KIN ESTH E T I A On Indonesian Film
Kineklub LFM ITB
Daftar Isi Semua Sudah Dimaafkan Sebab Kita Pernah Bahagia Cinta SIti dan Laut Di Antaranya Radit dan Jani Alexandria Catatan Akhir Sekolah
Fausto Axel Evans
prolog
“Bagaimana bisa seseorang menciptakan rangkaian kata yang sedemikian indah?� Kalimat di atas terlintas dalam pikiran penulis beberapa saat setelah lampu ruang putar di Kinosaurus menyala. Kala itu, Kinosaurus memutarkan film dokumenter yang berjudul Semua Sudah Dimaafkan Sebab Kita Pernah Bahagia. Film ini bercerita mengenai kehidupan Leon Agusta, seorang sastrawan Indonesia yang sangat piawai dalam beraksara, lewat puisi-puisi beliau yang dibacakan sepanjang film dan juga kesan kerabat beliau terhadapnya semasa beliau hidup.
Awalnya, Katia Engel, sutradara dari film ini, memulai sebuah proyek untuk membuat film dokumenter tentang mendiang Gusmiati Suid, penari legendaris kontemporer di Indonesia. Dalam proses pembuatannya, salah satu orang yang dianggap cakap untuk menceritakan kembali kisah hidup dari Gusmiati Suid adalah Leon Agusta. Kemudian, mulailah proses wawancara tentang Gusmiati Suid dengan Leon Agusta. Akan tetapi, dalam keberjalanannya, Katia Engel memutuskan untuk membuat film dokumenter mengenai Leon Agusta karena beberapa alasan. Setelah beberapa bulan mengerjakan film ini dengan berbagai kesulitan yang dihadapi terkait kesehatan Leon Agusta, proses pembuatan film ini sempat terhenti karena Leon Agusta harus berpulang ke pangkuan Yang Maha Esa. Beberapa bulan setelah berpulangnya Leon Agusta, Katia Engel mengajak Paul Agusta, anak dari Leon Agusta, untuk melanjutkan pengerjaan film dokumenter tentang ayahnya. Bagi Paul sendiri, proses pembuatan film ini merupakan cara terbaik bagi Paul untuk berduka. Dengan membuat film ini, Paul mendapatkan kesempatan mengetahui cerita yang tak sempat dibicarakan oleh ayahnya semasa hidupnya. Menyelam lebih dalam, hanya untuk menemukan kenangan yang luar biasa di dasar ingatan para kerabat Leon Agusta.
aksara, sang pemeran utama Memvisualisasikan puisi atau sajak bukan merupakan sebuah hal yang mudah. Sutradara dan director of photography harus mampu menempatkan gambar dengan tepat agar tidak memberikan makna ganda terhadap arti puisi yang sebenarnya dimaksud oleh sang penyair. Dalam hal ini, Faozan Rizal, director of photography, sukses melakukan hal tersebut. Penonton dapat melihat berbagai
cara penyampaian puisi melalui medium gambar bergerak dalam film ini: still shot benda nyata yang terdapat dalam larik puisi, montase eksperimental untuk menggambarkan makna puisi, hingga layar hitam dan hanya ada kata-kata puisi Leon yang dibacakan. Lewat cara-cara tersebut, penonton dapat melihat (setidaknya menurut interpretasi penulis)
interpretasi penulis) usaha untuk mengangkat puisi Leon Agusta sebagai pemeran utama dalam film ini; tidak mengintervensi ketersampaian makna dengan visualisasi yang digunakan pun melebih-lebihkan makna dari puisi itu sendiri Selain itu, sepanjang film kita dapat melihat gambar Paul mengembara mencari potongan-potongan makna dari puisi Leon yang tersebar dalam ingatan kerabat Leon Agusta. Sembari
berjalan, Paul diperlihatkan memegang dan membawa buku kumpulan puisi berjudul “Gerbang Pengembara� karya ayahnya. Dalam beberapa scene Paul juga membacakan beberapa puisi karya ayahnya. Penggambaran ini seakan-akan mencoba menegaskan peran utama dari puisi Leon Agusta bukan hanya sekadar kumpulan kata, melainkan perwujudan dari Leon Agusta sendiri.
pemberian makna dalam pengembaraan Kata merupakan benda buatan manusia untuk menyampaikan rasa dan pikiran manusia kepada manusia lainnya; sebuah alat untuk memberi pengertian terhadap ide yang ingin seseorang sampaikan. Dalam penggunaannya, hanya manusia yang telah menyelam ke dasar lautan bahasa dan mampu merangkai kata-kata tersebut menjadi perhiasan yang bahkan keindahannya tak dapat diutarakan melalui kata-kata lah yang mampu memahami dan dipahami semesta; memberi pengertian dan diberi pengertian oleh semesta. Penulis juga merasa sangat tergerak oleh perhiasan yang mengambil bentuk gambar bergerak berjudul : Semua Sudah Dimaafkan sebab Kita Pernah Bahagia. Film ini, bagi penulis merupakan sebuah refleksi amanat yang diterima Leon Agusta dalam hidupnya : Mengembara. Dari pengembaraannya menjelajahi dunia, lahir stanza-stanza yang menginspirasi manusia dalam jangkauan kata-katanya. Ia merasuki manusia dengan kuasa kata-katanya, lalu merusak pikiran manusia hanya untuk membentuknya kembali dengan jembatan kata-kata yang ada dalam tiap baris puisinya. Memberi makna. “Akankah esok datang, membawa salam dari nama yang terabaikan?� Leon Agusta menulis puisi-puisinya dalam masa lampaunya yang temaram, yang pikuk sengsara. Ia menaruh harap dan cahaya dalam puisinya sehingga siapapun yang membaca kata-katanya akan kembali menemukan jalan pada harapan dalam cahaya kata-katanya. Rasanya, tiap baris puisinya yang disuarakan dalam latar suara film ini menerangkan kembali cahaya-cahaya itu, memberikan amanat mengembara bagi mereka yang terpuruk di dasar hidup hanya untuk mengetahui salam dari nama yang terabaikan, bahwa setiap makna yang boleh jadi dalam kehidupan manusia adalah berkat. Karena semua sudah dimaafkan sebab manusia dan sesamanya pernah bahagia.
Cinta Siti dan Laut di Antaranya Mikhail Kevin Anthony
“Laut yang memberi rejeki, Laut juga mengambilnya,� sekadar kalimat yang terucap dari mulut, namun juga sebuah realita kehidupan seorang Siti, tokoh utama film Siti karya Eddie Cahyono. Perdana diputar di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2014, Siti berhasil meraih penghargaan-penghargaan festival film di Belanda, Italia, dan tentunya Festival Film Indonesia 2015, dengan memenangkan gelar film terbaik pada tahun itu, sebelum akhirnya masuk ke bioskop pada 28 Januari 2018 yang sempat terhalang masalah sensor.
Berdurasi 88 menit, dengan naskah yang ditulis hanya dalam 2 bulan, Siti (Sekar Sari) menceritakan satu hari dari hidup Siti, seorang wanita yang bekerja keras demi melunaskan hutang kapal suaminya , Bagus (Ibnu Widodo), yang lumpuh setelah mengalami kecelakaan di tengah laut dengan kapal barunya. Berjualan peyek di sekitar Pantai Parangritis hingga melayani orang-orang di karaoke illegal menjadi keseharian Siti. Datangnya penagih hutang yang datang meminta 5 juta untuk diserahkan dalam 3 hari, membuatnya semakin frutasi hingga ia akhirnya di tengah kemabukannya, ia meminta Gatot (Haydar Saliz) seorang polisi yang ternyata menjalin hubungan gelap dengan Siti.
Semuanya kontras layaknya hidup dan mati Akting Sekar Sari pun menjadi kunci utama dalam film ini, hal ini dibuktikan kemenangannya di Singapore International Film Festival 2014 dengan penghargaan Best Performance for Silver Screen Award. Penggambaran karakter Siti berhasil dibawakan olehnya sebagai wanita sederhana. Namun, penonton pun merasakan sisi lain dari kesederhanaan itu, yakni derita yang melanda Siti secara deras bak ombak dari laut kesukaan suaminya itu, dan bagaimana ia memendam segala keluh kesah dalam hatinya. Cerita hidup Siti yang dipaksakan sutradara untuk kita tonton ini sendiri merupakan sentilan sutradara terhadap masalah-masalah dunia sosial, mulai dari miras, rokok, hingga seks bebas. Namun sudut yang paling disorot sang sutradara ini adalah wanita yang bekerja sendiri demi melunasi hutang suaminya selagi suaminya yang tidak bekerja tidak ingin berbicara dengannya, sekaligus harus membangun suatu suasana harmonis di antara keluarganya. Tidak sepantasnya seorang wanita mengembas tugas sebesar itu, seberat itu. Nasib Siti merupakan bentuk realita yang mungkin tidak terlihat oleh kita sehari-hari, namun tidak berarti tidak jadi di sekitar kita. Ada perkataan, sebelum meninggal memori-memori akan muncul kembali. Dengan hitam putih sepanjang film, sutradara menekankan memori Siti selama kurang dari 24 jam itu mulai dari berhutang hingga beruang, disukai anak hingga dibenci anak, dari cinta mati sampai-sampai ia rela berkorban besar demi suaminya, hingga pada akhir perasaan itu menjadi benci. Semuanya kontras layaknya hidup dan mati.
REVIEW FILM: RADIT DAN JANI Atsmara Tsaniya
Kehidupan kota Jakarta dengan balutan kelamnya masyarakat underground yang hidup di dalamnya sukses digambarkan dalam film keluaran tahun 2008 ini meski tidak selalu menggambarkan suasana kota Jakarta secara keseluruhan. Film yang bertajuk romansa ini menceritakan sepasang suami istri yang memaksakan kehendak mereka untuk menikah muda dengan embel-embel atas nama cinta. Prinsip cinta mati betul-betul dikemas secara ciamik dengan tajamnya lika-liku kehidupan yang menerpa dua sejoli ini. Radit (Vino G. Bastian) merupakan pemuda tanpa pekerjaan yang memiliki ketergantungan narkoba sejak lama, yang kemudian menikahi pacarnya, Jani (Fahrani) yang merupakan perempuan yang berasal dari keluarga baik-baik. Keduanya menikah tanpa restu keluarga dan memutuskan pula untuk tinggal memisahkan diri dari keluarganya. Hal yang menjadi mayor dalam film ini adalah perihal ironi cinta mati dan realita kehidupan nyata yang selanjutnya harus mereka jalani dan telan bulat-bulat. Seperti film keluaran Upi Avianto sebelumnya, yaitu Realita Cinta dan Rock and Roll (2006), kesamaan dari kedua film ini masih kental hubungannya dengan kehidupan cinta dan realita kehidupan kota Jakarta yang keras yang diidentikan dengan kegiatan underground (yang dalam film ini digambarkan dengan kecintaan Ipang dan Nugi pada musik rock), sehingga dapat dibandingkan bahwa kedua film ini menyatakan kedilemaan manusia terhadap apa yang ia cintai dengan realita kehidupan nyata di depan mata.
Pada dasarnya, cinta yang disuguhkan dari film ini merupakan cinta sebatas cinta. Kehidupan pernikahan dan tetek-bengek di dalamnya merupakan masalah yang mereka lalui karena telah memilih hidup bersama atas nama cinta. Kasarnya film ini membuat saya bertanya, kalau cuma cinta, istri dan anak mau diberi makan apa? Karena perjalanan pernikahan mereka dipenuhi oleh kabut ketakutan akan hari esok yang belum pasti dapat mereka jalani. Radit yang tidak punya dan tidak bisa apa-apa tentunya hanya bisa memohon belas cinta Jani untuk membuatnya bertahan hidup. Di samping ketergantungan Radit terhadap obat-obatan terlarang, tentunya mereka masih harus memikirkan tentang tunggakan uang sewaan tempat tinggal mereka, uang untuk sekadar beli rokok dan makanan, juga lain hal yang membuat mereka berdua seharusnya banting setir untuk bertahan hidup, itu pun jika benar cinta yang mereka anut adalah cinta sampai mati. Namun cerita cinta ini makin seru ketika Jani tak disangka-sangka mengandung anak untuk pertama kalinya. Sebuah ketakutan terbesar yang mereka hindari sejak awal perkawinan mereka. Jani merasa ini semua salah Radit karena dia yang sudah ‘melakukannya’, toh, sama-sama mau seharusnya pola pikir mereka mulai dirubah dari yang menyalahkan menjadi menyelamatkan demi janin yang ada di dalam kandungan Jani. Hakikatnya sepasang suami istri yang tengah menanti kedatangan momongan harus siap dari segala sisi. Ekonomi, mental, pikiran, dan lain hal. Dapat terlihat bahwa Radit mulai mengubah mindsetnya untuk bekerja secara layak menjadi valet parkir demi menambah uang kontrol kandungan Jani. Tapi nyatanya usaha Radit jauh dari kata cukup, karena selebihnya Radit harus menggunakan uang itu untuk meredam sakau-nya yang dapat terjadi kapan saja. Jani yang merupakan perempuan normal, iba sekaligus kesal pada suaminya yang sangat jauh dari kata layak, mengingat keluarganya yang hidup mapan di luar sana, Jani mulai berpikir untuk kembali ke keluarganya untuk minta uang sekaligus mengumumkan kabar bahwa ia tengah hamil. Namun usaha Radit dan Jani berkunjung ke rumah keluarga Jani malah berakhir dengan pembicaraan antar laki-laki antara Radit dan Ayah Jani yang meminta anak perempuannya dikembalikan. Radit yang tengah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi lebih baik pun langsung lumpuh. Baginya berpisah dengan Jani merupakan ketidakmungkinan yang tidak mungkin terjadi. Sehingga jelas Radit memilih pergi bersama Jani dan menjalani kehidupan pernikahan yang urakan, sama seperti sebelumnya Radit masih berusaha untuk mencari uang demi kelangsungan hidup keduanya. Termasuk mencuri di minimarket bahkan mencuri uang dari rumah keluarga Jani sendiri. Akhirnya, semua yang dimulai dan tak sesuai dengan apa yang diharapkan selalu membuat setiap orang kecewa, termasuk saya yang menunggu-nunggu perubahan kondisi pernikahan mereka membaik. Tapi yang hadir malah ketergantungan Radit atas narkoba yang semakin sering terjadi hingga utang mereka semakin menggunung kepada pengedar narkoba kenalannya. Kasarnya, satu perak pun mereka tak punya, sehingga keduanya sama-sama menyerah pada keadaan, dan diakhiri dengan kepulangan Jani kembali ke keluarganya atas jebakan yang telah dibuat oleh Ayah Jani dan Radit secara diam-diam tanpa diketahui oleh Jani. Dan dalam masa depan, Jani hadir bersama suaminya yang baru, tak lupa hadir juga bersama Kiara, anaknya dan Radit, yang terlihat jauh lebih bahagia dan tegar dibanding Radit yang hadir kembali dengan penampilan lamanya. Masih sama seperti Radit yang dulu. Film ini termasuk film Indonesia yang anti mainstream. Dalam opini saya, mencocoklogikan film tanah air yang kebanyakan happy ending, film ini menyuguhkan sebuah akhir yang berbeda bagi masing-masing Radit dan Jani. Pasalnya, film ini sudah membuat saya banting otak berpikir mengapa akhirnya Jani pasrah berkeluarga dengan laki-laki lain yang seyogyanya dulu Jani meninggalkan Radit pun tak rela. Secara umum, film ini betul-betul menggambarkan tentang ironi cinta dan realita kehidupan nyata di dunia nyata. Cinta yang mereka amini tanpa melihat sisi lain berujung pada anggapan saya bahwa menikah adalah bukan hanya soal aku dan kamu, tapi aku, kamu, dan keluargamu; aku, kamu, dan calon anak kita; aku, kamu, dan kestabilan keuangan rumah tangga; dan semua tetek-bengek pernikahan lainnya yang tentu pernikahan memang seharusnya seperti itu. Pada akhirnya, film ini membekas pada saya dengan meninggalkan kesan kasihan kepada keduanya. Cinta mati yang mereka percaya kemudian harus mati beneran karena kalah dibantai oleh realita kehidupan nyata.
REVIEW FILM: ALEXANDRIA Rizky ‘Dway’ Dwi Ramadhianto Awal 2000an menjadi masa dimana layar lebar Indonesia memutarkan film-film bergenre romance yang selalu diingat penontonnya. Pada era tersebut secara bertubi-tubi kita dapat menyaksikan karya-karya romantis yang luar biasa. Baik yang beraliran romance-banget, romance-comedy, ada pula romance dengan sentuhan “friendship”. Tentu masih teringat dalam benak kita judul judul film tersebut seperti: Ada Apa Dengan Cinta (2002), Catatan Akhir Sekolah (2007), Jomblo (2006), Tiga Hari Untuk Selamanya (2007), serta Realita Cinta dan Rock N Roll (2006). Kali ini saya akan menuliskan ulasan tentang sebuah film yang hadir pula ada masa tersebut. Alexandria (2005) adalah sebuah karya yang diarahkan oleh sutradara Ody Harahap yang menceritakan perpecahan persahabatan karena rasa cinta yang tumbuh terhadap wanita yang sama. Film ini dibintangi Fahri Albar (Rafi), Marcel Chandrawinata (Bagas), dan Jullie Estelle (Alexandria). Dalam sesi prologue, penonton disajikan asal mula kisah persahabatan antara Bagas dan Alexandria sudah terjalin sejak mereka berada di bangku sekolah dasar. Dari ekspresi Bagas dalam scene tersebut, penonton sudah dapat mengetahui bahwa Bagas terpesona dengan Alexandria. Hal ini lah yang nantinya akan menjadi main conflict dalam film ini. Asal muasal pertemanan antara Rafi dan Bagas pun dijabarkan secara singkat dalam sesi pembuka. Kurang lebih 15 menit durasi awal film penonton sudah dapat mengetahui asal mula pertemanan ketiga tokoh, serta dapat menjabarkan kepribadian ketiganya. Rafi seorang playboy yang gemar begonta-ganti pasangan, perokok, pengguna narkoba, peminum, serta gemar mengunjungi club malam. Alex seorang wanita dengan hobby photography, dan Bagas seorang pria introvert yang gemar menggambar perspektif serta coret coretan Graffiti, menempuh study di benua terkecil di dunia. Ketiga hal yang sangat berbeda namun beririsan di suatu titik sehingga mereka bisa bersahabat. Hal yang menjadi kekuatan dalam film ini adalah ambivalensi protagonist. Baik dari kepribadian, tingkah laku, serta tindakan yang dilakukan Rafi maupun Bagas sama sekali tidak menjabarkan siapa yang menjadi protagonist atau antagonist dalam karya ini. Jatah sorot kamera pun cenderung seimbang diantara kedua tokoh tersebut.
Penonton semakin bertanya bagaimana akhir kisah film ini? Siapakah yang akan mendapatkan hati Alexandria? Saya pun bertanya tanya dalam hati hal yang sama. Selain ambivalensi protagonist hal yang menjadi keunikan serta keseruan tersendiri dalam film ini adalah konflik silih berganti secara bertubi-tubi serta dibiarkan tanpa resolusi konflik yang jelas. Kelebihan film ini yang berikutnya adalah soundtrack yang mengisinya. Band papan atas Peterpan mengiringi beberapa scene serta menjadi official soundtrack film ini dengan judul lagu “Tak Bisakah”. Kerja sama dengan musisi papan atas tentu akan mendongkrak Marketing karya ini. Namun ada hal yang saya kurang sukai dari film ini. Dari cinematography aspects saya rasa bridging kurang baik. Perpindahan satu scene ke scene yang lain terasa kasar. Perpindahan latar tempat dan latar waktu yang kurang baik menyebabkan penonton seakan menonton film yang masih raw file. Seharusnya film yang sudah siap dikomersialisasikan di pasar umum sudah tidak mendapatkan kendala teknis seperti ini. Overall saya menyukai bagaimana karya ini menyampaikan pesan bahwa seorang pria harus berani menyampaikan perasaanya. Disatu sisi penonton pun dapat memahami isi hati seorang lelaki tentang pertimbangan pertimbangan seorang lelaki untuk menyatakan cintanya. Kompleksitas yang sulit dijelaskan secara kata kata, namun berhasil disampaikan dalam sebuah karya film. Penonton juga dapat merasakan tidak nyamannya menjadi wanita yang hanya bisa menunggu. Saya rasa kedua hal tersebut adalah masalah utama yang dialami semua pria dan wanita. Lelaki yang takut menyatakan cinta karena terlalu banyak pertimbangan, serta perempuan yang hanya bisa menunggu. Saya sangat menyukai kutipan kutipan dialogue dalam film ini. Berikut adalah beberapa kutipan yang paling saya sukai Alexandria: “Ngga Fair ngejudge orang dari masa lalu” Alexandria Bagas: “Gue yang masih kejebak ego sendiri, sampe nggak tau sebenernya gue sayang banget atau cume obesesi sama kamu” Bagas Alexandria: “Kalo kamu satu saat punya rasa sayang lagi sama orang lain. Bilang aja ya, Gas. Bilang, jangan takut. Jangan sampe dia nggak tau. Kalo ada orang yang luar biasa saying sama dia” Alex Rafi: “Lo harus tau rasanya sayang dan disayang sama orang lain”
REVIEW FILM: CATATAN AKHIR SEKOLAH Rizky ‘Dway’ Dwi Ramadhianto Catatan Akhir Sekolah (2005) merupakan film garapan Hanung Bramantyo, yang menceritakan proses dokumentasi dengan handycam yang dilakukan Arian, Agni, dan Alde. Dibalik proses pembuatan dokumentasi tersebut terjadi berbagai konflik yang menjadi daya tarik tersendiri dalam film ini. Berbagai elemen lain pun menjadi kekuatan tersendiri film ini yang mampu membawa penonton kembali menyusuri memori masa putih abu-abu yang jarang ditemui dalam karya sineas lainnya . Dipasarkan pada tahun 2005, karyanya berhasil menghidupkan suasana Jakarta pada tahun 2005, sekaligus suasana Sekolah Menengah Atas itu sendiri. Hal ini membuat saya seolah melintas garis waktu kembali ke awal tahun 2000an. Relevansinya semakin kuat diperkuat gaya rambut 3 sekawan protagonis Arian (Vino G Bastian ), Agni ( Ramon Y. Tungka ), dan Alde ( Marcel Chandrawinata ) jelas berkiblat pada gaya rambut David Beckham yang pada tahun tersebut bergaya rambut Fruxhawk, serta Pasha “Ungu” yang kala itu mendominasi acara music yang popular kala pada masa tersebut, yaitu MTV ampuh. Pada era tersebut pun menjamur pakaian “distro” yang khas dengan lettering bergaya graffiti, dan para tokoh pun mengenakannya. Salah satu tempat yang semakin mendukung pengsuasanaan khas 2000an awal adalah “Citos” ( Cilandak Town Square ) yang pada masa itu merupakan titik kumpul favorit anak muda, lantaran pada masa itu belum banyak café seperti masa sekarang. Dari segi elemen elemen pendukung pensuasanaan rasanya Hanung Bramantyo berhasil mengabadikan suasana awal tahun 2000an.
Mari kita bandingkan dengan beberapa karya sineas Indonesia yang juga berlatarkan putih abu-abu. Saya mengambil “Ada Apa Dengan Cinta” karya Rudy Soedjarwo dan “Realita,Cinta, dan Rock N Roll” karya Upi Avianto. Secara genre “Catatan Akhir Sekolah” dan “Ada Apa Dengan Cinta” memang berbeda, Rudy Soedjarwo membuat karya yang menitik beratkan pada aspek percintaan dengan sentuhan minor pertemanan sedangkan Hanung Bramantyo melakukan hal sebaliknya, dimana konflik dala, pertemanan 3 sekawan yang menjadi titik beratnya dengan sentuhan minor romansa bangku SMA. Hal ini membuat genre “Catatan Akhir Sekolah” cenderung lebih umum karena target pasar yang lebih luas, ketimbang para penikmat film bergenre “romance”. Genre ini menjadi kekuatan tersendiri dalam film ini. Unsur komedi, dengan candaan khas kekonyolan masa SMA menjadi bumbu pemanis karya ini. Saya membandingkan film “Realita, Cinta, dan Rock N Roll” dengan “Catatan Akhir Sekolah” yang sama sama menitik beratkan pada pertemanan. Namun, saya rasa dalam film “Realita,Cinta,dan Rock N Roll” konten pelajar berseragam putih abu-abu menjadi hal yang diacuhkan. Minim sekali durasi scene yang mengambil latar tempat di sekolah, lantaran film ini bercerita tentang kaburnya dua sekawan dari realita. Berbeda dengan “Catatan Akhir Sekolah” yang sangat menunjukan latar Sekolah Menengah Atas, lengkap dengan seragam putih abu-abu yang menjadi ciri khasnya. Satu lagi nilai plus dalam film “Catatan Akhir Sekolah” adalah para tokoh protagonist dalam film ini belum sampai pada tataran mendobrak nilai-nilai dan budaya ketimuran seperti berciuman, atau seperti rokok yang masih dipandang sebagai suatu hal yang buruk Tidak ada scene yang menyorot mereka merokok atau berciuman. Berbeda dengan para pesaingnya yang saya sebutkan pada paragraph sebelumnya. Walau beberapa pemeran pendukung menampilkan adegan tersebut, saya rasa itu hanya sentuhan sentuhan agar relevan dengan pergaulan bebas yang marak terjadi. Bagi saya, Hanung Bramantyo berhasil menampilkan isu pergaulan bebas secara implicit agar menjadi concern bagi para penikmat filmnya. Tentunya dikemas secara baik dan tidak menimbulkan kesan menggurui penonton. Perpaduan elemen-elemen dalam film ini berhasil membawa penonton menyusuri memori semasa SMA dan memiliki tempat tersendiri bagi para penontonnya. Hal ini dibuktikan dengan penilaian yang diberikan IMDB, kaskus, serta statistika google users. IMDB memberikan nilai 7.3 / 10, angka yang cukup tinggi mengingat penilaian IMDB yang “pelit nilai”. Kaskus memberikan rating 5/5, nilai yang sempurna. Serta statiska menunjukan 94% google users menyukai film garapan Hanung Bramantyo yang satu ini.
Contributor Mikhail Kevin Anthony Atsmara Tsaniya Rizqi Dwi Ramadhianto Fausto Axel Evans Designer Raisa Shafira
Kinesthetica adalah wadah publikasi tulisan secara kolektif bagi kru LFM ITB yang di inisiasi olehKineklub LFM ITB Silahkan kunjungi situs kami untuk informasi lebih lanjut kineklub.lfm.itb.ac.id
Kontak Kami Twitter: @Kineklub Website: kineklub.lfm.itb.ac.id Email: kineklublfmitb@gmail.com