan maupun 287


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 laki-laki. Inilah gambaran al-Qur’an tentang teman di surga yang didasarkan pada sistem keadilannya yang menyeluruh dan tujuannya sebagai petunjuk universal.

Istilah Darajah dan Fadhdhala dalam al-Qur’an Untuk membahas masalah Darajah (tingkatan) antara laki-laki dan perempuan, Wadud mengutip Q.S. al-Baqarah/2: 228 berikut:

                 

                 

         

Wanita-wanita yang dicerai handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurû’. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (damai). Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’rûf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkat kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.35 Bagi Wadud, darajah yang dimaksud dalam ayat ini adalah hak suami menyatakan cerai kepada istri tanpa campur tangan pihak berwenang tertentu seperti hakim. Sebenarnya wanita bisa saja minta cerai, tetapi hal ini dikabulkan setelah adanya campur tangan pihak yang berwenang yakni hakim. Inilah perbedaannya antara laki-laki dan perempuan. Menurut Wadud, makna darajah dalam ayat ini bisa dipahami bias menjadi kebolehan laki-laki bertindak sewenang-wenang terhadap wanita, dan ini tentu akan bertentangan dengan nilai kesamaan (keadilan) yang diusung oleh al-Qur’an bahwa setiap individu akan memperoleh ganjaran sesuai dengan apa yang dia upayakan. 36 Oleh karena itulah, untuk mencegah hal tersebut, sebelum muncul kata darajah, kata ma’rûf diletakkan mendahuluinya untuk menunjukkan bahwa darajah dapat didapatkan asalkan tindakan ma’rûf dilakukan terlebih dahulu. Sementara kata ma’rûf, menurut Wadud, harus dipahami sebagai kata yang mengandung makna perlakuan yang adil, santun dan bermanfaat. Berdasarkan hal ini, maka bisa dipahami bahwa sebenarnya hak dan tanggung jawab wanita dan pria adalah sama. 37 Selanjutnya, Wadud juga memperhatikan penafsiran kata qawwâm dan fadhdhala yang terdapat dalam Q.S. al-Nisâ’/04:34, sebagaimana berikut: Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 36. Wadud, Qur’an and Woman, h. 68. 37 Ibid., h. 69. 35 36

288


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

...           Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)…38 Menurut Wadud, kata qawwâm tersebut erat kaitannya dengan kata penghubung bi. Kata penghubung (bi) ini menentukan makna kata sebelumnya dengan mempertimbangkan kata-kata sesudahnya. Dengan demikian, menurut Wadud, kata qawwâm dalam Q.S. al-Nisâ’/04:34 hanya akan berfungsi jika memenuhi dua hal berikut; pertama, jika mampu membuktikan kelebihan dengan memberikan preferensi yang diinginkan perempuan. Kedua, jika mampu memenuhi semua keperluan perempuan. Jadi, jika kedua kondisi ini tidak dipenuhi, maka laki-laki tidak pantas untuk menyandang istilah qawwâm atas perempuan.39 Berdasarkan uraian di atas, Wadud juga menjelaskan tentang kata fadhdhala (dilebihkan). Menurutnya, Allah tidaklah melebihkan laki-laki atas perempuan tanpa alasan. Kelebihan yang diberikan ini sebenarnya diimbangi dengan kewajiban laki-laki untuk memberikan kesejahteraan dan kecukupan bagi perempuan, sebagaimana pada kata qawwâm di atas. Dengan demikian, ada keseimbangan antara hak dan kewajiban laki-laki. 40 Oleh karena itu pula dalam pembagian warisan, laki-laki mendapat dua bagian dibandingkan dengan perempuan. Meskipun demikian, warisan dua banding satu ini adalah titik maksimal yang tidak boleh dilampui oleh laki-laki, dengan syarat ia bisa memenuhi kewajiban untuk menjaga kesejahteraan perempuan. Dengan kata lain, jika ia tidak bisa memenuhi syarat tersebut, itu berarti pembagian warisannya mungkin saja untuk diperhitungkan kembali.41 Dengan demikian, al-Qur’an sebenarnya sangat mengedepankan nilai-nilai keadilan bagi laki-laki dan perempuan.

Persaksian Bagi Perempuan Dalam konteks persaksian perempuan ini al-Qur’an menyinggungnya dalam Q.S. al-Baqarah/2: 282, sebagai berikut:

   ...           

              

...    

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 84. Wadud, Qur’an and Woman, h. 70. 40 Ibid. 41 Ibid. 38 39

289


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu ber-mu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya…42 Menurut Wadud, ayat ini mesti dipahami dalam konteks apa ia turun dan bagaimana situasi sosio-historis yang melingkupinya. Para ulama klasik umumnya cenderung memahami secara tekstual, dan kurang berani menafsirkan secara lebih kontekstual. Berdasarkan pendapat Fazlur Rahman, Wadud berupaya memberikan penafsiran yang berbeda dari ulama klasik. Menurutnya, pemahaman terhadap ayat di atas hendaknya dilihat secara sosiologis, karena pada waktu ayat itu turun, kondisi perempuan mudah dipaksa dan dikendalikan. Jadi, jika saksi perempuan saat itu, yang dihadirkan hanya satu orang, maka ia akan mudah dipaksa agar memberi kesaksian palsu. Berbeda jika ada dua perempuan, maka mereka bisa saling mendukung, saling mengingatkan satu sama lain. Meskipun demikian, Wadud mengingatkan bahwa meskipun ada dua perempuan dalam saksi tersebut namun sebenarnya fungsinya keduanya berbeda yakni satu perempuan memang sebagai saksi, sementara satu lainnya menjadi corraborator, pengingat bagi yang lain kalau-kalau “disesatkan” untuk memberikan kesaksian palsu. 43 Jadi, persaksian dua perempuan yang disebutkan oleh ayat di atas dan seakan disetarakan dengan satu laki-laki sebenarnya lebih disebabkan oleh kondisi sosial pada waktu turunnya ayat, yaitu tidak adanya pengalaman bagi perempuan dalam masalah transaksi pada mu’amalah, sering terjadinya pemaksaan terhadap perempuan, dan pada saat yang bersamaan alQuran tetap memandang perempuan sebagai saksi yang potensial.44 Oleh karena itu, ketika kondisi zaman berubah, perempuan telah mendapatkan kesempatan pengalaman yang cukup dalam persoalan transaksi atau mu’amalah, apalagi jika itu telah menjadi profesinya, maka perempuan dapat menjadi saksi sejajar dengan laki-laki. Dengan demikian, nilai keseteraan yang diajarkan al-Qur’an tetap terpelihara.

Kontribusi Amina Wadud Di antara kontribusi Wadud yang paling penting adalah ketika banyak dari kaum laki-laki dan perempuan gagal menyadari sisi negatif dari sebuah sistem patriarkhi yang jelas-jelas berlawanan dengan nilai moral dan agama maka Wadud dengan segala kemampuannya berupaya untuk menghapus sistem patriarkhi tersebut. Menurutnya, umat Islam kurang peka dengan kenyataan bahwa patriarkhi adalah sistem yang despotik Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 48. Wadud, Qur’an and Woman, h. 85. 44 Ibid., h. 86. 42 43

290


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

dan menghapuskan peran perempuan sebagai agen Tuhan (khalifah); ia memarjinalkan perempuan, dan secara signifikan ia menghilangkan potensi wanita sebagai makhluk yang benar-benar tunduk kepada Tuhan. 45 Dengan menawarkan cara baca al-Qur’an yang baru, Wadud tidak hanya menunjukkan tetapi juga membimbing untuk memunculkan kesadaran terhadap peradaban yang lebih manusiawi, terutama perlakuan terhadap perempuan. Ini tentu tidak mudah, sebab selain mayoritas kesadaran telah terbius dalam sistem patriarkhi juga tak jarang yang menentangnya adalah kaum perempuan itu sendiri. Memang demi menggugah dan “menyegerakan” munculnya kesadaran tersebut, Wadud dan pengikutnya yang tergabung dalam Sisters in Islam (SIS) tak jarang melakukan hal-hal yang mengejutkan umat Islam. Pada tahun 2005, Wadud melakukan tindakan kontoversial dengan menjadi imam dan khatib shalat jum‘at di gereja Anglikan St. John The Divine di Manhattan, New York yang dihadiri 100 muslim laki-laki dan perempuan dari LSM Muslim WakeUp. 46 Kemudian, ketika muncul kasus Aisyah Abdul Rauf vs. Wan Mohd Yusof Wan Othman tahun 1990 tentang poligami di Malaysia, SIS (Sisters in Islam) dengan berdasarkan metodologi pembacaan al-Qur’an yang ditawarkan Wadud turut berperan aktif mempengaruhi publik. Mereka mengirimkan tulisan tentang konstruksi sosio-historis poligami yang diajarkan al-Qur’an dan penolakkan terhadap poligami tersebut ke berbagai media. Tawaran dan cara baca SIS yang unik tentu saja mengundang keingintahuan dan mengejutkan publik. Namun SIS telah berperan mempengaruhi hasil keputusan Mahkamah Syari‘ah Selangor (the Selangor Shariah Appeals Court) yang menyatakan bahwa seorang suami tidak boleh mengambil istri yang kedua jika belum memenuhi empat syarat yang ada pada Hukum Keluarga Islam yang bisa memastikan bahwa keadilan rumah tangga akan dapat dilaksanakan.47 Selanjutnya, mereka menerbitkan booklet kedua yang berjudul Are Muslim Men Allowed to Beat Their Wives?. Penerbitan ini bertujuan untuk menyangkal keyakinan yang muncul pada masyarakat Malaysia bahwa laki-laki punya hak untuk memukul perempuan, dan ini dianggap sebagai bagian dari ajaran agama. Jadi menafikan hak ini, dianggap melawan Tuhan.48 Bahkan saat ini, SIS tidak saja eksis di Malaysia tetapi telah mendunia untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan dalam Islam. 49 Akhirnya mereka pun menyatakan tentang peran Wadud bahwa “Amina may not realise the full extent of her contribution to SIS but we know that she gave us the means to fight for a just Islam. And that has made all the difference”.50 Wadud, Inside The Gender Jihad, h. xii. Riem Spielhau, Gender Justice As A Common Value? Configurations of Islam In Germany”, dalam Kecia Ali, et al. (ed.), A Jihad for Justice (t.t.p.: t.p., 2012), h. 95. 47 Zainah Anwar and Rose Ismail,”Amina Wadud And Sisters In Islam A Journey Towards Empowerment”, dalam Kecia Ali, et al. (ed.), A Jihad for Justice (t.t.p.: t.p., 2012), h. 70. 48 Ibid., h. 69. 49 Ibid., h. 71. 50 Ibid., h. 72. (Amina mungkin tidak menyadari seberapa besar kontribusinya kepada SIS 45 46

291


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Dalam beberapa hal, metode baca al-Qur’an Wadud juga bisa membantu memperkuat tradisi lokal yang cenderung memihak kepada keadilan namun mulai tergerus oleh dinamika zaman. Dalam hukum waris pada masyarakat Banjar misalnya, Muhammad Arsyad alBanjari telah mengajarkan tentang harta perpantangan (bahasa Banjar: bapantangan, berarti timbangan perbandingan yang sama bobotnya dalam pembagian harta suamiisteri) yaitu harta terlebih dahulu dibagi dua antara suami dan isteri, setelah itu hasil parohan dibagikan kepada ahli waris. Jadi, jika suatu saat terjadi perceraian atau salah seorang meninggal dunia, maka harta kekayaan selama perkawinan (tidak termasuk harta sebelum kawin) pertama-tama dibagi rata antara suami dan isteri dalam kasus perceraian. Kemudian dalam kasus kematian, setelah harta hasil usaha bersama dibagi rata, maka pihak yang ditinggal mati mendapat lagi bagian dari yang meninggal dunia (harta hasil pembagian dan harta sebelum kawin) berdasarkan hukum fiqih faraid. 51 Namun cara pembagian waris lokal ini mulai tergerus oleh zaman karena mudahnya akses informasi-teknologi, sehingga pembagian waris yang secara dominan ditafsirkan dua banding satu (dua untuk laki-laki dan satu untuk perempuan) lebih menguat di masyarakat Banjar. Oleh karena itu, pendekatan Wadud dalam memahami al-Qur’an terutama tentang pembagian waris bisa memberikan landasan argumentasi ilmiah sekaligus memperkuat tradisi lokal Banjar yang cenderung lebih memihak kepada keadilan tersebut. Akhirnya kontribusi besar yang diberikan Wadud adalah upayanya untuk merubah cara memahami pesan-pesan al-Qur’an yang merupakan sumber utama umat Islam. Dengan pemahaman Wadud ini, tentunya pembacaan al-Qur’an akan menghasilkan pembacaan yang kritis dan produktif. Kekritisan ini bisa menghasilkan pemaknaan-pemaknaan yang mungkin saja mengejutkan bagi nalar yang kaku dan ideologis. Namun kritik-kritik ini, terutama dalam hal relasi laki-laki dan perempuan, adalah kritik yang emansipatoris (membebaskan). Pembacaan kritis ini memunculkan kesadaran kita bahwa untuk mengangkat derajat laki-laki hendaklah juga mengangkat derajat perempuan. Abu Zaid misalnya menyatakan bahwa jika kita merendahkan perempuan dan tidak peduli terhadap kondisi keterbelakangan mereka, maka ini menjadi bagian dari perendahan atas diri kita sendiri dan penerimaan kita atas kondisi dekaden dan miskin, yang kita juga akan menjumpai diri kita berada di dalamnya. Akan tetapi, pada sisi lain, jika kita mencintai dan menghormati perempuan serta berusaha menyempurnakan jati diri mereka, ini akan menjadi refleksi dari kecintaan dan penghormatan kita kepada diri kita sendiri serta usaha kita untuk menyempurnakan jati diri kita sendiri. Tidaklah masuk akal jika perempuan jatuh sedangkan laki-laki naik. Ini merupakan fakta yang jelas bahwa akal kita selama ini tidak bisa memahami.52 namun kami tahu bahwa dia telah memberikan kami alat untuk berjuang bagi keadilan Islam. Dan itu telah membuat semuanya berbeda). 51 Lihat dalam Zafri Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Sebagai Ulama Juru Dakwah (Banjarmasin: Karya, 1979), h. 10. Juga dalam Muhammad Arsyad al-Banjari, Sabîl al-Muhtadîn II (Mesir: Mustafa al-Baby al-Halabi, 1345 H.), h. 75. 52 Abû Zayd, Dawâ’ir al-Khauf, h. 72.

292


M. Rusydi: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Al-Qur’an

Penutup Pusat-pusat kajian feminisme di Barat menitikberatkan faktor biologis sebagai sumber penindasan terhadap kaum hawa, dan solusi yang mereka tawarkan adalah dengan kekuatan ekonomi. Sementara Wadud dalam kajian gender-nya berangkat dari paradigma tauhid dimana laki-laki dan perempuan adalah setara di hadapan Allah. Dengan pandangan ini, Wadud memahami keadilan gender sebagai refleksi dari keadilan Tuhan bagi semesta alam. Kesetaraan gender baginya juga mencakup kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dan memperoleh kualitas hidup yang lebih baik bagi kaum perempuan. Inilah tujuan utama dari hak asasi perempuan dan cita-cita umum wanita seluruh dunia. Kesimpulan yang bisa disarikan dari penelitian Wadud dalam gender ini adalah bahwa praktik bias gender yang terjadi dalam masyarakat muslim tidak ada kaitannya dengan teks al-Qur’an, namun pengaruh dari sistem patriarki yang merupakan produk budaya serta hasil interpretasi para mufassir yang tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh patriarki tersebut. Oleh karena itu, memahami ayat al-Qur’an tidak cukup dengan mengupas sisi leksikal dan gramatikal saja tetapi harus pula dielaborasi dengan pemahaman mengenai konteks waktu ayat diturunkan dan konteks kekinian. Selain itu, setiap penafsir harus menghindari subyektifitas yang berlebihan ketika menafsirkan al-Qur’an karena setiap mufassir pasti memiliki prinsip, prejudice dan prakonsep yang berbeda-beda. Untuk sampai kepada obyektivitas yang diharapkan maka mufassir harus melakukan kreasi penafsiran yang sesuai antara nilai dasar al-Qur’an, tuntutan dan fenomena sosial yang ada. Dengan demikian, al-Qur’an bisa menjadi rahmat bagi seluruh umat, masa dan tempat.

Pustaka Acuan Anwar and Rose Ismail, Zainah. ”Amina Wadud And Sisters In Islam A Journey Towards Empowerment”, dalam Kecia Ali, et al. (ed.), A Jihad for Justice. t.t.p.: t.p., 2012. Arsyad al-Banjari, Muhammad. Sabîl al-Muhtadîn II. Mesir: Mustafa al-Baby al-Halabi, 1345 H. Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. t.t.p.: PT. Syaamil Cipta Media, t.t. Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method. New York: The Seabury Press, 1975. Hâmid Abû Zayd, Nashr. Dawâ’ir al-Khauf : Qirâ’ah fî Khithâb al-Mar’ah. Beirut: al-Markaz al-Tsaqâfî al-‘Arabî, 2000. Izutsu, Toshihiko. God and Man in the Qur’an, Semantics of the Qur’anic Weltanschauung. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2008. Kurdi, et al. Hermeneutika al-Qur ‘an dan Hadis. Yogyakarta: Etsaq Pres, 2010. Kurzman, Charles. Liberal Islam. New York: Oxford University Press, 1998. Legenhausen, Muhammad. “The Relationship between Philosophy And Theology in The 293


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Postmodern Age”, dalam Contemporary Topics of Islamic Thought. Teheran: Alhoda, 2000. Spielhau, Riem. “Gender Justice As A Common Value? Configurations of Islam In Germany”, dalam Kecia Ali, et al. (ed.), A Jihad for Justice. t.t.p.: t.p., 2012. Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading The Sacred Text From A Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press, 1999. Wadud, Amina. Inside The Gender Jihad. Oxford: Oneworld, 2006 Zamzam, Zafri. Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari Sebagai Ulama Juru Dakwah. Banjarmasin: Karya, 1979.

294


REINTERPRETASI DAN SINERGITAS TEORI PENCIPTAAN ALAM Ilhamuddin Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan 20371 e-mail: ilhamnasution71@yahoo.com

Abstrak: Ilmuwan-ilmuwan modern telah berusaha mengkaji hakikat alam dengan beragam pendekatan. Teori-teori mereka tentang penciptaan alam didasari dan dipengaruhi oleh paradigma keilmuan masing-masing, dan terkadang perbedaan pendekatan telah memunculkan beragam penafsiran tentang eksistensi. Sebagian ahli memiliki kecenderungan membenturkan beraneka teori tentang penciptaan alam, dan menilai bahwa semua teori tersebut memiliki beragam kontradiksi. Lewat artikel ini, penulis melakukan reinterpretasi terhadap hakikat teori para ahli tentang penciptaan alam dan menemukan sinergitas antara teori-teori mereka. Penulis menegaskan bahwa tidak ada kontradiksi antara teori saintis, teolog, filsuf dan mufasir tentang penciptaan alam. Dengan demikian, teori teologi, filsafat dan sains dapat mengokohkan doktrin agama tentang alam semesta. Lebih penting lagi, artikel ini mengokohkan pendapat bahwa tidak ada pertentangan antara temuan akal dan informasi wahyu. Abstract: Reinterpretation and Synergetic Theory of the Creation of the Universe. Modern scholars have made all due efforts to study the essence of the universe through a variety of approaches. Their theory on the creation of the universe is based on respective science paradigm, and at times different approach has led into distinct interpretation on the existence. Many an expert tents to conflict various theories of the creation of the universe, and conclude that those theories contradict one another. Through this article, the author reinterprets the focal point of such theories on the creation of the universe, and finds the synergy amongst those theories. In addition, he asserts that there is no contradiction between theories found within the boundaries of scientist, theologian, philosophers and the exegetes on the creation of the universe, and therefore, every single theory may support the truth of religious doctrine on the cosmos. What’s more, this article affirms the view that there is no contradiction between the findings of the intellect and the Divine information.

Kata Kunci: teori penciptaan alam, pemikiran Islam, teologi, filsafat, sains, tafsir 295


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pendahuluan Masalah penciptaan alam ternyata telah menarik perhatian banyak kalangan, mulai dari ilmuan, mutakallimin atau teolog sampai filosof.1 Agama juga mempunyai andil besar dalam memberikan informasi mengenai masalah ini. Sesuai bidang kajiannya, ilmuan merespon masalah ini dengan pendekatan fisika. Mutakallimin atau ahli kalam (teolog) merespon dengan pendekatan teologi dan filosof merespon dengan pendekatan filsafat. Sedangkan agama memberikan informasi melalui kitab suci, sebagaimana dilukiskan dalam bentuk kalimat yang bersifat imperatif (memerintahkan). Misalnya dalam al-Qur’an ditemukan ayat-ayat yang di dalamnya terdapat kata ‫( ﻛ ـ ــﻦ ﻓﻴﻜ ـ ــﻮن‬jadilah maka jadilah ia).2 Dalam Perjanjian Lama ditemukan perkataan: “Berfirmanlah Allah: Jadilah maka jadilah ia”.3 Kalimat ‫( ﻛ ـ ــﻦ ﻓﻴﻜ ـ ــﻮن‬jadilah maka jadilah ia) di samping dapat dipahami sebagai bagian dari rahasia Allah dalam hal penciptaan, adalah juga sekaligus merupakan ungkapan praktis yang dapat ditangkap nalar manusia untuk mendekati makna penciptaan dari tidak ada mnjadi ada. Rumusan dari masing-masing kalangan tersebut di atas melahirkan berbagai teori. Ilmuan melalui pendekatan sains melahirkan teori big bang dan expanding universe. Mutakallimin atau teolog melahirkan teori ‫( اﻟﻬﻴﻮﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬al-hayula) atau atomisme dan ‫( اﻟﻜﻤ ــﻮن‬al-kummun). Sedangkan filosof melahirkan teori ‫( اﻟﻔﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺾ‬emanasi). Agama menginformasikan doktrin ‫( ﻛـ ـ ــﻦ ﻓﻴﻜـ ـ ــﻮن‬kun fayakun). Tampaknya, sinergitas4 antara berbagai teori dan doktrin agama tersebut konstruktif bagi upaya peningkatan keimanan, terutama bagi kalangan intelektual, yang jika berpegang pada pendapat rasio dan bukti empiris semata rentan terjerumus pada paham ke-qadiman alam fisik dan pengingkaran alam metafisik sebagaimana pesan yang terkandung dalam hipotesa-Lavoisier yang berbunyi “Rien ne se cree, rien ne se perd”, artinya “tiada sesuatu dapat terjadi dari ketiadaan (kehampaan) dan tiada pula sesuatu yang melenyapkan dalam ketiadaan”.5 Berbagai teori penciptaan alam yang telah disebut di atas dapat dipahami sebagai saling melengkapi, atau paling tidak seperti disimpulkan oleh Maurice Bucaille tatkala Ilmuan atau saintis, teolog (Mutakallimin atau Ahl al-Kalâm) dan filosof adalah samasama kelompok pemikir. Namun, objek kajian masing-masing berbeda. Objek kajian ilmu adalah dunia fisik yang realistis, sedangkan objek kajian teologi dan filsafat adalah dunia metafisik yang spekulatif. Dalam pada itu, pemikiran spekulatif para Teolog berada di bawah ajaran agama samawi sedangkan pemikiran spekulatif filosof tidak dibatasi agama. Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs (London: The MacMillan Press LTD, London, 1974), h. 369-373. 2 Al-Qur’an, surat al-Anbiyâ‘/21: 30. 3 Kitab Kejadian, pasal 1, ayat 3-4. 4 Term “sinergitas” dapat diartikan sebagai gabungan. Lihat Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), h. 1070. 5 Malik bin Nabi, Fenomena al-Qur’an, terj. Saleh Mahfoed (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1983), h. 240. 1

296


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

ia meneliti relasi sains dan al-Qur’an, tidak kontradiktif atau sesuai dengan al-Qur’an. 6 Umpamanya, oleh karena berangkat dari pendekatan fisika, maka teori penciptaan alam di kalangan ilmuan hanya dapat dipahami sebagai sesuatu peristiwa yang dimulai dari aspek material saja sehingga dikatakan penciptaan alam berasal dari dentuman besar (big bang) dari gumpalan benda raksasa, yang sudah berupa materi, jisim atau benda. Teori ini menyisakan misteri tentang asal muassal gumpalan materi raksasa tersebut sampai dapat dikaitkan dengan Tuhan yang immaterial. Namun, misteri ini dapat ditemukan jawabannya pada teorinya para mutakallimin atau teolog, filosof dan doktrin agama. Kaum Asy’ariyah dengan teori atomnya menyebut adanya ‫( اﻟﻬﻴﻮﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬al-hayula), yaitu sesuatu yang niskala, berupa materi yang belum dapat diamati karena belum memiliki bentuk. Sementara itu, kaum Muktazilah mengetengahkan teori ‫( اﻟﻜﻤ ــﻮن‬al-kummun), yaitu sesuatu yang tersimpan atau tersembunyi. Dapat dipahami bahwa sesuatu yang belum berbentuk pastilah tersembunyi dari pengamatan. Teori ‫ اﻟﻬﻴﻮﻟ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬dan ‫ اﻟﻜﻤــﻮن‬pada dasarnya sudah memadai untuk menjelaskan hubungan Tuhan dengan alam. Dalam kedua teori ini, dipahami bahwa Allah sebagai sesuatu yang immaterial, di dalam menciptakan alam, tidak berhubungan langsung dengan alam semesta yang material tetapi dibatasi oleh sesuatu yang juga immaterial berupa perintah dalam bentuk ‫ ﻛﻦ‬yang ditujukan kepada sesuatu yang juga immaterial berupa potensi yang hanya ada dalam ilmu dan iradah Allah sehingga terciptalah ‫ اﻟﻬﻴﻮﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬yang juga masih bersifat immaterial. Dengan rumusan seperti ini, tampaknya mutakallimin memandang doktrin ‫( اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬keesaan Tuhan) dalam sudah tidak terganggu. Al-Qur’an-lah yang memberikan penjelasan mengenai masa penciptaan alam dan penomena terciptanya kehidupan di alam tersebut. Dalam ayatnya difirmankan Allah bahwa penciptaan Bumi adalah dua masa, sebagaimana disebutkan dalam surat Fushshilat (41) ayat 9. Selanjutnya diinformasikan bahwa jumlah masa penciptaan langit dan bumi adalah enam masa, sebagaimana disebutkan dalam surat al-A’raf (7) ayat 54; surat Yunus (10) ayat 3; surat Hud (11) ayat 7; surat al-Furqan (25) ayat 59; surat al-Sajadah (32) ayat 4; surat al-Hadid (57) ayat 4; dan surat Qaf (50) ayat 38. Sedangkan segala sesuatu yang hidup dikatakan dijadikan dari air, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Anbiya‘ (21) ayat 30. Demikianlah berbagai teori dan doktrin penciptaan dalam berbagai formulasinya, yang antara satu dan lainnya dapat dipandang sebagai saling melengkapi karena apapun yang ada maupun yang terjadi dalam kehidupan ini pada hakekatnya tidak ada yang kontradiktif meskipun sepintas lalu, tampak dipermukaan, menurut manusia dipahami ada pertentangan. Sesungguhnya tidak ada pertentangan dalam ciptaan Allah, yang ada adalah pasang-pasangan atau perimbangan-perimbangan dan perbandingan-perbandingan yang menunjukkan adanya keteraturan yang dapat diikuti atau penyimpangan yang berakibat rusaknya keteraturan itu sehingga harus dijauhi. Misalnya, iman dan kufur itu bukanlah pertentangan tetapi perbandingan antara aturan yang dapat diikuti dan larangan yang harus dijauhi. Maurice Bucaille, La Bible, le Coran et la Science (Sengers, Paris, 1976).

6

297


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Demikian pula halnya dalam dunia pemikiran. Perbedaan dalam pemikiran seyogianya tidak mesti selalu dimaknai sebagai pertentangan, meskipun boleh jadi di permukaan tampak sebagai pertentangan tetapi sering kemudian berakhir sebagai sesuatu yang saling melengkapi.Umpamanya, mengenai berapa kalikah Allah menciptakan alam semesta ini, yang dalam hal ini antara Asy’ariyah dan Muktazilah berbeda pendapat. Di satu pihak, Asy’ariyah mengatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini berkali-kali bahkan setiap saat tanpa henti. Sementara di pihak lain, Muktazilah mengatakan bahwa Allah menciptakan alam ini hanya sekali saja. Kedua pendapat tersebut tampak di permukaannya berbeda bahkan bertentangan ‫( ﻛﻦ‬kun)7 dan ‫ﻓﻴﻜـ ـ ـ ـ ـ ــﻮن‬ (fayakun), seperti terdapat pada ayat: ‫( اﻧﻤ ـ ــﺎ اﻣ ـ ــﺮﻩ اذا اراد ﺷ ـ ــﻴﺌﺎ ان ﻳﻘ ـ ــﻮل ﻟ ـ ــﻪ ﻛـ ـ ــﻦ ﻓﻴﻜـ ـ ــﻮن‬QS. Yasin, 36: 82). Kata ‫ ﻛﻦ‬seperti ini selain dijumpai pada surat Yasin ayat 82, juga dapat dijumpai dalam banyak ayat al-Qur’an dengan konteknya yang bervariasi. t

e

t

a

p

i

p

a

d

a

a

k

h

i

r

n

y

a

m

a

s

i

h

s

a

m

a

-

s

a

m

a

t

e

r

s

a

h

u

t

i

d

e

n

g

a

n

l

a

f

a

z

a

y

a

t

Dengan demikian pada dasarnya yang terjadi di antara Muktazilah dan Asy’ariyah dalam diskursus penciptaan alam adalah perbedaan jalan pikiran saja bukan pertentangan. Hasil pemikiran keduanya tetap sama-sama tersahuti oleh lafaz ‫ ﻛـ ـ ــﻦ ﻓﻴﻜـ ـ ــﻮن‬sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an. Untuk lebih jelasnya, uraian berikut ini mengetengahkan berbagai pendekatan teori penciptaan alam, mulai pendekatan sains, teologi, filsafat dan al-Qur’an.

Konsep Sains tentang Penciptaan Alam Pendakatan sains dalam masalah penciptaan alam bermula pada tahun 1929, Edwin Powell Hubble (1889-1953), astronom Amerika, mengemukakan teori expanding universe, yakni teori mengembang dengan kesimpulan bahwa galaxi-galaxi di sekitar Bimasakti menjauhi Bumi dengan kecepatan yang sebanding dengan jaraknya dari Bumi. Galaxi yang lebih jauh kecepatannya lebih besar.8 Berikutnya, seorang ahli fisika nuklir dan kosmologi kelahiran Rusia, yang separoh hidupnya berada di Amerika, bernama George Gamow (1904-1968) pada tahun 1952 berkesimpulan bahwa galaxi-galaxi di seluruh jagad raya berjumlah sekitar 100 milyar dan rata-rata masing-masing berisi pula 100 milyar bintang.9 Awalnya, galaxi-galaxi dan bintang-bintang tersebut berada di satu tempat bersamasama dengan bumi sekitar 15 milyar tahun silam. Materi sebanyak itu terkumpul sebagai Ketika memulai menciptakan alam semesta Allah mengatakan ‫( ﻛﻦ‬jadilah) dan ketika Allah akan menghancurkan alam Allah juga akan mengatakan ‫ ﻛﻦ‬maka berakhirlah alam semesta. Lihat Muhammad Mutawally Sya’rawi, Tafsir Sa’rawi, terj. Zainal Arifin, et al., Jilid. 4 (Medan: Duta Azhar), h. 330-331. 8 PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, Jilid II (Yogyakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 18. 9 Ibid. 7

298


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

suatu gumpalan neutron. Gumpalan neutron ini terbentuk dari elektron-elektron yang berasal dari masing-masing atom yang telah menyatu dengan protonnya sehingga tidak memiliki gaya tolak listrik antara masing-masing elektron dan masing-masing proton. Gumpalan ini berada dalam alam dan tanpa diketahui sebab musabbabnya meledak dengan sangat dahsyatnya sehingga terhamburlah seluruh materi itu ke seluruh ruang jagad sara. Peristiwa ini selanjutnya dikenal dengan sebutan teori big bang (dentuman besar).10 Gumpalan sebesar apa yang disebut di atas, sudah barang tentu tidak pernah bergelimangan di ruang kosmos sebab gaya gravitasi gumpalan itu akan begitu besar sehingga ia akan tergencet menjadi sangat kecil, lebih kecil daripada bintang pulsar yang jari-jarinya hanya sebesar dua sampai tiga kilometer dan massanya kira-kira dua atau tiga kali massa sang surya, bahkan lebih kecil dari black hole (ruang hitam) yang massanya jauh melebihi pulsar dan jari-jarinya menyusut mendekati ukuran titik. 11 Tidak bisa dibayangkan berapa besar kepadatan materi dalam titik yang volumenya nol itu jika seluruh massa 100 milyar x 100 milyar bintang sebesar matahari dipaksakan masuk di dalamnya. Inilah yang sering disebut dengan singularitas. Jadi, konsep dentuman besar terpaksa dikoreksi, yaitu bahwa bagaimana bisa keberadaan alam semesta ini diawali oleh ledakan mahadahsyat ketika tercipta ruang-waktu. Demikian pula bagaimana bisa ada energi dengan suhu yang tidak terkirakan tingginya keluar dari singularitas.12 Para ahli berpendapat bahwa alam semesta tercipta dari ketiadaan, sebagai goncangan vakum yang membuatnya mengandung energi yang sangat tinggi dalam singularitas yang tekanannya menjadi negatif. Vakum yang mempunyai kandungan energi yang luar biasa besarnya serta tekanan gravitasi yang negatif ini menimbulkan dorongan eksplosif keluar dari singularitas.13 Tatkala alam mendingin karena ekspansinya sehingga suhunya merendah melewati 1000 trilyun-trilyun derajat, pada umur 10-35 sekon, lalu terjadilah gejala “lewat dingin�. Pada saat pengembunan tersentak, keluarlah energi yang memanaskan kosmos kembali menjadi 1000 trilyun-trilyun derajat. Lalu seluruh kosmos terdorong membesar dengan kecepatan luar biasa selama waktu 10-35 sekon. Ekspansi luar biasa cepatnya ini menimbulkan kesan seakan-akan alam kita digelembungkan dengan tiupan dahsyat sehingga dikenal dengan gejala inflasi.14 Selama proses inflasi itu, kemungkinan tidak hanya satu alam saja yang muncul. Bisa beberapa alam dengan hukumnya sendiri-sendiri dan tidak harus sama antara satu dan lainnya. Oleh karena materialisasi dari energi yang tersedia, yang berakibat terhentinya

Ibid., h. 19. Ibid. 12 Ibid. 13 Ibid. 14 Ibid. 10 11

299


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 inflasi, tidak terjadi secara serentak, maka dilokasi-lokasi tertentu terdapat konsentrasi materi yang merupakan benih-benih galaxi yang tersebar di seluruh kosmos.15 Jalan pikiran sains tentang terciptanya alam ini dapat dilihat pada tabel berikut: Bola Raksasa Dentuman Besar (Big Bang) Mengembang (Expanding Universe)

Tabel di atas jelas menunjukkan keterbatasan sains di dalam memberikan penjelasan tentang sesuatu di luar fisika, atau apa yang ada atau yang terjadi sebelum terbetuknya materi bola raksasa, sehingga teori big bang maupun expanding universe bahkan sains yang umumnya berkembang di dunia Barat, tidak dapat memberi saluran pemikiran yang dapat mengantarkan pemikiran seseorang sampai ke Tuhan. Inilah agaknya yang mendasari kegelisahan ilmuan muslim seperti Syed Muhammad Naquib al-Attas sehingga berupaya memasukkan dimensi metafisis di dalam wacana sains Islam. 16 Metafisika Islam rumusan al-Attas dapat dipandang sebagai restatement dari rumusan pemikir muslim klasik, terutama di kalangan sufi, karena bagi al-Attas metafisika Islam merupakan kebenaran yang sudah disepakati sejak awal peradaban Islam masa lalu. Uraiannya meliputi pandangan ontologis dan kosmologis yang ditawarkan sebagai basis sains yang relevan dengan pandangan dunia Islam. 17 Teori penciptaan alam dalam sains, sebagaimana tergambar pada tabel di atas tidak menjelaskan saluran yang dapat mengantarkan fikiran, tentang terciptanya alam, terhubung sampai ke Tuhan. Oleh karena itu, dalam teori sains ada saluran pemikiran yang terputus antara alam dan Tuhan, sehingga seolah-olah alam tercipta dengan sendirinya. Dalam konteks seperti ini, eksistensi Tuhan terabaikan. Tampaknya, hal ini disebabkan oleh sifat sains Ibid. Gagasan atau ide-ide Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang sains Islam secara umum, atau metafisika Islam secara khusus, sangat potensial untuk dipertimbangkan dalam wacana relasi agama dan sains dalam Islam. Tidak terkecuali dalam menata pendirian UniversitasUniversitas Islam, seperti UIN yang sedang mewabah di lingkungan masyarakat IAIN di Indonesia belakangan ini. Buku yang dapat dijadikan referensi dalam wacana metafisika Islam mode alAttas antara lain Syed Muhammad Naquib al-Attas, A Commentary on Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din al-Raniry (Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986); Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and the Philosophy of Science (Kuala Lumpur, ISTAC, 1989); Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur, ISTAC, 1978); 17 Ach. Maimun Syamsuddin, Integrasi Multidimensi Agama & Sains (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012, h. 187. 15 16

300


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

yang hanya dapat mengamati aspek material tidak sampai pada aspek immaterial. Materi dalam kontek ini adalah bola raksasa yang kemudian meledak (big bang) tanpa dapat dijelaskan oleh sains itu sendiri sebab musabbabnya. Selanjutnya, mengembang (expanding universe) yang menjadikan materi-materi yang berasal dari ledakan itu saling menjauh. Berkaitan penemuan sains dan hukum alam di atas, tampaknya informasi agama yang terdapat dalam al-Qur’an tentang ayat-ayat kauniyah semakin tidak terbantahkan kebenarannya. Dalam kontek itulah maka al-Qur’an menjadi kekuatan bagi Islam, bahkan bagi dunia, meskipun sebagai agama ia datang ke dunia tanpa dilatari oleh sains dan filsafat, namun mampu menjelaskan banyak hal secara ilmiah dan filosofis. Dari segi objek, agama dan sains berbeda karena objek sains adalah dunia fisika (alam syahadah), fakta empiris atau hal-hal lahiriyah dengan ragam variasinya. Termasuk di dalamnya hal yang sepintas lalu kelihatannya gaib atau bathiniyah, seperti medan magnet atau gravitasi dan kenyataan-kenyataan lain yang menjadi bahan kajian fisika subatomik dan fisika baru lainnya. Di dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang berisi informasi tentang alam. Agaknya, terkait ini pulalah tampaknya para Teolog dan Filosof muslim menaruh perhatian serius terhadap persoalan teori penciptaan alam. Mereka menaruh perhatian besar terhadap persoalan tersebut dikarenakan satu alasan, yakni untuk memproteksi doktrin ‫اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬ (al-tauhid) dari gangguan pemikiran yang dapat merusak keyakinan umat Islam. Misalnya, saluran yang terputus antara alam dan Tuhan dalam teori sains di atas adalah potensial merusak keyakinan umat Islam. Sehubungan dengan hal tersebutlah para Mutakallimin dan Filosof mengemukakan rumusan tentang penciptaan alam. Secara teologis, masalah penciptaan alam berhubungan erat dengan masalah keyakinan atau aqidah, jika masalah ini dipersepsi secara tidak benar dapat melahirkan pemahaman dan keyakinan yang keliru sehingga menjerumuskan umat Islam. Secara filosofis, masalah penciptaan alam tidak hanya berhubungan dengan masalah alam fisik tetapi juga alam metafisik, jika masalah ini dipersepsi secara tidak benar juga dapat melahirkan pemahaman dan pemikiran yang keliru sehingga menjerumuskan umat Islam. Oleh karena itu, persoalan penciptaan alam merupakan kebutuhan yang sangat urgen bagi umat Islam baik scara teologis maupun secara filosofis.

Konsep Teolog tentang Penciptaan Alam Kalangan Teolog muslim atau Mutakallimin secara teoretis telah dapat menghubungkan persoalan penciptaan alam semesta, yang terdiri dari materi dan immateri, dengan Allah sebagai penciptanya yang immaterial tanpa merusak konsep pemahaman manusia terhadap keesaan Allah. Dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang jika dilihat dari zahir (lahir)nya memberi pengertian seakan-akan Allah mempunyai jisim. Misalnya, dalam al-Qur’an surah al301


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Baqarah (2) ayat 115 dikatakan: ‫ ان اﷲ‬،‫وﷲ اﻟﻤﺸـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺮق واﻟﻤﻐـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺮب ﻓﺎﻳﻨﻤـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ ﺗﻮﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻮا ﻓﺜـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻢ وﺟـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻪ اﷲ‬ ‫( واﺳـ ـ ــﻊ ﻋﻠﻴـ ـ ــﻢ‬dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah, ssungguhnya Allah maha luas lagi maha mngetahui. QS.al-Baqarah,2:115). Ayat ini menggunakan term wajah untuk Allah yang secara zahir menggambarkan bahwa seakan-akan Allah mempunyai wajah. Demikian pula dengan ayat:.....‫ ﺛ ـ ـ ــﻢ اﺳ ـ ـ ــﺘﻮى ﻋﻠ ـ ـ ــﻰ اﻟﻌ ـ ـ ــﺮش‬...(.....lalu Dia bersemayam di atas ‘arasy...QS.al-A’raf,7:54) yang seakan-akan menggambarkan bahwa Allah mempunyai tahta. Juga ayat: ..... ‫ ﻓﺴ ـ ـ ـ ـ ــﺒﺤﻦ اﻟ ـ ـ ـ ـ ــﺬى ﺑﻴ ـ ـ ـ ـ ــﺪﻩ‬...(maka mahasuci Allah yang di tanganNya.... QS.Yasin,36:83) seakan-akan memberi gambaran bahwa Allah mempunyai tangan. Bagi kalangan Teolog Muslim, pemahaman terhadap Allah merupakan prinsip yang paling mendasar di dalam aqidah. Oleh karena itu, dibutuhkan rumusan yang tepat di dalam menginterpretasi teks-teks nash yang berbicara mengenai Allah dan berbagai masalah yang berkaitan denganNya. Prinsip utama dalam aqidah Islamiyah adalah ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬sehingga para teolog atau ulama Mutakallimin menempatkan ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬sebagai doktrin pokok di dalam ajaranajarannya. Semua Teolog Muslim berupaya mengawal doktrin ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬ini dan berpegang teguh kepada keyakinan akan keesaan Allah. Namun, meskipun sama-sama berpaham ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬tetapi tidak jarang jika masing-masing mempunyai jalan pikiran yang berbedabeda di dalam mempertahankan pemahaman ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬itu. Dalam kaitan itu pula dapat dikatakan bahwa meskipun para ulama Mutakallimin dengan berbagai aliran-alirannya sama-sama beriman kepada al-Qur’an, namun mereka adakalanya berbeda di dalam memahami sebagian ayat-ayatnya sebagaimana disebut di atas. Bagi kaum Muktazilah, Tuhan adalah sesuatu yang immateri sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Allah mempunyai wujud jasmani. Oleh karena itu, teks ayat-ayat al-Qur’an yang mengaitkan Allah dengan term-term jasmani (‫ )اﻟﻤﺠﺴــﻤﺔ‬tak dapat tidak mesti dipahami secara metaforis atau majazi. Oleh karena itu, maka tatkala term ‫ اﻟﻮﺟ ـ ـ ـ ــﻪ‬sebagai muka ketika dihubungkan dengan Tuhan secara metaforis dapat diartikan menjadi zat dan term ‫ اﻟﻌ ـ ـ ــﺮش‬sebagai tahta maupun ‫ اﻟﻴـ ـ ـ ــﺪ‬sebagai tangan ketika dihubungkan dengan Tuhan secara metaforis dapat diartikan menjadi kekuasaan. Jika term-term tersebut diartikan secara harfiyah tentu membawa pemahaman bahwa Allah itu mempunyai jisim. Kaum Muktazilah menolak pemahaman yang demikian karena kontradiktif dengan doktrin utama mereka ‫اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬. Kaum Asy’ariyah juga tidak menerima jika dikatakan Tuhan mempunyai jisim dan mempunyai sifat-sifat jasmani seperti manusia. Sebagai kelompok yang cenderung menghindar dari persoalan-persoalan rumit, maka di dalam mengartikan term-term ‫( اﻟﻤﺠﺴﻤﺔ‬mujassimah) atau anthropomorfis seperti ‫ اﻟﻮﺟ ـ ـ ــﻪ‬, ‫اﻟﻌـ ـ ــﺮش‬, dan ‫ اﻟﻴ ـ ـ ــﺪ‬dalam ayat-ayat yang telah dikemukakan di atas, mereka menempuh cara mudah dengan tetap mengartikannya dengan muka untuk 302


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

‫ اﻟﻮﺟـ ـ ـ ــﻪ‬, tahta untuk ‫ اﻟﻌ ـ ـ ــﺮش‬dan tangan untuk ‫ اﻟﻴ ـ ـ ــﺪ‬. Dengan catatan bahwa muka, tahta dan

tangan Allah tidak sama dengan muka, tahta dan tangannya manusia ataupun makhlukmakhlukNya yang lain. Bagi mereka mengartikan term-term ‫( اﻟﻤﺠﺴ ــﻤﺔ‬mujassimah) atau term-term anthropomorfis seperti ‫ اﻟﻮﺟـ ـ ـ ــﻪ‬, ‫ اﻟﻌ ـ ـ ــﺮش‬, dan ‫ اﻟﻴ ـ ـ ــﺪ‬tetap sebagaimana aslinya, ‫ﺑـ ـ ـ ــﻼ‬ ‫ ﻛﻴ ـ ــﻒ‬, yakni tidak boleh diberi interpretasi lain. Meskipun di atas dikatakan bahwa kaum Asy’ariyah merupakan kelompok yang tidak cenderung berpikir rumit, namun mereka juga mempunyai teori mengenai jisim yang membutuhkan penalaran yang serius. Teori tersebut adalah teori atom yang merupakan jawaban mereka terhadap persoalan berapa kalikah Allah menciptakan jisim, yaitu alam semesta yang majemuk atau ‫ ﺟﺰﺋﻴـ ـ ـ ـ ـ ــﺔ‬ini, sebagaimana juga telah disinggung di atas. Atomisme Asy’ariyah memberi pemahaman bahwa alam atau jisim berasal dari sesuatu yang niskala, berupa sesuatu yang belum berbentuk. Dalam kontek ini, alam cosmos yang di dalamnya termasuk yang bersifat materi seperti hewan, tetumbuhan, dan manusia, maupun yang bersifat immateri seperti jin dan malaikat dan seluruh jagad raya ini adalah berasal dari partikel-partikel terkecil yang tidak dapat dibagi, disebut molekul, atom, ‫ اﻟﺠﻮﻫـ ـ ــﺮ‬atau ‫( اﻟ ـ ــﺬرة‬al-zarrah). Atom adalah sesuatu yang tidak berbentuk sehingga tidak dapat diamati. Setiap saat atom atau ‫( ﻟﺠﻮﻫـ ـ ـ ــﺮا‬substansi) dapat bersatu sehingga muncullah ‫( اﻟﻌـ ـ ـ ــﺮض‬al-‘aradh). Perpaduan antara atom atau ‫( ﻟﺠﻮﻫـ ـ ــﺮا‬substansi) dan ‫( اﻟﻌ ـ ـ ــﺮض‬sifat) terbentuklah jisim (tubuh) yang dapat diamati. Perpaduan inilah yang disebut proses penciptaan alam. Hal ini berlaku terus menerus setiap saat tanpa henti. Teori tersebut di atas menegaskan pemahaman, bahwa Allah swt. menciptakan alam setiap saat, karena jika Dia berhenti menciptakan, maka alam dan semua yang ada di dalamnya akan musnah. Konsekuensi dari teori ini adalah bahwa apa saja yang terjadi di alam ini adalah ciptaan Allah secara langsung berupa terjadinya penggabungan ‫( اﻟـ ــﺬرة‬al-zarrah) dan penggantian ‫( اﻟﻌـ ـ ــﺮض‬al-‘aradh). Dalam kontek ini tidak berlaku hukum alam sebagaimana sesuatu yang berjalan sendiri secara konsisten atau tetap. Bagi kaum Muktazilah, setelah alam tercipta alam berjalan sendiri dengan hukum-hukumnya secara konsisten. Konsekuensinya, penciptaan alam ini adalah sekaligus secara bersamaan. Teori ini dikenal dengan teori ‫( اﻟﻜﻤــﻮن‬al-kummun), artinya tersembunyi atau tersimpan. Tokoh Muktazilah yang mengemukakan teori ini adalah Al-Nazzam (w.231 H.). Dalam teori ‫( ﻛﻤﻮن‬kummun), Muktazilah memberikan pemahaman bahwa Tuhan menciptakan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan jisim-jisim di alam ini sekaligus. Untuk dapat dicermati dengan baik di bawah ini dikemukakan beberapa ayat al-Qur’an yang berbicara tentang penciptaan:

   : ،‫ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬

            

                    303

 : ،‫ ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬     

،‫ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬

                


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014    : ،‫ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ‬                                

 : ،‫ ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬     

،‫ﺍﻝ ﻋﻤﺮﺍﻥ‬

                

 :

                Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa kata ‫( ﻛـ ـ ــﻦ ﻓﻴﻜـ ـ ــﻮن‬jadilah maka jadilah ia) pada umumnya terkait dengan lafaz ‫ ﻳﻘ ـ ـ ــﻮل ﻟ ـ ـ ــﻪ‬dan satu kali ‫ ﻧﻘـ ـ ــﻮل ﻟـ ـ ــﻪ‬. Kata ‫ ﻳﻘ ـ ـ ـ ــﻮل‬dan ‫ﻧﻘ ـ ـ ــﻮل‬  :،‫ ﺍﻻﻧﻌﺎﻡ‬              adalah ‫ ﻓﻌـ ـ ـ ــﻞ ﻣﻀـ ـ ـ ــﺎرع‬yang menunjuk pada masa datang. Huruf ‫( ل‬lam) pada lafaz ‫ﻟ ـ ـ ــﻪ‬ (lahu) adalah ‫ﻟﻠﺘﺒﻠﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻎ‬ yang ‫ـﻤﻴﺮ‬ ‫ﻣﺨﺎ‬  bermakna ،‫ ﺍﻟﻨﺤﻞ‬“kepada”.  Sedangkan   ‫ه‬ (hu) adalah    ‫ـ‬‫ﺿ‬‫ـﺐ‬ ‫ﻃ ـ‬  : (dhamir mukhathab/kata ganti nama yang diajak bicara) yang menunjuk pada sesuatu yang ada kata ،‫ﻣﺮﱘ‬telah   sehingga    pada  ayat-ayat   semacam    ini   ‫ـﻮن‬  ‫ـ ـ‬‫ﻜـ‬ ‫ﻓﻴ‬‫ـﻦ‬‫ﻛـ ـ ـ‬tampaknya    lebih   tepat dihubungkan dengan proses “kejadian” dari pada “penciptaan” kalau penciptaan :  dimaknai sebagai adanya sesuatu dari tidak ada. Berbagai ayat al-Qur’an :juga  menginformasikan ،‫ ﻳﺲ‬   adanya  unsur  alam  yang   menjadi   asal dari makhluk, seperti manusia dari tanah dan iblis dari api (Q.S. al-A‘râf/7: 12; Q.S. 38: 76), semua jenis hewan  ،(‫ﻏﺎﻓﺮ)ﻣﺆﻣﻦ‬  dari air  (Q.S.al-Nûr/24:     45).         :

Di dalam ayat-ayat di atas, Allah juga menggunakan kata benda ‫(ﻧﻜ ـ ــﺮة‬nakirah) seperti kata ‫(ﺷـ ــﻲء‬syai’) yang boleh jadi adalah sesuatu yang telah ada namun hanya dalam ilmu Allah, luput atau tak terjangkau oleh ilmu manusia, atau sesuatu yang ada dan diketahui manusia tetapi tidak dapat diamati oleh manusia seperti ‫ اﻟﻬﻴﻮﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬dalam atomisme Asy’ariyah atau juga sesuatu yang tersimpan dan tersembunyi seperti dalam teori ‫( ﻛﻤﻮن‬kummun) Muktazilah. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa di antara lafaz ‫ ﻳﻘـ ـ ـ ـ ــﻮل‬pada ayat-ayat di atas terdapat satu ayat yang tidak disertai kata ‫ﻟ ـ ـ ــﻪ‬, yaitu ayat 73 pada surat al-An‘âm yang berbunyi ‫ وﻳ ـ ــﻮم ﻳﻘ ـ ــﻮل ﻛ ـ ــﻦ ﻓﻴﻜ ـ ــﻮن‬. Lafaz ‫ ﻳﻘـ ـ ـ ــﻮل‬pada ayat ini tidak diikuti kata ‫ ﻟـ ـ ــﻪ‬sebagaimana pada ayat-ayat lainnya, sehingga dapat membawa pemahaman bahwa boleh jadi kata ‫ ﻛﻦ‬pada ayat inilah sesungguhnya yang dapat dikategorikan sebagai penciptaan alam dari tidak ada menjadi ada (‫)ﻣـ ــﻦ اﻟﻌـ ــﺪم اﻟـ ــﻰ اﻟﻮﺟـ ــﻮد‬, sehingga langit dan bumi yang disebut di awal ayat tersebut adalah diciptakan Tuhan dari tidak ada menjadi ada. Jika pemahaman seperti tersebut di atas yang dipakai, maka statement Muktazilah bahwa penciptaan alam hanya sekali saja dapat dipandang mempunyai kekuatan sekaligus mempertegas dan memperkuat doktrin tauhid tentang ke-Esa-an, ke-qadim-an, ke-muthlaqan dan ke-azali-an Allah. Kemudian dapat menolak pendapat yang meng-qadim-kan alam karena alam diciptakan dari tidak ada sehingga alam ini sesungguhnya baharu. Hal ini relevan dengan makna penciptaan sebagai ‫( اﻻﻳﺠ ـ ــﺎد ﻣ ـ ــﻦ اﻟﻌ ـ ــﺪم اﻟ ـ ــﻰ اﻟﻮﺟ ـ ــﻮد‬penciptaan dari tidak ada menjadi ada). 304


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

Jika demikian halnya, jalan pikiran yang mengatakan bahwa penciptaan alam terjadi sekali saja sebagaimana pendapat Muktazilah menjadi semakin kuat. Lalu selebihnya adalah penciptaan susulan. Penciptaan susulan ini oleh Muktazilah tidak lagi dimaknai sebagai penciptaan tetapi sebagai kejadian-kejadian yang diatur berdasarkan sunnatullah yang berlangsung secara konsisten sebagaimana diisyaratkan dalam ayat: ‫وﻟـ ـ ــﻦ ﺗﺠـ ـ ــﺪ ﻟﺴـ ـ ــﻨﺔ‬ ‫( اﷲ ﺗﺒـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪﻳﻼ‬Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapat perubahan pada sunnatullah. QS.al-Ahzâb/33: 62; al-Fath/48: 23). Pendapat Muktazilah membawa kepada pemahaman bahwa penciptaan Nabi Adam as. tidak berarti lebih dulu dari Nabi Muhammad saw. dan begitu juga manusia abad 21 sekarang. Dengan pengertian, bahwa ketika Adam as. muncul, manusia lainnya yang akan muncul belakangan masih disimpan dalam tempat persembunyiannya atau kegaibannya di alam metafisik. Pada waktu manusia lainnya muncul, kemunculan tersebut tetap berada dalam lingkup pengetahuan dan pengawasan Allah swt. sehingga tidak ada sesuatupun baik ‫( ﺟﻮﻫ ــﺮ‬material), yakni yang ada maupun ‫( ﻋ ــﺮض‬accidental), yakni yang terjadi, lepas atau diluar pengetahuan dan pengawasan Allah swt. Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditegaskan bahwa dalam memproteksi doktrin ‫اﻟﺘﻮﺣﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬, atomisme Asy’ariyah menggunakan pemahaman bahwa Allah menciptakan alam secara langsung setiap saat terus menerus tanpa henti sehingga Allah swt. dipersepsi sebagai zat yang aktif dan indevenden sementara alam sebagai ciptaanNya merupakan wujud yang pasif. Dalam kontek ini, doktrin ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬Asy’ariyah menempatkan Allah sebagai wujud zat yang mandiri, bebas dan aktif seaktif-aktifNya. Sedangkan alam merupakan wujud zat yang pasif se-pasif-pasifnya. Penekanan doktrin ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬dalam kontek ini adalah pada keaktifan Allah dan kepasifan alam. Sementara itu, dalam memproteksi doktrin ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬teori kummun Muktazilah menggunakan pemahaman bahwa Allah menciptakan alam semesta sekaligus secara bersamaan. Allah dalam kontek ini dipersepsi sebagai wujud zat yang menguasai dan mengetahui sepenuhnya secara utuh pergerakan dan kemunculan alam dari penyimpanan, ketersembunyian atau kegaiban berdasarkan sunnatullah yang telah ditentukanNya. Doktrin ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬di sini adalah juga menempatkan Allah sebagai wujud zat yang mandiri, bebas dan aktif seaktif-aktifnya. Penekanan doktrin ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬dalam kontek ini berbeda dengan atomisme Asy’ariyah, sebab dalam kontek kummunisme Muktazilah terdapat penekanan pada dua keaktifan yang berbeda, yakni keaktifan Allah sebagai pencipta di satu sisi dan keaktifan alam sebagai yang diciptakan di sisi lain. Dalam pendekatan atomisme Asy’ariyah, dipersepsi bahwa dalam menciptakan alam, antara Tuhan dan jisim alam semesta terdapat jarak, yakni adanya ‫ ﻛﻦ‬dan al-hayula yang masih immaterial sehingga dalam menciptakan alam dipahami bahwa Tuhan sebagai zat yang immaterial dan esa tidak bersintuhan langsung dengan alam semesta yang majemuk sehingga dengan konsep ini doktrin al-tauhid dapat terproteksi dengan baik. 305


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Demikian pula dalam kummunisme Muktazilah, antara Tuhan dan jisim alam semesta terdapat jarak yang lebih jauh lagi yakni ‫ ﻛﻦ‬, al-hayula dan al-kummun sehingga semakin mempertegas pemahaman bahwa dalam menciptakan alam, Tuhan sebagai zat yang immaterial dan esa tidak bersintuhan langsung dengan alam semesta yang majemuk sehingga dengan konsep ini doktrin al-tauhid semakin dapat terproteksi dengan baik. Dengan atomisme dan kummunisme, Mutakallimin telah berhasil memberikan saluran pemikiran yang dapat memproteksi doktrin ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬dengan tidak menggambarkan Allah yang Esa berhubungan langsung dengan alam materi yang majemuk sehingga tidak merusak konsep keesaan Allah. Berdasarkan uraian terdahulu, dapat diketahui bahwa perbedaan pemahaman dalam masalah penciptaan alam di kalangan Asy’ariyah dan Muktazilah hanyalah karena perbedaan jalan pikiran sehingga tidak sampai melanggar hal-hal yang mendasar dalam ajaran Islam. Bahkan, perbedaan tersebut sama-sama argumentatif sebagaimana dapat dibuktikan melalui konssep sunnatullah. Sains kontemporer sesungguhnya dapat dipakai di dalam menguatkan kebenaran jalan pikiran dua kelompok di atas. Umpamanya, teknologi kontemporer menunjukkan bahwa pikiran dan perkataan seseorangpun dapat menggerakkan detektor atau remote control. Itulah yang diterapkan pada teknologi bionik pada orang-orang yang cacat fisik. Teknologi detektor atau remote control terkait dengan energi magnetik. Magnet adalah penomena kosmologi. Penomena kosmologi seperti gravitasi dan medan magnet telah menjadi bagian dalam ilmu fisika modern. Dalam teologi Islam dipahami bahwa semua penomena itu adalah bagian dari sunnatullah. Asy’ariyah memahami sunnatullah sebagai ciptaan Allah. Asy’ariyah berpendapat bahwa penciptaan tidak ada hentinya, hal ini relevan dengan bukti forensik yang menunjukkan bahwa selalu saja ada yang yang tidak sama dengan sebelumnya atau dengan lainnya meskipun pada jenis makhluk yang serupa yang berarti selalu terjadi ciptaan baru, tentu itu adalah sunnatullah. Demikian pula, jika Muktazilah berpendapat bahwa penciptaan alam hanya sekali, hal ini relevan dengan doktrin penciptaan melalui kata ‫ﻛﻦ‬. Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa sains kontemporerpun telah mampu menunjukkan adanya daya atau kekuatan pada fikiran, ucapan atau perkataan. Oleh karena itu, dengan satu kata kun saja dari Allah, maka alam semesta dapat tercipta berikut dengan berbagai variasi kejadian-kejadian yang baru dan yang konsisten berdasarkan sunnatullah. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikemukakan bahwa melalui jalan pikiran yang tidak sama akhirnya Asy’ariyah dan Muktazilah dapat juga bertemu pada satu kesimpulan akan ketepatan ketetapan Allah yang dikenal dengan sunnatullah.

306


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

Konsep Filsafat tentang Penciptaan Alam Di kalangan filosof, baik Muslim maupun non Muslim, juga terdapat pembahasan mengenai penciptaan alam yang berupa jisim-jisim. Aristoteles dan para pengikutnya, berpendapat bahwa alam, badan atau jisim terdiri dari ‫( اﻟ ــﺬات‬al-zat) dan ‫( اﻟﺼـ ـ ـ ــﻮرة‬al-shurah). ‫( اﻟ ــﺬات‬al-zat) adalah ‫( اﻟﻬﻴﻮﻟ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬al-hayula), ‫( اﻟـ ــﺬرة‬al-zarrah) atau ‫( اﻟﻤــﺪة‬al-maddah), yakni atom-atom atau molekul-molekul. Sedangkan ‫( اﻟﺼ ـ ـ ـ ــﻮرة‬al-shurah) adalah gambar atau sifat. Baik al-hayula maupun al-maddah adalah tidak mempunyai bentuk dan tidak dapat dibagi sehingga tidak dapat diamati jika antara keduanya terpisah secara sendiri-sendiri. Apabila keduanya dikombinasikan, maka jadilah jisim karena jisim adalah perpaduan. Setelah menjadi jisimlah baru dapat dibagi-bagi. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa alam ini diciptakan dari bahan baku yang sudah ada, itulah ‫( اﻟ ــﺬات‬al-zat) dan ‫( اﻟﺼ ـ ـ ــﻮرة‬al-shurah). Dengan demikian, alam ini terbentuk ketika ‫( اﻟــﺬات‬al-zat) bersatu dengan ‫( اﻟﺼ ـ ـ ـ ــﻮرة‬al-shurah). Kalau perbincangan mengenai penciptaan alam di kalangan Mutakallimin di atas melahirkan dua teori, yakni atomisme di kalangan Asy’ariyah dan kummunisme di kalangan Muktazilah, maka perbincangan mengenai penciptaan alam di kalangan filosof juga melahirkan teori yang pada umumnya disebutsebagai emanasi. Di kalangan filosof muslim dikenal dengan teori ‫( اﻟﻔﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺾ‬al-faid). Konon teori ini berasal dari filsafat emanasi Plotinus. Dalam teori ‫( اﻟﻔﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺾ‬al-faid) atau emanationnisme dikatakan bahwa ‫ان اﻟﻌ ـ ـ ـ ــﺎﻟﻢ ﻳﻔﻴ ـ ـ ـ ــﺾ ﻋ ـ ـ ـ ــﻦ اﷲ ﻛﻤ ـ ـ ـ ــﺎ‬ ‫ او اﻟﺤ ـ ــﺮارة ﻋ ـ ــﻦ اﻟﻨ ـ ــﺎر ﻓﻴﻀ ـ ــﺎ ﻣﺘ ـ ــﺪرﺟﺎ‬،‫ ﻳﻔﻴ ـ ــﺾ اﻟﻨ ـ ــﻮر ﻋ ـ ــﻦ اﻟﺸ ـ ــﻤﺲ‬, yaitu sesunggguhnya alam melimpah dari Allah secara berangsur-angsur sebagaimana cahaya melimpah dari matahari atau panas dari api.18 Filosof muslim, al-Farabi dan Ibn Sina kemudian menggunakan teori emanasi di atas untuk membuat formulasi mengenai penciptaan alam sehubungan dengan persoalan rumit terkait dengan penjelasan tentang: Bagaimanakah Allah SWT. yang bersifat immaterial menciptakan alam semesta yang di dalamnya terdapat sesuatu yang bersifat immateri dan juga materi, namun tidak merusak keesaanNya. Sebagaimana telah disebut di atas, dalam filsafat Islam formulasi tersebut dikenal dengan teori ‫( اﻟﻔﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺾ‬emanasi), yang berarti pelimpahan. Teori ini populer juga dengan nama teori akal sepuluh, yakni Allah menciptakan alam ini melalui akal-akal. Oleh karena jumlahnya sepuluh, maka dipahami juga oleh sebagian kalangan bahwa ada kaitannya dengan sepuluh Malaikat sebagaimana yang wajib diketahui oleh setiap mukmin. Dalam teori tersebut dikatakan bahwa Allah adalah ‫ ﻋﻘـ ـ ــﻞ‬, ‫ ﻋﺎﻗـ ـ ــﻞ‬sekaligus ‫ﻣﻌﻘـ ـ ـ ــﻮل‬. Sebagai ‫( ﻋﺎﻗ ـ ــﻞ‬Yang berfikir), Allah yang merupakan ‫( اﻟﻮﺟ ـ ـ ــﻮد اﻻول‬wujud pertama) berpikir tentang diriNya sendiri sebagai ‫ ﻣﻌﻘـ ـ ـ ــﻮل‬. Pemikiran ini memancarkan ‫( اﻟﻌﻘـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻞ اﻻول‬akal pertama) yang merupakan ‫( اﻟﻮﺟـ ـ ـ ـ ــﻮد اﻟﺜـ ـ ـ ـ ــﺎﻧﻲ‬wujud kedua). Akal pertama yang merupakan Jamil Shaliba, al-Mu‘jam al-Falsafi, Jilid II (Lebanon: Dâr al-Kitâb, 1979), h. 173.

18

307


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 wujud kedua ini mempunyai dua sifat, yakni 1). Dilihat berdasarkan pemunculannya sebagai pancaran dari Tuhan, maka ia adalah ‫ ; وﺟ ــﺐ اﻟﻮﺟـ ــﻮد‬2). Dilihat dari hakekat dirinya, maka ia adalah ‫ ﻣﻤﻜــﻦ اﻟﻮﺟــﻮد‬. Sehubungan dengan ini, maka akal pertama dan seterusnya sampai akal kesepuluh mempunyai tiga objek pemikiran, yaitu: 1). Tuhan; 2). Dirinya sebagai ‫ ; وﺟـ ــﺐ اﻟﻮﺟـ ــﻮد‬3). Dirinya sebagai ‫ ﻣﻤﻜ ــﻦ اﻟﻮﺟ ــﻮد‬. Ketika ‫( اﻟﻌﻘ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻞ اﻻول‬akal pertama) yang merupakan ‫( اﻟﻮﺟ ـ ـ ـ ـ ــﻮد اﻟﺜ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻧﻲ‬wujud kedua) berpikir tentang Tuhan, muncullah ‫( اﻟﻌﻘـ ـ ـ ـ ــﻞ اﻟﺜ ـ ـ ـ ـ ــﺎﻧﻲ‬akal kedua) sebagai ‫( اﻟﻮﺟـ ـ ـ ــﻮد اﻟﺜﺎﻟـ ـ ـ ــﺚ‬wujud ketiga). Ketika memikirkan dirinya sebagai ‫ وﺟـ ــﺐ اﻟﻮﺟـ ــﻮد‬muncullah jiwa langit pertama. Ketika memikirkan dirinya sebagai ‫ ﻣﻤﻜــﻦ اﻟﻮﺟــﻮد‬muncullah jisim langit pertama. Demikian seterusnya sampai akal kesepuluh, sebagaimana dijelaskan pada tabel berikut: 19 Tuhan Memikirkan diriNya, lahir:

Memikirkan dirinya sebagai mukmin al-wujud lahir: Jirm/JisimLangit

Akal Pertama Memikirkan Tuhan, lahir:

Memikirkan dirinya sebagai wajib al-wujud lahir: Jiwa Langit

Jirm Bintang

Akal Kedua

Jiwa Bintang

Jirm Saturnus

Akal Ketiga

Jiwa Saturnus

Jirm Jupiter

Akal Keempat

Jiwa Jupiter

Jirm Mars

Akal Kelima

Jiwa Mars

Jirm Matahari

Akal Keenam

Jiwa Matahari

Jirm Venus

Akal Ketujuh

Jiwa Venus

Jirm Markurius

Akal Kedelapan

Jiwa Markurius

Jirm Bulan

Akal Kesembilan

Jiwa Bulan

Jirm Bumi

Akal Kesepuluh (Jibril)

Jiwa Bumi

Selanjutnya ‫(اﻟﻌﺎﺷـ ـ ـ‬akal ‫اﻟﻌﻘـ ـ ـ ــﻞ‬kesepuluh) (akal kesepuluh) muncullah ‫( اﻟﻬﻴﻮﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬materi pertama) Selanjutnya dari dari ‫اﻟﻌﻘﻞ ــﺮاﻟﻌﺎﺷﺮ‬ yang mengandung unsur api, udara, tanah, dan air. Berikutnya ada ‘aradh atau shurah sebagai sifat yang datang kemudian. Jika ‫( اﻟﻬﻴﻮﻟ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬materi pertama) berpadu dengan ‘aradh atau shurah (sifat atau gambar) maka terciptalah ‫( ﺟﺴــﻢ‬jisim). PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, Jilid II (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 325. 19

308


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

Dengan tiga objek pemikiran akal-akal dalam teori (emanasi), para filosof muslim di atas mampu menjelaskan bagaimana Allah sebagai sesuatu yang immaterial menciptakan alam semesta yang terdiri dari immateri, yaitu atau (jiwa atau ruh) dan materi, yaitu atau (materi). Tori di atas dapat menunjukkan betapa filosof berusaha menemukan saluran pemikiran yang dapat mengantarkan konsep penciptaan alam tidak berbenturan dengan doktrin tauhid yang mengajarkan keesaan Allah. Dalam ajaran tauhid, Allah disebut Esa sehingga dalam penciptaan alam semesta sebagai sesuatu yang atau majemuk/banyak dan terperinci, Allah tidak boleh sampai bersintuhan dengan alam karena dapat merusak konsep ke-EsaanNya. Dalam kaitan inilah filosof memberi pemahaman bahwa dalam menciptakan alam, Allah tidak bersintuhan langsung dengan alam yang majemuk tersebut karena ada akal-akal atau intelek. Melalui teori inilah para filosof berperan di dalam menjaga konsep . Namun, teori pelimpahan akal-akal atau intelek ini bukan sama sekali lepas dari kritik sebab sebagai sesuatu yang langsung melimpah dari Tuhan sebagai zat yang qadim atau azali keberadaan akal-akal atau intelek tersbut rentan untuk dapat ditarik kepada peng-qadim-an sesuatu selain Allah, yaitu intelek atau akal itu sendiri. Hal ini dimungkinkan karena secara konsepsional di dalam al-faidh itu tidak ditemukan rumusan akan adanya saat tatkala apapun tidak ada kecuali Allah. Dalam kontek inilah juga tampaknya sisi lemah teori (emanasi) sehingga harus masih disempurnakan melalui doktrin kun fayakun sebagaimana yang dikemukakan di dalam al-Qur’an.

Konsep al-Qur’an tentang Penciptaan Alam Al-Qur’an tidak hanya menginformasikan penciptaan alam, tetapi juga menginformasikan prilaku alam. Informasi penciptaan alam ditemukan pada ayat-ayat dengan lafaz (Q.S.al-Baqarah/2: 117; Âli ‘Imrân/3: 47-59; al-An‘âm/6: 73; al-Nahl/6: 40; Q.S. Maryam/19: 35; Q.S. Yasin/36: 82; Q.S. Gafir/40: 68).20 Berdasarkan kata dapat dikemukakan bahwa penciptaan alam dalam al-Qur’an diisyaratkan terjadi melalui perintah ( ) lalu terjadilah alam ( ) melalui tahap (ratqan) dan (fatqan). Dalam menciptakan alam, Allah hanya menyebut ‫ ﻛن‬maka terciptalah alam semesta. Penciptaan alam versi al-Qur’an ini merupakan pedoman yang paling praktis di antara sekian banyak teori penciptaan alam yang telah dikemukakan terdahulu. Informasinya sekaligus dapat menyahuti dan melengkapi semua teori yang telah dikemukakan. Di antara informasi al-Qur’an yang dapat dipandang sebagai melengkapi teori sains, teologi dan filsafat adalah kata yang terjadi sebelum munculnya perilaku alam, seperti (padu) dan (pisah) atau dalam sains sama dengan big bang dan expanding universe. Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1988), h. 814. 20

309


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Sesuai dengan penjelasan di atas, selanjutnya dapat dikemukakan sejumlah ayat yang menginformasikan perilaku alam yang lazim disebut sebagai ayat-ayat kauniyah. Di antara ayat-ayat dimaksud adalah sebagai berikut:

                    

Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman? (Q.S. al-Anbiyâ’/21: 30) Ayat di atas mengandung pesan adanya dua pase pada alam yang diistilahkan dengan ‫( رﺗﻘـ ـ ـ ـ ــﺎ‬ratqan) artinya padu dan ‫( ﻓﺘﻘـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬fatqan) artinya pisah. Pada kondisi ‫( رﺗﻘـ ـ ـ ـ ــﺎ‬padu) tentu alam dalam keadaan merapat, bertemu dan menyatu. Sedangkan pada kondisi ‫( ﻓﺘﻘـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺎ‬pisah), alam yang tadinya padu menjadi pecah dan terbelah. Dalam ayat lain Allah berfirman

                             

  

Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasanaNya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata” (Q.S. Hud/11: 7). Informasi yang terdapat pada ayat-ayat yang dikemukakan di atas, mekankan pada adanya tahapan-tahapan di dalam penciptaan alam yang hal ini tidak dapat dijangkau oleh sains, teologi dan filsafat. Tahapan-tahapan ini menunjukkan kesempurnaan kekuasaan Allah di dalam menciptakan langit dan bumi. Allah menyempurnakan bagi masing-masing langit hal-hal yang menjadikan mereka siap melaksanakannya. Dia menghiasi langit dengan bintang-bintang dan planet-planet, baik yang tetap maupun yang bergerak. Sedangkan ayat-ayat selanjutnya di bawah ini menekankan pada asfek pengaturan alam seperti sistem kesimbangan, yang dapat mengantarkan manusia kepada pengakuan akan kekuasaan Allah. Sistem keseimbangan sangat penting dalam semua hal, fisik maupun non fisik. Allah menciptakan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi sesuai firmanNya: ‫اﷲ اﻟ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺬى‬ 310


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

‫( ﺧﻠـ ـ ــﻖ اﻟﺴـ ـ ــﻤﻮات وﻣـ ـ ــﻦ اﻻرض ﻣﺜﻠﻬـ ـ ــﻦ‬Q.S. al-Thalaq/65: 12) dengan tidak saling berbenturan. Kesinambungan Langit dan Bumi yang berlapis-lapis itu tak dapat tidak karena keseimbangan. Hal ini dinyatakan dalam firmanNya:

                    

Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulangulang, Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang? (Q.S. al-Mulk/67: 3). Sesuai dengan kandungan ayat-ayat tersebut di atas, berdasarkan sains juga dapat diketahui bahwa dengan sistem keseimbanganlah, seperti orbit dan rotasi pada planet di tatasurya, segala sesuatunya di alam ini dapat bertahan. Hal ini juga ditegaskan dalam ayat al-Qur’an:

                      

Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun (Q.S. Fathir/35: 41). Ayat di atas menunjukkan bahwa kesinambungan kehidupan di alam dapat bertahan sepanjang Allah menjaganya agar tidak lenyap. Namun, dalam berbagai ayat lain diinformasikan akan adanya kehidupan akhirat dengan berbagai ketentuannya. Bertitiktolak dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam masalah penciptaan alam, ayat-ayat al-Qur’an melengkapi teori yang dikemukakan oleh para ilmuan, teolog dan filosof melalui informasi yang berhubungan dengan masa serta ketentuan-ketentuan mengenai penghuninya dan sistem yang berlaku di dalamnya. Demikian pula melalui doktrin kun fayakun dalam al-Qur’an dapat menyempurnakan setiap sisi lemah dari semua teori tersebut.

Sinergitas Teori Penciptaan Alam Dapat diakui bahwa masalah masa penciptaan alam adalah merupakan sesuatu yang sulit dijangkau secara tuntas oleh sains maupun filsafat yang hanya berpijak pada akal manusia. Demikian pula dengan masalah yang berhubungan dengan ke-qadim-an atau ke-azali-an Allah yang hanya dapat dipahami melalui informasi wahyu bahwa ada saat tatkala apapun tidak ada kecuali Allah, ketika Allah dalam kesendirianNya sebagaimana diisyaratkan dalam lafaz ‫ اﷲ اﺣ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬yang terdapat pada ayat: ‫( ﻗ ـ ــﻞ ﻫ ـ ــﻮ اﷲ اﺣ ـ ــﺪ‬QS.al-Ikhlâsh/ 311


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 112: 1). Untuk memahami informasi wahyu semacam ini, tampaknya pendekatan teologi lebih tepat digunakan untuk dijadikan pilihan dibanding sains maupun filsafat. Sejak awal terbentuknya sejarah peradaban sampai sekarang, teologi telah menjadi bagian penting di dalam kehidupan manusia. Mulai dari masalah bercocok tanam pada masyarakat primitif sampai pada penentuan memilih perguruan tinggi di kalangan mahasiswa pada masyarakat modern tidak bisa lepas dari teologi.21 Respon teologis pertama manusia terhadap lingkungannya muncul dalam bentuk supernaturallisme. Dalam kontek inilah lahirnya berbagai paham seperti dinamisme, animisme, politisme, henoteisme, dan monoteisme. Agama-agama besar menempatkan teologi pada posisi paling sentral dalam ajarannya. Oleh karena itu sangat beralasan jika umat beragama banyak mengaitkan berbagai persoalan dalam kehidupannya dengan pendekatan teologis. Teologi secara normatif diajarkan di dalam kitab suci masing-masing agama. Setiap pemeluk agama yang taat sangat berhatihati di dalam masalah ini sehingga berbagai hal yang terjadi dalam kehidupan selalu dilihat dari kacamata teologi. Namun perlu dicermati bahwa dominasi teologi dapat melahirkan teocentrisme. Segala sesuatunya diukur dari sudut ketuhanan. Pertimbangan dan argumentasi sains, teknologi dan filsafat menjadi terabaikan. Dalam konteks ini maka ketaatan seseorang terhadap agamanya dipandang semata-mata terkait dengan konsistensinya dalam teologi. Dalam pada itu, tidak jarang di kalangan banyak agamawan konsep-konsep teologi dipahami sebagai sesuatu yang sudah final sehingga resisten terhadap perubahan. Secara umum di kalangan umat beragama terdapat dua kelompok teologis yang berseberangan. Pertama, kelompok tradisional, konservatif, ortodoks, irrasional dan tekstual. Dalam kelompok inilah berkembangnya teocentrisme. Kedua, kelompok modernis, rasional dan kontekstual. Dalam kelompok ini berkembang anthropocentrisme.22 Kedua kelompok ini kontradiktif di dalam menyikapi berbagai hal termasuk dalam masalah relasi agama, sains dan teknologi. Jika kelompok pertama melahirkan disharmoni. Kelompok kedua melahirkan harmoni antara agama, sains dan teknologi. Berdasarkan argumen teologis, agamawan menyimpulkan bahwa dunia lahir pada jam 9 pagi hari Minggu 23 Oktober 4004 SM. Pendapat ini berbeda dengan fakta ilmiah yang pernah dikemukakan oleh seorang ilmuan, Wycliffe, yang membuktikan berdasarkan fosil dan geologi, bumi paling sedikit telah berusia beberapa ratus ribu tahun. Para teolog memandang pendapat ini suatu penghinaan terhadap agama. Karena tidak dapat menerima penghinaan ini mereka menggali kembali tulang belulang Wycliffe untuk dipatah-patahkan

Ilhamuddin, “Persepsi Calon Mahasiswa Baru Terhadap IAIN Sumatera Utara,” dalam Intizar Jurnal Kajian agama Islam dan Masyarakat2006, h. 43-56; Ilhamuddin, “Pengaruh Teologi Terhadap Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Sumatera Utara-Medan,” dalam Majalah Media PendidikanVol. XXIII, No.3, September-Desember, 2006, h. 365-380. 22 Ilhamuddin, “Anthropocentrisme dan Theocentrisme,” dalam Jurnal Ushuluddin, JanuariPebruari-Maret, 1994, h. 54. 21

312


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

dan dibuang ke laut. Dengan tindakan tersebut mereka memandang penolakan terhadap agama menjadi hilang.23 Resistensi para teolog yang demikian tinggi dan sengit menentang para ilmuan, seperti Bacon, Wycliffe, Bruno, Galileo, dan 10.000-an pemikir lainnya tampaknya berkaitan dengan berbagai sebab. Di antaranya adalah: (1) Dominasi pemahaman tekstual dalam agama; (2) Adanya kepentingan kuat untuk memaksakan dogma-dogma teologi; (3) Kesangsian bahwa jika terjadi penolakan atas satu aturan saja, apakah melalui sains atau yang lainnya dapat menyebabkan keruntuhan dan ketidakukuhan seluruh tatanan social; (4). Oleh karena itu sains dan pemikiran bebas adalah ancaman dan harus dilarang. Dalam kaitan itulah teolog menghukum Galileo. Hukuman terhadap Galileo meskipun sama sekali bukan merupakan contoh yang paling ekstrim dalam catatan sejarah, tetapi memiliki arti khusus karena inilah larangan efektif pertama dari agamawan terhadap pendapat ilmiah. Bernard Shaw mengemukakan pengamatannya, bahwa dihukumnya Galileo bukanlah karena faktor kontradiksi antara teori “bumi bergerak mengelilingi matahari� (helio centrisme) dan “bumi pusat stasioner yang dikelilingi matahari� (geocentrisme). Persoalannya bukan itu. Sesungguhnya, teori ini adalah fakta fisik tanpa dimensi moral yang berarti. Karena itu tidak memiliki efek terhadap teologi. Namun dalam keyakinan para teolog, karena agama menjadi tempat bergantung peradaban dunia, maka pergeseran pemahaman (geocentrisme ke heliocentrisme) yang diakibatkan oleh sains dapat berakibat buruk terhadap agama.24 Kaum agamawan Eropa selama 1000 tahun mempertahankan doktrin bahwa tidak ada kehidupan manusia di sisi bumi yang lain. Meskipun secara ilmiah dapat dibuktikan bahwa bumi memiliki sisi yang berlawanan. Pada abad ke-6, Procopius dari Gaza membawa senjata teologis untuk mendukung keyakinan itu. Dia mengatakan tidak mungkin ada sisi yang berlawanan. Karena dengan demikian Kristus harus pergi ke sana dan menderita untuk yang kedua kalinya. Di samping itu, harus ada duplikat surga, Adam, iblis, dan banjir besar. Oleh karena itu pendapat tentang bulatnya bumi menurut agamawan Eropa adalah sesuatu yang salah. Ini merupakan sebagian dari penyebab terjadinya disharmoni relasi agama, sains dan teknologi di luar Islam. Bukti lain dari terjadinya disharmoni relasi itu dapat dilihat dari berbagai pendapat agamawan lainnya terhadap berbagai penomena alam dan kehidupan sosial. Seperti Santa Paul dan Origen. Menurut Santa Paul, penyakit adalah akibat pekerjaan setan yang sangat jahat. Menurut Origen; setanlah yang menyebabkan kelaparan, ketidakberdayaan, pencemaran udara dan wabah. Setan melayang-layang bersembunyi di balik awan. Kemudian turun ke bumi karena mencium darah dan dupa yang ditawarkan oleh penyembah berhala. Pervez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas: antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia (Bandung: Mizan, 1996), h. 56-59. 24 Ibid. 23

313


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Augustine, juga mengemukakan pendapatnya bahwa semua penyakit berasal dari setan. Setan menyiksa orang-orang yang baru dibaptis. Bahkan bayi-bayi tak berdosa yang baru lahir sekalipun.Ruh setan dan kejahatanlah yang menyebabkan penyakit. Penyembuhannya dilakukan dengan mengusir setan itu melalui alat-alat seperti benda-benda sakral. Banyak sumbangan mengalir ke berbagai rumah ibadah yang terkenal memiliki benda-benda sakral yang dipandang dapat menyembuhkan penyakit. Dalam konteks ini rumah ibadah bukan hanya pelindung jiwa tetapi juga pelindung fisik. Dalam kaitan inilah terjadinya resistensi yang sangat kuat terhadap ilmu kedokteran. Pemahaman agama seperti tersebut selanjutnya melahirkan takhayul. Sedangkan fakta ilmiah kemudian melahirkan teknologi kesehatan.25 Penentangan serius dalam perkembangan kedokteran ilmiah adalah penolakan terhadap teknologi pembedahan mayat. St Augustine menyebut ahli anatomi sebagai ’tukang jagal’ dan mencela praktik ini dengan tegas. Dalam pandangan agamawan pada umumnya pemotongan mayat akan menimbulkan kengerian yang tak terbayangkan pada hari kiamat. Di samping itu, menurut mereka ‘teologi membenci pertumpahan darah.’26 Argumen di atas kontradiktif dengan fakta bahwa agamawan pernah membakar ribuan pendosa dan ahli-ahli sihir yang dicurigai. Fakta tersebut menunjukkan bahwa para teolog tidak terlalu membenci penumpahan darah bila itu menyangkut kepentingan mereka sendiri. Agamawan juga menganggap geologi sebagai alat yang sangat subversive dalam pelayanan setan. Bukan saja bukti geologis menolak penegasan Uskup Agung Ussher mengenai usia bumi, tetapi juga menunjukkan kemustahilan penciptaan semesta dalam enam hari. Kaum ortodoks menyatakan bahwa geologi ‘bukan ilmu yang sah menurut hukum’. Geologi adalah ‘seni yang hitam’, artileri neraka’ dan menyatakan pelakunya sebagai ‘kafir yang menyebabkan keraguan terhadap naskah suci’. Atas dasar simpatinya terhadap pernyataan ini, Paus Pius IX melarang kongres ilmiah Itali untuk berkumpul di Bologna pada tahun 1650.27 Selama abad pertengahan, doktrin tentang asal usul badai telah diterima secara umum. Doktrin tersebut mendapat dukungan dari para penguasa dan agamawan seperti St Augustine. Badai menurut mereka adalah perbuatan setan. Untuk melawan ‘kekuatan udara’ yang luar biasa ini dilakukan segala macam ibadah pengusiran setan. Yang paling sering dipakai adalah ibadah dari Paus Gregory XIII. Pada mulanya, setan diusir dengan berbagai nyanyian dan membunyikan lonceng selama badai. Sementara pada abad k15 berkembang keyakinan tragis bahwa wanita-wanita tertentu dapat mendatangkan bantuan dari neraka untuk menyebabkan angin puyuh, hujan es, banjir dan sejenisnya. Pada 7 Desember 1484, Paus Innocent VIII mengeluarkan keputusan resmi yang diilhami

Ibid. Ibid. 27 Ibid. 25 26

314


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

oleh perintah wahyu ‘kamu tidak boleh menderita dengan membiarkan tukang sihir hidup’. Dia segera mendesak agamawan untuk melacak para tukang sihir dan ahli sulap yang menyebabkan cuaca buruk. Maka ribuan wanita mengalami siksaaan yang kejam di hadapan orang-orang terdekat dan tersayang mereka. Mereka berharap untuk mati secepatnya agar terbebas dari penderitaan.28 Halilintar, menurut dogma agama, adalah konsekuensi dari lima dosa, yaitu (a) tidak bermalu, (b) tidak percaya, (c) menolak untuk merawat rumah ibadah, (d) curang dalam pembayaran pajak kepada rumah ibadah, dan (e) menekan yang lemah. Paus menyebut hukuman Tuhan ini dengan ‘jari-jari Tuhan’. Kemudian pada tahun 1752, ketika sedang terjadi badai elektrik, Benyamin Franklin menerbangkan layang-layangnya. Dalam eksperimennya itu ia menemukan bahwa petir hanyalah gejala elektrisitas biasa. Penemuan tersebut segera diikuti dengan pembuatan penangkal petir. Pelindung yang aman bahkan dari badai paling mengerikan sekalipun. Pada awalnya agamawan menolak untuk mengakui keberadaan teknologi penangkal petir ini. Tetapi kemudian, begitu keampuhan dari konduktor petir ini diakui secara luas dan semakin banyak dipasang kaum ortodoks menentangnya dengan keras. Sejalan dengan itu gempa bumi di Massachusset pada tahun 1755 disikapi sebagai akibat luasnya pemakaian alat penangkal petir Franklin di Boston. Pertentangan ini tadinya akan berlangsung lama. Namun ternyata rumah-rumah ibadah tanpa penangkal petir seringkali hancur disambar petir. Ketika Immanuel Kant memperkenalkan teori tentang nebula dan bintang-bintang, agamawan menentangnya karena mereka tidak melihat adanya rujukan mengenai hal itu di dalam kitab suci. Oleh karena itu menurut mereka nebula tidak ada. Para pendukung teori nebula ini baru bisa lega ketika teleskop dapat dibuat lebih baik sehingga menunjukkan bahwa beberapa pola materi nebula ternyata dapat dipisahkan menjadi bintang-bintang. Tetapi dengan berlalunya waktu masuklah era penemuan spektroskop dan analisis spectrum. Cahaya dari nebula ternyata berasal dari materi gas antar bintang. Dengan demikian agamawan ortodoks akhirnya mengalah. 29 Daftar kekejaman agamawan dan penguasa Eropa abad pertengahan dalam menentang sains dan teknologi jauh lebih panjang daripada uraian di atas. Konflik antara sains dan ortodoksi masih terjadi sampai masa kepresidenan Ronald Reagan. sekitar 1980-an dalam gerakan Kreasionis di Amerika Serikat. Gerakan ini mendapat banyak sambutan dan mendapat pendukung di banyak negara bagian. Ajaran Kreasionis memiliki keyakinan utama bahwa semua kehidupan di alam semesta diciptakan sekitar 6000 tahun lalu, selama 7 hari, persis seperti yang digambarkan dalam bab-bab pertama Genesis. Jadi, Banjir Besar dianggap sebagai fakta sejarah. Tidak hanya sebagai kiasan. Ajaran Kreasionis menyerang semua bidang astronomi dan geologi yang menyatakan usia bumi lebih dari 10.000 tahun. Dalam

Ibid. Ibid.

28 29

315


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 kaitan ini, pendataan karbon radioaktif ditolak. Demikian pula dengan teori Darwin mengenai evolusi. Teori ini menimbulkan kemarahan besar. Hakim Braswell Deen, seorang kreasionis dan hakim dari Georgia State Court Of Appeals menulis bahwa ‘mitologi monyet dari Darwin’ menyebabkan ‘kebebasan, perzinaan, perkembangan kejahatan. 30 Walaupun terjadi kebangkitan ortodoksi di Barat, perang terhadap kebangkitan sains tidak banyak berarti. Mereka tidak berhasil memaksa sekolah-sekolah agama menetapkan waktu penciptaan yang sama menurut sains dan menurut Bibel. Dengan berakhirnya kepresidenan Reagan, ajaran kreasionispun mengalami kemunduran. Di samping itu, dunia modern tidak mau membiarkan agamawan melupakan kekejaman masa lalunya. Simbol dari semua ini adalah penyiksaan Galileo dan penolakan keras atas pandangan ilmiahnya.

Penutup Bertitiktolak dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada empat pendekatan yang saling melengkapi di dalam memberikan penjelasan mengenai persoalan penciptaan alam, yakni sains, teologi, filsafat dan al-Qur’an. Bagi saintis persoalan penciptaan alam adalah murni kepentingan sains sehingga sains tidak sampai pada wilayah teologis maupun metafisis-filosofis yang berupaya mencari hubungannya dengan Tuhan. Berbeda dengan saintis, bagi teolog muslim persoalan ini dipandang berhubungan dengan doktrin ‫ اﻟﺘﻮﺣﻴـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬sehingga berbagai macam pemikiran yang muncul di sekitar masalah tersebut tidak dapat dibiarkan berkembang tanpa arah yang sesuai dengan doktrin ‫ ﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪا‬tersebut karena dapat merusak aqidah umat Islam. Meskipun demikian, pada dasarnya penemuan sains tentang konsep alam semesta tidaklah kontradiktif dengan apa yang dikemukakan dalam al-Qur’an, hanya saja menyisakan sisi gelap yang membutuhkan penjelasan lanjutan. Secara umum al-Qur’an memberi kategori alam “gaib” sebagai jawaban terhadap misteri dimaksud, yaitu sesuatu yang wajib diimani sebagai bagian dari ketaqwaan terhadap Allah karena dalam al-Qur’an orang bertakwa yang kemudian diurai secara teologis dan filosofis oleh para Mutakallimin dan Filosof muslim. Mutakallimin maupun Filosof telah berhasil mengemukakan tiga macam teori, yaitu atomisme, kummunisme dan emanasi. Ketiga teori ini mempunyai kedekatan terutama dalam masalah tujuan, yaitu memproteksi doktrin ‫اﻟﺘﻮﺣﻴ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﺪ‬. Kedekatan yang terdapat pada ketiga teori di atas dapat dilihat dari adanya materi pertama yang belum dapat diamati, yaitu ‫ اﻟﻬﻴﻮﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬yang merupakan ‫( ﺟﻮﻫ ــﺮ‬substansi) dan menjadi sebab munculnya ‫( اﻟﻌـ ـ ـ ــﺮض‬sifat) atau ‫( اﻟﺼـ ـ ـ ــﻮرة‬gambar) sehingga terbentuk ‫اﻟﺠﺴـ ــﻢ‬ (al-jism) atau ‫( اﻟﺠ ـ ــﺮم‬jirm), yaitu badan sebagai sesuatu yang nyata dan dapat diamati. M.C. La Polette, Cretionisme, Science, and the Law- the Arkansas Case (Cambridge, Mass, MIT Press, 1983). 30

316


Ilhamuddin: Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam

Namun, Filosof tidak hanya berhenti sampai pada ‫ اﻟﻬﻴﻮﻟ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬seperti pada atomisme Asy’ariyah. Filosof memandang masih ada jarak antara ‫ اﻟﻬﻴﻮﻟـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ـ ــﻰ‬dan Tuhan, itulah ‫ﻋﻘ ـ ــﻞ‬ atau intelek yang adalah juga immaterial. Namun, filosof juga kemudian berhenti pada akal atau intelek sehingga rumusan filsafat al-faidh mereka juga tetap tidak bebas kritik karena teori pelimpahan intelek yang langsung dari Tuhan rentan dapat ditarik kepada peng-qadim-an sesuatu selain Tuhan seperti intelek itu sendiri sehingga dapat berbenturan dengan doktrin tauhid. Dalam kontek ini ada nilai plus dari kummunisme Muktazilah yang menjadikan pase kummun (tersembunyi) itu dapat dikembangkan sampai pada adanya saat tatkala apapun tidak ada kecuali Allah yang dalam konsep metafisika disebut sebagai realitas absolut atau Hahut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa doktrin kun fayakun yang terdapat dalam al-Qur’an merupakan pamungkas dari berbagai pendekatan dan teori penciptaan alam yang dikembangkan dalam sains, teologi dan filsafat. Sinergitas dari semua pendekatan dan teori tersebut berpotensi kuat dapat membantu bagi pemantapan keimanan terutama di kalangan intelektual. Dengan konsep sinergitas sesuangguhnya tidak mesti ada risistensi dan dikhotomi antara sains, teknologi, teologi dan filsafat dengan agama.

Pustaka Acuan Al-Qur’an al-Karim Kitab Perjanjian Lama Al-Baqillani. Kitâb Tamhid al-Awâ’il wa Talkhis al-Dalâ’il. Beirut: Muassasat al-Kutub alTsaqafiyyah, Beirut, 1987. White, Andrew Dickson. a History of the Warfare of Science With Theology. Gloucester, Mass, 1896. Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam (Ringkas). Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996. Ilhamuddin, “Anthropocentrisme dan Theocentrisme,” dalam Jurnal Ushuluddin, JanuariPebruari-Maret, 1994, Shaliba, Jamil. al-Mu‘jam al-Falsafi, Jilid II. Lebanon: Dâr al-Kitâb, 1979. Q. Shaleh, et al. Asbabun Nuzul, Bandung: Diponegoro, 1992. bin Nabi, Malik. Fenomena al-Qur’an, terj. Saleh Mahfoed. Bandung: Al-Ma’arif, Bandung, 1983. al-Baqi, Muhammad Fuad Abd. al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’ân al-Karîm. Kairo: Dâr al-Hadîts, 1988. Dawud, Muhammad Isa. Dialog dengan Jin Muslim Pengalaman Spritual. Bandung: Pustaka Hidayah, 2011. Polette, M.C. La. Cretionisme, Science, and the Law-the Arkansas Case. Cambridge: Mass, MIT Press, 1983. 317


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Hoodbhoy, Pervez. Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas: antara Sains dan Ortodoksi Islam, terj. Sari Meutia. Bandung: Mizan, 1996. Ichtiar Baru Van Hoeve. Ensiklopedi Islam, Jilid II. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve 1997. Hitti, Philip K. History of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi: Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. a Commentary on Hujjat al-Shiddiq of Nur al-Din alRaniry. Kuala Lumpur: Ministry of Culture, 1986. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and the Philosophy of Science. Kuala Lumpur: ISTAC, 1989. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1978. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and the Philosophy of the Future. Mansell Publishing Limited, London & New York, 1985. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam dan Filsafat Pengetahuan, terj. Saiful Muzani, Mizan, Bandung, 1995. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam Faham Agama dan Akhlaq, ISTAC, Kuala Lumpur, 1977. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam, Secularism and the Philosophy of the Future. London & New York: Mansell Publishing Limited, 1985. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam: Faham Agama dan Asas Akhlaq. Kuala Lumpur: ABIM, 1977. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islamic Philosophy: An Introduction, http:// www.muslimphilosophy.com/-journal/is-01/attas 1.htm. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Positive Aspect of Tashawwuf: Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science, Islamic Academy of Science, 1981. al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Prolegomena to the Metaphysics of Islam: an Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC, 1995. Sya’rawi, Muhammad Mutawally. Tafsir Sya’rawi, terj. Zainal Arifin, et al., Jilid. 4. Medan: Duta Azhar, 2006.

318


KONTEKSTUALISASI PEMIKIRAN KH. HASYIM ASY`ARI TENTANG PERSATUAN UMAT ISLAM Ahmad Khoirul Fata Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Amai Jl. Gelatik 1, Kota Gorontalo, 96112 e-mail: cakfata@gmail.com

M. Ainun Najib Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Hang Tuah Jl. Arif Rahman Hakim 150, Surabaya, 60155 e-mail: jib_30@yahoo.com

Abstract: Persatuan umat Islam adalah aplikasi ajaran Islam tentang persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islâmîyah). Pluralitas kultural umat Islam telah menjadi resistensi tersendiri bagi implementasi doktrin tersebut dalam masyarakat Muslim. Di Indonesia, keragaman mazhab, organisasi dan aliran politik telah melahirkan disintegrasi umat. Beragam konflik intern umat Islam menjadi bukti disintegrasi tersebut. Tulisan ini mengkaji gagasan KH. Hasyim Asy`ari tentang persatuan umat Islam. Penulis menemukan bahwa gagasan tentang persatuan umat Islam KH. Hasyim Asy`ari didasari oleh tauhid dan anti fanatisme dalam masyarakat Muslim. Kenyataan bahwa disintegrasi menjadi problem dunia Islam kontemporer telah membuat ide KH. Hasyim Asy`ari menjadi urgen, dan dapat menjadi solusi alternatif bagi problem umat tersebut. Abstract: The Contextualization of KH. Hasyim Asyari’s View on the Muslim Unity. The Muslim unity is a logical consequence of religious teachings concerning the Muslim brotherhood (ukhuwah Islamiyâh). The diversity of the Muslim community has become a challenge for its application. In Indonesian, the diversity of mainstream school of thoughts, organizations, and parties have given rise to disintegration of the Muslim society. The internal conflicts that come out from various reasons is an evident of that disintegration. This paper analyzes KH. Hasyim Asyari’s view concerning the Muslim unity. The authors find that the idea of the Muslim unity should be based upon faith and anti-fanatism. It reflects the concordance of faith and could be realized in anti-fanatism attitude in the Muslim society. The idea of KH Hasyim Asy`ari is perceived of utmost important, for it may become an alternative solution for the social problems.

Kata Kunci: Persatuan, Ukhuwah, KH Hasyim Asy‘ari, Nahdhatul Ulama 319


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pendahuluan Persatuan umat Islam merupakan konsekuensi logis adanya konsep persaudaraan yang dibangun berdasar atas keyakinan/iman (ukhuwah Islamiyah). Atas dasar ini, Rasulullah SAW. melakukan integrasi antara kaum Ansor (penduduk pribumi Madinah) dengan kaum imigran (Muhajirin) melalui konsep ukhuwah yang dibangun atas iman. Persaudaran berasas Iman ini mengikat kelompok-kelompok berbeda di Yatsrib hingga mereka menjadi satu kesatuan tak terpisahkan mengalahkan persaudaraan yang berasas pada garis darah. Di kemudian hari, integrasi berdasar iman tersebut mampu membawa masyarakat Madinah menjadi masyarakat beradab melampaui masyarakat lain di saat itu. Dalam konteks berbeda, identitas berdasar agama (Islam) diyakini memberikan kontribusi signifikan dalam proses pembangunan identitas keindonesiaan. Berawal dari identitas keislaman, masyarakat kepulauan Nusantara yang terpisah secara geografis, kultural, suku, kerajaan dan bahasa berhasil bersatu membentuk identitas bersama yang di kemudian hari kita sebut sebagai Indonesia. Namun bukan berarti konsep ukhuwah Islam atau persatuan umat Islam mudah diaplikasikan. Keragaman yang menyelimuti masyarakat Muslim menjadi tantangan bagi penerapan konsep ideal itu. Dalam konteks Indonesia kekinian, keragaman pemikiran, praktik ritual, partai, dan kepentingan turut membuat umat Islam saat ini tampak tidak bersatu dan terkesan bercerai. Persoalan ini akan semakin rumit ketika pihak luar (the other) turut bermain dengan segala macam hiden agendas-nya. Di titik inilah diperlukan upaya-upaya serius untuk terus menerus mendorong umat Islam menuju titik persamaan sehingga terbentuk idealitas persaudaraan berbasis keyakinan (Islam). Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah dengan menggali gagasan para tokoh umat di masa lalu yang menyediakan landasan moral dan epistemologis bagi terbentuknya persatuan umat. Diharapkan gagasan-gagasan tersebut mampu melahirkan inspirasi bagi kita dalam upaya membangun dan menjaga persatuan umat di masa kini. Menimbang hal itu, tulisan ini mencoba menyajikan gagasan tokoh pesantren yang selama ini identik dengan gerakan tradisionalisme Islam Nahdlatul Ulama (NU). Tak bisa dipungkiri bahwa KH. Hasyim Asy`ari merupakan salah tokoh yang berperan besar bagi pembangunan identitas keindonesiaan yang berbasiskan iman. Salah satu peran penting tokoh ini adalah keluarnya fatwa resolusi jihad melawan kolonialisme Belanda hingga melahirkan peristiwa 10 Nopember di Surabaya. Tulisan ini terfokus pada gagasan-gagasan KH. Hasyim Asy`ari yang menyediakan landasan etik bagi terbentuknya persatuan umat Islam, khususnya di Indonesia.

Latar Belakang Sosio-Kultural Hadhrat al-Syaikh (guru terhormat), demikian orang menyebut KH. Hasyim Asy`ari yang lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzulqaidah 1287 H atau 14 Februari 1871 M. Ia adalah 320


A. Khoirul Fata & M. Ainun Najib: Kontekstualisasi Pemikiran Hasyim Asy‘ari

anak ketiga dari Halimah (Winih) dan Asy’ari. Secara berurutan saudara Hasyim Asy`ari adalah Nafi’ah, Ahmad Saleh, Rodhiah, Hasan, Anis Fathonah, Maimunah, Ma’sum, dan yang paling bungsu, Adnan. Sejumlah hagiografi menjelaskan sinyal bahwa kelak anak kecil yang bernama Muhammad Hasyim tersebut akan menjadi kiai besar dan tokoh umat Islam. Hasyim Asy`ari dilahirkan setelah sang ibu mengandungnya selama 14 bulan, tidak 9 bulan 10 hari seperti kehamilan normal. Kepercayaan masyarakat Jawa menyakini kehamilan yang lama mengindikasikan kecermelangan sang bayi di masa depan.1 Terlebih lagi, Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh dari langit dan menimpa tepat di atas perutnya. Hasyim Asy`ari tumbuh dan berkembang dalam lingkungan dan tradisi pesantren. Sejak kecil hingga muda KH. Hasyim Asy`ari dihabiskan di beberapa pesantren di Jawa Timur. Setelah bermukim di Makkah selama tujuh tahun, mendirikan Pesantren Tebuireng (1889) yang mendapatkan rechtpersoon dari pemerintah Hindia Belanda tahun 1906, dan menjadi pengasuh pesantren yang terletak di sebelah barat pabrik gula Cukir tersebut hingga meninggal. Hasyim Asy`ari memang menghabiskan sepanjang hayatnya di pesantren. Tempat kelahirannya adalah Pesantren Gedang-Jombang dan menjadi santri kelana di beberapa pesantren di Jawa Timur. Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah putera Kiai Abdul Wahid Tingkir berasal dari Demak, Jawa Tengah,dan merupakan pendiri pesantren Keras-Jombang. Secara geneologis, Kiai Asy`ari merupakan keturunan ke delapan penguasa Kerajaan Islam Demak, Sultan Pajang yang terkenal dengan julukan Jaka Tingkir (Mas Karebet), anak Raden Brawijaya VI.2 Versi lain menyebutkan bahwa garis keturunan Jaka Tingkir berasal dari silsilah ibu Hasyim, Winih (Halimah) yang merupakan keturunan ketujuh.3 Bahkan dari keturunan garis ayah pula, silsilah Hasyim Asy`ari dapat dirunut dari keluarga Syaiban berasal dari keturunan para da’i Arab Muslim yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam pada abad ke-4 H serta mendirikan pusat pendidikan agama Islam. Keluarga Syaiban adalah keturunan Imam Ja‘far al-Shâdiq bin Imam Muhammad Baqîr.4 Versi lain menyebut garis keturunan Hasyim Asy`ari dari silsilah Sunan Giri, salah satu Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-16.5 Pesantren Gedang, tempat kelahiran KH. Hasyim Asy’ari, merupakan pusat gerakan Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj’ari: Bapak Ummat Islam Indonesia (Jombang: Pondok Pesantren Tebuireng, 1949), h. 21. 2 Abdurahman Wahid, “KH. Bisri Syansuri: Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat” dalam Humaidy dan Ridwan Falka AS (ed.), Biografi 5 Rais ‘Am NU (Yogyakarta: LTN-NU dan Pustaka Pelajar, 1995), h. 70. 3 Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj’ari, h. 55. 4 Muhammad Asad Syihab, Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. Mustofa Bisri (Yogyakarta: Kalam Semesta dan Titian Ilahi Press, 1994), h. 27. 5 M. Isham Hadziq, “Al-Ta’rif bi al-Muallif” dalam Hasyim Asy’ari, ‘Adâb al-‘Âlim wa alMuta’allim (Jombang: Maktabah al-Turâts bi Ma’had Tebuireng, t.t), h. 3. 1

321


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Tarekat Naqsabandiyah di Jombang dan terbesar di Jawa Timur. Karena itu, desa Gedang mempunyai daya tarik perekrutan jama’ah tarekat. Salah satu guru tarekat ini adalah Kiai Usman. Menurut Abdurrahman Wahid, tanpa menyebutkan silsilahnya, Kiai Usman adalah salah satu guru terkemuka dalam silsilah guru-guru tarekat di Jawa Timur pada pertengahan abad ke-19.6 Popularitas Kiai Usman menjadi faktor daya tarik bagi banyak santri. Asy’ari, seorang santri asal Demak yang cerdas dan luhur budi pekertinya, dijadikan sebagai menantunya, yang kemudian hari mempunyai anak bernama Muhammad Hasyim. Kendati terlahir dalam tradisi tarekat Naqsabandiyah, KH. Hasyim Asy`ari tidak mengikuti jejak kakeknya dan bahkan bersikap kritis terhadap eksistensi tarekat, dan terlibat polemik dengan Kiai Khalil dari Pesantren Darul Ulum, pendiri tarekat Naqsabandiyah Rejoso, karena mendakwakan kewalian dirinya.7 Sikap tersebut tidak berarti KH. Hasyim Asy`ari menolak sufisme (taShawwuf) dan tarekat. Dalam epilog Sirâj al-Thâlibîn, Syarh Minhâj al-‘Âbidîn ilâ Jannat Rabb al-’Âlamîn al-Ghazâlî karya Ihsan Muhammad Dahlan Jampes-Kediri, KH. Hasyim Asy`ari memandang tasawuf sebagai pokok ilmu pengetahuan agama yang mensucikan hati dan mengarahkan Muslim mengenal Tuhan.8 Melalui karyanya yang berjudul al-Durar al-Muntathirah, Hasyim Asy`ari mengafirmasi bahwa tarekat yang terlarang adalah tarekat yang berlawanan secara diametral dengan al-Qur’an dan hadis karena tarekat semacam tidak lebih merupakan tarekat yang menyimpang. 9 Hasyim Asy`ari memperkenankan mengikuti tarekat yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad, dengan beberapa catatan, antara lain: qasd Shahîh (tujuan baik), artinya mengikuti tarekat harus disertai tujuan ibadah yang ikhlas, bukan karena atas dasar keuntungan material dan karâmah; shidq sharîh (percaya sepenuhnya kepada mursyid), artinya murid memiliki kepercayaan bahwa mursyid-nya mampu mengantarkannya dekat dengan Tuhan; adâb mardhiyah (tatakarama yang diridhai) artinya menjadi anggota tarekat tidak berarti lantas bersikap egoistik, tetapi konsisten welas asih dan menghargai orang lain; ahwâl zakiyah (tingkah laku yang bagus) artinya tarekat mengandaikan munculnya perbuatan yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad; hifz al-hurmah (menjaga kehormatan); husn al-khidmah (pelayanan) artinya memasuki tarekat berarti memberikan pelayanan kepada guru dan kaum muslim; raf’u al-himmah (meluhurkan kemauan), tarekat bukan tempat untuk merengkuh dunia, melainkan sarana ma’rifat.; dan nufudh al-’azimah (melestarikan niat) membangun kontinuitas memasuki tarekat untuk ma’rifat.10 Wahid, KH. Bisri Syamsuri, h. 70. Abdurrahman Wahid, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 28. Lihat juga Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia (Bandung: Mizan, 1992), h. 168. 8 Ihsan Muhammad Dahlan, Sirâj al-Thâlibîn: Syarh Minhâj al-‘Âbidîn Ilâ Jannat Rabb al’Âlamîn al-Ghazâlî, Jilid II (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 543. 9 Hasyim Asy’ari, Taburan Permata yang indah, terj. Moh. Tolchah Mansoer (Kudus: Menara, t.t), h. 8. 10 Asy’ari, Taburan Permata, h. 20. 6 7

322


A. Khoirul Fata & M. Ainun Najib: Kontekstualisasi Pemikiran Hasyim Asy‘ari

KH. Hasyim Asy`ari juga menegaskan beberapa koridor yang harus dilakukan jika seseorang ingin diklasifikasikan sebagai pengikut tarekat yaitu, 1); mempunyai sikap kasih sayang kepada orang lain 2) memuliakan orang lain; 3) bersikap adil; dan 4) tidak mementingkan diri sendiri. Selain itu ahli tarekat harus: 1) menjauhi orang yang berbuat kedzaliman; 2) memuliakan orang ahli akhirat; 3) menolong orang lain; dan 4) melaksanakan salat lima waktu berjama’ah dan tepat waktu.11 Dalam kerangka itu, tampak jelas bahwa tarekat atau sufisme tidak dapat dipisahkan dengan syari’ah serta melepaskan diri dari tanggung jawab sosial. Sejak kecil KH. Hasyim Asy`ari mempunyai semangat kaum pedagang. Tujuh tahun sebelum NU berdiri, KH. Hasyim Asy`ari menjabat ketua Nahdlatul Tujjar (1918), sebuah badan usaha berbentuk koperasi yang didirikan oleh KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri.12 Tidak mengherankan kiranya, pada akhir hayatnya KH. Hasyim Asy`ari mewariskan dua hektar lahan pemukiman dan sembilan hektar sawahnya kepada pesantren Tebuireng sebaga wakaf untuk digunakan pusat pengembangan pendidikan agama. 13 Latar belakang sosial-keagamaan KH. Hasyim Asy`ari tidak melulu ditempatkan dalam ‘sangkar emas’ pesantren dengan masyarakat petani desa sebagai basis sosialnya. Semangat dagang menjadikan KH. Hasyim Asy`ari sebagai golongan santri menengah yang mempunyai padangan kosmopolitan dan tidak terkungkung dalam pandangan keagamaan yang konservatif, di samping karena ditunjang jaringan intelektual yang panjang selama beberapa tahun di Makkah.14 Akan tetapi, pembaharuan yang dilakukan KH. Hasyim Asy`ari tidak seradikal seperti yang dilakukan golongan Islam reformis lainnya. Watak budaya Jawa telah membentuk karakter lunak KH. Hasyim Asy`ari yang selalu menghargai dan melakukan perubahan secara gradual. 15 Pembaharuan pemikiran keagamaan KH. Hasyim Asy`ari juga merambah ke ranah pendidikan. Sejak tahun 1920, pesantren Tebuireng memperkenalkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, matematika, sejarah dan geografi.16 Memberikan pelajaran umum saat itu merupakan langkah pembaharuan yang sangat radikal karena kokohnya pandangan bahwa pelajaran umum haram diajarkan. Tidak hanya itu, menggunakan bangku dan papan tulis saja dianggap tidak bertentangan dengan Islam. Pembaharuan pesantren Tebuireng semakin menemukan momentumnya, ketika Kiai Muhammad Ilyas (1911-1970), keponakan KH. Hasyim Asy`ari sekaligus salah satu muridnya yang terkemuka, diangkat menjadi direktur madrasah salafiyah pesantren Tebuireng pada tahun 1929. Di bawah kepemimpinan Kiai Muhammad Ilyas, madsarah salafiyah Asy’ari, Taburan Permata, h. 20. Wahid, KH. Bisri Syansuri, h. 82. 13 Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 102. 14 Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h. 98. 15 Atjeh, Sedjarah Hidup, h. 80. 16 Dhofier, Tradisi Pesantren, h. 38. 11 12

323


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Tebuireng meningkatkan alokasi pelajaran membaca dan menulis huruf Latin, bahasa Indonesia, geografi, matematika, dan sejarah. Langkah Kiai Muhammad Ilyas tersebut mendapatkan dukungan sepenuhnya dari KH. Hasyim Asy’ari. Diperkenalkannya pelajaran umum mendapatkan kritik yang tajam dari kiai-kiai, sehingga mengakibatkan banyak orang tua yang melarang anaknya belajar di pesantren Tebuireng. Seluruh kritikan tajam terhadap pola pendidikan di pesantren Tebuireng hilang sama sekali, ketika pada awal 1940-an terjadi pendudukan Jepang yang melarang surat menyurat kecuali dengan menggunakan bahasa Latin.

Geneologi dan Karya Intelektual Perpindahahan dari satu pesantren ke pesantren lain membuat seorang santri keliling itu mampu mendapatkan pengetahuan agama yang menjadi unggulan di pelbagai pesantren. Hasyim Asy`ari mengeyam pendidikan pesantren sejak masih kecil. Hingga usia 6 tahun, ia di bawah asuhan kakeknya, Kiai Usman. Pada tahun 1876, Hasyim Asy`ari pindah ke desa Keras (kira-kira 6 kilometer selatan kota Jombang) mengikuti orangtuanya yang mendirikan pesantren di desa tersebut. Ayahnya, Kiai Asy`ari mengajarkan dasar-dasar pengetahuan agama Islam, terutama tauhid, tafsir dan bahasa Arab, hingga berusia 15 tahun. Kecerdasan otak KH. Hasyim Asy`ari membuatnya menguasai seluruh pelajaran yang disampaikan orang tuanya, dan bahkan melakukan muthâla’ah terhadap kitab-kitab yang belum diajarkan gurunya. Atas dasar itulah, Hasyim Asy`ari diperkenankan mengajar bahasa Arab dan pelajaran agama terhadap santri tingkat dasar, ketika usia baru menginjak 12 tahun, yaitu tahun 1883.17 Pesantern yang pertama disinggahi Hasyim Asy`ari adalah Pesantren Wonokojo, Probolinggo, kemudian Pelangitan (mungkin Langitan Tuban) dan Terenggilis. Ia kemudian menyeberangi pulau Madura dalam rangka belajar tata bahasa dan sastra Arab, fikih, dan tasawuf kepada Kiai Khalil Bangkalan (w. 1925) selama tiga tahun. Tahun 1891, Hasyim Asy`ari memutuskan untuk belajar di pesantren Siwalan Panji Sidoarjo di bawah asuhan Kiai Ya’kub. Karena terkesima dengan kecerdasan otak dan akhlak KH. Hasyim Asy’ari, Kiai Ya’kub menjodohkannya dengan Khadijah, anaknya sendiri. 18 Tidak berselang lama, pada 1892, Hasyim Asy`ari bersama istri dan mertua pergi ke Makkah, baik dalam rangka menunaikan ibadah haji maupun belajar. Setelah tujuh bulan di Makkah, istri KH. Hasyim Asy`ari melahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Abdullah. Namun, kedukaan menyergap KH. Hasyim Asy`ari karena sang istri yang menyertainya dan kemudian disusul anaknya yang masih balita, meninggal dunia. KH. Atjeh (ed). Sedjarah Hidup, h. 72. Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi (Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 198. Versi lain menyebutkan bahwa ketika itu KH. Hasyim Asy`ari berusia 13 tahun lihat Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj’ari, h. 21. 18 Akarhanaf, Kiai Hasjim Asj’ari, h. 23. 17

324


A. Khoirul Fata & M. Ainun Najib: Kontekstualisasi Pemikiran Hasyim Asy‘ari

Hasyim Asy`ari memutuskan untuk sementara kembali ke tanah air. Belum genap setahun di tanah air, KH. Hasyim Asy`ari pergi ke Makkah bersama adik kandungnya, Anis, untuk kedua kalinya, dan bermukim selama enam tahun. Di Makkah, KH. Hasyim Asy`ari menjadi murid Syaikh Mahfuz al-Tarmisi (w. 1919), ulama yang ahli dalam bidang kitab hadis Sahih Bukhari berikut sanadnya. Syaikh Mahfuz adalah ulama Indonesia pertama yang mengajarkan kitab Sahih Bukhari di Mekah. Melalui Shaikh Mahfuz, Hasyim Asy`ari mendapatkan ijâzah untuk mengajar kitab tersebut.19 Guru lain KH. Hasyim Asy`ari adalah Syaikh Nawawi al-Bantani (w. 1896).20 Tidak ada sumber tertulis yang menerangkan tentang pengetahuan apa yang diajarkan Nawawi al-Bantani kepada KH. Hasyim Asy’ari. Tidak sekadar dua nama di atas, Hasyim Asy`ari juga berguru kepada tokoh reformis Ahmad Khatib Minangkabau (w. 1916). Melalui Ahmad Khatib, terciptalah titik temu jaringan intelektual antara KH. Hasyim Asy`ari dengan KH. Ahmad Dahlan (w. 1921), pendiri Muhammadiyah, karena kedua tokoh organisasi Islam di Indonesia tersebut pernah berguru kepada Ahmad Khatib. Ahmad Khatib memiliki kemampuan mendalam tentang matematika dan ilmu alam dan banyak menyetujui gagasan pembaharuan Islam Muhammad ‘Abduh dan termasuk anti-tarekat. Selain ketiga guru di atas, KH. Hasyim Asy`ari juga berguru kepada ulama-ulama ‘non-Jawi ‘ (bukan dari Nusantara) seperti Syaikh ‘Abd al-Hamîd al-Durustâni, Syaikh Muhammad Syu’ayb al-Maghrîbi,21 Syaikh Sata dan Syaikh Dagistani.22 Nama-nama tersebut merupakan ulama yang terkenal pada masa itu. Hanya saja tidak ada sumber tertulis yang menjelaskan tentang bidang apa yang KH. Hasyim Asy`ari pelajari dari ulama-ulama terkenal tersebut. Dengan geneologi intelektual yang beragam, KH. Hasyim Asy`ari secara tidak langsung menempatkan diri sebagai kelompok terpelajar dan bagian penting dalam tradisi intelektual Islam. Posisi ini dikokohkan dengan kelahiran beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari, terutama dalam persoalan keagamaan. Dalam rangka meneruskan tradisi intelektual, KH. Hasyim Asy’ari, selain mengajar, juga mempunyai waktu khusus sekitar jam 10.00-12.00 untuk membaca dan menulis.23 Bahkan, di tengah padatnya jam mengajar di pesantren, KH. Hasyim Asy`ari mempunyai kebiasaan membaca ketika sedang menunggu kereta. 24 Tidak mengherankan bila KH. Hasyim Asy`ari termasuk penulis yang relatif produktif. Muhammad Isham Hadiq mencatat ada sekitar sepuluh karya KH. Hasyim Asy’ari, Mas’ud, Intelektual Pesantren, h. 201. Bruinessen, Kitab Kuning, h. 37. 21 Mas’ud, Intelektual Pesantren, h. 200. 22 Wahid, Bisri Syansuri, h. 68. 23 Sholihin Salam, KH. Hasjim Asj’ari, Ulama besar Indonesia (Jakarta: Djajamurni, 1963), 19 20

h. 37.

Mas’ud, Intelektual Pesantren, h. 210.

24

325


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 antara lain: Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim (etika guru dan murid) tentang pentingnya ilmu pengetahuan dan etika belajar; Ziyâdat Ta’lîqat ‘alâ Manzûmat al-Syaikh ‘Abd Allâh ibn Yasin al-Fasuruwani (Catatan Tambahan atas Syair Syaikh ‘Abd Allah Yasin Pasuruan) mengenai catatan KH. Hasyim Asy`ari atas catatan ‘Abd Allah Yasin terhadap Nahdlatul ‘Ulama; Al-Durâr al-Muntathirah fi al-Masâ’il al-Tis’a Asyarah (Taburan Permata dalam sembilan belas persoalan) berisikan dengan tarekat dan wali; Al-Tanbîhat al-Wâjibat li Man Yasna’u al-Mawlid bi al-Munkarat (Peringatan Penting bagi Orang yang Merayakan Acara Kelahiran Nabi Muhammad dengan Melakukan Kemunkaran); Risâlah Ahl alSunnah wa al-Jamâ’ah (Risalah Ahlu Sunnah wal Jamaah) yang berisikan hadis tentang kematian, tanda-tanda kiamat, penjelasan memahami sunnnah dan bid’ah; Al-Nûr alMubîn fi Mahabbati Sayyid al-Mursalîn (Cahaya Terang dalam Mencintai Rasul) menjelaskan makna cinta Rasul Allah; Al-Tibyân fi al-Nahy ‘an Muqâtha’at al-Arhâm wa al-Aqârib wa al-Ikhwân (Penjelasan tentang Larangan Memutus hubungan Kerabat, Teman dekat dan Saudara); Al-Risâlah al-Tawhidiyah (Kitab Teologi); Al-Qalâid fi mâ Yajibu min al-’Aqâid (Syair-syair Menjelaskan Kewajiban Aqidah).25 Diperkirakan beberapa karya intelektual KH. Hasyim Asy`ari hingga kini belum ditemukan. Pengakuan terhadap karya-karya KH. Hasyim Asy`ari tidak sekadar di lingkungan NU dan pesantren pada umumnya, melainkan melintasi batas-batas negara. Beberapa ulama al-Azhar, seperti Yusuf ad-Dajwa dan Ahmad Said Ali, memandang bahwa Al-Tanbîhât al-Wâjibat li Man Yasna’u al-Mawlid bi al-Munkarât merupakan sebuah kitab yang lugas rangka memperingatkan agar kebaikan tidak bercampur dengan kemunkaran. 26

Tauhid sebagai Asas Persatuan KH. Hasyim Asy`ari merupakan salah satu representasi generasi komunitas Jawa di Makkah yang bersentuhan dan terpengaruh dengan gerakan pan-Islamisme Jalal alDin al-Afghani (1839-1897) dan Muhammad ‘Abduh (1845-1905) melalui Syaikh Ahmad Khatib.27 Gerakan Pan-Islamisme berupaya mempersatukan kembali kekuatan Islam untuk membangun perlawanan terhadap ekspansi kolonialisme Barat-Kristen yang menyapu wilayah-wilayah Muslim di seluruh dunia. Sebagai gerakan politik keagamaan, Pan-Islamisme menggunakan sentimen keagamaan dan merujuk pada sejarah kejayaan Islam pada masa silam.28 Pemikiran Pan-Islamisme Afghani didasarkan pada keyakinan bahwa Islam Hadziq, Al-Ta’rîf bi al-Muallif, h. 6-7. Hasyim Asy’ari, Cahaya Cinta Rasul, terj. Khoiron Nahdliyin dan Ah. Adib al-Arif (Yogyakarta: LKPSM, 1999), h. 191. 27 Zamakhsyari Dhofier, “KH. Hasyim Asy’ari: Penggalang Islam Tradisional” dalam Humaidy dan Ridwan Falka AS (ed.), Biografi 5 Rais ‘Am NU (Yogyakarta: LTN-NU dan Pustaka Pelajar, 1995), h. 1. 28 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 345. 25 26

326


A. Khoirul Fata & M. Ainun Najib: Kontekstualisasi Pemikiran Hasyim Asy‘ari

adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Kalau terlihat ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman dan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru tentang ajaran-ajaran Islam seperti yang tercantum dalam al-Qur’an dan hadis. Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad dan pintu ijtihad harus selalu terbuka. 29 Bagi Afghani, kemunduran umat Islam bukanlah karena Islam itu sendiri, namun lebih karena umat Islam telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan mengikuti ajaran-ajaran dari luar yang asing bagi Islam. Selain itu, kemunduran umat Islam terjadi karena perpecahan di kalangan umat Islam, pemerintahan absolut, pengabaian terhadap kekuatan militer, pemimpin yang tidak dapat dipercayai, pejabat negara yang tidak kompeten, serta intervensi asing.30 Itu semua membuat rasa persaudaraan umat islam menjadi lemah bahkan terputus. Salah satu jalan utama yang disarankan Afghani untuk membangkitkan kembali umat Islam adalah mewujudkan kembali persatuan umat Islam.31 Sejak awal komunitas Jawa, sebutan orang Makkah terhadap orang-orang yang berasal dari kepulauan Hindia Timur, dipandang sebagai orang-orang yang berbahaya karena, seperti yang diungkapkan Snouck Hurgronje, pergaulan hidup bersama selama bertahun-tahun di Tanah Suci membentuk kesadaran politik atas urgensi persatuan kaum Muslim sedunia.32 Melalui komunitas Jawa pula kekuatan politik keagamaan Nusantara mendapatkan sumber daya manusia yang melimpah. Ini terbukti dengan pemberontakan yang dipelopori oleh orang-orang yang baru saja menunaikan ibadah haji, seperti dalam Perang Paderi (1821-1830). Sehingga komunitas Jawa di Tanah Suci menjadi fokus perhatian Belanda. Bermukim di Makkah selama tujuh tahun memberi bekas pada pemikiran KH. Hasyim Asy`ari berupa cita-cita mempersatukan kekuatan Islam. Pada dasarnya keinginan ini merupakan dorongan atas imperatif beberapa ayat al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad SAW. Persatuan kaum Muslim merupakan sebuah keniscayaan yang dilandaskan atas keberimanan kepada Allah, karena orang yang beriman itu bersaudara. 33 Iman hanya tumbuh dari orang yang memiliki tauhid. Karena itu, orang yang tidak mempunyai tauhid

Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 54-55. 30 Ibid., h. 55-56. 31 Ibid. 32 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 33. 33 Hasyim Asy’ari, “Muqaddimat al-Qânûn al-Asâsî li Jam’iyah Nahdhah al-’Ulama”, dalam Al-Tibyân fi al-Nahy ‘an Muqâta’at al-Arhâm wa al-Aqârib wa al-Ikhwân wa Yalihi Muqaddimat al-Qanun al-Asâsi li Jam’iyah Nahdhah ‘Ulama wa al-Risâlat fi Ta’akkud al-Akhdh bi Madhâhib al-Aimmah al-Arba’ah wa al-Mawaiz wa al-Arba’in Hâdith Nabawiyah Tata’allaq bi MabAdi Jam’iyah Nahdh al-’Ulama (Jombang: Maktabat al-Turâts al-Islami bi Ma’had Tebuireng, t.t), h. 22. 29

327


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 maka sebenarnya tidak dianggap kaum beriman. 34 KH. Hasyim Asy`ari menandaskan, sebagaimana dikutip dari kitab al-Risâlat al-Qusyayriyah, tauhid ialah pandangan dunia yang menghukumi sesuatu itu satu.35 Pandangan dunia dalam Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran (the vision of reality and truth). Realitas dan kebenaran dalam Islam bukanlah semata-mata pikiran tentang alam fisik dan keterlibatan manusia dalam sejarah, sosial, politik dan budaya sebagaimana yang ada di dalam konsep Barat sekular mengenai dunia, yang dibatasi kepada dunia yang dapat dilihat. Realitas dan kebenaran dimaknai berdasarkan kajian kepada metafisika terhadap dunia yang nampak dan tidak nampak. Jadi, pandangan dunia/hidup Islam mencakup dunia dan akhirat, yang mana aspek dunia harus dihubungkan dengan cara yang sangat mendalam kepada aspek akhirat, dan aspek akhirat memiliki signifikansi yang terakhir dan final. Pandangan–hidup Islam tidak berdasarkan kepada metode dikotomis seperti objektif dan subjektif, historis dan normatif. Namun, realitas dan kebenaran dipahami dengan metode yang menyatukan (tawhîd). Pandangan dunia/hidup Islam bersumber kepada wahyu yang didukung oleh akal dan intuisi. Substansi agama seperti: nama, keimanan dan pengamalannya, ibadahnya, doktrinya serta sistem teologinya telah ada dalam wahyu dan dijelaskan oleh Nabi. Islam telah lengkap, sempurna dan otentik. Tidak memerlukan progresifitas, perkembangan dan perubahan dalam hal-hal yang sudah sangat jelas (alma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah). Pandangan dunia/hidup Islam terdiri dari berbagai konsep yang saling terkait seperti konsep Tuhan, wahyu, pencipatan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai dan kebaikan serta kebahagiaan. Konsep-konsep tersebut yang menentukan bentuk perubahan, perkembangan dan kemajuan. Pandangan hidup Islam dibangun atas konsep Tuhan yang unik, yang tidak ada pada tradisi filsafat, budaya, peradaban dan agama lain.36 Orientasi tauhid sebagai kekuatan yang menggerakkan persatuan umat Islam mengindikasikan bahwa tauhid bukan saja berkaitan dengan beriman kepada Tuhan yang Maha Esa seperti yang diyakini selama ini, melainkan juga kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan manusia (unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance) dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life). Seluruh pandangan hidup tersebut merupakan derivasi dari kesatuan Tuhan (unity of Godhead). 37

Hasyim Asy’ari, Adâb al-‘Alim wa al-Muta‘allim (Jombang: Maktabat al-Turâth al-Islâmi bi Ma’had Tebuireng, t.t), h. 11. 35 Hasyim Asy’ari, Taburan Permata yang indah, terj. Moh. Tolchah Mansoer (Kudus: Menara, t.t), h. 11. 36 Adnin Armas, “Dewesternisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” paper disampaikan dalam Serial Seminar INSISTS yang diadakan di Gedung Gema Insani, Depok, 29 September 2007/17 Ramadhan 1428. 37 Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1987), h. 18. 34

328


A. Khoirul Fata & M. Ainun Najib: Kontekstualisasi Pemikiran Hasyim Asy‘ari

Imperatif persatuan umat yang dibangun atas dasar kesamaan iman merupakan implikasi jauh dari tauhid juga menjadi cita-cita politik KH. Hasyim Asy’ari. Dengan bahasa yang agak serupa, KH. Hasyim Asy`ari menekankan persatuan umat yang dibangun atas dasar faktor kesamaan agama. 38 Persatuan adalah sebuah keniscayaan karena kaum beriman bersaudara sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat. Layaknya satu tubuh yang bila salah satu anggota tubuh sedang sakit, maka yang lainnya juga merasakan kesakitan pula.39 Sebaliknya, perpecahan umat Islam merupakan refleksi kesadaran kolektif umat yang dikuasai oleh setan dan hawa nafsu yang menyesatkan. 40 KH. Hasyim Asy`ari menyadari betul bahwa mengaplikasikan persatuan kaum Muslim tidak semudah membalikkan tangan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa benihbenih perpecahan justru terjadi sejak Nabi Muhammad SAW. meninggal dunia yang ditandai dengan perebutan kekuasan politik antara kaum Muhajirin dan Ansor, meskipun dalam beberapa dekade perpecahan tersebut dapat diselesaikan. Perpecahan umat Islam secara eksplisit diramalkan Nabi Muhammad SAW., bahwa Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga sekte (firâq); Semuanya masuk neraka, kecuali satu sekte yaitu orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnah nabi Muhammad dan sahabat. 41 Kendati demikian, KH. Hasyim Asy`ari tidak bersikap fatalistik terhadap realitas sejarah. Paling tidak, beliau tetap menuntut kemungkinan untuk mempersatukan kaum Muslim Indonesia dalam perbedaan; mengelola konflik umat dan mentransformasikannya dalam persatuan. Karena itu, KH. Hasyim Asy`ari menyuarakan keprihatinan etis atas polarisasi dan segregasi umat Islam Indonesia. Pasalnya, manusia itu pada dasarnya diciptakan untuk bermasyarakat dan bersatu. Seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan sendirian tanpa bantuan orang lain. Sebaliknya persatuan akan mendatangkan kebaikan bagi umat manusia dan menghindarkan dari bahaya yang mengancam. Persatuan merupakan prasyarat utama untuk menciptakan kemakmuran sekaligus mendorong terjalinnya moral welas asih antar sesama umat. Sebaliknya, perpecahan dan memutuskan hubungan persaudaraan adalah perbuatan dosa besar dan kejahatan yang keji.42 KH. Hasyim Asy`ari menegaskan bahwa, persatuan telah terbukti mendatangkan kemakmuran negeri, kesejahteraan rakyat, tersemainya peradaban, dan kemajuan negeri.43 Hasyim Asy’ari, Al-Mawaiz, h. 34. Asy’ari, Muqaddimat al-Qânun al-Asâsi, h. 22. 40 Asy’ari, Al-Tibyân, h. 16. 41 Hadis ini diriwayatkan Abu Dawud, al-Turmudi dan Ibn Majah seperti dikutip Hasyim Asy`ari dalam Risalat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (Jombang: Maktabat al-Turath al-Islami Tebuireng, t.t), h. 23. 42 Asy’ari, Al-Tibyân, h. 5. 43 Asy’ari, Muqaddimah al-Qânun al-Asâsi, h. 22. 38 39

329


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Dalam Muktamar NU ke-16 tahun 1946, KH. Hasyim Asy`ari mengungkapkan keprihatinan atas hilangnya persaudaraan sesama umat. Ini dibuktikan dengan kelaparan yang melanda umat Islam, tetapi tidak ada yang tergerak untuk menolong. 44 Di samping dibangun atas landasan kesamaan agama, KH. Hasyim Asy`ari membayangkan membangun persatuan umat atas kesadaran sebagai “komunitas Jawa”. 45 Dalam perspektif historis istilah al-Jawi (Jawa) merupakan rumusan identitas masyarakat Nusantara yang didasarkan pada kesamaan keagamaan dan menjadi pembeda dengan masyarakat lain, seperti masyarakat India dan China. Hubungan diplomatik dan perdagangan antarkerajaan Islam Nusantara yang terjalin sejak abad ke-13 berimplikasi pada terjalinnya ikatan kultural-keagamaan yang sama antar masyarakat Muslim di Nusantara. Ikatan tersebut semakin menguat dengan penggunaan bahasa Melayu dengan aksara Arab sebagai bahasa politik-budaya dan agama Muslim Nusantara. Di kemudian hari aksara Arab berbahasa Melayu itu disebut dengan aksara Jawi. Karena itu, Ibrahim al-Kurani (w. 1690), ulama Mekkah abad ke-17 dan guru dari Abdurrauf alSingkel (w. 1693), secara sadar menyebut al-Jawah sebagai audience pembaca kitabnya.46 Pembentukan identitas komunitas Jawa semakin menguat bersamaan dengan jaringan intelektual yang intensif dengan dunia Muslim, khususnya Mekkah. Jaringan intelektual yang terbangun memperkuat identitas Islam Nusantara sekaligus menegaskan komunitas Jawa sebagai identitas kultural-keagamaan Muslim Nusantara, dan ini berlangsung sejak abad ke-16 hingga paruh pertama abad ke-19. Kesadaran kolektif yang terbentuk sekian lama itu merupakan modal sosial dan politik yang signifikan dalam rangka membangun persatuan serta resistensi terhadap kolonialisme Barat. KH. Hasyim Asy`ari mencoba menggabungkan antara sentimen keagamaan dengan geografis agar terwujudnya persatuan umat Islam Nusantara. Artikulasi pemikiran KH. Hasyim Asy`ari tersebut menegaskan bahwa sejak kedatangan dan perkembangan awalnya di Indonesia, Islam, mengutip Azyumardi Azra, tidak hanya menjadi faktor penting yang menyatukan masyarakat Nusantara secara keagamaan, tetapi juga memberikan basis ikatan solidaritas sosial-politik yang kokoh. 47

Menolak Fanatisme Kelompok Upaya membangun persatuan umat Islam Nusantara bukan sekedar didasarkan Latiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy`ari (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. 63. 45 Asy’ari, Al-Mawaiz, h. 34. 46 Jajat Burhanuddin, “Islam dan Negara-Bangsa: Melacak Akar-Akar Nasionalisme Indonesia,” dalam Studia Islamika, Vol. 11, No. 1/2004, h. 172. 47 Azyumardi Azra, “Antara Kesetiaan dan Perbenturan: Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia dan Malaysia,” dalam Kalam, edisi 3/1994, h. 46. 44

330


A. Khoirul Fata & M. Ainun Najib: Kontekstualisasi Pemikiran Hasyim Asy‘ari

pada tauhid dan identitas sebagai masyarakat satu agama (Jawi), tetapi juga dengan penolakan atas fanatisme kelompok dalam tubuh umat. Dalam konteks saat itu, tokohtokoh umat khususnya KH. Hasyim Asy`ari dihadapkan pada kenyataan adanya perbedaan pemahaman dan praktik keagamaan dalam tubuh umat Islam saat itu. Secara umum para pelajar yang kembali dari Makkah memiliki kecenderungan pemikiran berbeda; sebagian mendukung gerakan modernisme Islam dan sebagian lain menentang ide-ide tersebut serta melestarikan tradisi keagamaan yang diwarisi secara turun temurun.48 Pendirian Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan pada 18 Nopember 1912 dianggap mewakili kalangan pembaharu dengan menyuarakan pembaharuan dan purifikasi Islam. Sebelum Muhammadiyah, terdapat beberapa organisasi yang mengusung gagasan pembaharuan Islam, antara lain Jamiat Khair (1905) yang kemudian terpecah menjadi alIrsyad (1913) dan Persyarikatan Ulama (1911) di Majalengka Jawa Barat.49 Ide pembaharuan Islam semakin mendapatkan dukungan setelah berdirinyan Persatuan Islam (Persis) 11 September 1923.50 Kalangan Muslim pembaharu menghendaki adanya Islam Murni yang tidak terkontaminasi dengan TBC (tahayul, bid’ah, dan c(k)hurafat). Slogan yang didengungkan adalah al-rujû’ ilâ al-Qur’ân wa hadîts (kembali kepada Al-Qur’an dan hadis).51 Islam harus dipahami dari sumber nash-nash agama, dan karena itu, bermazhab merupakan sesuatu yang terlarang. Selain menyuburkan budaya taqlîd buta, bermazhab memasung kebebasan akal manusia dan menghambat kemampuan Islam beradaptasi dengan kehidupan modern. Begitu pula, sinkretisme agama dipandang berada di luar mainstream Islam. Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926 secara tidak langsung merupakan reaksi terhadap munculnya gerakan-gerakan pembaharuan Islam tersebut. Ketegangan antara dua kelompok itu diwujudkan, antara lain, dengan pertemuan debat yang tidak jarang berubah menjadi wahana takfîr (saling mengkafirkan) terhadap sesama Muslim dan menjadi ajang perkelahian fisik.52 Meski turut dalam perdebatan dengan kalangan pembaharu, tak pelak KH. Hasyim Asy`ari menjadi prihatin atas pertentangan yang terjadi. Dalam Muktamar di Banjarmasin, KH. Hasyim Asy`ari mengangkat persoalan tersebut dalam sebuah sirkuler yang disebut al-Mawa’iz. Secara lugas beliau memberikan peringatan keras yang bahwa perbedaan pandangan keagamaan yang ada telah mengakibatkan berkobarnya permusuhan dan fitnah. Padahal Allah dan RasulNya melarang perbuatan tersebut. Di samping itu, KH. Mas’ud, Intelektual Pesantren, h. 214. Noer, Gerakan Modern, h. 66. 50 Howard M Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesai Abad 20, terj. Yudian W Aswin dan Afandi Mochtar (Yogyakarta: UGM Press, 1996), h. 113. 51 Achmad Jainuri, Ideologi Kaum Reformis (Surabaya: LPAM, 2002), h. 70. 52 Noer, Gerakan Modern, h. 252. 48 49

331


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Hasyim Asy`ari menganjurkan para ulama meninggalkan ta’assub (fanatisme) terhadap mazhab, karena ta’assub dalam persolan furû’ dan memegang satu mazhab atau pendapat adalah perbuatan yang tercela. Kecaman terhadap fanatisme dapat dipandang sebagai bentuk penghargaan terhadap pandangan yang berlainan. Peringatan keras fanatisme KH. Hasyim Asy`ari tidak hanya ditujukan pada satu kelompok. Bagi KH. Hasyim Asy’ari, larangan taklid yang disuarakan kaum pembaharu Islam, sekalipun atas pendapat yang marjûh, semestinya tidak disertai dengan permusuhan dan penghinaan terhadap orang-orang yang bertaklid, namun dengan argumentasi yang bernas dan disampaikan dengan cara yang bijak serta toleran. Karena bila tidak didesain seperti itu, maka pembaharu Islam tidak ubahnya “membangun sebuah istana dengan terlebih dulu menghancurkan sebuah kota.”53 Perbedaan pendapat seyogyanya tidak mendorong tumbuhnya permusuhan antara sesama muslim, melainkan melahirkan sikap yang toleran. Sikap toleransi yang dikembangkan KH. Hasyim Asy`ari terhadap perbedaan didasarkan pada sejarah kehidupan sahabat Nabi SAW. dan khazanah fikih yang begitu kaya dengan keragaman pandangan keagamaan. KH. Hasyim Asy`ari menegaskan bahwa di kalangan sahabat Nabi Muhammad pun terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan furû’iyyah. Juga antara pemimpin Imam Mazhab. Imam Abu Hanifah dengan Imam Malik terdapat perbedaan lebih dari empat belas ribu persoalan, demikian pula antara Imam Ahmad bin Hanbal dengan Imam al-Shafi’i. Akan tetapi, hal itu tidak mendorong tumbuhnya permusuhan antara mereka.54 KH. Hasyim Asy`ari menunjukkan sebuah riwayat toleransi yang dikembangkan Imam al-Syafi’i. Ketika berziarah ke makam Imam Abu Hanifah dan bermukim di sana selama tujuh hari, Imam al-Syafi’i setiap kali mengkhatamkan al-Qur’an menghadiahkan pahalanya kepada Imam Abu Hanifah. Tidak sekedar itu, selama tujuh hari itu Imam alShafi’i tidak qunût saat shalat Subuh sebagai bentuk penghormatan kepada Imam Abu Hanifah.55 Kendati demikian, penghargaan terhadap perbedaan pandangan keagamaan KH. Hasyim Asy`ari terbatas pada persoalan furû’iyyah semata, bukan pada pondasi agama yang berkaitan dengan ushuluddin. Tidak mengherankan, dalam konteks itu, terjadi konflik dan friksi antara KH. Hasyim Asy`ari dengan KH. Khalil Peterongan yang mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah dan mendakukan dirinya sebagai wali. Karena, menurut KH. Hasyim Asy’ari, tidak ada wali yang memproklamirkan kewaliannya, dan orang tersebut tidak ubahnya mendustakan Allah. 56

Asy’ari, al-Mawa’iz, h. 34. Asy’ari, Al-Tibyân, h. 15. 55 Asy’ari, Al-Tibyân, h. 16. 56 Asy’ari, Taburan Permata, h. 9. 53 54

332


A. Khoirul Fata & M. Ainun Najib: Kontekstualisasi Pemikiran Hasyim Asy‘ari

Penutup Persatuan umat Islam yang diidealkan sesungguhnya merupakan sesuatu yang sudah seharusnya inheren dalam pola pikir dan pola laku masyarakat Muslim. Hal itu tidak lepas dari kenyataan bahwa persatuan itu, sebagaimana gagasan KH. Hasyim Asy`ari di atas, merupakan refleksi atas ketauhidan yang menjadi inti ajaran Islam. Dan terbukti, ikatan persatuan iman itu mampu menyatukan masyarakat Nusantara di bawah identitas “Jawi” dan di kemudian hari bermetamorfosa sebagai Indonesia. Yang tak kalah penting dari itu adalah perlunya keberanian umat Islam untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan non-iman seperti fanatisme kelompok, partai, sukubangsa, dan kepentingan agar persatuan itu dapat terjaga. Umat Islam perlu belajar menghargai berbagai perbedaan pandangan, pemahaman, dan praktik ritual yang ada dalam tubuh umat selama hal itu terkait dengan persoalan furû’iyyah. Di sini kita perlu meminjam pemikiran Ibnu Taymiyah tentang ikhtilâf. Menurut Syaikh al-Islam tersebut, perbedaan (ikhtilâf) ada dua: tanawwu’ dan tudhâd. Perbedaan dalam hal-hal furu’ yang memiliki dasar syara’ adalah perbedaan dalam kontek keragaman (tanawwu’). Dalam hal ini umat Islam dituntut untuk saling toleransi dan menghindar dari fanatisme. Sementara perbedaan yang tidak memiliki rujukan syara’ adalah pertentangan (tudhâd) yang harus ditolak dengan tegas oleh umat.

Pustaka Acuan Armas, Adnin. “Dewesternisasi dan Islamisasi Ilmu Pengetahuan,” Paper disampaikan dalam Serial Seminar INSISTS yang diadakan di Gedung Gema Insani, Depok, 29 September 2007/17 Ramadhan 1428. Asy’ari, Hasim. “Muqaddimat al-Qanûn al-Asâsi li Jam’iyah Nahdlatul Ulama”, dalam Al-Tibyân fi al-Nahy ‘an Muqâtha’at al-Arhâm wa al-Aqârîb wa al-Ikhwân wa yalihi Muqaddimat al-Qanûn al-Asâsi li Jam’iyah Nahdlatul Ulama wa al-Risâlat fi Taakkud al-Akhdh bi Madhâhib al-Aimmah al-Arba’ah wa al-Mawaiz wa al-Arba’în Hadîth Nabawiyan Tata’allaq bi Mabâdi Jam’iyah Nahdlatul Ulama. Jombang: Maktabat al-Turâth al-Islâmî bi Ma’had Tebuireng, t.t. Asy’ari, Hasyim. Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim. Jombang: Maktabat al-Turath al-Islami bi Ma’had Tebuireng, t.t. Asy’ari, Hasyim. Cahaya Cinta Rasul terj. Khoiron Nahdliyin dan Ah. Adib al-Arif. Yogyakarta: LKPSM, 1999. Asy’ari, Hasyim. Risâlat ahl al-Sunnnah wa al-Jamâ’ah. Jombang: Maktabat al-Turâth al-Islâmî Tebuireng, t.t. Asy’ari, Hasyim. Taburan Permata yang indah ter. Moh. Tolchah Mansoer. Kudus: Menara, tt.

333


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Azra, Azyumardi. “Antara Kesetiaan dan Perbenturan: Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia dan Malaysia” dalam Kalam, edisi 3, 1994. Bruinessen, Martin van. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1992. Burhanuddin, Jajat. “Islam dan Negara-Bangsa: Melacak Akar-Akar Nasionalisme Indonesia,” dalam Studia Islamika, Vol. 11, No. 1/2004. Dahlan, Ihsan Muhammad Dahlan. Sirâj al-THâlibîn, syarh minhâj al-’Âbidîn ilâ Jannat Rabb al-’Âlamîn al-Ghazâlî II. Beirut: Dar al-Fikr, tt. Federspiel, Howard M. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam di Indonesai Abad 20, terj. Yudian W Aswin dan Afandi Mochtar. Yogyakarta: UGM Press, 1996. Hadziq, M. Isham Hadziq. “Al-Ta’rîf bi al-Muallif,” dalam Hasyim Asy’ari, Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim. Jombang: Maktabah al-Turath bi Ma’had Tebuireng, tt. Humaidy dan Ridwan Falka AS (ed.), Biografi 5 Rais ‘Am NU. Yogyakarta: LTN-NU dan Pustaka Pelajar. 1995. Jainuri, Achmad. Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM, 2002. Khuluq, Latiful. Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari. Yogyakarta: LKiS, 2000. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 1991. Madjid, Nurcholish. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Mas’ud, Abdurrahman. Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama dan Tradisi. Yogyakarta: LKiS, 2004. Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 1982. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1996. Rais, Amien. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan, 1987. Salam, Sholihin. KH. Hasjim Asj’ari, Ulama Besar Indonesia. Jakarta: Djajamurni, 1963. Syihab, Muhammad Asad. Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari, Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. Mustofa Bisri. Yogyakarta: Kalam Semesta dan Titian Ilahi Press, 1994. Wahid, Abdurahman. “KH. Bisri Syansuri: Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat” dalam Humaidy dan Ridwan Falka AS (ed.), Biografi 5 Rais ‘Am NU. Yogyakarta: LTN-NU dan Pustaka Pelajar, 1995.

334


INTEGRASI ILMU-ILMU KEISLAMAN DALAM PERSPEKTIF M. AMIN ABDULLAH Parluhutan Siregar Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan, 20371 e-mail: parluregar@gmail.com

Abstrak: Kritik terhadap pola pengembangan ilmu-ilmu Keislaman terutama pada tataran perguruan tinggi agama Islam belakangan ini banyak mendapat perhatian di Indonesia. Tulisan ini merupakan deskripsi-analitis terhadap pemikiran M. Amin Abdullah tentang integrasi ilmu-ilmu Keislaman. Penulis mengemukakan bahwa ilmu-ilmu Keislaman yang berkembang selama ini bersifat fragmentaris dan belum memiliki keterkaitan dengan isu-isu kekinian. Karena itu, diperlukan upaya membangun epistemologi keilmuan integratif-interkonektif. Penulis menemukan bahwa epistemologi keilmuan teo-antropo­sentrik-integralistik Amin Abdullah dibangun dari pengelompokan keilmuan. Teorinya dimulai dari al-Qur’an dan Sunnah, kemudian ‘Ulûm al-Dîn, al-Fikr al-Islâmy, dan Dirâsah al-Islâmiyyah. Keempat kategori keilmuan Islam tersebut dipetakan oleh Amin Abdullah ke dalam empat lingkar lapis peta konsep spider web, dengan memadukan seluruh disiplin ilmu sosial dan keagamaan vis-à-vis isuisu kontemporer. Abstract: The Integration of Islamic Sciences in the Perspective of M. Amin Abdullah. Criticism on the pattern of Islamic sciences development in Indonesia, especially at the level of Islamic religious higher education, has caught the attension of many critiques. This essay tries to analytically describe M. Amin Abdullah’s thought who promotes the concept of Islamic sciences integration. The writer maintains that Islamic sciences thus far, have still fragmentary in nature and have not yet interconnected with contemporary issues. As such, it is required to build the epistemology of integrated and interconnected science. The writer finds that theo-anthropocentric-integralistic epistemology of science of Amin Abdullah is developed against the backdrop of classification of science. His theory departs from the Qur’an and Sunnah, ‘Ulûm al-Dîn, al-Fikr al-Islâmy, and Dirâsah al-Islâmiyyah. Those categories of Islamic sciences are drawn by Amin Abdullah into four-layered concept mapping of spider web. Such epistemology combines all disciplines of social and religious sciences vis a vis contemporary issues.

Kata Kunci: filsafat ilmu, integrasi ilmu, kajian keislaman, M. Amin Abdullah 335


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pendahuluan Beberapa tahun belakang ini, kritik terhadap pola pengembangan ilmu-ilmu keislaman banyak mendapat perhatian di Indonesia. Salah satu tokoh yang paling serius melakukan kritik itu adalah M. Amin Abdullah (selanjutnya ditulis Amin Abdullah). Dalam sejumlah tulisannya, ia berulang­kali mengkritisi nalar keagamaan yang berkembang di Indonesia, sembari menyuguhkan konsep Studi Agama sebagai sebuah model baru dalam mendekati Islam. Melalui tawaran ini, Amin Abdullah hendak merubah tradisi pengajian agama bercorak normatif-doktriner ke pendekatan studi agama yang bercorak sosio-historis yang dilanjutkan dengan rasional-filosofis. Amin Abdullah adalah seorang sarjana Muslim Indonesia yang dikenal cukup banyak menulis tentang Islam. Ia memilih tema-tema yang amat beragam, mulai dari Filsafat, ‘Ilmu Kalam, Ushul Fiqh, Metode Tafsir Alquran, Pluralisme, sampai masalah Pendidikan. Sepintas lalu, tradisi ini dianggap tidak lazim pada era modern, di mana para ahli konsisten menekuni disiplin ilmu tertentu. Karena itu, kehadiran tulisan yang variatif ini mengundang pertanyaan, “apa sesungguhnya yang menjadi fokus Amin Abdullah? Berdasarkan telaah sementara, sepertnya Amin Abdullah tidak bermaksud untuk menjelajahi semua bidang ilmu, tetapi ia ingin menjalinnya ke dalam satu rangkaian epistemologis yang dipetakannya menjadi semacam “jaring laba-laba”. Teori jaring laba-laba (spider web) yang digagas oleh Amin Abdullah berkaitan dengan horison keilmuan Islam, bukan saja bertujuan untuk mengembangkan kerangka ilmuilmu dasar keislaman yang bersifat normatif, tetapi juga ingin mengintegrasikan­nya dengan ilmu sekular yang bersifat empiris-rasional. Pada aspek inilah daya tarik pemikiran Amin Abdullah, di mana ia mampu merumuskan epistemologi keilmuan yang dapat meramu bermacam-macam ilmu sehingga jelas apa esensi masing-masing disiplin ilmu dan bagaimana cara dan strategi untuk mengembangkannya. Tulisan ini merupakan upaya menemukan “benang merah” yang mempersatu­kan pikiran-pikiran Amin Abdullah yang berserakan dalam sejumlah buku (yang umumnya berawal dari artikel-artikel lepas) dan makalah-makalah pada berbagai macam diskusi dan seminar. Sumber primer tulisan ini adalah karya-karya Amin Abdullah, baik berupa buku maupun artikel.

Latar Belakang Pemikiran Amin Abdullah Jika dilihat secara umum, paling tidak ada dua faktor yang membentuk pemikiran Amin Abdullah dalam konteks keilmuan Islam, yaitu; latar belakang pendidikan dan pekerjaan atau jabatannya. Kedua faktor ini tampaknya saling berkelindan untuk mengantar Amin Abdullah ke tengah barisan tokoh pemikir Islam di Indonesia. Dari segi pendidikan, sejatinya Amin Abdullah adalah seorang ahli yang mumpuni dalam bidang studi agama-agama dan filsafat. Kesimpulan ini berkaitan dengan riwayat 336


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

pendidikannya sebagai sarjana dari Jurusan Perbandingan Agama Fakulltas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1982 dan doktor filsafat dari Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Seperti yang akan dipaparkan nanti, kedua disiplin ilmu ini merupakan kerangka dasar yang selalu digunakan oleh Amin Abdullah dalam berbagai aspek keilmuan. Karena itu, walaupun sering berbicara pada disiplin lain, seperti tafsir dan pendidikan, Amin Abdullah akan menggunakan filsafat atau metode studi agama sebagai landasan berpikir. Jadi, hampir semua karya tulisnya memiliki keterkaitan dengan studi agama atau filsafat; mungkin dari segi kontennya atau dari segi kerangka berpikirnya. Selain mengembangkan pemikiran filsafat, Amin Abdullah juga tertarik dengan dialog antaragama. Obsesi untuk mewujudkan dialog antarumat beragama sudah tumbuh pada diri Amin Abdullah sejak memasuki IAIN Sunan Kalijaga dan terus menguat setelah menjadi pejabat di UIN ini. Begitu masuk IAIN di Yogyakarta tahun 1978, Amin merasa kota ini amat kondusif untuk kerukunan hidup beragama. Istilah Amin, “Yogyakarta adalah kota yang unik dan inspirasitif dalam kaitan dialog antar-agama”. Semua penganut agama ada di kota ini dan hidup rukun, karena itu layak menjadi sentral dialog tentang multikulturalisme di Indonesia. Keberagaman suku, agama, komunitas, tata perumahan, kultur Jawa yang kental hanya dimiliki Yogyakarta. Dari kenyataan itu, setelah menjadi Rektor, Amin Abdullah pernah menyatakan, bahwa tugas ini menarik sebab ia memiliki pengalaman yang berharga, selain akademik juga administratif. 1 Profesi sebagai dosen dan kemudian menjadi Guru Besar Filsafat Agama (1999) serta kedudukannya sebagai pejabat di IAIN/UIN Sunan Kalijaga yang cukup lama, mulai dari Asisten Direktur Program Pascasarjana (1992-1995), Pembantu Rektor I Bidang Akademik (1998-2001), dan Rektor (2002-2005 dan 2005-2010), cukup penting dalam membentuk pemikiran Amin Abdullah dalam bidang pendidikan terutama keterpaduan ilmu keislaman dengan ilmu umum. Konversi IAIN Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN)2, pada masa Amin Abdullah menjabat Rektor, merupakan faktor penting yang banyak menyita pemikirannya untuk berkonsentrasi pada bangunan keilmuan dalam sistem pendidikan di PTAI. Jabatan penting itu menjadi tantangan tersendiri bagi Amin Abdullah untuk menata sistem pengetahuan di PTAI, bukan saja di lingkungan UIN Sunan Kalijaga tetapi seluruh PTAI di Indonesia. Bertolak dari latar belakang pendidikan dan jabatan tersebut di atas, Amin Abdullah cukup intens mencermati keadaan ilmu-ilmu Keislaman di Indonesia. Seperti lazimnya ST. Sularto, “Amin Abdullah”, dalam http://www.uin-suka.info/ind/index2.php? option= com_content&do_pdf=1&id=509, diakses 21 Juli 2010. 2 Konversi IAIN Sunan Kalijaga menjadi UIN terjadi pada tahun 2004 berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 1/0/SKB/2004; Nomor: ND/B.V/I/Hk.00.1/058/04 tentang Perubahan Bentuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di Departemen Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004. 1

337


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 tradisi para pembaru yang memulai misinya dari kritik terhadap kondisi obyektif yang sudah mapan, Amin Abdullah banyak mengkritik realitas keberagamaan dan pemahaman agama yang ada pada masyarakat dan PTAI. Aspek utama yang menjadi sorotannya berkisar pada struktur bangunan keilmuan Islam dan keilmuan modern (sekuler). Kondisi-kondisi obyektif yang dikritik oleh Amin ini dapat dikategorikan sebagai faktor penting yang membentuk pola pikir dan ekspresi pemikirannya. Hal pertama yang dikritisi Amin Abdullah adalah gagasan pembaruan dari para modernis Muslim dari berbagai belahan dunia. Menurut penilaiannya, klaim para pemikir modernis, seperti Abduh, Iqbal, Harun Nasution, dan Sutan Takdir, tentang keterbelakangan umat Islam dan mengusulkan “rasionalisasi” dan “meniru Barat” sebagai solusi untuk menyamai Dunia Barat, tidak seluruhnya menguntungkan umat Islam. Gagasan tersebut ternyata, selain tidak menyelesaikan persoalan, justru yang terjadi adalah menguatnya pandangan atas superioritas bangsa Barat dan inferioritas bangsa Timur, khususnya umat Islam. Lebih jauh, pandangan tersebut telah membentuk sikap menyesali dunianya dan agamanya. Jadi, cita-cita untuk menyaingi dunia Barat malah berefek menguatkan Barat.3 Aspek lain yang disoroti Amin Abdullah adalah bangunan keilmuan Islam yang sudah mengakar di kalangan akademisi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Ia merasakan keluhan masyarakat terhadap alumni PTAI yang hanya mengetahui soal-soal “normatifitas” agama sendiri, tetapi kesulitan memahami historisitasnya, apalagi historisitas agama orang lain. Kenyataan ini berkaitan dengan persoalan pokok tentang titik perpaduan antara “ilmu” dan “agama”. Bangunan keilmuan yang diajarkan di PTAI masih mengikuti model single entity atau isolated entities, dan belum mau menerima atau belum mampu menerapkan model interconnected entities.4 Pada level praksis, mahasiswa dan dosen pada bidang natural sciences tidak mengenal isu-isu dasar social-sciences, dan humanities dan lebih-lebih religious studies dan begitu sebaliknya. Keterpisahan ini hanya akan mencetak ilmuan dan praktisi yang tidak berkarakter. Indonesia dan dunia ketiga pada umumnya yang mengikuti begitu saja pola keilmuan tersebut tanpa modifikasi, sehingga menggiring ke arah krisis multidimensional sejak dari lingkungan hidup, ekonomi, politik, sosial, agama, moral yang ber-

Amin Abudllah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 5-6. 4 Amin Abdullah menjelaskan bahwa model single entity adalah pengetahuan agama yang berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum; selanjutnya model isolated entities berarti masing-masing rumpun ilmu berdiri sendiri, tahu keberadaan rumpun ilmu yang lain tetapi tidak bersentuhan dan tegur sapa secara metodologis; sedangkan model interconnected entities, adalah bangunan ilmu yang masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalu menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan pendekatan (approach) dan metode berpikir dan penelitian (process dan procedure). Lihat; Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi Pendidikan di Asia Tenggara: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik kearah integratif-interdisiplinary”, Makalah disampaikan dalam Konferensi Internasional Antar Bangsa Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 10-11 Desember 2004. 3

338


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

kepanjangan. Karenanya, jangan-jangan sistem pendidikan yang berjalan selama ini memang punya andil secara tidak langsung terbentuknya split of personality (kepribadian terpecah).5 Bertolak dari penilaian di atas, Amin meragukan kemampuan metodologis dosendosen PTAI yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Ada kemungkinan mereka mengajarkan cabang-cabang keilmuan Islamic Studies (Dirasat Islamiyyah), yang mungkin saja sudah mendetail, tetapi terlepas begitu saja dan kurang begitu memahami asumsi-asumsi dasar dan kerangka teori yang digunakan oleh bangunan keilmuan tersebut serta implikasi dan konsekwensinya pada wilayah praksis sosial-keagamaan. Keraguan itu menguat atas kemampuan para dosen untuk melakukan perbandingan antara berbagai sistem epistemologi pemikiran keagamaan Islam dan melakukan auto­kritik terhadap bangunan keilmuan yang diajarkan. Belum lagi kemampuan menghu­bungkan asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, metodologi serta epistemologi yang dimiliki oleh satu disiplin ilmu dan disiplin ilmu yang lain untuk memperluas horizon dan cakrawala analisis keilmuan. Dalam kenyataan di lapangan, agak sulit diperoleh jawaban mengapa dosen-dosen yang mengajarkan Islamic Studies atau ‘Ulûm ad-Dîn (Kalam, Fiqh, Falsafah Islam, Nahwu, Balaghah, Ulum al-Qur’an, Ulum al Hadis, Tasawuf, juga Pendidikan dan Dakwah) di PTAI kurang begitu tertarik untuk memahami asumsi dasar, kerangka teori, paradigma, epistemologi, cara kerja dan struktur fundamental keilmuan yang melatar­belakangi dibangunnya ilmu-ilmu tersebut. Salah satu jawaban yang paling mudah diperoleh di antaranya adalah oleh karena belum banyak penelitian dan buku yang disusun khusus untuk wilayah kajian tersebut. Sedang jawaban IAIN yang dapat diduga lebih umum dijumpai adalah bahwa wilayah filsafat dan epistemologi keilmuan Islamic Studies atau ‘Ulûm ad-Dîn memang sengaja dihindari pembahasannya, karena wilayah yang lebih bersifat “konseptual-fiosofis” (pure sciences). Pembahasan ini lebih rumit dan lebih pelik daripada pembahasan dan pengajaran ilmu-ilmu praktis yang telah “jadi” dan “mapan” dan tinggal mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan rahasia lagi bahwa diskusi falsafah pada umumnya, apalagi filsafat ilmu sangat dihindari oleh para fuqahâ dan mutakallimun karena dianggap akan membingungkan umat. Keadaan menipisnya-untuk tidak mengatakan menghilangnyakesadaran historisitas pemikiran keislaman, menurut Amin Abdullah menyulitkan para pemikir Muslim kapan pun dan di mana pun mereka berada untuk berijtihad secara mandiri. Amin Abdullah masih merasakan adanya kecurigaan terhadap filsafat. Fakta ini merupakan problem tersendiri, karena selain akan terus memelihara dikotomi Ilmu Agama dengan Ilmu Umum, ia juga akan berdampak pada pembentukan pemikiran umat Islam Indonesia. Dari keadaan itu, secara otomatis dan alami terjadi proses kekeringan dan bahkan pengeringan sumber mata air dinamika keilmuan keislaman yang merupakan jantung dan prasyarat bagi pengembangan keilmuan Islamic Studies dan ‘Ulûm ad-Dîn, khususnya dalam menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul ke permukaan. Pada gilirannya, hal ini mengIbid.

5

339


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 akibatkan “terpencilnya” Islamic Studies dan ‘Ulûm ad-Dîn dari wilayah pergaulan keilmuan dan sulitnya upaya pengembangan wilayah (contribution to knowledge) bagi Islamic Studies atau Dirasat Islamiyyah itu sendiri.6 Lebih jauh Amin Abdullah menyoroti epistemologi keilmuan Islam klasik yang tersimpul pada epistemologi bayânî, ‘irfani dan burhani.7 Menurutnya, ketiga kluster sistem epistemologi ‘Ulûmuddîn ini masih berada dalam satu rumpun, tetapi dalam praktiknya hampir-hampir tidak pernah seiring-sejalan. Pola pikir tekstual bayânî lebih dominan dari dua lainnya dan secara hegemonik membentuk mainstream pemikiran keislaman. Akibatnya, pola pemikiran keagamaan Islam menjadi kaku. Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi usul fikih klasik lebih diunggulkan dari pada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyyah), akal (aqliyyah) dan intuisi (wijdaniyyah). Dominasi pola pikir bayânî yang bersifat tekstual-ijtihâdiyyah menjadikan sistem epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual-bahtsiyyah.8 Kelemahan epistemologi bayânî atau tradisi berpikir tekstual-keagamaan adalah ketika ia harus berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen berpikir keagamaan model tekstual-bayânî biasanya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, apologis, dan polemis. Itulah jenis pengetahuan keagamaan yang biasa disebut sebagai al-’ilm al-tauqîfî. Pola berpikir inilah, menurut Amin Abdullah –dengan meminjam istilah Muhammed Arkoun, yang menimbulkan sikap penyakralan pemikiran keagamaan (taqdis al-afkar al-diniyyah). Akibatnya, hanya lantaran perbedaan kerangka teori, metodologi, epistemologi serta variasi dan kedalaman literatur yang digunakan, umat Islam mudah sekali saling murtad-memurtadkan bahkan saling kafir mengkafirkan. Hal demikian dapat saja terjadi karena fungsi dan peran akal pikiran hanyalah digunakan untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks. Epistemologi

Amin Abdullah, “Pengembangan Metode Studi Islam dalam Perspektif Hermeneutika Sosial dan Budaya” dalam Jurnal Tarjih edisi ke-6, Juli 2003, (LPPI-UMY dan Majelis Tarjih & PPI PP Muhammadiyah). 7 Mohammed Abed Al-Jabiri (asal Maroko) dalam bukunya Post Tradisionalisme Islam (terjemahan), mengemukakan tiga konsep pemikiran Islam. Pertama, bayani, yaitu pemahaman secara tekstual-normatif. Nalar bayani ini lebih terpaku pada teks atau pada dasar-dasar (dikenal dengan sebutan al-ushûl al-arba’ah: al-Quran, sunnah, ijma’ dan qiyas) yang dipatok sebagai sesuatu yang baku dan tidak berubah. Kedua, irfani (spiritual-intuitif), yaitu disiplin gnotisisme yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi. Ketiga, burhani, yaitu suatu penalaran rasional-demontsratif yang yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Lihat; Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam (Yogyakarta: LKiS, 2000), h. xiv-xvii. 8 Amin Abdullah, Islam dan Modernisasi, h. 6. 6

340


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

bayani tidak mencermati pelaksanaan dan implementasi ajaran teks dalam kehidupan masyarakat luas apakah masih seoirisinal dan seotentik lafal teks itu sendiri atau tidak.9 Pada aspek lain, Amin Abdullah juga mengkritik ilmu-ilmu sekuler. Selama ini para cerdik pandai telah tertipu atas klaim obyektifitas teori-teori modern. Ilmu-ilmu sekuler yang mengklaim sebagai value free (bebas dari nilai dan kepentingan) ternyata penuh muatan kepentingan. Kepentingan itu antara lain ialah dominasi kepentingan ekonomi (seperti sejarah ekspansi negara-negara kuat era globalisasi), dan kepentingan militer/ perang (seperti ilmu-ilmu nuklir), dominasi kepentingan kebudayaan Barat (Orientalisme).10 Lebih tegas dinyatakan, bahwa pada era post positivistik, tidak ada satu bangunan keilmuan dalam wilayah apapun yang terlepas sama sekali dari persoalan-persoalan kultural, sosial dan bahkan sosial politik yang melatarbelakangi munculnya, disusunnya dan bekerjanya sebuah paradigma keilmuan. Sejalan dengan paparan di atas, Moh. Dahlan, dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, menyimpulkan, bahwa permasalahan mendasar yang ditemukan oleh Amin Abdullah adalah pendekatan kajian Islam yang bercorak doktrinal-dogmatik dan empiris-positivistik. Pendekatan ini telah memengaruhi corak keberagamaan orang-orang di Indonesia, khususnya pendekatan kajian agama (Islam), dan pola hubungan antaragama di Indonesia, sehingga pola keberagamaannya menjadi bersifat konfliktual, baik secara psikis maupun fisik, baik pada tataran konseptual maupun praksis. Dari kenyatan ini, Amin Abdullah melihat bahwa umat beragama dihadapkan pada pilihan problematik. Atas dasar itu, ia menilai perlunya melakukan rekonstruksi pendekatan kajian agama (Islam) dalam rangka menjawab tantangan pluralitas agama.11

Bangunan Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik Gagasan besar Amin Abdullah terpusat pada bangunan keilmuan yang berwatak teoantroposentris-integralistik. Bangunan keilmuan semacam ini erat kaitannya dengan paradigma filosofis. Menurut Amin Abdullah, ilmu apapun yang disusun tidak bisa tidak mempunyai paradigma kefilsafatan. Asumsi dasar seorang ilmuan merupakan hal pokok yang terkait dengan struktur fundamental yang melekat pada bangunan sebuah bangunan keilmuan, tanpa terkecuali, baik ilmu-ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, humaniora, ilmuilmu agama (‘Ulûm ad-Dîn), studi agama (religious studies) maupun ilmu-ilmu keislaman. Dengan demikian, tidak ada sebuah ilmu pun-lebih-lebih yang telah tersistimatisasikan sedemikian rupa-yang tidak memiliki struktur fundamental yang dapat mengarahkan dan

Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 19. 10 Amin Abdullah, Profil Kompetensi, h. 13. 11 Moh. Dahlan, “Gagasan Islam Kontemporer Menurut M. Amin Abdullah”, http:// drdahlan. blogspot.com/2009/08/gagasan-islam-kontemporer-menurut-m.html, diakses 25 Agustus 2009. 9

341


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 menggerakkan kerangka kerja teoritik maupun praksis keilmuan serta membimbing arah penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Struktur fundamental yang mendasari, melatarbelakangi dan mendorong kegiatan praksis keilmuan adalah yang dimaksud dengan filsafat ilmu.12 Kedudukan filsafat ilmu begitu urgen dalam pemikiran Amin Abdullah, sehingga ia menjadikannya sebagai obyek kajian dan pembahasannya selama tujuh tahun. Hasilnya ia menerbitkan buku Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif. Buku ini menawarkan paradigma interkoneksitas ilmu, suatu pemikiran yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri),humbility (rendah hati) dan humanity(manusiawi). Paradigma interkoneksitas berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, tidak dapat berdiri sendiri.13 Sejalan dengan kritik Amin Abdullah terhadap ilmu-ilmu sekuler dan ilmu-ilmu agama yang disebutnya sedang terjangkit krisis relevansi, sekarang ini menjadi keniscayaan untuk melakukan gerakan rapproachment (kesediaan untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan. Gerakan rapproachment atau gerakan integrasi epistemologi keilmuan adalah sesuatu yang mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tak terduga. 14 Lebih jauh, Amin menyatakan, bahwa dalam diskursus keagamaan kontemporer agama mempunyai banyak wajah (multifaces), bukan lagi berwajah tunggal. Agama tidak lagi dipahami sebagai hal yang semata-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, credo, pandangan hidup, dan ultimate concern. Selain sifat konvensionalnya, tenyata agama juga terkait-erat dengan dengan persoalan-persoalan historis-kultural. 15 Ide integrasi ilmu muncul pada diri Amin Abdullah setelah menelaah pikiran Richard C. Martin, seorang ahli studi keislaman dari Arizona University, dalam bukunya Approaches to Islam in Religious Studies dan pemikiran Muhammed Arkoun –dari Sorbonne, Paris– dalam bukunya Tarikhikhiyyah al-Fikr al-’Araby aI-Islâmy juga Nasr Hamid Abu Zaid Amin Abdullah, “Profil Kompetensi Akademik Lulusan Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Agama Islam Dalam Era Masyarakat Berubah”, Makalah disampaikan dalam Pertemuan dan Konsultasi Direktur Program Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Agama Islam, Hotel Setiabudi, Jakarta, 24-25 Nopember 2002, h. 6-7. 13 Amin Abudllah, Islamic Studies, h. viii. 14 Amin Abdullah, “Integrasi Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama dalam Sistem Sekolah dan Madrasah (Ke Arah Rumusan Baru Filsafat Pendidikan Islam yang Integralistik)”, Makalah dalam “Roundtable discussion tentang Madrasah” diselenggarakan oleh Indonesian Institute for Civil Society (INCIS), Hotel Atlet Century Park Senayan, Jakarta, 22 Juli 2004; http:// aminabd.wordpress.com/2010/04/30/integrasi-epistemologi-keilmuan-umum-dan-agama-dalamsistem-sekolah-dan-madrasah/, diakses 30 April 2010. 15 Amin Abdullah, “Relevansi Studi Agama-agama dalam Milenium Ketiga,” dalam Amin Abdullah (et al.), Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan (Yogyakarta: Tiarawacana, 2000), h. 2. 12

342


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

dari Mesir dalam bukunya Naqd al-Khitab al-Diniy. Ketiga sarjana ini dengan tegas ingin membuka kemungkinan kontak dan pertemuan langsung antara tradisi berpikir keilmuan dalam Islamic Studies secara konvensional atau apa yang disebut oleh Imam Abu Hamid al-Ghazzali sebagai ‘Ulûm ad-Dîn pada abad ke-10-11 dan tradisi berpikir keilmuan dalam Religious Studies kontemporer yang telah memanfaatkan kerangka teori dan metodologi yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial dan humanities yang berkembang sekitar abad ke18 dan 19. Dialog dan pertemuan antara keduanya telah mulai dirintis oleh ilmuan-ilmuan muslim kontemporer. Tentu saja, mempertemukan dua tradisi pola pikir keilmuan akan berimplikasi pada filosofinya. Di sini, kerangka teori, metode dan epistemologi yang digunakan pun perlu berubah. Prasyarat utama yang harus dipenuhi untuk membangun keilmuan yang integratif adalah filsafat ilmu yang spesifik, yang tidak lagi murni mengacu pada epistemologi ‘Ulûm ad-Dîn dan tidak pula epistemologi ilmu sekular. Implikasi langsung dari perubahan ini adalah peniscayaan adanya paradigma baru sebagai hal yang sangat pokok dan memiliki kedudukan yang vital dalam wilayah kerja keilmuan. Jika Islamic Studies adalah bangunan keilmuan biasa, karena ia disusun dan dirumuskan oleh ilmuan agama (ulama, fuqaha, mutakallimûn, mutasawwifûn, mufassirûn, muhadditsûn) pada era terdahulu sesuai tuntutan zamannya, maka tidak ada alasan untuk menghindarkan diri dari pertemuan, perbincangan dan pergumulannya dengan telaah filsafat ilmu, sesuai dengan tuntutan zaman ini. Dari kerangka berpikir di atas, Amin Abdullah merumuskan bangunan keilmuan yang berwatak teoantroposentris-integralistik, lalu muncullah horison keilmuan dalam bentuk skema jaring laba-laba (lihat gambar di bawah). Inti dari gagasan ini adalah, bahwa; (1) struktur keilmuan membedakan tingkat abstraksi ilmu, mulai dari pure science sampai applied sceince, di mana satu sama lain saling terkait-erat; dan (2) tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu Islam dengan ilmu-ilmu sekuler, sebab keduanya telah menyatu. Berikut ini akan dianalisis horison jaring laba-laba keilmuan yang digagas oleh Amin Abdullah dilihat dari makna skema, konten dan hubungan antara satu-sama lain. Dengan paparan ini diharapkan ada pemahaman yang tepat mengenai gagasan Amin Abdullah tentang bangunan keilmuan yang diharapkan pada saat ini dan masa akan datang. Horizon Jaring Laba-laba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik16

Amin Abdullah, Islamic Studies, h. 104-105.

16

343


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pada awalnya, spider web adalah suatu strategi pembelajaran yang sengaja dirancang untuk memudahkan transfer pengetahuan dan pengalaman kepada anak didik. Umumnya strategi ini diterapkan dalam sekolah atau pembelajaran outbound. Pada konteks ini, metode spider web menawarkan strategi pembelajaran yang mengintegrasi-kan suatu tema ke dalam semua mata pelajaran. Dalam kegiatan belajar outbound (sekolah alam), semua objek pembelajaran di alam dapat dikaitkan dalam satu tema yang nantinya akan dijabarkan dalam mata pelajaran yang akan digunakan, sedangkan dalam pembelajaran konseptual, metode ini menghasilkan suatu peta konsep. Ciri terpenting dari peta konsep spider web itu adalah tidak menurut hirarki, kecuali berada dalam suatu kategori; dan kategorinya tidak paralel.17 Merujuk pengertian di atas, horison spider web yang ditawarkan Amin Abdullah adalah bersifat peta konsep. Sebagai sebuah peta konsep spider web, tentu saja peta ini dapat dimaknai sebagai berikut; (1) bahwa setiap item yang terdapat dalam peta itu memiliki hubungan-hubungan, walau tidak seluruhnya, antara yang satu dengan yang lain; inilah yang dimaksud Amin Abdullah dengan keilmuan integratif; (2) keilmuan itu berpusat pada al-Qur’an dan Sunnah dan secara hirarkis berkaitan dengan sejumlah pengetahuan sesuai dengan tingkat abstraksi dan applied-nya; (3) item-item yang terdapat dalam satu lapis lingkar menunjukkan kesetaraan dilihat dari tingkat abstraksi atau teoritisnya; dan (4) garis-garis yang memisah antara satu item dengan item lain dalam satu lapis lingkar tidak dapat dipahami sebagai garis pemisah. Seperti yang terlihat dalam gambar, konten jaring laba-laba keilmuan ini tediri Anwar Kholil, “Peta Konsep untuk Mempermudah Konsep Sulit dalam Pembela­jar­an”, http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/peta-konsep-untuk-mempermudah-konsep.html, diakses 7 April 2008. 17

344


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

atas 4 lapis lingkaran; tiga di antaranya membentuk jalur. Lingkar lapis 1 (paling dalam) adalah Alquran dan Sunnah yang berkedudukan sebagai sumber utama pengetahuan Islam. Di atas lingkar lapis 1 terdapat lingkar lapis 2 yang membentuk jalur dan memuat 8 disiplin ilmu-ilmu Ushuluddin, yaitu Kalam, Falsafah, Tasawuf, Hadits, Tarikh, Fiqh, Tafsir, dan Lughah. Lingkar lapis ke-3 adalah jalur pengetahuan teoritik yang terdiri atas; Sociology, Hermeneutics, Philology, Semiotics, Ethics, Phenomenology, Psychology, Philosophy, History, Antrophology, dan Archeology. Sedangkan lingkar lapis 4 (terluar) merupakan jalur pengetahuan aplikatif, yang terdiri atas; Isu-isu Religious Pluralism, Sciences and Technology, Economics, Human Rights, Politics/Civil Society, Cultural Studies, Gender Issues, Environmental Issues, dan Internastional Law. Menurut Amin Abdullah, gambar jaring laba-laba keilmuan di atas mengilustrasikan hubungan yang bercorak teoantroposentris-integralistik. Di situ tergambar bahwa jarak pandang dan horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern lantaran dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan era informasi-globalisasi. Di samping itu tergambar sosok yang terampil dalam menangani dan menganalisis isuisu yang menyentuh kemanusiaan dan keagamaan era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer. Di atas segalanya, dalam setiap langkah yang ditempuh, selalu dibarengi landasan etika-moral keagamaan yang objektif dan kokoh, karena keberadaan al-Qur’an dan Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup (weltanschauung) keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Kesemuanya diabdikan untuk kesejahteraan manusia secara bersama-sama tanpa pandang latar belakang etnisitas, agama, ras maupun golongan.18 Struktur keilmuan yang digagas ini mengacu pada tradisi keilmuan Islam yang membedakan disiplin kepada tiga kategori, yaitu; ‘Ulûm ad-Dîn (Religious Knowledge), al-Fikr al-Islâmiy (Islamic Thought) dan Dirasat Islâmiyyah (Islamic Studies). Pengertian ‘Ulûm ad-Dîn adalah representasi “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan; selanjutnya al-Fikr al-Islamiy adalah representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”, sedangkan Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies adalah kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif yang melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia.19

Amin Abdullah, Profil Kompetensi, h. 14. Amin Abdullah, “Mempertautkan ‘Ulûm ad-Dîn, al-Fikr Al-Islamiy dan Dirasat Islam­iyyah: Sumbangan Keilmuan Islam Untuk Peradaban Global”, http://aminabd.wordpress.com/ 2010/ 06/20/mempertautkan-ulum-al-diin-al-fikr-al-islamiy-dan-dirasat-islamiyyah-sumbangan-keilmuanislam-untuk-peradaban-global/, diakses 20 Juni 2010. 18 19

345


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Dalam pemahaman Amin Abdullah, Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebenarnya berbeda dari pengertian ‘Ulûm ad-Dîn yang biasa dikenal selama ini. Ketika disebut ‘Ulûm ad-Dîn (Religious Knowledge), umumnya melahirkan pemahaman yang langsung merujuk kepada ilmu-ilmu agama (Islam) seperti aqidah dan syarî’ah dengan menggunakan ilmu bantu bahasa dan logika deduktif yang merujuk dan menderivasi hukum-hukum agama dari kitab suci. Dari sana lalu muncul kluster ilmu-ilmu agama (Islam) seperti Kalâm, Fikih, Tafsir, Hadis, Qur’an, Farâidl, Aqîdah, Akhlâq, Ibadah dan begitu seterusnya dengan ilmu bantunya bahasa Arab (Nahwu, Saraf, Balaghah, Badi’, ‘Arudl). Dalam perkembangannya, ketika bahan dasar atau bahan pokok (Ushuluddin) keagamaan Islam ini terkumpul dan disusun secara sistematis dan terstruktur secara akademis dengan melibatkan pendekatan sejarah pemikiran (Origin, Change dan Development), maka secara akademik ‘Ulûm adDîn berkembang menjadi subjek yang secara luas dikenal di lingkungan PTAI sebagai al-Fikr Islamiy (Pemikiran Islam).20 Dengan mengutip Fazlur Rahman dan Abdullah Saeed,21 Amin Abdullah mengungkapkan bahwa Islamic Thought atau al-Fikr al-Islâmiy mempunyai struktur ilmu dan the body of knowledge yang kokoh dan komprehensif-utuh tentang Islam, sedang ‘Ulûm ad-Dîn seringkali hanya menekankan atau memilih bagian tertentu saja atau satu-dua saja dari the body of knowledge tentang Islam yang utuh-komprehesif tersebut. Kadang penekanannya hanya pada pemikiran Kalam saja dengan meninggalkan kajian Filsafat, pada fikih dengan meninggalkan tasawuf, atau pada Hadis dengan tidak mengenal perdebatan dan pergumulan tentang Hadis. Tidak jarang pula terjadi reduksi dengan hanya memilih salah satu corak pemikiran atau pola pikir ‘keilmuan’ yang sesuai dengan ‘kepentingan’ kelompok masingmasing.22 Satu hal yang menarik dari teori spider web keilmuan ini adalah penempatan alQur’an di tengah kompleksitas perkembangan keilmuan. Ini suatu penegasan yang penting bagi setiap Muslim, sebab al-Qur’an itu diyakini sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Sekalipun demikian, Amin Abdullah menegaskan, Islam tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan melupakan Tuhan. Menurut pandangan ini, sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya itulah yang disebut teoantroposentrisme. Perpaduan itu sekaligus merefleksikan semangat dediferernsiasi. Dengan merujuk Kuntowijoyo, Amin Abdullah menyatakan bahwa modernisme yang menekankan diferensiasi dalam berbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai Ibid. Amin Abdullah mencatat, buku Fazlurrahman berjudul Islam dan buku Abdullah Saeed, Islamic Thought: An Introduction (2006), berisi secara komprehensif tentang Studi al-Qur’an dan Sunnah, pemikiran Hukum (Legal thought), pemikiran Kalamiyyah (Theological thought), pemikiran Mistik (Mystical thought atau Sufism), Ekspresi Artistik, pemikiran Filsafat (Philosophical thought), pemikiran politik (Political thought), dan pemikiran Modern dalam Islam. 22 Ibid. 20

21

346


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

lagi dengan semangat zaman. Dalam konteks posmodern dan upaya membangun keilmuan, perlu sekali adanya gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan ujungnya adalah dediferensiasi (rujuk kembali). Kalau diferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi inilah penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor kehidupan lain, termasuk agama dan ilmu. Paradigma keilmuan baru yang yang digagas Amin Abdullah ini bersifat menyatukan, bukan sekedar menggabungkan, wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia (ilmu-ilmu holistik-integralistik). Penyatuan seperti ini tidak akan berakibat mengecilkan peran Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia sehingga teralienasi dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar, dan lingkungan hidup sekitarnya. Dengan demikian, konsep integralisme dan reintegrasi epistemologi keilmuan ini sekaligus akan dapat menyelesaikan konflik antar sekularisme ekstrim dan fundamentalisme negatif agama-agama yang kaku dan radikal dalam banyak hal.23 Teori spider web-nya Amin Abdullah24 dapat pula dijadikan rujukan akademis bagi upaya pengembangan sains di masa depan yang juga mendapatkan dukungan teologis dari agama (baca: Islam). Dalam teori ini digambarkan bahwa horizon jaring laba-laba keilmuan agama Islam dalam era masyarakat berubah, mengandaikan bahwa pada periode pertama (pra 1950-an) Islamic Studies masih bersifat eksklusif (hanya mengedepankan pengajaran ‘Ulûm ad-Dîn, fiqh, kalam (teologi), tafsir dan hadis (lima bidang kajian). Maka periode kedua (1951-1975) di samping Islamic Studies sebagai core, namun sudah mulai berkenalan –walau masih jalan sendiri-sendiri atau belum ada dialektika antar wilayah ilmu– dengan wilayah kajian humaniora, social sciences dan natural sciences. Sedangkan periode ketiga (1976-1995) wilayah Islamic Studies berkembang menjadi delapan bidang– ‘Ulûm ad-Dîn, fiqh, dan lain-lain– di mana periode ketiga ini juga disebut sebagai era auxiliary sciences. Lalu pada periode keempat (1996-sekarang) core sciencies of Islamic Studies yang delapan bidang tersebut sudah mulai berdialektika dengan wilayah sains dan teknologi (al-‘ulûm al-kauniyyah/natural sciences) maupun wilayah kajian lainnya (humaniora dan social sciences).25 Sehubungan dengan lingkar lapis tiga spider web keilmuan, Amin Abdullah mencoba menjawab keraguan berberapa pihak tentang kemungkinan membangun disiplin ilmiah, seperti Antropologi, Sosiologi, dan Psikologi, yang dapat menghasilkan teori-teori. Pertanyaan­nya adalah, apakah Islam dapat ditelaah secara ilmiah? Jika yang dimaksudkan Islam di sini adalah “perilaku” individu, “tradisi” masyarakat (turats) –baik dalam dimensi politik, falsafah, ekonomi, sosial-budaya –yang terinspirasikan oleh ajaran Islam, mengapa tidak? Jika yang ditelaah dan diteliti adalah aspek historisitas-kekhalifahan manusia Muslim, mengapa Amin Abdullah, Profil Kompetensi, h. 13. Amin Abdullah, Pengembangan Metode, h. 12-18. 25 Muhammad Azhar, “Wacana Agama dan Sains Dalam Perspektif Epistemologi Keilmuan Islam Kontemporer”, http://kangdim.wordpress.com/2009/05/, diakses 26 Mei 2009. 23 24

347


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 tidak bisa dibenarkan?26 Dalam kaitan ini, Amin Abdullah menambahkan, bahwa agama tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga melibatkan kesadaran berkelompok (Sosiologis), kesadaran pencarian asalusul agama (Antropologis), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (Psikologis), bahkan ajaran agama tertentu dapat dileiti sejauh mana keterkaitan ajaran etiknya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup (Ekonomi). 27 Lebih jauh, Amin Abdullah menerangkan beberapa fungsi pengetahuan yang disebut pada lingkar lapis tiga di atas sebagai body dan metode atau pendekatan pengetahuan. Menurut Amin Abdullah filsafat dapat diartikan dengan: pertama, sebagai aliran atau hasil pemikiran, yakni berupa sistem pemikiran yang konsisten dan dalam taraf tertentu sebagai sistem tertutup (closed system). Kedua, sebagai metode berpikir, yang dapat dicirikan mencari ide dasar yang bersifat fundamental (fundamental ideas), membentuk cara berpikir kritis (critical thought), dan menjunjung tinggi kebebasan serta keterbukaan intelektual (intelectual freedom). Jadi, dapat dikatakan bahwa Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (pikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (kebenaran) dan memperoleh hikmat (kebijaksanaan).28 Status pendekatan yang terdapat pada lingkar lapis spider web di atas, menurut Amin Abdullah, tidak lepas dari kemampuan manusia–sebagai peniciptanya–untuk menerapkannya.

Analisis terhadap Pemikiran Amin Abdullah Pemikiran Amin Abdullah tentang epistemologi keilmuan teoantroposentris-integralistik sesungguhnya tidaklah sama sekali baru. Seperti yang sudah diutarakan di atas, pemikiran beberapa sarjana sebelumnya banyak mengilhaminya. Jika ditelusuri ke belakang pemikiran epistemologis Amin Abdullah memiliki kaitan dengan pemikir-pemikir muslim kontemporer, seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, dan Kunto­wijoyo, serta dengan pemikirpemikir lainnya dari dunia Barat, seperti Thomas Kuhn, Derrida, dan sebagainya. Keterkaitan gagasan Amin Abdullah dengan pemikiran Kunto-wijoyo, misalnya, diakui sendiri oleh Amin Abdullah. Dalam salah satu tulisannya, Amin Abdullah pernah mengungkapkan; “dengan meminjam konsep yang pernah dikembangkan oleh Kuntowijoyo, penulis melanjutkan konsep tersebut dengan sedikit memberi beberapa ilustrasi tambahan di sana sini dalam konteks studi keislaman yang berkembang selama ini di IAIN dan upaya pengembangannya Amin Abdullah, Falsafah Kalam, h. 23. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 10. 28 Husain Insawan, “Membedah Esai Pemikiran M. Amin Abdullah”, http:// shaututtarbiyah. wordpress.com/2009/11/20/membedah-esai-pemikiran-m-amin-abdul­lah-ed-21-2009/, diakses 20 November, 2009. 26 27

348


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

lebih lanjut secara integratif di masa depan”. Hal ini dapat dilihat dari gagasan dan konsepkonsep yang digunakan Amin Abdullah. Gagasan integralisasi ilmu yang bercorak teoantroposentris, misalnya, adalah gagasan Kuntowijoyo yang kemudian digunakan oleh Amin Abdullah. Demikian juga konsep dediferensiasi dan obyektifikasi dipinjam Amin Abdullah dari gagasan Kuntowijoyo. Pemikiran Barat yang digunakan Amin Abdullah dalam merumuskan pemikiran­nya bisa dirunut kepada Thomas Kuhn dan Derrida. Menguatnya ide perumusan epistemologi keilmuan Islam tentu saja tidak dapat dikesampingkan terori pengetahuan Thomas Kuhn yang melihat perlunya paradigma baru pengetahuan. Demikian juga teori penafsiran teks dengan pendekatan hermeneutika sudah pasti terilhami oleh beberapa tokoh hermeneutik, seperti Derrida dan Habermas. Implikasi dari pemikiran tersebut adalah studi keislaman merupakan proses progress, dan tidak pernah mengalami sebuah bentuk stagnansi. Semua bentuk pemikiran keagamaan tidak pernah bersih dari konteks historis, sehingga diperlukan penyesuaian terus-menerus. Dalam menafsirkan sebuah teks keagamaan, yang diperlukan adalah sikap terbuka, kritis dan toleran terhadap pemikiran keagamaan lain. 29 Kalaupun pemikiran epistemologi Amin Abdullah banyak diambil dari sarjana sebelumnya, namun menurut kesimpulan Moh. Dahlan, gagasan Amin Abdullah melampaui tiga model pemikiran di era modern. Jika di era ini tumbuh pemikiran Islam fundamentalis, pemikiran Islam konservatif, dan pemikiran Islam modern, maka gagasan Abdullah melampauinya di mana ia menawarkan pendekatan interconnected entities. Gagasan ini menjawab dua problem kamanusiaan sekaligus, yaitu bidang rekonstruksi pendekatan kajian agama (Islam) maupun bidang rekonstruksi pola hubungan antaragama. Karena itu, teori spider web keilmuan dari Amin Abdullah adalah sebuah prestasi yang layak diapresiasi dan perlu dikembangkan ke depan. Persoalannya kemudian adalah pada tataran metodologis. Jika diikuti lapis-lapis lingkar spider web yang dipetakan oleh Amin Abdullah, maka akan muncul pertanyaan; “Bagaimana cara menerjemahkan teks-teks wahyu menjadi pemikiran (al-Fikr al-Islâmy), dan bagaimana pula mentransfer pemikiran itu menjadi teori, serta selanjutnya bagaimana menjabarkan­nya sehingga dapat menjawab isu-isu kontemporer”? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini tentu tidak ditemukan pada pemikiran epistemologis Amin Abdullah, karena ia hanya berbicara pada level filosofis. Tugas para peneliti dan pemikir teknis lah menjabarkan pemikiran filosofis tersebut ke dalam aturan-aturan metodologis. Hal lain yang belum terjelaskan secara tegas oleh Amin Abdullah dalam epistemologi spider web ini adalah tentang hubungan-hubungan antara konsep-konsep yang terdapat pada lingkar 1, 2, 3, dan 4. Belum didapatkan, misalnya, bagaimana hubungan antara al-Qur’an (lingkar 1) dengan Sosiologi (lingkar 3) kemudian ke Religious Pluralism (lingkar 4). Demikian juga hubungan al-Qur’an dengan konsep-konsep keilmuan lainnya. KetidakIbid.

29

349


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 jelasan itu berkaitan dengan banyak hal, seperti sumber pengetahuan, penjabaran dari konsep yang satu pada konsep lainnya, pendekatan dan metode yang digunakan, dan sebagainya. Tentu saja, keadaan ini dapat dimaklumi, karena Amin Abdullah baru berbicara pada level filosofis yang harus dijabarkan lebih rinci dan konkrit lagi ke dalam konteks metodologis. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa Amin Abdullah telah menyumbang gagasan penting dalam pembaruan pemikiran keislaman di Indonesia. Sumbangan itu berpusat pada usaha meletakkan dasar-dasar konstruksi keilmuan yang mengintegrasikan pemikiran agama yang bersifat normatif dengan pemikiran yang bersifat historis atau yang disebut dengan pendekatan interconnected entities. Dalam kerangka ini, ada yang menarik untuk dikritisi lebih dalam ke depan dari gagasan Amin Abdullah: Pertama, kitab suci (termasuk al-Qur’an dan Sunnah) perlu dipandang sebagai kebenaran yang berlapis-lapis. Kedua, kebenaran yang ada dalam kitab suci perlu dilihat dari berbebagai sudut pandang berbagai keilmuan, sehingga ajaran agama yang berlapis-lapis tersebut bisa diketahui dan dipahami dalam dunia kontemporer. Ketiga, adanya interaksi kitab suci dengan kenyataan historis pada waktu penurunannya yang tidak bisa ditutup-tutupi telah memberikan warna terhadap corak ajaran kitab suci. Ini menandakan bahwa kitab suci janganlah hanya dipandang sebagai murni bersifat ketuhanan, tetapi juga perlu dilihat sebagai realitas historis yang sama dengan produk budaya lainnya. Karenanya pembacaan dengan berbagai dispilin keilmuan dibutuhkan untuk membongkar pendekatan keagamaan yang doktrinal-dogmatik atau historis-empiris.30 Keempat, kita perlu membangun kembali secara sistematis dan ekstensif paham keagamaan di dunia kontemporer dengan tidak hanya mencukupkan diri belajar dari agama sendiri, tetapi juga perlu berdialog dengan agama lain, serta perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. 31 Dengan kasadaran seperti ini, Amin Abdullah berusaha untuk tidak memitoskan atau menyakralkan produk-produk penafsiran masa lalu, yang kadang-kadang sudah tidak relevan lagi dengan semangat zaman sekarang. Bahkan tafsir masa Nabi dan sahabat adalah sebuah corak tafsir yang baik pada saat itu, tetapi itu tidak menutup kemungkinan belakangan akan mengalami sebuah perubahan akibat adanya perubahan situasi dan kondisi yang terus berjalan. Sebab bagaimanapun, problem, lokalitas, situasi budaya dan kultur yang dihadapi Nabi dan para sahabat juga ikut mewarnai model dan corak tafsirannya dalam memahami al-Qur’an ketika itu, yang sudah barang tentu berbeda dengan problem, tantangan, situasi dan kultur yang kita hadapi sekarang.32

Amin Abdullah, Studi Agama, h. 61-77, 121-135. Amin Abdullah, “Agama Masa Depan: Intersubjektif dan Post-Dogmatik”, dalam Majalah Basis, nomor 05-06, Tahun Ke-51, Mei-Juni 2002, h. 56. 32 Amin Abdullah, “Kata Pengantar”, dalam Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir, Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), h. xixii. 30 31

350


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

Relevansi Pemikiran Bangunan Keilmuan Amin Abdullah Tidak berlebihan bila dikatakan, setelah Harun Nasution, Amin Abdullah adalah tokoh pemikir paling serius yang banyak berbicara tentang pembaruan kurikulum pendidikan di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Jika Harun Nasution berhasil merubah kerangka keilmuan Islam yang diajarkan di PTAI dari pendekatan normatif-doktrinal ke multipendekatan (Islam Ditinjau dari Berbagai Apseknya), maka Amin Abdullah berusaha melanjutkannya dengan pendekatan studi agama yang lebih luas lagi. Pendekatan ini tidak lagi sekedar mengkaji Islam dari berbagai disiplin ilmu, tetapi juga mengkaji Islam untuk melahirkan berbagai disiplin ilmu yang bercorak filosofis, teoretis dan praksis. Sesungguhnya gagasan Amin Abdullah ini termasuk dalam arus besar pemikiran Islamisasi Sains, tetapi kerangka berpikir yang berbeda. Hal ini bermakna bahwa ide dan gagasan integrasi ilmu yang ditawarkan Amin Abdullah, bukan hanya relevan tetapi juga aktual, karena sejak 30 tahun terakhir ini tema “Islamisasi Ilmu” menjadi wacana yang banyak diperbincangkan di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia. Walaupun sudah banyak ragam pemikiran yang muncul mengenai Islamisasi Ilmu, namun pemikiran Amin Abdullah masih dapat dikatakan memiliki ciri tersendiri sebagai pembeda dari pemikiran lainnya. Dalam kaitan dengan ciri pemikiran Amin Abdullah tersebut, Moh. Dahlan, dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, melihat bahwa pemikiran “Islamiasasi” yang dikemas­nya dalam gagasan rekonstruksi pendekatan kajian agama, pada dasarnya mengacu pada dua dari empat pendekatan Ian G. Barbour, tentang alternatif interaksi agama dan sains. Dua pendekatan dimaksud adalah pendekatan dialog dan pendekatan integrasi. Pendekatan dialog banyak digunakan oleh Amin Abdullah sebagai upaya membangun sikap sensitifkritis di antara domain agama dan sains; pendekatan ini dianggap bermanfaat sebagai pengantar ketika domain agama (normatifitas) dan domain histories-empiris (sains) berupaya mencari jati diri sebagai wujud distansiasi. Sedang pendekatan integrasi banyak digunakan oleh Amin Abdullah ketika upaya rekonstruksi pendekatan kajian agama telah sampai pada tahap pengolahan dan pencetusan model baru di dalam pendekatan kajian agama. Dari sini, dapat menyebut rekonstruksi pendekatan kajian agama Amin Abdullah sebagai pola pendekatan dialog-integratif. Relevansi lain yang tidak kurang pentingnya adalah dari segi pendekatan yang digunakan. Gagasan rekonstruksi pendekatan kajian agama memiliki titik kemajuan dengan munculnya pendekatan interdisipliner dan sekaligus pendekatan multireligius. Pendekatan ini telah memperluas kajian, tidak saja pada penataan hubungan agama dengan sains, seperti yang banyak diwacanakan para ahli Islamisasi Ilmu, tetapi penelaahan hubungan antargama. Pemikiran ini menaawarkan pentingnya mendialogkan dan mengintegrasikan dua hal sekaligus, yaitu agama dengan sains, dan agama yang satu dengan agama yang lainnya. Jika ide ini dapat dikembangkan dan dijabarkan ke dalam strategi-strategi yang lebih aplikatif, maka sudah barang tentu akan menghasilkan pikiran-pikiran atau teoriteori baru yang melampaui atau berbeda dari temuan-temuan sebelumnya. 351


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Pemikiran tentang bangunan keilmuan yang teoantriposentris-integralistik, seperti yang dirumuskan Amin Abdullah, tentu sudah banyak didiskusikan dalam perumusan kurikulum di PTAI. Sebagai seorang Pembantu Rektor dan kemudian menjadi Rektor di IAIN/UIN lokomotif di Indonesia, pikiran-pikiran dari Amin Abdullah pasti banyak diadopsi dalam merumuskan kurikulum PTAI. Suatu hal yang pasti, sejak 10 tahun terakhir, PTAI sudah menerapkan kurikulum yang mengintegrasikan antara ajaran normatif agama dengan aspek filosofis, historis, teoritis dan praksis. Gagasan tentang bangunan keilmuan teoantroposentris-integralistik, tentu saja, bukan semata-mata milik Abdullah, tetapi harus diakui bahwa dia lah yang paling banyak bersuara agar bangunan keilmuan semacam ini diterapkan dalam sistem pendidikan dan pengajaran di PTAI, terlebih lagi setelah adanya konversi beberapa IAIN menjadi UIN. Pemikiran integralisasi keilmuan dari Amin Abdullah diperkirakan akan terus menggelinding ke dua arah; Pertama, pada pengembangan dan perbaikan kurikulum dan pendekatan dalam pengkajian Studi Agama di PTAI; dan kedua, tumbuhnya disiplin-disiplin baru yang digali dan dikembangkan dari sumber ajaran Islam dan tradisi masyarakat muslim. Perkiraaan ini didukung oleh kegigihan yang luar biasa dari Amin Abdullah dan sejumlah mantan mahasiswanya di PPS UIN Yogyakarta untuk mengembangkan gagasan ini di Indonesia. Jadi, sekalipun jabatan sebagai Rektor tidak lagi didudukinya sejak akhir 2010, namun pengaruh itu akan terus berjalan. Pemikiran tokoh pemikir ini akan terus mengalami perkembangan, terutama dalam perbaikan sistem pendidikan dan kurikulum di lingkungan PTAI.

Penutup Jaring laba-laba keilmuan adalah sebuah peta konsep yang dirancang oleh Amin Abdullah yang menggambarkan bangunan keilmuan yang terbentuk dalam jaringan laba-laba. Peta konsep ini merupakan simpulan dari epistemologi keilmuan teoantropo­sentrikintegralistik yang mencoba memadukan antara wahyu, pemikiran, teori, dan isu-isu kontemporer. Pemikiran epistemologi ini tidak murni dari Amin Abdullah, melainkan diambil dari berbagai pemikiran sarjana sebelumnya, baik dari kalangan Islam maupun Barat. Pemikiran tentang keilmuan teoantroposentrik-integralistik dari Amin Abdullah diawali dari kritik internal terhadap pola pemikiran umat Islam Indonesia, khususnya di kalangan PTAI. Amin Abdullah menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu keislaman yang berkembang di PTAI masih bersifat fragmentaris, di mana masing-masing disiplin ilmu berdiri sendiri tanpa penjelasan bagaimana keterkaitannya dengan ilmu lain, terlebih lagi dengan isuisu kontemporer. Kelemahan lain ditemukan pada pendekatan yang digunakan yang masih terbatas dengan epistemologi indikasi serta eksplikasi (‘ulĂťm al-bayân). Pendekatan ini cukup dominan sehingga melahirkan sikap keilmuan at-taqdis al-fikr al-islamy (penyakralan pemikiran Islam). Keadaan ini amat tidak relevan dengan kebutuhan umat Islam di era 352


Parluhutan Siregar: Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman

posmodernisme, karena itu diperlukan upaya membangun epistemologi yang bersifat integratif-interkonektif. Epistemologi keilmuan teoantropo­sentrik-integralistik yang digagas oleh Amin Abdullah dimulai dari pengelompokan keilmuan yang dimulai dari Alquran dan Sunnah, kemudian ‘Ulûm al-Dîn, al-Fikr al-Islâmy, dan Dirâsah al-Islâmiyyah. Keempat kategori keilmuan Islam ini dipetakan Amin Abdullah ke dalam empat lingkar lapis peta konsep spider web. Pada setiap lingkar lapis dituliskan nama-nama disiplin ilmu sesuai dengan tingkatannya. Epistemologi ini memadukan seluruh disiplin ilmu sosial dan keagamaan, karena di sinilah letak maksud teoantropo­sentrik-integralistik yang ditawarkan oleh Amin Abdullah.

Pustaka Acuan Abdullah, Amin, “Integrasi Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama dalam Sistem Sekolah dan Madrasah (Ke Arah Rumusan Baru Filsafat Pendidikan Islam yang Integralistik)”, Disampaikan dalam “Roundtable discussion tentang Madrasah” diselenggarakan oleh Indonesian Institute for Civil Society (INCIS), Hotel Atlet Century Park Senayan, Jakarta,22 Juli2004; http://aminabd. wordpress.com/2010/04/30/integrasi-epistemologikeilmuan-umum-dan-agama-dalam-sistem-sekolah-dan-madrasah/; dikases 30 April 2010 Abdullah, Amin, “Mempertautkan ‘Ulûm ad-Dîn, al-Fikr Al-Islamiy dan Dirasat Islam­iyyah: Sumbangan Keilmuan Islam Untuk Peradaban Global”, http://aminabd. wordpress. com/ 2010/06/20/mempertautkan-ulum-al-diin-al-fikr-al-islamiy-dan-dirasatislamiyyah-sumbangan-keilmuan-islam-untuk-peradaban-global/; dikases 20 Juni 2010. Abdullah, Amin, “Islam dan Modernisasi Pendidikan di Asia Tenggara: Dari Pola Pendekatan Dikotomis-atomistik kearah integratif-interdisiplinary”, Makalah disampaikan dalam Konferensi Internasional Antar Bangsa Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 10 – 11 Desember 2004. Abdullah, Amin, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN”, Artikel dalam www.ditpertais.net/ artikel/ amin01.asp. Abdullah, Amin, “Pengembangan Metode Studi Islam dalam Perspektif Hermeneutika Sosial dan Budaya” dalam Jurnal Tarjih edisi ke-6, Juli 2003, (LPPI-UMY dan Majelis Tarjih & PPI PP Muhammadiyah). Abdullah, Amin, “Profil Kompetensi Akademik Lulusan Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Agama Islam Dalam Era Masyarakat Berubah”, Makalah yang disampaikan dalam Pertemuan dan Konsultasi Direktur Program Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Agama Islam, Hotel Setiabudi, Jakarta, 24-25 Nopember 2002. Abdullah, Amin, et al. Mencari Islam: Studi Islam dengan Berbagai Pendekatan. Yogyakarta: Tiarawacana, 2000. 353


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Abdullah, Amin, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995. Abdullah, Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif-Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2006. Abdullah, Amin, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Al- Jabiri, Mohammed Abed. Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKiS, 2000. Arifin, “Pemikiran Amin Abdullah dan Jurgen Habermas”, http://lucudanselaluceria. multiply.com/journal/item/5. Azhar, Muhammad, “Wacana Agama dan Sains Dalam Perspektif Epistemologi Keilmuan Islam Kontemporer”, http://kangdim.wordpress.com/2009/05/; diakses 26 Mei 2009. Dahlan, Moh., “Gagasan Islam Kontemporer Menurut M. Amin Abdullah”, http:// drdahlan. blogspot.com/2009/08/gagasan-islam-kontemporer-menurut-m.html, diakses 25 Agustus 2009. Insawan, Husain, “Membedah Esai Pemikiran M. Amin Abdullah”, http:// shautut­tarbiyah. wordpress.com/2009/11/20/membedah-esai-pemikiran-m-amin-abdul­lah-ed-212009/, diakses 20 November 2009. Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor: 1/0/SKB/2004; Nomor: ND/B.V/I/Hk.00.1/058/04 tentang Perubahan Bentuk Institut Agama Isam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ditandatangani di Departemen Pendidikan Nasional Jakarta pada tanggal 23 Januari 2004. Kholil, Anwar, “Peta Konsep untuk Mempermudah Konsep Sulit dalam Pembela­jar­an”, http://anwarholil.blogspot.com/2008/04/peta-konsep-untuk-mempermudahkonsep.html, diakses 7 April 2008. Sularto, ST., “Amin Abdullah”, http://www.uin-suka.info/ind/index2.php? option= com_ content &do_pdf=1&id=509, diakses 21 Juli 2010.

354


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ‬ Muhammad Amar Adly Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem Iskandar Pasar V Medan Estate, Medan, 20371 e-mail: amaradly73@yahoo.com

Abstrak: Pemikiran al-Qâdhî ‘Abd al-Jabbâr tentang Qiyâs. selain sebagai tokoh teolog rasional Muktazilah, Al-Qâdhî ‘Abd al-Jabbâr memiliki pemikiran di bidang usul fikih seperti tertuang dalam karyanya al-Mughnî fî Abwâb al-Tawhîd wa al-‘Adl. Dalam salah satu pembahasannya ia berbicara tentang kehujjahan qiyas sebagai dalil syara‘. Tulisan ini berusaha mengelaborasi pandangan al-Qâdhî tentang kehujjahan qiyas sebagai dalil hukum. Penulis menemukan bahwa ‘illat dengan sendirinya memiliki konsekuensi hukum sekalipun tanpa adanya aturan syara‘. Pendapat ini berbeda dengan pandangan mayoritas ulama Sunni yang menyatakan bahwa ‘illat tidak memberi implikasi hukum, kecuali ada dalil syara‘ yang menjelaskannya. Sebagai contoh, memabukkan dalam minuman keras sebelum ada syariat pengharaman bukanlah ‘illat pengharaman khamr dan ‘illat dijatuhkannya hukum hadd kepada peminumnya. Pemikiran al-Qâdhî ini tampaknya diwarnai oleh ajaran Muktazilah yang menjadikan akal sebagai penentu baik dan buruk serta alat bagi kewajiban menjalankan yang kebaikan dan meninggalkan keburukan. Abstract: Al-Qâdhî ‘Abd al-Jabbâr’s Thought on Qiyâs. Although widely known as a Mu‘tazilite ‘ulamâ who support the supremacy of intellect, al-Qâdhî also well verse in the realm of Islamic legal theory as reflected in his al-Mughnî fî Abwâb al-Tawhîd wa al-‘Adl. In one of his excerpt, he discusses the position of analogy as a base for argument in Islamic law which becomes the focus of this essay. The author maintains that according to al-Qâdhî ‘illat or cause by itself has a legal effect even though prior to the existence of God’s rules provided for a certain case. Such view is in contrast with those of Sunni majority who argue that Divine revelation is required for ‘illat to be legally effective. For example, intoxication in alcoholic drink prior to its divine prohibition is not a cause for its banning nor is it a motive for punishment of the drunken person. Such al-Qâdhî’s thought seems to be influenced by his affiliation with Mu‘tazilite creed in which intellect is highly admired for it can determine the good from bad thing, and it also function as a means of performing obligation and avoiding the bad things as well.

Kata Kunci: Hukum Islam, qiyâs, al-Qâdhî ‘Abd al-Jabbâr, ushûl al-fiqh 355


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

356


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪357‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

358


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪359‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

360


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪361‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

362


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪363‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

364


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪365‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

366


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪367‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

368


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪369‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

370


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪371‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

372


‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ‬

‫ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ‪M. Amar Adly:‬‬

‫‪373‬‬


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA: Penegakan dan Problem HAM di Indonesia Masykuri Abdillah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jl. Ir. Haji Juanda No. 95, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten 15412 e-mail: masykuriabdillah@yahoo.com

Abstrak: Tulisan ini menjelaskan kompatibilitas Islam dan HAM serta upaya-upaya penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia sebagai salah satu negara Muslim. Tulisan ini dengan demikian menolak anggapan sejumlah pengamat tentang ketidaksesuaian atau pertentangan antara Islam dengan HAM, terutama karena sebagian besar negara-negara Muslim kini belum sepenuhnya melindungi dan menegakkan HAM. Sejak awal Islam telah mengakui perlindungan hak asasi manusia (HAM), yang kemudian dirumuskan oleh para ulama dengan konsep maqâshid al-syarî‘ah (tujuan syari’ah). Sebagai salah satu negara Muslim, Indonesia di era Reformasi ini telah berkomitmen untuk melakukan perlindungan dan penegakan HAM sejalan dengan penerapan sistem demokrasi secara substantif. Hanya saja, kini masih ada sejumlah masalah atau kendala dalam perlindungan HAM ini, baik yang bersifat substantif, struktural maupun kultural. Pemerintah, DPR serta civil society dan organisasi-organisasi keagamaan telah melakukan upaya-upaya untuk mengatasi persoalan dan kendala itu. Abstract: Islam and Human Right: Its Application and Problems in Indonesia. This paper explains the compatibility of Islam and human rights as well as efforts to protect human rights in Indonesia as a Muslim country. This paper thus rejects the opinion of a number of observers about the incompatibility or conflict between Islam and human rights just because of the fact that the majority of Muslim countries does not fully protect and enforce human rights. Since the beginning, Islam has recognized the protection of human rights, which were then formulated by the ulama with the concept of maqâsid al-sharî‘ah (objectives of shari’ah). As a Muslim country, Indonesia in the Reform era has committed to the protection and enforcement of human rights in line with the implementation of substantive democracy. Yet there remain a number of problems or obstacles in the protection of human rights caused by several factors, be they substantive, structural or cultural. The government, parliament as well as civil society and religious organizations have conducted efforts to solve the problems and obstacles.

Kata Kunci: hak asasi manusia, Islam, tanggung jawab manusia, maqâsid alsharî‘ah, kebebasan 374


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Pendahuluan Pada saat ini hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi menjadi isu penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan kini perlindungan HAM merupakan prasyarat bagi kerja sama internasional. Hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi adalah dua hal yang saling terkait satu sama lain. Demokrasi tidak bisa eksis tanpa adanya hak asasi manusia; dan sebaliknya, hak asasi manusia pada umumnya tidak sepenuhnya terlindungi tanpa adanya demokrasi. Suatu negara yang mengabaikan HAM dapat dipastikan menjadi sasaran kritik oleh dunia internasional, dan ia pun akan terasing dari pergaulan internasional. HAM, yang pada dasarnya bersifat moral dan bukan politis ini menjadi hal yang penting sekali setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM), pada 10 Desember 1948, yang didukung oleh sebagian besar anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hanya saja, pelaksanaan HAM di banyak negara kini masih mengalami banyak hambatan, termasuk di negara-negara Muslim. Meskipun hampir semua negara Muslim menandatangani piagam tersebut, dalam pelaksanaannya masih banyak dari negara-negara itu yang belum sepenuhnya melaksanakan perlindungan dan penegakan HAM. Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi hal ini, baik karena alasan doktrin keagamaan maupun karena tidak adanya political will dari pemerintah. Sejumlah pengamat bahkan menganggap adanya ketidaksesuaian atau pertentangan antara ajaran Islam dengan HAM. Namun pendapat ini dibantah oleh para ulama dan intelektual Muslim yang mengklaim kompatibilitas ajaran Islam dengan HAM, walaupun mereka juga manyadari adanya hal-hal yang berbeda antara konsep HAM “universal� yang notabene berasal dari peradaban Barat dan konsep HAM menurut Islam. Sebagai salah satu negara Muslim, Indonesia telah berkomitmen untuk melindungi HAM sejak awal kemerdekaan, sebagaimana ditunjukkan oleh UUD 1945. Hanya saja, variasi tergantung political will dari pemerintah satu periode dengan periode lainnya. Di era reformasi (1998-sekarang) komitmen ini jauh lebih kuat dari pada periode sebelumnya, yang ditunjukkan oleh kebijakan-kebijakan negara yang pro HAM. Meski demikian, kadangkadang masih ada perdebatan mengenai konsep HAM, terutama terkait dengan penyesuaian hak-hak dalam budaya Indonesia sendiri serta adanya sejumlah masalah dan hambatan dalam pelaksanaannya. Tulisan ini akan mendeskripsikan dan menganalisis konsep HAM dalam Islam serta pelaksanaannya di Indonesia beserta problematika dan hambatannya.

Pengertian dan Sejarah HAM HAM pada hakikatnya merupakan hak moral dan bukan hak politik. Oleh karenanya, seseorang bisa hidup meski tanpa adanya organisasi politik, seperti yang terjadi pada 375


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 komunitas nomaden dan pemburu,1 yang sampai kini masih bisa dijumpai di sejumlah tempat yang terisolasi. Terdapat berbagai definisi tentang HAM ini, baik dalam konteks akademik murni maupun dalam konteks penyesuaian dengan filosofi atau ideologi suatu negara. Salah satu di antaranya adalah definisi yang kemukakan oleh A.J.M. Milne, yakni: gagasan bahwa ada hak-hak tertentu yang, apakah diakui atau tidak, menjadi milik seluruh umat manusia sepanjang waktu dan di semua tempat. Ini adalah hak-hak yang mereka miliki hanya dalam sifat mereka menjadi manusia, terlepas dari kebangsaan, agama, seks, status sosial, jabatan, kekayaan, atau perbedaan karakteristik etnis, kultur atau sosial lainnya.2 Secara historis, gagasan tentang HAM ini berasal dari gagasan tentang hak-hak alamiah (natural rights). Hak-hak alami ini sering dihubungkan dengan konsep hukum alam (natural law), sebagaimana yang dikemukakan oleh John Locke (1632-1705).3 Sedangkan hukum alam ini digali dari filosofi tentang kebutuhan dasar (basic needs) manusia. Dalam bentuknya yang lebih kongkret seperti sekarang, HAM ini bermula dicantumkan dalam Declaration of Independence Amerika Serikat pada tahun 1776 : “... that all men are created equal, that they are endowed by their Creator by certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and pursuit of Happiness...”. Hak-hak ini juga dinyatakan dalam Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warganegara (Declaration des Droits de l’Homme at du Citoyen) Prancis pada tahun 1789, dengan slogannya yang populer pada waktu itu, yakni: liberté (kebebasan), egalité (persamaan) dan fraternité (persaudaraan). Baru pada 10 Desember 1948 lahir Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia), yang disetujui oleh Majelis Umum PBB dengan hasil perhitungan suara 48 negara menyetujui, 8 negara abastain dan tidak ada satu pun negara yang menolaknya. Konsep HAM kemudian berkembang, tidak hanya berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik secara tradisional, tetapi juga dengan hak-hak ekonomi dan sosial. Memang gagasan HAM pada waktu itu muncul sebagai penolakan campur tangan terhadap kepentingan individu, terutama yang dilakukan oleh negara, yang kini dikenal dengan istilah “negative

A.J.M. Milne, Human Rights and Human Diversity, (Houndmills, Basingstoke, Hamsphire dan London: Macmillan, 1986)h. 154 2 Ibid., h. 1 3 Lihat Norman P.Barry, An Introduction to Modern Political Theory, (New York: St. Martin’s Press, 1981), h. 182-183. Sebagian ilmuwan menguraikan sejarah HAM, dari segi substansi berawal dari filsafat Yunani yang dikemukakan Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (348-322 SM), sedangkan dalam bentuk piagam, ketentuan HAM pertama kali dibuat di Inggris dengan munculnya Magna Charta pada 1215 yang berisi pembatasan kekuasaan raja sehingga tidak lagi absolut dan dapat dipertangguingjawabkan di muka hukum. Sebenarnya para nabi juga membawa ajaran-ajaran agama yang di dalamnya terdapat substansi HAM, termasuk Islam yang dibawa Nabi Muhmmad. Bahkan jika dibandingkan, Piagam Madinah yang dibuat pada masa-masa awal Nabi di Madinah jauh lebih dahulu dari pada Magna Charta. 1

376


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

rights”. Namun dalam perkembangannya, ia juga diinterpretasikan sebagai pemberi legitimasi kepada pemerintah untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan rakyat, yang kini dikenal dengan istilah “positive rights” atau hak-hak ekonomi dan sosial. PBB menyutuji pengembangan konsep HAM ini, dengan meratifikasi tiga persetujuan, yakni International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights; International Covenant in Civil and Political Rights; dan Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights pada tahun 1966.4 Namun demikian, dalam praktiknya konsep HAM tersebut tetap mengandung perbedaan, terutama antara negara-negara liberal dengan negara-negara sosialis dan negara-negara Muslim. Negara liberal memberikan prioritas kepada hak-hak sipil dan politik berdasarkan prinsip “individualisme”, sedangkan negara sosialis atau komunis memberikan prioritas kepada hak-hak ekonomi dan sosial berdasarkan prinsip “kolektivisme”. Konsep universal HAM ini kemudian juga ditafsirkan lagi oleh beberapa negara berkembang (dulu sering disebut Dunia Ketiga), dengan maksud untuk menyesuaikan konsep HAM sesuai dengan kondisi dan budaya lokal atau regional. Banyak elite politik serta para intelektual di Dunia Ketiga, termasuk di Indonesia, tidak menerima konsep individualisme maupun sosialisme bagi masyarakat mereka. Mereka merumuskan, mendefinisikan dan mengadaptasikan budaya-budaya tradisional dan doktrin-doktrin filosofis untuk menggabungkan dan menjustifikasi ide-ide modern tentang hak-hak ke dalam tradisi mereka. Usaha semacam itu cenderung untuk mengambil bentuk komunalisme dengan menyusun dan mengubah sistem-sistem nilai komunal secara tradisional yang mengartikulasikan hubungan timbal balik antarindividu ke tingkat nasional negara modern.5 Hal yang sama juga dilakukan oleh negara-negara Muslim, yang umumnya tetap menjadikan agama sebagai unsur penting dalam kehidupan masyarakat dan negara, yang berarti tidak ada pemisahan sepenuhnya antara agama dan negara. Oleh karena itu, bisa dipahami jika muncul beberapa deklarasi hak-hak asasi manusia yang berifat regional, seperti Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms pada tahun 1950 yang didukung oleh negara-negara Eropa, dan African Charter Sebagian pengamat menganggap bahwa lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 yang menekankan pada hak-hak sipil dan politik merupakan konsep HAM generasi pertama, sementara pengembangan konsep hak-hak ekonomi dan sosial sebagai perkembangan konsep HAM generasi kedua. Sedangkan perkembangan konsep HAM generasi ketiga terkait dengan hak-hak perdamaian dan pembangunan, yang dikenal dengan solidary rights tetapi deklarasinya hanya didukung oleh negara-negara Dunia Ketiga (negara-negara berekembang). 5 Lihat Adamantia Polis, “Human Right”, dalam Mary Hawkesworth dan Maurice Kogan (eds.), Encyclopedia of Goverment and Politics, Vol. 2, (London dan New York: Routledge, 1992), hlm. 1332-1335. Beberapa analis menyatakan bahwa hak-hak asasi manusia adalah universal, karena itu membantah klaim bahwa hak asasi manusia relatif secara kultural. Komunalisme didefinisikan sebagai “teori pemerintahan yang mendukung perluasaan otonomi lokal untuk setiap komunitas yang dapat dijelaskan secara lokal. Lihat J.A. Simpson dan E.S.C. Weiner, op. cit., hlm. 576. 4

377


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 of Human and People’s Rights pada tahun 1981. Dalam hal ini, Asia adalah satu-satunya wilayah yang belum memiliki piagam HAM yang bersifat regional. Baru pada tahun 1993 pemerintah negara-negara di Asia menandatangani The Bangkok Declaration yang menegaskan komitmen mereka kepada prinsip-prinsip yang terdapat dalam piagam PBB dan Universal Declaration of Human Rights. Deklarasi ini dipersiapkan untuk Konferensi Dunia tentang hak-hak asasi manusia pada bulan Juni 1993 di Wina.6 Pemerintah-pemerintah di negara-negara berkembang yang membatasi HAM pada umunya beralasan, bahwa pelaksanaan HAM yang dalam hal-hal tertentu dibatasi itu dimaksudkan untuk mewujudkan stabilitas nasional sebagai pra-syarat bagi pembangunan. Pada pertengahan tahun 1980an negara Dunia Ketiga mengeluarkan deklarasi hak untuk perdamaian dan pembangunan, yakni Declaration on the Rights of Peoples to Peace (1984) dan Declaration on the Rights to Development (1986). Di samping itu, perbedaan juga dimaksudkan untuk meyesuaikan konsep HAM dengan karakteristik sosial budaya suatu masyarakat di negara-negara berkembang, termasuk di dunia Islam. Pada 18 November 2012 lalu negara-negara anggota ASEAN menandatangi ASEAN Human Rights Declaration di Pnom Phen, Kamboja. Kedua deklarasi di atas diakomodasi dalam deklarasi ASEAN ini, yakni right to development (hak untuk pembangunan, pasal 35, 36 dan 37) dan right to peace (hak untuk perdamaian, pasal 38). Deklarasi yang sebenarnya mengacu kepada DUHAM ini menegaskan tentang pelaksanaannya untuk mempertimbangkan konteks regional dan nasional masing-masing negara dengan melihat latarbelakang perbedaan latar politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, sejarah dan agama (pasal 7). Disamping itu, ekspresi kebebasan juga perlu memperhatikan keamanan nasional, ketertiban dan kesejahteraan umum serta kesehatan dan moraltas publik (pasal 8). Memang pemerintah dan masyarakat di negara-negara berkembang pada umumnya tidak mau mengidentifikasikan masyarakatnya dengan kedua bentuk di atas, melainkan dengan karakteristik lain yang diangkat dari budaya setempat dan doktrin filosofinya, seperti “komunalisme”.7 Hanya saja, di balik alasan penyesuaian karaktersitik budaya lokal ini kadang-kadang upaya penyesuaian HAM dimaksudkan untuk menjustifikasi sistem politik otoriter yang diterapkan oleh suatu pemerintah tertentu, atau bahkan untuk melanggengkan kekuasaannya, seperti yang terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru (1966-1998). Misalnya dengan alasan tidak sesuai dengan budaya masyarakatnya, suatu pemerintah membatasi kebebasan pers, kebebasan warganya dalam mengekspresikan pendapatnya atau pilihannya, dan sebagainya. Suatu hal yang dapat mendekatkan antara HAM Barat dengan HAM yang dipahami oleh umumnya negara-negara berkembang adalah munculnya wacana tentang kewajiban atau tanggung jawab manusia (human responsibility). Lihat Miriam Budiardjo, “Hak-hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global” dalam Jurnal Ilmu Politik, Vol. 10, 1990; dan SOA-Informationen, Vol. 1, 1988, hlm. 4-5. 7 Lihat Adamantia Pollis, “Human Rights”, dalam Mary Hawkesworth dan Maurice Kogan (ed.), Encyclopedia of Government and Politics, Vol. 2, (London dan New York : Routledge, 1992), h. 1332-1335. 6

378


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

HAM dalam Islam Berbeda dengan istilah dan sistem demokrasi yang sampai kini masih diperdebatkan di antara ulama serta intelektual dan aktivis Muslim, hampir semua mereka setuju dengan istilah hak-hak asasi manusia (HAM) ini, meskipun konsep yang mereka kemukakan tidak sepenuhnya sama dengan konsep liberal. Penerimaan ini disebabkan karena essensi dari HAM ini sudah diakui oleh Islam sejak masa permulaan sejarahnya. Di dalam Al-Quran dan Hadits disebutkan bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di atas bumi, yang dikaruniai kemuliaan dan martabat yang harus dihormati dan dilindungi. Di antara ayat Al-Quran yang menunjukkan hal ini adalah Q.S. Al-Isra’: 70, yakni “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam ...”. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia secara fitrah (natural) memiliki kemulian (karamah) dan oleh karenanya kemulian ini harus dilindungi.8 Di antara Hadits yang menunjukkan persamaan umat manusia dan penghormatan martabat mereka adalah “Manusia pada dasarnya adalah sama dan sederajat bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atas orang non-Arab kecuali karena ketaqwaannya”.9 Dalam persepektif Islam, konsep HAM itu dijelaskan melalui konsep maqâshid alsyarî’ah (tujuan syari’ah), yang sudah dirumuskan oleh para ulama masa lalu. Tujuan syari‘ah (maqâshid al-syarî’ah) ini adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) umat manusia dengan cara melindungi dan mewujudkan dan melindungi hal-hal yang menjadi keniscayaan (dharûriyyât) mereka, serta memenuhi hal-hal yang menjadi kebutuhan (hâjiyyât) dan hiasan (tahsîniyyât) mereka”.10 Teori maqâshid al-syarî’ah tersebut mencakup perlindungan terhadap lima hal (aldharûriyyât al-khamsah), yakni: (1) perlindungan terhadap agama (hifzh al-din), yang mengandung pengertian juga hak beragama, (2) perlindungan terhadap jiwa (hifzh alnafs), yang mengandung pengertian juga hak untuk hidup dan memperoleh keamanan, (3) perlindungan terhadap akal (hifzh al-‘aql), yang mengandung pengertian juga hak

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, ada tiga karamah (kemuliaan) yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia terlepas dari latar belakang etnik, agama dan politik mereka, yakni: (1) karamah fardiyyah (kemuliaan individual) yang berartti bahwa Islam melindungi aspek-aspek kehidupan manusia baik aspek spiritual maupun meterial., (2) karamah ijtima’iyyah (kemuliaan kolektif) yang berarti bahwa Islam menjamin sepenuhnya persamaan di antara individu-individu, dan (3) karamah siyasiyyah (kemuliaan secara politik) yang berarti bahwa Islam memberi hak politik pada individu-individu untuk memilih atau dipilih pada posisi-posisi politik, karena mereka adalah wakil Allah. Dikutip dalam Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1 9 Hadits tersebut dilanjutkan dengan ucapan Nabi: “Wahai manusia, sungguh darahmu, hartamu dan kehormatan (martabat) mu adalah suci, terhormat”. Hadits lain tentang HAM ini adalah Umar bin Khattab kepada Amr ibn Ash, gubemur Mesir yang memperlakukan seorang warganya dengan kasar, “Mengapa kamu memperlakukan rakyatmu seperti budak, padahal mereka dilahirkan oleh ibunya sebagai manusia yang merdeka”. 10 ‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl Fiqh, (Kuwait : Dâr al-Qalam, cet. 12, 1978), h. 199. 8

379


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 untuk memperoleh pendidikan, (4) perlindungan terhadap harta (hafizh al-mal), yang mengandung pengertian juga hak untuk memiliki harta, bekerja dan hidup layak, (5) perlindungan terhadap keturunan (hifzh al-nasl), yang mengandung pengertian juga hak untuk melakukan pernikahan dan mendapatkan keturunan. Sebagian ulama menyebutkan perlindungan terhadap kehormatan (hifzh al-‘irdh) sebagai ganti hifzh al-nasl, yang mengandung pengertian hak untuk memiliki harga diri dan menjaga kehormatan dirinya. Eksistensi kemuliaan manusia (karamah insâniyyah) akan terwujud dengan perlindungan terhadap lima hal tersebut. Tujuan syari’ah (maqâshid al-syari’ah) tersebut diperkuat dengan prinsip-prinsip hukum Islam yang meliputi ‘adl (keadilan), rahmah (kasih sayang), dan hikmah (kebijaksanaan) baik dalam hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan alam.11 Para ulama dan intelektual Muslim kemudian mengembangkan konsep tersebut dengan berbagai hak sebagaimana yang terdapat dalam Deklarasi HAM tersebut, terutama: (1) hak untuk hidup, (2) hak kebebasan beragama, (3) hak kebebasan berpikir dan berbicara, (4) hak memperoleh pendidikan, (5) hak untuk bekerja dan memiliki harta kekayaan, (5) hak untuk bekerja, dan (6) hak untuk memilih tempat tinggal sendiri. Hanya saja, beberapa pengamat, Islamolog dan bahkan banyak intelektual Muslim sendiri melihat adanya perbedaan atau pertentangan antara Islam dan prinsip-prinsip HAM dalam hal-hal tertentu. Sebagian ulama dan intelektual Muslim menjelaskan HAM dalam Islam dengan cara apologetik, dengan menyatakan bahwa Islam merupakan sistem yang paling sempurna, sehingga jika ada perbedaan atau pertentangan antara HAM dan ajaran Islam, maka HAM itu harus ditolak. Memang ada di antara intelektual Muslim yang menganjurkan perlunya reinterpretasi secara bebas terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadits serta hasil ijtihad ulama klasik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip HAM, walaupun teks-teks itu bersifat absolut (qath’i). Namun pendapat yang sangat bebas (liberal) ini ditolak oleh para ulama dan sebagian besar intelektual Muslim. Berbeda dengan kedua pendapat di atas, cukup banyak intelektual Muslim mencoba melihat persoalan HAM dalam Islam secara lebih kritis, walaupun tetap konsisten menggunakan metodologi standar yang telah disepakati oleh para ulama. Mereka pun berusaha untuk melakukan harmonisasi antara Islam dan HAM dengan menjelaskan persoalan tersebut serasional mungkin dan melakukan reinterpretasi terhadap hal-hal yang secara lahiriah bertentangan dengan melakukan reinterpretasi dalil-dalil itu secara filosofis dan sosiologis. Di antara hal-hal yang dinilai tidak kompatibel antara ajaran Islam dan HAM adalah terkait dengan batas-batas kebebasan dan ketidaksamaan antara Muslim dan non-Muslim serta antara pria dan wanita. Dalam pasal 1 DUHAM disebutkan: “Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama”, tetapi di dalam

Lihat Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în, (Beirut: Dar al-Kutub al-”ilmiyyah, 1991), h. 11-12. 11

380


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Islam terdapat batasan-batasan yang lebih besar dalam mengekspresikan kebebasan ini. Sebagai sebuah agama yang berarti juga panduan yang mengikat, Islam tentu saja memberikan batasan-batasan yang lebih besar terhadap kebebasan dari pada HAM universal.12 Di samping itu, di dalam Islam terdapat ketidaksamaan tertentu antara Muslim dengan non-Muslim dan antara pria dan wanita,13 suatu kondisi yang dinilai tidak sesuai dengan salah satu prinsip HAM yang menyatakan persamaan manusia. Ketidaksesuaian antara doktrin Islam dan HAM “universal” ini hanya terdapat dalam beberapa hal saja, yakni terkait dengan batas-batas kebebasan serta ketidaksamaan antara Muslim dan Muslim dan antara pria dan wanita. Kebebasan mengandung pengertian, bahwa “seorang dalam batas-batas tertentu dapat melakukan atau meninggalkan apa yang ia inginkan. Batas-batas ini mungkin bersifat biologis atau hukum positif”.14 Sedangkan kebebasan beragama diartikan sebagai sebuah gagasan yang mempromosikan kebebasan individu atau kolektif untuk mengekspresikan agama mereka dan kepercayaan dalam pengajaran dan praktek, baik dalam kehidupan pribadi maupun publik. Kebebasan ini juga umumnya mengakui kebebasan untuk mengubah agama atau tidak mengikuti agama apapun. Dalam hal kebebasan beragama yang merupakan kebebasan yang paling fundamental, Q.S. al-Baqarah: 256 secara jelas menyebutkan adanya kebebasan ini, yakni “Tidak ada paksaan dalam agama”. Memang fiqh klasik mengenakan hukuman mati terhadap orang yang keluar dari Islam (murtad), suatu hal yang tidak boleh terjadi dalam HAM. Di samping itu, Islam menyuruh umatnya untuk menolak pihak-pihak yang melakukan penyimpangan secara mendasar dari ajaran-ajaran Islam, suatu hal yang juga tidak dibenarkan menurut HAM “universal”. Upaya-upaya harmonisasi ajaran Islam dengan HAM dalam persoalan riddah (keluar dari Islam) dilakukan dengan melakukan reinterpretasi dalil-dalil yang menunjukkan adanya hukuman mati terhadap pelakunya, yakni hadits “Barangsiapa merubah agamanya, maka bunuhlah”. Meski Hadits ini merupakan hadist ahad yang shahih, tetapi sanad hadits Pembatasan tersebut sesuai dengan Hadits: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban, maka janganlah kamu sia-siakan kewajiban itu; dan Allah telah memberikan beberapa larangan, maka jangan kamu langgar larangan itu; dan Allah telah mengharamkan sesuatu, maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (H.R. Al-Daraquthni). 13 Lihat, antara lain, John L. Esposito dan James P. Piscatori, “Democratization and Islam”, dalam Middle East Journal, Vol. 45, No. 3, 1991, h. 428; dan Abdullah Ahmad An-Naim, Nahw Tathwîr al-Tasyrî‘ al-Islâmî, (Kairo: Sina li Al-Nasyr, 1994), h. 222-224. Di samping tentang persoalan kedudukan non-Muslim dan wanita, An-Naim juga menyebutkan persoalan perbudakan yang yang secara literal dibenarkan oleh Syari’ah. Lihat ibid., h. 218-222. Munawir Sjadzali juga menyebutkan ketiga persoalan ini. Lihat, Munawir Sjadzali, “Reaktualisasi Ajaran Islam”, dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1988), h. 4 dan 9; dan Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1990), h. 178. 14 Werner Becker, Die Fretheit, die wer weinem, (Munchen-Zurich: R. Riper & Co., Verlag, edisi ke-2, 1982), h. 111 12

381


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 ‘amalî yang menyatakan bahwa Nabi melaksanakan hukum mati terhadap orang yang murtad adalah lemah (dha’îf),15 sementara ayat-ayat al-Quran yang mengungkapkan persoalan riddah ini tak satu pun memberikan hukuman di dunia terhadap orang murtad.16 Dengan demikian, dasar hukum tentang hukuman riddah ini tidak qath’i (menunjukkan arti pasti atau absolut), dan oleh karenanya, pada saat ini perlu ditafsirkan kembali, dengan memberikan kebebasan kepada seseorang untuk memeluk Islam atau meninggalkannya tanpa hukuman. Menurut Mahmud Syaltut, hukuman hudûd (mati) tidak bisa ditetapkan dengan hadits ahad, sedangkan kekafiran itu sendiri juga tidak menjadi penyebab diperbolehkan memerangi non-Muslim, melainkan sikap mereka memerangi orang-orang Muslim yang dapat memperbolehkan Muslim memerangi mereka. 17 Para ulama klasik memberikan hukuman mati kepada seorang yang murtad sebenarnya tidak terlepas dari realitas sosiologis dan politis pada waktu itu, dimana hubungan antarkelompok masyarakat didasarkan pada hubungan konflik. Ketika seseorang keluar dari suatu komunitas (agama) dan bergabung dengan komunitas (agama) lain, maka ia akan menjadi musuh bagi komunitas awalnya. Hal ini tidak terjadi pada saat ini, dimana hubungan antarkelompok didasarkan pada perdamaian yang dikontrol oleh masing-masing negara dan hukum internasional. 18 Mengenai ketidaksamaan kedudukan non-Muslim dengan Muslim tercermin dalam ilmu fiqh klasik yang membagi warga negara menjadi muslim dan non-Muslim. Kemudian non-Muslim ini dibedakan menjadi: dzimmî (non-Muslim yang mendapatkan perlindungan), harbî (non-Muslim yang menjadi warga wilayah non-Muslim) dan musta’min (harbî yang mendapatkan perlindungan sementara di wilayah Muslim). Dzimmî dan musta’min ini berkewajiban membayar pajak, dengan imbangan mereka berhak memilki kebebasan beragama serta keamanan jiwa dan hartanya. Tetapi mereka tidak memiliki hak sepenuhnya seperti yang dimiliki oleh Muslim, tertama hak untuk ikut serta dalam pertahanan negara dan agama, serta hak memegang jabatan tertentu dalam organisasi negara, yakni sebagai kepala negara (imâm) dan sebagai menteri yang memiliki wewenang penuh (wazîr al-tafwîdh).19 Al-Sayyid Sâbiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, (Beirut : Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1987), h. 408-409. Namun seperti sebagian besar ulama pada masa lalu, dia juga setuju dengan hukum mati ini. 16 Hukuman bagi orang murtad akan diberikan nanti di hari kiamat, sebagaimana dikatakan dalam Al-Qur’an (2: 217): “Barang siapa di antara kamu murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah penghuni nereka, mereka kekal di dalamnya”; dan Al-Qur’an (4: 137): “Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman (pula) kemudian kafir lagi, dan kemudian sertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak (pula) menunjukkan mereka kepada jalan yang lurus.” 17 Mahmud Syaltut, Al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah, (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h. 289. Di antara intelektual yang tidak setuju dengan hukuman mati dan menjelaskannya secara lebih detail adalah Fazlurrahman. Lihat artikelnya, “Non-Muslim Minority on an Islamic State”, dalm Journal Institute of Muslim Minority Affairs, Vol. 7 No. 1, 1986, p. 16. 18 Mamud Syaltut, op.cit, h. 461. 19 Lihat, misalnya, Abû Ya‘lâ al-Farra’, Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah, (Mesir : Mustafâ al-Bâbî al-Halabî), h. 16. 15

382


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Pada saat ini para ulama tidak lagi mengklasifikasikan warganegara yang demikian ini, karena kondisi sosial politik sudah berbeda dengan kondisi pada saat itu. Warga negara merupakan satu kesatuan bangsa yang telah melakukan kesepakatan atau perjanjian (mu’âhadah) untuk membangun sebuah negara yang terdiri atas berbagai kelompok masyarakat. Sedangkan tentang kedudukan wanita, dalam al-Qur’an terdapat tiga ketentuan yang secara lahirnya terlihat ketidaksamaan kedudukan antara wanita denga pria, yakni tentang hukum kewarisan (al-Nisa’: 11) dan kesaksian (al-Baqarah: 282) yang menunjukkan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 2:1, dan tentang poligami (al-Nisa: 3) yang menunjukkan perbandingan 4:1. Pada umumnya ulama dan intelektual Muslim tetap mempertahankan ketentuan-ketentuan tersebut karena dalil-dalinya bersifat absolut (qath’i). Memang tidak mudah menjelaskan tentang perbedaan ini secara rasional dan dalam persepktif HAM. Di antara mereka kemudian menyadari bahwa ketidaksamaan itu mengandung hikmah yang belum diketahui oleh manusia.20 Dalam konteks ini, yang bisa dilakakukan dalam konteks kesataraan kedudukan antara wanita dan pria ini adalah upaya-upaya menghilangkan ketidaksamaan atau diskriminasi yang didasarkan pada dalil-dalil relatif (zhannî) dan yang disebabkan oleh faktor-faktor sosiologis, seperti kesempatan memperoleh pendidikan dan pekerjaan serta kesempatan memegang jabatan dalam kehidupan masyarakat dan negara.21 Letak persoalan dasarnya sebenarnya perbedaan filosofi dan budaya antara negaranegara Barat yang sekular yang dijadikan sebagai acuan utama dalam pelaksanaan HAM dengan negara-negara Muslim yang tidak bisa melepaskan aspek agama (syari‘ah). Untuk menunjukkan, bahwa Islam juga sangat menghargai HAM sekaligus menyusun suatu rumusan yang sejalan dengan Syari‘ah, pada tahun 1990 negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam mengeluarkan Cairo Declartion of Human Rights in Islam. Sehubungan dengan hal ini, perlu dikembangkan konsep tentang universalisme dan pertikularisme HAM, sehingga pelaksaan HAM itu dapat disesuaikan dengan filosofi dan budaya masingmasing bangsa dan negara. Namun penyesuain atau praktik partikularisme HAM ini harus terhindar dari manipulasi atau kepentingan politik penguasa. Deklarasi itu baru dapat disetujui oleh semua anggoatanya setalah 13 tahun terjadi perdebatan di antara mereka. Deklarasi tersebut terdiri dari 25 pasal, yang mencakup hak-hak individu, sosial, ekonomi dan politik. Semua hak dan kebebasan yang terdapat dalam deklarasi ini tunduk kepada Syari‘ah (pasal 25). Hak-hak sipil dan politik terdiri dari, misalnya, hak memperoleh persamaan martabat manusia serta kewajiban dan tanggung

Memang ada beberapa intelektual Muslim yang mengajukan reinterpretasi ayat-ayat tersebut, yang berarti merubah ketentuan tersebut, namun sejauh ini reinterpretasi mereka itu tidak dapat diterima oleh mayoritas ulama dan umat Islam. 21 Di antara ketidaksetaraan antara wanita dan pria dalam fikih-fikih klasik adalah larangan terhadap wanita menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan, yang didasarkan pada sebuah hadits: “Suatu masyarakat/bangsa tidak akan bahagia apabila dimpimpin oleh seorang wanita”. 20

383


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 jawab kemanusiaan (pasal 1), hak memperoleh persamaan dalam hukum (pasal 19), hak untuk hidup yang merupakan pemberian Tuhan (pasal 2), dan hak untuk mengemukakan pendapat secara bebas sejauh tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Syari‘ah (pasal 22). Hak-hak sosial dan ekonomi terdiri dari, misalnya, hak untuk memperoleh pendidikan (pasal 9), hak untuk bekerja (pasal 13), hak untuk memiliki harta (pasal 15), hak untuk memperoleh kehidupan yang layak (pasal 17), hak untuk hidup dalam keamanan untuk diri seseorang, agamanya, tanggungannya, kehormatannya dan hartanya (pasal 18), dsb. Dalam bidang sosial dan ekonomi, deklarasi ini memuat banyak hak-hak yang fundamental, tetapi dalam bidang politik, ia belum mencakup semua hak yang fundamental, seperti hak untuk berserikat. Hal ini barang kali disebabkan, karena banyak negera Muslim yang menandatangani deklarasi ini belum sepenuhnya memberikan hak-hak politik kepada warganya. Dengan demikian, di samping karena perbedaan filosofis antara Barat dengan Islam, persoalan itu juga disebabkan karena faktor kemauan politik (political will) dari suatu pemerintah di negara Muslim. Banyak negara Muslim telah berupaya melakukan penyesuaian praktik HAM yang dimaksudkan agar sesuai dengan budaya masyarakatnya. Namun dalam kenyataannya, penyesuaian ini lebih banyak dimaksudkan untuk menjustifikasi sistem politik yang dipromosikan oleh pemerintah negara itu, bukan untuk mendekatkan konsep HAM ini kepada doktrin Islam. Bahkan ada juga alasan untuk menyesuaikan dengan konsep Islam, tetapi di balik itu, penyesuaian itu dimaksudkan untuk menjustifikasi sistem politiknya dan melanggengkan kekuasaannya.22 Di sisi lain, pelaksanaan HAM di negaranegara Muslim yang belum sesuai dengan Islam serta adanya standar ganda (double standard) negara-negara Barat dalam beberapa kasus pelaksanaan HAM, mengundang munculnya gerakan fundamentalisme di beberapa negara Muslim. Gerakan ini bahkan sering bersifat eksklusif dan menolak semua peradaban Barat, termasuk sistem demokrasi dan HAM, sehingga mengesankan adanya konflik antara Islam dan Barat. Kondisi ini diperburuk dengan klaim sebagian besar masyarakat Barat, bahwa peradaban merekalah yang paling unggul; dan oleh karenanya harus disebarluaskan ke seluruh dunia, tanpa menyadari bahwa masyarakat lainnya sebenarnya sudah memiliki nilai-nilai sosial dan peradabannya sendiri yang tak kalah unggulnya.

Kebijakan terhadap HAM Sebagai salah satu negara muslim, Indonesia telah menunjukkan komitmennya untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia (HAM) sejak awal kemerdekaan, seperti yang ditunjukkan oleh UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkannya. Hanya, saja Lihat Ahuddin al-Hilal, dkk., Al-Dimuqratiyya wa Haquq al-Insan fi al-Watan al-‘Arabi, (Beirut, Lebanon: Markaz Dirasah al-Wahdah al-’Arabiyyah, 1986). Walaupun buku ini ditulis tiga puluh tahun lalu, tetapi kondisi tentang hak-hak asasi manusia tidak ada perubahan yang berarti, kecuali di Tunisia, yang telah berhasil melakukan revolusi pada 2011 dan kini sedang menjalani transisi demokrasi yang sudah menunjukkan keberhasilannya. 22

384


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

pada masa lalu terdapat perbedaan penafsiran pemerintah terhadap HAM, yang terkait dengan kecenderungan politiknya. Pemerintahan Orde Baru memahami HAM dalam konteks masyarakat Indonesia yang “integralistik”, yang tidak terlepas dari upaya-upaya untuk membatasi hak-hak sipil dan politik warga negara. Karakterisasi ini pertama kali diungkapkan Soepomo pada sidang BPUPKI tahun 1945 untuk menyatakan bahwa masyarakat Indonesia itu merupakan kesatuan hidup, yang antara lain termanifestasi dalam bentuk tiadanya dualisme antara negara dan masyarakat (Staat und staatsfreie Gesellschaft) serta antara hak-hak asasi dan kebebasan individual (Grund-und Freiheitsrechte) berhadapan dengan negara.23 Namun gagasan Soepomo ini ditolak sidang dengan diterimanya usul Mohammad Hatta memasukkan hak-hak dan kewajiban warga negara dalam UUD 1945. Dengan lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden, maka konsep masyarakat integralistik ini pun ikut menghilang. Munculnya “era reformasi” menyusul jatuhnya pemerintahan otoriter Soeharto pada tahun 1998 ditandai sebagai titik awal dari transisi menuju demokrasi yang substantif di Indonesia, yang juga berarti komitmen yang lebih besar untuk perlindungan HAM. Komitmen itu ditunjukkan dengan terbitnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, yang kemudian diikuti dengan legislasi UU No. 09/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. Kebijakan ini kemudian ditindaklanjuti dengan legislasi UU No. 39/1999 tentang HAM, diikuti oleh UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Pengertian HAM yang terdapat dalam pasal 1 UU No. 39/1999 adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Di samping itu, beberapa peraturan telah dicabut atau diubah, seperti UU No. 11/ PnPs/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, karena UU bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip negara yang berdasarkan atas hukum serta menimbulkan ketidakpastian hukum. UU ini dicabut dengan UU No. 26/1999 tentang Pencabutan UU No. 11/PnPs1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Yang lebih penting lagi adalah amandemen kedua UUD 1945 pada tahun 2000, yang menyebutkan HAM secara rinci. Penguatan instrument HAM ini dilanjutkan dengan ratifikasi sejumlah perjanjian internasional tentang HAM. Pada tahun 2005, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meratifikasi International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dengan UU No. 11 tahun 2005, dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dengan UU No.12 tahun 2005. Ratifikasi ini dianggap sebagai sebuah peristiwa bersejarah, karena di era Orde Baru banyak intelektual dan aktivis hak asasi manusia menyarankan pemerintah

Lihat Muhammad Yamin (ed.), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, (Jakarta: Prapanca, 1959), h. 112-113. 23

385


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 dan DPR untuk meratifikasi kedua covenan (perjanjian) tersebut, tetapi pemerintah selalu menolak saran itu. Dengan legislasi HAM dan ratifikasi tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki instrumen paling lengkap tentang HAM. Konsekuensinya, pemerintah berkewajiban untuk pelaksanaan instrumen dengan membuat kebijakan dan langkah-langkah untuk mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Sejalan dengan hal ini, pemerintah dan DPR wajib untuk mereformasi peraturan negara yang tidak sesuai dengan HAM. Di samping itu, penegakan HAM juga menjadi program pemerintah yang disebutkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Sebagai acuan operasionalnya, pemerintah pun membuat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) tahun 2004-2009 melalui PP No. 40/2004 dan RANHAM tahun 2011-2014 melalui PP No. 23/2011. Namun demikian, ratifikasi tersebut kemudian melahirkan perdebatan mengenai pelaksanaan perlindungan HAM, terutama tentang universalisme dan pertikularisme HAM. Kelompok liberal umumnya berpendapat, bahwa Indonesia harus melaksanakan semua ketentuan HAM yang terdapat dalam kovenan tersebut, tanpa disertai dengan penyesuaian-penyesuaian dengan konteks Indonesia, karena HAM itu bersifat universal. Sebagaimana diketahui, bahwa konsep universal HAM yang ada sekarang ini, termasuk yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian tersebut berasal dari budaya dan peradaban Barat yang sekuler. Jadi, sangat dimungkinkan dan bahkan dibutuhkan untuk memahami dan menerapkan HAM dalam konteks masyarakat tertentu yang filosofi dan latar belakang budayanya tidak sama dengan latar belakang budaya Barat. Seperti kita ketahui, Indonesia yang berdasarkan Pancasila bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama. Dalam hal lembaga-lembaga politik, Indonesia adalah sekuler, tetapi dalam hal filsafat negara, Indonesia bukanlah negara sekuler, karena ia mengakui keberadaan agama dalam kehidupan masyarakat dan negara. Oleh karena itu, HAM pun didefiniskan dengan penyesuaian ini, sebagaimana disebutkan pada pasal 1 UU No. 39/1999 tersebut, yakni seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. UUD 1945 pun telah memberikan acuan tentang penyesaian HAM itu dengan memberikan pembatasan ekspresi HAM yang disebutkan secara eksplisit dalam pasal 28 (J) UUD 1945. Pembatasan ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi kebutuhan hanya dengan mengambil moralitas, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum menjadi pertimbangan. Pembatasan ini juga dibenarkan oleh ICCRP, sebagaimana disebutkan dalam pasal 18: (3). Pembatasan ini merupakan “margin of appreciation� dalam pelaksanaan HAM, sebuah konsep yang dimunculkan oleh the European Court of 386


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Human Rights.24 Selain itu, pembatasan itu juga tidak bertentangan dengan demokrasi, karena demokrasi adalah keseimbangan antara kebebasan dan ketertiban berdasarkan aturan hukum (law and order).25 Di antara pembatasan yang sampai kini masih menimbulkan perdebatan adalah terkait dengan agama. Walaupun kebebasan beragama ini merupakan prinsip universal, pelaksanaan di Indonesia tidak bisa sepenuhnya sama dengan di negara-negara Barat yang sekuler. Bahkan di negara-negara Barat pun praktik kebebasan beragama ini tidak sama antara satu negara dengan negara lainnya. Kebebasan beragama ini terutama meliputi hak seseorang untuk menentukan agama, hak untuk beribadah, hak untuk memiliki tempat ibadah, hak untuk berpindah agama, hak untuk bebas dari diskriminasi dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari penyiksaan. Di negara-negara sekuler kebebasan ini bahkan mencakup hak untuk tidak beragama, yang kemudian diklaim sebagai standar internasional.26 Yang juga menjadi partikularitas pelaksanaan HAM di Indonesia adalah adanya konsep kewajiban dasar manusia (KDM), yang dalam wacana internasional disebut human responsibility (tanggung jawab manusia). KDM, yang secara eksplisit disebutkan dalam UU HAM tersebut, diartikan sebagai “seperangkat kewajiban yang apabila hak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia”. KAM ini antara lain disebutkan dalam pasal 69: (1), yakni “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”. Sedangkan pasal 69: (2) disebutkan “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggungjawab untuk menghormati hak asasi orang lain serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya”. Bahkan KAM ini juga mencakup juga kewajiban terhadap pembatasan HAM sebagaimana disebutkan dalam pasal 70, yakni “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan Undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. Lihat Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Margin Apresiasi HAM”, dalam Kompas, March 8, 2011. 25 Penyesuaian tersebut juga didukung oleh negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) dengan lahirnya Cairo Declaration of Human Rights in Islam pada tahun 1990, serta negara-negara anggota ASEAN dengan lahirnya ASEAN Human Rights Declaration pada tahun 2012 sebagaimana disebutkan di atas. 26 Perlindungan dan penegakan HAM merupakan komitmen dan agenda bersama di era reformasi ini. Hal ini bisa dilihat dari amendemen terhadap UUD yang memasukkan HAM secara lebih rinci, dan legislasi UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan ratifikasi sejumlah instrumen HAM PBB., antara lain International Covenant on Civil and Political Rights dengan UU No 12/2005. Salah satu dari HAM yang disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR) dan UUD 1945 adalah kebebasan beragama, yaitu pasal 18 UDHR serta pasal 28 E (1) dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945. 24

387


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Pemerintah di era reformasi (1998-sekarang) telah mengakui, menghormati dan melindungi HAM dan menjadikannya sebagai visi dari semua sektor pembangunan nasional. Berbeda dengan pemerintah Orde Baru yang sangat membatasi kebebasan, pemerintah di era reformasi sangat mendukung kebebasan sebagai unsur utama bagi penghormatan dan perlindungan HAM. Pemerintah menjamin kebebasan berekspresi, termasuk dalam bentuk kritik, oposisi, demonstrasi dan protes yang ditujukan kepada pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya. Pemerintah juga menjamin kebebasan politik, termasuk pendirian partai agama yang dilarang di era Orde Baru. Yang lebih penting lagi adalah selama era ini pemerintah telah melakukan pemilihan umum yang bebas, di mana warga bisa menentukan pilihan mereka dengan bebas partai politik, calon anggota legislatif, presiden dan kepala daerah sesuai dengan aspirasi mereka sendiri. Untuk memperkuat perlindungan HAM, UU tentang HAM tersebut mengamanatkan pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), yang sebenarnya sudah pernah didirikan pada tahun 1993 tetapi belum berfungsi secara efektif. Komisi ini memiliki tugas: (1) mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, (2) untuk meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM dalam rangka pengembangan kepribadian masyarakat Indonesia dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. Komisi ini memiliki fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantau dan mediasi tentang HAM (pasal 76:1). Di samping itu, terdapat juga beberapa lembaga negara nonstruktural yang terkait dengan perlindungan HAM, terutama Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Ombudsman. Pemerintah juga mendorong peran civil society, terutama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dalam melakukan advokasi dalam bidang HAM, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KONTRAS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan sebagainya. Kemajuan-kemajuan dalam penegakan HAM tersebut telah mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak, termasuk Dewan HAM PBB (Human Rights Council of the United Nations) sebagaimana disebutkan dalam laporan Universal Periodic Review tahun 2012 lalu. Di antara langkah-langkah kongkrit yang dilakukan pemerintah adalah penyelenggaraan pendidikan atau pelatihan tentang HAM, termasuk bagi anggota militer dan polisi, ratifikasi instrumen HAM internasional, dukungan kepada aktivitas civil society, penghapusan impunitas (kekebalan hukuman), revisi hukum pidana, dan sebagainya. 27

Problem Penegakan HAM Namun di samping kemajuan-kemajuan tersebut, kini juga masih ada sejumlah Lihat National Report submitted in accordance with paragraph 5 of the annex to Human Rights Council resolution 16/21: Indonesia, presented by the Working Group on the Universal Periodic Review, Human Rights Council, Geneva, on 21 May-4 June, 2012. 27

388


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

persoalan tentang HAM yang belum diselesaikan, baik yang merupakan warisan periode sebelumnya maupun yang muncul pada era reformasi ini. Di antara pelanggaran HAM masa lalu yang masih dituntut untuk diselesaikan adalah kasus Tanjung Priok pada 1984, penculikan aktivis pada 1997/1998, penembakan mahasiswa Trisakti, dan sebagainya. Pada era reformasi ini masih terdapat sejumlah masalah dan tantangan dalam praktik penegakan dan perlindungan HAM, baik yang bersifat substantif (materiil), struktural maupun kultural.28 Peraturan perundangan atau kebijakan pemerintah umumnya sudah tidak bertentangan dengan HAM, karena jika hal ini terjadi, ada upaya-upaya hukum untuk mengontrolnya, baik lembaga legislatif (DPR/DPRD), judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) atau Mahkamah Agung (MA) maupun melalui lembaga pengadilan biasa. Hanya saja, terdapat permasalahan terkait dengan konsep kebebasan dan batasan-batasannya, yang berakibat pada munculnya perbedaan tentang penilaian terhadap pelaksanaan HAM. Kelompok liberal berpendapat bahwa pembatasan dalam ekspresi kebebasan itu tidak dapat dibenarkan, tetapi UUD 1945 mengakui pembatasan ini, sebagaimana disebutkan dalam pasal 28 (J) UUD 1945 yang telah diuraikan di atas. Pada masa Orde Baru memang perdebatan tentang pembatasan kebebasan ini terjadi di berbagai hal, baik terkait dengan politik, ekonomi maupun sosial budaya. Namun, di era reformasi ini, perdebatan serius tentang pembatasan kebebasan ini hanya yang berkaitan dengan kebebasan beragama, karena ajaran-ajaran agama itu sendiri juga menjadi pedoman umatnya yang berimplikasi kepada pembatasan untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama. Persoalan ekspresi kebebasan dan ekspresi hak untuk mempertahankan ajaran agama tersebut bisa menimbulkan ketegangan atau konflik di antara para pemeluk agama, baik internal maupun antarumat beragama. Oleh karena itu, muncul upaya-upaya pembatasannya melalui ketentuan perundangan (regulasi) untuk mewujudkan ketertiban serta menghindari munculnya ketegangan dan konflik dalam masyarakat yang disebabkan oleh ekspresi kebebasan yang berlebihan. Hanya saja, pembatasan kebebasan ini pun menimbulkan perdebatan, ada yang mendukungnya dan ada pula yang menolaknya. Sejumlah kelompok agama dan kelompok liberal tidak setuju terhadap regulasi pembatasan, dengan alasan bahwa regulasi itu hanya akan membatasi kebebasan beragama, yang sebenarnya merupakan hak yang tidak bisa dikurangi (non-derogable right). Namun demikian, negara dan kelompok mayoritas mendukung pembatasan itu melalui peraturan perundangan, dengan alasan bahwa kebebasan beragama secara individual (forum internum) memang merupakan hak yang tidak bisa dikurangi (non-derogable right), tetapi ekspresinya di ranah publik (forum externum) merupakan hak yang bisa dikurangi (derogable right) untuk melindungi moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. UUD 1945 membenarkan adanya pembatasan ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Lawrence M. Friedman, bahwa penegakan hukum itu bergantung pada tiga hal, yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. 28

389


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 disebutkan di atas. Pembatasan semacam ini juga dibenarkan oleh International Covenant on Civil and Political Rights, yang telah diratifikasi oleh DPR pada tahun 2005.29 Persoalan lainnya adalah kebebasan yang berimplikasi kepada penghinaan atau penodaan agama. Di Indonesia, yang berdasarkan Pancasila, tidak ada pemisahan sepenuhnya antara negara dan agama, dan bahwa tanggung jawab negara terhadap agama tidak hanya terbatas pada perlindungan kebebasan beragama, tetapi juga pelayanan kepada para pengikut agama, termasuk perlindungan hak warga negara untuk membela kemurnian ajaran dan praktik keagamaan mereka. Yang terakhir ini terjadi hanya jika ada penyimpangan mendasar dari prinsip-prinsip agama diperkenalkan oleh kelompok agama tertentu dan menyebabkan ketidakharmonisan sosial atau konflik, sebagaimana PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pada masa Orde Baru PNPS tersebut diperkuat menjadi UU No. 5/1969, sementara kertentuan hukumnya dimasukkan ke dalam KUHP, yakni pasal 156a. Sejumlah kelompok agama dan aktivis LSM menilai PNPS tersebut sebagai peraturan perundangan yang tidak sejalan dengan HAM dan konstitusi negara; dan oleh karenanya, pada tahun 2008 mereka mengajukan judicial review terhadap PNPS No. 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menolak usulan uji materiil itu melalui Putusannya No. 140/PUU-VII/2009, dengan alasan karena PNPS ini tidak membatasi kebebasan beragama, sebagaimana yang diargumentasikan pemohon. Sebaliknya, UU ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan, penodaan agama atau pokok-pokok ajaran agama yang ada di Indonesia.30 Hanya saja, karena PNPS No. 1/1965 itu ditetapkan di masa pemerintahan Orde Lama, yang notabene tidak demokratis, maka penerapannya harus selektif agar tetap sesuai dengan koridor sistem demokrasi. Di samping itu, sejumlah inetelektual Muslim, tokoh liberal dan tokoh agama nonIslam menganggap Peraturan Daerah (Perda) bernuansa syari’ah di beberapa provinsi dan kabupaten/kota berpotensi pada perlakukan diskriminatif dan pelanggaran HAM, khususnya antara laki-laki dan perempuan serta antara Muslim dan non-Muslim.31 Berdasarkan alasan inilah, pada tahun 2007 tiga warga Tangerang, yaitu Lilis Maemudah, Tuti Rahmawati, dan Hesti Prabowo mengajukan uji materi (judicial review) Perda Kota Tangerang No. 8/ 2005 tentang Pelarangan Pelacuran ke Mahkamah Agung (MA). Namun MA menolak Dalam ICCPR pasal 18 ayat (3) disebutkan: “Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain�. 30 Lihat Putusan MK No. 140/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian UndangUndang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, hlm. 275. 31 Cf. Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim (ed.), Syariah Islam dan HAM, (Jakarta: CRSC UNI Jakarta dan Konrad Adenaur Stiftung, 2007), hlm. 218-220. 29

390


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

permohonan ini, dan menyatakan bahwa Perda itu tidak melanggar peraturan yang lebih tinggi, HAM dan UUD 1945. Keputusan ini kemudian dijadikan sebagai preseden, bahwa Perda-Perda serupa di daerah-daerah lainnya pun tetap berlaku. Sebenarnya, sebelum pengundangan Perda-Perda sebenarnya telah dilakukan upaya-upaya sinkronisasi antara materi Perda itu dengan hukum nasional agar Perda itu tidak bertentangan dengan sistem hukum nasional dan HAM. Adapun problem penegakan HAM yang bersifat struktural terkait dengan penegakan hukum baik oleh polisi, jaksa maupun hakim, yang secara umum masih belum cukup kuat dan kadang-kadang bahkan menimbulkan ekses yang melanggar HAM. Dalam beberapa kasus polisi ditengarai telah melanggar HAM, terutama dalam kasus yang berhubungan dengan demonstrasi yang dilakukan secara brutal atau dalam kaitan dengan tugas penanggulangan terorisme. Bahkan dalam sejumlah kasus, polisi hanya diam dan tidak mampu mencegah tindakan warga yang berpotensi melukai HAM, seperti dalam kasus konflik komunal atau agama. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya kemampuan personil dan minimnya peralatan polisi untuk menangani demonstrasi yang dilakukan secara brutal. Di samping itu, hal ini juga disebabkan oleh sikap ketidakpastian (keraguraguan) pihak polisi sendiri jika tindakan yang sebenarnya dimaksudkan untuk pencegahan itu justru dituduh melanggar HAM. Di sisi lain, Komnas HAM tidak memiliki wewenang yang kuat dalam penegakan HAM, sehingga kedudukannya hanya mirip tim kajian, tim pencari fakta atau tim mediasi. Meski demikian, lembaga ini cukup kritis terhadap pelanggaran HAM yang terjadi, baik yang dilakukan oleh aparat negara maupun kelompok masyarakat. Apalagi jika kritik lembaga ini juga diperkuat oleh ormas-ormas besar dan LSM-LSM yang bergerak dalam penegakan HAM, seperti Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (KONTRAS), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dan sebagainya. Sedangkan tantangan dan problem yang bersifat kultural adalah adanya budaya hukum yang belum sepenuhnya kondusif bagi penegakan HAM. Tingkat kesadaran hukum warga Indonesia pada saat ini umumnya masih rendah yang tidak lepas dari tingkat pendidikan mereka yang rata-rata juga masih rendah. Munculnya sejumlah konflik komunal, baik yang berlatarbelakang ekonomi, politik maupun sosial menunjukkan hal ini. Demikian pula, munculmya sikap intoleransi beragama serta perselisihan dan konflik tentang pendirian rumah ibadah serta masih adanya kekerasan atas nama agama, walaupun jumlahnya sebenarnya sangat sedikit. Intoleransi itu sebenarnya merupakan ekses dari penggunaan kebebasan berekspresi yang terlalu bersemangat atau berlebihan, sehingga menimbulkan persoalan dalam masyarakat, seperti konflik atau perselisihan antarkelompok agama terutama karena persoalan pendirian rumah ibadah serta protes terhadap penodaan atau penistaan agama. Di antara kasus-kasus yang telah mendapatkan sorotan dari dunia internasional adalah kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah serta protes terhadap izin pendirian rumah ibadah yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, yakni Peraturan Bersama (PBM) Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006, seperti kasus pendirian gereja GKI Yasmin Bogor. 391


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Sebenarnya kasus-kasus pendirian rumah ibadah ini tidak hanya terjadi di pulau Jawa yang beberapa kasus mengalami kesulitan mendirikan gereja, tetapi juga di Bali, Kupang, Manado, Manokwari dan sebagainya, dimana sebagian pendirian masjid juga mengalami kesulitan.32 Hanya saja, kasus-kasus di wilayah Timur ini tidak mendapatkan sorotan dari media nasional dan internasional. Intoleransi agama dan kasus-kasus kesulitan pendirian rumah ibadah bagi kelompok minoritas ini juga terjadi di negara-negara maju yang selama ini dinilai sudah menegakkan HAM. Hal ini terjadi seiring dengan proses globalisasi dan menguatnya politik identitas (identity politics) di negara-negara itu. Politik identitas ini kini tidak hanya diekspresikan sebagai perjuangan kelompok minoritas seperti ketika istilah ini dimunculkan pada awal 1970-an, tetapi juga diekspresikan oleh sebagian kelompok mainstream atau mayoritas untuk mempertahankan dominasi identitas mereka dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, ada juga problem dan kecenderungan pemahaman keagamaan dan prilaku sebagian kecil kelompok agama yang bersifat eksklusif dan bahkan radikal, yang dipengaruhi oleh gerakan-gerakan Islam radikal di luar negeri.33 Di era reformasi, yang mendukung kebebasan dan demokrasi secara substantif ini, radikalisme telah muncul sebagai ekspresi kebebasan, baik yang berdasarkan agama, etnis, ekonomi atau motif lainnya. Mereka telah mengambil keuntungan dari iklim kebebasan yang ada untuk mengekspresikan dan menyebarkan ideologi mereka yang radikal dan ekstrem. Kelompok radikal dan ekstrem itu mengancam perlindungan dan penegakan HAM, karena banyak dari mereka berperilaku intoleran dan bahkan melakukan kekerasan dan teror terhadap kelompok lain yang dianggap sebagai musuh. Sebagaimana diatur dalam pasal 28A UUD 1945, bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pemerintah dan DPR telah melakukan upaya-upaya serius untuk membatasi dan memerangi radikalisme dan terorisme bermotif agama melalui pendekatan keamanan dan pendekatan budaya. Pada tahun 2003 DPR telah menetapkan UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kemudian pada tahun 2010, pemerintah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memperkuat upaya-upaya memerangi terorisme. Badan ini pun melibatkan tokoh agama dan ulama dalam pelaksanaan program-programnya, terutama dalam bentuk deradikalisasi dan kontra-radikalisme. Walaupun telah terjadi sejumlah kasus perselisihan tentang pendirian rumah ibadah, dalam kenyataannya jumlah rumah ibadah untuk kelompok minoritas merupakan terbesar di dunia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 menunjukkan sebagai berikut: jumlah pemeluk Islam adalah 207.176.162 orang (87,18 %) dengan jumlah masjid 255.147 (76,42 %) atau 1:812, jumlah pemeluk Kristen Protestan adalah 16.528.513 (6,96 %) dengan jumlah gereja 50.565 (15,15 %) atau 1:327, sedangkan jumlah pemeluk Katolik adalah 6.907.873 (2,91 %) dengan jumlah gereja 11.191 (3,35 %) atau 1:617. 33 Radikalisme agama disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor eksternal (internasional) terutama ketidakadilan dunia dan persoalan konflik Palestina-Israel dan Perang Afganistan maupun faktor internal, terutama pemahaman keagamaan yang eksklusif dan literal serta kondisi suatu negara yang dinilai kurang menunjukkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. 32

392


Masykuri Abdillah: Islam dan Hak Asasi Manusia

Sejak sekitar 10 tahun terakhir, para tokoh dan organisasi keagamaan, terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, juga telah melakukan upaya-upaya untuk mencegah dan membatasi radikalisme agama. Mereka mensosialisasikan pemahaman yang benar tentang ajaran agama (khususnya Islam), dengan mempromosikan perdamaian dan harmoni sesuai dengan misi Islam itu sendiri sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmat li al-‘âlamîn). Mereka juga menjelaskan bahwa perjuangan untuk aspirasi atau protes terhadap setiap penyimpangan harus dilakukan secara legal dan konstitusional serta melalui cara-cara yang bijak (hikmah), bukan melalui cara-cara kekerasan dan teror, apalagi jika kekerasan dan teror yang dilakukan atas nama jihad. Mereka juga mengutuk kekerasan dan teror itu dan menganggapnya sebagai tindakan yang menodai Islam dan melanggar HAM. Kampanye tentang Islam rahmat li al-‘âlamîn juga ditujukan kepada pihak non-Muslim, untuk menghindari kesalahpahaman tentang Islam, terutama setelah serangan WTC pada tahun 2001.

Penutup Uraian di atas menunjukkan, bahwa sejak awal Islam telah mengakui eksistensi hak asasi manusia (HAM), karena Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di atas bumi ini dan menganugerahinya dengan martabat yang tinggi di atas mahluk-mahluk lain. Islam pun memerintahkan kepada umatnya untuk menghormati dan melindungi harkat dan martabat manusia itu. Para ulama kemudian merumuskannya dengan konsep maqâshid al-syarî’ah (tujuan syari’ah), yakni untuk mewujudkan kemaslahatan manusia yang meliputi keniscayaan (dharûriyyât) dan kebutuhan (hâjiyyât) manusia yang eksistensinya harus diwujudkan dan dilindungi. Hanya saja, pelaksanaan HAM itu tidak bisa terlepas dari agama dan budaya suatu masyarakat tertentu, sehingga dalam beberapa kasus pelaksanaan HAM bersifat partikular dalam rangka penyesuaian ini dan bukan untuk mempertahankan kekuasaan suatu pemerintahan tertentu. Meski demikian, pada saat ini masih banyak negara-negara Muslim yang belum sepenuhnya menegakkan dan melindungi HAM. Sebagai salah satu negara Muslim, seluruh komponen bangsa Indonesia di era reformasi ini telah berkomitmen untuk melakukan upaya-upaya perlindungan dan penegakan HAM sejalan dengan penerapan sistem demokrasi secara substantif, baik dalam bentuk amandemen konstitusi, legislasi tentang HAM, ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional maupun perumusan rencana aksi HAM (RANHAM). Hanya saja, pada saat ini masih ada sejumlah masalah atau kendala dalam perlindungan HAM itu yang disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang bersifat substantif, struktural maupun kultural. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi persoalan, kendala dan tantangan itu, baik oleh pemerintah, DPR, civil society maupun organisasiorganisasi keagamaan, terutama melalui peningkatan kapasitas para penegak hukum serta pendidikan kewarganegaraan yang menekankan pendidikan HAM.

393


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pustaka Acuan ‘Imarah, Muhammad. Al-Islâm wa Huqûq al-Insân: Darûrât lâ Huqûq. Damaskus: Dar alSalam, 2004. al-Farra’, Abû Ya‘lâ. Al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Mesir: Mustafâ al-Bâbî al-Halabî. al-Ghazali, Muhammad. Huqûq al-Insân: Ta’âlim al-Islâm wa I’lân al-Umam al-Muttahidah. Iskandaria: Dar al-Da’wah, 1993. al-Jauziyyah, Ibn Qayyim. I’lâm al-Muwaqqi’în. Beirut: Dar al-Kutub al-”ilmiyyah, 1991. An-Naim, Abdullah Ahmad. Nahw Tathwîr al-Tasyrî‘ al-Islâmî. Kairo: Sina li Al-Nasyr, 1994. Barry, Norman P. An Introduction to Modern Political Theory. New York: St. Martin’s Press, 1981. Becker, Werner. Die Fretheit, die wer Weinem. Munchen-Zurich: R. Riper & Co., Verlag, 1982. Budiardjo, Miriam. “Hak-hak Asasi Manusia dalam Dimensi Global” dalam Jurnal Ilmu Politik, Vol. 10, 1990. Esposito, John L., dan James P. Piscatori, “Democratization and Islam”, dalam Middle East Journal, Vol. 45, No. 3, 1991. Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb. ‘Ilm Ushûl Fiqh. Kuwait : Dâr al-Qalam, cet. 12, 1978. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 2003. Mawdudi, Abul A’la. Human Rights in Islam. Leicester: The Islamic Foundation, 1976. Nusantara, Abdul Hakim Garuda. “Margin Apresiasi HAM”, dalam Kompas, March 8, 2011. Pollis, Adamantia. “Human Rights”, dalam Mary Hawkesworth dan Maurice Kogan (ed.), Encyclopedia of Government and Politics, Vol. 2. London dan New York: Routledge, 1992. Rahman, Fazlur. “Non-Muslim Minority on an Islamic State”, dalam Journal Institute of Muslim Minority Affairs, Vol. 7 No. 1, 1986. Sâbiq, Al-Sayyid. Fiqh Al-Sunnah, Jilid II. Beirut : Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1987. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta : UIPress, 1990. Syaltut, Mahmud. Al-Islâm ‘Aqîdah wa Syarî’ah. Kairo: Dar al-Qalam, 1966. Yamin, Muhammad (ed.), Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I. Jakarta: Prapanca, 1959.

394


PERSEPSI PEREMPUAN DI KOTA PADANG TENTANG PERCERAIAN Rozalinda & Nurhasanah Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Jl. Mahmud Yunus, Lubuk Lintah, Padang, 25153 e-mail: roza_linda32@yahoo.com, nurhasanahnur@gmail.com

Abstrak: Islam mensyariatkan perkawinan dengan tujuan mendapatkan keluarga bahagia. Namun, kenyataannya, sering terjadi perselisihan dalam keluarga yang tidak dapat didamaikan, yang berujung pada perceraian. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan faktor penyebab meningkatnya perkara gugatan cerai di Pengadilan Agama Padang dan menggali persepsi perempuan di Kota Padang tentang perceraian. Dengan menggunakan metode kualitatif, data dihimpun dari dokumen Pengadilan Agama Kelas I A Padang dan wawancara dengan perempuan yang mengajukan gugatan cerai, hakim, panitera, pengacara, dan tokoh perempuan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa faktor penyebab meningkatnya gugatan cerai adalah membaiknya tingkat pendidikan, kesadaran hukum, peluang berkarier dan perubahan stigma masyarakat terhadap perempuan yang bercerai. Selain itu, perempuan di Kota Padang berpendapat bahwa cerai bukanlah hal yang tabu dan menakutkan, karena juga dilindungi undangundang sehingga dianggap sebagai solusi ampuh dalam menyelesaikan konflik keluarga. Abstract: Woman Perception on Divorce in Padang Central City. Islam set down marriage rule as a means of acquiring happiness. In reality, however, it marriage conflict may occur, and often cannot be resolved and that it leads to divorce. This study is a qualitative study seeking to reveal the causes of increasing divorce rate in the Religious Court of Padang, and to unveil women’s perceptions concerning divorce in Padang. By using qualitative method, the data is collected from the documents of the Grade I A Religious Court of Padang, and interviews with those women who file legal divorce suit, judges, clerks, lawyers, and women scholars. The findings reveal that the undelying factors of divorce rate increase are due to women’s education improvement, increasing legal awareness, the availability of career opportunities, changing social stigma against divorced women and weakening understanding of religious values among women. Women in Padang perceive that divorce is no longer a taboo and embarrassing, since grants womens’ rights to file divorce in the court, and thus seen as an alternative solution to.

Kata Kunci: perceraian, gugatan cerai, khuluk, perempuan, pengadilan agama 395


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pendahuluan Pernikahan merupakan sesuatu yang disyari’atkan agama Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Rasul-Nya. Di antara tujuan pernikahan adalah terwujudnya keluarga bahagia, tenang, tentram dan kekal. Setiap pasangan yang menikah tentulah mengharapkan hal ini, namun dalam kenyataannya tidak semua keluarga memperolehnya. Tidak jarang terjadi, di antara suami isteri terjadi ketidakharmonisan atau perselisihan yang tidak bisa didamaikan, atau terdapat hal-hal yang menyebabkan suami dan isteri tidak dapat lagi mempertahankan hubungan mereka. 1 Sebagai solusi terakhir dari permasalahan tersebut Islam membolehkan terjadinya perceraian antara suami isteri. Meskipun sebenarnya perceraian itu merupakan sesuatu yang tidak diharapkan, sehingga Nabi menyebut perceraian itu sebagai perbuatan halal tetapi dibenci Allah. Bila dilihat dari segi siapa yang menghendaki terjadinya perceraian, perceraian dapat dibagi dua, yaitu perceraian karena keinginan suami yang disebut dengan thalak dan perceraian karena keinginan istri (khuluk). 2 Di Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perceraian atas kehendak suami disebut dengan cerai talak, sedangkan cerai atas kehendak isteri disebut cerai gugat. 3 Pada umumnya, perceraian lebih banyak terjadi karena kehendak suami, bukan atas kehendak isteri. Hal ini disebabkan karena posisi suami di dalam keluarga jauh lebih kuat dibandingkan istri. Namun, data statistik Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI menyebutkan, pada tahun 2009 perkara perceraian yang diputus Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah mencapai 223.371 perkara. Sementara itu, perkara cerai gugat berjumlah 150.000 perkara. Ini berarti 65% dari perkara cerai yang diproses di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia adalah cerai gugat. 4 Berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Agama Kelas I A Padang ditemukan permasalahan yang sama, di mana angka gugat cerai jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan cerai talak, seperti ditunjukkan pada tabel di bawah ini:

Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 288. Arso Sasroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. 2 (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet. ke-2, h. 59-60. 3 Iskandar Ritonga, Hak-Hak Wanita Dalam Putusan Peradilan Agama (Jakarta: Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, 2005), h. 215. 4 Melonjaknya Angka Perceraian Jadi Sorotan Lagi dalam http://www.badilag.net/2010/ 5/10, diakses 16 Juni 2011. 1 2

396


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

Tabel 1. Perkembangan Perkara di Pengadilan Agama Kelas I A Padang Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total

Jumlah Perkara 771 728 851 851 1042 3702

Permohonan Cerai 261 38% 246 35% 278 33% 328 35% 354 34% 1298 35%

Gugatan 424 462 573 615 688 2390

Cerai 62% 65% 67% 65% 66% 65%

Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kelas I A Padang, tahun 2013

Kasus perceraian umumnya dipicu oleh faktor ekonomi, poligami, krisis akhlak, cemburu, tidak ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, cacat biologis, kekerasan dalam rumah tangga, kurang harmonisnya rumah tangga dan campur tangan pihak ketiga. Sementara itu, angka cerai gugat di Pengadilan Agama Kelas I A Padang meningkat umumnya lebih didominasi oleh kurang bertanggungjawabnya suami pada istri dan keluarga atau faktor ekonomi. Hal inilah yang menyebabkan pihak perempuan (istri) memilih berpisah dengan suaminya.5 Kondisi demikian menimbulkan sejumlah pertanyaan, apakah sebenarnya yang menyebabkan meningkatnya angka cerai gugat perempuan di Kota Padang. Apakah meningkatnya angka cerai gugat menunjukkan perubahan pemahaman perempuan terhadap perceraian? Sehingga sesuatu yang dianggap tabu dan memalukan di kalangan masyarakat Minangkabau, dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah sudah dianggap hal yang wajar. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan menemukan: 1) Faktor-faktor yang memengaruhi peningkatan angka gugagatan cerai di Kota Padang, 2) Persepsi perempuan di Kota Padang terhadap perceraian. Penelitian ini dibatasi pada perkara gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang tahun 2008 sampai dengan tahun 2012.

Metode Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang berusaha mengungkapkan secara mendalam faktor penyebab meningkatnya perkara gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang dan persepsi perempuan di kota Padang terhadap perceraian. Untuk sampai pada tujuan penelitian, maka penelitian ini mengikuti langkah-langkah sebagai berikut: (1) Menelusuri dan menjaring data di Pengadilan Agama Kelas I A Padang yang berkaitan dengan perkara gugatan cerai yang terdapat pada buku register perkara dan arsip putusan Wawancara dengan Yelti Multi, Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kelas IA Padang, Padang, 25 Mei 2012. 5

397


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 PA. (2) Menelusuri statisitik perkara gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang. (3) Mempelajari dan menela’ah keputusan hakim tentang gugatan cerai. (4) Melakukan wawancara dengan perempuan bercerai. (4) Langkah selanjutnya, melakukan wawancara dengan panitera dan hakim yang menyidangkan perkara cerai gugat (5) Kemudian, wawancara dengan tokoh perempuan Sumatera Barat. (6) Setelah data terkumpul baik melalui dokumentasi dan wawancara, langkah selanjutnya adalah mengolah data, menganalisis dan melakukan proses editing. Sumber data pada penelitian ini adalah perempuan yang bercerai yang telah menggugat cerai suaminya ke Pengadilan Agama kelas I A Padang. Data ini dihimpun berdasarkan daftar registrasi perkara gugatan cerai yang masuk ke pengadilan sejak tahun 2008-2012. Karena banyaknya sumber data yang mencapai 2390 perkara, maka sumber data dipilah secara acak (random sampling) dengan mempertimbangkan aspek pendidikan (terdidik atau tidak terdidik), pekerjaan (bekerja atau tidak bekerja), tempat tinggal (tinggal bersama keluarga besar atau hidup mandiri). Penelitian ini juga menjaring data dari Hakim dan Panitera Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Di samping itu, data juga diperoleh dari Pengacara Syariah, Pakar dan Konsultan Keluarga Sakinah, serta Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat. Mengacu kepada analisis data kualitatif data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dan dokumen resmi maka langkah pertama yang dilakukan dalam analisis data kualitatif dalam penelitian ini adalah mengembangkan deskripsi yang komprehensif dan teliti terhadap hasil penelitian. Langkah kedua adalah mengklasifikasi data, yakni memilahmilah data dan memadukanya kembali.6 Klasifikasi dilakukan agar dapat membuat perbandingan antara data yang satu dengan data yang lainnya seperti data yang didapatkan dari seorang responden dengan responden lainnya, membandingkan data yang diperoleh dari data dokumentasi dengan data yang diperoleh dari wawancara. Selanjutnya, melakukan interpretasi data.7 Kemudian, menarik kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan Statistik Perkara Cerai Gugat di Pengadilan Agama Kelas IA Padang Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama.8 Selanjutnya dinyatakan bahwa Peradilan Agama adalah merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rosda Karya, 2004), h. 288; Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta; PT. Gramedia, 1981), h. 332. 7 Moleong, Metodologi Penelitian, h. 247 8 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 6

398


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

yang diatur undang-undang ini.9 Ketentuan kedua pasal di atas menunjukkan bahwa subjek hukum yang menjadi kewenangan peradilan agama adalah orang-orang yang beragama Islam. Hal ini dikenal dengan asas personalitas keislaman. 10 Pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh tiga tingkat pengadilan. Pertama, Pengadilan Agama. Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama di lingkungan Peradilan Agama. Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia dan wilayah hukumnya meliputi wilayah hukum satu kabupaten atau kota di mana ia berkedudukan. Kedua, Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan pengadilan tingkat banding. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di setiap ibu kota provinsi dan mempunyai wilayah hukum meliputi seluruh wilayah hukum provinsi tersebut. Ketiga, Badilag (Badan Peradilan Agama) Mahkamah Agung, yang berkedudukan di Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia dan wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah Indonesia. Pengadilan Agama Kelas I A Padang adalah salah satu pengadilan tingkat pertama di lingkungan Pengadilan Tinggi Agama Padang. Ia berkedudukan di Kota Padang dan mempunyai wilayah hukum meliputi wilayah hukum daerah tingkat dua Kota Padang. Adapun mengenai kewenangan perkara pengadilan agama diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: (a). Perkawinan, (b). Kewarisan (c) wasiat (d) hibah (e) wakaf (f) zakat (g) infak (h) shadaqah dan (i) ekonomi syari’ah. Salah satu perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama adalah bidang perkawinan umat Islam. Sesuai dengan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan perkawinan ini meliputi 22 macam kewenangan sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Perkawinan. Di antara kewenangan pengadilan agama di bidang perkawinan adalah perceraian karena talak dan gugatan perceraian. Perkara perceraian karena talak adalah perkara perceraian yang diajukan oleh suami. Sebaliknya perkara gugatan cerai adalah perkara perceraian yang diajukan oleh istri. Jumlah perkara yang diajukan dan diselesaikan oleh sebuah pengadilan dipengaruhi oleh beberapa hal. Di antara faktor yang mempengaruhinya adalah kewenangan pengadilan terhadap suatu perkara dan wilayah hukum yang dimilikinya. Keberadaan peraturan perundangundangan yang mengaturnya juga sangat memengaruhinya. Apakah ada aturan yang jelas yang mengaturnya, dan apakah aturan itu tersosialisasi kepada masyarakat. Lembaga pengadilan sebagai lembaga yang melaksanakan tugas penyelesaian perkara

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 10 Asasriwarni dan Nurhasanah, Peradilan Agama di Indonesia (Padang: Hayfa Press, 2006), h. 7 9

399


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 tersebut juga sangat berpengaruh terhadap perkara yang diajukan dan diselesaikannya. Pelayanan lembaga pengadilan yang baik dan didukung dengan keberadaan pejabat pelaksana kekuasaan kehakiman di pengadilan (terutama hakim, panitera dan jurusita) serta sarana dan prasarana yang memberikan kemudahan dan kenyaman terhadap para pihak yang akan berperkara, juga akan memengaruhi para pihak untuk mengajukan perkaranya ke pengadilan. Jumlah perkara perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama Kelas I A Padang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 angka perkara perceraian berjumlah 771 perkara yang terdiri dari 261 perkara permohonan cerai (38%) dan gugatan cerai sebanyak 424 perkara (62%). Pada tahun ini jumlah persentase angka perkara gugatan cerai jauh lebih tinggi dari angka permohonan cerai. Dua tahun berikutnya angka perceraian meningkat dari tahun sebelumnya dan angka gugatan cerai juga lebih tinggi dari angka permohonan cerai. Pada tahun 2009, perkara permohonan cerai berjumlah 728 perkara yang terdiri dari 246 permohonan cerai (35%) dan gugatan cerai berjumlah sebanyak 462 perkara (65%). Sedangkan pada tahun 2010, perceraian yang duajukan ke Pengadilan Agama Padang adalah sebanyak 851 perkara yang terdiri dari 278 permohonan cerai (33%) dan 573 perkara gugatan cerai (67%). Pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2011, perkara perceraian juga semakin meningkat. Dari semua perkara perceraian yang diselesaikan oleh Pengadilan Agama Padang tersebut, jumlah dan persentase angka gugatan cerai juga sangat jauh melebihi angka perkara permohonan cerai. Pada tahun 2011 ini perkara perceraian berjumlah 851 perkara, yang terdiri dari 325 perkara permohonan cerai (35%) dan 615 perkara gugatan cerai (65%). Dari semua perkara perceraian yang diselesaikan oleh Pengadilan Agama Kelas I A Padang angka cerai gugat jauh lebih banyak dibandingkan dengan permohonan cerai. Tahun 2012 jumlah perkara gugatan cerai berjumlah 688 (65%), sementara perkara permohonan cerai berjumlah 354 (34%) dari jumlah perkara yang masuk (1042). Hal tersebut dapat dijelaskan pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Perkembangan Perkara Perceraian Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Total

Jumlah Perkara 771 728 851 851 1042 3702

Permohonan Cerai 261 38% 246 35% 278 33% 328 35% 354 34% 1298 35%

Gugatan 424 462 573 615 688 2390

Cerai 62% 65% 67% 65% 66% 65%

Sumber: Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kelas I A Padang, tahun 2008-2012

Selanjutnya, dilihat dari segi usia para pihak yang mengajukan perkara perceraian 400


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

di Pengadilan Agama Kelas I A Padang, terlihat bahwa perceraian terjadi pada berbagai usia. Perceraian pada usia 16–20 tahun tidak banyak terjadi. Hal ini disebabkan karena perkawinan pada usia tersebut juga tidak banyak lagi dilakukan masyarakat Kota Padang, sehingga angka perceraian pada usia ini juga tidak banyak terjadi. Usia terbanyak yang mengajukan perceraian adalah suami isteri yang berusia di antara 21-40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pada usia ini perceraian lebih cenderung terjadi. Bila dilihat dari produktivitas, maka usia ini merupakan usia yang paling produktif dalam kehidupan manusia. Pada usia ini, selain merupakan usia yang paling produktif, usia ini merupakan masa yang paling rawan dalam kehidupan sebuah rumah tangga. Pada masa ini suami isteri akan dihadapkan pada berbagai tuntutan hidup dalam membangun keluarganya, kondisi kehidupan yang tidak mudah dan cenderung menimbulkan konflik bila tidak pandai menghadapinya. Di bawah itu, perceraian juga banyak terjadi pada usia 41-60 tahun. Perceraian pada paling sedikit terjadi pada usia 61 tahun ke atas. Hal ini karena pada usia tersebut kehidupan keluarga sudah cenderung berjalan dengan stabil. Tuntutan kehidupan keluarga tidak lagi sebanyak pada usia sebelumnya. Suami isteri sudah banyak yang menjalani kehidupan yang mapan secara materi dan stabil dari segi emosi. Di antara suami isteri tidak lagi banyak menghadapi konflik atau sudah jauh lebih mampu menangani masalah kehidupan rumah tangga. Selanjutnya statisitik perceraian di Pengadilan Agama Kelas IA Padang dapat dilihat dari pekerjaan para pihak. Pekerjaan para pihak yang mengajukan perkara perceraian ke Pengadilan Agama Kelas I A Padang diklasifikasi menjadi: Pertama, PNS/TNI/POLRI, yaitu pekerjaan sebagai pegawai pemerintah dan hidup dengan kondisi yang lebih terjamin dengan penghasilan yang cenderung tetap dan stabil. Kelompok ini merupakan yang paling sedikit bercerai dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Kedua, para pihak yang terdiri dari swasta dan buruh. Para pihak dari kelompok pekerjaan ini lebih cendrung banyak mengahadapi konflik dari perkawinan mereka. Mereka cendrung menghadapi banyak masalah dalam pekerjaan mereka. Pekerjaan dan penghasilan yang tidak terjamin dan tidak tetap sebagaimana halnya PNS/TNI/POLRI. Ketiga, kelompok yang tidak mempunyai pekerjaan. Kelompok ini paling sedikit mengajukan perceraian. Hal ini disebabkan karena para pihak yang benar-benar tidak memiliki pekerjaan sama sekali tidak banyak di dalam masyarakat. Menurut data dari Pengadilan Agama Kelas I A Padang ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab terjadinya perkara perceraian di Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Faktor penyebabnya adalah poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, ekonomi, tidak ada tanggung jawab, kawin di bawah umur, dihukum, cacat biologis, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), gangguan pihak ketiga, tidak ada keharmonisan, penganiayaan dan kekejaman mental. Untuk lebih jelasnya digambarkan pada tabel di bawah ini: 401


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Tabel 6. Penyebab Perceraian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Jenis Perkara Poligami tidak sehat Krisis akhlak Cemburu Ekonomi Tidak bertanggungjawab Kawin di bawah umur Dihukum Cacat biologis KDRT Gangguana pihak ketiga Tidak ada keharmonisan

2009

2010 2

5 200

603

1

2 2 1

200

201

2011

2012 4

8 22 72 289

68 126 468

5 18 222

76 304

Total 6 8 90 203 1560 0 2 2 7 94 927

Sumber: Pengadilan Agama Kelas I A Padang, Tahun 2013

Berdasarkan data penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Kelas I A Padang di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Poligami yang tidak sehat Hal ini dapat dilihat dari beberapa perkara seperti tergugat telah menikah lagi dengan wanita lain dan telah mempunyai seorang anak.11 Tergugat tidak jujur kepada penggugat, yang mana pada waktu pernikahan dulu tergugat menyatakan kepada penggugat bahwa tergugat masih sendiri, ternyata tergugat sudah punya isteri dan anak. 12 2. Krisis Akhlak Suka berjudi, minum-minuman keras dan kecanduan narkoba, suka berbohong dan lain-lain. 3. Cemburu Hal ini dapat dilihat dari beberapa perkara seperti tergugat suka cemburu dan tidak percaya terhadap pasangannya.13 4. Ekonomi Hal ini dapat dilihat dari perkara seperti tergugat memberikan belanja rumah tangga

Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 257/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Lihat juga perkara Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 117/Pdt.G/2009/PA.Pdg. 12 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 418/Pdt.G/2009/PA.Pdg. 13 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 244/Pdt.G/2009/PA.Pdg. 11

402


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

tidak pernah cukup, sehingga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga penggugat dibantu oleh orang tua tergugat; 14 Tergugat tidak jujur dalam masalah keuangan. 15 5. Tidak ada tanggung jawab Masalah tidak adanya tanggung jawab menjadi penyebab perceraian yang sangat mendominasi di Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Keadaan ini pada umumnya dipicu oleh masalah ekonomi. Tergugat memberikan nafkah tidak pernah mencukupi untuk kebutuhan rumah tangga karena tergugat lebih mendahulukan memenuhi kebutuhan orang tuanya daripada memenuhi kebutuhan anak dan penggugat, sehingga kebutuhan rumah tangga setiap hari selalu dipenuhi oleh penggugat. 16 Pada perkara lain juga terungkap tergugat tidak pernah memberi nafkah wajib kepada peng-gugat.17 Antara penggugat dan tergugat telah pisah selama 4 tahun namun, hanya 3 kali memberikan nafkah wajib, tidak mencukupi dan tergugat tidak mempedulikan penggugat sama sekali. 18 Untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga penggugat berusaha sendiri dibantu orang tua penggugat. Sementara uang hasil usaha penggugat habis tidak menentu oleh tergugat, akibatnya penggugat kehabisan modal untuk jualan, sehingga penggugat saat ini tidak bisa berjualan lagi.19 Tergugat jarang pulang ke tempat kediaman bersama; tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagai suami, sejak berpisah tergugat tidak pernah mengirimkan nafkah wajib kepada penggugat. 20 6. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Hal ini dapat dilihat dari perkara seperti tergugat meninju dan menendang penggugat. Tergugat pernah mengancam dengan pisau dan memukul tangan penggugat dengan batang tebu yang mengakibatkan tangan penggugat membiru21 Tergugat sering melakukan kekasaran dalam rumah tangga baik kepada penggugat maupun anak-anak. Tergugat dalam mendidik anak tidak pernah mau berkata dengan baik, selalu menghardik dan berkata kasar. Jika dinasehati sebaliknya penggugat yang dihardik dan dikasari 22 Tergugat tidak menghargai penggugat sebagai istri dan ibu bagi anak-anak, sering menghina, memandang penggugat sebagai orang yang bodoh, selalu berburuk sangka dan tidak Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 309/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Lihat juga Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 418/Pdt.G/2009/PA.Pdg. 15 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 682/Pdt.G/2008/PA.Pdg. 16 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang: 244/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Lihat juga Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 682/Pdt.G/2008/PA.Pdg. 17 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 257/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Lihat juga Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 303/Pdt.G/2010/PA.Pdg. 18 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 117/Pdt.G/2009/PA.Pdg. 19 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 418/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Lihat juga Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 1023/Pdt.G/2012/PA.Pdg. 20 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 01/Pdt.G/2010/PA.Pdg. 21 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 309/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Lihat juga Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 309/Pdt.G/2009/PA.Pdg. 22 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 303/Pdt.G/2010/PA.Pdg. 14

403


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 membolehkan penggugat bersosialisasi dengan orang lain, serta tidak pernah berkata dengan baik kepada penggugat.23 Tergugat sering mengatakan kepada anak-anak bahwa penggugat adalah orang yang bodoh dan tidak bisa mengurus rumah tangga. Tergugat sering mengusir penggugat dari rumah kediaman bersama. 24 7. Gangguan pihak ketiga Hal ini dapat dilihat dari perkara di mana keluarga tergugat ikut campur terhadap urusan rumah tangga penggugat dengan tergugat. 25 Adanya ikut campur pihak ketiga (orang tua tergugat) yang selalu merongrong tergugat memenuhi kebutuhan mereka. Orang tua tergugat terlalu banyak menyinggung perasaan penggugat 26. 8. Tidak ada keharmonisan Tidak adanya keharmonisan dalam rumah tangga juga termasuk penyebab perceraian yang dominan diajukan di Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Hal ini dapat dilihat dari seringnya terjadi perselisihan dan pertengkaran antara penggugat dan tergugat. Tergugat bersikap kasar kepada penggugat dan mengucapkan talak 3 kepada penggugat.27 Rumah tangga penggugat dengan tergugat tidak berjalan rukun dan harmonis, karena sering terjadi perselisihan dan pertengkaran.28 Pada perkara lain juga terungkap sering terjadi pertengkaran antara penggugat dengan tergugat. Sejak itu tergugat pergi dari tempat kediaman bersama, antara penggugat dengan tergugat telah pisah selama 12 tahun 4 bulan, tergugat tidak pernah datang lagi dan tidak ada kabar berita. 29 Penggugat dan tergugat tidak pernah lagi berkomunikasi dengan baik, tidak lagi melakukan hubungan suami istri, dan sudah lebih dari 1 tahun pisah ranjang. 30 Sejak awal pernikahan rumah tangga penggugat dengan tergugat sudah goyah. Antara penggugat dan tergugat sering terjadi perselisihan yang disebabkan karena keluarga penggugat dengan tergugat berselisih paham tentang pelaksanaan pesta pernikahan.31

Faktor Meningkatnya Angka Gugatan Cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang Faktor penyebab meningkatnya angka gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang dapat diklasifikasi ke dalam beberapa aspek, yakni: Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 303/Pdt.G/2010/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 303/Pdt.G/2010/PA.Pdg. 25 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 418/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Lihat juga Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 682/Pdt.G/2008/PA.Pdg. 26 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 1037/Pdt.G/2012/PA.Pdg. 27 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 257/Pdt.G/2009/PA.Pdg. 28 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 309/Pdt.G/2009/PA.Pdg. 29 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 682/Pdt.G/2008/PA.Pdg. Lihat juga Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 01/Pdt.G/2010/PA.Pdg. 30 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 303/Pdt.G/2010/PA.Pdg. 31 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 1037/Pdt.G/2012/PA.Pdg. 23 24

404


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

Aspek Spritual dan Emosional Berdasarkan perkara yang mendominasi gugatan perceraian di Pengadilan Agama Kelas I A Padang aspek ini merupakan faktor utama terjadinya gugatan cerai. Aspek-aspek ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama,Semakin tingginya masalah atau konflik yang terjadi dalam kehidupan keluarga. Pada saat ini masalah yang dihadapi sebuah keluarga semakin tinggi. Kondisi ekonomi yang kurang kondusif berhadapan dengan tingginya kebutuhan hidup. Persoalan-persoalan di luar lingkungan keluarga juga turut memicu munculnya masalah dan konflik dalam keluarga. Ketika terjadi masalah dalam keluarga, isteri adalah pihak yang lebih banyak tahu, merasakan dan menghadapi kondisi-kondisi tersebut. Oleh karena itu, perempuan lebih banyak berinisiatif mengajukan gugatan cerai karena ketika terjadi konflik, karena perempuan lebih merasakan dampak dari konflik tersebut. Laki-laki biasanya santai menghadapinya. Ia bisa keluar rumah, baik sementara atau dalam jangka waktu yang lama. Perempuan tidak mungkin melakukan hal itu, karena hal tersebut akan dipandang negatif oleh masyarakat.32 Sehingga ketika perempuan ingin lepas dari kondisi tersebut ia mengambil keputusan untuk bercerai. Misalnya suami tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, atau suami hanya memberikan seadanya kepada isteri. Sementara, isteri tidak bisa menerima keadaan ini sehingga isteri memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai. Kedua, Semakin rendahnya keimanan, akhlak, pengetahuan, pemahaman dan pengamalan nilai-nilai agama dalam kehidupan keluarga. Kehidupan rumah tangga harus dilandasi oleh iman dan akhlakul karimah. Menipisnya iman dan akhlak di kalangan anggota keluarga akan menyebabkan hancurnya keluarga tersebut. Fenomena ini terlihat dalam kehidupan keluarga saat ini. Banyaknya konflik yang terjadi di dalam keluarga yang memicu banyaknya perempuan mengajukan gugatan cerai menunjukkan menipisnya iman dan akhlak dalam kehidupan keluarga.33 Hal ini juga dijelaskan Ulfatmi, menipisnya pengamalan nilai-nilai agama di kalangan perempuan terlihat dari perubahan profil perempuan sekarang dibandingkan dengan perempuan dulu. Perempuan dulu mempunyai keikhlasan dan kesabaran yang besar. Motivasi mereka dalam melaksanakan tugas sebagai isteri dan ibu adalah ibadah, sehingga mereka lebih ikhlas dan sabar. Mental perempuan dulu kuat dan tidak mudah lelah, mereka memiliki semangat serta ketangguhan dalam menghadapi sikap dan kelemahan suami. Hal ini menyebabkan mereka cenderung bertahan menghadapi masalah rumah tangganya dan memilih untuk tidak bercerai dari suaminya ketika berhadapan dengan masalah antara dia dan suaminya. Namun, karakter tersebut telah menipis di

Wawancara dengan Ahmad Anshary, Hakim Pengadilan Agama Padang, Padang, 18 September

32

2013.

Wawancara dengan Ahmad Anshary, Hakim Pengadilan Agama Padang, Padang, 18 September

33

2013.

405


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 kalangan perempuan sekarang.34 Sehingga muncullah fenomena banyaknya perempuan mengajajukan gugatan cerai.35 Ketiga, Menurunnya ketahanan dan kesabaran perempuan menghadapi konflik yang terjadi dalam rumah tangga. Kurang sabarnya perempuan menghadapi masalah dalam rumah tangga membuat mereka cenderung lebih cepat memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Banyak di antara perempuan mengajukan gugatan cerai karena konflik keluarga, padahal konflik tersebut baru saja terjadi dua tahun belakangan.36 Malahan, ada perkara gugatan cerai yang diajukan isteri setelah 3 bulan menikah yang dipicu oleh perselisihan di antara orang tua kedua belah pihak. 37 Aspek Ekonomi Masalah ekonomi, menjadi penyebab konflik yang berkepanjangan dalam rumah tangga karena isteri mengaangap suami kurang bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Di antara faktor pemicu ini adalah. Pertama, semakin tingginya tuntutan kebutuhan rumah tangga. Meningkatnya angka gugatan cerai di antaranya disebabkan oleh karena terjadinya perubahan tuntutan hidup berkeluarga. Dulu tuntutan hidup berkeluarga tidak besar, sedangkan sekarang sangat besar38 Kondisi ini diperparah oleh adanya gaya hidup konsumerisme di kalangan perempuan. Menurut Zualis Saleh Hakim Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Tingginya sikap konsumtif di kalangan perempuan merupakan salah satu penyebab tingginya angka gugatan cerai. Ketika tuntutan isteri tidak terpenuhi oleh suami, seringkali menimbulkan konflik di antara suami isteri yang pada akhirnya bisa menyebabkan isteri meminta cerai dari suaminya. 39 Kedua, wanita berkarier dan memiliki penghasilan sendiri. Menurut Ulfatmi Konsultan Keluarga Sakinah, banyaknya perempuan bekerja atau berkarir di luar rumah juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya angka perceraian. Perempuan bekerja merupakan salah satu penyebab timbulnya konflik antara suami isteri. Bila isteri bekerja kemudian ia mengabaikan hak-hak suaminya adalah pemicu terjadinya perselisihan suami istri. Ketika suami merasa hak-haknya diabaikan sering menyebabkan terjadi ketidakharmonisan antara suami isteri. Bahkan berakibat terjadinya perselingkuhan. Wawancara dengan Ulfatmi, Pakar Konsultan Rumah Tangga Sakinah Provinsi Sumatera Barat, Padang, 23 September 2013. 35 Wawancara dengan Zuarlis Saleh, Hakim Pengadilan Agama Padang, Padang, 18 September 2013. 36 Wawancara dengan Zainal, Hakim Pengadilan Agama Padang, Padang, 19 September 2013. 37 Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 1037/ Pdt.G/ 2012/PA Pdg. 38 Wawancara dengan Ulfatmi, Pakar Konsultan Rumah Tangga Sakinah Sumatera Barat, Padang, 23 September 2013. 39 Wawancara dengan Zuarlis Saleh, Hakim Pengadilan Agama Padang, Padang, 18 September 2013. 34

406


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

Hal ini menyebabkan terjadinya ketidakharmonisan antara suami isteri, pada akhirnya menyebabkan konflik suami istri yang berujung pada perceraian. 40 Di samping itu, istri yang bekerja seringkali mempunyai tugas yang amat berat karena harus melaksanakan tugas ganda, yaitu sebagai isteri, ibu serta tugas sebagai perempuan bekerja. Pelaksanaan tugas-tugas tersebut seringkali menyebabkan terabaikannya hak-hak suami. Kondisi ini sering juga tidak dipahami dan dimengerti oleh suami, sehingga muncullah konflik antara suami istri karena suami menganggap hak-haknya terabaikan. Pada sisi yang lain, istri yang bekerja dan memiliki penghasilan sendiri cenderung tidak takut menggugat cerai suaminya. Karena ia tidak tergantung sepenuhnya kepada suaminya secara ekonomi. Bahkan, banyak terjadi penghasilan istri lebih tinggi daripada penghasilan suaminya. Keadaan ini juga menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya angka gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Menurut Siti Raudhah Thaib Ketua Bundo Kanduang, hal ini bisa menyebabkan kurangnya penghargaan isteri terhadap suami. Padahal sebagai laki-laki dan suami, bagaimanapun kondisinya tetap ingin dihargai oleh isterinya. 41 Tingkat Pendidikan Zaman sekarang, perempuan sudah mendapatkan pendidikan yang relatif tinggi. Kaum perempuan sudah banyak yang cerdas, sadar hukum dan berani memperjuangkan hak-haknya. Berdasarkan data di Pengadilan Agama Kelas I A Padang pendidikan tidak menjadi faktor penyebab utama perempuan mengajukan gugatan cerai. Karena gugatan cerai diajukan oleh perempuan dari semua tingkat pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.42 Namun, meningkatnya pendidikan perempuan memberi pengaruh yang kuat terhadap kesadaran hukum perempuan. Keadaan ini dapat dilihat pada beberapa aspek, yakni: Pertama, semakin tingginya tingkat pendidikan perempuan. Meningkatnya tingkat pendidikan perempuan menyebabkan perempuan semakin pintar dan cerdas, sehingga ia semakin sadar akan hukum, semakin sadar akan hak-haknya dalam keluarga serta punya kemauan dan keberanian untuk memperjuangkan hak-haknya. Ketika terjadi masalah antara suami istri, di mana istri merasa tertekan dan menderita dengan kondisi itu, ia tidak mau membiarkan dirinya berlarut-larut dalam kondisi itu. Ia akan mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Kemudian, ia memutuskan untuk bercerai bila menganggap perceraian adalah jalan keluarnya. Bila suami tidak mengambil inisiatif untuk bercerai, maka ia yang akan mengambil keputusan sendiri. Dari fenomena yang Wawancara dengan Ulfatmi, Pakar Konsultan Rumah Tangga Sakinah Sumatera Barat, Padang, 23 September 2013. 41 Wawancara dengan Raudhah Thaib, Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat, Padang, 27 September 2013. 42 Wawancara dengan Yelti Multi, Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Kelas IA Padang, Padang, 25 Mei 2012. 40

407


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 terjadi di Kota Padang, ternyata inisiatif bercerai lebih banyak diambil oleh perempuan, sehingga angka gugatan cerai lebih banyak jika dibandingkan angka permohonan cerai. Kedua, meningkatnya kesadaran hukum perempuan dan meningkatnya keberanian perempuan memperjuangkan hak-haknya. Meningkatnya angka gugatan cerai menurut Ahmad Anshari, Hakim Pengadilan Agama Kelas I A Padang, mengindikasikan bahwa perempuan sekarang memiliki kesadaran hukum yang tinggi. Ketika terjadi masalah rumah tangga perempuan mau berkonsultasi dengan orang-orang yang mengerti hukum dan berani memperjuangkan hak-haknya. 43 Hal ini juga dikemukan oleh Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Kelas I A Padang bahwa meningkatnya gugatan cerai dipengaruhi oleh pengetahuan perempuan itu sudah tahu ke mana ia akan menyelesaian masalahnya ketika terjadi konflik rumah tangga. Ia sudah tahu hak-haknya. 44 Ini berarti kesadaran hukum perempuan sudah meningkat. Aspek Perubahan Sosial Perubahan budaya membawa pengaruh terhadap persepsi perempuan tentang pernikahan dan perceraian, meliputi, pertama, terjadinya salahpenafsiran kesetaraan gender di kalangan perempuan. Menurut Siti Raudhah Thaib, di kalangan perempuan saat ini terjadi salahpenafsiran terhadap kesetaraan gender. Perempuan menganggap kesetaraan gender itu adalah semua sama. Hal ini menimbulkan ketidakikhlasan perempuan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.45 Kedua, melemahnya struktur kekerabatan dalam masyarakat Minangkabau. Peran keluarga besar saat ini jauh berkurang terhadap keluarga kecil. Segala persoalan keluarga dihadapi dan diselesaikan sendiri oleh suami istri. Orang tua dan mamak (saudara laki-laki ibu)46 seringkali tidak dibawa serta menyelesaikan masalah suami istri. Menurut Yunedi, Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Kelas I A Padang kurang dilibatkannya keluarga besar dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi suami istri juga cenderung membuat perempuan lebih cepat mengambil keputusan bercerai.47 Banyak perempuan yang mengajukan gugatan cerai kesulitan membawa saksi keluarga di persidangan. Ada orang tua yang mengaku bahwa ia baru tahu masalah anaknya ketika anaknya sudah mengajukan perkaranya Wawancara dengan Ahmad Anshary, Hakim Pengadilan Agama Padang, Padang, 18 September 2013. 44 Wawancara dengan Yunedi, Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Padang, Padang, 24 September 2013. 45 Wawancara dengan Siti Raudhah Thaib, Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat, Padang, 27 September 2013. 46 Dalam struktur masyarakat Minangkabau, mamak mempunyai peranan yang sangat penting, mamak adalah pimpinan keluarga yang memegang kendali terhadap kemenakannya, ia membimbing, mengasuh, dan memimpin kemenakan secara materil dan spirituil. 47 Wawancara dengan Yunedi, Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Padang, Padang, 24 September 2013. 43

408


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

ke Pengadilan Agama. Ketiga, perempuan menutup diri dan berpandangan sempit terhadap poligami dengan bersikap tidak mau dipoligami. Kaum perempuan tidak bisa menerima jika suaminya berpoligami. Poligami ini juga merupakan satu penyebab meningkatnya angka gugatan cerai. Ada pemahaman yang salah di kalangan perempuan sekarang tentang poligami. Perempuan tidak bisa lagi menerima poligami, bahkan ada yang menganggap poligami itu sesuatu yang salah. Sebenarnya peraturan perundang-undangan membolehkan poligami dengan persyaratan tertentu. Peraturan perundang-undangan hanya mempersulit terjadinya poligami dengan adanya aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh suami yang akan berpoligami.48 Ketika suami ingin berpoligami, isteri pada umumnya tidak mengizinkan. Daripada dimadu, perempuan lebih memilih untuk bercerai. Seperti kasus yang dialami salah seorang perempuan yang bercerai. Ia adalah seorang PNS. Suaminya juga PNS yang bertugas di daerah yang berbeda. Selama enam tahun rumah tangganya berjalan tanpa ada masalah. Namun, tanpa ia ketahui suaminya pulang ke rumah orang tuanya dan membawa istri keduanya beserta seorang anak. Ia tidak menerima dipoligami oleh suaminya sehingga terjadi pertikaian di antara mereka. Keduanya tidak pernah berkomunikasi lagi. Suaminya tidak pernah pulang dan memberi nafkah selama empat tahun. Akhirnya, ia memutuskan untuk mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama Kelas I A Padang.49 Keempat, terjadinya perubahan persepsi masyarakat terhadap perceraian. Dulu perempuan berpandangan bahwa bercerai apalagi minta cerai dari suami adalah suatu hal yang memalukan. Bercerai adalah hal yang menakutkan serta bercerai adalah hak laki-laki. Masyarakat juga memandang negatif terhadap perempuan yang bercerai. Sekarang persepsi perempuan dan masyarakat terhadap perceraian sudah berubah. Perempuan sekarang memiliki persepsi bahwa bercerai bukan hal yang memalukan bila ada alasan yang jelas. Masyarakat juga tidak lagi memandang negatif perempuan yang bercerai. Perempuan berhak meminta cerai sebagaimana ditentukan hukum. Di samping itu, perempuan juga tidak takut lagi mengajukan cerai ke pengadilan. Hal ini juga sebagaimana dikemukakan oleh Siti Raudhah Thaib, perceraian bagi perempuan saat ini tidak lagi dipandang suatu hal yang memalukan dan tabu dalam masyarakat Minang. Saat ini rasa malu sudah menipis dalam kehidupan masyarakat kita. 50

Persepsi Perempuan di Kota Padang Terhadap Perceraian Persepsi adalah sebuah proses di mana seseorang mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera yang diterimanya sehingga memberikan makna pada lingkungannya. 51 J. Winardi menyatakan persepsi merupakan proses kognitif di mana seorang individu memWawancara dengan Zainal, Hakim Pengadilan Agama Padang, Padang, 19 September 2013. Putusan Nomor: 117/Pdt.G/2009/PA Pdg. 50 Wawancara dengan Siti Raudhah Thaib, Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat, Padang, 27 September 2013. 51 Stephen P. Robbins, Organizational Behavour (Prentice-Hall International, 2001), h. 13. 48

49

409


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 berikan arti kepada lingkungannya.52 Persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Proses menginterpretasikan stimulus ini biasanya dipengaruhi pula oleh pengalaman dan proses belajar individu. Pada masa lalu, persepsi perempuan terhadap perceraian adalah bahwa perceraian itu merupakan suatu hal yang tabu dan memalukan. Apalagi bila perceraian itu terjadi atas keinginan istri. Perempuan yang minta cerai dari suaminya dipandang negatif oleh masyarakat Minang. Sehingga perceraian dianggap sesuatu yang tabu dan memalukan di ranah yang kuat dengan falsafah adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Sebagai masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam, yang mendasari pandangan perempuan terhadap perceraian adalah melalui pemahaman tentang ajaran Islam itu sendiri. Cerai merupakan suatu perbuatan yang sangat dibenci oleh Tuhan. Namun, jika tidak ada alternatif lain sementara cerai merupakan jalan keluar dalam perkawinan yang tidak mungkin lagi dipertahankan.53 Oleh karena itu, perempuan tidak mau meminta cerai kepada suaminya meskipun dalam perkawinannya ia mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dari suaminya, seperti merasa tertekan atau dipoligami. Perempuan lebih bersikap mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Di samping itu, perempuan juga takut untuk meminta cerai dari suaminya karena ia tergantung kepada suaminya dari sisi ekonomi dan psikologis. Meskipun pada umumnya dalam tradisi di Minangkabau perempuan juga memiliki penghasilan dari hasil pengelolaan hartanya. Namun, pada umumnya mereka tergantung dari segi nafkah kepada suaminya. Bila perempuan bercerai dari suaminya tentu ia takut mengenai siapa yang akan menanggung nafkah diri dan anak-anaknya. Apalagi dulu sebuah keluarga pada umumnya merupakan keluarga besar yang mempunyai banyak anak. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa perempuan takut meminta cerai kepada suaminya. Bahkan, perceraian lebih banyak terjadi atas kehendak suami dalam bentuk talak. Tidak jarang terjadi suami menjatuhkan talak terhadap istrinya secara semena-mena. Hak bercerai atau talak dianggap merupakan hak preogratif suami. Kondisi inilah yang menginspirasi lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-undang ini mengatur bahwa perceraian harus dengan disertai adanya alasan-alasan tertentu yang diatur oleh undang-undang. Pada awalnya perceraian di Pengadilan Agama masih didominasi oleh cerai talak. Namun, beberapa tahun belakangan ini terjadi fenomena yang menarik. Perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama lebih banyak diajukan atas keinginan istri. Bila melihat kenyataan demikian, tentu telah terjadi perubahan persepsi perempuan di Kota Padang terhadap perceraian. Perubahan persepsi masyarakat terhadap perceraian ini juga merupakan J. Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004), h. 203. 53 Abdul Aziz Dahlan, (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Houve), h. 1776. 52

410


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

salah satu faktor penyebab meningkatnya angka gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Bila persepsi perempuan terhadap perceraian berubah, maka tentu saja hal ini akan menyebabkan meningkatnya angka perceraian. Persepsi perempuan di Kota Padang terhadap perceraian saat ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama, cerai bukan merupakan hal yang tabu dan memalukan. Ketika konflik yang terjadi secara terus menerus di rumah tangga sudah tidak dapat lagi diselesaikan maka keputusan untuk bercerai itu dianggap suatu keputusan yang baik. Salah seorang di antara perempuan yang bercerai memiliki persepsi, untuk apa malu bercerai kalau rumah tangga kita sudah mengalami konflik yang berkepanjangan. Justru pertengkaran yang terjadi berkepanjangan antara suami istri tersebut lebih merupakan hal yang memalukan. 54 Sebahagian di antara mereka menyatakan bahwa pada awalnya mereka berpendapat bahwa bercerai tersebut merupakan hal yang memalukan. Ketika terjadi konflik dan perasaan tertekan atas sikap dan perlakuan suami, istri lebih memilih bersikap mengalah dan memendam sendiri masalah yang dihadapinya. Ia tidak ingin persoalan rumah tangganya diketahui pihak di luar rumah tangganya. Apalagi ia hidup di lingkungan keluarga besarnya. Ia juga merasa malu untuk bercerai, sehingga ia tidak segera untuk memutuskan untuk bercerai, meskipun sikap tidak adanya saling memahami serta perasaan tertekan atas sikap suaminya tetap terjadi. Ia baru memutuskan untuk bercerai setelah berada di dalam konflik dengan suaminya selama lima belas tahun.55 Perempuan yang bercerai menyatakan bahwa mereka tidak merasa malu terhadap masyarakat di lingkungannya karena bercerai, selama perempuan memang tidak salah atau tidak melakukan hal-hal yang salah dalam kehidupan berkeluarga. Bila masyarakat mengetahui permasalahan yang dihadapi perempuan, maka masyarakat biasanya dapat memaklumi mengapa seorang istri atau perempuan menggugat cerai suaminya ke pengadilan. Justru masyarakat atau keluarga besarnya menyarankan untuk bercerai karena istri berada pada pihak yang dirugikan dan tertekan karena sikap dan perbuatan suami. Seperti yang dialami seorang guru yang menggugat suaminya karena suami tidak bertanggungjawab terhadap pemenuhan kebutuhan keluarga, bahkan suami sering merampas uangnya dan peralatan rumah tangga hanya untuk judi. 56 Di samping itu, zaman sekarang perempuan dapat menerima perceraian karena sudah umum terjadi dan menyatakan hal itu biasa saja. Stigma negatif mengenai perceraian di dalam masyarakat menjadi hilang dan masyarakat memberikan toleransi umum terhadap perceraian. Dalam perkembangannya dapat dikatakan bahwa masyarakat tidak memandang Wawancara dengan RLA (inisial), Perempuan yang Bercerai, Pendidikan S1 PGTK, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga, Padang, 10 September 2013. 55 Wawancara dengan Asnt (inisial), Perempuan yang Bercerai, Pendidikan SMK, Pekerjaan berjualan, Padang, 10 September 2013. 56 Wawancara dengan NHYT (inisial), Perempuan yang bercerai, guru, pendidikan SPG, Padang, 25 September 2013. 54

411


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 perceraian sebagai hal yang tabu, artinya perbuatan ini bukan sesuatu yang memalukan dan harus dihindari. Pada tingkat tertentu masyarakat memberikan toleransi umum dan memahami bahwa perceraian adalah salah satu langkah yang harus ditempuh bagi penyelesaian perselisihan suami istri.57 Kedua, cerai merupakan solusi untuk menyelesaikan permasalahan atau konflik berkepanjangan yang terjadi di dalam keluarganya. Menurut perempuan yang bercerai, bila masalah yang terjadi dalam jangka waktu yang panjang tidak bisa diselesaikan juga, maka perceraian merupakan solusi untuk menyelesaikannya. Hasil wawancara secara mendalam terhadap informan wanita bercerai, mereka memandang perceraian adalah jalan keluar dari masalah yang berkepanjangan. Hampir semua informan dalam proses kehidupan perkawinan mereka sebelumnya memang tidak luput dari berbagai masalah yang melahirkan konflik dan pertengakaran terus menerus. Mereka sudah sampai pada satu titik di mana tidak dapat lagi mencari jalan keluar yang terbaik.58 Perceraian ditempuh untuk maksud keluar dari akumulasi pertengkaran yang terjadi secara terus menerus. Seperti yang diakui oleh seorang perempuan yang bercerai, ia sudah berusaha bertahan dari kemelut rumah tangganya selama 13 tahun baru kemudian memutuskan untuk bercerai.59 Ini tentu waktu yang panjang baginya untuk mempertimbangkan pengajuan gugatan cerai ke PA. Ketiga, cerai bukan sesuatu yang menakutkan. Persepsi ini muncul ketika perempuan yang mengalami konflik rumah tangga memiliki penghasilan sendiri dan merasa sanggup untuk memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya. Apalagi bila selama ini suami tidak memberikan nafkah yang cukup untuk kebutuhan keluarganya dan isteri ikut bekerja untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, istri tidak takut untuk meminta cerai dari suami. Jadi, ketika terjadi konflik yang berkepanjangan dengan suami, istri berpikir lebih baik bercerai dan lepas dari masalah dengan suaminya sehingga dapat lebih tenang mencari nafkah untuk diri dan anak-anaknya. Dengan bercerai, istri tidak lagi merasa terbebani oleh konflik dengan suaminya. Namun, bila dilihat dari data perkara gugat cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang cukup banyak perempuan yang bercerai itu berstatus ibu rumah tangga (tidak bekerja) ketika mengajukan gugatan cerai. Pada kenyataannya sebenarnya ia juga mempunyai pengahasilan sendiri. Menurut Zuarlis Saleh hakim Pengadilan Agama Kelas I A Padang, meskipun mereka berstatus ibu rumah tangga, sebenarnya mereka tetap mempunyai penghasilan.60 Wawancara dengan Desparika Metra, Pengacara Syariah Konsulting, Padang, 24 September

57

2013.

Wawancara dengan A (inisial), Perempuan yang bercerai, Ibu Rumah Tangga, pendidikan SMA, Padang, 11 September 2013. 59 Wawancara dengan A (inisial), Perempuan yang bercerai, Ibu Rumah Tangga, pendidikan SMA, Padang, 11 September 2013. 60 Wawancara dengan Zuarlis Saleh, Hakim Pengadilan Agama Padang, Padang, 18 September 2013. 58

412


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

Bagi perempuan yang tidak bekerja dan tinggal dengan keluarga besarnya, mereka mengakui juga tidak takut bercerai dari suaminya, karena mereka merasa ada dukungan finansial dan psikologis dari orang tuanya. Di samping itu sebenarnya mereka juga mempunyai penghasilan tidak tetap. Secara lugas mereka mengatakan “kami akan tetap hidup tanpa dia� atau dengan ungkapan lain “kita tidak akan mati walapun tidak ada dia.� 61 Ada pula perempuan yang bercerai tidak memikirkan masalah finansial yang mungkin akan ditanggungnya setelah bercerai dari suaminya. Meskipun ia tidak mempunyai penghasilan tetap, tapi ia tinggal dengan orang tuanya dan ia yakin akan mendapat dukungan finansial dari orang tuanya. Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang dari perempuan yang bercerai yang tinggal di rumah orang tuanya. Untuk apa takut bercerai, jika antara suami istri bertengkar hampir setiap hari. Meskipun tidak ada suami, si istri yakin akan mampu bertahan hidup. Pada waktu memutuskan bercerai saya tidak terlalu memikirkan masalah finansial. Hal terpenting adalah persoalan dengan suami dapat selesai dengan cepat. 62 Keempat, mengajukan gugatan cerai adalah hak perempuan yang diberikan oleh undang-undang. Secara umum di dalam masyarakat berkembang pemahaman bahwa cerai adalah hak suami, hanya suami yang berhak menjatuhkan talak, kecuali ketika terjadi nusyuz oleh suami (suami mengabaikan tanggung jawabnya). Dalam keadaan seperti ini, perempuan dapat mengajukan gugatan cerai. Dengan lahirnya Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 kemudian KHI yang diatur berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991 memberi peluang bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai ke pengadilan.63 Soasialisasi terhadap peraturan-peraturan ini meningkatkan kesadaran hukum perempuan. Seperti yang diakui oleh seorang perempuan yang mengajukan gugatan cerai, ia sudah lama mengetahui peraturan tentang perkawinan dari membaca buku.64 Perempuan mulai mengetahui, memahami bahwa ia dapat mengajukan gugatan cerai karena alasan-alasan tertentu yang diatur undang-undang dan peraturan perkawinan lainnya.65 Hal ini membawa perubahan persepsi perempuan mengenai perceraian itu sendiri. Perubahan tingkat perceraian dan faktor penyebabnya, merupakan indikasi terjadinya perubahan sosial lainnya dalam masyarakat. Sistem sosial bergerak cepat atau lambat ke arah suatu bentuk sistem keluarga konjugal dan ke arah industrialisasi. Perubahan sistem keluarga menyesuaikan diri pada kebutuhan industrialisasi. Dengan industrialisasi keluarga tradisional (sistem keluarga besar) sedang mengalami kehancuran. 66 Wawancara dengan RLA (inisial), Perempuan yang bercerai, Pendidikan S1 PGTK, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga, Padang, 10 September 2013. 62 Wawancara dengan RLA (inisial), Perempuan yang bercerai, Padang, 10 September 2013. 63 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan Pelaksana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 19 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. 64 Wawancara dengan N (inisial), Perempuan yang bercerai, guru, pendidikan PGTK, Padang, 18 September 2013. 65 Wawancara dengan Yunedi, Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Padang, Padang, 24 September 2013. 66 William J. Goode, Sosiologi Keluarga (Jakarta: PT Bina Aksara, 1991), h. 210. 61

413


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Sanak saudara baik secara hubungan karena perkawinan ataupun karena hubungan darah secara relatif tidak diikutsertakan dalam pengambilan keputusan sehari-hari dalam keluarga konjugal. Setiap orang mempunyai kebebasan dan menentukan calon pasangan hidupnya sendiri dan selanjutnya pasangan suami istri lebih banyak berbuat terhadap kehidupan keluarga masing-masing. Keluarga luas (keluarga besar) tidak lagi menyangga pasangan suami istri, dan tidak banyak menerima bantuan dari kerabat, begitu juga sebaliknya. Keluarga luas lebih dapat bertahan daripada keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Oleh karena itu, angka perceraian dalam sistem keluarga konjugal cenderung lebih tinggi.67 Sebagaimana telah dikemukakan di atas, hasil penelitian di lapangan menunjukkan telah terjadi perubahan persepsi perempuan di Kota Padang mengenai perceraian. Persepsi yang terdapat di kalangan perempuan tersebut adalah 1) Bercerai bagi perempuan bukan lagi merupakan hal yang tabu dan memalukan. 2) Bercerai adalah solusi yang dapat diambil perempuan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi di antara suami isteri dalam rumah tangga. 3) Bercerai bukan lagi merupakan hal yang menakutkan. 4) Mengajukan gugatan cerai adalah hak perempuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan terhadap perempuan yang menghadapi masalah dalam keluarganya. Persepsi tersebut berbeda dari persepsi perempuan dahulu, di mana perceraian bagi perempuan dianggap suatu hal yang tabu dan memalukan. Perempuan yang minta cerai dari suaminya dipandang negatif oleh masyarakat di lingkungannya. Perceraian merupakan hal yang menakutkan. Di samping itu perempuan dahulu juga berpendapat bahwa perceraian adalah hak suami. Kondisi keluarga saat ini beserta segala hal yang mempengaruhinya memang dapat menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan sebuah keluarga. Tuntutan hidup keluarga saat ini memang tinggi. Tidak sama halnya dengan tuntutan hidup pada keluarga pada masa lampau. Tantangan kehidupan yang muncul di dalam kehidupan masyarakat kita juga telah menyebabkan berbagai masalah yang dihadapi sebuah keluarga pada saat ini. Hal ini seringkali menimbulkan masalah dan berdampak kepada keharmonisan keluarga. Ketika masalah tersebut tidak kunjung selesai dan ketika perempuan memiliki persepsi bahwa bercerai merupakan solusi yang bisa dilakukannya untuk menyelesaikan masalah ini, maka hal ini akan berpengaruh terhadap keputusan perempuan untuk bercerai dari suaminya. Semakin banyak perempuan yang berpendapat seperti ini maka akan semakin banyak perempuan yang akan mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Bila perempuan menganggap bahwa bercerai bukan lagi sesuatu yang memalukan dan bukan pula hal yang tabu untuk dilakukan, maka ketika para perempuan menghadapi masalah dalam keluarganya atau konflik yang berkepanjangan dengan suaminya, maka mereka tidak takut lagi untuk mengambil keputusan bercerai dari suamiya. Apalagi bila perempuan mempunyai penghasilan sendiri, hal ini akan mempengaruhinya mengambil Ibid.

67

414


Rozalinda & Nurhasanah: Persepsi Perempuan Tentang Perceraian

keputusan untuk mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya. Ia merasa tidak takut lagi menghadapi risiko yang harus dihadapinya pasca perceraian dari suaminya. Di mana ia harus menanggung segala kebutuhannya sendiri. Bahkan ia mungkin juga harus menanggung beban untuk mengurus, mendidik anak-anaknya dan sekaligus menanggung nafkah anakanaknya. Karena ia berkeyakinan bahwa ia akan mampu menanggung tugas-tugas tersebut tanpa suami.

Kesimpulan dan Saran Berdasarkan temuan penelitian yang telah dipaparkan sebelum, ada beberapa kesimpulan penelitian yang dapat dikemukakan berikut ini. Faktor-faktor penyebab meningkatnya angka gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang, yaitu: Meningkatnya tingkat pendidikan perempuan; Perempuan semakin sadar hukum; Adanya peluang berkarir bagi perempuan; Perubahan stigma masyarakat terhadap perempuan yang bercerai; Pengaruh teknologi informasi seperti media massa, baik media cetak maupun media ekektronik; Melemahnya lembaga perkawinan dan lunturnya pandangan perempuan terhadapnya; Melemahnya pemahaman nilai-nilai agama di kalangan perempuan. Kondisi ini berhubungan erat dengan perubahan yang terjadi terhadap persepsi perempuan tentang perceraian di Kota Padang. Di mana dari temuan penelitian dipahami bahwa perempuan memiliki persepsi bahwa: perceraian bukan merupakan hal yang tabu dan memalukan. Perceraian bahkan dianggap merupakan solusi untuk menyelesaikan permasalahan atau konflik berkepanjangan yang terjadi di dalam keluarga. Perceraian bukan sesuatu yang menakutkan. Mengajukan gugatan cerai bahkan merupakan hak perempuan yang diberikan oleh undangundang. Keberanian perempuan di Kota Padang untuk mengambil keputusan mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya ke Pengadilan Agama Kelas I A Padang sangat berpengaruh terhadap banyaknya perkara gugatan cerai yang diterima dan diselesaikan oleh Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Terjadinya perubahan persepsi perempuan di Kota Padang terhadap perceraian telah memberikan pengaruh besar bagi meningkatnya angka gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang. Hal ini terlihat dari meningkatnya perkara gugatan cerai di Pengadilan Agama Kelas I A Padang dari tahun ke tahun. Dalam hal ini perubahan budaya membawa pengaruh terhadap persepsi perempuan tentang pernikahan dan perceraian. Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan masukan bagi para orang tua agar dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang kehidupan berumah tangga kepada anak-anaknya sehingga mereka dapat membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah serta mempunyai persepsi yang benar terhadap perceraian. Kepada kalangan akademisi dan para mubaligh agar melakukan penyuluhan hukum, memberikan pengetahuan dan bimbingan tentang cara mengatasi persoalan rumah tangga sesuai dengan nilai-nilai Islam. Di samping itu memberikan pengetahuan dan pemahaman yang benar terhadap perceraian, sehingga masyarakat mempunyai persepsi yang benar tentang perceraian dan angka perceraian di Kota Padang 415


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 dapat ditekan. Kepada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Barat dan Kota Padang serta Kepala Seksi Pengembangan Keluarga Sakinah Kantor Kementerian Agama Propinsi Sumatera Barat dan Kota Padang diharapkan dapat melakukan kajian tentang fenomena gugatan cerai di Pengadilan Agama Padang dan perubahan persepsi perempuan di Kota Padang terhadap perceraian.

Pustaka Acuan Asasriwarni dan Nurhasnah. Peradilan Agama di Indonesia. Padang: Hayfa Press, 2006. Dahlan, Abdul Aziz, (ed.). Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Houve. Goode, William J. Sosiologi Keluarga. Jakarta: PT Bina Aksara, 1991. http://www.badilag.net/2010/5/10, diakses 16 Juni 2011. Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia, 1981. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rosda Karya, 2004. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan Pelaksana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 19 jo. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam. Putusan Nomor 117/Pdt.G/2009/PA Pdg. Robbins, Stephen P. Organizational Behavour. Prentice-Hall International, 2001. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 01/Pdt.G/2010/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 1023/Pdt.G/2012/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 1037/Pdt.G/2012/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 117/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 257/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 303/Pdt.G/2010/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 309/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 418/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang Nomor: 682/Pdt.G/2008/PA.Pdg. Salinan Putusan Pengadilan Agama Padang: 244/Pdt.G/2009/PA.Pdg. Sasroatmodjo, Arso dan A. Wasit Aulawi. Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. 2. Jakarta: Bulan Bintang, 1978. Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 1991. Triwarmiyati D., M. “Tipologi Relasi Suami Isteri, Studi Pemikiran Letha Dawson Scanzoni dan Jhon Scanzoni�, (Tesis: Universitas Indonesia, 2009. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Winardi, J. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004. 416


KONSEP PENDIDIKAN HUMANIS DALAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM Muh. Idris Jurusan Tarbiyah STAIN Manado Jl. Dr. SH. Sarundajang Kawasan Ringroad I Manado, Sulawesi Utara, 95128 e-mail: idrispasca_uin@yahoo.co.id

Abstrak: Tulisan ini mengkaji konsep pendidikan humanis dalam pengembangan pendidikan Islam. Dalam kancah pergulatan global dewasa ini kekhawatiran yang muncul adalah hancurnya rasa kemanusiaan dan terkikisnya semangat religius serta kaburnya nilai-nilai kemanusiaan. Globalisasi menjadikan dunia tampak lebih transparan dan terbuka, yang diibaratkan seperti kehidupan desa yang tidak mengenal jarak. Untuk mengantisipasi hal ini, diperlukan pendidikan humanis dalam pengembangan pendidikan Islam. Penulis berkesimpulan bahwa pendidikan humanis dalam bingkai pendidikan Islam, merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan kreatif. Dengan kata lain, memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan potensi yang dimilikinya, dan membangun karakter dalam diri manusia yang menghargai martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Abstract: The Concept of Humanistic Education in the Development of Islamic Education. This research examines the concept of humanistic education in the development of Islamic education. What is the main concern of today’s global struggle is the degrading humanity and diminishing the spirit of religiosity and human values. Globalization turns the world to be more transparent and widely open, which is akin to global village without limited by any boundary. To anticipate this situation, humanistic education is urgently required in Islamic education development. The author concludes that humanistic education in the framework of Islamic education is a unique, independent and creative system of humanizing human. In other words, it views humans as creature of God with all potentials, and construct human character that respect human dignity as being the perfect human creatures.

Kata Kunci: pendidikan, humanis, Islam, globalisasi.

417


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Pendahuluan Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh karena itu proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi dan eksploitasi. Pada satu sisi manusia berperan sebagai subjek pendidikan dan pada sisi yang lain sebagai objek pendidikan. Sebagai subjek pendidikan secara moral ia bertanggung jawab melaksanakan misi pendidikan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai yang dikehendaki oleh manusia dimana pendidikan berlangsung. Sebagai objek pendidikan, manusia adalah sebagai sasaran pembinaan dalam melaksanakan proses pendidikan yang pada hakikatnya memiliki pribadi yang sama dengan manusia dewasa. Pendidikan tidak sekedar mentrasfer ilmu pengetahuan kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu mentransfer nilai. Selain itu pendidikan merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreatifitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya. untuk mencapai tujuan di atas, maka pendidikan humanis adalah salah satu bentuk pendidikan yang harus diterapkan di sebuah lembaga pendidikan. Pendidikan humanis merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan kreatif. Prilaku setiap orang ditentukan oleh orang itu dan memahami manusia terhadap lingkungan dan dirinya sendiri, memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia dalam diri manusia yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna.Pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan “perintah-paksaan,” tetapi dengan tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak didik baik lahir maupun batin.

Pola Dasar Pendidikan Islam Dalam sejarah pendidikan Indonesia maupun dalam studi kependidikan, sebutan pendidikan Islam umumnya dipahami sebatas sebagai “ciri khas” jenis pendidikan yang berlatar belakang keagamaan.Demikian pula batasan yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.1 Batasan yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.2

A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998), h. 3. Lihat juga A. Malik Fadjar,”Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan”dalam Edukasi Vol. 2, Nomor 1, JanuariMaret 2004 2 Pada pasal 30 bagian kesembilan ayat 4 dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, Pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, h. 14 1

418


Muh. Idris: Konsep Pendidikan Humanis

Zarkowi Soejoeti sebagaimana yang dikutip oleh A.Malik Fadjar mengemukakan bahwa Pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian. Pertama, lembaga pendidikan Islam itu pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejewantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Dalam pengertian ini Islam dilihat sebagai sumber nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan lembaga pendidikan yang bersangkutan. Kedua, lembaga pendidikan yang memberikan perhatian dan yang menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu dan diperlakukan sebagai ilmu-ilmu lain yang menjadi program kajian lembaga pendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga, mengandung dua pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian yang tercermin dalam program kajiannya. 3 Konsep pendidikan Islam tersebut di atas belum memadai secara falsafi untuk disebut sebagai pendidikan Islam, tetapi dapat dijadikan sebagai pengantar dalam memahami pendidikan Islam secara lebih mendasar.4 Berdasarkan pengertian ini maka keberadaan pendidikan Islam tidak sekedar menyangkut persoalan ciri khas, melainkan lebih mendasar lagi yaitu tujuan yang diidamkan dan diyakini sebagai yang paling ideal yaitu insân kâmil atau muslim paripurna.5 Tujuan ini sekaligus mempertegas bahwa misi dan tanggung jawab yang diemban pendidikan Islam lebih berat lagi.Dalam pembicaraan ini jenis dan pengertian pendidikan Islam mencakup ketiga-tiganya, karena memang ketiga-tiganya itu yang selama ini tumbuh serta berkembang di Indonesia dan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah maupun kebijakan pendidikan secara nasional.Bahkan tidak berlebihan kalau secara politis dikatakan bahwa kehadiran dan keberadaannya merupakan bagian dari andil umat Islam dalam perjuangan maupun dalam mengisi kemerdekaan. 6

Tujuan Pendidikan Islam Azyumardi Azra berpendapat bahwa banyak yang bisa dijual dari Islam, termasuk aspek disiplin, kerja keras, keadilan, demokrasi, musawarah, HAM, perdamaian dan semacamnya7. Orang Islam percaya bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘âlamîn.Oleh karena itu pendidikan A.Malik Fadjar, Pidato Pengukuhan Guru Besar, “Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan”, dalam Muhammad In’am Esha dan Helmi Syaifuddin (ed.) Kumpulan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar UIN Malang Periode 1989-2006 (Malang: UIN Malang Press, 2006), h. 144-145. Lihat juga Fadjar,”Pengembangan Pendidikan Islam”dalam Jurnal Edukasi Volume 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004. 4 A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), h. 31. 5 Fadjar, Visi Pembaruan, h. 4. 6 Fadjar, Visi Pembaruan, h. 4. 7 Azyumardi Azra, Islam Subtantif: AgarUmat Tidak Jadi Buih (Bandung: Mizan, 2000), h. 132. 3

419


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Islam bertujuan menciptakan insân kâmil. Terbinanya kepribadian muslim atau insân kâmil yang merupakan ketetapan tujuan pendidikan Islam masih merupakan idea statis. Namun kualitasnya dinamis dan berkembang nilai-nilainya. Tujuan pendidikan Islam itu sarat dengan nilai-nilai fundamental yang memungkinkan terwujudnya kepribadian muslim atau insân kâmil yaitu yang kondisi fisik dan mentalnya merupakan satu kesatuan secara terpadu. Sehingga dalam penampilan dan kegiatannya tidak terjadi dikotomi antara jasmani dan rohani, duniawi dan ukhrawi. 8 Untuk membentuk peserta didik yang memiliki kepribadian paripurna, maka eksistensi pendidikan agama merupakan sebuah kemestian yang harus diajarkan, meskipun pada sekolah-sekolah umum. Namun demikian dalam dataran operasional prosesnya tidak hanya dilakukan sebatas mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ilmu yang mereka peroleh mampu membuahkan suatu sikap yang baik sesuai dengan pesan nilai ilmu yang dimilikinya.9 Al-Ghazâlî sebagaimana yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman menyatakan bahwa tujuan umum pendidikan Islam tercermin dalam dua segi yaitu: insan purna yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah dan insan purna yang bertujuan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.Kebahagiaan di dunia dan akhirat dalam pandangan al-Ghazâlî adalah menempatkan kebahagiaan dalam proporsi yang sebenarnya. Kebahagiaan yang lebih memiliki nilai universal, abadi, dan lebih hakiki itulah yang diprioritaskan.10 Terbinanya kepribadian Muslim ini menurut A.Malik Fadjar nampak pada diri K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) yang mencita-citakan pendidikan yang memberikan kedamaian yang diselenggarakannya dengan a) baik budi dalam agama, b) luas pandangan, dan c) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat. Dengan perkataan lain bahwa perwujudan pendidikan Islam K.H Ahmad Dahlan mengacu pada tiga matra yang saling terkait, yaitu: 1). Tauhid yang akan mendudukkan harkat manusia sebagai insân ahsani taqwîm, punya daya tahan terhadap segala ujian hidup dan siap memihak kepada kebenaran. 2). Jiwa dan pandangan hidup Islam yang akan membawa cita rahmatan lil âlamîn.3). Kemajuan yang akan menempatkan manusia hidup kreatif. 11 Pandangan ini sejalan dengan pengertian pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursi yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan A. Malik Fadjar, “Mencari Dasar Filosofi Pendidikan Islam; Sebuah Tinjauan Terhadap Pendidikan Kemuhammadiyahan dan Al-Islam, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (ed.), Di Seputar Percakapan Pendidikan Dalam Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka SM, 1994), h. 21-22. 9 Hamka, Lembaga Hidup (Jakarta: Djajamurni, 1962), h. 204. Lihat juga Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), Juz I, h. 170. Lihat juga Hamka, Lembaga Budi (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), h. 2-3. 10 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Versi al-Ghazâlî, terj. Fathur Rahman (Bandung: al-Ma‘arif, 1986), h. 24. 11 Fadjar, “Mencari Dasar Filosofi Pendidikan Islam,” h. 22. 8

420


Muh. Idris: Konsep Pendidikan Humanis

fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan, dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah itu.12 Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam prosesnya mampu mengembangkan seluruh fitrah peserta didik terutama fitrah akal dan agamanya. Dengan fitrah ini peserta didik akan dapat mengembangkan daya berpikir secara rasional. Sementara melalui fitrah agama, akan tertanam pilar-pilar kebaikan pada diri peserta didik yang kemudian terimplikasi dalam seluruh aktifitas hidupnya.13 Berkaitan dengan tujuan pendidikan Islam, Athiyah al-Abrasyi menyimpulkan lima tujuan yang asasi yaitu: untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia, mempersiapkan kehidupan dunia dan akhirat, persiapan untuk mencari rezki dan menjaga kemaslahatan, menumbuhkan ruh ilmiah pada anak didik dan memenuhi rasa keingintahuannya serta memungkinkan untuk mengkaji berbagai ilmu, menyiapkan anak didik untuk menguasai profesi tertentu.14 Di samping itu dengan pendidikan, seseorang dimungkinkan mengenal diri dan alam sekitarnya.15 Al-Kailani menyatakan bahwa pendidikan Islam berorientasi pada kelangsungan eksistensi manusia dan juga peningkatan harkat kemanusiaannya.16Sedangkan menurut al-Nahlawi tujuan pendidikan Islam adalah pembebasan dan penyelamatan anak didik.17 Sehingga ia dapat mengenal agama baik secara teori maupun prakteknya. 18Sementara itu Muhammad ‘Abduh menjelaskan bahwa tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.19Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad ‘Abduh adalah tujuan yang luas, mencakup aspek akal dan aspek spiritual.Tujuan pendidikan tersebut diprediksi dalam rangka pencapaian hasil.20 Muhammad Munir Mursi, al-Tarbiyah al-Islâmiyah Ushûluha wa Tathawwuriha fi alBilâd al-‘Arabiyah (Kairo: Dâr al-Kutub, 1977), h. 25. 13 Muhammad ‘Abduh, “Al-Madâris al-Tajhizât wa al-Madâris al-‘Âliyât” dalam ‘Imârah, al-A’mâl al-Kâmil Li al-Imâm Muhammad Abduh (Bairut: al-Muassasah al-‘Arabiyah li al-Dirâsah wa al-Nashr, 1972), Juz III, h. 117. 14 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Tarbiyah al-Islâmiyah wa Falsafatuha (Kairo: Isa alBâbi al-Halabi, 1969), h. 37 15 Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Al-Ittijahat al-Hadîtsah fi al-Tarbiyah (Mesir: Isa alBabi al-Halabi, t.th), h. 263. 16 Majd Irsân al-Kailâni, Falsafât al-Tarbiyah al-Islâmiyah (Makkah: Maktabah Hadi, 1988), h. 83. 17 ‘Abdurrahman al-Nahlawi, Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyah fi al-Bait wa al-Madrasah wa al-Mujtama‘ (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1996), h. 20. 18 Ahmad Fu‘ad al-Ahwani, Al-Tarbiyah fi al-Islâm (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th), h. 97. 19 Muhammad Rasyd Ridha, Târkh al-Ustâdz al-Imâm al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Mesir: al-Manâr, 1931), Jilid II, h. 17. 20 Jum C. Nunnalli, Educational Mesurement and Evaluation(New York: Hill Book Company, t.t.), h. 16. Bandingkan pula Remmers, et al., A.Practical Introduction to Mesurement and Evaluation (New York: Brothers Publisher,t.th), h. 172. 12

421


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Pendidikan perlu menjadi bekal demi kesiapan manusia untuk memahamikeberagaman manifestasi nilai-nilai dalam peri kehidupannya sebagai anggotamasyarakat. Peserta didik harus diperkenalkan ke berbagai bidang.Perkenalan itu akhirnya membuka perspektif bagi seseorang untuk membuat pilihan, apakah ia ingin menjadi homo religiosus, homo aestheticus, homo politicus, homo economicus, homo academicus, dan sebagainya.21 Pendidikan Islam mempunyai beberapa karakteristik, yaitu: Pertama, penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah. Kedua, pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian, setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya. Ketiga, pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia.Di sini pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan, tetapi sekaligus dipraktekkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari.22

Globalisasi Memperhatikan perkembangan kehidupan manusia akhir­akhir ini dapat ditarik benang merahnya bahwa manusia kini berada pada kesadaran sejarah yang paling puncak, yakni kesadaran bahwa dirinya sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia lain secara universal.Meskipun kesadaran ini merupakan bagian dari kemanusiaan semenjak keberadaannya di dunia, tapi pada saat inilah kesadaran tersebut menemukan momentum yang tepat, dan sekaligus tantangan yang dahsyat. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti transportasi, komunikasi, dan komputer, telah menjadikan kesadaran tersebut teraktualisasikan dengan “sempurna,” setidaknya secara material. Saat ini manusia dengan begitu mudah dan cepatnya berkomunikasi dengan manusia lain meskipun dari sisi tempat sangat berjauhan. Manusia bisa menyaksikan peristiwa di belahan dunia secara cepat dan bahkan seketika itu pula.Para ilmuwan menyebut fenomena ini dengan globalisasi (globalization).Globalisasidalam konteks ilmu-ilmu sosial menjadi diskursus yang menarik. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya kerangka pandang teoretis mengenai globalisasi. Marshall McLuhann, misalnya, seorang pakar komunikasi yang mempunyai pengaruh sangat luas, menawarkan konsep the global village. Di Indonesia

Hassan, “Pendidikan adalah Pembudayaan”, dalam Widiastono, ed., Pendidikan Manusia Indonesia, h. 64. 22 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 10. Lihat juga Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), h. 12-14. 21

422


Muh. Idris: Konsep Pendidikan Humanis

konsep ini diistilahkan dengan “desa buana.” Dunia diibaratkan seperti kehidupan desa yang tidak mengenal jarak.23 Terdapat banyak berkah yang bisa ditimba dari globalisasi sekaligus memunculkan keprihatinan dan gugatan atas berbagai negatif yang ditimbulkan. Terutama berkenaan dengan pengaruh budaya luar yang berpotensi memarginalkan, bahkan mematikan budaya lokal yang dipercaya mengandung kearifan tradisional (traditional wisdom).24 Secara normatif, Islam telah memberikan landasan kuat bagi pelaksanaan pendidikan. Pertama, Islam menekankan bahwa pendidikan merupakan kewajiban agama dimana proses pembelajaran dan transmisi Ilmu sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Inilah latar belakang turun wahyu pertama dengan perintah membaca, menulis, dan mengajar, Kedua,seluruh rangkaian pelaksanaan pendidikan adalah ibadah kepada Allah Swt. Sebagai sebuah ibadah, maka pendidikan merupakan kewajiban individual sekaligus kolektif. Ketiga, Islam memberikan derajat yang tinggi bagi kaum terdidik, sarjana maupun ilmuwan,.Keempat, Islam memberikan landasan bahwa pendidikan merupakan aktivitassepanjang hayat,(long life education). Kelima, konstruksi pendidikan menurut Islam bersifat dialogis, inovatif dan terbuka dalam menerima ilmu pengetahuan baik dari Timur maupun Barat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad saw memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau ke negeri Cina.25 Kesadaran akan pentingnya pendidikan dengan landasan konseptual-normatif inilah yang menyebabkan warisan khazanah intelektual Islam sejak zaman Nabi hingga abad pertengahan mencapai kejayaan global. Untuk menggambarkankondisi kejayaan Islam yang disinyalir terjadi antara abad 7-11 M dengan figur Muhammad saw sebagai modelling mampu merubah karakteristik jahili ahlArab menuju masyarakat yang berbudaya.26 Prestasi besar peradaban Islam saat itu merupakan keberhasilan yang ditopang pengembangkan penalaran yang luarbiasa.27 Dengan luasnya wawasan dan cakrawala pandang manusia maka tingkat nilai-nilai kemanusiaannya cenderung lebih akomodatif.

Fadjar, Holistika, h.169. Lihat pula, Mahmud Hamdi Zaqzuq, Reposisi Islam di Era Globalisasi, terj. Abdullah Hakam Shah(Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2004), h.5-6. 24 Fadjar, Holistika, h.169. Bandingkan pula, Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka kecuali dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia...” (Q.S. al­Nisa’ 114). Azhar Arsyad, “Peranan Pendidikan Rohani Dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia” dalam Azhar Arsyad (Ed), Islam dan Perdamaian Global (Yogyakarta: Madyan Press, 2002), h.166. Bandingkan juga, Margareth Smith, Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Ghazali, terj. Amrouni (Jakarta: Riora Cipta, 2000), h. 167. 25 http://www.bruderfic.or.id/h-60/pendidikan-yang-humanis.html. Tanggal 17 Desember 2007. 26 http://www.sfeduresearch.org/content/view/175/66/1/6/lang,id/. Tanggal, 17 Desember 2007. 27 http://www.bruderfic.or.id/h-60/pendidikan-yang-humanis.html. Tanggal 17 Desember 2007 Lihat pula,.htp://www.sfeduresearch.org/content/view/175/66/1/6/lang,id/. Tanggal, 17 Desember 2007. 23

423


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Ali Syari’ati sebagaimana dikutip Fadjar menjelaskan tentang atribut yang melekat pada diri manusia yang membedakannya dengan binatang, yaitu kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitas.28 Tiga ciri fundamental ini menjadi pembeda manusia dengan binatang dalam dimensinya sebagai insân bukan sebagaibasyar.Jika sebagai basyar manusia berpotensi untuk terikat pada struktur fisiologis dan realitas empiris yang mengitarinya, maka sebagai insân manusia dengan kesadaran diri, kemauan bebas, dan kreativitasnya dapat melakukan “pengembaraan” dalam membangun kebudayaan dan peradaban.

Pendidikan Humanis Pendidikan Islam mempunyai peran strategis sebagai sarana human resources dan human investment.Artinya, pendidikan selain bertujuan menumbuh kembangkan kehidupan yang lebih baik, juga telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik sebagai perekat nilai kemanusiaan dalam pemberdayaan jati diri bangsa. 29 Berangkat dari arti penting pendidikan ini, maka wajar jika hakekat pendidikan merupakan proses humanisasi. Humanisasi dipandang sebagai sebuah gagasan positif oleh kebanyakan orang. Dengan kentalnya persaudaraan sesorang cenderung dipahami sebagai sikap humanisme. Humanisme mengingatkan kita akan gagasan-gagasan seperti kecintaan akan peri kemanusiaan, perdamaian, dan persaudaraan. Tetapi, makna filosofis dari humanisme jauh lebih signifikan; humanisme adalah cara berpikir bahwa mengemukakan konsep peri kemanusiaan sebagai fokus dan satu-satunya. tujuan. Humanisme sebagai sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun. 30 Pendidikan merupakan proses humanisasi atau pemanusiaan manusia.31 Suatu pandangan yang mengimplikasikan proses kependidikan dengan berorientasi kepada pengembangan aspek-aspek kemanusiaan manusia, baik secara fisik-biologis maupun ruhaniah-psikologis. Aspek fisik-biologis manusia dengan sendirinya akan mengalami perkembangan, pertumbuhan, dan “penuaan.” Sedangkan aspek ruhaniah-psikologis manusia melalui pendidikan dicoba “didewasakan,” disadarkan, dan “di-insânkâmil-kan” melalui pendidikan sebagai elemen yang berpretensi positif dalam pembangunan kehidupan yang berkeadaban.32Dari pemikiran Fadjar, Holistika, h.182. Lihat pula, Paulo Freire, Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, terj. A.Widya Martaya (Yogyakarta: Kanisius, 2001), h.66. Bandingkan juga Leonard Binder, Islamic Liberalism: a Critique of Development Ideilogis (London: Chicago Press, 1988), h. 233. 29 http://www.sfeduresearch.org/content/view/175/66/1/6/lang,id/. Tanggal, 17 Desember 2007. 30 http://www.sfeduresearch.org/content/view/175/66/1/6/lang,id/, tanggal 17 Desember 2007. Kajian Normatif Teks al-Qur’an tentang Humanis. 31 Fadjar, Holistika, h.181. Lihat juga Fadjar, Tinta Yang Tidak Pernah Habis, h. 152. 32 http://www.sfeduresearch.org/content/view/175/66/1/6/lang,id/. Tanggal, 17 Desember 2007. 28

424


Muh. Idris: Konsep Pendidikan Humanis

ini maka pendidikan merupakan tindakan sadar dengan tujuan memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya) manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya. Pemahaman terhadap konsep pendidikan sebagai proses humanisasi adalah melakukan penyadaran terhadap manusia sebagai peserta didik mengenai kedudukannya dan perannya dalam kehidupan ini. Kata penyadaran jelas mengandung makna dan implikasi yang mendasar karena akan bersentuhan dengan aspek yang paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu dinamika kejiwaan dan kerohanian. Dua aspek inilah yang menjadi pendorong manusia dalam membangun kehidupan yang berkebudayaan dan peradaban. 33 Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya) yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.34 Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri.Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan (intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme). 35 Desain pendidikan yang mengacu kepada pembebasan, humanisasi, penyadaran, dan kreativitas, sesungguhnya sejak awal telah digagas oleh Ki Hajar Dewantara36 dan K. H. Ahmad Dahlan.37 Ki Hajar Dewantara, misalnya, tidak saja memiliki gagasan yang cerdas Fadjar, Tinta, h. 152. http://www.bruderfic.or.id/h-60/pendidikan-yang-humanis.html. Tanggal 17 Desember

33 34

2007.

http://www.bruderfic.or.id/h-60/pendidikan-yang-humanis.html. Tanggal 17 Desember

35

2007.

Tokoh Ki Hajar­ Dewantara dalam lembaga Perguruan Taman Siswa merupakan lambang dari kemampuan Bangsa Indonesia, kemampuan nasional, untuk mengurus dirinya sendiri dalam bidang pendidikan.Perguruan Taman Siswa dalam kesadaran banyak orang merupakan lambang yang paling nyata dari kemandirian, kemerdekaan jiwa Bangsa Indonesia ketika meng­hadapi suatu tatanan sosial politik kolonial yang dipaksakan kepada dirinya.Perguruan Taman Siswa selama kehidupannya dalam zaman kolonial Belanda dapat dipandang sebagai suatu kekuatan pendidikan yang dimiliki Bangsa Indonesia dalam perjuangan politiknya melawan pemerintah Hindia Belanda.BS. Mardiatmadja, “Ruh Pendidikan,” dalam Tonny D.Widiastono, Pendidikan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas, 2004), h. 76. Bandingkan pula, Mochtar Buchori, Pendidikan Dalam pembangunan (Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press, 1994), h.1-3. 37 Sosok K. H. Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah pribadi yang kaya akan gagasan pembaruan pendidikan dengan “mengadaptasi” pendidikan modern Barat sejauh membawa kemajuan bagi umat Islam khususnya dan Indonesia secara umum. Kejelian dan kecerdasan K. H. Ahmad Dahlan sedikitnya tampak pada gagasan integrasi antara normativitas ajaran Islam dan historisitas konsep pendidikan Barat, antara pendidikan agama dan pendidikan umum yang sebelumnya 36

425


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 pada zamannya, tetapi juga tetap aktual di zaman sekarang. Dia menekankan praktik pendidikan yang mengusung kompetensi/kodrat alam anak didik, bukan dengan “perintahpaksaan,” tetapi dengan tuntunan, sehingga menggugah perkembangan kehidupan anak didik baik lahir maupun batin. Cara mendidik seperti ini dikenal dengan pendekatan among. Ada dua hal yang mendasari adanya pendekatan tersebut. Pertama, kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir maupun batin, hingga dapat hidup merdeka. Kedua, kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya.38 Berangkat dari kenyataan masih lebarnya jurang perbedaan antara tuntutan dunia abad ke-21 akan kualitas kemampuan intelektual dan profesional serta sikap, kepribadian, dan moral manusia Indonesia pada umumnya dengan kemampuan dan sikap manusia Indonesia pada umumnya agar Indonesia dapat mendudukkan diri secara bermartabat dalam masyarakat dunia di era globalisasi ini. Pendidikan Islam dan pembangunan kebudayaan harus mampu menyelenggarakan dan menciptakan proses pendidikan atau suasana pendidikan yang dapat mengembangkan dan membudayakan kemampuan, sikap, kepribadian dan watak yang humanis dalam menghadapi persaingan dan tantangan zaman. Hanya dengan pendidikan yang relevan dan bermutu maka Islam akan mampu mengembangkan IPTEK dan kebudayaan serta mewujudkan masyarakat yang maju, demokratis, berbudaya, adil dan makmur dalam bingkai pendidikan Islam. 39 Olehkarena itu, teman sebaya adalah pendidik yang kerap kali berdayaguna dan berhasil guna di masyarakat. Sudah sejak masa kecil, apalagi masa remaja dan sampai ke alam dewasa, teman sebaya amat penting dalam proses kehidupan. Sebab pendidikan terbaik masuk ke hati sanubari seseorang dengan teman sebaya, amat sering mengenali sampai lahir-batin. Teman sebaya juga yang dapat mengenali dengan lebih baik dibanding orang lain, nilai-nilai yang sungguh dijunjung tinggi seseorang, bukan hanya “dikatakan dijun­jung tinggi”. Teman sebaya dapat ditemukan dalam lingkungan pergaulan seorang manusia, sejak kecil sampai dewasa.Mereka ini ada dalam keluarga, yaitu kakak-adik. Mereka juga ada dalam lingkungan sekolah, di kampung, dalam organisasi, atau dalam lingkup pekerjaan dan lembaga keagamaan. Sekarang terbuka kemungkinan untuk memperoleh teman sebaya melalui radio dan televisi serta internet. Hampir tidak terbatas potret untuk memperoleh teman sebaya, yang berpengaruh baik maupun buruk. dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan. Fadjar, Holistika, h. 183. lihat pula, Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan Fakta dan Tantangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999), h. 107-108. 38 Fadjar, Holistika, h.183. Lihat juga Fadjar, Tinta, h. 156. Lihat pula, Winarno Surakhman, Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan (Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003). 39 Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai Wahana Mencerdasakan Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara–Bangsa: Sebuah Usaha Memahami Makna UUD’ 45, h. 90.

426


Muh. Idris: Konsep Pendidikan Humanis

Apabila seseorang sudah dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan nilainilai dasar manusia, teman sebaya dapat menyaji­kan rekan-tanding atau rekan-renung yang meningkatkan mutu atau mendalamkan peresapan nilai untuk diintegrasikan ke dalam diri manusia. Dalam hidup sehari-hari pengaruh teman sebaya terwujud secara “sambil jalan”, tanpa rencana dan tanpa evaluasi ketat. Dalam berbagai lembaga pendidikan, pengaruh itu dapat diorganisasikan. Pengaruh itu dapat dengan mencolok kelihatan di sekolah, dalam organisasi Karang Taruna, dalam perkumpulan orang muda atau olah raga, dan dalam persaudaraan lembaga keagamaan.Pengaruh teman sebaya ini dapat dipahami karena terlaksana tidak sebagai instruksi atau pelajaran yang kaku, tetapi dalam mengalami hidup.Kecuali itu, teman sebaya tidak mendikte dan tidak memerintah, mereka mengakui kesetaraan siapa pun yang ada dalam persaudaraan atau persahabatan. Iklim kesetaraan itu mengundang simpati dan simpati itu mempermudah orang menemukan nilai, menghayati makna hidup serta mengembangkan sikap saling menghargai. Semua itu menyuburkan nilai.40 Dari titik pandang sosio-antropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. Proses pendewasaan dan penyadaran dalam konteks pendidikan ini mengandung makna yang mendasar, karena bersentuhan dengan aspek paling dalam dari kehidupan manusia, yaitu kejiwaan dan keruhanian; sebagai dua elemen yang berpretensi positif bagi “manusia utuh” adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang menyesuaikan diri karena ia tidak mampu mengubah realitas. Menyesuaikan diri adalah kekhasan tingkah laku binatang yang bila diperlihatkan oleh manusia akan merupakan gejala dehumanisasi.41 Pendidikan dengan tekanan pada transfer ilmu dan keahlian daripada pembangunan moralitas akan memunculkan sikap individualistik, skeptik, enggan menerima hal-hal non-­observasional dan sikap menjauhi nilai-nilai Ilahiyah yang bernuansa kemanusiaan. Akibat lebih jauh, model pendidikan ini akan menghasilkan manusia mekanistik yang mengabaikan penghargaan kemanusiaan yang jauh dari nilai imajinatif, kreatif dan kultural. Kenyataan inilah yang menyebabkan kearifan, kecerdasan spiritual, kesadaran BS. Mardiatmadja, “Ruh Pendidikan”, dalam Widiastono, Pendidikan, h. 76. http://www.sfeduresearch.org/content/view/175/66/1/6/lang,id/. Tanggal 17 Desember

40 41

2007.

427


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 manusia terhadap makna hidup, lingkungan social dan alamnya menjadi gagal tumbuh dan akhirnya akan mati dan menciptakan ketegangan kemanusian seperti konflik dan perang, krisis nilai etis, dislokasi, alienasi, kekosongan nilai rohaniah dan sebagainya. Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu mengantarkan manusia menuju kesempurnaan dan kelengkapan nilai kemanusiaan dalam arti yang sesungguhnya sebagai suatu sistem pemanusiawian manusia yang unik, mandiri dan kreatif sebagaimana fungsi diturunkannya al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda antara yang benar dan yang salah. Al-Qur’an berperan dalam meluruskan kegagalan sistem pendidikan yang terjebak pada proses dehumanisasi. Pendidikan Humanis yang dieksplorasi di dalam Islam adalah memanusiakan manusia sesuai dengan perannya sebagai khalifah di bumi ini. Manusia merupakan makhluk yang sempurna. Kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya yaitu dari mulai proses penciptaannya (Q.S. al-Sajdah/32:7-9, al-Insân/76: 2-3), bentuknya (Q.S. al-Tn/ 95:4) serta tugas yang diberikan kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi (Q.S. al-Baqarah/2:30-34, al-An‘âm/6:165) dan sebagai makhluk yang wajib untuk mengabdi kepada Allah (Q.S. al-Dzâriyat/51:56). Begitu tingginya derajat manusia, maka dalam pandangan Islam manusia harus menggunakan potensi yang diberikan Allah kepadanya untuk mengembangkan dirinya baik dengan panca indera, akal maupun hatinya sehingga benar-benar menjadi manusia seutuhnya. Pendidikan yang benar adalah suatu usaha pembinaan pribadi manusia untuk mencapai tujuan akhirnya (perilaku hubungan dengan Tuhan dan diri sendiri) dan sekaligus untuk kepentingan masyarakat (perilaku hubungan dengan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan alam sekitarnya). Secara singkat dikatakan bahwa pendidikan nilai adalah suatu proses dimana seseorang menemukan maknanya sebagai pribadi pada saat dimana nilai-nilai tertentu memberikan arti pada jalan hidupnya. Proses ini menyangkut “perjalanan menuju ke kedalaman diri sendiri”, menyentuh bagian-bagian terdalam diri manusia, seperti daya refleksi, introspeksi, analisa dan kemampuan menemukan diri sendiri dan betapa besar harga dirinya. Pendidikan nilai menyangkut ranah daya cipta, rasa dan karsa, menyentuh seluruh pengalaman seseorang.42 Pendekatan pembelajaran humanis memandang manusia sebagai subjek yang bebas merdeka untuk menentukan arah hidupnya. Manusia bertanggung jawab penuh atas hidupnya sendiri dan juga atas hidup orang lain. Pendekatan yang lebih tepat digunakan dalam pembelajaran yang humanis adalah pendekatan dialogis, reflektif, dan ekspresif yang mengajak peserta didik untuk berpikir bersama secara kritis dan kreatif. Pendidik bertindak sebagai fasilitator dan partner dialog; pendekatan reflektif mengajak peserta http://www.bruderfic.or.id/h-60/pendidikan-yang-humanis.html. Tanggal 17 Desember

42

2007

428


Muh. Idris: Konsep Pendidikan Humanis

didik untuk berdialog dengan dirinya sendiri; sedangkan pendekatan ekspresif mengajak peserta didik untuk mengekspresikan diri dengan segala potensinya (realisasi dan aktulisasi diri). Dengan demikian pendidik tidak mengambil alih tangung jawab, melainkan sekedar membantu dan mendampingi peserta didik dalam proses perkembangan diri, penentuan sikap dan pemilahan nilai-nilai yang akan diperjuangkannya Namun, dengan menyadari watak eksistensial manusia yang selalu bergantung pada realitas primordialnya, seperti budaya peradaban, dan agama, keprihatinan seperti di atas bisa dibenarkan. Agar manusia di satu sisi tidak tercerabut dari realitas primordialnya itu, dan di sisi lain, manusia mau tidak mau harus berhadapan dengan kemajuan budaya danperadaban yang perlu direspon, maka sikap moderat, atau menjadi ummatan wasathan dalam istilah Q.S. Al-Baqarah/2: 143, perlu dikembangkan. Seperti dikatakan Paulo Freire, manusia harus bisa “mengada� atau bereksistensi(to exist), tidak sekadar hidup(to live)di dunia. Freire menekankan pentingnya hidup secara dinamis. Namun begitu, Freire juga menekankan integrasi dalamkehidupan ini, yaitu kemampuan menyesuaikan diri dengan realitas dan kemampuan kritis untuk membuat pilihan dan mengubah realitas.43 Menurut A.Malik Fadjar nampaknya Freire ingin memberikan suatu afirmasi filosofis bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang mempunyai kemerdekaan, sehingga manusia pada hakikatnya mampu melakukan transendensi dengan semua realitas yang mengitarinya.44 Pendidikan saat ini mempunyai landasan yang lebih realistis dan strategis dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan keluarnya UU ini tidak berarti masalah pendidikan serta-merta teratasi. Kita masih harus bekerja keras dalam berbagai sektor pendidikan untuk menfungsikan pendidikan nasional dengan baik agar kita dapat mencapai tujuan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang tersebut pada Bab II, Pasal 3, yang berbunyi, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab�. 45 Membangun sikap demokratis, dinamis, dan kritis bukanlah hal mudah, sebab perkembangan kehidupan sendiri penuh dengan teka-teki paradoksal seperti globalisasi. Globalisasi di satu sisi bisa memunculkan fenomena universal civilization dan sisi lain bisa membangkitkan kesadaran akademik lokal.46Analisis yang mendalam dikemukakan Fadjar, Holistika, h.170. Lihat pula, Hasbi Indra, Pendidikan Islam Melawan Globalisasi (Jakarta: Ridamulia, 2005), h. 125-126. 44 Fadjar, Tinta, h. 153. 45 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional. 46 Fadjar, Holistika, h.170. 43

429


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 oleh Huntington, sebagaimana yang diungkapkan oleh A. Malik Fadjar, menjadikan identitas budaya dan peradaban sebagai persoalan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang kini telah mengalami proses globalisasi. Persoalan yang dimaksud Huntington adalah terjadinya konflik di sepanjang garis pemisah budaya(culture fault lines) yang memisahkan peradaban-peradaban seperti Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Ortodoks, Slavic, Amerika Latin, dan Afrika. Huntington tampaknya berkeyakinan bahwa budaya akan menjadi sumber fundamental konflik di dunia setelah sebelumnya dipengaruhi oleh perbedaan ideologi dan ekonomi. Huntington mengajukan sedikitnya enam alasan utama kenapa konflik atau benturan dapat terjadi.47 Pertama, perbedaan antar peradaban tak hanya rill, tapi juga mendasar. Peradaban terdiferensiasi oleh sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang lebih penting adalah agama. Perbedaan­perbedaan iniselama berabad-abad telah menimbulkan konflik. Kedua, dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antara orang-orang atau bangsabangsa yang berbeda peradabannya semakin meningkatkan kesadaran-kesadaran mereka untuk memperkokoh identitas, yang pada gilirannya memperkuat perbedaan dan kebencian yang merentang atau dipandang merentang jauh ke belakang dalam sejarah. Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah mengakar dengan kuat, di samping memperlemah negara-bangsa sebagai sumber identitas mereka. Keempat, tumbuhnya kesadaran peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi Barat berada di puncak kekuatan,namun di sisi lain, dan ini akibat posisi Barat tersebut,yaitu kembalinya ke fenomena asal, sedang berlangsung diantara peradaban-peradaban non-Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa menyatu dan karena itu kurang bisa berkompromi antara karakteristik dan perbedaan politik dan ekonomi. Keenam, regionalisme ekonomi semakin meningkat. Blok-blok ekonomi regional tampaknya terus meningkat pada masa yang akan datang.48 Menurut Huntington, bahwa konflik atau benturan peradaban (clash of civilization) yang dilatarbelakangi oleh keenam faktor di atas, berlangsung pada dua tingkatan. Pada tingkat mikro, kelompok-kelompok yang berdekatan sepanjang garis pemisah di antara peradaban-peradaban sering kali berjuang dengan kekerasan untuk saling menguasai perbatasan masing-masing. Sedang pada tingkat makro, negara-negara yang mempunyai peradaban yang berbeda-beda bersaing untuk merebut kekuasaan ekonomi dan militer, A. Malik Fadjar, “Demokrasi dalam Konteks Indonesia Baruâ€?, butir-butir bahan ceramah disampaikan pada sidang Tanwir I Pemuda Muhammadiyah Balik Papan, 12 Januari 1999, dalam Himpunan Pidato Menteri Agama RI., Tahun, 1999, disusun olehBiro Hukum dan Humas Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI. 48 Fadjar, Holistika, h.173. Lihat pula, Azymardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralisme (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), h. 17. Bandingkan juga, Saiful Mujani et al. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat (Jakarta: Nalar, 2005). 47

430


Muh. Idris: Konsep Pendidikan Humanis

berjuang untuk menguasai lembaga-lembaga internasional dan pihak-pihak ketiga, dan bersaing mempromosikan nilai-nilai agama dan politik mereka. Dalam konteks Indonesia, tesis Huntington itu agak sulit dicari evidensi empiriknya, terutama jika dikaitkan dengan dua level pertentangan peradaban di atas. Namun jika memperhatikan modus konflik sosial yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini, bisa dikatakan bahwa sebenarnya benturan kini telah terjadi, meskipun masih berada pada level lokal atau marginal. Misalnya, benturan yang disebabkan oleh perbedaan etnis dan keagamaan, maupun yang disebabkan menajamenya fragmentasi sosial sebagai warisan sejarah sebelumnya yang disebabkan oleh kesalahan manajemen dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Semua konflik yang datang secara bertubi-tubi memunculkan kegetiran terhadap masa depan bangsa ini yang dalam rentang waktu lama disatukan oleh suatu ikatan kebangsaan yang luhur. Yang paling ironis, agama yang seharusnya dapat menjadi perekat sosial (societal glue), nyatanya malah terperangkap dalam berbagai konflik. Padahal agama, apa pun namanya, sejatinya sama-sama mempunyai misi suci dan agung, yakni (salah satunya) menciptakan kedamaian universal sehingga manusia dapat menikmati kebahagiaan esensialnya di dunia dan di akhirat kelak. Agama dalam konteks mikro, sebenarnya dapat diperankan secara positif-konstruktif dalam mempertahankan dan sekaligus mengembangkan keutuhan bangsa Indonesia yang ditandai dengan keanekaragaman dan kemajemukan. Sekadar contoh, di bawah ini akan dikemukakan beberapa nukilan nuktah-nuktah normatif agama Islam yang memiliki kaitan dengan persoalan keanekaragaman dan kemajemukan, multikulturalisme dan pluralisme, dan solusi integrasi keduanya.49 Untuk mengakomodasi benturan peradaban menuju pendidikan yang humanis adalah dengan jalan meningkatkan kualitas kehidupan beragama sehingga tidak terjadi sikap fanatik, feodalis dan fundamentalis. Sikap beragama seperti ini disebabkan karena: Pertama, cara beragama masyarakat yang masih berorientasi ke “dalam,� sebagai pemahaman yang dangkal terhadap apa yang dipandang mempunyai nilai otoritatif dan kemutlakan dalam agama. Keberagamaan seperti ini dalam istilah psikologi agama disebut dengan gaya hidup keagamaan otoritatif (religion of authority). Agama mana pun memang menyandarkan pada suatu otoritas mutlak yang hadir melalui nilai dan semangat keagamaannya. Seharusnya cara beragama lebih membuka diri, dan menjalin komunikasi beragama ke luar sehingga akan membuka pentilasi kehidupan beragama.Dengan demikian, suasana beragama lebih ramah dan dinamis. Kedua, dengan sikap keberagamaan yang berorintasi lokal-feodalistik belum menasional dan global seperti di atas, maka agama mudah dimanfaatkan untuk mem-blow up isu-isu di

Fadjar, Holistika, h. 173.

49

431


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 luar dunia keagamaan yang tengah mengemuka, seperti kesenjangan atau fragmentasi sosial.50 Model tampilan keberagamaan tersebut, menyebabkan gagalnya suatu penghayatan agama karena yang esensial dari beragama tidak tertangkap dan tidak terungkap.51 Kita perlu prihatin sebab sebagian peristiwa kerusuhan massa marak belakangan ini menurut sebuah sinyalemen, karena terjadinya manipulasi simbol-simbol agama yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu hanya untuk meraih kepentingan sesaat. Padahal agama dalam kehidupan berfungsi sebagai perekat dalam menata tatanan sosial yang sangat damai, humanis dan anggun.52

Penutup Pendidikan humanis memandang manusia sebagai manusia, yaitu sebagai makhluk ciptaan Tuhan dengan fithrah-fithrah tertentu. Manusia yang manusiawi yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanis diharapkan bisa berfikir, merasa, berkemauan, dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistik, egoistik, egosentrik dengan sifat kasih sayang sesama manusia, sifat ingin memberi dan menerima, sifat saling menolong, sifat ingin mencari kesamaan, dan lain sebagainya. Pendidikan humanis dalam bingkai pendidikan Islam, merupakan suatu sistem pemanusiaan manusia yang unik, mandiri, dan kreatif. Memandang manusia sebagai manusia yaitu makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, dan membangun karakter manusia dalam diri manusia yang menghargai harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Maka hak setiap individu hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan independen secara fisik, mental dan spiritual; pendidikan hendaknya memperkaya setiap individu dengan tetapmempertimbangkanperbedaan antara masing-masing pribadi.

Pustaka Acuan ‘Abduh, Muhammad, “Al-Madâris al-Tajhizât wa al-Madâris al-‘Aliyât,” dalam Imarah, al-A‘mâl al-Kâmil Li al-Imâm Muhammad ‘Abduh.Bairut: al-Muassasah al-‘Arabiyah li al-Dirâsah wa al-Nashr, 1972, Juz III. Al-Abrasyi,Muhammad Athiyah. Al-Ittijahât al-Hadîtsah fi al-Tarbiyah. Mesir: Isa al-Bâbi al-Halabi, t.t.. Ibid., h.174-175. A.Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam(Jakarta: LP3NI), 1998), h. 186-187. 52 Muh. Idris, “Pentingnya Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Mental,” dalam Foramadiahi, Vol. 2 No. 1 Tahun 2006. Lihat juga Muh. Idris, et al., “Liberalisme Islam (Studi Kasus Pemikiran Jaringan Islam Liberal),” dalam Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, Agama dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: Nuqtah, 2007), h. 77. 50 51

432


Muh. Idris: Konsep Pendidikan Humanis

Al-Abrasyi,Muhammad Athiyah. Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim.t.t.p: Dar Ihya’ al-Kutub alArabiyah, t.th. Al-Ahwani, Ahmad Fu‘ad. Al-Tarbiyah fi al-Islâm.Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th. Arsyad, Azhar. “Peranan Pendidikan Rohani Dalam Mewujudkan Perdamaian Dunia” dalam Azhar Arsyad (ed.). Islam dan Perdamaian Global.Yogyakarta: Madyan Press, 2002. Azra, Azymardi. Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme dan Pluralisme. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Azra, Azymardi. Esai-Esai Intelektual Muslim & Pendidikan Islam.Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998. Azra, Azymardi. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan, 2000. Azra, Azymardi. Menuju Masyarakat Madani: Gagasan Fakta dan Tantangan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999. Azra, Azymardi. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Binder, Leonard. Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideilogis. London: Chicago Press, 1988. BS.Mardiatmadja, “Ruh Pendidikan” dalam Tonny D.Widiastono.Pendidikan Manusia Indonesia. Jakarta: Kompas, 2004. Buchori, Mochtar. Pendidikan Dalam pembangunan, Yogyakarta: IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. 1994. C. Nunnalli, Jum. Educational Mesurement and Evaluation. New York: Hill Book Company, t.t. Al-Dn,‘Abd al-Asr Syams. Al-Mazhab al-Tarbawi ‘Inda Ibn Jamâ‘ah. Bairut: Dâr IqraÊ, 1983. Fadjar, A. Malik. Reorientasi Pandidikan Islam. Jakarata: Fajar Dunia, 1999 Fadjar, A. Malik. “Demokrasi dalam Konteks Indonesia Baru”, butir-butir bahan ceramah disampaikan pada sidang Tanwir I Pemuda Muhammadiyah Balik Papan, 12 Januari 1999, dalam Himpunan Pidato Menteri Agama RI., Tahun, 1999, disusun olehBiro Hukum dan Humas Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI. Fadjar, A. Malik. “Mencari Dasar Filosofi Pendidikan Islam; Sebuah Tinjauan Terhadap Pendidikan Kemuhammadiyahan dan Al-Islam, dalam Imron Nasri dan A. Hasan Kunio, (ed.).Di Seputar Percakapan Pendidikan Dalam Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka SM, 1994. Fadjar, A. Malik. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998. Fadjar, A. Malik. “Pengembangan Pendidikan Islam yang Menjanjikan Masa Depan” dalam Jurnal Edukasi Volume 2, Nomor 1, Januari-Maret 2004. Freire, Paulo. Pedagogi Pengharapan: Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas, terj. A.Widya Martaya. Yogyakarta: Kanisius, 2001. Hamka. Lembaga Budi.Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. 433


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Hamka. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni, 1962. Hamka. Tafsir al-Azhar.Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998, Juz I. Idris, Muh. Pentingnya Pendidikan Agama terhadap Kesehatan Mental, Foramadiahi.Vol. 2 No. 1 Tahun 2006. Idris, Muh. Et al. “Liberalisme Islam (Studi Kasus Pemikiran Jaringan Islam Liberal),” dalam Bahtiar Effendy dan Soetrisno Hadi, Agama dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: Nuqtah, 2007. Indra, Hasbi. Pendidikan Islam Melawan Globalisasi. Jakarta: Ridamulia, 2005. Al-Kailani, Majid Irsan. Falsafât al-Tarbiyah al- Islâmiyah. Makkah: Maktabah Hadi, 1988. Mujani, Saiful et al. Benturan Peradaban: Sikap dan Perilaku Islamis Indonesia terhadap Amerika Serikat. Jakarta: Nalar, 2005. Mursi, Muhammad Munir. Al-Tarbiyah al-Islâmiyah Ushûluha wa Tathawwuriha fi al-Bilâd al-‘Arabiyah. Kairo: Dar al-Kutub, 1977. Muthawa’, Ibrahim Ashmat.Ushûl al-Tarbiyah.t.t.: Dâr al-Ma‘ârif, t.t. Al-Nahlawi,Abdurrahman. Ushûl al-Tarbiyah al-Islâmiyah fî al-Bait wa al-Madrasah wa al-MujtamaÊ. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1996. Pratiknya, Ahmad Watik, “Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa, (ed.).Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991. Remmers, et.al., A Practical Introduction to Mesurement and Evaluation.New York: Brothers Publisher, t.t. Ridha, Muhammad Rasyd. Târikh al-Ustâzd al-Imâm al-Syaikh Muhammad ÊAbduh. Mesir: al-Manar, 1931, Jilid II S.Brumbaugh, Robert dan Nathaniel M. Lawrence.Six Essay on The Foundations of Western Thought. Boston: Houghton Mifflin Company, 1963 Smith, Margareth. Pemikiran dan Doktrin Mistis Imam Ghazali, terj. Amroeni Jakarta: Riora Cipta, 2000. Sulaiman, Fathiyah Hasan. Sistem Pendidikan Versi al-Ghazâli, terj. Fathur Rahman. Bandung: al-Ma’arif, 1986. Surakhman, Winarno. Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu Keniscayaan. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 2003. Syahatah, Hasan. Ta‘lîm al-Dîn al-Islâmi baina al-Nazhariyah wa al-Tathbq.Kairo: Maktabah al-Dâr al-‘Arabiyah, 1994 Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1994. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional Zaqzuq, Mahmud Hamdi. Reposisi Islam di Era Globalisasi, terj. Abdullah Hakam Shah. Yogyakarta: Pelangi Aksara, 2004. 434


MUSLIM-CHRISTIAN DEBATES IN THE EARLY ‘ABBASID PERIOD: The Cases of Timothy I and Theodore Abu Qurra Hans Abdiel Harmakaputra Sekolah Tinggi Teologi Jakarta Jl. Proklamasi no. 27, Jakarta, 10230 e-mail: hansharmakaputra@gmail.com

Abstrak: Perdebatan Muslim-Kristen Pada Awal Era Abbasiyah: Studi Kasus Era Timothy I dan Theodore Abu Qurra. Kekhalifahan Abbasiyah awal meninggalkan warisan penting dalam sejarah dunia, melalui gerakan penerjemahan pemikiran dan literatur Yunani ke dalam bahasa Arab. Era tersebut menjadi saksi berkembangnya diskursus antar-agama maupun debat keagamaan Islam dan Kristen. Artikel ini berupaya mendeskripsikan bagaimana kedua poin sejarah di atas berkorelasi dengan faktor lain seperti politik dan identitas keagamaan. Debat paling awal berlangsung antara khalifah al-Mahdi (755-785 M) dengan Timothy I (728-823 M). Perdebatan keduanya merupakan contoh pertama diskursus keagamaan era ini. Contoh berikutnya perdebatan khalifah al-Ma’mun (813-833 M) dengan Theodore Abu Qurra (755-830 M). Dengan mengetahui motif kedua khalifah dalam menyelenggarakan debat keagamaan, jaringan konteks periode tersebut akan dapat dipahami dengan lebih baik. Abstract: The era of the early ‘Abbasid caliphate made an important mark on the history of the world by the event of the Greek translation movement, i.e. the translation of Greek thoughts into the Arabic language. In addition to this development, the era also saw the flourishing of interreligious discourse, in both polemical literatures and religious debates, especially between Christians and Muslims. This article tries to describe how those two historical remarks are correlated under the light of other factors such as politics and religious identity. The earliest debate was happened between caliph al-Mahdi (r. 755-785 CE) and a Nestorian Catholicos, Timothy I (728823 CE), as the first sample of religious discourses. The second one is the debate between the caliph al-Ma’mun (r. 813-833 CE), who arranged many religious debates in his court, with Theodore Abu Qurra (755 – 830 CE), Bishop of Harran. By knowing the motives of the two caliphs who sponsored those events, readers would catch a better picture of the historical contexts of that time.

Keywords: Islamic history, Abbasid period, Muslims-Christian relation 435


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Introduction And our victorious King said: “It seems to me that you believe in a vacuous God, since you believe that He has a child.”—And I answered: “O King, I do not believe that God is either vacuous or solid, because both these adjectives denote bodies. If vacuity and solidity belong to bodies, and God is a Spirit without a body, neither of the two qualifications can be ascribed to Him....” At this our victorious King rose up and entered his audience chamber, and I left him and returned in peace to my patriarchal residence. (Timothy I)1 On another occasion when Abu Qurrah made a telling point against the caliph himself and the Muslims grew angry at his presumed insolence, al-Ma’mun is made to say, “Abu Qurrah does not act in a hostile way toward us, so let not one speak to him ‘except for the best.’”2 The era of the early ‘Abbasid caliphate made an important mark on the history of the world by the event of the Greek translation movement, i.e. the translation of Greek thoughts into the Arabic language. In addition to this development, the era also saw the flourishing of interreligious discourse, in both polemical literature and religious debate, and especially between Christians and Muslims. The two quotations above are examples of the interreligious discourse of that time. The first quotation is from Timothy I (728823), a Nestorian Catholicos of the Eastern Church. He wrote it after caliph al-Mahdi (r. 755-785) invited him to come and engage the caliph in religious debate. The latter describes a discussion Theodore Abu Qurra (c. 755 –c. 830), Bishop of Harran, joined at a debate sponsored by caliph al-Ma’mun (r. 813-833), who arranged many religious debates. Mark N. Swanson says that the debate between al-Mahdi and Timothy I is an important remark for Christian-Muslim relations, not only because it was the earliest reported theological dialogue, but also because their topics and modes of argumentation would be used and developed in future Muslim-Christian discourse.3 The debates between caliph al-Mahdi and Timothy I occurred at the initiative of the caliph. Timothy I was a proficient Christian scholar who produced many theological pieces, including apologetic literature. He was fluent in various languages, e.g. Greek, Syriac, and Arabic.4 Unfortunately, the date of the debate is undetermined by scholars, but soon after

Alphonse Mingana, trans., “Timothy I, Apology for Christianity,” The Tertullian Project, http://www.tertullian.org/fathers/timothy_i_apology_01_text.htm (accessed November 16, 2011). 2 Sidney H. Griffith, “The Monk in the Emir’s Majlis: Reflections on a Popular Genre of Christian Literary Apologetics in Arabic in the Early Islamic Period,” in The Majlis: Interreligious Encounters in Medieval Islam, eds. H. Lazarus-Yafeh, et al. (Wiesbaden: Harrassowitz, 1999), p. 43. 3 Mark N. Swanson, “The Crucifixion in Early Christian-Muslim Controversy,” in The Encounter of Eastern Christianity with Early Islam, eds. Emmanouela Grypeou, Mark N. Swanson, and David Thomas (Leiden: Brill, 2006), p. 248, 254. 4 Sidney H. Griffith, The Church in the Shadow of the Mosque: Christians and Muslims in the World of Islam (Princeton, Oxford: Princeton University Press, 2008), p. 45-46. 1

436


Hans Abdiel Harmakaputra: Muslim-Christian Debates in the Early

the event the caliph commisioned Timothy I to translate Aristotle’s book Topics into Arabic.5 Similarly, the debate that involved Theodore Abu Qurra in the court of al-Ma’mun operated under the caliph’s initiative, when al-Ma’mun was at war with Byzantium in 829.6 Those two events share some similarities. First, two gracious caliphs asked for an honest and open discussion on complex theological topics with prominent Christian theologians at that time. Second, there was a cordial atmosphere for interreligious knowledge exchange. Third, several important topics raised there would become “classic” by today standards for theological discourse between Christians and Muslims. This article, however, does not focus on the content of the two debates, but on discerning the motives behind them.7 After discerning the motives behind those events, we might find something useful for our today context in Indonesia. To help the process, there are three questions posed regarding the rise of interreligious religious discourse at the time of ‘Abbasid caliphate are these: First, what were the motives of the caliphs who sponsored those religious debates? Second, what was the relation between the motives and the historical events at that time? And finally, a more contemporary question, was it possible to use those experiences as the ground for the improvement of MuslimChristian relations today?

Pre-Context: The Birth of the Greek Translation Movement It is not an easy task to find sources regarding the motives that brought about the two debates. Most of the literature talks only about the theological content of the debates but is silent on its sitz im leben, the time of al-Mahdi and al-Ma’mun. In addition, there are only a few sources which place these Muslim-Christian discourses in relation to the Greek translation movement. Dimitri Gutas provides a clear analysis of these connections. He links the motives for the debates to their social, political, and cultural contexts. He also

Swanson and Goddard says it happened around 781, Griffith choose the year before 782, and Jacques Waardenburg settles on a time somewhere within al-Mahdi’s later years, around 785. See Swanson, p. 248; Hugh Goddard, A History of Christian-Muslim Relations (Chicago: New Amsterdam Books, 2000), p. 52. Griffith, The Church in the Shadow of the Mosque, p. 47; Jacques Waardenburg, “The Medieval Period: 650-1500,” in Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical Survey, ed. Jacques Waardenburg (New York: Oxford University Press, 1999), p. 42. 6 Griffith, “The Monk in the Emir’s Majlis,” p. 38; Goddard, p. 53. 7 For an analysis of the discussion between al-Mahdi and Timothy I , see Swanson, p. 248255; Griffith, “The Monk in the Emir’s Majlis,” p. 14-17; and Mingana. For the discussion between Abu Qurra and al-Ma’mun, see Griffith, “The Monk in the Emir’s Majlis,” h. 38-48. For more detail about Abu Qurra’s argumentation, see Sidney H. Griffith, “Faith and Reason in Christian Kalûm: Theodore Abu Qurrah on Discerning the True Religion,” in Christian Arabic Apologetics During the Abbasid Period (750-1258), eds. Samir Khalil Samir, Jørgen S. Nielsen (Leiden: E.J. Brill, 1994). 5

437


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 notes the significance of the Greek translation movement in this period.8 For this reason, his book is the primary source informing this paper. Thus, following Gutas’s arguments, we begin with al-Manshur’s policy and the initiation of the Greek translation movement. Many sources give al-Ma’mun credit as the champion of the Greek translation movement. He cultivated the movement when he founded the bayt al-hikma (house of wisdom) as an academic center. Any translations from Greek to Arabic before al-Ma’mun were very few and sporadic, as a result of patronization by some nobles, not arising from a full movement.9 But, these theses for the movement lack socio-political perspectives connected to the motives of the caliphs. So, Dimitri Gutas’s analysis is better, because it dates the birth of the Greek translation movement to the second caliph, al-Manshur (r. 754-775). Al-Manshur was the influential leader of the early ‘Abbasid caliphate and the architect of the strong foundations of the ‘Abbasid dynasty. Gutas also supports his theory by noting that much of the literature favoring al-Ma’mun’s role in the Greek translation movement was written in al-Ma’mun’s own era as a revisionist version of history. These claims were designed to support his political policies.10 Despite his scintillating victory, al-Manshur had to face enormous challenges facing his new regime. The greatest of these were how to maintain the various people who had had supported him and how to strengthen the foundation for his regime. Dimitri Gutas describes al-Manshur’s motives vividly: It is now becoming increasingly apparent that the way in which the early ‘Abbasid caliphs tried to legitimize the rule of their dynasty in the eyes of all the factions in their empire was by expanding their imperial ideology to include the concerns of the “Persian” contingent. This was done by promulgating the view that the ‘Abbasid dynasty, in addition to being the descendants of the Prophet and hence satisfying the demands of both Sunni and Shi‘i Muslims, was at the same time the successor of the ancient imperial dynasties in ‘Iraq and Iran, from the Babylonians through the Sasanians, their immediate predecessors. In this way they were able to incorporate Sasanian culture, which was still the dominant culture of large masses of the population east of ‘Iraq, into mainstream ‘Abbasid culture. Al-Manshur was the architect of this policy. 11 Taking Gutas’s view, we can conclude that Al-Manshur tried to gain support from the people through two main strategies which he mingled together. Firstly, he tried to build Dimitri Gutas, Greek Thought, Arabic Culture: The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early ‘Abbasid Society (2nd-4th/8th-10th centuries) (New York: Routledge, 1998). 9 For example, see Kenneth Cragg, The Arab Christian: a History in the Middle East (Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1991), p. 63-64; Goddard, p. 52; Philip K. Hitti, History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present (New York: ST. Martin’s Press, 1970), p. 309310; Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Volume I The Classical Age of Islam (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), p. 298. 10 See Gutas’s arguments in Gutas, p. 83-104. 11 Ibid., p. 29. 8

438


Hans Abdiel Harmakaputra: Muslim-Christian Debates in the Early

an image of a good Muslim ruler, painting himself as different from the Umayyad dynasty powers, who had used Arab favoritism. Consequently, al-Manshur, who was supported by many factions, including non-Arabs, upheld the non-discrimination policy already announced by Umar II (r. 717-720) which was not effective in upholding Umar’s regime.12 But when al-Manshur acted as a caliph, this policy was efficacious, creating an egalitarian Islamic society where there was no more Arab favoritism; it also affected the non-Muslim population, which were still the majority at that time.13 In addition to this policy, al-Manshur used two other strategies to prove his Islamic inheritance: the Islamic title, which would be utilized by all the ‘Abbasid caliphs;14 and the claim of their bloodline to the Prophet’s family, i.e., from al-‘Abbas’s clan.15 Equally important to building the image of a good Muslim ruler was al-Manshur’s next strategy. He advertized himself as a successor to the Sasanid or Persian dynasty, whose culture still dominated the vast area of the eastern Islamic empire. This territory included some of the most important regions at that time, such as ‘Iraq, Iran, Khurasan, and Marw.16 The factor behind this approach was the decision to move the central authority from Syria to ‘Iraq, where Persian culture and language were very influential. This policy was carried out in several ways. Besides the Islamic title of al-Manshur, which literary means ‘he who is granted victory [by God]’, he also took the Persian’s king title for his caliphate, “the shadow of God on earth.”17 Philip K. Hitti says that al-Mansur imitated the Persian way of life in the palace, a model of government system, and Persian ideas and thought.18 Nevertheless, Hitti misses the fact that al-Manshur embraced Persian culture in order to maintain his power. The ‘Abbasid caliphate came to power after seizing the Umayyad, but this act did not automatically win it allegiance from all factions. The best example of this unsettled state can be found in the civil war between rival factions in the House of Prophet in ‘Abbasid’s early years. This fractious reality would be repeated several times over the next periods, involving also the ‘Alids, who were disgruntled with the ‘Abbasid caliphate.19 These rebellions often mixed together with the trend toward Zoroastrianism revival. Although small in number and easy to pacify, these had enormous followings, and shared those sentiments. Cragg, p. 60. Ibid., p. 56. 14 The addition of an Islamic title was new in the history of the caliphate. According to M.A. Shaban, those titles contained “messianic implication[s]....to convince the Shi‘a that their demand [about the House of Prophet as the caliph] was being met.” M.A. Shaban, The ‘Abbâsid Revolution (Cambridge: Cambridge University Press, 1979), p. 166. 15 Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (New York: Cambridge University Press, 2009), p. 53. 16 Gutas, p. 34-35. 17 Hodgson, p. 280. 18 Philip K. Hitti, p. 294. 19 See M.A. Shaban, p. 163-168; Ira M. Lapidus, p. 64-66; G.E. Von Grunebaum, Classical Islam: A History 600-1258 (Chicago: Aldine Publishing Company, 1970), p. 81-82, 90. 12 13

439


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Thus, they could magnify other rebellions.20 Overall, the impetus for the two main strategies was to accommodate and to reconcile rival factions’ interests, both political and ideological, and to gain the allegiance of different factions, especially the Persian faction. 21 Specifically, the Persian factions consisted of, first of all, the Arab tribes that had moved to Khurasan and had merged with the local populations. Second, the Arabs and the Arameans who were Persianized already and had lived there even before the rise of Islam. Furthermore, there were the Persians who had converted to Islam. And finally, the Zoroastrian-Persians were the majority among the Persians at the time of al-Manshur.22 Concerning the ZoroastrianPersian group, it was natural for other group to embrace their culture, because Zoroastrianism was still very influential among the Persians, even under Muslim rule. The Zoroastrian influence, indeed, was embedded in the Persian culture which al-Manshur adopted, including for examples its astrology and astronomy. Still, this policy was connected to his decision to start the Greek translation into Arabic. 23 Unlike Hitti, who failed to see the relation of Persian culture to the beginning of the Greek translation era under al-Manshûr, Gutas shows how the movement was part of the effort to continue the Zoroastrian imperial ideology of the Sasanid Empire.24 First, Greek thought was not new to Islamic society. The majority of the population of the empire was culturally shaped by Greek culture even before Muslims had come to power. Greek thought extensively influenced the Umayyad caliph, because the caliphate tried to mimic the Byzantine dynasty in several ways, including the use of Greek as the official language.25 After coming of Muslim rule in these regions, many Christian places continued to study the Greek thought, since it had not been possible under the Byzantine Empire.26 This was the reason why many Christians played an important role in the Greek transmission of Greek thought by translation into Arabic.27 Thus, Gutas concludes that even if there had been a chance of Greek thought being translated during the Umayyad era, unfortunately, caliphate support was lacking, so Greek translation flourished only at the beginning of the ‘Abbasid era. This development can be attributed to ‘Abbasid imperial ideology and interests.28 So there was already fertile ground in the empire for the translation movement, and al-Manshur was clever enough to start and cultivate it for his own political purpose. Gutas, p. 50. Ibid., p. 28. 22 Ibid., p. 29. 23 Gutas, p. 33-35. 24 For further elaboration, see Ibid., p. 34-45. 25 Ibid., p. 17-19. 26 Ibid., p. 15-16; Goddard, p. 50. 27 Many of the translators, even the earliest ones, were Christians who were fluent in Greek and Arabic. For example, Timothy I who was one of the earliest, and Hunayn ibn-Ishâq who translated many works, Goddard, p. 52. 28 Gutas, p. 19. 20 21

440


Hans Abdiel Harmakaputra: Muslim-Christian Debates in the Early

The tradition of translations has long been cultivated in Zoroastrianism, because it holds a belief that all knowledge came from the Avesta.29 The late Sasanid literature has Greek ideas reputedly taken from the Persian, which had been conveyed by Alexander the Great in his conquest.30 Hence, we find the Zoroastrian thought that the beginning of the Greek translation movement in the al-Manshur era was an effort to return it to the “original” sources.31 Here, I am arrived at a different conclusion from Gutas who says the Greek translation movement marked a Zoroastrian revivalism in Arabic.32 Al-Manshur was a great politician who knew exactly that his policy must be to satisfy the Persian faction. Still, that was not the only reason for his stance; he needed to calculate the interest of the Muslims, too. His decision to translate Greek thought into Arabic language so make those ideas an integral part of Islamic society, helped place Islam above other traditions, including Zoroastrianism.

Understanding the Contexts, Recognizing the Differences The two interreligious debates in the era of al-Mahdi and al-Ma’mun were enforced by their own particular contexts, building on the political and cultural groundwork laid by al-Manshur. Moreover, they were juxtaposed with the Greek translation movement. The translation of Topic, the arduous opus of Aristotle, was completed under the instruction of al-Mahdi and became one of the most influential books in Greek literature. According to Gutas, al-Mahdi felt compelled to translate and use the book because of his political need: he had to engage opposing discourses from ideological opponents as they challenged current ‘Abbasid imperial ideology.33 To appreciate these circumstances, it is important to understand that imperial ideology from the previous ruler created an egalitarian Muslim society. It flourished in al-Mahdi’s time and caused two important phenomena. Firstly, plenty of non-Arab Muslims filled important positions in the caliphate’s regime and, secondly, Islam became a proselytizing religion which triggered massive religious conversions to Islam.34 Instead of bringing advantages, however, this situation also created varied oppositions to al-Mahdi’s regime. Thus, to begin with, according to al-Ahbari documents there are three heretical sects, i.e., Manichaeism, Bardesanism, and Marcionism. Those three threatened the imperial ideology, so al-Mahdi commanded the theologians to engage them in discourses.35 These religious turmoil arose from the adoption of Zoroastrian culture by al-Manshur, and it

Gutas, p. 44-45. Ibid., p. 36-40. 31 Ibid., p. 41. 32 Ibid., p. 45. 33 Gutas, p. 61-62. 34 Ibid., p. 63. 35 Ibid., p. 65. 29 30

441


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 was very dangerous development, because it could have led to a rebellion.36 Similarly, the increase in Muslim converts challenged Judaism and Christianity to hold their own positions. Thus, it was not surprising that the Christian apologetics literature grew in this era and onward, since they needed to response to this kind of challenging situation.37 In addition, for Christians of that time, the apologetics model of discourse was not new; they had used it to dispute on religious matters with the Chalcedonians, even in public debate. 38 Those difficult circumstances forced al-Mahdi to find a way to answer the critics, both from the camp of Persian revivalism and also from the perspectives of Jews and Christians, both of whom had more experience in debate than the Muslims. Soon, al-Mahdi chose to use the Topic’s method of dialetical discussion, called gadal.39 After he had learned it, alMahdi invited Timothy I to his palace to test al-Mahdi’s own capability at using the gadal.40 As soon as al-Mahdi saw Timothy I’s excellence in debate, he asked the latter to translate that book into Arabic so it could be disseminated more widely. 41 Timothy I, who was surprised by the caliph’s humility, accepted al-Mahdi’s request to translate the book. This series of events gave success to maintaining al-Mahdi’s reign. 42 Al-Ma’mun had a different political and cultural situation from that of al-Mahdi. He gained the supremacy of the ‘Abbasid after winning the civil war againts al-Amin, his sibling, who had the right to sit on the throne. Gutas lists several serious problems threatening al-Ma’mun. First of all, his legitimation crisis was even worse than al-Manshur’s. While al-Manshur was successful with his imperial policy, through adopting Persian popular culture and beginning the Greek translation movement, this strategy could not work for al-Ma’mun: it had exhausted its relevancy, because the populations had been absorbed into Islamic culture.43 Second, the imperial policy of openness to all ideologies through the Greek translation movement had a large impact on his regime, because it allowed much opposition to al-Ma’mun, especially from the Shi’i groups.44 These occurences pushed alMa’mun to affirm his authority via centralization. He also tried to mingle religious authority and political authority.45

Ibid., p. 66-67. I agree with Griffith, who says that the purpose of those apologetics was “to prevent conversion to Islam and to show that Christians could answer Muslim challenge to their belief, rather than to convert Muslims to Christianity.” See Griffith, “Faith and Reason in Christian Kalâm,” p. 6; Gutas, p. 66. 38 Ibid., p. 66-67. 39 Gutas, p. 62, 67. 40 Ibid., p. 67-68. 41 Ibid., p. 61. 42 Ibid., p. 69. 43 Ibid., p. 75-76. 44 Ibid., p. 79. 45 Gutas says that this tendency to hold religious and political authorities was descended 36 37

442


Hans Abdiel Harmakaputra: Muslim-Christian Debates in the Early

Al-Ma’mun’s ideology of centralization was built upon two pillars. The first pillar was Islam as the firm foundation of his reign. And the second was establishing his place as the champion of Islam and upholder of the greatest authority. To support the former pillar, al-Ma’mun took a military expedition into Byzantine’s regions to expand the Dar al-Islam. Then he used the Greek translation movement, which had been started by his predecessor, as an element of his anti-Byzantine campaign.46 His point was that the Muslims are superior to Christians (i.e., the Byzantines), because the Christians had rejected the wisdom of the Greeks, while the Muslims recovered it. Thus, if the Muslims had declined to embrace Greek thought, they would have been no better than the Christians. 47 Therefore, harsh criticism of Christianity from this era was not intended to apply to all the Christians, but was aimed at the Byzantine Empire only, and was just part of the imperial propaganda. In this case, the Greek translation movement once again became a tool to support the politics of the ‘Abbasid ruler. In order to maintain the latter pillar, al-Ma’mun imposed his authority on all political, military, fiscal, and religious matters. The reach of his influence included a single theological mode of thought, i.e., the Mu‘tazilah that using the rational intellect as the highest standard. He gathered a religious aristocracy (the majlis) around him for this purpose.48 Taking all of these factors into account, then the reason al-Ma’mun supported religious disputation, including the debates between Abu Qurra and religious scholars at his court is clear. Gutas concludes: The second objective [al-Ma’mun as the sole authority] could be achieved only by divesting the criteria for religious authority from the religious scholar who had reigned supreme until his day and by concentrating them in the person of the caliph who would be supported by an organic intellectual elite; this in turn could be effected only by making the caliph’s personal judgment in interpreting the religious texts, based on reason, the ultimate criterion. The caliph could arrive at a judgement, and convince others that it was the proper one, by means of debate and dialectic argumentation; these would be the tools in deciding religious questions and forming a judgement about them, and not the dogmatic statements of religious leaders based on transmitted authority. Hence, al-Ma½mun’s policies of encouraging debate and the popularity of dialectic... 49

Conclusion The motives behind the Muslim-Christian debates in the period of the early ‘Abbasid from Persian tradition for al-Ma’mûn, to some extent, was influenced by it when he was raised and governed in Khurasan. See Ibid., p. 80-81. 46 Gutas, p. 82. 47 Ibid., p. 83-95. 48 Ibid., p. 79-83. 49 Gutas, p. 82.

443


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 caliphs are closely intermingled with the contexts of politics, culture, ideology, and society, at those particular times. The forces leading to dialogue were not only religious. They were especially also closely connected to the Greek translation movement that made Greek thought available in the Arabic languange. Furthermore, anything sponsored by the caliphs always connected to their interest in maintaining their own authority. This is the similarity between al-Mahdi and al-Ma’mun in sponsoring the debates. Still, there are distinctive motives attached to those two debates, mirroring each particular context of each caliph. Through the debate between Timothy I and al-Mahdi, the caliph wanted to find the right tool to counter criticism from his ideological opponent, and thus avoid military rebellion. For this purpose, Al-Mahdi invited Timothy I to run a trial of the dialectic disputation method from the book of Topic. So the first challenged the second whose expertise in debate was famous. After their exchange, al-Mahdi asked Timothy I to translate the Topic so it could became a textbook for learning the dialectic method of disputation. At the time of al-Ma’mun, the situation of the ‘Abbasid caliphate had changed, so al-Ma’mun proposed new imperial ideologies that place himself in the sole of the central authority for all life aspects, including religious matters. As a result, the debate between Abu Qurra and the religious aristocrat at the court of al-Ma’mun can be understood as an act to affirm the policy of caliph’s centrality. This event especially was aimed to confirm alMa’mun policy imposing the Mu‘tazila theology in which reason is the highest measurement. All those types of religious debate were meant to improve the rationalist model of thinking. Putting all these answers from history together, can the Muslim-Christian discourse from the early ‘Abbasid era could help us to improve the Muslim-Christian relations today? In my opinion, the answer is ambiguous. On the one side, the motives behind the debates were not to improve Muslim-Christian relations at that time, but rather to maintain the caliphs’ authority. But, on the other side, we cannot deny the great influence the MuslimChristian discourse had on society at that time. For example, Sidney Griffith explains that Islamic ‘ilm al-kalam was born out of and shaped by these intellectual interactions with Christians at the time of the early ‘Abbasid dynasty.50 In the same way, the Christians also gained advantages in the development of doctrine and the inculturation of Christianity into an Islamic world.51 Finally, we cannot imagine our world’s civilitation today without the Greek translation movement, which made possible many contributions from people of diverse religious backgrounds, i.e., Christians, Jews, Muslims, Zoroastrians, under the patronage of the early ‘Abbasid caliphs.

Griffith, “Faith and Reason in Christian Kalâm,” p. 2. Ibid., p. 42.

50 51

444


Hans Abdiel Harmakaputra: Muslim-Christian Debates in the Early

References Cragg, Kenneth. The Arab Christian: a History in the Middle East. Louisville, Kentucky: Westminster/John Knox Press, 1991. Goddard, Hugh. A History of Christian-Muslim Relations. Chicago: New Amsterdam Books, 2000. Griffith, Sidney H. The Church in the Shadow of the Mosque: Christians and Muslims in the World of Islam. Princeton, Oxford: Princeton University Press, 2008. Griffith, Sidney H. “The Monk in the Emir’s Majlis: Reflections on a Popular Genre of Christian Literary Apologetics in Arabic in the Early Islamic Period.” In The Majlis: Interreligious Encounters in Medieval Islam, edited by H. Lazarus-Yafeh, et al., 13-65. Wiesbaden: Harrassowitz, 1999. Griffith, Sidney H. “Faith and Reason in Christian Kalâm: Theodore Abû Qurrah on Discerning the True Religion.” In Christian Arabic Apologetics During the Abbasid Period (7501258), edited by Samir Khalil Samir, Jørgen S. Nielsen, 1-43. Leiden, New York, Köln: E.J. Brill, 1994. Gutas, Dimitri. Greek Thought, Arabic Culture The Graeco-Arabic Translation Movement in Baghdad and Early &Rsquo;Abbâsid Society (2nd - 4th/8th - 10th Centuries). London: Routledge, 1999. Hitti, Philip K. History of the Arabs: From the Earliest Times to the Present. New York: ST. Martin’s Press, 1970. Hodgson, Marshal G. S. The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Volume I The Classical Age of Islam. Chicago, London: The University of Chicago Press, 1974. Lapidus, Ira M. A History of Islamic Societies. New York: Cambridge University Press, 2009. Mingana, Alphonse, trans. “Timothy I, Apology for Christianity.” The Tertullian Project. http://www.tertullian.org/fathers/timothy_i_apology_01_text.htm (accessed November 16, 2011). Shaban, M.A. The ‘Abbasid Revolution. Cambridge: Cambridge University Press, 1979. Swanson, Mark N. “The Crucifixion in Early Christian-Muslim Controversy.” In The Encounter of Eastern Christianity with Early Islam, edited by Emmanouela Grypeou, Mark N. Swanson, David Thomas, 237-256. Leiden, Boston: Brill, 2006. Von Grunebaum, G.E. Classical Islam: A History 600-1258. Chicago: Aldine Publishing Company, 1970. Waardenburg, Jacques. “The Medieval Period: 650-1500.” In Muslim Perceptions of Other Religions: A Historical Survey, edited by Jacques Waardenburg, 18-69. New York, Oxford: Oxford University Press, 1999.

445


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

GERAKAN ISLAMIS DI SUMATERA BARAT PASCA ORDE BARU Zainal Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Imam Bonjol Jl. Prof. M. Yunus Lubuk Lintah, Padang, Sumatera Barat, 25153 e-mail: zainaltkmudo@yahoo.com

Abstrak: Gerakan Islamisme Radikalisme dalam Islam terlahir tidak hanya karena faktor pemahaman keagamaan yang literal terhadap ayat-ayat al-Qur’an atau faktor derivasi politik, sosial dan ekonomi saja, akan tetapi juga karena faktor bacaan yang kurang tepat terhadap sejarah Islam yang dikombinasikan dengan idealisasi berlebihan terhadap Islam pada masa tertentu. Tulisan ini mengungkap bagaimana faktor sejarah gerakan lokal berkontribusi pada memunculkan radikalisme. Kajian ini menggunakan pendekatan historis dengan memahami kronologis dan proses munculnya radikalisme Islam pasca Orde Baru di Sumatera Barat. Penulis berargumen bahwa kemunculan radikalisme Islam semakin terbuka, terlebih ketika dihadapkan pada keinginan pengulangan periode sejarah kejayaan Islam secara eksklusif, tanpa disertai kajian yang komprehensif tentang Islam dan masyarakat Muslim. Penulis juga menemukan bahwa gerakan radikalisme Islam di Sumatera Barat memiliki ketersambungan historis dengan gerakan Paderi abad ke-19. Abstract: Islamist Movement in the Post-New Order Era West Sumatra. Islamist movement or radicalism emerges not only due to the literal understanding of verses of the Qur’an nor is it political, social and economic factors but it rather due to inappropriate reading of Islamic history combined with an excessive idealization of Islam in a given time. This writing tries to unveil how historical factor of local movement had contributed to the emergence of radicalism. This study uses a historical approach, by understanding the chronology and the process of the emergence of Islamic radicalism in the post-New Order West Sumatra. The writer argues that the emergence of Islamic radicalism is open even wider when it generated with the desire to repeat the period of Islamic glory without a comprehensive assessment of Islam and Muslim society. He also argues that Islamic radicalism movement in West Sumatra has a close historical bond with that of the 19th century Paderi.

Kata Kunci: Islamisme, pergerakan Islam, radikal, Sumatera Barat

446


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

Pendahuluan Kemunculan gerakan Islam radikal di Indonesia tidak hanya fenomena sosial, politik dan teologi, tetapi juga merupakan potret kegagalan memahami dan memaknai sejarah dengan baik. Pernyataan ini senada dengan pendapat Khaled Abou El Fadl,1 dan Azyumardi Azra.2 Dalam konteks ini, tampaknya kelompok Islam radikal tidak berupaya menafsirkan sejarah sesuai dengan konteks zaman yang mengitarinya. Malah sebaliknya, mereka berkeinginan untuk mengembalikan sejarah sama seperti dahulunya, tanpa memberikan kritik konstruktif. Kekakuan memahami sejarah juga ikut andil memunculkan gerakan radikal. Menurut Robert Wuthnow upaya menerapkan sejarah yang telah berlalu apa adanya dengan zaman setelahnya disebut penemuan kembali atau rediscovery.3 Semenjak Islam radikal memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim Soeharto (Orde Baru) yang dikenal otoriter,4 semangat menampilkan wajah Islam bercorak radikal semakin menguat, sehingga dengan itu kondisi sosial-keagamaan masyarakat mulai digeser. Hal ini ditandai dengan kemunculan berbagai organisasi masyarakat (selanjutnya disingkat ormas) Islam, baik yang berskala transnasional, nasional, maupun yang berskala lokal. Mereka gigih menyuarakan penampilan Islam secara ketat sama seperti pada masa Nabi. Di samping itu, kehadiran sejumlah ormas Islam baru tersebut, tampil dengan agresif, vokal dan mampu menyaingi ormas Islam yang telah lahir sebelumnya, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Persatuan Islam (Persis), Washliyah, dan organisasi Islam lainnya, sehingga menurut Abdurrahman Wahid (GusDur), ormas Islam arus-utama yang selama ini telah eksis mulai “tenggelam”. Ormas Islam baru yang hadir belakangan ini, pada umumnya menguatkan ideologi religious extremism. Mereka cenderung mendominasi perubahan dalam kehidupan sosial, agama, dan politik di Indonesia, seperti meluasnya aspirasi formalisasi syariat Islam, dan kuatnya keinginan mendirikan Negara Islam. Di samping itu, ekspresi Islam juga menunjukkan perubahan wajah, semula bersifat ramah dan toleran kemudian berubah menjadi menakutkan dan militan.5 Kenyataan ini terbukti dengan sejumlah peristiwa yang menimpa Indonesia, seperti pemboman di Bali, di Solo, di Jakarta, dan tempat lainnya. Peristiwa ini, menjadikan

Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extrimism (San Francisco: Harper Collins Publishers, 2005), h. 131. 2 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 185. 3 Robert Wuthnow, Rediscovering the Sacred: Perspective on Religion in Contemporary Society (Eerdmans: Michigan, 1992), h. 1-5. 4 Mona Abaza, “Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al-Azhar”, Islamika, No. JanuariMaret (1994), h. 37-38. 5 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Mencari Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 260. 1

447


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 penilaian yang tidak “sedap” terhadap Islam, 6 sehingga menurut Deliar Noer7 semakin banyak istilah yang dilontarkan, seperti istilah Islam militan, Islam radikal, Islam fundamental, Islam liberal, Islam ekstrem, Islam politik (kebalikan Islam kultural), Islam eksklusif, Islam substanstif, dan banyak lagi istilah lain. 8 Sementara itu, ormas Islam yang lahir setelah Orde Baru sering mengekspresikan Islam, seperti kriteria radikal yang akan dikemukakan di bawah ini. Kemudian pada saat yang sama, ormas Islam yang telah disebutkan di atas menunjukkan perkembangan yang cukup pesat di beberapa wilayah Indonesia, termasuk di Sumatera Barat. Tentu dengan sendirinya akan memunculkan permasalahan di tengah kehidupan masyarakat yang tidak akrab atau tidak lazim menyaksikan ekspresi Islam seperti demikian. Menurut Ted Robert Gurr, semua bentuk radikal adalah ancaman yang mesti ditakuti termasuk radikalisasi kelompok-kelompok komunal Muslim.9 Ormas Islam berhaluan keras ini, juga berkembang di Sumatera Barat dengan segala pemikiran dan gerakannya. Sebagai wilayah yang menganut falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”, sejatinya kelompok Muslim Sumatera Barat cukup selektif menerima dan mengembangkan paham/pemikiran dan gerakan yang bertolak belakang dengan Islam arus-utama di sana. Tetapi kenyataannya ormas Islam baru ini, cukup leluasa menumbuhkan pemikiran dan gerakan Islam yang berhaluan radikal.

Awal Gerakan Islam Radikal di Indonesia Dalam teori yang dikenal dengan istilah “pengulangan sejarah” cukup mendukung kemunculan radikalisme Islam di Sumatera Barat, karena ia dipengaruhi oleh peristiwa radikal sebelumnya. Dalam catatan sejarah, Sumatera Barat pernah mengalami radikalisasi agama pada tempo dulu. Pada konteks ini, gerakan radikalisme Islam di Sumatera Barat bukan sebuah fenomena yang baru, melainkan ia pernah tumbuh dan berkembang pada abad ke-19 yang dikomandoi oleh gerakan Paderi,gerakan awal radikalisme Islam di Indonesia.10 Meskipun kemunculan radikalisme Islam di Sumatera Barat setelah runtuhnya rezim Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 270. Deliar Noer sebuah kata pengantar dalam Khamami Zada, Islam Radikal Pergulatan OrmasOrmas Islam Garis Keras di Indonesia (Jakarta: Teraju, 2002), h. xiii. 8 Islam militan adalah label yang diberikan pada kelompok Muslim yang memiliki semangat tinggi dalam beragama. Informasi lebih lanjut dapat dilihat G.H. Jansen, Militant Islam, terj. Armahedi Mahzar (Bandung: Pustaka, 1980), h. 47. 9 Ted Robert Gurr, “Minorities, Nationalists, And Islamists: Managing Communal Conflict in The Twenty-First Century, dalam Leashing the Dogs of War: Conflict Management in a Divided World (USA: USIP Press, 2008), h. 136. 10 Informasi lebih jelas lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), xviii, untuk mendapatkan perbandingan lihat juga Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784-1847 (Depok: Komunitas Bambu, 2008), h. 204. 6 7

448


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

Orbe Baru adalah momentum kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat seperti yang digerakan oleh sejumlah ormas “Islam Baru”, 11 namun kuat dugaan bahwa ini masih ada terkait dengan gerakan Paderi dari segi pemikiran dan gerakan.12 Artinya ada keinginan mereka untuk mengulangi kembali gerakan Paderi pada saat sekarang. Kehadiran sejumlah ormas Islam baru ini membawa ciri-ciri khusus yang berbeda dari ormas Islam yang telah ada, seperti dari segi penampilan mereka memakai baju koko putih yang dipasang dengan celana hitam di atas mata kaki, bersorban atau berpeci, dan memelihara jenggot.13 Kemudian dari strategi menyalurkan tuntutan seperti pemberlakuan syariat Islam, mendirikan khilafah Islamiyah dan pelarangan perbuatan munkar. Mereka tidak jarang melakukan aksi-aksi kekerasan, bahkan kadangkala mereka tidak mengenal kompromi. Tampaknya penggunaan kekerasan sudah menjadi karakteristik gerakan kelompok ini, sehingga mereka sulit terlepas dari sebutan “radikal”, “militan”, atau bahkan “ekstrem”.14 Pada konteks ini mereka memiliki banyak kemiripan dengan yang telah ditampilkan kelompok Paderi pada abad ke-19 dulu, baik dari segi simbol, pemikiran, dan gerakan. Pada saat yang sama dalam skala global, sorotan terhadap radikalisme Islam di Indonesia termasuk Sumatera Barat juga menjadi perbincangan dunia, seperti yang diungkapkan oleh Lee Kuan Yew, menteri senior Singapura, bahwa radikalisme Islam di Indonesia merupakan sel-sel teroris yang mempunyai hubungan dengan terorisme internasional. Tentu pernyataan ini telah mendiskreditkan gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Demikian juga halnya dengan perlakuan pemerintah Filipina yang menangkap aktivis Islam Indonesia sewaktu berkunjung ke sana, seperti Tamsil Linrung (tokoh ICMI) dan Agus Dwi Karna (Ketua Jundullah).15 Kuat dugaan asumsi dan perlakuan demikian dikaitkan dengan sejumlah peristiwa pemboman yang terjadi di Indonesia seperti di Bali pada 12 Oktober 2002 yang beriringan dengan peristiwa pemboman di gedung WTC Amerika Serikat pada 11 September 2001. Meskipun ada beberapa pandangan menyebutkan bahwa kondisi seperti disebut di atas dipengaruhi oleh realitas politik domestik dan internasional yang telah menyudutkan Islam, yang pada akhirnya menimbulkan perlawanan dengan cara radikal melalui gagasan Kelompok “Islam Baru” dalam konteks ini adalah Lasykar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, Hizbut Tahrir Indonesia, Front Pembela Islam, Salafi, Kelompok-kelompok Tarbiyah (yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera). Meminjam istilah Imdadun Rahmat, kelompok Islam Baru ini disebut “aktor baru” yang memiliki agenda di luar arus-utama kelompok Islam sebelumnya. Lihat M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke-Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2005), h. x. 12 Michael Laffan, The Makings of Indonesian Islam: Orientalisme and the Narration of a Sufi Past ( New Jersey: Princeton University Press, 2011), h. 44. 13 Jeffrey Hadler, Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau (Jakarta: Freedom Institute, 2008), h. 35. 14 Jamhari & Jajang Jahroni, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), h. v-vi. 15 Endang Turmudi, et al., Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), h. 4. 11

449


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 kebangkitan Islam, namun tetap ada pengaruh akar sejarah radikalisme Islam yang pernah dialami Indonesia, khusus Sumatera Barat. Dalam konteks Sumatera Barat masalah radikalisme Islam sudah semakin membesar karena jumlah pendukungnya juga bertambah. Hal ini ditunjukkan oleh semakin tingginya partisipasi masyarakat mengikuti kegiatan kelompok Hizbut Tahrir,16 dan Komite Penegak Syariat Islam.17 Mencermati radikalisme Islam di Sumatera Barat,18 terlihat pada fenomena yang muncul belakangan ini, yaitu tampil Hizbut Tahrir, Salafi, Front Pembela Islam (FPI), Komite Penegak Syariat Islam di Sumatera Barat untuk mengembangkan ideologi religious extremism. Di samping itu, radikalisme Islam juga ditunjukkan oleh sejumlah peristiwa yang tidak lazim terjadi sebelumnya, melakukan tindakan kekerasan pada beberapa tempat yang ditengarai sarang maksiat, 19 serta penolakan secara keras terhadap M. Atho Mudzhar sebagai Pelaksana Tugas Rektor IAIN Imam Bonjol Padang tahun akhir 2006 karena dianggap liberal, dan lebih mengkhawatirkan lagi muncul isu pemboman “Jam Gadang” di Bukittinggi serta tertangkapnya Beni Asri di Kota Solok sebagai salah seorang pelaku bom bunuh diri pada 15 April 2011 di Mesjid Polres Cirebon.20 Lebih nyata lagi tertembaknya Ediar Amin (putra Kampung Pauh, V Koto Kampung Dalam, PadangPariaman) sebagai salah seorang terduga terorisme oleh Densus 88 Polri pada saat pergantian tahun 2014 di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten.21 Fakta ini cukup menguatkan bahwa radikalisme Islam mulai bangkit di Sumatera Barat, seperti yang dikemukakan oleh Karen Armstrong, bahwa radikalisme agama itu bisa terjadi di mana pun dan oleh agama apa pun, hanya saja kadar dan bentuknya yang berbeda.22 Radikalisme sesungguhnya tidak merupakan masalah, sejauh ia hanya dalam Hizbut Tahrir Sumatera Barat mengadakan kegiatan Tabligh Akbar yang diikuti oleh 4.000 jama’ah pada tanggal 26 Mei 2013 di Mesjid Raya Sumatera Barat. Pada kegiatan ini banyak mendapat respons positif masyarakat. Dengan motto kegiatan mereka adalah “pengokohan kembali pendirian khilafah Islamiyah”. Tentu dengan gejala seperti ini, semakin menunjukkan bahwa paham radikalisme mendapat sambutan oleh masyarakat Sumatera Barat. 17 Pada tanggal 18 April 2013, Komite Penegak Syariat Islam (KPSI) berhasil mendorong Pemko Padang merazia, menangkap, dan membubarkan kegiatan penyakit masyarakat, seperti karaoke di kafe pinggir pantai Padang dengan cara yang radikal. 18 Terungkap ketika Fakultas Dakwah IAIN Imam Bonjol Padang menyelenggarakan Seminar Nasional pada tanggal 3 November 2012 di Padang dengan tema “Dakwah dan Radikalisme”. Dikutip dari Surat Kabar Harian Padang Ekspres, Sabtu, 3 November 2012. 19 Seperti sejumlah pinggiran pantai Kota Padang, Pantai Caroline di Bungus, dan tempat lainnya atau beberapa kafe yang dianggap sering digunakan tempat minum-minuman memabukkan, dan perbuatan melanggar lainnya. 20 Beni Asri bersama empat rekannya, Nanang Irawan, Pino Damayanto, Heru Komaruddin, dan Yadi Supriyadi, juga terlibat sebagai perakit bom pada kasus bom bunuh diri di Masjid Az-Zikra, Markas Polres Cirebon Kota, Jawa Barat, dan sebagai pengeboman di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunton, Solo, pada 25 September 2011. http://www.tempo.co/read/news/2011/10/21/ 063362677/Inilah-yang-Ditangkap-dalam-Kasus-Bom-Cirebon. Diakses tanggal tgl 15 November 2012. 21 Koran Harian Umum Singgalang, Senin, 6 Januari 2014, 1 & 11. 22 Lihat Karen Armstrong, the Buttle for God, Terjemahan. Satrio Wahono dan Abdullah Ali (Bandung: Mizan, 2001), h. xiii. Bandingkan dengan William Shepard, “Fundamentalism Christian and Islamic,” Religion 17 (1987), h. 355-378. 16

450


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

tataran pemikiran (ideologi) para penganutnya. Tetapi ketika radikalisme pemikiran bergeser menjadi gerakan-gerakan radikal maka ia mulai menimbulkan masalah, terutama ketika harapan mereka untuk merealisasikan pemikiran tersebut terhambat oleh kekuatan yang ada. Dalam situasi seperti demikian radikalisme cenderung akan diiringi oleh tindak kekerasan, sehingga fenomena ini berpotensi menimbulkan konflik terbuka atau bahkan kekerasan antara kedua kelompok yang berhadapan.23

Perbedaan Pandangan dalam Mencermati Islam Radikal Perbincangan tentang radikalisme Islam di Sumatera Barat pasca Orde Baru masih termasuk kajian yang langka bahkan hampir tidak ditemukan fokus penelitian tentang radikalisme Islam di Sumatera Barat. Penyebabnya cukup banyak, namun yang penting dikemukakan di sini adalah ada pendapat yang menyatakan bahwa kadar radikalisme Islam di Sumatera Barat belum sederas radikalisme Islam di Jakarta dan Jawa, sehingga ditengarai pembahasan tentang radikalisme Islam di Sumatera Barat tidak begitu menarik. Nampaknya pendapat ini lupa terhadap pengalaman pahit yang pernah menimpa Sumatera Barat dengan berbagai peristiwa kekerasan, seperti peristiwa gerakan Paderi pada abad ke-19, peristiwa perang Kamang pada awal abad ke-20, dan PRRI di penghujung abad ke20. Peristiwa tersebut memang tidak semuanya yang murni bermotif agama, namun paling tidak, ada kecenderungan menjadikan agama sebagai penguat kejadiannya, sehingga cukup berpotensi Sumatera Barat sebagai basis Islam radikal setelah Jakarta dan Jawa. Oleh karena itu dapat dimaklumi belum banyak penelitian yang ditemukan menyorot tentang radikalisme Islam di Sumatera Barat. Hal ini termasuk salah satu faktor yang mendorong peneliti menjatuhkan pilihan pada tema ini. Sampai sekarang, penggunaan kata radikal terhadap Islam masih dalam wilayah perdebatan, karena dengan kata radikal terkesan mengaburkan makna dasar Islam. Secara generik “Islam” berarti “tunduk”, “damai”, “keselamatan”, dan seterusnya. Sedangkan radikal dikonotasikan kebalikan dari kata Islam, seperti yang diungkap oleh Amien Rais radikal adalah suatu sikap atau posisi dengan menggunakan ideologi atas nama agama untuk melakukan sebuah perubahan kepada sesuatu yang baru dengan cara kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang telah ada.24 Pada konteks ini makna normatif Islam seakan terkikis oleh perilaku penganutnya yang menyimpang. Pelabelan Islam dengan kata radikal mendatangkan pro dan kontra,25 baik dari kalangan Islam maupun dari luar kalangan Islam, sehingga terdapat banyak istilah dalam penyebutan Endang Turmudi, et al., Islam dan Radikalisme di Indonesia, h. 4. Lihat Amien Rais, Cakrawala Islam (Bandung: Mizan, 1995), h. 132. 25 Karena umumnya kata yang senada dengan radikal ini seperti “terorisme”, “fundamentalisme”, “militanisme” dan “ektremisme” pada umumnya dipopulerkan oleh para pakar sosial-politik Barat, sehingga pengaruh subjekivitasnya sulit terlepas. Lihat Riza Sihbudi, “Dimensi Internasional Terorisme”, makalah (Pamulang 6 Desember 2005), h. 1-2. 23 24

451


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Islam pada konteks radikal ini. Istilah yang dimunculkan para ahli dalam menyorot ekspresi Islam berhaluan radikal, paling tidak terdapat empat nama, tetapi beberapa istilah itu masih memiliki kemiripan makna dengan radikalisme dan terorisme. Pertama adalah istilah fundamentalisme. Istilah ini digunakan Martin Riesebrodt dalam tulisannya “Fundamentalism and the Resurgence of Religion”26 dalam menyorot sikap dan perilaku kelompok masyarakat yang menggunakan tindak kekerasan dalam menyalurkan pemikiran dan aspirasinya, tanpa mempertimbangkan aspek realitas yang mengitarinya. Artinya kelompok masyarakat seperti ini, hanya menggunakan teks agama apa adanya tanpa dibarengi dengan penafsiran yang logis dalam menjawab permasalahan yang terjadi. Demikian juga halnya Olivier Roy27 dalam karyanya The Failure of Political Islam juga menggunakan kata fundamentalisme untuk mencermati Islam berhaluan keras. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ernest Gellner28 dan Samuel P. Huntington29 yang juga menggunakan istilah fundamentalisme dalam melabeli kelompok yang bergaris keras. Sementara itu, Bassam Tibi yang juga menggunakan istilah fundamentalisme, dalam hal ini ia menyebut istilah fundamentalisme Islam dengan Usuliyyah al-Islamiyyah. Di dunia Arab istilah fundamentalisme lebih dikenal dengan nama “al-Islam al-Siyasi”, karena kelompok Muslim di sana memahami Islam bukan sebagai keimanan atau sistem etika, tetapi lebih sebagai ideologi politik.30 Dalam tradisi pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan salah satu gerakan yang berusaha untuk mengembalikan seluruh perilaku dan tatanan kehidupan umat Islam kepada Al-Qur’an dan Hadis. 31 Pemakaian kata fundamentalisme dalam Islam tidak lazim digunakan, karena terkesan menyamakan permasalahan yang dialami Islam dengan Kristen. Pemakaian kata fundamentalisme ini lebih melekat pada kalangan Kristen dibandingkan dengan Islam, sebab pertama kali kata ini dipakai untuk melabeli kelompok Kristen yang ortodoks atau menolak segala bentuk aktivitas rasionalitas. Kemudian istilah itu dipasangkan kepada Islam oleh para pengamat dalam menganalisis dinamika Islam kontemporer. Pada umumnya mereka yang memberikan istilah demikian kepada Islam banyak berasal dari kalangan Kristen. Dalam pandangan Karen Armstrong, gerakan fundamentalisme tidak hanya terdapat pada agama Islam dan Kristen saja, tetapi fundamentalisme juga ada pada agama Budha,

Martin Riesebrodt, “Fundamentalism and the Resurgence of Religion”, Jestor Numen. Vol. 47, Fase 3 (2000), h. 266-279. 27 Olivier Roy, The Failure of Political Islam (London: President and Fellows of Havard, 1994), h. 62. 28 Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University, 1984), 49-51. 29 Samuel P. Huntington, “The Clash of Civilization?”, Affair, Vol. 72, No. 3 (Summer 1993, 1996), h. 23-25. 30 Bassam Tibi, “Islamisme, Demokrasi, and the Clash of Civilization”, dalam Chaider S. Bamualim (ed.), Islam & The West (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN, 2003), h. 17. 31 William Montgmery Watt, Islamic Fundamentalism and Modernity (London: T.J. Press (Padstow) Ltd, 1998), h. 2. 26

452


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

Hindu dan bahkan Kong Hu Cu. Pada intinya semua agama yang telah disebutkan di atas sama-sama menolak butir-butir nilai budaya liberal, saling berperang atas nama agama (Tuhan) dan berusaha membawa hal-hal yang sakral ke dalam urusan politik dan negara.32 John Obert Voll sependapat dengan Muhammad Sa‘id al-Ashmawi,33 dalam hal pengelompokan fundamentalisme, hanya saja redaksinya yang berbeda, al-Ashmawi menyebutnya dengan aktivis political fundamentalism dan rational spritualis fundamentalism.34 Sedangkan John Obert Voll menamakannya dengan fundamentalism tradisionalism dan fundamentalism radikalism. Sesungguhnya kedua pendapat ini sama menyatakan, pertama: bahwa fundamentalisme ada yang terinfiltrasi kepada kelompok yang memperjuangkan Islam sebagai kekuatan politik, contohnya adalah kelompok Islam yang merujuk pada al-Khawarij yang pada saat itu menghendaki hukum sebagai landasan politik. Kedua: fundamentalisme yang terinfiltrasi oleh keinginan kembali kepada Al-Qur’an dan tradisi sebagaimana yang dipraktikkan oleh generasi Muslim pertama. Kedua, adalah istilah radikalisme. Beberapa tokoh berpendapat bahwa radikal adalah suatu gerakan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk mengganti tatanan yang sudah ada dengan keyakinan yang mereka anggap benar (menarik-narik ajaran agama) dengan sikap emosional yang menjurus keras dan anarkis. Lebih tegas lagi diungkapkan bahwa radikalisme ini dapat dilihat pada dua lapis; pertama, kekerasan dan manipulasi untuk membenarkan radikalisme dengan mengutip doktrin-doktrin Islam tertentu, sehingga logis kekerasan dapat muncul karena interpretasi secara literal terhadap Islam. Kedua, penggunaan kekerasan melakukan perubahan sudah dapat dipastikan bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam.35 Radikalisme Islam, secara bahasa, radikalisme berawal dari kata radikal yang berasal dari kata “radic” mempunyai arti perubahan secara mendasar dan prinsip. Dapat dipahami radikal adalah sebuah tingkah laku yang menjurus keras, radikalis adalah orang yang melakukan tindak kekerasan, sedangkan radikalisme adalah sifatnya yang terlahir dari radikal. Menurut Sartono Kartodirjo seorang sejarawan menyebutkan pemakaian kata “radikal” sering digunakan sebagai indikator sikap penolakan total terhadap seluruh kondisi yang ada dengan menggunakan simbol agama. 36 Karen Armstrong, The Battle for God (New York: Knopf, 2000), h. 9-12. Edisi terjemahnya lihat Karen Armstrong, Berperang Demi Tuhan, terj. Sutrisno Wahono dkk (Jakarta Bandung: Kerjasama Serambi dengan Mizan, 2001), h. x. 33 Muhammad Sa‘id al-Ashmawi, Ushul al-Syari’ah, cet. Ke-4 (Kairo: al-Maktabah Madbuli al-Shagir, 1996), h. 105. 34 Penjelasannya dapat dilihat dalam Muhammad Sa‘id al-Ashmawi, Islam and the Political Orderi (Washington, DC: CRVP, 1994), h. 8. 35 Azyumardi Azra, “Revisitasi Islam Politik dan Islam Kultural Indonesia” dalam Jurnal Indo-Islamika, Vol. 1, Nomor 2, (2012), h. 240. 36 Dapat ditinjau dalam beberapa karyanya seperti: Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java (Singapore: Oxford University Press, 1973). Lihat juga karyanya yang lain, Ratu Adil (Jakarta: Sinar Harapan, 1992). 32

453


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Menurut John L. Esposito ideologi Islam radikal atau dengan istilah lainnya “Islam Revivalis” memiliki kecenderungan sebagai berikut: pertama, kelompok-kelompok ini berpendapat bahwa Islam adalah sebuah pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total, sehingga Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik, hukum dan masyarakat, kedua, mereka sering menganggap bahwa ideologi masyarakat Barat yang sekuler dan cenderung materialistis harus ditolak. Masyarakat Muslim tidak mampu membangun masyarakat beragama ideal yang sesuai jalan lurus, malah mengikuti cara pandang Barat yang sekuler dan materialistis. Ketiga, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk kembali kepada Islam sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Perubahan harus merujuk Al-Qur’an dan Hadis sepenuhnya. Keempat, peradaban dan peraturan yang dari Barat harus ditolak karena ideologinya jauh menyimpang dari Islam dan sebagai gantinya masyarakat Muslim harus menegakkan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang diterima. Kelima, terlalu mengagungkan kejayaan Islam di masa lalu, dan keenam, mereka berkeyakinan bahwa upaya-upaya Islamisasi pada masyarakat Muslim tidak akan berhasil tanpa menegakkan aspek perorganisasian atau pun pembentukan sebuah kelompok yang kuat.37 Olivier Roy menambahkan akar radikalisme didorong oleh tiga hal: pertama, kesombongan intelektual dengan memutlakkan kebenaran pandangan sendiri (absolutisme), kedua, kesombongan sosial berupa sikap tertutup dan tidak mau berdialog dengan pihak lain (eksklusivisme),38 dan ketiga, kesombongan emosional berupa sikap yang fanatik pada pandangan sendiri (fanatisme). Kenyataan yang ditangkap bahwa kekerasan yang menjurus radikal adalah ekspresi kelompok Islam eksklusivisme yang tidak mampu menerima perbedaan yang ada. Hal ini cukup beralasan mereka disebut radikal apabila berkaca pada kejadian yang mengatasnamakan Islam seperti kasus-kasus kekerasan, padahal Islam tidak sempit seperti yang mereka pahami.39 Berpijak pada penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa sesungguhnya penyebutan Islam dengan istilah “Islam radikal” tidak lain merupakan sebuah kesatuan dari berbagai fenomena sosial dan keagamaan kelompok-kelompok Muslim yang sedemikian kompleks. Pada tataran ini, pemakaian kata radikal, seperti yang dikemukakan Jamhari hanya ditujukan sebuah titik tolak (point of departure) ketimbang sebagai sebuah penjulukan, pelabelan yang mapan dan tidak berubah terhadap fenomena tersebut. Menurut Jamhari penyebutan

John L. Esposito, The Islamic Theart Myth or Reality? (Oxford: Oxford University, 1992),

37

h. 98.

Menurut Woodward kecenderungan eksklusif ini sering menjadi alasan membela dan menjaga kesucian agama (ideologi tertutup dan eksklusif) menyebabkan mereka kehilangan akal sehat untuk berpikir lebih jernih, sehingga tindakan terror dan sejenisnya dianggap jalan yang tepat. Lihat Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia. Terj. Ihsan Ali Fauzi (Bandung: Mizan, 1999), h. 31. 39 Olivier Roy, The Failure of Political Islam, trans. Carol Volk (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1994), h. 12 & 75. 38

454


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

label demikian tidak sepenuhnya menampilkan keberagaman gerakan-gerakan tersebut, di samping ia hanya bagian diskursus kehidupan sosial politik dan keagamaan kontemporer.40 Ketiga, istilah berikutnya adalah “militan”, seperti yang dikemukakan oleh G. H. Jansen dalam buku Militant Islam,41 begitu juga dengan Adam Schwarz melalui karyanya A Nation in Waiting: Indonesia Search for Stability,42 ketika mencermati gerakan Islam yang diekspresikan oleh organisasi DDII dan KISDI. Argumen yang dikemukakan oleh masing-masing ini adalah: bahwa kedua organisasi itu sangat kaku dalam menafsirkan hukum, bersikap anti-Barat beserta bagiannya, dan merasa tidak senang terhadap etnis China, dan umat Kristen. Selain Jansen, Lee Kuan Yew juga menggunakan militan, ketika mengamati kelompok “ekstrem”.43 Sementara itu Yusuf Qardawi termasuk cukup hati-hati dalam menyebut kelompok Muslim yang peduli terhadap agamanya, sebagai bentuk sikap ekstrem. Ia memberikan analisis, bahwa seseorang yang kuat pendidikan agamanya dan dibesarkan dalam lingkungan yang kuat berpegang pada agama, niscaya perasaannya menjadi amat peka setiap kali melihat pelanggaran atau pengabaian yang bagaimanapun terhadap agama. Ia akan merasa heran bila melihat seorang Muslim tidak pernah mendirikan shalat wajib, shalat malam atau puasa sunnah di siang harinya. Oleh sebab itu menurut Qaradawi tidak cocok label ekstrem dilekatkan terhadap Muslim seperti ini.44 Dalam hal ini, Yusuf Qardawi menjelaskan ciri-ciri ekstrem sebagai berikut: pertama, fanatik pada suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain. Sikap seperti ini merupakan cerminan dari fanatisme yang keterlaluan sehingga tidak ada ruang kompromi, yang menyebabkan tidak ada yang benar kecuali dirinya sendiri. Fanatisme seperti itu sangat dicela, yang hanya mengakui dirinya sendiri berada pada pihak yang benar, sementara menafikan dan menolak orang lain. Kedua, mewajibkan diri sendiri dan orang lain pada sesuatu yang tidak diwajibkan Allah. Kelompok ini adalah orang yang memiliki paham memberatkan diri sendiri dan diri orang di tengah ketidakmampuannya mengerjakan sesuatu itu, padahal di dalamnya telah diberikan kemudahan untuk mengerjakannya. Ketiga, memperberat yang tidak pada tempatnya. Maksudnya di sini adalah meletakkan sesuatu pada proporsi yang tidak sesuai dengan tempat dan zamannya; seperti melakukannya

Jamhari dan Jajang Jahroni (Penyunting), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 2. 41 G.H. Jansen, Militant Islam. Terj. Armahedi Mahzar (Bandung: Pustaka, 1980), 47. Bandingkan dengan Nazih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London and New York: Routledge, 1993). 42 Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia Search for Stability (Singapore: Talisman, 2008). 43 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996). Bandingkan dengan Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia Pengalaman Islam, h. 93. 44 Yusuf Qardawi, Membedah Islam “Ekstrem,” terj. Alwi A.M, cet. 9 (Bandung: Mizan, 2001), h. 23. 40

455


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 di suatu negara yang bukan Islam dan bukan negara asal Islam; atau atas kaum yang baru memeluk agama Islam atau orang yang baru bertaubat. Keempat, sikap kasar dan keras. Dalam hal ini tercermin dalam perkataan dalam berkomunikasi serta berdakwah, dan bersikap intoleransi terhadap sesama dan antara sesama umat beragama. Kelima, buruk sangka terhadap manusia. Artinya di sini adalah dalam memandang orang lain digunakan “kacamata hitam”, menyembunyikan kebaikan mereka sementara membesarbesarkan keburukan mereka. Keenam, terjerumus ke dalam jurang pengafiran. Kondisi ini adalah puncak dari beberapa ciri-ciri ekstrem yang telah disebutkan di atas, sehingga hak kehormatan orang lain, jiwa dan harta orang lain sudah halal untuk dirampas dan diperlakukan dengan keras.45 Keempat adalah istilah “revivalis”. Fazlur Rahman46 dan John L. Esposito47 adalah orang yang cendrung melabelkan kelompok Islam yang beraliran keras dengan istilah “Islam Revivalis”. Hal ini menurut Rahman dan Esposito ditandai dengan, pertama, memiliki pandangan hidup yang komprehensif dan bersifat total. Artinya tidak ada pemisahan Islam dari kehidupan politik, hukum, dan masyarakat. Tanda keduanya adalah semua yang terkait dengan pengaruh lokal maupun yang terkait dengan global (Barat) harus ditolak, karena hal ini dianggap sebagai pengikis kemurnian Islam.48 Arti kata Islam hanya dikembalikan seperti yang terpraktikkan pada zaman Nabi dan sahabat dulu.49 Terakhirnya adalah ditandai dengan sikap pengagungan kejayaan Islam pada masa lalu tanpa memperhatikan kondisi sekarang. Oleh karena itu dalam konteks ini digunakan istilah Islam radikal dalam menelusuri genealogi, pemikiran, dan gerakan ormas Islam yang diduga beraliran keras. Radikal dalam konteks ini, tidak hanya sebatas kekerasan dalam bentuk fisik, seperti penyerangan, perusakan, pemukulan, dan lain sebagainya, tetapi kekerasan di sini juga dimasukan dalam bentuk Yusuf Qardawi, Membedah Islam “Ekstrem”, h. 29-45. Fazlur Rahman memberi istilah gerakan radikalisme Islam dengan sebutan gerakan neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme, sebuah gerakan yang mempunyai semangat anti Barat. Lebih lanjut lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual (Bandung: Pustaka, 1995), h. 162. 47 John L. Esposito, Islamic Threat, Myth or Reality? (New York and Oxford: Oxford University Press, 1992), h. 69. 48 Barat dalam konteks ini dianggap oleh sebagian kalangan Muslim yang paling bertanggung jawab atas marjinalisasi Bangsa Timur dengan ide sekularismenya yang berdampak pada dekadensi moral Bangsa Timur, pandangan ini sepenuhnya menyatakan penolakan total terhadap Barat seperti yang ditunjukkan oleh Sayyid Qutb. Lebih lanjut lihat Ibrahim M. Abu Rabi’, Intellectual Origin of Islamic Resurgence in the Modern Arab World (New York: State University of New York Press, 1996), h. 93-137. Informasi ini juga dikemukakan oleh Musa Ash’ari, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: LESFI, 1992), h. 95. 49 Hasan al-Banna menyebut ajaran kelompoknya (al-Ikhwan al-Muslimun) dengan salafiyun yang artinya orang-orang terdahulu. Istilah ini secara teknis menunjukkan upaya mengikuti perilaku keagamaan yang didasarkan pada Al-Qur’an, Sunnah Rasul, dan praktik kehidupan orang-orang saleh terdahulu. Lihat Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM-IAIN, 1998), h. 7. 45 46

456


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

simbolik yang terinfiltrasi dalam agitasi, provokasi, dan bahasa yang menaruh kebencian. Kenyataannya kekerasan itu secara umum berawal dari ungkap-ungkapan yang menyudutkan kelompok lainnya. Artinya dalam pembahasan ini, radikal yang dipakai adalah radikal yang telah diturunkan frekuensinya. Meskipun terlihat tidak terpotret dalam bentuk gerakan adu fisik, tetapi pernyataan yang telah bernada kebencian juga dianggap radikal dalam kajian ini. Asumsi awal yang dijabarkan dalam pembahasan ini adalah bahwa Islam radikal bermula dari peristiwa tahkim antara pihak ‘Ali bin Abi Talib dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan, sehingga muncul kelompok yang tidak menerima hasil keputusan tahkim tersebut. Pihak yang tidak menerima adalah potret orang yang kalah dan merasa terasing dari kelompok Islam mayoritas, sehingga hanya melalui kekerasan keinginan mereka dapat diwujudkan.50 Beranjak dari argumen ini akan ditelusuri perjalanan Islam radikal dalam tinjauan sejarah, baik yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, Timur –Tengah, dan tempat lainnya, sekaligus menegaskan argumen peneliti bahwa kemunculan radikalisme Islam dalam kawasan dunia Muslim merupakan bagian dari ketersambungan sejarah. Khaled Abou El Fadl dalam karyanya, The Great Theft: Wrestling Islam From the Extremists, membuktikan bahwa radikalisme dalam Islam adalah keberlanjutan sejarah, sekaligus menolak, bahwa radikalisme terputus dengan sejarah. El Fadel melalui karyanya ini mencontohkan adanya keterkaitan antara paham Wahhabisme dengan aksi teroris yang disponsori oleh jaringan terorisme internasional Al-Qaeda dan gerakan Taliban di Afganistan. Dalam kajian ini, terungkap bahwa paham Wahhabisme tidak hanya subur dan berkembang di tanah kelahirannya, tetapi ia juga tumbuh dan berkembang di negara-negara Muslim lain.51 Demikian juga halnya di Indonesia, paham Wahhabisme mempunyai akar-akar yang kuat, baik dalam bentuk paham keagamaan yang bersifat masif, maupun dalam bentuk gerakan yang dimanifestasikan dalam berbagai aksi kekerasan. Dalam kasus ini, dapat ditemukan bahwa pergerakan ini satu sisi memiliki semangat kembali kepada ajaran Islam murni, tetapi pada sisi lain dibarengi dengan semangat kekerasan.52 Model seperti ini yang menjadi persoalan, karena kondisi ini akan berkaitan dengan kelangsungan kehidupan yang heterogen di tengah perubahan sosial. Kemudian menurut pandangan Azyumardi Azra, bahwa kemunculan radikalisme itu bukan hanya semata-mata dorongan keagamaan, melainkan didorong oleh situasi ekonomi, politik, budaya dan sosial.53 Agama hanya dijadikan sebagai pembenaran gerakan mereka. Dalam hal politik, contohnya ketika otoritas negara mulai melemah (masa transisi)

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, h. 111. Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Francisco: Harper Collins Publishers, 2005), h. 111. 52 Khaled Abou El Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, h. 79. 53 Azyumardi Azra, Menggapai Solidaritas Tensi antara Demokrasi Fundamentalisme dan Humanisme (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), h. 43. 50 51

457


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 setelah Orde Baru berkuasa lebih 30 tahun runtuh, maka terbuka peluang untuk mengekspresikan pemahaman keagamaan tanpa batas, seperti ungkapan pepatah Minangkabau “Sakali aie gadang, sakalian pulo tapian barubah”, maksudnya setiap terjadi peralihan rezim, maka akan terjadi pula sebuah perubahan. Azra menambahkan dalam kasus Sumatera Barat, hal ini juga diakibatkan oleh euforia demokrasi, di samping dicabutnya Undangundang anti-subversi oleh Presiden BJ. Habibie.54 Selain dua pandangan di atas, pada konteks ini ada ruang menyatakan bahwa kemunculan radikalisme Islam di Sumatera Barat pasca Orde Baru memiliki keterkaitan dengan gerakan Paderi tempo dulu. Maksudnya kehadiran sejumlah ormas Islam baru, baik yang berskala lokal, dan nasional maupun berskala transnasional, ia sesungguhnya dimanfaatkan oleh lokal sebagai simbol gerakan dalam melanjutkan agenda gerakan Paderi yang telah tenggelam. Hal ini ditandai oleh semangat kelompok Muslim yang tergabung dalam HT, FPI, dan KPSI untuk menghidupkan kembali gerakan Paderi melalui usaha penegakan syariat Islam, memenuhi panggilan amar makruf nahi munkar serta pendirian Negara Islam. Pada tataran ini, gerakan Paderi dijadikan sebagai semangat perjuangan mereka. Lagi pula, komposisi kepengurusan HT, FPI, dan KPSI ada diisi oleh orang-orang yang memiliki keterikatan ideologi dengan Paderi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kelompok yang memiliki keterikatan secara langsung dengan Paderi, menamakan wadah mereka dengan sebutan Aliansi Paderi Indonesia (API). Sedangkan keterikatan yang tidak langsung, cukup menjadikan gerakan Paderi sebagai spirit perjuangan mereka. Atas dasar inilah dapat dikatakan bahwa keberadaan HT, Salafi, FPI, dan KPSI dimanfaatkan lokal sebagai wadah perjuangan. Ditinjau dari sejarah dan perkembangan Islam pasca ditinggalkan oleh Muhammad, permasalahan radikalisme terus bergulir melintasi waktu yang dilaluinya. Dikaji lebih dalam, ternyata tercatat dalam sejarah bahwa gerakan al-Khawarij adalah awal radikalisme dalam Islam. Pada pembahasan ini dapat dibuktikan ketersambungan radikalisme Islam semenjak dari al-Khawarij hingga kontemporer, melalui genealogi, pemikiran, dan gerakannya yang terangkum dalam fase-fase sejarah Islam radikal.

Gerakan Ormas Islam Garis Keras dalam Konteks Lokal: Penerapan Syariat Islam Sebagai Solusi Permasalahan Bangsa Permasalahan politik, sosial, ekonomi dan moral yang menimpa bangsa Indonesia pasca Orde Baru semakin waktu semakin meningkat. Kondisi politik yang tidak stabil, perMenurut Azra kelompok ini mendambakan kembali berlakunya corak keislaman seperti generasi Nabi Muhammad dan para sahabatnya, karena pada masa ini Islam yang paling sempurna, sehingga Islam yang tampil sekarang harus dibersihkan dari kotoran seperti berbagai tambahan dan bid’ah dengan cara-cara radikal. Radikalisme religious-history kelompok ini diperkuat dengan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis secara harfiah. Lihat Azyumardi Azra, “Kelompok Radikal Muslim” Tempo, Edisi 26 Mei-1 Juni (2003), h. 52. 54

458


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

ekonomian yang masih tidak menentu, kondisi sosial yang semakin pincang, serta dekadensi moral yang semakin rapuh, menyebabkan permasalahan bangsa semakin tidak terurus.55 Kemudian, kebijakan pemerintah juga cenderung berkiblat ke Barat. Seperti yang telah terjadi, bahwa kebijakan tersebut hanya menguntungkan kelompok tertentu, yang notabene adalah kalangan konglomerat, dan merugikan sebagian besar rakyat, sehingga penderitaan rakyat semakin tidak terselesaikan. Dampak seperti ini, juga dirasakan oleh masyarakat Sumatera Barat.

Menggunakan Isu Lokal Dalam tinjauan sejarah, syariat Islam telah menjadi perhatian masyarakat Sumatera Barat. Munculnya falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah� merupakan bukti kepedulian masyarakat Sumatera Barat terhadap penerapan syariat Islam. Pandangan demikian telah menjadi kekuatan utama bagi masyarakat Sumatera Barat dalam menjalankan ajaran Islam pada setiap langkah kehidupan mereka. Namun demikian, seiring dengan perubahan orientasi, penerapan syariat menjadi dilematis. Menurut HT, Salafi, FPI, dan KPSI kepedulian terhadap penerapan syariat Islam seharusnya ditanggapi lebih serius oleh negara maupun masyarakat Muslim yang lebih luas. 56

Sosialisasi Pentingnya Tegak Syariat Islam Menyadari kesulitan untuk menyamakan pemahaman seluruh kaum Muslim tentang hukum Islam telah mendorong kelompok-kelompok Islam mengekspresikan pandangan mereka dalam nada yang relatif umum. Sejak jatuhnya pemerintahan Soeharto, pada dasarnya mereka hanya menyerukan kebutuhan untuk menerapkan syariat Islam dalam segenap aspek kehidupan. Hal itu dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya melalui penyebaran gagasan dan pemikiran, tulisan dan perkataan.

Berkolaborasi dengan Ormas Islam Lain Pada konteks ini, terjadi semacam peleburan beberapa ormas Islam dalam hal penerapan syariat Islam. Mereka saling memperkuat posisi dalam memperjuangkan pemberlakuan syariat Islam. Di samping itu, antara satu pengurus dan pengurus yang lain sering melebur Muhammad Khalid, Armando Salvatore, and Martin van Bruinessen (Eds.), Islam and Modernity Key Issues and Debates (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2009), h. 47-49. Lihat juga Henry Munson. JR. Islam and Revolution in the Meddle East (New Haven: CT. Yale University Press, 1988), h. 79-81. 56 Rozi Syaferi, wawancara, 22 September 2013, di Mesjid Nurul Iman Padang, juga dengan Elfi Syam, (Tokoh Salafi Sumatera Barat), wawancara, 26 Agustus 2013 di Mesjid Al-Hakim, di Padang dan dengan Albusyra (Ketua DPD I FPI Provinsi Sumatera Barat), wawancara, 28 Oktober 2013, di Candung Agam. 55

459


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 dengan organisasi Islam lain. Tujuannya adalah agar mereka itu bisa mempengaruhi semua organisasi yang ada berjuang menegakkan syariat Islam, sekaligus mereka tidak mudah terdeteksi.57 Contohnya, Irfianda Abidin, di samping menjadi ketua di KPSI Sumatera Barat, dia juga menjadi pengurus di Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM), Paga Nagari Sumatera Barat, dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pusat.58 Semua organisasi ini dapat digunakan untuk menyuarakan penerapan syariat Islam di Sumatera Barat. Dalam beberapa pertemuan, mereka saling menunjukkan kerja keras dalam merealisasikan agenda ini. Penerapan syariat Islam yang diperjuangkan oleh HT, Salafi, FPI, dan KPSI adalah merujuk kembali seperti apa yang pernah dilakukan oleh Nabi sesuai dengan zamannya. Sementara keinginan kelompok ini, menjadikan kondisi sekarang sama seperti zaman Nabi, tentu hal tersebut merupakan sesuatu yang sulit direalisasikan.59 Tetapi secara substansi tanpa menformalisasikan nampaknya akan mudah mendapat dukungan yang kuat.

Menempuh Jalur Kultur dan Struktur Formalisasi syariat Islam menurut HT, Salafi, FPI, dan KPSI sudah menjadi suatu kewajiban dan mesti dijalankan apa adanya tanpa memperhatikan konteks sosial yang terjadi. Formalisasi seperti ini menurut Gus-Dur disebabkan oleh rasa kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Oleh sebab itu jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi, padahal seperti yang diketahui bahwa Arabisasi bukanlah Islamisasi.60 Usaha penegakan syariat Islam di Sumatera Barat mulai memasuki wilayah kultur dan struktur. Semangat penerapan syariat Islam secara kultur dalam wilayah Sumatera Barat terlihat melalui berbagai kegiatan HT, Salafi, FPI, dan KPSI. Di antara kegiatan tersebut pertemuan ilmiah, ceramah, di berbagai tempat. Di samping itu mereka juga menggunakan selebaran, famplet, spanduk serta bulletin, baliho. Upaya penerapan syariat Islam secara kultur ini tersambung dengan gerakan Paderi pada abad ke-19, yang pernah menggerakkan agenda penerapan syariat Islam di Sumatera Barat. 61 Sementara itu agenda perjuangan penerapan syariat Islam melalui jalur struktur adalah mendesak pemerintah daerah; Gubernur, Bupati/Wali Kota serta DPRD Propinsi Ibnu Aqil D. Gani, wawancara, pada tanggal 21 Oktober 2013. Jam. 14.00 WIB, di Ikur Koto Padang. 58 Jell Fatullah, wawancara, pada tanggal 4 September 2013. Jam. 10.00 WIB, di Jln. Veteran Padang. 59 Ahmad Syafi’i Ma’arif, Membela Kebebasan Beragama, h. 225. 60 Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, xxxiii. 61 Komentar Mas’ud Abidin tentang ketersambungan pemikiran dan gerakan ormas Islam kontemporer dengan pemikiran dan gerakan Paderi pada abad ke-19, http://masoedabidin. wordpress.com/2008/04/09/jejak-ulama-zuama-diminangkabau/. Diakses pada tanggal 15 November 2012. Jam. 14.00 WIB. 57

460


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

dan DPRD Kabupaten/kota melahirkan Perda syariat Islam. Tuntutan seperti ini banyak menuai hasil, yaitu terwujudnya Perda syariat Islam di kabupaten/kota sebagai landasan kehidupan masyarakat. Perda yang telah lahir melalui jalur struktur ini, di antaranya tentang wajib baca tulis Al-Qur’an, bagi pelajar dan para pengantin, pengaturan jadwal hiburan-hiburan serta pelestarian terhadap nilai-nilai keagamaan yang melekat dalam tradisi masyarakat. Perjuangan penerbitan perda syariah ini diusulkan kepada para wakil rakyat (anggota DPRD) kabupaten/kota setelah diusulkan oleh pemerintah daerah. Partai yang mengambil kesempatan dengan situasi seperti ini adalah, PPP, PBB, PKS, PAN serta partai politik lainnya. Sebab apabila mereka tidak merealisasikan tuntutan rakyat ini, dapat dipastikan untuk Pemilu berikutnya, partai yang bersangkutan tidak mendapat dukungan lagi.62

Penegakan Amar Makruf dan Nahyi Munkar: Tuntutan Ideologi Amar Makruf dan Nahyi Munkar: Pengulangan Sejarah Kasus di Sumatera Barat aksi penerapan amar makruf dan nahyi munkar pernah dilakukan oleh gerakan Paderi pada abad ke-19. Gerakan amar makruf dan nahyi munkar ini sudah memasuki wilayah aksi dan tidak hanya sebatas tataran wacana saja. Gerakan yang pada awalnya bernuansa puritanisme kemudian berkembang menjadi gerakan aksi penerapan tuntutan memenuhi panggilan amar makruf dan nahyi munkar. Berbagai tindakan muncul pada agenda pelaksanaan amar makruf dan nahyi munkar ini, mulai tindakan pengusiran, pembakaran hingga sampai pembunuhan. 63 Contoh aksi pengusiran terjadi pada saat pasukan Paderi berhasil menaklukkan suatu kampung. Warga yang tidak kuat menjalankan tuntutan kelompok Paderi, mereka dilarang lagi tinggal di sana. Mereka yang termasuk kategori ini tidak boleh tinggal lagi di kampung yang telah mereka tempati. Contoh aksi pembakaran terjadi pada saat pasukan Paderi mendatangi Surau Tuanku nan Tuo untuk diajak bergabung menegakkan amar makruf dan nahyi munkar secara tegas dan keras, namun ajakan demikian ditolak oleh Tuanku Nan Tuo. Sampai pada akhirnya Surau Tuanku Nan Tuo hangus dibakar oleh kelompok Paderi.64 Sedangkan contoh aksi pembunuhan adalah dalam kasus pelarangan tradisi bersugi daun sirih. Sebelum diterapkan gerakan pelarangan bersugi daun sirih, tradisi itu sudah menjadi simbol dan ukuran budi sopan santun masyarakat. Pepatah yang menyebutkan;

Jel Fatullah, wawancara, 4 September 2013. Jam. 10.00 WIB, di Padang. Lihat Fakih Saghir, Surat Keterangan Shaikh Jalaluddin, h. 21-25. Dan Michael Laffan, The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and, 44. Franz von Benda-Beckmann, Property in Social Continuity, Continuity and Change in The Maintenance of Property Relationship Trough Time in Minangkabau West Sumatera (The Hague-Martinus Nijhoff, 1979), h. 225-258. 64 Fakih Saghir, Surat Keterangan Shaikh Jalaluddin, 21-25. Dan Michael Laffan, The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and, h. 44. 62 63

461


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 “Elok baso karano rokok, elok budi karano sirih” (Baik basa-basi karena rokok, dan baik budi karena sirih).65 Tetapi bagi kelompok Paderi, tradisi seperti ini sudah menjurus perbuatan maksiat dan harus ditumpas. Kebetulan pada saat peraturan pelarangan makan sirih diberlakukan, ditemukan bibi Tuanku Nan Renceh (tokoh Paderi) sedang bersugi sirih. Menyikapi hal ini, Tuanku Nan Renceh langsung bertindak menerapkan gerakan amar makruf dan nahyi munkar dengan melakukan pembunuhan terhadap bibinya sendiri. 66

Menciptakan Kota Bersih dari Kemaksiatan Di Sumatera Barat, FPI dan KPSI cukup aktif menggerakkan amar makruf dan nahyi munkar. Menurut Albusyra (Ketua FPI Sumatera Barat),67 dan Irfianda Abidin (Ketua KPSI Sumatera Barat,68 bahwa kehadiran FPI dan KPSI di Sumatera Barat akan menjadi garda terdepan dalam memberantas kemaksiatan, sekaligus sebagai laskar dalam penegak syariat Islam melalui falsafah “Amar makruf, nahyi munkar”. Sumatera Barat dari segi kultur merupakan wilayah yang terbebas dari bentuk perbuatan maksiat. Sesuai dengan falsafahnya “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah” merupakan cerminan kehidupan masyarakat. Artinya masyarakat Sumatera Barat tergolong masyarakat yang agamis, atau masyarakat yang komitmen terhadap ajaran agamanya. Oleh karena itu sudah semestinya Sumatera Barat memiliki pandangan yang sama dengan falsafah tersebut, sekaligus juga menunjukkan Sumatera Barat merupakan kawasan bebas maksiat. Merespon hal ini FPI dan KPSI hadir mengawal secara sungguh-sungguh terhadap pandangan demikian. Dalam konteks ini, FPI dan KPSI setiap malam Minggu melakukan razia terhadap tempat-tempat hiburan, seperti di Kota Bukittinggi dan Kota Padang. Dalam kegiatan itu mereka kadangkala menangkap pasangan muda-mudi yang diduga melakukan perbuatan tidak sopan, di sekitar Jam Gadang Bukittinggi, Ngarai Sianok dan di sekitar pinggir pantai Kota Padang. 69 Dalam menjalankan gerakan amar makruf dan nahyi munkar, FPI dan KPSI melibatkan ormas lokal lainnya, seperti ormas Paga Nagari,70 dan ormas Libas.71 Ormas Paga Nagari dan ormas Libas ini juga memiliki concern yang sama dengan FPI dan KPSI ini. Perjuangan M. Letter, wawancara, pada tanggal 24 September 2013. Jam. 10.00 WIB, di Padang. Lihat Fakih Saghir, Surat Keterangan Shaikh Jalaluddin, 21-25. Lihat juga Michael Laffan, The Makings of Indonesian Islam: Orientalism and, h. 44. 67 Albusyra, wawancara, 28 Oktober 2013. Jam. 16.00 WIB, di Lasi Agam. 68 Irfianda Abidin, wawancara, 22 Oktober 2013. Jam. 11.30 WIB, di Mesjid Nurul Iman Padang. 69 Albusyra, wawancara, 28 Oktober 2013. Jam. 16.00 WIB, di Lasi Agam. 70 Paga Nagari adalah ormas lokal yang didirikan pada tahun 1998 di Jakarta oleh perantau Minang. Dia bertujuan untuk menerapkan syariat Islam sesuai dengan prinsip “Syarak Mangato, Adat Memakai”. Ormasi ini diketuai oleh Ibnu Aqil D. Gani. Dia juga termasuk pengurus inti di KPSI Sumatera Barat. 71 Libas adalah ormas lokal yang didirikan pada 24 Mei 2004 di Padang. Tujuannya adalah untuk mencegah berkembangnya penyakit masyarakat. Ormas ini diketuai oleh Khairul Amri. 65 66

462


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

terhadap pemberantasan perbuatan maksiat terus dilakukan dalam rangka membersihkan Sumatera Barat dari segala bentuk perbuatan yang bernuasa maksiat. Gerakan tersebut kadangkala diiringi dengan bentuk tindakan terhadap individu atau kelompok yang kedapatan melakukan kemaksiatan. Tidak hanya itu, FPI dan KPSI juga berhasil mendorong pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mendukung agenda penegakan panggilan amar makruf dan nahyi munkar untuk menjadikan Sumatera Barat terbebas dari maksiat.72 Berkaitan dengan itu tekanan FPI dan KPSI terhadap parlemen provinsi semakin menguat untuk melahirkan peraturan daerah, sehingga melahirkan sebuah perda No. 11/2001 mengenai “penyakit masyarakat” (PEKAT). Penyakit masyarakat yang dimaksud dalam konteks ini adalah perjudian, prostitusi, dan penyalahgunaan obat bius. Kelahiran peraturan daerah ini lebih dominan nilai simboliknya, ketimbang nilai substansinya. 73

Penghentian Pembangunan Hotel Grand Kartini Gerakan amar makruf dan nahyi munkar FPI yang tidak kalah pentingnya adalah penghentian pembangunan Hotel Grand Kartini (HGK) di Kota Bukittinggi. Berbagai aktivitas penghentian pembangunan tersebut dilakukan berbagai model, mulai dari pemasangan spanduk hingga mendesak pihak pemerintah Kota Bukittinggi bertindak menghentikan pembangunan tersebut. Alasan yang mendorong FPI bersama dengan kelompok KPSI ini bertindak adalah pembanguan hotel di depan Mihrab Mesjid Nurul Haq akan memancing konflik SARA. Pada tataran ini Abu Dzaki selaku Pembina KPSI pada tanggal 03 Pebruari 2012 di Bukittinggi menyatakan bahwa: Pertama, Ormas Islam baik FPI, KPSI maupun Majelis Mujahidin senantiasa berupaya menghentikan pembangunan Hotel Grand Kartini yang berada tepat di Mihrab Mesjid Nurul Haq, karena dapat menganggu ibadah umat Islam dan berpotensi memicu konflik SARA di Bukittinggi. Kedua, Ormas Islam, seperti FPI dan KPSI memasang dua spanduk yaitu di Hotel Grand Kartini dan di halaman Mesjid Nurul Haq. Spanduk tersebut bertuliskan, “Ormas Islam dan masyarakat Bukittinggi menolak keras pembangunan Hotel Grand Kartini (HGK)”. Ketiga, Selain memasang spanduk, Ormas Islam ini juga mengultimatum pemilik Hotel Grand Kartini (HGK) untuk segera menghentikan pembangunan hotel tersebut karena jika terus dilanjutkan Ormas Islam, seperti FPI dan KPSI akan melakukan aksi lebih keras. Keempat, FPI dan KPSI mendesak Pemerintah Kota Bukittinggi segera mencabut izin pembangunan (IMB) HGK karena keberadaannya akan menganggu ketenangan ibadah jama’ah Mesjid Nurul Haq dan berpotensi memicu konflik antar umat beragama, karena pemilik Hotel Grand Kartini adalah China. Kelima, FPI dan KPSI mengajak seluruh umat Muslim berkumpul di Mesjid Nurul Haq pada pukul 13.30 WIB (setelah shalat Jum’at) untuk melakukan aksi membela Mesjid Khairul Amri, wawancara, 30 Oktober 2013. Jam. 14.30 WIB, di Mesjid Nurul Iman Padang. Dokumentasi DPRD Provinsi Sumatera Barat tahun 2001.

72 73

463


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 Nurul Haq dari penghinaan pengusaha Hotel Grand Kartini. Keenam, untuk melancarkan upaya penghentian pembangunan melalui pengerahan massa ini, pihak FPI dan KPSI mengirim SMS ajakan kepada umat Muslim di Kota Bukittinggi untuk ikut bergabung dalam aksi demonstrasi membela Mesjid Nurul Haq dari penghinaan pengusaha atau pemilik Hotel Grand Kartini yang notabene adalah orang China. 74

Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemunculan radikalisme Islam semakin terbuka, ketika dihadapkan pada keinginan pengulangan periode sejarah Islam secara eksklusif. Dengan kata lain keinginan untuk menampilkan kembali periode kejayaan Islam tanpa disertai kajian yang komprehensif termasuk faktor dominan melahirkan kemunculan gerakan radikal. Dalam kesimpulan ini ditegaskan adanya ketersambungan ideologi dan gerakan HTI, Salafi, FPI dan KPSI di Sumatera Barat dengan gerakan Paderi. Oleh sebab itu, semakin tersambung ideologi dan gerakan HTI, Salafi, FPI dan KPSI dengan gerakan Paderi, maka semakin cepat kemunculan radikalnya di Sumatera Barat.

Pustaka Acuan Abaza, Mona, “Generasi Baru Mahasiswa Indonesia di Al-Azhar”, Islamika, No. JanuariMaret. 1994. al-Ashmawi, Muhammad Sa‘id. Islam and the Political Orderi, Washington, DC: CRVP, 1994. al-Ashmawi, Muhammad Sa‘id. Ushul al-Syari’ah, cet. Ke-4. Kairo: al-Maktabah Madbuli al-Shagir, 1996. Armstrong, Karen. Berperang Demi Tuhan, terj. Sutrisno Wahono dkk. Jakarta Bandung: Kerjasama Serambi dengan Mizan, 2001. Ash’ari, Musa. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LESFI, 1992. Azra, Azyumardi. Menggapai Solidaritas Tensi antara Demokrasi Fundamentalisme dan Humanisme. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga PostModernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. Bubalo, Anthony dan Greg Fealy. Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. Bandung: Mizan. Dobbin, Christine, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Paderi Minangkabau 1784-1847. Depok: Komunitas Bambu, 2008. Esposito, John L. The Islamic Theart Myth or Reality?. Oxford: Oxford University, 1992. Garaudy, Roger. Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Lainnya. Bandung: Pustaka, 1993. Abu Dzaki, wawancara, 03 Februari 2013. Jam. 11.30 WIB, di Bukittinggi.

74

464


Zainal: Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

Hadler, Jeffrey, Sengketa Tiada Putus Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta: Freedom Institute, 2008. Husaini, Adian. Hegemoni Kristen-Barat Dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi. Jakarta: Gema Insan Press, 2006. Jahroni, Jajang dan Jamhari. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada, 2004. Kuntowijoyo. Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan, 1997. Laffan, Michael, The Makings of Indonesian Islam: Orientalisme and the Narration of a Sufi Past. New Jersey: Princeton University Press, 2011. Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban: Mencari Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1995. Noer, Deliar, Islam Radikal Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju, 2002. Qardawi, Yusuf. Membedah Islam “Ekstrem,” terj. Alwi A.M, cet. 9. Bandung: Mizan, 2001. Rabi’, M. Abu. Intellectual Origin of Islamic Resurgence in the Modern Arab World. New York: State University of New York Press, 1996. Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas: Tantangan Transformasi Intelektual. Bandung: Pustaka, 1995. Rahmat, M. Imdadun, Arus Baru Islam Radikal: Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke-Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2005. Rais, Amien. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan, 1995. Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. London: President and Fellows of Havard, 1994. Schwarz, Adam. A Nation in Waiting: Indonesia Search for Stability. Singapore: Talisman, 2008. Shihab, Alwi. “Agama dan Radikalisme,” Majalah Pakar Vol. 1, No. 5-Januari, 2003. Sivan, Emmanuel. Radical Islam, Medieval Theology and Modern Politics. New Haven: Yale University Press, 1985. Tibi, Bassam Tibi, “Islamisme, Demokrasi, and the Clash of Civilization”, dalam Chaider S. Bamualim (ed.), Islam & The West. Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN, 2003. Turmudi, Endang. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2005. 4. Voll, John Obert. Islam: Continuty and Change in the Modern World. Boulder, Colorado: Westview Press, 1982. Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011. Waly, Tengku Muhibbuddin, Ayah Kami: Maulana Shaikh Haji Muhammad Waly al-Khalidi. Singapore: JBW Printers & Binders PTE LTD, 1993. Woodward, Mark R. (ed.). Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi. Bandung: Mizan, 1999. 465


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

INDEKS

Abbasid, 435, 438-444

Harun Nasution, 338, 351

Abdul Malik Fadjar, 418, 419, 420, 429

Hasan Hanafî, 246

Abdurrahman Wahid, 322, 447, 460

Hawa, 285

Adam, 285 ‘Ali ibn Abî Thâlib, 246, 457

al-hayûlâ, 296, 297, 304, 305,306, 307, 308, 316, 317

Amina Wadud, 276-293

helio centrisme, 313

Asy‘ariyah, 302, 303, 305, 306

Ian G. Barbour, 351

Azyumardi Azra, 330, 419, 447, 457

illat, 355-373

Bernard Shaw, 313

Institu Agama Islam Negeri (IAIN), 337, 348, 352

big bang, 300, 301 Cairo Declaration of Human Rigths in Islam, 383

Jamâl al-Bannâ, 245-261

Deklarasi Universal HAM (DUHAM), 375, 376, 380, 388

Jaring Laba-laba Keilmuan, 343, 345, 346, 347

dzimmi, 382,

Jawa Timur, 266

Eduart Spranger, 425

John Locke, 376

Edwin Powell Hubble, 298 Era reformasi, 37, 375, 385

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), 401, 403

al-faidh, 296, 304, 307, 309

KH. Ahmad Dahlan, 35, 331, 420, 425

Fazlur Rahman, 246, 290, 346, 348, 456

KH. Hasyim Asy‘ari, 319-333

Galileo, 313, 316

khuluk, 396

al-Ghazali, 343, 420

Ki Hajar Dewantara, 425

gender, 276-293

Kompilasi Hukum Islam, 413

geo centrisme, 313

al-kummun, 296, 297, 304, 306, 307

George Gamow, 298,

kun fayakûn, 296, 298, 304, 309, 317

globalisasi, 422-426

Kuntowijoyo, 346, 348, 349

gugatan cerai, 396, 399,

Madinah, 287

Habermas, 255

Majelis Ulama Indonesia, 265

Haji Abdul Karim Amrullah, 264

Makkah, 287, 324, 327, 331

hak asasi manusia (HAM), 277, 37-392, 419

al-Ma’mûn, 435-444

HAMKA, 263-274

al-Manshûr, 435, 438, 439, 444

Jamaluddîn al-Afghaniy, 266, 275, 326

466


Indeks

maqashid al-syari‘ah, 374, 379

Soekarno, 265, 268

Martin Luther, 248

St. Augustine, 314

Mesir, 266, 267,

Sumatera Barat, 446-64

Minangkabau, 264, 397, 409, 410

Sutan Takdir Alisjahbana, 338

Muhammad ‘Abduh, 263, 266, 274, 326, 338, 421

Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, 325, 326

Muhammad Amin Abdullah, 335-353

Syaikh Mahmud Syaltout, 268, 382

Muhammad Arkûn, 246, 247, 340, 342, 348

Syaikh Nawawi al-Bantani, 325

Muhammad Arsyad al-Banjari, 292

Syaikh Tahir Jalaluddin, 266, 267,

Muhammad Hatta, 385

Syed Muhammad Naquib al-Attas, 300

Muhammad Iqbal, 338

Tafsîr al-Azhar, 263, 270,

Muhammad Rasyid Ridha, 266, 267, 271

Tafsîr al-Manâr, 263, 270,

Muhammad SAW., 246, 269, 327, 329, 330, 332, 423, 456, 460

Tebuireng, 321, 323,

Muhammad Syahrur, 246

Timothy I, 435-444

Muhammadiyah, 331

ukhuwah Islâmiyah, 319, 320,

Muktazilah, 302, 303, 304, 305, 306

Universitas Islam Negeri, 337, 352

Nahdlatul Ulama (NU), 320, 323, 331, 447

al-‘Urwat al-Wutsqa, 266

Naqsyabandiyah, 322, 332

UUD 1945, 375

Nasr Hamid Abu Zayd, 246, 256, 342

Wycliffe, 312, 313

nusyuz, 285, 286,

Yahudi, 285,

Orde Baru, 385, 388, 390, 446, 447, 448, 458

Yunani, 285

Padang, 395-416

Zarkowi Soejoeti, 419,

Theodore Abu Qurra, 435-444

Pan Islamisme, 326 Paul K. Fereyaband, 257, 259 Pendekatan Integratif-Interkonektif, 342, pendekatan psikis, 253 pendekatan seni , 245, 250, 251, 254 Pengadilan Agama, 395-416 perceraian, 395-416 al-Qâdhi‘ Abdul Jabbâr, 355-373 qiyâs, 355-373 Roger Bacon, 313 Romawi, 285 Samuel P. Huntington, 430 Siti Raudhah Thaib, 408, 409 Soeharto, 385 467


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Kontributor Volume XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

Mukhammad Zamzami, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Meraih gelar Magister dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Doktor dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. M. Rusydi, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Meraih gelar Master Agama dalam bidang Agama & Filsafat dari Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan sedang menyelesaikan studi Doktor dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana UIN Sunan Ampel. Ilhamuddin, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Sumatera Utara. Meraih gelar Master of Arts dan Doktor dalam bidang Ilmu Agama Islam dari Program Pascasarjana IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ahmad Khoirul Fata, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Amai, Gorontalo. Meraih gelar Master of Arts dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. M. Ainun Najib, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Hang Tuah, Surabaya. Meraih gelar Master of Arts dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Parluhutan Siregar, Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sumatera Utara. Meraih gelar Master of Arts dalam bidang Pemikiran Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. Kandidat Doktor dalam bidang Agama dan Filsafat Islam dari Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara. Muhammad Amar Adly, Dosen Fakultas Syariah IAIN Sumatera Utara. Meraih gelar Master of Arts dan Doktor dalam bidang Fikih dan Usul Fikih dari Universitas Sidi Muhammad ‘Abdillah, Fez, Maroko.

468


Kontributor

Masykuri Abdillah, Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Meraih gelar Doktor dalam bidang Islamic Studies dari Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Timur Tengah, Universitas Hamburg, Jerman. Rozalinda, Dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang Meraih gelar Magister Agama dalam bidang Ilmu-ilmu Syariah dari Program Pascasarjana IAIN imam Bonjol Padang, dan Doktor dalam bidang Ekonomi Islam dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Nurhasanah, Dosen Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang Meraih gelar Magister Agama dalam bidang Ilmu-ilmu Syariah dari Program Pasca-sarjana IAIN Imam Bonjol Padang, dan kandidat Doktor dalam bidang Hukum Islam pada Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang. Muh. Idris, Dosen Jurusan Ushuluddin STAIN Manado, Meraih gelar Magister Ilmu Agama Islam dalam bidang Sejarah dan Pendidikan Islam dari Program Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar dan Doktor dalam bidang Pendidikan Islam dari Program Pascasarja UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Hans Abdiel Harmakaputra, Dosen Tidak Tetap di Sekolah Tinggi Teologi, Jakarta. Meraih gelar Master of Arts dalam bidang Islamic Studies and Christian-Muslim Relations dari Hartford Seminary, Connecticut, Amerika Serikat. Kandidat Doktor dalam bidang Comparative Theology di Boston College, Boston, Amerika Serikat. Zainal, Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Imam Bonjol Padang. Meraih gelar Magister Agama dalam bidang Sejarah Peradaban Islam dari Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang dan Doktor dalam bidang Sejarah Peradaban Islam dari Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

469


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014

UCAPAN TERIMA KASIH

Dewan Redaksi menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada mitra bestari/penyunting ahli dalam proses penerbitan MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli Desember 2014 atas kontribusi mereka dalam mereview dan mengomentari artikel-artikel dalam edisi ini. Mereka adalah: 1. Prof. Dr. Ahmad Hidayat bin Buang (University of Malaya, Kuala Lumpur) 2. Prof. Dr. Amirul Hadi, MA (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh) 3. Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, MA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta) 4. Prof. Dr. Dja’far Siddik, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 5. Prof. Dr. Saiful Akhyar Lubis, MA (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 6. Prof. Dr. Amroeni Drajat, M.Ag. (Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara, Medan) 7. Dr. Yusuf Rahman, MA (Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta) 8. Dr. Suaidi Asyari, MA, PhD (Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi) 9. Dr. Sahiron Syamsuddin, MA (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

470


INDEKS PENULIS

MIQOT Vol. XXXVIII No. 1 dan 2 Tahun 2014 No Penulis 1 Abdul Gani Isa 2

Abdul Manan Syafi’i

3 4

Ahmad Khoirul Fata & M. Ainun Najib Deni Miharja

5

Erawadi

6

Hans Abdiel Harmakaputra

7

Hartono Margono

8

Ilhamuddin

9

Masykuri Abdillah

Judul Tulisan Implementation of Islamic Shariah in Special Autonomy: A Case of Aceh Province

Halaman 119 - 134

Pengaruh Tafsîr al-Manâr terhadap Tafsir alAzhar Kontekstualisasi Pemikiran KH. Hasyim Asy‘ari tentang Persatuan Umat Islam Persentuhan Agama Islam dengan Kebudayaan Sunda Pusat-Pusat Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah di Tapanuli Bagian Selatan

263 - 275

Muslim-Christian Debates in the Early ‘Abbasid Period: the Cases of Timothy I and Theodore Abu Qurra Human Reality and Perfection in the Philosophical View of Sutan Takdir Alisjahbana

435 - 445

Reinterpretasi dan Sinergitas Teori Penciptaan Alam Islam dan Hak Asasi Manusia: Penegakan dan Problem HAM di Indonesia Otoritas Hierarki Kutub al-Sittah dan Kemandegan Kajian Fikih

295 - 318

10 Muhammad Habibi Siregar 11 Muhammad Husnan ‫ﻃﹸﺮﻕ ﺗﺮﲨﺔ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻜﺮﱘ ﺇﱃ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﺍﻹﻧﺪﻭﻧﻴﺴﻴﺔ ﺩﺭﺍﺳﺔ ﻣﻘﺎﺭﻧﺔ‬ Lubis 12 Muhammad Amar ‫ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﺒﺪ ﺍﳉﺒﺎﺭ ﺍﳌﻌﺘﺰﱄ ﻭﺁﺭﺍﺀﻩ ﰲ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ‬ Adly 13 Mukhammad Analisis Metodologis-Filosofis: Konsep Tafsir Zamzami Jamâl al-Bannâ 14 M. Rusydi Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam alQur’an Menurut Amina Wadud 15 Muh. Idris Konsep Pendidikan Humanis dalam Pengembangan Pendidikan Islam 16 Paisol Burlian Hakikat Pembangunan Hukum dan Pertanggungjawaban Hukum: Perspektif Pancasila dan Islam 17 Parluhutan Siregar Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman dalam Perspektif 471 M. Amin Abdullah 18 Ratno Agriyanto & Sikap Bankir dan Pengusaha terhadap Pola Pembiayaan Bagi Hasil pada Bank Syariah Abdul Rohman 19 Salamuddin

Teologi Rasional pada Pesantren Tradisional: Telaah Konsep Teologi pada Buku Daras

319 - 334 181 - 200 81 - 96

63 - 80

374 - 394 97 - 118 1 -20 355 - 373 245 - 262 276 - 294 417 - 434 135 - 157

335 - 354 158 - 180 45 - 62


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 17 Parluhutan Siregar 18 Ratno Agriyanto & Abdul Rohman 19 Salamuddin

20 Syamruddin Nasution 21 Syamsul Rijal 22 Sukiman 23 Rozalinda & Nurhasanah 24 Zainal

Integrasi Ilmu-ilmu Keislaman dalam Perspektif M. Amin Abdullah Sikap Bankir dan Pengusaha terhadap Pola Pembiayaan Bagi Hasil pada Bank Syariah

335 - 354

Teologi Rasional pada Pesantren Tradisional: Telaah Konsep Teologi pada Buku Daras Teologi di Pesantren Musthafawiyah Blusukan: Menelisik Gaya Kepemimpinan Nizam al-Muluk Epistemologi Tauhid Ismail R. al-Faruqi Nilai-Nilai Pembangunan Islam dalam Masyarakat Suku Gayo

45 - 62

Persepsi Perempuan tentang Perceraian di Kota Padang Gerakan Islamis di Sumatera Barat Pasca Orde Baru

472

158 - 180

222 - 235 21-44 201 - 221 395 - 416 446 - 465


MIQOT Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman

Petunjuk Pengiriman Naskah 1. Tulisan merupakan karya ilmiah orisinal penulis dan belum pernah dipublikasikan atau sedang dalam proses publikasi oleh media lain; 2. Naskah yang dikirim dapat berupa konseptual, resume hasil penelitian, atau pemikiran tokoh; 3. Naskah dapat berbahasa Indonesia, Inggris, dan Arab; 4. Naskah harus memuat informasi keilmuan dan atau teknologi dalam bidang ilmuilmu keislaman; 5. Sistematika naskah konseptual, atau pemikiran tokoh adalah: a. Judul; b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata; d. Kata-kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan; f. Sub-judul (sesuai dengan keperluan pembahasan); g. Penutup; h. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 6. Sistematika resume hasil penelitian adalah: a. Judul; b. Nama Penulis (tanpa gelar akademik), afiliasi penulis berikut e-mail; c. Abstrak ditulis dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris. Maksimal abstrak memuat 80-100 kata. Abstrak berisi tujuan, metode dan hasil penelitian; d. Kata kunci, antara 3-7 konsep; e. Pendahuluan, yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian f. Metode; g. Hasil dan pembahasan; h. Kesimpulan dan saran; i. Pustaka acuan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk); 7. Naskah yang dikirim harus mengikuti aturan penulisan karya ilmiah dan menggunakan catatan kaki serta pustaka acuan; 8. Naskah yang dikirim diketik 1, 5 spasi dengan panjang berkisar 20-25 halaman; 473


MIQOT Vol. XXXVIII No. 2 Juli-Desember 2014 9. Naskah yang dikirim harus disertai CD berisi file naskah dan biodata singkat penulis, atau dikirim melalui e-mail ke: miqot@ymail.com, miqot@iainsu.ac.id. 10. Artikel yang dikirim menggunakan transliterasi Arab-Indonesia sebagai berikut: ‫= ا‬a

‫ = خ‬kh

‫ = ش‬sy

‫ = غ‬gh

‫=ن‬n

‫=ب‬b

‫=د‬d

‫ = ص‬sh

‫=ف‬f

‫=و‬w

‫=ت‬t

‫ = ذ‬dz

‫ = ض‬dh

‫=ق‬q

‫=ه‬h

‫ = ث‬ts

‫=ر‬r

‫ = ط‬th

‫=ك‬k

‫’=ء‬

‫=ج‬j

‫=ز‬z

‫ = ظ‬zh

‫=ل‬l

‫ = ي‬ya

‫=ح‬h

‫=س‬s

‫`=ع‬

‫=م‬m

Untuk kata yang memiliki madd (panjang), digunakan sistem sebagai berikut: â = a panjang, seperti, al-islâmiyah î = i panjang, seperti, al-‘aqîdah wa al-syarî‘ah û = u panjang, seperti al-dustûr Kata-kata yang diawali dengan alif lam (‫ )ال‬baik alif lam qamariyah maupun alif lam syamsiyah), ditulis dengan cara terpisah tanpa meleburkan huruf alif lamnya, seperti al-Râsyidûn, al-syûrâ, al-dawlah. 11. Kata majemuk (idhâfiyah) ditulis dengan cara terpisah pula kata perkata, seperti alIslâm wa Ushûl al-Hukm, al-‘Adâlah al-Ijtimâ‘iyah. 12. Kata “Al-Quran” diseragamkan penulisannya, yaitu al-Qur’an (dengan huruf a kecil dan tanda koma [apostrof] setelah huruf r), sedangkan kalau terdapat dalam ayat atau dalam nama kitab, maka penulisannya mengikuti pedoman transliterasi. Sementara untuk nama-nama penulis Arab ditulis mengikuti pedoman transliterasi, seperti al-Mâwardî, Muhammad Iqbâl, Abû al-A‘lâ al-Maudûdi, Thâhâ Husein, Mushthafâ Kamâl. 13. Penulisan catatan kaki (foot note) harus dibedakan dengan penulisan Pustaka Acuan: a. Catatan kaki (foot note) Muhammad ‘Alî al-Shabûnî, Rawâ‘î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min al-Qur’ân (Makkah: t.p., t.t.), h. 548. 1

2

Ibid.

Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, Vol. III (Jakarta: Lentera Hati, 2001), h. 78. 3

4

Ahmad Mushthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz IV (Kairo: t.p., t.t.), h. 104.

5

Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz VI (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 223.

6

Ibid, h. 224.

b. Pustaka Acuan 474


Petunjuk Pengiriman Naskah

Hamka. Tafsir al-Azhar, Juz VI. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984. Al-Marâghî, Ahmad Mushthafâ. Tafsîr al-Marâghî, Juz IV. Kairo: t.p., t.t. Al-Shabûnî, Muhammad ‘Alî. Rawâ’î’ al-Bayân: Tafsîr al-Âyât al-Ahkam min alQur’ân. Makkah: t.p., t.t. Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2001. 14. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewers) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi) naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis; 15. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting jika diketahui bermasalah; 16. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel, berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel tersebut; 17. Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama dua tahun (empat edisi). Sebagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 2 (dua) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Artikel yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

475


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.