Berkas Untuk Seniman: 125.660 Spesimen Sejarah Alam

Page 1

Berkas Untuk Seniman 125.660 Spesimen Sejarah Alam Kurator: Anna-Sophie Springer & Etienne Turpin Komunitas Salihara, Jakarta-Indonesia Pembukaan: 15 Agustus 2015



Kata Pengantar

Pentingnya peranan kepulauan Indonesia sebagai wilayah tempat terjadinya penemuan ilmiah revolusioner –terutama terkait teori evolusi, studi biogeografi, dan Homo erectus— tidak dapat dipandang sebelah mata. Patut disayangkan, warisan ini jarang direfleksikan dalam bentuk produksi pengetahuan kolonial yang mendominasi museum-museum di Eropa. Dengan mengunjungi kembali ekspedisi pengumpulan koleksi yang dilakukan Alfred Russel Wallace (1823–1913) selama delapan tahun di Kepulauan Nusantara, 125,660 Specimens of Natural History bermaksud meninjau kembali pergerakan koleksi kolonial dan transformasi lingkungan yang mereka hasilkan dan membandingkannya terhadap latar belakang museologi pasca kolonoalisme dan kekhawatiran masa kini terkait Kepunahan Keenam (kepunahan yang berlangsung sejak 10,000 SM akibat aktivitas manusia) dan Anthropocene (kala/masa ketika aktivitas manusia menyebabkan dampak global yang signifikan pada ekosistem bumi). Selama tahun 1854–62, Wallace menjelajahi Kepulauan Nusantara, mendokumentasikan keanekaragaman hayati dan menghimpun koleksi dalam jumlah luar biasa untuk museum-museum Eropa. Ia juga mempelajari koleksinya secara seksama dengan maksud untuk mendeduksi teori evolusi melalui seleksi alam, dan teori distribusi biogeografis, dari koleksi spesimennya. Meskipun Kepulauan Nusantara pernah menjadi habitat alami bagi tiga perempat flora dan fauna dunia (yang menyebabkan kepopulerannya di mata naturalis Eropa pada abad ke 18 dan 19), para ilmuan kini memperkirakan bahwa pada akhir abad ini, hutan hujan Asia Tenggara akan menghilang dua pertiganya, dengan keanekaragaman hayati berkurang lima puluh persen. Saat ini, serangga dan burung yang diawetkan, reptil, dan mamalia yang dikumpulkan Wallace juga


menunjukkan proses transformasi lingkungan yang hebat sejak masa pendudukan kolonial. Proyek 125,660 Specimens of Natural History akan menggbungkan arsip penelitian dari koleksi Musem Zoologi Bogor milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), British Natural History Museums of London dan Tring, Berlin Museum f端r Naturkunde, serta Tropenmuseum of Amsterdam, dengan karya fotografi dokumenter oleh Fred Langford Edwards, beserta penelitian lapangan oleh seniman dan karya seni yang dibuat di Asia Tenggara dalam usaha mengkonfrontasi transformasi radikal, lanskap postnatural yang telah menggantikan impresi kolonial Wallace yang murni dan indah. Pameran ini mengundang sepuluh seniman dari Asia Tenggara untuk menjelajahi dan mempelajari kembali ekspedisi tersebut, dokumen maupun artefaknya. Setelah dibuka di Komunitas Salihara di Jakarta, proyek ini rencananya akan berkeliling ke museum sejarah alam di Berlin, London, dan Amsterdam. Rute pameran ini mengikuti jalur pengetahuan kolonial sebagai sebuah cara untuk membawa karya seniman Indonesia ke dalam dialog yang bermakna dengan instutusi-institusi besar di Eropa. Pameran ini akan menampilkan fotografi dokumenter oleh Fred Langford Edwards yang telah bekerja dengan tekun dalam mendokumentasikan spesimen-spesimen yang dikumpulkan A.R. Wallace di berbagai museum sejarah alam Eropa dan koleksi zoologi lain yang relevan. Karya Fred Langford Edwards merupakan pertimbangan diskursus pengetahuan yang berlapislapis dan berkelanjutan. Prakteknya meliputi penelitian lapangan dan penggunaan koleksi artefak yang dikumpulkan secara khusus terkait cabang-cabang ilmu pengetahuan, ilmu kedokteran, antropologi, dan secara umum dalam bidang kebudayaan yang lebih luas. www.fredlangfordedwards.com 3


“A bird of paradise� dikoleksi oleh Wallace untuk koleksi penelitian pribadi. Foto oleh Etienne Turpin; courtesy Zoological Museum di Tring, UK. 4


Label spesimen Wallace di London Natural History Museum; foto oleh Etienne Turpin. 5


125.660 Spesimen Sejarah Alam Fakta bahwa A.R. Wallace menjadi kolektor profesional yang menghidupi dirinya dengan menangkap dan mengawetkan binatang di daerah tropis, sebagian menjelaskan kenapa ia pada akhirnya menghimpun koleksi hingga sebesar 125.660 spesimen. Kolektor ilmiah murni jarang mengumpulkan lebih dari 20.000 spesimen. Namun Wallace bergantung pada kerja pengumpulan koleksinya sebagai usaha komersial selama beberapa tahun, memenuhi permintaan atas spesimen eksotik pada masa Victoria di Inggris. Hal ini kontras dengan Charles Darwin, yang berasal dari latar belakang borjuis. Wallace berasal dari keluarga yang lebih miskin, yang meninggalkan bangku sekolah pada usia 14 tahun, dan tidak memiliki pendidikan formal dalam bidang ilmu hewan atau sejarah alam. Walaupun tidak diragukan lagi bahwa Wallace sangat cerdas dan telah mengubah ilmu biologi secara revolusioner, pelatihan profesionalnya, sebetulnya, adalah sebagai juru ukur tanah. Pada tingkatan tertentu, dia adalah seorang “pengukur” profesional. Sehingga, saat kita melihat Wallace, kita akan menemukan jalinan kepentingan ilmiah dan ekonomi, dan hal ini sangat penting untuk dipahami terkait dengan warisan, perlintasan yang lebih luas, dan implikasi dari ekspedisi tropis seperti yang ia lakukan. Hal ini disebabkan oleh tren pada abad 18 dan 19 dimana konsep “Alam” perlahan-lahan digantikan oleh “Sumber Daya Alam” yang terpusat pada elemen-elemen alam tertentu yang dapat digunakan untuk kepentingan manusia––dan akhirnya, dalam industri berskala besar.

6


Ilustrasi halaman muka: A Narrative of Travels on the Amazon and Rio Negro, 1889. 7


Sebelum Ekspedisi Nusantara A.R. Wallace Ekspedisi Nusantara bukanlah perjalanan panjang pertama Wallace ke benua asing. Sesungguhnya, para sejarawan telah berspekulasi bahwa ia tidak akan pernah menjelajahi Asia Tenggara jika perjalanan pertamanya tidak berakhir dengan kegagalan. Pada 1848, Wallace berkelana ke Amerika Selatan bersama temannya, Henry Bates. Ia menghabiskan empat tahun mengeksplorasi daerah di sepanjang aliran Rio Negro dan mengumpulkan cukup banyak fauna tropis yang beraneka ragam. Akan tetapi dalam perjalanan pulang ke Eropa pada tahun 1852, kapal yang membawa spesimennya, Helen, terbakar dan tenggelam. Wallace kehilangan hampir seluruh koleksinya. Sejumlah ahli ilmu hewan dan sejarawan sains, para “Darwinians”, cenderung memperdebatkan apakah Wallace memang memiliki tujuan ilmiah yang jelas sebagai tambahan dari tujuan ekonomisnya. Akan tetapi, surat-surat awalnya menunjukkan bahwa Wallace memiliki ketertarikan yang sungguh-sungguh terhadap penciptaan spesies. Terinspirasi oleh buku Vestiges of the natural history of creation karya Robert Chambers (yang dipublikasikan secara anonim pada tahun 1844 karena tesisnya yang kontroversial), Wallace menulis pada Bates di tahun 1847, saat merencanakan perjalanan ke Amerika Selatan: “Saya ingin mengambil satu famili dan mempelajarinya secara seksama—secara prinsipil dengan perspektif teori asal-usul spesies.” Akibat insiden Helen, hanya eksplorasi kedua yang dapat membawa Wallace lebih dekat pada jawaban atas teka-teki ini. Dua tahun kemudian, pada 1854, ia meninggalkan Inggris dan bertolak ke Singapura. 8


9


Ferdinand Magellan (1480–1521) adalah penjelajah Portugis yang bertugas di bawah Raja Charles I dari Spanyol dalam pencarian rute barat menuju “Kepulauan Rempah”, atau yang saat ini dikenal sebagai Kepulauan Maluku di Indonesia. Magellan menjadi terkenal sebagai kapten yang sukses menahkodai ekspedisi pertama dari Eropa ke Asia melalui barat, mengelilingi Amerika melalui selatan dan menyeberangi Lautan Pasifik untuk pertama kalinya, yang menghasilkan pelayaran mengelilingi Bumi yang pertama. Orang Eropa pertama mendarat di Jawa pada tahun 1513 dengan kapal Portugis yang datang dari Maluku; di tahun 1522, mereka membangun pelabuhan di dekat Jakarta saat ini.

Kiri: Jendela kaca patri, Lisbon Geographic Society; foto oleh Etienne Turpin. Halaman berikut: Gerardus Mercator, “Insulae Indiae Orientalis Praecipuae, in quibus Moluccae celeberrimae sunt,” dari Atlas sive Cosmographicae Meditationes de Fabrica Mundi et Fabricati Figura, Amsterdam, 1616; foto milik Perpustakaan Lisbon Geographic Society. 10




“Batavia� adalah kata latin bagi orang-orang Belanda; ini adalah nama yang diberikan oleh Belanda untuk sebuah kota pelabuhan di Laut Jawa pada tahun 1619, yang sejak tahun 1946 dikenal sebagai Jakarta. Belanda pertama kali datang pada tahun 1596, mendirikan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di tahun 1602. Perusahaan perdagangan kolonial utama dengan otoritas semi-pemerintah, perusahaan yang sering dianggap sebagai perusahaan multinasional pertama. Selama 200 tahun, VOC mendominasi hubungan perdagangan kolonial antara Eropa dan Asia, hanya disaingi oleh British East India Company. Sebagai hasil dari perang AngloBelanda Ke-empat, di antara tahun 1800–24 Inggris secara periodik mengambil alih sebagai penguasa kolonial di Kepulauan Nusantara. Namun demikian, koloni Indonesia dikembalikan ke Belanda, ketika Napoleon dikalahkan dan Belanda dan Inggris menandatangani perjanjian pembagian wilayah berdasarkan status quo pada pergantian abad.

13


Peta Batavia dari tahun 1667; foto milik Collectie Tropenmuseum, Amsterdam.

14


15


Franz Wilhelm Junghuhn (1809–1864) adalah ahli botani dan geologi keturunan Jerman-Belanda yang tinggal dan bekerja di Jawa sejak tahun 1835. Dia membuat peta lengkap Jawa yang pertama [Atas: dipublikasikan pada tahun 1855] untuk pemerintah kolonial Belanda. Dokumen sepanjang tiga meter tersebut dipuji oleh Alexander von Humbold atas “keindahan dan kesempurnaan�-nya. Meski secara formal berkaitan dengan geografi dan topografi vulkanik, peran strategisnya sebagai senjata imperialis tidak dapat diremehkan. Meskipun VOC sudah berada di khatulistiwa selama 200 tahun, militer kolonial Belanda tetap bergulat dalam pertempuran-pertempuran dengan pejuang lokal selama dekade-dekade sebelum Junghuhn membuat peta yang terinci ini. Karena presisinya yang mengagumkan, peta Junghuhn mengubah pengetahuan mengenai pulau Jawa dan alamnya; butuh waktu hampir satu abad sebelum peta-peta ini diperbaharui secara signifikan dengan sarana yang lebih modern.

16


17


“Sisi utara Merapi, dilihat dari ketinggian 7,500 kaki di lereng selatan Merbabu. November 1836.� Pada gambar ini, Junghuhn menggambar dirinya sendiri di dalam pemandangan. Pelat VIII, Topographischer und naturwissenschaftlicher Atlas zur Reise durch Java (Magdeburg: E. Baensch, 1845); foto milik Deutsche Staatsbibliothek, Berlin.

18


19


Plate XX, “Sketsa Kawah Galunggung,� Topographischer und naturwissenschaftlicher Atlas zur Reise durch Java (Magdeburg: E. Baensch, 1845); foto dari Deutsche Staatsbibliothek, Berlin.

20


Cagar Alam Junghuhn – Junghuhn Natural Park, Lembang, utara Bandung dengan makam dan memorial Junghuhn di latar belakang; foto oleh Hawe Setiawan.

21


Hingga saat teori evolusi ditemukan di pertengahan abad sembilan belas – yang menyatakan bahwa spesies binatang dan tumbuhan berkembang secara perlahan melalui mutasi genetis, dan dengan demikian saling berkaitan dan dalam perkembangan lebih lanjut tidak membeku dalam waktu – banyak orang Eropa yang berspekulasi mengenai asal dan urutan spesies. Biasanya, pemahamannya adalah semua spesies dibuat dan diturunkan ke dunia oleh Tuhan – yang juga meletakkan manusia di tempat teratas dari urutan ilahi ini. Halaman berikut: Tabel ini, dibuat oleh Carolus Linnaeus pada tahun 1735, membagi kerajaan binatang ke dalam enam kelas utama. 22





Ekspedisi Nusantara 1854–62 Antara tahun 1854 dan 1862, penyelidik alam dari Inggris Alfred Russel Wallace (1823–1913) menjelajahi Kepulauan Nusantara Asia Tenggara, dengan cermat mendokumentasikan geografi dan keanekaragaman hayati wilayah tersebut sambil mengumpulkan koleksi raksasa dari spesimen-spesimen untuk museummuseum di Eropa. Dicatat dengan ketelitian tinggi, hasil kerja lapangan, temuan, dan pengalaman pribadinya direkam dalam buku The Malay Archipelago: The land of the orang-utan, and the bird of paradise—A narrative of travel, with sketches of man and nature (Kepulauan Nusantara: Tanah orangutan dan burung cenderawasih— kisah perjalanan dengan sketsa penduduk dan alamnya), diterbitkan pada tahun 1869 sekembalinya Wallace ke Eropa. Peta yang ditunjukkan di halaman berikut berasal dari buku tersebut, menunjukkan rutenya yang dimulai di Singapura. Selain buku perjalanan ini, yang ditulis untuk pembaca awam di Eropa, Wallace juga menulis sejumlah buku ilmiah lain berdasarkan pengamatan dan catatannya dari khatulistiwa; beberapa buku catatan yang ditulis tangan, manuskrip, dan sejumlah besar suratnya untuk keluarga, teman, dan rekan kerja telah disimpan. The Wallace Letters (Surat-surat Wallace) dapat dibaca secara online berkat upaya Wallace Correspondence Project di London Natural History Museum, yang mendigitalkan dan mengatalog sebagian besar koleksi tersebut. Pindaian dari buku-buku catatan itu dapat diakses melalui website Linnean Society di London.

26


27


Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau; dalam delapan tahun yang dihabiskan Wallace di khatulistiwa, ia melakukan 70 ekspedisi ke seluruh pulau besar dan sebagian pulau-pulau kecil. Secara keseluruhan, ia melintasi 22.500 km, seringkali sendirian. Melalui perjalanan yang panjang ini ia mengumpulkan koleksi monumental, sebanyak 125.660 Spesimen Sejarah Alam. Daftar terperincinya adalah sebagai berikut: 310 spesimen mamalia, 100 reptil, 8.050 burung, 7.500 kerang, 13.100 lepidoptera (kupu-kupu), 83.200 coleoptera (kumbang); dan 13.400 serangga lainnya. Peta di atas berasal dari buku Wallace The Malay Archipelago; garis hitam menandai perjalanannya, mulai dari Singapura di tahun 1854, dan menunjukkan Kepulauan Aru sebagai tujuan paling baratnya. Kiri: Detil dari “Ejecting an Intruder,� Wallace, The Malay Archipelago, 226. 28


Wallace mengoleksi begitu banyak spesimen sebagian karena alasan ekonomi, penjelajah yang lain dengan tujuan yang sama cenderung untuk mengoleksi tidak lebih dari 10.000 spesimen. Tanpa pendidikan universitas formal, Wallace adalah kolektor profesional, mengirimkan material ke sebuah agen di London dimana obyekobyek – yang sebagian besar dari mereka tidak pernah dilihat sebelumnya di Barat – termasuk banyak dicaricari dan mudah dijual. Meskipun demikian, Wallace memiliki minat ilmiah yang berlangsung lama dan sedang mencari bukti yang tepat mengenai perkembangan dan hubungan antar spesies. Pada tahun 1847, ia menulis di dalam surat pada temannya Henry Bates, di dalamnya ia menyatakan: “Saya ingin mengambil beberapa famili utuh, untuk dipelajari secara menyeluruh – terutama dengan tujuan melihat teori asal usul spesies.” Beberapa tahun kemudian, ia ikut menemukan bersama teori evolusi melalui seleksi alam sebagai hasil dari prakteknya mengoleksi dan membandingkan hewan-hewan di Kepulauan Nusantara.

29


Gambar menunjukkan Wallace di khatulistiwa; di dalamnya termasuk spesimen burung Cendrawasih dan buku catatannya. Lukisan oleh Evstafieff di koleksi Down House (rumah Charles Darwin); foto milik English Heritage Photo Library.

30


31


Meskipun umum untuk mengaitkan teori evolusi melalui seleksi alam dengan Charles Darwin, sesungguhnya, Darwin baru menerbitkan pandangannya mengenai subyek tersebut setelah surat-surat datang dari Sarawak (1855) dan Ternate (1858) dimana Wallace muda mengemukakan idenya mengenai evolusi. The Origin of Species (Mengenai Asal usul Spesies) karya Darwin pertama kali diterbitkan pada tahun 1859. Berkat penelitian yang luas terhadap distribusi hewan pada pulau-pulau dan benua yang berbeda, Wallace juga dikenal sebagai “Bapak Biogeografi.”

Kiri: Gambar sampul edisi pertama buku Wallace The Malay Archipelago (“Kepulauan Nusantara”), diterbitkan pada tahun 1869. Halaman berikut: Bulu burung dari Burung Cendrawasih Besar, “Paradisaea apoda,” dikoleksi oleh Wallace di Kepulauan Aru dan saat ini dipamerkan di Cambridge Zoological Museum; foto oleh Fred Langford Edwards. 32




Dr. George Beccaloni, Kurator Serangga Orthopteroid dan Direktur A.R. Wallace Correspondence Project, London Natural History Museum, menunjukkan kepada co-kurator proyek Anna-Sophie Springer sulitnya menemukan “spesimen Wallace” di antara wadah penyimpanan di koleksi museum. Walaupun mungkin menarik bagi sejarawan sains kolektor manakah yang awalnya mengumpulkan spesimen mana, di museum sejarah alam, mereka biasanya dikelompokkan berdasarkan urutan taksonomi saja. Meskipun demikian, selama label aslinya masih melekat pada obyek-obyek itu maka dimungkinkan – meskipun rumit – untuk membedakan spesimen tertentu di antara koleksi lainnya; foto oleh Etienne Turpin. 35


36


37


Menemukan Biogeografi Mengapa Wallace dinobatkan menjadi “Bapak Biogeografi”? Pertama-tama, “biogeografi” mempelajari persebaran spesies di daratan seperti benua, namun juga di kepulauan seperti Nusantara. Selain mempelajari, membandingkan, dan membuat indeks anatomi binatang, Wallace juga membuat katalog tempat penemuan spesies dengan sangat seksama. Pada suatu waktu ia memerhatikan bahwa pulau-pulau yang ia pelajari memiliki keanekaragaman hayati yang berbeda, dan bahwa kekayaan fauna di pulau-pulau tertentu tampak mirip. Sementara, terdapat kumpulan pulau lain yang memiliki keanekaragaman hayati yang benar-benar berbeda walaupun secara geografis lokasinya berdekatan. Jika spesies diciptakan sebagai makhluk dengan keterbatasan oleh Tuhan yang Maha Kuasa, perbedaan tersebut seolah tidak diperlukan. Akan tetapi, jika spesies berevolusi seiring waktu, dan dari satu sama lain, maka kedekatan geografis dan jarak akan memiliki peran penting terkait informasi biologis yang dapat diwariskan yang berada di daerah tertentu. Studi burung-burung Asia Tenggara menjadi titik awal yang membuat Wallace mengenali perbedaan antara hewan-hewan yang menghuni Nusantara. Tidakkah dapat diasumsikan bahwa hewan-hewan ini akan mampu terbang menyeberangi lautan? Namun, Wallace menyadari bahwa burung-burung di Bali dan Lombok sangat berbeda—terlepas dari kenyataan kedua pulau ini hanya dipisahkan laut yang sempit. Kendati teori pergerakan benua baru ditemukan pada tahun 1912 (oleh Alfred Wegener), Wallace menyimpulkan bahwa pulau-pulau di Nusantara pasti telah terpisah dari daratan Asia pada waktu yang berbeda—sebagian 38


lebih awal, sebagian belakangan—akibat permukaan laut yang meningkat disebabkan oleh melelehnya glasier Zaman Es. Ketika lautan sempit namun sangat dalam – misalnya antara Bali dan Lombok—hewan-hewan tidak menyeberang dan karenanya tidak berevolusi bersama. Perbedaan biogeografis besar yang ditentukan Wallace membagi wilayah timur dan barat Bali dan Lombok. Penemuan ini dikenang sebagai “Garis Wallace” yang ditarik antara dua pulau (Bali dan Lombok) dan garis mengarah ke utara antara Borneo dan Sulawesi. Garis ini menandai perbedaan antara fauna Asia (“fauna orientalis”) dan fauna Australia (“fauna australis”). Sebuah kutipan analisis Wallace yang dipublikasikan dalam artikel “Geografi Fisik Kepualauan Nusantara,” Journal of the Royal Geographical Society of London, Vol. 33 (1863), 228–29, dapat dilihat di halaman berikutnya. Perlu diperhatikan bahwa persebaran biogeografis spesies endemik pada saat ini tidak lagi hidup di dalam keadaan alaminya seperti yang ditemukan oleh Wallace. Sebaliknya, aktivitas manusia telah menghasilkan spesies yang bercampur baur dan kabur yang telah menjadi lebih padat selama 150 tahun terakhir.

39


Atas dan halaman sebelumnya: Peta dari edisi Jerman The Geographical Distribution of Animals (Penyebaran Hewan Secara Geografis): Die geographische Verbreitung der Thiere karya Wallace (Dresden: Verlag R. von Zahn, 1876.) 40


Dikutip dari A.R. Wallace, “On the Physical Geography of the Malay Archipelago,” Journal of the Royal Geographical Society of London, Vol. 33 (1863), 228–29.

41


42


43


Evolusi melalui Seleksi Alam

Atas: Ilustrasi sampul buku Charles Darwin, The Origin of Species, original publikasi pada tahun 1859. Kiri: Sketsa pertama Charles Darwin mengenai pohon evolusi dari Buku Catatan Pertama-nya mengenai Transmutation of Species Notebook (1837) dipamerkan di American Museum of Natural History. 44


Dalam otobiografinya My Life (1905), Wallace merenungkan tentang pentingnya membaca Principles of Population (Prinsip Populasi) karya Malthus. Pemahaman-pemahaman yang didapat dari buku ini, dalam kata-kata Wallace sendiri, memberinya “petunjuk mengenai agen efektif di dalam evolusi spesies organik� ketika dia berada di Ternate pada tahun 1858. Image: Gambar: detil dari North American Journal, 1886–87; Milik Linnean Society, London; foto oleh Etienne Turpin. 45


46


Detil dari salah satu halaman di Species Notebook karya Wallace dengan daftar spesimen yang dikoleksi di antara 14 Maret sampai 1 April 1855. Di bagian bawah daftar, Wallace menulis jumlah (1.428) dan menghitung rata-rata 71 spesimen per hari. Milik Linnean Society, London; foto oleh Etienne Turpin.

47


48


Kumbang Inggris memainkan peran di dalam narasi mulai dari saat Wallace pertama kali mengenal sejarah alam ketika temannya Henry Walter Bates mengenalkannya ke koleksi kumbang di Leicester, Inggris, pada tahun 1840an. Dalam sebuah makalah ulang tahun yang dipaparkan di Linnean Society pada tahun 1908, menandai publikasi makalah asli Darwin-Wallace mengenai teori evolusi (1858), Wallace sendiri menekankan peran formatif koleksi kumbang, menyebut dirinya sendiri dan Darwin sebagai “pemburu kumbang fanatik.� Kumbang meliputu seperempat dari seluruh spesies yang bernama. Secara global, sekitar 350.000 spesies telah diidentifikasi; sebagai perbandingan jumlah total burung sekitar 10.000 spesies dan mamalia sekitar 5.400. Karena 49


keanekaragaman hayati kumbang sangat kaya di zona iklim Kepulauan Inggris, ada yang berpendapat bahwa “pelatihan” pada kumbang adalah persiapan sempurna untuk menghadapi kekayaan spesies di daerah tropis yang luar biasa. (Lihat Andrew Berry, “Collecting and the Theory of Evolution,” 2008.) Atas: “British Coleoptera,” dalam Species Notebook karya Wallace; Milik Linnean Society, London; foto oleh Etienne Turpin. Halaman berikut: Sebuah serangga specimen Wallace dari Kalimantan koleksi National Museum of Wales, Cardiff. Foto oleh Fred Langford Edwards. 50


51


52



Gambar: tulang belulang Semioptera Wallacei atau “Standardwing (Bidadari Halmahera),� satu spesies dari burung Cenderawasih, dari departemen kerangka koleksi ornitologi terbesar di dunia di Zoological Museum di Tring, UK, dimiliki oleh London Natural History Museum; foto Fred Langford Edwards. Burung tersebut dinamai untuk menghormati A.R. Wallace, yang menemukannya untuk sains pada tahun 1858. Setelah penemuan pertamanya, Bidadari Halmahera tidak terlihat lagi oleh ilmuwan lain selama sekitar 60 tahun. Burung tersebut hidup di kepulauan Maluku Utara Halmahera, Bacan, dan Morotai. Burung cenderawasih pertama kali dibawa ke Eropa dengan kapal Magellan di awal abad ke enam belas. Akan tetapi, burung-burung ini adalah spesimen mati yang tidak menggambarkan kesan asli burung tersebut di habitat alam mereka, dan menyebabkan mitos yang luas.

Halaman berikut: Sketsa-sketsa Semioptera Wallacei dari salah satu buku catatan Wallace di Linnean Society, London. Foto oleh Etienne Turpin. 54






Wallace menyimpan satu seri buku catatan yang berbeda, beberapa bertanggal pada saat penjelajahannya di Sungai Amazon antara 1842 – 44. Sepuluh dari buku-buku catatan ini disimpan di Linnean Society di London; dapat diakses juga melalui platform digital http://linnean-online.org/wallace_notes.html. Gambar di kanan menampilkan sebuah halaman dari buku catatannya Eastern Butterflies dimana Wallace secara ekslusif merekam catatan sistematis dan gambar jenis-jenis serangga ini. Pernyataan Wallace tentang kegairahannya menangkap spesimen kupukupu yang baru ditemukan, “kupu-kupu bersayap burung” atau Ornithoptera: “Saat mengambilnya keluar dari jaring saya dan membuka sayapnya yang gemilang, jantung saya mulai berdebar keras, darah naik ke kepala saya, dan saya merasa nyaris pingsan lebih dari yang saya rasakan jika cemas akan mati mendadak. Saya sakit kepala sepanjang sisa hari, begitu besar kegairahan yang ditimbulkan oleh apa yang bagi kebanyakan orang penyebab yang tidak memadai.” (The Malay Archipelago, 342.)

Halaman sebelumnya: Spesimen burung oleh Wallace di Tring dengan label asli; foto oleh Etienne Turpin. Kanan: Sketsa dari Eastern Butterflies; Milik Linnean Society, London. Halaman berikut: Suatu spesimen Ornithoptera Croesus yang ditemukan oleh Wallace di Batchian dekat New Guinea pada tahun 1859; foto oleh Fred Langford Edwards. 59


60




63


Gambar kupu-kupu oleh Wallace dalam salah satu buku catatannya. Foto oleh Etienne Turpin; courtesy Linnean Society. 64


Melalui koleksinya, Wallace memberi sumbangsih bagi komunitas ilmiah dengan sekitar 1.500 spesies burung dan serangga baru dan ia mencoba mencari masing-masing spesimen setidaknya enam kali – baik karena itu memberikan lebih banyak spesimen baginya untuk dijual, dan juga karena ia memahami bahwa ia perlu untuk yakin mengenai anatomi dan fitur dari hewan yang berbeda yang seringkali hanya berbeda dari satu sama lain di detil kecil. Selama spesimen di koleksi museum masih terhubung dengan label aslinya, saat ini memungkinkan untuk membedakan spesimen-spesimen yang Wallace inginkan untuk disimpan bagi dirinya sendiri dari spesimen yang ia jual melalui agennya Samuel Stevens melalui tanda garis merah di kertas. Wallace menghabiskan 14 bulan di Sarawak, Borneo. Ia mengoleksi banyak kumbang yang diambil dari hasil kayu tebangan sisa pembukaan lahan penambangan batu bara di sekitar Sungai Santubong. Gambar di kanan menunjukkan sebuah halaman dengan tempelan sayap kumbang dari buku yang disebut Species Notebook oleh Wallace. Pada dua garis terbawah ditulis dengan pensil terbaca: “Di Amboyna Euchirus longimanus yang sempurna dipanggang dan dimakan oleh pembuat gula Sagu.� (Foto oleh Fred Langford Edwards; Linnean Society, London.)

65


66


67


Gambar di kiri menunjukkan yang disebut “Pohon Kehidupan” atau “Silsilah Manusia” digambar oleh ahli biologi Ernst Haeckel untuk bukunya The History of Creation (1876). Sesuai yang diindikasikan oleh judul ilustrasi, spesies manusia berada di paling atas dari jaringan hubungan spesies hewan dan dengan demikian secara harfiah ditampilkan sebagai mahkota pohon dengan batang sebagai poros tengah yang mengarah ke mahkota ini. Haeckel, sebagaimana ahli evolusi awal yang lain, menganggap spesies manusia sebagai puncak evolusi. Kekerabatan yang dekat dan keturunan yang jelas dari kera, meskipun demikian, seringkali menimbulkan masalah ideologis bagi pemikir “ahli transmutasi” – sebutan awal untuk evolusi. Untuk alasan ini, Haeckel sendiri mencari rantai yang hilang yang dapat menjelaskan evolusi manusia; pada tahun 1866, ia dengan berani membuat dalil bahwa suatu petunjuk – yang ia acukan sebagai “Manusia Kera dari Jawa” – dapat ditemukan di Kepulauan Nusantara. Dan, sementara salah satu murid Haeckel benar-benar sukses menggali tulang belulang dari salah satu contoh tertua dari Homo erectus,baru pada tahun 1900-01 Haeckel sendiri akhirnya mengunjungi Jawa. Perlu dicatat bahwa meskipun gambar ini adalah salah satu penggambaran pohon evolusi yang paling ikonik, metafora visual ini digunakan oleh ilmuwan lain sebelumnya. Charles Darwin, sebagai contoh, membuat sketsa pohon ini di buku catatannya pada tahun 1837.

68


69


Konsumsi Penduduk Eropa Hubungan perdagangan antara Asia Tenggara dan Eropa telah dimulai sejak berabad-abad lalu. Sejak didirikan, kota pelabuhan Batavia/Jakarta—dengan lokasi strategis di Selat Sunda antara Samudera Hindia dan Laut Cina Selatan—telah menjadi gerbang maritim untuk mensuplai Eropa dengan barang konsumsi dari Asia. Tekstil dari India, rempah-rempah dari Kepulauan Nusantara, dan sutra/perak dari Cina dan Jepang, serta budak dikirim ke dunia Barat lewat kapal-kapal penjajah dari Belanda, Portugis, Spanyol, dan Inggris. Ketika Revolusi Industri pecah pada akhir abad ke 18, logika dan tradisi permintaan dan penawaran berubah dan Eropa menjadi semakin tertarik untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah ini, termasuk sumber daya alamnya. F.W. Junghuhn misalnya mempelajari geologi Jawa dan mengirim laporan mengenai kayu dan mineral kepada kontak di Belanda, Jerman, dan Inggris. Selama dua abad terakhir, Indonesia (atau Hindia Belanda) menjadi eksportir terbesar dari beberapa elemen terbarukan seperti kina dan minyak kelapa sawit. Selama beberapa dekade, burung cendrawasih, kayu tropis berharga, dan margasatwa lain juga diekspor dalam jumlah sangat besar. Kini, perusahaan tambang dan minyak kelapa sawit multinasional terus mengancam dan secara aktif menghancurkan zona hutan hujan untuk mengambil sumber daya alam.

Kiri: “Natives Shooting the Great Bird of Paradise.” Sketsa dari Wallace, The Malay Archipelago, 337. Halaman berikut: Tengkorak burung yang dikoleksi oleh Wallace disimpan di koleksi kerangka Tring Zoological Museum, UK; foto oleh Fred Langford Edwards. 70




Topi burung Edwardian dengan tempelan Burung Cenderawasih Besar; foto milik Pacific Grove Museum of Natural History, USA. 73


Wallace adalah salah satu orang Barat pertama yang pernah melihat burung dewata hidup di habitat alamnya. Karena bulunya yang unik, burung-burung ini dengan cepat menjadi benda koleksi yang sangat populer dan juga digunakan di fesyen, terutama topi burung wanita. Secara tradisional disebut oleh orang Malaya sebagai Manuk dewata (“burung dewata�), itu adalah sebutan kedua, dan kemudian, sebutan Malaya, Burung mati yang mengungkapkan ironi kejam tentang nasib mereka sebagai maskot yang terusir dari surga. Hanya selama beberapa dekade setelah Wallace meninggalkan Asia, perburuan dan perdagangan burung dewata mencapai jumlah ekspor tahunan tertinggi hingga 80.000 kulit. Aktivitas ini menyebabkan konflik yang sulit dicapai antara penguasa kolonial yang berlangsung selama empat puluh tahun dan berakhir dengan larangan membunuh burung tersebut pada tahun 1931.

74


Koleksi museum memiliki peran ilmiah baru saat ini karena perubahan ekosistem alam “di luar”. Spesimen sejarah dari abad 18 dan 19 merupakan arsip informasi biomolekular yang tanpanya tidak dapat diakses pada masa kini; dengan menggunakan arsip-arsip spesimen ini, lembaga museum memasukkan perspektif “postnatural” dalam pekerjaan mereka. Gambar: Dr Robert Prys-Jones, Ketua Kelompok Burung, Department Ilmu Hidup, Tring Zoological Museum, UK, menjelaskan sistem katalog dari koleksi kerangka di belulang seekor burung; foto oleh Etienne Turpin.



77


Perubahan Penggunaan Lahan Karena manusia bepergian antar benua dengan mobilitas yang lebih cepat, mengambil dan membawa bersamanya elemen dari alam yang menjadi milik habitat geografis tertentu, mereka menjadi agen yang kuat dalam mengubah keseimbangan biologis planet (misalnya melalui pembiakan, penjinakan, pemupukan, perkebunan serta melalui perpindahan dan kepunahan spesies). Kesadaran bahwa dampak agen manusia pada sistem bumi ini serupa dengan letusan besar gunung berapi atau tabrakan asteroid; manusia memiliki kekuatan untuk mengubah konsistensi sistem ini dan secara radikal mengubah geologi planet. Hal ini menyebabkan ilmuwan menciptakan istilah “Anthropocene.� Selama sekitar sepuluh tahun, istilah ini telah disarankan untuk mengklaim usia geologis yang ditentukan oleh agensi manusia, terutama sebagai akibat dari kepunahan spesies. Di seluruh dunia, katak saat ini merupakan spesies hewan yang paling terancam. Seperti yang ditulis Elizabeth Kolbert di The Sixth Extinction, telah ditemukan jamur mikroskopis yang berkoloni di kulit sebagian besar spesies katak, menyebabkan kematian yang cepat dalam jumlah besar. Diyakini bahwa jamur tersebut tersebar ke seluruh dunia karena pergerakan manusia.

Kiri: Lukisan cat air Wallace tentang katak terbang Rhacophorus nigrapalmatus dilukis di Sarawak, Borneo, 1855. Para kurator tidak menemukan spesimen asli katak ini dikoleksi oleh Wallace, dan lukisan ini mungkin satu-satunya bukti; gambar oleh Perpustakaan London Natural History Museum. 78


Sejak tahun 1836 dan seterusnya, F.W. Junghuhn menjelajahi luasnya wilayah Sumatera dan Jawa, memetakan dan mengumpulkan informasi mengenai ciri alami pulau tersebut, seringkali mengikuti instruksi dari para gubernur Belanda dan koresponden Eropa. Maka, ia meneliti tentang cuaca, kesuburan tanah, sumber daya alami dan mineral, jenis kayu, dan lain-lain. Berkaitan Sumatra, ia diinstruksikan untuk meneliti sikap politik, bahasa dan tulisan, adat dan kebiasaan masyarakat, terutama mengenai praktik kanibalisme yang terkenal. Gambar: Junghuhn, litograf Telaga-Patengan, dalam: Java-Album. LandschaftsAnsichten von Java. Nach der Natur aufgenommen von Franz Junghuhn. (Leipzig, Arnoldsche Buchhandlung, 1856); foto milik Deutsche Staatsbibliothek, Berlin.



Primula imperialis yang sedang mekar sedang diamati Professor Busgen di Pangrango sekitar 1910; foto milik Collectie Tropenmuseum, Amsterdam. 81


Pada April 1839, Junghuhn adalah orang Eropa pertama yang mendaki Gunung Gede-Pangrango setinggi 3000 meter, yang ia sebut sebagai “kastil di awan”. Di sana ia menemukan tanaman bunga yang hingga saat itu belum diketahui para ahli botani. Bunga tersebut sejenis primula yang juga tumbuh di Eropa. Berbeda dari tanaman mungil yang ia kenal tumbuh di negaranya, variasi yang ditemukan Junghuhn di lembah gunung berapi tersebut tingginya lebih dari 1 meter maka ia menamainya Primula imperials Jungh. Enam bulan kemudian, Junghuhn mengunjungi daerah tersebut kedua kalinya, tapi sayangnya ia menyadari bahwa daerah tersebut sebagian sudah digunduli, dan pepohonan tua diganti dengan bibit tanaman buah Eropa. Menyadari bahwa dirinya sendiri yang pertama kali mengabarkan penemuan tanah yang subur tersebut kepada para ahli botani di Buitenzorg Institute, Bogor di kaki gunung tersebut, ia menyimpulkan: “Dengan sedih saya meninggalkan puncak yang indah ini; sedih melihat banyak bunga-bunganya yang terlindungi telah dihancurkan, dan bahwa banyak pepohonan kecil yang cantik telah roboh dikapak tak lama semenjak saya membuat tempat ini diketahui di Buitenzorg.--Wilayah yang cukup luas dari hutan cantik ini...telah dibabat habis tanpa ampun.” (Topographische und naturwissenschaft-liche Reisen durch Java, 1845, 495.)

Ernst Haeckel mengunjungi Jawa pada tahun 1900–01. Di atas adalah salah satu gambar cat airnya yang menunjukkan Gunung Salak dekat Buitenzorg. Dalam penjelasan yang ia berikan ia memuji kebun bunga tersebut sebagai “sangat indah bagai lukisan.” Dengan asumsi ia memang mengunjungi tempat yang sama yang dikunjungi Junghuhn 60 tahun sebelumnya, daerah tesebut pasti sudah sangat berubah: bibit buah import yang mengagetkan Junghuhn karena berhasil tumbuh, menciptakan tampakan yang terintegrasi secara harmonis dan alami. Halaman berikut: Lukisan Mooij Indie oleh Ernst Haeckel; foto milik Deutsche Staatsbibliothek, Berlin. 82




Litografi orang utan dalam gaya ilustrasi sejarah alam, dari Haks & Maris, Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia, 1600–1950, Utrecht, 1995. 85


Habitat Sementara jumlah 310 mamalia yang dikumpulkan nampak tak seberapa dibandingkan jumlah total 125.000 spesimen yang dikumpulkan, penggambaran yang sangat nyata tentang perburuan dan pembunuhan tanpa ampun atas orangutan (atau Mias, atau “Manusia Hutan”) tak diragukan meninggalkan bekas yang mendalam ketika membaca catatan perjalanannya. Kini, karena pembabatan hutan yang meluas dan tumbuhnya perkebunan kelapa sawit di seluruh kepulauan, sekitar 80% habitat orangutan telah dihancurkan, menyebabkan jumlah mereka di alam bebas berkurang dengan cepat. Meski sulit mendapatkan jumlah yang pasti, diperkirakan tidak lebih dari 50.000 orangutan yang tersisa di hutan hujan Sumatra dan Borneo, dua pulau yang menyediakan habitat alami yang dibutuhkan orangutan untuk hidup di alam bebas. Terkait ekosistem hutan hujan dan hilangnya keanekaragaman hayati, dua hal perlu diperhatikan: Untuk mengatakan bahwa hutan hujan adalah “ekosistem yang sangat beragam” berarti spesies mereka, walaupun sedikit dari segi jumlah, sangat terspesialisasi dan beradaptasi. Mereka berbeda dalam area geografis kecil dan hidup bersama dengan asosiasi dekat satu sama lain (rantai makanan). Kombinasi spesialisasi dan keunikan menghasilkan efek berupa kerentanan terhadap perubahan dan gangguan lingkungan. Semakin terfragmentasi sebuah hutan, semakin sedikit spesies yang bertahan hidup, walaupun tetap terdapat area “pulau habitat” dalam hutan yang tampak utuh. Sebagaimana ditulis oleh Elizabeth Kolbert dalam The Sixth Extinction, “tanpa adanya rekolonisasi, kepunahan lokal dapat menjadi regional, dan pada akhirnya, global. 86


Walaupun tidak kentara, aktivitas ekspansi kolonial di daerah tropis juga menghasilkan refleksi tentang konservasi dan environmentalisme kepedulian akan lingkungan. Ketika Charles Darwin kurang memedulikan kepunahan spesies, Wallace sangat mendukung ideide konservasi. Pada tahun 1863, ia menulis: “Jika tidak dilakukan, masa depan akan memandang generasi kita sebagai orang-orang yang begitu tenggelam dalam usaha mencari kekayaan hingga buta akan pemikiran yang lebih besar. Mereka akan menuntut kita karena membiarkan kehancuran rekaman penciptaan yang sebenarnya dapat kita rawat sambil mengaku bahwa semua makhluk hidup adalah karya langsung pencipta. A.R. Wallace, “Geografi Fisik Kepulauan Nusantara,� Journal of the Royal Geographical Society, Vol. 33 (1863), 233–34.

87


Kulit orangutan dalam koleksi mamalia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Museum Zoologicum Bogoriense. Foto oleh Etienne Turpin. Berbeda dengan spesimen yang dikenal pengunjung museum sejarah alamiah--binatang yang diawetkan dalam pose-pose seperti hidup dipajang di depan lukisan lanskap alam--spesimen yang biasanya dikerjakan oleh para ahli biologi biasanya nampak cukup berbeda. Dalam kategori vertebrata, kerangkanya biasanya tidak hanya dipisahkan dari kulit dan bulu, tetapi juga disimpan dalam departemen yang berbeda. Praktik lainnya adalah mengawetkan binatang utuh dalam alkohol atau formalin. “Spesimen basah� atau “koleksi alkohol� ini memungkinkan pembelajaran atas organ atau jaringan hewan yang dapat dipinjam untuk dibedah dan sesudahnya diletakkan kembali dalam toples untuk dipelajari pengguna berikutnya.

88


Orangutan, harimau, gajah, dan badak adalah beberapa dari mamalia besar dan agung yang terancam punah dan masuk ke dalam berita dunia. Namun, terdapat ratusan spesies lain yang menghadapi nasib serupa. Gambar dalam halaman ini menunjukkan tengkorak seekor badak Sumatera dalam fasilitas penyimpanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Banyak spesimen dalam koleksi Indonesia dari abad 19 atau awal abad 20 ketika badak Sumatera dan sepupu mereka, badak Jawa, berjumlah banyak sehingga mereka dianggap hama pertanian. Penggundulan hutan yang pesat di Asia Tenggara menyebabkan habitat alamiah mereka menyusut ke jumlah terkecil dan populasi mereka berkurang secara radikal. Sedangkan badak Jawa, yang tadinya umum ditemui di seluruh Asia Tenggara, tak lebih dari 50 ekor bertahan di satu suaka, Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa. Contohnya, perhatikan deskripsi Junghuhn ketika menemukan lembah subur Gunung Gede/ Manellawangie pada 1839: “Saya mengikuti, selalu menyusuri jejak badak...berharap tentunya tidak secara mendadak melangkah masuk jurang tak berdasar sebelum sampai di tepi hutan yang ingin saya tuju. Bagaimana menggambarkan ketakjuban saya, ketika saya mendadak menemukan diri berdiri di tepian hutan, tersenyum di hadapan lembah datar di bawah cahaya matahari, dibingkai hutan dan dibelah, tepat di tengahnya, oleh kali! Dua ekor badak sedang makan di tepi kali tersebut.� (Topographische und naturwissenschaftliche Reise durch Java, 1845, 447.)

89


Tengkorak seekor Badak Sumatera disimpan dalam koleksi Zoologicum Bogoriense Museum; foto oleh Etienne Turpin.

90


Pada abad 19, beberapa spesies pohon non-endemik dibawa ke Jawa oleh Belanda, yang kemudian mulai bereksperimen dengan pembudidayaan monokutur. Salah satu jenis pohon tersebut adalah Kelapa Sawit, dibawa dari Afrika Barat tpada tahun 1848 dalam bentuk empat bibit. Spesies lain adalah Pohon Cinchona Amerika Selatan, yang oleh Alexander von Humboldt digambarkan dalam perjalanannya sekitar separuh abad sebelumnya. Tanaman kedua tersebut menjadi populer di kalangan koloni belahan dunia Timur karena kulit kayunya mengandung kina yang digunakan sebagai obat Malaria. Foto di atas berasal dari tahun 1860–1900 dan menunjukkan sekelompok pohon Cinchona (kiri) dan perkebunannya (kanan). Tak lain dari F.W. Junghuhn yang, pada tahun 1856, menerima mandat untuk mengawasi pembuatan perkebunan tersebut; seorang rekan telah menanami zona awal, terdiri atas 144 pohon (yang gagal tumbuh) di lereng timur Gunung Gede, di daerah Cibodas. Perlu dicatat bahwa Junghuhn secara vokal menentang 91


perkebunan monokultur karena ia memahami kelemahan ekologi yang melekat di dalamnya. Namun, pada 1863, setahun sebelum kematiannya, ia berhasil meningkatkan jumlah pohon Cinchona hingga lebih dari 115.000 batang. Hingga akhir Perang Dunia II, kepulauan Malaya (atau pada masa itu Hindia Belanda), adalah eksportir kina terbesar di dunia. (Kedua gambar milik Collectie Tropenmuseum, Amsterdam.)

92


Gambar: Foto yang menggambarkan Museum voor Economische Botanie, Buitenzorg, Jawa (sekitar 1900–30); foto milik Collectie Tropenmuseum, Amsterdam.

93


Halaman selanjutnya, kiri: Sebuah pemandangan di bawah pohon, dari Haks & Maris, Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia, 1600–1950, Utrecht, 1995. Halaman selanjutnya kanan: “Saya menyebutnya Q. fagiformis Jungh.” Dari Junghuhn, F.W., “Der Zustand der angepflanzten Chinabäume auf Java,” Bonplandia: Zeitschrift für die gesammte Botanik, VI. Jahrg., No. 1, 15 Jan. 1858. 94


95


96


Kerangka burung tropis dikumpulkan oleh Wallace dan disimpan dalam koleksi kerangka Museum Tring Zoological; foto oleh Fred Langford Edwards.

97


98


Seperti pohon Cinchona, kelapa sawit (Elaeis guineensis) dibawa ke Indonesia pada pertengahan abad 19, dengan empat bibit pertama dibawa dari Afrika Barat tahun 1848. Tetap baru pada tahun 1911 perkebunan kelapa sawit pertama dibuat di Sumatra. Kini minyak kelapa sawit adalah minyak sayur yang paling banyak digunakan di dunia; karena lebih murah dibandingkan minyak lainnya, ia digunakan dalam jumlah besar untuk memasak, terutama di India dan Cina. Di Indonesia, 85% minyak kelapa sawit yang dikonsumsi digunakan untuk memasak. Namun, minyak kelapa sawit biasanya adalah bahan tersembunyi dalam produk komersil internasional, mulai dari kosmetika, pelumas dan bahan bakar. Kini Indonesia adalah produser terbesar minyak kelapa sawit--bahkan jika 60-70% perkebunan di Indonesia dimiliki penanam modal dariMalaysia. Perkebunan monokultur kelapa sawit dikembangkan dengan menggunduli hutan hujan di Pulau Borneo dan Sumatra, terutama di provinsi-provinsi Kalimantan dan Riau. Meski ini memberikan efek positif pada Produk Domestik Bruto, penggundulan hutan saja menyebabkan 20% emisi CO2 tahunan ke dalam atmosfer. Sudah menuliskan ini sejak tahun 1840, Junghuhn memahami efek perubahan penggundulan hutan kepada biosfer dan meramalkan keadaan cuaca “ekstrim� akan muncul dari penggunaan tanah kolonial untuk pengembangan perkebunan.

Previous page: Photograph of a skeleton of a tropical bird collected by Wallace and stored in the skeletal collection of the Tring Zoological Museum; courtesy of Fred Langford Edwards. Kanan: Sebuah monumen di Kebun Raya Bogor untuk memperingati impor bibit kelapa sawit ke Indonesia tahun 1848; foto oleh Anna-Sophie Springer. 99


100


101


Dengan 14 bulan dihabiskan di Borneo bagian Sarawak, antara 1854–55, di daerah inilah A.R. Wallace menghabiskan sebagian besar waktu ekspedisinya: di sinilah ia memformulasukan hukum pertama teori evolusinya, yang berisi: “Setiap spesies yang muncul dalam ruang dan waktu yang sama, berkerabat atau merupakan keturunan dekat/jauh dari spesies lain yang serumpun yang sudah ada sebelumnya.� Kepulauan Malaya tadinya merupakan salah satu pusat biodiversitas terbesar di dunia, yang merupakan salah satu alasan Wallace dapat mengumpulkan koleksi spesimen besar dari wilayah tersebut untuk dikirim ke para kolektor di Eropa. Ketika koleksinya yang besar mengisi museum dengan bahan yang eksotik dan sebelumnya tidak diketahui, Wallace juga secara cermat mempelajari koleksi tersebut untuk mendeduksi teori evolusi melalui seleksi alam, dan teori distribusi biogeografi, dari rangkaian spesimennya. Namun, sebagai hasil dari penebangan pohon, pembakaran semak, pembukaan lahan pertanian, pertambangan emas, pembangunan jalan dan perkebunan kelapa sawit, banyak area yang berlimpah flora dan fauna yang dicatat Wallace telah musnah dengan kecepatan tinggi. Bahkan, ahli zoologi kontemporer dengan putus asa mengakui bahwa barang bukti teori evolusi tidak akan mungkin ditemukan hari ini karena kerusakan lingkungan yang demikian luas. Saat ini di pulau Borneo, penggundulan hutan terjadi dua kali lipat lebih cepat daripada rata-rata dunia; menurut studi terbaru, lebih dari 70% hutan hujan yang tersisa telah ditebang semenjak 1970, sebagian besar untuk kelapa sawit untuk hutan kayu. Justru jenis hutan tersebut menaungi tingkat keanekaragaman hayati tertinggi, yaitu, ia memiliki jumlah tertinggi spesies tanaman dan hewan. Penggundulan hutan sejalan dengan pembukaan jalan yang memotong hutan. Di Borneo, jalan tembusan tersebut mencapai panjang total 270.000 km, yang setara dengan 6 perjalanan mengelilingi dunia sepanjang garis katulistiwa.

Peta dan statistika: Gaveau, Sloane, Molidena et.al., “Four Decades of Forest Persistence, Clearance and Logging on Borneo,� PLOS one, Juli 2014, vol. 9, isu 7. 102


Penggundulan area hutan gambut untuk perkebunan kelapa sawit di Provinsi Kalimantan, Borneo, 2014; foto oleh Walhi.




Laporan Greenpeace Certifying Destruction (Kerusakan yang diijinkan) menunjukkan bahwa sertifikasi oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)––sebuah perkumpulan untuk industri yang anggotanya menghasilkan sekitar 40% produksi minyak kelapa sawit dunia--gagal memberi perlindungan pada merk terkenal internasional dari risiko minyak kelapa sawit yang mereka produksi ternoda oleh tindakan penggundulan hutan. Diagram dari Certifying Construction (September, 2013), halaman 4.

106


Seorang pekerja mengangkut pohon muda kelapa sawit ke area yang telah dibersihkan untuk ditanam beberapa hari ke depan, hutan gambut Tripa, Provinsi Aceh, Sumatra, Juni 2012; foto oleh Paul Hilton.

107


108


Peselancar Indonesia Dede Surinaya sedang berselancar dibawah ombak yang penuh dengan sampah di Laut Jawa; foto oleh Zak Noyle, 2013. 109


Samudera Laut menutupi 71% permukaan bumi. Luas dari Samudera Pasifik saja cukup untuk menutupi seluruh daratan di semua benua. Lebih dari 95% air planet ini ada di lautan, dan memiliki peran penting dalam mengambil CO2 dari atmosfer. Sebagai kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikelilingi, diresapi, dan dihubungkan oleh lautan. Dengan garis pantai mencapai 95.000 km, sekitar 18 persen terumbu karang dunia dapat ditemukan di perairan Indonesia. Sebanding dengan hutan hujan di daratan, terumbu karang bawah laut merupakan tempat di mana jumlah terbesar spesies bertempat tinggal. Sebenarnya, peringkat tertinggi keanekaragaman hayati laut dunia ditemukan di koloni karang Indonesia. Di kepulauan ini, daratan dan perairan memiliki kekuatan yang sama besar, dan bukan hanya karena hutan hujan terrestrial saja negara ini dianggap sebagai salah satu “hotspot keanekaragaman hayati� terpenting. Antara 70– 90% spesies ikan bergantung pada ekosistem terumbu karang, begitu pula komunitas manusia. Terumbu karang Indonesia dianggap sebagai salah satu pendukung perikanan laut terbesar di dunia; walaupaun, selain menyediakan elemen vital untuk perikanan, terumbu karang juga dapat mengurangi terjangan badai dan ombak tsunami, serta menarik perhatian turis yang peduli pada keanekaragaman hayati. Dalam masa Anthropocene, laut pada umumnya, dan terumbu karang pada khususnya sangat dipengaruhi oleh penipisan. Oksidasi laut dan penangkapan ikan yang berlebihan menjadi dua faktor negatif utama. Masalah besar lainnya disebabkan oleh polusi pertanian, pengembangan lahan, dan sedimentasi. Pembangunan urban di Nusantara yang pesat sekaligus perusakan hutan hujan yang berujung pada erosi dan limpasan tanah pesisir yang subur dan gembur, akhirnya mencekik 110


Plate 9, “Hexacoralla – Sechsstrahlige Sternkorallen” dari Ernst Haeckel, Kunstformen der Natur (Leipzig/Vienna: Bibliographisches Institut, 1899).

111


terumbu karang. Kombinasi tekanan-tekanan ini secara signifikan melemahkan ekosistem terumbu karang Indonesia selama beberapa dekade terkahir. Dengan hanya 5% terumbu karang yang masih prima dan dalam kondisi sehat, hampir 85% karang di Indonesia terancam dalam berbagai tingkatan. Seorang ahli biologi Eropa pada abad ke-19, Ernst Haeckel, mengunjungi Indonesia untuk meneliti terumbu karang pada tahun 1900. Walaupun Wallace sendiri tidak mengumpulkan spesimen laut di Kepulauan Nusantara, ia menyatakan kesenangannya akan kecantikan terumbu karang dalam buku Kepulauan Nusantara: Melewati pelabuhan, laut yang terlihat seperti sungai dan kejernihan airnya memberi saya pemandangan paling cantik yang pernah saya lihat. Dasarnya tersembunyi di balik koral yang sambung-menyambung, spons, actiniae, dan produk maritim lain dengan dimensi yang luar biasa, bentuk yang beraneka ragam, dan warna-warna yang brilian. Kedalamannya bervariasi antara dua puluh hingga lima puluh kaki, dasarnya sangat tidak rata, batu dan ngarai dan bukit kecil dan lembah, menawarkan beragam tempat tumbuh bagi hewan-hewan di belantara ini. Hilir mudik diantara hamparan ini adalah ikan-ikan berwarna biru dan merah dan kuning, bertotol dan berpita dan bergaris dalam warna paling mencolok, sementara ubur-ubur transparan besar berwarna jingga atau merah jambu mengambang di dekat permukaan. Pemandangan itu dapat dinikmati selama berjam-jam, dan tidak ada deskripsi yang dapat menggambarkan dengan tepat betapa cantik dan menariknya tempat itu. Kali ini, kenyataan melampaui catatan paling gemilang yang pernah saya baca mengenai keindahan terumbu karang. Barangkali tidak ada tempat lain di dunia ini yang lebih kaya akan keanekaragaman laut, koral, kerang dan ikan, daripada pelabuhan Amboyna. 112


kawah Gunung Slamet seperti yang digambarkan dalam peta Junghuhn tahun 1847 (detil dari peta Jawa 1855 buatannya).

113


114


Foto udara tambang terbuka terbesar di dunia, Tambang Grasberg, Papua; Google Earth 2012.

115


Selain perkebunan, pertambangan mineral adalah faktor industri besar lainnya yang saat ini menyebabkan penggundulan hutan di kepulauan Indonesia. Tambang Grasberg di Irian Jaya, Indonesia, adalah tambang emas terbesar dan tambang tembaga terbesar ketiga di dunia. Sebagian besar dikuasai oleh perusahaan Freeport dari Amerika dan mitranya Rio Tinto.

116


Tengkorak dari seekor burung tropis hasil koleksi Wallace dan di simpan di Tring Zoological Museum; foto oleh Fred Langford Edwards.

117


Deretan Peristiwa Terpilih 1512

Pedagang Portugis pertama kali berhubungan secara teratur dengan penduduk Nusantara (Maluku).

1522

Pertama kalinya bulu lima ekor burung cendrawasih diimpor ke Eropa bersama kapal Victoria yang dinahkodai Magellan.

1602

VOC didirikan.

1611

Pos dagang Jayakarta didirikan; pertengahan abad tersebut, Batavia (penggantian nama pada 1619) adalah sebuah pusat perdagangan penting, terutama menjual budak.

1744

VOC Belanda membangun taman dan rumah besar di lokasi yang kini dikenal sebagai Istana Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor; daerah tersebut telah ditanami sebagai hutan buatan sejak jaman Kerajaan Sunda pada abad 15, dan kemudian digunakan untuk melindungi bibit yang sudah langka.

1758

Buku Systema Naturae karya Linneaus edisi ke 10 menandai titik awal nomenklatur zoologi; Linnaeus menerbitkan uraian ilmiah pertama tentang burung cendrawasih dan nama spesies Paradisea apoda (burung dewata “tak berkaki”).

1759

British Museum didirikan di London.

1793

Taman Botani Paris berganti menjadi Muséum national d’histoire naturelle.

1798/99

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bangkrut; Inggris mengambil alih ”Hindia Timur”. 118


119

1811

Perusahan Hindia Timur mengambil alih Jawa dari Belanda; Thomas Stamford Raffles menjadi Letnan Gubernur Jawa.

1812

Peta survei strategis (tapi tidak presisi) Jawa pertama kali dibuat di bawah pengawasan Raffles.

1813

Raffles menghapuskan perbudakan di Indonesia, tetapi tidak dapat menghapuskan ikatan kerja berdasar hutang.

1817

Buitenzorg Botanical Garden (Kebun Raya Bogor) secara resmi dibuka Belanda dengan nama Lands Plantentuin; direktur pertama adalah seorang ahli biologi dan botani Belanda kelahiran Jerman bernama Caspar Georg Carl Reinwardt.

1819

Raffles mendirikan Singapura untuk Inggris.

1820

Museum Nasional Sejarah Alam (Rijksmuseum van Natuurlijke Historie) didirikan di Leiden sebagai hasil merger dari beberapa koleksi yang sudah ada.

1824

Perjanjian Inggris-Belanda ditandatangani di London mengembalikan koloni Indonesia ke dalam kuasa Belanda.

1825–30

Tentara koloni Belanda mengalami kekalahan di Jawa dalam peperangan dengan pangeran pribumi Diponegoro, sebagian dikarenakan ketidaktahuan topografi dan kartografi pedalaman pulau Jawa.

1830–33

Charles Lyell menerbitkan buku Principles of Geology; mengungkapkan doktrin “Uniformitarianisme,” pemikiran bahwa proses yang membentuk bumi masih berlangsung hingga hari ini.


Setalah hampir satu abad penelitian di laboratorium, sabun arsenik menjadi solusi standar melawan serangan serangga pada spesimen burung yang diawetkan. 1831–36

Charles Darwin mengalami mabuk laut saat menumpang kapal HMS Beagle (dan membawa volume pertama trilogi buku Lyell bersamanya).

1835

Franz Wilhelm Junghuhn sampai di Jawa.

1839

4 Junghuhn mendaki Gunung Gede-Pangrango dan menemukan Primula Imperialis Jungh. 10 Junghuhn kembali ke lembah tersebut; terkejut menemukan kebun buah-buahan Eropa sedang dikembangkan di sana.

1840

Kew Gardens di London dinyatakan sebagai Kebun Raya dan dibuka untuk umum (kebun tersebut ada semenjak 1759).

1844

Karya Robert Chamber, Vestiges of the Natural History of Creation (Sisa-sisa sejarah alami penciptaan) diterbitkan secara anonim. Junghuhn mulai memetakan Jawa.

1845

Junghuhn menerbitkan buku Topographical Atlas dengan peta pertama Jawa dilipat di dalamnya. Wallace membaca buku Vestiges of the Natural History of Creation yang diterbitkan secara anonim dan memicu ketertarikannya terhadap pemikiran kontroversial mengenai transmutasi spesies (di Wales, UK). 120


1846

United States National Museum (Smithsonian, NMNH) didirikan.

1847

Wallace menulis ke Bates bahwa “Saya ingin mengambil satu familia, untuk dipelajari secara menyeluruh--terutama untuk mengamati teori asal usul spesies.�

1848

C.L. Bonaparte, Conspectus generum avium diterbitkan; Wallace menggunakan buku ornitologi ini untuk mengidentifikasi burung selama ekspedisi Malaya-nya. Empat bibit sawit pertama diimpor ke Bogor dari Afrika Barat. Wallace berangkat ke Amerika Selatan (Brazil) untuk memahami perubahan evolusi dengan cara mengumpulkan hewan dan tanaman dari Lembah Amazon.

1848–52

Wallace berangkat ke Amerika Selatan (Brazil) untuk memahami perubahan evolusi dengan cara mengumpulkan hewan dan tanaman dari Lembah Amazon.

1851/52

Ida Pfeiffer dari Austria adalah petualang perempuan Eropa pertama yang mengunjungi Borneo dan Sumatra.

1852

Meskipun impornya sudah dibahas sejak 1829, baru pada tahun inilah pohon Chinchona pertama sampai di Jawa. 6.8. Koleksi Amazon Wallace dan banyak buku catatannya terbakar bersama kapal Helen di laut Atlantik.

121


1854

Wallace tiba di Asia Tenggara; memulai ekspedisinya di Singapura; mulai dari November, ia menghabiskan 14 bulan di Sarawak. Peta Jawa Junghuhn diterbutkan oleh Kementrian Koloni Belanda; ukurannya 79 x 308 cm dan dengan cepat merombak pengetahuan topografi atas pulau tersebut dan alamnya.

1855

Wallace mengembangkan apa yang disebut “Hukum Sarawak,” di Sarawak: “Setiap spesies menjelma dalam ruang dan waktu yang bersamaan berkerabat atau merupakan keturunan dekat/jauh dari spesies lain yang serumpun yang sudah ada sebelumnya.”

1856

2 Wallace pergi dari Borneo ke Singapura. Berlayar melalui Bali dan Lombok menuju Sulawesi. 5–6 Menghabiskan waktu di Sulawesi dan menulis surat 8–12 pertama ke Darwin di bulan Oktober.

1857 1–7 Wallace pergi ke Pulai Kai dan Aru, Paparan Sahul. 11 Melalui Ambon ke Ternate dan kepulauan Maluku. 1858

2 Wallace menulis “On The Tendency of Varieties to Depart Indefinitely from the Original Type” (Kecenderungan Varietas untuk Berkembang Tanpa Batasan dari Jenis Aslinya” di Halmahera, berisi “hukum” kedua (seleksi alam) atau esai “Ternate”. 3–8 Wallace berada di Dorey, Nugini bagian Selatan. 1.7. Hooker dan Lyell menyelenggarakan pembacaan gabungan surat Darwin/Wallace di Linnean Society tanpa kehadiran kedua penulis tersebut.

1859

Darwin menerbitkan The Origin of Species. 122


Wallace melintasi kepulauan Maluku. 1862

Wallace meninggalkan Asia Tenggara dan kembali ke Inggris membawa dua ekor burung cendrawasih hidup.

1864

Junghuhn meninggal di Lembang di dekat Bandung; makamnya dinamai Cagar Alam Junghuhn, Lembang.

1866

Darwin, Hooker, Huxley, dan Wallace adalah sebagian dari penandatangan petisi kepada Menteri Keuangan Britania Raya untuk memisahkan koleksi sejarah alam dari koleksi seni dan perpustakaan dalam Museum Inggris. (NHM atau Museum Sejarah Alam belum didirikan sampai dengan tahun 1881).

1869

Wallace menerbitkan buku The Malay Archipelago (Nusantara Melayu).

1876

123

Wallace menerbitkan buku The Geographical Distribution of Animals (Persebaran Hewan secara Geografis).

1880

Wallace menerbitkan buku Island Life (Kehidupan Kepulauan).

1881

Museum Sejarah Alam London (Natural History Museum London) didirikan.

1905–20

30,000 hingga 80,000 burung cendrawasih dikirimkan ke London, Paris dan Amsterdam setiap tahunnya.

1911

Perkebunan Sumatera.

1913

Wallace meninggal.

sawit

komersil

pertama

dibuat

di


1928

“Garis Wallace” disebut sebagai “Wallacea”.

1931

Larangan untuk membunuh burung cendrawasih dikeluarkan di Indonesia.

1936

Burung kutilang Galapagos dinamai “Kutilang Darwin” oleh ahli ornitologi (ilmu tentang burung) Inggris, Percy Lowe.

1945

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

1957

Ahli biologi dan wartawan alam BBC David Attenborough adalah orang pertama yang mengabadikan burung cendrawasih dalam film untuk seri dokumenter Zoo Quest yang dipandunya.

1980

WALHI (Wahana didirikan.

2001

25 juta ton minyak sawit dihasilkan di seluruh dunia.

2009

46 juta ton minyak sawit dihasilkan di seluruh dunia.

2015

126.550 Spesimen Sejarah Alam, Komunitas Salihara, Jakarta.

Lingkungan

Hidup

Indonesia)

124


Sumber

Buku Digital Wallace di Linnean Society, London: www.linnean-online.org/wallace_notes.html Surat dan Manuskrip Digital Wallace di Wallace Correspondence Project: http://wallaceletters.info/ Kuliah di A.R. Wallace di AMNH, New York, 12 Nov 2013: www.youtube. com/playlist?list=PLUraVH7Ik-FH9tATJuDRpjZmHVy92K9fa Sir David Attenborough mengenai burung cendrawasih: www.amnh. org/explore/news-blogs/podcasts/alfred-russel-wallace-and-the-birds-ofparadise-with-sir-david-attenborough Buku digital karya Charles Darwin di Proyek Manuskrip Darwin: www.amnh.org/our-research/darwin-manuscripts-project/edited-manuscripts/ darwin-s-reading Koleksi Digital Tropenmuseum Amsterdam: www.collectie.tropenmuseum.nl/default.aspx?lang=en Berkas PDF publikasi sejarah alam: www.archive.org www.biodiversitylibrary.org

Terima kasih

Bergit Arends, Franz Xaver Augustin, Annette Bhagwati, George Beccaloni, Lynda Brooks, Elaine Charwat, Yantri Dewi, Nirwan Dewanto, Matthias Glaubrecht, Dian Ina, Charles Leh, Erik Meijaard, Heike Catherina Mertens, Uwe Moldrzyk, Ening Nurjanah, Richard Pell, Jeffrey Petersen, Robert Prys-Jones, Farid Rakun, Anthony Sebastian, Katrin Sohns, Renate Sternagel, Pim Westerkamp, LIPI/MZB, the SYNAPSE International Curators’ Network, dan seluruh kepemilikan gambar dan institusi pengarsipan. Penelitian dari proyek ini berhasil atas dukungan Goethe-Institut Research Travel Grant untuk para kurator.

Kolofon

Konsep & Penelitian: Etienne Turpin & Anna-Sophie Springer Teks & Deretan: Anna-Sophie Springer Editor: Etienne Turpin, Dian Ina Mahendra Terjemahan: Mirna Adzania, Yantri Dewi, Alifa Rachmadia 1/2015 Š setiap penulis, fotograf dan institusi Kontak: Dian Ina Mahendra Manajer Galeri Komunitas Salihara, Jakarta dian.ina [at] salihara.org Kurator: info [at] anexact.org www.salihara.org www.anexact.org/125-660-Specimens 125


Pohon Casuarina adalah spesies asli Indonesia. Nama aslinya mencerminkan satu kata dalam Bahasa Melayu; kasuari, untuk mencerminkan kesamaan dengan bulu burung kasuari dan daun yang bersisik; foto diberikan label sub-spesies yang dinamai atas F. W. Junghuhn dan W.H. de Vries di Kebun Raya Bogor. Courtesy oleh Anna-Sophie Springer.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.