LAPORAN UTAMA
RESENSI
LAPORAN KHUSUS
hal:3
hal:13
hal:4
Laporan Keuangan LPM Masih Bermasalah
Melawan Lupa Peristiwa G30S
Ancaman Ideologi Radikalisme
Edisi XXVII/ September 2013 - Diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com
Belum Efektif Gita Juniarti
Di desa Paku Haji, Tangerang, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sedang mengaduk semen di dalam ember. Beberapa mahasiswa dari kelompok Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang sama sedang menggali dan menyemen galian tersebut. Mereka melaksanakan salah satu program KKN, yakni membuat drainase. “Walau program tersebut tidak ada hubungannya dengan jurusan, saya harus melaksanakan program tersebut guna memenuhi kewajiban KKN,” ucap mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (IESP) tersebut, Jumat (13/9). Sementara itu, di Desa Nanggung, Bogor, mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Rika Nurjanah bersama teman-temannya dari Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH), Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Fakultas Sains dan Teknologi (FST), dan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) membantu warga setempat membangun saluran dan
penampungan air bersih. “Setelah saya dan teman-teman survei ke Desa Nanggung, permasalahan utamanya adalah tidak ada penampungan air bersih. Maka dari itu, kami memasukkan permasalahan tersebut ke dalam program KKN,” ucap mahasiswa semester tujuh tersebut, Sabtu (24/8). Kisah kedua mahasiswa di atas hanyalah sekelumit dari berbagai cerita tentang pelaksanaan program KKN. Di desa lainnya, ada kelompok KKN yang menyusun program kerja ternak puyuh, membangun Mandi Cuci Kakus (MCK), mengajar tajwid, dan lain-lain. Program KKN yang mereka susun
sebagian besar tidak sesuai dengan latar belakang bidang keilmuan yang mereka geluti di fakultas. Tidak Proporsional Tim relawan monitoring lapangan Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) UIN Jakarta, Nanang Syaikhu mengakui bahwa KKN di UIN Jakarta memang kurang efektif. Penyebab pertama adalah pembagian mahasiswa dari masing-masing jurusan tidak proporsional. Kedua, program kerja tidak didesain secara matang. Berdasarkan hasil pengamatannya di lapangan, beberapa kelompok KKN menyusun program mengajar di sekolah atau Taman Pendidikan Alquran
(TPA). Tiap kelompok KKN terdiri dari belasan mahasiswa yang berbedabeda fakultasnya. “Belasan orang itu mengajar semuanya. Mereka bergantian mengajar tiap hari. Tetapi, yang mengajar bukan mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), melainkan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) atau FST, ” tuturnya. Demi mencapai KKN yang efektif, Nanang mengatakan, seharusnya program kerja dan jurusan mahasiswa cocok satu sama lain. Misalkan, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik tidak seharusnya
Bersambung ke hal. 15 kol .2
2 LAPORAN UTAMA
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013
Pembaca budiman Setelah beberapa bulan tak terbit, kami hadirkan kembali tabloid ini ke tangan pembaca sekalian. Alhamdulillah, untuk sekian kali kami berhasil menelurkan kembali tabloid ini, meski kru tabloid kami tak lengkap jumlahnya. Tapi, demi menghilangkan rindu pembaca, kami berusaha melahirkan tabloid ini dengan menyampingkan segala kesusahan. Sudah puas rasanya, ketika melihat anda membaca atau sekadar membawa tabloid ini ke mana-mana. Tak ada yang menyenangkan selain itu. Musim Kuliah Kerja Nyata (KKN) baru berlalu. Namun muncul anggapan bahwa KKN yang dilakukan kurang efektif sebagai wadah penerapan ilmu yang di dapat dalam kelas. Kemudian, diterapkan untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat. Sebagai contoh, apakah di dalam kelas, mahasiswa jurusan Jurnalistik mendapat pengajaran untuk membangun jamban yang baik dan benar? Begitu juga dengan mahasiswa di jurusan lainnya, apa ada materi tentang membuat parit yang baik dan benar juga? Dan sebagainya. Beberapa contoh di atas merupakan mozaik-mozaik yang dilontarkan dalam proses dialektika semalam suntuk. Mozaik tersebut kami susun menjadi sebuah isu utama bulan ini, “KKN Belum Efektif ”. Kami harap Anda tak bosan membolak-balik halaman tabloid ini. Ada bermacam cerita dan informasi yang berguna di setiap halamannya. Bisa dibilang merugi jika hanya baca halaman mukanya saja. Kami juga menyoroti fenomena mahasiswa yang mondok lagi setelah masuk kampus. Sebab, ilmu agama di kampus dirasa kurang bagi sebagian mahasiswa. Kami bukan sembarang berasumsi atau menuduh. Kami menggunakan prinsik kerja jurnalistik yang mengedepankan fakta. Tak ada niat kami menjadi provokator atau sebagainya. Sudah tugas kami membela kebenaran. Sudah terpampang pada halaman depan, tagline kami, menyuarakan kebebasan, keadilan, dan kejujuran. Itulah yang kami jaga hingga saat ini. Meski begitu, anda boleh saja keberatan dengan tabloid ini. Selain pujian, kritik merupakan apresiasi bagi kami. Kritik menandakan bahwa tabloid kami dapat perhatian oleh Anda. Kami tak pernah menyumbat telinga kami untuk mendengar keluhan pembaca tentang hasil kami ini. Maka, setelah membaca mari merenung sebentar. Selanjutnya Anda boleh bergerak membuat perubahan atau hanya sekadar paham dan mengatakan, “oke ini terjadi, apa boleh buat.” Itu terserah Anda. Tapi, apa Anda termasuk orang yang nyaman berada dalam ketidakadilan? Semoga sajian kami ini bermanfaat.
Foto: April/INS
Salam Redaksi
Kelompok KKN Garuda sedang menggali selokan di Desa Paku Haji, Tangerang, Sabtu,(7/9)
KKN Tidak Fokus, Tiga Fakultas Pilih Program Terintegrasi Azizah Nida Ilyas
Fakultas Psikologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), dan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) tidak mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang dikelola oleh Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM). Ketiga fakultas ini lebih memilih untuk mengintegrasikan KKN ke dalam sistem baru rancangan mereka masing-masing. Wakil Dekan (Wadek) II Bidang Akademik Fakultas Psikologi, Fadhilah Suralaga menilai bentuk KKN yang selama ini ada di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tidak fokus pada bidang studi mahasiswa. Menurutnya, mahasiswa membutuhkan program yang lebih memberikan kesempatan untuk mempraktikkan ilmu yang sudah didapatnya selama masa kuliah. Fakultas Psikologi mengintegrasikan KKN ke dalam bentuk Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Program KKL ini dirancang oleh fakultas dan disesuaikan dengan kebutuhan mahasiswanya. Fadhilah mengatakan, mahasiswa Psikologi butuh pengaplikasian ilmu psikologi melalui KKL. Sedangkan menurutnya, KKN yang dikelola oleh LPM tidak demikian. “LPM itu tidak mengelola seperti apa yang kita kelola, jadi nanti hasilnya tidak sesuai fokus bidang studi,” ujar Fadhilah saat ditemui di ruanganya, Selasa (3/9). Jika Fakultas Psikologi mengikuti program KKN dari LPM dan tetap mengadakan program KKL, menurutnya malah akan menambah beban mahasiswa. “KKN kan intinya pengabdian masyarakat, begitu juga dengan KKL tetap memenuhi unsur pengabdian, praktik kerja, dan penelitian,” katanya. Ia juga meyakini KKL lebih efektif dan terasa pengabdian mahasiswa sebagai
psikolog. Melalui evaluasi dan presentasi, laporan setiap peserta KKL akan terlihat pencapaian mereka saat masa KKL. “Apakah KKL mereka efektif atau tidak,” tegasnya. Lain Psikologi, lain pula FKIK. Fakultas yang terletak di Kampus III itu, menerapkan program Pre-klinik dan Klinik bagi Program Studi Keperawatan dan Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD). Sedangkan di Program Studi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) dan Program Studi Farmasi menerapkan KKL dengan Program Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) dan magang. Menurut Wadek II Bidang Akademik FKIK, Djauhari Widjajakusumah, FKIK mengintegrasikan KKN karena sistem perkuliahan yang dipakai adalah sistem modul yang membuat waktu perkuliahan lebih banyak. “Program KKN terintegrasi tersebut tetaplah bentuk kuliah kerja nyata karena sama-sama terjun langsung ke lapangan,” ucap Djauhari, Selasa (27/8). Misalnya, Program Pre-klinik dan Klinik dari Program Studi Keperawatan dan PSPD, mahasiswa akan terjun langsung ke rumah sakit selama beberapa semester. Dalam Program Pre-klinik, mahasiswa akan diajak untuk observasi ke rumah sakit atau Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) untuk mengidentifikasi masalah yang
ada. Ketika melanjutkan ke tahap selanjutnya, yakni Klinik, mahasiswa sudah dapat melakukan tindakan invasif seperti, menyuntik, pasang infus, dan mengontrol pasien. PBL dari Program Studi Kesmas hampir sama dengan Pre-klinik dan Klinik. PBL terdiri dari dua tahap. Di PBL I pada semester lima, mahasiswa terjun ke puskesmas atau ke masyarakat untuk mengobservasi masalah. Kemudian PBL II di semester enam, mahasiswa mulai melakukan intervensi seperti, memberikan penyuluhan kesehatan, penanggulangan wabah, dan lainnya. Menurut Staf Program Studi Kesmas, Ghozali, program PBL sangat efektif karena merupakan program berkelanjutan yang memiliki beberapa daerah binaan yang terus dipantau perkembangannya. Jadi setelah masa PBL berakhir, mahasiswa dan Program Studi Kesmas tidak lantas meninggalkan daerah tersebut. Sejalan dengan Fadhilah dan Djauhari, Wadek II Bidang Akademik FITK, Muhbib Abdul Wahab mengatakan, KKN yang dikelola LPM terlalu umum dan tidak fokus pada pendidikan. Mengatasi hal tersebut, FITK memiliki program tersendiri yakni Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPKT). “Program ini dirancang agar mahasiswa Tarbiyah fokus pada praktik pendidikan guna memberikan bekal pengalaman mengajar,” tegas Muhbib.
“KKN yang dikelola LPM terlalu umum dan tidak fokus pada pendidikan”
Pemimpin Umum: Muhammad Umar | Sekretaris: Muji Hastuti | Bendahara Umum: Trisna Wulandari | Pemimpin Redaksi: Rahmat Kamaruddin | Redaktur Cetak: Makhruzi Rahman | Redaktur Online: lasi: Rahayu Oktaviani | Marketing & Promosi:
Jaffry Prabu| Web Master: Ema Fitriani
Rizqi Jong | Pemimpin Perusahaan: Aprilia Hariani | Iklan & Sirku-
| Pemimpin Litbang: Aditya Putri | Riset: Aam Maryamah | Kajian: Aditia Purnomo
Koordinatur Liputan: Dewi Maryam, Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Adea Fitriana, Ahmad Sayid Muarief, Anastasia Tovita, Azizah Nida Ilyas, Dewi Maryam, Gita Juniarti, Gita Nawangsari Estika Putri, Karlia Zainul, Muawwan Daelami, Nurlaela, Nur Azizah, Siti Ulfah Nurjanah, Selamet Widodo Fotografer & Ediitor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Ibil Ar-Rambany Karikaturis: Azizah Nida Ilyas Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-9214-5881 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.
LAPORAN UTAMA 3
TABLOID INSTITUT Edisi XXVI September 2013
Kinerja DEMA-U Belum Efektif Selamet Widodo
Laporan Keuangan LPM Masih Bermasalah
Ketidaksinkronan kinerja DEMA-U selama ini menurut Ketua BEM Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK), Zaki Ismatullah terjadi karena mereka tidak membuka diri dalam memberikan informasi terkait program kerja dan visi-misi kepada pihaknya. Zaki merasa pihaknya tidak tahu apa yang akan dilakukan DEMA-U dalam kepengurusan tahun ini. Menurut Zaki, DEMA-U bisa memanfaatkan poster dan media lainnya untuk memberikan informasi kepada seluruh masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. “Hal itu akan lebih mengena dibandingkan sekadar memasang baliho yang hanya berisi ucapan Idul Fitri,” ujar Zaki, Kamis (12/9). Selain itu, menurut Zaki, banyak hal yang tidak efektif namun dipaksakan ada di dalam DEMAU, seperti Kementrian Kesehatan dalam struktur organisasi yang menurut pandangannya dipertanyakan urgensinya. Seharusnya, lanjut Zaki, apabila DEMA-U mempunyai program kerja yang bagus dan jelas, mereka harus berusaha mewujudkan hal tersebut semaksimal mungkin. “Saya sangat berharap DEMAU menyampaikan program kerja dan arah kinerja selama kepengurusan kepada BEM di seluruh fakultas agar kami tahu, bisa mengkritisi, dan memberikan saran. Tak hanya itu, mereka juga harus mempunyai sikap kepada rektorat dalam menentukan kebijakan agar mahasiswa itu benarbenar menjadi agen perubahan atas sikap tersebut,” ungkap Zaki. Senada dengan Zaki, Sekretaris BEM Fakultas Ushuluddin (FU), Turmudzi mengatakan, jika dilihat dari program kerjanya, kinerja DEMA-U hanya baru berupa Opak saja dan hal itu mungkin menjadi program yang pertama untuk masa kepengurusan DEMA-U tahun ini. “DEMA-U itu terlalu patuh terhadap pihak rektorat. Seharusnya mereka mempunyai sikap dalam menentukan kebijakan, menjaga
independensi, pro mahasiswa, memperbaiki komunikasi dengan BEM di seluruh fakultas, dan terbuka mengenai berbagai hal,” ungkap Turmudzi. Begitu juga dengan Wakil Ketua BEM Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Rida Fauzia Qinvi, ia tidak tahu-menahu mengenai program kerja DEMA-U selama masa kepengurusan tahun ini. Menurutnya, DEMA-U tidak pernah melakukan koordinasi dengan pihak BEM FISIP. “Ada koordinasi, tapi waktu masa Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) saja, setelah itu tidak pernah,” tambahnya, Kamis (12/9). “Bahkan saya ingin tanya, DEMA-U itu apa? Karena dari awal, munculnya saja secara tiba-tiba. Saya juga tidak tahu, awal munculnya sudah seperti itu dan DEMA-U mau dibawa kemana pun, saya juga tidak tahu,” ungkapnya. Terkait perihal keterbukaan informasi dan komunikasi DEMAU dengan BEM-F, Wakil Ketua DEMA-U, Tutur Ahsanil Mustofa angkat bicara. Pihaknya mempunyai keinginan untuk merencanakan pertemuan dengan semua BEM-F setiap bulannya. Rencana pertemuan setiap bulan tersebut bertujuan untuk menampung aspirasi dari setiap fakultas yang ada. “Saya tidak hafal program DEMA-U, tapi di setiap kementerian pasti ada. Dalam waktu dekat ini, kita akan mengadakan inagurasi dengan kawan-kawan dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM),” tegasnya. “Sebenarnya, masalah itu bukan karena komunikasi, melainkan pada saat rapat teman-teman BEM-F itu sering ganti-ganti. Pada saat rapat di DEMA-U, kebanyakan dari ketua BEM sering menyuruh anggotanya untuk mengikuti rapat. Jadi dari situlah kebijakan setelah diputuskan seringkali mendapat protes dari beberapa ketua BEM yang tidak mengikuti rapat. Begitulah realitas yang ada,” jelas Tutur.
Foto: Ana/INS
Setelah beberapa bulan terbentuk, kinerja Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) dinilai belum efektif. Sebagian Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F) menganggap DEMA-U masih lemah dalam komunikasi, sosialisasi, transparansi, dan keterbukaan informasi.
Salah satu kegiatan di Sanggar Kreatif Anak Bangsa. Anastasia Tovita
Berdasarkan draft Perjanjian Kerjasama antara Yayasan Dompet Dhuafa Republika dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta tentang Pendirian Sanggar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) dengan Nomor: 098/DD.Relief-Legal/III/2012 dan Nomor: Un.01/R/OT 01.6/516/2012, Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM) UIN Jakarta seharusnya sudah menyerahkan laporan keuangan dan laporan proses kegiatan kepada Yayasan Dompet Dhuafa pada 14 Juni 2012 lalu. Tetapi, hingga hari Selasa (10/9) laporan tersebut belum juga diselesaikan oleh LPM. Menurut Imam, pada 22 MaHal itu disampaikan oleh Staf Divisi Sosial Development ret 2013, LPM telah menyerahYayasan Dompet Dhuafa, Imam kan laporan keuangan yang telah Alfaruq. Ia menjelaskan, pada diperbaiki, tetapi karena belum 14 Maret 2012 Dompet Dhuafa sempurna, LPM harus melengmenjalin kerjasama dengan UIN kapi kekurangannya. Hingga saat Jakarta yang menunjuk LPM un- itu, LPM belum menyerahkan tuk menangani pendirian SKAB. kembali laporan keuangannya. Dompet Dhuafa menyalurkan “Ini sudah nggak wajar. Ini termasdana Corporate Social Responsibility uk yang paling lama, sudah satu (CSR) dari Matahari Store sebesar tahun lebih, laporan keuangannya Rp150 juta untuk pendirian sang- belum kelar sampai sekarang,” ujarnya. Menurut Imam, LPM gar. Imam menjelaskan, Dompet juga belum menyerahkan laporan Dhuafa berkapasitas sebagai penyalur dana, sedangkan LPM “Ini sudah nggak wajar. Ini UIN Jakarta yang bertanggung jawab dalam termasuk yang paling lama, pelaksanaan, pesudah satu tahun lebih, lapongontrol, dan memastikan program sanggar ran keuangannya sampai sekaberjalan dengan baik. rang belum kelar” Sesuai dengan perjanjian kerjasama, dana Rp150 juta itu digunakan untuk pendirian fisik bangunan sebesar Rp75 juta, Rp25 juta untuk pembelian peralatan pe- proses kegiatan. Imam menargetkan, LPM harus nunjang program, dan Rp50 juta untuk pembuatan laboratorium menyelesaikan laporan keuangannya sampai akhir tahun ini. Domagribisnis. Imam melanjutkan, pada ta- pet Dhuafa masih menahan sisa hap prapembangunan, LPM UIN dana CSR sekitar Rp15 juta samJakarta telah menyerahkan lapo- pai laporan keuangan tersebut ran keuangan pada 22 Mei 2012, sempurna. Imam mengaku, ini lalu pada tahap pembangunan I pertama kalinya Dompet Dhuafa menyerahkan laporan keuangan membuat kegiatan yang molor pada 8 Oktober 2012, pada tahap sampai seperti ini. Tidak Ada Kontrol Dari LPM pembangunan II menyerahkan Sementara itu, pendiri dan penlaporan keuangan pada 26 November 2012. “Masih ada hal- gelola SKAB, Diki Komaruzaman hal yang menurut kami (Dompet menjelaskan, awalnya sanggar Dhuafa) bermasalah dalam lapo- yang dulunya bernama Lingkar ran keuangan tahap II, sehingga Samudra Belajar (LSB) ini didiharus kami kembalikan lagi ke rikan pada tahun 2010 dengan LPM untuk diperbaiki. ” ujarnya, tujuan memberikan pendidikan gratis bagi anak-anak jalanan dan Senin (9/9).
pemulung. “Waktu itu kegiatan belajar masih dilakukan di bawah fly over, kolong jembatan, dan pinggir jalan,” ujar alumni jurusan Manajemen Pendidikan (MP) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini, Kamis (5/9). Seiring berjalannya waktu, banyak pihak yang ingin bekerjasama dengan Diki untuk mengelola LSB. Pada awal 2012, ak-hirnya Diki menerima tawaran dari LPM untuk melakukan kerjasama. Menurutnya, LPM bersedia memberikan fasilitas tempat dan LSB juga masuk ke program binaan LPM. Diki menuturkan, selain akademis, sanggar juga menyediakan program pengembangan bakat dan minat, seperti menulis kreatif, bela diri, musik, melukis, dan teater. Namun, ia menyesalkan sanggar sebagai bagian dari program binaan. LPM kurang berkontribusi.“Nyaris tidak ada kontrol sama sekali dari LPM mengenai perkembangan sanggar,” ujarnya, Kamis (5/9). Misalnya, menurut Diki, program laboratorium agribisnis dengan dana Rp50 juta, awalnya akan dibuat etalase produk tanaman hias di sepanjang pagar sanggar yang akan dikelola oleh kawankawan agribisnis. Dalam aplikasinya, Diki menjelaskan, sanggar hanya mendapatkan tanaman buah, seperti mangga, singkong, belimbing, dan lainnya. “Tidak ada etalase, bentuknya pun bukan tanaman hias, kawan-kawan agribisnis datang hanya di awal-awal, setelah itu tidak ada kelanjutan,” ujarnya, Jumat (13/9). Sementara itu, saat ingin mengonfirmasi terkait hal di atas, Rabu, (12/9) Ketua LPM Yayan Sopyan menolak untuk diwawancarai.
4 LAPORAN KHUSUS
Nur Azizah
Soal UKT, UIN Tak Patuhi Aturan
Pada 16 Juli lalu, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) mengeluarkan surat edaran yang memberlakukan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT). Namun, sampai saat ini Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta belum juga menerapkannya. Padahal dalam surat tersebut secara gamblang menjelaskan bahwa seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) wajib menerapkan sistem UKT. Surat edaran Diktis nomor: Se/ Dj.I/PP.009/54/2013 mengenai penerapan UKT disebutkan, UKT wajib diterapkan seluruh PTAIN pada tahun akademik 2013/2014 dan dilarang memungut uang pangkal ataupun iuran lain di luar UKT. Menanggapi surat itu, Wakil Rektor (Warek) II Bidang Administrasi Umum UIN Jakarta, Amsal Bakhtiar mengatakan, Kementerian Agama (Kemenag) hanya mengeluarkan surat edaran bukan surat keputusan. Maka, PTAIN tidak wajib melaksanakannya. “Dasar hukumnya tidak kuat. Jadi, UIN Jakarta tidak mengikuti UKT tidak apa-apa,” ucapnya, Kamis (5/9). Amsal menambahkan, dirinya justru mempertanyakan kapan turunnya surat keputusan yang mewajibkan PTAIN untuk menerapkan UKT. Selama ini Amsal mengaku, sebenarnya UIN Jakarta telah menerapkan UKT jauh sebelum ada perintah tersebut. “Kan
pada prinsipnya UKT bertujuan untuk meringankan beban mahasiswa yang kurang mampu seperti halnya beasiswa Badan Layanan Umum (BLU). Nah, UIN Jakarta sudah menerapkan prinsip tersebut,” ujarnya. Buktinya, lanjut Amsal, banyak mahasiswa yang hanya membayar Rp0 selama masa kuliah. Seperti mahasiswa di Fakultas Ushuluddin (FU), Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) serta Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI). “Jadi, tidak benar jika UIN Jakarta dikatakan terlambat menerapkan UKT. Lagi pula, nggak ada Surat Keputusannya,” tegasnya. Simpang-siur pun terjadi kala Ditjen Pendidikan Islam (Pendis), Nur Syam menegaskan, UKT wajib diterapkan PTAIN di seluruh Indonesia. “Jika tidak dilaksanakan akan mendapat sanksi,” tegas Syam, Senin (29/7). Menurutnya, dalam UKT besaran biaya yang harus dibayar mahasiswa didasarkan pada kondisi
sosial-ekonomi orang tua. Sedangkan kata tunggal dalam UKT berarti tidak ada bentuk tarikan dana lain, kecuali Sumbangan Pendidikan (SPP). Meski UIN Jakarta secara tegas belum menerapkan UKT, ada beberapa keanehan dalam pembayaran uang kuliah mahasiswa tahun akademik 2013/2014. Jika dilihat dari bukti pembayarannya persis menyerupai UKT. Hal itu dibenarkan Kepala Bagian Keuangan, Sulamah Susilawati. Menurutnya, sistem pembayaran mahasiswa baru sudah menyerupai UKT. “UKT berarti mahasiswa hanya membayar uang kuliah saja. Tidak ada tarikan dana lain.” Tuturnya, Kamis (5/9). Hal ini terbukti dari bukti pembayaran salah satu mahasiswa baru Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Rizka Fitriana. Dalam bukti pembayaran itu, Rizka hanya membayar Rp
1.690.000 dengan rincian SPP sebesar Rp1.040.000 dan Dana Pengembangan Pendidikan (DPP) Rp650.000. Sistem pembayaran yang diberlakukan UIN Jakarta ekepada mahasiswa baru tahun ini berbeda pada tahun sebelumnya. Dalam bukti pembayaran tersebut mahasiswa baru tidak ada tarikan dana seperti Biaya Seleksi Ujian Masuk (BSUM), Dana Praktikum Laboratorium (DPL), Dana Operasional Pendidikan (DOP), Dana Kemahasiswaan (DM), Dana Kesehatan Mahasiswa (DKM), dan lain-lain. Permasalah lain jika sistem pembayaran UIN Jakarta menyerupai UKT, mengapa pihak UIN tidak menyosialisasikan kepada mahasiswa baru? Apakah UIN sengaja menutupi hal tersebut? Seperti halnya Rizka dengan tegas mengatakan tidak tahu jika sebenarnya sistem pembayaran UIN menyerupai UKT. “Saya nggak
Surat edaran Diktis Nomor Se/DjI/PP009/54/2013 tentang penerapan Uang Kuliah Tunggal
tahu uang yang saya bayarkan menyerupai sistem pembayaran UKT,” ucapnya, Jumat (13/9). Entah, apakah hanya karena surat tersebut hanya bersifat edaran sehingga pihak UIN Jakarta menganggap tidak wajib ataukah punya kebijakan lain dalam menentukan jenis pembayaran. Padahal, jika melihat beberapa PTAIN seperti UIN Alauddin Makassar, IAIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Maliki Malang serta IAIN Salatiga patuh dan cepat melaksanakan surat edaran tersebut.
Ancaman Ideologi Radikalisme Adi Nugroho
Ideologi radikal selalu mengancam mahasiswa, khususnya bagi mahasiswa baru. Berbagai macam bentuk ajakan dilakukan oleh golongan radikal tersebut. Tak hanya mahasiswa, organisasi radikal juga mengincar dosen untuk menjadi anggotanya. Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta (The Research Institute) dalam bukunya “Pandangan Sivitas Akademika UIN Jakarta Terhadap Radikalisme Islam” menjelaskan radikalisme meliputi penolakan negara pancasila dan demokrasi, pluralisme, kesetaraan gender, dukungan terhadap khalifah Islamiyah, formalisasi syariah, dan penggunaan kekerasan atas nama agama. Kelompok-kelompok yang dianggap radikal, misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesia (NII), Jemaah Islam Liberal (JIL), dan lainnya. Kelompok radikalisme di UIN Jakarta, sendiri memang minoritas. Tetapi, pergerakan kelompok radikalisme bersifat agresif dan militan, ujar Zaki Mubarak, pengamat politik sekaligus pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) UIN Jakarta, Senin (9/11). Ia menambahkan, organisasi radikal tersebut selalu mencari celah untuk menanamkan pemahamannya. “Biasanya yang menjadi sasaran kelompok tersebut mahasiswa baru, karena tidak mengerti kelompok Islam mana yang radikal dan bukan. Di samping itu, mahasiswa baru juga tidak mempunyai dasar keagamaan yang cukup,” paparnya. Selain itu, kelompok radikal juga aktif dalam mengajak mahasiswa baru dengan
kegiatan yang beraneka ragam, seperti pada kegiatan diskusi, halakah, dan kampanye. Adanya kelompok radikalisme di UIN Jakarta telah dibenarkan keberadaannya oleh Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim. “Di UIN Jakarta ada kelompokkelompok radikal.” ujarnya. Menurutnya, saat ini ada beberapa ancaman yang sedang dihadapi UIN Jakarta. Salah satunya ancaman ideologi. Bagi Sudarnoto, ancaman ideologi merupakan gagasan yang berusaha mempengaruhi mahasiswa maupun dosen untuk menolak pancasila, Rabu (4/9). Membendung Paham Radikal Sudarnoto melanjutkan, sejak Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) hingga berganti menjadi Universitas, UIN Jakarta tidak pernah bergeser dalam mengajarkan Islam yang rahmatan lil alamin, yaitu mengajarkan agama yang membuat kenyamanan untuk semua orang, termasuk agama non-Islam. Selain itu, untuk mewujudkan hal tersebut, kurikulum yang dibuat lebih mengarah-
kan mahasiswa kepada konsep Islam rahmatan lil alamin dan sikap terbuka.Dalam hal ini, sikap terbuka lebih menekankan kepada menghargai pendapat orang lain, bukan kepada sikap penghakiman, seperti sikap saling mengkafirkan. Seperti yang dipaparkan oleh Dekan Fakultas Ushuluddin (FU), Zainun Kamal, mahasiswa FU mempelajari berbagai aliran yang ada. Salah satunya Ahmadiyah,
Syiah dan agama non-Islam pun dipelajari secara objektif, Selasa, (10/9). Kesalahan-kesalahan yang terjadi, menurut Zainun, karena mahasiswa atau seseorang hanya memahami paham tertentu saja dan tidak mengerti dengan paham yang lain, sehingga mahasiswa tersebut menjadi eksklusif. Kesala-
han ini akhirnya akan menimbulkan sekat, sehingga satu sama lain saling mengkafirkan dan bahkan terjadi kekerasan. Berbeda dengan Sudarnoto dan Zainun. Zaki melihat kurikulum dalam mata kuliah Civic Education dan Studi Islam harus dievaluasi karena tidak sesuai dengan keadaan saat ini. “Harus ada kontekstualisasi kurikulum dalam mata kuliah Studi Islam dan Civic Education,” tegasnya, Senin (9/11). Ia melihat mata kuliah Studi Islam sebagian besar hampir diisi dengan materi ritual peribadatan. Sehingga, segi sosial, politik, dan kem a s ya r a k a t a n masih kurang diberikan. Sama halnya dengan mata kuliah Civic Education tidak hanya mengajarkan bagaimana warga negara yang baik, tetapi juga dikaitkan dengan konteks keislaman. Dalam hal ini, dosen yang mengajar harus sesuai kemampuan dalam bidangnya. “Jangan sampai mata kuliah Civic Education diajarkan oleh dosen yang anti terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jika hal itu terjadi maka akan muncul sikap yang ekstrem,” jelas Zaki.
Penanganan Radikalisme Menanggapi radikalisme, Zainun Kamal tidak melarang pemikiran radikal. Setiap orang bebas menggunakan pemikirannya sendiri, tetapi radikal dalam bentuk tindakan yang dilarang. “Apalagi sudah melakukan kerusakan atau mengklaim dirinya paling benar dan menyalahkan orang lain dengan kekerasan,” tukasnya. Salah satu penanganan ideologi radikal telah dilakukan pihak rektorat. Mereka pernah memanggil organisasi yang membuat spanduk dengan nama HTI cabang UIN Jakarta. Dalam pemanggilannya, Sudarnoto mengatakan, “Hormati lembaga pendidikan tinggi ini. HTI kan mengatakan demokrasi itu kafir, negeri ini akhirnya menjadi kafir, karena dibangun dengan proses yang kafir. Padahal mereka (HTI) kuliah di lembaga pemerintah yang mereka kafirkan,” tegasnya. Bentuk penanganan lainnya, lanjut Sudarnoto, rektorat melarang masuknya organisasi ekstra dan juga organisasi radikal. Selain itu, ia memberitahukan kepada mahasiswa baru agar tidak mudah terpengaruh, dan lebih baik menjauhi hal tersebut. Zaki Mubarak menilai pihak rektorat sudah cukup baik, namun ia melihat tidak ada lembaga konseling di setiap fakultas. Menurutnya, lembaga konseling itu penting, karena kebanyakan mahasiswa tidak mempunyai tempat untuk memecahkan permasalahannya.
LAPORAN KHUSUS 5
KILAS
UKM EXPO, Ajang Kreatifitas Mahasiswa Kegiatan UKM EXPO 2013 untuk menyambut mahasiswa baru (maba). Acara ini berlangsung pada 12-13 September di lapangan parkir Student Center (SC). Abdurrohim Al Ayubi
Untuk menyambut mahasiswa baru (maba) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Forum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) menyelenggarakan UKM EXPO 2013 di lapangan parkir Student Center (SC). Kegiatan yang berlangsung pada 12-13 September ini diadakan sebagai sarana untuk memperkenalkan 15 UKM kepada mahasiswa yang ingin menyalurkan minat dan bakatnya di UKM. Saat UKM EXPO berlangsung, banyak mahasiswa dari berbagai fakultas turut meramaikan kegiatan UKM terbesar ini. Ketua Pelaksana Tugas (PLT) Forum UKM, Yusuf Muarif Hidayat mengatakan, UKM EXPO saat ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Pada tahun lalu, acara seperti ini diadakan bersamaan dengan demo UKM saat kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) berlangsung. Sedangkan untuk tahun ini, demo UKM dan UKM EXPO diadakan secara terpisah. Hal ini bertujuan, agar mahasiswa bisa lebih fokus untuk mendapatkan informasi mengenai UKM. “Kami cari waktu luang di luar acara Opak yang kemungkinan ini akan lebih efektif. Sebab, ada ruang buat maba saat isrtirahat kuliah untuk mengunjungi kegiatan UKM EXPO. Kalau kita merujuk pada tahun sebelumnya, ditakutkan maba kurang fokus,” ungkap Yusuf, Jumat (13/9). Meski demikian, kata Yusuf, untuk menentukan hari setelah Opak tidaklah mudah. Sebab, tempat yang digunakan selalu dipadati oleh kendaraan setiap hari-
nya. “Awalnya kami diminta oleh kepala bagian umum dan kepala parkiran untuk menyelenggarakan hari Jumat dan Sabtu. Namun, setelah mendapatkan solusinya, maka bisa diselenggarakan sejak Kamis kemarin,” katanya. Yusuf berharap, meski banyak teman-teman dari UKM lain yang tidak bisa ikut berpartisipasi UKM EXPO ini, tidak mengurangi rasa kedekatan antar UKM. “Temanteman UKM lainnya masih memilki banyak agenda kegiatan di luar,” tambah Yusuf. Yang terpenting baginya, acara ini berjalan lancar dan banyak maba yang hadir dalam acara ini. Senada dengan yusuf, kordinator acara UKM EXPO 2013, Abdul Jalil mengatakan, kegiatan ini diadakan untuk mengajak maba agar bergabung dalam UKM. Menurutnya, UKM merupakan salah satu tempat untuk mencari kreatifitas, sebab kuliah bukan hanya untuk belajar akademik, tapi bagaimana caranya berkreatifitas dan mengembangkan potensi. Terkait dana untuk menyelenggarakan acara ini, Jalil mengungkapkan, dana untuk kegiatan ini diperoleh dari patungan masing-
masing UKM dan dari Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) yang sebelumnya diperuntukkan demo UKM. Salah satu pengunjung dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Yumaresta mengatakan, dirinya bangga dengan adanya kegiatan UKM EXPO. Menurutnya, banyak maba yang ingin bergabung dengan UKM, tapi tidak tahu harus mencari ke mana informasi secara detail. “Kalau kayak gini kan enak, ada macam-macam UKM. Kita bebas memilih dan langsung daftar. Nggak kayak kemarin saya nyari kantornya susah dan juga nggak bisa ketemu dengan orang yang bersangkutan,” ujar Resta yang hendak mendaftar ke UKM Federasi Olahraga Mahasiswa (FORSA). Resta menyarankan, untuk kegiatan UKM EXPO selanjutnya bisa lebih meriah serta banyak hiburan dari berbagai UKM yang terlibat di UKM EXPO. “Ya masing-masing ada pertunjukkannya lah biar lebih meriah lagi,” ujarnya.
Pembangunan Gedung Parkir dan PU UIN Jakarta, INSTITUT – Pembangunan gedung Perpustakaan Utama (PU) dan gedung parkir Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang dimulai sejak Rabu, (11/9) diprediksi memiliki daya tampung sekitar 400-500 kendaraan sepeda motor. Menurut Muhammad Ali Meha, Kepala Bagian (Kabag) Umum, pembangunan tersebut akan berlangsung selama satu tahun yang dibagi ke dalam beberapa tahap. Tahap pertama, akan berlangsung hingga Desember 2013 dan tahap berikutnya akan dilaksanakan pada Februari 2014. Ali Meha menjelaskan, tahap itu dibagi lantaran anggaran yang tidak mencukupi. “Pembangunan ini hanya sampai bulan Desember 2013. Jadi, meskipun nanti struktur pembangunan sudah selesai masih belum bisa ditempati, sebab menunggu anggaran 2014,” jelasnya, Selasa (10/9). Perihal anggaran dana, Ali menuturkan, tahap pertama menghabiskan sekitar 30 milyar. Anggaran tersebut berasal dari dana Anggaran Perencanaan Belanja Negara (APBN). “Kita tahu beres saja, ‘gedung sudah jadi’,” ungkapnya. (Ela) Pengalihan Parkiran Motor UIN Jakarta, INSTITUT – Sudah hampir dua minggu, beberapa sivitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang menggunakan sepeda motor tidak bisa memarkirkan kendaraannya di lapangan parkir atas UIN Jakarta. Hal tersebut dikarenakan adanya pembangunan gedung parkir dan perpustakaan utama. Mereka terpaksa memarkirkan kendaraannya di lapangan belakang Triguna. Namun, aturan ini diberlakukan pada jam-jam tertentu. “Kita membatasi sampai jam 9, setelah itu baru dilarikan ke lapangan belakang Triguna,” ungkap Kepala Bagian (Kabag) Umum, Muhammad Ali Meha, Selasa (10/9). Menurut Ali, pengalihan tersebut bertujuan untuk membatasi tumpahnya jumlah sepeda motor yang masuk kampus UIN Jakarta. (Ela) UIN Sabet Juara 2 Pionir UIN Jakarta, INSTITUT – Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta mengikuti pertandingan Pekan Olahraga Seni dan Riset (Pionir) ke VI, acara rutinan yang diadakan dwi tahunan ini diselenggarakan di kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanuddin, Serang. Acara tersebut berlangsung pada tanggal 19 – 24 Agustus lalu. Pionir kali ini diikuti oleh enam UIN, 16 IAIN dan 31 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) di seluruh Indonesia. Pada pertandingan Pionir kali ini, UIN Jakarta berhasil meraih juara dua dan telah mengantongi sebanyak 24 medali yang terdiri dari 12 emas, delapan perak, dan empat perunggu. Sementara itu, menurut salah satu peserta Pionir dari UIN Jakarta, Firman Faturohman, sebenarnya UIN Jakarta memiliki kesempatan untuk menjadi juara umum. Namun, sayang IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Serang selaku penyelenggara mengubah peraturan yang tidak banyak diketahui peserta lainnya ketika technical meeting. Ia melanjutkan, ketika dibacakan peraturan cabang catur, baik UIN Jakarta maupun universitas lain tidak terlalu memperhatikan “Padahal UIN Jakarta sudah mengikuti banyak cabang olahraga. Namun, cabang olahraga catur yang awalnya menyediakan 10 medali ternyata berubah menjadi 27 medali, sehingga UIN Jakarta hanya menyediakan peserta untuk peraturan awal,” ungkap Firman. (Ela)
Foto: Nida/ INS
BERITA FOTO
Suasana upacara pembukaan Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Kamis, (9/9). Opak tersebut diikuti oleh mahasiswa baru (maba) dari semua fakultas di UIN Jakarta.
Penampilan Marching Band dari Sekolah Tinggi Perikanan (STP) saat upacara pembukaan Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Kamis, (9/9).
KAMPUSIANA 6
Foto: Nida/ INS
Salah Jurusan, Pilih Pindah atau Lanjut?
Dewi Maryam
Tahun 2009, Jaka Perdana Putra lolos ujian masuk Universitas Indonesia (UI) sebagai mahasiswa Fakultas Teknik jurusan Arsitektur. Hampir setiap hari ia mendapat tugas merancang dan menggambar bangunan yang bisa ia selesaikan dengan baik. Nilai-nilai ujiannya pun bagus. Namun, dalam lubuk hati ia menyimpan keinginan untuk pindah dari jurusan Arsitektur semenjak semester dua. Keinginan Jaka pindah jurusan karena ia merasa Jurusan Arsitektur tidak sesuai dengan minatnya selama ini. Ia pernah membicarakan niatannya pada orangtuanya. Tapi mereka enggan merestui keinginan anaknya itu. Mereka meminta Jaka untuk terus mencoba bertahan agar betah. Memasuki semester empat, keinginan pindah jurusan semakin kuat. Ia memutuskan untuk cuti guna memikirkan langkah apa yang selanjutnya ia tempuh. Selama cuti kuliah, ia mengisi hari-harinya dengan mengajar Matematika dan Fisika di Bimbingan Belajar Nurul Fikri, aktifitas yang telah ia geluti sejak Sekolah Menengah Atas (SMA). Berkat pengalaman mengajar dan aktif dalam kegiatan keaga-
Gita Nawangsari
maan, membuat hati Jaka semakin mantap menjatuhkan pilihannya pada jurusan Pendidikan Agama Islam. Tahun ajaran 2011-2012, ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. “Sekarang udah nikmat banget lah. Bener-bener sesuai sama minat saya,” ungkapnya, Senin (9/9). Penyesalannya hanya pada faktor usia. Seperti halnya Jaka, Aziza Alaska mahasiswi baru jurusan Jurnalistik, pernah kuliah di Center for Computing Information Technology (CCIT) selama dua semester. Ia memilih pindah dari jurusan yang dikelola atas kerjasama UIN Jakarta dengan UI, karena selama ini tidak cocok dengan minatnya. “Ternyata tuh nggak semua yang
kita bisa, enak untuk dijalanin,” ungkapnya, Rabu (11/9). Aziza yang sangat menggemari bidang multimedia, merasa hal itu tidak cukup dijadikan alasan untuk bertahan melanjutkan kuliah di CCIT. Ia memilih untuk mengembangkan hobi lain, yaitu menulis. Selain itu, ia juga senang mengamati berita aktual, sehingga ia memutuskan pindah ke jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM). Ia sadar jika pilihannya ini akan membuat orangtuanya kecewa. Mereka awalnya geram dengan keputusan putrinya, karena menurutnya jika pindah jurusan akan menyia-nyiakan uang serta waktu. Tapi Aziza beralasan tidak ingin menjadi mahasiswa yang biasa-
biasa saja. “Yang ditakutin nanti lulus nggak punya karya apa-apa (dan) jadi orang yang biasa-biasa aja,” ungkapnya lagi. Mahasiswi baru jurusan Biologi, Ana Roudlotul Jannah juga merasakan jurusan yang dipilihnya tidak sesuai seperti Aziza dan Jaka. Akan tetapi, Ana lebih memilih bertahan untuk kuliah di jurusan yang tidak menjadi pilihan pertamanya. Ia sempat dua kali mengikuti tes masuk UIN Jakarta dan memilih jurusan Kesehatan Masyarakat (Kesmas). Dua kali juga ia ditolak. Di kesempatan tes terakhir Ana menjatuhkan pilihannya pada jurusan Biologi. Hal itu ia lakukan karena kegagalan saat memilih Jurusan Kesmas. Orang tuanya juga mengatakan lebih baik memilih Jurusan Biologi yang biayanya lebih murah dibanding dengan Jurusan Kesmas. “Iya sekarang dijalanin aja deh sampe lulus, nggak ada kepikiran untuk pindah jurusan,” ungkapnya, Jumat (13/9). Menanggapi banyaknya maha-
siswa yang salah memilih jurusan, Wakil Rektor I Bidang Akademik, Moh. Matsna mengatakan, UIN Jakarta telah memberikan kesempatan kepada para calon pendaftar untuk memilih dua dari puluhan program studi (prodi) yang ada. “Calon mahasiswa harus membaca informasi dengan baik kalau memilih prodi,” ujarnya, Rabu (11/9). Matsna menyatakan, UIN Jakarta telah memfasilitasi para calon mahasiswa dengan mencantumkan informasi setiap prodi pada laman resmi UIN Jakarta. Hal itu diharapkan agar mahasiswa bisa mencari informasi dari laman tersebut. UIN Jakarta juga pernah membuka UIN EXPO yang bertujuan agar para pelajar SMA bisa menanyakan tentang prodi yang ada di UIN Jakarta lebih detail. Di samping itu, Matsna mengharapkan agar organisasi ekstra, intra, dan kedaerahan dapat membantu menyebarkan informasi yang jelas terkait dengan dunia perkuliahan.
Pengajaran Ilmu Agama Kurang Maksimal, Pesantren Jadi Pilihan
Sebagai mahasiswa UIN Jakarta, Hani Royhani Hariri merasa perlu tinggal di pesantren sembari menimba ilmu di kampus. Hani mengaku keilmuan tentang Islam banyak ia dapatkan ketika di pesantren. Ketika memutuskan untuk berkuliah, ia juga memutuskan untuk meneruskan belajar di pesantren karena latar belakang pendidikan sebelumnya juga dari pesantren. Hani menuturkan, kedua orang tuanya membolehkan ia berkuliah jika ia tetap tinggal dan belajar di pesantren. “Agar orang tua tidak khawatir, makanya saya tinggal di pesantren,” papar santri Darus Sunnah, Rabu (4/9). Mahasiswi Fakultas Ushuluddin (FU) jurusan Tafsir Hadis ini menyatakan ia lebih mendalami ilmu hadis di pesantren yang sekarang ditinggali ketimbang di kelas. “Kalau di pesantren, pada malam hari, kita (santri) diskusi hadis dengan teman-teman, keesokannya diterangkan oleh dosen yang datang ke sana,” ujarnya. Selain Hani, Mahasiswi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) jurusan Jurnalistik, Nurlaillah Sari Amalah, berharap dapat membentuk pribadi muslimah yang jauh lebih baik jika tinggal di pesantren. Menu-
rutnya, pendidikan agama di kampus jauh dari harapannya. “UIN Jakarta sekarang tidak seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dulu yang lekat dengan nila-nilai agama,” tuturnya, Selasa (3/9). Nurlaillah merasa perlu mendalami ilmu agama selain di kampus, sehingga ia mencari ilmu tambahan di pesantren. “Namanya orang mencari ilmu, jadi nggak hanya dari satu lubang, tetapi juga mencari dari lubang yang lain,” ujarnya Ia menambahkan, pesantren juga berguna sebagai filter dari ajaran-ajaran dosen yang menurutnya liberal. “Sebisa mungkin kegiatan di pesantren menjadi filter, mana yang harus kita ambil dan mana yang tidak diambil, sekaligus penyokong untuk iman kita,” tegas santri Tasqif ini. Kegiatan di pesantren menciptakan alur keberagamaan yang baik. Sejak bangun tidur dituntut untuk beribadah dan belajar. “Mulai jam tiga pagi tahajud, setoran hafalan Alquran, salat subuh, kuliah tujuh menit, kuliah, selanjutnya ba’da isya belajar bahasa Arab dan fiqih wanita,” kata Nurlaillah. Selain paradigma dosen yang kritis, pesantren juga dapat menjaga keimanan dan keislamannya. Baginya, UIN Jakarta saat ini
Foto: Gita Juniarti/INS
Akibat kurang maksimalnya pendidikan agama di kampus, beberapa mahasiswa memutuskan memilih pesantren ataupun asrama sebagai tempat menimba ilmu agama yang lebih luas. Di kawasan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta terdapat banyak pesantren yang ditinggali untuk mahasiswa, di antaranya Darus Sunnah, Sabilussalam, Darul Hikam, dan Tasqif.
Darus-Sunnah, salah satu pesantren yang terletak di Pisangan Barat, Ciputat.
sangat jauh dari nilai-nilai Islam, dari segi penampilan mahasiswa berbeda, pun perilaku mereka tidak sesuai dengan ajaran Islam. “Mereka cuma menjadikan UIN Jakarta sebagai tempat belajar, tapi tidak mengaplikasikan nilai keislaman pada dirinya,” tegasnya. Ketika nilai-nilai keislaman pada diri mahasiswa mulai luntur, ia berharap agar UIN Jakarta dapat menanamkan nilai-nilai tersebut agar lebih kokoh dan teraplikasikan. “Semoga UIN Jakarta dapat menjadi universitas yang lebih kaffah dalam keislaman serta para mahasiswanya dapat
tunduk pada ajaran-ajaran Islam,” harapnya. Menanggapi pencarian ilmu di pesantren, Dosen Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Ahmad Dardiri, menyatakan itu merupakan hal baik. Di pesantren, katanya, dapat melatih kemandirian dan mempercepat proses pendewasaan mahasiswa, karena mereka harus disiplin dan bertanggung jawab. Di pesantren, menurutnya, terdapat proses penjagaan diri dan bimbingan akhlak. “Apalagi kalau ada hafalan Alquran, insya Allah akan menjamin moralitas yang
baik,” paparnya, Senin (9/9). Namun, menurutnya tak dapat dipungkiri jika program pendidikan di pesantren tidak efektif. “Terkadang program hanya sebatas program, tapi tidak terlaksana dengan baik, sehingga nilai-nilai yang didapat kurang,” ujarnya. Jika tidak ada penjagaan yang baik dari pihak pesantren terhadap mahasiswa, menurut Dardiri, tak dapat dipungkiri jika terjadi kerusakan moral pada mahasiswa. “Mereka yang tidak bisa menguasai diri kerjanya hanya tidur, mereka jadi kontraproduktif terbawa oleh pengawasan yang tidak terkontrol,” tuturnya.
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013
SURVEI 7
UKM dan Organisasi Mahasiswa Islam Paling Banyak Peminat Di luar mengikuti kegiatan akademis, mahasiswa cenderung melirik dan berminat untuk mengikuti kegiatan nonakademis. Tujuannya tak lain untuk menambah pengalaman, menambah teman, menjadi mahasiswa aktivis, atau sekadar menyalurkan hobi mereka. Organisasi kemahasiswaan menjadi salah satu kegiatan nonakademis yang digemari oleh mahasiswa. Organisasi kemahasiswaan di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta sendiri bermacam ragamnya. Mulai dari organisasi internal yang berada di bawah naungan rektorat, seperti Dema, Sema, Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan Lembaga Seni Orientasi (LSO), hingga organisasi eksternal, seerti organisasi mahasiswa Islam, komunitas, primordial, dan forum diskusi. Pada awal September 2013, INSTITUT menyebarkan survei kepada 100 mahasiswa baru dari seluruh fakultas di UIN Jakarta guna mencari tahu organisasi seperti apa yang diketahui dan diminati oleh mahasiswa baru. Selain itu, survei tersebut juga mencari tahu darimana mahasiswa baru memperoleh sosialisasi tentang organisasi internal maupun eksternal di kawasan kampus.
8 KOLOM
Potret Lain Dunia TKI (Tenaga Konsumtif Indonesia)
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII Juni 2013
Oleh Faisal Hilmi*
Program pembangunan ekonomi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah persoalan kemiskinan. Faktanya, saat ini jumlah penduduk miskin masih tinggi. Sampai pada Maret 2012, sebanyak 29,13 juta (11,96 persen) penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, sementara 26,39 juta (10,83 persen) lainnya rentan untuk jatuh miskin, karena kondisi kesejahte raan yang tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin (data BPS). Salah satu penyebab tingginya angka kemiskinan tersebut, yakni tingginya tingkat pengangguran. Sedangkan, tingginya tingkat pengangguran tidak lain disebabkan jumlah lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah pengangguran yang tinggi. Hal tersebut telah mendorong sebagian para pencari kerja untuk mengadu nasib dengan mencari pekerjaan di luar negeri. Perbedaan kurs mata uang rupiah dengan mata uang asing telah menarik mereka untuk mencari uang di luar negeri, baik di negara-negara Timur Tengah maupun negara-negara Asia Tenggara seperti Singapura, Hongkong, Malaysia, dan lainlain. Data dan Fakta Hingga tahun 2012, jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
yang bekerja di luar negeri telah mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang) (data BNP2TKI). Sebagian besar TKI (71 persen) bekerja di sektor informal, khususnya bekerja sebagai Pembantu Rumah tangga (PRT). Sekitar 76 persen TKI adalah perempuan. Dan sekitar 48,8 persen TKI bekerja sebagai PRT (data BNP2TKI). Meskipun sebagian besar TKI bekerja di sektor informal, mereka berperan penting bagi perekonomian melalui uang yang mereka kirimkan ke Indonesia. Itulah sebab mereka mendapat predikat sebagai “pahlawan devisa”. Hingga saat ini tidak diketahui secara pasti jumlah remitansi yang dikirim oleh para TKI. Sebagai gambaran, pada tahun 2011, total remitansi yang tercatat sebesar Rp 66.082.481.882.242 dengan jumlah penempatan sebanyak 521.381 TKI. Kemudian total remitansi tahun 2012 sebesar 58.527.830.946.580 dengan jumlah penempatan sebanyak 362.510 TKI (data BNP2TKI). Angka tersebut dipastikan lebih kecil dari jumlah remitansi sesungguhnya yang diterima dari para TKI. Jumlah remitansi tersebut hanya yang tercatat di 19 BP3TKI
PEMENANG SAYEMBARA OPAK 2013
se-Indonesia. Selain itu, remitansi dalam jumlah signifikan yang mengalir ke Indonesia masih banyak yang tidak terdeteksi. Hal tersebut dikarenakan sebagian TKI lebih memilih untuk mengirim uang mereka melalui kerabat atau teman yang kembali ke tanah air serta berbagai jalur tak resmi lainnya. Potert Lain dari Kehidupan TKI Melihat realitas ataupun fenomena yang ada di lapangan sangat kontradiksi dengan bayangan kita tentang TKI yang selalu digambarkankan sebagai kaum yang tertindas, terdiskriminasi, dan terpuruk ekonominya. Padahal di lapangan tidak selalu demikian. Banyak dari TKI yang justru menikmati kehidupannya yang sekarang. Sisi lain dari kehidupan TKI sangat menarik untuk kita cermati. Ketika berada di luar negeri, tidak sedikit TKI yang bersifat glamor. Bergaya modis adalah cara lain bagi sebagian TKI untuk melampiaskan beban yang mereka pikul. Mereka ingin mencicipi manisnya gaya hidup di dunia modern. Kebanyakan mereka meniru gaya hidup majikan maupun teman sesama TKI. Di hari libur, mereka seringkali menghabiskan waktu dengan berbelanja, ke tempat hiburan, rekreasi, dan sebagainya. Seringkali kita sulit untuk
membedakan antara TKI dengan majikan ( Harsono, Jusuf, 2004). Begitu pula ketika TKI kembali ke tanah air. Mereka pulang dengan membawa gaya hidupnya yang glamor beserta budaya yang ada di negara tempatnya bekerja. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang enggan berbicara menggunakan bahasa daerah mereka. Para TKI cenderung meninggalkan nilai-nilai yang ada di daerah asalnya. Di sisi lain, banyak dijumpai orang tua dan anggota keluarga TKI yang mengeksploitasi TKI dengan menjadikan mereka sebagai “Anjungan Tunai Mandiri (ATM)” yang dapat dicairkan setiap saat. Gaya hidup keluarga TKI pun ikut berubah. Dana remitansi dari TKI untuk keluarganya yang seharusnya dimanfaatkan dengan baik malah digunakan untuk berbelanja kebutuhan yang tidak begitu penting. Begitu besarnya remitansi meningkatkan semangat keluarga TKI untuk berbelanja. Rata-rata mereka mempunyai gaya hidup yang cukup konsumtif. Jika kita melihat perubahan gaya hidup yang dialami oleh TKI dan keluarganya, terlihat adanya mobilitas vertikal. Yang mana dulunya mereka hidup dengan kesederhanaan, namun setelah menjadi TKI gaya hidup mereka cenderung glamor dan konsumtif. Hal
Vickisasi
itu didasari karena ada niat untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat atas status sosialnya yang baru dengan menggunakan simbol-simbol status seperti kepemilikan materi dan gaya hidup. Hal tersebut tentu sangat kontras dengan apa yang ada dipikiran kita mengenai TKI. Mengingat kebanyakan TKI berasal dari keluarga yang ekonominya pas-pasan, seharusnya mereka bisa memanfaatkan hasil jerih payahnya dengan sebaik mungkin. Yang perlu di garis bawahi adalah, menjadi TKI itu sifatnya sementara, tidak lain hanya tenaga kontrak semata, bukan sampai jenjang pensiun layaknya pegawai negeri. Oleh karena itu, masa setelah habis kontrak harus dipikirkan dengan matang. Dukungan seluruh anggota TKI dalam mengelola remitan menjadi sangat krusial sehingga pada akhirnya dapat digunakan sebagai modal usaha. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian pemerintah untuk memberikan pelatihan atau pendidikan ekonomi rumah tangga untuk keluarga TKI. Asosiasi TKI mungkin juga bisa menjadi salah satu solusi. Organisasi semacam ini bisa menjadi forum untuk sharing pengelolaan remitan dan kerja sama wirausaha. *Mahasiswa jurusan Tafsir Hadis UIN Jakarta.
KOLOM BAHASA
Oleh Rahmat Kamaruddin*
para a d a p e k t a m a l Se ik a b r e t n a s i l u t pemenang KMU” A P O G N A T N E T “KISAH 1. Rorien Nov riana ( Hubungan In ternasional ' FIS
IP’)
2. Laela Magh firoh (PGMI 'FITK’) 3. Hani Cahya ti (Pendidikan M atematika 'FI T
K’)
Kalian berhak mendapatkan satu tiket nonton pentas “MADA” dari UKM Teater Syahid dan majalah terbaru LPM INSTITUT. Untuk pengambilan hadiahnya, bisa hubungi Ema 0896-96-243-145 atau mention @lpminstitut / @ema_fitriyani. Batas pengambilan hadiahnya tanggal 21 September 2013 Terima kasih.
Vicky Prasetyo mendadak terkenal karena gaya bahasanya yang “intelek”. Mantan tunangan Zaskia Gotik itu punya gaya bahasa yang cukup menghebohkan. Di antaranya: statutisisasi kemakmuran, kontroversi hati, konspirasi kemakmuran, kudeta keinginan, ‘twenty nine my age’ dan labil ekonomi. Publik ramai mengomentari gaya bicara pria bernama asli Hendrianto tersebut. Ia tak sadar telah menerobos garis demarkasi yang memisahkan antara bahasa “intelek” dan “nonintelek”. Merasa tersudutkan. Melalui akun vickyprasetyo.wordpress.com, ia mengklarifikasi gaya bicaranya kepada publik. “Sungguh memalukan keintelektualitasan layaknya aku menjadi ajang hiburan semata serta pemupusan harapan dan materi of futures…”, tulisnya. Alhasil--sebagai golongan yang barangkali tersinggung--beberapa
kaum intelektual turut membincang Vicky. Karena dianggap menyalahi aturan berbahasa, pakar bahasa, budayawan, hingga psikolog turut mengomentari gaya bahasanya tersebut. Pelbagai istilah dari namanya juga banyak bermunculan, di antaranya, vickinisasi, vickiisme, vickybulari. Ia adalah nama lain dari laku penggunaan bahasa yang tak tepat. Bahasa memang menguak identitas seseorang. Begitu menyalahi aturan berbahasa, Vicky segera menjadi objek olok-olok. Vicky dinilai tak cerdas, “sok intelek”, oleh publik yang boleh jadi lebih intelek dari dirinya. Budayawan Goenawan Mohamad membuat istilah ”vickinisasi” untuk fenomena ini dan memandangnya sebagai puncak gunung es dari gejala kemalasan berbahasa, baik menelaah maupun menerjemahkan kata asing. Siapa Vicky? Tak penting. Yang
utama adalah bagaimana para intelektual menghabiskan waktunya mempertontonkan kepintarannya mengkritisi orang tak terpelajar. Dan, tentu saja, segenap media massa yang haus akan perhatian itu, dengan mudah menaikkan ratingnya. Oleh media massa yang juga menurut pengamat media seringkali serampangan dalam berbahasa, kita diajak menghabiskan waktu dan tenaga mengumpat sembari terbahak. Vicky perlu tahu bahwa “yang intelek” punya legalitas kekuatan untuk memojokkan “yang tak intelek”. Terlepas dari momentum sebagai kritik atas maraknya masyarakat yang berbahasa secara serampangan. Sebenarnya, saya lebih tertarik membuat kata tandingan untuk mendefinisikan para intelek yang kurang kerjaan menghabiskan tenaga membincang perihal remeh temeh. Tertarik? *Mahasiswa Ushuluddin
REDAKSI LPM INSTITUT Menerima: Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, dan cerpen. Opini, cerpen, tekno, dan esai: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter. Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Bagi pengirim tulisan akan mendapat bingkisan menarik dari Institut. Tulisan dikirim melalui email: lpm.institut@yahoo.com
Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085692145881. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.
OPINI 9
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013
Idealisme Sarekat Islam: Persatuan, Persamaan, Persaudaraan, dan Kemerdekaan Oleh: Kartini* Sarekat Islam sebagai organisasi kebangkitan nasional, tentu sebagian masyarakat akademik sudah mengetahui hal itu, meskipun masyarakat umum lebih mengetahui kepopuleran Boedi Oetomo, organisasi nasional lebih diketahui atau dikenal masyarakat umum. Namun, bagaimana nasionalisme yang dikonstruksi Sarekat Islam, sehingga dapat mempersatukan bangsa? Seperti yang kita ketahui, Sarekat Islam merupakan organisasi Islam dan nasionalisme yang dikonstruksi Sarekat Islam berbasis agama, sedangkan bangsa Indonesia tidak seluruhnya beragama Islam. Namun, Sarekat Islam mampu mempersatukan visi bangsa dalam perbedaan ras, suku, dan agama. Perasaan senasib sepenanggungan telah mengesampingkan perbedaan agama menjadi persatuan untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam kaitannya dengan persatuan bangsa, Sarekat Islam sebagai organisasi Islam merupakan contoh sejarah yang memiliki keberhasilan dalam mempersatukan bangsa. Kunci keberhasilan Sarekat Islam dalam mengkonstruksi nasionalisme di Indonesia adalah tidak membesarkan perbedaan dalam fur’iyyah dalam lintas pemahaman sesama akidah. Selain itu, Sarekat Islam tidak mendiskreditkan
kelompok lain. Hal tersebut sangat penting, karena yang memiliki perbedaan tersebut adalah masyarakat pribumi. Sehingga sangat berbahaya apabila membesarkan hal tersebut. Karena akan berdampak kepada perpecahan pribumi yang mayoritas beragama Islam dan secara praktis perpecahan pribumi pula. Semangat nasionalisme pun akan mudah dihilangkan, suatu hal yang memungkinkan akan terjadinya disintegrasi bangsa dan negara akan mudah dihancurkan. Hal tersebut merupakan idealisme Sarekat Islam yang hingga saat ini masih diterapkan dalam komunitas Sarekat Islam. Sekecil apapun perbedaan tidak dibesar-besarkan. Terkait kemerdekaan, erat kaitannya dengan persatuan bangsa dan maraknya konflik sosial di Indonesia mulai dari konflik sosial (tawuran) yang dilakukan para pelajar dan mahasiswa sebagai generasi bangsa, yang dipicu dari permasalahan kecil yang dibesarbesarkan. Termasuk konflik sosial atas nama agama yang dilakukan Organisasi Masyarakat (Ormas) yang muncul, karena perbedaan dalam lintas pemahaman dan kemudahan pemberian identitas (takfir), liberal, radikal, dan sebagainya. Padahal belum tentu valid kebenarannya. Hingga konflik yang dilakukan para pemimpin
Bang Peka...
bangsa. Hal tersebut merupakan bagian dari disintegrasi generasi bangsa yang merupakan awal dari disintegrasi bangsa. Idealisme Sarekat Islam merupakan sikap pendewasaan dan pencerdasan bagi bangsa. Sarekat Islam patut menjadi contoh pembelajaran bagi para aktivis kampus maupun aktivis berbasis Islam, sebagai generasi intelektual bangsa. Pemikiran Sarekat Islam dalam mengkonstruksi nasionalisme sangat visioner terhadap permasalahan bangsa saat ini. Kontekstualisasi nasionalisme yang diterapkan Sarekat Islam merupakan manifestasi ajaran Islam. Sayangnya, bangsa Indonesia banyak yang tidak mengetahui perihal konstruksi nasionalisme yang dibentuk Sarekat Islam. Realitas sejarah tersebut terasing oleh dinamika politik yang terjadi di internal Sarekat Islam, serta sikap tegas Sarekat Islam terhadap kebijakan pemerintah, baik pemerintah Belanda maupun orde lama, membuat penafsiran penguasa mengajak bangsa untuk sepakat dengan penafsiran, Sarekat Islam tidak dinamis dan tidak inklusif. Serta sikap Sarekat Islam yang tidak reaktif terhadap kebijakan pemerintah orde baru hingga saat ini. Dalam momen bersejarah bulan kemerdekaan, saya ingin mengingatkan generasi bangsa terhadap sejarah yang terlupakan. Sejarah yang telah membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa yang terdidik, bermartabat, dan berkarakter. Jika pelajar, mahasiswa, dan aktivis kampus terlibat dalam konflik sosial, karena alasan sepele dan perbedaan dalam lintas pemahaman, sehingga membuat garis pemisah, saling mendiskreditkan satu sama lain, serta mudah memberikan identitas (stigma) tertentu yang negatif. Tentunya, mereka perlu membaca ulang sejarah idelaisme Sarekat Islam dalam, Persatuan, persamaan, persaudaraan, dan kemerdekaan. Hidup Mahasiswa, Hidup Indonesia, dan Merdeka!
*Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
EDITORIAL Petisi untuk Maba Selamat datang di dunia kampus, mahasiswa baru (maba). Anda telah memilih sebuah keputusan besar dalam hidup, yakni menjadi mahasiswa. Tahukah Anda, dari 250 juta seluruh penduduk Indonesia hanya sekitar 4,8 juta orang saja yang sanggup menjadi menjadi seperti Anda? Itulah kenapa Anda begitu istimewa bagi bangsa ini. Saat duduk di bangku sekolah mungkin anda lazim mendengar negara kita dipenuhi pelbagai masalah. Mulai dari dari arus globalisasi, anarkisme, radikalisme, seperatisme, terorisme, kemiskinan, dan, tentu saja, korupsi, yang menggerogoti sendi-sendi negara. Itulah tantangan yang saat ini tengah kita hadapi. Kini, sebagai mahasiswa anda punya kans besar mengentaskan permasalahan tersebut. Ketahuilah, pelbagai permasalahan bangsa kita sangat kompleks dan telah mengakar di tubuh bangsa ini. Kita bahkan tak perlu lagi menunjuk jari menuding ke luar sana, sebab boleh jadi ia ada sekitar kita, atau bahkan diri kita sendirilah pelakunya. Dalam aspek pendidikan, misalnya. Tahukah Anda betapa bobroknya sistem pendidikan kita? Daya destruktif realitas sosial-politik di luar sana luar biasa, benteng kokoh sekelas universitas pun kini mulai retak. Oleh karena itu, sebagai contoh kecil, jika nanti anda menyaksikan dengan mata kepala anda perilaku birokrat bermental feodal, dosen yang tak mendidik, aktifis narsis disorientasi, pegiat akademis apatis, senior pongah di organisasi, dan sejenisnya, maka percayalah hal tersebut hanyalah secuil gambaran dari kehidupan nyata di luar sana. Persiapkan diri anda. Bangsa ini punya catatan emas perjuangan mahasiswa dalam narasi panjang sejarahnya. Tantangan kita masih banyak, maba. Pada pijakan awal anda memulai kehidupan sebagai mahasiswa ini, berjanjilah anda akan memaknai dengan baik arti kata yang “maha” dan “siswa”, berikut menekuri sejarahnya, guna membangun peradaban yang lebih baik. Demi nusa dan bangsa. Hidup mahasiswa!
SURAT PEMBACA Dari :08989706XXX
Kuliah hingga sore membuatku selalu pulang hingga larut malam. Ternyata lampu penerangan di UIN Jakarta remangremang, bahkan ada yang tidak berfungsi. Aku kira cuma di daerah pedalaman saja yang tidak mendapat penerangan cahaya, ternyata di kampus tercinta ini juga merasakan hal serupa.
10 TUSTEL
Semangat Oranye, Semangat Persija Riuh, sekelompok beratribut oranye memadati Gelora Bung Karno (GBK). Suporter Persatuan Sepak Bola Indonesia Jakarta (Persija) seakan merelakan diri dan waktunya untuk menyemangati tim macan Kemayoran kebanggaan mereka. Berangkat dari sekretariat di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, mereka menuju GBK untuk memberi dukungan pada Persija. Berdiri, bernyayi, dan bersorak selama 90 menit seakan tak pernah lelah. Kesetiaan mereka seperti oranye yang menyala, tak pernah padam.
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013
FOTO OLEH HANA SAYYIDA Mahasiswa Jurnalistik semester 5
SOSOK 11
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013
Ucu Agustin: Dari Pulpen ke Kamera Siti Ulfah Nurjanah
Sedari masih mahasiswa, dunia tulis menulis bukanlah hal asing bagi Ucu Agustin. Sejak semester enam, tulisannya kerap kali mewarnai berbagai media. Hingga setelah lulus kuliah pada tahun 2000, ia berhasil menjadi kontributor Majalah Pantau. Tidak lama setelah itu, ia bergabung dengan sebuah radio yang juga bertugas sebagai kuli tinta. Namun, seiring berjalannya waktu, ia justru merasa bahwa tulisan pada media tidaklah cukup untuk menggambarkan sebuah realita. Kesadaran tersebut membawa jebolan Fakultas Ushuluddin (FU) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta itu beralih menjadi pembuat film dokumenter. Ucu merasa, adanya batasan halaman pada media cetak dan sempitnya durasi pelaporan pada radio membatasi geraknya untuk menggali sebuah isu. Sehingga, ia memutuskan untuk merambah dunia audio visual. Keputusan itu memberi tantangan tersendiri bagi wanita asal Sukabumi ini, sebab ia mesti beralih dari satu media ke media lainnya. “Dari menulis lewat pulpen sekarang nulis lewat kamera,” ungkapnya via telpon, Senin (12/8). Namun bagi Ucu, baik belajar menulis maupun belajar membuat film dokumenter mempunyai pendekatan yang sama. Ucu bercerita, awalnya ia tidak mengerti dengan dunia dokumenter. “Mulanya, saya selalu bilang yang penting gembarnya terang. Ibarat menulis itu, awalnya nggak apaapa tulisannya jelek, yang penting menulis.” Selain itu, ia juga selalu yakin dengan apa yang dia buat dan apa yang akan ia sampaikan. Hingga akhirnya, pada tahun 2005 ia berhasil membuat film dokumenter pertamanya dengan judul Death in Jakarta. Hingga saat ini, Ucu telah melahirkan lima karya film dokumenter. Salah satunya, film dengan judul Raget’e Anak yang dirilis pada tahun 2008 menorehkan prestasi di kancah internasional. Film tersebut dan beberapa film lain yang menjadi bagian dari antologi Pertaruhan berhasil ditampilkan pada Festival Film Internasional Berlin di tahun 2009.
Nama Lengkap : Ucu Agustin TTL : Sukabumi, 19 Agustus 1976 Almamater : Universitas Islam Negeri Jakarta, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah Filsafat (1995-2000)
Menguak Hal Biasa Menjadi Luar Biasa Ucu percaya di balik realita-realita yang dianggap biasa oleh kebanyakan orang sebenarnya terkandung hal luar biasa. Namun, karena sudah terlanjur dianggap biasa, maka orangorang tidak menyadarinya. Hal-hal tidak biasa itulah yang terekam dalam film-film dokumenter garapan Ucu. Melalui film dokumenternya, Ucu ingin mengajak orang untuk kembali melihat realitas keseharian yang sebenarnya mengandung banyak hal yang tidak terungkap. “Jadi film dokumenter ini menjadi bahan untuk refleksi bersama dan juga menjadi alat untuk orang kembali melihat apa yang tidak bisa dilihat,” tambahnya. Selain itu, ia juga berharap, perkembangan media yang ada di dunia kampus dapat mendorong mahasiswa untuk mencoba dunia audio visual. Mahasiswa dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengekspresikan hal-hal yang terkait dengan isu sosial ataupun ekspresi personal. Ia menambahkan, tidak selamanya media itu buruk. Seperti yang banyak dikatakan orang, media adalah pisau analisis, dapat dipergunakan untuk hal baik, dapat juga untuk hal buruk. Mantan aktivis forum kajian diskusi Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) itu berharap, mahasiswa dapat menggunakan positif power dari media. Mengenai inspirasi untuk pembuatan film-filmPekerjaan Film
: Pembuat Film Dokumenter : Death in Jakarta Bab Akhir Pramoedya Raget’e Anak Konspirasi Hening Di Balik Frekuensi
nya, tambah Ucu, ia peroleh dari aktivitas sehari-hari yang ia jalankan. Misalnya pada film terbarunya, Di Balik Frekuensi, ia mendapatkan inspirasi untuk film tersebut dari kegiatannya sebagai jurnalis. Pengaruh pemilik modal di media terhadap pemberitaan yang diceritakan dalam film Di Balik Frekuensi bukanlah hal asing bagi para pewarta. Namun hal demikian hanya dibicarakan di kalangan pekerja media saja. Oleh karena itu, Ucu membuat film Di Balik Frekuensi sebab baginya, masyarakat juga harus tahu hal-hal apa saja yang ada di balik sebuah berita.
Foto: wikimedia.org
KEBERANIAN HILANGKAN RASA PENASARAN Muawwan Daelami
Berani memulai sesuatu dan percaya diri mengikuti acara berskala besar, kiranya menjadi prinsip yang membawa Muhammad Saggaf Arsyad dinobatkan sebagai Google Student Ambassador (GSA) atau duta Google Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta 2013-2014. Prestasi itu diraih, setelah ia mengikuti ajang pencarian GSA bagi kampus-kampus ternama di Indonesia, UIN Jakarta salah satunya, Jumat (16/8). Informasi tersebut ia dapat ketika mengikuti acara Google Day yang diselenggarakan di Hotel Indonesia (HI). Meski begitu, awalnya, ia hanya iseng mengisi formulir dan mengunggah video profilnya ke Youtube sebagai salah satu persyaratan menjadi GSA. Ia pun tak menyangka, keberanian dan keisengannya itu membuahkan prestasi. “Sebenarnya, mahasiswa UIN Jakarta sangat potensial mengikuti ajang-ajang berskala nasional. Tapi terkadang, mahasiswa UIN Jakarta nggak punya keberanian dan kepercayaan diri untuk berkompetisi di tingkat universitas ternama, semisal Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM),” jelas Saggaf saat ditemui di depan Cafe Cangkir, Jumat (16/8). Sebagai GSA, Saggaf bertugas menjadi penghubung antara UIN Jakarta dan Google. Karenanya, dalam hal ini ia mewakili UIN Jakarta di lintas universitas se-Indonesia. Kedepan, pria kelahiran Palu ini akan menggelar workshop dan seminar yang berkaitan dengan Google. Tak hanya itu, Google juga membuka ruang bagi sivitas akademika yang ingin menjalin kerjasama. “Saya juga dituntut bersikap professional. Karena jika tak begitu, jabatan GSA yang kini saya san-
dang bisa dicopot. Pihak rektorat juga sepertinya belum mengetahui jika di UIN Jakarta ada GSA. Pasalnya, sejauh ini belum ada tanggapan khusus dari pihak kampus.” ucap pria yang juga pernah menyabet gelar Nokia Lumia Premium Developer & Nokia Asha Premium Developer 2012 ini. Dikatakan Saggaf, tahun ini, GSA sudah menginjak periode kedua. Namun di UIN Jakarta, ia merupakan GSA yang pertama. Hal ini dikarenakan, informasi mengenai GSA terkadang tak sampai di kampus UIN Jakarta. Karena itu, ia menyarankan agar mahasiswa lebih aktif dan kreatif mencari informasi. “Kita harus menjemput bola dan jangan menunggu bola,” imbuh mahasiswa jurusan Teknik Informatika (TI) Fakultas Sains dan Teknologi (FST) itu. Sebenarnya, lanjut Saggaf, GSA bukan hanya diperuntukan bagi mahasiswa FST melainkan bagi seluruh mahasiswa UIN Jakarta. Karenanya, bagi mahasiswa yang tertarik menjadi GSA bisa menemuinya langsung. “Menjadi GSA merupakan prestasi yang memberikan pengalaman berkesan. Selain bisa jalan-jalan gratis, saya juga bisa mengenal mahasiswa luar seperti dari Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina,” kenangnya. Ia berharap, posisinya sebagai GSA, Foto: arsip pribadi
bisa turut mengenalkan universitas berbasis Islam di tingkat nasional dan internasional. Terlebih selama ini, citra universitas Islam cenderung dipandang negatif. Secara intensif, lanjut Saggaf, kegiatan GSA akan dimulai saat perkuliahan sudah aktif. Sejauh ini, ia baru mengenalkan GSA UIN Jakarta melalui Facebook, Twitter, dan Google+. Selebihnya, ia juga menjalin kerjasama dengan UIN Community dan Pandorasquad untuk publikasi. Mengingat, tak sedikit mahasiswa yang belum mengetahui dan memahami fungsi GSA. “Meski demikian, ia cukup mendapat dukungan positif dari kalangan mahasiswa UIN,” kata Saggaf.
Nama : Muhammad Saggaf Arsyad Tempat/ Tgl Lahir : Palu, 29 September 1992 Tempat tinggal sekarang : Jl. Ir. Juanda Raya No. 135, Ciputat, Tangerang Selatan Fakultas : Sains dan Teknologi Jurusan : Teknik Informatika Prestasi : 1. Google Students Ambassador untuk UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2013-2014) 2. Juara 1 Coding Contest HIMSI (2012) 3. Juara 3 Lumia Apps Olympiad kategori API Ongkoskirim (2012) 4. Nokia Lumia Premium Developer & Nokia Asha Premium Developer (2012)
12 WAWANCARA
Mempertanyakan Independensi Persma
Pers mahasiswa (persma) kian hari kian sulit saja dalam melebarkan sayap. Padahal kendala yang dihadapi masih sama, yaitu tidak bisa mengimbangi aktualisasi pers umum. Persoalan lain yang sama antara persma dan pers umum yakni menyangkut independensi yang berdampak pada setiap pemberitaan sarat kepentingan satu kelompok atau golongan. Untuk mengetahui lebih jauh fenomena persma yang kalah saing dan cenderung sarat kepentingan, reporter INSTITUT, Ahmad Sayid Muarief berkesempatan mewawancarai Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Eko Maryadi, di Depok, Senin (19/8).
Menurut Anda, apa sebenarnya problem yang dihadapi persma saat ini? Persma itu problemnya dari dulu hingga sekarang sama saja, yaitu kehilangan aktualisasi yang serius di tingkat kampus, karena persma tidak punya daya saing yang kuat terhadap pers umum. Bukan karena persma kurang h e bat,
Foto: Dok. Pribadi
kurang militan, atau kurang bagus kualitasnya, tapi karena ruang lingkupnya yang terbatas hanya di sekitar kampus. Masalah yang utama adalah liputannya kurang kuat. Misalnya, bicara tentang di kampus masalah yang ditemui sedikit berbeda dengan di luar kampus atau bisa dibilang dangkal. Kalau pers umum kan semuanya bisa dihantam. Selain itu, permasalahan lain yang masih menyelimuti persma didominasi kepentingan salah satu kelompok atau golongan. Bagaimana Anda menyikapinya? Pada akhirnya persma harus menentukan identitas dirinya dulu. Kalau ada di kampus UIN Jakarta, targetnya akan menjalankan visi-misi apa. Misalnya, ingin UIN Jakarta menjadi kampus yang mengembangkan keilmuan tentang pluralisme demokrasi. Kita buat pemahaman yang inklusif. Ini nantinya bisa
menjadi pembicaran di kampus. Kemudian, ada suatu kesalahan paradigma yang sangat parah. Persma cenderung eksklusif dan cenderung kurang berani fight. Ketika saya dulu di persma Universitas Padjajaran (UNPAD) periode 1987-1990an, kita cenderung memandang organisasi ekstra (oreks) kampus dijadikan saingan. Apakah persma harus antipati dengan kelompok/golongan? Seharusnya mereka bisa dijadikan mitra kritik. Kita bisa berhubungan baik dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan mempunyai hak yang sama untuk hidup berdampingan di kampus dalam membangun basis yang sama mengembangkan ideologi mereka. Jadi persma nggak boleh alergi dengan mereka. Pers itu bukan hanya alat artikulasi bagi komunitas di kampus, tapi bagi kelompok kepentingan tertentu. Karena oreks berbeda dengan mahasiswa umum, mereka punya kecenderungan ideologi tertentu. Kalau mahasiswa umum mementingkan kuliah yang penting lulus. Sedangkan penggerak oreks punya visi-misi tertentu. Lantas, bagaimana persma menjaga independensi? Persma harus menjaga independensinya. Kalau persma mampu mendeklarasikan diri sebagai pendidikan massa yang independen. Misalnya, ada teman-teman dari organisasi ekstra, sama halnya di pers umum adanya ruang keredaksian yang harus dijaga dari berbagai kepentingan. Inilah fungsi dari pimpinan redaksi. Di pers umum juga datang dari berbagai golongan, ada persma, aktivis atau orang yang mau kerja doang, kemudian ada juga titipan dari partai tertentu. Sama halnya
dengan pers umum juga seperti itu, adanya fungsi redaksi yang dipimpin oleh pimpinan redaksi yang punya kredibilitas, leadership yang kuat, ideologi yang kuat jadi independensi terjaga. Sehingga garda redaksi yang akan menjaga independensi persma. Ketika dulu pernah persma dimanfaatkan oleh suatu golongan, akhirnya dibuat peraturan tidak boleh ada oreks di persma. Apa tanggapan Anda? Di satu sisi saya melihat kelompok persma konflik sedikit keluar, diskusi sedikit menyempal membuat organisasi baru. Itu menunjukan ketidakkuatan ideologi persma. Kedua, ketidaksiapan untuk hidup bersama dalam perbedaan, butuh suatu kedewasaan tersendiri. Kalau ada persma yang memilih membersihkan dari adanya gangguan independensi, mungkin itu menjadi salah satu jalan. Meski saya tidak bisa menyatakan itu benar atau tidaknya. Ini soal kapabilitas. Kalau misalnya teman-teman persma merasa hal itu yang terbaik dan tidak cukup kuat menghadapi benturan ekstra kampus ya silakan saja dibentuk. Apa pesan Anda untuk persma? Saya berharap persma bisa menjadi salah satu sekolah atau sarana pendidikan jurnalistik di tingkat dasar. Mereka yang punya ketertarikan di profesi jurnalis digodok melalui persma dan di situ ujian awalnya. Jadi persma harus menjadi media yang menyuarakan berbagai isu, yang mungkin tidak banyak diangkat oleh pers umum, namun khas kampus secara etik profesional. Belajar juga mempraktikan tentang kode etik jurnalistik seperti wartawan nasional, independen serta menjaga kredibilitas dan martabat.
SELAMAT DAN SUKSES
Atas Wisuda Egi Fajar Nur Ali, SE. Mantan Kepala Litbang LPM INSTITUT 2010-2011
Foto: Zambrong/KALACITRA
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September2013
RESENSI 13
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013
Adea Fitriana
Bagi sebagian masyarakat Indonesia, peristiwa Gerakan 30 September atau yang lebih dikenal dengan singkatan G30S merupakan sejarah yang telah usai dan usang dimakan zaman. Ceritanya telah berakhir bersamaan dengan diputarnya film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C Noer, dituliskannya kisah pemberontakan G30S di bukubuku sejarah sekolah serta ‘dibersihkannya’ Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta antek-anteknya di Indonesia. Singkat kata, bagi sebagian masyarakat Indonesia, sejarah peristiwa G30S dianggap tidak perlu diusik kembali lantaran sudah tutup perkara. Namun anga gapan s a
y ka e R
tersebut tidak a berlaku a k kta bagi Julius a a , F our ust Pour, seorang S 30 P a P wartawan senior : G lius ast an -3 H m serta penulis sejarah u J 3 3 a a l : at 01 a -5 kontemporer Indonesia. : K ei 2 52 h 1056 l Dengan menelurkan u 6 s : M ii + 79buku teranyar berjudul G30S, Jud nuli it 9 : x 78Fakta atau Rekayasa, Julius Pour Pe nerb n 9 : a e secara kritis menyatakan bahwa k P ta sejarah peristiwa G30S sesunge C guhnya belum tersibak sempurna. Isi N Keberadaan fakta dan rekayasa B IS masih abu-abu, belum dapat dipetakan dengan jelas. Mengingat hingga kini, siapa dalang, bagaimana kronologi peristiwa G30S, serta berapa jumlah korban jiwa masih jadi misteri.
tau
Melawan Lupa Peristiwa G30S
Bila tidak menengok sejarah dan menggali fakta baru, akankah kita meneruskan sejarah yang masih menjadi jigsaw puzzle ini pada anak cucu kelak? Dalam buku ini, pembaca diajak mengenang kembali peristiwa G30S, salah satu kepingan penting sejarah Indonesia. Sejumlah perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD) gugur dalam peristiwa tragis yang disebut-sebut didalangi oknum PKI tersebut. Sejak peristiwa G30S, PKI memang diposisikan sebagai tersangka utama pembunuhan petinggi TNI-AD dan percobaan kudeta terhadap pemerintah yang berkuasa. Untuk itu, atas perintah penguasa pemerintah, operasi pembersihan PKI yang dianggap telah melakukan makar digelar. Kurang lebih 3 juta massa PKI serta masyarakat yang ‘dianggap’ sebagai anggota serta simpatisan PKI tewas. Dipenjarakan tanpa proses pengadilan, dihabisi, serta dibantai pada operasi pembersihan PKI. Setelah peristiwa G30S, tanpa PKI dapat membela diri, media yang kala itu dikuasai TNI-AD memang seolah memanfaatkan keadaan dengan membombardir masyarakat dengan pemberitaan yang memojokkan PKI. Beberapa hari setelah peristiwa, dua koran milik AD, yaitu koran Berita Yudha dan Angkatan Bersend-
jata menampilkan pemberitaan serta foto-foto jenazah petinggi TNI-AD yang menerangkan tentang penyiksaan yang dilakukan pada jenazah petinggi TNI-AD. Lantaran masyarakat tidak punya sumber lain selain dua koran milik angkatan darat, masyarakat menjadi sangat mempercayai berita tersebut. Meskipun, bila dikritisi media tidak pernah menyuguhkan bukti hasil visum petinggi TNI serta klarifikasi dari oknum PKI. Pemberitaan seputar penyiksaan akhirnya secara resmi menjadi sejarah peristiwa G30S di masa orde baru. Berita tersebut juga menjadi dasar pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI. Dampaknya, lantaran tidak kritis menganalisa sejarah, hingga kini banyak masyarakat terjebak pada pemikiran, PKI merupakan dalang peristiwa G30S. Untuk itu, demi menyudahi kekeliruan sejarah dalam diri masyarakat Indonesia, Julius Pour dengan buku G30S, Fakta atau Rekayasa menggambarkan kembali serta menyuguhkan fakta-fakta terbaru mengenai peristiwa G30S. Tidak seperti film Pengkhianatan G30S/PKI yang secara tersurat menyeret nama PKI sebagai dalang utama, buku berjudul G30S, Fakta atau Rekayasa justru mengajak pembaca berpetualang mencari kebenaran sejarah peristiwa G30S. Dengan menyuguhkan kesak-
Curi Perhatian Lewat Musik Gesek
Karlia Zainul
sian, pernyataan, serta argumentasi dari seluruh pihak TNI-AD, pro PKI, kontra PKI, pro Soekarno, maupun pihak kontra Soekarno yang berasal dari kajian kepustakaan pada 137 buku serta 13 media cetak, buku ini mengajak pembaca menelusuri serta menilai peristiwa G30S dengan lebih objektif. Selain penggambaran kembali, pembaca juga disuguhi hasil visum tim dokter yang saat itu menangangi jenazah petinggi TNIAD. Alasan mengapa Soeharto tidak masuk dalam daftar perwira tinggi Angkatan Darat yang harus ‘dibersihkan’ pada peristiwa G30S juga akan dijawab secara mendetail. Motif pembongkaran makam orang yang dipilih sebagai Wakil Komandan G30S, Letnan Kolonel (Letkol Udara), Heru Atmodjo secara mendadak dua bulan setelah ia tutup usia pada Januari 2011 juga diungkap dalam buku ini. Yang tak kalah menarik, buku ini akan membongkar jati diri serta misteri kematian Letnan Jenderal (Letjen) KKo Hartono, seorang loyalis Soekarno yang kabarnya dibunuh akibat adanya konspirasi tingkat tinggi. Alasan dibalik peresmian nama Hartono sebagai nama asrama militer Kesatrian Marinir Hartono pada 2008 meski akta kematiannya belum pernah dikeluarkan juga akan disingkap.
KOMUNITAS
Taman Perpustakaan Utama (PU) belakangan terlihat berbeda dari biasanya. Beberapa bulan terakhir sering terdengar suara merdu yang ternyata berasal dari alat musik biola. Di taman PU, sekelompok mahasiswa terlihat memainkan lagu dengan alat musik itu. Kumpulan mahasiswa yang memiliki ketertarikan pada biola, menamakan diri mereka sebagai Komunitas Gesek. Komunitas Gesek berawal dari tiga mahasiswa bernama Daud Catur Wicaksono, Sukran Habibi, dan Ramdhan yang kerap kali memainkan violin di taman PU. Rupanya kegiatan ketiga mahasiswa itu menarik perhatian mahasiswa yang lalu-lalang di sekitar PU. Ini terlihat dari banyaknya mahasiswa yang datang menghampiri untuk minta diajarkan atau sekadar melihat dan berbincang. Semakin lama, peminatnya semakin banyak.
Sukran Habibi yang lebih akrab disapa Cuke mengaku pemilihan tempat latihan di taman PU, karena suasananya yang tenang dan sejuk. Terlebih karena mereka tak memiliki tempat untuk berlatih. “Biar mengubah suasana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta seperti di Taman Thamrin,” candanya sambil tertawa, Kamis (25/7). Selain di taman PU, biasanya mereka juga berlatih di taman sekitar UIN Jakarta. Mereka melakukan ini untuk mencari dan
Komunitas gesek ketika sedang berlatih di Taman Auditorium Harun Nasution. Mereka biasanya memainkan lagu-lagu klasik.
menciptakan suasana yang berbeda. Mahasiswa yang ingin belajar membuktikan keseriusannya dengan membeli alat musik. Merekapun mulai bermain bersama. Setelah bermain selama beberapa bulan, akhirnya Daud, Cuke, dan Ramdhan memutuskan untuk mengorganisir dengan membuat Komunitas Gesek yang diresmikan pada 11 Juni 2013. Daud mengatakan Komunitas Gesek bertujuan mengubah sua-
sana kampus. Ia melihat semakin berkurang kegiatan mahasiswa di kampus. Oleh karena itu, ia berharap kehadiran Komunitas Gesek dapat berdampak baik bagi suasana kampus. “Jadi nggak cuma nongkrong ngabisin kopi, rokok, dan ngobrol nggak jelas,” ujarnya. Komunitas yang beranggota sepuluh orang ini secara formal berlatih setiap hari Selasa dari pukul dua siang hingga lima sore. Materi yang dipelajari diawali dengan belajar teknik memegang dan menggesek biola. Inilah tahap yang paling dasar dan membutuhkan kesabaran yang besar. Setelah mahir, akan diajarkan cara membaca nada. Mereka juga diberi pekerjaan rumah agar lebih cepat memahami materi yang dipelajari. Meski telah berbagi ilmu kepada rekan-rekan di Komunitas Gesek, Cuke, Daud, dan Ramdhan menolak untuk dibilang sebagai pengajar. “Kami berbagi aja, tukar pikiran, nggak ada istilah yang guru dan murid,” kata Cuke. Cuke mengatakan, saat ini mereka sedang fokus untuk berbagi ilmu kepada anggota yang ada. Cuke dan kedua temannya ingin menjadikan anggota komunitasnya semakin pandai dalam bermain biola. Hal itu dilakukan agar kelak bisa menggantikan mereka untuk
mengajar musik kepada yang lain. “Kami kan nggak selamanya ada di sini,” ucap mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Fakultas Ilmu Tarbiyahdan Keguruan (FITK) ini. Perhatian utama komunitas ini adalah keseriusan setiap anggota untuk belajar, sehingga yang ditekankan komunitas ini adalah kemauan untuk terus berlatih pada setiap anggota. “Nggak masalah cuma lima orang yang penting serius,” ucapnya. Hal itu yang membuat komunitas ini memberikan beberapa syarat bagi yang igin bergabung. Selain harus memiliki alat musik, mereka harus serius dan mau berbagi. “Belajar musik kan harus fokus, kemauannya harus kuat. Itu aja yang kami mau,” ujar Cuke. Meski baru diresmikan, komunitas ini mendapatkan respon yang baik dari mahasiswa dan karyawan kampus. Seperti Erfa Dwijayanti yang kerap kali mengunjungi PU, merasa terhibur atas kehadiran komunitas gesek. Erfa mengaku, suasana di sekitar PU berubah menjadi menyenangkan. “Keren. Gue suka liatnya, apalagi kalau habis keluar kelas dan baru ngadepin dosen yang bikin ngantuk. Liat mereka latihan, ditambah angin sore, otak sama mata jadi segar. Lumayanlah refleksi gratis,” paparnya antusias.
14 SASTRA
TABLOID INSTITUT Edisi XXVI September 2013
Menunggu Oleh Heri Widyatno*
(1 p.m.) aku harus mengantarkan nenek ke suatu tempat. Tempat yang tidak ku mengerti. Nenek tidak pernah memberi tahu diriku tempat apa yang ia akan kunjungi. “Nek, kita mau kemana sih sebenarnya?”, tanyaku dengan nada yang tergesagesa. “Sudah jangan banyak bicara, ikuti saja nenek. Nenek sudah terlambat,” nenek menjawab dengan nada ketus. Aku hanya bisa diam ketika nenek sudah mengeluarkan kerutan wajahnya yang kumengerti sebagai simbol bahwa ia sedang tidak ingin diajak bicara lebih lanjut. Kami masih saja menyelusuri jalan yang dipenuhi dengan hiruk pikuk manusia. Nenek menyebut mereka sebagai manusia pecinta uang. Manusia yang tidak pernah cukup dengan harta yang dimilikinya. Manusia yang akan terus mencari dan mencari hingga stock uang di kota akan benar-benar habis. Tapi sampai kapan stock uang akan benar-benar habis, karena saat ini saja negara sedang menumpahkan uang di kota-kota. Yang berakibat pada kemacetan yang terus terjadi dari waktu ke waktu. Nenek pernah bilang bahwa dengan iming-iming uang, orang baik pun lebih memilih uang ketimbang harga diri yang mereka miliki. Hal itu pula yang menyebabkan nenek tidak pernah memberiku uang. Ia takut jika cucu kesayangannya ini menjadi lupa tentang arti harga diri ketika sudah memegang uang. Nenek lebih suka memberiku permen lolipop dari pada uang. Karena nenek tahu dengan memberiku lolipop, maka nenek telah memberi nutrisi kecerdasan otakku yang bersumber dari lolipop tersebut. (3 p.m. )“Kita sudah sampai,” nenek berujar kepadaku diikuti oleh hembusan angin yang berasal dari hidungnya, tanda ia sudah kepayahan dengan jalan panjang yang kita lakukan sejak menerobos hiruk pikuk para manusia pecinta uang tadi. Selain itu, umurnya yang semakin dimakan usia juga menambah kepayahannya dalam bernafas. Usianya yang sudah usang itu ibarat sebuah generasi suatu angkatan. Yang lambat laun
PUISI
Opini Langit Oleh Akbar F (Ajoy)* Langit: Sepekan matahari berlibur ke utara Awan menyelinap ke kotaku Membuang tiap bait tak terpakai Yang dikumpulkan satu semester lalu Kotaku seakan mati diserang hama Bahkan penghuninya Menjadi kepik telentang Menunggu awan kehabisan amunisi Siang itu Para awan kabur Sebab mencium bau matahari makin kuat Dan kulit kotaku kembali melembab 18 1 2013 *Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
harus digantikan oleh angkatan yang baru. “Ayo cepat,” nenek berkata kepadaku disertai dengan genggaman tangan yang semakin erat yang mencengkeram jari-jari tangan kiriku. “Kamu tunggu disini, jangan ke manamana,” nenek menghimbauku. Tidak cukup sekali, ia ingin memastikan kembali bahwa cucu kesayangannya ini harus menuruti apa yang ia katakan “Tunggu disini, jangan pergi ke mana-mana sebelum nenek selesai dengan urusan nenek,”. Aku menjawab dengan penuh keyakinan kepada nenek bahwa aku bisa menjaga diriku dengan sahutan “Ok. Aku tidak akan ke mana-mana Nek, aku pasti nurut dengan perintah nenek,” disertai dengan senyuman manis yang kuberikan untuk menentramkan hati nenek. Tanpa basa-basi lagi nenek langsung masuk ke sebuah ruangan. Aku tak tahu ruangan apa itu. Yang aku ingat itu hanya sebuah ruangan yang pintu depannya terdapat bagian kotak kecil seperti kaca. Entah apa fungsinya. Di rumahku saja pintunya tidak ada kacanya. Memang sungguh aneh ruangan yang dimasuki oleh nenek itu. Dari tempat duduk yang dipilihkan nenek ini aku bisa melihat banyak orang. Ada yang sedang menulis di atas meja. Ada yang sedang tertunduk wajahnya. Ada juga seorang laki-laki paruh baya yang sedang tertidur dengan kepala bersandar di tembok. Aku masih saja aneh dengan keadaan ruangan ini. Aku tidak mendengar sedikitpun suara. Hanya sesekali ruangan ini disesaki oleh bunyi bergemuruhnya angin yang lalu-lalang tanpa adanya sedikitpun kemacetan. Aku sangat penasaran sekali. Jika nanti nenek keluar dari ruangan, hal yang pertama kali akan kulakukan ialah langsung menanyakan kepada nenek tentang ruangan apa yang kita datangi ini. Ruangan dengan tidak adanya manusia yang melakukan pembicaraan dengan mengeluarkan suara sedikitpun. Sepi sekali. Apakah karena aku memakai headset? Tapi ketika nenek tadi berbicara saja, aku masih mendengar suaranya. Tapi setelah sekarang aku duduk di depan ruangan yang nenek masuki, aku tidak dapat mendengarkan suara apapun kecuali suara musik yang bersumber dari MP3 yang kugunakan ini. Mataku masih saja berlarian mencari halhal yang menarik. Hal-hal yang bisa mendatangkan suara agar aku tidak menambah
penasaran dengan keadaan ruangan ini. Tiba-tiba mataku tertuju kepada dua orang pemuda. Mereka duduk bersebelahan. Mereka duduk sangat berdempetan. Tapi mereka tak berbicara sedikitpun. Mereka hanya memandangi benda kecil berbentuk kotak yang ada digenggaman tangannya. Entah benda apa itu. Akupun tidak memiliki benda seperti itu, begitu pula dengan nenek. Yang ku tahu hanya ayah yang memiliki benda seperti itu. Tetapi ayah juga tidak pernah mau meminjamkan bahkan memberitahu diriku benda apa yang ia miliki itu sebenarnya. Tapi yang ku tahu sejak ayah mempunyai benda kecil tersebut ayah menjadi jarang berbicara dengan ibu dan juga aku. Apakah memang benda kecil itu membuat penggunanya menjadi malas untuk berbicara. Dan itupula yang terjadi pada kedua pemuda tersebut. Mereka tak berbicara, berbincang atau bahkan berdebat sedikitpun. Mereka hanya asik mengotak-atik, memencet, atau bahkan memainkan dengan lihai benda kecil yang ada di tangan mereka berdua. Tanpa berbicara, mereka bisa tersenyum. Tersenyum kepada benda kecil tersebut. Aku semakin penasaran dengan mereka. Sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan? “Awas saja nanti jika nenek sudah keluar dari ruangan, aku ingin sekali menceritakan tentang hal ini semuanya kepada nenek, agar aku mengerti tentang ruangan apa ini dan benda apa yang dipegang oleh kedua pemuda itu,” gumamku dalam hati. “Sampai berapa jam lagi aku harus menunggu nenek keluar?” Aku sudah tidak tahan ingin berbicara kepadanya. Menceritakan tentang dua orang pemuda tersebut, orang-orang yang ada di ruangan ini serta ruangan apakah sebenarnya ini. Tapi mau dikata apalagi. Yang harus kulakukan ialah menunggu nenek keluar dari ruangan. Entah, entah sampai kapan nenek akan keluar dari ruangan ini. Karena nenek tidak bilang kapan tepatnya ia akan keluar ruangan. Yang ia katakan hanya tunggu, tunggu, dan tunggu. Dan itu pula yang harus ku lakukan. Dan sekarang sudah pukul (5 p.m.) *Penulis adalah mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
JUARA 1 SAYEMBARA OPAK 2013 Opak FISIP UIN Jakarta 2013 Rorien Novriana*
Halo! Saya Rorien Novriana mahasiswi baru di FISIP Jurusan Hubungan Internasional. Ketika pertama kali resmi menjadi seorang mahasiswa, satu hal yang saya takutkan adalah ospek. Ya, ospek. Ospek seperti menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian mahasiswa baru. Di benak saya, ospek akan menjadi empat hari yang menyeramkan, empat hari yang membuat saya ingin skip saja hari-hari itu. Terbayang akan ribetnya barang-barang yang akan dibawa, senior-senior galak, dan lainnya. Tapi apa mau dikata, itu adalah satu dari sekian banyak proses yang harus saya lewati. Opak FISIP dimulai dengan Opak jurusan pada hari Rabu. Semuanya di luar dugaan saya. Barang-barang yang harus dibawa cukup mudah, hanya name tag dan makanan-makanan yang namanya penuh dengan teka-teki. Tapi, ada satu yang menurut saya cukup ribet dan melelahkan untuk dipenuhi, foto di depan Kedutaan Besar Nigeria. Kelompok kami, mendapat bagian
di Negara Nigeria. Kami menggunakan angkutan umum dan taksi untuk sampai ke sana. Sialnya, taksi yang saya tumpangi bersama keempat kawan lainnya tersesat ke Kedutaan Nigeria yang lama. Pantas saja tempat itu seperti rumah hantu. Saya dan teman-teman kebingungan karena posisi Kedutaan Besar Nigeria yang lama itu di dalam komplek yang notabene jauh dari jalan raya dan tentu saja, taksi. Saya sebenarnya masih bingung sampai sekarang, kenapa alamat Kedutaan Besar Nigeria yang lama masih dicantumkan ketika kita mencari itu di internet, padahal telah pindah sejak dua tahun lalu. Singkat cerita, akhirnya saya dan teman-teman berfoto di depan Kedutaan Besar Nigeria dengan menggunakan atribut Opak. Hari Kamis, kami mahasiswa baru FISIP melanjutkan Opak universitas, dan melakukan upacara pembukaan bersama-sama dengan fakultas lainnya. Sepanjang jalan dari kampus dua ke kampus satu, kami
terus menyanyikan yel-yel yang tentu saja menjadi sebuah hal yang baru dan benar-benar membuat saya merasa menjadi seorang mahasiswa. Mungkin begitu rasanya orasi dan demo. Setelah upacara yang cukup melelahkan, FISIP, FITK, FKIK, dan Fakultas Psikologi mendapat giliran pertama untuk melihat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) apa saja yang ada di sini. Ada beberapa UKM yang menarik untuk saya, seperti LPM Institut, FLAT, dan RANITA. Tapi menurut saya, semua UKM-nya menarik untuk diikuti. Setelah itu kami melanjutkan dengan Opak fakultas. Hari Jumat, FISIP melanjutkan dengan Opak fakultas. Berita bagus, kami sudah tidak lagi memakai atribut. Yey! Dengan baju batik bernuansa dominan merah, hari Jumat ini diisi dengan mentoring dari dosen mengenai banyak hal. Dan saya rasa, mentoring ini sangat bermanfaat untuk memberikan penggambaran lebih jauh tentang bagaimana mekanisme dunia perkuliahan. Dan karena hari Jumat, sementara yang laki-laki menunaikan kewajibannya, kakakkakak panitia membuat ‘Hijab Class’ untuk yang perempuan. Sangat berguna. Hari Sabtu adalah hari terakhir Opak.
Sedih atau senang? Sedih karena harus menyudahi acara yang begitu seru, tapi senang karena sebentar lagi resmi akan disebut sebagai mahasiswa. Hari ini diawali dengan mentoring oleh dosen. Lalu, pada siang harinya kami lanjutkan dengan acara Cultural Day. Cultural Day dimulai dengan menonton film “Mata Tertutup” bersama-sama. Film yang menginspirasi dan penuh dengan pesan moral. Setelah itu kami diberikan kejutan oleh panitia. Agak penasaran, auditorium FISIP disulap bagai panggung konser. FISIP SHOW!! Kami, mahasiswa baru dimanjakan oleh banyak penampilan dari Stand Up Comedy UIN Jakarta sampai Teater Abstrak. Segala macam jenis musik ditampilkan disini ada NYIAH Band dengan aliran pop fun, ada juga saxophone yang menjadikan FISIP SHOW ibarat JavaJazz, sampai Street Walker dengan aliran rock yang bikin FISIP NGERI BANGET!! Jadi itulah kesan saya selama Opak FISIP, satu kata untuk Opak FISIP, NGERIII!!
*Mahasiswa semester 1, jurusanHubungan Internasional, FISIP
SENI BUDAYA 15
TABLOID INSTITUT Edisi XXVII September 2013
Sali, diperlakukan tidak baik oleh petugas kepolisian ketika sedang mengadu ke kantor polisi. Sanggar Baru Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Senin (9/9).
Pepaya Sayang, Si Sali Malang Nurlaela
Buah pepaya memang manis rasanya, yang ranum pun sedap kalau dibikin rujak. Siapa yang tak suka buah pepaya? Keistimewaan pohon pepaya juga yang bisa tumbuh di segala musim. Jadi, tak ada alasan bagi siapapun untuk tidak menyukai buah dan pohon pepaya. Sali sebagai tokoh utama yang diperankan Saiful Arief Hidayat kalap dan tak dapat menahan diri ketika melihat pohon pepaya kesayangannya tumbang. Dianggapnya pohon pepaya bak anak kandung sendiri. Melihat keadaan seperti itu, Sali langsung dikuasai perasaan marah dan sedih. Mendengar teriakan Sali, tetangganya pun berduyun-duyun menghampiri Sali yang tengah meratapi pohon pepayanya. “Siapa berani menebang pohon pepayaku ini? Bukankah semalam tak ada badai, mengapa bisa tumbang? Nampak jelas sekali tebasan pisau!” tanya Sali kepada semua tetangganya. Mengetahui tak ada yang dapat membantunya, akhirnya Sali pun bertekad untuk mengadukan dan mencari keadilan seorang diri. Ia bertekad untuk mengadukan peristiwa itu ke berbagai tempat yang dianggap ada keadilan di sana. Ia pikir akan mendapatkan jawaban atas pelaku penebang pohon kesayangannya tersebut. Seharian penuh Sali terus berjuang mencari keadilan, tak peduli rasa lelah dan kantuk menyerang dirinya. Ia pun memutuskan untuk
mencari keadilan di kelurahan, kecamatan dan kepolisian. Namun, orang-orang dan tempat yang dianggapnya dapat memberikan solusi dan keadilan justru sebaliknya, ia hanya mendapatkan cemoohan atas aduannya. Akhirnya Sali pun tak kuasa menahan beban batin. Suatu pagi, istri Sali tengah menjemur pakaian di pekarangan rumah. Terkejut dirinya menemukan Sali tergolek lemah di samping pohon pepaya kesayangan. Ia mencoba membangunkan Sali, namun ternyata tak ada jawaban. Istrinya pun histeris, membuat semua tetangganya mulai berdatangan. Melihat hal yang terjadi membuat istri Sali menyesal, ia pun mengaku ternyata dirinyalah yang menebas pohon pepaya kesayangan suaminya. Begitulah kisah Gerhana yang dipentaskan oleh Teater A-One di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat. Teater yang diselenggarakan pada Senin, (9/9) diadaptasi dari cerpen Gerhana karya Mohammad Ali. Dalam pertunjukan yang disutradarai Intan Sari Ramadhani, ia menggunakan konsep drama musikal dalam pertunjukan yang menjadi
tugas ujian akhir mata kuliah sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT). Ini terlihat dari iringan musik mellow, pop rock serta da-ngdut yang mengisahkan tentang keadilan, menjadi ciri ketika Sali berganti tempat dari satu tempat ke tempat lainnya. Menurut Intan, dalam penggarapan pertamanya ini banyak sekali hambatan yang ditemui. “Sulit banget jadi sutradara, apalagi buat ngumpulin semuanya pas latihan,” jelasnya dalam forum diskusi yang diadakan seusai pertunjukkan, Senin, (9/9). Budi Sobari mengatakan, dalam pertunjukan yang berdurasi 35 menit, teater A-one berhasil memadukan kedua bentuk teater tradisi dan modern. Hal itu terlihat dari penggunaan latar tempat yang dilakukan dan lakon yang ditampilkan. “Tokoh Sali yang berlari di tempat ketika menuju kantor polisi dan kantor kecamatan itu contoh bagian teater tradisi, sedangkan bentuk teater modernnya terlihat dari latar tempat yang digunakan,” jelasnya.
Sambungan: KKN Belum Efektif... mengajar murid Sekolah Dasar (SD) atau TPA, melainkan mengajarkan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) untuk membuat buletin atau majalah. Dosen Bahasa Jurnalistik ini mengungkapkan, program dan mekanisme KKN di tahun 2014 hingga seterusnya seyogyanya diubah. ”Seharusnya LPM yang mencarikan lokasi dan masalah yang layak untuk mahasiswa guna menjalankan kegiatan KKN. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,” paparnya. Ia menambahkan, hingga saat ini, LPM masih kekurangan orang untuk melakukan riset ke beberapa wilayah. “LPM memang kekurangan staf sehingga sulit untuk melakukan survei ke masing-masing daerah untuk tempat KKN,” ucap Nanang.
Sementara itu, staf administrasi LPM, Dwi Sukarminayu mengatakan, mahasiswa dan dosen pembimbing wajib melakukan survei dan membuat proposal berisi program KKN. “Itu kewajiban mereka supaya program lapangannya jelas,” ucapnya, Senin (9/9). Mengenai mekanisme yang dilakukan LPM, Dwi menjelaskan bahwa LPM sudah melakukan audiensi ke kabupaten di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Kemudian, Tim Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpolinmas) dari pemerintah merekomendasikan tempat yang layak untuk KKN kepada LPM UIN Jakarta. Ia melanjutkan, tidak semua desa yang direkomendasikan oleh Kesbangpolinmas
dipilih oleh LPM. “Kami mengedepankan desa yang masyarakatnya masih berpendidikan rendah, tenaga kesehatannya kurang, dan pendapatannya rendah. Desa seperti itu cocok menjadi tempat KKN mahasiswa,” tuturnya. KKN di Universitas Lain Berbeda dengan UIN Jakarta, KKN di Institut Pertanian Bogor (IPB) hanya mengirimkan lima hingga tujuh mahasiswa ke satu lokasi. Hal tersebut dipaparkan oleh Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB, Prastowo. Alasannya, jumlah mahasiswa yang kurang atau lebih akan menimbulkan ketidakefektifan. “Selain itu, agar KKN berjalan efektif, kami juga mengintegrasikan antara jurusan mahasiswa dengan kebutuhan masyarakat
agar mereka sama-sama memperoleh keuntungan,” tambahnya, Selasa (24/8). Ia mencontohkan, mahasiswa Fakultas Kehutanan ditempatkan di Bengkulu, karena provinsi tersebut memang sedang membutuhkan pemberdayaan kehutanan. Terkait persoalan dana KKN, Prastowo menjelaskan, dana untuk menjalankan program KKN berasal dari sponsor dan Sumbangan Pendidikan (SPP) yang dibayar oleh mahasiswa sejak semester satu. “Oleh karena itu, mahasiswa tidak ditarik dana lagi ketika masa KKN mereka tiba,” ucapnya. Senada dengan Prastowo, Kepala LPPM Universitas Gadjah Mada (UGM), Suratman mengatakan, guna menjalankan program KKN yang efektif, LPPM UGM mengelompokkan tiap fakultas berdasarkan peran masing-masing. “Hal itu dilakukan supaya program mahasiswa di setiap lokasi KKN sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan nyata masyarakat,” ujarnya ketika diwawancarai via telepon, Kamis (29/8). Kelompok pertama adalah kelompok agro yang terdiri dari Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Kehutanan, Fakultas Pertanian, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Tekonologi Pertanian. Di kelompok kesehatan, terdapat mahasiswa dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Farmasi, dan Fakultas Kedokteran Gigi. Selain kelompok agro dan kesehatan, ada juga kelompok sains dan teknologi yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Teknik, dan Fakultas Biologi. Kelompok terakhir adalah kelompok sosial dan humaniora yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Ekonomi, Fakultas Filsafat, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Budaya, FISIP, dan Fakultas Psikologi.
Pasang Iklan Sejak didirikan 28 tahun lalu, LPM Institut selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produkproduknya, semisal pada Tabloid Institut, Majalah Institut, dan beberapa tahun ini secara kontinyu mempercantik portal lpminstitut.com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk mari beriklan di ketiga produk kami. Kenapa? Ini alasannya:
Tabloid INSTITUT
Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan Instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)
INSTITUT Online
Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 8001000 per hari
Majalah INSTITUT sajian berita bercorak investigatif dam terbit per-semester Untuk pemasangan iklan hubungi:
April : 081932276534