Loci Memoriae Catalog

Page 1

Catalog

LOCI MEMORIAE a solo exhibition by Kurniadi Widodo curated by LIR

September 23rd – October 15th, 2018 Kedai Kebun Forum Jl. Tirtodipuran no. 3, Yogyakarta


Curatorial Text


“Memory had a fundamentally spatial quality. The memorizer created vivid mental images and then placed them within familiar loci memoriae or memory places, such as the room of a house, the placing at a dining table, or different parts of theatre.� (Joe Moran, “Houses, Habit, and Memory�, p.40)

I.

I.

Suara pemilik rumah yang mempersilakan masuk mengiringi perpindahan ruang yang kami alami dari teras rumah ke dalam ruang tamunya. Ruang tamu rumah ini cukup lapang, menyatu dengan ruang tengah. Dari pintu masuk, sebuah meja kecil tampak dikelilingi kursi-kursi yang dipersiapkan untuk tamu-tamu duduk bersama si pemilik rumah. Di meja kecil ini, beberapa album foto tertumpuk sedikit tak beraturan. Sebagian tampak lusuh dimakan waktu, sebagian lainnya tampak cukup baru. Di ujung seberang pintu masuk, sebuah televisi serta sofa tampaknya kerap digunakan oleh pemilik rumah menghabiskan waktu. Di dindingnya, beberapa foto terpajang dalam pigura-pigura kayu sederhana.

The voice of the homeowner who let us enter the room accompanied the movement between spaces we experienced from the home terrace into his living room. The living room in this house is quite roomy, integrating with the family room. From the entrance, a small table seemed to be surrounded by chairs prepared for guests to sit with the homeowner. At this small table, some photo albums are stacked a little irregularly. Some of them look shabby with time, others look pretty new. At the far end of the entrance, a television and a sofa often seemed to be used by homeowners to spend time. On the wall, some photos are displayed in simple wooden frames.

Memasuki rumah terkadang terasa serupa dengan menyelami ingatan seseorang. Ingataningatan ditata sesuai kebutuhan dan keinginan pemiliknya, begitu pula bagaimana pemilik rumah menata ingatannya dalam foto-foto yang tersebar di dalamnya. Tidak melulu rapi, namun bisa jadi terpajang dengan urutan cerita yang mungkin hanya diketahui oleh sang pemilik rumah. Disusun sesuai keinginannya dalam mengingat dan kemudian menceritakannya pada setiap tamu: perjalanan yang berkesan, tempat-tempat yang telah dikunjungi, dan penanda keberadaan lain yang dipilih di antara tumpukan pengalaman yang dengan cepat tergantikan atas pengalaman-pengalaman yang lebih baru.

Sometimes, entering a house feels similar to exploring someone's memory. Memories are arranged according to the needs and desires of the owner, as well as how homeowners organize their memories in photographs scattered in them. Not just neat, but can be displayed in a sequence of stories that may only be known by the owner of the house. Arranged according to their desire to remember and then tell each guest: those memorable trips, places that have been visited, and other selected markers of existence among heaps of experiences that are quickly replaced by newer experiences.


Di sisi lain, foto-foto yang tersimpan dalam album foto terasa lebih intim. Album-album ini diperbolehkan untuk dijelajahi namun bentuknya yang tertutup seolah mengisyaratkan keintiman yang lebih dijaga dibandingkan dengan foto-foto di dinding. Ketika apa yang tersaji di dinding sedang membicarakan momen khusus, ruang, atau tempat spesial, album adalah tempat hadirnya foto yang lebih personal dan sehari-hari. Orang-orang di dalam album foto tersebut adalah orang-orang yang pernah hadir,baik dalam waktu yang singkat maupun panjang. Foto-foto ini lagi-lagi ditata dalam susunan yang mungkin tak benar-benar bisa dipahami semua orang. Bisa jadi foto-foto ini tertata dalam urutan waktu yang linear, atau tertata dalam susunan yang berangkat dari peristiwa-peristiwa tertentu atau bisa pula berpusat pada satu sosok khusus. Terkadang, foto-foto ini pun tertata sederhana berdasar pada waktu pencetakan foto yang bersamaan: praktis saja.

On the other hand, the photos stored in the photo album feel more intimate. These albums are allowed to be explored but their private form seems to imply intimacy that is more secured than the photos on the wall. When what is presented on the wall is talking about a special moment, space, or special place, the album is a place for more personal and everyday photos. People in the photo album are those who have been present, both in a short and long time. These photos are, again, arranged in an arrangement that may not really be understood by everyone. It could be that these photos are arranged in a linear time sequence, or arranged in an arrangement that departs from certain events or can also be centered on a special figure. Sometimes, these photos are also arranged simply based on the time of the same photo printing: practical.

II.

II.

Menjelajahi foto-foto Kurniadi Widodo terkadang terasa seperti mejelajahi lanskap ingatan yang penuh dan tercampur. Di antara ketidakteraturan yang terlihat oleh orang luar, semua ingatan telah tertata rapi menurut kebutuhan si pemilik ingatan. Sebagai pengingat yang baik, ia meletakkan gambar-gambar dalam kumpulan-kumpulan yang hanya ia pahami. Seketika ia ingin mengambilnya, ia tahu ke ruang-ruang yang mana di dalam ingatannya yang harus ia tuju.

Exploring the photos of Kurniadi Widodo sometimes feels like exploring a full and mixed landscape of memories. Among the irregularities seen by the other, all memories are neatly arranged according to the needs of the owner. As a good reminder, he put pictures in collections that he only understands. As soon as he wants to take it, he knows which spaces in his memory he should go to.

Pertama kali menjelajahi foto-foto Kurniadi Widodo, lanskap menjadi sesuatu yang cukup mendominasi, dengan keindahan yang kerap terasa janggal namun puitis. Lanskap tidak lagi menjadi tujuan dari perjalanannya namun merupakan tempat-tempat yang terselip di antara perjalanan yang dilakukannya. Sesuatu yang dalam kecepatan laju perjalanan kerap terlewat, dan bahkan tak terlihat untuk orang lain. Foto-foto ini kemudian menjadi catatan penting di antara kecepatan laju maupun waktu yang tanpa disadari kerap membuat semua ingatan jatuh di belakangnya. Tertinggal, tertumpuk oleh peristiwa (ingatan) baru, dan kemudian terlupakan.

When we first explored the photos of Kurniadi Widodo, the landscape became something that was quite dominating, with beauty that often felt awkward but poetic. Landscapes are no longer the destination of his journey but are places that are tucked-in between the trips he made. Something that is in the speed of the pace of travel is often overlooked, and even invisible to others. These photos then become an important note between speed and time that is often unwittingly makes all memories fall behind him. Left behind, piled up by new events (memories), and then forgotten.

Kebiasaannya memperhatikan detil pada ruang-ruang asing ini pun dilakukan pada ruang tinggalnya. Kedekatan personal pada rumah tidak membuatnya kehilangan perasaan asing. Seperti dalam usahanya mengingat kembali relasi dengan ayahnya, ia memilih untuk melihatnya melalui tanaman-tanaman di rumahnya. Tanaman menjadi fragmen asing atas lanskap ruang tinggalnya.

His habit of paying attention to details on strange spaces was also done in his living space. Personal closeness to home does not make him lose his wonders. As in his effort to recall the relationship with his father, he chose to see it through the plants in his house. Plants become strange fragments of his living space’s landscape.


Dalam usaha mengingat, ia memilih melambat dan melihat kembali hal-hal terdekat yang kadang terabaikan. Ia melihat kembali rumah sebagai lanskap peristiwa dan ingatan atas ayahnya. Foto-foto lusuh, cerita-cerita yang tak pernah diceritakan, hingga koreografi gerakan sang ayah ketika berada di dalam rumah, yang kemudian selalu mengingatkan Wid pada rutinitas sekaligus gestur terakhir interaksinya dengan sang ayah ketika sedang menyiram tanaman. Dalam hal ini, mungkin melambat tidak semata-mata hanya untuk menyelesaikan namun juga upaya penyelesaian sebelum kemudian kecepatan waktu menenggelamkan semua keinginan dan ingatannya atas sosok ayahnya. Di antara kecepatan-kecepatan yang diperlambat untuk memberi kesempatan mengingat, ada pula hal-hal yang tak mungkin dilambatkan, dan bahkan tak mungkin (tak menarik) untuk diingat. Kecepatan semacam ini tak memberi ruang imajinasi, sehingga membiarkan apa yang diserap, lewat, dan tertumpuk di satu sudut ingatan untuk kemudian dilupakan. Dalam situasi seperti ini pun, Wid dengan sengaja mencoba untuk merekamnya sebelum dalam hitungan detik tergantikan oleh yang lainnya. Kecepatan pergantian tayangan televisi, yang dibayangkan sebagai bagian dari kecepatan distribusi informasi pun ia perlambat dengan cara menghentikannya dalam potongan-potongan gambar diam. Dibandingkan dengan seseorang yang tersihir di depan kecepatan pergantian tayangan televisi ataupun derasnya informasi dalam tulisan-tulisan di harian surat kabar, ia memilih untuk memberi kesempatan untuk mengingatnya dalam kesementaraan. Di dalam hal yang diciptakan seasing, sedingin, dan secepat itu, ia tetap mencoba memberi ruang diantara lanskap ingatannya yang ia tata sedemikian rupa kemudian ia lihat kembali ketika ia menginginkan dan membutuhkannya.

As an effort to remember, he chose to slow down and look back on the closest things that were sometimes overlooked. He looked back at the house as a landscape of events and memories of his father. Shabby photos, stories that were never told, to the choreography of the father's movements when he was in the house, which, then, always reminds him of the routine and the last gesture of his interaction with his father when watering the plants. In this case, it may slow down not only to settle but also to resolve before the speed of time drowns out all his desires and memories of his father's figure. Between the slowed speeds to give a chance to remember, there also things that are impossible to be slowed down and even can’t be remembered. This kind of speed does not give space for imagination, so as to let what is absorbed, pass through, and accumulate in one corner of memory to then be forgotten. Even in this situation, Wid deliberately tries to record it before in seconds it is replaced by others. The speed of turnover of television shows, which is imagined as part of the speed of distribution of information, is slowed down by stopping it in pieces of still images. Compared to someone who is bewitched in front of the speed of television turnover or the swift information in daily newspapers, he chooses to give himself the opportunity to remember it in temporal circumstances. In things that are created as strange, as cold and fast as that, he keep trying to give space between the landscapes of his memory which he has arranged in such a way that he looks back when he wants and needs it.

LIR --

LIR --

* �Curated by LIR� adalah sebuah pameran yang dikurasi oleh LIR (Mira Asriningtyas & Dito Yuwono). Kali ini, LIR bekerjasama dengan KKF untuk membuat seri pameran tunggal tiga seniman: Kurniadi Widodo, Alfin Agnuba, dan Dimaz Maulana pada bulan September, Oktober, dan November 2018.

* "Curated by LIR" is an exhibition curated by LIR (Mira Asriningtyas & Dito Yuwono). For this project, LIR collaborated with KKF to make a solo exhibition series of three artists: Kurniadi Widodo, Alfin Agnuba, and Dimaz Maulana in September, October and November 2018.


Exhibition Views






Artworks


Surat Untuk Bapak 2009-2016 Installation 18 sets of photograph Archival inkjet print on Canson paper 45x30 cm, unframed Handwritten letters, family photographs, albums, vitrine Dimensions variable


Imajinasi, Televisi 2016-2018 HD Video 3’ 23”


Newsworthy – Business & Economy 2018 Photograph Digital print on acrylic, lightbox 70x90x7 cm Newsworthy – Politics 2018 Photograph Digital print on acrylic, lightbox 70x90x7 cm Newsworthy – General News 2018 Photograph Digital print on acrylic, lightbox 70x90x7 cm Newsworthy – Politics 2018 Photograph Digital print on acrylic, lightbox 70x90x7 cm


After Midnight at the Fair, Yogyakarta 2015 Photograph Archival inkjet print on Canson paper 146x110 cm, wooden frame


A Sign of Things to Come, Bekasi, West Java 2012 Photograph Archival inkjet print on Canson paper 146x110 cm, wooden frame


A Place to Lay One’s Head, Sidoarjo, East Java 2016 Photograph Archival inkjet print on Canson paper 146x110 cm, wooden frame


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.