Stern

Page 1

1


PENULIS: Herdhika Ayu Retno Kusumasari

Fitriani Intan Puspitasari

Luthfi Aditya Indrajati

Dewi Farida Vivtyasari

Novieka Widiastutik

Dewi Septindra Sugiharto

Renita Pramartasari

Faizatul Mudawwamah

Alfiana Rahmawati

Elsa Fadhila

Eka Pratiwi

Priyobudi Utomo

Yofa Birrul Walidaini R

Afrielya Laily W

Rani Indrawati

Dwi Puji Rahayu

Sri Indah Novanti

Freedy Sagita Putra

Isnatus Salamah

Dwi Aknes Prawesti

Atika Putri Ayu

Nunik Fatmawati

Karina Muthia Shanti

Luluk Cahyaningrum

Rina Dwi Anggraini

Dear Asita Dika Safitri

Desi Ayu Ningtyas

Vemia Pritasari

Feby Fitri Amaly

Adi Surya

Agustina Widyastuti

Elita Devi Puspita N.

Irma Kurniawati

Ludya Wahyu Pratiwi

Ely Septyani

Bernandha Hargi Dwitantya Putri

Kartika Rahmawati

Zunia Ngesti Rachmawati

Dwi Astuti

Ila Resalita

Melany

Winda Nurtika

Rasidah Pratiwi

Siti Muthma’innah

Jummani

Shelvi Novianita

Muhammad Ihsan Mahyuddin

Elmi Mahlida

Rizki Rian Chairulita

Dewi Nur Aini

Orysa Onni Oktaviana

Eka Lutfiana

Indah Nur Qurani

Fildzah Badzlina

Irma Faradila

Febi Tria Kurniasari

Vivian Devi Eka E.

Gita Puspitasari

Safitri Nindya

Icca Presilia Anggreyanti

Fania Dora Aslamy

Stephen H

Yeniar Alifa

2


Di pagi yang indah, ku buka mata dan tersenyum pada dunia. Ku langkahkan kaki menuju taman rumah kami. Tetesan embun di atas dedaunan dan kicauan burung yang ramai membuatku bersyukur tinggal di bumi pertiwi ini. Tempat berbagai suku dan budaya menjadi satu dalam indahnya kebersamaan. Bintang, pemuda dari Surabaya yang merupakan sesosok malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk selalu menemani dan menjagaku. Namaku Lintang, aku berasal dari Jawa Tengah dan kami berdua ditugaskan di pedalaman Papua untuk memberikan layanan kesehatan. Semenjak aku duduk di

bangku kuliah, Bintang selalu ada

disampingku untuk menemaniku dan dialah satu–satunya orang yang dapat menerimaku apa adanya. Sampai suatu hari saat aku sedang memeriksa seorang pasien, tibatiba aku terjatuh dan terkulai lemas. Memang beberapa hari ini aku jarang beristirahat, aku hanya fokus dan sibuk mengurusi pasien-pasienku sampai lupa memperhatikan kondisi tubuhku. Lalu seketika itu Bintang pun langsung membawaku di salah satu rumah warga agar aku dapat beristirahat sebentar disana. Saat aku terkulai lemah diatas tempat tidur, Bintang selalu setia menemaniku. Dia merawatku sampai akhirnya aku berangsur membaik. Kini aku bisa kembali menjalankan tugasku yang sebelumnya sempat terhenti karena kondisiku. Warga pun menyambutku dengan suka cita, begitupula Bintang yang memang selalu menemani bagaimanapun kondisiku. Bintang juga terlihat begitu senang melihat senyum yang kembali aku berikan kepada orang-orang di sekitarku. Senyum yang menurut Bintang juga dapat menjadi “terapiutik” bagi pasien-pasienku. Aku tersenyum sendiri mengingatnya. Yaaah mungkin ada benarnya ucapan Bintang ketika seorang ibu paruh baya mencandaiku, setelah aku selesai memeriksa tekanan darahnya. “ibu dokter cantik ya? Suka senyum juga.. makanya banyak yang mau diperiksa..” (sambil lalu tersenyum) “...(aku tersipu malu mendengarnya) terima kasih bu..”

3


Menjadi seorang tenaga kesehatan memang harus menyenangkan bagi pasien-pasienya. Agar semua tindakan kita juga dapat membantu kesembuhan pasien. Sambil aku merapikan peralatan medis, aku kembali menatap wajah pasien ku, ibu paruh baya. Wajahnya yang begitu teduh membuat ku teringat akan wajah ibu ku yang jauh di kampung halaman. Seketika rasa rindu menyeruak dari dasar hati, begitu dalam. Ini adalah bulan puasa pertama yang harus ku lalui tanpa keluarga, sedih rasanya. Tapi aku sebagai seorang tenaga kesehatan harus profesional dengan tugas dan tanggung jawab yang ada di pundakku. Aku sudah bertekad akan mengabdikan diriku untuk membantu mereka yang membutuhkan. “ibu….sedang apa dirimu di sana? Apa nama Lintang selalu terucap di setiap doa’mu? Aku merindukanmu ibu…” (Tanya ku dalam hati) Setelah selesai memeriksa pasien, aku langsung mengambil wudhlu untuk menunaikan sholat dan memanjatkan do’a untuk kedua orang tua ku yang berada jauh di sana, semoga mereka selalu dalam perlindungan Allah SWT. Usai menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim, aku langsung bergegas menuju ruang periksa untuk melanjutkan pengabdianku terhadap masyarakat.

Masih

sangat

terlihat

jelas

disana

warga-warga

yang

menunggu kedatanganku untuk diperiksa. Satu persatu pasien masuk dan aku pun memulai tugasku untuk memeriksa pasien- pasien tersebut. Hingga suatu ketika, tibalah giliran seorang pasien yang sangat lemah dan wajahnya pun terlihat pucat, jalan mendekat meja periksa dengan tubuh yang gemetar. Dengan cepat aku berlari mendekati ibu tersebut dan segera membantunya mendekat meja periksa. Ku perhatikan lagi wajah ibu itu, seakan penuh beban dan kerinduan

dalam benaknya yang terlihat

hanyalah senyuman kecil dari bibirnya. “sebenarnya apa yang terjadi pada ibu ini, Kenapa hanya datang sendirian tanpa ditemani siapapun?” (tanyaku dalam hati).

4


Tanpa banyak basa-basi, aku pun langsung melakukan anamnesa pada ibu tersebut. Ibu

tersebut pun menjawab pertanyaan yang aku

lontarkan dengan nada sedikit gemetar juga. Tak lama kemudian setelah melakukan anamnesa, langsung aku persilahkan ibu tersebut untuk menuju tempat periksa. Aku pun membantunya untuk berdiri dan berjalan menuju tempat periksa karena bandannya sudah begitu lemas. Baru satu langkah beranjak dari meja periksa, tiba-tiba ibu itu terjatuh pingsan .Aku kaget dan tanganku tidak kuat menahan bebannya. Kemudian aku langsung meminta pertolongan untuk membantu mengangkat ibu itu menuju tempat periksa. Bibirnya sudah begitu pucat dan tangannya sudah sangat dingin. Ternyata Ibu itu sedang sakit, sudah beberapa hari ini Ibu itu merasakan tidak enak badan dan tidak nafsu makan sehingga tidak kuat menahan sakit tiba-tiba Ibu itu pingsan. Kemudian dengan gegas aku memeriksa Ibu tersebut, setelah aku memeriksa ternyata Ibu ini mengalami anemia dan demam. Hal ini disebabkan karena Ibu ini terlalu kecapekan dan tidak memperhatikan waktu makan yang baik. Seusai memeriksa, aku memberikan obat dan memberi KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) tentang penyakit anemia yang diderita oleh Ibu itu. Sekarang aku merasa lelah dan baru sadar kalau hari telah petang, sementara aku belum membatalkan puasaku, karena sekarang sudah waktunya berbuka puasa. Aku memegangi perutku dan merasa kalau sekarang perutku sedang berteriak minta diisi.Tiba-tiba, Bintang terlihat berlari-lari ke arahku. “hei Lintang!”, teriak Bintang “Hai juga Bintang, kenapa kamu berlari-lari seperti itu?”, tanyaku (sambil tersenyum) “yuk kita buka puasa bareng. Ini aku bawain makanan” “Kamu datangnya tepat banget deh. Yukk aku udah laper banget nih.” Aku dan Bintang makan bersama di bawah terangnya sinar bulan. Rasa syukur kupanjatkan dalam hati karena masih bisa merasakan

5


nikmat-Nya yang begitu besar sampai saat ini. Walaupun sederhana dan tidak ada keluarga, aku masih bisa berbuka puasa dengan ditemani oleh Bintang, sahabatku. “eh Bintang, lihat deh ke langit. Bintang-bintangnya indah banget yaa”, kataku sambil membereskan bekas makanku. “Bintang yang disini juga gak kalah indah kok,” katanya dengan pede. Aku spontan menoleh ke arahnya dan tertawa “haha narsis mah iya.”, candaku. Dalam hati aku mengiyakan apa yang dikatakan oleh Bintang barusan. Bagiku Bintang adalah malaikat terindah yang dikirimkan Tuhan untukku melebihi indahnya bintang yang bertaburan di atas langit sana. Setelah

selesai

penginapan

makan,

aku

masing-masing

dan untuk

Bintang

pulang

menunaikan

ke

shalat

tempat Maghrib.

Sebelum Bintang melangkah pergi, aku memanggilnya kembali “ehm Bintang tunggu sebentar.” , panggilku Bintang menoleh kepadaku. Aku segera menyampaikan maksudku “Makasih ya makanannya.” Aku memberikan senyuman tulusku kepadanya. Bintang tersenyum, kemudian menjawab “sama-sama” dan lalu pergi meninggalkanku. Setelah Bintang pergi, aku kembali ke tempat penginapanku. Yah disinilah tempatku beristirahat dan menutup mata sejenak. Aku dan Bintang memang tinggal secara terpisah disini, karena tentu saja peraturan yang melarang perempuan dan laki-laki tinggal bersama. Sesampainya, aku langsung mandi kemudian mengambil wudhlu untuk menunaikan kewajiban Shalat magrib. Dalam do’a, aku bersyukur kepada Allah yang telah mengirimkan Bintang dalam hidupku. Tidak lupa aku mendo’akan kedua orang tuaku yang jauh disana. bergeming

dari

sajadahku,

Setelah selesai shalat maghrib, aku tidak

aku

melanjutkan

dengan

menunggu shalat isya dan shalat tarawih ditutup dengan witir.

6

dzikir

sembari


Aku merasa tenang sekarang karena telah menunaikan ibadah shalat. Aku bergegas untuk tidur. Sebelum menempuh alam mimpi, aku kembali teringat kejadian tadi sore saat berbuka puasa bareng Bintang. “Ah, kenapa tiba-tiba saja aku memikirkannya�, kataku dalam hati. Mengingat kejadian tadi sore, membuat pikiranku kembali melayang ke peristiwa 4 tahun silam. Flashback Saat itu, aku sedang menjalani tes SNMPTN di Universitas Indonesia, Jakarta. Pilihan pertamaku adalah Pendidikan Dokter dan aku tidak mengambil pilihan kedua. Hemm pasti kalian bertanya-tanya mengapa aku tidak kuliah di UGM saja yang notabenenya Universitas favorit di jawa Tengah dan terletak di kota tempat tinggalku. Ya, aku memang berasal dari Jogja. Alasanku memilih kuliah di luar kota karena mendengar salah satu syair dari ImamSyafii yang berbunyi seperti ini “Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan� Itulah syair yang menggerakkan hatiku untuk merantau ke kota metropolitan ini. Syair yang begitu dhasyat menurutku sampai aku memberanikan diri untuk meninggalkan kota kelahiranku tercinta. Lagipula Fakultas Kedokteran UI merupakan yang terbaik di Indonesia. Hari itu adalah hari kedua dan aku sangat mantap dengan kemampuan ku. Ketika aku memasuki ruangan tes, ternyata sudah banyak

7


peserta yang lain di dalam ruangan. Ada yang sedang belajar, ada yang sedang mengobrol dengan sebelahnya, ada juga yang sedang berdo’a, bahkan ada yang sedang tidur. Sambil menunggu pengawas datang, aku mempersiapkan peralatan tulis-menulisku. Tapi ketika aku membuka tasku, aku sama sekali tidak melihat kotak pensil berwarna pink milikku. Aku membongkar tasku dan mengeluarkan semua isi yang ada di dalamnya, memastikan kalau aku tak salah lihat, tetapi hasilnya tetap nihil. Aku tak juga menemukannya. Aku sangat panik. Bagaimana ini bisa terjadi? Seingatku, aku sudah memasukkan kotak pensilku ke dalam tas. Aaaarrggh aku tidak mungkin pergi ke toko karena waktu sudah mepet, apalagi jika aku kembali ke kos. Akhirnya aku memberanikan diri meminjam pensil kepada seorang cowok yang duduk di depanku. Ku perhatikan hari pertama kemarin dia mempunyai banyak pensil di atas mejanya. Aku langsung menepuk pelan pundaknya. “Permisi”, kataku agak ragu Dia menoleh dan menjawab “ada apa?” “Maaf sebelumnya, aku lupa membawa peralatan tulis-menulisku. Padahal aku benar-benar ingat dan sangat yakin kok kalau semalam aku sudah me……” “jadi?” , potong orang di depanku “kalau kamu tak keberatan, bisakah kamu meminjamkan pensilmu padaku? Pinjem satuuu aja. Aku benar-benar tak punya pilihan”, tanyaku dengan perasaan tidak enak. Dia membalikkan badannya, sepertinya dia sedang mengambil sesuatu dan kemudian “ini, pake aja”. Aku mengambilnya dan belum sempat aku mengucapkan terima kasih kepadanya, pengawas ujian sudah memasuki ruangan dan salah satu dari mereka, dengan suara besarnya menenangkan calon mahasiswa yang ada di dalam ruangan. Cowok yang aku pinjam pensilnya segera membalikkan badannya ke depan.

8


Tak terasa, 10 menit lagi waktu ujian akan berakhir dan aku masih belum mengisi beberapa soal. Dengan kecepatan penuh, aku mengerjakan soal yang tersisa. Ketika aku sudah selesai, aku mendongakkan kepalaku dan apa yang aku lihat? Cowok yang tadi ada di depanku sudah menghilang. “Kemana dia?”, pikirku. Aku pergi mencari nya ke setiap sudut ruangan tapi nihil, aku keluar ruangan tetapi sosoknya juga tidak ku temukan. “Cepat banget sih tu cowok hilangnya. Duuh mana aku belum sempat ngucapin terima kasih ke dia, bahkan belum mengembalikan pensilnya.” Aku terpaksa pulang dengan membawa beban. Yah aku merasa tidak enak dengan cowok tadi. Bagaimanapun juga aku berhutang budi padanya. Aku akan selalu mengingat wajah cowok itu, dan ketika aku bertemu lagi dengannya, aku akan berterima kasih padanya dan mengembalikan pensilnya. Seketika aku teringat sesuatu. “oh iya, (menepuk jidat)”, aku berlari kembali masuk ke dalam ruangan. Aku mencari meja yang tadi di dudukinya. Aku tersenyum “ah ketemu! Jadi namanya Alvaro Bintang Nugroho”. Aku mencatat namanya di handphoneku agar tidak lupa. Dan akhirnya aku bisa pulang ke kos dengan sedikit perasaan lega. Setidaknya aku mengetahui namanya. Semakin dekat dengan pengumuman tersebut, semakin dekat pula aku mendekatkan diri kepada-Nya. Selain memohon do’a dan di sertai dengan membaca ayat suci Al-Qur'an, tak lupa aku berzikir mengagungkan nama-Nya. Hari yang kutunggu-tunggu pun tiba, saat itu tepat pukul 19.00 WIB, aku segera membuka laptopku.Untuk log in, aku memasukkan nomor pendaftaran dan tanggal lahir. Sebelum melakukan proses login, kupanggil ibu, ayah, dan adik-adikku . Lalu setelah semua berkumpul, aku menekan enter sambil membaca bismillah daan.. “SELAMAT ANDA DINYATAKAN LULUS SNMPTN. Jurusan : Pendidikan Dokter. PTN : Universitas Indonesia”

9


“ALHAMDULILLAH!!!!” teriakku sambil memeluk erat ibu yang terharu dan air mata yang membasahi pipinya karena melihat hasil SNMPTN bahwa aku lulus. Kupanjatkan rasa syukur yang tiada tara kepada Allah SWT. Flashback end Aku tersadar dari lamunanku setelah mengingat kejadian paling bersejarah dalam hidupku tersebut. Sampai tak terasa air mataku menitik dari kedua bola mataku.Ternyata Hipotalamus ku tak juga menandakan kalau aku sudah mengantuk. Aku kembali melanjutkan ingatanku akan sepenggal kisah yang ku alami beberapa tahun silam. Flashback Aku dipertemukan kembali dengannya. Ya, dengan cowok bernama Alvaro Bintang Nugroho. Aku bertemu dengannya saat daftar ulang. Ia mengenakan setelan kemeja berwarna putih dan celana jeans hitam. Saat aku yakin kalau dia adalah cowok itu, aku segera memanggilnya. “hey”, teriakku. Dia tampak sedang mengingat siapa aku. Aku langsung bersuara “Kamu ingat nggak sama aku? Aku yang pas SNMPTN kemarin minjem pensilmu.” Aku pun mencari sesuatu di dalam tasku. “Ah, ini dia. Makasih ya sudah meminjamkannya dan maaf baru aku kembaliin soalnya waktu itu kamu sudah pulang.”, kataku sambil menyodorkan pensilnya. “Sama-sama.”,jawabnya sambil melihat kearah tasku. “Maaf, apa yang kamu lihat?” “Kamu yakin tidak salah map?” “eh?” “Bukannya seharusnya warna merah? Kenapa map mu warna kuning?” “hahh serius??”, tanyaku kaget. Yang di tanya hanya mengangguk. Tak lama dia membuka tas nya dan mengambil map berwarna merah.

10


“Untung aku punya lebih. Ini ambil aja.” Aku tertegun beberapa saat dan kemudian berteriak “huwaah Alhamdulillah. Makasih banyak ya.” Aku mengeluarkan selembar uang seribu dan memberikan padanya “Ini aku ganti map nya”. “Kamu pikir aku penjual map? Lebih baik uang mu kamu berikan kepada orang yang lebih membutuhkan saja nona.” Dan kemudian dia berjalan meninggalkanku masuk ke dalam ruangan registrasi. Aku hanya melongo dibuatnya. “Ah kenapa dia selalu saja pergi dengan seenaknya begitu. Tapi sumpah demi apapun kenapa dia selalu datang di saat yang tepat dan menolongku? Mungkinkah dia adalah malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan untukku?”, batinku. Daripada aku pusing memikirkannya, aku langsung masuk ke dalam ruangan registrasi. Ternyata pertemuanku tak hanya sampai disitu dengannya. Karena aku ternyata satu kelas dengannya. Aku kaget melihat ada namanya di daftar mahasiswa PD A yang tertempel di depan pintu. Aku memastikan kembali bahwa aku tidak salah lihat dan ternyata benar. Nama itu yang tertera disana. Nama yang dalam beberapa waktu dekat ini selalu membuatku penasaran. Saat masuk kelas, aku melihatnya duduk di kursi belakang. Nampaknya dia belum menyadari keberadaanku karena mahasiswa PD A berjumlah 200-an orang. Aku duduk di barisan depan dan sibuk berkenalan dengan teman-teman yang duduk di sebelah kanan dan kiriku. Aku menebarkan senyuman kepada mereka. Aku harap, aku dapat berteman baik dengan mereka semua. Ketika kelas sudah selesai, aku menghampiri cowok itu. “Hai, ternyata kita satu kelas ya.” “Kamu lagi. Apakah kamu membuntutiku kemanapun aku pergi?” “Haha apakah kamu percaya takdir? Aku yakin semua yang terjadi ini adalah takdir. Kalau bukan takdir, mana mungkin kita bertemu lagi. Dan ini sudah ketiga kalinya kita bertemu tanpa mengetahui nama

11


masing-masing. Ehmm maksudku kita belum berkenalan dari awal bertemu.” “Alvaro Bintang Nugroho. Kamu bisa panggil aku Bintang.”, sambil menjulurkan tangannya. “Aku Andara Lintang Maiza. Panggil aja Lintang. Kamu lihat kan, antara nama ku dengan nama mu hanya beda satu huruf aja. Bintang, Lintang. Benarkan hanya beda satu huruf saja”, tawaku lebar. “Aku harap kita bisa berteman baik ya.” “Ya, kita lihat saja nanti.”, sambil berlalu pergi. “Hey tunggu. Aku kan belum selesai ngomong.”, aku sedikit kesal dan berlari mengejarnya. Alhasil, aku berjalan pulang bersama dengan Bintang sampai gerbang dan mengobrol dengannya di sepanjang jalan. Oke, mungkin memang hanya aku yang terus bertanya tentang dirinya. Karena sepertinya dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menerimaku menjadi temannya. Tapi aku tidak akan berhenti begitu saja. Aku yakin dia

adalah

malaikat

penolongku.

Jadi

aku

tidak

boleh

melepaskannya. Flashback end Aku tersenyum sendiri mengingat perkenalanku dengan Bintang. Ya begitulah Bintang. Kesan pertama kali ketika melihatnya, dia terlihat dingin dan kaku. Tapi setelah aku mengenalnya, pandanganku tentangnya berubah. Di balik sifat dinginnya itu, Bintang adalah es yang hangat. Dia juga begitu perhatian kepadaku dengan cara yang tidak kuduga. Bintang adalah orang yang punya jiwa semangat tinggi. Dia selalu memberiku semangat ketika aku sedang down. Dia paling tidak suka melihatku mengeluh. Dan dia akan selalu jadi orang yang paling cerewet ketika aku melalaikan kewajiban makan ku. Bintang juga orang yang disiplin dan dia bisa mengatur waktunya dengan baik. Aku banyak belajar darinya. Selain sebagai penolong dan pelindungku, dia juga adalah motivatorku. Dari segi fisik, Bintang termasuk orang yang dengan sekali lihat bisa membuatmu

12


kagum dengan wajahnya. Alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, kulitnya yang kuning langsat, tatapan matanya yang tajam tapi teduh, senyuman nya yang khas, dan tubuhnya yang tinggi tegap menambah nilai plus untuknya. Aku cukup hebat karena akhirnya bisa bersahabat dengannya yang di awal dulu sangat dingin terhadapku. Aku tersenyum dan kemudian menutup kedua kelopak mataku dan berharap hari esok akan lebih baik dari hari ini. *** Seminggu tak terasa waktu terus berlalu. Aku mulai menyukai desa Ampat ini. Walaupun desa ini terletak di pulau terpencil dan hanya bisa dicapai 6 jam dengan mengendarai perahu, akan tetapi keadaan alam di sini begitu nyaman. Pantainya yang indah, berpasir putih, airnya yang masih jernih, dan masih banyak ikan cantik yang bisa terlihat dekat dengan klinik kesehatan, tempatku bersama teman – teman praktek. “Bu dokter, saya mohon maaf ya di sini pasiennya sepi nggak seperti dikota. Terus mohon maaf ya kalo fasilitas di sini nggak seperti di kota”, kata Pak Deni menghiburku dengan wajah bersalah. Pak Deni adalah warga desa yang mengurus kesehatan di desa ini. Beliau-lah yang meminta aku dan teman-temanku praktek di desa ini. “Nggak apa – apa pak. Saya senang bisa praktek di sini. Di sini desanya cantik sekali”, jawabku sambil tersenyum. “Syukurlah jika bu dokter senang”, jawab pak Deni dengan senyum membalas senyumku. Brakkk!!! Terdengar suara hentakan pukulan meja mengagetkanku. “Kamu! Pergi aja. Nggak usah ganggu desa ini. Di desa ini masih sehat semua. Memang kemarin kamu bisa tolong tetangga kami, tapi bukan berarti kamu hebat dan bisa kuasai kami”, kata seorang nenek bertopi petani di depan pintu klinik.

13


Aku bisa melihat gejolak amarah dari nenek yang berjarak 5 kaki di depanku ini. Sepertinya, begitu dalam perasaan yang ingin beliau sampaikan kepadaku. “Nek…”, kataku mencoba menenangkan nenek itu. “Sudah nek, ayo kita pergi. Kita pulang dulu”, kata seorang pemuda desa ini berbaju biru sambil memeluk nenek itu dari belakang untuk mencegah neneknya masuk ke dalam klinik. “Pergi kamu! Aku beri kamu waktu 2 hari. Kalo kamu nggak pulang juga, aku suruh warga desa ini untuk bakar klinik kamu”, lanjut kata nenek bertopi petani dan berbaju merah. “Udah nggak usah kayak gini. Aku bisa pulang sendiri”, kata nenek itu pada pemuda baju biru sambil berjalan pergi dari klinik dengan marah. “Maafin nenekku ya bu dokter. Beliau ngomongnya memang sering marah- marah. Tapi maksudnya nggak gitu kok. Sekali lagi mohon maaf”, kata pemuda sambil membungkukkan badan dan menyusul neneknya pergi dari klinik. “I… Iya, nggak apa – apa kok”, jawabku dengan kebingungan dengan kejadian yang baru saja terjadi. Sebenarnya, aku heran apa yang menyebabkan nenek itu marah. Apa karena aku yang kurang cantik? kurang baik? kurang pintar? atau malah aku yang terlalu ke-pede-an ya? apa terlalu cerewet? “Mohon maaf sekali atas perkataan nenek Sumi tadi ya”, kata pak Deni membuyarkan lamunanku. “Memang keadaan di desa ini seperti ini sejak 10 tahun lalu”, lanjut pak Deni dengan muka sedih. Aku pun semakin bingung dengan pernyataan pak Deni. “Sejak 10 tahun lalu, saya sering mengurus panggilan pekerjaan dokter, karena…”,lanjut pak Deni sambil mengusap air mata dengan lengan bajunya. “Sudah 10 lebih dokter yang saya minta untuk praktek di desa ini. Akan tetapi mereka semua praktek dengan sembarangan. Akhirnya banyak penduduk yang tidak tertolong nyawanya. Sehingga penduduk di desa ini beranggapan bahwa dokter itu tidak berguna dan hanya musuh yang perlu

14


diusir agar tidak memakan banyak korban penduduk desa lagi. Namun, saya yakin bu dokter berbeda. Bu dokter sangat baik hati dan bisa menolong warga desa ini”. “Terimakasih banyak pak Deni atas ceritanya. Saya akan berusaha semampu saya untuk menolong warga desa ini. Akan tetapi saya hanya manusia, saya butuh bantuan pak Deni, teman – teman, dan semuanya untuk menolong desa ini”, jawabku sambil tersenyum. Langitpun semakin merona, ditambah kembalinya sang surya ke peranduannya, menambah nikmatnya waktu bersantaiku duduk di pantai pasir putih di sebelah klinikku. Huft, mendengar cerita pak Deni dan kejadian hari ini, apa yang harus aku lakukan ya?.Oh iya, tanya aja sama Bintang ya. Tapi, kok aku rasanya sering banget ngrepotin dia ya? Aduh, enaknya gimana nih? “Gimana prakteknya di klinik hari ini?”, tanya Gilang kepadaku sambil memukul bahuku dan membuyarkan pikiranku. “Eh, ini orang bikin kaget selalu deh. Lha kamu sendiri gimana prakteknya?”, tanyaku dengan wajah cemberut. “Hmmm, mereka banyak yang mengagumiku daripada ngomong sakitnya mereka. Biasalah, penyakitnya orang paling ngganteng sedunia kan gitu. Hahaha…”, jawab Gilang dengan bangga. “Halah, dari dulu kamu memang nggak berubah. Tapi, sama Neni berubah nggak?”, kataku sambil mencibir Gilang dan Gilang pun menyambut dengan wajah yang tersipu malu malu mau. “Sebenarnya, ada hal yang ingin kamu tahu tentang Bintang”, tiba – tiba Gilang berkata dengan wajah serius. Hah?, kenapa Gilang jadi misterius gini?. “Hei, kalian berdua. Hayooo… ngapain? Aku ikutan dong”, tiba – tiba suara Bintang terdengar dengan langkahnya menghampiri kami. “Akan tetapi aku tidak bisa mengatakan padamu saat ini”, lanjut kata Gilang padaku dengan wajah serius menatap langit.

15


“Yee… biasa. Lintang curhat sama aku. Hehehe…”, jawab Gilang tiba – tiba memalingkan wajah kepada Bintang dengan wajah ceria. “Uhuk.uhuk. Sorry bro nggak terbalik nih?”, kataku dengan wajah mengejek. Tiba – tiba lagu Sempurna karangan Andra and the Backbone terdengar ditelingaku ketika Bintang semakin mendekati kami. Dimataku dia terlihat dengan aura yang berkilauan. Aku merasa terpesona padanya. Dia begitu keren sekali menangani pasien dengan profesional, ramah, baik hati, pintar, dan ganteng pula. Sadar Lintang, sadar Lintang, jangan lebay terlebih alay, kamu hari ini ketemu Bintang buat cerita masalah hari ini di klinik, kata hati kecilku. “Oh iya aku ingat. Bintang, ikut aku bentar yuk. Bentar aja. Tasnya titipin aja ke Lintang”, kata Gilang menyambut Bintang. “Mau kemana sih? Cepetan lho”, tanyaku. “Iya iya”, jawab Gilang dengan disambut senyuman Bintang. 5 menit pun berlalu. Huft, bosan deh sendirian. Ringgg… Ringgg… .Waduh, hp-nya Bintang bunyi. Gimana nih? Angkat? Nggak? Angkat? Nggak? Angkat aja deh. Reni? Siapa Reni? Kenapa dia menelpon Bintang?. Eits, stop kepo. Angkat aja deh, siapa tahu ada urusan penting. “Halooo. Kak Bintang? Gimana janjian kita beberapa waktu lalu? Aku harap kakak bisa datang lagi ya. Halooo. Kak Bintang?”, kata Reni. “Mohon maaf ini Lintang teman Bintang. Ada yang ingin disampaikan pada Bintang?”, tanyaku. “Oh kak Lintang mohon maaf ya. Nanti aku sampaikan sendiri aja ke kak Bintang.Terimakasih banyak sudah diangkat teleponnya”, jawab Reni sambil menutup telepon. Aku penasaran dengan gadis yang bernama Reni itu. ah mungkin saja saudaranya? Atau bahkan temannya? Tapi mengapa dia tak pernah bercerita padaku tentang Reni?. Puk puk puk………

16


Aku menepuk pipiku sendiri. Seperti menyadarkan sesuatu pada diriku sendiri. “Hmmmm……

mungkin

dia

pasien

Bintang

yang

sedang

membutuhkan bantuannya”, gumamku. “Tapi dia bilang janjian? Apa maksutnya ya? Kok aku jadi heboh sendiri sih?”, gumamku lagi dengan kerutan wajah penuh tanya. “Doooooorrrrr...”, Kata Gilang dan Bintang yang mengagetkanku dari belakang itu. “Kenapa dirimu? Melamun begitu?”,tanya Bintang padaku. “Iya nggak apa-apa lah, urusanku.” jawabku dengan sok jutek dan jaim. “Yah, nenek sihir marah. Ntar tambah jelek lho. Hehehe”, kata Gilang dengan menyindir. “Sebenarnya… Ah, nggak jadi deh. Kapan-kapan aja. Hehehe”, kata Gilang yang sepertinya ingin menyambung perkataannya tadi sore padaku, dengan tersenyum sesaat, kemudian melanjutkan melihat langit penuh bintang dengan wajah serius seolah memikirkan jumlah bintang yang ada. Namun, perasaanku kali ini terasa aneh dengan perkataan dan ekspresi wajah Gilang, sepertinya tidak sesuai. Dari tatapan matanya, terlihat sepertinya dia ingin menyampaikan sesuatu yang mendalam. “Hmmmmm… yang satunya juga ikut ketularan nglamun nih. Sepertinya nglamun itu bisa menular ya?”, kata Bintang membuyarkan lamunan Gilang dengan menepuk pelan bahu Gilang. “Lintang, mana tasku? Yuk, ikut aku sebentar”, kata Bintang dengan senyuman indah dan mengulurkan tangan padaku. Aneh, kenapa aku seperti ini di depan Bintang. Kenapa aku melihat banyak kilauan indah, lagu Sempurna terdengar lagi, serta tangan ini terasa berat dan gemetar untuk menyambutnya. Apa yang harus aku lakukan?. Gawat, gimana jika aku tiba-tiba kena kram sekarang?. Tidakkkkkkk……… What must I do ?.

17


Tidak mungkin bukan kram yang kurasakan saat ini, tapi apa?, kata batin Lintang sambil menatap tangannya yang masih digenggam erat oleh Bintang karena dia terlena dengan lamunannya. Sedangkan, ku lihat Gilang hanya menatap kepergianku dan Bintang dengan tatapan seolah kecewa. “Bintang kamu mau membawaku kemana?”, tanyaku ketika sadar dari lamunan akan Bintang. “ Rahasia,” jawab Bintang tersenyum. Senyum yang tak pernah Lintang dapati di awal mereka bertemu, senyuman Bintang hanya untuknya dan hanya dia yang tau senyuman itu. Karena selama ini, Lintang jarang melihat Bintang tersenyum kepada orang lain, kecuali dirinya. Lintang merasakan suhu badannya memanas dan detakkan jantungnya tidak seperti detak jantungnya yang biasa. Rasanya seperti copot dari tempatnya. Mata Lintang pun tetap menatap wajah itu dan mengamati dengan seksama wajah Bintang. Wajah yang menarik mataku seperti magnet untuk bertahan lama untuk menatap wajah itu sambil menunggu senyumnya hadir kembali padaku, kata batinku dengan penuh senyuman. “Bintang kita mau kemana?”, tanyaku lagi dengan penuh penasaran. “Rahasia,” jawab Bintang sambil menarik Lintang untuk berjalan lebih cepat di belakangnya. Mereka berdua semakin menaiki sebuah bukit dekat desa yang mereka praktek. Ketika mereka sampai diatas bukit, Bintang melepaskan genggaman

eratnya

dari

tangan

Lintang,

hingga

di

pergelangan

tangannya memerah. “Sakit tau pergelangan tanganku,” rajukku pada Bintang. “Iya maaf deh, lain kali nggak bakal ku tarik seerat itu. Soalnya, kamu lambaaaaat banget jalannya,” jawab Bintang sambil merebahkan tubuh ke hamparan rumput tanpa melihat ke arah Lintang sama sekali. Bintang telah asyik menikmati hamparan rumput yang sangat hijau dan menikmati panorama pertunjukan langit yang indah dengan gemerlap sinar rembulan dan kilauan bintang di langit. Aku hanya mengamati perilaku

18


Bintang saat ini dengan penuh perasaan penasaran dan bingung akan sikapnya ini padaku. “Kenapa kamu hanya berdiri?” tanya Bintang. Aku terlihat kikuk dan duduk di samping Bintang yang sedang terbaring. “Kamu tahu pemandangan ini jarang kita temui di kota besar. Suatu pemandangan yang sangat indah, begitu indah. Hinga aku merasa kecil di hadapan semesta ciptaan – Nya yang indah dan luar biasa ini. Dengarkan kicauan burung yang bernyanyi itu begitu merdu ya,” kata Bintang pada Lintang. “Sepertinya kamu begitu banyak berubah, tidak seperti kamu yang dingin di awal kita jumpa,” sahutku sambil memainkan rerumputan hijau di depannya. Bintang hanya tersenyum lalu dia menegakkan tubuhnya sambil menerawang jauh. “Ehm...aku boleh bertanya?”, tanyaku. Bintang hanya terdiam beberapa detik seperti berkecamuk dengan perasaannya saat ini. “Apa?” sahutnya. “Reni itu siapa?,” tanyaku dengan hati – hati. Namun, Bintang kembali terdiam. “Oke kalau kamu nggak mau jawab ya sudah,” kataku sambil beranjak dari tempat itu dengan wajah acuh. “Kenal dia dimana?” kata Bintang padaku dengan nada sangat tegas. Tapi, kali ini tegasnya beda. Dia sedikit membentak. Aku sulit membedakan nada bicaranya itu. Antara tegas dan membentak. Tapi aku sangat yakin sekali ada bentakan dalam ucapannya barusan. Tangan kananku sedang digenggamnya dengan mantap sedang tatapannya ke depan.

Aku

yakin

sekarang

ini

dia

tidak

pemandangannya. Dia memikirkan pertanyaanku. Reni.

19

sedang

menikmati


“Tadi kan dia telepon ke hape kamu. Dan kamunya lagi ngobrol privat sama Gilang. Lama lagi. Jadi ya... aku angkat deh. Takut teleponnya gawat darurat gitu. Maaf ya aku gak sopan”, kataku dengan hati-hati. Sangat berhati-hati. Harap-harap cemas hatiku dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku hanya bisa menunduk dengan perasaan cemasku. “Iyaa.. Aku maafin kok. Jangan merasa bersalah lagi ya” katanya sambil tersenyum. Dan itu adalah senyumannya yang paling indah yang pernah kulihat selama aku mengenalnya. Aku tak tahan untuk tidak membalas senyuman itu. Yaa.. aku senyum ke dia juga. Di dalam hati aku mengucap rasa syukur ketegangan ini sangat cepat mencair. “Oh iya, Reni itu bukan siapa-siapa kok. Jadi.. jangan cemburu ya”, kata Bintang tiba-tiba dengan wajah mengejek dan setengah tertawa dengan penuh percaya diri untuk tebar pesona. Apa?, masih sempat-sempatnya dia menggodaku. “Idiiih. Apa untungnya cemburu ke kamu?. Sorry bro. Good bye. See you next time”,sambil cepat-cepat aku berjalan meninggalkan Bintang menuruni bukit. “Kalo gak cemburu kenapa kamu langsung menghindariku hayoo?” teriak Bintang yang sudah kutinggal 5 meter. Huft.Terpaksa deh aku berdiri diam di tempat untuk menjawab pertanyaan Bintang. Sebenarnya, bukan karena aku cemburu padamu Bintang kenapa aku menghindarimu. Akan tetapi… Nguinggg.Nguinggg.Nguinggg Nah, balik lagi nih pasukan en-nya-em-u-ka. Nggak duduk, nggak berdiri, mereka sepertinya fans beratku. Sebenarnya nggak apa-apa sih kalo mereka datang. Akan tetapi, gatalnya setelah dihisap darahku ini lho yang nggak banget. Oh My God!, jangan-jangan mereka nyamuk demam berdarah atau lebih parah nyamuk Chikungunya. Tidakkkkkkkk!. “Eh, balik yuk. Sebenarnya bukan karena cemburu, tapi karena ini nih. Tanganku jadi banyak lampu merahnya”, kataku pada Bintang dengan

20


wajah cemberut, menggaruk telapak tangan dan menunjukkannya pada Bintang. “Lagipula, kasihan Gilang sendirian di klinik, yuk”. Namun, Bintang tidak menggubris ajakanku. Setelah beberapa detik dia pun memandang langit sambil tersenyum. Tapi senyuman itu yang berbeda dari sebelumnya. Di balik senyumannya terlihat kesedihan dan kekecewaan. “Kamu tahu kenapa aku ingin menjadi dokter?”, tanya Bintang padaku. “Haaaaahhhh!” aku bingung dengan pertanyaan itu. Tak ada kata yang dapat kusampaikan saat itu. “Kenapa?” Bintang bertanya lagi, “Hmmm, mungkin karena kamu.......” “Karena dia, karena Reni, aku ingin menjadi dokter” jawab Bintang tiba – tiba memutus kalimat yang akan kusampaikan. Aku kembali terdiam, kaget, sekaligus semakin bingung dengan Bintang setelah mendengar pernyataannya. Sebenarnya siapa Reni? Seberapa hebat Reni hingga bisa mengubah hidup Bintang?. Sesaat pikiranku ingin ke arah pembicaraan lain. Sepertinya, ada yang perlu aku sampaikan ke temanku berbaju merah ini. Oh iya, kejadian tadi siang tentang ancaman nenek Sumi bersama penduduk desa yang akan membakar klinik. Bagaimana aku menyampaikan pada Bintang dan Gilang? Kalo disampaikan, Gilang kan orangnya temperamen, pasti setelah itu marah-marah ke aku sama Bintang, terus penyakit paru-paru, thipus, demam dan maag akutnya kambuh. Tapi, kalo nggak disampaikan, kasihan Bintang, Gilang, dan Pak Deni, serta penduduk desa ini kalo ada yang sakit parah, mereka nanti nasibnya bagaimana?. “Lintang, kita lanjut besok saja di bukit ini bersama Gilang dan keluarga Pak Deni bagaimana?. Aku sebenarnya kemarin sudah datang ke bukit ini. Tapi, hari ini aku ingin survei tempat ini lagi bersama 1 orang. Ya, untuk memastikan pandangan orang lain terhadap tempat ini. Bagaimana

21


menurutmu?,

tanya

Bintang

padaku

sambil

beranjak

berdiri

dan

membersihkan bajunya. “Bagus sih. Ya, lumayanlah. Bisa jadi, kita besok bakar-bakar jagung aja di sini biar tambah asyik. Oh iya, atau sama bakar ikan?, atau sayuran?, atau bikin kebab sekalian?. Nah, sepertinya kalo ditambah nyanyian ngeRock sepertinya makin meriah lho. Hehehe”, jawabku dengan apa adanya semua ide cemerlang yang tertulis di pikiranku. “Kamu ini ada-ada aja”, kata Bintang padaku dengan mengelengnggelengkan kepala dan penuh senyuman sambil menuruni bukit. “Ayo, kita segera kembali ke rumah keluarga pak Deni. Pasti mereka dan Gilang khawatir keadaan kita”. Aku pun melanjutkan menuruni bukit dengan wajah tersenyum untuk berterima kasih telah menjadikanku 1 orang beruntung itu. Akan tetapi jauh di dalam hatiku, aku diliputi kebingungan bagaimana aku menceritakan masalah nenek Sumi. Tiba-tiba aku mendengar langkah orang lain selain aku dan Bintang dibalik pohon. “Eh Bintang, lihat itu, ternyata ada orang lain yang bersama kita di bukit ini”, kataku pada Bintang setengah berteriak. Jangan-jangan sebentar lagi akan terjadi perampokan, penculikan, dan praktek penjualan manusia dengan korban aku dan Bintang. Tidakkkkkk!. “Ayo, kita lihat siapa orang itu”, kata Bintang padaku sambil berlari menuju ke arah orang tersebut berlari menjauhi kami. Kemudian terlihat dengan samar-samar bayangan itu seperti terjatuh pingsan terantuk batu ketika berusaha melarikan dari kami setelah aku dan Bintang menyadari kehadirannya. Aku

berusaha

mengingat-ingat

ciri-ciri

orang

tersebut.Tiba-tiba

langsung terbesit gambaran seseorang dipikiranku. “Jangan-jangan dia…”, kataku pada Bintang sambil menujuk dengan wajah ketakutan.

22


“Hah, kamu tahu siapa dia?”, tanya Bintang dengan penuh wajah penasaran. Dan benar. Orang itu adalah Nenek Sumi. Mengapa ia ada di sini? Entahlah. Hanya sekian detik kebingungan menyergapku, selanjutnya rasa panik lebih mendominasi. “Ayo kita bawa Nek Sumi ke klinik,” Bintang dengan sergap dan cekatan menggendong Nenek Sumi. Di

saat

seperti

ini,

rasa

sebalku

padanya

seperti

menguap.

Bagaimanapun juga ia hanyalah wanita renta. Lemah. Tapi, bagaimana bisa

ia

dengan

berani

meluapkan

amarah,

mengusir,

bahkan

mengancamku tempo hari? Pasti ada hal yang melatarbelakanginya. Sesuatu yang tidak semua orang tahu. Sungguh, hanya alasan maha kuatlah yang mampu menggerakkan daya nenek berumur 60-an ini hingga menembus titik limitnya. Apa guna ilmu komunikasi kesehatan yang kupelajari jika aku tak berhasil mendekati Nenek Sumi dari hati ke hati? Baiklah! Aku bertekad untuk menyelesaikan permasalahan ini hingga tuntas. Akhirnya

aku

dan

Bintang

menggendong

Nenek

Sumi

untuk

membawanya ke klinik. Karena jalan turun dari bukit cukup curam dan licin, kami harus berjalan ekstra hati-hati. Bintang berjalan di depanku sambil menggendong Nenek Sumi sedangkan aku mengikutinya di belakang. Ada rasa khawatir dan penasaran yang membuncah di pikiranku mengenai Nenek Sumi. Apa yang beliau lakukan di bukit ini pada malam hari? Apakah beliau memang sengaja membuntutiku dan Bintang? Aku terus bertanya-tanya, namun aku berusaha untuk melupakan dahulu rasa penasaranku ini dan segera bergegas mengikuti Bintang yang sudah mendahuluiku di depan. “Rebahkan Nenek Sumi di sini” kataku pada Bintang ketika kami sampai di klinik. Bintangpun merebahkan Nenek Sumi di kasur. Ada luka dan darah segar yang menetes dari dahi Nenek Sumi. Beliau masih belum sadar, sehingga aku berusaha untuk mendekatkan minyak putih di dekat hidungnya.

23


“Aku bersihkan luka di dahinya ya” kata Bintang sambil mengambil kapas dan air dengan sigap. Aku mengangguk sambil memperhatikannya, dengan telaten Ia lalu membersihkan luka dan darah di dahi Nenek Sumi. Entah mengapa sesuatu yang tak aku ketahui namanya kemudian muncul di perasaanku. Sesuatu yang belakangan ini kerap aku rasakan ketika berada di dekat Bintang atau sekedar memikirkannya. Iya, aku tidak tahu namanya, tetapi aku menikmatinya. “Bisa ambilkan kapas lagi gak ?” tanya Bintang memecah lamunanku. “Eh iya, ini “ kataku tergagu sambil menyerahkan kapas. “Kira-kira Nenek Sumi ada apa ya kok ngikutin kita, apa ada hubungannya dengan kejadian minggu lalu?” tanya Bintang. Aku menggeleng, kemudian teringat peristiwa minggu lalu yang terjadi. Siang itu di saat klinik sedang sepi dan hanya ada beberapa pasien, Nenek Sumi datang ke klinik sambil mengumpat-ngumpat dan menendang kursi tunggu yang terbuat dari kayu di depan klinik. Melihat hal itu, pasien yang sedang ada di klinik berlari pulang karena takut. Aku yang masih bingung dengan apa yang dilakukan Nenek Sumi tidak sempat berlari ketika Nenek Sumi mendekatiku dan mengucapkan kata-kata yang sampai saat ini masih mengganggu pikiranku. Beliau mengancam akan mencelakaiku apabila aku tidak segera menutup praktikku di sini. Gejolak amarah Nenek Sumi waktu itu begitu terkenang dalam ingatanku, membuatku terus bertanya-tanya. Ingin sekali aku berbicara dengan beliau empat mata saja. “Di..di mana aku? Apa yang kalian lakukan padaku?”, tiba-tiba nenek Sumi tersadar sambil berusaha bangkit dari tempat tidurnya. “Nenek istirahat dulu saja. Dahi nenek masih berdarah”, Dengan sigap Bintang menahan Nenek Sumi untuk tidak beranjak dulu karena kondisinya yang masih belum memungkinkan. “Jangan tahan aku! Aku tidak ingin berlama-lama di sini bersama kalian. Aku tidak percaya kalian. Biarkan aku pergi!”, tolak Nenek Sumi.

24


“Sebenarnya mengapa nenek begitu benci kepada kami? Apa salah kami, Nek?”, tanya Bintang dengan nada yang sedikit meninggi. “Bintang! Pelankan suaramu. Bicaralah yang sopan kepada orang yang lebih tua”, tegurku pada Bintang. “Maafkan teman saya, Nek. Kalau boleh tahu, apa yang sedang Nenek lakukan di bukit tadi?”, Tanyaku. “Bukan urusanmu! Biarkan aku pergi.”, ronta Nenek Sumi sambil berusaha untuk melangkah pergi. Tak kuasa aku dan Bintang menahan Nenek Sumi untuk tetap tinggal di klinik. Sosok Nenek Sumi semakin menghilang dari pandanganku. Aku hanya dapat melihat punggung Nenek Sumi dari kejauhan. Nenek Sumi, sebegitu bencinya kah Nenek kepada kami? Setelah Nenek Sumi itu pergi, datanglah Gilang menghampiri kami berdua. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Nenek itu bersikap seperti itu kepada kalian?” Tanya Gilang. “Hmm.. tidak ada apa-apa kok.” Jawabku sambil tersenyum. “Eh, iya, pasti kamu belum makan? Kita makan bareng-bareng yuk.” Ajakku. “Lintang! Aku Tanya sama kamu. Tolong jawab pertanyaanku!” katanya sambil menggertak. Sudahlah, aku tidak ingin melihat dia marah-marah tidak jelas seperti itu, akhirnya aku pun menceritakan semua itu. “Kenapa kamu baru ceritanya sekarang? Oou, jadi sekarang kamu mulai rahasia-rahasiaan gitu? Setelah sekian lama kita berteman, ternyata kamu tidak percaya sama aku sampai-sampai kamu tidak cerita sama aku? Atau jangan-jangan,

kalian

berdua

sekongkol

untuk

tidak

menceritakan

kepadaku? Aku kecewa sama kalian.” Kata Gilang dengan nada marah. Kemudian dia langsung pergi meninggalkan aku dan Bintang di sana. “Sebentar, aku tidak bermaksud seperti itu, Gilang..” kataku sambil menarik tangan Gilang.

25


Gilang tetap bersikeras untuk pergi dan aku tak kuasa menariknya. Dan aku hanya bisa melihat dirinya yang kini berjalan semakin jauh dariku. Lalu aku berbalik, “Kenapa kamu tidak menahan dia?” Tanyaku kepada Bintang. Bintang hanya bisa berdiam seribu bahasa. Dia tidak berkata apaapa sedikit pun, sekata atau sehuruf pun tidak. Dan tak terasa air mata pun menetes di pipiku. “Tenang saja, nanti juga dia tenang-tenang sendiri. Santai aja, emang gitu orangnya“ akhirnya Bintang berbicara. Mencoba menghibur? Dalam benak ku terlalu banyak pikiran. Sehingga aku tak bisa berpikir jernih. Hujan turun tiba-tiba seraya langit menangis untukku. Bintang datang dengan membawa jaket. Kemudian memakaikannya ke aku. Dia terlihat repot sendiri di ruang sebelah. Banyak hal dalam pikiranku, membuatku tidak bisa berpikir. Suara hujan yang deras, seperti suara keramaian. Tiba –tiba muncul gelas dihadapanku. “ini seadanya yang bisa ku buat, minumlah ini bisa menghangatkanmu” Kata Bintang sambil menyodorkan gelas. Aku menyentuh gelas itu, terasa hangat. Dari baunya tercium

bau

khas

teh

merah.

Bintang

menatapku

yang

hanya

menggenggam gelas hangat itu. “Kau tidak menyukai tehnya?” Tanya Bintang padaku. “Tidak, aku menyukainya. Terima kasih, Bintang.”, aku menjawabnya dengan senyuman. Segelas teh hangat buah tangan dari Bintang sejenak menenangkan pikiran kacauku. Kami berdua hanya terdiam, menikmati suara hujan dengan segelas teh hangat. Tiba- tiba terlintas di pikiranku, bagaimana hubungan kami setelah semua ini berakhir? Saat semua kembali pada kehidupan biasanya? Apakah Gilang dan Bintang akan berubah? Apakah perasaanku pada Bintang akan seperti ini saja?. Namun satu minggu yang tersisa ini harus aku manfaatkan dengan sebaik- baiknya. Selalu ingat tujuan awal aku berada di sini untuk pengabdianku pada negri. Hingga akhirnya hujan pun reda, bumi pun semakin gelap. Kami pun memutuskan meninggalkan klinik.

26


Sesampai di rumah aku langsung bebenah diri, mengganti pakaianku yang sedikit basah oleh air hujan dengan piyama kesayanganku dan memutuskan untuk segera beristirahat. Berharap semoga esok pagi kembali ceria dan membawa kebahagiaan. *** Sinar mentari mulai menyingsingkan sosoknya melewati celah jendela kamarku

yang

sengaja

kubuka

hanya

setengahnya.

Burung-burung

terdengar berkicauan riang menyapa indahnya pagi hari. Hembusan angin dan udara dingin sisa hujan kemarin malam seakan mengusap lembut di pipiku. Mataku kupejamkan

dan hidungku mulai menarik udara segar

dalam-dalam kemudian mengeluarkannya lewat mulutku serasa tak ingin melepaskan segarnya udara di pagi hari. “Lintaaaaaaaaaanng!!!” terdengar suara sosok yang tak asing kudengar di luar jendela kamarku, Bintang. Aku yang daritadi sudah terjaga dan hanya duduk di atas tempat tidur segera menuju jendela kamar. Membuka lebar daun jendela yang tadi hanya kubuka setengahnya dan menengok ke arah luar jendela. Bintang memakai kaos putih, celana training, dan sepatu berdiri dengan tegapnya di depan jendela kamarku. Kulihat senyumnya yang renyah, sinar matanya yang cerah, sambil melambaikan tangannya ke arahku, terlihat dia sangat riang sekali pagi ini. Akupun membalas senyumnya. “hei pemalas, cepat ganti piyamamu… “ kata bintang “Mau kemana, sih? Hari ini kan tidak ada jadwal ke klinik,” kataku sambil mengucek-ngucek mataku yang enggan terbuka. “Dokter apa kamu ini, tiap hari ngasih konseling menjaga kesehatan tapi kamu sendiri nggak pernah olahraga.,” Bintang geleng-geleng kepala melihatku yang masih enggan beranjak dari tempat tidur Aku hanya mencibir lalu terpaksa bangun dan berjalan ke lemari untuk ambil baju. Bintang masih berdiri di dekat jendelaku. “Kamu mau sampai kapan disitu? Aku mau ganti baju nih,” kata Lintang

27


“Ehh iya...iya,” Bintang malu dan segera pergi dari jendela “Aku tunggu di depan rumah ya,” Aku telah siap dengan pakaian olahragaku yang serba pink, kaos pink dan trainning pink. Kami berdua berjalan beriringan menuruni bukit. Rumah tempat tinggalku memang terletak di dataran lebih tinggi daripada rumah tempat tinggal Bintang. “Kamu belum jawab pertanyaanku, kita mau kemana?,” aku masih penasaran “Olahraga, kan tadi aku udah aku jawab,” jawab Bintang “Iyaa...tapi kemana? Kan bisa olahraga deket-deket sini aja, ngapain pake turun bukit segala kan. Diatas pemandangannya lebih bagus dan udaranya lebih segar,” kataku masih tidak puas Bintang diam saja, kami sampai di sebuah sekolah dasar satu-satunya di desa ini. Di halaman depan sekolah telah berkumpul anak-anak SD berseragam merah putih. Aku masih bingung, tapi kuikuti saja kemana Bintang melangkah. Kami lalu memasuki halaman SD tersebut. Dua orang guru menghampiri kami dan menyalami kami satu persatu. “Silakan dimulai, anak-anak sudah siap dari tadi,” Ha? Dimulai ngapain? Aku bertanya-tanya dalam hati Bintang menarik tanganku di tengah lapangan dan berdiri di depan kumpulan anak-anak SD. “Adik-adik hari ini kita akan olahraga pagi bersama kakak-kakak ya! Perkenalkan saya kak Bintang dan sebelah saya ini kak Lintang,” kata Bintang di depan anak-anak “Kamu kok nggak ngomongin aku dulu, aku nggak tau nih mau olahraga apaan,” aku berbisik di sebelah Bintang “Udahh ikutin aku aja,” Bintang menjawab tanpa menggerakkan bibirnya, tetap tersenyum di depan anak-anak

28


Anak-anak antusias saat kami ajari olahraga ringan. Walaupun tanpa persiapan ternyata ingatanku akan senam poco-poco saat aku masih duduk di bangku sekolah dasar menempel kuat di otakku. “Enak kan olahraga pagi-pagi gini. Apalagi kalau sambil menebar kebaikan,” kata Bintang “Iya sih...tapi seharusnya kamu ngomong dulu dong jadi kan aku nggak kagok pas di depan tadi,” jawabku “Kagok gimana, kamu goyangnya aja kayak Inul daratista gitu, jago banget!,” Bintang mengejekku “Enak aja...itu senam tau bukan goyang dangdut,” aku tak terima Tiba-tiba dari saku celana Bintang bergetar-getar. Hp Bintang berbunyi. Bintang mengeluarkan hp dari sakunya dan melihat siapa peneleponnya, saat membaca penelepon itu Bintang berubah mimik wajahnya. “Aku permisi sebentar ya, kamu tunggu disini saja,” kata Bintang menjauh dan menerima telepon itu Aku tau itu Reni, karena sekilas aku melihat nama di layar hp Bintang. Reni lagi. Mau apa dia menelepon Bintang pagi-pagi begini. “ada apa Tang?” tanyaku segera setelah Bintang kembali. “gak ada apa-apa kok.. ayo balik ke rumah, abis itu sarapan.. pasti enak” ajak Bintang dengan muka yang dipaksakan untuk tersenyum. Dalam hati aku tahu bahwa sesuatu telah terjadi. Sepanjang perjalanan aku memperhatikan raut wajah Bintang, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Sebetulnya aku penasaran, tapi… biarkan saja lah.. “Lintaaaaaaaaang.. Bintaaaaaaaang.. dari tadi di cariin ehh.. ternyata malah asik berduaan disini” teriak Gilang saat melihat kami berjalan menuju rumah tinggalku. “Ada apa siih Lang? kok heboh banget..” Tanya Bintang kepada Gilang. “tau gak? di klinik lagi kacau balau parah banget deh..” kata Gilang dengan antusias.

29


“ada kebo super gueedeee dan item masuk ke klinik terus makan semua tanaman di pekarangan klinik, terus juga makan semua persediaan obat yang baru datang kemarin sore. Gak cuma itu, bangunan klinik bagian depan hancur total porak-poranda kaya diterpa badai haiyan. Sekarang warga desa sedang berkumpul disana, sampek sekarang si kebo gak mau keluar dari klinik.. ayo buruan kesana” ajak Gilang yang tampaknya sedang menggebu-gebu dan bersemangat untuk mengusir si kerbau dari klinik. Kami yang mendengarnya hanya bengong, tidak bisa berkata satu patah katapun. “lho.. ayo.. kok malah bengong” ajak Gilang sambil menarik tangan Bintang. Di depan klinik tampak berkerumun warga desa dengan segala peralatannya untuk mengeluarkan kerbau dari dalam klinik. Ada yang bawa cambuk, tali, bahkan ada yang membawa parang. Kami bertiga dengan sok berani maju ke barisan paling depan dan berpura-pura menawarkan bantuan kepada Pak Deni yang sedang membujuk si kerbau untuk keluar dari klinik. Setelah berusaha sekitar 1 jam, akhirnya si kerbau mau keluar berkat rumput yang dibawa Gilang dari kandang sapi Pak Deni. Menurut penuturan warga, kerbau tersebut adalah milik Nenek Sumi yang terlepas. Tapi anehnya kami tidak melihat sosok Nenek Sumi diantara kerumunan. “masa sih Nenek Sumi sengaja nglepasin kerbaunya di klinik?” tanyaku pada Bintang tak percaya. “udah lah.. jangan su’udzon dulu, siapa tau emang lepas sendiri terus masuk ke klinik. Kan banyak tu kerbau warga yang dibiarin berkeliaran di lapangan desa. Sekarang daripada mikir yang enggak-enggak, mending nemenin aku ke puskesmas induk buat minta obat-obatan lagi.” Ajak Bintang yang langsung kusambut dengan anggukan pelan. “moga aja tu kebo gak kenapa-kenapa abis makan obat segitu banyak” celetuknya lagi sambil cengengesan seolah telah lupa dengan apa yang membelenggu pikirannya pagi ini.

30


Kami berangkat ke puskesmas induk yang jaraknya 12km dari desa dengan menumpang sebuah mobil pick up bermuatan sayur milik warga desa. Aku memperhatikan Bintang. Dia diam saja sejak awal perjalanan. Sepertinya banyak sekali yang sedang dia pikirkan. Kira-kira apa ya yang ada di pikirannya? “Lintang.. aku mau cerita sesuatu” kata Bintang tiba-tiba memecah keheningan dan dengan wajah yang serius, ia menarik nafas panjang lalu dihembuskan. “sebetulnya

Reni........”

ciiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiit...

tiba-tiba

mobil

berhenti

mendadak. “hati-hati pak nyetirnya, ada apaan sih kok ngerem mendadak gitu?” teriakku dari belakang pada pak supir pick up yang menumpangi aku dan Bintang. “maaf neng, tiba-tiba ada kucing nyebrang jalan barusan” jawab pak supir. “Bintang, kamu tadi mau ngomong apa? Emm.. Memangnya siapa Reni itu?” tanyaku dengan wajah penasaran pada Bintang. Wajah Bintang kembali terlihat serius, dan tampak ingin mengatakan sesuatu padaku. “kamu ingat tidak waktu aku tanya, kenapa aku ingin menjadi dokter? Dan aku menjawab karena Reni aku ingin menjadi seorang dokter?” kata Bintang sambil menatapku dengan wajah mimik wajah seriusnya. “iya aku ingat.. lalu, siapa sebenarnya Reni itu?” tanyaku semakin penasaran. “sebenarnya Reni itu adikku, aku sangat sayang sama dia bahkan aku mungkin tidak akan jadi seperti ini kalau bukan karena dia dan kamu.” Jawab Bintang dengan nada pelan. “Aku??” Tanyaku kaget dengan wajah melongo. “iya. Kamu.” Sambil tersenyum gemes dan mencet hidungku yang selalu di bilang pesek.

31


Sepanjang perjalanan Bintang menceritakan banyak hal kepadaku. Ternyata Reni adalah satu-satunya keluarga yang di miliki Bintang selain tante dan om mereka yang ada di Surabaya. Bintang dan Reni memang terpisah jauh saat ini. Namun perhatian Bintang kepada Reni tidak pernah berubah. Selisih umur Bintang dan Reni memang beda cukup jauh, 6 tahun. Saat Bintang duduk di kelas 1 SMA di salah satu sekolah terbaik di Surabaya, sedangkan Reni duduk di bangku kelas 4 SD. Banyak cobaan yang dihadapi oleh keluarganya. Saat itu Reni di vonis terkena kanker mata oleh dokter. Sehingga kedua orang tua Bintang dan Reni bekerja keras untuk mencari biaya untuk pengobatan Reni. Beberapa waktu setelah pengobatan Reni berjalan tiba-tiba ada kabar buruk, kedua orang tua Bintang dan Reni kecelakaan dan nyawanya tidak terselamatkan. Sehingga hanya peninggalan orang tua mereka yang mereka gunakan untuk pengobatan dan kemoterapi Reni yang terakhir. Reni memang gadis yang kuat, dengan kasih sayang kakaknya, Bintang, serta semangat ingin sembuh dari dirinya akhirnya Reni bisa sembuh dari penyakit ganas tersebut. Sejak saat itulah Bintang bertekad dan bercita-cita untuk menjadi dokter. “jadi begitu ceritanya, udah gak cemburu lagi kan?” kata Bintang sambil mengeceku. “ yeee.. kamu ngece deh! Lalu kalau aku?? Tanyaku masih penasaran dengan ucapan Bintang tadi. “mas,, neng,, ini udah sampai di puskesmas induk.” teriak pak supir. “(aduhh,, kok uda nyampe aja sih. Semoga nanti Bintang tidak lupa menjawab pertanyaanku barusan)” kataku dalam hati. “baik pak, kami akan turun” sahut Bintang menjawab pak supir. “Lintang, yuk cepat turun kita udah sampe jangan melamun aja” kata Bintang meledekku sambil mengulurkan tangannya padaku. Kita pun turun dari pick up sayur itu dan tidak lupa mgucapkan terima kasih kepada pak supir yang sudah baik menumpangi kita tersebut.

32


“yuk

cepat

kita

ambil

obatnya”

ajak

Bintang

sambil

tetap

menggenggam erat tanganku. Setelah kita memasuki pintu puskesmas, kita langsung menuju tempat pembelian obat. Kita beli semua obat-obat yang diperlukan. Setelah itu aku masih penasaran dengan jawaban Bintang, apakah dia masih ingat yahh... aku tidak berani kalo harus menanyakan untuk kedua kalinya, harusnya kesadaran dari dia sendiri. *** Di malam yang bertaburan bintang di langit desa Ampat yang tenang, Gilang duduk terpaku diatas bukit, memandangi indahnya bintang sambil melamun dan memikirkan sesuatu, sampai suatu ketika terdengar suara seseorang yang berteriak sambil menangis yang membuyarkan lamunannya “Tolong,,,,,, dokter tolong,,,,,”. Terlihat sosok seorang laki – laki muda yang datang menghampirinya dengan tetesan air mata di pipinya “Dok, tolong nenek saya, nenek saya nggak bisa berdiri, kepalanya pusing terus, terus sekarang dia muntah darah. Saya harus gimana dok, tolong nenek saya,,,,”. Laki – laki muda itu adalah cucu nenek Sumi. Dalam hati Gilang ia ingin berteriak dan berkata “ Untuk apa aku menolongnya, sedangkan dia sendiri ingin mengusir semua dokter yang ada disini”, tapi kemudian Gilang sadar akan tugasnya untuk menolong orang lain siapapun dia. Akhirnya Gilang beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju rumah nenek Sumi dengan didampingi cucunya. Sesampainya di rumah nenek Sumi, Gilang mlihat nenek Sumi terkapar di samping kamar mandi dengan sisa darah di mulutnya. Gilang langsung sigap mengangkat tubuh nenek Sumi ke tempat tidur dan memeriksanya. Selagi memeriksa, Gilang bertanya kepanya cucunya nenek Sumi terkait riwayat penyakit yang pernah diderita. Akan tetapi cucunya tidak menjawab apa – apa, dia terlihat bingung dan gelisah. Gilang memberikan pertolongan pertama pada nenek Sumi, ketika keadaan nenek Sumi mulai stabil, Gilang mengajak cucu nenek Sumi untuk berbicara di halaman rumah.

33


“Mungkin kamu sudah tahu banyak tentang kami, yang jadi trending topic ketika kami ada disini, tapi sampai saat ini aku belum tahu siapa namamu, jadi tolong ceritakan siapa dirimu, hubungannmu dengan nenek Sumi dan kenapa kamu bisa tidak tahu riwayat penyakit yang diderita nenekmu sendiri” tanya Gilang dengan tegas. “Namaku Aldi, aku asli Malang, dulu aku adalah anak jalanan yang selalu tidur di emperan toko, sakit dan kematian adalah sahabat yang selalu dekat dengan kami. Sampai suatu ketika hujan turun dengan derasnya, aku menggigil kedinginan di jalan dan pingsan, dan ketika aku sadar aku berada di sebuah rumah yang mewah. Dan ketika aku berada disana, aku bertemu dengan tante Winda yang ternyata anak dari nenek Sumi, orang yang menyelamatkanku dari kematian. Semenjak saat itu, aku tinggal di rumah nenek Sumi dengan tante Winda, tetapi aku penasaran dengan foto yang terpajang di ruang keluarga, disana ada foto bertiga, yaitu nenek Sumi, tante Winda dan seorang wanita cantik yang sampai sekarang tidak ku tahu siapa dia. Tante Winda tidak mau menceritakan apa – apa karena nenek Sumi melarangnya untuk menceritakan apapun tentang wanita dalam foto itu, sedangkan nenek Sumi benar – benar tidak mau menceritakan apapun. Ketika tante winda dipindah tugaskan ke papua kami pindah semua Beberapa tahun yang lalu kami pindah ke bumi Papua karena tante Winda dipindah tugaskan ke daerah ini. Dulu, tante Winda pernah sakit parah seperti ini, dan dia berobat ke puskesmas tempat kakak sekarang praktek. Dulu disini, dokter tidak pernah dihiraukan, tetapi karena kita dari kota kita lebih percaya dengan dokter dibandingkan Tetua Adat. Suatu ketika, keadaan tante Winda sudah memarah, dia tidak mau dibawa ke Tetua Adat, dia hanya mau ke dokter, dan alhasil tante Winda sembuh, tapi tiba – tiba tante Winda meninggal. Nenek Sumi menduga kalau dokter sudah melakukan hal buruk kepada tante Winda, dan ketika dokter ditanya “apa penyakit tante Winda?” , sang dokter tidak menjawab apa – apa, akhirnya nenek Sumi dan penduduk mengusir dokter itu.

34


“Jadi karena itu Nenek Sumi benci dokter” (kata Gilang sambil memanggut – manggutkan kepalanya), tiba – tiba terlintas di pikiran Gilang “Kalau gitu kita harus check – up semuanya, karena kita sama – sama nggak tahu riwayat penyakit pasien”. Aldi hanya mengangguk pertanda setuju, atau mungkin karna dia juga sudah pasrah tak bisa berpikir apa – apa lagi. Untuk langkah awal, Gilang dan Aldi membawa nenek Sumi ke Puskesmas untuk keesokan harinya dibawa ke kota. Gilang duduk termenung sambil menunggu nenek Sumi siuman. Tak lama kemudian nenek Sumi sadar dan dia kembali meminta pulang dan tidak ingin di puskesmas, Gilang yang tidak sabaran langsung berucap “Sudah, tenang aja nek, aku nggak akan mbunuh nenek, nenek pikir aku dokter yang malpraktek dan lalai sama kewajibanku?” cetusnya setengah emosi. Nenek Sumi langsung diam dan binggung, kemudian perlahan Gilang menceritakan semua yang Aldi ceritakan kepadanya. Nenek Sumi bangkit dari duduknya dan melihat meja kerja Bintang, mata Nenek Sumi tiba – tiba terbelalak melihat foto keluarga Bintang, tanpa sadar foto itu terlepas dari genggamannya dan terjatuh. Gilang dengan sigap mengambil foto keluarga Bintang yang jatuh, “Ada apa Nek?, ini foto orang tua Bintang, Nenek kenal dengan orang tua Bintang?” tanya Gilang yang sedang dalam kebingungannya. Nenek Sumi dengan pandangan kosong membalas pertanyaan Gilang dengan pertanyaan “Kau tahu dimana orang tua Bintang tinggal?”. Gilang menghembuskan napas panjang dan berkata “Orang tua Bintang sudah meninggal Nek, ada apa sebetulnya?”, tanpa menjawab sepatah kata pun, Nenek Sumi hanya menangis. “Assalamu’alaikum....” (terdengar suara seseorang masuk ke puskesmas sambil mengucapkan salam). “Wa’alaikum salam” (jawab Gilang spontan), Gilang menoleh ke sumber suara “Bintang? Untung kamu kesini”

35


Bintang mengernyitkan dahi, “Kenapa memangnya kalau aku kesini, bukannya sekarang memang tugasku yang jaga ya.....” Gilang mendekati Bintang dan berbisik “Sepertinya Nenek Sumi kenal dengan orang tuamu, dari tadi dia menangis terus setelah melihat foto keluargamu” Pandangan Bintang yang awalnya biasa, berubah menjadi serius, dan tanpa berkata apa – apa Gilang keluar menuju halaman Puskesmas. Perlahan, Bintang mendekati Nenek Sumi, ia duduk bersimpuh di depan Nenek Sumi, dan berkata “Nek, Nenek kenal dengan orang tua ku?”, Nenek Sumi melihat ke arah Bintang dan memeluknya “Maafin Nenek Nak, maafin Nenek...” “Iya, aku sudah maafin semua yang Nenek lakukan kok..” (jawab Bintang sambil menepuk – nepuk punggung Nenek Sumi) Nenek Sumi langsung bercerita panjang lebar “Dulu Nenek punya 2 anak, namanya Santi dan Winda, Santi adalah anak pertama Nenek yang sangat Nenek sayangi, tapi dia dulu pergi meninggalkan Nenek dan menikah dengan seorang dokter. Nenek tidak suka dengan dokter itu, karena dia kurang cukup mampu untuk Santi, tapi Nenek sama sekali tidak menyangka kalau Santi akan meninggalkan Nenek demi dokter itu. Itulah awal kebencian Nenek pada dokter. Dan untuk melupakan semua itu, kami pindah ke Papua ini, ditambah dengan alasan Winda yang dipindah tugaskan kesini. Dan kau tahu, dulu ada dokter yang dinas di Puskesmas ini, tapi karena aku benci dengan dokter aku menyuruh Winda untuk ke Tetua Adat untuk mengobati sakitnya, tapi Winda tidak menghiraukanku, dia tetap berobat ke Puskesmas ini, sampai suatu saat, keadaannya membaik, tapi selang beberapa hari setelah itu, dia meninggal, dan dokter tidak bisa memberi keterangan apa pun, aku menduga kalau dia sudah melakukan tindakan malpraktek pada Winda, aku dan warga pun mengusirnya dari sini,

36


tapi kenapa? Kenapa kamu juga jadi dokter?” (tanya nenek Sumi sambil menangis) “Karena aku punya adik yang terkena kanker mata, orang tuaku mati – matian bekerja untuk mencari uang untuk pengobatan adikku, sampai akhirnya dia sembuh, dan itulah yang menjadi alasanku menjadi dokter, aku ingin mengobati anak – anak yang malang seperti adikku Nek,,,,” “Santi anak Nenek adalah Ibumu dan kau tahu dokter yang melakukan malpraktek pada Winda adalah foto seseorang yang ada disamping Santi, ayahmu yang sudah membunuh tantemu, apa sekarang yang kau lakukan? Apa?” (teriak Nenek Sumi sambil menangis) “Nek, dulu kami pernah ke Malang untuk mencari Nenek, tapi Nenek sudah tidak ada disana, mama pernah cerita kalau mama kabur dari rumah dan menikah dengan papa tanpa ijin merupakan kesalahan besar, dan setiap papa mengajak mama untuk ke rumah Nenek, mama selalu menolak karena belum siap, sampai akhirnya ketika mama sudah menyiapkan dirinya, kami semua berkunjung ke rumah Nenek yang di Malang, tapi kita tidak menemukannya. Papa sama sekali tidak tahu Nenek dan tante Winda, dan kalaupun tahu akupun juga tidak tahu akan hal itu, karena ketika papa diusir dari tanah Papua, mama datang ke Papua untuk menjemput papa kembali ke rumah, tapi pesawat mereka mengalami kecelakaan, dan itulah saat aku dan reni adikku kehilangan orang tuaku” (nada Bintang merendah diakhir kalimat, karena dia harus mengingat masa – masa yang paling suram dalam hidupnya, ketika dia harus kehilangan semuanya, dan menjadi kakak yang bisa menjaga dan melindungi adiknya) “Tapi ayahmu sudah membunuh anakku ‘Winda’ !” (teriak Nenek Sumi) “Nek, kami punya kode etik, dimana jika pasien melarang dokter untuk menceritakan

penyakitnya

ke

siapapun,

maka

ia

tidak

boleh

menceritakannya, sampai donter itu mati Nek, sekarang ayo kita cari

37


bersama – sama, pasti rekam medis tante Winda ada disini” (jawab Bintang menenangkan) Nenek Sumi beranjak berdiri mengikuti Bintang menuju lemari yang berisi map – map berwarna kuning untuk mencari nama Winda. Butiran debu memenuhi map – map yang ada di lemari, Nenek Sumi dengan keadaannya yang sudah lemah, terbatuk – batuk sampai hampir pingsan. Melihat hal tersebut, Bintang memegang kedua lengan Nenek Sumi dari belakang dan mendudukannya di kursi tempatnya praktek. Dengan seksama dan teliti Bintang mencari rekam medis tante Winda dan.... “Nah,,,, ketemu !, alhamdulillah,,,,” (senyum Bintang menyeruak seketika). Nenek Sumi bangkit dari duduknya dan menghampirinya dengan rasa penuh penasaran “Gimana Nak? Apa? Apa yang diderita Winda? Winda sakit apa? “, wajah Bintang berubah sedih dan menghela napas panjang. “Nek, Tante Winda menderita kanker darah, keadaannya sudah sangat parah, dia sudah stadium akhir, mungkin karena dia tidak ingin Nenek sedih, oleh karena itu dia meminta Papa untuk merahasiakan penyakitnya. Nenek Sumi terduduk dan menangis dengan keras, memecah kesunyian

di

malam

menenangkannya.

itu.

“Allah,

Bintang tidak

memeluk

pernah

Nenek

memberikan

Sumi

untuk

cobaan

bagi

hambanya yang tidak mampu Nek, mungkin kenyataan ini memang menyakitkan, tapi Allah selalu di samping Nenek, tante Winda sengaja merahasiakan semua ini untuk menjaga perasaan Nenek. Ambil semua hikmahnya Nek, banyak orang yang sayang sama Nenek, termasuk Allah” (Bintang mengelus punggung Nenek Sumi sembari memeluknya untuk menenangkannya). Tanpa diduga, Gilang tiba – tiba muncul “Lho kok nangis semua? Ada apa ini? Eh Bintang, tumben kamu nangis bombay segala? Lintang nolak kamu ya?” (gurau Gilang yang usil). Bintang menghapus air matanya dan bertanya kepada Gilang “Nenek Sumi dibawa kesini kenapa Lang?”, Gilang menjawab dengan datar “Sakit lah Tang, masak aku mau pedekate sama

38


Nek Sumi sih...” (sambil senyum usil). Bintang menghela napas panjang “Aku serius Lang, kenapa?”. Akhirnya Gilang menjawab dengan serius “Aku curiga kalau Nenek Sumi terkena kanker, tapi aku belum bisa memastikannya, karena itu masih diagnosa awal, dan cucunya sendiri aku tanyain masalah riwayat penyakit pasien dan keluarganya, dia kurang tahu”. Bintang menghela napas panjang dan kemudian melihat ke arah Nenek Sumi. “Aku rasa tidak perlu pemeriksaan lebih lanjut, aku tahu apa yang aku derita, dari Winda dan Reni cucuku, aku rasa itu sudah cukup, tidak perlu banyak diagnosa jika berujung hal yang sama. Aku sudah ikhlas dengan apa yang harus terjadi padaku”, Nenek Sumi menjawab tatapan Bintang. Tanpa terasa tetesan air mata membasahi pipi Bintang, Bintang berkata “Kenapa? Kenapa ketika aku menemukan keluargaku, aku harus kehilangan lagi?, Reni belum tahu tentang Nenek, dan aku rasa Reni bisa menguatkan Nenek, Reni bisa sembuh Nek, itu berarti Nenek juga. Aku yang akan berjuang untuk Nenek, apapun akan kulakukan untuk Nenek” (timpali Bintang). Nenek Sumi hanya tersenyum dan menjawab “Kau sudah berjuang sejauh ini, penderitaan yang kau tanggung sudah besar, dan aku sebagai Nenek yang kurang ajar malah menjatuhkanmu di bumi Papua ini. Sudah cukup bebanmu, aku ingin menutup mataku disini, aku sudah cukup bahagia melihat cucuku sekarang sukses dan menjadi orang yang beradap, ditambah lagi setelah aku mengetahui bahwa Santi ternyata bisa hidup bahagia. Semua orang melakukan yang terbaik untukku, tapi aku tidak melakukan apapun untuk mereka. Biarkan aku menutup mataku disini dengan memori indah ini, memori yang hanya terjadi di tanah Papua. Biar semua orang tahu, Papua bukan tempat yang mengerikan, tapi Papua adalah tempat semua kebahagiaan ada. Surga dunia bukan di kota, melainkan di tanah yang masih suci dan bersih ini, tempat politik dan kenistaan dunia masih kosong” (jawabnya sambil tersenyum)”.

39


Nenek Sumi memeluk cucunya yang telah lama hilang. Mereka mengharu biru dalam tangisan yang begitu dalam. Tiba – tiba Lintang datang, “hai....... (dengan nada yang tiba – tiba turun dan terhenti melihat semua yang ada dipandangannya)”. Gilang dengan sigap, menggandeng tangan Lintang dan membawa keluar Puskesmas, dengan perlahan tapi pasti, Gilang menceritakan semua yang terjadi kepada Lintang, Lintang termenung, dan perlahan dia menampaki kaki, mengintip ke dalam, terpancar raut sedih dan iba yang mendalam ketika melihat suasana di dalam ruang praktek. Gilang menarik tangan Lintang dan membawanya ke bukit. “Eh, ngapain kamu menarikku? Kamu mau bawa aku kemana?” (tanya Lintang bertubi – tubi) “Dulu aku pernah membawamu kesini kan? Dan waktu itu aku sangat ingin mengungkapkan sesuatu, dan ternyata Bintang datang dan mengacaukan semuanya, jadi sekarang beri aku sedikit waktu untuk mengungkapkan semuanya”. Suasana menjadi hening sepi, hanya terdengar suara jangkrik yang meramaikan suasana. Gilang menghela napas panjang sama menutup mata.... Kemudian dia perlahan membuka matanya..... Gilang

menatap

Lintang

dengan

dalam

sambil

memegang

kedua

tangannya, seketika hati Lintang berdegub kencang, ia sangat takut kalau Gilang mengungkapkan perasaannya kepada Lintang. “Aku

ingin

mengungkapkan

sesuatu,

selama

ini

aku

hanya

bisa

memandangimu dari jauh, dalam hati aku selalu ingin muncul di depanmu dan menjagamu, tapi aku tidak mampu, aku terlambat, selalu ada Bintang yang ada di sampingmu, sampai kau tak pernah menyadari kehadiranku” (kata Gilang penuh dengan perasaan)”

40


Rasa pede bercampur gelisahpun menjadi satu, Lintang bingung menjawab pernyataan Gilang, dia ingin sekali bilang kalau dia memiliki perasaan pada Bintang, tapi Lintang sendiri belum yakin akan perasaannya kepada Bintang. Dalam kebingungan yang luar biasa, Gilang melanjutkan perkataannya, “Aku selama ini ingin bilang padamu kalau aku......” “Stop (sela Lintang), aku nggak mau dengar, aku nggak mau menyakitimu, aku nggak bisa Lang, aku nggak bisa menerimamu.....” (Lintang berkata sambil menangis) Wajah Gilang berubah, yang tadinya serius menjadi penuh tawa, Gilang tertawa terbahak – bahak, Lintang yang melihat hal tersebut menghentikan tangisnya, wajahnya sangat bingung. Gilang dengan senyum khasnya memeluk Lintang dengan erat dan berbisik, “Yang ingin aku katakan bukan ‘AKU SUKA KAMU’ atau ‘AKU CINTA KAMU’ (dengan penekanan yang mendalam), aku hanya ingin bilang, ‘AKU KAKAKMU, AKU KOMETMU’, Komet yang selalu mengiringi Lintang” Lintang terkejut, dia melepas pelukan Gilang, menatapnya dengan seksama, memegang kedua pipi Gilang, kemudian memegang telinganya dan menariknya. “Aduh, sakit tahu,” (teriak Gilang dengan sedikit membentak) Lintang tersenyum dan berkata “Kometku datang lagi, sekarang selalu ada Komet yang menjaga langkahku, selama ini Kakak kemana? Kenapa kakak kabur dari rumah? Aku tidak punya pelindung lagi” (kata Lintang sedikit manja) “Bukankah ada Bintang disampingmu yang selalu menjagamu, kau tahu betapa kecewanya aku ketika kamu lebih memilih pergi dengan Bintang dibandingkan denganku? Trus kemana - mana selalu berdua, aku cemburu tahu....” (jawab Gilang sedikit sebal)

41


“Kakak cemburu sama Bintang.... hahahahha, kakakku sekarang lucu banget” (kata Lintang sambil mencubit kedua pipi kakaknya) “Habisnya, kamu nggak pernah sadar kehadiranku, hanya aku yang tahu kalau kamu adikmu tapi kamu sendiri nggak pernah sadar, kalau ada seorang Komet yang mengelilingimu” (jawab Gilang dengan sok manja) “Kak, kakak belum jawab pertanyaanku, kenapa kakak kabur dan meninggalkan kami, kami mencari kakak kemana – mana, tapi kita tidak menemukan kakak, kakak kemana? Kami ke Panti Asuhan tempat asal kakak, tapi tidak juga menemukan, kakak selama ini tinggal dimana? Dan mata kakak, kenapa warnanya hitam? Dulu mata kakak coklat dan indah, bahkan aku sangat iri dengan mata kakak, kenapa sekarang berubah, ada apa? Apa yang terjadi kak?” (tanya Lintang panjang) Gilang menghela napas panjang dan bergumam “Bagaimana mau jawab kalau sebanyak itu” “Kak, aku serius...” (renggek Lintang) “Iya, adikku sayang, jadi gini, ayo kita duduk dulu, akan membutuhkan waktu lama untuk bercerita” (ajak Gilang). Mereka duduk di bawah langit gelap dengan sinar bulan dan cahaya bintang di atas bukit desa Ampat Papua. Malam, saat semua rahasia terungkap dan kebahagiaan tercipta bercampur dengan kesedihan yang mengungkap kenangan yang ada. *** “Sampai sekarang aku masih ingat, ketika orang tuamu datang ke Panti Asuhan bersamamu, kalian berencana mencari anak kecil untuk dijadikan adik untukmu, tetapi dengan polosnya kamu memilihku untuk menjagamu, dan merengek sampai menangis agar orang tuamu memilihku. Akhirnya orang tuamu luluh dan menuruti kehendakmu, dan saat itulah aku berjanji pada diriku, apapun yang terjadi aku harus menjagamu, walau nyawaku

42


yang harus ku korbankan. Sampai suatu ketika, saat kamu pulang sekolah, aku terlambat menjemputmu, aku berlari sekuat tenaga, kamu yang melihatku di seberang jalan melambaikan tangan dan dengan penuh semangat berlari ke arahku, dan peristiwa itu terjadi....” (suara Gilang berubah jadi serak) “Kak, itu salahku, bukan salah kakak, aku yang tidak hati – hati, asal kakak tahu saat aku bangun dan kakak nggak ada, aku mencari kakak, aku khawatir dengan kakak” (ucap Lintang sambil menangis dan memegang lengan Gilang) “Bagaimanapun, itu salahku. Aku membawamu ke rumah sakit dan menelepon ayah dan ibu, mereka tidak menyalahkanku akan kejadian itu, tapi rasa bersalah itu terus menghantuiku, aku tidak bisa menjagamu, orang yang telah memilihku untuk menjadi kakak, tapi aku tidak bisa menjadi kakak yang baik untuknya, aku justru menyelakakannya. Oleh karena itu ketika ayah dan ibu datang ke rumah sakit aku langsung kabur. Aku mengungsi ke salah satu Panti Asuhan, aku tidak kembali ke Panti Asuhan tempatku dulu, aku tahu kalian pasti akan mencariku, mungkin kamu nggak tahu, tapi setiap hari aku selalu mengawasimu, aku menjagamu dari kejauhan, aku tahu bagaimana sedihnya kamu dan keluargamu ketika aku pergi, terlebih kamu, aku sudah jarang melihat senyummu yang seindah dulu.” Gilang menghela napas panjang dna melanjutkan ceritanya.... “Sampai suatu ketika, entah kenapa aku ingin sekali jalan – jalan ke rumah sakit tempatmu dulu pernah dirawat, di sana aku melihat seorang anak laki – laki seusia kita menangis di depan pintu operasi, aku menghampirinya dan bertanya ‘kenapa dia menangis?’, dia bercerita kalau orang tuanya meninggal dalam kecelakaan, dan sekarang dia tinggal berdua dengan adiknya, adiknya terkena kanker mata, dan harus segera dioperasi, dia butuh mata orang lain, sedangkan anak laki – laki itu ingin sekali memberikan matanya untuk adiknya, tapi dia bingung, jika dia memberikan matanya, siapa yang akan menjaga adiknya. Bagiku itu adalah jalan yang terbaik

43


untukku, aku memberikan pilihan untuknya, ‘aku mau memberikan mataku untuk adiknya, asal dia mau menjagamu selamanya’ karena jujur, aku sedikit takut jika akhirnya kamu menyadari kehadiranku Lintang. Anak itu menyetujuinya, aku menunjukkan fotomu yang selama ini aku simpan, dan tanpa pikir panjang, aku langsung menjalani operasi donor mata untuk adiknya, aku senang ketika aku tahu bahwa adiknya sembuh setelah menerima mata dariku, dan di saat yang sama, dokter yang saat itu melakukan operasi mata, memintaku untuk menjadi anaknya, aku bingung, aku menjawab kalau aku bukan anak yang baik, aku sudah tidak bisa melihat, tetapi dia bilang seperti ini.... “Aku ingin punya anak yang berhati mulia sepertimu, selama 10 tahun pernikahan, kami belum dikaruniai seorang anak, dan aku rasa istriku akan sangat menyukaimu, kamu tidak perlu khawatir dengan matamu, aku bisa mencarikan mata yang lain untukmu agar kamu bisa melihat lagi” Gilang melanjutkan ceritanya,, “Aku menyetujuinya dan ketika saat itu juga, aku harus pergi ke luar negeri untuk menjalani operasi mata, dan ketika aku kembali ke Indonesia, aku kehilangan jejak kalian”, Gilang tiba – tiba tersenyum lebar melihat langit, Lintang memandanginya dengan penuh tanya dan heran,,, “Tapi aku sangat bahagia ketika aku melihat namamu di fakultas kedokteran Universitas Indonesia, dan aku merasa jauh lebih bahagia lagi ketika aku tahu orang yang aku titipin kamu bisa menjagamu, dan dia selalu bisa menjadi

malaikat

penolongmu

di

saat

kamu

benar

benar

membutuhkannya”, (Gilang melihat ke arah Lintang dengan senyum menggoda) “Kak, maksud kakak apa? Kok ngeliatin akunya kayak gitu?,” (Lintang mengedip – ngedipkan matanya karena gugup bercampur bingung), Lintang terdiam sesaat dan kemudian,,,

44


“Jangan – jangan maksud kakak, Bintang, Bintang adalah anak kecil itu, dan Reni, dia yang mendapat donor mata kakak, iya Kak?” (tanya Lintang penasaran) “Yup, bener banget, dan ternyata aku nggak salah milih orang buat jaga adikku ya,,, buktinya adikku tercinta yang super manja aja bisa sampai jatuh cinta dibuatnya, hehehehhe” (canda Gilang) “Udah ngaku aja, kamu suka kan sama Bintang? Nggak usah ditutup – tutupin, udah ketahuan kok,” (tambah Gilang dengan senyumnya yang menggoda Lintang) Lintang hanya tersipu malu, dan kemudian bertanya “Eh, Kak, Kakak ganti nama ya? Nama Kakak kan Komet kan?” (tanya Lintang polos) Gilang tertawa terbahak – bahak,,, “Kak, aku tanya seriusan ini, kok malah ketawa sih...” (kata Lintang sebal) “Aku tanya, sejak kapan namaku Komet?, dari dulu namanya Gilang sayang (sambil mengelus rambut Lintang), bukannya yang memberi nama Komet itu kamu?, kamu yang memanggilku seperti itu agar aku selalu berada di sampingmu untuk menjagamu, dan sampai sekarang pun aku masih ingin tetap menjagamu sebagai Kometnya Lintang bukan sebagai pacar Lintang, jadi kamu nggak perlu khawatir aku akan jatuh cinta padamu, aku hanya ingin menjadi kakak yang baik untukmu, yang selalu menjagamu”, (senyum Gilang yang menggoda Lintang) Gilang menyenggol lengan Lintang “Kakak, jangan diketawain dong, katanya mau menjaga aku, kok malah ngejek aku terus sih,,,,,(renggek Lintang), tapi iya ya, aku baru ingat kalau dulu yang ngasih nama Komet itu kan aku, karena seringnya aku memanggil Kakak dengan Komet, aku sampai lupa nama asli Kakak, hehehhe (tawa Lintang)... “Malam ini nge – date sama aku ya...” (tawar Gilang)

45


“Maksudnya? Kan sekarang udah tengah malam Kak ?” (tanya Lintang dengan polos) “Iya, ngedate, mulai jam ini, menit ini dan detik ini, disini, dibawah sinar bulan dan kilauan bintang, dia atas bukit desa Ampat, kamu nge – date sama aku, kamu ceritain bagaimana kehidupanmu selama aku kehilangan jejakmu, dan aku akan menceritakan semu tentangku ke kamu sampai besok pagi, gimana? Setuju nggak?” (tawar Gilang sambil menyenggol lengan Lintang) “Ok, kapan lagi bisa nge – date sama dokter galak, hehehe” (goda Lintang) “Sialan kamu, nggak galak tahu, aku tegas, bedakan ya tegas dengan galak, lagipula yang penting kan aku nggak cerewet kayak kamu“ (goda Gilang) “Kakak.....” (renggek Lintang) Mereka pun tertawa di keheningan malam desa Ampat, sambil bercerita kehidupan mereka. *** Mentari pagi datang menyinari bukit desa Ampat, Lintang pun memicingkan matanya ketika secercah cahaya mulai menghangatkan wajahnya,,,, “Lintang, bangun, sudah pagi....” (ucap Gilang) Lintang terbangun, dan tersadar kalau dia telah tidur di bahu kakak tercintanya. “Maaf Kak, berat ya...” (ucap Lintang merasa bersalah sambil memijat – minjat bahu Gilang) “Berat sih, tapi untuk Lintang, apa sih yang nggak aku kasih” (goda Gilang)

46


Lintang hanya tersenyum melihat godaan kakaknya, mereka pun bangkit dan kembali menuju Puskesmas, disana terlihat Bintang yang duduk di samping tempat tidur Nenek Sumi. “Assalamu’alaikum”, kata seseorang dari kejauhan... “Wa’alaikum salam”, jawab Lintang dan Gilang bebarengan Terlihat sosok seorang gadis cantik berumur sekitar 20 tahun datang ditemani Kepala Desa. “Jadi gini, adek ini mau mencari Bintang “ bapak Kepala Desa menunjuk ke arah gadis itu “Sepertinya Kakak tidak asing”, kata gadis itu sambil memegang pipi Gilang Gilang hanya tersenyum ramah, dan gadis itu terkejut sambil melanjutkan ucapannya “Kakak, kakak yang ngasih mata buat aku kan?” (tanya gadis itu penuh rasa penasaran) “Kau terlihat makin cantik dengan mataku, aku rasa memang Allah hanya menitipkan mata itu kepadaku, tapi itu bukan mata untukku, tapi matamu,” jawab Gilang dengan senyum Lintang tersenyum terkikik di sebelah Gilang, Gilang langsung menatap tajam ke arah Lintang dan berkata “Hey, Lintang, kenapa kamu? Gangguan jiwa? Apa perlu aku kasih obat anti depresan?” (ejek Gilang) “Hehe, habisnya baru pertama kali ngeliat kakakku tercinta jatuh cinta sih, jadi nggak lihat sikon deh ketawanya,,,” (ejek Lintang), setelah mengatakan hal tersebut, Lintang langsung lari,,, “Hey, dasar adik yang tidak berbakti, sini kamu,,” (teriak Gilang dan langsung mengejar Lintang)

47


Gadis itu hanya tersenyum melihat tingkat kedua adik kakak yang seakan anak kecil itu, dia masuk ke dalam dan membangunkan Bintang. “Kak, aku sudah sampai, bangun Kak”, sambil menggoyang – goyangkan lengan Bintang Mata Bintang pun terbuka, dengan memicingkan mata dia melihat ke arah sumber suara, “Reni, kamu sudah sampai? Kok cepet sekali?” “Aku kangen Kakak” (Reni langsung memeluk Bintang) “Kakak juga sangat kangen sama kamu tahu, beri salam sama Nenek”, Bintang membelokkan tubuh Reni ke arah tempat tidur Nenek Sumi. “Kita belum berani menegaskan diagnosa, di sini alatnya minim, tapi jika melihat riwayat penyakit, ada kemungkinan seperti itu”, jawab Bintang menenangkan Reni “Biarkan aku bicara berdua dengan Nenek, aku akan membangunkannya setelah ini, Kakak pergi saja, main sama kakak adik di depan,,,” Reni berkata sambil tersenyum “Kakak – adik?, jadi Gilang sudah cerita semuanya?”, wajah Bintang tiba – tiba gelisah Reni tiba – tiba tersenyum nakal, terkikik dan berkata “Kalau Kakak suka, katakan sekarang Kak, aku tahu menjaga Kak Lintang adalah amanat dari Kak Gilang, dengan alasan itu Kakak selalu mengawasi Kak Lintang, Kakakku adalah orang hebat yang bisa menjagaku dan Kak Lintang, tapi sayangnya dia terlalu bodoh untuk menyadari rasa cintanya kepada Kak Lintang”, “Kamu ini ngomong apa sih Ren? Kakak ini Kakakmu, sampai kapanpun Kakak akan tetap menjagamu dan disampingmu”, jawab Bintang “Kak, Kakak tahu kan kalau Kak Gilang dan Kak Lintang bukan sedarah? Mereka bisa saja menikah Kak... katakan sekarang, atau Kakak akan kehilangan Kak Lintang selamanya,,,”, kata Reni dengan tegas

48


Bintang memandangi Reni, terdiam,,,,, dan akhirnya berkata “Jaga Nenek sebentar ya,,,”, Bintang menepuk bahu adiknya dan pergi... *** Senyum kebahagiaan yang terpancar di raut muka Lintang dan Gilang begitu besar dan tulus, yang tak pernah terlihat sebelumnya. Mereka saling berlarian mengejar satu sama lain. Melihat hal tersebut, Bintang tak kuasa menahan air matanya, “Aku sudah kalah” (bisik Bintang dalam hati), menunduk dan kemudian pergi ke pantai untuk menenangkan pikirannya. Dan kemudian Reni datang memecahkan keramaian yang ada. “Kak Lintang, Kak Bintang mana? Nenek nyariin Kak Bintang nih...” (tanya Reni) “Hah, Bintang? Dia sama sekali tidak kesini tuh Ren, memangnya tadi dia kemana?” (tanya Lintang balik) “Tuh kan,,,,, selalu kok Kak Bintang itu” ,,, (gerutu Reni sendiri), kemudian menjelaskan “Jadi gini Kak, Kak Bintang itu suka sama Kakak, tapi Kak Bintang nggak berani bilang kalau Kak Bintang sayang sama Kak Lintang, terus tadi aku nyuruh Kak Bintang buruan ngungkapin perasaannya ke Kakak, sebelum semuanya terlambat” (kata Reni sambil melihat ke arah Gilang) Lintang diam terpaku, dia begitu kaget sekaligus bahagia ketika dia tahu bahwa Bintang menyukainya, sampai kemudian,, “Oh ya, ini Kak,,” Reni memberikan kotak kecil dari kayu yang bentuknya seakan kotak harta karun “Apa ini?” (tanya Lintang) “Itu kumpulan surat yang ditulis Kak Bintang untuk Kakak, Kak Bintang tidak pernah berani untuk mengungkapkan perasaannya sama Kakak dari dulu, akhirnya dia selalu menulis surat dan menyimpannya di kotak ini dan

49


berharap suatu saat Kakak bisa membaca semuanya dan tahu seberapa besar cinta Kak Bintang terhadap Kak Lintang, tapi karena Kak Bintang selalu ragu untuk memberikan ini kepada Kakak, sampai dia ditugaskan ke tanah Papua pun tanpa membawa kotak ini, aku sengaja membawa ini karena menurutku ini adalah saat yang tepat untuk memberikan ini pada Kak Lintang.” Reni memandangi Lintang dalam dan memberikan senyum ramahnya kepada Lintang “Oh ya Kak, aku balik ke Nenek dulu ya,” kemudian berlari menuju kembali ke dalam Puskesmas “Sekarang, baca semua surat itu baik – baik dan seksama, aku rasa tadi Bintang kesini dan dia cemburu melihat kita berdua, oleh karena itu dia langsung pergi tanpa berkata apa – apa, setelah membaca semua surat itu, cari Bintang dan ungkapkan perasaanmu, aku selalu mendukungmu Lintang”, Gilang menepuk bahu adiknya, tersenyum dan kemudia menyusul Reni masuk ke dalam Puskesmas. Lintang berjalan menuju bukit, dan setelah sampai di bukit, dia duduk dan melihat ke langit, mengambil napas dan akhirnya memutuskan untuk membaca surat dalam kotak tersebut. Dari kumpulan tersebut Lintang tahu betapa besarnya rasa cinta Bintang terhadapnya. Bintang selalu membawa semua kebutuhan untuk 2 orang, itulah alasan kenapa saat Lintang butuh pensil

ataupun

salah

map,

Bintang

selalu

ada,

karena

dia

selalu

mengkhawatirkan Lintang dibandingkan dirinya sendiri. Dan disurat terakhir yang Bintang tulis, dia menuliskan ungkapan perasaan terdalamnya untuk Lintang, Dear Lintang Kau bagai setetes embun yang memberikan kesegaran di pagi hari Engkau bagai cahaya pelangi yang memberi warna di kehidupan yang fana ini,

50


Aku mencintaimu setulus hatiku, dan jika kau tanya padaku apa itu cinta? Seberapa besar cintaku padamu?, Aku akan menjawab seperti kata Kahlil Gibran

“Cinta memiliki jemari yang sehalus sutera, Yang kuku - kukunya yang runcing meremas jantung dan membuat manusia menderita karena duka Dan cinta adalah sekumpulan duka yang terangkum dalam pujian doa, Membumbung ke angkasa bersama harum aroma dupa Tuhan telah menciptakan pada kalian jiwa bersayap untuk terbang mengarungi cakrawala cinta kebebasan� Cinta bisa membuat kita tersenyum ataupun menangis Cinta adalah titipan dari Tuhan yang diberikan ke umatnya Aku memang bukan Kahlil Gibran yang pandai merangkai kata – kata seindah mutiara Aku bukan pujangga yang pandai bersyair Tapi aku punya cinta dan jiwaku yang siap aku berikan untukmu Aku siap menangis untukmu jika kau harus menolak cintaku, Tapi aku akan tetap tersenyum selama aku masih bisa melihatmu tersenyum Walaupun mungkin aku harus mati untuk melihatnya tetap terjaga Membaca surat itu, Lintang tak kuasa menahan air mata yang membasahi pipinya, dia membereskan surat – surat Bintang dan pergi ke Pantai, walau Lintang sendiri begitu yakin Bintang ada disana.

51


*** Deburan ombak menyapu pesisir pantai, terlihat seseorang yang duduk terpaku memandang jauh ke arah pantai. Lintang datang dengan senyum kecil dan perlahan duduk disampingnya. Bintang sadar ada seseorang yang duduk disampingnya, dia menoleh dan berkata, “Lintang, kenapa kamu ada disini?” (tanya Bintang heran) “Mau ngembaliin ini,” kata Lintang sambil memberikan kotak kayu yang diberikan Reni kepadanya Bintang bingung melihatnya, dia memandangi kotak itu dan kemudian memandang Lintang, “Dari mana kamu dapatkan ini?”, tanya Bintang sambil menerima kotak kayu yang diberikan Lintang “Aku dapat dari Reni, dia memintaku membacanya”, kata Lintang sambil memandang deburan ombak yang bergulung meramaikan Pantai “Apa? Jadi kamu....”, perkataan Bintang terhenti oleh Lintang “Iya, aku sudah tahu perasaanmu padaku”, kata Lintang sambil menunduk “Lalu? Jawabannya?”, tanya Bintang ragu “Sementara ini aku menerimanya,” jawab Lintang sambil memandang Bintang dengan tegas “Menerima? Menerima apa? Terus maksudmu sementara apa? Cintaku padamu tak kan pernah pupus dimakan waktu, lalu kenapa perasaanmu padaku Cuma sementara?”, tanya Bintang sedikit kecewa “Habisnya, aku belum mendengar kamu sayang sama aku secara langsung sih....”, jawab Lintang sambil tersenyum usil, Bintang menghela napas panjang, melihat wajah Lintang, menggenggam kedua telapak tangan Bintang, tersenyum dan berkata,,,

52


“Lintangku,

Lintang

yang

menuntun

jalannya

Bintang,

maukah

kau

menerimaku sebagai kekasihmu?, aku punya cinta dan jiwa raga yang akan kuberikan seutuhnya untukmu, untuk menyayangimu dan menjagamu seumur hidupku”, tanya Bintang penuh harap, matanya bersinar menatap raut muka Lintang yang begitu tenang “Maafkan aku, aku tidak bisa menerimamu Bintang,,,” jawab Lintang diakhiri dengan senyum. Bintang menelan ludah, menguatkan hatinya dan akhirnya berkata,,, “Karena kau mencintai Gilang, iya kan?”, tanya Bintang dengan diakhiri senyum yang terlihat tersiksa. “Bukan, bukan karena itu, aku tidak mau jadi kekasihmu, karena aku ingin jadi istrimu, orang yang akan selalu disampingmu, orang yang akan memilikimu seutuhnya, karena aku begitu egois untuk membagi dirimu dengan orang lain”, kata Lintang dengan senyum dan tanpa terasa pipinya tersembur warna merah padam yang membuat kulit putinya terlihat merona. Bintang tersenyum bahagia, dia memeluk Lintang dan berkata “Setelah pulang dari tanah Papua, aku akan langsung melamarmu, gimana? Setuju?” “Iya”, jawab Lintang singkat dan kemudian ia teringat sesuatu dan melepas pelukan Bintang. “Eh, tunggu dulu, kamu belum jawab pertanyaanku waktu itu ‘Kenapa kamu ingin jadi dokter karena aku?’, ayo jawab sekarang, aku harap jawabannya bukan karena aku memilih jadi dokter”, tanya Lintang sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah Bintang. “Percaya diri sekali kamu, hehehehehe, bukan, bukan karena itu kok, aku ingin jadi dokter agar aku selalu bisa meenjaga orang yang berarti di hidupku, dan itu adalah kamu”, jawab Bintang ***

53


Hari ini adalah hari terakhir Gilang, Bintang dan Lintang di tanah Papua, mereka harus kembali ke Jakarta untuk presentasi laporan akhir. Setelah dibujuk oleh Reni, akhirnya Nenek Sumi mau ikut kembali ke Surabaya bersama Reni untuk berobat, Aldi juga ikut untuk mendampingi Nenek Sumi. Gilang, Lintang dan Bintang tidak langsung menuju Jakarta, melainkan ke Jawa Tengah, Gilang ingin meminta maaf karena dulu telah kabur dari rumah dan rindu ingin bertemu dengan ayah dan ibu Lintang, sedangkan Bintang punya tujuan utama yang sangat mulia, yaitu melamar Lintang. Papua adalah tempat dimana kebahagiaan tercipta, tempat dimana aku menemukan Kakakku yang telah lama hilang, tempat dimana aku menemukan cinta sejatiku, dan tempat dimana aku tahu bagaimana berkorban dan arti dari sebuah pengorbanan. Cinta adalah titipan dari Tuhan, dan kita sebagai umatnya wajib menjaga cinta itu, agar tetap suci dan tetap indah, walau kadang cinta membuat kita menangis, tetaplah cinta yang mengajarkan kita arti dari kehidupan. Jagalah orang – orang yang mencintaimu dengan tulus, karena ketulusan hanya dimiliki oleh jiwa – jiwa yang suci, jiwa yang tidak mungkin mengkhianatimu.

The End

54


55


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.