Suara Pembaruan Agraria Edisi 10 Maret-Mei 2014

Page 1


Daftar Isi Salam Redaksi: ..................................................................................................................................................................

3

Laporan Utama: Menakar Reforma Agraria dalam Visi Misi .....................................................................................

4

Opini: ...................................................................................................................................................................................

9

Petani Mencari Presiden Di Bawah Reruntuhan Hiroshima Dan Nagasaki, Jepang Melakukan Landreform Berita Agraria: ....................................................................................................................................................................

13

Wawancara eksklusif: “Transformasi Perkebunan Sawit” bersama Jevry G Saragih Dunia Dalam KPA: ...........................................................................................................................................................

17

Perekebunan Sawit dan Tambang Musuh Utama Petani di Sanggau Menuai Kemerdekaan Petani Pasca Land Reform Kulonbambang Tajamnya Konflik Agraria Di Sektor Kehutanan Masalah Agraria: Tantangan Kebijakan Agraria Nasional Masa Kini Dan Masa Depan KPA Sulteng: Hutan Untuk Rakyat Bukan Untuk Pengusaha Lintas Peristiwa: ................................................................................................................................................................

26

Dua Tahun Serikat Tani Indramayu KPA Mendukung Pembubaran Kementrian Kehutanan Kalah di PTUN: Perjuangan Jalan Terus Gerakan Buruh Usung Reforma Agraria Bebaskan Para Pejuang Agraria: Bebaskan Eva Bande, Yohanes dan Anyun! Dinamika Kebijakan Agraria: ........................................................................................................................................

34

Setahun MK 35: Reforma Agraria dan Hutan Adat Konflik Agraria Sektor Tambang akan Diteliti LIPI Sektor Pertanian Diobral Murah ke Asing Pemerintah Harus Menghentikan Laju Ahli Fungsi Lahan Pertanian Meninjau Kembali Sistem Kemitraan Perkebunan Inti Rakyat RUU Pertanahan Harus Menjawab Ketimpangan Sturktur dan Konflik Agraria Sosok: Eva Bande: ...............................................................................................................................................................

46

Eva Bande Sang Pejuang Agraria yang Tangguh Resensi Buku: ..................................................................................... ................................................................................

49

Jurnal Land Reform: “Menghapus Warisan Buruk Agraria SBY: Rekomendasi untuk Pemimpin Baru” Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Redaksi menerima tulisan berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna tulisan. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi. Tulisan dapat dikirim via email ke alamat kpa@kpa.or.id atau dikirim via pos ke alamat redaksi


Salam Redaksi Salam Reforma Agraria sejati

SUARA PEMBARUAN AGRARIA

Pada edisi ke-10, Suara Pembaruan Agraria kali ini, redaksi akan memuat isuisu hangat seputar perkembangan perjuangan reforma agraria di Indonesia. Laporan Utama mengulas visi misi reforma agraria dari para calon Presiden yang bertarung pada Pilpres Langsung 2014. Berisi perbandingan kedua visi-misi kandidat yang bisa menunjukan kebulatan tekad pemimpin baru menjalankan reforma agraria.

Edisi: X/Maret - Mei 2014 Tiada Guna Demokrasi Tanpa Reforma Agraria Sejati

Suara Pembaruan Agraria mengangkat beberapa topik aktual. Dalam bentuk Opini, Sekjend KPA Iwan Nurdin memaparkan bahasan petani yang akan terus mencari presiden untuk bisa melaksanakan reforma agraria sejati. Opini kedua datang dari Jepang yang akan membahas land reform di Jepang dan manfaatnya bagi rakyat Jepang oleh Rudi Casrudi, Peserta Study di Asian Rural Institute-Japang

Pemimpin Redaksi Dewi Kartika

delegasi KPA.

Pada rubrik Berita Agraria, kami akan mengulas Arah Transformasi Perkebunan Sawit di Indonesia. Kami sajikan bahasan ini, dalam bentuk wawancara eksklusif yang bertema “Transformasi Perkebunan Sawit” bersama Jefri Gideon Saragih, Koordinator Sawit Watch. Tak ketinggalan, dalam Suara Pembaruan Agraria edisi ke-10 kali ini, memuat perkembangan kegiatan organisasi KPA yang ditampilkan dalam rubrik Dunia Dalam KPA, diantaranya: Perekebunan Sawit dan Tambang Musuh Utama Petani di

Sanggau; Menuai Kemerdekaan Petani Pasca Land Reform Kulonbambang; Tajamnya Konflik Agraria Di Sektor Kehutanan; Masalah Agraria: Tantangan Kebijakan Agraria Nasional Masa Kini Dan Masa Depan dan KPA Sulteng: Hutan Untuk Rakyat Bukan Untuk Pengusaha.

Pada rubrik Lintas Peristiwa menyajikan rangkaian beragam peristiwa terkini seputar persoalan agraria, antara lain: Dua Tahun Serikat Tani Indramayu; KPA

Mendukung Pembubaran Kementrian Kehutanan; Kalah di PTUN: Perjuangan Jalan Terus; Gerakan Buruh Usung Reforma Agraria serta Bebaskan Para Pejuang Agraria: Bebaskan Eva Bande, Yohanes dan Anyun!

Dalam edisi ini Redaksi Suara Pembaruan Agraria juga mengulas Dinamika Kebijakan Agraria sebagai wujud penyebaran informasi perkembangan kelahiran atau perubahan kebijakan agraria yang mempengaruhi gerakan dan pelaksanaan reforma agraria di tanah-air. Redaksi akan memulainya dengan Setahun MK 35: Reforma Agraria dan Hutan Adat; Konflik Agraria Sektor Tambang yang akan Diteliti LIPI; Asingisasi Sektor Pertanian oleh Rezim SBY Sengsarakan Petani; Pemerintah Harus Menghentikan Laju Ahli Fungsi Lahan Pertanian; Meninjau Kembali Sistem Kemitraan Perkebunan Inti Rakyat dan RUU Pertanahan Harus Menjawab Ketimpangan Sturktur dan Konflik Agraria

Dalam rubrik Sosok, KPA mengangkat profil pejuang agraria perempuan dari Sulawesi Tengah yaitu Eva Bande. Meskipun menghadapi tantangan berat melalui kriminalisasi, Eva tetap menyerukan perjuangan reforma agraria dari dalam penjara. Simak bahasan lengkap tentang Eva Bande di Rubrik Sosok. Di bagian akhir, kami juga mengangkat Resensi Jurnal Land Reform yang bertema “Menghapus Warisan Buruk Agraria SBY: Rekomendasi untuk Pemimpin Baru.” Harapannya, buletin ini dapat hadir mencukupi kebutuhan akan informasi aktual dan pelajaran-pelajaran penting apa yang dapat dimaknai dari setiap kejadian. Semoga tiap rangkaian kata dapat dijadikan modal bagi perluasan kesadaran dan pengetahuan bagi pembesaran gerakan Reforma Agraria di Indonesia.

Penanggung Jawab Iwan Nurdin

Dewan Redaksi Galih Andreanto, Jarwo Susilo, Andria Perangin-angin, Yusriansyah, DD Shineba, Yayan Herdiana, Agus Suprayitno, Adang Satrio, Diana, Roy Silalahi, Acik Handini Fotografer Kent Yusriansyah Layout Change Creative House Alamat Redaksi Kompleks Liga Mas Indah Jl Pancoran Indah 1, Blok E3 No. 1, Pancoran, Jakarta Selatan 12760 Telp 021-7984540 Fax 021-7993834 Email: kpa@kpa.or.id Website: www.kpa.or.id Cover


LAPORAN UTAMA Menakar Reforma Agraria Dalam Visi Misi

JOKOWI-PRABOWO

K

ontestasi pimpinan nasional telah menyeret perhatian publik pada kampanye hitam yang menghias dominan di arus pemberitaan berbagai media. Substansi metode pelaksanaan ide para kontestan tergeser, sehingga luput dari perbincangan sehari-hari. Kampanye hitam membuat pendidikan politik publik mandeg. Alhasil, publik terlewat menilai apa-apa saja yang akan dikerjakan pemimpin baru hasil Pilpres 2014. Visi-Misi memang telah dirancang, dengan pengemasan narasi yang menawan menawarkan janji. Setidaknya apa yang dituliskan para kandidat mencerminkan suasana batin dan semangat politik yang ada. Dari situ kita dapat menilai apa yang hendak dilakukan pasca pilpres, termasuk soal kehendak menjalankan reforma agraria. Dokumen visi misi resmi para kandidat merupakan ukuran awal sejauh mana kesungguhan niat menjalankan reforma agraria ke depan. Namun, sayangnya reforma agraria hanya diposisikan penambal-sulam dalam teks. Persoalan penguasaan kekayaan alam, khususnya tanah bagi rakyat tak menjadi sorotan utama para kandidat pimpinan nasional. Calon-calon pimpinan nasional hanya meneropong program di ruang populer dengan harapan mulukmuluk dalam ilusi kemegahan angka pertumbuhan ekonomi. Lilis Mulyani, Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI berpandangan, bahwa kedua kandidat belum menempatkan agenda Landreform atau Reforma Agraria sebagai prioritas agenda yang diusung. “Hal ini terlihat misalnya di Visi Misi JokowiJK hanya ditempatkan di agenda No. 5 dari Nawacita atau 9 Agenda Prioritasnya, sementara Prabowo-Hatta malah menempatkan di agenda prioritas terakhir, yaitu nomor 8,� jelas Lilis. “Dalam teks visi-misi dan debat kandidat kedua calon pimpinan tidak secara terang menjelaskan tata cara maupun metode implementasi dari program ini secara rill dan strategis di dalam kenyataannya nanti,� tambah lilis. Masalah agraria menjadi isu penting, karena Indonesia dihadapkan pada persoalan agraria yang kronis. Masalah penguasaan kekayaan alam oleh segelintir orang menempatkan 56 persen asset berupa tanah, perkebunan dan properti hanya dikuasai oleh 0,2 persen penduduk.

4 Edisi X/Maret-Mei 2014


Ketimpangan itu telah nyata menggerogoti keadilan sosial di Indonesia. Lebih parah lagi, kenyataan bahwa indeks gini tanah secara nasional mencapai 0.72 yang menunjukan ketimpangan penguasaan tanah semakin lebar. Harapan pertumbuhan ekonomi yang dapat meneteskan kesejahteraan kepada rakyat bawah masih menjadi kegemaran para kandidat. Padahal, klaim pertumbuhan ekonomi oleh rezim 2004-2014 yang tinggi, nyatanyata membuat ketimpangan makin lebar. Angka indeks gini hingga 0,413 memunculkan potensi kerawanan sosial di Indonesia. Kenyataannya, pembangunan nasional yang berparadigma pertumbuhan ekonomi tidak selalu berkolerasi pada pemerataan. Hal itu dikarenakan fondasi pertumbuhan ekonomi disandarkan pada hutang serta investasi asing yang penuh spekulasi. Masalah angka pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan serta pengangguran yang dihitung berdasarkan basis ekspor-import dan kenaikan investasi, hanya didominasi oleh sekitar 10% penduduk. Jika kita telaah dari angka kemiskinan rumah tangga di pedesaan, sampai sekarang, besar orang miskin bertempat menetap di pedesaan dan mayoritas bekerja sebagai petani dan buruh tani. Dari total 28 juta Rumah Tangga Petani (RTP) yang ada di Indonesia, terdapat 11,1 juta RTP yang tidak memiliki lahan sama sekali. Sedangkan bagi mereka yang punya lahan, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar. Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani, dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten. Yang selama ini luput adalah analisa pergeseran 5,04 juta rumah tangga petani menjadi buruh dan pekerja informal di perkotaan dan luar negeri. Lilis mengatakan bahwa yang terpenting dalam melaksanakan Landreform atau Reforma Agraria sebagaimana hasil kajian LIPI adalah di level negara, “diperlukan

pembenahan menyeluruh dari mulai kebijakan hingga kelembagaan pengelola sumber daya agraria yang masih sangat sektoral, untuk itu, saya mengkritisi kedua kandidat karena tidak menyentuh masalah ini sama sekali. Dalam visi misi Prabowo-Hatta yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Reformasi pengelolaan Sumber Daya Alam yang dijanjikan justru bertujuan meningkatkan nilai tambah SDA. sehingga tujuannya masih fokus di produktivitas (peningkatan nilai ekonomi) belum pada aspek keadilan ataupun keberlanjutan,� jelas Lilis. Kontradiksi Dalam Teks Visi-Misi Jokowi-JK Para kandidat pemimpin baru, visi-misinya berbeda tipis namun, harus diakui masih minim secara sistematika metodologi. Bahkan, yang tampak adalah kontradiksi atau pertentangan nilai dalam isinya. Dalam visi misi resminya, Jokowi-JK berniat memperjelas kepemilikan dan kemanfaatan tanah dan sumber daya alam melalui penyempurnaan terhadap UU Pokok Agraria. Patut dicurigai bahwa niatan perubahan UUPA 1960 sejalan dengan amanat MP3EI yang selama ini ditentang oleh gerakan rakyat pengusung reforma agraria. Pada hal 179 dokumen MP3EI 2011-2025 dalam pelaksanaan dan tata kelola MP3EI di bagian perbaikan regulasi dan perizinan, MP3EI menghendaki “pengkajian ulang (UU & PP Keagrariaan) untuk memasukkan status tanah ulayat sebagai bagian dari komponen investasi, sehingga memberikan peluang kepada pemilik tanah ulayat untuk menikmati pertumbuhan ekonomi di daerahnya (terkait realisasi MIFEE)�. Publik harus jeli melihat kehendak perombakan ini. UUPA yang selama ini menjadi benteng konstitusi reforma agraria namun dipetieskan, tidak relevan untuk direvisi karena kuatnya liberalisasi undang-undang

Suara Pembaruan Agraria 5


di era post reformasi saat ini. Kehendak pelaksanaan reforma agraria harus ditempatkan sesuai amanat konstitusi UUD 1945 dan UUPA 1960 untuk menjaga jiwa dan semangat kerakyatannya. Tuntutan gerakan akan reforma agraria sebenarnya telah meluas dilakukan oleh serikat tani di seluruh wilayah tanah air. KPA setidaknya melansir seluruh provinsi di Indonesia terjadi konflik agraria dan terjadi pergolakan rebutan tanah secara struktural, baik antara rakyat dengan negara maupun antara rakyat dengan perusahaan swasta pemegang konsesi. Berikutnya adalah, klausul komitmen Jokowi-JK untuk implementasi reforma agraria melalui “akses dan aset reform pendistribusian asset terhadap petani melalui distribusi hak atas tanah petani melalui land reform dan program kepemilikan lahan bagi petani dan buruh tani; menyerahkan lahan sebesar 9 juta Ha.” Hal ini menimbulkan pertanyaan lama yang muncul kembali ke permukaan, bahwa tanah siapa dan dimanakah seluas 9 Juta Ha tersebut? Sementara paradigma pembangunan infrastruktur di atas ketimpangan menjadi pilihan Jokowi-JK dengan “akan membangun infrastruktur jalan baru sepanjang 2.000 Km, membangun 10 pelabuhan baru, 10 kawasan industri baru dan membangun 1 juta Ha lahan sawah baru di luar Jawa”. Hal ini tentu berlawanan dengan semangat anti alih fungsi lahan yang selama ini dipaparkan Jokowi karena akan membangun 10 kawasan industri yang selama ini melibas lahan-lahan subur pertanian. Sedangkan, niatan Jokowi-JK dalam meningkatkan daya saing akan meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, yakni industri manufaktur, industri pangan, sektor maritim dan pariwisata akan percuma jika tidak lebih dahulu menata ulang penguasaan, pemilikan, pengelolaan dan

6 Edisi X/Maret-Mei 2014

pemanfaatan sumber-sumber agraria menjadi lebih adil untuk rakyat. Jika reforma agraria tidak dijalankan sebagai tahapan utama industrialisasi nasional maka pembangunan infrastruktur akan semakin meningkatkan konflik agraria dan melebarkan ketimpangan di Indonesia. Iwan Nurdin, Sekjend KPA menambahkan bahwa Jokowi-JK lebih banyak berencana pada aspek regulasi. “Misalnya dalam hal memberdayakan desa, Jokowi-JK menyiapkan dan menjalankan kebijakan regulasi baru untuk membebaskan desa di kantong-kantong hutan dan perkebunan, begitu juga dalam akses dan hak desa mengelola SDA berskala lokal, mengatasi konflik agraria tanpa memastikan kelembagaan yang bertugas melaksanakan konsepnya,” jelas Iwan. Peraturan dalam melaksanakan reforma agraria itu sudah banyak, namun UU sektoral-lah yang justru merintangi pelaksanaan UUPA 1960. “Kondisinya krisis agraria sudah berat, akibatnya sangat dalam, sehingga memerlukan kecepatan dan ketepatan pemimpin baru nanti,” tegas Iwan. Prabowo-Hatta Kandidat Prabowo-Hatta dalam visi misi resminya mencantumkan “akan meningkatkan pendapatan perkapita penduduk dari 35 juta menjadi minimal 60 juta dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen pertahun menuju pertumbuhan di atas 10 persen, dengan strategi pertumbuhan ekonomi tinggi berkualitas melalui peningkatan pertumbuhan melalui sektor produksi, sehingga dicapai keseimbangan optimal dengan pertumbuhan yang dipicu konsumsi.” Niatan ini sebenarnya bukan konsep baru, karena ilusi pertumbuhan ekonomi yang muluk-muluk nir pemerataan telah nyata menempatkan industri ekstraktif sumber daya alam yang merampas tanah rakyat. Padahal, Prabowo-Hatta juga hendak bermaksud meningkatkan mengurangi


jurang ketimpangan si miskin dan si kaya dengan menurunkan indeks gini dari 0,41 menjadi 0,31. Menyoal rencana Prabowo-Hatta, Dr Arya Hadi Dharmawan, Akademisi IPB mengatakan Program Pak Prabowo yang akan membuat 2 juta Ha sawah dalam 5 tahun itu dari teori manapun tidak masuk dan tak bisa diimplementasikan. Ia mengatakan “Silakan konsultasi ke Bakosurtanal, Kementan RI, Bappenas, Badan Pertanahan Nasional, Kementrian PU, Kemenko Perekonomian RI sampai kepada para ahli pertanahan di IPB. Kemampuan RI dalam mencetak sawah dengan dana yang ada, dengan perangkat hukum yang ada dan dengan teknologi yang ada, serta clearness dalam hal kepastian hukum agraria serta kelayakan ekologi sehamparan yang ada, hanya 10.000 - 20.000 Ha per tahun. Artinya dalam lima tahun = 100.000 Ha saja (itu dengan syarat secara agraria, tanahnya clear and clean dan dalam satu hamparan tanpa konflik dan tanpa sengketa - hari ini tak ada tanah tanpa sengketa), Ini titik lemah pak Prabowo,” kata Arya. Selanjutnya adalah paradoks niatan “mempercepat reforma agraria untuk menjamin kepemilikan tanah rakyat, meningkatkan akses dan penguasaan yang lebih adil dan berkerakyatan”, namun Prabowo-Hatta menempatkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI) sebagai jalan membangun kembali kedaulatan pangan, energi dan sumber daya alam. Menurut Resolusi Munas KPA ke-VI, MP3EI bertentangan dengan arah dan corak Reforma Agraria sejati yang diamanatkan UUPA 1960 dan Pasal 33 UUD 45. MP3EI adalah antitesis pembangunan pedesaan dan kedaulatan pangan karena merupakan pelestarian perampasan lahan dan ruang hidup masyarakat. MP3EI semakin menguatkan struktur ekonomi kolonial, yang belum berubah sejak Indonesia merdeka, dimana

konsentrasi penguasaan tanah oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan menempatkan rakyat Indonesia menjadi tenaga kerja. MP3EI yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, berkolerasi dengan menurunnya kesejahteraan rakyat. MP3EI adalah pipa-pipa penghisap kekayaan alam dengan menempatkan korporasi swasta dan asing serta dana hutang sebagai lokomotif pelaksana penjarahan sumber daya alam. Konsep MP3EI berlawanan dengan semangat kedaulatan pangan berbasis keadilan sosial. Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Merauke adalah contoh nyata dimana pembangunan areal pangan skala luas berbasis korporasi telah memusnahkan kedaulatan rakyat atas tanahairnya sendiri. Menurut Wasekjen KPA, Dewi Kartika “kontradiksi visi-misi reforma agraria Prabowo-Hatta mencerminkan tidak konsistennya niatan mereka, dan mereka tidak sepenuhnya benar-benar ingin menjalankan agenda reforma agraria, karena di sisi lain, mereka juga mengusung model pembangunan yang bertentangan dengan reforma agraria. Karena dasar dari MP3EI adalah pertumbuhan ekonomi semata, bukan untuk kesejahteraan masyarakat bawah.” Dewi menjelaskan bahwa MP3EI itu mengusung penguasaan dan pengusahaan tanah dalam skala besar melalui proses eksploitasi sumber-sumber agraria, sementara reforma agraria adalah untuk menghapuskan juga ketimpangan, MP3EI justru akan mempertajam ketimpangan. Kubu Prabowo-Hatta juga menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai ukuran keberhasilan. Pertanyaannya, apakah niatan pembangunan infrastruktur tersebut sejalan dengan sasaran terjaminnya akses rakyat terhadap tanah yang selama ini terabaikan? Apalah arti akselarasi pembangunan infrastruktur tanpa petani berdaulat atas

Suara Pembaruan Agraria 7


tanahnya. Maka patut dipertanyakan apakah pembangunan infrastruktur benar-benar ditunjukan kepada rakyat kecil? Atau hanya demi lapangnya laju penghisapan sumber daya alam di seluruh wilayah Indonesia. Membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur serta bermartabat dengan menjalankan MP3EI adalah pengelabuan dan penyesatan kesadaran rakyat. Alat picu konsumsi yang dianggap dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah khayalan. Rakyatlah yang dapat menghidupkan kekayaan alam dengan menjamin akses rakyat terhadap kekayaan alam. Itulah basis menyumbang pertumbuhan ekonomi negara. Belajar dari yang Lalu demi Masa Depan Ke depan, dapat diprediksi bahwa Indonesia akan kembali berada dalam fase keterbelakangan industrialisasi nasional dengan segala masalah keruwetan agrarianya. Pimpinan nasional baru patut belajar dari pengalaman rezim SBY-Boediono yang menyumbangkan konflik agraria strukutral mencapai 1.057 kejadian dengan luasan areal 3.018.119 Ha

yang melibatkan 503.349 KK. Bahkan pada 2013 angka konflik naik 86% dibandingkan 2012. Tingginya angka konflik agraria menempatkan 22 petani tewas dan seharusnya menempatkan reforma agraria sebagai kerangka utama pembangunan nasional di Indonesia. Reforma agraria bukan saja demi tujuan pengentasan kemiskinan semata, namun juga dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Reforma agraria sesuai tuntutan cita-cita proklamasi 1945 harus dijalankan secara logis dan sistematis sesuai dengan jiwa dan kemauan politik yang kuat dari pimpinan nasional pilihan rakyat. Momentum elektoral di 2014 ini harus memunculkan kemajuan ide pelaksanaan reforma agraria secara terukur dan meluas. Jika sungguh-sungguh hendak melaksanakan reforma agraria, tiap kandidat harus menjelaskan siapa bertugas apa dan lembaga apa yang mau dan mampu menjalankan reforma agraria. Semoga reforma agraria sejati dapat terlaksana.

SBY gagal urus agraria

8 Edisi X/Maret-Mei 2014


OPINI Petani Mencari Presiden Oleh: Iwan Nurdin, Sekjend KPA

P

ada pemilihan presiden 9 Juli nanti, jika merujuk kepada visi-misi, tidak ada alasan bagi petani untuk tidak pergi ke TPS dan memilih. Pasalnya, kedua kandidat presiden menawarkan program reforma agraria melalui redistribusi tanah atau land reform. Meski belum secara detail dijelaskan bagaimana kelak presiden terpilih menjalankan agenda ini. Setidaknya di atas kertas, redistribusi tanah untuk rakyat telah menjadi komitmen politik resmi. Dalam pemilihan presiden langsung, dokumen visi-misi memang menjadi ukuran penting. Sebab inilah yang akan dituangkan kedalam rancangan pembangunan jangka menengah (RPJM) dalam kurun waktu lima tahun kedepan. Janji reforma agraria sendiri bukanlah hal baru. Pemerintahan yang sedang berkuasa daPetani baca buku lam dua periode menjanjikan pelaksanaan reforma agraria. Meski hasilnya tidak pernah bergerak dari level wacana ke tataran aksi implementasi. Pendeknya, di atas kertas visi-misi mencari presiden pro-petani relatif mudah. Dengan begitu, nampaknya petani harus tetap terus menerus mencari presidennya setelah pemilihan presiden usai. Mencari Presiden Petani harus mencari presidennya karena suaranya seolah air yang terserap kedalam pasir setelah selesai penghitungan suara. Meski jumlah agregatnya banyak tak juga membuat artikulasi kepentingannya diterima dengan baik oleh para perumus kebijakan paska pilpres. Apalagi, pengalaman membuktikan bahwa kepentingan petani banyak tereduksi oleh pengambil kebijakan yang terbiasa memandang persoalan pertanian, pedesaan, dalam kacamata orang kota yang industri (urban bias dan industrial bias). Pandangan seperti ini telah membuat bahwa persoalan pertanian, pedesaan bahkan pangan adalah persoalan produksi semata sehingga proyek pengadaan benih, pupuk, pestisida, jaringan irigasi dan stimulus harga adalah rancangan pokok dalam meningkatkan produksi. Melupakan fakta bahwa produktifitas lahan pertanian petani kita tertinggi di ASEAN bahkan dunia. Dengan produktivitas lahan sawah tahunan 9.03 ton/ha/tahun, lebih tinggi dibanding China, Jepang, Korea dan Amerika Serikat (Andreas Santosa: 2013), petani telah bekerja keras. Masalahnya bukankah petani gurem akan menghasilkan hasil panen yang gurem?. Belum lagi, atas nama petani, proyek-proyek semacam itu sebenarnya lebih banyak menguntungkan kalangan industriawan dan kontraktor belaka.

Suara Pembaruan Agraria 9


Petani harus tetap mencari presidennya, karena tanah pertanian, perkebunan dan kehutanan seharusnya diprioritas kepada mereka. Menurut BPN saat ini terdapat 26.366.788 bidang tanah yang bersertifikat di Indonesia dengan luas 72.954.190 Ha. Di dalamnya hanya 10.368 sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan. Namun, luasnya mencapai 46 persen (33.5 juta ha) dari tanah bersertifikat tersebut. Prioritas tanah untuk rakyat adalah syarat pokok transformasi agraria dari susunan lama yang subsisten, gurem, dan rendah teknologi kepada koperasi pertanian yang maju. Anggapan bahwa prioritas tanah kepada petani sulit dilakukan dan jikapun dijalankan petani harus menjadi plasma dari raksasa korporasi pertanian/perkebunan harus ditinggalkan. Kedepan, petani, pemuda, sarjana dengan didukung oleh kredit pemerintah harus menjadi pemilik koperasi pertanian, perkebunan dan kehutanan yang modern. Sebab bercocok tanam dalam wadah modern bukanlah teknologi luar angkasa yang susah diterapkan kepada rakyat. Petani harus mencari presidennya, sebab konflik dan perampasan tanah terus saja mengancam kehidupan mereka. Pada tahun lalu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

mencatat 369 kejadian konflik agraria struktural yang mengakibatkan 21 orang tewas dan telah merampas 1.281.660.09 ha, dan korban 139.874 KK. Dalam menangani konflik tersebut belum ada usaha pemerintah untuk membangun kelembagaan penyelesaian konflik agraria tersebut. Pada akhirnya, kita dan petani harus tetap mencari presiden. Sebab problem upah buruh murah di perkotaan, merebaknya sektor informal, lemahnya industrialisasi nasional, hingga membludaknya pekerja migrant dengan skil rendah dan minim perlindungan berakar dari keterbelakangan petani, pertanian dan pedesaan. Dengan mudah ditemukan benang merah bahwa “tentara cadangan� buruh murah bagi industriawan di dalam dan luar negeri tersebut berasal dari mereka yang terlempar secara tragis dari pedesaan. Akhirnya, kita butuh khalayak luas yang memahami bahwa membenahi persoalan petani ini adalah memperkuat akar kedaulatan bangsa. Kita harus menemukan kandidat presiden yang mau terus menerus melihat dan mendengar, dan meyakini bahwa kelak terus berbuat demikian setelah terpilih kelak. Sebab, jawaban persoalan rakyat ditemukan bersama-sama rakyat.

"Ribuan Petani pada februari lalu mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melaporkan kasus agraria yang berkaitan dengan Korupsi, Itikad baik pemerintahan baru untuk menuntaskan konflik agraria dan korupsi agraria dinantikan oleh kaum tani"

10 Edisi X/Maret-Mei 2014


Di Bawah Reruntuhan Hiroshima Dan Nagasaki, Jepang Melakukan Landreform Oleh: Rudi Casrudi, Peserta Study di Asian Rural Institute-Japang delegasi KPA

Mekanisasi pertanian salah satu mesin penanam padi yang banyak di gunakan.

H

arus dikatakan bahwa Restorasi Meiji tidaklah memberikan perubahan yang sesungguhnya terhadap rakyat dan kaum tani, tuan tanah dan kaum feodal masih saja berada di pedesaan, mereka menyewa-nyewakan tanah kepada petani dengan pajak yang tinggi. Sejak di Jatuhkannya bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki akhirnya Jepang ada dalam pelukan Sekutu. Ada hal yang sangat penting dalam periode ini dimana di bawah kuasa Amerikalah Jepang melakukan Landreform. Tentu saja hal ini bisa dianggap aneh dimana Amerika justru melakukan landreform. Bukankah landreform identik program blok sosialis? Tapi kenyataannya justru di bawah komando Amerikalah landrefrom di Jepang dilaksanakan. Mc. Arthur bahkan mengkalim bahwa program Landrefom paling berhasil di dunia. Setelah diduduki oleh Amerika, maka Amerika tidak menginginkan wilayah jepang terjadi hura hara , apalagi Amerika mendapatkan perlawanan dari rakyat. Maka yang harus ditaklukan terlebih dahulu ialah tuan tanah dan kaum feodal. Karena dua kekuatan ini yang bisa melakukan perlawanan kekuatan Amerika dan sekutunya. Cara yang ampuh adalah dengan pelaksanaan landreform. Akhirnya tahun 1947 pelaksanaan landreform dimulai dengan cara paksa oleh pemerintah membeli semua tanah milik tuan tanah hampir 70% dari tanah pertanian diambil dan kemudian dijual oleh pemerintah dengan harga murah kepada

Suara Pembaruan Agraria 11


para penyewa yang selama ini menderita akibat tuan tanah. Dengan demikian petani bisa menggarap di tanahnya sendiri dan mulai bertani dengan nyaman. Dan sekarang jika kita berkunjung ke Jepang kita akan sulit menemukan perkebunan-perkebunan dalam sekala seperti di Indonesia. Karena tanah-tanah sudah diberikan kepada rakyat. Inilah salah satu dampaknya pelaksana dari landreform. Lalu bagaimana kehidupan peertanian sekarang ini. Sejak tahun 1961 pemerintah Jepang menetapkan kebijakan dasar pertaniannya dengan cara memodernisir sektor pertanian. Mekanisasi pertanian dan mengikutsertakan unsur kimia. Teraktor tangan dan teraktor besar, mesin untuk menanam padi semua dikerjakan dengan mesin. Dampaknya adalah ketergantungan pada masukan kimia semakin tinggi, polusi, kerusakan lingkungan serta masalah masalah kesehatan.

Walaupun dengan teknologi yang sudah maju dalam pertanian ternyata problem makanan tidaklah bisa diatasi sendiri oleh negeranya. Sekarang 60 % dari kebutuhan makan di Jepang adalah import yang didatangkan dari berbagai penjuru dunia. Usaha-usaha untuk mengkeritisi keebijakan revolusi hijau sudah dilakukan sejak tahun 1971 dan sudah dibentuk Asosiasi Pertanian Organik Jepang yang memproduksi makanan yang lebih sehat dan ramah lingkungan. Selain itu untuk pemasaran mereka membuat system yang bernama “Teikei� dimana hubungan konsumen dengan produsen bukan sekedar dagang belaka tetapi adalah saling menghormati dan percaya. Itulah sekilas info Landreform dan dampaknya bagi rakyat di Jepang. Tochigi-Japan, 20 Juni 2014.

“Siapa yang memiliki tanah

maka tanamilah, dan jika ia tidak dapat menanaminya dan tidak mampu melakukannya, maka hendaknya ia berikan tanah itu kepada saudaranya, dan ia tidak sewakan atau gadaikan kepadanya. [Hadits diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah]

“

12 Edisi X/Maret-Mei 2014


BERITA AGRARIA Wawancara Eksklusif Jefri Saragih, Koordinator Sawit Watch

“Transformasi Perkebunan Sawit� 1. Apa sebabnya model perkebunan sawit era Kolonialisme masih diteruskan hingga saat ini? Pertama, Kita lihat dari era Kolonialisme. Pada masa ini penguasaan lahan sepenuhnya bergantung pada pihak pemerintah koloniali dimana masyarakat wajib memberikan lahan kepada penjajah melalui kerajaan atau memberikan pajak tanah bagi tuan tanah yang memiliki usaha pertanian. Selain itu masyarakat juga wajib bekerja dengan upah kecil atau tanpa upah (kerja paksa) di lahanlahan yang dikuasai penjajah. Kedua, pada masa kemerdekaan kondisi ini berubah. Semua lahan yang dikuasai sebelumnya oleh pihak kolonial diambil alih oleh negara untuk dikuasai sepenuhnya oleh masyarakat. Satu hal yang menarik pada masa JEFRI G SARAGIH SW itu adalah, adanya “Maklumat Hatta� yang intinya berisi instruksi kepada selauruh rakayat Indonesia untuk mengelola lahan-lahan penginggalan kolonialisme. Proses ini sangat menguntungkan masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup mereka pasca kehidupan masa kolonial yang sangat susah. Namun untuk perkebunan skala besar, penguasaannya mulai diserahkan kepada tentara oleh pemerintah berkat manuver politik Jenderal Nasution. Ketiga, jaman orde baru samapai sekarang. Kondisi yang terjadi pasca orde lama adalah penguasaan lahan sepenuhnya kembali dikuasai oleh negara melalui pemerintah. Lahan yang sebelumnya dikuasai masyarakat, diambil alih oleh negara untuk dikuasai dan dipergunakan dengan dalih meningkatkan devisa negara. Dengan dalih tadi, pemerintah pun mengundang para investor, baik asing maupun dalam negeri, untuk mengelola lahan-lahan tersbut. Dasar hukum yang diberikan kepada investor tersebut berupa Hak Guna Usaha (HGU). Kondisi ini pun terjadi sampai sekarang dan kemungkinan akan terus berlangsung jika pemerintah dan DPR serta kekuasaan yudikatif tidak menitikberatkan pola pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan, yang berarti rakyatlah yang menjadi aktor utama dan yang terpenting dalam pengeloaan sumber daya alam berbasis tanah. Bukan pemilik modal besar yang berbadan hukum perusahaan, melainkan koperasi. Bila kondisi sekarang ini diteruskan, bisa dipastikan, tak akan ada lagi lahan yang dimiliki masyarakat yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya di masa depan. Yang ada justru bangsa ini akan menjadi kuli di tanahnya sendiri dan kuli bagi bangsa-bangsa lain. Contoh nyata yang terjadi terkait hal ini di perkebunan kelapa sawit ada di Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Serdang Bedagai. Masyarakat yang menguasai lahan sejak

Suara Pembaruan Agraria 13


jaman Sukarno, tiba-tiba dipaksa keluar oleh pemerintah orde baru ketika memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada satu perusahaan asing yang berpatungan dengan pemodal dalam negeri. Bukan hanya perampasan lahan atas nama negara yang dilakukan, pemerintah juga menuding penduduk desa Pergulaan yang sebelumnya menguasai bahkan telah membayar pajak lahan itu ke pemerintah sebagai pengikut organisasi terlarang Buruh Tani Indonesia (BTI) yang berafiliasi ke partai terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI). Rakyat pun kehilangan sumber hidup sekaligus harga diri dan kebanggaan sebagai bagian dari bangsa ini sampai sekarang. Dari contoh di atas bisa ditarik satu kesimpulan, pemerintah memang lebih mengutamakan peningkatan ekonomi melalui pemanfaatan lahan yang pengelolaannya diberikan kepada perusahaan pemilik modal besar dengan mengesampingkan keberadaan dan kehidupan rakyat di seitar perkebunan sawit tersebut. 2. Bagaimana kondisi konflik agraria sektor perkebunan sawit Luas perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang di Indonesia sekarang adalah 13,5 juta Ha (Sawit Watch,2014). Perluasan perkebunan kelapa sawit ini berbanding lurus dan berjalan seiring dengan semakin tingginya konflik dan kekerasan yang terjadi antara masyarakat, pemerintah dan perusahaan skala besar. Anehnya sikap pemerintah sangat terlihat jelas berpihak pada pemodal besar, entah dari dalam atau luar negeri atau kolaborasi keduanya. Berdasarkan data yang tercatat sekarang di Sawit Watch (2014), terdapat 720 konflik, dan semua itu tak akan selesai bila pemerintah tak mengubah paradigma dan pendekatan peningkatan ekonomi berbasis masyarakat. Pada umumnya konflik yang terjadi dikarenakan karena proses penguasaan lahan/tanah oleh pihak perusahaan

14 Edisi X/Maret-Mei 2014

hanya berdasarkan surat ijin dari pemerintah, tanpa pernah memberikan pengakuan terhadap hak kelola masyarakat telah memiliki lahan tersebut berketurunan. 3. Bagaimana kondisi buruh kebun? Buruh yang ada sekarang di Indonesia, khusus di perkebunan sawit, telah mencapai angka 6 juta orang. Sekitar 50% dari buruh tersebut merupakan buruh harian lepas yang tak memiliki jaminan kesehatan dan hari tua, yang di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, beberapa pulau kecil di Maluku dan Papua. Jumlah ini, menurut kami, akan terus meningkat seiring semakin masifnya ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Buruh perkebunan di sektor perkebunan kelapa sawit agak berbeda dengan buruh di sektor industry lainnya. Selain tempat yang sebagian besar masih terisolir, buruh juga memiliki tugas atau tanggung jawab yang sangat besar dengan upah yang tidak sesuai dengan frekuensi kerjanya. Buruh di perkebunan kelapa sawit terdiri dari Buruh Tetap dan Buruh Harian Lepas,Buruh kontrak dan Buruh Borongan. Buruh Tetap adalah buruh permanen yang mendapatkan hak-hak yang sesuai dengan undang-undang tenaga kerja. Buruh Harian Lepas adalah buruh ini yang tidak mendapatkan hak yang sesuai dengan UU yang berlaku. Pada umumnya, kondisi hidup di tengahtengah perkebunan kelapa sawit cukup memprihatinkan. Untuk kehidupan sehari-hari, seperti membeli bahan makanan pokok, buruh harus mengeluarkan biaya dua kali lipat dari harga normal yang dijual. Sehingga untuk menghemat pengeluaran mereka seminggu sekali keluar dari wilayah perkebunan kelapa sawit dan membeli kebutuhan pokok. Hal lain yang ada di perkebunan kelapa sawit adalah persoalan air bersih. Di perkebunan kelapa sawit sumber air bersih sangat sulit didapat. Jangankan untuk minum dan


masak, untuk mencuci dan mandi mereka menggunakan air hujan atau air yang ada di kanal-kanal di perkebunan kelapa sawit. Selain beberapa kondisi di atsa, kondisi lain yang sangat memprihatinkan adalah terkait kondisi anak-anak buruh perkebunan kelapa sawit. Dengan upah yang sangat minim, sekolah-sekolah yang sangat jauh dari wilayah perkebunan, anak-anak mereka dapat dipastikan tidak mendapatkan pendidikan yang seharusnya didapat. Bahkan sebagian anak yang masih usia sekolah mesti bekerja membantu orang tuanya jadi buruh untuk mendapatan penghasilan lebih dari yang seharusnya. Akibatnya program wajib belajar 9 tahun sulit untuk diberlakukan bagi anak-anak di perkebunan kelapa sawit. 4. Â Seperti apa mata rantai perdagangan CPO dan produk turunan sawit? Proses rantai pasok atau supply chain di perkebunan kelapa sawit sepenuhnya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar. Proses yang terjadi adalah setelah mengelola Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), perusahaan langsung mengirim CPO ke pasar eskpor dan domestik. Berdasarkan data resmi 2013, Indonesia memproduksi 28 juta ton CPO dimana 6 juta ton diperuntukkan bagi pemenuhan konsumsi dalam negeri dan selebihnya dijual ke beberapa negara tujuan seperti Eropa, Asia (India, China) dan Amerika. Namun dalam proses ekspor ini, CPO tersebut tidak langsung di kirim ke negara tujuan tetapi melalui negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Hal ini terjadi karena beberapa perusahaan besar yang berusaha di Indonesia memiliki perusahaan yang mempunyai hak untuk menjual berada di Singapura dan Malaysia. Salah satu contohnya adalah Sinar Mas, yang mengirim CPO terlebih dahulu ke Singapura dan di sana GAR (Golden Agri

Resources) yang akan mengirim langsung ke negara tujuan ekspor. Terkait dengan produk turunan dari CPO sendiri, sampai sekarang, yang bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia adalah mengelola CPO ini menjadi minyak goreng. Sedangkan produk turunan lain seperti, coklat, sabun, shampo belum dapat dilakukan di dalam negeri. Khusus untuk biodiesel dari CPO, sebenarnya Indonesia mampu membuat di tengah krisis produksi bahan bakar minyak (BBM) namun harga keekonomian biodiesel tak sanggup bersaing dengan harga BBM yang disubsidi pemerintah. Akibatnya industri ini pun rontok dan Indonesia tetap tak mampu mengurangi impor BBMnya dari luar negeri. Hapan kami pemerintah Indonesia ke depan bisa membuat satu peraturan yang mewajibkan perusahaan sawit bergerak di hilir industri sawit seperti mengelola CPO menjadi barang jadi atau siap pakai seperti sabun, coklat dan beberapa turunan lainnya. Sedangkan sektor hulu biarkan masyarakat yang mengerjakannya dengan dukungan pelatihan dan sarana serta prasarana produksi dari pemerintah. Jika hal ini dilakukan, tentu ketergantungan kita dari impor barangbarang turunan CPO tidak lagi terjadi, terutama untuk bahan bakar diesel. 5. Bagaimana semestinya arah transformasi perkebunan sawit ke depan? Ada dua hal yang dapat dilakukan untuk merubah sistem perkebunan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Pertama adalah proses ekspansi perkebunan kelapa sawit yang terjadi sekarang di Indonesia harus dihentikan. Hal yang perlu dilakukan untuk mengaduit legalitas perusahaan dan menghitung produkstifitas kebun sawit yang dikelola serta cadangan lahan (land bank) yang dimiliki perusahaan sawit. Tentu ada sanksi hukum yang diberlakukan bagi perusahaan yang

Suara Pembaruan Agraria 15


melanggar peraturan. Serta harus ada reward diberikan kepada perusahaan yang taat terhadap hukum, misalnya dengan memberikan keringanan pajak. Selanjutnya meminta perusahaan yang patut tadi bekerja sama dengan petani dalam pengelolaan kebun dan peningkatan produktifitas berdasarkan good agriculture practices (GAP) dalam jangka waktu tertentu, kemudian mengharuskan perusahaan untuk turun ke hilir memproduksi barang jadi berbahan baku minyak sawit. Dengan jumlah kebun sawit yang sudah mencapai 13,5 juta ha, produktifitas per ha Indonesia masih kalah dengan Malaysia yang hanya memiliki 8 juta ha kebun sawit. Tahun lalu kita hanya memproduksi sekitar 28 juta ton CPO, sedangkan negeri jiran tadi sudah menghasilkan kurang lebih 20 juta ton pertahun. Artinya bila masyarakat yang didik dengan baik yang didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai menjadi tulang pungguung dan aktor terpenting dalam pengelolaan kebun sawit, kami yakin produktifitas Indonesia akan mengalahkan negara manapun di dunia ini. 6. Bagaimana Reforma Agraria di sektor perkebunan kelapa sawit? Proses reforma agraria di sektor ini tidak akan pernah terjadi bila pemerintah masih menjadikan perusahaan sawit skala besar menjadi aktor utama, bukan rakyat atau petani. Di sektor sawit, secara terang benderang ditunjukkan bahwa agenda reforma agraria tidak menjadi hal penting bagi pemerintah, melainkan peningkatan devisa negara melalui inestasi modal yang masuk ke sektor ini dan pajak ekspor yang menguntungkan pemerintah. Semoga pemerintah baru Republik Indonesia yang ditandai terpilihnya presiden dan wakil presiden untuk 5 tahun ke depan bisa membuat rakyat menjadi aktor utama di sektor sawit. Saat itulah reforma agraria akan mulai bergulir. Kita lihat saja.

"Sekitar 700 rumah gubuk SAD telah dihancurkan oleh aparat keamanan dan perusahaan sawit PT Asiatik Persada (PT AP). 3000 jiwa lebih warga SAD sejak saat itu terusir dari tanah leluhurnya dan tidak dapat pulang kembali. Untuk diketahui bahwa PT Asiatik Persada adalah perusahaan sawit asing milik Malaysia yang menclaim lebih kurang 27.150 Hektar lahan."

16 Edisi X/Maret-Mei 2014


DUNIA DALAM KPA Rencana Replikasi Reforma Agraria Terbatas Sanggau: Perkebunan Sawit dan Tambang Musuh Utama Petani di Sanggau Desa Menyabo, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat merupakan desa yang dipenuhi konflik agraria, baik di sektor perkebunan mapun pertambangan. Desa Menyabo yang terdiri dari dusun Menyabo, Kelingking, Sagu dan Tonggong ini berhadapan dengan dua perusahaan yang lapar akan tanah. Kedua perusahaan itu adalah tambang bauksit PT. Bintangar Jaya Abadi/ PT. BJA dan perkebunan sawit PT. Epita Agro Lestari/ PT. EAL yang dulu rencana replikasi bernama PT. Ratu Badis. Perusahaan tambang PT BJA masuk ke wilayah adat Menyabo pada 2010 tanpa ada sosialiasi terlebih dahulu kepada masyarakat. Sedangkan Perkebunan PT EAL berada di Dusun Sagu masuk sejak tahun 2002 dengan mengantongi ijin hutan produksi dari pemerintah. Awalnya pihak perkebunan mengembangkan sistem kerja sama dengan kelompok tani sehingga warga percaya untuk menjual tanahnya ke pihak perusahaan. Setelah perusahaan menguasai lahan warga maka pihak perusahaan merubah sistem bagi hasil menjadi 50:50 pada 2012. Perusahan ingin menggunakan pola kerja sama inti plasma dan bagi aset, tentu hal ini mendapat reaksi dari masyarakat dan pola inti plasma ini ditolak oleh warga dan pemerintah desa. Warga yang mulai merasa ditipu oleh pihak perusahaan mulai mengambil alih tanahtanah yang dulu diberikan kepada perusahaan. Sedangkan dari pihak perusahaan mengklaim tanah tersebut adalah milik perusahaan karena telah melakukan ganti-rugi. Pada kenyataannya perusahaan perkebunan PT EAL hanya mengganti rugi tanaman yang tumbuh di atas lahan, jadi tidak termasuk lahan warga. Akhirnya sampai berita ini dimuat, konflik agraria yang ada di Desa Manyabu belum selesai, baik yang berkonflik dengan pertambangan maupun dengan perkebunan. Di lapangan penduduk masih mengupayakan raklaiming atau menduduki lahan kembali yang telah dirampas perusahaan. Kemudian melakukan kajian hukum dan membuka dialog dengan instansi pemerintahan terkait serta melakukan pemetaan wilayah. Mengenai konflik yang terjadi di Desa Menyabo, Sanggau Sekjend KPA, Iwan Nurdin, berpendapat bahwa konflik yang terjadi harus bisa dimanfaatkan menjadi satu peluang untuk pelaksanaan reforma agraria. Capaiannya adalah rakyat yang ada di Sanggau harus menganggap dirinya sebagai pejuang agraria sehingga terbentuk satu organisasi rakyat yang kuat untuk mendesak terlaksananya reforma agraria. Selanjutnya, tanah yang sudah berhasil direbut warga harus bisa dikembangkan untuk meningkatkan eknomi rumah tangga petani, jelas Iwan. (AGP)

Suara Pembaruan Agraria 17


Menuai Kemerdekaan Petani pasca Land Reform Kulonbambang

R

menuai kemerdekaan

eforma agraria sebagai jalan utama kesejahteraan dan keadilan sosial terbukti nyata di Kulonbambang, Blitar, Jawa Timur. Kisah perjuangan para buruh eks perkebunan yang menduduki lahan ex-HGU hingga kemenangannya mendapatkan tanah redistribusi sangat menarik untuk selalu diteladani. Perjuangan reforma agraria tak terbatas waktu, ia adalah perjuangan terus-menerus. Kini penataan ekonomi dan regenerasi pengurus organisasi menjadi suatu tantangan baru yang harus dijawab organisasi petani di Blitar. Advokasi tanah secara terorganisir dijalankan melalui wadah perjuangan Pawartaku. Setelah 13 tahun, pada Oktober 2011, 280 Ha ex-HGU dinyatakan sebagai objek land reform dan didistribusikan kepada masyarakat melalui BPN. Warga-warga ke-4 kampung: Kampung Tlogosari, Tlogorejo, Bambang dan Kampung Anyar, Dusun Kulonbambang dapat mandiri atas kepemilikan terhadap tanah mereka. Warga Kulonbambang bercerita â€œDulu, kadang-kadang sulit makan setiap hari. Gajinya terlambat, dan tidak mungkin bikin tabungan, apalagi untuk menyekolah anak, merayakan lebaran dll. Pegawas kebun menganggap kami sebagai anjing, bahkan ada yang mendalami intimidasi dan trauma ketika perjuangan.â€? Sedangkan sekarang, tingkat ekonomi dan kehidupan jauh lebih baik. Jadwal kerja tidak ada lagi. Jumlah jam kerja sudah berkurang dua kali lipat (kira-kira 5jam/hari) dan rata-rata penghasilannya sudah naik dua kali lipat. Situasinya pasti lebih sejahtera. Banyak warga yang sudah memiliki motor dan rumah yang layak.

18 Edisi X/Maret-Mei 2014


Selain itu, salah satu keuntungan landreform adalah kesempatan mendapatkan waktu merdeka di luar jam kerja. Agar ada peningkatan ekonomi di atas tanah yg didapat serta memperkuat persatuan, warga membuat pendirian asosiasi lokal (arisan perempuan dan pemuda). Misalnya, kooperasi pinjam-simpan/Credit Union (CU) Pawartaku terbentuk pada januari 2013 sudah punya lebih dari 150 KK anggota yang diikat oleh dasar saling percaya. Setelah land reform warga mengaku bukan saja tanah semata-mata yang sudah dikembalikan kepada rakyat, tetapi juga martabat sebagai rakyat, kepercayaan diri dan tentu saja harga diri sebagai petani yang merdeka. Dalam perjalanan tiga tahun ini, inisiatif warga Kulonbambang selalu berkembang. Penataan Ekonomi serta Kaderiasi dipandang pentibg dilakukan untuk terus memperbesar langkah perjuangan reforma agraria secara utuh. Untuk menjawab tantangan tersebut, organisasi petani telah membangun pusat pendidikan dan mendurukan Credit Union (CU). Selain itu, kebutuhan akan kaderisasi dalam konteks penguatan organisasi tani dan regenerasi para pejuang agraria, maka mutlak perlunya diadakan pendidikan bagi para aktifis pendamping, mahasiswa dan para petani di daerah itu untuk menguatkan organisasi. Semua warga termasuk pengurus organisasi dan pendamping sangat optimis tentang kemakmuran masa depan di Kulonbambang. Semoga cerita ini menjadi teladan bagi perjuangan reforma agraria di seluruh Indonesia. (Camile-GA)

Tajamnya Konflik Agraria di Sektor Kehutanan

K

laim Kementerian Kehutanan yang mengatakan bahwa luas kawasan hutan 130 juta hektar telah menghasilkan konflik agraria. Kawasan hutan yang dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI), pertambangan dan perkebunan merupakan sumber konflik agraria di kawasan hutan. Hal ini dikarenakan proses pinjam pakai kawasan maupun pelepasan kawasan hutan tidak memperhatikan kondisi sosial masyarakat yang telah tumbuh di sekitar kawasan hutan. Masyarakat yang pada awalnya telah hidup dan bergantung pada hutan secara tiba-tiba kehilangan akses terhadap hutan akibat dari aktivitas pertambangan maupun perkebunan. Melihat kondisi dan situasi konflik agraria terus terjadi di kawasan hutan maka Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengadakan diskusi yang bertemakan “Konflik Agraria di Kawasan Hutan, Ditinjau Dari Sisi Hukum�. Diskusi Jumatan yang rutin dilakukan oleh KPA ini mengundang Myrna Safitri sebagai pembicara. Dalam kesempatan tersebut Myrna mengatakan kelompok yang selalu berkonflik terdiri dari masyarakat yang mempertahankan haknya atas hutan, Kehutanan yang merupakan perwakilan dari pemerintah dan pengusaha. Myrna yang aktif di Nota Kesepahaman Bersama (NKB 12 K/L) menyampaikan bahwa dalam 30 tahun kedepan Kementerian Kehutanan memiliki rencana sebagai berikut, pertama adalah dalam rencana makro, 20 tahun ke depan kawasan hutan akan tetap dijaga dengan luas 112 juta ha dan ini diasumsikan sebagai kawasan yang bebas konflik. Kedua kawasan hutan konservasi tetap dipertahankan sebesar 26,9 juta ha dan 20% dari luas kawasan hutan 112 juta ha akan dijadikan untuk kawasan lindung dan produksi. Untuk ahli fungsi lahan sebesar

Suara Pembaruan Agraria 19


18,3 juta ha dengan membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Untuk mejalankan rencana di atas Kehutanan menggunakan konsep “temu gelang�. Menurut Kehutanan konsep ini juga bertujuan untuk mempercepat pengukuran tapal batas sehingga konflik-konflik yang ada di kawasan hutan bisa dengan cepat diselesaikan. Pada tingkat lapangan pengukuran tapal batas kawasan hutan yang dilakukan oleh Kehutanan sering kali mendapat protes dari masyarakat yang tinggal d kawasan hutan. Hal ini terjadi karena pematokan yang dilakukan oleh Kehutanan berdasarkan pengukuran, tidak melibatkan masyarakat yang sudah tumbuh di sekitar kawasan hutan. Pada tahap ini, jika sudah ada yang komplein dari masyarakat maka harus dilakukan pengukuran ulang sehingga konflik tidak terjadi. Di penghujung diskusi, Myrna menutup dengan menyampaikan solusi untuk menyelesaikan konflik di kawasan hutan dengan menciptakan satu sistem yang baik ketimbang membentuk satu lembaga baru. sistem yang baik ini memiliki empat tahapan, yaitu tahap pencegahan, tahap perbaikan kebijakan, tahap konflik dan tahap pemulihan pasca konflik. Sistem yang berlangsung harus bisa mencegah perluasan konflik yang terjadi di sektor persisir, adat dan lingkungan dengan memperhatikan masukan dari masyarakat.

20 Edisi X/Maret-Mei 2014

Di fase kebijakan, pengkajian ulang bukan hanya UU yang sudah disahkan, tetapi terhadap Rancangan UU juga perlu dilakukan. Kemudian melakukan penataan ulang terhadap ijin-ijin yang sudah dikeluarkan, hal ini mengingat ijin-ijin tersebut telah menjadi sumber konflik agraria di kawasan hutan. Untuk menangani konflik ada dua opsi yang bisa ditempuh, yaitu membentuk lembaga penanganan konflik atau memperkuat fungsi lembaga Komnas HAM jika membentuk lembaga penanganan konflik sulit dinegosiasikan. Memperkuat kewenangan Komnas HAM tidak sesulit membentuk satu lembaga karena hanya merubah UU yang mengatur Komnas HAM. Fase pemulihan pasca konflik merupakan bagian yang sangat penting. Masyarakat yang berkonflik secara psikis pasti terguncang karena mendapat intimiadasi atau kekerasan, jadi perlu waktu dan penanganan khusus, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Selain pemulihan psikis pasca konflik, perlu kiranya diperhatikan pemulihan lingkungan pasca pengeloalaan lahan oleh perusahaan. Misalnya, sejauh ini belum ada perusahaan tambang yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang disebabkan pasca aktivitas pertambangan. (AGP)


Masalah Agraria: Tantangan Kebijakan Agraria Nasional Masa Kini dan Masa Depan

masalah agraria

M Seminar “Masalah Agraria Kontemporer: Tantangan dan Kebijakan Agraria di Indonesia� kerjasama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan -LIPI dengan Konsorsium Pembaruan Agraria

asalah Agraria kekinian semakin rumit dan semakin menguatkan desakan akan pelaksanaan reforma agraria sejati di Indonesia. Kompleksitas masalah agraria ditunjukan dengan semakin banyaknya jumlah kejadian konflik agraria di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Oleh karena itu diskursus mendalam dan menyeluruh tentang masalah agraria serta solusinya harus diintensifkan di berbagai ajang dan lembaga. Salah satu pihak yang melakukan penelitian mengenai isu agraria adalah Tim Penelitian Strategi Pembaruan Agraria untuk Keadilan dan Mengurangi Kemiskinan: Analisis Hukum dan Kelembagaan yang dinisiasi oleh Lilis Mulyani dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan sebagai koordinator penelitian. Selama 2011-2013, tim peneliti menemukan bahwa masyarakat Indonesia masih memandang penting arti

Suara Pembaruan Agraria 21


tanah. Lebih lanjut, akses warga negara terhadap lahan memiliki keterkaitan erat dengan pemenuhan hak, pengurangan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan. Hasil penelitian tersebut disampaikan dalam seminar Masalah Agraria Kontemporer: Tantangan dan Kebijakan Agraria di Indonesia hasil kerja sama PMB-LIPI dengan Konsorsium Pembaruan Agraria di LIPI pada Selasa, 8 April 2014. Keynote speaker dalam seminar ini diisi oleh DR (HC) Gunawan Wiradi yang menyoroti kerumitan (involusi) di segala bidang masyarakat Indonesia. “Menurut teori, involusi ada ambang batasnya, jika dilampaui yang akan terjadi adalah ledakan,” papar Gunawan Wiradi. Pertanyaan yang penting dijawab adalah Bagaimana ‘wajah’ masyarakat pedesaan penghasil pangan, di wilayah-wilayah yang berbeda-beda lingkungan alamiahnya di masa kini?”, tanya Gunawan Wiradi. Tak luput dari analisanya, Gunawan juga mencermati momentum penentuan 2014 ini, yaitu pergantian kepemimpinan nasional. “Momentum ini mengandung peluang dan mengundang harapan. Pertanyaannya, siapapun yang akan muncul sebagai pimpinan nasional, apa dia mampu dan sanggup melakukan langkah terobosan yang mendasar, khususnya dalam kebijakan mengatasi pengelolaan sumber-sumber agraria?” Gunawan Wiradi merekomendasikan beberapa tugas penting pemimpin yang baru, pertama, mendorong perlunya pemahaman yang benar mengenai konsep reforma agraria yang sejati (genuine). Kedua, mendorong adanya kemauan politik, komitmen yang kokok dan konsisten melaksanakan reforma agraria. Ketiga, menyusun kembali kelembagaan yang sesuai bagi pelaksanaan reforma agraria. Keempat, memberikan kesadaran bahwa masalah agraria tidak akan selesai melalui pendekatan ‘tambal sulam’, melainkan harus dimulai dengan program menyeluruh

22 Edisi X/Maret-Mei 2014

dan drastis dari pusat. Kelima, melakukan peninjauan kembali terhadap semua Undangundang yang berkaitan dengan agraria secara serius, teliti tetapi cepat. Agenda seminar ini turut dimeriahkan oleh para pakar dan aktifis yang selama ini fokus pada perjuangan agraria di Indonesia. Laksmi A. Savitri dari Departemen Antropologi UGM sebagai salah satu narasumber yang memaparkan topik transformasi agraria dan perampasan tanah di Indonesia yang diambil dari studi kasus di Merauke, Papua. Laksmi menyoroti konsentrasi dan rekonsentrasi pemilikan dan penguasaan tanah yang ditunjukan dengan koefisien gini yang mencapai 0,41, penurunan jumlah petani gurem, konsesi kehutanan yang mencapai 35,7 juta Ha dan perkebunan yang mencapai 11 juta Ha dan pertambangan 28,27 juta Ha. “Hal itu mengakibatkan perampasan tanah skala luas yang melibatkan modal besar untuk perluasan perputaran modal. Persoalannya ekspansi modal selalu menemukan ruang baru, tapi tidak selalu menyerap buruh bahkan terjadi krisis peluang kerja di pedesaan dan perkotaan,” ungkap Laksmi. Pelaksanaan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) adalah contoh bagaimana mengubah krisis menjadi peluang, namun berakhir krisis. Laksmi mengkonfirmasi temua terjadinya de-agrarianisasi atau de-peasantisation dimana indikatornya adalah Jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) menurun dan terbesar di Jawa, berkurangnya pekerjaan pertanian dan akses terhadap tanah di Jawa, penambahan jumlah konsesi di luar Jawa dan terjadi transmigrasi demi penyediaan cadangan buruh untuk pertanian industrial serta investasi rumah tangga pedesaan pada pendidikan, sejenis SMK/Pendidikan vokasi demi penyediaan cadangan buruh untuk industri. Surya Afiff dari Pusat Kajian Antropologi FISIP UI menyoroti topik Transisi Agraria kaitannya dengan Kerangka Riset untuk


Memahami Kemiskinan. Surya menyatakan “ketimpangan penguasaan tanah dimana sedikit orang saja yang menguasai tanah luas,” papar Surya. Surya juga menyoroti masalah sulitnya orang miskin keluar dari jebakan kemiskinan karena ketimpangan penguasaan tanah. Disamping itu ada fakta lain yang juga bekerja, “pengabaian pertanian akan berdampak pada krisis pangan dan perluasan kemiskinan.” Pemerintah membiarkan orang miskin mencari jalan sendiri untuk keluar dari kemikinannya. “kemana mereka pergi? Menjadi TKI, sektor informal di perkotaan, terjebak perdagangan manusia,” tegas Surya. Menurut Surya Afiff kerangka transisi agraria dalam konteks memahami kemiskinan itulah yang harus menjadi prioritas LIPI ke depan. Sesi kedua seminar menangkat pembahasan mengenai tantangan tata kelola agraria di Indonesia. Iwan Nurdin, Sekjend KPA dalam pemaparan topik korupsi agraria mengatakan bahwa masalah agraria saat ini diperumit oleh persoalan korupsi dalam praktek perampasan tanah-tanah rakyat. “Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa kejahatan korupsi ada di wilayah-wilayah yang terkait dengan penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam,” Ungkap Iwan. Tali temali antara konflik agraria yang terjadi dengan kejahatan korupsi aparat birokrasi agraria di berbagai sektor (kebun, tambang, hutan, pesisir) ini, seharusnya mampu mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama kepolisian dan kejaksaan untuk mulai berkomitmen menjalankan reforma agraria. “Institusi penegak hukum harus dengan sesegera mungkin melakukan penyelidikan secara sungguh-sungguh atas wilayah-wilayah yang selama ini telah dilaporkan masyarakat mengalami konflik agraria dan adanya dugaan kuat kejahatan korupsi di dalamnya,” tambah Iwan.

Dalam kesempatan yang sama DR. Bambang Widjojanto (Wakil Ketua KPK) mengatakan bahwa KPK memiliki rencana strategi 2011-2015 yaitu fokus pelaksanaan tugas antara lain perbaikan sektor strategis terkait kepentingan nasional yang meliputi: ketahanan energi dan lingkungan (energi, migas, pertambangan dan kehutanan); ketahanan pangan, pendidikan dan kesehatan; penerimaan negara (pajak, bea cukai serta PNBP dan bidang infrastruktur). Dalam kegiatannya dalam layanan pertanahan misalnya, KPK telah melakukan Koordinasi, Supervisi dan Pengkajian terkait Kajian Sistem Pengelolaan Administrasi Pertanahan (KPK, 2005); Koordinasi dan Supervisi Layanan Pertanahan (KPK, 20062011); Pemantauan Implementasi Rencana Aksi BPN-RI (2011-2014); Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam – Studi Kasus Penetapan HGU dan HGB (KPK, 2013); Penandatanganan Nota Kesepahaman Bersama (NKB) Kehutanan oleh 12 Kementerian/Lembaga (KPK, 2013). Sementara dari hasil kajian sistem pengelolaam administrasi pertanahan (KPK, 2005); Koordinasi dan supervisi (KPK, 2005-2011); Data pengaduan masyarakat (2004-2010) dan survey integritas (2007-2009) diperoleh kesimpulan bahwa masih terjadi praktek pungli oleh petugas, masih banyaknya praktek percaloan oleh petugas dan belum ada sanksi/tindakan tegas terhadap petugas yang menyalahgunakan wewenang. Kesimpulan tersebut telah disampaikan kepada Presiden RI melalui surat Nomor : B‐204/01‐10/01/2011 Perihal upaya perbaikan pada pengurusan layanan pertanahan di Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Dalam surat tersebut KPK merekomendasikan kepada Presiden untuk mendorong implementasi tindak lanjut atas rekomendasi KPK kepada Badan Pertanahan Nasional dengan memberikan instruksi kepada Pimpinan lembaga

Suara Pembaruan Agraria 23


agar rekomendasi KPK ditindaklanjuti melalui perbaikan nyata di lapangan. Kedua, mendorong Badan Pertanahanan Nasional untuk segera meningkatkan perbaikan layanan pertanahan di Indonesia. Contoh kasus korupsi pertanahan yang ditangani KPK antara lain: Kasus Pusat Olah Raga Hambalang (Penyuapan); Kasus Tanah Kuburan Kabupaten Bogor (Penyuapan dan Mark Up); Kasus Lombok (Penyuapan‐ Libatkan Penegak Hukum); Kasus pembelian tanah melalui Dana Bansos Bandung (penyuapan dan Mark Up) serta Kasus TPPU dan pembelian tanah sebagai placing, layering dan covering.

Melihat kompleksitas masalah agraria kekinian tentu saja tantangan bidang kajian dan riset masalah agraria semakin besar. Tim peneliti LIPI mengajukan rekomendasi agar pemerintah membuat “Dokumen Pelaksanaan Kebijakan Agraria Nasional”. Lebih lanjut tim peneliti LIPI mengungkapkan bahwa dokumen tersebut harus mencakup prinsip keseimbangan aspek ekonomi, sosial budaya, dan keberlanjutan lingkungan. Proses pengelolaan juga harus diarahkan bersifat integratif sehingga dapat mendobrak ego sektoral yang terjadi selama ini. Yang terpenting akses sumber daya agraria harus berwatak kerakyatan yang berkeadilan sosial sesuai amanat UUD 45 Pasal 33 dan UUPA 1960. (GA)

KPA Sulteng: Hutan untuk Rakyat Bukan untuk Pengusaha

K

hutan yang rusak

PA Sulawesi Tengah mengatakan bahwa pemerintah tidak serius dalam menjalankan skema Hutan kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD) dan Hutan Tanaman Rakyat

24 Edisi X/Maret-Mei 2014


(HTR) di Sulawesi Tengah. Hal tersebut disampaikan pada sosialisasi Hutan Kemasyarakatan (HKM) di Restoran Kampung Nelayan (20/05/14). “Saat ini terdapat 1.618 Daerah Aliran Sungai dalam kondisi kritis, hal ini tidak terlepas dari kegiatan perluasan investasi dalam pengelolaan sumber daya alam di sektor Hutan, tambang skala besar dan tambang galian C serta perkebunan sawit di Sulawesi Tengah,” kata Gifvents, Deputi Konsorsium Pembaruan Agraria Wilayah Sulteng. Dia menambahkan, program-program pemberdayaan yang diusulkan sejatinya bukan memberdayakan masyarakat. Ini dibuktikan dengan pendampingan yang tidak serius dan menjadi proyek salah satu instansi terkait. Prakteknya di lapangan terjadi pembentukan kelompok tani dadakan, proyek menanam pohon di wilayah aliran sungai, bantuan lebah madu, gerhan dan bansos. “Ini kemudian malah memicu konflik di tingkatan masyarakat,” ujar Gifvents. Selain itu, dia juga mengambil sampel di Kabupaten Donggala dalam kurun waktu dua tahun terkahir. Kami sudah mendampingi kelompok tani yang ada 6 Desa di 4 Kecamatan yang ada di kabupaten donggala, yang saat ini sedang dalam proses pengusulan Hutan Kemasyarakat (HKM) seluas 7.050 Ha, yang arealnya di cadangkan dalam wilayah Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL). “Hutan sejatinya untuk rakyat bukan untuk pengusaha”, tegas Gifvents Berkas Usulan tersebut sampai dengan saat ini belum di tindaklanjuti oleh dinas kehutanan kabupaten Donggala. Padahal Visi Misi Bupati Donggala yang baru terpilih 2014-2018 salah satunya adalah pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, namun beriringan dengan itu- ada beberapa usulan perkebunan sawit seperti PT Agromas Perdana seluas 20.000 Ha dan pertambangan yang baru maupun usulan lama dan yang sudah dalam status ekplorasi, yang juga muncul diwilayah usulan HKM yang diusulkan oleh masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa pemerintah lebih memilih pengusaha dibandingkan rakyatnya sendiri, padahal rakyat butuh tanah untuk hidup dan bercocok tanam. Apalagi saat ini ada Perpres No 39 tahun 2014 Tentang penyertaan modal asing di sektor tanaman pangan, jika itu terimplementasi maka kita akan krisis pangan dan lahan, karena sebagian besar hasil pangan petani akan diekspor keluar. Dia juga menambahkan KPA Sulteng mengusulkan pada Pemda Donggala agar segera melakukan review kembali izin tersebut dan pemerintah harus berpihak pada petani untuk meningkatkan tata kelola rakyat atas tanahnya secara baik. Sekedar informasi, saat ini ada 450.000 Ha kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Sulteng akan dilepaskan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Hal itu dikeluarkan dengan alasan, bahwa masyarakat sudah eksis di sana, namun disinyalir bahwa pelepasan kawasan hutan tersebut adalah salah satu cara pemerintah melepaskan kawasan untuk diinvestasikan kepada perkebunan dan pertambangan yang menyingkirkan kaum tani. Hanya saja ada pembenaran dengan bungkus “demi pemberdayaan” sehingga dikhawatirkan akan memicu bom waktu ke depannya.(Gvn)

Suara Pembaruan Agraria 25


LINTAS PERISTIWA Dua Tahun Serikat Tani Indramayu

harlah 2 Tahun STI

P

ada perayaan Hari lahir Serikat Tani Indramayu (STI) yang kedua, ribuan petani yang tergabung dalam STI datang ke Desa Sukaslamet, Kec. Kroya untuk merayakan hari jadi organisasi tersebut. Dalam acara tersebut turut hadir kalangan pemuda petani yang tergabung dalam Gerakan Pemuda dan Pemudi (GPP). Acara perayaan hari lahir STI ini dimulai dari pukul 18.30 sampai dengan selesai. Selain anggota STI dan GPP, jaringan nasional yang datang keacara tersebut adalah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang diwakili oleh Iwan Nurdin, Direktur Walhi Jawa Barat yang diwakili Dadan Ramdan dan Aliansi Petani Indonesia (API) yang diwakili oleh Oji. Acara yang dilaksanakan pada 1 Maret 2014 mengangkat tema “Menata Organisasi Menuju Percepatan Reforma Agraria di Indonesia�. Tema ini sesuai dengan kondisi STI yang terus mendapat ancaman pembubaran dari Perhutani, Polsek Indramayu dan preman. Mulai dari pertengahan 2013 sampai Juni 2014, pejuang STI terus dikriminalisasi. Tujuannya adalah untuk melemahkan gerakan STI di basis-basis. Dalam kata sambutannya, Syamsudin yang mewakili Sekjend STI mengatakan, petani STI akan tetap berkomitmen untuk memperjuangkan haknya atas tanah yang selama ini dikuasai Perhutani. Seluruh anggota STI harus belajar dari pengalaman yang lalu untuk membangun organisasi, program-program organisasi baik dalam bidang ekonomi kerakyatan, pendidikan maupun yang lainya harus ditata ulang. Lebih lanjut Syamsudin mengatakan perjuangan

26 Edisi X/Maret-Mei 2014


reforma agraria di Indonesia khusunya di Indramayu tidaklah mudah kerena permerintah pada saat ini tidak pro kepada rakyat petani. Iwan Nurdin, Sekjend KPA, yang juga memberikan kata sambutannya mangatakan bahwa STI mempunyai potensi besar untuk menjadi organisasi panutan bagi petani lainnya di Indramayu. STI sudah mempunyai pengalaman untuk menyikapi tindak intimidasi dari polisi, membentuk solidaritas untuk mengawal sidang teman

seperjuangan yang dikriminalisasi dan memperjuangkan hak atas tanah yang telah dirampas oleh pemerintah. Hal senada juga diungkapkan oleh kawan dari WALHI, Dadan mangatakan STI harus mulai menata produksi dari hulu sampai hilir berkaitan dengan tata kelola lahan garapan peningkatan ekonomi dan pendidikan sehingga selanjutnya STI tidak hanya menjadi organisasi gerakan yang hanya menyelesaikan kasus di lapangan saja. Acara memperingati hari lahir STI ini ditutup dengan Tausiyah Agama.Danang.

KPA Mendukung Pembubaran Kementrian Kehutanan

D

KPA dukung pembubaran kemenhut

alam rangka memperingati hari Kebangkitan Masyarakat Adat sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi (17/03). Elemen masyarakat yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Walhi aksi long march dari Bundaran HI menuju istana Negara dan Kementerian Kehutanan.

Suara Pembaruan Agraria 27


Di depan istana Abdon Nababan, Sekjend AMAN, mengatakan bahwa Putusan MK No. 35/puu-x/2012 tidak dijalankan karena ulah Kementerian Kehutanan. Lembaga Negara tersebut masih belum mengembalikan hutan adat seperti yang dinyatakan Putusan MK No. 35/puu-x/2012. Untuk itu Abdon menuntut kementerian Kehutanan agar dibubarkan karena telah menjadi batu sandungan bagi masyarakat adat untuk menjaga kelestarian hutan. Selain itu, Abdon mengimbau seluruh masyarakat adat agar tidak memilih calon presiden yang telah melakukan perusakan hutan. Dalam rilis AMAN menyebutkan bahwa menteri kehutanan menggunakan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat. Hal ini juga memperlambat penyelesaian RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (PPHMA). Hal yang senada juga disampaikan oleh Iwan Nurdin, Sekjen KPA. Dalam orasinya di depan gedung Kementerian Kehutanan menjelaskan bahwa Kementerian Kehutanan harus segara dibubarkan demi kesejahteraan masyarakat.

“Ada Kementerian Kehutanan, hutanhutan makin habis, hutan makin rusak, tanah-tanah rakyat makin diberikan kepada pengusaha, rakyat dihabisi tanah-tanahnya,” tegas Iwan Nurdin. Idealnya, Kemenhut itu fokus saja kepada usaha perhutanan bukan menjadi penguasa wilayah seperti yang terjadi saat ini. “Sehingga semua komponen pendaftaran tanah, hutan adat, hutan negara itu didaftar,” ujarnya. Kemenhut yang nantinya bertransformasi menjadi Dirjen ini bekerja berdasarkan fungsi tata ruang, tidak lagi jadi penguasa wilayah. “Kemenhut dilikuidasi saja, dijadikan Dirjen Kehutanan,” tegasnya lagi. Pada tahun 2013, KPA mencatat 31 kejadian konflik agraria sektor kehutanan dan dengan luasan areal paling besar sepanjang konflik 2013 dengan 527.939,27 Ha. Jika kita melihat areal izin usaha pertambangan yang ada selama ini didominasi oleh areal pinjampakai kawasan hutan dan areal perkebunan juga merupakan lahan konversi dari kawasan hutan. Maka dapat disimpulkan bahwa kawasan hutan menurut definisi yang dicantumkan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan sesungguhnya merupakan muasal pokok dari konflik agraria yang terjadi. (GA)

Kalah di PTUN: Perjuangan Jalan Terus

P

erjuangan masyarakat Ringinrejo, Kecamatan Wetas, Kabupaten Blitar melalui Pengadilan terjawab sudah. Tanggal 6 Mei 2014, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur memutuskan bahwa lahan seluas 724,23 ha yang menjadi sengketa dimenangkan oleh Kementerian Kehutanan. Alasan PTUN adalah subjek penggugat tidak mempunyai buktibukti yang menyatakan bahwa penggugat memiliki alas hak atas lahan objek gugatan. Dengan dimenangkannya Kementerian Kehutanan oleh PTUN maka konflik lahan antara Paguyuban Petani Penggarap Eks Perkebunan Gondangtapen (P4GT) dengan PT Holcim, secara otomatis dimenangkan oleh PT Holcim. Konflik lahan ini berlangsung sejak ex Perkebunan Gondang Tapen ditunjuk oleh Kementerian Kehutanan sebagai kawasan hutan sesuai dengan SK.367/Menhut-II/2013. Penunjukkan ini merupakan bagian tukar guling lahan Perhutani di Tuban dengan PT Holcim yang ada di Gondang Tapen. Jika ditelusuri, sejak 2009 yang lalu HGU dari Perkebunan Gondang Tapen telah berakhir dan petani yang tergabung dalam P4GT menggarap lahan tersebut karena terindikasi

28 Edisi X/Maret-Mei 2014


kalah di PTUN

terlantar. Namun dengan dikeluarkannya SK Kementerian Kehutanan maka konflik lahan mulai muncul dan petani P4GT melakukan gugatan dengan menunjuk PIL-NET sebagai kuasa hukumnya. Membangun Semangat Organisasi

membangun

Walau PTUN telah memutuskan bahwa P4GT tidak memiliki hak atas atas tanah seluas 724,23 ha perjuangan tidak berakhir. Dari jalur hukum perjungan untuk mendapatkan hak atas tanah garapan masih

dilanjutkan dengan melakukan banding. Di lapangan P4GT siap menghadang pemerintah yang akan melakukan eksekusi dengan merusak tanaman petani. Pada tingkatan organisasi, P4GT mulai berbenah dengan melakukan pertemuan rutin, mengatur keuangan organisasi dan manata manajemen produksi agar lebih baik lagi. Dukungan terhadap P4GT terus mengalir agar bara perjuangan tetap menyala. Dukungan tersebut datang dari KPA, Elasam dan PIL-NET, lembaga-lembaga tersebut datang ke Blitar pada 9 Mei 2014 untuk mengingatkan pejuang P4GT agar tidak patah arang. Mereka memberikan pesan kepada petani P4GT agar tidak melepaskan tanahnya walau sejengkal saja kepada PT Holcim. Selain itu mereka juga menyampaikan agara mendokumentasikan semua kejadian penting, terutama peristiwa lapangan. Hal ini mengingat konflik agraria cenderung terjadi pelanggaran HAM. AGP

Suara Pembaruan Agraria 29


Gerakan Buruh Usung Reforma Agraria:

B

buruh

elajar dari pengalaman Hari Buruh Internasional 1 Mei 2014 Tiap hari, tiap bulan anda dan mungkin saya sering mendengar besarnya Ledakan angka PHK kaum buruh yang pada 2012 saja tiap bulannya tercatat rata-rata di Indonesia sebanyak 18.000 buruh manufaktur dan jasa kehilangan pekerjaan, sementara yang masih bekerja justru dipaksa menerima rendahnya upah, minimnya jaminan social untuk buruh, dibatasinya kehidupan kebebasan berorganisasi dalam pabrik. Tidak benar, kalau Negara menyatakan ada jaminan sosial terhadap kaum buruh lewat UU SJSN, tidak benar Negara telah mengklaim ada perlindungan terhadap kebebasan berorganisasi buat kaum buruh, tidak benar kalo Negara telah mengkalim ada upaya perlingdungan maksimal saat buruh di PHK. Justru yang terjadi adalah Negara telah berpaling muka dari tanggung jawabnya sambil menginjak-injak kaum buruh yang memang sudah terhisap sejak perjanjian kerja ditantadatangani. Buktinya hak-hak dasar, sebuah hak yang seharusnya diberikan oleh negara, justru situasinya tidak seindah dalam teks undang-undang. Namun hak dasar itu bisa diperoleh akibat karena gigihnya perjuangan kaum buruh. Kita bisa belajar dari pengalaman perjuangan, mogok nasional buru pada 3 Oktober 2012 kemarin, perjuangan buruh di Jabotabek saat

30 Edisi X/Maret-Mei 2014


Aksi Buruh Mayday 2014 (Photo-Kent)

melakukan tekanan politik menuntut Hak dan kepastian bekerja lewat aksi massa memblokir jalan Jakarta-Cikampek dan pemogokan 2 hari 2 malam di Depnakertrans beberapa waktu yang lalu, pun dengan berbagai pelajaran yang diajarkan kaum buruh yang bersatu saat mengugat revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan di tahun 2006-2007. Ungkap John Silaban, Sekjend FPBI. Usep Setiawan Anggota Dewan Pakar KPA, menilai usaha pemerintah selama lebih dari empat dekade terakhir ialah menampung kelebihan tenaga kerja produktif asal perdesaan dengan menggenjot pertumbuhan sektor industri. Namun, agaknya usaha ini belum banyak membuahkan hasil. Terbukti, jumlah petani gurem dan buruh tani gurem di negara kita setiap tahun justru terus bertambah. Apalagi cetak biru pembangunan industri nasional bertumpu pada relokasi industri dari negara maju dan utang luar negeri. Tidak mengherankan jika pembangunan industri nasional selama ini tak berelasi dengan pembangunan pertanian dan perdesaan yang dikembangkan.

Fenomena itu dianalisa oleh Iwan Nurdin, Sekjend KPA, “mengatakan bahwa pertumbuhan tersebut tak berkorelasi positif terhadap peningkatan kesejahteraan buruh. Bahkan, pertumbuhan petani gurem dan buruh tani terus meningkat dan menjamin ketersediaan buruh dalam sistem industri pertanian dan perkebunan milik penjajah (kolonial). Inilah yang menjadi salah satu dasar kesimpulan Gertz tentang gejala involusi pertanian dan sharing of poverty pada kehidupan petani Jawa.� “Walhasil jebakan kemiskinan bagi penduduk perdesaan, khususnya buruh tani dan petani gurem, semakin dalam. Tidak ada proteksi dan subsidi bagi kaum buruh tani dan petani gurem, sehingga kehidupan mereka terus memburuk. Lantaran hasil keringat dari bekerja di atas tanah pertanian tak lagi cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, maka migrasi ke luar desa (bahkan ke luar negeri) sering kali menjadi pilihan yang terpaksa mereka ambil, inilah keadaan yang menegaskan bahwa sesungguhnya Rezim SBY tidak pernah peduli kepada rakyat.�

Suara Pembaruan Agraria 31


Tambah Iwan Nurdin, saat orasi di depan ribuan kaum buruh. Dengan persoalan yang demikian berat, menangani persoalan buruh tani dan petani gurem tidak dapat dijalankan dengan pendekatan biasa. Dibutuhkan terobosan kebijakan yang bersifat lompatan jauh ke depan, khususnya tekait pembangunan pertanian dan pedesaan yang dipadukan dengan pembangunan perkotaan yang ramah terhadap rakyat miskin. Perlu ditempuh ialah mempercepat industrialisasi pedesaan sebagai bagaian dari skema industrialisasi nasional dengan dasar pelaksanaan pembaruan agraria atau pembaruan agraria. Pemerintah harus mendesain pembentukan badan usaha milik desa atau milik petani dalam wadah koperasi. Hal ini

didukung penyediaan lahan, bibit, kredit murah, pendampingan, dan infrastruktur lain yang dibutuhkan. Tegas Iwan Nurdin. Kent Yusriansyah Kepala Departmen POR KPA, memberikan catatan penting atas praktek perjuangan kaum buruh yang melakukan aksi massa pada hari buruh Internasional 1 Mei 2014 sebagai pelajaran berharga kepada gerakan tani di Indonesia. Bahwa kaum buruh di Indonesia setidaknya sudah menyadari bahwa reforma agraria adalah bagian yang penting dalam proses menegakkan industrialisasi nasional yang kuat untuk membangun kemandirian, keadaulatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, ini juga mengandung pengertian bahwa gerakan buruh dalam kacamata teori sosial modern adalah pelopor perubahan sosial.(K-Ysr)

Bebaskan Para Pejuang Agraria: Bebaskan Eva Bande, Yohanes dan Anyun!

D

gamar 16 bebaskan eva bande

i ujung periode kepemimpinan SBY-Budiono, rezim semakin represif terhadap para Pejuang Agraria yang membela hak-hak petani atas tanahnya. Kali ini Eva Susanti Bande atau yang akrab disapa Eva Bande dikriminalisasi oleh aparat hukum. Eva Bande adalah pejuang yang konsisten mendampingi warga petani Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah dari gempuran perampasan lahan oleh PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). 15

32 Edisi X/Maret-Mei 2014


Foto Walhi Sulteng: “Massa pengunjuk rasa tuntut Murad Husain ditangkap dan meminta Eva Bande dibebaskan.�

Mei Eva Bande ditangkap di Yogyakarta oleh tim Kejaksaan Negeri Luwuk bekerjasama dengan Kejaksaan Agung dan ditahan di Lapas Luwuk kelas II B. Sementara Murad Husein yang sejak 2010 ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Banggai tidak pernah ditahan sama sekali. Bahkan Kapolres Banggai Ajun Komisaris Besar Polisi Dadan telah mengeluarkan Surat Penghentian Penghentian Penyidikan (SP3) atas tindak pidana yang dilakukan oleh Murad Husain. Padahal nyata-nyata taipan sawit tersebut menerabas kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang dan merampasi lahan-lahan petani Banggai. Sementara itu, di Pontianak, Kalimantan Barat terjadi penahanan secara sewenangwenang lima orang petani pada 5 Mei 2014. Mereka ditangkap dan diperlakukan secara brutal oleh Polisi, Brimob, dan petugas PT Swadaya Mukti Prakarsa (SMP)/PT. First Resources. Kelima korban ialah Kepala Desa Batu Daya Bethlyawan, Ketua Badan Pemusyaratan Desa (BPD) Yohanes Singkul, Antoniyus Sintu, Anyun, dan Jorben Marinel. Kini dua orang masih ditahan di Polda Kalbar yaitu Yohanes Singkul dan Anyun. Mereka adalah para pejuang yang selama ini

konsisten atas perjuangan hak-hak masyarakat adat. Atas peristiwa penangkapan para pejuang agraria di atas serta konflik agraria yang berkepanjangan di Banggai, Sulawesi Tengah dan Pontianak, Kalimantan Barat maka Konsorsium Pembaruan Agraria menyatakan sikap mengecam keras penangkapan dan kekerasan oleh aparat terhadap pejuang agraria: Eva Bande, Bethlyawan, Yohanes Singkul, Antoniyus Sintu, Anyun dan Jorben Marinel. KPA juga mendesak pengusutan tuntas kekerasan aparat keamanan terhadap lima petani pontianak Bethlyawan, Yohanes Singkul, Antoniyus Sintu, Anyun dan Jorben Marinel; KPA mendesak pemebasan Eva Bande, Yohanes Singkul dan Anyun karena tidak bersalah atas segala tuduhan yang dialamatkan. Segala tuduhan terhadap para pejuang agraria adalah upaya pelemahan organisasi rakyat pro reforma agraria yang selama ini konsisten memperjuangkan hak-hak petani. Selain itu KPA juga menuntut penyelesaian menyeluruh konflik-konflik agraria secara tuntas dan menyeluruh dalam kerangka pelaksanaan reforma agraria di Indonesia.

Suara Pembaruan Agraria 33


DINAMIKA KEBIJAKAN AGRARIA

Setahun MK 35: Reforma Agraria dan Hutan Adat

setahun MK 35 AMAN

D

alam agenda peringatan setahun MK 35/2012, KPA turut memberikan refleksi kritisnya terhadap implementasi MK 35 dan hubungannya dengan reforma agraria di sektor kehutanan. Setelah setahun dikeluarkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono belum menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara. Padahal, Keputusan MK.35/2012 memiliki makna bahwa pengakuan negara atas keberadaan masyarakat adat di wilayah hutan adat yang dikeluarkan dari klaim sebagai wilayah hutan negara merupakan sarana penyelesaian konflik berbasis pemulihan hak akibat adanya penetapan konsesi di atas wilayah hutan adat. Hutan adat dapat dijadikan objek reforma agraria dengan subjek utamanya adalah masyarakat adat itu sendiri. Terkait wilayah adat lainnya, masih tersisa persoalan yaitu wilayah masyarakat adat non kawasan hutan namun tidak diatur oleh masyarakat adat sebagai subjek hukum atau berada dalam konsesi usaha semisal kebun dan tambang. Catatan kritis pelaksanaan MK 35 tersebut disampaikan Iwan Nurdin di acara peringatan satu tahun putusan MK 35 di Jakarta, selasa (13/5). Iwan memaparkan bahwa paska putusan MK maka peluang politik semakin meluas, apalagi dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama (NKB) KPK dengan 12 K/L tentang percepatan pengukuhan kawasan hutan yang di dalamnya juga terdapat perluasan wilayah kelola rakyat dan penyelesaian konflik agraria di kawasan hutan. Paska putusan MK, ada UU No 6/2014 tentang Desa yang mengatur penetapan desa adat plus wilayahnya. Namun, yang terjadi sekarang adalah pembangkangan birokrasi khususnya Kementrian Dalam Negeri dan Kementrian Kehutanan atas putusan MK 35. Terlebih lagi, tidak sepadannya peluang politik dan hukum yang semakin luas tersedia dengan realisasi pengakuan hutan adat dan wilayah masyarakat adat lainnya.

34 Edisi X/Maret-Mei 2014


Iwan juga memaparkan sejumlah alasan urgensi reforma agraria di Kawasan Hutan. Pertama, kawasan Hutan Indonesia adalah objek Reforma Agraria terluas (hampir 68 persen daratan telah ditunjuk sebagai kawasan hutan) di Indonesia dan hanya 16 persen yang telah ditata batas. Kedua, kawasan Hutan Indonesia adalah titik dengan ketimpangan struktur agraria tertinggi (perbandingan pengelolaan hutan oleh korporasi dan oleh rakyat sangat tinggi). Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Ketiga, pelepasan, izin usaha pengusahaan, dan izin pinjam pakai kawasan hutan adalah bisnis utama Kemenhut saat ini yang rawan dengan mega korupsi. Keempat, kehutanan adalah sumber utama Konflik Agraria. Data Ketimpangan Agraria Kehutanan mengatakan bahwa Hutan mencakup 136.94 juta hektar atau 69 persen wilayah Indonesia, 121, 74 juta (88%) ha belum ditata batas. Sedikitnya 33.000 desa definitif berada dalam kawasan hutan. 6.400 nya adalah desa di Perhutani. Luas HTI mencapai 9,39 juta ha (262 perusahaan). Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang 631.628 hektar. Luas HPH di Indonesia 21,49 juta hektar dari 303 perusahaan HPH (2011). Kontribusi kehutanan kurang dari 1 persen PDB (FWI 2011). Ada beberapa hambatan Reforma Agraria di Kawasan Hutan, antara lain: pertama, tidak ada komitmen politik menjalankan agenda reforma agraria dari pemerintah; Kedua, Secara hukum, UUPA 1960 tidak berlaku di kawasan hutan, dan penyelewengan pelaksanaan UUPA 1960. Bahkan, UU 41/1999 sesungguhnya menghidupkan kembali “domein verklaring� di dalam kawasan hutan yang telah dihapus oleh UUPA. Ketiga, Organisasi penyuara dan diskursus Reforma Agraria dalam politik kekuasaan masih marjinal dan keempat, reforma agraria dikawasan

hutan kerapkali salah dianggap tidak sejalan dengan agenda Lingkungan Hidup. Mengapa Reforma Agraria Berlaku pada hutan adat? Objek Hutan adat telah tumpang tindih dengan berbagai izin dan konsesi sehingga terdapat konflik agraria struktural yang laten maupun manifest. Kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat adat akibat kehilangan akses terhadap hutan nya. Belum jelasnya objek hutan adat dalam soal tata batas, dan tata guna ke dalam peta. Namun, sebenarnya lebih sulit menetapkan subjek reform untuk jenis masyarakat adat ketimbang objek. Struktur sosial Masyarakat Adat pada wilayah tertentu diwarnai dominasi nilai patriarkhi dan feodalisme. Secara Nasional dan wilayah tidak ada reforma agraria di Indonesia. Namun, dengan menggunakan perspektif lain sebenarnya telah terjadi local land/agrarian reform melalui sejumlah aksi pendudukan dan reklaiming oleh Organisasi Rakyat, dimana pada lokasi tersebut telah terjadi perubahan corak dan relasi produksi atas tanah. Meskipun secara legal belum kuat (masih berproses). Agrarian Reform by Leverage adalah sebuah pelaksanaan reforma agraria berdasarkan inisiatif organisasi rakyat yang potensial dilakukan oleh AMAN pada objek hutan adat. Diperlukan prinsip umum dalam penetapan objek hutan adat sebagai objek reforma agraria sehingga dirumuskan tata guna tanah yang mengacu pada nilai-nilai masyarakat adat yang menjunjung demokrasi dan keadilan sosial. Pengembangan prinsipprinsip universal dalam menetapkan subjek reforma agraria pada hutan adat misalnya non diskriminasi terhadap kaum perempuan dan pemuda. Menetapkan model subjek tertutup untuk masyarakat luar komunitas adat dan model terbuka untuk masyarakat di luar komunitas Mayarakat pengusung reforma agraria harus Mendorong agenda Reforma Agraria

Suara Pembaruan Agraria 35


Pada Pemerintah ke depan dengan membubarkan kementerian Kehutanan dan dijadikan Kementerian Perhutanan. Namun, Agenda Reforma Agraria belum disuarakan secara nyata oleh para kandidat capres yang ada karena kurang dipahami arti pentingnya bagi penyelesaian ketidakadilan struktur

ekonomi dan sosial masyarakat. Pemahaman akan pentingnya agenda reforma agraria terbentur dengan anggapan bahwa Reforma Agraria dianggap sebatas program mempertahankan struktur masyarakat pertanian atau agenda pertanian, bukan agenda transformasi sosial. (GA)

LIPI Berencana Teliti Konflik Tambang

L

embaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam waktu dekat akan melaksanakan penelitian konflik tambang di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Terkait dengan rencana tersebut, Selasa, 25 Februari lalu telah dilaksanakan seminar riset design dengan topik “Ekonomi Politik Pengelolaan Sumber Daya Alam Pasca Orde Baru: Studi Kasus Kabupaten Bima�. Bertempat di Ruang Seminar PDII LIPI Jakarta, puluhan peneliti tampak antusias menyimak paparan design riset konflik agraria dari Tim Pusat Penelitian Politik LIPI. Ketua Tim Penelitian LIPI, Pandu Yuhsina Adaba dalam pemaparannya mengungkapkan, bahwa riset ini berangkat dari identifikasi yang berasal dari studi-studi politik yang mengarah pada peran aktor yang memiliki kuasa atas penguasaan sumber daya alam. “Latar belakang riset ini adalah dari studi-studi mengenai politik pengelolaan sumber daya alam dan konflik, tampaklah bahwa aktor-aktor yang mempunyai akses pada kekuasaan lebih mempunyai kesempatan untuk mengendalikan dan mempengaruhi keputusan terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam menurut kepentingan mereka,� papar Pandu. Lebih lanjut, Pandu mengatakan bahwa pola penguasaan SDA sebagaimana tercermin dalam regulasi-regulasi yang terkait belum dapat menyelesaikan frekuensi konflik berbasis sumberdaya alam yang merupakan akibat langsung dari ketidakadilan terhadap akses untuk memanfaatkannya. Turut hadir sebagai pembahas dalam agenda tersebut, Iwan Nurdin Sekjend KPA. Dalam pembahasannya, Iwan memaparkan masukan-masukan KPA dalam prenelitian

36 Edisi X/Maret-Mei 2014


konflik tambang di Bima. “Riset ini harus secara komprehensif dan kuat dapat menjelaskan mengenai paradigma ekonomi politik Pengelolaan SDA di Indonesia sesuai konstitusi UUD dan UUPA 1960 serta harus dijelaskan juga perjalanan pelaksanaan Ekopol SDA Indonesia Orde Lama, Orde Baru hingga sekarang,” kata Iwan. “Perubahan rezim pengelolaan SDA mempunyai konsekuensi pada perubahan aktor, dan relasi aktor politik dan ekonomi di nasional dan daerah. Konflik kepentingan antara masyarakat politik, masyarakat ekonomi dan masyarakat sipil lainnya salah satunya konflik sebagai fase dari tidak terdamaikannya sebuah kompetisi pengelolaan SDA yang berujung ketidak adilan),” tambah Iwan.

Lebih dalam Iwan menambahkan bahwa riset ini akan lebih baik jika tujuan penelitian dapat menggambarkan rezim ekopol SDA yang berlaku saat ini melalui perbagai peraturan SDA yang ada Pertama, untuk memetakan struktur penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam di Bima sebagai akibat rezim peraturan SDA yang berlaku. Kedua, untuk mengidentifikasi para pihak dan relasinya dalam pengelolaan sumber daya alam. Ketiga, untuk mencari formulasi yang tepat mengenai pengelolaan SDA melalui beberapa aspek diantaranya usulan peraturan perundangan dan hal-hal lain yang diperlukan untuk mengoptimalkan hasil pengelolaan sumber daya alam untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. (GA)

Sektor Pertanian Diobral Murah ke Asing

D

i tengah kebutuhan mendesak akan kemandirian dan konsolidasi modal dalam negeri yang melibatkan tenaga dan modal produktif rakyat petani sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, rezim SBY justru melahirkan kebijakan liberalisasi sektor pertanian. Pada 23 April 2014 lalu, Perpres 39/2014 tentang “Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal” diberlakukan. Pepres tersebut semakin meyakinkan penyimpangan ke arah liberalisasi penuh sistem ekonomi Indonesia. Diakhir periode kekuasaan, SBY justru meninggalkan kebijakan yang akan semakin menyingkirkan petani dan pertanian dari tangan rakyat. Padahal warisan buruknya sudah

Suara Pembaruan Agraria 37


demikian banyak. Sektor Pertanian dalam Perpres tersebut dijadikan salah satu bidang usaha yang diliberalisasi dengan kepemilikan modal asing 30-95% (daftar terlampir). Perpres tersebut lahir dari pelakasnaan UU No 25/2007 Tentang Penanaman Modal yang sangat liberal. Kebijakan tersebut berdampak pada tersingkirnya tenaga produktif pertanian, baik dalam bentuk tenaga produksi tani dan modal. Dibukanya investasi pertanian pangan, industri bibit hingga GMO kepada investor asing, semakin menandakan bahwa rencana pembangunan pertanian nasional kita bukan mentransformasikan petani menjadi pemilik dan pelaku usaha modern yg disupport pemerintah melalui tanah, modal dan teknologi dalam skema reforma agraria. Dibukanya investasi ini akan semakin membawa perubahan aktor pertanian pangan ke arah penguasaan korporasi, ini melanjutkan trend yg telah terjadi, dimana jumlah petani menurun hingga 5,04 juta rumah tangga dan jumlah perusahaan pertanian pangan yg menguasai pangan masyarakat semakin meningkat hingga 5.486 perusahaan (Sensus Pertanian 2013). Di saat kondisi petani Indonesia berada dalam kondisi miskin berat karena berbagai faktor akibat hilangnya peran perlindungan negara, pemerintah justru semakin aktif menyengsarakan petani dengan kebijakan liberalnya di sektor pertanian. Petani akan semakin cepat bertransformasi menjadi buruh tani yang secara modal (capital) tidak dilibatkan sebagai unsur pokok pembangunan nasional. Rezim SBY telah menggagalkan semangat kolektifisme dan sistem ekonomi kekeluargaan seperti yang diamanatkan UUD 1945 Pasal 33 dengan membelokan arah sektor pertanian kepada dominasi modal asing. KPA menilai bahwa rezim SBY telah gagal total membangun industri pedesaan

38 Edisi X/Maret-Mei 2014

berbasis ekonomi kerakyatan yang didambakan oleh UUD 1945 khususnya Pasal 33. Secara substansial KPA menilai bahwa telah terjadi penyimpangan sistematis cita-cita kemerdekaan 1945 oleh rezim SBY dengan mengundang dominasi modal asing dalam sektor-sektor ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak. KPA menilai bahwa dengan mengeluarkan Perpres 39/2014, Rezim SBY telah mengukuhkan diri sebagai perpanjangan tangan penjajahan model baru dengan menyediakan karpet merah bagi jalannya liberalisasi penuh. Pelibatan modal asing yang dominan akan semakin merapuhkan struktur ekonomi nasional yang semakin timpang. KPA menilai bahwa menyerahkan sektor pertanian kepada modal asing sama saja dengan menyerahkan leher kedaulatan dan nasib bangsa ke pada pasar bebas yang liberal. Kami menilai bahwa kebijakan liberalisasi melalui perpres tersebut akan semakin melemahkan kedaulatan nasional, semakin meminggirkan usaha pertanian rakyat, semakin menggagalkan industri pertanian pedesaan berbasis ekonomi kerakyatatan dan semakin menghilangkan modal kekuatan produktif rakyat dalam agenda pembangunan nasional. Akumulasi modal asing akan semakin menjauhkan Indonesia dari kemandirian sebagai bangsa dan mendorong ancaman kerawanan di dalam negeri. Atas uraian di atas, KPA mengecam keras atas lahirnya Perpes 39/2014 dan menyerukan kepada organisasi masyarakat sipil pro Reforma Agraria dan serikat tani di seluruh Indonesia untuk menggugat lahirnya Perpres tersebut. Kami mendesak dicabutnya Perpres tersebut karena akan mewariskan krisis ekonomi dan hancurnya sektor pertanian karena labilnya struktur modal asing ala pasar bebas yang diundang Rezim SBY.


Lampiran 1. Daftar Peraturan Kepemilikan Modal Asing di Sektor Pertanian dalam Perpres 39/2014 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal 1) Kepemilikan modal asing maksimal 49% dengan usaha budidaya tanaman pangan pokok dengan luas lebih dari 25 Ha yaitu Padi, Jagung, Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Tanaman Pangan lainnya (ubi kayu dan ubi jalar) melalui rekomendasi menteri pertanian. 2) Kepemilikan modal asing maksimal 95% dan perizinan khusus Usaha industri perbenihan perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih melalui rekomendasi menteri pertanian. Jenis tanaman antara lain, jarak pagar, tanaman pemanis lainnya, tebu, tembakau, bahan baku tekstil dan kapas, jambu mete, kelapa, kelapa sawit, tanaman untuk bahan minuman (teh, kopi, kakao), lada, cengkeh, minyak atsiri, tanaman obat/bahan farmasi (di luar holtikultura), tanaman rempah lainnya, tanaman karet dan penghasil getah lainnya, tanaman lainnya yang tidak diklasifikasikan di tempat lain. 3) Kepemilikan modal asing hingga 95% dan perizinan khusus Usaha perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih sampai dengan luasan tertentu tanpa unit pengolahan dengan rekomendasi menteri pertanian. Jenis tanaman, antara lain tanaman jarak pagar, tanaman pemanis lainnya, tebu, tembakau, bahan baku tekstil dan kapas, jambu mete, kelapa, kelapa sawit, tanaman untuk bahan minuman (teh, kopi, kakao), lada, dengkeh, minyak atsiri, tanaman obat/bahan farmasi (di luar holtikultura), tanaman rempah lainnya, tanaman karet dan penghasil getah lainnya. 4) Kepemilikan modal asing hingga 95% dan perizinan khusus Usaha perkebunan dengan luas 25 Ha atau lebih yang terintegrasi dengan unit pengolahan dengan kapasitas tertentu. Jenis usaha antara lain: perkebunan jambu mete dan industri biji mete kering dan Cashew Nut Shell Liquid (CNSL); Perkebunan lada dan industri biji lada putih kering dan biji lada hitam kering; Perkebunan jarak dan industri minyak jarak pagar; Perkebunan tebu, industri gula pasir, pucuk tebu dan Bagas; Perkebunan tembakau dan industri daun tembakau kering; perkebunan kapas dan industri serat kapas; perkebunan kelapa dan industri minyak kelapa; perkebunan kelapa dan industri kopra, serat (fiber), Arang Tempurung, debu (dust), Nata de Coco, Perkebunan kelapa sawit dan industri minyak kelapa sawit (CPO), Perkebunan kopi dan industri pengupasan, pembersiahan serta sortasi kopi; perkebunan kakao dan industri pengupasan, pembersihan dan pengeringan kakao; perkebunan teh dan industri teh hitam/teh hijau; perkebunan cengkeh dan industri bunga cengkeh kering; perkebunan tanaman minyak atsiri dan industri minyak atsiri; perkebunan karet dan industri sheet, lateks pekat; perkebunan biji-bijian selain kopi, kakao dan industri pengupasan dan pembersihan biji-bijian selain kopi dan kakao. 5) Modal asing juga bisa masuk sampai maksimal 95% atas rekomendasi Menteri Pertanian untuk usaha industri pengolahan hasil perkebunan, yaitu: Industri Minyak Mentah dari Nabati dan Hewani; Industri Kopra, Serat, Arang Tempurung, Debu, Nata de Coco; Industri Minyak Kelapa; Industri Minyak Kelapa Sawit; Industri Gula Pasir, Pucuk Tebu, dan Bagas; Industri Teh Hitam/Teh Hijau; Industri Tembakau Kering; Industri Jambu mete menjadi biji mete kering; dan Industri Bunga Cengkeh Kereng.

Suara Pembaruan Agraria 39


6) Kepemilikan modal asing maksimal 30% di bidang usaha perbenihan holtikultura, melupiti: perbenihan tanaman buah semusi, perbenihan anggur, perbenihan buah tropis, perbenihan jeruk, perbenihan apel dan buah batu, perbenihan buah beri, perbenihan tanaman sayuran semusim, perbenihan tanaman sayuran tahunan, perbenihan tanaman obat, perbenihan jamur, perbenihan tanaman florikultura. 7) Kepemilikan modal asing 30% di bidang usaha holtikultura yaitu budidaya tanaman buah semusim, anngurm buah tropis, jeruk, apel dan buah batu, beri, sayuran daun (antara lain: kubis, sawit, bawang daun, seledri). 8) Kepemilikan modal asing 30% untuk bidang usaha industri pengolahan holtikultura dan usaha labolatorium uji mutu holtikultura serta pegusahaan wisata agro holtikultura dan Usaha jasa holtikultura lainnya seperti usaha jasa pascapanen, usaha perangkaian bunga/Florist/dekorator, konsultan pengembangan holtikultura, landscaping, jasa kursus holtikultura. 9) Kepemilikan modal asing hingga 49% dalam bidang usaha penelitian dan pengembangan ilmu teknologi dan rekayasa: sumber daya genetik pertanian dan produk GMO (rekayasa genetika) melalui rekomendasi dari menteri pertanian.

Pemerintah Harus Menghentikan Laju Ahli Fungsi Lahan Pertanian

T

idak terjaminnya ekonomi Rumah Tangga Petani (RTP) membuat petani menjual tanah garapannya untuk dijadikan perkebunan, pertambangan maupun bangunan seperti pabrik, hotel dan jalan. Harian Kompas pernah menerbitkan bahwa ditahun 1992-2002 terjadi konversi lahan pertanian 110.000 ha per tahun dan mengalami peningkatan sejak 2002-2006 menjadi 145.000 ha. Jadi bisa disimpulkan dalam kurun waktu 15 tahun terjadi penyusutan lahan pertanian seluas 1,935 juta ha atau 120.000 ha per tahun. Jika kondisi ini tidak ada perubahan maka 65 tahun mendatang luas lahan pertanian Indonesia akan hilang 7,75 ha.

40 Edisi X/Maret-Mei 2014


Untuk mencegah semakin luasnya konversi lahan pertanian di Indonesia maka Badan Pertanahan Negara (BPN) melakukan riset terhadap dinamika dan peluang pengendalian ahli fungsi tanah sawah. Hal ini diakerenakan jumlah konversi lahan pertanian lebih besar dibandingkan dengan jumlah pencetakan sawah baru, yaitu luas konversi lahan pertanian 120.000 ha per tahun, sedangkan luas lahan sawah yang dicetak dalam setahun hanya 60.000 ha. Penelitian BPN ini bertujuan untuk menganalisis dinamika perubahan tanah sawah menjadi non-pertanian, penyebab konversi lahan pertanian, dampak konversi lahan pertanian terhadap petani dan strategi kebijakan untuk mencegah konversi lahan pertanian. Sebelum melakukan penelitian lapangan, BPN melakukan konsinyering pada tanggal 2-4 April di Hotel Oria untuk menyusun desain dan instrument penelitian. Dalam pertemuan tersebut BPN menyampaikan bahwa pengurangan lahan pertanian sejalan dengan menurunnya produksi pertanian dan meningkatnya jumlah produk impor. Indonesia sebenarnya mempunyai UU yang bertujuan untuk mencegah konversi lahan pertanian, yaitu UU No.41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian

“Indonesia di masa datang mau menjadi

negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya�. (Drs.Mohammad Hatta).

“

Pengan Berkelanjutan. Lahirnya UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pengan Berkelanjutan disebabkan oleh dua hal, yaitu semakin kritisnya lahan pertanian yang berproduksi di sektor pangan dan semakin tingginya jumlah produk impor yang masuk ke Indonesia. Menurut Dewi kartika, Wakil Sekjend Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yang hadir sebagai narasumber mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, UU tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan memiliki beberapa kendala. Kendalanya yaitu, pertama rendahnya subsidi kepada petani, seperti pupuk, teknologi dan penyebaran pengetahuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Mahalnya biaya produksi pertanian tentu sejalan dengan tingginya harga jual di pasar dan inilah membuat produk pertanian dalam negeri kalah saing dengan produk luar yang harganya lebih murah. Bahkan desakan dari WTO yang dikenal dengan “Paket Bali� mengharuskan semua Negara anggota WTO harus mengahapus subsidi, termasuk di sektor pertanian. Kedua, Indonesia yang sangat bergantung kepada investasi, khususnya yang dari luar menjadi ancaman terhadap hilangnya lahan pertanian berskala kecil. Ekonomi rumah tangga petani yang tidak mengalami peningkatan, bahkan cenderung mengalami penurunan akan membuat petani berinisiatif menjual tanah-tanahnya. Kemudian mereka akan bekerja menjadi buruh pabrik di kota, menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau merambah ekonomi informal, seperti tukang ojek, supir angkot dll. Melakukan sertifikasi tanah tanpa disertai program pendukung, disektor pertanian akan mempercepat proses penyusutan lahan pertanian. Dengan sertifikat yang sah, memudahkan petani berskala kecil untuk menjual tanahnya. AGP.

Suara Pembaruan Agraria 41


Meninjau Kembali Sistem Kemitraan Perkebunan Inti Rakyat

I

ndonesia mulai menerapkan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR) pada 1977 di Alue Merah, D.I Istimewa Aceh dan Tabalong, Sumatera Selatan. Sistem yang didanai oleh bank dunia ini memiliki tujuan mulia karena ingin memberdayakan petani yang tidak bertanah, bertanah kecil dan petani yang tidak memiliki modal. Namun menjelang berakhirnya era Orde Baru konflik agraria mulai bermunculan kepublik yang diakibatkan oleh sistem kemitraan. Hal ini bisa terjadi karena pola kemitraan tidak memberikan keuntungan kepada masyarakat petani. Berdasarkan SK. Mentan No. 333/kpts/KB.50/6/1986 tentang tata cara pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan pola PIR-Trans, perjanjian lahan kebun inti dan kebun plasma 20:80. Tentu saja angka 80 ada ditangan penyandang, baik dari Negara maupun oleh swasta. Di lapangan juga banyak petani yang terlibat dengan pola inti plasma tidak mendapatkan haknya, misalnya tanah sudah diberikan oleh warga untuk dijadikan perkebunan namun tanah pengganti yang diperuntukkan sebagai ganti rugi tidak diberikan. Warga malahan kerap dijadikan sebagai buruh kasar perkebunan. Banyaknya konflik yang terjadi akibat dari pola kemitraan membuat BPN ingin melakukan penelitian terhadap sistem pola tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah pola-pola kemitraan inti plasma. Sebelum menjalankan penelitiannya, BPN terlebih dahulu melakukan konsinyering untuk menyusun desain dan instrument penelitian. Acara yang berlangsung pada 28-30 April 2014 di Hotel Oria turut juga mengundang Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Hadir dalam acara tersebut Wakil Sekjend KPA, Dewi Kartika, mengusulkan agar penelitian BPN memasukkan tata kuasa, tata guna, tata kelola tanah dan tata produksi ke dalam pembahasan. Dengan demikian kita bisa memahami satu gambaran utuh tentang system kerja pola kemitraan yang berjalan selama ini. Penelitian BPN tentang perkebunan inti rakyat ataupun inti plasma harus bisa membuka kebobrokan sistem yang berkerja selama ini. Dengan demikian maka kita bisa mengetahui pola kemitraan masih relevan atau tidak. Jika kita berkaca pada catatan akhir tahun KPA maka sektor perkebunan merupakan penyumbang konflik agraria terbesar, yaitu 180 konflik agraria dengan luas lahan sengketa 527.939,27 ha. Tingginya konflik di sektor pekebunan bukan tanpa sebab, salah satu penyebabnya adalah kondisi ekonomi petani plasma yang tidak sejahtera. Setelah BPN melakukan penelitian terhadap pola kemitraan maka harus ada satu tindakan konkret yang berpihak kepada masyarakat, khususnya petani inti plasma. Pola kemitraan bukan hanya membuat petani plasma menjual tenaganya dengan murah, tetapi hasil tanamannya juga dujual murah ke koperasi perusahaan, tegas Dewi. (AGP)

42 Edisi X/Maret-Mei 2014


RUU Pertanahan Harus Menjawab Ketimpangan Sturktur dan

Konflik Agraria Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memandang bahwa, RUU Pertanahan harus dibahas dengen kecermatan dan ketelitian yang tinggi. Apalagi, RUU ini dalam naskah akademiknya dimaksudkan sebagai implementasi UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan jawaban dalam menyelesaikan karut-marut pertanahan akibat tak dijalankannya UUPA secara konsekuen selama Orde Baru hingga sekarang,” kata Iwan Nurdin di seminar nasional “Quo Vadis RUU Pertanahan” yang digelar Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta (24/4). Seminar tersebut menghadirkan para pembicara, yakni Sekjen KPA Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia (DPP REI) Eddy Hussy, Aryani (notaris/PPAT), Gunawan (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice), Aris Swantoro (akademisi), dan Eddy M. Leks (pengacara/konsultan Hukum). RUU Pertanahan diharapkan dapat segera mengakomodir soal kelembagaan lintas sektoral yang mengatur pengelolaan sumber-sumber agraria. “RUU Pertanahan harus bisa menjawab persoalan ketimpangan struktur agraria serta maraknya konflik agraria,” Jelas Iwan. Selain itu Iwan juga mengatakan bahwa RUU Pertanahan ini juga sebaiknya membentuk Pengadilan Pertanahan, sebuah pengadilan khusus untuk mengadili kasus-kasus pertanahan. Hal itu didasarkan pada temuan Konsorsium Pembaruan Agraria dengan adanya peningkatan jumlah konflik pertanahan selama lima tahun terakhir (2009-2013). Bahkan, konflik tanah itu telah menyebabkan jatuh korban jiwa. Tahun 2013 jumlah korban tewas sebanyak 3 petani. Tahun 2014 ini konflik agraria telah menimbulkan korban jiwa sebanyak 21 orang. Sebanyak 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan dan 239 orang ditahan oleh aparat keamanan, katanya. RUU Pertanahan Harus Mengakomodir Reforma Agraria Sejati Jika kita menengok ke dalam RUU Pertanahan, ada beberapa kelemahan yang seharusnya segera dijawab dan diselesaikan. Pertama, RUU ini dimaksudkan untuk melaksanakan reforma agraria sebagai solusi ketimpangan atas tanah. Bahkan, secara khusus dibahas dalam bab tersendiri. Sayangnya, reforma agraria yang dimaksud bukan reforma agraria yang genuine. Reforma agraria dalam hal ini operasi cepat dan menyeluruh dalam mengatasi ketimpangan agraria melalui redistribusi tanah (land reform) sekaligus katalisator bagi tumbuhnya

Suara Pembaruan Agraria 43


badan usaha milik desa, petani, nelayan, dan masyarakat marginal lain dalam mengusahakan tanah secara modern. Oleh karena itu, perlu lembaga ad hoc yang dipimpin dan bertanggung jawab kepada presiden dalam melaksanakan program ini, misalnya Komite Nasional Pelaksana Reforma Agraria. Reforma agraria adalah upaya mengurangi ketimpangan dan ketidakterhubungan pembangunan desa-kota, pertanian, dan industri yang selama ini terjadi. Seyogianya hak guna usaha perkebunan, pertanian, perikanan darat, dan peternakan diprioritaskan kembali untuk koperasi/petani sesuai amanat UUPA 1960 dan investasi skala besar pada proses hilirisasi. Sementara akademisi Unika Atmajaya Aris Swantoro mengatakan “Selain itu, RUU Pertanahan itu untuk mempertegas penafsiran ketentuan-ketentuan yang telah diatur di dalam UUPA,” kata Aris Swantoro dalam seminar tersebut. Aspek terpenting dari sebuah hukum justru terdapat di luar hukum tersebut yaitu terkait implementasi hukum dan kebijakan yang dirumuskan di dalamnya, ujar Aris. Bentuk Segera Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria! Jawaban penyelesaian konflik pertanahan yang ditawarkan dalam RUU Pertanahan adalah membentuk pengadilan pertanahan. Hal tersebut mendapat masukan dari KPA. dalam Seminar di Jakarta tersebut. Iwan mengatakan “usulan tersebut akan efektif jika pemerintah mampu menyelesaikan pekerjaan rumah dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanahan dan problem ketimpangan melalui reforma agraria dan menegakkan kelembagaan pertanahan yang kredibel,” ujar Iwan. Dalam kesempatan menjadi Panelis, Iwan Nurdin memaparkan mengenai beberapa strategi menyelesaikan konflik agraria sekaligus menyelesaikan ketimpangan struktur

44 Edisi X/Maret-Mei 2014

agraria. Iwan mengatakan bahwa sebelum menuju pengadilan pertanahan perlu usaha penyelesaian ribuan konflik/sengketa pertanahan seperti kasus Mesuji, Bima, dan lainlain yang tergolong extra ordinary oleh sebuah lembaga transisi sekaligus menjawab keadilan masyarakat dalam proses transisional. Lembaga ini misalnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria yang pernah diusulkan Komnas HAM. Iwan menambahkan, “lembaga ini bertugas mendaftar, melakukan verifikasi, dan pemberkasan kasus yang diajukan masyarakat secara kolektif; memfasilitasi penyelesaian secara win-win; dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian yang akan diputuskan oleh pengadilan (khusus) pertanahan”. tegas Iwan. Sektoralisme Harus Dihentikan RUU Pertanahan belum sungguh-sungguh menghentikan sektoralisme di bidang pertanahan dan membangun kelembagaan pertanahan yang kuat dan dipercaya masyarakat. “Lemahnya kelembagaan pertanahan yang hendak dibangun RUU ini tecermin dari dipertahankannya kelembagaan pertanahan seperti BPN. Dengan begitu, kewenangan tata ruang sebagai cermin utama perencanaan dan tata guna tanah masih akan berada di Kementerian PU; informasi geo spasial masih berada di Badan Informasi Geospasial, dan administrasi hak atas tanah di luar kawasan hutan masih berada di BPN, sementara yang berada di dalam kawasan hutan (70 persen daratan) masih diadministrasi Kementerian Kehutanan,” Iwan menjelaskan. “Seharusnya RUU ini mengusulkan pembentukan kementerian agraria yang mengatur keseluruhan perencanaan, administrasi, informasi spasial, pendaftaran dan hak atas seluruh tanah dalam satu wadah secara nasional,” lanjut Iwan. (GA)


Mengkritisi Program Redistribusi Tanah ala BPN

K

onflik agraria, menurunya ekonomi rumah tangga, terjadinya kerusakan lingkungan dan timpangnya penguasaan lahan disebabkan karena belum dilaksanakannya reforma agraria. Tidak tegasnya sikap pemerintah mengenai reforma agraria membuat agenda ini hanya sebatas isu di masyarakat. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyak petani tidak bertanah dan memiliki tanah kecil, sementara disatu sisi ada korporasi yang memiliki tanah luas bahkan banyak perusahaan menelantarkan tanah garapannya, termasuk perusahaan Negara. Untuk menjalankan reforma agraria sebenarnya sudah diamanatkan oleh UUD 45 yang kemudian diterjemahkan oleh UUPA 1960 dan melahirkan pertauran Perpu No.56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Di tahun 2001 MPR mengluarkan TAP MPR No.IX/2001 yang memerintahkan Presiden dan DPR agar melakukan kajian terhadap UU yang bertentangan dengan pembaruan agraria sehingga ada argumentasi untuk mencabut UU tersebut. Namun sejauh ini niat pemerintah untuk menjalankan semua amanat UUD dan peraturan yang lain belum ada. Badan Pertanahan Negara (BPN) mencoba menginisiasi untuk menjalankan agenda tersebut dengan melaksanakan redistribusi tanah. Walau agenda reforma agraria sebenarnya bukan tanggung jawab BPN secara mutlak dan bukan sekedar bagi-bagi tanah, sikap BPN untuk melakukan redistribusi tanah wajib diapresiasi. Untuk memantapkan program redistribusi tanah, BPN mengadakan satu pertemuan untuk mengevaluasi kerberhasilan dan kegagalan dalam menjalankan redistribusi tanah. Dalam acara tersebut BPN mengundang Sekjend KPA, Iwan Nurdin, untuk menyampaikan pandangannya mengenai redistribusi tanah yang pernah dilakukan BPN bersama KPA di wilayah jawa bagian selatan. Pada kesempatan itu Iwan mengatakan ada tiga (3) temuan dari hasil program ini, yaitu pertama salah subjek, contoh salah subejk ini terjadi di Cilacap karena tidak melibatkan serikat tani yang berjuang untuk mendapatkan tanah. Kedua adalah salah objek, kejadian ini terjadi di Banjaranyar Ciamis. Tanah yang dibagikan bukan area garapan warga dan ketigayang cukup berhasil adalah Kulonbambang, keberhasilan dikarenakan campur tangan organisasi yang kuat. Iwan juga menambahkan agar dalam pelaksanaan redistribusi tanah harus melibatkan petani yang tergabung di organisasi serta melakukan kolaborasi terhadap instansi yang terkait. Model pemberian hak non-individu harus mulai dicoba. Artinya tanah yang diberikan sifatnya kolektif dengan memberikan HGU sehingga tanah yang telah diredistribusi tidak mungkin dijual. Pasca redistribusi perlu dilakukan pegembangan ekonomi dengan membangun satu badan usaha milik petani atau desa. Pasca redistribusi memang sangat diharapkan tingkat ekonomi petani mengalami perbaikan. “Kondisi pertani di Indonesia untuk saat ini memang tidak punya masa depan sehingga banyak orang mulai meninggalkan kehidupan petani,� tutup Iwan. (AGP)

Suara Pembaruan Agraria 45


SOSOK Eva Bande Sang Pejuang Agraria yang Tangguh

Y

ogyakarta, 15 Mei 2014 merupakan hari yang bersejarah bagi pejuang agraria, karena satu rekan seperjuangan kita telah ditangkap oleh tim Kejaksaan Negeri Luwuk bekerjasama dengan Kejaksaan Agung. Perempuan Pejuang agraria yang ditangkap itu bernama Eva Susanti Hanafi Bande atau sering disapa dengan Eva Bande. Eva memang momok yang menakutkan bagi Rezim SBY-Boediono, Pengusaha rakus dan Kepolisian Banggai, Sulawesi Tengah. Sosok Eva Bande telah membangkitkan semangat perjuangan untuk melawan PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) serta membangkitkan semangat gerakan reforma agraria di Sulawesi Tengah. Aktivitasnya dalam memimpin organisasi rakyat untuk memperjuangkan hak-hak petani atas tanah yang dirampas oleh pemodal membara di Sulawesi Tengah. Eva Bande lahir di Luwuk, Sulawesi Tengah pada 1974 dan menamatkan SMA di Luwuk yang kemudian melanjutkan pendidikannya di universitas Tadulako, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Sebelum lulus pada 1998, Eva Bande aktif dalam gerakan mahasiswa yang pada saat itu sangat berseberangan dengan pemerintah rezim Orde Baru. Jadi dunia gerakan bukanlah hal yang asing lagi baginya, sehingga pada 1999 dia bersama kawan-kawan Front Mahasiswa Indonesia Sulawesi Tengah melakukan advokasi untuk membela petani yang ditindas oleh perusahaan tambak di Bantui, Kabupaten Banggai. Pada 2008, Eva menjadi koordinator Front Rakyat Advokasi Sawit (FRAS) yang membuat dirinya semakin mantap untuk melakukan advokasi terhadap petani yang tanahnya terus dirampas oleh pengusaha. Selain membela petani yang terus ditindas oleh Negara dan pengusaha, Eva Bande juga aktif mengadvokasi perempuan korban kekerasan di Sulawesi Tengah. Sejak 2002, Eva Bande telah aktif di Kelompok Perjuangan Kesetaraan Perempuan Sulawesi Tengah. Dia bersama kawan-kawannya terus melakukan pendidikan terhadap kaum perempuan, sampai akhirnya mereka menjadi penggerak perdamaian Poso, yang dikenal dengan “Perempuan Merajut Perdamaian�. Saat ini Eva Bande sedang menghadapi dIkriminalisasi, karena dianggap telah melanggar pasal 160 KUHP. Atas tuduhan ini Eva divonis 4,6 tahun dan dipenjara di Lapas 2B, Luwuk, Kabupaten Banggai. Dalam penjara Eva Bande terus menyuarakan perjuangan reforma agraria dan berharap perjuangannya diteruskan oleh kawan-kawan yang ada di Indonesia, khususnya Sulawesi Tengah. Meskipun dipenjara, Eva tetap mengobarkan spirit perlawanan dan solidaritas terhadap para petani yang memperjuangkan reforma agraria. Dari dalam penjara Eva menuliskan sebuah surat untuk para petani di seluruh Indonesia khususnya kepada petani Karawang yang sedang menghadapi perampasan lahan oleh PT. Agung Podomoro Land yang dibekingi oleh aparat bersenjata dan preman. Berikut cuplikan surat Eva Bande:

46 Edisi X/Maret-Mei 2014


Hormat dan Solidaritas terkuat untuk kalian, Kaum Tani Indonesia, yang terus berjuang tanpa lelah. Terkhusus untuk Petani Karawang, teriring salam duka atas tersayatnya hati kalian. Kesabaran dan keberanian kalian benar-benar telah terbuka ujiannya. Karena harus berhadapan dengan ‘buasnya’ aparatur negara mengawal kepentingan modal. Sejarah mencatat, bahwa rakyat Karawang adalah pejuang-pejuang kemerdekaan. Perjuangan semesta pembebasan telah kalian lakukan lagi dalam alam ‘merdeka.’ Teguhlah pada perlawanan terhadap Imperialisme ‘bangsa sendiri.’ Kembali untuk kesekian kalinya, aparatur negara Indonesia mempertontonkan perilaku biadab menghadapi rakyat. Pengurus negara yang pakaian, gaji, kendaraan dan segala peralatan tempur yang dibeli dari cucuran keringat rakyat itu dipakai untuk mengusir kaum tani dari ruang hidupnya. Alat kekerasan yang disediakan untuk melindungi dan melayani rakyat, justru digunakan untuk menembak rakyat. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara. Seolah menjadi peribahasa kosong makna. Segala diksi patriotisme, sekedar menjadi ungkapan pemanis telinga dalam perlombaan calon-calon penguasa di tanah air ini. Penjara negara yang sedianya dimanfaatkan untuk menghukum koruptor, penjahat, dan aparatur yang menghianati mandat rakyat melalui undang-undang dipakai untuk membungkam dan menghentikan langkah dan gerak perjuangan rakyat. Rakyat yang sungguh-sungguh rakyat, bukan tuan-tuan modal, tuan-tuan penguasa pendusta amanah. Rasa sedih, marah, duka, teriakan, kutukan dan semua yang sejenis ini tidak lagi cukup untuk menegur apalagi menyadarkan penguasa negeri ini, duhai saudara-saudaraku. Penderitaan dari abad ke abad, duka sedih, tangisan, darah yang menetes di bumi persada ini mengusir Kolonialisme-Imperialisme nyata-nyata telah menegakkan NKRI. NKRI dengan demikian adalah buah pengorbanan kaum tani, buruh, dan kaum terpelajar. Semua itu nyata terbukti-niscaya terjadi, meski hanya ‘bambu runcing’. Ya, semua itu karena rakyat bersatu. Rakyat dari berbagai pelosok negeri yang berada dalam satu naungan amanah penderitaan rakyat. Lalu, apa yang ditunggu lagi saat ini? Penderitaan, darah, air mata, belumkah cukup untuk membangun persatuan rakyat semesta tanah air. Merebut kembali hak hidup kita, menegakkan kedaulatan rakyat sejati dengan pemimpin-pemimpin sejati yang terlahir dari ‘rahim’ rakyat. Sekarang saatnya persatuan rakyat dinyatakan dengan sikap, sekali lagi dengan sikaptindak, bukan sekedar selogal perlawanan, bersatulah, bersatulah. Lakukan segera Persatuan Pembebasan Nasional. Ayo tumbangkan segera rezim pendusta, penghianat, fasis, neolib. Bangun Indonesia baru yang berdiri di atas amanah penderitaan rakyat. Wahai kaum Tani Indonesia, bangun..bangun…bangun…bangunlah jiwa raga kalian, rapatkan barisan, tumbangkan rezim bar-bar ini. Sudahilah kezaliman mereka. Sudahilah penderitaan rakyat. Jangan warisi lagi penderitaan kepada anak cucu kita kelak. Wahai kaum Tani Indonesia, jangalah terpecah-pecah. Satukan jiwa-sikap-kekuatankomando kalian. Cukuplah. Sekarang bertindak! Terlalu lama kalian dijadikan alat penguasa pembangkang di negara ini.

Suara Pembaruan Agraria 47


Wahai Kaum Tani Indonesia! Jangan lagi ada rasa takut, sebab itulah kelemahan kita selama ini. Teruslah berjuang, kalian ada soko guru negara ini. Tulang punggung jalannya kehidupan bangsa ini. Tumbangkan rezim neoliberalisme! Ayo penuhi jalan-jalan kota duduki kembali tanah-tanah kalian. Yang selama ini diambil sewenang-wenang oleh mereka. Bungkam-ikat-kurung kembali para komprador itu dan para tuan-tuan yang telah merampas tanah kalian. Hadapi dan singkirkan mereka laksana membuang jauh ke dalam belantara hutan yang penuh dengan segala kengerian. Sebagaimana mereka telah merampas dan mengusir dari tanah-tanah kalian. Doaku dan spirit persatuan terkirim dari balik jeruji besi ini. Tetap teguhlah saudaraku Kaum Tani Karawang. Teguhlah dalam perjuangan sejati kaum tani. Dari balik jeruji ini seruan dan semangat kukirim berjuta-juta hebatnya untuk kalian. Penguasa di sini, sama pula ditempat lain, memenjarakan kami yang menolak tanah dirampas. Berlawanlah saudaraku, kaum Tani seantaro negeri, sebentar lagi akan menjemput kebahagiannya. Dengan segenap jiwa raganya bersama kalian tani Karawang. Salam Pembebasan, Penjara (Lapas II) Luwuk Banggai Sulawesi Tengah 26 Juni 2014

"Aksi para pendukung eva bande dari Front Rakyat Aksi Sawit Menuntut Pembebasan Eva Bande"

48 Edisi X/Maret-Mei 2014


RESENSI JURNAL LANDREFORM: “Menghapus Warisan Buruk Agraria SBY: Rekomendasi untuk Pemimpin Baru� Menjelang pergantian kekuasaan di Indonesia, rezim SBY telah mewariskan berbagi macam carutmarut kondisi agraria di Indonesia. meningkatnya konflik agraria, meluasnya ketimpangan dan semakin hebatnya kerusakan lingkungan tidak dapat diselesaikan oleh pemerintahan SBY. Paradigma pembangunan yang berorientasi pada modal telah melemahkan posisi rakyat terhadap segala bentuk sumber kekayaan alam yang dimliki Indonesia. Bahkan semasa pemerintahan SBY rampasan terhadap tanah-tanah warga semakin massif terjadi. Untuk itu jurnal landreform, edisi perdana yang telah diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengulas berbagai permasalahan agraria di negeri ini dan memberikan rekomendasi kepada pemimpin yang baru nanti, hasil Pemilihan Presiden 2014. Tingginya impor disektor pertanian dan lahirnya UU yang pro terhadap perkebunan dan pertanian skala luas menjadikan telah melahap lahan pertanian skala kecil. Akibatnya banyak petani yang berubah mata pencaharian menjadi buruh pabrik, buruh kebun, tenaga kerja Indonesia (TKI) dll. Program MP3EI yang merupakan agenda utama pemerintah menjadi fokus utama di dalam jurnal landreform. MP3EI adalah program ambisius pemerintah untuk mendapatkan investasi asing dengan membagi Indonesia menjadi enam koridor dengan pengembangan ekonomi khusus disetiap wilayah. Efek dari program MP3EI ini telah menyumbangkan kerusakan lingkungan,baik yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan maupun perkebunan. Dalam tulisan terakhir jurnal landreform memberikan satu rekomendasi agar di pemerintahan yang baru membentuk satu badan khusus untuk menjalankan reforma agraria. Tujuannya untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi selama ini, mengakhiri ketimpangan dan menghentikan kerusakan alam yang selama terjadi. Dalam pelaksanaan reforma agraria harus sesuai dengan UUPA 1960 yang merupakan terjemahan langsung dari UUD 1945. AGP

Suara Pembaruan Agraria 49




52 Edisi X/Maret-Mei 2014


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.