9 minute read
Perpustakaan
archdaily/ The Pinch Library and Community Center
Advertisement
Lebih Dari Sekedar Gudang Buku
Penulis : Nadia Rahmanisa
Mayoritas orang mengenal istilah “perpustakaan” sebagai tempat yang menyimpan koleksi buku dan dapat dipinjamkan kepada masyarakat yang membutuhkannya. Namun, sering kali terlupakan realitanya bahwa tempat ini dapat memberikan lebih dari sekedar buku. Perpustakaan sebagai ruang publik adalah tempat untuk membaca, bertemu, serta belajar.
Membaca menjadi salah satu tujuan utama masyarakat datang ke perpustakaan. Suasana ruang-ruang dalam perpustakaan dikenal sebagai tempat yang sunyi dan tenang; cocok bagi pengguna untuk dapat fokus dan tenggelam dalam dunia pustakanya.
Berkat teknologi, informasi dan pengetahuan dapat diakses dengan mudah, yang kemudian berujung pada turunnya angka pengunjung perpustakaan. Meskipun demikian, masyarakat cenderung mencari ‘ruang’ yang kondusif dan gratis ini untuk belajar, bekerja, berbisnis, maupun bertemu dengan orang lain. Selain itu, perpustakaan juga dapat menjadi tuan rumah untuk mengadakan berbagai acara, dari skala kecil sampai besar, seperti storytelling untuk anak-anak dan konferensi. Disinilah tempat orangorang bertemu untuk eksplorasi ilmu dan bertukar pikiran.
Terakhir, perpustakaan juga merupakan tempat untuk belajar. Masyarakat dapat memilih untuk mengonsumsi ilmu di tempat ini dengan sendirinya, namun juga dapat dibantu. Di samping penyediaan buku, perpustakaan juga menyediakan layanan edukasi. Contohnya, di Chicago Public Library, Amerika Serikat, terdapat akses yang terbuka ke 3D printer, kamera DSLR, konsol Disc Jockey serta kelas untuk mengembangkan keterampilan digital. Selain itu, di beberapa perpustakaan kampus di Indonesia terdapat pusat bahasa yang mengajarkan bahasa-bahasa tertentu.
archdaily/ denton corker marshall
archdaily/ denton corker marshall
archdaily/ sanrok studio
archdaily/ sanrok studio
Perpustakaan di Pulau Jawa
Penulis : Aurel Janantya
Terletak di pulau Jawa, terdapat beberapa perpustakaan yang telah dirancang sedemikian rupa untuk beradaptasi dengan kondisi masa kini, dari segi teknologi, arsitektural, maupun sosialnya. Salah satunya yaitu Perpustakaan Universitas Indonesia yang terletak di Gedung Crystal of Knowledge, Kampus UI. Dari segi arsitektural yang unik dan ramah lingkungan, mereka juga memiliki fasilitas lengkap dengan teknologi yang canggih dan juga koleksi buku yang lengkap. Terdapat juga Proyek Microlibrary oleh firma arsitektur SHAU Architecture & Urbanism, yang dipimpin Florian Heinzelmann dan Daliana Suryawinata . Proyek ini memiliki tujuan untuk meningkatkan literasi dan kesadaran lingkungan masyarakat dengan target membangun 100 Microlibraries.
Salah satu yang telah terbangun yaitu Microlibrary Bima yang merupakan tempat membaca komunitas yang minimalis, yang berlokasi di Taman Bima, Kota Bandung. Aktivitas dan pengajaran saat ini didukung dan diorganisir oleh Dompet Dhuafa dan Yayasan Diaspora Indonesia. Namun, tujuan utamanya yaitu agar masyarakat lokal dapat mengatur isi dan pemeliharaan Microlibrary secara mandiri. Setiap Microlibraries dirancang berbeda sesuai dengan lokasinya. Microlibrary Bima memiliki fasad unik yang terbuat dari susunan box ice cream yang didaur ulang yang disusun sedemikian rupa sehingga terbentuk pesan “buku adalah jendela dunia” dalam kode binary.
Bangunan ini diterima dengan sangat baik oleh masyarakat sekitar. Terdapat juga banyak masukan mengenai acara yang berlangsung, dan tamasya sekolah yang berkunjung ke Microlibrary.
Persebaran Perpustakaan di
Cidadap-Coblong
Wawancara: Winata H. Wijaya, General Manager McGraw Hill – Indonesia
Penulis: Rafida Hapsari
1. Apa itu perpustakaan menurut bapak?
Perpustakaan adalah gudang informasi dan ilmu pengetahuan dalam berbagai bentuk media yang dapat diakses baik secara fisik maupun secara virtual (online). 2. Seberapa penting keberadaan perpustakaan dalam hidup bapak?
Bagi saya pribadi, perpustakaan sangat penting karena menyediakan informasi dan ilmu pengetahuan yang telah ditelaah secara ilmiah. Walaupun ada Google, keberadaan perpustakaan tetap penting. Hasil pencarian dari Google dapat menghasilkan hasil yang berbeda (tidak relevan) dari pencarian informasi yang kita butuhkan.
3. Apakah perpustakaan digital bisa dikatakan sebagai perpustakaan?
Kembali lagi ke perpustakaan sebagai gudang ilmu dan informasi, sebenarnya perpustakaan digital adalah bagian dari perpustakaan itu sendiri. Tidak hanya dengan menyediakan buku cetak, perkembangan teknologi membuat perpustakaan wajib menyediakan koleksi digital baik berupa e-book, e-journal, database, sebagai respon terhadap perubahan cara belajar, riset dari pengguna perpustakaan saat ini.
5. Bagaimana strategi penerbit bertahan menghadapi era e-book?
Di masa pandemi covid-19 ini, terjadi lonjakan permintaan e-book, e-journal dan database dikarenakan proses belajar mengajar dilakukan secara virtual di rumah. Kesempatan ini harus dapat dipergunakan oleh perpustakaan untuk menyediakan kebutuhan bagi anggota perpustakaan karena banyak sekali dosen dan mahasiswa yang membutuhkan informasi dan ilmu pengetahuan yang dapat diakses dari rumah.
Bagi penerbit yang memiliki platform untuk e-book, e-journal, database digital, ini adalah kesempatan untuk memasarkan produk ke perpustakaan. Namun bagi penerbit yang tidak memiliki platform, dapat bekerja sama dengan perusahaan IT penyedia platform yang saat ini terdapat di Indonesia, misalnya: Gramedia Digital, Kubuku, Moco, dll.
4. Apakah perpustakaan digital dapat menggantikan perpustakaan konvensional?
Perpustakaan digital justru melengkapi perpustakaan konvensional, tidak menggantikan. Perpustakaan tetap harus menyediakan buku secara fisik namun dilengkapi juga dengan buku secara digital. Jadi tidak ada kemungkinan sebuah perpustakaan hanya menyediakan buku digital sebagai koleksinya. Namun perpustakaan harus lebih kreatif dengan bertransformasi dengan menyediakan akses gratis komputer dan internet, software, e-book, e-journal, database bahkan menyediakan tempat pelatihan, tempat diskusi bagi komunitas dimana perpustakaan tersebut berada.
archdaily/ KIE
Wawancara : Wujud Manifestasi Kekuatan Ilmu
Rizki Maulid Supratman
Penulis: Nadia Rahmanisa
Perpustakaan telah hadir selama berabad-abad sebagai gudang informasi dan pengetahuan. Namun, berkat perkembangan teknologi, informasi yang tiada ala kadarnya dapat diakses oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Hal ini menyebabkan relevansi keberadaan perpustakaan dipertanyakan.
archdaily/ KIE
Akan tetapi, menurut Rizki Maulid Supratman, arsitek dan dosen Arsitektur UNPAR, relevansi itu bergantung dari realita mana yang dipandang. Perkara ini diawali dengan melihat definisi perpustakaan terlebih dahulu, yang mana merupakan tempat untuk mengumpulkan informasi dan data.
Jika dilihat dari kacamata masyarakat strata ekonomi menengah ke atas, segala informasi dapat diperoleh dengan mudah karena individunya mampu mendapatkan fasilitas-fasilitas penunjangnya, seperti kuota internet dan perangkat elektronik yang mendukung. Sebaliknya bagi masyarakat strata ekonomi menengah ke bawah, fasilitas tersebut adalah suatu kemewahan yang sulit dijangkau sehingga informasi yang dibutuhkan didapat dari sumber daya kolektif yang tersedia, yaitu perpustakaan.
Kecenderungan akan relevansi perpustakaan bukan tidak lagi layak, hanyalah berkurang. Perpustakaan sebagai ruang komunal berkurang karena bagi sebagian masyarakat kebutuhan akan informasi dapat dipenuhi sendiri. Namun, tempat itu harus tetap hadir karena masih banyak orang lain yang membutuhkannya. Untuk menjadi ruang publik yang inklusif bagi semua strata ekonomi, perpustakaan harus dipandang sebagai entitas yang berevolusi. 10
archdaily/ KIE
Pada tahun 2006, Pak Rizki bersama Budi Pradono melakukan riset mengenai contemporary library dan melihat fenomena bahwa di Eropa, perpustakaan itu seperti gereja. Pada sebuah kota, gereja merupakan manifestasi dari kekuasaan agama, sedangkan perpustakaan merupakan manifestasi dari kekuatan ilmu. Jadi, perpustakaan bukanlah sekedar gudang data dan informasi yang berdiri sebagai institusi yang kuno dan tertutup, melainkan juga sebuah fasilitas yang dapat digunakan oleh masyarakat. Perpustakaan akan lebih menarik bagi masyarakat jika dijadikan lebih publik, terbuka, komersil, dan juga menyenangkan.
Adapun yang dapat diupayakan oleh sebuah perpustakaan untuk menjadi lebih publik antara lain yaitu memikirkan pengarsipan data baik secara digital maupun hardcopy, mulai memasukkan ruang terbuka seperti lobby, membuat spesifikasi ruang baca yang berbeda-beda, serta memasukkan auditorium atau ruang-ruang fungsi publik lainnya. Contohnya, proyek 100 Microlibraries by 2030 oleh SHAU Architects adalah proyek pertama di Indonesia yang berupaya melakukan rekonstruksi, revisi, dan pemikiran ulang konfigurasi perpustakaan pada tingkat kecamatan. Berawal dari letaknya yang berada di dalam kantor dinas hingga menjadi bagian dari ruang publik karena ditempatkan di taman. Oleh karenanya, aksesibilitas jauh lebih baik dan rasa segan masyarakat untuk datang ke perpustakaan semakin berkurang.
Menurut Pak Rizki, untuk menciptakan perpustakaan yang ideal, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, aksesibilitas ruang kota menuju perpustakaan pantasnya adil bagi seluruh warga. Hal ini menjadi idaman karena struktur kota-kota di Indonesia amat rumit. Lalu, terjadinya ruang publik dalam perpustakaan. Kesalahan yang dilakukan di Indonesia adalah banyak perpustakaan umum yang disatukan dengan kantor dinas, sehingga suasana lebih seperti institusi formal dibandingkan ruang publik. Terakhir dan tak kalah penting, perpustakaan di aktivasi sebagai sarana untuk mencerdaskan warganya.
EKSISTENSI PERPUSTAKAAN Perpustakaan Ideal?
Penulis: Shadina Ayu
Desain interior perpustakaan merupakan unsur penting dalam pengembangan perpustakaan. Perpustakaan seharusnya menjadi tempat dimana pengguna ruang dapat mencari informasi dan belajar dalam lingkungan yang nyaman dan mengundang.
Konfigurasi Area Duduk
Perpustakaan harus memiliki beragam pilihan tempat duduk untuk mengakomodasi berbagai gaya pembelajaran dan aktivitas. Area duduk sebaiknya dibagi menjadi dua bagian :
1. General zone
Area ini merupakan area umum dimana pengunjung dapat bersosialisasi. Tingkat aktivitas di area ini cukup tinggi dan berbentuk ruang diskusi informal dengan kursi yang bisa di re-konfigurasi.
2. Silent zone
Area ini diperuntukkan bagi individu-individu yang ingin menjauh dari keramaian. Partisi tidak masif atau transparan dapat digunakan untuk memberi batasan yang jelas antar area, namun tetap terhubung dengan area utama.
Pengguna perpustakaan memerlukan lingkungan yang tenang untuk belajar atau membaca sehingga dibutuhkan metode kontrol bising. Pemantulan bunyi, penyerapan bunyi, difusi bunyi, difraksi bunyi, dan dengung dapat diatasi dengan memperhatikan lapisan permukaan dinding, lantai, dan plafon atau isi ruangan seperti tirai, perabot, karpet, maupun acoustic board panel untuk meredam kebisingan dalam ruang.
Pencahayaan
Perpustakaan memerlukan pencahayaan bebas silau dengan tingkat luminasi minimal 300 lux. Pengguna ruang cenderung beraktivitas secara dinamis dan berpindah-pindah sehingga akan merasakan berbagai kondisi pencahayaan di berbagai ruangan di perpustakaan. Tingkat pencahayaan perlu didistribusikan secara seragam dan dengan memperhatikan tata letak rak buku yang berpotensi menghalangi cahaya.
Jika pencahayaan menggunakan cahaya alami, hendaknya sinar terlebih dahulu dipantulkan pada permukaan tertentu sehingga tidak melelahkan mata. Untuk pencahayaan buatan, salah satu teknik yang dapat digunakan adalah teknik cove, tipe pencahayaan tidak langsung dimana lampu dipasang secara tersembunyi di sekeliling langit-langit dan cahaya dipantulkan ke arah plafon.
Pemilihan Warna
Warna interior perpustakaan haruslah harmonis, menyenangkan, dan menciptakan suasana tentram. Warna tersebut dapat ditampilkan pada elemen seperti dinding, partisi, furniture, atau elemen grafik untuk menegaskan batas-batas area perpustakaan. Warna gelap bersifat menenangkan sehingga cocok bagi pengunjung dewasa, sementara warna cerah bersifat merangsang kreativitas atau kelompok usia muda.
Warna atau latar belakang dengan lapisan terlalu terang pada permukaan meja baca perlu dihindari karena berpotensi menyilaukan, begitu pula dengan permukaan sangat gelap yang memberikan kontras terlalu besar dengan kertas pada buku sehingga tidak nyaman bagi mata.