Cetak buku melawan ancaman

Page 1

MELAWAN

ANCAMAN

K EK E R AS AN




MELAWAN ANCAMAN KEKERASAN Penulis: Hendra Makmur Rony Saputra Andika D. Khagen Editor: Hendra Makmur Desain dan Tata Letak: Ra’i Hidayatullah Nazari Cover: Ra’i Hidayatullah Nazari Cetakan Pertama: Mei 2013 ISBN 978-602-17562-1-8 Diterbitkan oleh:

Jalan Andalas Raya No. 29 (Belakang No. 31) Kelurahan Andalas, Kecamatan Padang Timur Kota Padang, Sumatera Barat Telp 0751- 20166/ Faks 0751-20166 padanglbhpers@gmail.com

Penerbitan Buku Ini Sebagian Didukung oleh:




Pengantar LBH PERS PADANG 14 tahun sudah keberadaan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang memberikan jaminan kemerdekaan bagi pers di Indonesia sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi untuk terpenting

untuk

mencipakan

kehidupan

bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara yang demokratis. Perbedaan mendasar dari UU No. 14 Tahun 1999 dengan aturan terdahulunya adalah tidak adanya kontrol dan intervensi pemerintah terhadap pers, tidak ada izin untuk pendirian perusahaan pers, tidak ada penyensoran dan pemberedelan terhadap pers dan keberadaan Dewan Pers yang independen. Politik hukum yang dianut oleh UU No. 40 Tahun 1999 adalah dekriminalisasi pers dengan penyelesaian melalui mekanisme hak jawab dan penyelesaian perkara perdata dan pidana secara proporsional. Namun berlakunya UU ini, bukan berarti kriminalisasi dan ancaman terhadap pers bisa berhenti begitu saja, tindakan kekerasan dan pembredelan beralih pada tindakan kriminalisasi, pemidanaan, pembunuhan dan gugatan hukum terhadap media dan insan pers. Berdasarkan catatan AJI Indonesia sejak 1999 hingga tahun 2012 tercatat 870 kasus kekerasan terhadap pers dan jurnalis. Secara umum, pada rezim kebebasan pers pasca reformasi, terdapat 3 (tiga) kategori ancaman kebebasan terhadap pers, yaitu; pertama, kekerasan ď€ sik dan non ď€ sik; kedua, kriminalisasi dan gugatan; dan ketiga, pemidanaan melalui peraturan


perundang-undangan diluar UU Pers. Ketiga ancaman itu harus menjadi perhatian serius bagi kalangan pers di Indonesia, setidaknya upaya-upaya “pembredelan gaya baru” sedang dilakukan untuk mengancam kemerdekaan pers di Indonesia. Penulisan buku “Melawan Ancaman Kekerasan” ini menjadi penting bagi LBH Pers Padang setelah melihat banyaknya tindak pidana yang pada akhirnya mengancam jurnalis yang bekerja dilapangan bahkan tidak sedikit jiwanyapun harus direlakan untuk menjalankan profesi secara professional, tetapi tidak diproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Buku Melawan Ancaman Kekerasan ini berisi 6 BAB, BAB I membahas tentang Catatan Pembuka, BAB II mengelaborasi masalah Impunitas Lewat Batas, BAB III menyajikan hasil testimoni wartawan di Sumbar yang pernah menjadi korban kekerasan yang balut dengan judul Babak Belur Dihajar Kekerasan, BAB IV mengidentikasi pola-pola yang dapat dilakukan untuk melawan kekerasan berdasarkan pengalaman advokasi kasus kekerasan anggota Marinir di Padang terhadap wartawan, dengan menarik judul Melawan Ancaman Kekerasan, BAB V mengulas bagaimana praktik kesejahteraan dan perlindungan terhadap wartawan dengan memberi judul Jaminan di Tengah Ancaman dan BAB VI merupakan Catatan Penutup yang disarikan dari 2 (dua) kali Pelatihan Hukum Kritis bagi Jurnalis yang diadakan oleh LBH Pers Padang. Buku ini ditulis oleh 3 (tiga) orang, yaitu Hendra Makmur sebagai penulis utama, dibantu oleh Roni Saputra dan Andika D. Khagen, LBH Pers Padang ucapkan terimakasih kepada 3 (tiga) orang penulis diatas, jika bukan karena mereka belum tentu buku ini bisa disajikan secara lugas dan baik. Terimakasih juga kami

ii


ucapkan kepada orang-orang penting yang bersedia meluangkan waktunya menjadi narasumber dalam buku ini, seperti Tommy De Rapers (Kontributor RCTI), Afriyandi (Jurnalis Metro TV), Budi Sunandar (Jurnalis Grup MNC TV), Yurharnel (Jurnalis Padang Ekspres), dan Andry Syahputra (Jurnalis Padang TV). Ucapan terimakasih juga kami berikan kepada kawan-kawan peserta pelatihan hukum kritis di Kota Padang dan Kota Bukittinggi yang telah memberikan banyak masukan sehingga buku ini bisa lebih baik dan cukup lengkap penyajiannya, tidak lupa juga kepada Tasriyal, Peneliti LBH Pers Padang yang sudah melakukan pemantauan serta pengumpulan data terkait kasus kekerasan anggota marinir terhadap wartawan di Bungus, Kota Padang, dan kepada kawan-kawan yang telah bersedia untuk berbagi waktu untuk berdiskusi, memberikan masukan dan memberikan bahan-bahan sehingga LBH Pers Padang dapat menyelesaikan pembuatan buku “Melawan Ancaman Kekerasan�, terkhusus kepada LBH Pers di Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Padang, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumbar, dan Koalisi Wartawan Anti Kekerasan (KWAK) Sumbar. Terakhir, kami ucapkan terima kasih kepada Yayasan TIFA, yang telah mendukung penerbitan buku ini. Semoga bermanfaat dan dapat menjadi panduan bagi jurnalis. Padang, 1 Mei 2013 Hormat Kami, LBH Pers Padang Rony Saputra, S.H. Pjs. Direktur

iii


iv


Daftar Isi KATA PENGANTAR ......................................... i DAFTAR ISI ................................................. v BAB I CATATAN PEMBUKA ...................................... 1 Ancaman Kebebasan Pers ................................ 8 Politik Hukum Pers ....................................... 13 BAB II IMPUNITAS LEWAT BATAS ............................... 17 Mereka yang Gugur dan yang Hilang .................. 20 Impunitas Pelaku Kekerasan ............................ 37 BAB III BABAK BELUR DIHAJAR KEKERASAN ................. Testimoni Korban Kekerasan di Sumbar ............... Tommi, Kontributor RCTI untuk Sumbar: “Woi Wartawan, Gue Lempar Kau” ................. Afriyandi, Jurnalis Metro TV: “Bukan di Wilayah Militer, Tetap Dikasari” ....... Budi Sunandar, Jurnalis di Grup MNC TV: “Mereka Menyerang Membabi-buta” .............. Yuharnel, Jurnalis di Padang Ekspres: “Saya Dikejar dengan Pisau” ........................ Andry Syahputra, Jurnalis di Padang TV: “Pistol itu Jaraknya 1 Meter” .......................

41 42 43 53 55 57 60

BAB IV MELAWAN KEKERASAN .................................. 65 Proses Advokasi Kasus Kekerasan oleh Anggota Marinir v


Bila Kekerasan itu Terjadi .............................. 68 BAB V JAMINAN DI TENGAH ANCAMAN ...................... 88 Jaminan Kesejahteraan terhadap Jurnalis .......... 93 Jaminan Perlindungan Profesi Jurnalis ............... 107 BAB VI CATATAN PENUTUP ...................................... 113 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BIOGRAFI PENULIS

vi



Foto: Rus Akbar


BAB I

CATATAN PEMBUKA


Melawan Ancaman Kekerasan

L

ima belas hari di tahun 1999, ketika Rancangan UndangUndang Pers dibahas di DPR adalah awal dari titik balik sejarah pers Indonesia. Beleid yang akhirnya dicatat

dalam lembaran negara sebagai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tersebut memang hanya dibahas sebanyak 15 hari dalam masa lebih dari dua bulan. Rentang waktu tersebut, sejak disampaikannya Amanat Presiden pada 7 Juli 1999 di DPR hingga pemerintah dan DPR menyetujuinya menjadi undang-undang pada 13 September 1999.1 Pemerintahan Presiden Habibie dan DPR produk Pemilu Orde Baru 1997, ketika itu, mau tidak mau harus melaksanakan desakan besar publik untuk memerdekakan kehidupan pers di Tanah Air. Kemerdekaan pers, yang sering juga disebut dengan kebebasan pers, sebagai terjemahan frasa ‘freedom of the press’ dalam konsep negara demokrasi memang menjadi salah satu bagian dari tuntutan reformasi pada 1998. Tuntutan tersebut telah bergulir bertahun-tahun sebelumnya dan mencapai puncak setelah pemerintah membredel Tempo, Detik dan Editor pada 1994. Sejak pelarangan terbit itu, perjuangan kemerdekaan pers semakin menguat, ditandai dengan merebaknya demonstrasi di berbagai daerah di tanah air yang memprotes pembredelan selama berbulan-bulan, lahirnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 1994, berikut mulainya perlawanan terhadap izin penerbitan media massa dengan menerbitkan media bawah tanah. Perjuangan ini memakan korban. Di Jakarta, pada 1995 1

Christianda Chelsia Chan dkk, 15 Hari Perjuangan untuk Kemerdekaan Pers, Memori Van Toelichting Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Indonesia Media Law & Policy Centre (IMPLC), 2007, hal xiii 2


Catatan Pembuka

dan 1996, tiga anggota AJI ditangkap dan dipenjarakan hingga tiga tahun karena menerbitkan Majalah Suara Independen tanpa izin pemerintah. Kondisi tersebut diperparah, dengan makin terancamnya profesi jurnalis karena aksi kekerasan dan pembunuhan. Di Yogyakakarta, pada 1996, jurnalis Bernas Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin dibunuh akibat pemberitaannya yang kritis pada pemerintah Kabupaten Bantul. Potret buram kebebasan pers pada pertengahan 90-an tersebut, adalah lanjutan catatan panjang yang terjadi selama lebih dari 40 tahun. Terhitung sejak masa demokrasi terpimpin pada zaman Orde Lama disambung selama rezim Orde Baru berkuasa. Selama itu pula, pers Indonesia terombang-ambing oleh politik hukum penguasa yang represif dan ototiter terhadap kebebasan pers. Ketika negara menerapkan budaya politik yang represif, maka pers bisa dipastikan akan menjadi korban pertama. Selama demokrasi terpimpin pada zaman Orde Lama antara tahun 1957 sampai dengan tahun 1965, terdapat 30 kasus penahanan serta 30 kasus pemenjaraan jurnalis. Selain itu, juga terjadi 184 kali pembredelan media massa.2 Selama Orde Baru antara 1968 sampai dengan 1994 tercatat sejak lebih dari 25 media massa dicabut Surat Izin Terbit (SIT) atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)-nya tanpa melalui proses pengadilan seperti disyaratkan Undang-Undang Pokok Pers.3 Di luar itu, puluhan wartawan ditahan dan dipenjarakan 2

Mohammad Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, 1998, hal 153

3

http://www.tempo.co.id/ang/min/02/17/nas2.htm, dikunjungi tanggal 1 April 2013 3


Melawan Ancaman Kekerasan

akibat pemberitaannya. Belum lagi tindakan penyensoran dan tekanan penguasa terhadap pers melalui Departemen Penerangan. Tidak adanya perlindungan hukum yang memadai membuat jurnalis juga rentan menerima kekerasan dan bahkan kehilangan nyawa akibat pemberitaannya. Sadar dengan berbagai kesalahan di masa lalu itu, mendorong pembuat undang-undang merancang UU No. 40 tahun 1999. Semangat reformasi 1998 yang mengilhami pembuat undangundang dalam menyusunnya, membuat UU No. 40 tahun 1999 dinilai banyak kalangan menjadi salah satu undang-undang terbaik yang amat responsif dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas. Hal tersebut bisa terlihat dari landasan pembentukan UU No. 40 tahun 1999 yang terdapat dalam konsideran ‘Menimbang’ undang-undang ini: a. bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat

penting

untuk

menciptakan

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis,

sehingga kemerdekaan mengeluarkan

pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin; b. bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara

yang

demokratis, kemerdekaan

menyatakan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati

nurani

dan

hak

memperoleh

informasi,

merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejateraan

4

umum, dan


Catatan Pembuka

mencerdaskan kehidupan bangsa; c. bahwa pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar harus

dapat

informasi, dan pembentuk opini

melaksanakan

asas,

fungsi,

hak,

kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun; Melihat konsideran ‘menimbang’ tersebut, secara ď€ losoď€ s, sosiologis dan yuridis, UU No. 40 tahun 1999 sudah memenuhi unsur sebagai peraturan perundang-undangan yang baik. Begitupun dengan 21 pasal dalam batang tubuh undangundang ini yang mengatur kehidupan pers jauh lebih baik bila dibandingkan peraturan perundang-undangan sebelumnya. Perbedaan utama UU No. 40 Tahun 1999 ini dengan peraturan sebelumnya adalah, tidak adanya kontrol dan intervensi pemerintah terhadap pers, ketiadaan izin, sensor dan bredel serta Dewan Pers yang independen. Sementara, peraturan sebelumnya seperti UU No. 11 tahun 1966, UU No. 4 tahun 1967 dan UU No. 21 tahun 1982 mengatur kontrol dan kewenangan pemerintah mencampuri pers salah satunya dengan memberlakukan izin penerbitan pers, adanya sensor, bredel serta Dewan Pers yang diketuai Menteri Penerangan. Politik hukum yang dianut UU 40. tahun 1999 adalah dekriminalisasi pers dengan menyelesaikan kesalahan karya jurnalistik dengan hak jawab, hak koreksi, perkara perdata dan sanksi denda yang proposional. Sementara peraturan perundang5


Melawan Ancaman Kekerasan

undangan sebelumnya menganut politik hukum kriminalisasi pers yang juga berfungsi sebagai kontrol lapis kedua terhadap pers. Diundangkannya UU Pers tersebut pada 23 September 1999, atau sekitar 16 bulan setelah runtuhnya rezim Orde Baru memberi angin segar. Dengan norma-norma yang diatur di dalam undangundang ini, sudah cukup untuk menjamin kebebasan pers. Namun, berlakunya UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, belum sepenuhnya menghilangkan ancaman terhadap kebebasan pers. Kebebasan pers yang sudah dilindungi tersebut belum bisa dinikmati sepenuhnya. Praktek ancaman terhadap kebebasan pers masih terus saja terjadi bertahun-tahun setelah undangundang tersebut diberlakukan. Kasus

kekerasan

diundangkannya

UU

terhadap Pers,

jurnalis

bahkan

Indonesia

jauh

setelah

meningkat

bila

dibandingkan sebelum diundangkannya undang-undang tersebut. Data AJI Indonesia menunjukkan fenomena peningkatan dan uktuasi kasus kekerasan pada jurnalis: No

Tahun

Angka Kekerasan

Sumber/ Keterangan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

13 kasus 43 kasus 41 kasus 74 kasus 122 kasus 95 kasus 70 kasus 59 kasus 27 kasus 43 kasus 53 kasus 75 kasus

Laporan Tahunan AJI 20101 Idem Idem Idem Idem Idem Laporan AJI dan SEAPA2 AJI 3 Laporan Tahunan AJI 20104 Idem Idem Idem

6


Catatan Pembuka

13 14 15 16 17

2008 2009 2010 2011 2012

59 kasus 37 kasus 51 kasus 49 kasus 56 kasus

Jumlah

967 kasus

Idem Idem Laporan Tahunan AJI 20115 Catatan Akhir Tahun AJI 20126 Idem

Jumlah 967 kasus dalam 17 tahun seperti ditunjukkan tabel di atas merupakan angka yang tinggi. Itu artinya, setiap tahun ada 57 jurnalis yang kena kekerasan. Dengan kata lain, setiap enam hari sekali ada satu jurnalis yang jadi korban. Kasus kekerasan yang terjadi pada jurnalis tersebut seperti yang termuat dalam tabel terbagi atas sembilan kategori: 4 1. Pembunuhan 2. Pemenjaraan 3. Serangan 4. Penculikan 5. Sensor 6. Pengusiran 7. Pelecehan 8. Ancaman 9. Tuntutan hukum Sembilan kategori kekerasan pada jurnalis tersebut, hingga kini terus terjadi seperti mimpi buruk yang membayangi profesi jurnalis di Indonesia. Dalam klasiď€ kasi yang lebih umum, ancaman terhadap kebebasan pers tersebut bisa dilihat dalam tiga indikasi:

4

Abdul Manan, Dijamin Tapi Tak Terlindungi: Kekerasan terhadap Jurnalis tahun 2007, Aliansi Jurnalis Independen, 2008, hal 13 7


Melawan Ancaman Kekerasan

1. Tingginya tingkat kekerasan sik dan nonsik pada jurnalis; 2. Masih adanya kriminalisasi dan gugatan hukum terhadap karya jurnalistik; dan 3. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang mengancam kebebasan pers.

TIGA ANCAMAN KEBEBASAN PERS 1. Kekerasan Fisik dan Non Fisik Kekerasan sik terhadap jurnalis merupakan kekerasan yang secara langsung mengancam keselamatan dan menghalangi jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik. Hal yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan sik adalah pembunuhan, serangan

berbentuk

penganiayaan

atau

pengeroyokan,

penculikan serta perusakan alat-alat kerja jurnalis. Sementara, kekerasan non sik, bisa berbentuk sensor, pengusiran, pelecehan, ancaman, intimidasi serta penghalang-halangan jurnalis melaksanakan peliputan atau tugas jurnalistik lainnya. Berbagai bentuk kekerasan sik dan nonsik tersebut masih terus terjadi sepanjang tahun. Beberapa di antaranya, berujung pada kematian jurnalis. Sebagian lainnya mengakibatkan jurnalis luka, cedera hingga tertekan secara psikis. Bila tabel kekerasan pada jurnalis tersebut diperhatikan, akan terlihat angka kekerasan itu terus naik turun di level tinggi. Angka kekerasan pada jurnalis bahkan jauh meningkat setelah UU Pers disahkan pada 1999. Melonjaknya angka kekerasan itu bila dibandingkan pada zaman Orde Baru, tentu menimbulkan tanda tanya. Kenapa ketika sudah ada perlindungan hukum yang tegas terhadap kebebasan pers, angka kekerasan justru 8


Catatan Pembuka

meningkat? Belum ada penelitian mendalam yang mengkaji fenomena tersebut. Namun, indikasinya bisa terbaca dari meningkatnya jumlah media massa setelah UU Pers disahkan bila dibandingkan sebelumnya. Meningkatnya kuantitas media massa dan jurnalis dibanding sebelumnya, secara logika tentu akan membuat masalah juga bertambah. Bisa juga, pada zaman Orde Baru, banyak kasus kekerasan yang tak terungkap layaknya sekarang. Saat ini, dengan mulai menyebarnya kemampuan advokasi kebebasan pers yang dilakukan komponen pers membuat tingkat kesadaran hukum jurnalis semakin meningkat. Sehingga, ketika ada pelanggaran terhadap UU Pers, kasus tersebut akan muncul ke permukaan. Selain soal kuantitas, sebagian kalangan menilai, kekerasan itu juga terkait akibat menurunnya kualitas pemberitaan media dibandingkan zaman Orde Baru. Di tengah meledaknya jumlah media massa saat ini dibanding Orde Baru, tak didukung dengan wartawan maupun redaktur yang memahami jurnalisme dengan baik. Hal ini membuat banyaknya berita yang tidak sesuai prosedur etik sehingga banyak orang tidak puas dengan media. Kemudian, menurut mantan Sekjen AJI Indonesia Solahuddin, masyarakat lebih memilih mereeksikan kekecewaan mereka kepada jurnalis dan media dengan jalan kekerasan ketimbang menempuh jalur hukum yang berbelit-belit. 5

5

Pantau, Titik Hitam Jurnalisme, tanpa tanggal, seperti dikutip Abdul Manan dalam “Ancaman Itu Datang dari Dalam..� loc. cit, hal 30. 9


Melawan Ancaman Kekerasan

2. Kriminalisasi dan Gugatan Hukum Meski UU No. 40 tahun 1999 telah memberi mekanisme penyelesaian sengketa pemberitaan melalui hak jawab, hak koreksi dan pengaduan melalui Dewan Pers, namun pihakpihak yang tidak puas dengan pemberitaan media, tetap saja menempuh mekanisme hukum pidana dengan melapor kepada polisi. Mirisnya, laporan tersebut kemudian diusut dengan KUHP, menggunakan jerat pasal-pasal pencemaran nama baik, penghinaan, ď€ tnah dan perbuatan tidak menyenangkan. Berdasar catatan LBH Pers, dalam rentang 1998-2007 saja terdapat 108 kasus pers yang dilaporkan ke jalur pidana telah melakukan pencemaran nama baik dan penghinaan serta gugatan perdata miliaran rupiah. 6 Beberapa kasus kriminalisasi dan gugatan hukum yang menonjol antara lain, pidana pencemaran nama Soemadi Wonohito (Direktur Utama Harian Kedaulatan Rakyat) oleh Risang Bima Wijaya (Pemimpin Umum Radar Yogya), kasus pidana pencemaran nama baik Tommy Winata yang didakwakan kepada Bambang Harymurti cs (Tempo) pada 2004-2005 dan pidana melanggar kesopanan dan kesusilaan terhadap Pemimpin Redaksi Majalah Play Boy, Erwin Arnada dan gugatan hukum Soeharto terhadap Majalah Time. Terhadap Risang Bima Wijaya, Pengadilan Negeri (PN) Sleman, Yogyakarta, memutusnya bersalah dan menjatuhkan vonis 9 bulan penjara. Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Yogyakarta, hingga putusan Mahkamah Agung (MA) yang 6

Bayu Wicaksono, dkk, Paradoks Kebebasan Pers Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, 2007, Lampiran hal 10-36

10


Catatan Pembuka

menghukum Risang Bima Wijaya dengan penjara 6 bulan. Sementara, Bambang Harymurti sempat dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh PN Jakarta Pusat dan dikuatkan PT DKI Jakarta. Namun, MA kemudian membebaskannya. Berbeda dengan Bambang, Erwin Arnada yang bebas dari jerat hukum dalam putusan PN Jakarta Selatan dan PT DKI Jakarta, justru dihukum penjara dua tahun oleh MA pada 2010. Tetapi, kemudian MA merevisi putusan tersebut dalam putusan peninjauan kembali pada 2011 dengan membebaskan Erwin. Setelah beberapa jurisprudensi tersebut, muncul Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 13 tanggal 30 Desember 2008 tentang perlunya pengadilan meminta keterangan Dewan Pers sebagai ahli ketika ada kasus pemberitaan media. Kemudian, juga terjalin Memorandum of Understanding (MoU) atau Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri dan Dewan Pers dengan Jaksa Agung terkait pengusutan kasus pemberitaan yang dilaporkan masyarakat lewat jalur pidana. Sejak adanya SEMA dan MoU, penanganan kasus pemberitaan dengan pasalpasal pidana mulai sepi. Meski demikian, fenomena ini tidak serta merta membuat kasus pemberitaan tidak akan pernah lagi diusut dengan pasal pidana. Pasalnya, SEMA maupun Nota Kesepahaman pada prinsipnya bukanlah dasar hukum yang kuat seperti halnya undang-undang. Apalagi, Nota Kesepahaman Dewan Pers dengan Polri maupun Jaksa Agung hanya berjangka waktu singkat selama lima tahun. Itu artinya, pelaksanaannya sangat tergantung dengan kebijakan yang diberlakukan pimpinan masing-masing lembaga yang setiap saat bisa saja berubah karena pergantian pimpinan atau perubahan kebijakan. Ditambah lagi, jerat hukum terhadap 11


Melawan Ancaman Kekerasan

jurnalis terus bertambah karena lahirnya berbagai undangundang yang mengandung pasal dengan potensi mengancam kebebasan pers.

3. Peraturan Perundang-undangan yang Mengancam Sebelum UU Pers disahkan, sudah ada sejumlah undangundang yang memuat berbagai ancaman terhadap kebebasan pers. Setidaknya sudah ada enam UU yang mengancam pers sebelum lahir UU Pers. Enam UU tersebut adalah UU No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, UU No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, UU No. 4 tahun 1999 tentang Kepailitan dan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.7 Pasal-pasal

pencemaran

nama

dalam

KUHP

meliputi

pencemaran nama kepala negara sahabat (pasal 142 sampai 144), pencemaran nama pejabat negara (pasal 207 dan 208), dan penghinaan terhadap orang lain (pasal 310 sampai 322). Selain itu, Pasal 13 UU No. 23 tahun 1959 misalnya, mengatur bahwa penguasa darurat sipil, militer maupun darurat perang, berhak membuat peraturan, tindakan dan larangan untuk membatasi adanya pertunjukan atau penyebarluasan informasi dalam bentuk apapun. KUHP juga dianggap menyudutkan kebebasan wartawan dengan 37 pasal didalamnya yang dapat mengirim wartawan ke penjara.8 7

Seperti dikutip dari mantan Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara dalam http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0407/30/nas22.htm , dikunjungi 1 April 2013 8

Ibid 12


Catatan Pembuka

Selain sejumlah undang-undang yang telah ada sebelum UU Pers tersebut, setelahnya juga masih muncul pengaturan yang mengancam dalam berbagai undang-undang. Beberapa pasal dalam beberapa produk hukum mengancam yang lahir setelah UU Pers tersebut terdapat dalam UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, UU No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornogra, UU No. 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konik Sosial. 9

POLITIK HUKUM PERS Uraian di atas memperlihatkan kongurasi politik pemerintah dan DPR masih berparadigma represif dan otoriter. Menurut Mahfud MD, kongurasi politik suatu negara akan melahirkan produk hukum tertentu di negara tersebut.10 Mahfud membedakan kongurasi politik demokratis dan otoriter. Kongurasi politik yang demokratis adalah susunan sistem politik yang membuka kesempatan atau peluang bagi partisipasi rakyat untuk ikut berperan aktif menentukan kebijaksanaan umum. Sementara kongurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara berperan sangat aktif serta 9

Syofiardi Bachyul Jb dkk, Memahami Hukum Pers, LBH Pers Padang dan Yayasan Tifa, 2013, hal 51 10

Mohammad Mahfud MD, Op. Cit., hal 15. 13


Melawan Ancaman Kekerasan

mengambil seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijaksanaan negara.11 Hampir mirip dengan itu, dalam kaitannya dengan produk hukum, Afan Gaffar membagi sistem politik negara menjadi dua model, yaitu demokratis dan tidak demokratis (authoritarian).12 Untuk negara dengan sistem politik demokratis, produk hukumnya bersifat populis karena dibangun dengan keterlibatan masyarakat yang tinggi karena diakuinya pluralisme politik. Sementara negara dengan sistem politik otoritarian, hukumnya bersifat elitis, melindungi kepentingan elit, bersifat konservatif dan membuat peraturan yang membuka interprestasi baru dengan peraturan lebih lanjut yang tentunya didominasi interprestasi penguasa. 13 Indikator yang dipakai Mahfud untuk membedakan konď€ gurasi politik demokratis atau otoriter bisa dilihat dari bagaimana bekerjanya tiga pilar demokrasi. Tiga pilar tersebut adalah: 1. Peranan partai politik dan badan perwakilan. 2. Kebebasan pers, dan 3. Peranan eksekutif. Dengan demikian bisa dikatakan, negara demokratis tidak akan tercipta bila tidak ada kebebasan pers. Untuk sebuah negara demokratis, kemerdekaan pers adalah keharusan, karena dasar penting dari sebuah sistem negara demokratis adalah kepercayaan kepada masyarakat. Masyarakat dianggap dapat 11

Ibid, hal 24-25

12

Afan Gaffar dalam M. Busyro Muqoddas, dkk, Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992, hal 108 13

Ibid

14


Catatan Pembuka

mengatur dirinya sendiri dan intervensi negara dilakukan secara terbatas. Lewat kemerdekaan pers, partisipasi masyarakat dapat terjamin.14

14

Amir Effendi Siregar, dalam Lukas Luwarso, dkk, Mengelola Kebebasan Pers, Dewan Pers, Jakarta, 2008, hal 83

15


Foto: Rus Akbar


BAB II

IMPUNITAS LEWAT BATAS


Melawan Ancaman Kekerasan

J

auh di belahan dunia lain, 16 ribu kilometer dari Jakarta, 16 nama jurnalis Indonesia terpahat rapi di sebuah gedung megah. Bangunan tersebut adalah The Newseum, sebuah

museum jurnalisme dan berita yang berdiri di ibu kota Amerika Serikat, Washington DC. Di ruang The Journalist Memorial di gedung itu, nama-nama jurnalis dari seluruh dunia yang gugur terkait tugas jurnalistik memang dipahatkan, termasuk para jurnalis Indonesia yang meninggal dunia ketika menjalankan tugas jurnalistik. Dua orang dari 16 nama tersebut, meninggal dunia karena kecelakaan dalam bertugas dan 14 lainnya merupakan jurnalis yang menjadi korban pembunuhan dan hilang. Ternyata, dunia mengenang mereka. Situasinya berbanding terbalik di Indonesia. Jangankan untuk membuat monumen mengingat mereka, siapa pelaku sebagian besar dari pembunuhan para jurnalis itu pun, hingga hari ini masih gelap. Penguasa negeri ini seperti tutup mata tak mengusut pelaku pembunuhan warga negaranya sendiri. Impunitas terhadap sebagian besar kasus pembunuhan dan kekerasan terus terjadi dan terasa semakin lewat batas. Para jurnalis Indonesia yang namanya tercantum di Newseum yakni, Mochtar Sukidi, Azhar Adam, Saud Batubara, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, Naimullah, Muhammad Sayuti Bochari, Agus Muliawan, Supriadi, Ersa Siregar, Herliyanto, Anak Agung Prabangsa, Ardiansyah Matra’is, Alfrets Mirulewan dan Ridwan Salamun. Selain para korban pembunuhan dan hilang tersebut, juga ada dua nama jurnalis yang meninggal karena tenggelam ketika meliput kecelakaan veri, yaitu Muhammad Guntur dan Suherman. Di samping para jurnalis Indonesia, Newseum juga mencatat beberapa nama jurnalis asing yang 18


Impunitas Lewat Batas

terbunuh ketika menjalankan tugas di Indonesia. 15 Kecuali para jurnalis yang namanya tercantum di Newseum ini, sebenarnya masih ada beberapa jurnalis Indonesia lainnya yang menjadi korban pembunuhan akibat tugas-tugasnya sebagai wartawan. Comittee to Protect Journalists (CPJ) yang mencatat jurnalis yang dibunuh dan hilang sejak 1992, menyatakan 10 nama jurnalis Indonesia terbunuh dengan motif terkonrmasi. Mereka adalah Fuad Muhammad Syafruddin, Muhammad Sayuti Bochari, Naimullah, Ersa Siregar, Herliyanto, Anak Agung Prabangsa, Ardiansyah Matra’is, Ridwan Salamun, Alfrets Mirulewan dan Leiron Kogoya. Selain mereka, satu jurnalis yang meninggal dengan motif belum terkonrmasi adalah Mohammad Jamal. Sementara, nama Elyuddin Telaumbanua dimasukkan CPJ ke dalam kategori jurnalis yang dinyatakan hilang.16 CPJ berbeda dengan AJI tentang status jurnalis Leiron Kogoya. Hasil pengecekan AJI Jayapura, Leiron memang bekerja di kantor media, tapi di bagian percetakan koran, bukan jurnalis.17 Data AJI juga berbeda dengan CPJ soal status Mohammad Jamal. Bila CPJ menyebut motif pembunuhan belum terkonrmasi, AJI mengkonrmasi kematian Jamal terkait dengan tugas sebagai jurnalis. Sementara, juga terdapat perbedaan data antara AJI dan CPJ dengan Newseum terkait nama-nama Mochtar Sukidi, Azhar Adam, Saud Batubara dan Supriadi. Hal ini salah satunya terjadi, karena perbedaan hitungan tahun. AJI dan CPJ mulai mencatat kasus yang terjadi sejak 1996. Sementara, Newseum 15

http://www.newseum.org/scripts/Journalist/countryDetail.asp?countryID=63 dikunjungi 20 April 2013 16

http://www.cpj.org/killed/asia/indonesia/ dikunjungi 20 April 2013

17

Wawancara dengan Ketua AJI Jayapura Victor Mambor, 4 Mei 2013 19


Melawan Ancaman Kekerasan

mencatat kasus yang terjadi sejak 1983. Sembari terus mengumpulkan data dan bukti kasus lain, AJI saat ini konsen pada kasus pembunuhan delapan jurnalis dengan bukti-bukti kuat, yang belum diusut. Delapan kasus tersebut adalah pembunuhan terhadap jurnalis Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin, Naimullah, Agus Mulyawan, Muhammad Jamal, Ersa Siregar, Herliyanto, Adriansyah Matra’is dan Alfrets Mirulewan. Terhadap kasus-kasus tersebut, telah terjadi impunitas. Walau mereka sudah pasti dibunuh dan kematian itu terkait dengan tugas sebagai jurnalis, namun tak juga diusut oleh penegak hukum. 18

MEREKA YANG GUGUR DAN YANG HILANG Berikut ini kisah para jurnalis yang hilang dan meninggal dunia karena dibunuh terkait dengan tugas-tugasnya sebagai jurnalis diramu dari data Newseum, CPJ dan AJI Indonesia:

1. Mochtar Sukidi Ia adalah jurnalis pada Mingguan Inti Jaya di Kendal, Jawa Tengah. Pada 1983, salah seorang saksi mata melihat Sukidi dipaksa masuk ke dalam mobil di depan kantor polisi di Kendal. Sejak saat itu, ia menghilang dan tak pernah terlihat lagi. 19

Ketika peristiwa itu terjadi, Sukidi berencana mendatangi

kantor polisi untuk keperluan tulisannya tentang kasus suap di kepolisian. Ia juga sedang menyiapkan artikel soal skandal kayu 18

http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusi-praktik-impunitasterhadap-pembunuh.html, diakses 20 April 2013 19

http://www.newseum.org/scripts/Journalist/Detail.asp?PhotoID=471 dikunjungi 20 April 2013 20


Impunitas Lewat Batas

jati dan pencurian ikan. Kepala Biro Mingguan Inti Jaya saat itu mengungkapkan juga menerima ancaman agar tidak memuat artikel yang ditulis Sukidi, yang memang tak pernah kembali bersama kaset rekaman tentang kasus-kasus itu. 20

2. Azhar Adam Informasi yang dikutip dari situs newseum tidak memuat dengan detail perihal Azhar. Ia hanya disebut merupakan jurnalis pada media bernama ‘Sinar Pembangunan’ di Indonesia. Azhar meninggal dunia pada Agustus 1988 setelah dianiaya oleh pegawai Dinas Perhubungan yang marah karena tulisannya yang mengkritik berbagai kesalahan yang dilakukan dinas tersebut. 21

3. Saud Batubara Saud merupakan jurnalis pada Harian Sinar Indonesia Baru, di Medan, Sumatra Utara. Ia meninggal dunia pada Oktober 1988 setelah disambar mobil saat mengemudi motor skuternya. Sebelum kejadian tersebut, Saud menerima ancaman pembunuhan karena ia menyelidiki jaringan penjualan bayi di salah satu rumah sakit di Medan. 22

4. Fuad Muhammad Syafruddin Fuad Muhammad Syafruddin atau biasa dipanggil Udin, merupakan jurnalis pada Harian Bernas, Yogyakarta. Pada 20

http://kolsus.perpustakaan-elsam.or.id/index.php?p=show_detail&id=1189 dikunjungi 20 April 2013 21

http://www.newseum.org/scripts/Journalist/Detail.asp?PhotoID=415 dikunjungi 20 April 2013 22

http://www.newseum.org/scripts/Journalist/Detail.asp?PhotoID=416

dikunjungi 20 April 2013 21


Melawan Ancaman Kekerasan

13 Agustus 1996, tepat pukul 18.00, tiga orang tidak dikenal mendatangi rumahnya. Di hadapan istri dan anaknya, Udin dikeroyok sampai tak sadarkan diri. Ia dilarikan ke rumah sakit dan sempat dirawat selama tiga hari. Namun, pada 16 Agustus 1996, Udin meninggal dunia. Hasil penelusuran AJI menunjukkan, penganiayaan yang berujung kematian tersebut terkait erat dengan beberapa tulisan Udin di Bernas tentang kasus korupsi di Bantul yang saat itu dipimpin oleh tentara berpangkat kolonel. Namun, fakta tersebut diabaikan aparat penegak hukum. Polisi malah menetapkan Dwi Sumadji alias Iwik, yang diragukan keterlibatannya termasuk oleh keluarga Udin. Pengadilan Negeri Bantul memang akhirnya membebaskan Iwik, karena sama sekali tak terlibat pembunuhan tersebut. Namun, setelah itu, polisi tak pernah berniat mencari siapa pembunuh sebenarnya hingga saat ini. Orang yang patut dicurigai menjadi dalang kasus ini adalah Bupati Sri Roso Sudarmo, yang memiliki hubungan keluarga dengan Soeharto. Namun, setelah Soeharto jatuh di tahun 1998 pun, polisi tak menunjukkan upaya serius mengusutnya bahkan diduga menghilangkan barang bukti penting kasus ini. 23 Berdasar pasal 78 KUHP, yang mengatur masa daluarsa tindak pidana, kasus ini akan memasuki masa daluarsa pada 2014 nanti atau 18 tahun setelah kerjadian. Itu artinya, bila kasus ini tak diusut menjelang itu, pelaku pembunuh Udin akan bebas selamanya. 23

Abdul Manan, Menjelang Sinyal Merah: Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen 2011, Aliansi Jurnalis Independen, 2011, hal 24 22


Impunitas Lewat Batas

5. Muhammad Sayuti Bochari Sayuti Bochari adalah wartawan Mingguan Pos Makasar. Pada 9 Juni 1997, ia ditemukan tak bernyawa dengan luka di kepala dan leher di Desa Luwu, sekitar 480 kilometer di utara Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Sepeda motor Sayuti ditemukan di samping jenazahnya. Keluarga Sayuti meyakini luka di tubuh korban menunjukkan bahwa dia dianiaya. Pemimpin Redaksi Pos Makassar Andi Tonra Mahie bahkan memperkuat dugaan pembunuhan tersebut dengan memaparkan bukti bahwa kematian Sayuti terkait beritanya tentang beberapa kasus korupsi dan kriminal. Sebelum ditemukan meninggal dunia, Sayuti memang menulis sejumlah artikel tentang pejabat setempat yang diduga menggelapkan dana program pengentasan kemiskinan. Dia juga melaporkan pencurian kayu yang melibatkan kepala desa. Cerita itu dimuat di halaman depan Pos Makasar, pada 1 Juni 1997. Meski demikian, polisi punya pendapat berbeda. Mereka menyatakan Sayuti meninggal karena kecelakaan lalu lintas. 24

6. Naimullah Kasus pembunuhan wartawan kedua pada 1997 menimpa jurnalis Sinar Pagi Naimullah. Pada 25 Juli 1997, jasadnya ditemukan dengan kondisi tubuh terpenggal di jok belakang mobilnya, di Pantai Penibungan, sekitar 90 kilometer di utara Pontianak, Kalimantan Barat. Di lehernya, terdapat luka bekas tusukan. Sementara di kepala, pelipis, dada, dan pergelangan tangan korban ada luka memar. CPJ 24

menduga kematian

Naimullah

karena ia gencar

Ibid, hal 24-25. 23


Melawan Ancaman Kekerasan

memberitakan

pencurian

kayu

dan

pembalakan

liar

di

Kalimantan. Dugaan itu tambah kuat, karena ada saksi mata yang melihat, almarhum terakhir kali terlihat bersama empat pria, salah seorang di antaranya adalah karyawan di perusahaan yang diduga terlibat kasus pembalakan liar. Hasil penelusuran CPJ menunjukkan, Naimullah diduga dibunuh karena menulis keterlibatan polisi dalam penebangan liar di daerah tersebut. Kasus pembunuhan Naimullah tidak pernah diusut hingga kini.

25

7. Agus Muliawan Jurnalis Asia Press Agus Mulyawan meninggal dunia dalam kasus penembakan pada 25 September 1999 di Timor Timur, ketika wilayah tersebut masih menjadi bagian dari Republik Indonesia. Agus tewas dalam kasus penembakan di Pelabuhan Qom, Los Palos, Timor Timur bersama dua biarawati, tiga frater dan dua remaja putri. Tidak pernah ada upaya polisi maupun TNI mengadili pembunuh Agus Mulyawan. 26

8. Supriadi Ia merupakan koresponden Harian Medan Pos di Aceh. Pada 5 Agustus 1999, tubuhnya ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di sebuah proyek irigasi di Bukit Hagu di Aceh Utara. Dua hari sebelum itu, pria berusia 34 tahun tersebut diculik dari rumahnya oleh dua orang tak dikenal yang mengendarai sepeda 25

Ibid, hal 25.

26

http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusi-praktik-impunitasterhadap-pembunuh.html, diakses 20 April 2013 24


Impunitas Lewat Batas

motor. Pemimpin Redaksi Medan Pos Ibrahim Sinik meyakini pembunuhan tersebut terkait dengan tulisan Supriadi terkait kasus korupsi. 27

9. Mohammad Jamal Kamerawan TVRI Muhammad Jamal yang bekerja pada TVRI Aceh ditemukan dalam keadaan meninggal dunia di sebuah sungai di Lamnyong pada 17 Juni 2003 setelah diculik oleh orang bersenjata tak dikenal dari kantornya di Banda Aceh pada 20 Mei 2003. Tubuhnya penuh luka dan tangannya terikat. AJI Indonesia menduga kematian Jamal terkait dengan kerja jurnalistiknya dalam meliput konik yang terjadi di Aceh saat itu. 28 Seorang juru bicara militer mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa tubuh Jamal ditemukan di sungai 17 Juni. Saksi lain, seperti dimuat kantor berita Reuters, mengatakan bahwa mata dan mulut Jamal telah ditutupi dengan lakban, tangan terikat dengan tali nilon, dan diikat ke batu besar yang diikatkan ke lehernya. Militer Indonesia membantah terlibat dalam pembunuhan Jamal, meski mereka menuduhnya bersimpati kepada gerakan pemberontak GAM. Berita terkait soal Jamal ini pernah dimuat Detik.com edisi 18 Juni 2003. Dalam berita itu disebutkan, Jamal ditemukan tewas oleh warga pada 18 Juni 2003. 29

27

http://www.newseum.org/scripts/Journalist/Detail.asp?PhotoID=1447 diakses 20 April 2013 28

http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusi-praktik-impunitasterhadap-pembunuh.html, diakses 20 April 2013 29

http://www.cpj.org/killed/2003/mohamad-jamal.php diakses 20 April 2013 25


Melawan Ancaman Kekerasan

10. Ersa Siregar Jurnalis senior RCTI Ersa Siregar meninggal tertembak saat terjadi kontak senjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka di Simpang Ulim, Aceh Timur, Nanggroe Aceh Darussalam pada 29 Desember 2003. Ia tertembak setelah disandera GAM bersama kamerawan RCTI, Ferry Santoro, sopir Rahmadsyah serta dua warga sipil yang merupakan istri dua perwira TNI. 30 Catatan AJI Indonesia menyebutkan, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Ryamizard Ryacudu ketika itu mengakui peluru yang menewaskan Ersa Siregar merupakan peluru TNI. Namun tidak ada proses hukum atas kasus terbunuhnya Ersa Siregar. 31

11. Elyuddin Telaumbanua Elyudin merupakan jurnalis pada Harian Berita Sore. Dari rumahnya di Jalan Yos Sudarso, Desa Saewe, Kecamatan Gunungsitoli, pada 29 Agustus 2005 ia pamit kepada istrinya, untuk melakukan liputan selama beberapa hari di Teluk Dalam. Sejak saat itu, ia tak pernah kembali. Mayatnya juga tak ditemukan. CPJ yang pernah mengirim tim untuk memveriď€ kasi kasusnya, memasukkan nama Elyudin dalam daftar jurnalis yang berstatus hilang. Sebelum menghilang, sejumlah tulisan Elyudin mengungkap beberapa kasus korupsi. 32

12. Herliyanto 30

Op. Cit. Abdul Manan, hal 26

31

http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusi-praktik-impunitasterhadap-pembunuh.html, diakses 20 April 2013 32

http://www.cpj.org/reports/2008/02/journalists-missing.php diakses 20 April 2013 26


Impunitas Lewat Batas

Wartawan lepas Harian Radar Surabaya Herliyanto ditemukan meninggal dunia di kawasan hutan jati Klenang, Desa Tarokan, Banyuanyar, Probolinggo, Jawa Timur, 29 Mei 2006. Ia dikenali oleh warga dan polisi dari ID card-nya sebagai wartawan. Berdasarkan hasil visum Rumah Sakit Umum Probolinggo, korban meninggal karena bacokan benda tajam. Korban mengalami luka pada bagian perut, luka pada tengkuk belakang selebar 12,5 cm dan luka pada kepala bagian atas dengan lebar kurang lebih 8 cm. Polisi memastikan pembunuhan terhadap Herliyanto bukan bermotif perampokan. Sebab, harta benda korban masih utuh.33 Berdasar laporan CPJ, pada 26 September 2006, polisi menangkap tiga tersangka, semuanya warga Desa Alun-alun di Kecamatan Ranuyoso. Polres Probolinggo juga menyebutkan, pembunuhan

Herliyanto

berhubungan

langsung

dengan

laporannya tentang kasus korupsi dalam proyek jembatan pada April 2006. Selain tiga tersangka, polisi mengidentiď€ kasi empat tersangka tambahan. Meski demikian, tidak ada satupun dari empat orang tersebut yang segera ditangkap.34 Data Dewan Pers menyebutkan, Persidangan Pengadilan Negeri Kraksaan pada 2007 membebaskan terdakwa SS karena dinilai sakit jiwa. Dalam persidangan, hakim sempat menunda sidang hingga empat kali karena jaksa sulit menghadirkan terdakwa yang tiba-tiba sakit jiwa. SS kemudian diputus bebas tanpa kehadirannya dan juga membebaskan St dan NDP karena tidak cukup alat bukti dan saksi utama (SS) dinyatakan sakit 33

Op Cit. Abdul Manan, hal 27

34

http://www.cpj.org/killed/2006/herliyanto.php diakses 20 April 2013 27


Melawan Ancaman Kekerasan

jiwa. Jaksa kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan belum ada putusan dari MA. Sementara, empat tersangka lain yang sempat disebut belum ditangkap dan diusut hingga kini. 35

13. Anak Agung Prabangsa Bekerja sebagai jurnalis di Harian Radar Bali sejak 2003, Anak Agung Prabangsa menghilang dari rumahnya di Denpasar sejak 11 Februari 2009. Setelah ditelusuri, dari rumah ternyata Prabangsa sempat datang ke kampung kelahirannya di Taman Bali, Kabupaten Bangli. Sepeda motornya ditemukan di sana. Namun, ternyata ia hanya mampir sebentar, sebelum kemudian pergi. Lima hari setelah menghilang, jenazah pria 45 tahun tersebut ditemukan ditemukan mengambang di Pantai Bias Tugel, Desa Padangbai, Karangasem, Bali pada 16 Februari 2009. Kondisi jenazah sangat memprihatinkan: kepala pecah, telinga kiri robek, dada dan leher lebam, serta bola mata hilang. Meski sudah meyakini Prabangsa jadi korban pembunuhan, awalnya, polisi tidak menemukan indikasi bahwa pembunuhan itu berkaitan dengan profesi Prabangsa sebagai wartawan. Tapi, titik terang mulai terlihat setelah teman-teman sekantor Prabangsa mengatakan jurnalis itu pernah mengeluh sering diancam, meski tak menjelaskan siapa pelaku pengancaman. Dari tulisan Prabangsa soal penunjukan langsung pengawas proyek sejumlah pembangunan di Dinas Pendidikan Bangli, senilai Rp4 miliar menuntun polisi ke rumah milik Nyoman Susrama 35

http://www.dewanpers.or.id/joomla/index.php?option=com_content&vi ew=article&id=460:perkembangan-kasus-pembunuhan-wartawan-qdeltaposq&catid=41:berita&Itemid=130 diakses 20 April 2012 28


Impunitas Lewat Batas

yang kemudian ditetapkan jadi tersangka. Di rumah tersebut, polisi menemukan bercak darah Prabangsa pada celana panjang milik salah satu tersangka. Penemuan bercak darah pada sebuah mobil Kijang, semakin memperkuat keyakinan keterlibatan Susrama. Pada 25 Mei 2009 Susrama ditetapkan sebagai tersangka pelaku pembunuhan bersama Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana alias Mangde. Komang Gede, staf accounting proyek pembangunan taman kanak-kanak internasional di Bangli adalah yang menjemput korban untuk kemudian dieksekusi Mangde dan Rencana yang kemudian membuang mayatnya. Tersangka lainnya Dewa Sumbawa merupakan sopir Susrama. Sedangkan Endy merupakan sopir dan karyawan perusahaan air minum merek Sita, yang berperan membersihkan darah korban bersama Jampes. Prabangsa dibunuh di rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, pada 11 Februari 2009, sekitar pukul 16.3022.30 waktu setempat. Awalnya, Prabangsa diundang ke rumah di Banjar Petak tersebut, lalu dieksekusi dengan cara dipukul balok kayu. Setelah itu, jenazahnya dibuang ke laut melalui Pantai Padangbai. Hakim menguatkan keyakinan polisi. Dalam sidang 15 Februari 2010, hakim mengganjar Nyoman Susrama dengan penjara seumur hidup, lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang menuntut hukuman mati.

36

14. Ardiansyah Matra’is Selama dua bulan terakhir sebelum ditemukan meninggal 36

Abdul Manan, Menjelang Sinyal Merah: Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen 2011, Aliansi Jurnalis Independen, 2011, hal 28 29


Melawan Ancaman Kekerasan

dunia, Adriansyah Matra’is Wibisono, jurnalis TV lokal Merauke sering menerima pesan pendek (SMS) bernada teror dari nomor telepon yang tidak dia kenal. Beberapa SMS yang diterima Ardiansyah juga diterima sejumlah wartawan lain di Merauke dalam kurun waktu yang sama. Pesan pendek berisi ancaman memang berseliweran seiring dengan perhelatan pemilihan kepala daerah di Merauke pada akhir Juli 2010. Menurut penelusuran tim AJI Jayapura, almarhum terlihat terakhir kali dalam keadaan hidup pada 28 Juli 2010, sekitar pukul 13.00 waktu setempat. Kepada beberapa orang dekatnya, hari itu Ardiansyah mengatakan akan menemui seseorang. Tapi, dia tidak menyebut lokasi pasti pertemuan itu. Yang jelas, setelah pertemuan dengan seseorang yang identitasnya belum diketahui itu, Ardiansyah tak pernah pulang ke rumah atau bertemu dengan teman-temannya. Akhirnya, mayat Ardiansyah ditemukan di Kali Maro, dekat Gudang Arang, Merauke, pada 30 Juli 20107. Dalam pernyataan pendahuluannya, Kepolisian Resor Merauke dan Kepolisian Daerah Papua, menyebut tak ada indikasi kekerasan dalam tewasnya Ardiansyah. Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto saat itu menjelaskan, dari hasil otopsi, dalam kematian Ardiansyah, tidak ada tanda-tanda kekerasan, dan visum dokter belum menyimpulkan penyebab kematian korban. Padahal, pemeriksaan paru-paru almarhum telah menunjukkan positif bahwa Ardiansyah tewas di dalam air, dan bukan tewas dibunuh baru dimasukkan ke dalam air. Pernyataan polisi membuat gusar para jurnalis serta kalangan

30


Impunitas Lewat Batas

pegiat hak asasi manusia. Soalnya, di lapangan, banyak faktafakta yang mencurigakan. Apalagi, menjelang sebulan setelah kematian Ardiansyah, pengusutan oleh polisi tak menunjukkan kemajuan berarti. Pada 23 Agustus 2010, puluhan jurnalis di Jayapura melakukan aksi long march dari gedung DPR Provinsi Papua menuju kantor Kepolisian Daerah Papua. Mereka minta Kepala Polda Papua, Inspektur Jenderal Bekto Suprapto diganti jika tak sanggup mengungkap kasus pembunuhan Ardiansyah. Salah satu kejanggalan dalam pengusutan Ardiansyah adalah tidak klopnya penjelasan polisi di daerah dengan penjelasan Markas Besar Polri di Jakarta. Berbeda dengan Polda Papua, Markas Besar Polri pernah memberikan pernyataan bahwa ada tanda-tanda bekas kekerasan pada beberapa organ tubuh Ardiansyah. Saat jenazahnya ditemukan, lidah Ardiansyah tampak menjulur, ada tanda memar pada bagian kepala belakang, dan satu giginya rontok. Penjelasan Mabes Polri senada dengan informasi yang diperoleh AJI Jayapura yang menguatkan dugaan terjadinya kekerasan sebelum korban dibuang ke Kali Maro. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga membentuk

tim

investigasi

untuk

mengusut

kematian

Ardiansyah. Setelah mengumpulkan dan menganalisis fakta di lapangan, tim Komnas HAM menemukan indikasi awal bahwa kematian Ardiansyah berkaitan dengan proses Pemilihan Kepala Daerah Merauke. Tapi, kasus ini tidak diusut hingga kini. 37

37

Ibid, hal 14-18 31


Melawan Ancaman Kekerasan

15. Ridwan Salamun Jurnalis SUN TV Ridwan Salamun terbunuh saat meliput bentrokan antarwarga Kompleks Banda Eli dan warga Dusun Mangun di Desa Fiditan, Tual, Maluku Tenggara, pada 21 Agustus 2010 sekitar pukul 08.00 WIT atau sekitar pukul 10.00 WIB. Salamun saat itu berada di tengah-tengah massa karena berusaha mengambil gambar kedua pihak yang bertikai. Saat itulah massa dari warga Dusun Mangun menyerang dan mengeroyoknya. Ridwan mengalami luka bacok pada leher dan punggung. Ia tergeletak di jalan untuk beberapa lama sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit. Upaya penyelamatan yang terlambat itu sia-sia karena Ridwan mengembuskan napas terakhirnya di perjalanan menuju rumah sakit. Polisi langsung bergerak mengusut peristiwa berdarah itu. Awalnya, para pelaku yang terlibat bentrokan saling menutup diri. Baru pada 24 Agustus 2010, polisi menetapkan seorang tersangka berinisial IR, berasal dari Desa Fiditan, setelah memeriksa lebih dari 10 saksi dari dua desa yang terlibat bentrokan. Setelah itu, polisi 13 orang. Tapi, hanya tiga di antara mereka yang ditetapkan sebagai tersangka dan diadili. Isyarat tak baik terbaca saat jaksa menuntut Hasan Tamnge, 28 tahun, Ibrahim Raharusun, 38 tahun, dan Sahar Renuat, 21 tahun, dengan hukuman 8 bulan penjara. Padahal, jaksa mendakwa mereka melakukan penganiayaan dan pembunuhan. Tuntutan yang terlalu ringan itu berbuah putusan bebas. Pada 9 Maret 2011, majelis hakim Pengadilan Negeri Tual, Maluku yang diketuai Jimy Wally membebaskan ketiga terdakwa. Menurut hakim, ketiga terdakwa bebas demi hukum karena 32


Impunitas Lewat Batas

tidak terbukti menganiaya dan membunuh. Jaksa melakukan kasasi. MA memutus ketiga terdakwa bersalah. Namun, hingga kini belum dieksekusi karena pelaku melarikan diri. 38

16. Alfrets Mirulewan Alfrets Mirulewan jurnalis Tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan

meninggal

dunia

pada

17

Desember

2010.

Jenazahnya mengapung di Pelabuhan Pantai Wonreli, Kisar, setelah menghilang sejak 14 Desember 2010. Tiga hari sebelum meninggal dunia bersama temannya, Leksi, Afrets melakukan investigasi soal kelangkaan Bahan Bakar Minyak di Pelabuhan Pantai Nama. Setelah mengantar Leksi pulang pada 14 Desember malam, Alfrets tak pernah lagi terlihat sampai ditemukan dalam keadaan bernyawa. Polisi telah menangkap empat orang yang disangka sebagai pelaku pembunuhan Alfrets dan kemudian divonis bersalah oleh pengadilan. Namun, kalangan jurnalis di Kisar meragukan bahwa kelima orang tersangka merupakan pelaku utama. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga telah menerima pengaduan bahwa penetapan tersangka direkayasa, dan pelaku sebenarnya belum ditangkap dan diproses hukum. 39 Selain 16 jurnalis tersebut, dalam rentang 2001 hingga 2012 ada lima jurnalis lainnya yang meninggal dunia tidak wajar dan hilang. Dari data yang dihimpun, di antara mereka ada yang dinyatakan meninggal dunia tidak terkait dengan profesi sebagai jurnalis, ada yang masih dalam tahap pengumpulan 38

Ibid, hal 19-22

39

Ibid, hal 22-24 33


Melawan Ancaman Kekerasan

bukti-bukti dan ada yang hilang:

1. I Wayan Sumariasa I Wayan Sumariasa merupakan wartawan mingguan Poso Post, Sulawesi Tengah. Pada 7 Juni 2001, mayatnya ditemukan terapung di sungai dalam kondisi yang mengenaskan setelah hilang selama enam hari. Hasil visum dokter saat jenazah ditemukan, menyebutkan bahwa Wayan diduga meninggal beberapa hari sebelumnya. Kematian Wayan diduga akibat penganiayaan berat karena di tubuhnya ditemukan sejumlah bekas luka akibat sabetan senjata tajam. 40 Pemimpin Redaksi Poso Pos Husri Ahmad tidak bisa memastikan apakah

kematian

wartawannya

tersebut

terkait

dengan

pemberitaan atau bukan. Pasalnya, Wayan baru bergabung selama tiga bulan ke mingguan itu dan baru menyumbang satu tulisan. 41

2. Muhammad Syaifullah Wartawan Kompas Muhammad Syaifullah ditemukan meninggal dunia di rumah dinasnya di Balikpapan pada 26 Juli 2010. Ketika ditemukan warga, Kepala Biro Kompas untuk Kalimantan tersebut dalam keadaan terbaring dengan mulut berbusa, memakai kaus dan sarung, tangannya memegang remote TV. Di sampingnya ada botol minuman sirup, dan gelas berisi sirup itu. Tak jauh dari 40

http://arsip.gatra.com/2001-06-08/artikel.php?id=6911 diakses 20 April 2013 41

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/06/07/0038.html diakses 20 April 2013 34


Impunitas Lewat Batas

gelas itu ada satu lempeng obat Bodrex. Sejumlah kolega wartawan yang mengenalnya tak melihat ada riwayat sakit berat yang dialami Syaiful. Meski ada kecurigaan korban meninggal bukan karena sakit, namun polisi memastikan bahwa Syaifullah meninggal karena penyakit yang ia derita dan tak ada bukti kekerasan terhadap korban. Menurut polisi, korban sudah lama mengidap berbagai penyakit. Salah satunya adalah darah tinggi. 42

3. Asep Pajario Wartawan Sriwijaya Post Arsep Pajario ditemukan tewas di dalam kamar rumahnya di Komplek Citra Dago Blok D No. 9, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Sukarami, Palembang, Sumatera Selatan, dengan tubuh telah membusuk, sekitar pukul 14.00 WIB, 17 September 2010. Setelah disidik, ditemukan fakta Arsep meninggal dunia karena dibunuh orang dekatnya karena persoalan pribadi dan tak berhubungan dengan profesinya sebagai jurnalis. Untuk kasus ini, polisi menetapkan Steď€ Andila Panjaitan sebagai tersangka. Akibat perbuatannya itu, hakim di Pengadilan Negeri Palembang menjatuhkan vonis delapan tahun penjara pada 7 Maret 2011.43

4. Aryono Linggotu Jurnalis Harian Metro Manado Aryono Linggotu, meninggal dunia setelah ditikam di Jalan Daan Mogot 4, Kelurahan Tikala Baru, Lingkungan II Kecamatan Tikala, Manado. Korban 42

Op Cit, Abdul Manan, hal 14

43

Ibid, hal 13-14 35


Melawan Ancaman Kekerasan

mengalami 14 luka tusukan di sekujur tubuhnya pada Minggu (25/11/2012) sekitar pukul 05.00 WITA. Tersangka yang berinisial JK alias Jimmy diringkus di rumahnya di Kelurahan Dendengan Dalam Kecamatan Tikala, Manado. Dalam sidang di PN Manado, pelaku dihukum 12 tahun penjara. Ia tidak terbukti melakukan pembunuhan berencana. Putusan PN Manado kemudian diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara. Meninggalnya Aryono tidak dikaitkan dengan tugasnya sebagai jurnalis. Meski demikian, AJI Manado menilai ada kejanggalan, sehingga membentuk tim pencari fakta untuk kasus ini. 44 Bila semua data itu dirangkum, terhitung sejak 1983 hingga 2012, sedikitnya 20 jurnalis dibunuh, meninggal tidak wajar dan hilang. Dari jumlah tersebut, 16 jurnalis di antaranya sudah dipastikan hilang dan dibunuh terkait dengan tugas-tugasnya sebagai jurnalis. Dari 16 kasus hilang dan pembunuhan jurnalis itu, hanya 2 kasus yang diusut hingga pelakunya dihukum. Sementara, pelaku 14 kasus lainnya masih berkeliaran termasuk 8 kasus yang bukti-buktinya yang sudah kuat.

IMPUNITAS PELAKU KEKERASAN Dari deretan kasus kekerasan pada jurnalis tersebut, penegak hukum hanya menangani dengan baik kasus pembunuhan Anak Agung Prabangsa sehingga pelakunya dihukum penjara seumur hidup. Segelintir kasus lain, seperti dalam kasus Ridwan Salamun, diusut dengan setengah hati, sehingga membuat terdakwa bebas berkeliaran. Bahkan, dalam kasus jurnalis Bernas Udin, aparat 44

http://fokussulut.com/aji-manado-bentuk-tpf-ungkap-pembunuhanwartawan-aryono-linggotu/ diakses tanggal 1 Mei 2013 36


Impunitas Lewat Batas

negara turut merekayasa kasus untuk menyesatkan pencarian kebenaran. Impunitas terhadap pelaku pembunuhan terhadap jurnalis telah menimbulkan preseden buruk penegakan hukum di negeri ini, sekaligus menegaskan fakta bahwa profesi jurnalis yang dilindungi undang-undang di negeri ini, merupakan profesi yang paling berisiko untuk keselamatan jiwa. Karena banyak kasus yang tidak diusut tersebut, terus mengakibatkan pengulangan kasus. Pihak-pihak yang tidak suka dengan pemberitaan media mendapat contoh buruk bagaimana memperlakukan wartawan. Impunitas menimbulkan preseden buruk. Dan, preseden itu akan terus jadi mimpi mengerikan yang mengancam kebebasan pers di Tanah Air. Hal lain yang perlu dipelajari dari 16 kasus tersebut adalah, cara yang paling banyak dilakukan dalam pembunuhan jurnalis: 1. Penculikan (8 kasus) 2. Penembakan (2 kasus) 3. Kecelakaan lalu lintas (2 kasus) 4. Pengeroyokan (2 kasus) Sebagian penculikan dilakukan dengan cara kekerasan menjemput jurnalis dari rumah

atau

kantor, kemudian

membawa ke suatu tempat dan membunuhnya. Penculikan juga bisa diawali baik-baik dengan permintaan untuk bertemu, tapi jurnalis dijebak. Karena, permintaan tersebut hanya modus menculik jurnalis untuk kemudian membunuh. Cara penculikan lainnya dilakukan dengan menghadang di jalan yang sepi, menculik jurnalis untuk kemudian dibunuh. Modus penculikan ini terjadi pada 8 dari 16 kasus di atas. Mereka yang diculik 37


Melawan Ancaman Kekerasan

biasanya ditemukan berhari-hari kemudian dalam kondisi yang mengenaskan. Mayat jurnalis dibuang di hutan, sungai, laut dan dalam beberapa kasus jurnalis yang diculik, sebenarnya mereka sudah menerima ancaman sebelumnya. Namun, jurnalis yang menerima ancaman tidak memberitahu ancaman tersebut kepada orang-orang terdekat. Penembakan dua jurnalis dari 16 kasus di atas, terjadi di daerah yang sedang mengalami konik bersenjata. Di daerah yang sedang mengalami konik bersenjata, jurnalis bisa menjadi sasaran salah satu pihak yang bertikai, karena tidak senang dengan pemberitaan atau berbagai alasan lain. Namun, jurnalis bisa juga tertembak ketika berada di tengah kontak senjata. Pembunuhan terhadap jurnalis juga dilakukan di jalan raya dengan modus kecelakaan lalu lintas. Di jalanan, pembunuhan dilakukan dengan cara menabrak, menyerempet atau cara-cara lain yang mencelakakan. Pelaku dengan modus pembunuhan seperti ini, ingin mengelabui agar kejahatan mereka tertutupi. Jurnalis juga dibunuh secara terang-terangan dengan melakukan pengeroyokan dan penganiayaan di rumah atau di tempat umum. Udin, misalnya, dikeroyok di rumah di depan keluarganya. Luka-luka akibat pengeroyokan tersebut membuat Udin meninggal dunia di rumah sakit beberapa hari kemudian. Sementara, Ridwan Salamun dikeroyok massa di jalanan, dibiarkan tergeletak, hingga akhirnya meninggal dunia karena luka berat yang dideritanya. Pembunuhan dan penghilangan pada jurnalis seperti yang terjadi pada 16 jurnalis di atas merupakan puncak dari ribuan kasus kekerasan yang terjadi pada jurnalis di Indonesia. Bila 38


Impunitas Lewat Batas

untuk kasus pembunuhan saja, masih banyak yang belum diusut tuntas, kondisi yang lebih parah terjadi pada kasus-kasus kekerasan yang lain.

39


Foto: Rus Akbar


BAB III

BABAK BELUR DIHAJAR KEKERASAN


Melawan Ancaman Kekerasan

H

anya dalam rentang 17 tahun (1996-2012), sudah hampir 1.000 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis di Indonesia. Fakta ini membuktikan, betapa profesi jurnalis

alias wartawan yang dilindungi hukum tersebut, terlecehkan dan terinjak-terinjak. Bila ada yang berniat menggelar survei tentang profesi paling berisiko terhadap keselamatan jiwa di Indonesia, kuat dugaan profesi jurnalis akan keluar sebagai juara satu. Ancaman yang besar tersebut ironisnya, tak diikuti pengusutan kasus demi kasus sesuai hukum yang berlaku. Di berbagai daerah, nyawa jurnalis melayang dan keluarganya meratap tak tahu siapa pembunuhnya. Ketika jurnalis dianiaya, dikeroyok atau dipukuli, hukum sulit berjalan bila tak ada tekanan dari komunitas pers. Hal-hal seperti itu terjadi pula pada jurnalis di Sumatra Barat.

TESTIMONI KORBAN KEKERASAN DI SUMBAR Dalam rentang lima tahun (2008-2012) di Sumbar terjadi 12 kasus kekerasan pada jurnalis. Hingga Mei 2013, kasus kekerasan tersebut berjumlah 13 kasus. Pada bab ini, lima jurnalis yang menjadi korban memberikan testimoni dari lima kasus kekerasan tersebut: Kekerasan yang dilakukan beberapa anggota TNI Angkatan Darat terhadap tiga jurnalis di depan Komplek TNI Kompi C Batalyon 133/Yudha Sakti di Siteba, Padang, pada Senin, 22 Desember 2008. 1. Kekerasan oleh anggota TNI Angkatan Darat kepada tiga orang jurnalis di Siteba pada 22 Desember 2008. 2. Kekerasan oleh sejumlah anggota TNI Angkatan Udara 42


Babak Belur Dihajar Kekerasan

terhadap belasan jurnalis di Tunggul Hitam, pada 23 Juli 2011. 3. Kekerasan terhadap tujuh jurnalis yang dilakukan oleh beberapa anggota marinir TNI Angkatan Laut pada 29 Mei 2012. 4. Kekerasan terhadap jurnalis Padang Ekspres yang dilakukan aktivis LSM di Lubuk Basung, Kabupaten Agam 8 Oktober 2012 5. Ancaman dengan pistol terhadap belasan jurnalis yang meliput razia Satpol PP di Pantai Padang pada 13 Februari 2013

“Woi Wartawan, Gue Lempar Kau� Tommy De Rapers, Kontributor RCTI untuk Sumbar45 Saya sedang upload gambar di Warnet Griya, tiba-tiba datang telpon dari anggota Polresta Padang, Arlen. Informasinya, ada jambret. Hal yang membuat saya mesti mengalihkan fokus adalah, 45

Tommi adalah satu dari tiga jurnalis yang terkena kasus kekerasan oleh sejumlah anggota TNI Angkatan Darat di depan Komplek TNI Kompi C Batalyon 133/Yudha Sakti di Siteba, Senin, 22 Desember 2008 sekitar pukul 20.15 WIB. Selain Tommi, dua jurnalis lainnya yang menjadi korban adalah, Budi Sunandar (Global TV) dan Rian TauďŹ k (ANTV). Penganiayaan berawal dari aksi jambret yang diduga dilakukan oknum aparat terhadap korban Ranata (24) dengan menggunakan sepeda motor RX King di Jalan Ahmad Yani, Padang sekitar pukul 20.00 WIB. Usai menjambret, pelaku melarikan diri ke arah Pasar Alai kemudian berpindah ke Kompi Senapan C YON 133 YS, Siteba. Pelaku dikejar oleh anggota Polantas. Mengetahui buruannya masuk ke markas TNI, Polantas yang diketahui bernama Putra minta ijin kepada petugas piket untuk melakukan pengejaran ke dalam Kompi. Meskipun kemudian Putra mendapatkan buruannya, namun polisi ini malah mendapatkan penganiayaan oleh oknum TNI hingga tulang rahang bergeser serta tubuh luka memar di bagian tubuh dan wajah. Saat inilah kemudian tiga wartawan datang untuk melakukan peliputan dan menjadi korban penganiayaan. Budi (Global TV) harus menderita luka sobek di pelipis mata dan benjol di bagian belakang kepala akibat lemparan batu dan pukulan tangan kosong. Sementara itu, Rian (ANTV) ditodong senjata laras panjang dan Tommy (RCTI) menderita luka memar di bagian punggung akibat lemparan batu. Kasus ini dilaporkan ke POM, namun tidak diusut. 43


Melawan Ancaman Kekerasan

jambret itu lari ke Kompi C (Kompi Senapan Batalyon Yudha Sakti Korem 032 Wirabraja), Siteba, Padang. Yang ada dipikiran saya, ini jambret pasti babak belur. Lari kok ke kandang macan. Tanpa pikir panjang, saya dan temanteman lain seperti Budi Sunadar dari MNC TV, Rian dari ANTV, langsung menuju ke sana. Ini berita menarik. Kami tidak langsung masuk, sesampai di sana. Dari luar, kami memantau apa yang terjadi di dalam. Dengan handycam dalam posisi on, bila ada kejadian yang saya prediksi di awal terjadi. Tanpa kami duga, tiba-tiba datang segerombolan TNI, ada yang berpakaian loreng, ada yang tidak. Mereka datang dengan maksud tidak bersahabat. Mereka langsung berteriak, “Woi, wartawan, ngapaian kau. Gue lempar kau.� Bukan ancaman, tapi benar-benar dilakukan. Kami langsung dilempar. Dalam keadaan gelap, karena kejadiannya malam, saya berusaha menyelamatkan diri. Budi saya tarik. Ketika saya tarik Budi, batu langsung sampai ke punggung. Saya dorong Budi untuk lari, saya ngambil motor. Saya berhasil menjauh dari tempat itu sejauh 50 meter.

Punggung saya

sungguh sakit. Saya juga melihat darah di wajah Budi. Saya langsung kepikiran Rian. Mana Rian? Budi tidak tahu. Dengan langkah berat, kami paksakan kembali ke tempat semula untuk melihat Rian, sembari berharap tentara berpakaian loreng itu sudah menganggap kami tak lagi di sini. Astaga. Rian dalam bahaya. Saya melihat dengan jelas Rian diancam dengan senjata laras panjang ke dadanya. Saya sungguh 44


Babak Belur Dihajar Kekerasan

melihat dengan jelas. Saya memejamkan mata berharap itu tidak nyata. Saya tidak tahu bagaimana Rian lolos. Tapi saya bersyukur ia berada di samping saya, malam itu. Setelah lengkap, dan berada di tempat aman, saya telpon Ucok (Nofrianto), juga teman jurnalis. Dia biasa bertugas di DPRD. Ucok datang dan diskusi singkat memutuskan malam itu kami melapor ke Denpom. Pada saat yang sama, informasi dari polisi kemudian saya tahu, polisi yang mengejar ke dalam Kompi juga dipukuli. Rahangnya bergeser. Saya diperiksa di Denpom sampai jam 4 pagi didampingi kawan-kawan jurnalis dari berbagai media dan beragam organisasi. Dalam pemeriksaan, kami meminta dimasukkan satu kalimat bahwa, “Rian diancam dengan senjata laras panjang.” Saya tidak mau tandatangan bila kalimat itu tidak dimasukkan. Petugas yang memeriksa enggan memasukkan kalimat itu. Ia berusaha meyakinkan kami bahwa kejadian itu tidak ada. Kami tetap bersikukuh. Saya mendengar petugas itu menelpon komandannya. “Tidak mau dia Ndan.” Dia balik lagi ke kami. “Tolonglah, Pak.” Dengan nada keras saya jawab, “Kalau tidak ditulis teman saya ditodong senjata, saya tidak mau.” Melihat saya tidak surut, akhirnya kalimat itu ditulis. Akhirnya saya di BAP.

Besoknya saya diperiksa lagi,

diajukan 24 pertanyaan. Meski sudah di BAP, beberapa minggu kemudian kami datangi Danrem. Kepada kami dia berjanji akan menyelesaikan kasus tersebut. Danrem minta maaf, tapi itu saja tidak cukup. Desakan itu tidak berpengaruh, 45


Melawan Ancaman Kekerasan

sampai sekarang, tindakan anarkis itu tidak ada kejelasan. (*)

“Bukan di Wilayah Militer, Tetap Dikasari” Afriyandi, Jurnalis Metro TV46 Saya mendengar informasi bahwa ada pesawat yang jatuh. Saat itu, di Lanud Tabing, sedang ada “pesta” TNI AU. Mereka menggelar Minang Aero Sport Show 2011. Ingatan saya tak 46

Afriyandi adalah salah satu dari belasan korban kekerasan sejumlah anggota TNI Angkatan Udara saat jurnalis meliput jatuhnya pesawat aeromodeling di Kawasan Tunggul Hitam, Padang pada 23 Juli 2011. Pesawat Aerobatik Tipe N 21 H yang dibawa pilot Angkatan Udara Malaysia, Zakaria bin Shaleh (57) jatuh saat uji fligh atau gladi resik akrobatik. Pesawat jatuh ke lahan kosong di sekitar rumah warga. Pilot yang sempat dilarikan ke Rumah Sakit M. Djamil, Padang akhirnya meninggal dunia. Di ruang Urusan Gawat Darurat Rumah Sakit Dr M Djamil Padang, dua jurnalis, masing-masing Ficky (jurnalis Padang TV) dan Rio May Putra (jurnalis salah satu televisi swasta) yang sedang mengambil gambar dari balik kaca rumah sakit tersebut, didatangi pria berpakaian safari yang mengaku anggota TNI AU. Ia meminta Ficky menghapus rekaman. Bila tidak dihapus, ia mengancam akan membanting kamera. Pelanggaran lainnya terjadi di areal jatuhnya pesawat di kawasan pemukiman warga di Tunggul Hitam, Kecamatan Koto Tangah. Belasan jurnalis dihalang-halangi untuk mengambil foto dan gambar bangkai pesawat yang jatuh. Meskipun berada di luar police line dan tidak mengganggu proses evakuasi bangkai pesawat, jurnalis diusir antara lain dengan cara dibentak-bentak, didorong, dilempari batu dan potongan kayu. Juru foto Deri Okta Zulmi (Singgalang), Ridwan (Padang Ekspres) dan Ista Yuki (Posmetro Padang) dihalangi dengan cara didorong dan dibentak. Jurnalis Metro TV Afriyandi yang sedang mengambil gambar disodok dengan galah sambil dibentak-bentak oleh salah seorang oknum TNI Angkatan Udara yang mengenakan masker. Demikian juga yang terjadi pada jurnalis televisi lainnya, Deden dan jurnalis SCTV Arset Kusnadi, dihalangi untuk mengambil gambar. Jurnalis Radio KBR 68H Zulia Yandani yang sedang mewawancarai warga sebagai saksi mata, diusir oleh anggota lainnya. Sementara itu, jurnalis Media Indonesia Hendra Makmur dan jurnalis Kompas Ingki Rinaldi yang sedang mengambil foto dari semak-semak di luar police line beberapa kali dilempari batu dan potongan kayu sambil dibentak-bentak. Meskipun lemparan tersebut tidak melukai karena tidak mengenai kedua jurnalis, kejadian tersebut jelas merupakan intimidasi terhadap jurnalis yang sedang melakukan tugas jurnalistik. Kasus ini dilaporkan ke Dewan Pers dan ditindaklanjuti ke Mabes TNI Angkatan Udara, namun tak pernah ditanggapi. 46


Babak Belur Dihajar Kekerasan

langsung tertuju ke sini. Beberapa teman yang sering liputan bareng sudah berada di lokasi. Saya mendapat info bahwa lokasi pesawat yang jatuh itu berada di Tunggul Hitam, di samping Lanud Tabing. Keberadaan lokasi pesawat jatuh itu yang membuat saya yakin bahwa kecelakaan ini dialami peserta Aero Sport. Belum ada informasi yang bisa diperoleh siapa dan dari mana korban kecelakaan. Saya langsung menuju ke Tempat Kejadian Peristiwa (TKP). Saat saya sampai, masyarakat sudah berkerumun melihat bangkai pesawat. Lokasi jatuh pesawat tersebut bukan di wilayah TNI AU Lanud Tabing. Ia berada sekitar 1 kilometer dari markas eks bandar udara itu. Dengan atribut lengkap—kartu pers ditaruh di leher— saya langsung mengambil gambar. Pertimbangan saya, lokasi jatuh pesawat bukan wilayah militer sehingga tak perlu minta izin, meski TKP dipenuhi anggota TNI AU. Saat saya mulai mengambil gambar, saya langsung dilarang. Saya mencari akal, mencari celah agar tetap bisa melanjutkan tugas jurnalistik. Tapi, di manapun saya mengambil gambar, tetap juga dilarang. Akhirnya, saya mendapatkan posisi di atas pagar rumah orang. Saya kira, di sini tidak akan diganggu lagi. Jaraknya sekitar 10 meter dari bangkai pesawat naas. Saat itu, TNI sedang sibuk evakuasi korban. Tapi, ternyata saya tetap saja dilarang mengambil gambar. Kali ini tidak hanya melarang. Seorang perwira berpangkat kapten bernama Tri Gunawan, memegang sepenggal kayu, 47


Melawan Ancaman Kekerasan

mengarahkannya ke saya. Ia memperlakukan saya seperti buah yang sedang dijolok supaya jatuh. Ia menyuruh saya turun. Pinggang dan bahu saya terkena kayu. Saya tetap tidak mau turun dan terus mengambil gambar. Saya beranikan melawan. “Kamu baik-baik ngusirnya. Saya wartawan.” Tapi, pernyataan itu tak dihiraukan. Ia terus mencoba mengusir saya. Saya tidak bisa hitung, entah berapa kali kayunya tepat sasaran ke tubuh saya. Saya tetap tidak mau turun. Di saat kejadian itu, tiba-tiba seorang provost memegang tangan saya. Dengan wajah bertolak belakang seperti yang ditampilkan kapten, ia bilang, “Udah Bang, turun.” Karena ada yang ngomong lembut dengan saya, saya menuruti ajakan tersebut. Pada saat yang sama, teman-teman yang lain juga mengalami hal serupa dengan saya. Ada yang sudah berada di semak-semak, tetap juga dilarang untuk mengambil gambar. Bahkan, teman dari ANTV, Rio, mengalami hal yang sama saat meliput di RSUP M. Djamil Padang, tempat korban mendapatkan pertolongan pertama. Informasi yang saya peroleh, jatuhnya pesawat Cristian Eagle 2 pada 23 Juni 2011 itu menewaskan Kolonel Angkatan Udara Tentara Diraja Malaysia (Purn) Zakaria Saleh. Ia terjatuh saat melakukan aksi familiarisasi area. “Sampai sekarang saya masih heran, ini hanya aksi olahraga, bukan latihan militer. Tapi kenapa tidak boleh diabadikan gambarnya?” (*)

48


Babak Belur Dihajar Kekerasan

“Mereka Menyerang Membabi-buta� Budi Sunandar , Jurnalis di Grup MNC TV47 Kawasan yang dituju oleh Satpol PP untuk dilakukan sweeping pada Selasa (29 Mei 2012) adalah Bungus Teluk Kabung. Menjadi rahasia umum di masyarakat, di sepanjang pantai ini dijadikan tempat maksiat. 47

Budi Sunandar adalah salah satu korban kekerasan anggota Marinir TNI Angkatan Laut di Padang di Kawasan Bukit Lampu, Padang pada 29 Mei 2012 saat meliput penertiban kafe yang dilakukan Satpol PP Padang. Warga setempat menenggarai sejumlah kafe menjadi tempat maksiat sehingga meminta aparat menertibkan. Belasan wartawan meliput penertiban itu. Usai penertiban, sekitar pukul 16.00 WIB, iring-iringan mobil dan sepeda motor aparat, wartawan dan warga dilempar dengan batu oleh sejumlah anggota Marinir. Sebagian besar kendaraan tetap melaju. \ Namun, satu bus milik Pemko Padang yang berisi wartawan dan anggota Satpol PP berhenti. Di belakang bus ada sejumlah warga bersepeda motor ikut berhenti. Saat itulah, belasan oknum anggota Marinir merangsek turun dari Kafe Haris yang berada di atas tebing dan menyerang warga sambil mengeluarkan katakata kotor. Sejumlah jurnalisyang coba mengabadikan peristiwa itu tak luput dari aksi kekerasan oknum Marinir. Mereka memukul dan membanting alat kerja jurnalistik. Sejumlah kamera dirusak, dan tiga sepeda motor dilempar ke laut. Kamera milik Syamsu Ridwan, fotografer Padang Ekspres dirampas dan diambil memorinya. Kartu persnya ditarik paksa. Julian dari Sumbarterkini, dan Indra dari SCTV, mendapat pukulan di bagian punggung. Kamera video milik Jamaldi dari Favorit TV dipecahkan ke jalan. Kasus ini kemudian diusut oleh POM TNI AL sampai disidangkan di Pengadilan Militer Padang. Pada Kamis 4 April 2013 majelis hakim yang terdiri dari Letkol Chk Roza Maimun, Kapten Chk Jonarku dan Kapten Chk A. Halim memutuskan terdakwa Serda Ade Carsim dan Serda Sadam Husein terbukti melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers junto Pasal 170 KUHP, sehingga divonis 11 bulan penjara. Sementara, satu terdakwa lainnya, Pratu Dwi Eka Prasetya divonis 8 bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Dari belasan orang yg semula ditahan karena kasus ini, akhirnya hanya tiga orang tersebut yang menjadi terdakwa dan divonis bersalah. Kasus ini merupakan pertama kali digunakannya UU Pers dalam vonis di Pengadilan Militer. 49


Melawan Ancaman Kekerasan

Bentuk tempatnya seperti pondok di sawah. Atap dan ketiga sisi di pondok itu ditutupi bahan rumbia. Hanya satu sisi dari depan yang bisa memantau aktivitas orang di dalamnya. Namun, karena letaknya menghadap ke laut, nyaris tak ada aktivitas yang bisa dipantau dari luar. Kami berkumpul sekitar pukul 14.00 WIB di kantor lurah Gates, Lubuk Begalung. Selain Satpol PP, pada hari yang sama juga turut tim SK4, tim yang juga dipersiapkan untuk “membasmi” penyakit yang dianggap milik masyarakat. Lokasi pertama yang dijadikan sasaran adalah kawasan yang biasa disebut “Bukit Monyet”. Lokasi ini, monyet terlihat begitu jinak. Banyak orang yang hanya sekedar singgah untuk melihat monyet-monyet berkeliaran di jalanan. Tapi, kedatangan Satpol PP bukan untuk menangkap monyet. Lokasi ini juga dijadikan pasangan mudamudi, belum menikah, tapi melakukan hal yang terlarang. Warga turut mengikuti tim yang membongkar tempat yang berbentuk seperti pondok di sawah itu. Saat pembongkaran, ada perselisihan pendapat antara pemilik pondok dan Satpol PP. Pun, berselisih antara masyarakat dan pemilik pondok. Terjadi keributan akibat “perang” opini. Ludes pondok yang di Bukit Monyet, tim menuju Pantai Nirwana. Semua pondok-pondok yang dianggap sebagai tempat maksiat hingga ke Bukit Lampu dibongkar. Sampai di Bukit Lampu, sekitar pukul 15.00 WIB, kami (para jurnalis) berpikir bahwa untuk berita pembongkaran dikira sudah lengkap. Posisi kami sebenarnya terbagi dua. Ada yang masih di atas, ada yang di Bukit Lampu. Saya sendiri masih di atas menuju ke Bukit Lampu, bersama mobil Satpol PP. Saat menuju Bukit 50


Babak Belur Dihajar Kekerasan

Lampu itulah, terjadi peristiwa di luar perkiraan kami. Peristiwanya adalah, sejumlah orang—berpakaian dinas TNI AL dan sipil—tengah melakukan pemukulan kepada warga. Ops, tidak hanya warga, tetapi juga kepada jurnalis. Saya melihat Afriyandi, Metro TV, dipukuli dan kameranya diambil. Insting jurnalis saya mengatakan, peristiwa ini luar biasa. Ini juga berita. Saya langsung ambil gambar. Sembari mencoba menghindari agar tak terkena pukulan TNI AL yang sedang beringas. Saat mengabadikan peristiwa itu. Tiba-tiba seorang dari TNI AL yang memukuli Afriyandi melihat saya. “Kamera. Ambil kameranya.” Seperti semut yang menemukan gula, saya langsung diserang. Yang pertama menyerang saya adalah TNI AL berbaju sipil. Ia menarik paksa kamera saya. Tak puas, ia juga menarik begitu kuat telinga kanan saya. Lalu, saya diinjak-injak. Saya sudah memohon. “Pak. Saya wartawan.” Tapi itu tak cukup. Ia semakin beringas. Afriyandi melihat saya. Saya masih mendengar ia bilang, “Pak. Itu teman saya. Dia wartawan.” Semakin dicoba memberi pemahaman, mereka semakin beringas. Saya nyaris sudah tidak tahu apa-apa. Saya sudah pasrah, tidak tahu lagi cara menyelamatkan diri. Di saat-saat kritis itu, puluhan warga datang. Warga yang marah, sama marahnya dengan anggota TNI AL. Mereka tidak menyerang TNI AL, tapi marah kepada pondok-pondok yang dijadikan tempat maksiat, yang berada di kawasan mereka. Anggota TNI AL yang sedang menyiksa kami lantas berhenti begitu melihat warga. Warga, saat TNI AL mundur, membakar pondok-pondok. Saya, saat itu, dalam kondisi yang sudah tak terperi: kamera rusak, telinga berdarah, seluruh badan saya 51


Melawan Ancaman Kekerasan

sakit karena diinjak. Tubuh saya tak pernah merasakan ini sebelumnya. Teman-teman

yang

kondisinya lebih

baik

dari

saya,

berinisiatif sesegera membawa saya ke RSUP M. Djamil Padang. Jaraknya puluhan kilo dari lokasi razia. Saya langsung divisum dan mendapatkan 7 jahitan di telinga kanan. Setelah itu saya mendapat kabar, teman-teman jurnalis yang lain mengalami perlakuan

serupa.

Kamera

jurnalis

Favorit

TV

Jamaldi

dihancurkan. Wartawan Trans 7 kasetnya disita, fotografer Padang Ekspres memori cardnya juga disita. Saya tak mau lagi mengingat kejadian itu hingga kini…(*)

“Saya Dikejar dengan Pisau” Yuharnel, Jurnalis di Padang Ekspres 48 Sehari-hari, saya adalah jurnalis di Harian Pagi Padang Ekspres. Ini saya lakoni sejak 2010, setelah tiga tahun berhenti dari Mingguan Zaman. Selain jurnalis, saya juga salah seorang Wali Nagari di Kabupaten Agam. 48

Yuharnel adalah korban kekerasan yang dilakukan anggota LSM di Lubuk Basung, Kabupaten Agam pada 8 Oktober 2012. Kejadiannya diduga buntut dari berita yang ditulisnya yang terbit di Padang Ekspres tentang penggerebekan oknum aktivis LSM di sebuah kamar hotel di Lubukbasung oleh anggota Pol PP Kabupaten Agam. Sebelum berita itu dikirim dan diterbitkan, ia sudah memastikan berita itu lengkap sesuai kode etik jurnalistik (KEJ), termasuk mengonfirmasikan kepada oknum terkait penggerebakan tersebut. Pengancaman itu terjadi di warung kopi. Firdaus Lukman datang sambil memaki-maki, dan menyerang Yuharnel dengan gelas namun berhasil ditangkis. Tak puas, Firdaus Lukman kembali mengambil gelas dan dipukulkan lagi ke Yuharnel. Lalu, Firdaus Lukman menendang dan meninju korban, tapi lagi-lagi bisa dielakan. Ketika terdesak di gerobak warung kopi itu, barulah Firdaus Lukman berhasil meninju bibir Yuharnel. Tidak hanya itu, sebilah pisau yang berada di warung tersebut, nyaris ditikamkan Firdaus Lukman kepada Yuharnel. Kasus ini dilaporkan ke Polisi dan masih dalam pengusutan. 52


Babak Belur Dihajar Kekerasan

Saya berteman dengan Firdaus Lukman. Saya mengenalnya sebagai aktivis di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kami sering bercerita pelbagai urusan. Kadang ia menjadi narasumber dalam berita-berita yang saya tulis. Suatu hari, saya lupa tanggalnya, ia datang kepada saya untuk memberitahu bahwa ia akan (maaf) meniduri perempuan. Katanya, ia sakit hati dengan sang perempuan (tapi tak diceritakan lebih jauh sakit hati yang dimaksud). Niatnya, sang perempuan ini dijebak untuk dikirim ke Sukarami (tempat binaan perempuan yang dianggap PSK). Sebagai teman, saya melarangnya. Sebagai jurnalis saya katakan, “Kalau tertangkap, saya buat beritanya. Jangan marah!” Dia tidak mengindahkan. “Terserah inyiak,” sebutnya. Saya dipanggil inyiak karena status yang melekat pada saya: walinagari. Peristiwa yang ditakutkan itu terjadi. Rupanya sang teman memang ditangkap satpol PP di homestay di Maninjau. Sebagai jurnalis, saya mesti membuat berita ini. Sebab pada malamnya saya tidak mengikuti razia Satpol PP, saya mencari kebenaran informasi. Pertama saya konrmasi melalui ponsel. “Tidak ada itu,” jawab Firdaus. Saya bilang kepadanya bahwa saya juga telah menghubungi sang perempuan yang ditangkap. “Ia menuduh kamu,” kata saya. Dia tidak juga mengaku. Saya tidak bisa menulis jika belum yakin. Verikasi terakhir yang saya lakukan adalah mencoba mempertemukan sang perempuan dengan Firdaus. Tapi Firdaus tidak mau. “Terserah inyiaklah.” Kalimat itu diulanginya lagi ketika diancam peristiwa itu akan disiarkan ke publik melalui berita. 53


Melawan Ancaman Kekerasan

Berita itu terbit, Senin (8/10/2012) di halaman Bukittinggi/Agam. Aktivis LSM Mahasiswa Digaruk

Maninjau Dijadikan Tempat Maksiat Padang Ekspres • Berita Peristiwa • Senin, 08/10/2012 13:03 WIB • • 448 klik Agam, Padek—Kabupaten Agam, terutama kawasan Maninjau sering dijadikan tempat maksiat bagi pasangan mesum. Faktanya, hampir setiap kali razia, Sat Pol PP Agam selalu menjaring pa¬sangan di luar nikah menginap di homestay dan hotel di kawasan tersebut. Pada operasi Sabtu dan Minggu (5 dan 6/9), tim penegak perda menggaruk tiga pasangan di luar nikah. Dua dari tiga pasangan itu mengaku mahasiswa S2 sebuah per¬guruan tinggi negeri di Padang. Satu pasangan lainnya, oknum kontraktor yang juga aktis LSM di Lubukbasung. RI, 27, yang ditangkap bersama pasangan prianya, FL, di hotel DP Lubukbasung, Sabtu (6/10) sekitar pukul 23.30 WIB, sempat melayang protes kepada petugas. Soalnya, kenapa dirinya saja yang di tahan petugas di Markas Pol PP. Menurut informasi, FL, salah seorang sosok yang tidak asing lagi di Lubukbasung. Dia, oknum LSM dan dijuluki siraja demo di ibu kabupaten Agam itu. Kepada RI, FL mengaku sebagai kontraktor. Wanita asal Bungus Teluk Kabung, Padang ini mengaku dijebak FL. Kepada Padang Ekspres di Mapol PP Agam, RI menjelaskan, FL yang dikenalnya sejak beberapa bulan belakangan pernah memintanya untuk menikah. ”Dia mengaku saya orang kedua yang telah masuk kehatinya. Kalau saya menolaknya untuk menikah, dia mengancam bisa saja akan membunuh saya,” ungkap RI. Diceritakan RI, kedatangan ke Lubukbasung Sabtu malam itu, atas ajakan FL, dan hari itu mereka berdua akan kembali ke Padang. RI diajak FL makan di bofet martabak Kubang. Saat itu, sebut RI, ternyata FL tidak sendiri. Dia tampak berbicara serius dengan seorang lelaki berkumis. ”Kalau saya tidak salah, foto bapak itu ada di meja ini,” kata RI sambil menunjukkan salah satu foto yang terpajang di Mapol PP. Foto yang dimaksud FI, ternyata foto Kasi OP Pol PP Agam, Tasman. ”Dengan bapak itu kami ngobrol-ngobrol semalam. Bapak itu bercerita panjang lebar. Bahkan bapak itu mengaku pada saya pernah berhubungan badan dengan empat orang wanita,” beber RI. Selang beberapa jenak kemudian, FL membawa RI dengan sepeda motornya. Kepada RI, FL mengatakan akan mengajaknya ke Maninjau. Namun, FL membelokkan motornya ke salah satu hotel. ”Nginap aja dulu di sini. Sebab abang ada janji dengan teman akan minta uang. Uang abang ada sama teman, dan dia berjanji hari ini akan membayar,” ungkap RI menirukan FL. 54


Babak Belur Dihajar Kekerasan

RI mengaku tidak mau menginap, dan minta pulang ke Padang. Kalau tidak, biar ia sendiri yang balik ke Padang. Tapi, FL memaksa RI tetap menginap. Tidak beberapa lama berada dalam kamar hotel, ada orang yang mengaku Satpol PP mengetok pintu. Begitu pintu, tiga orang anggota Pol PP langsuing memegang tangan RI, layaknya seorang penjahat yang dikhawatirkan akan melarikan diri. Sementara FL kelihatan tenang-tenang saja. ”Disini saya sudah mulai curiga, dan mencoba menanyakan ke FL, kok hanya saya saja yang ditangkap. Namun jawaban FL ternyata di luar dugaan saya. Katanya, selesaikan sajalah,” ungkap RI, seraya menambahkan, dia menyerahkan saja semuanya kepada Tuhan. Dihubungi terpisah, FL mengakui penangkapan dirinya bersama RI tersebut. Hanya saja dia membantah pernah mengancam dan menjebak RI agar ditangkap Pol PP. ”Tidak benar itu,” ungkapnya. FL mengaku, ketika petugas datang mengerebek kamar hotel, dia melarikan diri. Namun ketika Padang Ekspres mengajaknya ke Mapol PP untuk dikonfrontir dengan pihak Kasi OP Pol PP dan RI, dengan tegas FL menolaknya. ”Itu karajo batele tele namonyo tu. Ndak ah,” katanya menolak. Kasi Penegak Perda Pol PP Agam, Muklis saat dikonrmasi mengatakan, pihaknya akan panggil laki-laki pasangan RI untuk diproses lebih lanjut. Oknum Mahasiswa S2 Di tempat terpisah, Sabtu (6/10) sekitar jam 13.15 WIB Satpol PP juga mengamankan pasangan mesum SW, 26, dan pasangan wanitanya ERP, di homestay A, di Ma¬ninjau. SW mengaku warga Kerinci, sementara ERP asal Danguang-Danguang Kabupaten Limapuluh Kota. Keduanya mengaku saat ini kuliah pada program S2 di sebuah perguruan tinggi negeri di Padang. Mereka sama sama sarjana keguruan jurusan bahasa Inggris di sebuah perguruan tinggi swasta di Padang, dan sudah lama berpacaran. Satu pasangan mesum lainnya, I, 30, digaruk bersama teman wa¬nitanya SM, 19. Pasangan ini diamankan Pol PP saat berduaan di kamar hotel F di Maninjau. Keduanya sama sama warga Kampungdalam, Padangpariaman. Kepada petugas, mereka mengaku sudah bertunangan dan tidak lama lagi akan menikah. Setelah diproses di Markas Pol PP Agam, dan dijamin oleh keluarga dengan membuat surat penyataan tidak akan mengulangan kembali perbuatan terebut, akhirnya kedua pasangan tersebut dillepaskan kembali. (*) Paginya, ketika berpapasan dengan Firdaus saya bilang, jika ada yang salah silahkan buat hak jawab secara tertulis. Saat itu, Firdaus bilang tidak usah. Kejadiannya berubah saat saya duduk di warung Ajo Jangguik, di samping Dinas Koperasi dan UMKM (Disperindag) Agam sekitar pukul 16.30 WIB. Tiba-tiba ia menyerang saya menggunakan gelas, namun berhasil ditangkis. Tapi gelas yang dilempar itu pecah. 55


Melawan Ancaman Kekerasan

Saya berlari ke luar kedai. Ia kemudian coba melukai saya dengan kuku. Ketika terdesak di dekat gerobak, Firdaus berhasil melayangkan pukulannya tepat ke bibir saya. Saya berlari ke tepi jalan. Saat berdiri di sana, saya tidak menyangka dikejar dengan pisau. Seingat saya, lebih kurang tiga menit saya mencoba mengelak dari pisau yang dihujamkan ke tubuh saya. Kemarahan Firdaus yang menggunakan pisau dapur baru berhenti ketika orang lain melihat dan beramai-ramai melerai. �Untung saya sempat menangkis serangan itu dan menangkap pergelangan tangan kiri dan tangannya agar tidak terkena pisau.� Pada hari itu juga, saya melapor ke Polres Agam. Laporan tercatat dengan bukti laporan bernomor No: STPL/160/X/2012/Res-Agam dengan laporan pengancaman kepada jurnalis, setelah terlebih dahulu dilakukan visum. (*) Sumber: www.padangekspres.co.id

“Pistol itu Jaraknya 1 Meter� Andry Syahputra, Jurnalis di Padang TV49 Saban hari, saya bertugas meliput banyak peristiwa. Salah satu yang rutin yaitu razia Satpol PP. Maka malam Rabu (13/2), sekitar pukul 21.00 WIB, saya mengikuti Satpol PP menuju ke arah Batang Arau, dekat jembatan Siti Nurbaya. Targetnya: kafe liar yang juga diduga tempat esek-esek (mesum). Di lokasi, Satpol PP langsung beraksi. Ia menangkap tiga 49

Andri adalah korban kekerasan penodongan ketika meliput razia Satpol PP pada Rabu, 13 Februari 2013. Kejadian berawal ketika seorang remaja berinisial YL (14 thn) diangkut petugas ke mobil patroli. Tindakan tersebut menuai keributan antara petugas dengan seorang Ibu berinisial YS yang mengaku orang tua si remaja. YS sambil berteriak berupaya menghalang-halangi petugas membawa YL. Tak lama setelah itu, YS ditumpangi pria pengemudi motor untuk mengejar mobil patroli. Mobil patroli ini juga ditumpangi oleh delapan wartawan yang meliput. Sepanjang pengejaran, pengemudi motor mengancam sambil mengeluarkan pistol dari kantong kiri. Pistol diarahkan ke semua penumpang di atas mobil patroli. Sekitar jarak 1 meter, pistol yang tidak berisi peluru itu dilepaskan lagi pelatuknya ke arah Andri, jurnalis Padang TVs. Dalam pengusutan kasus ini, polisi menetapkan satu orang sebagai tersangka dan masih mengikuti proses persidangan hingga pertengahan 2012. . 56


Babak Belur Dihajar Kekerasan

wanita dari sebuah kafe liar. Salah seorang di antaranya mengaku bernama Yuli, berusia 14 tahun. Satpol langsung mengiringnya ke mobil Dalmas. Saya dan teman-teman jurnalis lainnya mengabadikan gambar untuk dijadikan berita, ada yang mewawancarai pemilik kafe, dan sebagainya. Sekitar pukul 23.00 WIB, Satpol PP berpindah tempat razia. Saya dan teman-teman naik mobil Dalmas yang di dalamnya juga ada Yuli. Ketika Yuli dinaikkan ke mobil Dalmas ini, sebenarnya sudah ada percekcokan. Seorang laki-laki, seorang perempuan, meminta petugas Satpol PP melepaskan Yuli. Tapi tak digubris. Laki-laki itu, saya ingat persis, rambutnya cepak, usianya kira-kira 40 tahun. Selain sang laki-laki, yang perempuan, yang mengaku ibunya, juga minta dilepaskan. Petugas Satpol PP mengatakan, “Silahkan datang saja ke kantor.� Saat mobil Dalmas melaju, dua orang ini mengikuti dari belakang menggunakan sepeda motor jenis Revo warna merah. Dalam keadaan mengikuti itu, sang pria sempat mengancam akan menembak kami dan anggota satpol PP yang berada di dalam truk Dalmas. Tapi, mobil terus melaju. Lelaki yang mengendarai motor itu, mengikuti kami dari belakang. Ia memacu motornya ke sebelah kiri, berjarak 1 meter dari saya. Saat itu, ia melepaskan genggaman tangan kirinya dari stang motor, berpindah ke bagian belakang pinggangnya. Ia mengambil pistol. Saya tahu pasti, itu jenis pistol revolver. Kontan kami 57


Melawan Ancaman Kekerasan

ketakutan. Di dalam mobil Dalmas, selain saya ada Budi Sunandar (Sindo TV), Citra (Trans7), Tua Saman Siregar (TVRI Sumbar), Heru (Koran Padang), dan Rendi (Favorit TV). “Tak.tak.” Pelatuk dilepaskan. Saya dengar jelas pelatuk pistol itu telah ditarik. Saya ketakutan, kami ketakutan. Saya yang paling dekat jaraknya dengan pistol itu. Tapi untung, hanya sekedar bunyi, pistol itu ternyata tidak memiliki peluru. Namun, ketakutan kami tak berkurang. Mobil terus melaju ke kantor Satpol PP di jalan Bagindo Aziz Chan. Di dalam mobil, kami menanyai ke Yuli, siapa gerangan lelaki yang menembak tersebut, di saat ia tak lagi mengikuti. “Namanya Mukhlis Hidayat, anggota Polsek Padang Selatan,” dengan gamblang Yuli menjawab. Tidak senang dengan penembakan tersebut, salah seorang teman langsung menelpon Kapolsek Padang Selatan. Di Polsek Padang Selatan, sekitar pukul 02.00 WIB dini hari, kami dipertemukan dengan Mukhlis Hidayat. Tapi sayang, Mukhlis Hidayat yang dimaksud sedikit pun tidak sama dengan lelaki yang menembak tadi. Perempuan yang mengaku ibu Yuli, yang berbonceng dengan lelaki, tak mau jujur menjawab. Keterangannya bolak-balik. Pertama diinterogasi ia mengaku lelaki tersebut tukang ojek, lalu mengaku tidak kenal. Pada malam itu, tidak ada hasil yang terang mengenai pelaku. Juga tidak jelas, apakah pistol yang ia gunakan asli atau mainan. Semuanya samar. Jika dikatakan trauma, jelas saya trauma. Saya berandai58


Babak Belur Dihajar Kekerasan

andai, jika pistol itu berisi peluru, dan pelatuknya telah dilepaskan, saya tentu akan jadi korban. Saya tidak akan berada di sini sekarang. (*)

59


Foto: Ra’i Hidayatullah Nazari


BAB IV

MELAWAN KEKERASAN


Melawan Ancaman Kekerasan

L

ebih dari 200 wartawan dari beragam media dan organisasi di Kota Padang yang tergabung dalam Koalisi Wartawan Anti Kekerasan (KWAK) Sumbar50 melakukan aksi konvoi

dari GriyaNet (Jalan Taduah) menuju kantor DPRD Sumatera Barat dan tumpah ruah memadati pelataran parkir gedung DPRD Sumatra Barat, Rabu, 30 Mei 2012. Hari itu, para jurnalis menggelar aksi meminta Dewan memanggil Komandan Lantamal Teluk Bayur, Padang untuk menerima tuntutan jurnalis. Ketua AJI Kota Padang Hendra Makmur dalam orasinya meminta DPRD Sumbar ikut mendesak agar Komandan Lantamal II dicopot dari jabatannya. Hal senada juga disebutkan oleh Ketua IJTI Sumbar Rino Zulyadi, sekaligus meminta supaya Polisi Militer Angkatan Laut mengusut tuntas secara transparan proses hukum tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh anggota Marinir kepada wartawan. Sehari sebelumnya, tujuh jurnalis dipukuli dan kameranya dirampas oleh anggota Marinir di Batu Cadas, Kelurahan Gates Nan XX, Kecamatan Lubuk Begalung ketika menjalankan tugas peliputan. Aksi tersebut tak bisa dibiarkan. Pilihannya adalah melawan tindakan yang menginjak-injak UU Pers tersebut. Melawan pelaku kekerasan, tentu tidak membalas dengan melakukan kekerasan, namun dengan menuntut para pelakunya diadili secara hukum. Memilih berdemonstrasi ke DPRD Sumbar bagi komponen 50

Koalisi Wartawan Anti Kekerasan (KWAK) Sumbar adalah koalisi jurnalis Sumatera Barat yang terdiri dari wartawan dengan beragam latar belakang media dan organisasi, antara lain Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Padang, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumbar, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumbar, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Padang, Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI) dan para wartawan non-organisasi serta aktivis kebebasan pers di Padang. 62


Babak Belur Dihajar Kekerasan

pers Sumatra Barat ketika sejumlah jurnalis mendapat kekerasan dari anggota Marinir TNI Angkatan Laut, disertai alasan dan argumen yang jelas. DPRD jelas merupakan lembaga kelengkapan pemerintahan daerah yang tidak punya garis pengawasan ke institusi TNI. Seluruh jajaran TNI tentu hanya punya garis komando vertikal ke ‘Mabes Cilangkap’. Namun, sebagai lembaga yang mewakili rakyat Sumatera Barat, DPRD harus didesak turut campur memberi tekanan. Pemukulan terhadap jurnalis di Sumatera Barat mestinya juga jadi masalah wakil rakyat Sumatera Barat. Ketika rakyat dipukuli, maka DPRD juga harus berteriak. Mengikuti aspirasi tersebut, di depan para jurnalis yang menggelar aksi, Ketua DPRD Sumbar Yul Tekhnil menelpon Komandan Lantamal Teluk Bayur Brigjen Gatot Soebroto. Yul meminta Gatot datang ke DPRD menemui para jurnalis. DPRD menfasilitasi dialog di salah satu ruangan pertemuan. Upaya tersebut membuahkan hasil. Komandan Lantamal beserta jajaran pimpinan TNI AL datang ke DPRD Sumbar dalam waktu setengah jam setelah ditelpon. Di ruang pertemuan, Ketua DPRD yang didampingi beberapa pimpinan DPRD memimpin dialog jajaran Lantamal dengan para jurnalis yang menuntut para anggota Marinir yang menjadi pelaku penganiayaan jurnalis diproses sesuai hukum. Tuntutan tersebut dijawab Danlatamal dengan meminta maaf

dan berjanji akan menindak tegas

bawahannya yang terbukti melanggar hukum dan memproses sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Dalam pertemuan tersebut Brigjen (Mar) Gatot membacakan Berita Acara Penitipan Tahanan No. BA/04/V/2012 yang dibuat 63


Melawan Ancaman Kekerasan

pada tanggal 30 Mei 2012 perintah penahanan terhadap: 1). Serka Marinir Zaenal Mashur, 2). Serda Marinir Saddam Husein, 3). Koptu Marinir Bainuddin, 4). Praka Marinir Alexander, 5). Praka Marinir Kusnedi, 6). Pratu Marinir Zulfahmi, 7). Pratu Marinir Dian Mailendra. H, 8). Pratu Marinir Komitugyan, 9). Pratu Marinir Dwi Eka Prasetya, 10). Pratu Marinir Utomo Saputra, dan 11). Pratu Marinir Erwanto. Berdasarkan Berita Acara tersebut, Penyidik POMAL menepati janji untuk memproses kasus penganiayan dan perampasan kamera milik wartawan. Dari 11 (sebelas) orang anggota Marinir yang ditahan tersebut, tiga orang dijadikan tersangka dan diproses ke Oditur Militer hingga kemudian disidangkan di Pengadilan Militer, Padang. Majelis hakim menjatuhkan vonis bersalah kepada tiga Terdakwa51 Demonstrasi dan dialog di DPRD Sumbar adalah bagian awal dari proses advokasi kasus pemukulan tujuh jurnalis oleh beberapa anggota Marinir Padang. Sebelum itu, sebenarnya proses advokasi sudah dimulai beberapa saat setelah kejadian.

PROSES ADVOKASI KASUS KEKERASAN OLEH ANGGOTA MARINIR Berikut ini, proses advokasi kasus pemukulan oleh anggota marinir:

51

Para terdakwa itu adalah Serda (Mar) Ade Carsim, Serda (Mar) Sadam Husein dan Pratu (Mar) Dwi Eka Prasetia.

64


Babak Belur Dihajar Kekerasan

1. Penyelamatan Korban Setelah peristiwa terjadi pada Selasa 29 Mei 2012 sore, komunitas jurnalis di Kota Padang buncah. Organisasi jurnalis dan LBH Pers Padang dikontak, untuk menentukan langkah. Sebagian jurnalis langsung ke lapangan mengecek kondisi jurnalis yang menjadi korban kekerasan dan membantu evakuasi dari lapangan. Budi Sunandar, koresponden Global TV dan MNC Group adalah yang terparah. Telinga kanannya robek, tubuhnya memar karena diinjak-injak. Menjelang malam, ketika situasi sudah tenang di sekitar lokasi kejadian, beberapa jurnalis mengantar Budi ke Rumah Sakit Dr. M. Djamil, Padang untuk mengobati luka. Ketika itu, pihak rumah sakit langsung diminta melakukan visum. Sementara itu, korban lainnya yang tidak terluka parah, didampingi puluhan jurnalis dan LBH Pers Padang melapor ke POMAL.

2. Koordinasi dan Alert Sementara terjadi penyelamatan korban di lapangan, organisasi jurnalis melakukan langkah awal advokasi. Dari tujuh korban kasus kekerasan yang dilakukan anggota Marinir tersebut, satu orang adalah anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dan sebagian lainnya bernaung di bawah Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumatra Barat. Dua organisasi ini langsung saling berkoordinasi untuk penanganan lebih lanjut. Kedua organisasi dibantu jurnalis lainnya menyebar alert lewat SMS, BBM, twitter, Facebook, email dan telepon ke kantor pusat organisasi jurnalis dan juga Dewan Pers.

65


Melawan Ancaman Kekerasan

3. Kronologi dan Pernyataan Sikap Ketika alert disebar, kronologi kasus disusun. Korban dan para saksi dimintai keterangan untuk memperjelas kronologi kasus sejak awal hingga terjadi kekerasan, dilengkapi nama dan media seluruh korban, bentuk kekerasan dan akibatnya pada korban. Berdasarkan kronologi tersebut, LBH Pers Padang dan organisasi jurnalis membuat pernyataan untuk menyikapi kasus dilengkapi tuntutan terhadap pihak-pihak yang terkait. Pernyataan sikap dilengkapi dengan kesiapan melayani wawancara dengan media massa untuk menjelaskan kronologi dan sikap. Setelah itu, kasus tersebut mulai keluar jadi berita di media massa.

4. Pelaporan ke Penegak Hukum Sementara itu berlangsung, pelaporan di POMAL dilakukan dan berlangsung hingga menjelang tengah malam. LBH Pers Padang mendampingi para korban ketika memberi laporan tersebut kepada penyidik. Pendampingan oleh penasihat hukum ketika memberikan laporan amat penting untuk menjaga hak-hak korban sekaligus memastikan hingga korban bisa memberikan laporan sesuai kronologi dan kejadian sebenarnya tanpa ada campur tangan atau upaya mengarahkan dari penyidik. Pengalaman penanganan kasus kekerasan jurnalis di Padang sebelumnya, penyidik militer pernah mengarahkan kesaksian korban, sehingga melemahkan kasusnya.

5. Koalisi Sebelum terjadi kasus pemukulan oleh anggota Marinir, di Padang sudah berdiri Koalisi Wartawan Anti-Kekerasan (KWAK). Koalisi ini biasanya akan aktif jika ada kasus kekerasan. KWAK 66


Babak Belur Dihajar Kekerasan

adalah koalisi lepas dan tidak mengikat, sehingga jurnalis dari media, organisasi dan latar apapun bisa bergabung, asal satu visi dalam membela kebebasan pers. KWAK yang digerakkan beberapa aktivis organisasi resmi jurnalis, memudahkan gerak untuk merekat organisasi jurnalis yang berbeda dalam mengawal kebebasan pers. Ketika kasus marinir terjadi, AJI Padang, IJTI Sumbar, PWI Sumbar ditambah Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI) dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) serta jurnalis yang tidak bergabung di organisasi langsung satu barisan mendesak kasus ini dituntaskan secara hukum.

6. Fokus Advokasi Dalam rapat dadakan, KWAK kemudian menentukan bentuk advokasi dan target yang ingin dicapai. KWAK ingin fokus pada tujuan dan tidak melebar-lebar. Bentuk advokasi yang disepakati selain melapor ke POMAL, harus digelar aksi demonstrasi untuk mendesak pengusutan kasus tersebut. Selain itu, juga diputuskan upaya menggalang solidaritas ke berbagai jaringan jurnalis, pengawalan kasus dengan pemberitaan oleh para jurnalis dan pengawalan proses hukum oleh LBH Pers Padang. Segala bentuk advokasi tersebut bermuara pada tujuan yang jelas: pelaku harus diproses hukum.

7. Strategi Advokasi dan Aksi Ketika membicarakan tentang sasaran aksi demonstrasi, sebagian jurnalis mengusulkan mendatangi Lantamal Teluk Bayur, Padang. Alasannya, agar aksi tepat sasaran langsung pada pihak yang ingin didesak. Namun, sebagian jurnalis lainnya berpendapat, aksi ke Lantamal bisa membawa risiko bentrok 67


Melawan Ancaman Kekerasan

baru. Melihat tidak terkendalinya aksi anggota marinir sehari sebelumnya, ada kekhawatiran bentrok baru akan terjadi. Untuk menghindari hal tersebut, sebagian jurnalis mengusulkan mendatangi DPRD Sumbar sebagai sasaran tak langsung. Demonstrasi ke DPRD adalah strategi untuk melibatkan Dewan yang merupakan wakil rakyat Sumatra Barat turut bereaksi dan menekan. Sebagai bagian dari institusi pemerintahan daerah, DPRD tentu tidak punya garis pengawasan langsung ke institusi TNI di daerah. Lantamal tentu hanya punya garis komando vertikal ke Mabes TNI melalui TNI Angkatan Laut. Namun, tekanan dari DPRD akan membuat kasus penganiayaan oleh anggota marinir tersebut bukan ‘sekedar’ kasus kekerasan pada jurnalis. Kasus ini akan jadi catatan DPRD sebagai bagian dari masalah masyarakat Sumatera Barat.

8. Aksi Damai Aksi di DPRD Sumbar pada Rabu 30 Mei 2012 diikuti oleh lebih dari 200 jurnalis dengan beragam latar organisasi dan media di Padang. Aksi berlangsung damai, namun tegas menyuarakan tuntutan. Tekanan yang kuat, membuat rombongan wartawan diterima langsung pimpinan DPRD. Ketua DPRD Yul Tekhnil diminta langsung menelpon Komandan Lantamal Brigjen. Mar. Gatot Subroto agar menemui wartawan.

9. Strategi Dialog Telpon Ketua DPRD Sumbar kepada Komandan Lantamal membuahkan hasil. Komandan disampingi jajaran pimpinan Lantamal Padang lengkap, datang setengah jam setelah ditelpon. Usai kedatangan tersebut, langsung digelar dialog antara para 68


Babak Belur Dihajar Kekerasan

jurnalis dan LBH Pers Padang dengan pimpinan Lantamal di ruang pertemuan DPRD Sumbar. Dalam pertemuan tersebut, belasan perwakilan jurnalis dan LBH Pers Padang berbicara mewakili aspirasi seluruh wartawan, agar Lantamal mengusut tuntas kasus tersebut sesuai hukum yang berlaku, termasuk UU Pers. Hadir dalam dialog tersebut, Pj. Direktur LBH Pers Padang Rony Saputra, Ketua AJI Padang Hendra Makmur, Ketua IJTI Sumbar Rino Zulyadi yang saat itu juga menjadi Koordinator KWAK, Wakil Ketua PWI Sumbar Khairul Jasmi yang juga Pemimpin Redaksi Harian Singgalang dan beberapa pemimpin redaksi harian serta jurnalis senior di Padang. Kepada

seluruh

jurnalis dan

anggota DPRD

Sumbar,

Danlantamal meminta maaf atas perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak buahnya. Dalam kesempatan yang dihadiri pimpinan organisasi jurnalis dan pimpinan media massa terbitan Padang tersebut, ia berjanji akan meminta POMAL melakukan penyidikan dan menuntaskan proses secara hukum. Di akhir pertemuan, para jurnalis diwakili Ketua AJI Padang dan Ketua IJTI Sumbar menyerahkan Buku UU Pers kepada Danlantamal sebagai simbol permintaan agar kasus tersebut juga diusut dengan UU Pers.

10. Aksi Solidaritas Kasus penganiayaan yang dilakukan anggota Marinir terhadap jurnalis di Padang, mendapat dukungan dari seluruh Indonesia. Dewan Pers, AJI, IJTI, PWI dan seluruh komponen pers satu suara mengecam tindakan anggota marinir dan mendesak TNI mengusut kasus ini secara hukum. Media massa memberitakan dengan masif. 69


Melawan Ancaman Kekerasan

Dukungan paling besar ditunjukkan dengan aksi solidaritas di berbagai kota setelah kasus kekerasan terjadi. Berdasar penelusuran melalui pemberitaan media, pada tanggal 30 dan 31 Mei 2012, setidaknya aksi solidaritas terjadi di 18 kota lainnya di luar Padang, yaitu: 1. Jakarta (Koalisi Jurnalis Anti Kekerasan : PFI, IJTI & AJI Indonesia) 2. Tangerang (Pokja Wartawan Harian Tangerang dan IJTI) 3. Magelang (Forum Jurnalis Magelang) 4. Palembang (Forum Komunikasi Jurnalis Sumsel) 5. Bukittinggi (jurnalis anggota PWI, anggota AJI Padang, dll) 6. Banda Aceh (Forum Jurnalis Aceh Anti Kekerasan : AJI, IJTI, PWI) 7. Medan (Jurnalis Medan Bersatu) 8. Pekan Baru (IJTI, PWI, AJI) 9. Sulbar (Aliansi Jurnalis Sulbar) 10. Semarang (jurnalis Semarang) 11. Denpasar (IJTI & jurnalis Bali) 12. Batam (Aliansi Jurnalis Anti-Kekerasan -AJAK) 13. Mataram (AJI, Koalisi Wartawan Mataram) 14. Samarinda (jurnalis Kaltim) 15. Purwakarta (Wartawan Antikekerasan Purwakarta) 16. Tegal (jurnalis Tegal) 17. Bandung (Solidaritas Wartawan Bandung) 18. Banyumas (jurnalis & mahasiswa - IMM, PMII, PMKRI, LMND) Seluruh aksi demonstrasi yang digelar para jurnalis dari berbagai pelosok Nusantara tersebut pada intinya mengecam 70


Babak Belur Dihajar Kekerasan

tindakan kekerasan yang dilakukan anggota marinir di Padang dan mendesak agar pelaku kekerasan itu diproses sesuai hukum yang berlaku. Selain aksi solidaritas, berbagai elemen pers lainnya mengecam peristiwa tersebut lewat pernyataan sikap di media massa.

11. Pendampingan Korban Setelah aksi, mulai 30 Mei 2012, LBH Pers Padang mendampingi para korban untuk di-BAP di POMAL. Ketika BAP berlangsung, puluhan jurnalis lain mengantar dan menunggui di luar ruang pemeriksaan. Saat pemeriksaan berlangsung, Direktur LBH Pers Padang Rony Saputra mulai melakukan lobi dan diskusi dengan Penyidik, agar penyidik menggunakan UU Pers selain menjerat pelaku dengan KUHP. Penyidik juga diberikan UU Pers. Proses BAP terus diberitakan oleh media.

12. Taktis Mengawal Isu Ketika penyidikan mulai berlangsung, di Jakarta, Panglima TNI mengeluarkan pernyataan yang berbeda dengan Danlantamal. Bila Danlantamal mengakui kesalahan anak buahnya, Panglima menyebut tindakan anggota marinir tersebut bukan kesengajaan. Bila Danlantamal berjanji akan mengusut tuntas kasus tersebut, Panglima menyebutkan ke beberapa media, bahwa wartawan di Padang sudah berdamai dengan marinir. Pernyataan seperti ini bisa menimbulkan salah persepsi. Sebelum muncul pernyataan, LBH Pers Padang dan KWAK diwakili Ketua AJI Padang dan Ketua IJTI Sumbar, membantah pernyataan itu dan menyayangkan pemberitaan yang dibuat oleh beberapa media online secara sepihak tanpa mengkonď€ rmasikan kebenarannya kepada korban 71


Melawan Ancaman Kekerasan

maupun kepada kuasa hukum korban, beberapa saat setelah muncul di media online. Panglima TNI diminta untuk tidak memperkeruh suasana dan menghormati proses hukum yang sudah berjalan.

13. Kehati-hatian dan Menjaga Konsistensi Saat proses hukum berjalan, para jurnalis TV yang menjadi korban kekerasan juga menghadapi kendala. Karena kamera rusak dibanting anggota marinir, membuat mereka tidak bisa menjalankan liputan. Upaya meminta perusahaan media menalangi terlebih dahului, tidak berhasil. Di saat yang sama, muncul tawaran dari Komandan Korps Marinir untuk mengganti kamera yang rusak. Hal ini menimbulkan keraguan dan membuat dilema. Para jurnalis dan LBH Pers Padang kuatir, bila kamera diganti, proses hukum kasus akan terhenti. Namun, tawaran tersebut juga merupakan solusi atas persoalan ketiadaan kamera jurnalis. Semula, soal penggantian kamera tersebut baru akan dibicarakan bila kasus tersebut sudah bergulir jauh. Karena tidak mendapatkan solusi dari perusahaan media tempat para jurnalis bekerja, tawaran penggantian kamera yang rusak diterima, dengan syarat ada pernyataan yang tegas bahwa penggantian kamera tak ada hubungannya dengan pengusutan yang dilakukan POMAL. Hal tersebut disetujui, sehingga penggantian kamera bisa dilakukan dan pengusutan jalan terus. Segala perkembangan tersebut, selalu diberi tahu kepada seluruh komunitas jurnalis dan media agar mengerti dan tidak menimbulkan kecurigaan. Penggantian atas kemera yang rusak dilakukan pada tanggal 72


Babak Belur Dihajar Kekerasan

5 Juni 2012 di kantor POMAL dan dituangkan dalam Berita Acara Penyerahan No. BA/01/VI/2012, No. BA/02/VI/2012 dan BA/03/ VI/2012. Yang menyerahkan ganti kerugian itu adalah Mayor Marinir Gandi Purnomo, SPd, Pasiops Yonmarhanlan II kepada Budi Sunandar, Jamaldi, dan Afriyandi. Kamis, 31 Mei 2012 | 11:15

Panglima TNI: Marinir dan Wartawan Padang Sudah Damai Bentuk perdamaian dilakukan dengan langkah para marinir yang sudah mengunjungi para wartawan di Rumah Sakit. Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Agus Suhartono menyatakan marinir yang melakukan kekerasan sudah berdamai dengan tujuh orang wartawan yang mengalami kekerasan. Bentuk perdamaian dilakukan dengan langkah para marinir yang sudah mengunjungi para wartawan di Rumah Sakit. “Sudah ditindaklanjuti, di Padang mereka sudah bertemu antara wartawan dengan marinir, sudah ada perdamaian dan tidak ada masalah,” kata Agus, di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, hari ini. Terkait sanksi untuk puluhan marinir tersebut, kata Panglima TNI, akan diberikan sesuai peraturan perundangan. Namun, lanjut dia, sanksi tidak bisa serta merta pemecatan karena harus melalui proses hukum. “Jangan langsung begitu (pemecatan), begini, mari kita ikuti proses hukum jangan main pecat begitu, kalau proses hukum katakan harus dipecat ya dipecat kalau tidak ya tidak,” kilah Agus. Menurut Panglima TNI, marinir juga manusia sehingga bisa lepas kendali sehingga melakukan kekerasan. Namun, Agus membantah bahwa wilayah yang sedang ditertibkan di Padang itu “dilindungi” oleh marinir sehingga ada puluhan marinir mendatangi tempat itu. Dijelaskan Agus, gerombolan marinir baru saja kembali dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan melewati wilayah tersebut. Di kawasan tersebut ada rumah saudara anggota marinir yang turut ditertibkan. Ketika ada “ribut-ribut” saat penertiban, maka para marinir itu ikut berhenti dan turut dalam peristiwa itu. Meski demikian, Agus mengatakan meskipun ada saudara anggota marinir yang masuk di wilayah penertiban, namun keterlibatan marinir tidak disengaja. “Jadi memang secara kebetulan saja situasi tersebut akhirnya membawa anggota TNI yang di situ ikut terlibat,” tandas dia. Sumber:http://www.beritasatu.com/nusantara/51205-panglima-tni-marinir-danwartawan-padang-sudah-damai.html 73


Melawan Ancaman Kekerasan

AJI-IJTI: Tak Ada Damai dengan Penganiaya “Pernyataan Panglima sebagaimana dikutip media tersebut tendensius dan perkeruh keadaan.” Kamis, 31 Mei 2012, 13:31 Ar Bambani Amri, Eri Naldi (Padang) VIVAnews - Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono dalam pernyataannya menyebutkan, jurnalis di Sumbar sudah berdamai dengan Marinir dan TNI AL terkait kekerasan yang dialami jurnalis di Padang pada Selasa 29 Mei 2012 lalu. Atas dasar itu, aliansi jurnalis di Padang, Koalisi Wartawan AntiKekerasan (KWAK), membantah pernyataan itu. Dalam pernyataan sikap KWAK yang juga diteken Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumatera Barat, Rino Zulyadi, dan Ketua Aliansi Jurnalis Independen Padang, Hendra Makmur, penganiayaan itu bisa dikenakan Undang-undang Pers dan hukum pidana yang tak mengenal istilah damai. “Pernyataan Panglima sebagaimana dikutip media tersebut tendensius dan memperkeruh keadaan, karena merupakan klaim sepihak, tidak sesuai dengan kenyataan dan bertendensi melakukan kebohongan publik,” kata mereka. KWAK menegaskan, dalam pertemuan dengan jajaran pimpinan Pangkalan Utama Angkatan Laut II Padang di DPRD Sumbar pada Rabu 30 Mei, KWAK Sumbar sudah menegaskan sikap meminta kasus ini diusut hingga tuntas sesuai hukum yang berlaku. Dalam pertemuan di DPRD tersebut, Komandan Lantamal II Brigjen Marinir Gatot Subroto sudah mengakui kesalahan anak buahnya dan berjanji akan mengusut kasus tersebut sesuai hukum. Salah satu bukti dimulainya penyidikan kasus ini adalah dengan ditahan dan diperiksanya 11 prajurit marinir yang terlibat kasus kekerasan itu. “Karena proses hukum sedang berlangsung, kami meminta Panglima TNI menghormati proses hukum tersebut dan tidak mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan,” kata KWAK. Pagi ini di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono mengatakan bahwa saat ini masalah pemukulan anggota TNI dan wartawan sudah selesai. Namun Panglima menyatakan, para pelaku pemukulan akan diproses sesuai aturan. “Sudah ditindaklanjuti. Di Padang sudah bertemu antara wartawan dengan marinir dan sudah baik-baik, sudah ada perdamaian di antaranya dan tidak ada masalah,” kata Agus di Gedung DPR, Kamis 31 Mei 2012. Agus juga mengatakan, sebagai permintaan maaf, anggota TNI itu juga telah bertemu dengan wartawan yang tengah dirawat di rumah sakit dan mengganti semua kerusakan. “Mereka sudah bertemu dan mengunjungi RS, sudah 74


Babak Belur Dihajar Kekerasan

mengganti apa yang seharusnya diganti,� kata dia. Sumber: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/319287-aji-ijti--tak-ada-damai-dengan-penganiaya

14. Pengawalan Proses Hukum Selesai BAP di POMAL, langkah berikutnya adalah pengawalan kasus yang seiring dengan pengawalan dengan pemberitaan. Selama beberapa bulan, LBH Pers Padang berulang kali mencari informasi dan menanyakan perkembangan kasus, baik secara lisan maupun tertulis kepada POMAL, Oditur Militer, hingga ke Pengadilan Militer. Setiap ada perkembangan baru, LBH Pers Padang membuat rilis, sehingga media tahu dan memberitakannya.

75


Melawan Ancaman Kekerasan

15. Desakan dan Lobi Dalam pengawalan proses hukum, dilakukan beragam strategi sejak dari desakan hingga lobi. Hal tersebut dinyatakan secara lisan (langsung kepada penegak hukum) maupun dalam bentuk tertulis (pernyataan sikap). Pengawalan sebuah kasus tidak bisa hanya mengandalkan tekanan. Sesekali diperlukan lobi hingga apresiasi, bila ada perkembangan yang baik.

16. Pengawalan di Media Pengawalan kasus kekerasan oleh anggota Marinir di Padang juga dilakukan oleh media melalui pemberitaan, opini maupun talkshow. Hampir seluruh media massa, terutama yang berbasis di Padang aktif mengawal kasus ini dengan pemberitaan. Dalam mengawal kasus kekerasan oleh marinir, LBH Pers Padang, AJI, IJTI, PWI dan aktivis Koalisi Wartawan Anti Kekerasan (KWAK) diundang beberapa kali talkshow, antara lain di TVRI Sumbar, Padang TV, RRI Padang, Sushi FM dan Classy FM.

17. Menjaga Momen Upaya mengingatkan pengusutan kasus ini terus disuarakan, termasuk ketika muncul kasus kekerasan di daerah lain. Momen aksi solidaritas yang dilakukan di Padang disertai dengan tuntutan soal kasus ini.

18. Pengawalan Sidang hingga Vonis Proses Persidangan kasus ini dimulai pada 22 November 2012 di Pengadilan Militer I-03 Padang. Dalam dakwaannya Oditur Militer mendakwa Para Terdakwa dengan Pasal 170 KUHP, Pasal 351 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 18 ayat (1) 76


Babak Belur Dihajar Kekerasan

UU Pers. Dimulainya persidangan ini, menjadi babak baru dalam pengawalan proses hukum dan pemberitaan oleh media lebih ditingkatkan. Setiap sidang berlangsung, LBH Pers Padang bersama para jurnalis menghadirinya. Karena banyaknya berita lain, LBH Pers Padang mengawal jadwal persidangan dan mengingatkan kembali kepada para jurnalis sehari sebelum sidang. Proses hukum ketika sidang diulas oleh dalam pemberitaan media, talkshow televisi dan radio dan juga pernyataan sikap. Media massa langsung memberi apresiasi, misalnya, ketika Oditur memasukkan pasal 18 ayat (1) UU Pers dalam dakwaan. Faktafakta yang terungkap di persidangan dari pemeriksaan saksi, korban, pertanyaan hakim, oditur, penasehat hukum hingga terdakwa menjadi topik pemberitaan.

19. Pemberitaan dan Sosialisasi Vonis Pada Kamis 4 April 2013 majelis hakim yang terdiri dari Letkol Chk Roza Maimun, Kapten Chk Jonarku dan Kapten Chk A. Halim memutuskan terdakwa Serda Ade Carsim dan Serda Sadam Husein terbukti melanggar Pasal 18 ayat (1) UU No 40 tahun 1999 tentang Pers junto Pasal 170 KUHP, sehingga divonis 11 bulan penjara. Sementara, satu terdakwa lainnya, Pratu Dwi Eka Prasetya divonis 8 bulan penjara karena terbukti melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Pers. Dari belasan orang yg semula ditahan karena kasus ini, akhirnya hanya tiga orang tersebut yang menjadi terdakwa dan divonis bersalah. Kasus ini merupakan pertama kali digunakannya UU Pers dalam vonis di Pengadilan Militer. Vonis tersebut menjadi pemberitaan penting bagi media. 77


Melawan Ancaman Kekerasan

Pemberitaan tersebut kemudian diikuti dengan sosialisasi lebih lanjut vonis melalui pernyataan sikap, pernyataan media serta talkshow di TV dan radio. Pengawalan kasus marinir di Padang yang dilakukan atas kerja sama yang baik antara jurnalis, organisasi jurnalis dengan LBH Pers Padang membuahkan hasil dimasukkannya UU Pers ke dalam vonis Pengadilan Militer. Ini merupakan vonis Pengadilan Militer pertama yang memasukkan UU Pers dan akan menjadi jurisprudensi. Cerita pengawalan kasus marinir di Padang, merupakan pembelajaran dari kegagalan mengawal kasus kekerasan pada jurnalis yang terjadi sebelum itu. Dalam kasus pemukulan oleh anggota anggota TNI Angkatan Darat pada 2009 misalnya, para jurnalis juga menggelar demonstrasi dan melapor ke POMAD. Namun, tidak ada pengawalan yang intens sehingga kasus pemukulan tersebut tidak berlanjut ke proses hukum. Ketika berhadapan dengan TNI Angkatan Udara pada 2011, para jurnalis di Padang ketinggalan momen dan tidak melaporkan kasus tersebut kepada POMAU. Pengawalan tingkat tinggi dengan hanya mengharapkan desakan Dewan Pers kepada Mabes TNI Angkatan Udara tidak membuahkan hasil karena tidak diikuti tindak lanjut di tingkat bawah.

BILA KEKERASAN ITU TERJADI Prosedur penanganan kasus kekerasan yang dilakukan anggota marinir, dinilai para Jurnalis di Sumatra Barat sudah tepat dan sesuai dengan karakteristik kasus. Penilaian tersebut mengemuka dalam Pelatihan Hukum Kritis yang digelar LBH 78


Babak Belur Dihajar Kekerasan

Pers Padang bersama Yayasan Tifa pada Maret dan April 2012 di Padang dan Bukittinggi. Meski demikian, prosedur advokasi kasus kekerasan pada jurnalis, tidak bisa diseragamkan. Perlu ada pengembangan dan langkah spesiď€ k yang ditempuh dalam beragam jenis kasus kekerasan yang terjadi. Namun, para jurnalis merekomendasikan beberapa poin yang harus diperhatikan dan dilakukan, bila terjadi kasus kekerasan di lapangan:

a. Keselamatan adalah yang utama Bila terjadi kasus kekerasan, para jurnalis di lapangan harus saling membantu untuk menyelamatkan seluruh korban. Keselamatan adalah hal utama yang tak boleh ditawar. Upaya penyelamatan, akan sangat tergantung pada situasi di lapangan. Untuk itu, diperlukan ketajaman para jurnalis melihat potensi ancaman dan saling koordinasi sesama jurnalis. Dalam kondisi tertentu, bila pelaku dinilai memahami hukum dan masih bisa diingatkan, jurnalis harus memberitahukan dengan sopan dan baik bahwa ia jurnalis yang melaksanakan tugas berdasar hukum. Jurnalis perlu mengingatkan, bahwa kekerasan pada jurnalis merupakan pelanggaran undang-undang. Hal tersebut perlu coba dilakukan agar pelaku tidak melanjutkan kekerasan lebih jauh. Bila masih memungkinkan, dalam kondisi tertentu pula, jurnalis bisa melakukan kamuase dengan berbaur dengan masyarakat, menyimpan dan mengamankan peralatan liputan. Video, foto dan rekaman hasil liputan merupakan harta paling berharga bagi jurnalis. Dengan berbagai trik, perlu upaya menyelamatkannya. Namun, bila hal tersebut mengakibatkan jiwa terancam, jurnalis harus menyelamatkan diri. Bila ada 79


Melawan Ancaman Kekerasan

korban yang kena kasus kekerasan, perlu upaya pemberian bantuan pertama dari jurnalis lain yang masih sehat, sebelum mengantar ke rumah sakit untuk berobat. Saat di rumah sakit, perlu inisiatif langsung membuat visum.

b. Komponen pers satu suara Bila kasus kekerasan terjadi, para jurnalis di lapangan harus segera memberi tahu pada perusahaan media, organisasi pers, LBH Pers atau rekan sesama jurnalis, agar kejadian cepat diketahui sehingga langkah-langkah bantuan dan advokasi bisa cepat diupayakan. Tanggungjawab perusahaan media, organisasi jurnalis serta Dewan Pers sudah disahkan menjadi Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan oleh Dewan Pers pada 6 Desember 2012.52 Langkah koordinasi dari junalis merupakan upaya agar komponen pers tersebut mulai bekerja dan melakukan langkah-langkah advokasi.

c. Menyelamatkan bukti dan mengidentifiksi saksi Bila kasus kekerasan tidak bisa dihindari, maka langkah utama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan alat bukti terkait dengan peristiwa tersebut, akan lebih baik lagi apabila peristiwa kekerasan itu bisa terekam dan terdokumentasi. Selain itu, keberadaan saksi menjadi penting, korban setidaknya dapat mengenali siapa-siapa saja orang yang berada dilokasi dan melihat kejadian tersebut, sehingga ketika proses hukum dapat berjalan dengan baik dan penyidik tidak akan bertele-tele dalam proses hukum. 52

Tanggung jawab perusaan pers, organisasi wartawan dan Dewan Pers yang dimuat dalam Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan pada Wartawan dijelaskan detail di Bab V 80


Babak Belur Dihajar Kekerasan

d. Penyelesaian kasus melalui proses hukum Kasus kekerasan ď€ sik pada jurnalis, mesti diselesaikan melalui proses hukum. Karena itu, setelah kondisi lebih baik, perlu segera membuat laporan kepada penegak hukum. Bila pelaku adalah masyarakat, aparat sipil

atau tidak diketahui

identitasnya diadukan ke kantor Polisi. Bila pelaku diketahui merupakan anggota TNI, pengaduan dilakukan ke Polisi Militer pada institusi pelaku yang melakukan kekerasan. Proses hukum akan panjang, sehingga diperlukan konsistensi dan kesediaan jurnalis yang menjadi korban untuk dimintai keterangan untuk membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh penyidik dan menjadi saksi di sidang pengadilan. Ketika diperiksa tersebut, jurnalis perlu didampingi oleh penasehat hukum atau advokat dari LBH Pers untuk menjamin terlindunginya hak-hak jurnalis sebagai korban tindak kekerasan. Bila diperlukan, kalangan jurnalis dan organisasi jurnalis bisa membentuk tim pencari fakta sebagai pembanding

e. Aksi damai dan desakan bersama Begitu kasus kekerasan terjadi, untuk memperkuat advokasi, organisasi jurnalis, LBH Pers, komponen pers dan perusahaan media, mesti satu suara mendesak kasus tersebut diusut dengan tuntas. Juga masih diperlukan aksi damai dan aksi solidaritas agar desakan penuntasan proses hukum semakin kuat.

f. Mengawal proses hukum dengan pemberitaan Proses hukum terhadap pelaku kekerasan pada jurnalis perlu

dikawal sejak awal, termasuk dengan pemberitaan. Begitu peristiwa terjadi, perlu pemberitaan yang masif tentang 81


Melawan Ancaman Kekerasan

peristiwa kekerasan serta desakan agar kasus tersebut diusut tuntas.

g. Mewaspadai pelemahan proses hukum Segala hal yang akan melemahkan proses hukum sejak semula mesti diminimalisir. Beberapa hal yang biasa terjadi dalam melemahkan proses hukum adalah, tidak adanya dukungan dari perusahaan media tempat jurnalis bekerja, pengaburan proses hukum dengan perdamaian atau ganti rugi peralatan yang rusak oleh pelaku, hingga pencabutan laporan polisi. Dalam beberapa kali kejadian di Sumatra Barat, perusahaan media malah menekan jurnalisnya untuk berdamai dan mencabut laporan. Padahal, berbagai tindak kekerasan seperti diatur dalam KUHP bukanlah delik aduan, sehingga tidak bisa dicabut. Pelemahan model ini biasanya terjadi karena perusahaan media ingin menjaga hubungan baik dengan instansi pelaku, dan mengorbankan jurnalisnya yang memang telah jadi korban kekerasan. Pelemahan juga bisa terjadi akibat ganti rugi yang diberikan oleh pelaku atau instansinya tempat bekerja, sehingga sudah dianggap terjadi perdamaian. Perlu pula diwaspadai manuver orang-orang tertentu (bisa wartawan) yang dipakai oleh instansi pelaku kekerasan untuk memperlemah advokasi dengan beragam cara.

h. Penyelesaian kasus di luar proses hukum Kasus kekerasan ď€ sik yang terjadi pada jurnalis harus diselesaikan melalui proses hukum. Namun, untuk kasus yang relatif ringan akibat miskomunikasi atau kesalahan yang tidak disengaja yang tidak berakibat ancaman jiwa bagi jurnalis 82


Babak Belur Dihajar Kekerasan

maupun profesi jurnalis, bisa ditempuh proses penyelesaian di luar proses hukum, seperti mediasi. Proses seperti ini bisa didahului dengan permintaan maaf dari pelaku dan sosialisasi tentang perlindungan hukum, sehingga pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya di masa datang.

83


Foto: Rus Akbar


BAB V

JAMINAN DI TENGAH ANCAMAN


Melawan Ancaman Kekerasan

R

esiko besar yang dihadapi jurnalis ternyata tak sebanding dengan jaminan keselamatan dan kesejahteraan yang diterimanya. Di berbagai daerah di Indonesia, mayoritas

jurnalis masih digaji tidak layak. Bahkan, masih banyak di antaranya, yang diupah di bawah upah minimum provinsi (UMP) yang menjadi standar pengupahan buruh terendah. Padahal, UU Ketenagakerjaan sudah menjamin berbagai hak pekerja untuk kesejahteraannya. Undang-undang tersebut ternyata hanya dianggap angin lalu oleh banyak perusahaan media. Banyak hidup jurnalis yang terlantar. Idealisme dan kepatuhan kepada kode etik, bukan lagi menjadi keharusan tapi adalah pilihan. Pada akhirnya, pelanggaran etika terkait suap dan amplop pun terus terdengar. Perusahaan media punya ‘dosa besar’ membuat hal tersebut belum teratasi saat ini hingga maksimal. Di berbagai daerah, termasuk di Sumatera Barat, hingga saat ini ada wartawan yang bekerja di media yang digaji jauh dibawah UMP, bahkan adapula yang berstatus kontrak bertahuntahun. Beberapa perusahaan televisi mensyaratkan orang yang akan melamar di media itu sebagai reporter, memiliki kamera sendiri.

JAMINAN KESEJAHTERAAN TERHADAP JURNALIS Bagaimana

mestinya

kesejahteraan

jurnalis

dijamin

perusahaan media? Hukum ketenagakerjaan telah mengaturnya dengan lengkap. Inilah hukum yang mengatur dengan lengkap bagaimana semestinya hubungan antara buruh alias tenaga kerja dengan majikan atau pengusaha. 86


Jaminan di Tengah Ancaman

Hal-hal tentang masalah perburuhan atau ketenagakerjaan tersebut, sudah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh, Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek serta Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial. Dalam hubungan ketenagakerjaan, terdapat tiga aktor, yaitu pemerintah, pengusaha dan buruh. Pemerintah bertugas membina relasi antara pengusaha dan buruh serta melindungi buruh melalui UU Ketenagakerjaan, pengusaha sebagai pihak yang ingin mendapat keuntungan serta buruh yang ingin mendapatkan kesejahteraan dan perlindungan53. UU No. 13 Tahun 2003 mendeď€ nisikan pekerja alias buruh sebagai setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sementara, perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain, usahausaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.

53

Kausar, 21 April 2013, Makalah “Kisi-kisi Hukum Ketenagakerjaan, Serikat Pekerja, Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disampaikan pada Training Hukum Kritis Bagi Jurnalis, Bukittinggi 20-21 April 2013

87


Melawan Ancaman Kekerasan

JURNALIS ADALAH BURUH54 Pola hubungan kerja yang dibangun oleh perusahaan media dengan jurnalis telah memenuhi unsur-unsur hubungan kerja sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan yaitu ada pekerjaan, ada perintah, dan ada imbalan/upah. Menurut sifat dan jenisnya, pekerjaan di bidang media massa merupakan salah satu jenis pekerjaan yang disebutkan dalam Pasal 3 ayat 1 Kepmenakertrans No. 233 tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus Meski jurnalis merupakan profesi yang memiliki kode etik layaknya profesi lain seperti advokat dan dokter, ketika ia bekerja pada perusahaan media massa, diberi perintah mencari berita untuk dimuat di media dengan mendapatkan upah, maka ia sudah termasuk dalam kategori buruh. Dengan demikian, terhadap perusahaan media dan jurnalis berlaku pula semua peraturan perundang-undangan tentang perburuhan. Dewan Pers Pada 6 Desember 2007 juga telah mengeluarkan Peraturan tentang “Standar Perusahaan Pers”55 pada angka 8 sampai 13 menegaskan posisi perusahaan media dan posisi wartawan yang harus tunduk pada ketentuan Undang-Undang 54

Neni Vesna Madjid, 2 Maret 2013, Makalah “Kisi-kisi Hukum Ketenagakerjaan, Serikat Pekerja, Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disampaikan pada Training Hukum Kritis Bagi Jurnalis, Padang 2-3 Maret 2013 55

Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, serta Dewan Pers di Jakarta, 6 Desember 2007. Sebelum disahkan, draft Standar Perusahaan Pers telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan” 88


Jaminan di Tengah Ancaman

Ketenagakerjaan dalam membangun hubungan kerja, berikut isi dari ketentuan tersebut: 1. Perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun. 2. Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan

gaji,

bonus,

asuransi,

bentuk

kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama. 3. Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dan karyawannya yang sedang menjalankan tugas perusahaan. 4. Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para

wartawan

dan

karyawannya

semakin

meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. 5. Perusahaan pers memberikan pendidikan dan atau pelatihan kepada wartawan dan karyawannya untuk meningkatkan profesionalisme. 6. Pemutusan karyawan

hubungan perusahaan

bertentangan pers

dan

dengan

harus

kerja pers prinsip

mengikuti

wartawan tidak

dan boleh

kemerdekaan Undang-Undang

Ketenagakerjaan. Berdasarkan peraturan Dewan Pers yang sudah disepakati 89


Melawan Ancaman Kekerasan

oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, serta Dewan Pers. Maka sudah seharusnya Perusahaan pers taat pada ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dalam membangun hubungan kerja dengan Wartawan sebagai Tenaga Kerjanya. Namun dalam prakteknya, hingga saat ini masih banyak perusahaan Pers yang tidak menerapkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan.

HUBUNGAN KERJA Dalam hukum ketenagakerjaan termasuk untuk jurnalis, terdapat hubungan kerja yang didasarkan pada perjanjian kerja yang memiliki unsur; pekerjaan, upah56 dan perintah57. Perjanjian kerja tersebut dapat berupa perjanjian lisan dan perjanjian kerja tertulis. Perjanjian kerja lisan dibolehkan, tetapi wajib membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bersangkutan yang memuat; nama, alamat pekerja, tanggal dimulai bekerja, jenis pekerjaan dan besarnya upah. Sedangkan, perjanjian kerja tertulis mesti memuat nama, alamat perusahaan serta jenis usaha. Kemudian juga harus memuat nama, alamat, umur, jenis kelamin dan alamat pekerja, jabatan atau jenis pekerjaan, tempat pekerjaan, upah yang 56

Upah adalah hak pekerja/buruh yg diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan (Psl 1 angka 30) 57

Lebih lanjut baca Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan 90


Jaminan di Tengah Ancaman

diterima, cara pembayaran,

hak dan kewajiban para pihak,

kategori perjanjian (PKWT, atau PKWTT)58, mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja serta tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat.

HAK DAN KEWAJIBAN TENAGA KERJA DAN PENGUSAHA 59 TENAGA KERJA/BURUH 1. Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. 2. Setiap buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. 3. Setiap

tenaga

kerja

berhak

untuk

memperoleh,

meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja. 4. Tenaga

kerja

berhak

memperoleh

pengakuan

kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. 5. Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berhak atas pengakuan kualiď€ kasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertiď€ kasi. 58

PKWT adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pekerjaan yang sekali selesai atau bersifat sementara, yang penyelesaiannya paling lama 3 (tiga) Tahun; PKWTT adalah Pekerjaan Kerja Waktu Tidak Tertentu (Dapat dilakukan dengan masa percobaan maksimal 3 Bulan dan gaji tidak boleh di bawah UMP) 59

Kausar, 21 April 2013, Makalah “Kisi-kisi Hukum Ketenagakerjaan, Serikat Pekerja, Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disampaikan pada Training Hukum Kritis Bagi Jurnalis, Bukittinggi 20-21 April 2013

91


Melawan Ancaman Kekerasan

6. Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri. 7. Buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. 8. Setiap buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja a. moral dan kesusilaan b. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama 9. Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak buruh. 10. Bila buruh meninggal dunia, ahli warisnya berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang

berlaku

atau

yang telah diatur dalam perjanjian kerja,

hak

hak

peraturan

perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 11. Buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. 12. Buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai

92


Jaminan di Tengah Ancaman

dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. 13. Buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. 14. Setiap buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh. 15. Setiap buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja b. moral dan kesusilaan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. 16. Setiap buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 17. Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan

peraturan

perundang

undangan

yang

berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari buruh merupakan utang yang didahulukan pem-bayarannya 18. Setiap buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja 19. Setiap buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. 20. Mogok kerja sebagai hak dasar buruh dan serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan 21. Apabila mogok kerja dilakukan karena memperjuangkan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh 93


Melawan Ancaman Kekerasan

pengusaha, buruh berhak mendapatkan upah 22. Sekurang-kurangnya dalam waktu tujuh hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. 23. Sekurang-kurangnya dalam waktu tujuh hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat

PENGUSAHA ATAU PERUSAHAAN 1. Apabila terjadi PHK, wajib membayar uang uang pesangon, uang penghargaan, uang penggantian hak 2. Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. 3. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. 4. Tenaga kerja asing sebagaimana yang masa kerjanya habis dan tidak dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya 5. Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa buruh yang dibuat secara tertulis. (jasa outsourcing) 6. Upah tidak dibayar bila buruh tidak melakukan 94


Jaminan di Tengah Ancaman

pekerjaan. 7. Pelanggaran

yang

dilakukan

oleh

buruh

karena

kesenjangan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. 8. Setiap pengusaha berhak membentuk dan manjadi anggota organisasi pengusaha. 9. Menyusun PKB (perjanjian kerja bersama) 10. Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja selama 40 jam per minggu. Diluar itu, pengusaha wajib membayar uang lembur. 11. Memberikan upah 12. Memberikan Jamsostek 13. Mendapatkan laporan mogok kerja dari pekerja 14. Terkait mogok kerja, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara: -

melarang para buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi, atau

-

bila dianggap perlu melarang buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.

15. Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi ketentuan UU adalah mogok kerja tidak sah. 16. Penutupan perusahaan (lock-out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagaian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. 17. Menghindari PHK 18. Pengusaha wajib memberikan THR / Tunjangan Hari Raya kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih . Dasar Hukum

pemberian

Tunjangan

Hari

Raya

adalah 95


Melawan Ancaman Kekerasan

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: Per-04/MEN/1994 tanggal 16 September 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan

UPAH SEBAGAI HAK TENAGA KERJA DAN KEWAJIBAN PENGUSAHA Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan Upah adalah hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan. Dalam pemenuhan upah, Pengusaha/Perusahaan dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.

Jika

pengusaha membayar upah lebih rendah dari UMP/UMK maka pengusaha dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama empat tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), karena membayar upah dibawah UMP/UMK adalah tindak pidana dan merupakan tindak pidana kejahatan.

SERIKAT PEKERJA, KOMPONEN PENTING DALAM PERUSAHAAN Kemerdekaan

berserikat,

berkumpul,

mengeluarkan

pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan, memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta 96


Jaminan di Tengah Ancaman

mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum merupakan hak setiap warga Negara, dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, buruh berhak membentuk dan mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab dan menjadi sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. Itulah yang dicantumkan dalam prembule UndangUndang No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Dengan disahkannya Undang-Undang ini pada 4 Agustus 2000 maka setiap pekerja di suatu perusahaan yang berjumlah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang dapat membentuk serikat pekerja. Dan siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau

tidak menjadi anggota dan/atau

menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/ serikat buruh dengan cara: melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; tidak membayar atau mengurangi upah buruh; melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; dan melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Bagi siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/ buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 97


Melawan Ancaman Kekerasan

(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)60. Namun dalam praktek, union busting ini masih saja kerap terjadi, tidak saja untuk kalangan pekerja-pekerja pada perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam sektor industri/ barang, di level pekerja “kuli tinta� seperti wartawanpun kerapkali terjadi. Hal ini terjadi karena lemahnya pegawai pengawas dalam menindaklanjuti laporan anti union/union busting dan Ketidaktahuan kepolisian atas unsur pidana dalam UU No. 21 Tahun 2000. Segala

peraturan

perundang-undangan

di

bidang

perburuhan tersebut, otomatis juga berlaku bagi jurnalis yang bekerja di perusahaan media.

JAMINAN PERLINDUNGAN PROFESI JURNALIS Pasal 8 Undang-Undang Pers Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Kemerdekaan Pers di Indonesia memang telah di Jamin sebagai Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dihilangkan dan harus dihormati. Bahkan secara tegas Undang-Undang Pers menyebutkan

“dalam melaksanakan

profesinya wartawan

mendapat perlindungan hukum�. Namun dalam praktek tindakan kekerasan dan bahkan kriminalisasi terhadap pers terus saja berlangsung, dan Negara tetap abai dalam memberikan perlindungan itu. Dewan 60

Pers

sebagai

Lebih lanjut lihat Pasal 43 98

lembaga

yang

diberi

tugas


Jaminan di Tengah Ancaman

mengembangkan

kemerdekaan

pers

dan

meningkatkan

kehidupan pers nasional, pada 28 April 2008 telah menetapkan Peraturan Dewan Pers Nomor 5/Peraturan-DP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan61. Dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu Standar Perlindungan Profesi Wartawan ini dibuat: 1. Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi; 2. Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan memperoleh

perlindungan

hukum

dari

negara,

masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa; 3. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun; 4. Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala 61

Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, lembaga terkait, serta Dewan Pers di Jakarta, 25 April 2008. Sebelum disahkan, draft Standar Perlindungan Profesi Wartawan telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu “memfasilitasi organisasiorganisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan 99


Melawan Ancaman Kekerasan

bentuk penyensoran; 5. Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya; 6. Dalam

penugasan

jurnalistik

di

wilayah

konik

bersenjata, wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera, disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh; 7. Dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili oleh penanggungjawabnya; 8. Dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggungjawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi; 9. Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku. Walaupun sudah ada aturan Dewan Pers, namun ancaman kekerasan dan kriminalisasi terhadap jurnalis tetap saja terjadi. Masih tingginya praktek pelecehan terhadap kemerdekaan pers membuktikan bahwa perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara terhadap pekerja pers di Indonesia masih lemah. 100


Jaminan di Tengah Ancaman

Untuk itu, pada 6 Desember 2012 Dewan Pers mengeluarkan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan. Pedoman ini dilatarbelakangi karena keselamatan wartawan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Selama ini telah terjadi banyak kekerasan terhadap wartawan atau media. Aspek yang menonjol dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan adalah belum adanya pedoman tentang tahap-tahap dan mekanisme yang dapat menjadi rujukan bagi berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, perlu disusun pedoman penanganan yang memadahi. Pedoman tersebut diharapkan dapat melengkapi ketentuan yang telah ada dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus pers berdasarkan semangat dan isi UU Pers No. 40 Tahun 199962. Dalam pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Pers tersebut diatur tanggungjawab dari Perusahaan Pers, Organisasi Profesi Wartawan, dan tanggungjawab Dewan Pers. Poin IV pedoman itu mengkasiď€ kasikan bentuk-bentuk kekerasan terhadap wartawan, yaitu: 1. Kekerasan ď€ sik, meliputi penganiayaan ringan, berat, penyiksaan, penyekapan, penculikan dan pembunuhan; 2. Kekerasan non ď€ sik, meliputi, ancaman verbal, penghinaan,

penggunaan

kata-kata

yang

merendahkan dan pelecehan; 3. Pengrusakan alat liputan seperti kamera dan alat perekam; 4. Menghalangi 62

kerja

wartawan

mencari,

Bagian latar belakang pedomana penanganan kekerasan terhadap wartawan 101


Melawan Ancaman Kekerasan

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi, seperti merampas peralatan kerja wartawan atau tindakan lain yang merintangi wartawan sehingga tidak dapat memproses pekerjaan kewartawanannya; dan 5. Bentuk kekerasan lain terhadap wartawan yang belum disebut dalam pedoman ini merujuk pada deď€ nisi yang diatur KUHP dan UU HAM. Poin VII pedoman ini juga menjelaskan tentang tanggung jawab perusahaan pers: 1. Menjadi pihak pertama yang segera memberikan perlindungan terhadap wartawan dan keluarga korban kekerasan, baik wartawan yang berstatus karyawan maupun nonkaryawan. Tanggung jawab perusahaan pers meliputi: a) menanggung biaya pengobatan, evakuasi, dan pencarian fakta; b) berkoordinasi dengan organisasi profesi wartawan, Dewan Pers, dan penegak hukum; c) memberikan pendampingan hukum; 2. Tetap melakukan pendampingan, meskipun kasus kekerasan terhadap wartawan telah memasuki proses hukum di kepolisian atau peradilan; 3. Memuat

di dalam

kontrak kerja,

kewajiban

memberikan perlindungan hukum dan jaminan keselamatan kepada wartawan baik wartawan yang berstatus karyawan maupun nonkaryawan; 4. Menghindari tindakan memaksa wartawan atau ahli warisnya untuk melakukan perdamaian dengan 102


Jaminan di Tengah Ancaman

pelaku kekerasan ataupun untuk meneruskan kasus; keempat, Menghindari perdamaian atau kesepakatan tertentu dengan pelaku kekerasan tanpa melibatkan wartawan korban kekerasan atau ahli warisnya. Pada poin VIII dijelaskan tentang tanggung jawab Organisasi Profesi Wartawan: 1. Melakukan

pendampingan

terhadap

wartawan

dan keluarga yang menjadi korban kekerasan, termasuk ketika kasus kekerasan telah memasuki proses hukum. Pendampingan mengacu kepada langkah-langkah

penanganan

kasus

kekerasan

terhadap wartawan sebagaimana diatur dalam Bab V Pedoman ini; 2. Mengambil peran lebih besar dan bertindak proaktif untuk melakukan advokasi terhadap wartawan korban kekerasan atau keluarganya bagi pengurus organisasi di tingkat lokal; 3. Turut mengupayakan dana yang dibutuhkan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan; 4. Tidak membuat pernyataan yang menyalahkan pihak tertentu atas terjadinya kekerasan terhadap wartawan, sebelum melakukan proses pengumpulan dan veriď€ kasi data. Pedoman menjelaskan tentang Tanggung Jawab Dewan Pers seperti termuat dalam poin IX, yaitu: 1. Mengoordinasikan

pelaksanaan

Pedoman 103


Melawan Ancaman Kekerasan

Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan ini dengan perusahaan pers dan organisasi profesi wartawan; 2. Mengingatkan tanggung jawab perusahaan pers dan organisasi profesi wartawan sebagaimana diatur dalam Pedoman ini; 3. Turut mengupayakan dana yang dibutuhkan untuk menangani kasus kekerasan terhadap wartawan sampai proses hukum dinyatakan selesai; keempat, Berkoordinasi melakukan

dengan

penegak

langkah-langkah

hukum

penanganan

untuk yang

dibutuhkan untuk melindungi wartawan korban kekerasan atau keluarganya, serta memastikan penegak hukum memproses pelaku kekerasan dan bukti-bukti tindak kekerasan; 4. Bersama perusahaan pers dan organisasi profesi wartawan mengawal proses hukum kasus kekerasan terhadap wartawan dan mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mempercepat prosesnya.

104


Jaminan di Tengah Ancaman

105


Foto: Ra’i Hidayatullah Nazari


BAB VI

CATATAN PENUTUP


Melawan Ancaman Kekerasan

T

idak ada yang menginginkan kekerasan jurnalis kembali berulang, meski faktanya ia terus terjadi hampir tiap minggu. Hal ini mengharuskan semua

pihak mesti melihat kasus kekerasan pada jurnalis dari berbagai sisi. Besarnya potensi ancaman tersebut, tidak hanya bisa dilihat murni sebagai kesalahan pelaku kekerasan. Tingginya angka kekerasan tersebut, sebagian

juga akibat tindakan

tidak profesional sampai pelanggaran etika yang dilakukan oleh wartawan. Dalam catatan Dewan Pers selama tiga tahun (20092012), menurut mantan anggota Dewan Pers Agus Sudibyo, kekerasan terhadap wartawan dipicu tindakan tidak profesional dari wartawan. Yang muncul di media hanya wartawan dipukul, diusir, dirampas kameranya dan lain-lain. Tapi setelah diselidiki Dewan Pers, sebagian dari kasus itu terjadi karena aksi reaksi. Surplus kebebasan pers saat ini dinilai belum diikuti komitmen dan dedikasi terhadap kode etik jurnalistik. Belum ada keseimbangan antara sikap etis dengan kebebasan.63 Beberapa modus pelanggaran etik yang sering terjadi di antaranya: (1) Wartawan menerima uang atau imbalan dalam bentuk lain atas karya berita; (2) Memanfaatkan profesi wartawan sebagai alat penekan untuk meraup keuntungan; (3) Menghajar narasumber yang tidak bersedia kompromi dengan berita negatif; (4) Pemberitaan yang tidak akurat, berlebihan dan menebar keresahan; (5) Melakukan plagiat karya jurnalistik; (6) Berprasangka, diskriminatif serta tidak sensitif kepada hakhak perempuan dan anak, dan; (7) Membuat berita cabul dan 63

http://www.dw.de/wartawan-sebagai-ancaman-kebebasan/a-16565323 dikunjungi 1 Mei 2013 108


Catatan Penutup

melanggar kesusilaan. 64 Berbagai pelanggaran kode etik yang terjadi merugikan narasumber dan hak-hak publik. Di sisi lain, pelanggaran tersebut juga berbalik mengancam kebebasan pers. Untuk meminimalkan berbagai ancaman tersebut, kalangan pers sejak dari jurnalis, perusahaan media, organisasi jurnalis, organisasi perusahaan pers hingga Dewan Pers, harus mau berkaca diri dan introspeksi, bagaimana melaksanakan kebebasan pers selama ini. Jurnalis masih perlu meningkatkan kapasitas dan profesionalisme, di tengah masih banyaknya wartawan yang tidak mematuhi kode etik jurnalistik. Begitupun, perusahaan pers, sejauh mana masih berpihak pada kepentingan publik di tengah banyak yang sudah sibuk hanya memikirkan kepentingan bisnis dan politik. 65 Upaya introspeksi, dilakukan oleh puluhan jurnalis yang menjadi peserta Pelatihan Hukum Kritis yang digelar LBH Pers Padang bersama Yayasan Tifa pada Maret dan April 2013 di Padang dan Bukittinggi. Dalam diskusi yang berlangsung hangat, para jurnalis juga merekomendasikan beberapa poin yang mesti dilakukan untuk meminimalisir kekerasan pada jurnalis: 1. Jurnalis perlu meningkatkan pemahaman dan kepatuhan kepada kode etik jurnalistik, pedoman pemberitaan media siber dan UU Pers 2. Jurnalis

perlu

meningkatkan

kapasitas

dan

kemampuan jurnalisme agar menghasilkan karya yang berkualitas serta memenuhi etika. 3. Jurnalis perlu peka terhadap nilai-nilai, kebiasaan 64

SyoďŹ ardi Bachyul Jb dan Hendra Makmur (ed), Mematuhi Etik Menjaga Kebebasan Pers, AJI Padang, 2012, hal 84-85. 65

Ibid, hal 2-3. 109


Melawan Ancaman Kekerasan

yang hidup di tengah masyarakat dan kearifan lokal agar tidak terdapat kesalahpahaman ketika liputan di lapangan maupun dalam menghasilkan karya jurnalistik. 4. Jurnalis mesti lebih peka terhadap situasi dan kondisi di daerah liputan, memiliki kemampuan lobi,

tidak

arogan,

berempati

dan

paham

psikologi narasumber dan pihak-pihak yang bisa melakukan kekerasan pada jurnalis, sehingga bisa mengantisipasi sejak awal. 5. Jurnalis tidak membahayakan diri sendiri dengan pergi liputan sendiri ke daerah yang bisa mengancam keselamatannya. 6. Jurnalis mesti cepat memberi tahu perusahaan media, organisasi jurnalis dan rekan sesama jurnalis bila ada indikasi ancaman yang membahayakannya. 7. Jurnalis perlu berorganisasi dan meningkatkan kekompakan sesama jurnalis dan antar organisasi jurnalis agar kuat menghadapi berbagai ancaman terhadap kebebasan pers. 8. Perusahaan

pers

harus

memberi

jaminan

kesejahteraan yang layak, jaminan keselamatan dan asuransi bagi jurnalis, sehingga memberi kenyamanan kepada jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik. 9. Perusahaan pers mesti menyediakan peralatan yang cukup bila menghendaki jurnalis meliput daerah yang bisa membahayakannya, seperti lensa kamera panjang, alat perekam atau video tersembunyi.

110


10. Organisasi jurnalis harus meningkatkan kepedulian terhadap peningkatan kapasitas jurnalis 11. Organisasi jurnalis dan jurnalis terus meningkatkan sosialisasi UU Pers di tengah masyarakat, penegak hukum, penyelenggara negara dan narasumber Kesadaran akan ancaman dan kemauan untuk introspeksi bila dipadukan akan menjadi kekuatan besar untuk menghadapi segala tantangan kebebasan pers saat ini. Jurnalis memang mesti melawan ancaman yang saat ini terjadi. Upaya perlawanan tersebut dimulai dengan kepedulian terhadap berbagai masalah yang ada, keinginan untuk meningkatkan kapasitas dan memperbaiki profesionalisme, serta kesiapan dalam mencegah dan mengantisipasi setiap ancaman.


Foto: Rus Akbar


KEPUSTAKAAN


Buku Bachyul Jb, Syoď€ ardi dan Hendra Makmur (ed), Mematuhi Etik Menjaga Kebebasan Pers, AJI Padang, 2012. Bachyul Jb, Syoď€ ardi dkk, Memahami Hukum Pers, LBH Pers Padang dan Yayasan Tifa, 2013. Chan, Christianda Chelsia, dkk, 15 Hari Perjuangan untuk Kemerdekaan Pers, Memori Van Toelichting UndangUndang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Indonesia Media Law & Policy Centre (IMPLC), 2007. Gaffar, Affan dalam M. Busyro Muqoddas, dkk, Politik Pembangunan Hukum Nasional, UII Press, Yogyakarta, 1992. LBH Pers, Jaring Represi terhadap Media: Rekaman Kasus Tempo vs Tomy Winata, LBH Pers, 2005, Jakarta, 2005. Luwarso, Lukas dan Solahuddin, Advokasi Jurnalis, SEAPA, Jakarta: Agustus 2001 Mahfud MD, Mohammad, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, 1998. Manan, Abdul, Ancaman Itu Datang dari Dalam: Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen 2010, Aliansi Jurnalis Independen, 2010. Manan, Abdul, Dijamin Tapi Tak Terlindungi: Kekerasan terhadap Jurnalis tahun 2007, Aliansi Jurnalis Independen, 2008. Manan, Abdul, Menjelang Sinyal Merah: Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen 2011, Aliansi Jurnalis Independen, 2011. Prayitno, Budi (penerjemah), Etika Jurnalisme, Debat Global, 114


Institut Studi Arus Informasi, Jakarta: Juni 2006. Siregar, Amir Effendi, dalam Lukas Luwarso, dkk, Mengelola Kebebasan Pers, Dewan Pers, Jakarta, 2008. Soerjoatmodjo, Gita W. Laksmini, Menyelesaikan Perkara Tanpa Prahara, Penggunaan UU Pers No. 40/99 dalam Perkara Pers, AJI Indonesia, Jakarta: 2005. Sukardi, Wina Armada, Cara Mudah Memahami Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Pers, Dewan Pers, Jakarta: 2008. Sukardi, Wina Armada,Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers, Jakarta, Dewan Pers,2007 Suroso, Menuju Pers Demokrasi, LisP, Yogyakarta, 2001 Susanto, Edy dkk, Hukum Pers di Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: 2010. Suwitra, Andi, Dinamika Kehidupan Pers di Indonesia pada Tahun 1950-1965: Antara Kebebasan dan Tanggung Jawab Nasional, Sosiohumanika No. 1 2008. 267. Tim LBH Pers, Proses Penanganan Perkara Pers, Panduan Bagi Penegak Hukum Polisi, Jaksa dan Hakim, LBH Pers, Jakarta: 2009. Wicaksono, Bayu, dkk, Paradoks Kebebasan Pers Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, 2007. Makalah: Kautsar, 21 April 2013, Makalah Kisi-kisi Hukum Ketenagakerjaan, Serikat Pekerja, Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disampaikan pada Training Hukum Kritis Bagi Jurnalis, Bukittinggi 20-21 April 2013 Neni Vesna Madjid, 2 Maret 2013, Makalah “Kisi-kisi Hukum 115


Ketenagakerjaan, Serikat Pekerja, Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disampaikan pada Training Hukum Kritis Bagi Jurnalis, Padang 2-3 Maret 2013

Data Internet: http://www.tempo.co.id/ang/min/02/17/nas2.htm http://ajiindonesia.or.id/read/page/halaman/37/sejarah. html http://ajiindonesia.or.id/read/article/press-release/168/ catatan-akhir-tahun-2012-aji-indonesia.html http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0407/30/ nas22.htm http://www.newseum.org/scripts/Journalist/countryDetail. asp?countryID=63 http://www.cpj.org/killed/asia/indonesia/ dikunjungi 20 April 2013 http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusipraktik-impunitas-terhadap-pembunuh.html http://www.newseum.org/scripts/Journalist/Detail. asp?PhotoID=471 dikunjungi 20 April 2013 http://kolsus.perpustakaan-elsam.or.id/index.php?p=show_ detail&id=1189 http://www.newseum.org/scripts/Journalist/Detail. asp?PhotoID=415 http://www.newseum.org/scripts/Journalist/Detail. asp?PhotoID=416 http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusipraktik-impunitas-terhadap-pembunuh.html

116


http://www.newseum.org/scripts/Journalist/Detail. asp?PhotoID=1447 http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusipraktik-impunitas-terhadap-pembunuh.html http://www.cpj.org/killed/2003/mohamad-jamal.php http://ajiindonesia.or.id/read/article/seminar/81/diskusipraktik-impunitas-terhadap-pembunuh.html http://www.cpj.org/reports/2008/02/journalists-missing.php http://www.cpj.org/killed/2006/herliyanto.php http://www.dewanpers.or.id/joomla/index. php?option=com_content&view=article&id=460: perkembangan-kasus-pembunuhan-wartawan-qdeltaposq&catid=41:berita&Itemid=130 http://arsip.gatra.com/2001-06-08/artikel.php?id=6911 http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/06/07/0038. html http://fokussulut.com/aji-manado-bentuk-tpf-ungkappembunuhan-wartawan-aryono-linggotu/ http://www.dw.de/wartawan-sebagai-ancamankebebasan/a-16565323

Data wawancara: Ketua AJI Jayapura Victor Mambor, 4 Mei 2013 Tommy De Rapers, 20 Maret 2013 Budi Sunandar, 18 Maret 2013 Yuharnel, 13 Maret 2013 Andry Syahputra, 14 Februari 2013 Afriyandi, 3 Maret 2013

117


Foto: Ra’i Hidayatullah Nazari

118


LAMPIRAN

119


Lampiran 1

STANDAR PERUSAHAAN PERS Sebagai wahana komunikasi massa, pelaksana kegiatan jurnalistik, penyebar informasi dan pembentuk opini, pers harus dapat melaksanakan asas, fungsi, kewajiban, dan peranannya demi

terwujudnya

kemerdekaan

pers

yang

profesional

berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Untuk mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional maka disusunlah standar sebagai pedoman perusahaan pers agar pers mampu menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, serta sebagai lembaga ekonomi. 1.

Yang dimaksud perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi.

2.

Perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas dan badan-badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3.

Perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang.

4.

Perusahaan pers memiliki komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

5.

Perusahaan pers memiliki modal dasar sekurangkurangnya sebesar Rp.50.000.000 (lima puluh juta rupiah) atau ditentukan oleh Peraturan Dewan Pers.

120


6.

Perusahaan pers memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk menjalankan kegiatan perusahaan secara teratur sekurang-kurangnya selama 6 (enam) bulan.

7.

Penambahan modal asing pada perusahaan pers media cetak dilakukan melalui pasar modal dan tidak boleh mencapai mayoritas, untuk media penyiaran tidak boleh lebih dari 20% dari seluruh modal.

8.

Perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun.

9.

Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.

10. Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dan karyawannya yang sedang menjalankan tugas perusahaan. 11. Perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. 12. Perusahaan pers memberikan pendidikan dan atau pelatihan kepada wartawan dan karyawannya untuk meningkatkan profesionalisme. 13. Pemutusan hubungan kerja wartawan dan karyawan perusahaan pers tidak boleh bertentangan dengan prinsip kemerdekaan pers dan harus mengikuti UndangUndang Ketenagakerjaan. 121


14. Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan

penanggung

jawab

secara

terbuka

melalui

media yang bersangkutan; khusus untuk media cetak ditambah dengan nama dan alamat percetakan. Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban

atas

karya

jurnalistik

yang

diterbitkan atau disiarkan. 15. Perusahaan pers yang sudah 6 (enam) bulan berturutturut tidak melakukan kegiatan usaha pers secara teratur dinyatakan bukan perusahaan pers dan kartu pers yang dikeluarkannya tidak berlaku lagi. 16. Industri pornogra yang menggunakan format dan sarana media massa yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi bukan perusahaan pers. 17. Perusahaan pers media cetak diverikasi oleh organisasi perusahaan pers dan perusahaan pers media penyiaran diverikasi oleh Komisi Penyiaran Indonesia.

Jakarta, 6 Desember 2007 (Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, serta Dewan Pers di Jakarta, 6 Desember 2007. Sebelum disahkan, draft Standar Perusahaan Pers telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan”)

122


Lampiran 2

STANDAR PERLINDUNGAN PROFESI WARTAWAN KEMERDEKAAN menyatakan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dihilangkan dan harus dihormati. Rakyat Indonesia telah memilih dan berketetapan hati melindungi kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat itu dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat dan bagian penting dari kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat. Wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu Standar Perlindungan Profesi Wartawan ini dibuat: 1. Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi; 2. Dalam

melaksanakan

memperoleh

tugas

perlindungan

jurnalistik, hukum

dari

wartawan negara,

masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa; 3. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat 123


atau diintimidasi oleh pihak manapun; 4. Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran; 5. Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya; 6. Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konik bersenjata, wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi,

disandera,

disiksa,

dianiaya,

apalagi

dibunuh; 7. Dalam perkara yang menyangkut karya jurnalistik, perusahaan pers diwakili oleh penanggungjawabnya; 8. Dalam

kesaksian

perkara

yang menyangkut

karya

jurnalistik, penanggungjawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi; 9. Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa

wartawan

untuk

membuat

berita

yang

melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku. Jakarta, 25 April 2008 (Standar ini disetujui dan ditandatangani oleh sejumlah organisasi pers, pimpinan perusahaan pers, tokoh pers, lembaga terkait, serta Dewan Pers di Jakarta, 25 124


April 2008. Sebelum disahkan, draft Standar Perlindungan Profesi Wartawan telah dibahas melalui serangkaian diskusi yang digelar Dewan Pers. Pembuatan Standar ini merupakan pelaksanaan fungsi Dewan Pers menurut Pasal 15 ayat (f) UU No.40/1999 tentang Pers yaitu “memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi wartawan�)

125


Lampiran 3

PEDOMAN PENANGANAN KASUS KEKERASAN WARTAWAN I. Pendahuluan Perlindungan terhadap wartawan dalam menjalankan tugas jurnalistik telah menjadi kewajiban dunia internasional. Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Council) di Wina, Austria, dalam resolusi yang disepakati seluruh anggota tanggal 27 September 2012 untuk pertama kali menegaskan pentingnya keselamatan wartawan sebagai unsur fundamental kebebasan ekspresi. Dalam resolusi itu, Dewan Hak Asasi Manusia menyerukan kepada negara-negara di dunia agar �mengembangkan lingkungan yang aman bagi para wartawan yang memungkinkan mereka dapat melaksanakan pekerjaan secara independen.� Resolusi ini juga menyerukan pencegahan impunitas bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan dengan melakukan investigasi yang tidak memihak, cepat, dan efektif.

II. Latar Belakang Keselamatan wartawan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Selama ini telah terjadi banyak kekerasan terhadap wartawan atau media. Aspek yang menonjol dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan adalah belum adanya pedoman tentang tahap-tahap dan mekanisme yang dapat menjadi rujukan bagi berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, perlu disusun pedoman penanganan yang memadahi. Pedoman ini diharapkan dapat melengkapi ketentuan yang telah ada dalam 126


rangka menyelesaikan kasus-kasus pers berdasarkan semangat dan isi UU Pers No. 40 Tahun 1999.

III. Definisi Kekerasan Terhadap Wartawan Kekerasan terhadap wartawan yang dimaksud di dalam Pedoman ini adalah kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan pekerjaan jurnalistik atau kekerasan akibat karya jurnalistik.

IV. Bentuk Kekerasan Terhadap Wartawan 1. Kekerasan ď€ sik, yang meliputi penganiayaan ringan, penganiayaan

berat,

penyiksaan,

penyekapan,

penculikan, dan pembunuhan. 2. Kekerasan

nonď€ sik,

yang

meliputi

ancaman

verbal, penghinaan, penggunaan kata-kata yang merendahkan, dan pelecehan. 3. Perusakan peralatan liputan seperti kamera dan alat perekam. 4. Upaya

menghalangi

kerja

wartawan

mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, seperti merampas peralatan kerja wartawan atau tindakan lain yang merintangi wartawan sehingga tidak dapat memproses pekerjaan kewartawanannya. 5. Bentuk kekerasan lain terhadap wartawan yang belum disebut dalam pedoman ini merujuk pada deď€ nisi yang diatur KUHP dan UU HAM.

127


V. Prinsip Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan 1. Penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan harus dilakukan atas persetujuan korban atau ahli waris. 2. Penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan harus dilakukan secepatnya. 3. Penanganan kasus kekerasan yang berhubungan dengan kegiatan jurnalistik menjadi tanggung jawab bersama perusahaan pers, organisasi profesi wartawan, dan Dewan Pers. 4. Penanganan kasus kekerasan yang tidak berhubungan dengan kegiatan jurnalistik menjadi tanggung jawab langsung penegak hukum. 5. Organisasi profesi wartawan dan perusahaan pers harus bersikap adil dan memberikan sanksi tegas jika ditemukan bukti-bukti bahwa wartawan melanggar kode etik jurnalistik dan atau turut menyebabkan terjadinya kasus kekerasan. 6. Perusahaan pers, asosiasi perusahaan pers, dan organisasi profesi wartawan membentuk lumbung dana taktis untuk penanganan tindak kekerasan terhadap wartawan. Dewan Pers memfasilitasi pembentukan lumbung dana taktis tersebut. 7. Media massa perlu menghindari pemberitaan kasus kekerasan terhadap wartawan yang dapat menghambat penanganan masalah, termasuk mempersulit evakuasi dan perlindungan korban.

128


VI. Langkah Penanganan Langkah-langkah penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan sebagai berikut: 1. Pengumpulan informasi, yaitu membuat kronologi, menentukan pihak-pihak yang terlibat, baik korban dan pelaku maupun saksi mata, serta mengumpulkan bukti-bukti. 2. Veriď€ kasi untuk menentukan: a)

Kasus kekerasan

yang terjadi berhubungan dengan kegiatan jurnalistik atau tidak. b)

Wartawan murni menjadi korban

kekerasan atau turut berkontribusi pada terjadinya kekerasan. 3. Identiď€ kasi keperluan korban, antara lain kondisi kesehatan, keselamatan, dan kemungkinan evakuasi korban atau keluarganya. 4. Pengambilan kesimpulan dan rekomendasi: a) Langkah litigasi. b) Langkah nonlitigasi. 5. Langkah koordinasi baik tingkat lokal maupun tingkat nasional yang melibatkan organisasi profesi, media tempat wartawan bekerja, Dewan Pers, kepolisian, LSM media, atau LSM HAM. 6. Pengumpulan dana untuk penanganan jika diperlukan. Proses evakuasi korban

atau

keluarga nya harus

didahulukan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan jika kondisi mengharuskan demikian.

VII. Tanggung Jawab Perusahaan Pers 1. Menjadi pihak pertama yang segera memberikan 129


perlindungan terhadap wartawan dan keluarga korban kekerasan, baik wartawan yang berstatus karyawan maupun nonkaryawan. Tanggung jawab perusahaan pers meliputi: a) menanggung biaya pengobatan, evakuasi, dan pencarian fakta; b) berkoordinasi dengan organisasi profesi wartawan, Dewan Pers, dan penegak hukum; c) memberikan pendampingan hukum. 2. Tetap melakukan pendampingan, meskipun kasus kekerasan terhadap wartawan telah memasuki proses hukum di kepolisian atau peradilan. 3. Memuat

di

memberikan

dalam

kontrak

perlindungan

kerja,

hukum

kewajiban

dan

jaminan

keselamatan kepada wartawan baik wartawan yang berstatus karyawan maupun nonkaryawan. 4. Menghindari tindakan memaksa wartawan atau ahli warisnya untuk melakukan perdamaian dengan pelaku kekerasan ataupun untuk meneruskan kasus. 5. Menghindari perdamaian atau kesepakatan tertentu dengan pelaku kekerasan tanpa melibatkan wartawan korban kekerasan atau ahli warisnya.

VIII. Tanggung Jawab Organisasi Profesi Wartawan 1. Melakukan pendampingan terhadap wartawan dan keluarga yang menjadi korban kekerasan, termasuk ketika kasus kekerasan telah memasuki proses hukum. Pendampingan

mengacu

kepada

langkah-langkah

penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan sebagaimana diatur dalam Bab V Pedoman ini.

130


2. Mengambil peran lebih besar dan bertindak proaktif untuk melakukan advokasi terhadap wartawan korban kekerasan atau keluarganya bagi pengurus organisasi di tingkat lokal. 3. Turut mengupayakan dana yang dibutuhkan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap wartawan. 4. Tidak

membuat

pernyataan

yang

menyalahkan

pihak tertentu atas terjadinya kekerasan terhadap wartawan, sebelum melakukan proses pengumpulan dan veriď€ kasi data.

IX. Tanggung Jawab Dewan Pers: 1. Mengoordinasikan pelaksanaan Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan ini dengan perusahaan pers dan organisasi profesi wartawan. 2. Mengingatkan tanggung jawab perusahaan pers dan organisasi profesi wartawan sebagaimana diatur dalam Pedoman ini. 3. Turut mengupayakan dana yang dibutuhkan untuk menangani kasus kekerasan terhadap wartawan sampai proses hukum dinyatakan selesai. 4. Berkoordinasi dengan penegak hukum untuk melakukan langkah-langkah

penanganan

yang

dibutuhkan

untuk melindungi wartawan korban kekerasan atau keluarganya, serta memastikan penegak hukum memproses pelaku kekerasan dan bukti-bukti tindak kekerasan. 5. Bersama perusahaan pers dan organisasi profesi wartawan mengawal proses hukum kasus kekerasan 131


terhadap wartawan dan mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan untuk mempercepat prosesnya. X. Ketentuan Penutup 1. Dewan

Pers

dan

membentuk

satuan

organisasi tugas

profesi

untuk

wartawan

melaksanakan

Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan ini. 2. Setiap kasus kekerasan terhadap wartawan akan diselesaikan melalui litigasi. Kecekatan para penegak hukum amat penting untuk menghindari impunitas yang menyebabkan penyelesaian kasus kekerasan terhadap wartawan dan media pers terabaikan dalam waktu yang tidak menentu. 3. Penyelesaian nonlitigasi dapat dilaksanakan jika benar-benar dikehendaki oleh korban tanpa tekanan dari pihak mana pun. Penyelesaian nonlitigasi harus melibatkan

perusahaan

pers,

organisasi

profesi

wartawan, dan Dewan Pers.

Jakarta, 6 Desember 2012 DEWAN PERS Disepakati oleh Organisasi Wartawan dan Asosiasi Perusahaan Pers

132


Lampiran 4

133


134


135


136


137


138


Lampiran 5

139


140


141


142


143


144


Lampiran 6 SEMA No. 13 Tahun 2008 KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Jakarta, 30 Desember 2008 Nomor : 14/Bua.6/Hs/SP/XII/2008 Kepada Yth,

1. Sdr. Ketua Pengadilan Tinggi 2. Sdr. Ketua Pengadilan Negeri di – Seluruh Indonesia SURAT EDARAN Nomor: 13 Tahun 2008 TENTANG MEMINTA KETERANGAN SAKSI AHLI Sehubungan dengan banyaknya perkara-perkara yang diajukan ke Pengadilan yang berhubungan dengan delik Pers, maka untuk memperoleh gambaran objektif tentang ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan Undang-Undang Pers, maka Hakim dapat meminta keterangan dari seorang ahli dibidang Pers. Oleh karena itu dalam penanganan/pemeriksaan perkaraperkara yang terkait dengan delik Pers hendaknya Majelis mendengar/meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers, karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk Pers 145


tersebut secara teori dan praktek. Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. a.n KETUA MAHKAMAH AGUNG – RI WAKIL KETUA MAHKAMAH AGUNG-RI BIDANG NON YUDISIAL

DR. HARIFIN. A. TUMPA, S.H., M.H.

Tembusan: Kepada. Yth 1. Para Ketua Muda Mahkamah Agung- RI 2. Para Hakim Agung pada Mahkamah Agung-RI 3. Panitia Mahkamah Agung-RI 4. Dewan Pers

Catt: di: salin ulang dari SEMA No. 13 Tahun 2008

146


Lampiran 7 Peraturan Dewan Pers Nomor 10/Peraturan-DP/X/2009 tentang Keterangan Ahli Dewan Pers Untuk

melaksanakan

tugas

dan

fungsi

Dewan

Pers

sesuai Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan melaksanakan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 13 tanggal 30 Desember 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, berlaku Pedoman Dewan Pers tentang Keterangan Ahli dari Dewan Pers sebagai berikut: 1. Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang suatu hal yang diperlukan untuk memperjelas sebuah perkara pada semua tingkatan proses hukum. 2. Ahli dari Dewan Pers adalah seorang yang memiliki keahlian khusus yang memberikan keterangan sesuai keahliannya atas nama Dewan Pers. 3. Ahli dari Dewan Pers berasal dari:

a. Anggota Dewan Pers. b. Mantan Anggota Dewan Pers. c. Ketua atau anggota dewan kehormatan organisasi pers serta orang yang dipilih atau ditunjuk secara resmi oleh Dewan Pers yang telah memiliki Sertiď€ kat Ahli yang dikeluarkan Dewan Pers. 4. Ahli dari Dewan Pers bersedia dan memenuhi persyaratan:

a. Mendukung dan menjaga kemerdekaan pers. b. Memakai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai 147


pedoman, baik ď€ losoď€ maupun teknis pengaturannya, antara lain, menolak kriminalisasi karya jurnalistik dan denda yang tidak proporsional.

c. Mempunyai pendapat tentang kemerdekaan pers yang sesuai dengan Dewan Pers.

d. Memiliki keahlian di bidang pers dan atau bidang lainnya yang terkait dengan proses pemeriksaan perkara.

e. Memiliki integritas pribadi di bidang keahliannya. f. Bersikap adil (sense of fairness) dan obyektif (sense of objectivity). 5. Ahli dari Dewan Pers dapat memberikan keterangan dalam perkara hukum pidana, perdata maupun bidang hukum lain. 6. Ahli dari Dewan Pers dalam menjalankan tugasnya dilengkapi dengan surat tugas resmi dari Dewan Pers yang ditandatangani oleh Ketua dan atau Wakil Ketua Dewan Pers. 7. Ahli dari Dewan Pers tidak boleh memiliki konik kepentingan dengan perkara. Rapat Pleno menentukan ada atau tidaknya konik kepentingan itu. 8. Dalam suatu perkara dapat dihadirkan lebih dari satu Ahli dari Dewan Pers. 9. Ahli dari Dewan Pers tidak dapat memberikan keterangan untuk dua pihak atau lebih sekaligus yang berlawanan dalam perkara yang sama. 10. Semua pihak dalam perkara yang terkait dengan pelaksanaan kemerdekaan pers dapat mengajukan permintaan Ahli dari Dewan Pers.

a. Permintaan Ahli dari Dewan Pers diajukan kepada 148


Dewan Pers.

b. Dewan Pers dapat mengabulkan atau menolak pengajuan

permintaan

Ahli

berdasarkan

pertimbangan untuk menjaga kemerdekaan pers melalui Rapat Pleno atau rapat yang khusus membahas untuk itu.

c. Ketua dan atau Wakil Ketua menetapkan penunjukan Ahli dari Dewan Pers. 11. Anggota Dewan Pers yang memberikan keterangan dalam kedudukan pribadi dan bukan sebagai ahli dari Dewan Pers diatur sebagai berikut:

a. Sebelum memberikan keterangan harus menyatakan secara tegas dan terbuka bahwa keterangannya bukanlah dalam kedudukan sebagai Ahli dari Dewan Pers dan karena itu tidak mewakili Dewan Pers.

b. Memberikan keterangan yang sesuai dengan prinsip dan sikap Dewan Pers, antara lain mendukung dan menjaga kemerdekaan pers dan memakai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai pedoman, baik dari segi ď€ losoď€ snya maupun dari teknis pengaturannya.

c. Anggota Dewan Pers yang memberikan keterangan dalam kedudukan pribadi tetapi keterangannya tidak sesuai dengan prinsip dan sikap Dewan Pers, akan diberikan sanksi sesuai Statuta Dewan Pers dan Dewan Pers wajib membuat surat kepada hakim bahwa keterangan yang bersangkutan bukan pendapat Dewan Pers. 12. Dewan Pers menyelenggarakan pendidikan dan latihan khusus tentang Ahli dari Dewan Pers untuk ketua atau 149


anggota dewan kehormatan organisasi pers serta orang yang dipilih secara resmi oleh Dewan Pers. 13. Pada

prinsipnya

pembiayaan Ahli

dari

Dewan

Pers

ditanggung oleh Dewan Pers. Bantuan dari pihak ketiga untuk pembiayaan Ahli dapat diterima dengan ketentuan dilakukan secara transparan dan diketahui oleh Ketua atau Wakil Ketua Dewan Pers. Atas dasar itu Ketua atau Wakil Ketua Dewan Pers dapat memutuskan menerima atau menolak bantuan tersebut. 14. Proses keterangan ahli dari Dewan Pers sedapat mungkin didokumentasikan. dilakukan

oleh

Pengaturannya sekretariat

pendokumentasian

Dewan

Pers

dengan

pengawasan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pers. Ketiadaan pendokumentasian

tidak

menghilangkan

keterangan ahli dari Dewan Pers.

150

keabsahan


Lampiran 8

KODE ETIK JURNALISTIK Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama. Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik: Pasal 1 Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Penafsiran

a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, 151


paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.

b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.

c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.

d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. Pasal 2 Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran Cara-cara yang profesional adalah:

a. b. c. d. e.

menunjukkan identitas diri kepada narasumber; menghormati hak privasi; tidak menyuap; menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;

f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;

g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;

h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

152


Pasal 3 Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penafsiran

a. Menguji

informasi

berarti

melakukan

check

and

recheck tentang kebenaran informasi itu.

b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.

c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.

d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang. Pasal 4 Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, ď€ tnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran

a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.

b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.

c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan. d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis 153


dengan foto, gambar, suara, graď€ s atau tulisan yang sematamata untuk membangkitkan nafsu birahi.

e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara. Pasal 5 Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Penafsiran

a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.

b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah. Pasal 6 Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Penafsiran

a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil

keuntungan

pribadi

atas

informasi

yang

diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.

b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Pasal 7 Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi

154


narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. Penafsiran

a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.

c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.

d. Off the record adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan. Pasal 8 Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Penafsiran

a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.

b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

155


Pasal 9 Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Penafsiran

a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.

b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik. Pasal 10 Wartawan

Indonesia

segera

mencabut,

meralat,

dan

memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Penafsiran

a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.

b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok. Pasal 11 Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional. Penafsiran

a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.

b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan 156


kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki. Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers. Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh organisasi wartawan dan atau perusahaan pers. Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006 (Kode Etik Jurnalistik ditetapkan Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 Tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik Sebagai Peraturan Dewan Pers)

157


BIODATA

158


HENDRA MAKMUR Lahir di Kotogadang VI Koto, Maninjau, Kabupaten Agam pada 26 Oktober 1975. Menamatkan kuliah S1 Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Andalas pada 1999 dan setelah itu menjalani hidup sebagai jurnalis mulai di Tabloid Bijak (1999-2000), Majalah Gatra (2000-2003), Media Indonesia/Metro TV (2003-2005) dan Media Indonesia (2005-sekarang). Ketika kuliah aktif dalam berbagai kegiatan mahasiswa sejak di bidang seni hingga pers mahasiswa. Setelah menjadi anggota AJI pada 2004, kemudian pada 2005 bersama belasan jurnalis, ikut mendeklarasikan pendirian AJI Padang dan menjabat Ketua AJI Padang pada 2008-2011 dan 2011-2014. Pada 2010, bersama sejumlah jurnalis dan aktivis HAM mendirikan LBH Pers Padang. Pada 2012 lulus Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ) AJI untuk tingkat ‘wartawan utama’ dan menjadi salah satu penguji kompetensi jurnalis untuk AJI. Selain itu, bersama Syoardi Bachyul, menjadi editor Buku ‘Mematuhi Etik, Menjaga Kebebasan Pers’ diterbitkan AJI Padang dan Yayasan Tifa, pada 2012. Sebelumnya, bersama sejumlah jurnalis ikut menulis di buku ‘Jurnalis di Titik Nol’ dan menjadi editor buku ‘Pedoman Meliput di Daerah Bencana’, keduanya diterbitkan Jaringan Jurnalis Siaga Bencana (JJSB). Pada 2013 dengan sejumlah jurnalis mendirikan portal berita alternatif www.ranahberita.com

RONY SAPUTRA Lahir di Bukittinggi pada 29 Mei 1982 dan menamatkan S1 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Ketika kuliah, aktif di Lembaga Advokasi Mahasiswa/ Pengkajian Kemasyarakatan (LAM/PK). Setelah tamat, mengabdi di LBH Padang sejak 2004 hingga 2013, sejak volunteer hingga menjadi Wakil 159


Direktur. Pada 2010 bersama sejumlah aktivis HAM dan jurnalis mendirikan LBH Pers Padang dan menjabat Direktur sejak 2012-2013. Selama itu pula, aktif dalam perlindungan HAM, gerakan antikorupsi dan anti maa hukum. Selain aktif melakukan advokasi kebebasan pers di Sumatra Barat, juga menjadi anggota South East Asia Lawyer dan Media Defence South East Asia. Selama menjadi aktis, menjadi salah satu penulis dalam buku yang ditulis bersama penulis lain, antara lain Buku ‘Kearifan Lokal di Sumatera Barat’ dan Buku ‘Ketika Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan Berekpresi Diadili’ yang diterbitkan LBH Padang, Buku ‘Mematuhi Etik, Menjaga Kebebasan Pers’ yang diterbitkan AJI Padang, serta Buku ‘Memahami Hukum Pers’ yang diterbitkan LBH Pers Padang.

ANDIKA D KHAGEN Redaktur Pelaksana di www.klikpositif.com, media online di Sumatra Barat. Pria asal Pangkalan, Kabupaten Lima Puluh Kota yang lahir di Padang, 8 Mei 1985 ini sudah aktif di dunia jurnalistik sejak kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang, dan menjadi Pemimpin Redaksi SKK Ganto UNP (2008). Menyukai sastra, pria yang tengah menempuh program magister Jurusan Linguistik di Universitas Andalas ini juga sering memenangkan lomba penulisan cerita pendek diantaranya Juara III Lomba Cerpen yang diselenggarakan Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sumatera Barat, 2008. Juara Harapan I Lomba Cerpen dalam acara Pekan Seni Mahasiswa Nasional di Jambi, 2008. Juara III Lomba Cerpen Nasional yang diselenggarakan oleh Persma Suara USU, 2009. Juara II Lomba Cerita Anak yang diselenggarakan oleh Badan Perpustakaan dan Kearsipan Sumbar, 2009. Saat ini, Andika menjadi Koordinator Divisi Etik, Pendidikan dan Profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang. Aktif dalam sejumlah advokasi jurnalis dan media di Padang 160


sejak 2012, Andika juga terlibat dalam menulis buku Memahami Hukum Pers terbitan LBH Pers Padang tahun 2013.

161


LBH PERS PADANG Kemerdekaan mengeluarkan pendapat dan pikiran serta hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Indonesia sebagai negara yang demokratis konstitusional harus menjunjung tinggi kebebasan mengeluarkan pikiran, pendapat dan mengartikulasikan dalam bentuk suatu aksi dan dijamin dalam Konstitusi (UUD 1945) Republik Indonesia. Pengakuan terhadap kebebasan dan kemerdekaan tidak saja diatur dalam ketentuan hokum yang berlaku di Indonesia, akan tetapi juga sudah menjadi suatu norma hokum internasional sebagaimana diatur dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta protokol-protokol opsionalnya. Bahwa kebebasan yang dimaksud salah satunya adalah kebebasan pers yang merupakan garda terdepan penyampai informasi kepada masyarakat dan pilar keempat dari tegaknya demokrasi. Meski demikian, dalam pelaksanaannya, kebebasan pers masih terus diusik oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan demokrasi berjalan baik dengan jalan melakukan kekerasan, pengancaman, kriminalisasi dan bentuk tindak penindasan lainnya terhadap pers. Untuk itu, sebagai wujud kepedulian serta komitmen untuk menjaga agar kebebasan pers tetap eksis dan dapat menjalankan fungsinya dengan baik, maka dideklarasikan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum Pers Padang yang diprakarsai oleh beberapa orang yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang dan perorangan seperti Alvon Kurnia Palma, Erinaldi, Hendra Makmur, Rony Saputra, Vino Oktavia dan Yonda Sisko pada tanggal 27 Maret 2010 mendeklarasikan terbentuknya LBH Pers Padang di Hotel Inna Muaro Padang 162


sebagai organisasi pemberi bantuan hukum terhadap para jurnalis. Sebagai salah satu Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang berorientasi mentransformasikan tatanan yang sangat tidak berpihak terhadap masyarakat marginal dimana Jurnalis sebagai salah satu korbannya dalam bantuan hukum. Untuk itu, LBH Pers Padang mempunyai Visi “Mewujudkan Jaminan dan Pemenuhan Hak Asasi Jurnalis yang Konstitusional� Beriringan dengan itu, guna mewujudkan visi sebagaimana dimaksud diatas, LBH Pers Padang mempunyai misi :

1. Terpenuhinya hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya para Jurnalis 2. Terlindunginya hak Sipil dan Politik para Jurnalis dalam menjalankan tugasnya

3. Terpenuhinya Hak-hak dasar Jurnalis sesuai dengan Konstitusi 4. Sementara, Program Kerja yang akan dilakukan oleh LBH Pers Padang adalah :

5. Penyadaran terhadap Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya para Jurnalis

6. Penyadaran terhadap Hak-Hak Sipil dan Politik Para Jurnalis 7.

Bantuan Hukum bagi Jurnalis

8. Advokasi kebijakan yang tidak berpihak terhadap Jurnalis dan Pers 9. Pendidikan Hukum dan HAM bagi Jurnalis

Core Competence LBH Pers Padang mempunyai kompetensi inti (Core Competence) dalam bidang Bantuan Hukum bagi Jurnalis yang menghadapi masalah hukum ketika menjalankan fungsi Jurnalisme. 163


Kantor Jalan Andalas Raya No. 29 (Belakang No. 31) Kelurahan Andalas, Kecamatan Padang Timur Kota Padang, Sumatera Barat Telp 0751- 20166/ Faks 0751-20166 padanglbhpers@gmail.com

164


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.