Suara Pembaruan Agraria edisi 8

Page 1

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


daftar isi Editorial

............................................................................ 4-5

Update kegiatan KPA........... 22-34

Reforma Agraria dan Pemilu 2014

wawancara ................................. 35-37

Reforma Agraria adalah persoalan politik. Karena itu, tanpa adanya kekuasaan politik dari kalangan gerakan, hampir mustahil reforma agraria dijalankan dengan benar.

Wawancara bersama Dewi Kartika, Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria

Peran Perempuan dalam Gerakan Reforma Agraria

BERITA AGRARIA ................................................................ 6-8 Wawancara Eksklusif Bersama Kasmita Widodo

Membaca Ketimpangan dari Peta Wilayah Kelola Rakyat Pemetaan partisipatif adalah salah satu alat yang efektif menyatakan ketimpangan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan serta pengelolaan sumber-sumber agraria. Salah satu pra-syarat reforma agraria yaitu kesediaan data yang akurat dan lengkap, termasuk peta, dapat menjadi pintu masuk bagi perjuangan keadilan agraria di berbagai wilayah. Data dari JKPP menyebutkan bahwa dari 3,9 juta Ha wilayah adat, 3,1 juta Ha ada di wilayah hutan. Hal ini dapat dijadikan ‘entry point’ bagi para pejuang agraria untuk membongkar carutmarutnya penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia. Buletin Suara Pembaruan Agraria edisi VIII kali ini mengangkat salah satu pandangan Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang giat melakukan pemetaan di wilayah-wilayah kelola rakyat.

Opini .......................................................................................... 9-21

Minimnya perspektif gerakan untuk memahami perjuangan hak dan akses kaum perempuan atas tanah dalam gerakan reforma agraria hingga saat ini masih menjadi kendala tersendiri dalam tubuh gerakan reforma agraria baik di level wilayah hingga nasional. Seringkali posisi dan peran penting perempuan dalam gerakan agraria dan kehidupan pedesaan belum banyak muncul ke permukaan sebagai kerangka acuan praktek perjuangan kaum perempuan dalam reforma agraria.

lintas peristiwa ................... 38-43 sosok ............................................... 44-46 resensi

.......................................... 47

Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) atas dukungan dari Ford Fondation (FF). Namun demikian buletin ini bukanlah merupakan gambaran sikap FF terhadap perwujudan Pembaruan Agraria di Indonesia. Redaksi menerima tulisan berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna tulisan. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi. Tulisan dapat dikirim via email ke alamat kpa@kpa.or.id atau dikirim via pos ke alamat redaksi

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


salam redaksi Salam Reforma Agraria sejati, Pada edisi Suara Pembaruan Agraria kali ini, kembali akan memuat isuisu hangat seputar perkembangan perjuangan reforma agraria di Indonesia. Editorial Suara Pembaruan Agraria mengulas reforma agraria dan Pemilu 2014. Para pegiat dan pejuang agraria di seluruh penjuru tanah-air harus mampu membaca situasi dan kondisi kekinian dengan tepat demi menetapkan langkah maju meletakan isu reforma agraria sebagai agenda bangsa yang wajib dilaksanakan oleh rezim 2014 ke depan. Pada rubrik “Berita Agraria”, Suara Pembaruan Agraria mengangkat tema Membaca Ketimpangan dari Peta Wilayah Kelola Rakyat. Ketimpangan penguasaan sumber kekayaan alam (agraria) adalah pintu masuk yang harus dinyatakan secara luas dalam rangka mendorong terlaksananya reforma agraria sejati. Kami sajikan bahasan ini, dalam bentuk wawancara eksklusif dengan Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif, Kasmita Widodo. Pada rubrik “Opini”, redaksi berupaya mendorong tema bahasan, 53 tahun cita-cita reforma agraria, pelaksanaan serta tantangannya dari berbagai sudut pandang yaitu perjuangan petani, buruh, mahasiswa dan pegiat globalisasi. Hal ini bertujuan untuk menyatukan semangat dan kekuatan berbagai elemen gerakan pendukung Reforma Agraria. Harapannya publik dapat membaca situasi bahwa gerakan reforma agraria bukanlah mengedepankan gerakan sektoral elemen, namun menjadi bagian agenda perjuangan nasional yang didukung seluruh elemen kekuatan progresif. Pada rubrik Opini juga mengulas pengaruh dominasi neoliberalisme melalui Bank Dunia yang aktif mempengaruhi tanah-air Indonesia. Tak ketinggalan, dalam Suara Pembaruan Agraria edisi 8 ini, memuat perkembangan kegiatan organisasi KPA diantaranya: Tantangan Utama Masalah Agraria di Indonesia melalui Workhsop Persiapan “National Engagement Strategy”; Sikap Politik KPA: Menolak Penjarahan Tanah-Air dan Liberalisasi Pangan di Indonesia ; liputan Peringatan Hari Tani Nasional KPA di Wilayah; Dialog Agraria Nasional: Masa Depan Reforma Agraria di Indonesia; Pertemuan Regional ILC Asia: Laporan Pandangan Mata; Workhshop dan Pelatihan “Gender Evaluation Criteria”: Mengukur Keadilan Gender dalam Kebijakan Pertanahan serta Peran Perempuan dalam Gerakan Reforma Agraria yang memuat wawancara bersama Wasekjen KPA, Dewi Kartika. Dalam rubrik “Lintas Peristiwa” menyajikan rangkaian beragam peristiwa terkini seputar persoalan agraria, antara lain: kriminalisasi petani Lumajang; Pasal karet yang melemahkan gerakan tani di Lubai, Muara Enim; Belajar bangkit dari petani Sragen; liputan soal perusahaan sawit Malaysia yang merampas lahan petani di Jambi serta ulasan mengenai pemogokan nasional kaum buruh bagi petani dan gerakan reforma agraria. Pada “Rubrik Sosok”, Suara Pembaruan Agraria mengangkat profil para koordinator KPA wilayah periode 2013-2016. Di bagian akhir, kami juga mengangkat resensi buku “Indonesia Negara Merdeka yang Terjajah” yang mengurai persoalan fundamental kebangsaan. Demikianlah ragam bacaan yang kami sajikan pada edisi 8 kali ini. Harapannya, buletin ini dapat hadir mengisi arus informasi yang aktual kepada seluruh pejuang dan pegiat agraria di Indonesia dan dapat menambah modal perjuangan di bidang pengetahuan dan informasi. Salam agraria Redaksi

EDISI: VIII/SEPTEMBER-NOVEMBER 2013

Penanggung Jawab Iwan Nurdin Pemimpin Redaksi Dewi Kartika Dewan Redaksi Galih Andreanto, Jarwo Susilo, Andria Perangin-angin, Yusriansyah, DD Shineba, Yayan Herdiana, Agus Suprayitno, Adang Satrio, Diana, Roy Silalahi Fotografer Kent Yusriansyah Layout Syawaludin Alamat Redaksi Kompleks Liga Mas Indah Jl Pancoran Indah 1, Blok E3 No. 1, Pancoran, Jakarta Selatan 12760 Telp 021-7984540 Fax 021-7993834 Email: kpa@kpa.or.id Website: sss. kpa.or.id

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Editorial

Reforma Agraria dan Pemilu 2014

R

eforma Agraria adalah persoalan politik. Karena itu, tanpa adanya kekuasaan politik dari kalangan gerakan, hampir mustahil reforma agraria dijalankan dengan benar. Dalam nuansa yang sama, pakar politik agraria, Gunawan Wiradi (82), mengungkapkan sejumlah prasyarat agar reforma agraria berhasil dilaksanakan. Dari beberapa tersebut, ada dua yang sangat penting yaitu adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah yang berkuasa dan kuatnya organisasi rakyat yang memperjuangkan dan aktif mendesak pelaksanaan reforma agraria. Sejak reformasi, hujan desakan tentang pentingnya pelaksanaan reforma agraria oleh organisasi masyarakat petani bukanlah hal yang kecil. Namun, pemerintah masih bergeming. Paling banter, reforma agraria dijadikan program yang menempel pada program di kementerian dan BPN. Agaknya dibutuhkan sebuah rancang bangun gerakan reforma agraria yang lengkap, konsisten dijalankan, dalam membangun jalan menuju sebuah kuasa politik oleh kalangan gerakan reforma agraria. Soal kuasa politik, salah satu jalur yang tersedia, yang hasilnya diharapkan bisa

Soekarno adalah salah satu tokoh Bangsa yang dalam cita-cita politiknya meletakan land reform sebagai suatu cara mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Sumber foto: Poster 50 tahun peringatan UUPA, STPN

mendukung transformasi struktur agraria ke arah yang berkeadilan sosial melalui pelaksanaan reforma agraria adalah melalui pemilu. Sayang, partai politik peserta pemilu tahun 2014, belum ada yang menjadikan reforma agraria sebagai basis utama transformasi ekonomi politik dan sosial di Indonesia. Selain itu, calon legislatif dan eksekutif yang ditawarkan, bagian terbesarnya mempunyai rekam jejak yang anti reforma agraria. Membincangkan pemilu, setelah daftar partai dan caleg sudah ditetapkan, setidaknya ada dua proses utama yang patut diisi atau dipengaruhi oleh kalangan gerakan reforma agraria. Pertama, pada saat pra-pemilihan, prosesi kampanye dialogis, rapat akbar, mobilisasi rakyat wajib diisi dengan masalah reforma agraria sehingga menjadi janji politik yang resmi. Kedua, saat konsolidasi kekuasaan rezim baru terbentuk dari hasil pemilu. Proses ini penting untuk memastikan bahwa reforma agraria tidak saja menjadi agenda namun dilaksanakan. Masalahnya adalah, sejauh mana kalangan gerakan reforma agraria mampu mewarnai proses yang sedemikian kompleks dan high politics tersebut jika tidak menyiapkan diri sejak awal. Selain itu, kelemahan lainnya, karena ran-

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


cang bangun sistem pembangunan neoliberal telah dibentuk melalui aneka kesepakatan yang telah dilaksanakan rezim sebelumnya seperti AFTA, APEC dan WTO serta perjanjian internasional lain yang mengikat dan anti pelaksanaan reforma agraria. Namun, bagaimanapun pemilu 2014 adalah pasar politik yang tersedia, dimana gagasan reforma agraria harus dipertandingkan, diperjuangkan dan dituntut pelaksanaannya oleh para pejuangnya. Bukan saja untuk memasukkan ide kedalam pusaran politik kekuasaan, namun untuk dilaksanakan. Bagi kalangan gerakan reforma agraria yang menganggap pemilu 2014 adalah berulangnya proses politik politik formal yang telah lama membusuk. Sehingga diabaikan atau dijadikan ajang propaganda bagi kebusukan rezim pemilu yang tengah berlangsung. Tak ada masalah dengan hal tersebut. Sekali lagi, reforma agraria adalah soal politik kekuasaan. Di dalamnya kita membutuhkan sebuah gerakan. Sebuah gerakan dengan basis utama petani. Ia wajib mempunyai tali temali yang terhubung dengan kelompok lain seperti buruh, jurnalis, akademisi dan kalangan masyarakat sipil lainnya demi perluasan pemahaman agenda reforma agraria.

Kelompok pengusung reforma agraria tetap melakukan kampanye promosi di berbagai wilayah tanah air pada peringatan HTN 2013. Sumber foto: KPA

Bukankah tingkat melek reforma agraria yang tinggi di kalangan masyarakat akan memudahkan desakan pelaksanaan reforma agraria itu sendiri. Sebuah gerakan juga membutuhkan kader yang tak kenal lelah menyuarakan isu ini. Ia bisa berangkat dari kasus-kasus perampasan tanah, konflik agraria hingga mengarah kepada tuntutan pelaksanaan reforma agraria. Bisa juga berangkat dari hal-hal lain, seperti perlindungan pekerja migran, kemiskinan pedesaan, perlindungan masyarakat adat yang semuanya bermuara pada solusi pelaksanaan reform agraria. Karena itu di dalamnya wajib ada sebuah pendidikan kader yang bertahap. Berbicara gerakan, adalah membicarakan perubahan. Mustahil ia berdiri sendiri, sibuk secara terus menerus terus menerus, misalnya oleh kasus-kasus yang didampingi semata tanpa merangkaikannya dalam sebuah kerangka sosial poitik yang lebih luas. Oleh karena itu, perlu langkah perubahan dalam serikat-serikat tani yang ada. Berubah dari organisasi kasus menuju organisasi perjuangan reforma agraria. Berubah dari watak dan perilaku “korban� menjadi para pejuang reforma agraria. n Tim Suara Pembaruan Agraria

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Berita Agraria

Wawancara Eksklusif Bersama Kasmita Widodo

Membaca Ketimpangan dari Peta Wilayah Kelola Rakyat Pemetaan partisipatif adalah salah satu alat yang efektif menyatakan ketimpangan penguasaan, pemilikan, pemanfaatan serta pengelolaan sumber-sumber agraria. Salah satu prasyarat reforma agraria yaitu kesediaan data yang akurat dan lengkap, termasuk peta, dapat menjadi pintu masuk bagi perjuangan keadilan agraria di berbagai wilayah. Data dari JKPP menyebutkan bahwa dari 3,9 juta Ha wilayah adat, 3,1 juta Ha ada di wilayah hutan. Hal ini dapat dijadikan ‘entry point’ bagi para pejuang agraria untuk membongkar carut-marutnya penguasaan sumber-sumber agraria di Indonesia. Buletin Suara Pembaruan Agraria edisi VIII kali ini mengangkat salah satu pandangan Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) yang giat melakukan pemetaan di wilayah-wilayah kelola rakyat.

Profil: Kasmita Widodo ialah Direktur Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Ia pernah menjadi kepala Badan Registrasi Wilayah Adat pada 2010 hingga 2012 lalu. Alumnus Institut Pertanian Bogor ini kini aktif dalam memberikan pelatihan mengenai pemetaan partisipatif kepada masyarakat adat.

Hubungan antara pemetaan partisipatif dengan reforma agraria? Pertama, untuk melaksanakan reforma agraria kita butuh data akurat mengenai sumber-sumber agraria yang timpang, maka untuk menyatakan ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria kita harus memetakan wilayah kelola rakyat, selain itu pemerintah juga harus memetakan atau mengidentifikasi kondisi objek reform melalui pemetaan. Selama ini, belum terlihat upaya sungguh-sungguh untuk melaksanakan reforma agraria, karena pra-syaratnya mengharuskan adanya data yang lengkap terlebih dahulu soal informasi kewilayahan, sehingga bisa

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


dideteksi ketimpangan agraria dan ketimpangan-ketimpangan lainnya. Itulah hambatannya, Kita belum mempunyai data spasial, informasi ruang kewilayahan, atau peta yang kita tentukan bersama-sama. Kebijakan dari pemerintah mengenai satu peta belum ada, meskipun inisiatifnya ada. Faktor ego sektoral sangat menghambat, karena belum adanya satu visi dalam pengelolaan sumber-sumber agraria. Kedua, kita juga harus mengetahui dan melihat kondisi penguasaannya? Apa saja dan siapa saja yang menguasai wilayah-wilayah dan apa saja izin di dalamnya. Ketiga¸peta claim rakyat juga harus dibuat, rakyat harus memetakan dan mengetahui wilayah tata kelola rakyat. Jika ada kebijakan melaksanakan reforma agraria, harus memahami data penguasaanya, agar tidak terjadi persinggungan penguasaan lahan, terutama di luar jawa yang lebih rumit karena faktor kesejarahan dan berpotensi konflik horisontal antar masyarakat. Untuk menyatakan ketimpangan penguasaan lahan, harus dipersiapkan informasi spasial kewilayahan melalui registrasi dalam rangka mengidentifikasi kondisi objek reform atau kesesuaian lahannya. Selama ini belum ada referensinya, maka dari itu registrasi atau pendaftaran hak atas tanah dan izin-izin yang ada di atasnya harus dilakukan. Jika registrasi sudah berhasil dilakukan, kemudian bisa direview izin-izin yang legal maupun ilegal dan dapat juga dideteksi dugaan korupsi izin di dalamnya.

Terkait dengan pemetaan partisipatif bagaimana peran dan respon pemerintah selama ini ? Semua instansi pemerintah harus terlibat, misalnya BPN harus share data HGU dan Pemda juga harus terbuka. Sebenarnya, kebijakan operasional (one map) juga telah disiapkan. Ke depan akan ada upaya-upaya melakukan pemetaan wilayah adat oleh pemerintah, karena jika tidak meregristrasi penguasaan sumber agraria maka rumit untuk memulai dari mana. Harus diketahui data jumlah penduduknya dan luasan wilayah, lalu jika timpang, sasaran pemindahan penduduk juga harus dipikirkan. Bukan hanya soal demografi semata, namun harus dibereskan dulu persoalan tenurialnya. Registrasilah yang sangat penting untuk mengetahui pola tenurialnya, sebab ketimpangan sosial bisa saja muncul jika tidak dibereskan soal tenurial atau pola penguasaan tanahnya. Misalnya, pada registrasi wilayah-wilayah adat, yang sudah dibentuk 2010 dan sekarang sedang disiapkan peta indikatif wilayah adat Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa, itu barulah satu versi penguasaan wilayah oleh rakyat yg akan dioverlay dengan peta sektor-sektor pemerintah (kehutanan dll). Kita selalu bilang ada ketimpangan, itu yang timpang ada dimana? berapa luasnya? siapa saja orangnya? andaikata setiap kantor pemerintah yang berwenang ada data-data itu, maka bisa dipertimbangkan keluarnya izin kemudian mencegah proses perampasanperampasan tanah.

Jika pemerintah tidak berkomitmen melaksanakan penyiapan informasi spasial maka konflik-konflik agraria akan terus berlanjut. Itikad pemerintah diuji di tahapan penyediaan pra-syarat reforma agraria ini, tentu dengan pelibatan rakyat dalam prosesnya. Agar pemerintah ke depan punya modal awal melaksanakan reforma agraria, yaitu kelengkapan informasi penguasaan sumber-sumber agraria. Kabarnya, pemerintah melalui Badan Informasi Geospasial telah menyiapkan “One Map� untuk mengatasi tumpang tindih pemetaan lintas sektoral.

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Berita Agraria JKPP banyak melakukan kerja pemetaan, bagaimana proses pemetaan partisipatif yang selama ini berlangsung? Penerima manfaat dari pemetaan partisipatif yaitu masyarakat adat dan petani, keduanya memiliki karakter yang berbeda. Masyarakat adat berada di wilayah adat dan lebih besar berada di luar jawa, sedangkan petani terkait dengan wilayah-wilayah reclaiming. Pemetaan partisipatif oleh petani berguna untuk menguatkan hasil reclaiming dan untuk kepentingan redistribusi lahan. Untuk wilayah adat prosesnya lebih panjang karena harus lahir dari kesepakatan komunitas. 0,9 juta Ha wilayah adat yang berada di luar hutan negara belum dioverlay dengan yang lain. Ada persoalan karena wilayah adat tumpang tindih dengan kehutanan dan 88% wilayah hutan belum mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan belum juga punya peta. Dengan keluarnya keputusan MK 35 telah menyatakan ketidaksesuaian kebijaksanaan agraria dengan hak konstitusi masyarakat adat. Pemetaan prosesnya harus ada kesepakatan, masyarakat menghendaki peta jenis apa. Untuk masyarakat adat, peta dasarnya adalah peta adat karena ada faktor sejarah. Harus ditelusuri asal usul sejarah penguasaannya. Sedangkan untuk petani, peta digunakan sebagai basis penguatan penguasaan lahan serta interaksi petani atas tanah garapannya. Apa Kendala dan Rencana ke Depan dalam Proses Pemetaan Partisipatif? Kendala saat ini bagi pemetaan partisipatif adalah konsolidasi kapasitas yang terbatas sementara wilayah luas dan SDM sedikit. Tetapi bukan zamannya lagi kerja sendiri, pemerintah harus digerakan infrastrukturnya. Pemerintah juga harus bertanggung jawab karena punya sumber daya. Pemerintah daerah juga harus ambil bagian karena sekarang sudah Otonomi Daerah, tidak boleh sibuk jual izin demi APBD, tetapi harus urus wilayah kelola rakyat. Pemerintah pusat dan daerah harus giat melahirkan kebijakan yang memadai dan anggaran yang cukup. Tantangan yang cukup relevan adalah menyoal hutan adat, keputusan MK bukan hanya semata-mata soal hutan, tetapi lebih luas menyoal sumber agraria, soal wilayah dan

Tantangan ke depan adalah menyiapkan informasi spasial terkait peta wilayah adat dsb. Setelah itu kita baru bisa bicara soal konflik agraria dan upaya penyelesaian dan sejauh mana penyelesaiannya. Tantangan berikutnya datang dari pemerintah, karena egosektoralisme yang mendominasi maka perlu adanya kerjasama dari seluruh kementrian lembaga terkait sektor sumber daya alam.

ulayat. Hutan memang salah satu sektornya saja, tapi keputusan MK dipandang sebagai pengakuan negara atas tanah-tanah masyarakat adat. Pemerintah harus punya peta kerja yang menjelaskan wilayah adat, siapa yang punya otoritas dan situasi tenurialnya dan sekarang wilayah adat bukan lagi ruang hampa tapi ada tambang dsb. Tantangan ke depan adalah menyiapkan informasi spasial terkait peta wilayah adat dsb. Setelah itu kita baru bisa bicara soal konflik agraria dan upaya penyelesaian dan sejauh mana penyelesaiannya. Tantangan berikutnya datang dari pemerintah, karena egosektoralisme yang mendominasi maka perlu adanya kerjasama dari seluruh kementrian lembaga terkait sektor sumber daya alam. Kita bisa siapkan informasi spasial claimclaim rakyat atau wilayah kelola rakyat bisa jadi bukan hanya wilayah masyarakat adat saja. Bisa digunakan untuk mengamputasi izin-izin yang melanggar dan mengetahui wilayah-wilayah yang terlantar dsb. Masyarakat harus siapkan claim wilayah adatnya juga. Jangan sampai tak punya bukti awal interaksi dan tanah dengan rakyat. Butuh kerja keras, karena bukan hanya tugas NGO tetapi juga tanggung jawab pemerintah untuk pemetaan wilayah adat itu namun hambatannya, peraturannya belum ada. Ke depan Kita akan buat Geo Data Nasional, kita bisa munculkan info spasial dan ketimpangan agrarianya bagaimana. Misalnya satu provinsi diregister semua perizinan dan wilayah kelola rakyatnya. Gerakan Pemetaan Partisipatif harus massif dilakukan, peningkatannya harus terukur, misal dalam lima tahun ada peningkatan eksponensial berapa peta partisipatif yang sudah kita petakan. Momentum keputusan MK 35 tahun 2012 soal Hutan Adat bukan lagi bagian dari Hutan Negara harus digunakan oleh pemerintah sebagai pelajaran untuk mengubah kebijakan dan dapat memaksa pemerintah untuk mengkoreksi kebijakan pengelolaan wilayahnya. Pemerintah jangan merasa benar dan mengabaikan peta claim yang lain. Langkah yang harus diambil pemerintah bisa dalam bentuk Intruksi Presiden dalam konteks penyediaan informasi spasial wilayah yang lintas sektor (one map). n (GA)

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


opini

Reforma Agraria, Jalan Menuju Kesejahteraan Petani Oleh : M Fadlil Kirom (Ketua Departemen Pendidikan, Advokasi dan Penguatan Organisasi API)

R

asanya sudah ada ribuan tulisan yang membahas reforma agraria, namun pelaksanaan reforma agraria yang sejati dan holistik masih belum menjadi prioritas pemerintah hari ini. Konsep reforma agraria masih tertutup awan hitam yang tak kunjung menjadi hujan yang bisa memberi keberkahan bagi petani Indonesia. Pasca reformasi 1998, dorongan berbagai organisasi petani dan organisasi masyarakat sipil lainnya telah melahirkan Tap MPR No IX tahun 2001 yang menjadi dasar hukum yang kuat agar pemerintah segera melaksanakan reforma agraria. Sayang sekali, Lagi-lagi Tap MPR ini sebagaimana nasib UUPA 1960 “dimandulkan�. 15 tahun reformasi, konflik agraria malah semakin meningkat, kriminalisasi tak ada hentinya dan penguasaan perusahaan atas tanah juga semakin luas. Sampai saat ini organisasi petani khususnya Aliansi Petani Indonesia masih meyakini bahwa Reforma Agraria merupakan jalan yang harus dilalui dalam upaya menggapai kesejahteraan petani; ada beberapa alasan penting dan pokok mengenai hal ini, yaitu : 1. Fakta lebih dari 50 juta penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai petani (hortikultura, pangan, perkebunan rakyat) yang hidup dalam situasi kemiskinan dan ketidakberdayaan. Kemiskinan yang terjadi sudah lebih dari satu abad. Tentunya kita mengerti bahwa para petani di zaman kolonial tidak mendapatkan hak atas tanah. Petani hanya dijadikan komoditas sebagai tenaga kerja murah untuk memproduksi barang-barang murah yang sangat menguntungkan pemerintahan kolonial saat itu. 2. Fakta ketimpangan struktur agraria, dimana beberapa perusahaan menguasai

jutaan hektar, sementara petani hanya memiliki lahan kurang dari 0,3 ha, bahkan terjadi peningkatan jumlah petani penggarap dan buruh tani. Artinya, petani menjadi semakin miskin dikarenakan kehilangan tanahnya. 3. Fakta semakin tergusurnya lahan pangan akibat konversi ke non pertanian membuat rumah tangga petani selalu mengalami rawan pangan. Hal ini juga membuat petani tidak lagi menjadi produsen utama pangan, tetapi menjadi konsumen pangan fabrikan 4. Fakta pendapatan rumah tangga petani yang sangat rendah, hasil perhitungan API menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga petani jauh dari hidup layak, ratarata per bulan masih dibawah Rp 500.000. Pendapatan yang rendah disebabkan minimnya lahan yang dimiliki oleh petani. Skala ideal untuk usaha di pertanian minimal 2 ha, sementara petani, khususnya petani pangan hanya memiliki kurang dari 0,3 ha.

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


opini 5. Fakta semakin minimnya gairah anak muda untuk hidup sebagai petani menunjukkan bahwa profesi petani tidak memiliki prospek yang baik di masa depan. Hal ini tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat jika bangsa ini ingin berdaulat secara penuh, maka syarat dasarnya adalah terwujudnya kedaulatan pangan, dimana petani kecil sebagai subyek utama produsen pangan. Tantangan besar menghadang pelaksanaan reforma agraria, liberalisasi pertanian yang ditandai dengan semakin kuatnya pasar (baca: pemodal) menguasai tanah hingga pemasaran hasil pertanian. Munculnya spekulan tanah hingga spekulan harga semakin meminggirkan petani di Indonesia. Tantangan-tantangan pokok yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan reforma agraria sebagai berikut : 1. Tidak adanya komitmen (political will) dari pemerintah untuk menjalankan reforma agraria. Kondisi ini mudah dimengerti mengingat, Pemerintah hari ini dibentuk oleh partai-partai yang tidak memiliki agenda reforma agraria sebagai agenda utama. Partai lebih berkonsentrasi pada upaya mempertahankan kekuasaan dengan cara berkolaborasi dengan pengusaha baik asing maupun nasional. Komitmen peningkatan kesejahteraan petani sangat lah rendah, contoh yang paling sederhana adalah APBN pertanian tidak pernah lebih dari 5%, tentu ini sangat memprihatinkan mengingat lebih dari 40% penduduk mengandalkan hidupnya dari sektor pertanian. 2. Semakin menguatnya investasi asing (baca: modal asing) yang masuk ke berbagai sektor, mulai dari infrastruktur hingga perbankan. MP3EI dan Zona Ekonomi Khusus (ZEE) sebagai contoh nyata bagaimana pemerintah memberikan kemudahan akses lahan pada para pengusaha. 3. Masih tingginya kriminalisasi terhadap petani menunjukkan pemerintah masih menggunakan cara-cara lama dan tidak manusiawi. Konflik tanah yang terjadi diberbagai wilayah bahkan tak kunjung selesai akibat energinya habis untuk persoalan kriminalisasi petani. 4. Menjamurnya organisasi petani yang menginduk pada partai politik tertentu,

10

akan semakin mengaburkan gerakan reforma agraria. Isu reforma agraria laris manis hanya pada saat menjelang pemilu, setelah pemilu berakhir maka ia akan membeku dengan sendirinya.

Peluang pelaksanaan reforma agraria jelas masih luas terbentang, memang butuh waktu untuk meyakinkan semua elemen bangsa agar menyadari betapa pentingnya penataan struktur agraria yang adil.

Lalu bagaimana peluang pelaksanaan reforma agraria di masa mendatang? Reforma Agraria adalah kebutuhan men­dasar jika kita mengingat kembali spirit kemerdekaan, sila ke 5 pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, pasal 33 UUD 1945, UUPA 1960 dan TAP MPR RI No IX tahun 2001. Negara dalam hal ini berkewajiban untuk melaksanakan reforma agraria demi terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Sebagai bahan refleksi, Kami mencoba mengutip ayat Al Quran, surat Al Balad: “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (al balad :12); (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, (al balad : 13); atau memberi makan pada hari kelaparan, (al balad : 14);(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, (Al Balad : 15); atau kepada orang miskin yang sangat fakir. (al balad : 16); Dan dia (tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. (al balad : 17); Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. (al balad : 18)” Ayat diatas sudah sangat jelas menjelaskan tentang tanggung jawab negara mewujudkan kemerdekaan, melawan kelaparan hingga mengentaskan kemiskinan. Ada satu contoh menarik; Bahwa Sahabat Nabi yang bernama Bilal, awalnya seorang budak, kemudian dimerdekakan oleh Sahabat Abu Bakar, setelah merdeka dia diberi tanah untuk bertani dan beternak. Maka Bilal pun menjadi manusia yang bermartabat dan hidup layak. Sebagai pribadi, penulis sangat yakin bahwa kekayaan alam negeri ini dianugerahkan oleh Allah SWT kepada penduduk bumi Indonesia agar didistribusikan secara adil. Sebagai manusia yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, tindakan sewenang-wenang sekelompok orang dalam menguasai tanah untuk kekayaan diri dan golongannya saja merupakan bentuk yang mengingkari kodrat

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


bangsa. Dan segala upaya penduduk negeri ini untuk mengelola dan memanfaatkan kekayaan alam secara adil jelas-jelas akan mendapatkan legitimasi dari aspek religiusitas hingga konstitusi.

Peluang pelaksanaan reforma agraria jelas masih luas terbentang, memang butuh waktu untuk meyakinkan semua elemen bangsa agar menyadari betapa pentingnya penataan struktur agraria yang adil. Organisasi petani dan organisasi masyarakat sipil lainnya harus bahu membahu dalam memperjuangkan reforma agraria, persatuan menjadi kata kunci untuk memenangkan agenda besar ini. Terkadang benar juga ada pepatah yang mengatakan :� Bukan musuhmu yang kuat, tetapi karena kita yang tak mampu memaksimalkan kekuatan kita sendiri�. Akhirnya, 53 tahun UUPA jangan disamakan dengan umur manusia dimana pada umur 53 sudah sangat mapan dan mendekati kematian, tetapi jadikan 53 tahun sebagai jumlah ketukan palu, mudah-mudahan pada ketukan ke 60, reforma agraria sejati bisa terlaksana, dan Petani pun bisa hidup sejahtera, Amien ya Rabbal Alamien. n Petani penggarap yang identik dengan kemiskinan. Sumber: KPA dan poskota.co.id

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

11


opini

Reforma Agraria Sejati Basis Industrialisasi Nasional Oleh: John Silaban, Spsi. Sekretaris Jenderal Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI)

Pergeseran Makna UUPA Pada dasarnya sudah terang bahwa UUPA No.5 Tahun 1960 merupakan aturan hukum yang paling dasar dalam mendorong pemerataan-distribusi agraria bagi kepentingan seluruh rakyat. (struktur kepemilikan hak atas agraria) termasuk distribusi dalam arti pemerataan tanah sebagai perkakas produksi untuk kebahagian dan kesejahteraan rakyat. Lebih khusus UUPA 1960 menjelaskan bahwa setiap hak atas tanah memiliki fungsi sosial bukan fungsi individualistik, sehingga dalam UUPA 1960 lebih lanjut menjelaskan bahwa terdapat pembatasan atas kepemilikan dan penguasaan atas tanah. Karenanya dalam struktur kepemilikan atas tanah seharusnya tidak melahirkan ketimpangan akan tetapi mewujudkan pemerataan. Garis umum UUPA 1960 mengartikan bahwa tujuan penguasaan dan kepemilikan hak atas tanah adalah menuju kemerdekaan dan kesejahteraan sepenuh-penuhnya massa rakyat Indonesia sebagai sebuah kesatuan. Sehingga sangat jelas, agraria menjadi bagian terpenting dalam pembangunan nasional karenanya reforma agraria (land reform) merupakan suatu keharusan yang seharusnya tidak perlu ditunda-tunda dalam pelaksanaannya. Pada kenyataannya struktur kepemilikan dan penguasaan agraria seperti; tanah, hutan, laut dan kekayaan yang terkandung di dalamnya sejak kekuasaan orde baru-era reformasi hanya sekedar wacana sebatas teoritis belaka. Aturan sebatas aturan di atas kertas karena tidak ada political will dari penguasa untuk melakukan penataan struktur agraria secara konsisten adil dan merata. Land reform versi pemerintah sesungguhnya tidak menyentuh substansi dari penataan

12

struktur kepemilikan, penguasaan dan peruntukkan agraria sehingga cita-cita agraria sejati sampai sekarang tidak pernah terwujud. Program-program versi pemerintah seperti sertifikasi hanya akan menguatkan posisi monopoli atas penguasaan sumber-sumber agraria, selain itu program tersebut semakin mempermudah dan atau mempercepat proses pembebasan lahan untuk kepentingan perluasan dan memperlancar proses akumulasi modal bagi para pemilik modal. Prinsip dari program land reform ala pemerintah tidak lebih sebuah proses liberalisasi untuk kepentingan para pemodal atas nama kepentingan pembangunan. Hak-hak atas tanah sebagaimana termaktub dalam pasal 16 (1), UUPA 1960 meliputi: a. hak milik; b. hak guna-usaha; c. hak guna-bangunan; d. hak pakai; e. hak sewa; f. hak membuka tanah; g. hak memungut-hasil hutan;

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hakhak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53. Semuanya itu faktanya menjadi hak para pemilik kepentingan yaitu para investor/ pengusaha (dalam dan luar negeri) dan para penguasa dengan kekuasaan politiknya memperkaya pribadi dan keluarganya. Bahwa 70 persen aset nasional Indonesia hanya dikuasai oleh 0.02 persen penduduk, 50 persen aset tersebut dalam bentuk tanah beserta kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sementara massa rakyat sebagaimana amanat UUPA 1960 sangat jauh dari harapan, justru tanah milik rakyat atas nama kepentingan negara diambil alih dengan cara-cara primitif, seperti penggusuran dengan cara paksa melalui perangkat kekerasan negara. Konsorsium Pembaruan Agra­ria (KPA) dalam laporan akhir tahunnya mencatat, tahun 2011 saja terjadi 163 konflik agraria di se­luruh Indonesia yang menewaskan 24 orang petani dan rakyat yang menggarap lahan. Sehingga tidak mengherankan hingga saat ini kasus-kasus atau konflik agraria semakin bertambah dan itu bergaris lurus dengan semakin meningkatnya massa rakyat yang kehilangan atas tanahnya. Akibat lain atas hal tersebut terlihat adanya ketimpangan social ekonomi massa rakyat seperti; kemiskinan, pengangguran, urbanisasi yang terus meningkat dan lain sebagainya, fakta ini merupakan buah dari kegagalan penguasa melakukan penataan struktur agraria. Karenanya distribusi kepemilikan dan penguasaan atas agraria yang adil dan merata bagi seluruh massa rakyat sebuah keharusan. Pada sisi yang lain-diluar persoalan kepemillikan dan penguasaan, kegagalan penataan agraria ala rezim borjuasi terlihat dari sisi struktur produktifitas agraria. Struktur produktifitas dalam konteks jumlah kepemilikan lahan dibandingkan dengan kemampuan pengelolaan lahan tersebut, misalnya dengan perkembangan teknologi pertanian saat ini satu keluarga mampu mengelola secara produktif luas lahannya sebesar 5 ha, lebih dari itu dia harus bayar buruh tani untuk pengelolaannya. Artinya persoalan pengetahuan dan teknologi menjadi bagian penting untuk melaku-

Pada sisi yang laindiluar persoalan kepemillikan dan penguasaan, kegagalan penataan agraria ala rezim borjuasi terlihat dari sisi struktur produktifitas agraria. Struktur produktifitas dalam konteks jumlah kepemilikan lahan dibandingkan dengan kemampuan pengelolaan lahan tersebut, misalnya dengan perkembangan teknologi pertanian saat ini satu keluarga mampu mengelola secara produktif luas lahannya sebesar 5 ha, lebih dari itu dia harus bayar buruh tani untuk pengelolaannya.

kan struktur produktifitas agraria. Sementara program pemerintah tidak pernah menyentuh soal tersebut, maka tidak mengherankan program-program kesejahteraan massa rakyat dari sumber-sumber agraria tidak pernah terwujud seperti; program menuju kedaulatan pangan yang sebatas wacana akademisi tanpa realisasi. Demikianlah akibat dari praktik ekonomi politik kapitalisme yang diagung-agungkan dan dijalankan oleh para penguasa (Rezim Borjuasi). Persoalan agraria versi liberalism (Market Land Reform Scheme) tidak pernah menyentuh persoalan kesejahteraan, kemerdekaan bersama tapi prinsip kepemilikan dan penguasaan atas sumber-sumber agraria bertujuan untuk eksploitasi, ekspansi dan akumulasi modal tanpa batas. Padahal kalau kita kembali pada UUPA 1960 tentang tanah-air serta isi yang terkandung di dalamnya dan juga menyangkut kepemilikaan dan penguasaan hak atas ruang angkasa seharusnya menjadi hak semua massa rakyat yaitu distribusi kepemilikan secara merata dan peruntukan yang digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran bersama.

Relasi Reforma Agraria Sejati dengan industrialisasi nasional Urgensi reforma agraria yang tidak hanya sekedar redistribusi tanah atau pembagian tanah semata akan tetapi lebih dari itu yaitu penguasaan dalam arti pemanfaatan kekayaan agraria secara merata bagi seluruh massa rakyat Indonesia tentu berperan sangat penting dalam proses pembangunan ekonomi massa rakyat yang itu bergaris lurus dengan kepentingan nasional. Urgensi landreform tersebut tentu tidak bisa bediri sendiri sebagai bagian yang terpisah dengan bagian yang lainnya, akan tetapi saling memiliki keterkaitan atau saling berhubungan. Bahwa akan tidak memungkinkan sektor agraria menjadi faktor penting dalam memajukan kesejahteraan massa rakyat manakala tidak disandingkan atau dihubungkan dengan sektor yang lain. Pada kenyataannya sampai sekarang sejak terjadinya dikotomi antara agraria dengan sektor yang lainnya, antara desa dengan kota dan lain sebagainya, sehingga dampak yang sangat

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

13


opini terlihat jelas adalah semakin jelasnya ketimpangan struktur ekonomi antara yang kaya dengan yang miskin, antara kesejahteraan di desa dengan kesejahteraan di kota, antara pemilik perkakas produksi dengan pekerja/buruh singkat katanya agraria yang terpisah dengan sektor yang lain akhirnya tidak memiliki urgensi terhadap pembangunan nasional. Pada kerangka itulah pentingnya relasi yang sinergis antar berbagai sektor salah satunya adalah agraria untuk kepentingan industrialisasi nasional. Reforma agraria sejati yang tidak sekedar redistribusi tanah sesungguhnya memiliki hubungan yang sangat kuat dengan basis industrialisasi nasional. Basis agraria merupakan penyedia (supply) bahan mentah bagi industri nasional. Bahwa Indonesia memiliki bahan mentah sebagai pemasok bagi industri nasional, hal ini sangat mudah kita buktikan diantaranya: Kekayaan hutan mampu menyediakan bahan mentah bagi industri pengolahan kertas dsb. Artinya ada begitu banyak bahan mentah tersedia dari kekayaan hutan untuk pemenuhan proses produksi industri nasional. Kekayaan yang bersumber dari tanah. Pada fungsi sebagai lahan tanah juga menyediakan berbagai bahan mentah untuk supply industri seperti; sawit, bahan makanan, tembakau dan lain sebagainya. Disisi yang lain tanah sebagai lahan yang menyimpan berbagai kekayaan di dalamnya seperti; emas, batu bara, mineral, kekayaan laut dsb. Pengalaman sejarah republik ini memberikan bukti yang cukup penting, bahwa Indonesia masa lalu menjadi wilayah yang mampu mensupply kebutuhan industri Eropa pada awal-awal kebangkitan kapitalisme, sampai Indonesia dijadikan sebagai negara koloni yang bertugas untuk memberikan supply bahan mentah bagi industri. Histori tersebut seharusnya menjadi catatan berharga bagi Indonesia, artinya sektor agraria yang begitu banyak menyediakan bahan mentah untuk kebutuhan industri nasional. Di sinilah urgensi penataan struktur agraria sebagai kesatuan yang tidak terpisah-tidak sekedar pemanfaatan hasil untuk kebutuhan konsumsi dan distribusi tanah sekedar kuantitas hak kepemilikan tapi agraria sebagai jawaban untuk kepentingan pembangunan industri nasional yang kuat, mandiri dan berdaulat.

14

Persatuan perjuangan multisektor menuju cita-cita reforma agraria sejati sebagai kebutuhan mendesak Proses reforma agraria dalam tata produksi, distribusi yang kapitalistik tentu bukan sebuah pekerjaan mudah dan cepat, tapi membutuhkan sebuah proses yang panjang secara waktu, membutuhkan konsepsi teoritis, strategi taktik yang tepat dan tindakan yang tepat. Ada berbagai tantangan dalam proses mencapai cita-cita reforma Agraria sejati beberapa diantaranya :

Proses reforma agraria dalam tata produksi, distribusi yang kapitalistik tentu bukan sebuah pekerjaan mudah dan cepat, tapi membutuhkan sebuah proses yang panjang secara waktu, membutuhkan konsepsi teoritis, strategi taktik yang tepat dan tindakan yang tepat.

1. Tantangan dari segi eksternal. Pertama, secara yuridis formal selain UUPA proses reforma agraria akan terhambat karena ada berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh rezim yang semakin menghambat proses terwujudnya reforma agraria sejati seperti; UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. UU ini kemudian diperkuat oleh Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dua peraturan ini telah memuluskan proses pembebasan tanah atas nama pembangunan dan kepentingan umum. Hal ini membuktikan secara jelas bahwa tidak ada political wiil dari rezim untuk melakukan reforma agraria secara sunguh-sungguh kecuali untuk kepentingan modal. Kedua, Penetrasi modal di sektor agraria menjadi tantangan khusus karena kekuatan modal terus bergerak untuk kepentingan penguasaan dan kepemilikan atas berbagai sumber-sumber agraria seperti; tanah, air termasuk kekayaan yang terkandung di dalamnya. Kebutuhan pasar industri semakin mendesak kebutuhan untuk melakukan pembebasan atas penguasaan dan kepemilikan tanah seperti; pembebasan lahan untuk infrastruktur, pembebasan lahan untuk perluasan obyek tambang, pembebasan lahan untuk kepentingan perluasan industri perkebunan hingga pembebasan lahan untuk bisnis pariwisata dan prospertis. 2. Segi Internal Tantangan proses reforma agraria juga bersumber dari internal tani itu sendiri. Perwujudan cita-cita reforma agraria akan terhambat jika tidak dibarengi dengan pem-

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


bentukan kekuatan organisasi tani, tidak dibarengi dengan perluasan organisasi dan pembangunan organisasi perjuangan demokratik dengan seluruh rakyat dengan tetap mengacu pada prinsip kemerdekaan, kesejahteraan menuju massa rakyat yang adil dan makmur. Perpecahan di tubuh organisasi tani obyektifnya menyebabkan lambatnya perjuangan tani dalam menuntut reforma agraria sejati karena kekuatan-kekuatan yang bergerak tidak terfokus pada satu pandangan akan cita-cita reforma agraria sejati, justru akan semakin mempermudah para pemilik modal dan penguasa untuk terus melakukan perampasan lahan tani. Beberapa kasus perampasan lahan sepanjang tahun 2012-2013 memperlihatkan kita bagaimana gerakan tani tidak terkonsentrasi dalam satu kekuatan besar, tidak mendapatkan solidaritas yang tinggi dari sektor lainnya. Bahwa kasus perampasan tanah di wilayah sumatera atau satu daerah menjadi tanggungjawab sendiri-sendiri, begitu juga halnya dengan konflik agraria di daerah yang lain hampir semua konflik bergerak sendirisendiri dan tidak mendapatkan dukungan yang luas dari seluruh rakyat. Fenomena di mana terdapat serpihanserpihan kekuatan berlawan berdampak pada penyelesaian kasus, berdampak pada semakin jauhnya harapan massa rakyat akan keadilan agraria-bukan kah ini yang diinginkan oleh para penguasa dan pemilik modal??. Situasi internal gerakan tani menjadi tantangan untuk mencapai cita-cita landreform sejati karena situasi internal gerakan tani yang masih menunjukkan perpecahan, eksistensi masing-masing organisasi merupakan sisi yang menentukan juga dalam proses perjuangan landareform sejati. Beberapa tantangan di atas menjadi dasar atas kebutuhan pembangunan persatuan perjuangan multisektor sebagai satu kesatuan yang terpisahkan satu sama yang lain. Dalam perwujudan land reform sejati gerakan tani seharusnya bersatu dengan gerakan rakyat yang lain seperti gerakan buruh, gerakan mahasiswa, gerakan pemuda dan gerakan yang lainnya karena landreform sesungguhnya adalah kebutuhan nasional yang berarti kebutuhan seluruh massa rakyat.

Massa Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI) dalam peringatan hari buruh internasional 2013. Sumber: FPBI

Demikian halnya dengan gerakan buruh, perjuangan gerakan buruh harus juga bicara tentang gerakan reforma agraria karena selama gerakan buruh selasai pada persoalan normatif perburuhan maka selama itu pula gerakan buruh tidak akan mendapatkan dukungan yang luas tapi hanya gerakan sektoral yang terpisah dengan sektor yang lain. Konteks agraria sebagai bagian tulang punggung pembangunan nasional, maka gerakan tani atau perjuangan perebutan hak atas sumber-sumber agaria tidak akan pernah terwujud dan akan menjadi perjuangan yang terpisah-pisah. Bahwa pembangunan persatuan perjuangan multisektor sebagai manifestasi menuju cita-cita reforma agraria sejati merupakan tugas mendesak bagi semua gerakan rakyat dalam mencapai reforma agraria sejati yang meliputi : 1. Distribusi tanah secara adil dan merata; 2. Distribusi pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan produktifitas agraria; 3. Distribusi modal sebagai kebutuhan dalam pemenuhan proses pengolahan sumbersumber agraria. Kebutuhan tersebut yang harus segera dipenuhi selain beberapa kemenangan-kemenangan perjuangan perebutan sumbersumber agraria diberbagai daerah sebagai kenyataan yang harus dicatatat oleh semua massa rakyat sebagai aktualisasi menuju citacita reforma agraria sejati. n

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

15


opini

Liberalisasi Ekonomi dan Agenda Pembaruan Agraria oleh: M. Riza Damanik Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ)

D

i tengah miskinnya prestasi negara menjalankan agenda pembaruan agraria, Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono justru menggunakan sisa satu tahun kepemimpinannya untuk memperluas liberalisasi sektor investasi, perdagangan, dan keuangan. Pada demikian itu, pemulihan hak-hak rakyat tidak lagi menjadi prioritas. Sebut saja hasil dari Konferensi Tingkat Tinggi G-20, pada 5-6 September 2013, di Saint Petersburg Rusia, yang juga dihadiri oleh Presiden SBY. Berlatarkan isu krisis ekonomi dunia, para pemimpin negara bersepakat untuk memperbesar keterlibatan sektor swasta dan lembaga keuangan internasional dalam sederet proyek pembangunan infrastruktur rakyat. Strategi lain adalah dengan melakukan fiscal sustainability. Cara ini dimaksudkan agar tiap-tiap negara melalukan penghematan terhadap pengeluaran domestiknya, termasuk dengan mengurangi (bahkan menghapuskan) subsidi kepada petani dan nelayan, agar kewajiban pembayaran utang luar negeri tetap berjalan lancar.

Menghilangkan peran negara Keputusan buruk serupa juga lahir dari serangkaian pertemuan Forum Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) 2013, di Bali Indonesia. Para Menteri Keuangan APEC bersepakat melawan seluruh bentuk proteksionisme dan memastikan pasar tetap terbuka. Seolah dayung-bersambut, kesepakatan 20 September itu sekaligus menjadi “undangan resmi” kepada swasta asing untuk mengelola proyek-proyek infrastruktur, termasuk dengan memobilisasi sumber pembiayaan dari utang luar negeri. Atas kepentingan itulah,

16

Keputusan buruk serupa juga lahir dari serangkaian pertemuan Forum Kerjasama Ekonomi AsiaPasifik (APEC) 2013, di Bali Indonesia. Para Menteri Keuangan APEC bersepakat melawan seluruh bentuk proteksionisme dan memastikan pasar tetap terbuka.

APEC menyepakati dibentuknya Private Public Partnership (PPP) dan Indonesia sebagai pusat uji cobanya. Di sektor pangan, APEC menjadi “pintu” lain perluasan liberalisasi. Caranya, memastikan kran investasi bagi perusahaan trasnasional tetap terbuka, mendorong kerjasama antara petani-nelayan lokal (small scale) dengan sektor swasta dalam pembangunan food supply-chains, serta mewajibkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menyesuaikan dengan standar internasional. Terakhir, menyelaraskan seluruh kesepakatan tersebut ke dalam aturan Organisasi Perdangan Dunia atau WTO (baca selengkapnya: Joint APEC Ministrial Statement 2013). Pada konteks itulah kita mengetahui benang merah antara G-20, APEC serta kaitannya dengan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO, 3-6 Desember mendatang, di Bali Indonesia. Pertama, WTO telah dan akan terus digunakan sebagai instrumen legal untuk memperbesar hegemoni sebagian negaranegara anggota terhadap mayoritas negara

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


lainnya (baca: anggota dan non-anggota) melalui kebijakan perdagangan bebas. Caranya, dengan mengurangi bahkan menghilangkan hambatan perdagangan seperti tarif dan nontarif, termasuk mendorong penghapusan subsidi bagi sektor-sektor strategis rakyat. Kedua, WTO masih akan digunakan untuk memperluas peran dan pengaruh perusahaan-perusahaan transnasional dalam mengelola berbagai sektor strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Karenanya, guna mengikat berbagai kesepakatan di G20, APEC, dan berbagai inisiatif perjanjian perdagangan bebas, pertemuan WTO hendak menyepakati “Paket Bali� (Bali Package), masing-masing: fasilitasi perdagangan (trade facilitation), paket pembangunan negara kurang berkembang (LDCs development package), dan pertanian (agriculture).

Koreksi mendasar Di Indonesia, minimnya dukungan pemerintah kepada sektor pertanian dan perikanan rakyat telah memperparah ketergantungan terhadap berbagai produk pangan impor. Di 2012, nilai impor pangan mencapai US$ 17,2 miliar atau meningkat 47% dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar US$ 11.7 milyar. Akibatnya, memperparah pula defisit neraca perdagangan di sektor pertanian, termasuk perikanan dan peternakan. Sampai kwartal ketiga 2012, tercatat defisit mencapai lebih dari US$ 6,5 miliar atau setara dengan 11,4 juta ton produk pangan. Kondisi tersebut diperparah dengan kian membesarnya keterlibatan asing dalam pengelolaan sektor-sektor strategis nasional. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal, diketahui lebih dari 90% investasi di sektor perkebunan, peternakan, pertanian, perikanan, dan pertambangan berupa penanaman modal asing. Dominasi investasi asing masih berlanjut di 2013. Celakanya lagi, dari

SBY dinggap telah menggadaikan Indonesia pada forum APEC di Bali, 6 Oktober lalu. Sumber: repro

berbagai kegiatan investasi asing tersebut ditemukan praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia dan perusakan lingkungan. Bahkan di 2012, Markas Besar Kepolisian RI menemukan sedikitnya 588 potensi konflik agraria yang melibatkan petani, nelayan, masyarakat adat, dan sektor swasta. Teranyar di 2013, konflik berbuntut kriminalisasi terhadap 26 orang petani dan aktivis lingkungan di Sumatera Selatan dan 23 nelayan tradisional di Sumatera Utara (Kompas, 2/2). Pada tahap inilah, gerakan pembaruan agraria patut memberi perhatian terhadap dinamika berbagai kesepakatan ekonomi pada level regional maupun internasional yang notabenenya telah memberikan banyak “pintu� untuk memperlemah peran negara dalam melindungi akses dan kontrol rakyat, termasuk perempuan, terhadap tanah dan air. Secara operasional, tindakan reforma agraria juga harus diarahkan untuk mendesak pemerintah melakukan moratorium terhadap perjanjian perdagangan bebas (FTA) baru, termasuk melakukan evaluasi terhadap berbagai FTA yang terbukti merugikan kepentingan rakyat dan bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Demikian halnya, terkait proses penyusunan Rancangan Undangundang (RUU) Perdagangan yang tengah berlangsung. Gerakan pembaruan agraria perlu mendesak Dewan Perwakilan Rakyat RI untuk menghentikan prosesnya. Sebab, berdasarkan Naskah Akademik RUU Perdagangan versi 2012, bahwa RUU tersebut secara substansial telah sengaja menghilangkan kedaulatan ekonomi Indonesia dan sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip dan aturan WTO. Jelang Pemilu 2014, menolak calon presiden yang pro terhadap liberalisasi ekonomi adalah penting. Hanya dengan cara itu kita dapat berharap ikhtiar pembaruan agraria mendapati momentumnya. n

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

17


opini

SMI: Faktor-faktor Penghambat Reforma Agraria oleh: Azmir Zahara Ketua Umum Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI)

Tiga Penghambat Program Pembaruan Agraria 24 September 1960, presiden Soekarno mengesahkan UUPA 1960 sebagai tonggak pembaruan struktur agraria di Indonesia. Pembaruan agraria ini merupakan suatu upaya penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumbersumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju upaya industrialisasi nasional (Iwan Nurdin, 2008). Dengan UUPA 1960 ini, diharapkan rakyat Indonesia akan lebih sejahtera. Namun harapan tinggal harapan, pembaruan agraria sampai saat ini belum juga terwujud. Pelbagai macam persoalan muncul menjadi penghambat jalannya pembaruan agraria. Pertama, ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia semakin tajam. Ketimpangan ini telah melahirkan masalah kemiskinan dan pengangguran, khususnya di wilayah pedesaan. Hal tersebut dapat dilihat dari penguasaan besar-besaran lahan oleh pengusaha dalam bentuk Kontrak Karya (KK) pertambangan, Kontrak Production Sharing (KPS) migas, Kontrak Kerja Batu Bara (KKB), Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan dan properti serta Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Penguasaan Hutan (HPH) sektor kehutanan. Hingga saat ini, sedikitnya 175 juta Ha lahan telah dialokasikan untuk kegiatan eksploitasi sumber primer. Jika dibandingkan dengan luas daratan Indonesia, maka jumlah lahan yang dialokasikan tersebut setara dengan 93% luas daratan Indonesia (Asia-Europe People’s Forum, 2012). Sebaliknya, menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, “85% petani di Indonesia

18

Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria, “85% petani di Indonesia merupakan petani tak bertanah dan petani gurem yang hanya memiliki tanah sekitar 0,3 hektar”. Belum lagi para petani terus menerus dihadapkan dengan persoalan benih dan harga pupuk yang mahal, teknologi dan pengetahuan yang rendah serta keterbatasan modal dan pasar. Sehingga, sejauh ini petani belum mendapatkan keadilan dan kesejahteraan.

merupakan petani tak bertanah dan petani gurem yang hanya memiliki tanah sekitar 0,3 hektar”. Belum lagi para petani terus menerus dihadapkan dengan persoalan benih dan harga pupuk yang mahal, teknologi dan pengetahuan yang rendah serta keterbatasan modal dan pasar. Sehingga, sejauh ini petani belum mendapatkan keadilan dan kesejahteraan. Kedua, persoalan konflik dan sengketa agraria terus terjadi dan meluas. Sepanjang tahun 2004-2012, berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria telah terjadi 618 konflik tanah yang menewaskan 44 orang, 941 orang dipenjara serta 731.342 orang terlantar akibat kehilangan mata pencahariannya. Secara umum, konflik agraria terjadi karena muncul ekspansi dari perusahan swasta maupun perusahan negara. Ketiga, liberalisasi pertanian. Liberalisasi sektor pertanian sebagai agenda pemerintah sesungguhnya bertolak belakang dengan pembaruan agraria. Liberalisasi ini ditunjukan dengan “politik impor dan investasi” yang mematikan produksi petani. Seperti halnya

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


24 September 2013, petani Indonesia merayakan hari tani yang ke-53 terhitung sejak disahkan Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Momentum ini hendak mengingatkan kembali kepada pemerintah, bahwa nasib petani sampai detik ini belum sejahtera.

kebijakan impor kedelai yang baru-baru ini telah menghancurkan produksi kedelai dalam negeri. Dibukanya kran investasi, maka bertaburan persahaan-perusahanmultinasional di sektor pertanian seperti PT. Bayer, Danone, Lyonnaise, East West, Nestle, Unilever, British American Tobacco. Politik investasi menjadikan ketergantungan, kemudian lambat laun menyebabkan banyak petani yang beralih profesi sebagai pekerja upahan.

Persekutuan Elit Politik Perayaan hari tani tahun ini, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2013, bisa dikatakan sebagai tahun politik. Dimana kekuatan “politik elit” sedang berbenah dan mengatur format untuk pemenangan pemilu baik dari calon legislatif maupun calon presiden-wakil presiden. Berdasarkan data peserta pemilu dalam daftar calon legeslatif yang diterbitlan oleh Komisi Pemilihan Umum pada Kamis, 22 Agustus 2013 menetapkan daftar calon tetap (DCT) anggota DPR RI sebanyak 6.607 orang. Para Caleg dari 12 partai politik peserta Pemilu 2014 tersebut akan memperebutkan 560 kursi DPR RI. Kemudian, salah satu “arena pertarungan” dalam merebut simpati dan dukungan rakyat guna menambah pundipundi suara berada dilapangan agraria. Menjadi rahasia umum, bahwa elit politik membutuhkan kekuatan finansial yang tidak sedikit dalam proses pemenangannya. Kendala finansial ini membuat elit politik pragmatis dengan menjaring sekutu-sekutu dari korporasi “kelas kakap”. Alhasil, hubungan elit politik dengan korporasi menjadi lebih lengket seperti prangko. Menurut analisas Jaringan Advokasi Tambang, “10 partai politik peserta pemilu 2014 diduga terlibat penjarahan sumber daya tambang dan migas”. Keterlibatan itu dilakukan dengan dalih menerbitkan surat ijin usaha

pertambangan (IUP). Skema hubungan itu dibangun dalam koneksi hubungan timbal balik yang menguntungkan antara pengusaha dan elit politik melalui perjanjian pelbagai macam proyek, termasuk di sektor pertanian. Persekutuan tersebut oleh Noam Chomsky, seorang filsuf politik dan kritikus menyebut sebagai “rekayasa persetujuan”. Rekayasa ini diciptakan oleh mereka yang memiliki kekuatan finansial yakni kalangan pembisnis, dan elit politik bekerja untuk mereka. Ironisnya, persekutuan merekalah yang menyebabkan ketimpangan kepemilikan lahan, munculnya konflik agraria dan memperkokoh liberalisasi sektor pertanian.

Hari Tani Tonggak Perjuangan Reforma Agraria Di sisi lain, persoalan-persoalan agraria menjadi pintu masuk para calon legislatif untuk berkampanye. Seolah-olah beroposisi terhadap pemerintah dengan mengeritik kebijakan-kebijakan tentang agraria. Modus ini yang harus diwaspadai oleh gerakan pembaruan agraria. Maka perisai baja bagi gerakan adalah dengan pengawalan program pembaruan agraria. Karena konsekuensi logis dari program pembaruan agraria tersebut ialah menolak setiap agenda politik liberalisasi dan investasi. Politisasi elit tentang pembaruan agraria merupakan salah satu ujian bagi gerakan. Dengan momentum hari tani, gerakan pembaruan agraria dituntut agar lebih serius dalam memperjuangkan pembaruan agraria. Mengingat bahwa hari tani merupakan tonggak bagi perjuangan pembaruan agraria. Karena pembaruan agraria tidak akan pernah terwujud dengan kertas-kertas suara di kotak Tempat Pemungutan Suara (TPS). Namun, pembaruan agraria akan segera terwujud bila tiga faktor penghambat yang dipaparkan penulis di atas mampu diselesaikan. n

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

19


opini

Reforma Agraria ala Bank Dunia Oleh: Iwan Nurdin Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

P

enyebaran dan dominasi wacana neoliberalisme alias pasar bebas tidak dapat dilepaskan dari apa yang diungkapkan oleh Gramsci sebagai sebuah proses Hegemoni. Hegemoni pasar bebas tersebut telah merasuk kedalam sebuah iman yang sembrono: bahwa kesejahteraan dunia akan berbanding lurus dengan semakin diterimanya secara penuh ideologi pasar. Sebuah hegemoni membutuhkan institusi yang bertugas mengarahkan pada kebutuhan pelembagaan dari tata nilai yang telah dihegemonikan. Dalam sistem pasar rezim penjaga neoliberal yang paling utama adalah Bank Dunia, IMF dan WTO. Globalisasi macam inilah yang secara gencar dipromosikan oleh tiga lembaga ini. Bank Dunia, mempunyai peran besar dalam penyebaran ideologi neo-liberal, karena selain bekerja layaknya sebuah Bank yang membiayai proyek pemban gunan sebuah negara bangsa, WB juga adalah sebuah lembaga yang memproduksi pengetahuan (knowledge of bank). Di bidang pertanahan, terdapat beberapa evolusi pokok kebijakan Bank Dunia dalam bidang pertanahan diantaranya: Sampai dengan tahun 1970-an, WB masih meyakini bahwa kepemilikan tanah yang terkonsentra-

20

Bank Dunia, mempunyai peran besar dalam penyebaran ideologi neoliberal, karena selain bekerja layaknya sebuah Bank yang membiayai proyek pemban gunan sebuah negara bangsa, WB juga adalah sebuah lembaga yang memproduksi pengetahuan (knowledge of bank).

si pada segelintir orang hanyalah salah satu dari banyak penghambat bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi produksi pertanian. Kebijakan utama Bank Dunia masa itu, masih berkutat pada upaya memodernisasi dan industrialisasi aktivitas pertanian lewat sebuah kebijakan yang dikenal dengan nama “Revolusi Hijau�. Namun, pada tahun 1975, Bank Dunia mengeluarkan sebuah paper dengan nama “Land Refom Policies Paper (LRPP)� yang didalamnya mulai menyadari bahwa telah terjadi kemiskinan dan pengangguran yang mendalam di pedesaan. Dokumen ini menyarankan agar pemerintah memberikan jaminan kepemilikan dan akses lebih lanjut untuk memproduktifkan tanah bagi para keluarga miskin seperti kredit murah dan asistensi pertanian adalah sebuah upaya yang penting dalam mewujudkan efisiensi ekonomi dan keadilan sosial. Namun, kebijakan ini belum pernah diimplementasikan. Sebab, sampai dengan awal 1980-an, resep ekonomi yang diberikan kepada negara-negara Amerika Latin yang tengah seiring dengan krisis ekonomi yang tengah melanda wilayah Amerika Latin, WB dan IMF lebih mengkonsentrasikan energi mereka untuk mensukseskan prinsip Washington Consensus lewat program-program penyesuaian struktural (SAPs). Di tahun 1990an, SAPs mendapatkan banyak mendapat kritik tajam dari para ilmuan dan tentu saja mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan gerakan sosial, sebab kebijakan neo-liberal tersebut nyata-nyata telah menyebabkan meluasnya kemiskinan. Sehingga pada tahun 90-an, WB mengumumkan sebuah kebijakan yang kerap mereka sebut sebagai sebuah upaya global memerangi kemiskinan. Dalam kebijakan ini, landreform kembali menjadi wilayah penting dalam kebijakan WB tentu saja dengan embel-embel memerangi kemiskinan dunia. Namun, satu hal yang secara fundamental sangat berbeda diban-

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


dingkan paper mereka di tahun 1975, negara sebagai pelaku utama pelaksanaan reforma agraria telah digantikan oleh pasar. Ada beberapa hal utama yang menjadi basis utama kebijakan Bank Dunia dalam bidang pertanahan tersebut: Pertama, kegagalan atau krisis pada perkebunan besar milik pemerintah ataupun tuan tanah karena tidak efisien. Kedua, kekagumanan pada hasil-hasil landreform khususnya di Taiwan, Korea Selatan dan Jepang yang mampu mentransformasikan masyarakat disana menjadi sebuah negara yang maju dan sejahtera. Ketiga, runtuhnya negara komunisme yang tentu saja disertai dengan propaganda kegagalan reforma agraria yang dipimpin negara (State Led Agrarian Reform) dalam mentransformasikan masyarakat. Keempat, banyaknya konflik pertanahan yang diakibatkan oleh ketidak pastian sistem kepemilikan tanah, sistem administrasi pertanahan yang buruk, mahal dan (korup) yang ada pada pemerintah sehingga perlu dilakukan upaya mendorong sistem administrasi pertanahan yang melindungi hak kepemilikan atas tanah termasuk tanahtanah bersama khususnya masyarakat adat sehingga dapat membuka peluang lebih luas bagi tanah-tanah tersebut bersinergi dengan lembaga keuangan perbankan dan tentu saja akan memudahkan datangnya investasi.

Ciri Pokok MLARs Bagaimanakah Market Led Agrarian Reforms (MLARs) bekerja? MLARs telah dilakukan di wilayah-wilayah negara seperti Amerika Latin ini sesungguhnya bekerja dalam kerangka supply and demand. Para tuan tanah atau pemerintah adalah penyedia tanah-tanah yang akan dibagikan kepada para pengguna/ penerima manfaat tanah (beneficiaries). Para penerima manfaat mencari tanah yang akan mereka kerjakan, bisa milik tuan tanah atau tanah negara, kemudian mereka melaporkan kepada lembaga land reform. Sebuah bank yang telah ditunjuk akan mengganti harga tanah milik tuan tanah tersebut dengan nilai harga pasar. Kemudian, para penggarap tanah akan membayar kembali harga tanah tersebut lewat cicilan kepada perbankan yang ditunjuk. Menurut para pembelanya, pola land reform semacam ini biayanya jauh lebih murah dibandingkan dengan pola lama.

Persoalan lain, MLARs membuat hutang negara penyelenggara kepada lembaga donor dunia semakin besar. Lagi-lagi, pembayar utama dari hutang ini adalah penerima manfaat (beneficiaries).

Namun, benarkah demikian? Biaya memperoleh tanah secara riil ditanggung sepenuhnya oleh si subjek reform (beneficiaries). Padahal, dalam model lama biaya ini ditanggung oleh pemerintah. Biaya ini jauh lebih besar karena harga telah melambung tinggi. Sederhana saja, jika permintaan (demand) bertambah sementara supply tanah selalu tetap, tentu harga akan naik. Persoalan lain, MLARs membuat hutang negara penyelenggara kepada lembaga donor dunia semakin besar. Lagi-lagi, pembayar utama dari hutang ini adalah penerima manfaat (beneficiaries). Terakhir, MLARs sebagai sebuah upaya transformasi sosial menuju tatanan yang lebih adil tidak tercapai. Sebab, lemahnya intervensi negara dalam proses MLARs telah membuat land reform semacam tidak lebih sebuah upaya menghilangkan kemiskinan absolut semata. Bukan sebuah upaya transformasi sosial ekonomi masyarakat pertanian dan pedesaan.

Adminsitrasi Pertanahan Tema Land Governance yang buruk khususnya mengenai tumpang tindih kelembagaan dan hukum pertanahan, konflik pertanahan dan sumber daya alam, buruknya sistem administrasi pertanahan adalah tema pokok yang digelontorkan kepada negara-negara dunia ketiga agar mengubah hukum pertanahan nasional mereka. Ajakan ini, sayangnya bukanlah sebuah tata kuasa pertanahan yang bersandarkan pada keadilan sosial apalagi mengangkat sistem administrasi masyarakat asli . Namun, lebih bersandarkan pada kemudahan investasi melalui skema pengadaan tanah, transfer tanah melalui jual beli hingga bisnis teknologi administrasi pertanahan yang terbaru. Di negara kita, cara-cara semacam ini telah lama ditempuh oleh Bank Dunia. Land Administration Project (LAP) 1997 yang telah mengubah tata cara pendaftaran tanah di Indonesia sebagai bagian dari proses pelaksanaan land reform menjadi bertujuan sertifikasi tanah. Proyek ini kemudian dilanjutkan dengan paket hutang lainnya yakni LMPDP (Land Management and Policy Development Project). Jika kita lihat berbagai regulasi yang dihasilkan seperti UU Pengadaan Tanah dan terakhir RUU Pertanahan sepertinya Bank Dunia tak pernah diam membawa tanah dan air kita ke dalam arus neoliberalisme. n

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

21


uPDATe kegiatan kpa

Tantangan Utama Masalah Agraria di Indonesia Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Rimbawan Muda Indonesia (RMI) dan Sajogyo Institute (Sains) telah melakukan Studi Pendahuluan Singkat (scoping study) tentang masalah agraria yang ada di Indonesia. Dari scoping study tersebut, KPA dan jaringannya mengkelompokkan ada enam tantang utama yang harus dihadapai. Adapun keenam tantangan tersebut adalah 1) Hukum pertanahanan yang tumpang tindih dan tersebar dalam beragam otoritas yang tidak terkoordinasi dengan baik; 2) Redistribusi tanah kepada petani kecil, petani penggarap, perempuan, serta perlindungan wilayah masyarakat adat; 3) Penantiganan konflik agraria yang parsial dan tidak menjadi prioritas; 4) Perubahan tata guna tanah yang disetir oleh modal; 5) Masalah pengakuan wilayah masyarakat adat; dan 6) Lemahnya akses perempuan kepada tanah. Sebagai tindak lanjut dari scoping study ini maka dilaksanakan workshop yang bertujuan untuk membahas kerjasama program bersama elemen masyarakat lainnya ditahun mendatang. Workshop yang berlangsung selama dua hari ini (18-19/9) dihadiri juga oleh BPN RI yang diwakili oleh Kapuskum & Humas BPN, Kurnia Toha. Pada kesempatan tersebut beliau menyampaikan bahwa di BPN sendiri terdapat 600 perarturan dan tidak ada orang yang mengerti peraturan tersebut. Di tambah lagi kehutanan, pertanian, pertambangan serta peraturan daerah sehingga jika dikumpulkan ada ribuan peraturan, pungkasnya. Hal ini menunjukkan bahwa ego sektoral sangat kuat sehingga penyelesaian konflik yang terjadi menjadi sangat sulit.

Workshop persiapan menuju National Engagement Strategy. Sumber: KPA

22

Peraturan yang ada tidak terintegrasi dengan ‘baik bahkan ada yang tidak sesuai lagi dengan semangat UUD 45 dan UUPA 1960. Lebih lanjut lagi Noer Fauzi Rahman yang merupakan dewan pakar KPA menjelaskan bahwa dalam perumusan masalah agraria dan sumber daya alam harus menggunakan TAP MPR/IX/2001. Hal ini mengingat pemerintah selalu menggunakan “prinsip legalitas�. Jadi sudah sangat tepat jika para aktivis agraria menggunakan TAP MPR/IX/2001 karena TAP MPR ini merupakan legalitas yang tertinggi. Pemerintah tidak akan bisa membantah lagi dan mencari-cari alasan untuk tidak melakukan pembaruan agraria. Pada hari kedua workshop ini dilanjutkan dengan menampung berbagai masukkan dari peserta yang hadir. Adapun masukannya adalah: Noer Fauzi, perlunya memberikan shock terapi kepada calon kandidat yang akan bertarung Pilpres 2014 nanti. Kondisi sekarang para calon presiden yang akan bertarung di 2014 sedang gencar melakukan pencitraan. Para penggiat agraria harus bisa mengambil peluang dengan memunculkan kembali kasus-kasus lama dengan cara yang terang-terangan. Untuk itu maka diperlukan investigtion report agar kasus konflik agraria merupakan sesuatu yang upnormal. Andika, partai peserta pemili 2014 menggunakan tambang sebgai lumbung dana kampanye. Jadi ini sangat potensial untuk menunjukkan adanya satu sistem oligarki lokal. Hal ini tentu tidak sesuai dengan peraturan perundangan karena kekayaan alam yang ada disatu daerah hanya dimiliki segelintir orang. Selaian itu di wilayah krisis pengurasan SDA dibangun balai belajar dengan nama dan model yang berbeda-beda. Lulu, masyarakat sipil juga harus melakukan pengawalan terhadap rancangan undang-undang yang sedang dibahas DPR. Tujuannya adalah melahirkan undang-undang yang terintegrasi dengan baik. Selain itu dilakukan juga pendampingan hukum rakyat sehingga rakyat bisa mendapatkan haknya secara hukum. Selama ini rakyat terperdaya oleh hukum positif dan bersifat pasrah. Rahmat Ajiguna, ada tiga isu yang harus diangkat dalam permasalahan bangsa ini, pertama adalah soal liberalisasi di sektor pertanian yang terus digencarkan oleh WTO, kedua perampasan tanah yang dilegalkan melalui hukum positif dan masalah impor pangan. Ketiga hal ini menjadikan bangsa Indonesia tidak berdaula lagi dala bidang pangan. Jadi ini harus terus dikampanyekan sehingga menjadi pembahasan yang serius di tubuh pemerintah. Di penghujung acara Iwan Nurdin yang merupakan Sekjen KPA menekankan bahwa masukan yang ada sudah ada tadi akan dijadikan program bersama yang akan diramu untuk 2 tahun kedepan. Jadi kegiatan workshop yang dilakukan selama dua hari ini bukan hanya tulisan di atas kertas, tetapi harus diimplementasikan. n (AGP)

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Peringatan Hari Tani 2013

Sikap Politik KPA: “Menolak Penjarahan Tanah-Air dan Liberalisasi Pangan di Indonesia” Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada peringatan Hari Tani Nasional tahun 2013 (24.09/2013), kembali menegaskan, bahwa “pelaksanaan reforma agraria adalah jalan utama, dan jalan satu-satunya mewujudkan cita-cita kemerdekaan nasional”. Pelaksanaan reforma agraria adalah agenda bangsa yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah demi mewujudkan keadilan sosial dan menegakkan kedaulatan rakyat atas tanah-airnya. Kami menilai bahwa pemerintah hari ini telah gagal dan tidak mempunyai komitmen dalam menjalankan reforma agraria sebagai amanat konstitusi RI pada Pembukaan UUD 1945; Pasal 33 UUD 1945; UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Kami mengutuk keras melihat pemerintah hari ini telah menjalankan satu proses perampasan tanah dan air milik rakyat dalam sebuah sebuah koridor ekonomi politik yang kami sebut sebagai liberalisasi tak terbatas dan bermoral atas sumber-sumber agraria (kekayaan alam) yang disetir oleh kepentingan pemodal besar atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi. Tidak dijalankannya reforma agraria dan berlakunya praktek liberalisasi agraria selama ini telah menyebabkan konflik agraria terus menerus meningkat dan memakan korban jiwa. Kami mencatat bahwa sepanjang kekuasaan SBY sedikitnya telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, dimana ada lebih dari 731.342 KK harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. Di tengah perampasan tanah tersebut, kami menolak keras liberalisasi pangan yang dijalankan oleh SBY-Boediono. Hampir semua bahan pangan dibuka kran impornya, beberapa bahkan dengan bea masuk 0%. Sepanjang tahun 2012 saja, impor produk pangan Indonesia telah menyedot anggaran lebih dari Rp 125 triliyun. Dana tersebut digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lain yang pada akhirnya hanya semakin mematikan pertanian indonesia. Proses Liberalisasi pertanian nampak sekali pada proses impor pangan, pada tahun 1990, saat Indo-

nesia belum ikut WTO dan IMF, impor kedelai kita pernah hanya sebesar 541 ton. Bandingkan dengan impor kedelai dalam tahun ini (Januari – Juli 2013) kita sudah impor 1,1 juta ton atau senilai US$ 670 juta (Rp 6,7 triliun).

Aksi petani melempar gabah di depan kementrian perdagangan sebagai protes maraknya impor pangan. Sumber: KPA

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

23


uPDATe kegiatan kpa Sikap politik dan seruan di atas, adalah berangkat dari kenyataan objektif bahwa, pemerintah Indonesia telah menyimpang dari amanat konstitusi dengan menerapkan liberalisasi di segala lapangan ekonomi politik. Liberalisasi Agraria (sumber kekayaan alam) yang mendorong penjarahan tanah dan air besar-besaran mengakibatkan hilangnya jaminan negara untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Liberalisasi sumber kekayaan alam yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan sarat akan kepentingan modal adalah sesat untuk dijadikan basis pembangunan karena menjauhkan rakyat kecil dari akses sumber kekayaan alam dan mengakibatkan kesengsaraan dan kemiskinan. Dalam waktu bersamaan dan tak kalah massif, liberalisasi pangan mendominasi kebijakan pangan nasional. Penting untuk kita sadari bahwa liberalisasi pangan tidak sama sekali mengatasi akar persoalan krisis pangan di negeri ini. Liberalisasi pangan justru mendorong pembukaan areal pangan skala luas dan pembukaan keran impor pangan yang hanya menguntungkan segelintir mafia kartel, importir, dan kapitalis birokrat yang memburu rente dari impor pangan. Masalah-masalah di atas semakin diperparah dengan program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang merupakan turunan dari kerangka penataan ulang geografis di wilayah-wilayah utama Asia Tenggara. Penataan ini dibuat dengan mengandalkan integrasi fungsi-fungsi ekonomi dan pembagian kerja antar wilayah, demi melancarkan sirkulasi modal skala dunia. MP3EI semakin menguatkan struktur ekonomi kolonial yang sejak Indonesia merdeka belum berubah, dimana konsentrasi penguasaan tanah oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan lainnya dan hanya menempatkan rakyat Indonesia menjadi tenaga kerja. MP3EI yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tidak berpengaruh positif pada kesejahteraan rakyat, tidak memperhatikan pembangunan perdesaan, rakyat desa, termasuk perempuan dan kaum marginal lainnya. MP3EI juga turut mengancam agenda pembaruan agraria, kedaulatan pangan, kedaulatan rakyat sehingga potensial berakibat pada krisis pangan pangan, krisis ruang hidup, konflik agraria yang semakin massif dan melahirkan berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan beragam ketidakadilan berbasis gender. Sejak masa orde baru hingga saat ini, ketiadaan komitmen politik menjalankan reforma agraria ditenggarai sebagai penyebab utama krisis total yang melanda bangsa ini. Kemauan politik yang kuat dari pimpinan nasional sebagai syarat bagi pelaksanaan reforma agraria, dan SBY telah alfa menjalankan REFORMA AGRARIA sesuai mandat konstitusi, yaitu Pembukaan UUD 1945, Pasal 33 UUD

24

1945 dan UUPA No 5/1960. Tidak melaksanakan reforma agraria, apalagi menjadikannya hanya janji politik semata adalah dosa sejarah pemimpin yang lalim. Pemimpin yang lalim ini mengakibatkan rakyat berada di tepi jurang kemiskinan di tengah negara bangsa yang melimpah sumber kekayaan alamnya. Untuk memuluskan jalannya penjarahan tanah dan air, aparat negara yang seharusnya melindungi segenap rakyat Indonesia justru melakukan tidakan yang tidak arif dan bijaksana. Polri dan Aparat Negara justru turut campur dan tidak netral dalam penyelesaian konflik agraria. Hal ini dibuktikan dengan makin maraknya cara-cara represif yang mendorong kekerasan terhadap petani, nelayan dan masyarakat adat. Seringkali rakyat menghadapi intimidasi serta upaya-upaya kriminalisasi karena mempertahankan kedaulatan tanah dan airnya. Ini membuktikan bahwa negara telah gagal memberi jaminan perlindungan bagi warga negara, karena terancam konflik agraria dan kekerasan dari aparat negara. Atas dasar fakfakta di atas, kami Konsorsium Pembaruan Agraria menyatakan bahwa persoalan besar yang tengah melanda kaum tani Indonesia dapat diselesaikan jika negara dan pemerintah menjalankan hal-hal sebagai berikut: 1. Menjalankan reforma agraria sejati demi mewujudkan keadilan sosial dalam sebuah masyarakat yang adil dan makmur; 2. Pemerintah harus segara membentuk lembaga khusus penyelesaian konflik agraria di tingkat lokal dan nasional; 3. Tinjau ulang dan cabut izin dan hak perusahaan yang telah mengakibatkan konflik agraria dan menyerahkannya kepada koperasi milik kaum petani dan desa dalam skema pembaruan agraria 4. Menghentikan aksi-aksi represif dan kriminalisasi oleh TNI dan POLRI dalam menangani konflik-konflik agraria; 5. Membebaskan para petani, pejuang agraria dan lingkungan hidup yang sedang ditahan oleh POLRI dalam konflik agraria; 6. Menghentikan proyek liberalisasi pangan yang selama ini hanya menguntungkan negara-negara, perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia, IMF, APEC, dan WTO yang jelas-jelas telah merugikan rakyat Indonesia. Â Kami juga menyerukan kepada rakyat Indonesia untuk: 1. Menolak partai politik dan calon presiden yang sudah terbukti tidak mempunyai komitmen politik terhadap agenda reforma agraria; 2. Menolak partai politik dan calon presiden yang telah mendorong lahirnya kebijakan anti reforma agraria, mendukung perampasan tanah rakyat, dan memberikan dukungan pada liberalisasi agraria dan pangan. n

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Peringatan Hari Tani Nasional KPA di Wilayah Jakarta: “Petani, Buruh, Nelayan dan Mahasiswa Geruduk Istana Somasi Presiden” KPA/JAKARTA: Ribuan Massa yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Rakyat Indonesia (Sekber-PHRI) pada 24 September gegap gempita mendatangi Istana Negara di Jakarta. Kedatangan Sekber PHRI ke Istana dalam rangka memperingati hari tani nasional ke-53 yang diisi dengan orasi-orasi dari petani, nelayan, buruh dan mahasiswa sekaligus pembacaan somasi kepada presiden, DPR/MPR dan BPN karena tidak menjalankan reforma agraria sesuai amanat konstitusi, yaitu Pasal 33 UUD 1945, UUPA No.5/1960 dan Tap MPR No.IX/2001. Aksi menuntut dari Sekber PHRI ini, mendesak pemerintah segera melaksanakan reforma agraria sesuai mandat UUPA 1960 dan membentuk komisi khusus penyelesaian konflik agraria yang berpihak kepada petani. Dalam aksi ini para pegiat agraria dari KPA juga menggalang petisi untuk mendesak Polri membebaskan para petani dan pejuang agraria di Indramayu yang masih ditahan oleh Kapolda Jabar. (GA)

Mengutuk Impor Pangan Masih dalam rangkaian peringatan Hari Tani Nasional di Jakarta , pada hari yang sama sebelum ke Istana Negara, massa PHRI melakukan unjuk rasa di Kemedag.

Massa aksi PHRI. Sumber: KPA

Petani mengusung poster-poster kampanye perjuangan bertema reforma agraria. Sumber: KPA

Aksi long march yang diikuti hampir seribuan massa Sekber PHRI ini mengutuk segala bentuk liberalisasi pangan yang dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian terhadap kemampuan petani lokal. Di depan gedung kementerian Perdagangan, massa melakukan orasi serta teatrikal pelemparan gabah lokal ke arah gedung Kementrian Perdagangan. Iwan Nurdin (Sekjend KPA) dalam pidatonya menjelaskan bahwa tidak dijalankannya reforma agraria menyebabkan negeri ini tidak berdaulat dalam pangan sehingga kita sering melakukan impor. Menurutnya di sinilah letak kesalahan SBY dalam mengelola Negara. Bukan tanpa alasan jika kementerian perdagangan menjadi sorotan utama kaum petani, karena kementerian inilah yang harus bertanggung jawab atas menurunnya nilai produk pertanian mereka, dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan impor komoditas bahan pangan dari luar negeri dengan bea 0%. Tercatat disepanjang tahun 2012, impor produk pangan Indonesia untuk daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang dan produk pangan lainya telah menghabiskan anggaran Negara lebih dari Rp.125 trilyun. Kebijakan ini tentu saja merupakan kebijakan yang sangat pro terhadap liberalisasi dibidang pertanian dan pangan. Dalam aksinya para petani melakukan aksi lempar gabah hasil panen ke Kementrian Perdagangan sebagai bentuk kecaman terhadap pemerintah yang tidak menghargai hasil jerih payah petani lokal.

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

25


uPDATe kegiatan kpa

Salah satu perwakilan mahasiswa GMNI berorasi di depan BPN. Sumber: KPA

Wasekjen KPA, Dewi Kartika berorasi di depan masa aksi Koalisi Rakyat untuk Keadilan Agraria. Sumber: KPA

Tuntut BPN Laksanakan Reforma Agraria

aksinya mengusung tujuh tuntutan, pertama, mendesak Gubernur dan Bupati/Walikota untuk berperan aktif dalam menyelesaikan sengketa agraria di Jawa Barat dengan membentuk Tim Koordinasi Penyelesaian Sengketa Agraria dan Sumber Daya Alam seperti yang dimandatkan TAP MPR No.IX 2001 dan Kepres No 34 tahun 2003. Kedua, menolak segala bentuk kebijakan pertanahan yang tidak sejalan dengan prinsip, semangat dan amanat UUPA 5 Tahun 1960. Ketiga, mendesak segera distribusikan tanahtanah terlantar kepada para petani penggarap. Keempat, mendesak untuk segera menghentikan alih fungsi lahan yang merusak daya dukung lingkungan dan sektor pertanian. Kelima, mendesak untuk segera dilakukan audit secara independen dan transparan mengenai kemanfaatan bagi kesejahteraan rakyat dan pengurangan kemiskinan atas penguasaan lahan oleh Perhutani dan Pemegang Hak Guna Usaha (HGU) baik BUMN maupun swasta. Keenam, mendesak untuk segera dihentikan intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi terhadap kaum petani yang memperjuangkan hak-haknya. Ketujuh, menyerukan kepada rakyat Jawa Barat untuk memilih Caleg dan Capres yang memperjuangkan pelaksanaan reforma agraria sejati. n (AGP)

Mengakhiri rangkaian aksi di Jakarta, masa petani juga mendatangi BPN. Badan Pertanahan Nasional yang selama ini seharusnya dapat menyelesaikan konflik agraria serta melahirkan syarat-syarat reforma agraria turut digeruduk masa aksi. Sekber PHRI menilai bahwa BPN merupakan lembaga yang melegalkan liberalisasi tanah di Republik Indonesia. Melalui HGU tanah rakyat dirampas secara paksa, selain itu BPN tidak pernah berpihak pada nasib petani. Lembaga BPN lebih sering membela kaum pemodal dan buktinya adalah dibukanya lahan perkebunan dalam skala besar. Para orator aksi yang terdiri dari GMNI, SMI, AGRA, KPA, SPI, dll mengkritik BPN karena tidak serius menangani konflik agraria. Kritik terhadap MP3EI juga disampaikan melalui orasi. Program ini dianggap akan membuat konflik agraria semakin meninggi. Masuknya investor asing yang tidak terkontrol membuat liberalisasi tanah semakin kuat. Hal tersebut dikarenakan BPN memfasilitasi proyek-proyek MP3EI. n (AGP)

Bandung: “Petani Desak Gubernur Wujudkan Keadilan Agraria” Peringatan Hari Tani Nasional juga dijadikan kesempatan para petani Jabar untuk menuntut hak-haknya. Melalui aksi mobilisasi, paduan suara, pencak silat dan orasi politik, tiga ribu massa aksi yang tergabung dalam Koalisi Rakyat untuk Keadilan Agraria mengepung Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat. Koalisi yang terdiri dari SPP, LBH Bandung, Baraya Tani, KPRI, P3I, SNT, PMII Kota Bandung serta Petani Agrabinta & Cianjur Selatan dalam

26

Indramayu: “Petani Tuntut Pembebasan Pejuang Agraria” KPA/Indramayu: Sekitar dua ribuan petani yang tergabung dalam Serikat Tani Indramayu (STI) melakukan aksi menuntut ke Kapolres Indramayu dan Perhutani. Para petani menuntut pembebasan 5 orang petani yang ditahan sejak 25 Agustus 2013 yang lalu. Kelima orang petani yang ditangkap tersebut adalah yakni Abdul Rojak ( Dewan Nasional KPA/sekjend STI), Watno (ketua basis suka slamet), Wajo (ketua basis Bojong Raong), Hamzah

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


fansuri (Deputi STI), Rohman (anggota STI). Menurut Agus Suprayitno selaku anggota Divisi hukum KPA yang mendampingi mereka selama ini aksi tersebut adalah sebagai wujud perlawanan petani atas intimidasi, tindak kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak para petani. Seperti yang diberitakan, bahwa petani yang tergabung didalam STI sejak tanggal 25 Agustus 2013 yang lalu telah mengalami tindak kekerasan, intimidasi dan penangkapan terkait penolakan mereka terhadap proyek pembangunan waduk bubur gadung. Beragam tindak kekerasan dan intimidasi itu terindikasi kuat dilakukan oleh pihak kepolisian, aparat desa dan orang-orang bayaran. Penolakan petani sangat beralasan karena mereka selama ini tidak pernah dilibatkan dalam proses pembebasan lahan yang menjadi tumpuan hidup mereka. Puncaknya pada Rabu (11/09/2013) saat aparat kepolisian, TNI dari kesatuan ARHANUD, Kodim Indramayu, Perhutani, Pemuda Pancasila serta sejumlah preman yang berjumlah seratusan orang menyisir basis-basis STI dan melakukan intimidasi hingga menyebabkan empat gubuk rusak, satu sepeda motor terbakar dan enam petani mengalami pemaksaan untuk keluar dari keanggotaan STI serta mendapat ancaman pembakaran gubuk. Tindakan tersebut juga mengakibatkan seorang petani bernama Wargi (45), dari Basis Sukaslamet yang meninggal dunia akibat kerasnya intimidasi dan puluhan warga lainya masih mengalami ketakutan dan trauma. Dalam aksinya, STI menyatakan keseluruhan proyek pembangunan waduk dan proyek infrastruktur yang hadir di kabupaten Indramayu ini adalah tidak bisa dilepaskan dari model kebijakan nasional MP3EI yang pro pemilik modal, pro kaum perampas tanah rakyat dan tentu saja anti terhadap kesejahteraan rakyat khususnya petani penggarap tak bertanah. STI juga menuntut pembebasan lima pejuang agraria yang masih ditahan di Polda Jawa Barat dan seorang pejuang agraria yang ditahan di LP Indramayu. n

Masa Aksi Serikat Tani Indramayu saat Peringatan Hari Tani Nasional 2013 di Kapolres Indramayu Menuntut Pembebasan Pejuang Agraria. Sumber: antarafoto

STI Semakin Kuat Aksi massa yang besar ini adalah wujud nyata bahwa STI tetap konsisten dalam mengusung perjuangan reforma agraria. Meskipun kekerasan, intimidasi serta perampasan tanah pasca aksi penolakan waduk bubur gadung terus dialami STI. Bahkan dalam persidangan pejuang agraria Indramayu, massa STI dan elemen lainnya setia mendampingi melalui aksi mobilisasi ke PN Bandung. Perlu diketahui, apa yang menjadi alasan penolakan STI terkait pembangunan waduk Bubur Gadung, Pertama, proses pembangunan yang tertutup tanpa sosialisasi kepada petani STI. Kedua, proses musyawarah tidak ada, artinya pelibatan masuarakat tidak dilakukan dan ganti kerugian atas tanah tidak pernah dilakukan oleh pemerintah. Ketiga, sebenarnya sudah ada dua waduk di lokasi dekat areal rencana pembangunan waduk bubur gadung yaitu kosambi dan sumur batu namun waduk kurang dipelihara dan mengalami pendangkalan, bukannya direvitalisasi waduk lama, pemerintah ngotot bangun waduk baru. Keempat, waduk yang selama ini ada di Indramayu tidak diperuntukan kepada rakyat petani penggarap namun lebih banyak digunakan untuk kepentingan perkebunan tebu milik PT. Rajawali Nusantara Indonesia, pengairan waduk dikuasai mafia air yang mempraktekan komersialisasi air, sehingga pembangunan waduk untuk rakyat hanyalah bohong besar. Menyoal kekerasan terhadap para petani yang menolak waduk, preman yang menyerang petani tidak ditahan dan bahkan belum disidangkan hingga saat ini. Sampai saat ini (19/11) sudah sepuluh gubuk petani terbakar, dua puluh empat kambing terbakar, satu motor terbakar dan emas 12, 5 gram dan uang sejumlah Rp.4.150.000 raib. Bukan hanya itu, perampasan lahan garapan petani makin massif dilakukan oleh preman dan Perhutani di basis STI yaitu Sesepan, Loyang dan Kosambi Jajar. Proyek Pembangunan Waduk Bubur Gadung yang dilakukan bersama dengan revitalisasi waduk Sumur Batu menelan dana 94 Milyar dana APBN. Waduk tersebut dibangun di atas tanah yang diklaim perhutani seluas sekitar 6,5 Ha. Padahal klaim perhutani ini berada di atas tanah garapan masyarakat yang tergabung dalam STI. Pembangunan waduk diindikasi penuh dengan praktek korupsi. Mengherankan, jika benar lahan yang akan digunakan sebagai waduk adalah milik perhutani maka ada mekanisme tukar-menukar kawasan hutan, dengan jumlah besaran dua kali luasan lahan yang dipakai. Jika Bubur Gadung menggunakan 6 Ha lahan milik Perhutani, maka Pemerintah harus mengganti lahan dua kali luas, sesuai Peraturan Menteri Kehutanan No:P.41/Menhut-II/2012. Namun, sampai sekarang tidak pernah ditemukan bukti bahwa tanah pengganti sudah disiapkan. Dengan demi-

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

27


uPDATe kegiatan kpa

Seorang petani STI diseret saat kericuhan aksi damai STI Menolak Pembangunan Waduk 25/08. Sumber: repro

kian, kuat dugaan bahwa dana pengadaan tanah telah diselewengkan. Namun, faktanya tanah tersebut adalah tanah garapan masyarakat. Anehnya, penetapan lokasi dan ganti kerugian kepada petani penggarap tidak pernah terjadi sesuai dengan Perpres 71 tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dan Perpres 36 tahun 2005 jo Perpres 65 tahun 2006. Sesungguhnya klaim Perhutani atas tanah tersebut sangat lemah, sebab sampai sekarang perhutani belum mempunyai tata guna hutan kesepakatan. Perhutani belum mempunyai SK penetapan kawasan hutan. n

Malang: “Petani Tuntut Pengembalian Tanah” KPA/JATIM: Petani yang tergabung dalam Forum Petani Malang Selatan Memperingati Hari Tani Nasional ke-53 melalui aksi unjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Malang, Jawa Timur (24/9/13). Pra petani yang dari tiga kecamatan, yaitu Dampit, Triyudo dan Ampelgading menolak perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XII, Kalibakar. Para petani menuntut tanah yang selama ini dikelola oleh PTPN XII dikembalikan kepada petani penggarap kemudian disertifikasi. Para petani dalam orasinya menuntut keberpihakan anggota DPRD kepada para petani agar HGU PTPN XII tidak diperpanjang dan tanahnya dikembalikan kepada rakyat. Dengan aksi unjuk rasa damai, petani menuntut dan menagih janji kepada pemerintah agar segera melaksanakan agenda reforma agraria dengan bentuk redistribusi tanah yg sudah dikuasai selama belasan tahun, serta mengupayakan penyelesaian konflik dan sengketa lahan yang selama ini sudah dikuasai dan digarap oleh petani.

28

Selama beberapa waktu terakhir ini pemerintah tidak punya niatan baik untuk melaksanakan janji politik yang pernah disampaikan oleh presiden SBY pada saat kampanye jelang pilpres tahun 2009 lalu, bahkan pemerintah melalui aparat hukumnya cenderung melakukan intimidasi dan kriminalisasi terhadap petani. Semestinya menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UU No 5/1960), yakni tanah berfungsi sosial, karena itu tanah tidak boleh ditelantarkan. Penelantaran tanah dapat menghilangkan hak milik, HGU, dan HGB atas tanah (Pasal 27, 34, 40 UU PA). Oleh sebab itu redistribusi tanah untuk petani penggarap harus segera dilaksanakan oleh pemerintah. Sementara itu, ditemui di lapangan, Ubed Anom (Koordinator Wilayah KPA Jatim) mengatakan bahwa, “selama beberapa waktu terakhir ini pemerintah tidak ada niatan baik untuk melaksanakan janji politik yang pernah disampaikan oleh presiden SBY pada saat kampanye jelang pilpres tahun 2009 lalu”. Ubed juga mengutuk keras aksi intimidasi dan kriminalisasi yang dilakukan aparat terhadap petani. n

Blitar: Petani Gugat SK Penunjukan Kawasan Hutan Hari Tani Nasional juga diperingati oleh ribuan petani Blitar yang berkonflik dengan Perhutani dan Perkebunan. Petani Blitar berniat menggugat pemerintah untuk membatalkan SK Penunjukkan Kawasan Hutan No. 367 tahun 2013 yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan ke PTUN DKI Jakarta. Ratusan petani yang tergabung dalam Pagutuban Petani Aryo Blitar (PPAB) dan Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa) dan Serikat Petani Indonesia (SPI) melakukan longmarch ke Pemkab Blitar, DPRD Kab. Blitar dan BPN Blitar. Massa aksi yang merupakan bagian dari petani eks perkebunan Nyamil menuntut pelaksanaan reforma agraria sejati yang merupakan jalan utama dan jalan

Ribuan petani dari Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB) menuntut Gugat SK Menhut No.367.

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


satu-satunya untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Menurut Koordinator aksi, Imam Buchori, di Kabupaten Blitar sendiri saat ini masih ada sengketa lahan sebanyak 26 objek sengketa dengan total sekitar 10.000 Ha yang melibatkan 12.000 KK. “Hal ini menunjukan bahwa, pemodal besar dan pertumbuhan ekonomi tidak menjamin kesejahteraan masyarakat,” imbuhnya. Menurutnya, untuk menyelesaikan permasalahan/sengketa lahan, dibutuhkan kepedulian dan keberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang selama ini miskin dan tertinggal, dengan wujud dilakukannya Redistribusi tanah ( Reforma Agraria Sejati ). Ketua Paguyuban Petani Aryo Blitar, Jaka Wandira dalam orasinya menyatakan bahwa masyarakat Eks Perkebunan Gondangtapen dan Nyamil menuntut Pemerintah segera menjalankan Reforma Agraria Sejati demi mewujudkan keadilan sosial untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Kedua, Meninjau ulang dan mencabut Ijin yang diterbitkan SK oleh Kementerian Kehutanan Nomor: 367/Menhut/II/2013 dan hak perusahaan yang telah akibatkan konflik dan menyerahkan kepada Koperasi milik kaum Petani dan Desa. Ketiga, menghentikan aksi-aksi represif dan kriminalisasi oleh TNI/Polri dalam menangani konflik-konflik agraria. Sementara masa aksi juga mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten bersama DPRD Kabupaten Blitar untuk Menjalankan sepenuhnya Rekomendasi Bupati Nomor 590/483/409.011/2010 tertanggal 22 September 2010, tentang Rekomendasi Pelaksanaan Redistribusi Tanah di wilayah pegunungan Nyamil dan Menolak/meninjau kembali SK Menteri Kehutanan nomor 367/Menhut/II/2013, tentang Penunjukan Tanah Godangtapen sebagai kawasan hutan, karena tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. n

Bali: “Petani Sumberklampok Tagih Tanah Terlantar” Pulau Bali yang selama ini dikenal dengan gemerlap pesona wisatanya hingga ke mancanegara ternyata masih menyimpan persoalan agraria yang hingga kini belum terselesaikan. Hal ini terlihat pada 24 September 2013 yang lalu saat ratusan petani Kec. Gerokgak Buleleng dan sekitarnya yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Bali beserta elemen-elemen masyarakat lainya melakukan aksi long march dan orasi di Kantor Gubernur Bali, dan gedung DPRD Bali. Menurut Humas aksi KPA, Ni Made Indrawati, aksi ini dilakukan sebagai reaksi masyarakat untuk menuntut kejelasan nasib mereka terkait dengan konflik lahan pertanian

Aaksi petani enam desa menuntut tanah terlantar di depan Gubernur Bali.Sumber: berita dewata

masyarakat yang tersebar dibeberapa wilayah Bali dan beberapa diantaranya berlokasi di Sumber Klampok Kecamatan Gerokgak, Sendang Pasir Desa Pemutaran Kecamatan Gerokgak, Batu Ampar Desa Pejarakan Kecamatan Gerokgak, Kelurahan Serangan Kecamatan Denpasar Selatan, Banjar Selasih Desa Puhu Kecamatan Ubud Gianyar, Banjar Domba Desa Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan. Dalam aksi yang juga bertepatan dengan Hari Tani Nasional ini mereka kembali menyuarakan tuntutan terkait dengan konflik lahan pertanian dengan PT. Margarana dan PT. Dharmajati dan Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Menurut data terakhir tercatat 3.084 jiwa, 500 Kepala Keluarga (KK) yang mengolah 624 Hektar Lahan Pertanian dengan jumlah Penduduk Sumber Klampok menurut data terakhir 3.084 jiwa, 500 Kepala Keluarga (KK) Awal, Penduduk tidak tetap 73 Kepala Keluarga (KK) dan Eks pengungsi Timor-Timor 107 KK. Tahun Penggarapan lahan dimulai pada program transmigrasi dan tanam paksa kolonial sejak tahun 1922 dan pengungsi letusan Gunung Agung (1963) dan Konflik Timor-Timor (1999). Sengketa dan Konflik sejak jaman Kolonial (Transmigrasi 1922) dengan Negara merdeka utamanya dengan (PT. Margarana dan PT. Dharmajati, 1957), dan TAMAN Nasional Bali BARAT (TNBB 1991). Reklaiming Tahun 1992, serta Gugatan Gubernur Bali Kepada PT. Margarana (2008). n

Orasi perwakilan petani Sumberklampok. Sumber: KPA

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

29


uPDATe kegiatan kpa

Dialog Agraria Nasional: Masa Depan Reforma Agraria di Indonesia Sebagai bagian dari peringatan hari tani nasional ke-53, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyelenggarakan dialog agraria nasional yang bertujuan untuk membahas tentang nasib agraria dan menetapkan langkah perjuangan menuju pelaksanaan refoma agraria sejati. acara yang berlangsung pada tanggal 27 September ini dihadiri oleh KPA wilayah, NGOs, Dewan Pakar KPA dan akademisi. Menurut Jimly Assiddiqie Indonesia sudah memiliki konstitusi yang sangat kuat untuk melindungi hak rakyat. Konstitusi tersebut adalah UUD 45 yang tertuang dalam pasal 33 ayat 3 dan dijabarkan di dalam Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960. Sayang UUD 45 sudah diamandemen sehingga ruh kerakyataannya berubah menjadi semangat kapitalisme. Selain berbicara konstitusi agraria, di dalam forum dialog nasional tersebut Jimly menekankan kepada peserta yang hadir agar mendesak parpol supaya memikirkan kebijakan reforma agraria sejati, jadi parpol tidak hanya membicarakan masalah survey dan elektabiltas. Sesi pertama dalam acara ini adalah “Dasar Pemikiran tentang Reforma Agraria dan Politik Hukum Agraria

untuk Memahami dan Menyelesaikan Konflik Agraria di Indonesia�. Dalam sesi ini salah satu pembicaranya adalah Wakil Komnas HAM, Dianto Bachriadi. Dari penuturan beliau persoalan agraria bukan hanya pelanggaran yang dilakukan oleh Negara, tetapi karena tidak dipenuhinyahak-hak warga Negara. Fakta di lapangan, negara malah menjadi biang kerok sehingga konflik-konflik agraria terus bermunculan. Warga terus tergusur dari tanah yang telah didiami selama berpuluh-puluh tahun. Ini dilakukan oleh negara untuk memberikan ruang kepada pemilik modal agar menginvestasikan uangnya. Akhirnya tanah yang merupakan sumber kehidupan terakumulasi pada segelintir orang. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang sangat mencolok. Perjuangan untuk menjalankan reforma agraria akan terasa semakin berat, faktor utamanya adalah tidak adanya kemauan pemimpin Negara ini untuk melaksanakan UUPA 1960. Bahkan Pemerintah tidak pernah serius menangani konflik-konflik agraria walau korban sudah berjatuhan. Sebagai catatan, beliau menjelaskan bahwa dalam melakukan pendudukan lahan harus dilakukan secara

Dari kiri ke kanan Abdon Nababan sebagai moderator dialog, Mahir Takaka (AMAN), Achmad Yakub (SPI), Agustiana (SPP) dan khalisah khalid (Walhi). Sumber: KPA

30

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


terorganisir dan masif sehingga gerakan reforma agraria dari arus bawah bisa berhasil. Pada sesi kedua yang memiliki topik “Masa Depan Reforma Agraria Setelah Pemilu 2014 (Gerakan Sosial/Tani, Pemerintah, DPR RI, dan DPD RI)”, dihadiri oleh Agustiana yang merupakan ketua Dewan Nasional KPA. “Visi dan misi Caleg sangat jauh dari reforma agraria. Penyebabnya isu agraria kurang seksi dan masih kalah dengan isu lain seperti korupsi. Selain itu tantangan lainnya adalah tanah yang sudah diduduki oleh rakyat harus bisa dikelola sehingga kesejahtraannya meningkat,” tutur Agustiana. Acara dialog nasional tersebut telah menghasilkan 3 kesimpulan yaitu, pertama agenda untuk membentuk “peradilan pertanahan” harus diperluas menjadi “peradilan agraria”. Kedua peserta pemilu yang akan berlangsung pada tahun 2014 tidak memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankan reforma agraria. Ketiga adalah Negara telah absen dalam menangani konflik agraria. Seharusnya negara dalam menyelesaikan konflik agraria harus menganggendakan refoma agraria. Pelaksanaan reforma agraria yang dimaksud adalah agenda redistribusi tanah kepada petani kecil, petani penggarap dan buruh tani; akses permodalan, benih dan sarana produksi lainnya; penyelesaian konflik agraria secara menyeluruh; mewujudkan kedaulatan pangan nasional, dan mengatasi kemiskinan. Selain melakukan refleksi perjalanan perjuangan agenda reforma agraria, dialog ini juga menyepakati resolusi bersama. Adapun resolusi yang telah disepakati adalah sebagai berikut :

Resolusi Dialog Agraria Nasional Kami yang hari ini berkumpul pada Jumat 27 September 2013, di Jakarta, adalah perwakilan dan pemimpin langsung dari organisasi-organisasi petani, perempuan, masyarakat adat, lingkungan, mahasiswa, buruh, akademisi dan NGO dari berbagai wilayah Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara dan Sulawesi) untuk mengikuti “Dialog Agraria Nasional: Penyelesaian Konflik Agraria dan Masa Depan Reforma Agraria” yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Kami memahami sepenuhnya bahwa persoalan agraria merupakan persoalan fundamental bangsa yang sangat menentukan masa depan. Saat ini masalah agraria di Indonesia adalah: Tingginya ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah dan sumbersumber agraria lainnya di Indonesia; Konflik agraria dan kerusakan ekologis. Ketimpangan, konflik dan kerusakan lingkungan inilah yang telah melahirkan ketidakadilan sosial salah satunya dalam wajah kemiskinan. Kami menyimpulkan bahwa masalah-masalah agraria yang terjadi selama ini karena diberlakukannya politik agraria nasional yang kapitalistik yang bertentangan dan jauh dari cita-cita konstitusi nasional kita. Politik agraria

tersebut mewujud ke dalam sejumlah UU sektoral di bidang pertanian, pertanahan, kehutanan, pertambangan, kelautan, dan perkebunan yang saling tumpang tindih dalam melayani ekspansi modal. Kami melihat bahwa Negara telah absen dalam menangani konflik agraria yang selama ini terjadi. Seharusnya, penyelesaian dan penanganan konflik agraria yang saat ini terjadi segera diselesaikan dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria. Penanganan dan penyelesaian konflik agraria yang kita maksud tersebut adalah bagian pokok di dalamnya adalah perlindungan dan pemberdayaan petani penggarap agar mendapatkan hak atas tanah, dan pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat atas hutan dan wilayah adatnya. Ke depan, perwujudan penataan dan pengolaan agraria kedalam sebuah manajemen dan administrasi agraria yang bersih dan berwibawa harus diletakkan diujung pelaksanaan reforma agraria. Sehingga administrasi dan sertifikasi pertanahan yang dilaksanakan bukan melegalkan ketimpangan penguasaan tanah yang ada. Gagasan dan agenda pembentukan “Pengadilan Pertanahan” yang saat ini diusung oleh pemerintah dan para akademisi hendaknya diperluas menjadi “Pengadilan Agraria” untuk menangani dan menyelesaikan konflik agraria secara utuh, menyeluruh dan berkeadilan. Cakupan yang harus ditangani oleh “Pengadilan Agraria” tersebut adalah juga sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, kelautan dsb dalam rangka pemulihan hak dan perwujudan keadilan kepada para korban konflik agraria selama ini. Menghadapi Pemilu 2014 kami perlu menyampaikan bahwa partai politik dan elit politik yang ada selama ini tidak mempunyai komitmen yang kuat dalam menyelesaikan masalah agraria nasional kita yang semakin kompleks. Untuk mencegah hal tersebut terulang kembali, kami menyerukan agar partai politik, calon legislatif, calon presiden untuk memperjuangkan pelaksanaan reforma agraria dan mendesak pemerintahan yang akan datang segera menjalankan reforma agraria. Pelaksanaan reforma agraria yang dimaksud mencakup: agenda redistribusi tanah kepada petani kecil, petani penggarap dan buruh tani; akses permodalan, benih dan sarana produksi lainnya; penyelesaian konflik agraria secara menyeluruh; pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat, mewujudkan kedaulatan pangan nasional, dan mengatasi kemiskinan. Demikian resolusi ini kami rumuskan dan kami sepakati bersama sebagai bagian dari komitmen bersama untuk terus mendorong dan memperjuangkan pelaksanaan reforma agraria sejati di Indonesia. Jakarta, 27 September 2013

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

31


uPDATe kegiatan kpa

Pertemuan Regional ILC Asia: Laporan Pandangan Mata Ketika diputuskan bahwa pertemuan Regional Assembly (RA) tahun 2013 akan diselenggarakan di Ulaanbator, Mongolia, pada pertemuan di Kamboja tahun 2012. Banyak yang merasa surprises. Sebab Jasil-Mongolia terhitung anggota baru di (International Land Coalition). Pemilihan lokasi juga menggunakan cara pemilihan. Sesuatu yang tidak lazim. Biasanya, anggota ILC memutuskan lokasi RA dengan mufakat. Kala itu, Jasil bersaing dengan Scope-Pakistan yang menyatakan berminat sebagai penyelenggara. Namun, para peserta RA di Pnom Pehn lebih memilih Jasil. Waktu itu, peserta Indonesia kompak memilih lokasi di Mongol. Alasannya, lebih aman dan eksotis. Meskipun alasan aman juga spekulatif, setidaknya berita bom meledak dan perang sipil di Mongol tidak pernah terdengar dan termuat di media massa. Kalau Pakistan? Semua sudah terpapar dengan jelas di Koran dan Televisi. ILC adalah sebuah koalisi yang diikuti oleh KPA ditingkat global. Ini adalah aliansi yang bersifat pelangi, mulai dari Bank Dunia dan IFAD menjadi anggota koalisi ini. Padahal, dalam koalisi ini ada organisasi yang kritis dan melawan Bank Dunia seperti anggota dari Indonesia (JKPP, KPA, SAINS dan RMI) hingga organisasi yang radikal seperti Ekta Parishad di India. Regional Assembly (RA) sendiri adalah pertemuan tahunan anggota ILC yang aneka kemajuan dan kemunduran koalisi. Ketika kami, rombongan Jakarta-Bogor yang berjumlah empat orang, mendarat di Chingis Khaan Intl Airport, udara dingin langsung menerpa. Meskipun 6 September 2013, dalam kalender musim di Mongol masih terhitung musim panas. Cuaca di Mongol tergolong sangat dingin bagi orang tropis seperti saya. Kota UlaanBatar adalah kota yang ruwet, macet, dan infrastruktur yang minim. Soal tata ruang? Jika ada Pembangkit Listrik dengan cerobong asap hitam berada di tengah pemukiman penduduk kota, mungkin kota ini tumbuh tanpa perencanaan ruang yang baik. Setelah menempuh kemacetan kira-kira 2 jam dari bandara, sampailah kami ke Chingis Khaan Hotel. Lokasi pelaksanaan Regional Assembly. Nama, lukisan dan gambar Chingis Khaan telah menjadi ikon negeri ini, sosok raja dan keturunannya yang telah menaklukan hampir seluruh asia dan membangun imperium global bahkan membangun dinasti kekaisaran di China. Pagi dihari Sabtu7 September, acara konferensi dimulai. Sebagai host ILC Asia, KPA adalah penyelenggara dari

32

acara ini bersama-sama dengan Jasil, Angoc (Philipina) dan ILC-Secretariat (Roma). Dalam pidato pembukaan KPA oleh Iwan Nurdin, Sekjen KPA, mengucapkan selamat datang kepada peserta konferensi khususnya dari pejabat pemerintah, anggota parlemen dan organisasi masyarakat sipil di Mongol yang hadir dalam pembukaan, memberikan pandangan tentang makna pertemuan anggota melalui regional assembly ILC untuk bertukar pengalaman dalam menyelesaikan masalah pertanahan, membangun dan mengembangkan good land governance di masingmasing Negara. Setelah pembukaan, diskusi dengan menghadirkan pembicara dari anggota parlemen Mongol, pakar pertanahan universitas dari Ulan Bataar. Presentasi pengalaman dari Kyrgistan dalam membahas isu perempuan, dan dari India membahas masyarakat adat kelompok pastoralis. Diskusi ini dimoderatori oleh Iwan Nurdin dari KPA. Pembahasan sesi ini memberikan gambaran bahwa hampir semua tanah di Mongolia masuk kedalam kategori tanah milik masyarakat adat yang hidupnya sebagian besar adalah kelompok peternak yang nomaden (pastoralis). Jika dihitung secara perkapita, luasan pekapita mencapai lebih dari 6 ha. Namun, sebagian besar adalah ladang penggembalaan dan gurun. Masalahnya, tanahtanah tersebut saat ini diketahui memiliki cadangan mineral berupa emas dan batubara yang sangat besar. Bahkan, ekonomi Mongol ditopang dari ekspor minerba. Wilayah adat dan tata cara kehidupan mereka terancam oleh perampasan tanah untuk kepentingan pertambangan. Kyrgistan, India dan Mongol juga menghadapi hal serupa dalam hal masyarakat adat, khususnya hak-hak perempuan pada masyarakat adat. Perempuan dalam masyarakat adat mengalami persoalan ganda, yaitu masalah di dalam system masyarakat adat sendiri dan masyarakat adat yang marginal dalam system ekonomi politik nasional. Persoalan lain yang diungkap adalah dominannya adopsi nilai dan sistem pasar kedalam sistem hukum pertanahan yang baru dan sedang diproses di banyak Negara, khususnya yang sedang mengalami transisi ekonomi juga mencuat dalam pembahasan sesi ini. Sebab, Mongol dan Kyrgistan selepas dari rezim Uni Soviet sangat dominan menyerap kerangka penyesuaian struktur ekonomi kedalam mekanisme pasar (structural adjustment program). Hal yang sama juga terjadi di Kamboja, Indonesia dan India.

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Iwan Nurdin (tengah), Sekjend KPA saat Memimpin forum Pertemuan Regional ILC Asia di Mongolia

Setelah sesi diskusi pagi yang bersifat terbuka, selesai. Acara siang dimulai dengan pembukaan Regional Assembly ILC Asia yang hanya dihadiri oleh semua anggota ILC region Asia. Acara pembukaan dimulai dengan laporan perkembangan pelaksanaan strategic agenda ILC dan rangkaian kegiatan yang telah disepakati di region asia oleh Karishma Borrowa dari ILC Roma dan perkenalan KPA sebagai host ILC region Asia menggantikan Angoc Philipina. Pembahasan regional assembly asia kali ini membahas perkembangan National Engagement Strategy (NES) yang dilakukan oleh masing-masing Negara, rencana pelaksanaan NES di tahun 2014. NES adalah sebuah kerangka ILC yang dimulai dengan membuat sebuah scoping study

kemudian workshop tingkat nasional yang membahas agenda kerja bersama berbagai pemangku kepentingan sampai dengan 2015. Akhirnya, setelah presentasi masing-masing Negara selesai, agenda NES disepakati oleh anggota ILC secara keseluruhan. NES Indonesia sendiri dibahas oleh empat anggota ILC di Indonesia yaitu Sains, JKPP, RMI dan KPA yang telah menghasilkan scoping study dan saat ini telah menyusun kerja bersama. Pada presentasi di Mongol, NES-Indonesia hanya memaparkan pokok-pokok hasil scoping study yang mengidentifikasi tantangan utama pertanahan di Indonesi hingga tahun 2015. Acara ini ditutup juga dengan kesepakatan bahwa RA tahun 2015 akan dilaksanakan di Gujarat India. n (IN)

Workshop dan Pelatihan “Gender Evaluation Criteria� : Mengukur Keadilan Gender dalam Kebijakan Pertanahan Konsorsium Pembaruan Agraria yang dipercaya menjadi host organisasi untuk International Land Coalition (ILC) di Asia menjadi tuan rumah penyelenggaraan

workshop dan pelatihan bertema Getting it Right: Gender Evaluation Criteria Training and Planning for in-Country Land Initiative. Kegiatan yang didukung oleh ILC-Roma,

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

33


uPDATe kegiatan kpa UN-HABITAT dan Global Land Tool Network (GLTN) ini berlangsung di Hotel Salak, Bogor. Acara ini diikuti oleh para, peneliti, pimpinan lembaga (NGO/OR) anggota ILC Asia dan mitra UN-HABITAT dari beberapa negara, yaitu: Nepal; India; Philipina; Kamboja dan Jepang. Beberapa perwakilan lembaga negara juga turut serta mengikuti pelatihan ini (Komnas HAM & Komnas Perempuan). Acara yang dibuka oleh Iwan Nurdin selaku Sekjen KPA ini, berfokus pada isu minimnya peran dari pemerintah untuk mendorong pemberdayaan perempuan melalui kebijakan nasional. Hal yang sama juga disampaikan oleh delegasi yang berasal dari Philipina. Berbeda halnya dengan delegasi yang berasal dari Kamboja, isu yang mereka angkat adalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh tidak tersedianya tanah, tetapi juga akibat dari iklim yang tidak bagus sehingga panen banyak yang gagal. Akhirnya banyak petani yang terjepit oleh utang dan membuat mereka hidup dalam kemiskinan. Dalam kegiatan ini, dapat terlihat berbagai informasi dan isu yang ada disetiap negara masing-masing dan strategi yang akan ditempuh. Peserta, satu sama lain memberikan masukan terhadap satu isu maupun strategi yang

ditempuh. Selain itu dalam kesempatan ini para peserta juga bisa menyampaikan berbagai aktivitas yang sudah atau sedang dijalani. Sepuluh peserta yang berasal dari Indonesia juga menyampaikan berbagai permasalahan tentang gender, termasuk pemilikan lahan oleh kaum perempuan. Budaya patrilineal yang masih sangat kuat di Indonesia membuat gerak aktivitas perempuan terbatas. Kaum perempuan masih menjadi nomor dua dalam setiap kesempatan terutama pada saat menjadi pemimpin. Dalam acara tersebut, delegasi Indonesia menjelaskan bahwa perempuan semestinya mempunyai hak untuk mengkontrol atas tanah. Untuk merespon isu yang di atas maka delegasi Indonesia akan melakukan scooping study yang merupakan studi singkat yang membahas persoalan sampai pada akarnya. Dalam scooping study ini akan dibahas keterlibatan perempauan dalam menguasai tanah pertanian dan pengakuan kepemilikan tanah pada perempuan, baik secara formal maupun tidak formal. Ini akan menjadi pembahasan yang panjang dan menjadi fokus diskusi anggota ILC di Indonesia beserta jaringannya. n

Para peserta pelatihan berfoto dengan anak-anak desa saat field trip ke Nanggung, Bogor

34

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


wawancara

Wawancara bersama Dewi Kartika, Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria

Peran Perempuan dalam Gerakan Reforma Agraria Minimnya perspektif gerakan untuk memahami perjuangan hak dan akses kaum perempuan atas tanah dalam gerakan reforma agraria hingga saat ini masih menjadi kendala tersendiri dalam tubuh gerakan reforma agraria baik di level wilayah hingga nasional. Seringkali posisi dan peran penting perempuan dalam gerakan agraria dan kehidupan pedesaan belum banyak muncul ke permukaan sebagai kerangka acuan praktek perjuangan kaum perempuan dalam reforma agraria. Mengapa perempuan perlu dikaitkan dengan gerakan reforma agraria? Pertama, karena dalam sejarah manusia sesungguhnya kaum perempuanlah pencipta dan penyelenggara pertanian subsistens yang langsung terkait dengan persoalan kebutuhan hidup primer. Hal mana secara alamiah terkait fungsi tubuh perempuan (haid, melahirkan/menyusui dan memelihara anak) yang membuat mereka terikat pada tempat tinggal yang tetap. Kaum perempuanlah yang paling berkepentingan atas tanah sebagai alat produksi pokok karena seluruh hidup kelom-

pok sedarahnya bergantung pada hasil pertanian subsistens. Kedua, posisi dan kekuasaan perempuan atas sumber-sumber ekonomi primer berupa tanah pertanian secara bertahap beralih kepada kelompok lelaki seiring keberhasilan mengakumulasi harta benda

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

35


wawancara lain berupa ternak yang memungkinkan mereka menggulingkan sistem pewarisan yang awalnya ikut garis ibu (matrilineal). Peristiwa kekalahan perempuan yang tercatat dalam sejarah manusia tersebut berdampak langsung pada lenyapnya kedaulatan mereka atas hidup paling primer, yakni sumber makanan. Bagaimana Ideologi patriarki membentuk ketidakadilan agraria? Dalam rumah tangga yang egaliter, pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan terjadi secara seimbang dan saling menolong satu sama lain (komplementer). Pembedaan peran antar gender itu baik-baik saja. Sejak manusia mengenal konsep perkawinan patriarkis yang terjadi bukan lagi pembedaan melainkan suatu diskriminasi atas perempuan, dan dominasi lelaki. Pada satu pihak, ideologi patriarki memisahkan dengan tegas bahwa tugas-tugas produktif (mencari nafkah) sepenuhnya menjadi kewajiban kaum lelaki sedangkan perempuan hanya melakukan tugas-tugas domestik-reproduktif dalam rumah yang tidak memiliki nilai tukar ekonomi. Sementara itu pada pihak lain kapitalisme agraria berupa perkebunan-perkebunan tanaman keras dan pertanian tanaman penghasil uang yang dijalankan dengan mesin modern tidak lagi memerlukan keterlibatan (baca: menyingkirkan) perempuan sehingga sempurnalah ketergantungan mereka pada lelaki. Apa faktor-faktor penentu posisi dan kontrol perempuan terhadap sumber-sumber agraria di Indonesia? Faktor pertama adalah menghilangnya kontrol perempuan terhadap tanah pertanian sebagai sumber pangan akibat proses patriarkisasi yang melanda budaya setempat. Faktor kedua ialah proses pemiskinan rakyat (lelaki maupun perempuan) akibat diberlakukannya politik hukum kolonial yang memberi dasar yang mengesahkan praktik kapitalisme internasional di bidang agraria di Hindia Belanda dalam rupa industri-industri perkebunan tanaman perdagangan (karet, kopi, teh, kelapa dan kelapa sawit) di beberapa tempat di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Konversi tata guna tanah dari hutan menjadi areal perkebunan sejak akhir abad ke XIX yang menyertai politik kolonial tentang domein Negara (1870) prak-

36

tis menutup kemungkinan perluasan areal ladang-ladang tradisional milik penduduk sekitarnya sehingga menghambat perkembangan perekonomian rakyat pribumi di tempat itu.

Sebagai minoritas, kepentingan perempuan tidak terlihat dan dikedepankan serta dikomunikasikan, bahkan terkesan asing bagi mayoritas kaum lelaki dalam konsorsium ini. Situasi dalam konsorsium ini merupakan miniatur dari situasi sosial yang lebih luas dimana orang pada umumnya belum terbebas dari tatanan patriarki sehingga tidak mampu mengambil jarak secara sadar dengan keyakinan dan tradisi yang telah dibatinkan sejak masa kanakkanak tersebut.

Bagaimana perempuan terlibat dalam gerakan reforma agraria? Ada berbagai hambatan pelibatan kaum perempuan dalam gerakan reforma agraria di Indonesia. Salah satu gambaran nyata yang paling mudah ditampilkan adalah melalui Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) – tempat dimana Saya belajar dan bekerja. Walaupun beberapa organisasi (OR/NGO) dan aktivis gerakan perempuan sudah terlibat dalam KPA sejak 1994, namun terkesan mereka berjalan dan bicara dalam bahasa yang berbeda dengan para aktivis lelaki yang mendominasi dalam jumlah. Sebagai minoritas, kepentingan perempuan tidak terlihat dan dikedepankan serta dikomunikasikan, bahkan terkesan asing bagi mayoritas kaum lelaki dalam konsorsium ini. Situasi dalam konsorsium ini merupakan miniatur dari situasi sosial yang lebih luas dimana orang pada umumnya belum terbebas dari tatanan patriarki sehingga tidak mampu mengambil jarak secara sadar dengan keyakinan dan tradisi yang telah dibatinkan sejak masa kanak-kanak tersebut. Hambatan lain adalah sikap tergantung pada pemimpin gerakan agraria yang adalah lelaki. Ini sangat jelas terlihat pada perempuan aktivis gerakan reforma agraria, baik di tingkat aktivis organisasi-organisasi petani maupun lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mendukung perjuangan kaum petani. Ketika kepentingan lelaki dan perempuan digabungkan untuk menghadapi musuh bersama yakni kapitalisme yang didukung kekuasaan negara, kami mengalami kesulitan untuk membuka kesadaran kritis kaum perempuan bahwa sesungguhnya perempuan lebih dirugikan karena ada ideologi partriarki yang menjelma dalam hubungan antara lelaki dan perempuan. Apalagi karena secara tradisi bersatunya kepentingan perempuan dan lelaki dalam satuan yang disebut “keluarga� itu nyaris diyakini sebagai keharusan kodrati dimana lelaki berperan sebagai kepalanya. Hambatan lainnya datang dari kebijakankebijakan publik negara. Misalnya dalam pemberian kredit dan sertifikat hak atas ta-

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


nah yang diskriminatif terhadap perempuan; hal mana semakin menegaskan penyingkiran perempuan dari partisipasi sosial politik. Bagaimana ini bisa terjadi sementara konstitusi Indonesia menjamin bahwa setiap warga negara berkedudukan setara di hadapan hukum (equality before the law)? Praktiknya kebijakan negara selama ini hanya menggarisbawahi dan menduplikasi tradisi berpikir dan keyakinan kelompok dominan dalam masyarakat. Tentu saja kalau kelompok dominan itu mengagung-agungkan tatanan sosial ekonomi patriarki maka keputusan-keputusan hukum dan kebijakan-kebijakan publik negara akan mencerminkan tatanan tersebut, kecuali bilamana muncul kelompok tandingan yang lebih progresif dan memiliki kekuatan dalam badan pembuat keputusan. Bagaimana sebaiknya melibatkan perempuan dalam Gerakan Reforma Agraria? Gerakan reforma agraria sesungguhnya bisa membawa perempuan ke dalam urusan publik. Sejauh ini kegiatan bertani subsisten sebagai bagian dari kerja-kerja domestik pasti sangat menuntut keterlibatan kaum perempuan. Sampai disini partisipasi perempuan dalam kegiatan ekonomi pertanian masih sejalan dengan tatanan sosial ekonomi patriarki yang umumnya dianut di pedesaan yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Namun apakah perempuan juga

Ilustrasi peran perempuan dalam gerakan petani di Sragen. Sumber: KPA

akan memperoleh porsi yang sama manakala kegiatan terkait dengan pertanian itu memasuki ranah publik seperti musyawarah kelompok tani, rapat dengan dinas pertanian/kehutanan atau kegiatan-kegiatan terkait dengan organisasi petani di tingkat desa/kecamatan? Menurut pengamatan beberapa perempuan aktivis gerakan reforma agraria selama ini para aktivis reforma agraria masih menganggap bahwa reforma agraria lebih penting dibanding urusan pemberdayaan perempuan. Tanpa melibatkan perempuan, atau melibatkan perempuan sebatas sebagai pelengkap, sadar atau tidak, pada akhirnya gerakan reforma agraria hanya menduplikasi sikap kapitalis patriarkis belaka, yakni menyingkirkan perempuan dari urusan publik. Gerakan reforma agraria perlu menetapkan tujuan antara berupa pemulihan kontrol kaum perempuan atas sumber-sumber ekonomi primer. Hal ini merupakan syarat utama yang memungkinkan upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi kaum petani. Perlu diadakan program guna membantu para aktivis gerakan reforma agraria mengembangkan pemahaman dan kesadaran kritis mereka terhadap diskriminasi dan ketidakadilan antar gender dalam hal penguasaan sumber-sumber ekonomi primer (tanah pertanian). Terakhir dibutuhkan upaya-upaya merumuskan konsep baru mengenai keadilan antar gender. n

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

37


lintas peristiwa

Panen di Tanah Sendiri, Petani Ditangkap Polisi

Pasal Karet: Potensi Membunuh Gerakan Tani

Upaya pelemahan terhadap gerakan organisasi tani kian meninggi akhir-akhir ini. Kriminalisasi kepada tokohtokoh gerakan petani di daerah-daerah kembai terjadi pada Serikat Petani Lumajang (SPL) Jawa tImur. Atas tuduhan mencuri kayu, Ariyono alias Ajun (45) petani Desa Kenongo, Guci Alit, Lumajang sempat ditahan oleh tiga anggota Polsek Guci Alit, tiga petugas cagar alam dan Polisi hutan dengan disaksikan langsung oleh kepala dusun Margomulyo, Desa Kenongo. Kayu yang dituduhkan dicuri oleh Ajun sebenarnya didapatkan dari tanah milik warga sendiri, warga mengaku memiliki SPPT sejak 2004 dan membayar pajak pada negara tiap tahun. Tanah tersebut kini bersengketa dengan Cagar Alam Nasional Bromo Tengger. Konflik agraria yang belum terselesaikan antara petani dengan pihak cagar alam dan Perhutani mengakibatkan penyitaan kayu milik warga secara sepihak pada 15 September. Penggeledahan rumah petani juga dilakukan sepihak pada 14 Oktober 2013 dan berbuntut aksi penangkapan petani pada tanggal 18 Oktober lalu. Penangkapan petani terjadi pukul 5 pagi, tiga orang polisi menggedor rumah pak ajun dan langsung melakukan penangkapan dengang tuduhan pencurian kayu. Tanpa tedeng alingaling, polisi langsung membawa Ajun ke Polsek Guci Alit. Namun karena berbagai upaya advokasi dan kekuatan organisasi petani, akhirnya Ajun dapat dibebaskan dari segala upaya kriminalisasi. Namun papan kayu yang dituduhkan dicuri oleh Ajun belum dikembalikan kepada Ajun, padahal kayu tersebut berasal dari tanah milik sendiri yang sudah ber-SPPT dan dibayarkan pajaknya oleh petani bertahun-tahun. n (GA)

Di republik yang melimpah sumber kekayaan alamnya dan dijuluki negeri agraris, seperti Indonesia, ternyata secara produktif menghasilkan keperihan dikalangan kaum tani. Berbagai tipu daya dibuat untuk merampas tanah mereka, berbagai pasal karet dalam KUHAP dan perlakuan kekerasan kerap terjadi. Minimnya pengetahuan tentang hukum dimanfaatkan oleh kaum pengusaha baik dari badan pemerintah maupun swasta untuk melemahkan perjuangan petani dalam memperoleh hak atas tanah-airnya. Hal ini terjadi pada petani yang ada di Muara Enim. Berdasarkan keterangan petani Muara Enim di kantor KPA, tahun 1983 PTPN VII masuk ke lahan warga dan membuka perkebunan karet seluas 20.000 Ha. Pihak PTPN VII menjanjikan lahan seluas 3 Ha kepada warga sebagai ganti rugi karena lahan mereka telah dijadikan lahan perkebunan. Proses ganti rugi dimulai sejak tahun 1991 dengan biaya 8 juta rupiah setiap kepala keluarga. Kenyataanya tidak semua warga mendapatkan tanah yang dijanjikan. Warga yang tidak mendapatkan ganti rugi menuntut agar lahan mereka dikembalikan. Penuntutan ini terjadi pada tahun 2000, warga merasa telah ditipu oleh pihak PTPN VII. Warga yang sedang menuntut haknya kembali diajak untuk bermediasi. Dalam proses mediasi ini PTPN VII kembali mewacanakan akan memberikan lahan seluas 2.744 Ha dari 10.000 Ha kepada 269 KK. Konsep yang ditawarkan oleh PTPN VII adalah pola inti plasma, sayangnya program ini hanya untuk tipu daya yang dilakukan oleh PTPN VII terhadap warga desa Pagar Dewa, Karang Agung, Sumber Mulya dan Karang Mulya. Buktinya adalah PTPN VII hanya melakukan pembahasan sampai tahun 2008, tapi tanah yang dijanjikan tak kunjung datang, pungkas Asrah, petani warga Pagar Dewa. Rakyat yang sudah jenuh dan kecewa melakukan aksi reklaiming dengan luasan lahan 586 Ha dari 10.000 Ha. Aksi reklaiming yang dilakukan warga pada tahun 2012 telah berhasil menduduki lahan tersebut selama 11 bulan. Pada tanggal 1 Januari 2013 Rismaludin dan Rismanadi dikriminalisasi oleh pihak kepolisian Muara Enim dengan tuduhan menghasut serta memasuki lahan PTPN tanpa izin. Keduanya merupakan anak dari Bapak Asrah yang kemudian mendapat vonis 7 bulan kurungan oleh hakim. Rismanadi sudah bisa menghirup udara segar dan memulai kembali gerakan tani. Sementara Rismaludin mendapat nasib yang berbeda karena dia kembali dijebloskan kepenjara. Tuduhan yang dilontarkan kepada Rimaludin adalah merusak lahan milik PTPN VII dan

Sidik Suhada (kanan) dan Ajun sesaat setelah lepas dari kriminalisasi petani di Lumajang.

38

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


akhirnya Rismaludin mendapat kurungan penjara selama 11 bulan. Hasil keputusan hakim tersebut tidak disertai dengan berita acara perkara persidangan yang semestinya menjadi hak tergugat sehingga tergugat tersebut bisa melakukan banding. Atas kejadian ini Asrah beserta beberapa petani lainnya datang ke KPA untuk diadvokasi secara hukum, terutama khasus yang menimpa Rismaludin. Akhirnya petani Muara Enim yang didampingi oleh KPA mendatangi KOMNAS HAM, Ombudsman dan BPN. Tujuan mendatangi KOMNAS adalah menyampaikam kasus yang di Muara Enim agar diselesaikan secara musyawarah bukan dengan cara kekerasan dengan menurunkan pihak keamanan Negara. Sedangkan mendatangi kantor BPN RI agar dilakukan penelitian lapangan sehingga lahan warga dapat dikembalikan, sekaligus menyelidiki HGU yang dimiliki PTPN VII. Sementara Ombudsman diharapkan menyurati pengadilan tinggi Muara Enim agar berita acara persidangan diserahkan kepada pihak tergugat sehingga kasus ini disampaikan kepada Komisi Yudisial. Dari peristiwa yang telah dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa gerakan tani mulai dikerdilkan dengan cara menjerat tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap berbahaya. Jerat hukum sudah dipersiapkan melalui pasal karet dengan logika yang tidak masuk akal. Pasal karet tersebut adalah pasal 160 (tentang penghasutan), 170 (tentang pelaku kekerasan) dan 406 (tentang menghancurkan/merusak barang milik orag lain) KUHP. Kondisi hukum sekarang tidak ada bedanya dengan kondisi pada saat zaman kolonial yang menjebak para pejuang kemerdekaan. Tujuannya adalah untuk menangkap tokoh gerakan sehingga gerakan untuk melawan kolonialisme mati suri. Penjeratan hukum dengan pasal karet juga dialami oleh Rojak yang merupakan dewan nasional Jawa Barat dan Banten. Rojak bersama 4 anggota STI (Serikat Tani Indramayu) lainnya ditahan di Polda Jabar. Mereka ditangkap setelah melakukan aksi menolak pembangunan Waduk Bubur Gadung. Atas nama pembangunan, tanah warga diambil senaknya tanpa ada alokasi yang jelas. Kelima pengurus STI tersebut dijerat pasal-pasal KUHP 160, 170 dan 187 tentang peristiwa yang menyebabkan kebakaran hebat. Pengkerdilan terhadap gerakan tani dilakukan secara sitematis melalui jalur hukum. Melihat hukum yang sekarang ini semakin tidak bisa percaya karena selalu mengkebiri hak-hak rakyat kecil, termasuk rakyat petani. Untuk mencegah kesewenang-wenangan hukum yang dilakoni oleh para hakim dan aparat Negara maka semua organisasi tani harus mempelajari perkembangan hukum. n (AGP)

Belajar Bangkit dari Petani Sragen Malapetaka politik 1965 yang secara drastis merubah kondisi sosial politik dan ekonomi Indonesia turut berpengaruh pada nasib petani di Sragen, Jawa Tengah. Karena tidak mau menyerahkan tanah garapannya pasca “malapetaka 65�, ribuan masyarakat Sragen yang mayoritas adalah petani di Sambirejo dituduh terlibat terlibat organisasi terlarang yang dituduh sebagai dalang pemberontakan 1 Oktober di Jakarta. Masyarakat Sambirejo banyak yang mengalami intimidasi, penahanan bahkan pembuangan dan pembunuhan karena sejak 1965 tidak mau menyerahkan tanahnya pada PPN (Perusahaan Perkebunan Negara). Setelah masa “pembuangan paksa�, masyarakat kembali ke tanahnya untuk kembali menggarap, namun naas, tanah mereka sudah ditanami karet oleh PTPN IX. Merasa belum mendapat momentum yang tepat, warga Sambirejo dipaksa mengalah karena keadaan dan masih diliputi trauma akibat tragedi 65. Pintu perubahan mulai terlihat, pada saat Orde Baru runtuh, warga mulai menggiatkan kembali kegiatan berkumpul dan berorganisasi. Bagi petani Sambirejo, era reformasi adalah momentum kebangkitan kembali perjuangan mendapatkan tanahnya kembali, setelah sekian lama dipisahkan paksa dari tanah dan airnya.

Para petani Sambirejo saat melakukan persiapan verifikasi wilayah kelola petani di lahan claim PTPN IX.

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

39


lintas peristiwa Masyarakat Sambirejo mungkin adalah salah satu contoh konkret kelamnya sejarah perampasan tanah sejak tahun 1965. Transformasi kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru telah menyeret nasib warga sambirejo ke arah kemiskinan dan kemelaratan karena hilangnya akses terhadap tanah. Latar belakang sejarah yang kelam tersebut telah menginsyafi perjuangan masyarakat Sambirejo memperjuangkan tanah dan airnya kembali. Kejamnya praktek perampasan tanah di era Orba menstimulus perjuangan yang total hingga kini. Sejak Reformasi bergulir, masyarakat Sambirejo mulai mengorganisir diri, membentuk FPKKS (Forum Peduli Kebenaran dan Kedailan Sambirejo). Berasaskan gotong royong, kebersamaan dan keadilan masyarakat Sambirejo tetap teguh merebut tanah dan airnya kembali. Tak main-main, perjuang merebut kembali tanah yang dahulu dirampas berlangsung heroik. Warga membentuk tim khusus yang mereka namai “Tim Siluman”. Tugas tim siluman adalah membabat tanaman yang ditanami oleh PTPN IX untuk dijadikan lahan garapan masyarakat. Keberanian warga ini dilandasi oleh keyakinan akan kebenaran bahwa tanah dan air harus kembali kepada tangan warga masyarakat Sambirejo. Alhasil kini 280 Ha lebih lahan telah dikuasai dan dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat Sambirejo. Warga kini dapat makan dengan cukup, mampu menyekolahkan anaknya dan mampu membangun rumah.

Petugas dari BPN Jateng memverifikasi lahan bersama petani Sambirejo

40

Pernah dalam suatu aksi pembabatan lahan, beberapa pimpinan FPKKS ditahan, namun upaya kriminalisasi justru tak membuat perjuangan surut, bahkan dapat menjadi daya pendorong solidaritas yang maha besar. Tak lama setelah pimpinan FPKKS ditahan, ribuan warga yang bermodal semangat solidaritas perjuangan terhadap pimpinan, mengepung Mapolres Sragen. Meskipun pimpinan FPKKS dapat dikeluarkan dari tahanan namun kericuhan tak dapat dihindarkan karena warga enggan membubarkan diri. Inilah awal kekuatan solidaritas serikat diuji di medan tempur, meskipun banyak korban lukaluka dari petani namun nilai kesolidan nan heroik menjadi kekuatan organisasi hingga kini. Tak jarang, terjadi aksi intimidasi hingga serangan kepada rumah pimpinan FPKKS oleh preman tak bertanggung jawab. Suatu kali, rumah Sunarji Hancur diserang preman. Namun karena pandai “mengayun peluang” kejadian ini mampu dikonversi menjadi bahan bakar perjuangan ke level yang lebih tinggi. Pimpinan FPKKS, Bapak Sunarji mengatakan rasa kebersamaan ini menjadi kekuatan organisasi, jika ada petani kami ditangkap maka kami akan meminta polisi untuk mengikutsertakan pula semua anggota keluarga petani ya ng ditahan karena sulitnya mencari makan jika kepala keluarga ditahan aparat. Cara berikutnya adalah seluruh anggota serikat ikut menyerahkan diri massal meminta untuk ditahan karena solidaritas. Tak-tik perjuangan ini mungkin dapat memberi ilham dan bahan pembelajaran bagi serikat tani yang lain, bahwa butuh terobosan dalam upaya membebaskan kawan seperjuangan dari upaya kriminalisasi. Mengingat upaya kriminalisasi terhadap petani dan aktivis agraria semakin massif, cerita dari Sambirejo dapat memberikan sedikit petunjuk bahwa perjuangan dapat dilakukan melalui cara-cara yang unik dan berani. Hal ini juga dapat menjadi alat uji, sejauh mana kuatnya solidaritas sesama anggota serikat. Semakin kuatnya solidaritas akan berbanding lurus dengan kuatnya organisasi rakyat, hal ini merupakan salah satu kunci penting syarat pelaksanaan Reforma Agraria. Meskipun berbagai upaya dalam meraih kepastian hak atas tanahnya belum menemui hasil yang maksimal dalam bentuk sertifikat, namun masyarakat kembali menegaskan bahwa, ada maupun tidak ada sertifikat ataupun memang betul PTPN-lah yang mempunyai sertifikat HGU, petani tidak akan mundur selangkahpun. Para petani menganggap negara harus adil dalam memperlakukan petani, dan petani berhak memperjuangkan haknya sesuai dengan UUD 1945 dan UUPA 1960. “Selembar kertas” (HGU) tak akan mampu mengusir kami dari tanah-air kami sendiri, karena “Bumi adalah Ibu, Langit adalah Bapak, Perjuangan terhadap Bumi/Tanah adalah perjuangan suci yang pasti didukung alam semesta”. n

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Perusahaan Sawit Malaysia Rampas Lahan Petani Jambi Dibukanya keran liberalisasi pertanian yang berorientasi pada keuntungan koorporasi, telah menyumbang praktek-praktek penggusuran paksa petani dari lahan garapannya. Di Tanjung Jabung Barat, Jambi adalah salah satu wilayah contoh brutalnya praktek perampasan tanah atas nama investasi perkebunan kelapa sawit, yang selama ini dijadikan andalan pemerintah meningkatkan ekspor dalam menaikan pertumbuhan ekonomi. Namun upaya menaikan pertumbuhan ekonomi telah secara nyata melahirkan proses-proses penggusuran petani yang telah mengamputasi hak-hak rakyat atas tanah-airnya. Sejak tahun 1997, PT Tri Mitra Lestari (TML) hingga saat ini (Oktober 2013) telah menguasai lahan yang telah dikelola masyarakat lima desa (Purwodadi, Dataran Kempas, Sungai Keruh, Delima, Suka Damai) Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Upaya penyelesaian konflik agraria di wilayah tersebut belum membuahkan hasil sehingga masyarakat di lima desa tersebut telah berinisiatif menduduki kembali lahan mereka yang telah diserobot oleh koorporasi sawit Malaysia tersebut. Menurut pengakuan warga lima desa kepada Konsorsium Pembaruan Agraria (16/09/2013) PT. TML telah menyalahi lokasi garapan yang tidak sesuai dengan HGU dan telah melakukan penyerobotan ke lahan garapan warga, bahkan warga mencurigai PT. TML sebenarnya tidak mempunyai HGU. Warga yang telah berulang kali melakukan pertemuan dengan pihak perusahaan kini telah kehabisa kesabarannya, buntutnya perusahaan berusaha melakukan upaya pembayaran kompenasai kepada warga dengan uang sejumlah lima milyar. Dalam kasus ini warga

lima desa telah bersepakat bahwa tidak akan menerima uang kompensasi berapapun jumlahnya, karena yang diperjuangkan adalah lahan garapan yang dapat menjadi sumber hidup para petani di lima desa. Pengaduan warga yang tengah berkonflik dengan perusahaan sawit asal Malaysia tersebut juga sebenarnya telah diketahui hingga BPN Pusat, namun upaya penyelesaian sengketa dan konflik tersebut tak pernah terlihat. Warga menginginkan pihak BPN untuk menunjukan kejelasan status dan lokasi HGU PT.TML yang telah menyerobot lahan garapan petani di lima desa tersebut. Penyerobotan lahan garapan petani di Jambi ini adalah bentuk penggusuran hak-hak masyarakat atas sumber kehidupannya yaitu tanah. PT TML dianggap telah melanggar UUPA No.5/1960 Pasal 9 ayat 2 yaitu “Tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Areal yang diserobot PT.TML merupakan lahan masyarakat yang dimiliki secara sah berdasarkan SKT tahun 1991 dan peta wilayah desa. PT.TML melakukan penggusuran pada 2002 padahal tanah masih digarap dan ditanami tanaman pangan dan nilam oleh masyarakat seluas kurang lebih 300 Ha tanpa ada ganti rugi. Pada tahun 2004 Perusahaan sawit tersebut kembali melakukan penggusuran dan perluasan penjajahan seluas 700 Ha dengan membabat habis tanaman masyarakat dan mengusir para petani dari tanahnnya. Dengan demikian PT. TML telah melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H bahwa “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun�. Pada mula praktek perampasan lahan, PT.TML terha-

Para Petani lima desa pada saat pendudukan PT.Tri Mitra Lestari, Jambi. Sumber: KPA

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

41


lintas peristiwa dap petani di lima Desa, PT TML juga membabat tegakkan tanaman yang telah dibudidayakan oleh petani. Menurut pengakuan warga, pada saat lahan dan tanaman budidaya mereka dibabat habis, warga mengalami ketakutam karena banyaknya aparat keamanan yang mengawal jalannya penggusuran paksa PT. TML. Pelanggaran lainnya adalah Pabrik PT. TML yang berada di atas areal yang diclaim memiliki HGU oleh PT.TML. Sejarahnya, pada tahun 1985, pemerintah melalui program transmigrasi umum telah menempatkan masyarakat dari berbagai daerah dan suku di Kecamatan Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Adapun nama wilayah dari program transmigrasi umum tersebut adalah Trans Umum Tungkal ulu 1. Pada tahun 1988 Transmigrasi Tungkan Ulu 1 ini didefinitifkan menjadi Desa Purwodadi. Selanjutnya pada tahun 2001 Desa Purwodadi dimekarkan menjadi beberapa desa yaitu: Purwodadi; Dataran Kempas; Sungai Keruh dan Delima. Salah satu upaya masyarakat dalam memperjuangkan hak-hak atas tanah garapannya adalah dengan melakukan mobilisasi kaum tani ke depan Pabrik PT. TML pada 15 Januari 2013 lalu. Setelah melakukan mobilisasi dan massa aksi, ribuan kaum tani selanjutnya melakukan aksi pendudukan kembali lahan mereka yang telah dirampas pada 19 Januari 2013. Mayarakat dalam perjuangannya menginginkan agar tanah yang telah dirampas PT.TML dapat kembali dalam penguasaan dan pengelolaan petani lima desa di Tebing Tinggi. Masyarakat juga menuntut agar BPN dapat memfasilitasi adanya transparansi HGU PT.TML yang selama ini tidak pernah diketahui kebenarannya. Masyarakat menuntut agar BPN meninjau ulang HGU PT.TML karena telah nyata menyerobot lahan garapan masyarakat yang sejak turun-temurun menggarap lahan di lima desa yang di-claim PT.TML. Menurut pengakuan warga Jambi dari lima desa tersebut, PT.TML telah menyalahi lokasi penguasaan HGU. Dilihat dari sisi sertifikat HGU PT.TML tidak sesuai dengan pelaksanaan areal kerja di lapangan. Di sertifikat tertulis bahwa lokasi dari lahan perkebunan sawit adalah di Desa Kuala Dasal namun pada saat ini salah satu pelaksanaan areal kerja adalah di Desa Purwodadi, Suka Damai dan Delima. Menurut riwayatnya, khusus untuk Desa Delima pada saat pengeluaran HGU PT.TML, Desa Delima masih di dalam kawasan Kecamatan Tungkal Ilir sedangkan HGU PT.TML sendiri terletak di Kecamatan Tungkal Ulu. Dalam upaya memperoleh keadilan atas tanahnya, kini para petani lima desa di Tanjung Jabung Barat justru mendapatkan gugatan hukum oleh PT.TML. . Di sinilah keberpihakan negara diuji dalam menjalankan tugasnya memenuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya warga negara yang hidupnya sangat bergantung pada tanah.

42

Para petani berharap negara segera menjalankan perubahan struktur penguasaan dan pengelolaan sumbersumber agraria terutama tanah demi keadilan sosial atas sumber kekayaan alam. Praktek-praktek liberalisasi yang melestarikan investasi besar-besaran, khususnya di bidang perluasan perkebunan sawit ala koorporasi telah nyata menggusur hak rakyat dan telah melanggar UUD 1945 dan UUPA 1960. Negara harus menjamin kepastian hak para petani Jambi yang merupakan Warga Negara Indonesia dan mereka berhak mendapat jaminan perlindungan dan kesejahteraan sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 dan UUPA 1960. Konflik agraria atau tumpang tindih claim antara perusahaan kelapa sawit PT.TML dan petani di lima desa, Tanjung Jabung Barat, Jambi ini menandai bahwa liberalisasi pertanian yang mendorong pembukaan perkebunan skala luas turut melahirkan penggusuran paksa dan menjauhkan petani dari alat produksi utamanya yaitu tanah. Polanyi mengistilahkannya: fictitious commodity (barang dagangan yang dibayangkan). Menurut Polanyi, memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan memunculkan gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. n (GA)

Arti Pemogokan Nasional Kaum Buruh bagi Gerakan Reforma Agraria Pelajaran penting kembali praktekkan oleh 1 juta buruh yang mogok di 20 provinsi dan 50 kabupaten dan 150 kawasan Industri se Indonesia pada tanggal 31 Oktober hingga 1 November 2013. Harus diakui dengan sangat jujur terhadap sikap juang kaum buruh yang membuktikan janjinya dengan gagah dan dengan menuntut kenaikan upah (menolak upah murah), penghapusan sistem kerja outsourcing, kontrak sembari menegaskan posisi politiknya terhadap rezim SBY-Boed, meskipun di beberapa kawasan industri, perjuangan mogok nasioanal kaum buruh juga dihadapi dengan kekerasan preman dan aparat kepolisian dan TNI. Sebagaimana yang terjadi di kawasan Industri Cikarang Kabupaten Bekasi, saat preman suruhan pengusaha melakukan tindakan kekerasan terhadap buruh yang berjuang, tercatat sedikitnya 28 orang buruh mengalami luka-luka serius di sekujur tubuhnya. Ironisnya aksi brutal tersebut dibiarkan saja oleh pihak Polisi dan TNI yang menjaga aksi mogok buruh disana.

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Perjuangan kaum buruh di Indonesia dalam perjuangan kenaikan upah, penghapusan sistem kerja outsorcing, dan kontrak sebenarnya sudah bertahun-tahun dilakukan oleh gerakan buruh di Indonesia meski dengan daya juang dan skala yang berbeda dengan kondisi perjuangan hari ini. Inilah yang patut dijadikan pelajaran penting yakni persatuan dan ikatan senasib dan setindasan kelas dengan kaum buruh di seluruh Indonesia. Istimewanya peristiwa kebangkitan massa buruh di Indonesia kali ini juga bertepatan dengan sekaratnya jantung kapitalisme internasional dalam 5 tahun terakhir. Artinya dengan gelombang pemogokan nasional kaum buruh di Indonesia, beriiringan dengan ribuan perlawanan rakyat di berbagai belahan dunia sehingga tindakan buruh yang berlawan memiliki dua pukulan hebat yang pertama penghancuran terhadap penyelamatan sistem kapitalisme dan kedua memiliki ganguan terhadap konsolidasi investasi di tingkat nasional. Dalam posisi itulah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) lewat Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat, Kent Yusriansyah. Memandang penting bahwa kaum tani patutlah mendukung gerakan mogok kaum buruh dan perjuanganya saat ini saat ini dan dimasa yang akan datang sebagai bagaian yang tak terpisah dalam konteks gerakan rakyat senasib sependeritaan akibat eksploitasi sistem kapitalisme, ungkapnya. Lebih terang pada 1 tahun yang lalu, sikap lembaga kapitalis internasional yang kerap menjerat dengan hutang dan mendesakkan program program pro pasar bebas dan penghancuran sekaligus memiskinkan Jutaan tenaga produktif di Indonesia, seperti ADB (Asia Development Bank/ Bank Pembangunan Asia) yang memberikan peringatan dengan tegas kepada rezim SBY agar tidak menghapus sistem outsourcing di Indonesia, karena sistem outsourcing sangat berguna demi penghematan perusahaan (Detik Finance, 3 Oktober 2012).Adanya peringatan ADB kepada rezim SBY beserta seluruh porpol yang ada di DPR-RI (Parlemen Nasional) agar tidak menghapus sistem kerja outsourcing di Indonesia yang sepenuhnya rezimnya masih pro modal. Disamping itu liberalisasi yang berkembang di Indonesia sekarang dan dimasa yang akan datang tentu sangat haus tanah rakyat, sehingga yang terjadi adalah sudah barang tentu perampasan tanah rakyat demi kepentingan Investasi. Inilah yang KPA sorot bahwa investasi dari pemodal adalah salah satu penyebab hancurnya tenaga produktif nasional dan hilangnya kedaulatan rakyat di negerinya sendiri. Tegas, Kent. Konteks itu sesungguhnya telah menegaskan kepada seluruh kaum buruh dan seluruh massa rakyat, bahwa kekuasaan Rezim SBY – Boediono dan seluruh politisi pro modal di parlemen nasional itu berdiri tegak selama 2 periode dengan menghisap hasil kerja kaum buruh, menik-

Pemogokan Buruh yang tergabung dalam Federasi Serikat Buruh Indonesia di Jakarta pada 28-31 Oktober 2013. Sumber: KPA

mati upeti politik dari perusahaan-perusahaan outsourcing tanpa memperdulikan akibatnya, bahkan melegalkan perampasan tanah rakyat untuk kepentingan modal dan pembangunan tapi situasinya membuat alienasi buruh tani dari pusaran ekonomi politik. Maka dalam hal kebijakan penentuan upah, penentuan upah seharusnya tidak lagi berdasarkan upah minimum propinsi (UMP) ataupun Upah minimum kota/ kabupaten (UMK), tetapi harus berdasarkan pada Upah Layak Nasional (ULN) seperti yang selama ini sudah disuarakan oleh gerakan serikat buruh secara nasional, karena system pengupahan saat ini hanya akan menciptakan kota/kabupaten sasaran penghisapan terhebat, karena tiap kota/kabupaten akan berlomba menetapkan UMK terendah dengan dalih sebagai daya tarik investasi. Politik liberal yang terjadi selama ini memang lebih banyak menghasilkan pemerintahan daerah dan pemerintahan nasional yang lebih tunduk pada kepentingan kaum modal dibandingkan kepada kepentingan nasional apalagi kepentingan rakyat Indonesia. Tanpa merubah system pengupahan menjadi sistem Upah Layak Nasional sesungguhnya rezim SBY-Boediono sedang memperpanjang penghisapan hebat kaum modal pada kerja kaum buruh Indonesia. Krisis yang terjadi disebabkan oleh rezim yang menganut sistem politik ekonomi kapitalis dan cengkraman imperialis. Seharusnya bukan buruh dan rakyat Indonesia yang menanggung kesalahan sistem ini. Untuk itulah kami menyerukan kepada seluruh rakyat untuk menyokong gerakan kelas buruh yang saat ini sedang bangkit. KPA meletakkan dasar pokok dukungan kaum tani terhadap kaum buruh yang melakukan perjuangan dalam bentuk mogok nasional saat ini, kami letakkan garis hubung yang tidak bisa dipisahkan yakni hubungan reforma agraria dan Industrialiasi nasional yang digerakkan bersama dua kekuatan sosial rakyat terbesar (buruh-tani) di repubik ini, sebagai satu syarat mutlak membangun kedaulatan rakyat tanpa dikendalikan oleh politik proinvestasi dan modal. Tegas, Kent. n

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

43


sosok

Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Periode 2013-2016 A. Yayan Hardiana, Jawa Barat Yayan Hardiana lahir di Tasikmalaya, 5 September 1982. Ia pernah menjabat sebagai Sekjen APTAS (Aliansi Pelajar Tasikmalaya) di tahun 2000 hingga 2001. Tahun 20032005 karir dalam dunia gerakan terus menggeliat, ia dipercaya sebagai Dewan Pembimbing Komunitas Seni dan Teater Tasikmalaya. Yayan juga tercatat aktif dalam dunia gerakan pemuda dan mahasiswa sebagai koordinator Forum Pemuda Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR) di tahun 20052006. Keuletan Yayan di ranah pengorganisiran kembali teruji di Unit Pengorganisasian SPP pada 2009-2013. Karir dalam dunia gerakan tani kembali Ia nyatakan ketika ia dipercaya menjadi Koordinator Wilayah Konsorsium Pembaruan Agraria Jawa Barat. Yayan bertekad kuat untuk selalu memasifkan langkah gerakan tani dengan memperbesar pengorganisiran dan terus melakukan rekonsolidasi di wilayah kerjanya. Yayan memaparkan, bahwa tantangan menyoal ketergantungan petani akan organisasi pendukung serta hilangnya arah perjuangan petani adalah tantangan utama yang harus dihadapi.

B. Daud Kristianto, Jawa Tengah Sosok Koordinator KPA wilayah Jawa Tengah berikut ini bernama lengkap Daud Kristianto. Menurut Daud begitu sapaan akrabnya, pengalaman berorganisasinya sudah dimulai sejak dibangku kuliah dengan aktif diberbagai organisasi intern kampus. Selepas menamatkan studinya di jurusan Sosiologi Fiskom UKSW Salatiga kegiatan berorganisasinya terus berlanjut hingga sekarang aktif di Yayasan

44

Truka Salatiga sebagai Staff Comunity Development (CD) yang secara langsung melakukan pendampingan masyarakat diwilayah Desa Randurejo Kab Grobogan. Bersama keluarga kecilnya di Dusun Banaran 01/02 Desa Tajuk Kecamatan Getasan Kab. Semarang, sosok yang saat ini juga disibukkan dengan kegiatan sebagai dosen luar FISIP UKSW memandang bahwa persoalan agraria di wilayah Jawa Tengah masih banyak dan belum secara serius menjadi perhatian semua pihak khususnya pemerintah. Oleh karena itu, pembenahan terhadap penguasaan akses dan aset agraria untuk kaum tani di wilayah Jateng harus benar-benar dapat dilaksanakan sebagai sebuah modal awal untuk meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat diwilayah tersebut. Kini, dengan posisinya sebagai Korwil KPA Jateng periode 2013-2016, Daud dengan segala kapasitas serta pengalaman yang dimilikinya akan berusaha agar KPA mampu menjadi organisasi stategis dalam mewujudkan cita-cita Reforma Agraria Di Jateng. Untuk itu perlu dilakukan kerja internal dan eksternal. Kerja internal seperti: penguatan organisasi di basis (serta kaderisasi), membangun base data pemetaan agraria (termasuk kasus-kasus yang terjadi), dll. Kerja Eksternal, seperti membangun jejaring dan sekutu (pihak-pihak yang peduli akan perjuangan Reforma Agraria), kampanye, dll.

C. Sofyan Ubaidi Anom, Jawa Timur Pria yang biasa disapa Ubed ini lahir di Mojokerto, 1 Januari 1979. Ubed menamatkan kuliahnya menjadi sarjana ilmu komunikasi Universitas Islam Majapahit Mojokerto pada 2007. Pada saat menjadi mahasiswa, ia sudah me-

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


nekuni jalur perjuangan di ranah Badan Eksekutif Mahasiswa dan aktif memimpin Lembaga Kajian Pertanian dan Nelayan, PKC PMII Jatim pada tahun 2007, Ubed juga tercatat pernah menjadi Ketua bidang advokasi kebijakan, LPPNU (Lembaga Pengembangan Pertanian NU) Kab. Mojokerto pada tahun 2011. Konsistensi Ubed telah teruji, terbukti sekarang ia menjadi Fasilitator pemetaan partisipatif Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Koordinator Wilayah KPA Jawa Timur. Pengalaman gerakannya, tak diragukan lagi, ia pernah terlibat aktif dalam Community organizer petani pinggir hutan dan desa hijau FPR (Forum Perjuangan Rakyat) Sendi, Pacet, Mojokerto. Semenjak dipercaya memimpin KPA wilayah jatim sebagai koordinator pada tgl 26 Mei 2013, ia bertekad akan melakukan konsolidasi anggota basis Organisasi Rakyat dalam kerangka penguatan dan peningkatan ideologisasi tentang reforma agraria. Ubed juga berniat melakukan usaha penyelesaian konflik yang melibatkan multi pihak, serta penguatan kapasitas pengurus KPA wilayah Jatim agar dalam melakukan pelayanan sebagai landasan prinsip KPA terhadap basis komunitas petani lahan konflik lebih optimal dan massif. Di tengah konflik agraria yang makin marak saat ini yang mengakibatkan massifnya upaya kriminalisasi terhadap petani, Ubed berharap negara melaksanakan reforma agraria sejati sesuai dengan mandat TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, dengan mewujudkan kedalam bentuk regulasi yang konkret dan pro petani penggarap, misalnya dengan membentuk kementrian agraria dan peradilan agraria seperti halnya pada zaman orde lama sebagai perwujudan amanat UUPA No.5/1960.

D. Asmar Exwar, Sulawesi Selatan Asmar Edward yang akrab disapa Slash adalah seorang putra Sulsel yang sangat dekat dengan alam. Sejak kuliah dia sudah aktif di organisasi Pencinta Alam Muslim Indonesia. Keaktifannya di pecinta alam kampus berakhir sejak tahun 2000 setalah dia menyelesaikan kuliah di

Universitas Muslim Indonesia. Akan tetapi kepeduliannya terhadap lingkungan tidak berhenti, ini dapat dibuktikan melalui tahun 2001 beliau bergabung dengan Suara Lingkungan Makassar. Pada tahun yang sama dia juga bergabung dengan Walhi Makssar. Kecintaananya terhadap lingkungan membawanya kejalan perjuangan agraria dan pada tahun 2007 bergabung dengan KPA. Pria yang akrab dipanggil Slash ini lahir pada tanggal 15 Juni di Makassar. Pria yang dikenal dengan rambut gondrongnya, saat ini sedang berjuang melakukan kaderisasi diberbagai wadah, seperti KPA, Walhi dll. Slash juga berjuang mengkampanyekan p e nye l e s a i a n kasus tanah yang bersengketa dengan pihak p e r ke b u n a n , tambang dan kehutanan. Pemuda yang aktif di jurnal Celebes berharap agar rakyat petani Makassar berdaulat atas tanahnya yang selalu digusur oleh pemerintah. Baginya tanah adalah hak dari petani dan tanah merupakan sumber kehidupan manusia. Menurutnya hari tani (24 September) merupakan momentum bersatunya gerakan tani di Indonesia untuk medesak pemerintah pusat agar menjalankan refoma agraria sesuai UUPA 1960. Melalui bulletin KPA edisi 8 ini Bung Slash berpesan agar pejuang agraria konsisten terhadap perjuangannya karena kondisi tantangan reforma agrraia semakin berat.

E. Rahmawati Arifin, Sulawesi Tengah Rachmawati Arifin adalah pejuang agraria perempuan, kelahiran Palu 08 Juli 1976. Ibu dari tiga anak ini kini dipercaya menjadi Koordinator KPA wilayah Sulawesi Tengah. Pengalamannya membela orang-orang tertindas tercatat dalam wadah perjuangan PBHR (Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat) pada 2003 hingga 2005), Ia juga aktif di Solidaritas Perempuan Palu di bidang pendidikan pengorganisasian dari 2003 hingga 2009. Rachmawati juga tercatat aktif melakukan pendidikan pengorganisasian di komunitas peduli perempuan dan anak (KPPA) dari tahun 2008 sampai 2013. Perjuangan di ranah organisasi juga ditorehkan pada saat bergabung dengan serikat perempuan lembah palu (SPLP) dari 2009 hingga 2013.

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

45


sosok Dalam ranah perjuangannya di Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Ia sedang melakukan konsolidasi anggota, membangun aliansi dengan elemen lain yang turut mengadvokasi kasus, membangun diskusi dan pendidikan politik. Upaya pembesaran perjuangan agraria masih dalam sebatas penggalangan kawan-kawan seperjuangan yang fokus pada kasus-kasus agraria. Rachmawati berharap, ia bisa membangun kekuatan yang bukan hanya sebatas advokasi kasus, tetapi lebih pada membangun kesadaran pengetahuan bersama dengan kelompok-kelompok petani di wilayah kerja, khususnya di Sigi dan Donggala. Rachmawati dalam akhir wawancara menuturkan bahwa, ia berharap KPA dapat terus memperbesar perjuangan reforma agraria sejati yang merupakan cita-cita bersama untuk kesejahteraan petani. Rachmawati menambahkan bahwa intimidasi, penangkapan, ataupun kekerasan terhadap petani dan warga sipil harus dihentikan. Maka dari itu perlu gotong-royong dan dukungan dari tiap elemen pejuang agraria untuk saling bahu-membahu menghadapi tantangan yang ada demi perwujudan reforma agraria sejati di Indonesia.

F. Made Indrawati, Bali Pejuang Agraria Perempuan kelahiran 4 Oktober 1972 ini dibesarkan di Pesisir Buleleng, Bali Barat. Pada 2003 ia bersama kawan tercatat mendirikan Lembaga Peduli Alam & Lingkungan “Pilang� untuk pengembangan masyarakat pesisir. Indra, sejak duduk di bangku SMA berdiri di barisan paling depan untuk memperjuangkan hak-hak atas tanah masyarakat Sumberklampok, Gerokgak, Buleleng. Indra yang aktif mengorganisir dan mendampingi masyarakat juga mendirikan koperasi nelayan dan petani. Koperasi yang diberi nama Wana Agung ini berdiri dengan tujuan

46

melepaskan masyarakat kecil dari lintah darat. Pada 2004 Indra memperkuat ilmu dan tekadnya dalam advokasi masyarakat dengan menempuh jalur perguruan tinggi di jurusan hukum. Indra berharap masyarakat bisa mengelola sumber kekayaan alam secara berkeadilan dan bijaksana. Semangat rela berkorban dalam gerakan sosial adalah prinsip penting dalam menjalani aktivitasnya. Dengan diiringi kemauan, konsistensi dan komitmen Indra yakin dapat sukses mendampingi masyarakat dalam mendapatkan hak-haknya. Indra sebagai Korwil Bali, kini tengah memperjuangkan hak atas tanah masyarakat Sumberklampok yang juga diklaim oleh Pemprov Bali. Ia turut berperan dalam aksi blokade poros Gilimanuk

G. Furbertus Ipur, Kalimantan Barat Pria kelahiran 10 April 1971 ini adalah lulusan kursus aktifis agraria KPA tahun 1999. Pendiri Lembaga Pemberdayaan Pergerakan Rakyat di Kalimantan Barat ini tengah giat melakukan persiapan KPA wilayah Kalimantan Barat. Menurut Ipur, Konflik agraria di Kalimantan Barat sangat masif, dengan aktornya yaitu perusahaan perkebunan sawit dan pertambangan. Maka dari itu, Ipur menegaskan perlunya konsolidasi antar elemen untuk memperkuat posisi tawar masyarakat adat, petani dan masyarakat pesisir. “Koorporasi di Kalimantan Barat mengeksploitasi sumber-sumber agraria dan pemerintah turut memuluskan jalannya eksploitasi tersebut,� terang Ipur. Ipur mengungkapkan bahwa wilayah kelola rakyat semakin banyak yang diberikan kepada koorporasi oleh pemerintah. Pengakuan pemerintah terhadap wilayah kelola rakyat menurut Ipur hanya sebatas retorika. Kondisi masyarakat yang masih lemah adalah tantangan bagi penguatan gerakan agraria yang harus dilalui. Sebagai Direktur Eksekutif Elpagar, Ipur fokus pada pengorganisasian rakyat dalam upaya mendorong organisasi rakyat yang kuat dan mandiri; Pendidikan rakyat dan community organizer untuk penegakan HAM, demokratisasi dan advokasi hak asasi manusia, baik litigasi maupun non-litigasi. Sebelum mendirikan Elpagar pada 2002, ia pernah turut aktif dalam pemberdayaan sumber daya hukum masyarakat di LBBT (Lembaga Bela Banua Talino).

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


resensi

“Mengurai Persoalan Fundamental Kebangsaan”

S

ecara fisik buku tebal ini sekilas mungkin akan segera membuat calon pembacanya menduga sebagai sebuah buku yang “berat”, dengan segala kerumitan teori yang ada didalamnya, akan tetapi buku yang merupakan kumpulan artikel ini justru akan banyak menyajikan tulisan-tulisan yang sebenarnya bisa dipahami dengan mudah oleh setiap orang. Buku yang terbagi menjadi dua bagian utama; Artikel utama dan Sub artikel ini, pada bagian artikel utamanya berisi tulisan yang secara sistematis memaparkan landasan filosofis cita-cita kemerdekaan Indonesia, dinamika situasi nasional yang mempengaruhi dari masa pemerintahan Soekarno, hingga pemerintahan pasca runtuhnya ORBA, dampak dan implikasinya bagi Indonesia di era sekarang. Selanjutnya pada bagian sub artikel, dibagian ini berisi banyak sekali tulisan yang mengupas persoalan-persoalan yang tengah mendera bangsa ini, mulai dari persoalan privatisasi asset-aset Negara oleh pihak asing, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), Reforma Agraria hingga persoalan narkoba. Di media-media lain mungkin sudah banyak sekali tulisan yang mengupas persoalan-persoalan tersebut di atas akan tetapi kelebihan dari artikel-artikel yang dimuat dalam buku ini adalah pada banyaknya data baru yang belum banyak disajikan oleh penulis-penulis lainya. Seperti pada sub artikel 9 hal 125 yang berjudul “Pejabat Negara Yang Dihukum Karena Kasus Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme”, disini akan banyak sekali ditemukan nama-nama baru pejabat korup yang jarang diungkap ke publik. Dibagian lain, pada sub artikel 10 hal 305 “ Daftar Pengusaha yang Terbukti Merugikan Negara”. Pada artikel ini juga banyak memuat nama-nama pengusaha daerah maupun nasional yang merugikan Negara lengkap dengan angka kerugianya. Sekali lagi, buku ini akan banyak menyajikan data dan informasi baru untuk para pembacanya. Secara umum buku ini bisa dijadikan sebagai bahan bacaan yang mencerdaskan atau juga sebagai rujukan Judul Buku Penulis Penerbit Tahun terbit Jumlah Halaman

sumber data. Namun yang patut menjadi perhatian adalah sistematika penyusunan tulisan yang dirasa kurang sistematis. Seperti contoh pada Sub artikel no 22 “Pelaksanaan Reforma Agraria” yang justru diletakkan dibagian akhir setelah Sub artikel 21 “Terorisme”. Akan terlihat lebih sistematis jika Sub artikel 22 itu diletakkan sebagai Sub artikel no 8 sebagai bentuk kontinuitas dari sub artikel 7 yang berjudul “ Penguasaan Asing atas Bumi, Air, dan Kekayaan alam”. Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini telah hadir dengan kualitas yang berlebih karena ditulis oleh para penulis yang mempunyai landasan ideologi yang kuat dan keberpihakan yang jelas pada masyarakat sehingga mampu menjadikan buku ini lebih dari sekedar buku biasa dan layak menjadi koleksi perpustakaan anda. n (Dwi Jarwo)

Indonesia Negara Merdeka yang Terjajah Anton Poniman, Galih Andreanto, Ardinanda Sinulingga, Desta Ardiyanto, Galih Prasetya, Mochamad Fadjri, Vayireh Sitohang, Well Tyson Napitu Founding Father House 2013, 6 Juli 2013 ; Cetakan ke-1 xviii + 692 halaman

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013

47


48

Suara Pembaruan Agraria | Edisi VIII September - November 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.