JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal: Studi di Desa Sungaitohor, Tebingtinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau Riski Vitria Ningsih Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Firda Amalia Ilmiawati Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
Berlian Triatma Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Fitria Nur Umi Halimah Manajemen, Informasi dan Dokumentasi; Vokasi; Universitas Indonesia
Arini Ayatika Aprilia Fidthy Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Ketahanan pangan suatu negara tidak selalu berbanding lurus dengan ketahanan pangan rumah tangga. Namun, ketahanan pangan rumah tangga dapat menjadi indikator terbentuknya ketahanan pangan daerah baik di wiayah atau regional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Desa Sungaitohor serta melihat pola konsumsi pangan pokok lokal masarakat setempat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan teknik analisis deskriptif. Lokasi penelitian berada di Desa Sungaitohor, Tebingtinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau. Populasi dari penelitian adalah masyarakat Desa Sungaitohor dengan jumlah sampel 68 responden dengan pemilihan responden secara accidental sampling. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga dilihat dari kekhawatiran bahwa ketersediaan pangan kemungkinan tidak mencukupi; persepsi bahwa konsumsi dalam rumahtangga tidak mencukupi dari segi kualitas; kejadian mengurangi konsumsi orang dewasa dalam rumahtangga, atau berbagai akibat yang muncul dari mengurangi asupan makanan; dan kejadian mengurangi makanan atau berbagai akibat yang muncul karena mengurangi asupan makanan pada anak-anak dalam rumah tangga. Berdasarkan kuisioner Bickel (2000) sebanyak 53% rumah tangga digolongkan ke dalam kategori tidak tahan pangan. Budaya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok masih dominan yaitu sebesar 92.6% dibandingkan dengan konsumsi sagu yang hanya 4% sebagai pangan pokok lokalnya. KATA KUNCI: ketahanan pangan, pola konsumsi pangan, ketahanan pangan rumah tangga, pola konsumsi pangan pokok lokal. KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
1
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
A. PENDAHULUAN Menurut UU No 7 tahun 1996, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama. Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman mengemukakan masalah pangan terus menjadi perhatian dan prioritas pembangunan karena pangan merupakan kebutuhan dasar dan hak asasi manusia (Simanjuntak, 2015). Masih menurut Amran Sulaiman, pemenuhan pangan yang cukup konsumsi dan produksi merupakan faktor penting dalam mendukung sumber daya manusia yang produktif. Oleh karena itu, pangan masih menjadi salah satu prioritas pembangunan Indonesia dan berfokus untuk mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Fokus tersebut dituangkan dalam undangundang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan. Menurut undang-undang No. 7 Tahun 1996, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam definisi tersebut, ketersediaan pangan menjadi salah satu pilar penentu ketahanan pangan. Ketersediaan pangan merupakan faktor yang berfungsi untuk menjamin pasokan pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kualitas, kuantitas, keragaman, dan keamanannya (Prabowo, 2010). Menurut world bank, Indonesia secara umum tidak memiliki masalah terhadap ketersediaan pangan (world bank, n.d). Namun, ketersediaan pangan pada level nasional tidak secara otomatis menjamin ketahanan pangan pada level individu dan rumah tangga (Borton and Shoham, 1991). Berdasarkan perhitungan jumlah penduduk dan tingkat kosumsi pangan per kapita per hari, produksi bahan pangan dalam bentuk padi-padian di Kabupaten Kepulauan Meranti belum dapat memenuhi kebutuhan riil 2
konsumsi penduduk (Susanto, 2014). Dengan kondisi geografisnya yang berbentuk kepulauan, beberapa masalah ketahanan pangan yang teridentifikasi di Kepulauan Meranti adalah: 1) meningkatnya kebutuhan pangan pada beberapa komoditi yang lebih cepat dan tidak seimbang dengan peningkatan produksi; 2) belum meratanya ketersediaan dan distribusi pangan pada setiap wilayah yang disebabkan oleh lemahnya akses pasar berupa pasar, jalan, dan fasilitas pendukung; dan 3) rendahnya pemahaman konsumsi pangan yang aman dan bergizi pada tingkat keluarga rumah tangga terutama pada standar tingkat konsumsi kalori/energi dan tingkat konsumsi protein (Susanto, 2014). Salah satu perwujudan upaya untuk menangani permasalahan ketahanan pangan terkait distribusi, ketersediaan, dan akses pangan tersebut adalah dengan mengembangkan pangan lokal. Tujuannya adalah mendorong masyarakat mengkonsumsi sumber karbohidrat non beras dan non gandum dengan menggunakan bahan lokal dan mengembalikan pola konsumsi pangan pokok masyarakat (Susanto, 2014). Salah satu tujuan dari pengembangan pangan lokal dalam menghadapi permasalahan ketahanan pangan di Kepulauan Meranti adalah mengembalikan pola konsumsi pangan pokok masyarakat. Dengan upaya mengetahui pola konsumsi pangan pokok lokal yang ada, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga pada masyarakat di Desa Sungaitohor sekaligus mendeskripsikan pola konsumsi pangan pokok lokal.
B. PEMBAHASAN 1. Ketahanan Pangan Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari NINGSIH, ILMIAWATI, TRIATMA, HALIMAH & FIDTHY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan (Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan). Tiga pilar utama dari ketahanan pangan yaitu ketersediaan (availability), keterjangkauan (accessibility) baik secara fisik maupun ekonomi, dan stabilitas (stability) yang harus tersedia dan terjangkau setiap saat dan setiap tempat. Ketiga pilar harus terwujud secara bersama-sama dan seimbang agar masyarakat mampu memenuhi kebutuhan pangan dan terwujudnya ketahanan pangan. Pilar ketersediaan dapat dipenuhi baik dari hasil produksi dalam dan luar negeri. Pilar keterjangkauan dapat dilihat dari keberadaan pangan yang secara fisik berada di dekat konsumen dengan kemampuan ekonomi konsumen untuk dapat memperolehnya. Sedangkan pilar stabilitas dapat dilihat dari kontinyuitas pasokan dan stabilitas harga yang dapat diharapakan rumah tangga setiap saat dan setiap tempat. 2. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996, ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan dalam rumah tangga yang terlihat pada keterserdiaannya baik dari segi jumlah maupun kualitas mutunya. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga seperti kepemilikan lahan yang didukung iklim yang sesuai dan sumber daya manusia yang dapat mengelolanya. Kebijakan pertanian juga turut mempengaruhi pelaku produksi pertanian dan pasar untuk menyediakan pangan yang cukup. (Arida, dkk, 2015) Menurut Pakpahan, (1993) ketahanan pangan suatu negara tidak selalu berbanding
lurus dengan ketahanan pangan rumah tangga. Namun, ketahanan pangan rumah tangga dapat menjadi indikator terbentuknya ketahanan pangan daerah baik di wiayah atau regional. Salah satu indikator ketahanan pangan lainnya adalah pengeluaran pangan. Ini artinya, semakin tinggi pengeluaran pangan dalam sebuah rumah tangga maka semakin rendah ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Indikator ketahanan pangan lainnya adalah kecukupan gizi. Zat gizi yang dimaksud sebagai indikator ketahanan pangan adalah tingkat kecukupan gizi makro yaitu energi dan protein. (Arida, dkk, 2015) 3. Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Definisi ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi (Nur’Aini, 2009). Sedangkan pola konsumsi pangan menurut Baliwati (2010) adalah susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu (Poh, 2013). Menunjuk pada definisi tersebut, pola konsumsi pangan pokok lokal adalah susunan jenis dan jumlah pangan pokok lokal yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. 4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pangan Pola konsumsi pangan dibentuk oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya (Herlina, 2015). Secara umum adapun faktorfaktor yang dapat mempengaruhi pola konsumsi pangan tersebut adalah: a. Jumlah Anggota Keluarga Semakin banyak anggota keluarga, maka makanan untuk setiap orang akan berkurang terutama pada keluarga dengan
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
3
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
ekonomi lemah (Suhardjo, dkk,1986). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fransiska (2013) tentang analisis diversifikasi konsumsi pangan beras dan pangan non beras, dijumpai bahwa jumlah anggota rumah tangga berpengaruh nyata dan positif terhadap konsumsi pangan rumah tangga. Hal ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bangun (2013) menunjukkan bahwa jumlah anggota keluarga berpengaruh nyata dengan tingkat konsumsi beras dimana semakin banyak anggota keluarga semakin banyak beras yang dikonsumsi. b. Pendidikan Menurut Husaini (1989) dalam penelitian Ampera dkk. perilaku konsumsi pangan seseorang atau keluarga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan atau pengetahuan tentang pangan itu sendiri, dalam satu keluarga biasanya ibu yang bertanggung jawab terhadap makanan keluarga. Pengetahuan tentang gizi bertujuan untuk mengubah perilaku konsumsi masyarakat kearah konsumsi pangan yang sehat dan bergizi. Penelitian yang dilakukan oleh Mapandin (2005) dalam tesisnya yang berjudul hubungan faktor-faktor sosial budaya dengan konsumsi makanan pokok rumah tangga pada masyarakat di kecamatan Wamena, kabupaten Jayawijaya didapatkan bahwa kontribusi energi makanan pokok dengan kategori pada rumah tangga dengan ibu rumah tangga berpendidikan dasar jauh lebih besar dibandingkan pada rumah tangga dengan ibu rumah tangga berpendidikan lanjut. c. Budaya Kebudayaan juga menentukan kapan seseorang boleh atau tidak boleh memakan suatu makanan (tabu), walaupun tidak semua tabu rasional, bahkan banyak jenis 4
tabu yang tidak masuk akal. Oleh karena itu, kebudayaan mempengaruhi seseorang dalam konsumsi pangan yang menyangkut pemilihan jenis pangan, serta persiapan serta penyajiannya (Siregar, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mapandin (2005) ditemukan bahwa faktor budaya juga sangat berperan dalam konsumsi makanan pokok rumah tangga beragam. Semakin kuat faktor budaya yang dianut, semakin sedikit jenis makanan pokok yang dikonsumsi. d. Lingkungan Faktor lingkungan cukup besar pengaruhnya terhadap pembentukan perilaku makan. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan keluarga, sekolah, serta adanya promosi melalui media elektronik maupun cetak (Handayani, 2012). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sebayang (2012) tentang gambaran pola konsumsi makanan bahwa teman sebaya berpengaruh terhadap konsumsi makanan dan sisanya memiliki pengaruh yang lemah terhadap pola konsumsi. e. Peraturan/Program Pemerintah Adanya dukungan baik berupa peraturan ataupun program pemerintah dapat menyebabkan kepatuhan peserta program (Nahampun, 2009), sehingga akan membantu masyarakat atau peserta dari program tersebut untuk memperbaiki pola konsumsinya menjadi lebih baik.
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan teknik analisis deskriptif. Lokasi penelitian berada di Desa Sungaitohor, Tebingtinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau. Populasi dari penelitian adalah masyarakat Desa Sungaitohor dengan jumlah sampel 68 responden dengan pemilihan NINGSIH, ILMIAWATI, TRIATMA, HALIMAH & FIDTHY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
responden secara accidental sampling. Penelitian berlangsung selama lima bulan, mulai dari pencarian studi literatur, studi lapangan, pengambilan data, analisis data, hingga penyusunan laporan. Sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dengan menyebar kuisioner Bickel (2000) yang tertuang dalam Current Population Survey Food Security Supplement. Dalam alat ukur tersebut, ingkat ketahanan pangan rumah tangga dilihat dari: 1) kekhawatiran bahwa ketersediaan pangan kemungkinan tidak mencukupi; 2) persepsi bahwa konsumsi dalam rumahtangga tidak mencukupi dari segi kualitas; 3) kejadian mengurangi konsumsi orang dewasa dalam rumahtangga, atau berbagai akibat yang muncul dari mengurangi asupan makanan; dan 4) kejadian mengurangi makanan atau berbagai akibat yang muncul karena mengurangi asupan makanan pada anak-anak dalam rumah tangga. Data kuantitatif yang diperoleh dari kuesioner diolah secara deskriptif dengan menggunakan SPSS. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga dilihat berdasarkan skor rata-rata pada sampel. Rumah tangga dikatakan tahan pangan jika skor tingkat ketahanan pangan rumah tangga di atas skor rata-rata pada sampel.
D. HASIL DAN DISKUSI 1. Gambaran Umum Responden a. Tingkat Pendidikan Tabel 1. Persentase Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan SD SMP SMA S1-D3 Jumlah
Jumlah (orang) 38 8 16 6 68
Persentase (%) 55,9 11,8 23,5 8,8 100 %
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
Berdasarkan Tabel 1. terlihat bahwa 55,9% atau sebanyak 38 dari 68 responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu SD (Sekolah Dasar). Meskipun generasi muda pada masyarakat Desa Sungaitohor sekarang secara garis besar sudah mampu mengenyam pendidikan yang lebih tinggi seperti SMP atau SMA, tetapi para pendahulunya masih berpendidikan rendah karena akses untuk sekolah dengan jenjang yang lebih tinggi masih terbatas. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi baik tingkat ketahanan pangan rumah tangga maupun pola konsumsi pangan pokok lokal. b. Profesi Tabel 2. Profesi Profesi IRT Pedagang Guru Petani Swasta Menganggur Pensiun Perajin Total
Jumlah (orang) 26 12 10 8 7 3 1 1 68
Persentase (%) 38.2 17.6 14.7 11.8 10.3 4.4 1.5 1.5 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa profesi IRT atau Ibu Rumah Tangga merupakan profesi dengan presentase tertinggi yaitu 38% atau sebanyak 26 orang dari 68 responden yang diambil. Hal ini karena rata-rata responden berjenis kelamin perempuan. Profesi dengan presentase ke dua adalah pedagang. Masyarakat di Desa Sungaitohor selain sebagai petani sagu, juga berprofesi sebagai pedagang klontong yang menjual sembako dan olahan hasil sagu.
5
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
c. Tingkat Pendapatan
muncul dari mengurangi asupan makanan dan kejadian mengurangi makanan atau berbagai akibat yang muncul karena mengurangi asupan makanan pada anak-anak dalam rumahtangga.
Sedang 38% Tinggi 47%
Tabel 3. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Rendah 15% Gambar 1. Tingkat Pendapatan
Rata-rata pendapatan yang diperoleh responden setiap bulannya berdasarkan grafik di atas termasuk ke dalam kategori pendapatan yang tinggi. Sebanyak 47 % atau 26 orang di antara 68 orang. Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat pendapatan. Dengan pendapatan yang tinggi, daya beli masyarakat lebih tinggi sehingga berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga. 2. Tingkat Tangga
Ketahanan
Pangan
Rumah
Tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Desa Sungaitohor termasuk ke dalam “tidak tahan pangan�. Hal ini karena presentase rumah tangga yang termasuk ke dalam kategori tahan pangan tidak lebih besar dari presentase rumah tangga yang termasuk ke dalam kategori tahan pangan. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Desa Sungaitohor menurut kuisioner Bickel (2000) yang tertuang dalam Current Population Survey Food Security Supplement dilihat dari beberapa hal yaitu kekhawatiran bahwa anggaran pangan rumahtangga atau ketersediaan pangan kemungkinan tidak mencukupi; persepsi bahwa konsumsi orang dewasa atau anak-anak dalam rumahtangga tidak mencukupi dari segi kualitas, kejadian mengurangi konsumsi orang dewasa dalam rumahtangga, atau berbagai akibat yang 6
Jumlah Tingkat Ketahanan (Rumah Pangan Rumah Tangga Tangga) Tidak Tahan Pangan 36 Tahan Pangan 32 Jumlah 68
Presentase (%) 53 47 100
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga adalah tingkat pendapatan yang nantinya akan berpengaruh terhadap daya beli setiap rumah tangga. Jika dilihat pada grafik tingkat pendapatan responden, maka dapat disimpulkan bahwa rata-rata masyarakat memiliki pendapatan dengan kategori yang tinggi. Mengetahui fakta tersebut, seharusnya masyarakat termasuk ke dalam kategori tahan pangan. Akan tetapi, faktanya bertolak belakang. Meskipun begitu, penelitian ini sebatas mendeskripsikan variabel-variabel yang harus dijelaskan dan bukan menghubungkan atau menginterpretasikan satu fakta dengan fakta lain. Selain itu, fakta ini juga berkontradiksi dengan kondisi Desa Sungaitohor yang merupakan salah satu desa penghasil sagu terbesar di Kabupaten Kepulauan Meranti. Sagu merupakan pangan pokok lokal yang dapat dijadikan alternatif pangan pokok selain beras. Salah satu mata pencaharian utama penduduk di Desa Sungaitohor adalah petani sagu. Jadi, sudah seharusnya sagu menjadi penopang pangan di Desa Sungaitohor yang berimbas pada kondisi tahan pangan. 3. Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal
NINGSIH, ILMIAWATI, TRIATMA, HALIMAH & FIDTHY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Tabel 4. Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal Pola Konsumsi Pangan Jumlah Beras Sagu Jumlah
63 5 68
Persentase (%) 92.6 7.4 100
Tabel di atas menunjukkan bahwa masyarakat di Desa Sungaitohor sebagian besar (sebanyak 92.6%) mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan pokok lokalnya. Salah satu pangan alternatif yang dapat dikonsumsi sebagai pangan pokok lokal dan jumlahnya sangat berlimpah adalah sagu. Akan tetapi, masyarakat di Desa Sungaitohor sudah tidak menjadikan sagu sebagai bahan pangan pokok lokalnya. Dilihat dari faktor-faktor yang memengaruhi pola konsumsi pangan secara umum maka pola konsumsi pangan pokok lokal masyarakat di Desa Sungaitohor juga dapat dilihat dari faktor-faktor tersebut yaitu program pemerintah, budaya, lingkungan dan pendidikan. Program pemerintah yang cukup berpengaruh secara signifikan terhadap berubahnya pola konsumsi pangan pokok lokal masyarakat di Desa Sungaitohor adalah program swasembada beras pada pemerintahan orde baru. Program swasembada beras menurut kepala Badan Ketahanan Pangan Kepulauan Meranti telah mengubah persepsi masyarakat Kepulauan Meranti terhadap pola konsumsu pangan pokoknya. Bahkan sebagian masyarakat masih mengasosiasikan makanan asli mereka, sagu, dengan status sosial di masyarakat. Orangorang yang masih makan sagu dianggap sebagai orang tidak mampu. Pada akhirnya, persepsi tersebut terdistribusi dalam masyarakat seiring berjalannya waktu sehingga membentuk pandangan budaya tertentu. Pandangan budaya ini kemudian turut memengaruhi lingkungan sekitar dan persepsi
masyarakat terhadap makanan pokoknya, sagu, berubah dan tergantikan oleh beras. Gambar di bawah ini menjelaskan faktorfaktor yang dipertimbangkan oleh masyarakat di Desa Sungaitohor dalam keputusan memilih makanan pokok. Tabel 5. Faktor yang Memengaruhi Keputusan untuk Memilih Makanan Pokok Faktor Rasa Kepraktisan Akses Mudah Lainnya Harga Jumlah
Jumlah (orang) 27 26 6 6 3 68
Persentase (%) 39.7 38.2 8.8 8.8 4.4 100
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa faktor yang dominan dalam memengaruhi keputusan masyarakat di Desa Sungaitohor dalam memilih makanan pokok adalah karena kepraktisan dan rasanya. Pada dasarnya tepung sagu memang tidak dapat diolah dengan cepat. Untuk menjadikannya olahan makanan seperti sempolet atau lempeng, cukup membutuhkan waktu dan pengolahan yang intens. Tidak sama halnya seperti beras yang cukup dikukus dan bisa langsung dinikmati. Selain itu, berubahnya persepsi masyarakat terhadap makanan pokoknya, sagu, juga mengubah pandangan mereka terhadap rasa dari olahan sagu. Meskipun sagu diakui memiliki manfaat kesehatan yang lebih jika dikonsumsi, tetapi masyarakat menganggap bahwa rasa olahan sagu tidak lebih enak dari rasa nasi. Akan tetapi, masyarakat Desa Sungaitohor mengakui bahwa masih ada kemungkinan bagi mereka untuk kembali beralih ke pangan lokal mereka, sagu. Pendapat ini didukung oleh hasil survey bahwa 81% dari responden menyatakan bahwa mereka masih bisa beralih ke pangan lokal, sagu.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
7
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Apakah Masih Bisa Beralih ke Pangan Lokal? Tidak 19%
Ya 81% Gambar 2. Kemungkinan Beralih ke Pangan Lokal
Hasil ini menunjukkan bahwa masih ada harapan bagi masyarakat untuk dapat kembali ke pangan lokal mereka. Di sinilah perlunya pemda untuk mencanangkan gerakan kembali ke pangan lokal untuk membuat budaya bagi masyarakat setempat sehingga kembali membentuk persepsi masyarakat terhadap sagu sebagai pangan lokal mereka. Pemda Perlu Mencanangkan Gerakan Kembali ke Pangan Lokal Tidak 21%
Ya 79% Gambar 3. Perlunya pemda mencanangkan gerakan kembali ke pangan lokal
Grafik di atas merupakan gambaran perlunya pencanangan gerakan kembali ke pangan lokal bagi masyarakat di Desa Sungaitohor. Rata-rata atau sebanyak 79% responden menjawab bahwa gerakan kembali ke pangan lokal, sagu, perlu dicanangkan.
E. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan tujuan penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal berikut.
8
a. Tingkat ketahanan pangan rumah tangga pada masyarakat di Desa Sungaitohor termasuk ke dalam kategori tidak tahan pangan. b. Budaya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok masih dominan dibandingkan dengan konsumsi sagu sebagai pangan pokok lokalnya. Dua faktor yang paling dominan dalam memengaruhi keputusan memilih makanan pokok pada masyarakat di Desa Sungaitohor adalah kepraktisan mengolah bahan pangan dan rasa dari olahan bahan pangan tersebut. Dalam penelitian ini, tidak dilihat hubungan antara tingkat ketahanan pangan rumah tangga dengan pola konsumsi pangan pokok lokal. Dalam penelitian ini hanya digambarkan tingkat ketahanan pangan masyarakat dan pola konsumsi pangan pokok lokal. Untuk itu, perlu dilakukan studi lebih lanjut mengenai hubungan antara tingkat ketahanan panganrumah tangga dan pola konsumsi pangan pokok lokal.
2. Saran Apabila konsumsi sagu dianggap efektif dalam memengaruhi ketahanan pangan khususnya ketahanan pangan rumah tangga maka pemerintah perlu menginisiasi gerakan kembali makan sagu. Dalam hal ini, peran pemerintah sangat vital dalam mengubah persepsi masyarakat terkait pola konsumsi pangannya. Selain itu, pengembangan industri kreatif olahan sagu perlu dimaksimalkan juga perannya dalam mendukung ketahanan pangan rumah tangga. Jika masyarakat telah mampu mengembangkan industri kreatifnya maka hal ini dapat berpengaruh juga terhadap pendapatan
NINGSIH, ILMIAWATI, TRIATMA, HALIMAH & FIDTHY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
masyarakat yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Maksimalisasi pengembangan industri dapat dilakukan dengan menganalisis kebutuhan dari pengolahan sagu mulai dari hulu ke hilir.
REFERENSI Prabowo, R. 2010. Kebijakan Pemerintah dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Di Indonesia. Mediagro, 6(2). Simanjuntak, M.H. 2015, September 23. antaranews. Retrieved 2016, from antara news web site: http:www.antaranews.com/berita/519686/ mentan-pangan-adalah-prioritaspembangunan
Herlina, T., Ardiani, F., & Siagian, A. 2015. Gambaran Pola Konsumsi Pangan Keluarga Peserta Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Kelurahan Mabar Hilir Kecamatan Medan Deli Tahun 2014. Gizi, Kesehatan Reproduksi dan Epidemiologi, 1(3). Arida, A., Sofyan, S., & Fadhiela, K. 2016. Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berdasarkan Proporsi Pengeluaran Pangan dan Konsumsi Energi (Studi Kasus Pada Rumah Tangga Petani Peserta Program Desa Mandiri Pangan di Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar). Jurnal Agrisep, 16(1), 20-34.
World Bank. n.d.. Pangan untuk Indonesia. Retrieved May 2, 2016, from http://siteresources.worldbank.org/INTIN DONESIA/Resources/Publication/280016 -1106130305439/6173311110769011447/8102961110769073153/feeding.pdf Susanto. 2014. Halloriau. Retrieved 2016, from hallo riau web site: http://www.halloriau.com/read-meranti51429-2014-08-23-membangunketahanan-pangan-di-kepulauanmeranti.html Nur’aini & Dewi, M. 2009. Pola Aktivitas, Konsumsi Pangan, Status Gizi, dan Kesehatan Anak Jalanan di Kota Bandung. Bogor: IPB. Poh, S. I., Hendrawan, B., & Thio, S. 2013. Perilaku Konsumsi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Surabaya dalam Mengkonsumsi Produk-Produk Pastry dan Bakery. Jurnal Hospitality dan Manajemen Jasa, 1(1), 94-109. KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
9
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Penerapan Program Sekolah Hijau sebagai Media Mengubah Sikap dan Minat Anak-Anak Pada Profesi Petani: Studi di Desa Sungaitohor, Riau Nesia Qurrota A’yuni Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Popy Dwi Patrojani Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Dedi Kurniawan Zega Manajemen, Informasi dan Dokumentasi; Vokasi; Universitas Indonesia
ABSTRAK. Indonesia sebagai salah satu negara agraris terbesar di dunia memiliki beberapa masalah dalam pertaniannya. Hal tersebut tercermin dari jumlah petani dan lahan pertanian yang teruh menurun sehingga jumlah impor hasil pertanian yang semakin meningkat karena jumlah produksi domestik tidak mencukupi. Keadaan tersebut kemudian merugikan petani lokal karena produksi mereka kalah bersaing dengan produk impor yang semakin membanjiri. Hal tersebut menjadi sebagai sebuah ironi mengingat sumber daya alam (SDA) tumbuh melimpah di Indonesia. Salah satu daerah yang memiliki daerah SDAmelimpah adalah desa Sungaitohor, Kabupaten meranti, Riau. Sungaitohor terkenal akaan produksi sagunya yang menjadi salah satu penghasil sagu terbesar di Indonesia. Hal tersebut didukung dengan banyaknya petani yang mengolah sagu di sana. Namun, menjadi suatu yang berpotensi menjadi ancaman ketika anak-anak di sana mayoritas tidak berminat terhadap sektor pertanian atau pegolahan sagu. Oleh karena itu, untuk menumbuhkan minat mereka diadakan program Sekolah Hijau. Sekolah Hijau menumbuhkan minat terhadap sektor pertanian pada anak dengan pengenalan terhadap pertanian di Indonesia dan penggunaan teknologi canggih di negara lain. Adapun Sekolah Hijau dilaksanakan dengan cara intervensi ke kelas yang telah dibentuk. Intervensi dilakukan secara ntensif untuk pengambilan data. Dengan intervensi yang dilakukan diketahui bahwa anak-anak memiliki pengetahuan dan minat yang kurang terhadap sektor pertanian sebelumnya. Namun, setelah dilakukan intervensi, pengetahuan dan minat anak-anak menjadi meningkat. KATA KUNCI: Anak SD 01 Sungaitohor, Ketahanan Pangan, Minat dan Sikap, Pertanian, Sekolah Hijau.
A. PENDAHULUAN Sejarah mencatat bahwa Indonesia pada tahun 1986 telah berhasil mencapai swasembada pangan. Hasil tersebut terjadi 10
setelah bebrapa program pertanian propetani dijalankan. Namun, swasembada yang telah dicapai tidak berlangsung lama. Indonesia kembali bergantung pangan pada negara lain.
A’YUNI, PATROJANI & ZEGA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Ketergantuangan pangan yang telah berlangsung lama kemudian membuat isu ketahanan pangan sendiri pada era global ini tengah disuarakan kembali. Sebagai contoh yang menjadi bahasan pada penelitian ini adalah ketahanan pangan di kabupaten Kepulauan Meranti. Kabupaten Kepulauan Meranti sendiri merupakan kawasan pengembangan ketahanan pangan nasional. Hal itu mengingat kawasan tersebut merupakan penghasil komoditas sagu terbesar di Indonesia. Sagu yang dihasilkan bahkan memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan kualitas sagu di Papua. Karakteristik tanah di Meranti yaitu lahan gambut dan pesisir menjadikan wilayah tersebut mampu menghasilkan produksi sagu dari bibit unggul yang berlimpah. Oleh sebab itu, sagu merupakan komoditas pertanian utama di Meranti. Bahkan, pemerintah melarang petani untuk menanam tanaman selain sagu, pinang, dan kelapa guna memaksimalkan potensi sagu di Meranti. Produksi sagu kualitas tinggi dan berlimpah di Kabupaten Meranti berpotensi meningkatkan kondisi perekonomian penduduk setempat sekaligus mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun demikian, hal tersebut hanya dapat diwujudkan jika para remaja di kabupaten Meranti nantinya akan melanjutkan pekerjaan orang tua mereka di sektor pertanian. Saat ini mayoritas penduduk kabupaten Meranti memang bekerja di sektor pertanian. Mereka adalah peduduk yang sadar akan pentingnya pendidikan terbukti bahwa mereka menyekolahkan anak-anak mereka bahkan hingga ke jenjang perguruan tinggi. Anak-anak muda kabupaten Meranti perlu memiliki pendidikan yang tinggi dan kembali lagi ke daerah untuk melanjutkan pekerjaan orang tua mereka dalam mengolah komoditas pertanian terutama sagu. Kesadaran tersebut
tidak muncul tiba-tiba. Para orang tua perlu menyadari bahwa keberlanjutan sektor pertanian ada di tangan anak-anak mereka. Selanjutnya, orang tua menanamkan kesadaran tersebut pada anak-anak mereka sejak dini, sehingga ketika dewasa anak-anak tersebut telah menyadari peran mereka terhadap keberlanjutan sektor pertanian di kabupaten Meranti. Oleh karena itu, dalam penelitian ini kami tertarik untuk menerapkan sebuah program yang mampu menarik minat anak petani di Kabupaten Meranti mengelola pertanian di daerah mereka. Dalam penelitian ini, kami merumuskan permasalahan bagaimana penerapan program Sekolah Hijau mampu mengubah sikap anak petani mengenai profesi petani? Dengan permasalahan tersebut, tujuan penelitian kami adalah menciptakan landasan konsep dalam mengubah sikap anak-anak terhadap mengenai profesi petani sehingga profesi petani yang mulai ditinggalkan akan kembali diminati oleh generasi-generasi penerus bangsa. Sementara itu, manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah dapat memberikan suatu inovasi dalam kajian mengenai pertanian di Indonesia. Selain itu, bagi pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Pertanian Republik Indonesia, penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk menerapkan kebijakan pertanian di Indonesia yang propetani. Kebijakan propetani yang dimaksudkan adalah kebijakan yang menjamin petani akan merasa nyaman dan sejahtera dalam menjalankan profesinya. Keadaan nyaman dan sejahtera pada petani akan tercapai dengan rancangan program jangka panjang, yaitu dengan pendirian Sekolah Hijau bagi anak-anak petani. Anak-anak petani akan dididik sedini mungkin untuk cakap ke depannya mengolah pertanian di Indonesia.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
11
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
B. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, literatur yang menjadi dasar adalah buku dari Bedu dan Sawit (1999) yang bersisi tentang kebijakan beras dan pangan nasional. Dalam buku tersebut dijelaskan beberapa strategi yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam mencapai ketahanan pangannya. Beberapa strategi tersebut antara lain intensifikasi pertanian (peningkatan kegiatan pertanian dalam lahan yang sama); ekstensifikasi pertanian (perluasan lahan untuk ditanami); dan diversifikasi pertanian (penganekaragaman jenis produk pertanian. Dari kebijakan tersebut, Indonesia sempat mengalami swasembada pangan selama satu tahun pada 1984. Namun, program yang telah dirancang tersebut kemudian tidak mampu membawa Indonesia swasembada dalam waktu yang lama. Indonesia kembali mengalami kekurangan pangan sehingga harus kembali mengimpor dari negara lain. 1. Petani Untuk konsep petani, digunakan definisi dari Wolf (1966) bahwa petani adalah penduduk yang secara eksistensial terlibat dalam cocok tanam dan membuat keputusan yang otonom tentang proses tanam. Dari definisi tersebut, nelayan dan peternak (petani takbertanam) yang dalam definisi lain dikategorikan sebagai petani tidak dimasukkan dalam bahasan ini. 2. Sekolah Hijau Sekolah Hijau adalah sebuah program yang diberikan peneliti kepada anak-anak petani di Desa Sungaitohor, Riau. Sekolah Hijau bertujuan membentuk generasi tani yang unggul pada masa depan dan mampu meningkatkan produktivitas pertanian di Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, Sekolah Hijau melakukan pengubahan 12
persepsi mengenai profesi petani pada anakanak yang pada umumnya dianggap kurang menguntungkan. Selanjutnya, dalam Sekolah Hijau, peneliti memberikan pengajaran yang mampu meningkatkan minat anak-anak terhadap profesi petani. Adapun pengajaran yang dimaksud adalah pentingnya kegiatan bertani; perkembangan pertanian dunia; dan cara mengolah pertanian secara kreatif untuk menghasilkan produk unggulan.
C.METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Selain itu juga dilakukan wawancara untuk mendapatkan data primer tambahan dari objek penelitian. Dengan metode penelitian tersebut, desain penelitian yang dibuat adalah jenis the one group pretest-posttest design. Oleh karena itu, akan terdapat satu grup yang diberikan perlakuan (treatment) dan satu grup yang tidak. Dalam penelitian ini nantinya terdapat pretest sebelum diberikan treatment dan posttest setelah diberikan treatment. Desain ini digunakan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, yaitu mengetahui perubahan sikap anak petani dari yang sebelumnya biasa atau negatif menjadi positif. Berikut merupakan tabel dari desain penelitian the one group pretest-posttest design.
Tabel 1. Desain penelitian the one group pretestposttest design Pretest O1
Treatment X
Posttest O2
1. Populasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian ini berada di SDN 01 Sungaitohor, kecamatan Tebingtinggi Timur, kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Untuk A’YUNI, PATROJANI & ZEGA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
lebih spesifiknya, penelitian dilangsungkan di ruang kelas 3 dan 4 di SDN tersebut.Sementara itu, jumlah responden yang diteliti adalah 46 siswa yang terdiri dari anak kelas 3 dan 4 SD dengan rentang umur dari 8-12 tahun. Mereka terbagi secara acak menjadi dua kelas, yaitu 24 orang dalam kelas treatment dan 22 orang dalam kelas kontrol.
2. Teknik Pengumpulan Data Data diperoleh dari soal pretest dan posttest yang diberikan kepada kelas treatment dan kelas kontrol. Selain itu, data juga didapatkan dari test harian yang diberikan di dalam kelas treatment. Dalam test harian tersebut diberikan soal-soal untuk mengetahui sikap anak-anak terhadap isu pertanian dan juga untuk mengetahui minat mereka terhadap sektor pertanian.
variabel dan responden.Dari tabulasi yang telah dibuat kemudian dibuat perhitungan untuk mengetahui apakah terjadi perbedaan dan perubahan pada responden. Perhitungan pertama dilakukan pada pengetahuan pertanian sebelum dan sesudah program Sekolah Hijau pada kelas treatment dan kelas kontrol. Penghitungan selanjutnya dilakukan untuk mengetahui perubahan minat profesi pada responden. Setelah melalui proses penghitungan, kemudian dilakukan penafsiran terhadap data yang tengah diolah. Penafsiran tidak hanya bergantung pada data kuantitatif yang didapatkan. Namun, juga didasarkan pada data kualitatif yang didapatkan di lapangan. Adapun fungsi data kualitatif tersebut adalah sebagai pembanding dan sumber penjelasan dari data kuantitaif yang didapatkan.
Untuk mendukung data penelitian yang ada, wawancara juga dilakukan untuk memperoleh data mengenai sikap anak terhadap profesi petani. Adapun responden yang dipilih adalah 5 anak di SDN 01 Sungaitohor dan 5 orang tua petani yang dipilih secara acak.
Untuk analisis data kualitatif yang berupa wawancara, dilakukan dengan transkrip hasil wawancara. Hasil transkrip kemudian dianalisis untuk memilih substansi yang terkait dengan penelitian ini. Terakhir, dilakukan penafsiran dari data yang dipilih dengan mengikutsertakan hasil observasi di lapangan sebagai jalan dalam menafsirkan.
3. Analisis Data
C.HASIL DAN DISKUSI
Analisis terhadap data yang telah dilakukan dilakukan dalam beberapa tahap. Pertama adalah pengelompokan data berdasarkan variabel dan jenis responden. Dalam penelitian ini variabel dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengetahuan pertanian dan sikap terhadap profesi pertanian. Sementara itu, jenis responden sendiri adalah anak-anak yang tergabung dalam kelas treatment dan kelas kontrol, serta petani di Sungaitohor.
1. Tingkat Pengetahuan tentang Pertanian Untuk mengetahui tingkat pengetahuan anak-anak kelas 3 dan 4 di SD Negeri 01 Sungaitohor mengenai pertanian, maka dilakukan sebuah tes awal. Dalam tes awal tersebut berisi mengenai definisi-definisi istilah pertanian, keadaan pertanian di Indonesia dan di daerah Sungaitohor, serta masalah yang dihadapi.
Setelah pengelompokkan tersebut, tahap selanjutnya adalah tabulasi data berdasarkan
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
13
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
3.4 3.35 3.3
3.25 3.2 3.15 Kelas Treatment
Kelas Kontrol
Grafik 1. Hasil Tes Awal Pengetahuan tentang Pertanian
Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa kelas kontrol memiliki pengetahuan tentang pertanian lebih tinggi daripada kelas treatment apabila nilai tes dijadikan sebagai acuan. Komposisi antara kelas treatment dan kontrol pada dasarnya tidak terlalu berbeda. Baik kelas treatment maupun kelas kontrol tidak ada satupun ada yang bercita-cita bekerja di sektor pertanian. Dari sisi latar belakang keluarganya, baik kelas treatment maupun kontrol, orang tua mereka yang bekerja di sektor pertanian memeliki proporsi yang tidak jauh berbeda. Oleh karena itu,belum ada dasar yang pasti untuk mengetahui mengapa pengetahuan tentang pertanian kelas kontrol lebih tinggi pada awalnya. Setelah melakukan tes awal mengenai pengetahuan anak-anak tentang sektor pertanian, kemudian dilakukan program dari Sekolah Hijau kepada kelas treatment selama lima hari. Pada hari pertama, peneliti memberikan materi orientasi pertanian di Indonesia. Sebagai contoh adalah pengenalan istilah-istilah yang sering digunakan dalam dunia pertanian dan mengenal jenis-jenis tumbuhan atau tanaman pertanian di Indonesia melalui sebuah permainan. Kemudian, pada hari kedua, diisi dengan motivasi untuk mengembangkan sektor pertanian di Indonesia melalui sebuah cerita petani sukses. Anakanak dalam kelas treatment kemudian 14
diberikan tantangan untuk mereview apa yang telah mereka lihat dan dengar. Selanjutnya, pada hari keempat diberikan materi mengenai bagaimana mendesain pertanian. Anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok dan masing masing kelompok membuat serta mempresentasikan hasil desain pertaniannya sendiri. Pada hari keempat, anak-anak dikenalkan mengenai teknologi pertanian yang digunakan di negara-negara maju. Banyak pelbagai alat pertanian yang belum mereka tahu sebelumnya sehingga dari situlah muncul niatan dari beberapa anak untuk dapat membuat alat serupa untuk diaplikasikan di Sungaitohor pada masa depan. Kemudian, pada hari terakhir dilakukan test akhir mnegenai pengetahuan pertanian pada kelas treatment dan kelas kontrol. Adapun hasilnya adalah sebagai berikut. 5 4 3 2 1 0
Kelas Treatment
Kelas Kontrol
Grafik 2. Hasil Tes Akhir Pengetahuan tentang Pertanian
Hasil di atas menunjukkan perubahan dari hasil tes awal terkait pengetahuan mengenai pertanian pada kelas treatment dan kelas kontrol. Kelas treatment memiliki nilai lebih tinggi daripada kelas kontrol. Hal tersebut terjadi karena kelas treatment telah mengikuti program Sekolah Hijau, sedangkan kelas kontrol tidak. Dengan demikian, adanya Sekolah Hijau mampu menjadi sebuah cara untuk meningkatkan pengetahuan anak-anak di sekolah formal mengenai pertanian.
A’YUNI, PATROJANI & ZEGA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
2. Minat Anak terhadap Sektor Pertanian Untuk mengetahui apakah program Sekolah Hijau dapat memengaruhi minat anak terhadap pekerjaan di sektor pertanian, dilakukan pendataan mengenai cita-cita pada anak-anak di SD Negeri 1 Sungaitohor yang dilibatkan dalam penelitian.
8 5
2 Polisi
7 5
2
2
1
8
3
1
Guru Dokter Pilot
2
Atlet Tentara
1
Grafik 3. Cita-Cita Anak-Anak pada Kelas Treatment sebelum Program
7
2
Grafik 5. Cita-Cita Anak-Anak pada Kelas Treatment setelah Program
5 2
5
2
1
Dari 24 anak yang berada dalam kelas treatment, satu di antara mengubah citacitanya dari seorang pilot menjadi seorang petani. Perubahan tersebut diindikasikan terjadi setelah anak tersebut menerima materi mengenai teknologi pertanian di negara maju. Anak tersebut menjadi lebih aktif dalam bertanya dan berpendapat daripada sebelumnya sehingga perkiraan perubahan terjadi setalah penyampain materi teknologi pertanian di negara maju. Di sisi lain, ketika dalam kelas treatment muncul suatu minat menjadi petani, di kelas kontrol tidak muncul. Dalam kelas kontrol hanya terjadi perubahan minat dari profesi atlet menjadi dokter.
Grafik 4. Cita-Cita Anak-Anak pada Kelas Kontrol sebelum Program
Dua data di atas menunjukkan bahwa anak-anak memiliki minat terhadap profesi yang selama ini terkenal di kalangan masyarakat Indonesia, seperti polisi, guru, atlet, dan dokter. Belum terlihat suatu minat pada anak-anak untuk menjadi pekerja di sektor pertanian walaupun mereka hidup di lingkungan pertanian yang kental. Akan tetapi, data di atas berubah setelah pemberian program Sekolah Hijau pada kelas treatment.
7 1
7 4
2
1
1
Grafik 6. Cita-Cita Anak-Anak pada Kelas Kontrol setelah Program
3. Sikap Anak terhadap Sektor Pertanian
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
15
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
0% 0%
0%
Sangat Setuju Setuju
32% 68%
Agak Kurang Setuju Tidak Setuju
pekerjaan mayoritas masyarakat yang sering dijumpai oleh anak-anak Sungaitohor. Hal ini berkorelasi bahwa kondisi petani di Sungaitohor juga perlu diperbaiki mengingat sikap yang banyak dipilih anak-anak dalam pertanyaan ini. 0%
Sangat Tidak Setuju
0% 7%
Setuju
17%
Agak Kurang Setuju
Grafik 7. Kesejahteraan petani berhubungan dengan ketahanan pangan Indonesia
Grafik di atas menunjukkan bahwa anakanak telah menyadari bahwa kesejahteraan petani berkaitan dengan ketahanan pangan Indonesia. Konsep ketahanan pangan yang dipahami sebagai ketercukupan pangan oleh ana-anak, dianggap sebagai hal yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, untuk menjaga ketahanan pangan, kesejahteraan petani harus diutamakan. 0% 10% 3%
Sangat Setuju Setuju
24% Agak Kurang Setuju 63%
76%
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Grafik 9. Aplikasi teknologi canggih untuk mencegah kekurangan pangan
Teknologi pertanian yang canggih dipercaya dapat membuat pengolahan pertanian berjalan lebih efektif dan efisien sehingga anak-anak menyetujui penggunaannya. Presentase sangat setuju yang besar di atas dapat dihubungkan dengan kondisi di Sungaitohor yang masih belum menggunakan teknologi pertanian yang canggih. Antara harapan dan realitas ini dapat menjadi tarikan untuk perhatian pemerintah untuk lebih mengembangkan pertaniannya.
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Grafik 8. Peningkatan jumlah petani
Dari hasil di atas terdapat kecenderungan bahwa anak-anak setuju jumlah petani sebagai produsen pangan seharusnya ditingkatkan, walaupun ada beberapa yang agak kurang setuju. Hasil tersebut dapat menjadi indikator bahwa keberadaan petani bagi anak-anak adalah hal yang penting. Petani adalah 16
Sangat Setuju
0%
0% 3%
Sangat Setuju Setuju
18% Agak Kurang Setuju 79%
Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Grafik 10. Pendidikan petani pada anak petani oleh orang tua A’YUNI, PATROJANI & ZEGA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Pendidikan pertanian oleh orang tua bertujuan memberi bekal untuk generasi penerusnya untuk mengolah pertanian. Pendidikan dari orang tua dinilai sangat tepat karena orang tua lah yang menjadi pihak terdekat dengan anak sehingga pengaruh sugesti ke anak cukup tinggi. Oleh karena itu, penyiapan materi untuk orang tua petani juga menjadi hal yang harus diberikan terlebih dahulu oleh pemerintah.
0%
0% 3%
45%
Sangat Setuju Setuju
52%
Agak Kurang Setuju Tidak Setuju Sangat Tidak Setuju
Grafik 11. Kesediaan menjadi petani
Dengan kondisi pertanian yang telah diketahui selama pelaksanaan program, anakanak mayoritas bersedia untuk menjadi petani pada nantinya demi menjaga ketahanan pangan Indonesia. Hal ini menjadi suatu kondisi positif bagi Indonesia karena beberapa generasi penerusnya siap mengawal lumbung pangan bangsa.
D.SIMPULAN DAN SARAN Pengetahuan mengenai pertanian pada anak-anak di SD Negeri 1 Sungaitohor masih memerlukan peningkatan. Hal tersebut kemudian berpengaruh kepada minat mereka yang rendah terhadap pekerjaan di sektor pertanian. Keadaan tersebut menjadi suatu hal yang riskan mengingat anak-anak tersebut hidup dalam lingkungan agraris yang kental. Tanpa minat dan keinginan untuk berusaha di sektor pertanian oleh genarasi penerus—anak-
anak yang sedang menempuh pendidikan saat ini—lingkungan agraris yang telah ada akan sulit untuk dipertahankan keberadaannya. Akibatnya, ladang untuk menghasilkan pangan selama ini akan tidak lagi berproduksi sebaik sebelumnya sehingga mengancam ketahanan pangan di desa Sungaitohor. Berdasarkan kondisi di atas, saran dari penelitian yang kami lakukan adalah membentuk sebuah wadah yang mampu memberikan pengetahuan dan motivasi kepada anak-anak di Sungaitohor. Pengetahuan dibutuhkan untuk kemajuan suatu daerah pertanian, baik dalam bentuk teknologi pengolahan maupun bibit yang ditanam. Sementara itu, motivasi dibutuhkan untuk mendorong kemauan para generasi penerus agar tertarik terlibat dalam dunia pertanian. Adapun bentuk wadah yang dimaksud di atas adalah hampir serupa dengan Sekolah Hijau yang pernah dilakukan sebelumnya. Namun, mengingat keterbatasan faslitator sebelumnya, pengarah program tersebut dapat dilakukan oleh guru di SD Negeri 1 Sungaitohor dengan bantuan materi dari fasilitator sebelumnya. Selain melibatkan guru, program ini juga sewajarnya mendapat dukungan dari orang tua murid, masyarakat sekitar, dan dinas pertanian setempat. Orang tua berperan dalam mendukung dan memotivasi anak-anak mereka dalam mengikuti program Sekolah Hijau. Sementara itu, masyarakat sekitar berperan melakukan kerja sama untuk kelancaran program. Untuk dinas pertanian setempat, memiliki peran untuk memberikan dukungan, seperti pemberian materi pengetahuan atau membantu finansial program untuk hasil yang baik. Dengan saran tersebut, tidak mustahil daerah yang selama ini menjadi lumbung sagu Indonesia akan semakin maju pertaniannya. Hal tersebut mengingat banyaknya sumber daya manusia yang tertarik untuk memajukan
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
17
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
pertanian daerahnya. Apabila Sekolah Hijau yang pernah dilakukan selama lima hari mampu meningkatkan pengetahuan dan minat anak-anak di SD Negeri 1 Sungaitohor, program serupa yang dilakukan secara berkala akan berpeluang besar memiliki hasil yang lebih baik.
REFERENSI Amang, B. dan M. Husein S. (1999). Kebijakanberas dan pangan nasional. Jakarta: Penerbit Institut Pertanian Bogor. Hadiprayitno, I.I. (2010). Food security and humanrights in Indonesia. Taylor & Francis Group Vol. 20, No. 1. hlm. 122130. Hafsah, M. J. (2006). Kedaulatan pangan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Riduwan. (2004). Metode riset. Jakarta: Rineka Cipta. Winarto, T.Y. dan Stigter K. (2013). Penyuluhan agrometeorologi sebagai jawaban operasional bagi realita yang dihadapi petani: pertanian yang tanggap pada perubahan iklim dan konsekuensinya. Vol., No. hlm. 369—384. Wolf, E. (1966). Peasant. New Jersey: Prentice Hall. http://www.riauonline.co.id/2016/04/27/sagutanaman-yang-sangat-menjanjikan-bagimasyarakat-riau http://www.halloriau.com/read-meranti61937-2015-03-17-meranti-menujuswasembada-beras.html http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=9 0739&judul=Wujudkan%20Swasembada %20Pangan,%20Pemkab%20Meranti%2 0Bawa%20Staf%20Kementan%20dan%2 0Kadistan%20Riau%20ke%20Pulau%20 Ransang
18
A’YUNI, PATROJANI & ZEGA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Arti Penting Sagu dan Lahan Gambut Sebagai Instrumen Vital Pembentuk Stabilitas Struktur Kemasyarakatan: Studi di Desa Sungaitohor, Tebingtinggi Timur, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau
Kecamatan Kepulauan
Supriadi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik, Universitas Indonesia
Dian Rahmawati Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia
Rosdiana Lukitasari Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Mela Milani Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Berdasarkan rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Indonesia merupakan negara dengan luas lahan gambut terbesar keempat (20 juta Ha), dengan luas lahan gambut di Pulau Sumatera diperkirakan mencapai 35% dari keseluruhan area lahan gambut di Indonesia atau sekitar 7,2 Ha. Isu lingkungan yang terancam oleh pemanfaatan lahan gambut yang tidak dikelola dengan baik adalah penimbunan emisi karbondioksida dalam jumlah yang sangat besar dan pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pemanfaatan lahan gambut yang ramah terhadap lingkungan harus diutamakan. Upaya pengembalian fungsi lahan gambut dikenal dengan Program Restorasi Lahan Gambut. Restorasi lahan gambut dapat berdampak positif pada tanaman sagu yang cocok ditanami di atas lahan gambut. Salah satu penghasil pati sagu terbesar di Indonesia adalah Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Selain sebagai penghasil pati sagu terbesar, sagu di wilayah ini juga termasuk dalam varietas terbaik di dunia. Sehingga, pembudidayaan sagu penting untuk dilakukan. Hal tersebut mampu mendorong tidak hanya aspek perekonomian, melainkan juga pada aspek daya dukung lingkungan di kawasan lahan gambut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana arti penting sagu dan lahan gambut sebagai instrumen vital pembentuk stabilitas struktur kemasyarakatan di Desa Sungaitohor. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara semi terstruktur. Informan dalam penelitian ini adalah masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani sagu, pemilik kilang sagu, pedagang produk olahan sagu, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Penelitian ini memberikan gambaran mengenai kondisi aktual posisi sagu dan lahan gambut dalam KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
19
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
kehidupan masyarakat tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi pemerintah dalam hal membentuk kebijakan terkait optimalisasi produktivitas sagu dan lahan gambut dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat. KATA KUNCI: Desa Sungaitohor, Lahan Gambut, Restorasi Lahan Gambut, Sagu Meranti.
A. PENDAHULUAN Lahan gambut menjadi bagian tidak terpisahkan dari daratan Indonesia. Menurut rilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia bertajuk “Kelembagaan Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia”, Indonesia merupakan negara dengan luas lahan gambut terbesar keempat (20 juta hektar) setelah Kanada (170 juta hektar), Uni Soviet (150 juta hektar) dan Amerika (40 juta hektar). Penyebaran lahan gambut di Indonesia umumnya berada di pulau Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas lahan gambut, khususnya, di pulau Sumatera diperkirakan mencapai 35% dari keseluruhan area lahan gambut Indonesia atau sekitar 7,2 hektar. Keberadaan lahan gambut diketahui dapat dimanfaatkan di berbagai bidang, salah satunya pertanian. Potensi tersebut dapat terlihat dari sebuah wilayah kepulauan yang berada dekat dengan Pulau Sumatera, yaitu Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Desa Sungaitohor diketahui sebagai ibu kota Kecamatan Tebingtinggi Timur dengan luas sebesar 9.500 Hektar. Lokasinya berada di bibir pantai dan dikelilingi oleh lahan gambut. Sumber ekonomi utama yang menghidupi masyarakat Desa Sungaitohor didominasi oleh komoditas rumbia atau sagu. Petani sagu, pemilik kilang maupun buruh kilang menjadi mata pencaharian mayoritas masyarakat (Pemerintah Kecamatan Tebingtinggi Timur, n.d). Potensi yang ada nyatanya tidak mampu ditawar dengan komoditas lainnya. Hal ini 20
terbukti dengan dilakukannya pencabutan izin PT. Lestari Unggul Makmur (PT. LUM) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada akhir 2015 lalu (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia-Riau, 2015) karena diduga telah berkontribusi terhadap kebakaran lahan serta tidak mendukung optimalisasi produksi sagu di Desa Sungaitohor. Kondisi di atas menunjukkan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian seringkali bersinggungan dengan isu lingkungan. Upaya deforestasi, pengeringan hingga pembakaran lahan gambut guna alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit maupun aktivitas penebangan kayu justru menimbulkan banyak dampak negatif terhadap menurunnya kualitas dan produktivitas lahan gambut. Dalam rangka mengatasi tantangan tersebut, dibentuknya Badan Restorasi Lahan Gambut —selanjutnya disebut BRG— diharapkan mampu membantu wilayah prioritas untuk segera melaksanakan restorasi sehingga produktivitas lahan kembali meningkat dan pemanfaatan lahan yang ramah lingkungan menjadi prioritas utama pembangunan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016, Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi salah satu yang ditetapkan sebagai wilayah prioritas perencanaan dan pelaksanaan restorasi lahan gambut. Berkaitan dengan hal tersebut, pembentukan BRG dan program restorasi lahan gambut di Desa Sungaitohor sendiri diharapkan dapat menjadi awalan yang baik dalam menjaga kestabilan sistem yang sudah terbangun antara masyarakat dan SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
lingkungan. Sistem yang dimaksud menyangkut relasi yang harmonis antara masyarakat dengan lingkungan—dalam hal ini meliputi lahan gambut dan sagu—dalam hal pemanfaataanya. Masyarakat dapat bertahan dan mampu membangun struktur sosialnya yang mapan, tidak terlepas dari pola pemanfaatan sumber daya alam yang ada di lingkungan sekitarnya. Hubungan yang telah terjalin lama antara masyarakat Desa Sungaitohor dengan potensi alam yang ada di lingkungannya dapat menjadi keunikan tersendiri. Hal tersebut terutama ditengarai oleh karakteristik lahan gambut serta komoditas dan varietas pati sagu terbaik di dunia yang tumbuh di Desa Sungaitohor. Realitas yang menarik tumbuh di tengahtengah masyarakat dan tercermin dalam segisegi kehidupan ekonomi dan sosiokultural mereka. Kondisi perekonomian masyarakat Desa Sungaitohor sangat bergantung kepada lahan gambut dan sagu. Selain itu, kondisi sosiokultural masyarakat di sana juga terbentuk karena adanya pola pemanfaatan potensi alam yang telah berlangsung selama puluhan tahun silam hingga sekarang. Berdasarkan pemaparan tersebut maka permasalahan utama yang akan ditelisik dalam penelitian ini adalah bagaimana arti penting sagu dan lahan gambut sebagai instrumen vital pembentuk stabilitas struktur kemasyarakatan di Desa Sungaitohor. Penelitian ini menjadi penting untuk dilaksanakan karena peranan sagu dan lahan gambut di mata masyarakat Desa Sungaitohor dapat menjadi stimulus bagi pemerintah maupun pihak terkait dalam mengembangkan program optimalisasi potensi alam yang ada di Desa Sungaitohor tersebut tanpa mengabaikan nilai dan kepentingan masyarakatnya.
B. EKSISTENSI LAHAN GAMBUT DAN KARAKTERISTIK TANAMAN SAGU
1. Lahan Gambut Luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 juta hektar atau 35%- nya terdapat di Pulau Sumatera. Lahan rawa gambut merupakan bagian dari sumberdaya alam yang mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan/ keanekaragaman hayati, pengendali iklim (melalui kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon) dan sebagainya (Ritung, S. & Subagjo, H, 2003). a. Definisi dan Karakteristik Lahan Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus, F. dan I.G. M. Subiksa, 2008). Sifat fisik lahan gambut merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat produktivitas tanaman yang diusahakan pada lahan gambut, karena menentukan kondisi aerasi, drainase, daya menahan beban, serta tingkat atau potensi degradasi lahan gambut. Dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian, karakteristik atau sifat fisik lahan gambut yang penting untuk diperhatikan adalah kematangan gambut, kadar air, berat isi (bulk density), daya menahan beban (bearing capacity), penurunan permukaan tanah (subsidence), sifat kering tak balik (irreversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
21
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Kandungan karbon yang relatif tinggi berarti lahan gambut dapat berperan sebagai penyimpan karbon. Namun demikian, cadangan karbon dalam tanah gambut bersifat labil, jika kondisi alami lahan gambut mengalami perubahan atau terusik maka gambut sangat mudah rusak. Oleh karena itu, diperlukan penanganan atau tindakan yang bersifat spesifik dalam memanfaatkan lahan gambut untuk kegiatan usaha tani. Karakteristik lahan gambut sangat ditentukan oleh ketebalan gambut, substratum (lapisan tanah mineral di bawah gambut), kematangan, da n tingkat pengayaan, baik dari luapan sungai di sekitarnya maupun pengaruh dari laut khususnya untuk gambut pantai (keberadaan endapan marin). Lahan gambut tropika umumnya tergolong sesuai marginal untuk pengembangan pertanian, dengan faktor pembatas utama kondisi media tanam yang tidak kondusif untuk perkembangan akar, terutama kondisi lahan yang jenuh air, bereaksi masam, dan mengandung asam-asam organik pada level yang bisa meracuni tanaman, sehingga diperlukan beberapa tindakan reklamasi agar kondisi lahan gambut menjadi lebih sesuai untuk perkembangan tanaman. b. Kematangan dan Kadar Air dalam Lahan Gambut Kematangan lahan gambut diartikan sebagai tingkat pelapukan bahan organik yang menjadi komponen utama dari tanah atau lahan gambut. Kematangan gambut sangat menentukan tingkat produktivitas lahan gambut, karena sangat berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah gambut, dan ketersediaan hara. Ketersediaan hara pada lahan gambut yang lebih matang relatif lebih tinggi dibandingkan lahan gambut mentah. Tingkat kematangan 22
gambut merupakan karakteristik fisik tanah gambut yang menjadi faktor penentu kesesuaian gambut untuk pengembangan pertanian. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi saprik (matang), hemik (setengah matang), dan fibrik (mentah). Identifikasi tingkat kematangan tanah gambut bisa dilakukan secara langsung di lapangan, dengan cara meremas gambut dengan menggunakan tangan.
Gambar 1. Metode penentuan tingkat kematangan gambut di lapangan Sumber: Agus, F. dan Subiksa, I.
Jika setelah diremas kurang dari sepertiga gambut yang tertinggal pada telapak tangan, maka gambut digolongkan sebagai gambut saprik, sebaliknya jika yang tertinggal lebih dari dua pertiga maka gambut tergolong sebagai gambut fibrik. Gambut digolongkan sebagai gambut hemik, jika yang tertinggal atau yang lolos sekitar 50%. Pada gambut saprik, bagian gambut yang lolos relatif tinggi karena strukturnya relatif lebih halus, sebaliknya gambut mentah masih didominasi oleh serat kasar. Gambut yang terdapat di permukaan (lapisan atas) umumnya relatif lebih matang, akibat laju dekomposisi yang lebih cepat. Lahan gambut mempunyai kemampuan menyerap dan menyimpan air jauh lebih tinggi dibanding tanah mineral. Komposisi bahan organik yang dominan menyebabkan gambut mampu menyerap air dalam jumlah yang relatif tinggi. Elon SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
et al. (2011) menyatakan air yang terkandung dalam tanah gambut bisa mencapai 300-3.000% bobot keringnya, jauh lebih tinggi dibanding dengan tanah mineral yang kemampuan menyerap airnya hanya berkisar 20-35% bobot keringnya. Mutalib et al. (1991) melaporkan kadar air gambut pada kisaran yang lebih rendah yaitu 100-1.300%, yang artinya gambut mampu menyerap air 1 sampai 13 kali bobotnya. Kemampuan gambut yang tinggi dalam menyimpan air antara lain ditentukan oleh porositas gambut yang bisa mencapai 95% (Widjaja-Adhi, 1988). Tingkat kematangan gambut menentukan rata-rata kadar air gambut jika berada dalam kondisi alaminya (tergenang). c. Restorasi Lahan Gambut Pemanfaatan lahan gambut secara optimal dapat tercapai melalui upaya rehabilitasi lahan gambut yang mengalami kerusakan. Strategi yang telah dihasilkan dan dipersiapkan para pengambil kebijakan di Indonesia dalam pemanfaatan gambut secara bijaksana (wise use) diformulasikan dalam restorasi dan rehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi sebagai akibat adanya drainase yang kurang diperhatikan secara ekologis, pembalakan liar dan kebakaran gambut. Restorasi didefinisikan sebagai proses membantu pemulihan lahan gambut yang telah rusak untuk sedekat mungkin dengan kondisi alam aslinya (Setiadi, 2015). Berkaitan dengan proses restorasi dan rehabilitasi lahan gambut, selanjutnya dibahas mengenai enam target strategi rehabilitasi lahan gambut (Setiadi, 2015), yaitu: (1) rehabilitasi lahan gambut sangat penting untuk pembangunan ekonomi dan meningkatkan kehidupan masyarakat lokal; (2) fokus rehabilitasi gambut adalah mempertahankan air, mencegah kebakaran
hutan dan lahan gambut dengan tujuan mengurangi emisi gas karbon dan penyusutan keanekaragaman hayati; (3) emisi karbon rendah dan pemanfaatan lahan gambut terdegradasi harus menjadi pilihan utama sasaran pemanfaatan apabila untuk kepentingan ekonomi yang sangat mendesak; (4) rencana strategis harus disampaikan pada setiap pendekatan ekonomi baru pemanfaatan gambut. Rencana itu harus jelas mencakup pelestarian hutan rawa gambut, mencegah pembalakan liar dan kegiatan tidak sah lainnya, mrehabilitasi lahan gambut yang rusak dan mempromosikan pemanfaatan secara bijaksana. Rencana harus didasarkan pada saran-saran informasi ilmiah, pemahaman teknis dan sosioekonomi terbaik; (5) rencana strategis terutama rehabilitasi harus fokus pada pemulihan areal bekas kebakaran dan terdegradasi dengan menggabungkan tiga elemen kunci untuk memastikan keberhasilan rehabilitasi, yaitu: a). Pencegahan kebakaran, b). Pengelolaan air dan c). Memanfaatkan lahan secara bijaksana, bukan hanya menguntungkan; dan (6) Badan Otorita harus dibentuk dalam persiapan dan pelaksanaan Rencana Strategis, Badan Otorita tersebut didukung oleh komisi khusus yang terdiri dari para ahli baik tingkat nasional maupun internasional. 2. Karakteristik Tanaman Sagu Sagu dapat menyerap CO2 dalam jumlah besar sehingga dapat membantu mengatasi ancaman pemanasan global. Selain itu lingkungan yang ditumbuhi sagu akan terjaga dari kerusakan lingkungan karena sagu mempunyai anakan yang banyak dan tidak perlu diremajakan sehingga dapat mencegah penurunan permukaan tanah gambut (subsiden).
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
23
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Dalam perspektif iklim, tanaman sagu memerlukan ketersediaan air yang cukup semasa pertumbuhannya. Suplai air melalui hujan antara 2.000–4.000 mm/tahun dan tersebar merata sepanjang tahun. Menurut penggolongan Schmidt dan Ferguson, kawasan yang cocok untuk pengembangan sagu sebaiknya mempunyai tipe A dan B dengan jumlah curah hujan 2.500–3.500 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 142–209 hari hujan per tahun. Suhu optimum 24.5–29°C dengan kelembaban 40-60% serta tertinggi 90%. Tanaman sagu sebagaimana tanaman palma umumnya memerlukan intensitas dan lama penyinaran yang cukup tinggi. Sebaran atau agihan populasi sagu tertinggi terdapat di koordinat antara 10°LS–15°LU dan 150°BT. Sedangkan berdasarkan perspektif lahan, topografi umum dari kawasan penanaman sagu yaitu lahan datar, landai hingga bergelombang. Tanaman sagu dapat tumbuh dan berkembang hingga ketinggian 700 mdpl, tapi ketinggian optimal yaitu <400 mdpl. Jenis tanah yang dibutuhkan sagu spektrumnya luas mulai dari tanah dengan komposisi liat >70%, dengan bahan organik 30% dan pH tanah 5.5-6.5, tetapi sagu masih bisa beradaptasi dengan kemasaman lebih tinggi. C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang berpikir secara induktif, yaitu berasal dari fakta dan data di lapangan yang dikaji dengan pendekatan dan pemikiran teoretis maupun digunakan dalam pembentukan konsep baru (Neuman, 2006). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yang mana tujuannya untuk memberikan gambaran terperinci serta menjelaskan rangkaian tahapan atau langkah (Neuman, 2013). Teknik pengumpulan data mencakup metode perolehan data yaitu peneliti membagi data yang didapat ke dalam dua 24
bagian yaitu data primer dan data sekunder. Pengumpulan data melalui data primer dapat dilakukan melalui wawancara semi terstruktur yang memungkinkan perolehan data secara mendalam, observasi dan dokumentasi berupa gambar atau foto tempat, lingkungan, dan objek penelitian sebagai pelengkap. Sedangkan data sekunder penelitian ini bersumber dari kajian literatur terkait topik penelitian. Lokasi penelitian merupakan wilayah dengan potensi lahan gambut dan sagu terbaik di Indonesia dan dunia yaitu di Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan selama 10 hari yaitu dari tanggal 16-25 Agustus 2016. Ada beberapa karakteristik informan yang diwawancarai dalam penelitian ini, yaitu: (1) masyarakat Desa Sungaitohor yang telah menetap minimal 5 tahun lamanya, (2) mengenal kondisi wilayah desanya dengan baik, (3) sudah mendalami pekerjaan yang digelutinya minimal 1 tahun lamanya dan (4) dapat menjawab pertanyaan penelitian sesuai dengan tujuan penelitian. Jumlah informan yang berhasil diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 14 orang. Informan-informan tersebut merupakan masyarakat dengan keberagaman latar belakang profesi, diantaranya: petani sagu, pemilik kilang sagu, pedagang produk olahan sagu, perangkat desa dan tokoh masyarakat. Alasan dipilihnya informan tersebut yaitu untuk memeroleh data temuan penelitian yang dapat merepresentasikan pentingnya sagu dan lahan gambut menurut kelas sosial ekonomi dan jenis pekerjaan masyarakat. Aspek yang digunakan oleh peneliti guna mendapatkan data yang relevan dengan tujuan penelitian yaitu pertanyaan-pertanyaan mengenai makna sagu dan lahan gambut di mata masyarakat serta bagaimana pola pemanfaatan sagu yang dilakukan oleh SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
masyarakat Desa Sungaitohor dalam kehidupan mereka sehari-hari. Aspek-aspek yang melandasi pembentukan pedoman penelitian tersebut pada akhirnya ditujukan untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai posisi strategis sagu dan lahan gambut serta kontribusinya dalam membangun stabilitas struktur kemasyarakatan di Desa Sungaitohor. Model analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah reduksi data (dilakukan pemilihan tentang relevan tidaknya antara data dengan tujuan penelitian), display data (mengklasifikasikan dan menyajikan data sesuai dengan pokok permasalahan yang diawali dengan pengkodean pada setiap subpokok permasalahan) dan penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Batasan penelitian ini selain adanya keterbatasan waktu dalam pengumpulan data, hal lainnya yang cukup menghambat penelitian kami adalah kesibukan informan. Informaninforman yang kami wawancarai memiliki pekerjaan serta kesibukan yang berbeda-beda satu sama lain, sehingga kami tidak bisa mewawancarai mereka bersamaan dalam hari yang sama. Selain itu keterbatasan penelitian juga muncul karena jarak informan satu ke informan lainnya yang saling berjauhan serta minimya sarana transportasi sehingga memakan waktu dan tenaga dalam pengambilan data.
D. GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DAN LOKASI PENELITIAN 1. Kondisi Geografis Wilayah Sungaitohor adalah nama sebuah desa kecil dengan luas wilayah 68 kilometer persegi yang dikategorikan sebagai desa dataran rendah dan desa pesisir pantai. Desa Sungaitohor merupakan Ibu Kota Kecamatan Tebingtinggi Timur dengan luas wilayah 9500
Ha. Desa ini merupakan desa yang terletak di pinggiran pantai dan merupakan daerah gambut. Berdasarkan letak astronomisnya, desa ini berada pada 00º.52’382” LU 102º56’911”BT. Batas wilayah Desa Sungaitohor antara lain: (a) Sebelah barat berbatasan dengan Sungaitohor Barat dan Lukun, (b) Sebelah timur berbatasan dengan daerah bernama Nipahsendanu, (c) Sebelah selatan berbatasan dengan Kepaubaru dan (d) Sebelah utara berbatasan dengan Selat Air Hitam. Berdasarkan data monografi di Kantor Kepala Desa Sungaitohor, diketahui bahwa orbitrasi Sungaitohor ke lokasi-lokasi berikut ini berjarak sebagai berikut: (a) Jarak ke ibu kota kecamatan sejauh 1,8 kilometer, (b) Jarak ke ibu kota kabupaten sejauh 27 kilometer dan (c) Jarak ke ibu kota provinsi sejauh 166 kilometer. Pemanfaatan lahan di Desa Sungaitohor sebagian besar digunakan untuk perkebunan sagu seluas 2.650 Ha, perkebunan karet seluas 1.120 Ha, untuk perkampungan seluas 1.500 Ha dan sisanya digunakan untuk keperluan lainnya.
Gambar 2. Lokasi Desa Sungaitohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur Sumber: Walhi Riau
Desa Sungaitohor terdiri atas 3 dusun, 3 RW dan 10 RT. Pada tingkat desa, Sungaitohor dipimpin oleh Kepala Desa dan dibantu oleh aparatur desa seperti Sekretaris Desa, Kaur
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
25
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Pemerintahan, Kaur Pembangunan.
Umum
dan
Kaur
2. Kondisi Sosial-ekonomi Masyarakat Berdasarkan data pemerintahan desa pula, pada tahun 2015 terdapat 1.273 jiwa penduduk dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 337 kepala keluarga dan 30 kepala keluarga berada dalam status ekonomi tidak mampu. Mayoritas masyarakat Sungaitohor berasal dari Suku Melayu dan seluruh masyarakatnya beragama Islam. Latar belakang pendidikan masyarakat Sungaitohor yaitu paling banyak hanya tamatan sekolah dasar (490 orang), tamatan sekolah menengah atas atau sederajat (206 orang), tamatan sekolah menengah pertama (181 orang) dan sisanya dengan latar belakang pendidikan yang beragam. Sedangkan apabila ditinjau dari aspek perekonomiannya, mata pencaharian masyarakat Sungaitohor paling banyak bekerja sebagai petani. Selain itu mata pencaharian penduduk lainnya adalah buruh atau karyawan, pegawai negeri sipil, honorer, nelayan, peternak, pengrajin dan pedagang. Produksi sagu merupakan kegiatan perekonomian utama masyarakat di Desa Sungaitohor, hal tersebut terbukti dari adanya 12 buah kilang sagu sebagai tempat memproduksi sagu basah. Dari sektor pertambangan atau produksi lainnya, terdapat juga pertambangan batu bata serta pelabuhan untuk keperluan aktifitas sehari-hari masyarakat.
E. ARTI PENTING SAGU DAN LAHAN GAMBUT BAGI PEMBENTUKAN STABILITAS STRUKTUR KEMASYARAKATAN Berdasarkan informasi yang telah didapatkan dari para informan, dapat diketahui bahwa umumnya sagu dan lahan gambut membawa dampak yang sangat besar dalam 26
segi-segi kehidupan bermasyarakat di Desa Sungaitohor. Sagu dan lahan gambut memiliki relasi yang erat terhadap seluruh aktifitas masyarakat di Desa Sungaitohor. Pemanfaatan kekayaan alam oleh masyarakat desa tersebut terhadap yang ada di sekitarnya, telah terjalin sejak lama dan terus bertahan hingga sekarang. Pola pemanfaatan potensi alam yang melimpah di Desa Sungaitohor secara tidak langsung telah membentuk struktur kemasyarakatan yang mapan dan berkesinambungan. Struktur masyarakat yang dimaksud tersebut mencakup nilai dan dimensi yang penting dalam menunjang kehidupannya sehari-hari. Sagu dan lahan gambut sebagai sumber daya yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk terus bertahan dan mengaktualisasikan dirinya. Guna mencapai utilitas yang positif, maka diperlukan upaya dari pihak-pihak tertentu dalam hal menajaga produktivitas tanaman sagu yang ditanam di atas lahan gambut tersebut. 1. Sagu dan Lahan Gambut sebagai Media Utama Terbentuknya Aktifitas Perekonomian Berbasis Agrikultur Lahan gambut yang berkualitas akan menunjang tumbuhnya tanaman sagu yang ada di atasnya dengan baik. Tanaman sagu yang berkulitas dapat menjadi pemasok utama bagi aktifitas perekonomian masyarakat di Desa Sungaitohor. Masyarakat desa tersebut yang mayoritas berprofesi sebagai petani sagu tentunya sangat berperan penting dalam merawat tanaman sagu hingga menghasilkan sagu siap olah dengan kualitas tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan yang menjadikan sagu sebagai modal utaman aktifitas mereka, dapat diketahui bahwa pola pemanfaatan sagu berbeda-beda tergentung kreatifitas setiap orang. Hal tersebut sesuai dengan temuan wawancara sebagai berikut:
SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
“...sagu hanya untuk buat sempolet, bakso atau kue kering (kembang goyang), rempeyek tetapi masih ada campuran tepung lainnya, seperti tepung tapioka.” (MT, Penjual Produk Olahan Sagu, 22 Agustus 2016) Sagu dapat diolah menjadi berbagai macam produk makanan yang sehat dan lezat. Seperti yang dilakukan oleh MT, beliau telah beberapa tahun belakangan ini menjual produk pangan berbahan dasar sagu, terutama keripik sagu. Sagu yang didapatnya dari anggota keluarganya yang bekerja di kilang sagu kemudian beliau olah untuk dijadikan keripik sagu. Keripik sagu olahannya biasanya dibuat apabila ada yang memesan saja, diproduksi dengan bergantung pada kondisi cuaca dan dipasarkan sendiri di rumahnya (tidak membuka warung untuk menjajakan dagangannya tersebut). Perkembangan usaha MT ini cukup pesat, hal ini didukung oleh nilai dan persepsi masyarakat Desa Sungaitohor apabila ingin mendirikan usaha, jangan sampai mengganggu rezeki orang lain yang telah lebih dulu berusaha di bidang tertentu. Hal ini tergambar dalam kutipan wawancara dengan narasumber, yaitu: “...kalau masyarakat di sini, usaha tidak pernah sama dengan usaha orang lain, soalnya kita takut malah timbul persaingan dan menutup jalan rezeki orang lain.” (MT, Penjual Produk Olahan Sagu, 22 Agustus 2016) Selain itu, ada pula IH, masyarakat yang membuka warung grosir khusus untuk menjual produk olahan sagu. Beliau membeli sagu sebagai bahan dasar produk olahannya di Selat Panjang karena sagu di daerah tersebut sudah diolah menjadi tepung dan siap dibuat menjadi produk olahan sagu. Perkembangan lahan gambut dan sagu di Desa Sungaitohor ternyata
menjadi daya tarik bagi datangnya orang-orang baru ke wilayah tersebut, hal tersebutlah yang memotivasi IH untuk membuka warung grosir. “...karena melihat ada peluang Sungaitohor makin ramai, terus usaha ini juga meningkatkan pendapatan walaupun baru 2 bulan berdiri dan ingin membantu usaha sagu.” (IH, Pemilik Warung Grosir Olahan Sagu, 23 Agustus 2016) Aktifitas perekonomian berbasis sagu dan pemanfaatan lahan gambut juga bertalian erat dengan aktiftas kilang sagu yang berada di Desa Sungaitohor. Setelah melakukan wawancara, pemilik kilang berpendapat bahwa mereka mendapatkan manfaat secara ekonomis dari produksi komoditas sagu yang mereka lakukan. “Pemanfaatan sagu sebagai konsumsi, juga ekonomi karena sagu dari kilang dibeli orang Cina ketika masih berbentuk sagu kotor (Sagu basah) yang nantinya akan mereka olah menjadi sagu kering.” (MH, Pemilik Kilang, 19 Agustus 2016). Aktifitas perekonomian masyarakat Sungaitohor tidak hanya menjadikan sagu sebagai komoditas dalam negeri, tapi juga menjalin relasi dengan negara asing dalam aktifitas perekonomian mereka. Hal tersebut menunjukan bahwa kualitas sari pati sagu Sungaitohor memang sudah dikenal luas dan aktfitas ekonomi—baik dalam level individu maupun makro—dapat menyumbang kontribusi bagi kestabilan pendapatan bagi keluarga maupun Desa Sungaitohor. 2. Pemanfaatan Sagu dan Lahan Gambut Menciptakan Struktur Sosiokultur yang Mapan di Masyarakat Sistem sosiokultur ini merujuk kepada kepercayaan, nilai, tradisi dan relasi sosial yang terjalin antara elemen-elemen di dalam
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
27
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
masyarakat. Pemanfaatan sagu telah mendorong munculnya kepercayaan dalam diri masyarakat bahwa sagu sangat berkhasiat dan berdampak positif bagi kesehatan, misalnya anggapan bahwa sagu dapat menyembuhkan penyakit diabetes dan menjadi cerminan pola hidup sehat, seperti yang dikemukakan oleh informan berikut: “Sagu digunakan sebagai bahan makanan. Orang diabetes pun makan sagu bisa hilang (penyakit diabetesnya). Kemarin ada amanlah, makan sagu selama 3 bulan sudah tak ada. Jadi penderita diabetes memakan sagu sebagai bahan makanan pokok... Kenapa banyak orang dulu umurnya sampai 70 tahun karena makannya tidak ada bahan kimia seperti sagu.” (PHR, Pemilik Kilang, 19 Agustus 2016) Sistem sosiokultur juga mencakup tradisi atau perayaan tertentu sebagai bentuk perayaan atas melimpahnya sagu serta lahan gambut yang sangat bermanfaat bagi masyarakat, maka Festival Sagu sering dilaksanakan di Sungaitohor. Menurut WN, Festival Sagu ini merupakan kegiatan tahunan yang sangat istimewa bagi masyarakat Sungaitohor. “Ada upacara atau acara khusus setiap tahun, namanya Festival Sagu. Sudah diselenggarakan 3 kali, mengundang tokoh masyarakat dan dilaksanakan di Kantor Camat. Biasanya ada makanan dan kerajinan tangan dari sagu yang ditampilkan. Juga olahraga.” (WN, Tokoh Masyarakat, 22 Agustus 2016) Selanjutnya, sistem sosiokultur ini juga ditandai dengan terjalinnya relasi yang baik antara unsur-unsur di dalam masyarakat seperti keteraturan hubungan antara pemerintah desa dan masyarakat Sungaitohor. Sikap saling percaya dalam masyarakat melandasi 28
harmonisasi hubungan ini, misalnya dalam mendukung Program Restorasi Lahan Gambut yang dilaksanakan oleh pemerintah guna kepentingan bersama. “Setuju dengan Program Restorasi Lahan Gambut, intinya menjaga lahan gambut tetap basah dan menjaga kearifan lokal, memulihkan yang sudah rusak. Restorasi lahan gambut sejauh ini berdampak positif dan merakyat. Jika terlaksana dengan baik, kemiskinan teratasi dan tidak ada pengangguran lagi, khususnya di Sungaitohor.” (MN, Tokoh Masyarakat, 24 Agustus 2016) “Tahu tentang Program Restorasi Lahan Gambut dan saya selalu mendukung dan melaksanakan perintah dari pemerintah desa dalam rangka mendorong peningkatan produksi sagu.” (MT, Penjual Produk Olahan Sagu, 22 Agustus 2016) Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, pada hakikatnya masyarakat akan selalu mendukung setiap program atau kebijakan yang dicanangkan oleh pemerintah selama membawa dampak positif bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah juga harus mampu memastikan kepentingan masyarakat terwakili dalam setiap upaya yang pemerintah terapkan guna menjamin keberlanjutan harmonisasi struktur sosiokultural dalam masyarakat. 3. Sagu dan Lahan Gambut sebagai Aspek Historis yang Menciptakan Kesamaan Identitas di dalam Masyarakat Sagu dan lahan gambut sebagai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat Sungaitohor ternyata menyimpan sisi historis tersendiri. Aspek historis tersebut bertalian erat dengan asal usul Sungaitohor dan pola pemanfaatan sagu dan lahan gambut dari SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
masa ke masa. Aspek historis sagu dan lahan gambut dipaparkan oleh informan, yaitu: â&#x20AC;&#x153;Tahun 1900-an ada 7 orang bersaudara menemukan suatu daerah dekat sungai yang bernama Sungaitohor sekarang. Mereka membuka pemukiman di sini beserta pertanian dan perkebunan. Lalu sagu mulai dibudidaya tahun 1970-an hingga sekarang.â&#x20AC;? (ZN, Aparatur Pemerintahan Desa, 22 Agustus 2016) Aspek historis tersebut seringkali menjadi refleksi diri mengenai asal-usul dari mana kita berasal. Ikatan yang terjalin antara masyarakat Sungaitohor tertambat pada sagu dan lahan gambut yang dulu masih belum dimanfaatkan seperti saat ini. Lahan gambut sebagai karakter lahan yang khusus dan mendukung tumbuhnya sagu, telah menorehkan sejarah mengenai Sungaitohor dan sagunya. Sagu pada masa penjajahan di Indonesia dijadikan sebagai makanan sehari-hari di samping nasi. Sagu pada awalnya belum dibudidadaya karena hingga tahun 1970-an. Perkembangan sagu dan eksistensi lahan gambut di Sungaitohor akan selalu menjadi pengingat bahwa masyarakat Desa Sungaitohor merupakan suatu keluarga besar yang terikat secara historis. Melalui sagu dan lahan gambut, mereka pula mengembangkan sistem nilai dan struktur kemasyarakatan yang lebih stabil di tengah kehidupannya.
F. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Masyarakat Desa Sungaitohor merupakan masyarakat yang sangat bergantung terhadap sagu sebagai komoditas unggulan di level global serta lahan gambut yang menjadi modal besar bagi pengembangan pertanian/ perkebunan sagu di Sungaitohor. Mayoritas masyarakat Sungaitohor memang berprofesi sebagai petani, mereka memanfaatakan
kekayaan alam yang ada di lingkungannya dengan bijak dan selalu mengoptimalkan penggunaan sagu dalam kehidupan sehariharinya. Namun, permasalahan mengenai deforestasi dan kerusakan lahan gambut dapat mengancam keberlangsungan stabilitas struktur sosial masyarakat yang telah terbentuk sejak dahulu. Sedangkan lahan gambut serta sagu memiliki arti tersendiri dalam kehidupan masyarakat Desa Sungaitohor. Sagu memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Desa Sungaitohor. Melalui sagu dan lahan gambut, maka terbentuklah aktifitas perekonomian masyarakat berbasis agrikultur, sistem sosiokultural yang mapan serta aspek historis sagu dan lahan gambut itu sendiri yang menjadi simpul konsensus mengenai kesatuan identitas. Keseimbangan yang terjalin antara alam dan manusia tersebut harus terus dijaga guna menciptakan keselarasan hubungan yang membawa dampak positif bagi kedua belah pihak. Nilai, kepercayaan dan tradisi menjadi aspek alamiah yang muncul karena respon positif antara alam dan manusiaâ&#x20AC;&#x201D;termasuk masyarakat Desa Sungaitohor. Penelitian mengenai Arti Penting Sagu dan Lahan Gambut sebagai Intrumen Vital dalam Pembentuk Stabilitas Struktur Kemasyarakatan Desa Sungaitohor ini memberikan gambaran mengenai kondisi aktual posisi sagu dan lahan gambut dalam kehidupan masyarakat tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penelitian lainnya yang sejenis. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam membentuk kebijakan terkait optimalisasi lahan gambut dan sagu yang tetap memerhatikan kepentingan masyarakat dengan beragam latar belakang profesi. Diterapkannya rekomendasi ini dapat menjamin pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Desa Sungaitohor yang menggantungkan penghasilannya sehari-hari
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
29
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
pada sagu dan lahan gambut. Selain itu, kerusakan stabilitas struktur kemasyarakatan yang telah terjalin sebelumnya juga dapat dihindari.
REFERENSI Agus, F, dan I G.M. Subiksa. 2008. Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Agus, F. dan Subiksa, I. (2008). Lahan Gambut: Potensiuntuk Pertaniandan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Agus, F. dan I.G. M. Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Elon, S.V., D.H. Boelter, J. Palvanen, D.S. Nichols, T. Malterer, and A. Gafni. 2011. Physical Properties of Organic Soils. Taylor and Francis Group, LLC. Fahmudin Agus et.al. (n.d). Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi. [Online]. Available: http://pertanian.go.id/ Hartatik, dan F. Agus. 2011. Pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan. Hal.73-88. Dalam Nurida et al. (Eds.). Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Balai Penelitian Tanah, BBSDP, Badan Litbang Pertanian. Hooijer, A., M. Silvius, H. Woosten, and S. Page. 2006. Peat CO2, assessment of CO2 emission from drained peatlands in SE Asia. Delf Hydraulics report Q3943. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/do kumentasi/juknis/panduan%20gambut%2 0terdegradasi/03ai_karakteristik.pdf Kementerian Lingkungan Hidup. (n.d). Koordinasi Kelembagaan 30
Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia: KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP. [online] Available at: http://www.menlh.go.id/koordinasikelembagaan-pengelolaan-lahan-gambutdi-indonesia/ [Accessed 14 Oct. 2016]. Maswar and F. Agus. 2014. Cadangan karbon dan laju subsiden pada beberapa kondisi dan lokasi gambut tropika Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional Pengelolaan Berkelanjutan Lahan Gambut Terdegradasi Untuk Mitigasi Emisi GRK dan Peningkatan Nilai Ekonomi. Jakarta, 18-19 Agustus 2014 Noor, M. (2014). Sagu Cocok di Lahan Gambut. [online] Balittra.litbang.pertanian.go.id. Available at: http://balittra.litbang.pertanian.go.id/index .php?option=com_content&view=article& id=1331&Itemid=5 [Accessed 14 Oct. 2016]. Pemerintah Kecamatan Tebingtinggi Timur. (n.d). Gambaran khusus Desa Sungaitohor. Riau: KecamatanTebingtinggi Timur Pemerintah Provinsi Riau. (2015). Ekspor Industri Sagu Kepulauan Meranti Tembus Pasar Asia. [online] Available at: https://www.riau.go.id/home/content/2015 /05/25/3590-ekspor-industri-sagukepulauan-meranti-tembus-pasar [Accessed 14 Oct. 2016]. Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 134/Permentan/OT.140/12/2013 Tentang Pedoman Budidaya Sagu (Mertoxylon spp)yang Baik. [Online]. Available: http://kemenkumham.go.id/ Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut Setiadi B. 2015. Prinsip-prinsip Rehabilitasi Lahan Gambut. [Online]. Available: http://cifor.org/ipn-toolbox/ Tie, Y.L. and J.S. Lim. 1991. Characteristics and clasification of organic soils in SUPRIADI, RAHMAWATI, LUKITASARI & MILANI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Malaysia. Pp. 107-113. In Proceeding of International Symposium of Tropical Peatland. Kuching, Sarawak, Malaysia. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia - Riau. (2015). Pencabutanizin PT. Lestari Unggul Makmur (LUM/ mitra APRIL) | Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau. [online] Available at: http://www.walhi-riau.or.id/pengakuandan-perlindungan-wilayah-kelola-rakyatbukti-komitmen-penurunan-emisiindonesia/ [Accessed 14 Oct. 2016]. Wahyunto, S. Ritungdan H. Subagjo. 2003. Peta Luas Sebaran Lahan Gambut dan Kandungan Karbon di Pulau Sumatera / Maps of Area of Peatland Distribution and Carbon Content in Sumatera, 1990 â&#x20AC;&#x201C; 2002. Wetlands International - Indonesia Programme & Wildlife Habitat Canada (WHC). Subiksa, I G.M, W.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
31
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Upaya Petani Sagu dalam Usaha Budi Daya Sagu Pasca-Proyek Kanalisasi: Studi di Desa Sungaitohor, Riau Anugrah Cahyo Widodo Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Khoirunnisa Damayanti Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Muhammad Faiz Rizqullah Hasian Rambey Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Prihatini Dini Novitasari Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Startian Bonata Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Desa Sungaitohor merupakan desa yang berada di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Kabupaten Kepulauan Meranti dijuluki sebagai â&#x20AC;&#x153;Gerbang Sagu Nusantaraâ&#x20AC;? karena produksi sagunya yang sangat melimpah. Salah satu desa yang menyumbangkan sagu paling tinggi adalah Desa Sungaitohor. Desa ini melakukan budi daya sagu sejak akhir tahun â&#x20AC;&#x2DC;60an. Di masa itu, sagu dibudidayakan untuk diolah menjadi panganan dan juga dijual. Konsep budi daya sagu di desa itu pun semakin lama semakin berkembang dari yang awalnya menjual tanaman sagu, hingga mengolah batang sagu dan menjualnya ke tengkulak. Selain itu, beberapa upaya yang dilakukan petani dalam rangka budi daya sagu antara lain pemilihan lahan, pola penanaman sagu, pola pengairan, hingga pengendalian hama. Upaya-upaya itu yang dilakukan oleh para petani dalam budi daya sagu. Namun, pada sekitar tahun 2009, ditemukan sebuah galian kanal besar yang ternyata milik PT. LUM yang bertujuan untuk mengeringkan lahan gambut dan menanamkan tanaman akasia. Hal ini tentu merugikan petani sagu yang membuat tanaman sagu mereka banyak yang mati. Akibatnya, produksi sagu di desa itu sempat menurun dikarenakan kerusakan lahan gambut. Pada tahun 2016, izin dari pemerintah terhadap PT. LUM akhirnya dicabut dan kini masyarakat Desa Sungaitohor mulai menggalakan lagi budi daya sagunya. Upaya budi daya sagu yang dilakukan oleh petani sagu disana sedikit berubah. Pemilihan lahan tidak seperti sebelum adanya kanalisasi karena kini lahan gambut yang tersedia semakin sedikit dan kualitasnya menurun. Selain itu, penanaman sagu pun yang awalnya bisa dilakukan pada musim kemarau, kini hanya bisa dilakukan di musim penghujan. Untuk pengairan lahan, warga lebih mengandalkan kali-kali yang dibangun oleh pemda dengan memberikan sekat-sekat di aliran air tersebut, sehingga kebutuhan air untuk perkebunan masih dapat terpenuhi. Pada pengendalian hama, masih tetap sama seperti sebelum adanya kanal. KATA KUNCI: Budi daya sagu, Kanalisasi, Pemilihan lahan, Pola penanaman, Pengairan, Penanganan hama. 32
NOVITASARI, WIDODO, DAMAYANTI, BONATA & RAMBEY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
A. PENDAHULUAN Desa Sungaitohor merupakan sebuah desa yang terletak di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau dengan komoditas utamanya yaitu perkebunan sagu. Perkebunan sagu di desa tersebut sudah menjadi tulang punggung di sektor perekonomian, selain bertani dan berternak. Luas lahan perkebunan sagu yang dimiliki Desa Sungaitohor adalah 2650 Ha. Selain itu, terdapat juga tempat produksi sagu yang biasa disebut â&#x20AC;&#x153;Kilang Saguâ&#x20AC;? yang terletak di dekat kebun sagu. Namun, pada tahun 2009, PT. LUM yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit dan akasia mengadakan proyek kanalisasi atau pembuatan kanal-kanal di Desa Sungaitohor di daerah lahan gambut yang digunakan oleh perkebunan sagu. Perkebunan sagu dibangun di atas lahan gambut karena tumbuhan sagu membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya, sehingga cocok ditanam di daerah lahan gambut. Namun, dengan adanya kanalisasi ini, lahan gambut yang banyak menyimpan air menjadi kering dan membuat tanaman-tanaman sagu pun mengalami kerusakan. Hal tersebut menyebabkan produksi sagu di Desa Sungaitohor menurun. Kini, para petani sagu di Desa Sungaitohor mulai bangkit untuk meningkatkan produksi sagunya kembali. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat upaya para petani dalam meningkatkan hasil produksi sagunya kembali setelah diadakannya proyek kanalisasi. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk dijadikan referensi dalam hal pembudidayaan sagu di daerah gambut yang mengering. Dalam penelitian ini, diajukan suatu rumusan masalah yang berfungsi sebagai pedoman dalam penelitian ini, yaitu Bagaimanakah upaya para petani di Desa Sungaitohor dalam budi daya sagu pascaproyek kanalisasi?
Penelitian ini bertujuan umum untuk dijadikan referensi dan panduan dalam budi daya sagu di mana pun, terutama sebagai referensi dalam melakukan budi daya sagu di lahan gambut yang kering. Selain itu, penelitian ini bertujuan khusus untuk dijadikan peringatan kepada pemerintah yang terkait dalam memaksimalkan budi daya sagu di Desa Sungaitohor yang tengah bangkit, terutama pasca-proyek kanalisasi dari PT. LUM. Manfaat dari penelitian ini adalah dapat dijadikan sebagai referensi dalam meningkatkan produksi sagu melalui budi daya sagu terutama di lahan gambut yang kering. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat sebagai sarana aspirasi petani sagu di Desa Sungaitohor kepada pemerintah, khusunya Kementrian Pertanian, agar dapat membantu para petani yang sedang meningkatkan produksi sagunya kembali, terutama pascaproyek kanalisasi dari PT. LUM.
B.PEMBAHASAN Pengembangan sagu merupakan kegiatan membudidayakan secara intensif pada kawasan yang sesuai dengan habitat atau tempat tumbuh asli tanaman sagu. Pengembangan kebun sagu akan diarahkan ke tingkat petani dengan tujuan untuk menjaga kontinuitas sumber genetik, pelestarian komoditi unggul serta meningkatkan kesejahteraan petani di sentra-sentra produksi. Selain itu, pengembangan sagu dapat dilakukan dengan menata hutan sagu menjadi kebun sagu. Menurut Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 34/Permentan/OT.140/12/2013 Tentang Pedoman Budidaya Sagu (Mertoxylon spp.) yang Baik, beberapa upaya dilakukan petani sagu dalam budidaya sagu adalah 1. Pemilihan Lokasi Petani memahami bahwa sagu merupakan tanaman yang membutuhkan kandungan air
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
33
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
yang cukup untuk tumbuh secara optimal. Petani harus dapat memilih lokasi penanaman yang tepat untuk pembudidayaan sagu. Syaratsyarat lokasi yang tepat untuk pembudidayaan sebaiknya dekat dengan hutan sagu dan memiliki sistem drainase yang baik. Pemilihan lokasi pembudidayaan sebaiknya mudah dijangkau. Upaya yang dapat dilakukan petani dalam pemilihan lokasi budidaya sagu adalah sebagai berikut. a. Memastikan lahan budidaya baik bagi tanaman sagu, misalnya tanah humus atau rawa yang tergenang secara periodik. b. Memilih lokasi yang mudah terjangkau. c. Memilih lokasi yang memungkinkan terdapatnya air dalam jumlah yang cukup. 2. Pola Penanaman Sagu Pembudidayaan sagu dilakukan sesuai dengan kebudayaan masyarakat setempat. Biasanya, petani menanam sagu di musim hujan. Upaya yang dilakukan petani dalam penanaman sagu adalah sebagai berikut. a. Membersihkan lahan dari tanaman lain. b. Membuat lubang dengan ukuran 30x30x30 cm. c. Menanam benih yang dapat dikembangkan baik secara vegetatif ataupun generatif. Jarak tanam harus diperhatikan dengan baik. d. Memberikan penahan yang disilangkan di depan leher benih. e. Melakukan perawatan secara rutin pada tanaman sagu terutama mengontrol peranakan tanaman sagu dan pemupukan. 3. Pola Pengairan Lahan
34
Petani telah memahami bahwa pertumbuhan sagu dapat berlangsung optimal jika tanaman memperoleh air yang cukup. Hal ini mendorong petani untuk terus mengupayakan pengairan lahan yang baik. Upaya yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. a. Membuat kanal-kanal di sekitar lahan pembudidayaan. Kanal tersebut dapat berupa kanal primer, sekunder, ataupun tersier. b. Pembuatan kanal harus memperhatikan aturan dan tata letaknya. c. Memastikan tanaman sagu tidak kekurangan ataupun kelebihan air dalam pertumbuhannya. d. Mengupayakan air yang menggenangi lahan memiliki pH yang optimal. 4. Pola Pengendalian Hama Petani tidak hanya mengupayakan penanaman sagu yang baik, tetapi juga harus melakukan perawatan yang optimal terhadap gulma, hama, dan penyakit. Petani dapat melakukan pembasmian terhadap gulma, hama, dan penyakit dengan berbagai cara sesuai dengan jenisnya. Petani juga dapat memanfaatkan beberapa hama sebagai penghasilan sampingan. Upaya tersebut diperlukan hingga sagu siap dipanen.
C.METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang diawali dengan studi literatur untuk menyusun konsep penelitian dan mencari teori yang digunakan dalam penelitian. Hal-hal yang dicari dalam studi literatur ini mencakup teori penelitian, indikator penelitian, metodologi, serta alat ukur penelitian dan pengolahan datanya. Pada tahap studi literatur ini, didapatkan teori penelitian yang digunakan yaitu mengenai mengenai dampak kanalisasi dan NOVITASARI, WIDODO, DAMAYANTI, BONATA & RAMBEY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
pembudidayaan sagu. Selain itu, didapatkan juga indikator untuk melihat usaha-usaha budi daya sagu yang dilakukan oleh para petani yang akan digunakan sebagai pedoman pertanyaan dalam wawancara mendalam. Pengumpulan informasi dilakukan dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview) dengan narasumbernya adalah para petani sagu. Jumlah narasumber yang diambil adalah 12 orang (6 orang petani, 1 pembuat mie sagu, 5 tokoh masyarakat). Waktu yang dibutuhkan dalam pengumpulan informasi adalah 8 hari, sedangkan untuk pengolahan sementaranya dibutuhkan waktu 2 hari. Hal itu dilakukan agar informasi dan hasil pengamatan sementara lebih representatif. Jenis sampling yang digunakan adalah purposive sampling agar wawancara yang dilakukan lebih mendalam dan lebih efektif. Lama wawancara setiap responden kurang lebih 60 menit tiap informan. Waktu yang dibutuhkan pun bersifat tentatif tergantung banyaknya informasi yang bisa didapatkan. Wawancara dilakukan di dekat perkebunan sagu yang banyak ditempati oleh petani, di kilang-kilang sagu, dan di rumah tokoh masyarakat. Selain para petani sagu, pengumpulan informasi juga dilakukan dari orang-orang yang berpengaruh di Desa Sungaitohor seperti sekretaris desa dan sesepuh-sesepuh desa. Hal ini dilakukan agar informasi yang kami dapatkan lebih banyak. Waktu yang dibutuhkan adalah selama 4 hari. Wawancara dilakukan secara terstruktur, mulai dari membahas sejarah budi daya sagu, konsep budi daya sagu, konsep dari kanalisasi, dan upaya para petani dalam budi daya sagu. Selain melakukan in-depth interview, dilakukan juga observasi ke kanal-kanal yang ada di sekitaran desa Sungaitohor, selain kanal-kanal, observasi juga dilakukan ke lahan-lahan gambut yang kering dan bekas terbakar. Observasi ini dibantu oleh petani sagu di Desa Sungaitohor. Dokumen-dokumen berupa foto dan video pun diambil pada saat
observasi ini, sehingga interpretasi informasi yang didapat dengan keadaan dilapangan pun semakin jelas. Analisis data akan dilakukan dengan menggunakan analisis reduksi data. Reduksi data ini dilakukan dengan cara memilah data mana saja yang sifatnya jenuh. Selain itu, analisis data dilakukan agar memfokuskan data kepada tujuan dari penelitian. Analisis ini akan dilakukan selama 8 hari agar lebih banyak nantinya informasi yang didapatkan dan untuk mencegah kebiasan. Setelah dilakukan analisis, penulisan laporan akan dilakukan di Jakarta. Laporan ini ditulis dengan menyusun hasil penelitian-penelitian yang sudah dirangkum dan didapat poin-poinnya. Hasil yang didapat disusun berdasarkan alur permasalahan, mulai dari sejarah budi daya sagu, konsep budi daya sagu, konsep kanalisasi, dan upaya para petani dalam budi daya sagu. Laporan penelitian ini akan dipresentasikan di acara ISRS 2016.
D.HASIL DAN DISKUSI Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat kualitatif. Data yang diperoleh pun berupa informasi mengenai indikator yang ditetapkan dari awal mengenai upaya budi daya sagu. Berikut adalah daftar topik yang ditanyakan kepada para narasumber.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
Tabel 1. Daftar Topik yang Ditanyakan kepada Para Narasumber ASPEK YANG DINILAI Pemilihan Lokasi Tanam 1. Jarak antara kanal ke lahan perkebunan 2. Jarak antara lahan ke laut 3. Cara Penentuan lahan yang akan dipilih untuk penanaman
NO
Jawaban Sekitar 10 Km Sekitar 10 Km Dengan menggali tanah sekitar 30 cm
35
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
4.
Cara pengelolaan lahan yang telah rusak
Pola Penanaman Sagu 1. Tanaman liar atau terpola 2. Jarak tanam dari satu tumbuhan ke tumbuhan sagu lainnya 3. Pengaturan penanaman tumbuhan tumpang sari
4.
Pengaturan pemilihan bibit yang digunakan
5.
Pengaturan waktu dari setiap proses penanaman sagu (pemilihan lahan sampai panen)
Pola Pengairan Lahan 1. Pengaturan saluran irigasi 2.
3.
4.
5.
36
Kondisi air lahan gambut untuk penanaman sagu Upaya sekat kanal yang telah dilakukan (serta keuntungan dan kekurangannya)
Pengaturan tinggi genangan air pada lahan gambut
Pengaturan pompa irigasi Penanganan Hama
Ditanami kelapa, karet, dan sayur Jawaban Tanaman terpola Sekitar 5 m
Tanaman tumpang sari berupa kayu di antara pohon sagu Bibit sagu berduri berwarna Merah Penanaman sagu pada musim penghujan dan panen kurang lebih 10 tahun kemudian Jawaban Hanya mengandalkan kanal Pemda Baik
Keuntungan: Dapat membantu menjaga lahan gambut basah Kekurangan: Tidak tahan lama karena belum permanen Melalui penggalian lahan gambut hingga menemukan air Tidak ada pompa irigasi Jawaban
1.
Pola pengendalian Hama
2.
Jenis Hama yang sering tampak terlihat Pemanfaatan Hama
3.
Menangkal hama babi dengan kayu dan ulat mengupas bagian kulit sagu agar mengeras dan sulit dimakan ulat Ulat, babi, dan monyet Tidak dimanfaatkan
Selain dengan metode in-depth interview, penelitian ini juga dilakukan dengan observasi kanal-kanal di sekitar desa Sungaitohor. Observasi ini dikhususkan untuk melihat jarak perkiraan dan besar kanal-kanal. Berikut adalah beberapa hal yang diperhatikan saat observasi. Tabel 2. Beberapa Hal yang Diperhatikan Saat Observasi NO ASPEK YANG DINILAI Pemilihan Lokasi Tanam 1. Jarak antara kanal ke lahan perkebunan 2. Jarak antara lahan ke laut Pola Penanaman Sagu Jarak tanam dari satu tumbuhan ke 1. tumbuhan sagu lainnya Pengaturan penanaman tumbuhan 2. tumpang sari Pola Pengairan Lahan 1. Pengaturan saluran irigasi Kondisi air lahan gambut untuk 2. penanaman sagu 3. Tinggi genangan air pada lahan gambut 4. Ukuran kanal 5. Pengaturan pompa irigasi Penanganan Hama -
Selain itu, hal yang harus diperjelas pada penelitian ini adalah tentang sejarah budi daya sagu dan sejarah kanalisasi. Informasi mengenai sejarah budi daya sagu dan sejarah kanalisasi ini didapat melalui para tokoh NOVITASARI, WIDODO, DAMAYANTI, BONATA & RAMBEY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
masyarakat yang ada di Desa Sungaitohor, terutama yang berkecimpung di budi daya sagu. Hasil penelitian ini dijabarkan dalam sebuah alur mulai dari sejarah budi daya sagu, konsep budi daya sagu, sejarah kanalisasi, dan upaya budi daya sagu pasca-proyek kanalisasi. Berikut ini adalah alur budi daya sagu pascaproyek kanalisasi di Desa Sungaitohor. 1. Sejarah Budi Daya Sagu di Desa Sungaitohor Desa Sungaitohor merupakan ibukota Kecamatan Tebingtinggi Timur dengan luas sekitar 9500 Ha. Desa ini terkenal sebagai salah satu penghasil sagu meranti terbaik di Kabupaten Kepulauan Meranti. Para pendatang yang datang dari Pelelawan tahun 1905 awalnya melakukan cocok tanam padi untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Selain itu, mereka juga menanam sagu walaupun tidak terlalu banyak pula. Batang sagu awalnya didatangkan dari daerah Merbau. Sagu ditanam di Desa Sungaitohor karena supaya tual sagu lebih mudah untuk dibawa ke daerah Pelelawan. Pada sekitar tahun â&#x20AC;&#x2DC;60an, terjadi kekeringan yang panjang selama kurang lebih 9 bulan yang menyebabkan padi saat itu susah untuk ditanam. Hal ini diperparah dengan terjadinya pergolakan politik yang terjadi, terutama di Jakarta, sehingga harga beras dan bahan makanan pokok lainnya mengingkat. Pada saat inilah masyarakat mulai mengurangi mengonsumsi beras dan mulai beralih mengonsumsi sagu. Pada sekitar tahun â&#x20AC;&#x2DC;70an, masyarakat sudah ramai menanam sagu sebagai pengganti makanan beras. Budi daya sagu pun dimulai pada era itu juga. Pada saat itu, sagu yang ditanam tidak hanya untuk dimakan sendiri, melainkan juga untuk dijual ke para pedagang yang berasal dari Tiongkok. Pada sekitar akhir â&#x20AC;&#x2DC;80an dan awal â&#x20AC;&#x2DC;90an, masyarakat mulai kembali beralih untuk mengonsumsi beras dan mulai mengurangi
konsumsi sagu. Masyarakat lebih memilih beras sebagai makanan pokoknya ketimbang sagu. Namun, budi daya sagu di Desa Sungaitohor terus berkembang, bahkan produksinya semakin besar dengan adanya kilang-kilang pengolahan sagu. Kilang-kilang pengolahan sagu ini merupakan tempat untuk mengolah sagu dari tual hingga terbentuk sagu basah, sehingga nanti yang diekspor ke luar adalah sagu basah. 2. Konsep Budi Daya Sagu di Desa Sungaitohor Sagu di desa Sungaitohor merupakan sagu yang dibudidayakan oleh masyarakat. Pada masa awal budi daya sagu, sistem dalam budi daya sagu masih menggunakan sistem ijon. Sistem ijon merupakan suatu sistem yang masyarakatnya menanam pohon sagu dan para pedagang dari Tiongkok membeli pohonpohon sagu mereka yang masih muda. Sistem ini cukup merugikan para petani sagu di Desa Sungaitohor. Akhirnya, sistem ijon ini dihentikan dengan dibangunnya kilang-kilang sagu di Desa Sungaitohor. Para petani sagu kini tidak perlu menjual pohon sagunya, tetapi cukup dengan menjual tual-tual sagu yang dipanen dari pohonnya. Para petani akan menjual tual-tual tersebut ke para pemilik kilang dan para pemilik kilang akan membeli tual-tual sagu itu. Tual-tual sagu itu akan diolah menjadi sagu basah yang akan dijual ke daerah-daerah lain untuk diolah menjadi sagu siap makan. Selain itu, konsep budi daya yang dilakukan petani sagu juga difokuskan dalam rangka pemilihan lahan, penanaman sagu, pengairan, dan penangan hama. Konsep pemilihan lahan merupakan hal yang penting dalam budi daya sagu. Lahan yang dipilih untuk menanam sagu adalah lahan gambut yang basah. Para petani juga memperhatikan warna, kelembaban, dan kondisi tanahnya itu. Lahan gambut ini dipilih karena sagu membutuhkan air yang sangat
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
37
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
banyak dan lahan gambut mampu menyimpan air dengan jumlah yang banyak. Dulu, pembukaan lahan sagu dilakukan dengan cara dibakar, tetapi sekarang cara itu sudah tidak digunakan karena akan merusak lahan gambut. Lahan yang digarap oleh petani disana kebanyakan adalah lahan sagu milik sendiri, tetapi ada juga yang menggarap lahan milik orang lain. Selain pemilihan lahan, penanaman juga menjadi hal yang penting dalam budi daya sagu. Masyarakat lebih memilih sagu yang berduri karena harga anakannya yang murah. Selain dari tunas, petani juga menanam sagu dari bibit sagu. Bibit sagu yang biasa digunakan adalah bibit berwarna merah. Penanaman dilakukan dengan menggali lahan gambut dengan kedalaman sekitar 30 cm. Penanaman dilakukan biasanya pada musimmusim hujan karena memang pada musim hujan, air yang dibutuhkan melimpah, tetapi tidak jarang juga ada yang menanam pada musim kemarau dengan pertimbangan jumlah air yang ada di tanah gambut. Sagu dapat dipanen setelah kurang lebih 10 tahun, namun pada 2 tahun pertama dibutuhkan perhatian khusus agar tunas yang sedang tumbuh tidak mati. Pengairan lahan juga menjadi hal penting dalam budi daya sagu. Sistem pengairan di desa Sungaitohor, terutama di perkebunan sagu hanya mengandalkan air-air yang berasal dari sungai atau kanal. Masyarakat tidak menggunakan pompa air dalam mengairi lahan gambut mereka. Masyarakat lebih mengandalkan aliran sungai yang disekat menggunakan sekat kanal yang fungsinya untuk menahan air yang mengalir agar tertahan dan lebih efektif dalam pengairannya. Konsep penanganan hama juga merupakan hal yang penting dalam budi daya sagu. Penanganan hama dilakukan dengan menjaga tanaman sagu pada saat anakan dan pada saat tumbuh. Hama yang paling sering 38
menyerang tanaman sagu adalah babi hutan, monyet, dan ulat sagu. Perlindungan tanaman sagu dari hama dilakukan para petani dengan membuat pagar kayu yang bentuknya menyilang yang mengelilingi tanaman sagu agar tidak diserang oleh hama terutama hama babi hutan. 3. Sejarah Kanalisasi yang Ada di Desa Sungaitohor Di sekitar Desa Sungaitohor terdapat tiga buah kanal yang memotong atau melewati desa ini, yaitu kanal Pemda, kanal PT. NSP, dan kanal PT. LUM. Kanal Pemda merupakan kanal yang sudah ada sejak tahun â&#x20AC;&#x2DC;90an. Kanal ini dibangun oleh Pemda kabupaten Bengkalis karena waktu itu Kepulauan Meranti masih menjadi bagian dari Kabupaten Bengkalis. Kanal ini memiliki fungsi yaitu pengairan untuk lahan sagu dan transportasi tual-tual sagu dari kebun ke kilang sagu. Selain kanal Pemda, ada juga kanal PT. NSP yang letaknya di sekitar Desa Sungaitohor. Kanal ini fungsinya mirip seperti kanal Pemda, tetapi yang menggunakan adalah PT. NSP itu sendiri. Kemudian, ada pula kanal yang dibangun oleh PT. LUM yang merupakan salah satu penyebab dari menurunnya produksi sagu di Desa Sungaitohor. Kanal PT. LUM merupakan kanal yang dibangun oleh perusahaan HTI PT. Lestari Unggul Makmur (PT. LUM). Perusahaan ini bergerak di bidang tanaman HTI seperti akasia. Perusahaan ini mendapatkan izin untuk membuka lahan di daerah Desa Sungaitohor. Selain itu, perusahaan ini membangun kanal secara diam-diam untuk mengangkut kayu hasil tebangannya dan mengeringkan lahan gambut untuk menanam tanaman akasia. Kanal PT. LUM diketahui oleh warga sekitar tahun 2009. Kanal yang dibangun oleh PT. LUM ini berbeda dari kanal-kanal yang sebelumnya dibangun oleh Pemda maupun yang dibangun NOVITASARI, WIDODO, DAMAYANTI, BONATA & RAMBEY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
oleh PT. NSP. Kanal yang dimiliki PT.. LUM memiliki lebar hampir 10 m dengan kedalaman sekitar 7 m yang jumlahnya sangat banyak dengan pola menyerupai tulang ikan, sedangkan kanal milik Pemda dan PT. NSP ini ukurannya tidak terlalu besar. Selain itu, dampak dari pembangunan kanal oleh PT. LUM dapat merusak lahan gambut, sehingga kekeringan pun dapat terjadi pada lahan gambut. Akibat kekeringan ini, penggunaan lahan gambut pun akan semakin terbatas dan menyebabkan penurunan produksi dari sagu. Selain itu, kekeringan lahan gambut membuat lahan gambut mudah terbakar, sehingga dapat menyebabkan kebakaran hutan. Oleh karena itu, pada tahun 2016, izin berdirinya PT. LUM di kecamatan Tebingtinggi Timur dicabut oleh pemerintah. Masyarakat tidak menyetujui pembangunan PT. LUM lantaran lahan PT LUM mencaplok lahan masyarakat, pembangunan kanal PT. LUM yang merusak perkebunan sagu milik masyarakat, dan lahan PT. LUM yang izinnya dicabut oleh pemerintah akan digunakan masyarakat untuk menanam kelapa, karet dan sayur dalam rangka pembenahan kembali lahan gambut. 4. Upaya Budi Daya Sagu oleh Para Petani Pasca-Proyek Kanalisasi Pencabutan izin PT. LUM benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Sungaitohor untuk berbenah, terlebih dalam hal perbaikan lahan gambut dan pertanian sagunya. Setelah proyek kanalisasi dari PT. LUM diketahui oleh masyarakat, proyek kanalisasi pun mulai berhenti. Masyarakat mulai memperbaiki tanaman-tanaman sagu mereka agar produksi sagu mereka meningkat kembali. Para petani mulai memaksimalkan kembali budi daya sagu yang sebelumnya sangat melimpah. Pemilihan lahan tidak sebebas sebelumnya karena jumlah lahan yang semakin
berkurang terkait dengan kerusakan lahan yang diakibatkan oleh adanya kanalisasi PT. LUM. Sebenarnya, lahan yang rusak masih bisa ditanami kembali. Namun, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk memperbaiki lahan itu. Lahan-lahan yang rusak pun hanya bisa ditanami oleh tanaman-tanaman seperti kelapa karet dan sayur-sayuran. Untuk penanaman sagu, dibutuhkan perbaikan lahan yang baik karena tumbuhan sagu membutuhkan air yang banyak. Selain itu, lahan yang rusak juga menyebabkan intrusi air laut yang menyebabkan lahan gambut di dekat laut tidak dapat digunakan untuk menanam sagu. Pola penanaman pun juga berubah karena lahan gambut yang semakin berkurang airnya. Jika sebelumnya penggalian lahan cukup 30 cm, tetapi kini dibutuhkan kedalaman hingga 50 cm untuk menemukan air di lahan gambut. Hal ini menunjukkan bahwa memang kekeringan sudah terjadi cukup parah hingga dibutuhkan kedalaman tanah yang cukup dalam untuk menemukan air. Selain itu, penanaman juga dilakukan hanya pada musim hujan. Sebelumnya, penanaman sagu tidak terbatas pada musim, tetapi karena lahan gambut yang semakin berkurang, kandungan air di lahan gambut pun semakin berkurang, penanaman sagu pun hanya bisa dilakukan pada musim hujan. Pada pola pengairan, terjadi perubahan dengan semakin banyaknya sekat kanal. Sekat kanal ini dibutuhkan untuk menahan air agar dapat menggenangi lahan gambut setiap saat. Dengan begitu, sekat kanal merupakan solusi yang tepat saat ini untuk menanggulangi kekeringan lahan gambut di Desa Sungaitohor. Pada pola penangan hama pun tidak terjadi perubahan yang signifikan karena memang hama pun sama seperti sebelum adanya proyek kanalisasi.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
39
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Selain in-depth interview, penelitian ini dilakukan dengan observasi beberapa perkebunan sagu.
Gambar 1. Foto kanal PT. LUM Sumber: Dokumen Pribadi
Dari hasil observasi dan keterangan para petani sagu, jarak antara kanal PT. LUM dengan perkebunan sagu sekitar 10 Km. Jarak ini cukup dekat dari perkebunan sagu warga. Namun, lahan disekitaran kanal ini mengalami kerusakan karena kekeringan air. Kekeringan air ini terjadi karena air di lahan gambut banyak yang terserap ke dalam aliran kanal hingga lahan mengering. Keringnya lahan ini menyebabkan lahan gambut mudah terbakar. Akibatnya, lahan gambut di sekitar kanal ini pernah terbakar. Ukuran kanal ini pun cukup besar, sehingga dapat menampung air dengan debit yang cukup besar,
E.KESIMPULAN DAN SARAN Desa Sungaitohor merupakan suatu desa yang memiliki komoditas utamanya, yaitu sagu. Penanaman sagu dimulai sejak tahun 1905 oleh para pendatang dari Pelelawan. Meskipun makanan utama masyarakat desa adalah nasi, tapi budi daya sagu tetap dilakukan, bahkan produksi sagu bisa miliyaran rupiah. Konsep budi daya sagu di Desa Sungaitohor dimulai dengan pemilihan lahan yang tepat, yaitu lahan gambut. Selain itu, pola 40
penanaman pun juga diperhatikan dengan tepat. Begitu juga dengan pengairan dan penanganan hama. Tual sagu yang sudah dipanen, diolah di kilang-kilang sagu di Desa Sungaitohor juga. Produksi sagu di Sungaitohor pun sempat menurun karena adanya kanalisasi oleh PT. LUM. Kanalisasi PT. LUM dilakukan dengan membangun kanal yang ukurannya cukup besar, Kanal-kanal yang besar ini memiliki tujuan sebagai transportasi kayu dan mengeringkan lahan untuk ditanami akasia. Adanya kanal ini menyebabkan kerusakan lahan gambut yang membuat lahan mengering dan sagu sulit ditanam. Akibatnya, produksi sagu pun semakin berkurang. Setelah proyek kanalisasi ini berhenti, perbaikan lahan gambut dan peningkatan produksi sagu kembali. Setelah proyek kanalisasi berhenti, terjadi beberapa perubahan dalam upaya budi daya sagu. Terjadi perubahan dalam hal pemilihan lahan dan penanaman sagu. Namun, perubahan tidak terlalu banyak dalam hal pengairan dan penanganan hama. Dari penelitian ini, kami menyarankan kepada pemerintah setempat khusunya untuk Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti untuk mendukung selalu perjuangan petani sagu yang sedang meningkatkan produksi sagunya, terutama dari segi pembiayaan atau peningkatan sumber daya manusianya. Selain itu, kami menyarankan kepada Kementrian Pertaniannya untuk membantu petani sagu di Desa Sungaitohor, terutama dari segi pengadaan bantuan mesin.
REFERENSI Kementrian Pertahanan, 2013, Lampiran Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 134/Permentan/Ot.140/12/2013 Tentang Pedoman Budidaya Sagu (Metroxylon Spp.) Yang Baik. NOVITASARI, WIDODO, DAMAYANTI, BONATA & RAMBEY
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Nugroho, L. I., & Hidayat, A. (2008). Strategi Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pengembangan Pertanian Berkelanjutan. Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian, 295-298. Patilima, Hamid. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Malang: UMM Press S.
Wahyudi, Leo. 2013. Sungaitohor Mimpikan Hutan Desa. Bpredd.reddplusid.org
Saadhama. 2013. Potensi Ekonomi Sagu Sungaitohor. Diambil dari www.Sadhana.wordpress.com Suwondo, Sabiham, S., Sumardjo, & Pramudya, B. (2010). Analisis Lingkungan Biofisik Lahan Gambut pada Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Hidrolitan, 20-28. Tabloid Kontan. 2014. Saat Warisan Hutan Sagu Terancam Luruh. www.facebook.com/TabloidKontan Taylor. J. R, Bogdan. Robert, De Vault. Marjorie, 2015, Introduction to Qualitative Research Methods: A Guidebook and Resource. New Jersey. Library of Congress Cataloging in Publication Data Widyati, Enny. 2011. Kajian Optimasi Pengelolaan Lahan Gambut DanIsu Perubahan Iklim. Bogor. Pusat Litbang Konversi dan Rehabilitasi Zami, Zam. 2015. Hutan Gambut Sungaitohor yang Terus Dikeringkan. www.greenpeace.org
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
41
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Perbandingan Persepsi Risiko Kesehatan Lingkungan antar Tingkat Pendidikan: Studi Komparatif di Desa Sungaitohor, Riau Fransiskus Xaverius Rio Panangian Gultom Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Ramadoni Wahyu Kanda Permana Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Bagus Anugerah Yoga Pratomo Sastra Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Utaminingsih Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Amira Budi Mutiara Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Desa Sungaitohor, desa yang menjadi objek penelitian ini adalah desa yang berada di bawah naungan Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Desa Sungaitohor merupakan daerah industri yang kaya akan olahan sagu dan karetnya. Namun, limbah yang dihasilkan belum dapat diolah dengan baik. Begitu pula dengan masalah lingkungan lainnya seperti kekeringan, kekurangan air bersih, kebakaran hutan, dan sebagainya. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kesehatan penduduknya. Menurut berbagai penelitian, persepsi kesehatan lingkungan dapat dipengaruhi dari tingkat pendidikan pemersepsinya. Di sisi lain, mayoritas masyarakat Desa Sungaitohor masih berpendidikan rendah yaitu lebih dari setengah jumlah penduduk hanya tamat SD. Dari studi komparatif yang telah dilakukan terhadap 80 responden (40 lulusan SD dan 40 lulusan di atas SD), peneliti menemukan bahwa tingkat pendidikan memang secara signifikan berkontribusi dalam menentukan tingkat persepsi risiko kesehatan lingkungan berdasarkan hasil penghitungan menggunakan Independent Samples Test, T-score sebesar t = -9.934 dengan p-value atau sig (2-tailed) = 0.00004. Dengan menggunakan level of significance 0.05, berarti sig yang ada di data lebih kecil daripada 0.05 (p < 0.05, two tailed). KATA KUNCI: Persepsi, kesehatan lingkungan, pendidikan.
A. PENDAHULUAN Desa Sungaitohor, desa yang menjadi objek penelitian ini adalah desa yang berada di bawah naungan Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Desa Sungaitohor 42
merupakan daerah industri yang kaya akan olahan sagu dan karetnya. Namun, limbah yang dihasilkan belum dapat diolah dengan baik. Begitu pula dengan masalah lingkungan lainnya seperti kekeringan, kekurangan air GULTOM, PERMANA, PRATOMO, UTAMININGSIH & MUTIARA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
bersih, kebakaran hutan, dan sebagainya. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kesehatan penduduknya. Menurut berbagai penelitian, persepsi kesehatan lingkungan dapat dipengaruhi dari tingkat pendidikan pemersepsinya. Meskipun banyak studi empiris telah menyelidiki kausalitas antara hasil pendidikan dan kesehatan di berbagai negara yang berbeda dalam periode yang berbeda, namun ternyata hasil temuan masih sangat bervariasi (Huang, 2016). Hasil penelitian yang bervariasi ini pun menimbulkan pertanyaan apabila penelitian ini dilakukan di Desa Sungaitohor. Apalagi, mayoritas masyarakat Desa Sungaitohor masih berpendidikan rendah yaitu lebih dari setengah jumlah penduduk hanya tamat Sekolah Dasar. Oleh karena itu, peneliti ingin melakukan penelitian ini pada masyarakat Desa Sungaitohor untuk mengetahui apakah tingkat pendidikan memang berpengaruh secara signifikan dalam mengubah persepsi risiko kesehatan lingkungan guna meningkatkan kesadaran akan lingkungan yang sehat. Selanjutnya, menentukan sejauh mana dampak pendidikan kesehatan sangat penting untuk pembentukan dan evaluasi pendidikan dan kebijakan kesehatan. Jika efek pendidikan kesehatan yang cukup besar, kebijakan pendidikan akan menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kesehatan nasional Secara lebih khusus, Hadi (2009) memaparkan tujuan studi persepsi risiko: 1) mendiskusikan filosofi dan definisi perasaan atau kenyamanan yang dimiliki oleh individuindividu dan kelompok masyarakat di suatu lokasi wilayah, 2) menggambarkan variasi teknik-teknik yang mungkin digunakan untuk identifikasi sikap dan persepsi risiko, 3) menunjukkan bagaimana menerapkan teknikteknik untuk perencanaan kota melalui studi kasus, 4) mendiskusikan implikasi kebijakan persepsi risiko, 5) mempersiapkan garis-garis
besar pedoman untuk persepsi risiko dalam perencanaan dan manajemen kota, dan peran persepsi risiko pada kebijakan publik yang didasarkan pada data khusus dari suatu wilayah, 6) mendiskusikan beberapa kesulitankesulitan dalam hubungannya dengan integrasi isu-isu persepsi risiko ke dalam seluruh proses perencanaan wilayah. Oleh karena itu, meneliti persepsi masyarakat mengenai risiko kesehatan lingkungan penting untuk dilakukan. terutama di wilayah yang sering mengalami krisis atau bencana yang diakibatkan oleh alam maupun manusia seperti di daerah Riau dan sekitarnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan masyarakat Desa Sungaitohor, Kabupaten Kepulauan Meranti terhadap pembentukan persepsi risiko kesehatan lingkungan? Sedangkan, tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat perbedaan pemahaman masyarakat Desa Sungaitohor, Kabupaten Kepulauan Meranti tentang risiko kesehatan lingkungan dilihat berdasarkan tingkat pendidikannya serta seberapa besar signifikansinya. Manfaat yang didapat dari pelaksanaan penelitian ini terbagi menjadi menjadi manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritis yaitu dapat menambah pengetahuan masyarakat Indonesia terkait dengan persepsi mengenai risiko kesehatan lingkungan yang dapat dipengaruhi dari tingkat pendidikan. Sementara itu, manfaat praktis dari penelitian ini adalah hasil yang diperoleh dapat dapat digunakan sebagai informasi tambahan dan rujukan untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan Kabupaten Kepulauan Meranti. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi masukan bagi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti untuk memperbaiki pelayanan dalam bidang kesehatan, menambah kualitas dan kuantitas
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
43
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
sarana pendidikan, dan meningkatkan perekonomian daerah guna meningkatkan taraf hidup masyarakat.
B. PEMBAHASAN Bagian ini menjelaskan hal-hal mengenai teori persepsi risiko kesehatan lingkungan dan tingkat pendidikan. Pembahasan mengenai persepsi risiko kesehatan lingkungan mencakup penjelasan definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi, serta tinjauan hasil penelitian yang serupa. Pembahasan mengenai tingkat pendidikan mencakup penjelasan definisi dan bagaimana kaitannya dengan persepsi risiko kesehatan lingkungan. 1. Definisi Persepsi Lingkungan
Risiko
Kesehatan
a. Definisi Konseptual Menurut King (2014), persepsi adalah proses mengorganisir dan menginterpretasi informasi sensorik yang menjadikannya memiliki arti. Lebih lanjutnya, Sekuler dan Blake (dalam Eysenck & Keane, 2010) mengemukakan bahwa persepsi adalah akuisisi dan proses dari informasi sensorik untuk melihat, mendengar, mengecap, dan merasakan objek di dunia ini yang juga menuntun aksi dari organisme perihal objek tersebut. Sementara itu, risiko kesehatan lingkungan adalah risiko pada suatu organisme sasaran, sistem atau subpopulasi, termasuk ketidakpastian yang menyertainya, setelah terpajan oleh agent tertentu, dengan memerhatikan karakterisktik yang melekat pada agent itu dan karakterisktik sistem sasaran yang spesifik (Basri, Bujawati, & Amansyah, 2014). Sedangkan, menurut Southern Area Health Education Center & NM 44
Department of Health Environmental Health Epidemiology Bureau (2004), risiko kesehatan dan lebih spesifiknya, risiko kesehatan lingkungan adalah pengukuran dari probabilitas, atau kesempatan, di mana seseorang atau anggota dari suatu komunitas dapat mengalami luka, penyakit, atau kematian. Risiko tersebut bisa jadi insidental, terkait dengan kejadian tertentu pada suatu waktu atau paparan terhadap bahaya. Di sisi lain, risiko mungkin juga bersifat jangka panjang seperti misalnya akumulasi zat-zat berbahaya di dalam tubuh manusia akibat lingkungan yang buruk sepanjang waktu. b. Definisi Operasional Setelah meninjau penelitianpenelitian mengenai persepsi risiko, khususnya persepsi risiko kesehatan lingkungan, peneliti mendefinisikan persepsi risiko kesehatan lingkungan sebagai interpretasi berdasarkan informasi yang diperoleh individu melalui inderanya dalam mengorganisir kemungkinankemungkinan atau probabilitas seseorang mengalami luka, penyakit, atau kematian akibat terpajan oleh bahaya atau suatu agent di lingkungan yang selanjutnya mampu menuntun aksi dari individu mengenai risiko tersebut. c. Faktor-Faktor yang memengaruhi Persepsi Risiko Kesehatan Lingkungan Willis, DeKay, Fischhoff, dan Morgan berpendapat bahwa terdapat enam variabel kunci yang mempengaruhi bagaimana individu mempersepsi risiko kesehatan lingkungan. Enam variabel tersebut diantaranya adalah dampak masalah ekologi secara umum terhadap kesehatan manusia, apakah masalah tersebut dapat dikontrol atau diperbaiki, keuntungan atau kerugian yang berasosiasi dengan risiko, GULTOM, PERMANA, PRATOMO, UTAMININGSIH & MUTIARA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
bagaimana individu secara langsung terkena efek, derajat pengetahuan yang dimiliki individu mengenai masalah tersebut, dan apakah terdapat dampak terhadap keindahan alam atau tidak (dalam Ratnapradipa, Brown, Middleton, & Wodika, 2011). Sedangkan menurut Powell, Dunwoody, Griffin, dan Neuwirth (2007), persepsi kesehatan lingkungan merupakan hasil dari interaksi yang dinamis antara kognisi, emosi, status ekonomi dan sosial, proses komunikasi, dan persepsi ketidakpastian mengenai risiko tersebut.
2. Definisi Tingkat Pendidikan a. Definisi Konseptual Menurut Wallace (2007), pendidikan adalah proses akuisisi pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai oleh pembelajar dengan bantuan dari fasilitator atau narasumber. Sementara itu, tingkat pendidikan adalah tahap pendidikan yang berkelanjutan, yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tingkat kerumitan bahan pengajaran dan cara menyajikan bahan pengajaran (Caniago, 2013). Tingkat pendidikan sekolah terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Ikhsan dalam Caniago, 2013). b. Definisi Operasional Dalam penelitian ini, tingkat pendidikan dibagi ke dalam dua kelompok yaitu: 1) tidak tamat SD â&#x20AC;&#x201C; tamat SD 2) lebih dari tamat SD (tamat SMP, SMA, atau sarjana pendidikan tinggi).
3. Penelitian Sebelumnya Mengenai Tingkat Pendidikan dan Persepsi Kesehatan Lingkungan Sebelumnya telah dipaparkan pendidikan merupakan proses akuisisi pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai oleh pembelajar dengan bantuan dari fasilitator atau narasumber (Wallace, 2007). Kemudian, menurut Beaufils dkk. (2014) tingkat pendidikan juga dapat mempengaruhi proses kognitif manusia menjadi lebih efektif. Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Alach (2009), terdapat perbedaan persepsi kesehatan lingkungan yang signifikan antara responden dengan tingkat pendidikan sekolah menengah, diploma, dan pendidikan tinggi. Selain itu, Willis, DeKay, Fischhoff, dan Morgan (dalam Ratnapradipa, Brown, Middleton, & Wodika, 2011) menyebutkan bahwa salah satu faktor utama yang menentukan persepsi risiko kesehatan lingkungan adalah derajat pengetahuan yang dimiliki individu. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut, asumsinya adalah individu dengan beragam tingkat pendidikan memiliki pengetahuan dan proses kognitif yang berbeda sehingga dapat memiliki perbedaan persepsi risiko kesehatan lingkungan yang berbeda pula secara signifikan.
C. METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dibahas mengenai halhal yang terkait dengan masalah penelitian, hipotesis penelitian, variabel penelitian, desain penelitian, subjek penelitian, metode pengambilan data, alat ukur yang digunakan, bagaimana prosedur penelitian, serta metode analisis data. 1. Masalah Penelitian a. Permasalahan Konseptual
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
45
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Apakah terdapat perbedaan persepsi kesehatan lingkungan antara kelompokkelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang berbeda di Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti? b. Permasalahan Operasional Apakah terdapat perbedaan skor persepsi kesehatan lingkungan yang signifikan antara kelompok-kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang berbeda di Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti?
2. Hipotesis Penelitian a. Hipotesis Alternatif (Ha) Terdapat perbedaan skor persepsi kesehatan lingkungan yang signifikan antara kelompok-kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang berbeda di Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti. b. Hipotesis Null (H0) Tidak terdapat perbedaan skor persepsi kesehatan lingkungan yang signifikan antara kelompok-kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang berbeda di Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti.
3. Variabel Penelitian a. Variabel Bebas Tingkat pendidikan. a.1.Variasi Tidak tamat SD â&#x20AC;&#x201C; tamat SD; dan lebih dari tamat SD (tamat SMP, SMA, atau sarjana pendidikan tinggi). b. Variabel Terikat Persepsi risiko kesehatan lingkungan. 46
b.1.Variasi Rendah, tinggi, sedang. c. Variabel Sekunder dan Teknik Kontrol c.2. Status Ekonomi dan Sosial Dikontrol dengan teknik statistik (ANCOVA). c.2. Usia Dikontrol konstansi.
dengan
teknik
4. Desain dan Tipe Penelitian Desain penelitian ini adalah noneksperimental, dengan tipe penelitian komparatif. Dengan kata lain, penelitian mencoba untuk membandingkan data di antara dua kelompok dan berusaha tidak memanipulasi keadaan variabel-variabel yang ada.
5. Subjek Penelitian a. Populasi Menurut Gravetter dan Forzano (2012) populasi merupakan sekelompok besar sekumpulan individu yang ingin diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil populasi seluruh penduduk Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti. Penduduk yang dimaksud adalah masyarakat yang sedang berada di lokasi penelitian pada saat pengambilan data penelitian ini dilangsungkan. Pemilihan penduduk Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti ini atas dasar pertimbangan bahwa daerah ini sering kali mengalami krisis lingkungan. b. Sampel Sampel merupakan sejumlah individu yang dapat mewakili populasi yang nantinya akan dipilih untuk partisipan GULTOM, PERMANA, PRATOMO, UTAMININGSIH & MUTIARA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat di Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD – tamat SD; dan lebih dari tamat SD (tamat SMP, SMA, atau sarjana pendidikan tinggi). c. Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu teknik sampling dengan mengambil sampel yang mudah diraih dan dianggap mewakili populasi karena ketersediaan dan kemauan (Gravetter & Forzano, 2012). Teknik ini digunakan hingga kuota terpenuhi. d. Jumlah Sampel Total jumlah sampel dalam penelitian ini berjumlah 80 orang, dengan rincian 40 orang tidak tamat SD – tamat SD dan 40 orang lebih dari tamat SD (tamat SMP, SMA, atau sarjana pendidikan tinggi).
Skor-skor yang didapat melalui kuesioner dibandingkan satu sama lain dengan IV berupa tingkat pendidikan yang membagi skor-skor tersebut menjadi tiga kelompok. Selanjutnya data yang telah diperoleh diolah menggunakan teknik statistik independent t-test pada SPSS.
8. Prosedur Penelitian Tahap Persiapan Penelitian Berangkatnya penelitian ini dimulai dengan mencari fenomena yang ada secara umum di Riau secara umum dan di Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti secara khusus. Secara umum, dapat terlihat bahwa Riau memiliki banyak masalah lingkungan seperti kebakaran hutan, lahan, pengolahan limbah, pengolahan sampah, dan kanalisasi. Masalahmasalah tersebut dapat berpengaruh terhadap ketahanan pangan dan bagaimana masyarakat di sana mempersepsinya. Selanjutnya, peneliti mencari alat ukur berupa kuesioner yang dapat mengukur persepsi kesehatan lingkungan yang dapat dipengaruhi dari tingkat pendidikan masyarakat.
6. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti mengukur tingkat persepsi risiko kesehatan lingkungan menggunakan alat ukur kuesioner. Kuesioner yang digunakan merupakan adaptasi dari “WEST Australian Health Risk Perception Survey” (2009) yang dimodifikasi pada beberapa bagian agar sesuai dengan keadaan di Kepulauan Meranti. Alat ukur yang telah dimodifikasi ini pun kemudian diukur kembali tingkat validitas dan reliabilitasnya dan menghasilkan nilai uji validitas dan reliabilitas yang tinggi dengan Cronbarch alpha sebesar 0.89 (tinggi).
D. HASIL DAN DISKUSI Pada bab ini akan dibahas hasil penelitian yang telah dilakukan kepada masyarakat Desa Sungaitohor yang dikelompokkan sebagai berikut: 1. Gambaran Umum Subjek Penelitian Partisipan adalah masyarakat Desa Sungaitohor yang direpresentasikan oleh 80 orang dengan rata-rata umur 41.01 (SD =16,285) dan terdiri dari 27 laki-laki dan 54 perempuan. Grafik di bawah ini menunjukkan persebaran responden berdasarkan umur dan jenis kelamin.
7. Metode Analisis KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
47
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Grafik 1. persebaran responden berdasarkan umur
Berdasarkan perhitungan data yang telah didapat, terlihat bahwa mean skor persepsi risiko kesehatan lingkungan dari responden dengan pendidikan tidak tamat SD â&#x20AC;&#x201C; tamat SD sebesar 33 dengan standar deviasi 33 dan standar error 1.04 dan mean skor responden dengan tingkat pendidikan lebih dari tamat SD (tamat SMP, SMA, atau sarjana pendidikan tinggi) sebesar 54.1 dengan standar deviasi 12.56 dan standar error 1.98. Dapat terlihat juga bahwa perhitungan menunjukkan adanya perbedaan mean skor antar kelompok sebesar 21.1.
3. Analisis dan Interpretasi Hasil
Grafik 2. persebaran responden berdasarkan jenis kelamin
2. Hasil Penelitian Setelah pengambilan data dilakukan, data yang didapat diolah dengan cara menghitung mean dari skor item-item yang mengukur aspek persepsi risiko kesehatan lingkungan tertentu. Tabel 1. Deskripsi Skor Persepsi pada Responden
48
Independent t-test digunakan dalam penelitian ini untuk membandingkan skor persepsi risiko kesehatan lingkungan pada dua kelompok tidak tamat SD â&#x20AC;&#x201C; lulus SD dan pendidikan lebih dari tamat SD (tamat SMP, SMA, atau sarjana pendidikan tinggi) dengan perbedaan tingkat pendidikan sebagai independent variable. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan (tabel 2), dapat dilihat hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam skor persepsi risiko kesehatan lingkungan antara responden dengan tingkat pendidikan tidak tamat SD â&#x20AC;&#x201C; lulus SD dan responden dengan tingkat pendidikan lebih dari SD (tamat SMP, SMA, sarjana pendidikan tinggi). Penghitungan menggunakan Independent Samples Test, T-score sebesar t = -9.934 dengan p-value atau sig (2-tailed) = 0.00004. Dengan menggunakan level of significance 0.05, berarti sig yang ada di data lebih kecil daripada 0.05 (p < 0.05, two tailed.
GULTOM, PERMANA, PRATOMO, UTAMININGSIH & MUTIARA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Tabel 2. Hasil Independent t-test
4. Diskusi Berdasarkan perhitungan data yang didapat, menunjukkan adanya perbedaan skor persepsi kesehatan lingkungan yang signifikan antara kelompok-kelompok masyarakat dengan tingkat pendidikan yang berbeda di Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti. Dimana kelompok dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempersepsi lingkungannya lebih memberikan banyak risiko pada kesehatan. Hal ini dapat dijelaskan karena mereka memiliki lebih banyak pengetahuan dan kesadaran yang lebih tinggi mengenai aspek kesehatan maupun aspek lingkungan. Sedangkan kelompok dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah cenderung menganggap remeh bahaya dari kerusakan lingkungan terhadap kesehatan, misalnya menganggap bahwa asap kebakaran hutan tidak berbahaya bagi kesehatan mereka. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian-penelitian sebelumnya, seperti pada penelitian Alach (2009) dan penelitian oleh Willis, DeKay, Fischhoff, dan Morgan (dalam Ratnapradipa, Brown, Middleton, & Wodika, 2011), terdapat kesesuaian hasil yaitu bahwa responden dengan tingkat pendidikan berbeda dapat menghasilkan perbedaan tingkat persepsi kesehatan lingkungan yang berbeda juga. Namun, dalam penelitian Alach, kelompok yang memegang skor persepsi risiko kesehatan lingkungan yang lebih tinggi justru
adalah kelompok yang memiliki tingkat pendidikan lebih rendah. Sedangkan, kelompok sarjana memiliki skor persepsi risiko kesehatan lingkungan yang lebih rendah secara signifikan.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan berpengaruh secara signifikan terhadap persepsi masyarakat mengenai risiko kesehatan lingkungan. Dimana masyarakat dengan tingkat pendidikan lebih tinggi (lebih dari lulus SD) lebih mengetahui risiko-risiko yang terdapat di lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan. Hal ini memengaruhi kognisi mereka sehingga dapat lebih sadar akan lingkungannya dan mampu bertingkah laku dengan berwawasan lingkungan guna menjaga kesehatan. Akan tetapi, kami juga menemukan bahwa penyuluhan atau pendidikan dari dokter dan pemerintah juga berkontribusi dalam membentuk persepsi masyarakat. Hal ini dapat terlihat dari ketika peneliti mewawancarai warga yang tidak lulus pendidikan dasar namun memiliki pengetahuan yang baik mengenai lingkungan dan kesehatan. Hal ini disebabkan karena warga tersebut banyak memperoleh pendidikan informal dan informasi yang berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
49
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Oleh karena penelitian ini masih memiliki beberapa kekurangan, ada pun peneliti dapat merekomendasikan saran-saran metodologis untuk penelitian di masa mendatang dan saran praktis untuk pemegang kebijakan, khususnya di Desa Sungaitohor.
Basri, S., Bujawati, E., & Amansyah, M. (2014). ANALISIS RISIKO KESEHATAN LINGKUNGAN (MODEL PENGUKURAN RISIKO PENCEMARAN UDARA TERHADAP KESEHATAN). Jurnal Kesehatan, 7(2).
Saran metodologis yang dapat peneliti sampaikan diantaranya menggunakan sampel penelitian dari seluruh wilayah Desa Sungaitohor secara merata, mengelompokkan responden berdasarkan usia, mempertimbangkan pendapatan atau menjadikannya IV kedua, dan mengambil data dari berbagai lapisan masyarakat. Sementara itu, untuk saran praktis, berdasarkan hasil penelitian yang didapat, pihak pemerintah daerah dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat, seperti dengan cara: menggalakkan pendidikan 9 tahun pada masyarakat Sungaitohor karena dari hasil penelitian ini terlihat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh secara signifikan dalam membentu persepsi risiko kesehatan lingkungan. Selain itu, pemerintah maupun masyaraka juga dapat lebih genjar lagi untuk mengajak warga mengikuti penyuluhan dan pendidikan informal mengenai kesehatan lingkungan secara berkala dengan mendatangkan tenaga ahli yang kompeten sebagai alternatif dari pendidikan formal. Hal ini berkaitan dengan hasil wawancara dengan beberapa warga yang berpendidikan rendah namun memiliki pengetahuan yang baik dalam hal kesehatan dari penyuluhan-penyuluhan yang diberikan.
Beaufils, E., Hommet, C., Brault, F., MarquĂŠ, A., Eudo, C., Vierron, E., ... & Mondon, K. (2014). The effect of age and educational level on the cognitive processes used to comprehend the meaning of pictograms. Aging clinical and experimental research, 26(1), 61-65. Caniago, S. R. (2013). Gambaran Tingkat Pendidikan Ibu dan Pengetahuan Keluarga dalam Pemberian Makanan Tambahan Kepada Bayi Sebelum Berusia 6 Bulan pada Suku Mandailing di Kelurahan Pancuran Kerambil Kecamatan Sibolga Sambas. Diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/12345 6789/37158/4/Chapter%20II.pdf Eysenck, M. W., & Keane, M. T. (2010). Cognitive Psychology: A Student's Handbook (6th ed.). New York: Psychology Press. Hadi, B. S. (2009, November 2). URGENSI STUDI PERSEPSI RESIKO LINGKUNGANDALAM PERENCANAAN (Belajar dari Kasus di Kota Seoul). Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.
REFERENSI
Huang, W. (2016). Understanding the Effects of Education on Health: Evidence from China. Diakses dari http://ftp.iza.org/dp9225.pdf
Alach, Z. (2009). Community survey of perceived environmental health risks in western australia.
King, L. A. (2014). The science of psychology: An appreciative view (3rd ed.) (hal. 196). New York: McGraw-Hill. Powell, M., Dunwoody, S., Griffin, R., &
50
GULTOM, PERMANA, PRATOMO, UTAMININGSIH & MUTIARA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Neuwirth, K. (2007). Exploring lay uncertainty about an environmental health risk. Public understanding of science, 16(3), 323-343. Ratnapradipa, D., Brown, S. L., Middleton, W. K., & Wodika, A. B. (2011). Measuring environmental health perception among college Students. Health Educator, 43(2), 13-20. Southern Area Health Education Center & NM Department of Health Environmental Health Epidemiology Bureau. (2004). Diakses dari nmhealth.org: https://nmhealth.org/publication/view/gen eral/308/ Wallace, D. P. (2007). Knowledge management: Historical and cross-disciplinary themes. Libraries unlimited.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
51
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Peran Modal Sosial Kelompok Petani Sagu dalam Penguatan Aset Komunitas sebagai Implikasi terhadap Ketahanan Pangan Nasional Randy Raharja Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Modal sosial merupakan sumber daya yang dimiliki masyarakat. Hal ini terjadi karena baik individu dan kelompok selalu berinteraksi, sehingga membangun jaringan, norma, dan rasa saling percaya. Desa Sungaitohor merupakan desa penghasil sagu terbaik yang menjadi unggulan dalam diversifikasi pangan dalam ketahanan pangan nasional. Dalam penelitian ini, tujuannya adalah untuk memetakan peran modal sosial dengan aset komunitas lain yang selalu beririsan. Selain itu, diperlukan pemahaman dalam implikasi modal sosial dalam ketahanan pangan. Metode yang digunakan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara dan observasi lapangan dengan data diolah dan dibahas dalam penarikan kesimpulan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa modal sosial mampu menjadi landasan dari modal sosial lain karena saling terkait karena adanya jaringan dan kepercayaan dalam menentukan aset lain. Selain itu, modal sosial berimplikasi dalam perkembangan bidang pertanian karena pada dasarnya petani di Indonesia dibangun dari pola interaksi informal yang saling membangun satu sama lain dari sumber daya manusianya. Oleh karena itu, perlu adanya penguatan modal sosial melalui penguatan jaringan dan kepercayaan yang baik untuk mengembangkan potensi ketahanan pangan di Indonesia. KATA KUNCI: Modal Sosial, Aset Komunitas, Ketahanan Pangan, Petani Sagu.
A. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang bergantung pada bidang pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Hasil Sensus Pertanian (ST) 2013 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah rumah tangga pertanian sebanyak 26,14 juta (Surahman, 2014). Salah satu potensi yang menunjang pertanian di Indonesia adalah sumber daya alam yang cukup berlimpah dan kesuburan tanah, sehingga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masih bergantung dengan alam. Akan tetapi, 52
penduduk Indonesia belum pernah mencapai kondisi ketahanan pangan yang ideal. Oleh karena itu, potensi yang bisa dikembangkan pada bidang pangan dan pertanian harus diperhatikan. Berbeda halnya dengan pertanian yang kebanyakan dikembangkan di Pulau Jawa, lain halnya juga pertanian di Kabupaten Kepulauan Meranti. Perkebunan sagu menjadi prioritas pertanian di Meranti karena sagu sendiri memiliki potensi menjadi alternatif makanan pokok Indonesia. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKPP) Kaltim H Fuad Asadin, sagu dapat RAHARJA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
dikembangkan sebagai salah satu sumber pangan alternatif sekaligus lumbung pangan hidup karena bentuk pohon ini dapat bertahan lama (Kaltimprov, 2013). Selain itu kondisi geografis Kepulauan Meranti juga mendukung berkembangnya pertanian sagu. Perkebunan sagu berkembang di wilayah pesisir dengan jenis lahan gambut yang sangat sesuai dengan kondisi geografis di Meranti. Perkebunan sagu yang ada di kepulauan Meranti mayoritas merupakan milik pribadi atau setidaknya masih satu keluarga. Dalam mengembangkan perkebunan sagu tersebut, biasanya pemilik perkebunan mengurus perkebunan secara mandiri. Akan tetapi, kebanyakan dari mereka mempekerjakan orang lain untuk menggarap kebun sagu atau petani buruh sagu. Petani buruh ini berasal dari berbagai latar belakang, kebanyakan pemilik kebun mempekerjakan sanak saudara atau tetangga yang dikenalnya. Perkebunan sagu dikembangkan sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan tepung sagu yang dapat diolah. Pengolahan tepung sagu dijadikan berbagai macam olahan, di antaranya adalah mie sagu, sempolet, sagu rendang, dan lain-lain. Dalam pengolahan tepung sagu, masyarakat biasanya diberikan bantuan modal oleh pemerintah. Modal ini diberikan kepada pengolah sagu yang terdiri dari beberapa orang dalam sebuah kelompok. Melalui kelompok ini lah, masyarakat mengembangkan usahanya dalam mengolah tepung sagu. Pengolahan sagu yang dilakukan dalam sebuah kelompok oleh beberapa orang sudah barang tentu akan menciptakan sebuah ikatan atau solidaritas melalui interaksi yang intens. Interaksi tersebut yang pada akhirnya akan menciptakan modal sosial, salah satu unsur yang paling dibutuhkan di dalam upaya pengolahan hasil sagu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan peran modal sosial dalam pengolahan hasil
sagu di Desa Sungaitohor yang merupakan salah satu penghasil dan pengolah sagu terbesar di Kabupaten Meranti.
B. PENTINGNYA MODAL DALAM PENGOLAHAN KOMUNITAS
SOSIAL ASET
Modal sosial merupakan sumber daya sosial yang dimiliki oleh masyarakat. Sebagai sumber daya, modal sosial memberikan kekuatan atau daya dalam beberapa kondisikondisi sosial dalam masyarakat sebagai potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Portes (2000) menyebutkan bahwa modal sosial ini sebenarnya memiliki dua arti berbeda. Pertama, modal sosial dalam arti individual dan modal sosial dalam arti kolektif. Menurutnya, seorang individu memiliki suatu modal sosial yang berguna bagi aktualisasi dirinya, begitu juga dengan kelompok masyarakat memiliki modal sosial yang dapat dipakai dalam mengoptimalkan potensi terbaiknya. Putnam (1993) mendefinisikan modal sosial sebagai satuan organisasi sosial yang terdiri dari jaringan sosial, norma-norma dan kepercayaan sosial (trust) yang dapat menjembatani atau mengikat terciptanya kerjasama dalam masyarakat sehingga terjalin kerjasama yang saling menguntungkan. OECD (2007) mendefinisikan modal sosial sebagai jaringan (network) bersamasama dengan norma-norma, nilai-nilai dan pemahaman yang memfasilitasi kerjasama dalam atau di antara kelompok-kelompok. Jaringan tersendiri terbagi menjadi bonding, bridging, dan linking social capital (Hawkins dan Maurer, 2009). Hal ini menentukan luas relasi dari jaringan tersebut dan bentuk relasi yang dibangun. Pada sebuah penelitian pada kelompok tani, telah dibuktikan bahwa kelompok tani dengan kekuatan modal sosial yang kuat akan
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
53
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
menciptakan kondisi ekonomi yang positif, dan sebaliknya dengan kelompok dengan modal sosial yang lemah (Wuysang, 2014). Hal ini mengindikasikan bahwa modal sosial penting dalam sektor pembangunan dan peningkatan ekonomi. 1. Modal Sosial dengan Aset Komunitas Selain modal sosial, sebenarnya dalam kehidupan manusia terdapat beberapa jenis modal, yaitu physical capital, human capital, techonological capital, financial capital, dan environmental physical, ditambah dengan spiritual capital (Adi, 2008). Kumpulan dari modal ini merupakan aset komunitas sebagai kesatuan yang dimiliki dalam masyarakat dan digunakan untuk menentukan potensi dalam pengembangan masyarakat. Adapun pengkategorian modal sosial yang dimanfaatkan dalam aset lain, terlihat dalam penjelasan aset komunitas, sebagai berikut (Adi, 2008); a. Modal Manusia (Human Capital) Modal ini mewakili unsur pengetahuan, perspektif, mentalitas, keahlian, pendidikan, kemampuan kerja, dan kesehatan masyarakat yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. b. Modal Fisik (Physical Capital) Modal ini mewakili unsur bangunan (seperti: perumahan, pasar, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya) dan infrastruktur dasar (seperti: jalan, jembatan, jaringan air minum, jaringan telefon, dan sebagainya) yang merupakan sarana yang membantu masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya. c. Modal Finansial (Financial Capital) Modal ini mewakili unsur sumbersumber keuangan yang ada di masyarakat (seperti penghasilan, tabungan, pendanaan reguler, pinjaman modal usaha, sertifikat surat berharga, saham, dan sebagainya) 54
yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang derajat kehidupan masyarakat. d. Modal Teknologi (Technological Capital) Modal ini mewakili sistem atau peranti lunak (software) yang melengkapi modal fisik (seperti teknologi pengairan sawah, teknologi penyaringan air, teknologi pangan, teknologi cetak jarak jauh dan berbagai teknologi lainnya) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. e. Modal Lingkungan (Environmental Capital) Modal ini mewakili sumber daya alam dan sumber daya hayati yang melingkupi suatu masyarakat. Modal sosial yang merupakan bagian dari aset komunitas. Di lain sisi, seharusnya modal sosial akan mampu mendorong keempat modal di atas dan dapat digunakan lebih optimal lagi karena modal sosial selalu terkait dengan modal lainnya.
C. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif yang berpikir secara induktif, yaitu berasal dari fakta dan data di lapangan yang dikaji dengan pendekatan dan pemikiran teoretis maupun digunakan dalam pembentukan konsep baru (Neuman, 2008). Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif yang menggali hasil temuan sesuai dengan fakta dan tujuan penelitian. Sumber informasi penelitian ini diperoleh dari beberapa orang informan. Teknik pengumpulan data dan sumber informasi dalam penelitian ini juga dilakukan dengan observasi serta studi dokumen yang terkait dengan topik penelitian. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, tata cara dalam masyarakat, dan RAHARJA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
situasi-situasi tertentu dalam suatu fenomena. Hal ini ditujukan untuk memberikan gambaran dan pandangan yang jelas mengenai subjek maupun objek yang sedang diteliti (Neuman, 2007). 2. Lokasi Penelitian Di Provinsi Riau, sagu paling banyak dihasilkan di Kabupaten Kepulauan Meranti karena tempat ini memiliki karakteristik lahan (lahan gambut dan juga pesisir) yang sangat mendukung tumbuhnya pohon sagu. Bahkan, pemerintah untuk memaksimalkan potensi sagu di Meranti, melarang penanaman komoditas selain sagu, pinang, karet, kelapa, yang memang cocok dengan lahan gambut. Sagu di Meranti memiliki kualitas yang paling baik dibandingkan dengan sagu di Papua dan di Maluku karena tanaman sagu ditanam melalui budidaya sehingga bibit yang dipakai unggul, bukan sagu yang dibiarkan tumbuh di hutan bebas seperti halnya di Papua dan Maluku. Dengan demikian, perlu adanya penelitian di Desa Sungaitohor sebagai salah satu desa terbaik penghasil sagu di Indonesia mengenai peran modal sosial yang dilakukan oleh petani sagu. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penelitian ini, peneliti membagi data yang didapat ke dalam dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer didasarkan pada pernyataan informan hasil dari wawancara semi terstruktur, dan hasil observasi.Sedangkan data sekunder diambil melalui mekanisme arsip ataupun studi dokumen yang menunjang topik penelitian. 4. Teknik Pemilihan Informan Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, jadi untuk menentukan informan pada penelitian ini tidak dapat menggunakan teknik pengambilan sampel
dalam populasi seperti pada penelitian kuantitatif. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi tetapi menggunakan istilah situasi sosial yang terdiri atas tiga elemen yaitu tempat, pelaku, dan aktivitas. Pada situasi sosial atau objek penelitian ini, peneliti dapat mengamati secara mendalam aktivitas orang-orang yang ada pada tempat tertentu. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teknik pemilihan informan yang bersifat non probability atau dengan teknik purposive sampling. Adapun kriteria pemilihan informan merupakan para petani sagu yang tergabung dalam kelompok petani sagu. Kriteria informan dipilih karena untuk melihat sejauh mana peran modal sosial yang dimiliki para petani untuk mengolah perkebunan sagu yang ada pada kelompok petani di Desa Sungaitohor, Kepulauan Meranti. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat induktif. Terdapat beberapa poin dalam melakukan analisis data yaitu (Miles dan Huberman, 1992): a. Reduksi data Reduksi data digunakan untuk mengurangi data lapangan yang terlalu banyak dengan cara pengecilan jumlah data yang akan digunakan sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam hal ini peneliti melakukan kodifikasi pernyataan informan berdasarkan pertanyaan yang diajukan. b. Organisasi data Setelah data direduksi kemudian datadata tersebut dikelompokkan ke dalam klasifikasi yang dimunculkan sehingga lebih mudah untuk di baca. c. Interpretasi data Setelah data dikelompokkan, hal yang selanjutnya dilakukan adalah pencarian dan identifikasi hubungan, persamaan, maupun pola-pola tertentu dalam
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
55
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
penelitian. Dengan mengacu pada teori, data-data tersebut akan di interpretasi dan selanjutnya dilakukan pembandingan antara temuan lapangan dengan konsep teori yang dijadikan acuan.
audit).Selain itu juga dilakukan triangulasi dengan membandingkan berbagai data yang di dapat di lapangan dari sumber atau informan yang berbeda-beda.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN 6. Teknik untuk Meningkatkan Kualitas Penelitian Untuk meningkatkan kualitas penelitian ini dapat digunakan dengan beberapa cara. Menurut Guba dalam Krefting (1990) terdapat empat aspek yang dapat meningkatkan kualitas penelitian yaitu: a. Credibility Penelitian ini melakukan triangulasi pada sumber data dalam metode penggalian datanya.Peneliti melakukan pembandingan antara satu pernyataan informan dengan informan lainnya (Member checking). Peneliti juga menggunakan catatan lapangan sebagai cara untuk merefleksikan data yang didapat (Field note). b. Transferability Penelitian ini melakukan penjabaran data yang di dapat dengan mendeskripsikannya secara lengkap mengenai konteks penelitian (Dense description).Hal tersebut dilakukan agar dapat di lihat sejauh mana temuan penelitian mampu digeneralisasikan ke dalam konteks penelitian lainnya. c. Dependability Penelitian ini melakukan pengecekan kembali hasil temuan di lapangan dengan mendiskusikannya kepada tim peneliti agar di dapat pemahaman yang lebih mendalam (Peer examination). d. Confirmability Penelitian ini melakukan pengecekan terkait konfirmasi data dalam prosesnya.Hal tersebut dilakukan untuk mencari tahu apakah data dapat dikonfirmasikan (Confirmability 56
1. Peran Modal Sosial dalam Pengembangan Aset Lainnya Modal sosial selalu memiliki irisan dengan aset lain. Hal ini menjadi penting mengingat modal sosial selalu ada pada satu komunitas yang terjalin karena adanya kepercayaan (trust) dan jaringan sosial yang mengikat. a. Modal Sosial dengan Modal Fisik Modal fisik yang dimiliki oleh petani sagu, seperti kilang sagu, kanal air, dan adanya ruang kumpul untuk rapat bersama. Pengelolaan dan perawatan sarana dan prasarana dalam pengolahan sagu, seperti kilang sagu, dilakukan dalam sebuah kelompok sagu yang dikelola oleh sebuah keluarga atau usaha kelompok. Masyarakat melakukan upaya bersama untuk membangun sarana dan prasarana dalam meningkatkan kualitas sagu. Seluruh perencanaan pembangunan infrastruktur fisik di Desa Sungaitohor selalu didiskusikan antara desa dan masyarakat, melalui pemerintah desa. Pembagian lahan pun dilakukan secara kolektif mengenai luas dalam kepemilikan pada awal diperkenalkannya usaha perkebunan sagu. Adapun modal fisik yang dimiliki adalah kilang sagu, sekat kanal, pelabuhan, dan sebagainya. Seluruh aktivitas pengolahan sagu tidak lepas dari modal fisik yang dimiliki oleh setiap kelompok petani sagu. b. Modal Sosial dengan Modal Manusia Modal sosial merupakan modal yang diperoleh dari kemampuan sumber daya manusia. Modal manusia yang ditemukan RAHARJA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
secara umum adalah pengetahuan dan keterampilan dalam pengolahan sagu. Pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah sagu diajarkan dan diberikan secara turun menurun di dalam keluarga. Seorang anak telah diperkenalkan sejak usia dini oleh orang tuanya untuk sekedar mengenal kilang sagu dan bermain di hutan sagu atau berenang di kanal air gambut berwarna merah. Para sesepuh berharap bahwa anak-anak dapat terbiasa dengan lingkungan sekitar mereka dan memanfaatkan sagu yang dimiliki desa. Pemanfaatan sagu juga menjadi pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah makanan yang berbahan dasar sagu. Pengetahuan ini juga menjadi pengetahuan umum di masyarakat. Hasil olahan sagu menjadi makanan, seperti lempeng sagu, sagu telur, mie sagu, dan sebagainya, menjadi pengikat modal sosial yang semakin kuat karena menjadi identitas Desa Sungaitohor. Selain itu, makanan kebiasaan dalam memakan hasil olahan sagu turut meningkatkan rasa saling percaya karena tidak hanya ketika makan bersama meningkatkan relasi tetapi ketika selama proses pembuatan makanan terjadi pola interaksi yang menjadi kekuatan jaringan. Dalam lingkungan masyarakat, antar warga juga saling berbagi informasi pengolahan perkebunan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dalam meningkatkan kualitas sagu melalui peningkatan pendidikan. Meskipun untuk bersekolah tinggi dari desa tersebut butuh perjuangan lebih, anak-anak dari Desa Sungaitohor telah terdapat yang disekolahkan hingga pendidikan tinggi. Mereka diharapkan oleh masyarakat akan kembali untuk melakukan pembukaan lahan sagu dan meningkatkan kualitas perkebunan sagu di Desa Sungaitohor. KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
Akan tetapi, banyak juga anak-anak yang tidak kembali ke desa untuk mengembangkan potensi di desa mereka. c. Modal Sosial dengan Modal Finansial Modal finansial menjadi modal penentu dalam hal kemampuan ekonomi masyarakat, seperti tabungan dan sumber ekonomi. Dalam hal ini, modal sosial dalam masyarakat secara bersama-sama selalu berbagi informasi mengenai bantuan-bantuan dari lembaga negara maupun sumber investasi dari lembaga lain untuk meningkatkan jumlah produksi dan kualitas sagu di desa. Terkait dengan distribusi produk, mereka secara bersama, dalam satu desa yang terdiri dari beragam kelompok usaha tani sagu, memiliki kesepakatan untuk melakukan penjualan sagu hanya kepada satu kelompok tertentu. Hal ini memang menghalangi mereka untuk menginvasi melalui distributor lain dalam menjual hasil produksi, tetapi kondisi ini menenangkan kelompok usaha tani karena adanya kepastian dari investor tetap dan bersama. Padahal, pemanfaatan kekuatan masyarakat seharusnya mampu untuk menentukan harga dari sagu yang diproduksi. Di sisi lain, koperasi atau pun kelompok usaha tani di tingkat desa belum pernah berhasil terbentuk secara mandiri. d. Modal Sosial dengan Modal Teknologi Modal teknologi merupakan modal yang digunakan untuk melengkapi modal fisik yang digunakan untuk mengolah sagu. Modal teknologi diklasifikan pada perkebunan sagu, seperti mesin-mesin pengolahan sagu. Mesin-mesin ini menunjukkan tingkat pemanfaatan teknologi dalam pengolahan sagu. Teknologi yang dimaksud berupa mesin penggiling sagu atau pun mesin pemotong yang biasa digunakan dari menanam sagu, penanaman sagu, memanen sagu, proses 57
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
pengkilangan, hingga proses mengolah batang sagu menjadi sagu basah. Dalam membuat mesin-mesin pengolahan sagu, masyarakat memperoleh alat-alat dari pemerintah dan dimodifikasi secara bersama-sama sesuai kebutuhan. Mereka juga sepakat dalam mengatur teknologi yang tepat dalam menentukan teknologi minimal yang biasa digunakan dalam mengolah perkebunan sagu, sehingga pada sebuah kilang mesin yang digunakan selalu sama dan menghasilkan sagu dengan kualitas yang sama. e. Modal Sosial dengan Modal Lingkungan Modal lingkungan merupakan modal yang berasal dari sumber daya alam yang ada di sekitar desa. Tentu saja dalam hal ini, Desa Sungaitohor memiliki lahan gambut dengan tumbuhnya perkebunan sagu. Modal sosial berperan untuk memanfaatkan modal lingkungan ini. Masyarakat secara kolektif berusaha untuk melindungi perkebunan sagu yang ada di Desa Sungaitohor. Masyarakat Desa Sungaitohor melakukan upaya perlindungan dengan beberapa pihak untuk menjaga kualitas sagu mereka, seperti upaya untuk menghindari pembangunan kanal yang dirasa tidak diperlukan, menjaga kualitas air, dan sebagainya. 2. Modal Sosial pada Pengolahan Sagu dan Implikasi Ketahanan Pangan di Indonesia Indonesia memang memiliki sumber daya yang cukup untuk menciptakan kondisi ketahanan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Sumber daya alam yang melimpah, kondisi tanah yang subur, dan sumber daya manusia yang sangat banyak menjadi sebuah faktor yang mendukung. Di lain sisi, sumber daya manusia di Indonesia masih dirasa kurang untuk mengolah seluruh sumber daya alam 58
yang ada. Akan tetapi, pemanfaatan modal sosial telah berkontribusi dalam pertanian di Indonesia, termasuk dalam pengolahan sagu. Aset komunitas yang dimiliki masyarakat Desa Sungaitohor dalam pengolahan sagu selalu beririsan dengan adanya modal sosial yang kuat antar petani dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam pengembangan potensi masyarakat, baik pengembangan dan pemberdayaan petani, perlu adanya pertimbangan modal sosial dengan aset-aset lainnya. Pada pengolahan sagu dan pertanian lain di Indonesia, modal sosial merupakan salah satu potensi yang dapat dimanfaatkan. Modal sosial menjadi penting pada pengembangan pertanian yang ada di Indonesia. Syahyuti (2008) menyatakan bahwa pasar perdagangan hasil pertanian di Indonesia, terutama berupa perdagangan dalam negeri, sebagian besar dijalankan dalam bentuk relasi-relasi nonformal antar pelakunya, sehingga dalam kondisi pasar yang tidak sempurna (imperfect market), modal sosial tumbuh dengan subur dan menjadi tulang punggung yang menjalankan keseluruhan sistem perdagangan tersebut. Dalam pemikiran ini, pengolahan pertanian di Indonesia dilakukan atas relasi yang kuat dan rasa saling percaya dari kondisi diciptakan dari lingkungan pedesaan yang banyak ditemukan sebagai lokasi pertanian. Kelompok petani sagu di Desa Sungaitohor membuktikan bahwa modal sosial yang dibangun dengan baik menjadikan kualitas sagu yang sangat baik dan sagu di Desa Sungaitohor dikenal sebagai sagu terbaik di Indonesia, bahkan di dunia. Program pemerintah untuk melakukan diversifikasi pangan sudah didukung dengan modal-modal yang bersumber dari produksi dan kualitas sagu yang dimiliki oleh petani. Hanya saja, sagu sebagai diversifikasi pangan belum dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
RAHARJA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Perlu diperhatikan juga bahwa masyarakat Desa Sungaitohor mengkonsumsi sagu sebagai bahan makanan pokok. Modal sosial telah menjadikan pola konsumsi sebagai bentuk kebiasaan yang mengikat masyarakat. Pengolahan sagu menjadi beraneka ragam makanan menjadi identitas yang mengikat masyarakat Desa Sungaitohor. Jika hal ini diberlakukan dan dimulai oleh masyarakat dapat berdampak cukup luas untuk mengembangkan potensi sagu sebagai diversifikasi pangan nasional.
E. KESIMPULAN DAN SARAN Dalam satu komunitas selalu terdiri dari beragam aset komunitas. Hal ini digunakan untuk menjadi penentu potensi yang dimiliki secara kolektif dan bersama-sama yang dimiliki masyarakat. Pengembangan masyarakat dapat menjadi perhatian penting dalam memanfaatkan aset komunitas. Di lain sisi, modal sosial menjadi salah satu modal yang penting dan dimanfaatkan sebagai dasar dari relasi manusia dengan manusia sebagai bentuk pola interaksi, sehingga menjadi menarik dalam melihat pemanfaatannya dengan aset-aset lain. Pada hasil penelitian ini, modal sosial selalu beririsan dalam peningkatkan aset komunitas yang dimiliki oleh petani dan masyarakat Desa Sungaitohor. Dalam penentuan aset komunitas, misalnya seperti aset fisik, selalu didiskusikan bersama yang ditentukan oleh modal sosial yang kuat. Terkait dengan modal manusia, pengetahuan dan keterampilan dapat terjadi karena adanya pertukaran informasi melalui modal sosial karena adanya interaksi yang terjalin baik. Begitu pula dengan modal teknologi yang diperoleh secara kolektif dan ditentukan bersama-sama. Hal ini juga berlaku dengan aset lain, seperti modal lingkungan yang
dimiliki untuk dijaga sebagai kepentingan bersama yang menjadi norma di masyarakat. Modal sosial merupakan kekuatan yang biasa ditemukan pada berbagai kelompok petani di Indonesia, tidak hanya terbatas pada kelompok petani sagu. Hal ini disebabkan karena kekuatan relasi informal yang dimiliki oleh para petani. Oleh karena itu, sebagai sebuah implikasi, modal sosial turut berperan penting dalam upaya peningkatan ketahanan pangan dalam pengembangan sumber-sumber daya yang dimiliki dan dalam pembangunan manusia. Bagi penelitian selanjutnya, akan menjadi lebih baik jika data digali secara terukur dalam memandang modal sosial dari segi relasi dengan aset-aset lainnya. Hal ini memungkinkan untuk melihat kekuatan modal sosial sebagai faktor yang turut mempengaruhi aset-aset lain, sehingga tidak terbatas dalam deskripsi saja.
REFERENSI Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. Berutu, Lister. (2002). Adat dan Tata Cara Perkawinan Masyarakat Pakpak. Medan: Grasindo Monoratama Fukuyama, F. (1995). Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: the Free Press. Hawkins, Robert L. & Katherine Maurer. (2010). Bonding, Bridging and Linking: How Social Capital Operated in New Orleans following Hurricane Katrina dalam British Journal of Social Work (2010). Oxford University Press. Kaltimprov. (2013). Sagu Bisa Menjadi Pangan Alternative.Retrieved from http://www.kaltimprov.go.id/berita-sagubisa-menjadi-bahan-panganalternatif.html
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
59
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Miles, MB dan AM Huberman. (1992). Qualitative Data Analysis: A Source Book of New Methods. Beverly Hills: Sage Publications. Neumann, Lawrence W. (2007). Basic of Social Science Research, 2nd Edition: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Pearson Education. OECD. (2007). Human Capital: How What You Know Shapes Your Life. Portres, Alejandro. (2000). The Two Meaning of Social Capital dalam Sociological Forum Vol 15 No. 1 2000. Putnam, RD. (1993). “The Prosperous Community: Social Capital and Public Life, dalam The American Prospect, Vol. 13. Putnam, RD. (1995). “Bowling Alone: America’s Declining Social Capital”, dalam Journal of Democracy, Vol.6 Nomor 1. Surahman, R. (2014). Mayoritas Penduduk Miskim Pekerja di Sektor Pertanian. Retrieved from http://www.enciety.co /bps-mayoritas-penduduk-miskin-pekerjadi-sektor-pertanian/ Syahyuti. (2008). Peran Modal Sosial (Social Capital) dalam Perdagangan Pertanian dalam Forum Penelitian Argo Ekonomi Vol. 26 No. , Juli 2008: 32 -42 Wuysang, Randy. (2014). Modal Sosial Kelompok Tani dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga suatu Studi dalam Pengembangan Usaha Kelompok Tani di Desa Tincep Kecamatan Sonder dalam Journal Acta Diurna Volume III No. 3 Tahun 2014.
60
RAHARJA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Sayur dan Buah pada Remaja Perempuan Usia 16-18 Tahun: Studi Kasus di SMAN 1 Tebingtinggi Timur, Provinsi Riau Siti Syahidati Fauzana Biostatistik, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Siti Rahmah Fitrianti Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
Aryan Nugroho Ilmu Keperawatan, Fakutas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
Zakiah Rahmayanti Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Seluruh penjuru dunia kini tengah marak dengan penyakit yang disebabkan oleh defisiensi zat gizi mikro seperti sistem kekebalan tubuh yang rendah, hingga kematian. Hal tersebut dapat disebabkan karena rendahnya konsumsi pangan yang tinggi vitamin dan mineral, seperti yang terdapat dalam sayur dan buah. Di Indonesia, menurut data Riskesdas (2013), proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan buah sebesar 93,5%. Diantara provinsi dengan tingkat kurang konsumsi sayur dan atau buah yang tinggi terdapat Provinsi Riau yang menempati urutan kedua setelah Kalimantan Selatan. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan peringkat nomor dua dengan persentase kurang konsumsi sayur dan buah sebesar 99,9%. Dampak yang ditimbulkan dari kurangnya konsumsi buah dan sayur yaitu adanya peningkatan risiko penyakit seperti obesitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi sayur dan buah pada responden remaja perempuan usia 16-18 tahun di Desa Sungaitohor, Kabupaten Kepuluan Meranti tahun 2016. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan jumlah sampel minimal sebanyak 41 orang perempuan di sebuah SMA. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik kuesioner dan Food Frequency Questioner (FFQ), dan akan diolah menggunakan aplikasi SPSS. Hasil yang didapatkan adalah, sebagain besar responden jarang mengonsumsi sayur dan buah dengan persentase 62.8%, sementara remaja usia 16-18 yang sering mengonsumsi sayur dan buah memiliki persentase 37.2%. Sedangkan untuk analisis bivariat yang dilakukan, secara statistik (P value < 0,05) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara bermacam variabel independen yang diukur, seperti frekuensi makan, pekerjaan orangtua, dan ketersediaan bauh dan sayur dengan variabel dependennya, yakni tingkat konsumsi buah dan sayur.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
61
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
KATA KUNCI: Konsumsi Sayur, Konsumsi Buah, Remaja Perempuan, Kepulauan Meranti, Riau.
A. PENDAHULUAN Saat ini, hampir di seluruh dunia terdapat beberapa gangguan gizi yang paling banyak terjadi seperti cacat lahir, keterbelakangan mental dan fisik, sistem kekebalan tubuh yang lemah, kebutaan bahkan kematian. Hal tersebut terjadi disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin dan mineral (biasanya disebut sebagai "zat gizi mikro"). Rendahnya konsumsi buah dan sayur merupakan faktor utama terjadinya defisiensi zat gizi mikro tersebut (dikutip dari http://www.fao.org pada 28 Juli 2016). Salah satu kelompok usia yang rentan memiliki risiko permasalahan kesehatan seperti defisiensi zat gizi mikro tersebut adalah remaja perempuan. Defisiensi zat gizi mikro yang umumnya dihadapi adalah anemia. Menurut data World Health Report (2002), diestimasikan bahwa konsumsi buah dan sayur yang rendah menyebabkan 2.7 juta orang meninggal setiap tahunnya, dan masuk menjadi 10 faktor risiko yang berkontribusi sebagai salah satu penyebab kematian (dikutip dari http://www.fao.org pada 28 Juli 2016). Di Indonesia sendiri, menurut data Riskesdas (2013), proporsi rerata nasional perilaku konsumsi kurang sayur dan atau buah sebesar 93,5 persen. Diantara provinsi dengan tingkat konsumsi sayur dan atau buah yang tinggi terdapat Provinsi Riau yang menempati urutan kedua setelah Kalimantan Selatan. Menurut data pokok-pokok hasil Riskedas provinsi Riau tahun 2013, berdasarkan proporsi kurang makan sayur dan/atau buah penduduk umur ≥ 10 tahun berdasarkan kabupaten/kota di Riau. Hampir semua penduduk umur ≥ 10 tahun di Riau (98,9%) kurang makan sayur dan/atau buah; 89,2 persen mengonsumsi 1-2 porsi sayur dan/atau buah dan 9 persen mengonsumsi 3-4 porsi. Lima kabupaten/kota dengan proporsi kurang 62
makan sayur dan/atau buah tertinggi salah satunya adalah Kabupaten Kepulauan Meranti yang menempati posisi nomor dua dengan persentase sebesar 99,9%. Sayur dan buah mengandung serat dan zat penting lainnya. Serat dapat mengangkat kolesterol dan lemak dalam tubuh melalui feses. Dampak yang ditimbulkan dari kurangnya konsumsi buah dan sayur yaitu adanya peningkatan risiko penyakit tidak menular (NCD), seperti obesitas, penyakit jantung, hipertensi, kanker, wasir, dan hernia. Berdasarkan Riskesdas (2013), prevalensi penyakit hipertensi yang diperoleh melalui pengukuran pada penduduk Riau umur 18 tahun sebesar 20,9 persen; tertinggi di Kepulauan Meranti (27,7%), diikuti Siak (26,7%), Rokan Hilir (24,9%), dan Indragiri Hilir (22,8%). Hipertensi berlanjut dapat menyebabkan penyakit jantung koroner, stroke, dan gagal jantung kongestif. Rendahnya konsumsi sayur dan buah juga dapat mempengaruhi Indeks Massa Tubuh (IMT), tidak hanya dapat menyebabkan Indeks Massa Tubuh (IMT) seseorang masuk dalam kategori kegemukan (lebih dari sama dengan (≥ 25 kg/m2) atau obesitas (≥ 30 kg/m2), namun sebaliknya, yakni gizi kurang (≤ 18 kg/m2). Sebuah penelitian di Australia telah membuktikan bahwa jika dibandingkan dengan responden dengan IMT normal (18,5 24,9 kg/m2), responden dengan gizi kurang cenderung untuk memiliki asupan sayur dan buah yang rendah, atau tidak mencapai target harian konsumsi sayur dan buah. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan konsumsi sayur dan buah pada remaja perempuan usia 16-18 tahun di Desa Sungaitohor, Kabupaten Kepuluan Meranti tahun 2016 dengan memilih SMAN 1 FITRIANI, FAUZANA, NUGROHO & RAHMAYANTI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Tebingtinggi Timur sebagai lokasi penelitian yang merupakan satu-satunya SMA di pulau tersebut dengan jumlah murid terbanyak.
Buah dan sayur memiliki banyak kandungan gizi yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia, seperti vitamin, mineral, dan serat.
B.PEMBAHASAN 1. Remaja Menurut Arisman (2009) masa remaja dimulai pada usia 9-10 tahun dan akan berakhir pada usia 18 tahun. Sedangkan menurut Wong (2015) dibedakan berdasarkan tingkatannya yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja pertengahan (16-18 tahun), dan remaja akhir (18-20 tahun). Periode tersebut memiliki perkembangan emosional, kognitif, sosial, dan ekonomi yang berbeda. 2. Perilaku Makan pada Remaja Menurut Brown (2005), perilaku makan pada remaja dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti teman sebaya, ketersediaan makanan, kesukaan, biaya, media massa, dan gambaran tubuh. Remaja memiliki perilaku makan pada umumnya tidak teratur disebabkan oleh kesibukan mereka sehari-hari dan melewatkan sarapan dan makan siang (Brown, 2005). Hal ini dapat mengakibatkan kurangnya asupan energi, protein, dan zat gizi lainnya seperti vitamin A, tiamin, zat besi, dan kalsium dari nilai yang direkomendasikan (Brown, 2005). 3. Buah dan Sayur Buah menurut WHO (2004) adalah bagian dari tumbuhan yang dapat dimakan yang mengandung biji yang mempunyai rasa manis. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), buah adalah bagian tumbuhan yang bersal dari bunga atau putik (biasanya berbiji) (Alwi et al, 2002). Sayuran adalah bagian dari tumbuhan yang dapat dimakan (kecuali buah dan biji), seperti bagian daun, batang, dan akarnya (WHO, 2004).
4. Faktor yang Memengaruhi Konsumsi Buah dan Sayur a. Frekuensi Makan Remaja pada umumnya sering melewatkan sarapan (Almatsier, 2011). Padahal sarapan pagi adalah waktu makan yang paling penting dibandingkan dengan makan siang ataupun makan malam. Selain itu, aktivitas remaja yang tinggi membuat mereka menjadi sibuk sehingga dapat menyebabkan frekuensi makan pada remaja menjadi tidak teratur. Ketidateraturan frekuensi makan berhubungan dengan konsumsi buah dan sayur yang rendah (Pedersen et al., 2012). Sarapan dan makan siang tidak teratur hanya berdampak pada rendahnya konsumsi sayur (Pedersen et al., 2012). b. Pengetahuan Gizi Pengetahuan merupakan salah satu faktor penting yang dapat membentuk perilaku seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan berlangsung lebih lama dibandingkan dengan perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap konsumsi buah dan sayur. Pada remaja, umumnya mereka tidak tahu anjuran buah dan sayur yang harus dikonsumsi setiap hari, sehingga mereka berpikir bahwa buah dan sayur yang mereka konsumsi sudah mencukupi kebutuhan mereka (Sheehy dan Dharod, 2008). c. Tingkat Pendidikan Orangtua Konsumsi buah dan sayur dipengaruhi juga oleh pendidikan orangtua. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
63
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
pendidikan orangtua maka pengetahuan yang didapatkan oleh orangtua juga semakin banyak. Pendidikan orangtua yang tinggi khususnya ibu akan lebih memengaruhi perilaku makan pada anak dan remaja serta memengaruhi jenis makanan yang ada di lingkungan rumah (MacFerlance et al., 2007). d. Uang Jajan Uang jajan memiliki hubungan dengan daya beli terhadap buah dan sayur. Seorang remaja yang memiliki uang jajan yang tinggi akan memiliki daya beli terhadap buah dan sayur yang juga tinggi apabila dibandingkan dengan remaja yang memiliki uang jajan yang rendah (Giskes et al., 2002) e. Pekerjaan Orang Tua Secara teori sebenarnya pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan cenderung memiliki hubungan yang erat sebagai hubungan sebab-akibat. Pekerjaan tingkat tinggi akan menghasilkan pendapatan yang tinggi. Orang-orang yang mempunyai pendidikan yang rendah jarang memenuhi syarat untuk pekerjaan tingkat tinggi (Schiffman & Kanuk 2004). 5. Indeks Massa Tubuh (IMT) IMT adalah ukuran berat disesuaikan untuk tinggi, dihitung sebagai berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam meter (kg/m2). Kategori penggolongan IMT sendiri adalah kategori kegemukan (lebih dari sama dengan (≥ 25 kg/m2) atau obesitas (≥ 30 kg/m2), namun sebaliknya, yakni gizi kurang (≤ 18 kg/m2).
C.METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional. Tujuan studi potong-lintang (cross-sectional) adalah mendeskripsikan karakteristik populasi 64
sasaran berdasarkan pengamatan pada sampel. Sehingga penelitian ini akan mengambil beberapa sampel dari populasi yang mampu menggambarkan keadaan dari populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah remaja perempuan yang berusia 16-18 tahun di Kecamatan Tebingtinggi Timur. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan rumus:
keterangan: n = jumlah sampel Z = deviasi normal standar pada α = 5 % P = proporsi diperoleh berdasarkan hasil riskesdas riau terhadap jumlah remaja kurus usia 16-18 tahun sebesar 12,3% d = presisi relatif (10 %) CI = 95 % . Berdasarkan rumus di atas diperoleh minimal sampel sejumlah 41 orang responden. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik kuesioner dan Food Frequency Questioner (FFQ). Lalu data yang telah melewati proses penyuntingan, pengodean, dan entry akan diolah menggunakan aplikasi SPSS. Terakhir, data akan dianalisis secara univariat dan bivariat.
D.HASIL DAN DISKUSI Lokasi pengambilan sampel penelitian dilakukan di SMAN 1 Tebingtinggi Timur. Hal ini dilakukan karena SMA ini merupakan SMA dengan jumlah siswi terbanyak di Kecamatan Tebingtinggi Timur. Semua siswi yang memenuhi kriteria sebagai responden mengisi lembar kuesioner. Dari 68 reponden yang mengisi kuesioner diperoleh 43 responden dengan kuesioner yang valid. Dari sekian banyak faktor yang berhubungan dengan konsumsi buah dan sayur
FITRIANI, FAUZANA, NUGROHO & RAHMAYANTI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Tabel 1. Distribusi seluruh variabel Variabel Konsumsi Buah dan Sayur
Keterangan Sering Jarang
n 16 27
% 37.2 62.8
Uang Jajan
Tinggi Rendah
30 13
69.8 30.2
Frekuensi Makan Pagi
Baik Buruk
27 16
62.8 37.2
Frekuensi Makan Siang
Baik Buruk
42 1
97.7 2.3
Frekuensi Makan Malam
Baik Buruk
41 2
95.3 4.7
Pengetahuan Gizi
Tinggi Rendah
26 17
60.5 39.5
Pendidikan Ibu
Tinggi Rendah
0 43
0 100
Pendidikan Ayah Pekerjaan Ibu
Tinggi Rendah Ya Tidak
4 39 8 35
9.3 90.7 18.6 81.4
Pekerjaan Ayah
Ya Tidak
40 3
93 7
Ketersediaan Buah dan Sayur
Baik Buruk
23 20
53.5 46.5
Indeks Massa Tubuh
Kurus Normal Gemuk
16 24 3
37.2 55.8 7
43
100
Total
1. Konsumsi buah dan sayur Berdasarkan tabel 1 di atas diketahui bahwa konsumsi buah dan sayur dari 43 remaja usia 16-18 tahun di SMAN 1 Tebingtinggi Timur, sebagain besar jarang mengonsumsi sayur dan buah, jika mengonsumsi buah dan sayur < porsi median, dengan persentase 62.8%, sementara remaja usia 16-18 yang sering mengonsumsi sayur dan buah, jika mengonsumsi buah dan sayur â&#x2030;Ľ porsi median, memiliki persentase 37.2%.
Apabila melihat kondisi di lokasi penelitian, dengan banyaknya rumah warga yang memiliki halaman yang luas, tidak jarang untuk menemukan pohon buah seperti rambutan, pepaya, pisang, mangga, nanas, dan manggis. Akan tetapi, untuk tanaman sayursayuran memang agak jarang ditemui di halaman rumah warga. Tidak hanya itu, pasar di lokasi penelitian hanya ada satu kali dalam seminggu, meskipun terdapat beberapa warung yang menjual 1-2 jenis sayur, dan apabila ingin menuju pasar yang besar dibutuhkan transportasi laut yang cukup menguras biaya. Hal tersebut terjadi karena akses yang masih sulit, mengingat lokasi penelitian merupakan sebuah pulau yang cukup jauh dijangkau. 2. Uang jajan Dari total 43 responden, sebagian besar memperoleh uang jajan yang tinggi, dengan persentase 69.8%, sedangkan 30.2% dari total responden memiliki uang jajan yang rendah. Hasil ini diperoleh berdasarkan penggolongan dengan melihat rata-rata uang jajan responden. uang jajan akan dikatakan tinggi apabila jumlahnya berada di atas atau sama dengan rata-rata dan akan dikatakan rendah apabila uang jajan berjumlah di bawah rata-rata. 3. Frekuensi makan Frekuensi makan dibagi menjadi tiga yakni makan pagi, siang, dan malam. Frekuensi makan dikatakan baik, jika makan â&#x2030;Ľ 3 hari dan kurang baik, jika frekuensi makan < 3 hari. Frekuensi makan pagi responden sebagian besar adalah baik dengan persentase 62.8%, dan sisanya buruk dengan persentase 37.2%. Frekuensi makan siang dari responen menunjukkan bahwa hampir seluruh respoonden baik dengan persentase 97.7% dan hanya 2.3% yang memiliki frekuensi makan siang yang buruk. Frekuensi makan malam
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
65
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
juga menunjukkan sebagian besar responden memiliki frekuensi makan yang baik dengan persentase sebesar 95.3% dan sisanya sebesar 4.7% merupakan persentase responden dengan frekuensi makan malam yang buruk. Secara keseluruhan baik frekuensi makan pagi, siang, dan malam bisa dikatakan baik. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya akivitas responden yang tidak terlalu sibuk. Jarak setiap rumah yang tidak dekat bisa menjadi salah satu penyebab aktivitas remaja yang kurang dan juga jarak sekolah yang lebih banyak diakses oleh siswanya menggunakan kendaraan bermotor. 4. Pengetahuan gizi Pengetahuan gizi responden menunjukkan bahwa sebagian besar reponden memiliki pengetahuan gizi yang tinggi, jika jawaban benar â&#x2030;Ľ median, dengan persentase 60.5%. Sementara, responden dengan persentase gizi rendah, jika jawaban benar < median, memiliki persentase 39.5%. 5. Pendidikan orangtua Berdasarkan tabel 1 pendidikan orangtua yaitu ayah dan ibu menunjukkan bahwa pendidikan rendah lebih besar daripada pendidikan tinggi. Pendidikan dikatakan tinggi, jika pendidikan ayah atau ibu â&#x2030;Ľ SMA dan rendah, jika pendidikan ayah atau Ibu < SMA. Pendidikan ibu menunjukkan 100% rendah dan ayah 90.7% rendah. Hal tersebut terjadi karena akses menuju pendidikan yang terbatas bagi orangtua dulunya. Sementara saat ini saja, baru terdapat dua SMA dan satu MA sebagai jenjang pendidikan tertinggi di pulau tersebut. 6. Pekerjaan orangtua Pekerjaan orangtua dibagi menjadi pekerjaan ibu dan ayah. Apabila dilihat berdasarkan tabel sebagian besar ibu 66
responden tidak bekerja, dalam penelitian ini yang dimaksudkan tidak bekerja adalah tidak melakukan pekerjaan yang menghasilkan pemasukan, dengan persentase 81.4% dan yang bekerja hanya 18.6%. Sementara sebagian besar ayah responden bekerja dengan persentase 93% dan yang tidak bekerja sebesar 7%. Persentase ibu yang tidak bekerja bisa jadi dipengaruhi karena tingkat pendidikan yang rendah. Sehingga sebagian besar ibu menjadi ibu rumah tangga tanpa bekerja dalam hal ini di sektor publik. Sementara itu terdapat ayah yang tidak bekerja disebabkan karena sudah meninggal atau sakit. 7. Ketersediaan sayur dan buah Responden yang memiliki ketersediaan sayur dan buah yang baik lebih banyak dengan persentase sebesar 53.5% , dibandingkan dengan responden yang memiliki ketersediaan sayur dan buah yang kurang baik dengan persentase sebesar 46.5%. 8. Indeks Massa Tubuh Responden yang memiliki indeks massa tubuh yang normal lebih banyak dibandingkan dengan responden yang kurus dan gemuk dengan persentase sebesar 55.8%. Sementara itu responden yang kurus memiliki persentase sebesar 37.2% dan responden yang gemuk 7%. Tabel 2. Hasil analisis bivariat Variabel Independen Frekuensi Makan Pagi Frekuensi Makan Siang Frekuensi Makan Malam Pendidikan Ayah Pekerjaan Ibu Pekerjaan Ayah Uang Jajan Pengetahuan Gizi Ketersediaan Buah dan Sayur Indeks Massa Tubuh
P-value 0.109 1.000 0.522 0.279 1.000 1.000 0.307 0.752 0.206 1.000
FITRIANI, FAUZANA, NUGROHO & RAHMAYANTI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Berdasarkan tabel 2 di atas, secara statistik (P value > 0.05) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara variabel independen yakni frekuensi makan, pekerjaan orangtua, pendidikan orangtua, ketersediaan bauh dan sayur, uang jajan, pengetahuan gizi, dan indeks massa tubuh dengan variabel dependennya, yakni tingkat konsumsi buah dan sayur.
B. KESIMPULAN DAN SARAN Konsumsi buah dan sayur remaja perempuan usia 16-18 tahun di SMAN 1 Tebingtinggi Timur dapat dikatakan rendah, atau jarang mengonsumsi buah dan sayur. Sebagian besar responden memiliki uang jajan yang tinggi. Sebagian besar responden memiliki frekuensi makan, pengetahuan gizi, dan ketersediaan buah dan sayur yang baik. Selanjutnya, sebagian besar pendidikan orangtua responden masih rendah. Ibu reponden sebagian besar tidak bekerja sementara ayah sebagian besar bekerja. Sebagian besar responden memiliki indeks massa tubuh yang normal, meski begitu masih terdapat indeks masa tubuh yang kurus dan juga gemuk. Tidak terdapat satupun variabel independen yang berhubungan secara bermakna dengan tingkat konsumsi sayur dan buah responden. Terdapat faktor lain yang menyebabkan rendahnya konsumsi sayur dan buah pada responden, yang belum digali lebih lanjut dalam penelitian ini Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini, dapat meningkatkan kemampuan masyarakat di Kabupaten Tebingtinggi Timur, Riau agar dapat mengonsumsi lebih banyak sayur dan buah sesuai dengan anjuran yang ada. Tidak hanya itu, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dapat segera turut andil dalam pemasalahan rendahnya konsumsi sayur dan buah masyarakat di Provinsi Riau, maupun di
seluruh penjuru negeri. Serta diharapkan ada penelitian lebih lanjut mengenai faktor penyebab rendahnya konsumsi sayur dan buah agar wawasan terkait hal tersebut dapat semakin berkembang dan mampu memberikan banyak manfaat untuk masyarakat.
REFERENSI Agudo, Antonio. (2004, September). Measuring intake of fruit and vegetables [electronic resource]. Background paper for the Joint FAO / WHO Workshop Fruit and Vegetable in Kobe, Japan. Retrived July 2016, from http://www.who.int/dietphysicalactivity/p ublications/f&v_intake_measurement.pdf. Almatsier, sunita. (2009). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Almatsier, sunita. (2011). Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Arisman. (2009). Buku ajar Ilmu Gizi : Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC Astawan, Made. (2008). Sehat dengan Buah. Jakarta: Dian Rakyat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2013). Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar Provinsi Riau. Retrived July 2016, From http://www.pusat2.litbang.depkes.go.id/pu sat2_v1/wpcontent/uploads/2015/02/Pokok-PokokHasil-Riskesdas-Prov-Riau-.pdf. Badan Pusat Statistik Provinsi Riau. (2015). The Result Of Horticulture Survey Vegetables And Fruits Plant Statistic Riau 2014. Retrived July 2016, from http://riau.bps.go.id/websiteV2/pdf_publik asi/Hasil-Survei-Hortikultura-StatistikTanaman-Sayuran-Riau-2014.pdf.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
67
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Bell, K. and Tepper, B. (2006). Short-term vegetable intake by young children classified by 6-n-propylthoiuracil bittertaste phenotype. The American Journal of Clinical Nutrition, [online] 84(1), pp.245251. Available at: http://ajcn.nutrition.org/content/84/1/245.f ull [Accessed 23 Jan. 2015]. Bere, Elling et al. (2008). Why do Parents’ Education Level and Income Affect The Amount of Fruits and Vegetables Adolescents Eat? European Journal of Public Health, 18, 6, 611-615 Brown, J.E. (2005). Nutrition Through Life Cycle. California: Thomson Wadsworth. Brug, Johannes et al. (2008). Taste preference, Liking, and Others Factors Related to Fruit and Vegetable Intakes Among Schoolchildren: Results from Observational Studies. British Journal of Nutrition (2008), 99, Suppl. 1, S7-S14 Charlton, K., Kowal, P., Soriano, M., Williams, S., Banks, E., Vo, K. and Byles, J. (2014). Fruit and Vegetable Intake and Body Mass Index in a Large Sample of Middle-Aged Australian Men and Women. Nutrients, [online] 6(6), pp.2305-2319. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC4073152/ [Accessed 4 Aug. 2016]. Dalimartha, S. & Adrian, F. (2011). Khasiat Buah dan Sayur. Jakarta : Penebar Swadaya. Departemen Kesehatan RI. (2008). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007 (RISKESDAS). Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia. ______________________. (2014). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013 (RISKESDAS). Jakarta: Badan Penelitian 68
dan Pengembangan Departemen Kesehatan, Indonesia.
Kesehatan, Republik
Dinas Kesehatan Kabupaten Agam. (2015). Manfaat Makan Sayur dan Buah Setiap Hari. Retrived July 2016, from http://dinkes.agamkab.go.id/?agam=infor masi&se=detil&id=484. Farida, I. (2010). Faktor-Faktor yang Berhubungan Ddengan Perilaku Konsumsi Buah Dan Sayur Pada Remaja Di Indonesia Tahun 2007. Skripsi Sarjana pada FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Retrived July 2016, from http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handl e/123456789/2415 Fitriani, Imel. (2010). Hubungan Asupan Serat dan Cairan dengan Kejadian Konstipasi pada Lanjut Usia di Panti Sosial Sabai Nan Aluih Sicincin Tahun 2010. Gudang Penyimpanan Data Ilmiah Universitas Andalas. Retrived July 2016, from http://repo.unand.ac.id/283/. Food and Agriculture Organization. (2003, November). Greater Consumption of Fruits and Vegetables Promoted by UN Agencies. Retrived July 2016, from http://www.fao.org/english/newsroom/ne ws/2003/24439-en.html. ______________________________. (2003, October). Increasing Fruit and Vegetable Consumption Becomes a Global Priority. Retrived July 2016, from http://www.fao.org/english/newsroom/foc us/2003/fruitveg1.htm. Gould, P., Taylor, E. and Cason, K. (2007). Feeding the kids. Clemson, S.C.: Mancala Pub Hockenberry, M.J. Wilson, D. (2015). Wong’s Nursing Care of Infants and Children. St. Louis: Elsevier
FITRIANI, FAUZANA, NUGROHO & RAHMAYANTI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Hoppu, Ulla et al. (2010). Dietary Habits and Nutrient Intake of Finnish Adolescents. Public Health Nutrition, 13(64), 965-972 Krebs‐Smith, S.M., Heimendinger, J., Patterson, B.H., Subar, A.F., Kessler, R. and Pivonka, E. (1999) Psychosocial factors associated with fruit and vegetable consumption. American Journal of Health Promotion, 10, 98–104 Kristjansdottir, Asa G. Et al. (2006). Determinants of Fruit and Vegetable Intake among 11-year-old Schoolchildren in a Country Traditionally Low Fruit and Vegetable Consumption. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity 2006, 3:41. Lytle, Leslie A. Et al. (20003). Predicting Adolescents’ Intake of Fruits and Vegetables. Journal Nutrition Education Behavior, 35, 170-178 Macfarlane, A. Et al. (2007). Adolescent Home food Environment and Socioeconomis Posiion. Asia Pasific Journal Clinical Nutrition, 16, 4, 748-756. Melinda, K. (2013). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Buah dan Sayur Pada Remaja Di SMP Negeri 28 Jakarta Dan SMP Negeri 1 Jakarta Tahun 2013. Skripsi Sarjana pada FKM UI Depok: tidak diterbitkan Mullie, P. et al. (2006). Breakfast frequency and Fruit and Vegetale Consumption in Belgian Adolescents. Nutrition and Food Sciene 2006 Vol. 36 No.5, pg. 315-326.
Pedersen, Trine pagh et al. 2012. Fruit and Vegetable Intake is Associated with Frequency of Breakfast, Lunch, and Evening Meal: Cross-Sectional Study of 11-, 13-, and 15-year-old. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 9:9. Rai,I Nyoman. Poerwanto, Roedhy. (2008). Memproduksi Buah di Luar Musim. Yogyakarta: Lily Publisher Ridwan, E., et al. (2014). Buku Studi Diet : Total Survei Konsumsi Makanan Individu Provinsi Riau 2014. Jakarta : Lembaga Penerbit Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Tahun 2014. Schiffman LG, Kanuk LL. (2004). Perilaku Konsumen. Ed ke-7. Yahya DK, penerjemah. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Terjemahan dari: Consumer Behavior. Sizer, Frances. Whitney, Ellie. 2006. Nutrition Concepts and Controversies. –ed10-. California:Thomson Wadsworth Slavin, J.L. & Lloyd, B. (2012). Health Benefits of Fruits and Vegetables. Advanced in Nutrition : An International Review Journal. Retrived July 2016, from http://advances.nutrition.org/content/3/4/5 06.full. Sunarjono, Hendro. (2008). Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta: Penebar Swadaya _______________. (2010). Berkebun 21 Jenis Tanaman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya
Notoadmodjo, Soekodjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
World Health Organization. (2004). Patterns and Determinants of Fruit and Vegetable Consumption in Sub-Sahara Africa: a Multicountry Comparison. Kobe:Jepang
Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
________________________. (2014). Increasing Fruit and Vegetable Consumption to Reduce The Risk of Noncommunicable Diseases. Retrived July 2016, from
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
69
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
http://www.who.int/elena/titles/fruit_vege tables_ncds/en/ ________________________. (n.d). Promoting Fruit and Vegetable Consumption Around The World. Retrived July 2016, from http://www.who.int/dietphysicalactivity/fr uit/en/index2.html.
70
FITRIANI, FAUZANA, NUGROHO & RAHMAYANTI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Potensi Sagu Riau: Analisis Pengaruh Marketing Mix Terhadap Keputusan Membeli Kuliner Olahan Sagu Khas Sungaitohor Muhammad Abdul Rohman Ilmu Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
Nurul Khomariyah Ilmu Ekonomi Islam, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
Fariz Azhari Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Amalia Sevatita Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Salah satu target dari SDGS, yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan sementara itu kabupaten meranti adalah penghasil sagu terbesar di Indonesia. Disana terdapat kuliner khas yang terbuat dari bahan sagu. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sungaitohor dengan pengambilan sampel insidentiI sampling menggunakan metode anlisis data Ordinary Least Square (OLS), Berdasarkan analisis secara keseluruhan, Dari model yang telah diregresikan, diperoleh nilai Prob>F = 0,0027; yang mengindikasikan bahwa seluruh variabel independen (umur, lama pendidikan, suku, kualitas produk,promosi , harga ,tempat (marketing mix)) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (keputusan untuk membeli). Selain itu, dari hasil regresi, diperoleh nilai Adj R-squared = 0.21. Nilai tersebut berarti 21% variasi dari nilai variabel keputusan membeli (variabel dependen) dapat dijelaskan oleh variasi nilai dari umur, lama pendidikan, suku, kualitas produk;promosi ; harga ,tempat (variabel independen). KATA KUNCI: ketahanan, marketing mix, keputusan pembelian konsumen.
A. PENDAHULUAN Mengacu pada salah satu target dari Sustainable Development Goals, yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian yang berkelanjutan â&#x20AC;&#x201C; berbagai usaha untuk mendorong ketahanan pangan terus dilakukan, salah satunya adalah
pengembangan bahan pangan alternatif yaitu sagu. Tanaman sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang penting kedudukannya sebagai bahan makanan sesudah padi, jagung, dan umbi-umbian. Sagu memiliki kandungan karbohidrat (kalori) yang memadai dan memiliki kemampuan substitusi pati sagu
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
71
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
dalam industri pangan. Dengan demikian pengelolaan sagu di Indonesia memiliki prospek yang sangat menjanjikan untuk ketahanan pangan dan energi nasional di masa mendatang. Indonesia memiliki areal tanaman sagu terbesar di dunia, sekitar 1.128 juta hektar atau 51,3 persen dari 2.291 juta hektar areal sagu dunia. Sebaran lahan pohon sagu tersebar di beberapa wilayah di Indonesia, yaitu Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan. Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia (PPSI), produksi sagu nasional mencapai 400.000 ton per tahun atau baru mencapai sekitar 8 persen dari potensi sagu nasional. Indonesia merupakan penyumbang 55 persen sagu dunia, disusul Papua Nugini 20 persen, Malaysia 20 persen, dan lain-lain negara sebesar 5 persen. Dari jumlah produksi tersebut, hampir separuhnya dihasilkan dari Propinsi Riau, sementara separuh lainnya berasal dari daerahdaerah Papua, Maluku dan lainnya. Pada tahun 2008, areal tanaman sagu di Riau yang tersebar di daerah pesisir dan di pulau-pulau kecil di beberapa daerah kabupaten mencapai 69.916 hektar (ANTARA, 2016). Salah satu kabupaten di Kepulauan Riau yang merupakan penghasil sagu adalah Kabupaten Kepulauan Meranti, bahkan kabupaten ini disebut sebagai penghasil sagu terbesar di Indonesia. Gubernur Riau telah menobatkan Kabupaten Kepulauan Meranti sebagai pusat pengembangan tanaman sagu secara nasional. Di kawasan Kabupaten Kepulauan Meranti, Desa Nipah Sendanu dan Sungaitohor yang terletak di Kecamatan Tebingtinggi Timur merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi sagu basah sekitar 500 ton per bulan. Menurut data BPS tahun 2010 luas area tanaman sagu di Kabupaten Kepulauan 72
Meranti mencapai 51,086 Ha yaitu 2,98 persen luas tanaman sagu nasional. Perkebunan sagu di Meranti telah menjadi sumber penghasilan utama hampir 20 persen masyarakat Meranti. Produksi sagu mencapai 491.444,7 ton per tahun. Sagu Riau mempunyai banyak sekali potensi, salah satunya adalah potensi untuk dijadikan kuliner. Desa Sungaitohor sendiri mempunyai begitu banyak varian produk olahan sagu seperti mie sagu, krupuk sagu, sagu lemak, sagu telor, sempole, lempeng sagu, dawet cendol sagu dan lain-lain. Pengembangan sagu menjadi berbagai macam produk olahan sejatinya akan menambah nilai guna dan nilai tambah secara ekonomis. Kuliner yang beraneka rupa akan menarik konsumen untuk membeli. Oleh karenanya diperlukan suatu perhatian khusus terhadap usaha pengembangan produk olahan sagu guna meningkatkan perekonomian masyarakat dan menyelesaikan permasalahan pangan di Indonesia. Sayangnya, pengolahan sagu menjadi produk yang mempunyai nilai tambah lebih belum dilakukan secara optimal. Produk olahan sagu Desa Sungaitohor belum dipasarkan secara meluas, sejauh ini masih dipasarkan di sekitar Kecamatan Tebingtinggi Timur. Masyarakat Desa Sungaitohor sebagian besar dapat membuat sendiri beberapa pangan olahan sagu sehingga pengusaha pun memiliki demand yang lumayan sedikit. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini mencoba unutk memperoleh informasi mengenai apa faktor yang paling signikan memengaruhi konsumen dalam membeli kuliner produk olahan sagu di Sungaitohor? Dan bagaimana pengaruh faktor tersebut dengan keputusan membeli? Sehingga hal ini bermanfat sebagai bahan pertimbangan stake holders untuk mengembangkan potensi sagu di Tebingtinggi Timur.
ROHMAN, KHOMARIYAH, AZHARI & SEVATITA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
B.TINJAUTAN PUSTAKA 1. Marketing Mix Menurut Kotler dan Armstrong (2008) “marketing mix is the set of controllable, tactical marketing tools that the firm blends to produce the response it wants in the target market”. Marketing Mix digunakan oleh pemasar agar produknya dapat memasuki pasar dan mencapai sasaran atau target market. Item marketing mix atau dalam Bahasa Indonesia disebut dengan bauran pemasaran meliputi: a. Product yaitu terdiri dari keragaman produk, kualitas, desain, ciri, nama merk, kemasan, ukuran, pelayanan, garansi (jaminan), dan imbalan. b. Price yaitu terdiri dari harga, rabat (diskon), potongan harga khusus, periode pembayaran, dan syarat kredit. c. Promotion yaitu terdiri dari promosi penjualan, periklanan, tenaga penjualan, pubic relation (PR), dan pemasaran langsung. d. Place yaitu terdiri dari saluran pemasaran, cakupan pasar, pengelompokan, lokasi, persediaan, dan transportasi. Menurut Fandy Tjiptono (2007) bauran pemasaran adalah seperangkat alat yang digunakan pemasar untuk membentuk karakteristik jasa yang ditawarkan kepada pelanggan. Swasta dan Irawan (2003) menjelaskan bahwa bauran pemasaran adalah kombinasi dari empat variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran perusahaan, yakni produk, struktur harga, kegiatan promosi, dan sistem distribusi. Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa marketing mix adalah kombinasi dari 4P, yaitu product, price, promotion, dan place yang digunakan oleh perusahaan untuk memasarkan produknya. KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
Gambar 1. Elemen Marketing Mix Sumber Gambar: (Kotler, 2001)“the Four P of Marketing Mix”
a. Produk Menurut (Kotler & Amstrong, 2001: 11) produk adalah segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepasar untuk mendapatkan perhatian, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan. Secara konseptual produk adalah pemahaman subyektif dari produsen atas sesuatu yang dapat ditawarkan sebagai usaha untuk mencapai tujuan organisasi melalui pemenuhan kebutuhan dan kegiatan konsumen, sesuai dengan kompetensi dan kapasitas organisasi serta daya beli pasar. Selain itu produk dapat pula didefinisikan sebagai persepsi konsumen yang dijabarkan oleh produsen melalui hasil produksinya. Produk dipandang penting oleh konsumen dan menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan. b. Promosi Promosi berfungsi untuk meyakinkan target pelanggan bahwa barang dan jasa yang ditawarkan tersebut memiliki keunggulan yang berbeda dibandingkan pesaing. Menurut Basu Swasta dan Irawan (2001) promosi adalah arus informasi atau persuasi satu arah yang dibuat untuk mengarahkan seseorang atau organisasi kepada tindakan yang menciptakan pertukaran dalam pemasaran.
73
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Tujuan utama promosi adalah menginformasikan, mempengaruhi, dan membujuk serta mengingatkan pelanggan sasaran tentang pemasaran dan bauran pemasaran. Dengan memperhatikan hal diatas maka dibutuhkan persiapan ataupun sarana promosi agar apa yang diinginkan perusahaan dapat memenuhi sasaran dan efisien. c. Harga Harga menurut Kotler dan Amstrong (2001) adalah sejumlah uang yang ditukarkan untuk sebuah produk atau jasa. Lebih jauh lagi, harga adalah sejumlah nilai yang konsumen tukarkan untuk sejumlah manfaat dari memiliki atau menggunakan suatu barang atau jasa. Harga merupakan hal yang diperhatikan konsumen saat melakukan pembelian. Sebagian konsumen bahkan mengidentifikasikan harga dengan nilai. d. Tempat Lokasi adalah tempat dimana sesuatu berada. Menurut (Lupiyadi 2001) lokasi merupakan keputusan yang dibuat perusahaan berkaitan dengan dimana operasi perusahaan dan tenaga kerja akan ditempatkan. Lokasi merupakan gabungan antara tempat yang strategis dan keputusan atas saluran distribusi, dalam hal ini berhubungan dengan cara penyaluran barang dan jasa kepada konsumen. Menurut Lamb (2001), pemilihan lokasi yang baik, merupakan keputusan yang sangat penting. Pertama, karena keputusan lokasi mempunyai dampak yang permanen dan jangka panjang sehingga pengusaha perlu mempertimbangkan apakah lokasi tersebut perlu dibeli atau hanya disewa. Kedua, lokasi akan mempengaruhi pertumbuhan usaha di masa mendatang. Lokasi yang dipilih 74
haruslah mampu mengalami pertumbuhan ekonomi sehingga usaha pun dapat tumbuh dan bertahan. Ketiga, apabila nilai lokasi memburuk akibat perubahan lingkungan yang dapat terjadi setiap waktu, mungkin saja usaha tersebut harus dipindahkan atau ditutup. 2. Keputusan Pembelian Keputusan pembelian merupakan tindakan konsumen untuk membeli suatu produk setelah sebelumnya mempertimbangkan informasi-informasi yang ia peroleh dan juga kondisinya. Keputusan pembelian merupakan hal yang lazim dipertimbangkan konsumen dalam proses pemenuhan kebutuhan akan barang maupun jasa. Beberapa faktor yang mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembelian suatu produk atau jasa diantaranya adalah kualitas, harga serta brand dari suatu produk. Sebelum konsumen memutuskan untuk membeli, biasanya konsumen melalui beberapa tahap terlebih dahulu yaitu, (1) pengenalan masalah, (2) pencarian informasi. (3) evaluasi alternatif, (4) keputusan membeli atau tidak, (5) perilaku pembelian (Kotler, 2001). Namun dalam pembelian yang lebih rutin, konsumen sering kali melompati atau membalik beberapa tahap ini.
3. Faktor-faktor yang Keputusan Pembelian
Memengaruhi
Kebanyakan perusahaan besar meneliti keputusan membeli konsumen secara amat rinci untuk mengetahui hal-hal mengenai (a) apa yang dibeli konsumen, (b) bagaimana dan berapa banyak mereka membeli, serta (c) mengapa mereka membeli suatu produk. Perusahaan perlu untuk mengetahui faktor-
ROHMAN, KHOMARIYAH, AZHARI & SEVATITA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
faktor yang mempengaruhi pembelian konsumen untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut. Menurut Kotler dan Keller (2007), faktorfaktor yang mempengaruhi tingkah laku konsumen dalam keputusan pembelian adalah budaya, lingkungan sosial, pribadi, dan psikologis. a. Faktor Budaya a.1.Budaya Budaya (culture) adalah kumpulan nilai dasar, persepsi, keinginan, dan perilaku yang dipelajari oleh anggota masyarakat dari keluarga dan institusi penting lainnya. a.2.Sub Budaya Sub budaya (subculture) adalah kelompok masyarakat yang berbagi sistem nilai berdasarkan pengalaman hidup dan situasi yang umum. a.3.Kelas Sosial Kelas sosial (social class) adalah pembagian yang relatif dan berjenjang dalam masyarakat dimana anggotanya berbagi nilai, minat, dan perilaku yang sama. b. Faktor Sosial b.1.Kelompok Kelompok (group) adalah dua atau lebih orang yang berintraksi untuk mencapai tujuan pribadi atau tujuan bersama. b.2.Keluarga Keluarga adalah organisasi konsumen yang paling penting dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak. Dalam rangka menjaga keberlangsungan hidupnya, suatu keluarga pasti membutuhkan suatu barang atau jasa sehingga organisasi sosial ini melakukan konsumsi.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
b.3.Peran dan Status Peran adalah aktivitas yang diharapkan dilakukan seseorang dalam suatu lingkungan. Setiap peran membawa status yang mencerminkan penghargaan yang diberikan oleh masyarakat. Tingkat peran dan status seseorang dalam masyarakat berpengaruh terhadap keputusan pembelian barang dan jasa. c. Faktor Pribadi c.1. Usia dan Tahap Siklus Hidup Membeli juga dibentuk oleh siklus hidup keluarga mengenai tahap-tahap yang mungkin dilalui keluarga sesuai kedewasaanya. Dari usia muda, usia pertengahan dan usia tua. c.2. Pekerjaan Pekerjaan seseorang mempengaruhi barang dan jasa yang mereka beli. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan individu berdasarkan profesi yang dijalaninya. c.3. Kondisi Ekonomi Kondisi ekonomi mempengaruhi pilihan produk. Dalam pemasaran suatu produk pengusaha harus memperhatikan pendapatan konsumen. Pengusaha perlu melakukan observasi mengenai kecenderungan dalam pendapatan konsumen, tabungan, dan tingkat minat dalam membeli. c.4. Gaya Hidup Gaya hidup (lifestyle) adalah pola kehidupan seseorang yang diwujudkan dalam psikografisnya. Gaya hidup berkaitan dengan aktivitas (pekerjaan, hobi, berbelanja, olahraga dan kegiatan sosial), minat (makanan, mode, keluarga, rekreasi), dan opini (isu sosial, bisnis, produk). c.5. Kepribadian dan Konsep Diri Kepribadian (personality) mengacu pada karakteristik psikologi 75
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
dari seseorang yang memunculkan respon yang relatif konsisten dan bertahan lama terhadap lingkungan orang itu sendiri. Hal ini dapat berpengaruh terhadap kesetiaan konsumen dalam mengonsumsi suatu barang dan jasa. d. Faktor Psikologis d.1.Motivasi Motivasi adalah suatu tekanan kuat yang mendorong seseorang untuk mencari kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan barang dan jasa. d.2.Persepsi Persepsi adalah proses dimana seseorang memilih, mengatur, dan menginterpretasikan informasi untuk membentuk gambaran dunia yang berarti. d.3.Pembelajaran Maksudnya adalah perubahan dalam perilaku seseorang yang timbul dari pengalaman. d.4.Keyakinan dan Sikap Keyakinan (belief) adalah pemikiran deskriptif yang dimiliki seseorang mengenai sesuatu. Sementara itu, sikap (attitude) adalah evaluasi, perasaan, dan tendensi yang relatif konsisten dari seseorang terhadap sebuah objek atau ide.
C.METODE PENELITIAN 1. Desain Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sungaitohor Kecamatan Tebingtinggi Timur Kabupaten Kepulauan Meranti pada tanggal 15-25 Agustus 2016. Lokasi penelitian tersebut ditentukan secara purposive, mengingat daerah tersebut merupakan sentral penghasil sagu terbesar di Provinsi Kepulauan Riau. Metode pengambilan sampel adalah insidentaI sampling yaitu responden yang 76
kebetulan dijumpai atau dapat dijumpai di warung yang khusus menjual kuliner produk olahan sagu. Terdapat empat (4) warung yang menjual kuliner produk olahan sagu di Sungaitohor yaitu: (1) Warung Ibu Rini, (2) Warung Pak Kades, (3) Warung Bobo, dan (4) Warung Ibu Ana. Konsumen yang datang membeli produk olahan sagu di Warung Ibu Rini rata-rata berjumlah 20-36 pengunjung per hari sedangkan Warung Pak Kades rata-rata berjumlah 15-32 pengunjung, untuk Warung Bobo rata-rata 15-30 pengunjung dan Warung Ibu Ana 15-34 per hari. Pengambilan sampel pada masing â&#x20AC;&#x201C; masing toko penjual produk olahan sagu di tetapkan 50 persen dari maksimal jumlah responden yang datang membeli produk olahan sagu perhari, sehingga jumlah sampel yang dapat diambil dalam penelitian di masing-masing warung sebanyak: (a) Warung Ibu Rini sebanyak 18 responden, (b) Warung Pak Kades 16 responden, (c) Warung Bobo 15 responden dan (d) Warung Ibu Ana 17 responden. Total responden secara keseluruhan dari 4 ( empat ) warung di desa Sungaitohor berjumlah 66 responden. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan responden yang datang untuk membeli produk olahan sagu dengan menggunakan daftar pertanyaan atau kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari warung penjual produk olahan sagu dan instansi-instansi yang berkaitan dengan penelitian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Metode survei adalah metode pengamatan atau penyelidikan yang kritis untuk memperoleh keterangan atau informasi yang jelas terkait suatu persoalan tertentu. Pertanyaan dalam kuesioner diuji dengan ROHMAN, KHOMARIYAH, AZHARI & SEVATITA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
menggunakan skala Likert 1-4 dimulai dari (1) tidak setuju, (2) kurang setuju, (3) setuju dan (4) sangat setuju. Setelah memperoleh data likert ini maka dilakukan uji reliabilitas dan uji validitas terhadap variabel yang telah ditentukan. 2. Model Persamaan Penelitian Untuk mengetahui analisis pengaruh marketing mix terhadap keputusan pembelian konsumen digunkaan analisis regresi linier berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS), dengan model persamaan sebagai berikut: Y = Îą + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + Îľ Dimana:Y=Keputusan Pembelian; X1=umur, X2=lama pendidikan, X3= suku (dummy 0=non melayu, 1= melayu) X4= Produk; X5=Promosi ; X6=Harga X7=Tempat,; đ?&#x203A;ź= intercept đ?&#x153;&#x20AC;= error. (Hasni Patta, Martha Turukay, Weldelmina B. Parera, 2013)
B.HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian a. Faktor yang Memengaruhi Keputusan Konsumen Membeli Kuliner Olahan Sagu Untuk mengetahui faktorâ&#x20AC;&#x201C;faktor yang memengaruhi keputusan konsumen dalam membeli makanan olahan sagu maka dilakukan global tes dan berikut hasil dari global test tersebut: Tabel 1. Hasil regresi dari global test
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
Adapun interpretasi dari regresi diatas adalah: Pertama, untuk melakukan Global Test dibentuklah hipotesis sebagai berikut: đ??ť0 = đ?&#x203A;˝1 = đ?&#x203A;˝2 = đ?&#x203A;˝3......đ?&#x203A;˝ 7 = 0 đ??ťđ??´ = đ?&#x203A;˝1 â&#x2030; đ?&#x203A;˝2 â&#x2030; đ?&#x203A;˝3.....đ?&#x203A;˝7 â&#x2030; 0 Jika nilai dar Prob>F kurang dari tingkat signifikansi 10% (É&#x2018; = 0,1), maka hipotesa nol ditolak dan jika lebih dari 0,05, hipotesa nol diterima. Dari model yang telah diregresikan, diperoleh nilai Prob>F = 0,0027, maka hipotesa nol ditolak. Hal ini berarti secara keseluruhan, seluruh variabel independen (umur; lama pendidikan; suku; kualitas produk, promosi, harga, tempat) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (keputusan untuk membeli). Kedua, untuk mengetahui seberapa besar hubungan antara variabel dependen dan independen dapat dilihat dari nilai Rsquared atau Adj R-squared. R-squared adalah non-decreasing function sehingga penggunaan R-squared hanya cocok untuk regresi 2 variabel. Jika terdapat lebih dari 2 variabel maka Adj R-squared lebih terpercaya. Dalam penelitian ini, dikarenakan dalam regresi yang dilakukan terdapat lebih dari 2 variabel, maka dipergunakanlah Adj R-squared. Dari hasil regresi didapatkan nilai Adj R-squared = 0.21. Interpretasi dari nilai tersebut adalah 21% variasi dari nilai variabel keputusan membeli (variabel dependen) dapat dijelaskan oleh variasi nilai dari umur; lama pendidikan; suku; kualitas produk, promosi, harga, tempat (variabel independen). b. Pengaruh Maketing Mix terhadap Pembelian Kuliner Produk Olahan Sagu Adapun analisis setiap varibel yang digunakan dalam penelitian ini: 77
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Tabel 2. Hasil analisis dari setiap variabel yang digunakan
Dari analisis tabel diatas, maka diperoleh persamaan sebagai berikut: Y = Îą + 0,018X1 + 0,018X2 + 0,34X3 + 0,237X4 + 0,325X5 + 0,255X6 + 0,104X7 + Îľ Dimana: Y = Keputusan Pembelian; X1 = umur, X2 = lama pendidikan(tahun), X3 = suku (dummy 0 = non melayu, 1 = melayu) X4 = Produk; X5=Promosi ; X6 = Harga X7 = Tempat,; đ?&#x203A;ź = intercept đ?&#x153;&#x20AC; = error r b.1.Pengaruh Variabel Atribut terhadap Keputusan Pembelian Variabel atribut yang dimaksud dalam penelitian ini adalah umur, lama pendidikan, dan suku. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh koefisien varibel umur, lama pendidikan, dan suku berpengaruh positif terhadap keputusan pembelian dimana masing masing bernilai 0,018; 0,018; dan 0,34. Namun variabel umur, lama pendidikan, dan suku ini tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian ditandai dengan angka P > [t] masing-masing 0,29; 0,79; 0,54 > 0,1 (drajat signifikant =0,1). b.2.Pengaruh Produk terhadap Keputusan Pembelian
78
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh koefisien variabel kualitas produk dalam keputusan pembelian bernilai positif dengan angka pengaruh sebesar 0,237. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan kualitas produksi satu satuan akan menambah keputusan untuk membeli sebesar 0,237, dengan asumsi variable lainnya tetap. Variabel kualitas produk memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian makanan olahan sagu di Desa Sungaitohor, ditandai angka P>[t] = 0,06 < 0,1 (drajat signifikant = 0,1). b.3.Pengaruh Promosi terhadap Keputusan pembelian Berdasarkan hasil analisis, diperoleh koefisien variabel promosi bernilai positif terhadap keputusan pembelian makanan olahan sagu dengan koefisinen 0,325. Hal ini berarti setiap kenaikan satu satuan pada variabel promosi akan mempengaruhi kenaikan pembelian sebesar 0,325. Dengan tingkat signifikant 0,1; variabel promosi ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian makanan olahan sagu di Desa Sungaitohor, ditandai angka P > [t]= 0,052 < 0,1 (drajat signifikant = 0,1). ROHMAN, KHOMARIYAH, AZHARI & SEVATITA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
b.4.Pengaruh Harga terhadap Keputusan pembelian Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh koefisien variabel harga dengan keputusan pembelian bernilai positif dengan angka pengaruh sebesar 0,255. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan harga satu satuan maka akan menambah keputusan untuk membeli sebesar 0,255; dengan asumsi variable lainnya bersifat tetap. Variabel harga ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian makanan olahan sagu di desa Sungaitohor, ditandai angka P > [t]= 0,056 < 0,1 (drajat signifikant =0,1). b.5.Pengaruh Tempat terhadap Keputusan Pembelian Berdasarkan hasil analisis diatas menunjukkan koefisien variabel tempat dengan keputusan pembelian bernilai positif dengan angka pengaruh sebesar 0,104. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan varibel tempat sebesar satu satuan maka akan menambah keputusan untuk membeli sebesar 0,104; dengan asumsi variable lainnya bersifat tetap. Variabel tempat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keputusan pembelian makanan olahan sagu di desa Sungaitohor, ditandai dengan angka P > [t]= 0,052 < 0,1 (drajat sigifikan =0,1). 2. Pembahasan Keputusan pembelian konsumen dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dalam hal produk, seorang konsumen akan mempertimbangkan kualitas dari produk yang akan dibelinya. Para konsumen produk olahan sagu di Sungaitohor, mendefinisikan bahwa
produk olahan sagu dapat dikatakan berkualitas baik apabila memenuhi beberapa indikator seperti rasa yang lezat dan gurih, tidak mudah rusak, dan tahan lama. Perlu diketahui bahwa produk olahan sagu yang terdapat di Desa Sungaitohor sangat beranekaragam seperti mie sagu, krupuk sagu, sagu lemak, sagu telor, sempole, lempeng sagu, dawet cendol sagu dan lain-lain. Menurut konsumen makanan olahan sagu ini perlu ditingkatkan dari segi kualitasnya sehingga daya beli masyarakat terhadap kuliner produk olahan sagu meningkat. Berdasarkan hasil penelitian terhadap analisis promosi, didapatkan bahwa promosi merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam pemasaran produk. Konsumen akan tertarik dan terpersuasi untuk membeli produk apabila promosi produk unik dan menarik. Promosi sendiri merupakan salah satu strategi pemasaran agar informasi mengenai suatu produk sampai ke konsumen atau masyarakat. Semakin baik promosi maka keputusan pembelian juga akan semakin meningkat. Analisis harga menjadi faktor yang lebih dominan dalam hal ini, sebab pembeli secara umum lebih memilih harga yang murah dan terjangkau. Menurut konsumen sendiri, harga kuliner olahan sagu di Sungaitohor cukup murah bagi semua kalangan sehingga masyarakat tidak segan membelinya di warung-warung. Tempat merupakan salah satu faktor yang cukup menentukan keputusan pembelian. Umumnya konsumen cenderung lebih memilih
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
79
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
lokasi yang mudah dijangkau, jaraknya cukup dekat, dan memiliki akses transportasi ketika membeli suatu produk. Pengaruh tempat terhadap keputusan pembelian produk olahan sagu di Sungaitohor memiliki nilai yang tidak signifikan. Hal ini disebabkan letak desa Sungaitohor yang berdekatan dengan pusat Kecamatan Tebingtinggi Timur yang secara otomatis membuat desa tersebut memiliki infrastuktur jalan yang cukup memadai dan mudah dilalui oleh kendaraan. Selain itu, perumahan warga yang cukup terkonsentrasi di pusat kecamatan membuat akses warga menuju ke warung sangat dekat. Kondisi tersebut sangat mempermudah pemasaran produk olahan sagu kepada warga sekitar. Namun demikian, sejauh ini kuliner olahan sagu Sungaitohor hanya dipasarkan di dalam kawasan kecamatan Tebingtinggi Timur sehingga tidak banyak dikenal oleh masyarakt luar. Padahal produk olahan sagu Sungaitohor merupakan produk yang unik dan khas. Masyarakat sangat membutuhkan akses pasar agar produk bisa sampai ke daerah lain. Akses pasar tersebut membutuhkan infrastruktur jalan dan transportasi yang lebih memadai.
B. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan analisis secara keseluruhan, Dari model yang telah diregresikan, diperoleh nilai Prob>F = 0,0027 yang berarti seluruh variabel independen (umur; lama pendidikan; suku; kualitas produk, promosi, harga, dan tempat) berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen (keputusan untuk membeli). Selain itu, dari hasil regresi, diperoleh nilai Adj 80
R-squared = 0.21. Apabila di interpretasikan, hal tersebut berarti 21% variasi dari nilai variabel keputusan membeli (variabel dependen) dapat dijelaskan oleh variasi nilai dari umur; lama pendidikan; suku; kualitas produk, promosi, harga, dan tempat (variabel independen). Dari segi produk, pemilik warung dapat lebih menganekaragmakan produk olahan yang dijualnya. Sebab untuk beberapa makanan olahan tertentu seperti sagu lempeng yang sangat lezat ternyata hanya disajikan untuk acara tertentu. Selain itu, banyak warung di Sungaitohor yang tidak memasang spanduk di depan warungnya. Sekilas warung tersebut terlihat sebagai warung kopi padahal turut menyediakan makanan olahan sagu. Spanduk atau setidaknya tulisan produk-produk yang dijual di depan warung sangat penting sebab konsumen akan mendapat informasi yang bisa menarik minatnya untuk membeli. Hal tersebut juga untuk menarik minat peneliti ataupun pengunjung dari luar daerah dan luar negeri yang saat ini memang sudah mulai banyak mendatangi daerah perbatasan ini. Dalam rangka memperluas jaringan dan daerah pemasaran produk olahan sagu dari Desa Sungaitohor maka perlu adanya lembaga yang membantu masyarakat di bidang pemasaran. Pengembangan produk olahan sagu Desa Sungaitohor akan membawa dampak yang positif di masa depan, yaitu memperkuat posisi sagu sebagai alternatif pangan selain beras. Perekonomian masyarakat juga akan semakin meningkat dengan adanya kekhasan dari produk yang mereka jual. Tentunya pengembangan produk olahan sagu harus mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti masyarakat, pemerintah, maupun komunitas social development lainnya.
ROHMAN, KHOMARIYAH, AZHARI & SEVATITA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
REFERENSI Adiladjali. (2015). UNIC Jakarta. Diambil kembali dari UNIC Jakarta: http://unicjakarta.org/2015/07/30/pbb-proyeksikanpenduduk-dunia-capai-85-miliar-padatahun-2030-didorong-oleh-pertumbuhandi-negara-negara-berkembang/ Amstrong, Gerry dan Kottler, Philip. (2008). Prinsip- Prinsip Pemasaran jilid I. Jakarta: Erlangga. ANTARA. (2016, Juni 8). Hutan Sagu, Kunci Kesejahteraan Indonesia Bagian Timur . Diambil kembali dari m.tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2016/06/08/ 092777823/hutan-sagu-kuncikesejahteraan-indonesia-bagian-timur
Maleha, & Sutanto, A. (2006). Kajian Konsep Ketahanan Pangan. Jurnal Protein. S., M., & T, a. F. (1992). Household food security: Concepts, indicators, measurements: A technical review. Roma: IFAD/UNICEF. Sen, A. (1981). Poverty and famines. Clarendon: Oxford. Tjiptono., F. ( 1997). Strategi Pemasaran. Edisi kedua. . Yogyakarta: Andy Offset.
Barichello, R. (2000). Evaluating Government Policy for Food Security: Indonesia. Berlin: University of British Columbia. Dongkrak Ekonomi Warga Meranti, BI Riau Bangun Kilang Sagu . (2016, Maret 17). Diambil kembali dari m.tempo.co: https://m.tempo.co/read/news/2016/03/17/ 090754693/dongkrak-ekonomi-wargaHasni Patta, Martha Turukay, Weldelmina B. Parera. (2013). Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Konsumen Dalam Pembelian Produk Olahan Sagu (Studi Kasusu D Kota Ambon ) Provinsi Maluku. jurnal agrilan, 14-24. Irawan, B. S. (1981). Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta: Liberty. Kotler, P. (2001). Manajemen Pemasaran Indonesia Edisi pertama. Jakarta: Salemba. Lamb, H. ( 2001). Pemasaran. Yogyakarta: Salemba Empat. Lupiyoadi, R. (2001). Manajemen Pemasaran Jasa. Jakarta: Salemba Empat. KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
81
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Partisipasi Masyarakat Desa Sungaitohor pada Perencaan Program Restorasi Lahan Gambut: Pasca Dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Puji Rahayu Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Isti Sri Ulfiarti AkunIlmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Rahma Yulita Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Althof Endawansa Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu wilayah yang terletak di Provinsi Riau dan masuk ke dalam Segitiga Pertumbuhan Ekonomi. Salah satu desa yang terkenal akan lahan gambutnya yang luas adalah Desa Sungaitohor. Sebagian besar kawasan dari Desa Sungaitohor terdiri dari lahan gambut yang merupakan lahan yang subur dan cocok untuk tanaman sagu (Thornburn, 2013). Pada tahun 2015, terjadi kebakaran lahan gambut hebat yang pada akhirnya membuat pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Pertanyaan penelitian yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk dan derajat partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah mengenai restorasi lahan gambut. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bentuk dan derajat partisipasi masyarakat dalam perencanaan program restorasi lahan gambut. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara serta kajian pustaka untuk menjawab pertanyaan penelitian. Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah, bentuk partisipasi masyarakat Desa Sungaitohor masih berada pada tahap participation in decision making. Kemudian, derajat partisipasi masyarakat Desa Sungaitohor terbagi menjadi dua, yakni pada tahap pemberitahuan (informing) dan penentraman (placation). KATA KUNCI: Kebakaran Hutan, Partisipasi Masyarakat, Sagu, Sungaitohor.
A. PENDAHULUAN Kebakaran lahan gambut yang terjadi pada tahun 2015 di Kabupaten Kepulauan Meranti menimbulkan kerusakan yang cukup 82
parah. Hal ini menjadi salah satu pemicu pemerintah pusat untuk mengeluarkan Peraturan Presiden mengenai percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian dari RAHAYU, ULFIARTI, YULITA & ENDAWANSA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
fungsi hidrologis gambut atau yang biasa disebut sebagai program restorasi lahan gambut. Akhirnya, pada tanggal 6 Januari 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut, dengan wilayah kabupaten Meranti sebagai pilot project-nya (Setiawan, 2016). Kabupaten Kepulauan Meranti terletak di Provinsi Riau. Wilayah ini masuk ke dalam daerah Segitiga Pertumbuhan Ekonomi (Growth Triangle) dan menjadi hinterland di kawasan Free Trade Zone (FTZ) Batamâ&#x20AC;&#x201D; Tanjung Balai Karimun (Merantikab.go.id). Besarnya potensi ekonomi yang ditawarkan oleh wilayah ini menjadi salah satu dorongan masuknya beberapa perusahaan, salah satunya PT LUM (Lestari Unggul Makmur) pada tahun 2007. PT LUM ini bergerak di bidang perkebunan akasia dan berada di beberapa wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti, salah satunya desa Sungaitohor. Masyarakat Desa Sungaitohor dikenal sebagai masyarakat yang proaktif terhadap masalah lingkungan hidup. Adanya program restorasi lahan gambut ini merupakan bentuk manifestasi dari usulan yang dibawa oleh masyarakat. Maka dari itu, partisipasi masyarakat dalam perumusan suatu program yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan hal yang penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis bentuk dan derajat partisipasi masyarakat dalam perencanaan program restorasi lahan gambut pasca dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016.
B. KERANGKA TEORETIS 1. Derajat Partisipasi Partisipasi merupakan suatu konsep yang kaya dan bervariasi bentuk, peran, serta maknanya. Cara mendefinisikan partisipasi bergantung pada konteks yang dibahas
(Mathbor, 2008). Partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan memiliki tingkatan tertentu. Hal inilah yang cenderung dinamakan sebagai derajat partisipasi. Sherry R. Arnstein (1969) menyatakan ada tiga tipologi yang dapat ditawarkan untuk menjelaskan definisi dari partisipasi masyarakat, kontrol masyarakat dan keterlibatan maksimum masyarakat. Ketiga tipologi yang dimaksud adalah: pembaharuan perkotaan, anti-kemiskinan, dan model perkotaan. Masing-masing tipologi yang dimaksud membentuk suatu tangga yang menggambarkan kekuasaan masyarakat dalam merencanakan atau menjalankan suatu program. Berikut merupakan penggambaran dari derajat partisipasi yang diungkapkan oleh Arsntein (1969):
Gambar 1. Tangga Derajat Partisipasi Masyarakat Sumber Gambar: Arsntein (1969)
Dari penggambaran di atas, Arnstein menjelaskan bahwa semakin rendah tingkatan masyarakat dalam tangga yang ada, maka partisipasi masyarakat semakin menurun. Bahkan, pada tahap manipulasi dan terapi, masyarakat dianggap tidak berpartisipasi terhadap perencanaan atau jalannya program. Pada tingkatan ini, tujuan pemerintah bukan untuk melibatkan masyarakat dalam perencanaan suatu program, tapi lebih kepada bentuk penyuluhan kepada masyarakat. Kemudian, pada tingkatan Derajat Tanda
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
83
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Partisipasi terdapat tiga tingkatan, yakni penentraman, konsultasi, dan pemberian informasi Pada tingkatan ini, masyarakat diperbolehkan untuk terlibat dalam perencanaan program, akan tetapi tetap pihak yang lebih berkuasa, dalam hal ini adalah pemerintah, yang memutuskan hasilnya. Sedangkan, semakin ke atas, maka masyarakat dianggap memiliki kuasa yang lebih.Bahkan lebih besar daripada pemerintah sendiri (Arnstein, 1969).
2. Konservasi Lahan Gambut Lahan gambut merupakan salah satu penyangga ekosistem terpenting di Indonesia karena memiliki simpanan karbon dan daya simpan air yang tinggi. Lasnya pemanfaatan lahan gambut yang tersebar di beberapa pulau besar membuat Indonesiaharus menjaga kelestariannya. Di Riau, antara tahun 1982 sampai 2007, lahan gambut telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha, di mana hal ini menunjukan laju konversi lahan cenderung meningkat dengan cepat (WWF, 2008). Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu upaya konservasi lahan gambut untuk tetap menjaga lahan gambut dari penurunan lahan secara drastis. Aspek legal mengenai konservasi lahan gambut diatur dalam Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang kawasan lindung. Perlindungan terhadap kawasan gambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penyimpan air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan. Konservasi lahan gambut juga dimaksudkan untuk meminimalkan teremisinya cadangan karbon. Namun, Keputusan Presiden tersebut tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya pengawasan dan
84
komitmen dari semua pihak (Fahmuddin dan Subiksa, 2008).
terkait
3. Program Restorasi Lahan Gambut Kebakaran yang melanda lahan gambut di wilayah Riau menyebabkan diperlukannya suatu upaya untuk memulihkan lahan yang rusakakibat kebakaran dan juga kerusakan akibat pengkonversian lahan, yaitu dengan program restorasi lahan gambut. Secara umum, program ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan dan hutan di areal gambut. Program restorasi lahan gambut tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut (BRG). Program Restorasi Lahan Gambut yang menjadi perhatian Pemerintah Pusat tersebut dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh dengan misi dapat merstorasi seluas dua juta hektar dalam waktu lima tahun, termasuk mengatasi ancaman abrasi dan melestarikan kebun sagu dengan sistem sekat kanal. Adapun wilayah-wilayah utama yang dicanangkan untuk menerima program restorasi lahan gambut berdasarkan Peraturan Presiden No. 1 2016 berada di tujuh provinsi, yakni Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Namun, BRG sebagai badan bentukan presiden seperti yang tertuang dalam Perpres memulai tugas utamanya dalam merestorasi lahan gambut di Kepulauan Meranti, Riau. Hal tersebut merupakan salah satu instruksi dari Presiden Joko Widodo yang telah melihat keunikan Kabupaten Meranti dalam mengelola lahan gambut lewat penanaman sagu dalam kunjungannya pada tahun 2014 (Republika, 2016) dan juga karena termasuk salah satu daerah di Provinsi Riau dan Sumatera dari empat daerah prioritas di Indonesia yang memiliki lahan gambut terluas, maka Merantimenjadi fokus utama yang dijadikan pusat kajian BRG. RAHAYU, ULFIARTI, YULITA & ENDAWANSA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Upaya yang difokuskan oleh Badan Restorasi Gambut mencakup dua hal, yaitu rewetting (pembasahan kembali) dan revegetasi (penanaman kembali) di lahan gambut, di mana implementasinya adalah membuat sekat di lahanlahan gambut supaya air yang ditampung di musim hujan tidak mengalir ke tempat lain. Kegiatan tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya kebakaran pada musim kemarau dan juga mampu mengembaikan fungsi dari lahan gambut.
Implementasi dari Badan Restorasi Gambut telah berjalan di beberapa wilayah di Kabupaten Meranti. Berdasarkan laporan Humas Pemerintah Provinsi Riau pada 13 April 2016 menyebutkan bahwa Sungaitohor menjadi pelopor aksi progrm restorasi gambut, di mana Pemerintah pusat melalui Badan Restorasi Gambut (BRG) mencanangkan program â&#x20AC;&#x153;Kenduri Aksi Restorasi Pulihkan Gambut Negeriâ&#x20AC;?, di desa Sungaitohor kabupaten Kepulauan Meranti provinsi Riau, pada hari elasa tanggal 12 April 2016.Program tersebut merupakan program perdana yang dilakukan BRG bersama pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2016. Indikator keberuntungan pemulihan fungsi ekosistem gambut didasarkan pada kembalinya fungsi gambut sebagai penyimpanan air, sebagai media tumbuh yang cocok bagi tanaman, serta keragaan tanaman yang tumbuh di atasnya (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2015).
C.METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai bentuk dan derajat partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sungaitohor, Kabupaten Kepulauan Meranti. Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian deskriptif, yakni tipe penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis,
faktual, dan mengenai data yang ada di lapangan. Dasar penelitian yang digunakan yaitu wawancara secara langsung kepada dua unsur masyarakat, yang pertama adalah pemegang kuasa di masyarakat, yakni Camat Kecamatan Tebingtinggi Timur, Kepala Desa Sungaitohor, Kepala Dusun, serta Ketua RW. Yang kedua adalah masyarakat Desa Sungaitohor secara umum yang berada di setiap dusun. Jumlah responden untuk unsur pertama berjumlah 15 orang, sedangkan pada unsur kedua jumlah responden yang diwawancara hampir setiap dusun memiliki perwakilan secara acak. Secara umum, latar belakang pendidikan pada unsur pertama adalah sekolah menengah atas kecuali Kepala Kecamatan. Sedangkan untuk masyarakat secara umum merupakan lulusan sekolah menengah atas dan menengah pertama. Akan tetapi di dua dusun terdapat beberapa orang yang memiliki keahlian khusus dalam permasalahan lahan gambut. Pemilihan narasumber dalam penelitian ini menggunakan cara purposive sampling. Data yang telah dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan studi pustaka dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Metode ini ditujukan untuk memahami gejala masalah yang diteliti dengan menekankan pada permasalahan pokok mengenai peran masyarakat dalam perumusan program restorasi lahan gambut di Desa Sungaitohor, Kabupaten Kepulauan Meranti, serta kajian futuristik dalam upaya terciptanya perencanaan partisipatif yang baik dalam penyelenggaraan program tersebut ke depannya.
D.HASIL DAN PEMBAHASAN Lahan gambut merupakan lahan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat Desa Sungaitohor, khususnya dalam segi ekonomi
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
85
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
karena mampu menunjang peningkatan penghasilan masyarakat Desa Sungaitohor, yakni dengan menanam sagu. Menurut salah seorang tokoh masyarakat, Bapak Nongmel, masyarakat Desa Sungaitohor sudah mulai menanam sagu sejak tahun 1980an. Penanaman sagu ini ditujukan sebagai bentuk mata pencaharian utama. Tidak heran apabila sagu menjadi bahan pangan yang penting bagi masyarakat Desa Sungaitohor. Permasalahan yang muncul adalah pada saat masuknya perusahaan ke Desa Sungaitohor, yakni PT. NSP (Nasional Sago Prima) dan PT. LUM (Lestari Unggul Makmur). PT. LUM merupakan salah satu perusahaan yang banyak mengundang kontroversi. PT.LUM mulai melakukan aktivitas ekonominya untuk menggarap lahan dan membangun kanal pada tahun 2009 (Manan, 2016). Tentunya, PT. LUM ini beraktivitas karena sudah mendapatkan izin dari pemerintah. Sayangnya, izin tersebut sama sekali tidak diketahui oleh masyarakat, bahkan kepala desa Sungaitohor pun tidak mengetahuinya (Manan, 2016). Hal ini tentunya merugikan masyarakat. Kemudian, dampak dari masuknya perusahaan ini cukup merugikan masyarakat. Buktinya, pada tahun 2014, pertama kalinya Desa Sungaitohor mengalami kebakaran hutan hebat. Api berkobar selama kurang lebih satu bulan dan menghanguskan ratusan hektar lahan. Menurut salah seorang tokoh masyarakat di Desa tersebut, Abdul Manan, penyebab dari adanya kebakaran hutan adalah upaya pengeringan lahan gambut yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang mengambil alih lahan di sekitar Desa Sungaitohor (Zamzami, 2015). Sifat dari lahan gambut yang mudah terbakar apabila dalam keadaan kering semakin menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan. Puncaknya, pada tahun 2009 pengeringan gambut dilakukan oleh PT. LUM, perusahaan 86
memiliki konsesi perkebunan akasia untuk membangun kanal-kanal besar selebar 5-7 meter. Akibatnya, air yang membasahi lahan gambut mengalir ke laut pada musim kemarau dan mengering sehingga membuat lahan tersebut rentan terhadap kebakaran hutan (Zamzami, 2015). Dengan demikian, cuaca yang memang panas serta jarang terjadi hujan di kawasan tersebut membuat lahan gambut terbakar hebat. Kebakaran hutan ini pada akhirnya menjadi fokus perhatian dari pemerintah Kecamatan Tebingtinggi Timur dan Desa Sungaitohor. Beberapa tokoh masyarakat yang memang mumpuni dalam lingkungan hidup berupaya untuk menanggulangi hal ini. Puncak dari upaya masyarakat dalam penanganan masalah ini adalah pembuatan sekat kanal. Sekat kanal sudah dikenal oleh masyarakat sejak dahulu hanya saja dalam bentuk yang sederhana, tidak seperti sekarang. Dengan dibantu oleh beberapa organisasi non pemerintah, masyarakat Desa Sungaitohor berhasil membuat beberapa sekat kanal yang kokoh dan permanen untuk menghambat laju air keluar dari kanal menuju laut sehingga mampu mencegah terjadinya kebakaran hutan. Pembuatan sekat kanal itu sendiri merupakan salah satu bentuk pengimplementasian dari program restorasi lahan gambut. Kemudian, menurut salah satu tokoh masyarakat di Desa Sungaitohor, Bapak Nongmel, pada dasarnya hanya sedikit masyarakat yang mengetahui mengenai program restorasi lahan gambut. Masyarakat awam hanya mengetahui apa yang seharusnya mereka lakukan untuk menghindari kebakaran hutan. Apabila kemudian usaha tersebut dilabeli sebagai upaya restorasi gambut, masyarakat cenderung tidak mengetahui akan hal tersebut. Pada dasarnya, masyarakat Desa Sungaitohor merupakan masyarakat dengan tingkat inisiatif tinggi. Tokoh masyarakat lain RAHAYU, ULFIARTI, YULITA & ENDAWANSA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
di desa tersebut, Abdul Manan, dan juga Kepala Kecamatan Tebingtinggi timur, Bapak Efendi, secara eksplisit menyatakan bahwa adanya BRG yang dibentuk oleh pemerintah pusat terinspirasi dari masyarakat Desa Sungaitohor. Berbagai bentuk upaya untuk menyelamatkan lahan gambut, sudah dilakukan oleh masyarakat Desa Sungaitohor, akan tetapi, permasalahan kebakaran hutan yang pertama kalinya dialami oleh desa tersebut, membuat masyarakat Desa Sungaitohor membutuhkan usaha lebih untuk menanggulangi kebakaran hutan. Salah satu momen penting dalam mengatasi kebakaran yang terjadi pada waktu itu adalah pengiriman petisi pada Presiden RI, Joko Widodo, diwakili oleh Abdul Manan dengan dibantu oleh Walhi, untuk mengadakan blusukan asap. Hal tersebut pun mendapat sambutan positif dari Presiden, terbukti dengan datangnya Joko Widodo ke Desa Sungaitohor pada Akhir tahun 2014. Tidak hanya itu, masyarakat yang juga ikut melakukan upaya memperbaiki lahan gambut dilakukan oleh Pak Ridwan dengan mengusahakan pertanian lain di lahan gambut. Merujuk pada kerangka konsep yang dipaparkan oleh Arnstein, pada dasarnya bentuk partisipasi masyarakat Desa Sungaitohor dalam hal restorasi lahan gambut masih berada pada tahap partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan (participation in decision making). Dalam pandangan peneliti, masyarakat Desa Sungaitohor merupakan masyarakat yang senang melakukan berbagai diskusi dan rapat untuk memutuskan suatu hal. Menurut salah satu kepala dusun di desa tersebut, pengadaan rapat oleh kepala desa memang sering dilakukan. Permasalahan restorasi gambut pun pernah dibicarakan pada salah satu rapat. Lewat rapat ini masyarakat diberikan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.
Kemudian, dalam penentuan derajat partisipasi masyarakat, peneliti menemukan dua bentuk derajat partisipasi yang ada di masyarakat Desa Sungaitohor: Pertama, untuk masyarakat umum, derajat partisipasi mereka hanya berada pada tangga ketiga dari derajat partisipasi, yakni derajat pemberitahuan (informing). Hal ini didasarkan dari adanya upaya dari pemerintah kecamatan dan desa untuk mensosialisasikan program restorasi lahan gambut kepada masyarakat. Upaya ini dilakukan dalam bentuk pembuatan rapat serta peringatan dari mulut ke mulut. Lalu, pemerintah daerah setempat juga memasang beberapa baliho dan spanduk peringatan akan pentingnya restorasi lahan gambut di jalanan desa. Kedua, bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih akan lingkungan hidup, derajat partisipasinya berada pada tangga kelima, yakni penentraman (placation). Pada tingkat ini, sudah terjadi komunikasi antara pemegang kuasa dengan masyarakat. Lebih dari itu, masyarakat dimungkinkan memberi masukan kepada program yang digagas. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Bu Yunida, kepala Dusun 1, Parit JIP, Desa Sungaitohor. â&#x20AC;&#x153;Pada saat rapat untuk kalangan ramai, yang memberi pandangan adalah orang-orang yang memang pandai dalam hal lingkungan. Kalau kami ini tak paham lah masalah itu.â&#x20AC;? Dengan demikian, masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih dalam hal lingkungan hidup, dapat memberikan pandangan secara spesifik bagi pemegang kuasa. Masyarakat terbesut juga berkesempatan untuk mengarahkan kebijakan yang akan diambil oleh pemegang kuasa. Akan tetapi, pada akhirnya pemegang kuasa lah yang menentukan kebijakan seperti apa yang diambil.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
87
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
4. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian yang dilakukan adalah, pada dasarnya masyarakat Desa Sungaitohor merupakan masyarakat yang proaktif terhadap masalah lingkungan hidup. Mereka berupaya untuk mempertahankan lahan gambut yang telah menjadi sumber mata pencahariannya. Akan tetapi, dalam hal pengambilan keputusan suatu kebijakan oleh pemegang kuasa, terdapat dua tingkat derajat partisipasi yang ada di masyarakat. Pertama, masyarakat awam masih berada pada derajat pemberitahuan karena mereka sekadar diberikan sosialisasi dan secara dominan setuju dengan program yang telah digagas oleh masyarakat tertentu atau yang oleh masyarkat dianggap tokoh masyarakat dan mengerti akan permasalahan lingkungan. Meskipun kesempatan untuk mengemukakan pendapat ada, nyatanya masyarakat masih enggan untuk memberikan pandangan mereka. Mereka lebih memiih untuk menyerahkan kesempatan tersebut pada tokoh-tokoh masyarakat tertentu. Kedua, beberapa masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih dalam hal lingkungan hidup berada pada derajat penentraman. Jenis masyarakat ini sudah dapat memberikan masukan pada pemegang kuasa meskipun keputusan akhir tetap berada pada pemegang kuasa. Saran yang dapat peneliti kami ajukan dalam hal ini adalah: 1. Diperlukan upaya sosialisasi menyeluruh mengenai program yang akan dijalankan sehingga masyarakat dapat mengawal penerapan dari program yang dicanangkan. 2. Pengadaan rapat yang melibatkan seluruh masyarakat harus ditingkatkan intensitasnya. Kemudian, kesempatan bagi masyarakat umum untuk memberikan pendapatnya juga harus ditingkatkan. Harus ada upaya agar tidak ada pihak88
pihak yang mendominasi masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai derajat partisipasi masyarakat paling tinggi, yakni kontrol masyarakat. 3. Peningkatan kesadaran masyarakat Desa Sungaitohor untuk berpartisipasi lebih aktif dan memberikan pandangan untuk kebijakan yang dirumuskan oleh pemegang kuasa. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan dari masyrakat yang enggan memberikan pendapat di saat ada tokoh lain yang lebih mumpuni pengetahuannya.
REFERENSI Fahmuddin, A. dan Subiksa, I.G.M. (2008). Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Bogor: Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF). Arnstein, S.R. (1969). A Ladder of Citizen Participation. Journal of the American Institute of Planners, 35, (4), 216-224. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2015). Pedoman Pemulihan Gambut. Kusumawati, U.D. (2016, Januari 13). CNN Indonesia. Retrieved 2016, from CNN Indonesia web site: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20 160113151426-20-104038/pemerintahterbitkan-perpres-badan-restorasigambut/. Manan, A. (2016, Maret 17). Greenpeace. Retrieved 2016, from Greenpeace web site: http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/ pelajaran-dari-tertutupnya-datakehutanan-bag/blog/55889/. Mathbor, G.H. (2008). Effective Community Participation in Coastal Development. Chicago: Lycheum Book. Mujadi, M.A. (2015, Mei 19). Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementrian RAHAYU, ULFIARTI, YULITA & ENDAWANSA
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Keuangan. Retrieved 2016 from BPPK Kemenkeu web site: http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publika si/artikel/150-artikel-keuanganumum/21198-mengenal-kebijakan-publik. Nofitra, R. (2016, Maret 14). Tempo. Retrieved 2016 from Tempo web site: http://en.tempo.co/read/news/2016/03/14/ 307753498/Peat-Fires-Destroys-310Hectares-of-Land-in-Meranti. Noor, M. (2001). Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti. 2015. (2015). Merantikab. Retrieved 2016 from Merantikab web site: â&#x20AC;&#x153;http://www.merantikab.go.id/geografis#. Setiawan, A. (2016, Januari 25). Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Retrieved 2016 from Seskab RI web site http://setkab.go.id/inilah-perpres-no-1tahun-2016-tentang-badan-restorasigambut/. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut Rizqina, F. (2010). Partisipasi masyarakat dalam implementasi kebijakan manajemen berbasis sekolah di Kecamatan Kalideres Kotamadya Jakarta Barat. Tesis: Universitas Indonesia. Thorburn, C. (2013). Managing Peatlands in Indonesia: A Case Study of Small Islands in Riau Province, Sumatra. Monash Sustainibility Institute,. 13, ( 9), 1-14. Wibisono, I.T.C. Kebijakan dan Tata Kelola Lahan Gambut Indonesia. Warta Konservasi Lahan Basah, 23, (2), Juli 2015. 4-5. Zamzami. (2015, Februari 19). Greenpeace. Retrieved 2016, from Greenpeace web site: http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/ hutan-gambut-sungai-tohor-yang-terusdikering/blog/52155/. KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
89
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Analisis Pengelolaan Usahatani Sagu dengan Pendekatan Community Livelihood Assets: Studi di Desa Sungaitohor, Riau Muhammad Syaroful Umam Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Ghany Ellantia Wiguna Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
Noviyanti Indahsari Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Restu Wardhani Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia
Achmad Muniif Saefudin Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Daerah pedesaan secara umum, termasuk di Indonesia, masih bertumpu pada sektor pertanian sehingga optimalisasi pembangunan desa kini harus berangkat dari fokus pertanian. Desa Sungaitohor merupakan daerah yang menjadi salah satu sumber strategis yang mengantarkan provinsi Riau menjadi provinsi penghasil sagu terbaik di Indonesia. Usahatani sagu tersebut menjadi kunci pembangunan bagi Desa Sungaitohor, yang kemudian secara langsung akan mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakatnya. Kebijakan yang akan ditempuh dalam pembangunan ekonomi tersebut tidak dapat serta merta dilakukan tanpa adanya analisis dan identifikasi lebih jauh pada kondisi masyarakatnya dan usahatani sagu itu sendiri. Kebijakan pembangunan harus sesuai dengan kapasitas dari Aset Komunitas yang menjadi modal dalam setiap tahap kegiatan usahatani sagunya. Oleh karena itu, kami melakukan sebuah penelitian yang bertujuan untuk menganalisis kapasistas dan penggunaan Community Livelihood Assets yang dimiliki Desa Sungaitohor dalam pengelolaan usahatani sagunya, dan mengidentifikasi modal apa saja yang perlu terlebih dahulu menjadi perhatian bagi para pembuat kebijakan. Adapun penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode kualitatif dan analisis data primer yang diperoleh melalui teknik wawancara dan teknik observasi serta analisis data sekunder dari badan statistik. Hasil menunjukkan bahwa Desa Sungaitohor memiliki Modal Alam dan Modal Sosial yang cukup mendukung, namun beberapa kekurangan pada Modal Fisik, Modal Finansial, dan Modal Manusia menimbulkan beberapa hambatan dalam peningkatan kapasitas dan kualitas usahatani sagu. Kelima modal tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain sehingga secara jangka panjang permasalahan yang terdapat pada salah satu modal akan menghambat modalmodal lainnya. Oleh karena itu dibutuhkan kebijakan pembangunan yang 90
UMAM, WIGUNA, INDAHSARI,WARDHANI & SAEFUDIN
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
memprioritaskan penyelesaian permasalahan pada Modal Fisik, Modal Manusia, dan Modal Finansial, agar tercipta usahatani sagu yang maju dengan faktor-faktor produksi yang mendukung baik secara kuantitas maupun kualitas. Keseimbangan pada Aset Komunitas atau Sustainability Livelihood Assets akan menjadi kunci bagi keberhasilan pembangunan Desa Sungaitohor, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, yang kemudian akan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan mengantarkan Indonesia kepada tujuannya dalam pemerataan pembangunan di berbagai daerah. KATA KUNCI: Pembangunan Daerah, Usahatani Sagu, Aset Komunitas, Faktor Produksi.
A. PENDAHULUAN Kapasitas komunitas yang secara langsung dipengaruhi oleh Aset Komunitasâ&#x20AC;&#x201D; Community Livelihood Assets, dan juga berpengaruh langsung terhadap usahatani sagu, harus ditingkatkan demi optimalisasi potensi desa. Terdapat tujuh komponen kapasitas di tingkat komunitas yang dapat dikembangkan sebagai katalis dalam aktivitas ekonomi anggotanya melalui pembentukan kelompok-kelompok usaha ekonomi produktif. Tujuh komponen kapasitas tersebut adalah: community leader, community technology, community fund, community material, community knowledge, community decision, dan community organization. Semua komponen kapasitas tersebut bisa ditingkatkan jika kita menganalisa dan meningkatkan aset komunitas, karena aset komunitas merupakan modal untuk memfungsikan kapasitaskapasitas tersebut. Dalam kondisi Sungaitohor, ada lima modal dari aset komunitas yang perlu diperhatikan, antara lain: Modal Fisik, Modal Finansial, Modal Teknologi, Modal Manusia, dan Modal Sosial. Dengan usahatani sagu sebagai potensi utamanya, analisa aset komunitas perlu dilakukan untuk memfungsikan kapasitas komunitas usahatani sagu. Oleh karena itu, pembangunan desa berupa optimalisasi dari sektor ekonomi potensialnya perlu memperhatikan komunitas yang menjadi inti dari keberhasilan proyek tersebut.
Selain itu, menurut Schickele (1966), untuk menyusun perencanaan pembangunan jangka panjang, penelitian usahatani mutlak diperlukan sehingga dapat menjelaskan : (1) Sumberdaya dasar yang tersedia bagi petani dalam perencanaan; (2) Penggunaan masukan (input) dan produksi yang akan diperoleh selama kurun waktu perencanaan. Sehingga penelitian usahatani yang juga mempertimbangkan aspek Community Livelihoods Assets atau aset komunitas sangatlah perlu dilakukan di Desa Sungaitohor. Dari penjabaran tersebut, kami dapat menemukan beberapa urgensi rumusan masalah di antaranya: (1) Bagaimana kondisi aset komunitas yang dimiliki oleh Desa Sungaitohor? (2) Apa saja dari aset komunitas yang ada di Desa Sungaitohor yang dijadikan sebagai faktor produksi dalam usahatani sagu? Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi aset komunitas yang dimiliki oleh Desa Sungaitohor dan bagaimana dengan kondisi aset komunitas yang demikian dapat dikelolah sebagai faktor produksi usahatani sagu yang menjadi penyokong utama perekonomian masyarakat Desa Sungaitohor. Diharapkan penelitian ini juga dapat memberikan manfaat, baik bagi masyarakat, penelitian ini menyediakan informasi yang dapat membantu petani dalam mengelola usahataninya sehingga mereka lebih mampu mencapai tujuannya. Baik bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan untuk pengembangan penelitian berikutnya
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
91
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
serta sebagai pembelajaran bagi peneliti dan akademisi lainnya. Serta bagi pemerintah, diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai usahatani sagu Desa Sungaitohor dan berbagai komponennya sehingga membantu di dalam perumusan kebijaksanaan dan perencanaan pembangunan yang lebih baik.
B.KERANGKA TEORETIS 1. Usahatani Sagu Menurut Makemham dan Malcolm (1991) usaha tani adalah sebuah cara bagaimana mengelolah keiatan-kegiatan pertanian. Rifai (1980) juga mendefinisikan usaha tani sebagai organisasi dari alam, tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Usahatani dilakukan dilakukan dengan berbagai variasi tergantung dari kondisi alam, komoditi, pola tanaman, dan tingkat komersialisasi, serta tingkat penguasaan faktor produksi. Faktor produksi adalah unsur-unsur pokok pembentuk usahatani yang meliputi: a. Faktor produksi alam Faktor alam yang perlu diperhatikan diantaranya: a.1. Faktor iklim (Curah hujan, kelembaban, temperatur, intensitas cahaya matahari, angin) a.2. Faktor tanah a.3. Topografi (Datar, datar berombak, berombak berbukit, berbukit bergunung) a.4. Faktor air. b. Faktor Tenaga Kerja Dalam usahatani, tenaga kerja berasal dari dua sumber, yakni: b.1.Tenaga Kerja dari Dalam Keluarga, sebagaian besar tidak jelas dalam sistem pengajian karena dianggap keberhasilan usahatani merupakan keberhasilan keluarga. 92
b.2.Tenaga Kerja dari Luar Keluarga, seperti tenaga kerja pada umumnya dan menggunkan sistem pengupahan atau pengajian yang telah disepakati. c. Faktor Modal Modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain untuk menghasilkan produksi pertanian. Modal dalam usahatani diantaranya: c.1. Modal tetap, berupa tanah, mesin pertanian, gedung, alat transportasi (pengangkutan hasil pertanian).\ c.2. Modal tidak tetap, berupa bibit, obat-obatan, pupuk, PPC. d. Faktor Kewirausahaan Merupakan kemampuan managerial yang dimiliki pelaku usaha yang meliputi: Planning, Organizing, Actuating, Controlling. 2. Aset Komunitas (Community Livelihoods Assets) a. Modal Manusia (Human Capital) Menurut Solesbury (DFID, 2003) Aset manusia atau human capital merupakan keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk tenaga kerja dan kesehatan yang baik yang bersama-sama memungkinkan orang untuk mengejar strategi penghidupan yang berbeda dan mencapai tujuan mata pencaharian mereka. Berdasarkan Seminar Strategi Pembangunan Sumber Daya Manusia dalam PJPTK yang diselenggarakan oleh TNI-AD pada tahun 1990 indikator kualitas SDM manusia dapat dibedakan menjadi Kualitas Fisik, Kualitas Intelektual, dan Kualitas Spiritual. b. Modal Sosial (Social Capital) Aset sosial atau social capital dalam konteks penghidupan yang berkelanjutan diartikan sebagai sumber UMAM, WIGUNA, INDAHSARI,WARDHANI & SAEFUDIN
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
daya sosial yang dimiliki oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka yang dikembangkan dari jaringan dan keterhubungan, baik vertikal (patron/klien) atau horizontal (antara individu dengan kepentingan bersama), keanggotaan kelompok yang lebih formal, serta hubungan kepercayaan antar anggota masyarakat. (DFID, 2003). Menurut Adi (2006: 58) Modal sosial adalah perekat antara kelompok masyarakat. Modal sosial yang dimaksudkan di sini adalah norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada di dalamnya, dan mengatur pola perilaku warganya, juga unsur kepercayaan (trust) dan jaringan (networking) antar warga masyarakat ataupun kelompok masyarakat. c. Modal Fisik (Physical Capital) Aset fisik atau physical capital adalah segala hal yang barang-barang atau bendabenda yang sifatnya bermanfaat untuk mendukung penghidupan seseorang. Misalnya kendaraan, rumah, alat-alat tugas atau pekerjaan dan semacamnya. (DFID, 2003) Modal fisik memperlihatkan penguasaan lahan, luas lahan, jenis tanaman budidaya, dan kepemilikan bangunan seperti rumah, kenderaan, perabotan dan peralatan rumahtangga, pabrik serta teknologi produksi. Dalamkonteks kewilayahan modal fisikal ini berupa infrastruktur jalan, irigasi, dan fasilitas publik (Baiquni, 2007). d. Modal Lingkungan (Environmental Capital) Modal lingkungan terdiri dari tanah, air, dan sumberdaya biologi yang di gunakan oleh manusia sebagai sarana bertahan hidup. Modal alam lebih banyak mengacu pada sumber daya lingkungan (environtmental resources) baik yang dapat diperbaharui atau tidak.
e. Modal Finansial (Financial Capital) Modal ini mewakili unsur sumbersumber keuangan yang ada di masyarakat, seperti penghasilan, tabungan, pendapatan reguler, pinjaman modal usaha, sertifikat surat berharga, dan saham, yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang derajat kehidupan masyarakat.
C.METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yang biasa disebut juga sebagai penelitian taksonomik (taxonomic research) yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti (Faisal, 2007). Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan model yang dikembangkan oleh Mazhab Baden yang bersinergi dengan aliran filsafat fenomenologi menghendaki pelaksanaan penelitian berdasarkan pada situasi wajarâ&#x20AC;&#x201D;natural setting. Fokus penelitian yang ingin dianalisa pada penelitian ini merupakan bagian dari filsafat fenomenologi dan situasi alamiah yang mana peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi situs penelitian, ataupun melakukan intervensi terhadap aktivitas subjek penelitian dengan memberikan treatment tertentu, namun peneliti berusaha untuk memahami fenomena yang dirasakan subjek sebagai mana adanyaâ&#x20AC;&#x201D; verstehen. Beberapa teknik yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya: 1. Framing Interview: Dilakukan pada 3 hari pertama penelitian 2. Wawancara terstruktur 3. Observasi partisipatif
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
93
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
D. HASIL DAN DISKUSI 1. Aset Komunitas Desa Sungaitohor a. Modal Alam Desa Sungaitohor merupakan dataran rendah dengan struktur tanah terdiri dari tanah alluvial dan grey humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah dan berhutan bakau (mangrove). Tanah jenis ini memiliki tingkat kedalaman solum yang cukup dalam dan bergambut (> 100 cm). Oleh karena karakteristik tersebut, sebagian besar wilayah datarannya dipergunakan sebagai wilayah perkebunan sagu dengan struktur kepemilikan kebun secara pribadi. Dari luas lahan total 9500 ha, 2650 ha didominasi oleh perkebunan sagu. Seluas 1120 ha dipergunakan sebagai kebun karet dan 1534 ha lahan sisanya yang merupakan lahan belukar masih belum dimanfaatkan. Sumber air utama yang digunakan untuk kebutuhan usahtaninya adalah air gambut baik dari bendungan, sumur galian, mapun sumur bor. Desa Sungaitohor sendiri memiliki sebuah bendungan yang diperuntukan untuk menampung air gambut dengan mekanisme kanal dan pipa untuk menghubungkan ke perumahan. Selain itu, untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari, masyarakat menggunakan air hujan yang sebelumnya ditampung melalui metode rain water harvesting di rumah masing-masing. b. Modal Fisik Jalan yang merupakan infrastruktur vital terdiri dari jalan beton dan jalan tanah. Jalan beton dikelompokkan ke dalam 3 kategori, yaitu kategori baik dengan panjang 6,75 km, kategori rusak ringan dengan panjang 1,30 km, dan kategori rusak berat dengan panjang 2,40 km. Sedangkan jalan tanah memiliki panjang 60,45 km. Jalan beton digunakan untuk 94
fasilitas transportasi penghubung perumahan dan kegiatan rumah tangga lain, namun tidak menjadi media distribusi utama dalam aktivitas usahatani sagu, maupun pengolahannya. Saat ini, penyerapan anggaran pemerintah Desa Sungaitohor terus dioptimalkan untuk pembangunan infrastruktur vital ini, yaitu salah satunya melalui proyek pembangunan jalan lintas Sungaitohor ke Selat Panjang yang sedang berjalan sekitar 7 km dari target 31 km. Mayoritas transportasi adalah sepeda beroda dua, yaitu motor dan sepeda, selain itu juga terdapat juga becak, dan gerobak. Sedangkan untu mendukung perhubungan jalur laut, Desa Sungaitohor dengan sebuah pelabuhan kecil memiliki 1 speedboat, 19 kapal motor, dan 12 perahu tidak bermotor. Tata perumahan Desa Sungaitohor didominasi oleh rumah panggung berdinding kayu. Terdapat 269 unit rumah dengan perbandingan 80% untuk rumah panggung dengan dinding terbuat dari kayu dan 20% untuk rumah dengan dinding semen. Sumber tenaga listrik, tersedia secara limitatif pada pukul 18.00-24.00. Aliran listrik dimanfaatkan baik untuk kegiatan komersial transaksi perdaganan penduduk dan penerangan kehidupan sehari hari. Pengelolaan listrik dilkukan oleh Badan Usaha Milik Desa, yang pendanaanya didapat dari iuaran sebessar Rp. 200.000 - Rp. 300.000 perkepala rumah tangga. c. Modal Manusia Desa Sungaitohor memiliki total penduduk sebesar 1273 jiwa, dengan komposisi 665 penduduk laki-laki dan 608 penduduk perempuan. Sebesar 30 dari 337 keluarga (kk) merupakan rumah tangga miskin. Sebagian besar penduduk memiliki riwayat pendidikan terakhir tamat Sekolah UMAM, WIGUNA, INDAHSARI,WARDHANI & SAEFUDIN
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Dasar. Sebesar 490 orang adalah tamatan SD, 181 tamat SMP, 206 tamatan SMA, 7 orang dengan gelar Diploma, 56 sarjana, dan 2 orang magister. Lebih jauh lagi, terdapat 34 orang putus sekolah, dan 5 diantaranya adalah buta huruf. Pada umumnya, penduduk muda yang termasuk dalam angkatan kerja, diharuskan meninggalkan rumah dan menetap di kota dalam menempuh pendiidkan tingginya. Hal ini dikarenakan berbagai keterbatasan modal fisik dalam pendidikan di desa ini. Mayoritas penduduk Desa Sungaitohor, yaitu sebanyak 320 orang bermata pencaharian sebagai petani, baik petani kebun sagu, karet, maupun pinang. Selain petani, penduduk juga ada yang berprofesi sebagai buruh atau karyawan, nelayan, pedagang, pegawai honorer, peternak, dan pengerajin makanan (home industry) dari bahan sagu. Keterampilan bertani untuk usahatani sagu didapatkan secara turun-temurun. Pengalaman usha pertanian sagu baik dari pembibitan, pemeliharaan pohon rumbia, pemanenan, hingga pengelolaan menjadi sagu basah didapat dari pengalaman selama kurang lebih 20 tahun sejak tahun 80an. Masyarakat beranggapan bahwa riwayat pendidikan formal tidak dianggap penting dalam melakukan perkerjaan usahatani sagu, yang dibutuhkan hanya keterampilan yang didapat secara turun menurun. Penduduk desa Sungaitohor memiliki semangat berwirausaha, yang salah satunya mengolah sagu menjadi produk olahan berupa sagu telur, sagu lemak, mie sagu, kerupuk sagu, dan berbagai produk olahan sagu lainnya dengan struktur usaha Home Industry padat karya. Indikator modal manusia lain yang turut menyumbangkan pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Desa KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
Sungaitohor termasuk usahatani sagunya ialah aspek kualitas spiritual dan kepercayaaan. Seluruh Masyarakat Desa. Sungaitohor beragama Islam, yang mana dari 1273 warga yang tercatat, 1249 di antaranya bersuku Melayu. d. Modal Finansial d.1.Dana Desa Alokasi Dana Desa difokuskan untuk kegiatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak , berupa pembangunan infrastruktur vital berupa jalan, dan untuk kegiatan kemasyarakatan lain khususnya kegiatan seremonial dalam menyambut pendatang dan peneliti dari luar Desa Sungaitohor dan pembangunan Rumah Singgah. d.2.Pemodalan Perkebunan Sebagai salah satu desa penghasil sagu terbesar di Kabupaten Meranti, dan dengan luas perkebunan rumbia hingga 2600 ha, pemodalan keuangan perkebunan rumbia hampir semuanya bersumber dari modal pribadi dan pinjaman secara informal dari pengepul, baik untuk kegiatan pembibitan kebun, perawatan kebun, penebangan kebun, hingga pengolahan rumbia dan pemasaran sagu. Lahan yang merupakan modal utama usahatani sagu ini berasal dari warisan turun temurun. Pewarisan tersebut berawal dari pembagian lahan hutan desa pada tahun 1980, yang dibagikan secara merata kepada masyarakat desa dengan masingmasing mendapat 1,5 ha per keluarga. Hal ini membuat penduduk yang bukan berasal dari keturunan asli setempat cenderung tidak memiliki modal lahan, sehingga perannya sebagian besar sebagai pekerja atau buruh dalam 95
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
usahatani sagu tersebutâ&#x20AC;&#x201D;bukan pemilik perkebunanâ&#x20AC;&#x201D;. Modal peralatan dan perlengkapan berupa mesin produksi kebun yang terdiri atas kapak, parang dan mesin gergaji, dibeli secara pribadi oleh pemilik kebun. Mesin produksi kilang yang terdiri atas seperangkat mesin penggiling tual pohon rumbia yang digerakan dengan tenaga solar, mesin pengadukan dan pengendapan, juga sebagian dibeli secara pribadi. Akan tetapi, beberapa dari mesin tersebut merupakan bantuan yang diberikan pada zaman pemerintah Soeharto yaitu BanPres atau Bantuan Presiden. Peralatan distribusi sagu terdiri atas kapal bermotor sebanyak 19 unit dan perahu tidak bermotor sebanyak 12 unit, digunakan untuk distribusi sagu basah dari kilang menuju tempat bongkar muat kapal besar pembeli sagu. Upaya modernisasi alat - alat produksi menjadi permasalahan dalam pengelolahan sagu, diantaranya untuk membuat alat dikebun menjadi alat mesin, untuk memodernisasi peralatan mesin penggiling pohon rumbia di kilang, dan untuk peralatan distribusi. Permasalahan ini disebabkan karena modal finansial yang terbatas, diperlukan modal yang besar namun tidak terdapat bantuan modal. Perluasan lahan juga terkendala masalah lahan, jika modernisasi dilakukan maka proses pengelolahan juga akan menjadi lebih cepat sehingga keperluan akan bahan baku pohon sagu meningkat sehingga perlu perluasan kebun sagu untuk menyeimbangkan modernisasi mesin pengelolahan sagu. e. Modal Sosial 96
e.1. Bonding Capital: Hubungan Kekerabatan Petani Sagu dan Toke Cina Bonding capital merupakan modal sosial yang mengikat anggota-anggota masyarakat dalam satu kelompok tertent. Apabila dikaitkan antara modal sosial dengan komunitas pertanian, pemikiran beberapa ahli (Wolf, 1983; Redfield, 1985; Chayanov, 1986; Ellis, 1993; dan Shanin,1966) memiliki pandangan yang sama bahwa basis ekonomi petani adalah pada level rumahtangga. Dalam kaitannya antara bonding capital dengan pemodalan perkebunan rumbia maka akan dilihat suatu pola bahwa basis sumberdaya dikelola pada unit rumahtangga dan komunitas yang berbasis kekerabatan. Pengelolaan sumberdaya finansial dan infrastruktur fisik perkebunan dilakukan oleh petani - petani yang sebagian besar terikat dalam hubungan kekeluargaan. Pelakupelaku usaha yang memiliki kilang saling terikat satu sama lain dalam suatu nilai kekeberatan. Distribusi produk dari pengelolahan perkembunan rumbia berupa sagu basah yang harus diolah kembali menjadi tepung. Implikasinya adalah sagu basah tersebut tidak bisa langsung dijual kepada pasar. Keseluruhan petani sagu menjual sagu basah kepada seorang pengepul atau toke beretnis Cina, bernama Asiong di Selat Panjang. Pengepul ini memiliki kontrol harga atas sagu basah yang dibelinya, karena struktur pasar sagu basah ini merupakan pasar monopsoni, di mana Asiong adalah pembeli tunggalnya. Sehingga secara tidak langsung ia lah yang mengendalikan sebagian besar harga sagu di Desa UMAM, WIGUNA, INDAHSARI,WARDHANI & SAEFUDIN
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Sungaitohor. Pengepul sering meminjamkan modal untuk produksi kilang agar suatu kilang dapat tetap berjalan. Diantara para pelaku usaha industry sagu teresebut terdapat hubungan baik, yaitu antara pengusaha sagu, buruh tani sagu, dan pengepul. e.2. Bridging Capital: antara Buruh Tani, Pekerja Kilang dengan Pemilik Lahan dan Kilang Bridging capital yang merupakan salah satu bentuk modal sosial yang menghubungkan warga masyarakat dari kelompok sosial yang berbeda. Masyarakat Desa Sungaitohor hidup secara harmonis meskipun tersegmentasi dari kelompok yang berbeda-beda. Segmentasi ini khususnya dalam hal kepemilikan lahan dan kilang dengan mereka yang tidak memiliki kepemilikan atas dua hal tersebut. Secara parsial, mereka yang tidak memiliki factor produksi adalah pendatang yang berprofesi sebagai buruh tani, pekerja kilang, peternak, maupun profesi lain. Namun dengan segmentasi yang demikian itu tidak ada pernah terjadi konflik diantara mereka. Terjadi hubungan baik dan harmonis atas dasar ikatan kekeluargaan. Bahkan secara de facto di antara pendatang yang biasanya berprofesi sebagai pekerja kilang ditemui adanya suatu hubungan keluarga atau kekerabatan dengan pemilik kebun atau kilang. Hubungan antar pemilik kilang atau perkebunan sagu juga terbilang harmonis tanpa ada saling mengganggu dalam persaingan harga. Persaingan usaha tetapi terjadi secara bebas. Jadi meskipun masyarakat Desa Sungaitohor tersegmentasi dalam hal kepemilikan lahan, kilang, atau factor KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
produksi lainnya, kehidupaan diantaranya dengan pekerja kilang maupun buruh tani adalah saling harmonis satu sama lain. e.3. Lingking Capital: UNDP, Ormas dan Program Restorasi Lahan Gambut Linking capital yang merupakan suatu ikatan antara kelompok warga masyarakat yang lemah dan kurang berdaya dengan warga masyarakat yang lebih berdaya (powerful people), pembangunan dan pertumbuhan desa kurang lebih banyak didorong dan didukung oleh aktor-aktor desa yang tergabung dalam suatu Lembaga Swadaya Manusia. Peran aktivis atau ormas (LSM) sangat penting dalam pembangunan desa Sumgai Tohor. Peranan itu khususnya dalam menyampaikan aspirasi terhadap Pemerintah agar dapat membantu pembangunan khususnya Perkebunan Sagu yang sangat potensial. Dalam menyampaikan aspirasi LSM tidak pernah berdemo, LSM mengemasnya dalam bentuk yang lebih baik telah merintis kampanye, yang bahkan membuat Menteri Siti Nurbaya turun kemarin. Keterbukaan dan pengabdian anggota-anggota LSM terebut juga telah banyak menarik berbagai badan dan akademisi baik tingkat nasional maupun internasional dengan segala jenis program-program terapan untuk pemberdayaan masyarakat Seperti laboraturium nasional mangrove, dan pilot project gula cair sagu. Program Badan Restorasi Gambut (BRG) yang berkerjasama bersama dengan United Nation Development Program (UNDP) adalah implikasi nyata adanya lingking social antara 97
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
masyarakat yang diwakili oleh LSM dengan badan yang berotoritas dan berdaya. Program Badan Restorasi Gambut ditujukan untuk mendorong transformasi perkebunan rumbia menjadi perkebunan masyarajat dengan pengelolaan yang berdasarkan kepada kearifan lokal. BRG membantu dari pembibitan, permodalan, kemudian biaya penanaman. 2. Aset Komunitas yang Digunakan sebagai Faktor Produksi dalam Usahatani Sagu a. Faktor Produksi Alam (Land) a.1.Lahan Pekebunan Sagu Lahan yang dimiliki Desa Sungaitohor merupakan lahan tanah gambut, sehingga cocok untuk kegiatan perkebunan sagu. Luas lahan di desa Sungaitohor yang digunakan sebagai perkebunan sagu seluas 2.650 Ha. a.2.Sungaitohor Sungaitohor melingkari Desa Sungaitohor dengan dua anak sungainya membelah Desa Sungaitohor. Sungaitohor merupakan salah satu sarana transportasi utama dan satu-satunya dalam menunjang usahatani sagu. Sungai tersebut digunakan untuk menyalurkan tual sagu dari lahan perkebunan menuju kilang tempat tual/batang pohon sagu di olah menjadi sagu basah. Setelah selesai diproses, sagu basah yang dihasilkan didistribusikan kepada pembeli dengan diangkut kapal melalui Sungaitohor hingga muara sungai untuk dilakukan bongkar muat menuju kapal sang pembeli. Selain digunakan sebagai sarana transportasi, air sungainya juga digunakan sebagai pelarut sagu dalam proses pengolahan batang sagu menjadi sagu basah. 98
a.3.Bendungan Desa Sungaitohor memiliki sebuah bendungan yang digunakan untuk menjaga air tetap tergenang sehingga tanah gambut tidak kering sehingga bermanfaat untuk menjaga ketersediaan air untuk pertumbuhan sagu. Selain itu, bendungan juga digunakan sebagai sumber air dalam pengelolahan batang sagu menjadi sagu basah. b. Faktor tenaga kerja (Labor) Sebagian besar jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani sagu, baik di perkebunan maupun di tempat pengolahan merupakan jenis tenaga kerja dari dalam keluarga. Karena sistem perekrutan sebagian besar dilakukan dengan memperkerjakan tenaga kerja yang masih memiliki hungungan kekeluargaan dengan pemilik kebun atau pemilik kilang (tempat pengelolahan sagu). Tenaga kerja pada usahatani sagu di Desa Sungaitohor ratarata berpendidikan terakhir pada tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Dan Sekolah Menengah Atas, namun mayoritas merupakan lulusan Sekolah Dasar. Sistem pengupahan tenaga kerja terdiri atas dua jenis yakni upah tetap harian, sehingga upah yang diterima pekerja setiap harinya tidak bergantung pada hasil produksi, atau jenis yang kedua upah berdasarkan hasil produksi pekerja, sehingga semakin banyak output yang dihasilkan upah akan semakin besar. c. Faktor Modal (Capital) c.1. Modal Tetap Modal tetap merupakan modal yang tidak berubah pada saat hasil produksi berubah. Modal tetap terdiri atas kebun sagu, kilang sagu beserta teknologi pengelolahan sagu, alat transportasi untuk distribusi sagu, dll. UMAM, WIGUNA, INDAHSARI,WARDHANI & SAEFUDIN
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
c.1.a. Kebun Sagu Kebun sagu yang menjadi modal tetap merupakan tanah hasil pembagian pada masa lampau sehingga biaya atau modal finansial yang dikeluarkan berupa biaya perawatan tanah saja. Bagi petani yang tidak mendapat jatah pada pembagian lahan, maka lahan yang digunakan untuk usahatani sagu didapat dengan membeli pada pemilik terdahulu. Selain tanah, dikebun sagu juga terdapat teknologi perkebunan beruapa alat pemotong batang pohon sagu yang sebagian besar merupakan teknomogi manual sederhana seperti golok, parang, gergaji dan lain sebagainya, satu-satunya teknologi modern yang digunakan ialah gergaji mesin yang jumlahnya sangat terbatas. Modal finansial yang dikeluarkan untuk membeli aset-aset tersebut berasal dari dana finansial pribadi individu karena di desa tersebut belum ada sistem atau lembaga keuangan bersama. c.1.b. Kilang sagu Kilang sagu meruapakan tempat untuk pengelolahan sagu. Di dalam kilang sagu terdapat teknologi-teknologi yang digunakan untuk merubah batang pohon sagu menjadi sagu basah. Sebagian besar teknologi yang digunakan merupakan teknologi sederhana seperti parutan penghancur batang sagu, kapak, parang, dan lain sebagainya. Teknologi yang digunakan di kilang beberapa berasal dari bantuan pemerintah pada masa orde baru, dan sebagian lainnya merupakan hasil pembelian KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
prinadi. Modak finansial yang digunkaan juga bersumber dari dana pribadi pemilik kilang sagu. Di Desa Sungaitohor memiliki total kilang 12 buah dengan hasil produksi total mencapai 600 ton perbulan. c.1.c. Kanal dan Sekat Kanal Kanal merupakan aliran air yang sengaja dibuat sebagai sarana distribusi batang-batang pohon sagu dari kebun sagu menuju kilang sagu. Kanal serupa dengan sungai namun dengan ukuran yang lebih kecil. Kanal dibangun disepanjang kebun sagu ataupun di tengahtengah kebun sagu untuk mempermudah proses distribusi. Sekat kanal dibuat dibeberapa titik untuk menjaga air tidak langsung turun ketempat yang lebih rendah sehingga pada musim kemarau sekat kanal tersebut berfungsi sebagai penahan air yang digunakan untuk kegiatan usahatani sagu. Modal finansial untuk pembuatan kanal dan sekat kanal dibiayai oleh pemerintah desa. c.1.d. Jalan Jalan di Desa Sungaitohor terdiri atas jalan beton dan jalan tanah. Jalan beton yang terdapat di Desa Sungaitohor sepanjang 6,75 km sedangkan jalan tanah sepanjang 69,45 km. Modal finansial yang digunakan untuk membangun jalan merupakan dana pemerintah yang bersumber dari alokasi dana desa. c.1.e. Sarana transportasi Sarana transportasi yang digunakan untuk mendistribusikan sagu ialah kapal kayu dengan mesin 99
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
penggerak. Kapal tersebut berukuran sedang berkapasitas dua ton sagu basah, sehingga sekali pengangukutan kapal dapat memuat dua ton sagu basah. Selain kapal motor, terdapat juga kapal tak bermotor. Desa Sungaitohor memiliki total 19 unit kapal motor dan 12 unit kapal tak bermotor yang digunakan untuk menunjang ushatani sagu. Selain dengan transportasi air, transportasi darat juga digunakan dalam menunjang kegiatan usahatani sagu. Biasanya dugunakan untuk mengangkut sagu basah dari kilang untuk dibawa ke tempat pengolahan makanan berbahan dasar sagu atau untuk home industry di dalam Desa Sungaitohor itu sendiri. Alat transportasi yang digunakan berupa gerobak, dan total gerobak di Desa Sungaitohor adalah 19 unit. c.2. Modal Tidak Tetap Modal tidak tetap yang dimiliki usahatani sagu merupakan modal finansial untuk pembiayaan operasional meliputi pembibitan, perawatan, upah pekerja, pembelian bahan baku, pembelian bahan bakar operasional, dll. Yang bersumber dari dana pribadi pemilik perkebunan atau kilang sagu. d. Faktor Kewirausahaan (Entrepreneurship) Kemampuan managerial usahatani sagu yang dimiliki petani dan pekerja Desa Sungaitohor berasal dari kemampuan yang diturunkan secara turun temurun dari nenek moyang terdahulu. Sehingga kemampuan planing, organizing, actualing, dan controling dalam usahatani sagu lebih muncul sebagai sebuah naluri 100
alamiah daripada sesuatu yang bersifat baku dan terorganisir. Dalam menjalankan kegiatan usahatani sagu, masyarakat Desa Sungaitohor juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat istiadat daerah setempat, sehingga usahatani sagu yang dilakukan bukan hanya berdasar pada keinginan pemenuhan kebutuhan manusia, melainkan menyeimbangkan dengan alam dengan menjaga keberlanjutan alam dan tidak melakukan kegiatan usahatani atas prinsip keserakahan. Masyarakat juga menghormati kearifan lokal dengan tidak melakukan pengrusakan yang dapat mengangu siklus kehidupan disekitar lingkungan usahatani sagu.
E.KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Desa Sungaitohor yang merupakan bagian dari provinsi penghasil sagu terbaik di Indonesia, menggantugkan sebagian besar sumber perekonomiannya dari kegiatan usahatani sagu, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan usahatani sagu tersebut. Dalam pengelolaannya, usahatani sagu bergantung pada kondisi dan dinamika pada Aset Komunitasnya--Community Livelihood Assets--karena aset-aset tersebut secara langsung berpengaruh pada ketersediaan baik secara kualitas maupun kuantitas faktor-faktor produksi usahatani sagu itu sendiri. Secara umum, keterkaitan antara aset komunitas dan faktor produksi tidak dapat dipisahkan. Faktor produksi dalam usahatani sagu secara umum dapat digambarkan melalui fungsi produksi: Output = f (Land, Labor, Capital, Entrepreneruship)
UMAM, WIGUNA, INDAHSARI,WARDHANI & SAEFUDIN
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Aset komunitas khususnya pada Modal Alam yang digambarkan dengan keberadaan iklim, tanah, topografi, dan kondisi air yang sangat sesuai untuk budidaya dan pengolahan sagu, menujukkan kondisi yang sangat baik sehingga usahatani sagu memiliki pasokan faktor produksi alam (Land) yang sangat mendukung usahatani tersebut. Baiknya modal alam ini juga mampu mendukung peningkatan kapasitas produksi usahatani sagu (Output) di masa yang akan datang. Modal sosial yang digambarkan dengan kuatnya hubungan baik dalam Bonding Capital, Bridging Capital, dan Linking Capital, menciptakan pola pengelolaan usahatani sagu yang kondusif dan menjunjung moralitas, dan asas-asas kekeluargaan. Walaupun modal sosial tidak secara langsung berperan dalam input yang disebutkan melalui fungsi produksi, namun modal sosial ini merupakan faktor kelembagaan yang menjadi ‘rambu-rambu’ yang mendukung tercapainya Output yang optimal. Modal sosial yang demikian di Desa Sungaitohor sangat diperlukan agar faktor-faktor produksi (Land, Labor, Capital, Entrepreneurship) dapat dikelola untuk kesejahteraan bersama. Seain itu, kondisi modal fisik, modal finansial, dan modal manusia menunjukkan kondisi yang kurang baik. Modal fisik di Desa Sungaitohor yang digambarkan dengan terbatasnya peralatan dan perlengkapan, khususnya pada mesin berteknologi tinggi, menyebabkan faktor-faktor produksi (Land, Labor, Capital, Entrepreneurship) belum dapat dikelola secara efisien, sehingga Output usahatani sagu yang dicapai saat ini masih dibawah tingkat yang seharusnya bisa dicapai. Modal finansial di Desa Sungaitohor yang digambarkan dengan terbatasnya sumbersumber pendanaan, menyebabkan kurang mendukungnya kapasitas faktor produksi modal (Capital) bagi kegiatan usahatani sagu
dan peningkatan Outputnya di masa yang akan datang. Pada modal manusia, walaupun kualitas spiritualnya cukup baik, namun kualitas intelektual dan kualitas fisik SDMnya masih kurang baik dengan rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat keahlian pengelolaan produksi sagu yang masih terbatas pada ‘warisan turun-temurun’ secara kekerabatan. Hal ini menimbulkan faktor produksi kewirausahaan (Entrepreneurship) belum mendukung untuk peningkatan kualitas manajerial dan inovasi usaha, serta rendahnya kuaitas faktor produksi tenagakerja (Labor). Lebih jauh lagi, kondisi ini menyebabkan Bargaining Power dari masyarakat yang bekerja sebagai buruh juga rendah. 2. Saran Melimpahnya faktor produksi alam (Land) dan sistem kelembagaan yang mendukung tidak akan mampu memberikan peningkatan Output yang berarti jika masih terdapat banyak keterbatasan pada faktor produksi manusia (Labor), faktor produksi modal (Capital), dan faktor produksi kewirausahaan (Entrepreneurship). Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang berfokus pada peningkatan kualitas dan kapasitas modal fisik, modal manusia, dan modal finansial. Melalui fungsi Produk Regional Bruto berikut:
Y = rent + wage + interest + profit dapat kita lihat bahwa kesejahteraan masyarakat di Desa Sungaitohor—yang diukur dengan Produk Regional Bruto per kapita, secara langsung bergantung pada ketersediaan faktor-faktor produksi yang mendukung dan optimalisasi pengelolaannya melalui kelembagaan. Sehingga, dengan fokus kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
101
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
tidak hanya mampu mengurangi hambatan dalam usahatani sagu, namun secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Sungaitohor.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terima kasih diberikan kepada dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia yang sudah membimbing pembuatan dan penyelesaian penelitian ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah daerah dan masyarakat Desa Sungaitohor serta temanteman Kelompok Studi Mahasiswa Eka Prasetya Universitas Indonesia.
Concepts for the 21 Century. IDS Discussion Paper 296. Brighton: Institute of Development Studies Chayanov, A.V. 1966. The Theory of Peasant Economy. Manchaster University Press. DFID, 2003, Sustainable livelihoods Guidance Sheets. Department for International Development, Ellis, F. 2000. Rural livelihoods and diversity in Developing Countries. Oxford: Oxford University Press Ellis, Frank. 1993. Peasant Economics: Farm Households and Agrarian Development. Cambridge University Press. New York. . Field, John. 2010. Modal Sosial, Bantul Yogyakarta, Kreasi Wacana.
REFERENSI Adi, Isbandi Rukminto. 2007. Perencanaan Partisipatoris Berbasis Aset Komunitas. Jakarta: FISIP-UI-Press. Ashley, Caroline dan Diana Carney. 1999. Sustainable Livelihoods : Lessons from Early Experience. Bachtiar, Rifai. 1976. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Surabaya Baiquni, M. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Perdesaan dan strategi penghidupan Rumahtangga di Provinsi DIY Pada masa Krisis (1998-2003). Disertasi Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada; Yogyakarta Baiquni, M. 2007. Strategi Penghidupan di Masa Krisis. Idial Media, Yogyakarta Bekele, Adugna. E, 2008. Livelihood Strategies And Food Security Inwolayta, Southern Ethiopia: The Case Of Bolososore District, Thesis Submitted to the Department of Rural Development and Agricultural Extension, School of Graduate Studies Haramaya University Chambers, R. and Conway, G. 1992. Sustainable Rural Livelihoods: Practical 102
Faisal, Sanapiah. 2007, Format – Format Penelitian Social, Jakarta : Raja Grafindo Persada Hasibuan, Malayu S.P. 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara Hasbullah, Jauhari, 2006. Social Capital : Menuju keunggulan Budaya Indonesia, Jakarta, MR – Unites Press Kasperson, J.X., Kasperson, R.E., Turner II, B.L., Schiller, A., Hsieh, W.-H., 2003. Vulnerabilityto global environmental change. In: Diekmann, A., Dietz, T., Jaeger, C., Rosa, E.S. (Eds.), The Human Dimensions of Global Environmental Change. MIT, Cambridge, forthcoming. Makeham, J.P dan Malcolm, R.L. 1991. Manajemen Usahatani Daerah Tropis. LP3ES. Jakarta. Redclift, M. (1986). ‘Survival Strategies in Rural Europe: Continuity and Change’, Sociologia Ruralis XXVI: 15–27. Santoso, Gempur. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher UMAM, WIGUNA, INDAHSARI,WARDHANI & SAEFUDIN
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Shanin, Teodor. 1966. The Peasantry as a Political Factor. Sociological Review, Vol 14, 1966, no 1. Pp. 5-27. Solesbury, William. Reconstructing National Urban Policy for the 1990s. Paper prepared during a Research Fellowship. Nuffield College, Oxford. 1990. Soeharto, Edi. 2006. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung : Refika Aditama Wolf, Eric R. 1983. Petani: Suatu Tinjauan Anthropologis. Rajawali Press. Jakarta.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
103
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Analisis Life Cycle Assessment pada Proses Produksi Tepung Sagu Basah: Studi di Kilang Sagu Maju Jaya, Desa Sungaitohor, Riau Balqis Arche Nofinska Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Masrul Wisma Wijaya Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Feny Yunita Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia
Widi Kusnantoyo Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Nurul Fauzi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
ABSTRAK. Sagu (Metroxylon sagu, Rottb) berpotensi besar dijadikan sumber pangan yang mendukung ketahanan pangan nasional karena masih menjadi bahan pangan pokok di sebagian kawasan pesisir Indonesia. Salah satu penghasil sagu terbaik Indonesia berasal dari Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau dan dikatakan sebagai kluster lumbung sagu nasional. Desa Sungaitohor, Kabupaten Meranti telah menjadi desa percontohan sagu dengan menjadi perhatian stakeholder nasional maupun internasional. Penelitian ini mencoba mengidentifikasi proses produksi tepung sagu basah dengan menggunakan pendekatan life cycle assessment. Metode yang digunakan dalam penelitian ini kuantitatif dan kualitatif dengan menyebarkan kuisioner dan mewawancarai informan di kilang sagu Maju Jaya di Desa Sungaitohor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses produksi tepung sagu basah di kilang Maju Jaya membutuhkan energi tenaga manusia dan bahan bakar. Namun, masih terdapat energi yang terbuang serta emisi gas buang yang dapat berdampak buruk pada lingkungan. Selain itu, limbah padat yaitu kulit sagu dan ampas sagu, serta limbah cair yang dihasilkan juga berpotensi mencemari lingkungan karena belum banyak yang menerapkan pengolahan limbah secara khusus dan terpadu. Oleh karena itu, perlu digunakan mesin modern yang ramah lingkungan dan meningkatkan kualitas bahan bakar untuk mengurangi jumlah terbuangnya energi dan emisi gas buang. Selain itu juga perlu adanya inovasi-inovasi mengenai pengolahan limbah sagu serta penerapannya secara khusus dan terpadu agar dapat mengoptimalisasi produksi tepung sagu basah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. KATA KUNCI: Tepung sagu basah, Life Cycle Assessment, Emisi, Energi.
104
NOFINSKA, WIJAYA, YUNITA, KUSNANTOYO & FAUZI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
A. PENDAHULUAN Sagu (Metroxylon sagu, Rottb) masih menjadi bahan pangan pokok di sebagian kawasan pesisir Indonesia, seperti di Mentawai, Riau, Jambi, Sulawesi, sebagian Kalimantan, dan Indonesia Timur. Potensi sagu di Indonesia dari sisi luasnya bahkan mencapai 60% dari areal sagu dunia. Salah satu penghasil sagu terbaik Indonesia berasal dari Kabupaten Meranti, Provinsi Riau. Pembudidayaan sagu di Meranti sudah lebih baik dibandingkan di daerah Indonesia Timur karena sudah melalui pembibitan, bukannya tumbuh alami dari hutan. Luas hutan sagu di Kepulauan Meranti mencapai 20.000 hektar dan semuanya merupakan lahan budidaya. Kabupaten Kepulauan Meranti dapat dikatakan sebagai kluster lumbung sagu nasional. Di Kabupaten Kepulauan Meranti, sagu dibudidayakan oleh masyarakat maupun perusahaan besar dan diolah menjadi tepung sagu. Di dalam proses pengolahan tersebut tentu terdapat penggunaan teknologi konvensional yang tidak efisien. Untuk memperoleh produksi tepung sagu yang maksimal dibutuhkan optimalisasi dan penilaian terhadap konsumsi energi pada setiap proses tahapan pengolahan sagu itu sendiri. Pengolahan sagu di Meranti berasal dari kilang sagu basah dan di setiap tahapan pada rantai suplai tepung sagu basah tersebut menghasilkan limbah. Untuk itulah diperlukan pendekatan rantai suplai tepung sagu yang lebih ramah lingkungan dengan diidentifikasi melalui life cycle assessment.
B.PEMBAHASAN 1. Sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti Luas tanaman sagu di Meranti adalah sebesar 2,55 %, sedangkan luas tanaman sagu nasional sebesar 37.436 Ha/2011. Perkebunan sagu di Meranti menjadi sumber penghasilan
utama hampir 20% masyarakat di meranti. Produktivitas tanaman sagu per tahun dapat menghasilkan 6.03 ton/Ha tepung sagu. Pemanfaatan sagu di meranti hanya terfokus pada pati yang ada di dalamnya dan ampas sagu hanya sebagai produk sampingan dari pengolahan batang tanaman sagu menjadi tepung atau pati. Pada pembuatan tepung sagu, masyarakat umumnya hanya memanfaatkan 25-30% tepung sagu dari batang sagu. Sisanya, terbawa dalam residu sagu yang menjadi limbah, baik padat yaitu ampas dengan komposisi selulosa yang tinggi meupun cair berupa pati yang tidak terekstraksi yang menebarkan bau dan mengganggu lingkungan sekitar. Akibat potensi sagu yang kurang diperhatikan, pemanfaatan tanaman sagu kurang bisa dimaksimalkan. Salah satu penyebab ketidakmaksimalan pemanfaatan tanaman sagu tersebut adalah kurangnya wawasan dan skill yang dimiliki oleh penduduk Meranti. Hal ini harus segera di atasi sehingga tanaman sagu bisa dimanfaatkan dengan maksimal. 2. Produksi Tepung Sagu Basah Secara garis besar, proses produksi pati sagu digambarkan pada diagram Gambar 1. Dari diagram alir tersebut dapat dilihat tahapan-tahapan proses produksi tepng sagu secara umum. Pada area tanam sagu atau perkebunan sagu, tanaman sagu yang sudah siap panen dipilih dengan kriteria-kriteria ertenu dan ditebang. Tanaman sagu kemudia dipotong-potong menjadi beberapa bagian atau tual yang berukuran kurang lebih satu meter. Selanjutnya, batangan atau tual tersebut diangkut dari area tanam ke kilang produksi. Tual sagu yang sudah diterima kemudian dibuang kulit terluarnya dan dibelah. Potogan sagu kemudian dibelah lebih kecil dan kemudian diparut. Hasil parutan kemudian dikumpul dalam bak penampung, ditambahakan air sambil diaduk terus-
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
105
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
menerus. Eksrasi dianggap telah selesai jika air sudah tidak keruh lagi. Setelah disaring dan dipisahkan seratnya, pati akan mengendap dalam bak penampung selama beberapa mingu sebelum dibongkar, dikemas, dan diangkut ke pengumpul. Proses selanjutnya dilakukan oleh pengumpul untuk mengolah sagu pati kotor basah menjadi sagu bersih basah atau tepung sagu. Sagu pati kotor basah dimasukkan ke dalam bak penampung dan dialiri oleh air sambil diaduk secara sinambung sehingga kotoran (bagian yang ringan) berada di permukaan. Setelah pati sagu mengendap, air di bagian atas yang masih banyakmengandung pengotor dibuang. Sagu bersih basah kemudian dikemas dan dijual ke pasar ataupun industri pengolah sagu kering bersih. 3. Life Cycle Assesment Life Cycle Assesment (LCA) mengkaji aspek dampak lingkungan yang diakibatkan produk sepanjang umur pakai produk itu sendiri, dimulai dari tahap perolehan sumber daya barang mentah, proses produksi/manufaktur, penggunaan, proses â&#x20AC;&#x153;istirahatâ&#x20AC;?/pemulihan kembali dan akhirnya pembuangan. Di setiap tahap, terdapat input (materi dan energi) serta output (limbah), sehingga tahap tersebut berakhir dan menuju tahap selanjutnya. Sistem siklus hidup pada LCA terdiri dari tahapan siklus hidup, komponen sistem produk, dan hubungan timbal balik sistem produk. Tahapan siklus hidup produk diawali dengan perolehan sumber daya barang mentah, proses material, manufaktur/penyusunan, penggunaan, pemulihan kembali, dan perlakuan pembuangan. Komponen sistem produk terdiri dari produk (misal, gas alam), proses (misal, pengeboran), dan distribusi (misal, jaringan pipa). Berdasarkan ISO 14040, LCA terdiri dari empat tahap, yaitu penentuan tujuan dan ruang 106
lingkup, analisis persediaan, analisis dampak, dan interpretasi hasil. LCA menitikberatkan pada faktor mengumpulkan informasi dan menganalisis dampak lingkungan yang disebabkan oleh suatu produk. Penjelasan tahapan LCA yang harus dilakukan menurut Jensen et al., 1997 adalah sebagai berikut: a. Menentukan tujuan dan ruang lingkup Tahap pertama adalah menentukan parameter-parameter yang berhubungan dengan analisis yang akan dilakukan, terdiri dari target, batasan, unit fungsi, dan kualitas standar. b. Analisis inventori Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang dibutuhkan untuk analisis, meliputi bahan baku, energi, hasil samping, dan pencemaran. Menurut Clift et al. (2000) analisis inventori meliputi pengumpulan dan penghitungan data masukan dan keluaran bahan dan energi dalam batasan sistem yang ditentukan. c. Analisis dampak Analisis dampak bertujuan mengetahui dampak yang mungkin terjadi selama siklus hidup suatu produk. Perkiraan dampak dimaksudkan sebagai penilaian secara cermat dan mendalam terhadap kualitas lingkungan, yang ditunjukkan dengan besarnya dampak dan tingkat kepentingannya. 4. Konsumsi Energi Proses Produksi Tepung sagu basah a. Energi Manusia Tenaga manusia digunakan pada semua kegiatan proses produksi tepug sagu mulai dari, penanaman, hingga kegiatan pengemasan. Besarnya tenaga manusia selama kegiatan produksi tepung sagu basah dihitung melalui pendekatan pada persamaan :
NOFINSKA, WIJAYA, YUNITA, KUSNANTOYO & FAUZI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Etm =
JK x NE Q
Etm didefinisikan sebagai tenaga selama proses produksi tepung sagu basah (MJ/kg), JK didefinisikan sebagai jumlah jam kerja, NE didefinisikan sebagai nilai unit kalor tenaga kerja manusia MJ/jam, dan Q didefinisikan sebagai jumlah produksi (kg). b. Energi Bahan Bakar Besarnya energi yang berasal dari bahan bakar untuk produksi dalam kegiatan produksi dalam kegiatan produksi tepung sagu basah dihitung melalui pendekataan pada persamaan: Eb = â&#x2C6;&#x2018;
AiRi Q
Eb didefinisikan sebagai energi bahan bakar pada kegiatan bahan bakar pada kegiatan pengolahan untuk tiap kg tepung sagu basah (MJ/kg). Ai didefinisikan sebagai bahan bakar pada kegiatan produksi tepung sagu basah ke-i (liter). Ri didefinisikan nilai kalor bahan bakar jenis ke-i (MJ/liter). Q didefinisikan sebagai jumlah produksi tepung sagu basah (kg). Tabel 1. Nilai Kalor Jenis Bahan Bakar Jenis Bahan Bakar Solar LPG Gas Alam Batu Bara Bensin
Nilai Kalori Bahan Bakar (MJ/liter) 0.03866016 MJ/liter 0.04694448 MJ/kg 0.000039430016 MJ/liter 0.0200832 MJ/kg. 0.000040860944 MJ/liter.
melalui sistem pembuangan mesin. Komposisi dari gas buang adalah sisa hasil pembakaran berupa air (H2O), gas CO atau karbon monoksida beracun, CO2 atau karbon dioksida yang merupakan gas rumah kaca, NOx senyawa nitrogen oksida, HC atau hidrokarbon sebagai akibat ketidaksempurnaan proses pembakaran serta partikel lepas. Nilai faktor konversi untuk beberapa bahan bakar diberikan pada Tabel 2 di bawah ini. Tabel 2. Faktor Emisi Gas Buang Pada Beberapa Sumber Energi Jenis Gas Buang HC Nox CO CO2
Solar (kg/l) 0,0226 0,0096 0,0378 2,7405
Jenis Bahan Bakar Premium Listrik (kg/l) (kg/kWh) 0,0110 0,0046 0,0078 0,0024 0,2865 0,0099 2,3940 0,7190
Kayu (kg/kg) 0,0209 0,0025 0,0350 2,5375
C.METODE PENELITIAN Pada penelitian ini menitikberatkan pada setiap tahapan proses produksi olahan sagu yang terdapat pada usaha pengolahan sagu di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pada penelitian ini yang akan menjadi objek penelitian merupakan kilang sagu yang berada di Desa Sungaitohor. Lingkup pengamatan life cycle assessment (LCA) terdapat pada penggunaan bahan, penggunaan energi, dan dampak lingkungan. Proses produksi tepung sagu meliputi kegiatan produksi tanaman sagu dari penanaman hingga penebangan, proses ekstraksi, dan pemasaran. Namun batasan penelitian ini mencakup proses ekstraksi bahan baku utama olahan sagu, mulai dari penarikan dan penerimaan tual sagu hingga pengemasan tepung sagu basah seperti skema pada Gambar 1.
c. Emisi Gas Buang Emisi gas buang adalah sisa hasil pembakaran bahan bakar yang dikeluarkan KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
107
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Penarikan dan Penerimaan Tual Sagu
Pengupasan
Pembelahan
Pemarutan, Pengadukan, Penyaringan
Pengendapan Pemanenan dan Pengemasan Tepung Sagu Basah Gambar 1. Tahapan pada proses ekstraksi tepung sagu basah
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif menggunakan pendekatan secara kuantitatif dan kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer yang didapat dari hasil wawancara dan observasi lapangan di kilang sagu Maju Jaya yang berada di Desa Sungaitohor dengan menyebarkan kuisioner dan melakukan wawancara guna mendapatkan informasi kebutuhan energi pada setiap tahapan ekstraksi tepung sagu basah. Sedangkan data sekunder berupa cara perhitungan energi manusia dan peralatan yang digunakan selama tahapan proses ekstraksi, faktor emisi pada beberapa bahan bakar dan dampak lingkungan yang ditimbulkan didapatkan dari studi pustaka. Analisis pada penelitian ini menggunakan metode perhitungan bahan baku, energi, serta analisis lingkungan menjadi rangkaian satu kesatuan guna menghasilkan penilaian akhir. Perhitungan bahan selama proses produksi akan dikaji menggunakan analisis inventori sesuai dengan metode LCA. Dampak yang ditimbulkan selama kegiatan berlangsung, 108
baik dari segi kehidupan masyarakat maupun lingkungan, dianalisis menggunakan analisis dampak. Perhitungan energi yang digunakan selama proses produksi berlangsung dibedakan ke dalam dua jenis energi, yaitu energi yang berasal dari tenaga mesin dan energi yang berasal dari tenaga manusia. Metode LCA yang digunakan untuk mengetahui seberapa besar energi yang dibutuhkan selama proses produksi adalah dengan menggunakan analisis inventori. Dampak yang ditimbulkan dari penggunaan energi selama berlangsungnya proses produksi kemudian dianalisis menggunakan analisis dampak. Penilaian lingkungan dilakukan dengan analisis dampak berupa limbah cair, limbah padat serta emisi yang dilepaskan selama proses produksi berlangsung. Dampak lingkungan yang ditimbulkan selama proses produksi secara kuantitas dianalisis menggunakan analisis inventori, sedangkan secara kualitas dianalisis menggunakan studi literatur.
D.HASIL DAN DISKUSI Proses produksi tepung sagu basah pada kilang Maju Jaya di Desa Sungaitohor Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau dibagi menjadi beberapa tahapan dalam satu siklus produksinya. Pada pengamatan ini, kami melakukan pengamatan dan pengumpulan data pada setiap tahapan dalam satu siklus yang berlangsung selama sembilan hari. Berikut ini adalah hasil pengamatan pada setiap tahapan dalam satu siklus produksi tepung sagu basah. 1. Penarikan dan Penerimaan Tahapan produksi tepung sagu basah dimulai dengan penarikan batangan sagu yang telah dipotong menjadi segmen-segmen batang dengan panjang sekitar 1 m. Batang-batang yang telah dipotong ini biasa disebut tual sagu. Tual sagu kemudian dilubangi bagian batangnya, dikaitkan dengan tali tambang antara satu tual dengan tual lainnya dan NOFINSKA, WIJAYA, YUNITA, KUSNANTOYO & FAUZI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
diposisikan secara paralel pada sungai (mirip perahu rakit). Tual-tual sagu tersebut kemudian ditarik oleh tenaga manusia dan ditarik satu per satu ke daratan secara manual. Pengangkutan melalui sungai sangat memudahkan proses penarikan karena berat sagu ditopang oleh gaya angkat air itu sendiri (buoyant force). Selain itu penarikan dilakukan pada saat air pasang sehingga perbedaan ketinggian antara permukaan air dengan daratan menjadi kecil (mudah untuk dinaikkan). Tual sagu kemudian diterima oleh kilang sagu. Kemudian peneliti mengukut dan mencatat karakteristik tual sagu yang hasilnya ditunjukkan dalam pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik tual sagu No 1 2 3 4 5 Rata -rata
Berat Tual (kg) 148,8 105,7 116 155,3 150,2
Berat Kulit (kg) 28,9 23 30,1 25,3 27
Diameter Tual (cm) 48 46 44 52 48
Panjang Tual (cm) 106 167 107 105 108
135,2
26,86
47,6
118,6
2. Pengupasan Tual Sagu Setelah tual sagu diterima oleh kilang, maka kulit terluarnya akan dikupas secara manual dengan tenaga manusia menggunakan kapak. Kapak yang digunakan pada kilang sampel adalah kapak merk Cap Intan 5 Pound. Pekerja pada kilang berusaha semaksimal mungkin kulit terluarnya saja yang dikupas, sehingga tidak merusak atau mengurangi batang dalam tual itu sendiri. 3. Pembelahan Tual Sagu Tual sagu yang telah terkupas selanjutnya dibelah sesuai arah serat batang (aksial) menjadi 8-10 potongan. Pembelahan dilakukan secara manual dengan tenaga
manusia menggunakan kapak merk Cap Intan 5 Pound. Pembelahan tual ini dimaksudkan agar memudahkan proses selanjutnya, yaitu pemarutan. 4. Pemarutan, Pengadukan, Penyaringan Belahan tual kemudian diparut dengan menggunakan mesin pemarut. Pekerja memasukkan dan mendorong belahan tual ke dalam mesin pemarut. Mesin pemarut dan alat pengaduk bekerja secara sinergis berdasar mesin diesel. Spesifikasi mesin yang digunakan adalah mesin diesel Merk Tianli dengan tipe ZS1125, tenaga 30 HP, kecepatan 2200 RPM, dan berat 230 kg. Hasil parutan dicampur menggunakan air gambut yang disedot dari sumber air dari dekat kilang. Pada sisi outlet dipasang saringan kasa yang bertujuan untuk menyaring kotoran-kotoran ataupun ukuran parutan belahan yang tidak sesuai. Hasil saringan merupakan campuran air dan tepung sagu basah. 5. Pengendapan Campuran air dan tepung sagu basah kemudian diendapkan dalam bak pengendapan. Tujuan pengendapan ini adalah memisahkan partikel padatan tepung sagu dengan zat-zat pengotor dengan memanfaatkan prinsip gravitasi. Bak pengendapan memiliki dimensi yang bervariasi tergantung ketersediaan lahan. Ratarata bak pengendapan memiliki kedalaman 1 m dan terbuat dari papan-papan kayu. Di ujung bak pengendapan, terdapat saluran pembuang limbah cairan sagu yang berguna ketika limbah cairan telah memenuhi bak akan mengalir ke luar dengan sendirinya. Limbah cairan terdiri dari air gambut serta partikel pengotor ringan lainnya yang tidak terendap. 6. Pemanenan dan Pengemasan Tepung Sagu Basah
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
109
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
Ketika endapan dalam bak pengendapan sudah hampir mencapai tinggi bak, maka panen harus segera dilaksanakan. Dalam 1 kali panen (selama kurang lebih setiap 8-14 hari), di kilang sagu Maju Jaya bisa memanen sebanyak 13000-25000 kg endapan sagu basah. Pekerja kilang memanen tepung sagu basah dengan cara manual, yaitu menggunakan cangkul ataupun sekop. Tepung sagu basah kemudian dimasukkan ke dalam karung untuk dijual dan umumnya diolah lagi hingga menjadi tepung sagu kering dan mie sagu. 7. Konsumsi Energi pada Proses Produksi Tepung Sagu Basah Konsumsi energi pada proses produksi tepung sagu basah pada Kilang Sagu Maju Jaya Desa Sungaitohor, Kabupaen Kepulauan Meranti, Provinsi Riau dihitung dengan audit energi pada proses penerimaan tual sagu hingga pengemasan tepung sagu basah siap jual. Pada penelitian ini, peneliti hanya mengkaji konsumsi energi langsung saja yaitu energi tenaga manusia dan energi bahan bakar minyak (solar). Energi tidak langsung yang mencakup investasi mesin dan peralatan tidak dikaji dalam penelitian ini. 8. Tenaga Manusia Pada proses produksi tepung sagu basah di kilang Maju Jaya, tenaga mausia merupakan sumber energi terbesar yang digunakan. Tenaga manusia digunakan dalam semua proses pengolahan tepung sagu basah dari mulai penerimaan tual sagu hingga pengemasan tepung sagu basah siap jual. Total penggunaan energi manusia pada satu siklus pengolahan yaitu sebesar 0,005724 MJ/kg tepung sagu basah atau 87.19% dari total masukan energi pada proses produksi tepung sagu basah. Penggunaan tenaga mausia terbesar terdapat pada proses pengupasan tual sagu 110
yang menghabiskan energi sebesar 0.002811544 MJ/kg tepung sagu basah atau sekitar 49,1% dari total masukan tenaga manusia yang digunakan. Sedangkan pada proses penerimaan tual sagu, peggunaan tenaga manusia relatif kecil yaitu hanya 0,000376922 MJ/kg tepung sagu basah atau sekitar 6,6% dari total masukan tenaga manusia yang dgunakan. Perincian penggunaan tenaga manusia pada setiap tahapan proses produksi tepung sagu basah terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Penggunaan Tenaga Manusia Kegiatan Penarikan/ Penerimaan tual sagu Pengupasan tual sagu Pembelahan tual sagu Pemarutan Pemanenan dan pengemasan tepug sagu basah Total
Input Energi (MJ/kg) 0,000376922
Persentase (%) 6.6%
0,002811544
49.1%
0,000694136
12.1%
0,000875761 0,000965538
15.3% 16.9%
0,005724
100%
9. Energi Bahan Bakar Minyak Jenis bahan bakar yang digunakan di kilang pengolahan tepung sagu basah adalah solar. Solar digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Mesin diesel pada kilang digunakan sebagai mesin penggerak alat parut, pengduk, dan pompa air. Mesin diesel yang digunakan yaitu mesin diesel Merk Tianli tipe ZS1125 dengan tenaga 30 HP dan kecepatan 2200 RPM. Dalam satu siklus produksi tepung sagu basah, bahan bakar solar yang dibutuhkan adalah sebanyak 94 liter. Input energi dihitung menggunakan rumus perhitungan energi bahan bakar minyak. Hasil perhitungan menunjukkan
NOFINSKA, WIJAYA, YUNITA, KUSNANTOYO & FAUZI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
bahwa energi bahan bakar minyak yang digunakan dalam satu siklus pengolahan yaitu 0,000162MJ/kg tepung sagu basah atau sekitar 12,81% dari total masukan energi pada proses produksi tepung sau basah. Tabel 5. Energi Bahan Bakar Minyak Kegiatan Pemarutan, Pengadukan, Penyaringan Total
Input Energi (MJ/kg) 0,000162
0,000162
Persentase 100%
100%
10. Peluang Penghematan Energi Bahan bakan solar yang digunakan pada kilang yaitu sebanyak 1,47 liter/jam atau setara dengan 15,779 watt, sedangkan daya terpasang pada mesin diesel adalah sebesar 30 hp yang settara dengan 22,371 watt. Dengan demikian tingkat efisiensnya adalah 70.5% dan terdapat ketidakefisienan sebesar 29.5%. Berbagai upaya dapat dilakukan dalam rangka penghematan energi yaitu dengan merawat mesin-mesin seperti pemarut, pengaduk, dan pompa air atau melakukan penggantian mesin-mesin secara berkala. Pengadaan mesin yang modern dan ramah lingkungan juga bisa menjadi salah satu upaya untuk menghemat energi serta menjaga lingkungan. 11. Perkiraan Emisi Gas Buang Emisi gas buang merupakan sisa hasil pembakaran mesin yang menggunakan bahan bakar. Biasanya emisi gas buang ini terjadi karena pembakaran yang tidak sempurna dari sistem pembuangan dan pembakaran mesin serta lepasnya partikel-partikel karena kurang tercukupinya oksigen dalam proses pembakaran tersebut. Emisi Gas Buang merupakan salah satu penyebab terjadinya efek rumah kaca dan pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini. Pada penelitian ini, mesin
diesel yang digunakan menggerakkan pengaduk, pompa air, dan pemarut menggunakan bahan bakar solar. Pada satu siklus pengolaha tepung sagu basah, penggunaan solar yaitu sebanyak 94 liter. Jenis gas buang yang hitung yaitu hidrokarbon (HC), senyawa NOx, karbonmonoksida (CO), dan karbondioksida (CO2). Perhitungan emisi dilakukan dengan mengalikan jumlah konsumsi bahan bakar solar dalam satu siklus dengan faktor emisi gas buang. Hasil yang diperoleh melalui perhitungan terdapat pada tabel di bawah ini. Tabel 6. Jumlah Emisi Gas Buang dalam Satu Siklus Produksi Tepung Sagu Basah di Kilang Maju Jaya Jenis Gas Buang HC NOx CO CO2
Emisi (kg/l) 2124,4 902,4 3553,2 257607
12. Perkiraan Jumlah Limbah yang Dihasilkan Pada proses produksi tepung sagu basah, dihasilkan limbah berupa limbah cair dan limbah padat. Limbah cair yang dihasilkan yaitu berasal dari air yang digunakan saat pencucian, sedangkan limbah padat berasal dari kulit sagu yang tidak terpakai dan ampas sagu. Limbah cair dihitung dengan cara perbandingan antara jumlah endapan tepung sagu basah dan limbah cair pada botol sampling dengan endapan tepung sagu basah yang dihasilkan dalam satu proses produksi. Hasil yang diperoleh dari Kilang Sagu Maju Jaya yaitu dihasilkannya limbah cair sebanyak 197530,86 kg per siklus. Limbah padat yang dihasilkan pada proses produksi tepng sagu basah adalah limbah kulit sagu dan limbah ampas sagu. Limbah kuli sagu dihitung dengan mengukur berat kulit sagu rata-rata pada kilang dan mengalikannya
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
111
OPTIMALISASI KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN MENUJU KETAHANAN PANGAN INDONESIA BERKELANJUTAN 2025 VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
dengan jumlah tual sagu yang digunakan pada satu kali proses. Berdasarkan perhitungan tersebut, didapatkan jumlah limbah kulit sagu yaitu sebanyak 10072,5 kg per siklus. Limbah ampas sagu dihitung dengan mengurangkan berat total tual sagu yang sudah dikuliti dengan berat total tepung sagu basah pada saat panen. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka dapat diperkirakan jumlah limbah ampas sagu yang dihasilkan pada satu siklus yaitu sebanyak 37700 kg per siklus. Limbah yang dihasilkan pada proses produksi berpotensi mencemari lingkungan jika tidak diolah dengan tepat. Saat ini, pengolahan limbah sagu belum banyak diterapkan di Desa Sungaitohor, Kabupaten Kepulauan Meranti. Pada Kilang Maju Jaya, limbah cair dan ampas sagu dibuang ke kanal air dan dibiarkan hingga hujan datang membawa limbah agar hanyut. Sedangkan limbah kulit sagu sebagian digunakan untuk alas pengganti ubin di kilang, namun sebagian besar dibakar. Padahal limbah sagu yang dihasilkan memiliki nilai ekonomis yang tinggi jika dikelola dengan baik. Oleh karena itu perlu adanya inovasi-inovasi tentang pengolahan limbah sagu serta penerapannya secara khusus dan terpadu agar dapat mengoptimalisasi produksi tepung sagu basah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
E.KESIMPULAN DAN SARAN Satu siklus produksi tepung sagu basah memerlukan input dan output energi pada setiap tahapannya. Input energi berupa energi manusia dan energi bahan bakar minyak (solar), sedangkan outputnya adalah limbah. Energi tenaga manusia yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram tepung sagu basah yaitu sebesar 0,005724 MJ. Energi bahan bakar minyak dalam hal ini solar yang dibutuhkan untuk memproduksi satu kilogram tepung sagu basah yaitu sebesar 0,03895 MJ. 112
Terdapat ketidakefisienan penggunaan energi bahan bakar pada mesin diesel di Kilang Sagu Maju Jaya sebesar 29,5%. Ketidakefisienan tersebut dapat dikurangi dengan pengadaan alat lebih modern yang ramah lingkungan dan pengecekan serta perawatan mesin diesel secara berkala. Penggunaan bahan bakar solar pada mesin diesel juga menghasilkan emisi gas buang. Emisi gas buang yang dihasilkan berupa senyawa hidrokarbon, senyawa nitrogen oksida, karbonmonoksida, dan karbondioksida. Gas buang dengan kadar berlebih memiliki dampak yang buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Emisi gas buang dapat dikurangi dengan berbagai macam cara, misalnya dengan meningkatkan kualitas bahan bakar yang digunakan. Output energi berupa limbah yang dihasilkan dari satu siklus produksi tepung sagu basah selama 8 hari di Kilang Maju Jaya yaitu limbah cair sebanyak 197530,86 kg, limbah kulit sagu 10072,5 kg, dan limbah ampas sagu 37700 kg. Limbah yang dibuang ke kanal atau sungai dan dibiarkan berpotensi mencemari lingkungan, padahal limbah tersebut dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis tinggi bila dikelola dengan baik. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kandungan limbah sagu dan potensipotensinya. Inovasi tentang pengolahan limbah sagu serta penerapannya secara khusus dan terpadu dapat mengoptimalisasi produksi tepung sagu basah yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Contohnya yaitu limbah cair sagu bisa dimanfaatkan sebagai biogas dan pupuk cair organik. Limbah kulit sagu bisa dimanfaatkan untuk arang dan bahan bakar serta limbah ampas sagu dapat dijadikan media budidaya lalat BSF yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber protein pakan ternak dan media tanam jamur merang yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Tidak hanya itu, jika pengelolaan limbah sagu dilakukan di seluruh NOFINSKA, WIJAYA, YUNITA, KUSNANTOYO & FAUZI
JURNAL INDONESIA STUDENT RESEARCH & SUMMIT VOLUME 2, NOMOR ISSN: 2477-6475, NOVEMBER 2016
daerah penghasil sagu di Indonesia, maka Indonesia dapat menjadi negara pertanian organik terbesar di dunia.
The Intergovernmental Panel on Climate Change. 2006. 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IGES: Japan.
REFERENSI
Williams, A.S.. 2009. Life Cycle Analysis: A Step by Step Approach. ISTC Reports. University of Illinois at UrbanaChampaign.
Antara Riau. 2016. Ternyata Limbah Sagu Meranti Bernilai Ekonomi Tinggi, Ini Penjelasannya. http://www.antarariau.com/berita/81574/t ernyata-limbah-sagu-meranti-bernilaiekonomi-tinggi-ini-penjelasannya, diakses pada 15 November 2016. Clift, R., Doig, A. and Finnveden, G. 2000. The Application of Life Cycle Assessment to Integrated Solid Waste Management, Part I – Methodology. Transactions of the Institution of Chemical Engineers, Part B: Process Safety and Environmental Protection. In press. Food and Agriculture Organization. 2001. Human Energy Requirements: Report of a Joint FAO/WHO/UNU Expert Consultation. Rome: IX + 103. Honsono, N.. 2012. Analisis Lifecycle Bioetanol Berbasis Singkong dan Tandan Kosong Kelapa Sawit di Indonesia. Skripsi: Universitas Indonesia. Haryanto, B. dan P. Pangloli., 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius. Yogyakarta. Jensen, A.A., Hoffman, L., Møller, B.T., Schmidt, A., Christiansen, K., Elkington, J., and van Dijk, F. 1997. Life Cycle Assessment (LCA). A Guide to Approaches, Experiences and Information Sources, Environmental Issues Series, vol. 6, European Environmental Agency. Jon, F.S. and Flach M. 1995. The sustainability of sago palm (Metroxylon spp.) cultivation on deep peat in Sarawak. Sago Palm, J. Jpn. Soc. Sago Palm Studies, 3:13-20.
KELOMPOK STUDI MAHASISWA EKA PRASETYA UNIVERSITAS INDONESIA
113