|
|
@omv6862t |
Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah
ISSN 2654-3982
LEGISLATIF
(Lembaran Gagasan Mahasiswa Yang Solutif Dan Inovatif) Lembaga Penalaran Dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
SUSUNAN REDAKSI Pembina
: Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H. Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A.
Pengarah
: Refah Kurniawan, S.H. Nilasari, S.H Muhammad Yusran, S.H.
Pemimpin Redaksi
: Nur Fuadyah Kahar
Dewan Penyunting (Editor) : As'ad Djaelani Sibghatullah BW Wardi Muh. Akbar Gunawan Munir Adam Bimantara Moenadjad Takhrij Samandy Kevin Hizkia Patiallo Mahaedir Amri Aliagung Tata Letak / Layout
: Muhammad Zulfakhri Marjusi
Tata Usaha dan Distribusi
: Rizqa Ananda Hanapi Muh. Ramdan Yulia Saputra Nurlyla Fitria Ningtyas
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang keras menguti atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit. All right reserved ConďŹ dential information- not to be wrtitten without permission from publish
|
|
@omv6862t |
Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah
DAFTAR ARTIKEL
Anotasi Pengawasan Start-Up Unicorn dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha dan Economic Analysis of Law Riskayanti .................................................................................................. 1 - 21
Pengaturan Hak Guna Bangunan dan Kaitannya dengan Kemudahan Berusaha (Ease Of Doing Business) Mahdiani.................................................................................................... 22 - 39
Kontroversi Hukum dan Etika dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Indonesia Febriansyah Ramadhan, Asri Rezki Saputra........................................... 40 - 63
Penerapan Corporate Opportunity Doctrine dalam Hukum Perseroan di Indonesia Xavier Nugraha, Vincentia Sonia, Nina Amelia ..................................... 64 - 77
Re-Make of Law for Justice: Mewujudkan Badan Kordinasi Penanganan Pekerja Seks Untuk Melindungi Hak Perempuan Korban Human Trafficking di Indonesia Nur Fuadyah Kahar, Hasmiati Hamzah, Ayu Lestari Indah ................. 78 - 93
Legal Aid Anti-Corruption : Mewujudkan Aksesibilitas Hukum bagi Kaum Marginal Melalui Pemberdayaan Paralegal dari Kampus Untuk Daerah Terdepan, Terluar, Dan Tertinggal Kinkin Sakinah Ridwan, Muhammad Zulfakhri Marjusi ....................... 94 – 111
Pengembangan UMKM: Transformasi KUR (Kredit Usaha Rakyat) Kedalam Program Pembayaran (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) dengan Optimalisasi Loss and Profit Sharing di Kota Makassar Syawirah M., Andi Fairuz Fakhriyah R.M., Rasmia .............................. 112-128
Rekonseptualisasi Penetapan dan Pengawasan Rekrutmen Hakim Konstitusi Melalui Prinsip AKTIF (Akuntabilitas, Transparan, Partisipatif) Anif Laila Sahir, Desak Putu Ayunda Putri, Fausiah Febrianti ............ 129-146
LEGISLATIF
(Lembaran Gagasan Mahasiswa Yang Solutif Dan Inovatif) Lembaga Penalaran Dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin
DARI REDAKSI Salam Hormat, Puji syukur tidak hentinya kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Legislatif oleh Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (LP2KI FH-UH) Volume 12 Nomor 1, Desember 2018. Edisi kedua ini memuat 8 (delapan) artikel. Yang terdiri dari artikel konseptual atau hasil penelitian dari mahasiswa Fakultas Hukum se-Indonesia. Pada kesempatan kali ini, redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis dan tim penyusun atas kerja samanya, sehingga penerbitan Jurnal Hukum Legislatif edisi kali ini dapat dirampungkan sesuai jadwal. Terima kasih pula kepada seluruh pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung mulai proses penyusunan hingga penerbitan dapat berjalan dengan baik. Redaksi menyadari bahwa dalam terbitan ini masih terdapat sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan, kritik dan saran yang relevan dan membangun dari segenap pembaca demi perbaikan terbitan selanjutnya. Besar harapan kami agar diedisi berikutnya dapat lebih baik lagi dalam menerbitkan tulisan hukum yang bermanfaat bagi para pembaca. Selamat Membaca
Redaksi
|
|
@omv6862t |
Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah
1 ANOTASI PENGAWASAN START-UP UNICORN DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA DAN ECONOMIC ANALYSIS OF LAW Riskayanti1 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Email  riskayanti24@gmail.com Abstrak Persaingan Usaha merupakan salah satu unsur penting yang berpengaruh langsung terhadap efisiensi dan daya saing perekonomian serta tentunya terhadap kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, hingga kini masih terdapat banyak tantangan yang dihadapi dalam rangka mewujudkan persaingan usaha yang sehat. Salah satunya disebabkan oleh belum adanya ketentuan yang jelas mengenai pengawasan terhadap start-up unicorn. Kendatipun ada, masih terdapat dilema apakah perlu diatur atau tidak. Hal ini diakibatkan karena di satu sisi, ekonomi digital saat ini merupakan bisnis yang sedang maju dan dikembangkan dalam bidang investasi, namun di sisi lainnya untuk start-up yang masuk dalam kategori unicorn ini bisa menjadi pemain dominan dalam pangsa pasar yang dapat mematikan start-up yang masih kecil. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk tindakan monopolistik dengan cara memainkan harga. Dilema ini kemudian akan dianalisis dari perspektif hukum persaingan usaha dan teori Economic Analysis of Law. Kata kunci: Economic Analysis of Law; Hukum Persaingan Usaha; Pengawasan; Start-up Unicorn. 1.
Pendahuluan Seiring dengan perkembangan zaman, maka dunia akan terus bergerak,
perubahan pun akan terus terjadi. Saat ini kita telah memasuki era industri baru yakni era industri 4.0. Faktor utama yang menandai era ini adalah dengan kemajuan teknologi informasi yang demikian cepatnya. Digitalisasi bergerak cepat dan terus menggeser natur semua aspek kehidupan terutama dunia ekonomi. Kita mengenalnya sebagai era ekonomi digital.1 Revolusi teknologi informasi dan komunikasi sejak akhir abad 20 hingga awal abad 21 memang telah menciptakan peluang-peluang dan tantangan-tantangan baru di berbagai sektor usaha rakyat.
1
Tim Redaksi Republic of Indonesia Host Country of IMF-WBG Annual Meetings. (2018). Annual Meetings, Ekonomi Digital, dan Dunia yang Terus Berubah. Diakses dari https://www.am2018bali.go.id/id/blogs/detail/annual-meetings-ekonomi-digital-dandunia-yang-terus-berubah. Pada tanggal 30 September 2018.
2 Khususnya industri-industri kreatif (creative industries) dan produk-produk budaya (cultural goods) yang lazim dilabel “soft economy” yang berbasis imajinasi, keahlian, pengetahuan, inovasi, kreasi dan tradisi sumber daya manusia berbagai negara.2 Hal ini mengakibatkan terjadinya revolusi pasar virtual. Misalnya, OECD merilis satu laporan: “Starting from basically zero in 1995, total (global) electronic commerce is estimated at some $26 billion for 1997”. 3 Boston Consulting Group memperkirakan bahwa revenue dari transaksi online di negara-negara Uni Eropa meningkat dari 3,5 miliar euro menjadi 45 miliar euro tahun 2002.4 Asal usul ecommerce sendiri dapat dilacak dari penemuan awal komputer elektronik tahun 1950-an, namun pada periode tersebut belum populer hingga 1980-an. Perdagangan yang menggunakan media elektronik tersebut baru lahir dan berkembang sejak awal
2
Paolo Sigismondi. (2011). The Digital Globalization of Entertainment, Berlin, Spinger Science & Business Media, p. 2. Lihat juga https://www.springer.com/la/book/9781461409076, bagian table of contents. Preview Chapter 1, Introduction: The Evolving Twenty-First Century Global Mediascape, p.2. “The global economic dimensions of the “cultural and creative” sectors are impressive: According to a study by UNESCO, “cultural and creative industries alone are estimated to account for over 7% of the world’s Gross Domestic Product”. Lihat UNESCO, 2005, p. 9. Diakses 15 Oktober 2018. 3 Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). (1998). The Economic and Social Impact of Electronic Commerce: Preliminary Findings dan Reseacrh Agenda (A report by The Secretary-General for The Ottawa Ministerial Conference tentang “A Borderless World: Realising the Potential for Global Electronic Commerce”). Lihat juga http://infohouse.p2ric.org/ref/09/08884/027-054.pdf, p. 27. Diakses 15 Oktober 2018. Chapter 1 “Growth of Electronic Commerce: Present and Potential”. The P2RIC InfoHouse is a searchable online collection of more than 50,000 pollution prevention (P2) related publications, fact sheets, case studies and technical reports. P2RIC is operated by The Nebraska Business Development Center at the University of Nebraska at Omaha and is a member of the Pollution Prevention Resource Exchange, a national network of regional information centers. They receive funding from Environmental Protection Agency of the US. 4 Boston Consulting Group (BCG). (2000). The Race for Online Riches - Eretailing in Europe. (a Report by the BCG, Maryland: Silver Spring, February). Lihat juga Salvatore Mancuso, (2007), “Consumer Protection in E-commerce Transactions: a First Comparison between European Law and Islamic Law”, Journal of International Commercial Law and Technology, Volume 2 , Issue 1, University of Macau, p.1. “In the European Union, similar estimates are in line with such predicted growth calculating an on-line revenue from € 3.5 billion in 1999 to about €45 billion in 2002”.
3 tahun 1990-an hingga tahun 2011 di mana pengguna internet telah mencapai 2 miliar yang tersambung pada 200 negara.5 Teknologi khususnya internet, hakikatnya menciptakan peluang dan tantangan abad 21, di mana tercipta peluang bagi demokratisasi kultur, bisnis, kesetaraan, dan ecommerce itu sendiri. Untuk perdagangan khusus melalui elektronik tentunya telah menawarkan model-model transaksi bisnis yang lebih praktis, cepat, mudah dan murah di seluruh dunia dibandingkan transaksi bisnis secara konvensional. Sinergi komputer dan sistem telekomunikasi menciptakan manfaat baru berupa kemudahan, ketepatan, dan kecepatan miliaran transaksi per detik di seluruh dunia”.6 Perubahan model bisnis sebagai dampak semakin berkembangnya inovasi dan kemajuan teknologi ini tentunya juga berkaitan erat dengan disruption (disrupsi). Menurut Rhenald Kasali, pemahaman disruption bukan hanya berkaitan
5
Katherine Taken Smith, Murphy Smith, dan Jacob Lawrence Smith. (2011). Case Studies of Cybercrime and Its Impact on Marketing Activity and Shareholder Value. Academy of Marketing Studies Journal, Volume 15, Number 2, Tennessee Tech University, p. 68. Dalam https://www.abacademies.org/articles/amsjvol15no22011.pdf#page=75. Diakses 16 September 2018. “To some extent, electronic business (e-business) began with the early computers in the 1950s. However, not until development of the World Wide Web in the 1990s did e-business really take off. E-business is exchanging goods or services using an electronic infrastructure.” Lihat juga Katherine Taken Smith. (2011). Consumer Perceptions Regarding E-Commerce and Related Risks. Diakses dari https://www.westga.edu/~bquest/2011/ecommerce11.pdf, p. 3. Pada tanggal 15 September 2018. “A Timeline of Events Regarding the Web and E-Commerce. In 2011, Internet users tally almost 2 billion. Users in over 200 countries are connected”. Lihat juga Dian Mega Erianti Renouw. (2017). Perlindungan Hukum E-Commerce¸ Jakarta: Yayasan Taman Pustaka, hlm. 13. 6 Amelia H. Boss. (1991). The International Commercial Use of Electronic Data Interchange and Electronic Communications Technologies. The Business Lawyer, Volume 46, Number 4 (August), p. 1787. Lihat juga https://www.jstor.org/stable/40687265?seq=1#page_scan_tab_contents, diakses 15 Oktober 2018. “The two advantages in the use of electronic communications technology to conduct business are the speed with which transactions can be conducted, and the consequent ability of commercial entities to transact business with the same ease if they were across the street from one another, even when separated by thousands of miles of land or oc ean. With the advent of more sophisticated technology, our globe is in effect, if not in fact, rapidly shrinking. Thus, it is not surprising that international trade is increasingly conducted by the electronic transmission of data in all stages of the transaction.”
4 dengan teknologi informasi dan komunikasi. Disruption juga sejatinya mengubah bukan hanya "cara" berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Misalnya saja, dengan munculnya new entrant (pendatang baru atau start-up) akan memotong kaki mereka (para incumbent). Para pendatang baru akan menyerang segmen pasar dari bawah dan menciptakan pasar yang benar-benar baru. Inilah yang disebut sebagai disruptive marketing dalam disruptive demand curve. Pendatang baru mempunyai semangat bekerja yang tinggi karena mereka adalah start-up.7 Perubahan tersebut juga meliputi mulai dari struktur biaya sampai ke budaya dan bahkan ideologi industri. Disruption itu bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present). Disruption sesungguhnya terjadi secara meluas. Mulai dari pemerintahan, ekonomi, hukum, politik, sampai penataan kota, konstruksi, pelayanan kesehatan, pendidikan, kompetisi bisnis dan juga hubunganhubungan sosial. Bahkan konsep marketing pun sekarang terdisrupsi. Ada beberapa hal yang menjadi ciri disrupsi yakni: (1) Disruption berakibat penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih sederhana. (2) Kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik dibandingkan yang sebelumnya. (3) Disruption berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka. (4) Produk/jasa hasil disruption ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. (5) Disruption membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.8 Di sisi lain, disruption dapat dipahami sebagai: Disruption today is happening at a scale and speed that is unprecedented in modern history. From banking to retail, media, logistics, manufacturing, education,
7
Rhenald Kasali. (2017). Disruption (Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 153. 8 Rhenald Kasali. (2017). Meluruskan Pemahaman Soal Disruption. Diakses dari https://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/05/05/073000626/meluruskan.pemahaman .soal.disruption. Pada tanggal 30 September 2018.
5 professional services, and life sciences, digital technologies and business models are upending industries around the globe, and leaders are struggling to cope. 9 Dalam Harvard Business Review juga menjelaskan bahwa “disruption has proved to be a powerful way of thinking about innovation-driven growth”.10 Di satu sisi, “innovation and disruption are similar in that they are both makers and builders. Disruption takes a left turn by literally uprooting and changing how we think, behave, do business, learn and go about our day-to-day. Harvard Business School professor and disruption Clayton Christensen says that a disruption displaces an existing market, industry, or technology and produces something new and more efficient and worthwhile. It is at once destructive and creative”. 11 Berdasarkan apa yang disampaikan tersebut, maka bukan hal yang asing lagi, apabila masyarakat lebih menyukai untuk melakukan aktivitas jual beli berbasis online dan lebih memilih perubahan model dalam aspek apapun yang dipengaruhi oleh proses digitalisasi. Selanjutnya potensi e-commerce dan bisnis aplikasi digital yang luas kedepan, akhirnya mengundang para calon wirausaha untuk berlomba-lomba dalam mendirikan perusahaan pemula atau lebih dikenal dengan start-up. Start-up merujuk pada perusahaan yang bergerak dengan memanfaatkan teknologi informasi dan internet karena biasanya beroperasi melalui website. 12 Berdasarkan Indonesia’s Tech Start-up Report 2017, industri start-up Indonesia di tahun 2017 tumbuh menjadi semakin meningkat lebih memberi dampak ke masyarakat. Terhitung bahwa di Indonesia, dengan pengguna aktif internet sebesar 132,7 juta, sudah ada
9
Michael R. Wade. (2017). How Disruption is Redefining Leadership. Diakses dari http://www.imd.org/publications/articles/how-disruption-is-redefining-leadership. Pada tanggal 30 September 2018. 10 Clayton M. Christensen, Michael E. Raynor, et.al. (2015). What is Disruptive Innovation. Diakses dari http://hbr.org/2015/12/what-is-disruptive-innovation. Pada tanggal 30 September 2018. 11 Caroline Howard. (2013). Disruption Vs. Innovation: What's The Difference. Diakses dari http://www.forbes.com/sites/carolinehoward/2013/03/27/you-say-innovatori-say-disruptor-whats-the-difference/#49dff4446f43. Pada tanggal 30 September 2018. 12 Maria Dolorosa Kusuma Perdani, et.al. (2018). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Startup di Yogyakarta. (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2018 (SENTIKA 2018), ISSN: 2089-9815 Yogyakarta. Diakses dari http://fti.uajy.ac.id. Pada tanggal 30 September 2018.
6 lebih dari 230 start-up di Indonesia yang empat diantaranya sudah berhasil menjadi unicorn.13 Dalam JRC Technical Reports, unicorn diartikan sebagai: In general, unicorns are IT-based (software mostly, but also hardware), rather young global companies that match unsatisfied demand with supply through the production – which can be scaled up - of very affordable innovative services and products. Their services and products mostly depend on the mobile internet wave, and rely on connectivity (high speed networks, mobile and fixed), new devices (smartphones, tablets, phablets‌) and the opportunities these bring. They are grounded on network effects, and demand-side economies of scale and scope. They rely on a strong favourable business environment, and tend to grow organically, building on fast expanding markets (emerging economies, middle classes). They are VC dependent and the competition for funding can generate impressive (inflated?) valuations. These companies can be disruptive for other sectors and firms. 14 Start-up tersebut merupakan pemimpin start-up lainnya dengan valuasi saham di atas US $1 miliar atau sekitar Rp 13 triliun. Hal tersebut terjadi karena pangsa yang besar telah menjadikan Indonesia sebagai pasar yang menjanjikan di kawasan regional. Keempat start-up unicorn tersebut adalah Pertama, Gojek dengan lini bisnis berupa aplikasi, pembayaran, logistik dan transportasi mempunyai valuasi saham yang ditaksir mencapai US $4 miliar atau lebih dari Rp 53 triliun. Suntikan dana diterima pertama kali pada tahun 2016, yang berasal dari konsorsium delapan investor yang dipimpin oleh Sequoia Capital dan Warburg Pincus LLC, dua perusahaan investasi papan atas asal Amerika Serikat sekitar US $550 juta atau sekitar Rp 7,5 triliun. Dilanjutkan pada tahun 2017, pendaan sebesar US $1,2 miliar diberikan oleh Tencent Holdings, Temasek Holdings, Goggle, JD.com, dan Meituan Dianping. Valusi saham Gojek semakin bertambah dengan masukanya pendanaan dari Astra Internasional dan Blibli pada tahun 2018 sebesar US $150 juta. Kedua, Traveloka dengan lini bisnis berupa big data dan travel juga
13
Jordhi Farhansyah. (2018). Perkembangan Startup Indonesia Meningkat, DailySocial.id Rilis Startup Report 2017. Diakses dari https://www.idntimes.com. Pada tanggal 1 Oktober 2018. 14 Jean Paul Simon (European Commission). (2016). How to Catch a Unicorn (An exploration of the universe of tech companies with high market capitalisation). JRC Technical Reports, p. 61. Diakses dari http://publications.jrc.ec.europa.eu/repository/bitstream/JRC100719/jrc100719.pdf. Pada tanggal15 Oktober 2018.
7 dinobatkan sebagai unicorn setelah mendapatkan pendanaan dari perusahaan travel asal Amerika Serikat Expedia pada tahun 2017 senilai US $350 juta atau sekitar Rp 4,6 trilun. Dengan total pendanaan tersebut, traveloka telah mencapai nilai valuasi lebih dari US $2 miliar atau setara dengan Rp 26, 6 triliun. Ketiga¸Tokopedia dengan lini bisnis e-commerce dan marketplace masuk ke jajaran start-up unicorn setelah pada tahun 2017 lalu mendapatkan suntikan dana dari Alibaba senilai US $1, 2 miliar atau senilai dengan Rp 15 triliun. Keempat, Bukalapak dengan lini bisnis e-commerce dan marketplace juga mengukuhkan diri menjadi unicorn setelah mendapatkan suntikan dana dari Emtek, yang merupakan grup media kedua terbesar di Indonesia dan daan dari dua perusahaan ventura asal Amerika Serikat 500 start-up dan Queens Bridge Venture Partners, namun nominalnya tidak dipublikasikan.
15
Satu diantara empat unicorn tersebut bahkan telah melebarkan
sayap di dunia Internasional yakni Gojek yang telah mengoperasikan layanannya ke Vietnam yang bernama Go-Viet, di Hanoi, pada September 2018. Gojek merupakan start-up lokal pertama yang mampu go internasional.16 Walaupun sebelumnya Traveloka juga telah menyediakan layanan travel di Kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam dan Filipina. Bila dibandingkan dengan Tiongkok tempat di mana start-up unicorn terbesar di dunia lahir yakni Ant Finansial milik Alibaba Group Holding, tentunya Indonesia masih harus mengejar ketertinggalan. Jumlah start-up unicorn di Tiongkok telah mencapai 164 dengan nilai gabungan US $628, 4 miliar. Berdasarkan China Unicorn Enterprise Development Report yang hasil studi dari Kementerian Sains dan Teknologi serta perusahaan konsultan di Beijing, menyebutkan bahwa bahkan jumlah start-up unicorn di Tiongkok telah melebihi Amerika Serikat.17
15
Ayomi Amindoni. (2018). Ekonomi Digital Mulai Moncer, Ini Dia Daftar Unicorn dari Indonesia. Diakses dari https://www.bbc.com. Pada tanggal 30 September 2018. 16 Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. (2018). Mendorong Unicorn Baru. Diakses dari https://kominfo.go.id. Pada tanggal 30 September 2018. 17 Andina Librianty. (2018). Mengenal Ant Financial, Unicorn Terbesar di Dunia. Diakses dari https://www.liputan6.com. Pada tanggal 30 September 2018.
8 Isu lainnya berkaitan dengan fenomena era ekonomi digital terkhusus dengan hadirnya start-up unicorn ini juga berkaitan dengan lahirnya tantangan bagi setiap negara berdaulat, tata dunia (hukum internasional), dan sistem hukum di setiap negara18 termasuk pengaruh dan dampak luar biasa dari revolusi teknologi khususnya media teknologi terhadap hukum ekonomi. Dari sisi positif, tidak dapat dipungkiri bahwa start-up unicorn, disukai oleh masyarakat dengan segala kelebihan yang ditawarkan. Bahkan di Indonesia sendiri mendukung dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (Road Map E-Commerce) tahun 2017-2019 dengan tujuan menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi digital Asia Tenggara 2020. Hal ini dilakukan dengan melihat jumlah investasi yang cukup memukau, yang tentu saja telah berdampak pada laju perekonomian Indonesia. Dengan demikian, digitalisasi industri berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi kreatif Indonesia. Secara tidak langsung, ini menunjukkan bahwa ekonomi digital berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, dengan salah satu pendorongnya adalah start-up unicorn. Sebagai contoh konkrit lainnya berkaitan dengan dukungan, pemerintah telah melaksanakan program Gerakan 1.000 start-up digital untuk mewujudkan potensi Indonesia menjadi The Digital Energy of Asia pada tahun 2020.19 Hal ini tentunya patut diapresiasi sebagai langkah dalam membangun perekonomian di Indonesia. Namun, sebagai suatu fenomena ekonomi digital, bukan hal yang mustahil akan selalu terdapat dampak negatif yang kemudian ditimbulkan. Jika dikaji secara lebih mendalam start-up unicorn ini sebenarnya justru tidak mempunyai cost real
18
Roland T. Rust & P. K. Kannan esd. (2002). E-Service: New Directions in Theory and Practice. Kenneth Kraemer et al. eds. (2006). Global E-Commerce: Impacts of National Environment and Policy; Thomas Leinbach & Stanley Brunn. (2001). Worlds of ECcommerce: Economic, Geographical and Social Dimensions; Andrew Shapiro. (1991). The Control Revolution: How the Internets Putting Individuals in Charge and Chaning the World We Know; Mark Stefik. (1991). The Internet Eedge: Social, Legal, and Technological Challenges for A Networked World. Don Tapscott, et al. (2000). Harnesing the Power of Business Webs. Lihat juga Dian Mega Erianti Renouw. (2017). Perlindungan Hukum E-Commerce, Jakarta, Yayasan Taman Pustaka, hlm. 3. 19 Gerakan 1.000 Startup Digital. (2018). Diakses dari https://1000startupdigital.id. Pada tanggal 30 September 2018.
9 yang jelas karena dibangun dan dikembangkan berdasarkan investasi. Investasi ada tidak mungkin tanpa resiko. Belum lagi ketika membahas terkait dengan mekanisme sharing economy yang tidak jelas. Kita dapat belajar dari jatuhnya Uber yang merupakan start-up unicorn dari pasar Asia Tenggara lantaran terus merugi bersaing dengan Grab dalam subsidi tarif, di mana pada 2017 telah mencatatkan rugi 4,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp 60 triliun.20 Hal ini tentunya berdampak terhadap mitra Uber yang kini menjadi pengangguran. Ditambah, permasalahan Uber yang diakusisi oleh Grab sangat rawan untuk masuk dalam praktik monopoli dan memicu kenaikan harga yang tidak sehat.21 2.
Analisis 2.1 Anotasi Pengawasan Start-Up Unicorn Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha dan Economic Analysis of Law Karena tidak memiliki parameter yang jelas maka seyogianya pengawasan
terhadap start-up unicorn ini harus dilakukan. Dilema yang muncul kemudian adalah antara dua hal yang fundamental yakni apakah harus diatur dan diawasi dalam hukum persaingan usaha atau tetap dikembangkan dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang memadai. Dilema terjadi hakikatnya disebabkan karena disatu sisi, ekonomi digital (khususnya start-up unicorn) saat ini merupakan model bisnis yang sedang maju dan dikembangkan dalam rangka peningkatan ekonomi (dalam bidang investasi dan pengembangan pasar digital di Indonesia). Apabila kemudian diatur, terbuka kemungkinan start-up unicorn ini di take over oleh asing bahkan dapat gulung tikar. Namun, disatu sisi untuk start-up yang masuk dalam kategori unicorn ini bisa menjadi pemain dominan dalam pasar yang mematikan start-up yang masih kecil, misalnya saja dalam bentuk tindakan monopolistik dengan cara memainkan harga. Salah satu hal yang juga dapat
20
Karishma Vaswani. (2018). Terjepit Go-Jek Dan Grab: Mengapa Uber Jadi Raksasa Yang Kalah-Berulang Kali?. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43551198. Pada tanggal 01 Oktober 2018. 21 Antara. (2018). Cegah Tindak Monopoli, KPPU Awasi Aksi Grab. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180409143445-185-289497/cegah-tindakmonopoli-kppu-awasi-aksi-grab. Pada tanggal 01 September 2018.
10 menjadi efek negatif dari model bisnis ini adalah dari sisi pemutakhiran inovasi baik dari sisi penyediaan jasa terhadap konsumen maupun inovasi yang semakin melebar ke sektor pembayaran digital, pemesanan produk dan makanan, serta layanan delivery lainnya sehingga semakin menggeser pangsa pasar konvensional dan menimbulkan polemik antar dua model bisnis ini. Tidak banyak dari pelaku usaha konvensional yang kemudian dapat menyesuaikan dengan era digital ini seperti MatahariMall.com.22 Maka dari itu, perlu diperhatikan mengenai lingkup inovasi yang terlalu melebar dan meluas sehingga dapat mematikan pelaku usaha dalam bisnis yang sama baik pelaku usaha dengan model bisnis konvensional maupun start-up non unicorn. Sehingga, seyogianya pemerintah perlu selektif dalam hal pengaturan dan pengawasan mekanisme pada pangsa pasar seperti ini. Setiap perubahan pasti membawa adanya suatu pengaruh. Sebagian besar pengaruh tersebut merupakan konsekuensi yang tidak dinginkan. Ketika berbicara terkait dengan digitalisasi, maka kita akan dihadapkan pada dua hal yakni positive disruption (creative destruction) atau negative disruption (job losses). Muncul banyak perdebatan terkait dampak dari disrupsi. Sebagai contoh yang disebutkan dalam JRC Technical Reports oleh European Commission: Stagecoach companies were unhappy, in the late 19th century, just as disrupted taxi companies are today. Legacy players will claim they are facing unfair competition from players that are not abiding by the same rules. Newcomers benefit from the asymmetries of regulation in various fields. This argument has already been used by the book publishing industry against Amazon and by newspapers and other industries against Google. The same debate rages between legacy telecom players (BT, DT, Orange, Telefonica,) and OTTs (Amazon, Facebook, Google, Netflix…). The incumbents will always ask for regulatory rebalancing. 23
Hani Nur Fajrina. (2016). Matahari Department Store Buka ‘Cabang’ Toko Online. Diakses dari https://cnnindonesia.com. Pada tanggal 01 September 2018. 23 Wells Fargo is still around: today it is the 4th largest US bank. Lihat The Digital Economy Studies Series at: http://is.jrc.ec.europa.eu/pages/ISG/DigEco.html. Lihat The Media Studies Series about the impact of the digital shift at: http://is.jrc.ec.europa.eu/pages/ISG/MCI.html, Baca juga tentang OTTS, “OTT: over-thetop, jargon for companies in the fields of broadcasting and content delivery, OTT content means online delivery of video and audio without the Internet service provider being involved in the control or distribution of the content itself. The traffic is not managed.” Dalam Jean, “How to Catch a Unicorn”, p. 60. 22
11 Dalam sebuah penelitian, dicatat bahwa start-up sering beroperasi dalam zona abu-abu. Mereka beroperasi dalam interstitial areas dari hukum karena mereka menyajikan isu-isu baru dan secara mendasar berbeda dan tidak terduga ketika undang-undang dan peraturan yang mengatur telah ditetapkan sebelumnya. Banyak juga diantara start-up tersebut termasuk yang berlabel unicorn berlindung dengan mengungkapkan kelebihan-kelebihan maupun kontribusi yang telah mereka berikan terhadap negara agar tidak diatur secara lebih tegas. 24 Newcomers will claim they are bringing new services that were not possible or even blocked by incumbents which act as gatekeepers: Netflix 25 has used this argument against Hollywood. Newcomers have taken to producing reports to show the global positive effects of their operations. For instance, Airbnb is trying to show how the company is contributing to the local economy in its city reports. Uber is striking back against legal problems (e.g., the company has been raided by the Chinese government in Beijing) by releasing report after report explaining the benefits its operations are bringing to the local economy, in order to offset the apparent losses of revenues for governments (taxes).26 Terdapat suatu perdebatan panas dikalangan pemerintah terkait dampak nyata dari suatu unicorn, tertutama jika dikaji dari model yang paling disruptive. Pemerintah pun bereaksi dengan berbagai cara, ada yang tetap berpihak pada incumbent, mendukung para mavericks (pendatang), atau hanya mengadopsi pendekatan wait and see. Salah satu hal yang menjadi permasalahan di benak pemerintah sebagaimana yang juga diungkapkan oleh US Federal Trade Commission (FTC) 27 adalah bagaimana suatu negara atau pemegang kebijakan lokal dapat menemukan suatu formulasi aturan yang tepat dan seimbang (misalnya dalam melindungi konsumen,
24
Ibid, p. 61. Lihat Pierre-Jean Benghozi (European Commission), et.al. (2015). Models of ICT Innovation (A Focus on the Cinema Sector). JRC Science and Policy Report, “The Case of Netflix (USA)”, p.76-79. Diakses dari http://is.jrc.ec.europa.eu/pages/ISG/EURIPIDIS/documents/JRC95536.pdf. Pada tanggal 15 Oktober 2018. 26 Codagnone (2015:30) provides a comprehensive list of the reports released by the two companies. Dalam Jean, “How to Catch a Unicorn”, p. 61. 27 FTC working to protect consumers by preventing anticompetitive, deceptive, and unfair business practices, enhancing informed consumer choice and public understanding of the competitive process, and accomplishing this without unduly burdening legitimate business activity. Lihat https://www.ftc.gov/about-ftc, diakses 16 Oktober 2018. 25
12 kesehatan maupun keselamatan publik) sementara di satu sisi juga ikut mempromosikan persaingan yang sehat dan inovasi melalui media teknologi. Hal ini menjadi dilema yang tidak terelakkan. Namun, yang perlu diingat bahwa pemerintah disini seharusnya mampu menempatkan diri sebaik-baiknya dalam rangka mengawasi pelaku usaha dan melindungi konsumen. Terkhusus untuk menanggulangi penyalahgunaan posisi dominan, maka pemegang otoritas persaingan usaha mempunyai bagian penting untuk mengambil kebijakan. Sebagaimana dikutip dalam Codagnone (2016), bahwa “Policymakers will need more evidence to make the right decisions about these complex, multifaceted and fast evolving issues.” 28 Berkaitan dengan sudut pandang Economic Analysis of Law. Hukum persaingan berbeda dengan cabang ilmu hukum lainnya. Secara jelas hukum persaingan bersinggungan dengan cabang ilmu ekonomi, khususnya ilmu tentang organisasi industri. Perkembangan pemikiran, teknik analisis, dan preferensi nilai dalam hukum persaingan yang berasal dari ilmu ekonomi, semakin memainkan peranan utama dalam perkembangan dan penerapan hukum persaingan. 29 Penulis berkaitan dengan isu hukum yang diangkat dalam artikel akan melakukan analisis berdasarkan teori Economic Analysis of Law (Analisis Ekonomi terhadap Hukum) yang dikemukakan oleh Richard A. Posner. Teori ini mengemukakan tentang prinsip-prinsip ekonomi sebagai pilihan-pilihan rasional untuk menganalisa persoalan-persoalan hukum.30 Sehingga dapat dikatakan bahwa teori tersebut juga hakikatnya membahas mengenai studi kritis tentang hukum melalui pendekatan ekonomi (critical legal studies with the antecedents of economic approach). Teori
28
Lihat Jean, How to Catch a Unicorn, p. 62. Lawrence Anthony Sullivan. (1977). Handbook of The Law of Antitrust, St. Paul, Minn, West Publishing Co, p. 1. Dalam Catur Agus Saptono, (2017), Hukum Persaingan Usaha (Economic Analysis of Law dalam Pelaksanaan Merger). Edisi Pertama, Depok: Kencana. Hlm. 41. 30 Richard Posner. (1972). Economic Analysis of Law, First Edition, Boston, Toronto, London, Little, Brown and Company, p. 3. Lihat juga dalam Donald H. J. Hermann, (1974), “Review of Economic Analysis of Law By Richard A. Posner”, Washington University Law Review, Volume 1974, Issue 2, p.354. diakses dari https://openscholarship.wustl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=2680&context=law_lawrev iew. Pada tanggal 21 Oktober 2018. 29
13 ni pada dasarnya berasal dari aliran utilitarianism31 yang mengutamakan asas manfaat, yang dikembangkan oleh Jeremi Bentham dan John Stuart Mill.32 Selain itu, dijelaskan lebih lanjut bahwa pendekatan ekonomi terhadap hukum juga tumbuh dari gerakan realisme Amerika Serikat yang maan gerakan ini mencoba melihat hukum atau menjelaskan hukum dari pendekatan non hukum seperti ekonomi.33 Selanjutnya pendekatan ini dianggap sebagai sebuah teori. Teori hukum kritis seperti analisis ekonomi terhadap hukum merupakan suatu aliran pemikiran hukum yang memperhatikan efisiensi ekonomi. Analisis ekonomi terhadap hukum menciptakan hubungan teori ekonomi dan teori hukum yang mampu memberikan penjelasan dan dukungan empirik untuk menjawab persoalan-persoalan hukum. Analisis ekonomi terhadap hukum memiliki dua model analisis yang memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan hukum yakni mencakup aspek positif dan aspek normatif.34 Dalam hubungannya dengan aspek positive analysis, yang bersifat
31
Lihat Ian Mc Leod, Palgrave. (2005). Legal Theory. New York, MacMilan, p. 164. “The Economic Analysis of Law, which lies in a direct line of descent from utilitarianism, substitutes the more easily measurable criterion of economic efficiency for the felicific calculus’s criteria of pleasure and pain.” 32 Dalam buku Maria G.S. Soetopo Conboy, (2015), Indonesia Getting Its Second Wind (Law and Economics for Welfare Maximation), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, p. 203. Dijelaskan bahwa “As explained in this book, specifically discussed in Chapter V (Economic Analysis of Law: A Viable Solution), applying economic models to analyse law is to examine how the changes in law affect the welfare of the society. At the same time, the method seeks to find the impact of the economic system on the law. According to Alain Marciano, Adam Smith and Jeremy Bentham were both founders of the philosophy of political economics. The two philosophers had one similar goal: welfare maximization. Lihat Alain Marciano, ed., (2009), Law and Economics: A Reader, London and New York, Routledge, p. viii. Lebih lanjut dalam buku Maria, dijelaskan bahwa In his book, The Economic of Justice, Richard Posner developed a moral theory that surprassed the classic philosophy of utilitarianism. Lihat Richard Posner, (1983), The Economic of Justice, Cambridge and London, Harvard University Press, p. 115. The quest for justice remains as EAL seeks for answers whether any action by individuals or institutions maximaize the wealth of society”. 33 Hilaire McCoubrey and Nigel White. (1993). Textbook on Jurisprudence, Third Edition, London, Blackstone Press Limited, p. 275 34 Richard A. Posner. (1998). Economics Analysis of Law, Fifth Edition, New York, Awolters Kluwer Company. Hlm. 27.
14 deskriptif atau prediktif.35. Analisis akan bertanya apabila kebijakan hukum tersebut dilaksanakan, prediksi atau penjelasan apa yang dapat kita buat yang mempunyai akibat ekonomi, di mana orang akan memberikan reaksi terhadap insentif atau disinsentif dari kebijakan hukum tersebut.36 Juga berkenaan dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule); Sedangkan dalam hubungannya dengan aspek normative analysis (yang secara konvensional diartikan sebagai welfare economics), yang bersifat preskriptif atau pegujian.37 Analisis akan bertanya apakah kebijakan atau perubahan hukum yang dilakukan akan mempengaruhi cara orang untuk mencapai apa yang diinginkannya. 38 Juga berkenaan dengan pertanyaan apakah pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai atas dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.39 Berkaitan dengan isu hukum yang diangkat, maka analisis akan lebih cenderung kepada yang bersifat normatif di mana diterangkan bahwa satu aturan hukum tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana memberikan level tertinggi bagi ukuran kesejahteraan sosial. Baik ditinjau dari kesejahteraan konsumen maupun pelaku usaha pesaing.
35
Jon. D. Hanson, Kathleen Hanson, and Melissa R. Hart. Law and Economics, dalam Dennis Paterson,ed. (1999). A Companion To Phylosophy of Law and Legal Theory, Victoria, Australia, Blackwell Publishing Ltd., p. 300-301. “To see why, it is necessary fi rst to consider two general modes of analysis within law and economics: the positive mode, which is descriptive or predictive.” 36 Michael J. Trebilcock. (1993). Law and Economics. The Dalhousie Law Journal, Volume 16, Number 2, (Fall), p. 361-363. Dalam Catur, Economic Analysis of Law dalam Pelaksanaan Merger. Hlm. 7. 37 Hanson. Law and Economics. p. 300-301.” and the normative mode, which is prescriptive or judgmental.” 38 Michael. Law and Economics. p. 361-363. Dalam Catur, Economic Analysis of Law dalam Pelaksanaan Merger. Hlm. 7. 39 Steven Shavell. (2004). Foundation of Economic Analysis of Law. Cambridge, Harvard University Press, p. 1-3.
15 Pendekatan ekonomi terhadap hukum memfokuskan pemikiran tentang bagaimana hukum-hukum yang ada agar dapat membantu meningkatkan efisiensi ekonomi. Sebagaimana diungkapkan bahwa “Posner also described a concept of ethics for a society through his theory of justice. He stated that the most common meaning of justice is efficiency. If a society does not benefit from economic efficiency, then an injustice had been done”.40 Lebih lanjut dijelaskan bahwa “tujuan dari hukum persaingan usaha pada dasarnya adalah untuk mendukung efisiensi dalam isu ekonomi”.41 Dalam kaitannya dengan hal tersebut maka konsep efisiensi mengambil peranan penting dalam proses analisis dalam artikel ini. Konsep efisiensi pada umumnya dibagi menjadi dua yakni Pareto Efficiency (di mana suatu hasil adalah lebih efisien jika setidaknya satu orang menjadi lebih baik dan dan tidak ada orang yang dirugikan42) dan Kaldor Hicks Efficiency (suatu perbuatan akan selalu berdampak bagi orang banyak sehingga akan selalu ada orang yang dirugikan sehingga suatu hasil adalah lebih efisien jika suatu peraturan hukum dapat memberikan kompensasi kepada mereka yang dirugikan, terlepas dari kompensasi itu diberikan atau tidak43). Dalam kaitannya dengan pembahasan, maka kerangka teori yang digunakan adalah mendasarkan pada Kaldor Hicks Efficiency sebagai konsep efisiensi untuk menilai perilaku anti persaingan suatu perusahaan apakah memiliki posisi dominan yang disalahgunakan dalam pangsa pasar terkait. Posner
40
Maria, Indonesia Getting Its Second Wind, p. 120. Richard A. Posner. (1976). Antitrust Law An Economic Perspective. Chicago and London, The University of Chicago Press, p.4. Dijelaskan bahwa “to the extent that efficiency is the goal of antitrust enforcement there is no justifcation for carrying enforcement into areas where competition is less efficient than monopoly because the cost of monopoly pricing are outweighed by the economies of centalizing production in one or a very few firms. Nor is there justification for using the antitrust laws to attain goals unrelated or antithetical to efficiency. Having established that the goal of antitrust law should be to promote efficiency in the economic sense. The focus is on price fixing agreements among competing firms and the related problems of oligopoly pricing, which appear to be the principal non governmental sources of monopolistic pricing”. 42 Guido Calabresi. (1991). The Pointless of Pareto: Carrying Coase Further. The Yale Law Journal Company, Volume 100, Number 5, Centennial Issue, (Maret), p. 1215. Dalam Catur, Economic Analysis of Law dalam Pelaksanaan Merger. Hlm. 7. 43 Posner. Economic Analysis of Law. p. 14. Dalam Catur, Economic Analysis of Law dalam Pelaksanaan Merger. Hlm. 8-9. 41
16 umumnya menggunakan Cost And Benefit Analysis yang mendasarkan pada Kaldor Hicks Efficiency untuk menganalisis posisi dominan suatu pelaku usaha, yang salah satu cirinya mengakibatkan hilang atau berkurangnya kesejahteraan ekonomi.44 Namun jika dilihat dalam kapasitas Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia maka dalam realitasnya KPPU jarang menggunakan Cost And Benefit Analysis untuk menentukan apakah suatu pelaku usaha melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal ini dikarenakan metode Cost And Benefit Analysis sendiri membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan waktu perhitungan yang lama sehingga hal tersebut umumnya tidak dilakukan oleh KPPU. Ini bisa saja dilakukan mengingat kewenangannya yang besar dalam hal penyelidikan dan pemeriksaan.45 3.
Penutup Pengawasan seyogianya dibutuhkan agar pasar menjadi sehat, pengaturan itu
haruslah menjadikan start-up unicorn dalam kerangka persaingan usaha yang menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Hal ini dilakukan dalam rangka efisiensi ekonomi dan persaingan usaha yang sehat. Argumentasi tersebut semakin dipertegas, dalam road map kerja Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia 2018-2023, di mana fokus pengawasan terhadap ekonomi digital termasuk start-up unicorn ini merupakan current issues KPPU (isu strategis dalam program kerja KPPU).46 Apabila kemudian hal ini akan diatur, maka yang menjadi tugas rumah dari stakeholders terkait adalah bagaimana membangun sebuah mekanisme pengawasan yang jelas bagi pelaku usaha di bidang ekonomi digital ini, apakah sama dengan pengawasan pada pasar konvensional atau diperlukan mekanisme tersendiri dalam pengaturan start-up unicorn ini. Beberapa hal tersebut
44
Richard A Posner. (2000). Cost-Benefit Analysis: Definition, Justification, and Comment on Conference Papers. The Journal of Legal Studies, Volume 29, Number 2, The University of Chicago Press (June), p. 1169-1170. 45 Disampaikan oleh Dosen Pemangku Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha pada perkuliahan pascasarjana kekhususan hukum Ekonomi, Universitas Indonesia, Ditha Wiradiputra S.H., M.E, Tanggal 8 Oktober 2018. 46 Rr. Ariyani Yakti. (2018). KPPU Mulai Awasi Perkembangan Ekonomi Digital, Ini Sebabnya. Diakses dari https://bisnis.tempo.co. Pada tanggal 30 September 2018.
17 masih menjadi pertanyaan. Yang jelas saat ini, belum ada ketentuan mengenai pengawasan start-up unicorn kendatipun telah ada beberapa kasus yang telah masuk dan menjadi bahan kajian KPPU. Padahal seyogianya pengawasan adalah hal yang penting untuk segera dilakukan mengingat start-up unicorn sangat menguasai pangsa pasar di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, maka jelas bahwa artikel ini secara teoritis, digunakan untuk pengkajian konseptual disiplin hukum ekonomi khususnya dalam cakupan isu persaingan usaha terhadap pengawasannya kepada start-up (online platform) terkhusus pada start-up unicorn. Serta sebagai referensi bahan kajian untuk mengembangkan konsep pemikiran secara logis dan sistematis yang dimanfaatkan oleh para pengemban hukum secara teoritis untuk menilik dan menganotasi model pengawasan persaingan usaha di era ekonomi digital di Indonesia. Selain itu, juga dalam rangka mengkaji secara empiris mengenai urgensi dan tantangan yang akan mengarah pada peran strategis masing-masing stakeholders terkait dalam menangani isu hukum ini. Secara praktis, isu hukum yang diangkat ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai bentuk pengawasan dan penanganan persaingan pada pasar digital. Menambah ilmu pengetahuan, wawasan serta pemahaman dan sebagai bahan masukan yang berguna bagi pembaca. Memberikan rekomendasi terhadap pemerintah selaku pemegang kebijakan hukum persaingan usaha melalui peran KPPU untuk mereformulasikan arah kebijakan pengawasan terhadap bisnis start-up unicorn yang seiring dengan perkembangan zaman semakin penting untuk diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA Buku Alain Marciano. ed. (2009). Law and Economics: A Reader. Routledge. London and New York.
18 Catur Agus Saptono. (2017). Hukum Persaingan Usaha (Economic Analysis of Law dalam Pelaksanaan Merger). Edisi Pertama. Depok: Kencana Dennis Paterson. ed. (1999). A Companion To Phylosophy of Law and Legal Theory. Australia, Blackwell Publishing Ltd. Victoria. Dian Mega Erianti Renouw. (2017). Perlindungan Hukum E-Commerce. Yayasan Taman Pustaka. Jakarta. Hilaire McCoubrey. et.al. (1993). Textbook on Jurisprudence. Third Edition. Blackstone Press Limited. London. Ian Mc Leod. (2005). Legal Theory. MacMilan. New York. Lawrence Anthony Sullivan. (1977). Handbook of The Law of Antitrust. West Publishing Co. St. Paul. Minnesota. Maria G.S. Soetopo Conboy. (2015). Indonesia Getting Its Second Wind (Law and Economics for Welfare Maximation). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Paolo Sigismondi. (2011). The Digital Globalization of Entertainment. Spinger Science & Business Media. Berlin. Rhenald Kasali. (2017). Disruption (Tak Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi Motivasi Saja Tidak Cukup). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Richard A. Posner. (1972). Economic Analysis of Law. First Edition. Little, Brown and Company. Boston, Toronto, London. ______________. (1976). Antitrust Law An Economic Perspective. University of Chicago Press. Chicago and London. ______________. (1983). The Economic of Justice. Harvard University Press. Cambridge and London. ______________. (1998). Economics Analysis of Law. Fifth Edition. Awolters Kluwer Company. New York. Steven Shavell. (2004). Foundation of Economic Analysis of Law. Harvard University Press. Cambridge. Jurnal Amelia H. Boss. (1991). The International Commercial Use of Electronic Data Interchange and Electronic Communications Technologies. The Business Lawyer, Volume 46, Number 4, August.
19
Boston Consulting Group (BCG). (2000). The Race for Online Riches - E-retailing in Europe. A Report by the BCG, Maryland: Silver Spring, February. Donald H. J. Hermann. (1974). Review of Economic Analysis of Law By Richard A. Posner. Washington University Law Review, Volume 1974, Issue 2. Guido Calabresi. (1991). The Pointless of Pareto: Carrying Coase Further. The Yale Law Journal Company, Volume 100, Number 5, Centennial Issue, Maret. Katherine Taken Smith. et.al. (2011). Case Studies of Cybercrime and Its Impact on Marketing Activity and Shareholder Value. Academy of Marketing Studies Journal, Volume 15, Number 2, Tennessee Tech University. Michael J. Trebilcock. (1993). Law and Economics. The Dalhousie Law Journal, Volume 16, Number 2, Fall. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). (1998). The Economic and Social Impact of Electronic Commerce: Preliminary Findings dan Reseacrh Agenda, (A report by The Secretary-General for The Ottawa Ministerial Conference tentang “A Borderless World: Realising the Potential for Global Electronic Commerce�). Richard A Posner. (2000). Cost-Benefit Analysis: Definition, Justification, and Comment on Conference Papers. The Journal of Legal Studies, Volume 29, Number 2, The University of Chicago Press, June. Salvatore Mancuso. (2007). Consumer Protection in E-commerce Transactions: a First Comparison between European Law and Islamic Law. Journal of International Commercial Law and Technology, Volume 2, Issue 1, University of Macau. Internet Andina Librianty. (2018). Mengenal Ant Financial, Unicorn Terbesar di Dunia. Diakses dari https://www.liputan6.com. Pada tanggal 30 September 2018. Antara. CNN Indonesia. (2018). Cegah Tindak Monopoli, KPPU Awasi Aksi Grab. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180409143445185-289497/cegah-tindak-monopoli-kppu-awasi-aksi-grab. Pada tanggal 01 September 2018.
20 Ayomi Amindoni. (2018). Ekonomi Digital Mulai Moncer, Ini Dia Daftar Unicorn dari Indonesia. Diakses dari https://www.bbc.com. Pada tanggal 30 September 2018. Caroline Howard. (2013). Disruption Vs. Innovation: What's The Difference. Diakses dari http://www.forbes.com/sites/carolinehoward/2013/03/27/yousay-innovator-i-say-disruptor-whats-the-difference/#49dff4446f43. Pada tanggal 30 September 2018. Clayton M. Christensen. et.al. (2015). What is Disruptive Innovation. Diakses dari http://hbr.org/2015/12/what-is-disruptive-innovation. Pada tanggal 30 September 2018. Federal Trase Commission. About FTC. Diakses dari https://www.ftc.gov/aboutftc. Pada tanggal 16 Oktober 2018. Gerakan 1.000 Startup Digital. (2018). Diakses dari https://1000startupdigital.id. Pada tanggal 30 September 2018. Hani Nur Fajrina. CNN Indonesia. (2016). Matahari Department Store Buka ‘Cabang’ Toko Online. Diakses dari https://cnnindonesia.com. Pada tanggal 01 September 2018. Jean Paul Simon (European Commission). (2016). How to Catch a Unicorn (An exploration of the universe of tech companies with high market capitalisation). JRC Technical Reports. Diakses dari http://publications.jrc.ec.europa.eu/repository/bitstream/JRC100719/jrc1007 19.pdf. Pada tanggal 15 Oktober 2018. Jordhi Farhansyah. (2018). Perkembangan Startup Indonesia Meningkat, DailySocial.id Rilis Startup Report 2017. Diakses dari https://www.idntimes.com. Pada tanggal 1 Oktober 2018. Karishma Vaswani. (2018). Terjepit Go-Jek Dan Grab: Mengapa Uber Jadi Raksasa Yang Kalah-Berulang Kali?. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/majalah-43551198. Pada tanggal 01 Oktober 2018. Katherine Taken Smith. (2011). Consumer Perceptions Regarding E-Commerce and Related Risks. Diakses dari https://www.westga.edu/~bquest/2011/ecommerce11.pdf. Pada tanggal 15 September 2018. Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. (2018). Mendorong Unicorn Baru. Diakses dari https://kominfo.go.id. Pada tanggal 30 September 2018.
21
Maria Dolorosa Kusuma Perdani. et.al. (2018). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Startup di Yogyakarta. (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2018 (SENTIKA 2018), ISSN: 2089-9815 Yogyakarta). Diakses dari http://fti.uajy.ac.id. Pada tanggal 30 September 2018. Michael R. Wade. (2017). How Disruption is Redefining Leadership. Diakses dari http://www.imd.org/publications/articles/how-disruption-is-redefiningleadership. Pada tanggal 30 September 2018. Pierre-Jean Benghozi (European Commission). et.al. (2015). Models of ICT Innovation (A Focus on the Cinema Sector). JRC Science and Policy Report. The Case of Netflix (USA). Diakses dari http://is.jrc.ec.europa.eu/pages/ISG/EURIPIDIS/documents/JRC95536.pdf. Pada tanggal 15 Oktober 2018. Rhenald Kasali. (2017). Meluruskan Pemahaman Soal Disruption. Diakses dari https://bisniskeuangan.kompas.com/read/2017/05/05/073000626/meluruska n.pemahaman.soal.disruption. Pada tanggal 30 September 2018. Rr. Ariyani Yakti. (2018). KPPU Mulai Awasi Perkembangan Ekonomi Digital, Ini Sebabnya. Diakses dari https://bisnis.tempo.co. Pada tanggal 30 September 2018. Tim Redaksi Republic of Indonesia Host Country of IMF-WBG Annual Meetings. (2018). Annual Meetings, Ekonomi Digital, dan Dunia yang Terus Berubah. Diakses dari https://www.am2018bali.go.id/id/blogs/detail/ annual-meetings-ekonomi-digital-dan-dunia-yang-terus-berubah. Pada tanggal 30 September 2018.
22 PENGATURAN HAK GUNA BANGUNAN DAN KAITANNYA DENGAN KEMUDAHAN BERUSAHA (EASE OF DOING BUSINESS) Mahdiani1 1
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, E-mail: niamahdia12@gmail.com
Abstrak: Hak Guna Bangunan merupakan salah satu fasilitas dari pemerintah dalam upaya meningkatkan iklim penanaman modal yang kondusif. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal pengaturan mengenai Hak Guna Bangunan diberikan dengan jangka waktu yang lebih panjang daripada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria yang mana sebagai pengejawantahan langsung dari pasal 33 UUD 1945. Namun, belakangan fasilitas Hak Guna Bangunan dalam UUPM dibatalkan oleh MK karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Studi analisis mengenai jangka waktu Hak Guna Bangunan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka kemudahan berusaha bagi investor. Dalam penulisan jurnal ilmiah ini menggunakan metode normatif. Tumpang tindih mengenai kebijakan hak guna bangunan ini menimbulkan ketidakselarasan yang berakibat kemudahan dalam berusaha tidak terwujud sebagaimana yang dikehendaki dalam pengaturan penanaman modal. Kata Kunci: Hak Guna Bangunan; Penanaman Modal; Kebijakan; Hukum Pertanahan.
1. Pendahuluan Amanat konstitusi agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang bertujuan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia. Keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan dimantapkan melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVI Tahun 1998 tentang politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi sebagai sumber hukum materiil. Dengan demikian, pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi menjadi bagian dari kebijakan dasar penanaman modal. Terkait hal tersebut maka penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
23 pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu system perekonomian yang berdaya saing.1 Adanya undang-undang Penanaman Modal merupakan bagian dari upaya mewujudkan apa yang telah diamanatkan tersebut, tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain kepastian hukum, perbaikan kordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif dibidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.2 Kebijakan pengembangan penanaman modal diarahkan untuk: (1) Mendukung pertumbuhan berkelanjutan dan meningkatkan iklim penanaman modal; (2) Mendorong FDI untuk memperbaiki daya saing ekonomi nasional; meningkatkan kapasitas infrastruktur fisik; membangun penanaman modal dalam kerangka pelaksanaan demokrasi ekonomi yang diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh masyarakat; dan (3) Meningkatkan realisasi penanaman modal ke seluruh Indonesia. Konsep dasar pengembangan penanaman modal tentu diarahkan pada peningkatan produktivitas secara agregat. Untuk mencapai itu, diperlukan dukungan iklim penanaman modal yang “conducive�, antara lain adalah (1) adanya kepastian, kestabilan dan keamanan; (2) Stabilitas makro ekonomi (inflasi, suku bunga dan kurs, sistem moneter dan fiskal yang sustainable); (3) Reformasi birokrasi, perpajakan, kebijakan, aturan; (4) Penyediaan infrastruktur yang cukup (listrik, air, pelabuhan, jalan, dan sebagainya); (5) Tenaga kerja yang mengacu pada produktivitas; (6) SDM, pendidikan, kesehatan, disiplin, motivasi; (7) Setiap daerah
1
Zainuddin Ali (2014). Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru. Hlm 36. 2 Ibid
24 harus fokus pada sektor industri unggulan; dan (8) Menjalin kerjasama sinergis antar daerah.3 Selain itu pemerintah juga memberikan berbagai fasilitas dengan tujuan memudahkan dan mendorong pertumbuhan penanaman modal seperti melakukan peluasan usaha, melakukan penanaman modal baru, pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, yang tentunya dengan beberapa syarat seperti yang terdapat dalam pasal 18 ayat 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Disamping itu fasilitas lain yang diberikan pemerintah juga memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: hak atas tanah; 
fasilitas pelayanan keimigrasian; dan fasilitas perizinan impor. Terkait perizinan hak atas tanah pemerintah memberikan kemudahan dengan bisa diperpanjang dimuka sekaligus dan dapat diperbarui kembali yang berupa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak pakai. Khusus Hak Guna Bangunan Pemerintah memberikan jangka waktu dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun.4 Namun kemudian pengaturan ini di uji materil karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pengaturan Hak Guna Bangunan HGB juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, dalam pasal 35:5 ayat (1) : Hak guna Bangunan dimana hak untuk mendirikan dan mempunyai
3
Ahmad Ma’ruf. (2012). Strategi Pengembangan Investasi Di Daerah: Pemberian Insentif Ataukah Kemudahan?. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vol. 13 No. 1 April. Hlm 44. 4
Republik Indonesia Undang-Undang tentang Penanaman Modal. UU No. 25 Tahun 2007, LN No. 67, TLN No. 4724. Pasal 22 ayat 1 huruf b. 5 Republik Indonesia Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104, TLN No. 2043.
25 bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri diberikan jangka waktu paling lama 30 tahun. ayat (2) : Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan
bangunan-bangunannya,
jangka
waktu
tersebut
dapat
diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Hukum Tanah Nasional yang pokok-pokoknya tercantum dalam UndangUndang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) merupakan pelaksanaan langsung dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, sekaligus juga merupakan pengejawantahan aspirasi bangsa Indonesia dalam pembaharuan Hukum Tanah Nasional.6 Undang-Undang Pokok Agraria selain memuat kebijakan pertanahan nasional (National Land Policy) dan menjadi dasar pengelolaan tanah di Indonesia, undang-undang ini sekaligus merupakan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang diharapkan merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat. UUPA dipandang sebagai reformasi agraria Indonesia. Dimaknai demikian, karena undang-undang ini bertujuan untuk mempersatukan (dan dengan demikian menghilangkan) sistem ganda dari undang-undang agraria yang didasarkan atas undang-undang agraria kolonial tahun 1870-an. Salah satu hal mendasar dalam undang-undang kolonial adalah mengenai hak-hak yang berdasarkan atas hukum barat dengan corak individualnya yang berlaku untuk penanaman modal asing di satu pihak dan hakhak tradisional setempat berdasarkan adat untuk orang lndonesia di lain pihak.7 Perbedaan dalam jangka waktu hak guna bangunan tersebut membuat investor dan pengusaha di Indonesia atau Asosiasi pengusaha Indonesia (APINDO) kesulitan, dan dirasa pengaturan tersebut tidak memudahkan karna terdapat aturan
6
Arie S. Hutagalung. (2008). Kebijakan Pertanahan Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol. 38 No. 3. Hlm 354. 7 I Gede AB Wiranata. (2006). Revitalisas Pengaturan Alih fungsi Tanah dalam Kegiatan Investasi. Pranata Hukum. Vol. 1 No. 1 Juli. Hlm 79.
26 yang sama namun tidak selaras atau tumpang tindih, Aturan yang berbeda ini menimbulkan kebingungan ketika pengusaha konsultasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) ketika HGB akan berakhir.8 Adanya perbedaan ini membuat tujuan pemerintah dalam mempermudah investasi dan memajukan ekonomi Indonesia akan terhalang, para pengusaha tetap merasa disulitkan dikarenakan ketidak selarasan tersebut. 2. Analisis 2.1 Peraturan-Peraturan Mengenai Hak Guna Bangunan a. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal tidak terlepas dari tujuannya yaitu untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Serta dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional perlu diciptakan iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi nasional. 9 Selain itu, pengaturan mengenai investasi yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UndangUndang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan
8
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Catatan Apindo tentang Regulasi Pemerintah yang Masih Tumpang Tindih. https://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/30/061600826/catatanapindo-tentang-regulasi-pemerintah-yang-masih-tumpang-tindih. Penulis : Andri Donnal Putera. 9 Bagian konsideran huruf c. Undang-Undang Penanaman Modal. UU No. 25 Tahun 2007. LN No. 67. TLN No. 4724.
27 pembangunan hukum nasional dalam bidang penanaman modal.10 Indonesia sebagai negara berkembang sangat membutuhkan penanaman modal sebagai upaya meningkatkan laju perekonomian nasional. Keuntungan tidak hanya didapat oleh investor saja tapi juga sangat menguntungkan negara dan masyarakat dimana investor menanamkan modalnya. Guna menciptakan iklim investasi
yang
kondusif
pemerintah
melakukan
strategi-strategi
seperti
merumuskan kebijakan di bidang penanaman modal. Melalui Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) diberikan fasilitas-fasilitas dalam penanaman modal yang terdapat dalam Pasal 18 sampai 24 UUPM. Namun fasilitas tersebut tidak langsung diberikan oleh pemerintah bagi semua penanam modal, dalam Pasal 18 ayat (3) UUPM 11 telah diatur mengenai kriteria investor yang akan mendapat fasilitas penanaman modal.12 Selain fasilitas yang diberikan dalam pasal 18 tersebut, pemerintah juga memberikan fasilitas lain seperti yang terdapat dalam pasal 2113, dalam pasal ini terdapat hak atas tanah untuk investor dalam rangka memudahkan pelayanan dan perizinan. Dalam pasal 22 disebutkan investor tidak saja diberikan Hak Guna Usaha
10
Bagian Konsideran huruf e. Undang-Undang Penanaman Modal. UU No. 25 Tahun 2007. LN No. 67. TLN No. 4724. 11 Penanaman modal yang mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini: a. menyerap banyak tenaga kerja; b. termasuk skala prioritas tinggi; 
c.termasuk pembangunan infrastruktur; d.melakukan alih teknologi; e. melakukan industri pionir; 
f.berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; g.menjaga kelestarian lingkungan hidup; h.melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; i.bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau j.industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. 12
Ni Made Wulan Kesuma Wardani. Kadek Sarna. Analisis Pengaturan Kriteria Fasilitas Penanaman Modal Dikaitkan Dengan Prinsip Most Favored Nation. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana.
13
Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan atau perizinan untuk memperoleh hak atas tanah, pelayanan keimigrasian dan perizinan impor.
28 tapi juga Hak Guna Bangunan, serta Hak Pakai. Mengenai Hak Guna Bangunan (HGB) Undang-Undang ini memberikan kemudahan dan jangka waktu yang panjang untuk investor, dalam pasal 22 ayat (1) huruf b Hak Guna Bangunan diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dan dapat diperpanjang dimuka sekaligus selama 50 tahun, dan diperbarui selama 30 tahun. Prof. Erman Rajagukguk pernah mengemukakan, dalam perdebatan di Parlemen mengenai Rancangan Undang-Undang Investasi yang menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, bulan Maret 2007, Pemerintah Indonesia dan para anggota DPR, kecuali Fraksi PDIP, setuju tentang pemberian dan perpanjangan hak atas tanah bagi investor diberikan pada saat yang sama. Setelah jangka waktu itu berjalan, melalui proses evaluasi, hak atas tanah tersebut dapat diperbaharui. Mengenai pengaturan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah termasuk hak guna bangunan yang dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal dalam Pasal 22 ayat (1) UU Penanaman Modal adalah sebagai berikut. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. Sementara Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun. Menurut Prof. Erman Rajagukguk, pengaturan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana disebutkan di atas tentunya untuk
29 lebih memenuhi kebutuhan para investor. Apabila berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah paling lama 35 tahun dan setelah itu dapat diperpanjang 25 tahun lagi. Jangka waktu ini dinilai tidak memadai lagi untuk investor. Di Negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Vietnam dan China pada tahun 2007 telah memberikan hak atas tanah bagi investor dalam periode diantara 75-90 tahun.14 Dalam penjelasannya pasal 22 mengenai Hak Guna Bangunan (HGB) diperoleh dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun. Namun putusan MK Nomor 21/PUU-V/2007 Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Terhadap UndangUndang Dasar 1945, mengenai Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai (HP) tak boleh lagi diperpanjang sekaligus di muka. Pasal 22 ayat (1), ayat (2) dan (4) sepanjang menyangkut “kata-kata di muka sekaligus� bertentangan dengan UUD 1945.15 Salah satu pertimbangan MK dalam putusan ini yakni mengenai pemberian dan perpanjangan hak-hak atas tanah yang diberikan sekaligus di muka bisa menghambat negara dalam memberikan hak atas tanah secara merata yang salah satu alasan tersebut tidak dapat dijadikan dalil yang bisa dipakai negara untuk mencabut hak-hak atas tanah seperti yang termuat dalam Pasal 22 ayat (4). Oleh karena itu, sebagian dari kewenangan negara untuk melakukan tindakan pengelolaan (beheersdaad), mengenai kewenangan dalam melakukan pemerataan kesempatan untuk mendapatkan hak-hak atas tanah secara lebih adil dan lebih merata tidak terlaksana.16
14
Ermanto Fahamsyah. http://business-law.binus.ac.id/2014/12/14/urgensipengaturan-insentif-hak-atas-tanah-bagi-investasi-sektor-perkebunan/ diakses 1 Oktober 2018. 15 https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18835/mk-hapus-frase-di-mukasekaligus16 Arie S. Hutagalung. Op.Cit.
30 

Pemberian fasilitas ini memang sangat berperan penting untuk mendorong
kegiatan penanaman modal dengan tujuan dapat meningkatkan kualitas dan kemampuan daya saing penanaman modal. Dengan kemudahan-kemudahan tersebut dimaksudkan untuk menarik atau mendatangkan investor sebanyakbanyaknya untuk melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia.17 Oleh karenanya pengaturan mengenai hak atas tanah yang didalamnya menyangkut hak guna bangunan yang diberikan dalam undang-undang ini pada akhirnya menjadi sama dengan undang-undang pokok agraria namun berbeda dengan PP No.40 Tahun 1996. b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria
Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan dalam Undang-Undang agraria terdapat dalam pasal 35 ayat (1) “Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Ayat (2) atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan- bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Ayat (3) Hak guna-bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dalam penjelasannya tidak diberikan kejelasan lebih rinci, hanya disebutkan hak guna bangunan bukan mengenai tanah pertanian. Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai langsung oleh negara dapat pula diberikan atas tanah milik seseorang. Mengenai subjek dari HGB, berdasarkan Pasal 36 UUPA adalah: a. Warga negara Indonesia; b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Guna Bangunan hapus karena: jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum waktunya karena sudah tidak memenuhi syarat-syarat yang harus
17
Ni Made Wulan Kesuma Wardani. Op. Cit.
31 dipenuhi, dilepskan oleh pemegang hak yang bersangkutan sebelum habis jangka waktunya, dicabut oleh pemerintah untuk kepentingan umum, tahanhnya ditelantarkan, tanahnya musnah.18 Melihat dari dibentuknya undang-undang agraria dikarenakan negara republik
Indonesia
yang
susunan
kehidupan
rakyatnya,
termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, dan pengaturan mengenai agraria sebelumnya sebagian disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan dipengaruhi olehnya sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara didalam menyelesaikan revolusi nasional.19 Selain itu Undang-Undang Pokok Agraria merupakan pelaksanaan dari dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar dan manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.20 Dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat�. Tujuan diundangkan UUPA sebagaimana dimuat dalam penjelasan umum salah satunya yaitu meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
18
19
Mokhamad Najih. Soimin. (2012). Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press. Hlm 257.
Bagian Konsideran huruf a dan b. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960. LN No. 104. TLN No. 2043. 20 Bagian Menimbang huruf d. Undang-Undang tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960. LN No. 104 TLN No. 2043.
32 c. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU HGB dan HP Ketentuan mengenai Hak Guna Bangunan juga diatur dalam PP No. 40 Tahun 1996, dalam pasal 25 ayat (1) Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. Ayat (2) sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama. Dalam PP ini perpanjangan mengenai hak guna bangunan dapat diberikan dengan beberapa syarat sebagaimana yang terdapat dalam pasal 26 ayat (1) : a. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut; b.syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 19.21 d. tanah tersebut masih sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan. Mengenai perpanjangan hak guna bangunan terkait kepentingan investasi terdapat dalam pasal 28, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Selain jangka waktu, PP ini juga mengatur lebih spesifik mengenai hak Guna Bangunan ini, hal ini terlihat dari pasal-pasal yang mengatur mengenai tanah yang bisa diberikan hak guna bangunan, terjadinya hak guna bangunan, kewajiban pemegang hak guna bangunan, pembebanan hak guna bangunan, peralihan hak guna bangunan, serta hapusnya hak guna bangunan.
21
Mengenai subyek hak guna bangunan, yakni warga negara Indonensia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Peraturan Pemerintah tentang HGU. HGB dan Hak Pakai atas Tanah. PP Nomor 40 Tahun 1996. LN No.58. TLN No. 3643.
33 Ada dua pertimbangan pokok yang melatar belakangi diterbitkannya PP No. 40 Tahun 1996 tersebut. Pertama, peran strategis tanah dalam kehidupan bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Bagi masyarakat agraris yang sedang menuju masyarakat industri, tanah merupakan faktor penting dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu tanah juga merupakan salah satu modal utama, baik sebagai wadah pelaksanaan pembangunan maupun sebagai faktor produksi untuk menghasilkan komoditas-komoditas perdagangan yang sangat diperlukan guna meningkatkan pendapatan nasional. Kedua, demi adanya kepastian hukum di bidang pertanahan. Dengan semakin rumitnya permasalahan pertanahan dan semakin besarnya keperluan akan tertib hukum, tertib administrasi, tertib pemeliharaan tanah, serta pelestarian lingkungan hidup, diperlukan peraturan perundangan yang mengatur mengenai HGU, HGB, dan Hak Pakai sebagai hak atas tanah yang masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 secara formal memang memberikan jaminan kepastian hukum, tetapi tidak dengan sendirinya membawa manfaat bagi dunia industri atau investasi bila dalam praktiknya tidak dilaksanakan secara efektif karena kendala-kendala yang bersifat administrasi ataupun sikap mental aparatur pelaksana yang kurang kondusif untuk tegaknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. 22 Jangka waktu hak guna bangunan dari berbagai peratutan tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
22
Lili Naili Hidayah. (2014). Pengadaan Tanah Untuk Investasi Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Investasi Dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Majalah Hukum Forum Akademika. Vol 25. No. 1 Maret. Hlm.
34 Jangka Waktu HGB UU No. 5 Tahun 1960 - Jangka waktu
UU No. 25 tahun 2007 -Jangka
waktu
PP No. 40 Tahun 1996
dapat
-Jangka waktu paling lama 30 tahun,
maksimal 30 tahun,
diberikan dengan jumlah
dapat diperpanjang untuk jangka
dapat diperpanjang
80 tahun dengan cara
waktu paling lama 20 tahun.
maksimal 20 tahun.
dapat
diberikan
diperpanjang sekaligus
dan
dimuka
selama
50
- Dapat diperbaharui -Perpanjangan
waktu
untuk
kepentingan penanaman modal dapat
tahun dapat diperbarui
dilakukan
sekaligus
dengan
selama 30 tahun.
membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat mengajukan pertama kali hak guna bangunan.
2.2. Urgensi Hak Guna Bangunan dan Kaitannya dengan Kemudahan Berusaha Era reformasi sekarang ini, salah satu masalah pokok yang dihadapi oleh pemerintah adalah mengembangkan dunia usaha secara berimbang, hal ini erat kaitannya dengan kesinambungan pembangunan. Oleh karenanya pemerintah perlu meningkatkan
langkah-langkah
mengembangkan
usaha
swasta
nasional,
memberikan perhatian perhatian pada pembangunan prasarana dan mencipatakn iklim yang menunjang pertumbuhan ekonomi.23 Pemerintah melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJM 2015-2019 dalam agenda pembangunan nasional termasuk didalamnya penguatan investasi, yang bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses
23
Rahayu Hartini. (2005). Hukum Komersial. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Hlm 271.
35 perizinan, menurunkan waktu dan jumlah prosedur memulai usaha untuk meningkatkan Ease of Doing Business (EoDB), meningkatkan investasi PMA dan PMDN yang ditempuh dengan kebijakan, kebijakan ini mengarah pada kepastian hukum dalam investasi melalui penyederhanaan prosedur perijinan, pengembangan layanan investasi dan transparansi, sinkronisasi peraturan pusat dan daerah, peningkatan iklim ketenagakerjaan, peningkatan persaingan usaha yang sehat melalui pencegahan dan penegakan hukum persaingan usaha serta pemberian insentif dan fasilitas investasi.24 Pemerintah berupaya penuh dalam mewujudkan iklim investasi yang baik yang salah satunya diwujudkan dalam UUPM, dapat dilihat dalam UUPM mengatur bahwa penanaman modal mempunyai pokok-pokok kebijakan: Perlakuan yang sama terhadap PMDN maupun PMA; Tidak ada persyaratan modal minimum; Dapat melakukan transfer dan repatriasi terhadap modal dan keuntungan; Terdapat jaminan hukum; dan penyelesaian sengketa. Fasilitas penanaman modal berupa hak atas tanah yang terdiri dari Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai; Fasilitas Imigrasi bagi investor dan tenaga kerja asing; dan Insentif Fiskal berupa pengurangan pajak penghasilan dan keringanan bea masuk.25 Bentuk pemberian insentif dan fasilitas yang berupa hak atas tanah seperti yang terdapat dalam pasal 22 ayat (1) huruf b UUPM, Hak Guna Bangunan diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dan dapat diperpanjang dimuka sekaligus selama 50 tahun, dan diperbarui selama 30 tahun. Namun pada akhirnya menjadi sama dengan UUPA setelah uji materi di MK yang berjumlah 50 tahun dan dapat diperbarui 30 tahun. Meski begitu aturan ini tetap menimbulkan perbedaan persepsi dan ketidak selarasan. Terlebih bagi pengusaha yang ingin memperpanjang hak guna bangunannya. Kerancuan tersebut bukan tidak mendasar, dalam pasal 23 PP N0. 40 1996, Pemberian Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam
24
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019 Buku I Agenda Pembangunan Nasional, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. 2014. 25
Ahmad Ma’ruf. Op.Cit
36 Pasal 2226 ayat (1) didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan. Ayat (2) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara atau atas tanah Hak Pengelolaan terjadi sejak didaftar oleh Kantor Pertanahan. Namun jika dilihat dari pengaturan hak guna bangunan yang dikehendaki UUPM, dapat dipersamakan dengan melihat pada pasal 26 PP No. 40 Tahun 1996 Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dapat diperpanjang atau diperbarui, jika memenuhi syarat dimana tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut, syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak, pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, dan tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan. Lebih lanjut Dalam pasal 28, Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2527 dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan. Mengenai uang pemasukan untuk perpanjangan atau pembaharuan HGB dikenakan biaya administratif yang besarnya ditetapkan oleh menteri setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
26
ayat (1) Hak Guna Bangunan atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Ayat (2) Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasar-kan usul pemegang Hak Pengelolaan. Ayat (3) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan dan pemberian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGB, HGU. 27 ayat (1)Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun. (2) Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangannya sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama. PP No. 40 tahun 1996.
37 3. Penutup Hak Guna Bangunan yang merupakan salah satu fasilitas dari pemerintah untuk investor atau pengusaha yang pengaturannya terdapat dalam UUPM dan UUPA yang dinilai tidak selaras atau tumpang tindih, dalam UUPM jangka waktu mengenai HGB berjumlah 80 Tahun dengan dapat diberikan sekaligus selama 50 tahun dan diperpanjang selama 30 tahun. Sementara UUPA jangka waktu HGB selama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Meski kemudian aturan jumlah antara UU tersebut menjadi sama karena perpanjangan “dimuka sekaligus� dinilai bertentangan dengan UUD. Namun jika dilihat dari PP No. 40 Tahun 1996 jangka waktu mengenai HGB ini akan menjadi sama jumlahnya dengan apa yang dikehendaki UUPM selama pengusaha tersebut memenuhi syarat-syarat perpanjangan tersebut. Seperti yang terdapat dalam pasal 28 ayat (1) untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan yakni diberikan untuk jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama dua puluh tahun, dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan.
Daftar Pustaka Regulasi Republik Indonesia Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1960, LN No. 104, TLN No. 2043. Republik Indonesia Undang-Undang tentang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, LN No. 67, TLN No. 4724.Pasal 22 ayat 1 huruf b. Peraturan Pemerintah tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah, PP Nomor 40 Tahun 1996.
38 Buku Arie S Hutagalung. (2008). Kebijakan Pertanahan Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Jurnal Hukum dan Pembangunan. Vol. 38 No. 3. Ahmad Ma’ruf. (2012) Strategi Pengembangan Investasi Di Daerah: Pemberian Insentif Ataukah Kemudahan?. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan. Vol. 13 No. 1 April 2012. I Gede AB Wiranata. (2006). Revitalisas Pengaturan Alih fungsi Tanah dalam Kegiatan Investasi. Pranata Hukum. Vol. 1 No. 1 Juli 2006. Lili Naili Hidayah. (2014). Pengadaan Tanah Untuk Investasi Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Investasi Dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria� Majalah Hukum Forum Akademika, Vol 25, No. 1 Maret. Mokhamad Najih, Soimin. (2012). Pengantar Ilmu Hukum, Malang: Setara Press. Ni Made Wulan Kesuma Wardani, Kadek Sarna. (2014). Analisis Pengaturan Kriteria Fasilitas Penanaman Modal Dikaitkan Dengan Prinsip Most Favored Nation. Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana, Vol. 02, N0. 03 Juni. Peter Mahmud Marzuki. (2014). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Rahayu Hartini. (2005). Hukum Komersial. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019. (2014). Buku I Agenda Pembangunan Nasional, Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Zainuddin Ali. (2014). Aspek Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Masyarakat Indonesia Baru.
39 Website Ermanto
Fahamsyah,
http://business-law.binus.ac.id/2014/12/14/urgensi-
pengaturan-insentif-hak-atas-tanah-bagi-investasi-sektor-perkebunan/ diakses 1 Oktober 2018. https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18835/mk-hapus-frase-di-mukasekaligushttps://ekonomi.kompas.com/read/2018/01/30/061600826/catatan-apindo-tentangregulasi-pemerintah-yang-masih-tumpang-tindih. Penulis : Andri Donnal Putera
40 KONTROVERSI HUKUM DAN ETIKA DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH SERENTAK DI INDONESIA Febriansyah Ramadhan1, Asri Rezki Saputra2 1
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Email: mrfebri18@gmail.com 2 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah MalangEmail: rezkisaputra80@gmail.com
Abstrak: Etika merupakan sesuatu tentang apa yang baik dan apa yang buruk serta mengenai hak dan kewajiban moral. Pemilihan Kepala Daerah harus mencerminkan nilai-nilai etika dan moralitas dalam mencapai kepercayaan publik dalam proses Pilkada. Tujuan dari adanya penegakan etika yakni untuk melindungi masyarakat dari perilaku korup para pemangku kekuasaan. Akan tetapi praktik di tahun 2018, terdapat calon Kepala Daerah yang menang, dan dilantik menjadi Kepala Daerah yang notabenenya merupakan tersangka tindak pidana korupsi. Tulisan ini merupakan penelitian doktrinal atau juga disebut sebagai penelitian normatif. Rumusan masalah dalam tulisan ini adalah 1) kontroversi antara etika dan hukum dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah? dan 2) upaya pembaharuan hukum yang mengakomodir nilai-nilai etika penyelenggara negara dalam pemilihan Kepala Daerah. Kata Kunci: Etika; Kepala Daerah; dan Pilkada 1. Pendahuluan Nilai-nilai Pancasila, pada hakikatnya merupakan realitas objektif yang ada pada bangsa Indonesia sebagai suatu aksedensia, yaitu suatu sifat, nilai-nilai, ciri khas yang secara objektif ada pada bangsa Indonesia. Soekarno menegaskan bahwa Pancasila adalah weltanschauung dari bangsa Indonesia, yang merupakan dasar filsafat seluruh bangsa Indonesia. Atas dasar itu, Pancasila merupukan pedoman, kaidah, asas, serta prinsip dasar yang bersumber dari moralitas, nilai, dan pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai Philosofische Grondslag bukan merupakan suatu preferensi, melainkan sudah merupakan suatu realitas objektif. Namun dalam rangka menghadapi tatanan dunia ketiga/globalisasi prinsip-prinsip dasar yang merupakan paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut mendapat tantangan dan tekanan, bahkan tidak mengherankan banyak elite politik atau masyarakat sekalipun, menyampingkan nilai-nilai yang
41 terkandung dalam Pancasila, untuk kepentingan pribadi atau golongan yang bersifat pragmatis.1 Kemajuan yang terjadi pada satu generasi, sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai jaminan atas kemajuan di bidang moralitas. Dalam banyak segi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu justru mendorong manusia untuk bertindak korup dan melawan nuraninya. Itulah sebabnya JJ. Roesseau menganjurkan supaya manusia itu kembali ke alam, retour a lanature, yaitu bahwa moralitas yang asli dan benar-benar manusiawi justru ditemukan dalam manusia yang masih alamiah dan manusia harus identik dengan dirinya sendiri untuk mencari kebaikan dan kebenaran sejati.2 Jarum sejarah Indonesia menunjukan, bahwa korupsi telah membudaya dalam urat nadi perjalanan negeri ini, lebih kejamnya lagi, korupsi bekerja secara terstruktur dan mengakar dalam upaya membangun negeri ini. Terlihat dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer (al. Di Tepi Kali Bekasi) dan Mochtar Lobis (al. Maut dan Cinta), yang menceritakan penyelenggara negara yang mengambil keuntungan negara bagi dirinya sendiri ketika yang lain berjuang mempertahankan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara.3 Inilah yang merupakan tantangan dan tekanan serius untuk Pancasila dan penegakan hukum. Tindak pidana korupsi, selalu mengunakan kekuasaan politik sebagai media untuk melakukan korupsi. Perilaku korupsi bertentengan dengan nilai-nilai Pancasila, perilaku tersebut telah menyampingkan nilai ketuhanan, melakukan tindakan tidak berkeprimanusiaan, dan menghambat tercapainya keadilan sosial. Amanat yang diperoleh oleh penyelenggara negara, lalu melakukan korupsi, maka semakin menjauhkan kita untuk mencapai cita-cita bernegara yang tertuang dalam Pembukaan UUD.
1
Kaelan. (2015). Liberlisasi Ideologi Negara Pancasila. Yogyakarta. Paradigma. Hlm 12. 2 Wahyudi Kumorotomo. (2015). Etika Administrasi Negara. Jakarta. Rajawali Press. Hlm 17. 3 Ajib Rosidi.(2006). Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta. PT Dunia Pustaka Jaya. Hlm 71.
42 Sejak dahulu hingga sekarang, tindak pidana korupsi yang begitu masif terjadi, yakni dalam pusaran penyelenggara negara. Siapakah yang dimaksud dengan penyelenggara negara? Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide: pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Secara faktual, data yang dikemukakan Deni Indrayana di tahun 2015 menunjukan bahwa tindak pidana korupsi berdasar jabatan terbanyak adalah dari legislatif (DPR/DPRD), eksekutif (Gubernur, Bupati/Walikota/Pejabat eselon) dan pengusaha/swasta. Meskipun tidak ada jabatan yang terlihat selalu paling banyak terjerat kasus,dari angka yang ada dapat dibaca indikasi korupsi terjadi karena relasi kolutif sektor birokrat dan sektor swasta.4
Motif penyelenggara negara dalam melakukan tindak pidana korupsi sangat beragam, namun motif coruption by greed yang dikemukakan oleh Robert Cooter
4
78.
Denny Indrayana.(2016).Jangan bunuh KPK. Malang. Intrans Publishing. Hlm
43 dalam bukunya Law and Economics5, sangat relevan dengan kondisi penyelanggara negara saat ini. Motif coruption by greedyakni melakukan tindak pidana korupsi semata-mata karena motif ekonomi, atau karena rakus. Karena secara materi pelaku merupakan orang yang terpandang baik dari sisi kedudukan maupun dari sisi finansial. Karena motif rakus itulah yang menyebabkan orang tersebut dengan tanpa dosa menjarah uang rakyat dan mengakibatkan kerugian negara. Keadaan tersebut, dijustifikasi oleh Bo Rothstein & Nicholas Sorak, yang mengatakan it seems that most of what citi-zens perceive as corruption takes place in the implementation of public policies(sebagian besar dari apa yang dilihat oleh masyarakat sebagai korupsi terjadi dalam penerapan kebijakan publik).6 Selain permasalahan kerugian negara sebagai dampak, permasalahan serius yang timbul adalah rusaknya etika publik.Goodhart mengatakan ethics is concerned with the subjective goodness or badness of an act.7Bahwasaat seorang penyelenggara negara ditetapkan menjadi tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi, kedudukannya sebagai pejabat, tetap melekat. Padahal ketika penyelenggara negara sudah terindikasimelakukan tindak pidana korupsi, maka sebenarnya ia telah melakukan pelanggaran dan penghianatan terhadap amanat yang diperolehnya dari rakyat serta bertentangan dengan prinsip-prinsip yang Pancasilais. Selain dalam pusaran penyelenggara negara, permasalahan etik juga muncul sejak pemilihan penyelenggara negara (Pilkada). Pada Pilkada 2018, tidak satu atau dua, seorang calon Kepala Daerah, terjerat kasus/tindak pidana korupsi. Walaupun statusnya masih menjadi tersangka, setidaknya indikasi yang mengarah pada terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh Kepala Daerah sudah terlihat, namun produk hukum saat ini (yang mengatur Pilkada, yakni Undang-Undang Nomor 10 Tahun 5
Robert Cooter dan Thomas Ulen.(2000). Law and Economics: Edisi Ketiga. Amerika Serikat. Addison Wesley Longman Inc. 6 Bo Rothstein & Nicholas Sorak (dalam Charron & Roth-stein, Regions of Trust and Distrust: How Good Institutions Can Foster Social Cohesion).(2017).Ethical Codes for The Public Administration. QoG Working Paper Series, University of Gothenburg. Hlm 7. 7 A. L. Goodhart. (1953). English Law and Moral Law. London.The Eastern Press Ltd. Hlm. 45.
44 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah/UU Pilkada), memang membuka ruang kesempatan bagi para tersangka ini, untuk ‘tetap’ dapat mengikuti proses pemilihan. Bahkan dalam praktik di tahun 2018, terdapat calon Kepala Daerah yang menang, dan dilantik menjadi Kepala Daerah, lalu berselang beberapa waktu kemudian, ia mengundurkan diri dari Kepala Daerah karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Proses pelantikan tersebut, hanya sebatas formalitas belaka. Norma dan Praktik Pilkada tentunya, harus terus dibenahi. Proses Pilkada merupakan salah satu media, untuk menciptakan pemimpin yang berkualitas. Proses Pilkada yang baik, akan menghasilkan pemimpin yang baik pula. Selain itu, perlu kiranya kita mencermati ketentuan yang ada, mengapa? Karena saat ini, Indonesia dalam proses menuju penyelenggara Pilkada serentak se-Indonesia. Tentuknya problem hukum, etika, dan kompleksitas akan makin meningkat dalam penyelenggaraan yang dilaksanakan secara serentak. Berikut tahapan menuju Pilkada Serentak di Indonesia.
Tabel 1 : Tahapan Pelaksanaan Pilkada Serentak No.
Tahun Pemilukada
Ketentuan
Keterangan
Serentak 1
2
Pemungutan
2015 (269
pemilihan kepala daerah yang masa
kekosongan
Pemilukada)
jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan
Gubernur,
bulan Januari sampai dengan bulan Juni
pejabat Gubernur yang
2016
berasal
Februari
Pemungutan
suara
suara
serentak
serentak
dalam
• Untuk
Desember
dalam
mengisi
dari
jabatan diangkat
jabatan
pimpinan tinggi madya
2017 (101
pemilihan kepala daerah yang masa
sampai
Pemilukada)
jabatannya berakhir pada bulan juli
pelantikan
sampai dengan bulan Desember 2016 dan
sesuai dengan ketentuan
yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017
dengan Gubernur
45 3
Juni 2018
Pemungutan
suara
serentak
dalam
(171
pemilihan kepala daerah yang masa
Pemilukada)
jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019
4
2020
5
2022
6
2023
7
2027
Pemungutan
peraturan
perundang-
undangan. • Untuk
mengisi
kekosongan suara
serentak
dalam
Bupati/Walikota,
pemilihan kepala daerah hasil pemilihan
diangkat
tahun 2015
Bupati/Walikota
Pemungutan
suara
serentak
dalam
berasal
pejabat
dari
yang jabatan
pemilihan kepala daerah hasil pemilihan
pimpinan
tahun 2017
pratama sampai dengan
tinggi
dalam
pelantikan Bupati, dan
pemilihan kepala daerah hasil pemilihan
Walikota sesuai dengan
tahun 2018
ketentuan
Pemungutan
Pemungutan
suara
suara
serentak
serentak
dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
Berkembangnya
tindak
pidana
korupsi,
yang
peraturan
perundang-undangan.
pemilihan kepala daerah di seluruh
dibarengi
dengan
problematika norma hukum yang tidak mencerminkan nilai etika dan moralitas, dalam mencapai kepercayaan publik dalam proses Pilkada, adalah sedikit potret dari hukum Indonesia saat ini. Atas dasar tersebut, perlu kiranya untuk menumbuhkan kesadaran akan perlunya aturan, atau yang lazim disebut Opinio Necessitatis.8Kesadaran yang dimaksud (Opinio Necessitatis), tentunya dalam bentuk pembaharuan hukum, yang mencerminkan etika dan moralitas, sehingga hukum mampu hadir sebagai ‘perahu’ yang menghantarkan kita, pada pulau keadilan. Berdasarkan uraian tersebut, masalah yang dikaji dalam tulisan ini adalah:
8
jabatan
Opinio Necessitatis adalah istilah yang digunakan oleh Edgar Bodenheimer, yang menjelaskan tentang perlunya/kesadaran akan suatu aturan hukum untuk mengatur perilaku kekuasaan dan masyarakat. Lihat dalam Peter Mahmud. Mazuki. (2013). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group. Hlm 53.
46 Bagaimana
kontroversi/pertentangan,
antara
etika
dan
hukum
dalam
penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah. Serta Bagaimana upaya pembaharuan hukum yang mengakomodir nilai-nilai etika penyelenggara negara dalam pemilihan Kepala Daerah.
2. Analisis 2.1. Kontoroversi Hukum dan Etika dalam Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah Serentak. a. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Jenis Pelanggaran yangdilakukan oleh Calon Kepala Daerah Kajian sosio-kultural terhadap korupsi, akan dapat memperjelas keterlibatan variabel budaya penyelenggara negara dalam korelasinya dengan korupsi. Dalam hubungan ini pakar budaya Sjafri Sairin mengaitkan dengan faktor sosio-kultural. Praktek korupsi juga didorong oleh berbagai faktor sosio-kultural bangsa yang berada di luar diri pelaku itu sendiri, diantaranya adalah faktor beban kultural (culture burden) yang membebani pundak banyak orang, terutama para penyelenggara negara. Beban ini muncul sebagai akibat dari kondisi tradisional yang sedang dihadapi para penyelenggara negara dengan semakin banyaknya budaya konsumtif di tengah kehidupan masyarakat. Konsep beban kultural berkaitan dengan beban yang harus dipikul seseorang sebagai akibat dari tuntutan nilai yang datang dari masyarakat sendiri. Faktor sosio-kultural yang dikemukakan Sjafri Sairin ini tidak lepas dari nilai-nilai yang dianut dan berlaku di masyarakat Indonesia dewasa ini yang diwarnai oleh budaya materialisme, hedonisme, dan konsumerisme. Konsekuensi dari budaya yang demikian, masyarakat lebih menghargai orang yang memiliki kekayaan materi yang banyak dibandingkan dengan orang yang jujur berintegritas moral tinggi tetapi dia lebih miskin dari bidang materi. Dengan iklim kebiasaan masyarakat yang demikian, maka
47 masyarakat berlomba untuk memiliki simbol status materi untuk mencapai atau menunjukan citra dirinya di mata masyarakat. 9 Selain melalui pendeketan kajian sosio-kultural, salah satu menjadi pendorong maraknya tindak pidana korupsi, adalah politik Pemilihan umum/Kepala Daerah yang berbiaya tinggi. Ongkos yang harus dikeluarkan oleh para calon, merupakan suatu keharusan. Tidak salah jika calon tersebut terpilih, ia akan mencari cara untuk mengembalikan ‘ongkos politik’ yang sebelumnya dikeluarkan. Sepanjang penyelenggaraan Pilkada tahun 2018, tindak pidana korupsi telah mewarnai proses Pilkada. Para calon Kepala Daerah, yang menjadi tersangka, bahwa telah mendapat putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap, seluruhnya adalah para pelaku tindak pidana korupsi, baik jenis suap atau merugikan negara. Dalam hal ini, penulis menghimpun data, tentang pelanggaran
2.2 Aturan Hukum terhadap Calon Kepala Daerah yang Berstatus Tersangka/Terdakwa Hadirnya calon Kepala Daerah, adalah bukti dari eksistensi partisipasi warga negara, dalam mencapai tujuan bernegara. Setiap calon, selalu mengklaim bahwa ia mampu untuk melaksanakan pembangunan daerah dengan baik. Visi-misi dan program kerja merupakan alat/tool setiap calon, untuk menarik perhatian para pemilih. Secara bersamaan, di samping Pilkada dijadikan sebagai ajang partisipasi warga negara dalam membangun negeri, proses Pilkada juga sebagai tempat yang melahirkan dan menjadikan cara berfikir pemilih menjadi irasional. Pasalnya integritas pemilih mulai diberangus, dengan berkembangnya tindakan money politic dan banyaknya calon Kepala Daerah yang menjadi tersangka. Hadirnya calon Kepala Daerah yang menjadi tersangka, ‘seolah’ menjadi hal yang lumrah bagi warga negara. Inilah yang sebenernya, yang penulis sebut, proses Pilkada 9
Artidjo Alkostar. (2015). Korupsi Politik di Negara Modern, Cetakan Kedua. Yogyakarta. FH UII Press
48 juga melahirkan ‘pemilih yang irasional’. Walaupun mencalonkan adalah hak politik setiap warga negara, namun perlu diingat, masyarakat secara kolektif tentunya juga memiliki hak untuk mendapatkan calon-calon pemimpin yang memiliki integritas tinggi. Proses Pilkada yang melahirkan pemilih irasional, dijustifikasi oleh aturan-aturan hukum dalam Undang-Undang, yang merupakan produk politik, dan lahir dari mekanisme politik, yang syarat akan politisasi kepentingan. UU Pilkada telah mengatur, mengenai calon yang berstatus tersangka. Untuk calon Gubernur atau Wakil Gubernur yang berstatus tersangka/terdakwa/terpidana diatur dalam pasal 163 UU Pilkada, yang mengatur: Ayat 6: Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Ayat 7: Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Ayat 8: Dalam hal calon Gubernur dan/atau Calon Wakil Gubernur terpilih
ditetapkan
menjadi
terpidana
berdasarkan
putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Gubernur dan/atau Wakil Gubernur dan saat itu juga diberhentikan sebagai Gubernur dan/atau Wakil Gubernur. Untuk
calon
Walikota/Bupati
beserta
wakilnya,
yang
menjadi
tersangka/terdakwa/terpidana, diatur dalam Pasal 164 UU Pilkada: Ayat 6: Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi tersangka pada
49 saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota. Ayat 7: Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terdakwa pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sementara sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota. Ayat 8: Dalam hal calon Bupati/Walikota dan/atau calon Wakil Bupati/Wakil Walikota terpilih ditetapkan menjadi terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap pada saat pelantikan, yang bersangkutan tetap dilantik menjadi Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota, kemudian saat itu juga diberhentikan sebagai Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota. Perumusan norma dimaksud adalah guna memberikan jaminan bahwa Gubernur/Wakil Gubernur dan/atau Bupati/Walikota dan/atau Wakil Bupati/Wakil Walikota tidak sebagai terdakwa atau terpidana. Dengan kata lain, seseorang yang menyandang status terdakwa berada di antara kemungkinan tidak bersalah dan bersalah, sehingga terdapat kebutuhan hukum untuk memberikan kesempatan kepada orang yang bersangkutan untuk membela diri di hadapan hakim atau pengadilan. Oleh karena itu, jalan keluar yang ditempuh oleh pembentuk Undang-Undang dalam mengatasi suasana dilematis itu adalah dengan tetap melantik orang yang bersangkutan sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur dan pada saat yang sama diberhentikan sementara.10
10
Penjelasan tersebut, disampaikan oleh DPR dalam perkaran pengujian undangundang Pilkada. Lihat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUUXIV/2016. Hlm.189
50 a. Kontroversi Hukum dan Etika oleh Calon Kepala Daerah Tiga menit setelah dilantik, Syahri Mulyo, Bupati terpilih Kabupaten Tulungagung periode 2018-2023 dinonaktifkan. Pada saat yang sama juga, Wakil Bupati terpilih, Maryoto Wibowo, diangkat menjadi pelaksana tugas atau PLTBupati. Penonaktifan tersebut dilatarbelakangi status Syahri sebagai tersangka kasus suap proyek infrastruktur jalan di Tulunggagung, dan tengah menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keunikan ini tidak hanya sekali terjadi dalam pemerintahan daerah. Pada 2017, Plt Gubernur Sulawesi Tenggara Saleh Lasata melantik Bupati terpilih Buton Samsu Umar Abdul Samiun yang tersangkut kasus suap Hakim Konstitusi Akil Mochtar dalam perkara perselisihan hasil Pilkada. Setelahnya, Samsu Umar langsung dinonaktifkan dan Wakil Bupati Buton La Bakry diangkat menjadi Plt. Bupati Buton. 11 Pelantikan dan pemberhentian sementara tersebut memang telah memenuhi persyaratan yuridis. Meskipun secara normatif diatur dalam undang-undang, suatu ketentuan belum tentu luput dari kritik dalam kacamata prosedural, substansial, dan moralitas. Pelantikan terhadap calon bupati dan wakil bupati terpilih harus tetap dilaksanakan, kendati yang bersangkutan menghadapai halangan sedemikian rupa. Dalil yang disampaikan untuk menjustifikasikan pengaturan itu adalah menghindari kekosongan jabatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Alasan pengisian kekosongan jabatan tersebut sesungguhnya tidak dapat diterima logika. Penyelenggaraan pemerintahan daerah saja belum berjalan pada saat pelantikan. Apabila memaknai perspektif yang sama, seharusnya pengangkatan wakil Kepala Daerah sudah dilakukan sejak awal tanpa perlu memerlukan pelantikan terlebih dahulu. Perlu diingat, pelantikan sejatinya tidak dapat dipandang semata-mata sebagai ketentuan prosedural pengangkatan kepala daerah, dalam arti hanya bersifat formalitas
11
Refly Harun.(2018)Melantik Calon Kepala Daerah Terpilih Yang Tersangkut Korupsi. Media cetak Media Indonesia (MI).
51 pengesahan legitimasi keputusan rakyat. Terdapat hal esensial yang mengikatkan Kepala Daerah dengan tuhansebagai perwujudan sila pertama Pancasila dengan bangsa, dan negara. Pada saat pelantikan, Kepala Daerah, sebelum memangku jabatannya, mengucapkan sumpah/janji. 12 Dalam teks sumpah/janji, kepala daerah menyatakan bahwa yang bersangkutan bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajibannya sebagai Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD 1945, dan menjalani segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa, dan bangsa. Pengucapan sumpah tersebut tidak dapat dipandang sebagai pembacaan teks saja. Dengan mengucapkan sumpah, kepala daerah yang bersangkutan berarti telah secara khidmat mengikrarkan diri dan kesetiannya untuk memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan trek peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Sumpah juga mengandung unsur religius, yaitu ikatan batin antara manusia dan tuhan, bahwa yang bersangkutan meyakini tindakannya dikemudian hari tidak akan melenceng dari nilai-nilai religiusitas. Apabila sedari awal telah diketahui secara pasti bahwa yang bersangkutan tidaklah mungkin melaksanakan janji, lalu untuk apa memaksakan pemenuhan prosedur tersebut?13 Syahri yang merupakan petahana di Kabupaten Tulungagung telah lama terjerat KPK, tidak lama dari hari pemungutan suara dalam pemilihan Bupati Kabupaten Tulungagung 2018. Sang petahana tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus suap pembangunan infrastruktur peningkatan jalan di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Tulungagung. Sebelum yang bersangkutan disumpah untuk kembali menduduki jabatan yang sama, sumpah tersebut telah dilanggar. Apabila pelantikan tetap dilakukan, hal tersebut sesungguhnya tidak mencerminkan etika penyelenggara negara dan supremasi moralitasterhadap pemberantasan 12 13
Ibid. Refly Harun. Ibid. Refly Harun.
52 korupsi. Publik sudah mahfum bahwa korupsi ialah penyakit kronis yang menyerang moral bangsa. 14 Refly Harun berpendapat, ia mengamini adanya asas presumtion of innocence atau praduga tak bersalah dalam penegakan hukum pidana, yaitu seserang dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan demikian. Namun asas ini tidak dapat diartikan secara letterlijk sebab secara terang yang bersangkutan telah terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) dan menjadi tahanan KPK. Mengucap janji/sumpah jabatan berarti yang bersangkutan bersedia pula menerima konsekuensi atas pelanggaran tersebut. Konsekuensi tersebut dapat berupa sanksi moral, agama dan hukum. Maka dari itu, pelantikan calon Kepala Daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi bukan hanya tidak memberikan manfaat apapun, melainkan juga menciderai etika dan moral bangsa serta tidak menganggap serius pengucapan janji/sumpah yang khidmat. Itulah yang kemudian menjadi dilema dan kontroversial. Di satu sisi, hukum hanya berdiam diri, menjadi sarana formalitas, dan menjadi tempat pelanggengan kekuasaan, tetapi di sisilain juga harus diingat, hukum harus mampu mencerminkan, etika dan moralitas masyarakat. Kontroversi hukum dan etika, tentu harus disudahi. Harus disadari, problem moralitas dan etika pejabat publik sudah mencapai taraf ‘membahayakan’, jangan sampai masyarakat dibuat ‘lelah’ dan menganggap tindak pidana oleh calon atau Kepala Daerah adalah hal yang wajar. Hukum yang dibentuk harus sesuai dengan kebutuhan sosial, dan menjawab keresahan sosial. Nonet dan Selznick mengatakan, in the ideal of responsive law, law is faciliator of response of social needs and aspirations. Dalam pembangunan hukum, tentu dibutuhkan tatanan hukum baru, yang lebih substantif dan berpihak pada kebutuhan sosial, etika, dan moralitas yang baik. Tatanan hukum baru tersebut (responsive law requires the development of new legal instituions)
14
Ibid. Refly Harun.
53 harus mendelegitimasi tatanan hukum lama, yang hanya bersifat prosedural semata.15
2.3. Pembaharuan Hukum yang Mengakomodir Nilai-Nilai Etika Penyelenggara Negara Dalam Pemilihan Kepala Daerah a. Etika bagi Calon Pemangku Kekuasaan dan Penyelenggara Negara Perlu kiranya untuk kembali mengulas, urgensi, tujuan dan Bagaimana meningkatkan etika elite politik (baik sebagai calon Kepala Daerah, maupun yang sudah menjadi Kepala Daerah). Hal ini tentunya akan menjadi basis argument dalam merumuskan politik hukum dalam mengevaluasi undang-undang, apakah sudah mencapai titik kebenaran dalam perumusannya. Urgensi etika bagi elite politik, setidaknya memiliki 3 hal: pertama yakni sebagai the limit of laws (pembatasan dalam hukum), The rule-of-law has been held forth as one of the main features of what has been conceptualized as “good governance, forthis, discretion is necessary and this is where the importance of professional ethics and norms have a large role to play. (Aturan hukum telah ditetapkan sebagai salah satu fitur utama dari apa yang telah dikonseptualisasikan sebagaipemerintahan yang baik, kebijaksanaan diperlukan dan di sinilah pentingnya etika dan norma profesional memiliki peran besar untuk dimainkan).Kedua, the limits that can maybe be understood as a result of “human nature. That if we for whatever reason come into a position of power in public life, our “natural inclination” is to use this power to promote our self-interest, our family, kin and clan – and one could add religious faction, business interest, or politicalparty. Fukuyama emphasizes the strong inclinations people in power have for nepotism.(bahwa jika kita untuk alasan apa pun datang ke posisi kekuasaan dalam kehidupan publik, “kecenderungan alami” kita adalah menggunakan kekuatan ini untuk mempromosikan kepentingan 15
FX. Adji Samekerto. (2012). Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post Modernisme. Bandar Lampung. Indepth Publishing. Hlm 106.
54 pribadi kita, keluarga, kerabat dan klan kita dan kita dapat menambahkan faksi agama, kepentingan bisnis, atau partai politik). Ketiga, etika sebagai pancaran nilai ketuhanan, agar elit politik bertindak tetap dalam rambu-rambu nilai ketuhanan dan kepercayaannya. Sebagai negara berketuhanan, Indonesia dihuni oleh beragam agama dan keyakinan, walaupun keberagaman itu ada, namun seluruh agama dan kepercayaan memiliki kesatuan pendapat, dalam hal menghendaki adanya keadilan dan kejujuran yang dijunjung tinggi. Mengenai sistem norma etika, maka semua agama mengandung ajaran tentang perilaku hidup yang dinilai ideal dalam kehidupan bersama. Yang berbeda dalam agama-agama tersebut hanya mengenai formulasi dan penggunaan bahasa simbolik. Tetapi isi sistem nilai dan kaidah perilaku yang diidealkan rata-rata memuat hal yang serupa, yang setidak-tidaknya dapat dibagikan antar sesama penganut agama lain, tanpa harus merasa bersalah jika kemuliaan nilai yang dianjukan oleh agama lain diikuti menggunakan bahasa yang inklusif dan universal. 16 Tentunya urgensi tersebut, juga akan mendorong dan membantu dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Tujuan dari adanya penegakan etika yakni untuk melindungi masyarakat dari perilaku korup para pemangku kekuasaan, ethical causes in the public administration, that aim the avoidance of negative phenomenon’s as theft, corruption.17Selain itu, etika bertujuan sebagai pedoman moral untuk pemangku kekuasaan, Ethics in public service is about the practical application of the moral standards in governance. Chapman mengatakan, hal tersebut dikarenakan etika mengacu pada seseorang agar berperilaku secara baik dan benar dalam
16
Sukarno Aburaera. Muhadar. Maskun. 2012. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Jakarta: Kharisma Putra Utama. Hlm. 172 17 M.Sc Arjeta Hallunovi, Dr.sc Elez Osmani, Dr.sc Elidiana Bashi.(2014).Ethics in Public Administration, Volume 4 Number 1. Published by Iliria College. Germany. Page 201.
55 penerapannya, ‘ethics refers to how an individual feel about behaving properly. It is about values and their application in a given context’.18 Urgensi dan tujuan etika tersebut, tentunya dalam rangka sebagai pedoman dan rambu-rambu dalam mendapatkan kekuasaan serta menjalankan kekuasaan. Mengapa
demikian? Proses mendapatkan
kekuasaan, haruslah dilalui dengan jalur-jalur, perilaku dan cara yang suci. Hal tersebut, amat dibutuhkan sebagai cerminan demokrasi yang berintegritas. Dengan jalur, perilaku dan cara yang suci, tentunya calon terpilih akan mendapatkan legitimasi dan dukungan penuh dari masyarakat. Indonesia, yang disebut oleh Satjipto Rahardjo memiliki corak ‘kosmologi timur’, tentu mengedepankan nilai dan moralitas yang bersumber local wisdom (tentang kepribadian yang luhur) dalam proses pemilihan. Jangan sampai moralitas publik sudah diciderai sejak proses pemilihan berlangsung, karena masyarakat dipertontonkan dengan banyaknya calon yang telah menjadi tersangka/terdakwa/terpidana ketika akan mencalonkan menjadi Kepala Daerah.
b. Alternatif Pilihan Pembaharuan Hukum dan Aspek Politik Hukum Nilai moral dan etika tereduksi dengan aturan hukum, seharusnya hukum mencerminkan moral dan etika. Kehadiran sistem etika, sesungguhnya sebagai pembantu untuk sistem hukum itu sendiri. Apalagi dalam perkembangan praktik dunia dewasa ini, yang sangat kompleks, semakin disadari bahwa sistem hukum tidak lagi dapat diandalkan sebagai satu-satunya sistem pengendalian perilaku manusia modern, yang dilanda perikehidupan yang makin kompleks dan rumit. Maka dari itu, antara sistem hukum dan etika perlu dibangun dalam hubungan yang bersifat
18
M.Sc Arjeta Hallunovi, dkk (dalamChapman, R. A. (2002).Ethics in public service for the new millennium. Durham University Business School).Ethics in Public Administration, Volume 4 Number 1, Published by Iliria College. Germany. Page 204.
56 komplementer, saling menunjang, untuk menciptakan peri kehidupan yang lebih bersih dan sehat, serta lebih adil dan beradab. 19 Melalui prespektif sosiologi, pembuatan undang-undang tidak dilihat sebagai kegiatan yang steril dan mutlak otonom. Pekerjaan pembentukan undang-undang, memiliki asal-usul sosial, tujuan sosial, mengalami intervensi sosial, mempunyai dampak sosial dan sebagainya. Dalam kata-kata Bentham pembuatan undang-undang adalah seni, yaitu seni untuk menemukan cara-cara untuk mewujudkan thetrue good of the community.20 Permasalahan yang telah diuraikan penulis, dari maraknya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh calon Kepala Daerah, ketidak manfaatan dari pelantikan Kepala Daerah yang tersandung tindak pidana, hingga pelanggaran sumpah jabatan yang dilakukan oleh Kepala Daerah terpilih, merupakan problem etis yang melanda bangsa ini. Salah satu upaya yang dilakukan untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis merekomendasikan pembaharuan hukum melalui 3 alternatif berikut. Pertamamembentuk Undang-Undang Etika Penyelenggara Negara yang merupakan amanat dari Tap MPR VI/2001. Jika kita merujuk pada klasifikasi TAP MPR I/2003, maka TAP MPR VI/2001 masuk dalam golongan keempat, yang masih berlaku hingga dibentuk dalam suatu Undang-Undang. Hendaknya, dalam UU Etika Penyelenggara Negara di masa mendatang, mengatur ketentuan bahwa setiap penyelenggara negara yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi, maka ia wajib mundur dari jabatannya/atau secara otomoatis legalitasnya sebagai penyelenggara negara tidak memiliki kekuatan hukum. Isinya tidak hanya mencakup penyelenggara negara, melainkan juga ‘calon’ penyelenggara negara yang dipilih melalui proses Politik (Pemilu dan Pilkada)
19
Jimly Asshiddiqie. (2015). Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Prespektif Baru tentang Rul of Law and Rule of Ethics & Constitutional Law and Constituional Ethics. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm 119-120. 20 Satjipto Rahardjo. Op.cit. Hlm 137.
57 Kedua, Pasal 160 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Pertama Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota memberikan pengaturan tentang pengesahan pengangkatan pasangan calon Kepala Daerah terpilih. Pengesahan pengangkatan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur terpilih dilakukan berdasarkan penetapan pasangan calon terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi yang disampaikan DPRD provinsi kepada Presiden melalu Menteri Dalam Negeri.Sementara itu, pengesahan pengangkatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota dilakukan berdasarkan penetapan pasangan calon oleh KPU Kab/Kota yang disampaikan DPRD kabupaten/kota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur.Dalam pengesahan tersebut DPRD provinsi dan kabupaten/kota seyogyanya tidak hanya bertindak sebagai tukang stempel saja dalam arti hanya memberikan cap pengesahan semata dan langsung menyampaikan hasil pengesahan tersebut kepada mendagri melalui gubernur. DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota semestinya diberikan wewenang untuk memberikan rekomendasi dan opsi apakah pengangkatan terhadap para pasangan calon tersebut dapat dilakukan dengan segera atau dapat menunda pengangkatan dan pelantikan, sebagai cerminan checks and balances di ranah pemerintah daerah. Hal ini sangat perlu untuk diatur demi mengantisipasi apabila berhadapan dengan kasus-kasus seperti ini dikemudian hari agar selanjutnya hal ini dapat diselaraskan dengan pengangkatan PLTKepala Daerah. sebagaimana diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sehingga kemungkinankemungkinan seperti kekosongan penyelenggara pemerintahan daerah dapat dihindari sejak awal.21 Ketiga, alternatif selanjutnya yang juga sebagai jalan akhir adalah pembukaaan akses terhadap masyarakat untuk mengetahui calon Kepala Daerah yang sedang dalam status tersangka/terdakwa/ terpidana. Putusan
21
Refly Harun. Op.cit.
58 Mahkamah Konstitusi Nomor 42 /PUU-XII/2015 menyatakan bahwa calon Kepala Daerah mantan narapidana diperbolehkan mencalonkan, asal ia terbuka secara jujur mengakuinya pada publik. Penulis berpendapat, putusan tersebut dapat menjadi dasar, bahwa tidak hanya mantan narapidana, tetapi calon yang juga dalam keadaan tersangka atau terdakwa, dikarenakan antara mantan narapidana dan tersangka/terdakwa, sama-sama orang yang sudah terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum, walaupun secara hukum tersangka/terdakwa belum terbukti, tetapi secara etik, ia sudah melakukan hal yang menyimpang dari nilai-nilai kebaikan. Pilihan alternatif pembaharuan tersebut, adalah upaya untuk merespon berbagai tantangan yang hadir dalam proses demokratisasi di Indonesia. Toynbee dalam karyanya A Study of History menjelaskan, perubahan suatu bangsa itu akan tercapai dengan baik, manakala ada suatu keseimbangan antara challenge dan respon. Dalam hubungan ini, Indonesia paska reformasi terhempas dengan challenge yang begitu besar, sedangkan respon
lemah,
sehingga
mengakibatkan
nilai-nilai
Pancasila
terpinggirkan.22 Hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuantujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Dengan demikian, hukum mempunyai dinamika. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian itu, karena ia diarahkan pada ius constitutum/hukum yang seharusnya berlaku.23 Dalam pembahasan politik hukum, penulis mengemukakan lima tujuan yang hendak dicapai dari Pembaharuan tersebut.Pertama, mencegah terjadinya pergeseran nilai. Hadirnya UU Etika Penyelenggara negara sebagai upaya untuk mencegah perubahan nilai yang sebelumnya menjadikan korupsi sebagai pelanggaran moral, menjadi suatu perilaku yang wajar dilakukan oleh penyelenggara negara. Kedua, Menjaga public trust. Tidak dipungkiri, tingkat
22 23
Kaelan. Op cit., hal. Satjipto Rahardjo. (2014).Ilmu Hukum, Cetakan Kedelapan. Bandung. Citra Aditya Bakti.
59 kepercayaan publik terhadap Pemerintahbanyak mengalami penurunan. Turunnya
kepercayaan
publik
tersebut
akan
menghambat
laju
pembangunan.Ketiga, Menjaga citra institusi publik. Pada saat penetapan penyelenggara negara menjadi tersangka tindak pidana korupsi, maka detik itu pula citra instansi yang didudukinya hancur di mata publik. Adanya ketentuan yang mewajibkan penyelenggaranegara mundur dari jabatannya pada tahap penuntutan, adalah untuk menyelamatkan citra instansi yang di dudukinya. Karena pada saat itu, ia tidak lagi menjabat pada instansi terkait. Hal ini juga memberi manfaat pada internal instansi terkait, agar lebih stabil ketika ada oknum penyelenggara negara melakukan tindak pidana korupsi. Keempat, Sistem ini akan mampu meningkatkan integritas seorang calon Kepala Daerah. Kelima, Meningkatkan kehati-hatian penyelenggara negara dalam menjalankan setiap aktivitasnya, terlebih lagi, sistem ini sebagai upaya preventif agar penyelenggara negara tidak melakukan tindak pidana korupsi.
3. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 3.1. Kontroversi/pertentangan antara hukum dan etika dalam proses Pilkada, terdapat pada Pelantikan calon Kepala Daerah yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Pelantikan tersebut tidak memberikan manfaat apapun, melainkan juga menciderai etika dan moral bangsa serta tidak menganggap serius pengucapan janji/sumpah yang khidmat. Di satu sisi, hukum hanya berdiam diri, menjadi sarana formalitas, dan menjadi tempat pelanggengan kekuasaan, tetapi di sisi lain juga harus diingat, hukum harus mampu mencerminkan, etika dan moralitas masyarakat. Sehingga dalam pembangunan hukum, dibutuhkan tatanan hukum baru, yang lebih substantif dan berpihak pada kebutuhan sosial, etika, dan moralitas yang baik. 3.2. Upaya pembaharuan hukum dalam menyelesaikan kontroversi hukum dan etika, dapat dilakukan melalui alternatif (pilihan) berikut: Pertamamembentuk Undang-Undang Etika Penyelenggara Negara, yang mengharuskan para calon
60 kepala daerah mundur dari pencalonannya.; Kedua DPRD Prov dan Kab/Kota diberi
wewenang untuk memberikan rekomendasi
dan opsi
apakah
pengangkatan terhadap para pasangan calon tersebut dapat dilakukan dengan segera atau dapat menunda pengangkatan dan pelantikan; Ketiga pembukaaan akses terhadap masyarakat untuk mengetahui calon Kepala Daerah yang sedang dalam status tersangka/terdakwa/ terpidana berupa, pemasangan informasi dalam setiap Tempat Pemungutan Suara.
DAFTAR PUSTAKA BUKU: Aburaera, Sukarno dan Muhadar dan Maskun. (2012). Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Jakarta. Kharisma Putra Utama. Alkostar, Artidjo. (2015). Korupsi Politik di Negara Modern, Cetakan Kedua. Yogyakarta. FH UII Press. Asshiddiqie, Jimly. (2015). Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru Tentang Rule of Law and Rule of Ethics and Constitutional, Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. Goodhart, Arthur Lehman. (1953). English Law and Moral Law. London: The Eastern Press Ltd. Hariyono. (2014). Ideologi Pancasila, Roh Progreesif Nasionalisme Indonesia. Malang.Intrans Publishing. Isra, Saldi. (2016). Hukum yang Terabaikan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Kaelan. (2015). Liberlisasi Ideologi Negara Pancasila. Yogyakarta. Paradigma.
61 Kumorotomo, Wahyudi. (2015). Etika Administrasi Negara. Jakarta. Rajawali Press. Mahfud Moh. (2014). Politik Hukum di Indonesia Edisi Revisi, Cetakan Keenam. Jakarta: Rajawali Press. Mahrus, Ali. (2016). Hukum Pidana Korupsi. Yogyakarta. UII Press. Marzuki, Peter Mahmud. (2008). Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Prenadamedia Group. Nurudin. (2011). Jurus Jitu Nulis Artikel. Bogor. Ghalia Indonesia. Rahardjo, Satjipto. (2014). Ilmu Hukum. Cetakan Kedelapan. Bandung. Citra Aditya Bakti. Rahardjo, Satjipto.(2006).Membedah Hukum Progresif.Jakarta. Kompas Media. Rosidi, Ajib. (2006). Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta. PT Dunia Pustaka Jaya. Sairin, Sjafri. (2002). Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia Perspektif Antropologi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Samekerto, FX. Adji. (2012). Ilmu Hukum dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post Modernisme. Bandar Lampung. Indepth Publishing. Suseno, Magnis, Frans, (2016).Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Yudi Latf. (2015). Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas. Jakarta. Gramedia Pustaka.
62 JURNAL DAN MEDIA CETAK: Bo Rothstein & Nicholas Sorak (dalam Charron & Roth-stein, Regions of Trust and Distrust: How Good Institutions Can Foster Social Cohesion), (2017).Ethical Codes for The Public Administration, QoG Working Paper Series. University of Gothenburg. M.Sc Arjeta Hallunovi, Dr.sc Elez Osmani, Dr.sc Elidiana Bashi, (2014). Ethics in Public Administration, Volume 4 Number 1, Published by Iliria College. Germany. Refly Harun. (2018).Melantik Calon Kepala Daerah Terpilih Yang Tersangkut Korupsi. Media cetak Media Indonesia (MI). PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 Tahun 2001 Tentang Etika Kehidupan Berbangsa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Pertama UndangUndang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang PUTUSAN PENGADILAN: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42 /PUU-XII/2015 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 71/PUU-XIV/2016
63
INTERNET: Komisi Pemilihan Umum. Daftar Hasil Penetapan Suara Pilkada.(2018). Diakses dari https://infopemilu.kpu.go.id/pilkada2018/hasil2/penetapan/listnasional
64 Penerapan Corporate Opportunity Doctrine dalam Hukum Perseroan di Indonesia
Xavier Nugraha1, Vincentia Sonia2, Nina Amelia3 1
Fakultas Hukum Universitas Airlangga. E-mail: nugrahaxavier72@gmail.com. 2 Fakultas Hukum Universitas Airlangga. E-mail: vincentiasonia@gmail.com 3 Fakultas Hukum Universitas Airlangga. E-mail: ninaamelia.novita@gmail.com
Abstrak: Artikel ini bertujuan untuk mengkaji Corporate Opportunity Doctrine sebagai batasan transaksi self dealing. Penelitian ini merupakan penelitian menggunakan hukum dogmatik. Jenis bahan hukum primer yang digunakan yaitu UndangUndang Perseroan Terbatas, sedangkan bahan hukum sekunder terdiri dari buku, jurnal, dan sumber lain yang relevan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat 5 jenis kriteria mengenai corporate opportunity doctrine, yaitu kriteria minat dan pengharapan, ruang lingkup bisnis, kombinasi kriteria minat dan pengharapan dengan ruang lingkup binis, kriteria intrinsic fairness, serta kriteria reasonably close related. Meskipun corporate opportunity doctrine tidak diatur secara khusus dalam hukum perseroan di Indonesia, namun terdapat pengaturan mengenai fiduciary duty sebagai akar corporate opportunity dalam Undang-Undang perseroan yang dapat digunakan sebagai acuan dan menjadi kriteria umum dalam corporate opportunity doctrine untuk melengkapi akan adanya kekosongan aturan ini. Kata Kunci: Corporate Opportunity Doctrine; Transaksi Self Dealing; Perseroan Terbatas 1. Pendahuluan Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut persero) merupakan suatu badan hukum (Rechtpersoon), maka pada prinsipnya harta bendanya terpisah dari harta benda pendirinya/pemiliknya, oleh karenanya tanggung jawab secara hukum juga dipisahkan dari harta benda pribadi pemilik perusahaan yang berbentuk badan hukum tersebut.1 Sebagai badan hukum, perseroan memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut artificial
1
Hukumonline. (2018). Arti dan Ciri Personalitas Perseroan Terbatas. Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5b3057223eb8f/arti-dan-ciri-personalitasperseroan-terbatas pada 30 September 2018.
65 legal person, maka ia tidak memiliki kehendak dan tidak dapat bertindak sendiri. 2 Sebagai artificial legal person, maka diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak untuk perseroan sesuai tujuan pendiriannya. Orang- orang yang menjalankan, mengurus dan mengawasi perseroan inilah yang disebut organ. Sebagaimana layaknya manusia, perseroan juga memiliki organ, hanya saja organ perseroan hanya tiga, yaitu Rapat Umum Pemegang Sahan (RUPS), Direksi, dan Dewan Komisaris.3 Direksi sebagai salah satu organ perseroan yang memiliki peranan penting, memiliki kekuasaan eksekutif di perseroan. Direksi mengendalikan operasi perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan oleh Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT), anggaran dasar dan RUPS serta di bawah pengawasan dewan komisaris. Tugas dan fungsi utama Direksi adalah menjalankan roda manajemen perseroan secara menyeluruh. Bahkan dijelaskan dalam Pasal 1 angka (5) UU PT bahwa pengertian perseroan adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan anggaran dasar. Ini artinya direksi memiliki peranan yang penting dalam suatu perseroan. Direksi dalam menjalankan pengurusan perseroan didasarkan pada tugas kepercayaan (fiduciary duty). Fiduciary duty ini menjadi dasar pengurusan Perseroan oleh direksi. Pengurusan Perseroan merupakan amanah yang diberikan kepada direksi. Pemberi kepercayaan tersebut memiliki harapan yang besar terhadap direksi. Sudah sepantasnya direksi memiliki iktikad baik dalam menjalakan tugasnya karena harta yang dipercayakan kepadanya bukan digunakan
2
Erlina. (2017). Prinsip Good Corporate Governance Pada Perseroan Terbatas. Jurisprudentie. 4(1). Hlm. 52. 3 Elson. (2017). 3 Organ Penting Perseroan Terbatas. Diakses dari https://elson.co.id/3organ-penting-perseroan-terbatas/ pada 30 September 2018
66 untuk kepentingan pribadi direksi namun untuk kepentingan yang sudah memberikan kepercayaan tersebut.4 Meski seharusnya direksi menjalankan tugasnya bukan untuk kepentingan pribadi direksi, namun ternyata masih adanya direksi yang menggunakan penyalahgunaan jabatannya sebagai direksi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan menyebabkan kerugian pada perseroan. Hal ini misalnya terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 514 K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Dalam putusan tersebut Direksi dari PT Mandiri Agung Jaya Utama (PT MAJU) meminjam uang kepada PT Galena Surya Gemilang (PT GSG) untuk kepentingan pribadinya. Alhasil, PT MAJU dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Majelis hakim juga memutuskan bahwa Direksi PT MAJU harus bertanggung jawab membayar utangutang PT MAJU.5 Dari putusan tersebut dapat dilihat bahwa direksi berusaha mengambil keuntungan dengan memanfaatkan posisinya sebagai direksi agar mendapatkan pinjaman untuk kepentingan pribadi, bukan kepentingan perseroan. Selain dalam kasus PT MAJU, pengambilan keuntungan dengan memanfaatkan posisi direksi juga terjadi dalam putusan Makhamah Agung Nomor 853 K/Pdt/2013. Dalam putusan tersebut, Drs. Soedoro Projokoesoemo, selaku mantan direktur utama PT Mahapura Jaya menjual tanah dan bangunan dengan akte tentang jual-beli bangunan dan perlaihan hak atas tanahnya kepada Dra, Titiek Rachmawati. Seharusnya seluruh aset PT Mahapura Jaya tersebut telah diserahkan terhadap Muhamad Yusron dan Drs. Angkawidjaja Noorli, karena telah terjadi akuisisi saham dan aset terhadap PT Mahapura Jaya. Setelah ditelusuri, Drs. Soedoro Projokoesoemo ternyata sudah bukan direktur utama ataupun pemegang saham mayoritas dari PT Mahapura Jaya, namun karena pernah menjabat sebagai direktur Drs. Soedoro Projokoesoemo mengetahaui asset dari PT Mahapura Jaya,
4
Siti Hapsah Isfardiyana. (2017). Business Judgement Rule Oleh Direksi Perseroan. Jurnal Panorama Hukum. 2(1). Hlm. 3-4. 5 Bplawyers. (2017). Hal Ini Yang Dapat Membuat Direksi Wajib Bertanggungjawab Untuk Perusahaan!. Diakses Dari https://bplawyers.co.id/2017/04/11/hal-ini-yang-dapatmembuat-direksi-wajib-bertanggungjawab-untuk-perusahaan/ pada 30 September 2018
67 sehingga dari pengetahuannya sebagai direksi tersebut, dia gunakan untuk menjual asset tersebut. Mengenai tindakan direksi yang merupakan benturan kepentingan pribadi dengan kepentingan perusahaan, di mana direksi berusaha mengambil keuntungan pribadi ini
dikenal dengan istilah transaksi self dealing.6 Self dealing
ini
merupakan doktrin yang berasal dari sistem hukum common law, namun seiring berkembangnya waktu, hukum perseroan di negara-negara civil law, seperti di Indonesia juga menganut self dealing ini. Dalam rangka melakukan pembatasan terhadap tindakan direksi yang mengambil keuntungan pribadi yang dapat merugikan perseroan ini, lahirlah konsep Corporate Opportunity Doctrine. Di negara-negara common law lahirnya Prinsip Corporate Opportunity Doctrine ini dianggap merupakan konsekuensi logis dari pemberlakukan prinsip fiduciary duty. Menurut Corporate Opportunity Doctrine, seorang direktur, demikian juga organ perusahaan lainnya, tidak diperbolehkan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya.7 Dengan demikian, manakala tindakan tersebut merupakan kesempatan (opportunity) bagi perseroan dalam menjalankan bisnisnya, Direksi tidak boleh mengambil kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya karena kesempatan tersebut seyogyanya diberikan untuk perusahaan (PT). Dengan perkataan lainnya, sebenarnya oportunitas perseroan tidak lain dari suatu hak, kepemilikan, kepentingan atau suatu harapan yang menurut sendi-sendi keadilan merupakan milik dari perseroan. Meskipun corporate opportunity doctrine ini merupakan salah satu batasan bagi direksi dalam mengambil kesempatan yang menguntungkan, ternyata di Indonesia, corporate opportunity doctrine ini tidak diatur secara tegas. Hukum 6
M. Kamil Ardiansyah. (2016). Transaksi Self Dealing Dalam Perspektif Hukum Perseroan Indonesia. Private Law. 4(2). Hlm. 28-29. 7 Michael Pike. (2018). What is Corporate Opportunity Doctrine?. Diakses dari https://www.turnpikelaw.com/what-is-the-corporate-opportunity-doctrine/ pada 30 September 2018
68 Perseroan Indonesia belum mengatur secara khusus mengenai corporate opportunity doctrine , meskipun dalam UndangUndang Perseroan Terbatas terdapat beberapa ketentuan yang relevan terhadap masalah corporate opportunity doctrine yang selanjutnya akan dibahas lebih lanjut dalam jurnal ini. 2. Analisis 2.1 Konsep Corporate Opportunity Doctrine Pada prinsipnya doktrin oportunitas perseroan (corporate opportunity doctrine) ini merupakan doktrin yang mengajarkan bahwa seorang direktur, komisaris, pemegang saham utama, ataupun pegawai perseroan lainnya, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu. 8 Dengan
demikian,
manakala
tindakan
tersebut
merupakan
kesempatan
(opportunity) bagi perseroan dalam menjalankan bisnisnya, direksi tidak boleh mengambil alih kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya. Dengan demikian oportunitas perseroan adalah hak, kepentingan, atau suatu harapan yang seharusnya merupakan milik perseroan. Apabila direksi melakukan transaksi untuk dirinya sendiri, padahal transaksi itu sepantasnya dilakukannya untuk perseroan atau informasi mengenai transaksi tersebut didapatkannya dalam kedudukan sebagai direksi, padahal transaksi tersebut sepantasnya dilakukannya untuk perseroan atau informasi mengenai transaksi tersebut didapatkannya dalam kedudukannya sebagai direksi, direksi ini yang melanggar prinsip corporate opportunity doctrine ini karena sebagai seorang direktur, seharusnya dia lebih mengutamakan kepentingan perseroan daripada dirinya sendiri, bukan justru mengambil manfaat atau keuntungan (potensial) dari perseroan untuk dirinya sendiri. Adanya doktrin ini menurut negara common law merupakan konsekuensi logis dari pemberlakuan fiduciary duty: “The early formulation of the doctrine was couched in terms of the fiduciary duty of loyalty of a director or officer not to pursue 8
Marsella. (2016). Benturan Kepentingan Tidak Langsung Oleh Direktur Dalam Mengelola Perseroan Terbatas. Penegakkan Hukum. 3(5): Hlm. 36.
69 his own interest in a way that harms the corporation.�9 Teori fiduciary duty merupakan suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawasan sesaat. Dalam fiduciary duty, ada yang disebut sebagai wakil (trustee), dimana peran wakil itu didasarkan pada kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence). Sehingga, yang harus dipahami, adanya doktrin oportunitas perseroan ini diperuntukkan agar direksi sebagai wakil (trustee) dari perseroan tidak semata-mata mengambil keuntungan atau manfaat pribadi dari apa yang seharusnya menjadi hak perseroan, kecuali dengan persetujuan dari perseroan atau rapat para pemegang sama.Bentukbentuk keuntungan pribadi yang dilarang antara lain : mengambil kesempatan yang menjadi haknya perseroan; mengambil komisi dari bisnis perseroan; mendapatkan bonus, hadiah, dan memperoleh keuntungan pribadi lainnya. Dalam perkembangan ilmu hukum perseroan, terdapat beberapa kritera yuridis untuk menentukan apakah suatu tindakan melanggar doktrin oportunitas perseroan atau tidak. Kriteria tersebut antara lain:10 a) Kriteria pertama, yang sebenarnya menafsirkan doktrin oportunitas perseroan dalam arti sempit. Menurut kriteria ini oportunitas perseroan baru tercipta ketika dalam suatu tindakan hukum yang melibatkan aset, perseroan telah terlebih dahulu memiliki kepentingan terhadap aset tersebut. Sehingga suatu perseroan haruslah memiliki klaim terlebih dulu, ataupun menyatakan minatnya untuk mengambil kesempatan tersebut. Kriteria pertama ini disebut dengan interest and expectancy. Contoh penerapan kriteria ini dalam kasus Legarde vs Anniston Lime & Stone Company (1899). Kriteria ini merupakan kriteria yang sangat tradisional dan paling tua. 9
Chris Chadien. (2016). The Law on Corporate Opportunity Transactions by Directors : A Comparative Analysis of Delaware Law and Australian Law. GSTF Journal of Law and Social Sciences. 5(1. Hlm. 30. 10 Munir Fuady. (2014). Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Cetakan ke 3. Bandung: Pt Citra Aditya Bakti. Hlm.214-216.
70 b) Kriteria kedua merujuk pada ruang lingkup bisnis (a line of business) dari perseroan. Seorang direksi dapat dikatakan telah mengambil oportunitas perseroan ketika suatu kesempatan itu sangat dekat dengan ruang lingkup bisnis yang termaktub dalam anggaran dasar perseroan. Menurut kriteria ini semakin dekat kesempatan dengan jenis perseroan, semakin besar kemungkinan menjadi kesempatan perseroan Contoh kasus dari kriteria ini adalah Guth vs Loft, inc (1961). c) Kriteria Ketiga, yaitu bentuk penggabungan dari Kriteria Satu dan Kriteria Dua. Mulanya perlu ditinjau apakah oportunitas tersebut dekat dengan ruang lingkup perseroan, kemudian pula harus dilihat apakah oknum direksi tersebut melanggar prinsip loyalitas dan fair dealing terhadap perseroan yang dipimpinnya. Kriteria ini merujuk pada kasus Miller vs Miller (1974). d) Kriteria Keempat, dapat dihubungkan apakah transaksi yang dilakukan direksi tersebut memiliki kausal terhadap timbulnya keuntungan-keuntungan pribadi direksi yang tidak adil (intrinsic fairness). Kriteria ini digunakan oleh Makahmah Agung Massachussetts (USA) dalam tahun 1948. e) Kriteria
selanjutnya
adalah apakah oportunitas tersebut merupakan
kesempatan yang secara logis mempunyai hubungan dekat/erat (reasonably closely related) dengan perseroan. Kriteria ini melihat apakah kesempatan yang ditawarkan kepada direksi tersebut sebenarnya ditawarkan kepada perseroan atau tawaran yang timbul karena adanya pemanfaatn asset atau informasi dari perseroan. Namun seluruh kriteria tersebut masih merupakan kriteria umum, dikarenakan pada pengaplikasiannya terhadap kasus riil pun, doktrin oportunitas perseroan masih memerlukan penyesuaian dengan situasi dan kondisi. Doktrin Oportunitas dapat menjadi lebih tegas ketika terjadi beberapa situasi seperti jika Perseroan adalah perseroan terbuka, jika Direksi adalah orang dalam (inside director), jika Direksi bekerja secara fulltime, jika Direksi menjadi seorang investor aktif, dan jika transaksi terjadi oleh anak perseroan yang sahamnya hanya sebagian dipegang oleh perusaan holding.
71 Ketika direksi mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan perseroan, maka, sanksi yang dapat diterapkan kepada direksi tersebut adalah : a) Membuat direksi mengganti segala kerugian perseroan b) Mengembalikan segala keuntungan yang diterima oleh direksi kepada perseroan. c) Berdasarkan doktrin constructive trust tersebut menyatakan bahwa direksi hanyalah sebagai perpanjangan tangan dari perseroan untuk meng-handle aset dan keuntungan perseroan, sehingga segala bentuk properti yang didapat direksi dengan melanggar doktrin oportunitas perusahaan diberikan terhadap persero. Meski tindakan direksi termasuk ke dalam oportunitas perseroan, namun adakalanya dalam hukum tindakan tersebut dibenarkan dan masih dapat dibenarkan apabila tindakan tersebut dilakukan. Kekecualian tersebut antara lain:11 a) Pelepasan Tindakan Oportunitas Perseroan Pertama-tama perlu diperhatikan apakah ketika Direksi melakukan tindakan pengambilan kesempatan tersebut, posisi perseroan masih secara hukum memiliki hak, ataukah perseroan telah secara sukarela melepaskan haknya kepada Direksi yang bersangkutan. Apabila kemudian dalam tindakan tersebut Perseroan memang telah secara nyata melepaskan hak-nya maka harus dilakukan full disclosure sehingga persetujuan dari perseroan tersebut menjadi sebuah informed consent. b) Ketidakmungkinan Perseroan untuk Melakukan Tindakan Oportunitas Perusahaan. Dalam hal Perseroan tidak dimungkinkan mengambil suatu kesempatan, juga dapat diperhitungkan sebagai pengecualian terhadap doktrin oportunitas perseroan. Dapat dimisalkan apabila dalam suatu transaksi, pihak kreditur hanya akan menyepakati kerjasama ketika Direksi yang bertindak untuk dirinya sendiri, dan bukan untuk perseroan. Walaupun secara kriteria Direksi yang bersangkutan telah melakukan tindakan yang
11
Ibid., Hlm. 220-222.
72 sesuai dengan doktrin oportunitas perseroan, namun secara hukum tindakan pengambilan kesempatan tersebut dapat diperkecualikan dari oportunitas perseroan c) Ketidakmampuan Perseroan untuk Melakukan Tindakan Oportunitas Perseroan Ketidak mampuan ini dapat dirumuskan sebagai suatu situasi dimana sebuah perseroan sedang berada dalam kondisi tidak mampu secara finansial. Namun bukan berarti Direksi semata-mata dapat melakukan pengambilalihan hak hanya karena alasan finansial perseroan yang tidak memadai, karena hal tersebut justru akan menciptakan celah bagi oknum Direksi untuk terus menerus bertindak dalam oportunitas perseroan. Perkecualian finansial ini berlaku, apabila Direksi dapat membuktikan secara nyata bahwa perseroan yang bersangkutan memang sedang kekurangan aset untuk mengambil oportunitas perseroan tersebut d) Restu dari Perseroan Perkecualian yang terakhir, berlaku dalam doktrin oportunitas perseroan apabila tindakan dari direksi untuk mengambil oportunitas perusahaan telah disetujui oleh perseroan itu sendiri atau oleh pemegang saham independen. Dapat dikatakan, bahwa dengan persetujuan itulah direksi telah mendapatkan ‘restu’ berdasarkan disclosure yang cukup baginya untuk melakukan pengambilalihan hak dari perseroan oleh direksi. 2.2 Corporate Opportunity Doctrine dalam Hukum Perseroan di Indonesia Di Indonesia, doktrin oportunitas perseroan ini tidak diatur dengan tegas di dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas maupun Undang-Undang Pasar Modal. Belum ada pengaturan khusus yang mengatur bagaimana status dari transaksi yang dilakukan oleh direksi untuk kepentingan pribadinya, di mana menurut ilmu hukum perseroan, transaksi tersebut termasuk ke dalam golongan oportunitas perseroan yang dipimpinnya. Meskipun tidak ada pengaturan spesifik terkait doktrin oportunitas perseroan , prinsip fiduciary duty sebagai akar corporate opportunity doctrine, masih dapat dijumpai dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yakni dalam Pasal 92 ayat (1) jo. Pasal 97.
73 Pasal-pasal tersebut di atas memang tidak mengandung klausul yang melarang direksi untuk mengambil kesempatan bagi dirinya pribadi dimana kesempatan itu bisa diambil untuk kepentingan perseroan sebagaimana doktrin oportunitas perseroan, namun adanya pasal-pasal tersebut memberikan acuan bagaimana direksi seharusnya bertindak, dan dalam hal apa tindakan direksi harus dipertanggungjawabkan secara pribadi. Sehingga, secara tidak langsung, ketika direksi melaksanakan pengurusan perseroan tidak untuk maksud dan tujuan perseroan, dan didalamnya ada unsur menguntungkan dirinya, maka disitulah ada eksistensi oportunitas perseroan.Meski belum ada pengaturan dalam UU Perseroan terkait rambu-rambu yang jelas mengenai sejauh mana dan dengan kriteria apa doktrin oportunitas perseroan diberlakukan, namun kriteria-kriteria yang telah berlaku umum dalam corporate opportunity doctrine dapat digunakan sebagai pelengkap akan adanya kekosongan aturan ini. Penerapan doktrin oportunitas perseroan ini sebenarnya juga sudah diterapkan di Indonesia, salah satunya terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 514 K/Pdt.Sus-Pailit/2013. Dalam putusan tersebut Direksi dari PT Mandiri Agung Jaya Utama (PT MAJU) meminjam uang kepada PT Galena Surya Gemilang (PT GSG) tanpa sepengetahuan komisaris dari PT MAJU. Kemudian, uang tersebut tidak diberikan dan dipergunakan demi kepentingan perusahan yang dipimpinya (PT MAJU), melainkan masuk ke rekening pribadi direksi. Alhasil, PT MAJU dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat karena mempunyai tagihan utang senilai Rp 17,8 miliar terhadap PT GSG dan PT Indomineral Makmur dengan tagihan sebesar Rp 2,5 miliar. Lalu, majelis hakim memutuskan bahwa Direksi PT MAJU harus bertanggung jawab membayar utang-utang PT MAJU.12 Dari putusan tersebut dapat dilihat bahwa direksi berusaha mengambil keuntungan dengan memanfaatkan posisinya sebagai direksi agar mendapatkan pinjaman untuk kepentingan pribadi, bukan kepentingan perseroan. Hal ini melanggara kriteria
12
Hukumonline. (2013). Perusahaan Penggali Batu Besi Bangkrut,Tidak Dipersoalkan Uang Dikirim Ke Rekening Pribadi Atau Rekening Perusahaan. Diakses Dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt520dde3733227/perusahaan-penggali-batubesi-bangkrut pada 30 September 2018.
74 reasonably closely related dalam corporate opportunity doctrine, karena pemberi pinjaman seharusnya ingin memberi pinjaman terhadap perusahaan, mengingat peminjam mengangap direksi sebagai perwakilan perseroan, namun justru peminjaman uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, dan menyebabkan kerugian pada perusahaan. Selain itu, penerapan corporate opportunity doctrine dapat ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 853K/Pdt/2013, dalam perkara antara :13 -
Ny. Dra. Titiek Rachmawati, AK, sebagai Pemohon Kasasi; dahulu Tergugat II; melawan
-
PT Mahapura Jaya selaku Termohon Kasasi dahulu Penggugat; dan Drs. Soedoro Projokosoemo selaku mantan Direktur Utama PT. Mahapura Jaya sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat I, Ngateni B.Rebini sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat I, Seniti B. Senipah sebagai Turut Termohon Kasasi dahulu Turut Tergugat II. Dalam kasus tersebut, PT Mahapura Jaya telah membeli dan menerima
pemindahan segala hak dan kekayaan karena akuisisi saham dan aset, yang salah satunya adalah tanah seluas Âą 34.538 m2. PT tersebut telah membayar lunas kepada Tergugat I dengan bukti Akta Perjanjian dan Pemindahan Hak. Kemudian, sehubungan dengan adanya inventarisasi aset PT, ditemukan bukti bahwa Tergugat I membuat Akte jual beli bangunan dan peralihan hak atas tanahnya kepada Tergugat II, dimana Tergugat I mengaku sebagai Direktur Utama PT, padahal dengan adanya Akta Akta Perjanjian dan Pemindahan Hak No. 536 tanggal 21 Maret 1989, Tergugat I bukan lagi sebagai Pemegang Saham dan Direktur Utama PT Mahapura Jaya. Sehingga, jual beli Tergugat I kepada Tergugat II tidak memiliki alas hak yang sah. Perbuatan Tergugat I dinilai telah merugikan Penggugat dimana aset-aset perseroan seharusnya diserahkan oleh Tergugat I kepada Penggugat ketika
13
Hery Shietra. (2017). Resiko Jual-Beli Tanah dalam Perseroan. Diakses Dari https://www.hukum-hukum.com/2017/05/resiko-jual-beli-tanah-aset-perseroan.html?m=1 pada 30 September 2018.
75 terjadinya jual-beli pada tahun 1989. Sehingga, Tergugat I tidak boleh mengalihkan aset yang telah menjadi kepemilikan perseroan dengan dalih bahwa ia adalah direktur PT, sedangkan ia pada saat jual beli kepada Tergugat II, sudah tidak lagi menjabat sebagai direktur PT tersebut. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Agung yakni : “Bahwa Judex Facti (Putusan Pengadilan Negeri yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi) baik dalam pertimbangan maupun putusan telah benar dengan mengabulkan gugatan Penggugat karena sesuai dengan bukti telah terjadi pengalihan hak kepada Penggugat dari pihak Tergugat, masih diperjual-belikannya objek yang sudah dialihkan tersebut oleh Tergugat adalah perbuatan melawan hukum karena ia bukan sebagai pihak yang berhak lagi.� Perkara diatas mengandung doktrin oportunitas perusahaan, karena Tergugat I yang mendalilkan bahwa ia direktur PT, menggunakan kapasitas dan wewenangnya itu untuk memperoleh manfaat dari penjualan aset PT kepada Tergugat II. Dimana aset-aset tersebut sejatinya adalah hak daripada PT itu sendiri karena pada tahun 1989 telah ada pengalihan hak dari Tergugat I kepada PT. Walaupun, dalam pertimbangan hakim tidak disebutkan secara tegas adanya oportunitas perseroan, namun kasus ini sejatinya dapat dikaji dengan doktrin oportunitas perseroan, karena Tergugat I pernah menjabat sebagai sehingga mengetahaui asset dari PT Mahapura Jaya, sehingga dari pengetahuannya sebagai direksi tersebut, dia gunakan untuk menjual asset tersebut. Hal ini sesuai dengan kriteria reasonably closely related dalam corporate opportunity doctrine, karena menggunakan informasi sebagai mantan direktur. 4. Penutup Meskipun corporate opportunity doctrine tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, namun terdapat pengaturan mengenai fiduciary duty sebagai akar corporate opportunity doctrine dalam Undang-Undang perseroan yang dapat digunakan sebagai acuan Meski belum ada pengaturan dalam UU Perseroan terkait rambu-rambu yang jelas mengenai sejauh mana dan dengan kriteria apa doktrin oportunitas perseroan diberlakukan, namun kriteria-kriteria
76 yang telah berlaku umum dalam corporate opportunity doctrine dapat digunakan sebagai pelengkap akan adanya kekosongan aturan ini. Kriteria tindakan tersebut antara lain kriteria minat dan pengharapan, ruang lingkup bisnis, kombinasi kriteria minat dan pengharapan dengan ruang lingkup binis, kriteria intrinsic fairness, serta kriteria reasonably close related.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Dyah Ochorina Susanti & A’an Efendi. (2014). Penelitian Hukum (Legal Research).Jakarta: Sinar Grafika. Hlm. 15. Munir Fuady. (2014). Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke 3. Bandung: Pt Citra Aditya Bakti. Hlm. 211. Peter Mahmud Marzuki. (2016). Penelitian Hukum, Edisi Revisi. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
JURNAL Chris Chadien. (2016). The Law on Corporate Opportunity Transactions by Directors : A Comparative Analysis of Delaware Law and Australian Law. GSTF Journal of Law and Social Sciences 5(1). Erlina. (2017). Prinsip Good Corporate Governance Pada Perseroan Terbatas. Jurisprudentie. 4(1). Marsella. (2016). Benturan Kepentingan Tidak Langsung Oleh Direktur Dalam Mengelola Perseroan Terbatas. Penegakkan Hukum. 3(5). M. Kamil Ardiansyah. (2016). Transaksi Self Dealing Dalam Perspektif Hukum Perseroan Indonesia. Private Law. 4(2). Siti Hapsah Isfardiyana. (2017) .Business Judgement Rule Oleh Direksi Perseroan. Jurnal Panorama Hukum. 2(1).
77 INTERNET Bplawyers.
(2017).
Hal
Bertanggungjawab
Ini
Yang
Untuk
Dapat
Membuat
Perusahaan!.
Direksi
Wajib
Diakses
Dari
https://bplawyers.co.id/2017/04/11/hal-ini-yang-dapat-membuat-direksiwajib-bertanggungjawab-untuk-perusahaan/ pada 30 September 2018. Elson.
(2017).
3
Organ
Penting
Perseroan
Terbatas.
Diakses
dari
https://elson.co.id/3-organ-penting-perseroan-terbatas/ pada 30 September 2018. Hery Shietra. (2017). Resiko Jual-Beli Tanah dalam Perseroan. Diakses dari https://www.hukum-hukum.com/2017/05/resiko-jual-beli-tanah-asetperseroan.html?m=1 pada 30 September 2018. Hukumonline. (2018). Arti dan Ciri Personalitas Perseroan Terbatas. Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5b3057223eb8f/arti-danciri-personalitas-perseroan-terbatas pada 30 September 2018. Michael Pike. (2018). What is Corporate Opportunity Doctrine?. Diakses dari https://www.turnpikelaw.com/what-is-the-corporate-opportunitydoctrine/ pada 30 September 2018.
78 RE-MAKE OF LAW FOR JUSTICE: MEWUJUDKAN BADAN KORDINASI PENANGANAN PEKERJA SEKS UNTUK MELINDUNGI HAK PEREMPUAN KORBAN HUMAN TRAFFICKING DI INDONESIA 1
Nur Fuadyah Kahar, 2Hasmiati Hamzah, 3Ayu Lestari Indah
1Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail : kaharnurfuadyah@gmail.com. Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail : hasmiatihamzah@gmail.com 3Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail : ayoel8897@gmail.com
2Fakultas
Abstrak Pada kasus trafficking, seringkali korban mendapatkan eksploitasi yang berada di luar batas kewajaran. Hal yang paling rentan dilakukan terhadap korban perdagangan khususnya perempuan adalah dijadikan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK). Perempuan korban perdagangan dijadikan sebagai pelaku prostitusi untuk kepentingan beberapa orang. Namun, parahnya hal tersebut tidak dipandang sebagai suatu keterpaksaan karena korban perdagangan orang. Perempuan pekerja seks akibat korban humantrafficking tersebut tetap diadili dengan kasus perzinahan.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak mengatur ketentuan terkait dengan prostitusi, tidak satupun diantaranya yang menyebutkan kata prostitusi, atau memberikan batasan tertentu tentang prostitusi. Indonesia tidak memiliki hukum khusus tentang prostitusi, sehingga prostitusi sering dianggap sama halnya dengan perzinahan. Untuk menjamin kepastian hukum perempuan yang telah melewati beberapa kejadian yang menimbulkan traumatik saat proses perdagangan atau sebelum dipekerjakan untuk kegiatan prostitusi, diperlukan aturan hukum resmi atau“Remake of Law For Justice: Mewujudkan Badan Kordinasi Penanganan Pekerja Seks Untuk Melindungi Hak Perempuan Korban Human Trafficking di Indonesia. Kata Kunci:Human Trafficking, Pekerja Seks, Prostitusi, Perempuan 1. Pendahuluan Perdagangan perempuan dan anak berarti setiap tindakan atau transaksi di mana seseorang perempuan dan anak dipindahkan kepada orang lain oleh siapa pun atau kelompok demi keuntungan atau dalam bentuk lain. Perdagangan (Trafficking) perempuan dan anak juga dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang menyertakan aspek-aspek proses rekrutmen dan atau perpindahan tempat terhadap seseorang sering kali untuk kerja yang eskploitatif, termasuk eksploitasi seksual dengan kekerasan, ancaman, penipuan atau jerat hutang. Perdagangan perempuan dan anak, merupakan bagian dari bentuk terburuk tindakan para sindikat yang harus dihapuskan, sebab dari akibat perdagangan tersebut, perempuan dan anak berada
79 pada situasi yang sangat buruk. Praktik Perdagangan anak dan perempuan merupakan suatu tindakan kejahatan yang bergerak di bawah tanah atau masih terselubung dengan jalur mata rantai panjang yang cukup rumit yang sifatnya sangat tertutup.1 Upaya pemerintah yang saat ini telah dilakukan adalah tiga hal dalam penanganan prostitusi, antara lain penanganan dalam bentuk sistem resosialisasi, panti dan istilah daerah rawan wanita bermasalah. Namun, hal tersebut masih memiliki kelemahan, sistem ini tidak menangani dan mendampingi pekerja seks di daerah-daerah tertentu. Indonesia dalam melindungi perempuan yang terjerat kasus prostitusi diperlukan untuk membentuk aturan resmi tentang posisi perempuan sebagai korban karena keterpaksaan dalam melakukan prostitusi. Aturan yang mana perlu sanksi tegas terhadap kaum yang menjualbelikan perempuan dan juga kaum yang sebagai penikmat prostitusi. Dimana dalam aturan tersebut juga perlu mengatur penanganan prostitusi yang lebih efektif dan maksimal. Maka dalam mewujudkan upaya tersebut diperlukan adanya Badan Koordinasi Penanganan dan Pendampingan Pekerja Seks di Wilayah. Sehingga penulis menggagas suatu solusi yang berjudul “Re-make of Law For Justice: Mewujudkan Badan Koordinasi Penanganan Pekerja Seks Untuk Melindungi Hak Perempuan Korban Human Trafficking di Indonesia�. 2. Analisis 2.1. Ketentuan Hukum yang Berlaku bagi Pelaksanaan Badan Koordinasi Penanganan Pekerja Seks di Indonesia Perdagangan orang (human trafficking) jika dikaitkan dengan perdagangan perempuan sangat erat kaitannya dengan prostitusi, dimana perempuan diperdagangkan sebagai pekerja seks. Indonesia saat ini tidak memiliki satu pun undang-undang yang secara tegas mengatur tentang prostitusi/pekerja seks. Walaupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur secara khusus terkait prostitusi, namun salah satu unsurnya yaitu hubungan seksual yang 1
Maidin Gultom. (2014). Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan. Bandung. Hlm 35.
80 dilarang menurut KUHP dapat menjerat pelaku prostitusi. Ada dua pasal dalam KUHP yang dapat menjerat pelaku prostitusi, yaitu Pasal 296 dan Pasal 506. Pasal 296 berbunyi:2 Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak lima belas ribu rupiah. Seseorang dapat dijerat dengan pasal ini jika menyediakan rumah atau kamarnya (dengan pembayaran lebih dari satu kali) kepada perempuan dan lakilaki untuk melacur (bersetubuh atau melepas nafsu kelaminnya dengan jalan lain) disitu.3 Sedangkan Pasal 506 diatur mengenai tindak pidana bagi orang yang menjual perempuan untuk dijadikan sebagai pekerja seks dan menarik keuntungan dari penjualan tersebut, lebih dikenal dengan istilah mucikari. Pasal 506 berbunyi:4 “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun�. Kedua pasal tersebut hanya menjerat mucikari atau germo, namun tidak pada pengguna jasa maupun pekerja seks itu sendiri. Untuk kedua pelaku seks tersebut tidak terdapat undang-undang khusus, namun beberapa daerah telah membuat peraturan daerah terkait prostitusi/pekerja seks. Seperti untuk daerah Tangerang dan Indramayu yang telah membuat peraturan khusus terkait prostitusi. Adapun peraturan Pemerintah Daerah (PERDA) tersebut dimuat dalam:5 1. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2005 Tentang Pelarangan Prostitusi yang berlaku di wilayah Kota Tangerang;
2
Bozar Z Siregar. (2015). KUHP dan KUHAP. Braja Pustaka. Depok. Hlm 73. R. Soesilo. (1995). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Politea: Bogor. Hlm 217. 4 Bozar Z Siregar. Op. Cit. Hlm 149. 5 Arya Mahardika Pradana. (2015).Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi dan Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak yang Terlibat dalam Prostitusi, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-44 No. 22, April-Juni. Hlm 279. 3
81 2. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu Nomor 7 Tahun 1999 Tentang Prostitusi. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Klaten Nomor 27 Tahun 2002 Tentang Larangan Pelacuran Peraturan daerah tersebut memberikan kejelasan hukum bagi para pekerja seks yang tidak dimuat dalam undang-undang yang lebih khusus. Hal ini merupakan upaya dalam memberikan perlindungan hukum bagi pekerja seks, sehingga mereka bisa saja tidak mendapatkan sanksi tindak pidana atas perbuatannya, namun diberikan bantuan pemulihan dan rehabilitasi melalui pendidikan moral, agama, dan diberikan pelatihan kerja agar mereka dapat meninggalkan dunia prostitusi. Perlindungan hukum terhadap pekerja seks yaitu melindungi hak mereka untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan Undang-Undang. Oleh karena itu, diperlukannya perlindungan hukum terhadap pekerja seks mulai dari tahap bantuan hukum dalam memperoleh haknya sebagai warga negara sampai pada tahap pemulihan. Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial cq Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial salah satunya adalah melakukan rehabilitasi sosial baik kepada wanita tuna sosial, eks wanita tuna sosial maupun kepada korban trafiking perempuan. Pelaksanaan rehabilitasi bagi pekerja seks yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Sosial No. 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Tuna Susila 6 memuat tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dalam proses rehabilitasi. Lebih lanjut terkait pelaksanaan rehabilitasi diatur dalam Keputusan Menteri Sosial No. 22/HUK/1995 tentang Struktur Organisasi
6
Keputusan Menteri Sosial No. 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Tuna Susila, https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/Depkopsos_20_1999.pdf, diakses pada tanggal 12 Maret 2018 pukul 13.44 WITA.
82 dan Tata Kerja Panti7, dalam putusan tersebut mengatur bahwa setiap daerah melaksanakan atau membuat panti sosial khusus untuk masalah pekerja seks. Adapun ketentuan hukum yang berlaku bagi pelaksanaan badan koordinasi penanganan seks di Indonesia diatur dalam: 1. Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. 5. Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2002 tentang Penghapusan Eksploitasi Seksual, Komersial Seksual, Perempuan dan Anak. 6. Keputusan Menteri Sosial No. 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Tuna Susila. 7. Keputusan Menteri Sosial No. 22/HUK/1995 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Panti. Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang ditandatangani pada bulan April 2007. Walaupun telah memiliki Undang-Undang tentang perdagangan manusia, namun sampai sekarang belum ada peraturan pelaksanaan UndangUndang tersebut sebagai pendukung seperti Peraturan Pemerintah. Dimana dalam peraturan pemerintah nantinya akan mengatur terkait pembentukan Badan Koordinasi Penanganan Pekerja Seks di Indonesia. hal ini merupakan tugas dari Kementrian Sosial atau Kemensos yang akan menerapkan kebijakan dalam pembentukan badan kordinasi tersebut. Hal ini kemudian menjadi saran bagi Kementrian Sosial untuk menerapkan program pembentukan Badan Penanganan 7
Keputusan Menteri Sosial No. 22/HUK/1995 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Panti, http://www.bphn.go.id/data/documents/14pmsos018.pdf, diakses pada tanggal 12 Maret 2018 pukul 14.07 WITA
83 Pekerja Seks dikarenakan sesuai dengan tiga tugas Kemensos sesuai tugas dan fungsinya yaitu dalam penanganan prostitusi dan pemberdayaan pekerja seks yaitu memberikan bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP), menyiapkan tiket pulang kampung, serta memberikan jaminan hidup selama dua bulan.
A. Peran Badan Koordinasi Penanganan Pekerja Seks sebagai Upaya dalam Melindungi Hak Perempuan Korban Human Trafficking di Indonesia Re-make Law For Justice Penegakan hukum dan keinginan kuat dari pemerintah Indonesia untuk memberantas prostitusi akibat adanya perdagangan orang di Indonesia harus segera direalisasikan. Perlu adanya badan Koordinasi yang terkait dengan departemen resmi yang dapat menangani masalah perdagangan orang. Dibutuhkan sinergitas antara pemerintah, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Lembaga Swadya Masyarakat (LSM) dan segenap keluarga terdekat dari korban. Hal ini disebabkan oleh karena departemen di Indonesia saling bekerja sendiri dan tidak adanya hubungan Koordinasi yang saling menguatkan upaya-upaya perlindungan terhadap perdagangan perempuan. Seharusnya semua lembaga yang bergerak dibidang penanganan perempuan korbaan prostitusi dapat terKoordinasi dan saling bersinergi dengan setiap wilayah. Pemulihan
korban
secara
psikologis,
fisik
dan
sosial
menjadi
tanggungjawab negara untuk memfasilitasinya. Rehabilitasi korban, pemulangan korban prostitusi dari luar negeri pun seharusnya ditangani dengan baik. Adanya Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 88 tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak seharusnya kerja-kerja departemen terkait lebih kordinatif dan terstruktur dengan baik. Harusnya ada peraturan perundang-undangan dan hukum yang jelas dapat menghasilkan kurangnya perempuan yang menjadi korban prostitusi yang dapat mengancam jiwa dan batin mereka. Kekurangan tersebut dapat dilihat dari data yang diperoleh terkait kasus perdagangan orang dalam jeratan prostitusi dan hukuman yang diberikan.
84 Tabel 1. Tuntutan dan Putusan Kasus Perdagangan Orang di Pengadilan Negeri Makassar NAMA
PASAL YANG
TERDAKWA
DIKENAKAN
PERKARA
Memperdagangkan, Suleman alias
Pasal 83 UU No.
menjual, atau
Sulle
23 Tahun 2002
menculik anak
KETERANGAN -
Tuntutan JPU 4 Tahun
-
Putusan PN Makassar 3
untuk dijual
Tahun Kartini Ramli alias Titin
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007
JPU 7 Tahun
Memperdagangkan anak untuk dijual
Tuntutan
-
Putusan PN Makassar 6 Tahun
Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2007 Jelly alias
tentang Tindak
Bunda Reni
Pidana Perdagangan Orang
Mengeksploitasi
-
JPU 7 Tahun
ekonomi atau seksual anak untuk
-
Pasal 10 jo. Pasal
alias Doi Bin
2 ayat (1) UU No.
Amiruddin
21 Tahun 2007
Putusan PN Makassar 6
menguntungkan
Tahun 6
diri sendiri
Bulan -
Rudini Ismali
Tuntutan
Tuntutan JPU 3 Tahun
Percobaan
-
Perdagangan Anak
Putusan PN Makassar 2 Tahun 6 Bulan
Faisal Arif
Pasal 53 ayat (1)
dkk
KUHP jo. Pasal 83 melakukan
Percobaan
-
Tuntutan JPU 7 Tahun
85 -
UU No. 23 Tahun
kejahatan menjual
2002
anak secara
Makassar 6
bersama-sama
Tahun
Putusan PN
Sumber : Data Pengadilan Negeri Makassar yang selanjutnya diambil dari Skripsi Muslimin Lagalung pada tahun 2013. erdasarkan data pada tabel 1, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Muslimin Lagalung mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dalam rangka penyusunan skripsi pada tahun 2013 mengemukakan bahwa dari beberapa kasus tentang perdagangan orang yang di proses di Pengadilan Negeri Makasar dari tahun 2009 sampai dengan 2011 menunjukkan Jaksa Penuntut Umum yang mewakili korban hanya menuntut hukuman penjara relatif ringan terhadap pelakunya yang menyebabkan hakim juga menjatuhkan putusan yang ringan bagi pelaku. Menurut Muslimin hal ini tentu tidak sebanding apabila dibandingkan dengan penderitaan korban atas perbuatan pelaku perdagangan manusia.Untuk itu menurut penulis diperlukan pembuatan aturan resmi atau Re-make of Law terkait hukum prostitusi di Indonesia. Aturan yang diperlukan saat ini salah satunya adalah pemerintah memberikan sanksi tegas bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang yang menjadikan korban sebagai pekerja seks yang dapat menambah kasus prostitusi di Indonesia. Selain itu, juga membentuk Badan Koordinasi Penanganan dan Pendampingan Pekerja Seks yang dapat melindungi perempuan pekerja prostitusi karena terpaksa akibat dari perdagangan orang, bukan karena kasus perzinahan. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum perempuan yang telah melewati bebrapa kejadian yang menimbulkan traumatik saat proses perdagangan atau sebelum dipekerjakan untuk kegiatan prostitusi. Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan dalam Perlindungan Korban Perdagangan Orang. Berikut ini akan diuraikan bentuk-bentuk lain dari perlindungan.
86 1. Pusat Pelayanan Terpadu Di dalam negeri, perlindungan dalam bentuk perawatan medis, psikologis dan konseling termasuk penampungan dan pemulangan ke daerah asal korban, menjadi tanggung jawab sektor-sektor sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kesepakatan Bersama Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor: 14/Men.PP/Dep.v/X/2002;
1329/MENKES/SKB/X/2002;
75/HUK/2002;
POL.B/3048/X/ 2002 tentang Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, diwujudkan dengan membentuk Pusat Pelayanan Terpadu di beberapa rumah sakit umum Pusat dan Daerah serta rumah sakit Kepolisian, agar korban dapat dengan mudah mengakses layanan yang diperlukan.8 2. Pelayanan Perempuan dan Anak Unit Pelayanan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disingkat UPPA adalah unit yang bertugas memberikan pelayanan dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap perempuan dan anak yang menjadi pelaku tindak pidana. Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2007 tersebut telah memberikan pedoman tentang administrasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di lingkungan Kepolisian dan menetapkan Pengadaan Ruang Pelayanan Khusus. Ruang Pelayanan Khusus yang selanjutnya disingkat (RPK) dibentuk berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus Dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana. 3. Women's Crisis Center, Trauma Center, Shelter atau Drop in Center. Di samping itu, layanan kepada korban perdagangan orang juga diberikan oleh Pusat Pelayanan Terpadu, Women's Crisis Center, Trauma Center, Shelter atau Drop in Center yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, LSM dan organisasi
8
Muslim. (2013). Lagalung,Skripsi: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban Kejahatan Perdagangan Orang(Trafficking In Person). Makassar. Hlm 68.
87 masyarakat yang berada di beberapa kota besar di sejumlah propinsi di Indonesia. Women's Crisis Center adalah pusat pelayanan terhadap wanita korban kejahatan perdagangan manusia, Trauma Center merupakan pusat pemulihan dari trauma yang dialami korban perdagangan manusia, sedangkan Shelter atau Drop in Center adalah tempat dimana korban perdagangan manusia ditempatkan terlebih dahulu sebelum korban direintegrasi atau di pulangkan kembali ke keluarganya. 9 4. Bantuan Hukum Kepada korban perdagangan orang juga diberikan layanan bantuan hukum dan pendampingan hukum berkaitan dengan masalahnya dan kedudukan yang seringkali diminta menjadi saksi bagi pelaku perdagangan manusia yang telah berbuat jahat kepadanya. Disamping bantuan hukum yang diberikan oleh pemerintah, masyarakat juga diharapkan dapat juga ikut berpartisipasi dalam memberikan bantuan hukum kepada korban seperti lembaga berbadan hukum yang mana disamping aktif memberikan bantuan hukum kepada korban juga memberikan sosialisasi dan advokasi kepada para penegak hukum agar menuntut dan menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku perdagangan manusia. Upaya yang diberikan oleh pemerintah terkait perlindungan perdagangan orang belum terkhusus atau lebih konkret terhadap penanganan korban perdagangan orang yang dijerat kasus prostitusi atau dijadikan pekerja seks. Selain itu, sistem ini tidak menangani dan mendampingi secara langsung di setiap wilayah. Untuk itu dibutuhkan legalitas atau aturan resmi terakit pembentukan Badan Koordinasi Penanganan dan Pendampingan Pekerja Seks atau Prostitusi disetiap wilayah. Hal ini sebagai langkah pasti dalam menangani kasus korban perempuan pkerja seks atas Human Trafficking mulai dari awal hingga tahap pemulihan dan dikembalikannya korban ke keluarga. Penanganan tersebut harus dibentuk melalui sistem resosialisasi dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam proses pendampingan hukum dan pemuliahan. Badan Koordinasi Penananganan Pekerja
9
Ibid Hlm 71.
88 Seks kemudian akan terdiri dari beberapa program yang akan menangani kasus perempuan korban human trafficking dengan beberapa fase diantaranya: a. Pendampingan Hukum Korban perlu didampingi oleh kuasa hukum dalam setiap tahapan penyelesaian kasus yang mereka hadapi. Semisal perempuan yang didapati melakukan tindakan prostitusi karena sebagai korban Human Trafficking berhak difasilitasi oleh pemerintah kuasa hukum agar mereka merasa aman dan mudah dalam memberikan keterangan-keterangan. Kuasa hukum ini kemudian disediakan oleh pengadilan dimana kasus tersebut diadili. Hal ini tentunya juga perlu diatur dalam aturan resmi terkait prostitusi nantinya. Tidak hanya itu, dibutuhkan bantuan dari Lembaga Bantuan Hukum maupun Lembaga Swadya Masyarakat yang dapat mendampingi seluruh proses hukum agar hak korban tetap terlindungi selama menempuh jalur hukum dalam penyelesaian kasus Human Trafficking. b. Program Pusat Krisis Terpadu Program ini adalah serangkaian kegiatan yang dapat menjadi tempat korban dalam menceritakan kasus dan tindakan yang selama ini dialami. Dalam hal ini juga dikatakan sebagai proses pendampingan psikologi korban. Dimana selama ini tentunya korban mengalami hal-hal yang dapat menjadi tekanan batin. Hal tersebut dikarenakan adanya paksaan untuk melakukan hubungan seks yang kemudian akan membekas dan butuh fase pemulihan secara bertahap. Untuk itu diperlukan kerjasama dari psikolog, polwan maupun dokter yang dapat menangani kondisi psikologis dari korban. Perlindungan ini sangat diperlukan bagi korban perdagangan orang yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik fisik (ekonomi, kesehatan) maupun psikis (trauma). Pemberian perlindungan korban perdagangan manusia ini dapat dilakukan negara dengan pertimbangan bahwa negara gagal dalam memberikan rasa aman kepada warga negaranya yang dalam hal ini adalah korban perdagangan orang tersebut.
89 c. Repatriasi (Pendampingan Pemulangan) Pada beberapa kasus, korban Human Trafficking juga dapat dikirm ke luar negeri untuk dijadikan pekerja seks. Hal tersebut dapat dilihat pada kasus pemulangan warga negara Indonesia yang bermasalah dari luar negeri (Tenaga Kerja Indonesia) yang seringkali berbenturan dengan banyak kepentingan. Seperti yang pernah disaksikan oleh teman-teman ACILS (American Center for International Labor Solidarity) dan Yayasan Perlindungan Anak Riau (YPAR) pada bulan Maret 2004. Kurangnya Koordinasi antara aparat dan pemerintah setempat menyebabkan para korban yang kembali dari Malaysia dengan menggunakan kapal Ferry terpaksa ikut kembali bersama orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal. Pada pemulangan tersebut lebih dari seratus WNI yang dipulangkan oleh KBRI, 40 diantaranya diidentifikasi sebagai korban Human Trafficking dan diproses lebih lanjut oleh pihak kepolisian. Pada tataran ini tentunya perlu diatur dalam aturan resmi terkait prostitusi nantinya. 10 Pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius dalam menangani kasus perdagangan orang di luar negeri. Masyarakat membutuhkan bantuan aparat penegak hukum dan juga pemerintah yang mempunyai tanggungjawab dalam melindungi hak warga negaranya hingga keluar negeri. Konsep dari pelaksanaan Badan Koordinasi Penanganan Pekerja Seks dapat dilihat pada bagan 1.
10
Gadis Arivia dkk, op.cit., hal 43.
90 Bagan 1. Lembaga Bantuan Hukum / Lembaga Swadya Masyarakat
Pendampingan Hukum Kuasa Hukum yang ditunjuk oleh Pengadilan terkait
Badan Koordinasi Penanganan dan Pendampingan Pekerja Seks
Polwan
Pusat Krisis Terpadu Psikolog/Dokter Ahli
Repatriasi (Pendampingan Pemulangan)
Pemerintah
Aparat Penegak Hukum
Konsep yang diterapkan nantinya pada Badan Koordinasi Penanganan dan Pendampingan Pekerja Seks akan dipantau langsung oleh Kementerian Sosial RI yang telah selaykanya harus member perhatian untuk menyelenggarakan pertemuan kelompok kerja dalam upaya meningkatkan pencegahan dan pemulihan korban perdagangan orang di masyarakat melalui perlindungan sosial secara terpadu dan terkoordinasi. Selain itu diperlukan kordinasi dalam Pendayagunaan Gugus Tugas Pencegahan Perdagangan Orang. UU No. 21/2007
tentang
Tindak Pidana Perdagangan Orang serta Peraturan Presiden Nomor 69/2008 tentang Gugus Tugas
Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Pidana
91 Perdagangan Orang, sangat penting mendayagunakannya karena perdagangan orang
melibatkan
sindikat
dalam
negeri
dan
internasional
dengan
modus seperti melalui pengiriman TKI keluar negeri. Untuk itu, masalah koordinasi dan keterpaduan sangat penting ditingkatkan. Oleh karena, titik lemah dalam mencegah perdagangan orang adalah koordinasi dan keterpaduan antar instansi. Selain itu, tidak ada leader yang mengkoordinasikan untuk meningkatkan pencegahan perdagangan orang serta masih lemahnya penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan perdagangan orang. Peningkatkan upaya pencegahan dan pemulihan korban perdagangan orang di masyarakat
juga dapat melalui perlindungan sosial secara terpadu dan
terkoordinasi, maka dirasa amat perlu Kementerian Sosial cq Direktorat Jenderan Perlindungan dan Jaminan Sosial menjadi leader untuk mengkoordinasikan berbagai instansi terkait untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan pemulihan korban perdagangan orang di masyarakat terutama dalam hal menetapkan Badan Koordinasi Penanganan Pekerja Seks. 3. Penutup Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis memberikan kesimpulan berupa: a. Perlindungan hukum terhadap pekerja seks yaitu melindungi hak mereka untuk mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama oleh hukum dan Undang-Undang. Oleh karena itu, diperlukannya perlindungan hukum terhadap pekerja seks mulai dari tahap bantuan hukum dalam memperoleh haknya sebagai warga negara sampai pada tahap pemulihan. Kementerian Sosial melalui Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial cq Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial salah satunya adalah melakukan rehabilitasi sosial baik kepada wanita tuna sosial, eks wanita tuna sosial maupun kepada korban trafiking perempuan. Pelaksanaan rehabilitasi bagi pekerja seks yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Sosial No.
92 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Tuna Susila 11 memuat tentang upaya-upaya yang dilakukan oleh Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dalam proses rehabilitasi. b. Penulis memberikan solusi agar pemerintah memberikan sanksi tegas bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang yang menjadikan korban sebagai pekerja seks yang dapat menambah kasus prostitusi di Indonesia. Hal ini dengan membuat aturan resmi terkait prostitusi untuk menjamin kepastian hukum perempuan yang telah melewati bebrapa kejadian yang menimbulkan traumatik saat proses perdagangan atau sebelum dipekerjakan untuk kegiatan prostitusi. Selain itu, juga membentuk Badan Koordinasi Penanganan dan Pendampingan Pekerja Seks yang akan mengawal proses hukum dan juga pemulihan korban yang terdiri dari fase Pendamingan Hukum, Program Pusat Krisis Terpadu dan Repatriasi (Pendampingan Pemulangan).
DAFTAR PUSTAKA Buku Gultom, Maidin. (2014). Perlindungan Hukum terhadap Anak dan Perempuan. Bandung. Siregar Bozar Z. (2015). KUHP dan KUHAP. Braja Pustaka: Depok. Pradana, Arya Mahardika. (2015). Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Prostitusi dan Pertanggungjawaban Pidana Para Pihak yang Terlibat dalam Prostitusi. Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun Ke-44 No. 22. April Juni 2015.
11
Keputusan Menteri Sosial No. 20/HUK/1999 tentang Rehabilitasi Sosial Penyandang Tuna Susila, https://peraturan.bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/Depkopsos_20_1999.pdf, diakses pada tanggal 12 Maret 2018 pukul 13.44 WITA.
93 Skripsi Muslim Lagalung.(2013). Skripsi: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan dan Anak Korban Kejahatan Perdagangan Orang (Trafficking In Person), Unhas: Makassar. Suryadi, Suryadi. Skripsi: Interaksi Sosial Antara Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan Masyarakat.
Internet Anonim,
Human
Trafficking
(Perdagangan
Manusia),
diakses
melalui
http://www.idlo.org/DOCNews/Human_Trafficking_ind.pdf, diakses pada tanggal 8 Maret 2018. Dita, Dita. “Definisi Perdagangan Orang� di akses melalui http://www.Academia.edu/16439621/Definisi_Perdagangan_Orang, diakses pada tanggal 7 Maret 2018.
94 LEGAL AID ANTI-CORRUPTION : MEWUJUDKAN AKSESIBILITAS HUKUMBAGI KAUM MARGINAL MELALUI PEMBERDAYAAN PARALEGAL DARI KAMPUS UNTUK DAERAH TERDEPAN, TERLUAR, DAN TERTINGGAL Kinkin Sakinah Ridwan1, Muhammad Zulfakhri Marjusi 2 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail : kinkinsakinah21@gmail.com 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail : muzulmar@gmail.com Abstrak:
Tindak pidana korupsi adalah masalah yang perlu dihadapi dengan serius dan merupakan persoalan hukum di setiap negara di dunia, termasuk Indonesia. Keseriusan pemerintah dalam menanggulangi tindak pidana korupsi yaitu dengan dibentuknya Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu yang terkena dampak tindak pidana korupsi adalah kaum marginal yang memiliki pendidikan dan ekonomi yang kurang. Kaum marginal seringkali dirampas hak-haknya tanpa mereka sadari karena akses hukum yang kurang memadai. Maka dari itu, untuk melindungi hak-hak kaum marginal tersebut maka perlu adanya bantuan hukum. Dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) sendiri secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum merupakan sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak konstitusional warga negara, kedatipun undang-undang dasar tidak secara eksplisit menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib menjamin pemenuhannya. Kata Kunci : Korupsi, Kaum Marginal, Bantuan Hukum 1. Pendahuluan Korupsi di Indonesia seakan borok yang sulit hilang dan mudah menyebar. Salah satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian negara pun disebabkan karena korupsi yang semakin meluas didalam masyarakat. Tindak pidana korupsi yang semakin meluas tentu saja memberikan dampak negatif pada perekonomian negara, hak-hak sosial dan ekonomi dalam kehidupan bernegara pada umumnya. Korupsi di Indonesia dapat dikatakan cukup kronis dengan melihat hasil riset yang dilakukan oleh Transparency International dengan menempatkan Indonesia di
95 urutan ke-98 dengan skor 37/100 dalam indeks persepsi korupsi tahun 2017. 1 Praktik korupsi di Indonesia sudah membudaya, dapat dilihat dari korupsi yang kecil dalam kehidupan sehari-hari hingga mega korupsi oleh pejabat-pejabat negara yang marak dijumpai di berbagai laman berita. Pada umumnya masyarakat hanya mengetahui korupsi besar yang dilakukan oleh petinggi-petinggi negara yang sering disiarkan dalam berbagai media. Masyarakat hanya bisa menggerutu dan mengutuk para koruptor, tak jarang banyak dari mereka menginginkan ancaman pidana untuk para koruptor diperkuat menjadi hukuman mati, ini merupakan ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap petinggi negara yang sebelumnya telah diberi kepercayaan oleh rakyat. Apabila kepercayaan rakyat terhadap pemerintah semakin menurun akibat maraknya petinggi negara yang berbondong-bondong melakukan korupsi, maka dapat memunculkan gejolak di berbagai daerah di Indonesia dan kemungkinan yang terparah adalah munculnya gerakan-gerakan separatisme yang dapat mengancam kesatuan negara, stabilitas politik, serta stabilitas ekonomi. Benar bahwa ancaman pidana untuk para koruptor di Indonesia saat ini cenderung lemah dan sangat jarang bahkan tidak ada koruptor yang di pidana mati atau seumur hidup. Namun penerapan pidana mati di Indonesia tidak begitu mudah, selain pro dan kontra pelanggaran hak asasi manusia, juga karena membutuhkan legalitas melalui perubahan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Untuk mencapai legalitas tersebut tentu sangat sulit melihat lembaga legislasi Indonesia yang berwenang membentuk undang-undang menjadi lembaga terkorup di Indonesia versi Transparency International.2 Suatu kemustahilan apabila lembaga legislasi yang dinilai terkorup di Indonesia mau melegalkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa korupsi hanya merugikan pemerintah dan negara saja, dan tidak ada hubungannya dengan mereka. Padahal 1
Hukumonline. (2018). Arti dan Ciri Personalitas Perseroan Terbatas. Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5b3057223eb8f/arti-dan-ciri-personalitasperseroan-terbatas pada 30 September 2018. 2 Erlina. (2017). Prinsip Good Corporate Governance Pada Perseroan Terbatas. Jurisprudentie. 4(1): Hlm. 52.
96 dampak korupsi sangat luas dan dapat merugikan masyarakat secara langsung, misalnya korupsi manipulasi kualitas pekerjaan jalan yang mengakibatkan jalan mudah rusak, jalanan yang rusak tentu saja menghambat aktifitas masyarakat dan merusak kendaraan, alhasil masyarakat harus mengeluarkan dana lebih banyak akibat dari kerusakan jalan karena kualitas yang buruk. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam menekan angka korupsi di Indonesia sangat diperlukan, dengan pengawasan dari berbagai pihak didukung oleh pengamatan dari masyarakat yang teredukasi akan bahaya korupsi bukan hal yang mustahil celah-celah untuk melakukan korupsi bisa tertutup rapat. Kehadiran daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (daerah 3T) menjadi indikator tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Padahal dengan hadirnya prinsip otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan dapat mempercepat pemerataan pembangunan di daerah 3T. Otonomi seluas-luasnya dan tugas pembantuan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah masih rawan oleh korupsi, terbukti dari banyaknya pejabat daerah yang terindikasi korupsi dan harus mendekam dibalik jeruji.3 Sangat jelas bahwa korupsi menghambat pembangunan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Dampak korupsi yang meluas dikhawatirkan akan menjadikan daerah 3T semakin tertinggal, dan kaum marginal di daerah 3T akan semakin menderita, kesenjangan sosial dan kesenjangan ekonomi akan semakin melebar, sehingga menyebabkan kaum marginal semakin miskin, terpuruk, dan tidak berkesempatan untuk bangkit dari keterpurukan. Namun sebagian besar dari kaum marginal di daerah 3T tidak menyadari dan apatis terhadap masalah ini karena kurangnya edukasi mengenai tindak pidana korupsi. Hal ini wajar terjadi mengingat kaum marginal di daerah 3T lebih memikirkan cara bertahan hidup dalam keterbatasan ketimbang memikirkan keadaan negara yang digerogoti oleh koruptor. Melihat pentingnya mengedukasi kaum marginal mengenai tindak pidana korupsi,
3
Nancy Junita. (2018). 33 Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi Sejak Jokowi Presiden. Diakses dari http://kabar24.bisnis.com/read/20170927/16/693364/33-kepaladaerah-terjerat-kasus-korupsi-sejak-jokowi-presiden pada 8 Maret 2018.
97 bagaimana dampaknya terhadap mereka serta bagaimana peran masyarakat dalam memberantas korupsi, maka diperlukan uluran tangan dari para praktisi, akademisi, dan penegak hukum melalui pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Kampus di semua Fakultas Hukum. Oleh karena itu, untuk melakukan penguatan terhadap peran Lembaga Bantuan Hukum Kampus untuk kaum marginal, maka penulisa menggagas suatu solusi berjudul, “Legal Aid Anti-Corruption : Mewujudkan Aksesibilitas Hukum Bagi Kaum Marginal Melalui Pemberdayaan Paralegal dari Kampus untuk Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal�. 2. Analisis Korupsi berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok. Menurut Transparency International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.4 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi secara harfiah berarti: buruk, rusak, suka memakai barang (uang) yang dipercayakan padanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun arti terminologinya, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. 5 Pengertian Tindak Pidana Korupsi sendiri adalah kegiatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri ataukelompok dimana kegiatan tersebut melanggar hukum karena telah merugikan bangsa dan negara. Dari sudut pandang hukum, kejahatan tindak pidana korupsi mencakup unsur-unsur sebagai berikut : a. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, dan sarana; 4
Muhammad Shoim. (2009). Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan Publik Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga Peradilan di Kota Semarang). Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang. Hlm 14. 5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1995. Hlm 527.
98 b. Memperkaya dirisendiri, orang lain, atau korporasi; c. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2.1 Kondisi Terkini Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Lembaga Bantuan Hukum 1. Ketentuan Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Lembaga Bantuan Hukum Pengakuan dan penghormatan terhadap akses keadilan dijamin oleh konstitusi yaitu Pasal 28D ayat (1) UUD NRI menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan Pasal 34 UUD NRI Fakir Miskin dan Anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, berdasarkan konstitusi bantuan hukum wajib diberikan kepada setiap warga negara pencari keadilan. Bantuan hukum dalam pengertian yang paling luas dapat diartikan sebagai upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. Menurut Adnan Buyung Nasution, mengatakan upaya untuk membantu golongan yang tidak mampu mempunyai tiga aspek yang paling berkaitan, yaitu aspek perumusan aturan-aturan hukum, aspek pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga agar aturan itu ditaati, dan aspek pendidikan masyarakat agar aturan-aturan itu dihayati.6 Secara konstitusional, bantuan hukum diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang kemudian dijabarkan dalam berbagai peraturan perundangundangan. Regulasi bantuan hukum pertama kali diatur dalam Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) yang lebih tepanya berada dalam pasal 250. HIR hanya memperkenalkan bantuan hukum kepada terdakwa di hadapan proses pemeriksaan persidangan pengadilan, sedangkan kepada tersangka pada proses tingkat pemeriksaan penyidikan, HIR belum memberi hak untuk mendapat bantuan hukum.7 Bantuan hukum juga diatur dalam Undang-undang No. 8 Tahun 6
Anwar, Yesmil, Adang. (2009). Sistem Peradilan Pidana. Widya Padjajaran. Bandung. Hlm 245. 7 M. Yahya harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm 345.
99 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Ketentuan tersebut mengatur tentang bantuan hukum tersebut diatur mengenai hak memperoleh bantuan hukum, saat memberikan bantuan hukum, pengawasan pelaksanaan bantuan hukum dan wujud dari pada bantuan hukum.8 Dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bantuan hukum diatur dalam bab khusus, yaitu Bab XI yang mencakup pasal 56 dan 57. Bantuan hukum dalam peraturan ini masih bersifat sebagai "hak" bukannya suatu "kewajiban". Selain itu, bantuan hukum juga diatur dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan Undang-undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan Hukum). Bantuan hukum dalam Pasal 1 UU Bantuan Hukum diartikan sebagai jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada penerima bantuan hukum. Sedangkan bantuan hukum dalam Pasal 1 adalah jasa hukum yang diberikan oleh Advokat secara cuma-cuma kepada Klien yang tidak mampu. Penerima bantuan hukum adalah orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri yang menghadapi masalah hukum. Sedangkan dalam SEMA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman pemberian bantuan hukum, pasal 27 dinyatakan bahwa yang berhak mendapatkan jasa dari Pos Bantuan Hukum adalah orang yang tidak mampu membayar jasa advokat terutama perempuan dan anak-anak serta penyandang disabilitas, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bantuan hukum tersebut meliputi menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/ atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum, yang bertujuan untuk: 1. Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerima bantuan Hukum untuk mendapatkan akses keadilan. 2. Mewujudkan hak konstitusional semua warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum.
8
Lihat Pasal 67 – 74 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
100 3. Menjamin kepastian penyelenggaraan Bantuan Hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Negara Indonesia. 4. Mewujudkan
peradilan
yang
efektif,
efisien
dan
dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 25 SEMA No.10 Tahun 2010 menyatakan bahwa jasa Bantuan Hukum yang dapat diberikan oleh Pos Bantuan Hukum berupa pemberian Informasi, konsultasi, dan nasihat serta penyediaan advokat pendamping secara cuma-cuma untuk membela kepentingan tersangka/terdakwa dalam hal terdakwa tidak mampu membiayai sendiri penasihat hukumnya. Mengenai bantuan hukum di Indonesia yang telah dijamin negara telah diatur pada UU Bantuan Hukum dan UU Advokat. Pemberian bantuan hukum seperti yang terdapat pada UU Bantuan Hukum telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum mengingat pentingnya peran pemberi bantuan hukum dalam mewujudkan keadilan di Indonesia. Regulasi ini belum memenuhi rasa keadilan masyarakat karena dijelaskan bahwa hanya masyakat miskin yang berhak mendapatkan bantuan hukum.9 Padahal masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum bukan hanya masyarakat miskin tetapi masyarakat marginal juga membutuhkan bantuan hukum tidak diakomodasi dalam regulasi ini. Mengenai kewajiban memberikan bantuan hukum oleh advokat di dalam Undang-undang Advokat tidak dijelaskan lebih lanjut ruang lingkupnya dan proporsinya. UU Advokat dan PP No.83 Tahun 2008 tidak memuat ketentuan sanksi yang tujuannya untuk menjamin advokat melaksanakan kewajiban pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum cuma-cuma dari advokat dalam undang-undang adalah penegasan saja dari bentuk tanggung jawab etik profesi advokat.
9
Lihat Pasal 8 ayat (1) PP No. 42 Tahun 2013.
101 Meskipun advokat tidak melaksanakan kewajibannya memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, advokat hanya dapat diberikan sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) PP No.83 Tahun 2008, yaitu: (1) teguran lisan; (2) teguran tertulis; (3) pemberhentian sementara dari profesinya selama 3 (tiga) sampai dengan 12 (dua belas) bulan berturutturut; atau (4). pemberhentian tetap dari profesinya. Selain sanksi administratif tersebut, sanksi lain hanya bisa dilakukan organisasi advokat berdasarkan kode etik advokat. Kode etik advokat menegaskan bahwa kepribadian advokat antara lain: Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Dalam konteks probono, Pasal 13 PP Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma menyatakan bahwa “Advokat dalam memberikan Bantuan Hukum Secara CumaCuma dilarang menerima atau meminta pemberian dalam bentuk apapun dari Pencari Keadilan�. Dari komponen konsep probono, maka ketentuan pasal 13 ini adalah on the track. Namun, jika kita melihat Peraturan PERADI terdapat “kesesatan� terkait pembiayaan, yaitu Pasal 3 sebagai berikut :10 1. Advokat dalam pemberian bantuan hukum secara Cuma-Cuma dilarang untuk menerima dana untuk kepentingan apapun dari pencari keadilan yang tidak mampu;
10
Siti Aminah Tardi, S.H. (2018). Gerakan Probono Publico Membangun Kehormatan Advokat Konsep Probono Publico. Diakses dari https://pbhperadi.wordpress.com/2011/09/29/gerakan-probonopublico-membangunkehormatan-advokat-konsep-probono-publico/ pada 9 Maret 2018.
102 2. Dana-dana bantuan hukum yang berasal dari negara atau dari lembaga bantuan hukum, yang diberikan kepada Advokat dalam rangka memberikan bantuan hukum kepada pencari keadilan yang tidak mampu tidak dihitung sebagai pembayaran honorarium. Ruang lingkup bantuan hukum yang diberikan hanya pada bidang pidana, perdata, dan Tata Usaha Negara seperti pada pasal 4 UU Advokat. Regulasi ini tidak mengakomodasi jika ada masyarakat yang juga membutuhkan bantuan hukum untuk masyarakat yang terlanggar hak konstitusionalnya. Ruang lingkup yang tercantum pada regulasi ini tidak mencakup semua kepentingan keadilan yang ada di masyarakat terutama konstitusi sebagai dasar bernegara. Dikeluarkannya regulasi tentang bantuan hukum juga tidak membuat aksesibilitas masyarakat terhadap LBH semakin mudah. Hal ini berbanding terbalik dengan LBH yang banyak berlokasi di perkotaan dan jauh dari masyarakat miskin yang berada di pedesaan. Jumlah LBH juga masih kurang dan tidak dapat mengimbangi masyarakat marginal yang membutuhkan bantuan hukum. 2. Kenyataan Aksesibilitas Masyarakat Terhadap Lembaga Bantuan Hukum Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah penduduk 255.993.674 jiwa.11 Dari jumlah tersebut, terdapat 17,92 juta jiwa yang berada di desa sedangkan di kota terdapat 10,63 juta orang. 12 Hal ini berbanding terbalik dengan penyebaran advokat yang tidak merata yaitu mendominasi di perkotaan. Ada 310 Organisasi Bantuan Hukum yang terverifikasi/akreditasi untuk memberikan bantuan hukum bagi rakyat miskin, yang terdiri dari 10 LBH terakreditasi A, 21 LBH terakreditasi B serta 279 LBH terakreditasi C.13 Jumlah
11
CIA World Factbook tahun 2015. Badan Pusat Statistik. (2018). Jumlah Penduduk Miskin. Persentase Penduduk Miskin dan Garis Kemiskinan, 1970-2013. Diakes dari http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1494. diakses pada 9 Maret 2018. 13 Pusat Layanan Publik Indonesia. (2018). Bantuan Hukum Gratis untk Rakyat Miskin. Diakses dari http://satulayanan.id/layanan/index/374/bantuan-hukum-gratisuntuk-rakyat miskin/kemekumham pada 9 Maret 2018. 12
103 advokat di Indonesia yang banyak sebenarnya dapat memenuhi bantuan hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat karena di dalam peraturan internal PERADI dikatakan bahwa setiap advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cumacuma selama 50 jam dalam kurun waktu satu tahun tetapi aturan ini tidak disertai dengan sanksi yang menyebabkan banyak advokat yang tidak memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, kasus YLBHI yang mempunyai 15 kantor cabang di Indonesia telah menangani 2.873 sepanjang tahun 201314. Kasus yang diterima LBH Jakarta pada tahun 2014 sebanyak 1.221 pengaduan.15 Mahkamah Konstusi mendukung kiprah LBH dan pemberi bantuan hukum lainnya dengan membatalkan pasal 31 UU Advokat yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja menjalankan pekerjaan profesi advokat, tetapi bukan advokat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-“. Perlu diketahui bahwa jumlah perkara pada kaum marginal seperti wanita, anak, dan disabilitas juga terhitung banyak dan tentu saja membutuhkan bantuan hukum. Kasus yang melibatkan anak pada tahun 2015 menurut Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAID) sebanyak 59 kasus. 16 Kasus lainya yaitu dari kaum disabilitas yang masih sangat sulit dalam akses keadilan (acces to justice) ditambah lagi dengan minimnya sarana-prasarana. Regulasi mengenai penyandang disabilitas yaitu UU No. 4 Tahun 1997 belum memadai dan RUU tentang Penyandang Disabilitas hingga saat ini belum disahkan oleh DPR.24 Kaum disabilitas membutuhkan bantuan yang lebih dalam proses mencapai keadilan seperti dalam penyampaian keterangan dan proses konsultasi hukumnya.
14
MYS. (2018). Kasus yang Ditangani YLBHI Kembali Naik. Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5301cc4d4a694/kasus-yang-ditangani-ylbhikembali-naik pada 9 Maret 2018. 15 MYS. (2018). Kasus yang Ditangani YLBHI Kembali Naik. Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5301cc4d4a694/kasus-yang-ditangani-ylbhikembali-naik pada 9 Maret 2018. 16 M Syah Beni. (2018). Inilah Jumlah Kasus Kekerasan pada Anak Sepanjang tahun 2015. Diakses dari http://sumsel.tribunnews.com/2015/12/08/inilah-jumlah-kasuskekerasan-padaanaksepanjang-tahun-2015 pada 9 Maret 2018.
104 Dalam UU No.19 tahun 2011 tentang Pengesahan (Ratifikasi) Konvensi Hak-Hak Penyandang disabilitas salah satu prinsipnya yaitu hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan kedudukan yang sama di hadapan hukum (equality under the law). Dia menjelaskan prinsip hak kesetaraan di hadapan hukum ini termasuk hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam sistem peradilan. Dari prinsip ini akan sangat banyak instrumen aturan lebih rinci yang dibutuhkan, hal ini termasuk ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara probono. Kasus yang berkaitan dengan perempuan, anak, dan disabilitas pada tahun 2015 terkhususnya di wilayah Makassar adalah 323 kasus yang ditangani oleh paralegal dan 93 kasus yang ditangani langsung oleh Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Makassar.17 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas bantuan hukum di Indonesia belum maksimal. Pertama, adalah kendala verifikasi dan akreditasi, sebagai contoh aspek ini tidak menyentuh faktor integritas kelembagaan LBH. Kedua, kelembagaan dan regulasi, adanya sentralisasi peranyang dijalankan oleh Kementrian Hukum dan HAM melalui BPHN. Ketiga, pengawasan dan evaluasi, sejauh ini hanya menyentuh aspek administratif. Keempat, faktor kesiapan LBH, sejauh ini rata-rata LBH yang lolos verifikasi tidak memiliki persiapan ataupun agenda khusus untuk sosialisasi, dan penyesuaian dengan program bantuan hukum pemerintah. Kelima, adalah tingkat pemahaman terhadap UU Bantuan Hukum sangat rendah, secara khusus jajaran aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan bahkan pengadilan, rata-rata tidak mengetahui UU Bantuan hukum, dengan dalih tidak ada sosialisasi, sehingga aparat penegak hukum merasa tidak berkewajiban menjalankan UU tersebut. Keenam, sistem reimbursment menyulitkan bagi LBH, hal ini sangat berpengaruh bagi daya serap anggaran.
17
Laporan tahunan APIK Makassar 2015.
105 2.2 Konsep Lembaga Bantuan Hukum Anti Korupsi sebagai Langkah Strategis dalam Mewujudkan Aksesibilitas Hukum bagi Kaum Marginal Melalui Pemberdayaan Paralegal dari Kampus untuk Daerah 3T Upaya pemberantasan korupsi tidak dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah, dibutuhkan peran serta masyarakat agar dapat mencapai hasil yang maksimal. Peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi telah diatur dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TIPIKOR). 18 Peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi yaitu sebagai monitor yang memantau perangkat-perangkat pemerintahan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Keberadaan masyarakat sebagai monitor sangat penting untuk melihat indikasi-indikasi korupsi yang dapat terlihat dari awal. Masyarakat sebagai monitor menjadi sangat penting dengan melihat titik rawan terjadinya korupsi sebagian besar berhubungan langsung dengan masyarakat seperti perencanaan proyek pembangunan yang dapat berupa pelaksanaan pembebasan tanah, padat karya, penyiapan lahan transmigrasi, proyek air bersih, proyek listrik, proyek telekomunikasi, dan proyek-proyek lainnya; bidang perizinan atau pelayanan masyarakat yang dapat berupa pembuatan SIUP, IMB, SIM, surat-surat hak atas tanah, dan sebagainya; dan di bidang
pemilihan
umum
baik
untuk
anggota
DPR,
DPRD
Provinsi/Kabupaten/Kota maupun dalam pemilihan Kepala Daerah.19 Titik-titik rawan korupsi tersebut dapat ditutup apabila masyarakat mampu melihat adanya indikasi korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum nakal di sekitar mereka. Kemampuan masyarakat untuk dapat melihat indikasi korupsi tidak akan dapat dicapai apabila pengetahuan anti korupsi masyarakat masih lemah. Kecerdasan masyarakat dalam menilai adanya indikasi korupsi
18
Pasal 41 ayat (1) mengatur bahwa masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. 19 Surachmin dan Suhandi Cahaya. (2013). Strategi dan Teknik Korupsi: Mengetahui untuk Mencegah. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm 45.
106 berbanding lurus dengan kesadaran berhukum, tingkat pendidikan, tingkat perekonomian, pembangunan infrastruktur, serta upaya pemerintah dalam mengedukasi masyarakat dalam bentuk sosialisasi dan pembenahan kurikulum. Masyarakat yang hidup di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (daerah 3T) dengan infrastruktur yang buruk cenderung memiliki tingkat perekonomian dan pendidikan yang buruk, sehingga masyarakat yang tinggal di daerah 3T menjadi terpinggirkan dan sulit untuk berkembang menyusul daerah lainnya.20 Hal tersebut menyebabkan masyarakat kaum marginal di daerah 3T menjadi kelompok yang sangat rawan terkena dampak korupsi. Masyarakat kaum marginal daerah 3T pada umumnya beranggapan bahwa apabila terjadi perbuatan korupsi, maka pihak yang akan dirugikan adalah negara atau pemerintah. Masyarakat kurang menyadari
bahwa apabila negara atau pemerintah yang dirugikan, maka secara pasti hal itu juga merugikan masyarakat sendiri.21 Edukasi kepada kaum marginal mengenai anti korupsi terkhusus peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi sangat penting dilakukan mengingat posisi kaum marginal yang akan semakin dirugikan dengan korupsi. Proses pengedukasian masyarakat daerah 3T memerlukan waktu yang tidak cukup lama terlebih lagi apabila hanya pemerintah yang melakukannya sendiri. Pemerintah tentu membutuhkan bantuan dari banyak pihak terkhusus advokat, dosen, dan mahasiswa. Advokat, dosen, dan mahasiswa dapat dikolaborasikan kedalam suatu wadah lembaga bantuan hukum (LBH) anti korupsi yang diletakkan di beberapa kampus di seluruh Indonesia. LBH anti korupsi yang diletakkan di beberapa kampus dapat menjadi wadah bagi mahasiswa mengembangkan kemampuan hukumnya terkhusus di bidang kajian korupsi. LBH anti korupsi kampus juga menjadi wujud pengabdian masyarakat yang merupakan salah satu dari tri dharma perguruan tinggi.
20
Admin. (2018). Membangun Kawasan 3T, Membangun Beranda Indonesia. Diakses dari http://ditjenpdt.kemendesa.go.id/news/read/170113/389-membangun-kawasan-3-t-membangun-beranda-indonesia pada 11 Maret 2018. 21 Surachmin dan Suhandi Cahaya. Op. Cit. Hlm 101.
107 LBH anti korupsi kampus menjadi pusat pendidikan anti korupsi bagi mahasiswa sebelum akhirnya dapat mengedukasi masyarakat di daerah 3T. Pendidikan anti korupsi yang diberikan kepada mahasiswa meliputi yang meliputi kajian-kajian seputar pemahaman dasar mengenai korupsi, bentukbentuk korupsi, akibat korupsi, penyebab korupsi, pencegahan korupsi, pemberantasan korupsi, hingga peran serta masyarakat sebagai monitor penyelenggaraan pemerintahan yang bebas dari korupsi. Model pendidikan yang diberikan kepada mahasiswa berupa kelas interaktif dengan kajian yuridis empiris, pendidikan kepada mahasiswa dilakukan oleh dosen dan advokat yang menjadi bagian dari LBH anti korupsi kampus. Perlu diketahui bahwa fungsi paralegal itu sendiri ialah:22 1. Memfasilitasi pembentukan organisasi rakyat; 2. Mendidik dan melakukan penyadaran; 3. Melakukan Analisis Sosial (Ansos) persoalan-persoalan yang dihadapi komunitas; 4. Membimbing, melakukan mediasi dan rekonsiliasi bila terjadi perselisihan-perselisihan yang timbul di antara anggota masyarakat; 5. Memberikan bantuan hukum yaitu memberikan jalan pemecahan masalah yang paling awal dan secepatnya dalam hal terjadi keadaan darurat 6. Jaringan Kerja (Networking); 7. Mendorong masyarakat mengajukan tuntutan-tuntutannya 8. Melakukan proses dokumentasi, termasuk mencatat secara kronologis peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di komunitasnya 9. Mengkonsep surat-surat 10. Membantu pengacara dengan melakukan penyelidikan-penyelidikan awal, mewawancarai korban/klien, mengumpulkan bukti-bukti dan menyiapkan ringkasan fakta kasus dan membantu mengonsep pembelaan yang sederhana sekalipun. 22
DJ Ravindran. (1989). Buku Penuntut Untuk Latihan Paralegal. YLBHI. Hlm 4-7).
108 Setelah melalui pendidikan anti korupsi, mahasiswa sebagai paralegal bersama dosen dan advokat melakukan ekspedisi ke daerah-daerah 3T. Ekspedisi yang dilakukan bertujuan untuk melihat langsung keadaan masyarakat daerah 3T serta mengedukasi masyarakat setempat mengenai urgensi dari peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi yang. Tidak berhenti disitu saja, masyarakat daerah 3T dapat melaporkan kecurigaan atau hasil temuan mereka apabila ada indikasi-indikasi korupsi kepada LBH anti korupsi kampus melalui komunikasi jarak jauh. Laporan dari masyarakat kepada LBH anti korupsi kampus akan ditindaklanjuti dengan mendatangi daerah dimana laporan itu datang. Apabila masyarakat yang melaporkan adanya dugaan korupsi yang terjadi masih merasa takut dan tidak mampu melaksanakan perannya sendiri akan aman dan tidak perlu bingung harus melakukan apa, karena LBH anti korupsi kampus yang akan mewakilinya untuk melaksanakan perannya sebagaimana telah diatur dalam UU TIPIKOR. 3. Penutup Konstitusi Negara Republik Indonesia mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum tanpa memandang status sosial seseorang apakah ia kaya atau miskin. Untuk mewujudkan amanat tersebut diundangkan UU Bantuan Hukum, UU Advokat, dan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai bantuan hukum kepada masyarakat miskin secara cumacuma, karena selama ini masih banyak yang menganggap bahwa hanya orang yang bestatus sosial tinggi saja yang berhak didampingi oleh penasehat hukum atau kuasa hukum ketika sedang bermasalah dengan hukum. Namun pengaturan mengenai Bantuan Hukum ini masih belum mencerminkan keadilan karena Bantuan Hukum secara cuma-cuma ini tidak mengakomodir masyarakat marginal yang terlanggar hak-hak konstitusional, sosial, politik, dan ekonominya, karena kaum marginal tidak selamanya miskin. Meskipun sudah ada regulasi bantuan hukum cuma-cuma untuk masyarakat tidak mampu, tidak berarti aksesibilitas masyarakat kurang mampu terhadap bantuan hukum menjadi maksimal, ini karena sebagian besar LBH
109 berlokasi di daerah perkotaan dan jumlah LBH yang sedikit tidak mampu mengakomodir kebutuhan bantuan hukum masyarakat marginal. Peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi di Indonesia menjadi sangat vital dengan melihat titik-titik rawan terjadinya korupsi sangat dekat dengan masyarakat secara langsung. Peran masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi layaknya seperti monitor yang memantau setiap kegiatan penyelenggaran pemerintahan. Namun peran masyarakat tidak dapat berfungsi dengan baik apabila tidak teredukasi dengan baik, dan faktanya masih banyak masyarakat yang apatis terhadap korupsi, terlebih masyarakat daerah 3T yang terpinggirkan. Pada umumnya masyarakat daerah 3T tidak menyadari dampak dari korupsi sangat luas dan sangat mempengaruhi kehidupan mereka secara langsung, pemahaman awam mereka hanya mengetahui bahwa korupsi itu hanya merugikan negara dan pemerintah saja. Rentannya korupsi yang terjadi di daerah 3T karena ketidaktahuan masyarakat akan perannya dalam mencegah dan memberantas korupsi dapat menjadikan daerah 3T semakin terpuruk dan sulit untuk berkembang. Oleh karena itu sangat penting untuk mengedukasi masyarakat 3T yang dilakukan oleh pemerintah dan dibantu oleh LBH anti korupsi kampus dalam melakukan sosialisasi mengenai tindak pidana korupsi, penyebab korupsi, dampak korupsi, titik rawan korupsi, pencegahan korupsi, dan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas korupsi yang ada disekitar mereka. Selain melakukan sosialisasi, LBH anti korupsi kampus juga mejadi tempat untuk melaporkan adanya dugaan korupsi serta mewakili peran pelapor sebagaimana yang telah diatur dalam UU TIPIKOR.
Daftar Pustaka Regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum
110 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
Buku Alcock. P. (1993). Understanding poverty. London: Mac Millan Press Ltd. Anwar, Yesmil, dan Adang. (2009). Sistem Peradilan Pidana. Bandung: Widya Padjajaran. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Moh Nazir. (1989). Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. M. Yahya harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Muhammad Shoim. (2009). Laporan Penelitian Individual (Pengaruh Pelayanan
Publik Terhadap Tingkat Korupsi pada Lembaga
Peradilan di Kota
Semarang). Semarang: Pusat Penelitian IAIN
Walisongo. Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Surachmin dan Suhandi Cahaya. (2013). Strategi dan Teknik Korupsi: Mengetahui untuk Mencegah. Jakarta: Sinar Grafika. Internet Anonim. (2017). Membangun Kawasan 3T, Membangun Beranda Indonesia. Diakses dari http://ditjenpdt.kemendesa.go.id/news/read/170113/389membangun-kawasan-3-t--membangun-beranda-indonesia pada 11 Maret 2018. Akatiga. Kelompok Marginal di Perkotaan: Dinamika, Tuntunan, dan Organisasi. Diakses dari http://akatiga.org/index.php/artikeldanopini/kemiskinan/112-kelompokmarginal-di-perkotaan-dinamika-tuntutan-dan-organisasi pada 9 Maret 2018.
111 ASH. (2015). Penyandang Disabilitas Masih Sulit Akses Keadilan. Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55cc60eb88339/penyandan g-disabilitas-masih-sulit- akses-keadilan pada 9 Maret 2018. Badan Pusat Statistik. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskindan Garis Kemiskinan, 1970-2013. Diakses dari http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1494 pada 9 Maret 2018. LBH Jakarta. (2014). Catatan Akhir Tahun LBH Jakarta 2014. Diakses dari http://www.bantuanhukum.or.id/web/catatan-akhir-tahun-lbh-jakarta2014/ pada 9 Maret 2018. M Syah Beni. (2015). Inilah Jumlah Kasus Kekerasan pada Anak Sepanjang tahun 2015. Diakses dari http://sumsel.tribunnews.com/2015/12/08/inilah-jumlah-kasus kekerasan-pada-anaksepanjang-tahun-2015 pada 9 Maret 2018. MYS. (2014). Kasus yang Ditangani YLBHI Kembali Naik. Diakses dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5301cc4d4a694/kasus-yangditangani-ylbhi-kembali-naik pada 9 Maret 2018. Nancy Junita. (2017). 33 Kepala Daerah Terjerat Kasus Korupsi Sejak Jokowi Presiden. Diakses dari http://kabar24.bisnis.com/read/20170927/16/693364/33-kepala-daerahterjerat-kasus-korupsi-sejak-jokowi-presiden diakses pada 8 Maret 2018. Pengadilan Negeri Sarolangun. “Hak atas Biaya Perkara Cuma-Cuma. Diakses dari http://www.pn-sarolangun.go.id/index.php/hak-hakpokok-masyarakat/hak-biaya-perkara-cuma-cuma pada 6 Maret 2018. Presiden RI. (2015). Negara Hadir untuk Melindungi Mereka yang Terpinggirkan. http://www.presidenri.go.id/berita-aktual/negara-hadir-untuk-melindungimereka-yang-terpinggirkan.html. diakses pada 9 Maret 2018.
112 PENGEMBANGAN UMKM : TRANSFORMASI KUR (KREDIT USAHA RAKYAT) KEDALAM PROGRAM PEMBAYARAN (PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH TANPA JAMINAN) DENGAN OPTIMALISASI LOSS AND PROFIT SHARING DI KOTA MAKASSAR Syawirah.M1, Andi Fairuz Fakhriyah R.M2, Rasmia3 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, E-mail :syawirahmansyur99@yahoo.co.id 2Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, E-mail :andifahra19@gmail.com 3Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, E-mail :rasmia0413@gmail.com Abstrak: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan motor penggerak perekonomian nasional yaitu berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan.Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang ditawarkan pemerintah untuk menangani masalah permodalan pun nyatanya masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu dengan menggunakan metode penulisan deskriptif kualitatif penulis ingin menggagas suatu solusi untuk mengatasi minimnya modal/pembiayaan melalui Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan), mekanisme pelaksanaan program ini ditransformasi dari sistem KUR sehingga program ini menghapuskan sistem bunga dan jaminan yang dibebankan kepada debitur. Program ini akan dilaksanakan oleh perbankan syariah kota Makassar untuk menangani masalah modal/pembiayaan. Untuk merealisasikan program ini dibutuhkan landasan hukum yang mengaturnya. Oleh karena itu, penulis berharap Pemerintah kota Makassar dapat bersinergi dengan Bank Indonesia serta seluruh perbankan Syariah di kota makassar untuk merealisasikan program tersebut dan segera membuat payung hukum yang sesuai untuk menerapkan program ini. Kata kunci :UMKM; KUR; Perbankan Syariah; jaminan; loss and profit sharing, kota Makassar. 1. Pendahuluan Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, yaitu berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan juga berperan dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi dan krisis global yang terjadi sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak usaha berskala besar yang menghadapi stagnasi bahkan berhenti aktivitasnya, sektor UMKM terbukti lebih tangguh dalam
113 menghadapi krisis tersebut.1UMKM memiliki proporsi sebesar 99,99% dari total keseluruhan pelaku usaha di indonesia dan menyumbang PDB sekitar 60%. Dalam dua tahun ini, jumlah UMKM terus meningkat. Pada 2016 lalu, jumlah UMKM sekitar 57,9 juta dan pada tahun 2017 pelaku UMKM mencapai 59 juta.2 Tantangan UMKM saat ini sangat berat karena ketatnya persaingan, apalagi dengan masuknya produk-produk luar negeri. Ditambah dengan data dari World Economic Forum (2012-2013) yang menyatakan bahwa rangking daya saing yang berhasil diperoleh Negara-negara anggota ASEAN, menyatakan bahwa Indonesia berada pada posisi menengah, yaitu rangking 50 dalam hal daya saing.3 Oleh karena itu pengembangan dan pemberdayaan UMKM oleh pemerintah dan lembaga pendukung lainnya harus terus ditingkatkan agar mampu memberikan kontribusi maksimal terhadap perekonomian nasional. Secara Yuridis komitmen pemerintah dalam mengembangkan UMKM telah ditunjukkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang kemudian ditindak lanjuti denganPeraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Kota Makassar adalah salah satu kota besar yang berada di wilayah Indonesia Timur yang menjadi pusat perekonomian masyarakat Sulawesi Selatan. Salah satu Sektor penggerak perekonomian masyarakat di kota ini adalah sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah atau disebut UMKM. Berdasarkan sensus ekonomi tahun 2016 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik kota Makassar menyatakan bahwa jumlah usaha non-pertanian sebanyak 131,7 ribu usaha, kondisi
1
Fika Fitriasari. (2017). Strategi Pengembangan Pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang. Vol. 1, No 3. Hlm 134. 2 Redjo Prahananda. (2018). UMKM Penting untuk Perekonomian Nasional. Diakses dari http://indopos.co.id/read/2018/02/06/126543/umkm-penting-untukperekonomian-nasional. pada 27 Juli 2018. 3 Imas Nurani Islami, Anisa Novi Karunia, dkk. (2014). Optimalisasi UMKM Virtual Market dalam Menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Karya Tulis Ilmiah. Universitas Negeri Yogyakarta. Hlm 2.
114 ini hanya meningkat 1,9% dibandikan jumlah usaha hasil Sensus Ekonomi tahun 2006 yang tercatat sebanyak 129, 2 ribu usaha.4 Data tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi peningkatan jumlah usaha yang signifikan di kota makassar dari tahun 2006-2016. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah kota Makassar untuk memajukan UMKM salah satunya yaitu melalui dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan menyosialisasikan Kebijakan dan Program Peningkatan Ekonomi bagi Pelaku UKM. Selain itu, ada juga Pembinaan UKM berbasis lorong (Industri Rumah Tangga) yang ditujukan untuk mengangkat potensi warga yang semula kurang produktif menjadi lebih produktif. Sistem permodalan dilakukan dengan pihak tertentu dengan memberikan bunga rendah.5 Walaupun berbagai usaha telah dilakukan pemerintah tetap saja perkembangan UMKM di kota Makassar bukan tumbuh tanpa masalah. Berbagai persoalan mendasar(basic problems)yang dihadapi UMKM di kota Makassar adalah masalah SDM, akses modal, budaya usaha, tingkat penguasaan teknologi, maupun kemampuan manajemen.6 Dari berbagai hambatan yang dihadapi UMKM tersebut, maka pemerintah dan pihak-pihak terkait harus lebih aktif dalam mendorong soktor usaha ini agarberkembang dengan baik, mengingat UMKM adalah pemain utama dalam kegiatan ekonomi di berbagai sektor, yaitu: penyedia lapangan kerja yang terbesar; pemain penting dalam pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat; pencipta pasar baru dan sumber inovasi; serta sumbanganya dalam menjaga neraca pembayaran melalui kegiatan ekspor.7Salah satu pihak yang diharapkan mempunyai peranan besar terhadap pengembangan UMKM di kota Makassar adalah Perbankan Syariah. 4
Data Badan Pusat Statistik Kota Makassaar No. 2/10/71Th. I. 3 Oktober 2016. Diakses dari https://makassarkota.bps.go.id pada 4 Agustus 2018. 5 Rachdian Rachman. (2015). Stategi Pembinaan Usaha Kecil Menengah (UKM) Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makssar. Hlm 7. 6 Muslimin Kara. (2013). Kontribusi Pembiayaan Perbankan Syariah Terhadap Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Kota Makassar. Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum. Vol 47, No 1. Juni. Hlm 273. 7 Kerjasama Bank Indonesia dan Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. (2015). Profil Bisnis Usaha Mikro. Kecil dan Menengah (UMKM). Hlm 23.
115 Perbankan Syariah memiliki karakteristik yang menjadi keunggulan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Keunggulan tersebut menjadi kekuatan yang mampu menggerakan perbankan syariah di indonesia untuk berkembang ke arah yang lebih baik dalam rangka memperluas market share perbankan syariah.8 Prinsip umum perbankan syariah sebagaimana dikemukakan oleh para pendukungnya bertumpu pada beberapa hal pokok, yaitu larangan atas bunga (interest) dan, sebagai alternatifnya, penerapan sistem bagi hasil (loss and profit sharing).9 Penyaluran dana oleh Lembaga Keuangan Syari’ah dikenal dengan sebutan pembiayaan, berbeda dengan penyaluran dana oleh lembaga keuangan konvensional yang dikenal dengan sebutan kredit.10 Salah satu sebab UMKM untuk memperoleh kredit/ pembiayaan adalah collateral atau jaminan yang dimiliki. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah istilah jaminan dikenal dengan Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima Fasilitas.11 Jaminan inilah yang dinilai penulis menjadi alasan mengapa pelaku UMKM sulit untuk mendapatkan pembiayaan dari bank. ini dikarenakan tidak semua pelaku UMKM mempunyai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan. Argumentasi ini bukan hanya spekulasi penulis semata. Sehingga melaui tulisan ini, penulis ingin menawarkan terebosan baru yaitu membuat sebuah mekanisme pembiayaan kepada pelaku UMKM dengan menghapuskan sistem agunan atau jaminan dalam perbankan syariah dengan mengoptimalkan loss and profit sharing. Dengan catatan
8
M. Nur Rianto Al Arif. (2012). Lembaga Keuangan Syariah: Suatu kajian Teoritis praktis.Pustaka Setia: Bandung. Hlm 114. 9 M. Husni Ingratubun. (2013). Teori Bank Syariah: Studi Terhadap Nilai-Nilai Syariah dalam Operasionalisasi Perbankan Syariah, Rangkang Education dan Republik Institute. Yogyakarta. Hlm 7. 10 Rizki Tri Anugrah Bhakti dkk. (2013). Pemberdayaan UMKM dan Lembaga Keuangan Syariah Melalui Prinsip Bagi Hasil, Jurnal Syariah dan Hukum. Vol 5, No 1. Juni 2013. Hlm 7. 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
116 bahwa penghapusan agunan atau jaminan hanya diperuntukkan bagi pembiayaan tehadap UMKM. Tulisan ini akan mengulas tentang kendala yang dihadapi pelaku UMKM di kota Makassar dan pelaksanaan program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) dengan optimalisasi Loss and profit Sharingdi Kota Makassar.
Sehingga
gagasan
tersebut
dituangan
penulis
dengan
judul
“Pengembangan UMKM : Transformasi KUR (Kredit Usaha Rakyat) ke Dalam Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) dengan Optimalisasi Loss and Profit Sharing di Kota Makassar�. Diharapkan gagasan ini dapat di implementasikan sebagaimana mestinya dan dapat diperhitungkan oleh perbankan syariah, pemerintah serta seluruh elemen pendukung lainnya dalam rangka pengembangan sektor UMKM terhadap perekonomian masyarakat di kota Makassar. 2. Analisis 2.1.Kendala yang Dihadapi Pelaku UMKM di Kota Makassar Usaha dalam pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) hendaknya diawali dengan mengenali faktor-faktor yang menjadi kendala dalam penguatan dan pemberdayaan usaha tersebut. Berdasarkan telaah pustaka dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, artikel dan sumber lain penulis menyimpulkan bahwa kendala yang dihadapi UMKM di kota Makassar dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. a. Faktor Internal : 1. Terbatasnya
jumlah
modal
merupakan
kendala
utama
dalam
pengembangan usaha. Mayoritas pengusaha menggunakan modal sendiri dalam menjalankan usahanya. Kurangnya permodalam UMKM dikarenakan umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan yang sifatnya tertutup, dan hanya mengandalkan modal dari pemilik yang sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh, karena tingginya bunga dan
117 tidak ada jaminan, serta sulitnya persyaratan administrasi dan teknis dari pihak bank. 2.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas. Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun-temurun. Keterbatasan SDM UMKM baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang secara optimal. Selain itu keterbatasan SDM juga menyebabkan mereka sulit untuk mengakses teknologi baru untuk meningkatkan daya saingya.
3.
Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan peneterasi pasar. UMKM yang ada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha dan kemampuan peneterasi pasar yang rendah, dikarenakan produk yangdihasilkan dalam jumlah yang terbatas serta kurang kompetitif. Hal ini tentu berbeda dengan Usaha Besar yang sudah memiliki jaringan serta dukungan teknologi yang dapat menjangkau pangsa pasar internasional dengan sistem promosi yang baik.
b. Faktor Eksternal : 1. Data persebaran UMKM yang tidak jelas. Keterbatasan data persebaran inimenghambat upaya pembinaan maupun penyuluhan yang diberikan pihak swasta, pemerintah maupun masyarakat. Sehingga UMKM sulit berkembang karena tidak adanya informasi yang jelas mengenai pangsa pasar, kualitas produk, menajemen keuangan usahanya, dan sebagainya. 2. Alokasi kredit sebagai pembiayaan yang timpang tidak meratanya distribusi pendanaan antarwilayah, antarsektor, antar golongan, dan antar desa-kota. Hambatan birokratis yang tidak bisa dihadapi UMKM dalam memperoleh
kredit
dan
dipersulit
dalam
perizinan
maupun
pengembangannya. Oleh sebab itu, persyaratan untuk memeperoleh kredit harus disederhanakan agar UMKM tidak sulit dalam meminjam modal.
118 3. Rendahnya nilai tukar komoditi yang dihasilkan usaha rakyat. Produk industri rakyat selalu dinilai berkualitas rendah. Hal ini adalah pandangan yang keliru dan bisa menghambat perkembangan UMKM karena belum tentu pola produksi tradisional akan menghasilkan produk yang bermutu rendah. Banyak sekali produk industri kerajinan rakyat yang mampu bersaing di pasar internasional. Rendahnya nilai tukar UMKM ini disebabkan karena rendahnya modal yang diperukan sehingga dijual dengan sistem ijon seperti dalam produk pertanian. 4. Terbatasnya akses pasar bagi UMKM yang ingin memperluas pangsa pasarnya dan ingn mengembangkan usahanya. Hal ini disebabkan oleh modal besar domestik maupun asing yang menerobos segmentasi pasar yang sebelumnya dikuasai pengusaha dalam negeri. 5. Implikasi Otonomi Daerah dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 yang memberikan kewenangan kepada setiap daerah untukmengatur
dan
mengurus
sendiri
masyarakatnya.
Hal
ini
menyebabkan adanya Pungutan-pungutan atau biaya siluman yang tidak proporsional terhadap UMKM. Jika kondisi ini tidak dibenahi maka akan menurunkan daya saing UMKM sehingga semakin sulit untuk berkembang.
Hambatan diatas menunjukkan bahwa modal adalah kendala utama utama yang dihadapi pelaku UMKM di kota Makassar. Walaupun Sebenarnya banyak fasilitas kredit yang ditawarkan, baik itu dari bank konvensional, microfinance, dan tak terkecuali dari bank syariah. Namun, dari semua tawaran skema kredit yang menggiurkan tersebut, hanya sekitar 60% yang dapat memenuhi kebutuhan UMKM karena mereka belum bisa memanfaatkan tawaran tersebut dengan baik. Hal itu disebabkan oleh beberapa keterbatasan dari UMKM untuk memperoleh pembiayaan bank syariah, salah satunya adalah Collateral atau jaminan yang dimiliki. Ketersediaan jaminan merupakan hambatan bagi UMKM sekarang ini dalam mengajukan pembiayaan, sebab sebagian besar UMKM tidak memiliki jaminan yang cukup untuk memenuhi persyaratan pengajuan pembiayaan
119 tersebut. Dan bank enggan memberikan pembiayaan kepada orang yang memiliki jaminan yang terbatas. Alasan kedua dari UMKM kesulitan memperoleh pembiayaan dari bank syariah adalah kurangnya aksesbilitas UMKM mengenai kurangnya legalitas dan administrasi. Sebagian besar UMKM tidak memiliki administrasi yang teratur bahkan banyak yang mengalami permasalahan dalam arus kasnya. Mereka menganggap bahwa sistem bagi hasil yang ditawarkan oleh bank syariah itu terlalu ribet, karena setiap bulannya mereka harus menghitung berapa persen laba yang harus disetorkan kepada bank, sedangakan banyak hal yang harus dilakukan oleh pemilik UMKM mengingat sebagian besar dari UMKM hanya dihandle oleh satu orang. Berbeda dengan bank konvensional yang menerapkan sistem bunga. Mereka tidak kesulitan untuk menghitung kembali besar bagi hasil yang harus dibayarkan setiap bulannya, karena besar angsuran yang mereka bayar sudah ditetapkan pada awal perjanjian utang dengan jumlah tetap tiap bulannya. Selanjutnya, kurangnya pemerataan pembiayaan bank syariah ke semua wilayah dan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai sistem bank syariah juga merupakan faktor penghambat aksesbilitas UMKM terhadap bank syariah.12 Oleh karena itu, perlu adanya solusi untuk mempermudah akses UMKM untuk mendapatkan pembiayaan dari bank syariah. Hendaknya semua pihak harus berperan dalam hal ini, baik pemerintah, bank syariah, dan UMKM sendiri.
2.2.
Pelaksanaan
Program
PEMBAYARAN
(Pembiayaan
Perbankan
SyariahTanpa Jaminan) Melalui Optimalimasi Loss and Profit Sharing di Kota Makassar Pemberian pembiayaan atau modal tanpa jaminan kepada pelaku UMKM sebenarnya telah dilakukan pemerintah melalui program Kredit
12
Muslimin Kara. Op. Cit. Hlm 228-229.
120 Usaha Rakyat (KUR) berdasarkan instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhono pada tahun 2007 yang kemudian dituangkan kepada peraturan Mentri Keuangan Republik indonesia yang sampai saat ini terus dikembangkan. KUR yang dikelola oleh lembaga pemerintahan dengan sumber dana berasal dari perbakan dan juga instansi pemerintahan lainnya memang dapat meringankan beban pencari modal dikarekan tidak adanya sistem jaminan, namun adanya sistem bunga membuat beberapa pencari modal enggan untuk mendapat modal melalui KUR. Oleh karena itu penulis ingin menggagas agar mekanisme KUR tanpa jaminan ini di transformasi kedalam sistem perbankan syariah, sehingga para pelaku UMKM dalam mencari modal tidak dibebankan bunga bank dan juga jaminan, karena seperti yang kita ketahui bahwa bank syariah tidak mengenal sistem bunga yang dianggapnya adalah bentuk riba. Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) dilakukan dengan berbagai tahapan yang tidak berbeda jauh dengan sistem pemberian Kredit Usaha Rakyat yang dilakukan oleh oleh bank-bank lain, hanya saja dalam program yang prnulis gagas tidak memiliki bunga. Berikut konsep pelaksanaan program PEMBAYARAN. a. Ketentuan umum dalam program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) 1. Penghapusan Jaminan dalam Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) hanya diperuntukkan bagi pelaku UMKM dengan persyaratan yang akan dijelaskan pada poin (b), dalam artian jaminan atau agunan tetap diberlakukan bagi permintaan modal/pembiayaan usaha besar dan lainnya; 2. Modal/pembiayaan diberikan bagi Usaha pemula untuk mendapatkan modal awal dan diberikan kepada pelaku usaha yang sudah berjalan sebagai modal kerja;
121 3. Penerima modal harus mendapatkan surat rekomendasi dari dinas terkait sebagai jaminan kepada perbankan syariah; 4. Setiap pelaku UMKM harus menyertakan laporan prospek usahanya secara terperinci kepada perbankan syariah sebagai pertimbangan untuk mendapatkan modal; 5. Tidak semua pengajuan permintaan modal/pembiayaan diterima oleh perbankan, hanya pelaku UMKM yang dinilai bank tidak akan menjadi kredit bermasalah yang akan diberikan pembiayaan, hal ini didasarkan penilaian subjektif setiap perbankan; 6. Disamping pemberian modal/pembiayaan, bank syariah bekerja sama dengan pihak pemerintah untuk memberikan pelatihan dan pembinaan terhadap pelaku UMKM yang terbilang kurang memahami sistem keuangan; 7. Keuntungan perbankan diperoleh dari Loss and Profit Sharing (sistem bagi hasil) yang telah disetujui pihak bank dengan nasabah melalui perjanjian tertulis yang disetujui kedua belah pihak dan tetap sesuai dengan ketentuan syariah dan hukum islam; 8. Perbankan dalam menyalurkan dana harus memperhatikan prinsip kehati-hatian untuk menghindari terjadinya kredit bermasalah. b. Persyaratan Pelaku UMKM Penerima Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) 1. Terdiri atas seluruh anggota yang memiliki usaha produktif yang layak, dan/atau diperbolehkan beberapa anggota merupakan pelaku usaha pemula; 2. Dalam hal anggota Kelompok Usaha terdapat pelaku usaha pemula maka harus memiliki surat rekomendasi pengajuan kredit/pembiayaan dari ketua kelompok Usaha; 3. Kegiatan usaha dapat dilakukan secara mandiri dan/atau bekerjasama dengan mitra usaha;
122 4. Kegiatan kelompok usaha dilaksanakan untuk meningkatkan dan mengembankan usaha anggotanya; 5. Kelompok usaha telah memiliki surat keterangan kelompok usaha yang diterbitkan oleh dinas/atau instansi terkait dan/atau surat keterangan lainnya.13 Pada dasarnya syarat tersebut adalah sama dengan syarat penerima KUR, tetapi dalam program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) adanya syarat agunan baik pokok maupun tambahan yang ada pada ketentuan pasal 3 ayat (1) huruf h dan i dihapuskan. c. Perbandingan Prosedur
Pemberian
KUR
dengan
Program
PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah tanpa Jaminan) Prosedur pemberian Kredit Usaha Rakyat dimulai dari calon debitur mengajukan pinjaman KURVE ke bank, Custumer service KUR mendata beberapa informasi tentang calon debitur seperti nama, usaha, lama usaha, dan pengajuan jumlah kredit, Setelah mendata calon debitur akan dijelaskan mengenai persyaratan yang harus dilengkapi, angsuran KUR Mikro sesuai plafon dan jangwa watku + bunga, calon debitur kembali ke bank untuk memenuhi syarat-syarat untuk dokumentasi bank, dilakuakan pengecekan dengan Sistem Informasi Debitur (SID) BI checking (apabila calon debitur tidak sedang menerima kredit dari bank lain dan trackrecordnya baik maka dilanjutkan ke tahap selanjutnya, survei usahadebitur oleh mantri KUR, matri menimbang apakah calon debitu layak memperoleh KUR, perjanjian kredit antara bank dan debitur KUR Mikro, dan tahap terakhir yaitu realisasi di Teller.
13
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Selaku Ketua Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat. Pasal 3 (1).
123 KUR memiliki kelebihan diantaranya adalah debitur tidak dibebankan jaminan karena jaminan pinjaman telah ditanggung oleh lembaga penjamin KUR, penyaluran dana hanya diperuntukkan untuk UMKM-K, adanya sistem SID membuat debitur tidak bisa mendapatkan dana dari bank lain jika sudah mendapat dana sari satu bank, survei dilakukan secara langsung ke usaha debitur sehingga menghindari terjadinya menipulasi data. Disamping itu KUR juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah adanya sistem bunga yang dibebankan kepada debitur, ketentuan bank berbeda-beda sehingga dalam pelaksanaanya masih ada debitur yang tetap dimintai jaminan oleh pihak bank, hanya pinjaman dibawah 25 juta yang tidak menyertakan aguanan atau jaminan, dan kurangnya informasi mengenai program ini.Disamping itu program ini memiliki kekurangan diantaranya potensi kredit bermasalah dan juga belum ada payung hukum yang melandasi pelaksanaanya, sehingga penulis berharap pemerintah bersinergi dengan Bank Indonesia juga perbankan Syariah unntuk membuat regulasi hukum dan mekanisme yang lebih baik sehingga program ini dapat
dilaksanakan
di
kota
Makassar
guna
meningkatkan
perkembangan sektor UMKM. d. Manfaat Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) merupakan terobosan baru yang dapat mengurangi angka permasalahan pembiayaan yang dialami oleh pelaku UMKM di kota Makassar, mengingat permodalan merupakan faktor internal penghambat perkembangan UMKM yang utama, padahal sektor usaha inimampu menjadi motor penggerak perekonomian kota Makassar yang stabil jika terus dikelola dengan baik mulai dari sekarang.
124 Selain bermanfaat sebagai penyedia modal/pembiayaan, program ini juga bermanfaat bagi pengembangan Sumber Daya Manusia pelaku usaha karena Perbankan syariah juga memberikan permodalan dalam hal pembinaan dan pelatihan dalam peningkatan kualitas para pelaku usaha. Karena Modal dalam pengertian ekonomi syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi materi, baik berupa uang dan/atau materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Semua hal itu harus selalu berdasarkan prinsip syariah.14 perkreditan, tatacara dan prosedur penilaian kualitas kredit, profesionalisme dan integritas pejabat perkreditan. Yang terakhir yang juga berpengaruh sangat penting adalah terdapat pejabat perkreditan yang kompeten yang akan memproses kredit. Dalam rangka mempertahankan sistem dan prosedur pemberian kredit yang baik, maka terdapat pemisahan pejabat kredit pada organisasi perkreditan berdasarkan tugasnya.15 Upaya lain untuk menghidari kredit bermasalah dapat dilakukan dengan pengawasan terhadap Account Officer agar tidak terjadinya perangkapan tugas pada jabatan sehingga tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam mengelola perkreditan. Menyadari keunggulan Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) untuk mengatasi permasalahan modal/pembiayaan bagi UMKM di kota makassar maka diperlukan regulasi dari pemerintah untuk membuat peraturan perundangundangan atau aturan lain yang terpadu untuk melaksanakan program
14
Zainuddin Ali. (2008). Hukum Perbankan Syariah. Sinar Grafika. Jakarta, hlm. 60. 15 Iven Agatha Christy dkk. (2014). Evaluasi Implementasi Kebijakan dan Pengawasan Kredit Usaha Rakyat dalam Meminimalisasi Kredit Macet : Studi pada PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero). tbk Unit Tanjung Rejo Malang. Jurnal Administrasi Bisnis. Vol 7, No 1. Januari 2014. Hlm 4.
125 ini di kota Makassar sehingga perkembangan UMKM tidak terhambat lagi dalam hal permodalan atau pembiayaan. Mengingat bahwa indonesia adalah negara hukum, maka dari segala aturan dan kebijakan harus berlandasakan pada norma hukum yang berlaku. Untuk menghindari terjadi kredit bermasalah maka perlu peningkatan penerapan prinsip kehati-hatian yang tertuang pada Pedoman Kebijakan Kredit Bisnis Mikro (PKK-BM) mencakup pembuatan kebijakan pokokperkreditan, tatacara dan prosedur penilaian kualitas kredit, profesionalisme dan integritas pejabat perkreditan. Yang terakhir yang juga berpengaruh sangat penting adalah terdapat pejabat perkreditan yang kompeten yang akan memproses kredit. Dalam rangka mempertahankan sistem dan prosedur pemberian kredit yang baik, maka terdapat pemisahan pejabat kredit pada organisasi perkreditan berdasarkan tugasnya.16 Upaya lain untuk menghidari kredit bermasalah dapat dilakukan dengan pengawasan terhadap Account Officer agar tidak terjadinya perangkapan tugas pada jabatan sehingga tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam mengelola perkreditan. Menyadari keunggulan Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan) untuk mengatasi permasalahan modal/pembiayaan bagi UMKM di kota makassar maka diperlukan regulasi dari pemerintah untuk membuat peraturan perundangundangan atau aturan lain yang terpadu untuk melaksanakan program ini di kota Makassar sehingga perkembangan UMKM tidak terhambat lagi dalam hal permodalan atau pembiayaan. Mengingat bahwa
16
Iven Agatha Christy, dkk. (2014). Evaluasi Implementasi Kebijakan dan Pengawasan Kredit Usaha Rakyat dalam Meminimalisasi Kredit Macet : Studi pada PT.Bank Rakyat Indonesia (Persero). tbk Unit Tanjung Rejo Malang. Jurnal Administrasi Bisnis, Vol 7, No 1. Januari. Hlm 4.
126 indonesia adalah negara hukum, maka dari segala aturan dan kebijakan harus berlandasakan pada norma hukum yang berlaku. 3. Penutup 3.1. Berbagai hambatan dan kendala yang dialami pelaku UMKM di kota makassar mengakibat sektor usaha ini sulit untuk berkembang, padahal sektor usaha ini merupakan motor penggerak perekonomian masyarakat. Kendala yang dihadapi pelaku UMKM di kota Makassar pada umumnya dikelompokkan menjadi dua, yaitu permasalahan yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor interal diantaranya adalah permodalan, Sumber Daya Manusi, lemahnya jaringan usaha dan kemampuan peneterasi pasar pelaku UMKM. Sedangkan faktor eksternal yaitu data persebaran UMKM yang tidak jelas, alokasi kredit yang tidak merata, rendahnya nilai tukar komoditi yang dihasilkan usaha rakyat, terbatasnya akses pasar, dan adaanya pungutan-pungutan atau biaya yang tidak jelas akibat dari implikasi otonomi daerah. 3.2 Program PEMBAYARAN (Pembiayaan Perbankan Syariah Tanpa Jaminan)adalah program penyaluran modal/pembiayaan kepada pelaku UMKM di kota Makassar yang di transformasi dari sistem Kredit Usaha Rakyat . Program ini menghapuskan sistem bunga dalam KUR, sehingga keuntungan yang diperoleh perbankan dalam program ini berasal dari sistem bagi hasil (Loss and Profit Sharing) yang telah disetujui oleh pihak bank dan penerima modal melalui perjanjia tertulis atau kontrak kerjasama. Untuk menghidari kredit bermasalah dalam penyaluran kredit, maka diterapkan prinsip kehati-hatian dan adanya pengawasan terhadap Account Officer serta perangkat perbankan lainya yang berfungsi sebagai pendukung dalam penyaluran dana program ini.
127 Daftar Pustaka Regulasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Selaku Ketua Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat. Buku Arif Al Rianto Nur. (2012). Lembaga Keuangan Syariah: Suatu kajian Teoritispraktis. Pustaka Setia: Bandung. Ali Zainuddin. (2008). Hukum Perbankan Syariah. Sinar Grafika:Jakarta. Dewi Gamela. (2007). Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Kencana Predana Media Group: Jakarta. Hafied Hamzah dkk. (2013). Lembaga Keuangan Syariah: Teori dan Penelitian Empiris. Umitoha Ukhuwa Grafika: Makassar. Imansyah Handry Muhammad. (2009). Krisis Keuangan di Indonesia Dapatkah Diramalkan?.Kompas Gramedia: Jakarta. Ingratubun Husni M. (2013). Teori Bank Syariah: Studi Terhadap NilaiNilaiSyariah dalam Operasionalisasi Perbankan Syariah. Rangkang Educationdan Republik Institute: Yogyakarta. ImaniyatiSri
Neni.
(2002).
Hukum
Ekonomi
dan
Ekonomi
Islam
dalamPerkembangan. Mandar Maju: Bandung. Nazir Moh. (1989). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta. Ss Kusumaningtuti. (2009). Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankandi Indonesia. Rajawali Pers: Jakarta. Sugiyono. (2005). Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta: Bandung. Sunaryo. (2009). Hukum Lembaga Pembiayaan. Sinar Grafika: Jakarta.
128 Jurnal Dewi Anggraini dan Syahrir Hakim Nasution. (2013).Jurnal Ekonomi dan Keuangan. Vol. 1. No. 3. Februari. Erni Susana dan Annisa Prasetyanti. Jurnal Keuangan dan Perbankan. Vol. 15.No. 3.September. 2011. Feni Dwi Anggraeni dkk. Jurnal Administrasi Publik. Vol. 1. No.6. Agustus.2013. Fika Fitriasari. Jurnal Universitas Muhammadiyah Malang. Vol. 1. No 3.Januari.2017. Iven Agatha Christy dkk. Jurnal Administrasi Bisnis. Vol. 7. No. 1. Januari.2014. Muslimin Kara. Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum. Vol. 47. No. 1. Juni. 2013. Rizki Tri Anugrah Bhakti dkk.Jurnal Syariah dan Hukum. Vol. 5. No. 1. Juni.2013. Sutrisno.Jurnal Keuangan dan Perbankan. Vol. 19. No. 3. September. 2015. Skripsi NoniNuraeni.(2011).Mekanisme
Pemberian
Imbalan
Bagi
Hasil
dan
Implementasinya pada Bank Syariah Mnadiri Cabang Depok. UniversitasIslam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta. Muh
Rachdian Rachman.(2015).Stategi Pembinaan Usaha Kecil Menengah (UKM) Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Karya Tulis Ilmiah Imas
Nurani
Islami.
dalamMenghadapi
(2014).
Optimalisasi
UMKM
ASEAN Economic Community
Virtual
Market
(AEC) 2015.
Universitas Negeri Yogyakarta. Internet Badan Pusat Statistik Kota Makassaar. Hasil Sementara Pendaftaran Usaha Sensus Ekonomi 2016 Tahap Awal di Kota Makassar. Website BPS kotaMakassar.https://makassarkota.bps.go.id. Diakses pada 4 Agustus 2018. Prahanada Redjo. UMKM Penting untuk Perekonomian Nasional. Indopos.http://indopos.co.id/read/2018/02/06/126543/umkm-pentinguntuk-perekonomian-nasional. Diakses pada 27 Juli 2018.
129 REKONSEPTUALISASI PENETAPAN DAN PENGAWASAN REKRUTMEN HAKIM KONSTITUSI MELALUI PRINSIP AKTIF (AKUNTABILITAS, TRANSPARAN, PARTISIPATIF) 1
Anif Laila Sahir, 2Desak Putu Ayunda Putri, 3Fausiah Febrianti
1Fakultas 2Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin. E-Mail : haniflaila46@gmail.com Hukum Universitas Hasanuddin. E-Mail : desakayunda5@gmail.com 3Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-Mail : Fausiahfebrianty@gmail.com
Abstrak: Menentukan calon hakim konstitusi yang berintegritas, adil, dan negarawan adalah indikator yang perlu dipertimbangkan bagi Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Presiden. Dalam mengevaluasi sistem seleksi hakim konstitusi tidak diatur secara jelas dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Aturan seleksi hakim konstitusi selama ini diserahkan kepada masing-masing institusi di mana DPR hanya mensyaratkan mempresentasikan tulisan, MA menyeleksi internal secara tidak transparan, dan Presiden biasanya lebih menyukai sistem penunjukan tanpa kriteria yang pasti. Pemilihan informan didasari pada kualitas informasi yang terkait dengan artikel ilmiah ini.Tulisan ini menggunakan metode kepustakaan dengan mengumpulkan dari berbagai literatur yang dijadikan sumber data dalam pembuatan karya ilmiah ini. Diskusi menghasilkan ide terhadap perlunya rekonseptualisasi terhadap penetapan dan pengawasan sistem rekrutmen hakim konstitusi melalui prinsip yang akuntabilitas, transparan, dan partisipatif. Artikel ilmiah ini menyusun konsep sistem rekrutmen yang diharapkan dalam menentukan calon hakim konstitusi yang selama ini belum dianggap akuntabilitas, transparan, dan partisipatif. Kata kunci : Rekonseptualisasi, Akuntabilitas, Transparan, dan Partisipatif
1.
Pendahuluan Sejak lama bangsa Indonesia begitu mendambakan kehadiran sistem
kekuasaaan kehakiman yang dapat digunakan untuk menguji produk hukum di bawah Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu, Undang-Undang Dasar diproyeksikan sebagai satu-satunya simbol tegaknya negara yang diselenggarakan
130 berdasarkan hukum1 sehingga dibentuklah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (hasil perubahan ketiga) Majelis Permusyawaratan Rakyat selanjutnya menetapkan; “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk meguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Namun, oleh karena pembentukan Mahkamah Konstitusi secara organisasional memerlukan waktu, maka Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (hasil perubahan keempat) memberi batasan selambat-lambatnya 17 Agustus 2003 Mahkamah Konstitusi harus sudah terbentuk.2 Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini diadopsi pada tahun 2001 yaitu pada Perubahan Ketiga UUD 1945 3 Secara konseptual gagasan pembentukan Mahkamah Kontitusi adalah untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan4. Hakikatnya, Mahkamah Konstitusi juga berfungsi sebagai positive legislator. Oleh karena itu pula, Hans Kelsen bahkan ber-pen-dapat bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi itu sendiri harus ditempatkan diluar konteks cabang kekuasaan kehakiman, “Constitutional courts should be placed outside the judiciary as well as the other governmental departments.� Oleh karena itu, tepatlah bahwa ketentuan Pasal 24C UUD 1945 ditempatkan setelah Pasal 24A dan Pasal 24B, sehingga pengertian hakim konstitusi dapat dipahami secara tersendiri di luar konteks pengertian hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24A dan Pasal 24B UUD 1945. 5
1
Ahmad Syahrizal.(2006). Peradilan Konstitusi Suatu Studi tentang Ajudikasi Konstitusi Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Hlm. 259. 2 Ibid. Hlm. 262. 3 Jimly Asshiddiqie.(2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta.PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia. Hlm. 583. 4 Ahmad Syahrizal, Op.cit., Hlm. 263. 5 Jimly Asshiddiqie,Op.cit., Hlm.593.
131 Penjelasan mengenai Hakim konstitusi sebagaimana termuat di dalam Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 33 menentukan syarat untuk dapat diangkat menjadi Hakim konstitusi
dengan
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstiusi dan ketatanegaraan. Ini sejalan dengan Pasal 24C Ayat (5) UUD NRI 1945 bahwa Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara yang kemudian dijelaskan lebih rinci di dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada Bab IV Pengankatan dan Pemberhentian Hakim Konstitusi Bagian Pertama Pengangkatan Pasal 15 sampai dengan Pasal 21 yang diantaranya memuat, Pertama syarat yang harus dimiliki Hakim konstitusi kaintannya dengan integritas dan kepribadian calon hakim, adil serta negarawan. Kedua, berkenaan dengan syarat administrasi bagi calon hakim konstitusi. Ketiga, adanya pembatasan, bahwa hakim konstitusi dilarang untuk rangkap jabatan. Keempat, pengajuan masing-masing 3 calon hakim konstitusi dari tiga lembaga yaitu MA, DPR, dan Presiden. Kelima, pelaksanaan pencalonan hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif. Keenam, mengenai ketentuan tata cara seleksi, pemilihan dan pengajuan diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang. Ketujuh,beerkenaan dengan sumpah hakim konstitusi sebelum memangku jabatan. Syarat yang termaktub di dalam Pasal 15 menentukan kapasitas seorang Hakim MKRI secara ideal adalah seseorang dengan kualitas yang terbaik. Harapan terhadap sembilan Hakim yang terpilih agar mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan Hakim di Pengadilan lainnya bukanlah tanpa sebab, karena tugas mereka yang harus berperan sebagai the guardiian and the interpreter of the Constitution6 yang dijelaskan dalam Pasal 24C Ayat (3) bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan
6
Ismail Hasani. Dri Utari Christina Rachmawati .(2013). Masa depan Mahkamah Konstitusi RI.Jakarta.Pustaka Masyarakat Setara. Hlm. 363.
132 oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga ora`ng oleh Presiden. Beberapa kejadian di masa lalu sempat membuat MK dicurigai terlibat perbuatan yang melanggar hukum, bahkan juga sempat membuat posisi MK berada pada titik terendah sehingga tidak lagi mendapat kepercayaan dari masyarakat. 7 Ketika beberapa dari hakim konstitusi terlibat kasus suap, sebelumnya KPK menjerat Akil Muchtar selaku Ketua MK, dalam suap terkait penanganan sengketa pilkada, Patrrialis disangka menerima suap sebesar 20.000 dollar Amerika Serikat dan 200.000 dollar Singapura atau total sekitar Rp.2,15 miliar dari importir daging 8 dan dari beberapa kasus tersebut menodai marwah hakim konstitusi sebagai pemegang nilai-nilai konstitusi. Perlunya perenungan kembali terkait beberapa masalah yang terjadi di lembaga kekuasaan kehakiman yang dapat dikatakan merupakan lembaga pelaksana mekanisme check and balances atas kekuasaan legislatif9 oleh sebab itu sudah seharusnya dipikirkan mekanisme pemilihan Hakim MK yang dapat menghasilkan Hakim yang “kembali� berkualitas10 dengan memahami lebih lanjut konseptualisasi penetapan dan pengawasan rekrutmen hakim konstitusi berkaitan dengan pelaksanaannya yang secara transparan, partisipatif dan akuntabel dengan merumuskan bahwa Bagaimana seleksi hakim konstitusi selama ini dan rekonseptualisasi penetapan dan pengawasan rekrutmen hakim melalui prinsip AKTIF (Akuntabilitas, Transparan dan Partisipatif)? dengan tujuan untuk mengetahui kondisi penyeleksian hakim konstitusi
dan wujud
rekonseptualisasi penetapan dan pengawasan rekrutmen hakim melalui prinsip AKTIF (Akuntabilitas, Transparan, dan Partsipatif) sebagai upaya penyempurnaan
7 8
Ibid.,Hal.364. Kompas.com, “Patrialis Akbar, Mantan Politisi Kedua yang Terjerat Korupsi di
MK� http://nasional.kompas.com/read/2017/01/27/05050041/patrialis.akbar.mantan.politisi.ked ua.yang.terjerat.korupsi.di.mk (diakses pada 29 Agustus 2018, pukul 20.35). 9 Ismail Hasani, Dri Utari Christina Rachmawati,Op.cit.,Hlm. 376. 10 Ibid.,Hlm. 364.
133 sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam melakukan perbaikan-perbaikan sistem kehakiman di Indonesia terkhusus pada lingkup Mahkamah Konstitusi. 2. Analisis 2.1. Seleksi Hakim Konstitusi Pengajuan Hakim konstitusi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.12/PUU-XII/2014 tetap menggunakan sistem yang selama ini digunakan. Berdasarkan pasal 24C ayat (3) UUD NRI 1945 hakim konstitusi diajukan masingmasing 3 (tiga) orang oleh MA, DPR, dan Presiden, yang selanjutnya ditetapkan oleh Presiden. Ketentuan ini juga termaktub dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 19 UU MK tahaun 2003 dilaksanakan secara transparan dan partisipatif. Sementara Pasal 20 hanya menerangkan bahwasanya ketentuan mengenai tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yaitu MA, DPR dan Presiden secara obyektif dan akuntabel dengan pelakasanan yang belum terimplementasi dengan baik dari masing-masing lembaga yang berwenang dalam melakukan penyeleksian hakim. Sejak dibentuknya MK, MA, telah melaksanakan 6 kali pengisian hakim konstitusi11. Sistem seleksi tidak dilaksanakan secara terbuka, partisipatif, obyektif dan akuntabel. DPR selama ini terbuka dalam melakukan seleksi, tetapi Mahkamah Agung tidak pernah terbuka, dan Presiden juga tidak terbuka dengan hasil seleksinya.12 Pelaksanaan seleksi oleh MA dilaksanakan secara internal maupun tertutup, seperti halnya seleksi hakim konstitusi periode terakhir pada tahun 2014 di mana pada saat itu dilaksanakan tanpa melakukan publikasi, masyarakat tidak
11
Indramayu, Jayus,Rosita Indrayanti. (2017). Rekonseptualisasi Seleksi Hakim Konstitusi Sebagai Upaya Mewujudkan Hakim Konstitusi yang Berkualifikasi. e-Journal Lentera Hukum,2,1. Hlm. 5. 12 Selama ini menurut Fajrul Falaakh, sejak awal DPR mSelakukan perekrutan secara terbuka. Namun, MA tidak pernah transparan, Presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013. Lihat Ni’matul Huda, Problematika Substatif PERPPU Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi, E-Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 4, Desember 2013 Hlm 557-558.
134 mengetahui mekanisme seleksi yang dilakukan oleh MA, panitia seleksi dari internal MA serta pewawancara atau penilai tidak ada yang ahli konstitusi, sehingga terpilih Suhartoyo dan Manahan MP Sitompul yang masing-masing akan menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi dan Muhammad Alim untuk periode 20152020, padahal Suhartoyo pada saat ittu masih diselidiki oleh Komisi Yudisial terkait pelanggaran kode etik dalam pembebasan kasus BLBI Sudjiono Timan. Tidak hanya pada periode terakhir yang dilaksanakan secara tertutup, akan tetapi hampir di setiap periode juga demikian.13 Pada periode pertama, MA mengajukan 3 orang hakim konstitusi perdana yakni Laica marzuki,Soedarsono dan Maruarar Siahaan yang dilaksanakan secara tertutup dan internal, akan tetapi tidak membuat perhatian publik, karena masih adanya rasa transisi dan desakan untuk segera merealisasikan MK. Meskipun dalam masa transisi, akan tetapi harus dilaksanakan secara transparan, partisipatif, objektif dan akuntabel. Selain itu, pada periode dua yakni pengajuan Arsyad Sanusi yang menggantikan Laica Marzuki, Periode ketiga pengajuan Muhammad Alim yang menggantikan Soedarsono, periode keempat yakni pengajuan Achmad Fadlil Sumadi yang menggantikan Maruarar dan periode kelima yaitu pengajuan Anwar Usman yang menggantikan M.Arsyad Sanusi pun dilaksanakan secara internal dan tertutup seperti halnya periode keenam. Dengan demikian seleksi hakim konstitusi oleh MA dapat dikatakan tidak transparan, partisipatif, objektif dan akuntabel. 14 DPR dalam tata cara pelaksanaan seleksi dan pembahasan terkait pengajuan atas calon untuk mengisi suatu jabatan menugasakan kepada Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada komisi terkait, meliputi: a. Penelitian administrasi;b.penyampaian visi dan misi; c. Uji kelayakan (fit and proper test); d. Penentuan urutan calon; dan/ atau e. Diumumkan kepada publik. Dalam Peraturan Tata Tertib DPR tersebut sehingga perlu suatu kejelasan agar dalam proses pelaksanaan rekrutmen berjalan lancar. Selain itu, Tatib DPR tersebut melibatkan pasrtisipasi masyarakat agar masyarakat dapat memberikan 13 14
Indramayu, Jayus,Rosita Indrayanti,op.cit., Ibid.,Hlm. 5-6.
135 masukan secara lisan dan / atau tertulis kepada DPR dengan proses dan mekanisme rekrutmen calon hakim konstitusi dapat dilihat secara terbuka dalam Rapat (Pleno) Komisi III DPR RI (bidang hukum, perundang-undangan,HAM,dan Keamanan) Tahun sidang 2013-2014 yang bersifat terbuka dengan dihadiri 50 orang anggota dari 51 orang anggota Komisi III DPR-RI dan 9 orang Tim Pakar membahas terkait. (1) Tim Pakar yang diketuai oleh Prof. Dr. H. Syafi’i Ma’arif dengan Sekretaris Tim Pakr Prof.DR. Saldi Isra, S.H.,MPH. Menyampaikan rekomendasi 4 (empat) orang calon Hakim Konstitusi dari 10 (sepuluh) orang yang mengikuti uji kelayakan (fit and paper test); yaitu: 1) Atip Latipulhayat, S.H., L.L.M., Ph.D.; 2) Dr. Wahiddudin Adams, S.H., M.A., 3) Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., dan 4). Prof. Dr. Aswanto S.H., M.Si., DFM. (2) Tim Pakar Seleksi Calon Hakim Konstitusi merekomendasikan melalui penulisan dan pengurutan nama 4 (empat) calon Hakim Konstitusi, bukan berdasarkan perangkingan dari para calon. (3) Tim Pakar menyerahkan sepenuhnya terhadap 4 (empat) calon tersebut kepada Komisi III DPR RI untuk diputuskan. (4) Komisi III DPR RI melakukan rapat dan menghasilkan 2 (dua) opsi terhadap hasil dari Pansel yakni untuk dipilih atau disepakati.15 Namun, Pelaksanaan seleksi di DPR, terkadang tidak memenuhi prinsip pencalonan dan pemilihan hakim konstitusi. Meskipun pelaksanaan seleksi di DPR lebih terbuka dan transparan daripada lembaga pengaju lainnya, akan tetapi masih ada kemungkinan DPR melaksanakan secara tertutup. DPR pun terkadang tidak melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan seleksi, sehingga prinsip partisipasi dapat diragukan. Selain itu terdapat unsur-unsur politis dalam seleksi, maka prinsip objektif dan akuntabel pun diragukan masyarakat.16 Di mana seleksi yang dilakukan oleh DPR menjadi polemik di masyarakat pasalnya DPR belum tentu memahami konstitusi, maka yang menyeleksi pun sejatinya harus menguasainya. Pendidikan DPR minimal SLTA, padahal calon hakim konstitusi minimal S2. Seharusnya tidak
15
Winda Wijayanti, Nuzul Quraini M, Siswantana Putri R .(2015). Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Rekrutmen Calon hakim Konstitusi.Jurnal Konstitusi. Volume 12. Nomor 4. Desember . Hlm.679-680. 16 Indramayu, Jayus,Rosita Indrayanti,op.cit.,Hlm. 10
136 dibenarkan seseorang yang berpendidikan rendah dapat menilai seseorang yang berpendidikan lebih tinggi darinya, hal ini tidak sesuai dengan tingkatan sistem pendidikan yang ada di Indonesia. Seharusnya yang menyeleksi memiliki kualifikasi minimal sama dengan subjek yang diseleksi.17 Selain itu, penyeleksian hakim konstitusi juga diajukan oleh Presiden. Presiden pun menimbulkan banyak permasalahan. Presiden telah mengajukan beberapa kali periode pengisian hakim konstitusi. Pertama, pengangkatan hakim konstitusi perdana yakni Syarifuddi, Mukhtie Fadjar dan Harjono yang dilakukan secara tertutup oleh pemerintah, hingga sampai saat ini tidak diketahui publik mengenai pelaksanaan seleksi yang dilakukannya. Presiden mengangkat ketiga hakim konstitusi tersebut terkesan dipilih secara langsung dan tidak melibatkan masyarakat, sehingga tidak memenuhi prinsip yang telah ditentukan. Hal tersebut berbeda dengan seleksi pada periode kedua yakni pengangkatan Achmad Sodiki untuk menggantikan Syarifuddin dan perpanjangan masa jabatan Mukhtie Fadjar yang dilakksanakan dengan pembentukan Panitia seleksi yakni oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) yang diketahui oleh Adnan Buyung Nasution, namun Mukhtie fadjar tidak melalui mekanisme seleksi melainkan langsung ditunjuk kembali. Hasil seleksi yang dilaksanakan oleh panitia seleksi diumumkan ke publik, namun proses pencalonannya tidak dipublikasikan ke publik, padahal tahapan pencalonan harus transparansi dan partisipatif, sehingga seleksi periode ini dapat dikatakan tidak memenuhi prinsip pencalonan.18 Kemudian, pada periode ketiga, SBY mangajukan hamdan Zoelva untuk menggantikan Mukhtie fadjar atas usulan dari Kementrian Hukum dan ham, di mana seleksi dilaksanakan secara tertutup dan terkesan ditujuk langsung. Pada periode ini dipenuhi dengan undur politik karena hakim konstitusi yang diajukan berasal dari partai politik. Pada saat itu hamdan Zoelva menjabat sebagai wakil ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) meskipun tidak ada persyaratan terkait keterlbatan calon denga partai politik, akan tetapi sebagai lembaga yang independen 17 18
Ibid., Ibid.,Hlm. 6.
137 seharusnya hakim konstitusi tidak memiliki afiliasi dengan partai politik, karena dapat mengganggu independensi hakim konstitusi dalam dalam membuat putusan mengingat kewenangan MK yang berhubungan dengan kekuasaan politik, seperti menguji UU terhadap Uud !945 yang tentu menentukan ekesistensi DPR sebagai pembuat Uu di mana DPR merupakan salah satu lembaga yang dibentuk dari hasil perpolitikan, juga kewenangan MK untuk membubarkan partai politik,, tentu ikatan emosional antara hakim konstitusi dengan partai politik akan mempengaruhi putusan yang dihasilkan MK. Pengangkatan hakim konstitusi yang memiliki ikatan dengan partai politik terulang kembali pada periode keempat. Pada periode ini, SBY secara terangterangan melakukan penunjukan langsung Patrialis Akbar yang akan menggantikan Achmad Sodikin dan perpanjangan maria Farida atas usulan Kementrian hukum dan HAM. Pada saat itu, Patrialis Akbar merupakan kader Partai Amanat Nasional (PAN). Masyarakat mempertanyakan kredibilitas Patrialis Akbar, karena dilihat dari rekam jejak (tarack rekord) nya bahwa Patrialis Akbar memiliki kinerja yang buruk. Ketidakberhasilannya terlihat dari sejumlah kebijakan/langkah Patrialis Akbar saat menjabat sebagai Mentru hukum dan HAM yang kontroversial dan tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi, seperti obral remisi dan pembebasan bersyarat terhadap koruptor. Kekecewaan masyarakat atas pengangkatan langsung patrialis akbar dan maria Farida terlihat ketika Koalisi Masyarakat Sipil selamatkan MK mengajukan gugatan ke Pengadilan tata Usaha negara terkait Keputusan presiden tentang penunjukan langsung Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagaimana yang telah tertera dalam Keputusan Presiden Nomor 87 tahun 2013, karena pelaksanaan seleksi tidak transparan, partisipatif, objektif dan akuntabel.19 Penyeleksian hakim konstitusi yang dilakukan oleh masing-masing lembaga yang berwenang selama ini menunjukan masih perlunya adanya perbaikan-perbaikan dalam hal rekrutmen Hakim Konstitusi mengingat jabatan
19
Ibid.,Hlm.7`
138 sebagai hakim konstitusi membutuhkan seseorang yang idela yang memiliki kualifikasi terbaik untuk bagaimana menjalankan tugasnya sebagai pemegang nilainilai. 2.2. Rekonseptualisasi Penetapan dan Pengawasan Rekrutmen Hakim Konstitusi
melalui
Prinsip
AKTIF
(Akuntabilitas,Transparan,
Partisipatif) Proses rekrutmen merupakan hal yang sangat mendasar dalam memilih dan menetapkan hakim kostitusi dari proses seleksi, penetapan dan pengawasan. Di mana mekanisme pemilihan turut mempengaruhi imparsialitas, integritas, dan indenpendensi para hakim konstitusi. Namun, untuk pengangkatan hakim konstitusi masih menimbulkan ketidakjelasan dan anomali dalam mekanisme pencalonan hakim konstitusi. Untuk itu perlu, dilakukan kaji ulang terhadap UU MK tertentu yang mengatur pengangkatan hakim konstitusi. Pengangkatan hakim konstitusi yang diatur perlu diperjelas dan diatur secara lebih rinci dalam UU MK. Hal inidisebabkan; Pertama, persyaratan hakim konstitusi hanya merupakan penegasan kembali dari persyaratan hakim konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (5)UUD NRI 1945. Kedua, persyaratan hakim konstitusi tersebut merupakan persyaratan ideal yang bersifat umum dan abstrak sehingga perlu dirumuskan parameter yang menunjukan seseorang mempunyai perilaku sesuai dengan persyaratan tersebut. Ketiga, perlu dipikirkan seleksi dalam rangka pengangkatan hakim konstitusi tidak hanya dilakukan secara transparan, pasrtisipatif, objektif, dan akuntabel tetapi juga harus dilakukan secara beribawa dan bermartabat agar sesuai dengan dasar dan filosofi hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945.20 Olehnya itu, wujud rekonseptualisasi dari penetapan dan pengawasan rekrutmen hakim konstitusi melalui prinsip AKTIF (Akuntabilitas, Transparan, Partisipatif) yakni Pertama, dengan penegasan pelaksanaan Akuntabilitas yang
20
Shanti Dwi Kartika.Seleksi Untuk Pengangkatan Hakim Konstitusi.Majalah Info Singkat Hukum,Vol.IX,No.06/II/Puslit/Maret/2017.Hlm 3.
139 sebelumnya telah diterangkan dalam Pasal 20 ayat (2) UU No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa pemilihan hakim konstitusi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan secara obyektif dan akuntabel. Ini menujukan akuntabilitas lembaga peradilan tidak dapat dilepaskan dari posisinya sebagai lembaga publik yang bekerja untuk kepentingan, tidak saja bagi kepentingan individu-individu tertentu tapi lebih utama adalah untuk kepentingan publik itu sendiri. Jika lembaga peradilan secara mutlak mensyaratkan adanya indenpendensi, maka indenpendensi lembaga peradilan tidak akan berarti jika tidak dilengkapi oleh akuntabilitas. 21 Penulis sepakat dengan konsep akuntabilitas oleh Fadillah Putra dan Saeful Arif dalam membahas tentang akuntabilitas pejabat publik di Indonesia bahwa dapat dikatakan akuntabilitas publik merupakan landasan bagi proses penyelenggaraan pemerintahan. Selain itu, sebagai suatu kebijakan strategis, akuntabilitas harus dapat di implementasikan untuk menjamin terciptanya kepatuhan pelaksanaan tugas dan kinerja pegawai sesuai dengan standar yang telah diterimanya sebagai sarana untuk menekan seminimal mungkin penyelewengan wewenang dan kekuasaan.22 Pada pihak lain, menurut “The Oxford Advence Leaner’s Dictionary�, akuntabilitas adalah kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindaktanduk dan kegiatan kepada pihak yang lebih tinggi (atasannya) . Akuntabilitas demikian dilihat dari sudut pandang pengendalian tindakan pada pencapaian tujuan. Tolak ukur atau indikator pengukuran kinerja adalah kewajiban individu dan organisasi
untuk mempertanggungjawabkan capaian kinerjanya melalui
pengukuran yang seobyektif mungkin, baik melalui laporan tertulis maupun lisan. Apabila dilihat dari jenisnya, menurut Sirajuddin H. Aslam Iqbal, bahwa akuntabilitas sebetulnya merupakan sisi sikap kehidupan manusia meliputi: a. Akuntabilitas intern seseorang, dan ekstern seseorang. Akuntabilitas intern seseorang merupakan pertanggungjawaban seseorang tersebut kepada Tuhannya.
21
Ahmad Mujahidin.(2007). Peradilan Satu Atap di Indonesia .Bandung.PT Refika Aditama. Hlm. 22. 22 Ibid.,
140 Akuntabilitas yang demikian ini meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu yang diajalankannya, hanya diketahui sendiri dan dipahami oleh dia sendiri. Oleh karena itulah, akuntabilitas intern ini disebut juga dengan akuntabilitas spritual. Seseorang dengan kesadaran penuh terhadap akuntabilitas intern akan mendorong dirinya untuk senantiasa konsekuen akan tugas yang diembannya dan akan selalu berbuat menurut ukuran-ukuran ke Tuhanan. Inilah yang menyebabkan kualitas dan kuantitas maupun kemanfaatan hasil kerja setiap individu atau setiap instansi/organisasi berbeda anttara satu dengan lainnya. Dengan akuntabilitas modern, dijamin hasil kerja seseorang atau organisasi adalah lebih baik, ketimbang akuntabilitas intern ini terabaikan. Akuntabilitas ekstern seseorang adalah akuntabiltas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atas-bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Berbeda dengan akuntabilitas intern yang sifatnya vertikal yakni berhubungan dengan Tuhan, namun akuntabilitas ekstern sifatnya horizontal yang bersinggungan dengan lingkungan sekitarnya. Akuntabilitas ekstern lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia memang sudah jelas. Kontrol dan penilaian eksternal sudah ada di dalam mekanisme yang terbentuk dalam sistem dan prosedur kerja. Adanaya akuntabilitas ekstern ini seseorang atau setiap organisasi dengan sendirinya akan lebih berhati-hati di dalam melakukan aktivitasnya, jika tidak, apalagi melakukan kesalahan atau penyimpanan, maka akan mendapat teguran dari atasan atau mendapat teriakan dari masyarakat 23 Selanjutnya, jika pada konteks akuntabilitas lembaga peradilan Barda Nawara Arief mengajukan gagasan tentang akuntabilitas bahwa akuntabilitas tidak hanya terikat dengan masalah tanggungjawab individual menuntutnya adanya kematangan integritas moral dan hati nurani para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan /proses peradilan yang bertanggung jawab secara institusional
23
Ibid.,Hlm.23.
141 menurut adanya manajemen/ administrasi peradilan yang baik untuk menunjang pembangunan yang berkepanjangan. 24 Dengan begitu, akuntabilitas merupakan sesuatu yang
harus dapat di
implementasikan. Dalam hal pengimplementasian akuntabilitas yang dilekatkan pada penyeleksian hakim konstitusi, wujud rekonseptualisasinya dengan membentuk Panitia Pelaksana dari setiap masing-masing lembaga yang berwenang dalam melakukan pengajuan calon hakim konstitusi, yakni dari MA, DPR dan Presiden. Di mana jumlah anggota di setiap Panitia Pelaksana ini terdiri dari 13 orang yang memiliki kualifikasi yang mempumi dengan persyaratan minimal berpendidikan doktor, mengingat persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi minimal berijazah magister yang menjadi syarat untuk menjadi calon hakim konstitusi. Sebab tidaklah seimbang jika panitia pelaksana sebagai penguji atau penilai memiliki kualifikasi dibawah dari yang diuji/ calon hakim konstitusi itu sendiri. Sehingga perlunya standar khusus untuk panitia pelaksana dalam melakukan penyeleksian dengan indikator penilaian yang jelas bagi calon hakim konstitusi, menentukan indikator-indikator penyeleksian yang merujuk pada indikator penyeleksian calon hakim konstitusi yang dilakukan oleh DPR dengan tata cara pelaksanaan seleksi meliputi: a. Penelitian administrasi;b.penyampaian visi dan misi; c. Uji kelayakan (fit and proper test); d. Penentuan urutan calon; dan/ atau e. Diumumkan kepada publik. Dari tata cara seleksi yang dilakukan DPR ini kemudian berubah menjadi aturan baku bagi setiap panitia pelaksana, baik di MA maupun di Presiden menerapkannya sehingga jelas bentuk dan seperti apa mekanismenya sehingga apa yang ditafsirkan sebelumnya bahwa belum adanya mekanisme yang jelas dalam penyeleksian hakim konstitusi dapat terealisasikan. Pada pembentukan panitia pelaksana di DPR, yang umumnya lekat dengan unsur-unsur politis dianggap kurang memahami konstitusi namun memiliki kewenangan dalam mengajukan calon hakim konstitusi bukanlah menjadi masalah dengan pertimbangan bahwa dengan terlibatnya DPR dalam pengajuan calon hakim
24
Ibid.,Hlm. 24.
142 konstitusi merupakan model representatif, yang berasal dari ketiga cabang kekuasaan juga merepresentasikan aspirasi rakyat dalam menentukan hakim konstitusi. Selain itu, untuk anggota panitia pelaksana DPR tetap dipersyaratkan minimal bergelar doktor, walaupun syarat menjadi anggota DPR minimal telah menempuh pendidikan SLTA, akan tetapi tidak menutup kemungkinan para anggota DPR yang memiliki kualifikasi pendidikan tinggi berkecimpung di dalam, sehingga lebih khusus anggota panitia pelaksanaan DPR menekankan pada rekam jejak selama menjabat yang panitia pelaksana berasal dari anggota Komisi III DPRRI dengan pertimbangan lingkup tugasnya dibidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan sehingga memiliki pengetahuan dibidang hukum terlebih berkenaan dengan konstitusi. Tugas dari panitia pelaksana ini, dibagi menjadi dua tahap yakni tahapan seleksi dan tahapan pasca seleksi. Tahapan seleksi dimulai dari pendaftaran calon hakim konstitusi yang meliputi kelengkapan administrasi hingga ke penentuan hakim konstitus yang terpilih. Pada tahapan pasca seleksi, yakni pada saat setelah penetapan hakim konstitusi telah ditetapkan, diadakan penyebarluasan informasi terait hakim konstitusi yang terpilih atau pempublikasian kepada masyarakat yang erat kaitannya dengan pelaksanaan seleksi hakim konstitusi secara transparan dan partisipatif. Setelah semua proses dilaksanakan, panitia pelaksana membuat akumulasi data pembukuan yang berisi penilaian-penilaian terhadap hakim konstitusi sebagai bentuk keobyektifitasan dalam menilai yang disimpan sebagai database dari masing-masing lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan dan melakukan rapat evaluasi terkait hal-hal yang menghambat atau menjadi masalah di dalam penyeleksian hakim sebagai perbaikan-perbaikan dalam penyeleksian hakim konstitusi selanjutnya. Kedua, dengan penegasan pelaksanaan Transparansi dan Partisipatif yang sebelumnya telah diterangkan dalam Pasal 19 UU No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif dengan penjelasan pasal bahwa berdasarkan ketentuan ini, calon hakim konstitusi dipublikasikan di media
143 massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat mempunyai kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim yang bersangkutan. Sesuai ketentuan pasal 19 UU MK dan penjelasannya, dalam rangka melaksanakan tugas memilih calon hakim yang bersangkutan, suatu lembaga yang mengajukan hakim konstitusi menyelenggarakan pendaftaran dan frekrutmen secara terbuka dengan melibatkan peran serta masyarakat. Seleksi administratif, kualitas, dan kepribadian calon haim konstitusi tersebut melalui peran serta masyrakat dalam memberi masukan kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi dan tim atau panitia rekrutmen terlibat sejak awal sampai akhir yakni dimulai sejak prose pendaftaran, penilitian, kebenaran atas informasi dan pendapat masyarakat kepda pihak pengusul rekrutmen untuk mengetahui rekam jejak calon hakim secara lengkap dan akurat. Dengan demikian, pembinaan karakter seorang merupakan tanggung jawab bersama masyarakat untuk menciptakan suatu etika dalam profesionalisme dalam bidang hukum yang didukung oleh suatu aturan internal tertulis sebagai tolak ukur yang jelas bagi partisipasi masyarakat untuk pengawasan sepanjang proses rekrutmen sampai dengan pemilihan calon hakim yang terbaik. Penerapan sistem rekrutmen yang tepat dan tahapan serta mekanisme rekrutmen secara terbuka dan transparan yang melibatkan masyarakat secara aktif, maka niscaya menghasilkan seleksi-seleksi calon hakim konstitusi yang memiliki kemampuan
keilmuan,
profesionalitas,
dan
integritas
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Terkait sistem hukum menurut lawrance Friedman meliputi: pertama stuktur hukum (legal structure) yaitu bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dan disapkan dalam sistem, misalnya, pengadilan, kejaksaan. Kedua, substansi hukum (legal substance) yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum, misalnya putusan hakim, undang-undang. Ketiga, budaya hukum (Legal Culture) yaitu sikap publik atau nialai-nialai, komitmen, moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat. Masyarakat yang terbangun dalam suatu organisasi masyarakat (ormas) maupun
144 individu (akademisi, pengamat, ahli hukum dll) yang mendapat tugas untuk melakukan pengawsan pada setiap proses rekrutmen jabatan publik merupakan tugas berat dan mulia karen bermanfaat bagi partisipasi (peran serta) untuk keterbukaan dalam setiap proses rekrutmen yang baik dan kebanggan untuk turut mengawal dan menelurkan suatu pejabat negara yang ideal dimata mereka. Ketika tugas baru dihadapi masyarakat maka tugas tersebut mengharuskan untuk pengorganisasian agar melakukan kegiatan yang belum pernah dilakukan sebelumnya, tugas itu menjadi sangat beragam, publik juga dapat menilai dan pada akhirnya menerima putusan hakim dan dalam rangka merealisasikan norma-norma hukum.25 Wujud rekonseptualisasi dari pelaksanaan Transparansi dan Partisipatif ini tetap mengarah pada tugas panitia pelaksana yang masuk tahap pasca seleksi untuk mempublikasikan hakim konstitusi yang terpilih dan beberapa informasi terkait penyeleksian dari awal seleksi hingga terpilihnya hakim konstitusi baik di media cetak dan elektronik sebagai bentuk transparansi kepada masyarakat. Juga berkenaan dengan pelaksanaan Partisipatif disini dengan melibatkan masyarakat dalam penyeleksian hakim konstitusi yang dapat dikonkitkan dengan dibukanya kotak aspirasi saran dari panitia pelaksana di setiap lembaga sebagai wadah untuk menampung aspirasi masyarakat dan menjadi salah satu bentuk pertimbangan bagi panitia pelaksana dengan penampungan aspirasi masyarakat. 3.
Penutup Penyeleksian hakim konstitusi selama ini yang dilakukan oleh masing-
masing lembaga yang berwenang menunjukan masih perlunya adanya perbaikanperbaikan dalam hal rekrutmen Hakim Konstitusi, mengingat beberapa hakim terlibat kasus suap Akil Muchtar dan Patrialis Akbar yang menodai marwah konstitusi sebagai pemegang nilai-nilai konstitusi menjadi pembelajaran dalam melakukan rekrutmen hakim konstitusi yang seharusnya diemban oleh seseorang
25
Winda Wijayanti, Nuzul Quraini M, Siswantana Putri R,op.cit.,Hlm. 682-684.
145 yang memiki kualifikasi terbaik dengan mekanisme dari setiap lembaga yang berbeda dalam melakukan penyelseksian, MA yang bersifat tertutup. Rekonseptualisasi seleksi hakim konsitusi yakni dengan membentuk panitia pelaksana dari ketiga lembaga yang berwenang menagujukan calon hakim konstitusi beranggotakan 13 orang dengan syarat minimal berijazah doktor dan khusus panitia pelaksana DPR berasal dari Komisi III DPR RI dengan memperhatikan rekam jejam selama menjabat. Tugas dari panitia pelaksana ini terbagi menjadi dua tahap yakni tahap seleksi dimulai dari pendaftaran calon hakim hingga terpilihnya hakim konstitusi dan tahap pasca seleksi dari terpilihnya hakim konstitusi hingga publikasi hakim konstitusi serta panitia pelaksana membuat pembukuan yang berisi penilaian-penilaian terhadap hakim konstitusi sebagai bentuk pertanggung jawaban kepada tiap lembaga juga membuat kotak aspirasi saran sebagai bentuk penampungan aspirasi bagi masyarakat dalam keterlibatan penyeleksian hakim konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA Buku Ahmad Mujahidin. (2007). Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung:PT Refika Aditama. Hlm. 22. Ahmad Syahrizal. (2006). Peradilan Konstitusi Suatu Studi tentang Ajudikasi Konstitusi Sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif. Jakarta. PT Pradnya Paramita. Hlm. 259. Indramayu, Jayus,Rosita Indrayanti. (2017) .Rekonseptualisasi Seleksi Hakim Konstitusi
Sebagai
Upaya
Mewujudkan
Hakim
Konstitusi
yang
Berkualifikasi. e-Journal Lentera Hukum,2,1. Hlm. 5. Ismail Hasani, Dri Utari Christina Rachmawati. (2013) . Masa depan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta. Pustaka Masyarakat Setara. Hlm. 363.
146 Jimly Asshiddiqie. (2007). Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta. PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia .Hlm. 583. Shanti Dwi Kartika. Seleksi Untuk Pengangkatan Hakim Konstitusi. Majalah Info Singkat Hukum.Vol.IX,No.06/II/Puslit/Maret/2017.Hlm. 3. Website Kompas.com.Patrialis Akbar, Mantan Politisi Kedua yang Terjerat Korupsi di MK. http://nasional.kompas.com/read/2017/01/27/05050041/patrialis.akbar.mant an.politisi.kedua.yang.terjerat.korupsi.di.mk (diakses pada 29 Agustus 2018, pukul 20.35). Jurnal Ni’matul Huda. Problematika Substatif PERPPU Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Mahkamah Konstitusi, E-Jurnal Konstitusi Volume 10 Nomor 4, Desember 2013. Hlm 557-558. Winda Wijayanti, Nuzul Quraini M, Siswantana Putri R.(2015) .Transparansi dan Partisipasi Publik dalam Rekrutmen Calon hakim Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Volume 12. Nomor 4. Desember. Hlm. 679-680.
Biodata Penulis Riskayanti Lahir di Bone, 13 Desember 1993. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2018 pada Program Magister Hukum Kekhususan Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. E-mail
: riskayanti24@gmail.com
No.Telp
: 081231010450
Mahdiani Lahir di Banjarmasin, 12 Februari 1994. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2017 pada Program Studi Hukum Ekonomi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia E-mail
: niamahdia12@gmail.com
No. Telp
: 082237066699
Febriansyah Ramadhan Lahir di Surabaya, 17 Februari 1994. Penulis adalah mahasiswa pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Sekarang penulis sedang melanjutkan Program Magister Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya angkatan 2018. E-mail
: mrfebri18@gmail.com
No. Telp
: 082231241826
Asri Rezki Saputra Lahir di Palu, 11 November 1996. Penulis adalah mahasiswa pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. E-mail
: Rezkisaputra80@gmail.com
No. Telp
: 082240461174
Xavier Nugraha Lahir di Surabaya, 20 Februari 1997. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2015 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga. E-mail
: nugrahaxavier72@gmail.com
No. Telp
: 082257488276
Vicentia Sonia Lahir di Surabaya, 25 Juni 1998. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2016 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga. E-mail
: vincentiasonia@gmail.com
No. Telp
: 0287785968119
Nina Amelia Novita Sari Lahir di Surabaya, 7 Agustus 1997. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2016 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Airlangga. E-mail
: ninaamelia.novita@gmail.com
No. Telp
: 082257801297
Nur Fuadyah Kahar Lahir di Sinjai, 30 April 1997. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2015 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail
: kaharnurfuadyah@gmail.com
No. Telp
: 085146429783
Hasmiati Hamzah Lahir di Pinrang, 26 Mei 1996. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2015 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail
: hasmiatihamzahh@gmail.com
No. Telp
: 085240988719
Ayu Lestari Indah Lahir di Makassar, 8 Agustus 1998. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2017 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail
: ayul8897@gmail.com
No. Telp
: 085242192561
Kinkin Sakinah Ridwan Lahir di Makassar, 21 Desember 1997. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2015 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail
: kinkinsakinah21@gmail.com
No. Telp
: 085340003665
Muhammad Zulfakhri Marjusi Lahir di Makassar, 20 Oktober 1996. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2015 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail
: muzulmar@gmail.com
No. Telp
: 082292702383
Syawirah. M Lahir di Karawa, 13 Februari 1999. Penulis adalah mahasiswa pada angkatan 2016 Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail
: syawirahmansyur99@yahoo.co.id
No. Telp
: 082293675944
Andi Fairuz Fakhriyah R.M Lahir di Jeneponto, 12 juni 1998. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2017 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail
: andifahra19@gmail.com
No. Telp
: 085256745438
Rasmia Lahir di Wajo, 13 april 1998. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2017 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail
: rasmia0413@gmail.com
No. Telp
: 082346571040
Anif Laila Sahir Lahir di Bulukumba, 7 Juni 1998. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2016 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail
: haniflailaila@gmail.com
No. Telp
: 08225964457
Desak Putu Ayunda Putri Lahir di Nopi, 19 Juni 2000. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2017 pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail
: desakayunda5@gmail.com
No. Telp
: 082188850554
Fausiah Febrianti Lahir di Makassar, 9 Februari 1999. Penulis adalah mahasiswa angkatan 2017 pada Program Studi, Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin E-mail
: fausiahfebrianti09@gmail.com
No. Telp
: 089520884110
PEDOMAN PENULISAN JURNAL LEGISLATIF A. Syarat Penulisan Naskah Jurnal Legislatif 1. Artikel yang dibuat adalah hasil kajian atau penelitian terkait isu hukum yang disusun secara ilmiah dan dengan metode penelitian hukum yang akurat. Jenis artikel yang diterima ada dua, yaitu Artikel Konseptual dan Hasil Penelitian; 2. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, untuk Artikel Konseptual minimal 13 halaman, dan maksimal 20 halaman. Sedangkan untuk Artikel Hasil Penelitian minimal 20 halaman, dan maksimal 40 halaman; 3. Ukuran kertas A4, spasi 1,0 (dari Judul, Identitas hingga Abstrak), dan spasi 1,5 (untuk Isi Artikel). Margin kiri 4 cm, margin kanan, atas dan bawah masing-masing 2,5 cm dan seluruhnya menggunakan font Times New Roman, ukuran 12 pt, (kecuali penulisan footnote); 4. Menulisan daftar rujukan menggunakan footnote dengan urutan; Nama Penulis. (Tahun). Judul Buku (dicetak miring). Kota penerbitan. dan Halaman. Font Times New Roman: 11 pt; 5. Penulisan referensi baik footnote maupun daftar pustaka mengikuti format APA; 6. Artikel dilengkapi dengan abstrak maksimum 150 kata beserta kata-kata kunci. Menuliskan identitas penulis seperti pada template yang disediakan. Dibuat dalam Bahasa Indonesia; 7. Artikel disertai dengan biodata penulis sebagai lampiran, yang memuat nama, tempat/tanggal lahir, alamat, riwayat pendidikan dan penghargaan atau organisasi jika perlu; 8. Susunan Artikel harus memuat: A. Artikel Konseptual; 1. Judul 2. Nama/Identitas Penulis 3. Abstrak 4. Kata Kunci/Keywords 5. Pendahuluan 6. Analisis atau Hasil 7. Penutup: Kesimpulan (tanpa saran) 8. Daftar Pustaka 9. Lampiran (Bila Perlu) maksimal 5 halaman 10. Cv penulis
B. Artikel Hasil Penelitian; 1. Judul 2. Nama/Identitas Penulis 3. Abstrak 4. Kata Kunci/Keywords 5. Pendahuluan 6. Metode 7. Analisis 8. Penutup: Kesimpulan dan Saran 9. Daftar Pustaka 10. Lampiran (Bila Perlu) maksimal 5 halaman 11. Cv penulis 9. Artikel yang dikirimkan mengikuti seluruh syarat penulisan dan template yang disediakan. 10. Artikel di kirimkan ke via email jurnal.legislatif@gmail.com Untuk contact person: Wardi (081917741084 ) atau As’Ad (082345401006)
Template Artikel Konseptual PENULISAN JUDUL MENGGUNAKAN FONT TIMES NEW ROMAN (12 PT) DAN TIDAK LEBIH DARI 14 KATA Nur Fuadyah Kahar1, Muh. Ari Zulfikar2, Nadjad3 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin . E-mail: official.ukmlp2ki.fhuh. 2 Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret. E-mail: zulfikar
Ari.8787@gmail.com 3
Fakultas Hukum Universitas Negeri Malang. E-mail: nadjad50@yahoo.com
Abstrak: Penulisan abstrak dibuat secara jelas, ringkas dan deskriptif. Abstrak sedapat mungkin menggambarkan latar belakang permasalahan, tujuan penulisan dan diikuti oleh pemaparan metodologi penulisan hingga pada hasil penelitian. Abstrak ditulis dengan menggunakan font Times New roman 12 pt dan tidak lebih dari 150 kata. ďƒ&#x; 12 pt, 1.0 space, Times New roman. Kata Kunci: Tindak Pidana Siber; Kompensasi; Perdagangan Orang; (Min 3 dan maks 5 kata kunci yang disusun alfabetis dan dipisahkan titik koma [;]) 1. Pendahuluan Pengantar harus jelas dan memaparkan masalah yang akan dibahas dalam naskah. Sebelum tujuan penulisan dikemukakan, penulis harus menjelaskan latar belakang penulisan, diikuti argumentasi singkat yang bersumber dari literatur ilmiah untuk menawarkan solusi dari permasalahan yang dibahas; metode penulisan; harapan dan untuk menunjukkan manfaat yang diperoleh pembaca dari penelitian terkait. Pada akhir paragraf, penulis harus menyajikan argumentasi mengenai pentingnya perhatian terhadap masalah dan tujuan penelitian dari objek yang dikaji. 2. Analisis Bagian ini adalah bagian terpenting dari naskah. Sub analisis atau hasil penelitian harus jelas dan ringkas. Hasilnya harus merangkum temuan dan memberikan data rinci atau sumber dan literatur ilmiah yang digunakan. Model pengutipan wajib
dicantumkan dalam bentuk catatan kaki. Penulis duharapkan dapat menjelaskan perbedaan yang jelas antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian dengan objek kajian yang sama.
2.1. Sub-judul Analisis atau Hasil Sub-judul Analisis atau Hasil merupakan pembahasan turunan dari sub analisis. Sub Analisis atau Hasil diketikan dengan format berikut:
2.2. Sub-judul Analisis atau Hasil
2.3. Sub-judul Analisis atau Hasil
3. Penutup Penutup berisi deskripsi yang akan menjawab tujuan dan pemasalahan. Dipaparkan dengan jelas dan singkat, tidak terkesan mengulang pembahasan dan redaksi abstrak. Penutup sedapat mungkin berisi kesimpulan yang memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai hasil dan langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang dikaji.
Referensi (Menuliskan daftar rujukan dengan menggunakan Footnote) -Contoh Jimly Assidiqie. (2010). Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jakarta. Hlm. 560 DAFTAR PUSTAKA Penulisan Daftar Pustaka harus ditulis dengan model pengutipan APA (American Psychological Association), juga berlaku untuk penulisan catatan kaki. Referensi diurutkan berdasarkan abjad nama penulis.
BUKU Abdul Rasal Rauf. (2009). Situasi Perdagangan Orang dan Jeratan Hutang Kawasan Timur Indonesia. Makassar: ICMC Indonesia & Pusat Studi dan Pengkajian Hak Asasi Manusia UNHAS.
Template Artikel Hasil Penelitian PENULISAN JUDUL MENGGUNAKAN FONT TIMES NEW ROMAN (12 PT) DAN TIDAK LEBIH DARI 14 KATA Nur Fuadyah Kahar1, Muh. Ari Zulfikar2, Nadjad3 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin . E-mail: official.ukmlp2ki.fhuh. 2 Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret. E-mail: zulfikar
Ari.8787@gmail.com 3
Fakultas Hukum Universitas Negeri Malang. E-mail: nadjad50@yahoo.com
Abstrak: Penulisan abstrak dibuat secara jelas, ringkas dan deskriptif. Abstrak sedapat mungkin menggambarkan latar belakang permasalahan, tujuan penulisan dan diikuti oleh pemaparan metodologi penulisan hingga pada hasil penelitian. Abstrak ditulis dengan menggunakan font Times New roman 12 pt dan tidak lebih dari 150 kata. ďƒ&#x; 12 pt, 1.0 space, Times New roman. Kata Kunci: Tindak Pidana Siber; Kompensasi; Perdagangan Orang; (Min 3 dan maks 5 kata kunci yang disusun alfabetis dan dipisahkan titik koma [;]) 1. Pendahuluan Pengantar harus jelas dan memaparkan masalah yang akan dibahas dalam naskah. Sebelum tujuan penulisan dikemukakan, penulis harus menjelaskan latar belakang penulisan, diikuti argumentasi singkat yang bersumber dari literatur ilmiah untuk menawarkan solusi dari permasalahan yang dibahas; metode penulisan; harapan dan untuk menunjukkan manfaat yang diperoleh pembaca dari penelitian terkait. Pada akhir paragraf, penulis harus menyajikan argumentasi mengenai pentingnya perhatian terhadap masalah dan tujuan penelitian dari objek yang dikaji.
2. Metode Metode sifatnya opsional untuk artikel penelitian asli,ditulis secara deskriptif dan menjelaskan tipe atau metodologi penelitian. Cara ini sebisa mungkin memberi pemahaman kepada pembaca mengenai metode yang digunakan.
3. Analisis atau Hasil Bagian ini adalah bagian terpenting dari naskah. Sub analisis atau hasil penelitian harus jelas dan ringkas. Hasilnya harus merangkum temuan dan memberikan data rinci atau sumber dan literatur ilmiah yang digunakan. Model pengutipan wajib dicantumkan dalam bentuk catatan kaki. Penulis duharapkan dapat menjelaskan perbedaan yang jelas antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian dengan objek kajian yang sama.
3.1. Sub-judul Analisis atau Hasil Sub-judul Analisis atau Hasil merupakan pembahasan turunan dari sub analisis. Sub Analisis atau Hasil diketikan dengan format berikut:
3.2. Sub-judul Analisis atau Hasil
3.3. Sub-judul Analisis atau Hasil
4. Penutup Penutup berisi deskripsi yang akan menjawab tujuan dan pemasalahan. Dipaparkan dengan jelas dan singkat, tidak terkesan mengulang pembahasan dan redaksi abstrak. Penutup sedapat mungkin berisi kesimpulan yang memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai hasil dan langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang dikaji.
4.1 Kesimpulan 4.2. Saran
Referensi (Menuliskan daftar rujukan dengan menggunakan Footnote) -Contoh Jimly Assidiqie. (2010). Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi: Jakarta. Hlm 560 DAFTAR PUSTAKA Penulisan Daftar Pustaka harus ditulis dengan model pengutipan APA (American Psychological Association), juga berlaku untuk penulisan catatan kaki. Referensi diurutkan berdasarkan abjad nama penulis.
BUKU Abdul Rasal Rauf. (2009). Situasi Perdagangan Orang dan Jeratan Hutang Kawasan Timur Indonesia. Makassar: ICMC Indonesia & Pusat Studi dan Pengkajian Hak Asasi Manusia UNHAS.
|
|
@omv6862t |
Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah