Copyright Š Indonesia Student Research & Summit 2015 Publikasi ini adalah hak milik intelektual dari Indonesia Student Research & Summit. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin tertulis.
Kisah para Pewujud Mimpi Mengabdi untuk Negeri
KSM EKA PRASETYA
Research Camp Kotabaru Kisah para Pewujud Mimpi Mengabdi untuk Negeri
Karya KSM Eka Prasetya Penulis : Bagus Anugerah Y.P Firda Amalia I. Ihsanul Afwan Irfan Teguh Prima Isti Sri Ulfiarti Mela Milani Munzilir Rohmah Nurul Khomariyah Oriza Sativa Randy Raharja Rehan Novendra Restu Wardhani Riski Vitria Ningsih Safira Ryanatami Startian Bonata Widi Kusnantoyo
Diterbitkan oleh Indonesia Student Research & Summit Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya Universitas Indonesia Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) Lantai 2, Jalan Prof. Dr. Fuad Hasan, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16426 Email : main@isrs-ui.com http://isrs-ui.com | http://ksm.ui.ac.id
Copyright Š Indonesia Student Research & Summit, 2015 All rights reserved
Rasanya baru minggu lalu mengenal tempat itu Lalu tak terasa aku ada di sana Kemudian meninggalkannya Bagiku perjalanan menuju tempat itu lebih indah dari namanya Karenanya ke-Aku-an berubah menjadi ke-Kita-an dan semakin indah lagi, menjelmalah Kami...
Bagian
1
Research Camp Kotabaru Live Diary & Stories
Research Camp Kotabaru
Research Camp 2015, Harapan dan Mimpi yang Dirajut Bersama Ditulis 19 Agustus 2015
Jakarta, ada sebuah harapan besar dan mimpi luar biasa dari temanteman Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya Universitas Indonesia yang dirajut bersama. Dimulai dari bulan Maret 2015, sebuah event besar siap dilahirkan kembali. Diinisiasi dari sebuah mimpi dari seorang Widi Kusnantoyo, mahasiswa Teknik Industri 2013, PLD XXVII. Mantan staff bidang Bisnis & Proyek KSM Eka Prasetya UI 2014 ini mulai mendesain mimpinya untuk membuat sebuah rangkaian acara besar yang setiap tahun dilaksanakan oleh KSM Eka Prasetya UI. “Research Camp“, sebuah kegiatan yang bertajuk penelitian yang sasarannya adalah daerah-daerah di ujung Indonesia. Sebuah event yang bertujuan melaksanakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian & pengabdian masyarakat. Sebuah kegiatan yang akan membawa dan memberikan informasi, ide, analisis, teori, pemikiran, rekomendasi serta solusi bagi permasalahan-permasalahan di berbagai daerah negeri ini. Event yg diikuti oleh mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai rumpun disiplin ilmu ini pertama kali dilaksakan pada tahun 2013. Bertempat di Propinsi Lampung, dengan membawa tema efek domino pada masyarakat di sekitar industri pertambangan. Nusa Tenggara Barat, 2013. Event Research Camp kembali dilaksanakan. Kali ini membawa tema keadaan masyarakat profesi Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) . Event yang diketuai oleh Nurul Fajri ini berhasil menghasilkan jurnal penelitian dan dapat memberikan rekomendasi dengan bekerjasama dengan BNP2TKI. Bangka Belitung, 2015. Sebuah lanjutan mimpi yang akan melengkapi catatan perjalanan Research Camp KSM Eka Prasetya. Membawa konsep luar biasa dengan rujukan tema masyarakat pertambangan liar, tidak lah cukup bagi kami dengan mudah melaksakan event ini. Sebuah event yang menurut kami tidak hanya menyuguhkan aktivitas menikmati keindahan alam belaka. Tidak hanya sebuah aktivitas
2
Live Diary & Stories
penelitian biasa, namun harus bisa memberi sebuah makna. Sayang seribu sayang, kaki kami tak bisa sampai ke Pulau Bangka.
“Bukan karena alam tak bersahabat, bukan pula karena sumber daya yang terhambat. Namun, ada sebuah pelajaran berharga untuk menghadirkan sebuah “Research Camp” yang benar-benar selaras dengan motto KSM Eka Prasetya UI, “Bernalar Membangun Negeri “. 18 Agustus 2015, tepat 212 hari sejak kami gagal melanjutkan mimpi besar RC Bangka Belitung yang masih teringat di benak kami di 18 Januari 2015, sekarang kami berhasil mendarat dengan selamat di Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan. Rasa haru, senang, tawa, puas, dan lega bercampur di benak kami. Sebuah mimpi bersama dari teman-teman KSM Eka Prasetya UI 2015 sejak Maret lalu akhirnya terwujud. Ya, inilah “Research Camp 2015” Kotabaru, Kalimantan Selatan. “The Blue Economy Domino Effect : Enhancing Our Competitiveness towards Global Market” adalah tema kami. Sebuah tema luar biasa yang diilhami oleh program pembangunan nasional, NAWA CITA dari Bapak Jokowi. KSM Eka Prasetya UI siap untuk ikut berperan aktif dalam menyukseskan program tersebut melalui event RC 2015 yang dirajut bersama dalam pemikiran luar biasa. Inilah cerita awal kami untuk Research Camp 2015. Cerita-cerita indah selanjutnya akan terukir dalam setiap momen-momen yang hadir bersama kami.
3
Research Camp Kotabaru
Kotabaru, Kota dengan Seribu Harapan Baru Ditulis 19 Agustus 2015
18 Agustus 2015, kita semua patut bersyukur. Alhamdulillah dan Puji Syukur, mimpi besar yang selama ini kami rajut bersama akhirnya terwujud. Tepat pukul 23.00 WITA kami menginjakkan kaki di Kab. Kotabaru tepatnya di Desa Sarang Tiung, Kec. Brangas Pulau Laut Utara. Perjalanan cerita kami untuk sampai di Kotabaru tidak hanya 15 jam seperti yang kami tempuh dari Jakarta. Namun sesungguhnya perjalanan kami adalah 150 hari sejak kepanitiaan event ini dibentuk. Sejak kami memilih tema ekonomi kelautan Indonesia, memang Propinsi Kalimantan Selatan menjadi daya tarik tersendiri. Pengakuan para stakeholder Kalimantan Selatan yang mengatakan bahwa Propinsi Kalimantan Selatan menjadi poros maritim Indonesia menjadi salah satu “the key recommendation” dari pemilihan daerah oleh kami. Sejuta pesona sumber daya kelautan yang berlimpah, tergambar di salah satu kabupaten terbesar di Kalimantan Selatan, Kab. Kotabaru. Kabupaten dengan lambang ” Saijaan ” ini memang telah kami analisis dengan data-data yang ada menjadi daerah yang paling besar potensi kelautannya dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Bertepatan dengan “Dirgahayu Indonesiaku ke-70” teman-teman KSM EP UI berangkat dari Kampus Universitas Indonesia Depok menuju Bandara Soekarno-Hatta pukul 21.00 WIB. Raut wajah gembira dan tawa tergambar dari wajah mereka. Rasa haru pun ada di benak mereka. Setelah melewati banyak perjuangan, akhirnya “kita, KSM Eka Prateya UI is going to South Borneo”. Sembari menunggu check in, briefing penelitian pun dilakukan. Sesuai dengan namanya, jika dalam bahasa Indonesia adalah “Kamp Penelitan”, barang bawaan kami pun juga seperti pergi camping ke suatu daerah pelosok negeri. Kami membawa mie instan, makanan mentah berkaleng, minuman, dan masih banyak hal menarik yang kami bawa. Tepat pukul 02.00 WIB kami melakukan check in di terminal 1A. Seperti rombongan haji, dengan 8 troli penuh kami memasuki ruang tunggu
4
Live Diary & Stories
A6. Predikat seorang traveller memang patut disemayamkan, pasalnya kami menginap di bandara dan tidur menunggu pagi di ruang tunggu, karena memang pesawat kami take off pukul 05.45. Memasuki pesawat, kami berbondong-bondong meletakkan barang-barang kami dan segera duduk di kursi pesawat. Tepat pukul 08.45 WITA, kami mendarat dengan selamat di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin. Seolah kami ingin berteriak, “Yes, we are landing in Kalsel, and we will explore it”. Ada rasa tak percaya saat kami injakkan kaki di bumi Banua ini. Takjub dan gembira itu lah yang tergambar di hati kami. Ada banyak kata terucap ketika teman-teman RC 2015 pertama kali menghirup udara dan melihat pesona Tanah Banjar. Rasa senang kami berlanjut, ketika bus kami datang menjemput. Tak sabar kami rasanya untuk melihat suasana Kota Banjarmasin. Suguhan yang indah ketika di bus kami dipertontonkan video Wisata Kalimantan Selatan. Sembari belajar budaya Banjar, kami melihat kanan kiri jalan. “Wowww..It’s so excited guys..” Perjalanan kami yang pertama adalah menuju Kantor Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan. Kawasan perkantoran seluas 500 hektar membuat kami takjub. Dengan bangunan-bangunan khas Banjar, ini lah kawasan perkantoran pemerintah daerah Kalsel. Dari mulai dinas-dinas di berbagai bidang sampai kantor administrasi daerah. Jaket Kuning UI pun siap membuat kami paling mencolok di lingkungan kantor pemda. Kami disambut oleh Bapak H. Winarno (Dinas Kelautan & Perikanan Prov Kalsel) dan Bapak Haris Makkie (Staf Ahli Pemprov Kalsel). Dimulai dari perkenalan oleh Tri dan Riski, kemudian sambutan PO kita, Widi Kusnantoyo. Dan dilanjutkan dengan paparan penelitian masing masing kelompok. Melihat dan mendengar maksud kedatangan kami, Bapak Win, dan Bapak Haris menyambut sangat baik kedatangan kami. Dan paparan penelitian masing masing kelompok juga membuat beliau-beliau ini tertarik.. Harapan yang mereka sampaikan adalah agar kami bisa selalu menjalin komunikasi dengan pemerintah daerah khususnya dinas kelautan & perikanan. Karena Bapak Winarno ingin supaya kita dapat memberikan informasi dan hasil penelitian yang nantinya dapat ditindak lanjuti oleh 5
Research Camp Kotabaru
dinas KKP maupun pemerintah. Acara opening ceremony ditutup dengan foto bersama di lobby kantor yang megah ini. Kami berpikir, kami harus secara maksimal melakukan kegiatan RC ini. Dukungan dan motivasi selalu kami dapatkan dari semua orang disini. Ada harapan besar yang mereka semayamkan untuk kedatangan kami disini. Perjalanan kami selanjutnya adalah menuju Kab. Kotabaru. Ya, daerah yang akan kami tinggali selama seminggu kedepan. Daerah yang akan melengkapi cerita RC kami. dan tentunya daerah yang akan memberikan kami seribu harapan baru untuk penelitian kami. “Disitu bumi dipijak,.disitu langit dijunjung� Sebuah ungkapan yang tentunya akan terus kami pegang untuk sebagai pedoman kami dalam mengeksplor keindahan bumi Banua ini. Perjalanan kami tentu sangat lengkap. Perjalanan udara, darat & laut kami lalui menuju Kotabaru. Menyeberang ke Pulau Laut dari pelabuhan Batu Licin. Kotabaru merupakan daerah di Pulau Laut (pulau kecil di tenggara Kalsel). Sambil diatas laut kami memandang ke langit. Oh Tuhan, sangat indah ciptaanMu. Bintang-bintang diatas sana berkedip-kedip seolah menyambut kedatangan kami. Ombak laut pun seolah melambai-lambai menyambut kami. Sungguh elok negeri ini kawan. Dan tepat pukul 23.00 WITA kami tiba di Desa Sarang Tiung , Kec. Brangas Pulau Laut Utara. Disini kita akan memulai coretan coretan RC 2015. 30 jam total kita tempuh dari kita menanggalkan pijakan di UI. Hembusan suara angin dan suara ombak seolah menyambut kita. Luar biasa daerah ini. Dan kami disambut oleh keluarga Bapak Amir. Pak Amir ini adalah tokoh masyarakat yang akan membantu kegiatan kami ke depan. Wah, terima kasih Pak Amir. Rumahnya berbentuk rumah panggung dengan menghadap ke pantai. Garis pantai pun katanya sangat dekat dengan rumah yang kami singgahi. Namun karena hari telah gelap karena malam, kami terpaksa harus menunggu hingga pagi hari untuk melihat eloknya pantai disini, yang pasti semakin eksotis dilihat dari rumah
6
Live Diary & Stories
panggung ini. Wowww kami tak sabar menunggu terbitnya matahari. Pantai kami ini berada di timur dan sangat mungkin kami melihat sunrise. So awesome.. Hari yang luar biasa. Ini lah momen-momen yang akan kita ukir bersama kedepan‌ Can not waiting for tomorrow‌.
7
Research Camp Kotabaru
Pulau Laut Utara, Sejuta Kearifan Kotabaru Ditulis 20 Agustus 2015
Hari dimana kita melihat eloknya Desa Sarang Tiung, Kec. Brangas Pulau Laut Utara Kab Kotabaru pun akhirnya tiba. Suguhan embun pagi dan eloknya sunrise menyambut kita di pagi hari. Pemandangan yang luar biasa tergambar di depan kami, saat kami menikmati itu semua di sebuah rumah panggung Pak Amir. Semangat pagi, dan harapan besar telah kami rancang dengan secangkir teh dan pisang goreng keju yang dihidangkan oleh istri Pak Amir yang bernama Ibu Hamidah. Ibu ini yang selalu memberikan hidangan-hidangan enak khas Sarang Tiung kepada kami. Kami bersiap melanjutkan misi penelitian untuk Research Camp Kotabaru 2015. Dengan harapan, senyuman, dan rasa penasaran akan kearifan bumi Kotabaru siap mengantarkan kami menjelajah daerah ini di hari kedua. Derai ombak yang menyejukkan telinga dan hangatnya sinar mentari ikut mewarnai langkah kita di pagi ini. Dinas Kementerian Kelautan dan Perikanan Kotabaru menjadi destinasi kami yang pertama. Kami menyusuri jalanan berliku dengan suguhan pemandangan laut serta rerimbunan semak dan pohon di kanankiri jalan. Selain disuguhi pemandangan eksotik, kami sempat melihat semangat perayaan HUT-RI yang ke-70 yang masih disemarakkan di hari ke-3 Dirgahayu Indonesiaku. Ada beberapa titik dimana jalanan macet karena semarak lomba-lomba khas perayaan kemerdekaan seperti makan kerupuk, kelereng, dan balap karung di jalan-jalan. Perjalanan menyenangkan ini kami tempuh menggunakan angkot. Uniknya, masyarakat Kotabaru lebih mengenal angkot dengan sebutan taksi. Di samping itu, angkot Kotabaru berukuran lebih besar dibandingkan angkot pada umumnya. Angkot ini mampu menampung rombongan kami yang beranggotakan 15 orang. Dua puluh menit berlalu dan angkot yang kami sewa tiba di pusat Kab. Kotabaru di mana keramaian penduduk lebih terasa. Pusat kota menyediakan beragam fasilitas yang menunjang kehidupan masyarakat 8
Live Diary & Stories
Kotabaru seperti pasar tradisional, pertokoan, alun-alun, Polres, dan taman kota. Pemandangan yang kami lihat di pusat kota ini berbeda dengan pemandangan di lingkungan Desa Sarang Tiung tempat kami bermalam. Setibanya di dinas KKP Kotabaru, kami disambut dengan jabat tangan yang hangat oleh para pejabat dinas. Hadir beberapa pejabat dinas KKP yakni Pak Sobirin (Ketua RT Desa Rampa Baru), Pak Thalib (Kepala Dinas KKP Kotabaru), Pak Yol (sekertais Dinas KKP Kotabaru), Pak Dedi (Kabid Tangkap Dinas KKP), Pak Abdul Mulud (Kepala Desa Sarangtiung). Pada kesempatan ini, kami berdialog bersama mengenai penelitian yang sedang kami lakukan. Lebih kepada konsultasi mengenai informan mana yang cocok dengan penelitian kami, dan apa potensi serta masalah yang ada di kabupaten Kotabaru. Kearifan lokal kelautan Kotabaru sungguh luar biasa. Digadanggadang menjadi poros maritim Indonesia, dan juga disebut-sebut sebagai “The Next Singapore� menjadi branding tersendiri Kab Kotabaru. Kantor pemerintahan Kab. Kotabaru terletak di daerah Pulau Laut Utara. Dari mulai Sarang Tiung, Rampa Baru, Semayap, Hilir Muara, Gendambakan, dan Labuhan Mas, merupakan segelintir daerah-daerah potensi penunjang poros kelautan Kotabaru. Setiap daerah mempunyai keunikan yang berbeda-beda. Setelah hampir 2 jam berdialog dengan para pejabat dinas KKP, kami kemudian melanjutkan perjalanan. Sebagian dari kami pergi ke Badan Pembangunun Daerah, Bank KalSel, serta Desa Rampa Baru. Sebagian juga melanjutkan dialog bersama Dinas KKP. Rampa Baru, sebuah desa nelayan di Kab Kotabaru, Kec Pulau Laut Utara. Dengan perumahan kayu panggung khas kampung nelayan menjadi keunikan sendiri di daerah ini. Setiap sudut-sudut di desa ini terdapat perahu-perahu yang dimiliki nelayan. Keadaan masyarakat di Rampa Baru menjadi daya tarik tersendiri buat kami. Persepsi sumberdaya kelautan dan motivasi kerja, serta implementasi program PUMP menjadi fokus penelitian kami disini. Dimulai pukul 14.00 WITA, kami mulai mengunjungi rumahrumah kayu panggung sederhana yang berdiri menancap diatas lumpurlumpur pesisir pantai. Bersatu bersama masyarakat dan melakukan 9
Research Camp Kotabaru
pendekatan telah kami lakukan dalam aktivitas pengumpulan informasi. Wawancara sambil bercerita dengan masyarakat Rampa Baru merupakan hal menarik buat kami. Pelajaran berharga kami dapatkan bersama keramahan masyarakat Rampa Baru yang menyambut kami dengan penuh senyuman.
“Senyuman
yang tergambar dari wajah mereka merupakan rasa ikhlas dari mereka dalam menjalankan hidup ini. Walaupun sejatinya mereka tidak bercita-cita menjadi nelayan, namun mereka tetep ikhlas dan senang memanfaatkan berjuta potensi sumber daya laut di daerah mereka. Walaupun masalah-masalah selalu menghampiri mereka, dan kadang musim tak bersahabat dengan mereka, namun mereka tetap yakin bahwa rezeki akan selalu datang karena diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebuah pelajaran berharga juga untuk kita semua.� Selalu ada rasa rindu untuk mengunjungi daerah Rampa Baru esok hari. Masih banyak berjuta kearifan yang menarik untuk dieksplor. Perjalanan mengeksplor kearifan Pulau Laut Utara di hari kedua Research Camp 2015 kami tutup dengan bermain-main di pantai Sarang Tiung depan penginapan kami. Anak-anak kecil pun ikut bermain bersama kami menikmati lukisan Sang Pencipta yang begitu elok. Derai ombak pun ikut bercengkerama bersama kami, menutup keceriaan hari ini. Layang layang yang dimainkan anak-anak juga ikut menari-nari diudara. Semua terasa indah. Kearifan lokal yang begitu luar biasa, Pulau Laut Utara, Kotabaru, Kalimantan Selatan.
10
Live Diary & Stories
Sarang Tiung Kotabaru : Sejuta Keramahan dalam Sejuta Kearifan Ditulis 21 Agustus 2015
“Pagi
yang indah. Suasana sejuk pantai Sarang Tiung pagi hari kembali memanjakan tubuh kami. Dari mulai pemandangan indah sunrise yang mengindahkan mata, kicauan burung dan debur ombak yang menghiasi telinga, udara dingin berembun yang menyejukkan dada, sampai pemandangan kapal-kapal nelayan yang mulai menepi melengkapi indahnya pagi ini.” Tiga hari sudah, catatan-catatan memori perjalanan Research Camp 2015 terukir. Hari ke-4 ini kami siap melanjutkan eksplorasi kearifan luar biasa Kotabaru, tepatnya di Desa Sarang Tiung, Pulau Laut Utara. Desa yang terbagi atas sepuluh RT ini menjadi objek kami hari ini. Selama tiga hari tinggal di RT 02 Desa Sarang Tiung, membuat kami lebih dekat dengan masyarakat sekitar. Sambutan hangat saat pertama kami datang, seolah menjadi gambaran betapa ramahnya masyarakat Desa Sarang Tiung. Momen menarik dibuktikan di hari ke-4 ini. Tepatnya pukul 10.00 WITA kami semua diundang di acara akikah putri Mas Bendang, seorang pemuda Desa Sarang Tiung yang begitu akrab dengan kami. Sungguh luar biasa sambutan masyarakat ketika kami menuju tempat pesta syukuran dan akikah. Senyum, tawa dan sapa selalu kami dapatkan, melengkapi langkah kaki kami menuju rumah Mas Bendang. Jabat tangan ke semua warga menjadi awalan suasana keramahan yang kami bangun. Sepiring hidangan khas Desa Sarang Tiung, Kotabaru, “nasi sup & nasi daging” memanjakan lidah kami disana. Bersama obrolan santai bersama masyarakat, kami sangat menikmati suasana keramahan desa ini. Dan menjadi catatan momen yang begitu lengkap ketika kami dipanggil untuk menyumbangkan suara lewat alunan lagu di atas panggung. Lagu “rumah kita” & “pelangi di matamu” yang kami suguhkan menjadi hiburan tersendiri untuk para tamu undangan. 11
Research Camp Kotabaru
Setiap senyum dan tawa dari masyarakat kepada kami seolah meningkatkan semangat kami untuk lebih mengeksplorasi segala kearifan Sarang Tiung, Kotabaru. Dan kami pun siap menjelajahi desa yang dijuluki “Desa Inovasi Nelayan� ini. Langkah kaki mantab telah kami siapkan untuk mendukung aktivitas jelajah dalam melanjutkan misi penelitian. Deburan ombak pantai seolah selalu menemani langkah kami. Karena kami menjelajah Desa Sarang Tiung melalui pesisir pantai. Sungguh elok nan luar biasa suasana Desa Sarang Tiung ini. Indahnya pesisir pantai seolah selalu menghentikan langkah kami, untuk bersinggah dahulu bermain dengan kamera mengabadikan momen-momen indah yang kami lewati. Perjalanan sekitar 2 Km, dimulai dari RT 02, RT 03, RT 04, RT 06 telah kami jelajahi hingga sampai di Balai Desa Sarang Tiung. Sambutan hangat dari pegawai di Balai Desa seolah membawa angin segar untuk perjalanan eksplorasi penelitian kami. Dialog mengenai nelayan, laut, dan keadaan masyarakat memberikan suatu inspirasi bagi kami. Data-data dan informasi yang kami dapatkan juga menjadi pelengkap untuk penelitian kami. Setelah berdialog yang cukup berisi dan mendapatkan banyak informasi, kami menuju ke rumah Kepala Desa Sarang Tiung, Bapak Abdul Mulud. Wawancara seputar kehidupan nelayan melengkapi dialog kami bersama beliau. Dan beberapa kelompok juga menuju RT 10 dan RT 06. Keramahan, sambutan hangat, dan keakraban masyarakat Sarang Tiung memang luar biasa. Mereka tak henti hentinya selalu membantu kami dan menjadi jembatan bagi kami untuk menyelesaikan misi penelitian kami. Dimulai dari warga biasa, tokoh masyarakat, pejabat RT, Desa, Kecamatan, Kabupaten, serta Provinsi, tak henti-hentinya membantu kami. Keramahan yang terjalin antara kami dan mereka memang begitu luar biasa. Saat malam hari pun juga semakin berkesan ketika kami mendapat kunjungan dari Kepala Desa Sarang Tiung dan Kepala Desa Gedambakan. Secangkir kopi turut menemani obrolan santai penuh canda tawa di teras panggung rumah Pak Amir. Dan sebelum itu, ketika kami menutup hari, 12
Live Diary & Stories
kami sempatkan untuk bermain dengan anak-anak sekitar. Anak-anak juga luar biasa begitu dekat dengan kami. Mengajarkan bernyanyi dan berdoa serta memainkan permainan tradisional khas anak-anak seolah mewarnai aktivitas kami di hari ini.
“Begitu
indah suasana & keramahan Sarang Tiung, Kotabaru Kalimantan Selatan. Seribu senyuman akan selalu menemani perjalanan kami. Senyuman abadi yang akan selalu memancar dengan sejuta harapan yang terlukis.�
13
Research Camp Kotabaru
Melukis Harapan, Kebermaknaan, dan Senyuman Ditulis 22 Agustus 2015
“Mentari
pagi mulai menyinari hari. Dengan sebuah doa dan harapan untuk kelancaran penelitian hari ini, kami masih sibuk menyiapkan diri sembari menikmati hidangan pagi. Pagi itu benar-benar menjadi pagi yang penuh arti. Semangat membara terpancar pada jiwa. Rasa optimis di mata mulai tajam terpancar. Kami siap melanjutkan misi penelitian hari ini untuk sebuah perwujudan mimpi yang abadi, untuk sebuah senyum untuk negeri.� Keramahan masyarakat Kotabaru seolah menjadi pengantar kami dalam menjalani aktivitas disini. Memulai misi dengan berjalan kaki menuju tempat meneliti. Dari RT 02 sampai RT 10 menjadi pemandangan majemuk bagi kami. Indahnya derai pasir pesisir dan deburan ombak seolah selalu menemani langkah kami. Langkah demi langkah kami lalui, hingga pijakan membekas dalam gundukan derai pasir. Kami berpikir bahwa kami tidak hanya meninggalkan bekas jejak kaki saja, tetapi sebuah makna kepada masyarakat dan Desa Sarang Tiung. Pintu demi pintu kami singgahi, untuk kami kunjungi dan menyempatkan untuk bersilaturahmi dan melakukan wawancara kepada mereka. Sambutan mereka selalu bertambah hangat kepada kami. Walau kaki ini kadang merasa lelah karena objek tempat kami yang mempunyai luas mencapai 5 km, dan terlebih kami harus berjalan kaki.
“Namun,
seiring berjalannya waktu, ada harapan besar, mimpi besar, dan suatu keinginan besar dari diri mereka kepada kami. Harapan itu adalah kemajuan yang ingin mereka capai, kesejahteraan yang ingin mereka raih dan mereka ingin para pemberi kebijakan adil kepada mereka. Mereka tau peran kita. Mereka juga tahu tujuan kedatangan kita. Sebuah rasa haru yang muncul di benak kami, melihat begitu besarnya harapan mereka ditengah masalah-masalah yang muncul di kehidupan mereka.� 14
Live Diary & Stories
Bulan Agustus merupakan bulan yang sulit bagi mereka untuk melaut. Ombak begitu besar, angin begitu kencang, dan cuaca yang begitu tidak bersahabat. Sebagian besar dari mereka adalah nelayan yang menggunakan media “bagan� (sebuah tempat mirip dermaga dari kayu dan bambu, berukuran 4-5 m2 serta ditancapkan di lepas pantai. Terdapat alat penangkap ikan di bawah bagan). Bagan yang mereka punya, banyak yang roboh. Nelayan di Sarang Tiung merupakan nelayan Bagan. Berbeda dengan nelayan di Rampa Baru yang merupakan nelayan tangkap (jaring, pancing). Responden demi responden kami dapatkan. Informan demi informan kami temui. Sampai petang datang, kami baru melakukan perjalanan pulang kerumah. Ditemani lukisan Tuhan sore hari di langit, kami secara bersama-sama berjalan menyusuri pantai. Segala renungan telah ada di pikiran kami. Penelitian kami harus bisa memberikan sesuatu yang bermakna untuk mereka. Bergandengan tangan menyusuri pantai. Melukis seribu harapan, kebermaknaan, dan senyuman. Ya, inilah kami, sekelompok mahasiswa KSM Eka Prasetya Universitas Indonesia. Bersatu bersama untuk kesuksesan Research Camp 2015. Untuk Sarang Tiung, Kotabaru, Kalimantan Selatan, dan tentu untuk Indonesia.
15
Research Camp Kotabaru
Lukisan “Popeye” dari Kotabaru Ditulis 23 Agustus 2015
“Nenek moyang ku seorang pelaut”. Sebuah cuplikan lagu yang sering kita dengar. Sebuah ungkapan yang menggambarkan keadaan Indonesia tempo hari. Berjuta kekayaan laut terhampar luas dari Sabang sampai Merauke. Dengan 14 ribu pulau yang tersebar di rentetan khatulistiwa sepanjang 95 BB – 141 BT, tersimpan kekayaan luar biasa dari nenek moyang kita. Nenek moyang yang pernah berjaya dengan kekuatan maritim sekelas Kerajaan Sriwijaya. Sebuah abad kejayaan yang pernah dimiliki bangsa ini. “Apakah kita sekarang ini seorang pelaut seperti nenek moyang kita?” Sebuah pertanyaan umum yang selalu dipertanyakan di bangsa ini. Ada orang yang bilang, “ganti saja lirik lagu nya menjadi kami ini seorang pelaut”. Perdebatan lagu tak lagi penting. Yang ada hanya sebuah mimpi dan harapan yang harus kita rajut bersama. Cita-cita luhur nenek moyang kita jelas menjadikan kita supaya selalu bisa menguasai lautan dunia. Namun, bukan soal menjadi yang paling kuat di laut dunia, bukan pula menjadi yang paling berkuasa di lautan. Cita-cita luhur itu adalah soal kesejahteraan. Dimana nenek moyang kita telah mencontohkan kepada kita, betapa kita dapat hidup selamanya di lautan. Bahwa kita dapat menyejahterakan hidup kita dari lautan. “Kail dan jala cukup menghidupi mu”, sebuah ungkapan cuplikan lagu yang bukan teoritis belaka, tetapi mungkin sebuah pesan dari nenek moyang kita. Laut dapat menghidupi kita, dan kita dapat sejahtera hidup di laut. Bertolak dari suatu desa yang bernama Sarang Tiung, Pulau Laut Utara, Kotabaru, Kalimantan Selatan, kami akan mencoba menelitik hal tersebut. Sejuta potensi maritim dan kelautan akan kami teliti disini. Harapan besar yang muncul akan kami wujudkan. Ungkapan “dilaut kita jaya! “, selalu menjadi motivasi dalam setiap kegiatan kami dsini. Semangat pagi yang muncul di sabtu ini, akan mengiringi perjalanan kami mengeksplorasi kelautan daerah yang diproyeksikan menjadi poros maritim Indonesia, Kotabaru. Seperti hari kemarin, kami 16
Live Diary & Stories
memasuki rumah demi rumah, untuk duduk bersama menggali apa yang sebenarnya terjadi pada kelautan Indonesia khususnya Kotabaru. Informaninforman kami dapatkan untuk mendukung analisis kami.
“Terik mentari seolah tak menghentikan langkah kami. Tekad kuat selalu kami teguhkan, bersama jutaan harapan rakyat Indonesia yang selalu berimimpi, mereka dapat hidup selamanya di lautan”. Keramahan, harapan, dan curahan masyarakat nelayan ini menjadi hal yang bersatu di telinga dan mata kami. Fakta dan Opini selalu menghiasi kertas instrumen penelitian kami sepanjang hari ini. Tulisan dan coretan tentang problematika dan kearifan kelautan Indonesia khususnya Kotabaru menjadi sesuatu yang berharga untuk kami. Banyak sekali hal menarik yang mengisi gelas-gelas kosong dalam pikiran dan hati kami. “Pantang pulang, sebelum petang! “, sebuah tekad kami untuk terus bisa membuat penelitian kami menjadi luar biasa. Debur ombak yang mulai pasang, langit yang menghitam, seolah mengantarkan perjalanan pulang hari ini. Coretan-coretan perjalanan telah menghiasi kanvas kami hari ini. Sebuah lukisan “popeye” yang akan kami buat untuk kesejahteraan maritim Indonesia.
17
Research Camp Kotabaru
Biru Indonesiaku dari Sejengkal Laut Kotabaru Ditulis 25 Agustus 2015
“
Indonesia, negara sejuta pesona di khatulistiwa. Yang selalu dilihat masyarakat dunia, bagaikan surga. Yang menyimpan kekayaan budaya, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila menjadi pedoman bangsa, dan berlambang burung garuda. Merah putih warna benderanya, serta Jakarta ibukotanya. “ Bangsa dengan sejuta kearifan dan keramahan yang sungguh luar biasa, yang pasti menarik perhatian masyarakat dunia. Semua orang ingin memiliki indonesia. Semua orang ingin melihat, menyaksikan, serta merasakan sejuta pesona Indonesia. Archipelago, sebuah julukan untuk Indonesia dengan 17.000 pulau terhempas dari Sabang sampai Merauke. Dengan garis pantai terpanjang di dunia, membuat sejuta potensi dan kekayaan laut yang begitu mempesona. Dari mulai terumbu karang, pasir putih, lautan nan biru, serta ikan-ikan yang tiada tara selalu menjadi pemandangan indah bak surga dunia. Kotabaru, sebuah daerah di tenggara Kalimantan terletak di sebuah pulau yang bernama Pulau Laut. Salah satu kabupaten terbesar di Kalimantan Selatan. Poros maritim Indonesia telah disemayamkan di daerah ini. Kordinat Kotabaru yang tepat berada di perpotongan garis x-y Indonesia, tentu menjadi pendukung geografis dan geostrategis Kotabaru menjadi poros maritim. Sebuah idaman, harapan, dan cita-cita untuk menjadi poros maritim dunia menjadi idaman Indonesia. Program NAWA CITA di bidang maritim siap mengindahkan rancangan program pembangunan. Namun siapa yang harus bertanggung jawab dan berperan aktif? Di pagi yang indah, suasana hati yang damai menuntun langkah sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia untuk siap menjalankan misi hari ke-7 Research Camp 2015 sejak 18 Agustus lalu. Peran aktif mahasiswa dalam mendukung program pembangunan sangat penting.
18
Live Diary & Stories
Pemikiran kritis, ide kreatif, dan analisa masalah menjadi hal yangharus dimiliki mahasiswa. Kontribusi dan kolaborasi menjadi kunci utama kami. Melangkahkan kaki, menatap kedepan, serta melukis harapan bersama. Ini semua demi tercapainya cita-cita luhur bangsa untuk kemajuan kelautan Indonesia Segala informasi mulai kami analisis. Pemikiran yang terbuka, dan kritis siap mencerna segala informasi dan data yang kami dapatkan dalam tujuh hari ini. Melihat kembali hasil wawancara dan pengumpulan data, Software SPSS menjadi pegangan utama. Menginput data, menganalisis dinamika kehidupan nelayan di Pulau Laut Utara, Kotabaru, juga menarik benang merah permasalahan yang ada, serta melakukan uji hipotesa adalah aktivitas kami hari ini. Lukisan “popeye� itu akan kami buat bersama. Selagi udara Kotabaru masih kita hirup, kami akan terus menggoreskan tinta-tinta dalam kanvas yang telah kita siapkan. Untuk Indonesia yang lebih sejahtera. Untuk Nawa Cita pembangunan Indonesia.
19
Research Camp Kotabaru
Esok, Cahaya Baru di Kotabaru Ditulis 26 Agustus 2015
Hari ini begitu sempurna bagi kami para rombongan peserta Research Camp 2015. Keramahan dan kearifan Desa Sarang Tiung, Kotabaru tergambar begitu nyata bagi kami. Sepuluh hari sudah kami menginjakkan kaki di Kotabaru, sepuluh hari sudah kita hirup udara Kalimantan Selatan, dan sepuluh hari sudah kita lihat, saksikan, serta rasakan sejuta pesona kearifan Kotabaru, khususnya Desa Sarang Tiung. Malam tadi, begitu kental suasana momen indah kami ukir bersama warga Sarang Tiung. Keceriaan begitu menghiasi kami ketika kami menonton film bersama pada bioskop mini (layar tancap) yang kita buat di depan rumah Pak Amir. Senyum, canda, dan tawa, tergambar jelas dalam wajah mereka. Semua momen indah kami seolah tak bisa dilepaskan, disaat sore hari kita semua berfoto bersama Daeng Narang (nama sebutan Pak Amir), Ibu Hamidah, dan puteri beliau yang bernama Winda. Kami semua mengabadikan gambar di depan rumah Pak Amir dan di pantai depan rumah beliau. Suasana haru mungkin menyelimuti kami. Disaat mentari mulai menyinari kembali setelah bioskop selesai diputar, inilah disaat kita berada di hari terakhir di Desa Sarang Tiung, Kotabaru. Memulai kegiatan kami hari ini dengan penuh semangat. Melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat bertema-kan “Inklusi keuangan� yang mana kita berharap, supaya masyarakat nelayan Kotabaru bisa lebih mengelola keuangannya lebih baik, serta dapat mengerti mengenai permodalan usaha nelayan. Masalah keuangan dan modal nelayan memang harus kita bawahi disini. Penelitian yang berfokus pada masalah tersebut memang kami angkat. Masyarakat sangat antusias mengikuti materi yang dibawakan oleh Bank Kalimantan Selatan dan Koperasi Madani.
20
Live Diary & Stories
“
Mentari mulai terik menyinari. Mungkin esok kita tak bisa melihat mentari itu di Kotabaru. Merasakan indahnya siang ditemani sepoi angin laut, dan deburan ombak. Seluruh suasana yang kita rasakan sepuluh hari ini mungkin tak sanggup kami gambarkan. “ Melanjutkan aktivitas ke dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten menjadi kegiatan terakhir kami di Kotabaru hari ini. Mempresentasikan hasil penelitian kami dan memberikan rekomendasi kepada jajaran stakeholder Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Kotabaru serta pemerintah daerah setempat. Segala masalah, data, informasi, kami sampaikan ke dalam sebuah analisa penelitian yang kami berikan. Apresiasi besar kami dapatkan. Kami berharap, agar lukisan “popeye” yang kami buat dapat dilanjutkan oleh pemerintah untuk kemajuan kelautan Kotabaru, dan untuk kemajuan maritim Indonesia. Matahari mulai cepat menggelincir. Kesempatan kami melihat indahnya mentari di Kotabaru sedikit demi sedikit mulai sirna. Setelah dari DKP Kabupaten Kotabaru, kami menyempatkan untuk mengunjungi Siring Laut. Sebuah tempat mirip dermaga di pinggir laut, menyajikan pemandangan indah hamparan laut dan langit. Mungkin kami bisa menyaksikan cahaya mentari untuk terakhir kali disini. Namun kami ingin menyaksikan itu semua di sebuah desa, di sebuah rumah yang mencorehkan sejuta coretan memori untuk kami, rumah Pak Amir, Desa Sarang Tiung. Dan momen itu pun akhirnya tiba.
“
Mentari terbenam begitu indahnya. Cahaya itu yang selalu menemani kami, cahaya yang selalu memberikan semangat kepada langkah kaki kami, cahaya yang membuat kami bisa melihat serta merasakan sejuta kearifan dan keindahan Kotabaru, cahaya yang selalu memberikan keindahan dalam sejuta coretan memori kami disini. Namun sayang, cahaya-cahaya yang selama ini menjadi sahabat kami itu akhirnya melambaikan tangan perpisahan kepada kami. Terima kasih mentariku, engkau telah menjadi lebih dari sahabat buat kami disini. Mungkin esok kami tak melihatmu disini, serta tak melihat lagi Rumah Pak Amir, Sarang Tiung, Pulau Laut Utara, Kotabaru dan
21
Research Camp Kotabaru
Kalimantan. Tapi kami bisa melihat itu semua kelak lewat cahaya yang kami lihat di Jakarta nanti.” Kami percaya, esok hari akan terbit kembali mentari disini, di rumah Pak Amir, di Desa Sarang Tiung, dan Kotabaru, Kalimantan Selatan.
“
Kami percaya, cahaya itu akan benar-benar mencerahkan dan menyinari daerah ini kembali. Cahaya yang akan selalu membawa perubahan berarti disini. Cahaya yang akan membawa cita-cita nyata seluruh warga disini. Cahaya yang akan selalu membawa harapan dan membawa sejuta kemaslahatan untuk Sarang Tiung dan Kotabaru.” Semua yang tergambar itu, hanya bisa kami torehkan lewat tulisan ini. Surat kecil yang akan selalu kami terbangkan di langit nan biru untuk Kotabaru. Sejuta coretan tinta kanvas pada lukisan “popeye” serta memori dalam jiwa dan hati, akan menjadi harta berharga untuk kami. Semuanya indah. Semuanya luar biasa. Terima kasih Tuhanku, takdirmu telah membawa kami disini. Dan esok, berikan cahaya terbaikMu untuk Kotabaru-ku.
22
Diary para Pewujud Mimpi
Bagian
2
Diary Para Pewujud Mimpi
23
Research Camp Kotabaru
Bagus Anugerah Yoga Pratomo – PLD XXVIII “15 Hari Menyusuri Banua� Tanggal 12 Agustus 2015, itulah awal perjalananku ke Kalimantan Selatan dalam rangka penelitian Research Camp dari Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya, sebuah UKM yang aku ikuti di kampus. Sebenarnya kegiatan penelitian dimulai tanggal 18, namun beberapa dari kami datang sebelum acara sebagai tim advance dari acara ini. Berhubung rumahku juga masih di Pulau Kalimantan dan memang tidak ada kegiatan sebelum RC, akhirnya aku ditunjuk jadi salah satu anggota tim advance, padahal naik bus dari rumah hingga ke Banjarmasin itu pun habis waktu 24 jam. Entah karena infrastruktur di Kalimantan yang masih kurang baik atau karena saking luasnya Indonesia ini. Hari itu tanggal 12 Agustus, aku bertemu dengan Nugi, Tri, dan Kak Safira di Bandara Syamsudin Noor, Banjarbaru. Periode advance adalah dari tanggal 12 hingga kedatangan temanteman kami di tanggal 18. Kegiatan harian kami adalah mendatangi kantorkantor lembaga terkait untuk meminta perizinan untuk penelitian dan memohon kesediaan pemerintah setempat untuk menerima kedatangan rombongan kami, serta menyelesaikan berbagai masalah teknis. Selama di Banjarmasin, kami berempat menginap di rumah teman Ibu Kak Safira dan diantar oleh anak teman Ibu Kak Safira yang namanya Kak Ajai. Ibu Kak Safira punya teman banyak di Banjarmasin, karena dulu sempat menghabiskan masa SMP-nya di Banjarmasin. Selain itu, kami juga tertolong terkait komunikasi dengan masyarakat setempat karena ada Nugi yang asli Banjar. Proses perizinan kami untuk melakukan penelitian bisa dibilang gampang-gampang susah, karena terkadang pejabat pemerintah yang bertanggung jawab untuk suatu hal sedang tidak ada di tempat apalagi kantor Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Selatan yang sekarang terletak terpusat di Banjarbaru sehingga cukup jauh untuk diakses. Aku
24
Diary para Pewujud Mimpi
sulit membayangkan bagaimana kerepotannya kami jika tak ada bantuan dari Kak Ajai. Selain ke kantor-kantor, kami juga sempat pergi ke Bekantan Ecotour di Pulau Bakut yang terletak tepat di bawah Jembatan Sungai Barito. Ada alasan mengapa kami perlu datang ke tempat ini. General Advisor dari Bekantan Ecotour ini adalah Pak Zulfa, Anggota Komisi III DPRD Provinsi Kalsel yang juga bertanggung jawab mengenai masalah perikanan. Dari beliaulah kami memperoleh kemudahan yang membuat kami tak perlu melalui birokrasi yang panjang selama kami mengatur perizinan untuk penelitian RC ini. Pak Zulfa merupakan teman dari H. Ridha, teman ibu Kak Safira yang juga ayah dari Kak Ajai yang telah dengan baik hati mengantar kami selama di Banjarmasin. Wisata Bekantan Ecotour ini rencananya akan dijadikan destinasi terakhir kami sebelum kembali ke Jakarta pada tanggal 27 Agustus. Tempat ini unik, karena penangkarannya terletak tidak jauh dari rumah masyarakat, namun tetap dengan suasana alaminya. Kami mengelilingi Pulau Bakut dengan menaiki sebuah speedboat. Bekantan di zaman sekarang sudah menjadi spesies langka, bahkan di pulau ini pun populasinya tidak sampai 50, dan hanya muncul sesekali ketika kami mengelilingi pulau tersebut. Karena waktu yang terbatas, kami tak sempat untuk masuk dan menginjakkan kaki di pulau tersebut. Tanggal 15 Agustus, kami akhirnya pergi ke Kotabaru. Kotabaru terletak di pulau yang berbeda dengan Kalimantan. Pulau tersebut bernama Pulau Laut, dan untuk mencapainya kami harus menyeberang menggunakan kapal ferry dari Pelabuhan Batulicin ke Pelabuhan Tanjungserdang. Perjalanan dari Banjarmasin menuju ke Kotabaru memakan waktu sekitar 9 jam menggunakan bus, waktu yang cukup lama untuk perjalanan dalam satu provinsi. Padahal Provinsi Kalimantan Selatan ini adalah provinsi yang paling kecil di Pulau Kalimantan, namun perjalanan antarkotanya sendiri masih membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebagai orang asal Kalimantan, aku merasa hal ini telah menjadi masalah yang belum ada solusinya sampai saat ini, yaitu untuk menjadikan transportasi menjadi lebih murah, cepat, dan nyaman.
25
Research Camp Kotabaru
Pertama kali melihat Kotabaru, hal pertama yang terpikir olehku adalah bahwa tempat ini sangat mirip dengan kampung halamanku, Bontang. Yang pertama adalah dari segi keberagaman penduduknya. Jika kota lain di Provinsi Kalimantan Selatan didominasi oleh masyarakat Banjar sebagai penduduknya, maka berbeda halnya dengan Kotabaru. Di Kotabaru, kita dapat menemukan penduduk berasal dari berbagai daerah dan latar belakang yang berbeda-beda yang telah hidup bersama. Para pedagang disini misalnya, banyak yang berasal dari Jawa. Lalu jika kita mencoba pergi ke daerah pinggiran sekitar pantai, akan kita temukan banyak orang beretnis Bugis dan Makassar. Yang kedua adalah melimpahnya Kotabaru dengan sumberdaya lautnya. Hal ini pula yang membuat kami menjadikan Kotabaru sebagai tempat kami melakukan penelitian Research Camp 2015. Letak Kotabaru yang tepat di tengahtengah jalur perairan Indonesia menjadikannya sebagai tempat yang strategis untuk dijadikan poros maritim Indonesia. Jika di Banjarmasin kami dapat bantuan dari Pak Zulfa, maka di Kotabaru kami mendapat bantuan dari Pak Syaiful. Beliau adalah anggota DPRD Kabupaten Kotabaru, dan menangani masalah perikanan juga. Oleh Pak Syaiful, kami diperkenalkan dengan Pak Sabirin yang merupakan tokoh masyarakat di Kotabaru. Pak Sabirin kemudian membawa kami ke dua desa yang menurutnya potensial untuk dijadikan tempat penelitian kami. Yang pertama adalah Desa Sarangtiung yang terletak di sebelah utara pulau. Di Desa Sarangtiung, kami langsung dikenalkan dengan Mas Hendra yang merupakan salah satu warga disana. Mas Hendra ini dulunya nelayan, namun akhirnya memutuskan untuk beralih profesi menjadi karyawan di sebuah perusahaan finance yang memiliki cabang di Kotabaru. Setelah dari Desa Sarangtiung, kami dibawa oleh Pak Sabirin ke Desa Rampa Baru tempat beliau tinggal yang merupakan tempat perkampungan nelayan juga. Jika ingin dibandingkan, perkampungan nelayan di Desa Sarangtiung dan Rampa Baru sedikit berbeda. Jika di Desa Sarangtiung perkampungan nelayan dibangun di daerah pinggir pantai, maka di Desa Rampa Baru perkampungan nelayannya dibangun di atas kayu yang ditancapkan ke dasar laut. Perkampungan Desa Rampa Baru mirip dengan Perkampungan
26
Diary para Pewujud Mimpi
Bontang Kuala di kampung halamanku, kurasa ini memang merupakan ciri khas perkampungan masyarakat nelayan dari Sulawesi. Pada akhirnya kami memutuskan untuk memilih Desa Sarangtiung sebagai tempat penelitian kami karena dipandang tempat tersebut lebih memenuhi kriteria dalam research design yang telah dibuat oleh masingmasing kelompok. Untuk tempat tinggal kami selama di Desa Sarangtiung, Alhamdulillah ada seorang nelayan yang bersedia rumahnya dijadikan basecamp kami. Beliau adalah Pak Amir beserta istrinya, Ibu Hamidah. Beliau berdua bisa dibilang baik sekali pada kami karena bersedia menampung kami ketika kampungnya sedang mengalami kesulitan baik keuangan, pangan, maupun air. Oh iya, diantara para nelayan dikenal yang namanya musim tenggara, itu adalah musim ketika ikan sedang sangat jarang muncul. Pokoknya pendapatan nelayan menurun drastis karena jumlah ikan tangkapan yang turun. Dan kebetulannya, kedatangan kami ke Kotabaru bertepatan dengan paceklik bagi para nelayan ini sehingga apa yang dilakukan oleh Pak Amir dan Ibu Hamidah ini bisa dibilang adalah suatu pengorbanan besar! Tanggal 18 Agustus 2015, akhirnya rombongan pertama research team datang ke Kalimantan Selatan dan dimulailah penelitian kami. Aku masuk ke dalam kelompok 4, namun tidak semua anggota dari kelompok 4 hadir. Untuk beberapa hari pertama ini aku hanya bertiga dengan Kak Safira dan Kak Lili, sedangkan Kak Zofa akan menyusul bersama rombongan kedua yang akan datang di tanggal 22 Agustus. Kegiatan penelitian ini bisa dibilang gampang-gampang sulit. Proses mengumpulkan data tidak selalu mudah, karena kami perlu menemukan responden yang sesuai dengan kebutuhan kami. Pada awalnya, kelompok 4 berencana meneliti nelayan yang memiliki pekerjaan lain di samping pekerjaannya sebagai nelayan yang disebut juga sebagai nelayan sambilan. Hanya saja kenyataannya di lapangan, nelayan yang memiliki profesi selain pekerjaan nelayan sangat jarang ditemui. Akhirnya kami putuskan untuk mengubah judul penelitian kami, dari yang tadinya berfokus pada pendapatan nelayan sambilan dan penuh menjadi analisis pendapatan nelayan antara musim ramai dan musim sepi (tenggara). Kami mengusahakan agar sebisa mungkin kami tetap bisa melakukan penelitian 27
Research Camp Kotabaru
dengan data yang sudah didapat. Hal lain yang menjadi kendala selama melakukan penelitian adalah transportasi. Desa Sarangtiung terdiri dari 10 RT dan jarak antar RT tersebut cukup jauh untuk dicapai tanpa menggunakan kendaraan. Kegiatan penelitian kami berakhir di tanggal 26 Agustus 2015, ketika di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotabaru kami mempresentasikan hasil penelitian kami yang selama kurang lebih seminggu dilakukan. Respon dari orang-orang pemerintahan cukup beragam terhadap data yang kami tampilkan. Kalau menurut pendapat pribadiku sendiri, masih banyak yang perlu diperbaiki dari hasil penelitian kami dan memang waktu yang hanya seminggu terlalu singkat untuk melakukan penelitian. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, tentu kami perlu waktu yang lebih lama dalam melakukan penelitian dan data yang diambil tidak hanya dari satu desa saja, namun juga dari seantero Pulau Laut. Sayangnya kami terkendala oleh waktu dan jarak. Ada beberapa pelajaran berharga yang aku dapatkan selama kegiatan research camp ini. Yang pertama, tentu saja belajar bagaimana melakukan sebuah penelitian. Belajar memahami bahwa terkadang kondisi di lapangan tidak selalu sesuai dengan kondisi ideal yang kita pelajari lewat buku atau internet. Bahwa kita perlu mengambil langkah cepat untuk menyesuaikan penelitian dengan kondisi di masyarakat dengan waktu yang terbatas. Yang kedua, merasakan bagaimana hidup di masyarakat yang kondisi kehidupan sehari-harinya terbatas dan jauh dari teknologi. Kita jadi tahu bahwa di perkampungan nelayan, mereka seringkali tidak mendapatkan ikan di musim tenggara dan sering kesulitan mendapatkan air bersih. Yang ketiga, adalah kerjasama tim. Untuk melakukan penelitian tentu tidak bisa dilakukan sendiri. Perlu bekerjasama dengan rekan kerja dan saling membantu ketika dalam kesulitan.
28
Diary para Pewujud Mimpi
Firda Amalia – PLD XXVIII Perjalanan ISRS 2015 penuh dengan pengalaman seru, sangat berkesan, real action, dan saya merasa banyak memetik pelajaran berharga dari masyarakat. Di mulai pada hari pertama berangkat, yakni tanggal 17 Agustus 2015 , kami berangkat dari Kukusan Teknik (daerah perkampungan di belakang Kampus UI) pukul 21.00 WIB dan terbagi menjadi 3 rombongan dua rombongan lain berangkat menggunakan taxi dari Kober dan Pondok Cina (daerah perkampungan di seberang Kampus UI, di Jalan Margonda, Depok). Sampai di Bandara Soekarno Hatta pukul 22.30 WIB. Karena terlalu sibuk berurusan dengan tiket dan logistik , saya tidak terpikir hari itu adalah perayaan HUT RI ke-70. Sesampainya di bandara baru teringat bahwa kami merayakan kemerdekaan RI bertepatan dengan keberangkatan RC ke Kalimantan Selatan, salah satu pulau yang belum pernah saya singgahi sebelumnya. Sebenarnya pesawat kami take off keesokan harinya pukul 5 pagi, sehingga mengharuskan kami menginap di bandara, dan itu rasanya seperti didalam kulkas, dingin membeku jadi saya tidak bisa tidur semalaman. Saat di pesawat, saya bisa tertidur selama sekitar satu jam, namun momen mengerikan terjadi saat pesawat akan mendarat, pesawat kami salah mengambil jarak untuk mendarat sehingga gagal landing dan terpaksa harus menaikkan ketinggian kembali ke atas, akan tetapi Alhamdulillah pendaratan kedua berhasil dengan selamat. Sesampainya di bandara kami menunggu bis yang telah disewa oleh Kak Safira, Tri, dan Nugi. Bis tersebut mengantarkan kami ke dinas KKP untuk opening ceremony, kemudian mengantarkan kami ke Desa Sarang Tiung , menuju rumah Pak Amir yang akan kami jadikan basecamp selama penelitian di sana. Kami sampai di rumah Pak Amir pada tanggal 18 Agustus 2015 sekitar pukul 23.30 WITA dan kami disambut hangat oleh keluarga beliau. Istrinya yang bernama Ibu Hamidah juga menghidangkan teh hangat dan 29
Research Camp Kotabaru
kue untuk menyambut kedatangan kami. Saya pribadi merasa sangat senang. Kelelahan perjalanan serta rasa kantuk akibat kurang tidur seketika terbayarkan dengan sambutan Kalimantan Selatan yang menyentuh hati dari keramahan penduduk dan sikap pemerintah dinas KKP yang mendukung penelitian kami. Hari ke tiga (19 Agustus) dalam rangkaian perjalanan RC telah datang. Namun ini merupakan hari pertama dimulainya penelitian ke warga Kotabaru. Yang kami lakukan adalah berkenalan dengan warga, datang ke acara hajatan warga dan memberikan sedikit hiburan bagi warga sekitar melalui dua buah lagu yang kami lantunkan bersama di panggung. Malu, tapi saya merasa sangat bahagia. Sebelumnya, di hari pertama penelitian ini saya sangat terkesima dengan indahnya pemandangan pantai di depan rumah Pak Amir. Sejauh mata memandang, bentangan laut dan pantai yang memanjang , dihiasi hutan bakau dan perahu-pertahu warga, sungguh saya sangat takjub. Hari ke dua penelitian (20 Agustus) kami mulai berdiskusi bersama tim advance mengenai narasumber dan sampel mana yang cocok dengan penelitian kami. Setelah mendapatkan sejumlah data dan informasi, kami mulai menyebar. Kelompok saya meneliti tentang bantuan PUMP, dan mencari narasumber di dua desa yakni Desa Semayap dan Desa Sarang tiung itu sendiri ke RT 6 sampai dengan RT 10, mencari narasumber dengan kriteria merupakan anggota atau ketua dari kelompok penerima bantuan PUMP. Hari ini pencarian narasumber di mulai dari Desa Semayap terlebih dahulu. Kami datang kesana dan mewawancarai dua orang penerima PUMP yakni Pak Saini dan Pak Haji Jafar. Uniknya, masyarakat di desa Semayap ini heterogen, ada yang dari suku Banjar ataupun suku Mandar, sehingga sebagian dari mereka agak susah berkomunikasi dengan bahasa indonesia. Malam harinya, kami mengadakan evaluasi panitia secara menyeluruh. Hari ke tiga penelitian (21 agustus 2015) kami meneliti di desa Sarang Tiung. Sebelum datang ke rumah-rumah warga, kami terlebih dahulu mendatangi kantor desa untuk menanyakan lebih mendalam mengenai siapa saja nama warga penerima dana PUMP di Desa Sarang Tiung. Kami di sambut baik oleh bendahara desa dan Pak Kades, serta 30
Diary para Pewujud Mimpi
kami juga berhasil mendapatkan apa yang kami cari tersebut. Kemudian, kami mendatangi narasumber pertama , yakni Pak Hanis, namun beliau tidak ada dirumah, kemudian kami melanjutkan pencarian narasumber. Kami mendapat satu narasumber yakni pak Burahimah. Hari ke empat , lima enam, tujuh dan seterusnya kami terus mencari narasumber, dan beberapa yang kami dapatkan antara lain Pak Pansa, Pak Sutar, dkk. Benang merah dari permasalahan bantuan PUMP ini antara lain karena kurang jelasnya sistem pengelolaan dana dan kurangnya pengawasan. Kelompok Pak Burahimah tidak sempat menikmati hasil bagan karena roboh terkena badai. Kelompok pak sutar dananya tidak dibagi dengan adil , dan ada unsur politik terkait ketua kelompok yakni Pak Hanis yang saat itu mencalonkan diri sebagai caleg, dapat dikatakan ada unsur KKN disini. Berbeda dengan dua kelompok lainnya satu kelompok ini berhasil mengelola dana mereka bahkan bisa membeli tanah dari hasil pengelolaan dana PUMP tersebut. Intinya, kesimpulan kelompok kami yakni implementasi program PUMP di Desa Sarang Tiung Kabupaten Kotabaru masih kurang efektif dalam membantu kebutuhan nelayan tangkap. Hal ini didasarkan berbagai temuan data yang didapatkan selama proses wawancara berlangsung. Temuan dibagi ke dalam 3 kelompok besar permasalahan yang muncul, yaitu informasi, regulasi dan evaluasi. Masalah informasi yang dihadapi oleh warga Sarang Tiung adalah warga yang kurang paham mengenai program bantuan yang diterima, termasuk nama bantuan, tujuan bantuan tersebut diberikan dan bentuk bantuannya berupa apa. Warga cenderung menerima tanpa bertanya lebih lanjut mengenai dana bantuan tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan warga desa Sarang Tiung yang rata-rata hanya merupakan lulusan sekolah dasar. Selama proses penyaluran bantuan, kelompok sebenarnya diberikan seorang pendamping untuk memberikan pengetahuan dan bantuan terkait dengan pengelolaan dana bantuan. Sayangnya, tenaga pendamping ini kurang dimaksimalkan oleh warga karena kurangnya pengetahuan mereka. Ditambah dengan tidak aktifnya pendamping dalam mendampingi dan memantau warga, sehingga
31
Research Camp Kotabaru
warga penerima bantuan PUMP tidak merasa memiliki keterikatan dengan pendamping. Dari hasil penelitian ini , kelompok saya mempunyai beberapa saran. Sebaiknya, pemerintah tidak hanya memberikan dana bantuan berupa uang saja, melainkan juga soft skill, karena yang terpenting sebenarnya adalah kemampuan nelayan dalam mengolah dana bantuan tadi. Jika nelayan tidak dibekali dengan kemampuan, maka dana bantuan yang diberikan tidak akan mempunyai dampak yang signifikan dalam kehidupan nelayan karena dana tersebut tidak menjadi modal bergulir.Berdasarkan hasil wawancara, baik kepada anggota maupun ketua dari kelompok penerima PUMP, hampir semua proses pengajuan dana ke dinas PKP diurus oleh ketua kelompok. Ketika anggota ditanya mengenai prosedur maupun hal yang berkaitan dengan teknis pengajuan, mereka tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Hal ini disebabkan karena kurang proaktifnya warga. Akibat ketidak tahuan ini, maka kemungkinan bagi anggota untuk dicurangi akan lebih besar.Terkait dengan regulasi, hasil wawancara menemukan bahwa persyaratan yang diajukan untuk mendapatkan bantuan masih kurang jelas. Hal inilah yang kemudian dikeluhkan oleh beberapa responden ketika ditanya mengenai kesulitan saat proses pengajuan. Selain itu, responden juga tidak tahu mengenai mekanisme pemilihan kelompok yang diterima proposalnya hingga kemudian mendapatkan dana bantuan. Demikianlah laporan perjalanan penelitian saya, dan hari terahir ditutup dengan berbelanja oleh-oleh khas Kalsel, ke dinas KKP , namun sayangnya rencana ke Pulau Bakut tidak dapat diikuti oleh semua panitia RC, dan hanya diwakilkan oleh Widi (Ketua), Ihsanul serta Nugi. Pengalaman RC ini sungguh luar biasa, tidak akan pernah terlupakan. Bahkan ketika kami pamit, Bu Hamidah memeluk saya dengan erat dan dengan mata yang berkaca-kaca, membuat saya semakin berat meninggalkan Kalimantan. Semoga suatu saat bisa berkunjung ke Kalimantan Selatan dan memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat disana. ^_^
32
Diary para Pewujud Mimpi
Ihsanul Afwan – PLD XXVIII Dua Minggu sebelum masuk kuliah semester ganjil tahun 2015, aku bersama teman-teman Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya UI mengadakan penelitian ke daerah Sarang Tiung, Pulau Laut Utara Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan. Daerah ini merupakan salah satu tempat yang diproyeksikan sebagai poros maritim Indonesia seperti program Nawacita yang di dengung-dengungkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal kepemimpinannya. Suatu berkah dari Tuhan kepadaku dan beberapa temanku karena berkesempatan berangkat. Hal itu karena pulau yang berada di selatan Kalimantan ini menyajikan keindahan alam, budaya, dan kearifan lokal yang menawan. Berangkat dari Jakarta pukul 05.45 WIB dengan waktu 1 jam 45 menit, menjadi seolah 2 jam 45 menit apabila menggunakan perhitungan waktu setempat yang berdasarkan matahari karena kami sampai pukul 08.45 WITA. Berbeda ketika pulang yang lama perjalanan menjadi seperti hanya 45 menit, karena berangkat pukul 17.00 WITA dan sampai di Jakarta pukul 17.45 WIB Dari Kota Banjarmasin ke Kabupaten Kotabaru memakan waktu delapan jam jika ditempuh dari jalur darat atau hanya dua puluh menit jika menggunakan pesawat jarak pendek. Selain barang bawaan yang banyak, kami sendiri memilih jalur darat karena interval harga yang cukup jauh antara keduanya. Kami tinggal di pesisir desa Sarang Tiung bersama dua keluarga batih asal Sulawesi yang berada dalam satu rumah. Baru kali ini aku tinggal di tempat yang hanya berjarak beberapa meter dari bibir laut. Sebuah tempat yang biasanya harus dibayar untuk sekedar masuk serta dengan waktu yang singkat. Di tempat ini, semua gratis serta dalam waktu yang cukup lama. Tiap hari angin laut menjadi temanku bercengkrama, ditemani pohon kelapa yang menari-nari serta nyanyian ombak di pinggir
33
Research Camp Kotabaru
pantai. Selain keindahan, banyak arti kehidupan yang diajarkan pada kegiatan ini. Ajang Penerapan Teori Selama Kuliah Banyak waktu dihabiskan menuntut ilmu di kelas untuk materi dan teori semata. Pada penelitian ini, aku mencoba menerapkan dan mempraktikkan teori yang di dapat di kelas. Misalnya bagaimana menjadi “native� di daerah orang lain dan yang terpenting, bagaimana kita bisa menghargai adat dan tradisi setempat. Saat wawancara misalnya, kita diajarkan untuk menggunakan bahasa yang sopan dan meminta izin terlebih dahulu; tidak bertanya sesuatu yang bersifat pribadi, sensitif, dan sebagainya. Teori-teori turun lapangan yang diajarkan saat kelas metode penelitian kualitatif menjadi terasa bermanfaat bagiku. Membuka mata akan realita di pedalaman Indonesia Desa Sarang Tiung dibandingkan daerah lain di Jakarta menurutku masih terkendala dari bidang ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Selama ini aku berada di tempat yang mudah di akses dan dekat dengan pusat pemerintahan. Berbagai fasilitas penunjang diperoleh. Dengan penelitian ini aku sadar, masih banyak daerah di nusantara yang kesulitan memperoleh jaringan telekomunikasi, transportasi, pusat kesehatan, dan sebagainya. Di desa ini, mayoritas anak-anak bercita-cita menjadi nelayan, meneruskan apa yang menjadi pekerjaan orang tua. Daeng Emba, Sulawesi atau Kalimantan? Penelitian kali ini aku diberi gelar daeng emba oleh keluarga tempat kami tinggal. Kami semua diberi gelar yang berbeda-beda sesuai karakter kami berdasarkan pandangan pemberi gelar. Daeng Emba dalam bahasa Sulawesi berarti pengayom. Aku merasa sangat terpuji dengan gelar ini karena menurutku sebuah kehormatan diberi gelar yang artinya pun sangat menggambarkan pemiliknya. Lucunya kami melakukan penelitian di daerah Kalimantan Selatan yang mayoritas penduduknya merupakan suku Banjar, tetapi diberikan gelar asal Sulawesi. Hal ini karena keluarga tempat kami tinggal merupakan pendatang asal Sulawesi pada daerah ini. 34
Diary para Pewujud Mimpi
Sejuta Kenangan Padatnya jadwal penelitian tidak membuat kami tak bisa menikmati indahnya daerah ini. Hampir tiap hari aku dan teman-teman “bermain� di Pantai. Mulai dari sekedar berlari-lari diantara kejaran ombak, bernyanyinyanyi tidak jelas layaknya bocah, hingga membuat komplek istana dari pasir yang imajinatif. Satu yang paling berkesan hingga saat ini adalah keputusanku serta dua temanku Widi dan Nugi yang menunda kepulangan kami ke Jakarta. Widi bertemu temannya di Kalimantan, Nugi kembali ke kampungnya di Banjarmasin. Keinginan ini tiba-tiba terfikir dibenakku dua hari sebelum pulang. Padahal, aku tak memiliki kenalan atau keluarga di Kalimantan. Aku tak mampu menahan “naluri� petualanganku untuk mengeksplorasi kota Banjarmasin meski harus merogoh kocek cukup dalam untuk biaya perubahan tiket, akomodasi, penginapan, dan konsumsi. 27 Agustus masih tersisa satu agenda yang harus kami lakukan, tetapi terkendala karena keterlambatan penyeberangan kapal feri hingga dua jam. Agenda mengunjungi pulau Bakut untuk melakukan konservasi alam tak mungkin dibatalkan. Tetapi tak mungkin juga memaksakan kegiatan itu karena teman-teman lain berpotensi ketinggalan pesawat. Entah mungkin ini hikmah dari Tuhan berupa ilham yang diberikan kepada kami bertiga agar menunda kepulangan, akhirnya kami menjadi delegasi kegiatan ini. Kami bertiga mewakili KSM menghadiri acara yang diliput media lokal dan nasional tersebut. Bayangkan jika kami tak menunda kepulangan ke Jakarta, sebuah reputasi yang buruk akan melekat di KSM karena batal melakukan kerjasama dengan pihak terkait. Sebuah ilham yang menyelamatkan segalanya. Perjalanan yang takkan pernah terlupakan. Banyak kenangan yang tak bisa aku deskripsikan. Selain penelitian yang menjadi tugas utama kami, aku merasa diajarkan bagaimana realitas kehidupan sesungguhnya. Bagaimana arti penting persahabatan, kejujuran, integritas, totalitas, loyalitas, dan keikhlasan. Dimuat juga di ihsanulafwan.com
35
Research Camp Kotabaru
Ifan Teguh Prima – PLD XXVII Cerita ini saya susun di Jakarta, hari kedua sampai hari ke-75 setelah kepulangan dari desa Sarang Tiung. Perjalanan saya ke Kotabaru adalah perjalanan paling terakhir dari rombongan peneliti Research Camp 2015 yang berjumlah sekitar 20 orang. Seharusnya kami, rombongan peneliti dan panitia berangkat pada tanggal 18 Agustus lalu. Namun, karena saya memiliki beberapa amanah lain yaitu mengurus display UKM KSM Eka Prasetya, menghadiri resepsi pernikahan teman satu angkatan dan jurusan di kampus (Happy Wedding, Scott!!), dan mengikuti training dari beasiswa saya, maka saya baru bisa menyusul rombongan pada hari Senin, 24 Agustus 2014. Dengan kata lain, saya hanya akan berada di tanah Banua selama 4 hari. Sebelum masuk ke dalam cerita saya di perjalanan ataupun di Kalimantan Selatan saya ingin menceritakan sebuah hal kecil yang terjadi sebelum saya berangkat. Jadi, perjalanan kami direncanakan berlangsung dari tanggal 18-27 Agustus 2015. Sebelumnya saya menganggap perjalanan ini akan berlangsung sampai tanggal 28 Agustus, hal ini karena rundown acara yang baru selesai sangat telat dan pada rapat-rapat sebelumnya saya dengar bahwa acara sampai tanggal 28 Agustus. Karena saya berangkat sendiri, saya juga memesan tiket pesawat sendiri dan lupa untuk mengecek tanggal kepulangan di rundown yang sudah jadi, saya akhirnya salah memesan tiket kepulangan Banjarmasin-Jakarta. Saya sadar salah memesan tiket sehari setelah memesan tiket pada hari display UKM yang kedua, saudari Oriza tiba-tiba membicarakan RC dan saya menyebut tanggal pulang yaitu tanggal 28 Agustus (saya lupa alur pembicaraan ini, tapi intinya seperti itu), dan kepanikan mulai terjadi karena negara api menyerang. Saya diberikan hidayah oleh Allah SWT (melalui saudari Oriza) mengenai kekhilafan saya dan saya panik karena saya kira bahwa untuk mengubah jadwal harus ke kantor maskapai tersebut di Jakarta Pusat. 36
Diary para Pewujud Mimpi
Singkat cerita saya menghubungi customer service maskapai penerbangan tersebut dan kemudian bisa menyelesaikan segala masalah yang terjadi, pengalihan tanggal penerbangan bisa dilakukan. Pada hari keberangkatan, saya berangkat sendirian dari rumah kosan di Depok menuju Bandara Soetta. Pesawat yang saya naiki adalah pesawat pukul 7.30 WIB sehingga saya harus berangkat dari rumah kosan pukul 02.00 WIB untuk menghindari kemacetan Jakarta yang parah. Rencana awal saya adalah menaiki taksi dari rumah kosan menuju terminal Pasar Minggu, lalu menaiki damri untuk menghemat biaya. Apabila naik taksi dari rumah kosan sampai bandara bisa-bisa saya harus mengeluarkan uang sekitar Rp220 ribu atau lebih. Setelah sebelumnya memesan, pukul 02.00 WIB saya menaiki taksi tersebut. Ketika saya naik dan ditanyakan tujuan saya kemana, saya ceritakan mengenai tujuan asli ke bandara tapi saya tidak ada uang kalau harus langsung naik taksi sampai bandara sehingga harus ke terminal pasar minggu dahulu. Bapak sopir yang mengantarkan saya waktu itu tiba-tiba menawarkan kepada saya, “mas, mau ga sekalian sampe bandara? tapi bayarnya 150 ribu aja ga usah pake argo�. Kebetulan bapak sopir itu memang ingin menuju bandara dan dia menawarkan mengantarkan sampai bandara dengan harga lebih murah dari biasanya. Tentu saja saya terima tawarannya supaya bisa lebih lama istirahat di bandara. Akhirnya saya sampai di bandara sekitar pukul 3.30 WIB. Penerbangan saya ke Banjarmasin sendiri tidak terganggu dan bisa sampai tepat waktu. Setelah saya sampai di Banjarmasin, saya harus berganti pesawat untuk menuju Kotabaru dengan pesawat baling-baling. Penerbangan ini akan menjadi pengalaman saya yang pertama untuk terbang dengan pesawat baling-baling, dan tentunya saya sangat excited. Jadwal penerbangan saya seharusnya adalah pukul 13.50 WITA selama 40 menit. Akan tetapi seperti yang sudah saya duga sebelumnya bahwa penerbangan saya akan delayed. Akhirnya saya baru naik pesawat pada pukul 15.00 WITA dan baru sampai di Bandara Stagen, Kotabaru pukul 16.00 WITA. Penerbangan tersebut sangat mengesankan namun saya rasa tidak perlu diceritakan panjang lebar di sini. Setelah sampai di sana, saya dijemput
37
Research Camp Kotabaru
oleh saudara Nugi dengan menggunakan motornya. Akhirnya saya bisa sampai di tempat penginapan para peneliti pada pukul 16.20 WITA. Hal pertama yang saya lakukan setelah sampai, berkenalan dengan pemilik rumah (bapak Amir) dan menaruh barang-barang saya adalah langsung pergi ke pantai yang berada tepat di depan rumah. Apabila kita sering melihat film-film Hollywood dimana terdapat hotel-hotel yang berada tepat di depan pantai dan hanya dipisahkan oleh jalan, maka kondisi sekarang tidak jauh berbeda. Pada saat tersebut, segala kelelahan yang saya rasakan dari Depok sampai desa Sarangtiung langsung hilang dengan pemandangan Selat Makassar serta hembusan angin sore yang sangat kencang. Sore itu akhirnya saya habiskan dengan pergi mengelilingi pesisir desa Sarangtiung. Pada malam harinya kami merencanakan kegiatan di esok hari. Kebetulan ketika saya sudah sampai di Desa Sarang Tiung, penelitian research camp sudah memasuki hari keenam dan hampir semua kelompok sudah selesai mendapatkan data dan informasi yang mereka cari. Saya sendiri tergabung dalam kelompok 1 dengan penelitian mengenai pengetahuan nelayan Desa Sarang Tiung terhadap rezim pembangunan kelautan di Indonesia. Kelompok saya mewawancarai 10 responden yang semuanya kepala RT dari masing-masing RT yang ada di RW tersebut. Kepala RT kami pilih karena kami menganggap mereka sebagai pihak yang representatif menggambarkan pandangan masyarakat umum serta mengetahui lebih banyak mengenai program-program pemerintah daripada nelayan biasa. Selain itu, kebanyakan dari mereka juga memang pernah ataupun sedang berprofesi sebagai nelayan lebih dari satu tahun di Desa Sarangtiung ini. Oleh karena itu, pada dasarnya mereka tepat dan mewakili target responden yang kami ingin cari. Saya tidak bisa bercerita banyak mengenai proses wawancara yang dilakukan oleh kelompok saya dan kelompok lainnya karena memang datang terlambat. Hari kedua saya di Sarangtiung dihabiskan dengan analisis data yang didapatkan oleh masing-masing kelompok. Di hari kedua ini mulai terlihat kelemahan-kelemahan penelitian yang dibawa oleh tiaptiap kelompok. Hal ini terlihat dari kurang dalamnya tinjauan literatur yang dilakukan, metode pengumpulan data, sampai bingungnya beberapa 38
Diary para Pewujud Mimpi
kelompok mencari variabel apa yang akan dianalisis beserta harapan hasilnya. Karena persiapan penelitian yang masih semrawut berakibat fatal kepada pelaksanaan penelitian yang tidak bisa maksimal, sehingga berimbas kepada hasil dan analisis kami. Pada hari ini akhirnya saya harus membantu beberapa kelompok lain dalam melakukan analisis, bahkan salah satu kelompok benar-benar kebingungan bagaimana mengolah data yang mereka dapatkan, kesimpulan apa yang mereka ingin cari, dan langkah apa yang harus mereka lakukan. Salah satu keputusan besar yang saya lakukan pada hari kedua adalah menyuruh kelompok tersebut (yang hanya berisi dua orang) untuk mengulang penelitian mereka karena dengan tujuan yang ingin mereka capai data yang ada saat itu tidak akan bisa menghasilkan apa-apa. Selain itu, di hari kedua saya juga harus bersiap-siap karena diamanahkan menjadi moderator pada acara diskusi yang diadakan oleh panitia bekerja sama dengan Bank Kalsel dengan tema utama mengenai Keuangan Inklusif dan Akses Masyarakat terhadap Produk Finansial. Di hari ketiga seluruh panitia kembali sibuk karena harus menyiapkan presentasi kelompok (siang hari itu kami dijadwalkan memberikan presentasi hasil penelitian sementara di Dinas Kelautan Kabupaten Kotabaru), membantu kelompok yang harus mencari data baru, dan menyiapkan seminar dan diskusi di balai desa. Karena saya bertugas sebagai moderator acara diskusi tersebut maka sejak pagi saya sudah siapsiap dan menuju ke balai desa. Pelaksanaan acara seminar di balai desa Sarangtiung berjalan sesuai rencana, sayangnya ada satu pembicara dari koperasi yang tidak dapat hadir pada hari itu. Pada dasarnya masyarakat sudah mengenal lembaga keuangan formal mulai dari bank hingga koperasi, tetapi masalah yang ada di tengah masyarakat adalah rendahnya kepercayaan mereka terhadap lembaga keuangan formal sehingga mereka jarang memanfaatkan produk-produk lembaga keuangan formal. Setelah selesai acara seminar tersebut, seluruh peneliti pergi menuju Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pulau Laut Utara di Kotabaru untuk mempresentasikan hasil temuan awal kami. Kami disambut oleh dua pejabat dinas dan presentasi disamapaikan oleh perwakilan lima kelompok secara lancar. Dalam kesempatan kali ini kami juga mendapatkan berbagai masukan dari pejabat dinas setempat mengenai 39
Research Camp Kotabaru
temuan-temuan awal dari penelitian kami. Presentasi temuan awal penelitian ini kepada dinas kelautan dan perikanan ternyata sangat bermanfaat agar kami bisa menghindari kesalahan interpretasi data ataupun kesalahan logika berpikir dan menyikapi fenomena yang ada di masyarakat. Selesainya kami dari presentasi di dinas kabupaten, kami kembali ke rumah pa Amir untuk bersiap-siap karena perjalanan darat menuju Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan di Banjarbaru harus kami lakukan pada jam 10 malam. Kesempatan itu kami manfaatkan dengan mempererat hubungan dengan masyarakat sekitar dengan menyetel layar tancap dengan film-film Hollywood, selain itu antara sesama panitia dengan bermain werewolf. Setelah tiba jam 10 malam akhirnya tibalah bus kami di depan desa Sarangtiung dan setelah melakukan perpisahan dengan keluarga pa Amir kami menempuh perjalanan selama kurang lebih 14 jam hingga akhirnya sampai di kantor dinas kelautan provinsi. Di sini kami kembali menyampaikan hasil penelitian awal yang bisa kami tampilkan ke pihak dinas kelautan provinsi. Setelah pelaksanaan presentasi yang dihadiri oleh Plt Kepala Dinas Kelautan, kami mendapat berbagai masukan dan apresiasi atas kerja keras peneliti serta panitia acara research camp 2015 sehingga acaranya bisa berjalan lancar. Setelah memberikan presentasi kami kepada pihak Dinas Kelautan provinsi kami melanjutkan perjalanan ke Martapura untuk singgah di pusat oleh-oleh khas daerah Kalimantan Selatan. Sekitar jam dua siang akhirnya kami berangkat menuju bandara Syamsudin Noor di Banjarmasin, jadwal penerbangan kami kembali menuju Jakarta yang seharusnya dijadwalkan pada jam 8 malam WITA dimajukan menjadi pukul 18.00 WITA. Pada pukul 19.00 WIB akhirnya kami tiba di Jakarta dengan selamat dan semua peneliti serta panitia bisa kembali ke kediaman masing-masing.
40
Diary para Pewujud Mimpi
Isti Sri Ulfiarti – PLD XXVIII Research Camp KSM EP UI 2015 yang berlangsung selama kurang lebih dua minggu di bulan Agustus 2015 merupakan perjalanan penelitian yang sungguh sangat berkesan,,, banyak hal menarik yang terjadi selama penelitan berlangsung dan juga kegiatan yang dilakukan disana di luar acara yang ditetapkan, ya misalnya saja permainan warewolf yang selalu terjadi setiap malam, yang seharusnya digunakan untuk evaluasi sehari-hari… Sebelum kegiatan RC dimulai, kami sebagai panitia, pelaksana dan juga peneliti memiliki beragam masalah saat jiwa raga masih berada di tanah jawa. “Dana, is the big and important problem, haha,,,” kelabakan banget pas h-seminggu sebelum tanggal keberangkatan bahwa rektorat hanya akan mencairakan uangnya apabila kegiatan telah berjalan,, “halloooooo kemarin-kemarin pas ditanya reimburse kan jawabnya “engga” karena sudah dianggarkan khusus untuk dana penelitian mahasiswa,, heeuuhhhh ,,, “ sweet banget itu rektorat,, sudahlahh,,,set up cost is the last choice… selain mengandalkan uang sponsorship. “ Gak hanya masalah dana, sebelum research design memulai penelitian di negeri seberang nan jauh di mata, kami, para researcher diwajibkan untuk membuat research design (RD) sebagai acuan akan penelitian yang nanti dilakukan tiap kelompok, baik dari segi objek penelitian maupun hal yang akan diteliti. Permasalahan terjadi ketika tidak semua anggota kelompok yang telah dibagi-bagi untuk membuat dapat “bekerjasama” untuk membuat RD tersebut, sehingga beberapa RD “terbengkalai” atau mandek dijudul penelitian. Hal tersebut terjadi juga pada kelompok saya, kelompok 6, meskipun kelompok lain ada juga yang llancar jaya mengerjakan RD nya. Bagi kelompok 6, kami sempat mengganti topik penelitian, dan saya 41
Research Camp Kotabaru
pribadi yang belum pernah melakukan penelitian merasa tidak paham juga akan hal yang diteliti serta urgensinya.. maka kadang kelompok kami ini masih berjalan ditempat dalam masalah RD, tetapi pada akhirnya kelompok kami memutuskan untuk meneliti mengenai alih profesi yang dilakukan oleh para nelayan di tempat penelitian. Masalah lain yang datang menghampiri adalah peserta yang tidak semuanya dapat hadir,,, hal tersebut membuat penelitaian terasa begitu tak lengkap, hampa, tanpa kehadiran utuh anggota KSM EP UI. Hiks,,yaahh saya memaklumi banyak diantara kami yang juga sedang sibuk dengan tugas masing-masing sehingga tidak dapat mengikuti kegiatan penelitian di Kalimantan. Saat waktunya tiba untuk berangkat ke Kalimantan, para peneliti terbagi dalam beberapa keberangkatan. Rombongan pertama adalah meraka yang mempersiapkan tempat tinggal dan sekaligus sebagai advance,, rombongan kedua adalah keberangkatan yang sebenarnya dan rombongan ketiga adalah mereka yang menyusul, dan saya termasuk dalam rombongan ketiga, serta satu lagi yang datang tanpa rombongan,,, kontroler kapitalis, wkwkw (ampun ka :E) Tadaaa.. berangkatlah kami menuju pusat poros maritim Indonesia, Kalimantan Selatan pada agustus 2015‌. Selama di Kalimantan Selatan dan melakukan penelitian, ada kejadian yang sangat terkenang di hati saya karena pada saat hari pertama saya telah merasakan bagaimana “merananyaâ€? menjadi seorang peneliti di tempat yang baru kita kenal. Untuk itulah saya ingin menceritakan satu pengalaman saya saat hari pertama melakukan penelitian (mencari responden). ----Tanggal 21 Agustus 2015---“ Angin berhembus ke wilayah pesisir pantai, suara ombak silih berganti menerjang pantai pasir putih dan dan kapal-kapal bersandar tak tergoyahkan di setiap rumah-rumah nelayan. Suatu suasana yang saya rasakan ketika pertama kali melakukan penelitian bersama teman kelompok penelitian, Riski, di Desa Sarang Tiung, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan, pada tanggal 21 Agustus 2015.â€?
42
Diary para Pewujud Mimpi
Research Camp 2015, dengan mengusung tema tentang kemaritiman Indonesia dan kami para researcher dari KSM Eka Prasetya UI 2015 melakukan penelitian ke wilayah Kalimantan Selatan, khusunya Desa Sarang Tiung, Kabupaten Kotabaru, karena digadang-gadang menjadi poros maritimnya Indonesia bahkan dunia. Perjalanan dari Jakarta ke Desa Sarang Tiung , Kotabaru ini memakan waktu sekitar satu hari satu malam sehingga saya yang berangkat dari Jakarta pada hari jumat pukul 14.00 WIB sampai ke Desa Sarang Tiung sekitar pukul 06.00 WITA keesokan harinya. Kegiatan Research Camp ini berlangsung sampai tanggal 27 agustus 2015. Saya yang hanya memiliki sisa waktu sekitar satu minggu, harus segera membantu teman saya terjun lapangan dalam penelitian kami mengenai faktor alih profesi. Maka, setelah saya sampai desa Sarang Tiung sekitar pukul 06.00 WITA pagi tersebut, tiga jam kemudian, sekitar pukul 10.00 saya langsung pergi mencari objek penelitian. Hanya berdua dengan Riski, kami melakukan penelusuran RT-RT yang ada di Desa Sarang Tiung serta wilayah-wilayah pantainya. Selama perjalanan berlangsung, sinar matahari begitu terik dan udara begitu panas sehingga kami seringkali pergi ke warung –warung yang berada di sepanjang jalur pencarian objek penelitian untuk sekedar membeli minum, istirahat maupun bertanya. Sebagai seorang peneliti, tentu kami membawa kuisioner-kuisioner sebagai bahan isian objek penelitain, yaitu masyarakat yang dahulunya nelayan tetapi sekarang tidak lagi. Kuisioner-kisioner ini saya bawa dengan menggunakan map dan saya pegang selama perjalanan mencari objek penelitian. Perlu diingat, kami mencari objek penelitian dengan berjalan kaki belasan kilometer dari tempat kami tinggal. Wajahwajah polos kami yang baru di desa Sarang Tiung menyebabkan banyak spekulasi yang bermunculan di masyarakat akan kedatangan kami, selain menjadi seorang peneliti, spekulasi yang muncul adalah sebagai penjual bahkan peminta sumbangan. Seperti berikut kejadiannya ‌‌.. Lelah menempuh kiloan meter bahkan belasan kilo meter perjalanan darat menggunakan sepasang kaki yang beralaskan sandal jepit, kami menghampiri sebuah warung warga untuk membeli minum. Sebelum 43
Research Camp Kotabaru
tiba pada warung tersebut, tiba-tiba terlihatlah suatu objek di etalase warung yang dikenal teman saya, Riski, sebagai bedak yang selama ini dicari-carinya, yaitu bedak merk XXX. Senang dengan hal tersebut teman saya langsung menghampiri warung tersebut, tetapi ibu warungnya tidak ada ditempat. Setelah sekian menit menunggu adalah ibu pemilik warung dipinggir didepan rumahnya (pinggir warung-red). Sontak teman sayapun berkata pada ibu tersebut bahwa dia ingin membeli bedak merk XXX, namun bukannya mendapat jawaban yang diharapkan, ibunya malah menjawab bahwa dia tidak ingin membeli bedak XXX, katanya dia tidak menjual bedak tersebut di warungnya. Kami pun bingung. Beberapa detik dalam keheningan lalu kamipun menyadari bahwa ibu warung ini menganggap bahwa kami ingin menjual bedak merk XXX pada warungnya, dan ibu ini tidak ingin membelinya. Maka teman saya pun menjelaskan kembali bahwa dia ingin membeli bedak merk XXX yang ada di etalase warung ibu tersebut sambil menunjuk benda yang dibicarakan, ibu warung tersebut pun akhirnya paham bahwa kami bukanlah sales bedak. Patut juga diingat bahwa ketika kami datang dan bilang ingin membeli bedak, wajah ibu tersebut “kurang ramah� namun setelah tahu bahwa kami pembeli maka raut wajahnya berubah. Haha. Setelah suasana mencair (serah terima antara bedak merk XXX dengan sejumlah rupiah ), ibu inipun menceritakan bahwa banyak wajah-wajah baru yang datang merupakan sales yang kadang-kadang menawarkan barang-barang dagangan pada warungnya, sehingga dia sudah terbiasa untuk segera menolaknya. Dan cerita tersebut pun berakhir, kami pamit untuk melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya bertanya pada ibu tersebut mengenai RT-RT mana saja yang banyak masyarakatnya beralih profesi. Namun, penderitaan sebagai wajah baru di Desa Sarang Tiung ini belum berakhir. Sekitar pukul 16.00 WITA, sore hari yang begitu cerah, cobaan kembali menerpa kami. Di RT. 07 tepatnya kejadian ini berlangsung. Setelah mengunjungi rumah Bapak RT 07 dan mendapatkan beberapa rekomendasi akan siapa-siapa saja yang beralih profesi, mulailah kami bergerilya pada rumah-rumah yang dimaksud. Ada dua rumah yang 44
Diary para Pewujud Mimpi
membuat sore kami menjadi lengkap sudah sebagai wajah baru yang menimbulkan spekulasi negatif. Dua rumah bertetangga yang berada di pinggir jalan, jalan raya lah yang satu-satunya yang menjadi suatu akses menuju Desa Sarang Tiung. Kami menyebrangi jalan tersebut dari rumah pak RT menuju ke dua rumah yang dimaksud. Sebenarnya ada tiga rumah yang kami kunjungi setelah rumah pak RT, tetapi pengalaman dari dua rumah sajalah yang membuat cerita perjalanan kami sangat unik. Rumah yang pertama kami kunjungi biasa saja, rumah kedua yang kami kunjungi disambut oleh ibu pemilik rumah yang raut wajahnya sudah terlihat curiga dengan kedatangan kami yang menenteng map. “ mau apa?” tanya ibu tersebut pada kami, kami menjawab bahwa kami ingin bertemu Bapak, lalu Ibu tersebut bilang bahwa Bapaknya tidak ada dan sedang bekerja, lalu ibu tersebut pun kembali bertanya dengan penuh selidik “mengapa mencari bapak”, lalu kami jelaskan blablabla, lalu ibunya bertanya lagi “kenapa nama bapak ada di list kalian? Mengapa pak RT ngasih nama bapak?” duuhhh kami yang sudah tidak enak ditanya-tanya dengan curiga oleh ibu tersebut kembali menjelaskan maksud kami dan kenapa pak RT memberikan nama Bapak tersebut serta kami jelaskan pula bahwa tidak hanya nama Bapak tersebut pula yang dikasih oleh pak rt kepada kami. Setelah ibu tersebut “terbuka” mata dan hatinya maka diapun berhenti curiga, karena urusan kami tidak ada lagi maka kamipun pamit dari rumah tersebut. kemudian mulailah kami mengunjungi rumah ketiga, yaitu tetangga rumah kedua. Tok, tok, tok, kami mengetuk pintu yang sebenarnya terbuka dan kami melihat anak kecil yang sedang menonton televisi “Assalamualaikum, dek permisi, Bapaknya ada?” kami mengucapkan salam dan bertanya. Anak kecil tersebut langsung menengok ke kami dan pergi ke dalam rumahnya yang lain, yang kami pastikan bahwa dia sedang memanggil Ibunya atau Bapaknya. Tidak lama kemudian, muncullah ibunya dari dalam rumah tidak berkerudung, hanya muncul, melihat kami dan kembali ke kamar atau apalah itu. Kami menunggu dan berfikir bahwa ibunya sedang memakai kerudung dan akan kembali menghampir kami, tetapi yang terjadi adalah anak kecil tadi yang muncul dengan senyum-senyum pada kami. Saya jujur 45
Research Camp Kotabaru
saja tidak ‘ngeh’ akan apa yang terjadi, tiba-tiba teman saya bilang “kak yuk kita pulang” dan berkata pada anak kecil tadi “ dek kita pulang aja kalau bapaknya tidak ada di rumah”. Tentu saja saya bingung, kenapa pula teman saya ini tidak menunggu ibunya keluar kamar, toh seberapa lama sih memakai kerudung? Tetapi teman saya malah ketawa dan bertanya “ kakak tidak lihatkah apa yang dibawa oleh anak kecil tadi?”, “tidak” saya menjawab dngan masih bingung. “kak, Ibu tadi tidak akan keluar lagi, karena dia menyuruh anaknya untuk memberikan uang pada kita, anaknya tadi bawa uang 2000 rupiah, aku yakin ibunya mengira bahwa kita adalah peminta sumbangan” , “Ohhh” Lalu saya pun mulai tertawa dan paham mengapa ibunya tidak kembali-kembali setelah melihat kami dan hanya menyuruh anaknya yang masih kecil untuk menemui kami,,, “yahhh meskipun telat paham akan situasi tersebut, saya pun tidak ambil hati”. Keadaan langitpun mulai meredup, kami yang sudah lelah menempuh perjalanan jauh tersebut akhirnya harus mengakhiri pencarian objek penlitian kami hari ini, hari pertama yang berkesan untuk saya kenang. Perlu diingat kembali (sudak ketiga kalinya, haha) bahwa selama seharian itu kami mendapat beberapa objek penelitian dan kami pulang kembali hanya menggunakan kedua kaki kami yang hanya beralaskan sandal jepit, untungnya sandal jepit baru. Dan cerita hari ini selesai,, tetapi cerita esok haripun lebih seru karena kami bertemu dan mewawancarai para “bos” nelayan setempat yang rumahnya paling bagus sendiri diantara rumah-rumah lain… tapi itu next story yaaaa ^^v #maaf apabila ada kata-kata yang menyinggung atau gimanaaa gitu #maaf bahasanya gak baku #maaf ceritanya ngaler ngidul #maaf narasinya acak-acakan #maaf kalo ini nyepam 46
Diary para Pewujud Mimpi
#maaf penulisannya belum guer edit lagi, besar kecil miring titik koma #ngantukkkk #makasih udah dibaca, wkwkwk LOVE YOU, ALL COMITTE OF ISRS 2015 Without you, I m nothing :*
47
Research Camp Kotabaru
Mela Milani – PLD XXVIII Berawal dari mendaratnya pesawat Lion Air tujuan Banjarmasin. Disinilah cerita kami dimulai . Pesawat kami mendarat pukul 17.00 WITA. Hatiku sangat takjub melihat sekeliling kota Banjarbaru ketika masih di lapangan pesawat . Ini adalah pengalaman pertamaku menginjak kaki di kota Banjarbaru dan pertama kali juga aku terbang menggunakan pesawat. Banjarbaru merupakan kota yang terdapat di Kalimantan Selatan . Kota ini tidak sepadat kota Jakarta . Disini masih terdapat banyak pohon-pohon dan ladang bahkan polusi disini pun tidak separah kota Jakarta. Setelah dari bandara , aku bersama kakak yang lain yaitu Kak Orin , Kak zofa dan Kak Isti menaiki taksi untuk menuju terminal . Sesampainya di terminal kita menaiki bis selama 8 jam . Sepanjang perjalanan kami pun melihat keadaan dan suasana Kalimantan Selatan ketika malam hari . Tepat jam 3.00 WITA bis kita menyebrangi laut menggunakan kapal Feri. Tidak terasa fajar pun tiba dan matahari pun mulai menampakan dirinya. Tibalah kami di Desa Sarang Tiung . Ketika aku berjalan menuju rumah, aku disambut oleh laut yang begitu biru serta bunyi ombak . Disitu aku begitu senang karena inilah pengalaman pertamaku . Sesampainya di rumah aku pun memulai aktifitas baru disini Aktifitas ku yaitu mengunjungi rumah ketua RT dari RT 01 hingga RT 10 . Karena memang tujuan kami untuk penelitian . Bersama kak Randy dan Nurul yang menuntun ku dalam hal penelitian ini. Ketika perjalanan menuju rumah pak RT , kami berjalan menuju lokasi karena tidak ada angkutan umum disini .Rumah-rumah pun disini rata-rata rumah panggung dengan dinding dari kayu . Kami pun berjalan bertemu dengan anak-anak kecil yang pulang dari sekolah . Kami menanyakan nama mereka dan umur mereka . Dari itu semua aku menjadi bersyukur. Aku juga berfikir bahwa mereka membutuhkan perubahan. Perubahan bisa diubah menjadi lebih baik oleh generasi penerusnya. Aku pun menjadi semangat untuk belajar di 48
Diary para Pewujud Mimpi
Farmasi karena masih banyak masyarakat yang membutuhkan obat-obatan dan kesehatan . Terutama di daerah pelosok. Di hari pertama setelah kami selesai mewawancarai ketua RT, kami pun pulang tetapi kami mampir dahulu ke sebuah pantai yang disitu hanya ada kami bertiga . Disinilah dimulai awal pendekatan kami karena memang sebelumnya kami tidak begitu mengenal karakter masing-masing. Kami cerita-cerita banyak hal dan tidak lupa juga untuk sesi foto bersama. Walaupun sangat disayangkan karena tim penelitian kami tidak lengkap. Keesokan harinya aku pun mulai berbicara dengan pemilik rumah yang kami tumpangi yaitu Pak Amir dan ibu Hamidah beserta ketiga anaknya yaitu Nanda , Meli dan Winda si kecil yang imut . Disini aku merasa nyaman sekali karena mereka sangat ramah dan welcome kepada kami . Aku pun selalu membantu Bu Hamidah dan kakak yang lain untuk memasak . Pengalaman ku paling berkesan adalah kekeluargaan kami . Aku baru pertama kali merasakan organisasi yang seperti keluarga ku sendiri . Kelompok Studi Mahasiswa UI adalah keluarga ku. Disini pun aku baru merasakan kedekatan dengan anak-anak KSM UI . Disini pun aku mendapatkan julukan baru yaitu “Daeng Caya” yang artinya bercahaya dan bersinar . Aku pun banyak menghabiskan waktuku dan canda tawaku bersama anak –anak KSM UI terutama dengan Startian Bonata alias “Deang Bani” . Kalau kita berdua sudah membicarakan topik yang lucu pastilah pecah suasana disana . Sampai aku susah untuk berhenti ketawa lagi . Pokoknya pengalaman yang sangat seru sekali di Desa Sarang Tiung . Aku pun baru pertama kali belajar nyuci baju untungnya ada Kak Orin alias “Daeng Onah” yang mengajariku . Disini aku pun merasakan jauh dari orang tua dan hidup mandiri . Karena memang sebelumnya aku belum pernah tinggal jauh dari orang tua ku Pengalaman seru yang lain adalah membuat istana pasir yang sudah dibuat design nya oleh Kak Randy.Untuk kita dapat datang ke tempat lokasi, kami berjalan dahulu melewati lahan bakau .Selama perjalanan, aku , Nurul dan Ka Firda menemukan teripang dan mencari kerang . Disini banyak sekali teripang .Aku pun sangat takjub karena aku baru pertama kali melihatnya . Sebelumya aku hanya mengetahui khasiat dari teripang. Tidak 49
Research Camp Kotabaru
hanya teripang,kami pun menangkap kerang sangat mudah .Tidak lupa juga kita untuk sesi berfoto. Kami pun sampai ke tempat lokasi . Pemandangan laut yang indah sekali . Kami pun memulai untuk membangun istana dengan menggunakan pasir . Disinilah kerja sama dan kekompakan diuji . Kami saling membangun istana sebagus mungkin . Walaupun aku tidak terlalu bisa buat tangga istana yang bagus . Tangga yang aku buat miring sebelah . Tetapi nampaknya tidak apa . Kak Sanul pun tidak lupa untuk mengambil video dari awal kita membuat istana sampai benar-benar selesai . Setelah selesai aku , Riski dan Bagus ke tepi pantai . Disitu kamu samasama berdoa dan saling berharap yang terbaik untuk daerah ini . Aku sangat senang menjadi bagian dari KSM , terutama bagian dari panitia Research Camp. Aku berharap teman-teman KSM masih melanjutkan ceritanya di KSM tahun depan agar kita bias bangun Research Camp 2016 yang lebih menantang lagi . Harapanku untuk Sarang Tiung agar daerah ini menjadi daerah yang berhasil atas program Jokowi mengenai pusat maritime . Terimakasih juga kepada keluarga Pak Amir yang menerima kita dengan dengan sangat baik dan ramah.
50
Diary para Pewujud Mimpi
Munzilir Rohmah - PLD XXVII Pada tanggal 18 Agustus kami berangkat dari Soetta Int Airport menuju Kalimantan Selatan. Sejujurnya, saat berangkat saya belum begitu mengenal adik-adik PLD 28 yang ikut, sehingga saya hanya berinteraksi dengan anakanak penelitian. Di lain hari saya mendengar kalau anak penelitian mengeksklusifkan diri. Saya jadi tertohok dan mikir ini pasti gara-gara kelakuan saya. Tapi Randy bilang bukan karena itu, entah dia hanya menghibur atau bilang yang jujur. Bagaimana pun, akhirnya saya akhirnya jadi berusaha untuk lebih mengenal anggota yang lain. Begitu mendarat di Kalimantan, kita lalu mengunjungi pemerintah daerah di Banjar Baru lalu perjalanan menuju tempat penelitian dilanjutkan menggunakan bis dan kapal ferry. Akhirnya setelah berjam-jam di kendaraan yang bikin saya mabuk darat dan laut, kita tiba di Desa Sarangtiung, tepatnya di rumah Pak Amir. Jujur saja, saat menginjakkan kaki di Desa Sarang Tiung, saya takut sekali karena sebelum berangkat adik saya bilang di Kalimantan ada buaya dan ular yang makan manusia dan masih ada praktek sihir. Ah, untunglah kita aman-aman saja selama disana. Di RC ini saya berperan sebagai tutor kelompok empat yang beranggotakan empat orang luar biasa yang berjuang hingga akhir. Sebelum berangkat ke Kalimantan, kami telah mempersiapkan rancangan penelitian yang intinya kami akan membandingkan pendapatan penduduk di sektor perikanan dan non perikanan namun karena kondisi lapangan yang tidak sesuai dengan rancangan yang kami bawa, maka saat tiba di Desa Sarangtiung kami pun harus membenahi rancangan penelitian sehingga sesuai dengan kondisi lapangan. Alhamdulillah, dengan tim yang disokong Safira dan Bagus dengan background Sastra Belanda, Zofa dari Teknik Mesin, Shelly dari Ilmu Administrasi dan saya dari Matematika akhirnya kelompok kami memilih analisis pendapatan nelayan bagan sebagai judul penelitian kami. Harapannya dengan penelitian ini 51
Research Camp Kotabaru
pemerintah daerah dapat memetakan sumber pemasukan dan pengeluaran dari kegiatan melaut, sehingga pendapatan nelayan bagan dapat dioptimisasi sedemikian sehingga kehidupan nelayan sejahtera. Sekarang, melihat kembali hari-hari disana, ada banyak cerita yang mengesankan selain proses penelitian. Misalnya saya dapat nama baru, yaitu “Daeng Rannu” artinya “yang selalu ceria”. Entah atas dasar apa Pak Amir ngasih nama itu. Saat saya nelpon orang rumah, Ayah saya bilang namanya cocok. Syukur deh. Lalu, saat kita main werewolf juga berkesan. Dimana lagi saya bisa jadi spy, pencuri, dan dokter dalam satu malam? Dan gara-gara permainan ini, setiap kali denger kata “werewolf”, sampai sekarang tetep aja jantung saya jadi dag dig dug ga karuan. Lalu, saat makan bareng, jalan-jalan bareng, nunggu antrian mandi, nyuci piring, ngobrol di ruang tamu-slash-kamar tidur, saya jadi makin mengenal karakter masing-masing orang dan saya bisa saling belajar dari mereka. Overall, Research Camp bagi saya adalah implementasi dari kridakrida yang telah diberikan selama ini, karena setiap kelompok penelitian benar-benar akan memulai secara mandiri dari proses identifikasi masalah, membuat rancangan penelitian, dan seterusnya. Pengalaman ini tentu sangat berharga karena semester depan saya wajib membuat skripsi. Yah, hitung-hitung untuk latihan. Semoga adik-adik di KSM juga merasakan hal yang sama.
52
Diary para Pewujud Mimpi
Nurul Khomariyah – PLD XXVIII “
Ku pandangi angka-angka dalam jam digital ponsel ku, bagai kutu kesibukan menghitung-hitung waktu. Lamunanku menerabas pergi mencari-cari sekumpulan detik yang sekejab sekali ia berlalu. Wajah-wajah dan suara-suara yang hilang, sapaan manis dan kebersamaan dalam rumah panggung khas masyarakat pesisir itu tak lagi kujumpai. Kali ini, aku ingin berelegi, menepis rasa sesak akibat rindu akan sederet pengalaman hidup berharga sepuluh hari hidup di tanah luar Jawa itu… “ Ku mulai... Kebersamaan ini sebenarnya sudah lama dihimpun, akan tetapi sekat, waktu, dan keadaan menjadikannya sedikit tercerai untuk beberapa waktu. Hingga pagi itu bersama dengan semangat kemerdekaan, pada tanggal 17 Agustus 2015 malam hari kami berangkat menuju bandar udara Soekarno-Hatta untuk keesokan harinya bertolak menuju tanah luar Jawa. Kuperkenalkan yang ku sebut-sebut dengan “kami” itu adalah panitia Research Camp 2015. Reseach Camp adalah kepanitiaan dibawah naungan Kelompok Studi Mahasiswa Eka Presetya Universitas Indonesia. Kegiatannya berupa penelitian dan pengabdian masyarakat. Sudah dari dulu, mendengar nama kegiatan ini aku sangat tertarik karena barangkali ia dapat mewujudkan impianku yang sama sekali belum pernah menginjak tanah selain Jawa. Tibalah suatu hari kak Widy, Project Officer RC memintaku untuk menjadi wakil koordinator sponsorship. Awalnya aku ragu-ragu untuk mengiyakan dan akhirnya kuiyakan. Aku dan partner-ku Mella mulai bekerja keras semenjak liburan semester dua, yaitu sekitar bulan Juni dan Juli. Kami menyusun timeline kegiatan, mencari list perusahaan dan kemudian melakukan marketing call.
53
Research Camp Kotabaru
Kami di bantu oleh Kak Firda, Bendahara RC yang sangat perhatian pada kami dan juga VPO RC, Riski. Kami menelepon berbagai perusahaan untuk menawarkan kerjasama sponsorship. Dari sekian banyak yang kami telepon hanya satu yang akhirnya mau untuk bekerjasama, yaitu dalam bentuk percetakan. Meskipun hanya satu tapi tentu sangat menguntungkan bagi kami karena keperluan percetakan akan menghabiskan banyak sekali biaya. Kami pun mendapat bantuan dari PO RC yang sangat visioner, ia turut membantu divisi sponsorship untuk mencari dana. Hingga berkat ia banyak sekali perusahaan dan media partner yang mau menjadi mitra bagi RC 2015. Sayangnya, dana sponsorship yang banyak tersebut diberikan pasca acara, sedangkan rangkaian kegiatan kami masih sangat panjang. Meskipun begitu kami tidak terlalu khawatir sebab kami juga memperoleh dana penelitian dari Rektorat. Kak Isti, Sekretaris Umum RC sangat berjasa bagi kepanitiaan ini karena ia berkali-kali menemui pihak Rektorat untuk follow-up dana karena pada saat itu Kak Firda memang tengah tidak berada di Depok. Namun rasa tenang tersebut mendadak menjelma menjadi rasa khawatir yang amat sangat. Seminggu sebelum keberangkatan kami menuju tempat penelitian, kak Isti mengabarkan hasil follow-up terakhirnya kepada Rektorat. Hasilnya dana dari Rektorat akan turun tetapi dengan sistem reimburse. Bahasa Jawanya, ketir-ketir sudah hati kami. Semangat yang menggebu-gebu sontak berubah menjadi demotivasi yang menggejala. Malam setelah berita tersebut, panitia melakukan rapat bersama dengan steering committe. Aku datang terlambat pada malam itu sehingga kurang mengerti pembahasan yang dibicarakan. Esoknya aku bersama Riski yang tiba-tiba menjadi sangat akrab bagai saudara sendiri mencoba mencari jalan untuk memperoleh dana. Kami bertanya pada banyak orang, kami mendatangi beberapa bank untuk meminjam dana. Kami sudah tahu pasti kami tidak akan memperoleh dana pinjaman, selain karena umur kami belum 21 tahun, kami pun juga tidak mempunyai apapun untuk penjaminan. Ya, setidaknya kami mencoba, meskipun saat mengingatnya ingin tertawa juga karena kami melakukan hal-hal yang sedikit kurang masuk akal. 54
Diary para Pewujud Mimpi
Malam hari setelah seharian yang gila itu panitia berkumpul lagi bersama steering committe. Kak Widi yang pada rapat sebelumnya tidak hadir, akhirnya dapat hadir bersama kami. Pada malam itu diputuskan biaya keberangkatan dan biaya-biaya selama di tempat penelitian berasal dari masing-masing peserta yang nantinya akan di reimburse setelah uang turun. Biaya tersebut sebesar dua juta rupiah, geleng-geleng sudah kepalaku dari mana memperoleh biaya sebanyak itu. Banyak peserta yang sebelumnya telah bersiap dan semangat mengkebut proposal penelitian akhirnya memutuskan untuk tidak berangkat. Aku pun sempat berpikir untuk tidak berangkat, sebab aku baru saja pulang dari kampung halaman dan apa iya aku harus meminta uang kepada orang tua ku lagi, ku pikir tidak. Namun, pada malam itu tiba-tiba aku dijadikan sebagai bendahara dadakan karena kak Firda belum datang dari Ponorogo. Kalau seperti ini bagaimana aku tidak ikut, uangnya saja ku bawa. Dilema pun menggejalai pikiranku meskipun tampangku tenang-tenang saja. Akhirnya aku memberanikan diri untuk meminjam uang kepada partner-ku, Mella. Dan Alhamdulillah, sungguh baik orang tua Mella memberikan pinjaman uang sebesar dua juta rupiah kepadaku. Ya itu pertama kalinya aku benar-benar berhutang dengan nominal yang besar pada umurku yang masih muda. Tentu perasaan khawatir itu muncul dan bermacam-macam pikiran mulai menejali otak ku. Ya sekali lagi aku selalu berusaha tenang. Aku bersyukur sebagai panitia kami senantiasa dibimbing oleh Pengurus Inti KSM, terutama kak Irfan, kontroler KSM yang terkenal galak dan menyebalkan hingga mendapat predikat KSM tersadis, nyatanya sangat baik. Ia memberikan pengarahan, nasihat dan banyak pengalaman yang ia bagikan kepada kami. Permasalahan belum berakhir sampai di situ kawanku. Banyaknya panitia yang tidak jadi berangkat meneliti menjadikan kepanitiaan ini kekurangan sumber daya manusia. Kegiatan Pengmas pun mengalami banyak perombakan, kebingungan mencari penanggung jawabnya hingga konsep kegiatan yang akan dibawakan. Sembari memikirkan pengalokasian dana agar hemat dan efisien, aku dan Riski juga turut merancang kegiatan Pengmas. Hampir setiap hari semenjak tanggal 5 Agustus 2015, kami rajin sekali ke Pusgiwa UI. Jadilah rancangan kegiatan tersebut, tidak matang 55
Research Camp Kotabaru
betul memang. Peralatan pendukung tidak dipersiapkan dengan baik, sebab kami pun bingung untuk mendelegasikan tanggung jawab tersebut. Status panitia yang available berubah menjadi panitia tumpuk-tumpuk, bahasaku. Hal tersebut dikarenakan satu orang panitia bisa mengurusi banyak sekali keperluan, mereka harus turut menggantikan pekerjaan yang manjadi tanggung jawab panitia yang tidak jadi ikut. Aku sedikit bisa bernapas lega, dua hari sebelum keberangkatan kak Firda akhirnya datang. Sontak aku segera berkoordinasi dengannya untuk mengatur keuangan dan berbelanja keperluan kegiatan. Setelah menghitung uang dan mengalokasikan ke beberapa pos pendanaan, tengah malam 16 Agustus 2015 menuju dini hari 17 Agustus 2015 kami memesan tiket pesawat yang jadwal keberangkatannya beraneka rupa dan warna. Sebelumnya aku dan Riski telah memesan beberapa tiket. Tiket tidak dapat langsung kami beli semua karena suatu limit, yaitu limit transfer dan limit penarikan uang tunai ATM-ku. Akhirnya aku dan kak Firda pun juga mengalami hal yang sama, kami mencoba mensiasati limit tersebut. Pada tengah malam 16 Agustus tersebut ternyata pembayaran masih gagal, karena transaksi yang ku lakukan sebelumnya belum benar-benar mencapai 24 jam. Pagi setelah sholat Shubuh kami segera melakukan pemesanan tiket. Kami terbelabak karena waktu pembayaran yang biasanya diberikan tenggang 2 jam kini hanya tinggal 45 menit saja. Dari kost-an kak Firda yang berada di Kutek kiri, kami berlari menuju masjid Al Hikam di Kutek kanan. Benar-benar melelahkan, ya karena kebetulan sepeda motor Kak Firda tengah rusak. Sampai di ATM waktu hanya tersisa 10 menit, dan akhirnya transaksi berhasil. Namun karena transferku sudah hampir mencapai limit, aku sudah tidak bisa lagi melakukan pembayaran melalui transfer dalam jumlah yang besar, pilihannya adalah pembayaran secara cash. Kami berpikir untuk menuju Indomaret, siapa tahu kami bisa melakukan pembayaran tiket pesawat secara tunai. Dari masjid Al Hikam, aku dan kak Firda berjalan kaki menuju Indomaret Kutek. Sesampainya di sana ternyata Indomaret belum buka, kami terengah-engah di tepi jalan dan akhirnya memutuskan duduk di emperan Indomaret. Tak beberapa lama kemudian Indomaret dibuka, tetapi layanan pembayaran tiket pesawat tidak tersedia. Hmmm, kami menghela nafas. Akhirnya kami hanya mentransfer 56
Diary para Pewujud Mimpi
uang untuk konsumsi ke tempat penelitian kepada kak Safira yang sudah terlebih dahulu berangkat bersama Tri dan Bagus. Dalam perjalanan pulang kami menjumpai sebuah toko grosir, segera saja kami melakukan survei harga untuk bahan-bahan makanan. Sesampainya di kost-an kak Firda kami langsung sarapan kemudian mandi dan segera bergegas menuju Pepusat untuk briefing terakhir sebelum berangkat pada malam harinya. Dari kost-an kak Firda di Kutek kami berjalan menuju Halte Teknik. Kami menunggu tapi bikun tidak kunjung datang, kami baru ingat bahwa hari tersebut adalah 17 Agustus sehingga bikun tidak beroperasi. Akhirnya kami berjalan kaki menuju Perpusat. Ngos-ngosan betul dari pagi sudah bagai latihan fisik. Sesampaianya di Perpusat sebelum briefing dimulai, aku dan kak Firda memboikot ATM Perpusat, hahaha. Aku melakukan penarikan tunai kemudian kak Firda melakukan setor tunai dengan ATM-nya sehingga semua tiket pesawat pada hari itu terpesan semua. Ya hikmah teknologi yang menjadikan hidup lebih mudah. Briefing pun dimulai, hanya sebentar saja saat itu. Sepulangnya aku dan kak Isti mencoba bertanya lagi kepada Rektorat, sebab beberapa hari sebelumnya pihak Rektorat mengatakan bahwa terdapat kemungkinan uangnya akan turun setengah terlebih dahulu. Tapi kami pun tidak mendapat kepastian. Aku dan kak Isti pulang ke kost-ku. Aku segera mencuci baju dan mengeringkannya di mesin cuci karena malamnya kami akan berangkat. Aku pun juga harus mencetak e-tiket yang jumlahnya banyak sekali. Aku sangat mengantuk dan kelelahan karena selama dua hari kurang tidur dan istirahat. Siang itu aku memutuskan untuk tidur siang meski hanya sebentar. Seterbangun dari tidurku segera aku menyetrika baju dan packing. Sekitar pukul 20.30 kami berangkat menuju Bandar Udara Soekarno – Hatta. Jadwal penerbangan masih keesokan harinya pukul 05.45 WIB. Kami check-in sekitar pukul 02.00 dini hari. Ruang tunggu pun kami gunakan untuk tiduran, kebetulan pada saat itu masih sedikit yang berada di ruang tersebut. Aku dan beberapa teman-teman perempuan memutuskan ke mushola untuk sholat tahajud dan menunggu waktu Shubuh. Seusai sholat Shubuh kami kembali lagi ke ruang tunggu. Tak beberapa lama kemudian 57
Research Camp Kotabaru
tibalah waktu untuk masuk ke dalam pesawat. Dengan menenteng barang bawaan yang cukup banyak kami masuk ke dalam pesawat. Kami pun duduk dan tak berapa lama kemudian pesawat take-off. Ini adalah pertama kalinya aku naik pesawat, sangat menyenangkan menurutku. Telingaku pun pengang, tak beberapa lama kemudian aku tertidur. Hingga saat aku terbangun, ku lihat dibawahku ada pulau yang diceritakan oleh temanku, Hanny. Ia bilang kepadaku bahwa pulau tempat tinggalnya itu hijau tapi kemudian cokelat ditengah-tengahnya. Semua itu terjadi karena keserakahan manusia. Setelah beberapa lama pesawat menemukan posisi terbaik untuk landing, akhirnya ku injakkan untuk pertama kalinya kaki ku di tanah luar Jawa ini, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Agenda pertama kali kami pada hari itu adalah berkunjung ke kantor Gubernur Kalimantan Selatan. Kami menunggu kak Safira, Tri dan Bagus bersama dengan bus yang akan membawa kami berkeliling. Hampir satu jam kami menunggu kedatangan mereka. Sembari menunggu aku dan kak Firda mengumpulkan boarding pass serta menghitung kembali anggaran. Sementara itu teman-teman yang lain menyiapkan sertifikat untuk Gubernur Kalimantan Selatan dan Ketua KKP Kalimantan Selatan. Tak beberapa lama kemudian Bagus datang menghampiri kami. Ternyata hanya Bagus dan bus saja yang menjemput kami. Kak Safira dan Tri sudah terlebih dahulu di kantor Gubernur Kalimantan Selatan. Perjalanan dari Bandar Udara Syamsudin Noor menuju Kantor Gubernur tidak memakan waktu yang lama. Sesampainya di sana kami langsung merapikan penampilan kami yang sudah benar-benar kucel dan mengenakan jaket kuning. Kami pun memasuki Kantor Gubernur, kemudian berkenalan dengan Staff Ahli Gubernur yang menggantikan Gubernur yang berhalangan hadir dan juga Ketua KKP Kalimantan Selatan. Setelah berkabar-kabari, upacara pembukaan semi formal pun segera dimulai. Kami memaparkan maksud kedatangan kami dan memberitahukan judul penelitian beserta apa saja yang akan kami teliti. Kedua bapak yang menyambut kami tersebut memberikan respon yang sangat bagus, mereka memberikan kami arahan. Seusai upacara, kami berfoto bersama kemudian pamit untuk meneruskan perjalanan menuju tempat penelitian dan
58
Diary para Pewujud Mimpi
pengmas, tempat yang akan selalu kuingat; Sarang Tiung, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Perjalanan menuju Kotabaru memakan waktu yang sangat lama, hampir setengah hari. Aku mulai merasakan risih pada badanku yang sudah dua hari tidak mandi. Aku benar-benar gerah dan tidak tahan. Aku memang seperti itu, tidak tahan kalau tidak mandi dan tidak ganti baju dalam waktu yang cukup lama. Akhirnya aku kepusingan dengan kerisihanku sendiri. Aku menepisnya dengan melihat pemandangan di luar jendela kaca yang nyatanya tak juga meredakan rasa risih itu. Aku mencoba menikmatinya dan mulai meresapi keadaan bumi Kalimantan ini lewat kaca jendela bus. Ku definisikan bahwa tanah ini sangat kaya, namun belum sempat diorganisasi dengan sebenar-benarnya, ia telah terlebih dahulu dikeruk dengan sebenar-benarnya. Saat itu, tidak biasa-biasanya aku masuk angin dalam perjalanan. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur dan mengabaikan segala yang ada. Sampai-sampai menyebrang lautan pun aku tak tahu. Tengah malam betul akhirnya kami sampai di desa Sarang Tiung. Jalan menuju tempat kami menginap naik turun. Tibalah kami pada suatu rumah panggung, kami pun disambut oleh bapak Amir, bapak Herman dan ibu Hamida, pemilik rumah yang sudah seperti bapak dan ibu kami sendiri. Alahay rindunya aku. Sesampainya di rumah pak Amir, kami langsung beberes dan kemudian beristirahat. Keesokan harinya kami membuka pintu rumah dan sungguh indah ciptaan-Mu Tuhan. Sepanjang mata memandang pantai membentang luas di depan mata kami. Pada pagi pertama kami, aku dan beberapa teman yang lain, yaitu kak Firda dan Riski membantu Ibu Hamida memasak di dapur. Hingga pada hari-hari berikutnya kami selalu memasak di dapur. Ada kesan pagi yang indah di rumah panggung itu. Ibu Hamida selalu menghidangkan pisang goreng berselimut cokelat parut dan teh hangat setiap paginya. Sangat enak dimakan namun kadang membuat orang terlena untuk kemudian membantu pemilik rumah. Teman-teman malah lebih sering bersantai menyantap hidangan pagi tersebut sambil bercakapcakap. Sesungguhnya ada perasaan tidak enak dalam hati karena sebenarnya kami menumpang di rumah bapak Amir tapi kami malah sedikit sekali membantu-bantu mereka. 59
Research Camp Kotabaru
Pagi pertama itu kami memutuskan untuk tidak langsung turun lapangan melakukan penelitian. Kami mempersiapkan dan mengevaluasi lagi instrumen-instrumen penelitian kami. Siang harinya kami melakukan pertemuan dengan Kepala Desa Sarang Tiung serta berkunjung ke Dinas KKP Kotabaru untuk menjelaskan maksud kedatangan kami. Anggota kelompok ku yang saat itu masih ada aku dan kak Randy memutuskan untuk melakukan wawancara ke kantor Bupati Kotabaru seusai pertemuan tersebut. Selama berkeliling ke kota Kotabaru, kami selalu di antarkan oleh angkot yang bapak supirnya sangat sabar, sayang aku lupa nama beliau. Aku suka duduk di kursi depan di samping beliau saat perjalanan. Ya sedikit banyak kami membicarakan tentang Kotabaru. Ya, bahkan aku merindukannya. Sekarang yang teringat tinggal wajah beliau dan angkotnya yang berwarna hijau tua. Pada hari kedua sebelum kami benar-benar turun lapangan menuju rumah-rumah warga, salah seorang warga desa yang saat itu tengah melangsungkan aqiqah bagi puterinya mengundang kami untuk hadir di rumah beliau. Ada perasaan malu sejujurnya karena kami bukan siapa-siapa kemudian kami mendapat jamuan. Tetapi sungguh masyarakat di sana sangatlah baik. Saat itu adalah saat pertama kalinya aku memakan soto Banjar. Wah lezat sekali. Ku rasa lidahku yang sangat nusantara ini sangat cocok dengan masakan masyarakat di sana. Kami pun dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumah tuan yang mempunyai hajat untuk menegok adik kecil yang tengah di-aqiqahi. Kami pun diminta untuk mempersembahkan sebuah lagu untuk para tamu. Dengan sangat malu-malu akhirnya bersamasama kami naik ke atas panggung dan menyanyikan lagu Rumah Kita. Semoga senantiasa terkenang bagi siapapun yang hadir dan menyaksikan. Seusai pulang dari acara tersebut, kami kemudian bergegas untuk melakukan turun lapangan bersama kelompok RC masing-masing. Selama beberapa hari aku turun lapangan hanya bersama kak Randy, sangat krikkrik. Mungkin aku juga yang kurang bisa mengajak ngobrol. Akhirnya beberapa hari kemudian kuberanikan untuk berkata padanya, hahaha seperti ini kira-kira “Kak, ajakin gue ngobrol dong. Terus bilang kita harus ngapa-ngapain aja. Oh iya nggak papa lo kak kalo misalnya kita sehari 60
Diary para Pewujud Mimpi
wawancaranya banyak trus selesainya sore banget. Malah biar cepet.� Akhirnya aku tahu mengapa dia pun merasa sedikit sungkan padaku, ia takut kalau aku kecapekan. Ehmm sepertinya bukan hanya itu, hahaha tapi aku yakin ia sangat baik. Perjalanan penelitian kami akhirnya tidak krik-krik lagi dengan kedatangan Mella. Ia banyak ngobrol dengan kak Randy sehingga suasana menjadi ramai. Saat melewati tepian pantai, mereka bermain-main air dan pasir. Hahhaa aku sendiri tidak terlalu suka bermain pasir, sehingga aku berajalan-jalan di pinggir pantai sembari menunggu keduanya mengobrol ria. Pinggiran pantai adalah tempat yang indah walau sayang sampahsampah berserakan di sana-sini. Kalau kita melewatinya di sore hari, akan bertemulah dengan anak-anak kecil yang sedang bermain voli ataupun mereka yang sedang bermain balapan bola pasir. Suatu siang aku bersama kak Randy dan Mella hendak kembali ke rumah dan melewati bibiran pantai, tiba-tiba diikutilah kami oleh seorang anak laki-laki yang lusuh pakaian dan badannya. Ia berbicara dengan Bahasa Mandar yang tidak kami pahami, kami berusaha mengajaknya berbicara dengan Bahasa Indonesia namun kami kembali dibuatnya tidak paham karena Bahasa Indonesia-nya kacau. Dari yang kami tangkap, ia bukanlah penduduk Desa Sarang Tiung, ia tidak mempunyai keluarga dan saat itu ia tengah kelaparan dan meminta belas kasihan kami untuk memberikan sedikit uang. Naas betul nasibnya. Kami pun sedikit berbagai dengannya. Saat kemudian dia pamit pergi, kami pun melanjutkan perjalanan. Lantas saat kemudian kami menengok ke belakang, ia sudah tak terlihat batang hidungnya. Sore dan malam hari adalah saat-saat senggang kami untuk berbincang atau pun berkeliling menyusuri pantai Sarang Tiung bersama bapak Amir. Kadang kami mencari kerang, kadang juga kami bermainmain membuat istana pasir. Meski seharusnya waktu tersebut dapat kami lakukan untuk mendekatkan diri kepada masyarakat Desa Sarang Tiung. Akhirnya keterlenaan itu membuat kelabakan pada hari di mana kegiatan pengmas dilaksanakan. Banyak sekali warga desa yang hadir dalam sosialisasi bertajuk Inklusi Keuangan tersebut, padahal beberapa panitia telah berusaha menhadirkan pembicara yang cukup bagus, ada juga yang 61
Research Camp Kotabaru
pagi-pagi ke pasar membeli snack dan membungkusinya. Ini memang kelemahan kami yang memang benar-benar kurang persiapan dan kurang bisa memanfaatkan waktu dengan baik. Seharusnya kegiatan pengmas tersebut bisa disusun dengan lebih baik yang lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat, atau sesuatu yang sederhana seperti mengajak anak-anak desa Sarang Tiung untuk belajar bersama. Sejujurnya dalam rancangan kegiatan-kegiatan yang disusun cukup menarik dan sudah jelas sasaransasarannya. Namun, apa mau dikata kami sangat kekurangan sumber daya sehingga rancangan tersebut hanya menyisakan sosialisasi sebagai kegiatan yang paling mudah untuk dilaksanakan. Kalimantan benar-benar membuat kami kuat karena setiap harinya kami harus menempuh perjalanan dengan berjalan kaki tiga sampai empat kilo untuk sampai ke RT yang menjadi objek penelitian kami. Namun, hal itu menyenangkan juga rupanya. Pernah aku mewawancarai Ketua RT 05 dan kami pun di jamu kolak pisang ijo. Pernah juga kami hendak menuju RT yang berada di atas bukit, kami ngos-ngosan dan akhirnya duduk di pinggir jalan menikmati pemandangan Sarang Tiung dari atas bukit. Banyak tipe warga yang kami temui, ada yang pragmatis ada juga yang idealis, semuanya beragam. Kalimantan pun memberikan kami beragam arti hidup. Kalimantan dan Reseach Camp benar-benar menyatukan kami, membuat kami dekat dan lebih mengenal satu sama lain, hingga kami benar-benar sangat cinta dengan KSM Eka Prasetya. “ Waktu sepeluh hari itu cepat sekali berlalu. Sudah kerasan betul tinggal di sana. Ku peluk perempuan yang sudah bagai ibu sendiri itu pada tengah malam perpisahan itu. Terdengar lagi suara orang-orang yang menyeret kopernya pada tengah malam. Kala itu adalah pertanda perpisahan setelah sebelumnya suara itu adalah isyarat perjumpaan. Ku lewati alur-alur jalan yang naik turun, kali ini dengan kondisi yang lebih baik akan tetapi pipiku basah. Basah bukan kerana sakit kepala, tetapi basah karena kehilangan. Kami seberangi lagi lautan itu, dan kami injak lagi bandar udara Syamsudin Noor.
62
Diary para Pewujud Mimpi
Senja itu kami pergi untuk beberapa waktu yang tidak ditentukan kemudian kami akan kembali lagi dan merangkai lagi kenangan serta mencipta lagi kisah-kisah baru, semoga. Langitpun berkalang mendung, Banjarmasin sore itu melepaskan kami dengan gerimis tangisnya. Sampai jumpa. Ku akhiri‌..
63
Research Camp Kotabaru
Oriza Sativa – PLD XXVI Semenjak pertama kali bergabung di KSM, salah satu kegiatan yang paling ditunggutunggu adalah Research Camp. Tapi sayangnya, setiap tahunnya saya berhalangan untuk mengikuti kegiatan tersebut dengan berbagai alasan yang sangat panjang kalau diceritakan di sini. Yang pertama gagal karena ditipu calo tiket pesawat. Yang kedua gagal karena masalah kepanitiaan. Ketiga kalinya saya tidak mau gagal. Tahun terakhir di KSM, apapun masalahnya saya harus tetap berangkat. Perjalanan menuju Sarang Tiung adalah perjalanan yang paling ditunggu-tunggu. Bahkan menunda 2 hari keberangkatan, karena harus mengurus display UKM yang diadakan secara bersamaan, rasanya sedih. Saya melewatkan 3 hari dari 10 hari rencana perjalanan kami. Tanggal 21 Agustus saya bersama dengan Mela, Isti, dan Zofa berangkat menyusul. Perjalanan kami memakan waktu yang cukup lama, dan kami baru tiba di terminal di Banjarmasin untuk lanjut naik bis menuju Kotabaru. Sebelum melanjutkan perjalanan kami sempat makan di sebuah warung di terminal. Suasana terminalnya tidak begitu ramai, berbeda dengan di Jakarta. Hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang dengan penerangan seadanya. Kami memilih sebuah warung di terminal supaya mendapatkan harga yang tidak terlalu mahal. Di sana kami memilih ayam dan ikan bakar. Saat hidangan tiba, kami disajikan nasi satu keranjang kecil, dengan semangkuk sayur bening, dan ikan bakar segar. Saya heran, karena saya tidak memesan sayur bening dan juga nasi sebanyak itu. Ternyata di sana mereka memang menyajikan makanan seperti itu. Dan saat saya menyantap ikan bakar nya rasanya sangat enak dan segar. Sebelumnya, di etalase, ikan bakar itu terlihat tidak menarik, tetapi karena saya lapar mau tidak mau saya memilih ikan itu. Tapi saat disajikan ternyata benar-benar enak, dengan bumbu merah yang menggoda. Entah karena saya lapar, saya merasa itu adalah ikan bakar terenak yang 64
Diary para Pewujud Mimpi
pernah saya makan. Satu porsi ikan bakar dijual dengan harga Rp 23.000 harga yang cukup mahal. Tapi saya kenyang dan senang. Kami akhirnya tiba di Desa Sarang Tiung pada pagi hari. Saya masih ingat beberapa jam sebelumnya setelah makan di warung saya masih harus tawar menawar harga dengan pak supir bus di Banjarmasin untuk mengantarkan kami ke Sarang Tiung. Bagi saya yang tidak bisa menawar butuh usaha keras untuk mendapatkan harga yang pas, atau lebih murah. Semua orang di sana adalah lelaki dan berbahasa Banjar, saya tidak tahu apapun tentang bahasa Banjar dan mencoba meyakinkan bapak Supir. Saya menyerah. Tri, sebagai penanggung jawab lapangan akhirnya menelepon saya dan membantu saya untuk negoisasi dengan Pak Supir. Tri yang sudah pandai berbahasa banjar karena berangkat seminggu lebih awal akhirnya sukses membuat bapak Supir mau mengantar kami dengan harga yang lebih murah. Bapak Supir sedikit mengeluh kepada saya dengan bahasa Banjar yang tidak saya mengerti. Saya hanya menanggapi dengan senyuman dan ucapan terimakasih. Maaf ya Bapak, kantong mahasiswa :p Kami, rombongan yang menyusul tiba dengan selamat. Kami dijemput oleh rombongan kecil teman-teman yang belum mandi. Masih harus berjalan sekitar satu kilometer lagi untuk tiba di rumah penginapan, saya sudah merasa terhibur dan senang sekali melihat laut biru membentang yang bisa saya lihat langsung dari dekat. Semuanya biru! Rasa lelah berjam-jam menuju Sarang Tiung terbayar. Setibanya dirumah, pikiran saya kembali kacau. Saya naik ke lantai dua dan melihat ruangan besar yang berantakan. Di sana ada kabel laptop, koper yang tidak beraturan, kertas, pakaian, gelas kosong dan banyak barang lain yang berserakan. Bahkan saya bingung meletakkan barang saya di mana. Ya, saya sedikit maklum karena sedang dalam keadaan turun lapangan, dan banyak yang mesti dikerjakan dalam satu tempat. Akhirnya, saya berjumpa dengan pemilik rumah. Ibu Hamidah. Berparas cantik, lembut, dengan kulit coklat terbakar matahari, kesan pertama yang saya tangkap. Saya langsung memperkenalkan diri, dan dengan ramah ibu menanyakan bagaimana perjalanan saya menuju ke Sarang Tiung. Saat itu ibu di dapur sedang mempersiapkan makanan untuk kami bersama dengan Firda, Nurul dan Mada. Setelah saya membersihkan 65
Research Camp Kotabaru
diri, saya kembali ke bawah dan membantu teman-teman yang lain. Saya melihat hanya sedikit yang membantu memasak sedangkan yang lain asyik sendiri di atas tanpa mengerjakan sesuatu. Saya merasa tidak enak dengan ibu Hamidah pemilik rumah yang justru membantu kami menyiapkan makanan. Seharusnya, kami yang menyiapkan semua makanan itu sendiri. Meskipun begitu, Ibu Hamidah tidak memperdulikan bahwa yang membantu memasak hanya beberapa orang saja. Ibu dengan cepat mengerjakan semuanya dan mengajak kai berbicang mengenai keseharian kami di Jakarta. Ibu belum pernah keluar kota jadi Ibu sangat tertarik mendengar cerita kami. Ibu Hamidah memiliki tiga orang anak, satu putra dan dua orang putri. Semuanya masih kecil, belum tamat sekolah dasar. Keseharian ibu Hamidah selain mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus anak, ia juga berjualan. Di depan rumah ia menjual beragam jajanan ringan dan juga alat alat dapur. Ibu juga sesekali menengok tambak rumput laut yang ia miliki. Malamnya, akhirnya saya bertemu juga dengan bapak. Namanya bapak Amir. Usianya masih muda, mungkin sekitar 40 tahunan. Setelah saya tahu bapak memberikan nama panggilan baru bagi kami semua, saya meminta bapak untuk membuatkan nama yang bagus untuk saya. Tapi bapak masih bingung memberikan saya nama apa. “Hmmm...sebentar ya, besok deh ingatkan saya, saya mau pikir-pikir dulu”. Bapak adalah keturunan dari Bugis, dan menetap di Sarang Tiung sejak kecil bersama orang tua. Jadi bapak memberikan kami semua nama panggilan dari Bugis agar kami semua merasa dekat. Bapak bahkan mengancam kami agar menghafal semua nama yang telah ia berikan, dan saat malam terakhir, jika ada yang tidak hafal akan diberi hukuman. Tapi kami tetap saja tidak bisa menghafal nama teman kami satu persatu meskipun sudah 10 hari bersamasama dalam satu rumah. Akhirnya saya diberikan nama Daeng Ngona. “Bapak, Ngona artinya apa?”. “Ngona itu artinya sendu”. Jawab bapak. Saya justru bingung diberi nama seperti itu. Mungkin kesan yang pertama bapak tangkap di wajah saya adalah wajah yang sendu. Seperti minta dikasihani. Tapi Pak Herman, adik Ibu yang tinggal satu rumah di sana memberikan tambahan penjelasan kepada saya. “Ngona itu artinya bukan sendu, tapi lebih ke lugu”. Saya hanya mengiya-iyakan saja. Merasa setuju, 66
Diary para Pewujud Mimpi
merasa aneh juga. Ada beberapa nama Daeng yang masih saya ingat. Daeng Malewa, nama untuk Irfan, yang artinya teguh. Saya sempat heran juga darimana bapak tahu bahwa nama panjang Irfan adalah Irfan Teguh Prima? Mungkin bapak pintar membaca wajah orang. Jadi bisa mengirangira karakter dari wajah yang bersangkutan. Sedangkan Rehan mendapat nama Daeng Malo. Artinya ambisius. Cocok. Untuk Tri, bapak memberikan nama Daeng Naba, artinya serba bisa. Mungkin maksudnya bisa merayu anak desa tetangga untuk dijadikan istri. Karena saya datang terlambat, maka saya hanya melakukan wawancara informan di hari terakhir. Sementara sisanya sudah dilakukan oleh teman-teman dari kelompok saya. Proses melakukan wawancara ternyata tidak mudah seperti bayangan saya. Beberapa informan menolak untuk di wawancarai. Saat kami datangi rumahnya, mereka tidak ada di rumah dan tidak kunjung bisa dihubungi. Padahal waktu kami terbatas. Kami juga kesulitan karena informan yang kami wawancara menggunakan bahasa Banjar, jadi kadang ada beberapa hal yang tidak kami mengerti. Karena ini adalah pengalaman baru bagi kami untuk melaksanakan turun lapangan, kadang beberapa pertanyaan yang kami ajukan dijawab tidak sesuai dan justru banyak hal lain yang diceritakan oleh informan. Kami meneliti mengenai pelaksanaan Program PUMP (Pengembangan Usaha Mina Pedesaan) yang dikeluarkan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan. Melalui program tersebut, kelompok nelayan akan diberikan dana hibah sebesar 100 juta. Selama proses penelitian berlangsung,dari temuan kami ternyata kehidupan di desa yang tenang justru sebenarnya penuh dengan intrik di dalamnya. Banyak dana-dana masuk dari pemerintah yang tidak tersebar merata dan hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Beberapa informan mengeluhkan kalau program yang diberikan oleh pemerintah kadang tidak terdengar informasinya. Tahu-tahu sudah ada golongan tertentu yang mendapatkan bantuan dana. Sebagian besar pekerjaan warga di sana adalah nelayan bagan tancap. Bagan tancap sendiri adalah sebuah rangkaian perangkap ikan yang dibuat dari kayu sepanjang 15 meter dari pohon bakau atau serdang. Bagan dibuat sekitar 12x12 m dan diletakkan jaring dan lampu jenset untuk menarik ikan. Bagan ini sekali panen setiap harinya bisa menghasilnya kurang lebih 67
Research Camp Kotabaru
30 kg dengan beragam jenis ikan. Hasil dari panen di bagang akan di bawa untuk dipisahkan terlebih dahulu dan di jual ke pengepul. Harganya bisa berbeda setiap jenis ikan dan ke pengepul mana mereka berikan. Suasana di desa Sarang Tiung ini sunyi, tidak banyak aktivitas. Saat pagi hari hanya tampak aktivitas ibu-ibu menyapu halaman dan anakanak kecil berangkat sekolah, atau satu dua penjual sayur. Sedangkan bapak-bapak tidak banyak yang beraktivitas di pagi hari. Saat sore hari beberapa anak kecil akan menghabiskan waktu bermain layang-layang di pinggir pantai. Jika kami berangkat mencari data, maka kami harus berjalan kaki cukup jauh untuk menuju ke rumah informan. Sekembalinya mencari data, kami akan menghabiskan waktu bermain di pantai sembari berjalan pulang. Desa ini cukup jauh dari pusat kota. Sangat jarang ada angkutan umum, sehingga masing-masing keluarga mempunyai sepeda motor sebagai kendaraan pribadi untu transporatasi sehari-hari. Harga makanan juga mahal sekali, seperti sayuran atau buah buahan. Tetapi harga jajanan sangat murah. Saya bisa menemukan Chacha, coklat kacang yang dijual seribu rupiah di Jakarta, tapi hanya dijual 500 perak saja di Sarang Tiung. Karena musim kemarau panjang dan angin yang besar, banyak nelayan yang tidak turun melaut. Bahkan bapak Amir juga tidak turun melaut untuk mengecek bagan seperti biasanya karena angin dan ombak yang besar. Bapak bercerita bahwa cuaca yang buruk ini telah berlangsung cukup lama dan juga mempengaruhi penghasilan. Namun, selain mempunyai bagan, bapak juga mengembangkan budidaya rumput laut. Begitu pula pak Herman. Suatu siang, saya tidak ingat hari keberapa, Pak Herman memanggil saya dan memberikan seember rumput laut kering. Rumput laut itu awalnya kering berwarna hijau kehitaman, sehingga harus terlebih dahulu direndam air. Setelah bersih, Ibu membantu kami membuat es rumput laut lengkap dengan sirup dan susu. Siang yang panas itu, sembari beristirahat setelah mencari responden dan informan kami minum es rumput laut segar. Esoknya pak Herman akan kembali membawa ikan seember kecil. Ikan tembang namanya. Ibu akan membersihkan ikan dan membumbuinya dengan bumbu asam. Kemudian ikan kecil-kecil itu akan digoreng, sangat enak dinikmati saat panas dengan nasi dan sambal. Kami bisa habis 7-8 ekor sekali makan. 68
Diary para Pewujud Mimpi
Saya tidak akan pernah bisa lupa untuk mengingat setiap pagi ketika saya bangun dan keluar rumah, maka saya akan melihat hamparan laut yang biru dan luas dengan angin yang sangat sejuk. Atau saat siang hari yang terik, saya bersandar di balkon agar bisa mendapatkan angin dan beristirahat sebentar. Bapak juga selalu menyenangkan hati kami dengan mengajak kami ke pantai untuk mencari kerang dan melihat hutan bakau. Di sana bapak banyak bercerita tentang masalah sehari-hari, tentang P.T Arutmin yang membuang limbah, tentang air laut yang mulai naik, bahkan tentang masa kecil bapak. Bapak adalah orang yang penuh humor, selalu merasa muda, merasa seumuran dengan kami. Ada lagi yang selalu membuat saya tertawa. Setiap huruf ‘n’ di sini akan dibaca sengau. Jadi setiap kata yang berakhiran ‘n’ akan terdengar menjadi ‘ng’. Saya hanya bisa tertawa jika bapak atau ibu menyebutkan kata jalan, maka akan terdengar menjadi jalang. Sehari sebelum pulang, kami yang belum banyak bersosialisasi dengan warga membuat layar tancap di depan rumah bapak. Suasana malam itu sangat ramai semua orang keluar dari rumah mereka. Sebenarnya jadwal menonton bersama sudah diagendakan sehari sebelumnya, namun karena terlalu sering molor rapat dan berkumpul akhirnya ditunda keesokan harinya. Kami sebenarnya sering tidak enak hati karena banyak menjanjikan hal-hal kecil kepada bapak. Misalnya mengajak nonton film bersama. Meskipun hal ini terlihat kecil, namun saya merasa bersalah karena bapak rela meluangkan waktunya untuk tidak turun melaut demi menemani kami tamunya dari jauh. Malam sebelum kami berpamitan, kami semua berkumpul di depan rumah dan mengucapkan banyak terimakasih kepada bapak, ibu dan Pak Herman. Sedih harus mengucapkan selamat tinggal kepada Desa Sarang Tiung terutama kepada Ibu dan Bapak yang sudah sangat baik kepada kami. Saya dan teman-teman sampai menitikkan air mata saat berpamitan kepada Ibu. Kami titip doa agar kuliah kami selalu lancar. Ibu dan bapak mengantar kami sampai menuju bis dan akhirnya kami benar-benar mengucapkan selamat tinggal. Perjalanan turun lapangan kami selesai, namun kami masih harus melakukan presentasi di depan kepala dinas kelautan dan perikanan 69
Research Camp Kotabaru
Kotabaru dan Provinsi Kalimantan Selatan. Hasil sementara yang telah kami olah sebenarnya masih jauh dari sempurna. Selama proses pembuatan proprosal penelitian hingga turun lapangan masih banyak kendala baik dari kami sendiri yang tidak disiplin dan masalah-masalah teknis lainnya. Sejujurnya, penelitian kami masih banyak sekali kekurangan, namun segala persiapan selama kurang lebih 6 bulan dan menguras tenaga sedikit banyak membantu kami dalam mendapatkan ilmu tentang penelitian. Saya masih ingat ketika satu persatu masalah datang dalam perjalanan kami melaksanakan penelitian di Sarang Tiung. Di mulai dari diskusi kelompok yang tidak berjalan baik, kesulitan dalam menentukan metode, jadwal-jadwal yang tidak sesuai timeline, orang-orang yang tibatiba menghilang dan sulit untuk dihubungi, perbedaan pendapat, rapat hingga larut malam, masa-masa menghubungi sponsor untuk mencari dana, hingga pada titik klimaks di mana pihak rektorat ternyata membatalkan janji untuk membiayai secara langsung penelitian ini. Tidak hanya itu, masalah-masalah personal juga datang, banyak yang kesal, sedih, marah, kecewa karena tidak bisa berangkat, lelah kehilangan waktu dan tenaga, ketinggalan kereta, dimarahi orang tua karena pulang larut malam, chatting hingga larut malam, jatuh sakit karena lelah, berat badan turun, berjibaku dengan tugas kuliah yang datang bersamaan, review jurnal, dan proses revisi yang panjang. Maafkan kalau sebagai penanggung jawab acara ini saya sangat amat cerewet, kadang tidak jelas mau nya apa, kasar dalam berbicara, menuntut banyak hal, dan juga suka memasang muka masam dan jutek. Tapi, intinya saya ingin mengucapkan selamat! Selamat untuk kita semua yang sudah melalui semua cobaan ini. Haha! Semoga banyak pelajaran yang bisa diambil dan berkesan untuk kita semua. Terimakasih untuk Project Officer, Mr. Confident, Widi Kusnantoyo yang telah sukses membawa kami ke Sarang Tiung dan membuat kami jadi lebih dekat. Terimakasih untuk semua panitia yang sudah bekerja keras dan juga siap pasang badan untuk melakukan apapun yang diminta. Maaf, saya tidak bisa mengucapkan satu persatu ucapan terimakasih kepada kalian.
70
Diary para Pewujud Mimpi
Terimakasih juga kepada kelompok 3, Tri, Firda, Bona, Lintang, Nesita, dan Peter yang sudah bekerja sama untuk menyusun penelitian ini hingga akhirnya selesai dan mendapat respon positif. Merci beaucoup pour la meilleure anneĂŠ!
71
Research Camp Kotabaru
Randy Raharja - PLD XXVIII Sudah satu minggu lagi mau berangkat. Jadinya lokasi mau di mana? Coba ada yang berangkat duluan cari tempat. Kalian butuh data apa aja di sana? Ya Allah pasti bisa berangkat. Talangin duluuuuuuuuu entar diganti. ‌.. Pantainya indah Seminggu lagi bisa ga? Cerita kami, Research Camp 2015 Merupakan hal yang luar biasa ketika mengingat kembali rangkaian Indonesian Student Research & Summit (ISRS) 2015 di salah satu lokasi yang kaya hasil laut, yaitu Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan kemarin. Mulai dari pembentukan panitia, pembuatan proposal penelitian, pengumpulan data, hingga pelaksanaan seminar dan pembuatan jurnal memiliki kenangan tersendiri jika diingat-ingat kembali. *** Sebelumnya, saya diberi tanggung jawab dalam kepanitiaan yang keren ini sebagai Chief of Research Tutor. Sebuah nama yang cukup panjang dan mungkin mudah dilupakan. Ya, tapi memiliki peran penting juga loh. Mengoordinasikan pelaksanaan dan mempersiapkan penelitian bagi teman-teman yang akan berangkat ke Kalimantan Selantan, bukanlah hal yang mudah dan tentu banyak kendala yang bisa terjadi. Ya tentu saja ini bukan LPJ yang akan bahas kendala kami hihihi, tapi berisi kenangan yang tak terlupakan dan kami alami bersama selama 10 hari kemarin pada rangkaian Research Camp. Research Camp sebagai rangkaian menjadi daya pikat bagi peneliti muda untuk belajar dan meningkatkan kemampuan dalam menalar. Kami tidak hanya dituntut untuk membuat penelitian yang bagus, tetapi kami juga harus memberikan timbal balik yang baik bagi warga di lokasi penelitian.
72
Diary para Pewujud Mimpi
Bercengkrama dengan warga sekitar demi memperoleh data adalah sebuah kewajiban. Banyak hal yang sangat berkesan di sana. Mulai dari keberangkatan yang membuat kami harus menginap di Bandara SoekarnoHatta, lalu perjalanan panjaaaaaaaang ke lokasi di seberang pulau, yakni menuju Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru, menginap di rumah warga setempat yang disambut dengan deburan ombak dan angin malam, briefing pagi dan makan tiga kali sehari, mengitari pesisir pulau dengan dan tanpa beralas kaki, mengumpulkan data, hingga kembali lagi ke Ibukota. Adapun penelitian yang kelompok saya teliti yaitu mengenai persepsi masyarakat pesisir terhadap pembangunan kelautan. Mulai dengan mengumpulkan data dari sekretaris kabupaten hingga nelayan setempat kami lakoni bertemu. Tidak ada kata menyerah untuk memperoleh data, apalagi bersama-sama dan saling membantu dalam mengumpulkan data. Teman-teman yang sungguh luar biasa yang hamper tiap malam bermain werewolf. Meskipun ingin pulang, selalu ada kerinduan untuk pergi kembali ke sana, karena ada sesuatu yang ditinggalkan. Ya, pokoknya gitu aja. Kemarin seru banget. Salam.
73
Research Camp Kotabaru
Rehan Novendra - PLD XXVII Akhirnya impian saya menginjakan kaki di Borneo, pulau sejuta misteri terwujud melalui research Camp 2015 . Berbagai pengalaman unik dan berharga saya dapatkan di sana. Dari penelitian itu sendiri, kebiasaan dan budaya masyarakat di sana, sampai keindahan alamnya Kami berangkat dari depok sehari setelah hari kemerdekaan yang jatuh pada hari senin. Pada waktu itu saya masih ada urusan aministratif yang belum terselesaikan, terlintas ada pikiran menyusul. Namun jika hal tersebut terjadi, akan sangat menghambat penelitian dan mempersulit teman-teman peneliti. Sehingga saya meminta tolong teman dan ayah saya tercinta untuk membantu urusan administratif tersebut. Rombongan ikhwan yang berangkat bersama dari depok mendapatkan taksi yang tidak nyaman karena berbau seperti bawang dan di akhir perjalanan kami merasa dikadali oleh supir taksi tersebut. Sesampainya di bandara, kami berkerumun berbincang-bincang dan bercanda menghabiskan waktu bermalam di bandara dikarenakan pesawat kami berangkat sekitar pukul delapan pagi, entah mengapa saya tidak mengantuk . Mungkin karena terlalu senang dan bersemangat. Pagi di bandara sangat dingin, sebagian dari kami ada yang bisa tidur sebentar. Di pesawat saya tidur sebentar, saya agak khawatir karena ada anggota kami yang sedang tidak enak badan karena akan sangat tidak menyenangkan melakukan penelitian dengan dengan tubuh yang tidak sehat. Setibanya di borneo kami langsung melanjutkan perjalanan ke Kotabaru dari Banjarmasin. Perjalanan di bus juga menyenangnkan, tidak perlu ke dufan lagi setelah kembali ke jakarta haha Penelitianya sendiri sangat menantang. Pertama kami baru tahu jika nelayan yang ada di desa sarang tiung merupakan nelayan bagan. Yaitu nelayan yg menangkap ikan melalui alat yg menyerupai rumah di tengah laut. Dengan cepat kami mengganti latar belakan dan masalah pada penelitian kami yang kami kembangkan sebelumnya. Hal ini sebenarnya 74
Diary para Pewujud Mimpi
bukan sesuatu yg benar dalam melakukan penelitian, tapi begitulah keadaan di lapangan. Saya harap research camp berikutnya melakukan persiapan yang lebih matang. Kelompok penelitian kami yaitu kelompok 5, hanya ada empat orang yang berangkat, yaitu saya sendiri, sanul, widi, dan mada. Penelitian kami menggandeng disiplin ilmu psikologi sebagai pisau untuk memotong masalah yang ada di sana. Kami menganmbil topik hubungan persepsi dan motivasi dengan sikap kerja nelayan. Tujuan penelitian ini sendiri adalah melihat variabel tersebut dan hubunganya. Pertama kami secara reckless mengambil data yg ditujukan untuk melakukan uji instrument pada nelayan di desa rampa setelah kami selesai berdiskusi dengan KKP kota baru. Pada akhirnya data tersebut tidak masuk kedalam analisis data penelitian kami karena tidak sesuai dengan responden yang dibutuhkan. Tapi kami mendapatkan pengalaman yang unik. Nelayan di rampa baru jauh lebih tradisional dan kuno daripada nelayan di desa sarang tiung, Begitupun kesejahteraanya yg saya lihat. Kami mendapatkan responden pada suatu keluarga di mana seorang bapak paruh baya yang memakai peci dan anaknya yang seumuran dengan saya yang merupakan nelayan tradisional. Nah kami diberikan suguhan makanan dan minuman. Di tengah pengisisan kuesioner, bapak tersebut bertanya, "ini ada belakangnya ga ya?"saya kira maksudnya kami adalah utusan pemerintah. Saya jawab," oh ga ada pa, kami dari kampus untuk tugas kuliah."bapak itu pun terlihat kecewa dari raut wajahnya ( tugas kuliah, kebohongan yang direncanakn dari teman kami jika ada yg bertanya, hal ini kurang etis sebenarnya dalam melakukan penelitian). Kami hanya memberikan souvenir berupa pin pada perpisahan. Lalu sanul yg berlatar belakang antrop menjelaskan, jika artinya mereka mengharapkan uang dari kami. Saya dan sanul merasa sangat tidak enak. Lanjut lagi kami mengambil responden pada nelayan lainya, namun kali ini kami berada pada lingkungan yg agak ramai karena istri nelayan tersebut banyak curhat. Lucunya nelayan tersebut sudah cinta mati bekerja sebagai nelayan, ia pun ingin anaknya melanjutkan pekerjaanya sebagai nelayan. Tetapi istrinya ingin anaknya bekerja menjadi pekerja yg lebih baik yang artinya memiliki pendapan yg lebih besar dan lebih sedikit 75
Research Camp Kotabaru
menggunakan kekuatan fisik. Saya melihat jika hampir semua nelayan yg kami temui berpandangan sama tentang pekerjaan sebagai nelayan, mereka cinta mati menjadi nelayan. Dari konteks personality seseorang dengan kesesuaian kerja yg saya pelajari tidak terdapat pada setiap responden yang kami obserbvasi. Secara umum saya berpendapat jika grup think dan nilai masyarakat mengalakan traits dan personality. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk justifikasi pendapat saya tersebut. Dalam penelitian kuantitatif seharunya kita tidak perlu terlibat terlalu dalam dengan responden. Namun sangat tidak enak memotong responden yang mencurahkan hatinya dan kadang kami malah tertarik melontarkan pertanyaan yang tidak ada kaitanya dengan penelitian kami, hal tersebut sangat membuat waktu karena kami harus mengumpulkan jumlah responden yang relatif banyak dengan waktu yang relatif singkat. Namun saya tertarik mengenai bagaimana manusia di daerah yang sangat jauh berbeda dengan kehidupan kami sehari-hari di kota sambil menikmati liburan semester. Pengujian instrument yang sebenarnya dilakukan di desa sarang tiung. Permulaan kami mengambil data lebih sulit karena ada beberapa calon responden yang tidak kooperatif. Namun ketika raport sudah terbangun dan hampir seluruh desa mengetahuinya melalui berbagai pendekatan dan acara yang kami buat, menjadi lebih mudah mengambil respon dari responden. Saya mendapat satu responden yang sangat periang dan terbuka, saya diajak bicara tentang berbagai hal tentang nelayan, laut, ikan, dan desa sarang tiung tersebut. Saya juga diberitahu akun facebooknya yang banyak berbagai foto tentang desa sarang tiung dan keindahan lautnya. Mengingat kelompok saya membutuhkan karakteristik responden yang sama dengan kelompok empat yang dikepalai oleh lili, kelompok saya melakukan kerjasama dalam pengambilan data. Jadi masing masing dari kami mengambil dua data penelitian untuk satu responden. Hal ini terbukti sangat efisien sehingga lebih banyak waktu yang bisa kami gunakan untuk keperluan lain. Kami menemukan jika nelayan nelayan di desa sarang tiung mengangap hasil laut di desa sarang tiung semakin berkurang dalam 76
Diary para Pewujud Mimpi
memenuhi kebutuhannya namun mereka tetap memiliki sikap kerja yang baik sebagai nelayan dan motivasi mereka juga tinggi. Sehingga tidak dikhawatirkan akan keberlaangsungan pekerjaan sebagai nelayan. Isu lainya adalah kesulitan mengambil kayu dan perbedaan kepentingan dengan pemerintah yang menyatakan bagan di sarang tiung dilarang karena untuk keperluan transportasi laut. Di lain isu, mayoritas nelayan di desa sarang tiung merupakan lulusan sekolah dasar, motivasi kerja yang tinggi dikhawatirkan menyebabkan penangkapan ikan yang berpotensi merusak ekosistem laut sehingga pendidikan perlu menjadi pertimbangan khusus bagi pembuat kebjakan untuk keberlangsungan laut dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Selain mengolah data penelitian, tentunya kami juga besosialisasi dengan masyarakat sekitar dan bermain game pada malam hari sebelum tidur. Game yg paling menguras tenaga saya adalah main boong, yaitu permaianan kartu yg menebak apakah kartu tertutup yg diajukan sesuai dengan si giliran. Setiap pemain boleh call cepet-cepetan. Jika si call benar maka si giliran akan mengambil semua kartu di meja dan jika salah si call yg mengambil kartu tersebut. Pemenang ditentukan dengan kartu di tangan yg habis duluan. Pak amir, pendamping kami yg paling setia selama di sarang tiung ikut bermain, lebih mudah membaca expresi karena kerutan wajahn yg lebih terlihat. Saya tidak pernah menang pertama, karena tujuan saya bukan menang , tetap mempelajari expresi wajah dari permainan tersbut. Peluang untuk bohong akan lebih besar, jadi siapa yg paling berani dan cepat pasti bepeluang lebih cepat memang. Jadi esensi yang saya dapat, pak amir tidak terlalu pandai berbohong haha. Di hari- hari terakhir kami , kami juga memaparkan hasil penelitian kami sementara kepada dinas KKP Kotabaru dan provinsi Kalimantan selatan. Kami mendapat banyak masukan atas kemungkinanan terjadi biasnya penelitian kami dalam menintepretasikan data. Kami juga memberikan banyak rekomendasi pada mereka dari hasil semntara yang kami dapatkan. Saat yang mengharukan adalah ketika saat-saat terakhir kami di desa sarang tiung. Banyak dari kami yang meneteskan air mata pada
77
Research Camp Kotabaru
perpisahan. Begitu kuat ikatan emosional yang terbentuk dalam waktu tidak sampai dua minggu. Saya yang berasal dari latar belakang ilmu terapan sangat senang dengan keterlibatan pada research camp 2015. Terbayar 1,5 tahun mulai ketika saya diterima sebagai staf departemen penelitian yang dikepalai ka nuri sampai saya menggantikaanya mempelajari penelitian yang difokuskan untuk mengatasi masalah-masala sosial. Ini adalah penelitian pertama saya dengan mengambil primer langsung ke lapangangan. Mungkin tidak ada lagi kesempatan dan pengalaman seperti ini bagi saya.
“ Harapan saya pada Desa Sarang Tiung adalah menjadi desa yang jauh lebih maju, pandai memanfaatkan teknologi. Motivasi internal yang tinggi sebagai nelayan perlu didukung dengan hal terseut. Kelak indonesia akan menjadi negara yang makmur melalui pengelolaan hasil laut. Sangat sulit mengambarkan keseluruhan pengalaman saya yang tak terlupakan melalui satu tulisan. Bagaima pun tulisan ini ditulis, tulisan ini hanya menggambarkan bagain dari pengalaman.�
78
Diary para Pewujud Mimpi
Restu Wardhani – PLD XXVIII Pulau Laut, Inklusi Pengembangan UMKM
Keuangan,
dan
Penyusunan Research Design Research Camp 2015, luar biasa !! Di RC tahun ini aku diamanahkan menjadi tutor di Kelompok 2. Di Kelompok 2 ada Kak Iin, Vivi, Fenny, Carlos, Ryandi, Dedy, dan Kak Siswi. Aku lupa kapan pertama kali kelompok ini dibentuk, mungkin sekitar bulan Mei. Saat di awal pembuatan Research Design kita mengalami banyak kesulitan. Sekian minggu kita habiskan hanya untuk mennetukan topik dan judul penelitian. Bahkan beberapa hari berikutnya kami masih beberapa kali mengganti judul. Saat pengumpulan Research Design tahap 1, judul penelitian kami yaitu “Faktor-Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Kabupaten Tanah Laut”. Sebulan kemudian ternyata lokasi penelitian dirubah menjadi di Kabupaten Kotabaru. Penggantian lokasi penelitian tersebut memberikan peluang kepada kami untuk menggali informasi mengenai hal potensial yang bisa dijadikan topik penelitian di Kabupaten Kotabaru tersebut. Kami sepakat untuk melakukan Brain Storming terlebih dahulu sebelum menentukan judul yang baru. Waktu untuk Brain Storming yaitu selama 2 minggu. Hal yang kami gali dalam Brain Storming ini di antaranya informasi geografis, keadaan ekonomi, sosial masyarakat, kebudayaan tradisional, dan masih banyak lagi. Selama masa ini, kami ber 6 bergiliran untuk membagikan informasi hasil temuan kami tersebut melalui grup Whatsapp. Setelah masa Brain Storming selesai, kami berkumpul di perpusat untuk kembali mendiskusikan topik dan judul Research Design kami. Hingga kemudian kami memutuskan agar research design kami diberi judul “Pengaruh inklusi keuangan terhadap difersivikasi produk pengolahan ikan laut di Pulau Laut Utara”. Akan tetapi, kami menemukan banyak sekali 79
Research Camp Kotabaru
kesulitan untuk mengeksekusi penelitian dengan judul tersebut. Oleh karena kami berenam bingung dan sudah cukup pasrah mengenai research design ini, akhirnya aku mencoba untuk berdiskusi dengan Chief Tutor RC, yaitu Kak Randy. Melalui diskusi tersebut ia menyarankan agar penelitian kami bersifat kualitatif saja, dan menggunakan studi deskriptif. Di akhir bulan Juli, kami harus menyusun kembali research design kami dengan topik dan judul yang berbeda dengan 4 dari 6 anggota Kelompok research design awal. Kemudian 2 kami sepakat agar research design kami diberi judul “Implementasi Inklusi Keuangan di Pulau Laut Utara: Studi pada Akses Modal UMKM Pengolahan ikan�. Judul tersebut jauh lebih sederhana dibandingkan judul sebelumnya. Mengenai dosen pembimbing, kami sebenarnya sudah berdiskusi dengan 2 dosen, yaitu Bu Dewi Ratna Sjar’i dan Bu Tia Jasmina, keduanya merupakan dosen FEB. Kami mendapatkan beberapa pengetahuan dari mereka, akan tetapi proses bimbingan kami kurang maksimal. Hari demi hari berlalu, dan tanggal 16 Agustus pun semakin dekat (keberangkatan menuju Kalimantan). Hingga H-6 keberangkatan, research design kami masih belum selesai. Namun alhamdulillah, akhirnya Research Design kami selesai sebelum keberangkatan ke Kalimantan Selatan. Perjalanan Menuju Pulau Laut Di kelompok kami 5 dari 6 orang berhalangan untuk mengikuti turun lapangan ke Kalsel. Selain saya, 5 orang rekanku tidak bisa ikut berangkat ke kalsel. Sebenarnya turun lapangan (turlap) RC dilakukan pada tanggal 19-26 Agustus, namun aku pulang ke Jakarta pada tanggal 22 Agustus karena memiliki kewajiban yang harus saya kerjakan di Depok. Pada h-1 keberangkatan, aku mengira ada 2 temanku yang bisa ikut turlap RC, namun saat di hari h keberangkatan, aku baru mengetahui bahwa 80
Diary para Pewujud Mimpi
mereka ternyata tidak jadi ikut, dan aku pun kaget dan kebingungan. Sebab penelitian kami bisa dikatakan hampir tidak mungkin dikerjakan hanya oleh 1 orang, apalagi hanya dalam 4 hari. Namun, demi profesionalisme aku berusaha untuk menyelesaikan turlap tersebut dan mengerjakannya dengan sebaik-baiknya. Untuk menuju Pulau Laut Utara, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan, kami rombongan researcher dari Depok harus menempuh perjalanan udara selama 2 jam dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Syamsudin Noor Banjarmasin, lalu disambung dengan perjalanan darat menggunakan bus selama 16 jam. Pesawat yang kami naiki take off dari Bandara Soekarno Hatta pukul 05.20. Sungguh indah pemandangan di saat itu. Kami take off bersamaan dengan terbitnya matahari, sehingga rona sang mentari dan gerakannya menuju angkasa terlihat begitu jelas. Setelah pesawat kami berada pada posisi mengudara, seolah matahari berada di bawah pesawat.
Pemandangan dari atas pesawat Pesawat kami tiba di Kalsel pada pukul 07.30, dan kami menunggu bus menjemput kami hingga pukul 08.30. Ketika bus kami datang, kami langsung diangkut menuju Kantor Gubernur Kalimantan Selatan untuk mengikuti pembukaan dan pertemuan dengan pihak Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan. Dalam pembukaan tersebut, masing-masing kelompok menyampaikan judul dan menjelaskan konsep penelitiannya masingmasing, dan tibalah giliranku untuk menyebutkan judul penelitian 81
Research Camp Kotabaru
kelompok kami. Saat itu kondisinya aku hanya tidur selama 2 jam, dan sehari sebelumnya hanya tidur 3 jam, juga baru saja menempuh perjalanan yang sangat jauh. Oleh karena itu aku merasa sangat lelah dan sedang tidak produktif untuk memikirkan konsep penelitian kami. Aku harus menahan mata dan kepalaku yang bandel ingin menutup dan menunduk, namun aku harus tetap fokus! Setelah sekian puluh menit berbincang dan berdiskusi dengan pihak Pemerintah Kalimantan Selatan, kami pun melanjutkan perjalanan kami menuju Desa Sarang Tiung mengunakan bus tercinta. Di perjalanan kami sempat berhenti untuk mampir shalat ke sebuah masjid untuk shalat dzuhur. Lalu sekian jam kemudian kami berhenti lagi di sebuah masjid untuk melakukan shalat ashar. Saat di pemberhentian yang kedua tersebut, kami menemukan jajanan khas Kalimantan, yaitu “Pentol�. Tak lama setelah kami menyadari kehadiran abang penjual pentol, panci dagangan tempat di mana pentol tersebut berada segera dirubungi oleh kami yang sangat “excited� dengan makanan khas tersebut.
Jajan pentol bersama di perjalanan Setelah puas menyantap pentol, kami melanjutkan perjalanan. Singkat cerita, akhirnya bus kami sampai di ujung selatan Pulau Kalimantan. Kami harus menyeberangi laut untuk menuju ke suatu pulau yang bernama Pulau Laut, tempat di mana Kabupaten Kotabaru berada. Saat bus kami naik ke kapal, aku sedang tertidur pulas sehingga aku tidak menyadari jika kami 82
Diary para Pewujud Mimpi
sedang menyeberangi laut. Saat kapal kami berada di tengah-tengah laut, aku terbangun, lalu melihat ke jendela. Kebetulan saat itu bus kami posisinya di bagian pinggir kapal, sehingga terlihat jelas pemandangan laut dari jendela bus. Aku terkejut bukan main karena saat aku melihat ke jendela, terlihat betapa banyak air. Aku mengira bus kami sedang kebanjiran, aku juga sempat mengira bus kami mau tenggelam di laut. Aku yang masih setengah sadar karena habis bangun tidur terdiam sejenak, “Apakah ini masih mimpi?” . Kemudian aku segera berteriak bertanya kepada penumpang bus lainnya, “Kaaaaak, ini bus kita ada di manaaa? Bus kita kenapaaa?!?!” , dan saat itulah aku baru menyadari bahwa bus kami baik-baik saja, kami hanya sedang menyeberangi lautan. Heeeheeehee. Tak lama aku langsung keluar bus untuk berbincang-bincang dengan penumpang kapal lain. Saat itu aku bertemu dengan tiga orang pria paruh baya yang aku lupa nama mereka bertiga. Mereka sedang menuju ke Pulau Laut untuk mengantar bibit pohon kelapa sawit. Kami mulai memperbincangkan banyak hal, berikut potongan percakapan kami: Restu : “Pak, apakah UMKM pengolahan ikan laut di Pulau Laut Utara cukup berkembang?” Warga: “Sebenarnya kalau untuk Kalimantan termasuk Pulau Laut, UMKMnya masih biasa-biasa saja dan kurang berkembang. Di Kalimantan saat ini usaha yang sedang cemerlang itu usaha pertambangan batubara, dan ada juga usaha perkebunan kelapa sawit tapi tak sebesar pertambangan batubara. Kalau batubara sedang digali besar-besaran.”. Restu: “Wah..tapi pertambangan yang dilakukan secara besar-besaran tersebut kan berbahaya Pak. Tadi pagi saya sempat ke Kantor Gubernur Kalimantan Selatan, dan mereka mengatakan jika pertambangan batubara secara besar-besaran tersebut sedang mereka hentikan, dan sudah dilarang di banyak tempat di Kalimantan Selatan.”
83
Research Camp Kotabaru
Warga: “Tapi masih banyak mbak pertambangan tersebut. Mungkin yang maksudnya dihentikan itu yang di Pulau Laut, katanya kalau Pulau Laut terus menerus diambil batubaranya maka pulaunya bisa tenggelam.” Intinya dari percakapan tersebut aku menangkap bahwa di Kalimantan Selatan usaha pertambanganlah yang masih mendominasi, ditambah usaha perkebunan kelapa sawit. Tak lama kemudian bus kami turun dari kapal. Kondisi Pulau Laut saat itu sangat sepi karena memang sudah larut malam. Bus kami menyusuri jalan yang naik turun dan sangat berkelok-kelok dengan kecepatan tinggi sehingga aku merasa seolah sedang naik roller coaster. Ditambah pemandangan di kanan dan kiri yang hanya semak belukar membuat suasana menjadi sedikit horor. Akhirnya Sampai di Rumah Pak Amir Beberapa jam kemudian akhirnya kami sampai di Desa Sarang Tiung. Kami diturunkan dari bus di pinggir jalan, tepatnya di gang kecil menuju rumah Pak Amir. Pak Amir adalah warga yang menjadi hostfam kami. Sebelum menuju ke Pulau Laut sempat ada temanku yang menakutnakutiku dengan hantu ‘kepala buntung’, dan beberapa researcher tersebut juga ada yang ‘parno’ dan penakut, jalan kaki menuju rumah Pak Amir rasanya menjadi sangat mencekam. Setelah berjalan kurang lebih satu setengah kilometer, kami sampai di rumah Pak Amir. Waahhhh..rumahnya sangat unik. Bentuknya seperti rumah panggung, dan sebagian besar terbuat dari kayu. Kebetulan kami disediakan ruangan yang cukup besar di lantai 2 sebagai tempat menginap kami. Saat itu terdengar suara deburan ombak yang lembut, seolah-olah ada gulungan ombak kecil dekat rumah. Namun karena kondisinya sangat gelap, aku tidak bisa memastikan dari mana datangnya suara ombak tersebut. Setelah merapikan barang-barang bawaan, aku mengambil buku tulis dan alat tulisku. Aku harus mempersiapkan strategi untuk meringkas penelitian yang harusnya dikerjakan oleh 5 orang dalam 6 hari, menjadi penelitian yang bisa dikerjakan oleh 1 orang dalam 4 hari. 84
Diary para Pewujud Mimpi
Yuhuuu...sungguh menantang, dan beresiko. Aku mulai merombak ulang daftar responden, dan jam wawancara, juga merombak hampir semua pertanyaan wawancara menjadi lebih ringkas dan ‘to the point’. Aku cukup kesulitan dalam melakukannya karena malam itu sumber penerangannya sangat minim, ditambah aku melihat di sekelilingku hampir semua researcher sudah tertidur pulas. Hingga tak lama kemudian tanpa disengaja, aku pun tertidur. Hari Pertama Turun Lapangan
Rumah Pak Amir Keesokan paginya aku terbangun dan langsung berebut kamar mandi dengan researcher lain, lalu sarapan bersama. Setelah itu aku langsung mengambil peralatanku, dan melanjutkan pekerjaanku yang semalam. Aku mulai memutar otak dalam menyusun strategi. Namun, ada sedikit rasa sedih karena saat kulihat di sekelilingku, ada kelompok 1, kelompok 3 sampai kelompok 5, mereka berdiskusi bersama-sama, sedangkan aku dari kelompok 2 hanya sendiri. Huhuhu..jadi rindu dengan teman-teman kelompokku yang lain. Tak lama kemudian datang sebuah angkot yang akan mengankut kami ke Dinas Kelautan dan Perikanan untuk pembukaan Research Camp. Karena acara pembukaan tersebut ternyata ‘ngaret’ dan baru selesai jam 1 siang, jadwal wawancaraku dengan para responden menjadi gagal. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam sebelum sore hari tiba, karena 85
Research Camp Kotabaru
respondenku dengan kelompok lain cukup berbeda, akhirnya aku memisahkan diri dari rombongan. Aku ditemani oleh Nugi untuk menunggu Kepala Seksi Pengolahan dan Pembudidayaan Hasil Tangkap (P2HP), dan setelah itu menuju kantor Bappeda. Sedikit mengecewakan karena saat Kepala Seksi P2HP tersebut datang, beliau berhalangan untuk diwawancara sehingga aku dan Nugi langsung menuju Bappeda Kabupaten Kotabaru. Perjalanan kami menuju Bappeda sempat terhambat karena kami kehilangan flashdisk yang entah terjatuh di mana. Kami berulang kali menyusuri jalan bahkan kami kembali ke Dinas Kelautan dan Perikanan untuk mencarinya karena semua data penelitian bahkan Research Design kelompokku berada di flashdisk tersebut. Surat ijin wawancara kami juga terbawa oleh rombongan yang saat itu Badan Perencanaan menuju ke lokasi penelitian yang berbeda. Pembangunan Daerah Kotabaru Untunglah di perjalanan kami bertemu dengan salah satu kelompok yang sedang observasi di Bank Kalsel (Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan). Di Kantor Bappeda aku mewawancarai dua orang kepala bidang, dan memperoleh banyak informasi serta data penelitian. Dari hasil wawancara tersebut aku juga jadi mengetahui bahwa Desa Sarang Tiung adalah Desa Inovasi Nelayan yang pertama dan satu-satunya di Indonesia, yaitu program dari Presiden Joko Widodo. Di Kabupaten Kotabaru juga akan didirikan sebuah Kota yang bernama Kotabaru. Mereka juga menceritakan panjang lebar mengenai dinamika perkembangan UMKM dan perbankan di Kabupaten Kotabaru, khususnya Kecamatan Pulau Laut Utara. Namun ketika ditanya mengenai “inklusi keuangan�, semua responden pada hari itu tidak ada yang mengetahuinya. Sekitar pukul 16.30 aku dan Nugi kembali ke rumah Pak Amir. Saat itu kondisi rumah sangat sepi karena semua researcher masih di lokasi
86
Diary para Pewujud Mimpi
penelitian. Sore itu aku mencoba keliling desa seorang diri, untuk melakukan observasi kecil-kecilan dan berbincang-bincang dengan warga. Saat itu aku melihat seorang pria paruh baya yang sedang berada di pinggir laut dengan ketinggian air laut yang mencapai lehernya. Aku memperhatikannya dari kejauhan semua gerak-geriknya. Ia nampak sedang menyeret bongkahan kayu yang ukurannya sangat besar. Ketika pria tersebut sudah mencapai bibir pantai, aku mendekatinya dan mencoba membuka perbincangan. Yang aku tangkap dari informasi yang dia sampaikan cukup unik. Warga di Pulau Laut (khususnya Desa Sarang Tiung) rutin mencari dan ‘memungut’ bongkahan kayu yang mengambang di lautan. Kayu tersebut berasal dari bagan-bagan yang terhempas ombak (orang Kalimantan menyebutnya ‘bagang’, yaitu alat berupa bangunan kecil di tengah laut yang digunakan untuk menangkap ikan). Kayu tersebut kemudian mereka kumpulkan di bibir pantai, dan terlihat ada puluhan bongkahan kayu besar yang memang sudah sejak lama diikat di bibir pantai. Aku sempat berpikir, “Apakah bapak ini melakukan illegal logging dan transaksi penyerahan kayunya dilakukan lewat jalur air? Lalu jika benar ‘memungut’, bagaimana jika kayu tersebut adalah milik orang lain? Dan..cukup aneh jika dari ratusan kayu bagan yang terhempas ombak, semuanya hanyut ke arah bibir pantai Desa Sarang Tiung?” . Aku cukup kesulitan berinteraksi dengan bapak tersebut karena beliau menggunakan logat bugis, dan terkadang bahasa yang ia gunakan adalah bahasa bugis. Aku juga masih belum tahu pasti mengenai persoalan kayukayu tersebut, dan aku tidak berminat untuk menggali lebih dalam karena bukan di ranah penelitianku. Bapak tersebut menceritakan betapa nasib keluarganya sangat bergantung pada bagan dan lautan. Beliau dan keluarganya tidak memiliki keahlian yang cukup untuk menjadi pengusaha atau terlibat dalam UMKM pengolahan ikan. Beliau juga menuturkan bahwa sebagian besar warga Sarang Tiung termasuk keluarganya, tidak percaya untuk terlibat dalam mekanisme yang ditawarkan lembaga-lembaga keuangn seperti perbankan, sekalipun koperasi, padahal dari lembaga tersebutlah seharusnya beliau memperoleh kesempatan untuk memutar roda perekonomian keluarganya dengan lebih cepat. Aku sempat bertanya, 87
Research Camp Kotabaru
Restu: “Lalu kalau suatu hari bapak butuh modal untuk usaha, bapak akan mencari dari mana?” Warga: “warga Sarang Tiung termasuk saya lebih mengharapkan bantuan dari pemerintah saja.”. Restu: “Bantuan yang seperti apa Pak? Pinjaman kah?” Warga: “Kami hanya bersedia jika diberikan hibah..karena memang seharusnya pemerintah memberikan hibah saja.” Restu: “ooh..mungkin semacam PUMP ya Pak? Tapi tadi bapak sempat bilang kalau warga belum memiliki keterampilan yang cukup untuk usaha. Jika hibah tersebut tidak terkelola dengan baik dalam usaha tersebut, bagaimana Pak?” Warga: (beliau terdiam...dan mukanya kebingungan..) “Ya...kemungkinan itu terjadi sih. Tapi kalau bukan hibah dari pemerintah, mau dapat modal dari mana lagi..kami hanya mengandalkan itu.” Aku memperbincangkan banyak hal dengan bapak tersebut, namun aku selalu mencoba mengarhakn pembicaraan ke arah topik penelitianku. Setelah skeitar 30 menit, kamimelihat dari kejauhan ada perahu kecil yang berisikan kurang lebih 6 orang sedang terombang-ambing di tengah laut. Perahu tersebut nampak sedang berusaha untuk merapat ke bibir pantai Desa Sarang Tiung, namun setelah berjuang dan berputar-putar selama sekitar 10 menit, usaha mereka belum membuahkan hasil. Lalu aku bertanya kepada bapak paruh baya yang berada di sebelahku, “Pak, ada apa dengan perahu tersebut? Kenapa mereka tidak bisa merapat?”, bapak tersebut menjawab “Sebab ombaknya sangat tinggi. Mereka terhempas berkali-kali oleh ombak. Kalau saya lihat, jika mereka terus keras kepala, kapa mereka akan tergulung ombak dan tenggelam.”. Aku langsung pucat mendengar beliau mengucapkan “tenggelam”, ditambah beliau mengucapkannya dengan sangat santai. Kemudian aku bertanya lagi, “Tapi 88
Diary para Pewujud Mimpi
kalau diperhatikan ombaknya tidak begitu tinggi pak..lalu kalau mereka tenggelam bagaimana ya pak? Apakah mereka bisa berenang melawan ombak?” . Bapak tersebut menjawab, “Memang..ombak di Pulau Laut ini seolah tenang..seolah tidak begitu tinggi..tapi coba perhatikan baik-baik, ombaknya bahkan lebih kuat dari ombak-ombak di pulau Jawa. Ya semoga saja mereka bisa berenang melawan ombak. Habisnya mau bagaimana lagi..beginilah nasib kita yang setiap hari harus menantang maut. Sebenarnya juga salah mereka sendiri karena di masa ombak besar seperti ini seharusnya tidak boleh ada yang melaut.” . Tak lama datang dua orang wanita paruh baya, dua orang ibu muda, dan 3 anak kecil. Mereka datang dan senyum-senyum kepadaku, seolah mereka sedang menemukan turis asing (‘bule’). Aku cukup bingung dengan kondisi itu..hehe. Bapak paruh baya itu kemudian bertanya kepada salah seorang ibu paruh baya tersebut, “Sedang apa kah ke sini?” (dengan logat bugis). Kemudian ibu tersebut menjawab dengan bahasa bugis dan aku tidak mengerti. Bapak paruh baya itu berkata pelan kepadaku, “Mereka katanya melihat kita dari kejauhan, dan mereka sengaja ingin melihat orang Kota dari dekat dan mengobrol katanya.”. Aku kemudian tersenyum, dan berpikir dalam hati “Apa ya bedanya aku dengan mereka? Kok seolah mereka sedang melihat barang unik lalu menghampirinya.. ooh, begini ya rasanya jadi turis..”. Aku terlalu asyik mengobrol dengan mereka sehingga aku lupa menanyakan nama mereka. Ketika aku menoleh ke arah laut, aku melihat ‘perahu penantang maut’ yang sebelumnya terombang-ambing menerjang ombak, kini sudah hampir merapat. Salah seorang ibu paruh baya di sebelahku kemudian berteriak dengan sangat keras yang bunyinya “Yaaaa..dabusiiii!!”, entah apa artinya itu hehehe. Kemudian 6 orang dari perahu tersebut bersorak dengan sangat keras ke arah kami, dan aku terkejut karena kemudian mereka ber-6 melambai-lambaikan tangan ke arahku, dan mereka berteriak-teriak sambil tertawa seolah memanggilku. Singkat cerita, akhirnya 6 orang tersebut setelah berhasil merapat ke bibir pantai dan segera menghampiri kami. Aku yang awalnya duduk seorang diri di tempat tersebut, kini jadi dikelilingi sekitar 11 orang dewasa dan 3 anak kecil. Lucunya lagi, mereka seperti seolah ‘mengantri’ untuk aku 89
Research Camp Kotabaru
ajukan pertanyaan, dan mereka seolah berebut menjawab pertanyaanku. Mereka juga sempat meminta berkali-kali untuk berfoto bersama, bahkan foto selfie. Sungguh kehangatan dan keramahan yang tak terlupakan dari warga Desa Sarang Tiung. Banyak sekali informasi mengenai topik penelitianku yang kuperoleh dari observasi tersebut. Tak lupa aku segera mencatat dan merekamnya. Kami berbincang hingga waktu maghrib. Lalu aku ijin pamit kembali ke rumah Pak Amir. Namun aku sempat ditarik-tarik oleh salah seorang ibu paruh baya ke rumahnya, bahkan aku sempat masuk ke rumahnya. Beliau sempat menawarkan aku untuk bermain ke rumahnya, dan katanya tak lama suaminya akan pulang. Suaminya memiliki tambak kepiting dan beberapa jenis ikan, yang mana hal tersebut sangat berkaitan dengan penelitianku. Beliau berjanji, beliau dan suaminya akan mengajakku ke tambang mereka dan menghadiahiku kepiting jika aku mau bermain ke rumahnya. Namun karena hari mulai gelap, aku berusaha untuk menolak. Dalam hati aku berkata, “Waahh..ibu ini agresif sekali. Aku jadi tidak bisa pulang..huhu.�
Kiri : Seorang pria sedang mengumpulkan kayu gelondongan Kanan : Perahu berhasil merapat Malam hari pun tiba. Setelah semua researcher pulang, kami berkumpul di ruang utama lantai atas untuk ‘laporan’ kepada chief tutor, Kak Randy. Ada dua kelompok yang data penelitiannya beririsan dengan penelitianku, sehingga kami saling bertukar data dan informasi. Aku segera
90
Diary para Pewujud Mimpi
menyusun ulang target responden untuk esok hari karena target respondenku hari ini yang harusnya 4 responden gagal, sehingga target responden untuk 3 hari ke depan bertambah. Aku kembali bertanya kepada diriku, “Apakah bisa aku menyelesaikan penelitian ini tepat waktu?”. Saat itu aku mendengar suara Pak Amir yang sedang berbincangbincang dengan temannya. Aku tertarik untuk mengahmpiri mereka karena Pak Amir merupakan salah seorang pemimpin UMKM yang sangat berpengaruh di Desa Sarang Tiung. Kemudian aku ikut bergabung dalam perbincangan mereka. Pak Amir sangat semangat menjawab semua pertanyaanku, bahkan ia menambahkannya dengan banyak sekali cerita yang informatif, aku sampai sangat pegal untuk mencatatnya (pada saat itu aku tidak punya laptop sehingga harus ditulis manual dengan buku catatan). Pak Amir menekankan bahwa Desa Sarang Tiung adalah desa yang baru muncul peradabannya pada 50-65 tahun lalu. Peradabannya masih baru, dan sebagian besar masyarakatnya berasal dari suku bugis. Mereka tidak memiliki keahlian dan pengetahuan yang memadai mengenai pengolahan, UMKM, dan keuangan. Kehidupan mereka bisa dikatakan sedikit primitif. Walaupun desa mereka digadang-gadang sebagai ‘Desa Inovasi Nelayan’ yang pertama dan satu-satunya di Indonesia, mereka tidak merasakan adanya dampak yang nyata. Mereka masih terbelakang dalam pendidikan, teknologi, keterampilan, dan keuangan. Celakanya, satu-satunya koperasi yang menjadi tumpuan kepercayaan masyarakat akan lembaga keuangan telah mengecewakan mereka dengan adanya kasus penipuan yang membawa lari uang warga hingga lebih dari Rp 10.000.000,-. Krisis kepecayaan warga kepada sektor keuanganpun semakin meningkat tajam. Pak Amir juga menekankan perlunya jaringan internet yang menyentuh semua lapisan masyarakat di Pulau Laut, agar mereka semakin mudah mengakses beragam pengetahuan dan keterampilan, serta mengembangkan usaha. Jangankan jaringan internet, aku pribadipun sulit untuk menggunakan jaringan komunikasi manual di ponselku. Kami melakukan perbincangan yang cukup panjang dan mendalam, bahkan sempat kami ‘merumuskan’ ide invoasi untuk Desa Sarang Tiung seputar ‘”Lembaga keuangan yang bagaimana yang cocok dan dibutuhkan oleh masyarakat ini?”, “Bagaimana cara menumbuh 91
Research Camp Kotabaru
kembangkan UMKM di daerah ini?”, dan persoalan yag cukup pelik “Bagaimana cara membangun mindset masyarakat setempat yang cenderung primitif dan sangat tardisional (mereka masih sangat bergantung kepada alam, seolah sistem perekonomian mereka masih ‘berburu dan meramu’)?”. Kami cukup serius membahasanya karena kami tahu daerah ini (daerah Kotabaru) harus mandiri perekonomiannya jika mereka tidak ingin kekayaan alam dan berjuta potensi lain di daerah ini menjadi ‘senjata makan tuan’ bagi masyarakatnya saat MEA (Asean Economic Community) dimulai. Hari Kedua Turun Lapangan Sehari sebelumnya Nugi sempat bilang kepadaku, “restu, besok kamu harus sudah siap berangkat jam 6 pagi, tidak boleh telat.”. Maka aku bangun pagi hari buta, dan segera bersiap-siap. Namun, ternyata Nugi tak kunjung datang hingga pukul 8 pagi. Aku mencoba untuk memanfaatkan waktu tersebut untuk merapikan data-data penelitian. Pak Amir datang menghampiri kami yang masing-masing sedang sibuk mengurus penelitian kelompok masing-masing. Ia mengajak kami untuk menghadiri acara ulang tahun anak dari salah seorang warga yang urmahnya tak jauh dari rumah Pak Amir. Kemudian kami serombongan mengunjungi acara tersebut. Wah..unik sekali acara ulang tahunnya, terbilang cukup meriah untuk sebuah desa, bagaikan acara resepsi pernikahan.
92
Diary para Pewujud Mimpi
Foto-foto acara ulang tahun anak warga Di acara tersebut tamu-tamu disuguhkan makanan berat yang sudah tertata rapi di piring-piring. Berbeda dengan cara penyajian di Jabodetabek yang biasanya dalam bentuk prasmanan. Kami kemudian berfoto bersama, dan aku sempat foto-foto selfie sendiri karena iseng. Aku terkejut karena di hasil foto selfieku, aku melihat ada seorang pria yang entah siapa. Beberapa detik kemudian, orang tersebut menghampiriku sambil senyum-senyum. 93
Research Camp Kotabaru
Aku sempat sedikit takut, tapi untunglah banyak teman-temanku di situ, jadi kalau ada sesuatu yang aneh aku bisa langsung memanggil mereka. Pria tersebut nampak seperti ingin mengatakan sesuatu kepadaku, hingga kemudian diapun berkata “Boleh foto bersama kah?� .. owalah..ternyata orang ini mengajak untuk foto denganku. Aku sudah hampir ketakutan melihat gelagatnya. Tak lama setelah aku berfoto, aku menerima sms bahwa Nugi sudah berada di depan rumah Pak Amir. Ya, petualangan berburu dataku hari ini dimulai lagi! Pagi itu aku dan Nugi menuju Dinas Koperasi, UKM, dan Perindustrian. Namun, di tengah jalan aku merasa sangat lemas dan pandanganku kunang-kunang, rasanya seperti nyaris pingsan. Kemudian aku dan Nugi membelokkan jalur untuk mencari obat penambah darah untukku terlebih dahulu karena aku memang saat itu sedang darah rendah. Sekitar pukul 10.15 WITA kami sampai di Dinas Koperasi, UKM, dan Perindustrian. Aku mewawancarai 3 orang petinggi dinas yang masingmasing berasal dari bagian Koperasi, bagian UKM dan bagian Industri. Aku juga memperoleh banyak data mentah, baik softcopy maupun hardcopy. Bahkan dari bagian UKM, aku diberikan buku besar yang tebalnya 500 halaman mengenai data UKM di Kabupaten Kotabaru..wauu.
94
Diary para Pewujud Mimpi
Narasumber dari Dinas Koperasi, UKM, dan Perindustrian Saat melakukan wawancara dengan bagian Perindustrian, tak sengaja aku melihat produk-produk kerajinan tangan dan produk pengolahan hasil laut di dalam sebuah lemari etalase. Produk-produk tersebut dikemas dengan sangat unik dan menarik. Dari kemasannya juga terlihat bahwa produk ini bukan produk olahan rumahan biasa. Aku berpikir dalam hati, “Loh..kok ini ada produk yang luar biasa kerennya ya? Selama ini responden-respondenku berkata bahwa UMKM pengolahan di sini masih belum berkembang..Lantas siapa yang memproduksi ini?”. Sontak aku bertanya kepada respondenku mengenai pemandangan yang kulihat saat itu. Beliau mengatakan, masyarakat memang sengaja membuat produk tersebut dan mengemasnya semenarik mungkin untuk sebuah acara Pameran UKM, acara rutin yang digagas oleh Pemerintah Pusat, maupun jika ada acara pameran-paemran lain. Aku bertanya lagi, “Tapi sangat disayangkan pak apabila hanya dibuat saat ada acara pameran. Mengapa masyarakat tidak mencoba memproduksinya secara rutin dan dipasarkan secara luas pak?”. Beliau menghela nafas, dan menjelaskan lagi kepadaku bahwa sebagian besar masyarakat daerah tersebut belum tertarik, dan bisa dikatakan ‘masih malas’ untuk mengembangkan usahanya dan serius dalam melakukan produksi. Faktor lainnya yaitu mereka masih takut akan resiko 95
Research Camp Kotabaru
usaha, terbatasnya teknologi informasi, dan kurang keterampilan dalam pemasaran, kurangnya akses modal dan pengetahuan keuangan. Sungguh saat itu aku menemukan hal pelik baru. Sangat disayangkan karena potensi keterampilan dan kekayaan alam yang mampu membuat masyarakat setempat unggul perekonomiannya, terhambat karena faktor mindset, etos kerja, teknologi, dan yang paling menjadi penekanan yaitu kurangnya akses modal dan pengetahuan keuangan. Apakah inklusi keuangan di daerah ini memang belum menyentuh UMKM Pengolahan hasil laut? Atau bahkan belum tercapai di daerah ini? Entahlah..aku masih belum yakin. Aku masih harus menyusuri berbagai sumber informasi. Aku menghabiskan waktu selama beberapa jam hingga pukul 13.00. Sebelumnya salah satu respondenku dari dinas tersebut merekomendasikanku untuk mendatangi Koperasi Saijaan Sejahtera. Namun aku harus menuju ke dinas Kelautan dan Perikanan tepatnya di bagian P2HP terlebih dahulu untuk melakukan wawancara. Saat aku mewawancarai kepala bidang P2HP, yang menjawab pertanyaan wawancaraku bukan hanya sang responden, tetapi bisa dikatakan hampir semua yang berada di dalam ruangan tersebut ikut menjawab dan menimpali, sehingga makin kaya saja informasi yang aku peroleh. Dan lagi-lagi, aku diberikan softcopy data yang cukup banyak. Lalu temanku Nugi berkata, “Restu..dijaga baik-baik ya Flashdisk barunta itu. Jangan sampai hilang seperti flashdisk yang kemarin ya. Padahal flashdisk yang kemarin isinya Research Design kamu dan banyak sekali data dari dinas ini (selain bidang P2HP)”. Mereka juga merekomendasikanku untuk mendatangi beberapa UMKM pengolah hasil laut. Mereka cukup mengetahui mana saja UMKM yang ‘terbuka dengan kembaga keuangan’, ‘tertutup dengan akses modal dari lembaga keuangan’, bahkan ada UMKM yang ‘menolak campur tangan pihak lain termasuk pemerintah dalam hal permodalan’.
96
Diary para Pewujud Mimpi
Narasumber dari P2HP Waktu menunjukkan pukul 15.30 WITA. Aku dan Nugi segera bergegas menuju Koperasi Saijaan Sejahtera. Kami melakukan pembukaan dengan berkenalan dengan kepala manajemen koperasi. Akan tetapi sungguh disayangkan, ternyata beliau berhalangan untuk diwawancarai dan baru bisa diwawancarai esok hari, sehingga kami hanya melakukan wawancara dengan bagian pemasaran koperasi. Tidak disangka-sangka, ternyata respondenku yang merupakan pegawai dari bagian pemasaran, bisa dikatakan cukup ‘serba tahu’ mengenai beragam informasi yang ingin kuketahui. Ia juga memberikan data-data yang cukup banyak.
Manajer Pemasaran Kopdit Saijaan Sejahtera 97
Research Camp Kotabaru
Sekitar pukul 16.30 kami sampai di rumah Pak Amir. Saat itu lagilagi baru aku yang sampai, sedangkan researchers lainnya masih di lokasi penelitian. Aku segera mandi dan beristirahat karena memang kondisi fisikku sedang kurang fit. Sambil beristirahat aku merapikan data-data penelitian, dan memperbaiki instrumen penelitian untuk esok hari. Namun, sayang rasanya jika waktuku yang singkat ini kugunakan untuk bersantaisantai. Tak lama aku segera beranjak dari tempat tidur menuju bagian depan rumah dan memandangi lautan. Sungguh pemandangan laut yang sangat indah karena bibir pantai hanya berjarak sekitar 13 meter dari halaman rumah. Dari kejauhan aku melihat banyak bagan yang berdiri kokoh, dan beberapa kapal motor (kapal motor yang relatif lebih besar dan lebih kuat dari perahu-perahu nelayan Sarang Tiung, oleh karena itu kapal tersebut masih tetap bisa melaut walau ombak sednag tinggi). Ada sekitar 3 kapal kecil dan 2 kapal yang sangat besar. Menurut informasi dari Pak Amir yang kuperoleh semalam, kapal tersebut adalah kapal milik perusahaan tambang batubara. Aku terus mencermati aktivitas kapal-kapal tersebut, kemudian aku teringat sesuatu dan bertanya dalam hati, “Loh..ohiya. Bukannya segala bentuk aktivitas penambangan batubara sudah dilarang di Pulau Laut? Lalu apa yang kulihat ini? Apakah mereka ilegal? Atau ada jabat tangan lain? (jabat tangan=unsur politik)�. Dari halaman lantai 2 rumah Pak Amir tersebut juga terlihat pemandangan masyarakat yang sedang mengadakan perayaan 17 Agustusan. Aku tertarik untuk menghampiri mereka dan berbincang dengan mereka. Ya, begitulah caraku berusaha untuk menjadi peneliti sungguhan..mencermati dan meneliti semua hal yang kulihat dan kutemukan, serta menggali informasi mendalam sebanyak-banyaknya. Aku menghampiri kerumunan masyarakat tersebut, dan terlihat ada beberapa anak kecil yang sedang menggigit sendok dengan kelereng di atasnya. Semua warga bersorak dan bertepuk tangan mendukung jagoan mereka masing-masing. Kucermati wajah mereka satu persatu untuk mencari target yang bisa kuwawancarai. Namun aku malah terbawa suasana hingga keasyikan bertepuk dan bersorak bersama warga lainnya. Sebelumnya, dari kejauhan, kurasa kegiatan yang sedang mereka lakukan ini sangat biasa98
Diary para Pewujud Mimpi
biasa saja. Bahkan aku tidak berminat untuk ikut merayakannya. Namun saat aku mulai masuk ke tengah kerumunan tersebut, membaur dengan mereka, aku merasakan ada hal yang berbeda, ada suasana hangat dan ceria, ada kebahagiaan sederhana yang aku belum pernah rasakan. Melihat tawa mereka, senyum mereka, wajah bahagia mereka, dan mendengar sorak sorai ditambah tepuk tangan mereka, aku menjadi lupa akan penelitianku. Mereka hidup dengan snagat sederhana. Rumah mereka terbuat dari kayu, dengan fasilitas dapur dan MCK yang kurang layak. Mereka tidak berlimpah uang, mereka nelayan yang hanya menggantungkan hidupnya kepada lautan. Mereka tidak sedang melakukan perayaan dengan lamou gemerlap, soundsystem menggelegar, maupun teknologi canggih lainnya, namun pancaran kebahagiaan mereka begitu lepas. “Beginikah indahnya dan nikmatnya kehidupan primitif dan tradisional?”, pikirku. Yang pasti ada satu hal yang secara tidak langsung mereka ajarkan kepadaku, ‘Kebahagiaan yang Sederhana’. Satu dari beberapa anak telah berhasil memenangkan lomba tersebut. Namun baik peserta yang kalah maupun yang menang, mereka tetap tertawa dan bersorak. Kebetulan saat itu posisi mereka dekat denganku. Mereka yang menyadari kehadiranku kemudian tersenyum ke arahku. Tak lama melintaslah seorang penjual es krim di jalan setapak yang berjarak 8 meter dari tempat perlombaan. Aku langsung menoleh, dan secara spontan berbalik badan dan menghampirinya karena aku memang pecinta es krim. Ternyata di belakangku ada adik-adik yang berlari untuk menghampiri pedagang es krim tersebut, dan entah mengapa aku jadi ikut belari bersama mereka. Kemudian kami membeli es krim dan makan es krim bersama. Kami juga sempat bercanda-canda secara bilingual. Ya, bilingual, dua bahasa. Mereka melontarkan bahasa bugis, kemudian kujawab dengan bahasa Indonesia dengan logat bugis yang dibuat-buat, lalu mereka menjawab lagi perkataanku, seolah kami saling mengerti apa yang kami ucapkan. Sungguh betapa bahagianya suasana saat itu, aku larut akan kehangatan dan keceriaannya. Tidak puas hanya dengan satu cup es krim, aku membeli satu cup lagi. Aku berkata,”Pak..satu cup lagi ya.”, kemudian penjual es krim tersebut menjawab, “Oke mbak. Wah..si mba’e suka sama anak-anak ya? 99
Research Camp Kotabaru
Suka sama es krim juga tho..hehe”. Aku menjawab, “Ah bapak bisa saja..”. Kemudian aku terdiam dan menyadari sesuatu. Aku tertegun dalam hati, “LOH, bapak ini tadi kok logatnya logat Jawa ya?”. Kemudian aku membuka percakapan dengan bapak es krim tersebut. Ternyata ia adalah seorang perantau dari Provinsi Jawa Timur. Ia merantau sejak 7 tahun yang lalu bersama anak dan istrinya. Yang mengejutkan, istrinya adalah seorang mahasiswa pascasarjana yang sebentar lagi wisuda S2. Istrinya adalah seorang guru di salah satu sekolah dekat pusat pemerintahan Kabupaten Kotabaru. Menurutnya, pendidikan sangatlah penting bagi keluarganya. Namun, ia merasa tidak berminat untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi (bapak ini lulusan SMA) walaupun secara finansial ia merasa mampu. Menurutnya, ia cukup menjalani mata pencaharian yang apa adanya seperti saat ini, tapi anak dan istrinya harus sekolah tinggi. Aku berpikir, sebenarnya bapak ini sudah cukup terbuka wawasannya untuk berusaha ‘lebih’ dalam mata pencahariannya. Seharusnya bapak ini juga menyadari potensi yang ia miliki untuk membuat sebuah UMKM dengan adanya kemudahan-kemudahan akses yang ia miliki. Lagi-lagi, satu hal kembali terngiang di kepalaku, ‘mindset’.
Cup Es Krim dan Bapak Perantau dari Jawa Timur
100
Diary para Pewujud Mimpi
Malam hari pun tiba. Kami para researcher kembali berkumpul di ruang utama lantai 2 untuk ‘laporan’ mengenai turlap hari ke-2 kepada Kak Randy selaku Chief Tutor. Aku dan researcher lain kembali bertukar data dan informasi serta berdiskusi. Beberapa waktu kemudian datanglah Pak Amir, dan ia berkata kepadaku “Daeng..itu Pak Kades yang kemarin saya ceritakan sudah ada di depan rumah, kemarin kan saya janji mau manggil Pak Kades.” . Saya segera menghampiri Pak Kades Sarang Tiung tersebut dan melakukan depth interview dengannya. Tidak ada kendala yang besar saat melakukan wawancara dengannya, hanya saja saya terhambat untuk melakukan penggalian informasi lebih dalam karena entah mengapa ia seolah ‘menutup-nutupi’, ‘mencoba mengalihkan’, dan ‘bersikap acuh’ saat saya mulai mengarah kepada pertanyaan yang mendalam, salah ssatunya mengenai peristiwa penipuan yang terjadi di Koperasi Unit Desa (KUD) Karya Lestari. Ia juga sering sekali tiba-tiba menurunkan volume suaranya sehingga saya cukup sulit menyimaknya, bahkan hingga suaranya tak terdengar di rekaman wawancara. Namun aku tidak menyerah untuk terus menggali informasi. Seolah menyerah dengan cecaran pertanyaanku, ia kemudian berkata “Saya kenal dengan kepala KUD Karya Lestari yang sekarang. Sepertinya dia lebih tau mengenai informasi itu daripada saya. Bagaimana jika besok saya antar ke rumahnya? Saya janji.” . Kemudian aku menyetujui tawarannya. Setelah sekita satu setengah jam aku merasa informasi yang kuperoleh sudah cukup, dan aku menutup wawancara dengannya. Aku hampir saja dibuat ‘stress’ dengan sikap responden tersebut yang bisa dibilang ‘menutup-nutupi’ , bahkan bisa dibilang ‘sangat menutup-nutupi’, serta jawaban-jawabannya yang membuatku cukup terkejut. Salah satunya mengenai buruknya birokrasi dan penataan pemerintahan di desa yang digadang-gadang sebagai ‘Desa Inovasi Nelayan’ pertama dan satu-satunya di Indonesia tersebut. Ada juga informasi bahwa ia telah menjabat sebagai kades selama 30 tahun. “what?? Wassalam untuk pemilu kades wakades ya ini.”, pikirku. Bahkan yang mengejutkan saat ditanya mengenai struktur pemeintahan di desa, ia menerangkan bahwa hanya ada 2 oang yang membantunya, masing-masing ada yang berperan sebagai sekertaris dan satunya lagi sebagai bendahara. Mereka hanya bertiga dalam menjalankan 101
Research Camp Kotabaru
mekanisme pemerintahan di Desa Sarang Tiung. Belum lagi fakta lain bahwa unsur politik di desa yang rutin mendapat suntikan dana jutaan rupiah tiap bulannya ini cukup kisruh antar warga, pemerintah desa, tokoh masyarakat, dan pihak lain. Turun Lapangan hari ketiga Di hari itu aku kembali teringat perkataan Nugi sehari sebelumnya, “Restu, jam 6 harus sudah siap ya. Besok kita akan berangkat pagi-pagi sekali karena target wawancara hari ini ada yang tidak sempat kekejar.�, sehingga aku bangun dan bersiap-siap pagi-pagi sekali. Akan tetapi, lagi lagi Nugi baru datang menjemputku pukul 08.30. Kami kemudian langsung menuju ke pusat pemerintahan Kabupaten Kotabaru yang berjarak belasan kilometer dari Desa Sarang Tiung. Responden yang pertama kali aku datangi adalah responden dari Koperasi Kredit Saijaan Sejahtera, ia adalah pimpinan menejemen di sana.
Manajer Umum Kopdit Saijaan Sejahtera Setelah selesai wawancara dengan Kopdit Saijaan, aku dan Nugi segera menuju Badan Perkreditan Rakyat Saijaan (BPR Saijaan). BPR Saijaan ini letaknya di dalam pusat pertokoan. Saat itu mendekati waktu 102
Diary para Pewujud Mimpi
shalat Jum’at, sehingga Nugi pergi ke masjid dan aku pergi sendirian ke BPR Saijaan.
Bank Perkreditan Rakyat Saijaan Setelah selesai wawancara dengan BPR Saijaan, aku berkeliling pusat pertokoan tersebut. Banyak sekali pedagang yang ada di sana. Mulai dari pedagang sayur mayur, daging, sembako, emas perak, pakaian, elektronik, aksesoris, cemilan, dan masih banyak lagi. Aku mengelilingi setiap sudut pusat pertokoan tersebut dengan maksud mencari produk olahan hasil lalut, khususnya produk dari UMKM Emplang Meilan, UMKM Emplang Saijaan, UMKM Emplang Lidya, UMKM Kerupuk Burung Camar, dan UMKM Kerupuk Mariamah. Akan tetapi, produk olahan laut yang kutemukan saat itu hanya berupa ikan-ikan kering, dan cumi kering. Kemudian aku mewawancarai pedagangnya. Aku juga sempat berbincang dengan pedagang produk pakaian dan emas perak, bahkan aku sempat membeli rok dari pedagang pakaian tersebut. Sebenarnya awalnya aku berniat untuk mencari tahu apakah harga pakaian di Pulau Laut berbeda jauh atau tidak dengan di Pulau Jawa, tapi pedagang pakaian tersebut malah 103
Research Camp Kotabaru
mengira aku ingin membeli produknya. Aku mencoba untuk melakukan tes tawar menawar untuk produk yang sama dengan yang biasa aku beli di Depok. Ternyata harga yang kami sepakati tidak jauh berbeda dengan harga di Depok, bahkan lebih murah. Pedagang tersebut juga tidak sulit untuk ditawar. Padahal aku mengira aku akan sulit menawar karena pedagang tersebut mengetahui bahwa aku berasal dari luar kalimantan yang kentara dari logat non kalimantanku. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WITA. Aku mencoba menghubungi Nugi yang tak kunjung kembali. Aku tak terbiasa hanya berdiam diri dan menunggu, sehingga aku melanjutkan petualanganku berjalan kaki. Kali ini aku berkeliling di luar pusat pertokoan tersebut. Aku mencoba berkeliling di jalan utama alun-alun Kotabaru, di mana banyak sekali terdapat beragam UMKM di sisi-sisi jalannya (ruko dan kaki lima). Aku berjalan kaki di bawah teriknya matahari. Ya, mataharinya sengat terik, jauh lebih terik dibanding di Depok. Aku memperhatikan setiap kegiatan yang dilakukan oleh orangorang yang sedang bertransaksi dan lalu lalang. Sangat menarik, seru dan unik! “Wah...suasananya seperti di kampung halamanku purwodadi 5 tahun yang lalu. Tempat ini sangat sederhana namun bagi mereka ini pusat bisnis dan perdagangan.�, pikirku.
Alun-alun Kotabaru pada siang hari
104
Diary para Pewujud Mimpi
Dari kejauhan aku melihat ada dua wanita yang duduk di bawah payung besar dengan meja kecil di depan mereka. Aku sangat tertarik menghampiri mereka lebih dekat, karena mereka terlihat sedang menjual produk yang unik, produknya berwarna-warna dan jika dari kejauhan terlihat seperti rangkaian bunga..ataukah kue? Dari sekian banyak pedagang yang kutemui di alun-alun, hanya mereka berdua yang mampu menarik perhatianku. Aku menghampiri mereka dan membuka perbincangan. Mereka sungguh terbuka dan ramah. Kami memperbincangkan banyak hal. Ternyata mereka adalah ibu dan anak yang sedang berjualan bunga yang dirangkai dengan daun pandan dan tanaman wewangian lain. Rangkaian tanaman wangi-wangian tersebut sangat sederhana, dan mereka menjualnya dengan harga Rp 10.000,-. Aku berpikir dalam hati, “Wah produk ini unik..bisa dibilang cukup aneh. Adakah orang yang akan membelinya? Bagaimaimana segmen konsumennya ya?”. Aku bingung mengenai kegunaan benda tersebut dan aku bertanya, “Bu, ini dipakai untuk apa ya? Biasanya ibu berhasil menjual berapa dalam sehari Bu?”. Ibu tersebut menjawab, “Ini untuk dipakai mandi..atau ditaruh saja di rumah supaya ruangannya wangi. Biasanya kan saya bawa 10 dari rumah, terkadang tidak terjual sama sekali, kadang terjual 3, dan kadang bisa habis semua. Tapi rata-rata terjual 2 buah sehari”. Aku kembali bertanya, “Ooh..lumayan ya Bu. Ibu berjualan dari jam berapa sampai jam berapa Bu?”. Ibu tersebut menjawab, “Biasanya saya berjualan dari jam 9 pagi sampai sore sekitar jam 4”. Wahhh..luar biasa sekali ibu ini. Rela untuk berjemur di bawah teriknya matahari selama 7 jam, walau omset rata-rata yang dapat ia bawa pulang hanya Rp 20.000,-. Sungguh sangat unik fenomena yang kutemukan saat itu.
105
Research Camp Kotabaru
Kiri: Ibu dan anak penjual rangkaian bunga 106
Diary para Pewujud Mimpi
Setelah puas berbincang dengan mereka, aku melanjutkan perjalananku. Sebab menurutku sayang jika kita tidak memanfaatkan waktu seoptimal mungkin untuk berinteraksi dengan masyarakat setempat saat kita berpergian jauh apalagi pergi ke lingkungan di mana budayanya sangat berbeda dengan tempat tinggal kita. Tanpa kusangka, ternyata perutku jadi keroncongan, sehingga aku sambil melihat-lihat pedagang penjaja makanan yang juga sekiranya bisa kuajak berinteraksi. Setelah berjalan cukup jauh, aku bertemu dengan seorang pedagang mie ayam yang sedang berinteraksi dengan pmebeli-pembelinya. Aku tertarik untuk menghampirinya karena ia menjual mie ayamnya dengan ‘pentol’, yaitu produk olahan ikan khas Kalimantan. “Wah..produk olahan ini masih berkaitan dengan penelitianku.”, pikirku. Seperti biasa, aku membuka percakapan dan mencoba berinteraksi lebih mendalam dan secara tidak langsung melakukan ‘interview’ dengan pedagang tersebut.
Penjual Mie Ayam Ketika sedang asyik makan, tiba-tiba Nugi menelponku, Nugi: “Restu, kamu di mana? Masih di tempat tadi kan? Aku jemput ke sana ya.” Restu: “Duh..Nugi dari mana saja..aku ada di depan masjid alunalun.” 107
Research Camp Kotabaru
Nugi: “Hahhhh! Jauh banget di situ. Kamu jalan kaki sampai situ? Jauh banget bisa jalan kaki sampai situ.” Restu: “Yaudah cepet ke sini..ini aku lagi makan mie ayam. Ayo makan mie ayam.” Tak lama ada seorang wanita yang mengendarai motor matic menghampiriku. Rupanya ia adalah salah satu pedagang rangkaian bunga yang sebelumnya kuajak berbincang-bincang. Ia datang dan menyerahkan belanjaanku yang ternyata tertinggal di tempatnya berdagang. Sungguh baik hati sekali ia. Ia mencariku dengan berkeliling hanya untuk mengembalikan rok yang baru saja kubeli di pusat pertokoan Kotabaru. Setelah wanita tersebut pergi, Nugi pun datang dan kami makan mie ayam bersama. Saat itu Nugi sampai makan 2 porsi mie ayam. Ckckck. Setelah selesai makan, kami segera menuju Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan (BPD Kalsel) cabang Kabupaten Kotabaru. Aku melakukan depth interview selama kurang lebih 1,5 jam. Mereka juga memberikanku data softcopy, bahkan lagi-lagi aku diberikan buku yang sangat besar dan sangat tebal. “Wah..tasku nanti seberat apa ya pas pulang ke Depok?”, pikirku.
108
Diary para Pewujud Mimpi
Narasumber dari Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Selatan Sore itu menunjukkan pukul 16.00 WITA. Aku dan Nugi segera menuju ke salah satu UMKM, yaitu UMKM Emplang Lidya. Kami mengunjungi tempat produksinya dan berbincang-bincang dengan salah satu pimpinan produksinya. Jika diperhatikan, UMKM ini telah memiliki peralatan yang cukup canggih, dan tempat produksinya juga sangat besar. Pegawainya juga cukup banyak. Akan tetapi yang aku bingungkan, mengapa emplang yang diproduksi saat itu sangat seidikit sehingga ada peralatan dan pegawai yang menganggur?
109
Research Camp Kotabaru
Tempat Produksi UMKM Amplang Lidya Aku sampai di rumah Pak Amir sekitar pukul 17.00 WITA. Sore itu cukup berbeda karena saat aku pulang, para researcher dari kelompok lain juga sudah pulang. Kami kemudian main bersama di pantai dan berfoto bersama. Malam hari pun tiba. Yaa, sepertibiasa, kami berkumpul di ruang utama lantai dua untuk ‘laporan’ kepada Sang Chief Tutor. Saat itu aku cukup lelah sehingga saat sedang berdiskusi dengan researcher kelompok lain, aku sempat ketiduran. Namun kemudian mataku terbelalak setelah ada salah seorang temanku yang berkata, “Guys, main Ware Wolf yuk!!”. Voila! Aku memang sudah sejak lama ingin main Ware Wolf. Di Depok aku berkali-kali mengajak mentee-menteeku main itu, tapi selalu gagal. Kemudian kami pun bermain WareWolf dan aku jadi lupa akan data penelitian hari itu yang harus kurapihkan. Setelah putaran permainan Ware Wolf yang pertama berakhir, aku teringat akan janji Pak Kades kemarin yang ingin mengantarkanku ke rumah Kepala KUD Kasya Lestari. Tak lama Pak Kades pun datang dan memanggilku. Ia memberitahuku bahwa kepala KUD Karya Lestari sudah datang bersama istrinya dan sedang menungguku di halaman depan. Aku cukup heran dengan kondisi tersebut, seolah antara Pak Kades, Pak Amir, dan Kepala KUD sedang terjadi perselisihan. Apalagi antara Kepala KUD dengan Pak Kades dan Pak Amir, bahkan mereka tidak saling bertegur sapa dan berbincang. Bahkan Kepala KUD tersebut tidak disuguhkan apapun oleh tuan rumah walaupun hanya segelas air putih, berbeda dengan tamutamu Pak Amir yang lain. Saat mulai mewawancarai Kepala KUD, ia 110
Diary para Pewujud Mimpi
sempat mengira bahwa aku adalah penyelidik dari suatu lembaga atau organisasi. Ia nampak sedikit gagap dan terbata-bata. Aku sangat menyadari bahwa narasumberku itu sedikit merasa ketakutan, karena aku bisa membedakan setiap gerak-gerik narasumberku. “Mengapa dia takut? Apakah memang dia ada kaitannya atau mengetahui sesuatu tentang kasus KUD Karya Lestari tahun lalu?”, pikirku. Dari wawancara tersebut, mataku semakin terbuka akan krisis inklusi keuangan, krisis demokrasi, dan krisis pemberantasan KKN di negeri ini, terutama di pelosok-pelosok desa. KUD Karya Lestari yang pada dasarnya memang disebut koperasi, ternyata tidak memiliki sistem kerja sebagaimana mestinya sebuah lembaga keuangan yang bisa disebut sebagai ‘ko-pe-ra-si’. Dari wawancara mendalam dengan Pak Amir (tokoh masyarakat), Pak Kades (pihak pemerintah), dan kepala KUD (pihak koperasi), aku mulai memahami perselisihan yang terjadi di antara mereka. Menurutku perselisihan mereka adalah sebuah kesalah pahaman. Warga yang pandangan dan ekspektasinya masih sangat tradisional dengan lembaga keuangan, menganggap koperasi adalah tempat untuk memperoleh uang dan keuntungan tanpa mereka harus turun bersama bergotong-royong membangun koperasi tersebut, dan tanpa disiplin dalam mengelolanya. Pihak koperasi juga tidak mengetahui betul bagaimana prinsip pembagian keuntungan, bagaimana cara mengelola anggotanya, bagaimana cara berkoordinasi dengan Lembaga Keuangan lain dan pemerintah, bagaimana agar kegiatan usaha koperasi tersebut berbuah keuntungan. Bahkan ketika saya bertanya, “Jenis usaha yang dijalankan koperasi ini apa ya pak?, kepala KUD bertanya balik “Jenis usaha itu yang bagaimana ya maksudnya?”. Aku menjelaskan sedikit, “Jadi jenis usaha koperasi ada yang berupa koperasi simpan pinjam, koperasi serba usaha, koperasi produksi, dan masih banyak lagi pak, tergantung kegiatan koperasinya.”. Kemudian ia terdiam dan seolah tidak mengetahui apa jenis usaha yang dijalankan koperasinya. Pola pikir tradisional, kesenjangan informasi dan pengetahuan, serta minimnya teknologi dan sarana prasarana membuat peluang terjadinya ‘accident’ kasus tersebut semakin besar. Seharusnya ada pelatihan atau minimal sosialisasi mengenai perkoperasian, mengenai 111
Research Camp Kotabaru
lembaga keuangan, dan peran masyarakat dalam bersinergi bersama unsurunsur tersebut. Seharusnya juga ada pihak pemerintah setempat yang mengawasi, menjadi penengah, dan menjadi regulator di antara mekanisme tersebut. Akan tetapi, pihak pemerintah Desa Sarang Tiung bersikap acuh, dan cenderung pasif karena memang pihak tersebutpun masih belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai ‘bagaimana mereka harus bertindak’, bahkan mengenai struktur, sistem kerja, dan kepengurusan desa pun bisa bikatakan masih ‘berantakan’. Pada saat inilah dibutuhkan pihak lain yang ‘lebih kuat’ untuk membantu mereka mengatasi permasalahan tersebut, sebutlah Dinas Koperasi. Namun dari hasil wawancaraku dengan Dinas Koperasi sehari sebelumnya juga cukup membuatku kecewa. Dinas merasa kasus tersebut memang biar saja terjadi, dan mereka hanya harus bertindak seperlunya, yaitu mengadakan mediasi dan memerintahkan untuk mengganti kepengurusan. Nyatanya, setelah mediasi tersebut masih ada kesalahpahaman antara 3 pihak tersebut, bahkan hubungan mereka cukup panas. Lalu bagaimana dengan uang-uang warga yang hilang? Bagaimana caranya KUD tersebut bisa berjalan sesuai dengan fungsinya di bawah tekanan perselisihan 3 pihak tersebut? Bagaimana pula dnegan krisis kepercayaan masyarakat? Mereka menjadi kurang atau bahkan tidak mempercayai lembaga keuangan-lembaga keuangan lain, bahkan bank konvensional sekalipun. Sungguh masih jauh untuk disebut sebagai ‘inklusi keuangan’.. Tidak tahukah mereka betapa pentingnya peran dan sinergi pihakpihak tersebut? Betapa pentingnya peran masyarakat, Lembaga Keuangan, dan Pemerintah untuk mempersiapkan diri mereka, mempersiapkan daerah mereka yang merupakan ‘Poros Maritim’nya Indonesia, yang mana mereka akan kedatangan banyak tamu yang bisa jadi partner mereka maupun jadi pesaing mereka, atau bisa jadi sebagai ‘penjajah’ mereka saat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dimulai 2016 ini? Betapa pentingnya peran 3 pihak tersebut, walau minimal hanya untuk memandirikan perekonomian mereka.
112
Diary para Pewujud Mimpi
Turun Lapangan hari keempat Pagi itu Pak Amir menawarkan para researcher untuk ikut bersamanya mencari ikan dari nelayan yang habis melaut. Aku yang saat itu sangat tertarik mendengar ajakan tersebut, langsung menerima tawarannya. Aku, Kak Widi, Pak Amir, dan salah seorang teman Pak Amir menuju ke arah timur Pulau Laut di dekat Gunung Mamake. Pemandangan di perjalanan sangat indah. Luar biasa Indahnya. Jalanannya berbukit-bukit, dengan di sisi kanan ada gunung yang menjulang tinggi, dan di sisi kiri ada lautan yang indah dan jernih. Belum lagi tumbuhan-tumbuhan kecil di sisisisi jalan yang beraneka macam bunganya. Beberapa menit kemudian sampailah kami di sebuah dermaga kecil, dan Pak Amir mengajak kami untuk menunggu nelayan yang datang ke dermaga tesrebut. Sebenarnya aku sedikit bingung, bukannya warga Sarang Tiung berkata jika masa ombak tinggi seperti ini nelayan tidak melaut? Lalu nelayan yang mana yang sedang kami tunggu? Kami menunggu selama kurang lebih 15 menit dan tidak membuahkan hasil. Aku memanfaatkan waktu tersebut untuk mengabadikan keindahan pemandangan laut dengan foto dan video. Jika kutatap permukaan laut dari dermaga tersebut, terlihat bahwa airnya sangat tenang, bagaikan air di sebuah danau, tidak ada gulungan-gulungan ombak maupun gelombang lain. Aku jadi semakin bingung..di manakah ombak tinggi yang dikatakan para warga Sarang Tiung?
Air laut dermaga yang nampak tenang
113
Research Camp Kotabaru
Setelah kami bosan menunggu di dermaga tersebut, Pak Amir mengajak kami untuk menempuh perjalanan lagi ke arah timur Pulau Laut, dengan harapan di sana kami akan bertemu dengan seorang nelayan yang membawa hasil tangkapannya. Kami menempuh perjalanan selama kurang lebih 10 menit, dan tibalah kami di bibir pantai dengan pasir putih dengan batu-batuan indah yang menghiasinya. Ternyata, pemandangan di sisi laut ini sangatlah indah, dan menurutku inilah pantai terindah yang pernah aku kunjungi seumur hidupku. Aku segera belari ke bibir pantai, kuhela nafas dalam-dalam dan kupandangi jernihnya lautan yang memantulkan rona sang mentari. Batu-batuannya juga sangat indah. Mereka berwarna-warni dan memiliki corak yang unik. Aku menyadari bahwa bebatuan ini bukanlah bebatuan biasa, ini adalah batu akik. Aku segera mengambil dan memilah-milah bebatuan tersebut. Aku terhanyut dalam keseriusanku memunguti bebatuan itu, sampai aku terlupa akan peluangku untuk berbincang-bincang dengan Pak Amir dan rekannya. Setelah 10 menit, plastik kecilku sudah dipenuhi oleh bebatuan dan kerang-kerang kecil. Kemudian temannya Pak Amir menghampiriku dan berkata, “Sedang apa kah? Mengumpulkan batu dan kerang-kerang banyak sekali.”. Aku menjawab, “Ini pak, kerangnya bagus sekali. Apalagi bebatuan ini, saya rasa batu ini bisa dijadikan batu akik.”. Kemudian ia menertawaiku dan berkata, “Semua bebatuan indah yang bertebaran di pantai ini bisa dijadikan batu akik. Semuanya..”. Aku terkejut dan terdiam..Aku bingung, mengapa ia tidak ‘excited’ dan mengambil bebatuan ini jika memang ia tau kalau bebatuan ini bisa dijadikan batu akik dan bernilai ekonomi?. Kemudian aku bertanya, “Wah...luar biasa. Tapi kenapa bapak tidak mengambilnya?”. Ia tertawa lagi dan menjawab, “Beberapa bulan lalu sewaktu batu akik sedang naik pasaran, orang-orang di pulau laut berburu batu-batu ini, mengolahnya, dan menjualnya ke Sulawesi. Tapi tetap saja kami memburunya dengan tidak berlebihan. Tetap menjaga persediaan bebatuan untuk di pantai. Dan di saat kami tahu batu akik sudah turun harga jualnya, yasudah kami berhentikan perburuan batu akik kami. Lebih baik bebatuannya dibiarkan saja di sini, buat anak cucu saya nanti”. Aku kemudian terpaku dan ingin segera mengembalikan bebatuan yang telah kuambil ke tempatnya semula. Aku juga sempat berpikir seandainya 114
Diary para Pewujud Mimpi
saja ada puluhan orang Depok semacam aku datang ke pantai ini dan melihat bebatuan ini, pasti keindahan bebatuan ini hanya tinggal kenangan, betapa bijaknya masyarakat setempat menjaga kekayaan alam di Pulaun Laut ini. Kemudian ia berkata lagi, “Yasudah..jangan berlelah-lelah mengambili batunya satu persatu. Saya janji nanti saya kasih batu-batu akik yang sudah diolah dan tinggal dipakai. Kalau batu yang ini harus diolah dulu.�. Tak lama Kak Widi menghampiriku dan berkata, “Wah..ombaknya benar-benar kuat ya. Jeda antar ombaknya sangat dekat.�. Kemudian aku memperhatikan gerakan permukaan air pantai tersebut dengan lebih seksama. Jika dilihat memang ombaknya nampak tenang dan sangat kecil. Namun jika aku masuk ke dalam air tersebut, seperti ada daya yang mendorong dan menarik kakiku, gerakan airnya seolah ingin menghempasku. Dan memang, biasanya jeda antar ombak di pantai yang kutemui sekitar 4 sampai 5 detik, namun di pantai ini setiap detik datang ombak, ombak yang terlihat kecil dan tenang namun sangat kuat dayanya. Mungkin jeda yang sangat singkat inilah yang membuat ombak dengan daya yang sangat kuat seolah kecil dan tenang. Sungguh diam-diam menghanyutkan.hehe. Mungkin suatu hari researcher lain dari bidang oceanologi bisa melakukan penelitian ya di tempat ini untuk lebih mendalaminya. Setelah menunggu sekitar 15 menit dan kami tidak kunjung bertemu dengan nelayan, maka Pak Amir menyarankan agar aku dan Kak Widi pulang terlebih dahulu ke rumahnya. Saat sampai, aku segera bersiapsiap untuk pergi ke lokasi penelitian. Hari ini cukup berbeda dengan harihari sebelumnya karena hari ini aku akan pergi ke lokasi penelitian seorang diri, dan mengendarai motor seorang diri. Hari itu aku mengunjungi 5 UMKM produk olahan hasil laut, dan 1 tempat pemasaran produk olahan hasil laut. Ternyata setelah 4 hari berkeliling di darah tersebut, aku menemukan tempat penjualan oleh-oleh khas Kotabaru, sekaligus tempat di mana objek penelitianku memasarkan produknya. Aku melakukan depth interview dengan UMKM Amplang Lidya, UMKM Amplang Saijaan, UMKM Amplang dan Keurupuk Bamega, UMKM Amplang Gemilang, dan UMKM Amplang Meilan. 115
Research Camp Kotabaru
Semua narasumberku tersebut sangat ramah dan terbuka, bahkan aku dihadiahi dua bungkus amplang oleh pemilik UMKM Amplang Saijaan. Aku memperoleh banyak informasi dan pengetahuan baru mengenai sejarah dan mekanisme usaha mereka, hubungan mereka dengan pemerintah, dan hubungan mereka dengan lembaga-lembaga keuangan. Sungguh seru! Bagaimana hasil wawancaranya? Oke, bisa dibaca di jurnal yang sudah jadi saja yaa ^^
116
Diary para Pewujud Mimpi
Beberapa foto dari 5 UMKM Sore itu waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WITA. Pengumpulan data pelitianku hari itu sudah selesai dan aku beranjak pulang ke Desa Sarang Tiung. Namun, entah mengapa ingin sekali rasanya aku berpetualang dan menemukan hal-hal baru lagi. Kemudian aku menancap gas motor yang kukendarai melewati gang menuju rumah Pak Amir. Aku mengendarai motor ke arah timur Pulau Laut seorang diri. Aku mencoba mencari pantai yang paling landai, dan pantai yang pasirnya paling indah. Kemudian sampailah aku di sebuah pantai di RW 10 yang Masya Allah..luar biasa indahnya. Pantainya sangat landai, airnya sangat jernih, pasirnya indah, langit biru disertai awan menjadi atap terbaik bagi pemandangan saat itu. Aku bertemu dengan 3 orang anak kecil. Aku mencoba melemparkan senyum kepada mereka, dan tanpa kusangkasangka mereka langsung menghampiriku, senyum-senyum ke arahku, dan mengikutiku yang sedang menyusuri pantai. Kemudian aku bermain dengan anak-anak itu. Mereka juga mengajakku untuk menangkap ikanikan kecil yang terjebak di celah-celah pasir (Jika malam hari air pasang, sehingga ada genangan air dan ikan-ikan kecil yang tertinggal di daratan pada saat air surut). Awalnya aku optimis mampu menangkap ikan itu. Kami mencoba membendung jalur ikan itu. Dan......voila!! hasilnya, aku basah kuyup dan tak satupun ikan yang berhasil kami tangkap. 117
Research Camp Kotabaru
Anak-anak itu kemudian menarik tanganku untuk lebih dekat ke permukaan air. Mereka mengajakku untuk membenamkan kaki ke pasir. Saat itu sekitar 10 meter ke arah kanan pantai, terdapat karang dan batubatu hitam dan abu (bukan batu akik). Terlihat ada 5 orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang sedang menggali-gali di batu tersebut. Aku penasaran dan menghampiri mereka. Ternyata mereka sedang mencari kerang. Mereka kemudian menyapaku dan mengajakku untuk ikut mencari kerang. Mereka hanya menggunakan kayu dengan panjang setengah meter untuk menggali, dan dalam hitungan detik mereka sudah memperoleh kerang. Sedangkan aku? Sudah 5 menit lamanya dan aku belum dapat satupun kerang huhuhu. Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Coba berpindah tempat. Dan saat menggali bacalah doa sebanyak-banyaknya.”. Aku mencoba menerapkan cara tersebut dan akhirnya aku berhasil mengumpulkan sektar 10 kerang. Aku kembali ke motor untuk mengecek handphone dan motor. Saat itu tiba-tiba aku ditelpon oleh Pamanku, “Nduk..Lek sudah pesankan travel yang akan menjemput kamu dari Sarang Tiung, dan akan mengantarkanmu ke Banjarmasin. Nanti Lek tunggu di Banjarmasin, tepat di mana travel tersebut lewat. Travelnya akan menjemput jam 18.45 di muka gang menuju desa Sarang Tiung. Kamu siap-siap ya nduk..1 jam lagi kamu akan menuju ke sini.”. Wah..aku kaget karena ternyata Pamanku tiba-tiba memesankanku travel yang akan menjemputku hari itu juga. Aku kembali ke tempat di mana aku berburu kerang. Saat itu sudah pukul 17.15. Aku izin pamit kepada mereka. Dan tanpa kusangka-sangka salah seorang dari mereka mengambilkanku sebuah kantong plastik besar, dan menuangkan kerang miliknya yang ada di dalam ember ke kantong plastik tersebut. Kemudian istrinya berkata kepadaku, “Sini saya cuci dahulu ya kerangnya. Supaya pasirnya hilang.”. Kemudian wanita tersebut berjalan di atas bebatuan tanpa alas kaki menuju air pantai untuk menyuci kerangnya. Aku mencoba mengikuti yang dia lakukan, berjalan di atas bebatuan tanpa alas kaki, dan hasilnya..voila! Sakit sekali kakiku. Ingin menangis rasanya berjalan tanpa alas kaki di atas bebatuan yang cukup tajam itu. Bahkan sampai wanita tersebut selesai menyuci kerang, aku belum juga sampai ke tempat air pantai.huhuhu.. 118
Diary para Pewujud Mimpi
Singkat cerita, akhirnya aku kembali dengan mengendarai motor Pak Amir ke rumah Pak Amir dengan sepatu yang penuh pasir, dan dengan sekantung besar kerang laut. Seperti biasa, Pak Amir dan istrinya menyambutku dengan sapan dan senyum ramah mereka. Kemudian aku segera mengemas barang-barangku dan bersiap-siap pulang. Sekitar pukul 18.30 WITA pihak travel menelponku dan sudah menungguku di gang jalan setapak. Aku diantar oleh Kak Lili, Kak Isti, Kak Randy, Kak Widi, Kak Rehan, dan Nurul untuk menuju mobil travelku. Aku berpamitan dengan semua researcher yang baru akan pulang 3 hari lagi itu. Aku juga berpamitan dengan keluarga Pak Amir dan sempat berpelukkan dengan istri Pak Amir yang kemudian ia berbisik (istrinya) di telingaku, “Benar ya Daeng Nurung..5 tahun lagi saya tunggu Daeng untuk datang lagi ke Sarang Tiung.�. Huhuhu..jadi tidak mau pulang rasanya.
119
Research Camp Kotabaru
Riski Vitria – PLD XXVIII “Perjalanan Kita Mencari dan Menemukan Kami� Rasanya baru minggu lalu mengenal tempat itu Lalu tak terasa aku ada di sana Kemudian meninggalkannya Bagiku perjalanan menuju tempat itu lebih indah dari namanya Karenanya ke-Aku-an berubah menjadi keKita-an dan semakin indah lagi, menjelmalah Kami Halo readers Cerita ini dibuat untuk mengenang sebuah perjalanan sekelompok mahasiswa dalam pencariannya ke sebuah tempat yaitu Desa Sarang Tiung, Kotabaru, Kalimantan Selatan. Perjalanan yang cukup singkat memang, tetapi waktu yang singkat itu telah cukup menciptakan kenangan yang sangat berkesan. Kenangan dalam cerita perjalanan ini dibuat bukan karena khawatir tentang kesan cerita yang akan terlupakan (terlalu sulit untuk melupakan kesan ceritanya), tetapi dibuat semata-mata agar kenangan yang tertorehkan dapat menjadi pelajaran. Bagi saya ISRS 2015 bukan sekadar kepanitiaan atau sebuah program kerja, melainkan sebuah penempaan. Dalam cerita ini, saya akan berusaha untuk menuangkan perjalanan penempaan diri saya mulai dari langkah awal perjalanan sampai ke puncak perjalanan hingga langkah akhir pemberhentian. Dari langkah awal saya sampai langkah akhir pemberhentian, di sanalah perjalanan itu. Perjalanan kita mencari dan menemukan kami.
120
Diary para Pewujud Mimpi
Pusgiwa: Titik Awal Perjalanan Malam itu, di Sekretariat KSM UI, PUSGIWA, setelah krida selesai saya berjualan Jamur Crispy dalam rangka danusan yang niatnya dana dari danusan itu untuk melaksanakan program JJAT dari PSDM. Di tengah-tengah meawarkan danusan, tiba-tiba kepala departemen dari Departemen Bisnis dan Proyek menghampiri saya. “Riski, nanti kita ngobrol ya. Ada yang mau diomongin.” Mendengar hal itu saya langsung was-was. Mati aku! Begitu pikirku saat itu. Aku berpikir bahwa Departemen PSDM akan kena denda dari Departemen Bisnis dan Proyek karena udah jualan dan tanpa seizin mereka. Selesai mengurus danusan, sesegera mungkin saya menghampiri kepala departemen BP. “Maaf kak, ada apa ya? Oya tadi itu aku ngedanus untuk acara JJAT, Kak.” (Begitu sapa saya sekaligus berinisiatif untuk menjelaskan). “O, JJAT ya. Iya jadi gini, Ki. Saya mau nawarin kamu untuk jadi VPO RC bersedia nggak?” Seketika saya terkejut dan seketika juga saya teringat bahwa beliau sekarang ia adala PO dari RC 2015 dan bukan lagi Departemen Bisnis dan Proyek. “Waduh, Kak. Gimana ya? Saya sebelumnya nggak punya pengalaman jadi VPO, tapi kalo aku dikasih kepercayaan untuk itu, in sha Allah aku akan coba, Kak.” Begitu jawaban singkatnya. Malam itu juga, saya menerima tawaran dari Project Officer RC 2015, Kak Widi untuk menjadikan aku sebagai Vice Project Officer. Waktu itu saya sebenarnya tidak memiliki gambaran apapun mengenai VPO RC 2015, tetapi menurut pendapat pikiran saya waktu itu ini kesempatan dan tantangan untuk mendapat pengalaman luar biasa. 121
Research Camp Kotabaru
Malam itu, di pusgiwa lebih tepatnya, merupakan titik awal perjalanan saya menuju Kotabaru. Research Camp, Ekonomi Maritim, Blue Economy, dan Kalimantan Selatan Research camp 2015 kali ini mengangkat tema besar tentang ekonomi maritim. Tema ini diambil karena sensitivitas Kak Widi mengenai isu strategis yang ada waktu itu. Jadi waktu itu Pak Jokowi sedang menggembor-gemborkan pembangunan maritim Indonesia yang sebenarnya isu ini telah menjadi fokus dari masing-masing presiden sebelumnya. Bedanya, isu maritim pada masa Pak Jokowi lebih di-blow up. Setelah menentukan tema besar, disusunlah serangkaian tim yang akan menentukan kesuksesan RC 2015 ke depan. Tim tersebut yang terdiri dari PO dan VPO, sekretaris, finance, kemudian ada tim operasional, tim materi dan seminar, tim publikasi dan dokumentasi, dan tim research. Setelah terbentuk tim sukses Research Camp 2015, barulah Kak Widi merencanakan pertemuan perdana dengan para tim untuk membahas grand design yang dibawa oleh Kak Widi serta penjelasan job desk masingmasing divisi. Dalam pertemuan perdana tersebut, selain penyampaian grand design dan penjelasan job desk, ternyata kak Widi memberi sedikit kejutan untuk Research Camp 2015. Ada something new yang dibawanya pada Research Camp 2015 yaitu ISRS (Indonesia Student Research and Summit). Ya, jadi pada tahun 2015, Research Camp menjadi sebuah rangkaian acara dalam ISRS 2015. Indonesia Student Research and Summit 2015 terdiri dari beberapa rangkaian yaitu RC, Grand National Seminar dan Launching Journal serta Essay Competition. Konsep dan nama yang fresh memang, tanpa menghilangkan tujuan utama Research Camp. Masalah nama dan konsep sekarang sudah clear, langkah selanjutnya adalah pematangan konsep ekonomi maritim yang dibawa oleh Kak Widi. Pematangan konsep ini menjadi penting karena akan terkait erat dengan konsep seminar dan penelitian yang akan dijalankan. Setelah melakuakn diskusi yang cukup, akhirnya konsep ekonomi maritim memang 122
Diary para Pewujud Mimpi
telah bulat untuk diambil. Oleh karena tema besarnya adalah ekonomi maritim, setelah melakukan browsing dan lain-lain akhirnya tempat yang direncanakan adalah Kalimantan Selatan, tepatnya di Siring Laut. Oke, fine, tinggal mencari masalah di Siring Laut yang sekiranya pas untuk diteliti dengan tema ekonomi maritim. Ha ha (cari masalah) Sementara masing-masing kelompok research camp yang telah dibuat mencari-cari masalah untuk diteliti, panitia meninjau anggaran untuk menuju Kalimantan Selatan yang rencananya akan dilakukan selama sepuluh hari. Setelah dihitung-hitung, anggaran yang telah direncanakan untuk sampai di Kalimantan Selatan berkisar lima puluhan juta rupiah. Anggaran sebesar itu untuk penelitian selama sepuluh hari di Kalimantan Selatan sebenarnya adalah anggaran yang tidak terlalu mengejutkan, tetapi permasalahan mendasarnya adalah kami, panitia, belum menghimpun uang sama sekali. Untuk itu, seketika itu juga fund fighter dan sponsorship diusahakan untuk segera berjalan. Di tengah-tengah usaha mengumpulkan dana, tetiba waktu itu Kak Widi mengabari saya kalau dia diajak bertemu dengan Kak Andre, alumni KSM yang sekarang bekerja di salah satu perusahaan kelapa sawit di Kalimantan di bagian CSR. Berita ini cukup menjadi angin segar bagi kami waktu itu karena kabarnya Kak Andre mengajak kerjasama dengan Research Camp 2015, semua biaya research camp akan ditanggung, tetapi dengan syarat penelitian yang akan dijalankan sekaligus menjalankan program CSR-nya. Hal ini cukup menjadi pertimbangan kami waktu itu hingga pada akhirnya kami melakukan diskusi dengan semua panitia terkait tawaran ini. Tawaran ini cukup menggiurkan kami pada waktu itu karena seluruh biaya penelitian akan ditanggung dan dengan begitu kami bisa fokus pada penelitian, baik konsep dan persiapan lainnya terkait penelitian hingga dampaknya adalah seluruh tenaga akan terkerahkan untuk penelitian sehingga hasil penelitian akan jauh lebih berkualitas. Akan tetapi, di sisi lain konsep ekonomi maritime yang digagas oleh Kak Widi akan terlupakan begitu saja. Padahal, konsep ekonomi maritim sedang hot-hot-nya waktu itu. Cukup pelik memang, tapi dunia ini terlalu indah, menyediakan banyak pilihan, so we have to choose the choices.
123
Research Camp Kotabaru
Saya pribadi sebenarnya tidak setuju jika penelitiannya harus mengikuti proyek CSR karena waktu itu saya memang sedang suka sekali dengan tema kamaritiman, jadi saya tidak rela jika konsep ekonomi maritim dialihkan begitu saja, tapi lagi-lagi, you are not alone Riski, bagaimanapun yang lain berhak untuk berpendapat. Akhirnya, kami memutuskan untuk adakan rapat dengan teman yang lain terkait hal ini. Satu demi satu pendapat muncul dari benak teman-teman, mulai dari yang setuju untuk mengikuti program CSR sampai yang tidak setuju dan tetap kukuh untuk mandiri melaksanakan research camp di Kalimantan Selatan dengan konsep eonomi maritim. Sampai pada titik penjabaran kekurangan dan kelebihan masing-masing pilihan yang akan diambil. Setelah ditinjau kembali, ternyata baik akan dilakukan sendiri maupun dengan mengikuti program CSR yang ditawarkan oleh Kak Andre, keduanya seimbang, kurang dan lebihnya, so we really have to choose the choices, and finally we choose to stay on the maritime economic. “gimana kalau istilah ekonomi maritime kita ubah jadi blue economy� “bagus juga tu, Kak. Menarik!� Tanpa pikir panjang saya setujui usulan kak Widi untuk mengubah ekonomi maritim untuk konsep seminar. Waktu itu kami, saya, kak Widi, Nana, Nicko, dan Kak Mey rapat di RIK untuk menentukan sub tema seminar. Diskusi dilakukan cukup panjang, sampai akhirnya Nicko pulang lebih dahulu karena harus mengejar Bus Deborah. Selang beberapa waktu dari rapat malam itu, sambil berdiskusi online, akhirnya muncullah ide untuk tema seminar, The Blue Economy Maritime: Enhancing our Competitiveness towards Global Market. Selang beberapa waktu dari perumusan tema itu, kebetulan ada seminar menegnai blue economy oleh founder blue economy, Gunter Pauli, ditemani oleh pendiri Yayasan Ekonomi Biru Indonesia, Dewi Smaragdina. Saya, Nurul, dan Nicko kebetulan waktu itu sempat menghadirinya. Kami mengikuti seminar itu di tengah-tengah para peserta yang sudah berumur (he he, berasa paling muda). Singkat cerita, seminar tentang blue economy itu sempat menjadi 124
Diary para Pewujud Mimpi
bahan pertimbangan untuk tema blue economy yang kami bawa karena ternyata blue economy is not maritime economic but more than it. Blue Economy berbicaara mengenai kelestarian, pembaruan, dan kelangsungan lingkungan, sedikit kontras dengan tema yang kami bawa (The Blue Economy: Enhancing Our Competitiveness Toward Global Market) karena jika kami mengangkat mengenai blue economy, penelitian terkait juga harus menyangkut hal itu, sedangkan proposal penelitian sebagian sudah terkonsep, panitia pun tidak banyak yang tahu mengenai blue economy. Akhirnya, lagi-lagi harus memilih, tapi kali ini sebagai win-win solution panitia putuskan untuk tetap menggunakan konsep blue economy dalam seminar, tetapi untuk penelitian menggunakan konsep ekonomi maritim. Kami pikir ini keputusan yang cukup adil dan tepat waktu itu. Pelajaran yang mungkin bisa diambil adalah pentingnya mengkaji konsep yang baru kita temui atau kenali! Blue Economy dan ekonomi maritim, baiklah, we step forward to that. Selanjutnya, fokus kami adalah pada penelitian dan tempat pasti diadakannya. Awalnya, Siring Laut menjadi pilihan kami, tetapi setelah mencari-cari kembali, ada tempat yang lebih cocok, Kotabaru. Kotabaru bahkan diproyeksikan menjadi poros maritim karena letaknya yang sangat strategis. Hemm, sepertinya ini tempat yang paling tepat, tapi masalahnya adalah untuk menuju Kotabaru kami harus menyeberang laut lagi untuk sampai, ini berarti akan menambah anggaran kami. More and more, let’s choose, and still we choose Kotabaru. Sepertinya kami memang senang tantangan, kami beranikan diri untuk memilih Kotabaru sebagai tempat penelitian kami padahal sponsor bahkan belum ada yang goal. Saya sangat optimis waktu itu karena memang Kak Widi yang menularkan keoptimisannya, bahwa Bapak Makelar yang diajak kerjasama untuk mendapatkan sponsor pasti akan berhasil. Selain itu, keoptimisan juga muncul ketika Kak Isti selaku sekretaris mengabarkan bahwa dana penelitian UI akan disalurkan untuk penelitian KSM yaitu Research Camp sebesar tujuh puluh lima juta rupiah. Kabarnya dana itu akan diberikan beberapa minggu sebelum penelitian dilakukan. Sungguh ini kabar menggembirakan yang sangat meringankan bagi kami panitia maupun
125
Research Camp Kotabaru
teman-teman KSM lain. Terakhir kali Kak Isti mengabarkan untuk pencairan dana rektorat perlu perbaikan proposal. Pertemuan DPRD Kotabaru (Antara Tumbuh dan Pupusnya Harapan) Sambil menunggu kabar cairnya dana rektorat, Tri, Bagus, Nugi selaku tim operasional bersiap untuk advance ke Kotabaru. Advance ini sebelumnya telah dilakukan oleh Kak Widi dan Nugi, tetapi waktu itu informasi yang diperoleh kurang detail, sehingga dilakukanlah advance kedua. Advance kedua dilakukan oleh Tri, Nugi, Bagus, dan dibantu oleh Kak Safira. Sebelum melakukan advance, saya dan tim operasional terlebih dahulu bertemu dengan anggota DPRD Kotabaru, Pak Zulfa. Beliau menjadi salah satu sumber utama informasi mengenai tempat dan transportasi menuju Kotabaru. Adanya Pak Zulfa dan bantuan yang ia berikan cukup menjadi penenang di tengah-tengah ketidakpastian pencairan dana rektorat waktu itu. ‘Duh, pengen bunuh diri aja gue rasanya’. Kalimat itu paling saya ingat sampai sekarang. Kalimat itu muncul di grup pengurus inti research camp dan pengurus inti KSM. Hingga beberapa kali teman-teman menanggapi kalimat itu, tapi sampai beberapa kali itu juga saya tidak memahami maksudnya hingga akhirnya Kak Safira, sebelum kami bertemu dengan Pak Zulfa menceritakan bahwa dana rektorat tidak akan turun langsung, tapi akan di-reimburse. Mati aku! Jadi pengen mati juga. Panitia sudah terlanjur menjanjikan kepada seluruh anggota KSM bahwa research camp 2015 dijamin gratis 100%. Bagaimana kami, panitia, mengabarkan kabar buruk ini kepada yang lain? Tidak salah lagi, mereka pasti kecewa mendengar berita ini karena dengan kabar ini otomatis teman-teman KSM yang akan mengikuti research camp harus merogoh kantongnya sendiri untuk penelitian ke Kotabaru. Artinya, tidak semua anggota KSM dapat mengikuti research camp. Hal yang mengecewakan adalah pihak rektorat tidak menyebutkan dari awal bahwa dana penelitian yang dimaksud tidak tunai, tapi di-reimburse. Hari itu juga, mau tidak mau, kami, panitia dan teman-teman KSM yang akan berangkat hanya yang mampu membayar uang penelitian ke 126
Diary para Pewujud Mimpi
Kotabaru, kira-kira sekitar dua juta rupiah. Untungnya, beberapa sponsor sudah cair. Uang dari sponsor itu menjadi modal tambahan kami untuk pergi ke Kotabaru. Siang itu menjadi hari yang sangat menggalaukan, antara tumbuhnya harapan karena mendapat cukup bantuan dari Pak Zulfa dan pupusnya harapan karena dana yang diandal-andalkan ternyata harus di-reimburse. Kelompok Enam, Kapal yang Tertinggal dan Kelompok yang Tertinggal Kegalauan saya bertambah ketika mendengar berita buruk dari Kak Safira siang itu, ditambah lagi masalah kelompok (penelitian) enam yang tidak karuan. Kelompok enam terdiri dari saya, Kak Cika, Kak Mey, Kak Isti, Reyhan (Ucul), Kak Vania, Kak Eno, Kak Riska, Puji, dengan tutor Yosep dari departemen penelitian. Awalnya kelompok ini memang terdiri dari sembilan orang, tapi terduksi menjadi lima orang, tersisa saya, Kak Cika, Kak Isti, Kak Mey, dan Puji. Kak Eno tidak bisa ikut menyusun penelitian dan juga tidak bisa turun lapangan mengikuti research camp karena beliau sedang sakit keras, di sisi lain Kak Vania juga tidak bisa mengikuti rangkaian penelitian karena terhalang kegiatan magangnya, dilanjutkan Reyhan yang juga tersendat-sendat dalam mengikuti penyusunan penelitian karena sibuk dengan kegiatan PKM di fakultasnya. Sama halnya dengan Kak Vania, Kak Riska pun tidak dapat mengikuti rangkaian penelitian karena terhalang oleh kegiatan magangnya. Sialnya, Yosep mengundurkan diri dari penelitian karena kegiatannya di Mapala yang secara otomatis ia juga mundur menjadi tutor kelompok enam. Sungguh, kelompok yang malang. Sekarang hanya tersisa saya, Kak Cika, Kak Mey, Puji, dan Kak Isti. Atas accident ini, alternative tutorrnya adalah Kak Mey karena memang ia berasal dari departemen penelitian. Sayangnya, Kak Mey sedang sibuk mempersiapkan suatu perlombaan waktu itu, jadi beliau pun agak kalang kabut. Entah bagaimana ceritanya, ujungnya saya yang seolah menjadi tutor di kelompok enam, lebih tepatnya coordinator, karena untuk menjadi tutor perlu bekal penelitian yang baik, sedangkan saya tak punya bekal apa-apa di bidang penelitian. Selain Kak Mey, sebenarnya bagi saya yang paling kompeten untuk penelitian di 127
Research Camp Kotabaru
kelompok enam adalah Kak Cika, tapi Kak Cika entah bagaimna ceritanya tidak bisa menjadi tutor di kelompok enam. Menurut saya sendiri, kelompok enam merupakan kelompok yang paling dinamis di antara semua kelompok penelitian. Banyak sekali halangan dan rintangan yang kami hadapi, mulai dari anggota penelitian yang ujungnya hanya lima orang, tutor yang mengundurkan diri, topik penelitian yang tak ujung kelar (kebingungan memilih tema hingga h-7 turun lapangan karena terbatasnya alat ukur), review dosen yang ala kadarnya, hingga yang paling menyedihkan adalah yang bisa turun lapangan waktu itu hanya dua orang, saya dan Kak Isti, ditambah lagi alat ukur yang kelompok enam yang tidak karuan. Judul penelitian kelompok enam adalah Kapal yang Tertinggal: Analisis Faktor yang Memengaruhi Alih Profesi Nelayan di Kotabaru. Nama penelitian ini menjadi lelucon teman-teman kelompok lain karena nama Kelompok yang Tertinggal. Nama ini kemudian dipelesetkan menjadi kelompok yang teringgal. Tertinggalnya kelompok enam saya rasa karena kami sangat kebingungan untuk menentukan tema dan ketersediaan alat ukur untuk tema itu, kebingungan kami juga diperparah dengan tidak adanya tutor kelompok yang membimbing kami. Kami terus saja berkutat dalam kebingungan sampai sekitar h-14 menuju research camp. Kebingungan ini juga ditambah lagi dengan kondisi saya yang tidak memungkinkan untuk menyusun proposal penelitian karena ketika bulan awal bulan Juli saya pulang ke Kalimantan Timur. Sialnya, kampung halamanku di pedalaman Kaltim, tepatnya di Susuk Dalam, Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur sehingga akses internet sangat sulit waktu itu. Jangankan untuk browsing, untuk sekadar sms dan telefon pun saya harus sampai di ketinggian tertentu. Kondisi ini benar-benar sangat menyulitkan saya untuk berkoordinasi, baik dengan kelompok enam maupun dengan tim ISRS. Saya pun tak tinggal diam di pedalaman itu. Keberadaan saya di Bumi Kalimantan saya manfaatkan untuk mencari-cari informasi terkait Kalimantan Selatan, khususnya Kotabaru. Kebetulan sekali di sana ayah saya punya kenalan orang yang pernah tinggal di Kotabaru, namanya Pak Dama. Tanpa pikir panjang saya pun kunjungi rumah Pak Dama untuk
128
Diary para Pewujud Mimpi
menanyakan banyak hal terkait Kotabaru dan hasilnya cukup memuaskan untuk sekadar mendapat gambaran kecil Kotabaru. Gambaran kecil mengenai Kotabaru itu saya jadikan bahan diskusi dengan Kak Mey sepulang dari Kalimantan Timur. Untungnya Kak Mey waktu itu sudah available untuk diajak diskusi langsung. Saya ingat betul waktu itu sepulang dari Kalimantan Timur saya langsung berdiskusi dengan Kak Mey terkait topik penelitian di Perpustakaan Fakultas Hukum UI. Lama sekali kami berdiskusi mengenai topik penelitian, baru topik penelitian saja, padahal turun lapangan tinggal sisa sekitar dua minggu lagi. Kami masih harus menyusun ulang proposal penelitian, mencari alat ukur, dan mengkonsultasikan proposal ke dosen. Hari terus berjalan, selain sibuk menyusun proposal penelitian untuk kelompok enam, saya juga harus melaksanakan tugas-tugas sebagai VPO. Karena kesibukan masing-masing anggota penelitian akhirnya penyususnan proposal sedikit terabaikan, h-7 hari sebelum penelitian kami belum menemukan alat ukur ali profesi. Untungnya, Kak Cika berhasil mengadaptasi sebuah alat ukur hingga jadilah alat ukur alih profesi nelayan. Alhamdulillah, akhirnya kunci utama penelitian kelompok enam pun sudah ditemukan. Proposal sudah mendapat review dari Bang Berly (dosen FE UI) dan hasilnya cukup mencambuk kami kelompok enam, tapi karena waktu yang semakin mepet kami tidak terlalu fokus pada proposal penelitian, tapi lebih kepada operasional turlap karena research camp sudah tinggal tiga hari lagi. Hingga H-1 keberangkatan RC panitia maupun teman-teman penelitian fokus pada hal-hal teknis seperti print out alat ukur dan perlengkapan penelitian lain di masing-masing kelompok. The Day Has Came Hari itu lagu kebangsaan menggema di mana-mana, ucapan selamat atas bertambahnya umur Indonesia terucap sana-sini. Di tengahtengah sorak sorai hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 2015, kami pun ikut merayakan sorak-sorai kemerdekaan dengan semangat persiapan menuju Kalimantan Selatan. Tepat sekitar pukul sepuluh pagi kami melakukan technical meeting untuk keberangkatan research camp 2015. Setelah itu, masing-masing dari kami pulang untuk persiapan pribadi, 129
Research Camp Kotabaru
baru sekitar pukul 19.00 WIB kami meluncur ke Bandara Soekarno Hatta menggunakan taksi. Rombongan keberangkatan dibagi menjadi tiga taksi dengan tiga titik keberangkatan: Kober, Kutek, dan Pocin, kami sampai sekitar pukul 21.00. Sesampainya di Bandara kami pun melakukan briefing untuk rencana hari pertama di Kalimantan, malam itu juga dilakukan pembagian id card peneliti. Selepas itu, kami hanya duduk-duduk di bangku depan bandara sampai sekitar pukul 04.00 pagi untuk check in. Pesawat Lion yang kami naiki take off pukul 05.30 dan landing pukul 09.00 pagi. Sesampainya di sana kami pun langsung meluncur ke Dinas Provinsi Kalimantan Selatan untuk melakukan opening ceremony dengan pihak provinsi. Sambutan hangat kami dapatkan dari pihak provinsi dan tim advance yang terdiri dari Bagus, Kak Safira, dan Tri. Mereka lah yang mengatur pertemuan-pertemuan dan jadwal kami sesampainya di Kalimantan Selatan. Opening Ceremony dilakukan dari pukul 11.00 sampai kira-kira pukul 13.00 dan dilanjutkan dengan perjalanan menuju Kotabaru. Meskipun belum sampai desa tujuan, Desa Sarangtiung, rasanya membahagiakan sekali sudah menempuh perjalanan bersama dengan keluarga KSM. Hamparan bumi Kalimantan Selatan kami telusuri, mata dan hati ini terus mencari di sepanjang perjalanan menuju Sarangtiung. Sungguh, Indonesia tidak hanya seluas Depok, UI dan mata ini tidak akan pernah sangggup melupakan indahnya perjalanan menelusuri Bumi Kalimantan. Saking lelahnya mata ini meamandang sepanjang perjalanan, saya sampai terbangun dan tertidur beberapa kali. Sampai terakhir kali saya terbangun, ternyata sudah sampai pelabuhan menuju penyebrangan ke Kotabaru. Sayang sekali penyebrangan itu dilakukan malam hari. Coba saja siang, pasti mata-mata kami yang jarang tercuci pemandangan indah ini tak kuat melongok sana-sini saat menyebrang. Beberapa dari kami memutuskan untuk turun dari bus, melihat-lihat pemandangan laut Kalimantan di tengah malam, tapi sebagian besar tetap tinggal di dalam bus, ada yang tidur, ada yang terjaga sambil melongok-longok, ada juga yang sekadar bermain handphone sampai kapal bersandar di Tanah Kotabaru. Akhirnya, sampai juga di Kotabaru. Kami memang sudah sampai Kotabaru, tapi belum untuk Desa Sarangtiung. Perjalanan masih sekitar satu jam setengah lagi. Setelah 130
Diary para Pewujud Mimpi
menempuh perjalanan sekitar satu setengah jam itu, akhirnya kami sampai juga di Desa Sarangtiung. Saya ingat sekali, teman-teman KSM waktu sampai ada yang memang sudah terbangun dan ada juga yang baru terbangun. Sambil sempoyongan, beberapa teman-teman KSM beranjak dari bus dan menuju tempat tinggal kami di Desa Sarangtiung. Bus yang mengantarkan kami hanya bisa mangantarkan sampai gang menuju tempat tinggal kami, jadi kami harus berjalan kaki sekitar sepuluh menit. Malammalam sekitar pukul setengah sebelas malam, bunyi koper-koper kami menghidupkan sunyinya malam di Desa Sarangtiung. Sambil berjalan, Tri sebagai ketua operasional memberi wejangan-wejangan untuk kami patuhi selama tinggal di Desa Sarangtiung. Sambil meresapi bunyi-bunyi jangkrik dan juga semilir angin laut, meresaplah juga wejangan-wejangan dari Bapak Tri. Sambil bersusah payah mendorong koper dan juga barangbarang perlengkapan KSM, akhirya sampai juga kami di tempat tinggal di Desa Sarangtiung, rumah tercinta Bapak Amir. Kami langsung naik menuju kamar persinggahan kami di lantai dua. Setelah berbenah-benah, masing-masing kelompok penelitian melakukan briefing untuk kegiatan pengembilan data pada hari Rabu, 19 Agustus 2015. Masing-masing kelompok penelitian berkumpul untuk menyiapkan alat ukur untuk mengambil data. Pun saya, waktu itu menyiapkan alat ukur untuk pengambilan data meskipun sendirian. Temanteman dari kelompok enam tidak ada yang yang bisa menemani saya turun lapangan, hanya Kak Isti, itu pun menyusul. Jadi untuk persiapan awal penelitian pun saya persiapkan sendiri, tanpa tutor de el el. Malam itu saya resah sekali, alat ukur yang dibuat oleh Kak Cika masih belum lengkap. Ada beberapa item dari masing-masing variabel yang belum lengkap. Tak mau resah sendiri, saya bertanya kepada Kak Lintang dan Kak Rehan, sarannya lebih baik dihapus saja variabel itu daripada harus menambahkan item tapi belum ada kepastian mengenai validitas dan reliabilitas item tersebut. Parahnya, ternyata dari keseluruhan alat ukur tersebut belum diuji validaitas dan reliabilitasnya. Hah! Lengkap sudah keresahanku malam itu. Malam sudah larut, tapi saya masih sibuk memikirkan kelengkapan alat ukur. Tak mau resah sendirian, aku mencoba menghubungi Kak Cika, meminta alat ukur yang diadaptasi olehnya, tetapi Kak Cika bilang ia sudah 131
Research Camp Kotabaru
tak memilikinya. Saya menghela napas, sepertinya keputusan untuk menghapus variabel yang belum lengkap item-itemnya cukup tepat malam itu. Barulah setelah itu saya bisa tertidur, tapi sebelum beranjak tidur saya coret satu persatu variabel yang belum lengkap itemnya di maisng-masing lembar kuisioner. Saya tidur dan siap menyambut hari pertama research camp, the day has came. Hari pertama research camp 2015 diawali dengan opening ceremony bersama pihak Dinas Kabupaten Kotabaru. Pagi itu, kami disambut dengan semilir sejuk angin laut yang tepat berada di depan tempat tinggal kami. Anginnya melambai-lambai seolah mengatakan ‘selamat datang di Bumi Indah Sarangtiung’. Selain semilir angin, kemuningnya sunrise pun ikut menyambut kedatangan kami. Sinarnya yang semakin lama semakin terang terasa seperti welcoming smile. Kami bangun dan disambut oleh ibu peri penghuni tempat tinggal kami, namanya Ibu Hamidah. Selepas kami bangun tidur, saya dipanggil oleh ibunya dan ternyata Ibu Hamidah telah menyiapkan teh hangat dan pisang goreng untuk kami. Sungguh saya tak menyangka, hari pertama research camp ini disambut baik oleh Bumi Sarangtiung. Sebelum melakukan opening ceremony, kami melakukan briefing yang dipimpin oleh Kak Tri selaku kepala operasional. Selesai briefing, Nugi sudah siap menunggu di bawah bersama angkutan yang akan membawa kami ke Dinas Kabupaten Kotabaru. Kami menempuh perjalanan menuju Dinas Kabupaten Kotabaru selama kurang lebih dua puluh lima menit. Berangkat dari rumah Pak Amir, sepanjang jalan sampai ke luar gang, kami dipandangi oleh penduduk Desa Sarangtiung. Kami yang dipandangi sedikit merasa canggung, tapi juga senang karena beberapa penduduk melihat kami sembari menyelipkan senyum simpulnya. Tak lama dipandang aneh oleh penduduk sekitar, tetiba kami sudah sampai di tujuan. Opening ceremony dilakukan, beberapa arahan kami dapatkan dari pihak KKP terkait penelitian dan tempat yang memungkinkan untuk diambil data. Selesai opening ceremony dilakukan kami langsung turun lapangan untuk mengambil data. Kami berpencar menjadi tiga kelompok sesuai penelitian, saya bergabung dengan kelompok satu, menemani mereka untuk melakukan wawancara dengan Sekda Kotabaru. Harusnya, 132
Diary para Pewujud Mimpi
saya langsung mengambil data sesuai penelitian saya, menyebar kuisioner kepada para nelayan yang melakukan alih profesi. Akan tetapi, kondisinya tidak memungkinkan waktu itu. Kades Desa Sarangtiung sebelumnya telah menjelaskan data nelayan yang melakukan alih profesi kebanyakan ada di RT 09. Untuk sampai ke RT tersebut, perlu ada yang menemani karena tempatnya yang cukup jauh, sedangkan saya hanya sendiri. Akhirnya saya memutuskan hari pertama research camp saya habiskan untuk menemani kelompok satu. Aktivitas pengambilan data dilakukan sampai pukul lima sore. Selepas pengambilan data itu, waktunya kami bermain-main menikmati keindahan sore di Laut Sarangtiung dengan anak-anak, berfoto, dan berlarilarian di pantai. Momen itu cukup menjadi penutup hari pertama research camp yang sangat mengesankan, unforgettable! Hari ke dua research camp telah dimulai. Sebelum melakukan pengambilan data, kami menghadiri undangan syukuran kelahiran dari salah satu warga Desa Sarangtiung. Beliau masih satu kerabat dengan Pak Amir. Di sana kami disambut hangat oleh warga Desa Sarangtiung, momen itu kami manfaatkan untuk mengutarakan maksud kedatangan kami ke Desa Sarangtiung. Sebelumnya, kami diminta untuk menyumbangkan lagu di atas panggung. Kami sempat berdebat panjang dengan Pak Amir dan kerabat yang mengundang kami karena kami malu-malu untuk naik ke panggung. Akhirnya, karena Pak Amir terus mendesak, kami putuskan untuk naik ke atas panggung bersama-sama dan menyanyikan dua tembang lagu, Rumah Kita dan Ada Pelangi. Ada yang bergetar dalam hati ini ketika kami bersama-sama sambil bergandengan tangan menyanyikan lagu Rumah Kita. Selepas itu, barulah kami, dipimpin oleh Tri mengutarakan maksud kedatangan kami pada warga Sarangtiung di atas panggung. Semua mata tertuju pada kami ketika kami sedikit menyampaikan pidato, kami memohon izin, kerjasama, bantuan, dan doa pada warga agar bisa menyelesaikan tugas kami dengan baik. Warga serentak mengiyakan. Mulai hari itu dan seterusnya kami mulai aktif menyebar kuisioner dan melakukan wawancara. Kami selalu pergi bersama menyusuri puluhan kilo pantai Sarangtiung dan kemudian berpencar di tengah jalan sesuai dengan keperluan. Kali ini, saya tidak lagi bergabung dengan teman yang lain, saya 133
Research Camp Kotabaru
terpaksa harus menyebar kuisioner sendirian. Berbekal doa dan keberanian, saya mulai menyebar kuisioner seorang diri dan mengetuk pintu rumah warga satu per satu sampai tersebar empat puluh kuisioner. Ada yang menyambut baik kedatangan saya untuk meminta warga mengisi kuisioner, tapi ada juga beberapa yang acuh tak acuh dan tidak bersedia untuk diminta mengisi kuisioner. Oleh karena keterbatasan para nelayan, akhirnya saya putuskan untuk membacakan kuisioner dan meminta warga untuk memilih jawaban mana dari kuisioner yang saya bacakan. Bahkan, pernah suatu sore di hari pertama saya menyebar kuisioner, saya harus dibantu oleh ketua RT 09 kepada nelayan yang melakukan alih profesi karena nelayan yang bersangkutan tidak dapat berbahasa Indonesia. Meskipun begitu saya benar-benar menikmati proses itu. Tidak ada sama sekali perasaan sedih karena harus mengambil data sendiri, justru ini momen penuh penghayatan bagi saya, mahasiswa yang tak banyak berbuat. Setelah tiga kali mengambil data dan menyebar sekaligus membacakan kuisioner sendiri, akhirnya Kak Isti datang dan itu berarti saya tidak lagi harus berjalan menyusuri sejumlah RT untuk sampai di RT 09 seorang diri. Kedatangan Kak Isti sangat berharga waktu itu karena kuisioner baru tersebar setengahnya. Lamanya penyebaran kuisioner itu dikarenakan saya harus membacakan kuisioner dan karena saya hanya seorang diri. Setelah Kak Isti datang, waktunya untuk melesat! Hari-hari yang berkesan di Desa Sarangtiung berjalan begitu cepat. Untuk mengejar cepatnya waktu yang terus berjalan, saya dan Kak Isti tak mengenal waktu untuk menyebar kuisioner. Mulai pagi, siang, sampai malam kami terus berkeliaran di Desa Sarangtiung untuk menyebar kuisioner. Hari-hari penyebaran kuisioner pun semakin dinamis. Pernah suatu siang kami berjalan menyusuri RT 09 dan kami melewati sebuah warung. Kami singgah di warung tersebut untuk bertanya kepada seorang ibu di mana lagi ada nelayan yang alih profesi, tetapi belum saja ibu itu menghampiri kami beliau sambil terlihat merajuk dan berkata “ndak, Bu, saya ndak beli�. Kemudian saya menjawab, “ saya mau beli bedak ini, Bu�. Barulah ibunya bersedia menghampiri kami. Setelah ditanya, ternyata ibu itu mengira bahwa kami adalah sales bedak yang berkeliaran. Huu,
134
Diary para Pewujud Mimpi
kejadian itu cukup menjadi intermezzo bagi saya dan Kak Isti di tengah terik dan lelahnya mencari-cari nelayan yang telah alih profesi. Hari-hari kami terus berjuang untuk meng-improve teknik pengambilan data supaya lebih cepat hingga pada akhirnya kami berpikir untuk mendatangi setiap ketua RT dan meminta data darinya untuk ploting nelayan yang telah melakukan alih profesi. Suatu ketika, saya dan Kak Isti mengunjungi RT 07, RT paling ujung di Desa Sarangtiung dan di situlah kami mendapat list beberapa nama nelayan yang telah alih profesi. Ada sekitar sepuluh nama yang direkomendasikan oleh Pak RT untuk didatangi. Sore itu, seketika saya dan Kak Isti langsung mendatangi satu per satu rumah warga yang direkomendasikan. Sayangnya warga yang dimaksud tidak ada di rumah, jadi terpaksa kami harus mendatanginya keesokan hari. Sewaktu saya dan Kak Isti mendatangi rumah warga, kami sempat dikira peminta sumbangan karena kami membawa-bawa map plastik yang berisi kuisioner. Setibanya kami di rumah warga tersebut, kami mengucap salam dan ibu yang ada di rumah itu hanya melongok melihat kami dan tak lama kemudian seorang anak keluar menghampiri kami dan memberi kami uang dua ribu rupiah. Lantas setelah itu kami langsung bertanya kepada anak itu di mana ayahnya, ia menjawab seadanya, “nggak ada�. Selepas itu, saya dan Kak Isti tertawa sekaligus kecewa karena tak dapat sasaran. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali barulah kami kembali ke rumah warga yang telah kami datangi sebelumnya. Pagi itu kami bertemu kembali dengan ibu-ibu yang mengira kami penarik sumbangan. Setelah mengetahui bahwa saya dan Kak Isti ternyata adalah peneliti, ibu itu terlihat tersenyum-senyum menyesal telah mengira kami penarik sumbangan. Momen-momen itu menjadi bumbu penyedap kisah kami dalam research camp 2015. Tak ada rasa kecewa, justru kami akan sangat merindukannya. Hari ke-7 research camp sudah terlewati, akhirnya pengambilan data telah kami selesaikan. Selanjutnya adalah waktu kami untuk mengolah data dan mempresentasikannya pada pihak kabupaten dan provinsi. Satu lagi, ada yang harus kami selenggarakan di Sarangtiung sebagai bentuk terimakasih kami pada warga Sarangtiung. Rencananya, kami akan memberikan penyuluhan mengenai inklusi keuangan dari pihak koperasi dan Bank Kaltim. 135
Research Camp Kotabaru
Rencana telah dibuat, konsep penyampaian sudah dirumuskan, para warga di setiap RT pun telah diundang, kami sudah siap untuk menyelenggarakan penyuluhan. Malamnya, sebelum dilakukan penyuluhan, teman-teman dari kelompok penelitian lain input data dan mengolah data. Mereka mempersiapkan untuk presentasi ke dinas kabupaten. Saya dan Kak Isti bingung bukan main karena data yang telah kami input ternyata tidak bisa dianalisis. Kami sudah menanyakannya pada Kak Irfan, tapi beliau bilang bahwa untuk analisis regresi ini, harus ada juga data nelayan yang tidak melakukan alih profesi. Alamak, kami terkejut. H-1 kepulangan kami ke Jakarta, tapi data yang kami peroleh masih saja error. Terpaksa, untuk presentasi ke dinas kabupaten kami olah data menggunakan analisis deskriptif dan untuk menyempurnakan analisis regresi pada data yang telah diperoleh, kami pun terpaksa untuk menyebar kuisioner ulang. Malam itu juga, saya, Kak Isti yang dibantu oleh Kak Irfan menyusun ulang alat ukur untuk nelayan yang tidak alih profesi. Ketika itu juga saya langsung mengumumkan kepada teman-teman dari kelompok lain untukdimintai bantuan menyebar kuisioner. Beberapa teman-teman yang telah selesai urusan penelitiannya bersedia membantu. Akibatnya, saya dan Kak Isti beserta teman yang ikut menyebar kuisioner tak dapat mengikuti kegiatan penyuluhan. Momen ini sungguh tak bisa dibayangkan, pun tak bisa dibayangkan jika tak ada bantuan dari kelompok lain dan saya bersama Kak Isti harus menyebar empat puluh kuisioner kepada nelayan dalam waktu kurang lebih hanya tiga jam. Hari terakhir kami di Sarangtiung dipenuhi dengan kegiatan yang padat: kegiatan penyuluhan, presentasi ke dinas kabupaten, ditambah saya harus menyebar kuisioner. Kegiatan penyuluhan dimulai dari pukul sembilan pagi dan selesai sekitar pukul dua belas siang, sementara teman-teman yang lain ikut meramaikan kegiatan penyuluhan, pun sampai jam dua belas siang saya harus selesai menyebar kuisioner karena selepas jam dua belas kami semua memiliki janji pada dinas kabupaten untuk mempresentasikan penelitian kami. Kami gerak cepat, pasukan pembantu menyebar dan puji syukur bersamaan dengan selesainya 136
Diary para Pewujud Mimpi
kegiatan penyuluhan, saya pun selesai menyebar kuisioner dan memperoleh tambahan data. That was really a magic day! “Sekian presentasi dari saya kelompok enam, terimakasih saya akhiri wassalamualaykumwarahmatullah wabarakatu�. Saya mewakili kelompok enam dan juga mewakili teman-teman KSM, menutup sesi presentasi yang akan dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Itulah aktivitas terakhir kami di Kotabaru. Selepas presentasi itu, kami lekas pulang ke Sarangtiung untuk bersiap-siap pulang ke Jakarta. Magic day, ya, hari itu benar-benar magic! Saking magic-nya saya ikut tersihir dengan hari itu. Sepulang kami dari dinas kabupaten, setiap detik kebersamaan dengan teman-teman KSM maupun dengan Ibu Hamidah dan Pak Amir menjadi benar-benar sangat berharga. Tak terasa sembilan hari sudah bersama-sama kami lewati hari-hari yang penuh keindahan dan kejutan di Sarangtiung. Tepi laut Sarangtiung tempat kami bermain dengan anak-anak menjadi saksi perjuangan kami. Di tepi itu juga, sore itu, ombak berdebur. Deburannya terdengar memilukan. Pohon-pohon melambai, matahari kian menjauh dan tenggelam. Alam Sarangtiung mengisyaratkan perpisahan. Research Camp 2015 ibarat pendakian, sebuah perjalanan menuju puncak.
“
Dinamika perjuangan menuju puncak itu terekam dan meresap dalam hati. Tak ada yang mampu menghilangkan memori indah perjuangan ini. Pun jika syaraf otak ini sudah tak mampu lagi merekam ingatannya, hati ini yang akan mennggatikannya. Perjalanan menuju puncak itu telah menyatukan rasa saya menjadi rasa kita, dan lebih indah lagi mewujudlah kami.�
137
Research Camp Kotabaru
Safira Ryanatami – PLD XXVI “Kotabaru gunungnya Bamega…”. Sepenggal lirik lagu terbayang ketika mengetahui bahwa tujuan Research Camp kali ini ke Kotabaru, Kalimantan Selatan. Meskipun Kotabaru dikenal dengan gunung Bamega, namun Kotabaru memiliki potensi laut yang besar. Sebagai kota dengan penghasilan laut terbesar di Indonesia, maka sesuai dengan tema Research Camp tahun ini yaitu “The Blue Effect: Enhancing Our Competitiveness Towards Global Market” . Research Camp merupakan salah satu program kerja tahunan KSM Eka Prasetya (selanjutnya: KSM) yang bertujuan supaya para anggota memiliki kemampuan serta pengalaman dalam bidang penelitian. Tentunya selama tiga tahun di KSM sudah tiga kali terselenggaranya Research Camp. Di tahun pertama kegiatan Research Camp diadakan di Lombok, tetapi karena sempat adanya masalah tak terduga, sehingga aku hanya merasakan proses sebelum dan sesudah kegiatan utama Research Camp. Di tahun berikutnya, Research Camp yang diproyeksikan di Bangka Belitung hanya mencapai proses sebelum kegiatan, tidak sampai pada kegiatan utama atau akhir. Namun, beruntung di tahun selanjutnya aku dapat merasakan seluruh kegiatan Research Camp, baik sebelum, setelah dan selama kegiatan utamanya. Dalam Research Camp kali ini, aku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam tim advance ke dua yang berlangsung selama tujuh hari di Banjarbaru, Banjarmasin dan Kotabaru yang dilakukan dari tanggal 12 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 18 Agustus 2015. Setelah itu kegiatan utama yang merupakan inti dari acara, yaitu Research Camp yang diselenggarakan di Kotabaru tanggal 18 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 26 Agustus 2015. Dengan demikian, kisah ini terbagi menjadi dua: kegiatan advance dan Research Camp.
138
Diary para Pewujud Mimpi
Kegiatan Advance Sekitar tiga minggu sebelum keberangkatan, terdengar isu bahwa lokasi kegiatan Research Camp akan diubah ke Tanah Laut alih-alih Kotabaru. Melihat hal itu tidak mungkin (karena persiapan penelitian, dsb sudah terfokuskan pada Kotabaru) akhirnya tetap dipertahankan Kotabaru. Mencoba memutar otak mencari jalan keluar, mengingat waktu yang tersisa begitu singkat. Advance ke dua yang sempat direncanakan pun dibatalkan, karena kesibukan anggota tim. Akhirnya diputuskanlah untuk membentuk tim advance dadakan dengan anggota Tri, Bagus, Nugi dan Safira (‘penyelundup’). Dimulai dari keberangkatan kami, tanggal 12 Agustus 2015 lalu, aku bersama Tri, Nugi dan Bagus berangkat terlebih dahulu untuk melakukan persiapan sebelum kegiatan utama dilakukan. Jadwal pesawat pagi, pukul 07.20 WIB membuat kami khawatir dan akhirnya memutuskan untuk tidak tidur. Sekitar pukul empat pagi, Nugi dan Tri yang kos di Kutek menjemputku di Pondok Cina dengan menggunakan taxi. Untungnya jalan masih sepi, sehingga kami dapat sampai lebih awal di Bandara dan masih sempat untuk shalat dan sarapan. Kami tiba di Banjarbaru, Kalimantan Selatan sekitar pukul 10.00 WITA. Sesampainya di sana, sudah ada Bagus yang sampai terlebih dahulu, dia berangkat dari Kalimantan Timur. Kami dijemput oleh salah satu kerabat, kak Jay yang akan menolong kami untuk bepergian selama tiga hari ke depan di Banjarmasin. Tidak seperti di Jakarta yang memiliki beragam transportasi umum, di Kalimantan khususnya Banjarbaru dan Banjarmasin sangat jarang ditemui transportasi umum, bahkan angkot sekalipun. Mayoritas penduduknya menggunakan transportasi pribadi sebagai kendaraan sehari-harinya, seperti mobil atau motor. Kalimantan yang terbayang akan dikelilingi hutan dan rawa-rawa ternyata tidak seperti itu. Meskipun masih dalam tahap pembangunan, namun di Banjarbaru sudah ada gedung-gedung seperti ruko, rumah-rumah warga, atau masjid besar. Setelah bertemu kak Jay, kami langsung pergi ke kantor pusat pemerintahan yang masih terletak di Banjarbaru untuk mengurus perizinan melakukan penelitian. Jaraknya tidak terlalu jauh dari bandara Syamsudin 139
Research Camp Kotabaru
Noor. Kantor pusat pemerintahannya masih dikatakan baru, karena sebelumnya terletak di Banjarmasin. Di sana kami menindaklanjuti kembali surat perizinan yang sudah di dapat ketika advance pertama yang dilakukan oleh Widi dan Nugi. Lalu, kami juga mengurus surat untuk melakukan opening ceremony. Setelah didapat persyaratannya, kami langsung menuju masjid dan tempat makan. Lalu, kami melanjutkan perjalanan kembali ke kantor Kementrian Perlautan dan Perikanan (KKP) Provinsi di Banjarbaru untuk mencari informasi terkait dengan penelitian kelompok. Kami disambut dengan hangat oleh Bapak Winarno dan tim. Obrolan berlangsung cair, tidak hanya berbicara seputar penelitian, tetapi juga guyonan antar satu dengan yang lainnya, seperti halnya teman kami, Bagus yang besar di lingkungan orang Jawa, ketika diajak berbicara dengan bahasa Jawa, Bagus hanya menjawab “iyo‌â€? yang seharusnya dijawab “njeh..â€? atau bagi pendatang yang makan pisang goreng khas Banjar, konon katanya akan mendapatkan jodoh orang Banjar. Namun, tentu saja itu hanya guyonan. Setelah itu kami mengakhiri perjalanan dan berangkat ke tempat singgah di Banjarmasin. Banjarmasin dan Banjarbaru dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam. Selama tiga hari ke depan kami menginap di tempat kerabat yang lain yang terletak di Banjar Permai, ibu Ina. Selama di sana, beberapa kali merasakan mati lampu setiap menjelang maghrib. Mati lampu di Kalimantan merupakan hal yang rutin terjadi, karena sumber daya listrik dipasok ke Jakarta. Ibu Ina pun juga tidak terkejut karena memang sudah ada pemberitahuan sebelumnya di koran. Malam harinya kami kedatangan tamu, pak Zulfa dan pak Ridha. Sedari awal, pak Zulfa dan pak Ridha membantu kami untuk memberi gambaran tempat penelitian serta berkoordinasi dengan pihak Kotabaru. Berhubung pak Zulfa berasal dari Kotabaru, beliau sempat memberikan rekomendasi lokasi penelitian, yaitu desa Sarang Tiung. Kali ini kami juga bercakapcakap mengenai Pulau Bakut, yakni pulau sebagai tempat konservasi Bekantan. Pulau Bakut direncanakan sebagai destinasi paling akhir kami nantinya setelah melakukan penelitian di Kotabaru. Setelah bercakap kami melakukan evaluasi. Evaluasi rutin dilakukan selama advance untuk mengetahui apa yang akan dilakukan esok harinya. 140
Diary para Pewujud Mimpi
Seperti sebelumnya, keesokan hari kami pergi ke KKP dan Kantor Pemerintah Pusat di Banjarbaru. Sore harinya kami survei lokasi ke Pulau Bakut dan mengurus bis sewa untuk perjalanan Banjarbaru-Kotabaru PP. Di sana sudah ada pak Zulfa dan pak Ridha serta ketua Sahabat Bekantan, kak Amel. Kami mengelilingi Pulau Bakut menggunakan speed boat. Senangnya! Keliling pulau dengan speed boat. Pulau Bakut sendiri terletak di bawah jembatan dan dikekelingi sungai bernama Sungai Barito. Konon, bagi yang meminum air di sungai ini akan dapat kembali lagi ke Kalimantan Selatan. Alhasil, selama berada di boat kami iseng minum airnya hihi. Selain Bekantan, kami juga menemui monyet lepas! Lucu memperhatikannya, karena tingkah lakunya persis seperti manusia. Setelah itu, kami ke rumah pemilik agensi bis untuk mengurus bis sewa Banjarbaru-Kotabaru PP. Hari ketiga alias hari terakhir, kami kembali ke KKP dan Kantor Pemerintah Pusat. Dan diakhiri dengan shalat di masjid agung Banjarmasin. Sambil menunggu yang shalat jum’at, aku duduk dan mengobrol di halaman masjid bersama seorang ibu yang juga sedang menunggu anaknya shalat jum’at. Kami juga sempat makan itik panggang yang katanya merupakan makanan khas Banjar. Sehabis makan, kami kembali ke rumah singgah dan segera packing untuk melanjutkan perjalanan ke Kotabaru pada malam harinya. Kami menggunakan bis travel ke Kotabaru. Sekitar pukul 20.00, bis sudah berangkat dari terminal Banjarmasin menuju Kotabaru. Kotabaru berada di pulau yang berbeda, sehingga kami harus menyebrang pulau dengan menggunakan kapal yang hanya menempuh waktu kurang lebih 30 menit. Perjalanan Banjarmasin – Kotabaru menghabiskan waktu selama kurang lebih 10 jam. Pukul lima pagi, kami sudah tiba di tempat singgah berikutnya, rumah paman Nugi. Kami ‘mengisi ulang energi’ sejenak untuk melakukan aktivitas lagi di siang harinya. Siang hari, kami ke kantor DPRD dengan menggunakan motor milik pamannya Nugi. Di DPRD kami bertemu dengan salah satu petinggi Kotabaru, pak Saiful. Untuk koordinasi di Kotabaru, pak Saiful memberikan rekomendasi orang yang dapat membantu kami selama di Kotabaru, yaitu pak Sobirin. Lalu, pak Sobirin memberikan masukan desa141
Research Camp Kotabaru
desa yang dapat dijadikan lokasi penelitian, yaitu Rampak Baru dan Hilir Muara. Berdasar saran pak Zulfa, kami akhirnya survei lokasi ke desa Sarang Tiung dan Rempa Baru yang ditemani oleh pak Sobirin. Sekitar pukul lima sore, kami berangkat ke desa Sarang Tiung. Di luar dugaan, ternyata jarak kota ke desa cukup dekat, hanya menempuh waktu sekitar 15 menit menggunakan motor. Jalan utama berkelok-kelok dan hanya dapat dilalui dua mobil dengan dua arah yang berbeda. Di sekitar jalan dikelilingi pohon dan terkadang ditemui juga rumah warga. Pemandangan laut yang terhampar luas disajikan dengan begitu indahnya setiba di desa Sarang Tiung. Seperti halnya melihat lukisan hidup! Terlebih lagi mayoritas rumahnya merupakan rumah panggung dengan berbahandasarkan kayu. Decak kagum tak hentinya diucapkan, ya pemandangan yang hampir tidak pernah dijumpai. Bersama dengan pak Sobirin, kami bertemu dengan ketua RT desa Sarang Tiung dan salah satu pemuda di sana, mas Hendra. Kami mencari informasi tentang keadaan desa Sarang Tiung dan informasi mengenai kesesuaian keadaan desa dengan penelitian yang akan dilakukan. Setelah informasi didapatkan, kami langsung ke Rempak Baru yang terletak di pusat kota. Kebetulan pak Sobirin merupakan ketua RT Rempak Baru, jadi kami langsung diajak ke rumah beliau dan mengobrol. Setelah informasi kembali didapat, kami langsung pulang ke rumah. Keesokan harinya kami kembali survei lokasi ke desa Sarang Tiung, ke rumah ketua nelayan yang bernama pak Amir untuk mencari informasi yang belum didapat sebelumnya. Dengan ditemani mas Hendra, kami keliling desa Sarang Tiung ke RT 02, 03, 04, serta 08. Kebetulan waktu itu sedang berlangsung perayaan 17 Agustus, dan dirayakan dengan mengadakan festival layang-layang. Lalu, kami ke desa Hilir Muara untuk mencari informasi yang lain. Setelah itu, kami berempat iseng keliling kota. Kami makan di sekitar pantai Siring Laut, yang dapat ditempuh hanya dalam waktu lima menit dari rumah sambil mengevaluasi keseluruhan rangkaian advance, berhubung esok harus kembali ke Banjarmasin menjemput teman-teman yang lain. Hari itu kami akhiri dengan melihat sunset di pantai Siring Laut
142
Diary para Pewujud Mimpi
sebagai penutup hari, sekaligus petanda berakhirnya advance. Tak terasa advance segera berakhir! Sekembalinya kami ke rumah, kami beristirahat dan mengobrol untuk menentukan lokasi penelitian yang pas. Pada akhirnya antara Rempak Baru, Sarang Tiung dan Hilir Muara kami memutuskan Sarang Tiung sebagai lokasi penelitian yang cocok. Kami segera memetakan kemungkinan lokasi yang akan menjadi tempat tinggal sebagai bahan survei esok hari dan membeli tiket travel ke Banjarmasin untuk tiga orang, Safira, Tri dan Bagus. Pagi hari kami segera kembali lagi ke Sarang Tiung untuk memastikan tempat singgah. Kami bertemu kembali dengan bapak Amir dan meminta izin untuk singgah selama 10 hari di rumahnya. Selain ke rumah pak Amir kami juga mengobrol dengan mas Hendra. Dulu merupakan seorang nelayan, namun ia bertekad untuk mengubah nasibnya dan merantau untuk mencari peruntungan lain. Hal tersebut jarang terjadi di desa Sarang Tiung. Dan sekarang beliau bekerja di perusahaan swasta di Kotabaru. Setelah itu, kami langsung kembali ke rumah singgah awal dan bersiap-siap ke Banjarmasin. Sehabis maghrib, yakni sekitar pukul tujuh kami berangkat dan tiba di Banjarmasin pukul dua pagi. Sambil menunggu pagi, kami singgah di ruko pak Ridha dan berangkat kembali sekitar pukul sembilan. Kami membagi tugas menjadi dua: Bagus menjemput temanteman yang di Bandara menuju Kantor Pemerintah Pusat, dan Tri, Kak Jay dan aku mengurus konsumsi yang sudah dipesan oleh ibu Ina. Kegiatan opening ceremony diadakan di Kantor Pemerintah Pusat di Banjarbaru. Setibanya di sana, kami, Tri, Safira dan kak Jay, sudah ada teman-teman yang juga baru sampai dari Jakarta. Perasaan bahagia tak dapat terbendung karena setelah lika-liku yang sempat terjadi, akhirnya kami semua dapat menginjakan kaki di tanah Banjar. Sesampai ditempat opening ceremony, kami disambut dengan ramah oleh beberapa petinggi pemerintah provinsi dan pak Winarno yang memberi masukan mengenai penelitian yang akan kami jalani. Setelah acara selesai, kami segera meluncur ke Kotabaru.
143
Research Camp Kotabaru
Research Camp Sekitar pukul setengah 11 malam, kami tiba di desa Sarang Tiung, Kotabaru. Suasana begitu gelap, tidak ada penerangan, kanan-kiri pepohonan dan yang ada hanya nyanyian suara jangkrik yang membuat aku sempat berfikir ‘ini bukan uji nyali, kan?’. Namun, hal tersebut segera terlewati sesampainya kami di rumah pak Amir. Di rumah pak Amir sendiri ada ibu Hamidah, pak Herman dan anak-anak pak Amir serta ibu Hamidah yang bernama Amel, Ragil dan Winda. Rumahnya merupakan rumah panggung yang lantai bawahnya dimanfaatkan sebagai tempat untuk tinggal dan warung, dan lantai atasnya sebagai tempat untuk berkumpul dan terdapat dua kamar. Kami semua, ber-20 tinggal di lantai atas rumah pak Amir. Penelitian di desa Sarang Tiung berlangsung selama seminggu, yakni dari tanggal 19 Agustus 2015 sampai dengan 26 Agustus 2015. Di hari pertama ini, kami mengikuti opening ceremony 2 di Kantor Perikanan dan Kelautan Daerah Kotabaru. Untuk menuju ke sana, kami menyewa angkutan umum. Beberapa juga ada yang menggunakan motor yang dipinjam dari pamannya Nugi dan pak Amir. Seperti halnya opening ceremony di Banjarbaru, kami juga mendapat masukan mengenai penelitian yang akan kami jalankan. Selain itu, di sini pula kami mendapatkan datadata terkait penelitian. Setelah opening ceremony, ada beberapa kelompok yang melanjutkan penelitian di daerah terdekat seperti Rampak Baru, ada yang ke kantor DPRD dan ada yang istirahat sejenak. Kelompok aku yang saat itu terdiri dari Lili dan Bagus, katakanlah kelompok Bolang (baca terus untuk tahu cerita dibalik nama ini) memutuskan untuk istirahat sejenak sambil menikmati makan siang, yaitu lontong tahu dengan sambal kacang. Sambil menunggu teman lain melakukan aktivitasnya, kami singgah di Masjid depan Kantor Perikanan dan Kelautan kemudian menyusuri jalan sambil mencari ATM dan kantor sebuah provider untuk membeli kartu perdana, sebut saja Telkomsel (karena beberapa provider tidak mendapatkan sinyal). Tak terasa hampir tiga jam menunggu dan akhirnya kami dijemput di depan masjid tempat kami singgah sebelumnya.
144
Diary para Pewujud Mimpi
Ada sedikit kisah lucu (buatku) di sini. Di pertengahan jalan, kami berhenti untuk membeli kebutuhan makanan beberapa hari ke depan. Sanul dan aku memutuskan untuk menunggu di angkutan umum dan yang lain ikut pergi ke toko. Tiba-tiba perutku mengamuk meminta untuk ke kamar mandi. Segera aku lari dan mencari toilet terdekat yang berada di dalam masjid yang cukup besar. Sebetulnya toilet tidak begitu jauh, tetapi untuk menemukannya aku perlu bertanya dengan anak-anak yang bermain di sekitar dan memutari masjid. Malah perut semakin mengamuk. Setelah dari toilet, aku segera kembali ke tempat semula, takut teman-teman lama menunggu. Ketika tiba di tempat semula, ternyata angkutan umumnya sudah tidak ada. Mereka meninggalkanku? Panikku diam-diam. Aku mencoba tenang dan tiba-tiba muncul suara, “WOOOI!� dari kejauhan. Ternyata itu mereka! Hahaha. Selama lima hari ke depan kami berpencar mencari responden dari RT 02 hingga RT 09. Biasanya kami mencari responden sejak pagi hari sampai sore menjelang senja. Waktu tersebut dipilih karena nelayan mulai melaut sore hari dan pulang pada pagi hari. Target responden kami yang semula berjumlah 70 responden yang terdiri dari 35 orang nelayan penuh dan 35 orang nelayan sambilan kemudian di akhir berubah menjadi 50 orang responden karena kondisi lapangan yang tidak memungkinkan. Berinteraksi dengan warga tentunya merupakan pengalaman pertama bagi beberapa dari kami Namun, hal tersebut justru menjadi pembelajaran untuk berinteraksi dan memahami keadaan sosial lebih luwes lagi. Berbagai tanggapan juga kami dapatkan selama kami mencari responden. Dari penolakan sampai penerimaan yang begitu ramah. Kami juga sempat singgah di salah satu rumah warga dan disuguhi dua piring singkong goreng yang begitu nikmat. Pemiliki rumahnya kalau tidak salah bernama ibu Dian (maafkan kalau salah) asal Bali. Beliau bercerita kalau di Kotabaru ini memang banyak pendatang, khususnya desa Sarangtiung, pendatang berasal dari suku Jawa, Madura, Bali, Banjar, Mandaling, Sulawesi dsb. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai nelayan Bagan (baca: bagang) yakni sekitar 90 persen. Sedangkan 10 persen lainnya bekerja di luar sektor perlautan, ada yang berwirausaha, menjadi pegawai
145
Research Camp Kotabaru
swasta atau seperti suami ibu Diah sendiri yang bekerja sebagai staff di salah satu sekolah di Kotabaru. Selama berlangsungnya penelitian pun, kelompok Bolang sempat mengalami keputusasaan dalam penelitian (sampai terbesit untuk mengganti topik), karena beberapa responden tidak mengisi pertanyaan seputar kuesioner. Apa pertanyaannya terlalu sulit? Entahlah. Ketika itu, kami segera menghubungi Irfan yang sempat memberikan masukan untuk penelitian tetapi kebetulan masih berada di Jakarta. Lalu, menghubungi bang Berly dan mas Wahyu sebagai dosen pembimbing penelitian. Untungnya mereka begitu terbuka memberi kami masukan dan semangat. Menurut bang Berly, kondisi di lapangan memang sering tidak sesuai dengan yang diharapkan, tetapi jangan mudah menyerah, tetap lanjutkan. Untuk mengatasi permasalahan kami, mereka juga memberi saran supaya kami melakukan pendekatan yang lebih dan sedikit ‘tegas’ dalam mengajukan pertanyaan, sehingga responden dapat memberikan jawaban dengan jelas, sesuai yang diharapkan. Demi efisiensi waktu, kami sempat berkolaborasi dengan kelompok Widi untuk mencari responden, berhubung responden kami sama yaitu nelayan Bagan. Tiap kelompok juga saling berbagi kendala yang dialami terkait dengan kuesioner penelitian dan memberikan arahan sehingga tidak terjadinya kesalahan dalam pengisian kuesioner. Jadi, setiap orang memegang dua jenis kuesioner yang berbeda untuk ditanyakan kepada tiap responden. Beberapa orang melakukan instruksi dengan baik dengan mengisi seluruh pertanyaan. Namun, ada beberapa yang tidak melakukan sesuai dengan instruksi alhasil kami harus mencari responden kembali. Di hari terakhir pengambilan data, kami mencari responden di RT 09. Jarak yang cukup jauh untuk ditempuh membuat kami memutuskan untuk meminjam motor ninja pak Amir dan bonceng tiga. Ya, berbonceng tiga dengan motor ninja! RT 09 tidak seperti RT lain yang dapat dengan mudah mencari responden. Sangat jarang.. Kemudian, akhirnya kami berfikir untuk mengurangi kuota responden, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya dari 70 menjadi 50, dan diam-diam pergi ke pantai wisata yang tak jauh dari desa Sarang Tiung, Gedambaan. Pantai lagi? Ya, bedanya 146
Diary para Pewujud Mimpi
dengan pantai di Sarang Tiung, Gedambaan merupakan pantai pasir. Jauhjauh ke Kotabaru sayang kalau tidak menikmati pantai pasir, kan? Seperti pantai wisata pada umumnya, di sana juga ditemui penjual makanan, memang tidak begitu banyak, seperti tukang sate atau jajanan SD seperti minuman bubuk sekaligus menjual nugget dan bakso tusuk. Ketika advance kebetulan Bagus, Tri, Nugi dan aku sempat ke sana dan membeli sate. Hari itu kami juga membeli sate kembali sambil menikmati debur riuh ombak. Lalu, membuat istana pasir dan pergi ke dermaga sambil merenungi mimpimimpi. Dari kisah inilah terfikir untuk menamai kelompok kami, kelompok Bolang. Malam hari di desa Sarang Tiung begitu indah, bintang-bintang yang bertaburan di langit dapat terlihat dengan mata telanjang. Sangat berbeda dengan suasana di Jakarta. Berbicara mengenai malam, selama di desa Sarang Tiung kegiatan di malam hari kami isi dengan beragam aktivitas. Sempat di malam pertama, kami belajar bersama anak-anak di sekitar, tetapi itu hanya berlangsung pada malam itu saja. Malam selanjutnya, kami seru dengan aktivitas sendiri seperti menonton film, bermain werewolf, memasukan data penelitian ke SPSS atau mempersiapkan power point sebagai bahan presentasi. Malam di dua hari terakhir, kami mengadakan nonton film bareng bersama warga atau istilah lainnya layar tancep. Namun, tidak semua dari kami ikut serta dalam acara layar tancep itu karena seru dengan aktivitas sendiri tadi. Menjelang malam akhir pun, pak Amir mewajibkan kami untuk memanggil nama yang telah diberikan sejak awal pertemuan. Nama khas Sulawesi. Aku sendiri diberi nama Daeng Ngai yang artinya‌‌. bisa cari sendiri di google, hehe. Karena kurangnya persiapan, sempat terjadi kendala dalam hal bidang konsumsi. Sejak hari pertama hanya beberapa anak perempuan saja yang membantu ibu Hamida memasak di dapur dan yang paling banyak membantu hingga akhir Firda dan Nurul. Namun, sejak kedatangan Orin (jadi Orin, Zofa, Mela dan Isti menyusul ditanggal 21 Agustus 2015 dan Irfan menyusul di tanggal 24 Agustus 2015) dibentuklah jadwal piket untuk memasak, mencuci piring serta bersih-bersih. Sayang, dalam realisasinya jadwal piket tidak dilaksanakan dengan semestinya, karena sejak awal
147
Research Camp Kotabaru
sudah dikerjakan oleh orang tersebut, alhasil hingga akhir tetap dikerjakan oleh orang yang sama. Hari terakhir diisi dengan pengabdian masyarakat dan presentasi hasil penelitian di Kantor Perikanan dan Kelautan Daerah Kotabaru. Bentuk pengabdian masyarakatnya adalah berupa penyuluhan dengan kerjasama bersama Bank Kalsel. Kebetulan karena masih ada kelompok yang masih menyebarkan kuesioner, beberapa orang tidak dapat terlibat di dalamnya, termasuk aku. Siang harinya, kami pergi ke Kantor Perikanan dan Kelautan Daerah Kotabaru. kembali untuk presentasi dengan menyewa angkutan umum. Dalam presentasi kelompokku, kami mendapatkan masukan mengenai responden yang kami pilih. Kurang lebih seperti ini: “Nelayan di desa Sarang Tiung adalah merupakan nelayan bagan yang hanya melaut sejak menjelang senja sampai pagi hari, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk bekerja pada siang harinya. Dengan demikian, dalam kasus ini tidak bedanya antara nelayan penuh dan nelayan sambilan�. Seperti yang ibu Dian pernah katakan bahwa nelayan di desa Sarang Tiung merupakan nelayan Bagan. Bagan merupakan alat tangkap ikan yang wujudnya seperti kerangka sebuah bangunan piramida tanpa sudut puncak. Pada prinsipnya, bagan dapat dioperasikan oleh siapapun, bahkan orang awam sekalipun, karena semalaman nelayan hanya menunggu jaring bagan terisi ikan lalu menariknya ke atas, sehingga nelayan bagan biasanya melaut menjelang senja hingga terbitnya matahari. Dari masukan tersebut akhirnya kami memutuskan untuk tidak mengelompokan antara nelayan penuh dan nelayan sambilan. Sebelum kami kembali ke desa Sarang Tiung, kami menikmati pemandangan pantai Siring Laut terlebih dahulu. Lokasinya tidak jauh dari Kantor Perikanan dan Kelautan Daerah Kotabaru dan rute yang sama untuk jalan pulang. Ketika advance, Tri, Nugi, Bagus dan aku juga sempat berkunjung ke pantai Siring Laut. Saat itu menjelang senja dan matahari hendak terbenam. Pemandangan yang jarang dijumpai bahkan ketika berada di desa Sarang Tiung. Sangat indah! Namun, sayangnya pada 148
Diary para Pewujud Mimpi
kunjungan kedua kalinya itu masih sore hari sehingga tidak dapat melihat matahari terbenam yang sama. Tidak berlama-lama, kami segera kembali ke desa Sarang Tiung untuk bersiap-siap pulang ke Jakarta. Bis sewa ke Banjarmasin yang awalnya direncanakan untuk datang pada hari kamis pagi, dipercepat menjadi rabu malam mengingat ada beberapa agenda yang harus dilakukan selama di Banjarbaru dan Banjarmasin esoknya. Agenda tersebut antara lain presentasi hasil penelitian di Kantor Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan dan kunjungan ke Pulau Bakut. Tak disangka, tiket pesawat pun dimajukan dari pihak Lion Airnya, yang semula berangkat sekitar pukul 20.00 menjadi pukul 18.00. Harap dan cemas tiba-tiba muncul terkait agenda yang terlihat begitu padat esok harinya. Salah satunya harapan adalah mendapatkan perahu penyebrangan tepat pada waktunya, sehingga kami dapat sampai lebih awal. Sesampai di Banjarbaru kami sarapan terlebih dahulu di sebuah tempat makan, kami sarapan nasi uduk dengan telur balado dan melanjutkan perjalanan ke Kantor Perikanan dan Kelautan Provinsi. Tiba di tempat, kami segera disambut dan diberi ruang untuk melakukan presentasi. Selesai melakukan presentasi, kami ke Martapura untuk istirahat shalat dan membeli oleh-oleh. Martapura merupakan sebuah kota yang terkenal dengan batunya. Cenderamata yang ditawarkan begitu indah dengan berbahandasarkan batu-batuan, mulai dari bros, gelang, gantungan kunci, dsb. Ketika hendak memasuki bis, aku diajak mengobrol oleh Widi, Tri, Irfan, dan Sanul terkait dengan agenda ke Pulau Bakut. Waktu itu sekitar pukul 13.30 dan acara ke Pulau Bakut direncanakan pukul 16.00. Menurut mereka, agenda ke Pulau Bakut sangat tidak mungkin untuk dilaksanakan berhubung perjalanan pulang pergi yang dapat memakan waktu kurang lebih satu jam, dan jadwal pesawat yang akan berangkat pada pukul 18.00. Sewaktu itu, aku tetap bersikeras untuk melaksanakan sesuai dengan kesepakatan awal bersama pak Zulfa. Di samping itu, pak Zulfa sendiri sudah mempersiapkan acara di pulau Bakut dengan mengundang wartawan dan mahasiswa. Untungnya tiga orang dari kami, Sanul, Nugi dan Widi akan pulang lebih lama, sehingga mereka dapat menggantikan kami untuk 149
Research Camp Kotabaru
mengikuti acara di Pulau Bakut. Pastilah ada perasaan sedih dan kecewa karena mengecewakan orang lain dan menyangkut nama baik, tetapi ternyata tidak seburuk yang difikirkan. Setelah mengobrol dengan pak Zulfa dan pak Ridha di keesokan harinya, acara di pulau Bakut terlaksana dengan baik dan mereka memaklumi ketidakhadiran 17 orang lainnya dalam rangkaian acara di Pulau Bakut. Perjalanan Research Camp di Kalimantan Selatan ini membawa begitu banyak pengalaman yang berharga baik untuk dikenang ataupun dijadikan sebagai pembelajaran untuk ke depannya. Selain itu, aku jadi lebih mengenal anggota KSM yang awalnya hanya sekadar tahu saja, dan dari sini pula aku menjadi lebih dekat dengan satu sama lain, bahkan seperti keluarga! Terimakasih buat teman-teman yang sudah menjadi bagian dari ingatanku selama di kegiatan Research Camp, baik sebelum, selama kegiatan atau pun setelahnya, kelompok Bolang alias kelompok 4 (Lili, Bagus, Zofa, Nicko, Shelly, Nugi) kita belum sempet makan-makan ya?, PI KSM (Orin, Irfan dan Maufiroh), Tim Advance (Tri, Bagus dan Nugi), Panitia ISRS 2015 (Semuanya!), Keluarga pak Amir (Ibu Hamidah, pak Herman, Amel, Ragil dan Winda) semoga dapat bertemu di lain waktu lagi ya, pak, buk, dan adik-adik, Warga desa Sarang Tiung yang dengan ramah sudah mau menerima kami, dan terutama terimakasih yang tak terhingga untuk pak Ridha, pak Zulfa, ibu Ina, dan kak Jay yang sudah banyak membantu segala persiapan, baik di Jakarta dan juga selama di sana, bang Berly dan mas Wahyu yang senantiasa selalu ada dan memberikan masukan-masukan seputar penelitian, dan KSM Eka Prasetya UI yang sudah menjadi wadah atas berkumpulnya kami semua, dan terselenggaranya Research Camp. Sekali lagi, terimakasih! Selamat melanjutkan kehidupan dan menjelajahi dunia yang begitu luas ini. Sukses Research Camp berikutnya. Leventt voor het leventt als je je leventt wil leventt.
150
Diary para Pewujud Mimpi
Startian Bonata – PLD XXVIII Agustus merupakan bulan yang penuh kegundahgulanaan bagi saya. Sebagai mahasiswa, saya memiliki target untuk dapat pergi ke luar negeri sesering mungkin. Akhirnya, Tepat pada suatu kesempatan dimana saya lolos dalam seleksi program Volunteering Teaching Indonesian Children, Program mendidik anak TKI yang akan diadakan pada awal Agustus, selama satu bulan di Sarawak, Malaysia. Walaupun hanya Malaysia, saya rasa sudah cukup sesuai target dan membuka peluang bagi saya untuk bisa memiliki pengalaman ke luar negeri lagi nantinya. Sayangnya, Tuhan berkata lain, saya tidak dapat ikut bertemu dan mengajar adik-adik sebangsa disana karena saya tidak mendapat sponsor akibat dari kurangnya informasi yang saya miliki dan tidak cukupnya keberanian yang saya punya untuk melakukan marketing call. Ibu saya juga menasehati saya agar tidak usah ikut berangkat. Mungkin untuk mencoba menghindari saya dari rasa kecewa akibat tidak bisa berangkat. Namun ibu saya berpesan “Buatlah diri kita terlebih dahulu layak untuk dapat membantu orang, kalau masih sulit untuk diri sendiri, jangan coba-coba untuk membantu orang lain�. Dari pernyataan tersebut saya memiliki pendapat yang pro dan kontra. Pro, karena memang saya belum dapat sponsor untuk kegiatan tersebut dan itu menunjukan bahwa diri saya pribadi masih mengalami kesulitan financial. Kontra, karena sejatinya manusia akan selalu mengalami masa kesulitan dalam hidupnya. Namun kesulitan tersebut tidak berarti penghalang bagi kita untuk dapat menolong sesama kita. Singkat cerita, saya ingat bahwa KSM Eka Prasetya, UKM tercinta yang saya ikut di kampus akan melakukan Research Camp 2015 di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan dipertengahan hingga akhir Agustus. Saya memang tidak mengikuti perkembangan Research design yang kelompok saya buat, karena pada saat itu saya berfokus untuk mengajar ke Sarawak. Namun apa yang terjadi? Kelompok RC menerima 151
Research Camp Kotabaru
saya untuk kembali berkontribusi walau semuanya sudah hampir terselesaikan. Kak Orin beberapa kali menguji seberapa besar keinginan saya untuk ikut RC. Namun harus saya akui, minimnya pengetahuan yang saya miliki mengenai RD kelompok, membuat saya terlihat bodoh saat saya menjawab pertanyaan beliau. Beliau cukup kesal dan marah melihat saya tidak cukup tahu mengenai RD hingga akhirnya saya merasa useless dan less contribution sampai RD kelompok selesai. Hal yang bisa saya bantu hanya mencari data dana bantuan PUMP (Program Usaha Mina Pedesaan) pada tahun 2014 untuk menyelesaikan RD kelompok. Hingga akhirnya di hari-hari menjelang keberangkatan ke Kalimantan Selatan, saya sudah cukup pesimis untuk ikut berangkat. Ya, memang saya tidak menjadi perwakilan kelompok untuk berangkat and i guess i deserve for what i’ve done. Malaysia, maaf tidak bisa berangkat. Kalimantan Selatan, you are so precious to be visited by me. Hari demi hari saya terlarut dalam kekecewaan, hingga akhirnya di suatu malam saya menonton semua series dari “The Pirates of Carribean� dan melihat artis favorit saya, Kiera Knightly beradu peran disana. Malam itu juga, saya mendapatkan telpon bahwa saya berkesempatan untuk European Trip gratis ke tujuh daerah di Eropa (Italia, Paris, Venice, Roma, London, Holland, dan Berlin) dan lebih hebatnya lagi, saya didampingi oleh artis hollywood papan atas, Kiera Knightley. Saat-saat indah yang saya nikmati dengan Kiera berakhir saat saya terjatuh dari tempat tidur dan sadar bahwa semuanya hanya mimpi dan efek dari film yang semalam saya tonton. Setelah sudah berhasil move on, saya mendapatkan chat line dari Kak Widi dan Kak Orin yang menginformasikan bahwa bagi setiap anggota RC yang bersedia set up cost sebesar satu juta lima ratus ribu rupiah bisa ikut berangkat ke Kalimantan Selatan. Saya senang, namun sedih. Karena artinya saya bisa ikut berangkat ke Kalimantan Selatan jika berani mengeluarkan dana terlebih dahulu walaupun memang nantinya akan diganti. Saya takut meminta orangtua, namun karena jumlahnya cukup bisa dijangkau, saya meminjam uang ke abang sepupu saya yang masih berkuliah di Surabaya dan kakak saya yang sudah bekerja di Jakarta. Akhirnya abang sepupu saya bisa membantu sebesar tujuh ratus ribu rupiah 152
Diary para Pewujud Mimpi
dan kakak saya yang sudah bekerja memberikan ongkos jalan sebesar lima ratus ribu rupiah. Satu juta dua ratus ribu rupiah sudah saya pegang, saya pun menceritakan keadaan saya sebenarnya kepada Kak Widi dan beliau memberikan keringanan kepada saya untuk set up cost satu juta saja. Malam itu juga saya mengirimkan satu juta rupiah ke nomer rekening bendahara dan hati saya pun lega, saya akhirnya positif berangkat ke Kalimantan Selatan untuk berkontribusi melakukan penelitian. Ibu saya sama sekali tidak tahu bahwa untuk mengikuti kegiatan RC saya harus set up cost terlebih dahulu. Tidak bermaksud untuk berbohong, tapi saya tidak memberi tahu bahwa saya harus menyiapkan dana terlebih dahulu untuk berangkat karena ibu saya juga tidak bertanya. Tidak disangka, semalam sebelum saya berangkat ke depok untuk terbang ke Kalimantan Selatan, pacar kakak saya memberikan uang saku kepada saya walaupun jumlahnya tidak banyak (saya tidak mau menyebutkan nominalnya) namun cukup menggandakan uang yang masih saya punya, uang saya yang tadinya sisa dua ratus ribu rupiah kini menjadi empat ratus ribu rupiah (saya tidak boleh menyebutkan nominalnya). Keesokan harinya, saya bangun kesiangan, saya terburu-buru dan sempat beradu pendapat dengan ibu saya karena hal ini. Saya bergegas untuk mandi, sarapan, dan berdoa bersama ibu saya sebelum berangkat. Setelah berpamitan, tak disangka ibu saya memberikan uang saku kepada saya (saya tidak mau menyebutkan nominalnya). Uang saya kini bertambah menjadi sembilan ratus ribu (sekali lagi, saya tidak boleh menyebutkan nominalnya). Saya pun berangkat ke depok dan sesampainya di stasiun Universitas Indonesia saya langsung menuju taman lingkar perpustakaan pusat. Sudah banyak teman-teman yang berkumpul disana, dan ternyata Kak Orin dengan muka kecut memandangi saya, dia marah dan mengomeli saya di depan teman-teman yang lain. Saya malu dan minder, mental saya terbunuh seketika pada saat itu. Ingin sekali rasanya saya tidak ikut berangkat, namun jika dilihat perjuangan yang sudah saya lewati, saya pun memilih untuk bersabar akan semua yang terjadi pada pagi itu. Akhirnya, singkat cerita, kami pun berangkat ke bandara SoekarnoHatta, rombongan saya adalah Nurul, Sanul, Lintang, Kak Rehan, dan Kak Randy. Sesampainya di sana, hal menyenangkan yang kami lakukan 153
Research Camp Kotabaru
bersama sangat beragam yaitu menunggu, menunggu, dan menunggu. Menunggu untuk masuk ruang tunggu lebih tepatnya. Tak terasa kami sudah menunggu di bangku pesawat dan menonton hiburan istimewa secara live yaitu instruksi cantik dari pramugari cantik. Ya, gerakan-gerakan dari si pramugari sungguh iconic dan memorable. Teman RC yang duduk disebelah saya juga sangat terpukau melihatnya, yaitu Kiki. Ia sempat bercita-cita menjadi seorang pramugari di maskapai hati doi, becanda. Oke, kamipun sampai di bandara Syamsuddin Noor dan tidak lupa mengambil foto. Kami kembali menunggu untuk dijemput oleh tim advance yaitu Kak Safira dan Bagus. Selang beberapa jam, mereka sampai dan kamipun berangkat menuju lokasi tujuan bersama-sama. Tempat pertama kami adalah (saya lupa) tapi tempatnya sangat mewah dan hampir sama seperti istana presiden atau bahkan white house. Disana kami meminta izin untuk melakukan penelitian di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Kami disambut baik dan izin kami diterima. Kami akhirnya berangkat menuju Kabupaten Kotabaru tepatnya di desa Sarangtiung. Saya mengira perjalanan ini akan singkat. Namun ternyata perjalanannya sangat panjang dan cukup mengerikan. Saya membayangkan nantinya ada berita “Kecelakan bus diperjalanan menuju Kotabaru yang menewaskan mahasiswa Universitas Indonesia�. Mengapa tidak? Sang supir yang mengemudi sangat ekstrem dan jalanan yang ditempuh sungguh meliuk-liuk dan berbahaya. Pemandangan yang saya lihat di kiri dan kanan bus hanya kegelapan yang sangat pekat. Bahkan saya yakin bus kami berada di tengah-tengah jurang yang sangat dalam. Sejenak saya berdoa dalam hati. Bermodal lampu depan bus, bus kami tetap melaju dengan kecepatan kilat ditengah malam yang gelap gulita. Tepat tengah malam, kamipun sampai di desa Sarangtiung, kami segera berjalan menuju rumah salah satu warga tempat menghabiskan waktu kami selama penelitian di Kalimantan Selatan. Keesokan harinya, saya dan tim mulai melakukan penelitian, hal yang miris melihat kehidupan nelayan yang jauh dari kesejahteraan. Kami benar-benar canggung dengan masyarakat sekitar namun perlahan-lahan kamipun mulai bisa menyesuaikan diri. Kami melakukan segala-sesuatu sesuai dengan apa yang sudah kami rancangkan, namun sedikit kecewa 154
Diary para Pewujud Mimpi
melihat masyarakat yang kurang terbuka kepada kami karena mungkin merasa takut salah berbicara. Hari pertama, masih belajar wajar kalau kurang memuaskan. Di hari berikutnya, tim kamipun lengkap karena kak Orin akhirnya sampai. Kami melakukan pengambilan data bersama-sama dengan mewawancarai responden-responden yang ada. Hari demi hari kami lewati, mulai dari suka dan duka kami rasakan bersama. Hal-hal yang suka adalah kami mendapatkan makanan yang enak sekali (menurut saya) di rumah pak Mulyadi, salah satu responden. Kami juga selalu pulang ke homestay lewat pantai dan pastinya selalu selfie berjamaah. Hal duka namun lucu adalah, saat berkunjung ke salah satu responden (lupa namanya), istri responden memasang muka kecut dan seram, bahkan menyuguhkan kami teh manis (kalau beliau tidak lupa beri gula) dengan air yang sangat panas ketika kami bergegas keluar dari rumahnya. Beliau secara terang-terangan berkata “Kalau saya gak berikan minum, nanti bapaknya marah, ini kan disuruh bapaknya aja”. Setelah itu, saya hanya bisa menahan tawa dan segera ingin keluar dari rumah responden tersebut. Singkat cerita, Penelitian kamipun selesai. Kami selalu melakukan diskusi dan evaluasi di hampir setiap malam yang kami lewati bersama. Kami juga tidak lupa untuk bermain permainan favorit nan menggemaskan yaitu “We are Wolf”. Sangat banyak cerita menarik yang tak akan pernah terlupakan, namun tak bisa bahkan tak cukup saya tuliskan disini mulai dari cuci baju dan piring bersama-sama, makan malam ala-ala, hingga bermain di pantai. Akhirnya, kami semua diberi nama Kalimantan oleh bapak Daeng. Nama saya adalah “Daeng Bani”, yang artinya manis ataupun pemberani. Hari terkahir kami disana, kamipun melakukan kegiatan bersama warga, yaitu nobar (nonton bareng). Tidak terasa betapa senangnya kami semua tinggal di desa Sarangtiung, hingga akhirnya kami harus pulang dan berpamitan dengan ibu dan bapak Daeng. Terasa berat bagi mereka untuk kami tinggalkan, begitu juga dengan kami. Kami semua tak kuasa menahan tangis, karena kami semua sudah seperti keluarga yang sangat akrab. Hal yang harus disadari adalah “Dimana ada pertemuan, disitu ada perpisahan”. Kami semua akhirnya berangkat menuju bandara tempat kami sampai seminggu yang lalu dan akhirnya sampai di Jakarta. Memang terlihat bahwa saya berangkat ke Kalimantan Selatan karena gagal ke 155
Research Camp Kotabaru
Malaysia. Namun tidak ada yang saya sesali sama sekali. Bahkan saya berterima kasih kepada Tuhan yang telah menuntun langkah saya hingga akhirnya berada di Kalimantan Selatan. Saya sangat bersyukur dengan semua yang terjadi selama saya di sana, saya tidak pernah menyangka perjalanan ini sangat unforgetable and memorable. Suatu saat, ketika peserta RC sukses, hal ini akan menjadi kenangan yang berharga dan tentunya bahan reuni. Suatu kepuasan yang tiada tara saat kita sudah berhasil melakukan Grand Launching Journal and National Seminar Blue Economy. Tuhan membimbing dan memberkati kehidupan kita semua teman-teman KSM Eka Prasetya UI ku. Terima Kasih sudah menjadi bagian berharga dalam hidup saya.
156
Diary para Pewujud Mimpi
Widi Kusnantoyo – PLD XXVII “
Setiap orang pasti punya mimpi, dan setiap orang pasti punya cara tersendiri untuk meraih nya. Air mata dan tawa akan selalu menemani kita dalam menggapai mimpi dan cita-cita. Kebahagiaan yang begitu nyata terasa saat kita menggapai mimpi-mimpi kita. Tak peduli seberapa besar dan tingginya mimpi, dengan segala perjuangan dan asa untuk meraihnya, tentu tidak akan bisa menandingi rasa
bahagia nya. “
Sebuah kisah menarik dari ujung tenggara Pulau Kalimantan, tentang sebuah ukiran mimpi dari sekelompok mahasiswa UI. Sebuah jendela kehidupan yang senantiasa membuat kita mengerti akan keindahan dan kearifan negeri. Sebuah pengalaman yang sangat berharga, yang mungkin hanya sekali dalam hidup kita. Sebuah wadah perjuangan bersama untuk membuat kita lebih peduli kepada saudara-saudara kita di ujung lentera. Sebuah catatan peristiwa yang tak mungkin terlupakan sepanjang masa, selama makna itu masih tertanam dalam sanubari kita dan mereka. Sebuah ukiran kisah itu tak lepas dari rentetan takdir yang berjalan. Dimulai dari bulan Januari 2015, aku mempunyai mimpi yang belum tercapai. Keinginan ku untuk mengeksplor ujung Indonesia dan memberikan makna kepada masyarakat disana belum sempat aku lakukan pada bulan itu. Sebuah fenomena kegagalan yang membuat ku kecewa, ketika saat itu mimpi untuk ke tanah Bangka Belitung tinggal menghitung hari. Kanvas dan kuas untuk melukis kisah sempurna kami di tempat para Laskar Pelangi itu praktis tak akan pernah ada. Tak mau menyalahkan siapa-siapa, selalu percaya bahwa ini sebuah rencana Tuhan yang harus diterima. Aku yakin dan masih menyimpan seribu harapan untuk melukis kisah yang lebih sempurna di ujung Indonesia lainnya.
157
Research Camp Kotabaru
Tuhan mungkin tahu jika aku mempunyai tekad yang kuat untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Dan selama berminggu-minggu aku terus berfikir dan mengira-ngira, lukisan apa yang tepat untuk digambarkan di kanvas ini. Dan pada akhirnya sebuah kesempatan besar datang kepadaku untuk mewujudkan mimpi itu. Kelak aku akan melukis kisah di kanvas yang aku simpan sejak Januari lalu. Tak hanya menjadi seorang pelukis untuk kanvas ku sendiri, namun juga akan terlukis kisah di puluhan kanvas mahasiswa KSM Eka Prasetya UI dalam sebuah perjalanan mengukir makna di ujung Indonesia, Research Camp 2015. Tak hanya menjadi mimpi mimpi pribadi, Research Camp 2015 atau yang biasa disingkat dengan sebutan “RC 2015� adalah mimpi bersama. Tak mudah untuk menggapai nya. Kekecewaan akibat kegagalan sebelumnya terus membayangi kita semua. Kita takut akan takdir pahit pada Januari yang lalu kembali datang. Sebuah kegagalan tak sepatutnya untuk ditakuti. Justru kita jadikan sebuah pembelajaran supaya kita tidak jatuh di lubang yang sama. Dengan segala tekad dan ambisi, aku dan tim ku akan terus maju untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita. Hukum rotasi bumi seakan menjadi takdir alam. Dimana akan ada siang dan malam serta gelap dan terang. Dimana akan ada saatnya mentari bersinar, dan saatnya mentari tenggelam. Sebuah siklus alam yang berlaku juga pada kehidupan kita. Roda kehidupan yang terus berputar yang akan mengantarkan kita di puncak serta mengantarkan kita kembali ke dasar. Namun, bagaimana supaya kita bisa lebih lama di puncak, dan segera naik kepuncak ketika kita dibawah. Dengan tekad dan doa lah kita bisa melakukan itu. Indonesia, sebuah negeri yang dilewati garis khatulistiwa yang sering disebut surga dunia. Dengan ribuan pulau yang terhempas di antara samudera Pasifik dan Hindia. Sebuah negeri yang mempunyai jutaan kearifan lokal dan budaya. Sebuah negeri yang dahulu menjadi incaran para penjelajah dunia, karena kaya raya. Dan sebuah negeri yang tak habis menyajikan berbagai rangkaian peristiwa yang menyita perhatian dunia. Sangat bangga untuk kita yang akan melukis kisah di negeri yang sangat
158
Diary para Pewujud Mimpi
luar biasa. Mungkin akan menjadi cerita terbaik di dunia. Dan yang pasti, Indonesia akan selalu punya cerita dari kita. Aku setuju, bahwa Indonesia merupakan objek menarik dunia yang masih menyimpan banyak hal. Sebagai warga negara dan pemuda yang peduli akan masa depan bangsa ini, menjadi tanggung jawab kita semua untuk lebih mengerti dan mempelajari semua hal tentang Indonesia. Tidak boleh ada warga selain Indonesia yang lebih mengerti tentang negeri ini. “Nenek moyangku seorang pelaut”, sebuah lirik lagu yang mungkin kita kenal sebagai gambaran akan negeri yang elok ini. Dari lagu itu, tercermin bahwa nenek moyang kita, sekelompok manusia jaman purba yang masih belum mengenal apa-apa bisa untuk bertahan hidup dan mungkin secara sejahtera benar-benar mengandalkan alam laut kita. Namun, di jaman modern disaat teknologi dimana-mana apakah laut bisa terus menyejahterakan bangsa? Selama kail dan jala masih dimasukkan ke dalam lautan, disitu lah ikan-ikan akan terus menjadi santapan kita dari pagi, siang hingga malam. Akan menjadi lukisan yang menarik nantinya, apabila kita bisa melukiskan cerita mengenai lagu “nenek moyangku seorang pelaut” yang akan kita hapus kata “nenek moyang” nya hingga menjadi “ku seorang pelaut”. Dan kisah ini pun bermulai dari sebuah gagasan untuk mencari kemakmuran negeri dari ekonomi biru. Sebuah cita-cita yang tertulis pada program NAWA CITA dari seorang Presiden Jokowi untuk Indonesia. Kami pun bangga dapat mempunyai mimpi yang sama untuk kesejahteraan dan kejayaan maritim Indonesia. “The Blue Economy Domino Effect : Enhancing Our Competitiveness towards Global Market”, adalah sebuah gagasan yang akan menjadi konsep untuk kisah yang akan kita lukis bersama Research Camp 2015. Kita membayangkan sebuah lukisan yang indah nantinya untuk Indonesia, dan akan mengukir senyuman pada nenek moyang kita, tak hanya sebuah lagu namun sebuah asa untuk Indonesia. Juni 2015, ketika kita terus menggapai mimpi dan menyiapkan kanvas terbaik kita nantinya. Sebuah mimpi yang menjadi semakin nyata, ketika sore itu kita menemukan destinasi untuk melukis kisah indah kita. 159
Research Camp Kotabaru
Kalimantan Selatan, sebuah daerah yang kita kenal sebagai Tanah Banjar atau Banua, yang menyimpan ribuan keelokan di dalamnya. Potensi maritim dan laut yang tersimpan begitu luar biasa. Dan keesokan hari nya mata kita sudah tak sabar untuk melihat berbagai kearifan dan keelokan di dalamnya. Dimulai dari 9 Juni 2015, aku dan kawanku bernama Nugi telah mendarat di Bandara Syamsudin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Pemandangan yang tersaji begitu luar biasa dari sejak kami di udara diatas tanah Kalimantan sampai menginjakkan kaki di bumi Banua ini. Berangkat dengan membawa misi dan asa untuk melanjutkan menggapai sebuah mimpi tentang lukisan kisah untuk negeri ini. Mencari objek yang akan kita lukis diatas sebuah kanvas yang telah sempurna kita siapkan. Dari mulai Banjarmasin dan Banjar Baru telah kita eksplor untuk mencari sesuatu hal yang menarik di negeri Kalimantan. Dari sungai arafuru sampai sungai barito telah menjadi teman dan petunjuk perjalanan kami. Perizinan dan Birokrasi yang telah menjadi budaya negeri ini telah kami lewati di Ibukota Provinsi Kalimantan Selatan tersebut. Hingga akhirnya, alam telah membawa kita ke sebuah daerah berbukit dan juga mempunyai laut yang indah, Tanah Laut. Sebuah daerah di ujung selatan Pulau Kalimantan yang menyuguhkan potensi alam yang luar biasa. Mungkin ini akan menjadi objek lukisan kita kedepan. Ada sebuah kisah menarik yang kami rasakan. Bahwa sejatinya jika kita selalu mengupayakan dan melakukan yang terbaik untuk sesuatu yang akan kita capai, pasti kita kelak akan mendapat sesuatu itu tentu yang terbaik. Dan Tuhan akan selalu menjadi petunjuk bagi kita. Di tengah kebingungan kami dalam mencari objek yang tepat, Tuhan akhirnya menunjukkan kepada kami. Sebuah daerah yang ternyata ditakdirkan menjadi objek lukisan kita. Sebuah daerah yang akan membawa cerita manis dan tak terlupakan sepanjang massa. Sebuah daerah yang akan selalu menjadi bunga tidur setiap malam nya bagi para pelukis kisah ini. Kotabaru, Kalimantan Selatan. Sebuah takdir dan juga mimpi bagi kami. Ada sebuah asa yang sangat kuat ketika bulan Juni lalu. Aku harus bisa membawa mereka ke tanah Kotabaru itu. Ini adalah sebuah mimpi besar yang akan menjadi nyata. Ini akan menjadi mimpi yang akan 160
Diary para Pewujud Mimpi
menghiasi tidurku setiap malam sepanjang masa. Entah itu mimpi buruk karena tak berhasil menggapainya, atau kah mimpi manis karena telah terlukis di kanvas itu. Setiap malam kami berdoa supaya ini menjadi sebuah takdir kami. Sebuah pulau kecil di ujung tenggara Kalimantan yang menyimpan jutaan kearifan dan potensi keindahan. Sebuah pulau yang terletak di tengah koordinat Indonesia, yang menjadi poros kekuatan geografis bangsa. Inilah Kotabaru. Sejuta cerita akan tertulis bersama harapan dan makna dari sekelompok anak muda. Tekad dan rasa kepedulian demi kemandirian bangsa terus tertanam di jiwa. Semangat kami tak akan pernah mati. Bulan ini merupakan bulan yang kami tunggu-tunggu untuk mewujudkan semua harapan kami. Demi sebuah cerita dan kisah yang telah lama bersarang di angan-angan kami. Angan-angan yang selalu membayangi langkah demi langkah, dan setiap hembusan nafas yang terisak. Kini angan-angan itu akan menjadi nyata. Nyata karena kami telah siap untuk mencapai itu semua. Nyata karena kami yakin itu akan menjadi takdir kami. Tekad kami seakan berapi-api untuk bersatu demi sebuah pengabdian untuk negeri. 17 Agustus 2015, negeri ini genap berusia 70 tahun. Selama 70 tahun pula kita telah mewujudkan jutaan mimpi, berjuang untuk negeri dengan ketulusan hati, dan mengibarkan bendera merah putih ke seluruh penjuru bumi, dimulai dari momen yang menjadi tonggak sejarah Indonesia bernama proklamasi. Momen ini adalah momen yan tepat untuk kami, di pagi hari setelah semua orang berjejer memberi hormat kepada sang Saka Merah Putih, kami berkumpul di pinggir danau Kenanga UI. Sontak seperti sekelompok anak muda sedang menyusun rencana perang kemerdekaan saja, kami cukup serius untuk duduk dalam satu forum, menyiapkan sebuah wadah perjuangan untuk Indonesia, yaitu membahas keberangkatan Research Camp. Karena kami yakin, ini adalah sebuah wadah kegiatan dan perjuangan mahasiswa untuk bangsa nya. Setelah semua barang dikemas, malam nya kami segera bergegas ke titik keberangkatan yang akan membawa kami ke landasan udara Soekarno Hatta. Dengan seribu harapan telah terpancar di mata dan wajah kami. Keceriaan itu seolah mengiringi perjalanan kami, hingga akhirnya 161
Research Camp Kotabaru
kami telah sampai di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Kami harus menunggu hingga pagi hari nya untuk diterbangkan ke pulau seberang laut jawa itu. 18 Agustus 2015, sekitar pukul 09.00 WITA, rasa gemetaran itu telah muncul. Sesaat sebelum pesawat mendarat, hati ku mulai bergejolak. Oh Tuhan, inikah Tanah Pulau Kalimantan itu? Inikah wajah pulau dan destinasi yang selalu aku mimpikan di setiap malam itu? Dan kaki ku akan menginjakkan di Bumi Banua ini? Perasaan luar biasa jelas menggambarkan suasana hati ku. Hingga saatnya kami benar-benar menginjakkan kaki di salah satu pulau terbesar di Indonesia ini. Spanduk Research Camp pun kami kibarkan di landasan pacu Syamsuddin Noor ini, seolah tak mau ketinggalan mengabadikan momen berharga dalam hidup. Tapi itu semua masih belum lah cukup. Mimpi dan destinasi kami belum lah terwujud. Kami masih harus melanjutkan perjalanan menuju daerah yang menjadi takdir kami, Kotabaru. Dan perjalanan itu pun membutuhkan waktu sekitar 10 jam. Di perjalanan canda tawa riang gembira selalu menghiasai suasana indah di dalam bus. Entah kejutan apa yang akan ditunjukkan oleh Tuhan kepada kami tentang Kotabaru. Pukul 23.00 WITA, sebuah angan-angan yang selalu hadir di mimpi kami ternyata dapat kami wujudkan. Kami telah berhasil menginjakkan kaki di Kab. Kotabaru, tepatnya di desa Sarang Tiung. Desa Sarang Tiung akan menjadi tempat persinggahan kami selama di Kotabaru, yang akan menjadi tempat peristirahatan kami disela-sela perjuangan dalam menggapai visi dan misi Research Camp 2015. Woww, ternyata tempat menginap kami tepat berada di pinggir pesisir pantai dan menghadap ke laut, serta berbentuk rumah panggung. Derai ombak seolah menyambut kedatangan kami malam itu. Namun kita masih belum bisa melihat eloknya pantai itu karena suasana malam yang menyelimuti. Kami tak sabar menantikan esok hari, dengan sambutan mentari pagi dan keelokan pantai Sarang Tiung ini. Tak terbayang rasanya. Pukul 05.00 WITA, bunyi kokok Ayam Jago mulai membangunkan kami, seolah kami teringat apa yang harus kami lihat di pagi ini. Pintu depan mulai kami buka, dan ternyata “It’s very beautiful scenery everâ€?. Wowww bgttt‌ Keelokan sunrise dengan view pantai 162
Diary para Pewujud Mimpi
Sarang Tiung yang indah banget telah menyambut kami di pagi hari. Kami bisa melihat itu di teras lantai 2 yang mempunyai view yang pas banget. Kami membayangkan ini adalah tempat istirahat yang sangat nyaman yang akan selalu menghilangkan rasa lelah kami saat melakukan kegiatan RC hari demi hari. Sarang Tiung, sebuah daerah di Kec. Pulau Laut Utara, Kab. Kotabaru, yang menyimpan sejuta kearifan lokal. Selain pemandangan yang luar biasa, masyarakatnya juga sangat ramah. Dengan kebudayaan dan Bahasa Bugis yang ada, ini merupakan hal baru untuk kami. Ditambah lagi, tuan rumah kami yaitu Pak Amir dan keluarga yang begitu ramah kepada kami semua. Bahasa bukan tantangan terberat kami. Justru ini merupakan ajang untuk memperbanyak wawasan dan kamus Bahasa kami, Bahasa Banjar dan Bahasa Bugis. Pak Amir dan Ibu Hamidah pun sering mengajari kami berbahasa Bugis, serta menceritakan tentang keadaan masyarakat dan kebudaan warga Sarang Tiung. Ini lah saatnya untuk kita mengenal Indonesia. Bangsa dengan sejuta kearifan dan keindahan. Bangsa yang bersemboyan “Bhinneka Tunggal Ika�. Keindahan yang ada merupakan bonus bagi kami. Sebuah cita-cita dan misi akan kita jalankan selama 10 hari kedepan. Melakukan riset, kajian, dan pengabdian tentang potensi terbesar di negeri ini, yaitu maritim. Kami melihat itu semua, kami menyaksikan itu semua, kami merasakan itu semua, dan tentunya kami mengekplorasi itu semua. Semua hal tentang kemaritiman di daerah yang menjadi poros maritim Indonesia, Kab. Kotabaru, Kalimantan Selatan. Visi NAWA CITA jelas menjadi pedoman kami dalam setiap analisa riset kami semua. Selama 10 hari kami telah mengeksplorasi Kotabaru, ribuan kisah telah kita lewati. Ribuan catatan telah kami kumpulkan. Harapan mereka sontak menghadirkan aroma tersendiri dalam benak kami. Kesejahteraan yang abadi dari sebuah potensi terbesar negeri. Kedatangan kami seolah menghidupkan asa mereka untuk melihat lagi sebuah harapan dan secercah sinar. Mereka sadar, kami akan membawa suara mereka, dan benar-benar akan memperjuangkan harapan mereka. Ya, visi kami akan selalu sama, membawa kesejahteraan dan kejayaan maritim Indonesia, terutama daerah yang menjadi objektif kami. Kutipan tema 163
Research Camp Kotabaru
Research Camp 2015, “Enhancing Our Competitiveness towards Global Market” akan terwujud melalui perjuangan kami. Hingga akhirnya tiba waktunya untuk kami berpisah dengan mereka. Sebuah perpisahan yang amat menyedihkan.
“
Ribuan kisah, keceriaan, catatan, senyuman, tangis, tawa, sayang, dan cinta telah terukir dan terlukis disini. Kami tak akan mungkin lupa dengan wajah-wajah mereka, dan tentunya Sarang Tiung, Kotabaru dan Kalimantan yang menjadi takdir bagi kami. Namun, senyuman harus juga terpancar di wajah kami. Kami telah melukiskan kisah di kanvas kami. Dan tak akan terhapus selamanya. Kami akan selalu menyimpannya di dalam hati dan sanubari. “ Jaya lah negeriku, Indonesia…
164
Diary para Pewujud Mimpi
165
Nama-nama para Pewujud Mimpi Pengabdi Negeri, Research Camp 2015 Bagus Anugerah Y.P Firda Amalia I. Ihsanul Afwan Irfan Teguh Prima Lintang Rahayu Isti Sri Ulfiarti Madasaina Putri Mela Milani Muhammad Nugraha S. Munzilir Rohmah Nurul Khomariyah Oriza Sativa Randy Raharja Rehan Novendra Restu Wardhani Riski Vitria Ningsih Safira Ryanatami Startian Bonata Tri Nopiyanto Widi Kusnantoyo Zofarizal Gusfa
- Sastra Belanda 2014, Universitas Indonesia - Akuntansi 2013. Universitas Indonesia - Antropologi 2013, Universitas Indonesia - Ilmu Ekonomi 2012, Universitas Indonesia - Psikologi 2012, Universitas Indonesia - Ilmu Sejarah 2013, Universitas Indonesia - Psikologi 2013, Universitas Indonesia - Farmasi 2014, Universitas Indonesia - Sastra Jerman 2014, Universitas Indonesia - Matematika 2012, Universitas Indonesia - Ilmu Ekonomi Islam 2014, Universitas Indonesia - Sastra Perancis 2012, Universitas Indonesia - Kesejahteraan Sosial 2013, Universitas Indonesia - Akuntansi 2012, Universitas Indonesia - Ilmu Ekonomi 2014, Universitas Indonesia - Psikologi 2014, Universitas Indonesia - Sastra Belanda 2012, Universitas Indonesia - Geografi 2014, Universitas Indonesia - Ilmu Politik 2014, Universitas Indonesia - Teknik Industri 2013, Universitas Indonesia - Teknik Mesin 2012, Universitas Indonesia
166
Wajah para Pewujud Mimpi Pengabdi Negeri, Research Camp 2015
167