Dangdut dan Kekanak-kanakan Feminisme : Sebuah Pembacaan Filosofis
Tentu pembaca sudah tidak asing dengan sapaan, “Selamat malam, penonton. Siap digoyang?”. Ya, kalimat ini adalah sebuah prelude menuju rentetan adegan yang hampir bisa ditebak : joget seasik mungkin, ekstase akan suatu lantunan melodi tertentu sehingga nyaris lupa diri, “mabuk” dalam nuansa hingar-bingar tubuh-tubuh lain yang dilanda mabuk yang sama. Scene by scene adegan di atas biasa dijumpai di setiap perhelatan musik dangdut lokal, sehingga pembaca dengan mudah menyimpulkan, bahwa musik ini tak pantas ditonton oleh anak-anak dan mungkin saja terjadi banyak pelecehan. Apalagi lirik-lirik musiknya pun diprediksi tak lepas dari muatan-muatan seputar “anatomi sensitif”. Sekarang, bandingkan dengan iftitah berikut, “Assalamualaikum, silahkan bergoyang asal masih dalam keimanan dan ketakwaan. Setuju?”. Tentu pembaca sudah mafhum, pembukaan ini populer di era kejayaan Rhoma Irama di pentas dangdut tanah air. Terutama seniman berjuluk Bang Haji itu sendirilah yang mempopulerkannya dalam label “Nada dan Dakwah”. Terlepas dari kehidupan si Bang Haji sebagai personal, suluk-salamnya yang berkumandang sebelum memulai konser ternyata menarik untuk dibandingkan dengan salam pertama. Di manakah letak perbedaannya? Pertama, pada level makna dan mitos. Mitos dalam hal ini jangan dibayangkan sebagai wujud pemikiran transendental maupun hal-hal gaib di sekitar kita. Mitos dalam pembacaan penulis, mengacu pada pendapat Paul Ricouer, yang juga diamini oleh Hans Georg Gadamer sebagai tradisi, prasangka, maupun simbolisasi sesuatu yang menggantikan kehadiran yang lain 1. Meskipun sekedar ucapan salam hangat untuk menyambut penonton, tapi membawa pengaruh pada pemaknaan di benak kita, yang selanjutnya menjadi frame of preference di masa depan. Sapaan pertama terkesan merayu, menggoda, dan berusaha “menyenangkan” keinginan para penonton. Sedangkan sapaan Bang Haji yang diembel-embeli nuansa islam, tampak berusaha membuat musik dangdut tetap ekspresif dan bercitra normatif. Perbedaan kedua terletak pada nilai estetika yang dianut oleh keduanya. Sengaja penulis memberikan dua contoh kutub ekstrim, antara yang mendapat justifikasi negatif dan yang memperoleh predikat positif di mata masyarakat, supaya mudah bagi kita untuk memahami antara keduanya. Bukannya bermaksud untuk mempertentangkan atau mendiskriminasi satu dengan lainnya. 1
Uraian tentang mitos bisa dibaca di buku Hermeneutika Ilmu Sosial dalam Bab 1, sebuah kumpulan esai oleh Paul Ricouer, penerbit Kreasi Wacana. Karya asli berjudul Hermeneutics and The Human Sciences : Essays on Language, Action, and Interpretation