ISSN 2654-3982 Jurnal Mahasiswa Hukum Indonesia
SUSUNAN REDAKSI
Pembina
: Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H. Dr. Iin Karita Sakharina, S.H., M.A.
Pengarah
: Ahsan Yunus, S.H., M.H.
Pemimpin Redaksi
: Rizqa Ananda Hanapi
Redaktur Pelaksana
: As’ad Djaelani Sibghatullah BW Anif Laila Sahir
Dewan Penyunting
: Egy Oktavian Pranata Adjie Jalu Prasetyo Muhammad Sultan Aqila Rina Yulianti Fitrah Marinda Ahmad Taufiq Annur Amin Laela Safitri A. Alief Mustafa
Asisten Penyunting
: Andi Aulia Nabila Moenadjad Takhrij Samandy Mustika
Tata Letak dan Desain Grafis : Muh. Akbar Gunawan Munir Amisha Damayanti
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang Dilarang keras mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi jurnal ini tanpa izin tertulis dari penerbit. All rights reserved Confidential information- not to be written without permission from publisher.
DAFTAR ARTIKEL
Pemotongan Upah dan Asuransi Peer-To-Peer Lending untuk Melindungi Kreditur dalam Mewujudkan Aksesibilitas Kredit Masyarakat Dimas Almansyah, I Gusti Agung Indiana R, Dwi Cahyani Putri ................... 1-23 Penentuan Kewajiban Kuota 30% Perempuan dalam Calon Legislatif sebagai Upaya Affirmative Action Hasriani Hamid .............................................................................................. 24-31 Elaboration Law Concept pada Mutual Legal Assistance sebagai Upaya Penanggulangan Cybercrime Transnational Industri 4.0 Juan M. Alfedo, Fajar N. R. Winandi, Helena Y. L. Pandia............................32-54 Penguatan Regulatory Sandbox dan Scoring System dalam Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Pada Peer-To-Peer Lending Masda G. Nababan, Siti Salwa S. Maria, Masha Prisha P. Deristiandra.......55-72 Model Regulasi Financial Technology Syariah dalam Kerangka Hukum Indonesia: Studi Perbandingan Malaysia dan Inggris Maulana R. Alfaris, Muhammad W. Mursida, Moch. Irfan Dwi Syahroni......73-96 Optimalisasi Sistem Layanan Pengadilan Berbasis Elektronik Guna Menjamin Keterbukaan Informasi Menuju Peradilan Yang Modern Muhamad Edo Khoirul Majid, Naura Hafiza Ainayyah, Naila Amrina.........97-115 Responsive Law System of Financial Technology: Upaya Rekonstruksi Konsep Penyelesaian Sengketa Peer-To-Peer Lending Nabila Aulia Rahma, Adi Fauzanto, Keri Pranata.......................................116-133 Revitalisasi Pengaturan Penanganan Bukti Elektronik dalam Proses Perkara Pidana di Indonesia Rizki Zakariya, Yogi Prastia, Siti Ismaya.....................................................134-150 Komisi Pengelola Dana Jaminan Reklamasi dalam Upaya Pemulihan Wilayah Bekas Tambang Batu Bara Rizqa Ananda Hanapi, Husnul Khatimah Ahmad, Ririn Aswandi................ 151-166
DARI REDAKSI Salam Hormat, Puji syukur tidak hentinya kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya jurnal hukum LEGISLATIF Volume 3 Nomor 1, Desember 2019 oleh Lembaga Penalaran dan Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (LP2KI FH-UH). Terbitan pertama edisi ketiga ini memuat 9 (sembilan) artikel yang terdiri dari artikel konseptual dan hasil penelitian dari mahasiswa Fakultas Hukum se-Indonesia. Pada kesempatan kali ini, redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis dan tim penyusun atas kerjasamanya, sehingga penerbitan jurnal hukum LEGISLATIF edisi kali ini dapat dirampungkan sesuai jadwal. Terima kasih pula kepada seluruh pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung mulai proses penyusunan hingga penerbitan dapat berjalan dengan baik. Redaksi menyadari bahwa dalam terbitan ini masih terdapat sejumlah kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan masukan, kritik, dan saran yang relevan dan membangun dari segenap pembaca demi perbaikan terbitan selanjutnya. Besar harapan kami agar edisi berikutnya dapat lebih baik lagi dalam menerbitkan tulisan hukum yang bermanfaat bagi para pembaca. Selamat Membaca
Redaksi
1 PEMOTONGAN UPAH DAN ASURANSI PEER-TO-PEER LENDING UNTUK MELINDUNGI KREDITUR DALAM MEWUJUDKAN AKSESIBILITAS KREDIT MASYARAKAT Dimas Almansyah1, I Gusti Agung Indiana R2, Dwi Cahyani Putri3 1
2
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. E-mail: Arkloas@gmail.com Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. E-mail: gungindiana@gmail.com 3 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. E-mail: dcputri@gmail.com
Abstrak: Perkembangan teknologi beberapa tahun terakhir telah melatarbelakangi terciptanya suatu sistem layanan keuangan berbasis teknologi informasi. Salah satu layanan yang muncul di era Industri 4.0 ini adalah layanan kredit Peer-toPeer Lending (selanjutnya disebut “P2P Lending�). Kemudahan peminjaman dana dan syarat administrasi yang jauh lebih mudah dibandingkan kredit di lembaga keuangan lainnya menjadi alasan dari meningkatnya popularitas layanan ini. Akan tetapi, isu penting yang perlu disoroti terkait P2P Lending adalah minimnya perlindungan terhadap Kreditur selaku pemberi pinjaman. Hal mengakibatkan menurunnya minat Kreditur untuk memberikan pinjaman, yang mana akan menghambat aksesibilitas kredit. Penulis menyimpulkan bahwa suatu skema penjaminan baru dalam P2P Lending dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Karya tulis ini memberikan analisis terhadap dua poin penting. Pertama, terhadap mekanisme penjaminan yang saat ini berlaku dalam P2P Lending dan dampak yang mungkin timbul dari sistem penjaminan tersebut. Kedua, penjelasan dan implementasi terkait skema Pemotongan Upah dan Asuransi yang biasa digunakan oleh Bank untuk diimplementasi dalam penjaminan P2P Lending. Kata Kunci: Asuransi; P2P Lending; Pemotongan Upah; Perlindungan Kreditur; 1. Pendahuluan Dewasa ini, sektor keuangan di era industri 4.0 berkembang sangat pesat dengan hadirnya layangan keuangan berbasis teknologi informasi atau financial technology (fintech).1 Fintech menciptakan proses transaksi keuangan yang lebih praktis dibandingkan dengan perbankan konvensional. 2 Fintech yang saat ini berkembang sangat pesat adalah Layanan pinjam-meminjam uang berbasis
1
Santi, E., Budiharto, B. & Saptono, H. (2017). Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016). Diponegoro Law Journal, 6(3). 2 Harahap, B. et al. (2017). Perkembangan Financial Technology Terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) Terhadap Transmisi Kebijakan Moneter dan Makroekonomi. Bank Indonesia Working Paper, hlm. 2.
2 teknologi informasi atau P2P Lending. 3 Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan Financial Technology dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi mengatakan, P2P Lending di Indonesia telah berhasil membuka lapangan pekerjaan hingga 250.000 orang dan menyalurkan Rp. 25 triliun pada akhir tahun 2018.4 P2P Lending berkembang pesat karena kemudahan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengakses kredit dalam P2P Lending. 5 Selain itu, P2P Lending sudah menjangkau 5.160.120 nasabah per Januari 2019 karena Peminjam atau Debitur P2P Lending berasal dari masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan tetapi disisi lain mereka sudah memiliki ponsel yang bisa mengakses layanan P2P Lending, sehingga layanan P2P Lending dapat menjangkau sampai daerah terpencil.6 Sangat disayangkan sekali, terdapat banyak permasalahan di balik kemudahan yang diperoleh masyarakat ketika menggunakan P2P Lending. 7 Masalah yang lazim dialami oleh debitur untuk mengakses kredit ialah tidak adanya aset bernilai yang mereka miliki untuk dijadikan jaminan. 8 Hal ini mnyebabkan banyak penyelenggara P2P Lending yang menawarkan sistem P2P Lending tanpa jaminan namun dengan bunga yang sangat tinggi.9 Selain itu, penyelenggara P2P Lending juga dilarang untuk memberikan jaminan atas pemenuhan kewajiban pihak Debitur sebagaimana dimaksud dalam 3
Anggraeni, R. (2018). Ini Penyebab Pinjam Meminjam Online Berkembang Sangat Pesat. [Online]Tersedia di: https://ekbis.sindonews.com/read/1347783/178/ini-penyebab-pinjammeminjam-online-berkembang-pesat-1540027464 [Diakses pada 4 Juli 2019]. 4 Laucereno, S. (2018). OJK Ada 9 Juta Transaksi Fintech di RI. [Online] Tersedia di: https://finance.detik.com/moneter/d-4340505/ojk-ada-9-juta-transaksi-fintech-di-ri [Diakses pada 26 Juni 2019] 5 Baihaqi, J. (2018). Financial Technology Peer-To-Peer Lending Berbasis Syariah di Indonesia. Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, 1(2). 120. 6 indonesia.go.id, (2019). Jasa Peer to Peer Lending Semakin Seksi. [Online] Tersedia di: https://www.indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/jasa-peer-to-peer-lendingsemakin-seksi [Diakses pada 26 Juni 2019]. 7 Rossiana, G. (2019). Fintech P2P Lending Habis Mudah Terbitlah Masalah. [Online] Tersedia di: https://www.bareksa.com/id/text/2019/01/08/fintech-p2p-lending-habis-mudah-terbitlahmasalah/21262/analysis[Diakses pada 26 Juni 2019]. 8 Johnston, D., & Morduch, J. (2008). The Unbanked: Evidence from Indonesia. The World Bank Economic Review, 22(3), hlm. 517–537. Diakses dari http://doi.org/10.1093/wber/lhn016,. 9 Yanna, Y. (2018). Disebut Renternir Digital Fintech Bela Diri Soal Bunga Tinggi. [Online] Tersedia di: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180306181229-78-280916/disebutrentenir-digital-fintech-bela-diri-soal-bunga-tinggi[Diakses pada 26 Juni 2019].
3 Pasal 43 huruf c POJK No. 77 /POJK.01/2016.10 Pelarangan Penyelenggara P2P Lending memberikan jaminan disebabkan sistem P2P Lending ini hanya sebatas tempat penyelenggara mempertemukan pihak Kreditur dan Debitur.11 Tidak adanya jaminan dari Debitur maupun Penyelenggara P2P Lending menyebabkan tidak ada yang menjamin Kreditur apabila Debitur default atau gagal bayar.12 Selain itu, Kreditur juga memiliki risiko Debitur kabur meskipun telah dilakkanya seleksi kredit ketat untuk meminimalkan kemungkinan kaburnya Debitur.
13
Dikarenakan
penyelenggara P2P Lending seperti layaknya
marketplace yang tidak mewajibkan antara Kreditur dan Debitur untuk bertatap muka.
14
Apabila Debitur gagal bayar atau kabur, Kreditur juga harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jika ingin menagih utang Debitur.15 Perlu adanya layanan P2P Lending yang memberikan perlindungan bagi Kreditur dalam rangka mewujudkan kemudahan aksesibilitas kredit terhadap masyarakat. Pemberian perlindungan bagi Kreditur dalam P2P Lending juga akan menambahkan jumlah Kreditur P2P Lending16 sehingga akan lebih memberikan kemudahan aksesibilitas kredit terhadap masyarakat karena suplai pemberian kredit bertambah. Agar P2P Lending dapat memberikan perlindungan bagi Kreditur dalam rangka mewujudkan kemudahan aksesibilitas kredit terhadap masyarakat, Layanan P2P Lending dapat mengikuti sistem pemberian kredit perbankan dengan Pemotongan Upah pekerja. Perbankan menerapkan sistem di mana debitur membayarkan utang dengan gaji yang dipotong oleh perusahaan tempat 10
Pasal 43 C POJK No. 77/POJK.01/2016 Pasal 1 angka 3 POJK No. 77/POJK.01/2016 12 Whidiyanto, F. (2019). Mengintip Nasib Dana Investor di P2P Lending. [Online] Tersedia di: https://www.beritasatu.com/investor/532806-mengintip-nasib-dana-investor-di-p2plending.html [Diakses pada 25 Juni 2019]. 13 Andreas, D. (2018). Aftech: Perusahaan Fintech Harus Seleksi Ketat Calon Peminjam Uang. [Online] Tersedia di: https://tirto.id/aftech-perusahaan-fintech-harus-seleksi-ketat-calonpeminjam-uang-cN7g[Diakses pada 25 Juni 2019]. 14 Investree, n.d., Bagaimana Cara Kerja Peer to Peer Lending?. [Online] Tersedia di: https://www.investree.id/how-it-works [Diakses pada 25 Juni 2019]. 15 Djumina, E. (2011). Biaya Menagih Utang di Indonesia. [Online] Tersedia di: https://lifestyle.kompas.com/read/2011/04/07/15125950/biaya.menagih.utang.di.indonesia [Diakses pada 25 Juni 2019]. 16 Rakhma, S. (2017). Jamin Keamanan Pembiayaan Fintech Amartha Gandeng Jamkrido. [Online] Tersedia di: https://ekonomi.kompas.com/read/2017/09/05/111220726/jamin-keamananpembiayaan-fintech-amartha-gandeng-jamkrindo [Diakses pada 26 Juni 2019]. 11
4 debitur bekerja untuk dibayarkan kepada pihak Bank.17Bank juga bekerja sama dengan perusahaan asuransi untuk menanggulangi risiko apabila Debitur terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).18 Apabila layanan P2P Lending menggunakan sistem Pemotongan Upah dan Asuransi, Kreditur akan terlindungi dari Debitur yang gagal bayar dan/atau kabur, karena upah Debitur akan terus dipotong untuk membayar utang. Selain itu, SK Pengangkatan Pekerja milik debitur juga akan mengurangi risiko Debitur kabur dan apabila Debitur terkena PHK, perusahaan asuransi akan membayarkan utang debitur kepada kreditur sehingga mengurangi risiko gagal bayar. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk mengajukan konsep Pemotongan Upah dan Asuransi yang sudah biasa digunakan kredit perbankan untuk diterapkan dalam penyelenggaraan layanan P2P Lending, demi terlaksananya upaya perlindungan untuk Kreditur dalam rangka mewujudkan aksesibilitas kredit masyarakat. Secara khusus, penulisan ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi pemerintah untuk menerapkan sistem implementasi P2P Lending dengan Pemotongan Upah dan Asuransi untuk menunjang perlindungan kreditur dalam mewujudkan kemudahan aksesibilitas kredit masyarakat. Selain itu, diharapkan pula dapat menambah wawasan pembaca di bidang hukum sebagai bekal untuk berkontribusi sebagai praktisi atau akademisi hukum. Tujuan Penulis dalam karya tulis ini ilmiah ini secara objektif adalah: Pertama, untuk menganalisis pengaturan P2P Lending di Indonesia dalam memberikan
perlindungan
bagi
Kreditur.
Kedua,
untuk
menganalisis,
merumuskan, dan menerapkan konsep P2P Lending dengan Pemotongan Upah untuk menunjang perlindungan kreditur dalam mewujudkan kemudahan aksesibilitas kredit masyarakat. 2. Analisis 2.1 P2P Lending dan perlindungan yang diberikan bagi kreditur P2P Lending memiliki popularitas yang semakin meningkat di kalangan
17 18
Darmawan, D. (2009). Kaya dari Bisnis Properti (hlm. 46). Jakarta: Visimedia Pustaka. bumn.go.id, (2005). Jasindo-BNI Life Garap Nasabah Kredit Perbankan. [Online] Tersedia di: http://www.bumn.go.id/jasindo/berita/46 [Diakses pada 26 Juni 2019].
5 masyarakat karena kemudahan penggunanya.19 Seiring penggunaan P2P Lending, hukum Indonesia tentang pasar digital saat ini masih belum dapat mengakomodasi perlindungan pemberi pinjaman dalam ranah P2P Lending. Hal ini bukan hanya akan menyulitkan masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap aset yang dapat dijaminkan, tetapi juga menempatkan kreditur dalam posisi yang rentan dengan kerugian apabila pemberian dana tetap dilaksanakan. Analisa terhadap pengaturan P2P Lending di Indonesia kemudian akan dikaji dan dijabarkan melalui beberapa poin sebagai berikut: 1.
Jaminan dan P2P Lending di Indonesia
Jaminan secara singkat diartikan sebagai suatu upaya perlindungan yang bersifat preventif dalam hal Debitur tidak dapat memenuhi kewajiban kredit sebagaimana mestinya.
20
Hukum penjaminan yang diperkenalkan dalam
KUHPerdata dibagi dalam dua kategori, yaitu jaminan yang bersifat umum 21 dan khusus,22 yang mana keduanya akan menjadi relevan dalam pembahasan tentang sistem penjaminan dalam P2P Lending. Pada praktiknya, jaminan khusus merupakan bentuk perjanjian yang sifatnya pilihan atau fakultatif, sehingga posisi dari jaminan khusus bukanlah unsur esensialia atau yang wajib ada dalam perjanjian pokok kredit.23 Hal yang sama juga berlaku kepada mekanisme pelaksanaan peminjaman berbasis teknologi, yang mana sudah diatur melalui POJK No. 77 /POJK.01/2016. Perjanjian P2P Lending antara pemberi dengan penerima dana wajib untuk dituangkan dalam suatu Dokumen Elektronik, 24 yang mengharuskan untuk memuat beberapa hal, salah satunya adalah “objek jaminan (jika ada)� yang artinya keberadaaan objek jaminan tidak diwajibkan dalam penyelenggaraan P2P Lending.25 Kondisi ini memposisikan kegiatan P2P Lending secara normatif di
19
Iyer, R. et al. (2009). Screening in New Credit Markets: Can Individual Lenders Infer Borrower Creditworthiness in Peer-to-Peer Lending?. s.l., AFA 2011 Denver Meetings Paper, hlm. 1. 20 Harun, B. (2010). Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah (hlm. 67). Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 21 Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut “KUHPerdata�). 22 Pasal 1132 KUHPerdata. 23 Bahsan, M. (2007). Hukum jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia (hlm. 14). Jakarta: Raja Grafindo Persada. 24 Pasal 20 ayat (1) POJK No. 77 /POJK.01/2016. 25 Pasal 20 ayat (2) huruf (i) POJK No. 77 /POJK.01/2016.
6 Indonesia dalam posisi riskan bilamana peminjam dana dalam situasi default26 atau tidak dapat memenuhi kewajibannya. Kreditur akan lebih terlindungi apabila terdapat objek jaminan khusus dalam perjanjian P2P Lending. Adanya suatu jaminan khusus membuat seorang Kreditur sebagai Kreditur Separatis,27 artinya ia bisa memperoleh pelunasan dari hasil penjualan harta kekayaan debitur terlebih dahulu dibandingkan kreditur lainnya karena harta kekayaan tersebut telah dijaminkan sebelumnya.28 Sebaliknya, jika tidak ada objek jaminan khusus, Kreditur secara otomatis hanya akan mendapat perlindungan jaminan umum sesuai ketentuan undangundang (unsur naturalia) dan berkedudukan sebagai Kreditur Konkuren. 29 Jaminan umum dalam hal ini berarti bahwa Debitur menjaminkan segala ‘barangbarang bergerak dan tidak bergerak’ milik Debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada.30 Akibatnya, ketika Kreditur Konkuren bersaing satu dengan yang lainnya untuk memperoleh pembayaran dari hasil penjualan harta kekayaan debitur, sehingga kedudukannya tidak diutamakan dalam pelunasan.31 Penyelenggaraan P2P Lending tanpa objek jaminan khusus membuat Kreditur berkedudukan sebagai Kreditur Konkuren yang tidak didahulukan pelunasannya. Oleh karena itu, pinjaman tanpa objek jaminan khusus dalam penyelenggaraan P2P Lending tidaklah memberikan perlindungan kepada Kreditur dengan baik, apalagi Debitur mudah kabur begitu saja mengingat para pihak tidak pernah bertemu. OJK tidak pernah mengungkapkan alasan hukum yang mendasari tidak komprehensifnya ruang lingkup pengaturan penjaminan dalam POJK No. 77/POJK.01/2016. Namun, jika dilihat dari perspektif lain, legal vacuum terhadap penjaminan dalam P2P Lending sangat dipengaruhi oleh unsur ekonomi dan administratif. P2P Lending dimulai dengan pengadopsian sistem peminjaman 26
Choudhry, M. (2012). The Principles of Banking (hlm. 132). Singapore: John Wiley & Sons. Ishak. (2016). Perdamaian Antara Debitor dan Kreditor Konkuren Dalam Kepailitan. Jurnal Ilmu Hukum, 18(1). 137. 28 Sjahdeini, S.R. (2002). Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (hlm. 280). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 29 Hasbullah, F.H. (2002). Hukum Kebendaan Perdata: Hak Hak yang Memberi Jaminan (hlm. 8). Jilid 2 ed. Jakarta: IHC. 30 Pasal 1131 KUHPerdata. 31 Sastrawidjaja, M. S. (2010). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (hlm. 127). Bandung: Alumni. 27
7 dana tradisional yang dilakukan antara subjek privat atau sering disebut dengan private loans.
32
Simpan-pinjam dana tanpa melalui institusi keuangan,
spesifiknya Bank, terbukti lebih mudah untuk diproses dan lebih cepat untuk diterima. Hal ini karena permohonan debitur kepada Bank dalam Perjanjian Kredit Bank umumnya akan intervensi terlebih dahulu dengan informasi finansial berverifikasi terhadap calon debitur terlebih dahulu untuk dilakukan screening atau analisis profil debitur.33 Setiap penyelenggara P2P Lending memiliki prasyarat yang berbeda-beda untuk para debitur, namun P2P Lending secara umum merupakan metode peminjaman dana yang jauh lebih mudah 34 dibandingkan Bank, dan dapat dilakukan dari jarak jauh dengan menggunakan smartphone.35 Akibat dari proses yang lebih rumit untuk dilalui calon debitur di Bank, banyak pihak sekarang lebih memilih untuk meminjam dana secara online seperti ini. Bunga yang harus dibayarkan Debitur dalam P2P Lending lebih besar 36 dari margin bunga yang umumnya diberikan oleh Bank tidak akan menjadi pertimbangan yang terlalu signifikan bagi debitur yang memerlukan dana secara cepat. Bunga yang besar dalam penyelenggaraan pemberian kredit berimplikasi pada pengembalian uang yang besar kepada kreditur sehingga hingga sekarang masih terdapat penyelenggaraan P2P Lending tanpa jaminan khusus.37 Padahal, keuntungan yang akan didapat debitur tidaklah sebanding dengan risiko Kreditur tidak mendapatkan uangnya kembali.38
32
Herrero-Lopez, S. (2009). Social Interactions in P2P Lending (hlm. 19). Paris, Proceedings of the 3rd Workshop on Social Network Mining and Analysis. 33 Iyer, R. et al., Op. Cit., hlm. 2. 34 Hartanto, R., & Ramli, J. R. (2018). Hubungan Hukum Para Pihak dalam P2P Lending. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 25(2). 323. 35 OJK, n.d. FAQ Kategori Pengguna/Konsumen. [Online] Tersedia di: https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Documents/Pages/-FAQ-TerkaitLayanan-Pinjam-Meminjam-Uang-Berbasis-Teknologi-Informasi---KategoriKonsumen/FAQ%20LPMUBTI%20-%20Kategori%20Konsumen.pdf [Diakses pada 30 Juni 2019]. 36 Daniel, W. (2019). Kata OJK Soal Bunga Fintech yang Tinggi di Atas Perbankan. [Online] Tersedia di: https://www.cnbcindonesia.com/fintech/20190520220522-37-73740/kata-ojk-soalbunga-fintech-yang-tinggi-di-atas-perbankan [Diakses pada 14 Juli 2019]. 37 Kasmir, 2004. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya (hlm. 96-97). Jakarta: Raja Grafindo Indonesia. 38 Purnomo, H. (2018). Fintech atau Rentenir? Pinjam Rp3 Juta Kembalikan Rp4 Juta. [Online] Tersedia di: https://www.cnbcindonesia.com/fintech/20180305142753-37- 6264/fintech-ataurentenir-pinjam-rp-3-juta-kembalikan-rp-4-juta [Diakses pada 14 Juli 2019].
8 2.
Studi komparasi terhadap penjaminan P2P Lending dengan sistem Bank
Pelaksanaan P2P Lending sejatinya tidak berbeda jauh dengan tantangan yang timbul di pinjaman secara tradisional melalui Bank.39 Meskipun demikian, sistem penjaminan terhadap pinjaman yang dilakukan antara Kreditur dengan Debitur melalui platform masih abu-abu dalam tatanan hukum Indonesia. Perjanjian Kredit Bank oleh Bank Konvensional di Indonesia merupakan bentuk kegiatan penyediaan dana dengan mekanisme utang piutang, dan proses tersebut didasarkan dengan kesepakatan pinjam meminjam yang dibentuk antara Bank sebagai Kreditur dengan pihak yang meminjam tersebut sebagai Debitur.40 Kredit melalui Bank juga dibebani dengan beberapa bentuk risiko, yang mana dapat terjadi karena beberapa hal, antara lain seperti risiko kredit terhadap pemenuhan kewajiban, 41 karena pada dasarnya pemberian kredit merupakan investasi berbentuk “risk assets� yaitu terdapat risiko tidak kembalinya dana atau kredit yang disalurkan tersebut. 42 Oleh karena itu, perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya menggunakan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (UU Perbankan).43 Pemberian kredit untuk Debitur yang tidak bisa memberikan jaminan yang mudah dilikuidasi, dalam rangka memenuhi prinsip kehati-hatian, Bank menawarkan sistem Pemotongan Upah bagi Debitur yang tidak bisa memberikan jaminan yang mudah dilikuidasi, dengan cara Debitur memberikan surat kuasa Pemotongan Upah kepada perusahaan tempat ia bekerja dan pihak Bank membuat perjanjian kerja sama dengan perusahaan tempat debitur bekerja untuk memotong upah debitur untuk dibayarkan kepada Bank.44 Dalam sistem Pemotongan Upah
39
Klafft, M. (2008). P2P Lending: Auctioning Microcredits over the Internet (hlm. 20). Dubai, Proceedings of the International Conference on Information Systems, Technology and Management. 40 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut “UU Perbankan�). 41 Harun, B., Op. Cit. hlm. 2. 42 Wahyuni, N. (2017). Penerapan Prinsip 5C dalam Pemberian Kredit sebagai Perlindungan Bank. Lex Journal, 1(1). 3. 43 Pasal 2 UU Perbankan. 44 Darmawan, D. Loc.cit
9 tersebut, Bank memberikan prasyarat yang mengharuskan Debitur menjaminkan secara gadai SK Pengangkatan Pekerja kepada Bank.45 Bank dalam sistem pemotongan Upah tersebut juga bekerja sama dengan perusahaan asuransi agar perusahaan asuransi menanggung kerugian apabila Debitur terkena PHK.46 Perusahaan asuransi sebelum memberikan pertanggungan perlu menganalisis profil debitur.47 Oleh karena itu, peran perusahaan asuransi bukan hanya memberikan pertanggungan, tetapi juga membantu Bank dalam mewujudkan prinsip kehati-hatian dengan cara menganalisis profil Debitur. Dengan adanya sistem Pemotongan Upah bersamaan dengan penjaminan SK Pengangkatan Pekerja serta Asuransi PHK dalam kredit perbankan tersebut membuat berkurangnya risiko debitur gagal bayar dan mengurangi risiko debitur kabur. Pemotongan Upah sebagai bentuk perlindungan untuk Kreditur dapat dilaksanakan dengan adanya surat kuasa Pemotongan Upah
48
dan SK
Pengangkatan Pekerja yang merupakan bentuk surat berharga sehingga secara hukum, memiliki hak tagih49 yang melekat di dalamnya. J. Satrio menyebutkan bahwa surat berharga semacam SK Pengangkatan Pekerja tidak tergolong sebagai bentuk jaminan kebendaan maupun perorangan, melainkan jaminan utang jenis hak istimewa yaitu hak kreditur untuk mendapatkan pelunasan utang lebih dahulu.50 Pasal 57 ayat 3 PP Pengupahan menyatakan surat kuasa pemotongan Upah setiap saat dapat ditarik kembali oleh pekerja.51 Hal ini akan menyulitkan apabila sistem Pemotongan Upah diterapkan dalam P2P Lending. Bank dapat menjalankan sistem Pemotongan Upah karena Bank memiliki banyak kerja sama dengan debt collector sehingga dapat mengurangi risiko apabila Debitur kabur
45
Darmawan, D., ibid. hlm. 45. Darmawan, D., ibid. hlm. 44. 47 Martono, T. (2013). Pelaksanaan Asuransi Kredit Perdagangan di PT Asuransi Kredit Indonesia (ASKRINDO) Surakarta (hlm. 7). Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta: Skripsi. 48 Pasal 57 ayat (2) PP Pengupahan. 49 Widjaja, G & Yani, A. (2000). Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia (hlm. 32). Jakarta: Raja Grafindo Persada. 50 Satrio, J. (1991). Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan (hlm. 11). Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 51 Pasal 57 ayat 3 PP Pengupahan. 46
10 dengan mencabut surat kuasa Pemotongan Upah tersebut. 52 Sedangkan, Kreditur dalam penyelenggaraan P2P Lending harus membayar biaya penagihan debt collector yang tidak sebanding dengan uang yang dipinjamkan.53 Berbeda dengan sistem kredit oleh perbankan, P2P Lending yang tidak mewajibkan penjaminan pada umumnya mengimplementasikan berbagai metode mitigasi risiko. Sebagai referensi, Akseleran (PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia) sebuah perusahaan P2P Lending berbasis di Indonesia memberlakukan suatu penilaian terhadap kelayakan dan penilaian risiko sebagai upaya mitigasi.54 Metode ini dilakukan dengan mempertimbangkan internal scoring system atau audit pelaku usaha55 yang nantinya akan menentukan besaran bunga kredit dari peminjaman dana tersebut. Penyelenggara P2P Lending memang wajib untuk memberikan mitigasi risiko56 dari proses pemberian dana, namun bentuk mitigasi ini tidak pernah secara spesifik ditentukan oleh OJK. Bahkan, Penyelenggara P2P Lending yang bernama Investree menggunakan upaya mitigasi risiko gagal bayar hanya dengan cara memberitahukan kepada Kreditur untuk segera membayar utang. 57 OJK hanya memberikan batasan bahwa Penyelenggara P2P Lending tidak boleh memberikan jaminan apa pun.114 Konsekuensi dari peraturan saat ini adalah tidak semua Penyelenggara mengimplementasikan upaya mitigasi yang dapat mengembalikan uang Kreditur. Oleh karena itu, penulis memberikan suatu masukan sebagai upaya perlindungan Pemberi Dana melalui sistem penjaminan yang lebih efektif dan efisien dalam memberikan perlindungan kepada Kreditur melalui Pemotongan Upah Debitur dan Asuransi yang sudah biasa dilakukan dalam perbankan. 52
Finance, D. (2011). Membedah Cara Kerja Debt Collector. [Online] Tersedia di: https://finance.detik.com/wawancara-khusus/d-1632835/membedah-cara-kerja-debt-collector [Diakses pada 11 Juli 2019]. 53 Rizki, M.J. (2018). Mekanisme Penagihan Utang Fintech Jadi Sorotan. [Online] Tersedia di: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b3cbbda14176/mekanisme-penagihan-utangfintech-jadi-sorotan/ [Diakses pada 14 Juli 2019]. 54 Akseleran, n.d. Info Penilaian Risiko. [Online] Tersedia di: https://www.akseleran.com/infopenilaian-risiko [Diakses pada 3 Juli 2019]. 55 Walter, P., n.d. Dana Proteksi KoinWorks, Sebuah Inisiatif Demi Menjamin Keamanan Investasi. [Online] Tersedia di: https://koinworks.com/blog/dana-proteksi-koinworks-keamanan-investasi/ [Diakses pada 3 Juli 2019]. 56 Pasal 21 POJK No. 77/POJK.01/2016. 57 Investree, n.d. Ketahui Risikonya untuk Mendanai Secara Cermat. [Online] Tersedia di: https://www.investree.id/how-it-works/know-your-risk [Diakses pada 10 Juli 2019].
11 2.2 Implementasi P2P Lending dengan Pemotongan Upah dan Asuransi Untuk Menunjang Aksesibilitas Masyarakat dalam Mewujudkan Aksesibilitas Kredit Masyarakat Masyarakat kesulitan mengakses layanan meminjam uang dengan P2P Lending karena tidak mempunyai jaminan yang mempunyai nilai likuidasi sehingga terdapat penyelenggaraan P2P Lending yang tidak menggunakan jaminan.58 Dengan tidak adanya jaminan maka kreditur akan dirugikan karena mempunyai risiko lebih tinggi apabila Debitur gagal bayar.
59
Padahal,
perlindungan Kreditur yang baik juga akan meningkatkan minat Kreditur untuk memberikan pinjaman sehingga akan lebih memberikan kemudahan aksesibilitas kredit terhadap masyarakat karena suplai pemberian kredit bertambah. Penyelenggaraan P2P Lending dengan Pemotongan Upah dan Asuransi merupakan sebuah skema P2P Lending yang dapat menunjang perlindungan bagi Kreditur yang berimplikasi pada peningkatan kemudahan aksesibilitas masyarakat menerima kredit dengan P2P Lending sekaligus melindungi Kreditur. Skema tersebut adalah penerapan Pemotongan Upah dan Asuransi dalam kredit perbankan yang diterapkan dalam P2P Lending. Adapun secara lebih rinci ketentuan terkait Penyelenggaraan P2P Lending dengan Pemotongan Upah dan Asuransi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Mekanisme Penyelenggaraan P2P Lending dengan Pemotongan Upah Bank dalam memberikan kredit menggunakan Pemotongan Upah dengan cara Debitur memberikan surat kuasa Pemotongan Upah untuk pihak ketiga 60 dan Bank juga melakukan perjanjian kerja sama dengan perusahaan tempat Debitur bekerja yang mewajibkan perusahaan tempat debitur bekerja memotong upah debitur sebagai pekerja untuk dibayarkan ke Bank.61 Selain itu, Bank mempunyai syarat tambahan yaitu Debitur harus menjaminkan secara gadai SK Pengangkatan 58
Freedman, D. M. & Nutting, M. R. (2015). A Brief History of Crowdfunding Including Rewards, Donation, Debt, and Equity Platforms in the USA (P .3). [Online] Tersedia di: https://www.freedman- chicago.com/ec4i/History-of-Crowdfunding.pdf [Diakses pada 8 Juli 2019]. 59 Bahsan, M. op. cit, hlm. 4 (2007). 60 Siregar, E.S. (2009). Analisis Yuridis terhadap Pemberian Kredit dengan Jaminan SK Pegawai oleh PT. BRI (Persero) Kantor Cabang Iskandar Muda Medan. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan: Tesis, hlm. 36. 61 Ibid, hlm. 39.
12 Pekerja milik Debitur.62 Penyelenggaraan Pemotongan Upah dalam kredit Bank tersebut dapat diterapkan dalam penyelenggaraan P2P Lending dengan skema yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Skema P2P Lending dengan Pemotongan Upah
Secara lebih rinci skema penyelenggaraan P2P Lending dengan pemotongan Upah dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Kreditur menyerahkan sejumlah uang kepada Penyelenggara P2P Lending untuk diserahkan kepada Debitur dan sebagian untuk pembayaran premi asuransi; (2) Sebelum Debitur dapat menerima uang, Debitur harus menjaminkan SK Pengangkatan Pekerja secara gadai kepada Kreditur lewat Penyelenggara P2P Lending ; (3) Selain itu, Debitur juga harus memberikan surat kuasa Pemotongan Upah ke perusahaan Debitur bekerja; (4) Setelah itu, Penyelenggara P2P Lending dengan perusahaan Debitur membuat perjanjian kerja sama Pemotongan Upah Debitur untuk dibayarkan kepada Penyelenggara P2P Lending; (5) Selanjutnya, Penyelenggara P2P Lending mengirimkan uang ke Debitur; (6) pada saat jatuh tempo, perusahaan Debitur bekerja membayarkan sejumlah uang yang berasal dari upah pekerja kepada Penyelenggara P2P Lending; dan (7) Penyelenggara P2P Lending akan menyerahkan uang yang telah dibayarkan perusahaan Debitur bekerja kepada Kreditur. 2. Mekanisme Penyelenggaraan Asuransi dalam P2P Lending Dengan Pemotongan Upah Penyelenggaraan P2P Lending dengan Pemotongan Upah mempunyai risiko apabila Debitur terkena PHK. Oleh karena itu, diperlukan penanggulangan risiko walaupun jumlah PHK di Indonesia relatif tidak terlalu besar.63 Bank dalam 62 63
Ibid, hlm. 69 Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia pada Tahun 2017, angka tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja sebanyak 9.822 orang dan pada per September Tahun 2018 turun ke posisi 3.362 (Kontan. (2018). Kemnaker Jumlah PHK per
13 pemberian kredit dengan Pemotongan Upah menggunakan Asuransi untuk menanggulangi risiko Debitur terkena PHK.
64
Oleh karena itu, dalam
Penyelenggaraan P2P Lending dengan Pemotongan Upah juga dapat menggunakan Asuransi untuk menanggulangi risiko Debitur terkena PHK. Skema penyelenggaraan Asuransi dalam P2P Lending dengan Pemotongan Upah dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2: Skema asuransi dalam P2P Lending dengan Pemotongan Upah
Secara lebih rinci skema penyelenggaraan Asuransi dalam P2P Lending dengan Pemotongan Upah dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Perusahaan Asuransi dan Kreditur dipertemukan melalui aplikasi untuk melakukan perjanjian pertanggungan atas risiko Debitur terkena PHK; (2) Kreditur melakukan pembayaran premi lewat Penyelenggara P2P Lending; dan (3) Penyelenggara P2P Lending menyerahkan uang pembayaran premi kepada perusahaan asuransi. 3. Surat Ketetapan Pengangkatan Pekerja Sebaggai Jaminan Sebagian Bank yang memberikan kredit dengan sistem Pemotongan Upah juga mempunyai syarat tambahan yaitu debitur harus menjaminkan SK Pengangkatan Pekerja. 65 Namun, penjaminan SK Pengangkatan Pekerja belum lazim digunakan dalam P2P Lending bahkan terdapat penyelenggaraan P2P Lending tanpa memberikan jaminan apa pun. 66 Padahal, dengan jaminan SK September 2018 Sebanyak 3362 Orang. [Online] Tersedia di: https://nasional.kontan.co.id/news/kemnaker- jumlah-phk-per-september-2018-sebanyak-3362orang [Diakses pada 13 Juni 2019]). 64 OJK, n.d. Asuransi Kredit dan Asuransi Kredit PHK. [Online] Tersedia di: https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/99 [Diakses pada 13 Juni 2019]. 65 Finance, D., n.d. Pinjaman Bank Juga Bisa Pakai Jaminan Fotokopi SK. [Online] Tersedia di: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2679298/pinjaman-bank-juga-bisa-pakaijaminan-fotokopi-sk[Diakses pada 12 Juni 2019]. 66 Yadika, B. (2018). Terungkap, Alasan Fintech Beri Pinjaman Tanpa Jaminan. [Online] Tersedia di: https://www.liputan6.com/bisnis/read/3678042/terungkap-alasan-fintech-beri- pinjamantanpa-jaminan [Diakses pada 12 Juni 2019].
14 Pengangkatan Pekerja akan menghindari risiko Debitur kabur karena SK Pengangkatan Pekerja dapat digunakan untuk menganalisis risiko Debitur gagal bayar serta dapat menjadi bukti bagi Debitur sebagai Pekerja apabila terjadi perselisihan di kemudian hari terutama untuk menghitung masa kerja.67 Bank adalah pihak yang menerima jaminan SK Pengangkatan Pekerja dalam pinjaman kredit bank.68 Sedangkan, penjaminan SK Pengangkatan Pekerja dalam P2P Lending yang penulis tawarkan, Penyelenggara P2P Lending bukan sebagai penerima jaminan tetapi sebagai penerima kuasa dari Kreditur untuk menyimpan SK Pengangkatan Pekerja, mengingat Penyelenggara P2P Lending hanya pihak yang menghubungkan kreditur dengan debitur. 69 Adapun skema penjaminan SK Pengangkatan Pekerja dalam P2P Lending dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3: Skema penjaminan SK Pengangkatan Pekerja dalam P2P Lending
Secara lebih rinci skema penjaminan SK Pengangkatan Pekerja dalam P2P Lending dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) Debitur dan Kreditur membuat perjanjian penjaminan SK Pengangkatan Pekerja secara gadai sebagai perjanjian accesoir atau perjanjian tambahan dari utang piutang antara Debitur dengan Kreditur;127 (2) Kreditur memberikan kuasa kepada penyelenggara P2P Lending untuk menyimpan SK Pengangkatan Pekerja milik Debitur; (3) dan Debitur menyerahkan SK Pengangkatan Pekerja miliknya kepada penyelenggara P2P Lending serta debitur dapat mengirimkannya melalui kurir atau jasa pengiriman barang. 67
Ayu, T. J. (2016). Jika Perusahaan Tidak Mengeluarkan Surat Pengangkatan Pegawai. [Online] Tersedia di: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5616a04ead534/jikaperusahaan-tidak-mengeluarkan-surat-pengangkatan-pegawai/ [Diakses pada 12 Juni 2019]. 68 Winarno, J. (2013). SK Pegawai Negeri Sebagai Jaminan Kredit di Bank. Jurnal Karya Pendidikan, 1(2). 7. 69 Layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. (Pasal 1 angka 3 POJK No. 77/POJK.01/2016).
15 4. Surat Kuasa Pemotongan Upah Debitur PP Pengupahan memperbolehkan Pengusaha melakukan pemotongan Upah paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh. 70 Selain itu, Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat 2 PP Pengupahan. 71 PP Pengupahan tidak membatasi pihak ketiga yang dapat memperoleh uang dari Pemotongan Upah tersebut. Oleh karena itu Debitur lewat Penyelenggara P2P Lending dapat menjadi pihak ketiga dalam Pemotongan Upah yang dimaksud dalam Pasal 57 ayat 2 PP Pengupahan. Pasal 57 ayat 3 PP Pengupahan mensyaratkan surat kuasa sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 ayat 2 setiap saat dapat ditarik kembali.72 Aturan tersebut akan mempersulit jalannya penyelenggaraan P2P Lending dengan Pemotongan Upah, karena Debitur berhak menarik surat kuasanya walaupun hutangnya belum dibayarkan seluruhnya. Tentu hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum73 yang membuat Kreditur akan dirugikan. Penyelenggaraan P2P Lending dengan Pemotongan Upah yang penulis tawarkan dapat berjalan apabila terdapat pengaturan secara khusus (lex specialis) yang dapat mengesampingkan Pasal 57 ayat 3 PP Pengupahan sebagai aturan yang lebih umum.74 Oleh karena itu, Pemerintah/Legislator perlu membuat peraturan secara khusus yang memperbolehkan Pekerja sebagai Debitur menjanjikan tidak akan menarik surat kuasa Pemotongan Upah untuk pihak ketiga apabila masih terdapat utang yang belum dibayarkan dalam penyelenggaraan P2P Lending. 5. Keunggulan P2P Lending dengan Pemotongan Upah dan Asuransi Program P2P Lending dengan Pemotongan Upah dan Asuransi Yang penulis telah tawarkan memiliki 6 (enam) keunggulan apabila diimplementasikan: (1) Debitur yang tidak memiliki benda dengan nilai likuidasi sebagai jaminan dapat 70
Pasal 58 PP Pengupahan. Pasal 57 ayat 2 PP Pengupahan. 72 Pasal 57 ayat 3 PP Pengupahan. 73 Wantu, F. M. (2007). Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim. Jurnal Berkala Mimbar Hukum, 19(3). 193. 74 Manan, B. (2004). Hukum Positif Indonesia (hlm. 58). Yogyakarta: UII Press. 71
16 menggunakan SK Pengangkatan Pekerja serta memberikan Surat Kuasa Pemotongan Upah sehingga meningkatkan aksesibilitas masyarakat untuk meminjam uang dengan P2P Lending sekaligus memberikan perlindungan kepada kreditur; (2) Berpotensi meningkatkan jumlah pemberian kredit dalam P2P Lending sehingga meningkatkan aksesibilitas kredit masyarakat sekaligus mengurangi tingginya suku bunga P2P Lending; (3) Kreditur seminimal mungkin tidak mengeluarkan biaya penagihan karena terdapat Pemotongan Upah debitur sehingga penagihan juga menjadi lebih mudah; (4)Minimnya risiko Debitur kabur dan gagal bayar karena terdapat Penjaminan SK Pengangkatan Pekerja dan Pemotongan Upah Debitur yang akan dibayarkan perusahaan tempat debitur bekerja; (5) perusahaan asuransi akan menanggung risiko Kreditur apabila Debitur terkena PHK; dan (6) Analisa kemampuan Debitur mengembalikan pinjaman beserta bunga yang dijanjikan tidak hanya dilakukan oleh Penyelenggara P2P Lending, tetapi juga perusahaan asuransi sehingga dapat meminimalkan risiko Debitur gagal bayar. 3. Penutup 3.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan atas rumusan masalah di atas, Penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1.
Pengaturan P2P Lending di Indonesia dinilai belum memberikan perlindungan bagi Kreditur dikarenakan masih terdapat berbagai faktor yang menghambat diantaranya: pertama, peraturan perundang-undangan tidak mewajibkan keberadaan jaminan khusus dalam perjanjian P2P Lending sehingga memunculkan banyak penyelenggara P2P Lending tanpa jaminan. Kedua, peraturan perundang-undangan melarang penyelenggara P2P Lending memberikan jaminan dalam bentuk apapun. Ketiga, tidak lazimnya sistem Pemotongan Upah yang digunakan dalam P2P Lending karena
peraturan
perundang-undangan
mensyaratkan
surat
kuasa
Pemotongan Upah dapat ditarik kembali kapan saja oleh pekerja. Keempat, peraturan perundang-undangan tidak menjelaskan bentuk mitigasi risiko yang harus dilakukan penyelenggara P2P Lending.
17 2.
Penerapan sistem Pemotongan Upah dalam penyelenggaraan P2P Lending merupakan sebuah skema yang dapat menunjang perlindungan bagi Kreditur yang berimplikasi pada peningkatan kemudahan aksesibilitas masyarakat menerima kredit dengan P2P Lending sekaligus melindungi Kreditur. 3.2 Saran
1.
Legislator perlu mengatur surat kuasa Pemotongan Upah yang tidak dapat ditarik kembali sampai dengan debitur membayar semua utang dalam P2P Lending dan mengatur sistem Pemotongan Upah dan asuransi dalam penyelenggaraan P2P Lending.
2.
Masyarakat harus memahami bahwa tingginya risiko uang tidak kembali dalam penyelenggaraan P2P Lending tanpa jaminan tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat dari bunga yang akan dibayarkan kreditur.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Asyhadie, Z. & Kusuma, R. (2019). Hukum Ketenagakerjaan dalam Teori dan Praktik di Indonesia. Jakarta: Prenadamedia. Bahsan, M. (2007). Hukum jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Choundhry, M. (2012). The Principles of Banking. Singapore: John Wiley & Sons. Darmawan, D. (2009). Kaya dari Bisnis Properti. Jakarta: Visimedia Pustaka. Hamdi, A. (2014). Metode Penelitian Kuantitatif Aplikasi dalam Pendidikan. Yogyakarta: Deepublish. Harun, B. (2010). Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah. Yogyakarta: Pustaka Yustisia. Hasbullah, F. H. (2002). Hukum Kebendaan Perdata: Hak Hak yang Memberi Jaminan. Jilid 2 ed. Jakarta: IHC.
18 Herrero-Lopez, S. (2009). Social Interactions in P2P Lending. Paris, Proceedings of the 3rd Workshop on Social Network Mining and Analysis. Kasmir. (2004). Bank & Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Raja Grafindo Indonesia. Manan, B. (2004). Hukum Positif Indonesia. Yogyakarta: UII Press. Muhadjir, N. (1996). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung:Tarsito. Sastrawidjaja, M. S. (2010). Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bandung: Alumni. Satrio, J. (1991). Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Sjahdeini, S. R. (2002). Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Widjaja, G. & Yani, A. (2000). Seri Hukum Bisnis: Jaminan Fidusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada. JURNAL Baihaqi, J. (2018). Financial Technology Peer-To-Peer Lending Berbasis Syariah di Indonesia. Tawazun: Journal of Sharia Economic Law, 1(2). Hartanto, R. & Ramli, J. R. (2018). Hubungan Hukum Para Pihak dalam P2P Lending. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 25(2). Ishak. (2016). Perdamaian Antara Debitor dan Kreditor Konkuren Dalam Kepailitan. Jurnal Ilmu Hukum, 18(1). Johnston, D. & Morduch, J. (2008). The Unbanked: Evidence from Indonesia. he World Bank Economic Review, 22(3). Santi, E., Budiharto, B. & Saptono, H. (2017). Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Financial Technology (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016). Diponegoro Law Journal, 6(3). Wahyuni, N. (2017). Penerapan Prinsip 5C dalam Pemberian Kredit sebagai Perlindungan Bank. Lex Journal, 1(1).
19 Wantu, F. M. (2007). Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim. Jurnal Berkala Mimbar Hukum, 19(3). Winarno, J. (2013). SK Pegawai Negeri Sebagai Jaminan Kredit di Bank. Jurnal Karya Pendidikan, 1(2). WEBSITE Akseleran, n.d. Info Penilaian Risiko. [Online] Tersedia di: https://www.akseleran.com/info-penilaian-risiko [Diakses pada 3 Juli 2019]. Andreas, D. (2018).Aftech: Perusahaan Fintech Harus Seleksi Ketat Calon Peminjam Uang. [Online] Tersedia di: https://tirto.id/aftech-perusahaanfintech-harus-seleksi-ketat-calon-peminjam-uang-cN7g [Diakses pada 25 Juni 2019]. Anggraeni, R. (2018). Ini Penyebab Pinjam Meminjam Online Berkembang Sangat Pesat. [Online]Tersedia di: https://ekbis.sindonews.com/read/1347783/178/ini-penyebab-pinjammeminjam-online-berkembang-pesat-1540027464 [Diakses pada 4 Juli 2019]. Ayu, T. J. (2016). Jika Perusahaan Tidak Mengeluarkan Surat Pengangkatan Pegawai. [Online] Tersedia di: https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5616a04ead534/jikaperusahaan-tidak-mengeluarkan-surat-pengangkatan-pegawai/ [Diakses pada 12 Juni 2019]. bumn.go.id. (2005). Jasindo-BNI Life Garap Nasabah Kredit Perbankan. [Online] Tersedia di: http://www.bumn.go.id/jasindo/berita/46[Diakses pada 26 Juni 2019]. Daniel, W. (2019). Kata OJK Soal Bunga Fintech yang Tinggi di Atas Perbankan. [Online] Tersedia di: https://www.cnbcindonesia.com/fintech/20190520220522-37-73740/kataojk-soal-bunga-fintech-yang-tinggi-di-atas-perbankan [Diakses pada 14 Juli 2019].
20 Djumina, E. (2011).Biaya Menagih Utang di Indonesia.[Online] Tersedia di: https://lifestyle.kompas.com/read/2011/04/07/15125950/biaya.menagih.ut an g.di.indonesia [Diakses pada 25 Juni 2019]. Finance, D. (2011). Membedah Cara Kerja Debt Collector. [Online] Tersedia di: https://finance.detik.com/wawancara-khusus/d-1632835/membedahcara- kerja-debt-collector [Diakses pada 11 Juli 2019]. Finance, D., n.d. Pinjaman Bank Juga Bisa Pakai Jaminan Fotokopi SK. [Online] Tersedia di: https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d2679298/pinjaman-bank-juga-bisa-pakai-jaminan-fotokopi-sk [Diakses pada 12 Juni 2019]. Freedman, D. M. & Nutting, M. R. (2015). A Brief History of Crowdfunding Including Rewards, Donation, Debt, and Equity Platforms in the USA. [Online] Tersedia di: https://www.freedman-chicago.com/ec4i/History-ofCrowdfunding.pdf [Diakses pada 8 Juli 2019]. indonesia.go.id. (2019). Jasa Peer to Peer Lending Semakin Seksi. [Online] Tersedia di: https://www.indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalamangka/ekonomi/jasa-peer-to-peer-lending-semakin-seksi [Diakses pada 26 Juni 2019]. Investree, n.d. Bagaimana Cara Kerja Peer to Peer Lending?. [Online] Tersedia di: https://www.investree.id/how-it-works [Diakses pada 25 Juni 2019]. Investree, n.d. Ketahui Risikonya untuk Mendanai Secara Cermat. [Online] Tersedia di: https://www.investree.id/how-it-works/know-your-risk [Diakses pada 10 Juli 2019]. Kontan. (2018). Kemnaker Jumlah PHK per September 2018 Sebanyak 3362 Orang. [Online] Tersedia di: https://nasional.kontan.co.id/news/kemnaker-jumlah- phk-per-september2018-sebanyak-3362-orang [Diakses pada 13 Juni 2019]. Laucereno, S. (2018). OJK Ada 9 Juta Transaksi Fintech di RI. [Online] Tersedia di: https://finance.detik.com/moneter/d-4340505/ojk-ada-9-jutatransaksi- fintech-di-ri [Diakses pada 26 Juni 2019].
21 OJK, P., n.d. FAQ Kategori Pengguna/Konsumen. [Online] Tersedia di: https://www.ojk.go.id/id/berita-dankegiatan/publikasi/Documents/Pages/- FAQ-Terkait-Layanan-PinjamMeminjam-Uang-Berbasis-Teknologi- Informasi---KategoriKonsumen/FAQ%20LPMUBTI%20-%20Kategori%20Konsumen.pdf [Diakses pada 30 Juni 2019]. OJK, n.d. Asuransi Kredit dan Asuransi Kredit PHK. [Online] Tersedia di: https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/99 [Diakses pada 13 Juni 2019]. Purnomo, H. (2018).Fintech atau Rentenir? Pinjam Rp3 Juta Kembalikan Rp4 Juta. [Online] Tersedia di: https://www.cnbcindonesia.com/fintech/20180305142 753-376264/fintech- atau-rentenir-pinjam-rp-3-juta-kembalikan-rp-4-juta [Diakses pada 14 Juli 2019]. Rakhma, S. (2017). Jamin Keamanan Pembiayaan Fintech Amartha Gandeng Jamkrido. [Online] Tersediadi: https://ekonomi.kompas.com/rea d/2017/09 /05/111220726/jamin-keamanan- pembiayaan-fintech-amarthagandeng-jamkrindo [Diakses pada 26 Juni 2019]. Rizki, M. J. (2018). Mekanisme Penagihan Utang Fintech Jadi Sorotan. [Online] Tersedia di: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b3cbbda14176/ mekanismepenagihan-utang-fintech-jadi-sorotan/ [Diakses pada 14 Juli 2019]. Rossiana, G. (2018). Ini Penyebab Bunga Pinjaman Tinggi Versi Fintech. [Online] Tersedia di: https://www.cnbcindonesia.com/fintech/20180306170115-37- 6410/inipenyebab-bunga-pinjaman-tinggi-versi-fintech [Diakses pada 26 Juni 2019]. Walter, P., n.d. Dana Proteksi KoinWorks, Sebuah Inisiatif Demi Menjamin Keamanan Investasi. [Online] Tersedia di: https://koinworks.com/blog/dana- proteksi-koinworks-keamananinvestasi/ [Diakses pada 3 Juli 2019].
22 Whidiyanto, F. (2019). Mengintip Nasib Dana Investor di P2P Lending. [Online] Tersedia di: https://www.beritasatu.com/investor/532806mengintip-nasib- dana-investor-di-p2p-lending.html [Diakses pada 25 Juni 2019]. Yanna, Y. (2018). Disebut Renternir Digital Fintech Bela Diri Soal Bunga Tinggi. [Online] Tersedia di: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180 306181229-78280916/disebut-rentenir- digital-fintech-bela-diri-soal-bunga-tinggi [Diakses pada 26 Juni 2019]. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 324 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 237. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39. LAIN-LAIN Harahap, B., Idham, P. B., Kusuma, A. & Rakhman, R. (2017). Perkembangan Financial Technology Terkait Central Bank Digital Currency (CBDC) Terhadap Transmisi Kebijakan Moneter dan Makroekonomi. Bank Indonesia Working Paper. Iyer, R., Khawaja, A. I., Luttmer, E. F. & Shue, K. (2009). Screening in New
23 Credit Markets: Can Individual Lenders Infer Borrower Creditworthiness in Peer- to-Peer Lending?. s.l., AFA 2011 Denver Meetings Paper. Klafft, M. (2008). P2P Lending: Auctioning Microcredits over the Internet. Dubai, Proceedings of the International Conference on Information Systems, Technology and Management. Martono, T. (2013).Pelaksanaan Asuransi Kredit Perdagangan di PT Asuransi Kredit Indonesia (ASKRINDO) Surakarta. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta: Skripsi. Noor, J. (2017). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi & Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana. Siregar, E. S. (2009). Analisis Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Dengan Jaminan SK Pegawai Oleh PT. BRI (Persero) Kantor Cabang Iskandar Muda Medan. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan: Tesis.
24 PENENTUAN KEWAJIBAN KUOTA 30% PEREMPUAN DALAM CALON LEGISLATIF SEBAGAI UPAYA AFFIRMATIVE ACTION Hasriani Hamid1 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail: hasrianihamid2000@gmail.com
Abstrak: Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak kodratia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. HAM mengajarkan bagaimana penyamaan hak dan kewajiban setiap orang tanpa adanya pengecualian. Ketentuan mengenai kuota wajib 30% perempuan dalam calon legislatif merupakan wujud nyata dari persamaan golongan sehingga hak-hak perempuan tidak lagi dikesampingkan dengan adanya affirmative action tersebut. Aturan hukum yang mengatur hal tersebut dapat dilihat dalam UUD NRI TAHUN 1945 dan UU Pemilu yang menjadi payung hukum sebagai jaminan ruang untuk perempuan ikut serta di dalam proses berbangsa dan bernegara. Tujuan penulisan ini yakni untuk menganalisis penerapan terkait affirmative action di Indonesia dan dampaknya. Adapun metode yang digunakan yakni metode deskriptif guna menghasilkan data yang bersifat kualitatif. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwasanya hingga saat ini penentuan mengenai kuota wajib 30% sangat sulit untuk direalisasikam dikarenakan beberapa faktor, namun hal ini akan terus diupayakan agar apa yang dicita-citakan dapat terwujud. Kata Kunci: Hak Asasi Manusia; Affirmative Action; Keterwakilan Wanita; 1. Pendahuluan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diterima bukan hanya sekedar ide dan gagasan tentang nilai-nilai kemanusiaan oleh bangsa-bangsa yang mengklaim dirinya sebagai bangsa yang beradab di dunia, akan tetapi telah dinormakan sebagai kaidah yang mengikat, baik pada rana domestik bagi masing-masing negara anggota PBB maupun negara dan pemerintah sebagai subjek hukum internasional. Hak Asasi Manusia sebagai hak kodratiah yang melekat secara inheren dalam diri manusia sebagai sbujek hukum harus dihormati dan dilindungi demi mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan yang secara fitrah dianugerahi oleh Tuhan kepada manusia.1 Atas dasar itu, Negara dan pemerintah harus menghormati, menghargai, menegakkan dan melindungi HAM tanpa membeda-bedakan golongan baik perempuan maupun laki-laki. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara 1
Mahfud, M, MD. (2012). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hlm. 156
25 Republik Indonesia (yang selanjutnya disebut UUD NRI) Tahun 1945 yaitu pada pasal 28 H ayat (2) yang menyatakan “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan�. Ketentuan UUD NRI 1945 tersebut menjadi landasan yang kuat bagi semua golongan warga negara untuk bebas dari diskriminasi sistematik dan struktural dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pada aspek politik. Secara konseptual Negara yang diharapkan dapat mewujudkan itu semua hanyalah Negara hukum yang menganut paham demokrasi yaitu negara hukum demokrasi (Democatischerechtsstaat). 2 Adapun yang dimaksud sebagai negara demokrasi yaitu negara yang pelaksanaan pemerintahannya dijalankan oleh dan untuk kepentingan rakyat (orang banyak), dalam artian suatu pemerintahanan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.3 Prinsip dasar negara demokrasi bukan hanya terpusat pada bidang pemerintahan dan ekonomi melainkan menyentuh pula pada sector yang strategis yaitu politik. Prinsip-prinsip umum konsep demokrasi tersebut merupakan satu kesatuan dengan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam konsep politik dan interaksinya dengan lingkungan yang mengitarinya.4 Hal ini dapat dilihat dalam pegelaran pesta demokrasi di Indonesia yang telah usai digelar, hal ini mengukir sejarah yang patut kita apresiasi yakni dengan ditandai dengan usainya pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) serentak pada Rabu 17 April 2019. Warga yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) telah memilih calon presiden dan calon wakil presiden serta calon anggota legislatif secara bersamaan. Adapun calon anggota legislatif yang bertanding memperebutkan kursi legislatif di pusat maupun di daerah tidak hanya didominasi oleh kaum lelaki melainkan pula oleh kaum perempuan. Hal ini merupakan wujud dari tuntutan kesetaraan gender yang semakin digencarkan sehingga pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 dan Peraturan KPU yang beberapa pasalnya mengatur mengenai 30% keterwakilan perempuan.
2
Qamar, N. (2013). Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Rights in Democratiche Rechtsstaat. Jakarta Timur: Sinar Grafika. Hlm.117 3 Ali, H. dkk. (2010). Buku Ajar Hukum dan Kewarganegaraan. Makassar. Hlm.11 4 Moenta, A, P. (2016). Permusyawaratan dan DPRD. Malang: Intelegensi Media. Hlm. 31
26 Kebijakan ini mewajibkan partai politik mencalonkan sekurang-kurangnya 30% berjenis kelamin perempuan dari total Caleg ditingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Bagi partai politik yang tidak menjalankannya mendapatkan sanksi tidak ikut dalam pemilu. Hal ini merupakan buah gagasan dari penyetaraan gender dalam bidang politik. Namun, dalam praktiknya tidaklah dengan mudah dapat diterapkan, seperti dalam kasus Pemilihan Legislatif 2019 ini, yakni satu diantara partai yang turut serta dalam pesta demokrasi tesebut yakni Partai Golkar hanya mampu menyumbangkan 22% keterwakilan perempuan yang lolos ke Senayan pada DPR RI untuk periode 2019-2024. 5 Tentu hal ini menimbulkan polemik kesengjangan terkait penerapan aturan tersebut, namun penulis setuju dengan ketentuan mengenai 30% keterwakilan perempuan sebagai syarat dari keikutsertaan suatu parpol dalam pemilu. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam jurnal ini. 2. Analisis 2.1 Affirmative Action Terhadap Keterwakilan Wanita dalam Politik Hukum dan Demokrasi Pengaturan mengenai 30% keterwakilan perempuan dalam parlemen merupakan bentuk Affirmative Action (kebijakan afirmatif) yakni tindakan sementara untuk menyelamatkan kondisi yang tidak setara menuju keadilan dan kesetaraan. Kebijakan ini diambil guna memperoleh peluang yang setara antar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama.6 Perjuangan kesetaraan gender adalah salah satu upaya mewujudkan demokratisasi karena dengan adanya kesetaraan gender maka seluruh masyarakat baik laki-laki maupun perempuan mempunyai akses untuk melakukan proses demokratisasi itu sendiri. Dalam kaitannya dengan lembaga legislatif, Pemilu 2004 merupakan tonggak peningkatan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Kebijakan afirmatif (affirmative action) terhadap perempuan dalam bidang politik dimulai dengan disahkannya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Dalam pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang 5
Winata, D, K. (2019). Cukup Kejar Dulu Kuota 30% untuk Perempuan. Tersedia di https://mediaindonesia.com/read/detail/259643-cukup-kejar-dulu-kuota-30-untuk-perempuan [diakses 8 November 2019] 6 Kertati, I. (2014). Implementasi Kuota 30 Persen Keterwakilan Politik Perempuan Di Parlemen. Riptek Vol. 8, No. 1. Hlm. 23
27 Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa: â€&#x;Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.â€? Dari waktu ke waktu, affirmative action terhadap perempuan dalam bidang politik semakin disempurnakan. Hal itu dapat dilihat dari progreritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyusun RUU Paket Politik yang digunakan dalam pelaksanaan Pemilu 2009, yaitu UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. 7 Yang mana semuanya mengatur terkait syarat keikutsertaan perempuan secara aktif dalam proses pemilihan legislatif sebagai wujud dari tindakan partai politik yang menaungi hakhak perempuan. Affirmative action ini diharapkan menjadi sebuah solusi dalam menangani ketimpangan gender dalam aktivitas politik, para perempuan diharapkan dapat memainkan perannya dalam masyarakat sesuai dengan kemampuan dan talentanya sehingga akan membantu terciptanya peluang-peluang perempuan mendapatkan posisi yang selama ini sudah terlanjur di dominasi oleh para laki-laki. Ketika affirmative action tidak diterapkan dalam suatu negara, maka akan berimplikasi pada kaum perempuan yang dinilai tidak mampu untuk bergerak secara leluasa untuk menyumbangkan tenaga, kemampuan, dan ide pemikiran serta talentanya di dalam lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Dalam hal ini, ketika kaum perempuan yang berhasil lolos sebagai anggota perwakilan rakyat di DPR RI maka akan tercipta suatu produk hukum atau biasa disebut sebagai produk legislasi yang berupa peraturan perundang-undangan yang berisikan pertimbanganpertimbangan tertentu yang pada gilirannya akan dapat mengungkapkan berbagai alasan diperlukannya pembentukan suatu perundang-undangan. 8 Yang mana pertimbangan-pertimbangan yang akan diberikan tersebut didasari dari berbagai
7
Mulyono, I. (2010). Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, dalam Diskusi Panel RUU Pemilu Peluang untuk Keterwakilan Perempuan, Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai Demokrat. 2 Februari 2010, Hotel Crown, Jakarta. Hlm. 2
8
Ali, F. (1996). Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hlm. 142
28 aspek kepentingan, oleh karenanya ketika perempuan dilibatkan maka akan menjadi representatif dari aspek kepentingan yang berangkat dari sudut pandang pemikiran dan ide dari perempuan itu sendiri. Maka akan diyakini produk hukum tersebut seirama dengan kepentingan setiap golongan. Munculnya affirmative action merupakan peluang bagi kaum perempuan untuk dapat berpartisipasi di bidang politik. Sebagai wadah untuk berpartisipasi dalam bidang politik. Keikutsertaan perempuan dalam partai politik merupakan tempat yang tepat, karena di dalam partai politik kaum perempuan mendapat pendidikan politik dan etika politik. Partai politik adalah wadah bagi kaum perempuan untuk mendapat pendidikan berpolitik, sarana partisipasi politik, komunikasi, dan menyiapkan kader-kader pemimpin bangsa. Bentuk affirmative action untuk keterwakilan perempuan dapat didasari oleh beberapa hal yakni: 2.2 Politik Hukum Yang Lebih Aspiratif Politik hukum merupakan arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijakan dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. 9 Adapun yang dimaksud politik hukum yeng lebih aspiratif dalam pembahasan kali ini yang mana pada dasarnya merupakan permasalahan mengenai keterwakilan 30% perempuan di parlemen yang merupakan isu krusial yang berkaitan dengan sila ke-5 pancasila yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia. Hal inilah yang harus mendapatkan perhatian yang lebih dikarenakan sila ini tidak akan tercapai jika parlemen tidak proposional. Mari kemudian kita melihat perjalanan keterwakilan perempuan di parlemen yang mana pada Pemilu tahun 1999, proporsi perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen hanya 9,2 persen dari total jumlah anggota. Tahun 2004, proporsinya meningkat jadi 11,81 persen. Peningkatan cukup besar terjadi pada Pemilu 2009, 18 persen. Dapat dilihat bahwa jumlah anggota parlemen perempuan terus mengalami peningkatan walupun belum mencapai 30 peren. Diharapkan dengan adanya ketentuan keterwakilan perempuan sebanyak 30% di parlemen dapat membuat partai politik lebih baik lagi dalam meningkatkan mutu kader perempuannya agar dapat terpilih di parlemen yang nantinya diharapkan dengan
9
Mahfud, M, MD. Ibid. Hlm 15
29 keterwakilan proposional perempuan inilah yang akan menciptakan politik hukum yang baik dalam menjalankan fungsi parlemen itu sendiri dan juga agar lebih memastikan terwadahinya aspirasi ataupun kebutuhan perempuan lainnya yang dapat disuarakan lebih proposional dikarenakan jumlah yang di rasa sudah cukup untuk mewadahi aspirasi perempuan di parlemen. 2.3 Perwujudan Demokrasi Pada dasarnya konsep dari demokrasi ialah pemerintahan oleh rakyat, dimana rakyat yang memiliki peran penting dalam pemerintahan baik sebagai sumber kebijakan ataupun tujuan dari kebijakan tersebut. Rakyat merupakan sumber penting bagi pemerintah untuk dapat menciptakan pemerintahan yang aspiratif. Isu-isu yang berkembang di masyarakat haruslah di lihat sebagai suatu pekerjaan rumah pemerintah untuk diselesaikan, mengenai isu terhadap keterwakilan perempuan di parlemen tentu adalah isu yang sangat layak untuk dijadikan bahan pertimbangan pemerintah agar dapat menciptakan politik hukum indonesia yang lebih baik lagi terlebih khusus agar tercipta parlemen yang lebih proposional aspirasinya. Berbicara mengenai demokrasi tentu tak dapat dipisahkan dengan hak asasi manusia yang kemudian telah dijabarkan dalam pasal 28D ayat (3) menyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan�, perwujudan dari kesempatan yang sama inilah yang perlu dijaga agar partai politik dapat memaksimalkan keterwakilan perempuan dalam parlemen dikarenakan peran perempuan sebagai penyeimbang pemikiran sangat dibutuhkan dikarenakan hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa perempuan merupakan sisi lain dari laki-laki yang secara alamiah telah diciptakan oleh Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, keterwakilan 30% perempuan di parlemen dapat memberi angin segar pada proses pemilihan umum dan juga pada proses berjalanannya parlemen nantinya. 3. Penutup Ketentuan mengenai penentuan wajib 30% Keterlibatan Perempuan dalam pencalonan anggota legislatif sangatlah perlu diapresiasi. Tindakan ini merupakan wujud nyata dari penyetaraan gender yang mana hak-hak wanita tidak lagi
30 dikesampingkan, bahkan telah dilindungi secara nyata dalam bentuk produkproduk hukum nasional. Affirmative Action adalah langkah awal dalam menyeimbangkan antara kepentingan perempuan dan laki-laki dalam suatu kesetaraan baik profesi dan keikutsertaan dalam berpolitik. Keikutsertaan perempuan dalam berpolitik menjadi hal yang sangat baik, dikarenakan sudah ada yang menjadi perwakilan dalam hal pembuatan produk-produk legislasi yang jauh memanusiakan kaum perempuan, meskipun kenyataannya jumlah keikutsertaan wanita dalam anggota legislative belum mengcukupi 30%, namun hal ini harus terus bisa ditingkatkan guna terciptanya kehidupan berbangsa yang beradab dan adil untuk semua golongan.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Ali, F. (1996). Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ali, H. dkk. (2010). Buku Ajar Hukum dan Kewarganegaraan. Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia bekerjasama dengan Pt. Umitoha Ukhuwah Grafika. Makassar. Mahfud, M, MD. (2012). Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Moenta, A. P. (2016). Permusyawaratan dan DPRD. Malang: Intelegensi Media. Qamar, N. (2013). Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Rights in Democratiche Rechtsstaat). Jakarta Timur: Sinar Grafika. JURNAL Kertati, I. (2014). Implementasi Kuota 30 Persen Keterwakilan Politik Perempuan Di Parlemen. Riptek Vol. 8, No. 1 Mulyono, I. (2010). Strategi Meningkatkan Keterwakilan Perempuan, dalam Diskusi Panel RUU PemiluPeluang untuk Keterwakilan Perempuan, Dep. Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak DPP Partai Demokrat. 2 Februari 2010, Hotel Crown, Jakarta.
31 INTERNET Sumaryanti, D. (2019). Kuota 30 Persen Perempuan di Parlemen? Solusikah?. Tersedia di https://www.eramuslim.com/akhwat/wanita-bicara/kuota-30persen
perempuan-di-demokrasi-parlemen-bukanlah-solusi-dari-masalah-
masalah-perempuan.htm#.Xca44lczbIV Winata, D, K. (2019), Cukup Kejar Dulu Kuota 30% untuk Perempuan. Tersedia di https://mediaindonesia.com/read/detail/259643-cukup-kejar-dulu-kuota30-untuk-perempuan [diakses 8 Novvember 2019]
32 ELABORATION LAW CONCEPT PADA MUTUAL LEGAL ASSISTANCE SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN CYBERCRIME TRANSNATIONAL INDUSTRI 4.0 Juan Maulana Alfedo1, Fajar Nur Ramadhan Winandi2, Helena Yarra Lanera Pandia3 1Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya. E-mail: Alfedojuan73@gmail.com Hukum Universitas Brawijaya. E-mail: fajarnur.rw@gmail.com 3Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. E-mail: helenayarralanera@gmail.com 2Fakultas
Abstrak: Internet di era Revolusi Industri 4.0 telah meningkatkan mobilitas pergerakan manusia melewati batas-batas negara. Sejak awal kehadirannya, pengguna internet di seluruh dunia terus meningkat tiap tahunnya. Meningkatnya pengguna internet tersebut membawa dampak negatif yaitu adanya penyalahgunaan internet untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cybercrime). Dalam perkembangannya cybercrime telah menjadi kejahatan transnational, sehingga diperlukan harmonisasi kebijakan dan kerjasama antar Negara dalam masalah hukum pidana guna saling memberikan bantuan dalam menanggulangi cybercrime transnational. Mutual Legal Assistance (MLA) merupakan mekanisme bantuan hukum secara formal sekaligus kerjasama internasional dalam penegakkan hukum pidana. Namun secara faktual pelaksanaan MLA khususnya di Indonesia, dalam menanggulangi cybercrime transnational masih terdapat banyak permasalahan baik internal (dalam negeri) maupun eksternal (luar negeri). Berdasarkan problematika diatas, penulis menggagas Reformulasi Sistem MLA melalui Elaboration Law Concept sebagai upaya penanggulangan cybercrime transnational di era revolusi industri 4.0. Dalam karya tulis ini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Kata Kunci: Cybercrime Transnational; Mutual Legal Assistance; 1. Pendahuluan Negara (state) merupakan suatu entitas dari unsur-unsur pembentukan negara, 1 yang didalamnya terdapat berbagai hubungan kepentingan dari sebuah komunitas (masyarakat setempat) yang berlangsung secara timbal balik dan terikat
1
Soerjono, S. (1996). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. Rajawali Press.
33 oleh kesatuan wilayah. 2 Adanya kesatuan wilayah merupakan cerminan bahwa suatu negara telah mampu melaksanakan kekuasaan dan wewenang wilayahnya yang telah memiliki sebuah kedaulatan (sovereignity) yang merupakan kewenangan tertinggi (highest authority), merdeka (independence) dan bebas (independent) dari pengaruh kekuatan negara lain.3 Untuk mewujudkan kekuasaan negara tersebut, pemerintah dengan kewenangan yang diberikan negara harus mampu memelihara dan menegakkan kedaulatan wilayahnya serta melindungi warga negaranya dari ancaman atau tindakan destruktif baik dalam negeri maupun luar negeri. 4 Hal ini selaras dengan tujuan Negara Republik Indonesia sebagai Negara hukum (rechtstaat) yang secara eksplisit tertuang dalam alenia keempat pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial�.5 Percepatan proses globalisasi di era revolusi industri 4.0 didukung dengan kehadiran internet. Internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di Amerika Serikat melalui program riset Departemen Pertahanan Amerika yang bernama Advanced Research Projects Agency Network (ARPANET).
6
Sejak awal
kehadirannya, pengguna internet di seluruh negara di dunia terus meningkat setiap tahunnya, termasuk indonesia. Menurut laporan tahunan digital 2019 yang dihimpun oleh Hootsuite and We Are Social, Indonesia menjadi negara pengguna internet terbesar ke-5 di dunia dengan rata-rata pemakaian internet 8 jam 36 menit per hari.7
2
Huala, A. (2002) Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional. Jakarta. Rajawali Press.
3
Kelsen, H. (1967) Principles of International Law. New York. Hotfreinhart and Winston Inc.
4
Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2012) Central Authority dan Mekanisme Koordinasi dalam Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, Jakarta, BPHN.
5
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
6
Andriyanto. Perkembangan dan Sejarah Internet. Diakses dari Ilmuti.com, Diakses pada 15 Juni 2019.
7
Azzura, S. N. Indonesia Jadi Negara Pengguna Internet Terbesar Ke-5 di Dunia, Diakses pada 15 Juni 2019. dari https://m.merdeka.com/amp/uang/indonesia-jadi-negara-pengguna-internetterbesar-ke-5-di-dunia.html.
34 Namun dengan semakin meningkatnya jumlah pengguna internet memberikan peluang bagi para penjahat untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cybercrime) secara rapi, tersembunyi, terorganisasi, serta dapat menembus ruang dan waktu dengan jangkauan yang sangat luas. 8 Sebagai salah satu bentuk globalisasi kejahatan, cybercrime dapat dilakukan dengan melibatkan beberapa pelaku yang berada di beberapa wilayah yurisdiksi negara yang berbeda, dengan target korban yang berada di negara lain pula tanpa memerlukan kontak langsung antara pelaku dan korban, sepanjang ada jaringan internet dan peralatan teknologi yang memadai.9 Menurut laporan Symantec Internet Security Threat Report 2019, Indonesia masuk peringkat ke-9 dari 157 negara yang terdeteksi mendapat ancaman cybercrime. 10 Hal ini mengindikasikan bahwa cybercrime merupakan masalah yang serius bagi indonesia untuk segera diatasi karena menyangkut keamanan dan kepentingan nasional. Dalam perkembangannya, cybercrime telah berkembang menjadi tindak pidana yang bersifat transnational (lintas negara) dan tidak mengenal batas yurisdiksi.11 Pelaku cybercrime sangat rentan dapat meloloskan diri dari tuntutan hukum atas tindak pidana yang telah dilakukan. Tindakan tersebut tentu dapat mempersulit upaya penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, bahkan untuk pelaksanaan putusan pengadilan.12 Selain itu, cybercrime transnational juga dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan hukum suatu negara dengan negara lain, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya sulit dilakukan tanpa adanya kerjasama dan harmonisasi kebijakan dengan negara lain.13 Oleh karena itu diperlukan hubungan baik dan kerjasama antar negara dalam masalah pidana, guna saling memberikan bantuan dalam rangka penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana cybercrime transnational. Sistem bantuan timbal balik dalam masalah pidana tersebut dikenal dengan istilah 8
Bunga, D. (2019). Politik Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cybercrime, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.16, No.1 9 Ibid 10 Mediana. Ancaman Kejahatan Siber, Indonesia di Peringkat Ke-9. diakeses pada 15 Juni 2019, dari https://kompas.id/baca/ekonomi/2019/03/08/ancaman-kejahatan-siber-indonesia-diperingkat-ke-9. 11 Suharyo. (2010). Laporan Penelitian Penerapan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Terhadap Kasus-Kasus Cybercrime. Jakarta. BPHN. 12 Ibid 13 Ibid
35 Mutual Legal Assistance (MLA). MLA merupakan sistem yang efektif untuk diterapkan
dalam
upaya
penanggulangan
dan
pemberantasan
kejahatan
transnational terorganisasi seperti cybercrime, karena memiliki cakupan yang sangat luas sebagaimana diatur dalam article 18 Transnational Organized Crime mulai dari proses pencarian bukti-bukti atau keterangan-keterangan berkaitan dengan kejahatan yang sedang diperiksa hingga pelaksanaan putusan,14 sehingga hal ini dapat memudahkan pengungkapan dalam tindak pidana cybercrime transnational. Namun pada kenyataanya, pelaksanaan sistem MLA dalam menanggulangi cybercrime transnational masih terdapat banyak permasalahan, baik internal (dalam negeri) maupun eksternal (luar negeri). Masalah internal yang muncul antara lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana yang merupakan dasar hukum MLA bagi Indonesia dalam meminta dan/ atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana kepada negara asing, akan tetapi belum mampu menyelesaikan berbagai permasalahan hukum berkaitan dengan pelaksanaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana.15 Undang-Undang tersebut pada kenyataannya masih terdapat berbagai tantangan yang dihadapi dan belum sepenuhnya mampu mengakomodir pelaksanaan MLA di indonesia. Hal ini dibuktikan dengan kegagalan penyelesaian MLA pada tahun 2015, dimana dari total 41 permintaan MLA yang diajukan kepada Indonesia, tidak ada satupun permintaan yang berhasil diselesaikan. 16 Ketidakjelasan kedudukan central authority MLA Indonesia juga menjadi problematika, sehingga dalam praktik terjadi suatu negara ingin mengajukan permintaan MLA kepada Indonesia, tetapi tidak mengetahui otoritas pusat untuk diajukan bantuan. Ego sektoral dari masing-masing instansi penegak MLA juga masih cukup besar, serta ketidakjelasan pembagian tugas kepada competent authority menyebabkan kurangnya koordinasi antar instansi, sehingga pelaksanaan proses MLA kurang berjalan secara optimal. Selain itu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum cybercrime di Indonesia juga masih terdapat permasalahan krusial baik berkaitan dengan pengaturan pembuktian 14
Article 18 Transnational Organized Crime Pratikno, Y. Analisis dan Evaluasi Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Jakarta. BPHN. 16 Kemenkuham. (2015). Laporan tahunan (Annual Report). Jakarta, Kemenkuham. 15
36 cybercrime yang belum memadai serta pengaturan terkait alat bukti elektronik yang berbeda dari alat bukti umum dan kurang sesuai dengan alat bukti elektronik berstandar internasional. Sedangkan masalah eksternal pelaksanaan MLA ialah adanya kendala yuridis yang disebabkan oleh perbedaan sistem hukum (civil law dan common law) dan sistem peradilan pidana (Due Process Model dan Crime Control Model) yang menyebabkan proses penanganan kejahatan menjadi lamban. Salah satu negara dengan praktik MLA terbaik di dunia adalah Australia. Hal ini dibuktikan dengan tingkat keberhasilan MLA Australia pada tahun 20172018 yang berhasil menyelesaikan 429 permintaan dari negara peminta. 17 MLA Australia dapat berjalan optimal dikarenakan menggunakan berbagai metode kerjasama internasional, terdapat kejelasan central authority sebagai otoritas pusat, serta memiliki kompleksitas mekanisme dalam pelaksanaan MLA. Berdasarkan problematika diatas, penulis menggagas Elaboration Law Concept dalam MLA sebagai
upaya
penanggulangan
cybercrime
transnational,
dengan
cara
mengelaborasikan kelebihan sistem MLA Australia ke dalam sistem MLA Indonesia untuk mengatasi masalah internal, serta mengelaborasikan pemahaman hakim dan teknis yustisi untuk mengatasi masalah eksternal agar pelaksanaan MLA di Indonesia dapat berjalan lebih optimal. 2. Analisis 2.1. Problematika Penerapan Sistem Mutual Legal Assistance dalam Menanggulangi Cybercrime Transnational Saat Ini Secara faktual pelaksanaan sistem MLA dalam menanggulangi cybercrime transnational masih terdapat banyak permasalahan, baik internal (dalam negeri) maupun eksternal (luar negeri). Adapun masalah internal yang menghambat pelaksanaan MLA antara lain: Pertama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana yang merupakan dasar hukum MLA bagi Indonesia, akan tetapi pada kenyataannya belum mampu sepenuhnya menyelesaikan berbagai permasalahan hukum dalam cybercrime transnational. Sulitnya menangkap pelaku cybercrime merupakan salah satu bukti bahwa undang-
17
Athorney General’s Department, Publication Anual Reports Mutual Assistance. Diakses pada 15 juni 2019, dari https://www.ag.gov.au/Publications/AnualReports/17-18/Pages/Part5Appendixes/appendix-4.aspx.
37 undang tersebut belum memberikan dampak yang signifikan dalam menanggulangi cybercrime transnational yang sangat merugikan negara. Kedua, Ketentuan Pasal 1 angka 9 - Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa High Level Official adalah Menteri, Kepala Kepolisian RI, dan Jaksa Agung, ketentuan tersebut tidak mendelegasikan secara jelas siapa yang menjadi central authority, sehingga seluruh proses permintaan MLA harus melalui ketiga pihak tersebut.
18
Hal tersebut menyebabkan
ketidakjelasan bagi negara peminta terkait siapakah yang menjadi entry point untuk mengajukan permintaan MLA. Ketiga, ego sektoral dari masing-masing instansi penegak MLA masih cukup besar, serta ketidakjelasan job description masing-masing instansi dan struktur competent authority yang bertugas dalam pelaksanaan MLA, sehingga menyebabkan koordinasi antar instansi terkendala. Hal ini juga dapat memicu terciptanya crash kewenangan serta ketidakjelasan tindakan pemerintah dalam penanganan MLA, sehingga penyelesaian proses MLA menjadi tidak efektif dan optimal. Keempat, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang merupakan peraturan hukum untuk menangani kasus cybercrime masih terdapat permasalahan krusial berkaitan dengan legal standing dalam setiap tindakan pemerintah, khususnya aparat penegak hukum dalam menangani cybercrime transnational. Mengingat cybercrime yang saat ini bersifat transnational, dalam UU ITE terdapat satu pasal terkait kerjasama internasional yaitu “Dalam rangka mengungkap tindak pidana Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik, penyidik dapat berkerja sama dengan penyidik negara lain untuk berbagi informasi dan alat bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.�19 Sesungguhnya pengaturan tersebut tidaklah memadai jika dibandingkan dengan tingkat kesulitan pembuktian cybercrime.
18
Pratikno, Y. (2007). Analisis dan Evaluasi terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Bandung, Universitas Padjajaran. 19 Pasal 43 ayat (8) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
38 Kemudian terkait dengan pengaturan alat bukti elektronik sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka 1 dan 4, serta Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU ITE, alat bukti elektronik tersebut mempunyai sifat yang berbeda dari alat bukti umum yang diatur dalam KUHAP. Salah satu perbedaannya adalah bentuknya yang bersifat digital (non paperbased) sehingga membutuhkan keahlian khusus untuk dapat memahami arti dan keaslian alat bukti digital tersebut. Terkait dengan hal ini pengaturannya tidak terdapat dalam UU ITE, apakah sebuah alat bukti elektronik dapat diterima begitu saja sebagai alat bukti di persidangan, ataukah harus memenuhi standar tertentu yang menjamin keaslian alat bukti tersebut. Hal ini berbeda dengan praktik di berbagai negara yang mengatur Standard Operational Procedure (SOP) terhadap penggunaan alat bukti elektronik berstandar internasional yang dibuat oleh International Organization of Computer Evidence (IOCE). 20 Keadaan seperti ini menyebabkan proses MLA yang berjalan antara Indonesia dengan negara lain menjadi tidak sinkron, karena adanya perbedaan persepsi dan substansi antara peraturan perundang – undangan di Indonesia dengan peraturan yang sesuai dengan standar internasional. Adapun masalah eksternal yang menghambat pelaksanaan MLA, yaitu pertama, terdapat kendala yuridis terkait perbedaan sistem hukum, dimana ada negara yang menganut sistem hukum civil law (berdasarkan code civil yang terkodifikasi) dan ada pula yang menganut sistem hukum common law (berdasarkan custom, preseden, dan judge made law).21 Dalam MLA seringkali masing-masing negara menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam penanganan kejahatan, hal ini berakibat penanganan kejahatan menjadi lamban dan berbelit-belit. 22 Kedua, adanya perbedaan sistem peradilan pidana, dimana ada negara yang menganut sistem peradilan Due Process Model (suatu sistem yang harus bekerja sesuai dengan gagasan-gagasan atau sifat yang ada dalam aturan hukum yang menitikberatkan perlindungan hak asasi bagi terdakwa, seperti hak
20
International Organization on Computer Evidence (IOCE), International Principles for Computer Evidence. Diakses pada 21 juni 2019 dari https://www.questia.com/library/journal/1G1137863426/international-principles-for-computer-evidence. 21 Qamar, N. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System, Makassar, Refleksi Press. 22 Erwin, M. A. Kejahatan Transnasional (Transnational Crime), Kepolisian RI, Badan Reserse Kriminal
39 terdakwa untuk diadili secara adil, serta persamaan di depan hukum dan peradilan). Serta ada negara yang menganut sistem peradilan Crime Control Model (suatu sistem yang bekerja dalam menurunkan, mencegah atau mengekang kejahatan dengan menuntut dan menghukum mereka yang bersalah, menekankan efesiensi dan efektivitas peradilan pidana dengan berlandaskan asas praduga tak bersalah serta menitiberatkan pada proses peradilan yang lebih praktis). 23 Perbedaan sistem peradilan pidana ini mengakibatkan kelambanan dalam proses pemeriksaan dan pembuktian kejahatan dalam MLA. Oleh karena itu dibutuhkan suatu formulasi yang ideal dalam mengatasi permasalahan MLA. Penerapan Elaboration Law Concept merupakan sebuah solusi guna mengatasi permasalahan MLA agar dapat berjalan lebih optimal dalam menanggulangi cybercrime transnational di era revolusi industri 4.0. 2.2. Formulasi Elaboration Law Concept dalam Sistem Mutual Legal Assistance
sebagai
Upaya
Penanggulangan
Cybercrime
Transnational di Era Revolusi Industri 4.0.
Bagan 3.1. Elaboration Law Concept dalam MLA (Sumber: Kreasi Penulis) Elaboration Law Concept merupakan suatu formulasi yang tepat untuk mengatasi
permasalahan
internal
dan
eksternal
MLA,
dengan
cara
mengelaborasikan kelebihan sistem MLA Australia kedalam sistem MLA
23
Pangaribuan, L. (2015) Hukum Pidana Khusus. Depok. Penerbit Pustaka Kemang.
40 Indonesia melalui penataan instansi terkait dan mekanisme secara formal, serta mengelaborasikan pemahaman hakim dan teknis yustisi untuk mengatasi masalah perbedaan sistem hukum dan sistem peradilan pidana yang secara praktik menghambat pelaksanaan sistem MLA Indonesia maupun negara-negara di dunia. Mengingat Elaboration Law Concept dalam sistem MLA sebagai upaya penanggulangan
cybercrime
transnational,
sehingga
penulis
mencoba
mengklasifikasi jenis-jenis cybercrime transnational yang dapat diselesaikan melalui sistem MLA berdasarkan urgensinya di era revolusi industri 4.0 saat ini sebagai berikut: a. Unauthorized Access to Computer System and Service (kejahatan dengan cara memasuki suatu sistem komputer secara tidak sah dengan tujuan sabotase, pencurian data, atau pemalsuan informasi penting dan rahasia); b. Illegal Contents (kejahatan dengan jalan memasukkan data kedalam jaringan internet tentang hal yang bertentangan dengan hukum dan ketertiban umum); c. DataForgery (kejahatan dengan cara memalsu data pada dokumen penting seperti e-commerce yang tersimpan dalam sistem komputer melalui internet untuk disalahgunakan); d. Cyber Espionage (Kejahatan dengan memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan spionase terhadap pihak lain dengan cara memasuki jaringan komputer pihak lain); e. Cyber Sabotage and Extortion (kejahatan dengan cara membuat gangguan atau perusakan terhadap data, program, atau jaringan komputer yang terhubung dengan internet melalui menyusupkan suatu virus tertentu); f. Offense Against Inttectual Property (kejahatan yang ditujukan terhadap Hak Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet);
41 g. Infringements of Privacy (kejahatan terhadap data seseorang yang bersifat individual dan rahasia secara melawan hukum yang tersimpan secara computerized).24 Selain itu, dalam Elaboration Law Concept juga memperluas lingkup MLA tidak hanya sebatas penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau pemidanaan, namun juga mencakup proses penyelidikan, permintaan catatan internet dan penelusuran, hingga pelaksanaan putusan, sebagaimana yang telah diamanatkan beberapa konvensi internasional yang menyerukan perluasan permintaan MLA dalam cybercrime sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional masing-masing negara. 25 Bagan diatas juga menunjukkan langkahlangkah elaborasi sistem MLA Australia kedalam sistem MLA Indonesia agar dapat berjalan lebih efektif dan optimal. Dalam kerangka hukum nasional, suatu kebijakan dari negara lain tidak dapat langsung diberlakukan dalam sebuah negara. Langkah pertama untuk menjelmakan konsep tersebut ialah dengan melakukan penelitian dan pengkajian kedudukan kebijakan tersebut didalam sistem hukumnya, serta problematika dan kendala-kendala yang dihadapi oleh sistem MLA Indonesia. Langkah kedua ialah dengan melakukan pengujian dan perbandingan, dengan cara menguji cobakan kebijakan tersebut kedalam sistem hukum nasional indonesia dengan melihat landasan negara, tujuan negara, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Setelah melakukan pengujian, kemudian dilakukan suatu perbandingan untuk mengetahui kelebihan yang dimiliki sistem MLA Australia yang tidak dimiliki sistem MLA Indonesia. Langkah ketiga ialah pengadopsian dan peninjauan, dengan cara megadopsi beberapa poin kelebihan sistem MLA Australia yang cocok untuk mengoptimalkan sistem MLA Indonesia. Setelah itu dilakukan peninjauan ulang apakah poin-poin kelebihan sistem MLA Australia yang diadopsi benar-benar dapat diterapkan dan dapat berjalan secara optimal. Langkah keempat adalah pembaharuan dan penerapan, yakni dengan memperbaruhi sistem MLA Indonesia melalui penataan instansi penegak MLA dan mekanisme secara formal yang merupakan hasil elaborasi dengan sistem MLA Australia. Kemudian Pemerintah 24
Wahid, A. & Labib, M. (2005). Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). Jakarta, PT. Refika Aditama. 25 Romli, A. (2004). Pengantar Hukum Pidana Internasional. Jakarta. H.M. Utama.
42 selaku penyelenggara negara akan menerapkan konsep ini sebagai penyempurnaan sistem MLA Indonesia agar dapat berjalan secara efektif dan optimal. Adapun pembaharuan dari hasil elaborasi sistem MLA Australia dan sistem MLA Indonesia untuk mengatasi masalah internal, sebagai berikut: 2.2.1 Penataan Instansi Terkait
Bagan 3.2. Penataan Instansi Terkait (Sumber: Kreasi Penulis) • Kementerian Hukum dan HAM (Central Authority) Kementerian Hukum dan HAM (KEMENKUHAM) merupakan instansi yang berwenang sebagai otoritas pusat
(central authority)
26
dalam pengajuan dan penanganan permintaan MLA sekaligus koordinator penegakan hukum baik dari negara peminta (requesting state) maupun negara yang diminta (requested state), untuk mempermudah koordinasi dalam kerangka kerjasama internasional. KEMENKUHAM juga memiliki wewenang untuk mengkaji, melaksanakan, dan meneruskan permintaan MLA kepada otoritas yang berkompeten (competent authority) untuk memproses secara prosedural. Berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.04.AH.08.02 tahun 2009, tugas dan kewenangan KEMENKUHAM didelegasikan kepada Direktorat Hukum Internasional 26
“central authority make or receive requests for information or to cooperate with a foreign State through other channels or in another manner.�, UNODC, Saving Clause, dan Poin 5Central authority: making and reception of requests. Diakses pada 6 juli 2019, dari http://www.unodc.org/pdf/legal_advisory/Model%20Law%20on%20MLA%202007.pdf.
43 dan Otoritas Pusat (DHI-OP) sebagai pelaksana tugas dalam MLA. DHIOP bertugas melakukan telaahan dokumen dan prosedur hukum di negara diminta, mengkonsep permintaan dan menyusun surat pernyataan tindak lanjut. Melalui DHI-OP ini juga permintaan MLA akan diputuskan apakah diterima, ditolak, ataupun harus memberikan informasi tambahan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana yang termaktub dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Guna mengatur pola kerja internal dan memudahkan koordinasi dengan competent authority, KEMENKUHAM dapat menyusun SOP Internal dan SOP bersama terintegrasi guna mempercepat proses MLA. SOP Internal berisi tahapan pelaksanaan kinerja dalam proses MLA meliputi: Tahap Penerimaan, Penelaahan, Tindak Lanjut, Pelaksanaan, Tindak Lanjut Tanggapan dan Monitoring. 27 Sedangkan SOP Bersama Terintegrasi ialah untuk mengintegrasikan dan mensinergikan antara central authority dengan competent authority dalam penegakkan hukum, serta memberikan kejelasan jobdesc masing-masing instansi guna memudahkan
koordinasi
dalam
pelaksanaan
MLA
sekaligus
menghilangkan ego sektoral masing-masing instansi penegak MLA. •
Kepolisian RI Dalam MLA kepolisian RI melaksanakan kerjasama internasional
bilateral atau multilateral berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun beberapa Memorandum of Understanding dengan pemerintah negara lain.28 Hal ini juga sebagai yang termaktub dalam Pasal 42 ayat 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI yang berbunyi “Hubungan dan kerjasama luar negeri dilakukan terutama dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerjasama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan kejahatan dalam rangka tugas operasional maupun kerjasama teknik, pendidikan,
27
Kementerian Hukum dan HAM. Prosedur Operasi Baku Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana di Indonesia. Jakarta. KEMENKUHAM. 2010 28 INTERPOL. UU dan Hukum MOU. Diakses dari http://www.interpol.go,id/id/uu-danhukum/mou. Diakses pada 6 Juli 2019
44 serta pelatihan�. 29 Kepolisian RI juga dapat melakukan kerjasama multilateral dengan International Criminal Police Organization-Interpol dan Aseanpol.30 Dalam struktur Kepolisian RI terdapat Divhubinter yang bertugas menyelenggarakan kegiatan National Central Bureau (NCB)INTERPOL dalam upaya penanggulangan kejahatan transnasional. Sehingga nantinya dalam MLA Kepolisian RI melalui Divhubinter bertugas melakukan kerjasama lintas sektoral dalam menanggulangi cybercrime transnational melalui pertukaran informasi kriminal, bantuan teknis penyelidikan dan penyidikan melalui sistem jaringan komunikasi INTERPOL, ASEANPOL, maupun sistem jaringan interpol lainnya agar dapat berkoneksi melalui kepolisian negara masing-masing. •
Kejaksaan RI Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, Kejaksaan
merupakan lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 31 Kejaksaan juga memiliki wewenang untuk mengajukan permohonan MLA, memberikan
informasi
kepada
menteri
Hukum
dan
HAM,
menindaklanjuti MLA dari negara peminta yang telah memenuhi syarat, memberikan pertimbangan hukum dan melaksanaakan benda sitaan atas izin pengadilan dan menyerahkannya kepada Rupbasan, serta melegalisasi dan menyerahkan hasil MLA kepada Menteri Hukum dan HAM. 32 Kejaksaan RI dalam MLA juga memiliki peranan penting dalam ranah internasional, dimana Kejaksaan RI secara institusional merupakan anggota dari The International Association of Presecutor’s (IAP), 33 sehingga dapat mendukung permintaan MLA di negara-negara anggota, khususnya dalam mendukung praktik MLA di Indonesia. 29 30
Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Penjelasan Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI. 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI 32 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana 33 Kejaksaan RI, Kerjasama Hukum Luar Negeri. Diakses pada 7 juli 2019, dari https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=21&idsu=96&idke=0&hal=1&id=1260& bc.
45 •
Mahkamah Agung (High Court) Dalam MLA, Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara
tertinggi (high court) yang berwenang memeriksa dan memutus perkara cybercrime transnational. Mengingat di era revolusi industri 4.0, penyelesaian sengketa cybercrime transnational merupakan komitmen Mahkamah Agung sebagai high court dengan menjalin kerjasama internasional antar Mahkamah Agung (high court) maupun instansi negara lain seperti ASEAN-ALA, ASEAN Cyber Capacity Development Project, high court Australia, dan Australia Indonesia Partnership for Justice II, yang merupakan kerjasama Internasional indonesia untuk memperkuat institusi peradilan dalam mengatasi kejahatan transnational secara efektif sekaligus meningkatkan akses terhadap keadilan dan layanan hukum. •
Internet Service Provider (ISP) ISP merupakan penyedia jasa layanan internet yang memiliki
jaringan sangat luas, baik domestik maupun internasional sehingga penggunanya dapat terkoneksi dengan jaringan internet global.34 ISP juga memiliki catatan mengenai keluar masuknya seorang pengakses sehingga dapat mengidentifikasi pelaku kejahatan cybercrime. Sehingga dalam MLA, ISP memiliki wewenang untuk memberikan catatan internet dengan menyediakan data log pengguna dan protokol internet, serta memberikan pelestarian snap-shot data yang terkait akun pelaku cybercrime. ISP dapat membantu penegak hukum dalam proses investigasi, serta penyadapan untuk mempertahankan data komunikasi dan meyediakan bukti yang digunakkan dalam proses penuntutan di persidangan melalui data yang tersimpan dalam server komputer ISP.
34
Maxmanroe, Pengertian ISP, Contoh, Fungsi, Jenis Layanan ISP. Diakses pada 7 juli 2019, dari https://www.maxmanroe.com/vid/teknologi/internet/pengertian-isp.html.
46 2.2.2. Penataan Mekanisme Mutual Legal Assistance
Bagan 3.3. Mekanisme MLA (Sumber: Kreasi Penulis) Kerjasama internasional antar negara yang memiliki kepentingan yang sama dapat menentukan keberhasilan penegakkan hukum terhadap cybercrime transnational. Sehingga dalam MLA terdapat beberapa metode kerjasama internasional antara lain, By Central Authority, merupakan kerjasama antar otoritas pusat yang memiliki tanggungjawab untuk memudahkan negara peminta dalam mengajukan permintaan MLA secara formal dan prosedural. Court to Court merupakan kerjasama antar lembaga peradilan tertinggi (hight court) dua negara atau lebih untuk bersinergi dalam menanggulangi cybercrime transnational melalui konsolidasi dalam sistem peradilan. Sedangkan Police to Police merupakan kerjasama internasional antar kepolisian untuk memberantas cybercrime transnational yang memiliki peranan penting dalam upaya memburu pelaku kejahatan yang melarikan diri keluar negeri dan membantu penyelidikan identitas dan keberadaan pelaku dari/ke suatu negara. Dalam mekanisme pengajuan MLA dari pemerintah RI, langkah pertama yang dilakukan adalah menghubungi KEMENKUHAM sebagai central authority dan mengajukan laporan bahwa telah terjadi cybercrime transnational. Berdasarkan surat permohonan yang diterbitkan Kejaksaan RI, KEMENKUHAM akan mengajukan MLA melalui otoritas pusat negara asing (central authority requested state) secara langsung. Keuntungan pengajuan MLA secara langsung ini dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerjasama sekaligus mempercepat
47 proses permintaan MLA. Namun sebelum MLA diajukan, pihak peminta harus membuat permintaan catatan internet dan pelestarian snap-shot data terkait akun pengguna kepada Internet Service Provider untuk memastikan data yang relevan. Langkah selanjutnya adalah memenuhi persyaratan permintaan MLA meliputi, a. identitas institusi yang meminta; b. pokok masalah, hakekat, nama dan fungsi institusi yang mengajukan permintaan; c. ringkasan dari fakta-fakta yang terkait kecuali permintaan bantuan yang berkaitan dengan dokumen yuridis; d. ketentuan undang-undang yang terkait, isi pasal, dan ancaman pidananya; e. uraian tentang bantuan yang diminta dan rincian mengenai prosedur khusus yang dikehendaki termasuk kerahasiaan; f. tujuan dari bantuan yang diminta; g. syarat-syarat lain yang ditentukan oleh negara diminta. Setelah permintaan MLA diajukan, KEMENKUHAM dapat melakukan Follow-up Progress, Assess, serta Analyze kepada otoritas pusat negara diminta dengan tetap merahasiakan setiap informasi, keterangan, dokumen, atau alat bukti yang diserahkan kepada negara diminta untuk menjamin keamanan permintaan MLA. Setelah seluruh proses terpenuhi negara yang diminta (requested state) akan menyelesaikan permintaan MLA dari Pemerintah RI. Dalam hal Indonesia sebagai negara yang diminta (requested state), maka mekanisme yang dilakukan ialah sama sesuai dengan mekanisme formal dan prosedur yang telah ditetapkan, dengan tetap melakukan koordinasi dengan competent authority agar pelaksanaan permintaan MLA dari negara peminta dapat diselesaikan secara cepat dan optimal. 2.2.3. Elaborasi Pemahaman Hakim dan Teknis Yustisi Dalam praktiknya hakim civil law membuat hukum untuk mengisi kekosongan layaknya hakim common law. Dengan demikian sistem peradilannya tidak lagi sepenuhnya sejalan dengan sistem hukum civil law karena telah menerapkan beberapa kaakteristik yang identik dengan sistem common law, kondisi tersebut terbentuk dari relasi terkini antara struktur, substansi dan kultur masyarakat. Jhon Henry menyatakan bahwa sistem hukum civil law dan common law semakin serupa, dibandingkan saling berbeda secara signifikan. Pernyataannya sebagai berikut: “The root question is whether the Civil Law and the Common Law are getting to be more alike (converging) or less so (diverging). I shall suggest that
48 there are significant tendencies in both directions but that convergence, as I use the term, is the more powerful one�.35 Oleh karena itu didalam Elaboration Law Concept guna mengatasi perbedaan sistem yang ada, maka penulis mengelaborasikan pemahaman hakim dan teknis yustisi yang dapat digunakan baik oleh negara yang menganut civil law (khususnya Indonesia) dan common law dalam menangani cybercrime transnational melalui MLA. Pemahaman hakim karena muara perbedaan sistem hukum adalah pemahaman hakim, sehingga dalam memeriksa dan memutus perkara transnational seperti cybercrime, dibutuhkan elaborasi pemahaman yuridis dari negara-negara yang menjadi pihak didalamnya. Sehingga dalam putusan hakim nantinya akan mempertimbangkan undang-undang negara-negara yang terlibat. Dalam teknis yustisi penulis lebih mengutamakan peranan hakim sebagai gerbang utama keadilan, yang mana hakim harus mencari jalan tengahnya dalam memutus suatu kasus cybercrime transnational. Proses peradilan pidana MLA dalam cybercrime transnational akan melibatkan dua negara atau lebih dengan sistem hukum dan sistem peradilan pidana yang berbeda. Pilihan penggunaaan sistem hukum ditentukan dari permintaan negara yang dirugikan, hal ini dilakukan sematamata untuk mewujudkan keadilan substantif agar tidak menimbulkan adanya ketimpangan, dan kecemburuan antar negara terhadap proses peradilan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap terdakwa yang berasal dari negara lain. Anggota majelis hakim akan ditunjuk berdasarkan keinginan dari negara yang dirugikan dimana hakim ketua akan berasal dari negara yang dirugikan sedangkan hakim anggota akan ditunjuk dari negara mitra. Dengan adanya fusi pemikiran hakim yang berasal dari 2 negara, diharapkan dapat memberikan pertimbangan baik meringankan maupun memberatkan. Keuntungan dari hakim yang berasal dari 2 negara yang terlibat, juga akan mempermudah transfer yuridis dan menambah khazanah keilmuan hukum para hakim dalam pembangunan hukum kedepan khususnya dalam memutus perkara seperti cybercrime transnational. Lembaga yang menangani proses peradilan ini adalah High Court atau Mahkamah Agung, apabila tindak pidana merugikan indonesia maka akan ditangani Mahkamah Agung
35
Merryman, J. H. (1981). On The Convergence (And Divergence) Of The Civil Law AndThe Common Law�, Stan. J. Int’l L, Vol. 17, 357.
49 Republik Indonesia dan seluruh proses peradilan berada di Mahkamah Agung, namun apabila tindak pidana merugikan negara lain maka proses peradilan akan dilaksanakan di High Court negara lain yang dirugikan. Selain itu segala bentuk bukti baik berupa bukti elektronik maupun non elektronik, baik berasal dari institusi negara lain maupun institusi kepolisian dalam negeri akan tetap di terima sebagai bahan dalam proses persidangan. 3. Penutup 3.1 Kesimpulan Berdasarkan paparan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Pelaksanaan Mutual Legal Assistance (MLA) dalam menanggulangi cybercrime transnational masih terdapat banyak permasalahan, baik internal (dalam negeri) maupun eksternal (luar negeri). Masalah internal yang muncul yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana yang merupakan dasar hukum MLA bagi Indonesia, pada kenyataannya masih terdapat berbagai tantangan yang dihadapi dan belum mampu sepenuhnya mengakomodir pelaksanaan MLA sekaligus menyelesaikan
berbagai
permasalahan
hukum
dalam
cybercrime
transnational. Ketidakjelasan kedudukan central authority dan masih adanya ego sektoral dari masing-masing instansi penegak MLA, serta ketidakjelasan pembagian tugas competent authority menyebabkan kurangnya koordinasi antar instansi, sehingga pelaksanaan MLA kurang berjalan optimal. Selain itu UU ITE yang merupakan dasar hukum cybercrime di Indonesia juga masih terdapat permasalahan baik berkaitan dengan pengaturan pembuktian yang belum memadai, serta pengaturan alat bukti elektronik yang berbeda dengan alat bukti umum dan kurang sesuai dengan standar internasional. Sedangkan masalah eksternal yang muncul ialah adanya kendala yuridis terkait perbedaan sistem hukum (civil law dan common law) dan perbedaan sistem peradilan pidana (crime control model dan due process model) sehingga penanganan MLA menjadi lamban dan berbelit-belit. 2.
Elaboration Law Concept merupakan suatu formulasi yang tepat untuk mengatasi permasalahan internal dan eksternal MLA, dengan cara
50 mengelaborasikan kelebihan sistem MLA Australia kedalam sistem MLA Indonesia melalui penataan instansi terkait dan mekanisme secara formal, serta mengelaborasikan pemahaman hakim dan teknis yustisi untuk mengatasi masalah perbedaan sistem hukum dan sistem peradilan pidana yang secara praktik menghambat pelaksanaan sistem MLA Indonesia maupun negaranegara di dunia. 3.2 Saran Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diajukan kepada pihak-pihak terkait untuk mewujudkan penegakan hukum guna menanggulangi cybercrime transnational melalui MLA kedepannya antara lain sebagai berikut : 1.
Bagi pemerintah terutama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai central authority diharapkan dapat segera melakukan reformasi terhadap sistem Mutual Legal Assistance dengan menerapkan Elaboration Law Concept melalui penataan instansi dan mekanisme secara formal, sehingga pelaksanaan MLA dalam menanggulangi cybercrime transnational dapat berjalan lebih efektif dan optimal. Selain itu bagi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diharapkan segera menyempurnakan sekaligus membahas Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana dan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik agar dapat mengakomodir pelaksanaan MLA dalam menanggulangi cybercrime transnational.
2.
Bagi Mahkamah Agung sebagai high court diharapkan dapat segera menerapkan konsep elaborasi pemahaman hakim dan teknis yustisi untuk mengatasi perbedaan sistem hukum dan sistem peradilan pidana yang menghambat pelaksanaan MLA, dengan tetap bertumpu pada keadilan substantif sebagai tujuan dan cita-cita penegakan hukum guna memperkuat lembaga peradilan dalam mengatasi cybercrime transnational secara efektif dan meningkatkan akses terhadap keadilan dan layanan hukum.
51 DAFTAR PUSTAKA PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.04.AH.08.02 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Hukum dan HAM. United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNTOC). BUKU Adolf, H. (2002). Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Rajawali Press, Jakarta. Arief, N B. (2007). Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Perdana Media Group. Jakarta. Atmasasmita, R. (2004). Pengantar Hukum Pidana Internasional. H.M.Utama. Jakarta. Garner, A B. (1999). Blackâ€&#x;s Law Dictionary. West Group. Amerika. Ibrahim, I. (2007). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayumedia. Malang. Kelsen, H. (1967). Principles of International Law. Hotfreinhart and Winston Inc. New York. Marzuki, M P. (2007). Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. Nazir, M. (2005). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta. Pangaribuan, L. (2014). Hukum Pidana Khusus. Pustaka Kemang. Depok. Qamar, Nurul. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law System. Refleksi Press. Makassar.
52 Schwab, K. (2016). The Fourth Industrial Revolution. World Economic Forum. Geneva. Soekanto, S. (1996). Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta. Soemitro, H.R. (1988). Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Ghalia. Jakarta. Stephenson, P. (2000). Investigating Computer Related. CRS Press. London. Sunarso, Siswanto. (2009). Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional. Rineka Cipta. Jakarta. Wahid, A & Labib, M. (2005). Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). PT. Refika Aditama. Jakarta. LAPORAN TAHUNAN DAN HASIL PENELITIAN Athorney General’s Department. (2018). Publication Anual Reports Mutual Assistance. Australian Government. Australia. Australia
Government.
Internatiional
Crime
Cooperation
arrangements.
Australian Government. Australia. Badan Pembinaan Hukum Nasional. (2012). Central Authority dan Mekanisme Koordinasi dalam Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. BPHN. Jakarta. Erwin, A M. Kejahatan Transnasional (Transnational Crime). Badan Reserse Kriminal. Kepolisian RI. Kementerian Hukum dan HAM. (2012). Laporan Penelitian tentang Otoritas Pusat dan Mekanisme Koordinasi dalam Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. KEMENKUHAM. Jakarta. Kementerian Hukum dan HAM. (2010). Prosedur Operasi Baku Pelaksanaan Bantuan
Timbal
Balik
dalam
Masalah
Pidana
di
Indonesia.
KEMENKUHAM. Jakarta. Kementrian Hukum dan HAM. (2015). Laporan tahunan (Annual Report). KEMENKUHAM. Jakarta. Pratikno, Y. Analisis dan Evaluasi Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana BPHN. Jakarta
53 Suharyo. (2010). Laporan Penelitian Penerapan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana Terhadap Kasus-Kasus Cybercrime. BPHN. Jakarta JURNAL Anwar, C. (2010). Problematika Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Penegakkan Hukum di Indonesia, Jurnal Konstitusi, 3 (1): 128. Bunga, D. (2019). Politik Hukum Pidana Terhadap Penanggulangan Cybercrime. Jurnal Legislasi Indonesia 16 (1) :1. Forensic Science Communications. 2002. International Principles for Computer Evidence. Professional Associations-Services Evidence (Law). 2(2) Suhardi, G. (2002). Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Universitas Atmajaya. Yogyakarta. Sukismo, B. tanpa tahun. Karakter Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis. PUSKUMBANGSI LEPPA UGM. Yogyakarta. Supriyadi, B. (2017). Persepsi Bersama Indonesia – Australia Dalam Hibah Dana dan Peralatan Investigation Centre dari Australia Kepada Indonesia. Journal International Relations Universitas Diponegoro 3(1): 15 Wibawa, I. (2016). Era Digital (Pergeseran Paradigma dari Hukum Moderen ke Post Moderenisme). Jurnal Universitas Diponegoro 45(4) :287. INTERNET Andriyanto. (2018). Perkembangan dan Sejarah Internet. Ilmuti.com. Diakses pada 15 Juni 2019. Ashari, A. (2017). Peran Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Penyitaan dan perampasan Aset. www.legalitas.org. Diakses pada 19 Juli 2019. Azzura, S N. (2019). Indonesia Jadi Negara Pengguna Internet Terbesar Ke-5 di Dunia. https://m.merdeka.com/amp/uang/indonesia-jadi-negara-penggunainternet-terbesar-ke-5-di-dunia.html. Diakses pada 15 Juni 2019. INTERPOL. UU dan Hukum MOU. http://www.interpol.go,id/id/uudanhukum/mou. Diakses pada 6 Juli 2019. Kejaksaan RI. Kerjasama Hukum Luar Negeri. https://www.kejaksaan.go.id/unit_kejaksaan.php?idu=21&idsu=96&idke =0&hal=1&id=1260&bc. Diakses pada 7 Juli 2019.
54 MD, M. M. (2015). Penegakan Keadilan di Pengadilan. http://ww17.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=26. Diakses pada 9 Juni 2019. Mediana. (2019). Ancaman Kejahatan Siber, Indonesia di Peringkat Ke-9. https://kompas.id/baca/ekonomi/2019/03/08/ancaman-kejahatan-siberindonesia-di-peringkat-ke-9. Diakses pada 15 Juni 2019. Maxmanroe. Pengertian ISP, Contoh, Fungsi, Jenis Layanan ISP. https://www.maxmanroe.com/vid/teknologi/internet/pengertian-isp.html. Diakses pada 27 Juli 2019. Pratomo, Y. (2019). APJII: Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Tembus 171 Juta Jiwa. https://amp.kompas.com/tekno/read/2019/05/16/03260037/apjiijumlah-pengguna-internet-di-indonesia-tembus-171-juta-jiwa. Diakses pada 15 Juni 2019. Reporter Kilas.com. 2019. Penajaman dan Penguatan Penegakkan Hukum yang Bermartabat di Era Revolusi Industri 4.0. https://www.kilasbali.com/penajaman-dan-penguatan-penegakan-hukumyang-bermartabat-di-era-revolusi-industri-4-0/. Diakses pada 20 Juni 2019. Syafrinaldi. (2018). Tantangan Hukum di Era Revolusi Industri 4.0. https://uir.ac.id/opini_dosen/tantangan-hukum-di-era-revolusi-industri-4-0oleh-syafrinaldi. Diakses pada 20 Juni 2019. UNODC. (2004). United Nation Manual On Mutual Legal Assistance and Extradition. https://www.unodc.org/documents/organizedcrime/Publications/Mutual_Le galAssistanceEbookE.pdf. Diakses pada 18 Juni 2019. UNODC. Saving Clause, dan Poin 5-Central authority: making and reception of requests. http://www.unodc.org/pdf/legal_advisory/Model%20Law%20on%20MLA %202007.pdf. Diakses pada 6 Juli 2019.
55 PENGUATAN REGULATORY SANDBOX DAN SCORING SYSTEM DALAM PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN PADA PEER-TOPEER LENDING Masda Greisyes Nababan1, Siti Salwa Sastra Maria2, Masha Prisha Putri Deristiandra3 1
Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha. E-mail: greisyesmasda@gmail.com 2 Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha. E-mail: liemsalwa@gmail.com 3 Fakultas Hukum Universitas Kristen Maranatha. E-mail:
Abstrak: Financial Technology (Fintech) merupakan penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, dan/atau model bisnis baru yang berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran. Karya Tulis Ilmiah Ini membahas serta mengkaji mengenai sistem pengawasan yang diterapkan dalam penyelenggaraan Fintech, khususnya Fintech Peer to Peer Lending melalui uji coba dengan menggunakan instrumen Regulatory Sandbox bagi penyelenggara Fintech dan Scoring System bagi calon nasabah peminjam dana. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan yaitu metode penelitian yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder, yang ditunjang dengan metode yuridis sosiologis dengan data primer. Pendekatan yang digunakan adalah konseptual dan perundang-undangan. Uji Coba terhadap Regulatory Sandbox dan Scoring System yang ada pada saat ini masih memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki apabila tidak diperbaiki akan berdampak pada meningkatnya angka NonPerforming Loan dan akan mengganggu sistem keuangan yang ada. Perbaikan yang dilakukan perlu diperkuat dengan adanya regulasi, dengan cara melakukan revisi atas regulasi yang telah ada. Kata Kunci: Regulatory Sandbox; Scoring System; Peer to Peer Lending 1. Pendahuluan Era globalisasi saat ini telah memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehidupan serta keberadaan manusia, di mana globalisasi dapat meningkatkan akses untuk memperbaiki taraf hidup, dan di sisi lain dapat memberi manfaat, salah satunya guna peningkatan pertumbuhan ekonomi. Melalui perkembangan dan penggunaan teknologi internet, segala aspek kehidupan manusia saat ini menjadi terintegrasi. Di Indonesia, teknologi dan internet telah menjadi kebutuhan primer di tengah masyarakat sebagai dampak dari perkembangan dunia
56 global, hal ini diwarnai dengan keberadaan teknologi dan internet tersebut. Perkembangan teknologi dan internet yang disruptif telah melahirkan konsep “Industri 4.0�, yang pertama kali digunakan oleh publik dalam pameran industri Hannover Messe di kota Hannover, Jerman pada tahun 2011. Perubahan besar yang melahirkan Revolusi Industri keempat ini tentu erat kaitannya dengan Revolusi Industri ketiga yang dipicu oleh mesin bergerak, yang dapat berpikir secara otomatis yaitu komputer dan robot. Kemajuan yang muncul pada revolusi industri yang keempat adalah teknologi 1001 sensor baru, Cloud Computing, Machine Learning atau Artificial Intelligence, dan tentu saja unsur utama dalam revolusi industri 4.0 yaitu Internet. Internet dalam penerapannya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat di masa kini dan dapat menyentuh kebutuhan primer hingga tersier dari masyarakat itu sendiri. Tidak hanya itu, masayarakat telah mengenal istilah Internet of Things (selanjutnya disebut IoT) yang dapat mengoptimalkan berbagai proses kerja yang akan jauh lebih efisien dan cepat, sehingga berakibat kepada kecepatan proses bisnis. Selain itu, IoT juga hadir dengan tantangan yang muncul karena pengimplementasian teknologi tersebut. IoT adalah suatu konsep, di mana konektivitas internet dapat bertukar informasi satu sama lainnya dengan bendabenda yang ada di sekelilingnya, sekaligus dapat mendukung proses transformasi, khususnya dari konsep bisnis konvensional menjadi moderat. Peralihan bisnis dari konvensional menuju bisnis online akan terus menunjukan perkembangan dan kemajuannya, sehingga pelaku-pelaku bisnis tersebut akan terus bermunculan untuk menggantikan atau menutupi kekurangan dari bisnis konvensional. Pada bisnis online, inovasi dan kreasi akan terus berkembang untuk memenuhi seluruh kebutuhan yang ada ditengah masyarakat, dengan berbagai macam bisnis online yang muncul di era revolusi industri 4.0, salah satunya Keuangan Digital (Financial Technology atau yang dikenal dengan nama Fintech). Menurut pengertiannya Fintech adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru yang dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, efisiensi, kelancaran, keamanan, dan keandalan sistem pembayaran yang pada saat
57 ini model bisnis tersebut sedang tren di Indonesia. 1 Fintech berasal dari istilah Financial Technology atau Teknologi Finansial. Menurut The National Digital Research Centre (NDRC), di Dublin, Irlandia, Fintech didefinisikan sebagai “innovation in financial services” atau “inovasi dalam layanan keuangan Fintech” yang merupakan suatu inovasi pada sektor finansial yang mendapat sentuhan teknologi modern. Di Indonesia Transaksi keuangan melalui Fintech ini terbagi atas dua bentuk; pertama yang dikategorikan sebagai Penyedia Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), seperti contoh CekAja, CekPremi, Doku, Kartuku, dan kedua yang dikategorikan sebagai Pembiayaan, seperti contoh UangTeman, Pinjam, Bareksa, Kejora, Veritrans, Sedangkan menurut area pengawasan dan perizinannya, pengawasan dan perizinan Fintech dilakukan oleh 2 (dua) lembaga, yaitu Bank Indonesia untuk Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP), dan Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) untuk Pembiayaan. Pada penulisan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis fokus pada jenis Fintech pembiayaan, salah satunya adalah Peer to Peer Lending. Peer to Peer Lending di Indonesia begitu marak karena Fintech jenis ini banyak dikenal oleh masyarakat karena kemudahan dalam mendapatkan pinjaman dari kreditur tanpa syarat yang sulit seperti halnya mendapatkan pinjaman dari bank konvensional. Peer to Peer Lending layaknya market place yang berfungsi sebagai tempat bertemunya kreditur dengan debitur, di mana memiliki karakteristik tersendiri, yang pengawasannya selain dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/PJOK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang bekerjasama dengan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dalam hal pengawasan internal asosiasi, rekomendasi pemberian izin, memberikan peringatan, dan rekomendasi pencabutan izin, tetapi juga pengawasan dilakukan oleh market conduct berupa mekanisme pasar yang digunakan untuk mengawasi dirinya sendiri. Pemberian izin kepada penyelenggara Fintech Peer to Peer Lending diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 13 /POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital Di Sektor Jasa Keuangan. Penyelenggara wajib memenuhi kriteria Inovasi Keuangan Digital yang selanjutnya 1
Pasal 1 Ayat 1 PBI Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial
58 disingkat IKD yang nantinya akan diuji melalui mekanisme pengujian yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau biasa disebut Regulatory Sandbox.2 Di samping, itu terdapat Scoring System yang digunakan untuk menilai layak tidaknya seseorang menerima pinjaman dari lembaga pembiayaan keuangan tersebut. Scoring System Sistem sangat membantu penyelenggara Fintech atau lembaga keuangan lainnya dalam menganalisa permohonan kredit yang diajukan calon debitur, selain faktor kualitatif lainnya. Salah satu platform Peer-to-Peer Lending terpercaya di Indonesia, yaitu Akseleran juga menggunakan credit scoring atau Scoring System dalam melakukan seleksi calon peminjam. Tentunya, masingmasing institusi jasa keuangan, termasuk Akseleran, memiliki credit scoring model tersendiri. Akseleran mengedepankan tiga hal; pertama arus kas dari calon peminjam, kedua Agunan yang diberikan (dapat berupa tagihan dari PO/SPK/Kontrak/Invoice, berupa inventori, peralatan, maupun tanah & bangunan), dan ketiga Credit Behavior, untuk hal ini bekerja sama dengan biro kredit PEFINDO. Hasil credit scoring Akseleran yang diterapkan akan berdampak kepada besaran bunganya yang dikenakan kepada calon peminjam. Persoalan pertama yang timbul, bahwa fakta yang terjadi masih banyak penyelenggara Fintech nakal yang tidak memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan, sehingga kegiatannya tidak terawasi, dan Inovasi Keuangan Digital-nya tidak diuji terlebih dahulu oleh mekanisme Regulatory Sandbox. Hal tersebut berakibat fatal karena kebanyakan Fintech ilegal memiliki bunga yang besar, dan setidaknya sejak 2018 sampai juli 2019 sudah ada 1.087 Fintech ilegal yang ditutup oleh OJK. Di samping itu, adapula penyelenggara Fintech yang lolos dari mekanisme Regulatory Sandbox namun tetap bermasalah dalam praktiknya, serta perlu adanya penguatan terhadap mekanisme Regulatory Sandbox yang diterapkan OJK. Persoalan kedua yang timbul, dalam penyaluran pembiayaan Peer to Peer Lending terdapat berbagai kelemahan yang terjadi akibat lemahnya Scoring System yang diterapkan, bahkan banyak debitur memanfaatkan keadaan, sehingga debitur tidak mengembalikan pinjaman mereka. Jika banyaknya pinjaman yang tidak dapat dikembalikan, maka Non Performing Loan (NPL) atau dalam Fintech lebih tepat disebut TKB yaitu 2
Pasal 7-16 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, pada Bab IV tentang Regulatory Sandbox
59 Tingkat Keberhasilan Pengembalian dana lender pada hari ke 90 akan meningkat.3 Maka dari itu, dengan banyaknya risiko dan masalah yang terjadi dalam Fintech Peer to Peer Lending, maka penulis tertarik untuk membahas persoalan ini, mengingat pada prinsipnya, setiap lembaga pembiayaan, baik konvensional maupun moderat (Keuangan Digital/Fintech) tidak telepas dari pelaksanaan dan penerapan Prinsip Kehatihatian. Adapun judul yang akan penulis bahas yaitu “Penguatan Regulatory Sandbox dan Scoring System Melalui Regulasi Sebagai Bentuk Penerapan Prinsip Kehati-hatian Dalam Pembiayaan Keuangan Digital (Financial Technology) dengan Model Peer to Peer Lending Guna Menciptakan Sistem Keuangan yang Sehat di Era Revolusi Industri 4.0�. 2. Analisis Perubahan revolusi industri 4.0 saat ini telah menitikberatkan pada segala perubahan aktivitas bisnis dengan menggunakan media elektronik. Hal ini bertujuan memberikan berbagai layanan yang memudahkan bagi masyarakat, salah satunya yaitu dengan kehadiran layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi atau yang disebut Peer to Peer Lending. Melalui Peer to Peer Lending ini, masyarakat yang memerlukan dana dalam jumlah mikro dapat secara cepat mendapatkan pinjaman tersebut tanpa perlu mengajukan kredit ke bank konvensional atau lembaga pembiayaan non bank lainnya. Layanan Peer to Peer Lending dapat diakses oleh masyarakat melalui aplikasi, di mana fasilitas ini memiliki perbedaan dengan fasilitas kredit perbankan atau lembaga pembiayaan non bank lain pada umumnya (calon debitur yang memerlukan pinjaman harus mendatangi bank atau lembaga pembiayaan non bank dan menjalani serangkaian prosedur permohonan kredit, serta diperlukan adanya jaminan/agunan). Namun, pada layanan pinjam meminjam uang melalui Peer to Peer Lending, salah satu fitur yang ditawarkan adalah tidak mempersyaratkan adanya jaminan/agunan. Tim Penulis dalam pembahasan ini akan fokus pada ketentuan yang terdapat pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 13 /POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan, di 3
Hasil penelitian di Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, pada hari jumat, tanggal 28 Juni 2019, Pukul 10:00-17:00
60 mana dalam penyelenggaraan Fintech Peer to Peer Lending, OJK selaku lembaga independen yang berwenang untuk melakukan pengawasan. Di Indonesia, pengawasan Fintech dilakukan oleh 2 (dua) lembaga, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Fintech dengan sistem pembayaran seperti; Ovo, Gopay, T-cash, dan lain sebagainya) diawasi oleh Bank Indonesia. Sedangkan, untuk Fintech pembiayaan seperti; Peer to Peer Lending, Market Provisioning, Crowdfunding, dan Financial Management) diawasi oleh oleh OJK. Peer to Peer Lending hadir sebagai salah satu jenis Fintech yang mulai memiliki banyak pemain di Indonesia dan sudah menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Selama tahun 2018, Data OJK menunjukkan akumulasi kredit P2P per Triwulan III telah mencapai Rp 13,8 triliun atau meningkat lebih dari 450% dari awal tahun. Rasio pinjaman macet juga masih terjaga sebesar 1,2%. Jumlah penyelenggara kegiatan P2P yang berizin atau terdaftar di OJK juga telah mencapai 78 perusahaan. Namun, melihat perkembangan yang sangat signifikan tersebut, menimbulkan banyak persoalan hukum yang dihadapi oleh masyarakat, hal ini pun didukung dengan kemudahan yang didapat dalam membuat aplikasi layanan Fintech. Per tahun 2018 saja, OJK mencatat setidaknya ada lebih kurang 900 Fintech ilegal yang masuk rekap blacklist OJK 4 , data tersebut di luar data Fintech-Fintech ilegal lainnya yang belum terlacak oleh OJK. Persoalan hukum dari aktivitas Fintech ilegal tersebut yaitu aktivitas di luar yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan, dan juga tidak terawasi oleh OJK. Salah satu bentuk aktivitas yang dilakukan Fintech ilegal tersebut, yaitu menerapkan bunga tinggi dan ketidakjelasan pada tata kelolanya. Di dalam Fintech pembiayaan Peer to Peer Lending, mengenal adanya Regulatory Sandbox. Regulatory Sandbox merupakan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh OJK guna menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola Penyelenggara. Tujuan dari ruang uji coba ini tidak lain untuk memastikan layanan Fintech yang diberikan aman bagi masyarakat. Ketentuan Regulatory Sandbox sendiri tertuang dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) Nomor 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba
4
Hasil penelitian di OJK Bandung, pada Tanggal 24 Juni 2019.
61 Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial (Fintech). Sedangkan pengawasan oleh OJK terkait Fintech pembiayaan, khususnya ketetapan Regulatory Sandbox terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 13 /POJK.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan. Adapun beberapa kriteria penyelenggara yang layak dilakukan uji coba Regulatory Sandbox, diantaranya: a. Tercatat sebagai IKD di Otoritas Jasa Keuangan atau berdasarkan surat permohonan yang diajukan satuan kerja pengawas terkait di Otoritas Jasa Keuangan; b. Merupakan bisnis model yang baru; c. Memiliki skala usaha dengan cakupan pasar yang luas; d. Terdaftar di asosiasi Penyelenggara; dan e. Kriteria lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Melalui Nomor 13 /POJK.02/2018, setiap penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) baik perusahaan startup maupun Lembaga Jasa Keuangan (LJK) akan melalui 3 tahap proses sebelum mengajukan permohonan perizinan. Pertama, tahap pencatatan kepada OJK untuk perusahaan startup/non LJK. Permohonan pencatatan secara otomatis termasuk permohonan pengujian Regulatory Sandbox. Sedangkan untuk LJK, permohonan Regulatory Sandbox diajukan kepada pengawas masingmasing bidang (Perbankan, Pasar Modal, IKNB). Kedua, Proses Regulatory Sandbox berjangka waktu paling lama satu tahun dan dapat diperpanjang selama 6 bulan bila diperlukan. Ketiga, setelah lolos melalui proses Regulatory Sandbox dengan status “direkomendasikan�, dapat dilanjutkan dengan pendaftaran/perizinan kepada OJK. Dalam proses Regulatory Sandbox, perusahaan Fintech terdaftar wajib menyampaikan laporan kinerja berkala secara triwulanan kepada OJK. Adapun hasil dari pada uji coba Regulatory Sandbox terhadap Penyelenggara dinyatakan
dengan
status;
Direkomendasikan,
Perbaikan
dan
Tidak
Direkomendasikan. Guna mengikuti program Regulatory Sandbox, perusahaan Fintech harus mendaftarkan diri kepada regulator terlebih dahulu. Selanjutnya, perusahaan mengikuti beberapa tahap penilaian. Misalnya, penilaian kondisi internal seperti profil manajemen dan reputasi pengurus, kebaruan dan manfaat produk, pendanaan
62 serta konsultan hukum. Selain itu, regulator menilai sisi eksternal perusahaan, seperti persaingan usaha dan perlindungan konsumen, informasi, edukasi, dan penyelesaian sengketa konsumen. Melalui proses Regulatory Sandbox ini, regulator dapat mengetahui kondisi manajemen dan produk yang ditawarkan perusahaan Fintech. Setelah melakukan berbagai tahapan penilaian, regulator berwenang memberi pernyataan kelayakan dari perusahaan tersebut. Adapun Scenario Regulatory Sandbox dalam uji coba Fintech yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut:5 1. Form Rekap Dokumen Permohonan Pencatatan Fintech Sesuai POJK No.13/ POJK.02/2018. (form terlampir) Dalam form ini, OJK akan menilai profil dari perusahaan Fintech yang mendaftarkan dirinya ke OJK untuk diuji oleh Regulator, dengan indikator sebagai berikut: a. Apakah perusahaan dinilai mampu menjalankan kegiatan Fintech yang diharapkan akan memberikan manfaat bagi masyarakat, hal yang dikaji mulai dari: 1) Bentuk perusahaan: PT/Koperasi/Lainnya 2) Apakah perusahaan yang diuji telah terdaftar di OJK atau institusi lainnya 3) Apakah perusahaan yang diuji mampu menjalankan transparansi, keandalan, dan kerahasiaan atau keamanan data nasabah b. Bagaimana proses berlangsungnya kegiatan Fintech, pada tahapan ini regulator akan menilai berbagai aspek penting yang berkaitan dengan proses berlangsungnya kegiatan Fintech mulai dari, daftar target konsumen, data para investor, profil produk/jasa yang ditawarkan, dan tentu yang paling penting bagaimana mekanisme berlangsungnya kegiatan Fintech tersebut dioperasikan. c. Apa saja dampak positif dari Fintech yang diuji coba tersebut kemudian resiko yang mungkin akan dihadapi oleh Fintech yang bersangkutan. 2. Strategi Manajemen resiko Fintech
5
Form SkenarioTerlampir
63 Strategi
Manajemen
resiko
Fintech
digunakan
untuk
mengkaji
keseimbangan yang dapat mengoptimalkan Fintech dalam kegunaannya untuk menumbuhkan perekonomian, maka selain adanya Regulatory Sandbox sebagai media uji coba yang dilakukan oleh OJK, disisi lain terdapat strategi manajemen risiko Fintech yang harus diperhatikan dalam industri keuangan digital tersebut (form terlampir). Dengan pembagian risiko yang harus diperhatikan, OJK akan memulai mengidentifikasi risiko, lalu akan adanya mitigasi risiko, dan diakhiri dengan status dari mitigasi apakah sudah berjalan atau masih rencana. Selain hal itu dalam pemberian kredit untuk mengurangi risiko yang akan mengakibatkan NPL naik mitigasi risiko ini juga didukung oleh pemanfaatan berbagai teknologi untuk mengenali profil calon peminjamnya, data yang dihimpun meliputi verifikasi wajah melalui gambar digital (facial recognition), data calon peminjam dari ecommerce, data keuangan, dan data media sosial. 3. Formulir Usulan Skenario Uji Coba Regulatory Sandbox Sesuai POJK No.13/POJK.02/2018. (form terlampir) Adapun isi yang terdapat dalam Formulir Usulan Skenario Uji Coba Regulatory Sandbox tersebut memuat data uji, diantaranya yaitu: 1) Profil Perusahaan Fintech terkait 2) Legalitas Perusahaan 3) Model dan Proses Kegiatan Bisnis 4) Teknologi Informasi yang digunakan 5) Sistem Menejemen Resiko 6) Perlindungan data dan konsumen 7) Rencana Bisnis 8) Kepatuhan lainnya antara lain program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme 9) Dan aspek lainnya. Dari kajian serta pembahasan yang telah dipaparkan di atas, Tim Penulis menganalisa masih terdapat beberapa instrumen Regulatory Sandbox yang perlu ditambahkan sebagai bentuk penyempurnaan, diantaranya: 1. Form pernyataan kebenaran data dan jaminan kegiatan usaha.
64 Adanya format isian data yang menyatakan bahwa perusahaan Fintech terkait menjamin kebenaran data yang diisikan pada form skenario uji coba Regulatory Sandbox, di mana penyelenggara Fintech Peer to Peer Lending bersedia untuk mempertanggungjawabkan seluruh kebenaran data dan kegiatan usahanya secara hukum. Komponen pernyataan ini perlu ada disertakan dalam form skenario uji coba Regulatory Sandbox sebagai dokumen jaminan, bilamana dikemudian hari perusahaan Fintech terbukti membuat data yang tidak benar dan melakukan kegiatan usaha yang melanggar undang-undang, maka Fintech terkait akan dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. 2. Form pernyataan perusahaan Fintech terkait tidak terafiliasi dengan perusahaan yang memiliki rekam jejak yang buruk Format Isian data ini berisi tentang pernyataan bahwa perusahaan Fintech terkait tidak terafiliasi dengan perusahaan yang memiliki rekam jejak yang buruk. Format isian data ini penting untuk menilai sekaligus menjaga agar penyelenggara Fintech tidak dipengaruhi oleh pihak terkait yang secara bisnis dapat dikategorikan tidak sehat. 3. Bukti Permodalan Perusahaan a. Fintech penyelenggara yang diuji coba oleh Regulatory Sandbox juga wajib mengisi form data bukti pemodalan yang dimiliki oleh perusahaannya tersebut, dengan begitu Otoritas Jasa Keuangan akan mampu menilai dan mengaudit sumber keuangan perusahaan Fintech terkait. Dari sekian banyak indikator pengawasan yang ada, audit keuangan Fintech memegang peranan penting sebagai aspek yang perlu diterapkan terhadap Fintech penyelenggara jasa pinjam meminjam berbasis teknologi informasi ini. Hingga kini OJK belum ada menerapkan sistem audit sumber pemodalan dan keuangan terhadap Fintech. Kami, sebagai Tim Penulis menilai bahwa penerapan audit ini penting diterapkan, mengingat banyaknya praktek Fintech illegal, yang sering kali menagih utang nasabahnya secara tidak wajar, dan mereka biasanya menerapkan bunga yang tinggi terhadap pinjaman nasabahnya.
65 Langkah ini diharapkan mampu meminimalisir angka Fintech yang beroperasi
dengan
tidak
memenuhi
prinsip
kepatutan
dalam
menyelenggarakan kegiatannya. b. Data Kemampuan Permodalan 10 tahun kedepan Dalam data form isian ini, Fintech penyelenggara akan diminta untuk melampirkan bukti pemodalan yang direncanakan selama 10 tahun ke depan. Data permodalan tersebut penting untuk menjamin apakah perusahaan Fintech terkait akan mampu bertahan dalam menjalankan kegiatan usahanya apabila suatu saat tak terduga ada masa kritis perusahaan. Di sisi lain, dengan adanya kemudahan pemberian kredit oleh Peer to Peer Lending (oleh penyelenggara Fintech yang legal), yang disertai adanya pengajuan permohonan tanpa jaminan/agunan, telah menimbulkan persoalan baru. Banyaknya debitur memanfaatkan keadaan, di mana dengan tidak ada jaminan maka masyarakat
yang meminjam
uang melalui
Fintech
ilegal tidak perlu
mengembalikan pinjaman mereka. Bahkan ada saja nasabah yamg melakukan pinjaman tidaka hanya pada satu platform Fintech saja, hal ini menandakan adanya itikad buruk dari peminjam tersebut. Jika banyaknya pinjaman yang tidak dapat dikembalikan, maka NonPerforming Loan (NPL) akan meningkat,6 sehingga akan membuat keadaan system keuangan menjadi tidak sehat. Oleh karenanya diperlukan Scoring System yang mampu memberikan penilaian terhadap calon nasabah. Jika ada sentral mesin penilai kredit untuk Fintech P2P lending, maka perusahaan Fintech P2P lending sebenarnya dapat memutuskan apakah calon debitur yang mengajuan pinjaman itu layak diberikan pinjaman. Di perbankan sendiri sudah mengenal metode penilaian. Secara teknis, Scoring System atau Credit Scoring ini ditujukkan untuk mengetahui apakah calon nasabah yang bersangkutan atau debitur layak untuk mendapatkan pinjaman. Uji coba ini dilakukan oleh Penyelenggara Fintech terhadap calon nasabah. Scoring System untuk kegiatan Fintech ini di masa yang akan datang memerlukan penilaian yang berbasis digital juga, sehingga Kreditur
6
Hasil penelitian dari OJK Jakarta, tanggal 26 Juni 2019, pukul 10:00-12:00.
66 dapat mengecek tinggat kemampuan pembayaran nasabah, apakah memungkinkan untuk melakukan peminjaman. Penilaian digital ini nantinya berisikan data riwayat pinjaman calon debitur, kebiasaan atau hubungan sosial calon debitur, dan keuangan debitur. Termasuk data-data apakah calon debitur ini rutin membayar listrik, air, serta tagihan lainnya secara tepat waktu atau tidak. Scoring System ini merupakan sarana uji coba yang digunakan untuk membantu bank atau lembaga keuangan lainnya dalam menganalisa permohonan kredit selain faktor kualitatif lainnya. Pada penilaian Scoring System ini, banyak aspek yang dapat menjadi bahan pertimbangannya seperti contohnya usia, status perkawinan, jumlah tanggungan, pekerjaan istri/suami, status tempat tinggal, status pendidikan, jabatan/pekerjaan (jenis pekerjaan), tempat bekerja (bidang usaha), lama bekerja pada pekerjaan saat ini (dengan jabatan saat ini), total lama bekerja (masa kerja) dan lainnya. Untuk pengaturan Scoring System sendiri, saat ini sebatas dilakukan oleh Fintech penyelenggara saja, itupun tidak semua Fintech melakukan uji coba Scoring System tersebut. sehingga penyaringan kelayakan nasabah belum sampai tersentuh oleh pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, sehingga hal ini semakin memperburuk keadaan, dimana nasabah yang hendak berniat curang terhadap pinjaman yang akan ia pakai sulit untuk disaring kelayakannya, dimana hal ini akan berdampak pada peningkatkan angka kredit macet dan berpengaruh terhadap kenaikan NPL (NonPerforming Loan). Pada dasarnya, Credit Scoring digunakan untuk menunjang Fintech kedepannya tetap kuat dan bertahan walau ada krisis ekonomi yang memungkinkan terjadinya wanprestasi atau gagal bayar akan meningkat dan menyebabkan penurunan pada tingkat pengembalian Lender, baik pinjaman pokok maupun bunga. Maka dari itu, credit scoring menjadi solusi dan diharapkan OJK sebagai pengawas harus mendorong dan mempercepat credit scoring agar memperlancar pengembalian dana dari Debitur ke Kreditur. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa kekeurangan yang perlu dibenahi dalam Scoring System yang telah berlaku. Berdasarkan kekurangan yang ada pada Scoring System saat ini, kami Tim Penulis, mencoba merancang instrumen serta pembaruan terhadap Scoring System yang nantinya akan diterapkan oleh OJK. diharapkan layanan ini nantinya akan memberikan manfaat baik, terhadap penyelenggara Fintech itu sendiri maupun
67 calon nasabah. Adapun hal-hal yang menurut penulis perlu diterapkan oleh OJK, diantaranya meliputi uji coba yang akan diterapkan dan dilaksanakan sendiri oleh OJK, sehingga pengawasan terhadap calon nasabah tersebut dapat dengan maksimal dan mampu dipertanggungjwabkan melalui penerapan Scoring System secara digital. Adapun indikator pengujian terhadap Scoring Sytem yang akan diterapkan oleh OJK ke depannya, meliputi penginputan data calon nasabah secara digital sebagai berikut 1. Data Riwayat Hidup Calon Nasabah 2. Data Ke Calon Nasabah Gambaran serta konsep yang penulis sarankan terkait penerapan proses input data calon nasabah dalam uji coba Scoring System yang akan dilaksanakan oleh OJK kedepannya, sebagai berikut: Form Usulan Scoring System Terhadap Calon Nasabah (Perorangan)
Gambar Naskah Rancangan Scoring System Calon Nasabah (Perorangan) Peer to Peer Lending
68
Form Usulan Uji Coba Scoring System Terhadap Calon Nasabah (Badan Usaha)
Gambar Naskah Rancangan Scoring System Calon Nasabah (Badan Usaha)
69
Gambar Naskah Rancangan Form Persetujuan Scoring System Calon Nasabah (Badan Usaha)
3. Penutup 3.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan di atas, maka dapat ditarik simpulan, bahwa sistem pengawasan yang dilakukan oleh OJK melalui uji coba Regulatory Sandbox yang selama ini telah diterapkan dalam mengantisipasi praktek Penyelenggaraan Peer to Peer Lending secara Ilegal, dan Scoring System dalam menyaring calon nasabah Peer to Peer Lending, masih terdapat banyak kekurangan, diantaranya: Regulatory Sandbox maupun Scoring System yang ada saat ini masih bersifat konvensional, dan belum ada transformasi secara digital, sehingga hal ini akan mempersulit pengawasan yang akan dilakukan oleh OJK. Perbaikan atau penyempurnaan pada Regulatory Sandbox maupun Scoring System dilakukan pada penambahan beberapa skenario dan/atau instrumen yang diujikan. Eksistensi penguatan Regulatory Sandbox maupun Scoring System akan dilakukan melalui perubahan regulasi yang ada. Maka penyempurnaan pada Regulatory Sandbox maupun Scoring System merupakan wujud penerapan prinsip kehatihatian (teori prudence), sekaligus wujud pengawasan (teori pengawasan), yang kemudian dikuatkan dengan regulasi yang sesuai dengan dinamika bisnis di Indonesia (teori hukum progresif).
70 3.2. Saran 1. Bagi Pemerintah a. Diperlukan regulasi yang baru untuk menyempurnkan regulasi yang ada sebagai langkah untuk melakukan optimalisasi terhadap penerapan Regulatory Sandbox dan Scoring System yang ada kini, b. Perlu dibuat pengujian yang dilakukan secara digital, dengan begitu proses pengujian tidak perlu memakan waktu yang lama dan akan menjadi lebih efektif, dimana setiap pergerakan kegiatan Fintech juga akan terpantau dengan sistematis di dalam sebuat platform digital. c. Perlunya diterapkan Double Experiment System, seperti yang sudah disampaikan pada bagian pembahasan diatas, di mana Lembaga Pengawas Keuangan yang berwenang, dalam hal penyelenggaraan Peer to Peer Lending ini akan dilakukan oleh OJK yang akan dapat langsung melakukan pengecekan secara berkala, transparan, dan saling terintegrasi baik dari penyelenggara Fintech, Investor atau Lender pemberi pinjaman, serta pada nasabah itu sendiri. Sehingga kajian double experiment system ini akan mengoptimalkan pengawasan Fintech. Tentunya penerapan sistem ini perlu ditunjang dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang 2. Bagi Masyarakat a. Masyarakat lebih berhati-hati lagi dalam menimbang dan memilih Fintech mana yang dalam penyelenggaraannya memiliki legalitas dan tata kelola yang baik, dengan cara mengeceknya di laman resmi milik OJK. b. Masyarakat turut serta mengawasi perkembangan Fintech yang ada, masyarakat diharapkan dapat ikut kooperatif dengan cara melaporkan apabila menemukan suatu aplikasi Fintech yang ilegal kepada OJK sehingga dapat ditindak lanjuti. 3. Bagi Penyelengara Fintech Peer to Peer Lending Penyelenggara
Financial
Technology
sudah
seharusnya
penyelenggara memperhatikan hal-hal penting yaitu mewujudkan platform yang komprehensif, disertai jaminan perlindungan konsumen yang
71 memperhatikan kerahasiaan data pengguna Financial Technology dan di sisi lain Penyelenggara harus mempertanggung jawabkan usahanya dengan memenuhi asas kepatutan dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Ali, Achmad. (1996). Menguak Tabir Hukum (Suatu kajian filosofis dan Sosiologis). Jakarta: Chandra Pratama. Smith, Adam Smith. (1976). The Theory of Moral Sentiments. Indianapolis: Oxford University Press. Macintyre, Alasdair. (1976) A Short History of Ethics (A History of Moral Philosphy From the Homeric Age to The Twentieth Century). Great Britain: Alden Press Oxford. Fagotthey, Austin. (1953) Right and Reason (Ethis In Theory and Practice). United State of America: Mosby Company. Waluyo, Bambang. (2002). Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika. Narbuko, Cholid., & Achmad, Abu. (2001). Metodologi penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Handoko, Hani. (1999). Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Refika Aditama. Black, Henry Campbell. (1990). Black’s Law Dictionary. Sixth Edition. St. Paul Minn: West Publishing Co. Ibrahim, Johnny. (2007). Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif Edisi Revisi, Malang: Bayumedia Publishing. Mezak, Meray Hendrik. (2006). Metode dan Pendekatan Penelitian Hukum. Law Review. Jakarta: Fakultas Hukum Pelita Harapan. Utsman, Sabian. (2009). Dasar-dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sarwoto. (2010). Dasar-dasar Organisasi dan Management. Jakarta: Ghalia Indonesia.
72 Soekanto, Soerjono. (2012). Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Wignjosoebroto, Soetandyo. (2002). Hukum (Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya). Jakarta: ELSAM dan HUMA. Subketi. (2008). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. Usman, Rachmadi. (2001). Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Situmorang, Victor M., & Juhir, Jusuf. (1994). Aspek Hukum Pengawasan Melekat cet1. Jakarta: Rineka Cipta. JURNAL Salam, samsir. 2015. Hukum dan Perubahan Sosial (Kajian Sosiologi Hukum). STAI DDI Pangkep Sulawesi Selatan. Vol. XI No. 1. INTERNET 3detikFinance.com, Selasa 10 Januari 2017 17:31 WIB, OJK Keluarkan Aturan Fintech, dalam http://www.detikfinance.com. data berdasarkan “Informasi Perizinan Penyelenggara dan Pendukung Jasa Sistem Pembayaran� yang diakses melalui https://www.bi.go.id/id/sistempembayaran/informasiperizinan/ptp/penyelenggaraberizin/Contents/default.aspx. https://ardra.biz/ekonomi/ekonomi-lembaga-keuangan/wewenang-dantugasotoritas-jasa-keuangan/ dan https://www.ojk.go.id/id/tentangojk/Pages/Tugas-dan-Fungsi.aspx. https://finansial.bisnis.com/read/20190320/89/902155/jaga-kualitas-kreditFintechlending-didorong-gunakan-credit-scoring. Sumber
diperoleh
dari
CNN
Indonesia,
Pada
laman
website:
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190213200418-78369043/ojkduga-korban-bunuh-diri-pinjam-uang-dari-Fintech-ilegal.
73 MODEL REGULASI FINANCIAL TECHNOLOGY SYARIAH DALAM KERANGKA HUKUM INDONESIA: STUDI PERBANDINGAN MALAYSIA DAN INGGRIS Maulana Reyza Alfaris1, Muhammad Waliyam Mursida2, Moch. Irfan Dwi Syahroni 3 1
Fakultas Hukum Universitas Jember. E-mail: maulanareyzaalfaris@yahoo.com 2 Fakultas Hukum Universitas Jember. E-mail: muhammadwaliyam98@gmail.com 3 Fakultas Hukum Universitas Jember. E-mail: irfansyahroni362@gmai.com
Abstrak: Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, Indonesia mempunyai peluang pengembangan fintech syariah. Layanan jasa keuangan berprinsip syariah melalui sistem elektronik dengan jaringan internet. Namun, hanya tiga fintech syariah yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari 55 pelaku fintech yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI). Minimnya regulasi fintech syariah dan tidak adanya lembaga khusus yang mengawasi pergerakan fintech syariah menjadi hambatan. Artikel ini membandingkan pengelolaan fintech di Malaysia dan Inggris. Malaysia, mampu menangani dan menciptakan kondisi fintech syariah yang kolaboratif melalui regulasi serta adanya lembaga khusus yang spesifik mendukung dan memfasilitasi industri fintech syariah. Inggris memiliki regulasi fintech yang efisien, transparan serta regulator yang telah berpengaruh di dunia. Indonesia dapat berpedoman pada kedua Negara ini dalam mengembangkan fintech syariah. Model fintech syariah yang diperlukan dalam kerangka hukum Indonesia adalah pembentukan regulasi yang komprehensif dan pembentukan Komite Nasional Fintech Syariah (KNFS) sebagai departemen khusus fintech syariah di Indonesia. Kata Kunci: Fintech Syariah; Regulasi; Lembaga Khusus 1. Pendahuluan Financial Technology Syariah (fintech syariah)1 hadir di Indonesia karena custommers segmentation2 serta membawa misi, yaitu mengupayakan solusi dari
1
2
International Organization of Securities Commissions. IOSCO Research Report on Financial Technologies (Fintech), 2017 menjelaskan bahwa Financial Technology (Fintech) dapat diartikan sebagai pemanfaatan perkembangan teknologi informasi untuk meningkatkan layanan di industri keuangan. Sedangkan, fintech syariah diartikan sebagai layanan jasa keuangan yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah melalui sistem elektronik dengan terhubung menggunakan jaringan internet. Kotler, P. & Armstrong, G. Principles of marketing. Prentice Hall: London, 1999, Hlm. 42, menjelaskan bahwa Segmentasi Pasar atau Costummers Segmentation dapat didefinisikan sebagai membagi pasar menjadi kelompok pelanggan yang berbeda, dengan kebutuhan, karakteristik atau
74 masalah finansial3 yang terjadi di masyarakat. Akan tetapi, misi tersebut terganjal oleh regulasi hukum yang hampa 4 sehingga belum dapat terwujud. Pasalnya, pertumbuhan fintech di Indonesia masih ada ketidakjelasan pemisahan antara aturan untuk fintech konvensional dan fintech syariah. Regulasi yang mengatur fintech saat ini yaitu Peraturan OJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang diterbitkan pada akhir Desember 2016 lalu. Akan tetapi, peraturan tersebut hanya mengatur mengenai pembiayaan fintech dengan sistem konvensional dan belum mengatur sistem syariah yang saat ini juga sudah mulai berkembang. Di samping itu, fintech syariah juga harus menaati Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor: 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah. 5 Dengan demikian, penting bagi pemerintah untuk menyediakan suatu model regulasi yang komprehensif serta aspek kelembagaan yang tepat terhadap pelaku fintech syariah. Model regulasi ini berkontribusi sejauh mana ruang lingkup fintech didefinisikan dan sejauh mana pengaruh masyarakat Muslim Indonesia dalam merespon perkembangan sistem keuangan seiring dengan kemajuan teknologi di revolusi industri 4.0. Dalam praktiknya, terdapat perdebatan sejauh mana fintech dapat diadaptasi oleh masyarakat Muslim Indonesia. Misalnya saja, setiap pelaku fintech syariah yang ingin menerbitkan uang eletronik semacam Cryptocurrency
6
harus
perilaku yang berbeda, yang mungkin memerlukan produk terpisah atau yang mungkin merespons secara berbeda terhadap berbagai kombinasi upaya pemasaran. 3 Kannya P, P. “Financial Technology in Indonesia: Disruptive or Collaborative?” Reports on Economics and Finance, 2018, Hlm. 89, fintech syariah memberikan layanan berupa bantuan pemodalan maupun pembiayaan terhadap Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) 4 Aam, S, R. "Developing Islamic Financial Technology in Indonesia", Hasanuddin Economics and Business Review, Vol. 2, No. 2, October, 2018, Hlm. 144. 5 Aam, S, R, Bagaimana Mengembangkan Industri Fintech Syariah di Indonesia? Pendekatan Interpretive Structural Model (ISM), Jurnal Al-Muzara’ah Vol. 6 No. 2, 2018, Hlm. 118. 6 Robby H., Alexander S. "Cryptocurrencies and Blockchain", Policy Department for Economic, Scientefic, and Quality of Life Policie”, PE 619.024, July, 2018, Hlm. 20, Membuat definisi cryptocurrency bukanlah tugas yang mudah. Sama seperti blockchain, cryptocurrency telah menjadi "kata kunci" untuk merujuk pada beragam perkembangan teknologi yang memanfaatkan teknik yang lebih dikenal sebagai kriptografi. Dalam istilah sederhana, kriptografi adalah teknik melindungi informasi dengan mentransformasikannya (yaitu mengenkripsinya) menjadi format yang tidak dapat dibaca yang hanya dapat diuraikan (atau didekripsi) oleh seseorang yang memiliki kunci rahasia. Cryptocurrency seperti Bitcoin, diamankan melalui teknik ini menggunakan sistem kunci digital publik dan pribadi yang cerdik
75 berdasarkan Fatwa DSN-MUI Nomor: 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah. Fatwa ini menentukan bahwa penggunaan uang elektronik harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Beberapa pihak menganggap bahwa uang elektronik haram karena melanggar prinsip-prinsip Syariah.7 Oleh karena itu, setiap inovasi yang menggunakan Cryptocurrency sebagai unit keuangan dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip perbankan Islam. Namun, pada April 2018, sarjana Muslim Muhammad Abu-Bakar, penasihat syariah internal untuk perusahaan pembiayaan mikro Islam Indonesia, Blossom Finance, menyimpulkan bahwa itu uang elektronik tidak haram karena memang memenuhi persyaratan pembayaran yang dapat diterima dalam transaksi keuangan berdasarkan prinsipprinsip Islam. 8 Hal ini menegaskan bahwa perkembangan fintech syariah perlu didukung oleh regulasi dan infrastruktur yang tepat. Dengan adanya dukungan atas dua aspek tersebut, para pelaku dan pengguna jasa lembaga keuangan syariah akan mendapat kemudahan untuk memenuhi kebutuhan financial access9 yang semakin kompleks dan beragam. 10 Pada sisi lain, gagasan penerapan fintech syariah ini mempertimbangkan regulasi yang belum teridentifikasi secara tegas sebagai pembeda yang signifikan dengan praktik lembaga keuangan konvensional.11 Dengan mengambil perbandingan dengan Malaysia dan Inggris, artikel ini melihat beberapa aspek dalam penyusunan model regulasi fintech. Pertama, Malaysia, mampu membuktikan kapabilitasnya dalam menangani dan menciptakan kondisi ekosistem fintech syariah yang kolaboratif melalui pembentukan regulasi yang berpihak pada perlindungan para pihak yang terlibat di dalamnya. Begitu juga, komitmen pemerintah Malaysia dalam hal tersebut diperkuat dengan adanya lembaga-lembaga khusus yang memang secara spesifik memiliki fungsi untuk 7
Muhammad, F, Z. Mining-Trading Cryptocurrency dalam Hukum Islam, Fakultas Syari'ah IAIN Purwokerto, Vol. XII, No. 1, Juni, 2018, Hlm. 126. 8 Sofyan S, H. Prinsip-Prinsip Akuntansi Islam, Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Vol. 1, No. 1, April, 2001, Hlm. 91. 9 Penelope H. Financial Access and Financial Stability, BIS Working Papers, May, 2011, Hlm. 67, menjelaskan bahwa sistem akses keuangan terdiri dari sejumlah komponen yang saling terkait infrastruktur (termasuk sistem hukum, pembayaran, penyelesaian dan akuntansi), pasar (saham, obligasi, uang, dan derivatif) dan institusi (bank, perusahaan sekuritas dan investor institusi). 10 Firdaus F, F, A. Faiqoh Silvana, Ketegasan Regulasi Laporan Ketaatan Syariah dalam Optimalisaisi Financial Technology Lembaga Keuangan Syariah, Perisai, Vol. 1, No. 3, October 2017, Hlm. 49-94. 11 Menara M, S. Synergy To Build The Best - Laporan Tahunan 2018, Bank Mega Syariah Indonesia, 31 Desember, 2018, Hlm. 119.
76 mendukung dan memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan industri fintech syariah di Malaysia. Kedua, Inggris memiliki regulasi fintech yang efisien dan transparan12 dan terdapat regulator penting yang inisiatifnya telah berpengaruh di seluruh dunia.13 Sehingga, pada akhirnya Indonesia dapat berpedoman pada konsep yang diterapkan Malaysia dan Inggris dalam mengembangkan ekosistem fintech syariah. Berdasarkan uraian di atas, artikel ini disusun ke dalam dua permasalahan pokok. Pertama, apa urgensi pengaturan fintech syariah di Indonesia? Kedua, dengan memperhatikan penerapan regulasi fintech di Malaysia dan Inggris, bagaimana model regulasi fintech syariah yang relevan diterapkan oleh Indonesia? Adapun tujuan utama dari penelitian ini antara lain untuk menemukan kerangka hukum yang tepat mengenai pengembangan fintech syariah dan menentukan strategi yang tepat dalam merumuskan regulasi terhadap eksistensinya yang memiliki peluang begitu besar bagi pengembangan industri kecil di Indonesia. Terdapat beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini. Pertama, dengan diperolehnya kerangka hukum pengembangan fintech syariah yang tepat, maka penelitian ini mencoba menjawab serta menawarkan sebuah gagasan dalam rangka menjamin dan melindungi eksistensi fintech syariah beserta pelaku usaha lainnya dengan berpijak pada studi perbandingan terhadap penanganan masalah serupa di Malaysia dan Inggris. Kedua, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan kajian hukum khususnya dalam bidang industri teknologi keuangan syariah. 2. Analisis 2.1. Urgensi Pengaturan Fintech Syariah di Indonesia Industri Teknologi Keuangan Syariah atau Financial Technology (Fintech) Syariah 12
14
hadir di Indonesia seiring dengan pergeseran gaya hidup
Menara M, S. "Synergy to Build the Best - Laporan Tahunan 2018", Bank Mega Syariah Indonesia, 31 Desember, 2018, Hlm. 119. 13 Malaysia Financial Sector Assessment Program, "Financial Sector Performance, Vulnerabilities and Derivatives—Technical Note", International Monitary Fund, IMF Country Report, No. 14/98, April, 2014, Hlm. 8. 14 Aan S. A. M. Dimensi Ekonomi Islam dalam Sistem Pembiayaan Bank Syariah, Jurnal Iqtisaduna, Vol. 4, No. 1, Edisi Juni 2018, Hlm. 9, menjelaskan bahwa fintech syariah didefinisikan sebagai
77 masyarakatnya yang didominasi oleh penggunaan teknologi informasi. Keberadaan fintech syariah saat ini memang memberikan berbagai kemudahan bagi para penggunanya, diantaranya memudahkan para penggunanya dalam mencari barang dan juga proses transaksi yang mudah. Munculnya fintech syariah dinilai sebagai suatu peluang yang potensial. Ada beberapa hal yang mendasari hal tersebut, diantaranya kondisi geografis yang luas, pertumbuhan kelas menengah yang cukup besar dan penetrasi produk keuangan yang relatif kurang baik secara bersama-sama bergabung untuk menciptakan pasar yang tangguh untuk pengembangan fintech syariah di Indonesia.15 Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan industri fintech syariah. Yakni dengan jumlah penduduk sebesar 70% yang menggunakan ponsel untuk mengakses internet. 16 Sekaligus hal ini telah menciptakan lahan subur bagi peningkatan pesat industri fintech. Saat ini, tercatat sudah ada sebanyak 10 platform fintech syariah pada Desember 2017 dan tumbuh menjadi 28 platform di Februari 2018. Di samping itu, setidaknya sudah ada 4 (empat) perusahaan fintech lending syariah yang terdaftar di OJK,17 diantaranya Investree, Ammana, Danasyariah dan Danakoo.18 Setidaknya ada empat jenis industri fintech di Indonesia, antara lain industri fintech yang relatif besar, startup fintech, fintech sosial dan fintech dengan tipe 'pasar kredit’. Sebagai contoh tipe fintech yang sudah relatif berukuran besar, antara lain Amartha, Crowdo, Investree dan KoinWorks. Sementara itu, tipe startup fintech, diantaranya Doku, iPaymu, Midtrans, Kartuku dan Dimo. Tipe fintech sosial, diantaranya KitaBisa, GandengTangan dan Wujudkan. Adapun tipe industri fintech dengan pasar kredit pinjaman, yaitu Bareksa, Infovesta,
suatu kombinasi, inovasi yang ada dalam bidang keuangan dan teknologi yang memudahkan proses transaksi dan investasi berdasarkan nilai-nilai syariah. 15 Aam R. supra note 4, Hlm. 117. 16 Nurfalah, I. Rusydiana, A.S. Laila, N. & Cahyono, E.F, Early Warning to Banking Crises in the Dual Financial System in Indonesia: The Markov Switching Approach. JKAU: Islamic Economics, 31(2), Hlm. 133-156 17 Meline G, S. Urgensi Legalitas Financial Technology (Fintech): Peer to Peer (P2P) Lending di Indonesia, Jurnal Yuridis Unaja Vol. 1, No. 2, Desember 2018, Hlm. 70 18 Laporan OJK, Perusahaan Fintech Lending Berizin dan Terdaftar di OJK Per 8 April 2019.
78 Stockbit, IndoPremier, IndoGold dan Olahdana.19 Adapun saat ini hanya ada dua jenis fintech syariah di Indonesia, yaitu Peer to Peer Lending dan Crowdfunding. Peer to Peer Lending merupakan pola kerjasama antara pemberi pinjaman yang memberikan uang secara langsung kepada peminjam tanpa proses dan struktur lembaga tradisional.20 Dalam Islam, pola investasi peer to peer dapat ditemukan pada skema mudharabah, musyarakah, muzara’ah maupun musaqah. Sementara, Crowdfunding merupakan suatu model bagi individu, organisasi, maupun perusahaan yang mengumpulkan pendanaan dari banyak masyarakat untuk mendanai suatu produk/proyek tertentu.21 Beberapa platform crowdfunding Islam yang menonjol daripada platform yang lain dan memenangkan beberapa penghargaan, tiga diantaranya berasal dari Indonesia, yaitu sebagai berikut:22 Tabel 4.1 Perusahaan fintech yang beroperasi dalam Islamic Crowdfunding Platforms No
Nama
Negara
Keahlian
Perusahaan 1.
Pitchin
Malaysia
Reward
2.
Waqf world
Malaysia
Endowment investment
3.
Ethis Crowd
Singapura
Real estate investment
4.
Capital boost
Singapura
Investment
5.
Skolafund
Singapura
Donation
Indonesia
Investment
6.
19
Blossom Finance
7.
GandengTangan
Indonesia
No Interest Loans
8.
Wujudkan
Indonesia
Donation
Aam R. supra note 4, Hlm. 118. Alexandra M, Peer-to-Peer Lending, Data & Society Research Institute, New York, 2015, Hlm. 2. 21 Bernardo, N. The Future of Fintech: Integrating Finance and Technology in Financial Service, Springer Nature, Switzerland, 2017, Hlm. 286 22 GIFR, Islamic Finance in The Digital Age: Fintech Revolution, Global Islamic Finance Report 2017, Hlm. 286-287. 20
79 Berdasarkan tabel tersebut, merupakan perusahaan-perusahaan fintech yang mengoperasikan platform crowdfunding Islam, negara operasi dan spesialisasi mereka. Beberapa crowdfunding Islam tersebut menjadi lebih menonjol daripada yang lain dan telah memenangkan penghargaan bergengsi. EthisCrowd dianugerahi The Best Islamic Platform Crowdfunding di Global Islamic ke-6 Global Islamic Finance Awards (GIFA) 2016 pada bulan September 2016. 23 Sayangnya, platform dari Indonesia belum ada yang mendapat penghargaan. Dalam perkembangannya, banyak bermunculan fintech syariah dan hal tersebut dinilai juga banyak membawa peran penting terhadap pengembangan sektor rill Indonesia. Akan tetapi, fintech syariah di Indonesia masih terasa hampa regulasi hukum. Keberadaan fintech sejatinya membutuhkan regulasi yang tidak lagi semata-mata tergantung pada entitas/intermediari (entity-based regulation)
dan/atau
aktivitas
(activity-based
regulation),
melainkan
memberikan proporsi yang lebih pada regulasi berbasis aktivitas. 24 Regulasi yang mengatur fintech saat ini yaitu Peraturan OJK (POJK) Nomor: 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang diterbitkan pada akhir Desember 2016 lalu. Akan tetapi, peraturan tersebut hanya mengatur mengenai pembiayaan fintech dengan sistem konvensional dan belum mengatur sistem syariah yang saat ini juga sudah mulai berkembang. Di samping itu, fintech syariah juga harus menaati Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor: 117/DSN-MUI/II/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.25 Di lain pihak, Bank Indonesia juga telah menetapkan regulasi bagi para penyelenggara fintech yang aktivitasnya terkait dengan sistem pembayaran. Hal ini tertuang Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor: 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial dan ketentuan pelaksanaannya diatur dalam 23
Peraturan
Anggota
GIFR, supra note 49, Hlm. 286. Muhammad, A, N. supra note 28, Hlm. 11. 25 Aam R. supra note 4, Hlm. 118. 24
Dewan
Gubernur
(PADG)
Nomor:
80 19/14/PADG/2017 tentang Ruang Uji Coba Terbatas (Regulatory Sandbox) Teknologi Finansial dan PADG Nomor: 19/15/PADG/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran, Penyampaian Informasi, dan Pemantauan Penyelenggara Teknologi Finansial. Pasalnya, dari beberapa regulasi yang dikeluarkan baik itu dari OJK maupun Bank Indonesia masih ada ketidakjelasan pemisahan antara aturan untuk fintech konvensional dan fintech syariah. Oleh karena itu, perlu ada ketegasan dari pemerintah untuk dapat melindungi fintech di Indonesia dengan satu payung peraturan (regulatory umbrella). Sehingga, kebutuhan akan regulasi mengenai fintech ini dapat secepatnya terealisasikan untuk selanjutnya diselaraskan dalam bentuk regulasi fintech yang memayungi industri fintech di tataran wilayah Asia Tenggara. Di samping itu, perlu juga adanya suatu lembaga khusus yang mengawasi pergerakan fintech syariah di Indonesia. Dalam hal ini perlu adanya pembentukan Komite Nasional Fintech Syariah (KNFS) sebagai departemen khusus yang menaungi perkembangan dan pergerakan fintech syariah di Indonesia. Dengan demikian, komitmen pemerintah Indonesia dalam perlindungan terhadap pelaku dan pengguna fintech syariah dapat diperkuat dengan adanya regulasi yang komprehensif serta lembaga khusus yang memang secara spesifik memiliki fungsi untuk mendukung dan memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan industri fintech syariah di Indonesia. 2.2. Regulasi Fintech Syariah di Malaysia dan Inggris 2.2.1 Penerapan regulasi fintech syariah di Malaysia Penetrasi fintech dalam keuangan Islam masih dalam masa pertumbuhan dengan jumlah peserta yang relatif sedikit.26 Namun, potensi disruptif pada keuangan Islam tradisional tidak boleh diremehkan. Disrupsi keuangan Islam bak pisau bermata dua, ia dapat berayun kepada dua arah. Dari perspektif konsumen keuangan Islam, disrupsi fintech sebagian besar berdampak positif.27 Inovasi fintech memberikan pilihan yang lebih selaras dengan kebutuhan individu. Dengan lebih banyak pilihan, konsumen 26 27
Gillet, Kit (2017). Fintech and Islamic Finance: A mutually beneficial match?, The Banker. Juan S. Introducing Islamic Banks into Conventional Banking Systems, Washington: International Monetary Fund, IMF Working Paper No. 07/175, (2007), Hlm. 3.
81 menikmati biaya layanan keuangan yang lebih kompetitif. Selain itu, salah satu hal terbaik dari lahirnya fintech adalah kemampuannya untuk menyediakan akses solusi keuangan untuk sekitar dua miliar orang dewasa yang saat ini tidak memiliki rekening bank, seperti data yang dirilis oleh Bank Dunia.
28
Di sisi lain, penyedia keuangan tradisional Islam
menghadapi persaingan yang lebih intensif dengan fintech. Agar tetap kompetitif, mereka harus mengurangi margin laba pembiayaan dan biaya layanan. Dari situasi umum yang tergambar di atas, salah satu negara yang tengah berjibaku dengan situasi tersebut adalah Malaysia.29 Malaysia sebagai negara dengan mayoritas populasi muslim serta melek teknologi memiliki penetrasi perbankan online yang tinggi yaitu 85,1%. Kehadiran fintech tumbuh cepat, didukung oleh peraturan dan kebijakan progresif, serta inisiatif dari keuangan lembaga untuk terhubung dengan fintech.30 Malaysia berusaha untuk menjadi pusat regional Islamic Finance, karena 20 perusahaan manajemen dana Islam saat ini beroperasi di seluruh negara ini dan fintech juga terjun ke dalam Islamic Finance.31 Sejatinya, industri perbankan dan keuangan Islam Malaysia telah ada selama lebih dari 30 tahun silam. 32 Mulai dari pendirian bank syariah pertama pada tahun 1983 dan sesudahnya, dengan liberalisasi sistem keuangan Islam, lebih banyak lembaga keuangan Islam di Malaysia telah mapan. Sampai saat ini, Malaysia memiliki 17 bank syariah yang menyediakan spektrum luas mengenai produk dan layanan keuangan berdasarkan prinsip syariah. 33 Mengalami beberapa tahap perkembangan telah mengubah Malaysia menjadi salah satu pasar perbankan Islam paling
28
Dikutip dari https://www.businessinsider.com/the-worlds-unbanked-population-in-6-charts20178?IR=T pada tanggal 30 Juni 2019. 29 Ghazali, N. H., & Yasuoka, T. Awareness and Perception Analysis of Small Medium Enterprise and Start-up Towards Fintech Instruments: Crowdfunding and Peer-to-Peer Lending in Malaysia, International Journal of Finance and Banking Research, (2018), p. 13. 30 S. Ainin, C.H., Lim, A. W. Prospects and challenges of e-banking in Malaysia, Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries, (2005), p. 11. 31 Ibid. 32 M. Fazilah, A, S. (Ed.), The Malaysian Financial System an Overview, Kuala Lumpur: Universiti Malaya, Hlm. 6. 33 Zamri bin H. 2002, Islamic Banking: Its Legallmpedements and Reformation with Special Reference to Malaysia, Law Majalla, Vol. I, Hlm. 97.
82 maju di dunia.
34
Dan yang terbaru, Malaysia berinisiasi untuk
mempromosikan diri sebagai salah satu pusat kekuatan keuangan Islam di dunia, salah satunya melalui Malaysian International Islamic Financial Centre (MIFC).35 Di satu sisi, faktanya, sekitar 61% penduduknya atau bahkan lebih adalah Muslim, yaitu 18,4 juta orang dalam bentuk angka.36 Fakta inilah yang menawarkan peluang besar untuk semua solusi teknologi keuangan yang sepenuhnya sesuai dengan hukum Islam yang lazim di negara ini. Solusi pengembangan talenta dapat melampaui lingkaran komunitas layanan keuangan, untuk memasukkan komunitas bisnis lain, seperti Legal Fraternity, pejabat pemerintah dan penyedia solusi teknologi informasi.37 Kemajuan industri ini juga tergantung pada bagian sektor swasta dan publiknya. Kebutuhan pelatihan industri juga harus dipenuhi melalui program pelatihan terstruktur untuk memfasilitasi pemahaman mereka tentang spesifik keuangan Islam dan proposisi nilainya. Malaysia adalah salah satu contoh “negara teladan� dalam Islamic Fintech di dunia. Predikat tersebut diperkuat dengan memuncaknya lingkungan keuangan Islam yang berkembang pesat di Negeri Jiran tersebut, ditunjukkan dengan banyaknya lembaga yang melayani berbagai kebutuhan industri.38 Lembagalembaga tersebut, antara lain International Centre for Education in Islamic Finance atau Pusat Internasional untuk Pendidikan Keuangan Islam (INCEIF) dan International Shariah Research Academy for Islamic finance atau Akademi Riset Syariah Internasional untuk keuangan Islam (ISRA). Lembaga-lembaga tersebut diketahui telah mendapatkan pengakuan dunia dalam menghasilkan sumber daya dan
34
Ibid. Malaysian International Islamic Financial Centre (MIFC) dapat didefinisikan sebagai lembaga pemerintah yang diberi tanggung jawab untuk memajukan agenda teknologi-maju negara. 36 Zainal, A, A., Mohammad A. H., Nurretina A, S. & Dr Hassan A. 2007. Harmonizing Civil Litigation with Syariah Litigation in Islamic Banking: Malaysian Experience, Current Law Journal, Vol. 2, Hlm. 10. 37 Ibid. 38 Hamim S. Ahmad M., Naziruddin A., & Syed M. A. 2008. Efficiency and Competition of Islamic Banking in Malaysia, United Kingdom: Emerald Grouping Publishing Limited, Vol. 24 No. J, Hlm. 3. 35
83 kebutuhan penelitian untuk mendukung pertumbuhan industri keuangan yang dinamis. Disisi lain, bank-bank Islam dan penyedia layanan keuangan di Malaysia yang saat ini sedang menghadapi pertumbuhan global dalam sektor fintech tengah didorong untuk senantiasa mengembangkan lebih banyak produk baru startup fintech dalam rangka melalui fase disruptif yang saat ini sedang dialami oleh sektor keuangan global. 39 Fintech syariah memang telah menemukan pendukung yang berpengaruh. Menurut Marzunisham
Omar
(asisten
gubernur
Bank
Sentral
Malaysia),
pertumbuhan fintech memberikan peluang dalam seluruh sektor keuangan dan dengan demikian tidak dapat diabaikan oleh industri keuangan Islam khususnya di Malaysia di mana aset perbankan Islam berada di angka 30% dari seluruh sistem perbankan dan di mana jumlah konsumen dan pengguna mobile banking yang melek teknologi berkembang pesat sejalan dengan sebagian besar negara-negara Asia Tenggara lainnya. Industri keuangan Islam di Malaysia kini sedang berinvestasi lebih banyak dalam teknologi keuangan dan mendukung startup fintech. Sementara itu, Malaysia tengah mengevaluasi kembali dan merekayasa ulang model bisnis tradisional mereka dan membuka diri terhadap transformasi digital sebagai strategi baru di semua level perusahaan,40 baik itu operasional, struktural atau budaya. Melalui terobosan tersebut sejatinya Malaysia berpotensi besar untuk menjadi Islamic Fintech Hubs dunia. Pernyataan tersebut sejalan dengan data yang dirilis oleh Fintech Survey Report pada 2017 silam, sebagaimana grafik berikut ini.
39 40
Juan S, supra note 54, Hlm. 12. Lee, M, P., & Delta I, J. 2007, Islamic Banking and Finance Law, Petaling Jaya: Pearson Longman, Hlm. 4.
84
Gambar 3.2.1 Merujuk pada tabel di atas, Malaysia menduduki posisi teratas sebagai negara dengan startup Islamic fintech terbanyak di dunia sedangkan Indonesia membuntuti Malaysia di posisi ketiga. Dengan potensi sebesar itu, Indonesia sejatinya harus menggarisbawahi bahwa mereka membutuhkan lembaga keuangan Islam yang mapan selayaknya yang Malaysia miliki dalam
mendukung
segmen
yang
akan
datang
dan
membantu
mengembangkan solusi yang membuat perbankan syariah lebih cepat, lebih murah, lebih sederhana, lebih efisien dan lebih nyaman. Ini akan memungkinkan Indonesia untuk membuka pasar digital baru yang hampir tidak dapat dipikirkan beberapa tahun yang lalu. Perbankan Islam dan sistem keuangan di Malaysia telah mengalami proses implementasi yang terkoordinasi dan sistematis dengan baik. Prosesnya dapat dibagi menjadi tiga fase. Fase pertama dianggap sebagai periode sosialisasi (19831992). Ini adalah periode IBA yang secara resmi diberlakukan dan BIMB dioperasikan. Fase kedua, dari 1993-2003, bertujuan menciptakan suasana kompetisi di antara bank-bank. Itu mencoba untuk menangkap bangsa pasar yang lebih besar dan kesadaran masyarakat tentang sistem. Oleh karena itu, bank konvensional diizinkan untuk menawarkan layanan perbankan syariah dengan mendirikan jendela syariah pada tahun 1993. Fase ketiga yang dimulai sejak 2004 adalah periode
85 liberalisasi keuangan. 41 Selama periode ini, CBM membuka jalan bagi bank-bank Islam asing baru untuk beroperasi di Malaysia dengan cara mengeluarkan lisensi kepada mereka. Bersamaan dengan itu, bank konvensional juga diizinkan untuk mendirikan anak perusahaan mereka yang mengoperasikan sistem perbankan Islam penuh.42 Di sisi regulasi, Malaysia telah mengambil langkah proaktif untuk menyusun kerangka peraturan fintech. Malaysia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang mengeluarkan undang-undang tentang ekuitas crowdfunding (ECF) ketika Komisi Sekuritas atau Security Commission (SC) meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) pada tahun 2015 dan diterbitkan lisensi untuk 6 operator ECF. Pada Juni 2016, Bank Negara Malaysia (BNM), mendirikan Financial Technology Enabler Group (FTEG) untuk meningkatkan kebijakan regulasi untuk memfasilitasi adopsi teknologi inovasi dalam industri keuangan. Pada Oktober 2016, FTEG menerbitkan Kerangka Kerja Regulasi Peraturan Teknologi Keuangan atau Financial Technology Regulatory Sandbox Framework untuk aktifkan eksperimen solusi fintech dalam lingkungan hidup, sesuai kebutuhan persyaratan perlindungan dan peraturan.43 Di samping itu, Malaysia memiliki beberapa regulasi yang melandasi kegiatan keuangan Islam di Malaysia, salah satunya yaitu Central Bank of Malaysia Act atau Undang-Undang Bank Sentral Malaysia 1958 (CBMA) yang berkedudukan sebagai regulator di dalam industri fintech di Malaysia. Pada tahun 2003, amandemen dibuat untuk Undang-Undang Bank Sentral Malaysia 1958 (CBMA) dengan memasukkan ketentuan baru pasal 16B44 41
Mohamad A, L. 2007, Islamic Banking History and Current Global Trends (Presentation during Islamic Banking and Finance Course (Advanced), ILKAP). 42 Hamim S. Ahmad M., Naziruddin, A., & Syed M. A,2008, Efficiency and Competition of Islamic Banking in Malaysia, United Kingdom: Emerald Grouping Publishing Limited, Vol. 24 No. J, Hlm. 3. 43 Fintech Regulatory Sandbox Framework (2016) http://www.bnm.gov.my/index.php?ch=en_announcement&pg=en_announcement&ac=467&la ng=en (Diakses tanggal 30 Juni 2019). 44 Pasal 16 B Undang-undang Bank Sentral Malaysia berbunyi : The Bank may establish a Syariah Advisory Council, which shall be the authority for the ascertainment of Islamic law for the purposes of Islamic banking business, takaful business, Islamic financial business, Islamic development financial business, or any other business which is based on Syariah principles and is supervised and regulated by the Bank.�
86 yang menyediakan antara lain untuk penunjukan kualifikasi dan regulasi Shariah Advisory Council atau Dewan Penasihat Syariah (SAC) dari CBMA yang akan memberi nasihat kepada CBMA tentang masalahmasalah Syariah terkait dengan industri keuangan Islam. 45 Berdasarkan amandemen ini, setiap lembaga keuangan yang mengoperasikan perbankan Islam dan bisnis keuangan dari waktu ke waktu harus mencari nasihat dari SAC untuk memastikan bahwa operasi bisnisnya sesuai dengan prinsipprinsip syariah. Dengan
demikian,
dapat
dipahami
bahwa
Malaysia
mampu
membuktikan kapabilitasnya dalam menangani dan menciptakan kondisi ekosistem Islamic fintech yang kolaboratif melalui pembentukan regulasi yang berpihak pada perlindungan para pihak yang terlibat di dalamnya. Begitu juga, komitmen pemerintah Malaysia dalam hal tersebut diperkuat dengan adanya lembaga-lembaga khusus yang memang secara spesifik memiliki fungsi untuk mendukung dan memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan industri Islamic fintech di Malaysia. Sehingga, pada akhirnya Indonesia bisa berpedoman pada konsep yang diterapkan Malaysia dalam mengembangkan ekosistem Islamic fintech, mulai dari kerangka kebijakan hingga pembentukan lembaga serupa Shariah Advisory Council. 2.2.2 Penerapan regulasi fintech syariah di Malaysia Brexit46 mungkin berada di ambang batas, kerapatan ekonomi mungkin akan terus mengencang dan dunia politik mungkin semakin menantang, tetapi keuangan Islam di Inggris terlihat berkembang dengan sangat cepat, dengan arus investasi yang masuk dan terus meningkat, Islamic fintech
45
Bank Negara Malaysia, Shariah Resolutions in Islamic Finance, Kuala Lumpur: Bank Negara Malaysia, hlm.25, Securities Commission, (2006), Resolutions of the Securities Commission of Shariah Advisory Council (Second Edition), Kuala Lumpur: Securities Commission, 2007, Hlm. 20. 46 �Brexit� adalah terminologi yang populer belakangan dalam hubungannya dengan keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE), melalui referendum di Inggris pada 23 Juni 2016. Referendum ini berkembang fenomenal hingga saat ini. Anggota UE lain mengantisipasi dengan cemas hasil dan implikasinya secara luas dan dalam jangka panjang. Sebagian besar mengharapkan Inggris tetap menjadi bagian UE, sebagian lagi menyiapkan tindakan darurat, dan bahkan balasan, jika Inggris keluar. ―tre‖ digunakan untuk mengritik dan menyudutkan Brussels, Belgia, markas UE yang dinilai selama ini menggerogoti kedaulatan Inggris dengan beban-beban regulasinya
87 muncul sebagai lokomotif Inggris dan London Stock Exchange menjadikannya sebagai lokasi listing global terkemuka di luar negara muslim. Melihat Islamic fintech tidak tumbuh secara merata di tepi ekonomi global, Inggris pun menjadi salah satu negara yang berani menjadikan momen ini sebagai peluang untuk mendorong investasinya pasca krisis ekonomi yang membengkak. Inggris, di mata global, telah lama berada di garis depan dalam jasa keuangan. 47 Namun, seiring berkembangnya waktu, tanggapan positif sektor ini dalam revolusi industri keempat benar-benar merubah pola sistem ekonomi di Inggris dan memancing untuk terus bersaing secara kompetitif. Perkembangan pesat yang dipengaruhi oleh luasnya penggunaan teknologi, regulasi yang lebih menjangkau, dan pemberdayaan pelanggan dalam jasa layanan keuangan, dengan cepat telah memicu pertumbuhan fintech di Inggris dan ekspansi di seluruh dunia. Tak butuh waktu lama, saat ini, Inggris telah menjadi pusat fintech global terkemuka dengan lingkup ekosistem yang berkembang begitu pesat dan menarik pemerhati investor internasional yang mencakup seluruh negara di dunia. 48 Dengan banyaknya perusahaan fintech yang mengekspor secara global dari Inggris, salah satu hal unik yang perlu dilirik oleh negara di Asia yaitu fintech Islam yang tumbuh secara baik dan menjadikan Inggris sebagai kiblat ekonomi islam di luar negara Islam. Awalnya, keuangan Islam datang memberi beberapa peluang besar untuk masa depan ekosistem industri di Inggris pasca-gap ekonomi yang baru saja dialaminya. Laporan tersebut memaparkan dan mengenalkan tren global dalam keuangan Islam dengan fokus khusus pada pengembangan pasar di Inggris.49 Semakin pentingnya industri ini bagi investor Islam dan investor lain di seluruh dunia kemudian dibuktikan dengan pertumbuhannya yang kuat dalam beberapa tahun terakhir. Aset yang sesuai syariah (hukum Islam) 47
Harrison., Martin, Islamic Finance & The UK, Glocer Economic Report Series - Management School Lancaster University, May, 2018, Hlm. 11. 48 IFN, IFN UK Report 2018, Islamic Finance News, 2018, Hlm. 10. 49 Cameron., David. UK Excellence in Islamic Finance, United Kingdom Trade and Investment, October, 2014, Hlm. 8.
88 hanya membentuk sekitar 1% dari aset keuangan dunia; namun secara global, sekitar satu dari empat orang adalah Muslim. 50 Oleh karena itu, potensi yang cukup besar ada untuk perluasan pasar ini. Pada akhirnya, Inggris menjadi pusat terkemuka untuk keuangan Islam dalam lingkup negara non-muslim. Hal ini dibuktikan dengan jumlah lembaga ternama di London dan di seluruh negeri yang menawarkan layanan keuangan Islam hampir dua kali lipat dari jumlah lembaga yang berlokasi di Amerika Serikat dan jauh di depan negara-negara barat lainnya.51 Lebih dari 20 bank, yang lima di antaranya sepenuhnya syariah, dilisensikan di Inggris. Sebagai contohnya, London Stock Exchange (LSE)52 adalah tempat global utama untuk penerbitan Sukuk (obligasi Islam). Fintech Islam telah berkembang dengan pesat di Inggris, diantaranya 53 Yielders dan Ummah Finance. Tujuan perusahaan-perusahaan tersebut yaitu untuk meningkatkan dan mengubah cara umat Islam berpartisipasi dalam sistem perbankan Inggris.54 Pemerintah, regulator dan industri harus terus bekerja sama, tidak hanya untuk menumbuhkan sektor ini dan mempertahankan posisi unggul Inggris dalam Islamic fintech. Perkembangan besar seperti Sukuk yang berdaulat di Inggris, yang pertama di luar dunia Islam, dan inisiatif pemerintah Inggris lainnya untuk menciptakan medan bermain yang setara bagi lembagalembaga Islam dan klien mereka disambut dengan baik. 55 Pemerintah Inggris diminta untuk terus mendorong investasi ke dalam melalui keuangan Islam dan layanan terkait; untuk menggunakan interaksi dengan pemerintah lain dan bisnis internasional, untuk memfasilitasi pertumbuhan
50
Ernst & Young, UK FinTech on the Cutting Edge: An Evaluation of the International FinTech Sector‖, 2016, Hlm. 12. 51 Tomas H., Alex L., & Joshua T. UK FinTech: State of the Nation, Department for International Trade, 2019, Hlm. 48 52 London Stock Exchange adalah bursa efek yang terletak di Kota London, Inggris. Pada April 2018, London Stock Exchange memiliki kapitalisasi pasar sebesar US $ 4,59 triliun. Perusahaan ini didirikan pada 1571, menjadikannya salah satu pertukaran tertua di dunia 53 HM T. The Development of Islamic Finance in the UK: the Government’s perspective, 2008, Hlm. 7. 54 Global Fintech Hub Report, The Future of Finance is Emerging: New Hubs, New Landscapes, Centre for Alternative Finance-University of Cambridge, 2018, Hlm. 21. 55 Ibid. Hlm. 22.
89 dan penciptaan lapangan kerja; dan untuk membangun keunggulan yang Inggris miliki sebagai pusat keuangan Islam terkemuka di barat. Lebih dari sekedar kemjuan Islamic fintech, Inggris adalah penyedia global utama dalam keahlian hukum spesialis yang diperlukan untuk membangun regulasi keuangan Islam. Inggris sendiri adalah rumah bagi lebih dari 200 firma hukum internasional.56 Setidaknya 25 dari perusahaanperusahaan ini, termasuk kemitraan global, telah membentuk perlindungan hukum keuangan Islami yang berdedikasi.57 Mayoritas kontrak Islam diatur oleh hukum Inggris yang menyediakan kerangka kerja yang fleksibel untuk struktur pembiayaan Islam tradisional. Ini juga memberi para pihak keyakinan bahwa perjanjian mereka akan ditegakkan oleh pengadilan. Perusahaan jasa profesional utama, termasuk PwC, KPMG, EY, Deloitte dan Grant Thornton - masing-masing telah membentuk tim keuangan Islam di London yang menyediakan layanan spesialis termasuk saran tentang pajak, daftar, transaksi, kepatuhan terhadap peraturan, manajemen, operasi, dan sistem TI. 58 London adalah tempat yang sangat mendukung untuk fintech dengan berbagai program yang dirancang untuk memudahkan perusahaan berbagai skala. Sektor ini diatur oleh Otoritas Perilaku Keuangan (Financial Conduct Authority) 59 , yang telah dengan hati-hati membangun program dukungan untuk perusahaan fintech melalui Project Innovate.60 Project Innovate pun menawarkan dukungan langsung kepada perusahaan dalam memahami lanskap pengaturan dan bagaimana penerapannya pada mereka secara khusus, membantu mereka menyiapkan 56
Anjalika B., Wayne E., & Mingjie T. Global Trends in Islamic Finance and the UK Market, TheCityUK Research, September 2017, Hlm. 15. 57 Ibid. Hlm. 16. 58 Dinar S. Islamic FinTech Report 2018: Current Landscape and Path Forward, Dubai Islamic Economy Development Centre, 2018, Hlm. 15. 59 Otoritas Perilaku Keuangan (FCA) adalah badan pengatur keuangan di Inggris, tetapi beroperasi secara independen dari Pemerintah Inggris, dan dibiayai dengan membebankan biaya kepada anggota industri jasa keuangan. 60 Project Innovate diresmikan oleh FCA pada Oktober 2014. Tujuan pokok didirikannya Project Innovate adalah: • Mendorong inovasi untuk kepentingan konsumen. • Mempromosikan persaingan melalui inovasi yang mengganggu - yang menawarkan layanan baru kepada pelanggan dan menantang model bisnis yang ada.
90 aplikasi untuk otorisasi pengaturan dan membantu perusahaan fintech untuk memperluas ke luar negeri. FCA juga mengoperasikan Regulatory Sandbox melalui Project Innovate, yang memungkinkan perusahaan fintech menguji produk mereka di pasar nyata tetapi tanpa tunduk pada persyaratan peraturan penuh.61 Selain regulator berkualitas tinggi, London juga merupakan rumah bagi Innovate Finance, sebuah badan yang didedikasikan untuk mewakili kepentingan komunitas fintech Inggris. Perusahaan fintech London dapat mengakses berbagai layanan dukungan melalui Innovate Finance, yang bertindak sebagai satu titik akses ke pembuat kebijakan, regulator, investor, pelanggan, pendidik, bakat, dan mitra komersial utama. Ini memberikan dukungan penting bagi 250 anggotanya, sambil memberi mereka suara publik.62 Maka jelas, sisi kualitas fintech yang maju juga didukung dengan regulasi yang tepat dalam menciptakan lingkungan peraturan yang tepat adalah hal yang penting untuk memastikan bahwa perusahaan inovatif dapat bersaing dan tumbuh. Dengan meluncurkan Project Innovate pada Oktober 2014 lalu jelas sangat membantu mendorong dan mendukung inovasi dalam layanan fintech di Inggris, khususnya Islamic fintech, sehingga membawa negara ini menjadi nomor satu dalam perkembangan fintech Umum maupun Islam. Hal ini penting untuk mencapai tujuan persaingan FCA - yang bertujuan untuk mendorong inovasi demi kepentingan konsumen, dan mempromosikan persaingan melalui inovasi yang mengganggu yang menawarkan layanan baru kepada pelanggan dan menantang model bisnis yang ada.
61
Project Innovate diresmikan oleh FCA pada Oktober 2014. Tujuan pokok didirikannya Project Innovate adalah: • Mendorong inovasi untuk kepentingan konsumen. • Mempromosikan persaingan melalui inovasi yang mengganggu - yang menawarkan layanan baru kepada pelanggan dan menantang model bisnis yang ada. 62 Dinar Standard, Islamic FinTech Report 2018: Current Landscape and Path Forward, Dubai Islamic Economy Development Centre, 2018, Hlm. 18.
91 3. Penutup 3.1 Kesimpulan Perkembangan teknologi menjadi peluang bagi semua industry termasuk industri keuangan khususnya industri fintech syariah untuk merevolusi kegiatan konvensional menjadi sebuah inovasi layanan dan produk digital yang memudahkan masyarakat dalam mengaksesnya. Namun, potensi disruptif pada fintech syariah tidak boleh diremehkan. Disrupsi fintech syariah bak pisau bermata dua, ia dapat berayun kepada dua arah. Sisi baiknya, Inovasi fintech memberikan pilihan yang lebih selaras dengan kebutuhan individu. Dengan lebih banyak pilihan, konsumen menikmati biaya layanan keuangan yang lebih kompetitif. Sehingga, teknologi terbaru yang dianut oleh fintech yang memanfaatkan internet, perangkat seluler dan integrasi media sosial menjadikan transaksi keuangan lebih mudah dan nyaman digunakan. Namun sebaliknya, fintech syariah menemui beberapa masalah dan tantangan yang dihadapi dalam proses pengembangan skema syariah di dalam industri keuangan nasional. Berdasarkan analisis, artikel ini merangkum beberapa masalah inti dan tantangan dalam proses pengembangan industri fintech syariah tersebut, yakni: Pertama, minimnya instrumen regulasi yang komprehensif dalam rangka melindungi proses kerja industri fintech syariah serta para pihak yang terlibat di dalamnya. Kedua, prinsip-prinsip syariah yang diterapkan oleh fintech syariah kerap berbenturan dengan skema teknologi keuangan konvensional sehingga berakibat pada terhambatnya penyelenggaraan fintech syariah itu sendiri. Ketiga, kurangnya sinergi antara lembaga jasa keuangan dengan lembaga keuangan syariah yang bermuara pada rapuhnya landasan serta instrumen kebijakan yang dilahirkan cenderung tidak bernafaskan semangat pembangunan ekonomi syariah nasional. Keempat, minimnya infrastruktur serta lembaga spesifik yang menunjang perkembangan dan pengawasan industri fintech syariah di Indonesia. Sehingga, dari keempat persoalan tersebut pada akhirnya mengerucut pada satu pertanyaan besar tentang bagaimana model regulasi fintech syariah yang relevan diterapkan oleh Indonesia.
92 Dengan mengambil perbandingan dengan Malaysia dan Inggris, artikel ini melihat beberapa aspek dalam penyusunan model regulasi fintech tersebut. Pertama, Malaysia, mampu membuktikan kapabilitasnya dalam menangani dan menciptakan kondisi ekosistem fintech syariah yang kolaboratif melalui pembentukan regulasi yang berpihak pada perlindungan para pihak yang terlibat di dalamnya. Begitu juga, komitmen pemerintah Malaysia dalam hal tersebut diperkuat dengan adanya lembaga-lembaga khusus yang memang secara spesifik memiliki fungsi untuk mendukung dan memfasilitasi perkembangan dan pertumbuhan industri fintech syariah di Malaysia. Kedua, Inggris memiliki regulasi fintech yang efisien dan transparan dan terdapat regulator penting yang inisiatifnya telah berpengaruh di seluruh dunia. Sehingga, pada akhirnya Indonesia dapat berpedoman pada konsep yang diterapkan Malaysia dan Inggris dalam mengembangkan ekosistem fintech syariah. 3.2. Saran Sejalan dengan kesimpulan di atas, penulis melalui artikel ini mencoba menawarkan beberapa saran dalam rangka mengakomodir persoalanpersoalan yang timbul dalam proses penyelenggaraan industri fintech syariah di Indonesia. Pertama, dalam upaya pengembangan fintech syariah di Indonesia, jelas aktor utamanya yakni pemerintah yang dalam hal ini diposisikan sebagai regulator. Karena urgensinya yang benar-benar besar, penulis menilai perlu untuk mendesak pemerintah agar segera menelurkan regulasi yang secara spesifik mengatur dan melindungi para pihak yang terlibat dalam fintech syariah secara tegas, menyeluruh dan transparan. Regulasi ini nantinya akan menjadi landasan kerangka kerja yang diharapkan mampu memfasilitasi industri fintech syariah di Indonesia. Kedua, kapabilitas sumber daya manusia dalam hal ini regulator beserta para pegiat industri fintech syariah juga harus terus ditingkatkan agar dalam perjalanannya fintech syariah ini berjalan dengan seimbang dan baik serta tidak melenceng dari prinsip syariah Islam. Peningkatan kapabilitas tersebut dapat diwujudkan melalui pembinaan literasi berupa pengetahuan dan pemahaman terkait fintech syariah dari segala aspek baik materi maupun aspek praktisnya.
93 Ketiga, mengingat fintech syariah memiliki kompleksitas tersendiri dalam pengaturan hukumnya sesuai dengan prinsip syariah Islam, penulis menilai pembentukan lembaga syariah khusus yang mewadahi industri fintech syariah menjadi sebuah keniscayaan. Dalam rangka memberikan infrastruktur tersebut, penulisan menawarkan solusi berupa pembentukan Komite Nasional Fintech Syariah (KNFS) konsepnya terilhami dari lembaga serupa Shariah Advisory Council di Malaysia serta Project Innovate di Inggris yang dalam prosesnya nanti berfungsi untuk mengawasi dan memfasilitasi industri fintech syariah di Indonesia. Berada di bawah naungan Bank Indonesia yang berkedudukan sebagai regulator dalam finance industry, nantinya akan memastikan KNFS berjalan tetap pada koridor yang telah ditentukan. Keempat, perlunya konsolidasi kerjasama sinergis antar lembaga keuangan dengan lembaga keuangan syariah. Idealnya, antar kedua lembaga tersebut harus menyatukan visi serta mempertegas komitmen untuk bersama-bersama mengembangkan industri fintech yang bernafaskan semangat pembangunan ekonomi nasional serta menghasilkan sebuah landasan yang kokoh bagi industri ini.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Cameron, D. (2014). UK Excellence in Islamic Finance United Kingdom Trade and Investment. United Kingdom. Kotler, P & Armstrong, G (1999), Principles of Marketing Prentice Hall. London. Malaysia, Bank Negara (2007). Shariah Resolutions in Islamic Finance. Bank Negara Malaysia, Kuala Lumpur. Mokhtar, Hamim, S.A. Naziruddin A, & Syed M, A. (2008), Efficiency and Competition of Islamic Banking in Malaysia, Emerald Grouping Publishing Limited. United Kingdom. Nicoletti, B. (2017), The Future of Fintech: Integrating Finance and Technology in Financial Service, Springer Nature, Switzerland.
94 Nurfalah, I. Rusydiana, A, S. Laila, N. & Cahyono, EF. (2018), Early Warning to Banking Crises in the Dual Financial System in Indonesia: The Markov Switching Approach, Islamic Economics, JKAU. Pheng, Lee, M. & Delta, I, J. (2007), Islamic Banking and Finance Law, Pearson Longman, Petaling Jaya. Samad, M. Fazilah, A. (2006), The Malaysian Financial System an Overview, Universiti Malaya, Kuala Lumpur. Soekanto. Soerjono. & Sri, M. (1985), Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Sole. Juan. (2007), Introducing Islamic Banks into Conventional Banking Systems, International Monetary Fund, Washington DC. Standard. Dinar. (2018), Islamic FinTech Report 2018: Current Landscape and Path Forward, Dubai Islamic Economy Development Centre, Dubai. JURNAL Fahmi. Firdaus. Febiola, A. & Faiqoh, S. (2017). "Ketegasan Regulasi Laporan Ketaatan Syariah dalam Optimalisaisi Financial Technology Lembaga Keuangan Syariah", Perisai, Vol. 1, No. 3. GIFR. (2017). "Islamic Finance In The Digital Age: Fintech Revolution", Global Islamic Finance Report. Harahap. Sofyan, S. (2001), "Prinsip-Prinsip Akuntansi Islam", Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Vol. 1, No. 1. Hawkins, Penelope. (2011). "Financial Access and Financial Stability", BIS Working Papers. Helm. Tomas. Alex, L & Joshua, T. (2019). UK FinTech: State of the Nation, Department for International Trade Publish. International Organization of Securities Commissions (2017), IOSCO Research Report on Financial Technologies (Fintech). Mayor, L. (2017). London's Fintech Scene at a Glance, London & Partners Publish. OJK, Laporan (2019). "Perusahaan Fintech Lending Berizin dan Terdaftar di OJK Per 8 April 2019".
95 Program, Malaysia Financial Sector Assessment (2014) Financial Sector Performance, Vulnerabilities and Derivatives Technical Note, International Monitary Fund. IMF Country Report, No. 14/98. Prawirasasra, K, P. (2018). Financial Technology in Indonesia: Disruptive or Collaborative?, Reports on Economics and Finance. Rusydiana, A, S. (2018). Developing Islamic Financial Technology in Indonesia, Hasanuddin Economics and Business Review, Vol. 2, No. 2. Rusydiana, A, S. (2018). Bagaimana Mengembangkan Industri Fintech Syariah di Indonesia? Pendekatan Interpretive Structural Model (ISM), Jurnal AlMuzara’ah, Vol. 6 No. 2. Sitompul, M, G. (2018). Urgensi Legalitas Financial Technology (Fintech): Peer to Peer (P2P) Lending di Indonesia, Jurnal Yuridis Unaja, Vol. 1, No. 2. Snyers, R, H, A. (2018) Cryptocurrencies and Blockchain, Policy Department for Economic, Scientefic and Quality of Life Policies. Suhendri, A. dan Ahmad M. 2018, Dimensi Ekonomi Islam dalam Sistem Pembiayaan Bank Syariah, Jurnal Iqtisaduna, Vol. 4, No. 1. Syariah, M, M. 2018, Synergy To Build The Best - Laporan Tahunan 2018, Bank Mega Syariah Indonesia. Zain, M, F. 2018, Mining-Trading Cryptocurrency dalam Hukum Islam, Fakultas Syari'ah IAIN Purwokerto, Vol. XII, No. 1. INTERNET Businessinsider, 2017, The Worlds Unbanked Population in 6 Charts 2017, https://www.businessinsider.com/the-worlds-unbanked-population-in6charts-2017-8?IR=T, [Diakses pada tanggal 30 Juni 2019]. Bank Negara Malaysia, 2018, Fintech Regulatory Sandbox Framework, http://www.bnm.gov.my/index.php?ch=en_announcement&pg=en_announ c ement&ac=467&lang=en, Diakses tanggal 30 Juni 2019. The Star, 2016, Business News, https://www.thestar.com.my/business/businessnews /2016/11/04/ sc-issues-p2p-licences/, [Diakses pada tanggal 30 Juni 2019]. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Bank Sentral Inggris. Undang-Undang Bank Sentral Malaysia 1958.
96 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, POJK Nomor 77/POJK.01/2016.
97 OPTIMALISASI SISTEM LAYANAN PENGADILAN BERBASIS ELEKTRONIK GUNA MENJAMIN KETERBUKAAN INFORMASI MENUJU PERADILAN YANG MODERN Muhamad Edo Khoirul Majid1, Naura Hafiza Ainayyah2, Naila Amrina3 1
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. E-mail: edokhoirul76@gmail.com Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. E-mail: nauraainayyah@gmail.com 3 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. E-mail: nailaamrina20@gmail.com
2
Abstrak Teknologi di era revolusi industri 4.0 menyebabkan penggunaan teknologi informasi menjadi kebutuhan utama. Dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik, Mahkamah Agung melakukan pembenahan administrasi peradilan yang salah satunya diimplementasikan pada layanan sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) dan Electronic Court (E-Court). Penelitian ini bertujuan untuk mencari solusi dalam mengoptimalkan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik guna menjamin keterbukan informasi menuju peradilan yang modern. Metode penulisan yang digunakan adalah metode legal research, berupa peraturan perundang–undangan, buku, jurnal, dan publikasi bereputasi mutakhir. Hasil penelitian menunjukan bahwa Pertama, berdasarkan perspektif hukum SIPP dan E-Court dalam sistem layanan pengadilan berbasis elektronik di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Kedua, strategi untuk mengoptimalkan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik guna menjamin keterbukaan informasi yang dilakukan dengan upaya sebagai berikut: (1) penguatan sumber daya manusai melalui pelatihan yang berkala dan terintegrasi; (2) pemberian fasiltias coaching bagi pihak yang berpekara; dan (3) pengintegrasian sistem SIPP dan ECourt menjadi satu pintu. Kata kunci: Media Elektronik; Pelayanan Publik; Revolusi Industri 4.; Sistem Layanan Pengadil 1. Pendahuluan Perkembangan teknologi saat ini sangat dipengaruhi oleh era globalisasi yang terus berkembang dan menyebabkan penggunaan teknologi menjadi sebuah kebutuhan utama yang umum bagi kehidupan manusia di era modern. Hal ini sejalan pula dengan kenyataan bahwa revolusi industri yang telah mencapai tingkat keempat menjadi faktor utama yang menandakan semakin berkembangnya kemajuan suatu negara, baik negara maju maupun berkembang, terhadap pemanfaatan teknologi. Menurut Kagermann, industri 4.0 merupakan integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam berbagai proses, dimana CPS menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya melalui proses fisik dan komputasi serta memiliki kemampuan untuk
98 berkomunikasi dan bekerja sama secara real time termasuk dengan manusia melalui bantuan IoT dan IoS sebagai bentuk dari aplikasi layanan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal maupun antar organisasi. 1 Itulah sebabnya, kemajuan teknologi informasi menjadi sasaran utama di era revolusi industri 4.0 yang dimanfaatkan ke dalam berbagai media, salah satunya media elektronik Menurut Kagermann, industri 4.0 merupakan integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam berbagai proses, dimana CPS menggabungkan antara dunia nyata dengan dunia maya melalui proses fisik dan komputasi serta memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama secara real time termasuk dengan manusia melalui bantuan IoT dan IoS sebagai bentuk dari aplikasi layanan yang dapat dimanfaatkan oleh setiap pemangku kepentingan baik secara internal maupun antar organisasi. 2 Itulah sebabnya, kemajuan teknologi informasi menjadi sasaran utama di era revolusi industri 4.0 yang dimanfaatkan ke dalam berbagai media, salah satunya media elektronik. Dewasa ini, media elektronik seringkali dimanfaatkan oleh berbagai kalangan untuk berbagai keperluan, termasuk oleh Pemerintah. Salah satunya sebagai media untuk akses pelayanan publik, yang melingkupi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. Pelayanan publik merupakan suatu kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara negara pelayanan publik yaitu institusi penyelenggara negara, korporasi, dan lembaga independen.3 Penyelenggaraan pelayanan publik telah diatur dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Undang-Undang Pelayanan Publik) yang menandai adanya kepastian hukum dalam hubungan antara 1
Prasetyo, H. & Sutopo, W. (2018). Industri 4.0: Telaah Klasifikasi Aspek dan Arah Perkembangan Riset. J@ti Undip: Jurnal Teknik Industri, 13(1), 30. 2 Ibid. 3 Pengadilan Negeri Karanganyar. Pelayanan Publik. [Online]Tersedia di: http://pnkaranganyar.go.id/main/index.php/berita/artikel/973-pelayanan-publik [Diakses pada 10 Juli 2019].
99 masyarakat dan penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan publik. Undang-Undang Pelayanan Publik menyatakan bahwa pelayanan publik harus dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan demi menciptakan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik yang harus dijunjung tinggi. Namun pada pelaksanaannya, pelayanan publik oleh aparatur pemerintah masih banyak dijumpai kelemahan dan belum dapat memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Hal ini ditandai dengan banyaknya keluhan masyarakat, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik terhadap penyelenggara pelayanan publik.
4
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Peneliti
Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), ditemukan beberapa kelemahan pada pelayanan publik di pengadilan.5 Pertama, jadwal sidang yang seringkali tidak sesuai. Ketepatan waktu dan efektifitas dalam pemeriksaan perkara berdampak pada pemenuhan asas peradilan cepat, sederhana dan berbiaya ringan. Pelanggaran terhadap asas ini pun merugikan para pihak, karena tak kunjung memberikan kepastian hukum. Kedua, layanan informasi di pengadilan. Menurutnya, setiap orang memiliki akses informasi yang sama di pengadilan. Namun praktiknya, terjadi perbedaan perlakuan yang diberikan oleh petugas pengadilan terhadap pemohon informasi. Masyarakat awam hukum cenderung mendapatkan informasi lebih terbatas dibanding pemohon informasi tertentu. Ketiga, pungutan liar. Selain persoalan kualitas pelayanan, MaPPI menemukan permasalahan integritas petugas pengadilan. Setidaknya, masih terdapat pengadilan memungut biaya layanan informasi yang bersifat umum. Sebagai lembaga publik tempat masyarakat mencari keadilan, sudah seharusnya lembaga peradilan memberikan pelayanan publik dengan kualitas yang baik. Berdasarkan laporan masyarakat yang diterima Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dibandingkan pada tahun 2015, jumlah pelaporan 6.859 dan akhir tahun
4
Shoim, M. (2011). Interaksi Antara Pelayanan Publik Dan Tingkat Korupsi Pada Lembaga peradilan Di Kota Semarang. MMH 4(1). 25 5 Hidayat, R. MA Harus Fokus Pembenahan Pelayanan Publik di Pengadilan. [Online]Tersedia di: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b6fbf0efdf6/ma-harus-fokuspembenahanpelayanan-publik-di-pengadilan/ [Diakses pada 31 Juli 2019].
100 2016 meningkat mencapai angka 10.153. 20% pelaporan tersebut diantaranya terkait layanan bidang penegakan hukum, salah satunya lembaga peradilan.5 Pada periode 2014, jumlah laporan masyarakat terkait dengan substansi peradilan sebanyak 234 laporan. Sedangkan periode 2015, sebanyak 296 laporan. Periode Januari-Juli 2016 sebanyak 220 laporan masyarakat.
Gambar 2. Laporan Masyarakat berdasarkan Instansi Terlapor Triwulan I Tahun 2018 (Sumber: ORI Laporan Triwulan I Tahun 2018) Dari gambar diatas, dapat diketahui bahwa pada tahun 2018 lembaga peradilan masih mendapat laporan yang cukup banyak terkait pelayanan untuk masyarakat. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik, Mahkamah Agung (MA) melakukan pembenahan administrasi peradilan sebagaimana instruksi dalam cetak biru pembaharuan peradilan 2010 – 2035. Salah satu prinsip MA dalam melakukan pembaharuan peradilan yaitu dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk memberikan kemudahan pelayanan publik. Pelayanan publik prima yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi (e-government) dapat menciptakan keterbukaan informasi serta mendorong terciptanya good governance6, sebagaimana amanat UndangUndang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik). Sehingga pemanfaatan teknologi informasi menjadi suatu keharusan demi menciptakan lembaga peradilan yang transparan dan akuntabel serta memiliki kredibilitas tinggi di masyarakat.
6
Purnama, F. A. Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Meningkatkan Pelayanan Publik. [Online] Tersedia di: http://jdih.babelprov.go.id/content/meningkatkan-pelayanan-publik [Diakses pada 13 Juli 2019].
101 Salah satu wujudnya yaitu dengan implementasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) di 4 (empat) badan peradilan di bawah MA berdasarkan Surat
Sekretaris
MA
Nomor:1012/SEK/HM.02.3/12/2017.
Dengan
diimplementasikannya SIPP ini, telah memberikan citra baik terhadap transparansi dan kemudahan akses informasi peradilan dalam proses penanganan perkara, karena dapat diakses oleh masyarakat kapanpun dan dimanapun dengan mudah, cepat, dan murah. Upaya peningkatan kualitas pelayanan publik lainnya dibuktikan dengan diluncurkannya layanan sistem Electronic Court (E-Court) berdasarkan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi di Pengadilan Secara Elektronik (PERMA tentang Administrasi di Pengadilan Secara Elektronik). Adanya layanan sistem E-Court ini merupakan upaya MA untuk memenuhi asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Layanan sistem E-Court disediakan sebagai perangkat yang membantu masyarakat dalam proses pendaftaran dan pembayaran perkara di pengadilan serta pemanggilan para pihak melaui media elektronik. Mencermati pelaksanaan layanan SIPP dan E-Court sejak diluncurkan, ditemukan beberapa kelemahan yang membuat sistem layanan tersebut tidak digunakan secara optimal. Kelemahan tersebut dilihat dari keseimbangan ketiga unsur hukum yang mendasari pembentukannya. Ketiga unsur hukum yang meliputi substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum perlu diperhatikan untuk menciptakan sistem hukum yang berjalan efektif. Pada pelaksaannya, layanan ECourt ini belum maksimal digunakan oleh infrastruktur pendukung yang utama, yakni oleh penegak hukum maupun bagi pihak yang berperkara. Hal tersebut dapat dilihat dari sedikitya perkara yang didaftarkan melalui layanan E-Court. Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi untuk mengoptimalkan penggunaan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik. Selain infrastruktur Sumber Daya Manusia (SDM) yang belum memadai, problematika lainnya ialah ketidakmerataan kualitas sarana teknologi dan tingkat literasi teknologi di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini berpengaruh pada efektivitas penggunaan layanan SIPP dan E-Court. Minimya sosialisasi sebelum sistem layanan tersebut diluncurkan dianggap sebagai pemicu kurang optimalnya penggunaan SIPP dan E-Court. Memang tidak dapat dipungkiri, sistem layanan
102 pengadilan berbasis elektronik di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara maju, seperti Negara Singapura dan Australia yang sudah menerapakan sistem layanan berbasis elektronik lebih awal.7 2. Analisis 2.1 Perspektif Hukum Terhadap Peluang dan tantangan Pemanfaatan Layanan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Dan Electronic Court (E-Court) Dalam Sistem layanan pengadilan Berbasis Elektronik di Indonesia Dalam perjalannya, MA membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melakukan proses transformasi keterbukaan informasi pengadilan. Pada masa sebelum reformasi, hampir semua jenis informasi dikelola oleh pengadilan secara tertutup. Dalam beberapa kasus, pengadilan menolak permintaan masyarakat sipil untuk mengakses putusan. Pengadilan terkesan takut memperlihatkan putusan yang mereka hasilkan. Selain itu, informasi yang juga sulit untuk diakses adalah rekam jejak hakim, biaya layanan pengadilan, anggaran pengadilan, dan lainnya. Telah menjadi rahasia umum bahwa ketertutupan semacam ini hanya bisa terbuka melalui “uang pelicin” atau “bantuan orang dalam”. Bisa dibayangkan bagaimana akses terhadap informasi yang tersumbat turut menyumbang perilaku tidak bersih dalam lingkungan peradilan. Pengadilan di masa lampau dinilai tidak menyadari bahwa keterbukaan pengadilan bukan hanya dilihat dari persidangan yang terbuka untuk umum, melainkan juga dokumen yang berkaitan dengan proses peradilannya. Penyempitan makna keterbukaan pengadilan hanya pada sidang saja mereduksi prinsip keterbukaan pengadilan. Pengadilan belum memahami “prinsip pengadilan yang terbuka” (open court principle) yang berlaku secara universal. Mengutip riset mengenai ketertutupan pengadilan yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2001, dinyatakan bahwa ketertutupan pengadilan mulai
7
Atikah, I. (2018). Implementasi E-Court dan Dampaknya Terhadap Advokat Dalam Proses Penyelesaian Perkara di Indonesia. Proceeding – Open Society Conference. hlm. 109.
103 terjadi dari hal yang paling sederhana, yaitu informasi mengenai biaya pendaftaran perkara di pengadilan khususnya terhadap perkara perdata.8 Dampak dari ketertutupan informasi pengadilan juga dirasakan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Permintaan LeIP kepada Departemen Kehakiman dan MA mengenai data hakim dan pegawai pengadilan yang pernah dijatuhi sanksi administratif berujung pada penolakan. Permintaan LeIP ditolak dengan alasan bahwa informasi tersebut bersifat rahasia. 9 Sekilas hal ini memberikan gambaran mengenai ketertutupan informasi pengadilan, membuat masyarakat bertanyatanya mengapa pengadilan yang seharusnya turut melindungi hak asasi warga negara justru merenggut hak untuk memperoleh informasi. Idealnya, pengawasan publik terhadap putusan menjadi bentuk permintaan tanggung jawab dari publik kepada hakim dan sarana kontrol atas penyalahgunaan wewenang hakim. Namun, terhambatnya akses publik terhadap putusan pengadilan menyebabkan minimnya pengawasan terhadap putusan. Mengingat sulitnya akses terhadap putusan, tidak heran jika saat itu proses pengajaran berbasis putusan dan diskursus hukum berbasis putusan sangat minim. Semua praktik di atas berujung pada korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam tubuh pengadilan. Pentingnya keterbukaan disadari oleh MA sebagai lembaga tertinggi yang menaungi 4 (empat) pengadilan di Indonesia. MA terus berupaya mengambil langkah untuk memberikan hak masyarakat memperoleh informasi peradilan. Langkah awal yang ditempuh oleh MA yaitu dengan menyusun cetak biru pembaharuan peradilan. Upaya selanjutnya ialah dengan ditetapkannya Surat Keputusan Ketua MA Nomor 144/KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan (SK KMA 144/2007). SK KMA 144/2007 menjadi tuntutan bagi pengadilan untuk mempermudah akses informasi pengadilan. Secara umum, keputusan ini mengatur beberapa hal, yaitu: 1. Hak masyarakat dan kewajiban pengadilan;
8
Indonesia Corruption Watch. (2002). Menyingkap Tabir Mafia Peradilan (hlm. 117). Jakarta: Indonesia Corruption Watch, sebagaimana dikutip dalam Indonesia Corruption Watch. (2014). Kebebasan Informasi Milik Siapa(hlm.144). Jakarta: Indonesia Corruption Watch, hlm. 144. 9 Assegaf R. S. & Katarina, J. (2005). Membuka Ketertutupan Pengadilan (hlm. 23). Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan.
104 2. Informasi yang harus diumumkan pengadilan; 3. Informasi yang dapat diakses publik; 4. Tata cara memperoleh informasi; 5. Mekanisme keberatan. Namun, apa yang terjadi di lapangan belum tentu sesuai dengan yang diharapkan. Ternyata kelahiran SK KMA 144/2007 ini belum berdampak signifikan bagi publik. Sebuah kegiatan uji coba keterbukaan informasi di Pengadilan dan Kejaksaan yang dilakukan oleh LeIP dalam kurun waktu Februari-Juni 2010 menunjukkan bahwa keterbukaan informasi belum dilaksanakan secara penuh oleh Pengadilan dan Kejaksaan. Sikap tertutup, birokrasi yang panjang, respon yang lambat dan waktu pelayanan yang lama seolah menjadi menu harian bagi sebagian besar pemohon informasi di Pengadilan dan Kejaksaan. 10 Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan dua tahun sebelumnya. Survei yang dilaksanakan oleh LeIP di 27 Pengadilan di 5 (lima) kota besar, yakni Jakarta, Yogyakarta, Makassar, Medan, dan Kupang pada tahun 2008, menunjukkan bahwa dari 174 informasi yang dimintakan ke Pengadilan, 56 atau 32,2 % di antaranya tidak dapat diakses oleh pemohon informasi. Alasan yang diberikan pihak pengadilan pun bermacam-macam, dari mulai informasi yang diminta belum final atau bahkan tidak ada, harus ada surat referensi atau izin dari pihak yang berwenang, kekhawatiran akan menyalahgunakan informasi, hingga penolakan tanpa alasan. Bahkan pengadilan juga kerap memungut biaya tidak resmi untuk informasi yang seharusnya menjadi hak publik. Kompleksnya legal issue akibat ketertutpan informasi di lembaga peradilan, menjadi alasan kuat bagi MA untuk terus memperbaiki dan menciptakan inovasiinovasi dalam sistem informasi peradilan. Memasuki era revolusi industri 4.0, muncul berbagai peluang baru di bidang teknologi yang memberikan kemudahan untuk mengakses informasi. Kini banyak sistem pelayanan publik dikonversi menjadi bentuk pelayanan yang lebih mudah dan cepat melalui pemanfaatan media elektronik. Hal ini juga dimanfaatkan oleh MA dengan menghadirkan berbagai macam inovasi pelayanan publik, seperti Sistem Informasi Penelusuran Perkara 10
Berita Peradilan Edisi I. Agustus 2010. hlm.2.
105 (SIPP) dan Electronic Court (E-Court). Kedua sistem layanan berbasis elektronik tersebut menjadi bukti konsistensi MA untuk memajukan dan memperbaiki pelayanan publik di pengadilan. Melalui layanan SIPP dan E-Court, MA berharap dapat meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan peradilan guna menjamin penyediaan informasi yang mudah, cermat, cepat dan akurat. Dalam hal ini, Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik diklaim sebagai pendukung ke arah perubahan yang signifikan atas performa dari pelayananpelayanan publik dan bertujuan untuk mempermudah akses publik dan transparansi, termasuk birokrasi di institusi-institusi peradilan.11 Pada dasarnya, transaparansi peradilan bukan saja menjadi kebutuhan publik tetapi juga kebutuhan seluruh warga badan peradilan. Dengan adanya transparansi peradilan, secara perlahan akan terjadi penguatan akuntabilitas dan profesionalisme serta integritas warga peradilan. Adanya layanan SIPP dan E-Court merupakan langkah strategis lembaga peradilan Indonesia untuk membangun kepercayaan masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan peradilan.
Kedua sistem layanan ini juga ditujukan untuk memberikan
perlindungan bagi setiap warga negara dari penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sejatinya, penyelenggaraan SIPP dan E-Court telah didasarkan pada berbagai peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Penyelenggaraan SIPP dan E-Court merupakan amanat dari Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan penjabaran dari Undang-Undang tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi, serta Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Secara lebih teknis, aturan tentang penyelenggaraan E-Court diatur dalam PERMA tentang Administrasi di Pengadilan Secara Elektronik, sedangkan implementasi SIPP berdasarkan Surat Sekretaris MA Nomor: 1012/SEK/HM.02.3/12/2017 tentang Implementasi SIPP Versi 3.2.0 di Empat Lingkungan Peradilan. Selain itu,
11
Rofieq, A. (2011). Pelayanan Publik dan Welfare State. governance, 2(1). 103.
106 penyelenggaaraan SIPP dan ECourt juga dinilai telah memenuhi Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), diantaranya adalah: 1. Asas Keterbukaan 2. Asas Kepentingan umum dan kesamaan hak 3. Asas Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan 4. Asas Akuntabilitas Kendati
telah memenuhi
substansi hukum
yang menjadi
dasar
penyelenggaraan SIPP dan E-Court, namun dalam implementasinya masih ditemukan beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut merupakan tantangan yang timbul akibat pemanfaatan teknologi informasi. Beberapa tantangan tersebut diantaranya: (1) ketidakmerataan kualitas sarana teknologi; (2) ketidakmerataan tingkat literasi teknologi di seluruh wilayah Indonesia; (3) Kurangnya kesiapan infrastruktur pendukung yakni SDM, baik pihak pelaksana (penegak hukum) maupun pihak berperkara. Tantangan tersebut berdampak besar pada penggunaan SIPP dan E-Court, sebab ketiga komponen tersebut menyebabkan tidak optimalnya penggunaan SIPP dan ECourt. Berdasarkan hasil observasi penulis di lingkungan pengadilan, ketiga tantangan tersebut menjadi penyebab tidak optimal pengggunaan E-Court. Hal ini dapat dilihat dari Hasil Rekapitulasi Perkara E-Court sejak diluncurkan tanggal 13 Juli 2018 hingga 19 Juli 2019. Penulis mengambil sampel pada beberapa pengadilan yang berada di provinsi Indonesia. Tabel 1. Jumlah Perkara Melalui E-Court di Provinsi Sumatra Utara No.
Nama Unit Kerja
Jumlah perkara melalui E-Court
1.
PA Binjai
51 perkara
2.
PA Kisaran
18 perkara
3.
PA Kabanjahe
1 perkara
4.
PA Balige
0 perkara
5.
PA Gunung Sitoli
0 perkara
Tabel 2. Jumlah Perkara Melalui E-Court di Provinsi Sulawesi Selatan No.
Nama Unit Kerja
Jumlah perkara melalui E-Court
1.
PA Bulukumba
34 perkara
107 2.
PA Makassar
24 perkara
3.
PA Pare-Pare
2 perkara
4.
PA Pasangkayu
1 perkara
5.
PA Selayar
0 perkara
Tabel 3. Jumlah Perkara Melalui E-Court di Provinsi Jawa Barat No.
Nama Unit Kerja
Jumlah perkara melalui E-Court
1.
PA Ciamis
949 perkara
2.
PA Bandung
128 perkara
3.
PA Bekasi
32 perkara
4.
PA Cianjur
5 perkara
5.
PA Ngamprah
0 perkara
Sumber: hasil olah penulis berdasarkan data dari Pengadilan Agama Tigaraksa Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah perkara melalui E-Court di setiap wilayah. Selain faktor dari perbedaan jumlah pihak berperkara di setiap wilayahnya, faktor pemicu lainnya disebabkan oleh ketidakmerataan sistem teknologi dan tingkat literasi teknologi di setiap wilayah serta ketidaksiapan SDM pendukung. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tantangan dari pemanfaatan teknologi pada sistem layanan pengadilan belum dapat dihindari. Melihat beberapa problematika tersebut, tentu perlu dilakukan optimalisasi pada sistem layanan pengadilan berbasis elektronik untuk memberikan keterbukaan informasi yang maksimal. Sebab sejatinya, keterbukaan informasi tidak saja bermakna sebagai bentuk pelayanan publik akan tetapi juga merupakan suatu bentuk sistem kontrol terhadap proses peradilan di Indonesia. Dari sudut pengawasan tersebut, maka akan mendorong hakim berhati-hati, bermutu, dan tidak memihak sehingga melahirkan kinerja hakim yang profesional dan akuntabel. 2.2 Strategi Optimalisasi Sistem Layanan Pengadilan Berbasis Elektronik Guna Menjamin Keterbukaan Informasi Menuju Peradilan Yang Modern Keterbukaan informasi merupakan wujud nyata dari akses terhadap keadilan (acces to justice) yang diberikan oleh pengadilan pada tingkatan terbawah hingga pada MA. Dengan adanya transparansi pelayanan informasi di lingkungan
108 peradilan, maka secara perlahan dapat meningkatkan lembaga peradilan menjadi profesional, efektif, efisien, transparan dan akuntabel, dalam rangka terciptanya integritas dan kepastian hukum warga peradilan. Sehingga dapat meningkatkan citra peradilan di mata masyarakat, badan legislatif maupun badan eksekutif di Indonesia. Dalam menjamin keterbukaan informasi pengadilan, diperlukan banyak dukungan berupa kebijakan dari Pimpinan MA, perbaikan sistem pengelolaan informasi, peningkatan publikasi informasi sampai pemaknaan keterbukaan informasi pengadilan lebih dalam. Dalam hal ini, MA tidak boleh berdiri sendiri, dibutuhkan berbagai pihak untuk mendukung transparansi informasi peradilan. Masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus turut mendorong keterbukaan informasi tersebut. Kontrol publik terhadap pengadilan mutlak diperlukan dan satu-satunya cara untuk melakukan hal tersebut adalah dengan memiliki akses terhadap informasi yang dikelola oleh pengadilan. Untuk menjaga konsistensi penerapan keterbukaan informasi, diperlukan kerjasama dan koordinasi yang baik pada Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dalam memberikan informasi yang dibutuhkan. Adanya SDM yang berkompetensi dan berdedikasi untuk menjadi organ pelaksana pelayanan pengadilan merupakan salah satu faktor sangat penting, untuk mendorong perubahan budaya kerja agar lebih terbuka dan profesional dalam melayani permohonan informasi.12 Selain perlunya kerjasama dan koordinasi yang baik pada internal pelayanan di pengadilan, diperlukan pula faktor pendukung lainnya. Oleh karena itu, agar memberikan manfaat yang sesuai dengan tujuan layanan sistem pengadilan berbasis elektronik ini, maka perlu diadakan sosialisasi lebih masif kepada masyarakat tentang keterbukaan informasi pengadilan. Dengan demikian, keterbukaan informasi peradilan bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga peradilan, namun merupakan tanggung jawab bersama antara lembaga peradilan, komunitas hukum dan masyarakat, untuk memanfaatkan serta merespon keterbukaan informasi yang telah dilaksanakan oleh badan peradilan. 12
Nursadi, H. (2014). Pengertian Sistem Hukum. Jakarta: Sistem Hukum Indonesia. SIP4131/MODUL 1, hlm. 3.
109 Dalam rangka menciptakan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik yang berdayaguna dan berkemanfaatan, maka perlu dilakukan pengkajian serta penelaahan terkait sistem hukum yang mendasari pembentukannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman mengenai pembaharuan sistem hukum, dibutuhkan keseimbangan pada ketiga unsur hukum untuk menciptakan sistem hukum yang berjalan efektif, yang meliputi: 1. Substansi hukum (sistem substansial), meliputi pembaharuan bidang hukum materiil, hukum formal, serta hukum pelaksanaan. 2. Struktur hukum (sistem struktural), tercakup di dalamnya pembaharuan badan penyidik, badan penuntut, badan pengadilan, serta badan pelaksana pelayanan publik. 3. Budaya hukum (sistem kultural), meliputi pembaharuan bidang moral pelaku, serta pendidikan hukum mengenai pelayanan publik. Pertama, faktor substansi hukum mensyaratkan peraturan hukum yang akan ditegakkan dengan pengkaidahannya harus jelas dan tegas serta tidak mengandung multi-interpretasi. Dalam hal ini, adanya sistem layanan pengadilan berbasis elektronik telah sesuai dengan amanat Pasal 28F UUD NRI Tahun 1945 serta peraturan perundang-undangan yang saling berkaitan, seperti Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, UndangUndang tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan aturan teknis lainnya yang mengatur lebih khusus terhadap sistem layanan pengadilan tersebut. Kedua, faktor struktur hukum sangat ditentukan oleh aparat penegak hukum, yaitu orang-orang atau pejabat-pejabat yang secara langsung berhubungan dengan pelaksanaan, pemeliharaan, dan usaha mempertahankan hukum. Seorang penegak hukum harus menguasai makna kaidah-kaidah hukum yang ada, baik tertulis maupun tidak tertulis, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan kebutuhannya, harus mengetahui batas wewenangnya, mempunyai keterampilan dalam melaksanakan tugasnya, serta memiliki integritas. 13 Dalam hal ini, berdasarkan hasil observasi penulis bahwa tidak semua pegawai di pengadilan terutama hakim siap untuk mengikuti perubahan
13
Rahardjo, S. (2009). Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis (hlm. 13). Yogyakarta: Gentra Publishing.
110 yang sangat masif pada sistem peradilan. Sehingga ketidaktelitian seringkali terjadi dalam memasukan data pada apliaksi yang tersedia. Ketiga, faktor kultural masyarakat atau budaya hukum, yang berupa suatu jaringan nilai-nilai dan sikap yang berhubungan dengan hukum, sehingga menentukan kapan dan mengapa orang-orang berpaling kepada hukum, atau kepada pemerintah, atau meninggalkannya sama sekali. Tentunya, dalam pelaksanaan setiap kebijakan dan tindakan, pemerintah hendaknya melibatkan masyarakat (partisipasi masyarakat) untuk melakukan pengawasan dalam rangka penegakan hukum di pelayanan publik. 14 Kemudian, Lawrence M. Friedman menjelaskan lebih lanjut mengenai budaya masyarakat, bahwa budaya hukum merupakan ideide, sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum bahwa:15 1. Budaya hukum seseorang akan menentukan perilaku menerima atau
menolak hukum. 2. Perbedaan budaya hukum para pelaku dapat menimbulkan interpretasi dan
pemahaman terhadap norma hukum. 3. Dalam menjalankan fungsi hukum maka hukum selalu berhadapan dengan
nilai-nilai atau pola perilaku yang telah mapan dalam masyarakat, sehingga dapat muncul ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya (das sollen) dan apa yang senyatanya (das sain), ada perbedaan antara law in the book and law in action. 4. Budaya hukum eksternal dan budaya hukum internal.
Membahas mengenai budaya hukum di masyarakat, setiap kali adanya pembaharuan dalam hukum, maka perlu memperhatikan nilai-nilai dan pola perilaku di masyarakat. Dalam hal terjadinya pembaharuan media yang masif pada sistem peradilan, maka diperlukan penyesuaian apakah media pada sistem peradilan yang tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Berdasarkan uraian diatas, maka penyelenggaraan pelayanan publik yang hanya bertumpu pada pembenahan aspek substansi hukum mengakibatkan nafas dari pelayanan publik tidak dapat ditegakan. Oleh karena itu, peran struktur hukum, 14
Suparman, H. A. (2014). Penegakan Hukum Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Jurnal Wawasan Hukum, 31(2). 102 15 Friedman, L. M. (1984). hat is a Legal System dalam American Law (hlm. 48). New York: W.W Norton and Company.
111 budaya hukum, serta kesadaran hukum masyarakat merupakan jembatan yang sangat efektif dalam rangka melakukan penegakan hukum dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, 16 yang dilaksanakan melaui sistem layanan pengadilan berbasis elektronik. Adapun strategi yang ditawarkan oleh penulis untuk melakukan optimalisasi sistem layanan pengadilan SIPP dan E-Court, yakni dengan upayaupaya berikut: 1. Penguatan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan pelatihan atau bimbingan teknis untuk meningkatkan kualitas menjadi hal yang utama, mengingat keberhasilan layanan SIPP dan ECourt tidak terlepas dari peran penegak hukum sebagai pelaksana. Selain itu, penguatan kualitas SDM juga harus dilakukan terhadap pihak berperkara sebagai user atau pengguna. Maka sosialisasi yang intensif merupakan cara yang solutif agar masyarakat memahami perkambangan yang terjadi dalam proses peradilan di Indonesia. 2. Pemberian Fasilitas Coaching bagi Pihak Berperkara Sistem layanan pengadilan berbasis elektronik dapat dikatakan hal yang baru dalam sistem peradilan Indonesia. Oleh karena itu, penjelasan mengenai mekanisme E-Court tidak cukup sebatas melalui website terkait, namun pihak pengadilan wajib memberikan penjelasan lebih lanjut (Coaching) kepada pihak berperkara baik penasihat hukum maupun tergugat dan penggugat. Sebab pengguna user yang dapat terdaftar pada E-Court hanya penasihat hukum yang telah mendapat validasi dari MA. 3. Pengintegrasian SIPP dan E-Court menjadi Satu Pintu Pada dasarnya, salah satu menu pada layanan SIPP dan E-Court memiliki fungsi yang sama, yaitu memberikan informasi proses perkara di pengadilan. Oleh karena itu, untuk menghindari inefisiensi kerja PPID, maka SIPP dan E-Court dapat diintegrasikan dan bergerak menjadi satu fungsi melaui E-Letigation. E-Letigation ini akan memberikan kemudahan dalam proses berperkara, mulai dari pendaftaran perkara, pertukaran dokumen (replik, duplik, kesimpulan, dan jawaban) hingga 16
Friedman, L. M. (2013). Hukum Konstitusi Dan Konsep Otonomi (hlm. 46). Malang: Setara Press.
112 putusan pengadilan secara elektronik. Dengan penyatuan fungsi tersebut, maka sistem layanan pengadilan dapat berjalan lebih efektif dan efisien menuju peradilan yang modern. Selain itu, masyarakat dapat menggunakan aplikasi pelayanan publik ini dengan lebih mudah karena hanya membutuhkan satu pintu saja. Dengan adanya keterbukaan dan jaminan hak untuk memperoleh informasi pengadilan, maka pencari keadilan, publik, dan media massa dapat mengamati, memantau, dan mengkritisi proses peradilan. Kontrol publik terhadap pengadilan tidak akan terjadi jika keterbukaan dan jaminan untuk memperoleh informasi tidak ada. Maka, optimalisasi sistem layanan pengadilan berbasis elektronik yang mengakomodasi keterbukaan informasi pengadilan menjadi kunci dan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Dengan demikian, cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang modern dapat segera diterpkan di Indonesia. Oleh karena itu, melaui penggunaan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik yang optimal, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk berkontribusi menggunakan sistem layanan yang tersedia, serta digunakan sebagai media untuk memberikan pengawasan dalam pelaksanaan sistem peradilan. Sehigga pengawasan pejabat publik di lembaga peradilan tidak hanya dilakukan oleh lembaga berwenang, namun juga dilakukan secara langsung oleh masyarakat, untuk menjamin keterbukaan informasi di lembaga peradilan dan mengantarkan badan peradilan Indonesia menuju peradilan yang modern. 3. Penutup Berdasarkan penjabaran yang telah dikemukakan penulis sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, yakni: 1. Berdasarkan perspektif hukum terhadap pemanfaatan sistem layanan pengadilan berbasis elektronik, layanan SIPP dan E-Court belum sepenuhnya berjalan dengan optimal. Kendati penyelenggaraan SIPP dan E-Court
telah
memenuhi
substansi
hukum
baik
peraturan
perundangundangan terkait dan memenuhi asas dalam AAUPB, namun dalam
implementasinya
masih
ditemukan
beberapa
kelemahan.
Kelemahankelemahan tersebut merupakan tantangan yang timbul akibat pemanfaatan teknologi informasi. Beberapa tantangan tersebut diantaranya: (1) ketidakmerataan kualitas sarana teknologi; (2) ketidakmerataan tingkat
113 literasi teknologi di seluruh wilayah Indonesia; (3) Kurangnya kesiapan infrastruktur pendukung yakni SDM, baik pihak pelaksana (penegak hukum) maupun pihak berperkara. Maka perlu dilakukan optimalisasi pada sistem layanan pengadilan berbasis elektronik untuk memberikan keterbukaan informasi yang maksimal. 2. Untuk menciptakan strategi dalam melakukan optimalisasi sistem layanan pengadilan berbasis elektronik, perlu dikaji dan ditelaah terkait keseimbangan pada ketiga unsur hukum demi menciptakan sistem hukum yang berjalan efektif. Ketiga unsur hukum tersebut meliputi: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Beberapa kelemahan pada layanan SIPP dan E-Court disebabkan oleh ketidakseimbangan antara substansi hukum dengan struktur dan budaya hukum. Dalam hal ini, SDM (penegak hukum dan pihak berperkara) belum sepenuhnya siap untuk menerima perubahan yang begitu masif pada sistem peradilan Indonesia. Maka penguatan peran struktur hukum, budaya hukum, serta kesadaran hukum masyarakat merupakan jembatan yang sangat efektif dalam rangka melakukan penegakan hukum dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Saran Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk menciptakan sistem hukum yang berjalan efektif, perlu adanya keseimbangan antara ketiga unsur hukum. Substansi hukum yang sempurna tidak ada artinya jika tak sejalan dengan peran SDM sebagai infrastruktur pendukung yang utama dalam melaksanakan sistem layanan pengadilan. Oleh karena itu, perlu dilakukan strategi dalam optimalisasi sistem pengadilan, dengan melakukan upayaupaya berikut: (1) penguatan sumber daya manusia; (2) pemberian fasilitas coaching bagi pihak berperkara; dan (3) pengintegrasian SIPP dan E-Court menjadi satu pintu. Melalui melakukan
upaya-upaya
tersebut,
maka
dapat
mengantarkan
Indonesia
mewujudkan keterbukaan informasi peradilan menuju peradilan yang modern.
114 DAFTAR PUSTAKA BUKU: Assegaf, Rifqi S. dan Josi Katarina. 2005. Membuka Ketertutupan Pengadilan, Jakarta: Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan. Farihah, Liza. 2014. “Bunga Rampai Kisah Masyarakat Sipil Melawan Korupsi”. Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). Friedman, Lawrence M. 1984. “What is a Legal System” dalam American Law. New York: W.W Norton and Company . 2013. Hukum Konstitusi Dan Konsep Otonomi. Malang: Setara Press. Indonesia Corruption Watch. 2002. Menyingkap Tabir Mafia Peradilan. Jakarta: Indonesia Corruption Watch., sebagaimana dikutip dalam Indonesia Corruption Watch. 2014. Kebebasan Informasi Milik Siapa. Jakarta: Indonesia Corruption Watch. Nursadi, Harsanto. 2014. Pengertian Sistem Hukum. Jakarta: Sistem Hukum Indonesia. SIP4131/MODUL 1. Rahardjo, Satjipto. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta: Gentra Publishing. JURNAL: Atikah, Ika. 2018. “Implementasi E-Court dan Dampaknya Terhadap Advokat Dalam Proses Penyelesaian Perkara d di Indonesia”. Proceeding – Open Society Conference. Rofieq, Ainur. 2011. “Pelayanan Publik dan Welfare State”. Governance. Vol. 2. No. 1. November 2011. Shoim, Muhammad. 2011. “Interaksi Antara Pelayanan Publik Dan Tingkat Korupsi Pada Lembaga peradilan Di Kota Semarang”. MMH Jilid 4. No. 1. Maret 2011. Suparman, H. Asep. 2014. “Penegakan Hukum Terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Bandung: Jurnal Wawasan Hukum”. Vol. 31. No. 2 PERATURAN PERUNDANGAN: Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
115 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. LN. No.3 Tahun 2009, TLN. No. 4958 Indonesia. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. LN. No. 61 Tahun 2008, TLN. No. 4846 Indonesia. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. LN. No. 102 Tahun 2009, TLN. No. 5038 Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. LN. No. 157 Tahun 2009, TLN. No. 5076 Indonesia. Undang–Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. LN. No. 292 Tahun 2014, TLN. No. 5601 Indonesia. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. LN. No. 251 Tahun 2016, TLN. No. 5952 Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi di Pengadilan Secara Elektronik. BN. No. 454 Indonesia Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 144/KMA/SK/VIII/ 2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Surat Sekretaris Mahkamah Agung Nomor: 1012/SEK/HM.02.3/12/2017 tentang Implementasi SIPP Versi 3.2.0 di Empat Lingkungan Peradilan. INTERNET: Hidayat, Rofiq. “MA Harus Fokus Pembenahan Pelayanan Publik di Pengadilan”. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b6fbf0efdf6/ma-harusfokuspembenahan-pelayanan-publik-di-pengadilan/. Diakses pada Rabu, 31 Juli 2019.Nursobah, Asep. 2018. “Era Baru Pengadilan Indonesia: Modern dan Berbasis Teknologi Informasi”. https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/kegiatan/1605-erabarupengadilan-indonesia-modern-dan-berbasis-teknologi. Diakses pada 19 Juli 2019. Pengadilan Negeri Karanganyar. 2015. “Pelayanan Publik” http://pnkaranganyar.go.id/main/index.php/berita/artikel/973-pelayananpublik. Diakses pada tanggal 10 Juli 2019.
116 RESPONSIVE LAW SYSTEM OF FINANCIAL TECHNOLOGY: UPAYA REKONSTRUKSI KONSEP PENYELESAIAN SENGKETA PEER-TOPEER LENDING Nabila Aulia Rahma1, Adi Fauzanto2, Keri Pranata3 1 Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya. E-mail: nabilaauliarahma99@gmail.com 2 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. E-mail: irex.rigaz@gmail.com 3 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. E-mail: keripranata1195@gmail.com
Abstrak: Revolusi Industri 4.0 telah memberi dampak serius terhadap Indonesia. Salah satunya adalah pemanfaatan Financial Technology (Fintech) yang merupakan strategi dalam menjawab tantangan keuangan inklusif, yang diwujudkan melalui akses masyarakat terhadap layanan keuangan. Melihat kinerja dan regulasi yang telah diterbitkan oleh pemerintah dan OJK terhadap perkembangan Fintech, nampaknya belum cukup. Hal tersebut bisa dicermati dari adanya problemproblem dalam mengaplikasikan fintech di lapangan,yaitu: adanya entitas Fintech P2P Lending Ilegal, suku bunga yang tinggi dan penagihan secara intimidatif terhadap konsumen. Sehingga, diperlukan rekonstuksi pengaturan dalam pengawasan, perlindungan para pihak hingga penyelesaian sengketa bagi pengguna fintech. Penelitian yang kami gunakan adalah yuridis normatif dan empiris yang nantinya memuat:Pertama, sinergitas sebagai peran antar elemen dalam menjalankan fungsinya terhadap pengaturan dan pengawasan Fintech. Kedua adalah hasil dari sinergitas stakeholders yaitu rekonstuksi pengaturan Fintech Ilegal. Terakhir adalah perlindungan konsumen, dengan merancang empat pilar yaitu infrastruktur, regulasi pengawasan market conduct, edukasi dan komunikasi. Kata Kunci: Financial Technology; Inovasi Disruptif; OJK; Pinjaman Online; P2P Lending Ilegal. 1. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami dampak dari Revolusi Industri 4.0. Disadari atau tidak, banyak aspek dari teknologi Revolusi Industri ke-4 ini menjadi cikal bakal lahirnya inovasi radikal di bidang-bidang baru, seperti bidang ekonomi, keuangan, transaksi jual-beli, komunikasi, dan sebagainya. Dengan demikian, munculnya Industri 4.0 ini Indonesia dituntut untuk terus mengembangkan aspek sumber daya sebagai haluan dalam pengembangan dan
117 kemajuan negara dalam mensejahterakan masyarakatnya. Salah satunya adalah pemanfaatan Financial Technology (Fintech) yang merupakan strategi dalam menjawab tantangan yang berkaitan dengan aspek pemerataan pembangunan dan perkembangan ekonomi, termasuk masalah keuangan inklusif. Fintech merupakan sebuah inovasi bisnis dalam layanan keuangan yang berhasil mentransformasi suatu sistem atau pasar yang telah eksisting, dengan memperkenalkan kepraktisan, kemudahan akses, kenyaman dan biaya ekonomis, sehingga Fintech saat ini dikenal sebagai Inovasi Disruptif (Distruptive Innovation). 1 Sebagaiman contoh, kehadiran start up Gojek yang dimasanya membawa perubahan besar-besaran hingga mendestruktif konsep transportasi umum konvensional yang selama ini ada dan regulasi terkait transportasi umum. 2 Untuk mengatasi hal tersebut, Pemerintah telah membentuk Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemerintahan dalam hal ini presiden dan kementerian terkait serta lembaga independen seperti seperti OJK dan BI.3 Sementara itu, Lembaga Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan Fintech adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebagaimana diamanatkan, OJK memiliki peran dalam melakukan edukasi dan perlindungan kepada konsumen.4 Kurang intensifnya OJK dalam melakukan perlindungan dan pengawasan, mengakibatkan problem tersebut menimbulkan beberapa kasus yang berdampak terhadap inklusif keuangan.Problem Pertama, adalah maraknya Fintech P2P Lending ilegal yang tidak terdaftar di OJK. Kedua, Suku bunga terlalu tinggi. Ketiga, adanya penarikan intimidasi yang merupakan lemahnya perlindungan terhadap konsumen. Dengan dasar dan melihat
perkembangan Fintech yang sangat
menguntungkan bagi inklusif keuangan negara tersebut. Sangat diperlukan 1
Hadad, Muliaman D. (2017). Financial Technology (Fintech) di Indonesia, Artikel Materi Kuliah Umum tentang Fintech-IBS. hlm. 3. 2 Harefa., & Amaerita Alfani. (2018). Financial Technology, Regulasi Adaptasi Perbankan di Indonesia, Jurnal Universitas Kristen Indonesia, Volume 03 Nomor 1, hlm. 2. 3 Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
118 rekonstruksi pengaturan dalam pengawasan, perlindungan para pihak hingga penyelesaian sengketa bagi pengguna Fintech. Kajian ini mengenai bagaimana mencapai keseimbangan antara kemudahan dan fleksibilitas layanan keuangan yang ditawarkan oleh Fintech dengan perlindungan konsumennya. Karena tanpa keseimbangan tersebut, Fintech justru berpotensi mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan stabilitas perekonomian. 2. Analisis 2.1 Identifikasi Problematika Fintech Peer to Peer Lending: Regulasi, Pengawasan dan Penyelesaian Sengketa Kementerian Perindustrian telah menyusun inisiatif “Making Indonesia 4.0� untuk mengimplementasikan strategi dan Peta Jalan Revolusi Industri 40 di Indonesaia. Peta Jalan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari institusi pemerintah, asosiasi industri, pelaku usaha, penyedia teknologi, maupun lembaga riset dan pendidikan. Namun, upaya pemerintah dalam program Making Industry 4.0 tidak lepas dari segala tantangan, terutama aspek Fintech P2P Lending di Indonesia telah terjadi beberapa kasus tentang Fintech P2P Lending. Terbukti hingga saat ini, jumlah Fintech P2P Lending yang terdaftar di OJK hanya sebanyak 106 perusahaan, sedangkan OJK menemukan sebanyak 404 entitas ilegal dari Fintech P2P Lending pada tahun 2018, ditambah 543 entitas ilegal sepanjang awal 2019, sehingga secara total saat ini OJK telah menangani sebanyak 947 entitas Fintech P2P Lending ilegal.5 Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta telah membuka posko pengaduan untuk masyarakat yang mengalami masalah dengan pihak Fintech P2P Lending, dan hingga akhir 2018, LBH Jakarta telah menerima 1.600 pengaduan dan diperkirakan mencapai lebih dari 3.000 aduan pada tahun 2019. LBH Jakarta juga mencatat ada 89 aplikasi yang diadukan, dan 25 di antaranya adalah aplikasi Fintech P2P Lending yang terdaftar di OJK. 5
6
Bahkan, Yayasan Lembaga
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2018). Penyelenggara Fintech yang Terdaftar di OJK, diperoleh tanggal 20 Juni 2019, dari website resmi OJK: https://www.ojk.go.id. Dalam teks: (OJK, 2018). 6 Kemala Nadia Ambaranie. (2018). 89 Fintech diadukan ke LBH Jakarta, 25 terdaftar di OJK, diperoleh tanggal 27 Juni 2019, dari
119 Konsumen Indonesia (YLKI) juga mencatat ada 564 aduan tentang pinjam meminjam online sepanjang 2018, sehingga Fintech P2P Lending masuk urutan ketiga layanan yang paling banyak dikeluhkan di Indonesia.7 Sementara itu Fintech sendiri tidak dapat dipungkiri keberadaannya di Indonesia karena telah mendapatkan momentum global, dan didukung dengan jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 171,18 juta pengguna pada 2018 atau 64,8% dari total penduduk di Indonesia dan 103 juta pengguna internet menggunakan perangkat smartphone.
8
Hal ini mengakibatkan Indonesia
diperkirakan menjadi salah satu pasar ekonomi digital terbesar se-Asia Tenggara pada tahun 2025, dengan porsi penduduk usia produktif yang besar, populasi pengguna teknologi digital terus meningkat dan tumbuhnya kelompok masyarakat yang berpendapatan menengah hingga diprediksi akan mencapai 141 juta di tahun 2020, yang membuat peluang industri Fintech di Indonesia semakin prospektif.9 Salah satu Fintech yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah Fintech jenis P2P Lending, yaitu Fintech yang bergerak dalam bidang jasa peminjaman uang secara online melalui perantara teknologi. Jumlah peminjam Fintech P2P Lending telah mencapai 5,16 juta akun, sementara jumlah pemberi dana sebanyak 267,496 akun, serta nilai pinjaman Fintech P2P Lending telah mencapai 25,9 triliun per Januari 2019.10 Berikut ini merupakan tabel problematika Fintech P2P Lending.
https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/10/051000126/89-fintech-diadukan-ke-lbh-jakarta25-terdaftar-di-ojk. Dalam teks: (Ambaranie, 2018). 7 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).(2019)YLKI: Pinjaman Online masuk tiga besar keluhan yang paling banyak, diperoleh tanggal 28 Juni 2019, dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190125151236-78-363831/ylki-pinjaman-onlinemasuk-tiga-besar-keluhan-paling-banyak. Dalam teks: (YLKI, 2019). 8 Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). (2018).Infografis : Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet di Indonesia, diperoleh tanggal 28 Juni 2019, dari website resmi APJII : https://apjii.or.id/survei. Dalam teks: (APJII, 2018). 9 Rastogi, Vaisali., et al. (2013). Asia’s Next Big Opportunity : Indonesia’s Rising Middle-Class and Affluent Consumers, The Boston Consulting Group, Boston USA, hlm. 3. 10 Nadia Ambaranie. (2019). Per Januari 2019, Pengguna Pinjaman Online Mencapai 5 juta Rekening, diperoleh tanggal 29 Juni 2019, dari https://kompas.com/money/read/2019/03/05/211828026/per-januari-2019-pengguna-pinjamanonline-mencapai-5-juta-rekening. Dalam teks: (Ambaranie: 2019).
120
Tabel 1 : Identifikasi Problematika Fintech di Indonesia Problem
Struktur
Fintech
1. Kekosongan
Ilegal
Substansi 1. POJK
hukum terhadap
mengatur
fintech
berizin.
ilegal,
pemangku kepentigan tidak sigap
dalam
Kultur
hanya fintech
langkah srategis dan saling lempar
waspadanya
masyarakat
terhadap
fintech ilegal.
2. Tidak
adanya
sanksi
pidana
fintech yang tidak patuh
terhadap
fintech
terhadap
ilegal (tidak ada
menemukan
1. Kurang
2. Penyelenggaraan
ketentuam
peraturan OJK.
peraturan setingkat UU).
wewenang. 2. Tidak
adanya
Satuan
Tugas
yang
secara
khusus menangani fintech,
hanya
ada
Satgas
Waspada Investigasi, sehingga
perlu
pengoptimalan dalam menangani fintech. Suku Bunga Pengawasan
dan POJK tidak mengatur 1. Mudahnya masyarakat
Pengaturan terhadap besarnya suku bunga,
dalam
suku bunga belum namun
persetujuan
dibahas,
asosiasi
saling fintech (APFI) yang
lempar wewenang.
mengatur
suku
mengikat terkait
besaran bunga karena
121 bunga, akan tetapi
kurangnya
hanya
dan edukasi.
yang
ikut
APFI/berizin.
2. Penagihan terhadap
sosialisasi
intimidatif konsumen,
bahkan
disertai
penyebaran data pribadi dan kekerasan verbal. 3. Penyelenggaraanfintech ilegal menaikkan suku bunga tanpa batasan. Penagihan
1. Adanya kelalaian
Intimidatif
Pengawasan terhadap penyelasaian sengketa
1. Regulasi
1. Wanprestasinya
penyelesaian
konsumen
penyebab
sengketa
penagihan
secara
masih
terpisah-pisah
intimidatif oleh pihak
dan
fintech.
belum
berkaitan
terpadu, semisal, 2. Penyebaran
tindakan
pencamuran
konsumen ialah akibat
intimidatif dari
ranah pidana dan
ketidakmampuan untuk
pihak fintech.
perdata.
Sesuai
membayar (konsumen
dengan
kasus
2. Belum adanya infrastruktur
yang
terjadi,
yang memadai.
wanprestasi, penipuan, pemerasan
dan
pengacaman juga bisa dimasukkan. 2. Belum
adanya
satgas
khusus
dalam penyelenggaraan fintech. Sumber : diolah penulis dari berbagai sumber
mengalami macet).
data
kredit
122 Dari tabel di atas, penulis menganalisis terkait identifikasi problematika Fintech P2P Lending menggunakan teori Lawrence M Friedman, yaitu dengan tiga elemen: Struktur, Substansi dan Kultur. Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa efektif atau tidak efektifnya penegakan hukum bergantung pada tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi (legal substance) dan kultur (legal culture), ketiganya saling berinteraksi satu sama lain.11 Pertama, Fintech Ilegal merupakan problematika yang menjadi dasar kasuskasus yang terjadi di Indonesia. Secara substansi, bahwa layanan jasa keuangan termasuk Fintech P2P Lending harus terdaftar dalam OJK, namun kenyataan dalam kasus, Fintech Ilegal lebih mendominasi terhadap pelanggaran, artinya presentase jumlah Fintech berizin lebih sedikit dibandingkan dengan Fintech ilegal. Sayangnya, dalam pengawasan dan pengaturan Fintech ilegal atau tidak diatur dalam Peraturan OJK (POJK). Apalagi, sanksi yang diterapkan OJK dan Kominfo hanya dikenakan sanksi administratif, yaitu pencabutan beroperasi, artinya tidak adanya sanksi pidana untuk menjerahkan pelaku penyelenggara Fintech Ilegal. Sementara itu, sedikit pengetahuannya masyarakat terhadap masyarakat terhadap Fintech membuat masyarakat tidak bisa membedakan nama Fintech yang terdaftar dan tidak dikarenakan keduanya sangat mirip. Sedangkan, para pemangku kepentingan (dalam hal ini OJK) saling lempar wewenang dalam menangani kasus FintechIlegal. Kurangnya infrastuktur seperti halnya teknologi analisis Fintech Ilegal pun belum ada, halini dikarenakan tugas dari satgas waspada investasi belum maksimal. Kedua, adanya suku bunga tinggi, di mana problem ini merupakan dampak dari adanya Fintech Ilegal. Secara substansi, suku bunga tinggi tidak diatur dalam POJK, hanya terdapat dalam peraturan dalam asosiasi Fintech (APFI). Sedangkan, peraturan APFI hanya berlaku terhadap anggota saja. Artinya Fintech Ilegal memiliki celah dalam menentukan berapa besar suku bunga yang diinginkan. Akibatnya masyarakat yang menjadi konsumen sangat rentan dari ketidakmampuan
11
Chusnus. Tsuroyya, dkk. (2018). RI-MA Integrated: Analysis of Justice and Legal Certain by Using Three Legal of System’s Role dalam Membangun Infrastruktur Guna Mensejahterakan Masyarakat Pebatasan (Studi Kasus di Kalimantan). Fakultas Hukum Brawijaya.
123 untuk membayar kredit. Sementara itu, para pemangku kepentingan tidak memiliki legal standing dalam menegakkan hukum. Terakhir, adalah penagihan secara intimidatif, penagihan intimidatif merupakan tindakan yang dilakukan oleh penyelenggara Fintech Ilegal dalam menarik kredit melalui cara kekerasan verbal, terror dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan banyaknya konsumen yang wanprestasi terhadap prestasi yang harus dibayar. Sehingga analisis ini mengacu terhadap proses hukum perdata dan pidana sebagai bentuk penyelesaiannya. Tindakan intimidatif, secara substansi belum ada regulasi yang terpadu atas penyelesaian sengketa dalam Fintech Ilegal. Penyelesaian sengketa hanya diatur oleh Fintech yang berizin. Sehingga, pemangku kepentingan menyerahkan penyelesaian tersebut terhadap POLRI dan Bareskrim. Artinya adanya saling lempar wewenang kembali. Akibat dari adanya kekosongan hukum, atas legalitas tidak bisa diterapkan dalam penegakkan hukum. Tidak hanya itu, rendahnya Sumber Daya Manusia akan pelaksanaan Fintech menjadi kerugian masyarakat sendiri, meskipun pemerintah sudah berdalih hal tersebut telah disampaikan dalam beberapa seminar, sosialisasi sebagai bentuk pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan. Namun asas Fiksi Hukum tetaplah berlaku, bahwa masyarakat dianggap tahu hukum. Sehingga penyelesaian sengketa yang ditimbulkan Fintech Ilegal, yang berdampak terhadap suku bunga dan penarikan kredit secara intimidatif pun tidak bisa dihindari. Oleh sebab itu, perlu adanya konsep khusus untuk merespon problematika yaitu lemahnya pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Fintech. Sehingga dengan ini, pemerintah beserta pemangku kepentingan harus berkolaboratif menyelesaikan problem ini, dengan merekonstruksi regulasi yang menjadi kebutuhan. 2.2 Mekanisme Penerapan Konsep Responsive Law System of Financial Technology (RELASI FINTECH) dalam Penyelesaian Sengketa Financial Tecnology Peer to Peer Lending (P2P Lending) di Indonesia Konsep ini merupakan sebuah sistem terstruktur dalam pengembangan mencari hukum modern yang terus berkelanjutan agar tidak adanya kekosongan hukum, artinya menelaah kondisi berbagai aspek di masyarakaat yang selalu
124 berkembang, sehingga membutuhkan kepekaan dalam mengatasi problematika di masyarakat. Relasi Fintech sangat mempengaruhi bagaimana karakter yang ditunjukkan dalam mengorganisasi lembaga-lembaga hukum dan budaya hukum.12 Merujuk dari hal itu, konsep penyelesaian sengketa Fintech ini ditekankan terhadap langkah-langkah strategi kepada sinergitas stakeholder, yaitu kelembagaan hukum terkait. Kemudian melihat identifikasi materi hukum dan metode penyelesaian sengketa. Terakhir adalah budaya, yaitu kondisi masyarakat yang dinamis, tidak teredukasi terkait Fintech, sehingga kasus-kasus Fintech tak terlepas dari kesalahan masyarakat sendiri, dan karena itulah dibutuhkan perlindungan hukum terhadap korban penggunaan Fintech. Melihat dari konsep di atas, dalam menyelesaikan problematika Fintech, Pertama, adalah sinergitas stakeholders yang merupakan bagian penting dalam membangun dan merumuskan konsep dalam menyelesaikan problematika konsep. Kedua, rekonstruksi regulasi terkait dengan Fntech, hal ini dilakukan agar tidak adanya kekosongan hukum dalam pengaturan dan pengawasan Fintech seperti halnya dibahas dalam identifikasi problematika, sehingga kasus dan penyelesaian sengketa Fintech mampu ditindaklanjuti dengan mekanisme yang tepat dan efektif. Terakhir adalah langkah implementasi konsep dalam perlindungan konsumen. Bagan 1: Sinergitas Stakeholders dalam Penyelesaian Sengketa
12
Mengadopsi dari pendapat dalam buku Phillipe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Cet. V, diterjemahkan oleh Raisul Muttqien, (Bandung: Nusa Media, 2010), diikuti oleh Ahmadi. (2016). Kontrofersi Penerapan Hukum: Telaah Sintesa Hukum Respresif, Hukum Otonom dan Hukum Responsif. Hukum Tata Negara Fakultas Syariah IAIN Kendari. Jurnal: Vol. 9 No. 1.
125 Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech, 13 dalam rekomendasi pertama yang harus dilakukan adalah sinergitas stakeholders, koordinasi dalam melakukan pengawasan dan pengaturan yang lebih berfokus pada Fintech yang telah berkembang dan digunakan di Indonesia. Melihat skema di atas, koordinasi pemerintah adalah kementerian-kementerian
terkait
Kemenkeu,
Kominfo,
Perindustrian,
Kemenkumham, Kemendagri sebagai aktor pemangku kebijakan utama. BI sebagai pengawasan dalam sistem transaksi pembayaran, OJK berperan dalam pengaturan dan pengawasan penyelenggaraan Fintech. Lembaga asosiasi keuangan terkait, seperti Asosiasi Fintech (APFI) turut berperan dalam subyek maupun obyek dalam pengembangan Fintech. Sedangkan kelembagaan lain seperti POLRI, DPR, dan Akademisi memiliki tugas sebagai penegakan hukum sekaligus membahas regulasi dan riset pengembangan Fintech. Bagan 2: Rekonstruksi Regulasi Fintech P2P Lending
Tahap pertama, sinergitas stakeholders akan menciptakan koordinasi yang tepat dalam menyusun regulasi Fintech. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang
13
Napitulu., K. Sarwin., dkk. (2017). Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan.
126 Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menyatakan bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.14 Namun adanya problematika Fintech, regulasi Fintech dianggap lemah dalam pengaturan dan pengawasan. Sehingga karena hal tersebut, rekonstruksi regulasi Fintech harus dilakukan oleh stakeholders. Pertama adalah regulasi harus disesuaikan dengan kebutuhan, Fintech Ilegal, suku bunga tinggi dan mekanisme penarikan kredit di lapangan secara intimidatif merupakan kasus yang harus dipertimbangkan. Tidak hanya itu, regulasi yang terpadu pun sangat dibutuhkan, mengingat tumpang tindih dan banyaknya kasus yang diselesaikan dengan hukum pidana. Dalam pasal 7-8 Peraturan OJK Nomor 77 tahun 2016 menggambarkan bahwa dalam peraturan tersebut hanya diatur perihal Fintech yang berizin atau legal. Namun, melihat dari kuantitas kasus, Fintech ilegal ternyata lebih banyak daripada Fintech yang legal. Tentunya hal tersebut sangat berpengaruh terhadap peraturan dalam Asosiasi Penyelenggara Fintech Indonesia (APFI), di mana Fintech ilegal tak akan memiliki kewajiban dalam melaksanakan aturan yang ditetapkan oleh APFI. Sehingga hal demikian berdampak terhadap pelanggaran lainnya, misalnya tingginya suku bunga. Perihal suku bunga, APFI menetapkan suku bunga terhadap penyelenggaraan Fintech agar tidak lebih dari 20% pertahun. Dampaknya, Fintech ilegal mampu menaikkan suku bunga yang lebih tinggi dan berimbas ketidakmampuan nasabah dalam membayar kredit. Akibatnya, penarikan kredit secara intimidatif banyak terjadi. Tidak sampai dengan itu, penyelesaian sengketa Fintech ilegal belum memiliki payung hukum dan hanya Fintech yang berizin yang di atur dalam regulasi OJK. Sehingga, dalam penegakan hukum penyelesaian sengketa Fintech ilegal yang semakin banyak, belum menemukan metode dan kepada lembaga mana yang jelas untuk menyelesaikan sengketa. Melihat dari problematika tersebut, perlu adanya regulasi mengikat dan mendidik, revisi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa 14
Santi, Ernama., Budiharto., Saptono, Hendro.(2017). Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Financial Technology (POJK Nomor 7/pojk.01/2016), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jurnal Vol.6 No.3.
127 Keuangan (Selanjutnya, UU OJK) dan Rancangan Undang-Undang Fintech (RUU FINTECH) nampaknya harus dilakukan. Hal ini diperlukan, mengingat pengaturan terkait dengan Fintech hanya diatur dalam Peraturan OJK, yang hanya bersifat teknis dan sanksi administratif serta pencabutan izin. Sedangkan untuk memberikan efek jera terhadap pelaku pengguna Fintech ilegal dan dengan pelanggaran lainnya adalah sanksi yang menjerahkan, baik secara administratif maupun pidana. Oleh karena itu. Revisi UU OJK dan UU terkait (seperti UU ITE dan Peraturan BI) terkait materi Fintech menjadi keniscayaan dan sangat opsional sebagai wujud hukum responsif. Sehingga hal tersebut akan diikuti oleh peraturan OJK terkait teknis yang sesuai dengan kebutuhan dalam pengaturan. Dalam memaksimalkan rekonstruksi regulasi Fintech, perlu juga memaksimalkan regulasi dari non-OJK sebagai sinergi yang efektif. Salah satunya adalah perlunya infrastruktur yang memadai dalam membantu penyelenggaraan Fintech. Regulasi Kominfo, Bank Indonesia, POLRI dan lembaga asosiasi terkait seperti APFI, juga sangat dibutuhkan untuk melengkapi kelengkapan pengaturan, seperti adanya sistem identifikasi Fintech ilegal, pemerataan crisis center Fintech di setiap wilayah, dan optimalisasi peran satuan tugas khusus Fintech. Tidak hanya itu, keberadaan Fintech yang semakin berkembang akan membutuhkan regulasi tersendiri. Artinya, secara hukum responsif, regulasi ini akan menjadi rujukan dalam pembentukan rancangan Undang-Undang Fintech. Ekspektasinya, pengaturan terkait Fintech akan terakomordir dengan kongkrit, dengan demikian regulasi yang menjadi acuan penyelenggaraan Fintech menjadi rujukan dalam menyelesaikan sengketa dan melindungi konsumen dan menginklusifkan keuangan. Bagan 3 : Pilar-Pilar Perlindungan Konsumen
Sumber: Booklet Perbankan Otoritas Jasa Keuangan2018
128 Upaya sinergitas stakeholders dan rekonstruksi pengaturan belumlah cukup dalam memperkuat regulasi pelaksanaan Fintech. Melihat banyaknya problematika yang terjadi, tidaklah murni dari kesalahan struktur dan substansi. Akan tetapi, budaya masyarakat yang kurang waspada terhadap adanya Fintech. Hal tersebut, karena
kurang
adanya
edukasi
terhadap
masyarakat
atas
penggunaan
Fintech.Bagan di atas menunjukan adanya pilar-pilar yang harus dipenuhi dalam perlindungan konsumen. Pilar-pilar tersebut adalah Infrastruktur, Regulasi, Market Conduct. Pilar pertama, yaitu infrastruktur. Untuk mendukung perlindungan konsumen serta pelaksanaan Fintech, infrastruktur sangat dibutuhkan. Misalnya , adanya teknologi yang mampu mendeteksi Fintech ilegal, kemudahan dan kecepatan dalam menuntaskan pelanggaran dan kasus Fintech, dan lain sebagainya. Pilar kedua adalah regulasi, yang merupakan pilar penting dalam tata kelola pelaksanaan Fintech. Pilar ini menjadi ujung tombak, mengingat banyak kasus Fintech disebabkan karena adanya kekosongan hukum, baik dalam perizinan hingga penyelesaian sengketa. Ketiga adalah Market conduct, merupakan pengawasan terhadap perilaku pelaku usaha jasa keuangan dalam mendesain, menyusun, menyampaikan informasi, menawarkan dan membuat perjanjian, atas produk dan/atau layanan keuangan yang ditawarkan serta penyelesaian sengketa akibat pengaduan konsumen. Hal ini dimaksudkan agar konsumen terlindungi terhadap pelaksanaan Fintech yang melanggar, karena melihat banyak kasus Fintech terjadi, yang berakibat terhadap penagihan hutang secara intimidatif dan penggunaan data pribadi dengan sewenang-wenang oleh pihak aplikasi Fintech. Terakhir adalah edukasi dan komunikasi, dimana ini merupakan bagian vital yang harus dilakukan oleh pemangku kepentingan, yaitu pemberdayaan masyarakat terhadap konsumen dan penyelenggaranya dalam penggunaan Fintech. Melihat Indonesia menganut asas fiksi hukum, dimana masyarakat dianggap tahu akan hukum yang berlaku. Sementara
dalam
faktanya
regulasi
Fintech, seringkali
dilanggar oleh
penyelenggara Fintech karena tidak mengerti adanya regulasi. Sehingga perlu adanya pemberdayaan yang intensif terhadap masyarakat dalam pelaksanaan Fintech.
129 Dengan demikian, adanya konsep Responsive Law System (RELASI FINTECH) ini akan meciptakan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dan terpadu dalam menciptakan kondusifitas penyelesaian sengketa, sehingga kekosongan hukum tidak lagi menjadi alasan sebagai lempar tugas dan wewenang. Tidak hanya itu, Relasi Fintech akan menciptakan model penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Selain itu, penyelenggaraan Fintech akan semakin berkembang dan problematika masyarakat atas penyelenggaraan Fintech akan tereduksi. Bagan 4: Langkah-Langkah Strategis Mereduksi Problematika Fintech
Identik dengan penjelasan Harper bahwa tahap sinergitas merupakan tahapan awal sebagai peran antar elemen dalam menjalankan fungsinya terhadap pengaturan dan pengawasan Fintech, adanya pelindungan hukum, penerapan dan penguatan konsep Relasi Fintech sebagai wujud dalam sinergitas kelembagaan. Tidak hanya itu, untuk lebih mengoptimalkan fungsi dan peran Kelembagaan (OJK, BI, Pemerintah, Asosiasi Fintech /APFI dan stakeholders lainnya) perlu dilakukan sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakat perihal Fintech, terkhusus Fintech ilegal, agar masyarakat tidak terjerumus dari muslihat penyelenggara Fintech yang tidak sesuai dengan regulasi dan perkembangan Fintech dapat dioptimalkan dalam mendorong ekonomi masyarakat. Tahap ketiga adalah service yaitu pelayanan informasi, pengetahuan, wawasan, teknologi, dan inovasi, pembiayaan dan akses pasar, pencegahan dan penyelesaian sengketa menjadi suatu gerakan kongkrit
130 dalam menuntaskan problematika Fintech, sehingga secara
sustainable,
perlindungan konsumen dapat terjamin. Bagan 5: Multipliyer Effect Konsep RELASI FINTECH
Secara sederhana, problematika Fintech yang meliputi kekosongan dalam pengaturan dan lemahnya pengawasan, mampu dikonstruksikan melalui tahap tahap sinergitas stakeholders dalam merekonstruksi regulasi yang menjadi kebutuhan, mulai dari administrastif hingga penyelesaian sengketa. Dengan demikian, dampak dari pada regulasi tersebut mampu menciptakan perlindungan, baik konsumen secara khusus dan penyelenggara Fintech pada umumnya. Sehingga, konsep ini akan menciptakan regulasi baru yaitu Rancangan UndangUndang Fintech yang digagas khusus untuk menyelesaikan dan mengembangkan Fintech. hal ini dilakukan secara responsive atas perkembangan Fintech yang selalu didorong dalam meningkatkan ekonomi masyarakat, sekaligus dalam menciptakan inklusif keuangan negara. 3. Penutup Fintech
dikenal sebagai Inovasi Disruptif, yang telah menimbulkan
beberapa problematika, yaitu maraknya Fintech P2P Lending ilegal, suku bunga terlalu tinggi, dan perlakuan intimidasi serta penagihan dengan kekerasan. Sedangkan payung hukum dalam penyelesaian sengketa tersebut masih kabur. Untuk menyelesaiakan problem tersebut diperlukan beberapa tahap. Pertama, sinergitas merupakan tahapan awal sebagai peran antar elemen dalam menjalankan fungsinya terhadap pengaturan dan pengawasan Fintech, dan adanya pelindungan
131 hukum, penerapan serta penguatan konsep Relasi Fintech sebagai wujud dalam sinergitas kelembagaan. Kedua adalah hasil dari senegitas stakeholders yaitu rekonstruksi pengaturan Fintech Ilegal, dalam memperkuat regulasi Fintech. Terakhir adalah Perlindungan konsumen, dengan merancang 4 pilar yaitu infrastruktur, regulasi pengawasan market conduct, edukasi dan komunikasi. Hal ini merupakan bentuk dari perlindungan dari masyarakat, agar selalu waspada terhadap penyelenggaraan Fintech. Sehingga dengan adanaya perlindungan tersebut, masyarakat ikut serta dalam mendorong inklusif keuangan di Indonesia. Saran Adapun saran yang dapat kami rekomendasikan adalah sebagai berikut: •
Pemerintah, sebagai
pengambil
kebijakan, mampu berkolaborasi
menerapkan startegi ini dalam menyusun RUU Fintech sebagai acuan terpadu regulasi Fintech. •
Akademisi, sebagai riset dan pengembangan dalam menyempurnakan karya tulis kami.
•
Masyarakat, sebagai subyek pembangun dan pelaksana Fintech mampu memberikan masukan yang membangun terhadap pengembangan Fintech.
DAFTAR PUSTAKA JURNAL Ahmadi. (2016). Kontrofersi Penerapan Hukum: Telaah Sintesa Hukum Respresif, Hukum Otonom dan Hukum Responsif. Hukum Tata Negara Fakultas Syariah IAIN Kendari. Jurnal: Vol. 9 No. 1. Harefa., & Amaerita Alfani. (2018). Financial Technology, Regulasi Adaptasi Perbankan di Indonesia, Jurnal Universitas Kristen Indonesia, Volume 03 Nomor 1. Santi, Ernama., Budiharto., Saptono, Hendro. (2017). Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap Financial Technology (POJK Nomor 7/pojk.01/2016), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Jurnal Vol.6 No.3.
132 PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Peraturan Presiden RI Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). INTERNET Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII).(2018).Infografis : Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet di Indonesia, diperoleh tanggal 28 Juni 2019, dari website resmi APJII : https://apjii.or.id/survei. Dalam teks: (APJII, 2018). Kemala Nadia Ambaranie. (2018). 89 Fintech diadukan ke LBH Jakarta, 25 terdaftar di OJK, diperoleh tanggal 27 Juni 2019, dari https://ekonomi.kompas.com/read/2018/12/10/051000126/89-fintechdiadukan-ke-lbh-jakarta-25-terdaftar-di-ojk. Dalam teks: (Ambaranie, 2018). Nadia Ambaranie. (2019). Per Januari 2019, Pengguna Pinjaman Online Mencapai 5 juta Rekening, diperoleh tanggal 29 Juni 2019, dari https://kompas.com/money/read/2019/03/05/211828026/per-januari-2019pengguna-pinjaman-online-mencapai-5-juta-rekening. Dalam teks: (Ambaranie: 2019). Napitulu, Sarwin K., Dkk. 2017. Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK).(2018). Penyelenggara Fintech yang Terdaftar di OJK, diperoleh tanggal 20 Juni 2019, dari website resmi OJK: https://www.ojk.go.id. Dalam teks: (OJK, 2018). Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).(2019)YLKI: Pinjaman Online masuk tiga besar keluhan yang paling banyak, diperoleh tanggal 28 Juni 2019, dari
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190125151236-78-
363831/ylki-pinjaman-online-masuk-tiga-besar-keluhan-paling-banyak. Dalam teks: (YLKI, 2019).
133 LAIN-LAIN Chusnus. Tsuroyya, dkk.(2018). RI-MA Integrated: Analysis of Justice and Legal Certain by Using Three Legal of System’s Role dalam Membangun Infrastruktur Guna Mensejahterakan Masyarakat Pebatasan (Studi Kasus di Kalimantan). Fakultas Hukum Brawijaya. Hadad, Muliaman D. (2017) Financial Technology (Fintech) di Indonesia, Artikel Materi Kuliah Umum tentang Fintech-IBS. Napitulu., K. Sarwin., dkk. (2017). Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Perlindungan Konsumen Pada Fintech. Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan. Rastogi, Vaisali., et al.(2013).Asia’s Next Big Opportunity : Indonesia’s Rising Middle-Class and Affluent Consumers, The Boston Consulting Group, Boston USA.
134 REVITALISASI PENGATURAN PENANGANAN BUKTI ELEKTRONIK DALAM PROSES PERKARA PIDANA DI INDONESIA Rizki Zakariya1, Yogi Prastia2, Siti Ismaya3 1
Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Email: rizkizakariya5@gmail.com 2 Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Email: yogi.prastia@jentera.ac.id 3 Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera. Email: siti.ismaya@jentera.ac.id
Abstrak Revolusi industri 4.0 merupakan awal masuknya digitalisasi pada berbagai bidang kehidupan manusia, yang diikuti berkembangnya kejahatan dan alat bukti jenis baru. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik telah mengatur mengenai penghukuman terhadap kejahatan siber dan pengakuan bukti elektronik. Hal ini berbeda dengan bukti-bukti non-elektronik, karena mudah diubah dan dimanipulasi. Tujuan penelitian ini yakni: Pertama, menguraikan dan menganalisis penanganan bukti elektronik dalam hukum proses perkara pidana di Indonesia. Kedua, menguraikan dan menganalisis urgensi penanganan bukti elektronik oleh aparat penegak hukum disesuaikan dengan ISO 27037 tahun 2012. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif dan menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan kasus, dan pendekatan komparatif yang menunjukan bahwa pengaturan penanganan bukti elektronik saat ini tidak komprehensif untuk menjaga keutuhan bukti elektronik, sehingga penulis merekomendasikan revitalisasi penanganan bukti elektronik dengan mengacu pada International Organization for Standardization (ISO) 27037 yang dapat diterapkan di Indonesia. Kata Kunci: Revitalisasi; Penanganan Bukti Elektronik; Komprehensif, ISO 27037. 1. Pendahuluan Revolusi industri ke-empat atau industri 4.0 merupakan awal masuknya digitalisasi pada berbagai bidang kehidupan manusia. Konsekuensinya, setiap bidang harus bersiap diri untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi digital, sehingga tidak tertinggal dan merugi. Internet merupakan bentuk kemajuan teknologi informasi pada revolusi industi ke empat ini. Dengan berbagai fasilitas dan kemudahannya, internet menjadi pilihan utama masyarakat untuk melakukan berbagai aktivitas sehari-harinya. Hal itu ditandai dengan meningkatknya jumlah pengguna internet di dunia, maupun di Indonesia. Pada awal tahun 1998, pengguna
135 internet di Indonesia hanya mencapai 500 ribu jiwa.1 Kemudian terus mengalami peningkatan, sehingga pada tahun 2018 mencapai 171,17 juta jiwa dan menjadikan Indonesia negara dengan pengguna internet terbesar ke-enam di dunia.2 Perkembangan teknologi yang sedemikian pesatnya itu, ternyata diikuti dengan berkembangnya kejahatan jenis baru, yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan kejahatan melalui internet, dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan lebih besar. Kejahatan melalui internet itu dikenal dengan kejahatan siber atau disebut cybercrime. Saat ini, Indonesia telah mengatur penghukuman terhadap kejahatan siber dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Selain itu, dalam undang-undang itu juga diperkenalkan alat bukti hukum jenis baru, yakni bukti elektronik. Karakteristik bukti elektronik berbeda dengan bukti-bukti tindak pidana non-elektronik lain, yang mudah diubah, dan dimanipulasi. Sehingga dengan karakteristik itu, bukti elektronik memerlukan penanganan khusus. Akan tetapi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun peraturan perundang-undangan lain di Indonesia, belum mengatur secara komprehensif mengenai penanganan khusus bukti elektronik. Sehingga terdapat masalah dalam pembuktian bukti elektronik, yakni bukti rentan berubah, seperti kasus Jessika Kumala Wongso dan Baiq Nuril Maknun. Oleh karena itu, perlu dilakukan revitalisasi pengaturan penanganan bukti elektronik di Indonesia. ISO 27037 merupakan pedoman standar penanganan bukti elektronik yang diakui secara internasional, yang dapat dijadikan acuan Indonesia dalam memperbaiki pengaturan penanganan bukti elektronik. Sehingga berdasarkan hal-hal itu menjadi latar belakang penelitian kami ini.
“Berapa Jumlah Pengguna Internet di Indonesia?�. (2018). Katadata.co.id. Diakses 13 Juli 2019. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/20/berapa-jumlah-penggunainternet-diindonesia. 2 Wardani, A.S. (2019). “Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Sentuh Angka 171 Juta� Liputan6.com.Diakses pada 13 Juli 2019. https://www.liputan6.com/tekno/read/3967287/jumlahpengguna-internet-di-indonesia-sentuhangka-171-juta. 1
136 2. Analisis 2.1 Penanganan Bukti Elektronik dalam Proses Perkara Pidana di Indonesia Pembuktian tindak pidana telah diatur sedemikian rupa dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (disebut KUHAP). Penetapan seseorang menjadi tersangka di penyidikan, hanya dilakukan jika memenuhi syarat adanya bukti permulaan yang cukup, seperti disyaratkan Pasal 1 angka 14 KUHAP. 3 Kemudian seseorang dapat diputuskan bersalah oleh hakim, apabila terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah berdasarkan keyakinan hakim. 4 Berdasarkan hal itu, maka diketahui sistem pembuktian hukum acara pidana di Indonesia menganut sistem undang-undang secara negatif (Negatief wettellijk bewijs theotrie),
5
karena mengatur dan
membatasi kewenangan hakim dalam memutus suatu perkara. Sistem itu juga dikuatkan dengan pembatasan jenis-jenis alat bukti yang diakui secara sah dalam pembuktian hukum acara pidana di Indonesia, yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP, pengkategorisasian alat bukti itu sebagai berikut: •
Keterangan Saksi;
•
Keterangan Ahli;
•
Surat;
•
Petunjuk, dan
•
Keterangan Terdakwa.
Pengkategorisasian jenis alat bukti dalam KUHAP tersebut merupakan jenis alat bukti yang bersifat umum (lex generalist), dan berlaku dalam proses pembuktian segala jenis tindak pidana yang ada di Indonesia.6 Harus diakui, bahwa undang-undang (hukum) relatif tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in action).7 Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, dikenal adanya perluasan alat bukti lain yang tidak diatur dalam KUHAP.
3
Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Ps. 1 angka 14. 4 Id., Ps. 183. 5 Effendi, T. (2014). Dasar Dasar Hukum Acara Pidana (Perkembangan dan Pembaharuan di Indonesia) (hlm. 171). Malang: Setara Press. 6 Prodjohamidjojo, M. supra note 3. hlm. 19. 7 Mulyadi, L. (2007). Tindak Pidana Korupsi (hlm. 28). Bandung: Alumni.
137 Alat bukti tersebut berupa bukti elektronik. Melalui bukti elektronik, dapat diketahui perencanaan (motif) suatu kejahatan melalui berbagai media seperti email, telepon, aplikasi chat online, pesan dalam gambar, suara, video, dan mediamedia lain.8 Atas kelebihannya itu, semakin banyak perkara pidana yang ditangani melalui pemriksaan bukti elektronik, yang dapat dilihat pada gambar berikut: 9
Berdasarkan gambar diatas, dapat diketahui penggunaan bukti elektronik dalam penanganan perkara pidana setiap tahun mengalami peningkatan. Hal itu juga menunjukan bahwa bukti elektronik memiliki peranan penting untuk mengungkapkan suatu peristiwa tindak pidana. Bukti elektronik diakui dan ditambahkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, diantaranya: •
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan;10 • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001;11
8
Fakhira, E.L. (2008). Kedudukan Bukti Elektronik Sebagi lt Bukti di Pengadilan (hlm. 8). Bandung: Art Pers. 9 Al-Azhar, M.N. (2012). Digital forensik: Practical Guidelines for Computer Investigation (hlm. 14). Jakarta: Puslabfor Mabes Polri. 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan. Ps. 15 ayat (1). 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ps. 26A.
138 •
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;12 • Undang-Undang
Nomor
30
Tahun 2002
tentang
Komisi
Pemberantasan Korupsi;13 •
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;14
•
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.15
Akan tetapi, dalam beberapa undang-undang tersebut hanya mengakui keberadaan bukti elektronik sebagai bukti hukum yang khusus pada tindak pidana yang diatur dalam undang-undangnya (lex spesialis). 16 Bukti elektronik mulai diakui untuk umum dan diatur syarat-syarat sahnya baru dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (disebut UU ITE). 17 Pasal 5 ayat (1) UU ITE menegaskan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Kemudian dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (2) UU ITE yang menyatakan bukti elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah, sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Kemudian dalam UU ITE juga menyebutkan syarat sahnya bukti elektronik dapat diterima sebagai pembuktian, yang ditegaskan dalam Pasal 6 UU ITE, yaitu:18 a. Dapat diakses. b. Dapat ditampilkan. c. Dijamin keutuhannya. d. Dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
12
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.Ps. 27. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Ps. 44 ayat (2). 14 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penjelasan Pasal 96 huruf f. 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ps. 38. 16 Wawancara dengan Miko Susanto Ginting. 16 Juli 2019. Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera. 17 Suseno, S. (2012). Yurisdiksi Tindak Pidana Siber (hlm. 222). Bandung: Refika Aditama. 18 Al-Azhar, M.M. (2012). Digital forensik: Practical Guidelines for Computer Investigation (hlm. 66-67). Jakarta: Puslabfor Mabes Polri. 13
139 Kewajiban pemenuhan syarat sahnya bukti elektronik tersebut bersifat mutlak, sebagaimana ditegaskan Pasal 5 ayat (3) UU ITE. 19 Sehingga tidak terpenuhi salah satunya, maka bukti elektronik menjadi tidak sah sebagai alat bukti di persidangan. Adapun alasan adanya persyaratan itu, karena bukti elektronik memiliki karakteristik yang berbeda dengan bukti non-elektronik, perbedaan itu yaitu:20 a.
Bukti elektronik bersifat rapuh (volatile) atau mudah berubah sehingga berisiko pada rusaknya integritas/keutuhan bukti elektronik.
b.
Mengandung jejak elektronik yang merekam informasi siapa, apa, di mana, dan kapan dari dokumen atau informasi dibuat, dihapus atau dimodifikasi
c.
Rentan terhadap lingkungan fisik sekitar.
Berdasarkan karakteristik tersebut, penegak hukum ketika menangani bukti elektronik harus hati-hati dan sesuai prosedur penanganan, sehingga tidak merubah keutuhan bukti elektronik tersebut. Pengaturan teknis mengenai tatacara penanganan bukti elektronik oleh aparat penegak hukum di Indonesia, saat ini merujuk pada Peraturan Kapolri No. 10 Tahun 2009 Tentang Tatacara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik (disebut PERKAP 10/2009).21 Akan tetapi, dalam PERKAP 10/2009 tersebut terdapat beberapa kekurangan, yakni tidak komprehensif dalam mengatur penanganan bukti elektronik untuk terjaga keutuhannya dan dapat dikatakan belum lengkap untuk menjaga integritas dan keutuhan bukti elektronik.22 Terlebih lagi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 6 ayat (2) menyatakan tidak seorang pun dapat dijatuhi
19
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ps. 5 ayat (3). 20 Ginting, M. (2019). “Menata Regulasi Bukti Elektronik�. Tempo.co. Diakses pada 17 Juli 2019. https://kolom.tempo.co/read/1213817/menata-regulasi-bukti-elektronik. 21 Wawancara dengan Paku Utama. 15 Juli 2019. ahli digital forensik PT Wikrama Utama Indonesia. 22 Id.
140 pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang.23 2.2 Penanganan Bukti Elektronik dalam Proses Perkara Pidana di Indonesia Perlu Disesuaikan dengan ISO 27037 Pengaturan yang tidak komprehensif dalam penanganan bukti elektronik, menyebabkan berbagai kasus pidana yang menggunakan bukti elektronik dalam pembuktian tidak terjaga keutuhan dan integritasnya oleh aparat penegak hukum. Berikut ini kasus-kasus pidana dengan bukti elektronik namun tidak terjamin keutuhan dan integritasnya, sebagai berikut: a. Kasus Jessica Kumala Wongso (Putusan Kasasi Nomor 498 K/PID/2017) Kasus ini bermula ketika Jessica Kumala Wongso yang melakukan pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin dengan cara memberi racun Natrium Sianida (NaCN) pada minumannya. Sehingga tidak beberapa lama, korban Mirna meninggal. Karena perbuatannya itu, Jessika dijerat Pasal 340 KUHP mengenai pembunuhan berencana. Adapun diketahuinya perbuatan Jessica dalam memberi racun itu, salah satunya dari rekaman CCTV di Restauran Olivier saat kejadian berlangung, yang dihadirkan di persidangan sebagai salah satu bukti.24 Akan tetapi, yang menjadi masalah dalam pembuktian di persidangan itu adalah kondisi video rekaman CCTV yang dihadirkan itu tidak utuh, atau sudah berubah. Hal itu diketahui dari keterangan ahli Rismon Sianipar di persidangan, yang menyatakan video sudah direkayasa oleh penuntut umum, sehingga tidak utuh lagi.25 Bahkan perubahan bukti elektronik itu juga diakui oleh penyidik, yang juga ahli forensik Puslabfor Mabes Polri, Muhammad Nuh Al-Azhar. 26 Sehingga dengan kondisi perubahan bukti elektronik tersebut, seharusnya bukti elektronik itu tidak diterima dalam pembuktian oleh majelis hakim, karena tidak memenuhi syarat sahnya bukti elektronik dalam Pasal 6 UU ITE.27
23
Wawancara dengan Paku Utama. 15 Juli 2019. ahli digital forensik PT Wikrama Utama Indonesia. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. pidana, No. 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST. Jessica Kumala Wongso. 27 Oktober 2016, hlm. 7-12. 25 Id, hlm. 64. 26 Susanto, (2016). “Rekaman CCTV Jessica Dinilai tidak Sah,� Mediaindonesia.com. Diakses pada 9 Juli 2019. https://mediaindonesia.com/read/detail/68923-rekaman-cctv-jessica-dinilaitidaksah.html. 27 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Teknologi dan Eleketronik. Ps. 6. 24
141 b. Kasus Baiq Nuril Maknun (Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018) Kasus ini bermula ketika Baiq Nuril Maknun (disebut Nuril), merekam pembicaraan kepala sekolah SMAN 7 Mataram menggunakan gawainya. Adapun isi pembicaraan itu mengenai persetubuhan antara kepala sekolah SMAN 7 Mataram dengan bendahara sekolah. Kemudian rekaman pembicaraan itu tersimpan dalam gawai Nuril selama setahun, sampai akhirnya diminta oleh Haji Imam Mudawin untuk diambil rekaman itu melalui sambungan USB. Setelah itu, file rekaman itu menyebar ke banyak orang. Sehingga atas perbuatannya itu, Nuril dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) Undang Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.28 Adapun yang menjadi masalah dalam pembuktian kasus ini adalah bukti elektronik berupa transkip percakapan dalam rekaman yang dihadirkan di persidangan oleh penuntut umum telah mengalami perubahan. Perubahan itu disampaikan oleh saksi-saksi maupun penasihat terdakwa. 29 Sehingga bukti elektronik yang dihadirkan itu tidak terjamin keutuhan dan pertanggungjawabannya sebagai alat bukti elektronik yang sah sebagaimana disyaratkan Pasal 6 UU ITE.30 Akan tetapi, justru bukti elektronik itu yang menjadi dasar pengambilan putusan hakim saat kasasi di Mahkamah Agung.31 Berdasarkan kasus-kasus diatas, tidak terpenuhinya syarat sahnya bukti elektronik, terutama terjaganya keutuhan bukti elektronik, menimbulkan berbagai macam masalah, diantaranya: 1. Tidak tercapainya kepastian hukum dan keadilan pada masyarakat. Karakteristik bukti elektronik yang mudah diubah dan dimanipulasi, menyebabkan bukti elektronik rentan disalahgunakan untuk memenuhi
28
Putusan Mahkamah Agung. Pidana. No. 574 K/Pid.Sus/2018. Baiq Nuril Maknun. 26 September 2018. hlm. 5-7. 29 Hutagaol, S. (2019). “Putusan Kasus Baiq Nuril Dinilai Berdasarkan Bukti yang Tidak Sah,� Okezone.com. Diakses pada 10 Juli 2019. https://news.okezone.com/read/2019/07/05/337/2075133/putusan-kasus-baiq-nuril dinilaiberdasarkan-bukti-yang-tidak-sah. 30 Saputra, A. (2019). “Pengamat Nilai MA Abaikan 2 Fakta di Kasus Baiq Nuril,� Detik.com. Diakses pada 12 Juli 2019.https://news.detik.com/berita/d-4617230/pengamat-nilai-ma-abaikan2fakta-di-kasus-baiq-nuril. 31 Putusan Mahkamah Agung. supra note 53. hlm. 10.
142 kepentingan tertentu, seperti mempermudah pembuktian penegak hukum di persidangan melalui rekayasa bukti elektronik.32 2. Informasi dalam bukti elektronik rentan disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Tanpa adanya pengaturan yang komprehensif dalam pengambilan bukti elektronik dalam perangkat elektronik, sehingga datadata atau informasi pribadi yang tidak terkait dengan perkara pidana pun ikut diambil oleh aparat penegak hukum, seperti akun rekening, email, pembayaran tertentu, dan
aktivitas lain-lain yang diakses dari perangkat
elektronik.33 3. Penghukuman bukan berdasar kesalahan materiil (kesalahan yang sebenarbenarnya). Penggunaan bukti elektronik yang mengalami perubahan, menyebabkan tidak dapat dilakukan penilaian objektif majelis hakim untuk menemukan kebenaran materil atas suatu kesalahan terdakwa dalam pembuktian. 34 Hal itu akan melanggar prinsip dasar pidana Geen straf zonder schuld atau tiada pidana tanpa kesalahan dalam sistem peradilan fair trial.35 4. Melanggar putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016, yang menyatakan suatu bukti elektronik dapat dikatakan sah jika diperoleh dengan cara yang sah. Sehingga bukti elektronik yang tidak diambil oleh aparat penegak hukum dalam penegakan hukum tidak sah sebagai bukti di persidangan.36 Kemudian melanggar Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang. Berdasarkan permasalahan dari kasus-kasus dan dampaknya tersebut, penting bagi pemerintah untuk merevitalisasi pengaturan penanganan bukti
32
Wawancara dengan Miko Susanto Ginting. 16 Juli 2019. Pengajar Hukum Pidana STH Indonesia Jentera. 33 Wawancara dengan Paku Utama. 15 Juli 2019. ahli digital forensik PT Wikrama Utama Indonesia. 34 Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Ps. 184. 35 Chazawi, A. (2007). Pelajaran Hukum Pidana 1 (hlm. 151). Jakarta: Rajagrafindo Persada, 36 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016. pengujian Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Elektronik Ps. 5 ayat (1) dan (2). pemohon: Setya Novanto. 7 September 2016, hlm. 92.
143 elektronik dalam proses perkara pidana di Indonesia. ISO 27037 merupakan pedoman yang berstandar internasional dalam penanganan bukti elektronik yang dapat digunakan oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Tujuan utama penanganan bukti elektronik menggunakan ISO 27037 adalah, untuk menjaga integritas dan keutuhan data bukti elektronik, sehingga tidak mengalami perubahan atau rekayasa.37 Selain itu, dalam ISO 27037 juga memberikan prinsip dasar dalam penanganan bukti elektronik yang harus dilakukan oleh seorang First Responder, yaitu relevansi, 38 keandalan, 39 dan kecukupan. 40 Kemudian penanganan bukti elektronik yang telah dilakukan harus mampu diaudit (auditability),41 dapat diulang, dapat diproduksi ulang, dan dapat dijustifikasi oleh pihak pemeriksa independent/ahli lainnya. Sehingga halhal itu harus dilaksanakan oleh First Responder dalam menangani bukti elektronik. Adapun tahapan dan prinsip penangan bukti elektronik dalam ISO 27037 secara umum, sebagai berikut:42 1. Identifikasi Proses identifikasi melibatkan pencarian, pengenalan, dan dokumentasi bukti elektronik. FR harus mengidentifikasi dokumen atau data elektronik mana saja yang harus dikumpulkan dari perangkat elektronik terkait dengan tindak pidana yang sedang ditangani bersama penyidik. Selain itu, FR harus berkoordinasi dengan penyidik untuk mempersiapkan segala teknis penyitaan atau penggeledahan dan pengumpulan bukti elektronik (akuisisi/koleksi) dengan memperhatikan berbagai kemungkinan yang terjadi di Tempat Kejadian Perkara (TKP). 2. Koleksi Setelah perangkat elektronik yang mengandung bukti elektronik relevan telah diidentifikasi, FR memutuskan apakah akan mengumpulkan (koleksi) Sudyana, D. (2016). “Instrumen Evaluasi Framework Investigasi Forensika Digital Menggunakan Sni 27037:2014,� JISKa. (hlm. 77). Vol. 1, No. 2, September. 38 Id., Bukti elektronik yang diakuisisi harus memiliki hubungan erat dengan pokok perkara, hlm. 10. 39 Id., Proses penanganan bukti elektronik harus dapat diperiksa (audit) dan diulang. 40 Id., Kecukupan bukti elektronik yang diambil hanya untuk kepentingan pembuktian perkara, dan tidak berlebihan. 41 Id., Tindakan yang dilakukan dapat dievaluasi oleh pihak yang berwenang untuk menilai metode ilmiah, teknik, dan prosedur tepat digunakan. 42 Id., hlm. 11-13. 37
144 atau mengakuisisi pada proses berikutnya. Koleksi adalah proses dalam penanganan bukti elektronik di mana perangkat yang berisi bukti elektronik dipindahkan dari lokasi asli ke laboratorium forensik atau lingkungan lain yang terkendali untuk akuisisi dan analisis selanjutnya. Tahap ini perlu dilakukan dokumentasi dari seluruh tindakannya, serta pembungkusan perangkat secara baik sebelum dipindahkan secara hati-hati, agar perangkat tidak rusak atau data elektronik hilang. 3. Akuisisi Akuisisi adalah proses penyalinan bukti elektronik yang dilakukan di tempat kejadian. Dalam proses akuisisi FR yang menangani harus berkompeten, dan berwenang untuk penanganan bukti elektronik. Proses akuisisi ini harus dilakukan melalui prosedur imaging file yang baik, sehingga tidak merubah hasil hashing bukti elektronik. Kemudian harus dilakukan pendokumentasian terhadap metode dan tindakan akuisisi tersebut. 4. Preservasi Proses preservasi merupakan rangkaian tindakan dalam menjamin agar data-data yang telah ditetapkan sebagai bukti elektronik tidak hilang atau berubah. Berdasarkan tahapan dan prinsip dalam ISO 27037 tersebut, dapat dibandingkan penanganan bukti elektronik yang diatur dalam PERKAP 10 Tahun 2009 terdapat disparitas, yaitu dalam menjaga keutuhan dan integritas bukti elektronik. Adapun disparitas itu terdiri dari:
Gambar 1.4: Disparitas Penanganan Bukti Elektronik (Sumber: kisspng.com; indotekmultimedia.com) 1. Pihak Pertama yang Menangani (First Responder) Dalam PERKAP 10/2009 disebutkan pemeriksaan oleh Puslabfor Mabes Polri hanya dilakukan jika memenuhi syarat formil dan teknis permintaan penyidik, adapun teknis yaitu penyidik membawa perangkat
145 elektronik ke Laboratorium Forensik untuk diperiksa.43 Sedangkan mengenai siapa yang melakukan pengambilan bukti elektronik untuk pertama kali tidak diatur. 44 Hal itu berbeda dengan konsep ISO 27037, dimana pihak yang menangani bukti elektronik sejak awal harus ahli yang berwenang, terlatih dan berkualifikasi untuk bertindak terlebih dahulu di TKP melakukan koleksi dan akuisisi bukti elektronik, yang disebut First Responder. 45 Ahli tersebut diterangkan juga dalam Penjelasan Pasal 43 ayat 5 huruh h UU ITE, yaitu orang yang memiliki keahlian khusus ITE secara praktis maupun akademis. 2. Dokumentasi Dalam ISO 27037 diharuskan First Responder melakukan dokumentasi dari tiap tahapan penanganan bukti elektronik, mulai dari proses identifikasi, koleksi, akuisisi, dan preservasi. Kegunaannya agar bukti elektronik dapat diaudit (diperiksa), oleh pemeriksa independent, majelis hakim atau ahli dari penasihat hukum mengenai metodelogi yang digunakan dan tindakan yang dilakukan, sehingga dapat dijelaskan (dijustifikasi) secara sah bahwa bukti elektronik tidak mengalami perubahan. Dokumentasi itu melalui foto dan chain of custody, yang memuat catatan riwayat tindakan-tindakan yang dilakukan pada bukti elektronik secara rinci.46 Sedangkan dalam PERKAP 10/2009 tidak ada kewajiban dilakukan dokumentasi tiap tindakan forensik, terutama melalui chain of custody.47 3. Penggunaan Salinan Bukti Elektronik dalam Analisis (working file) ISO 27037 mengharuskan proses pemeriksaan, analisis, dan pembuktian bukti elektronik menggunakan file elektronik salinan (working file) dan bukan file asli (master copy). Hal itu untuk mencegah terjadinya perubahan pada bukti elektronik ketika proses pemeriksaan atau analisis. 48 Sedangkan dalam PERKAP 10/2009 tidak dijelaskan mengenai keharusan
43
PERKAP Nomor 10 Tahun 2009. supra note 43. Ps. 19. Wawancara dengan Paku Utama. 15 Juli 2019. ahli digital forensik PT Wikrama Utama Indonesia. 45 Id. 46 International Organization for Standardization 27037. hlm. 20. 47 Wawancara dengan Paku Utama. 15 Juli 2019. ahli digital forensik dari PT Wikrama Utama Indonesia. 48 International Organization for Standardization 27037. hlm. 10. 44
146 penggunaan file salinan dalam pemeriksaan oleh Puslabfor, sehingga dapat menggunakan file asli, yang rawan berubah.49 Berdasarkan uraian masalah dan perbandingan dengan konsep ISO 27037 dalam penanganan bukti elektronik tersebut, sudah seharusnya dilakukan revitalisasi pengaturan penanganan bukti elektronik di Indonesia. Hal itu untuk menjaga keutuhan dan integritas bukti elektronik. Kemudian untuk memenuhi kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat, pemidanaan berdasar kesalahan materiil, menghindari penyalahgunaan bukti elektronik oleh aparat penegak hukum, dan pelaksanaan putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016 3. Penutup 3.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan: 1. Pengaturan penanganan bukti elektronik dalam proses perkara pidana di Indonesia belum mampu menjamin keutuhan dan integritas bukti elektronik dalam pembuktian. Hal itu terjadi pada kasus Jessica Kumala Wongso, dan Baiq Nuril Maknun. Penyebabnya karena penanganan bukti elektronik harus melalui permintaan terlebih dahulu ke Puslabfor Polri dari penyidik, ketiadaan dokumentasi dalam bentuk chain of custody dan foto, dan tidak adanya pengaturan penggunaan file salinan dalam analisis dan pembuktian bukti elektronik di persidangan. Berdasarkan uraian masalah itu, maka perlu dilakukan revitalisasi pengaturan penanganan bukti elektronik dalam proses perkara pidana di Indonesia. 2. ISO 27037 merupakan pedoman berstandar internasional dalam penanganan bukti elektronik yang dapat diterapkan di Indonesia. Isi dalam pedoman tersebut meliputi tatacara, dan prinsip-prinsip penanganan bukti elektronik saat pertama kali pengambilan, sehingga dapat secara sah untuk pembuktian di persidangan. Berkaca pada banyak negara yang mengadopsi sistem penanganan bukti elektronik berdasarkan ISO 27037, seharusnya Indonesia meniru model 49
Lihat PERKAP 10/2009 dan wawancara dengan ahli digital forensik Paku Utama. 15 Juli 2019. dari PT Wikrama Utama Indonesia.
147 penanganan tersebut. Hal itu berangkat dari permasalahan bukti elektronik yaitu pengaturan pihak pertama yang menangani, dokumentasi, dan penggunaan salinan bukti elektronik. Sehingga dengan revitalisasi pengaturan itu akan menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat, pemidanaan berdasar kesalahan materiil, menghindari penyalahgunaan bukti elektronik oleh aparat penegak hukum, dan pelaksanaan putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016. 3.2 Rekomendasi Adapun saran yang dapat disampaikan melalui penelitian ini adalah: 1. Pemerintah perlu merevitalisasi pengaturan penanganan bukti elektronik dalam proses perkara pidana di Indonesia saat ini, untuk memenuhi kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat, pemidanaan berdasar kesalahan materiil, menghindari penyalahgunaan bukti elektronik oleh aparat penegak hukum, dan pelaksanaan putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016. 2. Model penanganan bukti elektronik yang diatur dalam ISO 27037 yang dianut beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, China, Australia, dan Uni Eropa dapat menjadi acuan penanganan bukti elektronik oleh Indonesia. Sehingga dapat terjaga keutuhan dan integritas bukti elektronik dalam pembuktian. DAFTAR PUSTAKA BUKU Al-Azhar, M. N. (2012). Digital forensik: Practical Guidelines for Computer Investigation. Puslabfor Mabes Polri. Jakarta. Effendi, M. (1994). Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia. Fakhira, E. L. (2008). Kedudukan Bukti Elektronik Sebagi lt Bukti di Pengadilan. Bandung: Art Pers. International Organization for Standardization 27037. Mulyadi, L. (2007). Tindak Pidana Korupsi. Bandung: Alumni. Prodjohamidjojo, M. 1983. Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti. Jakarta: Ghalia.
148 Sofyan, A. (2013). Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Yogyakarta: Rangkang Education. Suseno, S. (2012). Yurisdiksi Tindak Pidaan Siber. Bandung: Refika Aditama. Utama, P. (2018). Anti-Gatekeeper& Investigasi Forensik. Jakarta: PT Wikrama Utama. JURNAL Hamidovic, H. (2012). How to Maximize Evidential Weight of Electronically Stored Information Recommendations of BS 10008. ISACA JOURNAL VOLUME 4: 1. Sudyana, D. (2016). Instrumen Evaluasi Framework Investigasi Forensika Digital Menggunakan SNI 27037:2014. JISKa, Vol. 1, No. 2: 77. ARTIKEL ONLINE Ginting, M.
(2019).
Menata
Regulasi
Bukti
Elektronik.
https://kolom.tempo.co/read/1213817/menata-regulasi-bukti-elektronik. 17 Juli 2019 (17.40). Hutagaol, S. (2019). Putusan Kasus Baiq Nuril Dinilai Berdasarkan Bukti yang Tidak Sah. https://news.okezone.com/read/2019/07/05/337/2075133/putusankasusbaiq-nuril-dinilai-berdasarkan-bukti-yang-tidak-sah. 10 Juli 2019 (12.25) Katadata.
(2018).
Berapa
Jumlah
Pengguna
Internet
di
Indonesia?.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/02/20/berapajumlahpengguna-internet-di-indonesia. 13 Juli 2019 (10.17). Riana, F. (2016). Pengacara Jessica: Paling Fatal Tak Ada CCTV Asli. https://metro.tempo.co/read/811804/pengacara-jessica-paling-fatal-takadacctv-asli/full&view=ok. 16 Juli 2019 (14.07). Saputra, A. (2019). Pengamat Nilai MA Abaikan 2 Fakta di Kasus Baiq Nuril. https://news.detik.com/berita/d-4617230/pengamat-nilai-ma-abaikan-2fakta-dikasus-baiq-nuril. 12 Juli 2019 (13.43). Susanto.
(2016).
Rekaman
CCTV
Jessica
Dinilai
tidak
https://mediaindonesia.com/read/detail/68923-rekaman-cctv-jessicadinilaitidak-sah.html. 9 Juli 2019 (06.21).
Sah.
149 Wardani, A. S. (2019). Jumlah Pengguna Internet di Indonesia Sentuh Angka 171 Juta. https://www.liputan6.com/tekno/read/3967287/jumlahpenggunainternet-di-indonesia-sentuh-angka-171-juta. 13 Juli 2019 (10.42). PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 Peraturan Hukum Pidana. 26 Februari 1946. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. 31 Desember 1981. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997 Dokumen Perusahaan. 24 Maret 1997. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 18. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 16 Agustus 1999. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 4 April 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45. Jakarta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Informasi dan Transaksi Elektronik. 21 April 2008. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3 Oktober 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140. Jakarta. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman. 29 Oktober 2009. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157. Jakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 22 Oktober 2010. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122. Jakarta.
150 PUTUSAN Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pidana. No. 777/Pid.B/2016/PN.JKT.PST. Jessica Kumala Wongso vs. Negara. 27 Oktober 2016. Putusan Mahkamah Agung. Pidana. No. 498 K/PID/2017. Jessica Kumala Wongso vs. Negara. 21 Juni 2017. Putusan Mahkamah Agung. Pidana. No. 574 K/Pid.Sus/2018. Baiq Nuril Maknun vs. Negara. 26 September 2018. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016. Pengujian UndangUndang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Elektronik Ps. 5 ayat (1) dan (2). Pemohon: Setya Novanto. 7 September 2016.
151 KOMISI PENGELOLA DANA JAMINAN REKLAMASI DALAM UPAYA PEMULIHAN WILAYAH BEKAS TAMBANG BATU BARA Rizqa Ananda Hanapi1, Husnul Khatimah Ahmad2, Ririn Aswandi3 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail: hanapira16b@student.unhas.ac.id 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail: uchy130299@gmail.com 3 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail: ririnaswandi20@gmail.com
Abstrak: Demi mengurangi dampak negatif dari kegiatan pertambangan, perlu dilakukan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang. UU No. 4 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 78 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 7 Tahun 2014 serta peraturan perundang-undangan menjadi dasar hukum mengenai pertambangan serta pelaksanaan reklamasinya. Perusahaan diwajibkan melakukan reklamasi pada areal bekas tambang. Perusahaan juga diwajibkan memberikan uang jaminan kepada pemerintah, agar apabila perusahaan tidak melakukan reklamasi maka uang jaminan tersebut digunakan pemerintah untuk melaksanakan reklamasi terhadap lubang galian tambang. Pada kenyataannya, pemerintah juga tidak melakukan reklamasi lahan tambang tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban korporasi terhadap pemulihan bekas tambang batu bara dan untuk mengetahui bagaimana implementasi konsep restorative justice melalu komisi pengelola dana jaminan reklamasi dalam upaya pemulihan bekas tambang batu bara. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Penulis menyimpulkan, Pertama, pertanggungjawaban korporasi dalam pemulihan bekas tambang batu bara belum berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kedua, dibutuhkan sebuah komisi independen dan bersifat ad hoc untuk mengelola dana jaminan reklamasi yang bertujuan memulihkan kondisi lingkungan dan sosial masyarakat di wilayah bekas pertambangan. Kata Kunci: Restorative Justice; Komisi Pengelola Dana Jaminan; Perdagangan Orang; 1. Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi sumberdaya energi dan mineral yang cukup besar.1 Potensi sumber daya alam tersebut harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, serta harus
1
Reno Fitriyanti, (2016), Pertambangan Batubara: Dampak Lingkungan, Sosial dan Ekonomi, Jurnal Redoks, Vol. 1, No. 1, Tahun 2016, hlm. 34
152 memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial sekitar. Salah satu sumber daya alam yang dimanfaatkan tersebut adalah batubara. Dalam proses pengambilannya memiliki proses dan prosedur yang panjang yaitu yang dinamakan dengan kegiatan pertambangan.2 Pertambangan batu bara merupakan salah satu sektor kegiatan ekonomi yang membutuhkan kawasan hutan, baik yang berasal dari Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) maupun Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK).
3
Keberadaan perusahaan tambang di Indonesia kini banyak dipersoalkan oleh berbagai kalangan,4 berbagai masalah timbul akibat kegiatan pertambangan mulai dari munculnya berbagai penyakit akibat limbah pertambangan yang tidak terkendali, terjadinya pencemaran yang mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan dan punahnya beberapa flora fauna yang menjadi karakter daerah setempat. 5 Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan beraneka ragam sifat dan bentuknya.6 Praktik terbaik pengelolaan lingkungan dalam sektor pertambangan menuntut proses yang terus-menerus dan terpadu pada seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalarn rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang. Perencanaan dan pelaksanaan yang tepat merupakan rangkaian pengelolaan pertambangan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan sehingga akan mengurangi dampak negatif akibat kegiatan usaha pertambangan.7
2
Ebran Alkad dkk, (2018) Perencanaan dan Biaya Reklamasi Lahan Bekas Tambang Area Tambang Batubara PT. Baturona Adimulya Desa Supat Barat Kecamatan Babat Supat Kabupaten Musi Banyuasin, Jurnal Bina Tambang, Vol. 3, No. 3, Tahun 2018, hlm. 1262. 3 M Muhdar, Mohamad Nasir dan Rosdiana, (2015) Impilkasi Hukum Terhadap Praktik Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Pertambangan Batu Bara, Jurnal HARLEV, Vol. 1, No. 3, Tahun 2015, hlm. 431. 4 Salim HS, (2005), Hukum Pertambangan Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, hlm. 5 5 Misbakhul Munir dan Rr Diah Nugraheni Setyowati, (2017), Kajian Reklamasi Lahan Pasca Tambang di Jambi, Bangka, dan Kalimantan Selatan, Jurnal Ilmu Biologi dan Terapan: KROLOFIL, Vol. 1 No. 1, Tahun 2017, hlm. 11 6 Abrar Saleng, (2004), Hukum pertambangan, Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta, hlm. 117 7 Suprapto, (2011), Aspek Hukum Tentang Reklamasi Pertambangan Batu Bara Studi Di Kecamatan Satui Tanah Bumbu, Jurnal Syiar Hukum, Vol. 13, No. 3, Tahun 2011, hlm. 190.
153 Terkait pelaksanaan program reklamasi dan pasca tambang sebagai kewajiban perusahaan pertambangan, saat ini dinilai belum mumpuni dalam merevitalisasi lingkungan. Pasalnya, masih banyak area lahan bekas tambang yang ditinggalkan oleh perusahaan pertambangan di beberapa daerah di Indonesia. Padahal kewajiban perusahaan pertambangan dalam memperbaiki kerusakan lingkungan melalui jalur reklamasi dan pasca tambang telah diatur secara tegas dan lugas melalui sejumlah peraturan perundang-undangan terkait pertambangan.8 Ketua Umum Asosiasi Reklamasi dan Energi Indonesia (ARMI) menyatakan
bahwa
masih
banyak
perusahaan
tambang
yang
tidak
bertanggungjawab meninggalkan lubang galian bekas tambang yang sudah tidak lagi dieksploitasi, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. 9 Jumlah perusahaan tambang yang tidak bertanggungjawab ini cukup besar dan menunjukkan adanya praktik kejahatan korporasi yang terjadi secara terus-menerus dan tentunya dapat mencemarkan lingkungan. Fokus utama kejahatan korporasi adalah pada sektor produksi, tujuan utamanya adalah untuk memaksimalkan keuntungan korporasi dan/atau mengurangi biaya-biaya produksi, dengan cara melakukan kegiatan produksi dan melalaikan kewajiban untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup, sehingga terjadi pencemaran dan kerusakan pada media lingkungan hidup.10 Salah satu contoh kejahatan korporasi dibidang pertambangan adalah tidak dilakukannya reklamasi pada bekas lubang tambang yang melibatkan PT. Cahaya Energi Mandiri (CEM) pada tanggal 25 Mei 2015. Bekas lubang tambang yang tidak direklamasi ini menimbulkan korban jiwa yakni meninggalnya seorang anak berkebutuhan khusus bernama Ardi Bin Hasyim yang berusia 11 Tahun karena
8
Ayu Linanda dan Hudali Mukti, Kewajiban Perusahaan Pertambangan Dalam Melaksanakan Reklamasi Dan Pascatambang di Kota Samarinda, Jurnal Ilmiah Hukum YURISKA, Vol. 8, No. 2 Tahun 2017, hlm. 67. 9 Alrosid Nurdin Ahmad, (2017), Tanggungjawab Usaha Pelaku Pertambangan Dalam Reklamasi Lahan Pascatambang di Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Jember, Tahun 2017, hlm. 3 10 Julio Sebastian, (2015) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pasal 118 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm 5.
154 terjatuh dan tenggelam di dalam lubang tambang atau eks galian tambang PT. CEM yang terletak di Kelurahan Sambutan Kecamatan Samarinda Ilir Kota Samarinda.11 Setiap peristiwa tewasnya korban yang disebabkan oleh kondisi lubang tambang yang tidak direklamasi, tidak pernah terselesaikan secara tuntas pada jalur hukumnya, lemahnya pembelaan dan penuntasan kasus demi kasus yang ada berkaitan dengan lubang tambang tersebut dikarenakan oleh tidak tuntasnya peran banyak pihak mulai dari kepolisian, pihak perusahaan hingga pada pemerintah kota, provinsi hingga level kementerian sekalipun. Tidak hadirnya iktikad baik untuk menyelamatan lingkungan dari bahaya pertambangan batubara terlebih kepada masa depan anak-anak menjadi alasan utama kasus semacam ini terus berulang selama 5 tahun.12 Hal tersebut akan terus terjadi dan berlanjut jika tidak ditangani dengan tegas oleh pemerintah dengan sanksi pertanggungjawaban yang tegas pada korporasi yang tidak melakukan reklamasi pada bekas tambang batu bara. Untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dari kegiatan pertambangan, maka perlu dilakukan kegiatan reklamasi lahan bekas tambang.13 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Selanjutnya disebut “UU Minerba”), Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang (Selanjutnya disebut “PP Reklamasi dan Pascatambang”) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut “Permen ESDM No. 7 Tahun 2014) serta peraturan perundang-undangan terkait pertambangan, mewajibkan perusahaan pertambangan
11
Rustiana, (2019), Tanggung Jawab Hukum Terhadap Hilangnya Nyawa Orang di Lubang Tambang Batu Bara ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana (Studi Kasus PT. Cahaya Energi Mandiri (CEM), Kelurahan Sambutan Kecamatan Samarinda Ilir), Jurnal Ilmiah Hukum YURISKA, Vol. 11, No. 2, Tahun 2019, hlm 202. 12 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (2016) Pelanggaran Atas Hak Dasar dalam Kasus Eks Lubang Tambang Di Kalimantan Timur, hlm. 2. 13 Ali R. Kurniawan dan Wulandari Surono, (2013), Model Reklamasi Tambang Rakyat Berwawasan Lingkungan: Tinjauan Atas Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu Apung Ijobalit, Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat, Jurnal Teknologi Mineral Dan Batubara Vol. 9, No 3, Tahun 2013, hlm. 166.
155 untuk melakukan reklamasi pada areal bekas tambang.14 Namun berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa masih banyak ditemukan kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dibidang pertambangan dengan mengabaikan kewajiban yang telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Kewajiban melakukan reklamasi kemudian mewajibkan adanya jaminan reklamasi yang diberikan kepada pemerintah daerah setempat yang berdasarkan Pasal 100 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Minerba15 serta Pasal 29 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2) PP Reklamasi dan Pascatambang 16 untuk dimanfaatkan oleh pemerintah daerah apabila perusahaan tidak melakukan reklamasi sebagaimana mestinya. Namun pemberian jaminan ini menjadi alasan bagi perusahaan pertambangan untuk menghilangkan tanggung jawab melaksanakan reklamasi pada area lahan bekas tambang tersebut. Pada pertambangan batu bara, tercatat sebanyak 3.033 lubang bekas tambang yang beracun dan mengandung logam berat dibiarkan terbuka tanpa rehabilitasi atau pemulihan.17 Perusahaan kerap kali menganggap bahwa pembayaran jaminan reklamasi telah menggugurkan kewajiban reklamasi, sehingga seakan-akan kewajiban tersebut telah diserahkan kepada pemerintah daerah. Ketentuan norma hukum inilah yang sering salah kaprah digunakan oleh perusahaan pertambangan, padahal makna yang ditegaskan dalam peraturan perundang-undang bukan menjadikan uang jaminan reklamasi sebagai penghapus kewajiban reklamasi. Padahal uang jaminan reklamasi yang diberikan oleh perusahaan pertambangan kepada pemerintah daerah adalah prasyarat untuk bertanggungjawab melaksanakan 14
Arminotoh Achmad dkk, (2017) Perencanaan Reklamasi Yang Baik Untuk Terciptanya Lahan Bekas Tambang Yang Produktif, Seminar Nasional Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Di Industri 2017, Institut Teknologi Nasional Malang, 4 Februari 2017. 15 Pasal 100 UU Minerba: (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang; (2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui 16 Pasal 29 ayat (1) PP Reklamasi dan Pascatambang: (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan: a. jaminan reklamasi; dan b. jaminan pascatambang. Dan pasal 30 ayat (2) Jaminan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada bank pemerintah dalam bentuk deposito berjangka 17 Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), (2019), 143 Anak Mati Sia-Sia di Lubang Tambang, [online] tersedia di: https://jatam.org/2019/03/143-anak-mati-sia-sia-di-lubang-tambang/ [Diakses Pada 11 Oktober 2019]
156 reklamasi dan pasca tambang 18 yang kemudian akan dikembalikan kepada perusahaan apabila perusahaan telah menjalankan kewajiban reklamasi. Praktik semacam ini menjadi kedok beli lahan seperti yang diakui oleh perusahaan pertambangan tentunya tidak sesuai dengan amanat undang-undang dan akan merugikan lingkungan dan masyarakat setempat. Berdasarkan uraian diatas, maka dianggap perlu untuk membahas mengenai penanganan bentuk kejahatan korporasi yang tidak melakukan reklamasi pada bekas tambang batubara dengan judul “Implementasi Konsep Restorative Justice Melalui Komisi Pengelola Dana Jaminan Reklamasi dalam Upaya Pemulihan Wilayah Bekas Tambang Batu Bara”. 2. Analisis 2.1. Pertanggungjawaban Korporasi Terhadap Pemulihan Bekas Tambang Batu Bara Saat Ini Indonesia adalah negara yang telah mengalami proses modernisasi dengan melihat sejarah dan perkembangan kedudukan korporasi dalam sistem hukum yang berlaku. Hal ini memang sudah menjadi suatu keharusan. Glenville Willliams dalam bukunya “Textbook of Criminal Law” yang menyatakan bahwa dapat dipertanggung-jawabkannya korporasi berdasarkan utilitarian theory, dan sematamata bukan berdasarkan asas “theory of justice” tetapi adalah untuk pencegahan kejahatan. 19 Untuk mencegah meluasnya kejahatan korporasi maka sistem hukum nasional sejak tahun 1951 telah memperkenalkan korporasi sebagai subyek delik. Tidak sampai disitu saja, pada tahun 1955 kembali ditegaskan posisi sebagai subyek delik dalam tindak pidana ekonomi sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.20 Menurut Remy Sjahdeini ada dua ajaran pokok yang menjadi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan doctrine of vicarious liability. 18
Ayu Linanda, Op. Cit. Hlm 68 Happy Christian Hutapea, (2019) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014, Journal Equitable, Vol. 4 No. 1, l. Tahun 2019, Hlm 11 20 Hariman Satria, (2016) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Sumber Daya Alam, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 8, No. 2, Tahun 2016, Hlm. 3 19
157 Pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal berikut;21 1. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. 2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. 3. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan). 4. Untuk perlindungam konsumen 5. Untuk kemajuan teknologi.22 Kehadiran UU Minerba dilandasi oleh niat untuk memperbaiki tata kelola pertambangan mineral dan batu bara di Indonesia. Salah satu esensi perbaikan yang dikandung UU Minerba adalah menata ulang proses perizinan dikarenakan banyak kasus tumpang tindih izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang tidak sesuai dengan syarat-syarat yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. Akibat dari hal tersebut maka pemegang izin usaha pertambangan tidak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dengan baik.
23
Salah satu kewajiban yang sering tidak
dilaksanakan oleh korporasi adalah kewajiban melakukan reklamasi setelah melakukan pertambangan, termasuk pertambangan batu bara. Selain itu sebagaimana diatur dalam PP Reklamasi dan Pascatambang, korporasi diwajibkan untuk melakukan atau melaksanakan reklamasi. 24 Hal ini dalam rangka melindungi lingkungan terdampak dari proses pertambangan serta untuk meminimalkan dampak yang dapat merugikan banyak pihak, khususnya masyarakat sekitar. Karena apabila satu aspek lingkungan terkena masalah, maka aspek lainnya akan mengalami dampak atau akibat pula. 25 Ketentuan peraturan perundang-undangan telah diatur sedemikian rupa agar korporasi taat menjalankan
21
Happy Christian Hutapea, Op. Cit. Hlm 12 Ibid., 23 Govinda Panjuwa, (2018) Hak Dan Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan (Iup) Dalam Melaksanakan Kegiatan Usaha Pertambangan Menurut UU No.4 Tahun 2009, Jurnal Lex Privatum, Vol. Vi, No. 5, Tahun 2018, Hlm. 66 24 Pasal 2 ayat 1 dan 2 PP Reklamasi dan Pascatambang 25 N. H. T. Siahaan, (2004), Hukum Lingkungan Dan Ekologi Pembangunan, Jakarta: Erlangga, hlm 1 22
158 kewajibannya namun berdasarkan kondisi empiris, kewajiban melaksanakan reklamasi seakan tidak memiliki kekuatan mengikat karena tidak dilaksanakan oleh perusahan dan bahkan pemerintah daerah seakan turut bersama-sama dalam mengabaikan kondisi ini. Tidak dilaksanakannya kewajiban perusahaan untuk melakukan reklamasi maka bekas tambang tersebut mengakibatkan berbagai dampak negatif bagi warga sekitar. Salah satu dampak negatif yang dialami masyarakat dapat dilihat dari ditemukannya korban nyawa yang jatuh ke dalam galian tambang yang tidak direklamasi. Berikut data beberapa korban jiwa sejak tahun 2016 sampai tahun 2019. Tabel 1. Beberapa Korban Jiwa Lubang Tambang yang Tidak Direklamasi Tahun 2016 – 2019 No.
Perusahaan
Korban
Lokasi
Waktu Kejadian
1.
PT. Bara Sigi Mining Sanofa (BSM)
M Desa
Rian (14)
Sebulu 05
Agustus
RT 201526
Modern,
14 (jalan poros Tenggarong Sebulu), Kecamatan Sebulu 2.
PT.
Multi
Harapan Mulyadi (15)
Utama (MHU)
RT
3, 16 Desember
Kelurahan Loa 201527 Ipuh
Darat,
Kecamatan Tenggarong
26 27
Rustiana, Op. Cit. halaman 203 Ibid.,
159 3.
KSU Wijaya Kusuma
Dewi
Ratna Desa Sumber 16 Desember
(9)
sari
Kec. 201528
sebulu 4.
PT.
Bukit
Baiduri Noval
Energi
Fajar Desa
Bukit 23
Slamat
Raya RT. 19 201629
Riyadi (15)
Kec.
Maret
Tenggarong Seberang 5.
PT. Bukit Baiduri
Diky Aditya Desa (15)
6.
PT.
Insani
Raya RT. 19
Bara Wilson (17)
Perkasa
Bukit 23
Maret
201630
KM. 9, RT 18, 15 Mei 201631 Desa Purwajaya, Kec.
Loa
Janan 7.
PT. Gunung Bayang Novi Pratama Coal
(18)
Sari Pit 7D5, Desa 25 Juni 201732 Belusuh, Kecamatan Siluq Ngurai
8.
PT.
Trias
Sejahtera
Patriot Alif Alfaroci Desa (15)
rapak 21
lambur,
oktober
201833
kecamatan tenggarong
28
Ibid., Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Op. Cit. halaman 21 30 Ibid., 31 Ibid., 32 Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), (2019), Daftar korban meninggal dilubang tambang batu bara kaltim, [online] tersedia di: https://www.jatam.org/2017/11/20/daftar-anakanak-korbanmeninggal-di-lubang-tambang-batu-bara-kaltim/ [Diakses Pada 11 Oktober 2019] 33 Tommy Apriando, (2018), Korban ke 30, Lubang Bekas Tambang Batubara di Kaltim Renggut Nyawa Lagi, [online] Tersedia di: https://www.mongabay.co.id/2018/10/23/korban-ke-30lubangbekas-tambang-batubara-di-kaltim-renggut-nyawa-lagi/ [Diakses pada 11 oktober 2019] 29
160 9.
CV. Prima Coal
Irfan (25)
Jalan
Padat 27 Juli 201834
Karya, Bengkuring, Kota samarinda 10.
PT. Mutu
Rizki
Nur Desa
Aulia (14)
Bunga 21
Jadi,
April
201935
Kecamatan Muara Kaman Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Kaltim,
Jatuhnya korban jiwa dalam bekas galian tambang ini tentunya memerlukan pertanggungjawaban setiap pihak terkait. Permasalahan menunjukkan tidak adanya iktikad baik dari perusahaan. Perusahaan tidak memasang pagar, memasang penanda yang memadai, atau menugaskan orang untuk menjaga agar tidak ada orang yang melintas, dan tentunya tidak melakukan reklamasi sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Lahan bekas tambang wajib direklamasi untuk memulihkan lingkungan pasca tambang.36 Secara tegas PP Reklamasi dan Pascatambang telah mengatur bahwa area tambang yang tidak beroperasi selama 30 hari harus ditutup namun sampai saat ini masih banyak area bekas tambang yang tidak dipulihkan. Dengan adanya dana jaminan seharusnya pemerintah memikul kewajiban untuk melakukan 34
JATAM, Op. Cit Liputan6.com. (2019), Korban Tenggelam di Lubang Bekas Tambang Terus Bertambah. [online] tersedia di: https://www.liputan6.com/regional/read/3952093/korban-tenggelam-dilubang-bekastambang-terus-bertambah [Diakses Pada 11 Oktober 2019] 36 Ardan Adhi Chandra, (2019), Lahan Bekas Tambang Tak Direklamasi, Apa Sanksinya? [online] tersedia di: https://finance.detik.com/energi/d-4529518/lahan-bekas-tambang-takdireklamasiapa-sanksinya [Diakses Pada 11 Oktober 2019] 35
161 reklamasi dan pasca tambang jika perusahaan yang bersangkutan lari dari tanggungjawab tersebut. Seluruh rangkaian kejadian yang merugikan masyarakat dapat mengancam hak-hak masyarakat dan menunjukkan kegagalan pemulihan lingkungan pasca tambang dianggap sebagai bukti bahwa pemerintah melakukan pembiaran dan tidak dapat menegakkan hukum. Pertanggungjawaban korporasi saat ini dinilai tidak tepat sasaran karena peran sentral pemerintah pusat daerah belum maksimal. Kewajiban reklamasi yang tidak dijalankan serta tidak jelasnya pengelolaan dana jaminan menyebabkan diperlukannya upaya serius dan strategis demi menjamin hak-hak masyarakat. Sub-judul Analisis atau Hasil merupakan pembahasan turunan dari sub analisis. Sub Analisis atau Hasil diketikan dengan format berikut: 2.2. Implementasi Konsep Restorative Justice melalui Komisi Pengelola Dana Jaminan Reklamasi Terdapat berbagai peristiwa hukum yang membutuhkan penyelesaian yang berbeda dari peristiwa hukum biasa. Kasus lubang tambang batu bara yang tidak direklamasi telah banyak memberikan dampak buruk pada masyarakat. Hak-hak penduduk di sekitar wilayah pertambangan terganggu akibat tidak dipulihkannya lubang tambang tersebut. Korporasi sebagai entitas yang dibebankan untuk memulihkan kondisi lingkungan setelah dilakukan pengerukkan batu bara tidak melakukan tanggung jawabnya secara maksimal. Terlebih lagi, komitmen pemerintah mulai dari pemerintah daerah hingga pemerintah pusat dalam menegakkan hukum seakan tidak terwujud padahal peraturan perundang-undangan telah mengantisipasi kelalaian korporasi dengan mewajibkan pemerintah daerah melakukan reklamasi menggunakan dana jaminan yang telah dibayarkan korporasi. Penyelesaian hukum yang dibutuhkan dalam peristiwa yang merugikan banyak pihak adalah penyelesaian yang bersifat restoratif atau yang dapat memulihkan kondisi dan menguntungkan seluruh pihak, khususnya pihak yang dikorbankan yakni masyarakat. Dalam menyelesaikan hal ini, dibutuhkan komitmen yang besar dari pemerintah, salah satunya dengan membentuk komisi ad-hoc yang khusus mengelola dana jaminan reklamasi untuk menjamin adanya penyelesaian dari kasus-kasus di mana korporasi tidak melakukan kewajibannya.
162 Dana jaminan yang telah dibayarkan korporasi kepada pemerintah daerah perlu dikelola secara transparan oleh sebuah komisi yang independen karena pemerintah daerah dianggap tidak mampu mengelolanya dengan tepat, terbukti hingga saat ini terdapat banyak kasus tidak dipulihkan wilayah pasca tambang padahal berdasarkan peraturan perundang-undangan, telah diatur mengenai dana jaminan reklamasi yang harus dikelola oleh pemerintah daerah dan untuk digunakan pemerintah daerah apabila korporasi lari dari tanggung jawabnya. Komisi pengelola dana jaminan reklamasi adalah komisi independen bersifat ad hoc yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Adapun kewenangan yang harus diberikan kepada komisi ini diantaranya: a. Mendapatkan laporan dari pemerintah daerah terkait dana jaminan reklamasi sebelum pemerintah daerah mengeluarkan izin pertambangan b. Memeriksa kebenaran laporan dan aliran dana jaminan reklamasi c. Membuat perintah pencairan dana jaminan kepada pemerintah daerah apabila terdapat indikasi korporasi tidak melaksanakan kewajiban pemulihan lingkungan d. Menunjuk pihak ketiga untuk mengerjakan proses reklamasi atau pemulihan wilayah pertambangan e. Menghimpun informasi dan laporan dari masyarakat f. Membuat rekomendasi kepada presiden secara terbuka apabila pemerintah daerah menolak bekerjasama terkait dana jaminan. Komisi pengelola dana jaminan reklamasi ini harus bekerjasama dengan LSM atau organisasi yang bergerak di bidang lingkungan maupun advokasi yang concern terhadap kondisi masyarakat terdampak agar komisi ini mendapatkan informasi yang lebih komprehensif dan dapat menemukan indikasi korporasi lari dari tanggung jawabnya lebih cepat sehingga dapat bertindak lebih cepat untuk melakukan pemulihan wilayah terdampak. Kehadiran komisi pengelola dana jaminan reklamasi tidak menghapus kewajiban yang melekat pada korporasi untuk melakukan reklamasi terhadap wilayah yang telah ia pergunakan untuk pertambangan batu bara, namun komisi ini diharapkan dapat menjadi alternatif penyelesaian masalah di bidang pertambangan
163 yang dapat berpihak pada hukum dan kepentingan masyarakat umum. Komisi ini bertujuan tidak hanya secara fisik memulihkan kondisi lingkungan, namun juga harus berupaya memulihkan kondisi sosial masyarakat agar masyarakat mendapat hak utamanya yakni hak atas lingkungan. 3. Penutup 3.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa saat ini pertanggungjawaban korporasi dalam pemulihan bekas tambang batu bara belum berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan. Ditemukannya banyak lubang tambang yang tidak direklamasi, bahkan menimbulkan korban jiwa menunjukkan bahwa pada kondisi empirisnya, kewajiban melaksanakan reklamasi tidak dilaksanakan oleh perusahan dan pemerintah daerah. Undang-undang telah mengantisipasi pengabaian tanggung jawab oleh korporasi sehingga membebankan pembayaran dana jaminan reklamasi sebagai syarat perizinan yang dibayarkan kepada pemerintah daerah. Namun kenyataan bahwa banyak lubang tambang yang tidak direklamasi menunjukkan bahwa pemerintah daerah pun telah lalai menjalankan kewajibannya, sehingga dibutuhkan sebuah komisi independen dan bersifat ad hoc untuk mengelola dana jaminan reklamasi yang bertujuan untuk memulihkan kondisi lingkungan dan sosial masyarakt di wilayah bekas pertambangan. 3.2. Saran Adapun saran bagi legislator untuk mengatur mengenai komisi pengelola dana
jaminan
reklamasi
dalam
undang-undang
dan
pemerintah
untuk
menjabarkannya dalam peraturan pemerintah. Serta saran bagi masyarakat, NGO, advokat untuk terus mengawal penegakkan hukum di bidang pertambangan khususnya mengenai reklamasi tambang batu bara.
164 DAFTAR PUSTAKA BUKU Abrar Saleng. (2004), Hukum pertambangan, Yogyakarta: UII Pres Yogyakarta. N. H. T. Siahaan, (2004), Hukum Lingkungan Dan Ekologi Pembangunan, Jakarta: Erlangga. Salim HS, (2005), Hukum Pertambangan Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. JURNAL Ali R. Kurniawan dan Wulandari Surono, (2013), Model Reklamasi Tambang Rakyat Berwawasan Lingkungan: Tinjauan Atas Reklamasi Lahan Bekas Tambang Batu Apung Ijobalit, Kabupaten Lombok Timur, Propinsi Nusa Tenggara Barat, Jurnal Teknologi Mineral Dan Batubara Vol. 9, No 3. M Ayu Linanda dan Hudali Mukti, (2017), Kewajiban Perusahaan Pertambangan Dalam Melaksanakan Reklamasi Dan Pascatambang di Kota Samarinda, Jurnal Ilmiah Hukum YURISKA, Vol. 8, No. 2. Ebran Alkad dkk, (2018), Perencanaan dan Biaya Reklamasi Lahan Bekas Tambang Area Tambang Batubara PT. Baturona Adimulya Desa Supat Barat Kecamatan Babat Supat Kabupaten Musi Banyuasin, Jurnal Bina Tambang, Vol. 3, No. 3. Govinda Panjuwa, (2018), Hak Dan Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan (Iup) Dalam Melaksanakan Kegiatan Usaha Pertambangan Menurut UU No.4 Tahun 2009, Jurnal Lex Privatum, Vol. Vi, No. 5. Happy Christian Hutapea, (2019), Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014, Journal Equitable, Vol. 4 No. 1. Hariman Satria, (2016), Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Sumber Daya Alam, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 8, No. 2. Julio Sebastian, (2015), Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pasal 118 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jurnal Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
165 Misbakhul Munir dan Rr Diah Nugraheni Setyowati, (2017), Kajian Reklamasi Lahan Pasca Tambang di Jambi, Bangka, dan Kalimantan Selatan, Jurnal Ilmu Biologi dan Terapan: KROLOFIL, Vol. 1 No. 1. Muhamad Muhdar, Mohamad Nasir dan Rosdiana, (2015), Impilkasi Hukum Terhadap Praktik Pinjam Pakai Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Pertambangan Batu Bara, Jurnal HARLEV, Vol. 1, No. 3. Reno Fitriyanti, (2016), Pertambangan Batubara: Dampak Lingkungan, Sosial dan Ekonomi, Jurnal Redoks, Vol. 1, No. 1. Rustiana, (2019), Tanggung Jawab Hukum Terhadap Hilangnya Nyawa Orang di Lubang Tambang Batu Bara ditinjau dari Perspektif Hukum Pidana (Studi Kasus PT. Cahaya Energi Mandiri (CEM), Kelurahan Sambutan Kecamatan Samarinda Ilir), Jurnal Ilmiah Hukum YURISKA, Vol. 11, No. 2. Suprapto, (2011), Aspek Hukum Tentang Reklamasi Pertambangan Batu Bara Studi Di Kecamatan Satui Tanah Bumbu, Jurnal Syiar Hukum, Vol. 13, No. 3. SKRIPSI dan SEMINAR Alrosid Nurdin Ahmad, (2017), Tanggungjawab Usaha Pelaku Pertambangan Dalam Reklamasi Lahan Pascatambang di Indonesia, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Jember, Tahun 2017. Arminotoh Achmad dkk, (2017), Perencanaan Reklamasi Yang Baik Untuk Terciptanya Lahan Bekas Tambang Yang Produktif, Seminar Nasional Inovasi Dan Aplikasi Teknologi Di Industri 2017, Institut Teknologi Nasional Malang, 4 Februari 2017. Tommy Apriando, (2018), Korban ke 30, Lubang Bekas Tambang Batubara di Kaltim
Renggut
Nyawa
Lagi,
[online]
Tersedia
di:
https://www.mongabay.co.id/2018/10/23/korban-ke-30-lubangbekastambang-batubara-di-kaltim-renggut-nyawa-lagi/ [Diakses pada 11 oktober 2019] SUMBER ONLINE Ardan Adhi Chandra, (2019), Lahan Bekas Tambang Tak Direklamasi, Apa Sanksinya?, [online] tersedia di:
166 https://finance.detik.com/energi/d4529518/lahan-bekas-tambang-takdireklamasi-apa-sanksinya [Diakses Pada 11 Oktober 2019] Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), (2019), 143 Anak Mati Sia-Sia di Lubang Tambang, [online] tersedia di: https://jatam.org/2019/03/143-anak-matisiasia-di-lubang-tambang/ [Diakses Pada 11 Oktober 2019] Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), (2019), Daftar korban meninggal dilubang tambang batu bara kaltim, [online] tersedia di: https://www.jatam.org/2017/11/20/daftar-anak-anak-korban-meninggaldilubang-tambang-batu-bara-kaltim/ [Diakses Pada 11 Oktober 2019] Liputan6.com., (2019), Korban Tenggelam di Lubang Bekas Tambang Terus Bertambah. [online] tersedia di: https://www.liputan6.com/regional/read/3952093/korban-tenggelamdilubang-bekas-tambang-terus-bertambah [Diakses Pada 11 Oktober 2019] Lain-Lain Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, (2016), Pelanggaran Atas Hak Dasar dalam Kasus Eks Lubang Tambang Di Kalimantan Timur.
SYARAT PENULISAN NASKAH JURNAL LEGISLATIF 1. Artikel yang dibuat adalah hasil kajian atau penelitian terkait isu hukum yang disusun secara ilmiah dan dengan metode penelitian hukum yang akurat; 2. Artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia minimal 15 dan maksimal 25 halaman. 3. Ukuran kertas A4, spasi 1,0 (untuk Judul, Identitas dan Abstrak), dan spasi 1,5 (untuk Isi Artikel), margin kiri 4 cm, margin kanan, atas dan bawah masing-masing 3 cm dan seluruhnya menggunakan font Times New Roman ukuran 12, (kecuali footnote); 4. Artikel dilengkapi dengan abstrak maksimum 150 kata dan kata-kata kunci. Menuliskan identitas penulis seperti pada template yang disediakan. Dibuat dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris; 5. Referensi yang digunakan diutamakan minimal 5 tahun terakhir sejak tulisan dibuat. 6. Artikel disertai dengan biodata penulis sebagai lampiran, yang memuat nama, tempat/tanggal lahir, alamat, riwayat pendidikan dan penghargaan atau organisasi jika perlu; 7. Artikel harus memuat; a. Judul b. Nama/Identitas Penulis c. Abstrak (Inggris/Indonesia) d. Kata Kunci/Keywords e. Pendahuluan f. Metode Penelitian (opsional) g. Analisis atau Hasil h. Penutup i. Daftar Pustaka j. Lampiran (bila perlu) maksimal 5 halaman k. Curriculum vitae atau resume penulis 8. Artikel yang dikirimkan mengikuti seluruh syarat penulisan dan template yang disediakan. (Template dapat diakses pada link http://bit.ly/Tyog0a) 9. Artikel di kirimkan ke via email jurnal.legislatif@gmail.com 10. Narahubung: Egy Oktavian Pranata (082156465098)
TEMPLATE ARTIKEL
PENULISAN JUDUL MENGGUNAKAN FONT TIMES NEW ROMAN (12 PT) DAN TIDAK LEBIH DARI 14 KATA Rizqa Ananda Hanapi1, As’ad Djaelani Sibghatullah2, Muh. Akbar Munir3 1
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail: lp2kirizqa@gmail.com 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail: lp2kiasad@gmail.com 3 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. E-mail: lp2kiakbar@gmail.com
Abstract: The abstract should be clear, concise, and descriptive. This abstract should provide a brief introduction to the problem, objective of paper, followed by a statement regarding the methodology and a brief summary of results. Abstracts are written in 12 pt Times New Roman and preferably not more than 150 words. 12 pt, 1.0 space, Times New Roman. Keywords: Cyber Crime; Compensation; Human Trafficking (3 to 5 keywords arranged alphabetically and separated by semicolon [;]) Abstrak: Penulisan abstrak dibuat secara jelas, ringkas dan deskriptif. Abstrak sedapat mungkin menggambarkan latar belakang permasalahan, tujuan penulisan dan diikuti oleh pemaparan metodologi penulisan hingga pada hasil penelitian. Abstrak ditulis dengan menggunakan font Times New roman 12 pt dan tidak lebih dari 150 kata. 12 pt, 1.0 space, Times New roman. Kata Kunci: Tindak Pidana Siber; Kompensasi; Perdagangan Orang; (Sebanyak 3-5 kata kunci yang disusun alfabetis dan dipisahkan titik koma [;])
1. Pendahuluan Pengantar harus jelas dan memaparkan masalah yang akan dibahas dalam naskah. Sebelum tujuan penulisan dikemukakan, penulis harus menjelaskan latar belakang penulisan, diikuti argumentasi singkat yang bersumber dari literatur ilmiah untuk menawarkan solusi dari permasalahan yang dibahas; metode penulisan; harapan dan untuk menunjukkan manfaat yang diperoleh pembaca dari penelitian terkait. Pada akhir paragraf, penulis harus menyajikan argumentasi mengenai pentingnya perhatian terhadap masalah dan tujuan penelitian dari objek yang dikaji.
2. Metode Metode sifatnya opsional untuk artikel penelitian asli,ditulis secara deskriptif dan menjelaskan tipe atau metodologi penelitian. Cara ini sebisa mungkin memberi pemahaman kepada pembaca mengenai metode yang digunakan.
3. Analisis atau Hasil Bagian ini adalah bagian terpenting dari naskah. Sub analisis atau hasil penelitian harus jelas dan ringkas. Hasilnya harus merangkum temuan dan memberikan data rinci atau sumber dan literatur ilmiah yang digunakan. Model pengutipan wajib dicantumkan dalam bentuk catatan kaki. Penulis duharapkan dapat menjelaskan perbedaan yang jelas antara penelitian yang dilakukan dengan penelitian dengan objek kajian yang sama.
3.1. Sub Analisis atau Hasil Sub-judul Analisis atau Hasil merupakan pembahasan turunan dari sub analisis. Sub Analisis atau Hasil diketikan dengan format berikut:
3.2. Sub Analisis atau Hasil
3.3. Sub Analisis atau Hasil
4. Penutup Penutup berisi deskripsi yang akan menjawab tujuan dan pemasalahan. Dipaparkan dengan jelas dan singkat, tidak terkesan mengulang pembahasan dan redaksi abstrak. Penutup sedapat mungkin berisi kesimpulan yang memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai hasil dan langkah yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang dikaji.
Referensi (Menuliskan daftar rujukan dengan menggunakan Footnote) -Contoh Jimly Asshidiqie, (2008), Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, hlm. 560 DAFTAR PUSTAKA Penulisan Daftar Pustaka harus ditulis dengan format pengutipan APA (American Psychological Association), juga berlaku untuk penulisan catatan kaki. Referensi diurutkan berdasarkan abjad nama penulis. BUKU Abdul Rasal Rauf. (2009). Situasi Perdagangan Orang dan Jeratan Hutang Kawasan Timur Indonesia. Makassar: ICMC Indonesia & Pusat Studi dan Pengkajian Hak Asasi Manusia UNHAS. Agus yudha Hermoko. (2010). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Kencana. Jakarta. Andi Hamzah. (1986). Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Binacipta. Bandung. JURNAL Idul Rishan. (2016). Redesain Sistem Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim di Indoneisa. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 2 Vol. 23. INTERNET Elsa RM Toule. (2013). Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia. Diakses pada 27 Juni 2018. Disadur dari www.fhukum.unpatti.ac.id/hkmpidana/294-tindak-pidana-perdagangan-orang-di-indonesia-sebuahcatatan-kritis. Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia. (2016). Laporan Tahunan Perdagangan Orang 2016. Diakses pada 27 Juni 2019. Disadur dari https://id.usembassy.gov/id/our-relationship-id/official-reports-id/laporantahunan-perdagangan-orang-2016/.