1
dan simak jajak pendapat dari mahasiswa Undip mengenai kenaikan biaya UKT serta pemberlakuan SPI dalam rubrik Polling. Selain perbincangan hangat mengenai status PTN-BH, Undip juga sedang menjalankan salah satu kegiatan untuk menjaga lingkungan yaitu dengan meresmikan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST). Tempat tersebut digunakan untuk mengolah sampah yang masih bisa dimanfaatkan. Nantinya, TPST tersebut juga akan dijadikan sebagai tempat wisata edukasi lingkungan. Simak liputannya dalam rubrik Fokus. Tidak kalah menarik, pada rubrik Lipsus pembaca bisa mengetahui informasi mengenai salah satu layanan kesehatan yang diperuntukan bagi kalangan sivitas akademika Undip yaitu Poliklinik Mahasiswa. Sudah berjalan selama 27 tahun, Poliklinik ini belum begitu banyak diketahui karena lokasinya yang sempat berpindah-pindah. Pelayanan kesehatan apa saja yang bisa mahasiswa dapatSalam Pers Mahasiswa! Puji Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa kami haturkan kan dari Poliklinik Mahasiswa? Ayo cari tahu informasi atas terbitnya Tabloid Manunggal edisi pertama di tahun kee- selengkapnya! Tidak hanya soal Undip, Tabloid Manunggal juga nam belas ini. suatu kebanggan bagi kami bisa menyajikan kemmenya jikan informasi mengenai salah satu komunitas bali pembahasan isu-isu dari kampus tercinta, Undip. unik di Semarang, yaitu Komunitas Pejalan Kaki Kota Pada edisi kali ini Tabloid Manunggal Edisi I Tahun XVI meSemarang (KPKS). Komunitas ini berfokus pada kegianyoroti isu perubahan status Undip menjadi Perguruan Tinggi tan yang berhubungan dengan pejalan kaki dan saranaNegeri Badan Hukum (PTN BH) yang mendapatkan berbagai nya serta telah banyak melakukan berbagai kegiatan dan reaksi di kalangan para mahasiswa. Selain itu, terdapat juga kampanye. Masih di Kota Semarang, selain KPKS, Tim Tabisu perubahan besaran biaya UKT bagi mahasiswa baru dan loid Manunggal juga menemui seseorang yang yang telah pemberlakuan SPI bagi mahasiswa baru jalur Ujian Mandiri menciptakan genre baru dalam sastra, yaitu Puisi Rock. (UM). Akan tetapi secara tiba-tiba Rektor memutuskan untuk Bagaimana bentuk puisi rock? Simak liputannya dalam mengembalikan besaran biaya UKT seperti tahun sebelumnya. rubrik Sastra Budaya! Cari tahu kejadian selengkapnya dalam rubrik Sajian Utama Tidak ketinggalan, hal unik tentang Kota Semarang lainnya adalah wisata pedesaan. Di tengah hiruk-pikuk kota metropoliBadan Usaha Undip Kurang tan ini, Kota Semarang memiliki Desa Wisata yang patut untuk dikunjungi Dioptimalkan yaitu Desa Wisata Kandri. Di sana Menginjak status baru menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN terdapat berbagai macam paket libuBH), Undip seharusnya sudah memiliki cukup persiapan dana dalam penyelengga- ran menarik ala pedesaan dan olah raan sistem infrasruktur. Namun, beberapa problematika yang dialami oleh maha- raga air seperti river tubbing. Ingin siswa Undip seperti kasus kenaikan UKT dan pengadaan SPI untuk mahasiswa baru mengetahui sensasi berlibur di sana? Undip menunjukkan bahwa Undip belum mampu mengoptimalkan pemasukan da- Ayo temukan informasi lengkapnya lam badan usaha. pada rubrik Perjalanan! Saya pribadi menyarankan supaya Undip lebih berbenah dalam mengoptimalSelain itu, saksikan juga petikan kan sumber daya badan usaha internal, salah satunya dalam bidang Peternakan dan wawancara khusus Tim Tabloid MaPertanian. Harapannya, hal badan usaha tersebut bisa menjadi sarana edukasi, yaitu nunggal dengan mantan Menteri sarana praktikum mahasiswa dan menjadi pendapatan untuk Undip. Luar Negeri Indonesia mengenai isu diaspora. Simak laporannya dalam Oleh : M. Ghazi Agam rubrik Wansus. Akhir kata, selamat Agroekoteknologi 2014 membaca!
Surat Pembaca
Oleh : Fitri/Manunggal
Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa Manunggal Universitas Diponegoro Pelindung: Prof. Dr. Yos Johan Utama, SH, M.Hum . Penasihat : Prof. Dr. Ir. M. Zainuri, DEA., Dr. Darsono, S.E., MBA., Akt., Dr. Budi Setiyono, S.Sos., M. Pol. Admin., Prof. Dr. Ir. Ambariyanto, M.Sc., Dr. Adi Nugroho Pemimpin Umum: Gina Mardani C. Sekretaris Umum: Rizko Prasada F. Pemimpin Redaksi: Astrid Nurhasanah Pemimpin Litbang: Erdidhah Putri P. Pemimpin Perusahaan: Kalista Vidyadhara Sekretaris Redaksi: Fauziah Citra R. Redaktur Pelaksana Tabloid : Verawati Meidiana Staf Redaksi Tabloid : Moch. Fajrin Ardi P., Ika Octaviani., Eko Rizal Saputra. Redaktur Fotografi : Hayyina Hilal H. Reporter Fotografi: Annisa Tiara L., Normawati Susanto. Redaktur Design: S. Adi Nurrokhim Staf Artistik: Dyah Ayu L., Kiky Extiana. Staff Layout: Sri Wilda A., Fatma Khosiah., Fitri Indriyani. Redaktur Pelaksana Cyber News: Suryaningrum Ayu I. Reporter Cyber News: Intan Dwi Artikasari., Putri Aulia Tuzhara., Jazak Firdaus Syafaat., RR Clara Ariski P. Redaktur Pelaksana Joglo Pos: Putri Rachmawati. Reporter Joglo Pos: Aryo Aji A., Dinda Sukma A., Iga Tikah R., Diyah Ayu C. Redaktur Pelaksana Majalah: Ma’ruf Hidayat. Reporter Majalah: Safira Irfani Maulida., Ulfa Mawaddah A., Amalia Safira A., Nooradha Satrio H. Manajer Rumah Tangga: Sholihatun Nissa. Manajer Produksi, Distribusi dan Iklan: Moh. Shaleh Alfarisi. Produksi dan distribusi: Annisa Dyah P., Fachrizal Kurniadi W., Devy Oktaviany. Kadiv Kaderisasi: Lilis Sujianto. Staf Kaderisasi: Damedo Winsantana., Yunita Mahda S. Kadiv Jaringan Kerjasama: Bayu Ninik Wijayanti. Staf Jaringan Kerjasama: Noor Santi., Hamid Safrijal. Kadiv Data dan Informasi: Bonna Nur Ischaq D. Staf Data dan Informasi: Rachmat Saleh., Reyuni Adelina., Fini Septiani. Manajer EO: Faqih Sulthan. Staf EO: Haninda Rafi W., Muhammad Afandi., Dwi Harti Pujiana. Alamat Redaksi, Iklan dan Sirkulasi: Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Joglo Universitas Diponegoro Jln. Imam Bardjo, SH No.2 Semarang 50241 Telp: (024) 8446003 Email: persmanunggal@yahoo.com Website: www. manunggal.undip.ac.id
GONG Undip sudah resmi menjadi
PTN BH Semoga bukan asal mengejar status! Pembangunan TPST gencar dipublikasikan Permasalahan sampah harusnya lebih gencar diselesaikan Poliklinik mahasiswa sepi: Lokasinya berpindah-pindah, sudah sosialisasi? Redaksi menerima tulisan berupa opini, esai, puisi, cerpen, surat pembaca, dan akademika. Tulisan diketik rapi dengan spasi 2, maksimal 3 folio. Redaksi berhak melakukan penyuntingan naskah seperlunya. Tulisan dapat dikirim melalui email ke redaksi@manunggal.undip.ac.id atau persmanunggal@yahoo.com.
2
Keutamaan Otonomi Perguruan Tinggi Oleh: Astrid Nurhasanah* Berawal dari suatu diskusi bertajuk mempertanyakan PTN BH, tercetuslah sebuah celetukan ‘lepaskan saja BHnya’ dari seorang teman. Pemahaman BH (Badan Hukum) dalam sebuah institusi pendidikan memang masih tergolong samar bagi beberapa kalangan, terkhusus mahasiswa. Terpikirkan oleh saya, mengapa tak kita runut terlebih dulu latar belakang berdirinya perundang-undangan mengenai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum ini? Apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari sistem PTN BH? Tak lain adalah otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa otonomi adalah jalan satu-satunya untuk dapat mewujudkan universitas menjadi akuntabel, aksesibel, bebas dan bertanggung jawab. Otonomi yang dapat dikembangkan antara lain otonomi dalam bidang akademik, otonomi dalam bidang keuangan, otonomi dalam bidang sumber daya dan otonomi dalam bidang keorganisasian. Berdasarkan Petisi Mempertahankan Otonomi-Independensi Kampus yang dipublikasikan pada Mei 2012 memaparkan konsep otonomi sebenarnya sudah ada sejak Prof. Soepomo, presiden ke-2 Universitas Indonesia. Prof. Soepomo menegaskan untuk
OPINI
tidak menginginkan campur tangan pemerintah dalam pendidikan tinggi. Dalam petisi tersebut juga dipaparkan bahwa semangat juang pemberlakuan otonomi kampus ini dirampas pada masa Orde Baru. Hal tersebut terjadi karena pemerintah Orde Baru merasa kampus memberikan terlalu banyak kebebasan berpikir sehingga mahasiswa membuat gerakan-gerakan politik yang menentang pemerintah. Atas dasar itulah, pemerintah memberlakukan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), sehingga menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik dan kepedulian sosial. Berangkat dari masa lalu tersebut, beberapa Guru Besar Indonesia mengimbau kepada sivitas akademika untuk mencegah pemerintah menghilangkan otonomi kampus. Karena pada dasarnya, salah satu tujuan otonomi kampus adalah membebaskan posisi perguruan tinggi yang rentan terhadap intervensi dari berbagai kepentingan seperti negara hingga partai politik. Lalu, mengapa konsep otonomi perguruan tinggi melalui sistem PTN BH ini terkesan buruk? Tak lain adalah karena otonomi itu sendiri sangat rentan disalahgunakan. Emil Salim, Guru Besar UI, memaparkan penyalahgunaan tersebut karena ketiadaan
tata kelola (akuntabilitas, transparansi, check & balances), ketiadaan perencanaan yang matang, ketiadaan kepemimpinan yang kuat, buruknya hubungan antarorgan dalam universitas. Emil menyayangkan kesalahan implementasi otonomi telah mengakibatkan citra buruk tentang universitas di mata publik. Kesalahan lain adalah kata ‘otonomi’ sering disalahartikan sebagai “privatitasi” maupun “komersialisasi pendidikan”. Dalam buku Otonomi Perguruan Tinggi: Suatu Keniscayaan, Sulistyowati Irianto menuliskan bahwa awal kekacauannya adalah pada saat pemahaman bahwa “otonomi” hanya berkaitan dengan pendanaan mandiri oleh perguruan tinggi, padahal tidak hanya itu. Otonomi perguruan tinggi merupakan kemampuan perguruan tinggi untuk mencapai misinya, melalui tata kelola universitas yaitu akuntabilitas, transparansi, partisipasi publik untuk ikut mengontrol. Hal ini semakin memungkinkan publik untuk mengontrol sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya korupsi. Adapun mekanisme utama untuk menampung aspirasi publik adalah dengan dibentuknya Majeliswali Amanat. Majelis Wali Amanat menjadi lembaga tertinggi dari perguruan tinggi, yang keanggotaannya harus mewakili pihak-pihak
yang berkepentingan secara luas. Dengan begitu, sangat diharapakan Majelis Wali Amanat untuk menunjukkan akuntabilitasnya. Hal menarik lainnya yang berkaitan dengan otonomi maupun PTN BH adalah misi perguruan tinggi mengejar titel sebagai World Class University. Bayangan mengenai World Class University utamanya berkaitan dengan gedung mewah, fasilitas baik, bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar hingga kelas internasional. Tidakkah utamanya, hal yang perlu segera diperhatikan lebih kepada materi perkuliahan yang berbobot dan selalu diperbarui serta dosen dengan kualitas terbaik? Hal ini menjadi ironi tatkala koleksi perpustakaan kampus itu itu saja, materi perkuliahan tak kunjung diperbarui, hingga dosen yang belum mampu membagi waktu antara mengajar dengan penelitian. Tentu yang menjadi harapan terbesar mahasiswa setelah lulus adalah ilmu dan pengalaman yang luar biasa, bukan sekedar kebanggaan gedung kampusnya yang tampak mewah namun sebenarnya isi kelasnya tidak ‘wah’. *) Pemimpin Redaksi LPM Manunggal Universitas Diponegoro
Perbaikan Pengelolaan Pendidikan Tinggi ke Depan Oleh: Dr. Suyanto,M.Si*
Dunia pendidikan tinggi dan riset merupakan dua sisi mata uang. Pengintegrasian pengelolaan riset dan teknologi dengan pengelolaan pendidikan tinggi merupakan terobosan cerdas perbaikan kualitas pendidikan tinggi. Dalam era globalisasi, keberadaan pendidikan tinggi harus dapat terukur secara internasional. Hal ini ditunjukkan oleh komparasi dan kompetisi dalam semua aspek kinerja dengan pemeringkatan antarperguruan tinggi di seluruh dunia atau world class university.
presiasi secara finansial bagi dosen yang berpendidikan doktor sebelum sampai pada jabatan guru besar. Tunjangan kesejahteraan dosen saat ini basisnya adalah jabatan fungsional. Bahkan, dosen yang sedang studi lanjut tidak memiliki hak mengajukan kenaikan jabatan fungsional serta baru bisa naik jabatan fungsional setelah tiga tahun dari lulus studi. Persyaratan dalam menduduki pimpinan fakultas atau politeknik/akademi adalah jabatan akademik lektor kepala dan pendidikan S2. Jika pemerintah benar-benar berkomitmen meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, sudah seharusnya persyaratan menjadi pimpinan di lembaga akademik adalah doktor. Di Australia dan Amerika misalnya, untuk persyaratan jabatan ketua departemen saja harus doktor. Perbaikan Kualitas ke Depan Untuk memperbaiki kondisi pendidikan tinggi ini, perlu perbaikan mendasar dan sistemik. Pertama, perlu lembaga yang bertugas merencanakan dan mereview berbagai kebijakan pendidikan tinggi, seperti Dewan Pendidikan Nasional. Kedua, pemerintah perlu menyiapkan sebuah lembaga yang bertugas mempersiapkan kompetensi manajerial calon pejabat di lingkungan pendidikan tinggi, semacam LEMHANAS-nya Kemristek Dikti. Ketiga, perlu bagian yang bertugas menyiapkan data pendidikan tinggi secara komprehensif dan permanen, semacam Biro Pusat Statistik-nya ke-
mentrian ini yang nantinya harus terstandar konten dan cakupan datanya. Data yang disediakan saat ini hanya bersifat online dan itupun tidak secara komprehensif. Keempat, perlu dibentuk Pusat Pengembangan Karier baik di tingkat pusat maupun universitas dan fakultas. Lembaga ini melakukan pelatihan dan mengawal para dosen dalam mengembangkan kariernya, seperti publikasi karya ilmiah atau monumental. Kelima, pemerintah harus memfasilitasi dan mendukung sepenuhnya pendirian jurnal internasional untuk masing-masing disiplin ilmu yang terindeks scopus. Terakhir, pemerintah semestinya membiayai penuh dan menerima para dosen yang mendaftar studi lanjut. Apabila tidak ada perbaikan mendasar dalam pengelolaan pendidikan tinggi, Indonesia akan semakin tergusur dalam percaturan global. *) Dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
Foto : Dokumen Pribadi
Profil Pendidikan Tinggi Kita Dalam Times Higher Education Supplements (THES) 2006, UI, UGM, dan Undip serta ITB masuk dalam 500 perguruan tinggi (PT) terbaik di dunia. Pada 2013 tiga PT terbaik itu tergusur pada kelompok 600 terbaik. Selain itu, peringkat Indonesia dalam publikasi internasional saat ini berada pada peringkat 61 dari 238 negara, jauh di bawah Malaysia (40) dan Thailand (43). Ketertinggalan ini tidak lepas dari kualitas dosen yang tertinggal dari Negara lain. Jumlah dosen Indonesia tahun 2014 adalah 310.754 orang dan hanya 26.397 (8,49 persen) yang doktor. Jumlah tersebut menunjukkan bahwa rasio doktor dengan jumlah penduduk adalah 1:8.978. Bandingakan dengan Amerika Serikat (1:101), Jepang (1:155), dan India sebagai sesama NSB (1:709). Hal ini menunjukkan kurang maksimalnya pemerintah dalam mengelola pendidikan tinggi dan belum siapnya SDM di dalamnya untuk berkompetisi global.
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan Tinggi Rendahnya kualitas pendidikan tinggi Indonesia minimal disebabkan oleh empat hal, yaitu yang pertama, terbatasnya perguruan tinggi penyelenggara pendidikan S3 dan daya tampung masing-masing program studi S3; kedua, rekrutmen dosen yang longgar; ketiga, kurangnya apresiasi finansial bagi dosen berpendidikan S3; dan yang keempat longgarnya persyaratan menduduki pimpinan perguruan tinggi. Selama ini, kesempatan dosen untuk studi lanjut relatif terbatas. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah perguruan tinggi penyelenggara program studi S3 dan kuota masing-masing program studi sangat terbatas. Selain itu, dosen agak enggan studi lanjut dengan status Tugas Belajar karena tidak mendapatkan semua hak di luar gaji. Dosen sedang studi lanjut bisa mendapatkan hak-hak itu jika dengan status Ijin Belajar. Akan tetapi, syarat utama Ijin Belajar adalah berjarak maksimal 50 km dari institusi asalnya. Dikti hanya berasumsi bahwa di setiap kota ada perguruan tinggi penyelenggara pendidikan S2 dan S3 untuk semua program studi. Inilah bentuk absurditas kebijakan. Dalam rekrutmen dosen dimungkinkan adanya mutasi dari luar Kemenristek&Dikti. Dosen yang bermigrasi karier dari luar profesi dosen menjadi terlambat dalam pengembangan kariernya. Selain itu, pemerintah tidak menga-
33
Upaya Berliku di Balik Status Dalam era demokratisasi, perluasan akses masyarakat tidak hanya terjadi pada sumber daya ekonomi, politik, dan hukum, melainkan juga akses pada sumber daya pendidikan. Hal ini sesuai dengan UUD 1945, bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah melakukan perluasan terhadap akses pendidikan dengan berbagai upaya salah satunya merancang sistem tata kelola perguruan tinggi yang tepat. Terdapat empat klaster Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, yaitu PTN Badan Layanan Umum (BLU), PTN Badan Hukum (BH), PTN Satuan Kerja (Satker), dan PTN Baru. Setiap klaster tersebut memiliki sistem tata kelola Perguruan Tinggi yang berbeda. Saat ini, sistem tata kelola yang paling banyak mendapat perhatian adalah PTN BH. PTN BH merupakan PTN yang didirikan oleh pemerintah berstatus subyek hukum yang otonom. Sistem ini merupakan salah satu solusi yang diberikan pemerintah dalam menyediakan pendidikan yang efektif dan efisien. Menurut Martono, pemerhati pendidikan dari Unnes, sistem PTN BH bisa menutupi keterbatasan kemampuan pemerintah terutama dalam bidang keuangan. “Aspek birokrasinya ‘kan menjadi lebih otonom. Ya, perguruan tinggi itu bisa mengelola seperti membuka-tutup prodi sendiri sesuai dengan kebutuhan. Lalu bisa mengurangi beban pemerintah dari aspek anggaran,” ungkapnya. Dalam Magna Charta Universitatum, otonomi adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya berdasarkan pilihannya sendiri. Otonomi universitas dijalankan dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan nirlaba. Otonomi dan akuntabilitas adalah dua sisi dari koin yang sama. Akuntabilitas membuat perguruan tinggi mampu untuk meregulasi kebebasan yang dimilikinya dengan cara yang otonom. Akan tetapi, proses menuju otonomi bukanlah hal yang mudah, karena implementasinya membutuhkan perubahan sikap mental yang cukup drastis, yaitu bertanggung jawab untuk bisa mandiri. Selain membutuhkan perangkat hukum dan aturan yang harus dipatuhi bersama, otonomi juga memerlukan kebersamaan, kerja keras, dan kesadaran, bahwa jalan yang ditempuh akan panjang dan berliku serta mengandung risiko. Oleh karena itu, diperlukan kesiapan yang matang untuk mengelola sebuah perguruan tinggi dengan sistem PTN BH. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh PTN agar bisa menyandang status tersebut. Martono mengungkapkan, syarat-syarat tersebut merupakan tuntutan kualitas bagi PTN sebelum dianggap siap menjadi PTN BH. Akan tetapi, di sisi lain Martono juga menjelaskan bahwa sebagian besar PTN di Indonesia belum bisa memenuhi kualitas tersebut, sehingga untuk menerapkan sistem ini diperlukan waktu serta proses yang tepat. Senada dengan hal tersebut, pengamat pendidikan dari Universitas Andalas, Ade Djulardi, juga mengungkapkan kesulitan lain dalam menjalankan sistem PTN BH, yaitu diperlukan adanya dukungan dari semua pihak sivitas akademika kampus tersebut untuk menjalankan prinsip tata kelola yang baik. “Budaya kita sering terkaget-kaget kalau ada inovasi baru, dosen dipacu untuk melakukan aktivitas dan kreati-
4
vitas dalam proses pembelajaran, dan dipacu untuk menghasilkan penelitian dan pengabdian masyarakat. Selain itu mahasiswa harus kreatif inovatif dalam menghasilkan karya iptek/seni atau aktivitas lain dalam perlombaan tingkat nasional maupun internasional,” jelas pria yang juga bekerja sebagai Asesor BAN PT tersebut. Melalui dukungan serta relasi dari berbagai organ yang saling mengontrol tersebut, prinsip tata kelola yang baik dapat dicapai PTN. Dalam hal ini, keberadaan Majelis Wali Amanat (MWA) diharapkan mampu menjamin partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip good governance yang sangat mengedepankan fungsi, kinerja, dan tanggung jawab. Good governance akan tercapai jika masyarakat semakin memiliki kesempatan dan keterlibatan dalam mengontrol manajemen serta produk yang akan dihasilkan dari institusi pendidikan tinggi. Saat ini, menurut Ade Djulardi pengembangan PTN BH pada universitas-universitas negeri di Indonesia masih berjalan pada koridor yang tepat. Menurutnya, ada banyak prodi-prodi yang terakreditasi internasional seperti AUN QA, ABBET atau lainnya, selain itu banyak mahasiswa yang telah berhasil menciptakan karya dan seni bertaraf nasional dan internasional. “Saya selaku Asesor BAN PT dan reviewer nasional pengabdiaan masyarakat telah berkeliling ke berbagai PTN baik yang baru berdiri atau sudah mapan atau PTN BH selama pengelolaan institusi dilakukan dengan terencana sesuai statuta dan renstra (rencana strategis, red) berjalan secara baik,” tandas Dosen Unand tersebut. Selain itu, Martono juga berpendapat jika sistem PTN BH dilaksanakan dengan prinsip serta pengawasan yang tepat bisa mengurangi biaya pendidikan yang dibebankan kepada masyarakat. Menurutnya, jika aset-aset yang dimiliki oleh PTN BH dimanfaatkan dengan baik akan menghasilkan pendapatan kerja sama yang bisa digunakan untuk biaya pendidikan di perguruan tinggi tersebut. “Mestinya tidak terjadi kalau benar-benar dikelola yang kemudian ada pemahalan biaya kuliah,” tegas Pembantu Rektor I Unnes tersebut. Status PTN BH Undip Pada 2014 lalu, Undip dia-
manahi oleh pemerintah untuk mengelola lembaganya sebagai PTN BH. Undip kini bisa secara mandiri mengelola kebutuhan akademik dan non akademiknya. Akan tetapi, pemberlakuan status tersebut justeru menuai berbagai polemik di kalangan sivitas akademika Undip. Isu liberalisasi pada sistem PTN BH merupakan salah satu alasan ketidaksetujuan beberapa pihak yang khawatir akan regulasi Undip. Dalam hal ini, Martono justeru menyatakan liberalisasi tidak boleh hanya diartikan dengan makna yang konteksnya kecil, yaitu ha-
nya semata-mata mengandalkan keuntungan dan selalu berorientasi dengan bisnis. “Liberalisasi itu adalah bagaimana kita menangkap dan bisa menjawab era yang memang sudah global,” jelas pemerhati pendidikan tersebut. Sementara itu, beberapa mahasiswa yang khawatir akan status PTN BH Undip berpendapat bahwa Undip belum siap memangku tata kelola yang mandiri terutama dalam pengelolaan keuangan. Mereka berpendapat sistem tata kelola PTN BH yang berupaya agar Perguruan Tinggi memiliki kebebasan dalam
mengeksplorasi mimbar akademik serta pengelolaan aset justeru mengakibatkan permasalahan baru jika dilaksanakan secara terburu-buru. “Minimnya badan usaha yang dimiliki Undip sehingga saat masa transisi seperti ini Undip yang butuh banyak dana untuk berkembang menjadikan mahasiswa sebagai pilihan sebagai sumber dana segar. Tentu ini merugikan. Seharusnya sebelum menjadi PTN BH harus dipastikan badan badan usaha sehat, ya, minimal keuntungannya bisa untuk membiayai operasional universitas sehingga mahasiswa tidak perlu terbebani,” ungkap Ketua Bidang Sospol BEM Undip, Firdaus S. Al-attar. Hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan oleh Prof Yos Johan Utama, Rektor Undip. Saat ditemui oleh Tim Tabloid Manunggal di ruangannya pada Selasa (14/06) Prof Yos mengatakan bahwa Undip akan lebih leluasa mengelola aset-asetnya setelah resmi menyandang status PTN BH. Menurutnya, sangat sulit melaku-
kan kerja sama dalam pengelolaan aset Undip saat masih bersatus BLU. Hal tersebut dikarenakan belum ada otonomi yang bisa mengatur dan mengelola keuangan yang dimiliki Undip. “Oleh karena itu saya ingin Undip cepat menjadi PTN BH,” tegasnya. Badan Usaha Ditemui oleh Tim Tabloid di Rektorat Undip, Wakil Rektor II, Darsono mengatakan hingga tahun ini terdapat tiga badan usaha yang dikelola oleh Undip, diantaranya SPBU, Radio Pro Alma dan Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND). Darsono menjelaskan, dalam penerapannya badan usaha terbagi atas dua jenis, yaitu badan usaha yang berorientasi pada profit motive, pelayanan dan pengembangan. Badan usaha jenis profit motive merupakan badan usaha yang pada penerapannya melakukan fungsi untuk menghimpun keuntungan, sedangkan badan usaha jenis pelayanan & pengembangan merupakan badan usa-
ha yang berfokus pada pemberian fungsi layanan kepada masyarakat. SPBU Undip merupakan satu-satunya badan usaha di Undip yang berorientasi profit motive, dan laba bersih yang dihasilkan mencapai Rp300 juta/tahun. “Memang SPBU ini didesain untuk memperoleh tambahan pendapatan Undip, di mana-mana juga pasti ke profit motive. Radio Pro Alma didesain fokus untuk komunikasi Undip, tetapi diharapkan juga ada pendapatan melalui sponsor. RSND itu fungsinya banyak, utamanya melayani sivitas akademika karena lokasinya dekat dan masyarakat umum, keterkaitan dengan BPJS serta menjadi pusat research,” ujar Darsono. Walaupun badan usaha merupakan salah satu aspek penting dalam sektor pemasukan, namun dalam hal ini badan usaha di Undip masih terbilang belum memberikan keuntungan yang signifikan bagi Undip. Darsono menjelaskan, bahwa untuk periode yang akan datang Undip akan bekerja sama dengan Direktorat Bisnis & Komersial untuk membangun dan mengembangkan badan usaha yang bersifat profit motive. Hal tersebut, menurut Darsono ditinjau dari dua hal, yaitu dari pemanfaatan aset yang ada, dan kerjasama yang aplikatif teknologi. Dalam kerjasama tersebut, terdapat empat badan usaha profit motive yang akan direalisasikan oleh Undip, yaitu AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) yang bekerja sama dengan BUMD Jawa Tengah, listrik tenaga surya, TPST (Tempat Pengolahan Sampah Terpadu), dan Rusunawa baru berbentuk hunian umum. Beberapa dari badan usaha tersebut masih dalam bentuk wacana, namun terdapat juga beberapa badan usaha yang sudah dalam proses pembangunan. Gejolak UKT dan Pemberlakuan SPI Selain badan usaha, masalah lain yang terjadi selama masa transisi Undip menjadi PTN BH adalah kenaikan UKT dan pemberlakuan SPI. Setelah melewati kemelut panjang mengenai kenaikan UKT 2016, Prof Yos Johan Utama, Rektor Undip mengumumkan bahwa UKT 2016 tidak jadi naik dan dikembalikan pada besaran biaya UKT 2015. Sedangkan SPI masih tetap diberlakukan bagi mahasiswa baru jalur Ujian Mandiri (UM). Ditemui oleh Tim Tabloid pada Selasa (14/06) di Rektorat Undip, Prof Yos mengatakan bahwa pengembalian besaran UKT tersebut dikarenakan adanya imbauan dari Menristekdikti. ”Prof Nasir mengimbau kepada seluruh PTN untuk memperhatikan kesejahteraan mahasiswa kurang mampu,” jelasnya. Oleh karena itu, saat ini ketentuan tersebut telah diterapkan kepada mahasiswa baru 2016 dengan diterbitkannya Pengumuman
No. 28/UN7.P/PENG/2016. Melalui pengumuman inilah rektor mengumumkan bahwa besaran BKT, UKT dan SPI mahasiswa baru 2016 sesuai dengan SK Rektor No. 627/UN7.P/2016. Ditemui pada Rabu (27/04) di Rektorat, Pembantu Rektor III Darsono menjelaskan rancana kenaikan UKT sudah ada sejak tiga tahun yang lalu dan rencana pemberlakuan SPI sudah ada sejak dua tahun yang lalu. Akan tetapi, rencana tersebut baru direalisasikan dan diterapkan pada tahun ini. “Kebijakan itu (kenaikan UKT dan pemberlakuan SPI, red) hanya di peruntukkan kepada mahasiswa baru,” jelasnya. Pertimbangan yang diambil untuk menaikan UKT dan menerapkan SPI dikarenakan dana Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang mengalami penurunan dan Biaya Kuliah Tunggal yang mengalami kenaikan setiap tahun. Darsono juga memaparkan tujuan Undip menaikan UKT dan menerapkan SPI yaitu untuk meningkatkan fasilitas, sarana prasarana sehingga bisa mewujudkan Undip sebagai World Class University. Biaya UKT tersebut akan dialokasikan untuk menutup keuangan Undip yang defisit, sedangkan dana SPI akan dialokasikan untuk pengembangan fasilitas dan progam pengembangan seperti penelitian, penggantian fasilitas laboratorium, dan sebagainya. Darsono juga menjelaskan, Undip sudah menyiapkan mekanisme yang tepat untuk menghindari adanya kesalahan dalam penetapan golongan UKT bagi mahasiswa baru 2016. Mekanisme tersebut berupa pengisian data pribadi mahasiswa dan mengadakan survey langsung ke rumah-rumah mahasiswa baru. Selain itu, Undip juga menjamin mahasiswa baru bisa mengajukan keberatan jika mendapat UKT yang tidak sesuai dengan kondisi ekonominya. “Mengajukan keberatan disini bukanlah banding. Jika banding dilakukan saat sebelum UKT ditentukan sedangkan mengajukan keberatan di mana mahasiswa sudah menjalani satu tahun perkuliahan,” tandasnya. Namun pada pelaksanaannya terdapat hal-hal yang menyulitkan bagi mahasiswa baru. Ditemui beberapa waktu lalu, Staf Advokasi Kesejahteraan Mahasiswa BEM Undip, Friska Dwi Aprilia mengatakan minimnya tenggat waktu untuk menyiapkan berkas keberatan UKT hingga minimnya pusat informasi menjadi permasalahan tahun ini. ”Call center yang disedikan itu enggak bisa dihubungin, apalagi pada saat UM gelombang kedua karena pada saat itu seluruh pegawai rektorat pindah ke Gedung Soedarto, sementara nomor telepon itu (Call center, red) nomor kantor,” ungkap mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Undip itu. Selain itu, lokasi informasi PMB yang sempat berpindah-pindah juga membingungkan mahasiswa baru terutama mengenai informasi PMB serta UKT dan SPI. Friska menjelaskan pusat informasi PMB yang seharusnya berada di Gedung ICT tiba-tiba ikut dipindahkan ke Gedung Soedarto. “Ketika aku samperin ke ICT itu enggak ada, hanya ada tulisan ditempel yang berisi silahkan cari info ke registik, dan registik kosong ternyata pindah juga ke Soedarto,” jelasnya. (Eko, Ika, Fajrin, Mei)
5
Wajah Poliklinik Mahasiswa Sebagai salah satu unit pelaksana dalam bidang Kesejahteraan Mahasiswa, seharusnya Poliklinik Mahasiswa memiliki peran yang signifikan dalam pelayanan kesehatan terhadap sivitas akademika Undip. Namun, tidak banyak mahasiswa yang memanfaatkan fasilitas tersebut. Foto: Nina/Manunggal
Lokasi papan keterangan poliklinik mahasiswa Undip yang belum diubah Mulai didirikan pada 1993, Poliklinik Mahasiswa berlokasi di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Undip Pleburan. Selama kurun waktu enam tahun beroperasi, Poliklinik Mahasiswa kemudian direlokasi ke PKM Undip Tembalang pada 1999. Poliklinik Mahasiswa memberikan layanan kesehatan terhadap sivitas akademika Undip dengan administrasi yang cukup terjangkau. Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Sub Bagian (Kasubag) PKM, Sri Mulyo Utami ketika ditemui oleh Tim Tabloid di ruangannya. “Karena itu biayanya murah, dokternya juga dari kita sendiri, dokter Undip dari Fakultas Kedokteran (FK). Kalau di rumah sakit sekali periksa itu bisa habis sampai Rp50 ribu, kalau di sini untuk pemeriksaan kami tidak memungut biaya sepeser pun. Pemeriksaan dan pemberian obat juga dilakukan tidak hanya untuk mahasiswa, namun juga untuk pegawai, karyawan, maupun dosen Undip,” ujar Sri. Sri menjelaskan bahwa Poliklinik Mahasiswa menangani segala macam keluhan atau penyakit yang ringan. Penyakit ringan adalah segala macam gejala penyakit yang tidak memerlukan diagnosa dan/atau uji laboratorium. Beberapa contoh penyakit ringan adalah demam, flu, alergi, pusing, asma, dan luka-luka kecil. “Kalau asma kita di sini menyediakan tabung oksigen untuk membantu keluhan pasien. Namun, untuk asma dan penyakit lainnya yang akut dan membutuhkan pena-
6
nganan lebih seperti operasi, pasien dirujuk langsung ke rumah sakit,” jelas Sri. Hingga 2014, Poliklinik Mahasiswa beroperasi dari Senin hingga Jumat pukul 09.00 – 12.00 berlokasi di PKM Undip Tembalang. Namun, sejak perubahan status Undip menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH), lokasi Poliklinik Mahasiswa digantikan dengan Undip Career Center (UCC) dan dipindahkan ke ruang Laboratorium Farmasi Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND). Pada 2015, pihak Kesejahteraan Mahasiswa kembali memindahkan lokasi Poliklinik Mahasiswa ke Laboratorium Terpadu lantai 1 hingga sekarang. Selain aksesnya yang lebih dekat dengan pintu masuk kampus, pemindahan Poliklinik Mahasiswa ke Laboratorium Terpadu juga dikarenakan tersedianya spot kosong untuk relokasi. Pendapatan yang diterima dalam pengelolaan Poliklinik Mahasiswa disalurkan langsung ke Undip dan digunakan untuk keperluan pembelian obat-obatan. “Keseluruhan pendapatan, setiap bulan semuanya disetorkan ke Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan masuk langsung ke rekening rektorat. Dari rektorat juga sudah menganggarkan untuk keperluan pembelanjaan obat-obatan per tahunnya,” kata Sri menjelaskan. Terdapat 4 dokter dan 1 perawat yang bekerja dalam Poliklinik Mahasiswa. Prosedur dalam berobat dan pemeriksaan tergolong cukup mudah.
Para pasien yang datang cukup menuliskan nama, jurusan, fakultas, dan nomor induk mahasiswa (NIM) untuk selanjutnya melakukan pemeriksaan. Obat yang diperlukan atas pertimbangan dokter diberikan usai pemeriksaan dilakukan. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Rektor 2015, Poliklinik Mahasiswa Undip membebaskan segala macam bentuk biaya, mencakup biaya berobat dan perawatan. Sri menambahkan, terkait pemindahan Poliklinik Mahasiswa ke Laboratorium Terpadu, akan diadakan sosialisasi setiap tahunnya saat Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) oleh Undip guna menyebarluaskan keberadaan poliklinik tersebut. Lebih lanjut, Sri menerangkan, menurut Wakil Rektor (WR) 1 terdapat rencana penggabungan Poliklinik Mahasiswa dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang akan bertempat di Gedung Serba Guna (GSG) Undip. Namun, rencana yang seharusnya direalisasikan Juni 2015 tersebut belum terealisasi hingga saat ini. Ditemui oleh Tim Tabloid pada Senin (9/5) di ruangannya WR 1 Undip, Prof. Muhammad Zaenuri menjelaskan, pembatalan pemindahan Poliklinik Mahasiswa ke GSG Undip disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi pertimbangan. Selain kondisi GSG yang sudah terlampau kurang terurus, pemindahan tersebut juga membutuhkan dana dan perencanaan yang matang supaya nantinya mahasiswa dapat menjangkau fasilitas-fasilitas
yang disediakan Undip dengan strategis dan nyaman. “Awalnya kita (pihak rektorat– red) menginisiasi pemindahan Poliklinik Mahasiswa ke sebelah Masjid Kampus (maskam) Undip. Hal tersebut batal, dikarenakan faktor persimpangan jalan, lampu merah di dekat maskam yang dirasa kurang strategis untuk hilir mudik mahasiswa. Jadi, untuk selanjutnya rencana pemindahan tersebut akan dilakukan di bekas Kantor Polisi dekat Pom Bensin Undip. Semua biaya pemindahan dan prosesnya masih kami jalankan,” jelas Prof. Zainuri. Berdasarkan penuturan Prof. Zainuri, pemindahan Poliklinik Mahasiswa akan diproses pada 2017. Namun, belum terdapat kepastian mengenai rencana penggabungan BPJS dengan pemindahan Poliklinik Mahasiswa ke depan. Hal tersebut dikarenakan sifat Poliklinik Mahasiswa yang merupakan unit pelaksana Kesejahteraan Mahasiswa, yang sejatinya memberikan pelayanan optimal kepada sivitas akademika kampus. “Cukup membantu banget sih, kata aku. Selain mudah, available buat seluruh mahasiswa kampus, juga biayanya itu lho yang terjangkau. Alhamdulillah, menghilangkan stereotip kalau berobat itu mahal,” ujar Ilmu Pemerintahan 2014 Fakultas Ilmu Pemerintahan dan Ilmu Politik (FISIP), Alfado Haryadi Saputra ketika dimintai pendapat mengenai pengalaman berobat di Poliklinik Mahasiswa. (Fajrin)
Ciptakan Lingkungan Bersih dengan TPST Menyelesaikan permasalahan sampah merupakan salah satu cara untuk menjaga lingkungan. Dalam sebuah rilis penelitian yang diterbitkan tahun 2015, para peneliti dari Universitas Georgia yang dipimpin oleh Jenna Jambeck membuat pemeringkatan negara-negara pembuang sampah plastik terbanyak ke laut. Dalam penelitian tersebut, Indonesia berada dalam posisi nomor dua setelah Tiongkok dan berada satu peringkat di atas Filipina. Untuk menyelesaikan permasalahan sampah, Undip melakukan satu langkah yang berkaitan dengan pengolahan sampah di lingkungan kampus. Dengan predikat kampus hijau dan ramah lingkungan yang telah disandang Undip melalui Model Green Mertic, kampus ini mulai memperhatikan beberapa hal seperti penghijauan di kampus dan meningkatkan kebersihan kampus. Untuk mencapai hal tersebut, Undip mulai mengurangi aktivitas yang menyumbang pemanasan global dan membangun sebuah tempat pengelolahan sampah. April 2015 lalu, Undip telah meresmikan sebuah Tempat Pengelolaan
sampah. Selain itu juga dibuat badan kepengelolaan yang diketuai oleh Sakudin dan beranggotakan Ganjar, Sudarno, Badros, Agung serta Winardi. Menurut penuturan Winardi, anggaran yang dihabiskan untuk pembangunan TPST sekitar Rp900 juta. Anggaran tersebut, digunakan untuk biaya desain bangunan dan pembangunan fisik. Bangunan tersebut didirikan pada lahan seluas kurang lebih 5000 meter yang terletak di sebelah barat kampus teknik Undip. Lokasi tersebut dipilih karena ketersediaan lahan yang luas dan terletak cukup jauh dari kampus.
sampah di TPST ini berawal dari pengumpulan sampah yang datang dari berbagai unit, seperti fakultas-fakultas, LPPM, LP2MP, Rusunawa, perpustakaan, dan lain sebagainya. Sampah tersebut diangkut menggunakan motor roda tiga yang sudah ke setiap Unit. Setelah itu, para pekerja TPST memilah sampah menjadi sampah organik dan sampah non organik. Setelah dipilah, sampah organik dimanfaatkan untuk dijadikan pupuk dengan cara pada dicacah dan digiling sehingga menjadi ukuran yang lebih kecil untuk dilakukan proses pengomposan. Kompos yang dihasilkan oleh TPST dijual dan ha-
bakaran sampah bisa berkurang dan akan melakukan sosialisasi pelarangan mengenai hal itu. “Sebenarnya pembakaran di area kampus tidak diperbolehkan, apalagi membakar sampah di area terbuka dikarenakan hasil membakaran sampah itu melepaskan emisi karbon atmosfer dan yang benar sampah itu dikelola bukan dibakar,” tegasnya. Winardi menambahkan bahwa TPST Undip akan berusaha mengoptimalkan pengelolaan sampah. Rancangan yang dibentuk untuk pengelolaan sampah akan terus diperbaiki untuk mencari pengelolaan yang sempurna. Salah satu dari perencanaan
Foto: Nina/Manunggal
Kegiatan mengolah dan memilah sampah di TPST Undip Sampah Terpadu (TPST) yang berfungsi sebagai tempat penampungan sampah terakhir di Undip. Hanya saja, saat diresmikan TPST tersebut masih berupa bangunan fisik karena minimnya peralatan pendukung. Barulah pada Maret 2016, TPST Undip resmi beroperasi mengolah sampah setelah mendapat bantuan berupa alat-alat pencacah, pemilah, pengayak, dan motor pengangkut sampah dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. TPST Undip merupakan hasil inisiasi yang dilakukan oleh Prof Sudharto. “Saat itu, beliau meminta Fakultas Teknik Lingkungan untuk membuat proposal pengelolahan sampah di Undip,” jelas Winardi, salah satu pengelola TPST Undip. Maka dibuat proposal dan desain untuk membuat tempat pengelolaan
Setiap hari, Undip menghasilkan sampah 20 meter kubik dari 15 unit yang dikumpulkan pada bangunan tersebut. Sampah-sampah tersebut dipilah dengan menggunakan sistem manual yang dikerjakan oleh pekerja TPST. “Untuk sementara ini pemilahan sampah masih di lakukan secara manual. Sebenarnya, pemilahan sampah seharusnya sudah dilakukan di setiap unit masing-masing jadi ketika dibawa ke TPST, kami sudah tidak terlalu banyak memilah yang dikarenakan pekerja yang sedikit,” ungkap Winardi. Selain itu, masalah jumlah pekerja juga turut menghambat kinerja TPST. Oleh karena itu, saat ini TPST melibatkan para mahasisiwa teknik lingkungan untuk ikut mengelola sampah sekaligus praktik lapangan. Mekanisme atau alur pengelolaan
sil penjualan kompos digunakan untuk pemeliharaan TPST. Sedangkan sampah non organik dipisah berdasarkan jenisnya seperti kaca, logam, botol plastik, sterofoam, dan kertas lalu dikumpulkan pada bakbak penampung. Akan tetapi, di sisi lain keberadaan TPST belum mampu menghentikan kegiatan pembakaran sampah di area kampus. Hal tersebut dikeluhkan oleh Nina Puji Lestari, mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat Undip, menurutnya kegiatan pembakaran sampah masih terjadi hingga saat ini. “Saya sering melihat pembakaran sampah dan itu sangat mengganggu pernapasan dan mencemari lingkungan,” tandasnya. Menanggapi hal tersebut, Winardi menjelaskan bahwa ia berharap dengan adanya TPST kegiatan pem-
tersebut adalah menjadikan TPST Undip selain sebagai tempat pengelolaan sampah, tetapi juga tempat untuk belajar sambil berwisata. “Ketika sore TPST jika dilihat dari arah timur akan terlihat bagus, oleh karena itu saya berinisiatif untuk menjadikan TPST sebagai tempat wisata edukasi,” jelas Winardi. Oleh karena itu, selain sebagai tempat bermuara sampah area kampus Undip, Winardi berharap TPST bisa menjadi sarana edukasi, pembelajaran, penelitian serta mengembangkannya menjadi destinasi wisata. ”Saya berencana untuk menanam beberapa pohon buah seperti mangga, rambutan di sekitar TPST agar terlihat hijau, setelah hijau nantinya masyarakat ataupun anak-anak TK maupun PAUD dapat berwisata di sana sebagai pendidikan dini mengenai lingkungan,” ujar Winardi. (Ika)
77
Pendidikan Tinggi dalam Sebungkus Plastik Laundry Oleh: Danang Adriansyah* pada sistem birokrasi yang terlalu kompleks sehingga menciutkan kepercayaan dari masyarakat khususnya masyarakat awam. Sedangkan pengembangan taraf infrastruktur, salah satunya adalah upaya inventarisasi tanah dan aset lain sebagai kekayaan awal, agar tersedia fasilitas-fasilitas memadai yang mendukung baik civitas akademika atau para stakeholder. Contoh yang paling terkenal antara lain dibangunnya Starbucks Coffee yang terintegrasi dengan Perpustakaan Universitas Indonesia, yang mirisnya justeru lebih dijadikan sasaran utama mahasiswa dibandingkan perpustakaannya, atau komersialisasi lain yang juga telah diterapkan kepada PTN BH lainnya. Bisa dibayangkan bila konsep pembangunan franchise asing tersebut diterapkan secara luas pada Perguruan Tinggi Negeri yang kelak juga diubah statutanya menjadi PTN BH, dampaknya akan meningkatkan gaya konsumerisme di lapisan masyarakat, dan juga meningkatkan jumlah tenaga kerja yang tunduk pada kuasa kapitalis asing. Dengan melihat konsep kemandirian dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, artinya PTN BH juga memiliki wewenang untuk mengelola sumber dana di luar anggaran dengan syarat bukan untuk sarana keuntungan (non-profit). Artinya, terjadi pula penyesuaian pola keuangan yang berdampak salah satunya pada
peningkatan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Padahal, adanya bentuk UKT sendiri adalah pada awalnya untuk mengatasi terjadinya liberalisasi pendidikan itu sendiri. Tentunya, peningkatan UKT tidak secara langsung, melainkan “penyesuaian” yang diiming-imingi dengan peningkatan pembangunan struktural Perguruan Tinggi Negeri yang terkait. Namun , perubahan terkait dana akan tetap menjadi kontroversial bila tidak disosialisasikan secara baik kepada pihak-pihak yang terkait. Ya, ancaman liberalisasi pendidikan layaknya kemasan cucian laundry. PTN BH sebagai sarana pendidikan ibarat baju bersih yang tersusun, yaitu sebuah sarana pendidikan baru yang sedemikian rupa disusun seteratur mungkin agar wanginya tetap terjaga, wangi yang menempel ibarat berbagai prospek yang dihadirkan dalam konsep statuta PTN BH. Harum, tetapi tidak bertahan lama bila pewangi yang digunakan adalah murahan. Sama dengan konsep yang disusun secara strategis yang juga tidak bertahan lama bila prospek dan keunggulan yang tertera tidak berkualitas alias melenceng dari tujuan utama, dan plastik pembungkus berfungsi melindungi dari noda-noda dan kerusakan, menjaga baju agar tetap harum, namun menghalangi fungsi utama baju sebagai sandang, bukan untuk pajangan bila tidak dipakai. Layaknya seperti kapitalisme pendidikan yang melindungi subjek dengan iming-iming pengembangan
fasilitas terpadu dan terorganisir untuk menghindari kerusakan, menjaga segala kebijakan dan konsep statuta yang telah dibuat agar tetap harum, alias bertahan lama, namun menghalangi fungsi utama sarana pendidikan yang sejatinya sebagai penegak nilai, sarana pengembang masyarakat, dan pengembang potensi manusia, sehingga nilai-nilai pendidikan bukan sekadar pajangan yang kemudian malah bergeser menjadi sarana komersialisasi.
Foto: Dok. pribadi
Saat ini Undip telah resmi menjadi PTN BH yang mendapatkan wewenang otonomi secara menyeluruh untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi dan proses kerja yang meliputinya. Lalu, bagaimanakah dengan dampak otonomi pendidikan terhadap pengembangan PTN BH secara struktural (suprastruktur dan infrastruktur)? Dalam statuta masing-masing PTN BH, disusun suprastruktur yang terdiri atas Majelis Wali Amanat (MWA), Rektor, dan Senat Akademik (SA). Kedudukan Majelis Wali Amanat adalah yang tertinggi dari lainnya, sehingga rektor bukan lagi pemegang kekuasaan tertinggi taraf universitas, melainkan sebagai pemimpin penyelenggaraan dan pengelolaan akademik. Maka, pengembangan tersebut diarahkan untuk meningkatkan profesionalisme, kapabilitas, dan akuntabilitas dalam tata kelola universitas yang baik, serta kemandirian dalam penyelenggaraan perguruan tinggi. Hal itu merupakan sebuah keunggulan PTN BH dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Negeri dengan statuta biasa (non PTN BH). Sayangnya, adanya penebalan sistem birokrasi tersebut ditakutkan justru memperluas ajang kolusi, korupsi, dan nepotisme pada pihak yang terkait, mengingat animo masyarakat Indonesia yang terlanjur memiliki persepsi bahwa cara kerja pemerintah yang tidak efisien, tidak efektif, dan lambat. Realitanya masyarakat memang sering dihadapkan
*) Mahasiswa S1-Agroekoteknologi Fakultas Peternakan dan Pertanian
PTN BH; Antara Prestasi dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi Oleh: Jadug Trimulyo Ainul Amri* Foto: Dok. Pribadi
PTN BH merupakan PTN dengan otonomi pengelolaan lembaga sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi meliputi otonomi pengelolaan secara akademik dan non akademik (Pasal 62 dan Pasal 64 UU No.12/2012). PTN BH merupakan bentuk ketiga setelah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Kewenangan otonomi yang dimiliki oleh PTN BH mengakibatkan sejumlah PTN lain “berlomba” untuk menjadi PTN BH. Namun, hal yang perlu dicermati bukan terkait keuntungan yang akan didapatkan apabila menjadi PTN BH melainkan bagaimana proses transformasi menjadi PTN-BH tidak menimbulkan polemik di tataran universitas. Perubahan sistem pendidikan tinggi terjadi di berbagai negara dan perubahan tersebut umumnya meliputi kebutuhan untuk otonomi yang lebih luas dan tidak terjadi tanpa adanya ketegangan. Oleh karena itu, seluruh pelaku perubahan harus yakin akan hakikat perubahan tersebut, paling tidak ditinjau dari perspektif kepentingan nasional dan bukan dari perspektif kepentingan individu. Di sisi lain menguaknya isu PTN BH akhir-akhir ini dapat dimaknai sebagai pola persaingan baru antar PTN di Indonesia. Masing-masing PTN berjuang memperoleh akreditasi terbaik dari lembaga akreditasi nasional maupun internasional. Hal tersebut
8
kemudian melahirkan istilah World Class University. Dalam perkembangannya, proses menuju World Class University semakin memperkecil peran pemerintah di ranah pendidikan tinggi karena persyaratan keunggulan dalam bidang manajerial dan pendanaan untuk menjadi World Class University, sehingga akan berimplikasi pada day saing antar PTN di Indonesia. Belajar dari keberhasilan beberapa perguruan tinggi di negara tetangga, seperti NUS (Singapura), HKU (Hongkong), Chulalongkorn (Thailand), yang telah mampu mencapai prestasi akademik yang sejajar dengan perguruan tinggi kelas dunia lainnya, kita dapat mencatat empat faktor yang mendorong keberhasilan seperti yang dijadikan kriteria untuk menjadi PTN BH. Fase peralihan menuju World Class University berimplikasi pada banyak hal, seperti biaya maintenance yang besar, sehingga meningkatkan kebutuhan penambahan alokasi dana bagi penyediaan infrastruktur, sarana, dan prasarana yang lebih baik. Pengurangan dana subsidi dari pemerintah akan memaksa perguruan tinggi untuk mencari sumber pendanaan lain. Salah satunya melalui kebijakan menaikkan UKT dan pemberlakuan SPI yang sudah barang tentu akan meresahkan mahasiswa. Di sisi lain, uang kuliah yang tinggi akan menyulitkan masyarakat kelas bawah yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Dengan demikian,
liberalisasi pendidikan tinggi akhirnya menuai banyak kritikan. Konsep PTN BH menunjukkan bahwa otonomi yang diberikan mengharuskan PTN sebagai kekuatan moral, hal ini merupakan salah satu aspek penting dalam reformasi pendidikan tinggi yang saat ini sedang dijalankan. Namun, pengertian “kekuatan moral” tersebut masih abstrak dan perlu penerjemahan (panduan pelaksanaan) untuk menghindari tafsir bebas. Otonomi pengelolaan keuangan mungkin diterjemahkan oleh para dosen sebagai kenaikan gaji, yang kemudian dapat berakibat kepada kenaikan biaya perkuliahan yang harus dibayarkan mahasiswa. Mahasiswa menerjemahkannya sebagai kebebasan mahasiswa untuk bertindak bebas termasuk misalnya menolak kenaikan biaya kuliah. Kemenkeu mungkin menerjemahkan otonomi sebagai lepasnya tanggung jawab untuk pendanaan perguruan tinggi yang dapat berakibat kepada hilangnya fungsi pemerintah untuk menyelamatkan tugas mulia yang harus diembannya. (http:// helm-mmpt.pasca.ugm.ac.id). Pada akhirnya, kebijakan PTN BH wajib berorientasi pada kepentingan nasional dan sejalan dengan semangat UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan...”. Otonomi yang diperoleh lembaga pendidikan tinggi diharapkan mampu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam rangka
membangun akses pendidikan yang lebih luas sehingga mampu menjamah berbagai kelas masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia tanpa harus bergantung pada kebijakan pusat. Setiap bentuk kerjasama dengan pihak swasta dibangun dalam rangka membenahi dan menyukseskan segala aspek yang menunjang peningkatan kualitas lembaga pendidikan tinggi tanpa harus membebani calon atau peserta didik dalam memperoleh kualitas pendidikan yang optimal (https://www.selasar.com/ budaya/ptn-bh-fenomena-liberalisasi-pendidikan-dan-globalisasi). Semoga pola tata kelola PTN BH bisa menjadi jalan tengah di antara peningkatan mutu pendidikan tinggi dengan liberalisasi pendidikan tinggi. *) Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional Undip 2014
Pupuk Sikap Nasionalisme di Pulau Terluar Indonesia
Foto: Dok. Istimewa
Sebagai salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Natuna terkenal akan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA), di antaranya gas, minyak bumi, dan perikanan. Tidak heran, banyak negara-negara di luar negeri yang kerap kali memanfaatkan kekayaan tersebut secara ilegal Tak pelak, hal tersebut menimbulkan persengketaan antar negara yang saling bersaing untuk merebutkan Pulau Natuna. Persoalan klaim antar negara ini terjadi beberapa waktu lalu, ketika Tiongkok mengklaim perairan di wilayah pulau Natuna sebagai bagian dari laut Cina Selatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi SDA yang sangat berlimpah ruah, sehingga banyak negara lain yang ingin memanfaatkan, bahkan hingga ingin merebut wilayah-wilayah di Indonesia. Menyikapi hal tersebut, Kepala Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Undip, Endang Susilowati melakukan penelitian yang berjudul Model Penanaman Nilai-Nilai Nasionalisme Masyarakat Pulau Terluar (Studi Kasus Pulau Natuna). Endang mengatakan, ide mengenai penelitian tersebut ia dapatkan ketika sedang berdiskusi bersama rekanrekan dosennya. Selain mendapatkan bantuan dana penelitian dari Direk-
torat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), sebagai salah satu tenaga pendidik yang memiliki latar belakang Ilmu Sejarah, Endang dan kawankawan juga memutuskan untuk melakukan penelitian terhadap pulau Natuna karena kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah Indonesia. Menurutnya, banyak generasi muda yang berada di daerah-daerah terpencil Indonesia memilih untuk bekerja di negara lain, bahkan menetap di sana. “Mengkhawatirkan sekali kalau hal ini semakin menyebar ke temanteman, saudara, dan keluarga mereka. Oleh karena itu, sangat mungkin masyarakat Indonesia nantinya berpindah kewarganegaraan apabila kita, terutama pemeritah tidak segera turun tangan,” ujar Endang. Penelitian yang beranggotakan Endang, Singgih Tri Sulistyono, Dhanang Respati, dan Marsetio dilakukan di tiga pulau di Kepulauan Natuna, di antaranya pulau Bunguran, Sedanau, dan Tiga. Ketiga pulau tersebut dipilih sebagai representasi dari Kabupaten Natuna. Pada praktiknya, Endang dan kawan-kawan mengunjungi beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri di ketiga pulau tersebut. “Di pulau Sedanau ada 1, di Tiga ada 3, sedangkan di Bunguran terdapat 5-6 SMA Negeri yang kita kunjungi,” imbuh Endang. Kondisi masyarakat Kepulauan Natuna yang cukup terisolasi dan tidak terjangkau akses internet menyebabkan penduduk tertinggal dari arus informasi. Di sisi lain, transportasi yang
terbatas juga menjadi hambatan bagi masyarakat untuk melakukan akomodasi. “Kapal hanya datang paling cepat setiap 13 hari sekali. Itu pun kalau ombak tidak besar,” ungkap Endang. Ketertinggalan tersebut lantas dimanfaatkan oleh negara lain untuk mengambil simpati masyarakat. Tercatat, beberapa penduduk kerap mendapatkan bantuan dan keringanan dari Malaysia, seperti harga bahan pokok yang lebih murah dan tawaran pekerjaan yang menjanjikan. Selama menjalankan penelitian, Endang dan kawan-kawan mendapatkan respon yang sangat baik oleh masyarakat kepulauan Natuna. Terdapat Tim Penggerak Nasionalisme, yang terdiri dari tokoh masyarakat dan pemuda dari kepulauan Natuna yang turut melakukan sosialisasi untuk memupuk rasa cinta terhadap tanah air. Selain itu, Angkatan Udara (AU) juga turut dilibatkan dalam proses penelitian. Tidak hanya menjelaskan tentang pentingnya nasionalisme sebagai bangsa Indonesia, Endang dan kawan-kawan juga memberikan pengajaran kepada para siswa kelas X di SMA Negeri di ketiga pulau tersebut. Bahan ajar yang berjudul Aku Bangga Menjadi Indonesia: Natuna Beranda Terdepan NKRI terbagi menjadi beberapa buku ajar, diantaranya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), dan Sejarah untuk kelas X SMA/SMK/MA. Penelitian yang diselesaikan pada akhir 2015 ini mengalami kendala dari
segi dana. Hal itu diungkapkan oleh Endang ketika ditemui oleh Tim Tabloid LPM Manunggal di ruangannya. Ia mengatakan bahwa untuk penelitian dalam skala yang cukup besar, bantuan dari Dikti tidak sepenuhnya mencukupi. Oleh karena itu, penelitian yang dilakukan hanya menargetkan beberapa SMA di tiga pulau di kepulauan Natuna. Selama penelitian berlangsung, para siswa di SMA Kepulauan Natuna yang awalnya tertutup oleh pendidikan kini sudah mulai terbuka dan terasah kemampuannya untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Salah satu tujuan dari penelitian tersebut adalah mengajak para siswa SMA di Kepulauan Natuna untuk menimba ilmu di tempat yang telah mapan fasilitas belajarnya, agar kembali lagi untuk mempraktikkan ilmu mereka di kepulauan Natuna. “Perkembangannya alhamdulillah sudah terlihat. Dari awal yang mereka (para siswa, red) belum tahu tentang potensi diri masing-masing, kini 5 orang dari mereka sudah mengkonfirmasi ke kita untuk melanjutkan kuliah ke Undip tahun ini,” ujar Endang. Hingga saat ini, pemantauan masih terus dilakukan oleh Endang dan kawan-kawan. Kondisi kepulauan Natuna yang belum memungkinkan untuk menggunakan internet, mengharuskan Endang untuk berkomunikasi via telepon. Keberlanjutan penelitian masih terus diupayakan, mengingat penelitian yang dilakukan membutuhkan dana yang tidak sedikit. (Fajrin)
99
Polling Rencana Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Dan Pemberlakuan Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Undip Resmi menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum (PTN BH), Uang Kuliah Tunggal (UKT) Undip tahun 2016 pada awalnya direncanakan mengalami kenaikan. Menyandang status sebagai PTN BH, menjadikan sumbangan dana dari Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) hanya dialokasikan untuk biaya operasional, dosen, serta investasi dan pengembangan. Sementara untuk memenuhi keperluan pembangunan sarana dan prasarana, diambil dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), salah satunya Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Sumbangan Pembangunan Infrastruktur (SPI). Rencana kenaikan UKT dan pemberlakuan SPI bagi mahasiswa baru jalur Ujian Mandiri 2016 ini menuai pro dan kontra. Hal ini mendorong Lembaga Pers Manunggal mengadakan jajak pendapat kepada 101 mahasiswa Undip sebagai responden. Pengumpulan data dilaksanakan tanggal 16-31 Maret 2016. Tingkat kepercayaan 90% dengan sampling error batas kesalahan 10%. Meski pada akhirnya kenaikan UKT tidak terlaksana, jajak pendapat ini tetap dilakukan untuk mengetahui bagaimana pandangan mahasiswa mengenai kebijakan ini. Jajak pendapat ini dimulai dari apakah mahasiswa Undip sudah mengetahui rencana penerapan kebijakan ini secara keseluruhan. Berdasarkan hasil jajak pendapat, sebanyak 85% mahasiswa sudah mengetahui rencana kebijakan ini, sedangkan 15% lainnya mengaku belum tahu. Untuk pemberlakuan kebijakan kenaikan UKT dan pemberlakuan SPI ini, sebanyak 93% responden berpendapat supaya diadakan pengkajian ulang mengenai rencana kebijakan tersebut, sedangkan 7% dari responden merasa kebijakan ini tidak perlu dikaji ulang. Alasan responden merasa kebijakan ini perlu dikaji ulang karena biaya kuliah yang mahal akan menurunkan minat kuliah di Undip, kebijakan ini dirasa tidak efektif untuk meningkatkan kualitas sarana dan prasarana, dan terjadi kesenjangan biaya antar jalur masuk Undip, serta kenaikan biaya kuliah tidak menjamin meningkatnya prestasi. Sedangkan alasan 7% responden tidak setuju diadakan pengkajian ulang karena responden berpendapat bahwa sudah menjadi wewenang PTN BH untuk lebih mandiri dalam menentukan kebijakan, menjadi pembedaan reward atau bayaran pada setiap ujian masuk Undip, serta kebijakan ini dirasa akan tepat sasaran. Sementara itu, sebanyak 29% responden berpendapat bahwa pengembangan sarana dan prasarana kampus dengan penarikan SPI sudah sesuai dan tepat untuk diterapkan. Pembangunan sarana dan prasarana kurang memadai sehingga diperlukan pembangunan yang lebih maksimal dan tepat sasaran. Sebagian responden mengatakan, untuk menunjang Undip sebagai PTN-BH dibutuhkan anggaran untuk pembangunan sarana dan prasarana, untuk itu kebijakan kenaikan UKT dan penarikan SPI ini dirasa sudah sesuai dan tepat untuk diterapkan. Sedangkan sebanyak 71% responden berpendapat bahwa pengembangan sarana dan prasarana kampus dengan penarikan SPI belum sesuai dan tepat untuk diterapkan. Hal ini didasarkan pada keyakinan responden bahwa UKT dan dana pemerintah sudah mencukupi untuk segala pembangunan, pengembangan sarana dan prasarana tidak harus melalui penarikan SPI dan menaikkan UKT. Responden juga merasa bahwa hasilnya tidak sesuai biaya yang dibayarkan, dan beberapa responden lebih setuju untuk kembali ke sistem SPP. Sebanyak 52% responden tidak setuju dengan penerapan kebijakan ini mengatakan bahwa dibutuhkan analisis kebijakan yang sesuai supaya tidak terjadi ketimpangan, seperti dengan melihat tingkat kemampuan ekonomi mahasiswa. Sebanyak 35% responden yang kontra juga mengatakan diperlukan adanya kajian ulang berupa diskusi umum yang melibatkan pemimpin universitas dan mahasiswa untuk melihat dengan jelas transparansi kebijakan ini.
10
Dewi Kandri PESONA RAGAM WISATA PEDESAAN
Desa Kandri merupakan salah satu desa wisata yang terletak di ujung barat Kota Semarang, tepatnya di Kecamatan Gunungpati. Terkenal akan keberagaman potensi alam dan kebudayaan menjadikan Desa Kandri sebagai salah satu destinasi wisata. Oleh karena itu, tidak sedikit wisatawan lokal dan mancanegara berkunjung untuk mendapatkan sensasi wisata yang jarang ditemukan di tempat lain. Pengunjung desa wisata Kandri tampak antusias mengikuti kegiatan river tubing Foto:Nina/Manunggal
Tim Tabloid Manunggal menempuh perjalanan kurang lebih 25 menit melalui rute Sampangan. Selama perjalanan, kami menemui beberapa wisata lain yang terletak di jalur menuju Desa Kandri, diantaranya Goa Kreo dan Waduk Jatibarang. Meski dekat dengan wisata terkenal lainnya, Desa Wisata Kandri memiliki daya tarik tersendiri untuk dikunjungi bersama keluarga atau kerabat. Desa wisata yang memiliki julukan Dewi Kandri ini merupakan desa pada umumnya yang dikelola oleh masyarakat setempat. Konsep Desa Wisata mulai terbentuk pasca keterpurukan warga setelah dibangunnya Waduk Jatibarang di lahan pertanian milik warga. Ganti rugi yang diberikan lantas tidak serta merta membuat keadaan membaik. Akhirnya, masyarakat desa Kandri yang kehilangan mata pencaharian sebagai petani berinisiatif untuk memberdayakan potensi desanya menjadi objek wisata unggulan Kota Semarang. Inisiatif dari warga tersebut lalu ditampung oleh Pokdarwis atau Kelompok Sadar Wisata. Pokdarwis adalah satuan kelompok kerja (pokja) yang menangani desa wisata untuk membina dan melatih warga yang terkena dampak lokalisasi lahan untuk beralih profesi menjadi petugas jasa wisata. Desa Kandri kemudian diresmikan menjadi desa wisata pada 20 Desember 2012. Desa Kandri terbagi atas 4 Rukun Warga (RW) yang membawahi 26 Rukun Tetangga (RT). Masing-masing RW memiliki ciri khas tersendiri, meliputi RW 01 yang menyediakan wisata edukasi atau Live in Kandri, RW 02 yang menyelenggarakan acara Gelar Budaya berupa tradisi Nyadran Kali dan paket wisata outbond, RW 03 sebagai kawasan pementasan kesenian dan di RW 04 pengunjung dapat menemukan ragam kuliner unik seperti kripik kulit pisang dan sego kethek. Oleh karena itu, jika Anda berkunjung ke sana, Anda akan memiliki kesempatan menikmati keragaman wisata yang
Foto:Nina/Manunggal
Pengunjung desa wisata Kandri tampak antusias mengikuti kegiatan river tubing (Nina)
disajikan oleh Desa Kandri. Paket Wisata Di balik hamparan sawah dan pertanian yang membentang di Desa Kandri, terdapat berbagai macam paket wisata yang bisa dinikmati di sana. Paket wisata tersebut dikelola oleh beberapa pokja, yaitu Pokja Pandu Jaya yang menyuguhkan keasyikan River Tubbing, Pokja Wisata Jaya untuk wisata outbond dan fieldtrip, Pokja Mekarsari yang mengajak para pengunjung menelusuri keberagaman kuliner desa Kandri dan Cooking Class, Pokja Homestay untuk pengunjung yang ingin merasakan tinggal bersama warga desa Kandri dalam Live in Kandri, dan Pokja Trilanggeng Budoyo yang menyuguhkan ragam kesenian dan kebudayaan, seperti kemplingan, ketoprak, jathilan dan kesenian lesung. Pengunjung dapat memilih paket wisata yang telah disediakan oleh Desa Wisata Kandri. Paket wisata tersebut terdiri dari paket pintar untuk siswa SD/SMP yang menawarkan wisata nyawah, kuliner dan berkunjung ke objek wisata Goa Kreo. Paket lainnya adalah Paket River Tubbing yang disediakan bagi para pecinta petualangan untuk menyusuri derasnya sungai. Seluruh paket wisata tersebut tidak hanya dapat dipesan secara terpisah, namun dapat divariasikan sesuai keinginan.
Setelah bermain River Tubbing sepanjang 3,5 Km, Fendy Sunardi berharap bisa kembali mengunjungi Desa Kandri. “Seru bukan main. Enggak nyangka aja bisa nemu keseruan seperti ini di sebuah desa. Bakalan nyoba lagi kapan-kapan”, ujar Fendy. Paket wisata lain yang ditawarkan oleh Desa Wisata Kandri adalah Homestay dan Cooking Class. Paket wisata Homestay mengajak pengunjung untuk hidup membaur dengan masyarakat desa Kandri dalam waktu tertentu. Sedangkan paket Cooking Class merupakan kegiatan memasak makanan khas Kandri dan berbagai ‘eksperimen’ olahan makanan hasil pertanian Desa Kandri. Selain itu, serangkaian acara Gelar Budaya siap mengedukasi pengunjung melalui ragam seni dan budaya Desa Kandri. Tradisi Nyadran Kali di Sendang merupakan kegiatan pokok dari acara tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan pementasan kesenian dan arak-arakan replika gong dan kepala sapi, sesaji, tumpeng, sego kethek, dan lain-lain ke Sendang Gedhe dan Sendang Jambu. Replika gong dan kepala sapi yang diarak merupakan simbol dari mitos yang berkembang di Desa Kandri. Konon, dulu terdapat sumber mata air yang sangat besar di sana, lalu mata air tersebut ditutup dengan replika gong dan kepala sapi agar tidak membanjiri Kandri. Sedangkan sendang Gedhe dan Jambu dijadikan tujuan akhir arak-arakan karena keduanya dianggap keramat oleh warga sejak zaman dulu. Mitos dan cerita rakyat itulah yang menjadi latar bagi lahirnya tradisi Nyadran Kali di Sendang. Gelar Budaya ini merupakan acara rutin yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali pada Kamis Kliwon di bulan Jumadil Akhir. Tahun ini Gelar Budaya Kandri dilaksanakan pada 31 Maret lalu. Selain untuk melestarikan budaya, acara gelar budaya diselenggarakan juga untuk mempromosikan kearifan lokal yang di miliki Desa Wisata Kandri. “Ya, alhamdulillah, ketika kita tutup buku tahun 2015 kemarin, total ada 3200 wisatawan yang berkunjung”, ujar Sekretaris Pokdarwis, Zubaidi.
Omah Pintar Petani Desa yang memiliki luas kurang lebih 245,490 Ha ini memiliki saung yang berlokasi di pusat desa bernama Omah Pintar Petani (OPP). OPP ini difungsikan sebagai pusat kegiatan dan pemberdayaan masyarakat yang merupakan salah satu bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) dari Pertamina dan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Disana, terdapat pengolahan limbah tanaman yang ‘disulap’ menjadi karya seni yang bernilai tinggi. Aktifitas yang dinamakan Kandri Ethnic ini menghasilkan beberapa karya seni yang dipasarkan secara online. Laba dari penjualan tersebut disisihkan untuk Pokdarwis, masyarakat dan pemberdayaan desa. Kepala Bidang Pembinaan Industri Pariwisata Disbupdar Kota Semarang, Giarsito Sapto Putratmo ketika ditemui di Dewi Kandri menyampaikan kebanggaannya terhadap desa Kandri. “Perkembangannya luar biasa, potensi yang mereka (Desa wisata, red) punya seperti event budaya, potensi alamnya yang mereka kolaborasikan menjadi kunjungan wisata, baik itu di dalam maupun di luar Semarang. Perkembangan ini yang diharapkan pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat, jadi guidenya dari masyarakat, UMKM-nya dari masyarakat, dan mereka menerima penghasilan tambahan langsung,” ujar Sapto ketika ditemui di OPP Desa Kandri, Minggu (20/3). (Fajrin) Foto: Dok. Pribadi
SMA Krista Mitra melakukan kegiatan nyawah, yang merupakan wisata edukasi di Kandri
11
Semangat Wujudkan Kebiasaan Berjalan Kaki Kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 104.211 juta unit menurut sensus terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik tahun 2013 lalu. Jumlah tersebut mengalami peningkatan 11% dari tahun sebelumnya. Hal ini berimbas pada kenaikan angka kemacetan dan pelanggaran lalu lintas. Tak dipungkiri, kondisi tersebut juga menjadi ancaman serius bagi para pejalan kaki. Foto: Dok. Pribadi
Usaha (BLU) Trans Semarang.
Aksi pertama KPKS saat berdialog dengan Kepala Dinas Bina Marga Iswar Aminudin dan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Agus Hermunanto, Jumat (6/2) di Jalan Pahlawan, Semarang.
Itulah hal yang menjadi fokus utama bagi salah satu kelompok masyarakat di Kota Semarang. Aksi pertama yang mereka lakukan pada bulan Februari tahun 2015 lalu merupakan titik awal kelahiran kelompok tersebut. Koalisi Pejalan Kaki Kota Semarang (KPKS), begitulah nama kelompok yang aktif menyuarakan hak-hak dan keselamatan pejalan kaki di ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Kampanye Hak Pejalan Kaki Bermula dari kesadaran akan pentingnya fasilitas bagi masyarakat pejalan kaki, KPKS melakukan gerakan berupa kampanye yang dilakukan melalui media sosial, yaitu Facebook. Grup Facebook yang sudah berjalan sekitar satu tahun itu kini memiliki anggota lebih dari 1600 orang. Anggota grup yang terdiri dari berbagai kalangan tersebut merupakan anggota KPKS, karena dalam KPKS tidak ada sistem perekrutan anggota secara khusus dan dilakukan dengan sukarela. “Di Facebook, para akademisi biasanya sangat aktif berbagi pengetahuan tentang fasilitas pejalan kaki dan pentingnya transportasi berkelanjutan agar segera diadopsi kota-kota di Indonesia,” jelas koordinator KPKS, Theresia Tarigan. Selain kampanye melalui Facebook, KPKS juga menyuarakan gerakannya melalui berbagai kegiatan. Saat ini, KPKS sudah melakukan tiga aksi di beberapa ruas jalan Kota Semarang.
12
Aksi pertama KPKS berupa sosialisasi dengan tema “Mewujudkan Kota yang Humanis” di depan air mancur Jalan Pahlawan, aksi kedua bertema “Peningkatan Kualitas dan Fungsi Trotoar bagi Pejalan Kaki dan Penyandang Disabilitas”, dan aksi ketiga bertema “Selamatkan Pejalan Kaki” yang diselenggarakan di depan eks Wonderia Semarang. Melalui aksi-aksi tersebut, KPKS membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya berjalan kaki dan menggunakan transportasi publik. Selain itu, KPKS juga bertujuan mendorong pemerintah supaya menyediakan fasilitas publik sesuai dengan Pasal 25 dan Pasal 125 undang-undang No. 22 tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Theresia berpendapat saat ini Kota Semarang belum memiliki fasilitas yang cukup bagi para pejalan kaki. Menurutnya, hanya trotoar di Jalan Pemuda, Gajahmada, dan Pandanaran yang terawat, sedangkan kondisi trotoar di jalan lain terlihat tidak layak dilewati pejalan kaki. Selain itu, banyak pedestrian yang dirampas fungsinya oleh oknum-oknum tertentu. Pedestrian tersebut beralih fungsi menjadi lapak pedagang kaki lima (PKL), lahan parkir, bahkan dilewati oleh sebagian kendaraan bermotor. Hal tesebut mengakibatkan banyak pejalan kaki yang memilih menggu-
nakan kendaraan pribadi sehingga memperparah kemacetan dan polusi. “Jika berjalan kaki menyenangkan, maka angkutan umum akan berkembang dan harganya bisa murah. Di sisi lain kota tidak macet, tidak berpolusi, karena angkutan umum penumpangnya banyak,” ungkap perempuan yang hobi melakukan aktivitas olah raga tersebut. Selain melakukan aksi di jalan, KPKS juga beberapa kali melakukan kegiatan yang berkaitan dengan visinya yaitu kesadaran masyarakat Kota Semarang untuk menggunakan transportasi berkelanjutan yang dikelola dan mendapat perhatian khusus dari Pemkot. Kegiatan tersebut berupa lomba fotografi mengenai hak pejalan kaki dan penggunaan transportasi berkelanjutan, serta acara bedah buku terkait revolusi transportasi. Dalam waktu dekat ini, KPKS juga merencanakan kegiatan bersama perusahaan internasional milik federal Jerman, yaitu Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ). Kegiatan tersebut berupa diskusi publik mengenai transportasi dan gender. Theresia menjelaskan bahwa kegiatan tersebut nantinya akan membahas permasalahan perempuan ketika berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum. Hasil diskusi tersebut akan disampaikan saat beraudiensi dengan Pemkot Semarang dan Badan Layanan
Tanggapan dari Berbagai Pihak Sejumlah kegitan yang dilakukan KPKS bukan bertujuan untuk mendapat penghargaan dari masyarakat maupun negara. Bagi Theresia dan anggota KPKS, penghargaan yang sebenarnya adalah ketika banyak warga yang tergerak hatinya untuk menyadari kampanye KPKS dan adanya tanggapan nyata dari pemerintah. Hingga sekarang, reaksi dari masyarakat cukup bervariasi, banyak yang setuju namun tidak sedikit juga yang menganggap KPKS berlebihan dalam melakukan aksinya. Sementara itu, respons dari pemerintah diakui Theresia belum maksimal. Pasalnya, sampai saat ini belum ada tindakan konkret dari pemerintah meskipun telah menyetujui dan mendukung gerakan KPKS. “Kami belum melihat pemerintah sungguh melaksanakan yang kami minta yaitu fasilitas pejalan kaki yang ramah difabel dan pembuatan zebra cross baru. Kami menolak Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang tidak humanis, dan cenderung mengutamakan kendaraan bermotor,” tandas ibu beranak tiga itu. Cabang dari Gerakan di Jakarta Gerakan yang dilakukan Koalisi Pejalan Kaki Semarang pertama kali disosialisasikan di Jakarta pada 2011 lalu. Gerakan tersebut dikenalkan oleh Ahmad Syafrudin, sahabat Theresia semasa berkuliah di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat itu, Ahmad Syafrudin yang juga merupakan pencetus Car Free Day di Bundara HI Jakarta mengajak Theresia untuk melakukan gerakan sadar hak pejalan kaki di Kota Semarang. Berawal dari ajakan tersebutlah Theresia ditunjuk sebagai koordinator Koalisi Pejalan Kaki di Kota Semarang. Dengan jabatan itu, ia mencurahkan segala dedikasi dan perhatiannya pada dunia transportasi dan fasilitas pejalan kaki. “Saya pribadi sangat menyetujui kampanye peduli pejalan kaki karena berjalan kaki dan menggunakan angkutan umum akan mengurangi polusi dan panas kota. Saya juga bersedia melakukan kampanye dan memimpin aksi KPKS,” ujar Theresia. Dengan semangat tersebut, Theresia berharap Pemkot Semarang segera mengalokasikan dana untuk perbaikan trotoar, pembangunan trotoar disertai penghijauan, serta membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Selain itu, ia juga berharap agar masyarakat semakin aktif dan berani bersuara kepada pemerintah mengenai hak mereka sebagai pejalan kaki. (Mei)
Banting Setir, Dewangga Tekuni Sowak Sop Iwak atau yang biasa disingkat Sowak merupakan salah satu tempat makan unik yang berdiri di daerah Mulawarman, Tembalang. Lokasi strategis tersebut sengaja dipilih Dewangga Yan Putra Marsha, yang kerap disapa Angga untuk mendirikan Sowak karena dekat dengan permukiman mahasiswa dan perumahan. Dengan latar belakang keturunan Bangka, Angga bisa memasak makanan khas Bangka, yaitu Sowak, dan mengenalkannya pada masyarakat Tembalang Foto: Dwi/Manunggal
Tahun 2015 merupakan tahun kelulusan Angga dari Universitas Pembangun Negeri (UPN) Yogyakarta sekaligus awal memulai bisnis Sowak di Semarang. Bersama sahabatnya semasa SMA, yaitu Chandra Kusuma, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Undip, akhirnya Sowak berhasil didirikan pada tanggal 11 Desember. Proses trial and error selama 4 bulan dilalui mereka untuk mempersiapkan segala yang diperlukan Sowak. Bermodalkan kecintaannya pada makanan, Angga berkali-kali memasak sowak kemudian membagikannya secara gratis kepada tetangga terdekat sebagai imbalan untuk mengomentari dan memberikan saran atas sowak buatannya. Hal itu terus menerus dilakukannya demi memperoleh cita rasa sowak yang layak untuk dijual. Akhirnya, pada bulan ketiga Angga mendapatkan komentar positif untuk sowak buatannya. “Saya memang enggak bisa masak, tapi saya suka makan,” jelas Angga. Dua kali mengalami kegagalan dalam bisnis kuliner bersama ibunya, yaitu nasi goreng dan sop rumahan sewaktu masih kuliah, tidak melunturkan semangat Angga untuk mencoba kembali. Angga juga pernah dicibir kalau Sowak merupakan bengkel motor karena papan reklame,
Rumah makan Sowak yang bertempat di Jalan Banjarsari Selatan nomor 18 Tembalang
kursi, dan tembok yang digunakan adalah penggunaan kembali peralatan dari bisnis yang sebelumnya. “Ini semua bekas, lho, yang baru hanya atap sama kipas anginnya aja. Saya memanfaatkan barang yang sudah ada,” jelas Angga. Menjelang usianya yang ketiga bulan di tanggal 11 Maret lalu, Sowak memiliki menu utama sop dagu ikan dan menu lain yaitu rica-rica balungan, tom nyam, dan sop udang. Ketiga menu tersebut di-
bumbui dengan rempah yang terbuat dari kunyit, merica, lada, jahe, cengkeh dan bumbu khas Bangka. Harga tiap menu tersebut disesuaikan dengan kantong mahasiswa, yaitu berkisar antara Rp6 ribu sampai Rp11 ribu. Dengan harga tersebut, pengunjung Sowak sudah bisa menikmati aneka menu dan nasi yang bisa diambil sepuasnya. Sowak dapat dikunjungi pada hari Senin sampai Sabtu dari pukul sembi-
lan pagi hingga sepuluh malam. “Untuk menjaga sisi keeksklusifan Sowak, saya sengaja meliburkan pada hari Minggu. Memang banyak pengunjung yang keceklik dan complain kalau tutup di hari Minggu. Tapi, ya, gitu cara saya untuk menjaga keekslusifan dan kualitasnya,” ujar Angga. Angga lebih memilih jalur informal dalam merekrut pekerjanya, yaitu dengan merekrut orang-orang yang sudah ia kenal. Dia berharap Sowak dapat menjadi tempat makan yang nyaman dan rapi, serta mempunyai supervisor yang supervising. Selain itu, Angga juga berencana membuka cabang di daerah Unnes atau Jogja. Angga tidak menyesal salah jurusan sewaktu kuliah karena harus banting setir dari jurusan perminyakan menjadi seorang pengusaha. Baginya, kampus hanya menjual mimpi. Sedangkan melatih logika dan menata pola pikir untuk bisa bertahan dalam kehidupan didapat dari pengalaman. “Seperti halnya di matematika, setiap permasalahan memiliki rumus tersendiri. Intinya, semua bertujuan untuk melatih dan menata pola pikir untuk survive dalam hidup yang sesungguhnya. Jadi enggak ada yang rugi, toh kita enggak tahu mau menjadi apa setelah ini,” tutur pria berumur 23 tahun itu. (Kalista, Dwi)
Euphoria Catering, Menjawab Kebutuhan Mahasiswa Saat ini, katering menjadi kebutuhan organisasi mahasiswa, terutama dalam penyelenggaraan sebuah acara. Mahasiswa kerap mengalami kesulitan untuk mencari katering dengan pelayanan yang memuaskan namun tetap sesuai dengan kantong mahasiswa. Kesulitan tersebut justru menjadi ide bisnis bagi Rifki Radian dan kawan-kawannya untuk mendirikan Euphoria Catering. Mahasiswa Manajemen 2013 Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip tersebut mengajak dua orang temannya, Muhammad Iqbal Mubarok (Manajemen 2013) dan Abdullah Umar Mukhtar (Teknologi Pangan 2013) untuk memulai bisnis katering. Pada awal berdirinya yakni pada 1 Maret 2015, mereka mulai memperkenalkan bisnisnya dengan nama Diponegoro Kitchen yang disingkat menjadi Dipo Kitchen. “Awalnya kami masih coba-coba, masih berinovasi. Kami ingin Dipo Kitchen hadir sebagai solusi atas permasalahan yang ada di mahasiswa, maka kami beri tagline One Stop Catering Solution,” ujar Iqbal, co-founder sekaligus Chief Marketing Officer. Segmentasi pasar yang mereka tuju adalah organisasi mahasiswa yang akan mengadakan acara. Maka prinsip bisnis ini adalah bagaimana memberikan pelayanan yang terbaik namun dengan harga yang pas di hati mahasiswa. Untuk itu, Dipo Kitchen menawarkan pelayanan penuh dalam bisnis katering ini, yaitu dengan menyediakan menu-menu yang harganya bisa menyesuaikan ‘kantong’ mahasiswa
serta memberikan layanan free delivery ke tempat acara. Dipo Kitchen sempat mengikuti Program Mahasiswa Wirausaha 2015, namun hanya berhasil lolos sampai tahap wawancara. Hal tersebut tidak menyurutkan semangat berbisnis mereka. Dipo Kitchen selanjutnya diikutkan lomba yang diadakan dari Kementerian Koperasi dan berhasil mendapat dana hibah sebesar 16 juta. Dana inilah yang kemudian digunakan sebagai modal awal Dipo Kitchen untuk melebarkan sayapnya. Pada bulan Agustus, nama Dipo Kitchen berubah menjadi Euphoria Catering dengan tagline We Serve With love. “Mengapa kami ubah namanya menjadi Euphoria Catering? Karena kami ingin mahasiswa merasakan kebahagiaan atas pelayanan katering kami,” ungkap Iqbal. Tidak hanya itu, mereka juga mengubah logo Euphoria Catering dengan konsep yang lebih menggambarkan keceriaan dan kebahagiaan, serta menghadirkan Euphoria Catering dengan packaging yang menarik dan terkesan eksklusif. Pengelolaan bisnis Euphoria Catering juga mengutamakan kemudahan dalam pemesanan. Pelanggan dapat memesan melalui telpon atau SMS paling lambat H-3 acara dan perubahan pemesanan menu paling lambat H-2 acara. Menu yang disediakan pun beragam, mulai dari kudapan ringan hingga makanan berat dengan kisaran harga yang bisa menyesuaikan keuangan mahasiswa. Selain itu, pengelolaan dapur dilaku-
Foto: Kalista/Manunggal
Muhammad Iqbal Mubarok, chief marketing officer euphoria catering yang merupakan mahasiswa jurusan Majajemen 2013
kan dengan menjunjung prinsip social preneur, yaitu membantu dan mengembangkan masyarakat agar masyarakat tersebut menjadi mandiri. Hal tersebut dilakukan dengan cara menggunakan rumah salah satu pemilik sebagai dapur kerja Euphoria Catering, serta memberdayakan warga sekitar untuk bekerja sebagai kepala dapur dan juru masak bagi Euphoria Catering di bawah komando Umar sebagai Chief Operating Officer. Euphoria Catering juga mempekerjakan seorang karyawan di bagian Brand Executive di bawah komando Iqbal sebagai Chief Marketing Officer. Sementara untuk urusan finansial masih dikelola oleh ketiga owner. Kendala yang dialami Euphoria Catering adalah kesibukan yang berbe-
da dari ketiga owner. Selain itu, dapur yang berlokasi di Semarang bawah juga sedikit menyulitkan untuk operasional pengantaran katering bolak-balik Tembalang-Semarang bawah. Meski sedikit mengalami kendala, omzet yang diperoleh Euphoria Catering hingga saat ini mencapai 20 juta tiap bulannya. Hal ini tidak lepas dari kerja keras ketiga owner Euphoria Catering. Meski begitu, Euphoria Catering tidak lantas cepat puas dan berbangga hati.Tahun ini, Euphoria Catering memiliki inovasi berupa Euphoria Express yang hadir di koperasi FEB. Euphoria Catering juga akan melebarkan sayapnya dengan terus berinovasi terkait menu dan sasaran pasar. (Anissa,Kalista)
13
Peran di Balik SIA Undip Bayangkan jika mahasiswa harus mengurus kebutuhan akademik secara manual di tengah pesatnya laju teknologi. Tentu hal tersebut akan menyulitkan kegiatan sivitas akademika Undip serta terkesan tidak mangkus dan sangkil untuk diterapkan di masa sekarang. Itulah yang terjadi jika tidak ada jasa seorang dosen bernama Sudjadi. Berkat usahanya, Undip memiliki Sistem Informasi Akademik (SIAkad) yang praktis dan digunakan oleh sebagian besar fakultas hingga saat ini. Kemudahan mengakses kebutuhan akademik seperti registrasi mahasiswa, akses nilai pada Kartu Hasil Studi (KHS) dan pengisian Kartu Rencana Studi (KRS) merupakan hasil kerja keras pria berumur 57 tahun itu. Selain SIAkad, ada 14 program lain yang ia ciptakan untuk kepentingan sistem informasi Undip, seperti program evaluasi dosen, e-journal, dan lain sebagainya. Pada awalnya, Djadi bersama dengan tim yang terdiri dari sembilan orang, membuat Sistem Informasi Fakultas Teknik (SIFT) yang merupakan cikal dari SIAkad Undip di tahun 2006. Saat itu, Djadi yang menjabat sebagai sebagai kepala SIFT, berhasil menciptakan Sistem Informasi Akademik (SIA) dan sistem jaringan Fiber Optik (FO) untuk
Fakultas Teknik. Hal tersebut menjadi suatu kebutuhan penting karena saat itu Undip belum memiliki Sistem Informasi yang mewadahi kebutuhan akademik. Setelah itu, pada 2007 Undip sepakat mengadopsi sistem informasi akademik FT sebagai sistem informasi akademik universitas. Inilah awal mula dedikasi dosen Teknik Elektro tersebut di bidang IT. Hingga saat ini, dialah yang memegang peranan penting bagi kelancaran SIAkad. Oleh karena itu, pada 2013 lalu, lelaki kelahiran Temanggung, 19 Juni 1959 ini dipercaya menjadi KUPT Puskom (Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Komunikasi) Undip. Djadi mengaku selama menjadi KUPT Puskom, banyak mengalami kesulitan. Salah satu yang menjadi kendala adalah kurangnya SDM sebagai tenaga pengurus di UPT Puskom. “Belum ada SOTK yang jelas, jadi saat ini saya hanya sendiri membawahi tiga orang staf,” ungkapnya. Selain itu, kebijakan setiap fakultas yang berbeda dan berubah setiap tahunnya memaksa SIA Undip untuk terus dinamis dan menyesuaikan dengan kebijakan tersebut. Hal ini bisa menjadi kendala ketika ada dua kebijakan fakultas yang saling bertolak belakang sehingga menyebabkan adanya ketidaksiapan dari sistem informasi tersebut. “Memang tidak akan pernah ada ciptaan manusia yang 100% bisa sempurna, sama halnya dengan sistem ini (SIAkad, red), maka kita ha-
nya bisa meminimalisir kekurangannya,” jelas lelaki paruh baya tersebut. Dikarenakan keadaan itu, ayah dari dua orang anak ini berharap semoga sistem informasi Undip bisa terintegrasi di masa mendatang. “Jujur saja, saya gagal akan hal ini (sistem informasi yang terintegrasi, red), saya belum bisa mewujudkannya karena beberapa kendala tadi,” sambung Djadi. Oleh sebab itu, tidak sedikit suka duka yang dilalui Sudjadi saat menjabat sebagai KUPT Puskom. Ketika server mengalami gangguan, sejumlah aduan akan masuk untuk mempertanyakan kinerjanya. “Kalau ada masalah, saya pasti disurati, tetapi jika masalah selesai, tidak ada yang menyurati,” ungkap lulusan Magister Teknik UGM tersebut. Meskipun demikian, Sudjadi mengaku ikhlas dan merasa senang bisa bermanfaat bagi banyak orang. Keinginannya untuk menjadi sosok yang bermanfaat bagi orang lain sudah tertanam sejak muda. Terbukti saat menempuh kuliah S-1 Teknik Elektro di ITB, Sudjadi membiayai pendidikan dan kehidupannya secara mandiri. Tujuannya semata-mata untuk meringankan beban kedua orang tua. Selain itu, Sudjadi juga memberikan sumbangsihnya terhadap orang lain dengan membangun sebuah yayasan bernama Yayasan Autis Semarang yang bergerak di bidang pendidikan bagi anak usia 0-11 tahun. Yayasan yang sudah berumur 25 tahun ini terletak di Jalan Alfa
Raya No. 9 Semarang. Pendirian yayasan tersebut berangkat dari keadaan anak pertamanya, Ivan Pradipta yang mengalami autis sejak lahir. Saat itu, Djadi yang sempat mengalami keputusasaan memilih untuk bangkit dan mendirikan yayasan. Ia menerima takdir tersebut sebagai anugerah Tuhan. “Karena keterbatasan itu adalah suatu berkah, ada rahasia di balik sebuah keterbatasan, dan itu adalah yang terbaik untuk setiap manusia,” ujar Djadi. (Mei)
Foto: Dok. Pribadi
Belajar Desain Iklan Secara Otodidak? Siapa Takut? Meraih prestasi dari segudang perlombaan telah mengasah kreativitas dan keterampilannya. Itulah deskripsi singkat dari pria yang aktif mengikuti berbagai perlombaan di bidang desain iklan ini. Foto: Dok. Pribadi
Setelah menyandang status mahasiswa, Anugerah Dwitama atau yang akrab disapa Ade ini tidak berhenti mengembangkan potensi yang dimilikinya. Meskipun tidak aktif terlibat di kegiatan organisasi kampus, Ade menyiasatinya dengan mengikuti berbagai perlombaan. Lomba pertama yang diikutinya adalah lomba karya tulis di Universitas Budi Luhur. Lomba ini ia ikuti bersama kedua temannya saat berada di semester awal perkuliahan. Dengan bimbingan dosen dan senior, ia berhasil lolos menjadi finalis dan mendapatkan juara pertama. Bermula dari pe-
14
ngalaman tersebut, Ade tertarik untuk mengikuti berbagai ajang perlombaan, khususnya yang berkaitan dengan Ilmu Komunikasi. Pria kelahiran Denpasar, 9 Januari 1994 ini mengakui bahwa ia berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi karena keinginannya untuk mendalami bidang periklanan. Bahkan demi mengejar keinginan tersebut, Ade mengakui sempat mendaftar di Jurusan Periklanan di universitas favoritnya, yaitu Universitas Indonesia (UI). Namun, saat ia mendaftar, Ade belum dinyatakan lolos sehingga ia memutuskan untuk menunda kuliahnya selama setahun. Saat mendaftar kembali di tahun berikutnya, ia dinyatakan diterima di dua universitas, yaitu DIII Periklanan UI dan S1 Ilmu Komunikasi Undip. Setelah mencari informasi dan mendapatkan saran dari kedua orang tua, Ade memutuskan untuk berkuliah di Universitas Diponegoro. “Bimbang juga, soalnya DIII Periklanan itu yang aku suka dan akhirnya setelah nanya keluarga terus searching, ternyata waktu itu periklanan Undip lagi bagus-bagusnya. Ada beberapa senior yang ikut lomba ke Thailand dan Singapura, jadi akhirnya aku pilih Undip,” ungkap Ade. Ketertarikan terhadap dunia iklan sudah terlihat saat Ade duduk di bangku SMA. Iseng melihat iklan di YouTube, Ade mulai mempelajari cara membuat iklan yang kreatif dan menarik untuk di-
lihat. Saat ditemui di kampus, Ade menjelaskan dari kebiasaannya itulah ia sering mendapat inspirasi saat mengikuti perlombaan desain iklan. “Sering nonton-nonton di YouTube, sih, seperti iklan-iklan di Thailand dan India tuh bagus-bagus. Jadi inspirasinya bisa dari YouTube, baca buku, sama majalah yang ada data-data produk yang akan kita iklanin,” imbuh Ade. Lomba iklan yang pernah diikutinya, terdiri dari iklan untuk media cetak, televisi, dan online. Salah satu iklan media online yang pernah dibuat adalah saat mengikuti Pekan Komunikasi 2015 di Universitas Indonesia. Bersama kedua temannya, Ade mengangkat sebuah permasalahan stereotip yang ada di Indonesia, yaitu kebiasaan “jam karet”. Ia menciptakan sebuah iklan kampanye berjudul “Indonesia On Time: Stop Being Rubber, Start Being Faster”. Iklan media online berbentuk mini drama ini, dianggap unik oleh juri dan berhasil mendapat juara pertama dengan mengalahkan 10 tim dari universitas lain. Mahasiswa yang tergabung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Opini FISIP Undip ini, juga pernah mendapatkan penghargaan Iklan Layanan Masyarakat Terbaik saat mengikuti perlombaan di Universitas Padjajaran tahun lalu. Dengan mengangkat tema diversifikasi pangan, Ade mengajak setiap orang untuk tidak selalu bergantung
pada beras dan dapat menggantinya dengan karbohidrat lain. Iklan berbentuk kampanye ini mendapat tanggapan yang baik karena menggunakan teknik one take shot yang terinspirasi dari film Birdman. Ade selalu melakukan riset terlebih dahulu terhadap pemasalahan yang akan dibahas di dalam iklannya. “Ya, pertama kita riset sekunder dulu, seperti cari informasi di internet, dan sebar kuesioner,” jelas Ade. Selain itu, menurutnya iklan yang baik adalah iklan yang kontennya dapat diterima ke semua media. Tidak hanya di televisi, tetapi juga media online, cetak, dan sebagainya. Selain lomba iklan, Ade juga kerap mengikuti perlombaan desain poster. Dia mendapat juara 2 kompetisi desain poster di Universitas Katholik Widya Mandala dan juara 2 desain poster di Universitas Ahmad Dahlan. Ade mengaku mempelajari teknik desain secara otodidak. “Kalau aku, sih, belajarnya otodidak dari kelas 3 SMP. Jadi aku cuma baca buku, enggak pernah les formal tentang desain grafis,” tambah Ade. Dalam waktu dekat ini, Ade sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti berbagai macam perlombaan lainnya. Selain itu, ia juga berharap bisa mengejar impiannya untuk mengikuti perlombaan desain iklan di Jepang dan bisa wisuda pada Januari 2017. (Eko Rizal)
Puisi Rock, Seni Memainkan Emosi Marah merupakan emosi dasar manusia yang sering dikaitkan dengan sikap agresif dan kekerasan. Berawal dari emosi tersebutlah, Nugroho Wahyu Utama atau yang akrab disapa NWU menciptakan puisi bergenre baru.
Foto: Dok. Pribadi
Penampilan Nugroho Wahyu Utama dalam pagelaran puisi rock di Gedung Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) Semarang, Minggu (14/2). Pria yang bekerja sebagai editor di Suara Merdeka Cybernews ini memiliki ketetarikan pada dunia menulis dan bermusik. Hobi menulis puisi NWU bermula ketika ia belajar menulis puisi bersama komunitas Kumandang Sastra pada 2008. Pada saat itu NWU diajarkan menulis puisi oleh Victor Rusdiantoro. Sosoknya yang terkesan pendiam, kerap memendam perasaan marah karena diolok-olokan oleh orang-orang di sekitarnya. Hal tersebut menjadikan NWU sebagai pribadi yang mudah tersinggung dan emosional. Untuk mengatasi emosi yang berlebihan itu, pria yang menggemari salah satu band rock asal Britania Raya yakni Genesis, mencoba mengalihkan sikap emosionalnya terhadap sesuatu yang positif yaitu puisi rock. Puisi rock adalah puisi yang liriknya berisi tentang kemarahan. Tidak berbeda jauh dengan puisi lainnya, puisi rock berbentuk bait-bait yang memuat baris-baris kalimat. Hal yang membedakan puisi rock dengan puisi lain adalah penulisannya yang banyak menggunakan tanda seru. Tanda seru tersebut merupakan tanda penekanan yang menunjukan adanya amarah yang tertuang dalam puisi rock. Puisi rock pertama ditulis pada tahun 2009 berjudul telapak dan anjing. Puisi ini berisi tentang konsumerisme masyarakat saat ini yang merasa malu karena tidak memiliki kendaraan bermotor. Telapak merupakan simbol dari langkah kaki sedangkan anjing merupakan simbol dari
ucapan-ucapan orang lain yang mengejek NWU karena berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum saat bekerja dan berpergian. Saat membuat karya pertamanya tersebut, NWU yang terbiasa membuat 40 puisi setiap harinya, tidak langsung memberi nama puisi itu dengan sebutan puisi rock. Setelah menciptakan banyak puisi yang liriknya berisi tentang kemarahan, NWU berinisiatif untuk menjadikan puisi tersebut sebagai genre baru dalam karya sastra, yaitu puisi rock. Pada 14 februari 2016, NWU membuat pementasan tunggal sekaligus pengukuhan puisi rock dengan tema Berpuisi Kita Merdeka di Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) Semarang. Pada penampilan tersebut, NWU membacakan puisi dengan menggunakan gaya musisi rock grup band Genesis. Akan tetapi, NWU mengatakan bahwa di pementasan puisi rock selanjutnya ia akan membaca puisi dengan teknik dan gaya sendiri tanpa meniru grup band Genesis. Di balik kesuksesan pementasannya, puisi rock menuai pro dan kontra di kalangan para pegiat sastra. Perbedaan pendapat ini menimbulkan “gesekan” di antara mereka. Beberapa orang mendukung adanya puisi rock karena menambah kekayaan sastra Indonesia. Sedangkan, sebagian orang yang lain menilai bahwa puisi rock itu hanya berisikan kemarahan, mengandung pikiran-pikiran kotor, dan merupakan budaya barat yang
tidak cocok dengan budaya Indonesia. Hal tersebut dibantah oleh NWU, ia berpendapat bahwa tidak semua budaya barat harus dihindari oleh masyarakat Indonesia. “Kita harus lebih pandai memilih hal-hal yang bermanfaat termasuk dari budaya barat,” tandasnya. Senada dengan pendapat NWU, pengamat sastra dari Universitas Diponegoro, Laura Andri juga mendukung kehadiran puisi rock sebagai salah satu keanekaragaman puisi di Indonesia. “Sebenarnya puisi rock sama saja dengan puisi-puisi lainnya selama masih dalam kaidah sastra, karna tanpa kita sadari puisi rock telah menambah daftar baru dalam dunia sastra khususnya puisi”, ujar dosen FIB Undip tersebut. Oleh karena itu, NWU berniat mempopulerkan puisi rock agar banyak dikenal di kalangan masyarakat. Ia akan kembali menggelar pementasan puisi rock di PKJT dan TBRS dalam waktu dekat ini. Selain itu, ia juga akan membukukan seluruh karya-karya puisinya dan memperkenalkan puisi rock kepada generasi muda untuk menjaga eksistensi puisi tersebut di dunia sastra. “Sebenarnya saya juga berniat mematenkan puisi rock, tetapi sampai saat ini saya belum tahu bagaimana cara mematenkannya, oleh karena itu, sekarang yang bisa saya lakukan adalah mementaskan puisi rock dan mempublikasikannya melalui media sosial,” ujar NWU. (Ika)
PUISI
Bukit yang Bergumam oleh: NWU Gabriel Genesis I Diantara seribu bukit yang selalu tersenyum dalam kesunyian, ada satu yang setiap waktu kan bersuara. Hingga rimba yang bermukim di lembahnya telah berkawan di dalam tariannya. Ingat...!!! kau tak akan mampu membungkamnya jika ingin berteriak Begitu pula tiada mampu memenggal bibirnya. Sebab hatinya akan terus menyalak. Semua terdiam ketika dia bergumam. Tetapi bisa pula berceloteh. Tentang semesta yang semakin terinjak injak akan ketamakan anak manusia...!!! Bersiaplah untuk lebam akibat tamparannya. Yang tak terasa tetapi mampu menyisakan nama. Semarang, 21 Januari 2016
15 15
Generasi Menunduk Oleh: Reyuni Adelina*
Era digital, dan tidak punya gawai? Siapsiap merasa terasing dari kehidupan modern serba teknologi sekarang ini. Gawai— baik dalam bentuk laptop, iPad, tablet, atau smartphone—bukan lagi sebuah barang mewah penunjang aktivitas sehari-hari, tetapi beralih fungsi menjadi sebuah kebutuhan wajib yang sejajar dengan pangan. Buktinya, tidak sedikit dari kita yang rela mengirit biaya makan dan uang saku yang kemudian disisihkan untuk membeli paket kuota internet. Gawai—terlebih smartphone—adalah sebuah kebutuhan yang tidak dapat dipungkiri oleh masyarakat modern. Tanpa sadar, kita kerap menjadikan gawai sebagai teman dimanapun dan kapanpun, sehingga kita merasa lebih nyaman dan tidak kesepian ketika benda ini berada dalam genggaman. Bahkan, kita akan rela kembali untuk mengambil ketika benda tersebut tertinggal. Salah satu kecanggihan yang dimiliki gawai yaitu menyediakan akses bagi para penggunanya untuk bisa eksis di media sosial, terlepas dari apakah pengguna itu juga eksis dalam kehidupan nyata. Facebook, Twitter, Instagram, Blackberry Messenger (BBM), dan Line adalah aplikasi yang sudah lazim digunakan oleh pengguna gawai. Pengguna, khususnya kawula muda, berlomba-lomba membuat akun media sosial dan instant messanging ini untuk berkomunikasi karena dianggap lebih mudah dan cepat. Fasilitas dan kecanggihan yang ada seolah menghipnotis penggunanya menjadi adiktif. Maraknya pertemanan di dunia maya seakan membuktikan bahwa dunia ini tidak ada batasnya. Semua orang dapat saling terhubung dari seluruh belahan dunia, sehingga bebas berinteraksi dengan siapapun. Tanpa sadar, hal ini membuat generasi saat ini semakin tidak peka dengan lingkungan sekitar. Generasi sekarang cenderung lebih memilih diam menunduk dengan gawai masing-masing. Anak-anak
Ilustrasi: Laras/Manunggal
muda akan lebih memilih tersenyum sendiri dengan jari yang lincah bergerak di atas keypad. Setiap saat mata tak bisa teralihkan dari gawai, akan merasa gelisah ketika benda ini jauh dari jangkauan. Teknologi yang kian hari bertambah canggih ini mendorong terjadinya perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat modern. Perubahan ini melahirkan generasi baru: generasi menunduk. Fenomena menunduk ini sudah terpampang jelas di hadapan kita, yang tak dapat dipungkiri bahwa kita adalah bagian dari generasi ini, baik secara sadar maupun tidak. Aktivitas pada gawai yang tidak ada habis-habisnya, perlahan menghilangkan kesadaran diri kita terhadap lingkungan. Tak jarang ketika diajak berbicara oleh orang lain, hanya mulut yang bicara tetapi kepala tetap menunduk kearah gawai, enggan menatap orang yang menga-
KUAS Ah, hanya siluet bayang gerhana Cukuplah.. Tak perlu belaian kuas lagi Warna ini cukup sederhana Tak butuh putih suci dan merah membara Ah, hanya siluet bayang gerhana Cukuplah.. Hitam di tepian sudut bingkai Jangan jadikanku berlian genit kucing jalanan Toh.. rupaku tak berupa Biarkan telunjuk dan kelingking Hinggap di warnanya M Dani Wahyana (Sastra Indonesia 2015)
16
jak berbicara. Berkumpul dengan teman, tetapi semuanya sibuk dengan dunia mayanya masing-masing. Bahkan ketika berjalan, kepala tetap menunduk menatap gawai, seolah dunia akan berubah jika tidak membuka gawai. Generasi menunduk tidak hanya mengurangi kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi dalam dunia nyata, tetapi perlahan mengikis moral dan etika karena sifat individualis yang tercipta akibat disfungsi sosial. Kita merasa dekat padahal tanpa disadari kita perlahan-lahan menjauh, membuat ikatan mulai kehilangan maknanya. Generasi saat ini atau biasa dikenal juga sebagai generasi milenium, menjelma menjadi generasi siap saji, generasi instan yang ingin hasil tanpa melalui sebuah proses. Generasi yang memperjuangkan hak pribadi, bersifat individualistis,
Doa Pedagang Es Krim Di Tengah HujaN Oleh : Audrian Firhannusa (Sastra Indonesia 2015)
Gusti Yang Maha Puisi, pencipta senja dan desir pagi. Begitupun dengan hujanmu yang cukup gemilang pada bulan ini. Sudikah Engkau menyeka serdadu langitmu yang gencar membasahi bumi. Yang telah mendinginkan nafas-nafas negeri. Dan telah menahbiskan maya pada berselimut dosa ini. Di tengah krisis ini aku singgah pada rimba hujan penuh sembilu. Di bulan yang sering mandi, lihatlah jutaan daganganku yang teronggok pilu menunggu tuntasnya musimmu. Ampunilah kebekuan kerongkongan balita-balita lata yang sudah melupa dari es krimku yang penuh cinta. Berikanlah kehausan pada setiap tetes air liur jiwa-jiwa urban yang setiap harinya bersikeras pecahkan karang. Berkatilah segala ketabahanku di tengah badai yang senantiasa menerpa dompetku yang tekor dan nelangsa. Baikanlah es krimku agar lancar rezekiku. Baikanlah nasibku dikala istri dan anakku sedang tertunduk lesu menanti gajiku.
tetapi tidak acuh pada kewajiban diri. Generasi saat ini adalah generasi menunduk yang lebih gemar memainkan jemari pada keypad daripada berjabat tangan dan saling memandang. Generasi milenium adalah generasi menunduk, generasi yang tercipta atas tuntutan eksistensi diri yang diciptakan oleh kemajuan teknologi. Mencoba menciptakan dunia sendiri, berusaha meringkas jarak. Tanpa sadar, malah memperlebar jarak, mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Alangkah lebih baik ketika gawai dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan positif yang dapat mengembangkan kemampuan diri. Tidak melulu digunakan untuk bermain game atau mengakses media sosial yang bersifat adiktif. Betapa beruntungnya, apabila gawai menjadi jalan untuk meningkatkan kualitas kemampuan, menjadi fasilitator atas terjalinnya hubungan baik dengan orang-orang yang jauh, tanpa harus mengabaikan orangorang terdekat. Mulailah dengan menonaktifkan notifikasi atau pemberitahuan dari media sosial. Intensitas ‘menunduk’ sangat ditentukan oleh seberapa sering kita mengakses notifikasi yang tak kenal henti, terutama notifikasi dari media sosial yang kita gunakan. Menonaktifkan notifikasi akan membuat kita berhenti mengecek gawai di saat-saat yang tidak begitu penting. Saat tengah berbicara, alangkah lebih baik jika kita menatap kepada orang yang berbicara. Tidak hanya soal fokus tidaknya pada apa yang dibicarakan, tetapi hal ini juga menentukan kualitas moral seseorang. Untuk terlepas dari ‘jeratan generasi menunduk’ bukan berarti kita harus berhenti menggunakan gawai. Hal yang perlu kita lakukan adalah bijak menggunakannya, yaitu dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia dengan baik dan tidak berlebihan. *Staf Data dan Informasi LPM Manunggal 2016
DUA SATU Burlian memojok mendung di atap Sudut-sudut memantul gemericik Tik tik tik tik Mengekor telinga Deru menyita ruang sepi Mendung memojok mengatapi Sudut-sudut memalu hujan Membanjarkan kisah-kisah Tik tik tik tik Kisah memojok bulir rindu Menitik menggerai sunyi Terpal kerontang mengaduh “Selalu diam”, katanya Gerimis pun menjawab pada daun tempat mengeluh “Aku ada”, jawabnya Mereka berpapas memanjat asa Dua-satu Ririn Juli Hardianti (Sastra Indonesia 2015)
Sudah Saatnya Indonesia Adopsi Kebijakan Dwikewarganegaraan Diaspora adalah orang-orang yang belajar, bekerja hingga tinggal dan menjadi warga negara di luar negeri. Diaspora terbukti memiliki peran penting dalam memajukan sebuah bangsa, hal ini dapat kita lihat di Tiongkok dan India. Sejumlah perusahaan berskala global di Tiongkok didirikan oleh para diasporanya. Demikian juga dengan India, dimana empat dari lima perusahaan IT terbesar berskala global yang ada disana merupakan sumbangsih dari para diasporanya. Sekarang ini, Tiongkok dan India bahkan berada dalam posisi sebagai negara-negara dengan pertumbuhan tertinggi di dunia.
ATA BIOD Dr Dino Patti Djalal Lahir Agama Jabatan Isteri Anak Ayah Ibu Saudara
: Beogard, Yugoslavia, 10 September 1965 : Islam : Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat : Rosa Raj Djalal : Alexa, Keanu, dan Chloe : Professor Hasjim Djalal : Jurni : - Iwan Djalal, Eksekutif Perusahaan Swasta - Dini Djalal, Wartawan di Amerika Serikat
Pendidikan McLean Highschool di Virginia Amerika serikat (1981) Bachelor’s Degree in political science dari Carleton University (Otawwa, Kanada) Master in Political Science dari Simon Fraser University (British columbia, kanada) Doktor Bidang Hubungan Internasional di London School For Economic and Political Science, Inggris (2000) Karier Asisten Direktur Jendral untuk Urusan Politik Wiryono Sastrohandoyo Jubir Satgas P3TT (Pelaksana Penentuan Pendapat di Timor Leste) Kepala Departemen Politik KBRI Washington Direktur Amerika Utara dan Tengah Deplu, 2002-2004 Staf Khusus Urusan Internasional dan Juru Bicara, 2004-2010 Duta Besar Amerika Serikat, 2010-2013 Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, 2014 Buku Para Geopolitik Maritim di Indonesia Kebijakan Teritorial, Jakarta: CS, 1996 Transformasi Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2005 Indonesia pada Bergerak, Jakarta: Gramedia, 2006 Indonesia Unggul, Jakarta: Gramedia, 2008 Harus Bisa! Jakarta: Merah Putih, 2008 Energi Positif, Jakarta: Merah Putih, 2009 Pengalaman Konseptor dari Kehutanan 11 Proses Arsitek Global Inter Media Dialog Konseptor dari Presiden Visitor’s Program Pendiri Innovative Leaders Forum (2008) Pendiri Modernisator Konseptor dari Generasi 21 Membuat Film “Luar Biasa Indonesia” Anggota Dewan Pemerintahan Institut Perdamaian dan Demokrasi Inisiator Dari Congress Of Indonesian Diaspora
Foto: Nina/Manunggal
Di Indonesia, kesadaran mengenai besarnya potensi dan pentingnya peran diaspora relatif baru muncul pada beberapa tahun terakhir. Kongres diaspora Indonesia I baru diselenggarakan pada Juli 2012 di Los Angles, Amerika Serikat, dan dihadiri oleh sekitar 2000 diaspora dari 21 negara. Melalui kongres tersebut, semangat keindonesiaan para diaspora asal Indonesia di berbagai penjuru dunia semakin menggebu. Kali ini, Reporter Manunggal Verawati Meidiana berkesempatan mewawancarai Dino Patti Djalal, seorang penulis pidato, akademisi, dan penulis nasional best seller. Simak petikan wawancara khusus bersama mantan Wakil Menteri Luar Negeri Republik Indonesia tersebut, usai mengisi Kuliah Umum di Auditorium Fakultas Sosial dan Ilmu Pemerintahan Undip Semarang beberapa waktu lalu. Bagaimana persebaran diaspora Indonesia di luar negeri saat ini? Dan bagaimana jika dibandingkan dengan Tiongkok dan India? Wah, kita lebih kecil kalau dibandingkan dengan kedua negara itu, China diasporanya paling besar, sedangkan India ada di tempat kedua. Saat ini terdapat sekitar enam juta diaspora Indonesia yang masih berkewarganegaraan Indonesia dan memiliki paspor Indonesia. Jumlah paling besar berada di Malaysia dan Timur Tengah. Tetapi, kalau diaspora yang sudah menjadi warga negara asing tidak bisa dihitung jumlahnya, mungkin ada sekitar 10 juta orang, jumlahnya lumayan besar. Jadi kalau menurut saya diaspora Indonesia juga termasuk yang terbesar di dunia, kita berada di top five. Mengapa Malaysia dan Timur Tengah menjadi negara yang paling banyak ditempati oleh diaspora Indonesia? Dan apa kegiatan atau bidang yang mayoritas digeluti oleh diaspora Indonesia? Bidang yang umumnya paling banyak digeluti oleh diaspora Indonesia itu adalah service atau pelayanan. Makanya, di Malaysia persebaran diaspora Indonesia banyak karena di sana banyak TKI-nya. Tetapi tenaga profesional yang memiliki keterampilan juga cukup banyak di negara lain, seperti di Belanda, kemudian di Qatar ada puluhan ribu tenaga Indonesia profesional, di Amerika ada 150 ribu yang semuanya tenaga profesional, serta di Hongkong dan Taiwan juga cukup besar. Sejauh apa pengorganisasian diaspora selama ini, Pak? Terlebih dengan adanya Congress of Indonesian Diaspora yang Bapak gagas? Sekarang sudah terbentuk Indonesian Diaspora Network, selain merupakan sebuah komunitas diaspora, mereka juga membentuk jaringan. Kantor Indonesian Diaspora Network sekarang
sudah ada sekitar 65 buah di sekitar 35 negara. Tujuannya agar mereka dapat membangun potensinya dan dapat bersinergi dengan tanah air, karena selama ini potensi mereka tidak terjamah dan sinergi mereka dengan tanah air juga sangat minimal.
memajukan ekonomi masyarakat Indonesia.
Memangnya saat ini apa saja pola-pola hubungan mutualistik yang akan atau sudah dijalankan antara diaspora Indonesia dan pemerintah, Pak? Masih kurang memang, karena belum ada lembaga di pemerintah yang menangani masalah diaspora. Jadi, saat ini yang ada adalah masing-masing orang diaspora itu langsung terjun ke lapangan. Contohnya ada yang bikin perpustakaan di Bandung, ada yang memperbaiki kota tua di Jakarta, ada yang memberikan beasiswa, atau ada juga yang memberikan peralatan medical. Tetapi, ya begitu, langsung terjun ke masyarakat karena di pemerintah belum ada badan khusus yang menanganinya untuk kemudian bisa menjadi perantara.
Untuk memaksimalkan peran diaspora, sudah perlukah Indonesia mengadopsi kebijakan dwikewarganegaraan seperti beberapa negara lain? Kalau menurut saya perlu, tetapi harus secara selektif bukan global. Jadi dihitung dulu negara-negara yang banyak WNI-nya, kemudian kita terapkan di sana. Kalau kita menggunakan kebijakan dwikewarganegaraan kita bisa untung, jadi yang datang ke Indonesia bukan orang-orang yang akan membebani kita, tetapi yang akan lebih menguntungkan kita. Misalnya dengan Amerika Serikat, di sana ada 150 ribu WNI yang merupakan tenaga profesional, mereka punya modal, punya koneksi, dan lain sebagainya. Jadi kalau kita ambil dwikewarganegaraan dengan Amerika Serikat menurut saya Indonesia akan untung, begitu pula dengan Australia. Sejauh ini, kebijakan tersebut masih di DPR, masih di bahas.
Wah, cukup menarik, ya, Pak, lalu kelembagaan selevel apakah yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan peran diaspora Indonesia? Karena di negara lain ada mentri khusus diaspora sementara di kemenlu RI masih sebatas ‘desk’ diaspora. Kalau menurut saya harus ada Badan Nasionalnya, Mbak. ‘Kan kalau sekarang itu ada badan nasional untuk TKI, maka seharusnya ada Badan nasional TKI dan diaspora, jadi enggak perlu bentuk kementrian baru, tapi harus ada badan nasionalnya saja. Dengan ada Badan Nasional tersebut, bisa bersinergis dengan komunitas diaspora di luar negeri dalam promosi kuliner, produk, atau bidang yang akan mendukung kemandirian ekonomi komunitas dan
Lalu bagaimana cara mempertahankan nasionalisme diaspora Indonesia yang masih berstatuus WNI? Ya, menurut saya, umumnya mereka tidak mau mengganti kewarganegaraan, yang mengganti itu karena terpaksa dan karena mereka sudah akan hidup selamanya di sana. Jadi, mau enggak mau harus ganti kewarganegaraan. Sebenarnya menurut saya meskipun mereka semua jadi warga negara asing tetapi hati mereka tetap ada di Indonesia dan terus mengirimkan bantuan, atau jadi koneksi kita di luar negeri, maka hal itu tetap baik bagi saya. Karena, yang menjadi ukurannya bagi saya adalah hati mereka yang akan tetap dan terus cinta dan berada di tanah air.
17
1
Diasuh oleh: Dra. Endang Sri Indrawati, M.Si. Psikolog dan Dosen Fakultas Psikologi, Undip
Penyebab Latah dan Cara Menyembuhkannya Salah satu sahabat saya sering menjadi objek kejahilan teman-teman di kampus karena mempunyai kebiasaan latah. Kondisi ini baru ia alami semenjak SMA. Apa yang menyebabkan ia menjadi latah? Dan bagaimana cara menyembuhkannya? (NN) Jawaban : Latah bisa terjadi karena adanya stimulasi dari lingkungan yang membuat dirinya terkejut. Perasaan terkejut tersebut dirasakan secara berlebihan sehingga ia tidak bisa mengontrol dirinya, terutama ucapannya. Hal ini terjadi berupa pengeluaran energi secara berlebihan melalui ucapan yang diulang-ulang. Cara menyembuhkannya adalah dengan melatih diri agar tidak mudah terkejut, hal tersebut bisa dilakukan dengan cara rileksasi dan mengatur pernafasan.
2
Ketika tidur, saya mengalami mimpi terjatuh sehingga saya terkejut dan bangun dari tidur. Hal ini beberapa kali terulang dan membuat saya cemas. Apa yang menyebabkan saya bermimpi seperti itu? (Syarah) *Mimpi terjatuh itu merupakan ketakutan-ketakutan yang Anda alami sebelumnya dan menjadi berkepanjangan sehingga membentuk suatu gejala, yaitu mimpi jatuh yang berulang. Ketakutan tersebut biasanya berupa guilty feeling (perasaan bersalah) yang mengkristal dalam pikiran Anda dan berubah menjadi simbol-simbol yang salah satunya berupa mimpi. Mulailah menata hati dan berdamailah dengan diri Anda.
3 Bagaimana cara meyakinkan diri atas pilihan yang sedang dijalani? (Eko)
*Kita harus terbiasa melakukan evaluasi secara berkala terhadap kegiatan yang dilakukan. Jika hasil evaluasi tersebut Anda menjadi pribadi yang lebih produktif, maka kegiatan itu bisa dilanjutkan. Namun, jika hasil evaluasi tersebut Anda menjadi semakin malas, maka Anda bisa berhenti melakukan hal itu dan mencari kegitan lain yang lebih cocok dengan Anda. Berhenti dan mencari hal yang baru merupakan hal yang wajar dilakukan. Evaluasi ini bisa dipraktikkan pada semua permasalahan yang terjadi pada hidup Anda.
Ilustrasi : Ika/Manunggal
18
Mimpi Terjatuh Saat Tidur
Meyakinkan Diri Pada Pilihan
Pahlawan Kesenian, Bukan Sekedar Bengawan Judul Buku Pengarang Tebal Penerbit
Gesang, merupakan salah satu pahlawan kesenian yang berjasa besar dalam mempopulerkan musik keroncong. Namun tanpa disadari, masyarakat Indonesia telah menganggap Gesang tiada sebelum nafasnya benar-benar berhenti. Jasanya di bidang musik keroncong terlupakan, tidak banyak yang tahu kalau ia mengalami kehidupan yang sulit sebagai seorang mantan penyanyi terkenal. Buku Pahlawan Kesenian, Bukan Sekedar Bengawan ini berkisah tentang kehidupan Gesang yang mengalami pasang dan surut, seperti air di Bengawan. Biografi yang ditulis oleh Izharry ini semakin menarik karena perjalanan kehidupan Gesang diceritakan dalam babak-babak kisah seperti novel sehingga tidak monoton untuk dibaca. Lika-liku kehidupan Gesang dimulai saat ia harus putus sekolah dan melanjutkan usaha batik keluarganya. Gesang tetap menjalani usaha tersebut walaupun saat itu ia sangat ingin bersekolah. Hingga pada suatu saat, Gesang berkenalan dengan dunia seni tarik suara. Ia bergabung dengan klub orkes keroncong di kampungnya dan dipaksa untuk bernyanyi. Itulah awal ketertarikannya pada musik keroncong dan lenggam Jawa. Beranjak dewasa, Gesang melalui banyak perjuangan saat memulai kariernya sebagai penyanyi keroncong. Mulai dari berpindah-pindah klub orkes, diplonco kompeni, bahkan ditembaki peluru-peluru dalam perjalanan menuju ke undangan hajatan. Tak hanya tekanan dari luar, ayahnya juga melarang Gesang untuk menjadi penyayi keroncong karena menganggap hal tersebut sebagai pekerjaan yang tidak menguntungkan. Selain perjalanan karier Gesang, buku ini juga menceritakan perjalanan cintanya. Kesendirian membuat Gesang membayangkan seseorang perempuan yang bisa menemaninya disela-sela malam saat membuat
Spotlight, Dibalik Layar Proses Jurnalistik
: Gesang, Mengalir Meluap sampai Jauh : Izharry Agusjaya Moenzier : 291 halaman : Gramedia Pustaka Utama
tembang. Perempuan itu adalah Sri Melati, cinta pertamanya yang harus kandas karena perbedaan status sosial di antara mereka. Hingga suatu ketika, Gesang yang tidak pernah bertemu lagi dengan Sri, dipertemukan dengan Walinah, gadis anggun yang juga memikat pandangannya. Gesang akhirnya memutuskan untuk menikahi Walinah. Mahligai rumah tangga Gesang dengan Walinah berjalan sangat baik. Gesang merasa hidupnya sudah lengkap, musik dan istri merupakan kemewahan baginya. Karier musik Gesang kian melambung. Gesang makin sering diundang ke berbagai konser keroncong, hal ini membuat makin banyak orang yang mengenal dirinya. Tak sedikit kompeni-kompeni Jepang ikut mendendangkan lagu Bengawan Solo, tembang hits yang mempopolerkan namanya saat itu. Hal ini yang mampu membuat Gesang terkenal di mata dunia. Bagai sebuah roda, buku ini menceritakan kehidupan Gesang yang berputar. Kehidupan rumah tangganya yang harmonis harus kandas. Walinah yang dia sayangi terjerumus godaan judi dan pergi meninggalkan luka mendalam bagi Gesang. Selain itu, tawaran menyanyi juga kian surut. Tidak ada sumber penghasilan sehingga mengharuskan ia tinggal di gubug seorang perempuan mantan asisten rumah tangganya. Akan tetapi, berbagai kejadian-kejadian pahit itu tidak dijadikannnya sebagai halangan untuk terus berkarya, Gesang malah banyak mendapat inspirasi dari penderitaannya. Penulis mengisahkan biografi tersebut dengan bahasa yang apik diselingi syair-syair lagu yang diciptakan Gesang. Namun dibeberapa bagian cerita, penulis tidak memberikan latar waktu dan usia Gesang, sehingga pembaca harus menerka-nerka alur yang tersirat. Melalui kisah Gesang, buku ini mengajarkan untuk bangkit dari keterpurukan, menghargai waktu dan tetap berkarya selagi produktif. Buku ini juga menyadarkan kita untuk lebih menghargai karya orang lain, terutama karya seniman Indonesia. Akan tetapi, tujuan mengenang jasa Gesang melalui buku ini belum bisa terwujud. Biografi ini kurang diminati bahkan belum dikenal oleh masyarakat Indonesia. (Fini)
Judul Film : Spotlight Pemain : Rachel McAdams, Liev Schreiber, Mark Ruffalo, Michael Keaton, Stanley Tucci, Billy Crudup, John Slattery, Len Cariou, Paul Guilfoyle, Jame Sheridan. Sutradara : Tom Mc Carthy Genre : Biografi, Drama
Suka dengan film bergenre drama biografi? Karya yang satu ini bisa menjadi film wajib untuk Anda tonton. Film yang digarap oleh sutradara Tom McCarthy dengan judul ‘Spotlight’ ini merupakan kisah nyata yang terjadi pada tahun 2001. Spotlight menceritakan sebuah skandal besar dan sensitif yang tengah menggegerkan kota Boston, AS telah berhasil meraih penghargaan Oscar pada awal tahun 2016 sebagai film terbaik serta naskah film terbaik yang ditulis oleh Josh Singer dan Tom McCarthy. Berawal dari tugas yang diberikan oleh editor Marty Baron dari The Boston Globe kepada tim jurnalis investigasi yang bernama Spotlight untuk melakukan investigasi terhadap John Geoghan. Geoghan yang seorang pendeta diduga telah melakukan pelecehan seksual terhadap 80 anak laki-laki. Tim Spotlight beranggotakan Walter Robby (Michael Keaton), reporter Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Matt Carol (Brian d’Arcy James), serta Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams) mewawancarai para korban dan berusaha mendapatkan akses pada dokumen sensitif. Penyelidikan yang dilakukan selama hampir setahun ini, akhirnya memperoleh data-data melalui wawancara beberapa korban, pengintaian, mengunjungi institusi dan pihak-pihak terkait, seperti kepolisian dan pengadilan, hingga mencoba untuk membongkar dokumen-dokumen sensitif dan berusaha mengungkap hal-hal yang telah dirahasiakan oleh pihak Gereja Katolik selama bertahun-tahun hingga
terkumpul sebanyak 87 nama pastur yang terkait dengan kasus ini. Pada akhirnya, Tim Spotlight menemukan fakta mengejutkan mengenai kejahatan seksual terhadap anak kecil yang melibatkan jaringan Gereja Katolik global. Hal ini tentu menggemparkan berbagai kalangan, terlebih karena mengungkap isu yang sangat sensitif. Spotlight adalah film yang sangat tepat apabila Anda ingin mengetahui bagaimana proses jurnalistik yang benar. Dalam film ini diceritakan bahwa jurnalistik adalah proses panjang untuk mengarah pada kebenaran bagi publik. Tim Spotlight secara terang-terangan memperlihatkan bahwa mereka tidak bisa begitu saja percaya pada keterangan yang telah diberikan oleh seseorang narasumber. Meskipun informasinya menggiurkan, pimpinan kelompok itu tetap meminta supaya dilakukan background check, atau pengecekan kembali kebenaran informasi yang diberikan secara mendalam. Hal yang juga patut dipuji dari film ini adalah cara penyampaian isu-isu yang diangkat. Spotlight mampu menyajikannya dengan baik Tanpa ada kesan menghakimi ataupun mengeksploitasi. Secara tidak langsung, film yang diangkat dari kisah nyata ini juga mengungkap kisah para korban pelecehan yang selama ini belum sepenuhnya terbongkar akibat tekanan sosial. Selain itu, sensitifitas agama yang ada dalam film juga disajikan secara proposional tanpa menyalahkan pihak tertentu. Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan film yang meraih piala Oscar sebagai film terbaik ini. Berfokus pada alur cerita yang sedemikian rapi membuat karakter masing-masing personil tim spotlight tidak terlalu ditonjolkan, sehingga penonton mungkin tidak akan terlalu mengetahui bagaimana karakter dan peran masing-masing tokoh secara mendalam. Kemudian, bagaimana kelanjutan kasus pelecehan terhadap anak-anak yang dilakukan oleh sejumlah pastur tersebut? Bagaimana tim Spotlight mengungkap kebenarannya, dan bagaimana akhirnya mereka dapat mempublikasikan berita yang telah menjadi keresahan warga Boston selama bertahun-tahun ini? (Erdhidah) Dari berbagai sumber.
19 3 19