Majalah Online Kopi Sastra Edisi 5

Page 1

Edisi 5/Thn. I/November 2012

Online

Robohnya Surau Kami Malam Sastra Bulan Purnama #2 Perayaan Ulang Tahun ke-4 Kopi Sastra Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 Kemendikbud

AA. Navis Hamsad Rangkuti Amien Kamil

Putu Gede Pradipta Wildan F. Mubarock Welinda Syafri


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

2

Online

WANGI AA. Navis, 5 Amien Kamil, 44 TOKOH Hamsad Rangkuti, 11

LEGIT Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 Kemendikbud, 54 Malam Sastra Bulan Purnama, 64 ULAS Robohnya Surau Kami, 40 Sampul depan:Air Lukisan karya Siswa-siswi Kelas X F4 SMK Farmasi Annisa Cibinong Bogor

REKOMENDASI 68 Online Pemimpin Redaksi-Penanggung Jawab: Presiden Kopi Sastra Wakil Pemimpin Redaksi: Celoteh Jincurichi Pengumpul Naskah: Celoteh Jincurichi, Helmy Fahruroji, Nugraha A. Baesuni Editor: Indri Guli, Sanghitam, Nugraha A. Baesuni. Peliput Berita: Doni Dartafian A., Indra Nugraha, Rahmat Halomoan, Agus Arifin Pemotret: Hady Alvino. Sekretaris: Restu Restiani. Perancang Grafis dan Tata Letak: SangHitam. Ilustrasi Gambar: Wahyudimalamhari, Distribusi: Celoteh Jincurichi, Miftahul Falah, Havid Yazid Al Gifari. Iklan dan Keuangan: Nugraha A. Baesuni, Presiden Kopi Sastra, Qustan Sabar. Surel Redaksi: kopisastra@gmail.com Redaksi Majalah Online terbuka dalam segala bentuk komunikasi berupa tegur sapa, kiriman karya, liputan kegiatan, komunitas sastra/budaya (regional/kampus/sekolah), pengajuan pemasangan Iklan Pustaka Budaya maupun Iklan Umum Komersil melalui surel ke kopisastra@gmail.com, atau pesan pada https://www.facebook.com/kopisastra


3

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

MEJA REDAKSI

LIMUN Perayaan Ulang Tahun ke-4 Kopi Sastra , 16 TUNAS

Welinda Syafri, 31 Wildan Fauzi Mubarock, 46 Putu Gede Pradipta, 51

Ujung Senja Wahyudimalamhari, 57

Mulai edisi 6, Majalah Online Kopi Sastra akan menyediakan Kolom Pembaca yang berisi apa pun yang dituliskan pembaca setia Kopi Sastra. Tulisan bisa dikirim m e l a l u i s u r e l k e kopisastra@gmail.com dengan subjek Kolom Pembaca. Tulisan bebas namun tidak mengandung maksud memfitnah dan unsur pelecehan SARA.

Salam sastra dan Budaya, Alhamdulilah, Majalah Online Kopi Sastra sudah sampai di edisi lima. Tak ada sesuatu yang lebih berarti dari masih banyaknya pembaca majalah ini. Terima kasih kepada para Sahabat yang setia meluangkan waktunya untuk membaca majalah ini. Semakin panjang usia kami, semakin ingin kami menancapkan diri di dunia sastra dan budaya Indonesia. Kami memang bukan majalah legal, bukan pula majalah ilegal. Tapi kami terus berusaha mencari legalitas kami sebagai majalah sastra di Indonesia. Banyak majalah sastra beredar di secara online atau cetak. Sudah pasti mereka merupakan majalah yang memiliki legalitas tinggi di Indonesia. Kami ingin menjadi salah satu bagian dari mereka yang diakui secara undangundang atau diakui sebagai salah satu majalah yang, setidaknya, dibaca dan dinikmati banyak orang. Salam sastra dan budaya. Redaksi Majalah Online Kopi Sastra


WANGI


5

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Si Bangkak AA. Navis

“Semua orang menyalahkan Mayor Udin menyuruh Si Bangkak yang pandir membersihkan pistol berpeluru. Karena tiba-tiba pistol itu meledak ketika lagi dibersihkan dan ketika itu pula isteri mayor yang kebetulan lewat di halaman. Dia tertembak tepat di jantungnya. Dan mati. Begitulah yang tersiar ke mana-mana di seluruh daerah komando Mayor Udin. Maka semua orang pun datang melayat dan menyampaikan rasa ikut berduka cita.�


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

6

Online

Semua orang tafakur ketika jenazah isteri yang tertembak itu dimasukkan ke liang lahat setelah tujuh pucuk senapan menyalvo. Melebihi upacara militer pada waktu penguburan beberapa orang prajurit yang mati dalam pertempuran tanpa salvo demi menghemat peluru. Si Bangkak duduk mencangkung di lereng bukit sambil nanap memandang ke kaki bukit tempat upcara berlangsung. Tak terbaca pada wajahnya apa guratan dalam jatinya, sama seperti sediakala, Seorang saja yang tidak ikut bersedih waktu itu. Yaitu Kepala Desa. Bertahun-tahun kemudian Si Dali tahu, mengapa Kepala Desa itu tidak ikut bersedih. Bertahun-tahun kemudian pula Si Dali menceritakan peristiwa yang sebenarnya terjadi. *** Ketika pasukan Mayor Udin menyingkir ke pedalaman karena kota telah dikuasai lawan, Si Bangkak pun ikut menyingkir. Tak jelas benar mengapa dia ikut ke pedalaman. Dia

bukan tentera. Juga bukan pejabat. Mungkin karena ikut- ikutan saja demi melihat semua orang pada meninggalkan kota secara hampir serempak. Si Bangkak berbadan kekar dengan tingginya sekitar 165 senti. Sedikit orang saja yang sama tingginya dengan Si Bangkak di masa itu. Meskipun demikian, dia bukanlah lakilaki yang menarik. Cirinya khas pada tubuhnya ialah pada kening di atas hidungnya ada daging yang membengkak sebesar kuning telur mentah yang lepas dari putihnya. Karena itulah dia dinamakan Si Bangkak. Kakinya seperti tidak berbetis, hampir sama besarnya dari bawah lutut sampai ke mata kaki. Tapi kaki itu kuatnya bukan main. Tak pernah lelah. Setiap berjalan langkahnya cepat seperti berlari tanpa alas kaki. Dengan langkah seperti itu pula dia pergi bila saja ada orang menyuruhnya. Siapapun dapat menyuruhnya. Tapi jangan harap dia akan mau kalau disuruh membawa barang berat, meskipun dikasi makan atau uang.


7

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Si Bangkak berbadan kekar d e n g a n tingginya sekitar 165 senti. Sedikit orang saja yang sama tingginya dengan Si Bangkak di masa itu. Meskipun demikian, dia bukanlah lakilaki yang menarik.

Si Bangkak mempunyai kepandaian khusus, yang tidak semua orang bisa melakukannya. Dia pintar memijat. Dan lembut sentuhannya. Orang akan terkantuk-kantuk bila seluruh tubuhnya dipijat Si Bangkak. Kepandaian khusus itulah yang menyebabkan Mayor Udin, yang sering masuk angin sangat membutuhkan Si Bangkak. Selama di pedalaman Mayor Udin hampir praktis kurang dur. Ada kalanya dia tidak sempat tidur sampai dua hari dua malam. Kurang tidur bukan karena mengatur taktik dan strategi perang. Melainkan karena keasyikan main ceki, sebagai pengisi waktu yang luang dan panjang karena tidak ada musuh yang datang menyerang.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

8

Online

Sekali waktu Nunung, isteri Mayor Udin, diserang sakit kepala yang amat sangat. Dua aspirin yang ditelannya tidak menolong. Sedangkan Mayor Udin sedang tidak bisa diganggu. Lagi asyik main ceki dalam posisi kalah. Dia marah dipanggil isterinya dari kamar tidur. Sangka Mayor Udin, Nunung lagi masuk angin, seperti yang sering dialaminya sendiri. Yang apabila telah dipijat Si Bangkak selama setengah jam, sakit kepalanya hilang dan kemudian dia tertidur dengan pulasnya. "Bangkak." panggil Mayor Udin. "Unimu sakit kepala. Pijat dia." Tanpa banyak pikir Si Bangkak yang lagi duduk di ambang pintu, segera berdiri. Langsung menuju Nunung ke kamar tidur. Nunung yang tak tahan lagi menderita sakit, dan tahu Si Bangkak disuruh suaminya, lantas berkata: "Ya. Tolong pijat cepat." katanya sambil memberikan botol balsem. Setelah kening dan tengkuknya dipijat, rasa sakit kepala Nunung memang dirasanya

berkurang. Lalu Si Bangkak disuruhnya memijat punggugnya juga, seperti yang biasa dilakukan pada Mayor Udin. Sambil menelungkup dirasakannya benar betapa enaknya pijatan Si Bangkak. Dia pun mulai terkantuk. Sekali merasa enaknya dipijat, kecanduanlah dia. Sejak itu, bila Mayor Udin asyik main ceki di ruang depan, bila sakit kepala Nunung pun datang. Si Bangkak dipanggilnya untuk memijat. Peristiwa itu memang tidak perlu dicurigai. Nunung dan Mayor Udin sepasang anak manusia yang jatuh cinta semenjak masa remaja, samasama cinta pertama. Keduanya dipercaya tak pernah terlibat kasih dengan fihak ketiga dalam situasi apapun. Lagi pula lebih sering ada perempuan lain di kamar itu. Namun selalu jadi bahan olok-olok oleh banyak perwira sampai ke prajurit, dengan mengatakan bahwa mereka lebih suka jadi Si Bangkak saja di masa perang itu.


9

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Nunung lalu berkhayal, apabila Mayor Udin sampai terlelap karena betisnya dipijat, maka dia pun ingin pula mencoba. "Apa salahnya, Si Bangkak, biar laki-laki, dia cuma Si Bangkak. Lagi pula pintu kamar selalu terbuka. Dan ada perempuan lain bersamanya." katanya dalam hati. Nunung keenakan dipijat. Mayor Udin tak terganggu lagi oleh erangan Nunung yang diserang sakit kepala, bila dia main ceki. Namun keduanya tidak tahu bagaimana perasaan hati Si Bangkak setiap memijat Nunung yang berkulit mulus itu. *** Menurut Kepala Desa, dia melihat benar Si Bangkak menodongkan pistol ke isteri Mayor Udin. Lalu menekan pelatuknya. Tapi dia tidak mau mengatakan apa yang dilihatnya kepada siapa pun. Karena tidak ada untung-ruginya menghukum Si Bangkak. Katanya: "Bagaimana pun pandirnya Si Bangkak, dia 'kan seorang laki-laki. Bukan anak kecil ingusan atau orang gaek jompo."

Maka Si Dali dapat merasakan betapa tersiksa hati Si Bangkak setiap memijat perempuan itu. Justru karena bodohnya itulah dia sampai mampu melakukan apa yang tidak mungkin dilakukan oleh lakilaki lain, jika disuruh memijat perempuan muda yang mulus kulitnya. Karena bodohnya itulah dia membunuh setan di kepalanya dengan menembak isteri seorang mayor. 1 Mei 1996 Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padang, Sumatera Barat, 17 November 1924 – meninggal 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-ceplos, apa adanya. (Wikipedia)


DESAIN EKSKLUSIF HANYA ANDA YANG MEMILIKI

Kami desain buku, majalah, kalender, dan segala kebutuhan dokumentasi Anda dengan unik dan eksklusif @WRdesignArt


11

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Hamsad Rangkuti Masih Sakit TOKOH

Sumber gambar: Google Image

Kira-kira, apa yang terjadi bila seorang lelaki yang sendirian di dek kapal melihat seorang wanita bergaun ketat di buritan kapal sedang menangis? Lebih jauh lagi, ternyata diketahui bahwa wanita molek bertubuh seksi itu sedang frustasi karena dicampakkan kekasihnya.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

12

Online

Sumber gambar: thejakartapost.com

Kemudian, wanita itu melepaskan sepatunya, perhiasannya, gaun ketatnya, lalu melemparkan semuanya ke lautan. Ya, wanita seksi itu telanjang sendirian. Lalu, wanita seksi itu berkata kepada satu-satunya lelaki di dekatnya, “maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku dengan bibirmu?� Kira-kira, apa yang akan dilakukan lelaki itu? Itu adalah sepotong resensi cerpen berjudul Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya Di Bibirku Dengan Bibirmu karangan Hamsad Rangkuti. Sejak tahun 2003, Hamsad memasukkan cerpen tersebut kedalam sebuah buku berjudul 'Bibir dalam Pispot'. Buku tersebut mendapat respon yang sangat bagus dari pembaca. Detail cerita sangat tergambar dengan jelas pada setiap cerpen ada pada buku itu. Ya, salah satu ciri khas Hamsad adalah mendeskripsikan cerpennya dengan detail, ringkas, dan kena. Ia diakui sebagai maestro cerpen Indonesia.


13

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Sayangnya, kini Hamsad masih berjuang untuk sembuh dari sakitnya. Lelaki kelahiran Medan yang sangat matang di dunia sastra Indonesia ini masih sakit. Hamsad sempat dirawat di rumah sakit pada Januari 2012. Saat itu, ia harus buang air kecil melalui perut dan makan memakai selang melalui hidung. Dia lalu menjalani operasi pemasangan cincin untuk menormalkan buang airnya. September lalu Hamsad terpaksa pulang ke rumah setelah mengurungkan operasi darurat terkait penyakit prostat yang telah dideritanya sejak dua tahun lalu. Mirisnya, Sang Maestro gagal dioperasi karena tak ada biaya. Sampai tulisan ini diterbitkan, redaksi Kopi Sastra belum menerima kabar kesembuhan Sang Maestro cerpen. Ia masih terbaring di RS Siloam Gleneagles, Lippo Karawaci, Tangerang. Di rumah sakit ini, Hamsad bukan satu-satunya seniman yang dirawat, tapi ada juga Putu Wijaya. Lelaki bernama lengkap I Gusti Ngurah Putu Wijaya yang lahir di Tabanan, Bali, 11 April 1944 ini menderita stroke dan pendarahan pada batang otaknya. Orang-orang yang ingin membantu Hamsad dapat mengirimkan bantuan ke rekening BNI cabang Margonda, Depok, nomor 0106423653 atas nama Hamsad Rangkuti. Terkait nomor rekening ini, redaksi Kopi Sastra mendapat info dari web resmi Tempo. (NAB, dari berbagai sumber)


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

14

Online

HAMSAD RANGKUTI Hamsad Rangkuti, Lahir di Titikuning, Medan, 7 Mei 1943. Setelah keluar dari SLTA sebelum tamat (1964) ia memilih dunia menulis secara autodidak. Terakhir ia menjabat pemimpin redaksi majalah sastra Horison. Pernah menjadi redaktur harian Patriot dan Sinar Masyarakat di Medan (1963-1965), lalu pindah bekerja di Persatuan Produsen Film Indonesia (1966-1968), Majalah Sastra (1968), dan sejak 1969 bekerja di majalah sastra Horison. Karyanya: Lukisan Perkawinan (kumpulan cerpen, 1982), Cemara (kumpulan cerpen, 1982), Lampu Merah (novel, 1988, merupakan pemenang hadiah harapan Sayembara Mengarang Roman DKJ, 1980 dengan judul: Ketika Lampu Berwarna Merah), Kereta Pagi Jam 5 (1994), Mudik (1996), Sampah Bulan Desember (kompas, 2000), Bibir dalam Pispot (kumpulan cerpen, 2003), dan Panggilan Rasul (kumpulan cerpen, 2010). Beberpa karyanya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan diantologikan dalam Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991, Ed. Suratan, Markasan, Kuala Lumpur, Malaysia). Prestasi dan penghargaan yang pernah diterima, antara lain: Hadiah Harapan Sayembara menulis Novel DKJ (1981), Penghargaan Insan Seni Indonesia Mal Taman Anggrek & Musicafe (1999), Penghargaan Sastra Pemerintah DKI (2000), Penghargaan Khusus Kompas atas kesetiaan dalam penulisan cerpen,Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001), Penghargaan Khusus KOMPAS (2001), Pemenang Cerita Anak Terbaik 75 tahun Balai Pustaka (2001), Khatulistiwa Literary Award pada (2002). SEA Write Award (2008.)



Edisi 5 / Thn. I / November 2012

16

Online

Perayaan Ulang Tahun ke-4 Kopi Sastra LIMUN

Dengan sederhana kami merayakan ulang tahun Kopi Sastra yang sampai sekarang masih menjadi komunitas yang sederhana.


17

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

19 Oktober 2012, pukul 19.30, selasar antara gedung FKIP dan gedung FE Universitas Pakuan Bogor. Malam dihembus angin dingin. Beberapa anak muda muslim yang masih dalam keadaan rambut basah air wudhu sedang duduk santai bersama dua gelas kopi hitam yang hangat. Beberapa yang lain telah lebih dulu hangat dengan obrolan-obrolan kecilnya. Ada juga yang tengah melantunkan Get Up Stand Up milik Bob Marley dengan cara sendu. Inilah suasana setengah jam sebelum peringatan ulang tahun ke-4 Kopi Sastra.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

18

Online

Pada malam itu, berkumpullah segenap jajaran kementrian Kopi Sastra menemani presiden serta wakilnya. Tentu, pada malam itu pula hadir komplotan Pohon Kopi demi mewarnai acara. K e t i k a w a k t u menunjukkan pukul 20.15, Nugraha Hura-hura mengawali acara dengan salam dan prakata. Ketika prakata belum tuntas,

datanglah salah satu dosen Sastra Indonesia Universitas Pakuan, Bapak Aam Nurjaman. Kehadiran beliau yang berpredikat akademisi sekaligus penggiat sastra yang bertahan sejak lebih dari 20 tahun lalu hingga sekarang, membuat acara semakin lengkap.


19

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Nugraha Hurahura kemudian m e n y e r a h k a n keberlangsungan acara kepada Presiden Kopi Sastra untuk kemudian ia menyampaikan keinginan dan hasratnya. Ta k b a n y a k y a n g disampaikan Presiden Kopi Sastra dalam pidatonya, malah pidatonya ini cukup 'garing dan hambar'. Mungkin sebelumnya beliau tidak latihan. Atau tim penulis pidato Presiden Kopi Sastra tidak menyediakan teks pidato yang bisa d i p a s a n g d i Teleprompter layaknya SBY atau Obama.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

20

Online

Seperti merasakan kegaringan itu, Presiden Kopi Sastra kemudian meminta dengan memelas (baca: memaksa dengan cara halus) Bapak Aam Nurjaman untuk memberikan ucapan selamat serta wejangan kepada keluarga besar Kopi Sastra. Bapak Aam Nurjaman (untuk kemudian sebut saja Pak Aam) pun beranjak dan berdiri di stage. Bisa ditebak, hanya ada tiga alasan untuk beliau berbicara di hadapan pengurus Kopi Sastra: (1) Merasa terpaksa/ditodong Presiden Kopi Sastra yang semaunya itu; (2) Kasihan pada pengurus Kopi Sastra yang kebanyakan berbadan kurus dan berilmu payah; (3) Merasa terpanggil untuk mendukung dan membantu Kopi Sastra yang seejak empat tahun lalu konsisten untuk berkarya. Alasan ketiga ini yang tentunya diharapkan keluarga besar Kopi Sastra. Amin.


21

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Dalam sambutannya Pak Aam menyampaikan rasa bangga atas beragam hal positif yang selama ini dilakukan Kopi Sastra. Beliau berpesan agar tidak mengurangi sedikit pun tensi semangat yang selama ini terjaga, malah kalau bisa ditambah. Menurutnya, kegiatan-kegiatan seperti ini akan memberikan semangat dan esensi yang luar biasa bagai individu-individu terlibat di masa depan. Bukan asal-asalan Pak Aam menyampaikan pesan tersebut, karena beliau memang merasakan sendiri manfaat dari kegiatan semacam Kopi Sastra ini. Ya, semasa kuliahnya Bapak Aam pun terlibat dengan kegiatan menulis dan kesusasteraan. Salah satu rekan seperjuangannya saat itu adalah Agus R. Sarjono yang kini ternama sebagai Penyair dan pentolan Jurnal Sastra Kritik.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

22

Online

Malam yang sederhana itu menyenyap ketika Pak Aam memimpin doa bersama sebagai ucap syukur dan harapan bersama segenap penghadir acara Ultah Kopi Sastra yang ke-4. Doa berlangsung dengan khidmat, hadirin mengucap syukur dengan cermat dan mengamini lamatlamat.


23

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Setelah pembacaan doa bersama selesai, kemudian tibalah giliran komplotan Pohon Kopi memberikan ucapan dengan caranya masing-masing. Malam yang sederhana itu membuncah dengan diawali pembacaan puisi oleh Nurhadi kemudian Chairil Aray, serta musikalisasi puisi yang dibawakan dua personi Musikalisasi Puisi Diksatrasia yakni Doni Dartafian dan Deden Ganesha Hidayat Nugraha-Hura-hura pun membacakan dua puisi di sela-sela memandu acara.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Acara ditutup dengan mantra yang dibacakan Havid Yazid. Mantra tersebut berisi doa-doa selamat dan bahagia bagi manusia, serta cacian juga kutukan bagi para pembuat nista. Selesainya acara, Kopi Sastra melanjutkan obrolan bersama para Pohon Kopi lainnya. Ditemani kretek dan beberapa gelas Kopi Hitam pekat, kami tulis kembali rencana untuk merajut mimpi-mimpi kami. (NAB)

24


25

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Pasang Aksimu!

Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini hanya Rp. 150.000,-/satu halaman penuh untuk edisi Desember 2012 silakan hubungi: 08567360301 (Wahyu) Atau pindai kode batang ini 085781187826 (Nunu)






TUNAS

Sumber gambar: Google Images


31

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Di Jalanan Malam Ini Welinda Syafri

Kutatap nanar bulan di atas sana. Bull shit! Aku tidak melihatnya. Hanya otak manusiaku yang meyakinkanku bahwa ada bulan di atas sana. Seharusnya ada bulan‌. Seperti yang dikatakan guru astronomiku beberapa tahun yang lalu. Ya, dari mana aku bisa tahu tentang dunia ini kalau saja tidak ada yang memberitahukan. Dari mana aku bisa tahu kalau benda bercahaya di malam hari itu adalah bulan. Ya, ada yang bersudut lima dan itu namanya bintang. Ah, kalau yang ini aku tidak terlalu yakin. Memori terpelajarku bercampur baur dengan gambar-gambar di tanah kering yang sering kubuat bersama teman-temanku lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Benda bersudut lima, dan orang-orang menyebutnya bintang.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

32

Online

Tidak ada bulan atau pun bintang malam ini. Mereka kalah oleh awan hitam yang menyelimuti langit. Awan, itu juga bagian lagian dari memori terpelajarku. Yang jelas, lampu jalanan yang membuat malam ini aku bisa melihat sekeliling. Ada deretan toko yang sudah tutup semua. Di seberangnya, ada kantor pos tua yang terkikis usia dan modernisasi. Masih adakah yang mengirim surat hari ini hanya untuk mengungkapkan perasaannya sementara warung-warung internet bermekaran bak jamur dan menawarkan kemajuan teknologi yang bernama surat elektronik? Klik sekarang, sampai sekarang. Setidaknya itu yang kutahu beberapa waktu lalu ketika menemani tetanggaku ke warnet ujung gang. Aku sudah sering mendengarnya, dari televisi-televisi, koran bekas bungkus makanan, dari omongan orang-orang, tapi baru sekali itu aku melihat proses canggih teknologi itu. Internet, email dan semua yang ditawarkan dunia maya.

“Mas, ada korek?” Seorang laki-laki, tidak lebih muda dariku, tiba-tiba sudah ada di s a m p i n g k u . Te r s e n y u m d e n g a n sebatang rokok yang belum menyala di antara kedua bibirnya yang mulai menghitam. Sorot matanya tidak tajam, tapi begitu dalam, seolah ada hitungan tak terhingga dari hidup yang berenang bebas di dalam kedua matanya. “Ada korek?” laki-laki itu bertanya lagi, melihat responku yang lambat. “Oh, ada Mas.” jawabku buruburu. Kurogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah Zippo tua, milik bapak yang disimpan ibu kemudian diberikan kepadaku. Laki-laki itu menerimanya dan segera menyalakan rokok di mulutnya. Dengan hikmat dia melakukan hisapan pertama, hisapan yang dalam, sedalam tatapan matanya yang sulit untuk kujelaskan. “Mas bukan orang sini ya?” tanyanya kemudian. Segumpal asap keluar dari mulut dan hidungnya.


33

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

“Bukan Mas.” jawabku sambil meraih zippo yang disodorkannya kembali padaku. “Makasih koreknya.” Aku hanya mengangguk. “Ngapain malam-malam ke sini? Nyari siapa?” tanya laki-laki itu lagi. Ya, pertanyaan lumrah. Sedini hari ini, aku masih berjalanan di jalan umum yang sepi, sendirian. Aku tersenyum saja, entah karena merasa dia tidak perlu tahu atau karena merasa malu. Laki-laki itu sedikit terkekeh. Yang ini aku juga tidak tahu kenapa. Apa yang ada di dalam pikirannya tentang aku? Tentang kenapa aku di sini. “Ya sudah. Apa pun yang kamu cari, selamat menikmati malam ini,” ujarnya sambil berbalik dan meninggalkanku. “Sekali lagi makasih koreknya.” Laki-laki itu membalikkan punggung sambil terus berjalan. Ada senyum tersungging di wajahnya. Matanya pun ikut tersenyum dan seperti memenjarakan apa yang baru saja kami lewati. Percakapan singkat barusan, seolah aku bisa melihat itu di matanya,

berenang bersama semua yang telah dipenjarakan di dalam matanya. Aku meringis. “Aku sedang mencari Cinta, Mas.” ujarku setengah berteriak. Aku tidak ingin laki-laki itu berpikiran buruk tentangku. Aku memang tidak mengenalnya, mungkin tidak akan pernah lagi bertemu dengannya. Tapi kalau saja dia bercerita tentang pertemuan denganku malam ini, kepada siapa pun itu, aku tidak ingin ada cerita yang buruk tentangku. Hanya tidak ingin suatu saat ada yang melihat kisahku yang salah berenang di matanya. Laki-laki itu menghentikan langkahnya. Terdiam sebentar sebelum akhirnya membalikkan badannya ke arahku. “Yang kau cari….” ujarnya padaku, sepertinya hanya ingin meyakinkan saja. “Cinta.” jawabku setengah tersipu. “Cinta? Kau sedang mencari Cinta?”


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

34

Online

Aku mengangguk, masih dengan wajah malu-malu. Laki-laki itu mendekatiku. Ah, haruskah aku membagi ceritaku dengannya? Ya, aku sedang mencari Cinta. Ini hari pertamaku mencarinya. Sudah sejak Subuh tadi aku keluar rumah dengan degup yang membara akan kerinduan pada Cinta. Aku ingin bertemu dengannya, dengan Cinta yang kucatat di ingatan paling dalam sejak aku mendengar namanya. “Ini Cinta.” ujar ibuku di tengah malam buta saat dia terbangun karena tangisan kehausan di usiaku yang berbilang hari dan aku mencatatnya. Cinta. Lalu besok, besoknya lagi, besoknya lagi, aku mencatatnya dari mulut ibuku yang sederhana, yang berbalut daster tua dan telah mengenal Cinta dari ibunya, dari siapa pun yang kemudian berkata, “Ini Cinta”. Cinta yang kata ibuku kemudian pergi, dibawa pergi bapak di dalam kopernya dan tak pernah kembali, seperti bapak yang tak pernah kembali. Lalu Cinta kembali. Kekasihku membisikannya pelan ke telingaku, “Ini

Cinta”, lagi, lagi, dan lagi. Tapi ia pun kemudian berkata, “Cinta pergi.” dan aku tak pernah melihat kekasihku lagi. Maka kini aku mencari Cinta. Aku merindukannya. Akan kubawa dia pulang, untuk Ibu dan kekasihku agar mereka bisa berkata, “Ini Cinta.” lagi. Dan haruskah ini kuceritakan padanya yang asing ini? “Buk!” Aku terhuyung ke belakang. Laki-laki itu meninjuku di wajah! “Itu untuk untukmu, dan ini untuk Cinta yang kau cari!” Dia meninjuku lagi, di rahang yang sama. Matanya murka, seolah ada gelombang pasang yang terjadi di sana. Gelombang pasang yang begitu buruk dan menghancurkan. Rasa ngilu mengalir di wajahku. Aku bukan petarung ulung, bahkan bukan petarung sama sekali, tidak pernah terlibat dalam perkelahian apa pun. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak tahu cara menghindar, apalagi membalas semua pukulan itu.


35

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Maka kini aku mencari Cinta. Aku merindukannya. Akan kubawa dia pulang, untuk Ibu dan kekasihku agar mereka bisa berkata, “Ini Cinta.” lagi. Dan haruskah ini kuceritakan padanya yang asing ini?

Tiga kali. Empat kali. Laki-laki itu mengamuk padaku. “Mas....”, rintihku. “Ada hubungan apa kau dengan Cinta? Masih memujanya sedemikian besar?” Mata hitamnya sedang menelanjangiku. Mencoba masuk ke bagian terdalam dari jiwaku dengan membawa gada dan parang. Kenapa dia? Ada apa dengannya? Laki-laki itu menghabisiku. Ya, berita-berita yang kudengar di televisi, di koran-koran, tentang seseorang yang menghabisi orang lain. Kini itu terjadi padaku. Dia masih menyisakan rohku, tapi semua ragaku telah dicabutnya dengan sangar. Aku kehilangan energi, bahkan untuk merintih padanya, apalagi memakinya. Darah segar keluar dari mulut dan hidungku. Aku terkulai lemah di atas aspal yang mulai dingin dibasahi udara malam. Sakit, aku tidak pernah sesakit ini. “Sakit? Kau pikir ini semua sakit?” bentaknya seolah membaca pikiranku. Siapa laki-laki ini? Kenapa dia melakukan semua ini padaku? “Sekarang kau lihat apa itu sakit!”


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

36

Online

Laki-laki itu meraih kakiku dan menariknya. Dia menyeretku. Bisa kurasakan aspal perlahan masuk menembus celana dan kemejaku. Kulitku tergores, melebar dan berdarah. Tuhan, apakah aku akan mati malam ini? “Lihat!” Laki-laki itu berhenti menyeretku, tepat ketika aku hampir saja kehilangan kekuatan untuk menahan semua rasa sakit itu. Dia meraih kerah baju dan mengangkatku berdiri. “Lihat!” ujarnya sekali lagi, buas. Telunjuk laki-laki itu menebar arah ke hadapanku. Sebuah pekuburan. “Itu bapakku, ibuku, adikadikku. Itu istriku, anak-anakku.” Dia menunjuk kuburan itu satu-satu. “Di mana Cinta saat mereka meregang nyawa satu-satu di hadapanku?” Dia bertanya, dengan rahang merapat tertahan. Menebar pandangan dan napas bau amis darah. “Bapakku meregang nyawa di hadapan para dokter yang tengah sibuk makan siang. Ibuku mati saat mencari keadilan buat bapakku. Saudara-

“Di mana Cinta saat mereka meregang nyawa satu-satu di hadapanku?”


37

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

saudaraku mati karena kehilangan penopang hidup. Istriku, anak-anakku mati kelaparan di tengah sawah yang menguning.” Hening. Pekat. “Apa itu Cinta? Di mana dia saat aku membutuhkannya?”, tanya laki-laki itu, lirih. “Cinta itu hanya sebuah omong kosong. Omong kosong! Jadi berhentilah mencari Cinta dan memujanya!” Mata laki-laki itu kini meredup, kelam. Ada rasa sakit yang begitu pekat berhamburan dari matanya. Ya, itulah mata yang memenjarakan semua yang pernah dilihatnya. Mata yang menyimpan seluruh hidup yang ambigu, terkadang bersahabat dan melenakan, di lain waktu begitu kejam dan menindas. Aku menelan ludah, bercampur dengan darah yang sudah tidak berasa lagi. Bukan, itu bukan Cinta seperti apa yang pernah kudengar. Cinta tidak seperti itu. Cinta bukan omong kosong!

Cinta…. tidak. Itu bukan Cinta yang kudengar dari mulut Ibuku, bukan Cinta yang dibisikkan kekasihku ke telingaku. Bukan Cinta yang dibicarakan hidupku. Cinta yang kudengar adalah arwah suci yang mendamaikan bumi. Cinta yang kudengar adalah … Cinta… Apakah itu kamu? Membaca tulisanku ini?

Welinda Syafri, Padang-11 Januari 1984, domisili Bangka Belitung.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

38

Online

Pasang Aksimu!

Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini hanya Rp. 100.000,-/satu halaman penuh untuk edisi Desember 2012 silakan hubungi: 08567360301 (Wahyu) 085781187826 (Nunu) Atau pindai kode batang ini


39

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

ULAS


40

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Robohnya Surau Kami Kengkawan sekalian pasti pernah membaca cerpen 'Robohnya Surau Kami' karya A. A. Navis. Kalau pun belum membaca paling tidak pernah mendengar judul tersebut atau pengarangnya. Kalau memang belum pernah mendengar sama sekali, maka kali ini kami beritahu bahwa cerpen tersebut adalah cerpen monumental yang pernah ada dalam khazanah sastra Indonesia. Cerpen 'Robohnya Surau Kami' ini adalah salah satu cerpen yang paling berpengaruh di dunia sastra Indonesia. Melalui cerpen ini, A. A. Navis tak segan mengkritik "orang-orang beriman" dalam perspektif agama Islam yang konservatif atau cenderung ekstrem dan arabis. Tapi nilai-nilai moral yang disampaikan justru sangat Islami. Bahwa bekerja berarti beribadah, tetapi beribadah saja belum tentu bekerja.


41

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Robohnya Surau Kami yang dimak sud bukan roboh secara fisik, melainkan tata nilai. Hal yang terjadi saat ini di negeri ini. Di akhir cerita, terdapat dialog antara Tuhan dengan sang Ustadz yang menjadi penggalan cerita yang paling mengena. Bila kengkawan belum membaca cerita ini, segeralah membacanya, karena anda akan langsung mendapatkan nilai luar biasa mulia. Profil pengarang Ali Akbar Navis atau yang lebih dikenal publik dengan sebutan AA. Navis lahir di Padang Panjang pada tanggal 17 November 1924.Navis belajar di INS Kayutanam dari tahun 1932 sampai 1943. Sejak tahun 1968 kembali mengabdi untuk lembaga pendidikan yang didirikan oleh Muhammad Syafei itu. Lebih dari 20 buku sudah dihasilkan olehnya. Mulai dari kumpulan cerpen, puisi, novel, kumpulan esai, hingga penulisan biografi dan otobiografi. Pada tahun 1956, ia menulis kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami yang merupakan karya monumental dalam dunia sastra Indonesia. Beliau meninggal dunia dalam usia 79 tahun, sekitar pukul 05.00, Sabtu 22 Maret 2003, di Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

42

Online

Beberapa karyanya yang telah dibukukan adalah: ·

Robohnya Surau Kami (1956)

·

Bianglala (1963)

·

Hujan Panas (1964)

·

Kemarau (1967)

·

Si Gadis dalam Sunyi (1970)

·

Dermaga dengan Empat Sekoci (1975)

·

Di Lintasan Mendung (1983)

·

Dialektika Minangkabau (editor, 1983)

·

Alam Terkembang Jadi Guru (1984)

·

Hujan Panas dan Kabut Musim (1990)

·

Cerita Rakyat Sumbar (1994)

·

Jodoh (1998)

·

Saraswati (2002)

·

Bertanya Kerbau Pada Pedati

Antologi Lengkap AA Navis (2004. Berisi 68 dari 69 cerpen yang pernah dibuat AA Navis semasa hidupnya). ·

(NAB dari berbagai sumber)


43

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

44

Online

Call Its From The Blues Amien Kamil Mereka bilang aku minggu siang yang tak pernah lelah sementara buku jariku sering berdarah Memetik senar hingga sayap jiwaku terbang mencabik senar hingga paruh jiwaku patah Nada itu, selalu membawaku pada musim-musim melewati gurun, lembah, ngarai hingga lorong mimpi Trompet melengking, genderang tambur bergema langkah lars serdadu luka tertatih menahan perih, sehabis perang gerilya Billy Holiday menyanyi, suaranya galau menyalak mengoyak tabir kelam malam "This call its from the Blues!" Ada yang sedang berendam dalam aquarium Di balik podium Imperium itu, ia masih menyanyi lagu lama yang itu-itu juga Sementara kita, masih berdesakan di gheto dan kamp pengungsi, perut diganjal mie instan + nasi basi Warta di televisi, anak jalanan disodomi plus dimutilasi Para penyair masih sibuk diskusi soal diksi wakil rakyat koalisi untuk kepentingan sendiri dan demonstrasi sudah hampir tak punya gigi


45

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

"This call its from the Blues!" Sambil bersandar di tiang listrik trotoar pinggir jalan menyaksikan buruh, pedagang kaki-lima, pelacur serta penganggur bertahan hidup serta mengais mimpi di jantung negri yang penuh korupsi "This call its from the Blues!" Billy Holiday menyanyi, suaranya parau menyalak mengoyak kelam malam Ada yang terjarah, terjajah dan terluka sementara kita disini, terkesima menantikan lokomotif perubahan yang dijanjikan tak kunjung muncul di stasiun harapan 2010 Amien Kamil, lahir di Jakarta 2 Mei 1963. 1983, sempat belajar di Sinematografi Institut Kesenian Jakarta. 1986-1996, bergabung dengan Bengkel Teater rendra terlibat dalam beberapa pementasan di kota-kota besar di Indonesia. 1988, ikut serta dalam “The First New York International Festival Of The Arts”, sempat juga mengikuti workshop di “Bread & Puppets Theatre” di Vermont, USA. 1990, Pentas di Tokyo & Hiroshima, Japan. 1999, Tour Musik Iwan Fals di Seoul, Korea. Lighting Design untuk konser musik Iwan Fals hingga tahun 2002, pentas di seluruh kota besar di Indonesia.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

46

Online

Gerimis Aku Menangis Wildan F. Mubarock

Sumber gambar: Google Images

Aku sangat kagum pada Aminah. Bukan karena kecantikan dan kelembutannya pada setiap pria. Kekagumanku padanya lebih karena kemandiria, ketekunan, dan keberanianya menantang hidup tanpa mampu melihat kehidupan itu sendiri.


47

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Sore itu, langit gelap tak bersahabat. Aku duduk disampingnya dalam bus tanpa alat pendingin dan kepenatan sebagai pewarna. Aku perhatikan Aminah asyik bercengkrama dengan ponsel pintarnya. Entah dengan siapa dia berbincang. Namun yang pasti raut wajahnya terlihat begitu sumringah. Bila diterka-terka seperinya dengan seseorang yang sangat spesial. Itu terlihat dari wajahnya yang memerah serta senyumnya yang melukiskan kebahagiaan. “Mas, bisa bantu saya�?, ujarnya. Kemudian lembaran uang kembalian dari Pak Kondektur Aminah tunjukan padaku. “Ini berapa?�, tanyanya sebari menunjukan uang lima ribu rupiah padaku. Kedua tangan Aminah begitu terampil memisakan lembaran demi lembaran pada saku pakaianya. Ia memang tak mampu melihat tapi mampu mengatasi dengan kecerdasanya. Kecerdasa menuntuntunya untuk tak pernah salah dalam memberikan uang pada Pak Kondektur. Aminah mampu mengingat di saku sebelah mana dia menyimpan lembaran uangnya. Subhanallah.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Sudah hampir satu jam kami bersama, Aminah tak pernah tahu bahwa sosok yang duduk disampinya bukanlah pria muda, melainkan aku. Usiaku sudah senja hampir enam puluh tahun. Aku bahkan sudah beruban, mataku memerlukan kacamata untuk melihat dengan jelas. Tubuhku pun dinaungi kerentaan. Penyakit mudah sekali singgah di tubuh kurusku. Mudah sekali aku lelah, sering kali aku tak kuasa menahan takdir. Menjadi tua dan terus bekerja sebenarnya bukan pilihanku. Sore mulai nampak, Buku pertamaku ada dalam pelukan Aminah. Aku nyaris tercengang karena pikirku untuk apa dia membelinya. Bukankah dia tak bisa membaca karena buta? Ada beribu tanya dalam hatiku. Padahal aku tak pernah memaksakan muridmuridku untuk membeli buku karyaku. Bagiku memaksakan kehendak adalah kebodohan. Seperti bangsa ini yang selalu saja dibodohi bangsa asing atau bangsanya sendiri. Ketidak mampuanku memaksa murid-muridku membuat ketidak-larisan bukuku. Hasilnya, hanya satu buku yang terjual dan pembelinya adalah Aminah. Miris hatiku, tapi aku tak mesti menangis.

48


49

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Sampai detik ini Aminah belum menyadari keberadaan gurunya. Dia masih terlihat asik dengan ponsel pintarnya. Tapi bukan seseorang yang dihubunginya kali ini. Sebuah earphone berbentuk hati melekat pada telinganya. Irama musik mengalun-alunkan tubuhnya yang indah dan penuh pesona. Mesti Jakarta panas, keteduhan irama lagu membawanya dalam kantuk dan ketenangan jiwa. “Bruuk...!�, Kemudian buku karyaku terjatuh persis di sebelah kaki kiriku. Spontan aku membungkuk dan mengambil buku Aminah yang merupakan buku karyaku. Sebuah tulisan di halaman pertama terbaca oleh mataku yang jail persis di bawah nama Siti Aminah. “Untuk guruku, untuk pelitaku, untuk mataku, untuk terangku, Maaf, Aminah tak bisa membacanya Pak, tapi Semoga..., pulang nanti Bapak ada ongkos.

Wildan Fauzi M.

Lahir di Bogor 7 Desember 1984. Aktivitas saat ini adalah sebagai dosen di Universitas Pakuan Bogor.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

50

Online

Pasang Aksimu!

Kami sediakan space iklan (non iklan baris) murah di sini hanya Rp. 150.000,-/satu halaman penuh untuk edisi Desember 2012 silakan hubungi: 08567360301 (Wahyu) 085781187826 (Nunu) Atau pindai kode batang ini


51

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Putu Gede Pradipta

Atap Bila hujan yang menjadikanmu pucat Langit muram selalu saja meratap Aku bersedia tumpas sampai menguap 2010

Putu Gede Pradipta

Burung Menguasai dahan juga rimbun awan Belum pasti adalah letak jawaban Sampai hutan bersedia dikembalikan 2010


52

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Putu Gede Pradipta

Laut Siapa yang akan diabukan kembali Melarutkanmu seorang diri Benar kau menangis sepanjang hari 2010

Putu Gede Pradipta

Buku Jangan membuka kami yang pemalu di rak Harga-harga tetap memperjuangkan kami Di mana uang mempunyai kemauan sendiri 2010

Putu Gede Pradipta lahir di Denpasar, 18 Putu Gede Pradipta Desember 1988. Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Dwijendra Denpasar


53

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

54

Online

Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 Kemendikbud

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan acara Puncak Bulan Bahasa dan Sastra 2012 di Gedung Samudera, Rawamangun Jakarta, Selasa, (30/10). Berbagai telah dilaksanakan selama satu bulan pada bulan Oktober 2012 ini, mengangkat tema "Bahasa Indonesia Perekat Kerukunan Hidup Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara".


55

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Dalam sambutanya, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Mahsun mengatakan, bahasa adalah sarana komunikasi bagi masyarakat yang menyepakatinya. Dengan dasar tersebut, bahasa diidentifikasikan seperti organisme. “Oleh karena itu bahasa memiliki arti yang penting bagi kehidupan kita, karena Bahasa Indonesia adalah bahasa yang mempersatukan kita" kata Mahsun. Tujuan bulan bahasa dan sastra 2012 adalah menumbuhkembangkan kecintaan masyarakat terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Hal itu mengingat bahwa tatanan kehidupan global yang dihadapi saat ini mengharuskan semua komponen masyarakat untuk lebih memperkuat kerukunan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Bulan bahasa dan sastra tahun ini melibatkan siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum. Adapun kegiatan yang dilakukan meliputi Pemberian Penghargaan Adibahasa, penilaian penggunaan bahasa Indonesia di media massa cetak (tingkat nasional), debat bahasa antarmahasiswa se-Jabodetabek dan Banten, pemilihan Duta Bahasa (tingkat Nasional), parade mural cinta Bahasa Indonesia, sayembara penulisan proposal penelitian kebahasaan dan kesastraan ( tingkat nasional), sayembara penulisan cerpen remaja (tingkat nasional), lomba keterampilan berbahasa Indonesia bagi peserta BIPA ( tingkat nasional), dan festival musikalisasi puisi bagi siswa SLTA se-Jabodetabek. Sumber: kemdiknas.go.id/kemdikbud

56


57 47

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Online

Ujung Senja Sedikit ulasan untuk pembelajaran di sekolah

Ulasan

Mengenal Seni Oleh Wahyudimalamhari


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

58

Online

Mengenal Seni Wahyudimalamhari

Sumber gambar: Google Images

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur� dalam bahasa Indonesia


59

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Seni atau kesenian merupakan bagian dari kebudayaan. Yaitu gagasan manusia yang diekspresikan melalui pola kelakuan tertentu sehingga menghasilkan karya yang indah dan bermakna. Bentuk kesenian adalah (1) Pengetahuan, gagasan, nilai-nilai yang ada pada pikiran manusia; (2) Pola kelakuan tertentu untuk mewujudkan gagasan; (3) Hasil kelakuan yang berupa karya seni. Sebelum beranjak kepada materi seni lebih lanjut. Baiknya kita mengenal sejarah kesenian terlebih dahulu. Terutama mengenai sejarah kesenian di Indonesia.

Sumber gambar: Google Images

Sejarah kesenian Indonesia, dalam perkembangan periodisasinya telah mengalami berbagai kemajuan seiring dengan kompleksnya kebudayaan itu sendiri yang cenderung melesat tajam. Pada dasarnya, kesenian di Indonesia mempunyai lima tahap periodisasi kronologis yang juga mewakili tahapan kesenian lain yang tidak termaktup di dalamnya. Sedangkan periodisasi itu adalah:


Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

1. Masa Prasejarah Pada masa ini dibagi menjadi empat masa; pertama, Zaman Batu Tua (Paleolithic), dalam masa ini peninggalan-peninggalan seni yang paling menonjol adalah alat-alat batu yang dipecah secara kasar, seperti; alat pemotong, penumbuk serta kapak. Kedua, Zaman Batu Pertengahan (Mesolithic), karya seni yang penting di jaman ini adalah; lukisan-lukisan pada dindingdingding batu terutama di bagian timur dari kepulauan. Ketiga, Zaman Batu Baru/ Akhir (neolithic), peradaban manusia yang telah mengenal pertanian dan kelautan telah melahirkan alat-alat seni yang berupa; gerabah, pembuatan kain dari kayu, pembentukan kayu dan batu yang telah dikembangkan kemudian alat mata panah dari batu, lumpang dan alu, beliung halus, hiasan dari kerang dan biji binatang serta manik-manik. Pada zaman Megalith peninggalan kebudayaan yang cukup penting adalah; menhir peringatan, tempat duduk nenek moyang, altar di atas diatas bangunan berundak, peti dan sarkofagus serta patung-patung dan figur-figur yang dipahat dari batu-batu monolith besar. Dan yang terakhir Zaman Perunggu, peninggalan kesenian penting yang telah diwariskan adalah; ketrampilan dasar nenek moyang dalam peleburan logam serta pandai dalam lahirnya berbagai pandal logam yang telah mewarnai pada masa ini.

60


61

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

2. Masa Datangnya Hindu dan Budha Masa yang mulai penuh warna. Mengapa? Karena pada masa ini nusantara mulai berani untuk bersentuhan dengan pelbagai dunia asing yang masuk melalui pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di tanah air. Semisal dengan adanya asimilasi serta adaptasi kebudayaan India. Perkawinan antar pedagang pendatang dengan peribumi atau warga asli telah melahirkan sebuah kebudayaan maju nan komplek yang mampu berbicara banyak pada masa itu. Pun juga dengan pertukaran barang-barang mineral dan logam sebagai tanda jasa baik alat pembayaran karena barter masih menjadi opsi mutlak ketika sistem uang belum banyak dikenal oleh khayalak penduduk setempat. Pun juga dengan menjamurnya berbagai patung-patung Budha dalam berbagai dewa-dewa yang diyakini dalam aliran kepercayaan mereka. Pendirian candi-candi kemudian monumen-monumen, batuan artefak. Dan beragam pakaian serta perhiasan, senjata alat instrumental, musik, tari-tarian serta tingkah laku pendeta. Sedangkan pada bidang seni rupa; bangunan candi pada dinding gerbang pemendian seni.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

3. Masa Islam Keajaan-kerajan Islam yang muncul pertama kai di Sumatra telah memberi aroma lain pada perkembangan seni di nusantara. Namun dalam hal ini perkembangan kesenian yang terjadi di Indonesia lebih terfokus pada kesenian yang terjadi pada masa Islamisasi di Jawa. Kita melihat bagaimana peran yang sangat sentral dari sembilan wali yang telah mencoba mengislamkan penduduk Jawa tak hanya dari segi religi namun juga dalam kesenian. Ini dapat terlihat pada mulai munculnya kesenian gamelan, wayang kulit/ orang dan ketoprak yang tetap digemari hingga sekarang. 4. Masa Orang-orang Eropa Bangsa-bangsa barat yang mulai merambah nusantara dari Portugis hingga yang terakhir Jepang, telah meletakkan dasar pemikiran keseniannya dalam perangai seni dan kesenian hampir di segala sektor. Semisal Portugis yang hanya singgah dalam beberapa tahun telah mampu dan sukses menularkan tradisi musik keroncong hingga sekarang, meskipun dalam awal penyusupannya hanya difokuskan di wilayah Indonesia bagian timur. Kemudian bangsa Belanda yang mulai menunggangi nusantara juga sngat getol dengan lukisan, puisi, menggambar dan berbagai cinderamata yang diberikan untuk raja-raja yang mau ikut tunduk kepada kebijakan pemerintahan kolonial.

62


63

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

5. Masa Kemerdekaan Indonesia yang telah merdeka mempunyai hak penuh dalam mengelola keseniannya. Berbagai aliran seni telah lahir dan berkembang pada masa ini. Pelukis-pelukis kenamaan dari Jawa dan Bali telah hadir dan memberi warna segar dalam perkembangan seni di tanah air. Basuku Abdullah, Afandi dalan seantero nama-nama orang besar dalam perkembangan seni di nusantara. Pun juga denga seni-seni yang lain yang tak kalah hebatnya mulai merambah dalam berbagai sektor. Pertunjukan, drama, opera hingga musik (dangdut) telah menjadi komoditi utama dalam menyerap masa yang begitu getolnya mengkomsumsi aliran musik ini. Namun tentu saja perkembangan musik ini tidak berhenti hingga ini saja. Seiiring dengan berjalannya waktu perkembangan seni di nusantara tetap akan hadir senafas dengan semakin kompleksnya masyarakat yang begitu butuhnya akan keberadaan seni. Semakain tinggi tingakat pemikiran mereka, maka semakin maju pula keingginan mereka untuk mewujudkan seni yang mandiri, kompleks dan penuh inovasi. Wahyudimalamhari adalah nama pena dari Wahyudi. Lahir di Bogor, 5 April beberapa tahun lalu. Setelah lulusan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia jurusan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Pakuan Bogor, ia melanjutkan studi di jurusan Administrasi Pendidikan pada universitas yang sama, Saai ini bekerja sebagai guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMK Binantara dan PT. Bintang Pelajar juga mengajar Seni dan Budaya di SMK Annisa.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

64

Online

Malam Sastra Bulan Purnama #2

Sumber gambar: mediasastra.com

Kamis 10 november 2011, bertempat di pendopo Tembi Rumah Budaya, Malam Sastra Bulan Purnama #2 (MSBP) dilangsungkan. Tema MSBP #2 adalah “Membuka Hati Membaca Puisi�. Acara yang diselenggarakan setiap malam bulan purnama, untuk kali ini memilih para penyair wanita untuk membacakan puisi-puisinya.


65

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Acara dimulai pukul 20.10 WIB, terlambat 40 menit dari yang dijadwalkan. Acara dibawakan oleh Ons Untoro yang juga selaku direktur Tembi Rumah Budaya. Dalam pengantarnya, Ons mengatakan bahwa acara Malam Sastra Bulan Purnama kali ini sengaja diselenggarakan di pendopo Tembi Rumah Budaya, bukan di amphiteater seperti MSBP sebelumnya untuk mengantisipasi hujan. “Kalau hujan, penyairnya bisa lari, tapi alat-alat (soundsystem) nya tidak,� jelas Ons Untoro. MBPS #2 dibagi menjadi 3 sesi, sesi pembacaan puisi, musikalisi puisi, dan ditutup dengan sesi spontanitas. Dalam sesi pembacaan puisi, ada 12 penyair wanita dari 15 penyair yang dijadwalkan hadir memeriahkan acara. Kedua belas penyair ini membacakan puisi ciptaan mereka sendiri. Adalah Eko Purwati, seorang sastrawan yang aktif pada tahun 80-an yang mendapat giliran pertama membacakan empat puisinya: Ini Hariku, Sajak Mimpiku, Sajak Malamku dan Maafkan Aku. Disusul kemudian Ririe Rengganis, penyair asal Surabaya yang membacakan tiga puisi, yaitu Pada Lorong Rumahmu, Musim Gugur di Beranda dan Terimakasih untuk Opah. Yang ketiga, Diah Ayu, penyair asal Solo, membacakan Senandung Malam, Terpenjara, dan Jiwa Merapuh. Selanjutnya secara bergiliran ada Retno Iswandari, mahasiswi Magister Ilmu Sastra Universitas Gadjah Mada membaca dua puisi: Riwayat Dosadan Merah Hidup dan Merah Waktu (Pada Iwan Simatupang), dan Okti Muktini yang membacakan satu puisinya berjudul Pahlawan Devisa.


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

66

Online

Sumber gambar: mediasastra.com

Usai selingan musikalisasi puisi Andaikan Aku Jadi Hujan yang dibawakan oleh Budhi Wiryawan, pembacaan puisi dilanjutkan oleh Umi Kulsum dengan puisinya, Kapal Retak dan Mengingatmu. Lalu disusul oleh Mutia sukma, penyair termuda diantara penyair yang hadir malam itu membaca 3 puisinya:Firman, Sumpah, dan Usaha Mengenang dan Herlinatiens, novelis yang membaca 3 puisi (yang ia sebut dengan catatancatatan facebooknya) yaitu Lohgawe, Mata Hujan, dan Berlarian dalam Hujan. Selanjutnya Abidah El Khalieqy, mendeklamasikan nukilan novelnya yang terkenal Perempuan Berkalung Sorban. Dan yang terakhir adalah Naomi Srikandi, aktor dan sutradara teater dengan puisinya: Ulang Tahun Superman,AH!, dan Sundal.


67

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Usai Naomi membacakan puisinya, Ons Untoro membuka sesi spontanitas. Beberapa hadirin yang datang saat itu pun ikut unjuk kebolehan dengan membaca puisi mereka masing-masing. Diantaranya, Septiana dengan puisinya yang berjudul Senja di Parangtritis, Farukh HT dengan puisinya, Rindu. Adapula seorang tamu dari Difabel community dengan musikalisasi puisinya Nota Kesepahaman. Selain itu ada pula Slamet Riyadi dari PSK (Persada Studi Klub) dengan puisinya yang berjudul Mengenang Toto Sudarto Bachtiar. Acara MSBP #2 ditutup dengan musikalisasi puisi oleh Ikun Sri Kuncoro dan paripurna pada pukul 22.00 WIB.

Sumber: mediasastra.com


Edisi 5 / Thn. I / November 2012

68

Online

REKOMENDASI Judul: Aku Jalak Bukan Jablay Penulis : Aira Miranty Dewi Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Terbit: 2012 Tidak mudah jadi orangtua tunggal. Masyarakat memandang sinis status janda (single parent). Kenapa jadi janda disebut aib, apalagi kalau si janda ini cantik dan merawat diri? Novel ini menjawab pandangan itu berdasarkan kisah nyata yang pernah dialami oleh Aira Miranti Dewi. Ia sudah 14 tahun menjadi orangtua mandiri (single parent) bagi kedua anaknya. Judul: Wali Sanga Penulis: Damar Shashangka Penerbit : Dolphin Terbit : Oktober 2012 Ketika Majapahit hancur oleh serangan DĂŞmak pada tahun 1478, tanah Jawa penuh dengan pergolakan. Masa itu adalah masa penyebaran Islam secara besar-besaran. Majelis Wali Sanga, selaku wadah besar para ulama, didukung pemerintahan Islam di pesisir utara, mulai merambah ranah politik. Bahkan Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama leluhur, Siwa Budha, yang masih banyak disimpan penduduk Jawa. Karena merasa ulama seharusnya hanya berperan sebagai pencerah dan pembimbing pemerintah dan masyarakat, Syekh Siti JĂŞnar menyatakan diri keluar dari Majelis Wali Sanga. Para ulama di Jawa pun di ambang perpecahan.


69

Edisi 5 / Thn. I / November 2012 Online

Kami mengundang semua pembaca Online

untuk memberi kritik dan saran agar kami bisa lebih baik Kami juga mengundang semua pembaca untuk mengirimkan karya, liputan kegiatan, komunitas sastra/budaya (regional/kampus/sekolah), pengajuan pemasangan Iklan Pustaka Budaya maupun Iklan Umum Komersil melalui surel ke kopisastra@gmail.com, atau pesan pada https://www.facebook.com/kopisastra Sebagai upaya melestarikan Majalah Online Kopi Sastra, kami pun mengundang para pembaca untuk turut serta membantu kami dengan berdonasi kepada Majalah Online Kopi Sastra.

D o n a s i

Klik!



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.