Paper Show 4 2017

Page 1

Pekerja Anak dalam Kacamata Masyarakat: Efektivitas Hukum Mengatur Pekerja Anak Ditinjau dari Perspektif Sosiologi Studi di Pasar Agung Depok, Jawa Barat Patricia Cindy Andriani Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Adelia Hanny Rachman Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Niza Ardania Ningtyas Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Ariza Muthia Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Syukur Ahmad Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Muhammad Fabian Novaldi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

ABSTRAK. Anak memiliki peran yang strategis dalam pembangunan nasional. Mengedepankan kualitas tumbuh kembang anak sudah selayaknya menjadi prioritas Pemerintah demi mendukung pembangunan nasional tersebut. Namun, fakta menunjukkan bahwa saat ini masih banyak anak Indonesia yang kehilangan hak tumbuh kembangnya karena menjadi pekerja di usia dini. Sebagian besar kasus pekerja anak dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai untuk mencapai taraf hidup layak. Akibatnya, orang tua terpaksa memanfaatkan anak untuk menjadi salah satu pencari nafkah, walaupun tidak jarang, beberapa anak mengaku bekerja atas keinginan pribadinya demi meringankan beban orang tua atau sekadar mendapat uang jajan. Menyaksikan fenomena ini, penelitian dilakukan dengan tujuan mengetahui kondisi pekerja anak di lapangan, mengetahui tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat terhadap kasus pekerja anak, serta menilai efektivitas hukum sebagai alat perekayasa sosial (law as a tool of social engineering) dan alat kontrol sosial (law as a tool of social control) dalam mengatasi kasus pekerja anak di Indonesia. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat ditemukan solusi atau rekomendasi yang efektif dalam mencegah dan mengatasi kasus pekerja anak. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian empiris, yang menekankan pada observasi dan wawancara dengan narasumber, serta penelusuran data-data, literatur, dan peraturan perundang-undangan. Data akan dianalisis menggunakan metode kualitatif yang disajikan dalam bentuk deskriptif analitis. Salah satu pasar tradisional masih menunjukkan tendensi kesadaran dan kepatuhan hukum yang rendah, dilihat dari banyaknya pekerja anak yang melakukan pekerjaan di luar batas yang telah ditentukan undang-undang. Komunitas para pedagang di pasar tradisional tersebut tidak mengetahui hukum

1


yang melarang anak dipekerjakan pada bentuk-bentuk pekerjaan tertentu. Aparat penegak hukum juga tidak menindak tegas setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pedagang atas dasar ketidakpatuhan pada hukum yang berlaku. Peran hukum sebagai sarana perekayasa sosial dan kontrol sosial belum efektif karena pola kebiasaan masyarakat mempekerjakan anak masih berlangsung dan enggannya masyarakat untuk berkata tidak pada segala bentuk pemekerjaan anak. Oleh karena itu, Pemerintah perlu menindak tegas setiap pelaku pelanggaran dengan memberikan sanksi pidana maupun sanksi administratif. Instrumen hukum yang sudah ada yakni UU Perlindungan anak dan UU Ketenagakerjaan harus ditegakkan melalui pemberdayaan aparat penegak hukum. Secara bertahap, masyarakat harus pula dilibatkan partisipasi aktifnya dalam mengakhiri segala bentuk pekerjaan terburuk pada anak. KATA KUNCI:

pekerja anak, kesadaran hukum, kepatuhan hukum, rekayasa sosial,

kontrol sosial.

A. PENDAHULUAN Masa kanak-kanak seharusnya dihabiskan untuk menggali ilmu dan bermain bersama teman-teman. Hal ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang. Namun, saat ini masih banyak anak yang tidak dapat menikmati haknya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini sebagian besar didorong oleh faktor keterbatasan ekonomi keluarga. Kebanyakan para pekerja anak termasuk pada golongan marjinal, baik mereka yang dimanfaatkan untuk menjadi salah satu pencari nafkah dalam keluarga oleh pihak lain, atau mereka yang atas keinginan pribadinya membanting tulang, demi meringankan beban orang tua dan mendapat uang jajan. Pada hakekatnya anak tidak boleh bekerja karena waktu mereka selayaknya dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira, berada dalam suasana damai, mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis, intelektual dan sosialnya. Namun pada kenyataannya banyak ditemukan anak-anak berusia dibawah 18 tahun yang telah terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi, dengan menjadi pekerja anak di berbagai sektor yang pada 1

Eka Tjahjanto, Implementasi Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan sebagai Upaya Perlindungan Hukum terhadap Eksploitasi

dasarnya tidak diperuntukkan untuknya.1 Berdasarkan data yang didapatkan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak, pada tahun 2009, terdapat lebih kurang 6.5 juta pekerja anak, dengan 2.1 juta diantaranya bekerja pada sector-sektor terburuk layaknya prostitusi, pekerja rumah tangga, dan juga di tempat-tempat yang berbahaya bagi keselamatan. Hal ini seharusnya menjadi tamparan bagi kita sebagai seseorang yang bertanggung jawab atas masa depan bangsa. Penulis mengangkat permasalahan pekerja anak dikarenakan pekerja anak merupakan sebuah penyakit yang timbul dalam masyarakat. Selama masyarakat itu masih melakukan pembiaran atas masalah tesebut, baik di dalam sektor formal maupun dalam sektor lainya atau bahkan menggunakan tenaga dari pekerja anak itu sendiri, maka rantai panjang pekerja anak tidak akan pernah putus. Oleh karenanya, dibutuhkan pengaturan-pengaturan mengenai masalah ini di dalam masyarakat untuk memutus mata rantai tak berkesudahan ini. Beberapa permasalahan yang mendasari penelitian ini, antara lain: kondisi nyata pekerja anak di Pasar Agung Depok, Jawa Barat berdasarkan hasil observasi, tingkat kepatuhan dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia berkaitan dengan Pekerja Anak, Disertasi Program Universitas Diponegoro, 2008.

Pascasarjana

2


fenomena pekerja anak, dan efektivitas peranan hukum sebagai pengendali sosial dan rekayasa sosial dalam mengatasi persoalaan pekerja anak di Indonesia. Tujuan dilakukannya penelitian ini, antara lain: (1) menggambarkan secara lebih detail keadaan pekerja anak di Pasar Agung Depok, Jawa Barat sebagai seorang porter, (2) mengetahui tingkat kepatuhan dan kesadaran hukum masyarakat berkaitan dengan tingginya angka pekerja anak di Indonesia, dan (3) mengetahui efektivitas peranan hukum sebagai pengendali sosial dan rekayasa sosial dalam mengatasi persoalaan pekerja anak di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan observasi terhadap beberapa anak yang bekerja di pasar, yang dalam penelaahannya dilakukan secara intensif, mendalam, terperinci, dan komprehensif terhadap aspek-aspek yang ingin diteliti.2 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sumber dan tujuan penelitian sudah jelas sejak awal dan analisis penelitian dilakukan setelah seluruh data yang diperlukan terpenuhi. B. PEMBAHASAN Pada dasarnya, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.3 Anak memiliki hak-hak yang tidak seharusnya dilanggar sebab anak memiliki kebutuhan 2 Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial: Dasar-dasar dan Aplikasi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1989), hlm. 22 3 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Ayat (1). 4 International Labour Organization. Attitudes to Child Labour and Education in Indonesia. (Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional, 2006), hlm. 17. 5 International Labour Organization, op. cit. hlm.19.

khusus untuk tumbuh kembangnya, seperti pendidikan, air bersih, waktu bermain, dll. Kepentingan terhadap perlindungan hak-hak anak harus sejak dini dijamin oleh keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Kebanyakan orang tua cenderung mengambil peran dominan dalam menentukan apa yang dilakukan anak mereka. Orang tua beranggapan bahwa anak seharusnya tidak bekerja, tetapi keluarga harus menghadapi kenyataan bahwa mereka membutuhkan anak yang bekerja.4 Bahkan apabila dihadapkan pada situasi yang sulit, 40% orang tua akan membiarkan anak mereka tetap bekerja.5 Pekerja anak merupakan isu global yang diagendakan untuk ditanggulangi secara menyeluruh dan berkesinambungan. Komitmen ini dinyatakan dalam bentuk citacita bersama dengan motto―Masa Depan Tanpa Pekerja Anak (Future without Child Labour) sebagai upaya global (global efforts) mengakhiri pekerja anak.6 Berdasarkan kegiatan observasi yang telah dilakukan, anak-anak porter yang bekerja di Pasar Agung Depok tersebut dapat dikategorikan sebagai pekerja anak sebab mereka memenuhi kriteria sebagai berikut, rata-rata usia mereka dibawah 13 tahun sehingga pada dasarnya mereka tidak diperkenankan untuk melakukan segala jenis pekerjaan termasuk pekerjaan yang ringan sekalipun dengan tujuan ekonomis.7 Pada dasarnya, ILO didukung beberapa negara termasuk Indonesia secara terus-menerus untuk mengupayakan pendekatan abolisi atau 6 Peta Jalan (Roadmap) Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022, https://www.dol.gov/ilab/submissions/pdf/Indonesia2 0150129.pdf, diakses pada 9 Mei 2016 pukul 19.56 WIB. 7 International Labor Organization,Modul Penanganan Pekerja Anak. Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@r o-bangkok/@ilojakarta/documents/publication/wcms_120565.pdf, diakses pada 9 Mei 2016 pukul 19.58 WIB.

3


penghapusan terhadap segala bentuk pekerja anak.8 B.1 Fenomena Pekerja Anak dalam Ruang Lingkup Kepatuhan dan Kesadaran Hukum Keberadaan pekerja anak masih banyak dijumpai di beberapa tempat, tidak hanya dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi, namun faktor dominan lainnya juga terkait dengan pola pikir para orang tua yang rendah akibat tingkat pendidikan yang rendah pula. Dengan pola pikir jangka pendek, membuat para orang tua memiliki tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum yang rendah sehingga mereka cenderung bersikap sesuai keinginan yang mereka kehendaki tanpa mempertimbangkan resiko-resiko yang ada. Widjaya (1984:14) mengemukakan pendapatnya tentang kesadaran bahwa: Sadar (kesadaran) itu adalah kesadaran kehendak dan kesadaran hukum. Sadar diartikan merasa, tahu, ingat keadaan sebenar nya dan ingat keadaan dirinya. Kesadaran diartikan sebagai keadaan tahu, mengerti dan merasa, misalnya tentang harga diri, kehendak hukum dan lainnya.9 Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui jika sadar merupakan suatu kepatuhan terhadap suatu aturan yang dikonkretkan dalam suatu sikap tindak. Oleh sebab itu, tinggi rendahnya derajat kepatuhan hukum terhadap hukum sangat berkaitan erat dengan taraf kesadaran hukum yang didasarkan pada pengetahuan tentang peraturan, pengetahuan tentang isi peraturan, 8

sikap terhadap peraturan dan perikelaku yang sesuai dengan peraturan.10 Dalam kaitannya dengan keterlibatan anak sebagai pekerja, para orang tua masih memiliki kesadaran dan kepatuhan hukum yang kurang sehingga mereka cenderung untuk tetap menghendaki anak mereka bekerja demi menghidupi keluarganya, meskipun secara tersirat mereka mengetahui bahwa tindakan itu tidak pantas dilakukan oleh seorang anak. Ketidaktahuan para orang tua bukan tanpa alasan. Mereka pada dasarnya telah mengetahui hak-hak anak yang harus dilindungi sebab hak anak merupakan hak khusus yang patut diterima oleh anak, namun faktor ekonomi menjadi penghalang pemahaman terhadap hak-hak anak tersebut. Dengan demikian sangat perlu adanya pemberdayaan masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi kaedah hukum, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum dan pola perilaku hukum masyarakat itu sendiri.11 Selain para orang tua yang kurang memiliki kesadaran dan kepatuhan hukum, para aparat penegak hukum juga masih memiliki kepahaman hukum yang relatif rendah sehingga mereka kurang memahami bagaimana upaya yang paling tepat untuk mengakomodir pekerja anak ataupun anak yang bekerja. Mengingat Indonesia merupakan salah satu Negara yang mendukung adanya penghapusan pekerja anak sebab pekerja anak merupakan suatu 10

Hukum Online, Tentang Tenaga Kerja

Anak. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl918/tent ang-tenaga-kerja-anak, diakses pada 9 Mei 2016 pukul 23.26 WIB. 9 Universitas Sumatera Utara,Kaitan Kesadaran Hukum dengan Kepatuhan Hukum, http://aresearch.upi.edu/operator/upload/s_ppk_050118_cha pture2.pdf, diakses pada 9 Mei 2016 pukul 20.00 WIB.

Universitas Sumatera Utara, op. cit.,

hlm.35. 11

M. Husni, Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya Penegakan Hukum, Universitas Sumatera Utara, Jurnal Equality, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1715 3/1/equ-agu2006-11%20%284%29.pdf, diakses pada 9 Mei 2016 pukul 20.14 WIB, hlm.91.

4


pelanggaran dasar terhadap Hak Asasi Manusia dan menghalangi perkembangan anak dan segala potensial dalam diri anak tersebut.12 Dengan demikian, pekerja anak hanya dapat dihapuskan jika sistem di suatu Negara tersebut dapat mencegah terjadinya suatu kelompok pekerja anak digantikan oleh pekerja anak yang lain.13 B.2 Pekerja Anak dalam Kacamata Masyarakat: Runtuhnya Cermin Diri dan Ancaman Perkembangan Moral Anak Eksistensi seorang anak tidak pernah terlepas dari masyarakatnya. Sebagai bagian dari suatu komunitas besar, anak memiliki hak dan kewajibannya yang secara proporsional diemban dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hartini Kartasapoetra, anak adalah seorang yang menurut hukum memiliki usia tertentu sehingga hak dan kewajibannya dianggap terbatas pula.14 Terbatasnya hak dan kewajiban seorang anak menimbulkan suatu implikasi bahwa masyarakat harus secara bijaksana menentukan sikap terbaik bagi anak. Peran masyarakat dalam mendukung tumbuh kembang anak sangat diperlukan. Oleh karenanya, anak harus dihindarkan dari segala bentuk kekerasan, tekanan sosial, eksploitasi maupun hal-hal intimidatif yang mengganggu pembentukan kepribadiannya termasuk bekerja sejak dini. Dari 4 tahap sosialisasi dalam ilmu sosiologi, pada dasarnya anak belum mampu bekerja di usia 9-14 tahun. Faktanya, di lapangan masih ditemukan anak-anak yang bekerja pada rentang usia tersebut. Usia 6-12 tahun merupakan fase dimana anak mulai mendefinisikan siapa dirinya sebagaimana definisi yang diberikan oleh significant other 12

International Labour Organization, International Labour Standards on Child Labour, http://www.ilo.org/global/standards/subjectscovered-by-international-labour-standards/childlabour/lang--en/index.htm, diakses pada 9 Mei 2016 pukul 20.25 WIB.

(play stage). Apabila pada tahap tersebut, anak diharuskan bekerja pada sektor-sektor informal seperti menjadi kuli panggul di pasar tradisional, maka bukan tidak mungkin anak akan mendapatkan definisi mengenai dirinya dari lingkungan yang kurang kondusif seperti pengaruh para preman pasar yang menjadi significant other bagi mereka. Hal ini sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa anak. Kemudian, pada usia 13-17 tahun, anak juga seharusnya belum dianggap layak untuk bekerja karena pada rentang usia tersebut anak masih perlu pengenalan lebih jauh mengenai tata cara berinteraksi secara sportif dengan masyarakatnya (game stage). Anak-anak yang bekerja pada sektor informal seperti kuli panggul cenderung tidak mengenal tata cara berinteraksi yang baik dalam masyarakatnya. Hal ini tercermin dari ucapan mereka yang kasar satu sama lain maupun perilaku yang kurang menunjukkan kesopanan dengan pengunjung pasar. Tentu, kondisi nyata ini menjadi ancaman tersendiri bagi perkembangan moralitas anak. Isu pekerja anak pada dasarnya telah memiliki payung hukum sedemikian rupa dalam rangka menjamin kesejahteraan anak. Namun, apakah hukum mampu berperan secara efektif dalam memberantas eksistensi pekerja anak ini? Melalui perspektif sosiologi, akan dikaji lebih mendalam efektivitas hukum sebagai pengendali sosial dan rekayasa sosial. 1. Law as a Tool of Social Engineering: Menjawab Relevansi Pola Perilaku Mempekerjakan Anak di Tengah Arus Modernisasi “Suatu masyarakat di manapun di dunia ini, tidak ada yang statis. Masyarakat 13

Ms Shanta Sinha, Child Labour Exists because We Allow It to Exist Concern Worldwide. https://www.concern.net/sites/default/files/media/pag e/concern_child_labour_resource.pdf, diakses pada 9 Mei 2016 pukul 20.30 WIB, hlm.33. 14 Hartini G Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Bumi Aksara: Jakarta, 1992).

5


senantiasa mengalami perubahan, hanya saja ada masyarakat yang perubahannya pesat dan ada pula yang lamban. Di dalam menyesuaikan diri dengan perubahan itulah, fungsi hukum sebagai a tool of social engineering, sebagai perekayasa sosial, sebagai alat untuk merubah masyarakat ke suatu tujuan yang diinginkan bersama, sangat berarti" (Rusli Effendi, 1991:81). Dari pendapat Rusli Effendi dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum senantiasa diperlukan masyarakat dalam menjawab tantangan-tantangan perubahan. Pemerintah menciptakan norma-norma baru yang bertujuan mengubah pola-pola tertentu dalam masyarakat baik mengokohkan suatu kebiasaan yang sudah melembaga dan dianggap masih relevan dengan perkembangan zaman maupun merombak kebiasaan lama menjadi suatu bentuk baru agar keberlakuannya lebih efektif di masyarakat. Pola kebiasaan mempekerjakan anak masih bertahan di tengah masyarakat kita. Benturan budaya dengan kesadaran hukum masyarakat seringkali menjadi dilema yang tak kunjung selesai. Di satu sisi, budaya suatu daerah menempatkan anak untuk bekerja membantu orangtua terlepas dari bentuk pekerjaan yang dilakukan maupun waktu yang dihabiskan untuk bekerja. Di sisi lain, kesadaran hukum masyarakat di sejumlah daerah maju tidak dapat menolak fakta bahwa regulasi telah dibentuk sedemikian rupa oleh Pemerintah untuk melindungi anak dari segala bentuk eksploitasi termasuk bekerja pada usia dini (di bawah 17 tahun). Bertitik tolak dari hasil observasi, 3 kuli panggul anak masih berusia 9-14 tahun, yang artinya usia mereka belum sepatutnya bekerja menurut ketentuan peraturan perundangundangan. Namun, mereka bekerja demi membantu perekonomian keluarga seperti menghasilkan uang jajan sendiri. Latar belakang ekonomi keluarga menjadi alasan utama orangtua melibatkan anak dalam

sektor-sektor pekerjaan informal. Hal ini melahirkan pola pikir bahwa anak harus terbiasa bekerja. Kebiasaan lama masyarakat ini, pada dasarnya, sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Pekerja anak di era modern sangat rentan dengan kejahatan transnasional seperti perdagangan manusia maupun narkotika, yang semakin terorganisir dan sulit terlacak aktivitasnya karena kecanggihan teknologi. Menjawab persoalan ini, pemerintah menciptakan suatu regulasi yang berfungsi sebagai payung hukum dalam rangka melindungi keselamatan anak, salah satunya UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Regulasi ini diharapkan dapat mengubah kebiasaan lama masyarakat menjadi suatu kebiasaan baru yang lebih memperhatikan kesejahteraan anak. Pada prinsipnya, setiap regulasi mengatur agar anak tidak bekerja sama sekali dalam rentang usia di bawah 17 tahun. Namun, faktanya hukum diabaikan begitu saja oleh masyarakat dan justru sebaliknya, rantai pekerja anak semakin panjang dengan kebiasaan lama masyarakat yang tidak berubah yakni mempekerjakan anak demi kepentingan terbaik bagi anak. Hal ini menunjukkan bahwa hukum belum sepenuhnya efektif dan berhasil diterapkan sebagai sarana rekayasa sosial kaitannya dengan pekerja anak. 2. Law as a Tool of Social Control: Partisipasi Masyarakat Mewujudkan Kemapanan Pengendalian Sosial JS. Rouceek menyatakan bahwa “Mekanisme pengendalian sosial (mechanism of social control) ialah segala sesuatu yang dijalankan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bukan memaksa para warga agar menyesuaikan diri dengan kebiasaankebiasaan dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan�. Hukum sebagai sarana pengendalian sosial berperan dalam menentukan tingkah laku yang 6


bertentangan dengan aturan hukum maupun sanksi terhadap penyimpangan tersebut. Fungsi hukum sebagai sarana pengendali sosial tidak dapat diandalkan sepenuhnya pada kemampuan peraturan perundangundangan hukum formal, perlu peran masyarakat.15 Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa hukum juga belum berhasil beperan sebagai sarana pengendalian sosial karena masih banyak masyarakat yang mempekerjakan anak sebagai karyawannya maupun menggunakan jasa pekerja anak, sedangkan di sisi lain mereka mengetahui bahwa anak tidak boleh bekerja. Dukungan masyarakat terhadap eksistensi pekerja anak dalam konotasi negatif ini tidak akan pernah memutus rantai pekerja anak. Selama masyarakat tidak berubah, dalam arti tidak menolak segala bentuk upaya mempekerjakan anak maupun menggunakan jasa anak, maka jumlah pekerja anak pun sulit ditekan. Aparat penegak hukum yang seharusnya menerapkan sanksi terhadap penyimpangan yang dilakukan masyarakat yakni mempekerjakan maupun menggunakan jasa anak justru bertindak acuh dan tidak pernah memiliki jalan keluar terbaik bagi kepentingan pekerja anak. Setiap kali dilakukan razia oleh pihak kepolisian di kawasan Pasar Agung, kuli panggul anak selalu berhasil melarikan atau menyembunyikan diri sehingga mereka tidak dibawa oleh pihak berwenang. Namun, saat razia berakhir, anak-anak akan kembali bekerja disana. Hal inilah yang semakin menyulitkan Pemerintah untuk mengambil langkah tegas dan mencari solusi terbaik bagi para pekerja anak, misalnya memenuhi kebutuhan pendidikan anak 12 tahun. C. PENUTUP

Angka pekerja anak di Indonesia masih sangat tinggi walaupun sudah dikeluarkan berbagai peraturan yang melarang anak-anak dalam usia tertentu untuk bekerja atau dipekerjakan oleh orang lain. Hal ini dikarenakan bekerja pada usia anak-anak memiliki dampak negatif bagi perkembangan sosiologis dan moral anak. Salah satu bentuk pekerjaan yang disoroti dalam penelitian ini adalah porter di Pasar Agung Depok, Jawa Barat. Pekerjaan ini dilakukan oleh anakanak berusia di bawah 15 tahun dengan tujuan memenuhi kebutuhan finansial. Hal ini menunjukkan kesejahteraan anak yang menjadi tujuan awal dibentuknya peraturan tentang pekerja anak masih belum tercapai. Selain itu, keinginan Indonesia untuk menghapuskan segala jenis pekerjaan anak, nyatanya, masih sukar untuk dijalankan. Masih banyak masyarakat yang tetap memperkerjakan anak dan menggunakan jasa mereka di luar batas yang ditentukan oleh Negara. Penulis menyarankan agar pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketenagakerjaan di Indonesia dapat diimplementasikan secara sungguh-sungguh serta diikuti dengan pengawasan ketenagakerjaan secara menyeluruh. Pemerintah harus lebih tegas menyikapi pelanggaran yang terjadi dengan pemberian sanksi pidana maupun administratif terhadap pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab memperkerjakan anak di bawah umur secara tidak pantas. Bila memang ingin memperkerjakan anak, pemberi kerja harus sungguh-sungguh mempertimbangkan jam kerja, upah, lingkungan tempat kerja, serta pendidikan si anak, seperti yang telah diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

15

Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hlm.8.

7


REFERENSI

Buku Faisal,

Sanapiah. 1989. Format-format Penelitian Sosial: Dasar-dasar dan Aplikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Kartasapoetra, Hartini. 1992. Kamus Sosiologi dan Kependudukan. Jakarta: Bumi Aksara. Rilantanto, Lily. 1998. Masalah Pekerja Anak di Indonesia: Makalah Introduksi pada Workshop Masalah pekerja anak. Jakarta. Warassih, Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: Suryandaru Utama. Website Hukum Online. Tentang Tenaga Kerja Anak. http://www.hukumonline.com/klinik/ detail/cl918/tentang-tenaga-kerjaanak. Diakses pada 9 Mei 2016 pukul 23.26 WIB. Peta Jalan (Roadmap) Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022. https://www.dol.gov/ilab/submission s/pdf/Indonesia20150129.pdf. Diakses pada 9 Mei 2016 pukul 19.56 WIB. Makalah Universitas Al-Azhar Indonesia, Hukum sebagai Rekayasa Sosial Kesalahan Pemahaman atas Pemikiran Roscoe Pound, http://uai.ac.id/2011/04/13/hukumsebagai-rekayasa-sosial-kesalahanpemahaman-atas-pemikiran-roscoepound/. Diakses Senin, 9 Maret 2016. Universitas Pendidikan Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/J UR._PEND._KEWARGANEGARA

AN/Drs._H._Dadang_Sundawa,_M. Pd/POL_HUKUM/POLHUK_II.pptx . Diakses Senin, 9 Maret 2016 pukul 20.00 WIB. Jurnal Online Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. 2006. Modul Penanganan Pekerja Anak. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Husni, M. Pemberdayaan Masyarakat sebagai Upaya Penegakan Hukum. Universitas Sumatera Utara, Jurnal Equality, Vol. 11 No. 2 Agustus 2006. http://repository.usu.ac.id/bitstream/1 23456789/17153/1/equ-agu200611%20%284%29.pdf/. Diakses pada 9 Mei 2016 pukul 20.14 WIB. Organisasi Perburuhan Internasional. 2006. Sikap terhadap Pekerja Anak dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Kantor Perburuhan Internasional. Sinha, Shanta. Child Labour Exists because We Allow It to Exist. Concern Worldwide. https://www.concern.net/sites/default /files/media/page/concern_child_lab our_resource.pdf. Diakses pada 9 Mei 2016 pukul 20.30 WIB. Universitas Sumatera Utara. Kaitan Kesadaran Hukum dengan Kepatuhan Hukum. http://aresearch.upi.edu/operator/upload/s_p pk_050118_chapture2.pdf. Diakses pada 9 Mei 2016 pukul 20.00 WIB. Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Lembaran Negara RI Tahun 2014, No. 297. Sekretariat Negara. Jakarta.

8


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.