Antonio, Ayam yang Mencoba Terbang Antologi Karya
Cetakan Pertama, Juni 2017 Tata Letak Ilustrasi Cover
: Hana Azalia : Abdurrahman Umar
Diterbitkan oleh Pelingkar (Penerbit Lingkar Sastra) Gedung Mekanika Tanah, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganeca no. 10, Bandung. Email: lingkarsastraitbandung@gmail.com
Ini hanyalah kata-kata terserak yang butuh dipelihara Agar tak sekadar larut dalam sungai maya Dalam sebangun rumah bernama “ITB Nyastra�
Para Pencipta 999 Adeline Suriadi Adinda Yuwono Aidafi Arsyi Andy Amou Fabi Fuu Farrah Funami Gregorius Bayu Aji Wibisono Hana Azalia Ikhsan Sopian Hadi Jasmine Kane Jeanny Feramarta Leonardo M. Reihant Muzadi Muhammad Afifurrahman Novita Febriani Not Cineaste Penbalap Skuter Roi Shafira Anandita Wahyu OK Yahya Haytsam Zein 1
2
Daftar Konten Astronot dan Sisi Gelap Bulan 5 999 6 When Tomorrow Comes 7 Sajak Rel Kereta 9 Apa Warna Rasamu Hari Ini? 10 Kuburan 11 Nalaswara 12 Angin 13 Estetika Dunia 14 Kampung Lengan Panjang 15 Surat dari Masa Depan 23 Sadar Freud 25 Kepada Dia yang Selalu Merengek Mengejek ketika Waktu Mengendur dan Perlahan Membuatnya Terkubur 26 Belantara 27 Bocah Yatim Piatu 28 Misteri Angkot di Gang Buntu 31 Hikayat Takepis dan Ibu Pengendara Motor 32 Pemanfaatan Kolor sebagai Metode Perkiraan Cuaca 33 Sapaan Laut 34 Surat Lamaran untuk Fabu 35 Rum Raisin, dan Segala Harga yang Tiada 36 Tanah Air 37 Cita-Citaku 38 3
Obrolan tidak Berkualitas 39 Keputusasaan Pertama 40 Antonio, Ayam yang Mencoba Terbang 41 Ikrar Skuter Balap 43 Senja dalam Diorama 44 Manusia Sapi 47 Lagu Magis 50 Midnight in Braga Citywalk 51 Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana 54 Belum Ada Judul 55 Sayang, Oh Sayang 59 Bunga Cantik 63 Sayang 64 Kalau Saja 65 Lensa 66 Riwayat Prananta 67 Keputusasaan Kedua 68 program nihilis_ku1072 69 Distance 70 Apa yang Membuat Sore dan Senja Berbeda? 71 Group Chat Angkatan 72 Document1.docx 73 Mempuisikan Puisiku 74 Dalam Biru 75 4
Astronot dan Sisi Gelap Bulan Yahya Haytsam
Matahari cukup mengenal manusia. Ia tahu bagaimana manusia menghabiskan kebanyakan dari waktu dan bagaimana manusia bertingkah. Namun menurutku, hanya bulan yang mengenal manusia dekat. Ia tahu bahwa hanya saat malam manusia berbicara tulus dan ia pun paham benar nama-nama yang terkadang tertulis dan terhapus dalam pikiran mereka. Di belahan dunia ini, matahari banyak melihat dari apa yang manusia kerja, namun hanya bulan yang memahami apa yang manusia rasa. Tak heran, banyak lagu dan puisi yang berisi percakapan bersama bulan. Barangkali ini karena sama seperti bulan, ada sisi tersembunyi dari manusia yang tidak pernah ditangkap mata. Barangkali itu juga alasan mengapa banyak anak kecil yang bercita-cita menjadi penjelajah langit—
dan, hey, aku salah satunya.
5
999
6
When Tomorrow Comes Adeline Suriadi
Dia selalu begitu. Selalu membantu orang lain yang butuh bantuan. Katanya dia harus berbuat baik selagi hidup, ya siapa yang tahu hari esok akan seperti apa? Ajal bisa datang kapan saja katanya. Dia bilang, bisa saja besok dia harus menghadap Sang Pencipta. Ya, jika dia yang berkata, aku tidak heran. Dia selalu mementingkan orang lain, lupa pada dirinya sendiri. Lupa bahwa dirinya juga butuh bantuan, butuh perhatian. Kadang-kadang aku ingin meneriakinya untuk sekedar merawat tubuhnya yang semakin lama semakin termakan usia, tetapi sangat tidak sopan meneriaki wanita yang melahirkanku sendiri, bukan? Maka selama ini, yang bisa kulakukan hanya membantu dia melaksanakan misi hidupnya serta beberapa saat meluangkan waktu untuk sekedar bercakapcakap sambil memberikannya secangkir teh panas. Tak pernah terpikirkan oleh orang-orang, bahwa suatu esok yang sudah keseribu-kian kalinya disebut-sebut oleh ibuku akhirnya datang juga. Saat ini rumahku ramai dengan tangisan wanita-wanita kesepian yang telah hidup sebatang kara sampai kini, anak-anak yang berpenyakitan tetapi menyiratkan cahaya semangat baru di mata mereka, serta beberapa pasangan muda yang kelihatan canggung karena hubungan mereka yang baru pulih dari pertengkaran. Mereka semua menangisi satu sosok yang sama, yaitu sosok wanita yang selama ini telah membantu mereka menangani masalah mereka, psikolog mereka, yang tak lain dan tak bukan adalah ibuku. Ibuku telah tiada, rohnya telah disambut oleh malaikat penjaga surga yang menantikan kedatangannya.
Dan akulah pelakunya.
Ya, memang aku yang menghujamkan pisau itu. Lalu mengapa? Aku sangat mengasihinya, dan tidak mau ia terus menderita semasa hidup di dunia yang penuh kemunafikan ini. Ia pasti telah memiliki tempat terindah di surga sana. Ya, mungkin aku sedikit menuruni sifat ibuku. Aku lebih mementingkan kebahagiaan ibuku, tanpa pernah memikirkan perasaanku 7
setelah itu, tanpa memikirkan bagaimana aku dapat menjalani hidup sendiri tanpa sanak keluarga satu pun. Mungkin aku telah kehilangan rasa, dibawa oleh ibuku untuk sekedar mengunjungi surga dan mengagumi keindahannya. “Aku tahu ibu menungguku di sana, tetapi masih banyak tugas di sini yang belum kuselesaikan, Bu. Tenang saja, cepat atau lambat, aku akan menyusul ibu ke sana.� Sejak saat itu, aku hidup dalam pelarian. Aku tidak mengerti mengapa semua orang menjauhiku. Aku selalu melakukan yang terbaik untuk semua makhluk hidup menderita yang kutemui. Pisau lipat di dalam sakuku merupakan satu-satunya sahabatku, yang selalu menemaniku ketika aku ingin membuat semuanya bahagia. Apakah salahku? Aku telah mengantarkan mereka ke surga. Aku tidak tega melihat mereka menderita di dunia ini. Tetapi, sepertinya tidak ada satu orangpun yang berada di pihakku.
8
Sajak Rel Kereta Aldiansyah Decit suara roda besi meriuh diciptakan dari rel berkarat, di pinggirnya terlihat kesumpekan, diisi gubuk-gubuk biru terbuat dari terpal, dihuni dengan sekelompok keluarga malang. Mereka hidup dalam kesengsaraan, Mendapat penghasilan hanya dari sampahsampah botol, kardus, plastik serta apapun yang bisa ditimbang ketempat barang bekas. Kekosongan selalu menemani, ketika matahari memejam dengan tenang. Sesekali deru mesin kereta melintas, sehabis itu hening kembali. Sang bapak selalu berpikir bagaimana memberikan kehidupan layak untuk putri dan istrinya. Batu-batu di perlintasan kereta menjadi saksi dan juga alas tidur saat sang bapak mulai ngelantur menghayal besok akan dapat uang banyak dan makan enak, tidak seperti tadi hanya makan satu nasi bungkus dengan lauk sederhana dibagi tiga. Malam kian larut, semilir angin berhembus memecah hayalan diatas kepala sang bapak. Kantuk mulai menjamah pelupuk mata. Lalu ia tidur dengan kegelisahan yang agung.
Senen, 10/4/2017 9
Apa Warna Rasamu Hari Ini? Adinda Yuwono
Bila rasa menjelma warna Akankah ia putih seputih awan? Atau biru sebiru lautan? Putih akan mengharu Dan biru hanya melagukan sendu Maka jika rasa tak mau melagu Lukiskanlah dalam biasan warna Dalam pulasan haru dan sendu Dalam perasaan putih dan biru Selamat pagi, Apa warna rasamu hari ini?
29/12/15
10
Kuburan Fabi Fuu
Ini bukan soal lele yang lepas pada perairan bebas Balon juga terbang ke langit biru luas Bukan pula soal kesedihan pelajar yang tidak bisa duduk di bangku kampus
Ditamparlah kamu dengan sekop, Apakah kamu menyesal berniat menggali lubang itu?
Sekarang, bila kau berbicara pada seseorang Lebih baik kau diam
Ini tentang sesuatu Yang dilupakan Terkubur dalam-dalam Alih-alih menggalinya, mereka malah membuat adonan semen di atas galian itu. Lalu mengawasi siapa-siapa yang mendekatinya. Bahkan menjegal setiap orang yang ingin menggalinya Katanya ini kuburan keramat, jangan digali. Mendatangkan musibah. Jika bersikeras kamu menggalinya 11
Kau tak mau kan berbicara dengan aspal hitam Semakin lama semakin panas Apalagi tak pakai sendal
Sudahlah, Seleksi alam sedang bekerja Semoga saja, Kalau tidak, aku tak tahu lagi harus ke mana.
*tidak, aku tak punya lahan untuk ternak lele.
Nalaswara Rasi
Tidak ada wahana kupu-kupu di sana, tidak juga taman bunga yang cukup. Mungkin karena itu, tidak pula ada kupu-kupu dalam perutku, ataupun kerongkonganku. Aku melihatmu, dan melihat saja. Aku masih bernapas seperti biasa dan tidak ada yang berdebar kecuali gendang telingaku. Di dekat panggung, di malam hari. Aku melihatmu yang seperti tiba-tiba saja berdiri lima langkah dariku. Tapi, tidak ada yang berhenti berdetak, tidak pula ada anak perempuan asing yang meneriakkan namamu. Aku melihatmu, tapi melihat saja. Bintang, kalau melihatmu selumrah ini, bagaimana mungkin ada puisi cinta? Tapi, akhirnya aku melihatmu, dan melihat saja. Kamu berdiri lima langkah dariku, dan berdiri saja. Bintang, seandainya yang biasa saja seperti ini juga disebut cinta.
12
Angin Adinda Yuwono
Saya lebih suka bercerita pada angin. Memang sih dia hanya bisa mendengar dan tidak pernah memberi komentar. Tapi angina selalu sejuk, hadirnya saja sudah cukup membuat Saya lebih tenang. Lebih senang. Seperti ada ketentraman yang dititipkan-Nya dalam setiap hembusan sejuk itu.
Ya, Saya lebih suka bercerita pada angin, yang selalu mendengar dan menghapus seluruh air mata.
01/09/16
13
Estetika Dunia Gregorius Bayu Aji Wibisono
Biarlah angin membawa diriku Meregang jauh hingga Laut Arafuru Menerbangkanku ke atas Ambon Maluku Mengajakku membanggakan Kelimutu
Biarlah lautan memanjakanku Dengan desirannya tiap waktu
Indrayanti
Biarlah karang berdiri garang Menahan ombak dengan tenang Meskipun tiap detik terus datang Sayang.... Ia membuat pandanganku terhalang
Seakan tak lelah menyapaku Mengingatkanku kepada Uluwatu
Biarlah pantai mempersolek diri Berusaha memikat mata dan hati Hingga aku dan pantai bertemu lagi Di Anyer, Pangandaran, dan
Biarlah senja menyenjakan dirinya Mengajak langit dan laut melukis dunia.....
Karena tak ada yang bisa mengalahkan senja....
Ketika senja mengajak dunia berestetika 14
Kampung Lengan Panjang Zein Kampung Lengan Panjang adalah kampung biasa yang kamu lihat atau kamu lewati ketika berkendara. Letaknya di antara kota Ini dan kota Itu. Karena itu, kampung ini agak jauh dari mana-mana. Peradaban kota tidak sampai menyentuh kampung, bahkan orang-orang yang punya mobil pribadi itu jarang sekali. Paling sering ditemui adalah mobil pick up yang biasa mengangkut hasil panen ke kota. Biasanya orang penasaran pada sejarah nama kampung kami. Kalau tidak salah, setelah pergantian presiden, pak presiden kedua mengunjungi kampung kami. Namun, pak presiden kedua mendapat kabar bahwa ajudannya kecopetan. Pak presiden memerintahkan seluruh ajudannya mencari copet tersebut. Sesepuh kampung langsung menjelaskan baik-baik mengenai kampung ini. Sesepuh adalah orang tua yang mengatur kebijakan kampung ini. Bahwa warga di sini biasa mencopet, sudah sejak dahulu begitu dan sampai sekarang terus begitu. Copetnya ditangkap, dan tidak tahu bahwa dia mencopet ajudan presiden, ia kembalikan uangnya. Siapa juga yang mau melawan presiden kedua? Setelah kejadian itu, presiden kedua menamakan kampung ini, ‘Kampung Lengan Panjang’. Yang menjadi ciri khas kampung kami adalah lihainya tangan warga mencopet orang lain. Sejak dahulu begitu dan sampai sekarang terus begitu. Warga kami tidak pernah mencopet dompet. Kami tahu etika. Kami hanya ingin uangnya. Kami juga tak pernah menjambret, tidak etis. Kami tidak pernah pakai kekerasan dalam mencopet. Bahkan kami tidak akan membunuh warga satu kampung. Persaudaraan lebih penting. Tapi kami sering mencopet teman kami sendiri. Kadang orang tua teman kami juga disasar. Dan kami tidak pernah ambil pusing. Saya pun juga pernah kecopetan. Seratus lima puluh ribu, uang zakat masjid. Biasa saja, sebab kalau sudah dicopet ya mau diapakan lagi? Kalau gak terima, ya tinggal balas mencopet. Kami itu menganut prinsip bahwa mencopet itu boleh, asal jangan teriak copet. Kalaupun tidak terima dicopet dan membawa kasusnya ke sesepuh, padahal sendirinya pernah mencopet juga, pasti dicibir sesepuh, “Halah, kasus kelas teri begini kamu bawa.� ***** Baru-baru ini, ada orang pindahan ke kampung kami. Katanya dari kota Ini. Pindah tiga hari yang lalu, seorang bujangan dua puluh lima tahun. Katanya juga, dia lumayan tampan. Wah jadi incaran gadis-gadis. 15
Dia bekerja di salah satu organisasi, tentang membantu orang. Saya juga sekilas dengar dari ibu-ibu yang menggosip bareng tukang sayur keliling. Karena penasaran, saya langsung ke rumah orang baru tadi. Jalan Edi Tansil nomor tiga. Kebetulan dia sedang mencuci mobil, jadi saya sapa, “Sore mas!Baru pindahan kan?” Dia mengibaskan tangannya yang basah, “Eh, iya pak. Aduh maaf nih, tangan saya basah.”
“Dari mana mas?”
“Dari kota Ini pak. Cuma saya kerjanya di kota Itu. Mendingan pindah biar deket.” “Iya, iya. Emang sih, banyak juga yang pindah biar deket tempat kerja, hahaha.” “Masuk dulu pak. Gak enak ngobrol berdiri begini,” dia ajak saya ke rumahnya. Dan kami bercerita. Ternyata dia bekerja di organisasi kemanusiaan. Jika ada ketidakadilan dan penghilangan orang-orang secara sepihak, maka mereka turun tangan mencari keadilan. Bagi saya lucu, keadilan kok dicari. Cukup uang saja yang dicari. Kalau kita nurut sama penguasa ya adil-adil saja toh. Saya juga cerita tentang profesi saya sebagai editor majalah kampung. Pekerjaan saya mengharuskan untuk mengubah atau mengkonfirmasi ulang berita. Tidak boleh ada berita provokasi, atau mempertanyakan otoritas sesepuh. Karena majalah kampung diawasi langsung. Dari dulu sudah begitu. Kalau dibredel, anak saya makan apa?. Istri saya, ibu rumah tangga. Satu-satunya pemasukan ya dari majalah ini. Majalah terbit dua minggu sekali. Kadang, jika berita kurang memenuhi jumlah harian, terpaksa saya menambal kekurangannya. Selama tidak melanggar aturan sesepuh. Ngomong-ngomong, Adrian, nama bujangan tadi, sering bercerita. Orangnya ramah, supel. Paling banyak sih cerita tentang tidak adilnya hukum di negara ini. Dia dapat menunjukkan kesalahan orang-orang yang sebetulnya masih bisa ditoleransi. Dia juga dapat memberi tahu apa yang warga dapat lakukan untuk menegakkan keadilan dan menengok pada kemanusiaan. Pokoknya ciri-ciri pemuda idealis. Dia belum tahu rasanya menyuap polisi agar urusan membuat SIM cepat dan beres, sebab tak punya uang untuk tes berkali-kali. Kredit motor saja nunggak. Sayangnya obrolan tidak bisa lebih lama. Kami harus pamitan, sebab saya ada urusan. *****
Di suatu siang, di Pasar Bengkok, saya melihat Adrian berlari 16
sambil berteriak.
“COPET!!! EH ITU!!!! MAS!!! MBAK!!! COPET ITU TANGKAP!!”
Kerumunan diam melihat kejadian itu. Sementara orang yang diteriaki copet hilang entah ke mana. Adrian menatap copet yang sudah hilang dengan marah, jijik, dan kecewa. Lalu ia menatap kerumunan yang keheranan. Kegiatan pasar berhenti seketika, seluruh mata memandang Adrian yang tersengal-sengal. Di salah satu sudut kerumunan, ada ibuibu berusaha menyeruak. Beliau juga tersengal-sengal. Di tangannya ada dompet dan kantong plastik belanjaan. Dasternya lusuh karena keringat, sanggulnya juga hampir lepas. “Ah, hah, hah, udah mas. Gak usah dikejar. Lagian dompet saya masih ada,” Ibu-ibu itu mencoba berbicara, dan Adrian tidak setuju.
“Gak bisa gitu bu! Copet itu harus ditangkap dong!”
“Udah lah mas.”
Tiba-tiba Adrian melihat ke kerumunan, dengan tidak terima dan kecewa. Adrian bertanya, “Kenapa pada diam saja?! Copet itu mengambil uang Ibu itu lho!!!” Suara Adrian meninggi, tidak bagus. Sesepuh bisa mendengar kabar kejadian ini. Saya masih berpikir waktu yang tepat mendamaikan Adrian. “Empati kalian di mana sih?!! Ibu itu susah payah menabung agar dapat beli daging lho!!! Tapi copetnya malah dibiarkan kabur!! Gimana cara si Ibu bayar?! Gimana?!!” Tiba-tiba ada salah satu orang menyahut, “Kan bisa ngutang mas. Biasa aja kali.” Lalu kerumunan mulai menyanggah Adrian. Pokoknya ramai sekali waktu itu. Adrian diberondong sindiran, makian, dan cibiran warga. Adrian masih tidak percaya apa yang ia alami. Kerumunan perlahan bubar. Pasar kembali seperti biasa seolah tak ada kejadian heboh sebelumnya. Adrian melemparkan pandangan kecewa, bingung, dan frustasi ke sekelilingnya. Baru kali ini ia tahu ada masyarakat yang acuh tak acuh. Karena kasihan, saya hampiri anak kemarin sore itu. Dia menghampiri saya seolah ada seseorang yang dapat mengerti masalahnya. “Pak Ujang, bapak lihat kan copet itu? Lihat kan? Kenapa tidak ada yang menangkap pak?”
“Nak Adrian tenang dulu. Mending ngopi-ngopi, yuk.” 17
Adrian tak bisa berkata-kata.
***** Setelah saya menjelaskan perilaku warga di sini, saya menjadi jarang berhubungan dengan Adrian. Ketika saya bercerita latar belakang kampung ini, dan prinsip yang dianut warga, wajahnya lesu. Tadinya saya anggap itu tanda penyesalan. Saya menasihatinya agar menjaga perbuatan karena sesepuh yang menentukan apa dia harus angkat kaki atau tidak. Warga kampung tak berani membantah sesepuh. Saya juga memperingatkan, jangan pernah memancing amarah sesepuh. Dari dulu sudah begitu. Setelah itu, ia izin pulang. Wajahnya tidak biasa. Senyumannya bagai peringatan balik. Bukan ke saya, tapi ke sesuatu yang lebih besar. Saya dapat merasakannya. Saya hanya berharap anak ini tidak gegabah. Namun, sayangnya tidak. Saya harus cerita bahwa dua minggu sebelum kesepakatan sepihak, saya mendapat kabar, rumah Adrian kemalingan dan kebakaran. Salah satu fotografer kami memotret figur Adrian dari samping yang menatap kosong rumahnya. Menurut sumber informasi, sejak Adrian pergi kerja, ternyata sudah ada maling yang mengincar rumahnya. Mereka mulai beraksi kira-kira jam dua siang setelah kondisi komplek lumayan sepi. Polisi menduga, ditambah keterangan dari korban, mungkin itu copet kemarin yang Adrian ingin tangkap. Tidak berhenti di situ, copet tersebut juga menyiram rumah Adrian dengan bensin dan meledakkan tangki gas. Adrian yang mendengar kabar rumahnya kebakaran buru-buru pulang. Lalu, tiga hari berikutnya, Adrian pindah rumah. Namun, ada yang tidak beres dengan fotonya Adrian yang fotografer tangkap. Adrian tidak sedih, marah, atau pun menangis. Raut wajahnya kosong. Tidak menunjukkan apa-apa. Ketika hal itu saya tunjukkan pada fotografer, dia hanya tertawa, “Ah, si bapak. Lebay.� Lalu, seminggu setelahnya, saya dipanggil ke Rumah Panggung Rapat Kampung. Yang dekat kebun liar. Terpencil, makanya agak susah untuk ke sana. Tempat itu menjadi tempat sesepuh untuk rapat membahas sesuatu. Rapat tersebut sangat rahasia, hanya beberapa yang tahu tanggal dan jam rapatnya. Juga hanya orang yang berkepentingan yang dapat ikut rapat bersama sesepuh. Kalau tiba-tiba namamu dipanggil dengan TOA masjid atau ada orang utusan kampung datang ke rumah, menyuruh kamu ikut rapat, itu tandanya sesepuh perlu kehadiran kamu di rapat. Banyak cara sesepuh untuk memaksa orang datang ke rapat. Dan saya kira tidak perlu untuk menjelaskan dengan cara apa sesepuh memanggil saya.
Pokoknya, malam itu saya menghadiri rapat. Di sana, dengan lantai 18
kayu beralaskan tikar anyaman dan bohlam kuning yang menggantung, saya bertemu langsung dengan para sesepuh. Mereka duduk bersila membentuk lingkaran. Rapat dibuka dengan cepat dan tidak berbasabasi. Namun, rapat berlansung santai. Kadang ada lelucon dari salah satu sesepuh dan kami semua tertawa. Pokoknya semua berjalan mengasyikkan, sampai pada pembahasan Adrian. Semua sesepuh serius mendengarkan saya.
“Nak Ujang, saya dengar kamu akrab dengan nak Adrian?”
“Dulu Ki (semua sesepuh dipanggil Aki), kami lumayan akrab. Sering ngobrol.”
“Kamu tahu, dia ikut organisasi?”
“Setahu saya, ikut Ki. Karena kerjanya memang di organisasi.”
ini?”
“Bukan, maksudnya, kamu tahu dia buat organisasi di kampung
Saya kaget bukan kepalang. Dugaan saya benar. Adrian melangkah terlalu jauh. “Saya kurang paham Ki. Saya hanya tahu profesinya dan tempat kerjanya.” Para sesepuh mulai berbisik-bisik. Saya panik, untuk apa dia buat organisasi? Siapa saja yang ikut? Tindakan apa lagi yang ia perbuat? Pemimpin rapat mulai bersuara agar peserta tenang, “Kami tidak butuh informasi tentang pekerjaannya. Kami butuh dia.” Suara yang lain menyambut, “Dia mencoreng nama baik sesepuh kampung ini.”
Ya Tuhan.
“Ada tiga pelanggaran Adrian yang harus nak Ujang tahu. Pertama, dia teriak copet. Itu sudah jelas melanggar prinsip. Kedua, dia buat organisasi dan mendoktrin pengikutnya dan selalu memberikan pidato yang berapi-api tentang kerusakan moral yang kampung ini hadapi. Tahu apa dia?” “Ketiga, dan ini yang kami waspadai, bahwa dia akan demo besarbesaran menuju ke Rumah Panggung Rapat Kampung ini. Ini tidak bisa kami biarkan.” Suara yang lain bertanya padaku, “Nak Ujang ini editor di majalah kampung kan?”
“Iya Ki.” 19
“Kami harap, nak Ujang memberitakan bahwa organisasinya Adrian ini meresahkan. Sulut amarah warga sampai mereka dapat membubarkan demo, kalau perlu organisasinya.”
“Baik Ki,” Jawab saya khidmat.
“Itu saja kalau begitu. Dengan ini, rapat saya tutup.”
**** Maka, dari malam itu sampai dua hari menjelang demo, majalah kampung menciptakan skenario berita fitnah yang menyulut amarah warga. Kami mulai dengan membahas cuplikan-cuplikan pidato Adrian yang tajam mengkritik moral warga. Kami juga bercerita tentang insiden di pasar. Lalu kami berangkat lebih jauh lagi, bahwa Adrian mencoba mendekonstruksi tradisi yang terbentuk sejak dulu dengan nilai yang dianggapnya ‘benar’. Kami berhasil. Masyarakat percaya dengan fitnah kami, dan tersulut amarahnya. Resikonya, reporter kami dikeroyok pengikut Adrian. Untungnya, warga membela kami, dan tawuran antara warga dengan pengikut Adrian yang pertama terjadi di Pasar Bengkok. Kali ini pengikut Adrian kalah. Setelah mendapat kabar tawuran antar warga dengan pengikut Adrian, kami tidak tinggal diam. Kami pasang tanggal jadi pengikut Adrian demo ke Rumah Panggung Rapat Kampung. Warga makin berang. Majalah laku berat, kami tidak pernah merasakan untung semanis ini. Kalau saya tahu fitnah lebih laku ketimbang fakta, dari dulu saya lakukan. **** Suatu malam menjelang demo, saya pulang dari kantor. Isi rumah sudah sepi. Istri dan anak-anak saya sudah terlelap. Maka saya langsung ganti baju dan duduk di sofa, menonton televisi. Istri saya menghampiri saya yang sedang duduk di sofa, dan duduk di sebelah saya. Saya lingkarkan tangan saya dan menyentuh keningnya, panas.
“Kamu demam?”
“Iya Mas,” jawabnya lemah.
“Ke dokter aja ya besok.”
“Jangan Mas, kalau ke dokter, uang belanja bulan ini berkurang. Udah dikit itu.” “Gak apa-apa. Mas ada uang kok, kebetulan penjualan majalah meningkat.”
“Yaudah, tapi Mas, aku gak sanggup copet lagi sekarang,” dia 20
menatap lemah. Pandangannya sayu.
“Lho kenapa?” Saya menatapnya heran.
“Kalau ingin mencopet, aku jadi inget keluarga, Mas. Gimana kalau keluarga yang kita copet sama susahnya dengan kita? Gimana kalau yang kita copet itu hasil menabung berbulan-bulan dan untuk bayar SPP sekolah yang nunggak?” Saya masih terdiam menatap televisi, sambil mengusap-usap kening dan bahu istri.
“Aku merasa, Mas, saling balas mencopet itu bukan solusi.”
“Lantas apa kalau bukan itu?” saya heran, apa istri saya ikut organisasi Adrian? Tapi pertanyaan konyol itu saya tepis, mengingat bahwa istri saya adalah istri yang berbakti. “Ya Mas carilah, gak mungkin cuma itu satu-satunya jalan.” Saya terdiam. Dan selebihnya percakapan itu diisi suara usapan tangan saya ke rambut istri, dan sunyi. Televisi menampilkan gambar tak berarti, dan istri hampir terlelap di bahu saya. Kami pun beranjak pergi tidur. **** Demo yang berlangsung berubah jadi tawuran antar warga. Tawuran berlangsung dekat kebun liar. Dekat dari Rumah Panggung Rapat Kampung. Sebagian warga telah bersiap dari siang, membawa senjata tajam. Tawuran berlangsung lama, satu setengah jam. Polisi dan tentara turun tangan untuk melerai. Masing-masing provokator dari kedua kubu ditangkap, sayangnya Adrian tidak ikut demo kali ini. Tawuran kali ini menumpahkan darah, banyak korban luka-luka dan harus dilarikan ke rumah sakit terdekat. Berita kejadian itu kami muat dalam majalah. Sesepuh geram, anak kemarin sore berhasil membuat para orang tua berdiri dari kursi malas. Mereka terpaksa memilih jalan akhir, kesepakatan sepihak. Dilaksanakan dini hari ini, di hutan kampung. Kalau dari kebun liar agak sedikit ke dalam. Kebetulan saya hadir juga. Intinya, Adrian membubarkan organisasi dan berhenti melakukan aktivitas politik yang meresahkan sesepuh. Menurut cerita salah satu sesepuh, penjemputan diwarnai kericuhan. Pengikutnya menolak, namun Adrian bersedia datang ke tempat kesepakatan yang telah ditentukan. Pada dini hari, Adrian datang ke tempat kesepakatan dengan dikawal beberapa sesepuh. Mata Adrian ditutup dengan kain dan tangannya terikat di belakang. Lalu penutup mata Adrian dilepas. 21
Salah satu sesepuh mengeluarkan surat dengan materai yang telah ditandatangani. Setelah itu pemimpin rapat bersuara sambil mengeluarkan pistol yang sudah diberi peredam, “Adrian, anak kemarin sore yang berusaha jadi pahlawan kesiangan. Membakar rumahnya sendiri agar bisa pindah ke dekat markas organisasi. Berpidato bahwa balas mencopet bukanlah solusi, dan berteriak copet pada cucu sesepuh yang mencopet di pasar. Nah, ada kata-kata terakhir nak Adrian?” Adrian menatapku tajam. Aku berdoa semoga prosesnya tidak menyakitkan. “Belum terlambat,” jawabnya sambil menatap tajam. Kemudian ia berlutut dan kepalanya menghadap tanah. Pemimpin rapat menarik pelatuk dan peluru menembus kepala Adrian. Badannya jatuh dan kepalanya berlubang. Para sesepuh membuang mayatnya ke sungai. Lalu kami semua pulang, seperti biasa. Saya mengobrol dengan sesepuh tentang penjemputan Adrian, lalu bertanya, “Bunuh orang bukannya melanggar prinsip ya Ki?” “Ah udah biasa ini mah.” Sudah biasa? Berapa banyak orang yang para sesepuh ini hilangkan? “Udah biasa Ki?” tanya saya memastikan. “Iya, udah biasa. Yang gini-gini mah banyak. Dari dulu juga ada.” Seketika, omongan istri saya menggema di pikiran, diikuti katakata Adrian. “Membunuh itu gak apa-apa, asal jangan teriak pembunuh,” tambah sesepuh. Ini tak bisa dibiarkan. Prinsip yang dibuat mereka dan memaksa warga menurutinya, mereka langgar. Semua ketidakadilan ini harus saya tulis. Jarak ke kota Itu tiga jam. Pasti ada media cetak yang mau menerbitkan tulisan saya. Yang penting, identitas saya rahasia. “Lho, Ki, sejak kapan prinsip itu ada? Perasaan saya baru dengar.” Benar kata Adrian. Belum terlambat. “Ah kamu, dari dulu juga begitu.” ****
Zein, Jakarta 2017 22
Surat dari Masa Depan Fabi Fuu Aku rindu masa lalu. Manusia bahagia. Terkadang sedih. Menangis. Memilih jalan. Ke kanan ke kiri. Bersekolah, lalu kuliah. Memilih sekolah. Memilih kampus. Lalu bekerja. Memilih pekerjaan. Manusia mati. Keluarga bersedih. Teman kehilangan. Sanak famili menangis. Kenangan diingat. Tertawa sendiri. Manusia berlari. Menggunakan tangan kaki. Bergelantungan. Mencangkul dan memakai sendok. Bisa memasak, menulis, dan mengetik. Kadang kepala pusing. Perut bisa buncit. Makan terlalu banyak. Rasanya lega. Manusia jatuh. Berdarah dan menangis. Sakit mama. Dia mengeluh. Melihat ibu tangisan mereda. Ibu tersenyum. Lalu berbicara. Apa manusia? Aku tidak tahu. Terkurung dalam ilusi dan keabadian. Tanpa rasa. Fisik tiada. Semua hanya ilusi. Apa rasa memiliki tangan? Apa rasa melihat? Tersenyum dan tersipu malu? Aku rindu masa lalu.
Salamku pada masa lalu, 14 Mei 2217. Seseorang yang bercita-cita menjadi manusia seutuhnya.
23
24
Sadar Freud Andy Amou Bercerita tentang representatif tentang (dari kanan ke kiri) id, ego dan superego. Kondisi id yang naluriah, kesedihan yang tak didapat dari suatu keinginan. Ego sebagai pengembangan dari id, memulai untuk mencerna apa yang terjadi di realitas. Akhirnya, superego sebagai penilai benar dan salah. Teori ini hanya berpaku pada perspektif seorang pakar psikoanalitik Sigmund Freud. Ilustrator sendiri merasa bahwa teori yang dibuat hanya terangkum lewat kesadaran Freud semata, tidak mampu menjabarkan chaos-nya manusia seutuhnya secara kompleks. Karena itu digambarkan dengan frame yang terbatas, serasa terkukung. Ilustrasi ini adalah bentuk apresiasi pribadi akan teori kesadaran Freud. Sumber:Â http://belajarpsikologi.com/struktur-kepribadian-id-egodan-superego-sigmund-freud/ Media; A3 Paper, Print (CMYK) Illustrator: Andy Amou 25
Kepada Dia yang Selalu Merengek Mengejek ketika Waktu Mengendur dan Perlahan Membuatnya Terkubur Hana Azalia
Semoga keretamu terus meraung
Semoga pulau kita tidak menyusut
Dan rel tidak akan berujung
Selagi biduk belum tuntas dibentuk
Seperti cerita yang saling terhubung
Semoga laut dan langit bertukar letak
Semoga buku di tanganmu terus bersambung
Semoga siang didera hujan Dan semua tempat berteduh dipenuhi orang Biarlah sekujur tubuhmu dibasahi Mengobati haus seluruh pori-pori Jangan khawatir, bisa kita peras nanti
Agar tidak ada lagi ombak meringkus tempat kau dan aku berpijak Dan tidak perlu lagi takut akan tetes hujan yang membuat halaman bukumu kusut
Semoga ketika matahari terbit Cahaya bulan tidak lekas menyipit
Sambil mengutuki mereka-mereka yang tidak bernasib seperti Semoga selimut rajut dan secangkir teh disiapkan untukmu setelah ini
15 Mei 2017
26
Belantara Ikhsan Sopian Hadi
Belantara, aku ingin masuk ke dalam setiap guratan bekas luka dan ngilu di punggungmu lalu menyalakan api ungun biru dalam perutmu, melebur delapan-belas taring-taring titanium beku tanpa harus menjadi Yunus dalam paus atau Yusuf dalam sumur Tandus. Demi pohon ek lehermu, akar wangi rambutmu, lembah batu pundakmu dan salju air mata mata airmu. Mataku mata beruang saat siang, mulutku paruh elang saat malam, tubuhku kijang tumbang di kemah pemburu dan saat itu terjadi, aku rindu akan gelap belantaramu.
27
Bocah Yatim Piatu Muhammad Iqbal Patiroi
Anak-anak sangat mengerikan dan merepotkan, sangat sulit berurusan dengan mereka. Aku yang sudah dewasa ini masih belum mengerti bagaimana berurusan dan berinteraksi dengan anak-anak. Hari itu aku berjalan di sebuah taman bermain. Taman itu cukup ramai karena memang sekarang adalah masa liburan anak-anak sekolahan. Ada yang bermain sepak bola di lapangan rumput yang kecil, ada yang menerbangkan layang-layang bersama teman-temannya, atau sekedar duduk santai di atas tikar yang mereka kembangkan bersama keluarga mereka sambil menikmati sejuknya hembusan angin sore dan mengunyah makanan ringan. Di sudut taman, aku melihat kerumunan anak-anak lain. Mereka melakukan sesuatu yang menurut mereka menyenangkan, tetapi tidak menyenangkan bagi anak yang kena batunya. Dengan riang dan bahagia, mereka mempermainkan seorang anak yang tidak terlalu mereka sukai. Mereka saling dorong, menertawai, dan mempermainkan anak itu dengan melempari sendalnya kesana kemari. Ekspresi anak itu sangat memprihatinkan, menurutku. Anak-anak memang makhluk yang mengerikan. Aku adalah orang yang sudah dewasa. Aku mengerti, sadar, dan tahu bahwa yang mereka lakukan adalah sebuah tindakan yang kurang menyenangkan hati, sehingga aku memutuskan untuk menghentikan mereka dan memberikan mereka sedikit pelajaran. Setelah debat singkat dengan bocah-bocah bersumbu pendek itu, akhirnya mereka menjauh dari anak yang mereka permainkan itu. Aku mengajak anak itu duduk di salah satu kursi yang tersebar di penjuru taman. Badannya relatif lebih kurus daripada kerumunan anak-anak yang mempermainkan dia sebelumnya. Penampilannya lebih lusuh dan kumal jika dibandingkan dengan anak-anak lain yang mengunjungi taman ini. Anak itu bernama Leo. Dia adalah seorang anak miskin yang menghabiskan harinya di taman dengan meminta-minta kepada pengunjung taman. Namun, sedikit sekali dari pengunjung taman yang memberikannya sesuatu yang bisa dia gunakan untuk hidup. Memang, masyarakat sekarang memiliki kesulitan untuk memercayai seorang bocah pengemis. Menurut mereka, bocah-bocah yang mengemis itu adalah anak-anak yang 28
dipekerjakan oleh orang tua mereka yang miskin. Menurut kebanyakan orang, memberi mereka uang akan membuat orang tua mereka semakin terlena dalam kemiskinan dan akan mempertahankan kebiasaan tersebut. Aku juga tidak jarang berpikiran sedemikian. Karena itulah aku tidak memberikan anak itu uang, tetapi mengajaknya untuk makan. Kami pergi ke warung nasi yang berada di sekitar taman bermain itu. Awalnya dia terlihat segan untuk menerima ajakanku. “Tidak usah segan, aku yang bayar,” ucapku kepadanya. Kebahagiaan perlahan terbit di wajahnya. Dia tidak bisa menahan senyumnya. Kemudian, kami makan hingga perut kami sudah tidak bisa menerima makanan lagi. Dia bercerita banyak hal selama dia makan. Tentang hidupnya, keluarganya, tempat tinggalnya, semuanya. Dia menjadi sangat terbuka ketika berbicara denganku. Untuk pertama kalinya, aku merasa senang berinteraksi dengan anak-anak. Mungkin karena anak yang berada di hadapanku sekarang bukanlah seorang “bocah”. Mungkin yang tidak kusuka sebenarnya bukanlah anak-anak, tetapi bocah. Dia adalah seorang anak yatim piatu. Dia tinggal sendirian di sebuah rumah semi permanen di pinggiran kota. Rumah itulah yang dulu keluarganya tinggali. Kini, dia hanya bertahan hidup dengan recehanrecehan yang diterimanya dari pengunjung taman dan bantuan-bantuan tetangganya. Hidupnya sudah keras dari kecil, mungkin karena itulah dia tidak memiliki sifat “bocah” yang biasa dimiliki anak-anak kebanyakan. Anak itu kekenyangan karena kebanyakan makan. Dari ekspresi wajahnya, aku yakin bahwa dia sudah lama tidak merasakan nikmat sedemikian, atau mungkin malah belum pernah sama sekali. Hari itu, dia memutuskan untuk tidak meminta-minta di taman dan menghabiskan waktunya bermain bersamaku. Aku menerima ajakannya. Kami bermain bersamasama di taman tempat kami bertemu sebelumnya. Kami kelelahan karena puas bermain. Kami berdua tersenyum bahagia, sudah lama aku tidak bermain seperti ini. Hari sudah gelap sehingga aku menawarkan diri untuk menemaninya pulang. Aku ingin menghibur hidupnya yang keras. Selain itu, aku juga tidak memiliki kesibukan apaapa malam ini. Andaikan aku memutuskan untuk pulang, aku yakin ribuan deringan telepon akan berbunyi menuntutku menyelesaikan pekerjaan. Aku ingin beberapa jam lagi untuk istirahat dari pekerjaan. Aku mengantarnya pulang. Rumah itu terbuat dari kayu, lingkungannya 29
cukup kotor dan posisinya benar-benar di tepian kota. Di sekitar rumahnya ada berbagai macam pohon dan tanaman tinggi. Beberapa meter dari rumahnya, yang ada hanyalah hutan yang berhiaskan suara-suara alam yang belum terjamah. Di rumah itu, kami berdua bercerita dan bersenda gurau. Ketika kami sedang terhanyut dalam gurauan dan cerita kami, hujan turun dengan perlahan. Tanpa kusadari, hujan sudah turun lebat. Aku tidak membawa payung atau mantel hujan hari itu, sehingga aku harus menunggu hujan itu berhenti di rumahnya. “Kenapa kau tidak tidur di sini malam ini, bukannya kau ingin bersantai?” ucapnya kepadaku menawarkan. Bukan ide yang buruk, menurutku. Setelah berbagai pertimbangan, aku memutuskan untuk bermalam di rumah ini dan pulang ketika sudah terang esok pagi. Kami melanjutkan gurauan dan cerita yang sempat terhenti oleh hujan ini. Hujan tidak kunjung berhenti dan malam semakin larut. Kami mulai mengantuk dan bersiap-siap tidur. “Kau pasti sangat kesepian, setiap hari seperti ini” ucapku. “Hari ini aku tidak merasa kesepian, kau sangat baik mau menemaniku seharian ini,” balasnya. Aku terhibur mendengar perkataannya. Hujan lebat di luar menurunkan temperatur sehingga membuat mata kami berat dan ingin tidur. “Aku yakin akan lebih ramai kalau aku tidak membunuh ayah dan ibuku,” ucapnya sambil tertawa kecil sebelum dia akhirnya tertidur. Hujan masih turun lebat di luar sana, mengurung aku bersama dengan anak ini di rumah yang gelap ini. Aku tidak sabar untuk segera pulang esok pagi.
30
Misteri Angkot di Gang Buntu Fabi Fuu
Batu menggelinding. Air tetap mengalir. Semut merayap di sebelahnya. Kucing sedang tidur. Aku berjalan menyusuri jalan. Kucing sedang tidur. Aku berhenti berjalan. Batu berhenti menggelinding. Angkot berhenti. Jalan berhenti. Ada ihwal apa angkot di sini? Tembok terpapar. Pot bunga di atas. Aku berbalik. Masih bingung. Ada apa ihwal apa angkot di situ? Aku diam di dekat warung kecil bu Saidi. Aku diam. Kucing terbangun. Ada ihwal apa aku di situ? 31
Hikayat Takepis dan Ibu Pengendara Motor Leonardo Autistus Fransiskus Firdaus
Seorang anggota geng motor bernama Takepis mengendarai motor dengan kecepatan 0,992 c. Pengendara motor tersebut memiliki gaya rambut sebagai berikut.
Gambar 1. Sketsa kasar rambut Takepis
A. Jika panjang rambutnya adalah 0,5 m menurut pengukurannya, berapakah panjang rambutnya menurut pengamatan ibu-ibu yang terpana dengan ketampanannya yang mengendarai honda beat dengan kecepatan 0,7 c? B. 10 tahun kemudian (menurut ibu-ibu pengendara motor) Takepis diberhentikan oleh polisi. Jika ibu itu hanya ingin menikahi seorang lelaki yang berusia diatas 30 tahun, apakah ibu itu ingin menikahi Takepis setelah Takepis ditilang polisi? Takepis berusia 20 tahun ketika pertama kali berpapasan dengan ibu-ibu pengendara motor. Asumsi yang digunakan: 1.
Rambut pengendara motor itu dilapisi minyak rambut merk tertentu sehingga gesekan udara tidak menyebabkan perubahan bentuk pada rambutnya. 32
Pemanfaatan Kolor sebagai Metode Perkiraan Cuaca Muhammad Afifurrahman
Kolor kering, tidak hujan Kolor basah, cuaca hujan Kolor jatuh, angin kencang Kolor basah jatuh, hujan badai Kolor beku, hujan es Kolor tertutup asap, hutan sedang kebakaran Kolor menggelap, lampu belum dinyalakan Kolor berbayang, cuaca cerah Kolor bergoyang, gempa bumi mengganyang Kolor berlubang, hujan asam Kolor bernoda cokelat, berak tak bersih Kolor hilang, bapak kos salah ambil Kolor berenda-renda, Ah, itu jemuran eneng sebelah.
(sangat) terinspirasi Adrian Thomas RB 33
Sapaan Laut Adinda Yuwono
Debur-debur air laut Berpura-pura menyapa karang Diam-diam ia mengikisnya Perlahan-lahan hingga tak bersisa
26/01/17
34
Surat Lamaran untuk Fabu Leonardo Autistus Fransiskus Firdaus
FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB FAB
35
Rum Raisin, dan Segala Harga yang Tiada Muhammad Afifurrahman
Siang, ruang klub kesenangan, SMP Nanamori. “Tadi lu beli apa saja?”, Kyoko bertanya pada Yui, yang baru kembali dari warung dekat sekolah. “Gak terlalu banyak sih. Sepak kantong teh untuk ruang klub, sebatang coklat, dan sekotak es krim rum raisin titipan lu.”, perempuan berambut hitam itu menjawab. “Yeyy, makasih.” Senyum gadis otaku bermata biru itu mengembang lebar. “Jangan lupa bayar, heh.”, Yui mengingatkan. “Hah, gak gratis?”, Kyoko mengeluh. “Eh buset. Sekotak es krim lebih mahal dari sebatang coklat, terus sebatang coklat aja lebih mahal dari sepak kantong teh.” “Ah elah, berapa sih? Mumpung dojin gw habis laku nih.” Yui mencari-cari struk pembayaran. Hilang. “Kayaknya jatuh di jalan, Ko. Tapi seingat gw total belanjaan tadi itu S yen.” “Yaudah, gratis ya.” “GAK.” Yui menampar pipi perempuan berambut blonde itu. Setelah memulihkan diri dari rasa sakit yang ditimbulkan tangan Kyoko, Yui teringat sesuatu. “Tadi karena mesin di kassa rusak, sang kasir terpaksa memakai kalkulator; namun ia salah memencet tombol tambah di kalkulator, menjadi tombol kali. Lalu dia nunjukin gw harganya, dan ternyata harga di kalkulator tersebut P yen.” “Terus gimana?” “Untung abis gw ingetin, kasirnya nyadar, dan minta maaf. Terus belanjaan gw dihitung ulang, dan totalnya jadi, ya, S yen.” Yui mulai mengambil kertas serta pulpen, dan mulai mencoret-coret. “Sebentar ya Ko, coba gw cari tahu dulu harga es krim lu dengan informasi ini. Harga dari masing-masing yang kubayar tadi itu (bilangan) bulat (positif) kok (dalam yen).” Setelah mencoret-coret beberapa lama, Yui mengomel, “Bah. Informasinya kurang. Dan gw sama sekali tidak ingat apa-apa mengenai harga masing-masing barang.” “Kalau lu gak inget harganya, gratisin aja ya, Yui~.” Satu pukulan melayang ke pelipis Kyoko. Buktikan bahwa untuk semua S asli yang tak lebih kecil dari seratus, ada P asli sehingga kejadian di atas dapat terjadi.
230417 36
Tanah Air Novita Febriani
Dimana kaki ini melangkah
ku akhiri sajakku sampai disini
hanya tanah
bagaimana terus berkata
dimana kaki ini berpijak
tak sanggup ku ungkapkan lagi
hanya tanah
hal indah seperti yang ada
dimana lutut ini bersimpuh hanya tanah
Letak yang sangat subur tertata rapih oleh leluhur berbudaya dan terus subur dalam bingkai perjuangan sang leluhur
sebait puisi takkan mampu menampungnya secarik kertas takkan mampu menceritakannya sejuta lagu takkan mampu tuk melantunkannya hanya nikmatnya yang tiada duanya
Terima kasih sang pencipta inikah surga duniawiku
tanah airku bahagia
inikah negeri tercintaku
sejuta rakyat
inikah kehidupan nyataku
jelata maupun terhormat
tanah airku ?
indah, oh sungguh indah tanah seluas samudera
Tangerang,16 April 2017
syukur alhamdulillah
(wanitatengahmalam)
takkan pernah ku lupa 37
Cita-Citaku Muhammad Afifurrahman
Ingin menjadi Seorang pahlawan Yang tak berlawan
Pah Pah Pah Pah Pah Pah Pah Pah Bangun Pah, Nanti telat kerja.
38
Obrolan tidak Berkualitas Notcineaste X : Y, film horror rekomendasi lu kemaren apaan coba? Ga ada horrornya sama sekali! Monsternya ga keluar keluar ampe kelar film. Kecewa berat anjir.
Y : Dasar ya, penonton horror sekarang benar-benar ga paham film! Horror itu bukan sekedar sesuatu yg tiap sebentar muncul dan ngagetin karena asing dan spontan. Tapi tentang membuat sesuatu yang mencekam dan relatable serta diyakini oleh penonton. Gara gara film horror ga berkualitas jaman sekarang nih yang kerjanya ngeeksploitasi jumpscare makanya kalian para audien pada gak peka lagi tentang apa yang sebenarnya ditonton!
X : Kualitas? Lah terus bedanya apa ama lu yang sering sok sokan nulis ‘puisi’ kontemporer? Lu kira itu bakal disebut berkualitas kalau diliat ama penyair-penyair lama? Tapi buktinya masih ada yang seneng kan bacanya? Ya anggap aja nilai-nilai kualitasnya emang udah bergeser. Kalau lu gak seneng, anggap aja film-film jumpscare itu ‘film horror kontemporer’ !
39
Keputusasaan Pertama Gregorius Bayu Aji Wibisono
Singkat saja,
Aku ingin berkuasa,
Aku tidak tahu mengapa
Atas otak, jantung, dan raga
Tak ada yang peduli padaku
Yang selalu meminta,
Banyak orang mendatangiku, Hanya meminta sesuatu Ketika aku menuruti kemauan mereka, Merekapun pergi menjauh
Memuaskan birahi yang begitu menggoda
Aku ingin berprosa Membaca seratus cerita Menguasai seribu macam kata Membuat sejuta sajak penuh makna
Aku ingin diakui, Dipandang, disukai,
*******
Sebagai manusia yang rendah hati, Bukan manusia yang rendah diri.
Aku ingin jadi yang terdepan Ketika mengalahkan masalah Aku ingin membantu kawan, Ketika dia melawan masalah
Aku ingin punya banyak kawan, Diakui di kehidupan, Mendapatkan salam ketika ketemuan, Mendapatkan kesedihan ketika perpisahan,
19 tahun sudah kugenggam itu semua 19 tahun sudah kupercaya aku bisa 19 tahun sudah.... Berlalu begitu saja
Semakin lama semakin aku sadar Saat ada bisikan yang keluar Dari alam bawah sadar Dan berkata,
“Aku tidak akan pernah bisa jadi orang yang kuinginkan�
40
Antonio, Ayam yang Mencoba Terbang Muhammad Iqbal Patiroi
Antonio adalah seekor ayam hutan yatim piatu. Ibunya mati dimakan kucing hutan ketika dia masih di dalam telur. Ayahnya telah lama menghilang meninggalkan keluarganya. Kabarnya ayahnya juga telah meninggal dimakan predator di tempat lain. Kabar kematian ibunya dengan cepat menyebar ke seluruh tetangganya. Makhluk hutan di sekitarnya merasa iba dan kasihan dengan nasib telur yang belum menetas itu, sehingga seekor ibu burung yang baik hati dengan ikhlas merawat telur itu sampai menetas. Antonio, itulah nama yang diberikan oleh ibu burung kepada ayam baru menetas itu. Antonio dibesarkan oleh ibu burung yang baik hati, bersama dengan saudara-saudara palsunya. Mereka sangat dekat dan akrab walaupun memiliki perbedaan fisik yang mencolok. Ibu burung juga sangat menikmati kedekatan dan kebersamaan mereka. Baginya, merawat Antonio adalah bukti kedekatan spesies mereka dengan spesies unggas lainnya. Baginya, seluruh unggas adalah saudara. Antonio tumbuh dan besar dengan memercayai bahwa dia adalah seekor burung pula, seperti ibu burung dan saudara-saudara palsunya. Antonio tidak pernah mencurigai kenapa dia terlahir berbeda atau kenapa dia tidak bisa berkicau seperti saudara-saudaranya. Dia tidak merasa berbeda dari saudara-saudaranya, melainkan justru merasa unik. Antonio menerima seluruh pengajaran yang disediakan oleh ibu burung yang baik hati. Sebagai seekor ibu burung, tentu saja pendidikan yang diberikannya hanyalah pendidikan bagaimana menjadi burung yang baik dan benar. Sebagai seorang burung, ibu burung tidak pernah memiliki pengalaman menjadi seekor ayam. Di tengah ketidakmampuan ibu burung untuk mengajari, ibu burung tetap berusaha memberi pemahaman kepada Antonio bahwa dia bukanlah burung seperti saudara-saudara angkatnya. Antonio mendengarkan penjelasan ibu burung dengan baik walaupun Antonio tidak memahami konsep makhluk yang bernama “Ayam�. Belum pernah seumur hidupnya melihat dan menyaksikan seekor ayam karena dia selalu berada di sarang 41
yang berada di atas pohon. Suatu hari, ibu burung yang baik hati harus mengajari anak-anaknya untuk terbang. Tentu saja, ibu burung yang baik hati melarang Antonio untuk ikut karena dia bukanlah seekor burung. Antonio tetap tidak mengerti bahwa dia adalah seekor ayam. Antonio tetap bersikeras untuk belajar terbang agar bisa menjadi burung yang baik seperti yang dia citacitakan. Namun, ibu burung yang baik hati tetap melarang dan bahkan mengecam Antonio agar ia tidak belajar terbang. Dengan penuh kasih sayang, ibu burung tetap berusaha menjelaskan bahwa Antonio bukanlah seekor burung yang bisa terbang. Namun, Antonio tak kunjung mengerti dengan konsep “ayam� karena dia belum pernah melihat ayam, bahkan bayangannya sendiri. Antonio tetap merasa bahwa dia adalah seekor burung dan tetap ingin belajar terbang. Tanpa sepengetahuan dari ibu burung yang baik hati, dia menyusup ke kelas terbang bersama saudara-saudaranya. Ibu burung yang baik hati menjelaskan cara terbang yang benar kepada anak-anaknya tanpa menyadari keikutsertaan Antonio. Ibu burung yang baik hati memperlihatkan cara terbang kepada anak-anaknya sebelum mereka melompat dari sarang mereka dan mencoba terbang. Tubuh mereka memang dirancang untuk terbang dan bisa bertahan dari ketinggian sedemikian. Ibu burung yang baik hati telah selesai menjelaskan teori terbang untuk anak-anaknya. Sekarang waktu untuk anak-anaknya mencoba terbang. Satu per satu anak-anak burung melompat dan mencoba untuk terbang. Walau belum sepenuhnya bisa, sebagian besar dari mereka sudah bisa mengambang di udara. Tetapi tidak untuk Antonio.
42
Ikrar Skuter Balap Pembalap Skuter
KITA BAKAR DINOSAURUS GESEK JALAN HINGGA HANGUS WALAU RANTAI HAMPIR PUTUS GAS TERUS SAMPAI MAMPUS
43
Senja dalam Diorama Jeanny Feramarta
Senja dalam Diorama
Senja menanti
Sadarkah senja akan perubahan warnanya
Hujan tetap berlari
Apakah hujan pernah bertanya pada awan Teralu banyak pertanyaan Termakan oleh rasa
Senja dan hujan bukan sebuah kombinasi yang baik Senja tidak peduli Hujan tidak peduli Senja ingin berlari Senja tidak peduli Hujan ingin berlari
Hujan berkontemplasi Bagaimanapun ia butuh hidup Gerimis telah berubah menjadi badai Bergelora membasahi bumi Tanpa peduli ia menerjang senja Yang sedang ingin bermain dengan hujan
Ah Terlalu banyak awan Terlalu banyak air 44
Terlalu banyak angin
berlalu
Terlalu banyak misteri
Lagipula memang sanggup? Menampung air mata saja sulit
Mungkin hujan tidak sadar Bahwa ia bisa turun saat fajar Tetapi ia memilih senja yang memendar
Bagaimana harus menampung badai?
Senja memendar perlahan Mencoba bertahan
Senja tadi hujan
Meski dirundung kebingungan
Begitupula kemarin senja
Terombang ambing diantara langit dan lautan
Seakan ada yang ingin disampaikan hujan
Mencari warnanya sendirian
Mungkin untuk langit, bukit, awan, matahari, ataupula senja
Saat bertemu awan
Entah apa yang disampaikan hujan
Meski dirundung ketakutan
Mungkin ia kehilangan awan
Masih mencari warnanya bersama teman
Atau mungkin langit hanya ingin menangis Meringis kehilangan senja dan gerimis Bisa jadi hujan ingin tertawa Menari ataupun bersenandung juga bisa
Sudahlah Tidak ada gunanya juga menanti hujan Menanti hujan itu hal yang menggembirakan Tetapi apa ada yang menanti badai Tidak ada gunanya ditunggu Waktu tidak akan berhenti, ia pasti 45
Berteman dengan bintang yang bertaburan
Tapi ia tetap takut Takut bercerita pada awan Karena awan mendatangkan hujan
Ditengah dingin, senja pergi Dalam kesendirian ia sudah mulai melupakan hujan, setidaknya Senja masih melukis warna di angkasa Terkadang merah kebiruan Pernah pula kuning dengan sentuhan mega Atau biru
Tanpa senja
Bandung selalu mendung Senja menghilang Hujan berangin
Rindu yang semu Kedinginan hujan membawa suasana riang Permainan tentang senang
Banjir melanda
Senja dan hujan bukan sebuah kombinasi yang baik
Tanpa rasa, imaji bergejolak
Hujan bertanya
Muka muka tak dikenal ramai
Senja menjawab
Saling tuduh mencaci maki
Senja bertanya
Menggerus penghuni dalam satu atap
Hujan menjawab
Berkata jujur pun mereka tak sanggup Bertindak semaunya membakar solusi
Senja bertanya Hujan tidak peduli Senja tidak peduli Hujan tidak peduli Senja tidak peduli
Tapi terkadang kejujuran itu menjadi penghalang
Kata kata hujan adalah paradox
Kejujuran itu terlalu nyata
Pemikiran senja adalah paradox
Sampai tak terbendung
Senja dan hujan tidak sama
Dan akhirnya terabaikan atau mati tidak wajar
Senja dan hujan bukan kita
Dibunuh
Senja dan hujan paradox dalam realita
Disiksa Dicincang
Bandung, 9 Maret 2017
Dimutilasi
04.55
Oleh kenyataan itu sendiri
Bandung, 10 Maret 2017 03.41
Kehangatan senja membawa suasana sendu 46
Manusia Sapi Muhammad Iqbal Patiroi
Rumput hijau terhampar luas sejauh mata memandang. Rerumputan setinggi lutut dengan warna hijaunya yang cantik menggoda nafsu makan kami. Tidak ada yang lebih lezat daripada rumput segar di pagi hari. Lonceng berbunyi dari kejauhan, memberi tanda waktu sarapan sudah berakhir. Kami berhenti mencabuti rerumputan dan mulai bergerak ke arah lain. Kami memasuki sebuah bangunan berdinding kayu. Kami dimasukkan ke bilik-bilik dengan pagar di sekelilingnya. Satu bilik diisi satu ekor sapi. “Hei, Leo. Apa kau melihat Edward? Dari tadi aku tidak melihatnya,” tanya Stonehoff, seekor sapi hitam yang tinggal di sebelah. Sambil mengunyah rumput yang kutelan tadi, aku menggelengkan kepala. “Terakhir kulihat, dia dibawa ke bangunan yang berbeda. Aku penasaran, apa yang terjadi padanya?” ucap Stonehoff. “Bangunan di seberang sana? di seberang lapangan rumput yang berpagar?” tanyaku kepadanya. “Ya, yang itu. Manusia membawanya ke sana,” ucap Stonehoff. Kami terdiam sejenak sambil mengunyah rerumputan. Di dekat kandang, dua ekor manusia saling bercakap-cakap. “Menurutmu, apa yang mereka lakukan kepada Edward?” tanya Stonehoff kepadaku. Aku menggeleng. “Aku pernah dengar kalau gedung tempat Edward dibawa itu adalah jalan keluar dari tempat ini,” ucap Stonehoff kepadaku, “Kau tahu apa artinya?” Lagi, aku menggeleng. “Itu berarti sebuah kebebasan, sebuah kemerdekaan. Tidakkah kau ingin keluar dari pagar-pagar ini dan menjadi sapi yang bebas dan merdeka?” ucap Stonehoff kepadaku. Aku berpaling menghadapnya dan berkata,”Apakah kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi jawaban dari permasalahan kita? Apakah pagar-pagar ini membuatmu merasa tidak aman?” 47
Stonehoff tertunduk mendengar pertanyaanku. Mulutnya terdiam sambil mengunyah rerumputan. “Coba kau dengar manusia-manusia di luar sana,” ucapku kepada Stonehoff, “Kebebasan hanyalah masalah cara pandang.” Stonehoff terus mendengarkan. Mulutnya tak berhenti mengunyah. “Walau kau keluar dari pagar-pagar ini, belum tentu kau menjadi sapi yang bebas dan merdeka,” ucapku kepada Stonehoff. “Tetapi, setidaknya aku tidak lagi terkurung pagar-pagar ini,” ucap Stonehoff menyanggah. Kini giliranku yang diam dan terduduk sambil mengunyah rerumputan yang belum selesai dikunyah. Aku terduduk mendengarkan Stonehoff dan manusia yang berceloteh di luar kandang. “Hei, Stonehoff. Aku memikirkan sesuatu,” ucapku menghentikan pembicaraan Stonehoff. Mulutnya terkatup. Dia kemudian duduk dan mengunyah lagi. “Seberapa dekat kau dengan manusia yang di luar sana?” ucapku kepada Stonehoff. Stonehoff berhenti mengunyah dan menjawab, “Aku sangat mencintai mereka, mereka selalu memberiku makanan tambahan yang sangat lezat dan lebih banyak. Berat badanku naik sangat cepat dibuatnya.” “Kenapa manusia memperlakukan kita berbeda-beda? Ada yang diberikan makanan lebih banyak, ada yang hanya diberikan makanan standar. Padahal, kita semua adalah Sapi,” ucapku, “Kita memang sapi yang beragam jenisnya, tetapi hal itu tidak mengubah fakta bahwa kita adalah sapi. Kita memperlakukan sesama kita tanpa perbedaan, sebagai sesama sapi.” “Karena mereka bukanlah seekor sapi. Wajar saja mereka memperlakukan kita dengan cara yang berbeda, sebab mereka tidak tahu,” ucap Stonehoff mengutarakan pembenaran. Aku menggeleng menolak, “Kupikir pemikiranmu kurang tepat.” Stonehoff tak mengerti maksudku. “Apakah kau tahu, manusia pun juga beragam jenis?” tanyaku kepadanya. Dia menggeleng. “Mereka pun ada berbagai macam. Seperti kita yang mereka panggil Holstein, Brahman, atau Limosin, mereka juga beragam dan memiliki nama 48
masing-masing,” ucapku kepadanya. Stonehoff mendengarkan dengan seksama. “Orang negro, orang cina, orang arab, orang jepang, orang hitam, orang putih, dan berbagai nama lainnya,” ucapku melanjutkan. “Aku belum mengerti,” ucap Stonehoff. Aku melanjutkan, “Menurutku alasan mereka berprikalu diskriminatif terhadap kita bukanlah karena mereka tidak memahami kita.” Telinga Stonehoff berdiri mendengarkan. Dia mulai tertarik. “Menurutku, alasannya adalah karena mereka manusia dan menolak untuk memahami kita yang berbeda spesies. Menurutku, kecenderungan untuk membeda-bedakan adalah sifat mendasar manusia,” ucapku menyimpulkan. “Aku sulit untuk memercayaimu, apakah kau tidak berpikir terlalu berlebihan?” tanya Stonehoff. Aku menjawab, “Kupikir itu masuk akal. Coba kau dengarkan mereka. Walaupun mereka semua menyematkan kata ‘Orang’ di setiap jenis manusia yang mereka sebut, mereka memperlakukan manusia-manusia itu dengan perlakuan yang berbeda-beda. Mereka memperlakukan orang cina, orang negro, orang asia, orang gila, dan orang-orang lainnya dengan perlakuan yang berbeda walaupun mereka semua bernama depan ‘orang’, ” Stonehoff menimpali, “Lalu karena itu pula mereka memperlakukan kita berbeda-beda walaupun mereka menyematkan kata ‘Sapi’ di setiap jenis kita?” Aku menjawab, “Tepat, itu maksudku. Kita sebagai sapi tidak membedabedakan sesama kita hanya karena nama belakang kita berbeda-beda, sebab kita menyadari bahwa secara mendasar kita semua adalah sapi. Berbeda dengan mereka, kita bahkan tidak membeda-bedakan manusia hanya karena mereka memiliki nama belakang yang berbeda.” Stonehoff kemudian berkata,”Aku merasa kau berpikir terlalu jauh. Mungkin kau cuma terlalu paranoid.” Kemudian, kami berdua terduduk sambil mengunyah rerumputan. Keesokan harinya, aku tidak menemukan Stonehoff kemanapun aku melihat. Mungkin saja dia telah mencapai kebebasan dan kemerdekaan yang dia maksud.
49
Lagu Magis Adinda Yuwono
Sebuah lagu yang kudengar kemarin berhasil membawaku ke satu tempat. Satu tempat didalam kepalaku, dimana aku menemukanmu.
Lalu aku bertanya, kenapa lagu itu begitu magis? Ataukah akal dan rasaku memang telah kalut bercampur tak keruan karenamu? Sehingga tanpa petunjuk, tanpa disuruh belok kanan didepan atau belok kiri setelah perempatan ketiga, lagu itu berhasil mengantarkanku ke satu tempat.
Satu tempat didalam kepalaku, dimana aku menemukanmu. Satu tempat yang sempit, karena memang isinya cuma kamu.
12/01/15
50
Midnight in Braga Citywalk Wahyu OK
=Secuplik langit gemerlapan warna-warni melengkapi gejolak asmara kawula muda disepanjang jalan Braga. Dilengkapi dengan alunan gitar akustik di relung-relung restoran hingga lagu hip-hop disela-sela bar. Dengan turunnya rintik gerimis, hujan datang membungkus rapi arsitektur masyhur layaknya benua Eropa. Dan bulan hanya bisa mengintip dari kejauhan bersembunyi di balik Mall dan Hotel berbintang. Jalan Braga merupakan satu destinasi yang elegan dan romantis bak kota Paris. Kabarnya dahulu Braga hanyalah permukiman yang sepi, sebelum masa Hindia-Belanda hadir membangun pertokoan di tiap sisinya. Hanya saja seiring perkembangan jaman, ruko yang berjajar rapi telah mengalami modifikasi menjadi tempat perbelanjaan modern, kawasan hiburan, serta wisata kuliner yang menjadi favorit baik turis lokal maupun mancanegara. Gambar ini adalah start Anda mulai berjalan.
Gambar oleh Ridho, 2017 Apabila Anda ingin menyusuri setapak demi setapak jalan Braga siang hari dari perempatan Taman Braga, berjalanlah menuju utara. Pertama kali Anda akan berkenalan dengan para seniman yang memamerkan karya berupa lukisan. Bila Anda tertarik, Anda dapat membeli dan membawa pulang mahakarya lukisan para seniman seperti lukisan bunga mekar, pemandangan sawah rindang, ikan koi yang muncul disela-sela daun 51
teratai, dan banyak sekali variasi lukisan yang pasti akan membuat Anda terpesona. Selain itu cobalah untuk mengambil kenangan dengan meminta para seniman untuk melukis diri Anda. Tenang saja, mereka akan menyanggupinya setelah Anda sepakat mengenai harga. Setelah mengabadikan diri melalui lukisan, Anda akan menemukan bagian dunia yang lain bila meneruskan perjalanan ke arah utara. Ruko-ruko yang sebagian besar tutup di area tempat seniman memamerkan karyanya, satu per satu mulai terlihat terbuka selangkah demi selangkah. Mulai dari toko roti ala Perancis, restoran-restoran mewah, Chez Bon hotel, penjual kedai minum dan makanan khas di Braga Punya Cerita juga akan Anda nikmati selanjutnya. Tak lupa adanya distro pakaian yang sebagian besar akan Anda temukan pada Mall Braga City Walk. Di dalam Mall, terdapat Cinema Braga XXI bagi yang ingin menikmati suguhan film terbaru yang pasti Anda tak akan mau ketinggalan tren. Perjalanan Anda telah berada diujung jalan Braga setelah menemukan perempatan. Didekat perempatan, berjalan menuju utara akan terdapat Landmark Convention Hall. Bila Anda pecinta buku dan sastra, gedung ini sering mengadakan pameran buku dengan berbagai penerbit yang mengeluarkan buku-bukunya untuk hadir di tengah masyarakat. Tentu ini merupakan momen yang ditunggu-tunggu bagi pengoleksi buku. Namun, pameran buku yang selalu berisi acara-acara musik dan sastra ini hanya muncul diwaktu-waktu tertentu. Perjalanan yang telah disusuri dengan seksama pada siang hari akan terasa menyenangkan dan membawa keceriaan karena wisata jalan Braga ini sangat cocok bagi kaum pecinta fotografi. Hal yang begitu menarik bagi para wisatawan pada saat berada di Braga yaitu jalan yang bukan terbuat dari aspal. Mirip seperti bebatuan yang disusun sedemikian rupa sehingga terlihat molek dan menawan. Selain itu, nilai plus yang selalu terasa ketika melangkah disepanjang jalan Braga adalah kebersihan dan para juru parkir yang sekaligus mengatur lalu lintas agar tetap lancar. Walaupun sebenarnya jalan Braga ini begitu sempit, namun bukan pilihan yang salah apabila Anda berkunjung ke Braga menggunakan kendaraan. Hanya saja ketika Anda ingin kembali untuk mengunjungi Braga sekali lagi, Anda tidak dapat seenaknya memutar balik kendaraan. Sebab, jalan Braga hanya dapat dilalui kendaraan dengan satu arah. Namun Anda akan bebas ke arah manapun apabila sedang berjalan kaki. Maka ketika mengunjungi Braga, bila membawa kendaraan, parkirlah terlebih dahulu. Lalu nikmatilah perjalanan yang begitu memuaskan hati. Anda dapat melihat segalanya dengan seksama pada siang hari, namun 52
bagaimana suasana malam Braga yang hampir selalu dibasahi oleh hujan ? Secuplik langit gemerlapan warna-warni melengkapi gejolak asmara kawula muda disepanjang jalan Braga. Dilengkapi dengan alunan gitar akustik di relung-relung restoran hingga lagu hip-hop disela-sela bar. Dengan turunnya rintik gerimis, hujan datang membungkus rapi arsitektur masyhur layaknya benua Eropa. Dan bulan hanya bisa mengintip dari kejauhan bersembunyi di balik Mall dan Hotel berbintang. Ya, seperti itulah bayangan Braga diatas jalanan basah oleh hujan serta kerlip kendaraan yang lalu lalang serta saling serang dengan lampu diskotik bar di sisi dalam trotoar. Semakin larut malam, bagian selatan Braga sudah mulai mengantuk. Para seniman membereskan lukisannya sehingga akan menjadi suatu tempat paling sunyi di dunia. Kendaraan bermotor sudah berkurang, hanya mobil-mobil tertentu dengan tujuan tertentu yang melintas. Bila Anda penasaran mengenai Braga at Midnight, inilah momen dinginnya Bandung undercover yang bisa Anda nikmati. Namun jangan pernah sendirian karena akan ada manusia-manusia yang hidupnya bergantung pada malam yang pekat. Mereka tidak akan mengusik ketenangan Anda, apabila merasa risih, cukup berjalanlah santai saja. Bila Anda benar-benar sendirian, maka Anda akan merasakan momen yang khas. Namun bersikaplah biasa saja apabila ada bisikan dari seberang jalan, “Sedang nunggu siapa aa’?�.
Gambar oleh Ridho, 2017
53
Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana Farrah Funami
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana Ga, jangan sederhana deh; sadikin saja Maklum, akhir bulan
54
Belum Ada Judul Fabi Fuu Seperti biasa aku pulang berjalan kaki melewati gang sempit ini. Tidak ada yang mencuri pandangku, hanya dua kucing yang sedang kawin. Aku sudah sering melihat itu dari jendela kamarku. Entah kenapa atap rumah tetanggaku menjadi spot favorit kucing berkawin. Tidak kenal waktu, siang, sore, malam, bahkan pagi. Sudah dua blok gedung kulewati, tapi abang cimol yang biasa mangkal di depan toserba 9-Eleven belum muncul juga. Apakah dia meliburkan diri? Kudengar besok adalah hari peternak. Mungkin saja abang cimol juga peternak lele. Daripada menanti ketidakpastian, aku masuk ke dalam 9-Eleven membeli kopi dingin. Biasa, untuk meredakan stres temporer, dibutuhkan asupan kopi dingin yang cukup. Kalau panas? Itu untuk menikmati bacaan saat senja. Apalagi ditambah hujan, lalu rindu tiba-tiba berlabuh. Lengkap sudah, rindu kehujanan kopi di saat senja. Belum saja membuka pintu kaca bertuliskan pull—push yang sebenarnya bisa aku dorong atau tarik dari kedua sisi, seorang pengemis tua—atau saudara si abang cimol, wajahnya lumayan sama saat pandangan pertama—memberi kode padaku. Aku tidak tahu pastinya, apakah kode atau dia sedang merentangkan jemari setelah sekian lama menggunakannya (untuk mengemis atau membantu membuat bola-bola cimol). Dia memberiku secarik kertas. Tanpa sempat mengucapkan sepatah kata, dia menghilang. Aku tidak perlu bingung dengan kejadian itu. Seseorang menghilang setelah memberikan sesuatu pada pejalan kaki di gang sempit adalah hal yang lumrah di film-film dan novel, ataupun sinetron. Yang perlu kulakukan sekarang adalah membuka kertas tersebut. Apakah di rumah atau di sini? Kemungkinan kalau aku membuka di sini adalah: kertas itu bertuliskan kematian atau hal yang sejenis, lalu aku tibatiba diculik oleh teman dari orang yang memberiku kertas ini. Petualangan misterius akan menantiku. Kemungkinan lain, ketika kertas ini terbuka, muncul alamat atau kode angka, atau koordinat yang menuntunku pada suatu tempat rahasia. Di sana ada penjahat, mafia, dan sindikat jalanan. Lalu aku bersama seseorang tak dikenal yang kutemui di jalan akan menumpas rencana jahat mereka. Pengalaman seru juga akan menantiku. Lain cerita ketika aku membukanya di rumah. Kertas ini bertuliskan sesuatu yang mengancam diriku dan keluargaku. Sesaat setelah kertas ini dibuka, telepon berdering. Mamaku diculik dan mereka 55
meminta tebusan dalam jumlah besar. Saat aku kebingungan dengan apa yang terjadi, Papa tiba-tiba mengirimkan pesan bahwa adikku sedang dibawa ke tempat antah berantah, dan Papa disekap di ruang bawah tanah. Diriku yang diliputi bingung dan takut, mendadak dirundung hawa negatif. Tidak bisa menguasai emosiku sendiri, depresi menanti, aku menjerit. Beberapa meter dari tempat tidurku, terdapat pisau yang sempat aku gunakan untuk memotong semangka kemarin Selasa. Di sinilah aku memilih, bunuh diri atau menjadi pahlawan. Ketika pisau kecil kugapai, tangan kiriku dengan cepat menyambar leher mungil ini. Tidak main sakitnya. Darah berceceran. Aku tidak sadarkan diri sebelum sempat melihat seberapa banyak darah yang tumpah. Cerita selesai. Sementara itu, keluargaku masih menderita. Mungkin aku mencoba menggapai pisau itu dan lekas meninggalkan kamarku. Aku berlari menuruni tangga, mendobrak pintu depan dan menyalakan motor ayahku. Dengan gaya a la Kaneda yang bersepeda melintasi jalanan Neo Tokyo, kuambil jaket merah adikku. Pisau kecil itu kugigit dengan kuat. Dengan kecepatan penuh aku melaju, tapi ke mana? Aku lupa menambahkan scene ketika mereka mengirimkan koordinat itu padaku. Jalan besar tampak kecil. Mobil-mobil mengecil. Waktu memendek. Kesadaranku melampaui tubuh fisikku. Sekali lagi aku memacu motor pada kecepatan maksimal. Berkelok-kelok seperti Kaneda mengejar Tetsuo atau sebaliknya, sampailah aku di pinggir kota. Di depan sungai urban hitam busuk, jembatan kecil menghampiri. Dunia menjadi kecil. Jembatan semakin dekat padaku. Pukul 23.00, dan kini aku berada di atas jembatan. Tiga orang melambaikan tangan di gedung depan sungai ini. Lantai empat tepatnya, tapi aku pusing setengah mati. Betul saja, ada seseorang bertopeng hitam di belakangku. Suntikan maut. Ah. Aku sadar. Lampu putih tidak begitu terang. Dua manusia berbaju hijau mendekati tubuhku. Perih, hanya itu perasaanku sekarang. Dia berbicara, tapi aku tak dapat mendengarnya. Dibiarkan aku telentang, telanjang. Menengok ke kanan, pria bertopeng hitam tersenyum, atau topengnya yang tersenyum? Aku tidak tahu. Pandangan ini buram. Dua manusia berbaju hijau yang baru-baru ini aku ketahui adalah dokter bedah (maklum, aku belum pernah masuk rumah sakit satu kali pun) kembali mendekatiku lagi. Sekarang dia memakaikan selimut abu-abu. Aku mencoba menggapai jaket merah adikku di atas meja di sampingku. HP-ku jatuh. Dokter mengambilnya, dan memberikannya padaku. Baru kusadari bahwa SMS mereka menunjukkan koordinat yang sama dengan kertas yang aku buka di depan 9-Eleven. Inikah pengalaman seru yang kutuju? Andai saja aku membukanya di depan 9-Eleven, akan ada seseorang asing yang kutemui di jalan. Dia memakai motor hijau, berjaket kuning Pria yang cukup tampan. Aku berhenti di simpang gedung 56
apartemen berlantai 20 karena gang motor yang bertengger di tengah jalan. Pria berjaket kuning menyapaku dengan ramah. Aku menjawab singkat. Dia terlihat marah, sebentar saja di memanggil anak buahnya. Gadis kecil dengan rok merah muda. Terlihat manis, membawa boneka mungil. Wajahnya selalu menunduk ke bawah, apakah murung atau memang dia senang melihat bumi? Belum ada tiga menit, pria berjaket kuning menepuk pundakku. Mesin dinyalakan, barisan motor melaju kencang. Aku tepat di sampingnya. Auranya misterius, tapi sekaligus menenangkan. Janganjangan aku suka dengan dia. Mengenai itu, aku ceritakan di lain waktu saja. Secara serempak kami memarkirkan motor di atas jembatan sungai yang busuk. Pria berbaju hijau mendobrak gedung di depan jembatan itu. Mendobrak kaca dan jendela dengan pemukul bisbol. Dua penjaga terkapar, satu kabur ke lantai atas melewati tangga. Pria bertopeng hitam menyelinap melewati tirau biru di ruangan samping. Aku mengejarnya, tetapi si pria berjaket kuning melarangku. Dia menarik ujung jaketku. Sambil mengacungkan jari telunjuk, dia berkata jangan dengan pelan. Aku menuruti saja. Dia berhenti, membungkuk, mengambil HP dan mengirim pesan pada anak buahnya. Sekarang muncul lima lelaki gagah dari arah timur dengan motornya. Pria berbaju hijau menyuruh mereka menangkap si topeng hitam. Aku meneguk ludah. Dari lantai dua terjadi ledakan cukup serius. Gadis kecil dengan rok merah muda berlari ke arah pria berjaket kuning, memberi arahan untuk keluar dari gedung. Dia langsung menurut saja. Apa gadis cilik ini seorang cenayang? Kami bergegas keluar gedung. Benar saja. Gedung ini runtuh. Fondasinya tidak kuat, katanya sih umurnya sudah cukup tua. Aku mengambil binokular dari tas selempang. Si topeng hitam berlari melewati jalan kecil di samping gedung. Semua mengejar, termasuk aku. Namun tidak aku sangka, si topeng hitam datang dari samping kanan. Aku dibekapnya dengan kuat, tiada aku dapat meronta. Mereka terus saja berlari menuju gang kecil itu. Tapi tidak dengan si gadis kecil. Dia ketakutan. Apakah harus menyusul kelompoknya atau menyelamatkanku? Pilihan yang susah untuknya. Dari reruntuhan gedung, salah satu dari pria gagah yang datang belakangan terlihat memar. Dia menuntun gadis kecil untuk pergi menyusul kelompok. Tapi si gadis kecil diam, terbata-bata ingin mengucapkan sesuatu. Jari kecilnya menunjuk ke arahku. Si pria gagah mengacuhkannya. Mata gadis kecil menangis, mukanya sedih. Dia melambaikan tangan padaku. Belum selesai ia melambai, aku tak sadarkan diri. Kini aku berada di ruangan kecil, terlentang di atas kasur dengan selimut abu-abu. Dua manusia berbaju hijau mendekatiku. Ternyata sama 57
saja. Aku tidak menemukan orang tuaku dan adikku. Aku hanya terbaring tak berdaya. Sedikit kugerakkan tangan kananku untuk menggapai jaket merah di atas meja di samping kiri kasur. Secarik kertas jatuh ke lantai. Manusia berbaju hijau mengambilnya, sambil membawakanku air minum. Kubaca pelan-pelan: Jalan Ahmad Yani nomor 23, Kedungpring, Swahili. Pengemis tua memanggilku.
“Nak, tahu alamat ini?�
Aku terbangun.
“Maaf, saya tidak tahu pak.�
Aku melanjutkan perjalanan pulang sambil meminum kopi dingin.
58
Sayang, Oh Sayang Zein
Saat itu siang hari, Sayang. Mentari terik bersinar di luar sana. Bahkan aku yang duduk di samping jendela merasakan panasnya. Apa saat itu kamu juga merasakannya, Sayang? Semoga tidak ya. Meskipun bila kamu merasakannya juga, aku tak peduli pendapatmu tentang cuaca saat itu. Maaf Sayang, makanya aku tak bertanya. Oh iya, apakah kamu ingat bahwa kamu pernah bertanya, apakah aku suka cokelat? Aku sedang tak ingin cokelat, Sayang. Berat badanku sudah naik tiga kilo sejak terakhir kali kita bertemu. Kamu ingat kan, kalau kamu memakai kemeja biru polos Sayang? Kalau aku sih ingat, juga ingat celana jeansmu yang baru kamu beli— entah kapan—kamu pakai hari itu. Aku bahkan ingat tasmu, tas rajutan wol berwarna putih. Rambutmu beraroma alpukat, dan tergerai indah mengkilap. Kamu baru dari salon, Sayang? Tak apa-apa, seseorang yang menarik memang harus pintar merawat diri. Kamu tahu, ada sedikit rasa bangga padaku saat tersadar bahwa banyak yang menoleh ketika kamu lewat. Ada pesona yang keluar saat kamu berjalan melewati ruangan dan menuju meja tempat aku duduk menunggu. Ayolah kamu pasti juga sadar akan hal itu. “Halo, lama ya nunggu aku?” kamu bertanya ketika sudah duduk di hadapanku dan menaruh tas di sampingmu. “Ah, enggak. Santai aja.” “Aku tuh udah menduga, pasti kamu datang duluan. Padahal aku yang buat janji. Eh, kopiku yang mana? Ini bukan?” kamu menunjuk pada salah satu dari dua gelas kopi yang ada di depanku. “Iya,” kataku membenarkan diikuti dirimu yang menarik gelas kopi ke arahmu. “Aku tuh tahu kalau kamu bakal memesan kopi panas, makanya kupesan berbarengan dengan pesananku.” “Ya, ya, terserah,” kamu menjawab tidak peduli, “Begini, yang ingin kukatakan adalah…” Tiba-tiba teleponmu berbunyi. Ya, aku hapal nada deringmu. “Sebentar,” kamu mengangkat tangan, meminta waktu, dan merogoh sakumu. “Halo, Sayang!” katamu dengan riang pada yang di telepon. 59
Lalu kamu berbicara selama lima belas menit. Kamu tahu, aku merasa ada yang aneh padamu. Perihal menyapa dengan kata ‘Sayang’ pada yang di telepon. Aku mengerti, banyak wanita yang memanggil rekannya sesama wanita dengan sebutan tersebut. Tapi kamu jarang berbicara seperti itu di telepon. Ditambah, firasatku saat itu berkata bahwa yang meneleponmu bukanlah temanmu yang wanita juga. Konyol memang, namun entah kenapa aku percaya pada firasatku. “Iya nih, eh maaf ya, aku lagi sibuk. Iya, lagi ngobrol sama seseorang. Enggak, hanya teman kok. Ya, oke, daahh,” telepon kamu matikan. “Teman?” tanyaku sambil mengaduk gelas es kopi pesananku tadi. “Kayaknya aku tahu kamu mau bicara apa,” aku tersenyum padanya. Kamu melihatku dengan tenang, ya tenang. Sama sekali tak ada rasa iba yang terpancar dari pandangmu, ataupun rasa penyesalan karena akan membawa topik ini. Lalu, kamu jatuhkan pandanganmu ke gelas kopi panas yang kamu aduk saat itu. Seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakannya. Kamu tahu? Aku orang yang teliti, Sayang. Keheninganmu sudah kuhitung lamanya. Tujuh menit, Sayang. Jika ditambah lima belas menit lama waktu kamu menelepon entah—siapa—itu, maka dua puluh dua menit, Sayang. Dua puluh dua menit sudah terlewat dan kamu belum juga mengutarakan maksud pertemuan ini. “Sayang?” ucapku dengan selembut mungkin. Kamu menoleh, “Ah, maaf,” dan kamu menyeka air mata yang menggenangi kelopak matamu. Aku tak tahu itu air mata palsu atau asli. Atau mungkin kamu berusaha keras memendam sendiri tawa kerasmu? Entahlah. “Jadi begini. hubungan kita sudah lama terjalin. Aku tak kurang bahagia menjadi pacarmu,” kamu memainkan jari-jarimu, kamu ingat kan, Sayang? Dengan tanganmu yang lembut itu menggenggam kedua tanganku, siapa yang berani menolak mendengarkan kata-katamu? “Aku benar-benar bahagia. Sungguh, sayang. Kamu adalah pacar idaman setiap orang.” Kurasakan genggaman tanganmu semakin erat, “Aku tak bisa menggambarkan betapa bahagianya diriku saat kamu memilih aku untuk menjadi pacarmu. Sebagai orang yang kamu cintai. Dadaku sungguh rasanya ingin meledak.” Kutarik tanganku, dan bertanya tentang hal yang mengusikku dari tadi, “Sebentar, tadi siapa yang menelepon?” 60
Kamu terdiam, terlihat menimbang-nimbang dan berkata, “Itu hanya teman. Yang ingin kukatakan adalah...” “Sayang?” Aku kembali meraih tanganmu dengan tatapan memohon. Kamu menghela nafas panjang, “’Dia’” begitu jawabanmu. ‘Dia’ adalah nama yang terlarang ada dalam hubungan kita, kamu tahu itu kan, Sayang? ‘Dia’ adalah pelaku yang selalu membuat diriku dan dirimu bertengkar juga berselisih tentang hal kecil, kamu tahu kan itu, Sayang? Kamu bahkan tahu bahwa ‘Dia’ adalah nama yang pertama dalam daftar Nama yang Tak Ingin Kudengar, ya kan Sayang? ‘Dia’ adalah orang yang kubenci. Tapi mengapa ‘Dia’ menelepon dirimu? Apa urusannya denganmu? Darimana ‘Dia’ mendapat nomor teleponmu? Mengapa kamu memberikan nomor telepon padanya dan tak meminta izin padaku? Mengapa kamu jawab panggilan darinya? Apa yang kalian bicarakan selama lima belas menit tadi? Mengapa kamu panggil ‘Dia’ dengan sebutan ‘Sayang’ juga? Sudah sejauh mana hubunganmu dengannya? Satu lagi, yang terpenting, bagaimana dengan hubungan kita? Entah apa yang terlihat pada wajahku, tapi yang jelas aku pun merasakan air mukaku berubah. Aku juga tahu, kamu sadar akan hal ini. Karena kurasakan genggaman tanganmu semakin erat. Dengan sedikit gemetar pada jemarimu. Kamu takut aku meradang, Sayang? Apakah maksudmu mencegahku agar tidak mengeluarkan kata-kata menyakitkan? Oh, Sayang, maafkan aku baru mengerti maksudmu sekarang. Maklum, saat itu diriku dikuasai emosi. Makanya kutarik tanganku meski sudah kamu genggam erat. “Aku mengerti apa yang kamu rasakan. Makanya aku ingin menjelaskan.” Kamu mungkin tak ingat Sayang, tapi wajamu menunjukkan ketakutan, kecemasan terhadap apa yang akan kamu katakan padaku takutnya akan mengiris hatiku. Lalu kamu raih kembali kedua tanganku untuk kamu genggam. “Aku rasa hubungan kita harus berakhir. Aku juga harus minta maaf bahwa sudah ada orang lain di hati aku. Kamu tahu siapa.” “’Dia’?” tanyaku, ragu. Dan kamu mengangguk. Aku terdiam. Tapi dada ini rasanya ingin meledak. Membuyarkan kerumunan orang di kedai kopi ini. Kemudian menghancurkan tempat ini dengan sekali pukul. Hatiku seperti disiram air mendidih. Panas membara, cemburu, kecewa, marah, kesal, ingin mengumpat di depan muka ‘Dia’, ingin meninju perut ‘Dia’, ingin menendang ‘Dia’ yang sudah jatuh terjerembab di lantai sampai mati. Tak hanya ‘Dia’, perasaan kecewa ini 61
juga tertuju padamu, Sayangku. Aku masih tak percaya bahwa perasaan, kepercayaan, cinta yang kuberikan padamu, kamu hancurkan begitu saja. Kamu harus tahu, butuh waktu lama lagi untuk membangunnya kembali. Apakah kamu pernah merasakan ini sebelumnya, tepat pada posisiku, Sayang? Apakah kamu bermaksud membalas dendam perlakuan yang kamu terima di masa lalu, Sayang? Atau kamu sering terbiasa menghancurkan apa yang orang sudah perjuangkan padamu, Sayang? Atau itu sudah menjadi kebiasaan yang ada dalam dirimu, Sayang? Mengapa, Sayang, mengapa harus aku yang jadi korbannya? “Maafkan aku,� kamu melepaskan tanganmu dari tanganku, menepuk-nepuk kedua tanganku sebagai isyarat agar tetap tegar, kemudian meminum kopi panasmu yang mungkin sudah dingin dari tadi. Namun, sekarang aku sudah baikan, Sayang. Gejolak perasaan yang berkecamuk dalam dada tadi menjadi hilang sekarang. Hatiku benar-benar dalam keadaan tenang, setenang-tenangnya. Tak ada lagi kemarahan, kekecewaan, dan kebencian yang tadi kurasakan. Tak ada. Apalagi ketika melihat dirimu jatuh menggelepar dan mengejang di lantai, dengan mulut berbusa.
Juli 2016 Zein, Jakarta
62
Bunga Cantik Adinda Yuwono
Hari berganti sore Dan bunga cantik ini layu Tapi matahari tetap disana Yakin besok ia bermekaran lagi
19/03/17
63
Sayang M. Reihant Muzadi
Sayang-sayang, Sayang-sayangi, Sayang-sayangan.
Sayang-sayang di karang, Sayang-sayangan sambil kayang. Sayang-sayangi yang tidak sayang, Lebih peduli dan sayang.
Sayang-sayang, Sayang-sayangi anak, Yang lagi sayang-sayangan, Sama layang-layang.
Yang sayang-sayangan, Sayang-sayangi mimpimu, Sayang-sayangan dalam mimpi. Lebih cinta dan sayang. 64
Kalau Saja Adinda Yuwono
Kalau saja kamu mau berkaca lebih lama Melihat bayanganmu lebih lama Mungkin masih ada sebongkah ego disana Yang tak pernah kau sentuh Dan tanpa disadari Keangkuhan menjadi segalamu
03/01/16
65
Lensa Shafira Anandita Aku selalu mengagumi bagaimana cara lensa kamera bekerja. Aku mengagumi bagaimana lensa dapat memfokuskan dirinya pada satu objek, kemudian mengabadikannya dalam sebuah foto. Aku mengagumi bagaimana sebuah foto yang diabadikan oleh lensa dapat menceritakan seribu kisah. Aku mengagumi bagaimana lensa dapat menyembunyikan sang fotografer di baliknya. Tidak hanya lensa yang kukagumi, tetapi seseorang yang berada pada fokus lensa tersebut. Seseorang yang tidak pernah menyadari bahwa ia selalu menjadi objek fokusku dalam setiap foto yang terabadikan. Seseorang yang tidak pernah melihat ke arah lensa kameraku, walau hanya sesaat. Seseorang yang tidak pernah menyadari keberadaan sang fotografer di baliknya. Di saat aku terengah-engah mengejar dirinya dalam objek fokusku, ada seseorang yang menepuk pundakku dari belakang. Ia bagaikan matahari yang menyapa di ufuk timur, memberikan kehangatan yang belum pernah kurasakan. Ia selalu tersenyum kepadaku, walaupun ia tahu bahwa lensaku tidak mengarah kepadanya. Ia selalu memberikan dukungan yang aku butuhkan. Seiring waktu berjalan, aku semakin kehilangan dirinya dari bidikan lensaku. Jarak fisik dan jarak yang bisa lensaku jangkau semakin membatasi antara diriku dengan dirinya. Aku menangis, kecewa dengan diriku sendiri. Ia kemudian menghampiriku, membawakan secangkir kopi, selembar tisu, dan sebuah pundak untuk bersandar. Aku merasa nyaman dengan kehadirannya. Di antara tangisan itu, aku mulai tersadar. Terkadang, kau harus mengarahkan lensamu ke arah yang lain untuk menyadari bahwa ada seseorang yang selalu menanti dirimu. Seseorang yang selalu menanti untuk menjadi objek fokusmu, diabadikan oleh lensamu. Seseorang yang selalu menanti untuk bisa menjadi bagian dari hidupmu, pada setiap foto yang kau abadikan. Kau tidak bisa selamanya mengarahkan lensamu ke arah yang sama. Jangkauan pandang lensamu terlalu sempit untuk dapat melihat hal-hal selain dari seseorang yang menjadi objek fokusmu. Kau bisa saja luput dengan kehadiran seseorang yang selama ini selalu mendukungmu. Apabila kau telat menyadarinya, mungkin seseorang itu sudah hilang dari hidupmu, ditelan oleh waktu.
66
Riwayat Prananta Leonardo Autistus Fransiskus Firdaus
Hilang itu mendapat Disaat semua menjadi putih Mana yang hitam Because, the more i know, the more i dont want to know Always remember the golden age. Siklus 12 jam kembali Cuma di karya kah??? Tergantung prioritas sih...
67
Keputusasaan Kedua Gregorius Bayu Aji Wibisono
Hai...
Entah...
Aku ingin bercerita
Dia bimbang
Tentang kisah manusia
Mengapa kecerobohan itu terus datang?
Bukan semua, Namun hanya satu saja..
Dia, Yang hari ini ketinggalan kereta Yang terus menerus bertanya Cara agar menjadi dewasa Menghilangkan sifat cerobohnya
Jadi,
Dia sudah membangun benteng Agar kecerobohan tidak datang Tapi tetap saja....
Mungkin, Kecerobohan terlalu menyukainya Terlalu suka datang tiba-tiba Tanpa tanda - tanda Tau - tau memperkeruh kehidupannya
Ceritanya begini... Pada hari ini
Itulah,
Dia, yang kukatakan tadi,
Mungkin itu...
Mengalami kejadian sama kembali
Alasan hidupnya kacau Karena kecerobohan itu
Padahal,
Terus menerus datang
Sudah berulang kali terjadi
Tanpa bisa dihadang
Namun masih belum ia ketahui
Membuat dia terus bertanya...
Penyebab & cara menanggulangi BAGAIMANA CARA MENGURANGI KECEROBOHANKU?? 68
program nihilis_ku1072 Farrah Funami
begin end.
69
Distance Jasmine Kane
To whom may I express these thoughts through this letter :
Distance does matter for those who believe the idea of possessing a thing is different than loving a human being. It does create negative space between two souls to pull each other back to a isolated situation where they articulate their feelings through gestures they call it affection.
I am thinking of another word. Negative space.
Negative space, should I call it distance never fails to impress me of how it can show what the word of anxious really means. It arrays what lies behind those meaningless words that wash away the substantial value of what it is to be present with somebody in period of time.
For you, the friction of mundane feeling
causing us to force each other to be present and loved at the same time.
70
Apa yang Membuat Sore dan Senja Berbeda? Gregorius Bayu Aji Wibisono
Kata orang...
Tapi...
Senja lebih bermakna
Apa gunanya membedakan sore dengan senja?
Menggambarkan suasana
Tapi sore?
Menurutku, Sore dan senja tidak pantas dibedakan...
Ah aku lebih suka sore Sore tidak seretorika senja
Mereka saling melengkapi
Sore itu sederhana
Membuat kita melupakan petang,
Tidak neko-neko
Mengingatkan kita untuk bersyukur
Tidak minta makna lebih
Kepada empunya sore dan senja...
Sore itu pemurah
Sungguh...
Mengisi hari ketika siang kelelahan,
Suasana akan sempurna..
Mempersiapkan hari untuk malam,
Bila mereka ada...
Lalu mempersilahkan malam menggusurnya,
Dan bersama...
Baik sekali, bukan?
Mungkin senja seperti itu jua Namun senja terlalu sering dipuja Aku jadi tidak suka 71
Sekian
Group Chat Angkatan Leonardo Autistus Fransiskus Firdaus
72
Document1.docx Farrah Funami
“Aku berani bertaruh, jikalau ada seorang pengintai yang mencoba menuliskan apa yang sedang kuucapkan – dengan eksak, tak ditambahtambah sepatah kata pun -, pasti karakter pertama yang ia tuliskan adalah tanda petik.”, ujar Kyoko sembari menyendok es krim rum yang tergeletak di meja. “Iya, iya. Lalu kau mau mengoceh apa lagi? Tentang pengandaian apabila kita sebenarnya hanyalah sebuah bentuk interpretasi dari hasil kerja seorang pengetik yang menekan pencet-pencetan tombol bertanda di layar jinjingnya dan ditafsirkan menjadi rangkaian huruf yang disepakati memiliki arti oleh orang-orang di sekitarnya?” “Tebakan macam apa itu? Ah, bilang saja kau menceritakan pekerjaanmu sendiri; menulis cerita hidupmu, mengimajinasikan percakapan ini lewat “pencet-pencetan” apalahmu itu.” “Maksudmu aku hanya membuat-buat seluruh percakapan ini?” “Tepat sekali. Meskipun kau bisa dibilang menciptakanku lewat media huruf-huruf ini, kau tetap saja tak bisa mengubah kesepakatan bahwa rentetan kata-kataku ini kan diakhiri dengan tanda kutip pula Ah siapa bilang? Kesepakatan hanya kesepakatan, tak bisa mengubah hasil imajinasi seorang penulis kurang kerjaan. Mampus kau, Kyoko.
73
Mempuisikan Puisiku Gregorius Bayu Aji Wibisono
Untuk apa?
Puisiku punya banyak harapan
Puisiku sudah mempuisikan dirinya
Namun sayang...
Tak perlu dipuisikan lagi Puisiku sudah memaknakan dirinya
Puisiku tidak cukup menarik
Tanpa minta dimaknakan lagi
Untuk ditarik oleh musik Puisiku tidak cukup bermakna
Puisiku hanya perlu dipublikasi
Untuk dihargai sebagai sastra
Puisiku hanya perlu dihargai
Bahkan puisiku tidak cukup indah
Dibaca & Dirasa
Untuk bisa dipuisikan lagi...
Diakui sebagai sastra Puisiku, Puisiku tentu butuh aku,
Aku, penciptamu..
Penciptanya,
Memohon maaf kepadamu,
Puisiku juga butuh kamu,
Karenaku, dirimu
Pembacanya,
Tidak bisa memenuhi semua harapanmu
Puisiku ingin berpadu Dengan alunan musik nan merdu Puisiku ingin bergabung Dengan geng buku di tepi lorong
Aku minta maaf, Aku belum bisa membuatmu, Sebaik kawanmu ditoko buku, Tolong maafkan aku, Puisiku.... 74
Dalam Biru Adinda Yuwono
Dalam biru aku bercerita tentang warna nuansa hatiku. Warna-warna yang membawaku tersesat dalam igauan ragu. Dalam biru aku bertanya, “Siapa yang melukis warna itu?� Mungkin kita tak akan pernah tahu. Karena dalam biru semua menjadi saru.
14/07/15
75
76
77
Lingkar Sastra ITB Gedung Mekanika Tanah, Institut Teknologi Bandung, Jl. Ganeca no. 10, Bandung. lingkarsastraitbandung@gmail.com 78