Antologi KSM 'Meneropong Indonesia 2035'

Page 1

1


2


3


4


5


DAFTAR ISI

Profil KSM Eka Prasetya UI.......................................................................ii Sambutan................................................................................................iii Tajuk........................................................................................................iv Daftar Isi……………………………………………………………………………………………..vi

Re-Identifikasi Budaya Negara-Negara di Asia Tenggara dalam Implementasi 20 Tahun Asean Community Cirebon sebagai Provinsi Ke-35 Indonesia: Sebuah Refleksi dari Konsep Aliansi Budaya Nesia Qurrota A’yuni……………………………………………………………………………8 Bonus atau Bencana Demografi: Pendidikan Kejuruan sebagai Faktor Kunci Pendorong Kemajuan Indonesia Irfan Teguh Prima………………………………………………………………………………28 Pengoptimalan Peran Perawat Komunitas Melalui Penelitian dalam Memerangi HIV/Aids di Indonesia Maufiroh……………………………………………………………………………………………42 Indonesia 2035: Kiblat Konsumerisme Global atau Pusat Fesyen Muslim di Timur? Esti Indah Puji Lestari…………………………………………………………………………54 Demography Dividend Era: Analisis Pendekatan Rasional-Empiris terhadap Kebutuhan Masyarakat Indonesia Akan Social Security System Supriadi……………………………………………………………………………………………..64 Kondisi Pendidikan di Daerah 3T :Tantangan Menuju Indonesia 2035 Menggagas Indonesia 2035 Tri Nopiyanto…………………………………………………………………………………….76 6


Meneropong UMKM Indonesia Tahun 2035 Firda Amalia Ilmiawati……………………………………………………………………….96 Kacamata Jawa Ryandi Fachri Fatahilah…………………………………………………………………...105 Tahun 2035: Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional Safira Ryanatami……………………………………………………………………………..114 Bonus Demografi : Amunisi Pemantapan Perekonomian Indonesia 2035 Nurul Khomariyah…………………………………………………………………………...123 Menyelamatkan Aset Bangsa, Mewujudkan Negeri yang Lebih Ramah terhadap Anak- Anak Madasaina Putri Aminati………………………………………………..………………..137 Belajar dari Jepang: Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Lanjut Usia di Masa Depan melalui Perencanaan Kebijakan Sosial Randy Raharja………………………………………………………………………………….148 Gambaran Kesehatan Indonesia Tahun 2035 Berdasarkan Capaian terhadap Program SDGs Tahun 2030 Siti Syahidati Fauzana………………………………………………………………………162 Bacaan Anak yang Sesungguhnya Fitria Nur Umi Halimah…………………………………………………………………….173

7


8


RE-IDENTIFIKASI BUDAYA NEGARA-NEGARA DI ASIA TENGGARA DALAM IMPLEMENTASI 20 TAHUN ASEAN COMMUNITY

P

ada tahun 2007, Indonesia dikejutkan dengan program promosi pariwisata Malaysia, yaitu

Malaysia Truly Asia yang menampilkan produk-produk budaya, seperti Angklung, lagu Rasa Sayange, Wayang, dan Reog. Promosi pariwisata tersebut menyulut berbagai protes dari masyarakat Indonesia. Produk-produk budaya yang ditampilkan Malaysia dianggap sebagai warisan budaya asli Indonesia, bukan warisan budaya Malaysia. Hal itu memunculkan sinisme terhadap Malaysia bahwa negara tersebut telah mencuri budaya-budaya Indonesia. Berbagai demonstrasi pun dilakukan di Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta dalam upaya menentang tindakan Malaysia tersebut. Pada

tahun-tahun

berikutnya,

masalah

klaim

budaya telah menjadi sebuah isu sensitif yang mudah menyulut konflik antarnegara, seperti Indonesia dan Malaysia.

Konflik

tersebut

seakan

tidak

mendapat

penanganan yang jelas mengenai resolusinya. Hanya satu atau dua kali dialog dilakukan oleh pemimpin kedua negara 9


untuk saling menurunkan tensi, tanpa mencari akar dari permasalahan yang ada. Alhasil, tunas-tunas konflik keduanya tetap ada dan suatu saat akan berpotensi kembali tumbuh. Berdasarkan kasus tersebut, kebutaan akan kesadaran identitas masing-masing negara menjadi suatu bara penyulut konflik klaim budaya. Oleh karena itu perlu, adanya suatu re-identifikasi di tiap-tiap negara, khususnya negara-negara di Asia Tenggara yang rentan mengalami gesekan dalam hal budaya. Bangsa-Bangsa yang Mencari Identitas Dalam memahami konflik klaim budaya, pada kenyataanya ada satu hal yang dilupakan. Kebanyakan orang sekarang masih mencampuradukkan antara ranah budaya dan ranah politik. Saat ini, persebaran wilayah politik dan wilayah budaya dianggap merupakan hal yang sama, walaupun keduanya sebenarnya berbeda. Akibatnya, banyak konflik muncul karena ketidaktahuan akan batasbatas tersebut. Asia Tenggara, wilayah yang menjadi fokus dari tulisan ini, asal-usulnya belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Mengacu kepada aspek historis negaranegara di Asia Tenggara, adanya istilah “Asia Tenggara� sebenarnya bukan berasal dari masyarakat Asia Tenggara. 10


Istilah Asia Tenggara merupakan sebuah istilah yang digagas oleh Inggris untuk menyebut daerah yang berhubungan dengan keperluan militernya yang berada di Asia bagian tenggara. Walaupun begitu, sebelumnya masyarakat Asia Tenggara tradisional telah terintegrasi dalam suatu pola kehidupan yang kompleks di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Di bidang politik, berlaku sistem mandala yang ditandai dengan sering berubahnya wilayah suatu kerajaan. Hal tersebut terjadi karena wilayah kerajaan didasarkan pada kharisma seorang rajanya. Semakin berkharisma seorang raja, wilayah kerajaannya akan semakin luas. Namun, ketika raja yang memimpin adalah seorang yang lemah, wilayah kerajaannya akan semakin menyempit bahkan dapat diambil alih oleh kerajaan lainnya. Mengacu kepada keaadaan tersebut, tidak ada batas administrasi yang resmi pada zaman dahulu sehingga tidak ada pula identitas masyarakat yang rigid. Di bidang ekonomi, Asia Tenggara terkenal akan sektor perdagangannya yang maju dengan menawarkan beberapa komoditas unggulan yang berbeda tiap wilayah. Hal tersebut terjadi karena lingkungan alam Asia Tenggara didukung oleh letak geografis yang strategis. Wilayah Asia Tenggara sebagian besar berupa hutan tropis yang terdiri 11


dari pohon-pohon tinggi (dipeteocarp), rimba di Asia Tenggara menghasilkan jenis-jenis yang beragam dan berlimpah yang tidak ada bandingannya di dunia (Fischer 1996: 43). Oleh karena itu, komoditas di Asia Tenggara menjadi suatu produk khas yang hanya ditemui di wilayah tersebut sehingga menarik bangsa lain untuk datang ke Asia Tenggara. Dengan demikian, dinamika perdagangan di Asia Tenggara telah menjadikan wilayah sebagai pasar bebas yang ramai. Di bidang budaya, migrasi antarbangsa menjadi suatu fenomena yang turut memengaruhi perkembangan budaya di suatu wilayah. Kawasan Asia Tenggara yang tidak mengenal

batas

menyebabkan

antarnegara

penduduknya

pada

bebas

dahulu

bermobilisasi

kala ke

manapun dengan membawa budaya mereka. Sebagai contohnya adalah pada tahun 1890, masyarakat Melayu yang menetap di Kuala Lumpur terdiri dari pada pedagang yang berasal dari Sumatera dan Jawa (Gullick, 1993:34). Oleh karena itu tidak heran budaya Minangkabau, seperti tari piring dan pecak silat; dan budaya Jawa, seperti Wayang, juga ditemui di Malaysia. Adapun Bangsa Indonesia yang saat ini sering mengklaim bahwa kesenian seperti Reog, Wayang, dan kesenian lainnya merupakan budaya aslinya, menjadi suatu 12


kontradiksi dari realitas yang ada dan juga dari pernyataan Denys Lombard, seorang sejarawan Prancis. Ia menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia juga mendapat “sumbangan� dari berbagai bangsa yang pernah singgah dan menetap di Nusantara. Sumbangan budaya tersebut sering membentuk budaya baru yang sampai saat ini diakui sebagai budaya asli bangsa Indonesia. Dapat disimpulkan, tidak semua budaya yang dimiliki suatu bangsa merupakan budaya murninya. Perlu dilakukan penggalian akar sejarah dari riwayat bangsa -bangsa yang sekiranya turut dalam membentuk budaya tersebut sehingga rasa saling klaim budaya dapat dihindari. Selanjutnya, pada saat kedatangan bangsa Barat ke Asia Tenggara, segala sistem yang telah ada sebelumnya perlahan berubah. Pada era itu, Asia Tenggara memasuki babak sejarah modernnya. Hal tersebut ditandai dengan munculnya konsep batas wilayah yang rigid. Akibatnya lalu lintas

manusia

yang

bebas

sebelumnya,

berubah

sepenuhnya. Bangsa Barat telah mengkotak-kotakan Asia Tenggara ke dalam wilayah-wilayah berdasarkan kekuasaan mereka. Di dalamnya diterapkan suatu sistem tata pemerintah baru yang berusaha diselaraskan dengan Barat. Sebagai contohnya, adanya penerapan binenland bestuur— Merupakan suatu sistem pemerintahan dalam negeri yang membagi wilayah berdasarkan strata tertentu yang 13


dikepalai oleh Gouverneur, Resident, dan Assistant-Resident — di wilayah jajahan Hindia Belanda. Sistem baru tersebut telah memisahkan satu bangsa dengan bangsa lainnya di Asia Tenggara karena urusan politik. Namun, batas politik tersebut tidak membatasi budaya yang telah tumbuh di masyarakat. Hal tersebut terjadi karena budaya pada dasarnya akan terbawa oleh masyarakat yang mengamalkannya. ASEAN Community: Apakah Sejarah akan berulang? Seiring dengan banyaknya konflik yang sering menimpa beberapa negara di Asia Tenggara, sebuah konsep yang mengusung “New ASEAN Ways� akan segera dilaksanakan pada penghujung tahun 2015. Konsep tersebut merupakan sebuah hal baru yang akan diamalkan pada pelaksanaan ASEAN Community. Adanya ASEAN Community merupakan salah satu pengintegrasian negaranegara di Asia Tenggara dalam tiga bidang utama yaitu, politik, pertahanan, dan keamanan; ekonomi; dan sosialbudaya. Integrasi tersebut dilakukan untuk menghadapi tantangan global dan juga risiko yang dapat mengancam eksistensi negara-negara di Asia Tenggara. Dengan adanya ASEAN Community, batas-batas administrasi tiap-tiap negara tidak akan lagi menjadi penghalang

bagi

masyarakat 14

Asia

Tenggara

untuk


melakukan mobilitas antarnegara. Semua mendapatkan kebebasan untuk melakukan aktivitasnya di manapun. Masyarakat Asia Tenggara akan campur baur dalam satu tempat yang mana mereka mengidentifikasi dirinya sebagai masyarakat ASEAN. Apabila keadaan tersebut dihubungkan dengan keadaan ratusan tahun yang lalu, akan terjadi suatu kemiripan dengan apa yang terjadi sebelum abad ke-19. Pada masa itu, masyarakat Asia Tenggara menganggap dirinya sebagai masyarakat serantau yang mempunyai hubungan ketergantungan satu sama lain. Ketergantungan tersebut terjadi karena tiap-tiap mengahasilkan komoditas yang berbeda sehingga untuk memenuhi kebutuhan satu sama lain, diadakanlah perdagangan antarnegara. Sebagai contoh adalah Malaka yang berhubungan erat dengan Siam yang pada waktu itu merupakan salah satu penghasil utama beras di Asia Tenggara. Masyarakat Asia Tenggara yang telah bercampur baur dahulu kala, saat ini akan dicampurbaurkan dalam satu ASEAN Community. Hal tersebut apabila ditarik ke dalam

periode

persamaannya.

saat Adanya

ini,

tentu

ASEAN

akan

ditemukan

Community

seakan

membuktikan bahwa teori “history repeat itself� benar adanya. Masyarakat Asia Tenggara akan kembali hidup tanpa batas satu sama lain seperti yang terjadi pada zaman 15


tradisional. Apa yang telah dimiliki suatu negara, seperti halnya budaya akan kembali diidentifikasikan sebagai budaya bersama. Hal tersebut terjadi mengingat bahwa budaya yang ada di Asia Tenggara akan mengikuti masyarakat yang mengamalkannya yang dengan adanya ASEAN Community akan bebas berdiaspora. Re-identifikasi sebagai Suatu Simpulan Melihat dari kacamata sejarah, bangsa-bangsa di Asia Tenggara pada dasarnya telah menjalin hubungan erat sejak dahulu kala. Namun. hubungan tersebut terhenti sejak

kedatangan

bangsa

Barat

ke

Asia

Tenggara

memisahkan wilayah-wilayah di Asia Tenggara ke dalam batas-batas politik. Alhasil, masyarakat Asia Tenggara pada era modern saat ini tidak menyadari bahwa mereka dahulu pernah hidup tanpa batas dan mengamalkan budaya yang mirip atau sama satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, konfilk klaim sering terjadi, terutama dalam bidang budaya karena kurangnya pemahaman akan sejarah bangsa-bangsa Asia Tenggara. Bertepatan

dengan

adanya

momen

ASEAN

Community, negara-negara di Asia Tenggara akan kembali terintegrasi dalam satu wilayah yang tidak berbatas. Dalam hal ini, proses re-identifikasi budaya akan terjadi . Berang16


Berangkat dari tahun 2015, luaran dari proses reidentifikasi budaya diprediksi akan terjadi pada tahun 2035. Hal tersebut terjadi setelah melalui dua tahapan yang tiaptiapnya berlangsung selama satu dekade. Pada dekade pertama (2015 – 2025), akan dimulai suatu proses awal dari upaya mengenal dan memahami akar budaya bersama dari masyarakat Asia Tenggara. Hal tersebut akan didukung dengan

adanya

seminar

ataupun

sosialisasi

dari

pemerintahan atau lembaga-lembaga yang berusaha menumbuhkan identitas ASEAN. Selanjutnya, pada dekade kedua (2025 – 2035) akan terjadi proses adaptasi dari pengetahuan

yang

telah

didapatkan

sebelumnya.

Masyarakat Asia Tenggara akan mencoba mengubah pola pikir mereka, yaitu dari yang melandaskan segala sesuatu berdasarkan batas politik, berubah menjadi segala sesuatu berdasarkan hubungan masa lalu. Setelah melalui proses panjang selama dua dekade, masyarakat Asia Tenggara akan mengindentifikasi budaya yang ada sebagai budaya bersama pada tahun 2035. Pada tahun tersebut masyarakat Asia Tenggara akan disibukkan dengan hubungan dagang yang erat satu sama lain. Oleh karena itu, masalah yang menyulut retaknya hubungan tersebut akan dihindari sedapat mungkin. Adanya kasus seperti klaim budaya yang sering menyulut konflik antara 17


Indonesia dan Malaysia, dapat dikatakan tidak akan lagi terjadi. Walaupun dapat saja terjadi, tentu tidak akan terlalu dipermasalahkan karena mereka telah melalui reidentifikasi dalam satu masyarakat bersama, yaitu ASEAN Community.

Daftar Acuan Acharya, A. (2000). The quest of identity: international relations of Southeast Asia. London: Oxford University Press. Iskandar, M. (2005). Nusantara dalam era niaga sebelum abad ke -19.Wacana Vol.7 No.2, 175 – 190 Reid, A. (1992). Asia tenggara dalam kurun niaga1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Suwannathat, K. (2003). Asia Tenggara hubungan tradisional serantau. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. Sunarti, L. (2013). Menelusuri akar konflik warisan budaya antara Indonesia dengan Malaysia. Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan 6, 77 – 88. Tamrin, K. M. (1978). Orang jawa di Selangor penghijraan dan penempatan 1880-1940. Kuala Lumpur: DBP.

18


CIREBON SEBAGAI PROVINSI KE-35 INDONESIA: SEBUAH REFLEKSI DARI KONSEP ALIANSI BUDAYA

I

ndonesia adalah negara yang mendapatkan warisan keanekaragaman budaya dari masa lalu.

Hingga saat ini, budaya tersebut masih dapat dilihat dari pengamalan oleh masyarakat yang mengusungnya. Hal tersebut mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara

indah di mata

dunia

dengan warna-warni

budayanya. Budaya menjadi satu nilai tambahan bagi suatu negara yang hendak dikenal identitasnya oleh negara lain. Namun, ada kalanya budaya menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan disintegrasi dalam sebuah negara. Hal tersebut terjadi karena masyarakat cenderung menyenangi untuk berada atau berkumpul dengan masyarakat yang memiliki budaya yang sama. Berdasarkan konsep tersebut, saat ini tengah menjadi banyak perbincangan bahwa jumlah provinsi di Indonesia akan meningkat ke depannya, salah satunya adalah Cirebon. Alasannya adalah mengenai budaya yang berbeda dengan kabupaten atau kota lainnya di Jawa Barat.

19


Siapakah Mereka Masyarakat Cirebon? Membahas sedikit mengenai profil kotanya, Cirebon merupakan sebuah kota di pantai utara Jawa yang dahulu kala dikuasai oleh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dilihat dari latar belakangnya, Cirebon adalah sebuah kota pantai yang unik apabila dilihat dari sisi kebudayaan masyarakatnya. Cirebon sebagai salah satu wilayah dalam provinsi Jawa Barat yang memiliki budaya yang berbeda dengan budaya masyarakat Jawa Barat lainnya. Pada umumnya, masyarakat Jawa Barat terikat kental dengan Budaya Sundanya, sedangkan Cirebon mempunyai budaya dan bahasa tersendiri karena wilayahnya yang merupakan perbatasan antara wilayah berbudaya Sunda dengan wilayah berbudaya Jawa. Selain itu, apabila dari akar sejarahnya, penduduk Cirebon awalnya adalah mereka yang diangkut oleh Sunan Gunung Jati dari Demak ke Jawa Barat. Selanjutnya, bagaimana apabila Cirebon benarbenar menjadi sebuah provinsi? Mungkin ini akan menjadi pertanyaan sekaligus hal aneh. Cirebon selama ini hanyalah dikenal sebagai kota atau kabupaten yang terletak di bagian pesisir utara-timur Provinsi Jawa Barat. Lantas bagaimana jikalau kota atau kabupaten ini tiba-tiba berubah menjadi 20


provinsi? Tentunya akan menambah jumlah provinsi di Indonesia yang pada tahun 2015 ini sudah mencapai jumlah 34. Menindaklanjuti wacana tersebut, apa sebenarnya yang menjadi latar belakang dari adanya Provinsi Cirebon? Bertolak dari sejarah, daerah Cirebon yang diketahui saat ini merupakan bagian dari Kesultanan Cirebon pada masa lalu. Kesultanan Cirebon sendiri pernah dipimpin oleh salah satu Walisongo yang terkenal, yaitu Sunan Gunung Jati atau Fatahillah. Selain itu, Cirebon memiliki kebudayaan -kebudayaan khas yang merupakan perpaduan antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan Sunda. Perpaduan tersebut menghasilkan kebudayaan Cirebon yang berbeda dengan kebanyakan kota atau kabupaten yang ada di Jawa Barat. Sebagai contoh adalah kesenian musik “Tarling� yang merupakan gabungan kata dari dua alat musik yaitu gitar dan suling. Kesenian tersebut berbeda dengan banyak daerah di Jawa Barat yang menjadikan angklung sebagai alat musik khas daerahnya. Pun dari segi bahasa, kebanyakan orang Cirebon menggunakan bahasa yang berbeda dari masyarakat Sunda, yaitu bahasa Jawa. Dari latar sejarah yang ada, lahirlah perbedaanperbedaan antara Cirebon dan banyak kabupaten atau kota di Jawa Barat. Oleh sebab itu, sangat wajar apabila muncul 21


isu bahwa Cirebon akan segera menjadi provinsi baru di Indonesia. Hal tersebut sebelumnya pernah terjadi dalam kasus pembentukan provinsi Banten tatkala melepaskan diri dari Provinsi Jawa Barat. Banten yang dulunya dikuasai oleh kesultanan Banten tentunya mempunyai latar belakang historis yang berbeda dari daerah lain di Jawa Barat yang pada saat itu bukan bagian dari Kesultanan Banten. Probabilitas Lahirnya Provinsi Cirebon Adanya

isu

pembentukan

Provinsi

Cirebon

didasarkan pada hasil musyawarah masyarakat di wilayah III Cirebon yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007. Peraturan tersebut mengatur mekanisme persayaratan administrasi dalam membentuk provinsi baru, serta peraturan Perundang-undangan terkait lainnya, dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK). Dalam rangka

mewujudkan

Provinsi

Cirebon,

dibangun

kebersamaan dari berbagai unsur elemen masyarakat di wilayah III Cirebon yaitu Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten

Indramayu,

Kabupaten

Majalengka,

dan

Kabupaten Kuningan. Selanjutnya

membahas 22

mengenai

probabilitas


mekarnya Cirebon menjadi sebuah provinsi, akan ada banyak pendapat mengenai wacana ini. Seperti dalam sebuah wawancara saya dengan salah satu mahasiswa Universitas Indonesia dari Cirebon yang berdomisili di Depok, Jawa Barat, ia mengatakan bahwa kemungkinan Cirebon menjadi Provinsi memang sudah santer terdengar di daerahnya. Ia juga menambahkan bahwa pada saat Cirebon sudah menjadi provinsi nantinya, akan ada daerahdaerah lain yang akan menggabungkan diri. Sebagaiman yang ia sebutkan bahwa apabila kabupaten Kuningan menggabungkan diri dalam Provinsi Cirebon, telah ada wacana untuk menjadikan kabupaten ini sebagai daerah wisata Provinsi Cirebon nantinya. Akan tetapi, hal ini tidak sejalan apabila dilihat dari sudut pandang sejarah yang mana Kabupaten Kuningan secara Kebudayaan lebih condong kepada kebudayaan Sunda Priangan Timur daripada Cerbonan pesisir. Sebagai realisasinya, adanya Provinsi Cirebon dapat diprediksi terwujud pada tahun 2030-an. Hal tersebut mengingat

bahwa

untuk

menjadi

sebuh

provinsi

membutuhkan waktu yang cukup panjang. Periode tersebut setidaknya telah cukup bagi Cirebon untuk mempersiapkan diri menjadi provinsi. Selain itu, pada tahun 2030-an, 23


Indonesia akan memasuki dekade kedua dari masyarakat ASEAN, yaitu sebuah periode yang mana penetrasi, khususnya dalam hal budaya akan banyak muncul dari negara-negara lain. Oleh karena itu, demi memantapkan budayanya

Cirebon

akan

terdorong

untuk

segera

mengaliansikan diriny ke dalam satu provinsi yang terdiri dari masyarakat yang berlatar belakanh historis dan budaya yang sama. Provinsi Cirebon, Didukung atau Ditolak? Selanjutnya, mendengar wacana pembentukan provinsi baru Cirebon akan hadir pro dan kontra dari kalangan masyarakat umum. Bagi mereka yang pro terhadap wacana ini, tentunya menjadi angin segar bagi pemerintah Cirebon yang mana akan mendapat hak otonomi lebih besar daripada sebelumnya setelah menjadi provinsi. Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari pemerintah pusat akan bisa dimanfaatkan untuk mengoptimalkan potensi SDA dan SDM yang ada di Cirebon selain dana utuh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang didapatkan dari masyarakat Cirebon. Perhatian pemerintah akan menjadi lebih terfokus dalam mengelola potensi-potensi yang ada. Hasil yang diterima pun jauh lebih besar daripada waktu sebelumnya ketika 24


masih menjadi kota atau kabupaten. Selain itu, Provinsi Cirebon akan menjadi tempat berkumpul bagi masyarakat yang secara historis berlatar belakang sama. Lowongan untuk calon PNS pun akan semakin banyak. Namun, bagi mereka yang kontra terhadap wacana ini mengatakan bahwa dengan semakin banyaknya jumlah PNS bagi suatu provinsi baru akan menambah beban pemerintah.

Pemerintah

tentunya

akan

menambah

pengeluaran negara untuk gaji para PNS tersebut dan tentunya untuk dana APBN bagi provinsi baru. Hal ini juga akan turut memicu daerah lain untuk memekarkan wilayahnya menjadi sebuh provinsi karena latar belakang budaya yang berbeda. Apabila hal tersebut terjadi, berapa banyak lagi provinsi yang akan hadir di Indonesia, mengingat Indonesia pada dasrnya merupakan negara yang beraneka ragam dari segi budaya. Simpulan Berpedoman pada Bhineka Tunggal Ika, akan munculnya Provinsi Cirebon seharusnya dapat dihindari. Bersatu dalam perbedaan yang merupakan ciri khas Indonesia harusnya dipahami sebagai wadah pemersatu bukan justru sebaliknya, mengingat Indonesia merupakan negara yang berbentuk kesatuan. Hal-hal seperti ini apabila 25


terus dibiarkan berlangsung tanpa kendali dari pemerintah pusat, dapat menjurus ke arah isu separatisme akibat etnosentrisme

yang

semakin

kuat

berkembang

di

Indonesia. Banyak daerah lain di Indonesia yang saat ini masih menjadi kota atau kabupaten akan meniru untuk memekarkan diri menjadi provinsi baru. Bukan tidak mungkin juga akan muncul hal lain yang lebih berbahaya lagi seperti munculnya negara dalam negara. Pastinya kita sebagai bangsa Indonesia pernah mengalami hal serupa, seperti Provinsi Timor Leste yang memisahkan diri dari pangkuan bunda pertiwi. Oleh karena itu, apabila tidak menginginkan hal tersebut terjadi kembali, sebagai bangsa yang

mengaku besar, perbedaan-perbedaan yang ada

bukan berarti dapat dijadikan sebagai alasan untuk beraliansi dengan sesamanya dan memisahkan diri dengan mereka yang berbeda. Akan tetapi, menjadikan perbedaan tersebut sebagai alat untuk mengawal persatuan Nusantara dengan toleransi sebagai kunci utama.

26


Daftar Acuan De Graaf , H.J. dan Th.G.Th. Pigeaud. (1989). Kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawa. Jakarta: Grafiti Pers. https://sites.google.com/site/provinsicirebonyes/assignments, diakses pada 29 Oktober 2015, pukul 02.01 WIB Poesponegoro, M.D, dkk. (2008). Sejarah nasional Indonesia jilid III. Jakarta: Balai Pustaka

27


28


Bonus atau Bencana Demografi: Pendidikan Kejuruan Sebagai Faktor Kunci Pendorong Kemajuan Indonesia

I

ndonesia merupakan negara di dunia yang sukses dalam menurunkan tingkat pertumbuhan pen-

duduk menuju level yang cukup rendah. Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi pada tahun 1970 yakni 2,33% per tahun, dan berhasil ditekan sehingga pada periode 2010-2014 menjadi 1,4% per tahun. Pertumbuhan penduduk diperkirakan masih akan berkisar pada angka 1,5-0,7 persen per tahun untuk beberapa dekade ke depan. Dalam laporannya, BPS memproyeksikan jumlah penduduk Indonesia pada 2035 akan mencapai 305,6 juta jiwa. Indonesia juga berhasil meningkatkan kesejahteraan penduduknya pada saat yang bersamaan. Jika pada tahun 1970, PDB perkapita Indonesia hanya sebesar US$ 84, pada tahun 2012 angkanya sudah mencapai US$ 3.700 (World Bank, 2014). Posisi penduduk dalam suatu negara tentunya memegang peranan penting dan kunci dalam menentukan arah pembangunan negara tersebut. Fenomena yang menyangkut kependudukan yang akan terjadi di masa depan 29


pan memerlukan rencana strategis sehingga kita dapat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan merata. Model pertumbuhan ekonomi eksogen menjelaskan bahwa terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang (Solow, 1956). Hal ini berarti semakin rendah tingkat pertumbuhan penduduk di suatu negara maka pertumbuhan ekonominya bisa dipacu lebih cepat lagi. Meskipun dewasa ini pendapat tersebut sudah mendapatkan kritikan seiring dengan temuan baru dalam ilmu ekonomi dan kependudukan, tetapi ide besar dari teori ini masih bisa diterima dengan akal sehat, bahwa pertumbuhan penduduk yang terkendali akan meningkatkan kesejahteraan negara tersebut. Sehinga bisa kita simpulkan bahwa manusia dan dinamikanya berperan sangat vital dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara. Indonesia sedang berada dalam suatu era yang memungkinkan kita untuk bisa menikmati sebuah fenomena kependudukan yang hanya akan terjadi satu kali sepanjang sejarah. Fenomena tersebut adalah bonus demografi, yaitu suatu fenomena ketika rasio ketergantungan berada pada titik terendah. Rasio ketergantungan menunjukkan berapa penduduk usia nonproduktif (usia <15 tahun dan >64 ta30


>64 tahun) yang ditanggung oleh penduduk usia produktif (15-64 tahun). Penurunan rasio ketergantungan berarti penduduk berusia kerja mendominasi jumlah penduduk secara keseluruhan, yang menjadi pertanda adanya potensi produktivitas perekonomian yang akan meningkat di negara tersebut. Rasio ketergantungan Indonesia menurut BkkBN menunjukkan tren penurunan sejak 1970 dari angka 88,86 per 100 orang usia produktif menjadi 51,31 pada 2010 (lihat grafik 1). Keadaan ini akan berlanjut sampai titik terendah rasio pada tahun 2025-2035 dengan rasio 46,28 (Harmadi, 2014). Implikasi dari fenomena bonus demografi adalah munculnya kelas pekerja yang berjumlah sangat besar di masa depan. Merekalah yang kemudian akan menjadi masyarakat kelas menengah yang pada 2030 diproyeksikan jumlahnya 140 juta jiwa (McKinsey, 2012). Penduduk produktif dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi negara yang berkelanjutan atau menjadi sumber munculnya konflik sosial antarkelas di masa depan. Peningkatan jumlah penduduk produktif harus diikuti oleh peningkatan kualitas penduduk yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Oleh karena itu, bonus demografi tidak memberikan jaminan akan meningkatkan kesejahteraan suatu negara 31


negara karena keadaan tenaga kerja harus dipersiapkan sedemikian rupa sehingga produktivitas tenaga kerja dapat benar-benar meningkat. Bahkan menurut prediksi World Bank, penduduk Indonesia diperkirakan akan terlebih dahulu menjadi tua sebelum sempat menjadi kaya karena GDP percapita tahun 2030 yang belum menyentuh level negara kaya atau > US$12.000 (Shubham Chaudhuri, 2012).

Grafik 1: Tren rasio ketergantungan Indonesia 1950-2050

32


dan modal. Investasi diperlukan untuk mampu meningkatkan produktivitas kedua input tersebut. Pada pola tradisional investasi umumnya hanya berkutat pada pembelian mesin dan teknologi baru yang terkait dalam proses produksi perusahaan. Namun, pada era modern ini investasi pada sumber daya manusia (human capital) memegang peranan kunci dalam proses produksi karena semakin pentingnya posisi tenaga kerja dalam produktivitas kegiatan produksi. Investasi terhadap sumber daya manusia bisa dilakukan melalui berbagai cara, dan salah satu metode yang utama adalah membekali tenaga kerja dengan pendidikan formal. Investasi dalam sektor pendidikan harus bertujuan untuk memberikan manusia kemampuan dan keahlian yang bisa digunakan dalam kehidupan. Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan sektor pendidikan merupakan hal yang harus disiapkan secara serius. Hal ini juga diperkuat dengan alasan bahwa dalam kegiatan pendidikan, manusia adalah subjek utamanya. Sehingga investasi dalam sektor pendidikan harus memperhatikan kondisi manusia yang menjadi konsumen dan pelanggan utamanya. Investasi pendidikan yang dilakukan di Indonesia bisa ditarik lagi sejak masa orde baru ketika pemerintah mendirikan SD In33


Inpres untuk memberantas buta aksara dan melaksanakan pendidikan dasar universal bagi seluruh warga Indonesia. Dampaknya bisa dilihat pada masa ini ketika Angka Partisipasi Murni (APM) SD dan buta huruf yang hampir mencapai angka 100 persen. Berarti hampir seluruh penduduk Indonesia sudah bisa mengenyam pendidikan dasar 6 tahun. Lalu, bagaimana dengan pendidikan menengah dan tinggi? Bentuk pendidikan menengah dan tinggi secara universal terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan umum dan pendidikan kejuruan/vokasional/profesi. Prosser dan Miller menyatakan bahwa pendidikan umum (SMA) merupakan tipe pendidikan yang mempersiapkan bagaimana seseorang dapat hidup dengan baik di tengah masyarakat, sedangkan pendidikan kejuruan mempersiapkan bagaimana agar seseorang dapat bekerja dengan baik di masa depan. Pendidikan kejuruan berpotensi besar untuk dapat menjadi faktor kunci dalam memaksimalkan potensi bonus demografi yang akan dialami oleh Indonesia pada tahuntahun mendatang. Dengan jutaan penduduk usia produktif kedepannya, kebutuhan akan tenaga kerja lulusan pendidikan menengah dan tinggi dengan kemampuan spesifik akan semakin besar. Sistem pendidikan umum tidak dapat menyiapkan seseorang untuk memasuki lulusannya ke pasar 34


nyiapkan seseorang untuk memasuki lulusannya ke pasar tenaga kerja sehingga mereka harus menempuh pendidikan tinggi. Ironisnya, pada tahun 2013 hanya 18% penduduk Indonesia yang pernah berpartisipasi pada jenjang pendidikan tinggi. Menempuh pendidikan tinggi memerlukan biaya yang tinggi, dan menjadi lulusan perguruan tinggi tidak memberikan jaminan bagi seseorang dapat langsung mendapatkan pekerjaan/penghasilan. Pendidikan kejuruan dapat menjadi solusi permasalahan di atas dengan cara memfokuskan pendidikan kejuruan sebagai tempat pengembangan kemampuan individual yang spesifik serta memberikan kemampuan manajerial ataupun kewirausahaan kepada peserta didik. Berdasarkan hasil studi empiris dari beberapa negara, bentuk pendidikan kejuruan dapat berkontribusi besar dalam pembangunan negara tersebut. Terdapat keunggulan lulusan pendidikan kejuruan dibandingkan lulusan pendidikan umum yang tergambarkan oleh pendapatan setelah bekerja di Mesir (El-Hamidi, 2006), Israel (Neuman dan Ziderman, 1991), dan Thailand (Moenjak dan Worswick, 2003). Berkaca pada hasil studi tersebut, kita memiliki alasan yang cukup kuat untuk dapat melaksanakan pengembangan pendidikan kejuruan sehingga peranannya 35


dalam menciptakan tenaga kerja terampil di Indonesia bisa lebih meningkat. Peningkatan peran pendidikan kejuruan masih terhambat oleh adanya stigma di masyarakat yang memandang pendidikan kejuruan sebelah mata, baik dari sisi institusi serta lulusan. Studi di Indonesia menunjukkan bahwa sekolah kejuruan selalu menjadi pilihan terakhir ketika seseorang melanjutkan studi, dan pendidikan kejuruan biasanya

berisikan murid yang

memiliki kemampuan

akademik paling rendah dengan tingkat edukasi orang tua yang juga rendah (Newhouse dan Suryadarma, 2009). Keadaan ini bisa menyulitkan upaya pengembangan pendidikan kejuruan karena telah terjadi seleksi calon peserta didik bahkan sebelum mereka mengikuti seleksinya dan mengakibatkan peserta pendidikan kejuruan memiliki kemampuan rata-rata yang lebih rendah daripada saingannya di pendidikan umum. Oleh karena itu, pendidikan kejuruan harus dikembangkan sesuai dengan identitas dan juga struktur

masyarakat

serta

keadaan

sosial-ekonomi

masyarakat Indonesia. Pendidikan kejuruan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum yakni pendidikan kejuruan yang berfokus pada pertanian, kelautan dan perikanan, pengelolaan pariwisata, serta kemampuan teknik 36


(informatika, kedirgantaraan, dan mesin). Pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia sendiri sudah memiliki rencana yang mengacu pada “Visi Vokasi Indonesia�. Visi tersebut menyatakan bahwa Indonesia akan membutuhkan jutaan tenaga kerja terampil pada tahun 2030 nanti. Demi menjawab tantangan tersebut, pemerintah merencanakan pembangunan 100 politeknik baru di seluruh Indonesia dan menjadikan rasio jumlah SMK per SMA menjadi 70:30 pada tahun 2025 (RPJP Pendidikan Nasional 2005-2025). Selain pembangunan oleh pemerintah tentunya diharapkan peranan lembaga swasta yang lebih besar dalam menyediakan pendidikan kejuruan di berbagai daerah. Oleh karena itu, dibutuhkan investasi yang sangat besar dalam pengembangan pendidikan kejuruan ke depannya. Selain kebutuhan investasi yang besar, pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia tenyata juga mengalami beberapa permasalahan lainnya. Permasalahan pengembangan pendidikan kejuruan di Indonesia selama ini adalah 1) Pendidikan kejuruan di Indonesia masih berorientasi pada faktor penawaran dari masyarakat, bukan berdasarkan permintaan dari dunia usaha, 2) Ketidakcocokan nilai dan pengetahuan yang diajarkan antara institusi pendidikan dengan dunia usaha, Se37


3) Sekolah seharusnya dapat menjamin siswanya mendapatkan pekerjaan, mempertahankan pekerjaan tersebut dan terus menaiki jenjang karir (Prosser dan Miller), dan 4) Biaya pendidikan kejuruan biasanya lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan peserta didik pada sistem pendidikan umum (Newhouse dan Suryadarma, 2009). Kunci utama pengembangan pendidikan kejuruan terletak pada orientasi pendidikan dan pengajaran yang harus diubah menjadi demand-driven atau pendekatan yang sesuai dengan dinamika pada sisi permintaan tenaga kerja. Selama ini orientasi pendidikan kita masih berkutat pada sisi penawaran dan tidak melihat dinamika sisi permintaan dari dunia industri sehingga belakangan muncul masalah pengangguran berpendidikan (lihat tabel 1). Oleh karena itu, diperlukan orientasi yang lebih mengutamakan keadaan industri sebagai pihak yang menyerap tenaga kerja. Pertimbangan ini tidak memosisikan tenaga kerja Indonesia menjadi “robot pemenuh permintaan� saja, tetapi lebih menekankan bahwa penduduk usia produktif seharusnya sudah memiliki standar kompetensi yang sesuai dengan permintaan dunia kerja. Peserta didik yang akan memasuki dunia kerja juga harus dilengkapi dengan softskills dalam kurikulum sekolah kejuruan yang bermuatkan pendidikan mana38


kurikulum sekolah kejuruan yang bermuatkan pendidikan manajerial, kepemimpinan, dan kewirausahaan dengan proporsi yang cukup besar, yaitu sekitar 30%. Tabel 1 :Pengangguran berdasarkan tingkat pendidikan 2011-2013 (Presentase) Tingkat Pendidikan Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Umum Sekolah Kejuruan Diploma I/II/III Universitas Total

2011 Februari 3,37 7,83 12,17 10,00 11,59 9,95 6,80

2012 Februari 3,69 7,80 10,34 9,51 7,50 6,95 6,32

2013 Februari 3,61 8,24 9,39 7,68 5,65 5,04 5,92

Sumber: Susenas (data Sosial Ekonomi 2013).

Pemerintah dapat memacu tumbuhnya sisi permintaan tenaga kerja dengan menstimulasi tumbuhnya industri padat karya berbasis inovasi dan kreativitas seperti pariwisata, mode, manufaktur serta industri lainnya yang menyerap tenaga kerja lulusan sekolah kejuruan. Kepada pengusaha tersebut dapat diberikan insentif pajak dan kemudahan dalam mendirikan usaha. Pembangunan dari sisi penawaran penting dilaksanakan dengan menambah jumlah sekolah kejuruan, investasi pada tenaga pengajar, fasilitas, kurikulum, serta sosialisasi yang luas bahwa pendidikan kejuruan bukanlah tempat “pendidikan kelas dua� seperti 39


seperti stigma selama ini. Biaya pendidikan kejuruan juga perlu diturunkan sebagai insentif bagi masyarakat. Caranya adalah melalui bantuan pemerintah pusat dan daerah serta penyaluran beasiswa dari industri dalam mekanisme subsidi silang. Selain itu, perlu dibangun sebuah saluran komunikasi serta penyaluran lulusan yang menghubungkan pihak industri dari sisi permintaan dengan institusi pendidikan dari sisi penawaran sehingga potensi ketidakcocokan nilai serta kemampuan yang diajarkan di institusi pendidikan bisa diminimalkan. Bonus demografi dapat menjadi bencana demografi ketika penduduk usia produktif gagal bersaing di lapangan kerja. Kita harus menciptakan penduduk usia produktif yang berpendidikan dan berkualitas tinggi sesuai tuntutan zaman yang semakin maju dan inovatif dengan tidak melupakan karakteristik negaranya sendiri. Pendidikan kejuruan yang merata merupakan solusi mempersiapkan penduduk usia produktif Indonesia pada era bonus demografi melalui peningkatan produktivitas dan penguasaan teknologi. Pendidikan kejuruan harus menjadi kunci kemajuan Indonesia masa depan.

40


Daftar Pustaka BkkBN. 2013. Profil Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013. Jakarta: BkkBN. BPS. 2013. Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta: BPS. Newhouse, David dan Daniel Suryadarma. 2009. The Value of Vocational Eduacation: High School Types and Labor Market Outcomes in Indonesia. Policy Research Working Paper 5035. NY: World Bank.

41


42


PENGOPTIMALAN PERAN PERAWAT KOMUNITAS MELALUI PENELITIAN DALAM MEMERANGI HIV/AIDS DI INDONESIA

K

asus HIV/AIDS masih menjadi perhatian diberbagai negara termasuk di Indonesia. Hal ini

sejalan dengan tujuan program Millenium Development Goals (MDGs) poin ke-enam, yaitu memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya. Akan tetapi, program MDGs akan berakhir pada tahun 2015 mendatang. Sedangkan, berdasarkan capaian tujuan MDGs pada tahun 2011, pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS masih perlu mendapatkan perhatian khusus meskipun telah menunjukkan kemajuan (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012). Menurut UNAIDS (2009), perkembangan epidemik AIDS tercepat se-Asia terjadi di Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) Kemenkes RI tahun 2013, total kasus HIV dan AIDS di Indonesia dari tahun 1987 hingga tahun 2012 adalah sebanyak 98.390 kasus 43


HIV dan 42.887 kasus AIDS, dengan 8.340 orang meninggal dunia (Aptriani dkk, 2014). Hingga pada Juni 2014, kasus HIV menjadi 142.961 dan AIDS sebanyak 55.623 (Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI, 2014). UNAIDS (2009) memprediksikan grafik perkembangan epidemi HIV/AIDS di Indonesia terus meningkat hingga tahun 2025 (gambar 1). Melihat perkembangan epidemi kasus HIV/AIDS tersebut, segala upaya telah dilakukan dalam mencapai tujuan pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV dan AIDS. Upaya yang telah dilakukan antara lain, melalui penggunaan kondom pada hubungan seks berisiko tinggi, peningkatan pengetahuan remaja terkait HIV/AIDS melalui kampanye “Aku Bangga Aku Tahu�, dan penyediaan layanan terpadu/komprehensif HIV/AIDS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2012). Hasil upaya tersebut memberikan hasil positif namun belum menunjukkan hasil yang memuaskan karena angka kejadian HIV/AIDS di Indonesia masih tetap tinggi, sehingga memang perlu mendapatkan perhatian khusus.

44


Gambar 1. Grafik Perkembangan Epidemi HIV/AIDS di Indonesia

Profesi keperawatan memiliki spesialisasi keperawatan komunitas. Perawat komunitas adalah praktik promotif dan protektif kesehatan populasi dengan menggunakan pengetahuan keperawatan, sosial, dan ilmu kesehatan masyarakat (American Public Health Association, Public Health Nursing Section, 1996 dalam Allender, 2010). Allender (2010) juga menambahkan bahwa fokus pelayanan perawat komunitas adalah promosi kesehatan dan pencegahan penyakit di populasi masyarakat. Berbeda halnya dengan spesialisasi lainnya dari profesi perawat yang tidak berfokus pada masyarakat sebagai klien melainkan individu sebagai klien. Terjadi suatu kesenjangan antara kondisi perkem45


bangan epidemi kasus HIV/AIDS yang terus bertambah hingga prediksi tahun 2025 dengan peran perawat komunitas sebagai tenaga kesehatan yang berfokus pada preventif dan promotif. Seharusnya, perawat komunitas dapat menjadi sumber daya strategis dalam membantu memerangi HIV/AIDS dari segi pencegahan penyebaran jika menjalankan perannya secara optimal. Perawat komunitas memiliki tujuh peran utama, yaitu penyedia layanan kesehatan, edukator, advokator, manajer, kolaborator, pemimpin, dan peneliti (Allender, 2010). Akan tetapi, terlihat bahwa perawat komunitas belum menjalankan perannya tersebut secara optimal dalam hal memerangi HIV/AIDS di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kasus HIV/AIDS yang bertambah banyak dari tahun ke tahun. Padahal, ada satu peluang dimana perawat komunitas dapat menjalankan peran utamanya secara optimal, yaitu melalui kegiatan penelitian. Allender (2010) mengatakan bahwa penelitian membantu perawat komunitas dalam hal menentukan kebutuhan, mengevaluasi keefektifan pelayanan kesehatan, dan mengembangkan teori dasar keperawatan komunitas. Dalam hal memerangi HIV/AIDS, penelitian membantu perawat komunitas dapat menentukan intervensi yang sesuai 46


sesuai kepada masyarakat baik yang rentan maupun yang positif HIV/AIDS, mengevaluasi intervensi yang telah diberikan, dan menciptakan suatu inovasi/teori baru untuk membantu mencegah persebaran HIV/AIDS. Allender (2010) menambahkan bahwa penelitian yang dilakukan dengan benar memiliki potensi untuk menghaslkan informasi berharga yang dapat memengaruhi kesehatan populasi dan juga dapat dijadikan acuan dalam membuat suatu kebijakan dan program. Gagasan yang dapat diberikan untuk mengoptimalkan peran perawat dalam memerangi HIV/AIDS di Indonesia adalah melalui kegiatan penelitian mandiri dan penelitian kolaboratif oleh perawat komunitas. Tujuan dari penelitian mandiri maupun kolaboratif oleh perawat komunitas adalah untuk membantu mengurangi HIV/AIDS melalui peran preventif, promotif, dan rehabilitatif. Berikut adalah skema gagasan kegiatan penelitian perawat komunitas.

47


Identifikasi permasala-

Proposal Penelitian

Pengumpulan dan

Perawat komunitas

PelatiInterpretasi

Intervensi ke masyara-

Preven-

Promo-

Rekomendasi Hasil Peneli-

Rehabilita-

Publikasi

Evaluasi

Gambar 2. Skema Implementasi Kegiatan Penelitian

Mekanisme pelaksanaan penelitian serupa dengan proses keperawatan yang teridiri dari pengkajian, diagnosis keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Potter & Perry, 2009). Pada kegiatan penelitian ini, perawat komunitas melakukan pengkajian untuk menentukan pertanyaan masalah yang akan diteliti. Kemudian menyusun perencanaan penelitian dengan membuat proposal penelitian. Setelah proposal penelitian berhasil dibuat, tahap selanjutnya adalah tahap implementasi. Tahap implementasi merupakan tahap di mana perawat komunitas mengambil data dan menganalisis untuk kemudian diinterpretasikan menjadi sebuah hasil penelitian yang valid. Hasil keluaran dari kegiatan penelitian ini adalah 48


hasil penelitian yang dapat digunakan untuk rekomendasi sebuah kebijakan atau inovasi intervensi yang dapat mengurangi kasus HIV/AIDS, publikasi ilmiah, dan sebagai acuan untuk melakukan intervensi kepada masyarakat yang rentan maupun positif HIV/AIDS. Intervensi yang diberikan dapat berupa bentuk preventif, promotif, dan rehabilitatif dengan tujuan utama untuk memerangi HIV/AIDS di Indonesia. Pelaksanaan penelitian mandiri maupun kolaborasi memiliki tahapan yang sama Hanya saja perbedaannya adalah komposisi kelompok peneliti yang terdiri dari berbagai profesi kesehatan. Melalui kegiatan penelitian baik mandiri maupun kolaborasi, perawat komunitas memerankan ketujuh peran utama dalam proses pelaksanaan penelitian. Secara langsung perawat komunitas sudah berperan sebagai peneliti. Pada tahap awal implementasi, perawat komunitas berperan sebagai pemimpin, dimana perawat komunitas membuat rencana penelitian yang akan dilakukan karena fungsi pertama dalam proses manajemen adalah perencanaan (Allender, 2010). Dalam tim penelitian, perawat komunitas berperan sebagai pemimpin dan kolaborator dalam melaksanakan penelitian, terlebih lagi pada pelaksanaan penelitian kolaborasi dengan profesi kesehatan lainnya. Pada 49


Pada tahap akhir penelitian, perawat komunitas berperan sebagai edukator dalam hal intervensi untuk melaksanakan tindakan preventif, promotif, dan rehabilitative kepada masyarakat rentan maupun positif HIV/AIDS. Sebagai advokator, perawat komunitas harus mampu untuk memberikan rekomendasi kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan sesuai dengan hasil penelitian. Pada pelaksanaannya, kegiatan penelitian ini dapat dibentuk di berbagai puskesmas dan disesuaikan dengan budaya masing-masing daerah. Hal ini sangat ditekankan karena perawat melihat manusia sebagai makhluk yang unik dan secara holistik, yaitu melihat aspek biologi, psikologis, sosiologis, dan kultural. Harapan dari kegiatan penelitian yang dilakukan di puskesmas setempat dengan memperhatikan secara holistik adalah agar intervensi yang diberikan dapat diterima oleh masyarakat setempat. Gagasan kegiatan penelitian ini memiliki empat analisis, yaitu kelebihan, kekuatan, kekurangan, dan keterbatasan. Berikut tabel dari keempat analisis gagasan. Kelebihan

Kekuatan

1.Meningkatkan publikasi ilmliah keperawatan

1. Indonesia memiliki sumber daya alam yang memadai 50


2.Mengurangi jumlah kasus HIV/AIDS di Indonesia 3.Mengoptimalkan peran perawat 4.Menghasilkan inovasi untuk mengurangi kasus HIV/AIDS di Indonesia 5.Menciptakan budaya penelitian di kalangan perawat Kekurangan 1. Kurang terlatihnya perawat dalam melakukan penelitian. Solusi: diberikan pelatihan 2. Kurang motivasi perawat untuk melakukan penelitian. Solusi: diberikan orientasi

2. Indonesia memiliki organisasi perawat nasional (PPNI)

Keterbatasan 1. Dana penelitian yang terbatas dibeberapa daerah 2. Fasilitas untuk melakukan penelitian yang terbatas di beberapa daerah perbatasan, seperti Indonesia bagian timur 3. Tidak meratanya persebaran perawat komunitas di Indonesia

Gagasan penelitian mandiri dan kolaborasi diharapkan mampu mengoptimalkan peran perawat dalam mengurangi kasus HIV/AIDS di Indonesia serta dapat di implementasikan. Hasil luaran yang diberikan melalui kegiatan penelitian diharapkan mampu membantu dalam mencegah persebaran kasus HIV/AIDS di Indonesia agar tidak bertam51


tambah sesuai prediksi pada tahun 2025 mendatang serta meningkatkan kualitas perawat, khususnya perawat komunitas di Indonesia. Kegiatan penelitian ini tidak hanya diterapkan kepada perawat komunitas, tetapi juga dapat diterapkan untuk perawat secara umum. Dengan begitu, seluruh perawat di Indonesia dapat mengoptimalkan perannya dengan baik. Kondisi yang diharapkan agar gagasan optimalisasi peran perawat komunitas dapat berjalan dengan baik, yaitu pemerintah dapat mendukung kegiatan penelitian yang dilakukan oleh perawat. Bentuk dukungan yang diberikan dapat berupa fasilitas, materi pelatihan (training) dan sumber dana. Selain itu, organisasi perawat nasional di Indonesia, yaitu PPNI juga dapat turut mendukung dengan adanya kegiatan ini demi tercapainya tujuan MDGs ke-enam dan peningkatan kualitas perawat di Indonesia.

SUMBER REFERENSI Komisi Penanggulangan AIDS. Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan Aids 2007-2010. http://www.undp.or.id/programme/ povertyreduction/The%20National%20HIV%20&%20AIDS% 20Strategy%202007-2010%20(Indonesia).pdf

52


Aptriani, Rini., Fridayenti., dan Barus, Alex. (2014). Gambaran Jumlah CD4 Pada Pasien HIV/AIDS di Klinik VCT RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Jom FK Volume 1 No.2 hlm.1-12 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes RI. (2014). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. http://www.spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf Allender, Judith Ann. (2010). Community health nursing: promoting and protecting the public’s health, 7th edition. Lippincott Williams & Wilkins.

Potter, P.A. & Perry,A.G. (2009). Fundamental Keperawatan. Edisi 7.Buku I dan II.Terjemahan Penerbit Salemba Medika.

53


54


Indonesia 2035: Kiblat Konsumerisme Global atau Pusat Fesyen Muslim di Timur?

P

ertumbuhan dunia fesyen dekade terakhir ini mengalami pertumbuhan yang menggiurkan

bagi para pelaku bisnis fesyen di tanah air.Uniknya sektor fesyen yang sedang berkembang justru bukan busana a la barat yang dianggap sebagai tolok ukur fesyen modern, melainkanmoeslim fashion wear. Pertumbuhan segmen fesyen muslim sukses mengangkat nama-nama pelaku baru di belantika fashion Indonesia. Sebut saja Dian Pelangi (dengan brand Dian Pelangi, DP by Dian, Dian Pelangi Bride,dan Dian Pelangi Kids), Ria Miranda, Jenahara Nasution, Ghaida Tsurayya (brand GDA), Windri Dhari (brand NurZahra), dan Lulu El Hasbu (brand ELHASBU). Setidaknya satu dari sederet nama perancang busana itu pasti dikenal oleh kaum muda muslim yang kekinian. Pelaku baru di sektor busanamuslim berhasil membangun bisnis fesyen dengan suatu gebrakan baru yang fresh dan sesuai selera pasar. Ada dua kemungkinan, desainer-desainer muda itu memang berhasil memrediksi dan menangkap selera pasar fashion yang semakin dinamis, 55


atau para desainer ini awalnya sekedar menelurkan konsep moeslim new look yang ternyata disambut positif oleh pasar Indonesia—yang didominasi para muslimah. Atensi publik yang luar biasa antusias terhadap perkembangan fesyen muslimmembuat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu, menargetkan Indonesia sebagai kiblat fesyen muslim dunia pada 2020—layaknya Paris, Milan, London dan sekelompok kota-kota di barat lainnya yang lebih dulu dikenal sebagai surga fesyen. Wacana tersebut juga telah dicanangkan oleh Indonesia Islamic Fashion Consortiun (IIFC) pada awal tahun 2015. Pun salah satu website e-commerce fashion moeslim lifestyle(HijUp.com) sependapat bahwa Indonesia mampu berkembang di industri fesyen dan tekstil mengingat potensi penduduk muslim yang besar dan didukung ketersediaan bahan baku serta pertumbuhan ekonomi kreatif dalam negeri. Tanggapan positif yang mendukung target tersebutmenjamur terutama di kalangan kaum muda. Remaja, wanita karier, hingga ibu-ibu muda semakin terdorong untuk mengadopsi gaya pakaian muslim a la desainer papan atas dan mengidentifikasi kelompoknya ke dalam komunitas-komunitas hijabers, sebut saja Hijabers Community— digawangi DP dan Ria Miranda, HijabersMom Community, 56


HijabSpeak, Komunitas Hijab Fashion Indonesia, dll. Komunitas-komunitas tersebut lahir sebagai bentuk respon terhadap

perkembangantrenmoeslim

lifestyle—utamanya

dipicu oleh trend fesyen muslim yang identik dengan hijab. Bagi kaum muslim urban, menjadi seorang muslim yang kekinian adalah suatu prestasi. Mereka bebas bergaya mengikuti tren mode pakaian branded yang hits, tanpa mengabaikan ranah nilai keagamaan yang juga enggan mereka tanggalkan. Selanjutnya, yang muncul di ruang publik adalah fenomena kaum muda muslim yang ‘gaul’, trendy, modis, namun selembar—dua lembar atau lebih, mengingat variasi hijab yang amat kreatif—hijab masih tetap menempel di kepala sebagai penegas identitasnya. Ariel Heryanto, dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan, menyatakan kaum urban masa kini berupaya membangun identitasnya ke dalam tiga determinan sekaligus. Secara khusus, kita dapat melihat bagaimana orang Indonesia yang tinggal di perkotaan berusaha untuk berakrobat dengan menggunakan tiga bola sekaligus: menjadi Muslim taat yang berpegang pada landasan moral agama, menjadi warga negara yang terhormat dan bertanggung jawab di negara-bangsa modern dan berdaulat bernama Indonesia, sekaligus menjadi anggota komunitas produsen dan konsumen global.

Pemaparan Ariel menyatakan kaum urbanpun berupaya 57


menjadi bagian dari produsen dan konsumen global, yang dimaksud tak lain mereka telah masuk ke dalam tatanan gaya hidup konsumtif. Konsumerisme yang tinggi terbentuk ketika muncul upaya dari kaum urban, yang pada perkembangan selanjutnya adalah kaum muda muslim, dalam membangun identitasnya sebagai bagian dari masyarakat modern. Ariel juga menambahkan bahwa perkembangan budaya populer yang mencakup ranah sosial kaum muslim Indonesia lebih disebabkan oleh pertumbuhan gagasan post-Islamisme yang berupaya mengakomodir dan merumuskan kembali Islam yang lebih ramah modernisasi. Dalam pembahasannya Ariel menyuguhkan studi komparasi yang menganalisis persaingan gagasan Islam pada film-film religi populer macam Ayat-Ayat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, Ketika Cinta Bertasbih, dll. Budaya populer yang tumbuh subur tidak dapat mengalienasi diri dari keberadaan budaya populer Islam. Budaya populer Islam menjadi bagian pentingbahkan dalam hal tren fesyen sekalipun. Bagi kaum urban muslim, pilihan terhadap fesyen islami yang modis lebih ditujukan untuk mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari modernisasi. Joppke—dalam Mirror of Identity—mencontohkan bahwa dalam konteks 58


kehidupan umat muslim di Eropa, jilbab difungsikan sebagai mirror of identity yang akan memaksa individu untuk melihat siapa dirinya dan memikirkan kembali seperti apa ruang publikyang diinginkannya.Jilbab yang pada akhirnya mencitrakan kembali identitas pemakainya. Terlepas dari antusiasme publik yang umumnya sangat mendukung perkembangan fesyen muslim, yang terlihat dari sudut kacamata lain justru pada saat bersamaan sedang terjadi kapitalisasi simbol-simbol keagamaan. Simbol-simbol agama yang merepresentasikan identitasnya direduksi sedemikian rupa menjadi komoditi publik yang dikonsumsi secara luas.Dari kedudukannya sebagai barang konsumsi,kapitalisme mungkin melihat peluang manis untuk melahirkan konstruksi baru dalam tren berpakaian— tren fesyen muslim. Pada titik ini nilai sakral identitas keagamaan bertransformasi menjadi sekedar tren gaya berbusana yang terkesan agamis, padahal nilai-nilainya telah luntur.Wacana Indonesia sebagai pusat fesyen muslim dunia, perkembangan tren busana muslim, dan reduksi nilai simbol keagamaan dihubungkan oleh satu benang merah yang mengarah pada praktik sistem ekonomi kapitalis berhias konsumerisme. Kemunculan merk-merk dagang pakaian muslim 59


yang membandrol harga tinggi selalu disertai klaim produknya memiliki keunggulan entah karena produknya memang bagus atau hanya karena brand tersebut dibidani oleh desainer terkenal, yang tentu akan menambah nilai prestise pemakainya. Dibalik itu semua kapitalisme yang berkerudung sebagai industri fesyen muslim sebenarnya sedang menebar benih konsumerisme akut. Merk-merk pakaian muslim yang mahal dicitrakan dengan eksklusivitas produk dan menggandeng artis-artis berhijab sebagai brand ambassador. Konstruksi berpikir kaum muda urban diarahkan untuk mengadopsi pola perilaku konsumen yang mengagungkan

merk

dagang

sebagai

prestise

tersendiri.Lantas kaum muda urban berpikir akan lebih menyukai hijab mahal dengan merk tertentu yang telah dikenal luas daripada hanya mengenakan produk pasaran yang terkesan ‘biasa’. Dengan demikian esensi utama dari pakaian muslim utamanya hijab telah direduksi menjadi sekedar gaya berbusana tanpa mengindahkan nilai-nilai sakral religiusnya. Maka jangan heran apabila melihat misalnya seorang hijabers yang modis dan ‘nampak’ islami namun masih dipertanyakan bagaimana pemaknaannya terhadap identitas keagamaan yang sedang dikenakan. Jika diizinkan, sepertinya sebutan ‘konsumerisme islami’ sangat 60


mendeskripsikan konsumerisme yang menumpang pada agama. Sebenarnya tak beda dengan indsutri pakaian barat, fesyen muslim telah condong menganut jalan yang sama untuk mengarah pada konsumerisme akut. Sosok kaum muda yang agamis tidak lagi cukup ditampilkan dalam wajah teduh dengan balutan baju kurung dan aksesoris tasbih atau tentengan kitab suci misalnya. Di luardaripada itu sosok yang muncul justru profil hijabers yang fashionable dan terkesan lebih modern (baca: tidak konservatif). Lebih disayangkan lagi ketika tren moeslim fashion ini tidak dapat melepaskan pola lama untuk menggunakan perempuan sebagai manekin hidup dan ikon keindahan.Nampaknya objektivikasi terhadap perempuan sebagai ikon dan citra produk dalam ajang a la ratu kecantikan sejagad diadopsi oleh industri fesyen muslim ke dalam koridor yang lebih islami, sebut saja Miss World Muslimah Beauty yang menimbulkan kontroversi karena dianggap tidak pantas. Dalam ajang miss-missan tersebut standar kecantikan barat yang dimunculkan dalam karakter boneka Barbie misalnya, masih mendasari setiap tahapannya. Sangat kompleks memahami Barbie sendiri diciptakan untuk melanggengkan konsumerisme dan kapitalisme seperti yang 61


yang ditegaskan dalam Barbie Culture oleh Mary F. Rogers seperti berikut, ‌ Barbie hadir dalam sebuah konteks budaya yang didominasi pencitraan gadis dan perempuan yang tidak realistis dan dilebih-lebihkan, dan bahwa perempuan hidup, terutama model dan para artis, sering kali memiliki pengaruh yang jauh lebih besar pada diri gadis-gadis muda.Keyakinan-keyakinan seperti itu tampaknya sangat masuk akal.Kebudayaan Barat saat ini memberikan sebuah konteks yang kaya dan penuh makna bagi artefak-artefak seperti Barbie—bahkan, budaya ini mempromosikan nilai dan normma serta kepercayaan yang memungkinkan Barbie tampil sebagai ikon.Dengan caranya yang khusus, kebudayaan ini mengutuk kelebihan berat badan, orang-orang yang berbadan gemuk.Kebudayaan ini membangun citra waktu luang dan konsumsi di atas dan lebih dari tempat kerja dan kerja itu sendiri.

Wacana Indonesia sebagai pusat fesyen muslim dunia lamat-lamat terdengar kerdil jika dibenturkan dengan realita konsumerisme yang semakin tidak terbendung. Industri kreatif fesyen muslim menjadi lahan semai yang potensial bagi akar-akar gaya hidup konsumtif. Jika tahun 2020 target Indonesia sebagai pusat fesyen tercapai, maka pada 2035 kiblat dunia fesyen akan mencapai puncak keemasannya di timur. Akan tetapi gaya hidup konsumtif dan 62


dan kapitalisasi ekonomi tidak serta-merta bisa ditekan dengan mudah, sehingga pada 2035—daripada menjadi era puncak kejayaan fesyen muslim—yang lebih mungkin justru negeri ini tumbuh menjadi sarang nomor wahid atas konsumerisme dan kapitalisme global.

Referensi Barker, Chris. 2015. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Bantul: Kreasi Wacana. Heryanto, Ariel. Identitas dan Kenikmatan. Jakarta: Gramedia. Joppke, Christian. 2009. Veil: Mirror of Identity. Cambridge: Polity Press. Rogers, Mary F. 2009. Barbie Culture: Ikon Budaya Konsumerisme. Sleman: Relief.

63


64


DEMOGRAPHY DIVIDEND ERA: ANALISIS PENDEKATAN RASIONAL-EMPIRIS TERHADAP KEBUTUHAN MASYARAKAT INDONESIA AKAN SOCIAL SECURITY SYSTEM

Selayang Pandang Bonus Demografi Indonesia: Sebuah Pengantar

T

umbuh menjadi satu negara dengan potensi pengembangan sumber daya yang sangat

menjanjikan, menjadikan Indonesia sebagai negara yang digadang-gadang mampu mencapai kemajuan signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Selain tersohor dengan potensi kekayaan alam yang melimpah, apabila ditinjau dari perspektif sumber daya manusia, Indonesia menyandang predikat

sebagai

negara

dengan

jumlah

penduduk

terbanyak keempat di dunia yaitu sekitar 240 juta jiwa. Salah satu penyebab membludaknya jumlah penduduk di Indonesia adalah Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) yang tergolong tinggi. Kondisi tersebut direpresentasikan oleh hasil sensus penduduk tahun 2010 yang menyatakan bahwa dalam

sepuluh tahun terakhir penduduk 65

Indonesia


bertambah menjadi 237.641.326 jiwa dengan rata-rata angka LPP sebesar 1,49% per tahun. Jika nilai LPP tersebut bersifat konstan, maka jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 diperkirakan akan mencapai 450 juta jiwa. Data -data kependudukan di ataslah yang kemudian mendorong para ekonom mengemukakan suatu prediksi bahwa pada tahun 2020-2030, Indonesia akan mengalami suatu kondisi yang disebut sebagai Era Bonus Demografi (Demography Dividend Era). Dalam konteks keindonesiaan, bonus demografi ditengarai memiliki sangkut paut dengan implementasi program Keluarga Berencana (KB). Program KB yang secara khusus dirancang untuk menekan tingkat kelahiran dan pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, ternyata mampu mencapai keberhasilan gemilang pada rentang tahun 1982-1999. Angka kelahiran total (Total Fertility Rate) Indonesia terus menunjukkan penurunan secara konsisten dari sekitar 5,6 (setiap wanita usia 15-49 tahun/ subur rata-rata akan mempunyai 5-6 anak hingga akhir masa reproduksinya) menjadi 2,49 pada tahun 2010. Dengan

keberhasilan

program

KB

dalam

menekan

pertumbuhan penduduk, diperkirakan Indonesia akan dilimpahi

oleh

penduduk 66

usia

produktif—terutama


penduduk yang lahir pada tahun 80 dan 90an—pada tahun 2020-2030. Suatu kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif mendominasi struktur demografi, akan membawa dampak yang cukup signifikan terhadap penurunan angka beban ketergantungan (dependency ratio) di Indonesia. Ketika

suatu

negara

mengalami

era

bonus

demografi, maka dapat diindikasikan bahwa negara tersebut

sedang

mengalami

transisi

struktur

kependudukan. Wongboonsin, dkk. (2003) menyatakan bahwa

bonus

demografi

adalah

suatu

keuntungan

ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang. Adanya depresiasi pada tingkat fertilitas dan mortalitas yang cukup ekstrim merupakan stimulus bagi timbulnya transformasi struktur usia penduduk di suatu negara.

Penurunan

angka

fertilitas

berakibat

pada

minimnya proporsi penduduk usia muda. Di sisi lain, jumlah penduduk kategori usia kerja dan angka harapan hidup bagi masyarakat lanjut usia (lansia) justru menunjukkan tren perkembangan yang positif—hal ini terutama disebabkan oleh dukungan layanan kesehatan yang memadai dan tata kelola administrasi yang baik.

67


Dualisme Peran dan Kesiapan Aktor-aktor Pembangunan Kendati bonus demografi merupakan satu peluang langka serta tidak semua negara berkesempatan untuk menikmatinya, terdapat dua kemungkinan peran yang menyertai bonus demografi itu sendiri. Apabila bonus demografi mampu dioptimalkan pemanfaatnnya—dilandasi dengan kesadaran penuh pada diri setiap individu, partisipasi masyarakat, dan strategi perubahan berencana sebagai

bentuk

intervensi

sosial

sistematis

dari

pemerintah—maka modal manusia (human capital) yang berpusat pada kelompok usia produktif memiliki daya yang cukup kuat untuk mengupayakan keberfungsian sosial individu dan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi yang merata. Terlebih lagi, pemberdayaan penduduk usia produktif

juga

dapat

memperbesar

probabilitas

terwujudnya pembangunan sosial yang lebih global di tengah-tengah era bonus demografi. Selain membawa peluang positif bagi peningkatan taraf hidup, bonus demografi juga ternyata dapat menjadi akar timbulnya resesi bagi suatu negara. Resesi sebagai kondisi lesunya aktifitas ekonomi dan pembangunan dapat terjadi karena negara—dalam konteks ini meliputi pihak 68


pemerintah dan penduduk usia produktif—tidak mampu memaksimalkan kesempatan (windows of opportunity) yang terbuka lebar. Kesempatan yang dimaksud adalah ketika beban ketergantungan berada pada titik terendahnya, seharusnya pengeluaran individu dan negara dapat dikurangi

melalui

penggunaan

biaya

yang

efisien,

penetapan skala prioritas, dan pengalokasian dana untuk kebutuhan di masa mendatang. Pada hakikatnya kedua peranan di atas bergantung kepada kesiapan para aktor pembangunan (individu, komunitas, dan pemerintah) dalam menyongsong hadirnya kesempatan yang ditawarkan. Beragam polemik mengenai dualisme peran ini harus segera dituntaskan melalui penerapan kebijakan nyata sehingga risiko atas implementasi strategi dapat dikurangi. Dalam hal inilah peran proaktif pemerintah sangat dibutuhkan. Apakah pemerintah Indonesia dapat berperan sebagai katalisator yang aktif merancang strategi pemicu lahirnya kesejahteraan bagi masyarakatnya atau pemerintah hanya terpaku menyaksikan kesempatan besar era bonus demografi itu berlalu begitu saja. Harmonisasi Pendekatan Rasional-Empiris dan Sistem Jaminan Sosial Nasional 69


Melimpahnya penduduk usia produktif merupakan momentum terbaik untuk menggerakan sektor-sektor vital negara. Namun, diperlukan mobilisasi sumber daya manusia yang mampu mendorong perbaikan kualitas hidup penduduk

usia

produktif

tersebut.

Mobilisasi

yang

dimaksud adalah dinamika kebijakan, program, dan layanan progresif yang menopang keberfungsian penduduk usia produktif dengan maksimal di ranah-ranah utama aktifitas kenegaraan serta menghindari kerentanan individual. Berbagai kerentanan yang dihadapi individu usia produktif dalam era bonus demografi, antara lain: tidak mendapatkan sumber mata pencaharian, terkena penyakit, kecelakaan kerja,

tidak

bisa

menyekolahkan

anak,

kehilangan

pasangan, masalah kesehatan reproduksi, persalinan yang tidak aman, kekerasan rumah tangga, dan kondisi kesehatan buruk termasuk kecacatan. Beragam risiko terkait dimensi bio-psiko-sosial manusia tersebut akan menjadi faktor penghambat optimalisasi peran penduduk usia produktif. Ketika era bonus demografi berlangsung, segelintir penduduk usia produktif mungkin tidak dapat bersaing seperti yang lainnya, ada kalangan yang tersisihkan sebab kompetensi setiap individu berbeda-beda. Pendekatan 70


rasionalis-empiris dapat menjadi pedoman bagi pemerintah serta pihak pemangku kepentingan lainnya dalam menyusun program, kebijakan atau layanan sebagai bentuk respon atas berbagai macam kemungkinan di era bonus demografi Indonesia. Menghadapi kemungkinan tersebut, maka penting bagi pemerintah untuk menyediakan pelayanan yang mampu menjamin kebutuhan sosial masyarakat. Pengarusutamaan arah pembangunan jaminan sosial di Indonesia telah terangkum di dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional/SJSN (Social Security System), yaitu suatu program nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memberi perlindungan, dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam praktiknya, SJSN mengusung lima program jaminan sosial, yaitu: jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Melalui program-program tersebut, setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun. Kebutuhan sosial kelompok usia 71


produktif yang beragam di era bonus demografi perlu dinaungi oleh suatu sistem pelayanan sosial terpadu, karena itulah SJSN bergerak dalam sektor-sektor sentral demi

terpenuhinya

kebutuhan-kebutuhan

esensial

masyarakat agar dapat hidup layak. Pengimplementasian SJSN ini pula diharapkan mampu memberikan stimulus bagi masyarakat untuk menabung. Angka beban ketergantungan yang rendah menyebabkan pengeluaran untuk mengurus penduduk usia non-produktif juga rendah, sehingga dana yang dimiliki dapat di simpan dalam bentuk tabungan sebagai bentuk investasi jangka panjang. Transformasi cara pandang masyarakat yang menilai manusia sebagai modal potensial, pergeseran pola pikir menjadi lebih visioner, dan angka harapan

hidup

masyarakat

yang

untuk

semakin

tinggi

menanamkan

juga

memicu

investasi

dengan

keyakinan bahwa tindakannya yang demikian itu akan membawa dampak positif bagi anak-anaknya dan bagi dirinya

ketika

masa

tua

nanti.

Aktifitas

investasi

(menabung) juga akan memberikan sumbangsih positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Penutup Mengelola kesempatan di era bonus demografi 72


menuntut adanya distribusi peran antara aktor-aktor pembangunan sehingga tercipta relasi yang dinamis. Persiapan menyambut era bonus demografi merupakan suatu topik pembahasan yang integral, artinya kehadiran bonus demografi ini harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat/utuh.

Kemampuan

untuk

meraih

kesempatan

berharga yang ditawarkan ketika bonus demografi itu datang

‘menyambangi’

Indonesia

telah

mengalami

transformasi tujuan. Selain itu, peranan bonus demografi dapat diibaratkan seperti dua sisi koin yang berbeda: di satu sisi mampu menjadi katalisator pembangunan sedangkan di sisi lainnya pembangunan dapat mengalami resesi dengan adanya bonus demografi itu sendiri. Apabila

kesempatan berharga

di era

bonus

demografi tidak tercapai, hal tersebut dapat membawa potensi terganggunya stabilitas sosial dan terbatasnya akses pemenuhan kebutuhan masyarakat. Penghayatan atas analisis pendekatan rasional-empiris dapat menjadi acuan penting bagi pemerintah untuk menetapkan suatu kebijakan pembangunan yang berfokus pada manusia (people centered development) di era bonus demografi. Selain pemerintah melalui SJSN, menjadi tugas kita bersama

untuk

mengupayakan

kesejahteraan

sosial

masyarakat Indonesia. Cita-cita tersebut dapat terwujud 73


apabila ditopang oleh konsensus bersama dari seluruh elemen masyarakat. Ikatan kuat dan keinginan untuk maju itulah yang pada akhirnya akan menjadi bukti bahwa Indonesia

siap

menyambut

kedatangan

era

bonus

demografi di tahun 2020-2030.

DAFTAR PUSTAKA Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Undang-undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-undang No. 40 Tahun 2004 Buku [1] Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial: Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial. (D. Setiawan dan S. Abbas, Terjemahan). Jakarta: Diperta Islam Depag RI. [2] Putri, Asih Eka. 2014. Seri Buku Saku-1: Paham SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). Jakarta: CV Komunitas Pejaten Mediatama. [3] Subdirektorat Statistik Demografi. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta: Badan Pusat Statistik. [4] Suharto, Edi. 2009. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategi Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Ed. 3). Bandung: PT. Refika Aditama.

74


75


Situs internet atau halaman website [1] Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEB UI. (2015). Analisis Bonus Demografi Sebagai Kesempatan Memacu Perpercepatan Industri di Indonesia. Diakses pada 12 Okt. 2015, dari http://bemfebui.com/official/wp-content/uploads/2015/07/ Analisis-Bonus-Demografi-Sebagai-Kesempatan-MemacuPerpercepatan-Industri-di-Indonesia.pdf [2] Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan Provinsi Jawa Timur. (2013). Manfaatkan Bonus Demografi: Pilar Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi. Diakses pada 14 Oktober 2015, dari http://disnakertransduk.jatimprov.go.id/ [3] Febriany, Vita. (2015). Evaluasi Program Asistensi Sosial (Bantuan

Sosial).

Diakses

pada

24

Maret

2015

dari

www.smeru.or.id [4] Jalan, Fasli. (2014). Optimalisasi Pemanfaatan Bonus Demografi. Disampaikan pada Kuliah Umum

di Universitas

Udayana pada Selasa, 13 Mei 2014. [5] Pelajaran dari Asia Timur dan Amerika Latin untuk Indonesia : Kebijakan Pendorong Kesuksesan Ekonomi Indonesia Menyongsong Era Bonus Demografi. (n.d). Diakses pada 12 Oktober 2015, dari https://www.academia.edu/

76


Kondisi Pendidikan di Daerah 3T : Tantangan Menuju Indonesia 2035 “Sejarah masa depan bergantung pada apa yang kita lakukan pada hari ini�

K

ondisi pendidikan di daerah 3T merupakan salah satu masalah yang masih terjadi di Indonesia

hingga saat ini. Daerah 3T memiliki arti sebuah daerah yang Tertinggal, Terluar, dan Terdepan1. Terdapat banyak permasalahan yang terjadi di daerah 3T terutama dalam bidang pendidikan, seperti kurangnya fasilitas sekolah, sulitnya akses menuju sekolah, ataupun kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas. Permasalahan tersebut sebenarnya sudah diketahui oleh semua lapisan masyarakat, terutama dengan adanya berbagai pemberitaan baik itu di media massa, televisi, atau berbagai buku yang membahas permasalahan tersebut, tetapi tetap tidak ada solusi dari pemerintah yang mampu memecahkan masalah tersebut. Seperti bagaimana kondisi pendidikan di daerah perbatasan Malaysia di Kalimantan Timur yang begitu memprihatinkan, salah satunya adalah adanya kurang lebih 2.000 ribu anak-anak yang ccberada di perbatasan tidak sekolah. Padahal pendidikan 77


berada di perbatasan tidak sekolah. Padahal pendidikan adalah hak bagi semua warga Negara Indonesia, baik yang berada di kota atau di daerah perbatasan. Dari pendidikan itulah, dapat dibentuk masa depan bangsa Indonesia ini. 2035, adalah tahun di mana adanya harapan untuk melihat Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang maju dan mensejahterakan seluruh warga negaranya. Akan tetapi, bangsa Indonesia harus segera tersadar dari mimpi besar mereka, karena bagaimana mungkin suatu negara akan memiliki masa depan yang baik apabila kondisi pendidikannya masih memprihatinkan. Daerah 3T Daerah 3T(Tertinggal, Terluar, dan Terdepan) adalah suatu daerah yang berada di daerah perbatasan yang karena kurangnya akses yang menghubungkan daerah tersebut dengan kota terdekat, maka membuat daerah tersebut menjadi daerah yang tertinggal, sebagaimana data dari Bappenas yang menunjukkan bahwa yang tergolong daerah 3T yaitu seperti daerah Nunukan di Kalimantan timur atau daerah Alor di Nusa Tenggara Timur. Yang dimaksud daerah tertinggal adalah suatu wilayah yang relatif kurang berkembang dibandingkan dengan wilayah lainnya berdasarkan kondisi dan fungsi daerah 78


baik pada aspek alam, manusianya maupun prasarana pendukungnya. Sedangkan yang dimaksud daerah perbatasan adalah wilayah kabupaten/kota yang secara geografis dan demografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan/atau laut lepas. Ada 38 wilayah kabupaten perbatasan di Indonesia, 27 wilayah di antaranya termasuk daerah tertinggal Sebagai daerah tertinggal, ciri utamanya adalah kondisi sosial budaya, ekonomi, keuangan daerah, aksesibilitas, serta ketersediaan infrastuktur yang masih tertinggal dibanding wilayah lainnya. Tabel

1.

Contoh

sebagian

daerah

3T

di

Indonesia

Sumber : daftar 183 daerah tertinggal, http://Kawasan.bappenas.go.id

79


Tabel 2. Contoh sebagian daerah terpencil di Indonesia

Sumber

:

daftar

183

daerah

tertinggal,

http://

Kawasan.bappenas.go.id

Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah daerah yang tergolong daerah 3T cukup banyak, terutama memang daerah-daerah yang berada di perbatasan, apalagi ketika kita hanya menggolongkan daerah tertinggal saja, maka jumlahnya sangat banyak yaitu hingga 183 daerah. Jadi dapat disimpulkan jumlah daerah 3T dan daerah tertinggal di Indonesia cukup banyak, mungkin hampir semua daerah di perbatasan dapat digolongkan ke dalam daerah 3T karena daerah tersebut juga tertinggal, bahkan bisa saja dari data Bapennas masih terdapat daerah yang sebenarnya tergolong daerah 3T atau daerah tertinggal tetapi tidak masuk dalam data tersebut.

80


Definisi pendidikan dan arti penting pendidikan bagi pembangunan bangsa Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah proses menjadi dan menentukan diri sebagai pribadi. Pendidikan adalah aktivitas untuk menghasilkan manusia merdeka, dalam pengertian tidak hidup terperintah, berdiri tegak karena kekuatan sendiri, dan cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Sehingga pendidikan dapat membantu peserta didik untuk menjadi merdeka secara fisik, mental, dan spiritual. Dari berbagai definisi tentang pendidikan dan berbagai teori tentang pentingnya pendidikan tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa pendidikan sangat berperan penting atau menjadi kunci dari kemajuan dan pembangunan bangsa ini. Apabila semua siswa di Indonesia diberikan pendidikan yang baik, baik itu pengembangan karakter ataupun pengembangan pengetahuan, maka ketika mereka dewasa, mereka mampu memimpin bangsa ini apapun pekerjaan dan status sosial mereka karena mereka sudah memiliki kesadaran yang tinggi untuk peduli terhadap lingkungan sekitar dan kemajuan bangsa ini. Mereka juga akan memiliki karakter-karakter yang akan berguna ketika terjun di masyarakat serta memiliki penge81


itu, seharusnya bidang pendidikan inilah yang perlu mendapat perhatian serius baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga swasta, bahkan masyarakat , karena pendidikan adalah hal yang sangat penting dalam proses kemajuan bangsa di masa depan. Pentingnya nilai pendidikan dapat kita lihat dari apa yang dilakukan Perdana menteri Inggris Tony bBair pada periode pertamanya sebagai perdana menteri pada tahun 1996.

Blair

menyatakan

tiga

program

utamanya:

“pendidikan, pendidikan, pendidikan�. Tony blair menjadikan pendidikan sebagai pusat pembuatan kebijakan ekonomi pada masa depan. Contoh kebijakan PM inggris tersebut dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk lebih memperhatikan pembangunan pendidikan di Indonesia terutama di daerah 3T. Kondisi Pendidikan di daerah 3T Permasalahan pendidikan di daerah 3T yang paling banyak terjadi adalah kurangnya fasilitas pendidikan di sekolahsekolah yang memadai jika dibandingkan dengan fasilitas sekolah di daerah perkotaan. Seperti bagaimana fasilitas di dalam kelas yang sangat minim seperti jumlah kursi dan bangku yang sangat minim sehingga membuat para siswa harus berdesak-desakan di dalam kelas, bahkan sering kita 82


menemui kasus dimana dalam satu ruang kelas terdapat dua kelas yang bercampur menjadi satu karena keterbatasan ruang. Sering juga kita temui berbagai berita di televisi ataupun di media massa yang menceritakan bagaimana kondisi sekolah yang memprihatinkan seperti bangunan sekolah yang hampir rubuh tetapi tidak pernah mendapat dana bantuan renovasi dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah, ruang kelas yang apabila hujan maka ruang kelas tersebut akan penuh dengan air hujan karena atap yang bocor, dan masih banyak permasalahanpermasalahan di daerah 3T yang berkaitan dengan sarana dan prasarana sekolah yang tentu saja hal tersebut akan membuat para siswa menjadi tidak nyaman dalam belajar. Permasalahan lain yaitu kurangnya tenaga pendidik yang berkualitas (guru yang memenuhi kompetensi yang ditetapkan pemerintah) yang mau mengajar di daerah 3T. hal ini mungkin disebabkan para guru enggan untuk tinggal di daerah yang terpencil dan tertinggal karena infrasruktur yang sangat minim di daerah tersebut, seperti tidak adanya akses transportasi, jaringan listrik atau jaringan komunikasi, dan lain-lain. Selain itu, para guru tidak mau mengajar di daerah 3T karena gaji mereka yang sangat kecil, tentu para guru akan berpikir dua kali bila mau mengajar di daerah tersebut. Selain itu, kebanyakan guru yang mengajar di 83


3T adalah guru honorer yang tentu penghasilannya tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari padahal para guru honorer tersebut ada yang harus mengajar dua hingga tiga kelas sekaligus, bahkan terkadang mereka terkadang dipaksa bekerja lebih keras dibandingkan dibandingkan guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) karena status mereka sebagai pegawai tidak tetap bahkan banyak pula kita temui para guru honorer tersebut tidak digaji selama beberapa bulan karena keterbatasan dana yang dimiliki sekolah di daerah 3T. Selain kurangnya tenaga pendidikan yang mau mengajar di daerah 3T, tetapi juga kurangnya kesejahteraan para guru tersebut. Penulis mendapatkan data yang menyatakan rasio antara siswa dengan guru di tingkat SD di Papua ternyata cukup besar, yaitu satu guru harus mengajar 33 murid. Bahkan pada tahun 2010, ada data bahwa di desa Suruh Tembawang,

Kabupaten

Entikong,

Kalimantan

Barat

(Kalbar), ada satu guru harus mengajar 111 siswa SD. Data tersebut menunjukkan bahwa persebaran guru belum merata terutama di daerah-daerah 3T, dan tentu saja apabila rasio guru dan murid masih besar maka para guru yang berada di daerah 3T harus mengajar lebih banyak siswa, padahal kesejahteraan para guru tersebut apabila dibandingkan dengan para guru-guru di kota akan jauh berbeda. 84


Pendidikan dan Indonesia 2035 Dalam film back to the future past dan kita atur perjalanan kita menuju tahun 2035, mungkin kita akan mendapati bahwa Indonesia 20 tahun dari sekarang ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan. Apakah itu merupakan bentuk pesimistis?, yang pasti Indonesia tidak akan meraih kemajuan selama pendidikan tidak maju juga. Sejarah dunia membuktikan, bahwa tidak ada suatu negara maju sedangkan masyarakatnya masih bodoh, begitu pula sebaliknya, tidak ada negara yang tidak mengalami kemajuan sedangkan masyarakatnya memiliki pendidikan yang baik. Oleh karena itu, Indonesia 2035 adalah potret dari pendidikan pada saat ini. Apabila pemerintah memiliki keseriusan untuk membangun masa depan Indonesia, maka bangunlah pendidikan itu.

Daftar Pustaka Sumber Buku:

Noor, Isran. Politik Otonomi Daerah, Jakarta: Seven strategic studies, 2012. Takwin, Bagus, et al. Buku Ajar 1, MPKTA, Kekuatan dan Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika, 85


Hasil Rapat Kerja Nasional Departemen pendidikan dan Kebudayaan Tahun 1993, Departemen Pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia, 1993. Takwin, Bagus, et al. Buku Ajar 1, MPKTA, Kekuatan dan Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika, Universitas Indonesia, depok, 2013. Sumber Jurnal: Suryadi, Ace. Kependudukan dan Pembangunan Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan UI, no 70, Tahun ke 14, Januari 2008. Toha,Miftah. Desentralisasi Pendidikan, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan UI, No. 17, Tahun ke 5, Juni 1999. Sumber Artikel Abduhzen, Mohammad. Pemimpin Yang Peduli Pendidikan, koran Kompas, edisi Sabtu, 13 September 2014. Pratama, Rama. Membenahi Anggaran Pendidikan, Teropong Pendidikan Kita: Antologi Artikel 2006-2007. Susanti, Dewi. Inovasi dan Penelitian Bagi Pemerataan pendidikan Berkualitas, 10 windu Prof.Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed Pendidikan Nasional: Arah ke Mana?, Jakarta: Kompas, 2012. Sumber Internet: daftar 183 daerah tertinggal, http://Kawasan.bappenas.go.id, diakses pada 29 september 2014, pukul 13:07 WIB. 86


Huda, Hairul, Selamatkan Pendidikan di Perbatasan, http://Kaltim.tribunnews.com/2013/01/07/selamatkan pendidikan-di-perbatasan, diakses

pada

29

september

2014, pukul 13:05 WIB.

Oktafiansyah,

Reza,

Pendidikan

di

Daerah

Terpencil,

www.academia.edu/3571254/Pendidikan_Di_Daerah_Terpencil, diakses pada 29 September 2014, pukul 12:49 WIB.

Pendidikan di Daerah Perbatasan, Sebatas Angan angan, http:// www.wilayahperbatasan.com/pendidikan-di-daerah-perbatasansebatas-angan-angan/, diakses pada 18 oktober 2014, pukul 23:50 WIB.

Renstra Kemdiknas tahun 2010-2014 Bab 2 (dua), Kondisi Umum Pendidikan, http://kemdikbud.go.id/dokumen/pdf/renstra/BabII.pdf, diakses pada 18 oktober 2014, pukul 23:46 WIB.

Sutaat, Pemberdayaan Masyarakat Daerah Perbatasan Antar Negar: Studi Masalah, Kebutuhan dan Sumber Daya Sosial Desa Jagoi, Kecamatan Jagoi Babang - Kabupaten Bengkayang

87


Menggagas Indonesia 2035

M

engapa tahun 2035? Karena pada tahun itulah,

Indonesia

akan

merayakan

kemer-

dekannya yang ke 90 tahun. Jumlah tahun yang dianggap cukup untuk mengetahui apakah suatu negara mengalami keberhasilan atau justru kegagalan. Ketika kita membicarakan masa depan Indonesia, tentu kita juga harus melihat kondisi calon pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan. Siapakah para calon pemimpin bangsa tersebut?, tidak bukan adalah para pemuda-pemudi di masa sekarang ini. Tetapi bagaimana kondisi calon pemimpin bangsa tersebut? Kondisi pemuda saat ini Sebagai negara dengan penduduk ke-empat terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam segi ketersedian jumlah sumber daya manusia. Penduduk yang berjumlah lebih dari 200 juta jiwa yang tersebar dari Sabang

hingga

Merauke

menambah

warna

keanekaragaman yang dimiliki oleh penduduk Indonesia. Selain itu juga komposisi penduduk Indonesia yang secara usia didominasi oleh penduduk usia kerja (15-65 tahun) 88


dimana pada tahun 2010 berjumlah 66,5 persen. Hal ini tentu akan menjadi salah keunggulan besar yang dimiliki Indonesia apabila potensi ini dapat di maksimalkan. Namun sayang, potensi tersebut kian hanya menjadi wacana belaka yang kian terabaikan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Sebab dapat kita lihat dan kita rasakan kondisi penduduk yang berada didalam usia produkif yang dalam hal ini akan saya fokuskan pada pemuda/i yang ada di indonesia dimana pada saat ini mulai mengalami degradasi moral yang begitu besar. Bukti-bukti tersebut dapat kita dapatkan dalam media, baik itu media elektronik maupun media

cetak.

Sebagai contoh, kasus-kasus

degradasi moral pemuda/i saat ini berupa “Siswa SMA yang mencabuli bocah 4 tahun�, “Seorang Siswi yang menjual temannya kepada para pria� dan contoh kasus lainnya. Maka dari itu, berdasarkan keadaan tersebut penulis berpendapat bahwa perlunya ada perhatian yang tidak hanya dari kalangan Bonus Demografi Hal tersebut juga menjadi suatu yang bersifat urgensi, sebab dalam beberapa puluh tahun lagi tepatnya pada tahun 2035, Indonesia diproyeksikan bakal menghadapi suatu kondisi dimana membludaknya penduduk yang 89


memiliki usia produktif (15-64 tahun) atau yang biasa disebut dengan Bonus Demografi. Bonus Demografi dianalogikan seperti dua buah mata uang, dapat menjadi peluang maupun ancaman. Bagi negara-negara yang akan menghadapi bonus demokrasi, tentunya membutuhkan kematangan serta persiapan sedari dini. Dengan Bonus Demografi yang akan diterima oleh Indonesia pada tahun 2035 dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya membutuhkan peran pemerintah ntuk menyiapkan angkatan kerja yang berkualitas. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan, agar dapat membentuk pemuda yang yang memiliki kepribadian pemimpin dan siap untuk menghadapi segala dinamika persaingan global nanti. Namun, peluang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kualitas angkatan kerja apabila tidak dihadapi atau disongsong dengan siap, maka Bonus Demografi dapat menjadi boomerang untuk negri ini. Karena, apabila angkatan kerja tersebut tidak siap dalam menghadapi Bonus Demografi, yang terjadi adalah semakin banyaknya jumlah pengangguran di Indonesia dan justru 90


menuju pada perlambatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu beban pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh pemerintah akan semakin besar, karena harus menanggung beban biaya kebutuhan masyarakat yang tak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan sebagainya. Oleh karena itu, pemerintah juga harus konsisten untuk menekan tingkat fertilitas(angka kelahiran) agar pembludakan penduduk tidak semakin besar. Kepemimpinan Pemuda - Kepemimpinan yang Transformatif John Gregorius Burns pada tahun 1978 pernah menggulirkan gagasan tentang kepemimpinan yang transformatif. Kepemimpinan yang transformatif menurut Burns adalah sebuah proses dimana para pemimpin dan para pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Kesadaran para pengikut dibangkitkan dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusian, serta bukan berdasarkan pada emosi seperti kecemburuan, keserakahan, dan kebencian. Dari definisi tentang kepemimpinan yang transformatif yang dibangun oleh Burns tersebut, Djoko Santoso (2014) 91


melihat bahwa ada pra syarat yang mendasar sebelum pemimpin transformatif tersebut lahir, yaitu seperti yang dikemukakan oleh Burns, yaitu tidak adanya sikap kecemburuan, keserakahan, dan kebencian. Selain itu, dapat juga dengan menambahkan sifat jujur dan amanah sebagai prasayarat. Selain Burns, Greenberg dan Baron (2003) juga memiliki pemikiran mengenai pemimpin yang transformatif. Mereka berpendapat bahwa kepemimpinan transformatif didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan karisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya. Lalu apa hubungan antara konsep pemimpin yang transformatif terhadap peran pemuda dalam menentukan masa depan Indonesia. Tentu term “pemimpin� tidak hanya merujuk pada orang-orang yang sudah tua. Para pemuda juga merupakan pemimpin, bahkan kepemimpinan pemuda yang transformatif itulah yang dibutuhkan dan dicari-cari bangsa Indonesia. Dengan adanya kepemimpinan pemuda yang transformatif, pemimpin tersebut dapat mengajak pemuda-pemuda lain untuk ikut serta memberikan kontribusi bagi kemajuan Indonesia, atau dalam hal ini, berkontribusi untuk mempersiapkan bagaimana akan merancang masa 92


masa depan negara Indonesia. Sebagai pemimpin yang transformatif, para pemimpin pemuda tersebut tentu harus memiliki kemampuan dan pengaruh untuk dapat mengajak dan “merevitalisasi� pemuda-pemuda lainnya, adalah dengan menggunakan pemikiran kami, yaitu menjadikan pemuda sebagai agents of change. Sebagai agent yang mampu membawa berbagai perubahan maupun solusi terhadap masalah-masalah bangsa di saat ini. Agent yang mampu membawa Indonesia dari masa-masa sulit seperti sekarang ini menuju masa kejayaan, 20 tahun mendatang. Indonesia di 2035 Ketika di dalam diri pemuda-pemuda Indonesia sudah terbentuk kepemimpinan yang transformatif, maka kita akan melihat Indonesia pada tahun 2035 memiliki pemimpin yang kuat dan ideal. Tentu pemimpin ideal tersebut memiliki berbagai versi, Filsuf terkenal Yunani Kuno, Plato, mengidamkan pemimpin yang ideal adalah orang yang mempunyai empati besar terhadap kehidupan orang-orang yang dipimpinnya. Ketika pemimpin ideal tersebut sudah hadir, Indonesia akan memiliki kehidupan sosial maupun politik yang baik. 93


Hal tersebut dikarenakan, sepanjang sejarah umat manusia, kehidupan politik suatu negara ditentukan bagaimana pemimpinnya berpolitik. Ketika seorang pemimpin mampu menjalankan politik yang baik, lagi-lagi konsep politik ideal menurut plato, maka akan sejahtera negara tersebut, tidak akan terjadi konflik bernuansa politik ataupun etnik seperti yang terjadi saat ini. Selain itu, pemimpin masa depan adalah pemimpin yang sadar betul bahwa segala tindakan dan keputusannya akan berpengaruh terhadap orang lain atau sekelompok masyarakat. Hal ini juga yang melandasi kepemimpinannya menjadi begitu empati dengan nasib dan derita rakyatnya. Lalu bagaimana kita dapat menemukan pemimpin masa depan yang transformatif bahkan mendekati ideal tersebut? Jawabannya adalah lihatlah pada diri kita sendiri. Ketika kita mampu untuk merubah Indonesia, maka rubahlah, jadilah agent of change yang benar-benar diharapakan para generasi tua Indonesia terhadap para pemudanya, bukan agent of change yang menjadi bahan olok-olokan mereka.

Daftar Pustaka Badan Pusat Statistik, “Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035�. 94


Merdeka.com “Bosan Onani, Siswa SMA Mencabuli Bocah Perempuan Berusia 4

Tahun” diakses dari

h t t p : / /

www.merdeka.com/peristiwa/bosan-onani-siswa-sma-nekatcabuli-bocah-perempuan-berusia-4-tahun.html, pada tanggal 26 Oktober 2015, pukul 23:23 WIB. Santoso, Djoko, Menggagas Indonesia Masa Depan, Jakarta:Tebet Center 66, 2014. Tempo, “Siswi Jual Temannya dianggap hanya Kenakalan Remaja”http://nasional.tempo.co/read/ news/2015/05/21/058668050/siswi-jual-temannya-dianggaphanya-kenakalan-remaja, pada tanggal 27 Oktober 2015, pukul 22:20 WIB.

95


96


MENEROPONG UMKM INDONESIA TAHUN 2035

B

erbicara mengenai potensi Indonesia, seperti yang kita ketahui bahwasanya negara kita memiliki

segudang potensi yang sangat berharga. Potensi-potensi tersebut hampir di semua bidang seperti sumber daya alam, mineral, tenaga kerja, sumber daya kelautan, hutan, perkebunan sawit dan masih banyak lagi. Indonesia juga memiliki potensi geopolitis sebagai jalur ekonomi dikarenakan letak strategisnya yang beradav di antara dua benua (Asia dan Australia), di antara dua samudra (Hindia dan Pasifik). Selain itu, perbatasan laut Indonesia juga beririsan dengan sepuluh negara berdaulat yakni India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste (Nababan, 2014). Potensi tersebut diperkuat dengan adanya integrasi ekonomi dalam bentuk perjanjian perdagangan internasional antara indonesia dan negara-negara lain, seperti perjanjian AFTA yang melibatkan negara-negara

ASEAN.

Hal

ini

berdampak

positif

bagi

pertumbuhan ekonomi Indonesia, dimana salah satu sektor penunjang perekonomian di negara Indonesia adalah UMKM (usaha menengah kecil dan mikro). Badan Pusat Statistik mendefiniskan Usaha mikro sebagai usaha yang memiliki tenaga kerja lebih dari 4 orang. Sedangkan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud Undang-undang No.9 Tahun 97


1995 adalah usaha produktif yang berskala kecil dan memenuhi

kriteria

kekayaan

bersih

paling

banyak

Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) per tahun serta dapat menerima kredit dari bank maksimal di atas Rp50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). World Bank mendefinisikan Usaha Kecil atau Small Enterprise, dengan kriteria: jumlah karyawan kurang dari 30 orang; pendapatan setahun tidak melebihi $ 3 juta; dan jumlah aset tidak melebihi $ 3 juta. Pengertian Usaha Menengah menurut Badan Pusat Statistik adalah usaha yang memiliki tenaga kerja antara 20 orang hingga 99 orang. Sedangkan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998 adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar Rp.10.000.000.000,00,

(sepuluh

milyar

rupiah)

tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) s/d Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar 98


rupiah). World Bank mendefinisikan Usaha Menengah atau Medium Enterprise adalah usaha dengan kriteria : Jumlah karyawan maksimal 300 orang; Pendapatan setahun hingga sejumlah $ 15 juta; Jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta . Sejarah UMKM di Indonesia sendiri mengalami pergolakan dan tantangan yang beragam. Ketangguhan UMKM

dalam

sejarahnya

telah

mampu

bertahan

menghadapi krisis ekonomi tahun 1998 yang

menimpa

Indonesia yang disebabkan oleh satunya

dikarenakan

UMKM

inflasi. Hal ini salah memproduksi

barang

konsumsi dan jasa-jasa dengan elastisitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah atau dengan kata lain tingkat pendapatan masyarakat tidak memberikan banyak pengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan. Di berbagai negara di dunia, keberadaan UMKM merupakan suatu motor penggerak dalam pertumbuhan ekonomi. Tambunan (2003) menyabutkan bahwa salah satu karakteristik dari dinamika ekonomi yang prima dengan laju pertumbuhan yang tinggi di negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara yang dikenal dengan Newly Industrializing Countries seperti Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan adalah kinerja UMKM yang efisien, produktif, dan berdaya saing tinggi. Di negara-negara berkembang, UKM juga 99


memiliki peranan yang sangat penting. Tambunan (2000) juga menyebutkan bahwa di Indonesia UMKM memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena berkontribusi hampir di semua sektor ekonomi dan turut

membantu

penyerapan

tenaga

kerja,

serta

berkontribusi terhadap pendapatan di daerah pedesaan khususnya bagi keluarga berpendapatan rendah. Baru-baru ini, bahkan UMKM telah memainkan peranan baru sebagai salah satu faktor utama pendorong perkembangan dan pertumbuhan ekspor non migas dan sebagai industri pendukung yang berperan dalam pembuatan komponenkomponen dan sparepart untuk Industri Besar (IB). UMKM di Indonesia sendiri banyak bergerak dalam sektor konsumsi, pangan , dan papan. Menurut Chris Manning, dkk (1991) sektor UMKM adalah bagian dari sistem ekonomi kota dan desa yang belum mendapatkan bantuan ekonomi dari pemerintah atau belum mampu menggunakan bantuan yang telah disediakan atau telah menerima bantuan tetapi belum sanggup dikembangkan. Pada umumnya, sektor UMKM di Indonesia saat ini memiliki karakteristik sebagai berikut: kegiatan usaha kurang terkoordinir dengan baik dikarenakan unit usaha tidak mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia, 100


tidak memiliki izin usaha, pola kegiatan usaha yang kurang teratur dalam arti lokasi ataupun jam kerja, dan beberapa belum terjamak oleh bantuan pemerintah. Selain itu, UKM di

Indonesia

masih

dihadapkan

pada

beberapa

permasalahan dan kendala yang menghambat kegiatan usahanya, yang meliputi kendala sulitnya pemasaran, keterbatasan modal finansial, keterbatasan sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi, kendala keterbahan baku, keterbatasan teknologi, keterbatasan infrastruktur penunjang dan beberapa kurang terikat dengan pemerintah atau dinas terkait. Data menunjukkan , perkembangan jumlah UMKM periode 2010-2011 mengalami peningkatan sebesar 2,57 persen yaitu dari 53.823.732 unit pada tahun 2010 menjadi 55.206.444 unit pada tahun 2011. UMKM merupakan pelaku usaha terbesar dengan persentasenya sebesar 99,99 persen dari total pelaku usaha nasional pada tahun 2011. Selain itu, Pada tahun 2011, PDB nasional atas harga konstan tahun 2000 sebesar Rp. 2.377,1 triliun, kontribusi UMKM sebesar Rp. 1.369,3 triliun atau 57,60 persen (UMi tercatat sebesar Rp. 761,2 triliun atau 32,02 persen dan UK Rp. 261,3 triliun atau 10,99 persen serta UM Rp. 346,8 triliun atau 14,59 persen.) Kontribusi UMKM tersebut 101


meningkat sebesar Rp. 86,8 triliun atau 6,76 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2012, jumlah UMKM

mencapai 56.534.592 unit

dan 2013 sebanyak

57.895.721 unit atau meningkat sebesar 2,41 % . UMKM telah menyumbang PDB tahun 2012 sebesar 4, 86 milyar dan tahun 2013 sebanyak 5,44 milyar atau meningkat sebesar 11,71 %. Melihat potensi UMKM yang begitu besar, maka Indonesia perlu meningkatkan kesiapan UMKM untuk Indonesia pada tahun 2035 sebagai langkah penyerapan tenaga kerja dari bonus demografi. Berikut adalah bebepa hal yang dapat dipertimbangkan. Inklusi permodalan bagi UMKM: salah satu penyebab lambannya laju perkembangan usaha dan rendahnya surplus usaha UMKM adalah lambannya akumulasi kapital di kalangan pengusaha mikro, kecil, dan menengah. Perbankan harus meningkatkan kompetensinya

dalam

memberdayakan

Usaha

Kecil-

Menengah dengan memberikan solusi total mulai dari menjaring wiraushawan baru potensial, membinanya hingga menumbuhkannya dimana pemberian kredit inilah satu mata rantai dalam pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah secara utuh. Perbaikan prasarana pemasaran dan atau transportasi

juga 102

diperlukan agar dapat


dapat mengurangi rantai pemasaran dan pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan petani dan pengusaha mikro, pengusaha kecil, dan menengah. Skala usaha juga perlu dikembangkan. Akumulasi kapital harus dilakukan bersama-sama dalam wadah kelompok atau usaha bersama sehingga mempermudah kalangan pengusaha bermodal kecil. Pengelompokan atau pengorganisasian ekonomi dimaksudkan agar mempermudah akses modal ke lembaga keuangan dan untuk membangun skala usaha yang ekonomis. Pengembangan SDM melalui pendidikan dan pelatihan, seminar dan lokakarya, on the job training, pemagangan dan kerja sama usaha. Selain itu, juga perlu diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan

untuk

mempraktekkan

teori

melalui

pengembangan kemitraan rintisan (Hafsah, 2004). Terakhir, Penguasaan teknologi merupakan juga menjadi salah satu faktor penting bagi pengembangan Usaha Kecil Menengah.

DAFTAR PUSTAKA Nababan, B. O. (2014). Potensi dan Permasalahan Pembangunan Ekonomi Kelautan Indonesia. Analisis Data dan Sintesis dari Berbagai Sumber dan Teori Ekonomi Kelautan, 1. Kuncoro, Mudrajat, (2003), Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta. 103


Chris Manning, Tadjuddin Noer Effendi, Penyunting, (1991), Urbanisasi, Pengangguran dan Sektor Informal di Kota, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. ILO, (1991), The Dilemma of the Informal Sector. Report of the Director General, Part I, the 78th Session of the International Labour Conference, Geneva Kementrian Koperasi dan UKM, (2010), Renstra (Rencana Strategis) Kementrian Koperasi dan UKM Tahun 2010 – 2014, Jakarta. Kuncoro, Mudrajad, (2004), Otonomi & Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang, Erlangga, Jakarta. Priyono, Edy, (2004), Usaha Kecil Sebagai Strategi Pembangunan Ekonomi : Berkaca Dari Pengalaman Taiwan, dalam Jurnal Analisis Sosial Volume 9 No. 2 Agustus 2004. Sethuraman., S.U., (1993), The Urban Informal Sector in Developing Countries, International Labor Organization, Jenewa Tambunan, Tulus (2000), Perkembangan Industri Skala Kecil di Indonesia, Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya. Tambunan, Tulus (2003), Perkembangan UKM dalam Era AFTA: Peluang, Tantangan, Permasalahan dan Alternatif Solusinya. Paper Diskusi pada Yayasan indonesia Forum Todaro., M. P, (2000), Economic Development, Sevent Edition, Massachusetts UU No. 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah www.depkop.go.id 104


105


Kacamata Jawa Indonesia amat merasakan bagaimana pedihnya berpisah dengan beberapa wilayahnya di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Sebuah perasaan yang saat itu kaum muda sekarang belum bisa benar merasakan. Namun kiranya

Indonesia

tidak

akan

lagi

sanggup

untuk

menghadapi perpisahan lain dengan wilayahnya, dengan cara yang lebih cerdas atau realistis seperti dengan Timor Leste maupun Malaysia. Timor Leste terutama. Indonesia tidak akan sanggup lagi menghadapi “separatisme� yang dimotori kaum intelektual seperti kasus Timor Leste (yang notabene berhasil membawa masalah ini ke PBB). Masihlah kita

bernapas

panjang

selama

separatisme

masih

menggunakan kekuatan. Lantas habislah kita apabila daerah -daerah yang bermasalah berhasil menumbuhkan kaum intelektual yang cukup untuk melawan Indonesia. Hal tersebut sangatlah mungkin terjadi di masa ketika informasi sampai di genggaman tangan dalam hitungan detik. Hal yang amat genting untuk dituntaskan Indonesia di masa mendatang adalah masalah persatuan bangsa dan integrasi. Dan hal ini semata-mata tidak dapat dilakukan dengan cara lama, yakni dengan “kacamata Jawa� sebagai 106


titik tolak peng-Indonesiaan. Titik tolak semacam ini adalah cara buruk muntuk mempersatukan Indonesia secara utuh. Buruk sekali. Bukti-bukti kuat dapat kita temukan dalam sejarah

bahwasanya

memepersatukan

perjalanan

indonesia

pemerintah

dengan

untuk

menggunakan

pemikiran mereka mengenai apa yang disebut Indonesia meninggalkan bekas luka yang mendalam, ternyata. Tentu hal ini terbukti dengan cara “pemberasan� di wilayah timur yang tidak makan beras sebagai makanan pokok. Contoh lain

adalah

masyarakat

Papua,

yang

berusaha

“diberadabkan� dengan menggantikan pakaian tradisional mereka, koteka, dengan baju yang pantas, tetapi cara ini dilakukan dengan tekanan militer. Indonesia yang pada dasarnya merupakan kesatuan suku dan ras yang berbeda tidak bisa dipersatukan dengan cara satu suku memandang dunia. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu sesungguhnya adalah langkah berani yang dilakukan Indonesia sejak masa kemerdekaan untuk mempersatukan bangsa. Hal ini terbukti baik adanya, karena Bahasa Indonesia bukan milik suatu suku tertentu dan mempelajari bahasa adalah nilai tambah tersendiri (dan tentu tidak melalui tekanan militer). Namun berbeda lagi ceritanya apabila kita menyuruh orang107


orang di wilayah timur yang tidak biasa memakan beras untuk makan beras. Terlebih lagi apabila upaya tersebut menggunakan unsur paksaan. Tindakan tersebut bukan hanya menjadi beban tersendiri bagi pelaksana tugas dan meningkatkan

ketergantungan

masyarakat

Indonesia

terhadap beras. Hal lain yang lebih fatal adalah akan munculnya suatu sentimen bahwa orang-orang Indonesia yang tidak makan beras atau mengenakan baju yang seharihari kita gunakan adalah orang bodoh atau tidak beradab. Sentimen itu nyatanya sudah mengungkung perspektif masyarakat Indonesia di bagian barat (terutama Jawa) sejak Indonesia berusaha merebut Papua dari tangan Belanda. Papua (dan mungkin daerah-daerah “terluar� lainnya) nyatanya tidak seterbelakang apa yang orang dahulu sangka. Orang-orang Belanda yang mengurus wilayah ini sudah menciptakan orang-orang terpelajar, dan tidak sedikit. Kalangan terpelajar ciptaan Belanda itupun sudah mampu berpolitik dan berparlemen, dengan bukti adanya penggunaan istila kaum kiri dan kaum kanan (bukan menyangkut ideologi) pada masyarakat Papua di bawah pemerintahan Belanda. Keberadaan kaum kiri dan kaum kanan di masyarakat Papua pun ketika itu sudah menimbulkan niatan untuk menentukan nasib Papua di 108


masa datang. Pilihan mereka adalah antara tetap berada di bawah naungan Belanda (kaum kanan) ataupun merdeka (kaum

kiri).

Orang-orang

Papua

bahkan

sudah

mendeklarasikan negara Papua dengan bendera sendiri (dibawah bendera Belanda), yakni bendera triwarna Belanda yang terbalik dan bintang kejora. Ketika Indonesia mempermasalahkan tanah papua dengan Belanda dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan, permasalahan masa depan Papua di tangan kaum intelektual Papua dipertanyakan kembali. Kali ini dengan tambahan pilihan untuk bergabung dnegan Indonesia. Namun pilihan yang lebih populer adalah kemerdekaan tanah Papua, terlepas dari tangan Belanda maupun Indonesia. Harapan itu sirna seketika mulai dari kedatangan UNTEA (UN Temporary Executive Authority) untuk menyelesaikan permasalahan antara Belanda dan Indonesia

seputar

kepemilikan

Papua.

Hal

yang

menyebabkan impian kemerdekaan Papua sirna adalah pelarangan bendera bintang kejora untuk berkibar. Impian kemerdekaan Papua lantas sirna total ketika Indonesia memperoleh hak atas tanah Papua. Kebijakan pertama yang dilakukan adalah pembakaran bendera Papua dan usaha menggantikan pakaian tradisional mereka, yang notabene 109


unsur paksaan. Indonesia saat itu secara umum tidak tertarik terhadap orang-orang Papua, melainkan ketertarikan Indonesia saat itu adalah kepemilikan tanah Papua sebagai wilayah teritorial. Justifikasi ini semula adalah karena papua masuk ke dalam wilayah kesultanan Tidore, dan “dijajah� oleh pemerintah Belanda. Namun justifikasi ini haruslah juga bersamaan dengan adanya rasa tanggung jawab terhadap wilayah ini. Hal tersebut juga semestinya berlaku pula kepada daerah-daerah lain yang kita sebut terluar maupun

terdepan.

Apabila

rasa

kepemilikan

tidak

bersamaan dengan kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat di wilayah tersebut, mengapa dari awal ada rasa memiliki?. Dengan begitu secara umum mereka merasakan penyiksaan terhadap pandangan kita yang mengannggap mereka terbelakang, terasing, atau bahkan tidak beradab. Mereka seharusnya dari awal kita biarkan merdeka, karena membiarkan mereka tersiksa adalah hanya akan menambah beban dosa kita. Kita pun semestinya tidak menggunakan kata-kata yang mengalienasi mereka (terdepan, terluar, terbelakang. Contoh

lain

dari

butuhnya

Indonesia

mengintegrasikan wilayahnya secara keseluruhan adalah 110


masalah orang-orang di perbatasan (terutama dengan Malaysia). Merupakan suatu hal yang mengejutkan ketika dosen saya bercerita bahwa orang-orang Indonesia di Tawau (perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan), menggunakan mata uang ringgit sebagai alat transaksi. Bahkan yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika anakanak mereka ditanya siapa pemimpin mereka, mereka menjawab dengan bangga “Najib Razak!�. Coba pikir, bayangkan.

Mereka

sebagai

orang-orang

Indonesia

setidaknya tahu dan mengatakan pemimpin mereka adalah Presiden SBY atau Jokowi. Paling tidak. Hal ini mengungkap kenyataan pahit bahwa pengaruh pemerintah Malaysia di wilayah tersebut sangatlah besar. Lantas kemanakah orangorang yang mestinya menyejahterakan mereka?. Paling tidak kita belajarlah coba dari Pemerintah Belanda.

Dahulu

di

perairan

Indonesia

beroperasi

perusahaan yang bernama KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij).

Perusahaan

tersebutlah

yang

berjasa

mengintegrasikan keseluruhan wilayah teritorial Hindia Belanda (bahkan sudah ada buku tentang itu). Terlebih lagi mereka menjangkau daerah-daerah terpencil. Contoh lain adalah perusahaan perkertaapian Belanda. Dahulu di Jawa setiap desa setidaknya dilalui sebuah rel kereta api untuk 111


mengangkut hasil perkebunan atau hal lainnya. Masalah timbul ketika Indonesia sudah menjadi tuan dari Nusantara keseluruhan. Semua kapal KPM tidak beroperasi lagi di perairan

Indonesia

dan

beberapa

rel

kereta

api

dinonaktifkan. Yang paling terasa dampaknya terutama adalah hilangnya kapal-kapal KPM yang menjangkau bahkan hingga daerah-daerah yang terpencil. Kapal-kapal sekarang tidak lagi menjangkau daerah-daerah terpencil. Bahkan kita sebagai NEGARA MARITIM (term yang populer baru-baru ini) kekurangan kapal untuk menjagkau daerah-daerah di Timur.

Kenyataan

ini

akan

menghambat

kemajuan

Indonesia di masa datang. Kewajiban Indonesia untuk memperhatikan tiap-tiap wilayahnya memang lebih berat dibanding negara-negara kecil lain seperti Singapura. Namun itu seharusnya tidak menjadi alasan. Kehausan akan teritori di bawah naungan Indonesia harus dibarengi dengan kewajiban untuk menyejahterakan daerah-daerahnya. Salah Indonesia sendiri kenapa hingga haus teritori. Tapi toh Indonesia jadi memiliki banyak potensi. Seharusnya karena potensi itulah Indonesia terjalin, terhubung, dan terintegrasi. Setidaknya kita perhatikan keuntungan yang bisa kita dapat apabila mobilitas antardaerah di Indonesia tinggi dan mudah. Setidaknya. Su112


keuntungan pula apabila Indonesia bisa akur dengan wilayah-wilayah

naungannya.

Semestinya

tindakan-

tindakan tersebut dapat menghindari Indonesia akan perpisahan dengan wilayahnya-wilayahnya.

SUMBER REFERENSI Giezelt, Dale. “The Indonesianization of West Papua”, Oceania. Vol. 59, No. 3. (Mar., 1989). pp. 201–221. Tornquist, Olle. “Crisis in East Timor”. Economic and Political Weekly. Vol. 34, No. 39. (Sep. 25– Oct. 1, 1999). pp. 2784-2785. Van Den Broek, Theo dan Alexandra Szalay. “Raising the Morning Star: Six Months in the Developing Independence Movement in West Papua”, The Journal of Pacific Affairs. Vol. 36, No. 1. (Jun. 2001). pp. 77–92. Webster, David. “"Already Sovereign as a People": A Foundational Moment in West Papuan Nationalism”, Pacific Affairs. University of British Columbia. Vol. 74. No. 4. (Winter 2001–2002). pp. 507-528.

113


114


Tahun 2035: Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Internasional

S

ejak pembacaan sumpah pemuda, bahasa Melayu di Indonesia berganti nama menjadi ba-

hasa Indonesia. Sejak saat itu bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi Negara Indonesia yang dapat menghubungkan satu suku dengan suku lainnya. Kemunculan bahasa Indonesia juga berarti kemunculan identitas, karena bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Bahasa Indonesia juga mengalami perkembangan seiring dengan perubahan dalam masyarakat. Negara Indonesia yang semakin terbuka dengan perekonomian yang semakin meningkat menjadi daya tarik masyarakat Asing untuk berkunjung yang tak jarang juga sekaligus mempelajari bahasa Indonesia. Dengan meningkatnya penutur bahasa Indonesia di berbagai negara, menjadi peluang bagi bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa Internasional. Seiring dengan berkembangnya zaman, bahasa Indonesia mengalami berbagai perubahan. Seperti sifat bahasa yang tidak hanya statis secara tata bahasa, tetapi juga dinamis secara kosakata. Artinya, kosakata dalam sebuah 115


bahasa dapat berkembang seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Tidak heran sering ditemukan kosakata yang diserap dari bahasa daerah atau bahkan bahasa asing. Dibandingkan dengan bahasa lain, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sederhana. Bahasa Indonesia memiliki tata bahasa yang mudah serta tidak mengenal perbedaan kala. Tidak seperti bahasa Inggris yang membedakan kata kerja terkait dengan waktu. Untuk menyatakan hal yang sudah berlalu, bahasa Indonesia cukup menggunakan kata sudah atau telah, sedangkan bahasa Inggris menggunakan tenses yang berbeda dan disesuaikan dengan kebutuhan. Selain itu, dalam penulisannya

bahasa Indonesia

menggunakan bahasa Latin yang sudah digunakan secara internasional sehingga dapat dikatakan bahasa Indonesia dapat mudah dipelajari. Popularitas bahasa Indonesia saat ini semakin meningkat. Bahasa Indonesia yang mudah, menjadi daya tarik turis asing mempelajarinya baik di dalam maupun luar negeri. Seperti yang dikatakan Collins (2005) bahwa saat ini sudah banyak ahli atau komunitas sarjana dari mancanegara yang mengususkan diri mempelajari bahasa Indonesia. Meningkatnya popularitas bahasa Indonesia juga diungkapkan dalam kongres IX Bahasa Indonesia oleh Direk116


Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi, Andri Hadi bahwa saat ini bahasa Indonesia sudah tersebar di 45 negara, seperti Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dll. Di Australia, bahasa Indonesia menjadi bahasa populer yang keempat. Bahkan, terdapat 500 sekolah di Australia yang mengajarkan bahasa Indonesia. Selain itu, adanya wacana bahwa bahasa Indonesia akan menjadi bahasa resmi ASEAN dengan pertimbangan karena bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sederhana baik secara struktur kata maupun tulisannya. Wacana tersebut tertuang dalam Sidang ke-41 Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia (Mabbim) dan Sidang ke-7 Majelis Sastra Asia Tenggara (Master) di Makassar, pada 13 Maret 2002. Sidang tersebut menghasilkan sejumlah rumusan, di antaranya usulan agar bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi ASEAN dan AFTA (Area Perdagangan Bebas ASEAN). Dari wacana tersebut, menjadi sebuah peluang bagi bahasa Indonesia dalam jangka panjang untuk menjadi bahasa internasional. Bahasa Internasional dipilih berdasarkan jumlah banyaknya pengguna bahasa serta kepopulerannya. Tidak hanya negara penutur bahasa tersebut yang menggunakan bahasanya, tetapi juga dituturkan oleh penutur dari negara lain, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun 117


keadaan formal. Bahasa Indonesia dengan wujud bahasa Melayu sejak dahulu sudah tersebar luas di kawasan Asia Tenggara. Selain di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Indonesia, bahasa ini juga dituturkan di Thailand Selatan dan sebagian Sri Lanka, juga ada di kawasan Papua. Saat ini penutur bahasa Indonesia di Indonesia sudah lebih dari 200 juta jiwa. Jumlah tersebut akan terus meningkat. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang berjumlah 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010 yang sebesar 237,6 juta jiwa. Secara otomatis penutur bahasa Indonesia juga akan meningkat dan semakin popular. Wacana tersebut juga didukung oleh pemerintah melalui aturan yang tertulis dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa dan lambang Negara serta lagu kebangsaan Pasal 44 ayat 1, 2, 3. Dalam UU no 24 tahun 2009 pasal 44 ayat 1 hingga 3. Dalam UUD tersebut disebutkan pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis dan berkelanjutan yang dikoordinasikan oleh lembaga bahasa serta diatur oleh pemerintah. Selain dari Undang-Undang No. 24 tahun 2009, pemerintah juga mengupayakan melalui penambahan kosa118


kata pada bahasa Indonesia. Kosakata tidak hanya diambil dari bahasa asing, tetapi juga dapat diambil dari bahasa daerah. Saat ini kosakata bahasa Indonesia berjumlah 90.000. Di tahun 2019 nanti, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud menargetkan akan mencapai 200.000. Untuk mencapai target tersebut, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud tengah melakukan upaya untuk menambah kosakata Bahasa Indonesia yang diambil dari bahasa daerah. Hal itu dilakukan untuk memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Sebuah bahasa juga dapat diakui secara internasional ketika negara yang menggunakan bahasa tersebut unggul dalam bidang ekonomi. Indonesia memiliki daya tarik bagi pelaku ekonomi dari mancanegara untuk berinvestasi di Indonesia melalui kekayaan alam yang sangat melimpah. Dengan banyaknya pelaku ekonomi dari mancanegara yang berinvestasi di Indonesia ini mau tidak mau akan berdampak pada banyak orang asing yang masuk ke Indonesia. Hal itu dapat berdampak pula pada banyaknya orang asing yang ingin mempelajari bahasa Indonesia. (Wahya 2010:174). Di samping itu, sejak tahun 2012 Indonesia memasuki bonus demografi yakni sebuah keadaan dengan populasi usia produktif (15-65 tahun) lebih tinggi dibandingkan 119


tahun 2010 adalah sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031. Tetapi angka ketergantungan ini mulai naik kembali menjadi 47,3 persen pada tahun 2035. Menurut Jokowi, melimpahnya jumlah penduduk usia produktif itu merupakan modal besar untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Apabila keadaan bonus demografi Indonesia dapat dioptimalkan, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan Indonesia meningkat. Meningkatnya perekonomian dan pembangunan Indonesia dapat menjadi peluang bagi bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa Internasional di tahun 2035. Seperti halnya Inggris, melalui Revolusi Industri Inggris menjadi dominan dalam perekonomian sehingga Inggris dapat mengontrol perekonomian negara lain dan membawa pengaruh dalam menyebarkan bahasanya. Bahasa Inggris pun saat ini dijadikan bahasa pengantar di seluruh dunia. Melihat perkembangan Indonesia yang semakin 120


terarah, tentu menjadi peluang yang besar bagi bangsa Indonesia untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional pada tahun 2035 nanti. Di samping angka penuturnya yang semakin tinggi, potensi tersebut terlihat dari popularitas bahasa Indonesia yang meningkat dengan semakin banyaknya masyarakat Asing yang mempelajari bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sederhana, sehingga mudah dipelajari. Meningkatnya ketertarikan bangsa Asing mempelajari bahasa Indonesia, semakin banyak yang mengakui identitas bangsa Indonesia karena bahasa merupakan identitas suatu bangsa. Selain itu, usia produktif yang diproyeksikan pada tahun 2035 melebihi jumlah usia non produktif menjadi peluang bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan perekonomian. Dengan peningkatan perekonomian tersebut menjadi jalan bagi bangsa Indonesia menyebarkan bahasa Indonesia ke kalangan Internasional. Dengan demikian, untuk menghadapi peluang ini semua pihak harus ikut turut serta dalam mempersiapkan bahasa Indonesia ke dunia Internasional. Persiapan dapat dilakukan dari hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, seperti dengan menghargai dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.

121


DAFTAR REFERENSI

Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wahya. 2011. Peningkatan Status Bahasa Indonesia sebagai Bahasa I nternasional: Sudah Lebih Mantapkah Perencanaan Ba hasanya? dalam Sugiyono dan Yeyen Maryani (Penyunting). 2011. Perencanaan Bahasa pada Abad Ke-21: Kendala dan Tantangan (Risalah Simposium Internasional Perencanaan Ba hasa). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. http://www.kompasiana.com/0204_kamelia/mengapa-bahasa-inggrismenjadi-bahasainternasional_54f91edba3331100448b4c32 (diakses pada tanggal 27 Oktober 2015) http://nasional.kompas.com/read/2015/08/01/13314511 Jokowi.Bonus.Demografi.Ibarat.Pedang.Bermata.Dua. (diakses pada tanggal 27 Oktober 2015) http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52f4d97aa7ea3/bonusdemografi-berpotensi-tumbuhkan-ekonomi (diakses pada tanggal 27 Oktober 2015) http://www.antaranews.com/berita/439728/bahasa-indonesiaditargetkan-jadi-bahasa-internasional-ke-7 (diakses pada tang gal 27 Oktober 2015) http://news.liputan6.com/read/2147790/mimpi-jadi-bahasainternasional?p=3 (diakses pada tanggal 27 Oktober 2015)

122


123


Bonus Demografi : Amunisi Pemantapan Perekonomian Indonesia 2035

S

aat ini Indonesia menduduki posisi ke empat dunia sebagai negara dengan jumlah penduduk

terbesar. Menurut CIA World Factbook tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia adalah sebanyak 255.993.674 orang. Berdasarkan hasil proyeksi Badan Pusat Statistik jumlah penduduk Indonesia selama dua puluh lima tahun mendatang terus meningkat yaitu dari 238,5 juta pada tahun 2010 menjadi 305,6 juta pada tahun 2035. Meskipun jumlah penduduk mengalami peningkatan, rata-rata pertumbuhan penduduk Indonesia pertahun selama periode 2010-2035 menunjukkan trend yang terus menurun. Gambar 1 : Pertumbuhan Penduduk Indonesia 2010-2035

Sumber : Ringkasan Eksekutif Proyeksi Penduduk PSKK UGM

124


Gambar 2 : Piramida Penduduk Indonesia Tahun 2010-2035

Sumber : Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035 BPPN BPS

Proyeksi penduduk yang dilakukan oleh BPS 125


menunjukkan proporsi anak-anak berumur 0-14 tahun turun menjadi 21,5 persen pada tahun 2035 dari yang sebelumnya 28,6 persen pada tahun 2010. Dalam kurun waktu yang sama, mereka yang termasuk dalam usia kerja, 15-64 tahun meningkat dari 66,5 persen menjadi 67,9 persen dan mereka yang berusia 65 tahun ke atas naik dari 5,0 persen menjadi 10,6 persen. Perubahan susunan ini mengakibatkan beban ketergantungan (dependency ratio) turun dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 47,3 persen pada tahun 2035. Menurunnya rasio beban ketergantungan menunjukkan berkurangnya beban ekonomi bagi penduduk umur produktif (usia kerja) yang menanggung penduduk umur tidak produktif. Pada dasawarsa tersebut Indonesia mengalami bonus demografi yang berpotensi membawa Indonesia pada

kemapanan

perekonomian.

Lembaga

riset

international Mc. Kinsey Global Institute memprediksi Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia pada tahun 2030. Menurut laporan World Economic Forum, Indonesia menempati urutan ke-25 pada tahun 2012 sebagai negara yang mempunyai stabilitas dalam makroekonomi. Rangking tersebut naik dari urutan ke-89 pada tahun 2007 dan merupakan suatu pencapaian 126


menunjukkan proporsi anak-anak berumur 0-14 tahun turun menjadi 21,5 persen pada tahun 2035 dari yang sebelumnya 28,6 persen pada tahun 2010. Dalam kurun biasa.

Rangking tersebut mengungguli Brazil dan India,

serta beberapa negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Gambar 2 : Stabilitas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia

Sumber : Conference Board Total Economy Database; International Monetary Fund; World Bank; Mc Kinsey Global Institute Analysis

Windows

of

opportunity

tersebut

harus

dimanfaatkan Indonesia dengan baik. Implikasinya, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Langkah paling mendasar yang harus diambil adalah komitmen Indonesia untuk melakukan reformasi birokrasi, mengatasi 127


permasalahan korupsi, serta peningkatan arus modal bagi perekonomian. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diukur berdasarkan health, education, income, inequality, poverty, gender, sustainability, demography, innovation and technology

suatu

negara

menunjukkan

kinerja

pembangunan ekonomi Indonesia secara agregat masih tertinggal. Gambar 3. HDI Indonesia

Sumber : www.theguardian.com

Merespon fakta tersebut, diperlukan dorongan untuk mencipatakan lapangan pekerjaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan IPTEK dan pemanfaatan sumber daya alam seluas-luasnya untuk kepentingan bangsa.

Penciptaan lapangan pekerjaan

adalah langkah yang baik untuk merespon banyaknya penduduk

usia

kerja

pada

era

bonus

demografi.

Ketersediaan lapangan pekerjaan akan bersumbangsih 128


ekonomi. Lapangan kerja yang luas akan memberikan kesempatan kepada rakyat miskin untuk memperoleh pekerjaan yang dengannya akan mengurangi permasalahan pengangguran. Peningkatan kualitas sumber daya manusia seperti kualitas pendidikan dan kesehatan menjadi kebutuhan dalam menghadapi perekonomian global yang semakin kompetitif. Perbaikan faktor kesehatan akan menghasilkan manusia Indonesia yang sehat secara fisik dan psikologis, sehingga angkatan kerja Indonesia jauh lebih produktif. Selain

itu,

perbaikan

kesehatan

sangat

diperlukan

mengingat celah kesempatan Indonesia akan tertutup seiring dengan semakin meningkatnya penduduk usia tua dan menurunnya jumlah anak. Negara akan banyak menanggung

beban

penduduk

usia

tua

sehingga

dibutuhkan teknologi kesehatan untuk memperpanjang fase bonus demografi.

129


Gambar 3 : Celah kesempatan demografis Indonesia yang akan tertutup

Sumber : Proyeksi demografi dari BPJS dan Statistik PBB dari siteresources.worldbank.org

Sumber daya manusia harus pula ditingkatkan segi intelektualitasnya melalui pendidikan. Pendidikan akan meningkatkan kapabilitas manusia dalam penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat penting bagi pembangunan. Melalui kemampuan intelektualitas yang mumpuni, nilai jual manusia dalam pembangunan semakin tinggi.

Intelektualitas adalah modal yang besar untuk

mencipatakan perbaikan, pembaharuan, kreativitas dan inovasi. Sumberdaya manusia yang berkualitas menjadi lebih penting dari sekadar keberlimpahan sumber daya alam. Hal tersebut telah dibuktikan oleh negara-negara maju seperti Jepang dan Singapura yang memiliki keterbatasan sumber daya alam. Keberadaan sumber daya manusia yang terasah akan menjadi pendongkrak luar biasa 130


bagi kekayaan alam Indonesia yang besar. Kondisi tersebut apabila diwujudkan akan sangat menguntungkan bagi Indonesia. Kesehatan dan intelektualitas membekali Indonesia untuk menggarap ketersediaan

sumber daya alam dan

tenaga kerja yang cukup besar untuk menciptakan suatu keunggulan komparatif. Setelah membangun sumber daya manusia, langkah awal yang harus dilakukan adalah identifikasi

terhadap

sektor-sektor

yang

mempunyai

kekuatan untuk berkembang pesat pada era 2035. Gambar : Sektor-sektor di Indonesia yang memberikan peluang besar pada 2030

Sumber : Mc Kinsey Global Institute Analysis

Mc Kinsey Global Institute menilai bahwa terdapat 131


empat sektor yang berpotensi mempunyai keunggulan pada era bonus demografi, yaitu consumer service, pertanian dan perikanan, sumber daya alam dan private education. Pada masa depan konsumen akan mengutamakan kepuasan dari kegiatan

konsumsi

yang

dilakukannya.

Aksesabilitas

menjadi kebutuhan yang luar biasa, sebab dengan adanya akses akan mempermudah kehidupan manusia. Jenis-jenis layanan yang mungkin akan berkembang pada era tersebut adalah teknologi telekomunikasi dan broadband. Selain itu diperlukan pula suatu infrastruktur yang menghubungkan pulau-pulau

di

Indonesia

untuk

mempercepat

arus

distribusi maupun mobilisasi. Sektor pertanian dan perikan (DP, 2014)an yang di dalamnya mencakup aspek kemaritiman tetap menjadi kekuatan besar bagi Indonesia sebagai negara agraris dan maritim. Kedua sektor ini dapat dijadikan sebagai bekal Indonesia

untuk

menjadi

negara

industri

dengan

keunggulan komparatif. Indonesia yang ditakdirkan sebagai negara tropis yang berada

di tengah-tengah garis

khatulistiwa dianugerahi kekayaan alam melimpah dan beranekaragam yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat dunia. Pada tahun 2015 ini pemerintah bersama dengan menteri

pertanian

Amran 132

Sulaiman

memprogamkan


memrogamkan penambahan luas lahan pertanian Indonesia dari yang sebelumnya 8,1 juta hektare menjadi 8,8 juta hektare. Kondisi yang demikian membuat Indonesia percaya diri untuk swasembada pangan. Dari segi kemaritiman, berdasarkan survei geografi dan toponimi Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang dilakukan mulai tahun 2007 hingga 2010 jumlah pulau di Indonesia sebanyak 13.466 sementara itu berdasarkan telaah teknik pemetaan tim yang sama total panjang garis pantai Indonesia adalah 99.093. Dikutip dari pusakaindonesia.org berdasarkan wawancara dengan Direktur Indonesia Maritime Institute (IMI) Dr. Yulius Paonganan, M.Sc, pada tahun 2014, total potensi ekonomi maritim Indonesia sangat besar. Diperkirakan mencapai Rp 7.200 triliun per tahun, atau empat kali lipat dari APBN 2014 (Rp 1.800 triliun). Bidang maritim memegang peranan vital dalam upaya pembangunan bangsa. Bentang lautan Indonesia dapat memberikan kontribusi penting dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan. Tantangan

saat

ini

adalah

kenyataan

pahit

dilapangan yang menunjukkan sumber daya alam Indonesia dieksploitasi

tanpa

ada

pembaharuan

dan

memicu

kerusakan lingkungan dan ekosistem. Indonesia ditantang 133


sustainabilitas

ketersediaan

sumber

daya

alamnya.

Indonesia sudah saatnya tegas memberlakukan konsep pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan tiga pilar, yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan

pembangunan

lingkungan

hidup.

Pembangunan

berkelanjutan tersebut adalah upaya terarah untuk meningkatkan

kualitas

hidup

manusia

tanpa

mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan diluar batas kemampuan bumi. Terwujudnya kondisi-kondisi di atas adalah suatu hal yang harus diusahakan bersama oleh seluruh elemen bangsa Indonesia. Sistem dan peraturan terbaik menjadi bekal utama untuk terwujudnya kemapanan perekonomian Indonesia pada tahun 2035. Kebijakan dan keputusan pembangunan yang diambil diharapkan tidak salah langkah, sebab pada era bonus demografi tersebut terdapat deviasi yang sangat signifikan dampaknya bagi Indonesia yaitu semakin

terpuruknya

perekonomian

Indonesia

atau

kemapaman perekonomian Indonesia. Kunci utama keberhasilan pembangunan ekonomi adalah sinergisasi. Pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kesehatan adalah aspek penting yang kesemuanya harus ditata. Pendidikan dan kesehatan me134


kunci dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan (Mahrany, 2013). Sementara itu, teknologi ada untuk mempermudah manusia dalam melakukan dan menghasilkan sesuatu yang bernilai.

Keberhasilan

pengelolaan

tantangan

bonus

demografi tersebut akan menjadi kekuatan bagi Indonesia sehingga terwujud kemapanan

perekonomian Inodnesia

pada tahun 2035.

Daftar Referensi : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, B. P. (2013). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035. Jakarta: Badan Pusat Statistik. DP. (2014, November 29). Potensi Laut Indonesia senilai Rp 7.200 Triliun. Dipetik November 2015, 14, dari Pusaka Indonesia: tensi Laut Indonesia senilai Rp 7.200 Triliun/potensi-lautindonesia-senilai-rp-7-200-triliun/ Evershed, N. (2015, Februari 16). Dipetik Oktober 29, 2015, dari The Guardian: http://www.theguardian.com/news/datablog/2015/ feb/16/australia-and-indonesia-by-the-numbers-how-do-theycompare Institute, M. K. (2012). The Archipelago Economy : Unleashing Indonesia 's Potential. London: McKinsey&Company. 135


Mahrany, Y. (2013). Pengaruh Indikator Komposit Indeks Pembangunan Manusia Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Sulawesi Selatan. Samantha, G. (t.thn.). http://nationalgeographic.co.id. Dipetik Oktober 29, 2015, dari National Geographic Indonesia: http:// nationalgeographic.co.id/berita/2013/10/terbaru-panjanggaris-pantai-indonesia-capai-99000-kilometer Sukamdi, D., Agus Joko Pitoyo, M., Eddy Kiswanto, M., & Alfana, M. A. (t.thn.). Executive Summary Proyeksi Penduduk & Kebutuhan Pangan Indonesia. Jogjakarta: PSKK UGM.

136


137


Menyelamatkan Aset Bangsa, Mewujudkan Negeri yang Lebih Ramah Terhadap AnakAnak

D

ua puluh tahun lalu para orang tua tidak terlalu cemas ketika anak mereka bermain di

luar rumah. Kegiatan bersekolah dan bermain bersama teman adalah aktivitas wajar anak-anak yang tidak perlu dicemaskan oleh orang tua. Namun demikian, keadaan tersebut berubah drastis ketika memasuki era milenium. Para orang tua tidak dapat lagi setenang dulu ketika melepas anak mereka ke luar rumah untuk bersekolah maupun sekadar bermain dan berinteraksi sosial. Komisi

Perlindungan

Anak

Indonesia

(KPAI)

mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap anak selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Ada 1.383 kasus yang terjadi tahun 2012 dan angka tersebut mengalami kenaikan 60% pada tahun 2013 menjadi 3.023 kasus. Total dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, 21.689.797 kasus kekerasan terhadap anak telah terjadi di Indonesia. Peningkatan angka kekerasan terhadap anak setiap 138


tahunnya ini sudah cukup untuk menunjukkan bahwa Indonesia bukan negeri yang “ramah� terhadap anak-anak. Fakta yang lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa 65% dari angka yang dipaparkan tersebut merupakan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Hal ini lah yang membuat Ketua KPAI menyatakan bahwa Indonesia saat ini sedang darurat kekerasan seksual terhadap anak (Suryanto, 2015). Pemerintah perlu melihat kasus kekerasan seksual terhadap anak sebagai masalah yang sangat serius. Hal ini berkaitan dengan peran anak sebagai aset bangsa yang dua puluh hingga tiga puluh tahun lagi akan mengisi kelompok usia produktif dalam statistik demografi tanah air. Kelompok usia produktif tentu saja merupakan kelompok usia yang paling diandalkan. Mereka adalah kelompok yang diharapkan mampu membawa perubahan-perubahan yang mengarah pada kemajuan negeri. Namun, masyarakat perlu menyadari bahwa kasus kekerasan apalagi kekerasan seksual yang menimpa anak adalah peristiwa traumatis yang memiliki efek jangka panjang bagi perkembangan si anak(Papalia & Martorell, 2014). Masalah perkembangan yang dialami oleh anak memiliki pengaruh terhadap sikap dan kepribadian mereka 139


ketika sudah menjadi orang dewasa dalam kelompok usia produktif. Oleh sebab itu, pemerintah harus mulai memikirkan penangan serius untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk kasus kekerasan. Kekerasan seksual didefinisikan oleh Paramastri dan Supriyati (2010) sebagai pemaksaan, ancaman, atau keterperdayaan seorang anak dalam aktivitas seksual yang meliputi melihat, meraba, penetrasi (tekanan), pencabulan dan pemerkosaan. Anak yang mengalami kekerasan seksual akan mengalami dampak secara fisik, psikologis, dan sosial. Dampak fisik yang dialami misalnya adalah luka atau kerusakan pada organ reproduksi anak. Dampak psikologis yang dialami anak misalnya berupa kecemasan dan ketakutan yang berlebih, stres, perasaan tidak berharga. Adapun dampak sosial yang akan diterima anak adalah penolakan serta cemoohan dari keluarga, teman, dan masyarakat sekitar (Paramastri & Supriyati, 2010). Masyarakat tersebut

akan

awam

mungkin

berangsur-angsur

menilai

dampak

menghilang

seiring

berjalannya waktu. Namun, efek trauma yang dihasilkan oleh kekerasan tersebut akan membentuk perubahan yang permanen

pada

diri

anak 140

yang

tentu

saja

akan


mempengaruhi masa depannya (Paramastri & Supriyati, 2010). Penelitian menyebutkan bahwa anak-anak korban kekerasan cenderung akan tumbuh menjadi individu yang rentan akan depresi, agresif, sulit membangun hubungan interpersonal dengan orang lain, serta berpotensi menjadi pelaku kekerasan pula di masa dewasanya (Margaretha et.al, 2013). Fenomena ini seperti lingkaran setan, bahwa anakanak korban kekerasan akan mencetak para pelaku kekerasan pula di masa mendatang. Apabila lingkaran tersebut tidak diputus, masyarakat dapat membayangkan bahwa dua puluh hingga tiga puluh tahun lagi kelompok usia produktif negeri ini akan diisi oleh sekelompok individu yang agresif, depresif, memiliki gangguan secara kognitif, dan mungkin saja memiliki banyak catatan kasus di kantor polisi akibat kasus kekerasan yang pernah mereka lakukan. Padahal, negeri ini membutuhkan generasi berkualitas untuk menciptakan kamajuan-kemajuan bagi bangsa. Kekerasan seksual ini bisa terjadi karena 3 faktor yaitu faktor orang tua, pelaku, dan situasi sosial (Fuadi, 2011). Faktor kelalaian orang tuan menjadi faktor yang paling utama dalam kasus ini. Orang tua mayoritas korban 141


kekerasan seksual kurang memberikan perhatian dan pengawasan terhadap perkembangan serta pergaulan anak mereka. Kelalaian orang tua ini menjadi celah bagi para pedofil dan pelaku kekerasan untuk melancarkan niat jahat mereka. Oleh sebab itu, peran orang tua di sini sangat krusial dalam rangka menegakkan upaya preventif. Upaya preventif primer yang harus dilakukan oleh setiap orang tua adalah memberikan edukasi mengenai seksualitas dan organ reproduksi kepada anak sejak dini. Selain itu, orang tua perlu menanamkan keberanian pada anak untuk mampu melindungi bagian-bagian tubuhnya sendiri dari orang yang tidak dikenal. Mengembangkan kemampuan komunikasi dua arah yang efektif antara anak dengan orang tua juga sangat dianjurkan agar anak-anak tidak merasa diabaikan, sehingga mereka tidak akan mencari sumber attachment lain selain orang tua. Hal ini mengurangi resiko anak dekat dengan pedofil seperti dalam kasus Emon. Selain proteksi dari dalam lingkungan keluarga, dibutuhkan pula proteksi eksternal agar anak lebih terjamin keselamatannya. Pemerintah dan institusi sosial terkait mengambil peran di sini. KPAI sebenarnya telah memiliki 2 142


program untuk mewujudkan negeri yang lebih ramah terhadap anak-anak. Program pertama adalah SELARAS yaitu Selamatkan Anak dari Kekerasan. Ini adalah program pendidikan seksual berbasis komunitas di mana KPAI melibatkan kerjasama antara guru, penegak hukum, lembaga kemanusiaan, serta aktivis. Program ini sangat baik karena mampu menciptakan komunitas yang saling terintegrasi untuk memberikan pendidikan seksual dan pencegahan kekerasan seksual di daerah masing-masing. Pemerintah dan segenap elemen masyarakat perlu memberikan dukungan penuh terhadap program tersebut agar dapat berjalan lebih maksimal ke depan. Mengingat bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat mungkin memiliki daerah-daerah yang sulit dijangkau, penulis sangat mengharapkan bahwa program ini dapat terlaksana dan dirasakan manfaatnya di seluruh wilayah tanah air. Selanjutnya, program KPAI yang kedua dalam rangka mewujudkan negeri yang lebih ramah terhadap anak-anak adalah Pembangunan KLA (Kota Layak Anak). Program ini telah berjalan sejak 2006 lalu. Tujuan besar dari program ini adalah menciptakan kota sebagai tempat tumbuh kembang 143


anak secara optimal dan terlindung dari kekerasan serta diskriminasi. Apabila kota-kota di negeri ini sudah memenuhi prinsip KLA, diharapkan akan

terbentuk

Indonesia yang layak anak (IDOLA). Aspek hukum dan kebijakan juga merupaka aspek yang tidak dapat dilewatkan untuk merealisasikan negeri yang lebih ramah terhadap anak-anak. Sebagai contoh, KLA sendiri memiliki prinsip dasar bahwa setiap peraturan dan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat harus mengutamakan hak-hak anak di dalamnya. Dengan demikian, seyogyanya semua program pemerintah tidak ada yang mencederai hak-hak anak. Kasus kekerasan seksual terhadap anak ini dapat terus muncul karena korban tidak berani melapor atau pihak keluarga menganggap hal ini tabu sehingga enggan untuk melapor. Oleh sebab itu, dibutuhkan pula edukasi mengenai prosedur yang harus dilalui pihak keluarga korban untuk dapat melaporkan kasusnya. Hal ini disebut sebagai alur bantu hukum terhadap korban kekerasan seksual (Erlinda, 2014). Hal

terakhir

yang

dapat

dilakukan

untuk

merealisasikan negeri yang lebih ramah terhadap anak 144


adalah dengan mengurangi motivasi para pelaku untuk melancarkan aksinya. Ada kemungkinan bahwa kasus yang selama ini terjadi disebabkan karena lemahnya hukuman bagi para pelaku. Oleh sebab itu, pemerintah perlu memperberat hukuman bagi para pelaku kekerasan seksual, terlebih lagi kejahatan ini tergolong kejahatan yang sangat berat (Setyawan, 2015). Hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang baru-baru ini ditambahkan dalam Perpu merupakan langkah positif yang layak memperoleh dukungan dari berbagai pihak demi terwujudnya negeri yang ramah terhadap anak. Masyarakat tidak dapat mengelak bahwa saat ini Indonesia memang sedang darurat kekerasan seksual terhadap anak. Anak-anak tersebut adalah generasi yang nantinya akan mengisi kelompok usia produktif bangsa ini. Mereka adalah aset bangsa yang akan menentukan arah pembangunan negeri ini di masa mendatang. Oleh sebab itu, masyarakat tidak memiliki pilihan lain kecuali mengubah situasi menyedihkan tersebut. Situasi

tersebut

dapat

diubah

dengan

cara

merehabilitasi anak-anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual, serta melakukan pencegahan dan 145


perlindungan agar tidak ada lagi anak yang mengalami kasus seperti itu. Perlindungan dapat dilakukan dari sisi orang tua, pemerintah, dan institusi sosial terkait. Tiga elemen

tersebut

bekerja

sama

untuk

mewujudkan

Indonesia sebagai negeri yang lebih ramah terhadap anak. Anak-anak yang tumbuh di negeri yang ramah anak diharapkan sehingga

mampu menjadi

mencapai generasi

pertumbuhan

berkualitas

optimal

yang

dapat

berkontribusi bagi negeri ini dua puluh hingga tiga puluh tahun mendatang.

DAFTAR PUSTAKA Erlinda. (2014). Upaya peningkatan anak dari bahaya pelecehan kekerasan dan eksploitasi. Diunduh dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia: http://www.kpai.go.id.html. Fuadi, M. A. (2010). Dinamika psikologis kekerasan seksual: Sebuah studi fenomenologi. PsikoislamikaJurnal Psikologi Islam. 8, 191 -208. Margaretha., Nuringtyas, R., & Rachma, R. (2013). Trauma kekerasan masa kanak dan kekerasan dalam relasi intim. Makara Seri Humaniora. 17, 33-42.doi: 10.7454/mssh.v17i1.1800. Papalia, D. E., &Martorell, G. (2015). Experience Human Development 13th edition.New York: McGraw-Hill.

146


Paramastri, I., & Supriyati. (2010). Early prevention toward sexual abuse to children. Jurnal Psikologi. 7, 1-12. Setyawan. (2015, Oktober 20). Pemerintah Sepakat Penjahat Seksual Anak Dikebiri. Berita KPAI. Diunduh dari http:// www.kpai.go.id/berita/pemerintah-sepakat-penjahat-seksualanak-dikebiri.html. Suryanto. (2014, April 4). Indonesia Darurat Kejahatan Kekerasan Anak. Antara News. Diunduh dari http://www.antaranews.com/ berita/525236/kpai-indonesia-darurat-kejahatan-kekerasananak.html.

147


148


Belajar dari Jepang: Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Lanjut Usia di Masa Depan melalui Perencanaan Kebijakan Sosial

H

akikat manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan

hidupnya,

baik

secara

fisik,

ekonomi, psikologi, dan sosial. Kebutuhan sosial menjadi penting karena manusia sebagai makhluk yang berinteraksi satu sama lain. Di lain sisi, konsep kebutuhan inheren dengan ide pelayanan sosial, karena sejarah menunjukkan bahwa pelayanan sosial adalah usaha pemenuhan dan mempertemukan masyarakat

kebutuhan

(Bradshaw,

dengan dkk,

organisasi 2013).

di

Untuk

menyelenggarakan pelayanan sosial, diperlukan wadah yang terintegrasi dalam bentuk kebijakan terpadu yang disebut kebijakan sosial. Penyelenggaraan kebijakan sosial memiliki peran penting dalam penerapan regulasi pemerintah untuk menjawab

kebutuhan

sosial

di

masyarakat.

Aspek

kesejahteraan pada individu, keluarga, gender, ekonomi, kesehatan, dan kelompok sosial lainnya menjadi perhatian penyelenggaraan perencanaan kebijakan sosial. Negara kesejahteraan merupakan bentuk pengaplikasian kebijakan 149


sosial yang menjadi arah pembangunan. Banyak negara menyadari pentingnya kebijakan dan perencanaan sosial. Setelah reformasi, Indonesia membuka kesempatan untuk menata kembali sistem pembangunan melalui demokratisasi, desentralisasi, dan penyusunan kerangka sistem kesejahteraan sosial (Laksmono, 1999). Kerangka kebijakan nasional terus membaik dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia sejak tahun 1980 hingga tahun 2014, tetapi peringkat pembangunan manusia Indonesia masih berada di bawah negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, bahkan Filipina (United Nations Development Programme, 2014). Selain itu, perlindungan sosial dalam bentuk asuransi sebagai indikator standar hidup manusia menunjukkan bahwa 7 dari 10 pria dan 6 dari 10 wanita di Indonesia tidak memiliki asuransi kesehatan (BPS, BKKBN, Kemenkes, dan ICT International, 2012). Tulisan ini memaparkan kebijakan sosial yang dirumuskan pemerintah Indonesia terhadap kelompok masyarakat lanjut usia. Dengan meningkatnya angka harapan hidup Indonesia, dari tahun 1980 semula 58,6 tahun hingga tahun 2013 menjadi 70,6 tahun (United 150


Nations Development Programme, 2014) menyebabkan masyarakat yang hidup di atas 60 tahun meningkat. Pada tahun 2025, dipastikan setidaknya terdapat 11,8% atau sekitar 33 juta penduduk berusia tua dari total populasi (Adioetomo, 2014), sehingga piramida penduduk Indonesia akan berubah secara signifikan dan beban ketergantungan terus meningkat. Lalu, apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menghadapi populasi yang menua di masa depan? Sejak

memasuki

abad

ke-21,

Jepang

mulai

menemukan kendala dalam pemerintahan, beberapa dekade lalu Jepang merupakan negara muda dan maju, namun saat ini merupakan salah satu negara tua (Makita, 2010). Dalam menghadapi hal ini, terdapat kebijakan sosial, baik jangka panjang atau menengah, yang mengarah pada kesejahteraan bagi penduduk berusia tua. Banyak negara yang

mengikuti

langkah

Jepang

dalam

mengatasi

permasalahan tersebut. Kondisi Indonesia dan Jepang Saat Ini Kerja sama bilateral merupakan sebuah bentuk ikatan persahabatan kedua negara antara Indonesia dan Jepang. Jalinan kerja sama yang dibangun antar dua kepala pemerintahan

yang

saling 151

menguntungkan

telah


menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, kondisi kedua negara sangatlah jauh berbeda. Jepang sebagai negara maju, sering kali dijadikan contoh dan arah pembangunan. Seperti yang sering dikutip oleh guru penulis sejak duduk di sekolah bahwa �lihatlah dan contohlah Negara Jepang�. Melesatnya perekonomian Jepang dan budaya yang keras dalam menanamkan prinsip kedisiplinan tinggi oleh masyarakat Jepang, membuat negara ini disegani tidak hanya di Asia, tetapi juga dunia. Aspek kebijakan sosial yang dilaksanakan oleh Jepang modern telah menarik perhatian seluruh dunia dengan konsep hak sosial yang berbeda pada pola negara Barat, yakni bentuk tanggung jawab negara dalam

menyejahterakan

rakyatnya

yang

berjalan

berdampingan dengan budaya tradisional masyarakat dan keluarga (Odaka, 2002). Secara

demografi

di

bidang

populasi

dan

perekonomian, penduduk tua di Jepang pada tahun 2025 akan diprediksikan mencapai 34.726.000 dari 121.136.000 jiwa atau sekitar 28,7% dari total populasi (National Institute of Population and Social Security Research, 2002), sedangkan Indonesia pada tahun yang sama 33.696.0000 dari 284.289.000 jiwa atau sekitar 11,8% dari total populasi 152


(Adioetomo, 2014).

Dari data tersebut terlihat bahwa adanya jarak yang jauh terkait pengeluaran pemerintah Indonesia dalam memberikan dana pensiun dan perlindungan sosial. Seharusnya, pengeluaran sosial berdasarkan persentase GDP sekitar 2% (Suharto, 2009) jauh dengan Jepang yang memprioritaskan pengeluaran sosialnya 23,1% dari total GDP (OECD, 2014). Dari pengeluaran sosial tersebut, Jepang dan

Indonesia

mengalokasikan

sekitar

7,8%

untuk

pengeluaran pensiun (OECD, 2013). Di lain sisi, sebanyak 95% total penduduk di Jepang telah tertutupi oleh asuransi dana pensiun, berbeda jauh dengan Indonesia yang hanya sekitar 11% penduduk dari populasi yang telah memiliki jaminan untuk memperoleh dana pensiun (OECD, 2013). Kebijakan Sosial Indonesia Untuk Populasi Tua Saat Ini 153


Indonesia dipandang belum cukup memperhatikan populasi tua. Ketika pemerintah sibuk dengan keluarga berencana, tidak ada yang memperhatikan populasi yang menua saat terjadi penurunan pertumbuhan penduduk. Meskipun begitu, terdapat beberapa kebijakan pemerintah dalam memberikan kesejahteraan bagi populasi tua di Indonesia berupa bantuan dan jaminan sosial hari tua. Adapun

kebijakan

sosial

yang

pernah

diselenggarakan pemerintah Indonesia adalah (Arifin, 2006): UU Nomor 4 Tahun 1965 Tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo. UU Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial dan UU Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial dan Tenaga Kerja. UU Nomor 13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut Usia UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Dari kebijakan di atas, kebijakan terkait Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan kebijakan yang paling terintegrasi dan berusaha memenuhi hak kebutuhan masyarakat tua. Dalam kebijakan ini diatur sistem 154


perlindungan sosial yang meliputi tunjangan hari tua, simpanan hari tua, asuransi kesehatan nasional, asuransi kecelakaan kerja, dan tunjangan kematian. Di dalam undang -undang tersebut, dipaparkan bahwa beberapa dekade ke depan jaminan sosial harus mencakup seluruh warga negara. Terkait dengan populasi tua, terdapat dua program khusus masyarakat populasi tua, yakni tunjangan hari tua dan simpanan atau tabungan hari tua. Skema tunjangan hari tua dibentuk dari kebijakan yang telah dibangun pada negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Rencana minimum pensiun yang diajukan sekitar 70% dari upah minimum. Usia masa pensiun adalah 55 tahun dengan minimal 15 tahun masa bakti bekerja untuk memperoleh pensiun penuh. Jika pekerja meninggal sebelum mencapai usia pensiun, maka diberikan pensiun bulanan, sedangkan bagi yang meninggal sebelum mencapai usia pensiun dan belum melaksanakan masa bakti kerja 15 tahun, maka hanya akan mendapat akumulasi dana pensiun ditambah pengembalian investasi. Program Tabungan Hari Tua merupakan program masa pensiun dengan penerima memperoleh keuntungan sebelum datangnya masa pensiun, bahkan ketika kematian, 155


sehingga keuntungannya dapat diberikan kepada anak, istri, dan keluarga dari pemilik tabungan tersebut. Dari kedua program tersebut, setiap anggota berkontribusi melalui pembagian persentase pendapatan atau sejumlah harta tertentu untuk program ini. Terdapat institusi yang menyediakan dan mengatur pengolahan dana jaminan sosial berskala nasional melalui sektor pemerintah maupun sektor swasta. Kebijakan Jepang Untuk Populasi Tua Jepang sedang berhadapan dengan penduduknya sendiri karena tingginya jumlah populasi tua. Karena itu, upaya Jepang menghadapi kasus ini adalah dengan memperkenalkan program Long-Term Care Insurance (LTCI) sejak tahun 2000. Program LTCI didanai melalui 45% pajak, 45% kontribusi sosial, dan 10% biaya bersama. Asuransi kontribusi sosial dibiayai untuk penduduk berusia 40 tahun atau lebih. Program ini dijalankan oleh setiap pemerintah kota. Kelayakannya diatur oleh standar yang ditentukan pemerintah Jepang. Penyedia layanan dapat berupa profit dan non-profit, sementara institusi pelayanan diutamakan non-profit. Terdapat asuransi swasta (asuransi penyakit kritis), tetapi berperan sangat minim. Kontribusi pemerintah 156


beragam, berdasarkan kategori individu dan pendapatan. Pemerintah di setiap kota menentukan sendiri besaran dana yang ditanggung setiap orang dan dilakukan review setiap tiga tahun. Perundangan LTCI direvisi pada tahun 2011, dengan menambahkan beberapa aspek kualitas dan berfokus pada aspek dukungan yang komprehensif melalui LTC, medical care, pencegahan, dan perumahan. Selain itu, pemberian sertifikasi bagi pekerja LTC sebagai pemberi pelayanan dan terdapat

beragam

tipe

pemberian

layanan,

seperti

Community-Based Services dan In-Home Services. Gambar 1. Sistem Pelayanan LTCI

Dengan beragamnya fasilitas dari asuransi yang diberikan, pemerintah terus berupa menciptakan perbaikan 157


demi kesejahteraan penduduknya, sehingga di masa depan, Jepang

akan membuat sistem kebijakan Integrated

Community Care System pada tahun 2025. Program ini berupaya memperkuat kolaborasi pada penyedia pelayanan kesehatan, peningkatan dan memperkuat pelayanan LTC, mempromosikan pelayanan pencegahan jangka panjang, provisi

pelayanan

dukungan

hidup,

dan

efektivitas

perumahan bagi populasi tua. Simpulan dan Saran Kebijakan sosial merupakan upaya pemenuhan kebutuhan

dasar

masyarakat

menuju

kemakmuran.

Pemerintah sebagai pemilik legitimasi dalam membuat kebijakan berperan besar dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Jepang terlihat lebih matang dalam melaksanakan kebijakan sosialnya dilihat dari persentase anggaran yang dalam pengeluaran pemerintah Jepang. Selain itu, dalam memenuhi hak memperoleh tunjangan hari tua, Jepang lebih baik karena luas cakupan penerima manfaat dana pensiun masyarakat. Dari sisi program, Jepang lebih baik karena tidak memberikan pelayanan sebatas tunjangan berupa dana pensiun seperti pemerintah Indonesia, namun juga memberikan tunjangan yang terintegrasi dengan pelayanan berbasis komunitas. 158


Adapun di masa yang akan datang setidaknya pemerintah perlu untuk memperbaiki sistem yang telah ada saat ini (Arifin, 2006). Pertama, dengan meningkatnya jumlah populasi tua di Indonesia, kebijakan bagi penduduk usia tua menjadi lebih penting dalam kebijakan negara dan agenda politik, sehingga kebijakan harus bersifat dinamis dan dapat beradaptasi dengan situasi di masa depan. Kedua, banyak dari penduduk berusia tua hanya menerima saja layanan yang diberikan oleh keluarga mereka, sehingga perlu adanya kebijakan jangka panjang dan berkelanjutan. Terakhir, kebijakan pemerintah harus bekerjasama dengan sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, maupun para penerima manfaat kebijakan atau masyarakat. Saran penulis, langkah terdekat yang dilakukan pemerintah adalah mencapai seluruh masyarakat dengan jaminan sosial, karena banyak pekerja yang tidak memiliki jaminan kerja yang artinya tidak memiliki tunjangan hari tua karena bekerja di sektor informal atau pekerja kasar. Pemerintah mulai memperhatikan demografi populasi penduduk di masa depan dan saat ini merencanakan rumusan kebijakan dan belajar dari populasi Jepang yang mengalami penurunan demi mencapai kesejahteraan dan kemakmuran Indonesia 2035. 159


DAFTAR REFERENSI Adioutomo, Sari Martiningsih dan Ghazy Mujahid. 2014. Indonesia on The Threshold of Population Ageing. UNFPA Indonesia. Arifianto, Alex. 2006. Public Policy Towards The Elderly in Indonesia: Current Policy and Future Directions. Jakarta: SMERU Research Institute. Badan Pusat Statistik, BKKBN, Kementrian Kesehatan, dan ICF International. 2013. Indonesia Demographic and Health Survey 2012. Jakarta: BPS, BKKBN, Kemenkes, ICF International. Beard John R, Simon Biggs, David E. Bloom, Linda P. Fried, Paul Hogan, Alexandre Kalache, and S. Jay Olshansky, dkk. 2011. Global Population Ageing: Peril or Promise. Geneva: World Economic Forum. Bradshaw, J R. R A Cookson, R Sainsburry, dan C Glendinning. 2013. Jonathan Bradshaw on Social Policy, Selected Writing 1972-2011. York: York Publishing Service. Indonesia. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Kementrian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang. 2013. The Current Situation and The Future Direction of The Long-Term Care Insurance System in Japan. Diakses melalui URL: http:// www.mhlw.go.jp/english

/policy/care-welfare/care-welfare-

elderly/dl/ri_1 30311-01.pdf Kettner, Peter M, Robert M. Moroney, Lawrence L. Martin. 1990. Designing

and

Managing

Programs:

Approach. Londong: SAGE Publications.

160

An

Effective-Based


Laksmono, Bambang Shergi. 1999. Format Kesejahteraan Indonesia Kini dan Yang Akan Datang. Mekita, Meiko. 2010. Gender Roles and Social Policy in An Ageing Society: The Case of Japan. Dalam International Journal of Ageing and Later Life. Muliati, Iene. 2013. Pension Reform Experience in Indonesia. Makalah Seminar the IMF Conference for Designing Equitable and Sustainable Pension Post Crisis World. Tokyo. National Institute of Population and Social Security Research. 2002. Population Projections for Japan: 2001-2050, with Long-range Population Projections: 2051-2100. Diakses melalui URL: http:// www.ipss.go.jp/pp-newest/e/ppfj02/ppfj0 2.pdf Odaka, Konosuke. 2002. The Evolution of Social Policy in Japan. Washington: The World Bank Institute. OECD. 2013. Pensions at a Glance: OECD and G20 Indicators. OECD Publishing.

Diakses

melalui:

http://dx.doi.org/10.1787/

pension_glance-2013-en ______. 2014. Social Expenditure Update. Diakses melalui URL: http:// www.oecd.org/els/soc

/OECD2014-Social-Expenditure-Update-

Nov20 14-8pages.pdf Suharto, Edi. 2009. Development of Social Welfare in Indonesia: Situation Analysis and General Issues. Makalah Presentasi pada International Conference on Building Capacity and Policy Networking for Effective Welfare Development, Jakarta. Tittmus, Richard. 1983. Social Policy. London. United Nations Development Programme. 2014. Human Development Report 2014. New York: UNDP.

161


162


Gambaran Kesehatan Indonesia Tahun 2035 Berdasarkan Capaian Terhadap Program SDGs Tahun 2030

D

alam beberapa dekade terakhir kondisi kesehatan di Indonesia mengalami perkembangan

yang sangat berarti. World bank dalam salah satu tulisan di websitenya yang berjudul ‘Peningkatan Keadaan Kesehatan Indonesia’ mengungkapakan bahwa angka kematian bayi di Indonesia turun dari 118 kematian per seribu kelahiran di tahun 1970 menjadi 35 di tahun 2003, dan angka harapan hidup meningkat dari 48 tahun menjadi 66 tahun pada periode yang sama. Akan tetapi, turunnya angka kematian bayi bertolak belakang dengan angka kematian ibu per 10.000 kelahiran. Bappenas (2014) melaporkan dalam laporan singkat pencapaian tujuan pembangunan milenium di Indonesia bahwa angka kematian Ibu per 10.000 kelahiran mengalami kenaikan yang sangat memalukan, setelah turun pada tahun-tahun sebelumnya, karena angka kematiannya hampir setara dengan kematian ibu per 10.000 kelahiran pada tahun 1991. Fakta tersebut sudah menunjukkan 163


mencapai target MDGs. Selanjutnya, terkait dengan berakhirnya MDGs pada tahun 2015 ini maka program pembangunan dilanjutkan dengan program baru yang disebut dengan Sustainable Development Goals (SDGs) dengan 17 indikator, lebih rinci daripada MDGs dengan 8 indikator. 17 indikator itu adalah:

Gambar 1. Sumber : http://www.unisdr.org/archive/45308

Dari 17 indikator SDGs tersebut sebagian besar memiliki pengaruh yang sangat erat kaitannya dengan kesehatan. Menurut WHO sehat adalah “a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”. Tidak jauh berbeda dengan pengertian menurut UU No 23 / 1992 tentang kesehatan bahwa kesehatan adalah “keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Lalu, berdasarkan teori 164


berdasarkan teori tentang sehat tersebut terdapat beberapa determinan sebagaimana yang dicetuskan oleh Hendrik L Blum (1981) seperti gambaran di bawah ini:

Gambar 2. Sumber : www.google.com

Jadi, bila ditarik benang merah maka dapat disimpulkan bahwa 17 indikator SDGs memilikili peranan penting dalam menentukan kesehatan di sebuah negara. Sehingga, capaian sebuah negara dalam hal ini Indonesia dapat dijadikan sebagai sebuah gambaran masa depan kesehatan di Indonesia nantinya. Tapi, pertanyaannya apakah Indonesia akan mampu mencapai target SDGs setelah gagal mencapai target pada MDGs? Penulis sendiri agak pesimis dengan tercapainya target SDGs pada 2030 mendatang. Dalam artian dengan tidak 165


tercapainya SDGs maka kondisi kesehatan di Indonesia pada tahun 2035 cenderung stagnan atau bisa jadi mengalami penurunan. Karena sebagai negara yang masih berkembang, Indonesia saat ini harus menghadapi banyak tantangan dalam mencapai target SDGs pada tahun 2030. Apabila kita merujuk kembali pada determinan kesehatan menurut Blum (1981), terdapat faktor genetik, lingkungan, pelayanan kesehatan, dan perilaku kesehatan. Dari semua faktor tersebut, semuanya memiliki tantangan untuk Indonesia. Dari faktor genetik, kita ketahui bahwa sebentar lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN akan berlangsung. Hal tersebut dapat memicu terjadinya pernikahan antar bangsa. Pernikahan seperti halnya pernikahan berbeda rhesus akan banyak terjadi dan mampu meningkatkan peluang kematian terhadap janin. Sedangkan, sampai saat ini Indonesia tidak pernah mewajibkan warganya untuk melakukan cek kesehatan pra-nikah. Padahal, di negara-negara maju hal tersebut wajib dilakukan untuk mencegah lahirnya generasi dengan kelainan yang diakibatkan faktor genetik. Dari faktor lingkungan, kita sama-sama mengetahui bahwa lingkungan mulai mengalami perubahan. Apabila dilihat berdasarkan bioindikator, sadarkah bahwa kita su166


sudah sangat jarang menjumpai kupu-kupu? Bahkan kalau diperhatikan lumut lichenes yang merupakan salah satu indikator lingkungan yang dulunya banyak menghiasi pohonpohon di Jakarta sudah sangat jarang terlihat atau bahkan sepertinya sudah tidak ada. Kondisi lingkungan kita diperparah lagi dengan adanya pembakaran lahan yang saat ini terjadi di Riau. Saat ini juga kita mengenal istilah climate change atau perubahan iklim. Menurut WHO, perubahan iklim akan mempengaruhi faktor penentu sosial dan lingkungan kesehatan - udara bersih, air minum yang aman, makanan yang cukup dan tempat tinggal yang aman. Selanjutnya diprediksikan bahwa antara tahun 2030 dan 2050, perubahan iklim diperkirakan akan menyebabkan sekitar 250.000 kematian tambahan per tahun, kekurangan gizi, malaria, diare dan stres panas. Dengan infrastruktur kesehatan yang lemah - terutama di negara-negara berkembang - akan menjadi daerah yang kurang mampu mengatasinya tanpa bantuan untuk bersiap dan merespon keadaan tersebut, dan sebagai mana yang kita ketahui bahwa Indonesia sampai saat ini masih menjadi negara berkembang. Selanjutnya dari faktor perilaku kesehatan. Menurut penulis, Indonesia mengalami dua masalah perilaku kese167


kesehatan, yakni perilaku kesehatan versi elit dan versi nonelite. Perilaku kesehatan versi elit bisa dilihat dari gaya hidup masyarakat kita yang menjadi serba instan. Menuju lantai dua menggunakan lift atau escalator, sudah jarang ada yang mau menggunakan tangga. Selain itu adanya pemikiran bahwa junkfood sebagai makanan yang dianggap mewah. Hal tersebut menjadi pendorong munculnya penyakit yang tidak menular seperti halnya kanker, jantung, dan sebagainya. Kalau dari perilaku kesehatan versi nonelit, contohnya adalah perilaku pengolahan makanan yang tidak bersih, perilaku mencuci tangan, dan sebagainya yang mampu menimbulkan penyakit menular contohnya adalah diare. Terakhir adalah pelayanan kesehatan. Kita tahu bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan, hal tersebut menjadi tantangan pelayanan kesehatan di Indonesia. Akses menuju daerah-daerah terpencil masih membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah saat ini. Ditambah lagi dengan adanya program pelayanan kesehatan yang saat ini menjadi isu kesehatan yang marak dibicarakan yakni program BPJS. Program ini dirasa perlu ditinjau kembali

karena

seperti

yang

tunjukkan

dalam

angga-

ran.depkeu.go.id (2015) bahwa program ini telah men168


setelah program ini dijalankan. Selain itu, menurut penuturan Direktur Program Transparency International Indonesia (TII) dalam harnas.co (2015) mengungkapkan bahwa korupsi menghambat tercapainya SDGs. Sementara, merujuk pada Corruption Perception Index, Indonesia menempati posisi 107 dari 175 negara yang disurvei. Alasan-alasan di atas yang membuat penulis pesimis bahwa Indonesia akan mampu mencapai target SDGs. Prinsip leave no one behind yang dimiliki oleh SDGs juga harus diwujudkan dengan usaha yang besar oleh Indonesia, karena pada kenyataannya masih banyak daerah-daerah tertinggal yang membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah. Kalau dipikir, permasalahan kesehatan yang sangat serius hanya terjadi pada daerah-daerah tertentu yang kebanyakan meruapakan daerah tertinggal yang banyak berada pada kawasan timur Indonesia. Sebaiknya, pemerintah memfokuskan perbaikan kesehatan di daerah tersebut, tidak hanya terfokus pada pusat. Salah satu bukti kecilnya saja UU RI No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal 37 ayat 2 yang berbunyi bahwasanya dokter hanya boleh praktik pada 3 (tiga) tempat. Bagi sebagian orang peraturan ini wajar-wajar saja bahkan terkesan sangat 169


sangat benar karena yang menjadi patokan adalah dokterdokter yang berada di perkotaan. Sepertinya hal itulah yang juga dijadikan patokan oleh pemerintah kita dalam menyusun UU tersebut. Tapi, bagaimana dengan dokter-dokter yang bekerja di daerah tertinggal? Bisa jadi dalam satu tempat hanya ada satu orang dokter. Lalu, apakah berarti dia tidak boleh berada lebih dari 3 tempat sementara dia sangat dibutuhkan? Itulah salah satu permasalahan yang harus diperhatikan oleh pemerintah. Seharusnya pemerintah membuat kebijakan yang lebih bersifat universal dalam artian bisa berlaku di seluruh Indonesia. Tidak hanya terfokus pada pusat atau daerah-daerah dengan kesehatan yang sudah lebih baik. Jadi, dari uraian di atas penulis memiliki gambaran bahwa kesehatan Indonesia pada tahun 2035 nanti akan begini-begini saja atau bahkan mengalami penurunan apabila SDGs pada tahun 2030 tidak tercapai. Kalaupun nantinya Indonesia mengalami kemajuan dalam hal kesehatan, penulis memprediksikan bahwa posisinya akan tetap sama. Seperti time value of money dalam ekonomi, dalam artian ketika Indonesia melangkah 10 langkah lebih maju di tahun 2035 dari tahun 2015 saat ini, negara lain yang saat ini memiliki derajat kesehatan yang lebih baik dari Indonesia 170


Indonesia juga melangkah 10 langkah lebih maju di tahun 2035 dari tahun 2015 atau bahkan melangkah lebih dari langkah yang dilakukan Indonesia. Meskipun begitu, penulis tetap berharap bahwa tantangan-tantangan dalam pencapaian SDGs bisa dilewati atau setidaknya mengalami perbaikan sehingga SDGs bisa tercapai. Maka, gambaran kesehatan Indonesia pada 2035 nanti akan sangat jauh lebih baik dari saat ini yang pada akhirnya akan menciptakan kemajuan kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan Indonesia pada pembukaan UUD 1945.

DAFTAR REFERENSI BUKU Achmadi U.F. 2014. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Edisi 4. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Blum, H. 1981. Planning for Health: Generics for the Eighties. 2nd ed. New York: Human Sciences Press. INTERNET Departemen Keuangan, “Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2015�, www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/NK RAPBNP 2015.pdf diunduh pada 28 Oktober 2015

171


Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,“Laporan Singkat Pencapaian Tujuan Pembangunan Millennium Di Indonesia Tahun 2014,” http://www.bappenas.go.id/files/1913/5229/9628/ laporan-pencapaian-tujuan-pembangunan-milenium-diindonesia-2011__20130517105523__3790__0.pdf diunduh pada 28 Oktober 2015

Harian Nasional, “Korupsi Hambat Pencapaian SDGs,” www.harnas.co/2015/09/30/korupsi-hambat-pencapaiansdgs+&cd=3&hl=id&ct=clnk diunduh pada 28 Oktober 2015

World Bank, “Peningkatan Keadaan Kesehatan Indonesia,” http:// siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/ Publication/280016-1106130305439/6173311110769011447/810296-1110769073153/health.pdf diunduh pada 28 Oktober 2015 World Health Organization, “WHO definition of Health,” http:// www.who.int/about/definition/en/print.html diunduh pada 28 Oktober 2015 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran

172


173


Bacaan Anak yang Sesungguhnya

Z

aman modern ini memang zaman yang ‘edan’. Zaman peralihan dari zaman batu hingga

zaman berselancar di dunia maya. Zaman peralihan paleolitikum hingga zaman moderntikum. Bagi yang dapat menerima zaman moderntikum bisa dikatakan sah-sah saja. Bahkan diterima dan dikonsumsi dengan baik akan hadirnya zaman moderntikum itu sendiri. Memang sudah seharusnya dalam diri kita harus mengikuti perkembangan zaman. Yang nyatanya zaman ini lah yang membuat kita ‘edan’. Secara tidak sadar kita telah edan di buatnya. Kita tidak sadar jika zaman ini lah yang menjadikan diri kita selalu ketergantungan, selalu haus akan informasi, selalu haus untuk menggonta-ganti gadget. Memang sangat ‘edan’. Tetapi adakalanya zaman modernitikum membuat kita melakukan segala hal dengan sangat instant. Instant membuat tugas, instant mempoles tugas dan instant mempercepat tugas. Itupun menurut kami sebagai sang pencari ilmu. Yang selalu terbiasa dengan cara instant dan praktis. Cara-cara yang tidak merepotkan dan tak perlu diambil pusing. Pernah kah kita berpikir sejenak akibat dari cara instant 174


yang selalu kita dapatkan di zaman yang ‘edan’ ini, sang pencari ilmu itu pun berubah menjadi seorang plagiator. Tidak ada lagi anak-anak yang selalu berkarya dengan karyanya sendiri. Tidak ada lagi anak-anak yang ingin menciptkan sesuatu inovasi. Karena sang pencari ilmu ini sudah terbiasa memakan-makanan yang empuk tanpa harus menggigit dan mengunyahnya terlebih dahulu. Kita sudah terlena akan life style di zaman yang ‘edan’. Memang zaman ‘edan’ ini merupakan boomerang untuk kita sang pencari ilmu. Sosialisasi yang semakin menurun, kapitalis yang semakin tak tahu diri, apatisme yang kian menajam. Sudah tidak ada lagi di dalam diri kita sebagai anak sang pencari ilmu, sebagai anak yang haus akan IPTEK dan IMTAK. Zaman transisi inilah yang menjadikan kuatnya iman seorang anak sebagai pelopor sang pencari ilmu. Kita semakin melupakan bacaan-bacaan yang memang layak dan seharusnya di konsumsi oleh anak-anak. Kita sebagai orang yang berpengalaman dan orang yang lebih tua untuk mendidik anak bahkan mengabaikan hal itu. Seorang anak bermain gadget di depan mata kita, kita hanya ikut nimbrung dan bermain bersama. Sangat kontras sekali sebelum tidur anak-anak seharusnya diberikan ba175


bacaan pengantar tidur. Bukan bermain game dan gadget untuk cepat tidur. Rasanya hal itu sudah jarang kita temukan di zaman moderntikum ini. Dinobatkan era digital. Sudah saatnya untuk kita ubah pola pikir untuk selalu sering menggunakan gadget. Apalagi memberikan gadget kepada anak-anak yang memang belum membutuhkan. Untuk meminimalisir angka kemalasan anak dalam bertindak di kehidupan nyata. Jangan sampai anak-anak kehilangan kepercayaan diri, kehilangan jati diri, kehilangan sosialisasi sehingga menumbuhkan rasa apatisme dan tidak peduli lingkungan sekitar. Dengan cara, lakukanlah hal dimana zaman-zaman orang tua kita hidup diwaktu kecil. Dengan mengajarkan dongeng, cerita-cerita rakyat yang banyak mengandung nilai moral. Memberikan bacaan-bacaan anak yang tepat dalam proses pendidikan. Bacaan anak yang bagus dan bernilai moral dapat membantu anak menstimuluskan perilaku dan respect-nya seorang anak terhadap lingkungan. Seperti halnya cerita kelinci dan monyet yang saling bersahabat. Anak gembala yang bijaksana, kancil, Bona dan RongRong, putri Nirmala dan Pipiyot, Timun Emas dan masih banyak lagi bacaan-bacaan anak yang sangat bagus dan menarik. Sangat cocok untuk anak-anak berusia 5-12 tahun. 176


Tetapi, keadaan itu sudah sangat jarang ditemukan. Bahkan anak-anak sangat menyukai game ketimbang untuk membaca buku atau bacaan-bacaan cerita rakyat. Justru dengan banyaknya materi bacaan-bacaan anak yang sesungguhnya lah yang memang harus selalu kita ajarkan dan selalu kita pantau. Karena dengan membaca sesungguhnyalah yang dapat membuat anak lebih banyak mengetahui hal -hal baru tanpa harus bermian game yang lain. Anak-anak bahkan akan mengapresisikan sesuatu dari kita sebagai orang tua didik anak-anak tersebut. Mulailah melakukan langkah kecil untuk mengubah haluan untuk tidak membuat anank-anak menjadi sangat ketergantungan dengan game gadget dan sejenisnya. Lakukan perubahan perubahan kecil dengan memberi bacaanbacaan anak yang sesungguhnya. Untuk menciptakan perkembangan diri pada anak. Dalam perkembangan anak terdapat 4 jenis yang akan berkembang yaitu kemampuan Bahasa, kemampuan kognitif, social dan personality. Hal itulah yang membuat diharuskannya anak-anak untuk lebih banyak mengeksplor pengetahuan melalui bacaan-bacaan anak. Jika, orang tua membiarkan anak-anak bermain gadget tidak pada waktu yang tepat. Apa jadinya saat tahun 177


2035 yang akan datang 20 tahun nanti. Akan semakin hancurlah tenggang rasa di negara kita. Tidak ada lagi yang namanya tegur sapa, tidak ada lagi sautan ‘permisi’ saat melewati rumah orang, tidak ada lagi diskusi untuk meyelesaiakan masalah. Solusinya hanya satu yaitu bermain gadget anak akan bisa tenang. Tidak ada rasa tantangan dalam diri anak untuk mecoba hal baru. Membuat hal-hal yang bermanfaat untuk hajat hidup orang banyak, sudah tidak ada lagi rasa saling memiliki dan kooperatif di setiap individu anak-anak penerus generasi bangsa, sang pelopor ilmu pengetahuan. Mulailah untuk tetap memberikan bacaan-bacaan anak melalui dongeng sebelum tidur, memberikan bacaanbacaan anak yang pas sesuai kebutuhan umur masingmasing anak. Memberikan bacaan anak yang layak dan patut dicontoh dalam kehidupan anak-anak. Jadi, anak-anak tidak perlu hidup dalam angan-angan dan bayangan melalui kejamnya gadget di zaman moderntikum ini. Berilah selingan waktu untuk bermain gadget. Tetapi janganlah sampai membuat anak menjadi saling tergantung dan tidak bisa hidup tanpa gadget. Selalu melakukan pemantuan terhadap anak-anak agar tidak lepas control dan selalu menjaga anak-anak kita untuk tetap berada di 178


jalur aman. Betapa keras dan kejamnya zaman modern ini membuat kita harus khawatir dan melakukan antisipasi untuk mempersiapkan diri untuk tidak terbawa arus terlalu dalam di zaman moderntikum ini. Janganlah sampai menghancurkan nama

baik

bangsa di mana orang luar selalu mengatakan “murah senyum”, “ramah”, “sosialisasinya sangat tinggi”, “peduli” dll. Jangan sampai kata-kata itu berubah menjadi “apatis”, “masa bodo”, “galak” dll. Hanya karena terbawa arus moderinsasi yang memang dibilang zaman ‘edan’. Zaman ini telah merenggut sekian banyak jiwa untuk tidak saling peduli terhadap sesama. Maka, mulailah dengan sikap mendidik anak dengan menggunakan media bacaan sebagai barometer pedidikan moral anak, selain itu 4 perkembangan anak semakin meningkat melalui bacaan anak-anak ini. Berdoalah untuk tetap dapat berada di jalur aman. Yang sedikit menyentuh arus modernisasi di zaman yang ‘edan’ ini. Semoga kita dan anak-anak kita kelak saat 20 tahun yang akan datang. Masih tetap terjaga dari mara bahayanya zaman ‘edan’. Jangan sampai kita di bombardir dengan arus zaman yang sudah di tutupnya jalan keluar mencari solusi yang bijak dan adil. Dan juga dapat hidup dalam damai di negara tercinta kita ini. Negara Indonesia. 179


180


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.