3 minute read
Buruk Muka Cermin Dipecah-eh Dibelah!
Naluri kemanusiaan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro, Prof dr Zainal Muttaqin SpBS (K) PhD, terusik ketika melihat dan mendengar pernyataan Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi
Advertisement
Sadikin dalam sebuah potongan video TikTok, yang menarasikan perbedaan kasta antara dokter dan perawat.
DI S E B U T K A N dalam video yang diunggah akun @drtonysetiobudi, yang kemudian viral itu, menteri menyebutkan bahwa (di Indonesia) perawat itu ‘pesuruh’, hampir mirip dengan ‘pembantu’ (Asisten Rumah Tangga)-nya dokter. Sedangkan di luar negeri, perawat dan dokter itu sama kastanya, bekerja dalam sebuah tim Menurut Zaenal Muttaqin pernyataan tersebut cukup problematik Ia yang mengaku seorang warga masyarakat biasa, bukan golongan darah biru, dari keluarga pedagang pasar yang berke- lah di teran telah dokter asa rernah yang digelar DPW PPNI Jawa Tengah dalam rangka HUT ke-49 PPNI, di Semarang
Dalam tanggapan terbuka yang dituliskan
Kumparan com, Zaenal Muttaqin, menuliskan saat periode tahun 1970-1980, pekerjaan perawat di semua RS diisi oleh para nakes paramedis lulusan sekolah pendidikan keperawatan (SPK) yang setingkat dengan SMA, sedangkan para dokter di rumah sakit semuanya adalah lulusan FK (setingkat universitas)
Meski demikian, tidak mungkin dokter menjalankan profesinya kalau bukan karena hadirnya perawat selaku pelaksana dari semua instruksi pengobatan untuk para pasien Bahkan pada umumnya perawat jauh lebih terampil dalam beberapa tindakan teknis yang rutin dilakukan seperti memasang infus pada anak
Jadi menurutnya profesi Keperawatan di Indonesia dan di dunia betul-betul mengalami transformasi dan peningkatan kualitas SDM yang bisa dibilang mengagumkan (bahkan mencengangkan) dalam tiga dekade terakhir ini
Pada tahun 1980-1990-an, para perawat lulusan SPK digantikan oleh adik-adiknya yang lulus dari akademi keperawatan (setingkat D3) Bahkan sejak memasuki abad 21, para perawat lulusan akademi ini secara pelan tapi pasti digantikan oleh mereka yang berpendidikan setingkat S1 ditambah pendidikan profesi ners, setara dengan para dokter lulusan dari Fakultas Kedokteran dan ada yang menjadi guru SMA
Setelah menyelesaikan sekolah dokter di tahun 1983, ia berkesempatan sekolah spesialis, sekaligus menyelesaikan sekolah tingkat S3 di Jepang selama 6 tahun
Perjalanan hidup selama masa pendidikan serta berkarier sebagai praktisi medis telah memberinya pengalaman berinteraksi langsung dengan para dokter dan banyak perawat serta profesi lain di bidang kesehatan, baik di Indonesia dan di luar negeri
‘’Menurut saya, pernyataan BGS terkait perbedaan kasta antara profesi dokter dan perawat tersebut di atas bisa jadi merupakan hal yang wajar, bila hal itu disampaikan 40-50 tahun yang lalu ’’ cerita dia saat berbicara dalam seminar nanterprofessional Collaborative Practice’’
Bahkan saat ini tidak sedikit perawat yang berpendidikan perawat spesialis, S2 sampai S3 Di banyak Universitas, bahkan program studi keperawatan, program studi gizi (dietisian), program studi farmasi, dan program studi dokter ada di fakultas yang sama
Interaksi yang terbentuk selama pendidikan ini telah membentuk pola pikir para lulusan pelbagai profesi kesehatan tersebut untuk bekerja sama sebagai mitra yang saling membutuhkan, bahkan dibuat terstruktur berupa ‘kolaborasi inter-profesi’ sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para dokter dan perawat
‘’Saya berasumsi, pernyataan BGS itu bisa saja muncul dari pengalaman pribadinya di masa kecil, sekitar 40-50 tahun lampau, mengingat beliau tidak pernah sekalipun memiliki pengalaman pendidikan maupun karier di lingkungan profesi di fasilitas Kesehatan,’’ papar Zaenal Muttaqin
Profesor bedah syaraf itu menegaskan bahwa profesi perawat, profesi guru, dan profesi dokter, serta profesi kesehatan lainnya adalah profesi yang kehadirannya menjadi syarat mutlak terpenuhinya salah satu kewajiban konstitusi negara ini yaitu menghadirkan kesejahteraan masyarakat dan mencerdaskan bangsa
Itu adalah sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa saat ini negara belum bisa memberikan penghargaan yang pantas kepada para guru, perawat, dan nakes lainnya dengan gaji dan kesejahteraan yang layak
‘’Betapa mirisnya kita kalau melihat secara rutin banyaknya guru dan perawat yang bahkan harus demo dan melakukan mogok makan demi menuntut hak untuk bisa hidup layak setara para buruh (bukan profesi) dengan UMR-nya,’’ papar Profesor bedah syaraf itu
Maraknya tuntutan untuk memperoleh hak kesejahteraan para perawat dan guru honorer yang terjadi tiap tahun dan terus berulang ini memperlihatkan bahwa negara ini sebetulnya masih buta dan tuli, bahkan bebal, kalaupun tidak dikatakan sebagai melanggar HAM
Dalam hal social positioning, menurutnya, kalau dibandingkan dengan negeri-negeri di luar Indonesia, situasi tidak adanya penghargaan (finansial) yang layak khususnya bagi profesi keperawatan dan profesi guru/ pendidik inilah yang tanpa disadari menciptakan perbedaan kasta ekonomi di antara profesi-profesi luhur yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih beradab
Dalam hal ini, adalah fakta yang tidak terbantahkan ‘’Itu menggambarkan peribahasa yang hampir kita lupakan Buruk Muka Cermin Dipecah-eh Dibelah,’’ paparnya.@en&sn g