laprakine
Daftar isi Amarta the Girl and Water Dilarang Mati
1 4
Grave Torture 13 Mars Mesin Tanah Udin Telekomsel
19
24 28
Wei 36
laprakine
Amarta The Girl and Water
Sutradara : Durasi : Bahasa : Tahun :
1
Bambang Kuntara Murti 19 menit Jawa 2015
AMARTA (GADIS DAN AIR) : KISAH HEROIK DITENGAH KEPUTUSASAAN Muhammad Alvan Atthoriq Dimulai dari diculiknya Dewi Amarta oleh Bos Gemuk ber paras seram, kotapun mengalami paceklik . Dengan monopoli air dari kekaisaran Bos Gemuk, warga terpaksa harus membeli air padanya. Dilihat dari cerita yang disajikan, nampaknya Bambang “Ipoenk” KM dalam karyanya yang berjudul “Amarta (Gadis dan Air) berusaha mengangkat sebuah isu yang cukup “pelik” yakni kesejahteraan rakyat. Digambarkan sedari awal film dimulai, sebuah kota yang padat dengan bangunan yang tinggi dan mengeluarkan asap yang menandakan suatu pembangunan sedang digencarkan. Namun itu semua tak menjadi jaminan bahwa rakyat sejahtera. Bahkan Kebutuhan dasar saja masih jauh dari tercukupi. Air yang sudah diberikan oleh alam secara cuma-Cuma, mereka harus membelinya hanya karena ketamakan sebelah pihak. Kondisi ini sangat relevan dengan kebanyakan rakyat Indonesia yang masih harus sengsara ditengah pembangunan
Indonesia yang sangat pesat. Isu yang diangkat memang terdengar rumit, namun hal tersebut sama sekali tak terasa selama keberjalanan film ini. Dalam menuturkan isu ini, Ipoenk mengeksplorasi medium penceritaan—mulai dari latar tempat yang teatrikal, make up yang sangat pop art, hingga narasi yang seperti dongeng. Hal itu semua disatukan menjadi satu perpaduan yang sangat unik. Penonton seperti sedang diajak berjalan-jalan di dunia dongeng. Segalanya terlihat lebih simple dan mudah. Simple, mungkin karena hal itu juga lah yang pada akhirnya menjadi bumerang terhadap cerita ini. Meskipun membawa isu yang cukup penting yang “pelik” pula, namun karena dibuat sederhana layaknya dongeng- dongeng pada umumnya, solusi dari penyelesaian masalah hanya diserahkan ditangan seorang pahlawan yang berjuang sendiri dengan kekuatan yang melebihi orang pada umumnya.
2
Dilihat dari awal film dimulai, sosok gadis yang entah datang darimana hanya berjuang sendirian untuk memberantas kejahatan, hingga pada akhirnya gadis itu pula lah yang membenahi hal hal buruk tanpa keterlibatan rakyat yang ada disana. Sangat disayangkan ketika suatu cerita yang mempunyai isu yang penting dan juga bisa dimengerti dengan baik namun masalah diselesaikan hanya dengan memanggil seorang pahlawan yang mampu membasmi kejahatan.
3
Pada akhirnya ini semua hanyalah berujung pada sebuah solusi yang tak berpengaruh dalam dunia nyata. Mungkin dari awal tujuan Ipoenk dalam mambuat film ini hanya ingin menampilkan suatu fenomena agar dapat dipikirkan ulang, atau bisa jadi memang tak terlintas dalam benak beliau solusi nyata yang mungkin untuk menyelesaikan masalah sehingga munculah pahlawan yang mampu mengatasi segalanya? Entahlah.
laprakine
Dilarang Mati
Sutradara : Durasi : Bahasa : Tahun :
4
Rifqi Zakasih 9 menit Indonesia 2017
Dilarang Mati (2016) : Resensi Film Monica Mayrene K. Dalam waktu kurang lebih sembilan menit, Rifqi Zarkasih mengisahkan sepasang kakak-beradik yang hidup melarat di sebuah TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di tengah kota metropolitan Jakarta. Pada awal film, penonton langsung disuguhkan dengan perjuangan seorang anak laki-laki kurus dan dekil untuk mempertahankan roti yang telah ia dapatkan baginya dan saudaranya, yang telah menunggunya di gubuk kecil mereka. Tak disangka, saat ia kembali untuk memberikan roti yang ia dapatkan kepada saudaranya, saudaranya telah meninggal. Ia pun hanya bisa terdiam dan berpikir keras, mencari cara mengebumikan saudaranya secepatnya sebelum membusuk. Dengan segala keterbatasan dan kesulitan yang menimpa, akhirnya ia memutuskan untuk membakar jenazah saudaranya dengan api TPA, bersama dengan tumpukan-tumpukan sampah kota, lalu menguburkan abunya di tanah perbatasan makam orang yang satu dengan yang lain.
Film yang terinspirasi dari kisah nyata dan sempat ditayangkan dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival 2017 ini mampu menceritakan kesulitan yang dialami oleh sepasang kakak-beradik di tengah peliknya ibu kota kepada penonton. Ekspresi pilu, lesu, dan kesedihan dari anak laki-laki dalam film seolah-olah ingin memberikan gambaran kepada penonton betapa kerasnya hidup bagi segelintir orang di Jakarta, betapa berat kehidupan yang harus bocah tersebut jalani yang kemudian masih ditambah dengan kematian saudaranya, satu-satunya teman sekaligus keluarga yang ia miliki. Meskipun tanpa sepatah kata pun dari para pemainnya, melainkan hanya menampilkan visual dan suara latar perkotaan semata dari awal sampai akhir, film ini dapat mendeskripsikan dengan cukup jelas bagaimana kaum bawah berusaha sekeras mungkin untuk bertahan hidup diantara gemerlap dan kemewahan ibu kota.
5
Hidup diantara tumpukan sampah, ‘dikremasi’ dengan api untuk membakar sampah, serta dikubur pada sela-sela jarak tanah makam seseorang yang satu dengan yang lain secara tak langsung menunjukkan kepada penonton bahwa tiada lagi tempat yang lebih layak daripada sebuah TPA untuk ditinggali, betapa sesaknya sudah kota Jakarta ini dan kejamnya sebuah kota metropolitan terhadap dua banding puluhan bahkan ratusan ribu penduduknya. Melalui film ini, dapat diketahui pula kondisi Jakarta pada saat itu, yakni semakin menipisnya jumlah lahan yang tersedia, yang tidak hanya mengakibatkan
6
tumpukan sampah yang tinggi, tetapi juga mencerminkan penduduk kota yang terus-menerus menghasilkan sampah namun tidak peduli nasib sampah tersebut. Menipisnya jumlah lahan kosong juga memengaruhi luas wilayah tanah untuk pemakaman, yang terlihat dalam salah satu adegan film yang menampilkan wilayah pemakaman yang sudah hampir penuh sehingga muncul pula adegan yang menunjukkan sang anak laki-laki tersebut sedang duduk menunggu secara gelisah pada kursi tunggu dalam sebuah tempat sambil memandang dua orang yang sedang berbicara mengenai urusan surat-surat untuk pemakaman,
yang memberikan kesan ruwetnya proses untuk mendapatkan tanah makam tersebut. Besar pula kemungkinan bahwa sang anak laki-laki mendengar percakapan antara dua orang tersebut mengenai harga tanah yang akhirnya membuat ia memutuskan untuk pergi dari sana dan meng-‘kremasi’ saudaranya. Selain itu, kondisi memprihatinkan dari sepasang kakak-beradik tersebut juga menunjukkan bahwa kurangnya peran pemerintah setempat dalam membina gelandangan, tunawisma terutama yang masih anak-anak.
Saya pribadi juga memiliki seorang adik sehingga saat menonton kedua film tersebut saya pun menjadi emosional dan langsung teringat akan adik saya. Bagi saya, kedua film ini sama-sama menyuguhkan humanisme yang menyentuh sekaligus menyedihkan dan juga memilukan.
Menonton film ini mengingatkan saya pada salah satu film animasi dari Studio Ghibli yang berjudul “Grave of Fireflies�, yang juga mengisahkan sepasang kakak-beradik, yang berusaha untuk bertahan hidup dalam kondisi pascaperang yang terjadi di negara mereka. Harus berpindah dan tinggal di tempat yang kurang layak, sehari-hari sang kakak berusaha untuk mencari makan baginya dan adiknya sampai suatu saat adiknya meninggal lantaran kelaparan hingga terserang penyakit yang diakhiri pula dengan dikremasi.
7
Resensi Film : Dilarang Mati Bjorka Tosca Azzahra Kesejahteraan bukanlah hal yang mudah di negeri ini, terutama di kota metropolitan. Statement ini dibuktikan benar adanya oleh Rifqi Zarkasih pada karya filmnya berjudul ‘Dilarang Mati’. Pada film ini disuguhkan perjuangan seorang anak laki-laki yang berjuang menghidupi saudara kandung dan dirinya sendiri. Walau dalam durasi sekitar 9 menit, dapat dirasakan kegigihan dari anak laki-laki ini dalam menjalani kehidupannya yang memang kurang beruntung. Mencuri untuk mendapatkan makanan, tinggal di Tempat Pembuangan Akhir, dan memulung makanan yang ia temukan di jalanan. Kegigihan anak ini tidak selesai sampai disitu, namun terlihat saat dihadapkan dengan kematian saudara kandungnya. Mencari makam dan mencuri dengar dari perbincangan orangorang telah ia lakukan untuk dapat memakamkan saudara kandungnya secara layak. Namun yang bisa diperbuat memang tidak banyak. Anak laki-laki ini memutuskan untuk membakar mayat saudara kandungnya dan mengubur
8
abunya pada pemakaman. Memang kesejahteraan bukanlah hal yang mudah, bahkan dalam hal kematian yang sepatutnya diperlakukan secara layak, seperti manusia lainnya. Film ini dibawakan dengan sederhana, namun tetap menyentuh dan emosional. Tidak adanya dialog pada film ini sama sekali tidak menjadi masalah karena terdukung oleh ekspresi dan suasana yang dituangkan. Rasa pasrah, sedih dan menyesal dapat kita lihat dari raut wajah anak laki-laki tersebut yang membangun suasana emosional sepanjang film. . Hal tersebut menjadi nilai tambah bagi film ini karena dapat menyuguhkan banyak hal pada durasi yang bisa dibilang tidak lama. Show more, tell less. Suasana kota metropolitan seperti jembatan jalan dan pemakaman terlihat sangatlah kontras dengan tempat anak laki-laki itu tinggal pun cukup mendukung cerita dan menggambarkan keadaan. Apa yang dituangkan pada film ini
tidak semata memperlihatkan kesedihan yang dialami anak laki-laki tersebut. Film ini bicara soal perbedaan kasta yang jelas, dimana bahkan untuk mendapatkan hal yang layak untuk didapatkan sebagai manusia pun tidak bisa dilakukan. Film ini diangkat dari kisah nyata, yang menunjukan bahwa memang masih ada orang diluar sana yang tidak memiliki kehidupan secara layak. Melalui film ini, kita diajak untuk melihat dari sudut pandang orang yang kurang beruntung, dibalut dengan pembawaan yang emosional.
9
REVIEW : DILARANG MATI Mikhail Kevin Anthony “Aturan fiqihnya adalah dikuburkan, jika tidak ada tanah lagi untuk menguburkan kecuali di situ, dimungkinkan (menumpuk)� kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI. Pernyataan tersebut mempertegas kritisnya lahan pemakaman di Jakarta pada saat itu (2012) sehingga dimungkinkan ada pembongkaran makam lama dan disusul pengisian yang baru. Perebutan lahan untuk persiapan jenazah pun menjadi fenomena baru dalam bisnis kematian Indonesia yang bisa dieksploitasi oleh pihak-pihak pemegang kuasa, menyebabkan warga disana yang mau tidak mau pasti menghadapi kematian berlomba-lomba mempersiapkan akhir hayatnya agar dapat berbaring dengan tenang. Hal ini jadi cukup komedi mengingat pepatah “Uang tidak dibawa mati� yang menjadi realistis karena semua harta akan dihabiskan untuk sebuah lahan tempat berbaring. Film Dilarang Mati (2016) adalah film pendek karya Rifqi Zarkasih yang merupakan potret sosial dari kejadian ini.
10
Bercerita tentang seorang anak kecil bernama Raihan yang pulang ke rumah kumuh di tempat pembuangan untuk menemukan kakaknya sudah meninggal. Ia perlu secepatnya menemukan tempat untuk mengubur kakaknya di tengah kota yang sudah penuh. Dan berakhir dengan ia mengubur abu dari jenazah kakaknya yang ia bakar sendiri. Keminiman dialog nampaknya menjadi rute kurang tepat yang dipilih sutradara dalam menyampaikan gagasannya yang sebenarnya kuat. Jika dibaca sinopsisnya, informasi yang justru merupakan poin-poin penting dari film malah dapat lebih tersampaikan secara tertulis ketimbang media audio-visualnya. Sesimpel ternyata jenazah yang menantinya di rumah adalah kakak, akan sangat berbeda ceritanya ketika yang meninggal adalah adik dan yang mencari makan adalah kakak. Namun ambiguitas siapa yang adik siapa yang kakak tidak bisa terjawab melalui film malah
malah bisa melalui membaca sinopsis. Terlebih lagi, perihal keterbatasan lahan ataupun finansial sebenarnya tidak pernah dipertunjukkan secara gamblang yang mungkin bisa menjadi segmen penting dalam film ini, sebaliknya hanya ditunjukkan kegalauan karakter di berbagai lokasi yang majoritasnya tidak diberikan informasi latarnya sehingga penonton dibiarkan menerka-nerka sendiri. Dibandingkan dengan Kembalilah Dengan Tenang (2018) karya M. Reza Fahriansyah yang sama-sama bercerita permasalahan finansial dan lahan yang dihadapi orang terdekat dari seseorang yang meninggal dunia. Perbedaan paling mendasarnya adalah penuturannya, Kembalilah Dengan Tenang memaksimalkan penyampaian informasi penonton melalui media visual maupun audio.
Secara visual, salah duanya adalah sutradara menyisipkan gambaran konstruksi gedung untuk menegaskan kembali keterbatasan lahan dan pawai motor remaja untuk menambah latar belakang karakter anak yang mungkin dirasa sutradara tidak perlu diberikan secara infomasinya secara audio. Dari segi Audio, jelas bahwa karakter dari awal hingga akhir difokuskan hanya diajak bicara untuk ditodong mengeluarkan uang untuk biaya-biaya yang terduga maupun tidak. Detail-detail tersbut merangkai narasi Kembalilah Dengan Tenang secara utuh dan rapi. Kendati penonton belum berpengetahuan khusus megenai isu ini pun dapat paham dan bersimpati kepada karakter dalam film ini. Keutuhan identitas plot inilah yang mungkin belum tercapai dalam Dilarang Mati.
11
Bahkan untuk menambal kehampaan informasi, sutradara film menggunakan montase-montase yang menggiring persepsi penonton agar sesuai dengan ide cerita, seperti ondel-ondel sebagai lambang Jakarta, dan kucing sebagai representasi hidup liar diantara sampah dan hidup dari sampah. Namun dari montase dalam film ini, ada satu montase di akhir film yang sangat berbeda dan justru memberikan statement baru dalam film ini. Menjelang akhir film ini ada sekitar 5 detik stillshot hampir seperti gambar patung Bunda maria dan Yesus, yang memunculkan pertanyaan: Apa jangan-jangan selama ini Dilarang Mati adalah kritisisme terhadap agama? Ditelaah lagi, mungkin permasalahan ini salah satunya karena perpegangan teguh terhadap ide bahwa manusia yang dari tanah harus kembali ke tanah,secara utuh dan bahwa ketika kegiatan itu tidak dilakukan menjadi sebuah tabu. Beda dengan ritual agama lain yang biasa melakukan kremasi kepada jenazah orang terdekatnya. Memang banyak konsekuensi baru dari kremasi, misalnya biaya lebih mahal ataupun polusi yang ditimbulkannya,
12
namun keterbatasan lahan yang menjadi salah satu masalah di film ini bukan menjadi variabel yang perlu dipertimbangkan, karena abu dapat dibumikan kembali atau disimpan secara kompak di dalam rumah. Memang sudah diberikan solusi penggunaan lahan berulang ketika perlu dipaksakan, namun itu ketika mayat sudah terdegradasi sepenuhnya dan merupakan bekas anggota keluarga sendiri. Melihat bahwa populasi penduduk selalu bertambah 30 juta tiap 10 tahunnya, dengan lahan yang tidak secara bersamaan mengalami pertambahan, mungkin suatu saat masyarakat harus menerima bahwa kremasi adalah satu-satunya jalan mengembalikan manusia ke tanah
laprakine
Grave Torture
Sutradara : Durasi : Bahasa : Tahun :
13
Joko Anwar 9 menit Indonesia 2012
Resensi Film : Grave Torture (2012) M. Andryandana Susyanto
“When a person dies, he/she will wake up inside the grave, to receive punishment for bad deeds that they did then they were alive.” -Local religious belief in Indonesia Kalimat yang mengawali film ini menyinggung salah satu kepercayaan masyarakat Indonesia yang memercayai kehidupan setelah kematian atau yang disebut juga dengan afterlife. Sebagai manusia, saya sering skeptis tentang kematian dan hal apa yang akan terjadi setelah kematian. Apa setelah diri kita tak bernyawa, kehidupan ini sudah begitu saja? Atau ada hal-hal yang harus dipertanggungjawabkan dan ganjaran atas apa yang kita perbuat di dunia? Pada akhirnya, kita hanya bisa menerka dan membayangkannya. Ialah film pendek berjudul Grave Torture karya Joko Anwar yang mencoba bercerita tentang apa yang terjadi dengan manusia
meninggal. Film pendek ini merupakan bagian dari antologi film pendek horor “Silent Terror” yang dirilis oleh kanal YouTube YOMYOMF pada tahun 2012. Joko Anwar bergabung dengan 3 sutradara berbakat dari Asia lainnya dalam produksi antologi “Silent Terror” ini, yakni Woo Ming-Jin (Malaysia), Noburu Iguchi (Jepang), dan Erik Matti (Filipina). Grave Torture mengisahkan seorang anak laki-laki yang sedang dirundung suasana duka seusai ditinggal kepergian Ayahnya, yang merupakan seorang pembunuh berantai. Dirinya seakan tidak ikhlas akan hal tersebut sehingga nekat untuk masuk ke dalam peti jenazah Ayahnya dengan membawa korek api pemberian mendiang Ayahnya. Anak laki-laki tersebut tertidur dalam peti jenazah dan tak lama kemudian, dirinya terkubur bersama jasad Ayahnya. Kelihaian Joko Anwar dalam membuat suasana yang mencekam dan menyeramkan di dalam peti patut diacungi jempol. Pemanfaatan korek api oleh
14
dinyalakan anak laki-laki tersebut secara memberi kejutan yang membuat para penonton untuk bersiap-siap akan hal-hal yang bakal terjadi di dalam peti jenazah tersebut. Scoring yang apik (contohnya suara siksaan sang Ayah dalam kubur) juga memberi peran dalam menyuasanakan ketegangan dalam film ini. Film ini disajikan dengan tanpa adanya dialog sepanjang film. Meskipun nir-dialog, Joko Anwar dengan cerdasnya menyisipkan informasi-informasi dalam bentuk visual yang simpel dan tak berlebihan, namun cukup untuk memberitahu latar belakang tokoh kepada penonton. Contohnya adalah latar belakang si Ayah yang merupakan seorang pembunuh berantai yang baru saja ditembak hingga ia meninggal. Dengan menampilkan koran dengan headline bercetak tebal bertuliskan “PEMBUNUH BERANTAI TEWAS” yang disertakan dengan foto si pembunuh dan juga foto si pembunuh dengan anaknya, visual tersebut cukup untuk menyampaikan penjelasan latar belakang tokoh film tersebut. Hal menarik lain yang saya amati
15
dari film ini adalah bagaimana Joko Anwar menaruh tokoh anak ini sebagai “medium” antara penonton dan alam kubur. Sang anak seakan-akan menjadi perantara yang “membawa” penonton untuk perlahan masuk ke dalam “dunia setelah kematian”. Sayangnya, film ini mungkin tidak dapat dimengerti oleh beberapa penontonnya sehingga tidak semua orang dapat merasakan ketegangan dari film ini. Hal ini dikarenakan tidak semua orang tahu dan paham tentang kepercayaan siksa kubur ini yang mana sebagian film ini berisi referensi yang ada dalam kepercayaan agama Islam. Jika dilihat dari cara penguburan, film ini merujuk pada pemakaman secara Islam, karena jenazah sang Ayah dibalut oleh kain kafan, bukan pakaian resmi. Juga terdengar suara “Man Rabbuka” yang artinya “Siapa Tuhanmu?”, menandakan siksa kubur yang ditampilkan adalah siksa kubur dalam kepercayaan Islam. Namun, pemakaian peti dalam penguburannya sedikit mengusik saya, karena Islam tidak menyarankan penguburannya untuk memakai peti kecuali dalam kondisi terpaksa (salah satu alasannya karena tanah yang mudah
Terakhir, satu hal yang membuat saya bertanya-tanya adalah ending dari film ini yang membingungkan karena tidak dijelaskan mengapa wajah sang anak secara tiba-tiba berubah seperti sedang kerasukan. Selain itu, latar ending yang kurang jelas dan juga keterangan tokoh yang menepuk pundak sang anak di akhir film menambah daftar pertanyaan terkait ending film ini.
Pada intinya, film Grave Torture menyiratkan pesan untuk perbanyaklah berbuat kebaikan, sebelum waktu kita di dunia habis lalu “dihakimiâ€? di kuburan kelak‌
16
Grave Torture Khalisha M. Joko Anwar kali ini kembali dengan film pendek bergenre horror. Film yang berdurasi sekitar delapan menit ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki (Andro Trinanda) yang tidak sengaja ikut terkubur karena tertidur di dalam peti mati ayahnya sehingga ia terpaksa menyaksikan bagaimana mayat ayahnya (Ismail Basbeth) disiksa di dalam kubur. Grave Torture merupakan salah satu dari empat film yang ada dalam antologi Silent Terror, film di mana kebisuan menjadi ciri dari film tersebut. Meskipun tanpa dialog, suasana mencekam dapat dirasakan melalui atmosfer yang dibangun di dalam peti berukuran 2 x 1 meter. Jeritan dan ekspresi sang mayat ketika disiksa menambah kengerian dari film ini.
orang yang melakukan keburukan semasa hidupnya akan disiksa setelah ia mati. Tokoh ayah disiksa karena semasa hidupnya ia adalah seorang pembunuh. Hal ini diketahui secara tersurat dari scene yang memperlihatkan berita di koran tentang pembunuh berantai yang mati tertembak. Tepat di bawah headline berita tersebut, terpampang foto tokoh ayah. Penggunaan kain kafan sangat relevan dengan salah satu kepercayaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia: Islam. Adapun penggunaan peti mati bisa jadi karena Joko Anwar ingin mengakulturasi Islam dengan beberapa kepercayaan di Indonesia yang identik dengan peti mati. Namun, yang pasti, keberadaan peti mati menjadi setting berlangsungnya jalan cerita film ini.
Bagi beberapa kalangan penonton, mungkin Grave Torture atau Siksa Kubur akan terasa kurang relevan. Hal ini disebabkan kentalnya unsur agama dalam film ini. Singkatnya, menurut kepercayaan beberapa agama,
Alur film ini berlangsung maju dan cepat. Tidak perlu waktu lama, sang mayat langsung menghadapi ganjaran dari perbuatan buruk semasa hidupnya. Anak lelaki itu pun menjadi saksi berlangsungnya siksaan tersebut.
17
Tidak seperti film tentang siksa kubur atau azab yang biasa diputar di beberapa acara keagamaan di sekolah di mana kita bisa melihat bagaimana siksaan terjadi, film Grave Torture hanya menyajikan respon sang mayat saat disiksa dan setelahnya. Bagaimana ia disiksa adalah misteri. Pada akhirnya, film ini bercerita tentang apa yang terjadi setelah kematian secara personal. Terdapat beberapa hal yang menimbulkan pertanyaan. Pertama, bagaimana caranya anak lelaki itu tetap bertahan hidup? Mungkin saja sebenarnya anak lelaki itu sudah mati, mengingat ia ikut terkubur bersama ayahnya. Kedua, siapa orang tua yang tiba-tiba muncul di akhir film dan apa yang terjadi pada anak lelaki itu setelahnya? Menurut kepercayaan Islam, satu hari di alam
kubur. Bisa saja orang tua di akhir film adalah anak lelaki itu. Sebenarnya semua pertanyaan tersebut tetap menjadi misteri dan penonton dapat menginterpretasikan sendiri semua jawabannya. Terlepas dari segudang pertanyaan yang muncul diakhir film, harus diakui film ini dapat memberikan kesan tersendiri. Dimulai dari membuat merinding, hingga memberi pesan yang membekas kepada penontonnya, yaitu untuk berbuat baik semasa hidup.
18
Mars (Don’t Pee Radomly)
Sutradara : Durasi : Bahasa : Tahun :
19
M. Marhawi 20 menit Indonesia 2017
Review Film : Mars (Don’t Pee Randomly) Indah Permatasari M Marhawi sebagai sutradara, bersama teman-temannya yang tergabung dalam rumah produksi Tiga Koma Lima Film, berhasil menciptakan film yang pertama kali tayang pada acara pemutaran Film Fiksi dan Dokumenter Angkatan 2014 ISI Yogyakarta dan menggemparkan Gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta. Dengan filmnya yang mengusung tema bergenre sci-fi dengan menyelipkan beberapa unsur komedi, membuat film ini terpukau dan memunculkan tawa saat menonton. Film pendek yang berdurasi 20 menit 21 detik ini, dengan judulnya yang cukup unik yaitu Mars (Don’t Pee Randomly), menceritakan seorang anak SD bernama Ipul yang terkenal dengan sebutannya cah beseran (anak yang buang air secara terus-menerus). Suatu hari, sekolahnya tengah mengadakan study tour ke planet Mars. Ibu Ipul yang sebelumnya khawatir akan anaknya yang beseran itu, akhirnya mengizinkan Ipul pergi dengan mengantonginya sebuah pispot. Lalu, berangkat-
lah Ipul bersama teman-temannya ke Mars dengan bus APDG (Antar Planet Dalam Galaksi). Setelah sampai, ia bersama Sofia, saingan kelasnya menjelajahi planet Mars. Di perjalanan, Ipul tiba-tiba ingin pipis. Namun, ia lupa membawa pispot yang diberikan ibunya tadi. Ia pun pipis sembarangan dan akhirnya diculik oleh alien-alien penunggu Mars. Dengan memulai penulisan sejak Oktober 2016 lalu, tercipta kisah yang sederhana, namun memiliki arti dan pesan moral yang serius. Persetan dengan serius, uniknya film ini membalutnya dengan unsur komedi. Lihat saja dari adegan film saat ada penjual gethuk di Mars, robot yang membeli mie instan di warung sembako, animasi bus APDG yang menyebrangi ruang angkasa, dan alien-alien yang suka dengan lagu dangdut. Adegan-adegan tersebut dikemas dengan kemasan masa depan yang berbeda dari film sci-fi lain.
Ide yang bermula dari ket-
20
ertarikannya terhadap isu-isu global akan berita yang menyebar bahwa di masa depan, manusia dapat hidup di planet Mars sekitar tahun 2030 atau 2040 sebagai pengganti bumi yang rusak. Marhawi mengemas apik bagaimana penampangan Mars yang identik dengan gersang dan bernuansa merah. Dirinya yang sering bepergian dapat menemukan tempat-tempat unik di jalan, sehingga menjadikan tempat pengerjaan film ini di 5 buah lokasi, yaitu Gumuk Pasir Parangkusumo, Brown Canyon di Semarang, sekolah, warung, dan jalan-jalan sekitar. Ide lain dari sisi ceritanya, berawal dari kisah sewaktu kecil, jika pipis sembarangan di pohon misalnya, nanti akan diganggu oleh makhluk halus. Dalam film ini disajikan, seorang anak yang berumur 12 tahun pipis sembarangan di Mars dan alhasil ia pun diculik oleh alien-alien penunggu Mars. Berkaca dari adegan film tersebut, mengingatkan kita dengan kehidupan sehari-hari. Tidak hanya pipis sembarangan, buang sampah sembarangan, tapi apapun yang sembarangan itu bisa menimbulkan dampak yang buruk dan akan mencelakakan kita sendiri maupun sekitar. Selain itu, juga
21
terdapat pesan tersendiri bahwa jika mendatangi tempat yang baru kita kunjungi, jangan melakukan hal yang sembarangan. Pada intinya, film ini memberikan kesan unik akan hadirnya masa depan dan mengingatkan kita dengan pesan-pesan yang ada. Film yang diproduksi tahun 2017 ini pun telah diputar di berbagai festival film seperti Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2017, Ganesha Film Festival 2018, dan lain-lain.
laprakine
Review Film : Mars (Don’t Pee Randomly) Aulia Azizah
22
Saat pertama kali melihat film ini, saya merasa bingung. Asing. Apa maksud dari film yang sebenarnya ceritanya sederhana namun beberapa elemennya rumit ini? Apa makna yang sang pembuat film ingin sampaikan? Saya sampai harus menonton film ini beberapa kali untuk mencoba memecahkan misteri yang muncul di benak saya.
ke planet Mars menggunakan bus “bledug”. Elemen sederhana dan futuristik ini berpadu dengan pas dan natural di film ini, saya tidak mendapat kesan elemen tadi terlalu “terpaksa”. Film ini mencapai puncaknya saat di planet Mars, tokoh utama buang air kecil di suatu tempat yang sebenarnya terlarang dan diculik oleh alien yang suka lagu dangdut.
Dari segi cerita sebenarnya sederhana saja. Seorang anak yang suka pelajaran IPA ingin ikut Study Tour, tapi di perjalanan terhambat karena dia “beser”. Tidak diungkapkan mengapa dia beser, bisa jadi karena suatu penyakit, yang pasti dia sering diejek, walaupun sebenarnya hanya bercanda, oleh teman-temannya karena hal ini. Kehidupan yang dialami oleh para tokoh juga sederhana saja, namun dari situlah diselipkan beberapa elemen yang futuristik dan terkesan aneh ini. Anak SD menghubungi orangtuanya dengan telepon berbentuk kacamata, robot rumah tangga memesan mie instan di warung, sampai Study Tour
Banyak hal yang sebenarnya bisa diambil dari film ini. Bisa jadi dia menggambarkan bahwa di tengah anehnya dunia, atau bahkan di luar dunia itu sendiri, anak-anak tetap akan bertingkah sederhana dan polos. Bahwa semaju-majunya perkembangan teknologi, masyarakat tetap dapat mempertahankan budaya aslinya, seperti dengan tetap menggunakan bahasa Jawa. Atau bahkan dia hanya ingin memberi pesan sesuai judul filmnya, “jangan pipis sembarangan”. Mungkin tidak mengandung pesan yang dalam, atau bisa saja kebalikannya, terlalu dalam. Namun yang pasti, kesederhanaan dan keanehan disini
sangat dapat dinikmati, baik dari segi cerita maupun kejenakannya.
23
Mesin Tanah
Sutradara : Durasi : Bahasa : Tahun :
24
Wimar Herdanto 16 menit Indonesia 2017
Mesin Tanah dan Refleksi Budaya Pasca Revolusi Industri Muhammad Iqbal Juristian Semenjak revolusi kognitif manusia, manusia mulai untuk melakukan pertukaran pengetahuan melalui kemampuan komunikasi yang baru mereka dapat. Revolusi kognitif, sebuah istilah yang digunakan Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens, mengizinkan manusia bertukar budaya membentuk suatu kebudayaan baru baik melalui aksara atau prasasti hingga akulturasi budaya yang disebabkan oleh migrasi suatu kelompok baik dikarenakan perdagangan maupun sebatas hijrah. Pertukaran budaya ini menjadi kelak lebih masif setelah terjadi Revolusi Industri 3.0 , sebuah revolusi yang ditandai dengan penemuan internet serta pengembangan gawai dalam genggaman. Revolusi Industri 3.0 membuka pintu sebesar besarnya terhadap pembaharuan budaya pada suatu kelompok. Pertukaran selera musik, gaya berpakaian, hingga tutur bahasa (seperti gaya bahasa kejaksel-jakselan) mengakibatkan paparan budaya dan membuat pola tingkah suatu kelompok men-
jadi lebih varian. Mesin Tanah (Wimar, 2016) menceritakan tentang kedatangan seorang “Mesin” bernama Moyo ke desa Jatiwangi untuk berkarya. Penuturan film ini mudah dicerna meskipun penuh dengan simbolisme. Setiap adegan menjadi penting lantaran sarat mise-en-scène yang mengajak penonton menjadi detektif dadakan. Penuturan akan pesan yang disampaikan tidak terlalu gamblang tetapi tidak norak, dalam artian njelimet. Alhasil, film ini seakan telah dibuatkan kerangka berpikirnya oleh sang sineas bahwa film ini membicarakan distrupsi budaya impor/luar terhadap budaya lokal melalui kedatangan “mesin” tersebut. Distrupsi budaya luar terhadap lokal ini digambarkan oleh Mesin Tanah melalui aktivitas Moyo selama di desa tersebut. Mesin yang tidak bisa mandi karena tidak boleh banyak terkena air itu datang melakukan banyak aktivitas baru mulai dari vlogging
25
hingga nge-rap lengkap dengan lirik yang menyebutkan tim basket NBA Huston Rockets dan Boston. Keberadaan Moyo tersebut dibalas positif oleh masyarakat melalui responnya dengan mengizinkan Moyo untuk mengeksplorasi desa tersebut seperti salah duanya melakukan shooting iklan di hutan hingga vlogging di kuburan. Praktek semacam pemalsuan realitas melalui vlog Moyo membaca Qur’an sekiranya tidak pernah dikenal masyarakat lokal. Toh, hanya Moyo satu satunya tokoh yang menggunakan teknologi sehingga mengindikasikan budaya tersebut memang “impor” karena hanya dapat diakses Moyo melalui gawainya. Pengiklanan produk komersil – yang lucunya tidak digunakan oleh Moyo untuk mengusir nyamuk—pun menjadi suatu hal yang baru di mata masyarakat.
26
yang terlihat sangat organik, baik memotong rambut di jalanan serta keluguan kades yang berdiri di depan kamera saat syuting. Resolusi dari Mesin Tanah justru terletak di awal dan akhir cerita. Sisingaan merupakan suatu bentuk seni yang dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan masyarakat Jawa Barat (Subang) terhadap kolonial Belanda dan Inggris. Naiknya seseorang ke atas kepala singa bukan ditujukan sebagai hura hura melainkan ekspresi benci atau kuasa melalui lambang negara Belanda dan Inggris , singa. Di awal babak film, naiknya Moyo di atas sisingaan menunjukkan bahwa identitas desa telah diduduki oleh Si “mesin” yang dalam konteks ini adalah budaya. Adapun di akhir, posisi budaya lokal dengan “impor” ini mulai digambarkan dapat bersandingan dikarenakan telah
melebur bersama masyarakat. Si “mesin” dengan rap-nya dan masyarakat dengan pabrik gentengnya, sebuah ikon budaya/kreasi Desa Jatiwangi. Semua sibuk menjalankan kegiatan berbudayanya masing masing tidak saling usik dan masyarakat digambarkan “cukup tahu” dengan budaya tersebut. Film ditutup dengan rusaknya mesin dan dikembalikan ke kota. Boleh jadi, akan datang “mesin” yang lain ke desa tersebut dengan tingkah laku yang berbeda, membawa budaya yang berbeda pula. Berbeda dengan film Wimar yang lain, Gundah Gundala (2013) yang juga membicarakan gempuran impor terhadap lokal, yang dibawa dengan bentuk superhero, Mesin Tanah dirasa lebih tendensius dikarenakan di awal cerita penonton langsung disuguhkan oleh topi Moyo bertuliskan SAYA JAHAT seakan akan misi Moyo adalah wabah yang menghancurkan budaya setempat. Labelisasi ini berbahaya lagi lemah karena tidak memiliki konsekuensi apapun dalam cerita berbeda dengan Gundah Gundala yang memberikan implikasi ekonomi terhadap kedatngan superhero impor. Pemosisian suatu film itu wajar, namun dalam kasus Mesin Tanah agaknya
bertentangan dengan konteks sosial yang terjadi di era modern ini, yakni derasnya arus pada kanal kanal pertukaran budaya. Sebagai penutup, seiring berjalannya waktu pada akhirnya mau tidak mau alterasi budaya dan pengadopsian satu budaya dengan lainnya menjadi suatu hal yang terelakkan terlebih dengan adanya teknologi. Akan tetapi, distrupsi tersebut sebaiknya tidak dipandang sebagai ancaman tulen yang justru berpotensi menciptakan musuh baru: kenaifan.
27
Udin Telekomsel
Sutradara : Durasi : Bahasa : Tahun :
28
Rein Maychaelson 15 menit Indonesia 2015
Udin Telekomsel Ivan Wiryadi Di-read doang. Mengesalkan ga sih? Kalau kita bayangkan doa itu sebuah medium komunikasi layaknya media sosial seperti WhatsApp dan LINE, setiap kali kita mengirimkan pesan ke Tuhan (doa), hanya dua garis centang itu yang muncul. Ya dengan iman dua centang itu ditambahkan huruf ‘R’. Tapi bagi Udin, tokoh pada film Udin Telekomsel karya Rein Maychaelson ini, tidak demikian. Udin memiliki sebuah berkah unik, berkomunikasi dengan tuhan melalui SMS. Lewat berkahnya itu, Udin menjadi seseorang yang dihormati di desanya. Mengetahui kejadian yang berlangsung di tempat lain, mengabulkan permohonan orang lain, menjadi mudah ketika ia mengirimkan pesan ke tuhan dan (langsung) dibalas. Ambil contoh ketika Ibu Udin mau memasak nasi, Udin bilang kalau nasi itu terlalu banyak karena Ayahnya sudah makan di luar. Benar saja, Ayahnya sudah makan di luar. Ibunya yang tadinya tidak percaya anaknya
dapat berkomunikasi dengan tuhan melalui SMS juga akhirnya percaya dan langsung meminta Udin untuk meminta sepeda pada tuhan. Permintaan itu pun dikabulkan dan sepeda tersebut datang sendiri ke kediaman Udin dan keluarganya. Entah mengapa, setiap permintaan yang diberikan pada film ini, mulai dari Ibu Udin, Ijah, Uki, dan Tejo, selalu dikabulkan oleh tuhan. Sepeda Ibu Udin, iPad untuk Ijah, kambing untuk Uki, dan masuk surga untuk Tejo. Seolah memberikan sugesti tuhan akan mengabulkan semua permintaan. Oh tetapi, Ijah, Uki, dan Tejo harus melewati suatu ritual terlebih dulu sebelum permohonannya dikabulkan. Entah mengapa juga, sebagian permohonan bersifat duniawi. Sepeda Ibu Udin dan ipad Ijah. Apakah kritik terhadap manusia yang (mungkin) masih berdoa ketika ada keinginannya saja? Misal berdoa masuk universitas ternama atau disukseskan usahanya?
29
Sebagian permohonan lainnya, meski tujuan beragama (kurban dan masuk surga) tapi memberikan kurban yang bukan dari hasil kerja keras sendiri (Uki) dan seorang (yang masih) preman memohon masuk surga (Tejo) juga terasa mengganjal. Entah mengapa lagi, ponsel yang digunakan Udin ditampilkan pada awal film dengan seekor ular. Apakah karena ular yang dalam beberapa agama dilambangkan sebagai setan atau makhluk lain? Melihat kembali, setiap permohonan yang dikabulkan dan adanya ritual yang harus dilewati karakter pada film ini menjadi menggambarkan kalau tuhan yang ada pada film ini justru bukan Tuhan. Tuhan tidak mungkin mengabulkan semua permintaan kita dan untuk apa Tuhan meminta sesuatu dari kita?
30
Udin Telekomsel, karya 15 menit ini menarik untuk dinikmati, dengan bermacam cerita yang dapat dipertanyakan dan pembawaan komedi ringannya.
laprakine
Udin Telekomsel Alifia Arsyadani Achson “Tuhan kenapa jauh di atas langit sana, padahal katanya Tuhan dekat. Jauh, tapi dekat. Bingung, ‘toh?” Pertanyaan filosofis ini menjadi pembuka film komedi pendek berbahasa Jawa karya Rein Maychaelson, Udin Telekomsel. Dua orang pemuda sedang bercengkrama di malam hari, bahasannya sudah ngelantur. Parjo berandai-andai Tuhan sedekat teman sendiri yang bisa langsung dihubungi selagi butuh, yang lantas direspon oleh Gundul dengan menceritakan kisah seorang anak bernama Udin di kampungnya yang konon bisa mengontak Tuhan langsung lewat pesan berbayar (SMS). Apapun yang ia minta lewat SMS pasti dikabulkan. Sampai-sampai, warga sekampung memercayainya untuk menjadi medium manusia-Tuhan dalam pewujudan angan. Udin Telekomsel bisa dibilang merupakan penggambaran kehidupan masyarakat yang (sayangnya) relevan di era modern ini,
31
paling tidak dalam bentuk satire (kalau bukan pun kayaknya masuk akal saja sih — saya ambil contoh bocah sakti Ponari, yang kebetulan juga disinggung pada film). Memang sampai detik ini, kenyataannya di Indonesia banyak yang masih memercayai hal-hal aneh nan mistis semacam itu. Jadi suatu daya tarik, bahkan, meski saya akui sang sutradara cukup berani dalam mengambil statement film yakni tentang Tuhan, dimana hal-hal yang menyangkut keagamaan agak riskan dan sensitif. Disamping itu, antusiasme dalam mengikuti kabar burung tanpa pertimbangan logika terlebih dahulu, yang masih lekat dengan sifat masyarakat saat ini. Gagasan-gagasan tersebut dikemas dalam ide cerita yang simpel dan jalan cerita yang unik dan menggelitik. Highlight film ada pada adegan-adegan visualisasi cerita Gundul tentang orangorang yang mendatangi Udin untuk SMS Tuhan. Permintaannya beragam — dari gadget sampai masuk surga — yang dikabulkan den-
gan cara yang bervariasi pula, melibatkan “hal-hal berbau mistis dan tidak masuk akal� yang dalam film ini divisualisasikan dengan mulus namun tetap nyeleneh. Nampaknya, sang sutradara Rein Maychelson memiliki ketertarikan tersendiri dalam membuat film mengenai isu-isu sederhana yang dekat dengan keseharian kita, namun bermakna dalam. Film yang ia produksi setelah Udin Telekomsel, Errorist of Season (2016) berkisah tentang seorang bapak yang mempertaruhkan seluruh uangnya untuk dipakai bisnis yang belum tentu kepastiannya. Film lainnya adalah A Dinner With Astronaut, yang memiliki vibe nyeleneh mirip dengan Udin Telekomsel, dengan cerita berfokus kepada hubungan antarkeluarga.
32
Ulasan Film Udin Telekomsel: Pengen bisa sms Tuhan Elvina F. Dhata Kenapa Tuhan tinggalnya jauh di atas langit? Tapi katanya Dia dekat dengan manusia. Tapi jauh. Tapi dekat. Tapi jauh. Kebingungan ini disampaikan Parjo kepada Gundul di awal film, dalam suasana deep talk, ditemani rokok dan pemandangan bintang di hadapan keduanya. Setelah menyinggung soal iPhone baru milik Gundul, Parjo berpendapat betapa enaknya jika bisa nge-sms Tuhan seperti nge-sms ke teman. Perbincangan tersebut membawa mereka ke topik si Udin, seseorang di kampong Gundul yang konon katanya bisa sms-an dengan Tuhan. Gundul melanjutkan ceritanya, bahwa bakat Udin baru dikenal orang saat ia sukses meminta Tuhan untuk memberikannya sepeda permintaan ibunya. Berita tersebar dan orang-orang pun mendatangi Udin dengan berbagai kondisi dan kebutuhan, ingin permintaanya terkabul. Pada film ini ditunjukkan; sebeda apapun keadaan tiap orang, mereka sama-sama ingin bisa menghubungi Tuhan supaya
33
keinginannya terwujud. Ada 5 keadaan yang digambarkan dalam film. Satu keadaan ‘nyata’, yakni interaksi Parjo dan Gundul, dan 4 lainnya adalah keadaan ‘cerita’ – yang belum pasti kebenarannya di dalam dunia film ini – yang dibangun dari cerita Gundul kepada Parjo. Saat Parjo dan Gundul berbincang di dunia ‘nyata’, suasananya dibuat serius dan realistis baik dari kegiatan yang dilakukan tokoh maupun pencahayaan masuk akal; agak kekuningan pada objek di sekitar cahaya lampu petromak namun netral di titik-titik lain. Di dunia lain yang merupakan perwujudan cerita Gundul, tiap orang, tiap cerita, punya warnanya sendiri, secara harfiah. Color grading tiap keadaan dibedakan; Ijah berwarna hijau, Uki biru, Tejo jingga, dan Udin coklat. Warna ini melekat pada masing-masing keadaan, terlihat dari pakaian dan warna objek latar belakang.
Pada dunia ‘cerita’ ini se-
lain permainan warnanya, yang tidak kalah menarik adalah suguhan hal-hal abnormal. Sepeda jalan sendiri dateng ke rumah Udin, tiba-tiba ada kunti membawa titipan benda permintaan tokoh, dan orang yang melayang ‘tertarik’ ke surga lengkap dengan efek-efek cahaya ilahi. Ini seperti menunjukkan kekuatan gaib itu sungguh ada lewat pembawaan yang alihalih bikin seram, malah membuat penonton ketawa geli melihatnya. Tapi bukan berarti tidak ada efek seramnya, karena musik gamelan jawa yang simpel saat tokoh-tokoh melakukan ritual sebagai syarat permintaan mereka terkabul berhasil membuat suasana menjadi mistis dan sedikit ngeri. Pembawaan suasana yang berbeda antara dua dunia ini juga bisa berfungsi untuk membedakan mana yang ‘nyata’ mana yang ‘cerita’ di dalam film. Hal yang menarik adalah, meski terkesan surealis lewat editan-editannya, dunia ‘cerita’ didasari oleh permasalahan yang realistis – bisa ditemui di kehidupan nyata, bahkan lengkap dengan kompleksitasnya. . Seperti keinginan yang terkadang melawan logika, seperti istri yang meminta gadget terkini padahal sewajarnya
(menurut standar beberapa orang) istri yang sudah lama tidak bertemu suaminya akan memiliki permintaan seputar bertemu sang suami. Ada lagi yang kekurangan uang untuk aqiqah yang notabene urusan agama tapi kok mau mengatasinya lewat hal musyrik. Tidak lupa preman yang terkenal sangar tapi mau masuk surga. Semua keadaan memiliki persamaan, yakni terdapat kondisi saat sang tokoh utama dari keadaan masing-masing memiliki suatu kebutuhan sehingga muncul permintaan yang ingin ia bawa ke Tuhan untuk dikabulkan. Seperti yang telah disebut sekilas, ada ritual yang beberapa tokoh ini harus lakukan sebelum keinginannya dikabulkan. Meski tidak dijelaskan bagaimana keadaan atau tingkat spiritual tiap-tiap tokoh, tapi dengan mereka mau minta pertolongan Udin yang konon bisa nge-sms Tuhan lalu mau melakukan ritual-ritual aneh, itu seakan menunjukkan bahwa mereka belum bisa menghubungi Tuhan sampai didengar dan keinginannya terkabul. Pun digambarkan orang dateng berbondong-bondong ke rumah Udin sampai mengantri, berarti banyak orang yang mengalami hal ini. Lagi-lagi, keadaan
34
mereka berbeda-beda, Ada laki-laki, perempuan, berkerudung, tidak berkerudung, memakai kaos, ada juga yang kemeja, namun untuk tujuan yang sama. Kelihatannya itulah permasalahan yang ingin diangkat dalam film ini. Orang-orang yang percaya akan Tuhan, suatu zat yang maha kuasa atas dunia ini, tapi masih bingung dalam cara berhubungan denganNya. Mungkin sebenernya kita dapat seperti Udin, asalkan ketemu HP yang tepat. Menghubungi Tuhan bisa layaknya mengirim sms; mudah, dekat, dan bisa kapan aja. Intinya, jangan ngerepotin Ibu ya. Kayak Udin, permintaan ibunya langsung dipenuhi tanpa beliau harus ritual dulu.
35
Wei
Sutradara : Durasi : Bahasa : Tahun :
Samuel Rustandi 21 menit Indonesia 2016
36
Review : Wei Dyah Reyhaniadiva S Karya berupa film pendek yang disutradai oleh Samuel Rustandi ini mampu menggetarkan perasaan para penontonnya. Dalam film ini diceritakan sebuah hubungan antara seorang ayah dan anak perempuannya yang terasingkan. Sang ayah adalah seorang tionghoa berprofesi sebagai seorang koki sekaligus pemilik restoran Bak Kut Teh (sup iga babi) secara turun temurun. Sehari-harinya ia bekerja sendiri di belakang dapur dan dibantu oleh seorang pelayan dikarenakan istrinya yang telah wafat. Anak satu-satunya bernama Mei yang dijelaskan secara tersirat dalam pilihannya untuk menjadi seorang mualaf sehingga tidak memungkinkan untuk melanjutkan profesi dan restoran turun temurun tersebut. Bak bertahun-tahun sudah sang ayah menyendiri dan mengasingkan dirinya sendiri dari putrinya dan dunia luar. Kesibukan lain dari sang ayah tidak lain adalah senantiasa mendoakan sang istri, tanpa henti. Meskipun begitu, sang anak selalu membawakan rantang hijau yang berisikan makanan setiap harinya
37
yang dititipkan kepada pelayan sang ayah dengan harapan rantang tersebut setidaknya bisa kosong pada suatu hari. Namun, tetap saja rantang tersebut dikembalikan oleh pelayanan kepada sang anak masih dalam keadaan utuh layaknya tidak tersentuh sama sekali. Sampai pada akhirnya terjadilah dialog antara sang anak dan pelayan mengenai Cap Go Meh yang sebentar lagi akan hadir. Malamnya, ketika sang ayah selesai pergi dari kuil untuk berdoa dan hendak mempersiapkan ritual untuk sang istri, ia menemukan rantang hijau yang terbuka di antara altar persembahan. Terlihat ada ketupat dan opor ala iedul fitri (hari raya umat islam) dengan tertegun, akhirnya ia mencoba sesuap dan muncul kilas balik antara dirinya dan istrinya saat muda. Sesuatu yang berkaitan tentang maaf memaafkan sesama manusia tanpa melihat ras atau agama apapun. Sejenak, sang ayah terdiam dan kemudian meneteskan air mata.
Selang
beberapa
hari
kemudian, tibalah hari raya iedul fitri tersebut. Sang anak sedang bersilaturahmi dengan temannya, suasana tenang sampai pada akhirnya sang pelayan datang mengetuk dan mengantarkan rantang putih. Rantang putih tersebut merupakan pemberian dari sang ayah kepada sang putri, jelasnya secara singkat lalu kemudian pergi. Kini giliran sang putri yang tertegun melihat isinya : ketupat dan opor. Setelah kejadian tersebut, keesokan harinya ketika sang ayah dan pelayan membersihkan restoran tersebut yang berencana tutup setelah hari raya, datanglah sang putri dan keluarga kecil barunya. Sang putri tersenyum dengan pilu dan air mata melihat ayahnya secara langsung setelah sekian lama. Sang ayah menatap mata putri satu-satunya tersebut dalam-dalam untuk beberapa detik, sempat melihat perubahan raut putrinya sampai akhirnya ia menundukkan pandangannya dan berbalik berjalan menuju ke dalam toko. Sang putri dan keluarga terlihat masih tersenyum dan berdiri di depan resotran tersebut. Film ini berani mengangkat sebuah isu yang sensitif, yakni mengenai agama dan kepercayaan. Tidak mudah untuk membicara-
hal-hal yang sudah mengaitkan antara individu dan tuhan. Meskipun hal tersebut terkait dengan anggota keluarga sekalipun, apalagi mengenai perpindahan suatu kepercayaan. Sutradara dengan cerdik menggunakan makanan sebagai sebuah simbol dalam perbedaan agama, jelas sudah sup iga babi, ketupat, dan opor ayam adalah pemeran utamanya. Dalam kebudayaan tionghoa, mengonsumsi daging babi adalah hal yang sangat lumrah dan di sisi lain, dalam kepercayaan islam adalah sebuah larangan keras. Maka hal tersebut adalah suatu hal yang sangat menonjol dan merupakan salah satu konflik besar dalam film pendek ini. Ayah adalah seorang koki dan pemilik restoran sup iga babi dan putri satu-satunya yang dapat menjadi pewaris usaha tersebut tidak dapat lagi melanjutkan warisannya karena pergantian kepercayaannya. Kematian sang istri juga dapat menjadi faktor yang memperburuk situasi sang ayah yang akhirnya memilih untuk memutus hubungan dengan sang anak. Pada akhirnya meskipun terdapat akhir yang menggantung tidak menjelaskan kejelasan apakah hubungan sang anak dan ayah sudah membaik atau belum, dapat dikatakan bahwa akhiran tersebut
38
39
adalah akhiran yang cukup manis, yakni terjadi tatap muka secara langsung antara ayah dan anak meskipun hanya sejenak setelah betahun-tahun lamanya.
menggunakan tone yang terkesan dingin, kontras dengan adegan ketika sang anak ada yang terlihat lebih kekuningan melambangkan kehangatan.
Hal yang patut diperhatikan selain plot dan tema dari film pendek ini adalah cara bagaimana sang sutradara membawakan mood dari film ini. Adegan sang ayah memasak merupakan salah satu hal yang patut diapresiasi dari film ini, visualisasi dari proses dimasaknya sup iga babi terlihat sangat vivid dan memikat sampai-sampai menjadi lapar melihatnya , didukung dengan mixing suara yang seakan-akan merupakan video ASMR. Tiap tahapan dan proses dalam memasak dilakukan secara hati-hati dan mendetail. Selain itu, film ini seakan-akan menggunakan tone warna sebagai penjelas setting. Adengan-adegan sang ayah menyendiri terlihat
Kesimpulannya,film pendek yang bertajuk “Wei� karya Samuel Rustandi adalah sebuah film yang dapat menggetarkan hati dan membawa haru, lewat sebuah pesan tersirat dalam sebuah makanan.
Resensi Film Pendek : Wei Muhammad Irsyad A. Dalam durasi 22 menit, Samuel Rustandi berhasil membawa kehangatan ke dalam hati saya. Bagaimana tidak? Film pendek yang mengangkat isu sensitif, yaitu perbedaan agama dan toleransi terhadapnya, dikemas sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perspektif baru terhadap isu yang dibawanya. Film pendek ini sendiri menceritakan bagaimana seorang anak dari penjual sup iga babi, Mei, berusaha untuk menyambung kembali tali silaturahmi dengan ayahnya, Empek Li, karena konflik yang terjadi akibat keputusan Mei berpindah agama yang tidak disetujui oleh ayahnya. Film pendek ini diawali dengan Empek Li yang sedang memasak sup iga babi untuk pelanggannya. Usaha restoran sup iga babi ini dibantu oleh seorang pelayan bernama Aan karena istri Empek Li sudah wafat bertahun-tahun sebelumnya. Sang anak, Mei, selalu berkunjung ke restoran tersebut untuk mengantar ketupat dan opor yang dimasak oleh dia sendiri untuk ayahnya,
tetapi masakan buatan Mei tersebut selalu berakhir dengan diberikannya masakan tersebut kepada tetangga atau dibawanya masakan tersebut kembali ke rumah dalam keadaan penuh. Konflik pada film ini diperjelas oleh kehadiran Ko Acong yang berkunjung dan makan di restoran tersebut. Beliau bertanya akan kebenaran tentang restoran Bak Kut Teh milik Empek Li yang akan ditutup kepada Aan. Beliau juga bertanya tentang kehadiran Mei untuk meneruskan usaha restoran tersebut sampai beliau melihat Mei datang ke restoran tersebut dengan menggunakan hijab dan menanyakan reaksi Empek Li mengenai keputusannya. Hal ini sangat membantu saya mengerti akan permasalahan yang dibawa oleh film pendek ini, yaitu adanya pertentangan Empek Li akan keputusan Mei berpindah agama. . Bagaimanapun, Mei sangat menyayangi dan menghormati Empek Li, hal ini dapat disimpulkan dari perkataan yang disampaikan oleh Mei secara tersurat, “Kalau emang
40
gua sudah nggak dianggap anak lagi, ya nggak apa-apa. Tapi, gua masih anggap papa orang tua gua.� Untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi, Mei memanfaatkan momen Cap Go yang akan datang. Biasanya, pada waktu tersebut, masyarakat Tionghoa akan memberikan sesajen kepada orang yang telah meninggal. Hal ini dimanfaatkan Mei untuk menarik simpati Empek Li dengan menaruh ketupat dan opor buatannya di depan foto ibunya yang ada di tempat peribadatan di dalam restoran tersebut. Saya pribadi menafsirkan hal ini dilakukan oleh Mei bukan untuk memberikan sesajen, tetapi lebih kepada memberi tahu Empek Li bahwa meskipun sekarang Mei sudah �berbeda�, Mei akan tetap selalu mengingat, menyayangi, dan menghormati orang tuanya. Empek Li, yang sangat mencintai istrinya, terenyuh dan mengingat momen pada bulan
41
Ramadhan bertahun-tahun yang lalu ketika istrinya masih hidup. Istrinya mengatakan dan berusaha menyadarkan Empek Li bahwa memaafkan adalah hal yang bisa dilakukan oleh semua orang dari semua kalangan, tidak memandang ras dan agama. Hal ini menjadi titik balik bagi hubungan Mei dengan Empek Li. Selanjutnya, terdapat adegan Aan yang mengantar ketupat dan opor buatan Empek Li kepada Mei pada hari raya Idulfitri dan mengatakan bahwa restoran akan tutup keesokan harinya. Mei dan keluarga pun langsung mengunjungi Empek Li. Film pendek ini diakhiri dengan senyum bahagia dan haru Mei yang akhirnya melihat Empek Li setelah bertahun-tahun lamanya. Pengemasan yang dilakukan Samuel Rustandi terhadap
film ini patut diacungi jempol. Penggunaan stereotipe terhadap ketupat dan opor sebagai makanan yang menggambarkan budaya Islam dan sup iga babi yang sangat bertolak belakang terhadap Islam merupakan hal tidak biasa yang dilakukan oleh Samuel Rustandi dalam membawa isu ini. Selain itu, pembawaan mood melalui peran, warna, dan suara yang dilakukan dalam film ini juga sangat baik. Bila diperhatikan, Empek Li tidak pernah berkata apapun dalam film ini, hanya ketika beliau masih muda dan istrinya masih berada di sampingnya. Saya menafsirkan hal ini sebagai gambaran akan rasa sedih dan sepi yang dialami oleh Empek Li setelah beberapa tahun berpisah dengan keluarganya. Selain itu, penggunaan warna yang agak gelap dan sendu juga berhasil memengaruhi perasaan dan visualisasi saya sehingga akan memengaruhi interpretasi saya terhadap apa yang ditampilkan dan ingin disampaikan oleh Samuel Rustandi dalam film pendek ini. Juga, sudut pengambilan gambar dan penggunaan musik yang intens dicampurkan dengan suara asli pada proses memasak sup iga babi berhasil membuat saya yakin bahwa sup iga babi akan membawa peranan yang penting dalam film ini.
Pesan yang dapat saya simpulkan adalah seberapa dalam jurang dan seberapa tinggi tembok yang berdiri memisahkan kamu dan keluargamu, keluarga akan tetap menjadi keluarga selamanya. Juga, bahwa memaafkan adalah hal yang dapat dilakukan oleh semua orang dari semua kalangan, tidak peduli apa agama dan rasnya.
42
Resensi Film Pendek : Wei Ajani Raushanfikra Film berjudul WEI memiliki durasi 21 menit, mengambil kata “Wei� yang merupakan kata dari bahasa Tionghoa yang berarti “Rasa�. Film karya Samuel Rustandi ini mengisahkan seorang bapak tua, tionghoa pemilik restoran Sup Bak kut (Sup Iga Babi) yang telah ditinggal mati oleh istrinya. Setiap hari Bapak memasak di dapur dengan ekspresi sedih. Dalam menjalankan restoran tersebut, sang bapak dibantu oleh seorang pegawai lelaki. Saat malam tiba, Bapak membakar dupa dan mendoakan mendiang istri yang telah meninggalkannya. Pada titik ini mungkin kita bertanya-tanya, apakah Bapak tidak punya anak yang dapat menemaninya berjualan? Ketika itu, muncul seorang perempuan berhijab, berusia paruh baya bernama Mei yang ternyata merupakan anak Bapak. Setiap hari, Mei datang ke restoran bapak membawa rantang makanan berisi opor ayam untuk bapak, yang ia titipkan kepada pegawai restoran. Hijab yang dipakai Mei serta opor ayam yang ia bawa menyiratkan perbedaan jalan hidup yang Mei
43
pilih. Mei memilih untuk meninggalkan kepercayaan keluarganya, dan beralih ke agama Islam. Dalam film ini terlihat bahwa bapak belum bisa menerima pilihan hidup anaknya tersebut, terlihat dari sikap bapak selalu menolak keberadaan Mei, pun mengabaikan opor ayam yang ia bawa. Dari sebuah dialog antara pegawai restoran dan seorang pelanggan, yang menyampaikan bahwa restoran akan ditutup setelah lebaran. Suatu saat terjadi percakapan antara Mei dan pegawai restoran, Mei menanyakan mengenai usahanya memberikan opor ayam kepada bapaknya setiap hari, dan pegawai restoran menyampaikan respon sang bapak yang selalu menolak opor ayam tersebut. Percakapan tersebut diakhiri dengan kepergian Mei, membawa rantang berisi opor ayam tersebut kembali, diiringi pembicaraan mengenai Ibu dan Cap Go Meh. Rupanya ketika malam sebelum perayaan Cap Go Meh bapak berdoa di kuil dan menemukan rantang Opor Ayam dari Mei. Sepulangnya dari
kuil, bapak akhirnya memberikan opor ayam tersebut sebagai sesajen untuk Ibu dan juga memakannya. Sembari makan, bapak teringat kenangannya dengan Ibu dahulu. Kenangan tersebut menggambarkan kilas balik dialog Bapak dan Ibu sewaktu muda mengenai bagaimana kita harus saling memaafkan, tanpa memandang ras atau agama. Kilas balik tersebut membuat bapak menitikkan air mata. Pada suatu hari tibalah hari lebaran, memperlihatkan ramainya silaturahmi di rumah Mei. Di saat itu pula, sang pegawai restoran membawakan rantang berisi Opor Ayam dari bapak, sambil mengabari bahwa restoran akan tutup sesuai lebaran. Terlihat ekspresi kaget sekaligus terharu dari Mei, karena mendapatkan hadiah spesial dari bapaknya, yang selama ini menolaknya.
Maka pada scene penutup film Mei ditemani kedua anaknya mendatangi restoran bapak yang tengah dibereskan menjelang penutupan. Mei menatap bapak yang tengah menyapu di halaman restoran. Bapak yang awalnya sedang konsentrasi menyapu berhenti ketika menyadari kehadiran Mei, memasuki restoran tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada Mei. Film diakhiri dengan ekspresi Mei yang sedang terharu entah karena sedih atau senang. Scene ini mempersilahkan penonton untuk menduga sendiri bagaimana kelanjutan cerita dari film ini, apakah bapak dan Mei akhirnya berekonsiliasi? Atau mungkin ia akhirnya menerima kepindahan Mei, namun hanya sebatas itu saja. Scene film tidak jauh-jauh dari rutinitas bapak, bersedih dan memasak.
44
Dan juga rutinitas Mei, berkunjung ke restoran bapak sambil membawakan opor ayam. Salah satu yang perlu diapresiasi dari film ini adalah penataan kameranya yang apik, menampilkan proses memasak sup bakut buatan bapak, dengan moda zoom in, slow motion. Pemilihan warna yang muted menjadi ambiguitas: sesuai dengan pensuasanaan perasaan dalam film ini, yaitu kesedihan, namun di sisi lainnya tone warna yang muted menurunkan citra visual makanan. Atau mungkin justru hal tersebut yang mau dititikberatkan, warna makanan yang terlihat pudar mengisyaratkan makanan yang enak jadi terasa hambar, ketika dimasak dengan perasaan sedih. Suara peralatan masak dan bahan-bahan masakan yang tengah dimasak juga mendukung visual scene memasak, namun terasa agak sepi ketika melihat scene bapak berdoa di depan altar. Isu perbedaan keyakinan tengah menjadi salah satu isu yang hangat saat ini. Menariknya, film ini berani menampilkan perbedaan keyakinan yang merupakan hasil kepindahan, dan lagi menyangkut hubungan orang tua dan anak. Kepercayaan selamanya menjadi sangat sakral sebagai
45
sesuatu yang sebenarnya kita peroleh secara alamiah melalui orang tua. Namun jika kita lihat dari perspektif lain, kepercayaan merupakan sesuatu yang personal, yang juga tidak dapat dipengaruhi oleh keluarga. Melihat sudut pandang bapak, akan terasa miris sekali begitu mengingat dirinya ditinggalkan oleh istri tercinta, sekaligus anaknya. Walaupun disini, sang anak tidak benar-benar meninggalkannya, hanya karena perbedaan pilihan dan di filmpun disampaikan dengan gamblang oleh Mei, “ga masalah bapak ga nganggep gua anak lagi, bapak tetap bapak gua�. Menariknya, isu tersebut disini dibahas melalui makanan, sebuah topik ringan yang dapat membantu menyelami kedalaman suatu isu yang sakral. Bak Kut yang merupakan menu utama restoran bapak, adalah identitas kepercayaan Tionghoa, dan opor ayam merupakan makanan yang sering dikonsumsi di hari lebaran, hari raya orang-orang yang memiliki kepercayaan dengan agama Islam. Film ini menceritakan proses penerimaan sang bapak terhadap sesuatu yang dia anggap sangat tabu, yaitu kepindahan kepercayaan anaknya. Proses terse-
but diakhiri dengan sangat haru, kilas balik mengingat kata-kata sang istri untuk memaafkan tanpa pandang bulu. Pemberian opor ayam dari bapak mengisyaratkan keikhlasan bapak terhadap perbedaan kepercayaan anaknya, sebuah penyelesaian yang sangat manis. Menarik kesimpulan, saya menyukai pesan yang ingin disampaikan oleh film ini maupun cara penyampaiannya.
46