Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Daftar Isi
Pengantar Redaksi
Rupa Ruang Kota Kita
6
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Rupa Ruang Kota Kita
10
Salam Tata Kota… Syukurlah, setelah melewati serangkaian diskusi panjang, akhirnya Jurnal TataKota Bekasi edisi perdana sampai di tangan Anda. Kami berharap jurnal ini selalu ditunggu kehadiran Anda: dua bulan sekali. Jurnal ini lahir dari ide sekelompok masyarakat yang peduli terhadap masa depan Kota Bekasi. Persoalan tata kota bukanlah persoalan sederhana. Bukan sebatas berkaitan aspek materil. Di sana banyak aspek yang sangat kompleks. Pemilihan kata “Jurnal” sengaja kami pilih sebagai identitas intelektualitas. Seluruh materi tulisannya didasari dengan kajian ilimiah. Namun dikemas menggunakan bahasa yang enak dibaca agar mudah dipahami khalayak. Edisi perdana kali ini mengangkat tema “Revitalisasi Ruang Publik”. Tema ini kami pandang sangat relevan dengan kondisi Kota Bekasi. Saat ini ruang publik seolah kehilangan bentuk dan makna. Padahal keberadaannya sangat penting bagi sebuah kota. Jurnal ini menyuguhkan beberapa artikel. Mulai dari definisi dan fungsi ruang publik, arah kebijakan pembangunan Kota Bekasi, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan hingga sumbangan pemikiran dari tokoh-tokoh intelektual yang konsen di bidang ruang publik. Kami berharap kehadiran jurnal ini mampu merangsang gairah intelektual masyarakat Kota Bekasi. Sehingga kita bisa sama-sama “iuran gagasan dan pemikiran” untuk pembangunan Kota Bekasi. Kami sadar bahwa media ini tidak lepas dari banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu sumbang saran dan gagasan sangat kami butuhkan dari Anda. Selamat membaca!
Salam Redaksi
Pemimpin Umum: Ir. Koswara
Pemimpin Redaksi: Denny Bratha,
Sekretaris Redaksi: Farah
Design /Layout: Ipank Farizi
Bagian Umum Wahyu Aji
Pimpinan Perusahaan: Warso Sunaryo
Dewan Redaksi Respati Wasesa, Ichsanuddin
Marketing dan Sirkulasi: Anggi Kusumah, Anggoro
Media Social Officer: Adhitya Galuh Sasongko
Telp: (021) 82436656 Mail: jurnaltatakota@gmail.com
Revisi Alamat: Perum Bumi Bekasi Baru Utara Blok V/28 RT 002 RW 09 Kota Bekasi Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Laporan Utama
Rupa Ruang Kota Kita
Rupa Ruang Kota Kita
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Laporan Utama
Rupa Ruang Kota Kita
Ruang publik menjadi elemen penting dalam sebuah kota. Ia ibarat wajah. Ruang publik yang baik bisa membawa citra kota yang baik pula. Namun, definisi ruang publik ternyata begitu luas. Sehingga perlu diurai terlebih dahulu mengenai itu sebelum kita menjabarkan lebih jauh tentang kondisi riil di lapangan. Ada pendapat, ruang publik merupakan ruang terbuka, sebagaimana taman-taman di pusat kota. Pendapat yang lebih kritis lagi: ruang publik adalah ruang demokratis. Di mana ada warga duduk berkumpul mendiskusikan tema-tema relevan, maka hadirlah ruang publik. Stephen Carr, dari Cambridge University, dalam buku Publik Space (1993) menulis, ruang publik ada beberapa tipe. Antara lain taman umum (public parks), meliputi; taman nasional, taman pusat kota, taman lingkungan dan taman kecil. Lapangan dan plasa (squares and plazas), meliputi; lapangan pusat kota dan lapangan pengikat di gedung-gedung perkantoran. Ruang peringatan (memorial space) yang dibangun untuk mengenang peristiwa penting. Kemudian pasar (markets) di ruas jalan, biasanya bersifat temporer. Jalan (streets), meliputi; jalur transportasi umum, pedestrian dan gang. Tempat bermain (playground) di lingkugan perumahan dan sekolah. Ruang komunitas (community open space) meliputi; lahan kosong di permukiman yang dimanfaatkan warga untuk kepentingan bersama. Ada juga jalan hijau dan jalan taman (green ways and parkways), biasanya dipenuhi pepohonan. Atrium/pasar di dalam ruang (atrium indoor market place) yang difungsikan area jalan di dalam pasar. Ruang di lingkungan rumah (found/neighborhood spaces) seperti kapling kosong. Terakhir, Waterfront, seperti pelabuhan, pantai dan bantaran sungai. Filsuf dan sosiolog Jerman, Jurgen Habermas yang masyhur itu mengatakan, ruang publik memiliki peran penting dalam proses demokrasi. Warga dapat menyatakan opini, kepentingan dan mencurahkan kegelisahan-kegelisahan politisnya. Pengamat perkotaan, Marco Kusumawijaya, dalam makalahnya berjudul Merawat Khalayak dan Ruang Khalayak menguraikan, kalangan geografer—sebutan ahli geografi— membedakan ‘ruang publik’ (public space) dan ‘ranah publik’ (public sphere).
Ranah publik merujuk ‘ruang politik’, tempat berlangsungnya pembahasan, perdebatan dan pengambilan keputusan bersama atas urusan umum. Sedangkan ruang publik mengacu tempat fisik di mana setiap warga bebas mengakses. Ruang publik berbeda dengan ruang privat yang memungkinkan si empunya menolak kehadiran orang lain. Filsuf dan teoretisi politik Iris Marion Young menyebut ruang publik ini dengan istilah ‘embodied public space’. Meski berbeda, ruang publik dan ranah publik bertalian erat. Perencanaan dan penataan ruang publik berdampak pada ruang dan kehidupan politik warga. Young mengatakan, ruang publik, bagaimana pun, adalah tempat setiap orang punya akses, ruang terbuka sekaligus ruang keterbukaan (space of openness and exposure). Yang dimaksud Young itu ruang-ruang fisik di mana warga benar hadir, berjumpa, berinteraksi, bebas beraktivitas ataupun sekadar menikmati ‘rasa’ ruang tersebut. Menurut Marco, di dalam kota, ruangruang publik semacam itu muncul melalui berbagai bentuk. Ada ruang-ruang publik yang sifatnya terbuka (outdoor) dan biasanya dicirikan dalam bentuk ruang fisikalnya. Ada pula yang sifatnya tertutup (indoor). Ruang publik terbuka bisa berupa alun-alun, jalan raya, trotoar, lapangan olahraga, dan seterusnya. Museum adalah salah satu contoh ruang publik tertutup. Dari segi fungsi, kita melihat ada ruang publik untuk berlangsungnya kegiatan sehari-hari, misalnya transportasi umum dan jalan raya. Ada ruang publik untuk kegiatan rekreatif, misalnya taman kota. Ada ruang publik untuk kegiatan berkesenian, misalnya taman budaya. Di sisi lain, kita juga bisa membedakan ruang publik yang sifatnya legal-formal seperti Gedung DPR dan ruang publik yang sifatnya informal seperti alun-alun. Ciri kuat pada ruang publik adalah ruang itu memungkinkan berlangsungnya aksi komunikatif antarwarga dengan berbagai ragam kepentingan, identitas, nilai, dan cara berpikir mereka. Meskipun secara aktual aksi komunikatif itu tidak atawa belum berlangsung, bila ruang tersebut memungkinkan, terutama memang dirancang untuk memungkinkan berlangsungnya aksi komunikatif antarwarga guna mematangkan kehidu-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
pan bersama, maka ruang tersebut bisa kita sebut ruang publik. Ketika datang ke alun-alun kota, Anda mungkin tidak kenal dengan orang yang juga datang ke tempat tersebut. Tapi, alunalun sangat memungkinkan Anda dan oranglain bisa saling berinteraksi. Tiba-tiba, misalnya, Anda didatangi seorang pengemis. Si pengemis mengeluh belum makan dan meminta uang. Anda kemudian memberikan sedikit uang. Anda berarti telah berinteraksi dengan seorang pengemis. Sebagai ruang publik, alun-alun tidak pernah memuat larangan terhadap siapa
l Plasa Alun-alun Kota Bekasi
pun, termasuk pengemis. Semua orang boleh datang ke tempat tersebut. Mal tidak bisa dikatakan sebagai ruang publik secara utuh karena tidak semua orang bisa masuk. Artinya, mal tidak dirancang untuk dijadikan sekadar tempat rekreasi tanpa komersialisasi. Di ruang publik, warga boleh melakukan kegiatan apa pun, karena ruang publik hadir sebagai wadah ekspresi. Dari mulai upacara bendera, ritual keagamaan, olahraga, konser musik, demonstrasi, hingga kampanye. Ruang publik juga menjadi area hijau dan belakangan ini dimanfaatkan pula untuk evakuasi bencana. Ruang publik yang menarik akan se-
lalu dikunjungi warga. Para ahli tata ruang berpendapat, esensi ruang publik ada tiga macam. Pertama, ia memberikan arti bagi warga (meaningful), kemudian tanggap dan mengakomodir semua kepentingan (responsiv) dan menerima kehadiran siapa saja (demokratic). Di Indonesia, pembangunan ruang-ruang publik belum mengakomodir mereka yang memiliki kemampuan khusus atau difabel. Bagi mereka, ini menyusahkan. Seorang difabel netra akan kesulitan ketika berjalan di pedestrian yang buruk, apalagi berlubang. Tentu juga sangat
membahayakan. Padahal Peraturan Menteri Pekerjaan Umum mewajibkan setiap fasilitas publik aksesibel. Di kota-kota besar, penataan pedestrian memang menjadi masalah serius. Kalau tidak untuk berdagang, pedestrian dijadikan tempat parkir liar mengingat minimnya lahan untuk parkir kendaraan. Di sinilah dibutuhkan peran pemerintah untuk mengelola fasilitas publik agar berfungsi sebagaimana mestinya. Perlu terobosan kreatif, seperti memusatkan pedagang kaki lima dan tempat parkir. Ruang Hijau untuk Publik Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang mendefinisikan ru-
ang publik lebih dekat dengan ruang terbuka hijau (RTH). Dalam pasal 29, RTH dibagi menjadi dua: RTH Privat dan RTH Publik. Masing-masing wilayah kota diwajibkan menyediakan 30 persen dari total lahannya untuk RTH. Proporsinya disesuaikan dengan sebaran penduduk. Tetapi perlu diperhatikan pula bahwa RTH tidak otomatis dapat dikategorikan sebagai ruang publik. Ruang publik yang baik harus dapat berfungsi dan dimanfaatkan warga untuk berkumpul, berinteraksi, dan beraktivitas dengan aman dan nyaman. Tanpa adanya aktivitas dan interaksi sosial manusia di dalamnya, maka suatu ruang publik telah gagal mengemban misinya. Lain halnya dengan RTH, tidak ada pun aktivitas manusia dan interaksi sosial di dalamnya, tak jadi soal. Meski demikian, RTH Publik sangat memungkinkan terbentuk menjadi ruang publik. Satu faktor yang perlu diperhatikan adalah melibatkan peran serta masyarakat di dalam penyediaan ruang publik. Meski tidak menjanjikan nilai komersial, pemerintah dapat menawarkan kerja sama kepada pihak swasta (public private partnership). Dalam hal ini, misalnya, swasta dapat diberikan insentif menyediakan iklan di ruang publik. Namun, timbal baliknya, swasta ikut membantu membangun fasilitas yang harus disediakan dalam ruang publik. Di Kota Bekasi, RTH Privat maupun Publik baru mencapai sekitar 11 persen dari total luas wilayah. Pemerintah menargetkan 6.700 hektare RTH atau 30 persen dari luas wilayah sampai tahun 2032 mendatang. Proporsinya, 10 persen merupakan RTH Publik, 20 persen RTH Privat. Dalam Rencana Tata Ruang dan Rencana Wilayah (RTRW) Kota Bekasi 20 tahun ke depan disebutkan, RTH yang dikembangkan tidak hanya berupa taman kota. Beberapa komponen RTH lainnya juga direncanakan. Keseluruhan komponen tersebut antara lain; sempadan sungai, jalur hijau sempadan jalan, hutan kota, taman pusat Bagian Wilayah Kota (BWK), taman lingkungan (kecamatan, kelurahan atau perumahan), taman rekreasi, tempat pemakaman umum (TPU), lapangan olahraga atau lapangan terbuka, pulau jalan, sempadan instalasi berbahaya, sempadan kereta api. Rencana tersebut disusun berdasarkan analisis kondisi eksisting (yang sudah ada) dan potensi lahan RTH di Kota Bekasi. RTH sangat penting dikembangkan karena ber-
fungsi sebagai penyeimbang ekologi lingkungan dan pembangunan kota yang sedang berjalan. 11 komponen RTH tersebut memiliki peran dan fungsi masing-masing. Penghijauan di sempadan atau bantaran sungai, misalnya, bisa mengurangi potensi banjir. Kota Bekasi merupakan daerah yang memiliki banyak sungai. Jika penghijauan ini dilakukan, luasan RTH bisa meningkat. Bahkan sangat memungkinkan RTH di sempadan sungai ini dijadikan sarana rekreatif warga. Pemenuhan target RTH 30 persen memang tidak bisa dilakukan sendirian oleh pemerintah. Semua pihak mesti terlibat. Maka, pengembangan RTH Privat juga menjadi perhatian serius. Lokasinya antara lain bisa berupa pekarangan perumahan, pekarangan fasilitas pendidikan, halaman perkantoran. Masing-masing bangunan mesti menyediakan 10 persen untuk ruang terbuka hijau dari luas lahan terbangun. Perencanaan ruang publik seringkali gagap dalam perawatan dan pengelolaannya. Banyak ruang-ruang kota tak berfungsi, baik yang kecil atau besar, yang belum disentuh untuk pengembangan ruang publik. Persepsi warga terhadap pentingnya ruang publik dalam pembangunan kota semestinya perlu ditingkatkan. Barangkali Surabaya adalah kota yang patut dicontoh. Di sana, pemerintah berani ”merebut” kembali lahan-lahan 14 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang berdiri di atas ruang terbuka hijau (RTH). Lahan tersebut kemudian disulap menjadi ruang publik. Dalam wawancara khusus dengan jurnal ini, Walikota Bekasi Rahmat Effendi menjelaskan wilayah terbangun di Kota Bekasi tahun 2010 saja sudah lebih dari 60 persen. Sementara areal yang belum terbangun umumnya sudah dikuasai pengembang. Sehingga besar kemungkinan lahan tersebut akan berubah menjadi lahan terbangun. Sulitnya memenuhi target RTH memang menjadi kendala utama kota-kota di Pulau Jawa mengingat penduduknya yang padat. Untuk melibatkan pihak swasta, beberapa upaya telah dilakukan Pemerintah Kota Bekasi. Salah satunya dengan diterbitkannya Perda tentang Fasilitas Sosial-Fasilitas Umum (Fasos-Fasum). Perda tersebut mewajibkan pengembang—perumahan, mal maupun industri—menyediakan RTH. Yang termasuk Fasos ialah fasilitas olah-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Laporan Utama
Rupa Ruang Kota Kita
Landmark Summarecon Bekasi / Foto: Miftah
Ruang publik yang menarik akan selalu dikunjungi warga. Para ahli tata ruang berpendapat, esensi ruang publik ada tiga macam. Pertama, ia memberikan arti bagi warga (meaningful), kemudian tanggap dan mengakomodir semua kepentingan (responsiv) dan menerima kehadiran siapa saja (demokratic).
10
raga, pendidikan, ibadah, kantor pemerintahan. Sedangkan Fasum antara lain berupa jaringan jalan, saluran drainase serta taman lingkungan. Umumnya, pengembang menyiapkan kavling-kavling kosong. Pemanfaatannya ditentukan kepentingan dan kesepakatan warga sekitar setelah disetujui pemerintah. “Tetapi kalau yang di dalam perencanaannya taman, itu tidak bisa diubah jadi bangunan. Harus tetap taman. Kita baru punya RTH Publik 3 persen. Padahal RTH Publik ini sangat penting keberadaannya sebagai sarana sosialisasi warga dan penjaga ekologi lingkungan,” kata Rahmat. Menjadi pertanyaan besar ketika mal dibangun begitu gencar, sementara taman kota jumlahnya masih tetap. Dalam setahun ini saja, 7 mal berdiri. Ini belum termasuk perumahan dan industri. Menurut Rahmat hal tersebut sangat dilematis. Di satu sisi pemerintah beru-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
saha menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Di sisi lain RTH juga tidak kalah penting untuk ditingkatkan. “Yang bisa dilakukan ialah menguatkan dan menerapkan regulasi tentang Tata Ruang sebaik-baiknya. Sehingga pembangunan infrastruktur kota dan pertumbuhan RTH seimbang,” katanya. Mengembangkan Ruang Publik yang Estetik Ditilik dari segi estetika ruang publik sangat memengaruhi citra kota. Barangkali kita perlu membayangkan kota impian. Estetika tidak terhenti di rumah-rumah saja. Warga juga bisa merasakan keindahan ketika memasuki gerbang kota melintasi persimpangan, berjalan di pedestrian, atau duduk di taman kota. Demikian dikatakan Kepala Pusat Kajian Otonomi dan Pembangunan Daerah (Puskopda) Universitas Islam ‘45’ Bekasi Haris Budiyono. Haris kemudian menjabarkan gagasan
peneliti dari Amerika Serikat, Kevin Lynch, yang menjadikan Imagine of The City sebagai judul bukunya. Lynch percaya, setiap setiap orang selalu memiliki kesan terhadap lingkungannya. Ada lima elemen dasar yang menurut Lynch bisa menguatkan citra kota. Antara lain Path, Node, Landmark District dan Edge. Kelima elemen tersebut menurut Haris adalah juga ruang publik. Haris cenderung memandang ruang publik sebagai tempat yang diharapkan publik sehingga publik bangga terhadap daerahnya. Maka menurutnya apa yang disampaikan Lynch sangat relevan dengan pembangunan Kota Bekasi. Path yang berarti saluran gerak manusia bisa berupa pedestrian dan jalan umum yang padat dengan aktivitas. Path bisa ditonjolkan di titik tertentu. Terutama di jalan utama yang aksesnya ke mana-mana tidak susah. Di Kota Bekasi path memungkinkan dibangun di Jalan Ahmad Yani untuk menguatkan citra kota. Jalan ini strategis: menghubungkan gerbang tol, pusat bisnis dan pusat pemerintahan. Pemerintah Kota Bekasi mewacanakan Jalan Ahmad Yani sebagai percontohan penataan jalan terbaik. Letak reklame ditata ulang, jembatan penyeberangan dan pedestrian diperlebar. Kepala Dinas Tata Ruang Kota Bekasi Koswara punya gagasan menarik tentang pedestrian. Ia merencanakan sisi kanan dan kiri Jalan Ahmad Yani diperlebar untuk jalur pejalan kaki. Pagar perkantoran di sepanjang jalan tersebut dibongkar. Beberapa titik parkir dibangun. Dengan demikian area yang biasanya untuk parkir kendaraan ditata kembali untuk pejalan kaki. Di pedestrian ini bisa dipercantik dengan pohon dan bangku taman untuk menambah kesan asri. Node atau persimpangan di banyak daerah di Indonesia seringkali ditandangi dengan tugu atau monomen. Di Yogyakarta sebuah tugu di persimpangan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Pangeran Mangkubumi memunculkan citra sangat kuat. Ketika orang datang Yogyakarta rasanya tak lengkap jika belum ‘narsis’ di tugu tersebut. Di Kota Bekasi persimpangan ini justru diduduki area komersial. Sebut saja pusat perbelanjaan Bekasi Junction, Bekasi Cyber Park, Mega Bekasi Hypermall dan Metropolitan Mal. Wajar saja jika kesan yang muncul ialah Bekasi merupakan kota jasa atau bisnis. Bagaimana dengan Landmark? Kota Bekasi belum memiliki ikon yang ‘kuat’
berupa monumen atau penanda kota. Landmark justru ditemui di beberapa perumahan. Summarecon, misalnya, memiliki landmark segitiga terbalik. Dengan adanya landmark tersebut warga kemudian berduyun-duyun datang. Belakangan Pemerintah Kota Bekasi mengadakan lomba membuat desain landmark. Desain tersebut rencananya diaplikasikan di pintu gerbang Tol Bekasi Barat di Jalan Ahmad Yani. Khusus Landmark Kota Bekasi dirundung beberapa peristiwa mengejutkan. Pada tahun 2002 sebuah patung berbentuk ikan lele di dekat Stasiun Bekasi dirobohkan massa. Delapan tahun kemudian, 2010, di Perumahan Harapan Indah, Patung Tiga Mojang karya Nyoman Nuarta seharga Rp2,5 miliar juga dibongkar massa. Mereka menganggap kedua patung tersebut tidak mencerminkan kebekasian. Kemudian, District, ialah daerah atau situs yang memiliki karakter unik dan kreatif. Jakarta punya Setu Babakan sebagai pusat perkampungan budaya Betawi. Kota Bekasi belum punya. Haris mengusulkan Distric di Kota Bekasi tidak mesti sebuah situs. Bisa juga dibangun sentra bisnis kuliner atau kerajinan tangan. Kota Bekasi bahkan memungkinkan munculnya budaya kontemporer. Karakteristik Bekasi sebagai kota urban sangat memungkinkan terjadinya pembauran budaya. Ada pun Edge, atau titik pandang men-
arik dari luar, di Kota Bekasi belum banyak terlihat. Untuk itu perlu dibangun sebuah titik pandang yang menarik. Jakarta punya Monas, Bandung punya Gedung Sate, Semarang punya Gedung Lawang Sewu. “Edge Kota Bekasi, diakui atau tidak, justru ada di Bekasi Square. Dari Jalan Tol, orang tahu Bekasi melalui bangunan Bekasi Square,” kata Haris. Menurut Haris ruang publik sangat bisa direkayasa. Di antara beberapa ukuran kualitas tentang ruang publik, citra dan identitas paling menentukan. Antara kota satu dan lainnya tentu akan memunculkan karakteristik berbeda. Untuk itu unsur budaya juga tidak bisa dilepaskan dari perencanaan kota. “Kota Bekasi lahir dalam kondisi yang given. Artinya, infrastruktur sudah ada. Sebut saja jalan tol dan irigasi Kalimalang. Inilah yang membuat Bekasi seolah-olah kehilangan identitas. Kita perlu back to planing, merekayasa kota ini!” kata Haris. *** Rujukan: Darmawan, Edy. (2007). Peranan Ruang Publik dalam Perancangan Kota (Urban Design). Semarang: Ilmu Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Kusumawijaya, Marco. (2011). Merawat Khalayak dan Ruang Khalayak. Jakarta: Yayasan Tifa.
Masjid Agung Al-Barkah / Foto: Respati
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
11
Laporan Utama
Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
Kaki lima di GOR Bekasi / Foto: Brat
Ruang publik menjadi wacana besar dalam konsep pembangunan perkotaan. Pembangunan di Kota Bekasi sudah seharusnya diimbangi terobosan baru untuk mewujudkan lingkungan hidup perkotaan yang lebih berkualitas, layak huni dan manusiawi. 12
Dengan luas sekitar 210, 49 km2 yang terdiri dari 12 kecamatan dan 56 kelurahan pembangunan di Kota Bekasi berlangsung pesat. Saat ini saja jumlah lahan terbangun sudah mencapai 52,09 persen. Kebanyakan berupa perumahan. Sedangkan yang belum terbangun 48,91 persen. 11,4 persen di antaranya merupakan ruang terbuka hijau (RTH). Sementara sisanya sudah dikuasai pengembang perumahan. Padahal idealnya komposisi RTH di sebuah daerah adalah 30 persen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007. 30
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
persen tersebut dialokasikan untuk RTH Publik yang dimiliki dan dikelola pemerintah kota untuk kepentingan masyarakat umum RTH Privat pada lahan-lahan yang dimiliki swasta atau masyarakat. Secara spesifik Pemerintah Kota Bekasi tidak memisahkan RTH dan Ruang Publik. Sehingga pembahasan mengenai ruang publik masih termasuk di dalam pembahasan ruang terbuka hijau. Meski demikian baik RTH maupun ruang publik dapat dibedakan berdasarkan jenis kegiatan, bentuk dan sifatnya. Ditinjau kegiatannya ada ruang terbuka aktif dan ruang terbuka
pasif. Ruang terbuka aktif adalah ruang terbuka yang mengandung unsur-unsur kegiatan di dalamnya. Antara lain bermain, olahraga, upacara dan berjalan-jalan. Ruang ini dapat berupa plasa, lapangan dan tempat rekreasi. Sedangkan ruang terbuka pasif adalah ruang terbuka yang di dalamnya tidak mengandung kegiatan manusia. Misalnya ruang yang difungsikan sebagai jarak rel kereta api. Selanjutnya ruang terbuka yang ditinjau dari bentuknya. Secara garis besar dibagi menjadi dua jenis yaitu berbentuk memanjang dan berbentuk mencuat. Ruang terbuka berbentuk memanjang mempunyai batas-batas pada sisi-sisinya. Misalnya jalan dan sungai—ini biasanya disebut sempadan. Ruang terbuka berbentuk mencuat mempunyai batas-batas di sekelilingnya misalnya lapangan, alun-alun atau bundaran. Sementara ditinjau sifatnya ada ruang terbuka lingkungan dan ruang terbuka bangunan. Ruang terbuka lingkungan terdapat pada suatu lingkungan dan sifatnya umum. Ada pun tata letak penyusunan ruang-ruang terbuka dan ruang-ruang tertutupnya akan mempengaruhi keserasian lingkungan. Sedangkan ruang terbuka bangunan dibatasi dinding bangunan dan lantai halaman bangunan. Ruang terbuka ini bersifat umum atau pribadi sesuai fungsi bangunannya. Secara umum ruang publik kota dapat dipahami sebagai bagian dari ruang kota yang dapat dimanfaatkan warganya secara tidak terkecuali (inclusive) untuk menyalurkan hasrat dasar sebagai mahluk sosial yang membutuhkan interaksi. Terlebih bagi masyarakat perkotaan yang kebutuhan ruang publiknya terasa lebih mendesak dibanding wilayah perdesaan. Terutama karena di kota ruang untuk beraktivitas masyarakat semakin menyempit akibat pertumbuhan permukiman dan berbagai peruntukan lainnya. Walaupun secara umum ruang publik bisa diakses semua manusia namun norma untuk tidak merugikan kepentingan umum di dalamnya tetap dijaga. Salah satu fungsi utama ruang publik ialah sebagai wahana interaksi antarkomunitas untuk berbagai tujuan baik individu maupun kelompok. Dalam hal ini ruang publik merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial. Di samping itu ruang publik berfungsi memberikan nilai tambah bagi lingkungan. Misalnya dalam segi estetika kota, pengendalian pencemaran udara, pengendalian iklim mikro serta memberikan “image” kota. Penataan ruang publik kota sangat berpengaruh pada karakteristik warga kotanya. Hal ini
sesuai ungkapan bijak Winston Churchill “We shape our public spaces, and; Thereafter, our public spaces shape us”. Bila diterjemahkan ke Bahasa Indonesia ungkapan itu bermakna “Jika kita memulai membentuk atau menata ruang publik dengan baik maka ruang yang ditata itu akan membentuk sikap dan perilaku kita dalam berkehidupan”. Aspek Ruang Publik Beranjak dari pemahaman tentang ruang publik dan fungsinya setidaknya ada beberapa aspek yang sepantasnya dapat dipenuhi ruang publik. Pertama adalah aspek aksesibel tanpa terkecuali (accessible for all). Dimaksudkan bahwa ruang publik dapat dimanfaatkan seluruh warga kota yang membutuhkan. Namun pada kenyatannya fenomena yang ada di Kota Bekasi justru banyak ruang publik yang dikuasai sekelompok masyarakat. Seperti pemanfaatan pedestrian oleh pedagang kaki lima atau pemanfaatan bahu jalan untuk parkir liar. Ini sangat menghalangi warga kota untuk memanfaatkan ruang publik tersebut. Kevin Lynch dalam bukunya The Image of The
Tiang listrik di tengah trotoar jalan A. Yani yang rusak / Foto: Respati
City (1960) menyebutkan jalan, garis sepandan sungai dan pedistrian merupakan elemen ruang publik. Kondisi semacam ini mudah dijumpai di Kota Bekasi. Di Jalan Ahmad Yani di depan kantor Samsat deretan kendaraan setiap hari memenuhi lajur lambat. Begitu juga di depan Rumah Sakit Mitra Keluarga. Operasi yang kerap digelar Dinas Perhubungan tidak membuat efek jera bagi pengguna kendaraan. Hal sama terjadi di Jalan Juanda tepatnya di Pasar Proyek, Terminal Bekasi, sepanjang wilayah Ampera hingga pertigaan Bulak Kapal. Pedestrian yang seharusnya bisa diman-
faatkan pejalan kaki juga dirampas lapaklapak pedagang kaki lima. Pedestrian Jalan Juanda di perempatan Bulan-bulan setiap hari penuh sesak dengan berbagai macam lapak pegadang yang menjajakan aneka barang. Selain itu bahu jalan juga digunakan parkir kendaraan. Pemerintah Kota Bekasi terkesan membiarkan keberadaan para pedagang yang telah merampas hak pejalan kaki itu. Kemudian di Jalan Baru Kranji pedagang juga dengan leluasa menggelar lapaknya di bahu jalan sehingga pada jam-jam sibuk menimbulkan kemacetan. Keberadaan pedestrian di jalan-jalan utama di Kota Bekasi tidak ditata dengan baik dan tidak terawat. Banyak lubang dibiarkan menganga. Bahkan di tengah-tengah pedestrian juga dimanfaatkan sebagai tempat menancapkan tiang listrik, reklame, pot bunga, sehingga menghilangkan fungsinya sebagai ruang publik. Pemanfaatkan jalur hijau di sempadan sungai pun marak terjadi. Seperti di jalan utama Perumahan Bumi Bekasi Baru Kecamatan Rawalumbu. Sepanjang jalan di tepian sungai berderet lapak-lapak semi permanen. Aspek kedua ruang publik adalah universalitas. Dimaksudkan penyediaan ruang publik semestinya dapat mengakomodir berbagai kelas, status dan kebutuhan masyarakat baik kelas atas sampai bawah, normal sampai difabel, anak-anak sampai dewasa dan pria atau wanita. Namun fenomena yang muncul justru menjamurnya pembangunan “pola kontainer” (container development) yaitu bangunan yang mampu menampung berbagai aktivitas sosial ekonomi secara sekaligus. Misalnya mal. Ini cenderung hanya dapat dinikmati sekelompok masyarakat menengah ke atas saja. Mal juga tidak akan peduli dengan kaum difabel. Padahal semestinya bentuk container ini tidak selalu berarti negatif sepanjang bisa menjawab secara positif ruang di mana ia berada. Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Siswadi mengatakan Pemkot Bekasi sampai saat ini belum mengakomodir kebutuhan kaum difabel di ruang publik. Pedestrian di jalan-jalan utama Kota Bekasi tidak bisa diakses untuk kaum difabel. Termasuk taman kota, sarana transportasi dan fasilitas layanan umum. Padahal penyediaan akses untuk kaum difabel di ruang publik diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998. Aspek ketiga adalah keberlanjutan fungsi (functionability). Dimaksudkan ruang publik
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
13
Laporan Utama
Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
Garis sempadan sungai dijadikan parkiran di depan Mall Metropolitan / Foto: Mbot
dapat dijamin dan dirawat secara berkelanjutan sehingga terus berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Tidak hanya secara fisik namun yang jauh lebih penting adalah aspek fungsinya itu sendiri. Di Kota Bekasi beberapa pengembang perumahan besar menutup akses tamannya untuk publik dengan alasan keamanan (safety reason) maupun kenyamanan. Misalnya karena dikotori pengunjung. Padahal sebelumnya taman tersebut dibuka untuk umum. Aspek keempat adalah kesesuaian fungsi. Dimaksudkan ruang publik dijamin dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa wujud ruang publik dapat berbentuk ruang terbuka hijau/taman, fasilitas umum/sosial, pedestrian, dan lain sebagainya. Namun demikian dapat kita lihat secara kasat mata terutama setelah krisis ekonomi banyak ruang publik tersebut telah beralih fungsi. Sebagai contoh pedestrian dimanfaatkan untuk pedagang kaki lima, badan jalan dimanfaatkan untuk tempat parkir, dan lain sebagainya. Praktik privatisasi ruang publik ini hampir dilakukan semua pengelola gedung perkantoran, areal bisnis dan mal yang ada di Kota Bekasi. Ruang publik disulap menjadi lahan parkir komersial. Selain itu banyak ruang publik milik pemerintah yang sudah tidak lagi sesuai dengan fungsinya. Seperti kompleks GOR Bekasi yang seharusnya bisa dimanfaatkan warga untuk berolahraga secara penuh setiap Minggu tapi sebagian malah dikuasai pedagang kaki lima. Kondisi serupa terjadi di Lapangan Pondok Gede di mana kondisinya tidak terawat karena hampir separuh luas lapangan dikuasai pedagang.
14
Revitalisasi Keinginan menciptakan ruang publik yang memenuhi berbagai aspek di atas ternyata bukan perkara mudah. Apalagi Kota Bekasi tidak dirancang menjadi Kota Taman (Garden City) yang mengedepankan ruang publik atau ruang terbuka sebagai elemen utamanya. Saat ini ruang publik di Kota Bekasi semakin jauh dari gambaran sebagai tempat berinteraksi yang nyaman, memadai dan aman. Kalau tidak kotor dan semrawut oleh pedagang kaki-lima ruang publik di Kota Bekasi rawan tindak kriminal. Fasilitas publik yang disediakan pun seringkali rusak akibat vandalisasi. Untuk itu kita perlu Merevitaliasi Ruang Publik di Kota Bekasi agar kembali kepada fungsinya. Keterlibatan masyarakat sangat penting terutama dalam pemeliharaannya. Masyarakat tidak hanya memiliki hak mendapatkan fasilitas ruang publik namun juga sekaligus memiliki kewajiban memeliharanya. Dengan keterlibatan masyarakat maka jaminan keberlanjutan fungsi ruang publik tersebut semakin besar. Dalam konteks ini masyarakat harus dipandang sebagai elemen vital: sebagai elemen paling memahami hal-hal yang menjadi kebutuhannya sehingga ruang publik tercipta sesuai dengan kebutuhan. Pada gilirannya ini mendorong tumbuhnya rasa memiliki. Kedua, kemitraan dengan dunia usaha. Walapun pemerintah memiliki tanggung jawab menjamin tersedianya ruang publik namun penyediaanya dapat diserahkan kepada dunia usaha. Pemerintah dapat bertindak sebagai “fasilitator dan regulator” melalui berbagai perangkat pengaturannya dan sekaligus sebagai pengawas yang menjamin penyediaan fasilitas ruang publik
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
sesuai dengan kebutuhan warga kota. Prinsip lain yang perlu diperhatikan untuk menjamin tersedianya fasilitas ruang publik ini adalah dengan menerapkan penegakan hukum (law enforcement). Hukum mesti ditegakkan tanpa pandang bulu agar pemanfaatan fasilitas umum untuk kepentingan pribadi tidak menjadi hal biasa. Selanjutnya adalah pengendalian. Instrumen yang dapat digunakan sebagai landasan penegakan hukum yaitu peraturan mintakat (zoning regulations) yang juga ditetapkan melalui Perda. Instrumen ini memungkinkan peran kuat para ahli perencanaan kota, arsitektur-lanskap, lingkungan, dan sosial-budaya, untuk bersama-sama duduk dalam Komisi Perencanaan Kota (Planning Commission). Mereka bertugas memantau penyelenggaraan pengaturan zoning. Khususnya zoning yang ditetapkan sebagai ruang-ruang publik. Kemudian yang juga penting adalah keberpihakan penyediaan anggaran melalui APBD. Ini untuk menjamin adanya pemihakan yang tegas terhadap kelompok masyarakat menengah ke bawah agar dapat memiliki akses dan alternatif (choice) yang sama dengan kelompok lainnya. Misalkan saja anggaran tersebut digunakan untuk membangun taman-taman kota. Terakhir adalah penataan kelembagaan. Selama ini ruang terbuka hijau di Kota Bekasi pengelolaanya masih tumpang tindih. Taman Alun-alun Bekasi dikelola Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Hutan Kota Bina Bangsa dikelola Dinas Pemuda Olah Raga Kebudayaan dan Pariwisata. Taman di pinggir jalan dikelola Dinas Pertamanan Pemakaman Penerangan Jalan Umum. Dalam satu ruang publik saja seperti pedestrian ada banyak kepentingan. Di sana ada pot-pot, tiang listrik, drainase dan reklame. Penataan kelembagaan ini perlu dilakukan agar tidak ada konflik kepentingan sehingga fungsi utamanya tetap terjaga. Pada akhirnya ruang publik yang baik tidak hanya bergantung pada pemerintah semata. Tapi juga sangat ditentukan adanya dukungan dan kerjasama semua pihak.*** Rujukan Makalah Seminar Menejemen Ruang Publik Jakarta, Soenarno, 2012 Konsep Penataan dan Pengelolaan Ruang Publik Pada Wilayah Perkotaan, Drs Oman Sukmana, 2007 Naskah Akademik Perda RTRW Kota Bekasi 2011-2031 Kajian Potensi dan Ruang Pengembangan Industri Kreatif di Kota Bekasi, Haris Budiyono, 2012
Taman, Nafas Kotaku Taman Perumahan Kemang Pratama. Sekarang dipagar / Foto: Firman
Ketika kota berubah wajah dengan gedung-gedung menjulang tinggi, warga tetap akan rindu dengan keramahan alam. Seruan “hijau” menggema di mana-mana. Terutama di kota besar yang sesak polusi. Maka wajarlah jika kota yang dipuji-puji saat ini adalah kota yang gencar melakukan penghijauan. Salah satunya dengan membangun taman kota.
T
aman menjadi pilihan karena kota besar tak mungkin lagi membuka hutan sungguhan. Lahan sudah sangat terbatas. Bahkan boleh dibilang lahan untuk hunian saja jadi bahan rebutan. Imbasnya harga lahan semakin mahal. Rumah murah pun mustahil didapat. Namun beruntunglah Undang Undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mewajibkan pemerintah daerah menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30% dari luas keseluruhannya. Ini artinya peluang untuk menghijaukan kota masih ada. Di Indonesia kota yang punya terobosan kreatif dalam membangun taman ialah Surabaya. Di sana pemerintah berani ”merebut” kembali lahanlahan 14 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) yang berdiri di atas ruang terbuka hijau (RTH). Lahan tersebut kemudian disulap menjadi taman dan bisa diakses publik. Banyak pihak akhirnya mengacungkan jempol kepada kota yang juga terkenal baik dalam menyediakan jalur bagi pejalan kaki itu. Taman merupakan elemen kota yang banyak fungsinya. Selain untuk keindahan taman juga berfungsi sebagai tempat bermain, berolahraga, mendapatkan udara segar, pemelihara ekosistem tertentu dan pelembut arsitektur kota. Bagi warga kota taman merupakan pemeliharaan hubungan emosional dengan alam lingkungan dan arena bersosialisasi dengan warga lain dengan suasana santai. Singkatnya taman bisa menjadi ruang publik. Mengingat pentingnya taman bagi kota ES Savas dalam bukunya Privati-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
15
Laporan Utama
Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
zation and Publik Private Partnership, (New York-London, 2000), menempatkannya sebagai publik goods yakni natural resources atau man made features yang dapat dinikmati orang secara gratis. Pemerintah di negaranegara maju umumnya sangat serius memperhatikan aspek pertamanan. Di New York, misalnya, salah satu program pokok pemerintah kota adalah memelihara dan mengembangkan taman untuk kepentingan publik. Fokusnya ialah meningkatkan kualitas kondisi area bermain, menambah dan memperbaiki pepohonan di ruang terbuka hijau, menyediakan tempat rekreasi dan hiburan, mengawasi kebersihan dan keamanannya, dan sebagainya. Yang menarik pengelolaan taman di New York tidak semata-mata menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah. Melainkan melalui bentuk-bentuk kemitraan antara pemerintah dan warga yang tinggal di sekitar taman. Tingginya partisipasi warga tersebut tentu berhubungan erat dengan tingkat kesadaran mereka dalam masalah pertamanan. Terutama fungsi taman bagi kehidupan publik. Hasil survei Steven Cohen dan Bill Elmicke (1996) terhadap warga New York menunjukkan 74 persen warga kota berpendapat bahwa taman adalah kebutuhan hidup yang esensial. 17 persen menganggap taman sebagai elemen penting dan hanya 2,4 persen yang menyatakan tidak penting. Di United Kingdom (U.K), Commission for Architecture and the Built Environment atau biasa disebut CABE, komisi independen yang juga memperhatikan persoalan ruang publik, punya hasil survei menarik. 87 persen penduduk di wilayah perkotaan Inggris telah mengunjungi taman kota mereka dalam satu tahun terakhir. Hampir dua pertiga kota London terdiri atas ruang hijau dengan komposisi 23.9 persen taman privat dan 38.3 persen ruang hijau seperti taman pemakaman, perkebunan, taman publik, lapangan golf, lapangan rumput, habitat alami, country park, cagar alam, dan taman konservasi. Presentase ruang hijau terhadap penduduk adalah 1,24 hektar per 1.000 orang. The Green Flag Award adalah standar na-
Taman Alun-alun Kota Bekasi / Foto: Respati
16
Data Taman DPPPJU Tahun 2012 sional untuk mengukur kualitas ruang terbuka hijau di Inggris. The Green Flag Award pertama kali diselenggarakan tahun 1996 untuk memilih dan menganugerahkan ruang terbuka hijau terbaik di negara tersebut. Ada 8 kriteria penilaian taman kota, yakni (1). Keramahan (welcoming), (2). Kebersihan, keamanan, dan keselamatan, (3). Kebersihan, (4). Kelestarian, (5). Perawatan dan Konservasi, (6). Keterlibatan komunitas dan masyarakat, (7). Publikasi dan pemasaran, dan (8). Manajemen. Taman di Kota Bekasi Kota Bekasi memang bukan New York. Namun melihat visi-misi pembangunan Kota Bekasi jelas ada keinginan yang sama. Yaitu ingin membangun kota modern yang layak huni, ramah lingkungan dan manusiawi. Hanya saja implementasi keinginan tersebut berbeda. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi. Dari mulai lemahnya kebijakan pemerintah hingga minimnya kesadaran warga.Mari tengok beberapa taman di pusat Kota Bekasi. Pertama ialah Taman Alun-alun Kota
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Bekasi. Sejak dibuka untuk umum akhir tahun lalu taman kota di Jalan Veteran Kota Bekasi seluas 2 hektar ini tak pernah sepi. Tiap pagi dan sore nampak anak-anak kecil menghabiskan waktu di taman bersama orangtuanya. Inilah taman yang tengah dibangga-banggakan Pemerintah Kota Bekasi. Sebelum memasuki gerbang pengunjung disambut gerombolan burung merpati. Pemerintah Kota Bekasi sengaja menyediakan sangkar yang dipasang di pohon. Merpatimerpati itu jinak. Berkeliaran hanya di area taman saja. Tentu saja petugas harus berepotrepot membersihkan kotorannya. Ada tiga jalur utama berupa trotoar. Warga bisa berjalan kaki atau naik sepeda untuk mengitari taman. Bentuk jalurnya semacam huruf O yang dihalangi garis-garis lurus di dalamnya. Di tengah-tengah ada sebuah bangunan tempat untuk berteduh. Fasilitas bermain anak juga disediakan seperti perosotan dan ayunan. Ada pula kolam dan air mancur yang berisi berbagai jenis ikan. Rindangnya pepohonan membuat taman kota
menjadi area paling mencolok di antara masjid, rumah sakit dan kantor kepolisian. Semua fasilitas itu disediakan atas kerjasama pemerintah dan swasta. Kepala Bagian Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bekasi Dadang Hidayat mengatakan beberapa area di taman kota akan ditambahkan beberapa fasilitas rekreasi seperti flying fox dan outbond. Selain itu akan ada papan catur permanen di belakang taman agar bisa dimanfaatkan semua orang yang berkunjung. Toilet akan diperbagus. Untuk mengantisipasi adanya perusakan pihaknya menyiapkan penjaga sebanyak 10 orang bergantian setiap hari. Ada juga petugas kebersihan, petugas perawatan tanaman dan petugas perawatan peralatan. Beberapa motor pengangkut sampah juga disediakan. Di sebelah selatan taman ada ruang terbuka berpaving. Area ini biasanya ramai malam hari. Para pedagang berderet di pinggir jalan. Pengunjung bisa duduk di atas tikar sambil menikmati makanan. Hanya dibatasi pagar, sebelahnya lagi, ada lapangan. Ini kerap digunakan untuk upacara dan olahraga. Lapangan ini juga terhubung dengan taman kecil tempat Tugu Resolusi Bekasi berdiri. Walikota Bekasi Rahmat Effendi menginginkan taman kecil tersebut dipugar menjadi taman lalu lintas. Menurutnya taman lalu lintas adalah miniatur kawasan tertib lalu lintas. Ia berharap ini bisa memenuhi kebutuhan ruang rekreasi warga terutama anak-anak. Yang juga tak kalah ramai ialah taman di kompleks GOR Bekasi. Taman ini dinamai Hutan Kota Bina Bangsa. Terletak berada di bagian utara Stadion Bekasi. Untuk mengaksesnya pengunjung bisa masuk melalui pintu utama di Jalan Ahmad Yani. Atau tepatnya sebelum Flyover Noer Ali Summarecon. Setelah itu ada pintu gerbang khusus untuk memasuki area taman. Luas taman ini kira-kira dua kali lebih besar dari Taman Alun-alun. Jenis tanaman di sini juga berbeda. Kebanyakan merupakan pohon dengan ukuran besar. Kesan pertama pengunjung ketika memasuki taman ini cenderung akan sama: teduh dan alami. Wajar jika taman ini juga dijadikan area untuk kemah. Begitu memasuki pintu gerbang pengunjung disuguhi suasana patriotik. Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi tegak berdiri. Dibangun di era pemerintahan Bupati Abdul Fatah tahun 1978. Monumen ini berbentuk tugu lima buah setinggi 17 meter yang melambangkan Pancasila dan Hari Kemerdekaan. Di belakangnya terdapat relief yang menggambarkan perjuangan Rakyat Bekasi dalam empat periode. Tugu ini berdiri di tengah-tengah kolam. Mengitari seluruh area taman kita sera-
sa menyusuri perkampungan di tengah hutan. Ada areal terbuka yang diperuntukkan untuk aktivitas pengunjung. Ada pula bangku-bangku permanen. Setiap pagi taman ini ramai. Bahkan ketika bukan hari libur. Siswa sekolah memanfaatkannya secara rutin untuk olahraga. Bila sore hari para pemain sepatu roda berlatih di lintasan yang berada di area taman. Ibarat pemain sirkus mereka pun ditonton para pengunjung. Mari kita bertolak ke Bekasi bagian Timur. Di sekitar Terminal Bekasi ada Taman Cut Mutia. Taman ini berada di Jalan Cut Mutia tepatnya di persimpangan terminal. Sepintas bentuknya mirip segitiga. Mengerucut. Tidak terlalu luas memang. Tapi dibanding taman-taman di simpang jalan lainnya ini yang paling luas. Pohonpohonnya tertata apik seperti taman di depan perkantoran. Cara menanamnya pun sengaja lebih tinggi dari area untuk beraktivitas. Di tengah-tengah taman ada bundaran air mancur. Pengunjung kerap duduk-duduk di sekitar air mancur ini. Tempat-tempat untuk pohon yang berbentuk kotak-kotak justru menambah kesan artistik jalur taman. Mengingat tempatnya di persimpangan jalan agaknya taman ini sengaja dirancang hanya untuk singgah. Tapi setidaknya taman ini menjadi semacam penanda masuk Kota Bekasi dari arah Kabupaten Bekasi. Ada tugu menjulang yang memuat tulisan “Kota Bekasi”. Pemerintah Kota Bekasi mengaku hanya mengelola 9 taman yang seperti di Jalan Cut Mutia. Antara lain taman pemisah Jalan Hasibuan Bekasi Timur. Taman pemisah jalan di sepanjang Jalan KH Noer Alie. Taman pertigaan Stasiun Bekasi. Taman di sepanjang Jalan Djuanda. Taman di sepanjang Jalan Ahmad Yani, termasuk di depan area perkantoran Pemerintah Kota Bekasi. Kemudian di area pintu keluar Tol Bekasi Timur dan di daerah Jakasampurna. Sedangkan taman yang sekelas dengan di GOR dan Alun-alun antara lain Taman Lapangan Multiguna Bekasi Timur, Taman Lapangan Pondok Gede dan Taman Lapangan Mustikjaya. Ini belum termasuk taman-taman di kelurahan dan perumahan. Masalah yang Harus Diatasi Permasalahan serius yang belum terpecahkan ialah kebersihan. Hampir semua taman di Kota Bekasi penuh sampah. Di samping perawatan yang terkesan tidak intens kesadaran warga membuang sampah pada tempatnya juga masih rendah. Taman di Jalan Veteran yang dijadikan andalan saja kebersihannya diragukan. Sampah mudah ditemui di mana-mana. Begitu pula di Hutan Kota Bina Bangsa. Saluran drainase dipenuhi sampah sehingga kerap menimbulkan genangan ketika banjir.
Sampah berserakan di Hutan Kota Bina Bangsa Bekasi / Foto: Imam
Kolam yang seharusnya bisa menjadi daya tarik pengunjung justru terlihat kotor. Air mancur di Taman Cut Mutia juga mengalami hal sama. Tidak berjalan. Bahkan genangannya menimbulkan bau tidak sedap. Ini menandakan bahwa tidak ada perawatan yang intens dari pihak pengelola taman. Taman Lapangan Multiguna juga semakin memprihatinkan. Rumput-rumput yang dulunya terawat dan bisa digunakan sebagai arena pertandingan sepak bola kini semakin rusak. Bahkan ketika turun hujan menjadi becek. Ini terjadi lantaran fungsinya tidak termanajemen dengan baik. Misalnya sering dijadikan tempat konser musik dan kegiatan lainnya yang cenderung merusak vegetasi di dalamnya. Yang lebih mengkhawatirkan ialah adanya ‘mafia tanah’. Mereka memanfaatkan tanah pemerintah untuk kepentingan pribadi. Sebut saja Taman Lapangan Pondok Gede. Di sekelilingnya berdiri bangunan-bangunan semi permanen yang sebenarnya fungsinya untuk kepentingan publik. Bahkan ada yang warga mengklaim bahwa tanah tersebut miliknya sehingga menimbulkan sengketa. Karena taman sangat penting bagi kehidupan warga kota sudah seharusnya upaya untuk mengembangkan dan merawatnya ditingkatkan. Pemerintah bisa menjalin kerja sama dengan pihak swasta agar taman-taman tersebut tidak hanya punya lahan dan pohon saja. Tapi juga ada fasilitas-fasilitas lain yang membuat orang tertarik mengunjungi. Pemerintah juga harus mampu merawat taman yang ada agar tidak beralih fungsi menjadi bangunan. Sudah saatnya Kota Bekasi menerapkan manajemen pertamanan yang benar-benar profesional. Selain membangun dan merawat, taman mesti menjadi pusat interaksi warga yang nyaman dan aman.*** Rujukan: Mokoginta, Lukman. (2006). Politik Kota dan Hak Warga Kota. Jakarta: Kompas. Narasoma, Giri. (2011). Ruang Publik Hyde Park London. Majalah Ruang Edisi 6.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
17
Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
Ada Makna yang Terlupa Sinta, gadis tujuh tahun, nampak heran melihat Tugu Kali Bekasi di Jalan Juanda. Bentuk tugu yang aneh. Di bawahnya dikeilingi relief bernuansa patriotik. Anak kecil itu menarik baju sang ayah yang sedang asyik tawar-menawar harga dengan pedagang di trotoar. “Ayah, itu bangunan apa?”. Ayahnya gelagapan menjawab. Maklum, tujuan dia ke situ hanya berburu batu akik.
l Tugu Resolusi Bekasi Jalan Veteran Bekasi Selatan/ Foto: Miftah
18
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Sejak Tugu Kali Bekasi dibangun area di sekitarnya tak pernah sepi. Para pedagang memanfaatkan trotoar untuk berjualan. Barang dagangan yang ada di sini cukup beragam. Selain batu akik ada bermacam handpone bekas, keris, uang kuno, jam, kamera bekas, dan banyak lagi. Pohon-pohon besar menjadi daya tarik pejalan kaki untuk berteduh sambil melihat-lihat barang. Akhirnya membeli. Namun tak banyak orang mengetahui makna tugu tersebut. Di tempat ini pernah terjadi pembantaian 90 tentara Jepang oleh Pejuang Bekasi pada 18 Agustus
1945. “Tragedi Kali Bekasi” membuat Soekarno bertandang. Ia menenangkan rakyat supaya tidak meluas menjadi kerusuhan rasial. Tempat ini kerap dikunjungi orangorang Jepang untuk ritual tabur bunga. Belum ada penjelasan resmi dari Pemkot Bekasi tentang filosofi bangunan tersebut. Di sekitar Stasiun Kota Bekasi ada satu lagi tugu yang menarik perhatian. Orang menyebutnya Patung Lele. Kini bentuknya berupa batangan lurus saja seperti jarum. Di atasnya terdapat jam rusak. Sepintas mirip Jam Gadang di Bukit Tinggi Padang. Kondisinya cukup memprihatinkan. Lempengan-lempengan besi dibiarkan tak beraturan setelah papan iklan yang menempel dicopot. Tugu ini terletak tepat di perempatan dekat stasiun. Orang tidak tahu apa makna di balik bangunan ini. Dulu memang berbentuk ikan lele serta memiliki filososi tersendiri. Namun sebagian masyarakat menolak kemudian ramai-ramai membongkarnya pada tahun 2002. Konon lele dianggap hewan rakus,pemakan kotoran. Kondisi ini akhirnya mengundang pertanyaan banyak orang. Wina (32) misalnya, wanita yang tiap hari lewat tugu itu, berkomentar, “harusnya bisa seperti tugu di Yogyakarta. Tempatnya di perempatan dan menjadi ciri khas kota. Kalau begini tak ada kesan keindahannya sama sekali.” Padahal di sebelah timur Patung Lele ada taman kecil yang teduh. Bila ditata dengan baik dan dipadu dengan ikon kota pasti lebih apik. Sayangnya pagar yang mengelilingi taman kota dipenuhi bendera partai, spanduk berwajah politisi, serta baliho-baliho. Seolah-olah ruang publik telah menjadi ‘panggung narsisme’. Bertolak ke arah selatan dekat Masjid Al Barkah ada sebuah tugu lagi yang memiliki nilai sejarah tinggi. Ini merupakan monumen tonggak berdirinya Bekasi. Terletak di Jalan Veteran depan Kodim 0507. Tugu Resolusi—begitu namanya—berbentuk segi lima dengan tinggi 5,8 meter. Berdiri tegak di tengah lapangan yang dikelilingi pagar persegi lima setinggi satu meter. Dominasi angka lima melambangkan dasar negara Pancasila. Di tugu ini pernah terjadi peristiwa penting. Pada 17 Januari 1950 ada rapat akbar yang dipimpin KH. Noer Alie dan diikuti 40.000 warga Bekasi. Rapat akbar menghasilkan pernyataan bahwa rakyat Bekasi setia kepada Republik Indonesia. Rakyat berkeinginan
melepaskan diri dari Karisidenan Jatinegara. Mandiri menjadi Kabupaten Bekasi. Namun tak ada penanda apa. Wajar jika warga pun acuh tak acuh. Ada lagi monumen di Jalan Agus Salim. Dibangun pada 13 Desember 1949 untuk menandai pembumihangusan Bekasi oleh tentara sekutu pada 13 Desember 1945 . Monumen ini berbentuk tugu persegi empat dengan tinggi 210 cm. Puncaknya atau disebut kepala tugu tingginya 75 cm. Kabarnya dilengkapi dengan pecahan peluru, mortir, granat tangan dan sepucuk pistol genggam milik pejuang. Kondisi tugu saat ini cukup memprihatinkan. Tidak terawat. Di Kompleks GOR Bekasi berdiri Monumen Perjuangan Rakyat Bekasi. Ini dibangun di era pemerintahan Bupati Abdul Fatah tahun 1978. Monumen ini berbentuk tugu lima buah setinggi 17 meter yang melambangkan Pancasila dan hari kemerdekaan. Di belakangnya terdapat relief yang menggambarkan perjuangan rakyat Bekasi dalam empat periode. Mengukuhkan Identitas Monumen erat hubungannya dengan landmark atau penanda kota. Sebab monumen ditunjang sejumlah elemen yang mampu memberikan citra melalui seni bangun arsitekturnya. Monumen bahkan seringkali dibangun di lokasi yang pada masa lalu pernah terjadi peristiwa penting. Tugu Kali Bekasi dan Tugu Resolusi Bekasi merupakan contohnya. Namun monumen dibangun tidak saja untuk keperluan estetika kota saja. Lebih dari itu monumen bisa menjadi mendium warga kota merefleksikan nilai sosial budaya. Juga sebagai medium pewarisan nilai tertentu yang dianggap penting dari generasi satu ke generasi yang lain. Jika nilai itu sampai kepada penerima maka monumen telah berhasil membangkitkan spirit warga kota. Peneliti dari Amerika Serikat, Kevin Lynch, dalam bukunya Imagine of The City, mengemukakan bahwa setiap setiap orang selalu memiliki kesan terhadap lingkungannya. Ada lima elemen dasar yang menurut Lynch bisa menguatkan citra kota. Antara lain Path, Node, Landmark, District dan Edge. Kepala Pusat Kajian Otonomi dan Pembangunan Daerah (Puskopda) Universitas Islam ‘45’ Bekasi Haris Budiyono mencoba menjelaskan gagasan Lynch. Menurut Haris monumen seringkali
l Tugu Kali Bekasi Jalan Juanda / Foto: Miftah
dibangun di persimpangan. Atau node dalam istilah Lynch. Di persimpangan-persimpangan jalan itulah ingatan warga kota kadang melekat. Maka jika monumen dihadirkan setiap yang lewat pastilah memperhatikan. Purwakarta adalah daerah yang saat ini gencar membangun monumen di tiap-tiap persimpangan. Efeknya kesan yang muncul dalam ingatan publik ialah Purwakarta Kota Estetik. Namun menurut Haris apalah arti sebuah penanda dalam kota jika tidak memiliki arti apa-apa bagi warganya. Apalagi tidak dibanggakan. Sebuah monumen adalah ruang publik di mana setiap orang merasa hadir di sana meski tidak secara fisik.Maka konsep yang matang sangat dibutuhkan ketika membangun monumen. Ada unsur estetika tapi juga ada nilai sejarah dan budaya di dalamnya. Ketua Dewan Kesenian Kota Bekasi Ridwan Marhid menyesalkan kondisi monumenmonumen di kota ini. Ke depan ia berharap monumen bersejarah di Kota Bekasi lebih mudah diakses publik dan memiliki kesan yang menarik. Contoh kecil ialah dengan menambahkan papan informasi di area monumen agar pengunjung tahu lebih banyak apa yang melatarbelakangi dibangunnya monumen tersebut.***
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
19
Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
Melihat Bekasi Lebih Dekat
Permukiman padat Kota Bekasi / Foto: Dok. Distakot Bekasi
Kota Bekasi tidak bisa dilepaskan dari desain pembangunan nasional, provinsi dan kawasan. Kota Bekasi berperan sebagai pengimbang (counter magnet) ibu kota mengingat letaknya yang berdekatan. Juga merupakan perbatasan dua provinsi. Dalam struktur tata ruang makro tersebut Kota Bekasi diarahkan pengembangannya sebagai pusat kegiatan bidang jasa, perdagangan, industri dan permukiman. Maka kebijakan sangat penting dan berpengaruh dalam pembangunan Kota Bekasi ke depan.
20
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Dengan luas sekitar 210, 49 km2 , Kota Bekasi memiliki 12 kecamatan dan 56 kelurahan. Mustika Jaya merupakan wilayah terluas (24,73 Km2) sedangkan Bekasi Timur terkecil (13,49 Km2). Kota Bekasi dikepung Kabupaten Bekasi sebelah utara dan timur, Kabupaten Bogor di sebelah selatan, Jakarta Timur sebelah Barat. Wilayah Kota Bekasi terletak pada ketinggian dan rata-rata kurang 25 m di atas permukaan air laut. Ketinggian kurang dari 25 meter berada pada Kecamatan Bekasi Utara, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, dan Pondok Gede. Sedangkan ketinggian antara 25-100 meter di atas permukaan air laut berada di Kecamatan Bantargebang, Jatiasih dan Jatisampurna. Keadaan morfologi wilayah Kota Bekasi relatif berawa, datar dan menyebar. Kemiringan lahannya bervariasi antara 0-2%. Jadi kota ini mustahil punya bukit. Dari peta aliran sungai di Kota Bekasi berkelok-kelok dan bercabang. Kondisi tanah kota Bekasi yang relatif datar menyebabkan adanya potensi bencana berupa banjir. Ini belum lagi mempertimbangkan kondisi aliran air permukaan dan air tanah Kota Bekasi. Maka sistem drainase yang bagus adalah keharusan. Ada beberapa daerah langganan banjir. Antara lain sebagian Kelurahan Jatirahayu, Kelurahan Jatirasa, Kelurahan Jatimekar, Kelurahan Bojongmenteng, Kelurahan Jakasetia, Kelurahan Pekayon Jaya, Kelurahan Pengasinan, Kelurahan Arenjaya, Kelurahan Bintarajaya, Kelurahan Kotabaru, Kelurahan Durenjaya dan Kelurahan Margajaya. Lahan Semakin Terbatas Perkembangan jumlah dan laju penduduk Kota Bekasi yang sangat tinggi dihadapkan pada keterbatasan lahan. Pada masa-masa mendatang ini dapat menimbulkan permasalahan antara lain sulitnya warga mendapatkan lahan murah untuk rumah. Kualitas lingkungan hidup juga terancam karena ambang batas kepadatan penduduk telah terlampaui terutama di wilayah pusat kota. Lokasi perumahan saat ini sebagian besar berada di Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Barat, Bekasi Selatan dan Bekasi Utara. Lahan tidak terbangun berada di wilayah selatan Kota Bekasi seperti Kecamatan Jatiasih, Jatisampurna, Bantargebang dan Mustikajaya. Dimanfaatkan untuk sawah, kebun campuran maupun tegalan. Karena pertumbuhan dan kegiatan ekonomi di Jakarta dan sekitarnya begitu pesat maka kebutuhan lahan perumahan menjadi lebih tinggi. Kota Bekasi salah satu wilayah yang sangat diminati investor. Ini terlihat dari izin lokasi perumahan yang masuk ke pemer-
intah. Izin lokasi perumahan sebagian besar terdapat di wilayah selatan karena memang masih ada lahan dan infrastrukturnya pun relatif memadai. Data Dinas Tata Kota Bekasi menyebutkan alokasi lahan untuk perumahan tinggal 8 persen. Jika 8 persen itu sudah terbangun maka tidak ada lagi lahan untuk perumahan. Sejak tahun 1997 sampai 2011 sedikitnya ada 210 perumahan baru berdiri. Tahun 2012 ada 75 perumahan dan tahun 2013 ini sudah ada 13 perumahan yang dibangun. Jika dirata-rata 19 perumahan baru dibangun tiap tahunnya. Keterbatasan lahan perlu diantisipasi dengan penataan kawasan tersebut. Salah satunya mengenalkan permukiman vertikal dalam bentuk rumah susun atau apartemen. Pengembangan pola-pola permukiman vertikal ini di samping dapat mengatasi keterbatasan lahan juga dapat menambah ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan. Sehingga
Karena pertumbuhan kegiatan ekonomi di Jakarta dan sekitarnya begitu pesat maka kebutuhan lahan perumahan menjadi lebih tinggi. Kota Bekasi salah satu wilayah yang sangat diminati investor.
dapat meningkatkan kualitas lingkungan kawasan perkotaan. Dan yang terpenting harga bisa terjangkau. Dengan bangunan vertikal maka kepadatan penduduk suatu kawasan dapat meningkat dengan pemenuhan kebutuhan akan ruang bagi masing-masing orang tetap terpenuhi. Kebutuhan akan ruang untuk aktivitas lain juga tetap terpenuhi. Seperti kegiatan perdagangan dan jasa dapat dialokasikan di lantai dasar bangunan. Begitu pula dengan kebutuhan akan ruang terbuka hijau dapat dipenuhi. Pemerintah Kota Bekasi berencana mendirikan rumah-rumah vertikal ini di daerah yang mudah menjangkau transportasi umum. Pertimbangannya, itu akan semakin meringankan penghuninya. Di pusat kota rumah vertikal dibangun di Kelurahan Margahayu. Di bagian utara dan tengah dibangun di Bekasi Jaya, Aren Jaya, Duren Jaya, Kranji, Kota Baru, Pekayon Jaya, Kayuringin Jaya, Sepanjang Jaya, Pengasinan, Medansatria, Harapan Mulya, Jatiwaringin, Jaticempaka dan Jatirahayu. Kemudian di daerah Selatan dibangun di Kelurahan Jatisampurna, Jatirangga, Jatikarya, Bantargebang, Cikiwul dan Pedurenan.
Peluang Ekonomi Tingkat penyerapan tenaga kerja dari sektor-sektor ekonomi Kota Bekasi masih rendah sementara pencari kerja cukup besar. Ini pada akhirnya dapat menimbulkan masalah pengangguran. Heterogenitas masyarakat baik secara sosial-ekonomi maupun sosial-budaya yang menuntut pemenuhan kebutuhan beragam pun belum terakomodasi dalam pemanfaatan ruang kota. Penduduk Kota Bekasi terdiri dari penduduk asli dan migran. Para pendatang hadir dan bekerja di Bekasi dan Jakarta. Penduduk migran lebih banyak jumlahnya dibanding dengan penduduk asli. Sebabnya perkembangan kegiatan di Jakarta menjadikan Kota Bekasi menjadi penyangga. Namun ini sebenarnya berpeluang bagi Kota Bekasi untuk membuka lapangan kerja. Seperti di Jakarta jenis lapangan pekerjaan di Kota Bekasi yang tepat adalah pekerjaan yang memberikan kontribusi tinggi terhadap perekonomian daerah seperti industri pengolahan, jasa, perdagangan, hotel, dan restoran. Sektorsektor inilah kini berpeluang di Kota Bekasi. Berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bekasi dari tahun 2005 hingga tahun 2011, sektor yang memberikan kontribusi terbesar adalah sektor industri pengolahan khususnya industri nonmigas. Pada tahun 2005 kontribusinya cenderung stabil sekitar 47,1% dari total PDRB Kota Bekasi. Sedangkan sektor lain yang juga memberikan kontribusi besar tinggi setelah industri pengolahan adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan peranan sekitar 28,%. Sektor pengangkutan pada tahun 2010-2011 kontribusinya naik dari sekitar 4% menjadi sekitar 7%. Kemudian disusul sektor jasa, keuangan, bangunan dan listrik. Yang kontribusinya sangat kecil hanya pertanian. Meski demikian lahan di Kota Bekasi sangat terbatas sehinga diperlukan kebijakan yang lebih progresif untuk mendukung pengembangan sektor yang berkontribusi tersebut tanpa mengurangi ketersediaan ruang terbuka. Kota Bekasi bagian utara saja semakin padat baik untuk industri maupun permukiman. Melihat daya dukung lingkungan bangunan berat dan perluasan industri janganlah dilakukan. Muka air tanah daerah ini berpotensi turun. Kontur tanahnya lunak pula. Kegiatan industri sebaiknya diarahkan ke wilayah Kota Bekasi bagian selatan di sekitar Kecamatan Bantargebang. Menuju Industri yang Ramah Secara umum kegiatan perdagangan dan jasa yang berkembang di Kota Bekasi menempati lokasi di sepanjang jalan utama baik itu jalan
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
21
Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
arteri maupun jalan kolektor. Kegiatan perdagangan dan jasa berkembang di pusat kota umumnya terpusat di Jalan Juanda, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Sudirman, Jalan Kartini. Melihat kecenderungan perkembangan kota maka kawasan ini diharapkan dapat menjadi Pusat Kota (Centre Business District). Untuk membentuk kegiatan pusat kota dibutuhkan pengaturan jenis dan skala kegiatan sehingga “image” yang terbentuk bisa lebih utuh. Untuk itu pengaturan penggunaan ruang diarahkan dengan kriteria tertentu agar dapat berdayaguna dan berhasilguna. Sayangnya sebagian besar kegiatan perdagangan dan jasa tersebut belum menyediakan fasilitas parkir yang memadai sehingga seringkali menimbulkan kemacetan arus lalu lintas. Sementara kegiatan industri di Kota Bekasi masih acak di beberapa lokasi-lokasi industri seperti di Kelurahan Harapan Jaya, Medansatria, Kalibaru, dan Pejuang. Lokasi industri juga berkembang di sekitar Kecamatan Bantargebang. Yang menjadi permasalahan keberadaan kegiatan industri ini kemudian bercampur dengan kegiatan lain seperti perumahan atau perdagangan dan jasa. Apabila tidak ditangani dan dikontrol dengan benar tentu dapat mencemari lingkungan sekitar baik berupa pencemaran suara, udara, ataupun limbah. Untuk mencegah pencemaran maka kegiatan industri penghasil limbah berbahaya perlu dilengkapi fasilitas pengolahan limbah yang baik. Ke depan perkembangan kegiatan industri ini mesti ramah lingkungan atau akrab disebut clean industry. Kondisi ruang terbuka hijau juga semakin memprihatinkan. Ruang terbuka hijau berupa lahan pertanian di sebagian Kecamatan Bantargebang, Jatisampurna, Medansatria saat ini mulai terkikis digantikan dengan bangunan khususnya permukiman skala besar yang dikembangkan swasta. Jalur hijau seperti di sepanjang jalur sungai, jalan utama kota dan jalur rel kereta api, pun digeser bangunan, baik untuk kegiatan perdagangan, jasa, industri, pergudangan maupun perumahan. Kondisi ini sangat menyulitkan pelebaran jalan apabila dipandang perlu. Akhirnya jika terpaksa dilakukan pembebasan lahan tentu memakan biaya besar. Hilangnya ruang hijau di jalur hijau ini jika tidak direspon serius bisa menimbulkan persoalan lebih gawat. Bantaran sungai di pusat Kota Bekasi berganti menjadi daerah terbangun. Permasalahan akan muncul pada saat sungai meluap di musim hujan. Daerah dekat sungai di Kota Bekasi dipastikan langganan banjir. 22
Pengembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Sistem Permukiman Nasional Kota Bekasi dalam lingkup regional telah ditetapkan sebagai pusat permukiman. Guna mendukung fungsi dan peran ini Kota Bekasi perlu mempersiapkan pengembangan jaringan jalan primer baik jalan arteri maupun jalan kolektor. Jalan arteri primer berfungsi menghubungkan pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan wilayah. Sedangkan jalan kolektor primer berfungsi menghubungkan antarpusat kegiatan wilayah. Akses jalan di dalam kawasan perumahan di Kota Bekasi relatif bagus. Namun akses antarkawasan perumahan kurang memadai karena masih menggunakan jalan arteri maupun kolektor yang melewati areal permukiman padat. Saat ini jaringan jalan primer di Kota Bekasi belum berfungsi maksimal. Untuk itu pengembangan jaringan jalan primer di masa mendatang harus dirancang sungguhsungguh. Ini perlu mempertimbangkan kondisi sistem jaringan jalan regional di luar Kota Bekasi seperti Kabupaten Bekasi, Kabupaten Bogor, dan DKI Jakarta. Kondisi struktur jalan Kota Bekasi saat ini menimbulkan berbagai permasalahan krusial. Kota Bekasi memiliki struktur jalan dengan pola terpusat dan berorientasi ke pusat kota. Jalan regional juga melintasi kawasan pusat kota. Kita perlu membangun jalan alternatif untuk menghubungkan pusat-pusat kegiatan di luar dan di dalam Kota Bekasi. Sehingga setiap pergerakan baik eksternal-eksternal, eksternal-internal, maupun internal-internal, tidak harus selalu melalui wilayah pusat kota yang saat ini sudah ramai. Pada umumnya kota-kota di negara berkembang memiliki segudang permasalahan transportasi akibat konsep pengembangan jaringan jalan yang kurang baik. Kita lebih sering melakukan perbaikan jaringan jalan daripada mencoba menyediakan jaringan jalan. Beberapa rencana pembangunan jalan regional strategis yang melintasi atau berada di Kota Bekasi antara lain pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Jati AsihCikunir, Jalan Tol Layang Cawang-Bekasi, Jalan Tol Jatiasih-Setu (Penghubung JORR 2 dan JORR I), Jalan Tol JORR 2 dari Cibubur-Cileungsi-Setu-Babelan hingga JORR I di Cakung. Kemudian pelebaran dan pembangunan jalan baru di Jalan Raya Bekasi, meliputi Jalan Pejuang-Kaliabang- Cikarang, pelebaran Jalan Siliwangi. Kemudian pembangunan jalur Busway dari Setu-Jalan Siliwangi – Tol Bekasi – Jakarta. Jalur double double track CikarangJakarta sepanjang jalur kereta api yang ada. Pemerintah Kota Bekasi sendiri juga berencana membangun jalan tol dalam kota. Antara
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
lain Tol dari Bintara (terusan Jalan Ngurah Rai) hingga Aren Jaya (Jalan Pahlawan). Jalan ini dikembangkan untuk mengantisipasi rencana Double Double Track Kereta Api dari Manggarai (Jakarta) ke Cikarang. Kemudian tol dari Jalan Ahmad Yani hingga Jalan Pejuang. Jalan ini dikembangkan untuk melancarkan pergerakan wilayah Bekasi utara dengan daerah selatan. Untuk meminimalisasir kemacetan arus lalu lintas yang terjadi akibat tingkat kepadatan kendaraan, terutama di persimpanganpersimpangan yang ada di jalan utama pusat kota dan di persimpangan sebidang dengan rel Kereta api, Kota Bekasi akan merealisasikan pengembangan interchange, baik berupa flyover, skycross maupun underpass. Yang direncanakan akan dibangun antara lain Interchange Ahmad Yani, Flyover dari Jalan Pahlawan-Jalan Joyomartono, Flyover H. Agus Salim, Interchange JORR – Jalan Hankam Raya, Interchange JORR – Jalan Jatikramat. Perlu Infrastruktur Memadai Seperti dipaparkan di atas, penetapan sektor permukiman sebagai salah satu sektor unggulan di Kota Bekasi membawa konsekuensi pesatnya pertumbuhan penduduk. Namun ketika permukiman-permukiman terbangun apakah sarana dan prasarana bagi warga terpenuhi? Ternyata masih banyak masalah. Pelayanan kesehatan dan pendidikan belum merata. Sekolah, rumah sakit, klinik maupun puskesmas, masih terpusat di tengah kota. Padahal kedua bidang ini menjadi penjaga generasi penerus bangsa. Kegiatan yang terpusat di satu titik tentu membawa dampak keruwetan. Kemudian yang perlu dipikirkan juga adalah penyediaan sarana air bersih. Di masa mendatang, pelayanan air bersih kota Bekasi tidak dapat bergantung pada sumber air baku dari Tarum Barat saja. Mengingat saluran tersebut terbatas kapasitasnya karena harus melayani DKI Jakarta. Jaringan drainase pun mengalami kendala dengan adanya sarana lain seperti jalur kereta api, jalan tol dan jalan arteri. Prasarana transportasi yang membelah kota Bekasi dari Timur ke Barat tentu mengganggu penyaluran air limpasan hujan. Dan saat ini banjir telah akrab dengan Kota Bekasi. Seiring dengan bertambahnya penduduk perlu juga diperhatikan permasalahan pengelolaan air limbah yang timbul di wilayah dengan kepadatan tinggi. Pada daerah tersebut sistem on-site yang menggunakan cubluk atau jamban tangki septik tidak mungkin lagi dapat diterapkan. Dan di waktu bersamaan sistem prasarana persampahan menghadapi banyak kendala. Ini terutama disebabkan semakin sulitnya mencari lahan untuk lokasi TPA.***
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
23
Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
Sejenak Menengok Macet Kemacetan menjadi pemandangan lazim di Kota Bekasi. Hampir semua jalan utama di kota ini mengalami kemacetan. Apa penyebabnya? Banyak faktor. Terutama karena kita warga kumuter. Suka mondarmandir.Bolak-balik dengan kendaraan pribadi.
Pergerakan komuter ini membebani jalan penghubung Kota Bekasi-Jakarta. Antara lain Jalan Sultan Agung, Jalan K. H Noer Ali, Jalan Raya Jatiwaringin, dan Jalan Tol Bekasi-Jakarta. Saat ini saja jumlah kendaraan—berbagai jenis—di Kota Bekasi berkisar 500.000 unit. Tahun 2012, 70.715.032 kendaraan memasuki jalan tol di Kota Bekasi. Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah Kota Bekasi juga mencatat penambahan titik kemacetan pada tahun 2013. Tahun 2011 hanya 11 titik, tahun 2012 naik menjadi 17 titik, kemudian menjadi 19 titik. Titik macet tersebut antara lain di depan Metropolitan Mal, Jalan KH Noer Ali depan Bekasi Cyber Park, Jalan Jenderal Sudirman depan Grand Mall. Kemudian sekitar Pintu Tol Bekasi Timur, pintu keluar Tol Bekasi Barat, pintu keluar Tol Jatiwaringin, simpang Harapan Indah, simpang Pondok Ungu, simpang Alexindo, Jalan Caman, Simpang Rumah Sakit Bella Bekasi Timur, Jalan Perjuangan, Jalan Juanda, simpang Kemang Pratama, Jalan Siliwangi-Pendawa, simpang KomsenJatiasih, putaran Pasar Pondokgede, Super Indo Giant Galaxy, dan Jalan Cut Mutia. 24
Pesatnya pembangunan perumahan ternyata tidak dibarengi dengan pengembangan jaringan jalan primer, baik arteri maupun kolektor. Sampai tahun 2012, panjang jalan di Kota Bekasi mencapai 3.193,037 km dengan rincian 132,182 km merupakan jalan primer dan 1.527,355 km jalan sekunder. Sedangkan jalan lingkungan yang terdapat di Kota Bekasi tahun 2012 adalah 1.533,50 km. LOS (Level of Service) adalah salah satu metode menilai kinerja jalan. Nilai LoS E berarti arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda, volume mendekati kapasitas. Sedangkan nilai LoS F berarti arus terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, sering terjadi kemacetan cukup lama. Kapasitas jaringan jalan utama di Kota Bekasi tidak mampu menampung volume pergerakan. Nilai LoS menunjukkan E dan F. LoS E berada di jalan-jalan utama pusat kota, seperti Jalan Juanda, Ahmad Yani, dan akses menuju Jakarta. Sedangkan LoS F berada pada akses menuju utara dan selatan. Antara lain Jalan Perjuangan, Joyomartono dan Pengasinan. Kondisi ini diperparah dengan berjum-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
l Kepadatan lalulintas simpang Tol Bekasi Barat / Foto: Miftah
lahnya kendaraan setiap tahunnya, saat ini saja jumlah kendaraan berbagai jenis di Kota Bekasi yang berkisar 500.000 unit. 260.000 di antaranya jenis motor. Kepadatan lalu lintas terlihat pada volume kendaraan yang masuk melalui gerbang tol di Kota Bekasi tahun 2012 ada sebanyak 70.715.032 kendaraan. Jumlah ini meningkat sebesar 62,34 persen dibandingkan tahun yang lalu,dan ini diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnya. Hal ini mengakibatkan perempatan yang terdapat lampu lalu lintas. Kendaraan pun terhambat dan akhirnya macet. Para pengendara juga kerap menerabas rambu sehingga menimbulkan kekacauan. Namun, benarkah angkutan umum adalah solusi kemacetan? *** Angkutan umum yang dominan dalam pergerakan internal Kota Bekasi adalah paratransit dan angkutan kota. Paratransit yang dominan ialah ojeg. Masing-masing angkutan umum tersebut memiliki permasalahan tersendiri. Paratransit memang dibutuhkan untuk melayani pergerakan yang tidak terjangkau angkutan kota. Terutama bagi yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Namun, di sisi lain, daya tampung paratransit sangat terbatas. Jalan pun terbebani lebih berat. Ada pun isu krusial seputar angkutan kota tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan jalan. Trayek-trayek angkutan kota di Kota Bekasi telah mencapai batas yang ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan sulitnya pengembangan angkutan kota di Kota Bekasi. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Kota Bekasi Supandi Budiman, angkutan umum juga ternyata menyumbang 30 persen kemacetan. Data yang ada menunjukan, tahun 2012 jumlah angkutan kota sebanyak 3.762 unit yang melayani 34 trayek. Sedangkan mikrobus sebanyak 414 unit dan taksi sebanyak 6.875 unit. Bagaimana mengatasinya? Jumlah armada harus ditentukan dan trayek diatur lagi. Kualitas ditingkatkan. Ini demi kenyamanan penumpang. Sebab, angkutan kota sering dicap ugal-ugalan dan tidak tertib. Maka, pengaturan lalu lintas sangat penting. Antara lain menertibkan pedagang di simpang jalan, mengatur jam operasional angkutan berat, menata angkutan umum paratransit, serta memperjelas trayek angkutan luar kota. Sistem transportasi perkotaan merupak-
an sistem yang kompleks dan melibatkan berbagai instansi atau lembaga. Lembaga yang terkait dengan sistem transportasi di Kota Bekasi dapat dikelompokkan menjadi Lembaga Perencanaan, Lembaga Pelaksana Teknis, dan Lembaga Pengawasan. Sedangkan yang termasuk lembaga pelaksana teknis antara lain Dinas Perhubungan, Dinas Bina Marga dan Tata Air, Kepolisian, Perum Damri, PT. KAI, Asosiasi Angkutan Umum, dan sebagainya. Bentuk koordinasi kelembagaan antarlembaga terkait dalam sistem transportasi di Kota Bekasi dilakukan mulai dari tahap perencanaan transportasi, pelaksanaan pembangunan transportasi, hingga monitoring dan evaluasi pelaksanaan pembangunan. Di samping bentuk koordinasi kelembagaan antarlembaga di lingkungan Pemerintah Kota Bekasi, mengingat sifat transportasi yang lintas wilayah, maka koordinasi kelembagaan juga perlu dilakukan. Yaitu antarinstansi kabupaten/kota terkait, dalam hal ini Pemerintah DKI Jakarta, Kabupaten Bogor dan Pemerintah Kabupaten Bekasi, termasuk di lingkungan Provinsi Jawa Barat. *** Jumlah tempat parkir di Bekasi belum mencukupi. Padahal ada dua jenis tempat parkir: di badan jalan (on-street parking) dan luar jalan (off-street parking. Dari sisi pergerakan lalu lintas, keberadaan onstreet parking mengurangi kapasitas efektif jalan dan menghambat arus lalu lintas. Ini terlihat di semua jalan utama. Dinas Perhubungan mencatat, sedikitnya ada 70 titik parkir liar di bahu-bahu jalan ini. Penertiban terhadap on-street parking di ruas-ruas jalan Kota Bekasi perlu segera dilakukan. Hal ini mengingat kondisi ruasruas jalan Kota Bekasi yang digunakan onstreet parking tidak begitu lebar. Selain itu, kegiatan on-street parking yang tidak tertib akan menyebabkan penurunan kapasitas efektif ruas jalannya sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kemacetan. Ada beberapa langkah menertibkan on-street parking. On-street parking harus ditentukan di beberapa titik saja. Kemudian dibatasi jam operasionalnya. Misal di luar jam berangkat dan pulang kerja. Setiap kendaraan juga dibatasi lama parkirnya. Ruas jalan mesti dipasangi rambu, baik yang boleh untuk parkir maupun tidak. Bagi yang melanggar, kenakan sanksi. Manajemen yang baik sangat menentukan keberhasilan
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
25
Laporan Utama Revitalisasi Ruang Publik Kota Bekasi
on-steet parking ini. Namun, yang menjadi prioritas semestinya ialah pengadaan off-street parking. Setiap bangunan wajib menyediakan lahan parkir yang memadai. Solusi lain ialah membangun parkir bersama di beberapa titik. Area parkir bersama ini hendaknya mudah menjangkau transportasi umum. Di Stasiun Bekasi, misalnya, lahan parkir sangat dibutuhkan. Warga yang hendak ke Jakarta tinggal menitipkan kendaraan di Stasiun. Kemudian ia naik KRL. Kota Bekasi juga belum memiliki terminal yang representatif. Padahal jumlah trayek maupun kendaraan angkutan kota sangat banyak. Kondisi terminal tipe B di Jalan Juandatidak layak akibat bercampur dengan pasar. Jaringan jalan telah rusak sehingga mengakibatkan kemacetan di sekitar akses keluar-masuk terminal ini. Sedangkan di Pondokgede, yang selama ini berfungsi sebagai terminal tipe C, ternyata tidak ditemui fisik terminal. Kemacetan di daerah Pasar Pondokgede mengakibatkan akses menuju Kota Jakarta terhambat. Permasalahan lainnya adalah tumbuhnya terminal-terminal bayangan. Terminal ini menggunakan badan jalan. Jelas menggangu lalu lintas. Kemacetan seringkali terjadi pula di jalan
depan stasiun. Stasiun yang ada di Kota Bekasi adalah Stasiun Bekasi dan Stasiun Kranji. Stasiun Bekasi berada di pusat kota dengan jaringan jalan yang relatif padat lalu lintas. Pengaturan lalulintas di daerah ini perlu dilakukan, terutama menertibkan ojeg dan angkutan kota yang berhenti sembarangan. Persoalan struktur jalan dan transportasi juga menjadi perhatian serius Pemkot Bekasi. Ini terlihat dalam rencana penataan struktur jalan yang tertuang di Perda RTRW 2011-2031. Penataan jalan diarahan untuk memudahkan warga mengakses keluar atau menuju Kota Bekasi. Perencanaan tentu menyesuaikan kebijakan DKI Jakarta, Kota Depok, Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor. Pemerintah Kota Bekasi berencana membuka jaringan jalan baru yang melintang baik dari arah utara-selatan maupun barat-timur. Jaringan jalan ini dapat berupa jaringan jalan raya ataupun jalan bebas hambatan (jalan tol). Secara lebih detail, rencana pengembangan meliputi rencana pembangunan jalan regional, rencana pembangunan jalan tol dalam kota; rencana pengembangan jaringan jalan internal; rencana penanganan persimpangan sebidang; serta rencana penanganan parkir.
Berebut jalan di perempatan Jalan A. Yani / Foto: Miftah
26
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, Koswara, menjelaskan dalam naskah akademik Perda RTRW terdapat beberapa pembangunan jalan regional strategis yang melintasi atau berada di Kota Bekasi. Salah satu di antarnya yang sudah selesai tahap pembangunan dan dioperasikan adalah pembangunan Jalan Tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) Ruas Jati Asih-Cikunir dan Jalan Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu. “Keberadaan jalan regional strategis tersebut secara langsung mempengaruhi struktur penaataan jalan di Kota Bekasi,” jelas Koswara. Pembangunan struktur jalan dalam kota juga disiapkan. Untuk mengurai kemacetan di pusat kota, flyover Summarecon telah dibangun. Flyover ini menghubungkan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Pejuang. Dengan begitu, pergerakan warga Bekasi dari wilayah utara ke selatan tidak terganggu dengan adanya rencana Double Double Track Kereta Api. Frekuensi perjalanan kereta dari akan ditambah, dari 238 kereta per hari menjadi 500 kereta per hari. Yang direncanakan akan dibangun antara lain Interchange Ahmad Yani, Flyover dari Jalan Pahlawan-Jalan Joyomartono, Flyover H. Agus Salim, Interchange JORR – Jalan Hankam Raya, Interchange JORR – Jalan Jatikramat. ***
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
27
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
Bekasi penuh SESAK Kota Bekasi semakin disesaki bangunan. Lahan yang tadinya belum terbangun mulai berubah rupa menjadi permukiman, pabrik, pusat perbelanjaan dan perkantoran. Kota Bekasi sangat diminati para investor. Saat ini saja Kota Bekasi baru memiliki sekitar 11% ruang terbuka hijau. 5% di antaranya disumbang dari kawasan lindung dan hutan kota. Undang-undang mewajibkan setiap kota memenuhi 30 persen ruang terbuka hijau. Nah, Perda RTRW Kota Bekasi 2011-2031 menjadi semacam panduan untuk memastikan keseimbangan ruang tetap terjaga. Balance life harus diwujudkan. Sebab jika peruntukan lahan tidak diatur dengan baik maka dikhawatirkan Kota Bekasi masa depan menjadi menjadi belantara beton belaka.
28
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
29
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
Kebijakan
Penataan Ruang Kota Bekasi
Kota merupakan lambang peradaban kehidupan manusia, sebagai pertumbuhan ekonomi, sumber inovasi dan kreasi, pusat kebudayaan, dan wahana untuk peningkatan kualitas hidup. Kota adalah suatu lingkungan binaan manusia, merupakan hasil ciptarasa dan karsa manusia yang secara sengaja dibentuk atau tidak sengaja terbentuk, mempunyai karakteristik tersendiri sesuai dengan daya dukung lingkungannya dan menjadi wadah bagi kegiatan manusia dengan segala aspek kehidupan yang dinamis. Perkembangan kegiatan manusia di wilayah perkotaan akan mengarahkan perkembangan tampilan fisik kota, baik secara luasan horizontal maupun luasan vertikalnya yang pada akhirnya akan mempengaruhi lingkungan alam sekitarnya. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka. Persyaratan minimum pembangunan berkelanjutan berupa terpeli-
30
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
haranya apa yang disebut dengan “total natural capital stock” pada tingkat yang lama atau kalau bisa lebih tinggi dibanding dengan keadaan sekarang. Untuk itu diperlukan sebuah perencanaan kota yang cermat dan matang. Sesuai dengan amanat Undang-undang 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Setiap kota diwajibkan untuk memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Kedua rencana tersebut merupakan dokumen dilengkapi dengan penjelasan peta grafis mengenai segala hal/faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota. Produk grafis tersebut merupakan penjabaran dari naskah dokumen rancangan yang memberikan gambaran visual secara dua dimensi tentang penggunaan wilayah atau bagian ruang sesuai dengan fungsi dan pemanfaatannya. Produk normatif dan grafis tersebut adalah merupakan suatu upaya untuk pengerahan sumber-sumber daya perkotaan, baik meliputi alam, ekonomi, dan manusia, untuk men-
capai tujuan pembangunan kota yang dicita-citakan. Raperda RDTR Kota Bekasi 2011-2013 sudah diparpurnakan pada tahun 2012, saat ini sedang menunggu pengesahan dari Gubernur Jawa Barat. RDTR merupakan operasionalisasi dari RTRW. Dengan skala 1:5000, RDTR merupakan rencana tata ruang paling detail, sehingga, dengan kedetailannya tersebut batasan fisik antara wilayah dan pemanfaatan lahan dapat dilihat dengan jelas. Salah satu tujuan RDTR adalah sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang terutama perizinan. Oleh karena itu, peraturan zonasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari RDTR karena akan menjadi acuan dalam hal perizinan yang diharapkan mampu menghilangkan ranah abu-abu dalam penataan ruang. Bagian Wilayah Pelayanan (BWP) Raperda RDTR Kota Bekasi mengatur secara detail tentang beberapa elemen tata ruang, seperti misalnya; Zona Rawan Bencana, Zona Lindung, Ruang Terbuka Hijau, Sistem Transportasi, Rencana Jaringan Prasarana, Rencana Pengembangan Sarana Dan Prasarana Transportasi, Rencana Pengembangan Transit Oriented Development (TOD), Rencana Pengembangan Sistem Perparkiran, Rencana Pengembangan Jalur Pejalan Kaki, Rencana Pengembangan Jalur Sepeda, Rencana Pengembangan Sarana Pelengkap Jalan, Rencana Sistem Jaringan Energi atau Listrik, Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi, Rencana Sistem Jaringan Gas, Rencana Penyediaan Air Bersih, Rencana Penanganan dan Pengelolaan Air Kotor atau Limbah, Rencana Sistem Persampahan, Rencana Pengembangan Jaringan Sistem Drainase, Rencana Jalur Evakuasi Bencana, Rencana Sistem Pemadam Kebakaran, Prioritas pengembangan, Ketentuan Peyediaan Sarana dan Prasarana, Ketentuan Penyediaan Prasarana dan Sarana Dasar Minimal, Ketentuan Penyediaan Tempat Pemakaman Umum (TPU), Ketentuan Pemanfaatan Ruang, dan lainnya. Tulisan ini dibatasi pada pembahasan Bagian Wilayan Pelayanan (BWP) sebagai elemen paling penting dalam penataan ruang. Materi tulisan ini disarikan dari Raperda RDTR 2011-2031. Kota Bekasi dibagi menjadi 5 BWP. BWP adalah Satuan zonasi pada kawasan perkotaan yang dikelompokkan sesuai dengan kesamaan fungsi adanya sesuai dengan kesamaan fungsi, adanya pusat tersendiri, kemudahan aksesibilitas, dan batasan-batasan, baik fisik maupun administrasi. Kelima BWP tersebut adalah; 1) BWP Pusat Kota dengan luas wilayah 6284,70 Ha, dikembangkan menjadi pusat aktivitas pemerintahan, sosial, ekonomi dan rekreasi Kota Bekasi yang berwawasan Lingkungan, strategis pertumbuhan ekonomi dan sebagai pusat kegiatan ekonomi kota dan regional. BWP Pusat Kota meliputi; Kecamatan Bekasi Barat (Kelurahan Bintara Jaya, Kelurahan Bintara, Kelurahan Kranji, Kelurahan Kota Baru dan Kelurahan Jaka Sampurna). Kecamatan Bekasi Timur (Kelurahan Margahayu, Kelurahan Bekasi Jaya, Kelurahan Aren Jaya dan Kelurahan Duren Jaya). Kecamatan Bekasi Selatan (Kelurahan Jaka Mulya, Kelurahan Jaka Setia, Kelurahan Pekayon Jaya, Kelurahan Marga Jaya, Kelurahan Kayuringin Jaya), dan Kecamatan Rawalumbu (Kelurahan Bojong Menteng, Kelurahan Bojong Rawalumbu, Kelurahan Sepanjang Jaya, Kelurahan Pengasinan). Pengembangan Perumahan di kawasan BWP Pusat Kota diarahkan untuk bangunan dengan kepadatan tinggi (R2) dengan KDB
maksimal 70% dan KLB maksimal 2,1 dan Kepadatan Rendah (R4) dengan KDB maksimal 30 %, KLB 0,9. Selain itu diprioritaskan untuk pengembangan perumahan skala besar (Kasiba atau Lisiba) yang dilakukan oleh pengembang diprioritaskan pada lahan yang telah dikeluarkan izinnya. Pengembangan perumahan oleh pengembang ini meliputi tiga tipe (jenis) perumahan dengan komposisi perbandingan 1 : 3 : 6 dan pengembangan perumahan skala besar ini di arahkan untuk mengembangkan konsep pengembangan rumah taman atau rumah kebun dengan ketentuan KDB maksimal 50%. Selain itu juga diarahkan untuk hunian vertical yang tersebar di beberapa sub Blok diantaranya; Kelurahan Margahayu, Kelurahan Bekasi Jaya, Kelurahan Bojongrawalumbu dan Kecamatan Bojong Menteng. Pengembangan perumahan di kawasan tersebut diwajibkan menyediakan prasarana, sarana dan utilitas yang memadai. Persoalan yang ada di Pusat Kota adalah permukiman kumuh sehingga perlu ada peremajaan, yang tersebar di Kelurahan Margahayu, Bintara, Kota Baru, Kelurahan Kranji, Sepanjang Jaya, Pengasinan, Bojong Rawalumbu, dan Bojong Menteng. BWP Pusat Kota diprioritaskan menjadi Zona Perdagangan dan Jasa, pengembangan Central Bussines District (CBD) yang ramah lingkungan dengan menyediakan minimal 20 persen ruang terbuka hijau (RTH) dan minimal 20 persen untuk prasarana, sarana dan utilitas, dan menyediakan lahan resapan air atau tampungan air. Pengembangan CBD diarahkan di kawasan Karang Kitri Kelurahan Margahayu Bekasi Timur. Saat ini pembangunan CBD Karang Kitri sudah mulai berjalan. Pengembangan lain di BWP Pusat Kota adalah untuk Zona Komersil skala pelayanan regional dan kota, yang berkembang secara linier di sepanjang Kalimalang, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Kartini, Jalan Cut Mutia, Jalan Siliwangi Narogong, Jalan Agus Salim, Jalan Pahlawan dan Jalan A.Yani. Sementara pembangunan pusat perbelanjaan modern (Mall, Super Mall, Shoping Centre, Hypermall) diarahkan ke wilayah Kelurahan Margahayu, Margajaya dan Kranji. Pengembangan untuk Zona Industri di BWP Pusat Kota dibatasi pada industri kecil dan menengah yang berwawasan lingkungan non polutan. Dalam arti, industri yang tidak menguras air terutama air tanah dalam, dan tidak menimbulkan gangguan lingkungan seperti pencemaran udara, suara, limbah cair, dan limbah padat berbahaya (B3). Pengembangan zona industri diarahkan ke wilayah Kecamatan Rawalumbu koridor Jalan Siliwangi-Narogong, Jalan Cipendawa, Jalan Prapatan Bojong Menteng. Di dalam BWP Pusat Kota nantinya akan diarahkan memiliki Zona Pariwisata Perkotaan di kawasan CBD yang terletak di Karang Kitri Kelurahan Kelurahan Margahayu, Wisata Alam di Situ Lumbu di Kelurahan Bojong Rawalumbu Kecamatan Rawalumbu, Situ Gede di Kelurahan Bojong Menteng, Situ Harapan Baru di Kota Baru, dan Bumi Perkemahan Pramuka di Kelurahan Kayuringin. Sementara Kompleks GOR dan Stadion Bekasi akan dikembangkan menjadi Zona Pariwisata Olahraga. 2. BWP Bekasi Utara dengan luasan 3.436 Ha diarahkan menjadi kawasan permukiman dan perdagangan yang berwawasan lingkungan. BWP Bekasi Utara terdiri atas 2 Kecamatan dan 10 kelurahan, meliputi Kecamatan Bekasi Utara (Kelurahan Harapan Jaya, Kelurahan Kaliabang Tengah, Kelurahan Perwira, Kelurahan Harapan Baru, Kelurahan Teluk Pucung, Kelurahan Marga
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
31
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
Mulya) dan Kecamatan Medan Satria (Kelurahan Harapan Mulya, Kelurahan Kalibaru, Kelurahan Medan Satria, dan Kelurahan Pejuang). Pengembangan perumahan di BWP Bekasi Utara diarahkan memiliki kepadatan tinggi (R2) dengan KDB maksimal 70% dan KLB maksimal 2,1 dan diarahkan untuk lebih mengoptimalkan lahan-lahan kosong yang potensial untuk pengembangan perumahan yang tersebar di BWP Bekasi Utara. Terutama di Kelurahan Harapan Mulya dan Kelurahan Margamulya. Tipe atau jenis rumah yang dapat dikembangkan adalah Rumah Tunggal (R-1), Rumah Kopel (R-2), Rumah deret (R-3), Rumah Townhous (R-4), Rumah susun (R-6) dan (R-7), serta Rumah Kampung (R-8). Sementara pengembangan hunian vertikal diarahkan pada wilayah padat penduduk dan konsentrasi industry seperti di Kelurahan Harapan Jaya. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi perkembangan penduduk dan kegiatannya yang disebabkan oleh adanya kegiatan industri. Penataan kawasan kumuh di wilayah BWP Bekasi Utara tersebar di Kelurahan Medan Satria, Kelurahan Harapan Jaya, Kaliabang Tengah dan di sepanjang bantaran sungai di wilayah sekitar. Skenario pengembangan kawasan komersial diarahkan untuk menata dan meningkatkan kawasan perdagangan dan jasa yang berkembang secara linier di Jalan Sultan Agung, Jalan Sudirman terdapat Kelurahan Harapan Mulya. Pembangunan pusat perbelanjaan modern (mall, super mall, shoping centre, hypermall) dialokasikan di Kelurahan Harapan Mulya dan Marga Mulya. Untuk Zona Industri diarahkan pada pengembangan industri yang sudah ada saat ini dan telah memiliki izin perluasan kawasannya. Dan melarang pemberian izin lokasi baru atau pengembangan atau perluasan bagi industri yang polutif dan lapar air. Selain itu, diberlakukan aturan pengadaan ruang terbuka hijau sebagai pembatas (Buffer) antara kawasan industry dan permukiman penduduk. Pengembangan wilayah BWP Bekasi Utara juga termasuk penataan dan pengembangan olahraga/rekreasi berupa taman bermain di setiap Kelurahan. Sedangkan lapangan terbuka akan dikembangkan di Kelurahan Kaliabang, Periwira, Teluk Pucung dan Marga Mulya. Pengembangan rekreasi berupa Danau Duta Harapan yang terdapat di Kelurahan Harapan Baru. Saat ini kondisi Danau tersebut tidak terawat dengan baik dan kotor. 3. BWP Pondok Gede dengan luas wilayah 3525,48 Ha, diarahkan untuk menjadi kawasan perdagangan dan jasa dan pendidikan yang terpadu dan terstruktur. BWP Pondok Gede meliputi 3 Kecamatan dan 11 Kelurahan yaitu Kecamatan Pondok Gede (Kelurahan Jatiwaringin, Kelurahan Jatibening, Kelurahan Jatibening Baru, Kelurahan Jaticempaka, Kelurahan Jatimakmur). Sebagian Kecamatan Jatiasih (Kelurahan Jatikramat, Kelurahan Jatimekar, Kelurahan Jatiasih, Kelurahan Jatirasa). Sebagian Kecamatan Jati Asih (Kelurahan Jatirahayu dan Kelurahan Jatiwarna). Skenario pengembangan zona perumahan di BWP Pondok Gede diarahkan memiliki kepadatan tinggi (R2) KDB 70 %, KLB 2,1 dan kepadatan sedang (R-3) dengan KDB maksimal 50% dan KLB maksimal 1,5 dan pengembangnnya di arahkan untuk lebih mengoptimalkan lahan-lahan kosong yang potensial untuk pengembangan perumahan yang tersebar di BWP Pondok Gede. Tipe atau jenis rumah yang dapat dikembangkan di BWP Pondok Gede meliputi Rumah Tunggal
32
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
(R-1), Rumah Kopel ( R-2), Rumah deret (R-3), Rumah Townhouse (R-4), Rumah susun (R-6) dan (R-7) serta Rumah Kampung (R-8). Arahan Pengembangan untuk hunian kepadatan tinggi diarahkan di bagian Utara BWP Pondok Gede yaitu di Kelurahan Jatiwangin, Jati Cempaka (JTC) Kelurahan Jati Bening Baru, Kelurahan Jati Bening dan Kelurahan Jati Makmur (JTM). Sedangkan untuk hunian kepadatan sedang diarahkan di Kecamatan Pondok Melati yaitu di Kelurahan Jati Rahayu dan Jati Warna. Serta di Kecamatan Jati Asih di Kelurahan Jati Mekar, Jati Kramat, Jati Asih dan Kelurahan Jati Rasa. Sementara itu, penataan kawasan kumuh diarahkan pada perumahan tidak terstruktur yang berkembang di Kelurahan Jatiwarna. Pengembangan rumah vertikal diarahkan pada wilayah padat penduduk di Kelurahan Jatibening Jatirahayu. Rencana apartemen swasta atau condominium dibatasi dengan ketinggian lantai 8 lantai bangunan , KDB 40% dan KLB 3,2, hal ini terkait dengan BWP Pondok Gede yang berdekatan dengan Bandara Halim Perdana Kusumah, rencana pengembangannya di arahkan di Kelurahan Jatiwaringin dan Kelurahan Jati Cempaka. Pengembangan Zona Perdagangan dan Jasa di BWP Pondok Gede diarahkan untuk menata dan meningkatkan pasar modern yang telah ada dan berkembang di Jatiwaringin menjadi pusat perbelanjaan modern melalui penataan parkir dan pedestrian. Pembangunan Frontage di Jalan Cikunir sebagai kawasan perdagangan dan jasa skala regional di Kelurahan Jatiasih dan Kelurahan Jatimekar. Selain itu juga dilakukan penataan Pasar Tradisional di Pasar Kecapi Kelurahan Jatiwarna dan Pasar Jatiasih di Kelurahan Jati Rasa. Selain itu, penataan kawasan komersil yang sudah ada saat ini diarahkan memiliki jalur pejalan kaki dan perparkiran. Seperti di koridor Jalan Jatiwaringin-Jati Makmur-Jalan Hankam di Kelurahan Jatiwaringin dan Kelurahan Jatirahayu. Koridor Jalan Jati Asih–Jalan Jati Rasa–Jalan Wibawa Mukti–Jalan Swatantra di Kelurahan Jatiasih dan Kelurahan Jatirasa. Koridor Jalan Caman–Jalan Dr Ratna di Kelurahan Jatibening. Sementara pengembangan kawasan komersial campuran diarahkan di Kelurahan Jatiwaringin, Kelurahan Jati Warna, dan Kelurahan Jatirahayu. Untuk Kawasan pendidikan terpadu akan diarahkan di Kelurahan Jatiwaringin, Kelurahan Jaticempaka, Kelurahan Jatirahayu dan Kelurahan Jatibening, dimana kawasan ini akan terdiri dari TK, SD, SMP, SMA maupun Perguruan Tinggi atau akademi. Zona khusus di BWP Pondok Gede adalah terdapatnya kawasan militer yang merupakan Radar Angkatan Udara yang mendukung kawasan strategis kepentingan pertahanan dam keamanan nasional. Zona lainnya yang terdapat di BWP Pondok Gede adalah zona Bebas Keselamatan, Keamanan Operasional Penerbangan (KKOP) Bandara Udara Halim Perdana Kusumah. 4. BWP Mustikajaya dengan luas wilayah 4525,21 Ha, diarahkan kawasan perdagangan dan jasa, permukiman skala besar, dan kawasan industri. Meliputi 2 Kecamatan dan 8 Kelurahan yaitu Kecamatan Mustikajaya (Kelurahan Mustikajaya, Kelurahan Mustikasari, Kelurahan Pedurenan, Kelurahan Cimuning) dan Kecamatan Bantar Gebang (Kelurahan Bantar Gebang, Kelurahan Cikiwul, Kelurahan Sumur Batu dan Kelurahan Cikeuting Udik). Rencana pengembangan zona perumahan pada BWP Mustikajaya diarahkan untuk hunian kepadatan sedang-tinggi (R3 dan R2)
dengan Konsep pengembangan rumah vertikal berada pada Kelurahan Bantar Gebang dan Cikiwul. Pengembangan perumahan diprioritaskan untuk pekerja industri yang terjangkau dan berdekatan dengan lokasi industrinya. Sedangkan untuk pengembangan zona perdagangan dan jasa skala kota diarahkan di Kecamatan Bantar Gebang sepanjang Jalan Narogong-Siliwangi Bantar Gebang dan Blok Cikiwul, dengan konsep pengembangan blok kawasan terpadu. Pengembangan Zona Industri disiapkan di wilayah Kecamatan Bantar Gebang yang meliputi Kelurahan Bantar Gebang, Cikiwul serta Ciketing Udik. Sedangkan untuk Zona Perdangangan untuk pengembangan Supermarket, Megamall dan Hypermall akan diarahkan di Jalan Narogong Siliwangi dan di Jalan Mustikajaya. Arah pengembangan juga dilakukan untuk pembangunan taman bermain dan lapangan terbuka di setiap Kelurahan. Zona khusus di BWP Mustikajaya adalah terdapatnya zona khusus TPA Bantargebang dengan skala pelayanan Kota Bekasi dan DKI Jakarta. 5. BWP Jatisampurna dengan luas wilayah 3444,5 Ha diarahkan menjadi Kawasan Permukiman skala besar dan kawasan perdagangan jasa yang nyaman yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Meliputi 3 Kecamatan dan 9 kelurahan yaitu Kecamatan Jatisampurna (Kelurahan Jatirangon, Kelurahan Jatiraden, Kelurahan Jatirangga, Kelurahan Jatisampurna, Kelurahan Jatikarya). Sebagian Kecamatan Pondok Melati (Kelurahan Jati Melati, Kelurahan Jati Murni). Dan sebagian Kecamatan Jatiasih (Kelurahan Jati Luhur, Kelurahan Jati Sari). Rencana pengembangan zona perumahan pada BWP Jatisampurna diarahkan untuk pengembangan untuk hunian kepadatan sedang-tinggi (R3-R2) dengan konsep pengembangan rumah vertikal berada pada Kelurahan Jatikarya, Kelurahan Jatisampurna, Pengembangan rumah-rumah kapling besar diarahkan dengan KDB 40-50 % dan KLB 1,2-1,5 diarahkan ke bagian selatan BWP Jatisampurna. Rencana pengembangan tipe perumahan yang dapat dikembangkan di BWP Jatisampurna meliputi Rumah Tunggal (R-1), Rumah Kopel ( R-2), Rumah Deret (R-3), Rumah Susun (R-6) dan (R-7) serta Rumah Kampung (R-8). Sedangkan untuk rencana pengembangan zona perdagangan dan Jasa skala regional diarahkan di sepanjang Jalan Trans Yogie yang menghubungkan Kota Bekasi dengan DKI Jakarta, Depok dan Bogor, serta Jalan Hankam raya. Perdagangan dan jasa skala kota dan kawasan diarahkan pada pusat pelayanan Kecamatan Jatisampurna, kelurahan Jatisampurna dan Kelurahan Jati Karya. Untuk Zona Industri dibatasi perkembangannya pada jenis industri yang tidak mencemari lingkungan, tidak banyak menggunakan air, dan bukan industri kimia atau industri berat. Kawasan Jatisampurna terdapat potensi wisata yaitu wisata air yang terletak di Kecamatan Jatisampurna memiliki potensi wisata dengan adanya Situ Rawa Pulo di Kelurahan Jati Karya dan Situ Rawa Dolar di Kelurahan Jatimurni. Pengembangan Zona khusus adalah Zona Budaya Karuhun yang terdapat di Kelurahan Jatirahayu Kampung Kranggan Kecamatan Jatisampurna yang berupa rumah tradisional masyarakat Bekasi dan sekaligus aset budaya Kota Bekasi dengan luas 3 Ha. Zona Kawasan Cagar Budaya Gereja Kristen Pasundan di Kelurahan Jatimurni Kampung Sawah .
Izin Pemanfaatan Ruang Persoalan yang kerap muncul dalam Pemanfaatan Ruang adalah Perizinan. Ada beberapa jenis Perizinan dalam pemanfaatan ruang. 1. Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang bertujuan untuk memberikan arahan pembangunan yang dimohon dari aspek tata ruang, aspek lingkungan, aspek teknis bangunan gedung, aspek ekonomi dan sosial budaya sebagai pedoman pemberian izin pemanfaatan ruang lainnya. Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang diberikan oleh Walikota setelah mendapat pertimbangan teknis dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah. Kegiatan yang memerlukan Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang adalah minimal memenuhi salah satu kriteria berikut ini: a) Kegiatan yang berdampak minimal pada fungsi pelayanan skala BWP (BWP) sesuai rencana tata ruang, b) kegiatan yang memiliki resiko terhadap kelestarian dan keseimbangan lingkungan, c) kegiatan yang berdampak terhadap aktifitas perkotaan secara luas meliputi, lalu lintas, estetika kota, lingkungan hidup, sosial budaya, keamanan dan ketertiban atau aktifitas perkotaan lainnya. 2. Izin Lingkungan ditujukan untuk mencegah terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan, memberikan jaminan kesehatan keselamatan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup. Izin Lingkungan diberikan oleh Pejabat yang ditunjuk berdasarkan persetujuan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi AMDAL atau UKL-UPL. Izin Lingkungan dapat diterbitkan bersamaan atau sesudah diterbitkannya IMB selama pertimbangan teknisnya telah dipenuhi dalam rencana tapak. 3. Izin Lokasi Izin Lokasi diberikan sebagai persetujuan penguasaan lahan sesuai rencana tata ruang yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak. Izin Lokasi diberikan oleh Walikota setelah mendapat Pertimbangan Teknik Pertanahan dari Kantor Pertanahan Kota Bekasi. 4. Izin Peruntukan Penggunaan Lahan (IPPL) dan Rencana Tapak ditujukan untuk : a) mengatur peruntukan lahan, b) mengatur fungsi bangunan yang dapat dibangun pada lokasi yang bersangkutan, c) mengatur ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan, d) mengatur jumlah lantai atau lapis bangunan dibawah permukaan tanah dari KTB yang diizinkan, e) mengatur KDB maksimum yang diizinkan, f) mengatur KLB maksimum yang diizinkan, g) mengatur KDH minimum yang diwajibkan, h) mengatur KTB maksimum yang diizinkan. Pemberian IPPL dilakukan terhadap permohonan yang memiliki bukti penguasaan lahan yang berupa sertifikat hak, akta jual beli, pelepasan hak, perjanjian sewa menyewa, dan bukti penguasaan lain. Rencana pemanfaatan yang dimohonkan sesuai rencana peruntukan. Lahan tidak dalam keadaan sengketa. Dalam pengajuan IPPL, harus disertai Rencana Tapak, untuk menjamin bahwa rencana tapak yang diajukan pemohon sesuai dengan IPPL. Selain itu untuk menjamin penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas sesuai kebutuhan dan hasil kajian pertimbangan Peil Banjir, Andal Lalin, Izin Lingkungan, dan Proteksi Damkar. Rencana Tapak ter-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
33
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
diri dari : a) Rencana Induk (masterplan), adalah rencana umum yang mengatur peletakan blok fungsi kegiatan pada satu kawasan, b) Rencana Perpetakan (siteplan), adalah rencana peletakan massa bangunan pada satu kavling atau persil yang dirancang dalam satu kesatuan dengan prasarana, sarana dan utilitas. 5. Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Tujuan IMB adalah sebagai pedoman teknis dalam mendirikan bangunan, agar desain, pelaksanaan pembangunan, serta bangunannya sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku, seperti Garis Sempadan (GS), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan(RTBL). Selain itu untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan gedung yang menjamin keandalan teknis bangunan gedung dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Dan guna mewujudkan kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung. 6. Izin Penggunaan Bangunan (IPB), adalah Izin Penggunaan Bangunan adalah izin yang diberikan untuk menggunakan bangunan setelah dinilai layak dari segi administrasi dan teknis. Izin Penggunaan Bangunan bertujuan untuk menjamin keandalan bangunan yang meliputi aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan yang memenuhi persyaratan teknis oleh kinerja bangunan.
34
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
IPB diterbitkan dengan ketentuan sebagai berikut :1) bangunan telah selesai dibangun sesuai dengan IMB, 2) bangunan telah memperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF) dari Pejabat yang ditunjuk, 3) IPB yang diterbitkan berlaku selama penggunaannya sesuai dengan IMB dan bangunan masih memenuhi persyaratan kelayakan menggunakan bangunan, 4) untuk bangunan yang memiliki IMB berjangka, IPB yang diterbitkan dapat ditinjau kembali setelah jangka waktu IMB tersebut berakhir, 5) sebelum IPB diterbitkan, atas permohonan pemilik bangunan, dapat diterbitkan Izin Pendahuluan Penggunaan Bangunan untuk sebagian atau seluruh bangunan dengan masa berlaku paling lama 6 (enam) bulan. Pelaksanaan Raperda RDTR ini tentu harus dikawal oleh semua pihak, bukan hanya menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dan pengembang, tapi juga masyarakat. Terlebih masyarakat adalah pihak yang paling merasakan dampak dari perubahan tata ruang kota. Masyarakat bisa ikut memberikan masukan terkait pelaksanaan rencana tata ruang yang sudah disepakati, dan melaporkan pelanggaran tata ruang kepada instansi terkait, termasuk pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang. Keterlibatan semua elemen tentu akan membawa dampak perubahan yang baik dalam perencanaan Kota Bekasi dalam 20 tahun ke depan.***
BAGIAN WILAYAH PELAYANAN (BWP) PUSAT KOTA MELIPUTI: l Kec. Bekasi Barat terdiri dari Kel. Kota Baru, Kranji, Bintara, Jakasampurna, Bintara Jaya l Kec. Bekasi Selatan terdiri dari Kel. Pekayon Jaya, Jakamulya, Kayuringin Jaya, Margajaya, Jakasetia l Kec. Bekasi Timur terdiri dari Kel. Bekasi Jaya, Aren Jaya, Duren Jaya, Margahayu l Kec. Rawa Lumbu terdiri dari Kel. Bojong Rawalumbu, Pengasinan, Bojongmenteng, Sepanjang Jaya
Keterangan BWP Pusat Kota Pola Ruang
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
35
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
BWP PONDOKGEDE
l Kec. Pondokgede terdiri dari Kel. Jaticempaka, Jatibening Baru, Jatibening, Jatiwaringin, Jatimakmur l Kec. Pondok Melati terdiri dari Kel. Jatiwarna, Jatirahayu l Kec. Jatiasih terdiri dari Kel. Jatikramat, Jatimekar, Jatiasih, Jatirasa
36
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
BWP BEKASI UTARA
l Kec. Bekasi Utara terdiri dari Kel. Kaliabang Tengah, Harapan Jaya, Perwira, Teluk Pucung, Harapan Baru, Margamulya l Kec. Medan Satria terdiri dari Kel. Pejuang, Medan Satria, Kalibaru, Harapan Mulya
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
37
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
BWP Jatisampurna
l Kec. Jatisampurna terdiri dari Kel. Jatisampurna, Jatirangga, Jatiraden, Jatikarya, Jatiranggon l Kec. Pondok Melati terdiri dari Kel. Jatimelati, Jatimurni l Kec. Jatiasih terdiri dari Kel. Jatiluhur, Jatisari
38
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
BWP Mustika Jaya / Bantar Gebang
l Kec. Mustika Jaya terdiri dari Kel. Mustikajaya, Mustikasari, Padurenan, Cimuning l Kec. Bantar Gebang terdiri dari Kel. Bantargebang, Cikiwul, Ciketingudik, Sumurbatu
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
39
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
Ketika Banjir Meneror
Masih ingat banjir besar pertengahan Januari lalu? Pusat perbelanjaan sekelas Mega Bekasi Hypermall pun kelelep hingga 8 meter. Permukiman di bantaran Kali Bekasi tenggelam lebih dari 2 meter. Tanggul jebol di mana-mana. Ribuan orang terpaksa mengungsi. Tim SAR sibuk. Ya, banjir telah meneror warga Kota Bekasi.
P
ihak manajemen Mega Bekasi ketika itu melaporkan, kerugian akibat banjir mencapai Rp 30 miliar. Sekitar 400 kios di lantai dasar terendam banjir. Bank Rakyat Indonesia (BRI) juga mengatakan ribuan nasabah gagal bertransaksi gara-gara banjir dan mesti dialihkan ke cabang lain. Para pedagang pun mengeluh. Aktivitas bisnis berhenti total selama beberapa hari. Pondok Gede Permai (PGP) adalah perumahan dengan banjir terparah. Sungai Cikeas, anak Kali Bekasi, meluap dan membanjiri ratusan rumah. Tanggul di sungai tersebut tidak kuat menahan derasnya banjir kiriman dari Bogor. Akibat banjir ini, aktivitas warga terhenti: orangtua tidak bekerja, anak-
40
anak libur sekolah. Dinas Kesehatan menyebutkan, ribuan warga menderita berbagai penyakit akibat banjir. Gatal dan kutu air paling banyak. Kemudian gangguang saluran pernapasan, batuk flu dan demam. Di Kelurahan Margajaya, tepatnya di bantaran Kali Bekasi, nampak mengungsi di tepi-tepi jalan. Namun, banyak pihak turun tangan. Bahu membahu membantu korban banjir. Tahun ini, titik banjir di Kota Bekasi meluas dari 39 menjadi 49 titik, tersebar di 9 kecamatan. Lokasi paling rawan adalah daerah perumahan. 9 kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Bekasi Selatan, Bekasi Utara, Bekasi Barat, Bekasi Timur, Medansatria, Pondokgede, Jatiasih, Rawa-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
lumbu dan Mustikjaya. Dinas Bina Marga dan Tata Air Kota Bekasi mencatat, ada 5 titik banjir yang kedalamannya 2 meter hingga 2,5 meter ketika banjir Januari lalu. Antara lain Perumahan Pondok Gede Permai (250 cm), Perumahan Kemang IFI (200 cm), Komplek Perumahan Dosen IKIP ( 250 cm) Kampung Pangkalan Bambu Margajaya (250 cm), Kelurahan Teluk Pucung (250 cm). *** Banjir memang menjadi masalah utama di Kota Bekasi karena kontur tanahnya cenderung rata dan dikepung sungai pula. Beberapa faktor penyebab yang teridentifikasi antara lain adanya faktor hambatan saluran air dari arah selatan ke
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
41
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
utara oleh jalan tol, Kalimalang dan jalur kereta api . Gorong-goroang yang ada saat ini pun kapasitasnya sudah tidak memenuhi lagi. Secara alamiah, saluran itu sendiri mengalami penggerusan karena sebagian material terbawa air, sehingga menyebabkan pendangkalan dan sendimentasi. Inilah yang mengakibatkan penyempitan saluran drainase. Selain faktor hambatan dan faktor alamiah tadi, faktor perilaku manusia juga menentukan. Warga kerap membuang sampah sembarangan ke saluran air, mendirikan bangunan yang tidak mempertimbangkan garis sungai. Kemudian, tata guna lahan yang berubah juga tidak dipertimbangkan dengan pembuatan saluran drainase yang memadai. Perhitungan dan perancangan yang tepat sangat diperlukan untuk mendapatkan dimensi saluran yang ideal, ekonomis dan mampu menampung serta menyalurkan dengan cepat debit hujan. Beberapa kendala yang mungkin dihadapi secara teknis dalam menerapkan dimensi ideal saluran adalah kondisi dan ketersediaan lahan yang ada. Namun mengingat kerugian materi dan jiwa akibat banjir, sebaiknya kendala tersebut di atas dapat ditangkis. Faktor teknis dan pemeliharanan dari prasarana drainase yang dibangun juga perlu diperhatikan. Untuk saluran tersier bahkan sekunder yang melintasi perumahan ataupun pertokoan, sebaiknya dibuat sebagai saluran tertutup guna menghindari terjadinya pembuangan sampah oleh masyarakat. Selain itu, penegakan hukum dalam hal pengaturan bantaran sungai, kebijakan pembangunan dengan skenario vertikal juga menjadi faktor keberhasilan pengendalian banjir. Dan satu hal lagi yang sangat penting adalah kerjasama dan koordinasi dengan wilayah tetangga sebagai satu kesatuan DAS. Karena batas DAS tidak dapat dipisahkan batas-batas administrasi. Upaya membangun situ atau memanfaatkan situ yang telah ada sangat membantu dalam hal pengendalian banjir. Dari hasil perhitungan hidrograf dalam RTRW Kota Bekasi yang terbaru, beberapa situ di Kota Bekasi menunjukkan, koofisien air larian (C), yaitu perbandingan antara besarnya air larian terhadap besarnya curah hujan, di atas 1. Di wilayah Bendung Cikeas, kali Cikeas dan Cipendewa, Kali Bekasi, menunjukkan nilai koofesien air larian sebesar 1.69. Nilai koefisien air larian ini merepresentasikan secara implisit luasan daerah terbangun. Semakin luas daerah terbangun maka semakin besar nilai C- nya, potensi terjadinya banjir juga makin besar. Di sinilah pentingnya ruang terbuka hijau untuk
42
mengatasi banjir. Secara teoritis, nilai C yang lebih besar dari 1 menunjukkan ada indikasi terjadinya banjir kiriman. Beberapa wilayah di Kota Bekasi menunjukkan ada indikasi banjir kiriman dari wilayah di luar kota Bekasi, yaitu dari DKI dan Kabupaten Bogor atau Depok. Untuk itu, perlu berbagai upaya terpadu antara lain dengan menerapkan subsidi silang antara daerah hulu (sebagai daerah penyangga) dan daerah hilir. Foto Udara Pemerintah Kota Bekasi mengusulkan pengadaan proyek foto udara untuk pemetaan banjir di seluruh wilayah setempat secara detail. Pemerintah memandang ini penting. Database yang dimiliki pemerintah daerah saat ini hanya berdasarkan foto udara yang diambil pada 1998 dan citra satelit pada 2005. Sehingga, bila dibandingkan perkembangan dan permasalahan kota yang dihadapi saat ini, informasi kota yang dimiliki masih jauh dari kebutuhan perencanaan yang tepat. Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, Koswara mencontohkan, data sistem jaringan drainase yang belum didasarkan pada posisi topografi yang sesuai. Perencanaan pengendalian banjir pun jadi kurang tepat sasaran. “Bagaimana mau bisa mengatasi banjir, kalau datanya hanya sebatas kisaran,” kata dia. Selain itu, ia mengatakan, perencanaan pembangunan tidak akan efektif bila berdasarkan data yang diambil dari data fotoudara yang usianya lebih dari 14 tahun. Karena kondisi geografis saat ini sudah jauh berubah. “Databasenya perlu ‘updating’ lagi,” kata Koswara. Lebih lanjut, Koswara menjelaskan, skala database infrastruktur yang dimiliki pemerintah kota juga belum dapat dijadikan dasar bagi perencanaan teknis yang tepat. Itu membuat perencanaan pembangunannya perlu alokasi anggaran untuk biaya survei, pengukuran, dan perencanaan. Anggarannya pun cukup besar. Dengan demikian, sambung dia, kegiatan perencanaan pembangunan menjadi tidak effesien. Dari pemetaan Kota Bekasi yang ada saat ini, Koswara menambahkan, database-nya hanya bisa dimanfaatkan untuk perencanaan dan pengendalian ruang bersifat dua dimensi. Skala dan jenis informasi yang dimiliki juga tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk perencanaan teknis. Terutama, sambung dia, untuk perencanaan drainase. Itu karena interval kontur yang ada adalah dua meter, sementara kondisi lahan di Kota Bekasi relatif datar dan memerlukan ketelitian dengan interval kontur minimal
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
50 sentimeter. “Itu seperti perubahan bentang alam yang tinggi akibat pembangunan, misalnya pembangunan JORR, maupun pusat-pusat perdagangan,” ujar Koswara. Sementara anggaran yang diperlukan untuk pengambilan foto udara di Kota Bekasi sebesar Rp 4,5 miliar. Dialokasikan untuk foto udara sebesar Rp 3 miliar, dan peta tematik sebesar Rp 1,5 miliar, anggarannya berasal dari APBD tahun 2013. Ia melanjutkan, untuk penataan ruang pemerintah daerah sebenarnya mempunyai empat opsi untuk pemetaan. Selain fotoudara, pemetaan juga bisa diambil dari peta geomorfologi, citra satelit, maupun pemetaan langsung mengkur ke jalan. Kondisi yang akurat dan mutahir tentang kondisi wilayah tersebut dilakukan melalui pemetaan wilyah yang dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti peta bakkersland, data citra satelit, data foto udara ataupun pemetaan langsung turun ke jalan. Menurut Koswara, peta ini pun harus disiapkan secara detail agar diperoleh gambaran yang tepat sehingga penanganan dan pengelolaannya efektif. Adapun Pemerintah Kota Bekasi memilih foto udara karena pemetaan sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2011, tentang Informasi Geospasial. Ketentuan itu mewajibkan pemerintah menyediakan data informasi rupa bumi atau peta dasar dengan skala besar, yakni 1:1.000 meliputi seluruh wilayah Indonesia. Sementara dengan bakkersland skala pemetaan yang didapat hanya 1:2.5000. Untuk pemetaan Citra Satelit, skala maksimal yang didapat sekitar 1:5.000. Untuk pengukuran langsung ke jalan, sambung Koswara, pengerjaannya membutuhkan waktu yang sangat lama, karena kondisi geografis Kota Bekasi merupakan wilayah perkotaan. “Bakal mengganggu aktivitas kota dan pemerintahan,” ujarnya. Koswara membantah rencana foto udara baru diusulkan pascabencana banjir besar yang menerjang sebagian wilayah setempat, beberapa pekan lalu. “Program ini sudah diusulkan sejak 2008,” ujar dia. Lebih lanjut, ia menjelaskan, pengambilan foto udara bukan hanya untuk penanganan banjir. Melainkan sebagai langkah awal untuk mempersiapkan semua rencana dan aplikasi kegiatan pengelolaan pembangunan kota. Selain itu juga untuk mengetahui informasi akurat tentang kondisi wilayah, meliputi informasi geomorpologi, kondisi infrasruktur, lokasi rawan bencana , kondisi jalur evakuasi, serta kondisi pemanfaatan lahan.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
43
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
Penanganan
Banjir Di Kota Bekasi Oleh: Ir. A. Koswara
Secara umum, penyebab banjir dapat diklasifikasikan menjadi dua katagori. Pertama banjir yang disebabkan gejala alam. Kedua disebabkan tindakan manusia. Penyebab pertama tentu sulit diubah. Sedangkan yang kedua masih bisa diupayakan.
P
ertumbuhan dan perkembangan yang terjadi di Kota Bekasi mengakibatkan terjadinya kemerosotan kota (urban decay). Khususnya dalam tingkat pelayanan sistem drainase baik mikro maupun makro. Ini harus mendapat perhatian berbagai pihak. Karenanya, pengetahuan mengenai drainase perkotaan perlu disebarluaskan dan dimasyarakatkan. Permasalahan: Kondisi topografis wilayah Kota Bekasi memiliki karakteristik daerah datar. Sistem drainase masih mengandalkan jaringan drainase alam. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang melewati wilayah Kota Bekasi adalah sebagai berikut : 1. DAS Kali Sunter; 2. DAS Kali Cakung (Anak Kali Cakung, Kali Buaran, Kali Jatikramat, Kali Cakung) ; 3. DAS Kali
44
Bekasi ( Kali Cikeas, Kali Cileungsi, Kali Bekasi, Kali Baru, Saluran Jatiluhur, Kali Bulevar Raya, Kali Pekayon, Saluran Bumi Satria Kencana, Saluran Rawa Tembaga, Saluran Rawalumbu); 4. DAS Kali Sasakjarang. 4 DAS tersebut merupakan sistem pembuang makro (utama). Sedangkan lainnya merupakan saluran pembuang sekunder. Sistem drainase kota Bekasi saat ini mencakup wilayah seluas kurang lebih 9.035 Ha. Atau kurang lebih 43 % dari luas wilayah kota. Pembuangan limpasan air hujan dari sumber daerah tangkapan air ke saluran makro umumnya melalui saluran pembuang sekunder seperti diuraikan di atas. Saat ini, saluran sekunder yang ada banyak yang kurang terpelihara. Selain itu terjadi pengendapan sedimen dan hambatan pada bangunan goronggorong, siphon maupun jembatan. Teru-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
tama yang melintas Kalimalang, Jalan Tol, Jalan Arteri Jakarta-Bekasi dan Jalan Kereta Api. Kejadian banjir besar pada tahun 1996, Februari tahun 2002, dan yang terakhir pada bulan Februari 2007, dan terakhir Pertengahan Januari 2013, menunjukkan laju debit banjir makin cepat. Muka air banjir dan kadar lumpur yang terbawa arus aliran juga lebih tinggi. Hal tersebut mengindikasikan kemungkinan terbukanya tanah permukaan di daerah tangkapan hujan (DAS) semakin luas. Sehingga kecenderungan tanah permukaan tererosi dan lajunya limpasan permukaan (run-off) akan semakin besar. Selain itu, ada faktor perilaku masyarakat yang membuang sampah ke dalam saluran drainase. Juga pembangunan fisik yang tidak memperhatikan garis sempadan saluran. Ini menyebabkan penyumbatan dan kerusakan saluran drainase. Adanya pengembangan wilayah kota yang mengubah tata guna lahan juga mengakibatkan bertambahnya debit air di saluran. Luapan/genangan terjadi karena pertambahan debit tersebut tidak disertai dengan perencanaan ulang saluran drainase eksisting. Konsep Penanganan Banjir Konsep penanganan banjir di Kota Bekasi meliputi dua aspek. Yaitu Pengendalian Banjir (Flood Control) dan Pengamanan Banjir (Flood Protection). Dari 4 sistem pembuang makro yang ada, 2 di antaranya—Kali Sunter dan Kali Bekasi—sangat dipengaruhi kondisi di hulunya yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Sehingga dalam penganganannya memerlukan kerjasama antarpemerintah daerah.
l Pusat perbelanjaan direndam banjir / Foto: Miftah
Ada dua pendekatan dalam penanganan banjir; Pendekatan Struktural 1. Pendekatan pertama ialah pengendalian banjir pada sistem pembuang makro Kali Bekasi ditujukan untuk meminimalisir pengaruh banjir kiriman dari hulu yang mengalir ke Kota Bekasi melalui Kali Bekasi dan anak sungainya (Kali Cikeas dan Kali Cileungsi) dan Kali Sunter. Caranya dengan meningkatkan kapasitas kedua sungai tersebut berupa normalisasi. Atau mereduksi besarnya banjir dengan membangun waduk di daerah hulunya. Berdasarkan kondisi topografi daerah hulu Kali Cikeas dan Cileungsi, terdapat 3 lokasi potensi waduk. 2 potensi berada di Sungai Citeuruep—anak Sungai Celuengsi— di Desa Sumurbatu atau Desa Hambalang ) Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. 1 potensi lagi ada di Sungai Cileungsi, tepatnya di perbatasan Desa Tajur dan Desa Leuwikaret, perbatasan Kecamatan Citeureup dan Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. 2. Meningkatkan kapasitas saluran drainase sekunder agar mampu mengalirkan debit banjir. Saluran sekunder ini adalah : Anak Kali Cakung, Kali Buaran, Kali Jatikramat dan Kali Cakung yang terletak di DAS Cakung. Kemudian Kali Baru, Saluran Jatiluhur, Saluran Bulevar Raya, Saluran Bumi Satria Kencana, Kali Pekayon dan Saluran Rawa Tembaga, Saluran Rawa Lumbu yang semuanya berada di DAS Kali Bekasi. Terakhir, di
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
45
Laporan Utama
46
Kebijakan Pembangunan Kota
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
3.
4.
5.
Kali Sasakjarang dan anak sungainya, yang berada di DAS Sasakjarang. Mengatasi masalah backwater dari saluran makro ke saluran pembuang sebagai upaya pengamanan saat banjir dengan membangun pintu sorong atau pintu klep. Bila diperlukan, bisa dikombinasi dengan pompa untuk mengatasi masalah pembuangan air dari saluran sekunder ketika muka air sungai makro tinggi. Meningkatkan kapasitas bangunan silang (gorong-gorong, siphon, jembatan) pada persilangan saluran drainase dengan Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Jalan Arteri Bekasi-Jakarta, Jalan Kereta Api Jakarta-Cikampek, Saluran Irigasi Tarum Barat dan Kalimalang. Peningkatan kapasitas bangunan ini dapat dikombinasi dengan tampungan saluran yang mungkin dibuat di sebelah hulu Jalan Tol. Pengendalian debit banjir dengan metode penampungan sementara (re-
tensi) juga harus dilakukan pada sistem saluran sekunder. Hasil identifikasi di Kota Bekasi terdapat 19 lokasi yang berpotensi menjadi tampungan. Antara lain sebagai berikut : 1. DAS Kali Buaran (Komplek Kodam Jaya Jatiwarna, Kampung Rawalele, Komplek Jatibening 2, Situ Jatibening); 2. DAS Kali Cakung ( Rawa Pulo, Wahana Pondokgede dan Puri Gading, Komplek Taman Permata Cikunir, Kali Jatikramat di Perumahan Harapan Baru Regensi); 3. DAS Rawalumbu (Komplek Perumnas 4/Bumi Bekasi 3, Situ Rawalumbu, Saluran Rawalumbu Hulu) ; 4. DAS Kali Cikeas (Bendung Cikeas ); 5. DAS Kali Baru ( Rawa Pasung, Situ Uwong) ; 6. DAS Sasak Jarang (Kelurahanan Pengasinan, Taman Narogong, Desa Jatimulya, Tampungan Selatan Pondok Hijau Permai); 7. DAS Bekasi (Rawagede, Cipendawa)
Pembuatan tampungan ini akan mereduksi debit banjir puncak. Sehingga dapat mengurangi atau menurunkan risiko terjadinya genangan di hilir tampungan tersebut. Manfaat lain yang diperoleh adalah; 1. Peningkatan debit andalan untuk meningkatkan ketersediaan baku air minum; 2. Tampungan air akan memicu proses pengisian kembali air tanah dalam bentuk rembesan melalui dasar dan dinding situ. Dalam jangka panjang, ini bermanfaat untuk meningkatkan ketersediaan air tanah. Juga mengurangi dampak umum dari pengambilan air tanah secara berlebihan seperti penurunan muka tanah (land subsidence) serta dampak negatif ikutannya; 3. Pengembangan lokasi tampungan dapat diintegrasikan dengan pengembangan kawasan lingkungan sekitarnya. Antara lain untuk pariwisata,
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
47
Laporan Utama
48
Kebijakan Pembangunan Kota
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Keterangan Potensi Tampungan
perikanan darat, daerah hijau dan sebagainya. Hal ini secara langsung dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat di sekitar lingkungan di mana tampungan tersebut berada. Pendekatan Non Struktural Upaya pendekatan struktural memiliki keterbatasan umur optimalnya apabila tidak dibarengi upaya non struktural. Pendekatan ini diperlukan untuk mempertahankan kapasitas drainase yang ada. Hal ini dilakukan melalui : 1. Mengendalikan pemanfaatan lahan sesuai peruntukan dan arahan RTRW Kota Bekasi. Komitmen bersama diperlukan agar pengendalian pemanfaatan lahan menjadi instrument penting dalam menjaga kemampuan daya dukung lingkungan sehingga Kota Bekasi menjadi tempat ideal untuk ditempati.
2.
3.
4.
Menetapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Bekasi sebagai kawasan lindung yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan paru-paru kota. Saat ini luasan lahan yang belum terbangun di Kota Bekasi menunjukkan besaran yang cukup kritis sebagai luasan ideal bagi sebuah kota. Perlu upaya serius mengantisipasi hal ini. Sehingga tuntutan kebutuhan pertumbuhan atau pengembangan kota tidak mengorbankan daya dukung lingkungan. Meningkatkan koordinasi dengan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Bogor untuk mengendalikan perubahan tata guna lahan pada daerah hulu Kali Bekasi dan Kali Sunter. Menetapkan kebijakan penggunaan sumur resapan di permukiman sebagai upaya mengurangi limpasan air hujan pada saluaran drainase kota. Peng-
5.
6.
7.
embangan sumur resapan baik secara individu maupun secara komunal (daerah komplek perumahan). Apabila ini berhasil dilakukan secara signifikan akan mengurangi debit banjir local. Penyuluhan dan pendidikan masyarakat agar mempunyai kesadaran untuk mengubah perilaku dan kebiasaan yang dapat menyebabkan terjadinya limpasan. Penyuluhan kepada masyarakat bagaimana hidup di daerah yang rentan terhadap bahaya banjir sehingga kerugian akibat terjadinya banjir dapat ditekan seminimal mungkin. Penetapan peil banjir pada kawasan yang rentan terhadap terjadinya genangan atau banjir. Juga pengaturan pembangunan di daerah rawan banjir sehingga dapat mempertahankan ruang untuk air.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
49
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
Menyelamatkan Fasos-Fasum Kota Bekasi uran drainase dan taman. Dalam site plan pembangunan perumahan biasanya pengembang hanya menyiapkan lahan kosong untuk dimanfaatkan sebagai Fasos-Fasum. Pemanfaatan Fasos dibuat atas kesepakatan bersama masyarakat sekitar dan disetujui pemerintah daerah. Sedangkan Fasum tidak bisa diubah untuk pemanfaatan lain. Semisal jika sejak awal site plan menunjukkan lahan Fasum untuk ruang terbuka hijau dan taman maka tidak boleh ada warga yang membuat bangunan di lahan itu.
Lahan Fasos Fasum perumahan yang sudah diserahkan ke Pemkot Bekasi/ Foto: Miftah
Abstrak Prasarana, Sarana dan Ulititas (PSU) sebuah kota menuntut ketersediaan yang layak dan memadai. Maka perlu kebijakan pengelolaan Fasos-Fasum (Fasilitas Sosial-Fasilitas Umum) yang terintegrasi dan berkelanjutan. Apalagi di kota besar seperti Bekasi: laju pertumbuhan penduduk tinggi, ketersediaan lahan terbatas dan pembangunan berlangsung pesat. Secara umum PSU dipisahkan menjadi dua katagori. Yakni Fasos dan Fasum. Purwanto dalam makalahnya Analisis Kebijakan Dalam Pengadaan Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (2010) membedakan pengertian Fasos dan Fasum. Fasos dipadankan pengertian dalam Bahasa Inggris sebagai social atau public facility yang berarti sarana dan prasarana sosial . Diadakan untuk memfasilitasi upaya pemenuhan kepentingan-kepentingan sosial, pelaksanaan aktivitas sosial dan interaksi antarwarga. Singkat kata Fasos dibangun untuk memfasilitasi aktualisasi kehidupan sosial warga. Misalnya sarana pendidikan, ibadah, gedung pertemuan, tempat bermain, fasilitas olahraga, dan lainnya. Sedangkan Fasum dalam Bahasa Inggris diartikan sebagai public utility. Secara umum Fasum dipahami sebagai sarana dan prasarana yang diadakan untuk memudahkan kehidupan warga. Penekanannya ialah manfaat. Contoh Fasum antara lain jalan, sal-
50
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Perda PSU Alokasi lahan PSU berdasarkan katagori pemanfaatan lahan dan luasan yang ada di Kota Bekasi dijelaskan dalam Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2011 Kota Bekasi tentang Prasarana, Sarana dan Utilitas Kawasan Perumahan, Perdagangan dan Industri oleh Pengembang. Setiap perumahan baru yang dibangun wajib mengalokasikan lahan untuk PSU dengan rumusan : ”%PSU = (100 persen-Koefesien Dasar Bangunan) x Luas lahan” yang dimohon pengembang. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah perbandingan luas lantai dasar bangunan dengan luas semua lahan yang dimiliki. Dalam satu areal perumahan baru pengembang wajib menyediakan lahan Prasana dan Utilitas maksimal 65 % (persen) dari luas lahan yang disetujui untuk PSU perumahan tersebut. Yang termasuk prasana di antaranya; jaringan jalan, jaringan saluran pembuangan air hujan (drainase), tempat pembuangan sampah sementara, dan lainnya. Sedangkan Utilitas antara lain; jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan gas, sarana pemadam kebakaran, penerangan jalan umum dan jaringan transportasi (halte bus, sub terminal dan jembatan penyebarangan orang) Sedangkan untuk Sarana Lingkungan, pengembang wajib mengalokasikan lahan 15 % (persen) dari luas lahan yang disetujui untuk PSU kawasan perumahan. Sarana Lingkungan di antaranya; perniagaan dan perbelanjaan, sarana layanan umum dan pemerintah, sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi, olahraga, sarana pemakaman, sarana permananan, ruang terbuka hijau dan parkir. Khusus untuk Taman luasan yang ditentukan minimal 20 % (persen) dari luas lahan yang disetujui untuk PSU. Kawasan Bisnis (Central Bussines Distric) dengan luas di atas 5 hektar wajib menyediakan lahan PSU paling sedikit 40 % (persen) dari keseluruhan luas lahan. Pembangunan kawasan perdagangan dengan sistem deret atau blok luas 0,5-5 hektar wajib mengalokasikan PSU minimal 20 persen dari luas lahan. Pengembangan lahan di bawah 0,5 hektar wajib memenuhi persyaratan tata bangunan sesuai perundang-undangan yang berlaku.
FORMULASI LUASAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS %PSU %PSU
= (100 % - KDB) x L = PU + S + Taman
%PUmax = 65 % x PSU x L %Smin = 15% x PSU x L %Tamanmin = 20 % x PSU x L atau sesuai desain yang disetujui Keterangan : PSU L PU S Taman KDB
= Luasan lahan untuk prasarana, sarana dan utilitas = Luasan lahan yang dimohon = Luasan lahan prasarana dan Utilitas = Luasan lahan sarana = Luasan lahan taman = Koefesien Dasar Bangunan
Selain diwajibkan menyediakan PSU pengembang juga memiliki kewajiban menyediakan lahan Tempat Pemakaman Umum (TPU). Pengembang Kawasan Perumahan Horizontal wajib menyerahkan 2 % (persen) luas lahan sesuai dengan rencana tapak yang disetujui pemerintah daerah. Sedangkan pengembang Perumahan Vertical atau Rumah Susun (Rusun) wajib menyerahkan lahan TPU maksimal 3.5 m2 per unit dan minimal 2 m2 per unit—disesuaikan dengan luasan tiap tipe. Pengembang Rumah Toko (Ruko) atau Rumah Kantor (Rukan) minimal 5 unit wajib menyerahkan lahan TPU seluas 2 m2 per unit Ruko atau Rukan. Pengembang dapat menyediakan TPU di dalam atau di luar perumahan. Pemerintah Kota Bekasi sudah menyediakan beberapa lokasi TPU. Sesuai Rencana Detail Tata Ruang beberapa lokasi TPU tersebut di antaranya; TPU Perwira Kecamatan Bekasi Utara seluas 12 hektar, TPU Pedurenan Kecamatan Mustikajaya seluas 22,4 hektar, TPU Sumur Batu Kecamatan Bantargebang seluas 47,92 hektar. Selain itu bisa juga menggunakan TPU yang berasal dari wakaf yang tersebar di setiap kecamatan. Jika tidak bisa menyediakan lahan TPU pengembang bisa mengganti uang kompensasi kepada Pemerintah Daerah. Perumahan horizontal nilai komspensasinya adalah 2 persen luas lahan yang dikembangkan dikalikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah lokasi TPU. Perumahan vertikal atau rusun kompensasinya adalah 3.5 m2 per unit dan minimal 2 m2 per unit dikalikan NJOP TPU. Nilai uang yang diserahkan tersebut sudah termasuk biaya pengurusan sertifikat dan administrasi. Sesuai aturan penyediaan lahan TPU harus diserahkan saat pengajuan site plan (rencana tapak). Ini berlaku untuk kawasan perumahan horizontal. Sedangkan untuk perumahan vertikal diserahkan pada saat pengajuan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). TPU perumahan horizontal TPU perumahan vertikal TPU ruko dan atau rukan (jumlah ruko/rukan minimal 5 unit) Keterangan : L TPU
=2%XL = 2 – 3.5 m2 per unit = 2 m2 per unit
= Luasan Lahan yang dimohon = Tempat Pemakaman Umum
Proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk perumahan diambil dari proporsi luasan PSU. Dihitung minimal 15 % (persen) dari luas lahan keseluruhan atau KDH 15 % (persen). Sementara untuk kawasan perdagangan dan kawasan industrI adalah seluas 20 % (persen) dari luas lahan keseluruhan atau KDH 20 % (persen) . Koefesien Daerah Hijau (KDH) adalah angka prosentase perbandingan antara luas ruang terbuka di luar bangunan—yang diperuntukan bagi pertamanan atau penghijauan—dengan luas tanah. Seluruh jenis prasarana, sarana dan utilitas dan luasan lahan yang dipergunakan untuk penyediaan PSU ditetapkan dalam surat keterangan rencana induk atau rencana tapak. FORMULASI LUASAN RTH %RTH = RTHdlm + RTHluar = 15% x L %RTH = %Taman + %TPU + % RTH pada PU + % RTH pada S % RTH pada PU = PU x KDHPU % RTH pada S = S x KDHS Keterangan : RTH = Luasan lahan untuk RTH RTHdlm = Luasan lahan RTH di dalam kawasan perumahan RTHluar = Luasan lahan RTH di luar kawasan perumahan KDHPU = Koefisien Daerah Hijau pada prasarana dan utilitas yang disetujui KDHs = Koefisien Daerah Hijau pada sarana yang disetujui
Perda PSU tersebut mengatur tentang tata cara penyerahannya dengan sangat jelas. Perumahan horizontal menyerahkan PSU secara bertahap. Tahap pertama adalah menyerahkan PSU 40 % (persen) saat lahan terbangun dan terjual sudah mencapai 50 % (persen). Jika pembangunan dan penjualan sudah mencapai 90 % (persen) maka pengembang wajib menyerahkan 100 % (persen) PSU. Penyerahan utilitas Penerangan Jalan Umum dilaksanakan setelah kavling efektif terjual seluruhnya. Sedangkan pengembang perumahan vertikal, perdagangan, dan industri, PSU diserahkan dalam kondisi 100 persen terbangun dan telah dipelihara selama enam bulan terhitung sejak selesainya pembangunan. Proses penyerahan PSU tersebut dilakukan dengan syarat dan tahapan yang diatur ketat dalam Perda PSU. Pemanfaatan PSU tersebut menjadi kewenangan Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan pembangunan di wilayah setempat. Tidak Terdata Secara substansi Perda Nomor 16 Tahun 2011 memberikan landasan hukum Pemerintah Daerah dalam hal pengadaaan Fasos-Fasum. Namun dalam perjalanannya banyak pengembang yang tidak menyerahkan lahan Fasos-Fasum kepada pemerintah daerah. Pemerintah Kota Bekasi mencatat ada 20 perumahan dari 210 perumahan yang baru menyerahkan lahan Fasos-Fasum. Ada 60 perumahan yang sudah menyerahkan Fasos-Fasum namun tidak didukung dengan kelengkapan dokumen Berita Acara Serah Terima (BAST). Bahkan sebagian tidak dilengkapi sertifikat dan site plan. Data Dinas Tata Kota Bekasi menunjukkan potensi lahan terbangun berupa bangunan kavling, Fasos, jalan, saluran dan taman seluas 1,696,85 Ha dengan total lahan efektif seluas 989,37 Ha. Sedangkan total PSU yang terdata seluas 707, 48 Ha. Diperkirakan jumlah PSU yang tidak terdata masih ada sekitar 1218,77 Ha (13,42 %).
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
51
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
Padahal dalam aturannya ada sanksi tegas bagi pengembang perumahan yang membande l. Baik sanksi administrasi maupun pidana. Sanksi administrasi berupa pelebelan daftar hitam pengembang dan mempublikasikan di media. Bahkan menolak pengajuan perizinan baru. Sedangkan sanksi administrasi adalah ancaman pidana kurungan selama 6 bulan dan denda sebesar Rp50.000.000. Sebagian pengembang beralasan tidak diserahkannya PSU kepada Pemeritah Daerah karena prosedur penyerahan Fasos-Fasum berbelitbelit. Alasan lain adalah faktor perawatan dan keberlanjutan. Artinya, begitu Fasos-Fasum diserahkan, ternyata sebagian besar malah tidak terawat. Itu banyak terjadi. Sementara ketika pengembang menyampaikan keluhan ke instansi berwenang tidak ditanggapi serius. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah Pemda benar-benar siap menerima serah terima dari pengembang? Persoalan lain pascapenyerahan aset adalah lemahnya pendataan, pengawasan dan pengelolaan Fasos-Fasum oleh Pemerintah Daerah. Ini menyebabkan banyak Fasos-Fasum milik Pemkot Bekasi dikuasai perorangan atau kelompok serta diubah fungsinya
52
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
untuk sarana komersil. Sebut saja penyerobotan Fasos-Fasum Lapangan Pondokgede dan Lapangan Mekarsari Bekasi Timur dan beberapa lokasi lainnya. Lemahnya pengamanan membuat beberapa aset milik Pemkot Bekasi berpindahtangan karena kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Ketegasan Pemkot Bekasi Walikota Bekasi Rahmat Effendi juga mengakui masih banyak Fasos- Fasum perumahan yang belum diserahkan pengembang kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi. Sejak Bekasi masih Kabupaten baru ada puluhan pengembang yang menyerahkan aset dari ratusan pengembang yang ada. Malah ada beberapa perumahan yang pengembangnya sudah tidak jelas rimbanya. Rahmat mengatakan itu karena kesalahan pencatatan administrasi di era pemerintahan sebelumnya yang belum sempurna. Contohnya tidak dokumen berita acara serah-terima, Warkah, site plan, dan lainnya. Untuk itu Pemkot Bekasi terus berupaya mendata keberadaan Fasos-Fasum tersebut. Termasuk mengecek kelengkapan administrasi dan verifikasi fisik di lapangan. Saat ini Pemkot Bekasi meran-
cang Perwal PSU. Di dalamnya diatur jelas tentang mekanisme, syarat dan tahapan penyerahan Fasos-Fasum. Perwal PSU diharapkan akan memudahkan proses penyerahan PSU dari pengembang ke Pemerintah Daerah. Sehingga keberadaan Fasos-Fasum terdata dengan baik dan bisa dimanfaatkan bagi kepentingan publik. Pemkot Bekasi juga akan menindak tegas alih fungsi Fasos-Fasum menjadi sarana komersil yang kini dikuasai sekelompok orang. Walikota berjanji akan mengejar seluruh Fasos-Fasum yang merupakan aset milik pemerintah daerah. Dalam waktu dua tahun ke depan seluruh aset ditargetkan sudah berhasil diambil alih. “Pemkot Bekasi akan tegas dalam mengambil alih Fasos-Fasum yang belum diserahkan pengembang. Termasuk menertibkan Fasos-Fasum yang beralih fungsi.” Jangka Panjang Tujuan jangka panjang pengelolaan Fasos-Fasum adalah untuk menghasilkan optimalisasi manfaat Fasos-Fasum secara berkelanjutan. Optimalisasi dalam pemanfaatan Fasos-Fasum akan terwujud apabila pengelolaannya dapat menghasilkan efisiensi, social costs
yang rendah, dan pemerataan. Optimalisasi pemanfaatan juga dapat diperoleh apabila pengelolaannya dapat mewujudkan perubahan-perubahan berdasarkan pemahaman form utility (peningkatan manfaat karena perubahan bentuk fisik dan fungsi dari fasilitas sosial dan fasilitas umum), place utility (peningkatan manfaat karena perbedaan tempat atau perpindahan lokasi fasilitas sosial dan fasilitas umum), dan time utility (peningkatan manfaat karena perubahan waktu di mana masyarakat semakin menyadari manfaat dari keberadaan fasilitas sosial dan fasilitas umum). Pemanfaatan Fasos-Fasum bisa berlangsung berkelanjutan apabila pengelolaannya menghasilkan upaya pemeliharaan, perbaikan, dan modifikasi bentuk fisik dan fungsi . Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka diperlukan pemantauan (monitoring), evaluasi, pelaporan yang berlangsung secara berkala. Ketiga proses ini berfungsi memastikan bahwa proses perencanaan, penataan, penyediaan, penyerahan, dan pengembangan dilakukan secara profesional dan mengikuti prosedur dan tahapan proses secara konsisten. Serta memberikan umpan balik positif bagi perbaikan kinerja pelayanan.
ALUR SERAH TERIMA ADMINISTRASI TPU OLEH PENGEMBANG KEPADA PEMERINTAH DAERAH
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
53
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
ALUR SERAH TERIMA ADMINISTRASI PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU)
ALUR SERAH TERIMA FISIK PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU)
54
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
ALUR SERAH TERIMA ADMINISTRASI & FISIK PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS
ALUR SERAH TERIMA PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS (PSU) YANG DITINGGALKAN PENGEMBANG
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
55
Laporan Utama
Kebijakan Pembangunan Kota
Imajinasi Tentang Kota Dalam Perspektif Tokoh
Pernahkah kita berimajinasi tentang sebuah kota? Kota di mana kita merasa nyaman dan aman tinggal di dalamnya. Gedung-gedung tinggi menjulang di kelilingi taman yang teduh. Bangunan dan perumahan tertata apik. Jalan-jalan resik dan tertib diapit rimbun pepohonan. Taman hijau nan asri terhampar di setiap sudut kota menggoda kita selalu mengunjunginya bersama keluarga dan kerabat. Fasilitas publik ramah bisa diakses siapa pun. Kota bebas banjir dan polusi. Kota sehat dan kreatif tempat anak cucu kita tumbuh. Setidaknya itulah Bekasi masa depan yang ingin dihadirkan dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2031.
M
ungkin hanya sedikit warga yang tahu wujud Bekasi tempo dulu dan bagaimana Bekasi masa depan. Pesatnya urbanisasi dan pembangunan membuat imajinasi dan persepsi orang tentang Bekasi berapa puluh tahun ke depan berbeda-beda. Apalagi dengan sederet pengalaman ketidaknyamanan yang pernah dialaminya. Ada yang membayangkan Bekasi menjadi kota sejuta masalah dan tidak nyaman dijadikan tempat tinggal. Tapi ada juga yang melihat positif laju pertumbuhan saat ini. Walikota Bekasi Rahmat Effendi yang lahir dan tumbuh di Kota Bekasi masih mengingat betul bagaimana wajah Bekasi tempo dulu. Di rentang tahun 19701980an setiap pagi ia masih menikmati pekatnya kabut yang membawa sejuknya udara. Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak masih bisa terlihat jelas. Ia bahkan sempat menikmati jernihnya air Kali Bekasi yang dihuni aneka jenis ikan. Setiap berangkat sekolah berjalan kaki ia melintasi bentangan persawahan dan rawa. Tak ada kemacetan dan polusi udara. Ia sempat merasakan semua keindahan itu. Namun saat Bekasi saat ini digantikan gedung-gedung bertingkat,
56
perumahan dan pabrik. “Tapi pemandangan indah ketika saya masih kecil itu sekarang sudah tidak ada lagi. Saya kangen suasana kota seperti dulu. Meskipun saya tidak bisa mengembalikannya tapi saya punya kewajiban menata Kota Bekasi menjadi lebih baik, nyaman, aman dan manusiawi dihuni,” kata Rahmat. Menurut Rahmat pesatnya pembangunan Kota Bekasi harus dilihat positif. Meskipun harus diakui ada banyak dampak negatif pembangunan tersebut. Untuk itu perlu rumusan perencanaan matang dan detail baik jangka pendek maupun jangka panjang. Rumusan pembangunan secara komprehensif sudah dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). “Untuk panduan teknisnya termuat dalam Perda RTRW 2011-2031. Di dalam Perda inilah imajinasi tentang Kota Bekasi dirumuskan,” kata Rahmat. Rahmat mengakui membangun Kota Bekasi tidak mudah. Mengingat banyaknya persoalan saat ini. Namun dia optimis jika ada niat kuat dan tulus, serta
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
dilakukan bersama masyarakat, seluruh rencana tersebut bisa terealiasikan. “Contoh yang bisa kita lihat adalah penataan koridor Jalan Ahmad Yani. Sekarang ada Jembatan KH Noer Alie Summarecon, Gedung Pemerintahan 10 lantai dan Stadion Bekasi. Dulu masih dalam bentuk imajinasi. Tapi sekarang mewujud. Kita sudah rencanakan semuanya. Tinggal komitmen menjalankannya. Saya yakin dalam 1020 tahun ke depan wajah Kota Bekasi berubah lebih baik,” katanya. *** Membayangkan Kota Bekasi masa depan mungkin terasa absurd bila melihat realitas hari ini. Persoalan kemacetan, kesemrawutan penataan bangunan di jalan-jalan utama, minimnya ketersediaan lahan k h u s u s nya untuk Ru-
ang Terbuka Hijau (RTH), buruknya penataan sistem drainse, adalah sedikit contoh yang bisa kita lihat dan rasakan. Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk—yang saat ini mencapai 2,7 juta jiwa—juga menjadi persoalan tersendiri bagi Kota Bekasi. Padahal ketika Kota Bekasi baru berdiri sebagai kota mandiri 13 tahun silam jumlah penduduknya belum 1 juta jiwa. Kota Bekasi menjadi kota harapan bagi sebagian kaum urban menggantungkan hidup dan mencari peruntungan. Kondisi itu berdampak terhadap pemanfaatan lahan. Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi menunjukkan tahun 1998 luas kawasan terbangun 51,09 persen dari luas wilayah setempat atau sekitar 21.049 hektar. Namun tahun 2005 luas kawasan terbangun mencapai 67 persen lebih. Luas ruang terbuka hijau di Kota Bekasi pun berkurang dari sekitar 4.133 hektar (tahun 2000) menjadi 4.099 hektar (tahun 2005). Sejumlah situ atau rawa di Kota Bekasi menghilang karena dibangun kawasan niaga dan permukiman. Padahal warga Kota Bekasi mendambakan hadirnya taman-taman kota yang dapat menjadi ruang publik atau tempat rekreasi. Ruang terbuka juga sekaligus menjadi kawasan resapan dan pengendali polusi. Keberadaan situ atau rawa mengurangi ancaman banjir dan menjadi tempat cadangan air saat kemarau. “Kota Bekasi seolah tumbuh tanpa perencanaan yang jelas. Banyak hal ang sudah given. Itu imbas pembangunan nasional dan pemekaran wilayah pada tahun 1997. Kita tidak bisa mengubahnya secara radikal. Tapi harus ditata perlahan,” kata Ketua Pusat Kajian Otonomi Daerah (Puskoda) Unisma “45” Bekasi, Haris Budiyono. H a r i s menjelaskan hal yang sud a h
given antara lain Jalan Tol Jakarta-Cikampek yang membelah Kota Bekasi, rel kereta api, irigasi Kalimalang, Jalan Inspeksi Kalimalang (Jalan KH Noer Alie). Semua itu adalah bagian penataan ruang nasional yang tidak bisa ditolak daerah. “Contoh rel kereta api yang membelah pusat Kota Bekasi. Ini kan sudah ada dari dulu dan akhirnya menimbulkan masalah kemacetan. Kita tidak bisa memindahkan rel kereta tersebut. Yang bisa dilakukan menyesuaikan, membuat flyover, merekayasa arus lalu lintas, dan lainnya. Itu salah satu contoh saja. Banyak contohcontoh lain yang menunjukkan persoalan di Kota Bekasi ditimbulkan hal yang sudah given tadi,” kata Haris. Namun Kota Bekasi juga memiliki potensi yang tidak dimiliki daerah lain. Dari aspek geografis kota ini berbatasan langsung dengan Jakarta sehingga mendapat imbas positif terutama ekonomi. Dari segi fisik dasar sebagian besar wilayah Kota Bekasi memiliki tingkat kemiringan yang relatif datar (0-2%0). Kondisi topografi yang datar itu secara teknis kerekayasaan (technical enginering) memiliki potensi sangat baik untuk segala kegiatan budidaya. Khususnya budidaya perkotaan dan sarana pendukungnya. Meskipun berpotensi terjadi genangan jika hujan. Berdasarkan hasil analisis kemampuan daya dukung lingkungan Kota Bekasi termasuk kota yang dapat dikembangkan dengan kendala sangat kecil. Secara garis besar kawasan pengembangan berbagai kegiatan perkotaan di Kota Bekasi cukup sesuai kondisi geologi teknik. Kota Bekasi masuk dalam zona kemampuan geologi teknik menengah-tinggi. Sementara dari aspek sosiokultur masyarakat Kota Bekasi mimiliki karakteristik produktif (pekerja), masyarakatnya teroganisir, memiliki ragam seni dan budaya (adaptif), intelektual dan dinamis. “Ini aset. Jika dikelola dengan baik bisa mendorong percepatan pembangunan Kota Bekasi. Bahkan bisa membentuk kultur kota yang kreatif,” kata Haris. *** Kepala Dinas Tata Ruang Kota Bekasi Koswara mengatakan Perda RTRW merupakan
amanah UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penaataan Ruang. Penyusunan Perda tersebut memerlukan waktu panjang. Dikerjakan sejak tahun 2008 dan baru selesai tahun 2011. Penyusunan Perda didasarkan kajian akademis, kajian teknis yang komprehensif dan melibatkan partisipasi masyarakat. Secara garis besar ada beberapa hal yang menjadi fokus penataan ruang Kota Bekasi. Di antaranya; Perwujudan Struktur Ruang. Terdiri dari perwujudan dan pengembangan sistem pusat pelayanan atau sistem perkotaan, transportasi, sistem utilitas dan prasarana lingkungan. Perwujudan Pola Ruang terdiri dari Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya dan Kawasan Strategis. Tahapan pengembangan Kawasan Lindung terdiri dari rencana kawasan perlindungan setempat dan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya. Tahapan pengembangan Kawasan Budidaya terdiri dari permukiman, perdagangan, kawasan industri, dan pemanfaatan ruang kawasan terbuka hijau. Dalam tataran aplikasi Perda RTRW dibagi menjadi 4 tahapan pelaksanaan. Masing-masing tahapan ialah 5 tahun. Ini diatur dalam RPJMD dan RPJPD. ”Visi Perda ini mewujudkan tata ruang Kota Bekasi sebagai hunian dan usaha kreatif yang nyaman. Dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup yang berkelanjutan,” kata ahli planologi jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut. *** Perda RTRW 2011-2013 mengatur rencana struktur kota yang bertujuan mewujudkan keserasian dan keseimbangan pusat-pusat pelayanan. Juga mengefektifkan kinerja sistem pusat-pusat tersebut agar berkembang sesuai peran dan fungsinya. Perda RTRW 2000-2010 dinilai tidak mampu lagi mengakomodir perkembangan Kota Bekasi sekarang. Seperti pengaturan kegiatan perdagangan dan jasa, industri, perumahan, pusat pelayanan pemerintah dan kawasan hija. Jika tidak diatur secara tegas maka bisa menimbulkan dampak kerugian besar di masa mendatang. Untuk itu Perda mengatur pembagian Sistem Pusat Pelayanan (SPP). Terdiri dari 1 (satu) Pusat Pelayanan Kota dan 4 (empat) Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK).
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
57
Laporan Utama
Ruang Publik Untuk Publik
Taman perumahan Kemang Pratama sebelum dipagar / Foto: Firman
Ruang Publik untuk Publik Ruang publik— khususnya dalam bentuk ruang terbuka hijau— merupakan elemen penting sebuah kota. Namun keberadaannya di kota-kota besar seperti Bekasi sangat minim. Bahkan ruang tersebut tidak lagi milik publik karena mulai diambil alih sektor privat. 58
Banyak perumahan-perumahan mahal membangun taman atau danau buatan. Tapi semua fasilitas itu disediakan bukan untuk publik melainkan untuk para penghuninya saja. Ia sekadar elemen marketing yang memiliki nilai jual untuk ditawarkan kepada konsumen. Sementara tempat berkumpul di mal dalam bentuk cafe hanya bisa dinikmati segmen tertentu saja. Maka mal tidak bisa dikatakan sebagai ruang publik yang utuh karena cenderung eksklusif. Di sebuah perumahan mewah di bilangan Rawalumbu ada taman yang sangat rimbun dan hijau. Pohon-pohon besar meneduhkan. Rumput subur melapisi seluruh permukaan taman. Aneka pohon dan bunga membuat suasana semarak dan sedap dipandang mata. Tapi warga hanya bisa menikmati itu semua dari
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
balik pagar setinggi 1,5 meter. Taman tu diperuntukkan untuk sekumpulan rusa dan burung. Bukan untuk warga kota. Hal sama terjadi di sebuah perumahan mewah yang baru dibangun di pusat Kota Bekasi. Taman dan jalur hijau yang semestinya bisa dinikmati warga justru dijaga petugas keamanan yang menyebar di setiap sudut. Petugas keamanan ini menghalau warga yang ingin duduk-duduk di taman. Bahkan sekadar numpang berfoto-foto saja tidak diperbolehkan. Pemandangan seperti itu juga terjadi di ruang-ruang publik milik pemerintah kota. Taman kota di kompleks alun-alun Bekasi, misalnya, di kelilingi pagar setinggi 1 meter. Meskipun bisa dinikmati warga namun esensi ruang publik sebagai tempat yang membebaskan, tidak
Taman perumahan Kemang Pratama sesudah dipagar / Foto: Miftah
berjarak, justru berkebalikan. Seolah-olah taman cukup menjadi pemanis kota saja. Esensi Ruang Publik Ruang publik dalam bentuk ruang terbuka hijau sangat banyak manfaatnya. Warga bisa berolahraga di pagi hari menghirup udara segar. Atau sekadar datang untuk berkumpul bersama teman-teman lalu berbincang secara santai. Di ruang terbuka anak-anak kecil bisa juga bergembira bermain jika ada sarana khusus untuk bermain. Jadi taman kota fungsinya bukan hanya sebagai penghias saja. Tengoklah kota-kota di Belanda seperti Rotterdam, Den Haag dan Amsterdam. Di sana kita dapat dengan mudah menjumpai ruang publik yang ditata apik di tengah-tengah perumahan atau apartemen. Demikian pula di Paris, Perancis. Kita bisa melihat ruang-ruang terbuka persis di depan warung kopi (coffe shop/café) di sepanjang Jalan Boulevard Champs E’lyse’s yang merupakan jaringan utama menuju monumen Arc de Triumph. Keadaan yang sama bisa ditemui di Jerman, di Cologne. Kita bisa menemukan banyak ruang-ruang kosong berupa lapangan rumput di mana masyarakat bisa
mengisi waktu luangnya. Kota-kota di Asia seperti Singapura dengan Boulevard Orchard Road pun mengambil contoh ruang publik seperti Jalan Boulevard Champs E’lyse’s. Hanoi, Vietnam, memiliki lima danau besar. Pinggirannya tertata taman yang sangat bersih dan terjaga. Vietnam juga juga memiliki banyak pathway yang lebarnya hingga 5 meter dan digunakan berkumpul banyak orang. Kemudian di Musoleum Paman Ho, yang terlihat seperti miniaturnya Tianamen di Negeri Cina, orang tua-muda bersama anak-anaknya yang masih kecil tumpah-ruah di sana berlari dan bermain layang-layang. Seperti itulah seharusya taman kota sebagai bagian dari ruang publik. Tua-muda kaya-miskin bisa berkumpul dalam suasana gembira. Menurut Haryo Winarso dalam tulisannya “Komersialiasi Ruang Kota” taman kota seharusnya bisa manusiawi: tempat ‘manusia merasa menjadi manusia’ setelah seharian diperbudak waktu dan uang. Bukan taman yang hanya dinikmati anggota masyarakat tertentu saja. Sayangnya kenyamanan ruang publik kini mulai dikalahkan dengan masuknya pe-
mikiran pasar yang kapitalistik dan menghilangkan ruang bebas itu hanya untuk kepentingan uang. Ruang kota telah tereduksi nilai gunanya dan sempit maknanya. Hanya dilihat sebagai faktor yang jika dipakai sedemikian rupa dapat memberikan keuntungan finansial yang besar bagi investor. Pertambahan penduduk di Kota Bekasi yang terus meningkat menjadikan ruang kota sanga terbatas. Sementara permintaan terus menerus meningkat. Akibatnya adalah benturan pada penggunaan ruangnya. Ruang kota dilihat sebagai konsumsi karena begitu diperlukan masyarakat. Dilihat hanya sebagai komoditi yang bisa diperjual-belikan. Ketika ruang kota terkomersialisasi, publik terpaksa mengeluarkan uang untuk menikmatinya. Ruang dalam mal adalah salah satu contohnya. Ia hanya dipakai publik ketika mal buka. Dalam keadaan seperti itu kemungkinan besar kota-kota akan terdegradasi secara spasial. Ruang-ruang kota akan diambil alih kepentingan pasar. Taman-taman tertutup milik privat. Seperti digambarkan di mula, tamantaman dalam pengembangan perumahan
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
59
Laporan Utama
Ruang Publik Untuk Publik
baru ‘dijual’ hanya sebagai daya tarik. Danau atau situ dibuat tertutup karena di sekelingnya dibangun perumahan yang mahal. Ruang tersebut pun dinikmati oleh yang membeli rumah di sekeliling danau saja. Sementara masyarakat umum yang tetap memerlukan ruang kota akan menginvasi perempatan. Jika ini dibiarkan maka degradasi spasial akan segera terlihat. Ini bisa menimbulkan kecemburuan yang membahayakan ketentraman kehidupan kota. Keterlibatan Publik Ruang publik memang untuk publik. Tapi publik juga memiliki kewajiban ikut menjaga ruang-ruang publik agar tetap lestari. Privatisasi ruang publik oleh beberapa pengembang perumahan terjadi karena belum ada kesamaan persepsi dalam menjaga ruang publik. Seperti contoh ruang publik di dua perumahan mewah yang disinggung di atas. Awalnya taman itu dibuka bebas untuk warga. Sayangnya warga tidak sepenuhnya ikut
menjaga kelestariannya. Membuang sampah sembarangan, merusak properti taman, bahkan menjadikannya sebagai tempat ‘nongkrong’ dan bermesra-mesraan. Faktor itu mungkin menjadi pertimbangan pengembang perumahan memasang pagar dan menjaga aset mereka yang sudah dibangun dengan harga mahal. Para pengembang juga menghindari stigma negatif akibat penyalahgunaan fungsi ruang publik tersebut. Namun bukan berarti kondisi semacam ini dibiarkan. Pengelolaan taman sebagai ruang publik bukan hanya tanggung jawab pengembang dan pemerintah melainkan tanggung jawab bersama. Perlu dibangun persepsi yang sama dan didorong partisipasi publik. Tingginya partisipasi publik tersebut tentu berhubungan erat dengan tingkat kesadaran mereka tentang ruang publik. Terutama fungsi ruang publik bagi publik. Pemerintah wajib menyiapkan ruang-ruang kota yang baik dan bisa dinikmati seluruh
Ruang Publik beralih fungsi menjadi sarana komersil di depan Mall Metropolitan / Foto: Mbot
60
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
warga. Juga melakukan sosialisasi dan menjalin kemitraan dengan masyarakat yang tinggal di sekitar ruang publik untuk bersama-sama mengelola. Pemerintah harus tegas dan berkerjasama dengan pengembang swasta dalam menciptakan ruang publik. Boleh saja swasta menyediakan ruang publik tetapi tidak boleh eksklusif. Ruang publik adalah milik publik. Membebaskan publik dari segala bentuk perbedaaan. Ruang publik harus bisa diakses gratis seluruh warga. Bukan hanya milik segelintir orang yang memiliki uang untuk menikmatinya.*** (dari berbagai sumber) Daftar Pustaka
Haryo Winarso. 2010. Komersialisasi Ruang Kota Ir. James Siahaan, MA. 2010. Ruang Publik: Antara Harapan dan Kenyataan. Lukman F Mokoginta. 2002. Nasib Taman Kota.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
61
Laporan Utama
Ruang Publik Untuk Publik
Setiap anak butuh bermain. Dengan bermain anak-anak menjadi riang gembira. Bermain diyakini bisa mengembangkan kemampuan kognitif, sosial, fisik dan emosional anak. Namun kemudian muncul pertanyaan: Di mana? Bermain apa? Tentu saja jawabannya tidak simpel.
Di Mana Taman Bermain Anak? 62
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Arsitek Jepang, Mitsuru Senda, dalam bukunya Design of Children’s Play Environment (1992) membahas tempat bermain anak dengan sangat kritis. Katanya semua orang menyadari bahwa bermain dibutuhkan anak. Akan tetapi banyak orang tidak menyadari bahwa dibutuhkan juga suatu tempat untuk aktivitas bermain tersebut. Menurut Senda bermain adalah keharusan bagi seorang anak. Atau minimal ini menjadi pusat kehidupan mereka. Sebab anak-anak belajar, memeroleh teman, dan mengasah kreativitas melalui bermain. Bermain merupakan permulaan rutinitas dan kebiasaan. Karena itulah kita harus menyediakan lingkungan yang baik di mana anak bisa memerlihatkan kecerdasan mereka.
l Anak Bekasi tak punya tanah lapang. Bermain dekat bahaya / Foto: Firman
Aktivitas bermain anak membutuhkan lingkungan yang mendukung dan memfasilitasi kegiatan ini. Lingkungan bermain yang baik membutuhkan waktu dan ruang yang cukup untuk aktivitas anak. Senda mengatakan bahwa lingkungan bermain anak terdiri atas empat elemen, yaitu: tempat bermain, waktu bermain, teman ber-
main, dan apa yang anak kerjakan. Senda mengategorikan enam tipe ruang yang dapat dijadikan lingkungan bermain bagi anak, yaitu; (1). Nature Space; ruang yang dipenuhi pepohonan, air dan elemen alam lain yang menjadi dasar utama dan terpenting dalam pembentukan ruang bermain anak;(2). Open Spaces; Ruang terbuka yang mengakomodasi kegiatan anak untuk aktif bergerak. Kemudian (3). Road spaces; Ruang yang terbentuk dari salah satu aktivitas anak yang bertemu dan berhubungan dengan teman seusianya; (4). Adventure Spaces: Ruang yang
membangkitkan imajinasi anak-anak yang bermain melalui elemen- elemen ruangnya; (5). Hideout Spaces; Ruang yang ada karena setiap anak memiliki sisi mandiri dan rahasia masing- masing yang tidak ingin diketahui orang tua dan guru mereka; (6). Play structure
Spaces; Ruang yang biasanya menjadi media bermain anak yang dilengkapi alat bermain. Pendapat Senda lebih condong bahwa tempat bermain anak yang baik ialah di ruang terbuka. Namun persoalan yang muncul di kota besar ialah justru minimnya ruang terbuka untuk bermain anak. Padahal bermain di ruang terbuka lebih menguntungkan anak daripada bermain di ruangan tertutup. Di Kota Bekasi permainan di ruang tertutup ini kebanyakan berada di mal dan jenis permainannya pun elektrik. Praktisi pendidikan anak dari Universitas Islam 45 Bekasi Siti Hidayah menyebut keberadaan sarana bermain untuk anak akan sangat memengaruhi pertumbuhan psikologis anak. Sebab di ruang hijau anak belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Konsep permainan di ruang terbuka berbeda dengan konsep permainan yang ada di mal. Di mal anak dapat asyik bermain sendiri dan hanya mengunakan kemampuan motorik belaka, kaki, tangan dan mata. Sedangkan di taman anak dapat mengembangkan kemampuan motorik sekaligus psikomotorik. Penelitian, kata Siti menunjukkan, anak yang minim kesempatan bermain secara ekspresif, bebas dan aktif menjadi mudah agresif, emosional, cepat putus asa dan kehilangan daya kreativitas. Di mal anak pun menikmati permainan secara pasif, susana hijau tidak ada, hawa sejuk ditimbukan dari AC, cahaya dari sinar lampu. Secara kesehatan jelas tidak baik untuk perkembangan anak. Fenomena tersebut ditangkap Ketua Komisi Nasional Anak Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto. Menurut Kak Seto tempat bermain seperti di mal dan taman- taman bermain komersial bukanlah sebuah konsep yang ideal bagi sebuah kawasan ruang bermain anak. Kawasan itu sangat diskriminatif karena hanya bisa diakses golongan yang mampu secara ekonomi. Kak Seto sependapat bahwa taman bermain anak sebaiknya di ruang terbuka dan tidak komersial. Jika terpaksa berada di dalam ruangan maka harus diusahakan ada keseimbangan dengan kegiatan di luar ruangan. Tempat bermain di ruang terbuka dengan ayunan atau panjatan dari kayu, misalnya, akan memberi kegembiraan dan tantangan kepada anak-anak. Fasilitas-fasilitas seperti itu sangat merangsang kecerdasan anak. Perbanyak Taman Bermain Mengingat setiap kelompok umur memiliki perilaku berbeda sesuai fase pertumbuhanya maka taman bermain anak harus juga spesifik. Meski membutuhkan ruang terbuka
taman bermain tidak bisa disamakan dengan ruang publik. Ruang publik tidak sepenuhnya bisa dijadikan tempat anak bermain secara nyaman karena bercampur dengan banyak orang yang tidak seusia. Taman bermain di Kota Bekasi masih sangat minim. Kalau pun ada itu hanya terpusat di kota seperti di Taman Alun-alun Bekasi. Padahal taman bermain harusnya lebih banyak berada di daerah permukiman atau perumahan sehingga mudah dijangkau anak-anak. Taman bermain anak paling tidak diklasifikasikan menjadi dua kelompok. Yakni anak usia 1-5 tahun dan usia 5-12 tahun. Di ruang publik anak usia 1-5 tahun kerap dikalahkan anak-anak yang lebih besar. Untuk itu Pemerintah Kota Bekasi harus mulai memikirkan penyediaan taman bermain anak yang nyaman khususnya untuk kelompok usia 1-5 tahun—masa emas pertumbuhan. Masa di mana anak mulai peka menerima berbagai rangsangan. Masa peka ini merupakan masa terjadinya kematangan fungsi fisik dan psikis sehingga anak siap merespon stimulasi yang diberikan lingkungan. Pemerintah daerah menurut Kak Seto berkepentingan mewujudkan tempat bermain anak. Kepentingan ini dilandasi keinginan mewujudkan generasi unggul. Oleh karena itu pemerintah harus memenuhi kebutuhan bermain anak-anak. Bermain bagi anak adalah proses belajar. Kemudian pada proses belajar ada proses mengasah potensi-potensi kecerdasan. Itulah pentingnya menyediakan fasilitas bermain untuk anak-anak. Menyediakan fasilitas bermain anak juga merupakan amanat Undang-undang Perlindungan Anak. Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak juga mencanangkan program Kota Layak Anak. Program ini mensyaratkan adanya ruang-ruang terbuka yang bisa dipakai anak-anak bermain. Konkritnya suatu kota harus menyediakan minimal 5 persen dari wilayahnya untuk ruang bermain anakanak. Namun ternyata 3 persen pun belum ada. Kenyataan ini seharusnya bisa memacu semangat para pimpinan daerah agar tidak mendeskriminasi anak-anak. Menurut Kak Seto pemerintah mesti menyediakan anggaran untuk anak dan memberikan political will. Namun tentunya menyediakan taman bermain anak bukan tanggung jawab pemerintah saja. Maka pemerintah bisa saja menggandeng warga atau swasta. Salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan agar seluruh pengembang perumahan menyediakan taman bermain anak lengkap dengan fasilitas pendukungnya. Untuk permukiman taman bermain
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
63
Laporan Utama
Ruang Publik Untuk Publik
orang dewasa bertegur sapa dan anak-anak bermain tanpa khawatir bahaya. Pemerintah Kota Bekasi sebenarnya masih berupaya mewujudkan taman bermain anak. Salah satunya dengan membangun rumah pintar di beberapa Kelurahan. Yang sudah jadi ialah di Kelurahan Kayuringin Jaya. Rumah pintar ini akan dikembangkan di semua kelurahan.
bisa memanfaatkan Fasos/Fasum yang sudah ada. Misalnya di halaman masjid, halaman kantor RW atau kelurahan. Penyediaan taman bermain juga bisa dibuat di halaman sekolah dasar (SD). Sebab kebanyakan saat ini halaman SD hanya digunakan untuk lapangan upacara dan olahraga. Padahal siswa SD juga kelompok anak-anak yang membutuhkan arena bermain dengan jenis permainan yang mengasah keberanian, kreativitas dan ketrampilan. Ke depan model pembangunan fasilitas sosial maupun fasilitas umum sebaiknya jangan eksklusif. Tempat ibadah yang selama ini dipagar dibuka saja sehingga halamannya bisa dimanfaatkan untuk tempat bermain anak. Begitu pun dengan lingkungan sekolahan, kantor kelurahan maupun kantor kecamatan. Dengan begitu ruang-ruang yang selama ini dibiarkan kosong bisa bermanfaat untuk anak-anak sekitar. Pembangunan jalan-jalan di perumahan juga perlu dipikirkan kemudahan akses bagi pejalan kaki. Selama ini persepsi pengembang tentang jalan perumahan ialah hanya untuk diakses kendaraan bermotor. Padahal sebelum kendaraan bermotor menjadi lazim jalan di dalam permukiman tak pernah hanya menjadi sekedar lorong untuk lewat. Selalu ada kegiatan lain di dalamnya: orang berjual-beli, 64
Taman dan Fasilitas Bermain Secara umum taman bermain anak (Children Playground) dapat diartikan sebagai tempat yang dirancang bagi anakanak melakukan aktivitas bermain dengan bebas supaya memperoleh kegembiraan. Taman bermain adalah juga sarana mengembangkan kemampuan kognitif, fisik, sosial dan emosional anak. Taman tersebut diutamakan berada di ruang terbuka. Ada enam kriteria dan indikator sebuah taman bermain anak dikatakan baik. Antara lain (1). Keselamatan; fasilitas bermain tidak menimbulkan atau memungkinkan terjadinya kecelakaan fatal; (2). Kesehatan; bebas gangguang kesehatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang; (3). Kenyamanan; tidak ada gangguan secara fisik atau psikologis dari lingkungan sekitar; (4). Kemudahan; semua fasilitas permainan mudah digunakan dan dimengerti; (5). Keamanan; bebas dari tidak kejahatan; (6). Keindahan; menarik secara visual sehingga citra taman bermain muncul sangat kuat. Ada pun komponen dalam taman bermain anak yaitu; lokasi, tata letak, peralatan permainan, konstruksi, material atau bahan. Mari kita urai komponen tersebut satu per satu. Lokasi; penentuan lokasi taman bermain anak selalu dihadapkan pada dua hal. Pertama, anak tidak merasa terganggu dengan aktivitas lain. Kedua, taman bermain anak juga tidak mengganggu lokasi sekitar. Prinsip penentuan lokasi ini juga didasari pertimbangan bahwa pengguna taman bermain adalah anak-anak
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
yang belum memiliki kesadaran tinggi terhadap lingkungannya. Maka lokasi harus mudah dijangkau dan tidak membahayakan anak. Tata letak; mengatur zonasi aktivitas bermain aktif-pasif, kelompok umur dan jenis permainan. Pemisahan ini perlu dilakukan untuk memastikan antarpermainan tidak saling menggangu. Tata letak memungkinkan anak bergerak bebas dan memilih jenis permainan. Perlu ada area yang ternaungi sehingga anak bisa berteduh. Area ternaungi ini juga bisa menjadi ruang tunggu bagi orangtua yang mendampingi. Peralatan Permainan: peralatan merupakan komponen paling kompleks dan paling penting dikendalikan karena anak-anak terkonsentrasi di sekitarnya. Kecelakaan kerap terjadi di lokasi alat permainan. Maka perlu beberapa upaya untuk menghindari risiko. Bagian bawah alat permainan mesti menggunakan alas yang tidak keras seperti pasir. Desain tidak memungkinkan anak terjepit. Perlu ada peralatan khusus untuk anak berkebutuhan khusus. Konstruksi: pengendalian komponen konstruksi didasarkan pada persoalan beban kegiatan anak dengan sarana yang ada. Ini perlu perhatian tersendiri. Kekuatan konstruksi dalam perhitungan mesti lebih besar dari daya tampung maksimal anak. Peralatan harus berstandar bagus sehingga ada ukuran mengenai beban, ketinggian dan pondasi. Sambungan peralatan mainan harus meminimalisir tonjolan. Material atau bahan: pengendalian bahan alat permainan didasarkan pada persoalan sensitivitas tubuh anak terhadap benda-benda. Bahan alat permainan anak diutamakan lebih halus namun tidak licin. Bahan juga tidak mengandung zat yang berbahaya bagi anak. Di area terbuka yang langsung terkena cahaya matahari bahan peralatan sebaiknya tidak mudah menghantarkan panas. Kelima komponen ini memang mesti diuji dengan enam kriteria yang disebut sebelumnya. Terkesan sangat kompleks. Tapi itulah hal-hal yang mesti diperhatikan betul dalam menyediakan taman bermain anak. Rujukan: Chairunnisa. (2011). Taman sebagai Pendukung Aktivitas Bermain Anak dan Berolahraga di Permukiman. Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Baskara, Medha. (2009). Prinsip Pengendalian Perancangan Taman Bermain Anak di Ruang Publik. Malang: Universitas Brawijaya.
Merindukan Ruang Kultur Kota
Dibentuk akhir tahun 2011, Komunitas Sastra Kalimalang kini kian eksis. Bantaran Kalimalang di samping Kampus Universitas Islam 45 (Unisma) disulap menjadi “surga”. Tiap sore orang-orang nampak ceria duduk-duduk di bantaran kali sembari diskusi dan menikmati kopi. Ada pula anak-anak kecil yang berenang. Seolah-olah mereka hendak berkata kepada pengendara mobil dan motor, “Hei, berhentilah sejenak. Mari menikmati kota kita.”
Teduhnya bantaran Kalimalang / Foto: Miftah
Sebelum dijamah Sastra Kalimalang bantaran kali tersebut hanyalah semak-semak. Konon para pencopet kerap menyelinap di rerumputan sehabis beraksi di perempatan Jalan Cut Mutia-Chairil Anwar. Dompet-dompet yang telah dikuras uangnya dibuang ke kali. Sementara si pelaku kabur entah ke mana. Ketika malam pemuda-pemudi juga memanfaatkan ruang kosong itu untuk memadu kasih. Tak ada yang ditakuti. Tak ada yang dirisihkan. Namun kini dua saung berdiri tegak di bantaran kali. Satu saung berfungsi sebagai taman bacaan. Satu lagi untuk sekolah nonformal bagi anak jalanan. Bantaran kali tak lagi kosong
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
65
Laporan Utama
Ruang Publik Untuk Publik
dan suram. Komunitas telah menjadi penjaga. Juga para mahasiswa yang menjadikan area ini sebagai tempat berbincang. Tak jarang lomba dayung tingkat provinsi juga diadakan di sini. Dan belakangan sebuah landmark bertuliskan “Kota Bekasi” juga dibangun di bantaran Kalimalang. Taman bacaan di pinggir kali tak pernah sepi. Anak-anak jalanan sehabis mengamen kerap singgah. Ada yang membaca. Ada pula yang sekadar tiduran sambil memainkan gitar mungil. Orang yang habis pulang kerja sembari menunggu jemputan juga akhirnya ikut duduk-duduk di saung. Buku-buku di taman bacaan ini memang tidak komplit. Tapi yang membuat hebat ialah karena buku-buku tersebut sumbangan dari warga. Tidak beli. Setiap Senin dan Kamis sore puluhan anak jalanan mengikuti sekolah nonformal di saung satunya lagi. Mereka belajar menghitung dan membaca. Yang mengajar ialah para mahasiswa jurusan pendidikan Unisma. Jumat malam Sastra Kalimalang juga mengadakan dialog. Pesertanya siapa saja. Dari mulai akademisi, pejabat pemerintahan, anggota dewan, mahasiswa hingga anak-anak jalanan. Budaya dialog ini dikembangkan agar ruang publik sebagai ru-
ang demokrasi bisa terbangun. Selain taman bacaan, sekolah dan dialog, Sastra Kalimalang membangun koperasi. Anggotanya ialah para pemilik usaha di bantaran kali. Ada pedagang makanan, pemilik kedai kopi, tukang tambal ban, tukang ojeg dan penjual buku. Sastra Kalimalang mengabarkan semua kegiatan itu melalui halaman khusus di koran Radar Bekasi setiap minggunya. Mereka menerbitkan puisi-puisi, artikel, cerpen dan lainnya. Setiap tiga bulan sekali Sastra Kalimalang mengadakan Panggung Terapung. Sebuah panggung datar diapungkan di tengahtengah sungai. Semua sanggar kesenian di Bekasi diundang untuk tampil. Juga para seniman kenamaan. Masyarakat bebas menonton. Ini adalah salah satu bentuk kampanye bersih kali melalui medium kesenian. Pegiat Komunitas Sastra Kalimalang Irman Syah bahkan mengatakan bantaran sungai bukan saja telah menjelma sebagai ruang publik yang mudah diakses semua orang. Lebih dari itu ban-
66
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
taran kali meningkat menjadi ruang kultur. Apa itu ruang kultur? “Ruang yang diisi dengan kebudayaan. Ada manusia dan adab di situ. Orang bisa saling menghormati tanpa harus ada aturan tertulis,” kata Irman. Menurut Irman jika ruang kosong telah terisi maka muncul kebutuhan manusia di dalamnya. Di bantaran Kalimalang yang sudah dimanfaatkan banyak orang itu muncullah kebutuhan kenyamanan, kebersihan dan keindahan. Maka setiap hari anggota komunitas berusaha membersihkan sampah yang berserakan. Memangkas rumput dan menjadikan bantaran kali sebagai tempat kegiatan berkesenian. “Sekarang tidak ada lagi orang mesum di sini. Tak ada copet yang lari ke sini. Tak ada pula pelajar tawuran yang melintas membawa senjata tajam ke mari. Itu berarti ruang yang terisi ini telah memunculkan norma sendiri,” katanya. Irman mengatakan pemerintah bisa saja melarang semua aktivitas di bantaran Kalimalang dengan alasan kebersihan. Namun meskipun bersih ruang tersebut akan kosong. Tidak ada aktivitas manusia, tidak ada pedagang. Singkatnya tidak ada kebudayaan. Ruang tersebut tidak lagi menjadi ruang publik dan ruang kultur. Di sinilah pentingnya melibatkan masyarakat. Taman kota tidak akan menjadi ruang kultural, misalnya, jika masih dijaga ketat oleh satpam. Mungkin ini antisipasi agar tidak terjadi perusakan. Namun setiap ruang publik mestinya dibiarkan hidup oleh publik itu sendiri. “Jadi penekanannya buka kepada larangan. Tapi ajakan. Kalau dilarang terus menerus warga semakin brutal. Tapi kalau diajak untuk bersama-sama merawat pasti ruang tersebut tetap lestari. Buat apa taman indah kalau tidak ada manusianya,” kata Irman. Ketika taman kota sebagai ruang publik penuh sampah, misalnya, ia tidak kehilangan makna ruang untuk interaksi. Tetapi taman kota yang penuh sampah itu belum bisa disebut ruang kultur. Sebab masih ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang merugikan banyak orang. Pemerintah bisa saja menyediakan ruang publik. Tapi bagaimana publik mengisi dan menghidupi ruang itu, inilah yang membutuhkan campur tangan semua pihak. Perlu ada kesadaran pengguna ruang publik. Kesadaran ini bisa dibangun melalui pendidikan di sekolah, keluarga dan lingkungan. “Itulah pentingnya pengetahuan warga tentang identitas kotanya. Kebanggaan terhadap sebuah kota harus terus dirawat. Ketika setiap warga bangga terhadap daerahnya maka kemungkinan besar ruang kultur hadir di sana. Sebab setiap kebanggaan akan selalu membawa kasih sayang dan rasa memiliki,” kata Irman. Sementara dosen politik Unisma Bekasi Harun Alrasyid mengatakan bahwa wilayah Kota Bekasi dibelah oleh jalan tol, rel kereta dan Kalimalang. Jadi Kalimalang tidak sekadar berfungsi sebagai saluran irigasi. Kalimalang ialah ikon Kota Bekasi. Bicara Kalimalang pastilah bicara Bekasi. Kegiatan Sastra Kalimalang bisa menjadi program percontohan kali bersih bagi tempat-tempat lain di Indonesia. Menurut Harun hadirnya Sastra Kalimalang membuktikan bahwa di Bekasi ternyata ada masyarakat madani. Masyarakat madani ditandai dengan munculnya kelompok masyarakat yang mandiri, berdaya guna dan tanpa bergantung pada siapa pun. “Terbangunnya taman bacaan dan sekolah pinggir kali merupakan wujud kemandirian Sastra Kalimalang,” jelas Harun.***
Kaum difabel dan lansia sering terlewat dan dilewatkan dalam pembangunan kota. Di Kota Bekasi ruang-ruang publik belum dirancang untuk memudahkan mereka. Padahal Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30/PRT/M/2006 mengatur detail bagaimana membangun ruang publik yang ramah bagi kaum difabel dan lansia.
Mereka yang Dilewatkan... Istilah difabel memang diperuntukkan sebagai pengganti kata penyandang cacat. Difabel merupakan akronim different ability. Difabel lebih mengartikan para penyandang cacat adalah manusia normal hanya saja berbeda kebutuhan dalam mengakses sarana dan prasana publik. Sementara lansia adalah orang-orang yang berusia lanjut. Lansia termasuk golongan yang acapkali kesulitan mengakses fasilitas publik. Belakangan, misalnya, Pemerintah Kota Bekasi melarang keras warga menyeberang jalan tanpa melalui jembatan penyeberangan. Ini terutama diterapkan di Jalan Ahmad Yani tepatnya di sekitar pintu keluar Tol Bekasi Barat, Mega Bekasi Hypermall dan Metropolitan Mal, karena menyebabkan kemacetan. Garis penyeberangan pun ditutup. Bagi kaum difabel dan lansia ini tentu menyulitkan. Salah satu alumnus Panti Sosial Bina Netra Tan Miyat Indra Cipjaya mengatakan penyandang difabel netra sangat mengandalkan pendengaran dan perabaan. Di Bekasi mereka kesulitan ketika menyeberang jalan. Di Jalan Ahmad Yani menurut dia jembatan penyebarangannya sulit dijangkau. “Tidak gampang,” katanya. Jalur pejalan kaki di Bekasi juga masih buruk. Di beberapa jalan ditemui banyak trotoar rusak. Trotoar berlubang tidak diberi tanda bahaya. Ini mengkhawatirkan.
Mereka dikalahkan di jalan raya (Vivanews/Fernando)
Bahkan tiang-tiang reklame terpasang tak beraturan di badan trotoar. “Saya berharap pemerintah memperhatikan hal-hal kecil ini yang sebenarnya sangat penting bagi kaum difabel,” kata Indra.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
67
Laporan Utama
Ruang Publik Untuk Publik
Hal sama juga dialami kaum lansia yang mengandalkan kursi roda. Bagaimana mungkin mereka bisa mengakses trotoar yang rusak dan dikuasai pedagang kaki lima? Sementara jalur sepeda atau jalur lambat tidak tersedia. Kalau pun ada—seperti jalur sepeda di Jalan Ahmad Yani Bekasi—diserobot kendaraan bermotor untuk ngebut atau sekadar parkir. Beberapa waktu lalu Walikota Bekasi Rahmat Effendi mengatakan Jalan Ahmad Yani akan dibikin sebagai jalan percontohan. Tiang-tiang reklame yang tidak beraturan akan dirapikan. Trotoar rusak akan dibetulkan. Bunga-bunga di pot permanen di tengah jalan akan dipercantik. Tapi wacana tersebut lebih mengacu tampilan. Bukan fungsi. Efektivitas dan efisiensi tidak diperhatikan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum menekankan aksesibilitas. Dalam ketentuan umum peraturan tersebut aksesibilitas diartikan ‘kemudahan yang disediakan bagi semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan’. Peraturan tersebut dibuat untuk acuan pembangunan yang meliputi perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi. Kemudian acuan pemanfaatan bangunan dan lingkungan yang ramah bagi semua orang. Termasuk penyandang cacat dan lansia. Tujuannya tentu untuk menjunjung kesamaan, kesetaraan, kedudukan hak dan kewajiban setiap warga negara. Selain itu peraturan dirancang agar setiap kota bisa menyediakan sarana yang memadai, terpadu dan inklusif. Ini untuk membantu kaum difabel dan lansia mencapai kemandirian dan kesejahteraan. Bangunan yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri adalah semua bangunan, tapak bangunan dan lingkungan luar bangunannya, baik yang dimiliki pemerintah dan swasta, maupun perorangan, yang memungkinkan dikunjungi atau digunakan semua orang termasuk penyandang cacat dan lansia. Bisa disimpulkan bangunan tersebut yaitu ruang publik. Lebih detail Peraturan Menteri menyebut beberapa area. Fasilitas umum bisa meliputi jalan, pedestrian, taman kota, lapangan, pemakaman, kebun binatang dan lainnya. Kemudian bangunan fungsi hunian seperti rumah susun, rumah flat, asrama, panti asuhan, hotel, apartemen dan lainnya. Area fungsi keagamaan seperti masjid, gereja, pura, vihara dan klenteng. Ada juga bangunan fungsi usaha seperti gedung perkantoran, kantor pos, bank,
68
l Jembatan peyebrangan tidak bisa dilalui kaum difabel / Foto: Miftah
area perdagangan, gedung pabrik, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, restoran, terminal, bandara, pelabuhan, stasiun kereta api dan lainnya. Bangunan fungsi sosial-budaya meliputi sekolah, museum, perpustakaan, pelayanan kesehatan, tempat pertunjukan dan lainnya. Isu aksesibilitas untuk kaum difabel berkaitan dengan tuntutan desain ruang publik yang universal. Selain Peraturan Menteri Pekerjaan Umum tuntutan tersebut juga diatur secara serius antara lain dalam; Resolusi PBB nomor 48 tahun 1993 tentang Peraturan Aksesibilitas, UU nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, UU nomor 39 tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1999 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat, dan UU nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Lingkungan. Dinas Sosial Kota Bekasi menyebutkan sedikitnya ada 1148 difabel yang tercatat. Tersebar di 12 kecamatan. Penyandang difbel netra sebanyak 138 orang, difabel rungu atau difabel wicara 7 orang, difabel tubuh 290 orang, difabell mental 477 dan dampak penyakit kronis 172 orang. Itu baru yang tercatat. Artinya fasilitas untuk kaum difabel ini mesti disediakan menyeluruh. Tidak hanya di pusat-pusat kota saja. ***
l Trotoar tidak bisa dilalui kaum difabel / Foto: Miftah
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Ruang Publik dan Misi Kemanusiaan Jurnal ini berkesempatan mewawancarai Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Siswadi. Berikut hasil wawancara tersebut; Menurut Anda, apakah fasilitas publik di Kota Bekasi sudah mengakomodir kebutuhan kaum difabel? Kalau belum, bisa disebutkan apa saja contohnya? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami perlu menjelaskan dulu istilah yang digunakan. Sejak tahun 1997 negara telah secara resmi menggunakan istilah Penyandang Cacat dengan dibuatnya Undang Undang No.4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Dalam perjalanannya Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI)—sebelum PPDI, red—meminta Presiden RI untuk mengganti kata Penyandang Cacat. Karena kami aktif di organisasi internasional, Pemerintah RI menyetujui. Melalui Menteri Sosial, Pemerintah RI menandatangani Konvensi Internasional Resolusi PBB No. 61/106, tgl. 13 Desember 2006 Tentang Perlindungan dan Peningkatan Hak Asasi & Martabat Penyandang Cacat pada 31 Maret 2007 di Markas PBB, New York. Istilah ‘Penyandang Cacat’ dalam resolusi tersebut mengalami perubahan menjadi People with Disabilities (PwD). Terjemahan bebasnya: Orang Dengan Kecacatan, di Indonesia tidak menggunakan kata ‘kecacatan’ tapi mengambil kata ‘disabilties’ menjadi ‘Disabilitas’. Juga tidak menggunakan “Orang Dengan” tapi dengan kata “Penyandang”. Dengan demikian istilah lengkap menjadi Penyandang Diabilitas.. Istilah tersebut telah juga dikuatkan dengan Kesepakatan Organisasai Kecacatan Nasional dan stakeholder’s yang diselenggarakan di Bandung, tahun 2010. Selanjutnya menjadi istilah resmi dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Peningkatan Hak & Martabat Penyandang Disabilitas. Kembali ke pertanyaan. Tentu secara jelas dan tegas bahwa sebagian besar tidak mengakomodir kebutuhan kaum disabilitas. Con-
tohnya tentu sangat banyak. Kita ambil sampel yang strategis ;1.Pendidikan ‘belum ada’ yang mengembangkan Pendidikan Inklusi atau pendidikan reguler/umum yang menyediakan fasilitas fisik dan tenaga pendidik bagi anak berkebutuhan khusus; 2. Perkantoran layanan umum tidak menyediakan aksesibilitas bagi disabilitas netra, daksa maupun tunarungu wicara; 3.Sarana peribadatan juga sama, tidak menyediakan aksesibilitas bagi disabilitas netra, daksa maupun tunarungu wicara; 4.Jalan Raya khususnya pada trotoar yang semestinya bisa digunakan untuk akses penyandang disabilitas, ternyata juga tidak bisa dimanfaatkan. Demikian juga trafficlight juga tidak ramah bagi penyandang disabilitas netra; 5.Kantor perbankan, kelurahan dan kecamatan, sarana transportasi umum hingga taman kota, juga tidak ada yang aksesibel bagi penyandang disabilitas. Padahal pesan Peraturan Pemerintah No.43 Tahun 1998 tentang Usaha Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat menyatakan tempat pemakaman umum pun harus aksesibel bagi penyandang disabilitas. Di Kota Bekasi, fasilitas apa saja yang mendesak diperbaiki, terutama untuk kaum difabel? Yang mendesak diperbaiki tidak ada. Karena fasilitasnya juga tidak ada. Yang mendesak diadakan adalah aksesibilitas yang mendukung Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bagi penyandang disabilitas Kota Bekasi. Meliputi aksesibilitas pendidikan, kesehatan dan pekerjaan. Untuk pekerjaan utamanya sebagai wirausaha mengingat salah satu parameter yang obyektif saat ini terhadap indikator keberhasilan pemerintah adalah peningkatan IPM. Selama ini, sudahkan kaum difabel dilibatkan dalam persoalan pembangunan fasilitas publik? Jika komunitas disabilitas bisa dilibatkan dalam Musrenbang untuk sekadar menyampaikan aspirasi dan sumbang saran, Insya Allah, pengadaan dan pembangunan fasilitas
yang ada di Kota Bekasi dapat mengarah pada kota yang ramah bagi penyandang disabilitas. Kota yang ramah kepada kaum disabilitas adalah cermin kota yang peduli kemanusiaan. Sebuah kota harus memiliki misi kemanusiaan. Aksesibilitas bagi penyandang disabilitas itu juga bermanfaat bagi lansia dan ibu hamil. Menurut pandangan Anda, kota seperti apa yang ramah kepada kaum difabel? Kota yang menjamin tiadanya hambatan fisik maupun nonfisik bagi aktivitas penyandang disabilitas. Sehingga penyandang disabilitas bisa mandiri sebagai anggota warga kota tanpa harus terdiskriminasikan dan terpinggirkan. Sebagai contoh nyata adalah Kota Tokyo yang menjamin aktivitas penyandang disabilitas secara mandiri untuk semua kegiatan. Di Kota Bekasi, sudahkah kesadaran masyarakat menghormati kaum difabel terbangun? Kesadaran yang muncul saat ini masih dalam bentuk ‘charitas’ atau belas kasihan. Dengan kata lain ‘diberi nasi bungkus saja sudah cukup’. Padahal peduli kepada penyandang disabilitas bukan itu yang dimaksud. Konsep yang berkembang saat ini baik nasional maupun internasional adalah penghormatan dalam bentuk Hak Asasi. Artinya penyandang disabilitas pun memiliki hak-hak sebagaimana hak-hak warga nondisabilitas. Secara detail dan terinci itu telah dinyatakan dalam Pengesahan Konvensi pada Undang Undang No. 19 Tahun 2011. Dalam segi hukum perundang-undangan untuk penyandang disabilitas relatif sudah cukup baik. Masalahnya adalah pada implementasi di daerah otonom provinsi/kabupaten/kota. Oleh sebab itu ada baiknya kewenangan Pemerintah Daerah di bidang sosial yang di dalamnya ada bagian penyandang disabilitas ditarik kembali saja sebagai kewenangan Pemerintah Pusat. Sebagaimana Sektor Keuangan, Agama, Luar Negeri, Hukum, Pertahanan dan Keamanan.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
69
Laporan Utama
Ruang Publik Untuk Publik
Urgensi Ruang Terbuka Hijau Konsekuensi lahirnya Undangundang Nomor 26 2007 tentang Penataan Ruang adalah penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) dalam rencana tata ruang kota. Memang tidak mudah menyediakan RTH jika melihat realitas di kota besar saat ini. Namun juga tidak menutup kemungkinan untuk diadakan.
Undang-undang tersebut mewajibkan setiap kota menyediakan minimal 30 persen wilayahnya untuk RTH. 30 persen itu digunakan untuk RTH Publik yang dimiliki dan dikelola pemerintah kota dan digunakan untuk kepentingan masyarakat umum. Juga untuk RTH Privat pada lahan-lahan yang dimiliki swasta atau perorangan. Presentase RTH Publik dan Privat disesuaikan sebaran penduduknya. Undang-undang tersebut sangat tepat bagi kota yang sedang giat membangun seperti Bekasi. Apalagi keberadaan RTH dari tahun ke tahun terus mengalami penyusutan akibat beralih fungsi menjadi area komersil seperti bangunan perumahan dan pusat bisnis. Aturan itu menjawab tantangan beragam persoalan kota. Namun sejauh mana aturan tersebut bisa diwujudkan menjadi pertanyaan mendasar yang wajib dijawab seluruh elemen masyarakat. Jumlah penduduk Kota Bekasi sekitar 2,7 jiwa. Tingkat kepadatan penduduknya 11.089 jiwa/km2. Pertumbuhannya sekitar 4.4% per tahun. Maka keberadaan RTH jelas bukan sekadar sebagai estetika. Tetapi juga sarana yang mempunyai fungsi sosial. Warga bisa saling berinteraksi dan menjadikannya tempat wisata murah. RTH bagi Kota Bekasi sangat penting untuk menjaga keseimbangan lingkungan hidup. RTH bisa berfungsi melindungi bantaran sungai dan
70
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
menjadi kawasan resapan air tanah. RTH adalah paru-paru kota yang menetralisir pencemaran udara akibat semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan kegiatan industri. Kesadaran pentingnya fungsi RTH bagi Kota Bekasi tersebut dijabarkan dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah 2011-2031. Dalam Perda tersebut jumlah RTH Kota Bekasi masih jauh dari target 30 persen. Baru 11,4 persen atau sekitar 4.099 hektar. Padahal idealnya jumlah RTH secara keseluruhan di Kota Bekasi harus berkisar 7.000 hektar. Dalam Perda RTRW 2011 juga dijelaskan secara gamblang rencana pengembangan RTH sampai tahun 2031. RTH dalam Perda tersebut bukan sebatas taman kota. Ada beberapa komponen lain di antaranya; sempadan sungai, jalur hijau sempadan jalan, hutan kota, taman kota, taman pusat BWP, taman lingkungan (kecamatan, kelurahan, perumahan), taman rekreasi, tempat pemakaman umum (TPU), lapangan olahraga/lapangan terbuka, pulau jalan, sempadan instalasi berbahaya dan sempadan kereta api. Perda RTRW 2011 memerlihatkan kesungguhan Pemerintah Kota Bekasi memenuhi target RTH 30 persen. Beberapa komponen yang rencanakan adalah; - Penghijauan di sepanjang sungai-sungai yang ada di Kota Bekasi. RTH di bantaran sungai akan ditanami tumbuhan yang mampu menghalangi luapan air. - Jalur hijau sempadan jalan menyebar di seluruh jalan arteri dan kolektor. Implementasinya dengan membuat RTH di median (tengah jalan) minimal 1,5 meter dan lebar sempadan kanan-kiri minimal 1 meter. Penghijauan menggunakan jenis pohon yang mampu mengurangi kadar pencemaran, menampung air hujan dan tidak menghalangi pandangan mata pengguna jalan. - Hutan kota akan dikembangkan di beberapa lokasi yang memungkinkan. Pengembangan hutan kota memiliki fungsi ekologis tinggi dan fasilitas yang bisa dijadikan tempat interaksi warga. Pemkot Bekasi menargetkan hutan kota minimal 0,25 persen dari luas wilayah. - Taman Kota dibangun minimal 14,4 hektar yang menyebar di beberapa lokasi di pusat kota. Pembangunan taman kota dikerjakan dengan mengembangkan taman yang sudah ada dan menambahkan fungsi kebutuhan interaksi warga. Beberapa taman yaitu Taman Alun-alun, Taman Cut Mutia, Taman GOR Bumi Perkemahan Bina Bangsa, Taman Multiguna, Taman Pintu Tol Bekasi Timur dan lokasi lain yang potensial untuk taman kota. - Pembuatan taman kota juga diarahkan di enam bagian wilayah pusat (BWP) dengan luasan minimal 14,4 hektar. Taman ini nantinya menyatu lapangan olahraga, tempat bermain, tempat parkir dan bangunan yang bisa dijadikan aktivitas sosial warga. - Taman Kecamatan diwajibkan dibangun minimal 2 hektar di setiap kecamatan atau total keseluruhan 24 hektar. Taman ini merupakan lapangan hijau terbuka (termasuk lapangan olahraga dan dilengkapi fasilitas umum seperti WC umum dan kamar ganti) - Di setiap kelurahan akan dibangun taman kelurahan/perumahan dengan luasan 9 hektar yang menyebar di 56 kelurahan se-
Kota Bekasi. Luas taman 620 meter persegi di masing-masing kelurahan. Taman ini berfungsi sebagai area hijau dan tempat warga berinteraksi. - Setiap kelurahan wajib memiliki lapangan olahraga yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang. Pada RTRW 2011 tersebut pun mencantumkan bahwa kawasan hijau lindung dan kawasan hijau tidak dapat diubah fungsi karena untuk Penyempurna Hijau Umum (dalam terminologi UU nomor 26/2007 adalah RTH publik). Dengan demikian—walaupun RTH saat ini masih jauh dari target sebagaimana tercantum dalam UU nomor 26 tahun 2007—namun bisa dikatakan bahwa komitmen menjaga ketersedian RTH di Kota Bekasi sudah ada. Sejauh ini pemenuhan RTH masih mengalami banyak kendala. Misalnya banyak RTH beralih fungsi secara illegal menjadi wilayah komersil, harga tanah melampaui NJOP (nilai jual obyek pajak), kesadaran masyarakat dalam memelihara RTH rendah, pengendalian kewajiban penyediaan Fasos/ Fasum untuk RTH belum maksimal serta daya dukung datanya belum detail dan komprehensif. Penyediaan RTH 30 persen akan terasa berat tanpa partisipasi masyarakat. Untuk itu Perda RTRW 2011 mendorong partisipasi masyarakat. Antara lain menekankan kewajiban pengembang menyediakan RTH sebagai bagian Fasos/Fasum sesuai aturan yang ada. Selain itu pihak swasta diwajibkan menyediakan RTH di areal tempat usahanya masing-masing. Penyediaan RTH 30 persen tentu bisa terwujud jika ada kemauan yang kuat semua pihak.***
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
71
Laporan Utama
Bersama Membangun Kota
Bersama Membangun Kota Saat Flyover Summarecon di Jalan Ahmad Yani Bekasi Selatan Kota Bekasi diresmikan, semua orang berdecak kagum. Jembatan yang menghubungkan wilayah utara dan selatan senilai Rp137 miliar itu dibangun swasta, tapi manfaatnya bisa dinikmati seluruh warga kota. Keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan kota sudah semestinya dioptimalkan. Tentunya dengan melibatkan juga peran masyarakat.
Flyover Noer Ali Summarecon wujud kerjasama sektor swasta dan Pemkot Bekasi. Flyover ini dibangun oleh PT. Summarecon Agung Tbk dan saat ini sudah diserahkan menjadi aset Pemerintah Daerah. (Foto: Miftah)
72
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan menjadi salah satu solusi mengatasi persoalan penyediaan sarana dan prasarana publik yang layak. Minimnya anggaran Pemerintah Daerah dan sumber daya manusia yang dimiliki tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bekasi yang mencapai rata-rata 4 persen per tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bekasi menunjukan jumlah penduduk Kota Bekasi dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Dalam kurun tahun 2005 hingga 2012 penduduk Kota Bekasi bertambah 497.928 orang atau hampir setengah juta. Tahun 2012 tercatat berjumlah 2.499.827 atau hampir 2,5 juta. Tiap tahun ratarata bertambah 71 ribu. Pemerintah Kota Bekasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) menyebutkan lonjakan terbesar terjadi pada tahun 2007 ke tahun 2008, yaitu dari 2.143.804 menjadi 2.238.717 penduduk. Naik sekitar 94.913 atau tumbuh 4,4 persen penduduk. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bekasi hanya berkisar di angka Rp 3 triliun. Itu pun alokasi untuk pembiayaan sektor publik baru di kisaran 54 persen (APBD 2013). Untuk sektor pembangunan infrastruktur hanya mendapat alokasi sebesar 295 miliar. Bisa dibayangkan jika anggaran pemerintah daerah harus tersedot untuk membiayai proyek-proyek raksasa seperti pembangunan Jembatan Summarecon, misalnya. Tentu mengakibat-
kan struktur pembiayaan pembangunan timpang. Kesenjangan jumlah anggaran daerah dan jumlah penduduk tersebut berimplikasi pada ketidakseimbangan ketersediaan sarana dan prasarana kota dalam memenuhi hak dasar kebutuhan masyarakatnya. Kondisi ini apabila tidak segera ditangani dikhawatirkan akan menjadi faktor pemicu munculnya berbagai permasalahan perkotaaan lainnya seperti berkembangnya slum area, konflik sosial, penurunan kualitas lingkungan, tingginya angka kriminalitas dan sebagainya yang pada akhirnya dapat menghambat perkembangan kota. Untuk menyiasati hal tersebut pemerintah daerah berupaya mencari solusi pembiayaan pembangunan. Salah satunya dengan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pajak dan retribusi. Pemkot Bekasi hanya bisa menaikkan PAD di tahun 2013 menjadi Rp 871 miliar. Angka tersebut tentu belum memandai dan tidak sesuai harapan. Berkaitan dengan hal tersebut maka sudah sewajarnya apabila pemerintah lebih mengembangkan pendekatan Kemitraan Pemerintah-Swasta (public-private partnership) untuk memenuhi ketersediaan sarana prasarana dasar perkotaan dan peningkatan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat. Pada hakikatnya pelibatan sektor swasta dalam pengembangan sarana prasarana perkotaan akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, pemerintah maupun
swasta itu sendiri. Bagi sektor swasta keuntungan yang didapat dengan mekanisme ini adalah profit penambahan nilai jual. Sedangkan bagi masyarakat adalah terpenuhinya kebutuhan dasar yang memadai. Ada pun keuntungan bagi pemerintah adalah mempermudah proses waktu penyediaan serta meringankan beban pendanaan untuk memenuhi kebutuhan sarana prasarana perkotaan. Keuntungan lainnya yang diperoleh pemerintah adalah terciptanya transfer teknologi dan efesiensi manajerial dari pihak swasta yang dikombinasikan dengan rasa tanggung jawab, kepedulian terhadap lingkungan dan pengetahuan lokal serta dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. *** Dr Ronald W. McQuaid dalam makalahnya yang berjudul The Theory Of Patnersip-Why Have Partnership menjelaskan beberapa definisi ‘Kemitraan’. Pertama, potensi sinergi dari beberapa bentuk sehingga ‘jumlahnya menjadi lebih besar daripada bagian-bagian’. Kedua, kemitraan kerjasama berbagai pihak dalam sebuah program atau proyek meskipun kadang masing-masing pihak tidak terlibat dalam semua tahapan . Ketiga, dalam kemitraan publik-swasta sektor publik tidak mengejar tujuan komersial murni. Jadi kriteria kemitraan adalah adanya kemitraan sosial (sehingga tidak termasuk transaksi komersial murni). Kemitraan melibatkan kerjasama yaitu “untuk bekerja atau bertindak bersama”
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
73
Laporan Utama
Bersama Membangun Kota
Walikota Bekasi, Rahmat Effendi mengakui bahwa peran sektor swasta dalam pembangunan kota sangat diperlukan. Rahmat mengakui anggaran pemerintah daerah sangat minim jika harus membiayai seluruh proyek infrastruktur
74
dan dalam kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai kerjasama antara orang-orang atau organisasi di sektor publik atau swasta untuk saling menguntungkan. Sementara definisi lain yang serupa ‘kemitraan swasta-publik’ sebagai “tindakan yang bergantung pada kesepakatan pelaku di sektor publik dan swasta dan yang juga memberikan kontribusi dalam beberapa cara untuk meningkatkan perekonomian perkotaan dan kualitas hidup”, meskipun pendapat ini memiliki nilai konseptual yang terbatas. Ada juga pendapat lain yang mendefinisikan kerja kemitraan swasta-publik dalam regenerasi perkotaan sebagai “mobilisasi koalisi kepentingan yang diambil lebih dari satu sektor untuk menyiapkan dan mengawasi strategi yang disepakati untuk regenerasi daerah yang ditetapkan”. Dalam persfektif pembangunan ekonomi kemitraan didefinisikan sebagai skema pembiayaan anggaran yang melibatkan satu atau lebih suatu lembaga yang menekankan tujuan bersama. Dalam cakupan lebih luas kemitraan merupakan kolaborasi antara bisnis, organisasi
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
non-profit dan pemerintah. Pola semacam ini sudah berjalan di negara-negara Uni Eropa. Bahkan sudah dituangkan dalam kebijakan khusus pembangunan. Secara umum alasan mengapa peran serta sektor swasta perlu dilibatkan dalam pengembangan sarana prasarana kota adalah; 1. Keterbatasan kemampuan pemerintah (sumber daya keuangan, sumber daya manusia maupun manajemen pemerintahan); 2. Banyaknya bidang pelayanan perkotaan yang belum sepenuhnya ditangani pemerintah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan yang belum tertangani pemerintah, sektor swasta dapat berperan tanpa harus mengambil alih tanggung jawab pemerintah; 3. Swasta dapat memberikan berbagai alternatif pilihan pelayanan yang lebih luwes kepada konsumen; 4. Menciptakan persaingan dan mendorong pendekatan yang bersifat kewiraswastaan dalam pembangunan nasional; 5. Peran serta swasta akan mendorong terciptanya efisiensi operasional; 6. Semakin berkurangnya peran pemerintah di masa datang ( fasilitator dan regulator) se-
mentara peran masyarakat dan swasta akan semakin besar. Dalam Kerjasama Pemerintah-Swasta (KPS) terdapat beberapa bentuk kerjasama pemerintah-swasta yang berkembang di Indonesia, antara lain; 1. Built Operate dan Transfer (BOT); 2. Konsesi; 3. Joint Ventures; 4. Community based provision; 5. Service contrak. Setiap bentuk kerjasama tersebut memiliki karakterisitik tersendiri baik dari segi Kepemilikan Aset, Intensitas Regulatoritas, Sumber Investasi (Keuangan), Tenaga Kerja maupun Waktu Persiapan Kontrak. Keberhasilan kerjasama pemerintahswasta hanya dapat diraih dengan adanya pengertian antara pihak swasta dan pemerintah. Untuk mencapai hal tersebut maka upaya awal yang harus dilakukan pemerintah adalah dengan menarik perhatian (minat) sektor swasta untuk berperan mengembangkan sarana prasarana kota. Direktur Pusat Kajian Otonomi Daerah (Puskotda) Unisma Bekasi Haris Budiyono menjelaskan pola kemitraan pemerintah daerah dan swasta bisa dibangun antara lain pemerintah mempromosikan sarana dan prasarana yang hendak dikerjasamakan. Inisiatif ini bisa dilakukan dengan lebih memfungsikan badan khusus yang memiliki akses ke pihak swasta. Dulu Kota Bekasi punya Bekasi Coorporate Social Responsibility (BCRS) yang berperan menjadi penghubung antara pemerintah daerah dan swasta. Lembaga ini dibentuk untuk membantu swasta menyalurkan dana CSR dalam berbagai bentuk pembangunan. Sudah sempat berjalan namun sekarang sudah vakum karena adanya perbedaan pandangan. “Ini saya sesalkan juga,” kata Haris saat ditemui di Kantor Puskoda awal November 2013 lalu. Menurut Haris CSR tidak dimaknai sebatas pemberian bantuan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Tapi bisa juga untuk pembiayaan pembangunan fasilitas infrastruktur seperti taman kota, pembangunan atau perbaikan jalan dan drainase yang ada di sekitar lokasi perusahaan dan lainnya. Sehingga anggaran daerah bisa dialokasikan ke sektor-sektor lain yang lebih penting. Yang dilakukan BCSR pada waktu itu adalah meminta beberapa perusahaan membangun taman kota dan perbaikan saluran air. Kuncinya adalah memberikan gambaran yang rinci dan detail kepada pihak swasta terkait program yang akan dilakukan. Ini salah satu contoh program kecil
saja. Padahal banyak proyek-proyek besar di Kota Bekasi yang bisa dikerjasamakan. Haris juga menekankan pentingnya prosedur (panduan) dasar bagi pelaksanaan kerjasama pemerintah-swasta yang secara garis besar terdiri dari empat tahapan. Pertama adalah persiapan proyek yang akan dikerjasamakan. Kedua, analisa pemilihan bentuk kerja sama pemerintah-swasta. Ketiga, proses pelibatan partisipasi pihak swasta. Keempat, membuat hubungan kerjasama yang kuat dan berkelanjutan. Swasta juga butuh kepastian terkait program kerjasama, prosedur, kemudahan akses perizinan, atau bentuk kerjasama yang saling mengguntungkan dan bersifat jangka panjang. Hal yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan. Selama ini belum ada satu persepsi yang sama antara pemerintah-swasta-masyarakat sehingga kerap terjadi miss communication. Masyarakat harus diajak untuk duduk bersama dan dimintai sumbang saran terhadap rencana pembangunan kota. Pola penjaringan aspirasi masyarakat melalui Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) dinilai belum mampu mengakomodir seluruh masyarakat dan hanya berkutat pada proyek-proyek pemerintah saja. Masyarakat adalah bagian entitas terpenting dalam pembangunan sehingga perlu diajak duduk bersama dan dimintai sumbang sarannya. Pola dan metodenya bisa beragam. Walikota Bekasi Rahmat Effendi mengakui bahwa peran sektor swasta dalam pembangunan kota sangat diperlukan. Anggaran pemerintah daerah sangat minim jika harus membiayai seluruh proyek infrastruktur. Pemkot Bekasi sudah membuka peluang kepada swasta dan memberikan kemudahan askses perizinan yang mudah dan cepat. Namun diakui bahwa keterlibatan swasta masih pada tataran investasi modal yang berorientasi provit (komersil) dan belum pada sumbangsih infrastruktur dan penataan kota. Penyumbang terbesar dalam pembangunan infrastruktur dan penataan kota adalah investaasi di bidang properti. Beberapa proyek properti besar seperti Summarecon, Galaxy City, Harapan Indah, ISPI, dianggap telah menyumbang ketersediaan sarana dan prasarana kota. Menurut Rahmat Effendi pemerintah selalu menekankan agar proyek properti
menyelaraskan pembangunannya dengan arah kebijakan pembangunan kota. Baik itu infrastruktur jalan, drainase, penataan landmark dan lainnya. Sektor swasta memiliki tanggung jawab untuk ikut membangun Kota Bekasi. Baik dalam bentuk ketaatan pada kaidah aturan dan perundang-undangan, maupun dalam tataran sosial. “Kita selalu minta kepada para investor di Kota Bekasi agar orientasinya jangan melulu pada profit atau keuntungan saja, tapi juga harus turut berkontribusi pada pembangunan kota yang manfaatnya bisa dirasakan langsung masyarakat.” Setelah sukses dengan Flyover Summarecon, Pemkot Bekasi juga berencana menggandeng pengembang Agung Podomoro Grup membangun Flyover melintasi Tol Jakarta-Cikampek di wilayah Bekasi Selatan senilai Rp35 miliar. Flyover ini diharapkan dapat mengurai kemacetan di Jalan KH Noer Alie. Saat ini masih dalam tahap kajian DED. Selain itu, Pemkot Bekasi sudah menggandeng beberapa perusahaan untuk membantu pembiayaan pendidikan, seperti pembangun 3 ruang kelas baru lengkap dengan fasiltasnya senilai 1,7 miliar di salah satu SMA Negeri, serta bantuan sarana dan prasarana untuk beberapa sekolah mulai dari tingkat TK, SD dan SMP. “Program kemitraan tersebut sudah berjalan, polanya kita berikan mereka proposal, kemudian mereka bangun sendiri, setelah jadi diserahterimakan kepada Pemerintah daerah secara resmi. “ Terkait dengan pelibatan masyarakat dalam pembangunan, selain menggunakan pola Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), Pemkot Bekasi membentuk Badan Kekeluargaan Masyarakat (BKM) di 56 kelurahan. BKM tersebut difasilitasi pemerintah dalam pembuatan legalitas formalnya. BKM ini yang nantinya mengeksekusi pengerjaan proyek pembangunannya. Pola ini efektif karena mendapat dukungan langsung dari masyarakat. Pembangunan Kota Bekasi tidak bisa dilakukan sendiri oleh Pemkot Bekasi. Namun harus melibatkan sektor swasta dan masyarakat. Sehingga ada sinergitas positif lintassektoral “Masyarakat adalah pelaku pembangunan sehingga keterlibatannya sangat penting. Walaupun kita akui banyak program yang tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Tapi harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan RPJMD, RPJPD, Renstra dan Renja.”***
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
75
Laporan Utama
Bersama Membangun Kota
Inspirasi
Kota Layak Huni Ruang terbuka hijau di kota-kota Besar di Indonesia—termasuk Bekasi—terus mengalami penyusutan. Terutama karena lahan terbatas. Sedangkan penduduknya terus bertambah. Penyediaan 30% ruang terbuka hijau yang diwajibkan undang-undang pun menjadi beban tersendiri bagi pemerintah daerah. Saat ini saja Kota Bekasi baru mengantongi 11 persen ruang terbuka hijau. DKI Jakarta juga demikian.
76
Kehadiran pengembang besar PT Summarecon Agung Tbk ke Kota Bekasi ternyata membawa kejutan luar biasa. Lahan gersang seluas 240 hektar di Kota Bekasi disulap menjadi hunian yang nyaman dan ramah lingkungan. Pedestrian tertata apik. Suasana hijau bisa ditemui di mana-mana. Bahkan ada ungkapan jika memasuki kawasan Summarecon Bekasi seperti masuk ke dunia lain. Hunian idaman. Setidaknya ini bisa menjadi model pembangunan bagi Kota Bekasi ke depan. Rel kereta api yang mungkin selama ini menjadi penghalang akses warga dari arah utara maupun selatan Kota Bekasi pun ditakhlukkan Summarecon. Flyover megah sepanjang 1 kilometer dibangun. Bukan saja untuk penghuni Summarecon namun juga untuk penduduk Kota Bekasi. Fasilitas yang menelan Rp 2 miliar dalam penggarapannya ini kemudian dihadiahkan kepada Pemkot Bekasi sebagai aset daerah. Bagaimana Summarecon bisa memban-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
gun itu semua? Jurnal TataKota berkesempatan berbincang dengan Direktur Eksekutif Summarecon Bekasi, Adrianto Pitoyo Adhi. Pria periang ini bercerita banyak hal menarik tentang pembangunan sebuah kota yang layak huni dan manusiawi bagi warganya. Berikut wawancara kami: Mengapa Summarecon memilih Bekasi? Tanah Summarecon Bekasi sebetulnya sudah dibebaskan sejak tahun 1980. Kami biarkan di sana. Menunggu waktu paling bagus untuk mengembangkannya. Ketika kota Bekasi sudah mulai matang dan bisnis properti membaik secara makro, mulai tahun 2009, kami masuk dan mengembangkan. Kota Summarecon Bekasi dikembangkan menjadi sebuah kota modern karena potensi Kota Bekasi sendiri luar biasa. Awalnya Kota Bekasi merupakan kota satelit DKI Jakarta. Ini disebut juga kota penyangga
atau hinterland. Dengan fungsi penyangga biasanya muncul kantung-kantung komunitas masyarakat. Dan tumbuh menjadi sebuah kota. Kalau pagi semua berangkat ke Jakarta untuk bekerja. Malamnya kembali. Itu fungsi kota satelit. Kemudian karena Jakarta sendiri berpotensi makin padat muncullah industri yang ada di Bekasi. Bekasi kemudian berpenduduk banyak. Ini menjadi potensi bagi Summarecon. Maka Summarecon memutuskan mengembangkan Bekasi. Tahun 2009 kami mulai mengurus perizinan. Pembangunan Kota Summarecon Bekasi ditandai dimulainya pembangunan Flyover Noer Ali. Bisa dijelaskan seperti apa konsep pembangunan Summarecon Bekasi dan penyediaan ruang publiknya? Saya selalu menyebut “Kota” Summarecon Bekasi. Karena kami membangun sebuah Township. Sebuah kawasan berskala kota. Membangun township berarti membangun masyarakat. Di sana akan muncul apa yang disebut perilaku dan aktivitas. Ada peradaban. Maka township menjaga keseimbangan antara kegiatan bisnis, hunian dan lingkungan. Keseimbangan yang dimaksud salah satunya yaitu ada fasilitas ruang terbuka hijau berupa taman. Setiap klaster hunian yang kami bangun selalu dilengkapi club house. Setiap klaster luasnya 5 sampai 6 hektar dan berisi 200 sampai 300 rumah yang saat ini sudah dihuni semua. Fungsi club house ialah sebagai
sarana interaksi warga, olahraga dan aktivitas sosial lain. Ruang terbuka hijau ini adalah keharusan bagi development atau pengembangan agar kehidupan menjadi seimbang. Makanya balance life menjadi misi Summarecon. Bahkan jalur pedestrian yang hijau dan rimbun yang menghubungkan seluruh cluster di Summarecon Bekasi dirancang sangat nyaman untuk para pejalan kaki. Sehingga untuk mencapai lokasi lain di lingkungan Kota Summarecon Bekasi warga penghuni tidak harus selalu menggunakan kendaraan roda empat. Ini merupakan salah satu upaya lain yang dilakukan Kota Summarecon Bekasi untuk menciptakan kawasan hunian modern yang tidak hanya nyaman untuk ditinggali namun juga bersih dan bebas polusi. Summarecon Bekasi dikembangkan dengan konsep environmental friendly atau kawasan yang berwawasan lingkungan. Salah satu upaya yang dilakukan Summarecon adalah pembangunan 3 buah danau di Kota Summarecon Bekasi. Fungsi utama 3 danau yang keberadaanya saling berhubungan satu sama lain ini adalah sebagai Retension Pound atau Danau Pengendali Banjir. Seluruh Sistem Tata Air dan Drainase di Summarecon Bekasi ditangani konsultan dari Belanda
mengingat reputasinya yang baik dalam penanganan masalah tata air. Fungsi penting lain dari 3 danau yang ukurannya cukup besar ini adalah sebagai taman air (water park). Selain itu, untuk penanganan air kotor atau limbah rumah tangga, Summarecon Bekasi akan mengolah limbah tersebut ke dalam Instalasi Pengolahan Limbah. Sehingga setelah melalui proses tertentu air kotor tersebut akan menjadi bersih kembali dan dapat dimanfaatkan untuk penyiraman tanaman. Tentunya ini merupakan bagian dari upaya pelestarian lingkungan untuk menjaga bumi ini tetap hijau dan lestari. Berapa perbandingan ruang terbangun dan penyediaan ruang terbuka hijau? Yang harus dipahami adalah ada dua model ruang terbuka hijau. Pertama ialah ruah terbuka hijau versi master plan pemerintah. Kedua adalah ruang terbuka hijau sebagai konsep pengembangan
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
77
Laporan Utama
Bersama Membangun Kota
kota. Model yang pertama berupa kewajiban pengembang menyediakan ruang terbuka hijau 30 persen. Kami tentu sudah memenuhi karena dalam perencanana memang ruang-ruangnya sudah dibagi. Tetapi tanpa ditetapkannya master plan versi pemerintah kami tetap menyediakan ruang terbuka hijau untuk publik. Sebab ini merupakan bagian dari konsep pengembangan Kota Summarecon Bekasi seperti saya sebutkan sebelumnya. Namun ruang terbuka hijau di Kota Summarecon Bekasi terkesan ekslusif. Artinya hanya bisa dimanfaatkan penghuninya saja. Nah, apakah Summarecon juga menyediakan ruang untuk masyarakat umum? Jika kita merujuk konsep perkotaan setiap fasilitas memiliki radius pelayanan. Sebagai contoh kami membangun sekolah. Tentu tujuan utama kami agar penghuni Kota Summarecon bisa sekolah dengan akses yang mudah. Bukan untuk melayani warga yang jauh tempat tinggalnya. Ini hanya contoh ekstrimnya. Sama halnya ketika kami membangun taman. Jadi kami berpatokan pada radius. Pertama kali diresmikan, Flyover Summarecon di samping kanan-kirinya bebas untuk tempat dudu-duduk warga. Bahkan warga duduk-duduk di sekitar bundaran Summarecon. Namun sekarang tidak boleh. Kenapa? Kami tidak melarang warga untuk duduk-duduk di sana. Namun flyover adalah ruang publik yang fungsinya sebagai akses kendaraan dan pejalan kaki. Kalau dibiarkan saja itu sangat membayakan. Begitu juga di sekitar bundaran. Di sana tidak ada tempat parkir sehingga kendaraan yang diparkir di pinggir jalan akan mengganggu fungsi utamanya sebagai fasilitas mobilisasi warga. Fenomena ini menunjukkan bahwa sebenarnya pembangunan fasilitas ruang terbuka hijau untuk publik di Kota Bekasi belum merata. Sehingga warga terkonsentrasi di beberapa titik termasuk di Summarecon. Seperti disinggung sebelumnya Summarecon berupaya menyediakan ruang terbuka hijau di setiap klaster. Bahwa itu hanya dipakai untuk warga sekitar klaster karena memang pada dasarnya sebuah taman memiliki radius pelayaan tertentu. Jika misalnya orang sengaja pergi ke Lapangan Monas hanya ingin menikmati taman, bisa
78
jadi di sekitar rumahnya sudah tidak ada taman lagi. Yang ideal adalah bagaimana orang bisa menikmati ruang terbuka hijau di sekitar rumah tinggalnya. Idealnya setiap daerah menyediakan 30 persen ruang terbuka hijau. Namun 30 persen bagi Kota Bekasi memang berat. Saat ini saja baru sekitar 11 persen. Bagaimana pendapat Anda? Pertama kita mesti menstrukturkan kembali perencanaan kotanya. Di DKI Jakarta sudah mulai ada langkah untuk memenuhi target 30 persen ini. Beberapa waktu lalu pemerintah di sana mengembalikan ruang terbuka hijau yang beralih fungsi menjadi permukiman kumuh. Dengan penataan tersebut ruang terbuka hijau bisa bertambah. Kota Bekasi pun sekarang perlu menstrukturkan kembali aturan-aturan yang harus diperhatikan ketika orang membangun pengembangan. Porsi ruang terbuka hijau wajib ada. Di Kota Bekasi saya lihat sangat padat. Mungkin lapangan-lapangan sudah banyak warung dan bangunan komersial lain. Ini mungkin bisa distrukturkan kembali. Ditata lagi. Agar ruang terbuka hijau bisa ada sehingga secara radius bisa meIayani masyarakat sekitarnya. Idealnya orang bisa menikmati fungsi sosial ruang terbuka hijau dengan berjalan kaki. Jadi intinya mesti distrukturkan kembali. Ada wacana Jalan Ahmad Yani ditata ulang. Pagar di depan pusat bisnis dibongkar dan dijadikan jalur jalan kaki seperti halnya yang diterapkan di Jalan Sudirman-Thamrin di Jakarta. Menurut Anda bagaimana? Memang pada umumnya kota-kota di Indonesia tidak memberikan fasilitas yang baik kepada pejalan kaki. Di luar negeri orang tidak naik mobil karena difasilitasi dengan pedestrian yang bagus dan angkutan umum yang nyaman. Memang angkutan umum di Indonesia belum sebagus di luar. Tapi ketika kotanya memberikan fasilitas pedestrian yang baik maka sangat mungkin mengurangi pemakaian kendaraan.Ide membongkar pagar di sepanjang Jalan Ahmad Yani dan menjadikannya pedestrian sangat bagus. Saya sangat mendukung. Mungkin banyak orang bilang: di Indonesia jalan kaki saja susah. Apalagi udaranya panas. Angkutan umum tidak ada yang baik. Ya, angkutan umum di Jakarta, Bekasi dan kota-kota besar lain
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
di Indonesia belum baik. Ini kita anggap satu persoalan tersendiri. Tapi kalau disediakan pedestrian yang baik saya yakin orang akan jalan kaki jika memang jarak tempuh tujuannya masih bisa dijangkau tanpa kendaraan. Buktinya di Singapura orang bisa membudayakan jalan kaki. Lihatlah Boulevard Orchard Road. Jalan yang panjang sekali. Tapi tidak ada orang naik angkutan karena fasilitas pedestriannya sangat bagus. Dari toko ke toko orang bisa jalan kaki dengan leluasa. Jika di Jalan Ahmad Yani disediakan fasilitas yang baik maka kita bisa jalan kaki di sepanjang jalan itu seperti halnya di Singapura.Marilah kita mendidik masyarakat Indonesia untuk membudayakan berjalan kaki. Pedestrian di Jalan Ahmad Yani akan sangat indah jika terhubung dengan pedestrian di Flyover KH Noer Ali Summarecon. Walaupun pedestrian di Kota Summarecon tidak terlalu besar setidaknya fasilitas tersebut layak dan telah kami sediakan. Yang terpenting kita menyediakan fasilitas dulu. Dengan begitu orang akan berpikir, “aduh jalan kaki kayaknya lebih enak daripada naik mobil. Sambil jalan kan bisa sekalian lihat taman. Sambil ngobrol.” Yang pasti pedestrian akan mengurangi kemacetan. Namun anggaran pemerintah daerah terbatas sehingga menjadi kendala untuk membuat fasilitas tadi. Menurut Anda bagaimana menyinergiskan pemerintah dengan swasta dalam membangun kota. Bisa diceritakan pengalaman Summarecon ketika membangun Flyover Noer Ali? Kami sangat menyadari pemerintah—baik pusat maupun kota—ada keterbatasan anggaran. Pembangunan flyover sebenarnya berangkat dari keterbatasan anggaran pemerintah kota. Kalau pemerintah mampu mungkin tidak perlu menunggu Summarecon. Tapi ada atau tidak adanya Summarecon flyover tetap dibutuhkan warga. Sementara pemerintah pusat tidak turun. Flyover adalah bukti kerja sama yang baik antara pemerintah kota dan swasta. Kalau Summarecon Bekasi dikembangkan tanpa flyover itu tidak mungkin. Karena untuk mencapai Kota Summarecon Bekasi, kalau tidak lewat flyover, harus lewat Jalan Perjuangan yang penuh perjuangan karena sangat macet.
Makanya kami memutuskan membangun flyover yang sekaligus menjadi selling point dan poin utama untuk membuat kota itu diminati orang. Itu saja waktu flyover dibangun ada banyak kecurigaan. Summarecon dicurigai banyak mengambil untung. Bahkan ada warga Bekasi yang selalu menanyakan kepada saya. Katanya, apa yang didapatkan masyarakat. Saya balikkan saja pertanyaannya: dapatnya ya flyover itu. Nah, ini ‘kan sebuah kebingungan. Summarecon Bekasi ini adalah produk sebuah brand yang bagus. Di lokasi yang sebenarnya tidak bagus. Lokasinya…, aduh. Pertama kali saya ditugasi oleh manajemen untuk memegang Summarecon Bekasi saya pun bingung. Mulai dari mana ini? Tapi ketika kami garap serius dengan hati, tetap kreatif, muncul ide flyover. Lokasi yang tidak bagus menjadi bagus. Kembali ke keterbatasan tadi. Sebetulnya pola yang terbaik adalah pemerintah bisa mengajak para pengusaha swasta yang ada Bekasi untuk bisa membangun fasilitas publik. Dulu ada forum Bekasi Corporate Social Responsibility (BCSR). Fungsinya untuk mengelola CSR. Tapi sekarang sudah tidak aktif lagi karena kabarnya di dalamnya banyak kepentingan segelintir orang. Boleh Anda menanggapi? Kepentingannya itu yang harus dihilangkan. Jangan ada kepentingan. Kepentingannya untuk masyarakat. Kalau kepentingannya untuk masyarakayat pasti sangat bermanfaat. Forum ini sebenarnya perlu walaupun setiap perusahaan sudah punya pengelolaan CSRnya sendiri. Energi CSR perusahan-perusahaan di Kota Bekasi bisa disatukan untuk bersama membangun kota. Besar sekali potensinya. Misalkan diarahkan untuk membangun fasilitas pedestrian. Minimal di sekitar perusahaan. Atau mungkin memfokuskan di beberapa titik seperti Jalan Ahmad Yani sebagai percontohan. Ketika Summarecon datang dengan ide flyover Pemerintah Kota Bekasi sangat suport sekali. Kami mengurus izin sangat mudah. Pemerintah kota sadar betul bahwa flyover san-
gat dibutuhkan warga. Maka ide itu pun disambut baik. Bahkan masyarakat Kota Bekasi sangat bangga ketika flyover sudah jadi. Kalau menurut Anda, apa yang perlu dibenahi dari Kota Bekasi? Bagaimana membuat Kota Bekasi menjadi kota layak huni seperti yang juga diharapkan Summarecon? Kehadiran summarecon punya visi dan misi membangun Kota Bekasi. Kami sangat support kepada Pemerintah Kota Bekasi. Ketika Summarecon sudah membangun lingkungan yang ideal harusnya bisa dijadikan percontohan atau model. Kami ingin menginspirasi Pemerintah Kota Bekasi. Bekasi Baru paling tidak bisa seperti Summarecon sekarang. Memang tidak segampang membalikkan telapak tangan. Bagaimana membuat Kota Bekasi layak huni tersebut? Karena jalan di kota besar banyak yang semrawut maka yang pertama sekali harus diperhatikan ialah traffic. Traffic ini mesti ditata ulang. Distrukturkan kembali. Termasuk menata jalur angkutan umum. Ide Walikota Bekasi membuat Jalan Juanda dua arah dampaknya sangat bagus bagi lalu lintas. Jalur dua arah itu diresmikan bersamaan flyover dibuka. Rekayasa lalu lintas ini sangat penting di kota yang tingkat kepadatan kendaraannya tinggi. Yang kedua ialah memperbanyak jalur pedestrian di Kota Bekasi sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Seperti disingkung di awal paling tidak pedestrian bisa mengurangi penggunaan kendaraan di jalan. Sebab kebutuhan mobilitas masyarakat akan tetap terakomodir mesti tidak menggunakan kendaraan pribadi. Dengan demikian penataan traffic akan semakin berhasil.
Ketiga ialah pembenahan ruang terbuka hijau untuk publik. Lahan terbuka hijau milik pemerintah yang kini beralih fungsi secara ilegal mesti ditata lagi. Pedagang kaki lima ditertibkan. Namun tidak perlu digusur. Cukup dipindahkan saja ke tempat lain. Setelah itu lahan-lahan terebut dikembangkan kembali menjadi taman agar masyarakat sekitar bisa memanfaatkannya untuk aktivitas sosial. Yang terakhir namun penting adalah bagaimana mendidik masyarakat Bekasi menjadi masyarakat yang disiplin. Karena jika kita bicara budaya masyarakat kita bicara juga perilaku. Keberadaan bundaran Summarecon sebenarnya bisa menjadi ajang mendidik masyarakat untuk berlalu lintas yang baik. Namun nyatanya masih ada yang menerabas ke mana-mana. Kami akhirnya memberikan petunjuk yang lebih lengkap. Nah ini adalah salah satu contoh mendidik masyarakat. Memang tidak mudah. Mengapa angkot tidak bisa masuk Summarecon? Sebelum ada Summarecon memang tidak ada jalur. Jika ingin masuk maka perlu izin baru. Nah kami sengaja belum memasukkan. Sementara menggunakan bus gratis. Saat ini kami sedang merancang sistem transportasi yang tepat. Jadi bukannya tidak boleh masuk tapi memang kami baru merancangnya. Dan untuk persoalan sitem transportasi ini kami belum bisa bicara banyak. Masih dalam kajian. Lihat saja nanti seperti apa hasilnya. Apakah ada rencana meluaskan area pengembangan? Belum. Saat ini kami masih fokus di 240 hektar.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
79
Laporan Utama
Bersama Membangun Kota
Mencuri Perhatian Lewat Landmark Kota Bekasi nampaknya ingin mencuri perhatian warganya melalui landmark atau penanda kota. Pertengahan tahun ini, lomba desain landmark digelar Dinas Tata Kota. Hasilnya, tiga desain ditetapkan sebagai pemenang. Landmark tersebut dibangun pada tahun 2014. Antara lain di pintu keluar Tol Bekasi Barat Jalan Ahmad Yani, Jalan KH Noer Ali, Jalan Sultan Agung, Jalan Transyogi dan Jalan Juanda.
J
uara pertama dimenangkan Suria Wiyadi dan Zulhadi Sahputra dengan judul desain Landmark sebagai Ruang Publik Kota. Juara kedua dimenangkan Isfandiari Ananta dengan konsep sculpture landmark di pusat kota dan kubus di perbatasan. Dan juara ketiga dimenangkan Affeto Bintang Yulian dengan judul desain Landmark Patriot Bekasi. Ketiganya menerima penghargaan pada 17 Agustus 2013 di Kantor Walikota Bekasi. Tiga pemenang telah menyisihkan tujuh nominator lain yang masuk dalam 10 besar. Antara lain Livie Sukma Taristania, Kunto Hari Anggoro, Erlandi Senjaya, Muhammad Hanif Wicaksono, Paulus Timothy bersama Carsent Muryadi dan Willi Agahari, Veira Meita Z bersama Nur Firdaus dan Retno Wijayanti, serta Manggala BS Sianipar bersama Janice Krisanti dan Adrian I Widiyantoro. Juara pertama mendapatkan Rp 40.000.000, juara kedua Rp 20.000.000, 80
juara ketiga Rp 10.000.000 dan masing-masing nominator Rp 5.000.000. Pemenang ditentukan melalui proses penilaian juri pada Sabtu, 6 Juli 2013 dan penjaringan penilaian Masyarakat padal 24 – 27 Juli 2013. Dewan juri berasal dari disiplin ilmu yang beragam. Antara lain KH. Abid Marzuki, M. Ed, Ir. A. Koswara, M.P, Ir. Budi A. Sukada, GradHons Dip. (AA), IAI, Dr. Ir. R.R. Dhian Damajani, M.T, Ir. Bambang Eryudhawan, IAI, Ir. Haris Budiyono, M.T, Drs. Abdul Khoir HS, M.Pd, Imanudin, S.E, M.Si, Ariyanto Hendrata, S.Pd. Landmark diartikan sebagai segala sesuatu yang memudahkan untuk dikenali, dikenang, dan dikagumi. Berkaitan dengan monumen, bangunan, dan struktur lainnya. Landmark yang dimaksud mempunyai nilai seni, filosofi, karakter, dan cita-cita yang mencerminkan keberadaan, dinamika, dan orientasi futuristik, baik bagi wilayah maupun warga kotanya. “Keberadaannya bagi warga Kota Bekasi
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
diharapkan dapat membangkitkan rasa bangga dan cinta kotanya,” kata Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, Koeswara, yang juga menjadi juri. Tema yang ditentukan antara lain: Patriotisme, Ihsan, Kreatif, Urban, Seni Budaya Lokal, Jasa Perdagangan, Flora Fauna. Bentuk Landmark dapat berupa Huruf, Relief, Patung, Simbol, atau gabungan dari sebagian atau seluruh unsur bentuk. Ada 5 kriteria yang dipatok juri, yaitu kesesuaian tema (30%), filosofi (20%), daya tarik (20%), orisinalitas (20%) dan harmonisasi desain dengan penempatan landmark (10%). Menurut Koeswara, keunggulan pemenang pertama ialah mampu menggabungkan landmark dengan ruang publik berupa jembatan penyeberangan. Selain itu, landmark ini juga mampu menampung reklame-reklame di bagian sampingnya. Keberagaman fungsi inilah yang kemudian landmark karya Suria dan Zulhadi ini memiliki daya tarik tersendiri.***
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
81
82
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
83
Laporan Utama
Menata Wajah Kota
Menata Wajah Kota Jalan Ahmad Yani Tanpa Pagar
Jalan adalah bagian dari ruang publik, bukan hanya sebagai jalur transportasi bertemunya aneka kendaraan. Jalan juga memiliki fungsi sosial, tempat berinteraksi berbagai macam kultur dan kebudayaan. Jalan juga penanda sebuah kota.
84
Kota adalah sebuah state of mind atau dengan kata lain merupakan sesuatu dalam pikiran kita. Tata ruang dan arsitektur semestinya bukan soal banguan semata melainkan soal manusia. Pada era demokrasi sekarang ini orang bisa berbicara berbeda-beda, bahkan sampai ada yang merasa berhak memaksakan kehendak-seamburadul apa pun kehendak tersebut. Hal ini lah yang menjadi tantangan para pemimpin zaman sekarang. Bagi pemimpin yang ingin otentik, kelihatannya di zaman ini yang diperlukan bukanlah common ground atau landasan bersama. Dan yang tak kalah dibutuhkan kemungkinan adalah sesuatu yang diambang hilang dari bangsa ini, yakni common sense alias nalar sehat. Estetika merupakan bagian dari arsitektur, akan tetapi selain estetika terdapat persoalan etik. Tidak satu pun dapat menjawab saat muncul pertanyaan, adakah kemewahan sanggup menyelamatkan dunia berserta kelangsungan hidup didalamnya. Zona nyaman sesungguhnya adalah persoalan berbagi, dan bukan “comfort zone” berlandaskan kapitalis global sedemikian rupa telah
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
mendapatkan banyak kritik selanjutnya yang memperlihatkan ketimpangan dunia. Arsitektur dan tata ruang kota jelas menjadi cermin dari ketidak-adilan sekarang. Kota sebagai ruang berbagi pada umumnya terbangun atas kekuasaan modal yang kemudian mengobrak-abrik kemungkinan keberlangsungan hidup atau disebut dengan istilah “sustainability”. Sehingga, ketika keseimbangan alam goyah, maka akan berdampak serupa pada keseimbangan manusia. Itulah sebabnya, individu sering mengenang tentang kota-kota dimasa lalu. Kenangan,sebagai bagian dari nostalgia, memang bakal memunculkan segala hal yang indah didalamnya. Hanya saja, kota kita di masa lalu, boleh jadi memang lebih menyenangkan dibandingkan sekarang. Beberapa kota-kota besar di dunia menghadirkan kenangan masa lalu tersebut dalam penataan kota (colonial town) khususnya penataan jalan utama. Jalan bukan hanya sekedar jalur transportasi bertemunya aneka kendaraan. Jalan adalah ruang publik yang memiliki fungsi sosial, tempat berinteraksi berbagai macam kultur dan kebudayaan. Ja-
l Foto Udara Jalan A. Yani diambil akhir Oktober 2013 / Dok: Distakot
lan juga penanda sebuah kota. Kota-kota besar di dunia memiliki jalan-jalan utama yang meleburkan berbagai aktivitas warganya. Jalan Boulevard Champ E’lyse’s di Paris Prancis misalnya, disepanjang jalan tersebut berjajar kedai-kedai kopi tempat orang berkumpul menghilangkan penat setelah seharian bekerja. Jalan-jalan di Eropa dan Amerika telah berkembang sebagai icon kota (image of the city). Kota-kota di Asia seperti Singapura dengan Boulevard Orchard Road mengambil contoh ruang publik seperti jalan boulevardnya Champs E’lyse’s di atas. Orchard Road telah menjadi icon kota Singapura dan menjadi pengangkat citra kota. Kita bisa melihat bagaimana pemerintah Singapura menciptakan harmonisasi antara kawasan
l Jalan A. Yani Kota Bekasi / Foto: Miftah
niaga internasional (kompleks Takasimaya), apartemen mewah, hotel berbintang, serta restauran (shop/ cafe) dengan ruang publik (dalam bentuk jaringan pejalan kaki/pedestrian). Semua orang berbaur tanpa membeda-bedakan status sosial. Lantas dimanakah jalan seperti itu bisa kita jumpai di Kota Bekasi? Kepala Dinas Tata Kota Bekasi, Koswara mengatakan, sejak asal muasalnya jalan-jalan di Bekasi tidak direncanakan menjadi sebuah bagian dari struktur kota. Jalan utama di Bekasi dibangun hanya untuk lintasan yang menghubungkan Jakarta menuju jalur Pantai Utara Jawa, mulai dari Pologadung, Kranji dan menyisir Rel Kereta Api sampai Kar-
awang. Bekasi sebelum tahun 1948 masih berada di bawah administrasi Karisidenan Jatinegara dengan pusat pemerintahan di wilayah Jatinegara Jakarta Timur. “Jalan utama Bekasi tempo dulu saat ini menjadi Jalan Jendral Sudirman dan Jalan Djuanda. Jalan tersebut menjadi akses transportasi utama dari Pantura menuju Jakarta melalui Pulogadung. Dan pusat perekonomian dipusatkan di Jalan Djuanda mulai dari Pasar Baru hingga Pasar Proyek,” jelas Koswara. Maka tidak mengherankan jika site plan Kota Bekasi tempo dulu tidak sama seperti kota-kota yang dirancang oleh Belanda (Colonial Town). Kota yang dirancang dan dibangun khusus oleh Belanda di era tahu 1914-1945 memiliki karaktristik yang khas. Jalan Utama membelah pusat kota melintasi Alun-alun, Keraton (Kantor Pemerintahan) dan Masjid Agung. Gambaran yang hampir bisa kita temukan di kota-kota sepanjang jalur Pantura dan banyak kota lainnya. Kota yang dirancang oleh arsitek sekaligus per-
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
85
Laporan Utama
Menata Wajah Kota
l Jalan A. Yani / Foto: Miftah
l Bahu Jalan A. Yani dijadikan parkir liar / Foto: Miftah
ancang kota Ir. Thomas Karsten, sehingga keberadaan alun-alun, keraton atau masjid agung menjadi ciri yang sangat kental (The Indonesian City, 1986). “Karena tidak direncanakan menjadi sebuah kota. Saat Kabupaten Bekasi lahir pusat pemerintahan dibangun di pertengahan Jalan Djuanda. Tidak berada satu kompleks dengan Alun-alun dan Masjid Agung (Al-Barkah),” tambahnya. Masa setelah itu adalah membangun jalan lingkar luar, untuk menghubungkan beberapa wilayah Bekasi. Jalan lingkar luar tersebut dimulai dari persimpangan Jalan Djuanda di dekat kantor Pemkot Bekasi mengarah ke selatan -saat ini bernama Jalan Ahmad Yani-. Mengubungkan pertigaan Pekayon-Rawapanjang-Jalan Cut Mutia hingga bertemu kembali dengan Jalan Djuanda di daerah Terminal Bekasi. “Jalan lingkar luar tersebut sekarang berubah menjadi jalan-jalan protokol di Kota Bekasi. Bahkan Jalan Ahmad Yani tumbuh pesat melampaui jalan yang sudah ada sejak dulu,” kata dia. Dalam perkembangannya, Jalan Ahmad Yani saat ini menjadi jalan protokol terbesar di Kota Bekasi. Dimana segala macam aktivitas berlangsung di sepanjang jalan tersebut. Namun sayang, Jalan Ahmad Yani sejauh ini hanya menjadi lintasan kendaraan. Fungsi jalan sebagai ruang publik dimana warga bisa saling berinteraksi terhalang oleh pagar-pagar gedung. Pedistriannya (trotoar) juga sempit dan tidak nyaman dilalui pejalan kaki. “Dari hasil foto udara pada akhir Oktober 2013 lalu, sangat terlihat betapa semrawutnya Jalan Ahmad Yani. Padahal jalan tersebut merupakan salah satu ikon Kota Bekasi. Kita masih punya kesempatan untuk menatanya menjadi lebih baik,” jelas alumnus Institute Teknologi Bandung (ITB) itu. Tanpa Pagar Koswara mengusulan agar seluruh gedung di sepanjang Jalan Ahmad Yani tidak menggunakan pagar penyekat antara jalan gedung dan jalan raya. Hal ini bertujuan untuk memperluas ruang publik dan memudahkan interaksi warga kota. Dilihat kondisi eksisting, dari batas pagar sampai gedung masih ada space 8-10 meter. Space ini adalah Fasum milik pemerintah daerah, tapi oleh pengelola gedung dijadi-
86
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
kan tempat parkir. Nah, space inilah yang bisa digunakan untuk pelebaran jalan dan diubah menjadi pedstrian. “Pembongkaran pagar pembatas antargedung supaya orang bisa mengggunakan teras gedung untuk berjalan kaki agar perpindahan dari gedung satu ke gedung lain menjadi lebih mudah,” jelas Koswara. Langkah ini bagian dari upaya penataan Kota Bekasi agar lebih harmonis dan manusiawi. Ia mengakui, saat ini kondisi Kota Bekasi belum manusiawi bagi warga. Hal ini disebabkan masih minimnya ruang terbuka dan sarana interaksi antarwarga. “Saat ini lebar trotoar di Jalan Ahmad Yani hanya sekitar 1,5 meter, ini sangat tidak layak. Jika dilebarkan 8-10 meter, maka akan terlihat sangat apik dan manusiawi. Apalagi nanti dibangun taman dan disediakan bangku-bangku, warga bisa saling berinteraksi dan bersantai ria,” kata dia. Wacana ini, kata Koswara akan sejalan dengan rencana pembangunan Landmark di depan pintu tol Bekasi Barat. Sehingga orang yang masuk ke Kota Bekasi melalui tol Barat-Jalan Ahmad Yani akan bisa menikmati wajah Kota Bekasi. Keberadaan Stadion Bekasi, Gedung pemerintahaan 10 lantai dan Jembatan Noer Ali Summarecon, membuat Kota Bekasi tidak kalah megah dengan kotakota besar lain di Indonesia. Rencana tersebut tentu menyisakan beragam persoalan yang harus dijawab, seperti misalnya masalah anggaran, keamanan gedung, tempat parkir kendaraan, dan meyakinkan pengelola gedung untuk mau membongkar pagar pembatas jalan. “Persoalan lain yang muncul akibat rencana tersebut pasti ada solusinya. Yang terpenting adalah membangun persepsi bersama, bahwa kebutuhan ruang publik bagi warga kota adalah sangat penting,” katanya. Koswara mengaku sudah berdiskusi Walikota Bekasi dan beberapa SKPD terkait. Dia berencana membuat kajian khusus terkait pelebaran Jalan Ahmad Yani itu. “Ini merupakan tantangan yang harus kita jawab bersama. Jika kita mau Bekasi menjadi kota yang modern, maka rencana penataan Jalan Ahmad Yani menjadi sebuah tuntutan perkembangan yang harus direalisasikan,” pungkasnya.
Cerita Samar di Balik Nama Jalan Raya Di Kota Bekasi banyak nama jalan yang menggunakan nama tokoh pejuang. Namun anehnya sejarah tokoh tersebut samarsamar. Kebanyakan warga yang ditanya tentang sejarah tokoh tersebut hanya bisa menggelengkan kepala sembari berkata “entah”.
Julukan Kota Patriot yang disandang Kota Bekasi terlihat jelas dari banyaknya nama tokoh pejuang sebagai nama jalan. Dari 37 jalan protokol yang ada di Kota Bekasi 15 jalan mengunakan nama pejuang nasional. 11 jalan mengunakan nama tokoh pejuang local. 23 nama menggunakan nama umum. 11 nama pejuang lokal tersebut ialah Mayor Oking, KH. Abdurahman, KH. Mochtar Tabrani, Sersan Hamjah, Letnan Marsaid, Sersan Aswan, Sersan Sarbini, Letnan Arsad, Serma Marzuki, Sersan Idris, Mayor Madmuin Hasibuan. Tidak ada data pasti tentang kiprah 11 tokoh tersebut terhadap Bekasi. Kronologi menjadikan nama mereka sebagai nama jalan juga masih gelap hingga saat ini. Pemberian nama jalan sudah ada sejak masa pemerintahan Kabupaten Bekasi—sebelum pemekaran. Di Kota Bekasi sendiri tidak ada dokumen yang memberi terang perihal tersebut. Sejarawan Bekasi Ali Anwar mengatakan sejauh ini ia belum menemukan bukti otentik kiprah para pahlawan tersebut. Awal pemberian nama jalan umumnya merupakan inisiatif tokoh masyarakat setempat yang masih hidup. Misalnya nama pahlawan di jalan-jalan Kampung 200 Kelurahan Margajaya Kecamatan Bekasi Selatan disematkan oleh Zakaria dan Abu Choir—tokoh setempat—yang tidak lain adalah kawan seperjuangan. Pada perkembangannya nama-nama jalan ini kemudian dikukuhkan Pemerintah Daerah Bekasi di era 1960-1970an. Lalu siapakah sebenarnya 11 tokoh tersebut? Nama-nama itu saat ini hanya papan jalan tanpa makna. Tidak ada kisah yang bisa dituturkan. Kalau pun ada hanya beberapa nama saja yang masih bisa dilacak latar belakangnya. Itu pun sepotong-sepotong dan masih perlu dikaji lebih mendalam. Mayor Madmuin Hasibuan, misalahnya, ialah salah seorang komandan angkatan laut asal Sumatera Utara yang datang membantu perjuangan KH. Noer Ali di tahun 1945. Hasibuan kemudian bergabung di Partai Masyumi dan duduk sebagai Ketua DPRD pertama di Bekasi. Makamnya saat ini berada di belakang Masjid Al Barkah Bekasi. Mayor Oking menurut beber-
apa sumber merupakan pejuang yang bergerilya di daerah Bekasi, Bogor dan Sukabumi. Tidak heran jika di tiga kota tersebut ada Jalan Mayor Oking. Namun biografi perjuangannya masih samar. KH. Abdurahman dan KH. Mochtar Tabrani merupakan tokoh ulama se-zaman dengan KH. Noer Ali. Keduanya konsen di ranah dakwah dan pendidikan Islam. KH. Mochtar Tabrani mendirikan Pondok Pesantren An’nur sedangkan KH. Abdurahman mendirikan sekolah Madrasah di daerah Rawa Tembaga. Sebenarnya masih ada KH. Muhajirin yang juga turut berjuang bersama KH. Noer Ali. Namun namanya belum diabadikan menjadi nama jalan. Pelaku sejarah Moh. Husen Kamaly bahkan mencatat ada sekitar 80 orang tokoh pejuang yang tersebar diseluruh Bekasi. Ketidakjelasan sejarah nama pejuang ini tentu menimbulkan kerancuan. Ali Anwar menyarankan agar ada penelitian lebih lanjut berkaitan tokoh-tokoh pejuang yang ada di Bekasi. Sehingga kejelasan fakta sejarah bisa terungkap. Sebab perlu ada identifikasi apakah tokoh tersebut benar-benar pejuang atau hanya seorang pecundang. Selain itu juga ada penghargaan kepada para ahli waris. “Seharusnya ini menjadi tugas Pemerintah Daerah,” kata Ali. Akademisi Universitas Islam ‘45’ Bekasi Andi Sopandi mengatakan bahwa sejauh ini penulisan sejarah Bekasi juga masih sebatas kronologi peristiwa. Belum menelaah kiprah para tokoh di dalamnya. Penulisan biografi tokoh pejuang perlu dilakukan namun harus hati-hati untuk menghindari subyektivitas. Tokoh sejarah harus dipahami sebagai orang yang memberi kontribusi dalam perubahan sosial politik. Pemberian nama jalan yang diambil dari nama tokoh sangat bergantung pada kekuatan ketokohan seseorang. Tapi juga tidak bisa dilepaskan dari kekuatan politik di dalamnya. “Mungkin perlu diadakan semacam lokakarya untuk mengidentifikasi para tokoh sejarah Bekasi. Ini penting karena jalan merupakan ruang publik yang setiap hari dilalui warga,” kata Andi yang juga penulis buku Sejarah dan Budaya Bekasi***
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
87
Gagasan
Merawat Khalayak dan Ruang Khalayak Oleh: Marco Kusumawijaya dan Mujtaba Hamdi
Hingga hari ini, kita masih terus melihat kebebasan berekspresi di masyarakat kita belum mencapai gambaran yang kita cita-citakan. Catatan-catatan empiris memperlihatkan betapa hak individu dan kelompok untuk mengungkapkan jatidiri, keyakinan maupun daya kesenian mereka ke ruang khalayak masih menghadapi hambatan dari aktor negara maupun nonnegara.
88
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
K
emerdekaan menikmati ruang khalayak yang diidealkan sebagai ‘ruang bersama’ sering terhalang oleh tindakan kelompok tertentu yang kerap didiamkan dan bahkan didukung institusi negara. Kian terbukanya kran kebebasan tampaknya tak dinikmati masyarakat secara seimbang dan merata. Kelompok tertentu yang gencar menuangkan ekspresi di ruang khalayak sering, langsung maupun tak langsung, menghalangi ruang dan hak ekspresi kelompok yang lain. Penggunaan kekerasan merupakan salah satu masalah utama. Kebebasan berekspresi juga menghadapi tantangan lain yang tak kalah menggelisahkan. Terutama dalam ranah seni, kebebasan berekspresi kerap hanya berhenti pada ruang-ruang privat. Seorang seniman menciptakan karya dalam ranah yang mungkin memang sangat personal. Namun, ia sebenarnya selalu memaksudkan karya-karyanya untuk dinikmati khalayak, dengan satu atau lain cara. Semua seniman, dengan kata lain, sesungguhnya rindu kepada khalayak. Masalahnya hari ini adalah karya-karya seni semakin tersudut pada ruang-ruang privat para kolektor, sementara sebaliknya ruang-ruang khalayak, museum misalnya, kurang memberi ruang apresiasi terhadap karya-karya seni. Jumlah museum kita tercatat sebanyak 281, tersebar di berbagai wilayah. Namun, tidak saja kondisi fisiknya memprihatinkan, pengelolaan ruang dan kuratorial museum pun sangat tidak memadai. Dalam konteks ini, penting dikatakan bahwa penguatan kebebasan berekspresi haruslah dibarengi dengan penciptaan ruang-ruang yang memungkinkan praktik kebebasan berekspresi tersebut berlangsung. Menguatnya kesadaran kebebasan berekspresi ataupun gencarnya dorongan hak untuk berekspresi akan kerap menghadapi jalan buntu ketika ruang khalayak yang menjadi wadahnya tak tersedia, atau tersedia dengan kualitas dan kuantitas yang sama sekali tak memadai. Kebebasan bereskpresi itu ibarat ruh, sedangkan ruang khalayak adalah raganya. Tanpa raga, ruh akan ‘gentayangan’. Ruh akan resah, bahkan frustasi, dan dampak lebih luasnya adalah chaos, kekacauan. Sungguh tak salah mengatakan bahwa inilah yang terjadi hari ini: betapa semangat, kesadaran, dan dorongan kebebasan berekspresi meningkat begitu tinggi, sementara ruang khalayak yang mewadahinya terus menyempit. Ruang Khalayak, Keterbukaan, dan Interaksi Warga Ruang khalayak yang bernilai penting bagi penggalakan demokrasi dan masyarakat terbuka dapat mengambil bentuk ruang fisikal maupun nonfisikal. Kalangan geografer membedakan antara ‘ruang khalayak’ (public space) dan ‘ranah khalayak’ (public sphere). Ranah khalayak lebih dipahami sebagai ‘ruang politik’ tempat berlangsungnya pembahasan, perdebatan dan pengambilan keputusan bersama atas urusan-urusan umum. Sementara, ruang khalayak dimengerti sebagai tempat fisikal-material yang seluruh warga memiliki hak untuk memasukinya. Ia berbeda dengan ruang pribadi milik perseorangan yang memungkinkan pemiliknya menolak kehadiran orang lain yang tidak dikehendakinya. Ruang khalayak sejatinya terbuka untuk digunakan oleh semua. Bentuk dasarnya, sebagai contoh, adalah taman, jalan umum, lapangan dan tempat-tempat yang biasa menjadi forum permusyawaratan umum, misalnya pendopo, serta juga fasilitas umum seperti stasiun dan kereta api atau bus angkutan umum itu sendiri. Filsuf dan teoretisi politik Iris Marion Young menyebut ruang khalayak fisikal ini dengan istilah ‘embodied public space’. Meski terbedakan, ruang khalayak dan ranah khalayak memiliki
pertalian erat. Perencanaan dan penataan ruang khalayak akan sangat berdampak pada ruang dan kehidupan politik warga. Atas nama peraturan, aksi warga berkumpul dan menyuarakan tuntutan tertentu di tempat terbuka sering terpaksa dibubarkan, misalnya. Penetapan kebijakan atas ruang juga dapat meminggirkan kelompok masyarakat tertentu sehingga hak-hak politiknya terhalangi. “Public spaces are decisive,” kata geografer dan kritikus kebudayaan Don Mitchell, “for it is here that the desires and needs of individuals and groups can be seen, and therefore recognized, resisted, or . . . wiped out.” Sejumlah teoritisi politik tidak melakukan pembedaan secara spesifik antara istilah public space dan public sphere. Hannah Arendt, misalnya, menggunakan secara bergantian kedua istilah tersebut untuk mengacu ruang fisik maupun nonfisik tempat kegiatan bersama dilakukan. Hanya, berbeda dari prakarsa awal Jurgen Habermas tentang public sphere sebagai ranah ‘hal politik’ (the political) dibincangkan dan dipersaingkan secara rasional dan tak berpihak, Arendt berpendapat ruang khalayak tak serta merta mengandaikan hal politik. Hal sosial (the social), yang mengacu lebih pada hadirnya individu-invididu secara bersama di ruang khalayak dalam fungsi sosialnya semata, bagi Arendt, berbeda dari hal politik. Ruang pribadi pun bisa menjadi ruang khalayak ketika di dalamnya berlangsung tindakan-tindakan yang memuat hal politik. Dalam hal ini, Arendt menggambarkan dua model ruang khalayak, yakni ‘ruang agonistik’ (agonistic space) dan ‘ruang asosiasional’ (associational space). Yang pertama berdasarkan pada kompetisi; individu-individu yang berpartisipasi di dalamnya bersaing untuk memenangkan gagasan, pengakuan dan persetujuan. Ruang macam ini memisahkan satu individu dengan individu lainnya. Prosedur, tatacara, dan aturan bersaing biasanya secara formal dipersyaratkan. Sedangkan yang kedua lebih mengacu pada kolaborasi; ruang tempat partisipan di dalamnya melakukan tindakan bersama. Ruang jenis ini bisa di mana pun. Demonstrasi antikorupsi di pusat kota, obrolan di ruang tamu, aksi penghentian alihfungsi hutan di tengah belantara, misalnya, masuk dalam pengertian asosiasional ini. Di sini hubungan antar individu terjadi secara intensif tanpa prosedur dan tatacara yang baku. Diskusi mengenai ruang khalayak bisa sangat luas dan kompleks, namun titik perhatian di sini hanya akan dipusatkan pada ‘embodied public space’ dalam pengertian yang dikemukakan Young. Ini mengingat, di antaranya, semakin pentingnya sudut pandang spasial dalam ilmu-ilmu sosial untuk melihat isu-isu kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Geografer politik Edward W. Soja, misalnya, menegaskan, “…radical politics will revolve increasingly around spatialised concepts of justice, democracy, citizenship, human rights and especially the more concretised and grounded rights of residents to a fair share of the resources and services that agglomerations generate and provide.” Wacana khalayak, yang membincang dan menegosiasikan kepentingan umum, memang dapat berlangsung di ruang elektronik, media cetak, atau dunia maya berbasis Internet yang pada batas tertentu tak membutuhkan ruang fisik untuk bertatap muka di antara peserta yang terlibat perbincangan. Namun, seiring dengan semakin kuatnya kecenderungan warga menarik diri dari interaksi di ruang fisik, “demokrasi komunikatif yang terbuka berada dalam bahaya.” Tak heran jika Young mengingatkan, ruang khalayak bagaimana pun adalah tempat setiap orang punya akses, ruang terbuka sekaligus ruang keterbukaan (space of openness and exposure). Yang dimaksudkan Young tak lain adalah ruang-ruang Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
89
Gagasan
fisik dimana anggota-anggota masyarakat konkrit hadir, berjumpa satu sama lain, berinteraksi, bebas beraktivitas ataupun sekadar menikmati ‘rasa’ ruang tersebut. Di dalam kota, ruang-ruang khalayak semacam itu muncul dalam berbagai bentuk. Ada ruang-ruang khalayak yang sifatnya terbuka (outdoor) dan biasanya dicirikan dalam bentuk ruang fisikalnya, ada pula yang sifatnya tertutup (indoor). Ruang khalayak terbuka meliputi taman kota, mall, alun-alun, jalan raya, trotoar, lapangan olahraga, dan seterusnya. Sedangkan museum adalah salah satu contoh ruang khalayak tertutup. Dari segi fungsi, kita bisa melihat ada ruang khalayak untuk berlangsungnya kegiatan sehati-hari, misalnya transportasi umum, jalan raya, WC umum; ada ruang khalayak untuk kegiatan rekreatif, misalnya taman kota; ada ruang khalayak untuk kegiatan berkesenian, misalnya museum, taman budaya. Di sisi lain, kita juga bisa membedakan ruang khalayak yang sifatnya legal-formal seperti halnya Gedung DPR, dan ruang khalayak yang sifatnya informal, seperti alun-alun. Dengan kata lain, ruang khalayak memiliki jenis yang beraneka dan fungsi yang bermacam-macam. Ciri yang senantiasa dilekatkan pada ruang khalayak adalah bahwa ruang itu memungkinkan berlangsungnya aksi komunikatif antar berbagai anggota masyarakat dengan berbagai ragam kepentingan, identitas, nilai, dan cara berpikir mereka. Meskipun secara aktual aksi komunikatif itu tidak atau belum berlangsung, namun ketika ruang tersebut memungkinkan, terutama memang dirancang untuk memungkinkan, berlangsungnya aksi komunikatif antar berbagai anggota masyarakat demi mematangkan kehidupan bersama, maka ruang tersebut bisa kita sebut ruang khalayak. Terciptanya ruang khalayak tak serta merta mengandaikan bahwa khalayak sudah terbentuk dengan sendirinya. Khalayak, yang mencakup keseluruhan civil society dengan berbagai kelas sosial dan tingkat perhatian yang berbeda-beda terhadap masalah bersama, tak otomatis terlibat, atau berkehendak untuk terlibat, dalam perbincangan satu sama lain demi menghidupi ruang bersama. Khalayak tak otomatis berhubungan satu sama lain. Interaksi sosial tak begitu saja berlangsung, bahkan di dalam ruang yang paling terbuka sekalipun. Di jalan atau di kendaraan umum, khalayak melangsungkan aktivitas, namun kerap tak saling berhubungan, bahkan tak jarang justru merasa asing satu sama lain. Di mata Arendt, dalam keadaan semacam ini individu-individu sesungguhnya tidak sedang ‘bertindak’ (act) melainkan ‘sekadar berkelakuan’ (merely behave), baik sebagai produsen ekonomi, konsumen, atau sekadar penghuni kota. Membangun ruang khalayak berarti pula ‘mengaktivasi’ khalayak untuk terlibat dalam penghidupan ruang bersama atau, dalam bahasa Arendt, untuk ‘bertindak’. Ini segera dihadapkan pada tingkat kemauan warga yang berbeda-beda. Sebagian anggota masyarakat mengalami kengganan untuk terlibat dalam ranah khalayak, semacam ‘public space phobia’. Alasannya ada yang sungguh-sungguh personal. Namun pada sebagian warga, keengganan itu berakar pada pengalaman sosial politik masa lalu. Ada semacam trauma bahwa jika terlibat dalam urusan khalayak maka akan ada bahaya mengancam kehidupannya. Terhadap kenyaatan semacam ini, ‘mengaktivasi’ khalayak memiliki arti memberikan dorongan sebesarbesarnya terhadap khalayak untuk tidak takut-takut terlibat dalam penghidupan ruang bersama. Ruang khalayak tidaklah lepas dari khalayak-nya. Khalayak sendiri penting untuk diyakinkan bahwa mereka sendiri, anggota masyarakat sendiri, memiliki andil besar menciptakan ruang yang aman dan nyaman bagi mereka sendiri, 90
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
dan itu hanya terjadi melalui keterlibatan dan perbincangan yang terus-menerus. Selain masalah phobia terhadap ruang khalayak, gejala sebaliknya, ‘public space philia’, juga mudah kita temui hari ini. Ada anggota masyarakat yang begitu gemar menggunakan ruang khalayak, padahal agenda yang mereka usung adalah memperluas ruang pribadi. Ini artinya keterlibatan khalayak di ruang khalayak tak serta merta mengimplikasikan adanya kesadaran bahwa ruang khalayak adalah ruang bersama, ruang dimana setiap agenda pribadi paling jauh hanya bisa ditawarkan dan dibincangkan―tak serta merta dimasukkan dan ditanamkan. Khalayak, yang terlibat atau yang semestinya terlibat, berangkat dari nilai, pandangan hidup, cara berpikir, ataupun cara bertindak-tutur yang berbeda-beda. Keterlibatan dalam ruang khalayak artinya juga merelakan diri untuk melakukan sensor-diri secara kritis agar juga tidak menghambat arus pertukaran yang berimbang antar anggota masyarakat yang berbeda-beda dalam ruang bersama.
l Bermusik di ruang publik bantaran Kalimalang / Foto: Miftah
Pendek kata, eksistensi khalayak tidak bisa taken for granted. Khalayak memiliki ragam dan tingkatan berbeda-beda. Selain membangunnya dengan ‘mengaktivasi’, harus pula dikembangkan kesadaran pada khalayak bahwa ruang khalayak adalah ruang bersama, dan bukan ekspansi dari ruang pribadi. Diperlukan interaksi, perbincangan dan pertukaran yang sehat dan berimbang, agar status ruang bersama bisa bertahan dan berkembang terus menerus. Ancaman dan Tantangan: Pasar, Politik, Identitas Penting juga membangun ruang khalayak yang “sehari-hari” di tengah ruang kota yang makin memuat banyak orang ini. Ruang khalayak yang dimaksud bukanlah bangunanbangunan megah, lapangan-lapangan berkapasitas super dan proyek-proyek massif lainnya. Menurut Saskia Sassen, ruangruang semacam itu lebih tepat disebut sekadar ‘public-access space’ ketimbang ‘public space’. Yang membuat ruang khalayak menjadi bersifat khalayak adalah praktik dan interaksi warga di
dalamnya. Semata bisa diakses tidak membuat ruang itu berwatak publik. Ruang khalayak mensyaratkan ‘upaya penciptaan’ melalui praktik sosial orang-orang yang menggunakannya. Mengutip kalimat Don Mitchell kembali, “Public space is thus socially produced through its use as public space.” Penciptaan ruang khalayak ini sungguh tak mudah. Menyaksikan kehidupan sehari-hari, segera bisa kita lihat ancaman dan tantangan yang menghadang. Di kota-kota negeri kita, seperti halnya kota-kota di negeri berkembang lainnya, ruang-ruang dan bangunan-bangunan yang didirikan demi ‘kemegahan kota’, terutama demi melayani aktivitas pasar global, jauh lebih dominan ketimbang yang dibangun untuk kehidupan warga kota sendiri. Prasarana khalayak, misalnya, dianggap kurang prioritas. Padahal, menurut Saskia Sassen, prasarana khalayak (public infrastructure) ini sangat penting bagi hidupnya masyarakat kota yang terbuka. Ia memungkinan terhubungnya warga kota satu sama lain dan berinteraksinya anggota masyarakat kota yang majemuk.
Prasarana khalayak, atau yang kita kenal di sini sebagai fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos), berperan sebagai alat integrasi ‘klasik’ yang esensial bagi suatu kota. Jika kita cermati, pesan yang hendak disampaikan Sassen sesungguhnya sederhana. Bangunlah dengan baik prasarana esensial kota, seperti angkutan umum, ruang pejalan kaki (trotoar, ruang pedagang kakilima), ruang terbuka hijau, pasar, fasilitas kesenian, fasilitas olahraga, WC umum. “Baik” bukan saja dalam pengertian sebagai alat fungsional, tapi juga sebagai prasarana sosialitas penduduk, interaksi warga. Dengan begitu, kota akan baik, beradab secara sosial-budaya, bukan semata secara ekonomis dan teknis. “Ruang khalayak yang sehari-hari” inilah yang ditekankan Sassen. Sayangnya, prasyarat dasar ruang khalayak, yakni ketersediaan dan aksesibilitas, bukan saja jauh dari terpenuhi. Gencarnya arus komersialisasi, gejala personalisasi dan sektarianisasi pun telah membawa dampak serius pada ruang-ruang khalayak perkotaan
yang sudah ada sebelumnya. Perihal ketersediaan ruang, kita bisa lihat, menghadapi persoalan serius. Ruang-ruang terbuka di perkotaan tidak saja kurang secara kuantitas, lebih dari itu ruang-ruang yang ada dihilangkan atau dialihfungsikan. Dalam analisis Don Mitchell, ruang-ruang itu banyak bergeser dari representational spaces ke representations of space. Yang pertama mengacu pada ruang yang hidup oleh praktik orang-orang yang ada di dalamnya secara lepas, interaktif, tanpa ada tata disiplin atau rancangan dari pihak otoritas resmi. Sementara yang kedua menunjuk pada ruang yang dirancang sebagai perwujudan dari otoritas resmi yang lebih mengedepankan displin, tatanan, dan kepatuhan. Dengan kata lain, ruang-ruang terbuka yang hidup secara sosial banyak dialihfungsikan menjadi bangunan atau ruang yang ‘berdisiplin’―atas kuasa pasar maupun kuasa negara. Kaki-lima adalah contoh yang paling mudah ditunjuk. Sebenarnya juga soal keseluruhan ruang jalan. Kita sering melihat bahwa ketika ‘jalan diperlebar’ maka itu sering berarti aspalnya yang diperlebar, sedangkan trotoar menyempit. Ini fundamental dari perspektif ruang sosial: ruang aspal adalah pasif, meskipun kelihatannya sibuk. Ruang kaki-lima-lah yang aktif secara sosial. Masalah aksesabilitas ruang pun tidak kalah runyamnya. Ruang yang paling terbuka sekalipun masih sering kita lihat tidak memiliki aksesabilitas yang baik. Tingkat kenyamanan satu ruang terbuka bisa jadi sudah baik, namun yang bisa mengaksesnya hanya kelompok sosial tertentu yang memiliki kemampuan ekonomi memadai. Lebih dari itu, ruang-ruang khalayak masih sangat sedikit yang menyediakan kesempatan akses bagi kelompok berkemampuan fisik berbeda, kaum difabel. Padahal, ruang khalayak yang baik mensyaratkan mungkinnya diakses oleh berbagai anggota masyarakat dengan beragam kemampuan fisiknya. Prinsip yang disebut ‘keadilan desain’ (just design) harus diberlakukan bagi ruang khalayak. Tanpa hal ini, inklusi keanekaragaman kelompok sosial dalam perjumpaan khalayak, yang diidealkan menjadi karakter mutlak masyarakat terbuka, akan sulit terjadi. Masalah ketersediaan dan aksesibitas ruang khalayak itu tentu, seperti kita singgung di atas, tidak berdiri sendiri. Tampak bahwa persoalan tersebut berlangsung seiring dengan peristiwa yang menandai gejala global hari ini: arus komersialisasi. Saskia Sassen menunjukkan dengan sangat jitu bagaimana derasnya arus pasar global telah menyebabkan apa yang ia sebut ‘marketization of public functions’. Fungsi-fungsi publik ini membawa implikasi hak warga. Ketika hal tersebut dimarketisasi, hak warga akan mudah terampas. Logika ketersediaan dan aksesibilitas dalam konteks marketisasi, dengan demikian, lebih didasarkan pada asas konsumen ketimbang hak warga. Di negeri kita sendiri, gejala ini mudah kita lihat. Terbebaskannya ruang khalayak kita dari otoritarianisme politik, ternyata tidak serta merta membuatnya terbebaskan dari monopoli pemodal. Ini tidak saja terjadi pada ruang khalayak nonmaterial macam media massa, namun juga ruang khalayak fisikal konkrit. Kita bisa lihat maraknya mallmall yang bahkan menggusur keberadaan ruang-ruang khalayak yang ada sebelumnya yang kadang justru lebih hidup, interaktif, dan setara. Kita juga saksikan terus menyusutnya pasar tradisional akibat ekspansi kapital yang nyaris tak dikendalikan. Gejala kedua yang perlu kita wasdapai adalah personalisasi. Kecenderungan penguasa politik menggunakan ruang khalayak ini sebagai wadah ekspresi personal jelas menghilangkan nilai kepublikan (publicness) itu sendiri. Contoh yang masih segar dalam ingatan kita ialah bagaimana sebuah lagu pribadi dilantunkan di ruang khalayak, bahkan dalam sebuah momen kenegaraan. Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
91
Gagasan
Tindakan tersebut tidak ada hubungannya dengan urusan khalayak. Parahnya, khalayak diasumsikan menyetujui tindakan tersebut meski tanpa melalui proses perbincangan dan proses politik apa pun. Gejala semacam ini tidak saja mengacaukan makna kepublikan, melainkan juga dapat mengkerdilkan ruang khalayak itu menjadi sekadar ‘ruang keluarga’. Ancaman lain adalah sektarianisasi. Ini tidak terkait dengan fasilitas sosial yang memang ditujukan sebagai wadah aktifitas kelompok agama atau kepercayaan tertentu, semisal tempat beribadah. Sektarisanisasi timbul ketika ruang khalayak, yang sesungguhnya menjadi arena komunikasi berbagai kelompok dengan kepercayaan berbeda-beda, dikuasai oleh sekelompok kepercayaan tertentu tanpa melalui proses konsensual yang memadai. Pola penguasaan bisa sangat langsung dan agresif melalui aksi massa yang segera menegasikan aktifitas khalayak lain di ruang tersebut. Pola lain bisa melalui penataan dan pengalihfungsian ruang. Contoh paling nyata dari pola terakhir ini adalah penataan alun-alun kota Bandung menjadi halaman Masjid Raya Bandung. Alun-alun yang semula merupakan arena khalayak tanpa sekat identitas kepercayaan berubah menjadi ruang peribadatan kelompok kepercayaan tertentu. Proses-proses ini oleh Richard Sennett disebut “initimisasi” dan berkecenderungan membuat khalayak lain menyingkir karena “risih”. Ruang Khalayak dan Identitas Budaya Jika penggunaan ruang khalayak sebagai ekspresi identitas tertentu boleh disebut merupakan wujud sektarianisasi, pertanyaannya, apakah berarti ruang khalayak harus netral dari identitas budaya apapun? Ini penting dijawab terutama ketika, di zaman yang mengutuk penyeragaman budaya ini, setiap kota atau setiap teritori tertentu diharapkan dapat menampilkan ciri khas budayanya. Orang datang ke Bali berharap dapat menyaksikan suasana ruang yang berbeda dari Yogyakarta atau Banda Aceh, misalnya. Dengan demikian, ada hal yang perlu dipertimbangkan: sejauhmana ekspresi identitas budaya di ruang khalayak dinilai sektarian atau tidak sektarian? Pertama-tama memang perlu kita tengok lebih dulu watak dari identitas budaya itu sendiri. Identitas budaya tidaklah berasal dari individu secara pribadi dan eksklusif, sebaliknya ia merupakan suatu proses kolektif. Cara yang lebih tepat untuk melihat identitas budaya adalah dengan logika relasi (relational logic), bukan logika substansi (substantive logic). Identitas dikatakan ‘identitas’ ketika ia diletakkan dalam relasi perbedaanya dengan yang lain. Kesadaran akan identitas budaya terbentuk melalui proses interaksi antara individu dan invididu lainnya, juga antara individu dan lingkungannya. Ini artinya, identitas budaya bukan suatu resultan yang stabil, yang tetap, tak bergerak, namun ia berkembang, tidak saja secara historis, dari satu masa ke masa lainnya, tapi juga secara spasial, dari satu ruang ke ruang lain. Lebih jauh, lantaran identitas budaya tidak bersifat tertutup, ia pun menyerap budaya lain, selain juga menawarkan diri kepada budaya-budaya lain. Melihat watak identitas budaya semacam ini, kita bisa katakan bahwa ruang khalayak itu sendiri, yakni tempat interaksi sosial berlangsung, sesungguhnya tidak netral dari identitas budaya. Ruang khalayak bahkan kadang merupakan arena proses pembentukan identitas budaya itu sendiri terjadi. Karena itu, yang menjadi persoalan bukanlah semata apakah suatu identitas budaya masuk ke ranah khalayak, namun apakah terjadi perbincangan, interaksi, aksi komunikasi, yang sehat dan setara di sana. Ruang bersama boleh berisi ragam identitas apa saja. Terpenting, ia, kata Hannah Arendt, perlu dilihat sebagai meja tempat berbincang; meja yang memisahkan sekaligus menghubungkan individu-individu yang mengelilinginya. 92
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Karakter, simbol, dan ekspresi hanya muncul dan terbentuk di antara meja perbincangan dan interaksi mereka yang terlibat, dan bukan diklaim di luarnya. Ketika ruang khalayak diklaim secara a priori sebagai ruang eksklusif identitas budaya tertentu, tanpa melalui perbincangan khalayak, atau tanpa membuka kemungkinan dibincangkan kembali, maka di sanalah eksistensi ruang khalayak terancam. Kata kuncinya, dengan demikian, adalah perbincangan dan interaksi. Pluralisasi ruang khalayak sebagai sebuah strategi perluasan pilihan ruang bagi khalayak itu penting. Namun plural saja tidak cukup jika tanpa adanya hubungan, interaksi. Justru kita perlu waspada dengan klaim menguatnya ‘toleransi’ jika yang dimaksud adalah masing-masing kelompok budaya ada dalam kurungan identitasnya masing-masing tanpa saling berinteraksi. Kita sudah harus melewati pemikiran ‘multikulturalisme’, dan perlu masuk ke dalam pemikiran ‘interkulturalisme’. Kita bukan hanya perlu menghormati keberagaman, tetapi juga secara aktif dan terbuka belajar dari orang lain yang berbeda dari kita. Konsekuensi dari interkulturalisme adalah sikap yang bukan hanya membiarkan yang lain berbeda, tetapi juga terlibat dalam interaksi secara aktif dengan yang lain. Kreativitas muncul dari interaksi aktif demikian. Setiap orang mengambil dan memberi, dan kemudian membawa pulang ke ruang pribadinya sesuatu yang lain lagi, hasil percampuran pemberian dan penerimaan itu. Posisi semacam ini mengimplikasikan bahwa identitas budaya harus diletakkan di antara ‘yang partikular’ dan ‘yang universal’. Ia tidak sepenuhnya partikular―yang tak mungkin dipahami orang lain, sekaligus tidak sepenuhnya universal―yang tidak bersentuhan dengan pengalaman historis konkrit. Setiap unsur identitas budaya paling jauh hanya bisa dianggap, meminjam istilah Mohammed Arkoun, ‘universalizable’. Ia paling banter hanya bisa ditawarkan kepada dunia, kepada ruang khalayak, kepada kemanusiaan dalam arti seluas-luasnya. Atribut budaya (nilai, simbol, karya kesenian) tidak serta merta bisa diklaim universal, tapi bisa mengandung kemungkinan diterima sebagai universal melalui proses penawaran dan interaksi. Pihak yang diberi tawaran, baik sebagai orang per orang maupun sebagai suatu kelompok budaya, dapat memprosesnya secara bebas. Hadirnya suatu karya seni ke ruang khalayak, sebutlah patung sebagai contoh yang mengemuka belakangan, pun musti dianggap sebagai sebuah tawaran, bukan pendudukan ruang, apalagi ancaman. Sebagai sebuah tawaran, karya seni yang hadir di ruang khalayak bisa diapresiasi ataupun digugat. Kontestasi yang terjadi sekaligus merupakan bagian proses pematangan ruang khalayak itu sendiri. Tentu upaya penggugatan, kontestasi, oleh pihak penerima musti berlandaskan kesadaran sebagai anggota khalayak yang terlibat dalam penghidupan ruang bersama, bukan kesadaran otoritatif atas ruang yang atas nama apa pun (agama, nasionalisme, ‘keresahan’ masyarakat) berkehendak menggusur kehadiran ‘yang beda’, ‘yang lain’, atau ‘yang asing’. Jika yang terakhir terjadi―dan sayangnya ini yang kerap terjadi―maka ruang khalayak akan kembali tertutup oleh nafas sektarianisme. Hubungan yang cair kembali terbekukan. Kemungkinan akan munculnya tawaran-tawaran baru yang kreatif menjadi terkunci mati. Di sisi lain, pengaju tawaran, sebagai pemberi karya personal (atau komunal) ke ruang khalayak, penting mempertimbangkan kepekaan terhadap situasi kultural khalayak penerima, atau calon penerima, yang beragam. Ini berarti proses self-censorship menjadi niscaya. Self-censorship tidak dalam pengertian negatif tentu saja, tidak dalam pengertian penyumbatan hak untuk berekspresi. Namun, karena kebebasan berekspresi di ruang khalayak tidaklah dimak-
sudkan sebagai ekspresi itu sendiri, melainkan sebagai upaya untuk menghidupi ruang khalayak, untuk berinteraksi dengan keberagaman, maka harus ada kesamaan yang memungkinkan komunikasi berlangsung. Yang personal, yang komunal, harus menyensor diri agar setidaknya sebagian dari bahasa, simbol, tanda, yang digunakan pada taraf tertentu berada pada posisi sama dengan khalayak penerima. Hanya dengan demikian komunikasi bisa berlangsung. Tentu saja self-censorship itu musti disertai dengan sikap kritis. Sikap kritis ke dalam maupun ke luar. Sikap kritis ke dalam mengimplikasikan bahwa kreasi kultural yang diproduksi bukanlah suatu kebenaran mutlak yang khalayak harus menyaksikan. Ia juga bisa menyimpan kesalahan, bahkan kontradiksi dalam dirinya. Ia mungkin juga hanya bisa disaksikan oleh segelintir kalangan khalayak yang berada dalam kerangka kultural tertentu. Sedangkan sikap kritis ke luar mengimplikasikan pemahaman bahwa situasi kultural khalayak di luar sana bukanlah hal yang statis, yang inheren membawa nilai tertentu yang tak berubah dari waktu ke waktu. Esensialisasi nilai ruang khalayak, atau nilai yang dikandung khalayak penerima, hanya akan membawa kita kembali pada pembekuan, penghilangan dinamisasi ruang khalayak. Peran Negara Untuk mengekspresikan identitas budayanya yang khas di ruang khalayak, warga dituntut untuk menawarkannya melalui proses perbincangan terbuka. Lantas, bagaimana dengan negara? Apakah negara sertamerta dianggap mewakili khalayak sehingga sah untuk mengambil kata putus dalam proses komunikasi di ruang khalayak? Secara legal-formal, sebagian besar ruang khalayak fisikal memang milik negara, semisal alun-alun, taman kota, atau museum. Asumsi ‘kepemilikan’ negara dan wakil khalayak itu kerap memunculkan masalah. Pertama, negara kerap merancang tata ruang, meletakkan produk budaya, atau menggelar event kebudayaan yang kental warna budaya dominan di arena khalayak, yang kerapkali terjadi tanpa perbincangan khalayak yang memadai sebelumya. Padahal, khalayak yang berangkat dari anekaragam budaya belum tentu menyepakati keputusan negara. Terkesan seolah konsensus sudah terjadi, hanya karena negara secara legal-formal memiliki ruang-ruang tersebut. Kedua, kita juga sering menyaksikan, negara melakukan sensor atas suatu karya budaya, atau menghalangi hadirnya suatu karya budaya di ruang khalayak, juga tanpa proses perbincangan yang terbuka. Negara begitu saja mengasumsikan mewakili khalayak dalam melakukan hal tersebut, meski tanpa memberi ruang bagi khalayak sendiri untuk memproses perbincangan mengenai isu tersebut. Ketiga, negara terlihat begitu mudah menyerahkan ruang khalayak kepada pemodal yang berakibat pada berubahnya fungsi bahkan hilangnya ruang khalayak. Pendek kata, negara sendiri telah menjadi aktor komersialisasi, sektarianisasi, dan personalisasi ruang khalayak, dengan satu atau lain cara. Melihat persoalan tersebut, agaknya terlalu naif jika kita memposisikan negara sebagai pemecah masalah bagi menyempitnya ruang khalayak. Negara adalah bagian dari masalah itu sendiri. Namun, gagalnya negara, jika boleh disebut demikian, tak serta merta menghilangkan kewajibannya memenuhi hak-hak warga. Peran gerakan masyarakat sipil hanyalah sampai pada mendorong negara menjalankan, bukan mengambil alih, kewajiban-kewajibannya. Menurut Young, tak mungkin civil society menggantikan peran negara. Hanya institusi negara yang memiliki sumberdaya cukup untuk memfasilitasi koordinasi sosial antar kelompok dan warga dalam skala besar. Dan sesungguhnya, hanya institusi negara pula
yang memiliki kekuatan yang mampu membatasi gerak perusahaan-perusahaan privat untuk menguasai ruang khalayak. Dalam kapasitas semacam itu, hanya negara yang bisa mengambil peran sebagai pengelola tata komunikasi di ruang khalayak antar kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Ini jelas sangat krusial. Jika negara tak menyediakan tata komunikasi yang memungkinkan khalayak yang plural berperan serta dalam interaksi maka situasi chaos akan sangat mudah terjadi. Lebih dari itu, jika kemudian untuk menghindari chaos tersebut, negara mengambil kata putus tanpa perbincangan khalayak maka yang terjadi adalah kebekuan ruang khalayak, jika bukan bentuk tertentu otoritarianisme. Contoh yang paling mudah ditemukan hari ini adalah penutupan tempat ibadah, penyensoran karya budaya (buku, film, pertunjukan seni, dll), atau pun pembubaran event kultural/intelektual. Dengan negara menyediakan tata komunikasi yang memadai, potensi-potensi yang memungkinkan lahirnya chaos bisa ditransformasikan menjadi gerak pertukaran yang produktif di arena khalayak. Lebih fundamental dari itu, negara sesungguhnya berperan menyediakan ruang khalayak dengan kuantitas dan kualitas yang cukup sekaligus dengan aksesibilitas yang baik. Seperti sempat disinggung di atas, ruang-ruang khalayak kita dalam berbagai bentuk dan tingkatannya tidak saja kurang secara kuantitas, namun juga buruk dari segi aksesibilitas. Negara, dengan segala kapasitas dan otoritasnya, punya peran penting menyediakan infrastruktur khalayak tersebut. Tak sekadar pengadaan ruang fisik, negara juga harus menyediakan perangkatperangkat yang memungkinkan pertukaran di ruang khalayak berfungsi optimal. Negara harus menyediakan, misalnya, kurator pada tiap museum. Penampungan, penyediaan dan penyebaran informasi juga harus dilakukan sehingga memampukan khalayak berinteraksi secara dinamis. Penutup Musti diakui bahwa yang disampaikan dalam tulisan ini kental dengan karakter urban. Masih perlu eksplorasi lebih lanjut mengenai karakter ruang dan komunikasi khalayak di kawasan rural. Namun demikian, boleh dikatakan bahwa, dalam banyak segi, yang diuraikan dalam tulisan ini mencerminkan ancaman riil dan tantangan ke depan pembangunan ruang khalayak dalam rangka penyediaan wadah bagi kebebasan berekspresi di negeri kita. Ruang-ruang khalayak konkrit barangkali berbeda antara kawasan urban dan rural. Namun, unsur-unsur, pola, dan dinamika percakapan khalayak memiliki kecenderungan yang tak jauh berbeda, apalagi dengan keterlibatan negara dan gejala umum yang dihadapi, yakni komersialisasi, sektarianisasi dan personalisasi. Betapapun, yang terpenting diperhatikan kemudian, seiring dan setelah berbagai upaya melampaui berbagai tantangan tersebut adalah sejauhmana hubungan-hubungan terbuka yang produktif tercipta sehingga mampu menyumbang bagi kesejahteraan ekonomi dan emansipasi sosial mereka yang terlibat dalam hubungan-hubungan itu. Mencipta, membangun, merawat dan meruwat khalayak serta ruang khalayak bukanlah pekerjaan sekali jadi, melainkan terus-menerus. Tantangan dan kekuatan perusak selalu akan ada terus. Tetapi pekerjaan ini harus terus dilakukan, sebab ia adalah tubuh dari masyarakat-warga, yang tanpanya akan berhenti mengada. *Marco Kusumawijaya, Direktur Rujak Center for Urban Studies. **Mujtaba Hamdi, peneliti kebudayaan Tankinaya Institute, Depok. Penulis berterima kasih kepada Felencia Hutabarat untuk diskusi mengenai kesenian dan ruang public. * Disampaikan untuk diskusi bertajuk “Masyarakat Terbuka” (Yayasan Tifa, Jakarta). Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
93
Gagasan
Ruang Publik Hijau
Jalur hijau Perumahan Kemang Pratama / Foto: Miftah
P
ada umumnya perkembangan kota sebagaimana terjadi di beberapa negara—termasuk Indonesia—didasari proses perencanaan yang awal mulanya bertujuan menyejahterakan kehidupan masyarakatnya. Namun dalam implementasi pelaksanaannya ditemukan banyak hal yang kerap tidak sesuai perencanaan. Maka tidak salah apabila sebagian masyarakat berpendapat bahwa perkembangan kota saat ini cenderung menimbulkan banyak persoalan. Di antaranya problem kemacetan lalu lintas, polusi udara dan kebisingan akibat padatnya lalu lintas pada jam-jam tertentu—ditandai dengan banyaknya masyarakat golongan menengah atas yang tinggal di pinggiran kota. Fenomena ini selanjutnya menumbuh-kembangkan daerah sekitar kota menjadi “kota baru”. Pada perkembangannya juga memunculkan dampak serupa. Selain persoalan di atas, masalah perubahan fungsi lahan juga terjadi. Hal ini tercermin dari semakin minimnya lahan-lahan terbuka yang tadinya berfungsi sebagai ruang publik. Akibat keterbatasan lahan maka pemerintah dan sebagian masyarakat 94
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
mengakuisisi lahan-lahan terbuka—yang berfungsi sebagai fasilitas umum—menjadi lahan terbangun. Kasus-kasus semacam ini banyak terjadi di beberapa kota besar. Termasuk Indonesia. Persentase ruang terbuka hijau di kota-kota tujuan urban seperti Jakarta dan sekitarnya masih belum memenuhi luasan idealnya. Padahal kita menyadari bahwa keberadaan ruang terbuka hijau sangat bermanfaat untuk stabilitas sistem lingkungan yang dapat menjauhkan manusia dari berbagai bencana merugikan seperti banjir, keterbatasan air bersih, gangguan kesehatan dan lain sebagainya. Di samping minimnya lahan penghijauan dengan beberapa persoalan lingkungannya, perubahan fungsi lahan di dalam kota secara masif tersebut juga menimbulkan dampak terbatasnya sarana bermain anak. Kecenderungan ini mulai muncul semenjak “Economic Booming” beberapa tahun lalu yang mengakibatkan melonjaknya laju urbanisasi di kota besar dan sekitarnya di Indonesia. Dampak kepadatan penduduk—yang ditandai dengan pesatnya angka urban population—selanjutnya menjadikan lahan memiliki
nilai ekonomis tinggi. Setiap jengkal lahan yang ada sangat berharga bagi kebutuhan hidup: aspek ekonomi semata. Pandangan serupa ini nampaknya juga dianut para pengembang. Sehingga banyak kawasan hunian dan perumahan dibangun namun seringkali mengabaikan ruang terbuka yang dapat digunakan sebagai fasilitas umum dan sosial. Padahal ruang terbuka hijau yang ramah dan kondusif juga sangat mendukung syarat fasilitas tempat bermain anak. Kondisi memprihatinkan itu menjadi perhatian dunia internasional. Dalam catatan perhitungan PBB tahun 2005 diperkirakan separuh anak-anak yang tinggal di kota akan semakin kehilangan tempat bermainnya. Fakta ini tergambar melalui anak-anak yang bermain di lingkungan yang bukan semestinya menjadi tempat mereka bermain. Misalnya bantaran sungai (kali), lahan pinggiran rel kereta api, atau jalan raya yang padat lalu lintas. Lingkungan Hidup Menjadi Perhatian Kondisi obyektif di atas nampaknya mulai disadari pemerintah dan sebagian kalangan masyarakat seiring dengan isu pemanasan global dan krisis iklim dewasa ini. Pemerintah dan pihak terkait mulai menyadari tentang munculnya kecenderungan sehat dan serba hijau. Sehingga mereka mulai memberi penekanan kuat pada aspek lingkungan hidup. Hal ini terlihat dari munculnya fenomena kebijakan yang hadir. Yaitu menekankan bangunan inisiatif dan kemitraan swasta, serta partisipasi masyarakat terhadap keberadaan ruang terbuka hijau. Ruang publik hijau pun menjadi keniscayaan. Segenap program kegiatan yang menyertai di dalamnya itu memiliki substansi tentang urgensi ruang publik dan penataan kembali kota dalam perencanaan multipartisipatif. Termasuk peran para akademisi dan swasta dalam mengembangkan kawasan hunian yang berwawasan lingkungan agar lebih manusiawi dan berkeadilan. Para pegiat bidang ini tampak memberikan porsi cukup besar untuk ruang terbuka dan pepohonan. Mereka menyambut isu pentingnya aspek lingkungan dan pemahaman bahwa lingkungan hidup merupakan jawaban bagi kian rusaknya alam sekitar serta tidak bersahabatnya kualitas udara di kota-kota besar. Kebijakan pemerintah terkait penyediaan ruang publik perkotaan dan pengembangan kawasan hunian dan perumahan oleh swasta yang berwawasan lingkun-
gan akhirnya menjadi tren pembangunan saat ini. Bahkan, sedemikian pentingnya soal kawasan dan lingkungan yang ramah anak, pemerintah mengakomodirnya di dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 11. Di situ disebutkan bahwa setiap anak berhak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul bersama anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai minat, bakat dan tingkat kecerdasannya untuk pengembangan diri. Di samping itu, agar hak tersebut terpenuhi, pada Pasal 56 juga disebutkan bahwa pemerintah dalam menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, sehingga mereka dapat; 1). Bebas berserikat dan berkumpul; 2). Bebas bersitirahat, bermain, berkreasi, berekreasi dan berkarya seni budaya dan, ; 3). Memeroleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan keselamatan. Melalui Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 378/KPTS/1987, secara kuantitatif pemerintah juga membuat standar luasan minimum yang harus dipenuhi dari luas lahan sebagai area “wajib hijau” dalam prasyarat lingkungan. Dan terakhir, seiring dengan beberapa isu penting Internasional dewasa ini, penyediaan ruang terbuka hijau 30 persen (dari luas wilayah keseluruhan) merupakan besaran standar yang tidak bisa ditawar lagi (Kompas, 30 November 2007). Hal ini merupakan prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan hunian yang memiliki kualitas, berkesinambungan serta dapat menjawab semua tantangan dan permasalahan yang ada pada pemukiman penduduk di perkotaan. Konsep Community Garden Realitas persoalan di atas juga menjadi keprihatinan di kalangan masyarakat. Selanjutnya memunculkan beragam aksi, inisiatif dan partisipasi yang bertujuan untuk lebih peduli kepada lingkungan dan perkotaan. Salah satu gerakan yang gaungnya merambat cukup cepat sekarang ini ialah program urban farming oleh komunitas Indonesia Berkebun. Implementasi program urban farming yaitu memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang dikonversi menjadi lahan pertanian/perkebunan produktif hijau oleh masyarakat dan komunitas. Dengan demikian, lahan tersebut bisa memberikan manfaat bagi masyarakat di dalamnya. Sebagaimana disebutkan dalam situsnya,
komunitas ini terdiri dari orang-orang yang berasal dari berbagai profesi. Mereka bergabung untuk mewujudkan cita-cita yang dapat mengatasi masalah lingkungan dan perkotaan. Masalah itu antara lain; 1). Rusaknya lingkungan karena pembuangan sampah dan limbah yang sembarangan; 2). Menurunnya kualitas kota baik secara estetika, kurangnya ruang hijau, dan ruang publik terutama untuk anakanak bermain; 3). Ancaman krisis sumber makanan di masa depan. Semangat positif Indonesia Berkebun mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat dan berkembang hingga hampir ke seluruh kota/kabupaten di Indonesia wilayah Barat. Mereka pun didukung Menteri Pertanian Republik Indonesia. Bahkan meraih penghargaan “Web-Heroes” dari salah perusahaan Internasional, Google. Inc. (http:/indonesiaberkebun.org, 2013). Akankah semangat posistf program kegiatan tersebut berkelanjutan dan mendapat daya dukung kuat berupa kebijakan dan rencana tata ruang perkotaan? Tentu perlu kajian mendalam dengan tinjauan multiaspek dan banyak referensi agar konsep program tersebut terpakai dalam sistem perencanaan kota. Dalam konteks internasional, konsep ini dikenal dengan istilah Community Garden. Implementasinya juga erat berkaitan kaitannya dengan tema pembangunan berkelanjutan atau “sustainability” dan ketahanan pangan. Ia telah terimplementasikan di Amerika Serikat dan Canada, kemudian diikuti Inggris, Spanyol, Mali di Afrika Barat, Australia dan Taiwan di Asia. Community Garden terbukti memiliki nilai sosial yang positif dan dapat menghasilkan beragam manfaat. Mulai gizi yang baik, pendidikan bagi generasi dan para penggunanya, meningkatkan kemudahan, keamanan dan perlindungan terhadap lingkungan sekitar hingga manfaat ekonomis. Meskipun terdapat banyak manfaat, para perencana perkotaan di setiap negara tersebut belum seluruhnya memiliki perhatian terhadap konsep Community Garden ini melalui kebijakan perencanaan yang detail. Kecuali Amerika Serikat dan Canada yang memang cukup progresif di beberapa kota dan negara bagian di dalamnya (Introduction, Planning Strategis to Support Community Garden, 2009). Lantas, bagaimana dengan kota-kota dan kabupaten-kabupaten di Indonesia? *) Ir. Ichasanudin, Pemerhati Masalah Perkotaan, tinggal di Kota Bekasi
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
95
Wawancara Eksklusif
Saya Ingin Membangun
Kota Bekasi Pembangunan Kota Bekasi sangat bergantung dengan kemauan kuat para pemangku kebijakan. Pada edisi ini kami mendapat kesempatan mewawancarai Walikota Bekasi Rahmat Effendi. Kami menanyakan seputar masalah perencanaan pembangunan Kota Bekasi ke depan. Berikut hasil wawancara tersebut;
96
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Perda Rencana Tata Ruang Kota Bekasi disahkan pada tahun 2011 lalu. Bisa dijelaskan garis besar arah perubahan tata ruang Kota Bekasi yang ada dalam Perda tersebut ? Ada perubahan Perda RTRW sebelumnya. Dulu Kota Bekasi dibagi dalam 4 BWK (Bagian Wilayah Kota) dalam perencanaannya. Maka dalam RTRW tahun 2011-2031 ini struktur ruang Kota Bekasi dibagi dalam 5 wilayah pengembangan. Yaitu Pusat Pelayanan Kota (PPK) dan didukung empat sub pusat pelayanan primer lainnya atau disebut Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK). Keempat SPPK tersebut adalah Pondok Gede, Jatisampurna , Bantar Gebang dan Bekasi Utara. Di samping itu telah ditetapkan 3 kawasan strategis kota. Yakni kawasan strategis pusat kota, kawasan strategis Jatisampurna dan kawasan strategis MustikajayaBantargebang. Bisa dijelaskan sedikit zonasi pengembangan wilayah berdasarkan Perda RTRW Kota Bekasi? Berbicara zonasi secara luas di dalam Rencana Tata Ruang Kota yang ada kita telah menetapkan beberapa zona. Antara lain Zona Industri di wilayah Bantargebang , Zona Perdagangan dan Jasa di sekitar pusat kota dan Zona Permukiman dengan Kepadatan Tinggi di bagian utara Kota Bekasi, Zona Permukiman dengan Kepadatan Sedang di pusat kota dan Zona Permukiman dengan Kepadatan Rendah di bagian selatan Kota Bekasi. Namun demikian dalam pengendalian pemanfaatan ruang kita juga sedang menyusun peraturan zonasi atau zoning regulation. Itu nanti lebih mengatur peruntukan ruang sesuai dengan arahan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang ada. Meskipun diatur soal zonasi dalam Perda RTRW, pada praktiknya banyak bangunan yang tidak tepat peruntukannya? Bagaimana Pemkot Bekasi mengatasi persoalan ini?
nan yang baru tentu harus tunduk dengan rencana yang ada saat ini. Pembangunan Kota Bekasi saat ini lebih terpusat di wilayah Selatan, Timur, Barat. Sementara wilayah pinggiran nyaris tidak tersentuh. Bagaimana upaya Pemkot Bekasi memeratakan pembangunan?
Dalam perencanaan pembangunan memang kita memisahkan ke dalam 3 kategori wilayah pengembangan. Ada wilayah yang didorong pertumbuhannya karena memang masih tertinggal. Ada yang dikendalikan dengan ketat karena sudah melampaui daya dukung dan daya tampung ruang. Ada juga yang masih dibiarkan sesuai dengan mekanisme pasar selama masih ada kesesuaian dengan rencana yang ada dan masih dalam daya dukung lingkungan. Namun demikian para pengembang atau investor akan lebih memilih wilayah yang telah didukung infrastruktur pendukung kota yang memadai daripada membuka wilayah baru yang belum ada sarananya. Sehingga terlihat bahwa perkembangan kota kurang merata. Banyak upaya. Antara lain kita juga telah mencang Perda Insentif dan Disinsentif yang Fasos dan fasum salah satunya adalah untuk mengarahkan perumahan akan pengembangan pembangunan ini. Pengemresmi menjadi bang yang membangun pada wilayah yang baru akan diberikan insentif. Sedangkan yang asset pemerintah membangunan di daerah yang padat dan lodaerah setelah kasi daya dukung ruangnya sudah kurang mediadakan verifikasi madai akan dikenakan disinsentif. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan akan oleh tim verifikasi bisa lebih diarahkan secara merata.
Fasos Fasum dan dibuatkan berita acara serah terima dari pengembang kepada pemerintah.
Rencana Tata Ruang Kota dibuat untuk jangka waktu tertentu. RTRW Kota Bekasi 2000-2010 mengatur rencana tata ruang dalam kurun 10 tahun. Sementara sesuai Undang-undang RTRW Kota Bekasi yang baru adalah perencanaan untuk 20 tahun ke depan yakni tahun 2011-2031. Rencana tata ruang dibuat untuk mengantisipasi dan mengakomodasi setiap perkembangan kota yang ada sesuai dengan dinamika pertumbuhan atau pengaruh pembangunan eksternal kota di sekitarnya. Boleh jadi bangunan yang eksisting sekarang ada yang terlihat melanggar atau tidak sesuai dengan rencana tata ruang saat ini karena dibuat berdasarkan RTRW yang lalu. Berarti sudah tidak valid lagi. Untuk hal semacam ini tentu akan segera dilakukan penyesuaian dengan rencana yang berlalu. RTRW itu sifatnya rencana ke depan. Sehingga untuk pembangu-
Bagaimana arah pembangunan jangka panjang Kota Bekasi ke depan? Bisa dijelaskan?
Kota Bekasi relatif tidak memiliki Sumber Daya Alam memadai. Maka pembangunan jangka panjang ke depan kita lebih menitikberatkan pada potensi Sumber Daya Manusianya. Sehingga aktivitas pembangunan lebih mengarah ke sektor pelayanan dan jasa yang lebih dikukung Sumber Daya Manusia ketimbang Sumber Daya Alam. Ini terlihat dari visi rencana jangka panjang Kota Bekasi 20052025 yaitu “Bekasi Kota Kreatif yang Ikhsan”. Artinya kita akan lebih menitikberatkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia yang kreatif dalam menciptakan setiap kegiatan pembanguannya. Pembangunan Kota Bekasi bergerak sangat cepat. Berapa persen pertumbuhan pembangunan di Kota Bekasi dalam setiap tahun? Bisa dijelaskan segmentasi pertumbuhannya? Secara pembangunan fisik kita bisa melihat pertumbuhannya. Terlebih sarana perumahan dan perdagangan seperti mal dan ruko. Ini berkorelasi secara signfikan juga terhadap petumbuhan ekonomi Kota Bekasi yang lebih dari 6,5 % per tahunnya. Seperti kita
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
97
Wawancara Eksklusif
lihat, salah satu penyumbang PAD terbesar adalah dari sektor hotel dan restoran. Kalau bicara segmentasi pertumbuhan pembangunan memang lebih ke pembangunan perumahan dan perdagangan. Dan ini bervariasi baik untuk pemenuhan segmen pasar golongan ekonomi menengah ke bawah maupun ekonomi menengah ke atas. Pembangunan tentu berkaitan erat dengan ketersediaan lahan. Bisa dijelaskan berapa presentase lahan terbangun dan lahan belum terbangun (Ruang Terbuka Hijau) di Kota Bekasi? Seperti diketahui Kota Bekasi ini terbentuk dari wilayah kota yang sudah terbangun sejak pemisahan dari Kabupaten Bekasi. Jadi kita memang mendapatkan wilayah yang sudah cukup padat. Berdasarkan data yang ada wilayah terbangun di Kota Bekasi tahun 2010 saja sudah lebih dari 60 persen. Sementara areal yang belum terbangun itu pun umumnya sudah dikuasai pengembang. Ssehingga tidak bisa dijamin itu tidak akan terkonversi menjadi lahan terbangun lainnya. Apakah jumlah RTH di Kota Bekasi sudah sesuai dengan aturan Undang-undang Tata Ruang ? Jika belum, apa yang akan dilakukan Pemkot Bekasi dalam penyediaan RTH yang sesuai dengan Undang-undang? Sesuai Undang-undang memang kita harus memiliki RTH 30 persen untuk RTH Publik dan Privat. Hal ini menjadi kendala utama di setiap kota terutama yang ada di Pulau Jawa yang lahannya sudah sangat padat. Kota Bekasi saat ini baru memiliki RTH 11,4 % dan untuk meningkatkan secara drastis tentu tidaklah mudah. Selain faktor pendanaan karena harga lahan di Kota Bekasi sangat tinggi juga padatnya bangunan. Untuk penataannya akan memerlukan upaya yang ekstra. Sementara DKI Jakarta saja saat ini RTHnya baru 14 persen. Beberapa upaya telah dilakukan dengan diterbitkannya Perda tentang Fasos Fasum. Perda ini lebih mewajibkan pengembang yang akan membangun di Kota Bekasi memenuhi penyediaan RTH yang cukup sesuai ketentuan Perda. Ini berlaku juga untuk pengembang mal dan juga industrI. Dari jumlah RTH yang ada berapa persen yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan publik (taman dan ruang publik lainnya).Apa upaya pemerintah untuk menjaga keseimbangan ruang terbuka hijau? RTH Publik Kota Bekasi masih sangat sedikit. Kurang dari 3 persen. Di antaranya ada yang berbentuk taman kota seperi di Alun-alun, hutan kota Bina Bangsa di kompleks Stadion dan beberapa taman-taman yang ada di median atau sempadan jalan seperti taman Cut Meutia. Untuk sarana yang ada tentu akan selalu dijaga keberadaannya selama tidak berbenturan dengan kepentingan lain yang lebih penting. Di samping berupaya mengambalikan fungsi GSS dan GSB yang sebelumnya memang sudah RTH. Di Kota Bekasi banyak sekali perumahan. Namun ke-
98
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
l Walikota Bekasi Rahmat Effendi sidak drainase rusak / Foto: Dimas
beradaan Fasos Fasum-nya lebih banyak dialihfungsikan menjadi bangunan. Jarang sekali yang dijadikan ruang publik. Ada berapa jumlah Fasos-fasum perumahan yang sudah dan belum diserahkan kepada Pemkot Bekasi dan bagaimana kondisi eksistingnya saat ini? Kita harus bisa mendefinisikan dulu apa itu Fasos Fasum. Yang masuk dalam kategori Fasilitas Sosial (Fasos) di lingkungan perumahan adalah berupa fasilitas olahraga, pendidikan, ibadah, kantor pemerintahan, dan sebagainya. Umumnya pengembang dalam pembangunan perumahan baru menyiapkan kavling-kavling kosongnya saja. Dan pemanfaatannya biasanya ditentukan kepentingan dan kesepakatan masyarakat di sekitarnya setelah disetujui pemerintah. Sehingga banyak lahan perumahah yang statusnya Fasos yang asalnya telihat lahan terbuka kemudian dibangun masjid, sekolah, lapangan futsal dan lainya. Menurut aturannya, hal itu memang masih sesuai. Sementara yang masuk Fasiitas umum (Fasum) dalam lingkungan perumahan adalah berupa jaringan jalan, saluran drainase, jaringan utilitas dan taman. Jadi kalau yang di dalam
site plannya taman tidak bisa diubah jadi bangunan. Harus tetap taman atau RTH. Sementara kalau yang statusnya Fasos, meskipun awalnya lahan terbuka, bisa dibangun. Sebab peruntukannya memang untuk sarana sosial seperti sarana pendidikan, peribadatan, olahraga, dan sebagainya. Sementara ini jumlah Fasos Fasum perumahan yang sudah diserahterimakan baru sekitar 50 persen. Kenapa banyak fasos-fasum yang belum diserahkan ke Pemkot Bekasi dan malah berubah menjadi bangunan komersial. Kenapa hal ini bisa terjadi? Dan apa langkah pemerintah daerah untuk mengambil kembali fasos-fasum ini? Fasos dan Fasum perumahan akan resmi menjadi aset pemerintah daerah setelah diadakan verifikasi oleh tim verifikasi Fasos Fasum. Dan nanti dibuatkan berita acara serah terima dari pengembang kepada pemerintah. Selama sarana belum diserahterimakan kepada pemer-
intah, penguasaan sepenuhnya masih pada pengembang. Namun untuk mengubah atau memindahkan Fasos-Fasum yang telah direncanakan sesuai site plan tentu ada tata cara dan aturannya. Apakah bisa diubah atau tidak walaupun secara kepemilikan masih hak dari pengembang. Tapi pengaturan ruang menjadi tanggung jawab Dinas Tata Kota. Apa arti pentingnya ruang publik dalam pembangunan Kota Bekasi? Ruang publik tentu sangat penting. Baik keberadaannya sebagai sarana sosialisasi bagi masyarakat mapun sebagai penyeimbang pelestarian lingkungan. Terutama pengendalian iklim dan pemanasan global. Banyak kritik kepada Pemkot Bekasi terkait konsep pembangunan yang dinilai banyak menyalahi aturan. Seperti bangunan di atas lahan resapan (jalur hijau), mengabaikan aturan garis sempadan bangunan (GSB),
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
99
Wawancara Eksklusif
Amdal dan Andalalin, sehingga menimbulkan efek masalah domino. Bagaimana tanggapan Anda? Secara umum permasalahan yang dihadapi pemerintah Kota Bekasi adalah lebih cepatnya pembangunan yang dilakukan masyarakat dan swasta ketimbang pembangunan infrastruktur kota yang dibangun pemerintah. Sehingga pertumbuhan pembangunan perumahan, mal, rumah sakit, hotel dan sarana lainnya yang membutuhkan dukungan infrastruktur penunjang seperti jalan, saluran drainase, saluran air minum dan sarana persampahan tidak seimbang dengan kemampuan anggaran pemerintah yang ada dengan kebutuhan yang dibutuhkan para pengembang dan investor. Swasta tentu hanya akan memikirkan pembangunan di area yang dimiliki dan dikuasanya. Sementara pemerintah selalu ketinggalan menyediakan prasarana kota yang sebanding dengan pertumbuhan. Maka timbullah permasalahan kemacetan, banjir, dan sebagainya. Pertumbungan bangunan bertingkat di Kota Bekasi sangat pesat. Dalam tahun 2013 ini saja ada sedikitnya 7 Mall dibangun (belum termasuk perumahan dan pabrik). Di sisi lain Pemkot Bekasi tidak pernah menambah jumlah taman kota. Sehingga muncul istilah “Kota Ramah Mal”. Bagaimana tanggapan Anda? Dilematis….. Di satu sisi pembangunan mal, industri, ruko dan sebagainya itu berkontribusi posistif terhadap penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ekonomi masyarakat. Dan tidak dipungkiri bahwa sarana tersebut menjadi sarana penunjang kebutuhan masyarakat. Sementara keberadaan RTH juga sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang nyaman dan asri. Yang bisa dilakukan adalah membuat regulasi yang kuat agar ada keseimbangan antara pertumbuhan pembangunan infrastruktur kota dengan pertumbuhan RTH. Pembangunan Kota Bekasi yang tidak terkonsep juga dituding sebagai salah satu penyebab munculnya masalahmasalah perkotaan seperti banjir, kemacetan, pencemaran lingkungan, perkampungan kumuh, kriminalitas dan lainnya. Bagaimana Anda menjelaskan hal ini? Seperti dikemukakan di atas, timpangnya laju pertumbuhan pebangunan yang dilaksanakan swasta dan masyarakat tidak seimbang dengan kemampuan pemerintah menyediakan infrastruktur kota penunjangnya. Sehingga ini menyebabkan terlampauinya daya dukung infrastruktur yang ada seperti jalan dan saluran,oleh kebutuhan yang ditimbulkan pembanguann yang ada. Kita hampir tidak pernah membangun jalan baru atau membuat saluran drainase baru. Paling memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya. Sementara kapasitasnya kan tetap. Sehingga penambahan kebutuhan yang diakibatkan pembangun bangunan-bangunan tadi belum bisa diantisipasi.
100 Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Selama ini banyak keluhan dari masyarakat terkait pengurusan perizinan mendirikan bangunan. Bisa dijelaskan alur pembuatan perizinan, biaya dan kemudahan yang ditawarkan Pemkot Bekasi? Perizinan harusnya menjadi alat pengendali pemanfaatan ruang. Sebelum suatu izin dikeluarkan sebaiknya dilakukan kajian yang komprehensif untuk setiap dampak ke depan. Masyarakat umumnya menilai pengurusan izin yang baik itu yang cepat, mudah dan murah. Kalau suatu pengurusan izin itu lama, saya yakin karena ada persyaratan yang belum dipenuhi atau ada hal yang perlu dikaji lebih dalam dan memerlukan waktu lebih lama. Atau perlu ada pengetesan dan pengukuran lain. Misal kekuatan daya dukung tanah untuk IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang kompleks . Maka itu tentu akan ada biaya lain untuk halhal tadi. Dan ini akan menjadi terasa lebih mahal. Jadi untuk izin yang semacam apa yang bisa dilakukan secara cepat dan mana yang bisa lebih lama tentu sangat bervariasi. Tapi tujuannya adalah untuk kebaikan bersama. Tapi kalau ada perizinan yang bisa dilakukan secara sederhana namun dibuat lama tentu wajar untuk dikeluhkan. Secara umum memang di BBPT telah membuat SOP lama pengurusan perijinan selama 12 hari kerja. Apa strategi Pemkot Bekasi mengakomodir aspirasi masyarakat dalam pembangunan kota dan sinergitas dengan sektor swasta? Bisa dijelaskan polanya kerjasamanya seperti apa? Pemerintah Kota Bekasi telah memiliki dokumen rencana pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan tahunan. Semua dilakukan dengan memberikan peluang kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi. Dalam perencanaan ada kesempatan Musrenbang. Pada saat implementasi kita bisa melihat dokumen perencanaan secara terbuka apa yang bisa dilaksanakan yang sesuai dengan rencana pembangunan yang ada. Jadi semua aspirasi masyarakat itu diberikan peluang,asal sesuai jadwal waktu dan mekanisme yang ada. Proyek apa yang sudah dikerjakan di Kota Bekasi dengan pola kerjasama sektor swasta? Ada banyak proyek yang dilaksanakan secara kerja sama dengan masyarakat dan swasta. Seperti revitaliasi pasar, Flyover Noer Alie Summarecon, program P3BK, Sanima (pembangunan sarana sanitasi) dan banyak lainnya. Menurut Bapak apa yang masih perlu dibenahi dari Kota Bekasi? Dan apa harapan Anda ke depan? Banyak regulasi yang harus disesuaikan dengan perkembangan dan pertumbuhan kota. Memberikan peran yang lebih banyak kepada swata dan masyarakat dalam pembangunan.
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014 101
Catatan Redaksi
Sampah Ruang Publik Oleh: Denny Bratha
D
i Yogyakarta ada sekumpulan orang yang menamakan diri Komunitas Reresik Sampah Visual. Digawangi Sumbo Tinarbuko, Dosen Komunikasi Visual ISI Yogyakarta, komunitas ini rajin membersihkan sampah visual di ruang publik. Sampah visual dalam persfektif komunitas ini adalah aktivitas pemasangan iklan komersil, sosial dan politik secara serampangan. Sampah visual ini menjarah trotoar, taman kota, jembatan, tembok, pagar, halte bus, dinding flyover, tiang lampu penerangan jalan, tiang rambu lalu-lintas, tiang listrik, tiang telpon dan sebagainya. Batang pohon yang berjajar teduh di sepanjang jalan pun dihajar secara anarkis menggunakan paku. Kegelisahan para relawan Komunitas Reresik Sampah Visual harusnya juga muncul di Bekasi. Kondisi yang nyaris sama mudah kita saksikan di area-area milik publik. Ruang publik dikuasai merk dagang, caleg dan partai politik. Sejauh ini promosi dan kampanye melalui media luar ruang masih dianggap paling efektif oleh pelaku bisnis komersil, caleg dan partai politik. Pemasangan spanduk, umbul-umbul, banner, baliho dan stiker di ruang publik dinilai mampu memprosikan citra dan memengaruhi warga. Tengoklah bagaimana sampah visual –khususnya sampah visual politik—dikemas sedemikian rupa untuk menjerat calon pemilih: dilengkapi foto dengan senyum paling manis dan sederet janji politik. Bahkan ruang publik menjadi wilayah yang diperebutkan setiap caleg dan parpol. Mereka berebut mematok tempat strategis. Berlomba ukuran dan jumlah. Tak mengherankan jika titik strategis nampak penuh sesak sampah politik. Alih-alih memengaruhi pemilih yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat terganggu dengan sampah visual tersebut. Gaya kampanye macam ini akhirnya malah cenderung menjatuhkan martabat, citra dan nama baik caleg maupun partai politik sendiri. Bagaimana mungkin para calon wakil rakyat tersebut mampu memperjuangkan dan melindungi rakyatnya jika tempat yang harusnya bisa dinikmati rakyat dirusak sampah visual mereka. Bagaimana mungkin rakyat akan memilih calon yang hanya bisa mengotori ruang publik dengan sampah dan cuma bisa “mesem-mesem” di gambar. Padahal rakyat butuh calon pemimpin yang mau melebur dan bergerak bersama. Mungkin para caleg dan tim suksesnya perlu melakukan terobosan baru. Memikirkan kembali kampanye yang mengedepankan aspek edukasi politik dengan menampilkan iklan yang komunikatif, nyeni, berbudaya dan merakyat. Aturan mengenai pemasangan alat peraga ini harus dipatuhi benarbenar. Alangkah lebih baik jika tidak menggunakan gaya kampanye yang merusak itu. Gerakan Komunitas Reresik Sampah Visual di Yogyakarta sebenarnya adalah jawaban permasalahan ruang publik hari ini. Ketika para pelaku politik tidak lagi menghargai publik—sedangkan pemerintah kurang tenaga membersihkan sampah mereka—maka saatnya warga turun tangan bersih-bersih sampah visual yang sudah mengotori ruang kota. Ruang publik adalah milik publik. Tidak boleh dikuasai segelintir kelompok yang memiliki kepentingan politis maupun ekonomis. Ruang publik harus bebas dari intervensi jenis apa pun dan menjamin kemerdekaan setiap orang.(berbagai sumber)***
102 Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014
Jurnal Tata Kota Bekasi l Edisi 01 l Desember 2013 - Januari 2014 103