F SEKITAR PERSOLAN STABILITAS G
SEKITAR PERSOALAN STABILITAS Oleh Nurcholish Madjid
Dalil yang mengatakan bahwa pembangunan tidak mungkin terlaksana dengan baik tanpa adanya kemantapan sosial-politik atau yang lebih dikenal dengan stabilitas sosial-politik kiranya sekarang ini semakin diakui kebenarannya. Sesungguhnya secara akal sehat sederhana, hal itu pun diakui demikian, tetapi saat ini justru hal itu telah terbukti secara empiris, yaitu ujud dan hasil pembangunan secara keseluruhan. Kerinduan yang mendalam kepada pola kehidupan yang aman dan makmur sebagaimana dijanjikan oleh kemerdekaan telah membuat sebagian besar rakyat tidak bergairah lagi membicarakan soal-soal yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan pembangunan. Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian tahun merdeka, rakyat melihat apa yang disebut pembangunan, alternatifalternatif apa yang mungkin dipilih sebagai cara melaksanakannya, dan apa pula hasilnya di samping yang positif sebagaimana dikehendaki juga yang negatif yang merupakan ekses. Meskipun mungkin seseorang mempunyai pikiran lain tentang bagaimana pembangunan dilaksanakan dan hasil apa yang diharapkan — dan orang serupa itu pasti ada di kalangan masyarakat — tetapi agaknya ia akan berpendapat bahwa pembangunan yang sekarang dilaksanakan adalah sudah semestinya demikian sebagai alternatif terdekat yang dapat ditempuh. Baginya buah hasil utama dari kegiatan pembangunan ini, selain hasil-hasil langsungnya sendiri, ialah pelajaran empiris yang dapat ditarik darinya guna menentukan D1E
F NURCHOLISH MADJID G
langkah-langkah yang lebih baik lagi untuk masa-masa yang akan datang. Karenanya, sedikit banyak mereka pun mengakui kebenaran prinsip kemantapan atau stabilitas sosial-politik yang kini dianut. Tetapi rasanya stabilitas sosial-politik tidak dapat ditafsirkan hanya sebagai keadaan yang serba-tenang, tenteram, dan keadaankeadaan serupa lainnya yang serba-statis. Prinsip itu kiranya lebih mendekati maksudnya yang tepat jika diartikan sebagai keadaan di mana terdapat kepastian-kepastian, khususnya kepastian hukum dan kepastian-kepastian yang menyangkut pelaksanaan prinsip-prinsip umum kenegaraan kita, terutama dasar negara yang dalam hal ini ialah Pancasila. Kepastian tentang apa yang sering disebut sebagai rule of the game juga amat penting, sehingga siapa saja dapat melakukan sesuatu kegiatan tanpa ragu sebab ada unsur-unsur yang meyakinkannya tentang hasilnya kelak. Sebuah adagium dalam bahasa Jawa yang sering disitir oleh para pemimpin kita menyebutkan sebuah negara atau masyarakat yang “toto tentrem, kerto raharjo”, sebagai gambaran yang ideal. Toto atau tertib tenteram karena masing-masing meyakini adanya jaminan bagi diri pribadi dan keluarganya sehingga tidak akan diragukan, dan kerto atau ramai dan raharjo atau makmur (dalam bahasa Arab, artinya juga “ramai”) menunjuk kepada segi dinamis masyarakat tersebut. Sesuatu yang hidup tentu tumbuh dan dinamis, dan disebut mati jika ia berhenti tumbuh hingga menjadi statis atau diam. Dahulu, pada awal pertumbuhan Orde Baru, ketika prinsip stabilitas ini dicanangkan untuk pertama kalinya memang telah timbul pertukaran pendapat tentang apa hakikat prinsip itu. Stabilitas diakui kebenarannya, tetapi pada saat yang sama dikhawatirkan jika ia meluncur menjadi keadaan statis. Maka muncullah istilah baru yang agak asing, yaitu “stabil dinamis”, dalam menggambarkan keadaan masyarakat yang dikehendaki. Sampai dengan saat kita menemukan secara empiris bentuk nyata apa yang disebut masyarakat D2E
F SEKITAR PERSOLAN STABILITAS G
stabil dinamis itu, barangkali dalil “toto tentrem, kerto raharjo� dapat dijadikan pegangan, biar pun untuk sementara. Adapun hal yang paling cepat meluncurkan prinsip stabilitas menuju pembentukan masyarakat statis ialah sikap-sikap obsesif padanya. Sikap itu mudah sekali melahirkan sikap-sikap pukul-rata dan kurang cermat dalam penyaringan dan pemilihan masalah. Sumber gangguan terhadap stabilitas sudah tentu terutama datang dari gerakan-gerakan subversif. Gerakan-gerakan itu didasari oleh adanya keberatan yang prinsipil terhadap keadaan sekarang, dan umumnya dilatarbelakangi oleh ideologi yang bertentangan. Pada saat ini, subversi itu paling mungkin datang dari jurusan kaum komunis. Tetapi juga bisa saja datang dari jurusan yang kurang ideologis, namun “interes� mereka cukup jelas dan kuat, terutama interes-interes ekonomi. Hal itu membuat masalah subversi menjadi amat pelik. Walaupun begitu, hal tersebut tidak boleh melengahkan kita dari keharusan mengambil sikap yang lebih selektif dalam mengamati gejala-gejala sosial yang akan dinilai sebagai mengganggu stabilitas sosial-politik. Informasi harus komprehensif dan adil atau jujur. Jika tidak, maka penyakit pukul rata akan menghinggapi kita, yang kelak merupakan bumerang. Sebab dengan begitu kita menjadi tidak tanggap pada segi-segi kreatif dan dinamis yang merupakan aspek sehat dalam pertumbuhan masyarakat, dan membuat kita menentang arus alamiah dalam pertumbuhan itu. Sekuat-kuat orang yang menentang arus tentu akan jebol juga! Sebagai contoh ialah pertumbuhan masyarakat sebagai akibat pembangunan itu sendiri. Ambillah misal kecil, yaitu perubahan orientasi prestise menjadi orientasi prestasi atau yang pernah terkenal dengan sebutan achievement orientation. Elite lama umumnya menyandarkan sikapnya berdasarkan orientasi prestise, dengan adanya feodalisme; sedangkan elite baru yang sedang tumbuh menyandarkan sikapnya berdasarkan orientasi prestasi yang biasanya diperoleh dari pendidikan. Padahal pendidikan diperoleh oleh semua lapisan masyarakat. Maka hal itu tentu D3E
F NURCHOLISH MADJID G
mengakibatkan terjadinya pergeseran-pergeseran dalam strata sosial kita, dan tentu menimbulkan ketegangan-ketegangan yang “mengganggu� stabilitas. [™]
D4E
F MASALAH PENDIDIKAN G
MASALAH PENDIDIKAN Oleh Nurcholish Madjid
Seperti biasanya setiap awal tahun ajaran, ramai sekali dibicarakan masalah-masalah sekitar pendidikan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pendidikan merupakan tiang pancang utama yang menunjang pembangtman bangsa. Dan usaha-usaha pendidikan itu mengalami banyak sekali kesulitan yang berbelit-belit bagaikan lingkaran setan tanpa ujung pangkal. Syukurlah sekarang telah dimulai usaha-usaha yang meyakinkan untuk mengatasi kesulitan itu. Menteri P dan K umpamanya, sebagai pejabat yang paling besar tanggung jawabnya di bidang ini, telah berusaha keras ke arah menemukan metode-metode dan bentukbentuk pendidikan yang baru, yang lebih memenuhi kebutuhan bangsa. Sekalipun belum seluruhnya berhasil, namun usaha-usaha itu sudah merupakan perintisan yang sungguh-sungguh. Dalam rangka itu, kabarnya pendidikan tidak-formal akan menjadi lebih besar peranannya di masa yang akan datang. Lebih kentara lagi ialah tindakan-tindakan yang diambil oleh Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta Raya. Sesuai dengan sifatsifatnya yang pragmatik, maka pendekatan Ali Sadikin kepada masalah pendidikan ini amat riil dan pragmatik pula. Lingkaran setan yang membelit masalah pendidikan itu dipotongnya melalui penyediaan sarana-sarana, dalam hal ini yang terutama ialah gedunggedung sekolah. Seperti timbulnya gedung-gedung pencakar langit yang sekarang mulai merupakan land mark ibukota, Ali Sadikin menaburi wilayah kekuasaannya itu dengan gedung-gedung sekolah D1E
F NURCHOLISH MADJID G
yang serba-baru dan megah, khususnya untuk tingkat pendidikan dasar. Sudah pasti pengaruh tersedianya sarana-sarana pokok itu amat besar atas kelancaran penyelenggaraan pendidikan di ibukota. Ditambah dengan perbaikan-perbaikan di bidang lainnya — seperti masalah gaji para guru, sistem penerimaan murid yang lebih demokratis (artinya tanpa peraturan-peraturan begitu rupa sehingga yang dapat diterima akhirnya hanya anaknya orang-orang kaya) serta perbaikan kurikulum dan lain-lain — mungkin Jakarta Raya akan mempunyai sistem pendidikan yang kualitas hasilnya lebih baik daripada daerah-daerah lainnya, sekurang-kurangnya tidak lagi — seperti pernah sering dikatakan orang pada waktuwaktu yang lalu — mutu pendidikan di ibukota ialah yang paling rendah di seluruh Indonesia kecuali Irian Barat. Sesudah itu semua, maka yang tetap harus menjadi pertanyaan adalah apakah tujuan sebenarnya pendidikan? Dan bagaimanakah seharusnya sifat pendidikan itu sehingga mampu mengantarkannya kepada tujuan? Dalam hal ini patut dikemukakan pendapat para ahli pendidikan, khususnya Alan Simpson. Dikatakannya bahwa apa pun jenis pendidikan, yang akan berarti ialah yang dapat membentuk manusia terpelajar dan bersifat liberal. Ciri-ciri yang positif dan konstruktif yang membedakan antara pendidikan yang baik dari yang jelek atau yang sungguh-sungguh dari yang setengah-setengah, terkandung dalam perkataan “liberal” itu. Dan apa pun pasang surut yang diderita oleh istilah “liberal” dalam kamus politik, ia terpakai dalam dunia pendidikan tanpa mengindahkan kontroversi itu. Dalam percakapan yang menyangkut tindakan seorang guru yang kurang bijaksana, sering dikatakan, “Apakah tindakan itu cukup liberal?”, sebagai cercaan kepada penindaknya. Di masa silam, pendidikan yang liberal membedakan dengan tajam antara seorang manusia merdeka dari seorang manusia budak atau seorang majikan dari buruh-buruh dan pekerja-pekerja tangan. Pada waktu sekarang, pendidikan liberal itu membedakan apa pun yang dapat memperkembangkan jiwa atau spirit dari yang sekadar merupakan D2E
F MASALAH PENDIDIKAN G
hal-hal yang praktis dan profesional atau dari hal-hal yang kurang berarti yang tidak mengandung latihan sama sekali. Pendidikan liberal itu meliputi pengetahuan, keahlian, dan nilai-nilai. Jika pengetahuan merupakan bahan penilaian kita, maka di sini kita tidak dapat menjadi dogmatik, baik mengenai macam pengetahuan itu maupun jumlahnya. Satu saja dari suatu bidang yang subur yang digarap dengan penuh ketekunan dan daya imajinasi, mungkin akan mampu mengembangkan bakat-bakat seorang yang terpelajar. Karena itulah pendidikan yang liberal sedikit mengenal penyeragaman dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Setiap lembaga mempunyai cirinya yang tersendiri, sesuai dengan pilihan tekanan bidang pengetahuan yang dianggapnya paling subur dan cocok untuk anak didiknya. Sekalipun begitu, jika perancang kurikulum menghendaki untuk menekan risiko serendah mungkin, dia dapat mempraktikkan sebuah doktrin kuna yang mengatakan bahwa seorang yang terpelajar harus mengetahui sedikit tentang segala masalah, dan mengetahui banyak tentang masalah khusus tertentu. Sampai di sini kita baru membicarakan unsur pengetahuan, belum unsur keahlian dan nilai-nilai. [™]
D3E
F TURISME INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERDAMAIAN DUNIA G
TURISME INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERDAMAIAN DUNIA Oleh Nurcholish Madjid
Sementara orang dan pers memberikan interpretasi bahwa antusiasme rakyat, khususnya di ibukota, dalam menyambut beberapa kejadian akhir-akhir ini, antara lain kedatangan tamu agung Ratu Inggris sebagai penyaluran hasrat mendapatkan suasana lain atau “intermezzoâ€? dari keadaan umum sekarang yang masih amat kuat terpengaruh oleh suasana politik akibat kejadian-kejadian yang lalu. Ahli ilmu jiwa tentu dapat menerangkan lebih baik lagi bahwa kemampuan untuk menemukan suatu jalan keluar dari suatu kemelut psikologis adalah mutlak, baik untuk individu maupun masyarakat. Maka orang pun diam-diam bersyukur bahwa dalam suasana seperti sekarang, terdapat kejadian-kejadian yang memberi peluang bagi diketemukannya pergantian suasana itu. Demikian juga halnya dengan konferensi PATA, yang mengundang kegembiraan kalangan umum, setidaknya karena dengan peristiwa itu maka ibukota dibuat menjadi semakin indah dan semarak. Memang pariwisata selalu terhubungkan dengan suatu kesemarakan, kemeriahan, dan kadang-kadang dengan kemewahan. Asosiasi serupa itu mungkin tidak dapat dihindari, sebab suatu kenyataan yang sederhana ialah bahwa kalangan masyarakat yang sanggup mendukung turisme sudah tentu ialah mereka yang mampu dari segi ďŹ nansial. Apalagi jika tingkatnya internasional, maka untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia tidak ayal D1E
F NURCHOLISH MADJID G
lagi yang mampu melakukannya hanyalah mereka yang tergolong jutawan saja. Sedangkan untuk sebagian besar rakyat, menikmati suatu wisata hanyalah merupakan impian yang tidak diketahui entah kapan terlaksana. Itu dari satu segi. Dari segi lain turisme senantiasa dihubungkan dengan gambaran datangnya orang-arang asing dengan gambaran rupa-rupa, antara lain sikap mereka yang royal untuk berbelanja. Kesan itu demikian sampai datangnya wisatawan model mutakhir, yaitu wisatawan “hippy” yang terkenal hemat kalau tidak harus dikatakan pelit luar biasa. Harapan-harapan terhadap turisme yang dikaitakan dengan segi-segi finansial ekonomis seperti datangnya devisa mungkin akan dikecewakan oleh kenyataan tersebut. Maka salah satu “kegunaan” sikap pemerintah membatasi masuknya turis-turis “hippy” ialah mencegah mengalirnya wisatawan yang kurang “produktif ”, selain alasan untuk mencegah terjadinya apa yang disebut “polusi” kebudayaan. Tapi jika kita tidak membatasi pengambilan manfaat dari segi ekonomis saja, melainkan kepada hal-hal yang lebih mendalam, mungkin turis-turis “hippy” atau sermua jenis turis, dapat dikatakan berfaedah. Jika dihubungkan dengan harapan Presiden, yang salah satunya dikaitkan dengan perdamaian dunia, maka ada suatu hal yang perlu diperhatikan, yaitu adanya pengertian dunia. Di sini mungkin justru kaum Hippy menempati kedudukan yang patut diperhatikan. Dengan sedikit memahami latar belakang Hippiisme yang sejati di negara-negara maju, yang sering juga dinamakan sebagai the flower people (karena mereka memakai kembang sebagai lambang filsafat dan hidup mereka), maka kita mengetahui bahwa kaum Hippy mewakili suatu kelompok dalam masyarakat muda negara-negara maju yang secara cukup serius ingin menemukan pandangan-pandangan hidup baru yang lebih berorientasi kepada kemanusiaan atau perdamaian. Memang ada orang yang tidak percaya akan interpretasi ini, tetapi tentang hal itu telah banyak ditulis artikel dan diterbitkan buku-buku. D2E
F TURISME INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERDAMAIAN DUNIA G
Jika itu benar, maka turisme model Hippy adalah yang paling mendekati harapan-harapan sekitar perdamaian, internasionalisme, dan seterusnya. Jika diamati benar-benar, maka turis Hippy inilah dari kalangan mereka yang datang ke negara lain dengan fanatisme kebangsaan yang minimal. Kesediaan mereka untuk bergaul dan menghargai orang-orang setempat merupakan suatu ciri yang tajam, demikian pula curiosity mereka untuk memahami, kalau perlu mengadopsi, kebudayaan-kebudayaan negara-negara yang dikunjungi. Salah satu daya tarik Bali, atau lebih besar lagi India, adalah segi kemungkinan ini bagi mereka. Justru turis-turis kaya yang sering angkuh dan nasionalistik. Hal ini diketengahkan sebagai suatu bahan pemikiran kita bersama dalam memahami arti lain turisme yang kini sedang dikonferensikan. [™]
D3E
F JUDI DILARANG G
JUDI DILARANG Oleh Nurcholish Madjid
Orang agama sudah mengetahui dari semula bahwa main judi, bersama dengan minuman keras adalah lebih banyak bahayanya daripada manfaatnya. Begitu pula agaknya penguasa sekarang ini, khususnya Pangkopkamtib, dengan instruksinya melarang judi di seluruh Indonesia. Alasannya ialah karena perjudian itu merusak mental masyarakat. Tetapi memang berbeda antara opini yang dibentuk oleh agama dan opini yang diperoleh dari pengalaman empiris. Yang pertama terjadi karena adanya kepercayaan kepada ajaran agama, sedangkan yang kedua muncul oleh penyimpulan dari bukti-bukti nyata. Karena itu, ketika judi mulai diintrodusir secara besar-besaran di tanah air kita, kaum agama menyambutnya dengan tantangan yang luar biasa sengitnya. Bagaimanapun histerisnya para muballigh meneriakkan suara protesnya, namun mereka tidak menghasilkan sesuatu yang efektif. Hal itu disebabkan tidak adanya perhatian dari pihak-pihak yang bersangkutan, disertai dengan kelumpuhan jika dihadapkan kepada tantangan Ali Sadikin yang cukup terkenal: “Kalau judi dilarang, berilah jalan lain untuk mendapatkan sumber dana bagi pembangunan ibukota!� Karena itu, ada sebagian dari para agamawan itu yang kemudian mengambil sikap tidak mau tahu lagi, sedangkan dalam hati keciInya ada suara: “Biarlah pengalaman nyata memberi pelajaran sendiri apakah judi itu lebih banyak gunanya atau kerusakannya�.
D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Sekalipun dengan pelarangan ini DKI masih memperoleh beberapa perkecualian bersama dengan satu-dua kota besar lainnya, namun instruksi itu tentu disambut oleh rakyat, termasuk rakyat DKI sendiri. Memang cukup mengherankan bahwa perjudian merajalela begitu rupa di negeri kita ini, di mana penduduknya katanya sangat tebal rasa keagamaannya. Begitu luas dan mendalam “bekas” judi itu dalam sikap mental sebagian orang Indonesia, sehingga ia merupakan bagian mutlak dari hidup itu sendiri. Lebih mengherankan lagi bahwa justru perjudian itu berkembang pesat di masa pembangunan, apalagi dengan ekonomi sebagai prioritas utama. Salah satu tuntutan pokok pembangunan ekonomi itu — demikian menurut para ekonom kita — ialah adanya produktivitas dan ditekanmya konsumsi. Daya produksi dinaikkan dengan berbagai cara, termasuk di antaranya pendekatan segi manusianya, berupa penciptaan kondisi yang merangsang tumbuhnya kegairahan bekerja. Sedangkan penekanan konsumsi juga ditempuh dengan bermacam-macam jalan, salah satunya sekarang yang sedang giat dikampanyekan ialah menjalankan hidup sederhana. Tentu saja kesemuanya itu berlawanan dengan semangat yang ditimbulkan oleh adanya perjudian dengan skala besar-besaran itu. Suasana perjudian memupus nafsu atau kegairahan bekerja. Dan karena kekalahan jauh lebih sering dan banyak daripada kemenangan — kecuali barangkali bandarnya sendiri — maka perjudian adalah sejenis aktivitas yang mahal, jadi dapat disebut mewah, atau malahan sekadar boros. Menabung bagi seorang penjudi adalah pekerjaan sia-sia yang tak mungkin mereka lakukan. Tetapi hal lain yang efeknya kepada masyarakat sama atau mungkin lebih besar daripada perjudian ialah — sebut saja — eksploitasi seks. Sebutan itu kita kenakan pada usaha-usaha yang karena sifat-siratnya lebih banyak mempertaruhkan daya tarik seks daripada segi formalnya sendiri. Contohnya ialah night club, steam bath, dan massage parlors. D2E
F JUDI DILARANG G
Orang tidak perlu menjadi manusia “semuci” (sok suci) untuk dapat menyatakan ketidaksetujuannya pada jenis-jenis usaha tersebut. Diukur dengan kepentingan nasional, sekurang-kurangnya jenis usaha mewah dan konsumtif itu pasti bukan termasuk dalam skala prioritas, bahkan seharusnya hanyalah sesuatu yang paling akhir — entah kapan kelak — dapat dipertimbangkan kemungkinan pembukaannya. Produktivitas, menabung, konsumsi rendah dan cara hidup sederhana adalah requirements dasar kita seagai bangsa yang baru mulai membangun. Sedangkan usaha-usaha tersebut tadi, disebabkan daya dorongnya ke arah konsumsi tinggi, adalah justru berlawanan dengan requirements tersebut. Maka sebetulnya tidaklah terlalu mahal jika kita justru dengan sekuat tenaga berusaha menciptakan suasana yang memungkinkan diterimanya requirements tersebut sebagai keyakinan hidup bangsa dalam membangun. Suatu ironi adalah bahwa kita bangsa Indonesia ini justru sanggup menyamai — atau mungkin melebihi — negara-negara maju dalam hal usaha-usaha eksploitasi seks yang mewah dan boros itu. Sebagai contoh, menurut Newsweek tanggal 12 Februari 1973, meskipun di New York pada waktu sekarang ini terdapat 76 massage parlors, tetapi dua tahun yang lalu — jadi masih baru saja — hanya terdapat empat buah. Sekarang, berapakah jumlah “massage parlors” itu di Jakarta dua tahun yang lalu? Pasti tidak hanya empat buah. Atau kalau toh kurang dari jumlah itu, Jakarta pasti sudah memulai usahanya. Jadi pada garis besarnya kita menyamai Amerika, negeri terkaya di dunia dalam hal eksploitasi seks ini. Dilihat dari sudut perkembangan psikologis memang dapat dipahami jika kita mengalami masa tidak begitu jelas tentang apa yang harus diperbuat dan apa yang harus tidak diperbuat segera setelah perubahan besar dari Orde Lama ke Orde Baru. Tetapi dengan berjalannya waktu agaknya kita makin insaf akan diri sendiri, baik selaku perorangan maupun bangsa. Kita semakin tajam dan matang dalam mempertimbangkan baik dan buruk yang datang dari luar. [ ] D3E
F ALKOHOLISME DI INDONESIA G
ALKOHOLISME DI INDONESIA Oleh Nurcholish Madjid
Kita merasa gembira membaca berita yang memuat penilaian seorang pejabat kepolisian bahwa penanggulangan masalah narkotika di Indonesia termasuk yang paling sempurna di dunia. Meskipun seorang ahli psikologi terkenal, Dr. Fuad Hasan, pernah menyatakan bahwa masalah narkotika di negeri kita ini masih belum mencapai tingkat yang cukup berbahaya, tetapi kiranya patut dihargai kesungguhan dalam penanggulangan persoalan itu sepagi mungkin. Hal itu adalah sesuai dengan prinsip bahwa tindakan pencegahan (preventif ) adalah lebih baik daripada pemberantasan (represif ). Tidak bermaksud hendak berlagak sok alim atau semucisuci, kita ingin mengemukakan sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah narkotika, sekalipun setingkat lebih ringan, yaitu alkoholisme. Membaca berita tentang maksud Menteri Kesehatan melarang iklan obat-obat keras adalah menggembirakan. Tetapi jika suatu jenis obat akan dibeli dan digunakan seseorang dengan perasaan terpaksa karena sakit, maka tidaklah demikian dengan minuman-minuman keras. Ia akan dibeli dengan rasa senang, dan jika sudah ada dorongan ketagihan, minuman keras akan dibeli tanpa hitung-hitung lagi akan harganya. Karena itu, selain mungkin ongkos produksi memang tinggi, minuman-minuman keras cenderung berharga mahal. Manusia telah beribu-ribu tahun mencari kenikmatan dengan cara minum-minum, dan rasanya akan melakukannya untuk waktu entah sampai kapan. Mereka melakukannya entah sekeliling botol-botol bir di waktu tamasya D1E
F NURCHOLISH MADJID G
atau dalam cocktail bar di suatu hotel atau pada kesempatankesempatan lainnya. Itulah yang dinamakan social drinking. Karena sifat sosialnya, maka minum itu pun dalam perkembangannya dapat mempunyai sangkutan dengan kedudukan seseorang dalam masyarakat. Maka tidak heran jika mulai ada orang Indonesia yang menyimbulkan status sosialnya dengan cara membuat bar kecil dalam rumahnya. Apakah kita keberatan terhadap minuman keras? Mungkin tidak perlu dijawab secara spontan dan sekaligus, baik apakah negatif “tidakâ€? atau aďŹ rmatif “yaâ€?. Tetapi marilah kita coba menjadikan masalah ini sebagai bahan pemikiran. Pertama ialah sifat alkohol sebagai suatu depressent, yaitu sifat mengurangi atau menurunkan kemampuan-kemampuan manusia. Yang pertama-tama ditekan atau diturunkan kemampuannya ialah fungsi pusat saraf atau otak kita, berupa kemampuan kita untuk mengadakan periksa diri (self criticism), penilaian sehat dan penahanan diri. Menurut para ahli, alkohol mempunyai daya merusak sel-sel otak dalam jumlah yang amat besar. Untuk dapat merusakkan sel-sel otak itu, alkohol tidak perlu mencapai jumlah yang terlalu besar sehingga seseorang mabuk. Apa yang diminum oleh seseorang dalam social drinking tersebut itu pun sudah cukup menimbulkan kerusakan-kerusakan tadi. Kedua adalah ketidakproduktifan alkoholisme. Artinya, selain mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada jaringan otak tadi, minuman keras sering dipercayai sebagai perangsang untuk produktivitas yang lebih tinggi adalah suatu ilusi belaka. Justru pengaruh destruktif tadi dalam jangka waktu yang cukup lama, katakan lima tahun (menurut majalah Readers Digest Desember 1966), akan menyatakan diri dalam penurunan produktivitas. Lebih tidak bersifat produktif lagi jika ditinjau dari segi ekonomis. Sudah dikatakan bahwa seseorang minum tidak selalu karena minuman itu sendiri, tetapi didorong oleh suatu pertimbangan sosial. Jelasnya alkoholisme dilakukan untuk tujuan kedudukan sosial. Hal itu berarti bahwa alkoholisme erat berkaitan dengan D2E
F ALKOHOLISME DI INDONESIA G
suatu pola konsumsi tinggi. Dalam suatu negara yang sedang membangun, sudah tentu sikap-sikap ekonomi yang konsumtif itu hendaknya dicegah sejauh mungkin. Sifat kemewahan merupakan salah satu segi negatif alkoholisine. Seperti halnya dengan perjudian, alkoholisme mempumvai efek kontraproduksi. Ketiga adalah masalah yang bersangkutan dengan psikologi. Kita akan senantiasa dihadapkan kepada persoalan-persoalan hidup sepanjang hayat. Kita akan selalu diancam oleh kekecewaan, frustrasi, keraguan atau kebimbangan. Alkohol, pil, narkotika dan sejenisnya mungkin dapat menghilangkan problem-problem hidup itu. Tetapi penyelesaian seperti itu adalah artiďŹ sial, temporer dan menipu. Suatu sikap hidup tidak mungkin dibangun di atas sikap melarikan diri dari kenyataan demikian. Mustahil kita akan bertemu dengan kebahagiaan setiap saat kita kehendaki. Tetapi adalah berguna sekali mempunyai sikap yang tangguh dalam menghapi cobaan-cobaan hidup yang pasti datang, disertai dengan sikap bersyukur menerima nasib baik yang biasanya muncul di balik suatu musibah. Kesimpulannya ialah kita keberatan terhadap alkoholisme. Maka dari pagi-pagi (mungkin malah terlalu pagi), perlu kita mengingatkan diri sendiri sebagai bangsa agar waspada terhadap bahaya alkoholisme, seperti kita perbuat dengan narkotika. Mumpung ia belum tumbuh menjadi kebudayaan baru kita yang merata. Jika negeri-negeri Barat tampak seperti dapat “mem-by passâ€? pengaruh negatif alkoholisme, maka itu antara lain karena imbangan atau kompensasinya yang amat besar, yaitu taraf hidup rata-rata yang berpuluh-puluh kali lipat dari kita. Itu pun tidak menutupinya sama sekali. Maka di sana pun dimulai kampanye anti alkoholisme, seperti halnya anti tembakau. [™]
D3E
F RAMBUT GONDRONG SUATU KEMESWAHAN? G
RAMBUT GONDRONG SUATU KEMEWAHAN? Oleh Nurcholish Madjid
Dalam wawancara di layar televisi baru-baru ini, Jenderal Soemitro antara lain menyinggung persoalan rambut gondrong yang akhirakhir ini banyak dibicarakan masyarakat. Di situ Pangkopkamtib mengatakan bahwa rambut gondrong amat erat hubungannya dengan sikap acuh-tak-acuh angkatan muda terhadap ikatan-ikatan pergaulan dalam masyarakat teratur. Sikap itu meskipun belum tentu negatif, tetapi memang banyak menimbulkan keberatan. Apakah kegondrongan sudah merupakan suatu gejala yang menyeluruh pada bangsa kita? Sudah terang tidak. Kegondrongan adalah fenomena kehidupan perkotaan, khususnya kota-kota besar. Sedangkan dalam kehidupan kota-kota kecil dan desa-desa, di mana bagian terbesar rakyat Indonesia bertempat tinggal, kegondrongan merupakan sesuatu yang langka sekali atau hampir-hampir tidak dikenal. Mengapa hanya kota-kota besar? Hal ini adalah sangat erat berhubungan dengan metropolitanisme. Dalam kehidupan metropolitan, pengertian tentang kehidupan keluarga dan hubungan keluarga sudah mengalami perubahan jika dibanding dengan kehidupan di kota-kota kecil atau desa-desa. Pengertian tentang keluarga telah mengalami penciutan begitu rupa sehingga hampir hanya terbatas pada apa yang dinamakan nuclear family atau keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum dewasa. Sedangkan dalam hal pola hubungan keluarga terjadi proses D1E
F NURCHOLISH MADJID G
pelepasan diri yang semakin jauh sehingga dengan sendirinya juga semakin renggang. Semangat “gotong-royong” yang “telanjur” kita tetapkan sebagai jargon bernegara kita sebelumnya hanya dikenal di desa-desa. Di kota-kota terdapat tendensi yang kuat sekali ke arah pemusatan tanggung jawab kepada masing-masing pribadi, khususnya mereka yang sudah menginjak usia dewasa. Kadangkadang kebebasan pribadi itu cukup mahal tebusannya, dalam pengertian bahwa ia melahirkan konsekuensi-konsekuensi dan akibat-akibat yang berat. Contoh yang paling mudah ialah yang terjadi di bidang nafkah atau rezeki. Di desa, persoalan nafkah hampir merupakan tanggung jawab yang dibagi rata antara semua anggota keluarga. Sedangkan yang dimaksud dengan keluarga itu meliputi sejumlah orang dalam hubungan darah atau semenda yang cukup luas. Sekurangkurangnya dalam saat-saat kritis, seseorang yang hidup di desa tidak akan dibiarkan sendirian oleh anggota-anggota keluarganya. Ini saja, sebagaimana sering dikemukakan oleh para ahli, cukup merupakan sebab mengapa orang-orang desa lebih sedikit kemungkinannya terkena penyakit jiwa daripada orang-orang kota. Di desa berlaku “hikmah” yang berbunyi: Makan ataupun tidak, asalkan berkumpul jadi satu! Sedangkan di kota adalah sebaliknya, “hikmah” yang berlaku ialah “Siapa lu siapa gua!” Proses individualisasi itu menggena juga pada segi-segi kehidupan yang lain. Pada pokoknya anak-anak muda di kota-kota besar menikmati, tapi sekaligus juga menderita, kebebasan mengadakan pilihan. Mereka menikmati kebebasan untuk memilih dan memutuskan sendiri masa depan mereka: kawin dengan siapa, bekerja macam apa, tinggal di mana, menempuh karir apa, dan jenis peranan sosial mana yang hendak dijalankannya kelak. Kita katakan mereka menikmati kebebasan itu sebab jika dibanding dengan kebalikannya yaitu keadaan serba-terikat dan tergantung maka kebebasan adalah suatu kenikmatan. Tetapi sebetulnya kebebasan itu dapat berubah menjadi beban. Maka mereka menderita beban kebebasan dan tanggung jawab sendiri untuk memutuskan prospek D2E
F RAMBUT GONDRONG SUATU KEMESWAHAN? G
hidup mereka dan menyiapkannya. “Kita tidak sanggup menunjang kebebasan” (We cannot afford freedom) adalah judul sebuah buku yang melukiskan bagaimana kebebasan dapat berubah menjadi beban yang berat. Anak-anak kota yang “menderita” kebebasan itu karena tidak mampu mempergunakannya, akibat adanya semangat “umbarumbaran” dalam lingkungan keluarganya sendiri, sering memilih cara hidup apatis dan acuh-tak-acuh. Semangat itu dapat mereka lahirkan dalam berbagai tindakan atau bentuk, yang pada pokoknya ialah sikap-sikap tak peduli kepada kehidupan. Di sini terdapat segi kebenaran sinyalemen Jendral Soemitro. Dan untuk bangsa yang membangun, sikap apatis itu adalah terlalu mewah atau mahal. Begitu pula kegondrongan, jika ia memang merupakan manifestasi apatisme tadi. Sudah tentu kita dapat melihat kemungkinan kegondrongan sebagai manifestasi seperti yang lain, umpamanya rasa seni (para seniman banyak yang gondrong) atau keagamaan (orang Sikh pantang potong rambut). Maka persoalan pokok sebenarnya ialah bagaimana menghilangkan semangat acuh-takacuh tadi dan mencari sebab-sebabnya. Mungkin saja memang tema kehidupan sosial dan politik kita sekarang ini mudah menimbulkan kebosanan pada angkatan muda. Yang jelas suatu gejala sosial tidak berdiri sendiri, tetapi antara satu dan lainnya saling berkaitan secara erat. [ ]
D3E
F GOLONGAN EKONOMI YANG MEMELAS G
GOLONGAN EKONOMI YANG MEMELAS Oleh Nurcholish Madjid
Suatu pandangan yang tepat dan menggembirakan pernah dikemukakan oleh pemerintah di depan DPR dalam rangka menjawab pertanyaan sekitar perlindungan kepada kaum ekonomi lemah. Di situ dijelaskan pendirian pemerintah bahwa penanggulangan masalah kaum ekonomi lemah dilakukan dengan pendekatan yang menyeluruh dengan prioritas golongan terbanyak, yaitu kaum tani. Untuk pertama kalinya, sesudah sekian lama, ki±a mendengar suatu suara yang membela kepentingan kaum tani. Suara itu pernah mendominasi kehidupan politik kita, tetapi kemudian menghilang entah ke mana. Dan kemunculannya kernbali di atas pentas itu hendaknya janganlah hanya merupakan laku di kalangan kaum politisi sebagai slogan yang menarik. Tetapi betul betul akan diikuti dengan tindakan-tindakan nyata — sekalipun untuk berhasil akan memakan waktu lama — sesuai dengan semangat teknokratis dan pragmatis sekarang ini. Tulisan ini tidaklah dimaksudkan untuk mengemukakan data kehidupan para petani kita yang memelas itu serta segi-segi teknis pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Sebab selain hal itu di luar kompetensi penulis, juga — tampaknya — kurang pada tempatnya. Hanya saja hal itu dimaksudkan untuk menarik perhatian yang lebih besar kepada nasib sebagian besar rakyat Indonesia, yaitu para petani. Sebab bagi mereka yang hidup di kotakota besar, pembangunan sekarang ini hanya dihayati melalui adanya D1E
F NURCHOLISH MADJID G
cerobong-cerobong asap pada pabrik-pabrik baru, kebutuhan akan keahlian, skill atau teknokrasi yang semakin mendesak, persoalan modal asing baik dari segi bagaimana mendatangkannya maupun segi akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya, turisme, dollar, dan seterusnya. Itu semua hanyalah gejala-gejala kehidupan industrial dan kota besar. Sedangkan sebagian besar bangsa Indonesia hidup di desa-desa, dan hampir keseluruhan penduduk desa itu memperoleh nafkahnya dengan pertanian. Sedikit sekali dari mereka itu yang dapat hidup cukup sandang-pangan karena memiliki tanah garapan yang luas. Sebagian besar terdiri atas petani dengan areal penggarapan milik yang sempit dan jauh dari cukup, sedangkan sebagian yang jauh lebih besar lagi hanya mampu menjual tenaganya kepada pemilik-pemilik tanah sebagai buruh tani. Para petani penggarap tanpa tanah milik itulah yang sesungguhnya merupakan kaum ekonomi lemah di negara kita. Secara proporsional, mereka membentuk jumlah yang terbesar dalam golongan-golongan ekonomi di Indonesia. Maka golongan ekonomi lemah — apalagi yang mendesak untuk dilindungi dan dibantu — bukanlah kaum borjuis kecil: para pedagang, pengusaha ataupun industriawan kecil di kota-kota, sekalipun mereka itu terdiri dari golongan pribumi. Dan sudah pasti kaum ekonomi lemah itu tidak senantiasa mengikuti garis-garis nonekonomis yang tidak relevan seperti ras, kewarganegaraan, dan lain-lain. Hal ini dikemukakan tanpa dengan begitu akan menghilangkan segi-segi yang mengandung kebenaran dalam logika perjuangan pribumi-nonpribumi yang akhir-akhir ini sering dibicarakan. Jika berpegang secara konsisten pada garis-garis logikanya sendiri, maka perjuangan pribumi-nonpribumi itu mungkin masih dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi untuk memberi penilaian kepadanya sebagai perjuangan kaum ekonomi lemah melawan kaum ekonorni kuat sedikit banyak merupakan sekadar idealisasi saja, dan mengandung bahaya melupakan kaum ekonomi lemah yang sebenarnya dan yang jauh lebih besar jumlahnya, yaitu kaum tani. D2E
F GOLONGAN EKONOMI YANG MEMELAS G
Perkataan lain bagi kaum ekonomi lemah ialah kaum miskin. Dan sebagai buruh tani memang di negeri kita ini tidak ada orang yang lebih miskin daripada mereka itu dalam jumlah yang begitu besar. Ini pun tidak secara sungguh-sungguh kita menyadarinya. Suatu saat, jika di koran-koran terbaa berita kelaparan, maka hanya terbayang pada kita suatu keadaan yang kurang menyenangkan namun toh berada jauh, jauh di sana! Dan kalaupun suatu headline memyebutkan ada busung lapar di suatu daerah, berita itu hanya sanggup sepintas lalu membayangkan dalam khayal kita keganjilan suatu pemandangan di mana orang-orang pada gendut perutnya tapi bukan karena kegemukan ataupun mengandung! Padahal yang tertulis di koran hanyalah suatu kejadian yang sempat terberitakan dan sampai kepada redaksi koran tersebut, entah dengan jalan apa. Sedangkan keadaan yang sesungguhnya mungkin lebih menyedihkan dari itu, dan mungkin meliputi jumlah manusia yang lebih besar. Tetapi apa pun sebenarnya, yang jelas ialah bahwa ancaman bahaya kelaparan — baik itu sebagian atau seluruhnya — adalah sesuatu yang rutin di kalangan kaum tani di desa-desa. Khususnya kaum buruh tani, yang disebabkan kebutuhan mutlak mereka dalam hidup sehari-hari, mereka selalu dikejar-kejar oleh kemiskinan yang mencekik leher. Pada musim tanam, mereka menjual habis tenaga mereka kepada pemilik-pemilik sawah, dan jika musim panen tiba, maka ‘balas jasa” yang mereka terima berupa padi yang tidak banyak itu mereka jual dengan harga murah (harga panen). Dan begitu musim panen selesai, mereka kembali dalam keadaan tanpa simpanan persediaan apa-apa lagi, berbulan-bulan sampai datang musim tanam yang akan datang. Sementara itu mereka menyambung umur dengan makan jagung (sudah sangat baik kalau ada), ataupun ubi, malah mungkin bonggol pisang. Di zaman Orla, BTI mencoba memperjuangkan nasib mereka. Tanpa memasuki penilaian apakah BTI jujur atau palsu dalam perjuangannya, namun yang jelas para petani miskin itu memerlukan pembela-pembela. Kalau tidak yang lain, semoga pemerintahlah! [ ] D3E
F PERSOALAN TANAH G
PERSOALAN TANAH Oleh Nurcholish Madjid
Di hadapan para gubernur yang mengadakan rapat kerja, Menteri Dalam Negeri Amir Machmud mengemukakan bahwa masalah yang bersangkutan dengan tanah merupakan sumber keresahan sosial terpenting yang mengganggu stabilitas sosial-politik. Hal yang serupa telah dikemukakannya beberapa saat yang lalu. Kenyataan bahwa hal itu dikemukakan lagi menunjukkan bahwa persoalannya belum terselesaikan, sebagaimana secara riil dirasakan oleh masyarakat luas. Mempertanyakan apakah pemerintah, dalam hal ini khususnya para pejabat yang bersangkutan, cukup sungguh-sungguh menangani masalah ini dan menyelesaikannya, mungkin suatu perbuatan yang kurang fair. Sebab dari segi formal, adanya perhatian Menteri tersebut sudah cukup membuktikan terdapatnya “iktikad” pada pemerintah yang bernilai positif. Namun, dari sudut pandang mereka yang merasakan langsung “kezaliman-kezaliman” tertentu dalam kaitannya dengan pertanahan ini, tentu dihinggapi oleh perasaan harap-harap cepas: mengharap agar “iktikad” tersebut dapat diwujudkan sehingga keadilan dirasakan dengan nyata, namun cemas kalau-kalau harapan serupa itu akan menemui kehampaan karena entah apa saja yang menjadi halangan. Perlu diingat bahwa persoalan tanah yang paling tajam mulamula hanya terdapat di kota-kota besar saja, terutama Jakarta, sebagai akibat tidak langsung pelaksanaan nyata politik pembangunan sekarang ini, terutama di bidang industrialisasi. Sebegitu D1E
F NURCHOLISH MADJID G
jauh, dilihat dari sudut ukuran makro, persoalan tanah yang timbul itu masih dapat “dibenarkan”, sebagai ekses atau harga yang mesti dibayar guna suksesnya pembangunan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, berlindung di balik pembenaran atas nama pembangunan itu semakin tidak berdasar, dan orang mulai menilai perbuatan itu sendiri apakah adil atau tidak. Apalagi setelah persoalan tanah ini tidak lagi secara langsung berkaitan dengan proses industrialisasi, ataupun sarana ekonomi yang menjadi kepentingan umum, melainkan semakin nyata berbentuk investasi kapitalistik oleh pihak-pihak yang memiliki modal, selain juga untuk konsumsi. Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan tanah itu sudah mulai menembus batas-batas kota besar dan menjalar ke daerahdaerah pedesaan. Ini pun antara lain juga merupakan akibat langsung dan tak langsung dari proses industrialisasi dan pemekaran penanaman modal. Tidak ada salahnya dalam hal itu semua, seandainya proses itu tidak disertai dengan menyebarnya rasa ketidakadilan akibat cara-cara yang biasa dipakai dalam “menebus”, “membebaskan” atau apa saja namanya, tanah-tanah yang dibutuhkan. Dari hari ke hari selalu ada berita tentang praktik-praktik yang menimbulkan keresahan umum dalam hubungannya dengan persoalan tanah ini. Perasaan diperlakukan secara tidak adil yang ada pada kelompok luas masyarakat akan selalu merupakan faktor penggalang kesetiakawanan yang efektif di kalangan mereka. Sentimen itu, dengan sedikit manipulasi oleh orang-orang ahli propaganda, demagog ataupun artikulator lainnya, akan dapat dengan mudah berubah menjadi sumber tenaga pergerakan sosial, kemudian politik. Jika saat itu tiba, maka biasanya kita hanya terpukau oleh kenyataan langsung itu, tanpa mempedulikan latar-belakangnya yang lebih pokok. Maka kita pun menamakannya sebagai suatu bentuk kejahatan, mungkin subversi, sebab pengaruhnya yang langsung merugikan stabilitas nasional, suatu nilai yang kini agaknya menjadi mutlak guna menopang pembangunan. Tetapi bagi mereka D2E
F PERSOALAN TANAH G
yang cukup reektif, disertai dengan concern secukupnya kepada nilai-nilai kemanusiaan, akan melihat gelagat sosial-politik itu sebagai wajar saja. Ia tidak merupakan sebab yang berdiri sendiri, melainkan akibat dari perbuatan orang lain yang kurang memperhatikan norma-norma kemanusiaan, yaitu keadilan. Dengan sedikit keberanian memikul risiko, mungkin seorang idealis akan menyokong gerakan serupa itu, lepas dari cara yang dipakainya: halus atau kasar, legal atau tidak legal menurut ukuran yang sedang berlaku. Sebab dari mana pun ditinjau, suatu tuntutan akan hak keadilan selalu dapat dibenarkan. Apalagi untuk Republik kita yang didirikan atas dasar tujuan “mewujudkan keadilan sosial bagi seturuh rakyatâ€?. Tetapi persoalan tanah tersebut di atas hanyalah segi yang paling mencolok, dan cepat memantik perhatian karena ketajaman permasalahannya. Di samping itu masih terdapat persoalan yang lebih besar lagi, yaitu yang menyangkut struktur pemilikan, penggunaan dan pembagian hasil produksi tanah secara keseluruhan. Dahulu persoalan ini dicoba mengatasinya melalui program landreform, tetapi sekarang belum lagi terdengar rencana tandingan yang senilai atau sepadan dengan yang lama itu. Atau barangkali memang lebih baik kita melihat lagi kemungkinan melaksanakan program lama itu, tetapi dengan cara yang lebih dewasa tanpa memancing terulangnya peristiwa semacam Bandar Besi? [™]
D3E
F MASALAH RASIALISME G
MASALAH RASIALISME Oleh Nurcholish Madjid
Presiden dan pemerintah secara keseluruhan menyesalkan “Peristiwa 5 Agustus� di Bandung, dan dinyatakan bahwa tindakan-tindakan tegas akan diambil terhadap para pelakunya. Berbagai penilaian dikemukakan pemerintah atas kejadian itu; salah satunya ialah yang dikemukakan oleh Menteri Penerangan Mashuri bahwa tindakantindakan kekerasan itu selain tidak dibenarkan juga bertentangan dengan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya. Apalagi sebagai bangsa yang terus-menerus berusaha membina persatuan dan integrasi bangsa. Rasanya sebagai pemerintah pada saat ini tidak ada sesuatu yang dapat diperbuat selain seperti tercermin dalam pernyataanpernyataan itu. Dengan alasan-alasan yang mantap seperti hal-hal sekitar stabilitas sosial-politik, keamanan, subversi, dan lain-lain, warga negara tentu dapat mengerti adanya sikap tegas pemerintah seperti dijanjikan itu. Dan tentu saja tindakan-tindakan kekerasan itu tidak hanya bertentangan dengan martabat bangsa Indonesia karena kita adalah bangsa yang berbudaya, tetapi lebih-lebih lagi karena kita adalah manusia! Artinya tindakan-tindakan rasialistis, kalau memang rasialisme benar-benar merupakan motif utama, adalah bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam sejarah, meskipun seorang Hitler mampu menuangkan pemahaman itu ke dalam rumusan-rumusan yang tampaknya dari luar memuaskan, logis dan sistematis, serta berhasil pula memaksakannya sebagai kredo bagi bangsanya, yaitu bangsa Jerman, tetapi ternyata hati D1E
F NURCHOLISH MADJID G
nurani umat manusia tidak dapat menerimanya. Umat manusia bergabung untuk menghancurkan rasialisme Nazi itu. Tetapi marilah kita tinjau masalahnya secara lebih sungguhsungguh dan lebih kritis lagi. Dalam apa saja yang dapat dipertimbangkan sehubungan dengan peristiwa 5 Agustus itu, sepenuhnya dapat dipertanyakan: Siapakah sebenarnya yang bertindak atau berlaku rasialis? Tidak dalam penglihatan sekejap pada tanggal 5 Agustus dan setempat hanya di Bandung itu saja, tetapi dalam dimensi ruang dan waktu yang lebih luas tentunya. Umpamanya, siapakah dari unsur-unsur penduduk (tidak selalu warga negara) Indonesia yang secara laten menyimpan sikap memandang ke bawah atau merendahkan unsur-unsur yang lain-lain? Siapakah, yang karena sikap tinggi diri itu, mengalami hambatan sosial-kultural serta psikologis untuk secara sungguhsungguh berintegrasi dalam lingkungan masyarakatnya yang lebih luas? Siapakah, yang karena eksklusivisme itu, kemudian membentuk masyarakat tertutup, baik dalam pola budayanya maupun pola sosial-ekonomisnya? Seseorang yang merusak hartabenda milik orang lain karena perbedaan warna kulit memang seorang rasialis. Tetapi tidak mau bergaul dengan orang lain dalam arti seluas-luasnya karena memandang bahwa secara genetis orang tersebut dan yang sebangsanya adalah inferior merupakan paham ras yang lebih prinsipil dan lebih berbahaya. Seharusnya hal itu menjadi pusat perhatian kita dalam rangka usaha membina integrasi nasional. Atau kita biarkan saja hal itu berlangsung terus “asalkan tidak mengganggu�, tetapi dengan konsekuensi suasana hidup pura-pura, menyimpan dendam dan saling waspada satu dengan lainnya. Suatu saat dendam dan kebencian itu akan cukup banyak terkumpulkan kemudian membentuk tenaga destruktif yang tidak hanya mengganggu tetapi menghancurkan apa yang ada. Hal-hal yang berkaitan dengan segi kultural dan sikap mental itu dipertajam lebih jauh lagi oleh hal-hal yang berkaitan dengan segi ekonomi. Sudah merupakan pengetahuan umum yang pasti bahwa sebagian kecil penduduk Indonesia ini, karena beberapa D2E
F MASALAH RASIALISME G
faktor penyebab, terutama historis-kolonial, menguasai sebagian besar ekonomi bangsa. Kelebihan nyata di bidang kekayaan itu memupuk lebih subur lagi rasa lebih atau superiority complex yang telah ada. Kompleks itu menyatakan diri dalam sikap-sikap konkret yang kurang simpatik, yang kesemuanya dapat digambarkan sebagai kurang timbang-rasa, pamer, atau tak peduli dengan kemiskinan sekitarnya. Tetapi memang sering terjadi hal-hal yang ironis. Untuk sebagian orang justru keadaan serupa itu hendak dibiarkan saja, kadang-kadang mungkin mereka berpikir untuk menciptakan keadaan yang lebih gawat. Dalam keadaan air menjadi keruh itu, memancing dengan umpan sederhana akan dapat menangkap ikan lebih banyak. Bagi mereka yang memiliki kemungkinan menawarkan “jasa-jasa baik�, barangkali kursnya akan mengalami kenaikan dalam keadaan-keadaan yang lebih tegang. Maka dalam hubungannya dengan setiap peristiwa seperti di Bandung itu, kemungkinan-kemungkinan serupa itu harus tetap diperhitungkan, dan diadakan pencegahan. Demikian pula kemungkinan manipulasi-manipulasi lain, misalnya yang bersangkutan dengan klaim asuransi dari semua pihak. Komitmen-komitmen kepada golongan ekonomi kuat itu yang kemudian mengaburkan komitmen nasional menuju keadaan semakin meratanya pembagian kekayaan bangsa tidak selalu terwujud dalam bentuknya yang kasar dan mudah dilihat dari luar. Kadang-kadang komitmen itu membentuk jaringan yang sedemikian halus dan kompleks, sehingga tidak dikenali lagi kecuali oleh pelakunya sendiri. Di sinilah mungkin terletak masalah yang lebih berat lagi. Sebab, apa jadinya, dan apa yang dapat diharapkan lagi, jika semangat “nyambut gawe� dalam arti mencari dan menumpuk kekayaan selama kesempatan tersedia banyak, menghinggapi cukup banyak orang? Karena itu, sekarang ini rasanya kamitmen-komitmen egois atau sempit itulah yang terlebih dahulu harus dihilangkan. Tetapi disadari sepenuhnya bahwa membuang begitu saja suatu bentuk komitmen yang amat menguntungkan adalah sulit sekali. D3E
F NURCHOLISH MADJID G
Sikap itu memerlukan keikhlasan yang hampir tak terbatas kepada bangsa dan negara serta cita-cita rakyat mewujudkan keadilan sosial. Atau kita berdoa saja kepada Tuhan agar diturunkan kepada kita seorang pemimpin “luar biasa” yang mernpunyai rasa keadilan yang tinggi? [ ]
D4E
F NEGARA KITA ADALAH SOSIALIS-RELIGIUS G
NEGARA KITA ADALAH SOSIALIS-RELIGIUS Oleh Nurcholish Madjid
Satu perkara yang patut kita catat dan renungkan bersama ialah pernyataan Presiden Soeharto dalam peringatan Dies Natalis UI yang ke-25 bahwa negara kita adalah negara sosialis-religius. Untuk sebagian besar orang mungkin pernyataan itu diterima dengan sedikit terkejut karena tidak disangka-sangka. Tetapi untuk mereka yang sempat menyimak semua pernyataan Presiden dalam berbagai kesempatan serta berani menyeberangi yang tersurat untuk sampai kepada yang tersirat tentu pernyataan serupa itu akan didapati ada sejak lama, sedangkan ucapan presiden di upacara Dies itu hanyalah merupakan suatu penegasan. Tetapi bagaimanapun untuk banyak orang keterangan Presiden bahwa negara kita bersifat sosialis-religius itu sangat melegakan. Pertama dari sudut pemakaian istilah, dan kedua dari segi penyegaran intensi atau komitmen bersama. Dari sudut pemakaian istilah, yang dimaksudkan ialah pemakaian istilah “sosialis”. Sudah lama sekali dari kalangan resmi tidak pernah di-“produsir” suatu simbol-simbol dan jargon-jargon, termasuk simbol dan jargon yang secara objektif memang kita perlukan. Agaknya kita semua dalam kondisi “kapok” melakukan hal itu mengingat bahwa masa lalu yang tidak terlalu jauh, yaitu masa Orde Lama, udara politik kita pengap oleh simbol-simbol dan jargon-jargon kosong, dan para pemimpin kelewat produktif D1E
F NURCHOLISH MADJID G
dengan simbol-simbol dan jargon-jargon itu, sementara rakyat makin menjadi sengsara. Itu dari satu pihak. Dari pihak lain keengganan banyak orang untuk menampilkan istilah “sosialis” itu karena adanya asosiasi orang antara perkataan tersebut dengan suatu kelompok tertentu yang sering diperkirakan atau dituduh sebagai melakukan kegiatan-kegiatan politik yang kurang sesuai dengan keadaan yang berlaku resmi sekarang. Kelompok itu pula yang dahulu oleh Orde Lama dicap sebagai biang gerakan-gerakan kontra-revolusi, tetapi kelompok itu pula yang sampai kini sampai batas-batas tertentu berada dalam keadaan yang dirasa kurang favourable secara politik. Maka timbullah keengganan tersebut. Tetapi nyatanya sekarang Presiden kita dengan tegas menggunakan kembali predikat “sosialis” untuk negara kita. Salah satu penilaian terhadap gejala ini ialah dari sudut psikologis: adanya petunjuk bahwa kita semakin mantap kepada diri sendiri sehingga tidak perlu “segan” terhadap simbol-simbol dan istilah-istilah yang dulu pemah digunakan orang, sebab simbol itu bagaimanapun adalah milik semua orang dan diperlukan untuk mengkonkretkan suatu ide atau pikiran dan tujuannya. Demikian pula halnya dengan pemakaian istilah “religius”. Istilah ini juga pernah dihindari orang karena asosiasinya dengan suatu kelompok tertentu yang pernah tampak seolah-olah hendak memonopoli pengertian sekitar istilah tersebut, dan untuk itu mengklaim sebagai satu-satunya kelompok yang berhak memakai dan melaksanakannya. Tetapi itu semua dapat dianggap anganangan saja (nonsens), dan perlu sekali kita menyadari bahwa religiusitas adalah bakat manusia yang paling universal. Yang kedua, pernyataan Presiden itu menyenangkan sebab dapat dinilai sebagai penegasan niat atau intensi serta komitmen kita bersama mewujudkan suatu masyarakat yang sebaik-baikmya. Memang dapat dikatakan bahwa adanya ide itu sesungguhnya sudah termaktub dalam pembukaan UUD 45, dalam hal ini ialah apa yang kini dikenal sebagai sila ke-5 daripada Pancasila. Tapi toh penegasan tetap diperlukan. Dan dengan pernyataan tersebut D2E
F NEGARA KITA ADALAH SOSIALIS-RELIGIUS G
kini tujuan kita menciptakan masyarakat sosialis-religius memang menjadi semakin jelas. Tinggallah uraian lebih lanjut atas segisegi kebijaksanaan yang menyangkut pelaksanaan. Dalam hal ini mungkin GBHN dan Pelita II telah memberikan jawaban. Tetapi barangkali tidak terlalu salah jika dikatakan bahwa GBHN dan Pelita II terasa cukup jauh oleh jangkauan pengertian rakyat banyak, dan masih perlu “diterjemahkan” lagi dalam bahasa-bahasa awam — biasanya lebih cepat melalui simbol-simbol — kemudian melalui pelaksanaan yang tampak mata. Beberapa simbol telah dikemukakan kepala negara. Umpamanya bahwa masyarakat kita adalah antikapitalisme, antifeodalisme, antipenindasan, dan seterusnya. Juga segi-segi positifnya telah dikemukakan dalam berbagai kesempatan, umpamanya bahwa kita menghendaki kemakmuran bersama, pembagian rezeki yang semakin merata, pemikulan beban secara gotong royong melalui partisipasi seluruh rakyat dan seterusnya. Tetapi satu hal yang masih mengganggu kemantapan rakyat terhadap kesejatian kita dalam mewujudkan masyarakat sosialis ialah tendensi yang sering dikonstatir bahwa di tanah air kita sekarang orang yang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin menjadi semakin miskin. Meskipun mungkin data-data kuantitatif yang dapat dijadikan bahan statistik masih perlu dikumpulkan melalui suatu penelitian, tetapi jika apa yang dirasa rakyat banyak itu memperoleh “sundutan” propaganda dan agitasi maka ia akan mudah menjelma menjadi tenaga politik yang berhaluan radikal. Karena itu sedapat mungkin tendensi negatif tadi selekasnya dilenyapkan. Mumpung waktu masih cukup dini, dan kaum vested interest belum sempat membangun kubu-kubu politiknya. Atau malah sudah sempat? Tidak tahulah. Mudah-mudahan keadaan tidak seburuk itu! [ ]
D3E
F KESUNGGUHAN DALAM MELAKSANAKAN CITA-CITA “KEADILAN SOSIAL” G
KESUNGGUHAN DALAM MELAKSANAKAN CITA-CITA “KEADILAN SOSIAL” Oleh Nurcholish Madjid
Salah satu perkembangan positif yang terjadi di tanah air kita akhir-akhir ini ialah adanya kesadaran yang semakin besar dari para pemimpin kita tentang pentingnya melaksanakan keadilan sosial sebagai bagian daripada kegiatan pembangunan. Presiden sendiri menyatakan komitmennya kepada keadilan sosial itu dalam beberapa kali kesempatan, termasuk di depan para gubernur dari seluruh tanah air yang datang ke Jakarta untuk suatu konferensi. Sebenarnya keinsafan akan rasa keadilan sosial ini harus sudah menjadi milik setiap warga negara, dan bukan merupakan sesuatu yang baru. Sebab sebagai sila terakhir dalam Pancasila, keadilan sosial dinyatakan sebagai tujuan kita membentuk Republik Indonesia merdeka ini. Agama-agama pun meletakkan cita-cita mewujudkan keadilan sosial itu sebagai salah satu ajaran pokoknya. Islam dikenal sebagai agama yang amat banyak berbicara tentang pembelaan terhadap kaum miskin serta tentang persamaan mutlak antara sesama manusia. Dan etika Kristen telah memberikan ilham bagi banyak pikiran tentang kemanusiaan di Dunia Barat. Begitu pula agama Hindu, ia telah melahirkan putra-putra kemanusiaan yang besar, di antaranya ialah bapak India Merdeka Mahatma Gandhi. Apabila norma-norma itu telah dengan sendirinya kita terima dan setujui, maka tidak kurang pentingnya ialah bagaimana melaksanakannya dalam tindakan-tindakan konkret. Di sinilah orang D1E
F NURCHOLISH MADJID G
lebih sulit bersatu pikiran disebabkan beranekaragamnya tingkat pengalaman, penghayatan dan pengetahuan atau pandangan. Seseorang yang tidak pernah mengalami sendiri suatu perlakuan tidak adil tentu kurang dapat merasakan dan menangkap segisegi ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat sehari-hari. Kesemuanya itu mungkin tampak baginya sebagai sesuatu yang wajar saja. Demikian pula, mungkin seseorang mengalami suatu kezaliman, namun karena telah terbiasa kepada sikap “nrimo� maka ia tidak menghayati kezaliman tersebut, dan kepincangan sosial itu juga dilihatnya sebagai sesuatu yang sudah semestinya terjadi. Begitu juga pengetahuan dan pandangan yang dimiliki seseorang tentang makna keadilan akan banyak mewarnai sikapnya dalam segi pelaksanaan. Tentang hal yang terakhir ini, kita ingin mengemukakan suatu perkara. Bagi seseorang yang secara sungguh-sungguh terikat (committed) kepada nasib rakyat, ia akan memperdalam pengetahuan dan memperluas pandangan tentang sejarah pikiran dan pelaksanaan keadilan sosial yang ada pada umat manusia. Tanpa hendak memperkecil arti sejarah bangsa sendiri dan pikiranpikirannya yang orisinal dan nasional (kalaupun ada), adalah suatu sikap yang tidak realistis apabila kita merasa cukup sendiri dan tidak perlu belajar kepada bangsa-bangsa atau orang-orang lain. Keharusan zaman modem ialah adanya kesadaran akan interdependensi internasional. Salah satu aspek keadilan sosial itu ialah pembagian kekayaan nasional yang lebih merata. Berabad-abad manusia memikirkan masalah ini, dan untuk itu telah ditulis berjilid-jilid buku yang tidak semua orang dapat memahaminya. Namun kesadaran yang ditimbulkannya telah hampir merata di seluruh dunia, yaitu bahwa kepincangan sosial yang terpenting ialah yang menyangkut distribusi rezeki. Idenya yang terpokok ialah bagaimana menghilangkan kemiskinan. Dan kemiskinan itu ada karena ada kekayaan: tidak ada orang miskin dalam suatu masyarakat jika di situ tidak terdapat orang kaya. D2E
F KESUNGGUHAN DALAM MELAKSANAKAN CITA-CITA “KEADILAN SOSIAL” G
Kemiskinan tidaklah mengakibatkan ketidakbahagiaan. Banyak orang melarat yang dalam hidupnya ternyata lebih gembira dan bahagia daripada orang kaya. Tetapi kemiskinan mengakibatkan degradasi, sehingga membahayakan bagi suatu masyarakat. Kejahatan yang ditimbulkannya bersifat menular, dan tidak dapat dihindari hanya dengan pengasingan diri orang-orang kaya dalam bentuk apa pun yang mungkin. Dalam hubungannya dengan masalah ini, kita melihat sesuatu yang amat meminta perhatian dalam masyarakat kita. Ambillah pola-pola kehidupan di ibukota Jakarta sebagai “Miniatur Indonesia” yang belum adil ini. Kita saksikan setiap saat betapa orang-orang yang lebih beruntung dengan bebas menikmati kekayaannya, dan betapa orang-orang miskin juga dengan bebas memamerkan kemelaratannya. Orang-orang kaya itu seakan-akan berkata, “Semua harta benda ini adalah hasil keringatku sendiri, dan oleh karena itu adalah hak pribadiku yang mutlak untuk menikmatinya dengan cara-cara yang aku senangi! Dan salah orang miskin sendirilah apabila ia tidak cakap mengumpulkan kekayaan!” Sebaliknya orang-orang miskin itu seakan-akan berkata (karena umumnya terdiri dari mereka yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali), “Sudah terlanjur aku menjadi melarat, dan tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi!” Padahal semua keadaan itu adalah semata-mata hasil dari suatu sistem, yaitu sistem distribusi rezeki yang berlaku. Dan mereka tidak menyadari bahwa suatu sistem dapat diubah sama sekali. Tidak ada suatu sistem yang mutlak berlaku dan benar selama-lamanya. Menurut seorang ahli, ada tujuh sistem pembagian rezeki yang sekarang ini diperjuangkan orang atau dilaksanakan: (1) Kepada setiap orang diberikan apa yang dia hasilkan. (2) Kepada setiap orang diberikan menurut sepatutnya. (3) Kepada setiap orang diberikan atau memperoleh apa yang dia mampu merebutnya. (4) Kepada orang kebanyakan diberikan sekadar untuk menjaga agar mereka tetap hidup sepanjang hari, dan selebihnya diberikan kepada orang-orang terhormat. (5) Membagi masyarakat menjadi D3E
F NURCHOLISH MADJID G
berkelas-kelas; pembagian kekayaan dalam suatu kelas sama-rata, tetapi tidak demikian antara satu kelas dengan kelas lainnya. (6) Kita teruskan saja apa yang sekarang berlangsung. (7) Sosialisme: bagian yang sama untuk setiap orang. Sekarang terserah kepada kita, termasuk sistem pembagian rezeki yang mana di Indonesia sekarang, atau sistem mana yang hendak kita laksanakan dalam masa mendatang ini. Namun satu hal yang pasti, yaitu bahwa komitmen kita kepada keadilan sosial harus diikuti dengan kesungguhan memikirkan bagaimana melaksanakannya. [™]
D4E
F KAITAN BAHAGIA-SENGSARA DENGAN KAYA-MISKIN G
KAITAN BAHAGIA-SENGSARA DENGAN KAYA-MISKIN Oleh Nurcholish Madjid
Dalam pembicaraan di masyarakat, baik yang “berat” seperti diskusidiskusi maupun yang “ringan” seperti percakapan sehari-hari, sering terungkap masalah bahagia dan sengsara: apakah sebenarnya hakikat kedua keadaan itu masing-masing, serta bagaimana hubungannya dengan keadaan yang menyangkut masalah pembagian rezeki dalam masyarakat, yaitu adanya kaya dan miskin? Menjawab persoalan itu hampir semua orang sepakat bahwa tidak ada bentuk hubungan yang mantap antara keadaan bahagiasengsara dengan keadaan kaya-miskin. Umumnya dapat disetujui bahwa kemiskinan adalah suatu nasib buruk yang amat tidak mengenakkan bagi yang kebetulan menjadi orang miskin. Tetapi orang miskin itu, asalkan tidak menderita kelaparan yang akut umpamanya, tidaklah lebih sengsara daripada seorang yang kaya. Malahan mereka sering lebih bahagia: lebih mudah tidur lelap, lebih sering ketawa-riang dan lebih mampu merasakan kenikmatan makanan — hampir-hampir apa saja — yang tersedia baginya. Semua orang yang berpikir mendalam akan mengatakan kepada kita bahwa kebahagiaan dan kesengsaraan adalah persoalan keadaan dan sikap jiwa, dan tidak ada hubungannya dengan harta. Uang dapat mengobati kelaparan, tetapi tidak dapat mengobati kesengsaraan jiwa. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Tetapi keberatan sosial terhadap kemiskinan bukanlah karena ia membuat manusia tidak bahagia, melainkan karena ia memerosotkan martabatnya. Dan justru kenyataan bahwa orang miskin masih dapat merasa bahagia karena keasorannya dan orang kaya dapat merasakan bahagia karena kehormatannya membuat sesuatu semakin memburuk. Sebab dengan begitu maka masing-masing akan berada pada tempatnya, dan sulit diadakan pergeseran sosial. Seperti dialami oleh tokoh pergerakan sosialis Jerman yang terkenal, Ferdinand Lassale, bahwa yang merunyamkan dirinya dalam menggerakkan orang-orang melarat untuk memberontak kepada kemiskinan ialah tidak adanya kemauan pada mereka. Mereka menjadi “nrimo�, dan sikap itu mengalahkan rasa tidak puasnya kepada keadaan sehingga semangat berjuang pun hilang. Dengan sulitnya terjadi pergeseran sosial itu maka berarti pula berlangsung terusnya degradasi sosial. Kemiskinan sebagaimana terdapat di kota-kota besar sekarang ini, memerosotkan orang-orang miskin itu, kemudian keadaan yang asor itu menular kepada lingkungan di mana mereka tinggal. Dan sesuatu yang dapat memerosotkan suatu lingkungan kecil tentunya juga dapat berbuat serupa untuk lingkungan yang lebih besar, seperti bangsa dan negara. Akibat-akibat yang jahat dari kemiskinan tidak dapat dihindari oleh orang-orang kaya. Jika kemelaratan menyebabkan suatu penyakit menular menjadi terbuka dan aktif — sebagaimana hal itu selalu terjadi di mana-mana lambat ataupun cepat — maka orang-orang kaya akan ketularan penyakit itu dan mereka akan menyaksikan anak-anak mereka mati karenanya. Jika ia menimbulkan kejahatan dan kekerasan, maka orang-orang kaya menjadi takut kepadanya dan memaksa mereka mengeluarkan ongkos yang besar untuk melindungi diri dan miliknya. Dan jika ia melahirkan perangai yang buruk dan bahasa yang kasar (tak sopan), maka anak-anak orang kaya akan mengambil dan menirunya, betapa pun mereka itu dicegah bergaul dengan mereka. Tentu saja, tindakan pencegahan itu justru akan lebih berbahaya bagi pertumbuhan si anak sendiri. Dan, sebagaimana sering terjadi, jika seorang gadis miskin tetapi cukup cantik sampai pada D2E
F KAITAN BAHAGIA-SENGSARA DENGAN KAYA-MISKIN G
kesimpulan bahwa baginya lebih mudah memperoleh uang dengan cara menjual dirinya daripada dengan jalan bekerja secara baik-baik, maka ia akan meracuni darah anak-anak muda dari kalangan orang kaya, dengan segala akibat yang sama-sama kita ketahui. Ungkapan kuna yang mengatakan bahwa orang dapat memelihara dirinya sendiri dan tidak akan tersentuh oleh kejadiankejadian pada tetangga sebelah, atau bahkan apa yang terjadi pada seratus kilometer dari tempat tinggalnya, adalah suatu kekeliruan yang amat berbahaya. Perkataan bahwa kita ini merupakan anggota antara yang satu dengan yang lainnya tidaklah sekadar merupakan ucapan suci yang hanya patut dikhutbahkan. Tetapi itu merupakan suatu kebenaran yang lumrah sekali. Kebenaran itu menyertai kita dalam kehidupan sehari-hari. Orang dapat memelihara dirinya sendiri sesukanya asalkan kemiskinan telah terberantas. Tetapi sebelum hal itu terwujud, dia tidak akan mampu menutup indranya dari pandangan, suara dan bau kemiskinan hidup sehari-harinya, dan tidak akan merasa aman bahwa kemelaratan itu suatu saat tidak bakal menimpa dirinya sendiri. Adalah sudah menjadi hukum sosial bahwa akibat buruk suatu pekerjaan yang jahat tidak hanya menimpa orang jahat itu sendiri, melainkan seluruh masyarakat termasuk mereka yang baik-baik. Maka adalah kewajiban seluruh anggota masyarakat untuk berjuang memberantas kemiskinan itu, demi kebaikan mereka sendiri sebagai totalitas. Dan kiranya suatu kesalahan besar jika kita menganggap bahwa keadaan kaya-miskin itu sudah merupakan takdir Tuhan yang tak mungkin diubah, sehingga kita kemudian cenderung untuk menyalahkan Tuhan. Maka janganlah kita menjawab kepada mereka yang berseru untuk dilaksanakannya keadilan sosial, di mana terdapat perhatian yang istimewa kepada nasib orang miskin, dengan mengatakan (sebagaimana dikatakan dalam surat Yâsīn ayat 47): “Apakah kami harus memberi makan kepada orang yang jika Tuhan menghendaki maka Dia akan memberinya makan!” [ ]
D3E
F TURISME INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERDAMAIAN DUNIA G
ROTI DAN BAGAIMANA MEMBAGIRATANYA Oleh Nurcholish Madjid
“Manusia tidak hidup hanya dengan roti saja�, demikian bunyi sebuah ucapan bijaksana yang sering dikemukakan orang-orang pandai. Sudah tentu dalam ucapan itu terdapat kebenaran yang hampir tidak memerlukan pembahasan lagi. Sebagai dalil ia merupakan sesuatu yang sudah established (mapan) begitu adanya. Di tangan kaum spiritualis, ucapan itu merupakan kata-kata kunci yang memberikan pembenaran bagi pandangan-pandangan dan anjuran-anjurannya, meskipun tidak selalu itu pula yang mereka praktikkan dengan konsekuen. Sebab memang sudah merupakan kenyataan hidup bahwa manusia tidak hanya memerlukan kelengkapan-kelengkapan material, tetapi juga hal-hal yang bersifat bukan material. Apa yang dimaksud dengan hal-hal bukan material banyak sekali. Untuk mengemukakan beberapa misal saja, hal-hal itu meliputi kebebasan, baik untuk bergerak, berpikir, berbicara, berserikat, dan seterusnya. Juga kesempatan untuk menikmati keindahan seni, baik musik, lukis, tari dan lain-lain. Beribadat kepada Tuhan dan setiap kegiatan yang menghasilkan peningkatan ruhani adalah salah satu yang amat vital dalam kehidupan manusia secara bukan material. Dan akhir-akhir ini para pemikir mulai dengan jelas mengemukakan hak atas waktu senggang sebagai salah satu unsur kehidupan kemanusiaan yang esensial bagi kebahagiaan. Demikian juga kesempatan bagi tumbuhnya rasa cinta. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Tetapi untuk lengkapnya, kebenaran yang terkandung dalam adagium di atas harus ditambah dengan kata-kata, “... dan manusia tidak mungkin hidup tanpa roti.� Artinya secara mutlak manusia memerlukan kelengkapan material untuk hidupnya, baik itu berupa sandang, pangan, maupun papan. Bahkan dapat dikatakan bahwa terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan material itu merupakan landasan bagi berkembangnya kehidupan bukan material. Seorang yang sakit atau hampir mati karena lapar disebabkan kemiskinannya, dengan sendirinya dibebaskan dari beban-beban moral: ia boleh melakukan hal-hal yang dalam keadaan lain terlarang, namun sebaliknya ia tidak mungkin melakukan sesuatu yang termasuk kehidupan bukan material tadi (yaitu berupa kegiatan-kegiatan spiritual). Jika nilai hidup manusia memang terletak dalam hal-hal yang bukan material, tetapi karena hal-hal itu hanya dimungkinkan adanya jika hal-hal yang material terpenuhi, maka pusat perhatian harus ditujukan kepada usaha bagaimana mengumpulkan roti sebanyak-banyaknya dan sekaligus membagikannya semerata mungkin dalam masyarakat. Agar dengan begitu kesempatan melakukan yang disebut sebagai letak arti hidup ini juga menjadi semerata mungkin. Keadaan itu pun, yang secara ringkas disebut adil, adalah juga aspek bukan material yang mutlak bagi hidup manusia. [™]
D2E
F TURISME INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERDAMAIAN DUNIA G
MENGUPAYAKAN PEMERATAAN BERAS Oleh Nurcholish Madjid
Suatu kebijaksanaan terakhir yang kita catat dari pemerintah dan patut disambut dengan gembira ialah keputusan untuk “membebaskan” beras, dengan meniadakan sistem target pengumpulannya baik nasional maupun daerah atau provinsi, dan dengan menghapuskan pembatasan-pembatasan pengangkutan dan pemindahan beras itu dari suatu daerah ke daerah lainnya. Memang sudah sejak lama masyarakat mensinyalir bahwa sistem target yang selama ini dianut telah merangsang adanya tindakan-tindakan pemerintah daerah yang sedikit banyak bersifat over acting. Ujudnya ialah tindakan-tindakan yang merugikan rakyat, khususnya para petani, berupa pemaksaan dalam proses pembelian oleh pemerintah atau badan yang mewakilinya dan penjualan oleh petani. Tindakan itu dimaksudkan agar jangan sampai target yang dibebankan mengalami kegagalan. Jika diteliti, tindakan over acting itu mempunyai akar dalam semangat yang sekarang sudah menjadi pameo, yaitu “Asal Bapak (dan Ibu) Senang”. Kesenangan itu diharapkan karena target tercapai, meskipun diusahakan melalui cara-cara yang merugikan orang banyak. Sebelum ini sebetulnya sudah ada semangat ABS itu berupa laporan-laporan yang akhirnya melahirkan angkaangka statistik yang menyesatkan. Sebab laporan-laporan itu, supaya menyenangkan, bernada sangat optimistis, sehingga terjadi penggembungan angka. Jadi penetapan target itu sendiri D1E
F NURCHOLISH MADJID G
sebenarnya tidak terlampau salah. Sebab ia disusun berdasarkan angka-angka seperti dalam laporan. Bahwa kelak ternyata eksesekses negatif yang ditimbulkan oleh sistem target itu terlampau. berat, adalah merupakan indikasi daripada beberapa hal, antara lain tidak benarnya data-data yang menjadi titik-tolaknya semula. Sedangkan BUUD (Badan Usaha Unit Desa) sebagai aparat belum menunjukkan kemampuan yang diharapkan. Dari segi ide dasarnya, pembentukan BUUD adalah sesuatu yang positif. Malahan ada yang menganggapnya sebagai langkah permulaan bagi pelaksanaan sistem ekonomi koperasi, yang menurut Bung Hatta adalah semangat UUD 45. Tetapi mengharapkan BUUD — vang ibarat pepatah “umur baru setahun jagung dan darah baru setampuk pinang” — itu untuk bekerja dengan kemampuan penuh (full capacity) adalah seperti menyuruh bayi untuk bekerja seperti orang dewasa. Hasilnya ialah kekecewaan seperti yang kita alami bersama. Sebetulnya kurang berhasilnya usaha-usaha penanggulangan masalah pangan, dalam hal ini khususnya beras, tidaklah seluruhnya karena kelemahan atau kesalahan manusia. Pernyataan ini agak bernada kompensatif dan pencarian hiburan. Tetapi suatu realita yang disadari sepenuhnya oleh para ahli ialah adanya food shortage (kekurangan lahan pangan). [ ]
D2E
F MEMPERBAIKI TARAF HIDUP RAKYAT DI DESA-DESA G
MEMPERBAIKI TARAF HIDUP RAKYAT DI DESA-DESA Oleh Nurcholish Madjid
Pemerintah telah mengeluarkan sebuah keputusan penting di bidang ekonomi yang kemudian dikenal dengan “Kebijaksanaan 19 November�. Menteri Ekuin dan Ketua Bappenas Prof. Widjojo mengatakan bahwa 75 juta rakyat Indonesia akan merasakan manfaat kebijaksanaan itu. Dan dalam suatu keterangannya, Menteri Pertanian Prof. Thojib Hadiwidjaja mengemukakan tentang tiga tujuan pokok kebijaksanaan tersebut, yaitu, pertama, peningkatan produksi pangan menuju swasembada dan perbaikan gizi; kedua, peningkatan daya beli rakyat tani yang juga berarti peningkatan tingkat kesejahteraan mereka; dan ketiga, menggairahkan peningkatan produksi di berbagai bidang perekonomian lainnya. Dikatakan selanjutnya bahwa kenaikan harga pupuk dari Rp 40,00 menjadi Rp 60,00 memang akan terasa berat jika tidak diimbangi dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya. Karena itu dilakukanlah peningkatan paket kredit dan kenaikan harga padi gabah pada bulan Februari mendatang. Yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah keterangan yang bernada optimistik dari Menteri Ekuin bahwa pada saat ini telah terjadi perbaikan taraf hidup para petani di bidang sandang, pangan dan papan. Sedangkan dalam bidang cara hidup juga terjadi modernisasi yang positif. Misalnya dalam memproses jadi, sistem tumbuk, ani-ani dan derep menjadi giling, babat, borongan, dan seterusnya. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Memang merupakan kenyataan yang tak dapat disangkal bahwa telah terjadi peningkatan taraf hidup para petani. Hal in.i adalah disebabkan oleh efek pergandaan (multiplying eect) dari hasil pembangunan secara keseluruhan, terutama hasil-hasil yang sudah dicapai dalam pembinaan bidang-bidang yang tergolong ke dalam prasarana, misalnya jalan-jalan raya. Banyak pelosokpelosok daerah, tak terkecuali pula Pulau Jawa, yang menyaksikan untuk pertama kalinya jalan-jalan raya berlapis aspal di sekitarnya. Seperti dapat diduga, dan malahan memang menjadi harapan dari semula, jalan-jalan raya itu mendorong terjadinya banyak sekali ragam kegiatan ekonomi. Mobilitas manusia dan barang menjadi sangat mudah. Investasi di bidang jasa angkutan merupakan gejala umum di daerah-daerah. Hal-hal tersebut itu, dan banyak lagi hal-hal lainnya, pasti mempunyai pengaruh yang langsung kepada pola-pola kehidupan masyarakat. Tetapi masih terdapat ruang kekhawatiran, bahwa apa yang tampak oleh mata sebagai kenaikan taraf hidup itu tidak lain ialah kenaikan taraf konsumsi saja. Jadi justru mempunyai akibat yang bersifat kontra-produktif, meskipun mungkin masih ada faktor pengimbang untuk sebagian seperti cukup rendahnya barang-barang konsumsi tertentu. Apalagi jika ada yang dijadikan indikasi kenaikan taraf hidup itu kita batasi kepada gejala-gejala mencolok seperti pemilikan pesawat radio, kendaraan bermotor (di daerah terutama sepeda motor), dan lain sebagainya. Maka jelas sekali sifat konsumtif daripada pola hidup itu. Malahan termasuk pula apa yang oleh Menteri Pertanian dimasukkan ke dalam gejala modernisasi kehidupan para petani. Misalnya penggantian cara tumbuk dengan cara penggilingan yang masinal (menggunakan mesin-mesin). Untuk sebagian besar masyarakat pertanian, pergantian itu hanya merupakan gejala konsumtif, bukan produktif. Sebab hal itu tidak menambah produksi apa-apa, kecuali barangkali penyingkatan waktu saja. Sedangkan di segi lain mengakibatkan munculnya orang-orang yang tak berpenghasilan, yaitu yang terdiri dari orang yang D2E
F MEMPERBAIKI TARAF HIDUP RAKYAT DI DESA-DESA G
kehilangan pekerjaan menumbuk padi. Mereka ini sudah tentu terdiri dari orang-orang yang kurang mampu. Sedangkan yang memiliki mesin-mesin penggiling padi sudah barang tentu adalah orang-orang yang mampu. Sehingga di desa-desa pertanian terdapat pameo bahwa sekarang banyak orang-orang kaya yang menjadi “buruh nutuâ€? (buruh menumbuk padi), yaitu dengan mesin-mesin giling yang mereka miliki. Apakah di pedesaan tidak terjadi kenaikan produksi sama sekali? Tentu saja terjadi kenaikan produksi. Secara singkatnya kenaikan itu adalah akibat adanya intensiďŹ kasi dan ekstensiďŹ kasi pertanian. Tetapi yang menjadi pertanyaan ialah apakah kenaikan produksi itu betul merupakan dasar gejala-gejala kehidupan yang dinilai sebagai indikator kenaikan taraf hidup tersebut? Sebab sebagaimana dikatakan oleh HKTI, para petani sampai detik ini masih lebih merupakan masyarakat produsen (memproduksi hasil-hasil pertanian), tanpa kekuasaan atas sektor pemasaran. Sektor pemasaran masih dikuasai oleh orang-orang lain, yaitu para pedagang dan tengkulak, yang secara kebetulan umumnya terdiri dari orang-orang nonpribumi. Maka salah satu cara yang singkat tetapi cukup strategis ditinjau dari segi kepentingan kaum tani dalam menaikkan taraf hidup mereka ialah menjadikan mereka penguasa atas sektor pemasaran hasil produksi mereka sendiri. Kalau hal ini tak mungkin terjadi, atau katakanlah sulit sekali, maka yang dapat dilakukan ialah melindungi kepentingan kaum tani itu dengan suatu kebijaksanaan politik sehingga mereka dapat secara adil menikmati hasil jerih payah mereka. Sudah tentu langkah pertama ialah menetapkan harga barang hasil pertanian secara pantas menurut ukuran petani. Jadi peranan mutlak terletak pada pemerintah. Tetapi hal ini agaknya menyangkut masalah lain, yaitu orientasi politik. Yang dimaksud ialah apakah pemerintah dalam orientasinya lebih memperhitungkan masyarakat kota yang berekonomi uang atau masyarakat desa yang berekonomi barang (natura). Sebab menaikkan harga hasil pertanian adalah merugikan yang pertama D3E
F NURCHOLISH MADJID G
dan menguntungkan yang kedua, sedangkan sebaliknya menekan harga itu adalah menguntungkan yang pertama dan merugikan yang kedua. Dasar benarnya orientasi kota ialah karena gejolak politik yang mengganggu stabilitas hanya datang dari kota. Tetapi perlu diingatkan bahwa sebagian besar secara mutlak rakyat kita adalah penduduk desa-desa. [™]
D4E
F KAUM BURUH SELURUH INDONSIA BERSATULAH! G
KAUM BURUH SELURUH INDONESIA, BERSATULAH! Oleh Nurcholish Madjid
Sistem yang menciptakan kekayaan di tangan orang sedikit dan kemiskinan di tangan orang banyak sudah lama berjalan, dan agaknya masih akan berjalan untuk waktu yang cukup lama lagi. Kamus politik telah menemukan suatu nama umum untuk orang-orang, tanpa perbedaan kebangsaan, warna kulit, jenis kelamin, kepercayaan atau golongan sosial, yang karena tidak mempunyai tanah atau modal, harus menyewakan tenaga atau diri mereka sendiri untuk hidup. Istilah itu ialah “kaum proletar” atau “proletariat”. Karl Marx (1818-1883) telah dan masih dianggap sebagai kampiun pembela kaum proletar sebagai bagian organis yang sesungguhnya dari suatu masyarakat beradab yang bakal mengalahkan cara pemerintahan dan pemilikan harta yang tidak adil. Sekalipun dilahirkan di Jerman, tetapi Marx menghabiskan lebih dari separuh umurnya di Inggris guna melakukan studi khusus tentang perkembangan kapitalisme di sana (pada waktu itu Inggris adalah negara kapitalis yang paling terkemuka). Dari studi itu, dia sampai pada cita-cita untuk memimpin kaum proletar, agar mereka yang hidup dari menjual atau menyewakan tenaganya itu bersatu padu untuk berjuang menghapuskan pemilikan pribadi atas tanah dan modal kemudian mengambil peranan dalam perjuangan dunia perburuhan internasional. Seruannya yang amat terkenal ialah: “Kaum buruh seluruh dunia, bersatulah!” D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Di Indonesia, setelah melalui proses yang tampaknya tidak begitu sulit, telah terjadi hal yang kira-kira sejajar dengan seruan dan cita-cita Marx itu, meskipun hanya dalam ruang lingkup nasional. Dan sudah tentu jika seandainya SOBSI/PKI masih hidup, penyatuan organisasi-organisasi buruh itu akan disambut dengan gegap gempita sebagai suatu tindakan yang revolusioner. Tentu saja inisiatif penyatuan itu harus datang dari pihak mereka, sebab inisiatif yang datang dari pihak lain tidak saja harus dicurigai tetapi kontra-revolusioner! Suatu segi yang baik dari penyatuan gerakan perburuhan itu ialah dibebaskannya organisasi-organisasi buruh yang ada dari ikatan dengan partai-partai atau badan induk politik. Di mata partai-partai politik, organisasi buruh hanyalah suatu alat, bukan untuk memperjuangkan nasib kaum burah itu sendiri, melainkan untuk mencapai kekuasaan oleh partai. Sedihnya, kepentingan partai-partai itu tidak selamanya sejalan dengan kepentingan kaum buruh, malahan seringkali bertentangan. Sebab, partai-partai itu dipimpin oleh mereka dengan strata sosial yang sulit atau barangkali mustahil memahami aspirasi buruh. Maka adalah suatu ironi bahwa organisasi buruh dibentuk bukannya untuk memperlancar perjuangan mereka tetapi justru memperkuat kedudukan golongan yang dapat dikategorikan “lawan” dunia buruh! Mungkin ada yang keberatan atas pernyataan ini. Tetapi pengamatan secukupnya — tak usah terlalu mendalam — jika disertai dengan sedikit kebebasan atau impartiality (sikap tak memihak) tentu akan membawa orang kepada kesimpulan itu. Pragmatisme Orde Baru — yang meskipun belum tentu setiap orang menyetujui istilah itu tapi toh sudah dipraktikkan — adalah non-ideologis. Oleh sebab itu, penilaian ideologis terhadap kehidupan perburuhan di Indonesia tidak dibenarkan. Apalagi dunia itu justru merupakan daerah penggarapan ideologi yang berbeda dengan Pancasila, yaitu Marxisme-Leninisme. Tetapi toh orang tidak dapat dicegah untuk senantiasa mempertanyakan: Siapakah sebenarnya buruh itu? Bagaimana kedudukan mereka D2E
F KAUM BURUH SELURUH INDONSIA BERSATULAH! G
dalam sistem masyarakat sekarang? Apa peranan mereka dalam produksi? Bagaimana nasib kemanusiaan mereka? Apa kepentingan mereka yang asasi untuk diperjuangkan? Dan bagaimana caranya serta apa alatnya yang tersedia? Dan dihubungkan dengan proses akhir-akhir ini: Apa tujuan penyatuan organisasi buruh itu dalam rangka pembangunan nasional? Jawaban mudahnya — karena itu, barangkali, dangkal — ialah: buruh adalah dia yang menjual tenaganya untuk hidup. Dia merupakan lower class dalam masyarakat, “alat” produksi yang utama, mendapat bagian yang sedikit dari distribusi, mengalami proses “dehumanisasi”, merindukan perbaikan nasib, dengan cara menggalang persatuan sesama buruh dan memakai alat mogok sebagai senjata ampuh yang tersedia. Maka kiranya tujuan penyatuan buruh akhir-akhir ini ialah untuk mencapai tujuan perjuangan tersebut dengan menggunakan cara dan alat yang tersedia — jika diizinkan — dalam rangka mewujudkan salah satu segi keadilan sesial sebagai suatu aspek prinsipil dari pembangunan nasional. Mungkin tinjauan itu terlampau bersifat pesimistis tentang nasib buruh dan masa depannya. Tetapi untuk menjadi optimis hanya dengan mengatakan bahwa perbaikan akan terjadi jika masyarakat atau negara dipimpin oleh orang-orang yang beriktikad baik — jadi tidak perlu meninjau kembali sistem sosialnya dan buruh tidak perlu berjuang sendiri — bagi saya adalah suatu ilusi. Hal itu berlawanan dengan objektivitas mekanisme sosial yang ditimbulkan oleh sistem atau lembaga yang ada. Maka, meskipun setelah penyatuan ini kaum buruh Indonesia mempunyai alat perjuangan yang bisa lebih baik, namun tekniknya masih memerlukan pemikiran lebih jauh. [ ]
D3E
F MERATAKAN HASIL PEMBANGUNAN G
MERATAKAN HASIL PEMBANGUNAN Oleh Nurcholish Madjid
Kalau diringkaskan benar, sesungguhnya jalan pikiran Karl Marx amatlah sederhana: suatu sistem kepercayaan bersendikan determinisme historis bagi perkembangan masyarakat manusia menuju sosialisme. Sebab Marx meyakini bahwa struktur masyarakat kuna akan dengan sendirinya melahirkan masyarakat perbudakan, struktur masyarakat perbudakan pasti diikuti oleh masyarakat feodal, feodalisme menciptakan kondisi bagi turnbuhnya kapitalisme, dan kapitalisme hanyalah sebuah step stone menuju sosialisme. Maka sosialisme adalah masa depan sejarah. Bahkan disebutkan oleh Avanasyev sebagai “masa depan gemilang bagi umat manusia”. Begitu percayanya Marx kepada kepastian atau “takdir” sejarah ini, sehingga hampir-hampir dia mengatakan bahwa manusia ikut campur ataupun tidak, memperjuangkan atau tidak, namun masyarakat sosialis tentu terwujud. Terserahlah apa yang diyakini oleh Marx dan para pengikutnya. Tetapi, dengan begitu, seperti dikatakan oleh Michael Harrington, pemimpin partai sosialis Amerika yang amat berpengaruh pada jalan pikiran mendiang Presiden Kennedy, maka Marx menjadi terlampau prokapitalisme bagi perkembangan negara-negara dunia ketiga. Jika konsisten dengan jalan pikiran Marx, maka yang dapat secara wajar berproses menjadi masyarakat sosialis atau adil-makmur hanyalah masyarakat-masyarakat yang telah mencapai tingkat kapitalisme secukupnya. Hal itu berarti hanya bagian kecil sekali dari masyarakat dunia sekarang, apalagi dunia D1E
F NURCHOLISH MADJID G
di zaman Marx hidup (saat itu Jerman pun masih termasuk negara terkebelakang dari segi industrialisasi). Jadi kita di Indonesia pun agaknya sekarang masih terlalu pagi untuk memimpikan keadilan sosial terwujud. Malahan kita masih harus “nrimo� untuk melalui dan menyaksikan drama-drama kemanusiaannya sistem kapitalis seperti dialami oleh beberapa negara Eropa pada waktu Revolusi Industri dimulai. Tetapi agaknya terlalu banyak orang yang merasa keberatan terhadap jalan pikiran serupa itu. Orang-orang yang berpikiran radikal-revolusioner karena dorongan-dorongan idealisme yang meluap-luap berpandangan bahwa terdapat kemungkinan bagi terjadinya suatu perkembangan dengan lompatan jauh ke depan (great leap forward). Jadi fase-fasenya Marx tidak mesti dilalui sesuai urutan yang deterministik itu. Tokoh-tokoh utama jalan pikiran itu ialah Lenin dan Mao. Maka dalam perkembangannya, senerti kita ketahui, Marxisme tidak lengkap tanpa Leninisme, dan kemudian Maoisme. Revolusi-revolusi yang terjadi di Rusia dan Cina adalah jenis revolusi Marxis yang telah mengalami revisi. Sesungguhnya para pengikut Lenin dan Mao berpendapat bahwa kedua tokoh itu tidak dapat dikatakan rnenyimpang dari Marxisme. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh E.H. Carr, Manifesto sendiri telah meramalkan kemungkinan tersebut dalam penilaiannya tentang Jerman — yang waktu itu termasuk negara terkebelakang — bahwa negara itu mempunyai prospek transisi langsung dari revolusi borjuis ke revolusi proletar tanpa campur tangannya masa kekuasaan borjuis. Suatu implikasi renungan tersebut ingin kita tarik bagi keadaan Indonesia. Barangkali dapat dipastikan bahwa sebagian besar kita bangsa Indonesia mengidap kenangan yang traumatis tentang ideologi-ideologi, apalagi ideologi Marxis-Leninis. Kenangan yang begitu tajam dan nyata telah menciptakan sikap kejiwaan pada kita untuk tidak lagi mencoba-coba berpikir tentang kemungkinan menggunakan metode sosialis, apalagi komunis, bagi terwujudnya kebahagiaan seluruh rakyat. D2E
F MERATAKAN HASIL PEMBANGUNAN G
Tetapi beberapa hal harus kita insaďŹ benar-benar. Pertamatama ialah bahwa jalannya perkembangan sejarah tidak seluruhnya semata-mata tunduk kepada keinginan-keinginan subyektif kita. Meskipun tidak sedeterministik ala Marx, namun memang dalam proses perkembangan masyarakat terdapat faktor-faktor obyektif dengan hukum-hukumnya sendiri yang independen dari kontrol manusia. Misalnya kalau kita mengkaji pembangunan sekarang ini dari segi kualitatif. Artinya kalau kita tidak berhasil menghilangkan perasaan kurang adil pada rakyat banyak akibat tidak meratanya pembagian hasil pembangunan itu sendiri. Misalnya lagi kalau praktik-praktik korupsi dan pemerasan rakyat melalui “metode vulpen’ tak terbendung lagi, dan jurang kaya-miskin semakin lebar, dan seterusnya. Maka apakah keadaan-keadaan serupa itu tidak justru dengan sendirinya mengundang kembalinya pahampaham radikal seperti komunisme? Apakah tidak bakal terjadi suatu ironi: pembangunan menuju kemakmuran yang antara lain bertujuan membendung pengaruh komunisme justru berakibat sebaliknya, mengundang kembalinya komunisme dengan lebih bersemangat?! Apakah kita tidak sedang menjurus ke keadaan seperti di Cina menjelang tampilnya Mao, yaitu suatu masyarakat di mana kapitalisme gagal sama sekali dan justru kaum modal sendiri yang menyambut kehadiran kekuasaan Mao karena mengharapkan perbaikan-perbaikan sosial? Sebagaimana dikhawatirkan oleh pemerintah, hal itu juga dikhawatirkan oleh rakyat. [™]
D3E
F STRATEGI PUTUS ASA G
STRATEGI PUTUS ASA Oleh Nurcholish Madjid
Siapakah orangnya, atau kelompok manakah dalam masyarakat, yang paling dinamis dan mudah bergerak? Menurut Karl Marx, mereka adalah kaum miskin atau proletar. Sedangkan menurut Eric Hoffer mereka adalah yang diliputi oleh rasa frustrasi dan putus asa. Sebetulnya antara keduanya itu tidaklah begitu berbeda. Perbedaannya hanya dalam pemilihan kategori saja. Sebab, Marx adalah seorang aktivis politik atau pergerakan, sedangkan Eric Hoffer adalah seorang psikolog. Kedua kategori itu dapat digabungkan: yaitu kaum proletar adalah mereka yang paling mungkin terkena frustrasi, kecewa ataupun putus asa, sedangkan gejala-gejala psikologis itu memang lebih banyak didapatkan pada mereka itu daripada yang lain. Mengapa mereka menjadi dinamis? Sebab seluruh perhatian dan energinya dapat mereka pusatkan pada usaha-usaha untuk mengubah keadaan. Perubahan itu diharapkan dapat melenyapkan penyebab frustrasi, kekecewaan dan keadaan hilang harapan. Dalam suasana seperti itu, mereka melihat setiap bentuk pengorbanan adalah cukup “murah” untuk membeli kembali hidup mereka. Sebab, apa yang lebih berharga dan mahal daripada hidup itu sendiri? Untuk menggambarkan hal itu, Marx menciptakan slogan bahwa kaum proletar, dengan pengorbanan-pengorbanan yang diberikan, tidak kehilangan apa-apa melainkan belenggunya sendiri. “Loose nothing!” Itulah dasar psikologis semangat pengorbanan D1E
F NURCHOLISH MADJID G
mereka. Karena itu, dengan sendirinya, mereka mudah menjadi true believer, penganut yang membabi-buta atau fanatikus. Begitu optimisnya mereka yang mempercayai Marx sehingga mereka itu diangkat sebagai sokoguru gerakan-gerakan yang berprogram mengadakan perubahan-perubahan radikal dan besar. Gerakan-gerakan revolusioner senantiasa bersandar pada mereka sebagai sumber energi sosial. Memang, dengan manipulasi-manipulasi, terutama yang dilakukan melalui indoktrinasi, demagogi dan agitasi, memanfaatkan sumber tenaga sosial itu adalah cukup efektif dan eďŹ sien — artinya mudah, murah dan dapat menunjukkan hasilhasil nyata. Tentu saja hal itu demikian jika dibandingkan dengan cara-cara lain yang lebih jujur dan bertanggung jawab, misalnya soal pendidikan. Orang dapat berbeda-beda motivasi, tetapi mungkin akan sampai pada kesimpulan yang sama, yaitu bahwa sebab-sebab frustrasi harus dihilangkan. Misalnya saja karena pada umumnya kemiskinan adalah sebab frustrasi, maka ia harus dihilangkan, tidak peduli apakah orang yang berkeinginan menghilangkannya itu karena didorong oleh rasa kemanusiaan, rasa keagamaan ataupun lainnya, sampai pada hanya karena hendak menjaga ketertiban dan keamanan. Sebagai kemungkinan bentuk motivasi, hal yang amat teknis itu harus dicatat, mengingat kenyataan bahwa kemiskinan memang dapat menjadi sumber kekacauan. Tetapi mungkin amat berbeda pelaksanaan pemberantasan kemiskinan yang dilakukan mereka yang didorong oleh rasa kemanusiaan dan yang didorong oleh kewajiban menjaga keamanan dan ketertiban. Mungkin yang pertama akan melaksanakan begitu rupa dengan perhitungan dan cara-cara yang dengan sendirinya sejalan dengan semangat kemanusiaan, sekurang-kurangnya tidak menyinggung harkat dan martabatnya. Sedangkan yang kedua mungkin dengan cara asal orang-orang miskin itu menyingkir dari daerah lingkungan tugasnya, tanpa memedulikan ke mana mereka akan menyingkir dan dengan cara bagaimana pula mereka disingkirkan. Sebab hasilnya sama, mungkin kemiskinan — atau lebih tepat, orangD2E
F STRATEGI PUTUS ASA G
orang miskin — lebih cepat tidak ada! Tentu saja bukan karena mereka berubah menjadi berkecukupan atau kaya, tetapi karena mereka telah pergi! Setelah kita berada di zaman merdeka ini, kita dengan mantap dapat mengatakan bahwa cara-cara kedua itu tidak sesuai dengan dasar negara dan filsafat bangsa, Pancasila. Tetapi sayangnya, sejak mula-mula manusia menghuni bumi, memang selalu ada jarak antara segi-segi normatif dan segi-segi operatif, antara bagian nilai atau ajaran dan bagian praktik. Maka terjadilah bahwa yang biasa kita saksikan sehari-hari adalah cara-cara kedua tadi: rumahrumah gubuk dibakar, gelandangan digiring dan “diwadahi” truk, pengemis diusir dan dibentak-bentak, serta pelacur dipermalukan karena dipertontonkan kepada umum, dan seterusnya. Sedangkan cara-cara pertama hanya menjadi hak istimewa orang-orang saleh yang merupakan minoritasnya minoritas, artinya sulit diketemukan seperti intan di dasar sungai. Atau malah — di sini kita terpaksa menelan pil pahit — perjuangan kemanusiaan itu dianut secara sungguh-sungguh hanya oleh kaum komunis, sosialis ataupun kelompok kiri, baik yang lama maupun baru. Dalam suatu diskusi dengan kaum remaja di Kebayoran, seorang pemuda belasan tahun berdiri tegap dan dengan suara mantap mengatakan bahwa keadaan sekarang sangat ruwet dan mudah menimbulkan kekecewaan, karena itu banyak pemuda mencari jalan keluar yang mudah, yaitu narkotika. Tetapi, katanya lebih lanjut, sebetulnya jalan keluar hanya dapat diketemukan dalam sosialisme radikal ala Uni Sovyet atau RRC! Mungkin pemuda itu tidak sepenuhnya menyadari apa arti ucapannya sendiri. Tetapi dari segi psikologis hal itu harus dianggap serius, sebab itulah salah satu manifestasi strategi putus asa dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup. Strategi putus asa itu menyiapkan kondisi seseorang menjadi rawan kepada indoktrinasi (susceptible to indoctrination), yang menurut Prof. Lorenz dari Max Plank Institute for Behavioral Psychology di Jerman Barat merupakan dosa manusia yang bakal mengubur peradabannya sendiri. Jika D3E
F NURCHOLISH MADJID G
kita tidak bersedia menyaksikan hal itu bakal terjadi pada kita di Indonesia ini, maka sewajarnya kita meninjau kembali caracara yang kita pakai untuk melenyapkan kemiskinan (bukan melenyapkan orang-orang miskin). [™]
D4E
F REVOLUSI SOSIAL YANG TERLALU PAGI? G
REVOLUSI SOSIAL YANG TERLALU PAGI? Oleh Nurcholish Madjid
Apakah yang hendak dikatakan tentang gerakan mahasiswa, pelajar dan pemuda serta masyarakat umum akhir-akhir ini? Suatu pelaksanaan rencana politik kelompok tertentu guna membentuk kekuatan dengan tujuan makar? Atau realisasi suatu kesepakatan internasional yang dikendalikan dari luar negeri? Atau merupakan sebuah contoh dari cara-cara yang ditempuh PKI untuk mengadakan inďŹ ltrasi ke dalam tubuh masyarakat dan subversi dalam rangka come back atau sekurang-kurangnya revanche? Atau barangkali memang merupakan manifestasi romantisme dan heroisme anakanak muda, khususnya mahasiswa dan pelajar yang kemudian berhasil diselundupi oleh unsur-unsur tidak sehat dalam masyarakat yang menjuruskannya kepada tindakan-tindakan kriminal? Mungkin saja salah satu atau semua hipotesis itu mengandung kebenaran, yang untuk itu harus didukung oleh pembuktian-pembuktian. Atas dasar bukti-bukti itu maka dapat dibenarkan adanya tindakan-tindakan preventif atau represif sejauh mungkin oleh pihak yang berwewenang. Tetapi tidaklah dapat dipertanggungjawabkan jika suatu hipotesis diciptakan sekadar memenuhi syarat pembenaran bagi dilakukannya tindakan-tindakan yang memang secara apriori sudah direncanakan. Apalagi jika hipotesis itu, sadar ataupun tidak, lebih berfungsi sebagai alasan untuk tetap membenarkan diri sendiri dan mempertahankan keadaan yang ada atau status quo dengan segala D1E
F NURCHOLISH MADJID G
gaya dan pola sosial-politik yang berjalan, yang justru menjadi sasaran kritik masyarakat luas. Kalaupun sebuah hipotesis mengandung kebenaran, ia menerangkan hanya satu segi saja, yaitu segi keinginan subyektif suatu kelompok tertentu. Tetapi karena suatu kejadian, apalagi suatu rencana politik, tidak akan terwujud tanpa adanya faktor objektif yang memberinya suasana favourable, maka faktor kedua ini harus lebih diperhatikan. Penanggulangan yang lebih prinsipil hanya dapat dilakukan jika berdasarkan faktor obyektif itu. Dari segi faktor obyektif ini maka peristiwa akhir-akhir ini adalah produk keadaan sosial-politik yang sesungguhnya sudah dikonstatir dari jauh-jauh hari, yaitu “revolusi sosial�. Hanya saja itu barangkali sebuah revolusi sosial yang datang terlalu pagi atau premature.Tetapi betapapun menilai kejadian itu sebagai revolusi sosial, biar pun premature, adalah cara yang lebih tepat untuk mencari landasan tindakan-tindakan lebih lanjut, jika tidak diinginkan berulangnya kembali kejadian itu dalam skala dan kualitas yang lebih besar. Dalam hubungannya dengan ini, maka kedatangan PM Tanaka ataupun suasana kesan adanya dominasi Jepang di bidang ekonomi dan pengaruh-perigaruh negatif yang menyertainya, hanyalah merupakan faktor khusus yang menjadi alat pencetus kejadian itu atau pendorongnya. Membatasi penilaian hanya berdasarkan faktor khusus ini akan menghasilkan landasan tindakan lebih lanjut yang tidak mantap. Demikian pula mitos adanya siklus windu atau delapan tahun kejadian-kejadian besar di Indonesia hanyalah merupakan faktor khusus yang ikut membantu mendorong terjadinya peristiwaperistiwa tersebut. Sebaiknya mitologi itu tidak dibesar-besarkan, sebab ia hanya merupakan suatu unsur superstisi yang menghalangi kemajuan bangsa. Penanggulangan situasi eksplosif itu dan tindakan preventif untuk masa-masa selanjutnya yang bersifat fundamental hanya dapat dilakukan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh D2E
F REVOLUSI SOSIAL YANG TERLALU PAGI? G
rakyat. Dari saat sekarang, sebaiknya diadakan kampanye yang terarah dan sungguh-sungguh dengan maksud menanamkan komitmen yang sejati kepada nilai tujuan bemegara itu. Lebih-lebih para pemimpin adalah yang pertama-tama dituntut untuk menunjukkan kesejatiannya dalam cita-cita keadilan sosial tersebut. Pada saat sekarang ini, beberapa tindakan praktis yang berkaitan dengan kasus-kasus khusus dapat dilakukan segera: Pertama, menghentikan dengan segera kebijaksanaan yang tidak berorientasi kepada rakyat serta bersifat memperlebar jurang kaya-miskin khususnya di DKI Jakarta Raya: - pendekatan hukum seadil-adilnya atas masalah tanah dan perumahan, khususnya yang terkena oleh proyek-proyek tertentu, termasuk yang tergolong ke dalam kategori “kepentingan umum�. - pendekatan yang lebih manusiawi kepada masalah-masalah becak, pedagang kaki lima, kaum gelandangan dan pengemis. - penetapan batas maksimum jenis rumah/perumahan yang dapat diizinkan di DKI ataupun tempat-tempat lainnya di seluruh Indonesia (bukannya batas minimum seperti yang sekarang ini menjadi kesan masyarakat tentang kebijaksanaan perumahan) - penetapan batas maksimum jenis-jenis barang konsumsi yang diizinkan dalam wilayah hukum Indonesia, menyangkut barang-barang tertentu seperti mobil, pesawat penerima televisi, pesawat perekam (tape recorder), record changer, pesawat pendingin, pesawat pengatur suhu udara dan jenis-jenis barang mewah lainnya. (Dapat dijadikan bahan pertimbangan apa pengaruh pembatasan maksimum ini dari segi penghematan devisa dan implikasinya pada pembagian yang lebih merata terhadap kekayaan nasional). - penetapan daerah-daerah tertentu di mana golongan non-pribumi dapat memilih untuk tempat tinggal, dan melarang untuk bertempat tinggal di daerah lainnya. D3E
F NURCHOLISH MADJID G
-
meneruskan dan merealisasikan keputusan menutup tempat-tempat hiburan yang tidak sesuai dengan jiwa kerakyatan, seperti nite-club, steambath, massage parlor, dan lain-lain. - penertiban pemakaian mobil dinas, baik sipil maupun militer, dan pembatasan jenis-jenisnya dalam batas maksimum. - penertiban dan penyelesaian mobil-mobil dengan kode AX dan yang sejenisnya, serta penghentian total prosedur pemasukan barang-barang yang mudah dimanipulasikan. Kedua, melaksanakan secara konsekuen kebijaksanaan ekonomi yang lebih berorientasi kepada rakyat kecil dan pribumi. Ketiga, dengan sungguh-sungguh melaksanakan gerakan hidup sederhana dimulai oleh para pemimpin dan menanamkan sikap hidup sederhana itu kepada rakyat. Keempat, sedikit demi sedikit mewujudkan kebijaksanaan berdikari dalam ekonomi. Kelima, memberi kebebasan bergerak yang lebih luas kepada partai-partai politik dan kelompok-kelompok sosial lainnya, sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (kebebasan berpikir, berbicara, berkumpul dan berserikat). Keenam, menetapkan kembali status Golongan Karya dan ruang geraknya serta kegiatan-kegiatannya. Ketujuh, mengatur kembali representasi yang lebih proporsional dalam lembaga-lembaga, resmi maupun tidak resmi. [™]
D4E
F MASALAH DORONGAN BATIN BAGI KEGIATAN-KEGIATAN POLITIK G
MASALAH DORONGAN BATIN BAGI KEGIATAN-KEGIATAN POLITIK Oleh Nurcholish Madjid
Kadapol Komdak Metro Jaya menerangkan kepada pers bahwa demonstrasi-demonstrasi yang banyak dilakukan generasi-generasi muda dapat dibagi dua, yang murni dan yang tidak murni. Atas dasar penilaian itu maka terdapat unsur pembenaran diadakan tindakan-tindakan terhadap sementara pelaku demonstrasi, guna mencegah terjadinya hal-hal yang bersifat kurang murni. Bahkan dikatakan pula bahwa demonstrasi yang berasal dari kampus universitas umumnya murni, dan yang dilakukan oleh kalangan di luar kampus kemurniannya cukup diragukan. Lebih jauh telah pula dilaksanakan beberapa bentuk tindakan, antara lain penahanan beberapa orang aktivis demonstrasi, menyangkut beberapa orang yang cukup dikenal namanya dalam masyarakat. Dan di atas semuanya, sebuah koran juga mencantumkan beberapa jenis tindak kriminal yang dilakukan oleh sementara demonstran, meliputi penipuan dan pemerasan. Sebagai suatu teori tentang kemungkinan, keterangan Kadapol pada dasarnya mengandung kebenaran. Sebab di negara mana dan masyarakat mana yang tidak terdapat orang-orang ambisius politik yang tidak melihat setiap kemungkinan untuk melaksanakan ambisinya itu? Dan jika diteliti dari setiap bentuk kegiatan politik, maka siapa yang tidak akan melihat demonstrasi sebagai suatu bentuk yang sangat efektif dan gampang? D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Tetapi, untuk mengatakan murni dan tidak murni, ukuran mana dan siapa yang hendak dipakai? Tentang pernyataan Kadapol, tampaknya ukuran yang dipakai cukup obyektif, yaitu ada atau tidak adanya tindakan-tindakan kejahatan atau kriminal, meskipun sudah tentu mengharuskan pembuktian secara hukum sebelum dapat dijatuhkan suatu hukuman, termasuk mengumumkan dan mengecamnya di depan umum. Tetapi kadang-kadang ukuran itu untuk sementara orang kurang obyektif. Umpamanya saja, jika seseorang sedemikian berkepentingan kepada kekuasaan yang ada di tangan atau dapat diraihnya, maka murni dan tidak murni diukur dari sudut pandang: menguntungkan atau merugikan kekuasaan. Dan jika orang yang bersangkutan sedemikian kuat niatnya untuk merobohkan kekuasaan itu maka ukuran dapat terjadi dari arah yang sebaliknya. Namun kedua-duanya adalah bersifat subyektif, sebab hanya bertitik-tolak dari sudut kepentingan diri pribadi yang bersangkutan. Sedangkan ukuran yang lebih prinsipil bersangkutan dengan letak dorongan batin yang lebih mendalam. Dorongan batin atau motivasi itu memang amat individual sifatnya, yaitu kalau ditinjau dari segi intensitas penghayatan dan penyerapannya. Tetapi dia dapat menjadi sosial, dalam arti bahwa dorongan batin itu dimiliki oleh sekelompok orang yang cukup besar dan luas, mungkin malah seluruh masyarakat. Umpamanya saja aspirasi kerakyatan dan keadilan sosial. Tingkat penghayatan kepada aspirasi itu, mendalam dan tidak, tulus dan baur, adalah sangat bergantung kepada masingmasing pribadi. Tetapi ia dapat merupakan sesuatu yang dihayati bersama oleh masyarakat, dan mendorong secara batin terjadinya aktivitas-aktivitas, termasuk aktivitas politik seperti demonstrasi. Masalahnya sekarang, dari mana dan siapa yang berhak untuk mengajukan suatu pengukuran terhadap motivasi ini sehingga dapat diambil kesimpulan murni dan tidaknya suatu kegiatan politik? Pada dasarnya orang tidak mungkin mengetahui suara batin orang lain, sehingga bukanlah hak manusia untuk mengukur dan menghakimi niat seseorang dalam perbuatannya. Agama mengajarkan bahwa D2E
F MASALAH DORONGAN BATIN BAGI KEGIATAN-KEGIATAN POLITIK G
hanya Tuhanlah yang mengetahui isi batin seseorang. Hanya saja, disebabkan kebutuhan-kebutuhan tak terelakkan dalam pergaulan sosial manusia, seseorang dibenarkan untuk mengkaji dan mempelajari fenomena lahiriah dan indikasi-indikasi yang tampak keluar guna mengetahui dan menilai motivasi seseorang. Meskipun tak mungkin bersifat ďŹ nal dan mutlak, tapi keharusan pergaulan sosial kadang-kadang membenarkan hasil pengkajian fenomena dan indikasi itu sebagai dasar penilaian yang efektif. Kita berharap bahwa Kadapol tidak hanya berhenti di sini saja. Hal itu berarti bahwa hendaknya senantiasa masih terdapat ruang dalam jiwanya untuk mengkaji lebih mendalam permasalahan itu dan mungkin memberikan keputusan yang berbeda, tidak mustahil berlawanan. Umpamanya suatu penilaian bahwa kegiatan anak-anak muda itu dalam analisis terakhir dapat sangat berguna kepada masyarakat dan negara, khususnya rakyat kecil yang notabene meliputi hampir seluruh bangsa, dikarenakan efeknya terhadap praktik-praktik tidak adil yang kini memang sangat dirasakan oleh rakyat. Sekurangkurangnya demonstrasi-demonstrasi dan pernyataan-pernyataan tak setuju itu sedikit memberi harapan kepada rakyat yang dicekam kemiskinan bahwa keadaan yang pincang ini bukan tanpa kelompok yang menyadarinya dan mengusahakan perubahannya. [™]
D3E
F TAHANAN POLITIK 1974 G
TAHANAN POLITIK 1974 Oleh Nurcholish Madjid
Akhirnya keluar sebuah keterangan dari pemerintah bahwa saat ini terdapat sebanyak 45 orang yang ditahan karena alasan-alasan politis. Jadi kalau dibenarkan menaruhnya dalam suatu ungkapan yang sudah umum dan sedikit tajam, maka kini terdapat “tahanan politik” atau “tapol” baru — katakanlah “tahanan politik 1974” — mengingat mereka dikenakan penahanan itu pada awal tahun 1974. Dan ungkaparn itu harus diletakkan dalam tanda kutip, sebab kita tidak menghendaki adanya asosiasi yang menjurus ke penyamaan dengan tapol-tapol PKI. Juga kita tidak menghendaki adanya konotasi-konotasi tertentu yang amat lekat pada ungkapan itu di kalangan masyarakat luas. Rasanya memang dapat dimengerti, atau bahkan dibenarkan, adanya pembagian oleh pihak yang berwajib terhadap mereka yang terlibat peristiwa pertengahan Januari itu ke dalam dua kategori: politik dan kriminal. Sebab meskipun yang amat menonjol secara lahir dalam peristiwa tersebut adalah perbuatan-perbuatan kriminal, tetapi tidaklah berarti orang-orang yang terlibat di dalamnya, lebih dalam keseluruhan prosesnya, adalah kriminalkriminal saja. Banyak dari mereka yang hanya bermotifkan politik semata-mata, dan sering mereka ini secara sungguh-sungguh tidak menyetujui tindakan-tindakan yang eksesif tersebut. Meski dalam analisis terakhir, dan dari sudut pandangan yang berwajib, mereka tidak dapat dengan begitu saja melepaskan seluruh tanggung jawab. Mereka pun kiranya akan secara sportif menerima keharusan itu. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Tetapi setiap kegiatan politik, termasuk yang dilakukan oleh para “tahanan politik” tersebut adalah didorong oleh adanya suatu cita, tanpa terlebih dahulu menilai apakah cita-cita politik itu benar atau salah, tinggi atau rendah. Yang kita maksudkan dengan benar atau salah ialah jika diukur dari norma nasional yang melandasi kenegaraan kita, yaitu Pancasila dan UUD 45. Sedangkan dengan tinggi atau rendah kita maksudkan nilai cita-cita ini dilihat dari segi motivasi individual yang bersangkutan: apakah cita-cita politik itu untuk mewujudkan suatu ide yang mempunyai scope luas meliputi seluruh rakyat, ataukah hanya meliputi golongan sendiri secara sempit bahkan hanya merupakan ambisi pribadi saja. Namun, setiap kita tentu menyadari betapa sulitnya menetapkan penilaian serupa itu. Hal ini disebabkan relatifnya ukuran-ukuran sekunder berupa nilai-nilai bagaimana kita memahami dan menafsirkan prinsip-prinsip dalam Pancasila tersebut. Contoh yang paling dalam hal ini adalah yang menyangkut pribadi almarhum Bung Karno. Meskipun dengan berbagai cara kita memang dapat menopang teori bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu terdapat dalam hati sanubari bangsa kita semenjak entah berapa zaman yang silam, namun suatu fakta sejarah yang tak mungkin dipungkiri menunjukkan bahwa Bung Karno-lah yang “menggalinya” atau sekurang-kurangnya merumuskan, bahkan mungkin sekadar mengemukakannya dalam forum suatu badan yang mempersiapkan kemerdekaan bangsa kita pada tahun 1945. Dan suatu fakta sejarah juga menunjukkan bahwa justru karena Bung Karno yang mengemukakan maka Majelis menyetujuinya dan menetapkannya sebagai dasar negara. Sebab pada waktu itu kekuatan Bung Karno selaku solidarity makers adalah mutlak efektif. Dan dalam masamasa selanjutnya dalam karier Bung Karno sebagai politikus, ia senantiasa dengan tepat menggunakan palu godam “membahayakan Pancasila” untuk untuk memukul hancur lawan-lawannya. Tetapi ... Bung Karno pulalah orang yang dalam fase-fase terakhir proses pemantapan Orde Baru harus “diamankan”, juga dengan penilaian umum bahwa dia telah membahayakan, sekurang-kurangnya D2E
F TAHANAN POLITIK 1974 G
menyeleweng dari rel Pancasila. Yaitu dengan bukti diberikannya keleluasaan dan perlindungan yang melewati proporsinya kepada PKI dan kegiatan-kegiatan politiknya. Hampir semua orang, kecuali sedikit saja, menganut penilaian itu dan menganggap penyingkiran Bung Kamo sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Hal itu kita kemukakan, sekadar untuk menunjukkan betapa relatifnya suatu penilaian terhadap suatu jenis kegiatan politik. Oleh karena itulah kita harus memegang teguh norma-norma hukum dalam menetapkan salah-tidaknya seseorang dalam hal tersebut, dan dengan rajin “berkonsultasi” kepada hati nurani kita untuk memperoleh kearifan atau wisdom yang sedalam-dalamnya dalam pemberian penilaian itu. Sebab sering terjadi bahwa orangorang yang dianggap salah pada saat ini dapat menjelma menjadi pahlawan pada masa-masa yang akan datang, jauh ataupun dekat. Begitu juga orang-orang yang pada saat tertentu dianggap sebagai amat berjasa ternyata di kelak kemudian harus dikutuk. Mencari makna yang hakiki ini merupakan bagian dari rasa keagamaan. Maka dari itu agama senantiasa menganjurkan agar kita berdoa memohon petunjuk Tuhan, sebab pada dasarnya kita tidak mengetahui secara hakiki apa kebenaran itu. Hanya saja agama mengajarkan bahwa hendaknya kita memohon “pungkasan yang baik” (husn al-khâtimah) dalam hidup ini. [ ]
D3E
F HARIMAN SIREGAR PELOPOR KETERBUKAAN G
HARIMAN SIREGAR PELOPOR KETERBUKAAN Oleh Nurcholish Madjid
Mula-mula dinyatakan oleh Kepala Bakin bahwa pengadilan tokohtokoh “Malari” akan menampilkan suatu surprise. Semua orang bertanya-tanya keras tentang apa yang dimaksudkan dengan surprise itu, tanpa berhasil menemukan jawabnya yang pasti. Kemudian ternyata bahwa pengadilan itu memang dilaksanakan mulai 2 Agustus 1974. Pengadilan dinyatakan terbuka untuk umum, sehingga siapa saja dapat menghadirinya. Pembatasan terjadi hanya karena alasan teknis semata-mata, yaitu ruangan yang sempit. Maka berbondong-bondonglah orang yang berminat kepada proses pengadilan itu, entah karena simpati kepada pribadi Hariman, atau karena merasa concerned permasalahannya, atau mungkin karena memang berkepentingan, dan macam-macam lagi. Dan suatu hal yang amat menarik ialah tampilnya para pembela. Mereka terdiri dari orang-orang kenamaan yang memiliki reputasi cukup tinggi dalam profesinya. Disusul dengan keterangan Sudomo dalam kesempatan menerima delegasi Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB-PII), bahwa peristiwa “Malari” tidak sama — dan tentunya tidak akan disamakan — dengan peristiwa Gestapu/PKI. Karena itu para pelakunya pun tidak akan disamakan penindakannya dengan para pelaku Gestapu/PKI. Dikemukakan oleh Sudomo bahwa kita tidak akan menghancurkan para mahasiswa dan pelajar serta kaum muda pada umumnya, sebab kita dapat kehilangan generasi penerus. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Bahkan dikatakan olehnya bahwa oposisi dalam negara kita adalah wajar, sebab kita menganut demokrasi. Kalau toh tidak ada keterangan lain tentang apa yang dimaksudkan oleh Kepala Bakin dengan surprise beberapa waktu yang lalu, maka adanya tanda-tanda semakin terbukanya sistem sosialpolitik kita, khususnya yang berkaitan dengan proses pengadilan suatu peristiwa politik, sudah cukuplah rasanya sebagai surprise. Tanda-tanda semakin terbuka itu merupakan kesimpulan kita dari kenyataan dan keterangan-keterangan tersebut di atas. Jika benar demikian keadaannya, maka Hariman menjadi pembuka jalan. Sudah tentu bukan pribadi Hariman yang menjadi pembuka jalan, tetapi peristiwa yang bersangkutan dengan dirinya, yaitu peristiwa politik yang mendapatkan penyelesaian wajar itu. Bagi mereka yang cukup sejati dalam minatnya kepada pertumbuhan demokrasi dan tertib hukum, keadaan serupa itu sudah lama menjadi harapan. Almarhum Prawoto Mangkusasmito selaku Ketua Umum Masyumi waktu dibubarkan (pada tahun 1960 oleh Bung Karno) sangat menginginkan agar terhadap tokoh-tokoh partai tersebut yang dituduh melakukan kesalahan-kesalahan politik diadakan pengadilan umum dan terbuka untuk membuktikan benar-tidaknya tuduhan-tuduhan itu. Sayang sekali — sebagaimana tentu sudah diduga sebelumnya — pemerintah pada waktu itu tidak pernah memenuhi harapan Ketua Umum Masyumi tersebut. Dan sampai sekarang pun suatu pengadilan tidak pernah diadakan untuk mereka — para pemimpin Masyumi itu — sehingga secara hukum resmi (juridis formil) belum terjadi kejelasan. Sudah tentu secara lain, khususnya sosial-politis, kejelasan itu sudah lama terjadi, lepas dari persoalan setuju atau tidak setuju. Terhadap mereka yang terlibat dalam peristiwa Gestapu/PKI juga diadakan pengadilan. Tetapi belum semuanya, malahan baru sebagian kecil saja, yang terbukti semuanya benar-benar terlibat sebagaimana dituduhkan, dan telah pula divonis. Semata-mata dari segi kepentingan membangun tradisi menegakkan tertib hukum, adalah baik sekali jika semua tapol yang sekarang meringkuk itu diadakan D2E
F HARIMAN SIREGAR PELOPOR KETERBUKAAN G
pengadilan, dengan tetap membuka kemunigkinan bahwa tuduhan tidak terbukti, dan kemudian dengan sendirinya dibebaskan. Di sini tidak dikemukakan segi pertimbangan lainnya. Sebab toh akhimya yang kita kehendaki semua ialah tampilnya kebenaran. Ucapan itu sudah menjadi semacam klise. Tetapi jika tidak demikian maka apalagi yang menjadi tujuan kita? Sekarang harapan-harapan keadilan dan tertib hukum boleh kita mulai meletakkannya pada proses pengadilan Hariman. Semoga saja pengadilan itu tetap terbuka dan wajar sebagaimana dikehendaki oleh komitmen kita semua, dan semoga dengan begitu mampu menciptakan penilaian dan keputusan yang obyektif, adil dan benar, bukan semata-mata keinginan-keinginan subyektif. Dan semoga pula hal serupa itu akan diikuti secara konsisten untuk kemungkinan-kemungkinan masa yang akan datang. [™]
D3E
F MEMELIHARA IDEALISME BAGI PARA MAHASISWA G
MEMELIHARA IDEALISME BAGI PARA MAHASISWA Oleh Nurcholish Madjid
Disebabkan adanya beberapa kualitas pada mahasiswa seperti kecerdasan dan pengetahuan yang relatif lebih tinggi daripada umum, usia yang masih muda, status sosial yang cukup terpandang dan sangat menguntungkan, serta bebasnya mahasiswa dari bebanbeban kehidupan sehari-hari sebagaimana yang ditanggung oleh orang yang berkeluarga, maka mereka tampil sebagai suatu lapisan dalam masyarakat yang paling vokal. Artinya mereka tampil sebagai kelompok yang paling banyak dan berani menyatakan pendapatpendapat dan ide-ide. Mereka tidak saja mempunyai kapasitas yang lebih besar untuk menyerap ide-ide yang datang dari orang lain, tetapi mereka juga mampu memproduksi ide-ide mereka sendiri secara orisinal. Dan yang lebih penting lagi ialah bahwa mereka sendiri berkepentingan atas ide-ide itu serta berkehendak untuk melaksanakannya kelak dalam kehidupan mereka sendiri. Orientasi mahasiswa kepada masa depan menjadikan mereka orang-orang idealis. Tetapi sampai di mana aspirasi seorang mahasiswa yang serba idealistis itu dapat bertahan pada diri mereka sendiri? Dengan perkataan lain sampai di mana mereka dapat tetap setia dan memelihara terus aspirasinya serta tidak meninggalkannya pada suatu saat? Secara jujur haruslah diakui adanya kekhawatiran akan hal-hal tersebut. Umpamanya saja idealisme tentang keadilan sosial yang selalu gencar dilacarkan kepada masyarakat luas. Salah D1E
F NURCHOLISH MADJID G
satu manifestasi cita-cita keadilan sosial itu ialah sikap-sikap yang menunjukkan ketidaksenangan atau protes kepada kepincangankepincangan sosial di mana terdapat gap antara kaya dan miskin yang melebar. Timbul pertanyaan: Apakah dari kalangan masyarakat ini yang paling mungkin dan berkesempatan untuk menjadi pihak yang beruntung dalam hal harta kekayaan? Disebabkan beberapa hal, sekarang ini golongan yang paling baik kesempatannya ialah orang-orang Cina, karena mitos-mitos yang ada pada mereka berkenaan dengan kemampuan-kemampuan ekonomisnya. Tetapi dikarenakan adanya tuntutan-tuntutan baru dalam sistem perekonomian kita yang semakin modern, maka golongan lain yang paling baik kesempatannya ialah mereka yang memiliki keahlian. Dan mereka itu pada saat ini ialah yang terdiri dari para mahasiswa. Dengan perkataan lain, di masa depan golongan masyarakat yang paling baik kesempatannya untuk menjadi pihak yang beruntung dalam pola kaya-miskin di masyarakat ialah para mahasiswa sendiri. Maka pertanyaannya ialah, apakah para mahasiswa sanggup bertahan menghadapi godaan dan “iming-iming” kesempatan yang disodorkan kepadanya? Sudah pasti pertanyaan itu tidak ditujukan kepada seluruh mahasiswa, sebab tidak semua mereka mempunyai dan mendukung aspirasi-aspirasi yang idealistis. Tetapi biar pun pertanyaan itu ditujukan hanya kepada mereka yang paling gigih dan vokal, jawabannya tetap mengandung kekhawatiran. Perkataan yang sederhana — “siapa yang tidak mau kaya” — sudah cukup merupakan palu godam yang memukul rata penonjolan-penonjolan aspirasi keadilan sosial yang altruistis itu. Dengan begitu maka terdapat ancaman bahwa mahasiswa memiliki aspirasi-aspirasi sosial yang kuat hanya semasa dia menjadi mahasiswa, tetapi segera dia memasuki dunia kehidupan dewasa dan harus bekerja mencari nafkah, aspirasi-aspirasi itu lenyap bagaikan embun ditimpa sinar matahari. Mereka menjadi mapan (established) dan binnen. Jadi bagaimana caranya agar idealisme terpelihara baik pada mahasiswa dan berlanjut sampai kelak ketika mereka menjadi D2E
F MEMELIHARA IDEALISME BAGI PARA MAHASISWA G
sarjana atau tenaga ahli? Agaknya diperlukan adanya keyakinan. Nilai-nilai yang mereka idealkan itu harus merupakan keyakinan, pandangan hidup, dan falsafahnya. Mereka harus menanamkan pada dirinya bahwa apa yang mereka cita-citakan itu mengandung makna hidup mereka sendiri yang hakiki. Dengan perkataan lain, mereka harus mendukung idealisme itu karena keyakinan kepada suatu ajaran hidup atau ideologi. Bukan semata-mata karena adanya kepentingan sesaat dan pragmatis. Hal ini tidak perlu bertentangan dengan doktrin hahwa bagi negara kita Pancasila adalah satusatunya ideologi. Tetapi sebagai ideologi bersama, Pancasila adalah ideologi dasar, tempat kembali atau referensi nasional yang utama, sedangkan pengejawantahannya memerlukan penegasan-penegasan lebih terinci yang melahirkan ideologi-ideologi tingkat kedua. Salah satunya ialah ideologi yang mempersoalkan bagaimana suatu nilai yang kini paling dibutuhkan pelaksanaannya, yaitu nilai keadilan sosial, diwujudkan. [™]
D3E
F TANGGUNG JAWAB SOSIAL MAHASISWA G
TANGGUNG JAWAB SOSIAL MAHASISWA Oleh Nurcholish Madjid
Ketika masih menjabat selaku Menteri P dan K, Mashuri dalam brieďŹ ng-brieďŹ ng-nya biasanya tidak melupakan pengungkapan tentang adanya kepincangan yang parah dalam dunia pendidikan kita. Kepincangan-kepincangan itu sering kali ia gambarkan dengan pertolongan suatu histogram yang membentuk sebuah bangunan tiang bendera dengan tangga penunjang dan platform yang mengalasinya. Menurut Mashuri, tiang bendera yang menjulang ke atas merupakan kolom statistik yang mewakili mahasiswa perguruan tinggi. Tangga penunjang mewakili siswa-siswa sekolah menengah; dan platform yang menyebar itu mewakili murid-murid sekolah dasar. Histogram itu, menurut Mashuri, menunjukkan betapa struktur pendidikan kita tidak membentuk suatu susunan segitiga yang harmonis: jumlah mahasiswa dibandingkan dengan jumlah siswa, dan jumlah siswa dibandingkan dengan jumlah murid berada dalam keadaan yang tidak proporsional secara mencolok. Terlepas dari persoalan apakah histogram itu telah secara tepat menggambarkan kenyataan yang ada, tetapi bahwa keadaan dunia pendidikan kita — khususnya berkenaan dengan perbandingan jumlah mereka yang dapat menikmatinya dari satu jenjang ke jenjang lainnya — adalah memang tidak seimbang. Dari histogram tersebut dapat dilihat bahwa mahasiswa merupakan suatu lapisan tersendiri dalam masyarakat yang dapat dikatakan sebagai lapisan elite atau atasan. Dan sebagaimana diketahui, D1E
F NURCHOLISH MADJID G
setiap lapisan elite akan selalu membawa serta atau “nggembol” (bahasa Jawa) sejumlah hak-hak istimewa atau privilise-privilise. Privilise-privilise inilah yang menjadi sumber beberapa kualitas pada dunia mahasiswa, sehingga kehidupan kemahasiswaan senantiasa ditandai oleh kedinamisan dan semangat inovatif. Sedangkan privilise-privilise itu sendiri sesungguhnya merupakan kelanjutan wajar dari beberapa kualitas. Kualitas-kualitas itulah yang memungkinkan seseorang menjadi mahasiswa atau partisipan lain dalam kegiatan-kegiatan intelektual dengan kadar kebebasan secukupnya: Pertama, tingkat IQ relatif lebih tinggi daripada masyarakat umum. Hampir dapat dipastikan bahwa seorang mahasiswa, baik karena faktor pembawaan dari lahir ataupun karena proses pendidikan sebelumnya, mempunyai tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Tak perlu dikatakan bahwa seseorang dengan tingkat IQ yang rendah akan sulit atau malah barangkali mustahil menjadi mahasiswa. Kedua, karena bagaimanapun juga menikmati pendidikan tinggi adalah memerlukan ongkos, maka dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya mahasiswa berasal dari kalangan keluarga dengan tingkat ekonomi (dan sosial juga) yang relatif lebih tinggi daripada lainnya. Sudah tentu keadaan ini membawa implikasi-implikasinya tersendiri dalam kehidupan dunia kemahasiswaan. Ketiga, begitu pula kondisi fisik-organisnya. Mahasiswa memiliki tingkatan yang pasti tidak terlalu buruk atau rendah. Jargon lama “men sana in corpore sano” menerangkan sendiri bagaimana seharusnya kondisi jasmani seorang mahasiswa. Keempat, satu lagi kualitas yang amat penting tentang kehidupan mahasiswa ialah adanya kebebasan relatifnya dari ikatan-ikatan kepentingan yang tertanam (vested interest). Hal ini ialah karena umumnya mahasiswa masih belum termasuk susunan mapan (establishment) masyarakat. Dengan adanya kebebasan relatif ini, mahasiswa dimungkinkan untuk melakukan tindakan-tindakan, D2E
F TANGGUNG JAWAB SOSIAL MAHASISWA G
mengeluarkan gagasan-gagasan dan mengadakan penilaian yang tidak memihak. Maka tidak mengherankan jika dari sudut pandang tertentu, khususnya sosiologis, mahasiswa sering disebut sebagai “bahan manusia yang terbaik dalam suatu bangsa” (the best human material of a nation). Dan kedudukannya dalam pola-pola sosial menempatkannya pada posisi selaku “elite strategis”. Atas pertimbangan ini maka logis jika banyak orang dan kelompok dari susunan mapan yang selalu mencoba merebut hati mahasiswa dan menguasainya. Mereka sebagai alat sosial-politik sering menampilkan diri dengan tingkat keefektifan yang menakjubkan. Ingat saja beberapa contoh, seperti peranan mahasiswa dalam ikut menumbangkan Orde Lama di Indonesia, penyingkiran kekuasaan diktator Rhee di Korea Selatan, dan penggantian pemerintahan militer dengan pemerintahan sipil yang lebih demokratis di Muangthai. Jadi terang bahwa mahasiswa mempunyai sifat-sifat yang tidak “sembarangan”. Tidak perlu komplimen ini mengundang perasaan bangga-diri atau kecongkakan. Meskipun dalam kenyataan sosialnya memang banyak mahasiswa yang tidak tahan terhadap godaan untuk menjadi angkuh, sok pandai, dan mengidap arogansi intelektual di lingkungan keluarga dan masyarakat terdekatnya. Lebih baik cacat-cacat psikologis ini kita bendung cukup dini agar tidak merayapi keseluruhan cara berpikir dan sikap mental kita yang akhirnya akan hanya menghambat pertumbuhan peranan sosial kita sendiri. Walaupun begitu jelas bahwa mahasiswa harus menyadari kualitas-kualitas diri dan kelompoknya, serta kualitas keseluruhan lingkungan civitas akademika dan kehidupan ilmiah atau intelektual. Kualitas-kualitas itu menempatkan mahasiswa tidak lagi pada kedudukan yang setingkat dengan golongan “awam”, tetapi mereka termasuk golongan “khawâsh” jika kita dibenarkan menggunakan istilah-istilah pinjaman dari dunia keagamaan ini. Sebagai golongan “khawâsh”; mereka dituntut untuk memiliki kemampuankemampuan lebih daripada rata-rata masyarakat dalam memandang D3E
F NURCHOLISH MADJID G
persoalan-persoalan sosial dan tindakan-tindakannya. Dari sinilah dimulai adanya tanggung jawab sosial mahasiswa. Bayangkan betapa seorang mahasiswa menyalahi kodratnya sendiri jika seandainya ia hanya mampu berpikir dan bertindak setingkat dengan keawaman dengan segala ketidakdewasaan dan kecupetannya (relatif, tentu!). Meteran yang dipakai untuk mengukur sampai di mana mahasiswa dan intelektual telah atau belum memenuhi kodratnya ialah rasionalitas. Inilah aspek universal kehidupan mereka. Perguruan tinggi yang seringkali disifatkan sebagai “sumbu perputaran roda peradaban” di mana mahasiswa merupakan salah satu elemennya yang utama menerangkan sendiri gambaran diri atau image apa yang seharusnya dimiliki olehnya. Berhubung dengan itu, tindakan nyata apa yang diharapkan dari seorang mahasiswa? Secara ringkas, dengan banyak menyederhanakan persoalan-persoalannya, mahasiswa dapat memenuhi tanggung jawab sosial dengan melakukan: Pertama, berusaha agar sukses dalam studi. Bagaimanapun, dalam analisis terakhir, inilah tujuan pokok seseorang yang pergi ke perguruan tinggi. Mengingkarinya adalah berarti mengingkari atributnya yang elementer. Hanya saja di sini, dalam konteks tanggung jawab sosial ini, sukses dalam studi diusahakan dalam liputan semangat kesadaran sosial yang setinggi-tingginya, melalui keyakinan bahwa disiplin ilmu yang dipilihnya tidak saja berguna, tetapi itulah jalan yang terbaik baginya untuk mewujudkan sumbangan dan darmanya kepada masyarakat. Kegunaan yang menyertainya berupa janji kerja dan “status sosial” pribadi harus dipandang sebagai sesuatu yang merupakan “hasil sampingan”. Sedangkan hasil utama ialah kebaikan bersama, baik dalam konteks umat, bangsa, maupun kemanusiaan universal. Kedua, selalu berusaha memiliki kepekaan sosial yang semakin meningkat. Yang dimaksudkan ialah kemampuan untuk mengenali problem-problem dalam masyarakat dan adanya ikatan jiwa atau komitmen: untuk mencari jalan pemecahannya. Kepekaan dan komitmen itu tidak selamanya harus dimanifestasikan dalam bentuk D4E
F TANGGUNG JAWAB SOSIAL MAHASISWA G
tindakan-tindakan dissenting, seperti kritik, protes, penentangan (challenge) atau mungkin penghindaran diri. Metode-metode itu efektif hanya jika dikenakan dalam konteks ruang dan waktu yang tepat, yang biasanya tidak mudah didapati. Kesembronoan dalam hal ini, yang melahirkan sikap-sikap obral dan boros dalam kegiatan dissenting, ternyata tidak ekonomis dan banyak mengisap energi. Kesejatian dalam komitmen ternyata akan lebih banyak berbuah jika dinyatakan dalam sikap-sikap ikut berkepentingan atau concern yang positif. Sekaligus hal ini, jika dikerjakan dengan cukup kesungguhan hati dan motivasi, akan merupakan latihan nyata untuk mempersiapkan diri terjun dalam dunia dewasa atau dunia yang mapan kelak. (Kita katakan terjun dalam dunia yang mapan, sebab meskipun idealisme kaum muda selalu menekankan sikap-sikap “anti� kemapanan, tetapi dalam kehidupan yang nyata suatu perenggangan diri atau self disengagement total dari kemapanan tidak pernah terjadi). Terakhir, perlu rasanya dikatakan bahwa atribut-atribut sampingan dunia kemahasiswaan, seperti apa yang biasa dinamakan “kegenitan intelektual�, tidak perlu seluruhnya ditiadakan. Hal itu justru merupakan variasi yang menyegarkan. [™]
D5E
F SOAL PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN G
SOAL PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN Oleh Nurcholish Madjid
Tidak dapat dibantah bahwa peristiwa yang terjadi hampir setengah abad yang lalu, yaitu Sumpah Pemuda, mempunyai arti tersendiri dalam perkembangan bangsa kita. Dapatlah dikatakan bahwa pada tahun 1928 itu, fondasi kesatuan dan persatuan bangsa diletakkan, khususnya melalui tekad penyatuan segi bahasa dengan mengangkat bahasa Indonesia. Seorang warga Indonesia yang bertemu dengan seseorang dari negara berkembang, juga sebagian negara maju, akan merasakan betapa kemampuan kita berintegrasi secara nasional melalui bahasa persatuan sangat menarik perhatian dan mengagumkan mereka. Dalam keadaan kita tidak memiliki begitu banyak hal-hal yang dibanggakan sekalipun, bahasa Indonesia sebagai milik nasional kita akan selalu menjadi sumber kemantapan pada diri sendiri dalam bernegara dan berbangsa. Maka memang sudah sepantasnya, setelah sekian lama melalui liku-liku proses yang panjang, pada tahun ini Sumpah Pemuda tidak hanya diperingati secara seremonial, tetapi dengan suatu kongres pemuda yang dimaksudkan untuk mencoba mencari perumusan bagaimana bentuk-bentuk partisipasi pemuda dalam pembangunan. Perlu diingatkan bahwa yang dikehendaki ialah partisipasi. Biasanya istilah itu dipertentangkan atau dilawankan dengan istilah mobilisasi. Dalam partisipasi terdapat dorongan emosional atau motivasi yang inheren pada pihak pelaku partisipasi sendiri D1E
F NURCHOLISH MADJID G
yaitu rakyat, atau lebih khusus dalam hal ini pemuda. Karena itu partisipasi dilakukan dengan kesungguhan hati dan antusiasme, yang menjadi sumber tenaga, dan yang pada gilirannya nanti halhal itu amat erat hubungannya dengan produktivitas. Sedangkan mobilisasi merupakan hasil pengerahan tenaga oleh pihak yang sedang berkuasa, yang dengan sendirinya mengimplikasikan adanya paksaan. Karena itu mobilisasi selalu disangkutkan dengan pemerintahan yang kelewat kuat atau malah arbitrer sebagaimana terdapat di negara-negara komunis. Korelasi mobilisasi adalah resimentasi, yaitu suatu kebiasaan memaksakan disiplin dari atas, termasuk pengingkaran hak menentukan dan memilih sendiri pemimpin yang dikehendaki. Dan sesungguhnya cara-cara yang koersif atau memaksa-maksa serupa itu adalah petunjuk dari tidak adanya kemantapan kepada diri sendiri. Orang-orang atau kelompok-kelompok yang memperoleh kekuasaan secara tidak wajar, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pemerintahan di dunia ini, khususnya dunia komunis, akan selalu bersandar pada praktikpraktik koersif untuk memelihara kelangsungan kekuasaannya dari ancaman penggulingan atau coup d’etat yang selalu dikhawatirkan. Maka cara yang tidak demokratis itu sclayaknya tidak dilakukan oleh penguasa yang kenaikannya melalui jenjang-jenjang dan caracara yang taat-asas atau konsisten dengan nilai-nilai demokrasi. Hal itu dikemukakan tentu saja bukannya tanpa relevansi dengan apa yang berkembang akhir-akhir ini di tanah air kita. Umpamanya saja dengan apa yang disinggung tadi, yaitu peristiwa kongres pemuda yang dilaksanakan oleh KNPI. Di sini tidak dipersoalkan sah tidaknya klaim yang dibuat oleh organisasi serupa KNPI untuk mewakili seluruh pemuda Indonesia, sebab hal itu amat kompleks dan relatif saja nilainya. Tetapi kita persoalkan hal-hal kecil — tapi mungkin juga besar artinya — yang merupakan tumpahan gelombang protes menuju kongres tersebut. Umpamanya saja pernyataan-pernyataan di sana-sini, entah oleh siapa, bahwa KNPI dimaksudkan sebagai satu-satunya wadah kegiatan kepemudaan di Indonesia. Sekalipun semangat D2E
F SOAL PARTISIPASI PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN G
pernyataan itu kemudian terbantah oleh pernyataan-pernyataan yang datang belakangan, termasuk oleh seorang pejabat yang cukup relevan yaitu tokoh dari Kopkamtib, namun sempatnya keluar pernyataan serupa itu hanya menunjukkan ketidakmampuan kita secara jujur menangkap semangat nilai-nilai yang kita committed kepadanya, sebutlah entah itu Pancasila, demokrasi, hak-hak asasi manusia, dinamisme bukan statisme, partisipasi bukan mobilisasi, dan seterusnya. Sesungguhnya kita memiliki perbendaharaan kultural yang amat berharga untuk menuntun kita dalam membimbing masyarakat yang kita kehendaki. Perbendaharaan itu ada dalam khazanah falsafah pendidikan nasional kita, yaitu ajaran yang monumental dari Ki Hajar yang mengatakan “tut wuri handayani, ing madyo mbangun karso, ing ngarso sung tulodo�. Tut wuri handayani adalah sejalan dengan partisipasi. Dan dalil itu berarti bahwa kita, terutama pihak pendidik rakyat termasuk pemerintah dan penguasa pada umumnya, tidak dibenarkan berdiri di depan sambil memegang seutas tali yang telah diikatkan pada leher rakyat untuk kemudian menghelanya ke arah tujuan yang kita tetapkan sendiri secara sewenang-wenang. Tetapi kita harus mengetahui arah gerak yang bersifat orisinal, natural sebagaimana dikehendaki oleh kemanusiaan itu sendiri (sebab kita percaya kepada nilai perikemanusiaan!) agar rakyat dapat menemukan dinamikanya sendiri, kemudian dilempangkan hanya dalam keadaan menyimpang yang benarbenar kritis. Selain hal itu dibenarkan oleh nilai-nilai luhur yang melandasi kenegaraan kita, juga tentu jauh lebih hemat daripada resimentasi terdahulu itu, dan terjamin akan kelangsungannya yang lestari. [™]
D3E
F PEMUDA DAN SIKAP HIDUP “EASY GOING” G
PEMUDA DAN SIKAP HIDUP “EASY GOING” Oleh Nurcholish Madjid
Kita tidak tahu sampai di mana para peserta kongres KNPI menangkap seruan Ali Murtopo untuk meninggalkan sikap hidup easy going di kalangan pemuda dan ajakan untuk membiasakan hidup yang lebih serius. Tetapi kita berharap bahwa cukup banyak di antara mereka yang sanggup menangkap semangat peringatan itu sejauh mungkin dan mampu melaksanakannya. Tidak hanya sekali ini keluar sinyalemen atau sebangsanya bahwa kita, dan khususnya para pemuda, masih lebih banyak diliputi oleh semangat hidup seenaknya. Dr. Fuad Hasan dalam suatu penelitiannya sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar waktu kaum remaja digunakan untuk kegiatan-kegiatan santai. Dan seraya membandingkan dengan apa yang ada di luar negeri, khususnya negara-negara maju, diperoleh kesan bahwa justru sebagian besar waktu remaja digunakan untuk kegiatan-kegiatan produktif. Mengatakan bahwa para remaja kita umumnya masih lebih banyak bersantai daripada berproduksi adalah sama dengan mengatakan bahwa mereka menempuh sikap hidup easy going, yang kita terjemahkan saja dengan kata-kata hidup seenaknya. Pertautan hidup seenaknya ialah dengan semangat mencari kenikmatankenikmatan jangka pendek (pleasure seeking), karena tidak sanggup menghayati kebahagiaan yang lebih bersifat jangka panjang. Apa yang dapat dicapai sekarang hendak dinikmati sekarang juga, D1E
F NURCHOLISH MADJID G
tanpa kesabaran untuk menundanya sampai saat yang akan datang yang lebih tepat. Padahal, menurut para sarjana, kenikmatan yang sesungguhnya ialah kenikmatan yang tertunda (deferred enjoyment), yaitu yang terwujud setelah pengingkaran kenikmatan itu karena bekerja keras. Dan menurut para ahli psikologi, kematangan emosional seseorang dan kedewasaannya juga dapat diukur dari mampu tidaknya seseorang meninggalkan orientasi jangka pendek dan memegang orientasi jangka panjang. Hal itu dapat dengan jelas dan mudah dibuktikan dengan mengamati jiwa kanak-kanak dan jiwa orang dewasa. Maka kalau benar bahwa sebagian besar angkatan muda kita berkebudayaan santai, tentulah ada sangkut pautnya dengan proses pematangan kejiwaan bangsa kita secara keseluruhan. Mungkin sekali penemuan bangsa kita sebagai bangsa muda secara tidak langsung dan tidak disadari menggambarkan tingkat proses kematangan jiwa bangsa tersebut. Sebagai bangsa muda kita belum “dewasa�, dan karena itu jiwa bangsa kita belum matang. Ketidakmatangan itu secara menonjol tercermin pada pola hidup para remaja kita: easy going, pleasure seeking, relaxed, dan seterusnya. Secara tidak langsung penilaian serupa juga diberikan oleh seorang ahli ekonomi terkemuka dan pemegang hadiah Nobel, Gunnar Myrdal. Dalam sebuah karyanya, dia mengatakan bahwa beberapa negara berkembang, salah satunya ialah Indonesia, tergolong ke dalam kategori negara lunak (soft state). Kelunakan itu terutama sebagaimana dibuktikan oleh sikap kurang tegas, tak menentu dan tak konsisten, terhadap pelanggar-pelanggar hukum, khususnya yang dilakukan oleh para pembesar dan pejabat sendiri yang menyalahgunakan wewenangnya atau melakukan tindak korupsi. Jika Myrdal benar maka hampir dapat dipastikan bahwa sikap-sikap easy going kaum remaja kita — yang merisaukan tokoh seperti Ali Murtopo itu — tidak lain merupakan salah satu dari gejala umum bangsa kita, malahan dapat ditafsirkan sebagai perpanjangan atau kelanjutan yang wajar dari apa yang kini dipraktikkan oleh kaum dewasa, termasuk para pemimpin dan penguasa kita. D2E
F PEMUDA DAN SIKAP HIDUP “EASY GOING” G
Memang salah satu ujud sikap easy going ialah ketidakpedulian pada aturan-aturan dan hukum-hukum. Kebiasaan mengabaikan norma-norma membuat orang mencari enaknya (“Enaknya bagaimana?”), bukan mencari benarnya (“Sebenarnya bagaimana?”)! Dan gejala ini sungguh amat terasa dalam kehidupan kita seharihari. Kita perhatikan saja sebagai contoh konkret bagaimana kita menggunakan fasilitas jalanan umum untuk lalu lintas. Kita cenderung untuk kalau bisa menyerobot, melanggar aturan, sebab yang penting sampai tujuan. Katakanlah secara persentase, pengemudipengemudi yang kurang disiplin itu kecil saja; tetapi persentase itu sudah amat besar jika dibandingkan dengan tingkat yang dapat ditolerir menurut ukuran-ukuran negara yang sudah maju ataupun negara berkembang — tetapi tidak termasuk soft state-nya Myrdal. Maka tidak heran bila seseorang mengatakan bahwa kota-kota kita, khususnya Jakarta, adalah sebuah hutan lalu lintas (traffic jungle)! Maka suatu bahaya ialah kalau kita melihat dan menilai bahwa gejala easy going di kalangan pemuda adalah sesuatu yang berdiri sendiri dan sederhana. Justru ia adalah kompleks, tak dapat dilepaskan dari pertautannya dengan keadaan dan sikap bangsa kita secara keseluruhan, khususnya sebagaimana terdapat pada kaum dewasa. Jika kaum dewasa masih saja membawa dan menjadikan negara kita termasuk apa yang dinamakan Myrdal soft state tadi, maka tidak ayal lagi generasi muda akan hanya sekadar meniru dan melanjutkan. Berdosakah mereka? Memang! Tetapi tanggung jawab terbesar dipikul oleh kaum dewasa atau dalam bahasa yang Iebih tajam dan sinis: kaum tua! [ ]
D3E
F MEMBANGUN ETOS KERJA G
MEMBANGUN ETOS KERJA Oleh Nurcholish Madjid
Selama tiga hari telah dilangsungkan seminar tentang nation building di Jakarta antara ahli-ahli Indonesia dan Jepang. Dalam sidang terakhir seminar itu telah terjadi suatu diskusi yang amat menarik, sekalipun agak “hangat�. Diskusi dimulai oleh peserta Jepang, Dr. Ichimura, yang mengemukakan suatu permasalahan sekitar dorongan atau motivasi untuk bekerja. Dia mengatakan bahwa, dalam tinjauannya ke beberapa pabrik joint venture IndonesiaJepang, diketemukan hal-hal yang bersangkutan dengan masalah motivasi itu: Mengapa orang-orang Jepang selalu bersedia bekerja lebih dari jumlah waktu yang ditentukan, sampai-sampai pada hari-hari Sabtu dan Minggu juga, sedangkan dari seratus orang Indonesia rata-rata hanya satu orang saja yang mempunyai sikap serupa. Selebihnya tampak seperti bekerja seperlunya saja, asal tidak kurang dari ketentuan resmi. Sudah tentu dalam diskusi itu terjadi proses saling menanya dan menjawab. Dan tinjauan dikemukakan dari beberapa segi yang mungkin ada, untuk menghindari suatu tinjauan yang berat sebelah. Umpamanya peserta Indonesia, Filino Harahap, mengemukakan suatu perbandingan: Jika begitu keadaan semangat kerja di suatu pabrik joint venture Indonesia-Jepang, mengapa tidak demikian keadaannya di pabrik-pabrik joint venture ataupun bantuan asing lainnya seperti Pabrik Pupuk Pusri di Palembang dan Pabrik Semen Gresik di Gresik. Apakah tidak mungkin keadaan yang kurang positif itu pada pabrik KTSM umpamanya disebabkan oleh sikapD1E
F NURCHOLISH MADJID G
sikap kurang simpatik dari pihak tenaga-tenaga Jepang? Sedangkan orang-orang Amerika di Pusri dan Gresik cukup simpatik dalam tindak-tanduknya terhadap para ahli dan pekerja Indonesia? Ada kemungkinan bahwa sikap itu saja sudah merupakan faktor yang mendorong atau tidak mendorong seseorang untuk bekerja dengan dedikasi. Tinjauan dari sudut pandang sejarah dikemukakan oleh Dr. T.B. Simatupang. Melihat gelagat peserta Jepang tersebut yang seolah-olah hendak mengatakan bahwa orang-orang Indonesia adalah pemalas, Simatupang mengemukakan sikap serupa dari pihak orang-orang Roma di zaman kebesarannya terhadap orangorang Jerman di saat itu. Mereka mengatakan bahwa orang-orang Jerman di sebelah utara itu pemalas, tidak kenal disiplin dan tidak akan sanggup menjadi bangsa yang maju. Tetapi ternyata keadaan berbalik begitu rupa sehingga pada zaman modem ini orang-orang Jermanlah yang berganti suka mengatakan bahwa orang-orang selatan Laut Tengah, termasuk di dalamnya orang-orang Italia atau Roma sendiri, adalah orang-orang yang bertemperamen sukar diatur, pemalas dan kurang mampu menopang suatu masyarakat industrial yang tinggi. Ada lagi pengalaman yang dikemukakan oleh Simatupang sebagai salah seorang angkatan 45. Di zaman penjajahan, biasa sekali orang-orang Belanda mengatakan kepada kita bahwa bangsa Indonesia tidak akan sanggup menjadi bangsa merdeka. Sebabnya antara lain karena kita ini — kata Belanda — tidak akan sanggup mengorganisasi angkatan bersenjata yang memadai dan sesuai dengan tuntutan zaman modern. Simatupang mengatakan bahwa pada waktu itu pernyataan serupa itu dianggap dengan sendirinya benar. Tetapi keadaan pada tahun 40-an ternyata tidak membenarkan penilaian negatif itu. Apalagi sekarang ini, angkatan bersenjata kita adalah termasuk yang paling eďŹ sien organisasinya di Asia. Jadi, ada tidaknya dorongan untuk bekerja keras dan berdisiplin sangat erat bersangkutan dengan posisi suatu bangsa dalam konstelasi sejarahnya sendiri dan sejarah dunia. Maka, D2E
F MEMBANGUN ETOS KERJA G
demikian Simatupang dengan nada yang penuh optimisme, tunggu saja dua puluh tahun lagi, kita akan mendapatkan bangsa Indonesia yang sama sekali lain dari keadaannya sekarang ini, termasuk dalam hal kerajinan bekerja dan berproduksi. Sudah tentu “tantangan” Simatupang membangkitkan optimisme yang cukup besar di kalangan kita, bangsa Indonesia. Tetapi dalam “lobbying” timbul pertanyaan-pertanyaan dan tinjauan-tinjauan lain yang lebih jauh. Apakah tidak mungkin bahwa motivasi kerja itu sangat bertautan dengan tujuan kerja. Umpamanya apa tidak mungkin dalam kasus KTSM di Bandung, seperti yang dijadikan bahan oleh Dr. Ichimura tadi, terdapat suatu perasaan, kalaupun bukannya malahan kesadaran, bahwa orangorang Indonesia bekerja untuk Jepang? Sedangkan pada kasus Semen Gresik umpamanya, perasaan itu tidak ada pada orang-orang Indonesia terhadap orang-orang Amerika? Jika betul, maka mudah dipahami, bahwa ketidaksediaan tenaga-tenaga Indonesia untuk bekerja at all cost itu ialah karena pada bawah sadarnya mereka tidak bersedia bekerja untuk Jepang. Tetapi bagaimana keadaannya dengan seluruh bangsa Indonesia untuk bidangnya masing-masing? Jika tesis terakhir yang kita pegang maka jelas sekali bahwa siapa pun dari bangsa Indonesia tidak akan secara tulus berdedikasi melalui bidang kerjanya untuk siapa saja, termasuk para pemimpin mereka sendiri, jika pada mereka terdapat tanda-tanda ego sentris, dengan gejala “mumpungisme” yang kuat. Jadi masalah dorongan atau motivasi kerja amat erat bersangkutan dengan pola kepemimpinan. Prof. Sarbini mengatakan bahwa masalah kita ialah masalah leadership. [ ]
D3E
F ETIKA KAUM NASIONALIS G
ETIKA KAUM NASIONALIS Oleh Nurcholish Madjid
Ternyata seminar Indonesia-Jepang tentang pembangunan bangsa mempunyai ekor yang meskipun tidak terlalu serius namun menarik perhatian. Pemyataan salah seorang peserta Jepang, Dr. Ichimura, menimbulkan reaksi protes dari pihak Dewan Ekonomi Veteran Indonesia (DEVI). Sebab pemyataan itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan. Dan DEVI juga menyesalkan teknokrat-teknokrat kita yang memberikan peluang kepada terjadinya hal-hal yang merendahkan martabat bangsa itu. Sebetulnya, dalam seminar itu sudah terjadi dialog yang cukup serius — khususnya antara Ichimura dan Simatupang. Yang menarik bagi kita ialah bahwa reaksi protes itu datang dari kalangan kaum veteran. Simatupang juga adalah seorang veteran, mungkin dapat disebut veteran par excellence, mengingat peranannya dalam revolusi yang dia gambarkan dalam buku terkenalnya, Laporan dari Banaran. Mengapa dari kaum veteran? Agaknya disebabkan latar belakang pengalaman mereka, yaitu pelibatan mereka dalam pergerakan kemerdekaan adalah dalam bentuk-bentuk yang langsung dan sangat intensif. Hal itu pasti telah membentuk cara berpikir dan sikap mereka, yang secara ringkas kita sebut saja cara berpikir dan sikap yang nasionalistis. Mereka adalah kaum nasionalis alam, karena ditempa oleh pengalaman langsung dalam perjuangan ďŹ sik. Maka tidak heran jika mereka relatif lebih mudah “tersinggungâ€? oleh pernyataan-pernyataan orang asing yang bersifat negatif tenD1E
F NURCHOLISH MADJID G
tang bangsanya. Dan lebih cepat merasa terpanggil untuk tampil membela. Sekarang kita tinggalkan pembicaraan sekitar veteran atau bukan veteran. Tetapi pembicaraan kita teruskan tentang kaum nasionalis. Di sini perkataan itu dipergunakan dalam arti kata seluas-luasnya. Etika kaum nasionalis ialah kesadaran pokok yang mendasari sikap-sikap tadi, yaitu kesadaran akan harga diri sebagai bangsa. Bukanlah suatu nonsens jika sekarang terdengar suara-suara yang mulai mengkhawatirkan tentang semakin hilangnya rasa harga diri sebagai bangsa dari kalangan orang-orang Indonesia. Katakanlah kekhawatiran itu terlalu pagi atau prematur, tetapi masalahnya sendiri memang menuntut perhatian yang lebih besar. Sebab pengalaman pada bangsa lain menunjukkan bahwa hilangnya rasa harga diri kebangsaan itu merupakan sesuatu yang selalu mungkin. Filipina umpamanya, sudah biasa dinilai sebagai negara dengan penduduk yang kurang rasa nasionalismenya. Kabarnya orang-orang Filipina yang telah mencapai status sosial tertentu banyak yang meninggalkan kewarganegaraan Filipina dan memilih kewarganegaraan Amerika Serikat. Malahan kabarnya ada kelompok orang-orang Filipina yang menghendaki dileburnya republik yang merdeka itu menjadi suatu negara bagian Amerika Serikat. Munculnya Marcos sebagai orang kuat Filipina adalah didahului oleh kondisi-kondisi seperti itu. Di Indonesia gejala-gejala merosotnya nasionalisme itu dapat dilihat pada hampir semua sektor kehidupan, meskipun harus diperhatikan adanya variasi dalam intensitas gejala-gejala itu dari satu sektor ke sektor lainnya. Umpamanya dalam sektor pemakaian dan pengembangan hahasa nasional. Tidak perlu memasuki bidangbidang yang rumit, cukup kita perhatikan apa-apa yang terdapat di kedua tepi jalan Jakarta ini: Mengapa gedung-gedung megah selalu dinamakan dengan nama-nama asing, begitu pula tempat-tempat rekreasi, pusat-pusat kegiatan, dan lain-lain, sehingga percakapan kita selalu terselang-seling oleh perkataan “Oil Center�, “Boxing D2E
F ETIKA KAUM NASIONALIS G
Hall”, “Operation Room”, “New Garden Hall Theatre”, “Marah Halim’s Cup”, “Jawa Barat Pariwisata Auto Rally”, dan lain-lain lagi. Maka tidak heran muncul pernyataan-pernyataan yang ekstrem, yang sepintas lalu seperti sinis tetapi sebetulnya manifestasi rasa prihatin yang mendalam, seperti yang dilontarkan oleh Sutan Takdir Alisyahbana: “Lama-kelamaan bahasa Indonesia hanya mampu untuk membeli cabe di pasar, tidak mampu menunjang kemajuan dan kemodernan”. (Lihat saja contoh-contoh tersebut tadi, betapa bahasa Indonesia terdesak ke pinggir oleh bahasa asing, khususnya Inggris, di bidang-bidang yang mengandung sifat maju, modem, megah, dan lain-lain). Dibanding dengan Malaysia tentu kita lebih maju dalam pembinaan hahasa itu. Tetapi hal itu hanyalah karena kita jauh lebih dahulu memulainya. Tetapi untuk waktu yang akan datang, belum tentu keadaan tidak terbalik, mengingat kesungguhan Malaysia sekarang ini dalam menangani masalah tersebut. Dalam suasana politik serba terbuka seperti sekarang ini, mungkin saja seorang nasionalis akan menjadi korban ketidakadilan. Umpamanya mereka akan mengesankan sebagai orang kolot, tertutup, dan lain-lain. Hal itu dapat diduga terlebih dahulu, dan hendaknya dianggap sebagai kesempatan untuk memperjuangkan prinsip nasionalisme. Sebab tanpa kegairahan kebangsaan, kita akan kehilangan motivasi yang terbesar untuk membangun dan mengejar ketinggalan. Seperti kata seorang ahli, rasa kebangsaan adalah modal terbesar bagi setiap bangsa untuk maju melawan rintanganrintangan dan dalam menanggung beban-beban kesengsaraan dalam pembangunan nasional. [ ]
D3E
F PANCASILA HENDAK DILAKSANAKAN SECARA LEBIH TEPAT?! G
PANCASILA HENDAK DILAKSANAKAN SECARA LEBIH TEPAT?! Oleh Nurcholish Madjid
Seorang pembaca sebuah surat kabar yang tampaknya cukup terpelajar dengan latar belakang pendidikan di luar negeri, menuliskan pengalamannya di ibukota ini. Dia menulis bagaimana mendapat hadiah semprotan air kotor jalanan oleh sebuah mobil yang lewat. Menurutnya, jalanan pada waktu itu memang sedang mengalami perbaikan, tetapi toh masih cukup luas untuk sebuah mobil hingga dapat menghindari genangan-genangan air di tepi jalan. Tetapi, pengemudi mobil itu agaknya memilih melewati tepi jalan dan melihat hasil usahanya, yaitu kotor dan basah-kuyupnya pakaian para pejalan kaki. . Satu segi yang amat penting dikemukakan oleh pembaca tersebut, yaitu bahwa sikap pengemudi seperti di atas dinilai dan dirasakannya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan semangat Pancasila, khususnya dengan sila perikemanusiaan. Penulis itu juga sempat membandingkan kejadian itu dengan pengalamannya di Swedia di mana ia pemah bermukim untuk studi, dan mengatakan bahwa dalam kejadian serupa itu pengemudi di sana dapat ditangkap dan diajukan ke pengadilan. Padahal Swedia bukanlah negara Pancasila! Swedia “hanya� negara sosial-demokratis! Tetapi penulis itu lupa bahwa hal yang lebih menyedihkan berkaitan dengan pengalamannya itu mungkin saja terjadi. Yaitu orang-orang di sekeliling korban bukannya menunjukkan rasa solider atau apalagi menolong, malahan mungkin ikut numpang supir iseng tersebut D1E
F NURCHOLISH MADJID G
dalam menikmati sadismenya dengan menertawakan atau senyumsenyum mengejek. Kejadian tersebut kedengarannya sederhana saja. Tetapi ia adalah amat ilustratif dan indikatif sekali. Ibarat jam yang ada di tangan kita, jarumnya memang tampak sederhana saja kerjanya, yaitu tidak lebih daripada berputar sekeliling angka-angka yang membentuk lingkaran penuh itu, tanpa variasi apa-apa. Tetapi sesungguhnya di balik jarum yang bekerja sederhana itu adalah sebuah permesinan yang kompleks sekali, yang hanya para ahli jam saja yang memahami cara-cara kerjanya. Demikian pula, di balik sebuah tindakan tidak bertanggung jawab seorang pengemudi mobil tersebut terdapat kenyataan-kenyataan yang amat kompleks, yang untuk mamahaminya mungkin diperlukan setiap keahlian di bidang masalah-masalah manusia — agama, pendidikan, psikologi, sosiologi, politik, dan lain-iain. Walaupun begitu, secara negatif hal tersebut dapat dikatakan dengan kalimat yang pendek. (Seperti halnya sebuah jam yang jalan jarumnya sudah tidak betul akan kita katakan bahwa mesinnya rusak atau memang mutu jamnya yang rendah). Yaitu bahwa kelakuan pengemudi tersebut menunjukkan entah budi pekertinya yang rusak atau memang mutu manusianya yang rendah! Dan karena nilai-nilai luhur untuk bangsa Indonesia telah dirumuskan sebagai Pancasila, maka juga dengan singkat dapat dikatakan bahwa orang tersebut adalah orang yang tidak bermoral Pancasila, sebagaimana dikatakan pembaca tadi. Tetapi kita harus waspada terhadap slogan-slogan dan jargon jargon. Sebab mungkin sekali sebuah slogan telah kehilangan sentuhannya dan menjadi kehilangan makna karena terlalu sering didengung-dengungkan. Atau malah ia berubah bentuknya menjadi sekadar alat politik yang kelak dapat saja menghasilkan sesuatu yang justru berlawanan dengan semangat slogan itu sendiri. Contoh yang terakhir ini ialah seperti yang dikatakan oleh Russel (jika dia benar), bahwa perbedaan antara negara-negara Barat (kapitalis) dan Timur (komunis) ialah bahwa masyarakat Barat digerakkan dengan titikD2E
F PANCASILA HENDAK DILAKSANAKAN SECARA LEBIH TEPAT?! G
tolak kebebasan yang sudah tentu sesuai dengan perikemanusiaan, tetapi kemudian ternyata menghasilkan masyarakat di mana praktikpraktik persaingan kapitalisme adalah sangat berlawanan dengan prinsip-prinsip perikemanusiaan, di mana peningkatan sosialekonomis seseorang dapat dilakukan hanya dengan susah payah dan jangka waktu lama sekali. Sedangkan negara-negara Timur sebaliknya, masyarakatnya digerakkan dengan landasan diktator proletar yang sebagaimana setiap kediktatoran tentunya adalah penentangan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, tetapi — menurut Russel — akhirnya menghasilkan masyarakat yang relatif sama rata dalam waktu singkat. Kesamaan derajat antara sesama manusia adalah salah satu cita-cita luhur manusia sepanjang masa. Sudah tentu perkataan Russel harus diuji terlebih dahulu kebenarannya sebelum diterima. Tetapi sekurang-kurangnya ia memperingatkan kita agar tidak mengatakan sesuatu tetapi menghasilkan hal yang sebaliknya atau bertentangan. Maka demikian pulalah halnya dengan Pancasila yang luhur itu: jika ia hanya berfungsi sebagai “pentung politik” (dipakai untuk memukul orang atau golongan lain yang berlainan pandangan politik) sebagaimana sering kita khawatirkan, maka ia akan hanya menghasilkan sesuatu yang berlawanan dengan semangatnya sendiri. Mungkin sekali pelaksanaan yang lebih tepat akan nilai-nilainya dapat kita alamatkan kepada Panitia Perumus Nilai-nilai Pancasila yang dipimpin oleh Bung Hatta. Semoga begitulah adanya. [ ]
D3E
F KEBEBASAN BERBICARA DAN BERPIKIR G
KEBEBASAN BERBICARA DAN BERPIKIR Oleh Nurcholish Madjid
Peringatan untuk kesekian kalinya telah dikeluarkan oleh Pemerintah tentang adanya kegiatan-kegiatan dari sementara golongan yang hendak mengubah UUD 45 dan Pancasila. Yang terakhir ialah sinyalemen yang dinyatakan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jenderal M. Panggabean. Malahan dalam sinyalemen itu secara eksplisit disebutkan pula peranan bekas partai-partai terlarang selain PKI, hal mana sedikit menimbulkan asosiasi atau “kenangan” akan salah satu yel politik masa lalu. Tetapi adanya peringatan serupa itu kiranya memang diperlukan, dan kiranya juga proporsional. Sekalipun tentu tidak dimaksudkan untuk mengadakan sakralisasi terhadap UUD 45 dan Pancasila sehingga menjadi setingkat dengan agama, namun tetap diperlukan adanya keteguhan sejauh mungkin di dalam mempertahankan dan menjalankannya. Pancasila dan UUD 45 bukan saja merupakan sebegitu jauh hasil terbaik pemikiran dan penemuan bersama bangsa Indonesia secara keseluruhan, tetapi juga telah terbukti kemampuannya menghimpun seluruh unsur bangsa di bawah satu bendera, dengan “ongkos-ongkos” yang tidak terlalu mahal sebagaimana dialami oleh beberapa bangsa lain. Apalagi jika diingat bahwa unsur-unsur kebangsaan kita adalah termasuk yang paling beragam-corak atau heterogen di dunia ini. Oleh sebab itu, usaha mengubah nilai-nilai dasar itu akan membuat keseluruhan bangsa memulai proses integrasinya lagi D1E
F NURCHOLISH MADJID G
dari bawah. Ini adalah menyia-nyiakan waktu dan tenaga yang amat berharga untuk tujuan-tujuan lain, misalnya pembangunan. Dan jika sekali dasar tersebut telah berhasil diubah, maka apa yang akan menjamin bahwa yang baru itu pun akan tidak diubah lagi? Dan jika hal itu terjadi dengan korban-korban sia-sia yang tentu menyertainya, maka kapan proses akan berhenti dan negara memulai dengan sungguh-sungguh mewujudkan tugas dan citacitanya yaitu menciptakan kebahagiaan lahir maupun batin untuk warganya? Dengan pendekatan dari segi kemanusiaan yang wajar dapatlah kita mengatakan bahwa di balik usaha mengubah UUD 45 dan Pancasila — kalau benar-benar ada — tidak mustahil terdapat cita-cita yang cukup ikhlas, murni dan bersifat altruistis karena didorong oleh keinginan yang tinggi untuk mewujudkan kebaikankebaikan bagi umum, lebih-lebih rakyat banyak. Tetapi sebetulnya cita-cita dan pikiran-pikiran itu tetap dapat disalurkan serta diperjuangkan melalui UUD 45 dan Pancasila. Sebab, sebagaimana sering dikemukakan orang, konstitusi dan falsafah kita itu adalah sangat luwes, dan keluwesan itulah yang menjadi titik kekuatannya. Dalam keadaan itu berarti nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menuntut segi pelaksanaan yang diriamis, ever changing, sesuai dengan keadaan pada masa tertentu. Ini adalah sesuai sekali dengan perkembangan ideologi yang mutakhir. Sebagai contoh ialah apa yang dikatakan oleh Willy Eichler (almarhum), salah seorang pemikir partai sosial-demokrat Jerman atau SPD, bahwa kini bukan zamannya lagi untuk memahami suatu nilai politik seperti demokrasi dan sosialisme secara ideologi dan dogmatis. Demokrasi umpamanya tidak dapat dipahami melalui perumusan-perumusan yang sekali dibuat kemudian berlaku untuk selama-lamanya dan mutlak, melainkan harus ditafsirkan secara dinamis, sehingga demokrasi adalah berarti proses demokratisasi, yaitu keadaan yang memungkinkan semakin diperbesarnya kebebasan-kebebasan kemanusiaan secara konsisten. Demikian juga dengan sosialisme. D2E
F KEBEBASAN BERBICARA DAN BERPIKIR G
Hanya saja dalam hal Pancasila itu, yang dulu di masa Orla (tapi cukup dapat dibenarkan) dikatakan sebagai pengangkatan nilainilai “Declaration of Independence”-nya Amerika dan “Manifesto Komunis”-nya Rusia bersama-sama setingkat lebih tinggi, setiap pikiran dituntut konsistensinya dan cakupannya dengan keseluruhan nilai itu tanpa kecuali. PKI umpamanya sebegitu jauh mengaku sebagai pejuang kerakyatan dan keadilan sosial yang paling gigih. Tetapi dapat dipastikan bahwa ia mengingkari Ketuhanan Yang Maha Esa. Mungkin mereka juga acuh-tak-acuh terhadap nilai perikemanusiaan, melihat bagaimana cara yang mereka tempuh dalam memperjuangkan cita-cita mereka, antara lain Gestapu. Dan barangkali ada kelompok dalam masyarakat yang memberi perhatian hanya salah satu atau sebagian saja dari Pancasila itu. Karena sifatnya yang dinamis, maka Pancasila harus diperjuangkan dalam watak dan proses masyarakat yang dinamis pula. Di sini terletak arti pentingnya kebebasan-kebebasan asasi, khususnya kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran. Lebih-lebih untuk forum ilmiah dan legislatif. Berarti bahwa selain universitas harus berfungsi penuh, demikian pula DPR, saluran resmi suara rakyat kita. [ ]
D3E
F MENEMUKAN KEINDONESIAAN G
MENEMUKAN KEINDONESIAAN Oleh Nurcholish Madjid
Apakah kita belum menemukan keindonesiaan kita? Kalau jawaban diajukan dengan sedikit emosi, tentu saja akan berbunyi: “Sudah!� Sebab emosi kita tidak membiarkan tumbuhnya kesadaran bahwa sebetulnya apa yang dinamakan keindonesiaan sampai sekarang masih dalam taraf pertumbuhan; dan agaknya masih jauh dari selesai. Didorong oleh rasa kebangsaan yang meluap-luap, almarhum Muhammad Yamin mencoba membangun teori bahwa wilayah yang kini tergabung dalam negara Republik Indonesia sebetulnya sudah pernah tergabung dalam kerajaan-kerajaan besar Nusantara di masamasa silam, khususnya Sriwijaya dan Majapahit. Bahkan menurut Yamin, daerah kedua kerajaan itu dapat dibuktikan meliputi daerahdaerah yang kini tidak lagi termasuk Indonesia seperti semenanjung Melayu dan sebagian dari pulau-pulau Filipina. Dan sudah pasti kekuasaan bangsa kita di masa lampau itu meliputi juga Irian Barat, sehingga dari segi sejarah terdapat dasar yang kuat bagi klaim kita atas daerah itu ketika masih di bawah kekuasaan Belanda. Semua teori yang dibangun oleh Yamin, yang kini agaknya telah merupakan doktrin yang harus diterima, adalah untuk memberikan dasar historis bagi kebangsaan Indonesia, sehingga keindonesiaan kita sekarang ini sesungguhnya hanyalah merupakan kelanjutan dari kenyataan sejarah yang jauh sekali. Dengan maksud itu pulalah sejarawan kita itu mencoba membuktikan bahwa bendera merah-putih sebetulnya sudah berumur beribu-ribu tahun di tanah air kita. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Keterangan-keterangan Muhammad Yamin sudah tentu tidak muspra. Sebab ia memberikan ikatan emosional kepada rasa keindonesiaan, yang itu sendiri sudah cukup penting dan berarti sekali. Tetapi suatu tinjauan sosiologis yang lebih realistis mengungkapkan bahwa keseluruhan keindonesiaan adalah masih amat baru. Dari segi administratif dan pemerintahan beserta kekuasaan teritorialnya, Indonesia adalah kelanjutan India Timur Belanda. Amat diragukan bahwa daerah yang kini tercakup dalam RI pada waktu lampau benar-benar pemah tergabung dalam suatu kesatuan kekuasaan secara efektif. Sriwijaya di sebelah barat mungkin pemah mencakup daerah-daerah yang kini tidak termasuk Indonesia, begitu juga Majapahit di sebelah timur. Tetapi apakah salah satu atau keduanya itu betul-betul pernah meliputi daerah yang sekarang disebut Indonesia? Sudah terang tidak. Maka penyatuan pulau-pulau yang kini disebut Indonesia untuk pertama kalinya dilakukan secara efektif oleh Belanda. Lebih penting lagi ialah keindonesiaan dalam bidang mental. Frame of reference apakah yang merupakan titik pertemuan antara dua orang dari daerah yang berbeda sehingga menimbulkan perasaan sebagai sama-sama orang Indonesia? Apalagi jika hal itu digambarkan pada saat kita belum mempunyai bahasa persatuan? Frame of reference itu ialah sesuatu yang mereka peroleh sebagai sikap mental yang dibentuk oleh pendidikan. Pendidikan itu juga dimulai oleh Belanda pada permulaan abad ini. Apa pun motifnya, dan bagaimanapun efek sampingannya yang negatif, tetapi kenyataan bahwa sikap mental yang dihasilkan oleh sekolah-sekolah Belanda itulah yang memberikan kemungkinan diketemukannya kesamaan dalam frame of reference antara dua orang dari dua daerah yang berbeda. Sehingga dapat dikatakan bahwa “orang Indonesia� ialah orang yang berpendidikan, sedangkan yang tidak berpendidikan hanyalah menjadi orang khusus daerahnya atau sukunya sendiri. Hal itu ditinjau dari segi sikap mentalnya, bukan segi formalitas kewarganegaraannya. Dan hasil pendidikan itu pulalah yang memberikan kesadaran kepada sejumlah orang untuk merintis D2E
F MENEMUKAN KEINDONESIAAN G
perjuangan kebangsaan, membukakan jalan menuju kemerdekaan, dan yang paling besar impaknya: mengadakan kongres pemuda dengan Sumpah Pemuda-nya. Pada saat ini atribut-atribut keindonesiaan kita sudah semakin lengkap, yaitu Negara RI, Pancasila, Merah Putih, pemerintahan dan kekuasaan nasional, dan — yang amat penting — bahasa Indonesia. Namun tetap ada segi keindonesiaan yang sampai sekarang masih belum begitu tampak jelas, yaitu segi budaya. Dari segi ini wujud kebhinnekaan sudah konkret, tetapi apakah wujud ketunggalikaannya? Sebuah jawab dicoba diajukan, yaitu bahwa keindonesiaan dalam kebudayaan (nasional) ialah titik pertemuan dari puncak-puncak budaya daerah. Dan karena sebagai manusia bangsa Indonesia tidak mungkin menghindarkan diri dari pergaulan dunia yang semakin sempit ini, maka unsur keindonesiaan lainnya ialah segi-segi universal dan manusiawi daripada setiap kebudayaan umat manusia. Soalnya, peralatan apakah yang kita perlukan sehingga kita mampu menghayati “puncak-puncak tertinggi” dari kebudayaan daerah? Dan perlengkapan apa pula yang mesti ada agar kita sanggup menyaring begitu rupa unsur budaya asing (dari luar) sehingga yang masuk ke dalam keindonesiaan kita betul merupakan unsur universalnya? Yang pertama kita perlukan agar tidak terjerumus ke dalam lembah paham kedaerahan yang sempit. Dan yang kedua harus ada jika kita tidak mau menjadi bangsa imitasi tanpa kepribadian. Menemukan jawab akan persoalan itu merupakan langkah yang amat penting menuju penemuan keindonesiaan kita dan pembinaannya. [ ]
D3E
F MENGENANG PAHLAWAN G
MENGENANG PAHLAWAN Oleh Nurcholish Madjid
Kadang-kadang memang dapat dikatakan bahwa seseorang sebagai pemimpin berfungsi lebih efektif sesudah mati daripada semasa masih hidup. Sebabnya banyak, salah satunya mungkin karena kematian seorang pemimpin menimbulkan simpati yang besar di kalangan yang masih hidup, apalagi para pengikutnya sendiri. Dan kematian itu cenderung membuat orang yang masih hidup melupakan segi-segi negatif dari seorang pemimpin, dan menghidupkan penghargaan yang lebih besar kepada segi-segi yang positif. Contoh klasik dari pemimpin serupa itu ialah Ali, menantu Nabi Muhammad saw dan khalifah beliau yang keempat. Semasa hidupnya Ali adalah seorang pemimpin. Tapi kepemimpinannya tidak lebih dari kepemimpinan tokoh-tokoh Sahabat Nabi lainnya, khususnya yang menjadi Khalifah Rasulullah. Bahkan mungkin dapat dikatakan lebih tidak berhasil. Sebab pada masa kekhalifahannyalah untuk pertama kalinya terjadi perpecahan yang terbuka di kalangan umat Islam yang menghasilkan dua pusat kekuasaan politik yang bermusuhan yaitu Madinah (yang kemudian pindah ke Kufah di Irak) dan Damaskus. Dan lebih menyedihkan lagi bahwa kepemimpinan Ali tidak sanggup mempertahankan kekompakan para pengikutnya sendiri, sehingga sebagian dari mereka justru menyatakan diri sebagai golongan ketiga, yaitu golongan Khawarij yang melawan baik Damaskus maupun Kufah. Tetapi setelah meninggal ternyata Ali menimbulkan kenangan yang sedemikian mendalam di kalangan umat Islam, khususnya D1E
F NURCHOLISH MADJID G
para pengikutnya sendiri. Sehingga dari seluruh tokoh Sahabat Nabi tidak ada yang menandingi Ali sebagai pahlawan yang begitu dihormati dan dipuja. Sekarang ini di dunia Islam terdapat golongan Syi’ah, terutama di Irak dan Iran, yang menjadikan Ali sebagai salah satu objek kultusnya, dan “semangat” Ali itu merupakan jiwa pembimbing dan peningkat solidaritas di kalangan mereka. Di Indonesia tentu banyak contoh pemimpin yang lebih atau semakin efektif setelah meninggal dunia. Mungkin dapat kita sebutkan salah satunya ialah Pak Dirman (almarhum Jenderal Sudirman). Sudah tentu beliau adalah seorang pemimpin yang amat efektif semasa hidupnya. Tetapi beliau menjadi lebih efektif lagi setelah berpulang. Sebab semasa hidupnya, Pak Dirman “hanya” efektif dalam suatu lingkungan kecil pada waktu itu, yaitu lingkungan TNI dan gerilyawan dalam daerah Republik yang terbatas. Tetapi setelah beliau meninggal, rasanya tidak ada seorang tokoh dari masa perjuangan fisik yang begitu mendalam bekasnya dalam sentimen rakyat. Simpati rakyat dinyatakan dalam berbagai cara, antara lain dalam “menciptakan” cerita-cerita yang legendaris tentang Pak Dirman. Pak Dirman sekarang merupakan perlambang angkatan bersenjata kita, dan jiwa Sudirman tampaknya secara efektif merupakan sumber semangat angkatan bersenjata itu dan sumber inspirasinya. Dan setelah Bung Karno mengalami sesuatu yang ironis dan tragis, Pak Dirman menggantikan kedudukannya selaku personifikasi bangsa. Setidak-tidaknya begitulah yang dikesankan oleh digantikannya gambar Bung Karno dengan gambar Pak Dirman dalam seri mata uang kertas kita. Setiap orang yang berbuat jasa kepada masyarakat, negara atau bangsanya adalah seorang pahlawan. Tetapi biasanya sebutan pahlawan diberikan lebih banyak kepada orang berjasa yang telah meninggal daripada yang masih hidup. Dan memang memberikan sebutan pahlawan kepada orang yang masih hidup sedikit banyak riskan. Sebab — karena masih hidup — maka baginya masih terbuka untuk berbuat sesuatu, termasuk yang merugikan masyarakat. Contohnya banyak juga, umpamanya saja Bung Karno dari beberapa D2E
F MENGENANG PAHLAWAN G
segi. Sikap orang-orang yang masih hidup terhadap pahlawan yang telah meninggal ialah mengenang jasa-jasanya. Di dalam sikap mengenang itu sebetulnya terdapat arti yang lebih mendalam. Yaitu pernyataan dan pengukuhan atau konfirmasi akan ikatan batin dan komitmen. Dalam hal ini ialah komitmen kepada nilai-nilai bersama. Perkataan “berjasa” yang dipredikatkan kepada seorang pahlawan memberikan implikasi bahwa orang tersebut telah berbuat sesuatu yang bila diukur dengan nilai-nilai bersama adalah baik dan berguna. Nilai-nilai yang merupakan susila kolektif itu merupakan sendi hidup bermasyarakat. Tidak ada masyarakat tanpa norma-norma susila yang didukung bersama oleh para anggotanya. Karena itu juga berarti bahwa kuat tidaknya suatu masyarakat tergantung kepada kuat-tidaknya anggota-anggota masyarakat itu dalam komitmennya kepada nilai-nilai tersebut. Dan seperti dikatakan tadi — komitmen itu antara lain dinyatakan dalam sikap menghormat dan mengenang para pahlawan. Dahulu, di masa Orde Lama, ada suatu ucapan klise begini: “Bangsa yang besar ialah bangsa yang sanggup menghormati para pahlawannya”. Tanpa memperhatikan siapa yang mengucapkan klise itu, yaitu Bung Karno, agaknya di dalamnya memang terkandung sesuatu yang benar. Maka dalam suatu diskusi dengan orang-orang ahli dari negara lain tersinggung pula masalah pahlawan dan penghormatannya itu. Terdapat suatu penilaian dan mereka, tampaknya kita bangsa Indonesia mempunyai pahlawan relatif lebih sedikit daripada bangsa-bangsa lain. Jepang umpamanya. Mungkin tidak tepat benar perkataan itu. Tetapi semakin banyak pahlawan adalah berarti semakin banyak orang yang committed kepada nilai-nilai sosial dan nasional, dan dengan sendirinya merupakan petunjuk kuatlemahnya bangsa itu. Dan tulisan ini kita tutup dengan mengenang seorang pahlawan yang baru gugur di Vietnam, Kolonel Anumerta Gunawan SF. [ ]
D3E
F PELAJARAN SESUDAH WAFATNYA BUNG KARNO G
PELAJARAN SESUDAH WAFATNYA BUNG KARNO Oleh Nurcholish Madjid
Bung Karno telah kembali ke hadirat Tuhan. Kita ini milik Tuhan, dan kita kembali kepada-Nya. Tidak seorang pun dapat mengingkari jasa dan kebesaran Bung Karno. Tetapi juga tidak sedikit orang yang mengetahui kesalahankesalahan yang telah diperbuatnya. Namun dia sekarang telah tiada. Seorang Muslim akan hanya mengenangkan kebaikan-kebaikan seseorang yang telah meninggal, sedangkan untuk segala kesalahannya ia ikut memohonkan ampun kepada Tuhan. Tetapi, berkenaan dengan wafatnya Bung Karno, kita ingin menarik pelajaran darinya sebanyak mungkin. Apakah peninggalnn Bung Karno yang kini secara nyata dapat kita saksikan? Sudah terang Republik yang masih muda ini adalah peninggalan Bung Karno yang terpenting dan terbesar. Sekalipun dalam mendirikan Republik ini ia tidak sendirian, namun secara jujur haruslah diakui bahwa peranan Bung Kamo adalah yang terbesar dan paling menentukan. Seorang warga negara Republik muda ini dapat berdiri tegak dengan penuh rasa harga diri bila berhadapan dengan orang lain adalah karena beberapa hal yang erat bersangkutan dengan Bung Karno. Suatu nasion baru yang besar, dipersatukan oleh suatu bahasa kebangsaan yang berkembang, dalam suatu wilayah negara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke sejauh dari London di Inggris sampai Teheran di Iran yang meliputi beribu-ribu pulau dan suku. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Namun Bung Karno, betapapun kebesaran yang dipunyainya, akhirnya jatuh dan meninggal dunia setelah melalui masa-masa penghabisan yang tidak membahagiakan. Agaknya kehancuran Bung Karno yang gagah perkasa itu disebabkan karena ia telah menubruk sesuatu yang lebih gagah perkasa lagi. Bung Karno telah berbenturan dengan pertumbuhan kesadaran rakyat akan rasa keadilan dan kebenaran, akan kemutlakan tertib hukum, dan terpenuhinya hak-hak rakyat baik di bidang politik, ekonomi, sosial maupun lainnya. Bung Karno terlalu terpukau oleh gelar dan tugas yang dipilih dan ditetapkannya sendiri, yaitu sebagai “Penyambung Lidah Rakyatâ€?. Dengan begitu ia telah mengidentikkan dirinya dengan rakyat tanpa secara sungguh-sungguh berusaha memahami keinginan dan kecenderungan rakyat, teristimewa demokrasi dan keadilan sosial. Rasanya hati nurani rakyat ini akan tetap mengancam siapa pun yang mencoba melanggarnya, dan memang itulah kenyataan kebenaran. Tetapi hal itu berlalu dan menjadi pelajaran bagi kita semua, seraya kita ikut memohonkan ampun kepada IIahi atas kesalahankesalahannya itu, dan kita kenangkan jasa-jasanya yang sudah nyata. Sebab hal ini juga menyangkut suatu prinsip, yaitu bahwa penilaian kepada seseorang haruslah objektif, menurut apa adanya. Dalam hubungannya dengan bekas pemimpin Indonesia itu, untuk masa yang akan datang, berkenaan dengan siapa pun, janganlah kita mengulangi lagi sikap-sikap munaďŹ k yang pernah dipertontonkan oleh orang banyak, termasuk beberapa orang muda. Ketika Bung Karno berada dalam kejayaan, mereka menyanjung-nyanjung dan memuja-mujanya, tetapi setelah dia jatuh mereka berbalik ikut memakinya, seakan-akan berebut untuk menjadi paling keras mengganyang Bung Karno. Kepada mereka yang dari dulu dapat dengan tegas menunjukkan kesalahan-kesalahan Bung Karno kita ucapkan terima kasih, karena telah ikut menyelamatkan generasi muda seterusnya. Kepada mereka yang menjadi pengikut setia Bung Karno sampai setelah kepuD2E
F PELAJARAN SESUDAH WAFATNYA BUNG KARNO G
langannya kepada Tuhan, kita dapat menyatakan salut, namun tetap mengajak untuk mengadakan penilaian secara objektif, tanpa a priori, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan kepada mereka yang dalam hubungannya dengan Bung Kamo termasuk golongan free oating... sayang kami tidak bisa menyatakan hormat sama sekali. Kami hanya dapat menganjurkan agar tidak berkelanjutan dalam bersikap mental hipokrit itu, sebab amat berbahaya bagi rakyat dan negara. [™]
D3E
F SOEKARNO FIGUR PEMIMPIN YANG MANDIRI? G
SOEKARNO FIGUR PEMIMPIN YANG MANDIRI? Oleh Nurcholish Madjid
Tidak ada yang aneh dalam pernyataan sekelompok mahasiswa baru-baru ini bahwa mereka sangat mengagumi masa pemerintahan Bung Karno yang berkaitan dengan konsep berdikari. Kerinduan kepada semangat berdikari itu timbul kembali disebabkan oleh adanya kesan ketergantungan ekonomi negara kita kepada luar negeri. Dapat dimengerti jika ketergantungan bidang ekonomi itu tentu akan menyeret pula bidang-bidang lainnya, terutama politik. Kompleks seolah-olah kita selalu dalam pengawasan sebuah negara besar dalam politik luar negeri, tampaknya menghinggapi sebagian dari para petugas atau pejabat kita. Kompleks itu tidak selamanya terbukti kebenarannya, tetapi sudah sempat berpengaruh secara efektif dalam beberapa kesempatan. Menurut salah seorang peserta konferensi negara-negara nonblok di Aljazair, memang terasa — sekalipun tidak sepenuhnya disadari — bahwa seolah-olah sebuah negara besar mengawasi kita dari jauh dan mengikuti serta menilai sikap-sikap yang kita ambil dalam konferensi. Sikap Indonesia yang hampir sendirian — sekurang-kurangnya mempelopori — berkenaan dengan tokoh Norodom Sihanouk umpamanya, adalah lebih banyak didorong oleh adanya kompleks itu daripada oleh penilaian yang konkret tentang siapa sebenarnya dan apa peranan Sihanouk untuk (bekas) negaranya, Kamboja. Padahal, menurut seorang diplomat kawakan yang tak perlu disebut namanya, jasa bekas Raja Kamboja itu D1E
F NURCHOLISH MADJID G
kepada Indonesia, termasuk kepada Orde Baru sekarang ini, cukup lumayan. Sekurang-kurangnya jika dibandingkan dengan bagaimana sifat hubungannya dengan Bung Karno dulu. Diplomat itu antara lain menyatakan penyesalannya mengapa kita tampak tergesa-gesa mengakui rezim Lon Nol sekarang ini. Gambaran di atas menunjukkan satu segi kecil bagaimana implikasi ketergantungan ekonomi dalam bidang politik. Dan di situlah terasa bagaimana rasa kebangsaan yang oleh para mahasiswa hendak dibangkitkan lagi itu menjadi taruhan yang terlalu mahal. Seorang Indonesia yang berjalan-jalan di tengah rakyat negara-negara berkembang, tidak lagi secara hormat dipanggil sebagai “Anakanak Soekarno” yang agung, hebat dan populer, tetapi seolah-olah membawa gambaran diri atau image sebagai warga dari suatu negara yang sekarang ini sibuk mencari pinjaman ke sana-ke mari sambil kemungkinan memberi konsesi politik yang tak terucapkan. Tetapi dalam mengenang kembali dengan rasa kagum akan kemegahan politik berdikari masa lalu, agaknya dari kita dituntut sikap dan penilaian yang lebih fair. Sebab berdikari pada masa itu hanya berarti ketidaktergantungan kepada negara-negara Barat saja, sedangkan kepada negara-negara Blok Timur kita tidak dapat berbuat lain kecuali menuruti sebagian besar keinginan mereka. Sampai sekarang pun ketergantungan kita kepada negara-negara Blok Sovyet itu masih terasa sisa-sisanya. Persoalan-persoalan yang mengenai perlengkapan Angkatan Udara (pesawat-pesawat militer seperti Mig, IIyushin, dan lain-lain, yang kekurangan spare parts dan terpaksa menjalankan kanibalisme). Demikian pula dengan Angkatan Laut berikut kapal-kapalnya dan umumnya Angkatan Bersenjata karena mengandalkan supply Sovyet dalam hal perlengkapannya. Pabrik baja Cilegon pun merupakan “monumen” ketergantungan kita kepada Blok Sovyet — lebih khusus lagi Uni Sovyet sendiri. Salah satu konsistensi dari filsafat berdikari ialah hidup sederhana. India umpamanya adalah negara yang sebegitu jauh (jelas lebih jauh dari kita) telah mampu berdikari. Tetapi di samping itu secara sungguh-sungguh pemimpin dan rakyatnya mempraktikkan hidup D2E
F SOEKARNO FIGUR PEMIMPIN YANG MANDIRI? G
sederhana yang cukup mengesankan (kecuali sisa-sisa feodalisme para maharaja yang kini sedang dikikis). Pada zaman Bung Karno memang secara resmi diserukan untuk menempuh hidup sederhana itu, antara lain dengan slogan terkenal GHB (Gerakan Hidup Baru)nya. Tetapi apakah yang dilakukan oleh para pemimpin waktu itu, termasuk Bung Karno sendiri? Ialah sikap-sikap yang amat merangsang tumbuhnya pola konsumsi tinggi atau hidup mewah. Memang Bung Karno bukanlah jenis pengumpul kekayaan secara kasar dan mencolok seperti yang sekarang banyak terasa: dia tidak memiliki firma, n.v. yang “berwibawa”, atau memborong berhektarhektar tanah untuk dirinya sendiri dan keturunannya, ataupun membangun rumah-rumah pribadi yang mewah untuk keperluan perdagangan dalam real estate. Tetapi style hidupnya yang glamour benar-benar mengesankan kemewahan. Karena itu, yang penting adalah kebijaksanaan yang konsisten. Mengingat masih mudanya negara kita, maka faktor coba dan salah (trial and error) dalam memilih dan menetapkan suatu kebijaksanaan adalah besar sekali. Mungkin apa yang dinamakan “Orde Lama” adalah benar, sebagaimana mungkin Orde Baru kita sekarang adalah yang benar. Tetapi itu semua demikian halnya kalau terdapat cukup konsistensi, kecocokan, keserasian — bukannya lain yang dianjurkan lain pula yang dikerjakan. Dalam hubungannya dengan seruan hidup sederhanalah kita lebih-lebih mengharapkan adanya konsistensi itu. [ ]
D3E
F PEMATUNGAN PARA PROKLAMATOR G
PEMATUNGAN PARA PROKLAMATOR Oleh Nurcholish Madjid
Pada kesempatan menghadiri suatu acara dalam rangka peringatan hari ulang tahun kemerdekaan, Presiden Soeharto mengemukakan suatu anjuran agar para proklamator kemerdekaan kita dipatungkan. Mungkin memang menjemukan sekali mengulang-ulang jargon stereotip zaman Bung Karno bahwa “hanya bangsa yang menghormati para pahlawannya yang akan menjadi bangsa yang besar”. Tetapi sesungguhnya tidak ada yang salah dalam makna kalimat itu. Sebab penghormatan kepada para pahlawan merupakan suatu pernyataan “komitmen” atau keterikatan secara batin kepada suatu nilai. Penghormatan kepada para pahlawan merupakan pernyataan komitmen, bukan kepada masing-masing pahlawan itu sendiri yang utama, melainkan kepada nilai-nilai yang dikaitkan dengan mereka, yaitu nilai-nilai kebangsaan. Begitu pula halnya penghormatan kepada pahlawan-pahlawan agama, ideologi, kemanusiaan dan seterusnya. Dalam sejarah memang sering sekali terjadi hal-hal yang ironis bagi para pahlawan. Selain banyak pahlawan yang sudah dihormati semenjak ia masih hidup, tetapi juga tidak kurang jumlahnya pahlawan yang baru dihormati setelah lama ia meninggal, kadangkadang sampai berpuluh atau beratus tahun kemudian. Contohnya antara lain ialah Thomas Paine, seorang politikus ahli filsafat yang sangat berpengaruh kepada jalan pikiran tokoh-tokoh revolusi kemerdekaan Amerika. Ia dicap sebagai pengkhianat karena begitu Amerika bebas dari penjajahan Inggris, ia pindah ke Prancis dan D1E
F NURCHOLISH MADJID G
baru kembali ke Amerika setelah berhasil ikut mengobarkan revolusi juga di sana. Dan baru setelah selang sekitar satu abad semenjak meninggal, Thomas Paine diangkat dan diakui sebagai salah seorang pahlawan kemerdekaan Amerika. Pamet-pamet yang pernah ditulisnya dikumpulkan kembali dan dibukukan sebagai warisan falsafah kemerdekaan yang amat berharga. Begitulah memang, banyak pahlawan yang jauh lebih efektif pengaruhnya setelah ia meninggal daripada semasa hidupnya. Contoh yang paling menonjol dalam hal ini ialah Nabi Isa as. Semasa hidupnya mengesankan seperti tersia-siakan oleh bangsanya (bangsa Yahudi), tetapi sepeninggalnya ajaran dan agamanya tersebar luas dengan kuat sekali ke seluruh daerah Romawi. Dan banyak contoh lain serupa itu. Momen proklamasi kemerdekaan sudah tentu berada pada tempat yang khusus, kalau tidak harus dikatakan paling menentukan, dalam rangkaian sejarah bangsa Indonesia. Dan kita semua terikat secara batin atau committed kepada nilai-nilai kebangsaan, kenegaraan dan kemerdekaan yang tiang-tiangnya dipancangkan oleh proklamasi itu. Maka amatlah tidak wajar jika kita mengabaikan begitu saja hal-hal yang ada sekitar proklamasi tersebut, termasuk para tokohnya. Peringatan hari ulang tahun kemerdekaan yang diadakan secara rutin setiap tahun mempunyai arti ritual yang cukup penting. Tetapi mungkin yang lebih bermakna ialah pemahaman dan penghayatan kembali nilai-nilai yang ada di sekitar saat-saat proklamasi tersebut. Dan hal ini amat banyak menyangkut pribadi para tokoh dan pahlawan. Biasanya yang dinamakan proklamator ialah Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno yang berhadapan dengan mikrofon membacakan naskah proklamasi dan Bung Hatta berada di sebelahnya mendampingi dan menyertainya. Selain itu juga banyak hadirin lainnya yang ikut menyaksikan, termasuk mereka yang mengibarkan bendera merah putih yang pertama dalam sejarah republik. Jadi jelas bahwa Bung Karno-lah tokoh utama proklamasi sebagaimana telah menjadi pengetahuan yang pasti bagi seluruh D2E
F PEMATUNGAN PARA PROKLAMATOR G
rakyat Indonesia. Tetapi sayangnya, justru Bung Karno pula yang pada saat ini amat kontroversial kedudukannya dalam segi politik Orde Baru. Bung Karno sekarang ini menyebabkan bukan saja orang segan menyebut namanya dalam kaitannya dengan proklamasi, malah ajaran-ajaran dan pikiran-pikirannya dinilai sebagai berbahaya untuk dibaca. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat luas seolah-olah terdapat kesan bahwa nama Bung Karno, seandainya bisa, hendak dihapus dari sejarah republik ini. Tetapi syukurlah bahwa kesan itu ternyata tidak mengandung kebenaran. Hal itu ternyata tampak dari anjuran Presiden Soeharto tadi, yaitu untuk mematungkan para proklamator. Sesuatu yang patut mendapatkan komplimen ialah jiwa besar seseorang untuk tetap sanggup menghargai orang lain apa yang memang sepatutnya dihargai, sekalipun antara dirinya dan orang lain itu terdapat jurang pemisah paham politik ataupun lainnya. Pak Harto terhadap Bung Karno berada dalam penilaian serupa itu. [™]
D3E
F PAHLAWAN DARI DESA PARAKAN G
PAHLAWAN DARI DESA PARAKAN Oleh Nurcholish Madjid
Pahlawan itu bernama Mohamad Roem, dua kata yang sangat baku dalam khazanah kultural Islam. ‘Muhammad’ adalah ‘orang yang terpuji’ — mencontoh Nabi yang pertama kali memakai nama itu. Lalu dalam al-Qur’an ada sebuah surat ‘Rum’ (Bizantium), yang meramalkan kemenangan negeri itu atas Persia. Kaum kafir Makkah memihak Persia, tapi Rasulullah bersimpati kepada Rum yang Kristen, pengikut Nabi Isa al-Masih. Sedangkan Persia musyrik Majusi. Dan ‘Rum’, dalam kesarjanaan Muslim klasik, menunjuk hal yang sama dengan ‘yunan’ atau ‘ighriq’. Kata itu terkait erat dengan Hellenisme, terdiri dari filsafat dan ilmu pengetahuan duniawi, dikenal juga sebagai ‘hikmat al-Yûnân’. Inti ‘hikmat’ ialah rasionalitas, jika bukan langsung rasionalisme. Kaum Muslim klasik mengasimilasi Hellenisme itu dan menjadikannya seperti milik sendiri. Aristoteles adalah ‘guru pertama’, sedangkan al-Farabi adalah ‘guru kedua’. Kemudian mereka membangun peradaban yang mengagumkan. Di negeri Rum itu tumbuh pohon tīn (fig), dengan buahnya yang khas. Dalam ayat pertama surat al-Tīn, Tuhan bersumpah dengan pohon itu, kemudian dengan pohon Zaitun, disusul dengan Thur Sina (Bukit Sinai) dan kota yang aman sentosa, yaitu Makkah. Konon, pohon tīn itu melambangkan kebudayaan Romawi-Yunani (Graeco-Roman), pohon Zaitun yang banyak didapat di SyiriaPalestina mewakili agama Kristen, Bukit Sinai adalah tempat Nabi Musa menerima ‘Perintah yang Sepuluh’, landasan agama D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Yahudi. Dan Makkah, tentu saja, menunjuk kepada agama Nabi Muhammad, pesan Tuhan yang terakhir. Jadi, sumpah Tuhan itu mengingatkan pentingnya unsur-unsur budaya dan agama itu bagi umat manusia. Sebagian sarjana Barat gemar mengatakan bahwa peradaban modern adalah pengembangan lebih lanjut kebudayaan Graeco Roman yang digabung dengan ajaran keruhanian Judeo-Christian. Lev Shestov, salah seorang pendiri eksistensialisme modern, menggambarkan hubungan yang tidak selalu serasi antara unsur akal dan unsur wahyu peradaban itu dalam bukunya, Athens and Jerusalem. Tapi lukisan dinding tentang sejarah ilmu pengetahuan modern di Museum of Science and Industry, Chicago, yang katanya terbesar di dunia, dimulai dengan gambar Masjid Samarkand dan potret sarjana Muslim al-Biruni yang bersorban. Karena menurut Kitab Suci agama-agama yang dibawa Musa. Isa, dan Muhammad pada hakikatnya satu, yaitu ajaran Tuhan tentang penyerahan diri kepada-Nya (Islam), maka semuanya itu bisa tercakup dalam nama utusannya yang penghabisan, ‘Muhammad’. Dan ‘Rum’ cukup melambangkan ‘hikmat al-Yûnân’. Maka, bukankah nama Mohamad Roem sangat simbolis, dan perlambang yang mendalam? Kita tidak tahu doa apa yang dipanjatkan ayah-bunda dari Desa Parakan dekat Magelang itu ketika memberi nama jabang bayi mereka demikian. Tetapi, pada putra mereka yang setelah dewasa memimpin, berjuang, dan tumbuh menjadi pahlawan bangsa itu, kita melihat jelas sekali gabungan jiwa ‘ke-Muhammad-an’ dan semangat ‘ke-Rum-an’ yang padu. Sebagai seorang ‘Muhammad’ ia beriman kepada Tuhan sedalam yang bisa diimani seorang hamba yang saleh. Dan sebagai seorang ‘Rum’, ia berkiprah di dunia ini dengan mengikuti kaidah-kaidah ilmu pengetahuan yang seluas dan serasional seorang intelek yang amat terpelajar. Ia lulusan sekolah tinggi hukum (RHS) zaman Belanda, dan karenanya termasuk golongan intelektual yang paling elite di Indonesia. Ia seorang Muslim, dan serentak dengan itu ia pun seorang modemis. D2E
F PAHLAWAN DARI DESA PARAKAN G
Iman telah membimbing Mohamad Roem kepada sikap penuh takwa yang mendambakan rida Tuhan, dan ini mendorongnya berbuat paling baik bagi sesama manusia. Ilmu dan rasionalitas telah memungkinkannya menemukan jalan paling efektif dan eďŹ sien dalam beramal kebajikan. Gabungan antara iman dan ilmu itu membuatnya sukses, seperti dijanjikan Kitab Suci. Salah satu sukses Mohamad Roem telah menjadi bagian sejarah bangsa, karena telah terpancang sebagai tiang penyangga Republik. Sebab, dalam proses pertumbuhan negara, peristiwa apakah kiranya yang lebih penting daripada proklamasi dan kesepakatan Roem-Royen yang mengantar kita ke KMB dan yang kemudian menghasilkan kedaulatan resmi bagi Indonesia merdeka? Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, Pak Roem adalah orang yang paling berjasa di urutan ketiga setelah Bung Karno dan Bung Hatta, kalau saja orang menyadari betapa yang telah diperbuat pendekar dari Parakan itu. Pak Roem telah tiada. Tetapi jasa-jasanya bagi kemanusiaan akan tetap menghunjam. Begitu pula gabungan serasi antara iman dan ilmunya, yang seakan “terjemahanâ€? langsung semangat nama pribadinya. Dan seolah pengejawantahan sumpah Tuhan dengan Tin, Zaitun, Sinai, dan Makkah tadi, kita dapati padanya tidak saja keimanan yang teguh dan pilihan tindakan yang rasional, tapi juga keluasan dan keluwesan dalam bergaul. Mohamad Roem bersahabat dengan siapa saja dari berbagai golongan. Ia, misalnya, seorang tokoh besar Islam yang berkawan erat dengan Kasimo dan P.K. Ojong yang Katolik, dengan T.B. Simatupang dan Leimena yang Protestan, dan dengan Syahrir, Anak Agung, serta Soebadio yang sosialis. Ia mewakili kelompok Muslim modernis yang paling baik: beriman teguh, berkepribadian saleh, berhati terbuka, berjiwa lapang, bersemangat toleran, berpikiran bebas, berpandangan ke depan, dan berwawasan demokratis. Agama mengajarkan bahwa Tuhan memperhatikan kesaksian kita untuk orang yang berpulang. Maka, dalam kepiluan hati yang menyayat karena telah ditinggalkannya, kita ingin memberi kesaksian bahwa Pak Roem adalah orang baik, sangat baik, telah banyak berD3E
F NURCHOLISH MADJID G
buat baik, dan kini berpulang ke hadirat Tuhan secara baik dan dalam keadaan baik. Semoga Dia menerima amal jasanya yang tidak terkira itu dengan balasan yang berlipat ganda. Semogalah, oh Tuhan seru sekalian alam. [™]
D4E
F KESENJANGAN KOMUNIKASI ANTARA RAKYAT DAN PEMIMPIN G
KESENJANGAN KOMUNIKASI ANTARA RAKYAT DAN PEMIMPIN Oleh Nurcholish Madjid
Apakah ada kesenjangan komunikasi antara rakyat dan pemimpin? Jawabnya sangat tergantung kepada apa yang kita maksudkan dengan komunikasi. Jika komunikasi diartikan secara harfiah, mungkin kesenjangan atau gap itu tidak ada. Sebab dengan adanya kebiasaan para pemimpin, termasuk Presiden sendiri, untuk mengadakan kontak-kontak langsung dengan rakyat dalam kunjungan-kunjungan inkognito, maka komunikasi itu secara material ada. Apalagi dialog-dialog yang dilakukan acapkali berkisar pada masalah-masalah yang dihadapi rakyat, umpamanya perdagangan eceran di pasar, masalah-masalah pertanian di desa dan seterusnya. Tetapi jika komunikasi yang dimaksudkan itu lebih dari pengertian-pengertian harfiah, maka mempermasalahkan ada tidaknya kesenjangan itu cukup penting dalam rangka perenungan masalahmasalah nasional pada hari proklamasi yang ke-28 ini. Komunikasi di sini ialah terutama dimaksudkan dengan pengertian atau “understanding”. Adanya komunikasi ialah keadaan di mana rakyat betulbetul dapat memahami aspirasi-aspirasi pemimpin dan makna kepemimpinan yang dijalankan. Mereka sanggup menemukan dan merasakan dalam kepemimpinan itu perpautan atau korelasi dengan kehidupannya dalam arti seluas mungkin. Contoh yang mudah dikemukakan tentang kepemimpinan serupa itu ialah Bung Karno. Segi-segi positif daripada kepemimpinan D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Bung Karno ialah keberhasilannya dalam membina komunikasi dengan rakyat. Bagi rakyat Bung Karno adalah sebagian dari mereka. Bung Kamo menjadi salah satu unsur konsep kosmologis rakyat, khususnya Jawa, karena ia menempati kedudukan tokoh mitologis Jawa sebagai Ratu Adil yang dinanti-nantikan. Hal itu tidak terjadi dan berjalan begitu saja. Agaknya Bung Karno sendiri pun dengan sadar membangun gambaran diri (image) demikian. Sering ia mengemukakan pikiran-pikirannya dengan mengikuti kerangka berpikir menurut konsep kosmologis Jawa itu sebagaimana terdapat dalam pewayangan. Ketika Bung Karno mengklaim untuk dirinya sebagai penyambung lidah rakyat maka kenyataan-kenyataan tersebut tadi merupakan alasannya yang cukup kuat. Justru fungsi Bung Karno sebagai unsur kelengkapan mitologi Jawa itu lebih efektif daripada fungsinya sebagai pemangku kepemimpinan menurut konsep modem selaku Presiden sebuah Republik. Bagi para pengikutnya, dalil “pejah gesang nderek Bung Karno� adalah semacam ucapan religius atau setidak-tidaknya magis yang dihayati betul-betul. Tapi jika segi-segi itu positif dari sudut pandangan komunikasi, sudah terang segi-segi itu adalah negatif dari sudut pandangan lainnya. Sebab berpegangan secara terlampau erat kepada konsep-konsep kepemimpinan tradisional sebagaimana terdapat dalam pandangan-pandangan hidup rakyat, seorang pemimpin akan mudah terjebak ke dalam lumpur tradisionalisme yang dapat membuatnya kehilangan wawasan masa depan. Pemimpin karismatik lebih cenderung untuk berperan sebagai pembina solidaritas daripada pemecah masalah. Dalam membina solidaritas itu gambaran pemimpin sebagai seorang yang agung, seorang bapak, seorang pengilham adalah penting sekali. Kompleks kepemimpinan serupa itu sering mendorong seorang pemimpin karismatik menderita megalomaniak atau penyakit keranjingan kebesaran diri. Kita rasakan bahwa hal itu banyak menghinggapi para pemimpin karismatik kita. Umumnya mereka menitikberatkan pada kepemimpinan itu begitu rupa sehingga dapat diterima menurut ukuran-ukuran tradisional dan nilai-nilainya. D2E
F KESENJANGAN KOMUNIKASI ANTARA RAKYAT DAN PEMIMPIN G
Karena itu jika Bung Karno kita ambil sebagai misal bukanlah maksud kita untuk dijadikan percontohan. Melainkan hanya karena Bung Karno merepresentasi jenis kepemimpinan yang komunikatif secara ekstrem atau tajam. Orde Baru untuk banyak orang merupakan alternatif daripada Orde Lama. Hal itu berarti bahwa segala sesuatu yang ada pada Orde Lama harus diganti. Maka begitulah kepemimpinan karismatik yang sarat ideologi dan doktrin ditukar oleh jenis sebaliknya yaitu kepemimpinan administratif yang sarat teknokrasi dan pragmatisme. Di sinilah mulai timbul masalah kesenjangan komunikasi tadi. Sebab dalam kepemimpinan jenis kedua itu, di mana pendekatanpendekatan problem solving adalah yang paling dominan, bahasabahasa teknis adalah bahasa-bahasa kalangan kaum terpelajar, dan sedikit demi sedikit menyisihkan ke pingir orang-orang yang tidak memahaminya, dalam hal ini terutama rakyat banyak. Mungkin dapat dibenarkan klaim bahwa para ahli atau kaum teknokrat adalah lebih tahu tentang apa yang diperlukan rakyat daripada rakyat sendiri. Tetapi kesenjangan komunikasi, dikehendaki ataupun tidak, mempunyai akibat-akibat praktisnya yang riil. Pertamatama ialah rasa keterasingan. Kemudian dapat menjelma menjadi sikap masa bodoh atau apatis, lalu berlanjut kepada frustrasi. Apakah kebutuhan seseorang terpenuhi atau tidak, tetapi jelas rasa kecewa karena kehilangan rasa ikut serta itu lebih mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Dengan manipulasi secukupnya melalui indoktrinasi seorang demagog, frustrasi sosial itu dapat diubah menjadi sumber tenaga untuk menggerakkan kegiatan-kegiatan politik yang acapkali bersifat radikal dan destruktif. Meskipun frustrasi akibat kesenjangan komunikasi itu mungkin bukan satusatunya sebab timbulnya peledakan sosial-politik seperti peristiwa 5 Agustus di Bandung, tetapi dari sudut pandangan itu pula salah satu penelaahan harus dilakukan. Jelas pola kepemimpinan Bung Karno sudah tidak cocok lagi. Tetapi tentu ada segi-segi positif yang boleh direnungkan kembali. [™] D3E
F DUA JENIS KEPEMIMPINAN UNTUK BANGSA G
DUA JENIS KEPEMIMPINAN UNTUK BANGSA Oleh Nurcholish Madjid
Sejarah negara kita pernah menyaksikan perpisahan dua orang pemimpin terkemuka, Bung Karno dan Bung Hatta. Kedua-duanya adalah proklamator kemerdekaan bangsa. Tetapi agaknya bibitbibit perbedaan pandangan telah ada semenjak semula, dan baru menjelma menjadi terbuka setelah kedua-duanya menjadi pejabat tertinggi dalam sistem kenegaraan kita, yaitu presiden dan wakil presiden. Merasa tidak lagi dapat mengatasi perbedaan-perbedaan pandangan, Bung Hatta mohon mengundurkan diri selaku Wakil Presiden, hal mana diluluskan begitu saja oleh Bung Karno. Sebelum itu juga pernah terjadi perpisahan antara dua orang yang paling terkemuka di Indonesia, khususnya dalam partai Sarekat Islam, yaitu antara HOS Cokroaminoto dan H Agus Salim. Sekalipun perpisahan mereka ini tidak begitu dramatis, tetapi pada esensinya adalah sama dengan perpisahan Bung Karno dan Bung Hatta. Hal-hal tersebut mencerminkan adanya dua macam kepemimpinan. Bung Karno adalah seorang “pembina persatuan� (solidarity maker) yang besar. Titik pusat orientasi kepemimpinannya ialah bagaimana memelihara dan menumbuhkan rasa persatuan dan kesetiakawanan di antara semua unsur-unsur kebangsaan kita. Untuk maksud itu ia menggunakan pendekatan-pendekatan yang positif, seperti mengajak seluruh bangsa menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Tetapi seringkali digunakannya pendekatanD1E
F NURCHOLISH MADJID G
pendekatan yang negatif, seperti menyerukan kewaspadaan kepada musuh-musuh yang datang dari luar maupun dalam negeri. Kadang-kadang musuh itu sedemikian jelas dan seolah-olah dapat diraba, seperti adanya penjajah Belanda dahulu. Tetapi kadangkadang tidak sedemikian jelas, malahan mungkin sebetulnya tidak ada, maka kemudian diada-adakan. Contohnya ialah musuh kita yang dinamakan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Mungkin saja Nekolim itu memang ada, tetapi tidak dalam keadaan yang jelas sehingga tidak dapat dipahami rakyat banyak. Padahal agar mempunyai efek menyatukan bangsa atau membentuk solidaritas, kejelasan adanya musuh itu diperlukan. Di sinilah terdapat kemungkinan bagi masuknya manipulasi sentimen umum atau psikologi massa, yaitu kadang-kadang musuh itu jika tidak ada kalau perlu harus diadakan. Mirip sekali dengan kebiasaan para orangtua menakut-nakuti anaknya agar diam dan menurut kemauan mereka, lalu diciptakanlah apa yang dikenal dalam masyarakat sebagai hantu. Bung Karno adalah termasuk seorang pemimpin dengan kepemunpinan garis besar. Beliau sangat paham apa yang diperlukan bangsanya dalam ukuran-ukuran garis besar. Perbuatan-perbuatannya kadang-kadang kurang mempunyai relevansi dengan keadaan sekeliling sehari-hari, tetapi mungkin mempunyai arti dalam ukuran sejarah yang panjang. Selain berupa buah pikir, contoh perbuatan itu ialah didirikannya gedung-gedung megah yang dulu pernah diejek sebagai proyek-proyek mercusuar dan dinilai sebagai pemborosan. Mungkin memang begitu, tetapi dalam waktu yang panjang orang tidak lagi mengingat segi kemercusuaran dan pemborosannya. Mereka hanya tahu bahwa bangunan itu telah berdiri dan dapat dimanfaatkan. Sebaliknya ialah Bung Hatta. Beliau adalah termasuk seorang pemimpin dengan kepemimpinan “pemecah masalah� atau “pencari jalan keluar� (problem solver). Orientasi kepemimpinannya terletak pada usaha-usaha mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dengan pemikiran-pemikiran yang rasional dan realistis. Jadi berbeda dengan D2E
F DUA JENIS KEPEMIMPINAN UNTUK BANGSA G
jenis kepemimpinan Bung Karno yang amat banyak bersandar pada ungkapan-ungkapan sentimental dan emosional. Bung Hatta adalah seorang yang teliti, teratur, patuh kepada norma-norma. Dengan kata lain, beliau adalah jenis kepemimpinan garis kecil. Bung Karno banyak memberi tekanan pada persoalan tujuan, sedangkan Bung Hatta banyak memberi perhatian pada persoalan cara. Demikian pula halnya dengan Cokro dan Salim. Cokro adalah sejenis dengan Bung Karno, sedangkan Salim adalah sejenis dengan Bung Hatta. Pada saat sekarang ini, siapakah orang-orang yang mencerminkan kedua jenis kepemimpinan itu? Tampaknya secara perorangan tidak begitu jelas. Tetapi kedua jenis kepemimpinan itu secara kurang lebih dapat diketemukan dalam dua kelompok yang kini memimpin bangsa kita, yaitu kelompok militer dan kelompok teknokrat. Kelompok militer dapat dikatakan mewarisi jenis kepemimpinan “pembinaan persatuan”, yaitu kepemimpinan politik. Sedangkan kelompok teknokrat meneruskan jenis kepemimpinan “pencari jalan keluar” atau “pemecah masalah”, jenis kepemimpinan ekonomi. Sekalipun pembagian-pembagian tersebut tidak dalam keadaan yang mutlak dan tajam, tetapi dapat dijadikan alat mengenali masingmasing pihak. Sesungguhnya kedua jenis kepemimpinan itu diperlukan. Setiap tindakan, baik perorangan maupun apalagi bangsa, tentu mempunyai tujuan. Tetapi kiranya tidak cukup hanya tujuan saja, melainkan harus dibarengi dengan cara bagaimana mencapai tujuan tersebut. Kita bisa membayangkan sendiri bagaimana kepincangan tujuan tanpa cara atau cara tanpa tujuan. Yang pertama akan hanya mewujudkan orientasi ideologis yang berkobar-kobar tanpa realisme, dan yang kedua membentuk sikap hidup praktis, pragmatis dengan mengesampingkan prinsip-prinsip. Kedua-duanya yang dalam keadaan berat sebelah itu amat berbahaya. Bangsa di mana pun pasti memerlukan kuatnya kedua jenis orientasi kepemimpinan itu dan ketunggalannya dalam keseluruhan kepemimpinan negara. [ ] D3E
F GARIS MASSA DALAM KEPEMIMPINAN G
GARIS MASSA DALAM KEPEMIMPINAN Oleh Nurcholish Madjid
Mendengar apa vang tertera pada judul tulisan ini tentu mengingatkan orang kepada istilah politik di zaman Orde Lama. Hal itu memang tidak dapat terlalu disalahkan, karena salah satu karakteristik kepemimpinan zaman itu ialah kepemimpinan garis massa. Dan topik itu merupakan salah satu pangkal perbedaan pandangan antara dua tokoh proklamator kita, Bung Karno dan Bung Hatta. Bung Karno adalah pengamal yang sangat baik terhadap prinsip kepemimpinan dengan garis massa, dan Bung Hatta adalah sebaliknya senantiasa mengemukakan kelebihan kebaikan sistem kader. Ditinjau secara lebih mendalam sebetulnya perbedaan antara kedua jenis kepemimpinan itu sejalan dengan perbedaan antara sistem totaliter dan sistem demokratis. Dalam sistem totaliter seorang diktator yang memiliki seluruh kekuasaan menduduki tempat teratas. Meskipun pengertian itu biasanya sudah dianggap tepat dan merupakan titik-tolak pembahasan politik, tetapi senantiasa muncul tantangan terhadap teori itu. Di Uni Sovyet umpamanya, bukannya sang diktator, melainkan partailah yang menjalankan kekuasaan mutlak, dan suatu badan yang lebih kecil, yaitu Politbiro, memegang kata putus yang terakhir. Sama halnya dengan keadaan sistem-sistem fasis di Jerman dan Itali pada masa lalu. Hitler dan Mussolini hanyalah memegang kekuasaan yang bersifat pengarahan, sedangkan kekuasaan yang sebenarnya dipegang oleh sekelompok jenderal, sedangkan kedua diktator itu D1E
F NURCHOLISH MADJID G
semata-mata merupakan alat kelompok tersebut. Tentu saja hal itu masih merupakan bahan studi yang menarik bagi para ahli sejarah. Dan memang bukti-bukti ilmiah masih simpang-siur antara yang menyokong teori tersebut dan teori yang mengatakan bahwa diktator-diktator itulah yang menjalankan kekuasaan mutlak dan sempurna. Tetapi yang sudah jelas ialah bahwa seorang pemimpin totaliter tentu memerlukan pengikut yang mengelompok, mungkin dalam bentuk partai. Tetapi barangkali perkataan itu akan membingungkan. Sebab pengikutan secara totaliter sangat berbeda dengan jenis kepartaian yang terdapat di negara-negara konstitusional demokratis. Gerakan totaliter secara lahir tampak menerapkan bentuk-bentuk kepartaian itu, tetapi dinamika intinya sangat berlainan. Mereka tidak secara bebas mengumpulkan keanggotaan sebagaimana umumnya dilakukan oleh partai-partai yang demokratis, tetapi mereka menciptakan ukuran-ukuran yang merupakan ciri-ciri suatu perkumpulan yang eksklusif. Bagi PKI umpamanya, ukuran itu ialah latar belakang sosial seorang “calon” anggota, apakah dia berasal dari golongan proletar atau bukan. Jika bukan, sikap yang dikedepankan ialah curiga, dan jika terdapat jaminan-jaminan secukupnya bagi diterimanya menjadi anggota kemudian diciptakan tindakan-tindakan preventif yang ketat. Dalam partai yang totaliter sudah tentu tidak ada demokrasi. Keanggotaan dalam partai itu bahkan tidak menentukan pemilihan pimpinan. Sebab dalam soal kebijaksanaan tergantung kepada “pengarahan” suatu badan otokratik, dan dalam soal kepemimpinan terserah kepada pengawasan hirarkis. Menurut Max Weber — dengan mengesampingkan pandanganpandangan normatifnya tentang partai yang demokratis — sebuah partai politik ialah sekumpulan orang yang tersusun secara rapi dengan tujuan memperoleh kekuasaan dalam pemerintahan atau mempertahankannya, dan dengan tujuan lebih jauh yaitu melalui kekuasaan itu memberi kepada anggota-anggota partai keuntungankeuntungan ideal dan material. Sedangkan daya pengikatnya yang D2E
F GARIS MASSA DALAM KEPEMIMPINAN G
terkuat ialah persamaan konsep atau pandangan politik, atau secara lebih luas dapat disebut ideologi. Dalam hal partai komunis umpamanya, jelas pernah mengatakan bahwa kesatuan ideologis merupakan tulang punggung partai komunis yang mengharuskan anggota-anggotanya kesamaan dalam pandangan-dunia dan perkembangan masyarakat. Dalam keadaan ideologi tidak menemukan kejelasannya, maka bila kekuasaan merupakan tujuan yang secara intensif hendak dicapai dengan ukuran-ukuran pembenaran secukupnya, pandanganpandangan yang manipulatif dari pihak pimpinan akan sangat menentukan. Kemudian secara psikologis pun dapat diterapkan bahwa jika pemimpin sendiri kurang yakin akan kebenaran pandangan-pandangannya, maka kekhawatiran yang timbul justru akan mendorongnya untuk memaksakan pandangan itu kepada para pengikutnya, yaitu massa. Karena itu, kepemimpinan yang memegang garis massa akan senantiasa eksklusif dan tertutup. Maka dalam mengembangkan demokrasi, kita dituntut untuk lebih berani memperkenalkan jenis kepemimpinan yang demokratis dan terbuka, di mana ide-ide “dilempar ke pasaran bebas”, dan kesempatan massa rakyat untuk “membeli atau menolak” ide itu dijamin secukupnya. Ide tidak dapat disalurkan melalui “koperasi” yang tunggal tanpa saingan, sehingga konsumen mau tidak mau mesti membelinya. Selling ideas dengan sistem penjatahan ala koperasi atau komunis — artinya tanpa saingan yang berarti — merupakan ciri suatu kepemimpinan dengan garis massa, suatu keharusan bagi suatu kekuasaan totaliter. Tentu saja kita tidak menghendakinya, sebab justru itulah segi yang paling dikehendaki dari sistem yang hendak diwujudkan oleh PKI dulu. [ ]
D3E
F MENJEMBATANI “GAP” ANTARA PEMIMPIN DAN RAKYAT G
MENJEMBATANI “GAP” ANTARA PEMIMPIN DAN RAKYAT Oleh Nurcholish Madjid
Sudah beberapa tahun kita memasuki “era” pembangunan dengan dilaksanakannya Pelita Pertama. Tetapi sekalipun telah selama itu berjalan, masalah bagaimana membangkitkan partisipasi rakyat banyak secara aktif masih merupakan bahan pembahasan yang tetap menarik. Soalnya, jika pembangunan itu berjalan irama partisipasi mereka — jadi dengan jalan paksa dari atas saja — atau dalam waktu yang cukup lama hanya merupakan kehendak baik dari pemerintah saja, maka selain tidak ada jaminan bagi berhasilnya pembangunan, hal itu juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang apa manfaat sebenarnya suatu pembangunan dan untuk siapa. Usaha pembangunan, khususnya yang dikerjakan oleh suatu bangsa yang karena telah tertinggal jauh oleh lain-lainnya kemudian hendak mengejar dengan waktu yang relatif singkat, adalah usaha yang bersifat sengaja dan penuh pertimbangan (deliberate) dan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan teliti (elaborate). Karena itu, peranan terbesar dilakukan oleh mereka yang mempunyai konsepkonsep dan pikiran-pikiran tentang pemecahan masalah-masalah, yaitu yang dikenal dengan sebutan “teknokrat”. Konsep-konsep dan pikiran-pikiran itu mereka rumuskan dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang mereka miliki setelah melalui perenungan tentang penerapannya dalam dunia nyata. Sedangkan ilmu itu sendiri merupakan proses yang panjang — hampir seumur dengan D1E
F NURCHOLISH MADJID G
umat manusia — dari penarikan kesimpulan-kesimpulan umum atau generalisasi tentang kasus-kasus khusus yang mempunyai regularitas dalam pola-polanya. Sekarang, yang sempat memiliki ilmu tersebut hanyalah sedikit sekali. Karena kesedikitannya, mereka kemudian menduduki tempat sebagai golongan atas atau elite. Ibarat hukum supply and demand yang menentukan harga benda ekonomi, demikian pula keadaan kaum ilmuwan. Hal itu berarti bahwa sebagian besar rakyat tidak mengikuti proses induktif terjadinya ilmu-ilmu dan konsep-konsep tersebut, hal mana adalah memang tidak mungkin. Maka penyuguhan konsep-konsep itu kepada rakyat berada dalam perumusan yang matang dan terputus dari kasuskasus yang mendukungnya, sehingga dengan sendirinya menjadi bersifat abstrak. Dalam keadaan seperti itulah rakyat tidak mengerti apa makna pembangunan, yang selanjutnya melahirkan gap atau jurang komunikasi antara pemimpin-pemimpin konseptor dengan massa rakyat yang hendak melaksanakannya. Kelanjutan dari gap itu ialah tidak adanya partisipasi, sehingga tampak pembangunan itu seperti sesuatu yang diberikan dari atas, sedangkan rakyat menerimanya dengan pasif, masa bodoh, atau malah mungkin disertai rasa curiga. Mungkin benar juga mereka yang mengatakan bahwa keadaan seperti itu hanya terjadi pada proses permulaan pembangunan saja. Alasannya adalah bahwa segera setelah rakyat merasakan manfaat pembangunan itu, maka akan terbitlah kegairahan mereka untuk ikut berpartisipasi. Tetapi hal itu benar kalau tidak adanya partisipasi itu terjadi secara kebetulan (accidental), yaitu karena ketidakmengertian yang murni bukan karena pengertian yang lain atau berlawanan tentang apa yang baik, berguna dan benar untuk rakyat. Suasana Orde Baru, ditinjau dari segi ide-idenya yang sedikit banyak kontras terhadap Orde Lama, melahirkan keadaan tersebut belakangan itu. Berkat indoktrinasi yang amat intensif di zaman Orde Lama, terdapat cukup besar rakyat yang mempunyai pengertianD2E
F MENJEMBATANI “GAP” ANTARA PEMIMPIN DAN RAKYAT G
pengertian yang berbeda dari yang sekarang dianut tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh bangsa Indonesia, termasuk pembangunan. Memang dulu pernah dilakukan dedoktrinasi, tetapi tampaknya hanya sepintas lalu saja. Sedangkan sebagai konsekuensi penganut paham-paham yang lebih pragmatis dalam cara kerja, maka Orde Baru tidak mungkin melakukan indoktrinasi yang sebanding dari segi cara maupun isi dengan Orde Lama. Hal ini membuat rakyat seperti tanpa pegangan (jika dedoktrinasi berhasil), atau memandang masih ada gunanya “memegang” ide-ide lama meskipun tak peduli lagi dengan pelaksanaannya. Ini pun cukup menghambat tumbuhnya partisipasi yang spontan dan antusias, bahkan ide-ide lama itu ibarat api dalam sekam, tinggal menunggu waktu yang cukup panas untuk menyala dan berkobar ke luar. Sudah tentu ini semua memerlukan pemecahan. Pemecahan itu terletak dalam usaha menutupi gap antara para pemimpin konseptor dengan rakyat. Sudah lama “tukang-tukang diskusi” menemukan adanya kekurangan tenaga yang sanggup menjembatani jurang itu. Tenaga itu ialah mereka dari kalangan menengah (dalam pengertian sosial-politik), yang “kerasan” (at home) di kalangan atasan dan kerasan pula di kalangan rakyat banyak, atau sebaliknya secara pasif mereka itu “diterima” oleh kedua kalangan atas dan bawah. Sekarang jalur-jalur vertikal (atas bawah) itu ada dengan mengikuti garis-garis gaya gabung atau afinitas sosial kultural, selain gaya gabung kedaerahan yang relatif lebih lemah. Maka seorang penengah adalah mempunyai kepribadian dan kemampuan sebegitu rupa sehingga dalam kalangan “atasan” dia adalah inklusif Indonesia dan dalam kalangan “bawah” eksklusif kelompok budayanya. Hal itu tampak seperti kontradiksi interminus. Justru dia harus menemukan korelasi antara keduanya dalam suatu konsep yang menyeluruh. Dan hal itu tidak sulit kalau kita yakin kepada prinsip pluralisme sosial, dan paham akan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda tapi satu! [ ]
D3E
F PEMBAHARUAN POLITIK DAN PEMBINAAN “FLOATING MASS” G
PEMBAHARUAN POLITIK DAN PEMBINAAN “FLOATING MASS” Oleh Nurcholish Madjid
Pemikiran tentang pembaharuan politik kini dapat dikatakan telah diterima sepenuhnya oleh masyarakat politik kita, setidak-tidaknya demikianlah kesan yang dapat diambil dari pernyataan-pernyataan pemimpin kita. Tetapi untuk menjawab pertanyaan, “Apakah sebenarnya bentuk nyata pembaharuan itu,” terutama yang besifat mendesak untuk segera dilaksanakan, bukanlah suatu hal yang mudah. Tetapi tampaknya aspek pembaharuan politik yang menyangkut penyederhanaan kehidupan kepartaian kita merupakan sesuatu yang paling banyak dibicarakan. Dalam rangka penyederhanaan inilah disebut-sebut pula pembinaan atau pembentukan “floating mass” atau “massa mengambang”. Hal itu dimaksudkan untuk membebaskan rakyat dari ikatan-ikatan pandangan dan kelompok politik yang bersifat permanen dan tidak fleksibel, dengan cara sekurang-kurangnya tidak membenarkan, suatu partai atau badan politik lainnya membentuk unit-unit organiknya pada tingkattingkat daerah administrasi pemerintahan yang tidak memerlukan dewan perwakilan. Dalam hal ini ialah tingkat di bawah kabupaten. Dengan begitu maka struktur vertikal kepartaian akan menjadi lebih sederhana. Penyederhanaan struktur horizontalnya dicapai dengan memperkecil jumlah organisasi onderbouw dan dengan mempersedikit jumlah partai itu sendiri. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Seharusnya ide pembinaan massa mengambang ini bukanlah sesuatu yang mengagetkan. Sebab dari semenjak pertumbuhan kepartaian di tanah air kita ini, di zaman kolonial sudah terdapat perbedaan-perbedaan pendapat tentang bagaimana sebaiknya struktur suatu kepartaian yang hendak dibina, yaitu apakah struktur yang menopang ide partai massa ataukah yang menopang ide partai kader. Partai massa menghendaki struktur dengan daya jangkau sejauh mungkin kepada massa, yaitu secara horizontal dengan sebanyak mungkin membentuk organisasi-organisasi mantel, aďŹ liasi atau onderbouw, dan secara vertikal dengan mendirikan unit-unit organik sampai pada tingkat administrasi pemerintahan yang paling bawah. Partai massa adalah dari jenis solidarity making dengan tujuan sebagai alat macht vorming yang lebih banyak digunakan untuk melawan musuh. Sedangkan partai kader cukup dengan lebih mengutamakan pembinaan dan pendidikan kader yang berkualitas, dan tidak menitikberatkan usahanya kepada pengumpulan massa. Partai ini adalah dari jenis problem solving dengan pemusatan perhatian pada usaha pemecahan masalah-masalah nasional, terutama pembangunan. Keluhan tentang tidak berfungsinya partai-partai politik telah amat sering dikemukakan orang, dan agaknya telah terbukti dengan kekalahan partai-partai itu oleh Golkar dalam pemilu. Padahal pertumbuhan demokrasi menghendaki agar partai-partai benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengenal, perumus dan pejuang kepentingan-kepentingan dan tuntutan-tuntutan dasar rakyat. Tetapi tugas itu memerlukan syarat-syarat, antara lain ialah pemusatan dana dan daya yang tersedia. Dengan kehidupan kepartaian yarg lebih sederhana, hal-hal tersebut dapat diharapkan menjadi kenyataan. Sebab akan lebih banyak kemungkinan pemusatan dana dan daya guna melakukan fungsi-fungsi itu, yang selama ini dana dan daya tersebut diserap habis oleh saluran-saluran rutin guna mengurusi diri partai sendiri. Di samping itu, dengan oating mass diharapkan rakyat akan terbebaskan dari belenggu-belenggu aliran politik yang mengekang D2E
F PEMBAHARUAN POLITIK DAN PEMBINAAN “FLOATING MASS” G
mereka dari penilaian bebas dan penentuan sikap lain, disebabkan telah melembaganya bentuk-bentuk sanksi-sanksi sosial dalam lingkungan solid block voters yang ditimbulkan oleh partai-partai. Massa yang lebih fleksibel dan terbuka itu akan lebih memungkinkan bagi diintrodusirnya pikiran-pikiran baru yang lebih segar dan maju. Dan dengan mencairnya solid block voters itu, partai-partai politik akan lebih tergerak untuk mengembangkan dirinya secara kualitatif. Sebab hampir tidak dapat lagi memastikan jumlah suara yang akan diperolehnya dalam suatu pemilu, mereka akan terpaksa lebih banyak mempertaruhkan keunggulan-keunggulan pandangan politiknya untuk memperoleh suara kaum pemilih. Demikian pula seorang anggota perwakilan, baik di pusat maupun — apalagi — di daerah, akan menjadi lebih banyak berorientasi langsung kepada para pemilihnya daripada kepada pimpinan suatu partai. Dan hal ini akan menjuruskan kita kepada suatu bentuk pemilihan umum yang lebih demokratis dan responsible, yaitu sistem distrik Apabila di sini disebutkan partai politik, maka Golkar tidaklah terkecualikan darinya. Malahan mengingat hakikat Golkar sekarang ini, ada baiknya dipikirkan kemungkinan mengubah status dan fungsi Golkar itu menjadi suatu partai politik seperti lain-lainnya, tanpa mengabaikan keharusan adanya golongan fungsional sebagaimana dimaksudkan dalam konstitusi. Apakah hal itu termasuk suatu kemungkinan dalam jangka panjang? Dan apakah ide tentang floating mass itu akan berlaku secara seimbang dan adil sehingga mencapai tujuannya? Marilah kita tunggu saja perkembangan-perkembangan baru dalam waktu-waktu dekat ini. [ ]
D3E
F “POLITICS” DAN “POLITICKING” G
“POLITICS” DAN “POLITICKING” Oleh Nurcholish Madjid
Adalah menarik sekali mencatat apa yang dikatakan oleh Presiden Soeharto dalam amanatnya kepada Musyawarah Nasional Golkar di Surabaya. Dalam amanat itu antara lain dipesankan dengan tegas agar Golkar dan semua rakyat tidak mengadakan “jor-joran manipolis’ seperti zaman Orde Lama. Memang sebagai ciri masa lalu itu, jor-joran manipolis sangat menonjol. Tetapi meskipun suasana manipolis itu mempunyai konsistensi nasakomisme dengan inti kekuatan-kekuatan politik pokok PNI, NU dan PKI, tidaklah berarti bahwa suasana persaingan yang kurang sehat itu hanya terdapat di antara ketiga partai itu saja. Sebetulnya seluruh rakyat Indonesia terseret ke dalam lumpur manipolisme itu hampir tanpa kecuali. Ada sekelompok orang yang sering terdengar membanggakan diri sebagai bebas dari dosa manipol itu. Tetapi bukan karena mereka mampu secara efektif mengadakan perlawanan kepadanya, melainkan semata-mata karena tidak ikutikut, alias lepas tangan sama sekali dari tanggung jawab sosial, menempuh politik pengasingan diri atau “‘uzlah”. Berkenaan dengan itu, ada baiknya diingat suatu kata hikmah (dalam bahasa Inggris), “To avoid criticism say nothing, do nothing and be nothing!” Termasuk yang terlibat dalam dosa manipol itu ialah ABRI sendiri. Ya, betul-betul dapat dipertanyakan, siapakah sebenarnya dalam masa kejayaan Bung Karno itu, jika tidak hendak memilih jalan isolasi, yang dapat membebaskan dirinya dari semangat Soekarno, termasuk di dalamnya ideologi manipol? Hanya saja, D1E
F NURCHOLISH MADJID G
dalam hal ABRI, terdapat suatu credit point yang patut dicatat, yaitu bahwa ABRI kemudian berhasil muncul sebagai kekuatan pengimbang bagi PKI yang semakin mendominasi suasana politik nasional. Dominasi PKI itu berkat keberhasilannya memborong jargon-jargon politik manipol dan pengisian program-programnya. Dalam tarik tambang perebutan jargon itu, orang masih ingat akan perjuangan antara para penganut “Nasakom Bersatu” dan “Nasakom Jiwaku”. PKI adalah penganut jargon pertama. Sebab ia memberikan pengertian bahwa Nasakom adalah terdiri dari berbagai kekuatan dan paham politik dalam masyarakat Indonesia yang harus disatupadukan. Masing-masing kelompok atau pribadi berhak atas salah satu dari tiga semangat pokok: apakah nasionalisme, keagamaan atau komunisme. Memadukan antara ketiga unsur pokok semangat itu dalam satu kelompok atau pribadi (apalagi!) adalah tidak dibenarkan. Tentu saja pengertian ini sesuai dengan kepentingan PKI dan menguntungkannya. Sebab dengan begitu, bagi mereka, berarti terpeliharanya kemurnian ideologi komunisme, tanpa adanya keharusan bagi mereka untuk berkompromi dengan paham ketuhanan atau nasionalisme. Orang-orang komunis begitu yakin akan keunggulan partai dan ideologisnya, sehingga bagi mereka kemenangan terakhir juga hanya merupakan soal waktu saja. Tidaklah demikian halnya dengan ABRI yang memelopori jargon “Nasakom Jiwaku”. Menurut dalil itu, Nasakomisme adalah suatu semangat atau paham yang tunggal, yang di dalamnya terdapat perpaduan antara unsur-unsur positif dalam nasionalisme, keagamaan dan komunisme. Seorang pribadi mungkin saja — dan menurut ukuran saat itu malah diharuskan — menggabungkan dalam dirinya semangat sebagai nasionalis, agamawan, dan sosialis! Contoh pribadi serupa itu ialah Bung Karno sendiri. Ia sering mengaku sebagai sekaligus nasionalis, Muslim, dan Marxis. Agaknya benar juga suatu analisis bahwa jika PKI menggunakan jargon “Nasakom Bersatu” untuk keuntungan dirinya sendiri, maka ABRI mengajukan dalil “Nasakom Jiwaku” adalah semataD2E
F “POLITICS” DAN “POLITICKING” G
mata untuk kerugian PKI (baca: bukan langsung keuntungan ABRI). Sebab dengan begitu berarti memaksa PKI untuk mengkompromikan ideologi Marxisme-Leninismenya dengan unsur-unsur paham nasionalisme dan keagamaan. Jika diikuti secara konsekuen, maka berarti PKI kehilangan raison d’efrenya. Sebab komunisme sebagai paham yang berdiri sendiri tidak dibenarkan. Sekarang sudah sejak beberapa tahun kekuasaan Bung Karno runtuh. Jika dualisme PKI-ABRI di zaman Orla itu dijadikan ukuran, maka keadaan sekarang dapatlah dikatakan sebagai kemenangan ABRI dan kekalahan PKI. Mungkin memang tidak lain dari kenyataan itu! Tetapi mengapa hal itu tidak secara langsung berarti kemenangan jargon “Nasakom Jiwaku” dan kekalahan “Nasakom Bersatu?” Seandainya demikian tentunya kita sekarang adalah penganut “Nasakom Jiwaku” dan menolak “Nasakom Bersatu”. Tetapi kenyataannya justru segala sesuatu yang berbau masa lampau itu kita usahakan penghapusannya sama sekali, bahkan begitu jauh sehingga yang berbau Bung Kamo (Soekarnoisme) pun kita singkirkan. Hal itu dapat diterangkan jika kita mencoba menggunakan perbedaan pengertian antara “politics” dan “politicking” (kedua istilah ini kita biarkan dulu dalam bunyi asli Inggrisnya). “Politics” lebih banyak bersangkutan dengan segi ilmu pengetahuan. Yaitu ilmu pengetahuan tentang bagaimana mengatur kehidupan sosial manusia, khususnya yang berkaitan dengan masalah kekuasaan dan pemerintahan. Sebagai ilmu, tentu saja “politics” adalah bermanfaat. Dan termasuk ke dalam “politics” itu ialah penentuan sikap dalam memilih paham atau ideologi politik yang hendak secara sungguhsungguh dilaksanakan dalam masyarakat. Pilihan dilakukan karena keyakinan akan kebenaran ideologi yang bersangkutan. Jadi bukan semata-mata sebagai perantara untuk mencapai tujuan di luarnya. Sebaliknya, “politicking” adalah permainan politik. Dalam perkataan itu terselip pengertian “ngakali” orang lain atau “membodohiD3E
F NURCHOLISH MADJID G
nya” sehingga dalam rangka perebutan kekuasaan itu orang atau golongan lain itu lebih mudah dikalahkan. Maka dengan sendirinya tema-tema yang muncul dalam rangka “politicking” tidak pernah menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Ia hanya perantara untuk mencapai tujuan lain, tidak peduli apakah obyektif atau subyektif. Dari sudut kenyataan bahwa setelah ABRI “manggung” atas PKI sekarang ini, tema “Nasakom Jiwaku” tidak dipertahankan, malahan dikubur dalam-dalam, maka dapat dikatakan dengan cukup beralasan bahwa pengajuan tema itu di masa Orla adalah dalam rangka “politicking”. Tujuan sebenarnya bukanlah untuk membetulkan pengertian yang salah tentang Nasakom itu dan kemudian mempertahankannya, malahan justru untuk dapat menghancurkannya demi kemenangan Pancasila (sesuai dengan keresmian-keresmian yang dinyatakan ke luar). Bagaimana dengan “Nasakom Bersatu” bagi PKI? Itu pun kiranya adalah “politicking”. Sebab seandainya PKI menang, tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan masih berjalan di atas Nasakomisme. Justru sebaliknya cukup kuat tanda-tanda bahwa komunisme akan merupakan ideologi tunggal dalam negara yang dikuasai orangorang PKI, dengan tidak ada toleransi terhadap paham-paham yang lain, termasuk dua unsur Nasakomisme yang lain yaitu nasionalisme dan keagamaan (lebih-lebih!). Sekarang, sekalipun kita mencoba membedakan pengertian “politics” dan “politicldng”, tetapi apakah dalam praktik memang terdapat kegiatan “politics” yang lepas bebas dari usaha-usaha “politicking”? Agaknya jawaban yang realistis akan mengatakan “tidak terdapat”. Sebab jika “politics” merupakan tujuan dan keharusan (ingat: zoon politicon), agaknya “politicking” adalah cara yang umum dipakai untuk mencapai tujuan itu. “Politics” ABRI adalah Pancasila, tetapi untuk kemenangan Pancasila itu atas Nasakom yang didominasi PKI dimunculkanlah jargon “Nasakom Jiwaku”. Dan “politics” PKI adalah Marxisme-Leninisme, dan untuk memenangkannya, partai itu memelopori ide tentang Nasakom. D4E
F “POLITICS” DAN “POLITICKING” G
Dan, kembali sejenak kepada apa yang disinggung pada permulaan tulisan ini, Golkar pun tidak luput dari “politicking” ini. Sementara tema Golkar adalah depolitisasi, tetapi justru cara-cara yang dijalankan untuk mewujudkan tema itu ialah serangkaian kegiatan yang semakin memolitikkan masyarakat. Suasana yang serba-politik di masa Orla yang hendak diberantas oleh Golkar ialah apa yang dikatakan presiden sebagai “jor-joran manipolis” tadi. Intinya ialah “macht vorming” dan “macht aanwending”. Tetapi hendak dikatakan sebagai apakah suasana yang amt kuat menandai wujud Golkar berupa kegiatan mengorganisasikan hampir semua sektor kehidupan dan sosial dalam masyarakat seperti — ambil contoh yang paling ekstrem — “Himpunan Putra-Putri Haji Indonesia” atau “HIPPHI” itu? Jelas adalah termasuk kategori “macht vorming” dan kemudian “macht aanwending” itu. Dan jelas pula adalah jenis jor-joran (bukan manipolis memang, tapi pasti politis!). ABRI “membela” Nasakom melalui “Nasakom Jiwaku” dapat dibenarkan, sebab berakhir dengan kekalahan Nasakomisme sendiri dan kemenangan Pancasila. Mungkin juga “macht vorming” oleh Golkar dapat dibenarkan karena akan digunakan untuk justru menghilangkan suasana “macht vorming” itu sendiri. Tetapi, kalau begitu, kapankah, atau apakah memang tidak mungkin kita bebas dari lumpur semangat “tujuan menghalalkan cara” yang konon diperoleh dari hasil pemikiran Nicollo Machiavelli? [ ]
D5E
F COBA DAN SALAH DALAM POLITIK G
COBA DAN SALAH DALAM POLITIK Oleh Nurcholish Madjid
Dalam salah satu kesempatan diskusi dengan kalangan terbatas sambil makan siang di Orientale Room HI, J.P. Pronk selaku Ketua IGGI mengemukakan suatu pertanyaan — setelah ia sendiri menerima dan menjawab banyak sekali pertanyaan — apakah pola pembangunan yang telah berjalan hampir lima tahun sekarang ini manfaatnya bagi rakyat benar-benar nyata dan apakah pola itu akan diteruskan untuk lima tahun lagi yang akan datang dalam Repelita Kedua? Dapat diduga bahwa jawaban atas pertanyaan serupa itu akan bermacam-macam, melihat pandangan dan pengetahuan penjawab sendiri. Umpamanya saja, bagi mereka yang memang secara “a priori” mendukung kebijaksanaan yang telah berjalan ini sudah tentu akan mengatakan bahwa berjalan pada kebijaksanaan yang ada merupakan suatu keharusan untuk waktu yang akan datang, jika hendak dijaga kontinuitas pembangunan. Dan sebaliknya bagi mereka yang secara “a priori” pula menentang kebijaksanaan yang ada, atau sekurang-kurangnya para mahasiswa yang ikut berdemonstrasi ke Kemayoran, akan mengatakan bahwa tidak ada baiknya mengulang kembali pita rekaman lama ini dan terdapat suatu kemutlakan untuk menggantikannya dengan yang lain. Dan yang lebih banyak lagi ialah mereka yang kurang dapat memastikan apa isi jawaban yang akan diberikan, mengingat bahwa pengetahuan dan penguasaan atas masalah-masalahnya terlampau sedikit, tak cukup sebagai bahan analisis sebagaimana umumnya D1E
F NURCHOLISH MADJID G
rakyat kita. Kesemua bentuk jawaban itu tercermin juga dalam diskusi terbatas dengan Pronk tersebut. Tidak ada yang aneh, apalagi salah, dalam keanekaragaman bentuk pandangan yang tercermin dalam jawaban itu. Sebab salah satu jargon kita dalam suasana “Orde Baru” ini ialah meninggalkan penerimaan secara ideologis atas suatu bentuk kebijaksanaan pemerintah. Hal itu adalah konsekuensi dari kampanye agar kita meninggalkan orientasi ideologis — sekalipun kecuali Pancasila — dan mempergunakan pendekatan pragmatis. Orientasi ideologis bersifat kemutlak-mutlakan, sedangkan orientasi pragmatis bersifat kenisbi-nisbian. Artinya, jika kita memakai ukuran-ukuran ideologis dalam menerima atau menanggapi sesuatu, khususnya politik, maka tanggapan dan penerimaan kita itu hanya salah satu dari dua: pasti benar atau pasti salah! Jadi tidak ada apa yang dinamakan “nuansa” atau bentuk pertengahan yang serba-mungkin. Hal itu menjadi pengalaman politik atau bernegara kita di zaman Bung Karno. Setiap ucapan Bung Karno, apalagi yang terjadi pada peristiwaperistiwa penting seperti hari ulang tahun kemerdekaan, akan diterima dan ditanggapi oleh rakyat — sebagaimana dikehendaki oleh stelsel politik waktu itu — secara mutlak sebagai pegangan dan dalil. Ucapan Bung Karno adalah “sabdo pandito ratu”, dan karena itu tak mungkin salah! Tetapi dari sudut pandangan ideologi lain, khususnya yang bertentangan dengan ideologinya Bung Karno, semua ucapan-ucapan itu adalah salah belaka, tidak mengandung kebenaran sedikit pun, dan jika kesempatan ada harus dihancurkan sama sekali dan rakyat harus diusahakan untuk membuang dan melupakannya. Itulah pandangan-pandangan ideologis yang serba kemutlak-mutlakan tadi, baik yang positif (setuju) atau yang negatif (menentang). Sedangkan pandangan pragmatis yang kenisbi-nisbian atau serba-relatif itu menghasilkan tanggapan yang tetap memberikan kemungkinan yang sama untuk salah dan benar, meskipun tentu saja jika kita tidak ingin kehilangan pegangan, kita harus memilih membenarkan atau menyalahkan dengan melihat mana unsurD2E
F COBA DAN SALAH DALAM POLITIK G
unsurnya sepanjang pandangan kita yang lebih banyak. Bagi seorang yang pragmatis, tidak ada sesuatu yang benar secara mutlak atau salah secara mutlak. Mereka tidak pasang tanda “harga mati” untuk pendirian-pendirian dan pandangan-pandangan mereka sendiri, demikian pula tidak menawar dengan harga mati terhadap pandangan-pandangan atau pendirian-pendirian orang lain. Karena pragmatisme yang telah kita pilih sendiri, maka memang harus disadari bahwa tidak akan ada jawaban yang terakhir, mutlak atau final terhadap sesuatu masalah, apalagi masalah nasional seperti pembangunan ini. Jawaban yang dapat diberikan ialah apa yang mungkin menurut ukuran keadaan yang ada. Jadi memang ada “coba dan salah” (trial and error) dalam politik masa kini. [ ]
D3E
F MONOSENTRISME DAN POLISENTRISME G
MONOSENTRISME DAN POLISENTRISME Oleh Nurcholish Madjid
Salah satu persoalan yang penting kita perhatikan ialah berkaitan dengan dilangsungkannya kongres KNPI. Melihat gelagat bagaimana proses menuju kongres itu dan bagaimana kongres itu sendiri berjalan, banyak orang yang mempertanyakan sampai di mana para pemuda sekarang ini dibiasakan atau tidak kepada cara-cara yang bakal besar pengaruhnya kepada usaha-usaha pendemokrasian kehidupan politik kita. Sebab kongres itu dan proses-proses yang ditempuh sebelumnya sedikit banyak dinilai sebagai sebentuk usaha “menyetem” suara angkatan muda, dan dengan begitu berarti membiasakan mereka untuk berpikir monosentris, serba bersatupusat. Dari segi ini maka orang mengkhawatirkan terjadinya kecenderungan ke arah kehidupan politik yang monolitik, tidak beragam. Tetapi dengan adanya pernyataan-pernyataan tertentu dari pihak yang berwewenang, maka mengkhawatirkan itu sedikitnya telah berkurang. Monosentrisme adalah paham serba-satu dalam pusat kegiatan. Sedangkan polisentrisme mengenal adanya banyak pusat. Tetapi kedua istilah itu tidak sejajar dengan pengertian “kesatuan” dan “federal” dalam sistem kenegaraan. Sebab dalam negara kesatuan pun polisentrisme tetap dimungkinkan. Polisentrisme menyangkut kehidupan masyarakat, khususnya di sini masyarakat politik. Bagi kita, polisentrisme adalah berdasarkan makna filsafat Bhinneka Tunggal Ika, yaitu berbeda tapi bersatu, atau persatuan dalam perbedaan. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Demokrasi mempunyai korelasi positif dengan polisentrisme. Jika masyarakat monosentris, maka sistem politik yang akan dilahirkannya bukanlah demokrasi tetapi resimentasi yang totaliter. Sistem satu partai atau partai tunggal adalah konkretisasi gejala itu. Sedangkan demokrasi menghendaki sebanyak mungkin alternatif. Tetapi alternatif itu sendiri tidak akan tumbuh tanpa kebebasan secukupnva dan tanpa keberanian masyarakat yang bersangkutan sendiri untuk menciptakan pusat-pusat pemikiran yang lain di luar kekuasaan. Dengan perkataan lain, dalam demokrasi diperlukan adanya suasana bagi dimungkinkannya tumbuh kontra-elite. Di sini kalaupun disebut “kontra” bukanlah dalam implikasinya yang antagonistis, tetapi lebih menyerupai “cadangan elite”. Tetapi tidak selamanya orang mampu menopang perbedaan. Perbedaan yang sehat, yaitu polisentrisme atau bhinneka tunggal ika, dibahayakan dari dua jurusan. Bahaya yang pertama ialah ketidaksediaan orang untuk berpisah dari sistem kekuasaan yang ada. Hal ini disebabkan adanya ketidakmampuan memproyeksikan sesuatu yang lebih bersifat jangka panjang. Orientasi kekuasaan telah membuatnya ingin mencapai kekuasaan dengan cara yang “ekonomis”, yaitu mendekati penguasa sendiri dengan cara yang kurang sehat dan tidak dari kesejatian (genuine). Sudah tentu ada orang-orang yang mendekati kekuasaan dari sudut pandangannya sendiri yang sejati, sesuai dengan keyakinan politik (praktis)-nya. Bahaya yang kedua datang dari jurusan absolutisme. Yaitu suatu cara berpikir yang serba-mutlak, sehingga cenderung untuk tidak menolerir pikiran-pikiran lain. Inilah permulaan perubahan perbedaan menjadi pertentangan atau antagonisme, suatu gejala tidak sehat yang dahulu sudah berkali-kali membahayakan kesatuan negara kita. Sesungguhnya absolutisme merupakan gejala kurang matangnya seseorang dari segi intelektual maupun emosional. Ketidakmatangan intelektual menyebabkan orang sempit pandangan, sedangkan kemantapan emosional menyebabkannya tidak kuat melihat adanya perbedaan pada orang lain. Tetapi barangkali sesuatu yang cukup D2E
F MONOSENTRISME DAN POLISENTRISME G
ironis bahwa justru orang-orang yang berbeda secara ekstrem inilah yang apabila memperoleh kekuasaan akan bertindak memberantas perbedaan dan memaksakan monosentrisme, resimentasi dan tindakan-tindakan lain yang kurang demokratis. Jadi mereka akan bertemu dalam satu titik dengan orang lain yang memang pada dasarnya berpandangan totaliter. Orang yang absolutis ini umumnya akan dengan gigih memperjuangkan demokrasi, di mana salah satu unsurnya ialah kebebasan menyatakan pendapat, selama mereka belum memegang sendiri kekuasaan itu. Tetapi jika kekuasaan itu telah ada di tangan, justru karena absolutismenya, mereka tidak lagi mengizinkan perbedaan pandangan atau pikiran, dan dimulailah usaha-usaha menuju kepada resimentasi. Jadi sangat penting dari sekarang kita menanamkan kedewasaan politik kepada generasi muda. Kedewasaan politik itu menyangkut sikap yang selain berani berbeda juga terdapat relativisme dalam pikiran dan pandangannya. Relativisme ini tidak perlu dalam keadaan yang ekstrem pula sehingga membuat orang kehilangan pegangan dan keyakinan hidup. Relativisme diperlukan untuk membuatnya cukup lapang dada, luas pandangan, dinamis dalam perkembangan pikiran, dan secara ikhlas dapat menerima pikiran orang lain serta menghargainya, apa pun latar belakang orang tersebut. Dalam hal ini pemerintah sendiri banyak menentukan. Percontohan adalah pelajaran yang paling berhasil. Para pemimpin memberi contoh perbedaan pandangan yang sejati, tidak dibuat-buat, dan mendemonstrasikan bahwa perbedaan pandangan itu tidak perlu membawa ke pertentangan. Justru ia menunjukkan bahwa segala sesuatu masih berjalan sebagaimana biasa tanpa guncanganguncangan. Tetapi jika salah satu dalam masyarakat telah memulai bersikap absolutistik, maka mulailah pula terbentuk lingkaran setan: dilawan dengan absolutisme akan semakin memperbesar tumbuhnya absolutisme, sedangkan dibiarkan terus pun demikian pula. Maka perlu sekali kesadaran masing-masing hal ini, dan itu berkaitan dengan pandangan hidup yang lebih mendalam. [™] D3E
F DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI G
DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI Oleh Nurcholish Madjid
Sepanjang tanggapan umum, pemerintah sebegitu jauh telah berusaha memberikan reaksi yang positif atas jiwa yang terkandung dalam aspirasi murni para mahasiswa dan generasi muda pada umumnya, meskipun cetusannya menimbulkan ekses-ekses yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah, sebagaimana agaknya telah menjadi tekadnya sejak sebelumnya, menyerukan kepada rakyat untuk hidup sederhana, khususnya kepada para pemimpin dan golongan yang mampu. Dan meskipun tak terhindarkan untuk mengadakan tindakan-tindakan keras berhubungan dengan adanya ekses-ekses dalam peristiwa yang lalu, tetapi syukurlah bahwa pemerintah masih tetap menegaskan bahwa proses pembinaan demokrasi dengan begitu tidak mengalami kemacetan, apalagi kemunduran. Hal itu tidak lain harus ditafsirkan bahwa komitmen dua arah dan lain-lain tetap berlaku tanpa gangguan. Sekarang ini dogmatisme secara global mengalami kemunduran pesat. Orientasi ideologis yang absolutistik secara berangsur-angsur digantikan oleh orientasi pragmatis yang ilmiah dan relativistik. Demikian pula dengan suatu nilai politik seperti demokrasi, orang tidak lagi beranggapan adanya suatu dalil atau rumus yang sekali dibuat dapat berlaku untuk selamanya dan bagi setiap orang. Bagi setiap kelompok masyarakat atau suatu bangsa terdapat kekhususan-kekhususan yang mutlak harus diperhitungkan dalam melaksanakan suatu nilai politik. Maka demikian pula adanya dengan bangsa Indonesia, kekhususan-kekhususannya menuntut D1E
F NURCHOLISH MADJID G
adanya penyesuaian suatu nilai, seperti demokrasi, sehingga memerlukan predikat baru dan menjadi “demokrasi Indonesia�, atau lebih umum lagi “demokrasi Pancasila�. Tetapi satu hal yang perlu diingat, yaitu bahwa keberatan atas orientasi ideologis ialah karena orientasi itu menghasilkan pemahaman nilai secara statis. Dan sebaliknya, dengan orientasi pragmatis, pemahaman yang diperoleh adalah bersifat dinamis. Maka dengan pemahaman yang dinamis, demokrasi adalah berarti proses demokratisasi. Suatu masyarakat disebut demokratis jika di dalamnya terdapat proses yang sejati ke arah demokratisasi, yaitu pemberian hak dan kebebasan yang semakin besar kepada rakyat sebagai pemegang kekuasaan atau kedaulatan yang sebenamya. Karena kerakyatan telah tercantum dalam Pancasila maka memang dapat dibenarkan bahwa proses tersebut tidak lain ialah proses pelaksanaan Pancasila itu sendiri. Ditinjau dari segi ini, maka komitmen pemerintah sendiri kepada pelaksanaan komunikasi dua arah merupakan langkah pelaksanaan demokratisasi secara konkret yang dapat diambil sesuai dengan keadaan sekarang. Komunikasi dua arah adalah perwujudan dari komunikasi terbuka dan jujur. Jenis komunikasi ini adalah jenis yang berdimensi horizontal (ke samping). Sering kita dengar pendapat para ahli yang mengatakan bahwa segi negatif masyarakat kita ialah terlampau kuatnya komunikasi vertikal dan terlampau lemahnya komunikasi horizontal. Dalam komunikasi vertikal, yang penting ialah mekanisme perintah dan ketaatan. Perintah oleh yang di atas, dan taat oleh yang di bawah. Sedangkan komunikasi horizontal tidak terletak dalam soal perintah dan taat, tetapi dalam soal tukar-menukar pendapat dan pikiran, disertai dengan kebebasan mengadakan penilaian. Karena itulah maka komunikasi horizontal bersifat dua arah dan terbuka. Sudahkah masyarakat kita siap untuk melaksanakan jenis komunikasi itu? Siap ataupun belum siap, tetap saja pelaksanaannya harus segera dimulai. Jika sudah siap, syukurlah dan semoga lancar adanya. Dan jika belum siap, maka dalam pelaksanaan nyata itulah D2E
F DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI G
kita dapat menarik pelajaran dari pengalaman dan menjalani proses pematangan diri sehingga benar-benar siap. Suatu hal yang tidak diharapkan ialah penarikan kesimpulan yang tergesa-gesa bahwa kita belum siap, kemudian proses demokratisasi dihentikan atau ditunda. Katakanlah sebagai misal, jika ada kesimpulan dan keputusan serupa itu karena adanya peristiwa 15 Januari. Setiap kemajuan yang dicapai tentu menuntut adanya “ongkos� yang mesti dibayarkan. Tetapi pertanyaan masih dapat dilanjutkan: Jika benarbenar komunikasi dua arah hendak dilaksanakan, maka langkah nyata apa yang harus diambil? Banyak sekali saran dan pendapat yang dikemukakan orang. Sejak dari kebebasan untuk bertemu muka dengan para pemimpin sampai kepada kebebasan mimbar ilmiah di universitas-universitas. Tetapi di sini hanya hendak menekankan pada pemberian kebebasan yang lebih besar kepada lembaga-lembaga politik yang resmi, khususnya DPR dan partai-partai politik. Salah satu penilaian atas peristiwa 15 Januari adalah bahwa hal itu tidak akan terjadi seandainya DPR benar-benar berfungsi. Tetapi bagaimana DPR berfungsi jika partai-partai yang membentuk fraksi-fraksi di situ kurang merasa bebas dalam menyatakan pendapat, karena senantiasa dihantui, umpamanya saja, oleh ancaman recall? Maka pemberian kebebasan kepada partai-partai politik itu adalah dengan sendirinya berarti mengembalikan hak recall kepada partai yang bersangkutan secara mutlak sebagai kedaulatan partai yang tidak boleh diganggu-gugat. Dengan kebebasan itu partai-partai akan dipaksa untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar. Sebagian akan menunjukkan kemampuannya sehingga menguntungkan rakyat, dan sebagian lagi mungkin akan gagal. Dalam hal ini rakyat yang merasa dirugikan akan memberinya hukuman dalam pemilu yang akan datang, yaitu dengan jalan tidak memilihnya lagi. Jadi yang bersangkutan itu, sebagai “wakil rakyat� akan betul-betul mengandung makna yang jujur, bukan manipulasi. [™] D3E
F DEMOKRASI INDONESIA G
DEMOKRASI INDONESIA Oleh Nurcholish Madjid
Sudah tentu mengatakan begitu saja bahwa demokrasi seperti yang dipraktikkan di negeri-negeri Barat, biasa disebut secara singkat “Demokrasi Barat�, tidak cocok untuk negara kita adalah bersifat agak stereotip. Sebab pernyataan itu sudah lama menjadi bagian dari pikiran kita tentang sistem politik yang dinyatakan berulang-ulang, dan dahulu merupakan bagian yang amat penting dalam rangka indoktrinasi politik Orde Lama. “Dalil� itu tidaklah muncul begitu saja, tetapi merupakan penyimpulan dari pengalaman-pengalaman empiris yang mahal dalam sejarah pertumbuhan republik kita, khususnya di masa berlakunya UUD Sementara. Di zaman Orde Baru ini, tampak seperti ada keengganan untuk memegang stereotip itu secara serius, disebabkan masih tertinggalnya kesan yang cukup mendalam bahwa ia dulu disalahgunakan oleh rezim Orde Lama untuk melapangkan jalan bagi pelaksanaan pikiran Bung Karno sendiri tentang suatu sistem politik, yang akhirnya tentu saja berujung pada sesuatu yang menyerupai kediktatoran. Lepas dari konotasi negatif sebagai akibat perjalanan sejarah bangsa yang tak mungkin dihindari itu, perenungan lebih lanjut tentang suatu sistem politik, jika kita cukup bebas dari bias-bias ataupun keinginan-keinginan yang tertanam, akan menyampaikan kita kepada kesimpulan bahwa memang tidak terdapat suatu sistem yang begitu rupa berlaku untuk setiap zaman dan tempat, sehingga dapat merupakan ideal type. Jika kita perhatikan, maka D1E
F NURCHOLISH MADJID G
pertama-tama perkataan “demokrasi” itu sendiri merupakan jargon politik yang diperebutkan antara negara-negara Barat (Kapitalis) dan Timur (Komunis), lengkap dengan argumentasi-argumentasi yang memperkuat pendapat diri sendiri serta tuduhan kepada pihak lawannya sebagai bukan demokrasi. Di dalam lingkungan masing-masing pun terjadi interpretasi dan pelaksanaan mendetil yang berbeda. Beberapa negara di Barat menganut sistem monarki konstitusional dan kabinetnya yang parlementer, dipimpin seorang perdana menteri. Sebagian lagi menggunakan cara yang sama, tetapi kepala negara bukannya seorang raja melainkan presiden. Ada lagi yang secara gampang dinamakan “sistem Prancis” yang mempunyai pemerintahan dengan seorang perdana menteri yang tidak begitu memegang peranan. Dan sudah tentu setiap orang mengetahui sistem presidentilnya Amerika Serikat. Sama halnya di negara-negara Timur (Komunis), juga terdapat perbedaanperbedaan dalam interpretasi sekunder tentang sistem demokrasi rakyat yang mereka anut. Jika tidak terdapat suatu ideal type sistem politik yang universal, maka setiap bangsa sudah selayaknya menemukan sendiri sistem yang cocok untuk kondisi masyarakatnya. Suatu sistem baru berarti jika ia dapat dilaksanakan dengan cukup lancar. Hal itu berarti ia harus memperoleh topangan sosial-kultural secukupnya. Ungkapan bahwa kita harus mengenal kepribadian nasional — ini pun mempunyai konotasi stereotip — menunjukkan adanya kesadaran akan hal tersebut tadi. Topangan sosial-kultural bagi suatu sistem akar membuatnya dapat dimengerti oleh rakyat. Tetapi justru di sinilah kesulitannya. Tidak perlu merupakan dilema yang memaksa kita memilih salah satu dan meninggalkan yang lain dengan keuntungan dan kerugian yang sama. Tetapi kesulitan itu ialah dalam memilih unsur-unsur mana dari nilai-nilai sosial-kultural bangsa kita yang dapat mendukung proses kemajuan sehingga harus dikembangkan, dan unsur-unsur mana pula yang bersifat sebaliknya sehingga harus ditinggalkan. Bahkan sampai sekarang pun masih merupakan problem, mana unsur budaya di D2E
F DEMOKRASI INDONESIA G
Indonesia ini yang betul-betul bernilai nasional dan bukan hanya lokal, daerah atau suku? Sementara kita secara konkret mengetahui segi kebhinnekaan budaya kita, tantangan untuk menemukan segi ketunggalan budaya itu — harus diakui — masih dalam proses perkembangannya. Maka kesadaran akan tidak adanya suatu sistem politik yang secara universal merupakan ideal type tadi memaksa kita berusaha memahami benar-benar keadaan bangsa dan tanah air sendiri, serta mengenali kebutuhan-kebutuhan mendesak rakyatnya dalam mewujudkan kualitas hidup yang manusiawi. Dan setiap kesimpulan tentang suatu sistem yang harus dijalankan sesuai dengan perkembangan itu tidak dibenarkan untuk diberi harga mati, sekali dipilih kemudian tidak ada lagi tawar-menawar dengan kesadaran baru. Sebab setiap percobaan untuk merumuskan suatu sistem “sekali untuk selamanya� (once for all) pasti akan menemui kegagalan karena ia akan membelenggu diri sendiri dan membeku. Maka di sini kita dituntut untuk senantiasa berpikir kreatif dan baru. Dalam semangat berpikir inilah kita harus menilai kejadiankejadian yang sekarang ini mendominir suasana politik tanah air kita. Tentu banyak kejanggalan-kejanggalan dalam forum tertinggi itu, khususnya yang menyangkut cara-cara pengambilan keputusan. Tetapi mengingat proses yang mesti kita alami dalam usaha menemukan sistem politik yang benar-benar Indonesia, kita berharap peristiwa yang kini sedang berjalan itu akan memperkaya pengalaman kita selama ini. [™]
D3E
F MOBILITAS SOSIAL DAN DEMOKRASI G
MOBILITAS SOSIAL DAN DEMOKRASI Oleh Nurcholish Madjid
Ada suatu kejadian kecil dan sederhana yang dapat kita amati sehari-hari, yang menggambarkan bagaimana kepentingan yang telah tertanam sangat mempengaruhi mekanisme mobilitas sosial. Kejadian kecil itu khususnya yang ada di kota-kota besar: Jika seseorang kebetulan menunggu bis kota di halte, dan bis yang ditunggunya itu tiba maka ia akan selalu mempunyai alasan untuk naik dan masuk kendaraan itu sekalipun penuh sesak. Tetapi jika ia sudah berada di dalamnya, dan bis itu berhenti pada halte berikutnya untuk memberi kesempatan pada penumpangpenumpang lain naik ke atas, maka ia akan selalu mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa kendaraan sudah penuh dan tidak ada tempat bagi penumpang-penumpang baru! Itulah kepentingan yang tertanam atau vested interest. Sifat vested interest itu senantiasa tirani dan tentu egoistis. Bagi orang yang berdiri di tepi jalan atau halte mempunyai kepentingan untuk naik bis. Maka ia akan berusaha memenuhi kepentingannya itu sebisa-bisanya. Dan bagi yang sudah berada di dalam bis ada kepentingan untuk mempertahankan situasi yang menyenangkan dalam bis itu dan kemudian cenderung untuk menolak penumpangpenumpang baru! Dalam masyarakat yang lebih kompleks pun pola-pola itu sedikit-banyak juga berlaku. Meskipun tidak setiap orang itu egois sampai batas yang zalim, namun tirani vested interest itu senantiasa menjadi penghalang bagi terjadinya proses mobilitas sosial yang D1E
F NURCHOLISH MADJID G
lancar, khususnya dalam dimensinya yang vertikai. Yaitu bahwa pergeseran-pergeseran dalam suatu proses perubahan susunan kemasyarakatan dari bawah ke atas akan senantiasa terhambat oleh kalangan-kalangan yang timbul dari mereka yang sudah berada di atas. Kadang-kadang halangan-halangan itu sudah memperoleh sublimasi begitu rupa sehingga pola sosial yang timbul karenanya mendapatkan pengesahan dari masyarakat sendiri dan kemudian diakui sebagai wajar. Contohnya ialah sistem kasta dalam masyarakat India. Sistem yang pada hakikatnya mengakibatkan tetap dipertahankan strata sosial yang berlaku sehingga tidak lagi memungkinkan terjadinya perubahan yang berarti itu memperoleh sublimasi begitu rupa sehingga dianggap menjadi bagian dari kesucian ajaran agama. Disebabkan oleh adanya finalitas dan kemutlakan nilai-nilai keagamaan — sesuai dengan klaim suatu agama — maka lembaga kasta tersebut menjadi tak mungkin atau sulit sekali dipersoalkan, apalagi diubah. Dan setiap percobaan untuk mengubahnya akan membutuhkan alat pembenaran yang Iebih unggul, serta senantiasa menimbulkan guncangan-guncangan. Demikian pula mitos-mitos bahwa keturunan orang-orang atau keluarga-keluarga tertentu mempunyai sifat-sifat yang luhur sebagai pembawaan sejak lahir sehingga dengan sendirinya berhak atas tempat-tempat pada strata sosial bagian atas merupakan caracara yang diciptakan — baik sadar maupun tidak — dengan tujuan mempertahankan pembagian tingkat kemasyarakatan yang berlaku. Ia pun berperan menghambat mobilitas sosial. Lembaga-lembaga itu biasanya disebut sebagai feodalisme. Asumsi dasar demokrasi ialah persamaan mutlak antara manusia sesamanya. Terkenal sekali sepotong kalimat dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat, “that all men are created equal” (bahwa semua manusia adalah diciptakan sama). Justru egalitarianisme atau paham kesamaan ini merupakan pokok paham perikemanusiaan. Maka setiap bentuk paham yang mengingkari kesamaan dasar adalah bertentangan dengan perikemanusiaan dan demokrasi. D2E
F MOBILITAS SOSIAL DAN DEMOKRASI G
Konsistensi paham kesamaan itu ialah adanya kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk mobilitas sosial. Yaitu bahwa setiap orang berhak atas kesempatan memperoleh derajat kehidupan yang setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan yang bersifat a priori seharusnya tidak ada. Dasar penilaian atas seseorang tidak pada hal-hal yang ia sendiri tidak berkuasa atasnya seperti kasta, keturunan, warna kulit ataupun aďŹ nitas-aďŹ nitas yang dimilikinya, melainkan pada kualitas-kualitas yang ada pada dirinya menurut kenyataan yang berhubungan dengan kemampuan-kemampuan dan prestasi-prestasi. Disertai dengan keadilan sosial, demokrasi menghendaki terbagi meratanya secara relatif hal-hal yang akan berpengaruh pada usaha pencapaian martabat kemanusiaan yang setinggi-tingginya, di mana antara lain yang terpenting ialah di bidang ekonomi, kesempatan kerja dan lebih-lebih lagi pendidikan. Yang tersebut belakangan ini amat besar peranannya dalam mendorong terjadinya proses perubahan dan mobilitas sosial. Karena itu pendidikan lebih merupakan hak daripada kewajiban rakyat. Sebagai hak, pendidikan merupakan tuntutan rakyat. Dalam memenuhi tuntutan itu setiap sektor masyarakat memikul kewajiban-kewajiban, baik rakyat sendiri maupun pemerintah. Dan akses atau jalan masuk ke dalam pendidikan itu tidak dibenarkan terhalang oleh hal-hal yang tidak bersangkutan dengan potensi prestasi seperti kemampuan ekonomis, status sosial, dan sebagainya. Bila tidak demikian maka mobilitas sosial selanjutnya akan terhalang. Hendaknya kita tidak membiarkan tumbuhnya bentuk feodalisme baru yang akan membahayakan demokrasi. [™]
D3E
F MENERAPKAN KEADILAN DAN DEMOKRASI PENDIDIKAN DI INDONESIA G
MENERAPKAN KEADILAN DAN DEMOKRASI PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh Nurcholish Madjid
Willy Eichler adalah seorang ahli teori sosialisme demokrat modern yang melandasi perjuangan politik Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). Teori-teori Williy Eichler itu termuat dalam sebuah buku kecil lagi sederhana yang sekarang kurang-lebih menjadi “buku pinter”-nya aktivis-aktivis SPD. Buku itu berjudul (dalam bahasa Inggris) Fundamentals of Democratic Socialism atau Dasar-dasar Sosialisme Demokratis. Meskipun asal mula partai tersebut adalah gerakan yang bertitik-tolak dari Marxisme, tetapi dalam perkembangan selanjutnya — sebagaimana dengan jelas sekali dibentangkan dalam buku kecil tadi — Marxisme tidak lagi dianut secara dogmatis dan statis, melainkan dikembangkan secara amat liberal dan dinamis. Sudah tentu dengan risiko bahwa mereka memperoleh cap sebagai bukan lagi sosialis apalagi Marxis oleh partai-partai dan orang-orang komunis. Salah satu pokok yang menarik dalam teori Eichler itu ialah pemahamannya tentang demokrasi dan sosialisme atau keadilan sosial yang dinamis. Dalam pengertian dinamis itu ialah bahwa demokrasi serta keadilan sosial tidak dapat dirumuskan sekali jadi untuk selama-lamanya, tetapi nilai-nilai itu tumbuh sebagai proses yang berkepenjangan dan lestari tanpa putus-putusnya. Suatu masyarakat adalah demokratis selama di situ terdapat proses yang tak terputus bagi terselenggaranya sistem pergaulan antarmanusia yang semakin menghormati dan mengakui hak-hak D1E
F NURCHOLISH MADJID G
asasinya. Dan masyarakat itu sosialis atau berkeadilan sosial selama ia mengembangkan sistem ekonomi yang semakin luas dan merata penyebaran dan pemanfaatannya. Tetapi, kata Eichler, pada analisis terakhir, baik demokrasi ataupun keadilan akan terwujud jika dalam masyarakat itu terdapat pemberian kesempatan yang sama untuk semua anggota atau warga. Salah satu kesempatan itu yang terpenting, karena paling luas dan kuat efeknya, ialah pendidikan. Maka sebelum yang lain-lain, dalam suatu masyarakat yang adil dan demokratis terlebih dahulu harus ada keadilan dan demokrasi dalam pendidikan. Tanpa dasar itu semua, usaha membangun demokrasi dan pendidikan akan bagaikan mendirikan istana pasir saja. Bagaimana dengan negara kita? Jelas sekali bahwa cita-cita tentang demokrasi dan keadilan sosial itu merupakan faktorfaktor pendorong yang amat kuat bagi para perintis dan pejuang kemerdekaan dahulu. Nilai-nilai itu terumuskan dalam Pancasila. Salah satu yang dicita-citakan ialah demokrasi dan keadilan dalam hal pendidikan. Maka dari itu, menurut Mukadimah UndangUndang Dasar, salah satu tujuan kemerdekaan ialah mencerdaskan seluruh rakyat. Pendidikan adalah hak asasi rakyat sepanjang konstitusi itu. Maka mengingkari hak itu adalah inkonstitusional, melanggar Undang-Undang Dasar. Tetapi adalah suatu ironi bahwa dalam masa-masa kita hendak melaksanakan UUD 45 “secara murni dan konsekuen�, justru terdapat gejala di mana pendidikan cenderung untuk menjadi barang luks, mahal, dan semakin tak terjangkau oleh rakyat banyak. Di masa lalu (Orde Lama), konotasi kenaikan status sosial karena pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) sudah amat berkurang, karena pendidikan itu terdapat dan tumbuh “seperti jamur di musim hujan’, sampai-sampai di kota-kota kecil juga terdapat perguruan tinggi. Memang dengan risiko bahwa mutu pendidikan itu merosot jauh di bawah standar, tetapi dengan keuntungan bahwa ia menjadi murah dalam arti semakin banyak orang yang menikmatinya. Kemerosotan mutu itulah yang antara lain merupakan alasan menuD2E
F MENERAPKAN KEADILAN DAN DEMOKRASI PENDIDIKAN DI INDONESIA G
runkan jumlah perguruan (tinggi) dan memperketat perizinan atau pengakuannya. Mungkin sekali mutu tinggi yang dituju sekarang telah tercapai (tetapi juga mungkin belum), tetapi yang jelas ialah bahwa supply pendidikan tidak bisa lagi mengimbangi demand dalam masyarakat, sehingga menjadi mahal. [™]
D3E
F TEMA-TEMA KHUTBAH DI MASJID-MASJID G
TEMA-TEMA KHUTBAH DI MASJID-MASJID Oleh Nurcholish Madjid
Tak ayal lagi amanat Presiden Soeharto pada peringatan NuzulalQur’an baru-baru ini mendapatkan sambutan luas sekali dan tidak terbatas hanya kepada kaum Muslim sendiri. Sampai-sampai seorang tokoh yang amat prestisius dan sangat mahal dalam memberikan “punten� kepada orang lain seperti Muhammad Natsir, Ketua Dewan Dakwah Indonesia pun memberikan penilaian yang amat positif. Malahan, beliau menganjurkan agar pidato Presiden itu dijadikan pegangan baik oleh para pejabat dalam memberikan bantuan dan bimbingan kepada para khatib maupun oleh para imam dan khatib sendiri. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pidato Presiden kali ini adalah salah satu dari beberapa pidato lainnya yang paling berhasil. Maka sudah tentu penghargaan selain ditujukan kepada Presiden sendiri juga kepada speech writer-nya. Sebab sekalipun ide-ide dasarnya tentu datang dari beliau sendiri, tapi sesuai kebiasaan di mana-mana tentunya beliau mempunyai seorang ahli penulis pidato yang selalu siap membantunya. Salah satu persoalan yang dikemukakan Presiden dalam amanat itu ialah yang berkenaan dengan tema-tema khutbah di masjidmasjid. Pada pokoknya beliau mengharapkan agar tema dan isi khutbah-khutbah di masjid-masjid dibuat begitu rupa sehingga lebih bersifat positif. Lebih-lebih jika dihubungkan dengan pembangunan nasional sekarang ini. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Memang bukan rahasia lagi bahwa sudah lama dirasakan adanya sesuatu vang kurang tepat dalam kebanyakan khutbahkhutbah kita. Yaitu bahwa khutbah-khutbah itu banyak sekali yang berbobot “nahi munkar” saja sehingga pendekatannya kepada persoalan-persoalan kemasyarakatan lebih bersifat negatif dalam bentuk melarang, mencegah, membantah, mencela, mengutuk dan seterusnya. Sudah tentu “nahi munkar” termasuk ajaran agama, yaitu bahwa agama mewajibkan adanya usaha-usaha mencegah, melarang atau melawan sesuatu yang tidak dapat dibenarkan dalam masyarakat. Akan tetapi penting sekali diingat bahwa selain “nahi munkar” ada ajaran tentang “amar makruf ” yang lebih bersifat positif. “Amar makruf ” berarti anjuran, ajakan atau persuasi kepada sesuatu yang dikenal, diakui ataupun diterima (arti harfiah perkataan ma‘rûf) dalam masyarakat tentang nilainya sebagai kebaikan, kegunaan dan kemanfaatan untuk manusia. Sesuatu vang “makruf ” adalah kebaikan yang operasional, dapat dilaksanakan dalam masyarakat, jadi mempunyai nilai kepraktisan. Tetapi selain yang praktis itu masih terdapat hal yang lebih bersifat “ideal” yang dalam peristilahan agama disebut al-khayr. Maka selain ajakan kepada kebaikan yang bersifat praktis (amar makruf, hendaknya seorang pemimpin masyarakat juga dapat mengemukakan suatu idealisme yang lebih mengakar solidaritas dan konsensus (da‘wah ilâ al-khayr), sebab ia akan melandasi adanya kohesi sosial secara positif. (Kohesi sosial secara negatif juga dapat terjadi sebagaimana solidaritas dalam saat-saat melawan musuh bersama). Begitulah, dalam Kitab Suci Al-Qur’an disebutkan adanya tiga serangkai petunjuk bagi para pemimpin masyarakat, yaitu berturut-turut (1) “da‘wah ilâ al-khayr” dalam kaitannya dengan kebaikan yangidealistik, (2) “amar makruf ” dalam kaitannya dengan kebaikan vang praktis, dan (3) “nahi munkar” yang berarti pencegahan atau pelarangan hal-hal yang kurang baik. Ketiganya itu hendaknya tidak dipisah-pisahkan, apalagi jangan diambil salah satu saja. Sebab jika hanya yang pertama diambil tanpa kedua dan ketiga maka isi khutbah, pidato, ceramah dan malahan keseluruhan D2E
F TEMA-TEMA KHUTBAH DI MASJID-MASJID G
sikap kepemimpinan sang pemimpin akan bersifat normatif belaka, tidak realistis, sehingga mandul (tak ada efek berarti secara sosial). Jika yang kedua saja tanpa yang pertama dan ketiga, mungkin seseorang (pemimpin) akan menjadi terlampau pragmatis, hal mana tidak menjamin keselamatan kebijaksanaannya dari kicuhan kekinian dan kedisinian, sebagaimana umumnya diketahui tentang kelemahan pragmatisme. Yang paling kurang tepat ialah jika hanya mengambil bagian ketiga tanpa pertama dan kedua, sebab akan membuat seorang penganjur hanya mengetahui apa yang tidak disetujuinya, pandai melarang tanpa memberi “jalan keluar”, malah mungkin anjurannya akan tidak lebih dari maki-makian dan kutukan-kutukan. Dan inilah yang sebagaimana terkesan dari amanat Presiden banyak menghinggapi para penganjur kita. Sebetulnya menjalankan “nahi munkar” akan selalu lebih mudah daripada melakukan “amar makruf ”. Sebab melarang, mencaci, mengutuk dan seterusnya membutuhkan pengetahuan yang relatif sedikit saja. Orang jauh lebih mudah mengatakan apa yang ia tidak mau daripada mengemukakan apa yang ia mau! Sebaliknya kebutuhan “nahi munkar” kepada emosi adalah lebih besar, atau lebih tepat, “nahi munkar” lebih mudah dimasuki unsur-unsur emosional. Dan hal ini memang sering tanpa disadari oleh seorang pembicara. Pidato yang penuh emosi dan sentimen akan lebih mudah menarik perhatian pendengarnya, kemudian pembicara mendapatkan applause! Contoh terbesarnya ialah pidatopidato Bung Karno. Kebalikannya ialah “amar makruf ” yang lebih memerlukan ketekunan telaah, pemecahan masalah, rasionalitas. “Amar makruf ” memang lebih dingin sifatnya. Karena itu mungkin kurang menarik bagi pendengar awam, juga bagi penganjur kurang terpelajar! [ ]
D3E
F MENJELANG BULAN PUASA G
MENJELANG BULAN PUASA Oleh Nurcholish Madjid
Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Puasa atau Ramadan, yaitu bulan kesembilan dalam kalender agama Islam. Pada bulan itu, sepanjang ketentuan keagamaan, setiap orang Islam dengan kekecualian-kekecualian tertentu, diwajibkan menjalani ibadah puasa, yaitu menahan diri dari — terutama — makan dan minum serta seks dari fajar sampai matahari terbenam. Banyak yang dapat dibicarakan sekitar bulan puasa ini. Umpamanya saja, persoalan kapan persisnya bulan puasa itu dimulai (dan diakhiri), merupakan bahan perselisihan yang kadang-kadang kurang dapat diselaraskan antara para pemegang doktrin rukyah (melihat rembulan secara ďŹ sik) dan hisab (perhitungan astronomis). Biasanya perselisihan itu sejajar dengan perbedaan orientasi beberapa kelompok umat Islam Indonesia. Di tempat lain umumnya hanya menekankan pada rukyah. Dan di Malaysia terbaca pada sebuah koran tentang adanya keputusan Mufti Kuala Lumpur untuk memulai puasa pada tanggal 15 September ini, disertai pemberian wewenang kepada polisi untuk menangkap orang yang tidak berpuasa. Kita kurang mengetahui apa sebenarnya dasar keputusankeputusan mufti itu, apalagi penetapannya tentang permulaan puasa yang berselisih dua hari dari yang umumnya diperkirakan oleh kaum Muslim Indonesia. Dari cara serta persoalan bagaimana permuIaan dan penghabisan bulan puasa ditetapkan, banyak orang berpendapat telah dapat diketahui sampai di mana perkembangan pemikiran di kalangan masyarakat Islam. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Bulan puasa juga sering disebut sebagai bulan suci. Tetapi mungkin lebih tepat disebut bulan penyucian (diri manusia). Sepanjang ajaran agama Islam, manusia tanpa kecuali dilahirkan dalam kesucian (ďŹ trah). Tetapi manusia juga dilengkapi dengan naluri keinginan atau nafsu yang tidak jarang juga merupakan sumber adanya dorongan-dorongan untuk berbuat hal-hal yang berlawanan dengan kesucian kemanusiaan atau ďŹ trahnya. Dengan begitu ia mengotori diri sendiri dan merugikannya. Dalam bahasa agama hal itu dikenal sebagai dosa. Umumnya dalam Kitab Suci dosa disebutkan sebagai perbuatan-perbuatan yang merugikan diri manusia sendiri, maka manusia dengan sendirinya tak mungkin berbuat sesuatu terhadapnya, merugikan ataupun menguntungkan. Dosa manusia bukanlah sesuatu yang tak mungkin dihapuskan. Penghapusannya dilakukan melalui lembaga pertobatan atau penyucian. Nabi sendiri bersabda bahwa setiap anak cucu Adam, yaitu seluruh manusia ini, adalah pembuat kesalahan; namun sebaikbaik orang yang salah ialah mereka yang bertobat. Dan dalam Kitab Suci disebutkan bahwa hendaknya manusia sekalipun telah melampaui batas dalam perbuatan yang merugikan kesucian dirinya sendiri atau melakukan dosa, tidak berputus asa dari kasih sayang Tuhan. Sebab Tuhan mengampuni segala dosa; Dia adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Tobat dilakukan orang setiap saat. Khususnya pada setiap saat menanamkan kesadaran kembali pada diri sendiri akan kesalahankesalahan yang telah diperbuatnya. Tetapi agama juga menyediakan dalam setahun di bulan Ramadan secara khusus sebagai saat melakukan pertobatan umum dan serentak secara intensif. Karena dosa merugikan diri sendiri, maka penghapusannya tentu menguntungkan diri sendiri dan membahagiakannya. Ibarat kata Dante, dosa membawa orang ke neraka (inferno), dan untuk membebaskannya ia harus diproses dalam kancah penyucian (purgatorio), agar dengan begitu ia dapat kembali ke keadaan bahagia atau surga (paradisso). Dan kebahagiaan itu ada dalam penemuan diri sendiri yang diliputi oleh kesucian asal atau ďŹ trah. Kesadaran kesucian itu diperoleh karena seseorang D2E
F MENJELANG BULAN PUASA G
sanggup berkomunikasi kembali dengan Tuhan Yang Mahasuci. Maka sesungguhnya inilah tujuan ibadah puasa. “Wahai orang-orang yang percaya, diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi orang-orang yang bertakwa,” (Q 2:183).
Demikian terbaca dalam kitab suci al-Qur’an. Dan hakikat takwa ialah keeratan komunikasi dengan Yang Mahatinggi. Menurut Eric Fromm, itulah puncak pengalaman keagamaan. Sebab pengalaman keagamaan pada hakikatnya ialah intensitas perenungan tentang kemutlakan (ultimacy) dan makna hidup. Tetapi seperti dikatakan oleh Umar ibn Khaththab, banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali rasa lapar dan dahaga saja. Mereka adalah orang-orang yang “tenggelam dalam syarat tetapi lupa tujuan”. Hal itu disebabkan oleh proses rutinisasi, yang sering membuat orang berhenti dan hanya mementingkan segi lahiriah saja, tanpa menyentuh segi-segi yang lebih mendalam dan intrinsik. [ ]
D3E
F PAK HAJI DAN TESIS PKI G
PAK HAJI DAN TESIS PKI Oleh Nurcholish Madjid
Ibadah haji — seperti telah menjadi pengetahuan umum — adalah rukun Islam yang kelima. Meskipun begitu, yang diwajibkan menjalankannya bukanlah setiap orang Islam, akan tetapi hanya dia “yang mampu menempuh jalan ke sana”. Kemampuan itu tidak hanya diukur dari segi keuangan dan keamanan jalan saja, tetapi juga kesehatan, keadaan keluarga yang bakal ditinggal dan seterusnya. Hal-hal serupa itu diuraikan dengan terinci dalam ilmu fiqih. Sebetulnya ibadah haji dalam Islam itu merupakan kelanjutan dari tradisi haji yang sudah ada pada orang Arab sebelum Nabi Muhammad. Islam kemudian mengakui, meneruskan, melembagakan dan memperbaiki tradisi itu. Sebab sebetulnya tradisi itu berasal dari Nabi Ibrahim as dan anaknya, Nabi Ismail as. Sedangkan Nabi Ibrahim bukanlah orang Arab tetapi orang Kaldea di Babilonia, dan istrinya, Hajar, yang melahirkan Ismail adalah orang Mesir. Nabi Ibrahim diakui oleh tiga agama utama yang tumbuh dari kalangan bangsa Semit, Yahudi, Kristen dan Islam, sebagai bapak monoteisme. Dalam Kitab Suci al-Qur’an kita dapati keterangan-keterangan tentang ibadah haji itu. Keterangan yang agak terinci terdapat dalam suatu rangkaian ayat-ayat dalam surat al-Baqarah. Di situ diterangkan hendaknya dalam rangkaian menjalankan ibadah haji itu orang mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk mengingat Tuhan (berzikir). Dengan zikir seseorang dapat meresapkan rasa ketuhanan atau takwa dalam lubuk hati sanubarinva. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Termasuk dalam zikir itu ialah semua perbuatan atau ucapan yang merentangkan tali hubungan dengan Tuhan. Di antaranya ialah apa yang kita kenal dengan doa. Berdoa adalah berseru kepada Tuhan, yang kadang-kadang — malah ini yang umumnya dimengerti orang — berarti permintaan atau “petisi”. Tidak mengapa, sebab dengan petisi memang mungkin seseorang akan mengalami kontak dengan Tuhan secara lebih intensif. Tetapi petisi atau permintaan itu hendaknya meliputi hal-hal yang bersemangatkan altruisme, artinya tidak terlalu egoistik. Menyinggung semangat dalam doa itulah rangkaian ayat mengenai haji tadi mengatakan demikian: “... Dan di antara manusia (yang menjalankan haji itu) ada yang berkata (berdoa): ‘Oh Tuhan, berilah kami di dunia ini kebahagiaan’. Dan baginya tidak ada lagi jatah apa pun yang menyenangkan di akhirat. Dan di antara mereka pula ada yang berkata (berdoa): ‘Oh Tuhan, berilah kami kebahagiaan di dunia ini dan kebahagiaan di akhirat nanti, serta hindarkanlah kami dari siksaan neraka’. Mereka inilah orang-orang yang meperoleh keuntungan dari jerih-payah mereka. Allah itu cepat dalam perhitungan,” (Q 2:200-202).
Semangat dari firman Tuhan itu ialah “sinyalemen” bahwa di antara mereka yang menjalankan ibadah haji itu ada yang bermotif mencari kesenangan duniawi. Padahal sebetulnya ibadah haji adalah untuk kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Keadaan itu agaknya masih berlangsung sejak tiga belas abad yang lalu — sudah tentu sebelumnya juga — sampai sekarang ini. Banyak orang yang menjadikan kesempatan haji itu untuk mencari keuntungan perdagangan sebesar-besarnya. Jika kesempatan itu digunakan secara wajar saja tanpa merusakkan niat pokok untuk beribadah, sudah terang dapat dibenarkan. Tetapi jika sampai pada tingkat “mendominir” keseluruhan niat kepergian ke tanah suci itu, maka ia adalah tercakup dalam sinyalemen sebagai orang yang hanya berdoa untuk kebahagiaan duniawi semata-mata. Maka D2E
F PAK HAJI DAN TESIS PKI G
tidak heran jika di musim haji petugas bea cukai dibikin repot oleh calon-calon haji yang membawa perbekalan jauh melebihi keperluan mereka selama berada di tanah suci. Kelak jika mereka tiba kembali di tanah air, petugas itu juga dibikin kewalahan mencegah masuknya barang-barang yang bukan lagi sekadar sorban, kopiah putih, tasbih atau air zamzam, tetapi berupa emas, perak, permata, kain-kain mahal dan barang-barang mahal lainnya. Dan juga bukan aneh jika para jamaah sudah pulang, mulailah kedengaran percakapan siapa di antara para haji itu yang berhasil membayar kembali ongkos hajinya, atau malah beruntung. Jika jalan pikiran itu diikuti secara konsisten, maka haji yang kembali dengan perbekalan habis adalah rugi! Tetapi motif-motif keduniawian tidak selalu sejelas itu manifestasinya. Malahan yang naik haji untuk jalan bagi eskalasi perdagangannya itu mungkin sedikit saja jumlahnya. Tetapi dalam masyarakat pedesaan yang masih belum seluruhnya bebas dari jalan pikiran magis dan superstisis itu, tentu ibadah haji yang spiritualistik disangkutpautkan dengan nilai-nilai magis dan superstisis juga. Umpamanya saja, pergi ke Makkah-Madinah, seperti halnya dengan pergi ke puncak gunung Kawi atau lebih sakti lagi (sebab toh lebih mahal), tentu akan membawa kekayaan. Karena kepercayaan itu bersifat magis, maka sudah tentu mereka tidak dapat menerangkan dari mana orang yang sudah pergi ke Makkah-Madinah bisa menjadi kaya. Tetapi mereka yakin akan hal itu. Jika dasar kepercayaan itu sudah ada, maka mudah dipahami kalau doa mereka selama manasik selalu berkisar pada persoalan kekayaan dan kesenangan hidup duniawi itu. Memang dalam kenyataan dapat dilihat bahwa kedudukan ekonomis para haji di kampung-kampung umumnya lebih baik daripada lain-lainnya. Di sini tidak perlu memecahkan teka-teki mana lebih dulu: ayam atau telurnya. Sudah jelas bahwa naik haji memerlukan ongkos, jadi orang harus mempunyai kekayaan secukupnya dulu. Tetapi proses terkumpulnya kekayaan itu sebelum naik haji di kalangan masyarakat pedesaan adalah cukup menarik. D3E
F NURCHOLISH MADJID G
Kalau saja dapat diketahui motivasi pengumpulan itu: Apakah mereka secara wajar memang tumbuh menjadi kaya dan karena itu terkena kewajiban menjalankan ibadah haji, ataukah mereka berusaha agar dapat naik haji disebabkan adanya kepercayaan magis tersebut tadi. Tanpa mengabaikan adanya bentuk-bentuk motivasi yang lain, maka jika motif kedua itu yang ada berarti bahwa baginya naik haji adalah suatu penanaman modal! [™]
D4E
F SEDIKIT CATATAN SEKITAR HUKUM ISLAM G
SEDIKIT CATATAN SEKITAR HUKUM ISLAM Oleh Nurcholish Madjid
Sebuah seminar tentang hukum Islam di Indonesia diselenggarakan oleh Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Seminar yang diselenggarakan oleh sebuah badan resmi atau negeri itu ternyata banvak menarik perhatian, selain para ahli hukum Islam dan tokoh-tokoh keagamaan juga para pejabat pemerintahan. Sudah tentu sebagaimana diharapkan, Menteri Agama A. Mukti Ali memberikan sambutannya. Selain itu juga Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja dan Ketua Lembaga IImu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bachtiar Rivai. Dari kenyataan-kenyataan tersebut, dapatlah dibuat kesimpulan bagaimana dan di mana letak pentingnya seminar itu, yaitu pertama dari segi intern kaum Muslim sendiri, kedua dalam rangka kehidupan nasional Indonesia, dan ketiga dari sudut ilmu pengetahuan dan pengembangannya. Memang tempat yang tersendiri bagi segi hukum atau syariat dalam rangka keseluruhan agama Islam cukup menonjol dan mengesankan. Sehingga sejauh pengamatan dan pembahasan oleh “orang luar”, dalam hal ini terutama kaum orientalis Barat, banyak yang sedemikian terkesan oleh segi hukum dalam Islam itu dan membuat mereka mengambil kesimpulan yang tidak terlampau salah bahwa agama Islam adalah agama hukum! Maka sebagai agama hukum, dari ketiga agama “keturunan” Nabi Ibrahim as — yaitu Yahudi, Kristen dan Islam — agama Islam adalah mirip dengan agama Yahudi. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Tetapi sesungguhnya aspek hukum bukanlah segi yang paling utama dalam keseluruhan agama Islam, meskipun tidak boleh dikatakan tidak penting. Segi itu terutama tumbuh sebagai suatu keharusan bagi adanya ketertiban dan keteraturan masyarakat Muslim sendiri semenjak Nabi Muhammad saw membentuk masyarakat itu sebagai akibat adanya hijrah dari Makkah ke Madinah. Karena itu ajaran-ajaran mengenai hukum lebih banyak terjadi pada periode Madinah daripada Makkah. Adapun ajaranajaran pada periode Makkah lebih ditekankan kepada segi-segi pembentukan kepribadian dan transformasi kepribadian itu ke arah pembentukan karakter atau budi pekerti. Ajaran-ajaran pada periode Makkah bersifat lebih intens, padat dan bersemangat, serta titik tolaknya ialah nilai-nilai kemanusiaan yang intrinsik — dalam arti secara alamiah terdapat dalam diri manusia — dan inheren — dalam arti merupakan kualitas kemanusiaan secara permanen. Ajaran-ajaran itu dinyatakan dalam berbagai istilah keagamaan seperti “iman”, “takwa”, dan seterusnya, juga termasuk apa yang disebut dengan akhlâq karīmah atau budi pekerti luhur. Sedangkan segi hukum dapat dilihat sebagai kelanjutan atau perpanjangan yang bersifat keluar (eksoteris), yang diperlukan sekali khususnya dalam membina ketertiban hubungan sosial. Antara kedua segi itu terdapat perbedaan kualitatif. Karena ajaran-ajaran periode Makkah bertitik-tolak dari hal-hal yang bersifat inheren atau instrinsik kemanusiaan, maka ia tidak mengenal perubahan, bersifat abadi, mengatasi batasan-batasan ruang dan waktu (universal), dan malahan sesungguhnya juga mengatasi batasan-batasan antargolongan manusia. Hal itu berbeda dengan segi-segi hukum, yang sejarah perkembangannya sendiri dalam Islam menunjukkan bahwa ia terpengaruh oleh keadaan ruang dan waktu. Dari sebab itulah, bagi sebagian besar ulama Islam, terdapat konsep nâsikh-mansûkh (artinya: yang menghapuskan dan yang dihapuskan). Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah bahwa dalam perkembangan dan pertumbuhan hukum itu sendiri, sampai-sampai termasuk juga yang termaktub dalam al-Qur’an, D2E
F SEDIKIT CATATAN SEKITAR HUKUM ISLAM G
terjadi proses begitu rupa sehingga terdapat penghapusan hukumhukum lama oleh hukum-hukum baru. Pendapat ini memang ada yang menentangnya, lebih-lebih dalam kaitannya dengan al-Qur’an, tetapi sebegitu. jauh sebagian besar ulama Islam tetap mempertahankannya. Kenyataan-kenyataan tersebut perlu sekali diperhatikan, sebab pada saat ini tidak dapat dipungkiri adanya kesan kekakuan hukum Islam dan penolakannya bagi kemungkinan penyesuaian diri dengan perkembangan zaman. Memang sebenarnya telah banyak dan semakin tumbuh pendapat bahwa hukum Islam adalah “fleksibel” atau “luwes”. Dan Imam Syafi’i sendiri, yaitu salah seorang tokoh hukum Islam yang terkemuka dan merupakan “panutan” sebagian besar kaum Muslim Indonesia, mengenal adanya perkembangan pembentukan pendapat antara ketika ia tinggal di Irak dan ketika ia telah berpindah ke Mesir. Jika kepindahan dari Irak ke Mesir saja, dalam batas waktu umur seorang manusia, telah dibenarkan terjadinya perkembangan itu, maka bagaimana jika kepindahan itu terjadi dalam dimensi yang lebih besar: dari Arab ke Indonesia dan dalam jangkauan waktu tidak hanya puluhan tahun tetapi ratusan tahun? Namun toh pendapat-pendapat tentang keluwesan hukum Islam itu sedemikian jauh belum pernah terasa berfungsi secara nyata dalam kehidupan hukum (Islam) di tanah air kita. Sekalipun dari sekian banyak hukum Islam yang dijalankan orang di tanah air kita sedikit sekali, tetapi toh dari yang sedikit itu tidak ada kesan sentuhan proses dinamisasi dan transformasi. Hal ini perlu sekali diperhatikan jika memang dikehendaki diketemukannya relevansi antara hukum Islam dengan rising demand masyarakat Indonesia yang sedang membangun sebagaimana dikehendaki oleh seminar tersebut. [ ]
D3E
F PERKAWINAN: ANTARA PROKREASI DAN REKREASI G
PERKAWINAN: ANTARA PROKREASI DAN REKREASI Oleh Nurcholish Madjid
Akhir-akhir ini mulai ramai lagi didiskusikan orang tentang masalah-masalah sekitar perkawinan di negara kita. Hal itu mengiringi proses diwujudkannya sebuah undang-undang yang akan mengatur masalah pokok kehidupan kemasyarakatan oleh DPR. Menurut seorang Menteri yang berwenang, rintangan-rintangan yang dulu pernah menghalangi disahkannya undang-undang perkawinan itu kini sudah dapat teratasi. Tidak perlu diragukan lagi bahwa secara obyektif masyarakat menunggu-nunggu diundangkannya sebuah peraturan mengenai perkawinan. Dalam hal ini terutama yang lebih berkepentingan adalah golongan wanita, disebabkan merekalah yang sekarang merupakan pihak yang dirugikan oleh tidak adanya undang-undang tersebut. Hal itu tidak berarti bahwa di antara kaum pria tidak ada yang merasa berkepentingan terhadap undang-undang itu, tetapi relatif lebih kecil bila diukur dari segi kepentingan subyektifnya. Sedangkan secara universal semua orang tentu berkepentingan atas setiap usaha yang menuju kepada penghormatan harkat kemanusiaan yang lebih maju. Sebuah bahan diskusi sekitar masalah perkawinan itu yang untuk sebagian orang sudah dianggap kuna tetapi toh sudah dan akan muncul di tengah-tengah masyarakat ialah soal poligamimonogami. Meskipun Menteri yang kita singgung di muka tadi juga menyempatkan diri untuk memberi keterangan tentang D1E
F NURCHOLISH MADJID G
dimasuk kannya kemungkinan diperbolehkannya melakukan perkawinan poligami dengan terlebih dahulu memenuhi syaratsyarat yang ditetapkan, tetapi adalah wajar sekali — dilihat dari segi perkembangan kemanusiaan — untuk mempertanyakan apakah sistem poligami itu secara esensial masih dapat diakui sebagai sesuatu yang bersifat kemanusiaan. Jika sebuah jawab positif diajukan karena orang dengan begitu saja menunjuk kepada kejadian-kejadian masa lampau, dalam hal ini khususnya yang dilakukan oleh orangorang saleh terutama nabi-nabi, maka mungkin diperlukan suatu penilaian yang tepat terhadap kejadian dalam sejarah menurut batasan-batasan ruang dan waktu yang ada. Tegasnya, untuk dapat membuat keputusan yang tepat tentang sesuatu masalah, kiranya orang memerlukan pengertian sejarah yang tepat. Jelas tidaklah suatu kejadian dalam sejarah yang memiliki konteks tersendiri akan selalu berlaku untuk seluruh zaman. Sebetulnya masih dapat diselidiki apakah pembelaan kepada sistem perkawinan poligami sungguh-sungguh berdasarkan alasanalasan yang dikemukakan secara formal atau karena alasan-alasan yang sama sekali lain? Umpamanya saja alasan politik, dalam arti bahwa sebenarnya seseorang membela sebuah nilai karena mengharapkan implikasi sosial-politiknya berupa pengesahan atau legitimasi kepemimpinannya? Atau barangkali, mudah-mudahan saja tidak, karena dorongan-dorongan yang lebih subyektif, yaitu keleluasaan dalam cara-cara memenuhi kebutuhan biologis dengan rasa aman secukupnya karena “dibenarkan� menurut hukum? Sebab tidak lagi merupakan rahasia bahwa dalam masyarakat selalu terdapat pergeseran penilaian terhadap hubungan seks, inti perkawinan, dari tujuan prokreasi menjadi rekreasi. Dalam penilaian hubungan seks sebagai bertujuan prokreasi atau memperoleh keturunan terkandung penghargaan yang tertinggi kepada kelengkapan alamiah manusia itu. Sebab tanpa hubungan seks, pengembangan umat manusia akan terhenti dengan segala akibatnya yang menyangkut peradaban. Menurut ajaran agamaagama, khususnya Islam, manusia adalah makhluk Tuhan yang D2E
F PERKAWINAN: ANTARA PROKREASI DAN REKREASI G
termulia. Manusia adalah suci atau diciptakan dalam kesucian. Karena itu hubungan seks yang dihargai sebagai bernilai prokreatif jelas mempunyai nilai kesucian. Dalam hal ini pulalah perkawinan harus dipahami. Tetapi adalah suatu kenyataan alamiah bahwa hubungan seks juga mempunyai kegunaan-kegunaan lain di luar prokreasi. Aktivitas seksual itu, semata-mata karena merupakan suatu pemenuhan kebutuhan, mempunyai arti positif pula secara psikologis. Dengan sendirinya adalah berbeda antara orang yang terpenuhi kebutuhannya dan yang tidak secara psikologis. Maka penilaian kepada hubungan dari segi ini wajar sekali, sehingga agama-agama pun mengakuinya. Agama Islam umpamanya menganggap perkawinan itu hampir wajib atau sunnah mu’akkad, bukan karena berketurunan itu wajib, tetapi terutama berkenaan dengan masalah pemenuhan kebutuhan seksualnya, di samping keharusan adanya unit keluarga sebagai sel organisme sosial kehidupan manusia. Tetapi ekses dari penilaian kedua kepada kegiatan seks itu ialah penghargaan kepada hubungan seks sebagai semata-mata bernilai rekreatif. Dalam seks sebagai rekreasi segala omongan tentang emansipasi wanita ibarat embun ditimpa sinar matahari. Sebab dalam dunia nite club, steambath, massage parlor, ataupun apalagi prostitusi, supremasi dipegang oleh kaum pria, sedangkan kaum wanita di situ hanyalah “mengabdikan diri”. Oleh karena nilai dasar suatu undang-undang perkawinan adalah menjunjung tinggi martabat kemanusiaan maka segala aspek itu kiranya akan tercakup. Pada waktu sekarang, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang ideal ialah yang terjadi dalam suatu perkawinan monogamis, disertai pengekangan diri sendiri oleh masing-masing pihak dari kemungkinan “menyeleweng”. Atau apakah memang ada jalan keluar lain yang betul-betul jujur, ikhlas dan tidak hipokrit? [ ]
D3E
F UNDANG-UNDANG PERKAWINAN G
UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh Nurcholish Madjid
Berita yang menarik perhatian dalam beberapa hari terakhir ini ialah apa yang terjadi sekitar Rencana Undang-undang Perkawinan. Lebih-lebih lagi berita adanya demonstrasi pada sidang DPR (pilihan rakyat) ketika mendengarkan jawaban pemerintah atas pemandangan umum anggota-anggota. Demonstrasi itu dilakukan oleh anak-anak muda, dengan tuntutan agar RUU itu dicabut. Membaca atau mendengar berita itu tentu mengingatkan orang kepada peringatan Wapangkopkamtib Sudomo tentang SARA yang peka dan berbahaya. Dan tentu orang segera menggolongkan kegiatan demonstrasi tersebut sebagai pelanggaran atas peringatan pejabat itu. Entahlah tindakan apa yang akan diambil oleh yang berwajib atas pelaku-pelaku demonstrasi itu. Tetapi jika diingat bahwa demonstran gundul sorangan wan Farouk Afero hanya berkenaan dengan persoalan film nasional di depan balaikota saja sudah membuatnya diinterogasi, maka — jika analog ini berjalan — dapatlah diterka apa yang akan dialami oleh demonstran yang tidak sorangan wae (massal), dalam gedung DPR, dan tentang masalah dalam unsur SARA (perkawinan termasuk satu daerah garapan agama) dengan disertai yel-yel “panggilan berjuang” tersebut. Sudah tentu tidak ada salahnya dalam peringatan Sudomo. Semua kita setuju. Tetapi timbul pertanyaan: Apakah peringatan itu ditujukan kepada mereka yang termasuk ke dalam golongan para demonstran penentang RUU Perkawinan itu — antara lain D1E
F NURCHOLISH MADJID G
— ataukah kepada mereka yang menciptakan biang keladinya? Sebab tidaklah sesulit memecahkan teka-teki mana yang lebih dulu — telur atau ayam — demonstrasi tersebut adalah reaksi atas munculnya RUU yang merupakan aksi. Memang mengherankan bahwa dalam segi-segi yang lain — untuk kepentingan stabilitas dan keamanan — pemerintah begitu berhati-hati dalam soal-soal yang menyangkut agama, tetapi dalam soal RUU itu dapat “kecolongan” begitu besarnya. Ukuran “kecolongan” yang berkonotasi negatif di sini bagi penulis bukanlah teologi murni (bisa sangat kontroversial intern suatu agama sendiri), tetapi dari segi sosiologi agama, yaitu nilai-nilai agama yang secara konkret telah disosialisasikan oleh para pemeluknya di Indonesia ini. Sebetulnya pemerintah tidak perlu kecolongan sampai ke tingkat ini kalau saja meniru orang-orang Belanda penjajah dulu, yaitu mempunyai penasihat-penasihat urusan keagamaan. Sebab jika seseorang memahami agama sebagaimana apa yang ada pada masyarakat Indonesia tentu mengetahui secepat ia membaca RUU itu bahwa ada hal-hal yang amat sensitif dan memancing reaksi besar. Sayang sekali bahwa kejadian-kejadian yang dapat merugikan gambaran diri (image) pemerintah, itu terjadi pada saat-saat menjelang diakhirinya Pelita I. Dulu, ketika persoalan beras muncul, orang begitu keras mengkhawatirkan akibatnya yang akan mempertipis kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, sebab isu beras itu timbulnya pada saat menjelang Pelita I disudahi. Sekarang, dengan RUU Perkawinan yang telah terlanjur menimbulkan opini, di mana pertimbanganpertimbangan keagamaan kurang diperhatikan pemerintah, apakah tidak akan mengurangi kepercayaan orang banyak terhadap kemauan baik dan adil pemerintah kepada kehidupan keagamaan? Mana yang lebih berbahaya diukur dari norma ketertiban dan keamanan — orang sekadar kurang kenyang karena tidak dapat makan sebanyak dikehendaki (sebab beras mahal) atau orang yang kehilangan rasa keamanan agama? Maka sebetulnya peringatan D2E
F UNDANG-UNDANG PERKAWINAN G
Sudorno — seperti saran Kompas dalam sebuah tajuknya — berlaku dun seharusnya ditujukan kepada semua pihak secara two-way traffic communication ala Pak Mashuri, yaitu antara pemerintah dan masyarakat. Sekarang bagaimana jalan keluarnya? Sebuah UndangUndang Perkawinan jelas diperlukan oleh masyarakat kita. Apalagi ditinjau dari segi kepentingan kaum wanita, dalam UUP itu terdapat nilai perjuangan yang sudah puluhan tahun umurnya. Tetapi masyarakat pada umumnya, termasuk juga kaum wanita di dalamnya, menghendaki agar suatu UUP kalau dapat merupakan pencerminan nilai-nilai asasi keagamaan mereka, sekurang-kurangnya tidak menyimpang apalagi bertentangan dengan nilai-nilai itu. Maka sebetulnya jalan keluar yang dapat ditempuh mudah saja. Jika RUU sekarang ini yang menjadi titik-tolak, maka hal-hal yang dianggap bertentangan dengan nilai hak asasi agama tidak perlu dimasukkan. [ ]
D3E
F PESANTREN-PESANTREN KITA G
PESANTREN-PESANTREN KITA Oleh Nurcholish Madjid
Konon kabarnya ketika pada awal abad ini Pemerintah Negeri Belanda tidak mampu menahan arus gerakan perikemanusiaan dan perbaikan nasib atau aufklarung yang melanda Eropa Barat dan mempengaruhi antara lain anggota-anggota parlemen atau volksraad Belanda, sebuah kebijaksanaan baru lalu disusun dalam hubungannya dengan jajahannya di timur, yaitu Hindia Belanda. Kebijaksanaan baru itu ialah yang kemudian terkenal dengan politik etis. Salah satu perwujudannya ialah didirikannya sekolah-sekolah untuk pribumi yang lebih bersifat umum atau massal daripada sebelumnya. Sekalipun telah dinamakan “politik etis”, namun bau kolonialnya masih tetap terasa. Antara lain sistem penerimaan muridnya yang diskriminatif berdasarkan kriteria strata sosial. Dan lebih penting lagi ialah sifat dan tujuan pendidikan itu sendiri, yang untuk sebagian besar masih bersifat dukungan atau penunjangan kepada tujuan-tujuan kolonialis Belanda. Satu segi adalah apa yang sering dikemukakan oleh para ahli pendidikan kita bahwa tujuan dan sifat pendidikan itu sedemikian rupa sehingga hanya mampu mencetak calon-calon pegawai yang bakal mengisi eselon-eselon menengah ke bawah dalam piramida sistem administrasi Hindia Belanda. Maka tidak mengherankanlah kiranya jika “produksi” sistem pendidikan kita sekarang pun masih sangat “pegawai-oriented”, hal mana merupakan salah satu sumber problem nasional kita. Keadaan itu menyebabkan semakin terasanya keharusan menemukan sistem D1E
F NURCHOLISH MADJID G
pendidikan baru yang benar-benar bersifat nasional (bukan kolonial) dan mendukung pelaksanaan cita-cita nasional. Sebab diinsaďŹ benar oleh yang bersangkutan bahwa untuk sebagian besar sistem pendidikan kita sekarang ini merupakan kelanjutan sistem yang ada di zaman kolonial. Dalam keadaan itulah orang mulai teringat dan tertarik kepada pesantren-pesantren. Pesantren-pesantren mulai ditinjau dan dinilai sebagai sesuatu yang bersifat asli (indigenous) Indonesia, dan dihipotesiskan sebagai sesuatu yang dapat dijadikan alternatif terhadap sistem yang ada. Sudah tentu kesemuanya itu masih berada dalam taraf permulaan, sehingga belum mungkin mengambil keputusan yang mantap pada saat ini. Salah satu segi yang biasanya dinilai sebagai segi positif dalam sistem pendidikan pesantren ialah terbebasnya para anak didik dan lulusannya dari semangat kepegawaian. Bagi mereka, menjadi pegawai (negeri) adalah sesuatu yang asing, yang seolah-olah merupakan porsi orang-orang lain. Mereka tidak saja merasa tidak berhak atas porsi itu, tetapi yang lebih menonjol lagi ialah perasaan tidak dibenarkan mendapatkannya. Bahkan pada dasarnya mereka bersikap memusuhi (hostile) terhadap apa saja yang bersangkutan dengan kepegawaian atau kepriyayian, mengingat asosiasinya dengan politik Belanda dahulu. Kiranya hal ini wajar sekali jika diukur dari salah satu sebab pertumbuhan dan perkembangan pesantrenpesantren dan madrasah-madrasah. Menurut suatu tinjauan, faktor yang mendorong tumbuhnya pesantren dan madrasah sebegitu pesatnya sekarang ini, antara lain, adalah justru adanya sekolahsekolah pemerintah yang dimulai oleh politik etis tersebut tadi. Para ulama yang sikap antinya kepada Belanda merupakan yang sudah built in dalam sistem nilai mereka, memandang perlu “menyaingiâ€? sekolah-sekolah Belanda dengan sistem pendidikan lain yang kelak diharapkan mampu memproduksi tokoh-tokoh “kontra eliteâ€?. Maka konsekuensinya ialah bahwa mereka anti kepegawaian, sekurangkurangnya tidak menjadikannya tujuan dalam sistem pendidikan mereka. Dalam keadaan secara ekonomis independen dan mandiri itu D2E
F PESANTREN-PESANTREN KITA G
dengan sendirinya mudah timbul dorongan-dorongan dan inisiatifinisiatif yang melahirkan jiwa kepengusahaan (enterpreneurship). Tetapi ada dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan pesantren ini. Pertama, sistem antipemerintah yang semula ditujukan kepada kolonialis Belanda itu boleh jadi berlarut-larut sampai masa kemerdekaan ini. Sebabnya antara lain ialah bahwa lapisan elite sekarang ini pun sebagian besar masih terdiri dari mereka yang berpendidikan hasil politik etis. Sehingga artikulator resmi masih berada di tangan mereka, hal mana menyebabkan tumbuhnya rasa tersisih serta hilangnya sense of belonging pada pihak kalangan pesantren. Kedua, orientasi pesantren yang positif (yaitu orientasi bukan kepegawaian) untuk sebagian besar masih bersifat alamiah atau kebetulan. Maka perlu pemantapan dan pengarahan yang lebih sadar serta teratur, dengan sekaligus memberi perbekalan dalam menghadapi lingkungan hidup yang semakin dipermodern ini. [™]
D3E
F PERMASALAHAN UMUM YANG DIHADAPI PESANTREN G
PERMASALAHAN UMUM YANG DIHADAPI PESANTREN Oleh Nurcholish Madjid
Lepas dari persoalan analisis sejarah apakah pesantren merupakan kelanjutan dari sistem gilda para pengamal tasawuf di Indonesia dan Timur Tengah pada masa lalu atau merupakan wujud dari sistem pendidikan Hindu-Budha yang telah terislamkan, namun kini orang telah banyak yang mulai mengakui bahwa pesantren, ditambah lagi dengan madrasah, sudah merupakan suatu kenyataan hidup di bumi Indonesia. Bahkan berbeda dengan perkiraan resmi sebelumnya, peranan dan kedudukan pesantren di masyarakat ternyata jauh lebih besar, kuat dan penting. Kesadaran yang mulai tumbuh mengenai pesantren itu sering disertai dengan sikap apresiatif secukupnya. Misalnya dengan memberi penilaian bahwa sistem pesantren merupakan sesuatu yang bersifat “asli� (indigenous) Indonesia, sehingga dengan sendirinya bernilai positif dan harus dikembangkan. Penilaian itu menempatkan dunia pesantren pada deretan daftar perbendaharaan nasional, dan menumbuhkan pengakuan akan peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan pendidikan nasional. Namun toh tidak menghilangkan kemungkinan penilaian resmi yang pincang (sekurang-kurangnya sebagai sisa masa lalu). Misalnya dalam pembicaraan atau penulisan resmi, hampir tidak terdapat penyebutan pesantren sebagai unsur pokok atau salah satunya dalam sistem pendidikan nasional, malahan juga tidak menandingi penilaian D1E
F NURCHOLISH MADJID G
organisasi-organisasi pendidikan lainnya dalam hal sumbangannya kepada sistem pendidikan nasional. Hal itu tampaknya karena pesantren dilihat sebagai berada di luar “jalur resmi” atau “standar” dalam hal pendidikan, dan dilihat sebagai gejala yang seolah-olah seharusnya tidak boleh terjadi. Sebab yang “resmi” dan “baku” atau “standar” ialah apa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu sistem dan filsafat pendidikan tertentu yang kini dikenal sebagai “sekolah” atau lebih populer disebut sebagai “sekolah umum”. Namun, kembali kepada apa yang disebutkan tadi, syukurlah bahwa kecenderungan yang lebih positif sekarang mulai tampak di ufuk dunia pemikiran para sarjana kita, khususnya di bidang pendidikan dan kebudayaan. Pesantren sendiri dalam melihat dirinya, seperti dapat diduga, terbagi ke dalam berbagai kelompok. Untuk penyederhanaan, kita sebutkan saja beberapa kelompok yang perlu di sini. Pertama, adalah kelompok yang merupakan bagian terbesar, yaitu kelompok pesantren yang tidak menyadari dirinya, apakah bernilai baik atau bernilai kurang baik. Mereka menganggap saja bahwa apa yang terjadi adalah terjadi begitu saja, tanpa ada persoalan yang serius menyangkutnya. Kedua, adalah kelompok menurut anggapan seorang “zealot” atau fanatikus yang begitu saja menilai bahwa pesantren dengan segala aspeknya adalah pasti positif dan mutlak harus dipertahankan. Ketiga, adalah kelompok yang kehinggapan perasaan rendah diri, dan menumbuhkan sikap-sikap dangkal dalam “mengejar” ketinggalan zamannya, sehingga akhirnya merusak dirinya sendiri dan identitas keseluruhannya. Dan keempat, mungkin yang paling sedikit jumlahnya, adalah pesantren yang sepenuhnya menyadari dirinya sendiri baik dalam hal-hal yang berkaitan dengan segi-segi positif maupun negatif, sanggup dengan jernih melihat mana yang harus diteruskan dan mana yang harus ditinggalkan, dan karenanya memiliki kemampuan adaptasi yang positif pada perkembangan zaman dan masyarakat. Adapun peranan pesantren di masa lampau tampaknya terlalu banyak untuk diceritakan atau dibahas segi-segi positifnya. Maka D2E
F PERMASALAHAN UMUM YANG DIHADAPI PESANTREN G
biarkan hal itu merupakan suatu kesaksian sejarah yang mencatat tanpa salah berkaitan dengan kebajikan yang telah dibaktikan oleh para ulama kita. Sebab sebagai anak zaman, maka pesantren lahir pada zamannya yang tepat, dan karena amat fungsional dalam memberi jawaban terhadap tantangan-tantangan zaman, misalnya dalam menghadapi penetrasi asing kolonial, baik dalam bidang politik maupun bidang sosial-budaya. Tetapi peranan pesantren masa kini, apalagi masa mendatang, adalah peranan dalam menjawab tantangan yang membuatnya berada di persimpangan jalan. Yaitu persimpangan antara meneruskan peranan yang telah diembannya selama ini atau menempuh jalan menyesuaikan diri sama sekali dengan keadaan. Yang dimaksud dengan yang kedua itu ialah keikutsertaan sepenuhnya dalam arus pengembangan ilmu pengetahuan (modem), termasuk di dalamnya bagian yang merupakan ciri utama kehidupan abad ini, yaitu teknologi. Dalam melihat kemungkinan peranan pesantren di masa depan, ada baiknya kita mengingat sejenak “riwayat� pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya pada asal-mulanya semua cabang ilmu pengetahuan adalah berpangkal pada ilmu agama. Lembaga-lembaga ilmiah di Barat, yaitu universitas-universitas, sebagian besar bersemai dari pokok lembaga keagamaan, katakanlah “pesantren� Kristen. Tetapi karena terkena hukum besi perkembangan dan diferensiasi, ilmu pengetahuan akhirnya bersikap independen atau sedikitnya otonom dari teologi, dan menempuh jalan pertumbuhannya sendiri sehingga tak lagi berada dalam kekuasaan kontrol agama (Kristen). Ibarat sebuah busur, gereja telah melepaskan anak panah ilmu pengetahuan, namun sayangnya anak panah itu melesat begitu hebat sehingga tidak lagi dapat diketemukan kembali. Maka, mungkin saja dalam hubungannya dengan tugas pengembangan ilmu pengetahuan ini nasib pesantren Islam di Indonesia akan sama dengan nasib gereja dan seminari Kristen di Eropa. Atau apakah memang terdapat perbedaan prinsipil dalam hal pandangandunia Islam dan Kristen sehingga lembaga-lembaga keislaman tidak D3E
F NURCHOLISH MADJID G
akan menderita nasib malang seperti lembaga-lembaga kekristenan? Ini adalah pertanyaan yang jawabannya pastilah tidak sederhana, khususnya jika memang dikehendaki penilaian yang murni, apa adanya, dan tidak bersifat ninabobo. Meskipun ilmu pengetahuan dan teknologi masih kuat berada dalam kekuasaan dan genggaman tangan orang-orang Barat, tetapi karena efeknya telah begitu keras menguasai kehidupan seluruh umat manusia secara mondial, maka kita di Indonesia selain kebagian nangkanya juga tak luput dari getahnya, yaitu ekses-ekses negatif darinya. Hal itu menyeret seluruh umat manusia, dengan sendirinya termasuk kita bangsa Indonesia, ke persoalan bagaimana menempatkan kembali ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam daerah pengawasan nilai agama atau moral dan etika. Begitu imperatifnya tantangan ini sehingga kegagalan dalam menjawabnya akan berarti membiarkan dunia dan umat manusia secara perlahan atau cepat meluncur ke dalam jurang kehancuran. Ataukah memang begitu tafsiran eskatologis kita sebagaimana termuat dalam al-Qur’an? Kita tentu merasa keberatan jika dikatakan bahwa pesantren tidak sepenuhnya mampu dalam mengemban tugas keilmuan. Tetapi saya kira kita lebih keberatan lagi — atau begitulah seharusnya — jika dikatakan bahwa pesantren telah kehilangan keampuhannya dalam menunaikan tugas moralnya. Sebab sebagai sumber nilai, agama yang ditekuni oleh pesantren terutama berfungsi dalam pengembanan tugas moral. Dan tampaknya begitulah yang sekarang ini sedang berjalan. Tetapi, kalaupun pesantren telah mantap pada dirinya dengan peranan selaku pengemban amanat moral, dan mantap pula dalam menyerahkan pengembanan amanat ilmu kepada lembaga lain, misalnya “sekolah umum�, namun toh hal itu tidak berarti pesantren telah terlepas dari persoalan zaman. Primer ialah bagaimana menyuguhkan kembali isi pesan moral yang diembannya kepada masyarakat abad ini begitu rupa sehingga tetap relevan dan mempunyai daya tarik. Tanpa relevansi dan daya tarik itu kemempanan dan keampuhan atau efektivitas tidak dapat diharapkan. Ibarat rokok, isinya boleh dan mungkin malah harus D4E
F PERMASALAHAN UMUM YANG DIHADAPI PESANTREN G
tetap kretek, sebab ternyata lebih sehat dari jenis cigarette dan mampu mengisi selera dunia. Tetapi toh harus dipikirkan bagaimana membungkusnya dan menggulungnya lebih baik, apalagi lebih higienis, sehingga mempunyai hak hidup pada zaman sekarang karena memenuhi standar yang dituntutnya. Sekunder ialah problem yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan modern, yaitu bagaimana menguasai sesuatu yang kini berada di tangan orang lain. Lebih buruk lagi kemungkinannya jika pesantren telah berketetapan hati dan mantap memilih peranan moral saja, tetapi tidak disertai dengan usaha peningkatan mutu penyuguhan (ini pun bertolak dari asumsi bahwa dari segi isi sudah tidak ada persoalan lagi!). Maka yang akan terjadi ialah semakin lemahnya hak hidup pesantren di tengah-tengah kehidupan abad ini, untuk kemudian tidak diakui sama sekali dan lenyap. Tidak mudah mengatakan apakah hal itu akan menguntungkan atau merugikan, atau menunjuk siapa yang untung dan siapa yang rugi (misalnya dapat dikiaskan dengan kasus lenyapnya kesultanan-kesultanan di Indonesia sekarang), tetapi jelas nama “pesantrenâ€? dengan segala aspeknya akan menjadi tinggal kenangan lama saja. Maka dari itu, yang akan tampak sebagai suatu kemungkinan bagi masa depan pesantren ialah pengembanan amanat ganda (double missions), yaitu amanat keagamaan atau moral dan amanat ilmu pengetahuan sekaligus dan serentak. Tuntutan utama pelaksanaan amanat ganda ini ialah eďŹ siensi yang menyangkut: (1) Penggunaan waktu, dana dan daya (juga ruang) dengan sebaikbaiknya. Logisnya faktor-faktor itu harus dipergunakan dua kali lipat lebih efektif daripada yang sekarang ini. (2) Mungkin streamlining apa yang diperlukan sebagai pengetahuan agama. Barangkali hal ini tidak perlu mengenai isi atau materi, tetapi metode atau cara penyampaian dalam pengajaran misalnva. Juga menyangkut pengintensifan segi-segi yang bersifat pembentukan watak dan penciptaan suasana keagamaan. D5E
F NURCHOLISH MADJID G
(3) Dan mungkin pula pemilihan yang tepat tentang ilmu pengetahuan mana yang terdekat dalam jangkauan penguasaan, lebihlebih dikarenakan desakan keperluan. Ini relatif mudah, tinggal melihat saja dan membaca perkembangan masyarakat sesuai dengan ruang dan waktunya. Akhimya barangkali ada sangkut-pautnya dengan persoalan kita sekarang ini untuk mengingat-ingat dan merenung-renung peringatan dalam al-Qur’an bahwa “adapun buih maka akan lenyap tak berbekas, adapun sesuatu yang berguna untuk umat manusia maka akan tetap menghunjam di bumi,” (lihat Q 13:17). [ ]
D6E
F FIGUR SEORANG KIAI G
FIGUR SEORANG KIAI Oleh Nurcholish Madjid
Seorang kiai memperoleh kedudukan sosial dan wibawanya dari bermacam-macam cara. Tetapi umumnya pola kepemimpinan yang dipunyainya adalah pola kepemimpinan karismatik. Kekuatannya terletak pada kemantapannya terhadap diri sendiri yang melahirkan suatu kepribadian yang penuh magnetisme. Dengan kepribadian yang kuat itu, ia menghimpun orang banyak di sekelilingnya. Mulamula dari kalangan terdekat di sekitar tempat kediaman kiai, tetapi kemudian menjalar dan mencapai tempat-tempat yang jauh. Sifat-sifat menonjol itu terutama diketemukan pada kiai perintis. Kiai (Abah) Falak dari Pagentongan adalah jenis pemimpin karismatik itu. Dari seorang keturunan keluarga terhormat atau bangsawan di Pandeglang (Banten), kemudian mengalami kesempatan menuntut ilmu di Makkah sampai beberapa tahun dan beberapa kali pulang-pergi, dan setelah beberapa lama menetap di tempat kelahirannya guna memimpin sebuah pesantren peninggalan ayahnya, Abah Falak memilih desa Pagentongan sebagai tempat pengabdiannya yang tetap dan menjalankan peranan sebagai pemimpin masyarakat Islam yang sangat disegani. Mula-mula beliau memimpin masyarakat dalam usaha pembersihan pengaruh para jawara atau jagoan yang selalu menimbulkan keonaran serta memberantas praktik-praktik pedukunan yang merugikan orang banyak, kemudian beliau menampilkan diri sebagai tokoh yang melakukan banyak peran. Pada suatu saat, beliau bertindak sebagai “konsultan�, pada saat lain sebagai pemimpin pergerakan, D1E
F NURCHOLISH MADJID G
kadang-kadang sebagai pemimpin keruhanian (tasawuf, dengan menjalankan tarekat), bahkan juga sebagai tempat mengikhtiarkan kesembuhan penyakit (jadi semacam dukun juga atau dokter nonmedis). Tetapi sudah tentu peranannya selaku mu‘allim atau pengajar ilmu pengetahuan agama adalah yang paling penting. Beliau mengajarkan beberapa kitab agama, dan dengan itu beliau menarik santri-santri yang tidak sedikit jumlahnya dan berasal dari tempat-tempat yang jauh. Tidak ada kejadian yang dengan begitu jelas memberikan gambaran berapa luas daerah pengaruh Pesantren Pagentongan selain peristiwa wafatnya Abah Falak sendiri. Selain dihadiri oleh para tokoh ulama, para pejabat tertinggi dari Jawa Barat pun datang memberikan belasungkawanya. Memang semasa hidupnya, Abah Falak menjadi salah satu pusat kunjungan para pejabat negara. Bung Karno beberapa kali datang kepada beliau untuk bermacam-macam keperluan. Demikian juga banyak pejabat tinggi pemerintah pusat lainnya dan tokoh-tokoh militer. Rakyat banyak berdatangan kepada Abah Falak adalah untuk mendapatkan pertolongan sehubungan dengan keahlian beliau dalam apa yang disebut ilmu hikmah. Lepas dari isi ilmu itu, namun suatu kenyataan ialah bahwa beliau telah memenuhi satu fungsi dalam masyarakat yang amat dibutuhkan orang banyak, yaitu sebagai tempat mengadukan keluhan, persoalan-persoalan hidup dan seterusnya. Dan kiai pada gilirannya akan memberikan nasihat-nasihat, petunjuk-petunjuk dan harapan-harapan. Peranan ini sesungguhnya adalah yang paling berfungsi secara sosial dari seorang kiai, yang dalam masyarakat modem hanya digantikan oleh pemeran-pemeran dalam bentuk dan nama lain seperti psikiater, dokter dan penasihat-penasihat lainnya. Pengaruh kiai juga diwujudkan dalam bentuk pelembagaanpelembagaan di dalam dan di sekitar pesantren. Pelembagaan itu ialah majelis-majelis taklim atau pengajian-pengajian. Setiap pagi dan sore diadakan pengajian-pengajian dengan memakai kitabD2E
F FIGUR SEORANG KIAI G
kitab tertentu seperti Fath al-Mu‘īn dan Tahrīr dalam ilmu fiqih, serta Jalâlayn dalam tafsir al-Qur’an. Pengajian ini untuk santri, baik sorogan maupun bandongan. Pada hari-hari Selasa dan Kamis, diadakan pengajian yang lebih terbuka untuk pria dan wanita, dengan Ustaz H. Hassan Mustafa sebagai pengajar, bertempat di bangunan semacam pendopo depan makam Abah Falak. Di kampung-kampung sekitar pesantren pada malam-malam Minggu, Senin dan Jumat diadakan pengajian untuk umum, dengan ustaz-ustaz yang bergantian mengajar. Di samping itu juga ada pengajian belajar membaca al-Qur’an dengan lagu dan pengenalan teori-teori bacaan yang tujuh macam banyaknya. Sebagai pesantren induk, pengaruh Pagentongan juga terasa di pesantren-pesantren lainnya. Beberapa pesantren di Bogor dan sekitarnya adalah benar-benar merupakan pohon yang tumbuh dari bibit Pagentongan. Seperti semua ulama dan santri, para kiai dan ustaz serta santri Pagentongan adalah pengikut partai politik Masyumi, khususnya pada tahun-tahun sebelum tahun 1950. Kemudian setelah NU memisahkan diri dari Masyumi pada tahun 1952, Pagentongan — sangat logis — memilih untuk berpihak kepada NU. Pada tahun itu juga didirikan NU cabang Bogor dengan mengambil tempat di Pagentongan. Dalam peresmian itu, hadir tokoh-tokoh NU, khususnya dari Pengurus Besar seperti KH Abdul Wahid Hasyim, KH Saifuddin Zuhri, dan lain-lain. Memilih Bogor sebagai tempat peresmian berdirinya partai kaum ulama itu sudah menunjukkan sampai di mana arti pentingnya pesantren itu beserta para tokohnya. Dan seperti juga dengan pesantren-pesantren lain, Pagentongan juga secara sempurna berhasil mencegah perkembangan Golkar yang mendapat dukungan aparatur pemerintah, baik untuk kalangan dalam pesantren sendiri maupun untuk masyarakat sekitarnya. Gerakan pemuda Ansor yang amat kuat dan efektif di Bogor juga dipimpin oleh kalangan pesantren ini. Dalam hal ini yang menonjol ialah salah seorang putri Kiai Aceng sendiri (cucu Abah Falak) D3E
F NURCHOLISH MADJID G
yang menjadi salah seorang pimpinan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII, organisasi kemahasiswaan bawahan NU) cabang Bogor yang sangat aktif. Tetapi agaknya dari segi pendidikan, putra dan keturunan Kiai Falak kurang mendapatkan pengarahan yang mantap. Kiai Aceng sendiri, satu-satunya putra Abah Falak, dengan penuh penyesalan menceritakan tentang kegagalannya pergi ke Mesir ketika beliau masih seorang pemuda yang bermukim di Makkah bersama kedua orangtuanya. Betapapun, Mesir dengan al-Azhar-nya, lebih-lebih di masa lalu, menempati status simbol yang tertinggi dalam dunia ilmu keagamaan. Halangan pemuda Aceng untuk pergi ke Mesir bersama beberapa orang kawannya yang kini menjadi ulama-ulama besar adalah karena kenyataan bahwa dia adalah satu-satunya anak kesayangan ayah-ibunya. Terutama ibunya, seperti biasa, adalah “terlalu sayang” kepada putra tunggalnya itu dan tidak rela untuk berpisah. “Beginilah jadinya kalau menjadi anak yang terlalu disayangi orangtua; tidak akan menjadi orang pandai!” demikian keluh Kiai Aceng. “Kalau seandainya saya dulu jadi ke Mesir tentu saya akan menjadi orang pandai seperti kawan-kawan saya dulu!” katanya. Sekalipun begitu, pada Kiai Aceng terdapat syarat-syarat sebagai seorang kiai. Pertama dan terutama ialah faktor keturunan. Kedua, meskipun ia gagal ke Mesir, latar belakang pendidikannya di madrasah “Shaulathiyah” di Makkah sudah cukup merupakan perlengkapan segi keilmuan baginya. Sudah tentu seperti beliau keluhkan sendiri, pengetahuan Kiai Aceng tidaklah sebanyak dan seluas kiai-kiai tingkat “nasional” lainnya seperti K.H. Ahmad Dahlan (salah seorang koleganya), dan lain-lain. Pada giliran putra-putra Kiai Aceng sendiri, pengarahan pendidikan ini pun masih kurang terasa kuat. Putra beliau yang tertua, Kiai Saleh, adalah yang paling lumayan pendidikannya serta peranannya. Tetapi sayang, beliau meninggal dalam usia yang masih sangat muda. Salah seorang putrinya (sebagaimana disebutkan di atas) juga menunjukkan gejala-gejala “akan menjadi D4E
F FIGUR SEORANG KIAI G
manusia besar”. Tetapi untuk kedua kalinya Kiai Aceng menerima percobaan Tuhan dengan meninggalnya putri itu dalam usia remaja. Kini yang tampak aktif memimpin pesantren bersama-sama yang lain ialah H. Makmun, salah seorang putranya juga. Namun ia sering juga mengeluh tentang pendidikannya yang kurang mantap, meskipun sebetulnya masih sangat muda untuk menjadi kiai. Sedangkan putra-putranya yang lain tidak menampakkan minat yang cukup kuat kepada dunia kepesantrenan. Tetapi Kiai Aceng agaknya sangat berharap kepada putranya yang bungsu yang kini sedang menuntut ilmu di Makkah. Mungkin harapan Kiai Aceng akan terpenuhi, melihat dukungan-dukungan yang diberikan oleh kalangan keluarganya kepada putra bungsu itu. Tetapi sebetulnya dalam pesantren Pagentongan terdapat tokoh yang lain sebagai pemangku tanggung jawab jalannya pengajian dan pendidikan pesantren. Beliau adalah Kiai Yusuf Ismail al-Jasir. Beliau telah pergi ke Makkah dibawa ibunya ketika masih dalam penyusuan, kemudian dibesarkan di sana. Kembali ke tanah air dalam usia belasan tahun setelah menamatkan pendidikan pada madrasah “Shaulathiyah” tingkat dasar. Sudah tentu setibanya di tanah air beliau mengalami kesulitan dari segi bahasa. Hal itu memaksanya belajar dan mengaji secara sungguh-sungguh di beberapa pesantren di Banten dan Jawa Barat umumnya. Beliau berhasil dalam usahanya itu, dan pulang kembali ke Pagentongan dengan perlengkapan keilmuan yang lebih dari cukup, kalau tidak harus dikatakan sangat memadai. Hal itu terbukti dari beberapa karangan beliau dalam bahasa Arab dan Sunda berbentuk syair yang cukup indah. Karangan-karangan itu mengenai ilmu balâghah (sintaksis bahasa Arab) dan berita tentang kedatangan Imam Mahdi sebagaimana banyak dipercayai oleh kaum Muslim. Berbeda dengan Kiai Aceng yang lebih condong kepada memperdalam ilmu dan amal sufi dengan menjalankan tarekat serta apa yang dikenal dengan ilmu hikmah, Kiai Asep lebih berorientasi kepada bidang fikih dan bahasa Arab. Dengan sedikit menyederhanakan permasalahannya, dapatlah dikatakan bahwa Kiai Aceng lebih D5E
F NURCHOLISH MADJID G
menghayati bidang keruhanian, sedangkan Kiai Asep bidang hukum dan syariat. Sehingga untuk lingkaran dalam pesantren, adanya dua macam orientasi itu merupakan pencerminan dalam bentuk mini orientasi NU yang lebih spiritual dan Muhammadiyah yang lebih rasional di masyarakat luas. Kiai Aceng akan melihat Kiai Asep sebagai pengajar tentang hukum-hukum yang belum tentu dia sendiri mengamalkannya, sedangkan Kiai Asep akan menilai amalan-amalan Kiai Aceng sebagai terlalu bersifat magis yang belum tentu dibenarkan oleh agama. Semua itu merupakan suatu contoh miniatur pertentangan antara spiritualisme dan nasionalisme, tasawuf dan fiqih, sinkretisme dan fundamentalisme di kalangan umat Islam, mungkin semua umat agama. Sudah tentu Kiai Asep juga mempunyai pengaruh dan pengikut. Para pengikutnya terdiri dari pengagum ilmu agamanya yang kemudian datang untuk meminta pengajaran. Ternyata yang datang tidaklah semata-mata terdiri dari para pemula saja, tetapi acapkali terdiri dari tokoh-tokoh yang sudah terkenal sebagai kiai dari pesantren-pesantren lainnya. Mereka datang untuk “me-refresh” penguasaan dan pengetahuan mereka tentang kitab-kitab tertentu, dan sudah tentu untuk meminta “berkah” dan “ijazah” (pelimpahan wewenang untuk mengajarkan kembali kepada orang lain). Dengan begitu otoritas mereka memperoleh konfirmasi. Manifestasi dari pengaruh adanya dua orientasi itu tidak selamanya sederhana. Kadang-kadang dapat sangat berlainan dari dugaan. Contohnya ialah dalam penerimaan kepada hal-hal yang baru dan asing. Dapat terjadi justru kiai Aceng lebih mudah menerima hal-hal baru di luar bidang keagamaan. Sedangkan Kiai Asep dan pengikutnya tampak lebih enggan. Agaknya sinkrestisme yang menyertai spiritualisme lebih menyediakan kemungkinan diterimanya hal-hal baru. Dan rasionalisine fiqih biasanya merupakan implikasi dari usaha-usaha pemurnian paham hukum agama. Semangat purification itulah yang sering menghalangi seseorang dari menerima hal-hal baru sebelum jelas benar kaitannya dengan ketentuan-ketentuan dogmatis yang ada. D6E
F FIGUR SEORANG KIAI G
Padahal menunggu kejelasan itu tidak jarang meminta waktu yang tidak sedikit, sering terjadi selama tahunan atau puluhan tahun. (Di dunia Arab, kaum Wahabi yang menguasai Saudi Arabia adalah kaum pemurni yang tak kenal kompromi terhadap gejala-gejala kecenderungan sinkretisme. Sedangkan kaum Muslim di negara lain seperti Mesir, Irak, Siria, dan lain-lain, adalah lebih sinkretis. Namun pengalaman menunjukkan bahwa masuknya hal-hal baru dan asing adalah lebih mudah ke negara-negara dan masyarakat yang sinkretis itu daripada ke Saudi Arabia). [™]
D7E
F TOLERANSI AGAMA DAN KAITANNYA DENGAN RELATIVISME G
TOLERANSI AGAMA DAN KAITANNYA DENGAN RELATIVISME Oleh Nurcholish Madjid
Dalam suatu kesempatan beberapa waktu yang lalu, Menteri Agama Prof. A. Mukti Ali mengemukakan semacam keluhan bahwa pers akhir-akhir ini kurang sekali memberitakan masalah-masalah yang bersangkutan dengan agama. Keluhan Menteri itu disambut oleh sebuah koran dengan mengatakan bahwa mungkin yang menghambat pers memberitakan masalah-masalah agama ialah adanya kepekaan di bidang tersebut. Semua orang memang telah mengetahui bahwa terdapat kepekaan yang sangat tajam pada masalah-masalah yang berhubungan dengan agama. Hal ini disebabkan bahwa setiap agama, karena wataknya sendiri, sudah tentu mengklaim kemutlakan. Artinya bahwa setiap agama tentu mengaku dirinya adalah yang paling benar, dengan konsekuensi bahwa yang lain adalah salah. Logika awam pun mengatakan bahwa jika terdapat dua hal yang berbeda kemudian harus dinilai benar-salahnya, sudah pasti bahwa tidak mungkin kedua-duanya benar. Apalagi jika kedua hal tersebut bertentangan (antagonis). Tetapi yang menderita semacam ini tidak hanya agama, melainkan setiap sistem paham atau ideologi, khususnya yang bersifat totaliter atau meliputi segala persoalan seperti komunisme umpamanya. Maka tidak mengherankan jika dunia pernah dikuasai oleh agama-agama yang banyak melahirkan peperangan. Klaim kemutlakan itulah yang antara lain menjadi dasar pembenaran gerakan-gerakan penyebaran. Logikanya ialah: jika memang D1E
F NURCHOLISH MADJID G
apa yang dipegang itu adalah kebenaran, dan kebenaran tentu akan membawa kebaikan serta kebahagiaan, maka apakah tidak justru merupakan kewajiban moral seseorang untuk menyampaikan dan menyebarkan kebenaran itu kepada orang lain? Dan apakah tidak justru merupakan kebajikan tertinggi jika seseorang berhasil mengajak orang lain kepada kebenaran yang membahagiakan itu? Apakah tidak merupakan suatu kejahatan moral berupa egosentrisme jika seseorang mengetahui kebenaran dan menyimpannya untuk diri sendiri saja tanpa ditularkan kepada orang lain? Jika kita memahami hal ini, maka kita pun memahami mengapa mengatur kegiatan penyiaran agama menurut suatu “kode etik� sebagaimana telah sering terdengar berita-beritanya menjadi amat sulit, kalau tidak malah mustahil. Dan dari situ pula dapat dimengerti adanya segi-segi yang sensitif dalam hal yang berkaitan dengan agama. Tetapi penilaian terhadap agama tidak selamanya bernada negatif saja. Dalam sejarah umat manusia, banyak pemikir yang tidak mernihak berpendapat bahwa sebegtu jauh ajaran-ajaran kemanusiaan dari agama-agamalah yang paling efektif diikuti orang serta paling luas pula jangkauan pengaruhnya, baik ruang maupun waktu. Sebegitu jauh sebagian besar umat manusia masih secara efektif diatur perikehidupannya, terutama yang bersifat inti, oleh ajaran-ajaran agama. Malahan tokoh-tokoh humanis yang terkenal mengingkari makna Tuhan masih tetap menjadikan agama-agama sebagai tempat kemungkinan mencari nilai-nilai kemanusiaan yang benar-benar universal. Julian Huxley dan Eric Fromm umpamanya secara positif mengemukakan gagasan mencari nilai-nilai kemanusiaan itu melalui pemahaman yang sungguh-sunguh tentang apa itu sebenarnya hakikat manusia. Dan mereka meyakini bahwa apa yang hendak diketemukan melalui cara-cara demikian tentu akan memperoleh pembenaran dan kesejajaran dengan agama-agama besar di dunia seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Kong Hu Cu, dan lainlain. Jika benar apa yang menjadi pikiran sarjana-sarjana tersebut, maka berarti sebaliknya bahwa nilai-nilai universal kemanusiaan itu D2E
F TOLERANSI AGAMA DAN KAITANNYA DENGAN RELATIVISME G
dapat dipelajari dari agama-agama yang ada, yang dari sana akan diketemukan kelak apa sesungguhnya hakikat manusia ini. Karena itu, jika klaim kemutlakan untuk masing-masing agama menjadi diperbesar oleh adanya perbedaan-perbedaan antaragama, atau dengan perkataan lain jika perbedaan-perbedaan antaragama telah memperbesar kecenderungan klaim kemutlakan, maka apakah penemuan akan titik-titik kesamaan antaragama tidak harus diusahakan dengan sungguh-sungguh agar dengan begitu tumbuh pengakuan kenisbian (relativisme) antaragama, khususnya dari segi bentuk-bentuk lahiriah? Rasanya toleransi agama hanya akan tumbuh di atas dasar paham kenisbian bentuk-bentuk formal agama ini, dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal, yang mengena pada setiap manusia, yang kiranya merupakan inti setiap agama. Dengan begitu terdapat kemungkinan untuk meletakkan masalah-masalah agama di depan mata begitu rupa sehingga dapat ditelaah secara netral, objektif, apa adanya, dan dinilai kaitannya dengan kemanusiaan: berguna atau berbahaya. Kiranya hanya sesuatu yang berguna bagi manusia saja yang akan bertahan di muka bumi ini. Dari situlah mungkin pers akan dengan bebas dan leluasa memberitakan masalah-masalah agama sebagaimana diharapkan oleh Menteri. [™]
D3E
F SATU SEGI KEAGAMAAN YANG TERCECER G
SATU SEGI KEAGAMAAN YANG TERCECER Oleh Nurcholish Madjid
Dalam kesempatan resepsi penutupan musyawarah alumni IAIN (Institut Agama Islam Negeri) seluruh Indonesia di Wisma Sejahtera, Cipete, Menteri Agama Mukti Ali berkenan memberi kata sambutan. Ia menamakan sambutannya itu sebagai suatu renungan, khususnya menjelang bulan puasa. Dalam renungan itu, ia mengajukan beberapa problem yang bersangkutan dengan kehidupan keagamaan, khususnya Islam, di Indonesia. Ia memulai dengan suatu ilustrasi kecil: Jika seseorang awam (tidak banyak mengetahui ilmu-ilmu agama) bertemu dengan seorang yang dianggap mengerti agama seperti para alumni IAIN, biasanya ia menanyakan apakah suatu perbuatan tertentu dibolehkan oleh agama atau tidak, halal atau haram, dan seterusnya. Mengapa demikian? Ia jawab sendiri: Karena penyuguhan agama kepada umum biasanya memang berada di sekitar persoalan halal-haram, boleh-tidak boleh dengan segala variasinya, atau dengan perkataan lain terlalu banyak berorientasi kepada masalah-masalah dan kaidah ďŹ qih. Menurut Mukti Ali, dan begitu pula banyak sekali orang lain yang ahli, ďŹ qih bukanlah bagian terpenting dari agama, apalagi satusatunya! Dan adanya orientasi yang terlampau berat pada segi ďŹ qih merupakan suatu perkembangan yang sedikit banyak berbeda dari semangat penyiaran Islam yang mula-mula di Indonesia, khususnya Jawa. Di tempat itu, Islam disiarkan oleh para pedagang kota-kota D1E
F NURCHOLISH MADJID G
pelabuhan atau pantai yang datang dari arah sebelah Barat (Arab, Persia, dan India). Kemudian diteruskan dan dipimpin oleh para wali (Wali Songo) dengan sasaran utama pusat-pusat kekuasaan politik, termasuk (ibukota) Majapahit. Dalam menyiarkan agama, para wali itu terkenal dengan metodenya penetration pacifique atau perembesan damai, dengan melakukan banyak sekali kompromi dengan konsepkonsep keagamaan asli di Jawa yang banyak terpengaruh oleh Hinduisme-Budisme selain sisa-sisa animisme. Dengan metode itu, agama Islam berhasil merembes ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga dalam jangka waktu yang relatif singkat seluruh Jawa atau Indonesia telah terislamkan. Yang amat penting diperhatikan dari segi penyiaran Islam oleh para wali itu ialah bahwa mereka tidak banyak memberikan tematema hukum atau fiqih, melainkan banyak memberi tekanan pada nilai-nilai moral, etis dan mistis. Dengan begitu, dihasilkanlah apresiasi keagamaan yang tidak semata-mata rasional, tetapi lebih bersifat spiritual atau ruhani. Keadaan serupa itu tidak bertahan terus-menerus. Dalam perkembangan selanjutnya, banyak kaum Muslim Indonesia yang kontak langsung dengan negeri asal agama Islam, yaitu Arabia. Dari kontak-kontak itu, mereka mengenal adanya tema-tema keagamaan yang berbeda dan lebih menitikberatkan pada segi-segi hukum. Jika perhatian kepada segi-segi hukum banyak diberikan oleh kaum Muslim di Arabia, maka hal itu disebabkan oleh adanya peranan agama dan kaum Muslim yang secara historis berkaitan dengan segi-segi pengaturan masyarakat melalui kehidupan bernegara atau politik. Tetapi oleh sementara kaum Muslim yang “kontak” itu kemudian dipahami sebagai bentuk-bentuk keagamaan yang murni, sehingga mereka pun sekembalinya di tanah air berusaha menerapkan hal yang serupa untuk umatnya. Maka tumbuhlah secara perlahan orientasi fiqih atau hukum di Indonesia, khususnva Jawa, dan berangsur-angsur mendesak orientasi etis-religius. Dalam perkembangannya yang lebih lanjut, orientasi baru itu menumbuhkan paham puritanisme dan reformisme, disertai dengan D2E
F SATU SEGI KEAGAMAAN YANG TERCECER G
penilaian bahwa orientasi etis mistis dalam keagamaan adalah kurang murni dan harus dihentikan. Demikian analisis Mukti Ali. Selanjutnya menurut Mukti Ali, tanpa mengurangi apa arti serta jasa gerakan reformis dan puritan itu, satu hal kiranya nyata yaitu bahwa agama (Islam) di Indonesia ini menjadi kurang mampu menjawab tantangan-tantangan hidup yang bersifat ruhani atau spiritual. Hal ini menyebabkan banyak kaum Muslim yang kembali mencari perbendaharaan keruhanian dalam khazanah lama, yaitu apresiasi keagamaan yang telah lama tumbuh di Jawa. Maka lahirlah gerakan-gerakan dan paham-paham kebatinan. Sesuai dengan namanya (kebatinan, asal kata dari “batin” yang artinya “dalam”), para pengikut kebatinan cenderung untuk melihat orientasi fiqih atau hukum sebagai “kasar”, bersifat lahiriah semata-mata, lebih mementingkan kulit luar daripada isi. Suatu pikiran yang memang logis, sekalipun belum tentu benar! Tetapi segi kerugian yang lebih penting oleh adanya orientasi hukum itu ialah tumbuh suburnya cara berpikir normatif (berpikir tentang apa yang seharusnya saja, bukan apa yang mungkin) di kalangan umat Islam. Metodenya deduktif, tidak induktif. Kelanjutan yang wajar dari cara berpikir itu ialah adanya sikap-sikap yang lebih menitikberatkan pada reaksi-reaksi daripada inisiasiinisiasi. Maka tidaklah mengherankan jika kaum Muslim Indonesia lebih banyak reaktif daripada inisiatif. Hal ini, menurut Mukti Ali, tercermin dalam banyak segi kehidupan umat Islam di Indonesia, terutama dalam tabligh-tabligh, pidato-pidato, khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah. Tema-tema reaktif itu, betapapun rasionalnya, lama-kelamaan kehilangan daya tarik kepada umat, khususnya mereka dari kalangan kaum terpelajar. Lepas dari benar-tidaknya isi “renungan” Mukti Ali itu, namun dengan jelas ia berisi peringatan bahwa suatu segi kehidupan keagamaan Islam di Indonesia kini tercecer, yaitu segi keruhanian atau spiritualisme. [ ]
D3E
F MUKTI ALI DAN SERUANNYA KEPADA PARA SARJANA G
MUKTI ALI DAN SERUANNYA KEPADA PARA SARJANA Oleh Nurcholish Madjid
Suatu pernyataan yang cukup menarik telah dikeluarkan oleh Menteri Agama Mukti Ali ketika membuka post graduate course para sarjana IAIN di Yogyakarta. Ia menyerukan agar para sarjana agama, lulusan IAIN dan lain-lainnya, melengkapi dirinya dengan lebih banyak “menunduk, melihat ke bawah, ke bumi”, dan kepada para sarjana umum dengan lebih banyak “menengadah, melihat ke langit”. Tentu saja yang dimaksudkan ialah agar para sarjana agama memperluas pengetahuan umumnya, dan para sarjana umum memperdalam pengetahuan agamanya. Sesungguhnya hal yang serupa telah banyak dikemukakan orang dalam berbagai kesempatan. Rektor IAIN Jakarta, Dr. Harun Nasution, dalam penilaiannya kepada kaum Muslim sekarang ini, mengatakan bahwa mereka terlampau banyak melihat ke langit, dan kurang sekali menyadari kehidupan riil duniawi sekelilingnya. Dilihat dari konteks di mana ia memberi keterangan, yaitu forum post graduate course LAIN, tentulah Mukti Ali lebih menekankan seruannya pada bagian yang pertama daripada yang kedua. Ini juga sejalan dengan kapasitas dan wewenang yang dimilikinya. Dan memang pada bagian pertama itulah terletak persoalan yang lebih penting. Sebuah ucapan stereotip telah dikenal oleh kita semua: “Agama tanpa ilmu adalah lumpuh, dan ilmu tanpa agama adalah buta”. D1E
F NURCHOLISH MADJID G
Konon yang mengucapkannya adalah Einstein, sarjana ďŹ sika yang terkenal. Dari salah satu segi pandangan, agama adalah daerah yang merupakan grounds for meaning atau dasar-dasar di mana kita menemukan jawaban tentang apa makna hidup kita di dunia ini. Sebab itu agama melengkapi seseorang dengan suatu pedoman tentang nilainilai. Menurut Erich Fromm, kebutuhan kepada sistem orientasi nilai adalah mutlak. Tanpa kejelasan dalam hal ini, kehidupan seseorang akan tak terorganisasikan sehingga menjadi kacau, bahkan kehilangan harganya. Tetapi manusia tidak cukup hanya dengan pengetahuan tentang apa yang harus diperbuat sejalan dengan keyakinannya tentang makna hidup ini. Tak kalah pentingnya ialah pengetahuan tentang bagaimana ia dapat melakukan atau mewujudkan makna hidup itu sesuai dengan batasan-batasan yang diberikan oleh ruang dan waktu yang agak deterministik itu. Kelengkapan ini hanya diperoleh melalui ilmu pengetahuan. Jika seseorang hanya mengetahui tentang apa yang seharusnya (implikasi agama) dan kurang mengetahui tentang apa yang mungkin (implikasi ilmu), maka ia akan kehilangan langkah atau lumpuh dalam hidup ini. Yang segera menghinggapinya, lebih-lebih jika ia tergolongkan orang yang vokal atau articulate, ialah gejala yang umum terdapat pada sekelompok politisi tertentu. Yaitu gaya “perjuangan politikâ€? yang amat menekankan segi-segi normatif, dan kurang sekali dalam segi kemampuan operatif. Karena lebih mengetahui segi-segi normatif atau yang seharusnya daripada segi operatif atau yang mungkin dilakukan, maka ia mudah sekali terjerembab ke dalam semangat oposisionalisme. Ia menjadi lebih banyak menentang daripada mendukung. Tema-tema perjuangannya menjadi lebih banyak negatif daripada positif. Maka orang menamakannya reaktif, yang sebenarnya sama dengan operasional. Sebab secara psikologis, memang dalam mengenali sesuatu bagi kita adalah lebih mudah melukiskan segi negatifnya daripada segi positifnya. D2E
F MUKTI ALI DAN SERUANNYA KEPADA PARA SARJANA G
Jika dihubungkan dengan klasiďŹ kasi pemimpin menurut Herbert Feith, maka pemimpin yang serupa tersebut di atas adalah termasuk ke dalam jenis solidarity maker. Titik berat kepemimpinannya ialah pemupukan solidaritas dan penyusunan barisan pengikut yang bersifat massal, sedangkan tema-tema perjuangannya ialah ďŹ ght against. Maka perlengkapan utamanya biasanya ialah keahlian pidato, demagogi, dan agitasi yang sarat sekali dengan manipulasi-manipulasi sentimen umum. Memang landasan solidaritas diketemukan pada aspek-aspek sentimental atau emosional. Maka pemimpin yang tanpa ilmu itu dengan sendirinya adalah pemimpin emosional! Artinya pola kepemimpinannya berada di sekitar penggarapan aspek-aspek emosional orang banyak. Kebalikan dari pemimpin itu ialah jenis problem solver yang lebih rasional, yang berkesanggupan memecahkan persoalan-persoalan. Kaum agama memerlukan kemampuan ini secara mendesak sekali. Agaknya itulah maksud Mukti Ali. [™]
D3E
F KAUM INTELEKTUAL DAN AGAMA G
KAUM INTELEKTUAL DAN AGAMA Oleh Nurcholish Madjid
Dalam kesempatan tanya jawab mengikuti suatu ceramah, sebuah pertanyaan ditujukan demikian: Jika ajaran-ajaran agama mengandung jawaban atas krisis peradaban yang mungkin menimpa umat manusia di masa yang akan datang ini, khususnya yang merupakan ekses industri dan teknologi, mengapa kaum intelektual tidak mencari jalan keluar di dalam agama-agama itu dan mempertaruhkan pemikiran ilmiahnya yang sedikit-banyak mengandung spekulasi? Jawabannya antara lain disebabkan perbedaan cara pendekatan masalah menurut agama dan menurut ilmu. Agama selalu menekankan sikap percaya atau iman, sedangkan ilmu lebih menghargai penyimpulan melalui pembuktian empiris. Maka metode penyimpulan yang dicapai dengan reasoning dari hukum-hukum umum kepada kasus-kasus khusus, dengan perkataan lain deduksi, sudah tentu menimbulkan keberatan bagi kaum ilmuwan atau intelektual. Sedangkan metode sebaliknya, yaitu berupa cara berpikir yang memperoleh atau menemukan hukum-hukum umum melalui fakta-fakta khusus atau contoh-contoh, yaitu induksi, bagi kaum agama merupakan sesuatu yang mustahil dilakukan. Setidaktidaknya metode empiris itu pasti tidak mempan terhadap hal-hal yang dikategorikan — dalam istilah agama — al-sam‘īyât, yaitu berita-berita keagamaan yang hanva dapat didengar kemudian dipercayai, seperti adanya surga, neraka, perhitungan amal atau D1E
F NURCHOLISH MADJID G
“hisab”, pertemuan dengan Tuhan, dan lain-lainnya dari peri kehidupan sesudah mati. Adanya alam gaib pun termasuk ke dalam al-sam‘īyât itu. Penilaiannya tidak mungkin melalui empirisme, tetapi hanya dengan percaya. Karena itu, pangkal seruan keagamaan ialah “berimanlah atau percayalah”, sedangkan pangkal tolak ilmu ialah kenyataan dan bukti empiris. Maka tidak jarang, dalam keadaankeadaan khusus yang ekstrem, agama dan ilmu saling meniadakan, dan gap itu sering dimanifestasikan melalui para pengikut salah satunya. Gap antara kedua macam cara pendekatan itu agaknya sudah ada sejak masa lampau yang jauh sekali. Salah satunya tergambar dalam al-Qur’an bagaimana orang-orang Israel meminta kepada pemimpinnya, Musa as. Mereka menginginkan dapat melihat Tuhan secara “material” (jahrat-an) sebelum mereka beriman kepada-Nya. Begitu pula permintaan Fir’aun kepada perdana menterinya, Haman, untuk mendirikan menara setinggi-tingginya agar dapat menembus langit dan menyaksikan Tuhan dengan mata kepala sendiri, seperti yang diajarkan oleh Musa as. Sudah tentu harus disadari bahwa penyederhanaan masalah seperti itu senantiasa mengandung bahaya. Sebab hanya dalam kasus-kasus yang agak bersifat ekstremlah seseorang hanya menganut cara berpikir keagamaan melulu atau keilmuan melulu. Dalam masyarakat umumnya, seseorang mengenal dalam dirinya kedua bentuk pola berpikir itu, sekalipun mungkin tidak senantiasa disadarinya. Untuk masalah-masalah tertentu ia berpikir deduktif, percaya; dan untuk yang lainnya dipergunakannya metode induktif, membuktikan. Tetapi untuk memahami apa yang tersirat pada judul tulisan ini, yaitu sesuatu yang menyerupai gap antara kaum intelektual dan kaum agama, penyederhanaan masalah tersebut tadi adalah menolong. Sebab obyek observasi kita ini, yaitu kaum intelektual dan kaum agama, justru mewakili gambaran-gambaran yang tajam antara kedua pola tadi. Seorang intelektual sudah tentu lebih menitikberatkan pada pemikiran ilmiah, jadi empiris; dan D2E
F KAUM INTELEKTUAL DAN AGAMA G
seorang agamawan, apalagi ulama seperti yang kita kenal sekarang, titik berat pandangan dan reasoning-nya ialah percaya. Sayangnya gap itu semakin melebar berhadapan dengan proses sejarah manusia. Pelembagaan-pelembagaan agama yang formal dan kaku — apalagi jika mengenai hirarki yang piramidal — sering menampilkan nilai-nilai keagamaan tidak dalam bentuk rethinking sehingga dapat dimasyarakatkan secara wajar, tetapi sering dalam bentuk propaganda dan politicking. Sedangkan kaum intelektual yang terlanjur telah mengabsolutkan ilmu beserta cara berpikirnya — yang justru sebetulnya serba relativistik itu — cenderung untuk a priori menilai agama sebagai hal yang nonsens, sehingga membawa mereka kepada sikap tidak terlalu menghargai nilai-nilai hidup. Mereka lebih menghargai “kegunaan-kegunaan” saja. Dan kegunaan-kegunaan itu, jika dikehendaki yang sepenuhnya dapat dibuktikan secara empiris, akan sangat tunduk kepada batas-batas material saja. Sebab-sebab hal yang nonmaterial akan susah “dibawa ke laboratorium” guna mendapatkan pengujian. Tetapi agaknya kita tidak perlu terlampau pesimis. Sebab, katakanlah berkat rahmat Tuhan, sekarang ini terdapat tanda-tanda munculnya orang-orang yang bertanggung jawab kepada kemanusiaan yang berusaha menemukan puncak-puncak kebaikan dalam masing-masing metode berpikir tersebut tadi. Salah satu contohnya ialah mereka yang berkumpul dalam “Club of Rome”. Meskipun secara praktis para pesertanya terdiri dari kaum intelektual yang “tidak tanggung-tanggung”, tetapi dari salah satu laporannya jelas tampak adanya kesungguhan mencari orientasi baru, di mana salah satunya ialah penghargaan yang wajar kepada nilai-nilai budaya dan agama. Dalam keadaan terombang-ambing antara mereka yang membekukan nilai-nilai dan mendegradasikannya menjadi alat politicking dan mereka yang me-nonsens-kannya sama sekali, ada baiknya kita perhatikan perkembangan baru dalam dunia pemikiran melalui agen-agennya yang cukup representatif itu. [ ]
D3E
F KORELASI ANTARA AGAMA DAN MODERNISASI G
KORELASI ANTARA AGAMA DAN MODERNISASI Oleh Nurcholish Madjid
Di Jakarta telah berlangsung seminar tentang Agama dan Perubahan Sosial. Seminar itu dilaksanakan oleh Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurut Direktur Ditperta (Direktorat Perguruan Tinggi Agama) Departemen Agama, Dr. Mulyanto Sumardi, tujuan seminar itu selain memenuhi suatu program Pelita juga sekaligus sebagai salah satu usaha membentuk academic standing yang mendekati standar pada para sarjana IAIN di seluruh Indonesia. Dalam hal ini Dr. Mulyanto adalah benar, sebab dalam suasana yang semakin kompetitif, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan kemampuan-kemampuan intelektual lainnya, para sarjana IAIN adalah yang banyak menderita kekurangan. Selain karena memang pada umumnya pendekatan kurikuler di IAIN masih sangat doktriner dan dogmatis, juga karena para sarjana agama itu belum banyak ber-“try out” dalam kesempatankesempatan seminar, diskusi terbuka, dan seterusnya. Tidak heran jika “orang luar” banyak yang merasa seolah-olah sarjanasarjana IAIN itu belum begitu “terbiasa” dengan rule of the game pembahasan ilmiah, di mana salah satu cirinya yang terpenting adalah keterbukaan, dalam suatu titik-tolak relativisme ilmiah. Tetapi sudah barang tentu selain tujuan “sampingan” (by product) yang memang amat penting itu, seminar tidak akan mengabaikan tujuannya yang semula, yaitu mencari tahu tentang sampai di mana adanya hubungan atau korelasi, positif maupun negatif, antara D1E
F NURCHOLISH MADJID G
agama dan pembangunan atau modernisasi. Menemukan jawab atas pertanyaan itu pasti besar sekali manfaatnya, mengingat sudah menjadi pengakuan umum, malahan sudah menjadi semacam klise, bahwa rakyat kita yang kini sedang giat-giatnya membangun sebagian besar adalah beragama atau mempunyai semangat keagamaan. Jika seandainya dikemukakan korelasi positif antara agama dan perubahan sosial, misalnya bahwa agama memang mendorong terjadinya perubahan sosial dan kemajuan, maka sudah tentu adalah sangat baik jika hal ini menjadi salah satu bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan pembangunan. Umpamanya dalam soal motivasi guna mendorong adanya partisipasi yang aktif, maka perlu memanfaatkan potensi-potensi pada agama itu, sehingga pembangunan berjalan secara lancar dan menemui sasarannya dengan cara-cara yang lebih ekonomis, dalam arti tidak terlalu banyak mengeluarkan pengorbanan-pengorbanan yang sia-sia. Tetapi jika yang ada ialah korelasi negatif, artinya bahwa agama itu sesungguhnya justru menghalangi perubahan sosial dan kemajuan, maka hal ini pun patut dijadikan bahan pertimbangan. Dengan begitu, dari semula dapat diperkirakan faktor apa yang bakal datang dari agama sebagai penghalang kemajuan dan pembangunan, lalu dihindari, juga demi lancarnya pembangunan itu sendiri agar tidak terlalu meminta “ongkos� atau pengorbanan. Tetapi benarkah terdapat korelasi yang mutlak antara agama dan kemajuan, baik positif maupun negatif? Dalam hal ini seorang sosiolog Jerman yang terkenal, Max Weber, mencoba membentangkan suatu teori tentang adanya korelasi positif antara agama dan kemajuan masyarakat, khususnya masyarakat Eropa Barat. Menurutnya, kemajuan Eropa Barat, yaitu tumbuhnya sistem kapitalisme modern yang sekaligus mendorong kemajuan-kemajuan di bidang lainnya seperti industri dan terutama ilmu pengetahuan, adalah bersumber pada ajaran-ajaran agama Protestan, khususnya mazhab Calvin (Calvinisme). Dikatakan bahwa karena mazhab itu mengajarkan bahwa kebahagiaan dapat dan harus diciptakan di dunia ini, malahan keberhasilan seseorang di dunia ini dan D2E
F KORELASI ANTARA AGAMA DAN MODERNISASI G
kegagalannya adalah cermin dari apa yang bakal dialaminya dalam dunia akhirat nanti, maka orang-orang Protestan, khususnya kaum Calvinis, berlomba-lomba dan berusaha keras mencapai sukses di dunia ini dalam kegiatan-kegiatan yang mendorong pengumpulan kekayaan. Sehingga, kata Weber, terdapatlah kenyataan bahwa orang-orang yang maju dalam usaha dagang (enterpreneurs) dan industri adalah orang-orang Calvinis. Tetapi teori Weber tidak luput dari pengujian-pengujian dan kritik-kritik oleh para ahli yang lain. Dikemukakan, apakah teori itu tidak dibangun di atas landasan yang terlalu dicari-cari dan lemah? Apakah faktor-faktor lain dapat dikesampingkan begitu saja dan hanya faktor etika yang dominan? Suatu kasus dikemukakan bahwa pada saat ini ternyata dari sepuluh negara terkaya di dunia, beberapa negara adalah jelas berpenduduk mayoritas bukan Protestan tetapi Katolik, yaitu umpamanya Prancis, Italia dan Belgia. Selebihnya memang berpenduduk kebanyakan Protestan, Tetapi juga mempunyai minoritas agama-agama lain yang sangat berarti, yaitu seperti di negara Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belanda, Jerman Barat, Swiss, dan Denmark. Sedangkan satu lagi negara yang kini telah terhitung sebagai kelompok negara terkaya di dunia, yaitu Jepang, adalah sama sekali bukan Kristen, malahan penganut agama Timur yaitu Shintoisme yang oleh Weber dikatakan sebagai secara alamiah menghambat perubahan sosial. Dan sekarang ini beberapa negara Islam di Timur Tengah, jelas akan segera memasuki klub negara-negara kaya di dunia. Apa pun sebab terjadinya kekayaan itu, tetapi melimpahnya kemampuan material akan mendorong terjadinya kemajuan-kemajuan di bidang lain, khususnya ilmu pengetahuan. Jadi sesungguhnya tidak harus terdapat korelasi antara agama dan perubahan sosial atau kemajuan. Mungkin keduaduanya berjalan seiring seolah-olah satu sama lain tak tahu-menahu, masingmasing memiliki hukum dan aturannya sendiri. [™] D3E
F RENAISANS ISLAM DARI LAHORE? G
RENAISANS ISLAM DARI LAHORE? Oleh Nurcholish Madjid
Suatu keterangan yang cukup menarik tentang apa yang menjadi tujuan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Islam di Lahore, Pakistan, telah diberikan beberapa waktu yang lalu oleh Duta Besar negara tersebut di Jakarta. Selain bertujuan mengusahakan cara penyelesaian bersama masalah Timur Tengah, khususnya berkenaan dengan masalah kota suci Jerusalem, pengembalian hak-hak orang-orang Palestina dan penyelesaian akibat-akibat perang beberapa tahun yang lalu, konferensi juga dikatakannya sebagai permulaan renaissance Islam di dunia. Renaissance secara harfiah berarti kelahiran kembali. Jika demikian pengertiannya, maka dengan sendirinya terdapat penilaian bahwa Islam — dalam hal ini lebih tepat umat Islam — saat sekarang sedang berada dalam keadaan “di dalam kandungan perut”, dan sedang menuju kelahirannya kembali. Juga dengan sendirinya terdapat penilaian bahwa dahulu umat Islam telah pernah lahir dan mengalami kejayaan pertumbuhan, baik secara moral maupun material. Gambaran karikaturis bahwa kaum Muslim sekarang ini masih dalam kegelapan kandungan untuk menanti saat kelahirannya kembali itu adalah gambaran bahwa mereka sekarang sedang dalam kegelapan atau kemunduran. Dalam tulisan-tulisan dan pembicaraan apologetik, kemunduran umat Islam ini sudah biasa dibahas, dikupas dan dikemukakan jalan keluar yang harus ditempuh. Tetapi sesungguhnya jika pembahasan menginjak D1E
F NURCHOLISH MADJID G
masalah-masalah yang substansial segera terasa ketidaksepakatan kaum Muslim sendiri. Jadi mereka hanya setuju pada pendapat bahwa kaum Muslim sedang mundur. Tetapi apa dan di mana letak hakikat kemunduran itu selalu merupakan bahan pertentangan yang sering amat sengit. Jika disebut bahwa kaum Muslim mundur, tidaklah berarti bahwa hal itu secara mutlak berlaku untuk keseluruhan umat Islam. Dalam masyarakat Islam senantiasa terdapat individuindividu ataupun kelompok-kelompok yang dapat dikategorikan sebagai maju atau progresif. Siapa dia atau mereka yang maju atau progresif itu? Dalam pembicaraan sehari-hari biasa sekali seseorang menunjuk orang-orang tertentu sebagai maju dan menunjuk orang-orang lain sebagai kolot. Kriteria apa vang dipergunakan untuk penilaian itu? Dengan sedikit menekan emosi dan sentimen, sebetulnya yang biasanya mendapatkan penilaian sebagai maju atau progresif ialah mereka yang berhasil memperoleh kesempatan begitu rupa sehingga dapat menghirup suatu segmen, kalau bukan keseluruhan, kebudayaan Barat! Hal ini tidak hanya berlaku bagi kaum Muslim saja, tetapi juga kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Persinggungan dengan Barat, tidak peduli bagaimana jalannya — apakah lewat pendidikan, bacaan, pergaulan maupun yang lainlain — adalah yang mendorong terjadinya perubahan-perubahan dalam sikap mental, untuk berganti dari sikap-sikap yang disebut kolot dengan sikap-sikap yang disebut maju, modem ataupun progresif. Demikian yang terjadi pada masa beberapa puluh tahun yang lalu, dan demikian pula agaknya yang akan terjadi dalam masa-masa depan yang tidak terlalu jauh ini. Di Timur Tengah umpamanya, kebangkitan kembali Arab atau nahdlat al-‘Arab dimulai karena persinggungan orang-orang Arab dengan kebudayaan Barat. Kedatangan Napoleon ke Mesir dan kemudian kedatangan Prancis secara keseluruhannya di Syiria, mempunyai pengaruh yang menentukan sekali dalam proses kebangunan kembali itu. Dan pembinaan kembali bahasa Arab pun D2E
F RENAISANS ISLAM DARI LAHORE? G
dimulai oleh unsur “barat� dalam masyarakat Arab. Mula-mula oleh orang Kristen Syiria — yang kelak membentuk negara Lebanon — yang karena politik kolonial Prancis memiliki kesempatan untuk mendapatkan fasilitas dalam pendidikan modem. Kemudian barulah oleh orang-orang Mesir, yang beragama Islam dan Kristen, terutama sejak dipimpin oleh Khediv Mohammad Ali. Dan di Indonesia? Kalau dikatakan bahwa suatu kelompok dalam umat Islam Indonesia disebut modern maka pasti kadar penghirupan kelompok itu terhadap nilai-nilai Barat adalah jauh lebih banyak daripada mereka yang disebut kolot. Dulu, pada tahun 1920-an, menambahkan huruf Latin dalam kurikulum sekolah Islam, apalagi mata-mata pelajaran lainnya yang bersifat umum, sudah cukup untuk memberi cap kepada sekolah atau madrasah itu sebagai modern, dan juga sudah cukup untuk mengundang pertikaian antara mereka yang setuju dan mereka yang menolak. Dan ketika pada saat sekarang ini soal huruf Latin dan pengetahuan umum sudah tidak merupakan problem lagi, maka pertikaian menginjak pada masalah-masalah selanjutnya yang bersifat lebih tinggi atau sophisticated, seperti yang menyangkut pandanganpandangan sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Kembali ke Lahore. Jika sekarang akan terjadi kelahiran kembali Islam, maka mungkin itu dalam bentuknya yang paling spektakuler dan meliputi seluruh umat Islam di dunia. Dan kelahiran kembali itu pun akan diperankan oleh mereka yang bersinggungan dengan peradaban Barat sekarang. Marilah kita renungkan apa implikasi dari adanya sumber-sumber minyak di negara-negara Arab? Kekayaan itu tidak dapat mereka garap dan olah sendiri sehingga perlu mengundang teknologi Barat lengkap dengan para ahlinya. Kemudian mendorong untuk mengirimkan sendiri putra-putra Arab guna belajar di Barat, mula-mula terbatas kepada teknologi perminyakan, kemudian pertambangan, dan akhirnya langsung ataupun tidak langsung juga bidang-bidang yang lain, termasuk dalam bidang sosial. Dan jika mereka kembali tentu apa yang mereka ketahui dan hayati di Barat itu akan mereka D3E
F NURCHOLISH MADJID G
bawa serta, dan pasti akan berpengaruh dalam masyarakat luas. Sebetulnya inilah bibit-bibit renaissance. Lahore hanya merupakan salah satu titik tolaknya! [™]
D4E