Edisi XLV / oktober 2016
Terbit 16 Halaman
Telepon Redaksi: 085892180540 / 085722423074
Laporan khusus
Laporan utama
UIN Tunda Remunerasi Dosen
Hal. 2
www.lpminstitut.com
Email: redaksi.institut@gmail.com
LPM INSTITUT - UIN JAKARTA
Manuskrip Bukan Prioritas
Hal. 4
@lpminstitut
wawancara
ISO, Langkah Jitu Perbaiki Manajemen Mutu
Hal. 11
@lpminstitut
Kabut Dana Remunerasi Zainuddin Lubis Tiga tahun sudah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menerapkan remunerasi. Dana jadi persolan utama. Baru saja Institut menginjakkan kaki di lantai tiga Gedung Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menemui Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan (BPK) Subarja. Sayang, saat dimintai keterangan terkait remunerasi, bukan menjawab, ia malah bergegas ke luar ruang kerjanya. Subarja menuruni anak tangga sambil setengah berlari dengan bundel berkas di tangannya. ”Saya sudah ditunggu rektor, buruburu,” kataya, Rabu (13/10). Tak mendapat informasi terkait dana remunerasi, Institutpun menghubungi Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada sebagai narasumber. Surat permohonan liputan dan pesan singkat pun dilayangkan kepada Dede. Tapi saat itu Dede tak berkenan ditemui karena padatnya jadwal. Tepat dua hari setelah surat liputan di kirimkan, sekitar pukul 13.00 WIB seorang pria yang tak lain adalah asisten rektor menelepon Institut. Tanpa basa-basi, dari seberang telepon ia langsung menyuruh Institut datang ke ruang kerja rektor. Selama proses wawancara berlangsung, rektor mengaku tak mengetahui jumlah pasti dana remunerasi dan mengalihkan kembali ke Subarja. Berbekal rekomendasi rektor, Institut pun akhirnya kembali menghubungi Subarja. Namun, ia berkilah kala itu masih tahap proses pencairan dana remunerasi dosen. Meski begitu, ia berjanji akan memberikan data dana remunerasi pada Senin (17/10) pagi. Pada hari yang dijanjikan, Senin (17/10), ke sekian kalinya Institut menghubungi Subarja untuk menanyakan data dana remunerasi dosen, tapi tak juga ada hasil. Melalui WhatsApp, ia menampik saat itu tengah ada agenda. “Soal remunerasi, coba hubungi Wakil Rektor IV Bidang Kerja Sama Murodi,” begitu isi teksnya. Belum mendapat data yang diminta, Institut pun kembali menemui Subarja untuk menagih data dana remunerasi yang ia janjikan. Ketika ditemui di ruangannya, Selasa (18/10), Subarja sedang memegang hvs putih bertuliskan grafik dana remunerasi.
Dalam dokumen itu tercatat dana remunerasi pada tahun 2015 sebanyak Rp56 miliar atau 13 persen dari pagu anggaran UIN Jakarta. Peningkatan dana remunerasi sebesar Rp63 miliar terjadi pada tahun 2016 dan Rp70 miliar disiapkan untuk tahun berikutnya. Esok harinya, tanpa dikira, Subarja berubah pikiran. Ia meminta kembali data yang tempo hari diberikan dan menggantinya dengan data baru. Menurutnya, perhitungan data sebelumnya keliru. ”Lisan itu kurang tepat,” demikian ia tulis dalam WhatsApp, Rabu (19/10). Mengacu pada data kedua yang diberikan Subarja, pagu anggaran tahun 2014 UIN Jakarta mengalokasikan dana Rp33.636.824 ribu untuk remunerasi. Tapi, berdasarkan data keuangan UIN Jakarta, hingga Desember 2014 hanya Rp27.436.669.657 ribu yang digunakan. “Masih ada sisa dana,” ungkap Subarja, Kamis (20/10). Sementara pada 2015, UIN Jakarta menaikkan alokasi dana untuk remunerasi dari Rp27.436.669.657 ribu menjadi Rp38.531.940 ribu. Kenaikan dana remunerasi dihitung mencapai Rp5 miliar akibat lonjakan pagu anggaran UIN Jakarta dari Rp433.747.033 ribu menjadi 532.630.940 ribu. Tak jauh beda dengan sebelumnya, data akhir tahun BPK menunjukkan hanya Rp36.370.271.746 ribu yang digunakan atau tersisa Rp2.161.668.254 ribu dari dana yang dialokasikan untuk remunerasi. Sedangkan pada 2016, UIN Jakarta memiliki pagu anggaran Rp431.811.829 ribu, namun ketika dikonfirmasi jumlah dana remunerasi 2016, Subarja enggan berkomentar. “Agar objektif coba temui Satuan Pemeriksa Internal (SPI),” katanya dalam teks WhatsApp, Jumat (21/10). Sesaat setelah mendapat data dana remunerasi terbaru, Institut curiga. Pasalnya selain data yang hanya memuat anggaran dua tahun terakhir, dokumen itu juga berisi jumlah dana remunerasi yang tak digunakan mencapai Rp5 miliar. Akhirnya, Institut meminta tanggapan dari Sekretaris SPI UIN Jakarta Ady Cahyadi. Menurut Ady, tahun 2014 UIN Jakarta mengalokasikan dana sejumlah Bersambung ke halaman 15 kolom 2
@Xbr4277p
Laporan Utama Salam Mahasiswa! Pembaca budiman, setelah libur selama sepekan sebelum garapan Tabloid Institut ke-45, suasana sekret Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta kembali normal. Persiapan penerbitan Tabloid Institut ke-45 ini sudah dimulai sejak Jumat, (7/10) sebagai tanggung jawab insan pers. Di sela kesibukan kegiatan kuliah, kami kembali hadirkan Tabloid Institut ke-45 ke hadapan pembaca yang budiman. Pada Oktober ini, Tabloid Institut menghadirkan berita terkait remunerasi dosen yang baru dilaksanakan pada September 2016. Padahal, menurut peraturan dari Keputusan Menteri Keuangan (KMK), UIN Jakarta seharusnya menerapkan remunerasi sejak 2013 berdasarkan surat resmi dari KMK. Headline kami membahas terkait dana remunerasi. Pada November 2013, UIN Jakarta mendapatkan surat resmi KMK dari Kementerian Keuangan mengenai pelaksanaan remunerasi, akhirnya UIN Jakarta menerapkan remunerasi pada 2014. Namun, terkait dana remunerasi, sejak 2014 dosen tak mendapat dana remunerasi. UIN Jakarta pun baru menerapkan remunerasi dosen pada September 2016. Pada rubrik Laporan Utama, kami menghadirkan informasi terkait International Organization for Standardization (ISO). Perihal ISO, hingga kini di beberapa unit UIN Jakarta belum memiliki sertifikat ISO untuk menjamin mutu pelayanan. Sertifikat juga ISO menandakan bahwa sebuah lembaga telah melakukan audit untuk menguji mutu pelayanan yang diberikan. Akan tetapi, di UIN Jakarta sendiri belum semua unitnya mendapatkan sertifikat tersebut. Di rubrik Kampusiana, ada kebiasaan mahasiswa yang mengoleksi barang yang serba mahal. Di mana mahasiswa UIN Jakarta banyak yang membeli serta memburu barang-barang mewah dan bermerek. Selain itu, di rubrik Kampusiana ini menggambarkan mahasiswa yang tak segan mengeluarkan banyak uang untuk perawatan wajah, serta mengunjungi tempat-tempat wisata yang membutuhkan banyak uang. Tabloid Institut merupakan salah satu bentuk wujud bakti kami terhadap kampus tercinta ini. Selain itu, kami selalu ingin membantu UIN Jakarta untuk terus maju dan berkembang. Guna mewujudkan semua itu, kami juga mengajak pembaca budiman untuk turut mewujudkan impianimpian itu. Salam mahasiswa, mari baca, tulis, dan lawan!
UIN Tunda Remunerasi Dosen
|2
menegaskan kepada seluruh satker BLU agar patuh terhadap kebijakan Kemenkeu pada tata kelola atau peraturan, termasuk menerapkan remunerasi sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan Nomor 22 Tahun 2005. “Karena dosen berhak mendapatkan penghargaan dalam bentuk remunerasi,” katanya, Jumat (21/10). Tak seperti UIN Jakarta, salah satu satker BLU: Universitas Bengkulu, sudah menerapkan remunerasi. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Muhammad Arifin mengatakan, remunerasi dosen di Universitas Bengkulu sudah ada sejak Januari 2016. “Meski sudah dapat remunerasi, kami tetap dapat sertifikasi dan tunjangan profesi,” kata Arif saat dihubungi lewat WhatsApp, Kamis (20/10).
Sumber: Hukum.unsrat.com
Salam Redaksi
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
PMK nomor 73 tahun 2007 tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pegawai BLU merupakan landasan remunerasi di seluruh satker BLU. Peraturan ini revisi dari PMK nomor 10 tahun 2006.
Jannah Arijah Tiap satuan kerja (satker) Badan Layanan Umum (BLU) harus memberlakukan remunerasi setelah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) turun. Namun, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta baru menerapkan remunerasi dosen pada 2016. November 2013 silam, UIN Jakarta mendapatkan surat resmi KMK dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai pelaksanaan remunerasi. Namun, UIN Jakarta baru menerapkan remunerasi dosen pada September 2016. Seperti yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 tahun 2006, tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, dan Pegawai BLU, remunerasi adalah imbalan kerja yang dapat berupa gaji, honorarium, tunjangan tetap, insentif, bonus atas prestasi, pesangon, atau pensiun. Seksi Remunerasi Kemenkeu Suwignyo menegaskan, satker BLU yang telah menerima KMK harus melaksanakan remunerasi. Perihal remunerasi, meskipun mendapat KMK pada tahun 2013, UIN Jakarta baru melaksanakan pada tahun 2014. Remunerasi yang diterapkan pun hanya untuk pegawai struktural dan pejabat fungsional. Mengenai itu, Rektor UIN Jakarta Dede Rosyada menjelaskan, dosen belum mendapat remunerasi pada 2014 lantaran dosen UIN Jakarta telah memperoleh sertifikasi dan tunjangan profesi. “Karena pegawai tidak mendapat tunjangan profesi, maka diadakan remunerasi,” ujar Dede saat ditemui di ruang kerjanya, Jumat (14/10). Lebih lanjut Dede mengatakan, UIN Jakarta
baru melaksanakan remunerasi dosen karena adanya surat perintah dari Kementerian Agama (Kemenag). Ia pun mengakui adanya desakan dari Kemenkeu kepada UIN Jakarta agar merealisasikan remunerasi dosen. “Menurut Kemenkeu, dosen pada satker Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) telah mendapat tunjangan kinerja (tukin), sehingga satker BLU seperti UIN Jakarta sudah harus melaksanakan remunerasi dosen,” ungkapnya, Kamis (20/11). Terkait pernyataan Dede, Direktur Jendral (Dirjen) Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) Amsal Bachtiar membantah adanya perintah tentang pelaksanaan remunerasi dosen dari Kemenag kepada UIN Jakarta. Menurut Amsal, remunerasi sudah diatur dalam undangundangnya, sehingga remunerasi adalah kewajiban bagi satker yang telah berstatus BLU. Selain itu Amsal menjelaskan, pada dasarnya remunerasi diberikan kepada seluruh pegawai. “Satker BLU tidak boleh membeda-bedakan antara dosen dan pegawai. Semua yang tertulis sebagai penerima remunerasi, harus diberikan remunerasinya,” tegasnya. Sama halnya dengan Amsal, Suwignyo pun menyangkal pernyataan rektor tentang adanya desakan dari Kemenkeu terkait remunerasi dosen. Bahkan, ia mengaku tak tahu-menahu jika Kemenkeu mendesak UIN Jakarta. Menurutnya, penerima remunerasi pada satker BLU mencakup pegawai (yang di dalamnya termasuk dosen), dewan pengawas, dan pejabat pengelola yaitu rektor dan wakil rektor. Sehubungan dengan itu, Suwignyo
Menimbang Remunerasi Dosen Meski baru menerapkan remunerasi pada 2016, bukan berarti UIN Jakarta tidak membayar kerja dosen di luar beban kerjanya. Dede mengungkapkan, kerja dosen di luar tugasnya dibayar pihak kampus menggunakan sistem honor. “Jika ada dosen yang kelebihan jam mengajar, kemudian mereka laporkan kepada bendahara, pasti langsung dibayar,” tutur Dede. Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan UIN Jakarta Subarja mengakui tidak efesiennya sistem honor yang dilakukan sebelum adanya remunerasi. Hal tersebut dikarenakan data antara laporan Kelebihan Jam Mengajar (KJM) dengan honor yang dibayarkan bendahara tidak tersusun dengan baik. “Jadi selama ini datanya (honor KJM) berantakan,” ungkapnya, Kamis (20/10). Melalui sistem remunerasi, sambung Subarja, data pengeluaran honor dosen di luar jam kerja dapat terakumulasi dengan baik. Karena adanya surat perintah dari Kemenag dan desakan dari Kemenkeu, Dede mulai merancang sistem untuk remunerasi dosen. Remunerasi dosen berawal dari adanya surat Rektor nomor Un.01/R/Kp.01.1/1863/2016 untuk Senat Universitas (Senat-U) UIN Jakarta pada 21 Juni 2016. Surat tersebut berisi permohonan pembahasan persetujuan remunerasi dosen. Menindaklanjuti surat tersebut, Senat-U mengadakan studi banding ke 22 perguruan tinggi, di antaranya Universitas Sumatera Utara, Universitas Andalas, UIN Wali Songo, Universitas Indonesia, Universitas Negeri Semarang, dengan tujuan dapat mempelajari sistem temunerasi yang ada di universitas tersebut. Setelah melakukan studi banding, tepat pada 18 Agustus Senat-U mengeluarkan surat tentang saran pertimbangan pemberlakuan sistem remunerasi dosen. Masih ada beberapa poin pertimbangan dalam surat tersebut, di antaranya Senat-U meminta sistem remunerasi dosen dipersiapkan dengan hati-hati supaya terjaga kelanjutannya. Selain itu, agar remunerasi dosen tidak mengakibatkan defisit anggaran dengan meningkatkan pendapatan dari pendapatan negara bukan pajak di luar uang kuliah. Ketua Senat-U Athof Mudzar mengatakan, semua pertimbangan dilakukan demi mendapat keputusan yang baik. “Jangan seperti UIN Sunan Ampel Semarang yang remunerasinya tidak berkelanjutan,” cetusnya.
Pemimpin Umum: Erika Hidayanti | Sekretaris Umum: Syah Rizal | Bendahara Umum: Triana Sugesti | Pemimpin Redaksi: Arini Nurfadilah | Redaktur Online & Web Master: M. Rizky Rakhmansyah | Pemimpin Litbang: Yasir Arafat | Riset dan Dokumentasi: Ika Puspitasari | Pemimpin Perusahaan: Jeannita Kirana Anggota: Aisyah Nursyamsi, Dicky Prastya, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lia Esdwi Yani Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin Lubis Koordinator Liputan: Eko Ramdani | Reporter: Aisyah Nursyamsi, Dicky Prastya, Eko Ramdani, Eli Murtiana, Jannah Arijah, Lia Esdwi Yani Syam Arif, Yayang Zulkarnaen, dan Zainuddin Lubis Editor: Arini Nurfadilah, Erika Hidayanti, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Syah Rizal, Triana Sugesti, Yasir Arafat | Fotografer: Instituters Desain Visual & Tata Letak: Eko Ramdani, Dicky Prastya, Syah Rizal | Ilustrator: Eko Ramdani | Karikaturis: Aisyah Nursyamsi | Editor Bahasa: Arini Nurfadilah Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 085722423074 | Email: redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~
Laporan Utama
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
Foto: Eko/Ins
Sertifikat ISO Belum Merata
Eko Ramdani
Seorang mahasiswa sedang berdiri di depan loket Bagian Keuangan UIN Jakarta (20/10). Bagian keuangan adalah salah satu unit kerja yang sudah sertifikasi ISO.
Sertifikat International Organization for Standardization (ISO) menjadi ukuran untuk meningkatkan mutu pelayanan sebuah institusi. Bercita-cita memiliki pelayanan terbaik, hanya sebagian unit di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang bersertifikat ISO. Pelayanan yang baik dan cepat akan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan di tingkat nasional dan internasional. Demi mencapai cita-cita itu, UIN Jakarta melakukan sertifikasi di berbagai unit kerjanya, salah satunya sertifikat ISO. Sertifikat ISO menandakan bahwa sebuah lembaga telah melakukan audit untuk menguji mutu pelayanan yang diberikan. Namun, di UIN Jakarta sendiri belum semua unitnya mendapatkan sertifikat tersebut.
ISO adalah organisasi yang melakukan sertifikasi terhadap berbagai aspek di sebuah perusahaan termasuk manajemen pelayanan mutu (ISO 9001) yang ada di lembaga pendidikan. Menurut Dekan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Agus Salim, pelayanan yang dimaksud juga termasuk keramahan yang diberikan untuk pelanggan. “Paling tidak petugas harus ramah dan senyum,” katanya, Senin (17/10). Pelayanan yang dapat diberikan
oleh lembaga pendidikan salah satunya adalah konsultasi studi mahasiswa dengan dosen. Salah satu mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Siti Nur Asiyah pernah mengalami pelayanan yang kurang maksimal. Saat menghubungi salah satu dosennya untuk melakukan bimbingan, respons yang diberikan cukup lama. Mahasiswa semester lima ini pernah menghubungi dosennya melalui telepon dan pesan singkat. Namun,
Realisasi Pagu Anggaran Sumber: Bagian Keuangan UIN Jakarta
respons yang didapat tak sesuai dengan harapannya. “Ditelepon enggak diangkat. Kalau pesan singkat lama balasnya,” ungkap Nur, Rabu (19/10). Bukan hanya respons dosen yang lama, Nur juga pernah mendapat pelayanan yang kurang maksimal dari Bagian Umum UIN Jakarta. Saat ingin mengajukan surat peminjaman tempat, biasanya perlu waktu lebih dari seminggu untuk mendapatkan kepastian. Setelah Nur menunggu lebih dari seminggu, ternyata surat yang ia berikan belum juga diproses oleh Bagian Umum. “Saat mengajukan surat peminjaman tempat, siswa magang yang melayani dan surat yang belakangan masuk malah diproses duluan,” ujarnya, Rabu (19/10). Sementara itu, Agus memaparkan, saat ini FST telah masuk tahun ke empat tersertifikasi ISO. Akan tetapi, masa berlaku sertifikat tersebut akan berakhir pada akhir tahun ini. Hingga saat ini pun pihak fakultas belum mengajukan untuk diperpanjang karena ada rencana dari universitas untuk berganti lembaga sertifikasi ISO. Bukan hanya FST yang pada tahun ini sertifikat ISO-nya akan kedaluwarsa, tapi juga Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) bahkan telah kedaluwarsa sertifikatnya sejak 2015 lalu. FITK tidak memperpanjang masa berlaku sertifikat tersebut karena ada perintah dari rektorat untuk tidak melakukannya. Sekarang, pihak rektorat ingin memusatkan sertifikasi ISO di tingkat universitas saja. Di sisi lain, Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum FITK Ahmad Sofyan menanggapi, walaupun di tingkat fakultas sudah tidak lagi tersertifikasi ISO, namun mutu pelayanan tetap terus dipertahankan. “Di bagian akademik lantai 2 FITK, tersedia komputer yang dapat digunakan mahasiswa untuk mencetak surat. Itulah salah satu pelayanan yang kami pertahankan” ujarnya, Senin (17/10). Lain halnya dengan FST dan FITK, FAH hingga saat ini belum pernah
|3
mendapatkan sertifikat ISO. Dekan FAH Sukron Kamil mengungkapkan, memang FAH belum memperoleh ISO karena sertifikat tersebut sudah ada di tingkat universitas. Sehingga bisa berlaku untuk semua unit yang ada di dalamnya termasuk fakultas. Sukron menambahkan, saat ini pihak fakultas lebih fokus pada peningkatan kualitas pendidikan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Itu dibuktikan FAH dengan memperoleh sertifikasi ASEAN University Network-Quality Assurance untuk Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. “Walau tidak tersertifikasi ISO, tapi kami tetap menjaga kualitas pelayanan dengan melakukan rolling pegawai jika mereka tidak bekerja dengan baik atau tidak sesuai dengan SOP,” ujarnya, Rabu (19/10). Lebih lanjut mengenai pengawasan mutu pelayanan yang ada di tiap unit UIN Jakarta, Pengembangan Dokumen dan Instrumen ISO Lembaga Penjaminan Mutu UIN Jakarta Ramdani Miftah mengatakan, di setiap unit ada Quality Management Representatif (QMR). Tugas utama QMR adalah mengawasi dan bertanggung jawab atas pelayanan yang diberikan di unit masing-masing. Selain itu, berbagai pelatihan juga diberikan agar sumber daya manusianya sanggup dengan tuntutan ISO. Hingga saat ini di UIN Jakarta, tutur Ramdani, baru empat fakultas yang pernah tersertifikasi ISO. Fakultas Dirasat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, FST, dan FITK adalah unit yang mendapatkan sertifikat ISO. “Inisiatif untuk pertama kali melakukan sertifikasi ISO berawal dari FITK,” ungkapnya, Jumat (21/10). Ramdani melanjutkan, untuk unit yang mempekerjakan siswa magang, tugas yang diberikan tidaklah sebanyak pegawai. Maka dari itu, siswa magang seharusnya hanya dibebankan untuk membantu dan melakukan dokumentasi saja.
Infografis
Realisasi
Pagu Anggaran Desain Visual: Dicky Prastya & Syah Rizal
Laporan Khusus
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
Manuskrip Bukan Prioritas
|4
Sumber Foto: Oman Fathurrahman
Oman Fathurahman (kanan) beserta tim peniliti manuskrip dari Tokyo University of Foreign Studies tengah meneliti manuskrip di Surau Calau, Sijunjung,Sumatra Barat pada 1317 September 2011 lalu. Beberapa manuskrip yang berhasil ia identifikasi antara lain Syair Dagang karya Hamzah Fansuri, Jawhar al-Haqa’iq karya Syamsuddin al-Sumatra’i, dan Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi karya Abdurrauf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fansuri.
Dicky Prastya Beberapa sivitas akademika mengeluhkan tidak adanya manuskrip di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pengadaan manuskrip bukanlah prioritas utama. Perkenalan Rizqal Fadilla dengan manuskrip dimulai saat ia mempelajari mata kuliah (matkul) Filologi di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Jakarta. Kala itu, ia tengah duduk di semester tiga. Tak kurang sekali dalam seminggu ia rutin mengkaji Filologi dalam perkuliahannya. Bukan manuskrip ataupun naskah kuno, buku fotokopianlah yang menjadi pedoman Rizqal mempelajari Filologi. Di kelas pula, ia bersama rekannya mengupas teori dan metode yang terdapat dalam buku tersebut. Hal itu dilakukan Rizqal demi mendalami Filologi sebelum mengkajinya dalam manuskrip. Terlebih saat tiba ujian tengah semester, dosen Filologi menugaskan Rizqal untuk meneliti sebuah manuskrip. Saat itu, ia sempat diberikan tugas meneliti manuskrip yang membahas tata letak kota Yogyakarta. Untuk memenuhi tugasnya, tak jarang ia mengunjungi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). “Selain memakan waktu, juga memakan biaya. Mahal loh kalau kita memfotokopi arsip di ANRI maupun Perpusnas,” keluhnya ketika ditemui Institut di Basement FAH, Senin (10/11). Mahasiswa yang
sekarang menjalani perkuliahan di semester tujuh ini menilai, jikalau Pusat Perpustakaan (PP) UIN Jakarta memiliki koleksi manuskrip, atau replikanya, pasti akan sangat membantu mahasiswa ataupun dosen yang membutuhkan manuskrip. Serupa dengan Rizqal, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab (BSA) FAH Ade Seilawati Putri juga turut mempelajari manuskrip. Hanya saja ia memakai manuskrip sebagai objek matkul Kodikologi. Pada semester lima ini, tak kurang satu kali dalam seminggu ia belajar Kodikologi dalam perkuliahannya. Mahasiswi yang akrab disapa Putri ini menjelaskan, persamaan antara Filologi dengan Kodokilogi terletak pada objek kajiannya, yakni manuskrip. Akan tetapi, Filologi fokus membahas kandungan manuskrip. Sedangkan Kodikologi lebih pada kajian luarnya, semisal umur naskah, kertas, dan jenis tulisan. Dalam perkuliahan Kodikologi, Putri hanya mempelajari manuskrip melalui foto yang ditampilkan lewat proyektor. Sayangnya ketika foto diperbesar, ia kecewa lantaran foto justru kian sukar dilihat. Baginya, metode pembelajaran seperti ini tidaklah efektif bagi mahasiswa. “Lebih baik belajar lewat internet ketimbang tak paham sama sekali,”
tegasnya,” Kamis (20/10). Menanggapi demikian, Dosen Filologi SKI Tati Hartimah menuturkan, metode pengajaran Filologi dilakukan secara bertahap. Awalnya, mahasiswa belajar teori. Setelah itu, barulah ia menugaskan mahasiswa meneliti manuskrip. Bukan cuma itu, demi menambah pemahaman Filologi, ia pun kerap mengajak mahasiswa berkunjung ke Perpusnas dan ANRI. “Saya sendiri tak memiliki koleksi manuskrip pribadi. Sebab, belajar Filologi tanpa teori adalah mustahil,” imbuhnya, Kamis (20/10). Dosen yang baru saja menyelesaikan program doktornya ini menambahkan, tahun Ini merupakan kali kedua ia menjadi dosen Filologi di FAH. Walau tak memiliki latar belakang manuskrip, ia optimis bisa mengajarkan mahasiswa, manuskrip bagi terutama yang berbahasa Melayu dan Sunda. Lain halnya dengan Dosen Fakultas Ushuluddin (FU) Wiwi Siti Sajaroh, ia mengeluhkan nihilnya manuskrip di UIN Jakarta membuat matkul Tasawuf Nusantara yang ia ajarkan belumlah maksimal. Materi ajarnya yang konsen pada ajaran tokoh Tasawuf mengharuskan manuskrip menjadi rujukan utama. “Ini kendalanya, kampus ini belum punya manuskrip, Baiknya
UIN Jakarta memiliki lembaga pengelolanya tersendiri.” ungkapnya, Sabtu (22/10). Wiwi pun menyadari, walau matkul yang ia ajarkan tidak khusus mengkaji manuskrip. Namun, bila ada manuskrip maka akan sangat mempermudah proses pembelajaran. Ia pun mencari solusi lain dengan menggunakan sumber sekunder, semisal mengkaji ulang hasil penelitian orang lain. Dengan demikian, mahasiswa dapat menjadikan itu sebagai salah satu referensi pembelajaran. Ihwal tidak adanya manuskrip di UIN Jakarta. Koordinator Layanan Teknis PP Siti Maryam menjelaskan, PP bisa saja menyediakan koleksi manuskrip. Akan tetapi, hanya segelintir orang saja yang membutuhkan sumber tersebut. “Kita lebih mengalokasikan anggaran ke koleksi yang dipakai semua orang,” jelasnya,” Jumat (21/10). Maryam mengatakan, sejauh ini infrastruktur menjadi kendala utama dalam pengadaan manuskrip. Manuskrip sendiri, tambah ia, memerlukan perawatan ekstra, seperti rak, ruangan khusus, dan suhu ruangan yang stabil. “Buku saja banyak yang rusak, bagaimana mau merawat manuskrip,” keluhnya. Menurut Guru Besar Filologi FAH UIN Jakarta Oman Fathurahman,
manuskrip erat hubungannya dengan Ilmu Humaniora semacam Sejarah, Linguistik, Sastra, dan Budaya. Namun bila diperhatikan lebih saksama, naskah kuno dapat pula dipakai dalam matkul di Fakultas Syariah dan Hukum dan FU. “Sejauh kajiannya terdapat dalam manuskrip, siapa saja bisa menggunakan sumber tersebut,” jelasnya, Rabu (12/10).
Apa itu Manuskrip? Oman yang juga selaku Anggota International Advisory Panel dalam The Endagered Archives Programme (EAP) di The British Library ini memaparkan, manuskrip sering juga disebut naskah kuno tulisan tangan. Berdasarkan Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, lanjut ia, naskah kuno tulisan tangan berusia minimal 50 tahun dan memuat konten sejarah, pendidikan, agama, dan kebudayaan, maka itu dapat dikategorikan sebagai benda cagar budaya. Lebih lanjut, Oman menambahkan, secara substansi manuskrip merupakan wadah buat orang dahulu untuk mengabadikan aktivitas dan pengetahuannya ke dalam tulisan. Bila dikaitkan dengan konteks sekarang, fungsi manuskrip mirip layaknya buku di zaman modern.
tambahkan akun resmi line kami @xbr4277p
WWW.LPMINSTITUT.COM UPDATE TERUS BERITA KAMPUS
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
Realitas Mahasiswa Koleksi Barang Branded Eli Murtiana
Dua mahasiswi UIN Jakarta berkunjung ke toko baju di pusat perbelanjaan bilangan Bintaro, Kamis (20/10). Demi menunjang penampilan sebagian mahasiswa rela mengeluarkan uang hingga puluhan juta rupiah untuk membeli barang mahal bermerek.
Penggunaan barang bermerek bagi mahasiswa makin berani terbuka. Konsekuensi dari perkembangan zaman yang menuntut kemewahan telah masuk ke perguruan tinggi. Bagi Abdul Azis, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik (Ipol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, urusan penampilan bukan hanya bagaimana cara berpakaian, tetapi juga bagaimana tampak keren dipandang orang lain. Demi memaksimalkan penampilannya sehari-hari ia bisa merogoh kocek yang tidak sedikit untuk membeli barangbarang bermerek. Saat itu mahasiswa semester
tujuh ini tengah asyik berdiskusi dengan teman kelasnya. Sesekali, Azis (sapaan akrabnya) melirik Iphone 6 kepunyaannya sambil membetulkan topi putih bermerek Nike yang dikenakannya hari itu. Ia mengakui, betapa pentingnya akan sebuah penampilan tak terkecuali saat ke kampus. “Penampilan itu bagi gua ya nomor satu,” ujarnya, Selasa (11/10). Azis menuturkan, tak jarang ia membelanjakan uangnya untuk membeli barang bermerek istilah
Aisyah Nursyamsi Menjadi surveyor tak sekadar mendapatkan pendapatan sampingan saja. Namun juga menambah pengalaman dan ilmu baru untuk mahasiswa. Sebelum melaksanakan tugasnya untuk menyurvei masyarakat, terlebih dahuluAhmad Shidqi Maulana mengikuti pembekalan dalam bentuk workshop yang lembaga penelitian laksanakan. Di lapangan Shidqitidak langsung dihadapkan pada masyarakat, melainkan dituntut untuk mencari data dengan metode wawancara. Itulah gambaran yang lazim Shidqi lakukan selama menjadi surveyor di beberapa lembaga penelitian. Tak cukup sampai disitu, surveyor kembali melakukan survei. Kali ini, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) meminta tanda tangan sebagai perwujudan permintaan izin kepada struktural desa yang akan dijadikan responden. Bak seorang tamu ia meminta izin terlebih dahulu kepada struktural desa selaku tuan rumah. Walhasil, mahasiswa mulai melakukan pencarian data dengan menggunakan metode acak di rumah seseorang yang nantinya akan menjadi responden. Ketertarikannya menjadi surveyor lantaran banyaknya survei yang meneliti kegiatan yang berhubungan dengan ekonomi politik. “Kebetulan pas dengan jurusan yang tengah saya pelajari,” ungkapnya, Kamis (21/10). Menurutnya, selain memberikan pendapatan tambahan, mahasiswa juga mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dengan mempraktikkan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif di lingkungan nyata. Serupa dengan Shidqi. Sarah HN juga pernah menyurvei masyarakat dan terlibat dalam suatu lembaga penelitian.Ia tertarik menjadi surveyor lantaran ingin menambah pengalaman dan berhadapan dengan lingkungan baru. Saat melakukan survei, kata Sarah,
iaberusaha menjelaskan kepada masyarakat agar mereka memahami isi kousiouner. Menurutnya, kesulitan yang ia hadapi salah satunya adalah jauhnya jarak antara desa yang satu dengan desa yang lain. Hal ini didukung pula oleh sulitnya akses transportasi menuju lokasi. Beberapa kali mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini pernah membawa kousioner yang tak terisi kosong karena penolakkan dari para responden. “Saya juga pernah mendapati responden yang tidak berada di rumah,” kenangnya, Rabu (19/10). Ia juga memiliki pengalaman menarik ketika melakukan survei di sebuah lembaga terkait pemilihan gubernur (pilgub).Tak sedikit orang-orang yang salah paham dan menganggap jika Sarah adalah orang bayaran dari salah satu kandidat.“Banyak pelajaran yang diambil, seperti menghadapi orangorang yang berada di lingkungan baru. Ada trik-trik tersendiri untuk berkomunikasi, sebelumnya kita berusaha menjelaskan dulu agar masyarakat memahami isi kuesioner,” tambahnya. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Ferizco Khusyufi Setiawan juga mempunyai cerita tak menyenangkan tatkala menjadi surveyor. Seringnya penolakan dan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap kuesioner yang ia berikan seringkali menjadi kendala bagi mahasiswa yang akrab dipanggil Ferizco ini. Namun berbeda dengan Shidqi dan Sarah yang memang dari awal tertarik dengan kegiatan sebagai
lain branded mulai dari jam tangan, sepatu, hingga gadget mahal masa kini. Semua itu berguna untuk menunjang penampilannya walaupun harus mengeluarkan uang hingga puluhan juta rupiah. Kebiasaan membeli barang mahal tersebut diakuinya sudah berlangsung lama bahkan sebelum berkuliah di UIN Jakarta. Tak sedikit mahasiswa menilai dirinya berlebihan dalam hal penampilan. Hal serupa juga terdapat pada diri Linda Noviyanti, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora. Terkait penampilan sehari-hari, ia perlu menyelaraskan apa yang dikenakannya agar enak
dipandang orang lain. Akan tetapi, ia mengakui ada barang yang dijadikan koleksi yaitu tas mulai dari harga Rp250 ribu sampai Rp2 juta ke atas. Senada dengan Linda, mahasiswi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Fajriyatul Laili pernah membelanjakan uangnya untuk membeli tas merek “Kate Spade” seharga kurang lebih Rp3 juta. Serta tas merek “Guess” miliknya yang juga berharga jutaan rupiah, seringkali barang-barang tersebut ia kenakan ke kampus. Terkait batasan pengeluaran, Linda tidak mematok harga tersendiri namun pernah mengeluarkan uang cukup besar untuk perawatan wajah mencapai Rp6 juta. Selanjutnya, memiliki barang bermerek bukan hal yang disengaja tapi tergantung pada kesukaan ditambah kenyamanan saat digunakan. “Kebetulan aja sih yang disuka dan nyaman rata-rata bermerek,” sahutnya, Rabu (12/10). Begitupun, Dzikrina Nur Fatimah mahasiswi Jurusan Ipol FISIP UIN Jakarta mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli tas, sepatu karena tertarik akan barang tersebut. Tak menutup kemungkinan ia membeli barang dengan harga murah. Ia mengakui bahwa penampilan itu penting karena mencerminkan kepribadian seseorang. Terkait aktivitas wajibnya yaitu berada di sebuah partai politik yang menuntutnya berpenampilan baik. Sayangnya, dalam membelanjakan barang mahal beremerek, keempat mahasiswa ini masih menggunakan uang orangtua. Namun, bagi Dzikrina ada beberapa barang yang ia beli dari hasil kerjanya. Selain itu, Linda dalam
|5
hal pengeluaran belanja dan perawatan didapat dari orangtua, walaupun pernah mempunyai onlineshop yang kerap kali menghasilkan uang. Kendatipun telah mendapatkan persetujuan asalkan tidak melebihi pengeluaran orangtuanya. “Ya setuju aja asal jangan lebih dari pengeluaran mama,” ujarnya. Berbeda dengan Linda, Fajriyatul Laili yang akrab disapa Riri ini sebagian besar menggunakan uang pribadinya. Walaupun masih mendapat uang bulanan dari orangtua, ia kerap bekerja paruh waktu di akhir pekannya.”Ikut event gitu, lumayan perharinya Rp250 ribu,” terangnya melalui pesan WhatsApp, Kamis (13/10). Kecenderungan membeli barangbarang bermerek dengan harga mahal merupakan tren budaya barat. Hal ini juga diamini oleh Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan, Yusron Razak. Menurutnya, ini menjadi konsekuensi yang logis dari perubahan Institut Agama Islam Negeri menjadi UIN. Pasalnya, perubahan tersebut berimbas pada masuknya beragam latar belakang pendidikan dan berimplikasi pada corak gaya hidup mahasiswa. “Kalo enggak ikut tren, enggak gaul,” tegasnya, Rabu (12/10). Perilaku dalam membelanjakan uang yang berlebihan ini dianggap Yusron tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam, yang berkaitan dengan nilai kesederhanaan. Apalagi itu bisa menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara mahasiswa lain. Bahkan ditakutkan untuk memperoleh barang mahal tersebut dengan cara yang tidak halal. Apalagi perilaku bermewahmewahan ini bisa berujung pada penggunaan obat-obatan terlarang seperti Narkoba.
Pengalaman Dahulu Pendapatan Kemudian
Foto: Atina Rahmawati
Foto: Eli/Ins
Kampusiana
Seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir, FU, tengah menyurvei warga terkait kinerja pemerintah Jakarta di Kelurahan Makasar, Jakarta TImur, Rabu (12/10). Selain menerima pendapatan sampingan, mahasiswa juga mendapatkan pengalaman baru selama menjadi surveyor.
surveyor, terlibatnya Ferizco menyurvei masyarakat berawal dari ajakan seorang teman.“Awalnya biasa aja karena berawal dari ajakan teman saya,”tegasnya, Jumat (21/10). Ia mengaku mendapatkan pengalaman dan uang saku tambahan dari pekerjaannya menjadi surveyor. Terlibatnya mahasiswa menjadi surveyor dibenarkan pula oleh Irfan Abu Bakar selaku Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya atau Center For Study of Religion and Culture (CSRC). Melibatkan mahasiswa dalam survei merupakan sebuah tujuan praktis karena mahasiswa diasumsikan telah mengerti dan dapat diandalkan terkait survei di
lapangan. “Kenapa mahasiswa? Karena secara dasar mereka telah mempelajari beberapa metode penelitian. Selain tidak hanya metode penelitian saja,” tutur Irfan di ruang kerja, lantai dua pusat bahasa UIN Jakarta, Jumat (21/10). Ia mengasumsikan mahasiswa dapat diandalkan lantaran memiliki sikap yang baik. Salah seorang peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)Endi Aulia garadia juga membenarkan adanya keterlibatan mahasiswa dalam melakukan survei. Memang tidak ada aturan yang menetapkan mahasiswa sebagai
surveyor.Ia mengungkapkan, bisa saja dosen atau peneliti sebenarnya yang melakukan survei langsung ke lapangan. ‘Hanya saja dosen dan peneliti hanya memiliki waktu terbatas karena harus berada di kampus atau lembaga penelitian,” tambahnya, Kamis (21/10). Tak hanya itu,prosedur penarikkan mahasiswa sebagai surveyor cukup sederhana dan tidak membutuhkan akomodasi besar. Mahasiswa juga dianggap lebih mengenal medan.“Dibandingkan dengan dosen, mahasiswa mobilitasnya lebih luwes jadi lebih menguasai medan dan bergerak lebih bebas,” ungkapnya, Rabu (19/10).
Survei
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
Saatnya Murni Melayani Publik Demi meningkatkan kualitas pelayanannya, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta melakukan sertifikasi berstandar intternasional di berbagai satuan unit kerjanya. Salah satunya dengan menerapkan International Organization for Standardization (ISO). Â ISO sendiri merupakan organisasi yang melakukan sertifikasi terhadap berbagai aspek di sebuah perusahaan termasuk manajemen pelayanan mutu (ISO 9001) yang ada di lembaga pendidikan. Sertifikasi ISO menandakan
bahwa lembaga tersebut telah melakukan audit untuk menguji mutu pelayanan yang diberikan. Menurut Pengembangan Dokumen dan Instrumen ISO Lembaga Penjaminan Mutu UIN Jakarta Ramdani Miftah, ISO berfungsi untuk memastikan prosedur pelayanan yang ada di perguruan tinggi. Maka demikian setiap fakultas dan lembaga di UIN Jakarta diharuskan memiliki sertifikasi ISO. Selanjutnya setiap lembaga yang telah memperoleh sertifikasi ISO, nantinya akan dikontrol oleh
Quality Management Representatif (QMR). QMR sendiri berfungsi untuk memastikan program ISO berjalan baik. Lebih lagi, ia mengatakan, sejauh ini sudah ada empat fakultas di UIN Jakarta yang berstandar ISO, yakni Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Sain dan Teknologi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, serta Fakultas Dirasat Islamiyah. Sedangkan, lanjut Ramdani, untuk tingkat kelembagaannya meliputi Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian, Biro Administrasi
Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama, Biro Akademik, Lembaga Penjaminan Mutu, Perpustakaan, Pusat Bahasa, dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M). Di satu sisi, walaupun beberapa lembaga di UIN Jakarta telah menerapkan ISO. Namun nyatanya, sebagian besar mahasiswa merasa pelayanan yang diberikan belumlah maksimal. Untuk itu, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut melalui divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) melakukan survey agar
|6
kinerja pelayanan kampus ini dapat dirasakan baik oleh seluruh civitas akademika di UIN jakarta.
*Survei ini dilakukan oleh Litbang Institut pada 13-19 Oktober 2016 kepada 200 responden dari mahasiswa di seluruh fakultas yang ada di UIN Jakarta. Metode pengambilan dalam survei ini adalaah propotionated stratified random sampling. Hasil ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi lembaga dan fakultas di UIN Jakarta.
Desain Visual: Zain/Ins
Redaksi LPM Institut
Menerima: Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email: redaksi.institut@gmail.com Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 087885472591 Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.
Perjalanan
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
|7
Eksotisme Pariaman Aisyah Nursyamsi
“Di Pariaman, oy baralek gadang di bulan Tabuik sabana ramai.”(di Pariaman oy tengah ada perayaan besar, di bulan Tabuik demikian ramai). Begitulah penggalan dari lirik lagu daerah Pariaman berjudul Dindin Ba Dindin.Dari pusat kota Padang, untuk menuju Pariaman membutuhkan jarak 60 kilometer. Sekitar 100 meter dari pusat kota Pariaman, terdapat pesisir pantai yang menjadi objek wisata, yaitu Pantai Gandoriah. Objek wisata Pantai Gandoriah terkenal air lautnya yang berwarna biru. Tak jauh dari Pantai Gandoriah, pelancong dapat mengunjungi lima gugus pulau yang berada di depan pantai Gandoriah yaitu Pulau Angso Duo, Pulau Kasiak, Pulau Tangah, Pulau Gosong dan Pulau Bando. Kelima pulau ini menjadi objek wisata utama di Kota Pariaman. Cukup dengan membayar Rp75 ribu pelancong dapat menggunakan fasilitaskapal kayu angkutan penumpang atau pompong pulang dan pergi ke lima pulau. Di sana pelancong akan dimanjakan dengan pemandangan hamparan pasir putih. Jikahari cerah pada pukul 12.00ketikaair pasang,pelancong akan melihat taman karang tanpa harus menyelam ke dalam laut. Dari permukaan laut dapat pula melihat langsung biota laut seperti lintah laut, bulu babi, bintang laut dan ular laut di bawah permukaan air laut yang
jernih. Selama mengunjungi batu karang, pelancong disarankan untuk mengenakan alas kaki untuk menghindari luka karena batu karang yang lumayan tajam. Pulau Angso Duo juga menyediakan wahanaBanana Boat. Tak kurangdari 500 meter arah timurPantai Gandoriah,pelancong dapat mengunjungi penangkaran penyu di Pantai Penyudengan berjalan kaki. Selama di Pantai Penyu, pelancong bisa melihat langsung proses penangkaran penyu dari sebuah telur hingga dilepaskan ke lautan lepas. Pengunjung juga bisa melepaskan penyu secara langsung. Tak hanya terkenal dengan pantai sebagai objek wisatanya, Kota Pariaman juga terkenal karenamemegang teguh adat dan tradisi. Setiap tahun baru Hijriyah di 10 Muharam ada tradisi rutin yaitu Tabuik.Tradisi Tabuik ini di mulai pada pukul 06.00 WIB, penduduk asli dan wisatawan mulai mendekati sebuah tugu berbentuk kuda berkepala seorang wanita yang berada di tengah lingkar jalan kota Pariaman. Bukan tugu yang menjadi daya tarik wisatawan, tapi dua boneka berukuran besar dengan bentuk menyamai rupa tugu. Boneka tersebut mempunyai artian sebagai Buraq, kendaraan Nabi Muhammad ketika melaksanakan Isra dan Mi’raj. Di sekeliling Tabuik tersebut
Sumber: Jelajahikotapariaman.com
Pariaman terkenal dengan Pantai Gandoriah sebagai objek wisatanya. Tak hanya itu Pariaman juga memiliki tradisi unik yang diburu wisatawan.
terlihat lima pemuda tengah memukul tasa, tasa merupakan alat musik khas Sumatera Barat berbentuk gendang terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. Sekitar sepuluh laki-laki mengangkat Tabuik sembari menggerakkanya ke kiri dan ke kanan mengikuti irama tasa. Dalam acara perayaan 10 Muharram ini, terdapat dua kelompok yang berbeda membuat Tabuik. Kedua Tabuik diarak mengelilingi Pasar Pariaman dan berakhir di tepi Pantai Gandoriah. Lautan manusia memenuhi Pantai Gandoriah serta mencari posisi terbaik untuk melihat pelaksanaan tradisi Tabuik. Banyak para wisatawan yang mendokumentasikan tradisi Tabuikini. Selagi Tabuikdiarak ke laut, beberapa wisatawan menunggu di pesisir laut dengan menggunakan pompong agar melihat dari dekat
proses pembuangan Tabuik. Tepat pukul 06.00 WIB, kedua Tabuik dijatuhkan ke pantai dan materialnya langsung menjadi rebutan bagi masyarakat. Menurut kepercayaan masyarakat di sana, material dari Tabuik dapat membawa pengaruh baik bagi usaha dan kehidupan mereka. “Katanya sih buat pelaris, tapi saya tidak sepenuhnya percaya. Hanya ikutikutan saja,” tutur Ramdani, salah seorang pengunjung asal Pariaman ini. Tak begitu sulit mencapai objek wisata di kota Pariaman, Sumatera Barat. Tersedia berbagai transportasi yang mudah dijangkau dan tidak perlu merogoh kocek terlalu banyak. Jika perjalanan dimulai dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM), cukup menempuh jaraksekitar 24 km
perjalanan dari pusat Kota Padang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman. Tak sampai menghabiskan waktu lama karena hanya membutuhkan satu jam perjalanan saja. Selain menggunakan kendaraan roda empat, untuk menuju Pariaman bisa juga menggunakan kereta api khusus perjalanan wisata rute Padang–Pariaman. DariStasiun Simpang Haru, Jalan Stasiun No. 1, Simpang Haru, Kecamatan Padang Timur, Padang, Sumatera Barat. Cukup dengan membayar Rp5 ribu tiap orang, sudah bisa langsung menaiki kereta dengan memakan waktu dua jam perjalanan. Pemberhentian kereta terakhir tepat di Stasiun Pariaman, dengan begitu pengunjung akan langsung berada di depan objek wisata Pariaman.
Opini
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
|8
Peduli Jakarta, Karena Jakarta adalah Kunci Oleh Azami Mohammad*
Jakarta sedang mencari gubernur baru. Bagaikan magnet, Jakarta menjadi daya tarik perhatian seluruh masyarakat Indonesia, mengalahkan perhatian kita terhadap putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan gugatan larangan beroperasi pabrik semen yang merusak alam di Pegunungan Kendeng, Rembang. Menjadi daya tarik, sebab tren politik hari ini mengatakan, kalau Jakarta sudah dikuasai, maka kans menjadi presiden Indonesia terbuka lebar. Hal tersebut sudah dibuktikan oleh Joko Widodo yang mungkin jika D.N. Aidit masih ada, perkataan “Jawa adalah koentji” akan diubah menjadi “Jakarta adalah Kunci”. Semenjak zaman Jan Pieterzoen Coen, Jakarta memang kontroversial. Perputaran uang sejak era kolonial sudah berada di sini, karena memang Jakarta (Batavia) adalah pusat administrasi dan perdagangan VOC di Hindia Belanda. Jangan heran jika uang hanya berputar-putar di sini dan menyebabkan kecemburuan bagi wilayah-wilayah lainnya di Indonesia. Kekesalan rakyat Aceh, Maluku, dan Papua hingga ingin memisahkan diri salah satunya disebabkan oleh penumpukan modal kapital dan kekuasaan yang hanya berkutat di Jakarta. Belum lagi tipologi masyarakatnya yang beragam atau dalam istilah Lance Castle “Melting Pot” menjadikannya sebagai wilayah yang teramat majemuk bagi kehidupan masyarakatnya. Pembangunan pun tak hentihentinya mengubah wajah Jakarta.
Mulai dari infrastuktur seperti sarana transportasi, jalan raya, gedung administrasi negara, pusat bisnis, hingga etalase kemewahan seperti apartement, perumahan elite, mall, dan pusat-pusat hiburan dari tahun ke tahunnya selalu bertambah. Namun derasnya laju pembangunan, justru menimbulkan masalah pelik bagi kehidupan sosial dan kerusakan ekologi. Akibat pembangunan tersebut, kampung-kampung yang memiliki warisan nilai sejarah dan sosial di Jakarta harus digusur paksa demi membangun infrastruktur dan etalase kemawahan seperti yang disebut di atas. Berdasarkan data yang diperoleh LBH Jakarta dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) DKI Jakarta tahun 2016 dan rancangan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta), terdapat 325 titik lokasi yang terancam menjadi korban penggusuran paksa sepanjang tahun 2016. Ada 57 lokasi di Jakarta Pusat, 55 lokasi di Jakarta Barat, 77 lokasi di Jakarta Selatan, 82 lokasi di Jakarta Timur, dan 54 lokasi di Jakarta Utara. Rencana penggusuran dalam APBD DKI Jakarta tahun 2016 dan rancangan RDTR DKI Jakarta meliputi penggusuran bangunan rumah warga, pedagang kaki lima (PKL), parkir liar, spanduk liar hingga penggusuran
bangunan liar pinggir sungai. Tak hanya itu, indeks kemiskinan di Jakarta pun meningkat. Tercatat dalam situs resmi BPS, disebutkan penduduk miskin DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384.30 ribu orang alias 3,75 persen. Jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 15,63 ribu atau meningkat 0,14 persen dibanding September 2015 yang tercatat ada 368,67 ribu orang alias 3,61 persen. Melihat daripada data-data
permasalahan sosial di atas, pembangunan tak selalu berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kehidupan sosial masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh sastrawan, John Steinbeck bahwa “Pembangunan justru mengorbankan dan menyengsarakan kehidupan orang lain”. Dan ini sudah berlangsung selama berabad-abad lamanya, entah warisan dari kolonial atau bukan, namun memang Jakarta merupakan simbol dari ketidakadilan, kesewenang-wenangan Republik
Indonesia ini. Parahnya lagi, kebijaksanaan dari para pemimpin Jakarta tak pernah lahir untuk merubah kondisi yang sudah sedemikian akut tersebut. Kalaupun ada, hanyalah seperti menyuntikan obat analgesik saja, bukan mengobatinya secara permanen. Oleh karenanya Jakarta menjadi pesakitan sampai sekarang ini. Maka jangan harap ke depannya Jakarta akan lebih manusiawi, tak ada kesenjangan sosial, dan lingkungan yang sehat jika mindset daripada pemimpin, masyarakat elit dan masyarakat kelas menengahnya masih berpegang teguh kepada konsep pembangunan yang diwariskan oleh kolonial. Hari ini kampungkampung kembali ramai, terutama kampung yang sudah digusur dan terancam tergusur ramai disambangi para calon Gubernur DKI Jakarta. Media massa nasional sibuk meliput para calon Gubernur DKI Jakarta yang tengah sowan ke kampung-kampung, sampai-sampai berita soal reklamasi teluk Jakarta mulai sayup-sayup tak terdengar. Harapan-harapan tentang indahnya Jakarta baru di era si calon A, B, dan C mulai dikenakan kepada orang-orang kampung. Sejenak para calon dan para pendukungnya ikut berempati kepada ketidak adilan yang
datang menghampiri orang kampung, namun sebelumnya acuh tak acuh dan tak bersikap apa-apa. Sebaliknya, mereka yang pro gusur-menggusur terus menyudutkan orang kampung dengan label ilegal, warga liar, kumuh, dan lain-lain. Sementara itu, jauh di negeri paman Sam sana, Bank Dunia (World Bank) tak henti-hentinya mengucurkan dana segar untuk menggusur kampungkampung di Jakarta. Jumlahnya tak tanggung-tanggung, pada Juli 2016 kemarin kucuran dana dari Bank Dunia $ 216,5 juta atau setara dengan 2,814 triliun kepada Indonesia untuk proyek pembersihan pemukiman yang dianggap kumuh. Dengan Jakarta sebagai titik realisasi proyek tersebut. Jadi, alasan demi terciptanya Jakarta yang baik, tanpa banjir adalah alasan belaka untuk memuluskan proyek Bank Dunia tersebut. Dan harus menjadi catatan, dana tersebut didapat dengan cara hutang dan berbunga setiap tahunnya. Maka dari itu, seyogyanya pada momen menjelang Pilgub DKI Jakarta ini, kegaduhan politik haruslah dibarengi dengan kesehatan akal dan kebijaksanaan seluruh elemen masyarakat Jakarta untuk merubah wajah dan jiwa Jakarta yang berkeadilan sosial dan ekologi. Bagaimana caranya? Penulis sih sudah deklarasi akan golput pada Pilgub DKI Jakarta nanti. Karena memang KTP penulis bukan KTP DKI.
Mereka akan berpikir bahwa untuk mencapai tujuan politik, hanya cara kotor yang dapat mewujudkannya. Pada akhirnya, mereka akan menjadi apatis dan memilih untuk golput. Padahal sejatinya, sebagaimana menurut Miriam Budiardjo, ‘politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik’. Pola pikir yang telah berubah ini tentu saja akan berdampak buruk untuk kehidupan perpolitikan negeri ini. Bukankah begitu? Sejatinya, kampanyekampanye tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara positif, di antaranya mempromosikan programprogram para calon. Seperti dilansir Kompas.com (14/10), mereka sudah memaparkan visi-misinya termasuk dalam bidang pendidikan. AhokDjarot akan ‘menjamin akses pendidikan untuk seluruh warga dan meningkatkan kualitas pendidikan di Jakarta agar setara dengan kota-kota maju di dunia’, AgusSylviana akan melakukan perbaikan terhadap akses pendidikan yang masih belum merata di kawasan DKI Jakarta, dan sedang pasangan Anies-Sandiaga lebih memilih untuk melakukan pembangunan sumber daya manusia. Jika program-program ini disampaikan dengan baik, maka kemungkinan warga akan semakin tertarik mengikuti perkembangan
politik di daerah mereka sekarang ini. Alasan ketiga adalah ribut pilgub karena urusan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar-golongan). Masih segar dalam ingatan kita saat dulu Jokowi dan Ahok menyalonkan diri sebagai cagub-cawagub banyak sekali diserang oleh isu SARA. Sekarang ini kejadian tersebut terulang lagi karena tersulut perkataan Ahok mengenai QS. AlMaidah: 51 terkait pemimpin nonMuslim. Hal ini menciderai orang Islam, namun apakah respon yang diberikan tidak berlebihan? Mulai dari petisi, demo bahkan kecaman terus bermunculan padahal sejatinya tafsir Alquran tidak bersifat tunggal yang berarti tidak ada kebenaran tunggal. Banyak pendapat dari ulama yang dapat dijadikan rujukan tanpa harus merasa menjadi pemilik tunggal kebenaran. Tidak mustahil jika isu SARA seperti ini juga akan menimpa pasangan lain karena hal tersebut sudah dianggap lumrah pada masa kampanye. Kita tentu senang jika calon yang kita sukai menang. Namun, penentunya tetap mereka yang memiliki hak pilih, yakni warga DKI Jakarta. Kita bisa berkampanye, tetapi dengan kampanye yang elegan. Kita tidak perlu ribut berlebihan yang kadangkala justru merusak elektabilitas calon kita, bukan? Wallahu A’lam.
*Pegiat Lentera HAM dan Penikmat Kretek Nusantara
Ribut Pilgub DKI, Ikut Nyontreng? Oleh Dhorifa*
Percaturan politik terkait pemilihan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017 kian memanas. Masing-masing calon berlomba-lomba menawarakan strategi yang dimiliki meskipun massa kampanye baru akan dimulai pada 26 Oktober mendatang. Selain para calon, para pendukung masing-masing kubu juga tak mau kalah. Mereka ikut terjun dalam kampanye terselubung, mulai dari media sosial, ngopi bareng di warung, hingga melalui obrolan santai sore dengan para tetangga. Menariknya, para pendukung ini tak hanya berasal dari para warga DKI, tapi juga berasal dari luar daerah. Namun apakah ini dirasa perlu? Para pendukung pasangan calon biasanya dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat tengah kota sampai masyarakat pinggiran, entah itu orang dewasa, para remaja, bahkan anak kecil. Satu lagi yang tidak ketinggalan, para pendukung juga terdiri dari warga Jakarta dan non-Jakarta. Meski bukan warga Jakarta, mereka yang umumnya para perantau ini saling beradu argumen untuk membela salah satu calon, walaupun pada Februari nanti mereka tidak ikut nyontreng. Lucu bukan? mereka ribut-ribut sendiri padahal tidak punya hak suara. Hal ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh berbagai alasan. Alasan pertama mungkin karena mereka peduli secara Jakarta adalah pusat sekaligus ibukota
Indonesia. Namun nyatanya bentuk kepedulian tersebut bukan hanya melalui kampanye yang serba ribut. Hal ini bisa diwujudkan dengan berbagai hal seperti mempromosikan daerah wisata yang ada di Jakarta karena selama ini hanya Bali yang identik sebagai daerah wisata di Indonesia. Cara kedua bisa juga mempromosikan budaya-budaya khas Jakarta seperti Betawi. atau paling tidak saat berkunjung ke Jakarta mereka tidak membuang sampah sembarangan termasuk di dalam taman kota. Hal-hal tersebut tentu saja bisa dilakukan oleh para perantau yang hidup di kawasan DKI. Bukankah sikap tersebut termasuk peduli Jakarta? Alasan kedua, saya rasa karena mereka adalah juru kampanye atau relawan salah satu calon. Biasanya juru kampanye tidak serta merta mereka yang ber-KTP DKI, asal ulet dan berani tampil, apalagi jika kenal dekat dengan tim kampanye. Untuk relawan, memang hampir sebagian besarnya adalah warga ber-KTP Jakarta, akan tetapi tidak menutup kemungkinan para perantau ikut andil karena tertarik pada salah satu calon. Hal tersebut sah-sah saja dilakukan namun yang riskan adalah cara yang mereka dipakai. Sadar atau tidak dalam kampanye tak jarang para calon lain menjadi sasaran hate speech
(ujaran kebencian) oleh mereka. Hal ini dinilai sebagai cara yang jitu dan cukup berhasil di lapangan. Lebih lanjut, cara yang paling sering kita temui adalah kampanye via medsos dengan cara membagikan link webweb tertentu yang isinya menjelekkan salah satu calon. Kemudian, teman-teman di medsos membagikan lagi sumber berita tersebut, begitu seterusnya. Mereka
cenderung tidak memperhatikan sumber berita tersebut tanpa mengecek kredibilitas asal isinya menjelekkan lawan. Lalu, apakah kita akan sebut ini sabagai kampanye positif? Jawabannya tidak. Setiap hate speech dan kampanye hitam lainnya perlahan akan mengubah pola pikir masyarakat. Ketika mereka dicekoki cara-cara tidak sehat ini, maka jangan salahkan jika mereka membenci hal yang menyangkut pilkada, pemilu, dan bahkan kegiatan politik lainnya.
*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris, FAH, UIN Jakarta
“Jika Anda menang, tak usah berkomentar. Jika Anda kalah, tak usah beralasan.” (Adolf Hitler)
Kolom Editorial
Remunerasi yang Terlambat Sejak lama, sekitar tahun 2006 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan imbauan pengadaan remunerasi bagi seluruh lembaga negara Badan Layanan Umum (BLU). Di antara beberapa kementerian yang harus manut yaitu Kementerian Agama (Kemenag). Nantinya, para pegawai lembaga negara BLU akan diberikan jatah berupa uang sebagai penghargaan atas kinerja mereka. Kiranya demikian dapat dikatakan remunerasi. Sebagai salah satu lembaga yang berada di bawah naungan Kemenag, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pun ikut menerapkan remunerasi. Mulai memberlakukan remunerasi pegawai pada 2014, rupanya tak membuat UIN Jakarta ingat bahwa pegawai mencakup dosen, guru besar, dan elemen profesi lainnya. Dengan dalih ini, kampus kita hanya menerapkan remunerasi pegawai tanpa sama sekali mengikutsertakan dosen dan guru besar. Artinya, remunerasi untuk dosen telat diberlakukan. Barulah pada September lalu UIN Jakarta menerapkan remunerasi untuk dosen. Lagi-lagi masih berkutat dengan pertanyaan tadi, “Bukankah dosen masuk kategori pegawai? Lantas mengapa penerapan remunerasi ke duanya dibedakan?” Entah, hanya pihak kampus yang hafal alasan pembedaan pegawai dan dosen. Sementara, mengacu pada pernyataan Ketua Seksi Remunerasi Kemenkeu bahwa dosen adalah bagian dari pegawai. Jika ayah bagian dari orangtua atau ibu bagian dari orangtua, kiranya begitu analogi antara dosen dan pegawai. Perbedaan antara dosen dan pegawai juga berimbas pada besaran dana remunerasi yang dikeluarkan. Pembagian dana remunerasi untuk pegawai (tanpa mengikutsertakan dosen) akan jauh lebih sedikit ketimbang kampus harus mengeluarkan dana remunerasi pegawai (dengan dosen) karena jumlah penerima remunerasi pun berbeda. Mungkin, penerima remunerasi memang sengaja dibedakan oleh pihak kampus lantaran dana yang tidak mencukupi. Wajar, mengingat dana remunerasi tak dianggarkan langsung oleh Kemenkeu—berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)—artinya tiap lembaga memiliki besaran yang variatif. Tapi, permasalahan yang muncul di UIN Jakarta adalah dana PNBP UIN Jakarta stagnan sejak 2014. Kirakira pertanyaan selanjutnya yang muncul, “Sejak 2014, dana remunerasi yang harusnya diterima dosen pergi kemana?” entah, lagi-lagi pihak kampus yang rasanya hafal betul alasannya. Kurang jitu menutupi rahasia di atas, pihak kampus pun lupa menyamai data yang dimiliki Bagian Keuangan dengan Satuan Pemeriksa Internal (SPI). Ketidakserasian besaran dana remunerasi antara data bagian keuangan UIN Jakarta dengan SPI terkuak saat bagian keuangan UIN Jakarta menyebutkan besaran dana lebih besar ketimbang data yang ada di SPI. Selisih sekitar Rp2 miliar.
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
|9
Dilema Pemangkasan APBN Oleh Erika Hidayanti* Demi menutupi defisit negara, tahun ini pemerintah melakukan dua kali pemotongan APBN. Pemangkasan ini dilakukan bagi sektor-sektor yang dianggap tidak produktif dan efisien. Namun, nyatanya pemangkasan anggaran tak hanya berdampak pada sektor tak produktif yang disebutkan Presiden Joko Widodo. Banyak lembaga yang merasakan pangkasan ini berdampak pada sektor operasional utamanya. Dalam rangka pengendalian dan pengamanan pelaksanaan APBN 2016, Presiden Joko Widodo pada tanggal 12 Mei 2016, telah menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2016 tentang Langkah-langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. Dalam Inpres tersebut telah ditegaskan, penghematan dan pemotongan belanja (K/L) dilakukan utamanya terhadap belanja perjalanan dinas dan paket meeting, langganan daya dan jasa, honorarium tim/kegiatan, biaya rapat, iklan, dan operasional perkantoran lainnya. Serta pembangunan gedung/ kantor, pengadaan kendaraan dinas/ operasional, sisa dana lelang atau swakelola, anggaran dari kegiatan yang belum terikat, dan kegiatankegiatan yang tidak mendesak atau dapat dilanjutkan ke anggaran tahun berikutnya. Menurut saya, keputusan pemotongan APBN ini diambil memang dikarenakan adanya target pendapatan negara yang tak terpenuhi. Maka dari itu, pemerintah pun mengeluarkan kebijakan yang sekiranya dapat membantu menutup kekurangan penerimaan negara yang tidak mencapai target. Kebijakan pemotongan anggaran ini pun sebenarnya bisa efektif. Apalagi sasaran pemotongan adalah benar bagian atau sektor yang memang tidak produktif dan tidak efisien bagi pendapatan negara. Tengok saja seperti anggaran untuk rapat dan perjalanan dinas. Saya setuju jika anggaran ini memang akhirnya dipangkas, karena alibi rapat dan perjalanan dinas banyak hanya dimanfaatkan pejabat
Bang Peka
sebagai ajang berlibur. Namun kenyataannya, tak hanya sektor itu saja yang terkena imbas. Seperti yang kita ketahui, Kementerian Agama (Kemenag) pun tahun ini mengalami dua kali pemotongan anggaran. Terakhir, anggaran Kemenag dipotong hingga Rp1,4 Triliun, mendapat keringanan setelah awalnya direncanakan akan dipotong sebesar 2,5 Triliun. Kemenag yang memiliki dua fungsi utama yaitu agama dan pendidikan kemudian mesti memutar otak untuk menyiasati adanya pemangkasan ini. Begitu pula dengan lembaga pendidikan yang berada di bawahnya. Dikutip dari berita Tabloid Institut Edisi September 2016, UIN Jakarta sempat kesulitan untuk membayar listrik dan terpaksa menunda beberapa penelitian karena tak adanya anggaran. Miris sebenarnya ketika melihat dampak
pemangkasan tersebut di kampus. Tentu, listrik adalah operasional utama bagi sebuah institusi. Lalu bagaimana bisa sampai sebuah kampus kesulitan membayar listrik karena ketiadaan anggaran? Apakah ini menjadi salah satu sektor yang tak produktif juga? Tak hanya itu, UIN Jakarta yang ingin menjadi World Class University (WCU) pun nyatanya mesti memangkas anggaran penelitian. Padahal, kegiatan ini merupakan bagian dari tridharma perguruan tinggi serta jalan menuju WCU. Apa ini juga merupakan sektor yang dianggap tak produktif? Entah bagaimana sebenarnya kementerian dan lembaga pemerintahan menerjemahkan sektor yang tak produktif ini. Bagi saya, imbas pemotongan
anggaran pada UIN Jakarta nampaknya tak begitu bagus. Alihalih pemotongan anggaran kegiatan operasional utama jadi taruhan. Hal ini tentu bertolak belakang dengan tujuan utama pemangkasan anggaran. Saya pun sempat bertanyatanya siapa yang sebenarnya salah menerjemahkan kebijakan ini? Lalu bagaimana dengan perjalanan dinas, rapat, workshop, dan kegiatan lain yang justru tak begitu produktif ini? Semoga saja kegiatan yang biasanya akan banyak bermunculan di akhir tahun ini tak ada lagi sekarang. Jika sampai masih ada, jelas pemotongan anggaran tak tepat sasaran. Karena seharusnya jika sudah sampai mengorbankan kegiatan operasional utama tentu karena sektor lain sudah dipangkas habis-habisan. Bagi saya, pemangkasan anggaran ini perlu dibarengi dengan penerjemahan teknis yang benar. Pemerintah mesti cerdas memilih dan mengawasi mana sektor yang tak produktif. Mana kementerian yang hanya buang-buang anggaran untuk jalan-jalan. Di akhir tulisan kemudian saya ingin mengajak temanteman mahasiswa untuk melihat dan mengawal imbas pemangkasan anggaran ini. Coba tengok di fakultas kalian masing-masing, apakah masih ada kegiatan ‘jalan-jalan’ yang menghabiskan anggaran akhir tahun ini? Jika sudah tahu jawabannya, kemudian kita bisa menjawab siapa yang salah menerjemahkan pemangkasan anggaran ini. *Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, FKIK, UIN Jakarta
Tustel
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
| 10
Sore di Situ Gintung Foto dan Teks oleh Elisha Prima Agustin (KMF Kalacitra)
Ilalang Situ Gintung
Ketika sang surya mulai meredup, ketika kicau burung beradu dengan semilir angin dan ketika kita masih bisa menghirup udara segar, ya ini sepertinya merupakan suatu kemewahan tersendiri untuk orang-orang yang tinggal di Kota. Situ Gintung berada tepat di perbatasan antara wilayah Jakarta - Banten. Suasannya begitu asri, pepohonan pun masih tumbuh lebat di sini. Tak ketinggalan pemandangan danau yang luas membentang dari wilayah Ciputat sampai Cireundeu melengkapinya. Di bangun sekitar tahun 1932 oleh Pemerintah Belanda yang awalnya sebagai waduk tempat penampungan air hujan dan untuk perairan lahan pertanian disekitarnya dengan luas tanah mencapai 21 ha. Namun, pada 27 Maret 2009 Situ Gintung mengalami kebobolan tanggul sehingga air tumpah ke pemukiman warga yang menyebabkan 100 orang meninggal. Seiiring berjalannya waktu perbaikan pun mulai dibenahi oleh pemerintah yang rampung pada tahun 2011 silam. Sampai sekarang, Situ Gintung masih berdiri kokoh dan tak pernah meluap kembali. Kini ia menjelma menjadi wahana wisata yang digemari oleh warga pinggir Jakarta karena murah meriah. Warga sering memanfaatkannya untuk berolahraga, memancing, atau sekadar menghabiskan waktu dengan keluarga dan teman.
Berkendara Berkelana
Plesiran di Pinggir Situ
Sunset
Memanfaatkan Keadaan
Sekawanan Burung dan Sekolompok Orang
Menikmati Senja di Pinggir Situ
Di Atas Batu
Berlari
Wawancara
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
ISO, Langkah Jitu Perbaiki Mutu Pelayanan
ISO menjadi cara untuk meningkatkan manajemen mutu yang diakui secara internasional. Belum semua unit di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menerapkan ISO. Demi menuju profesionalisme manajemen pendidikan, maka diperlukan satu sistem manajemen mutu yang diakui baik di tingkat nasional maupun internasional, seperti International Organization for Standardization (ISO) 9001:2015. Dengan penerapan ISO, perguruan tinggi akan diakui negara lain dan lebih mudah dalam menjalin kerja sama. Lantas, seberapa jauhkah penerapan ISO di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta? Berikut hasil wawancara Reporter Institut Yayang Zulkarnaen dengan Bagian Pengembangan Dokumen dan Instrumen ISO Ramdani Miftah di Ruang Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Jakarta, Jumat (21/10).
Bagaimana awal mula ISO? Pada awalnya ISO hanya digunakan di militer karena di sana membutuhkan sistem yang sangat tepat dalam membuat strategi perang. Namun sekarang ISO pun digunakan untuk meningkatkan manajemen mutu di perguruan tinggi. ISO itu memang banyak mengalami perubahan, untuk versi terakhir sistem manajemen mutu adalah ISO 9001:2015 yang baru diterbitkan September 2015 lalu. Apa fungsi ISO bagi perguruan tinggi? Fungsi ISO itu untuk
memastikan prosedur pelayanan yang ada di perguruan tinggi sudah baku sehingga dalam melaksanakan programnya sudah jelas. Intinya, penerapan ISO di perguruan tinggi untuk menjamin kepuasan mahasiswa dalam mendapatkan pelayanan. Apa bedanya lembaga yang sudah berstandar ISO dengan yang belum ? Menurut saya, karena ISO itu sudah ada pedoman, program, serta Standar Operasional Prosedur (SOP), maka aturan pun menjadi baku. Oleh karenanya dalam menjalankan sebuah program tidak akan melenceng dari aturan yang sudah dibuat. Sedangkan untuk lembaga yang belum menerapkan ISO, bisa jadi dalam melaksanakan kegiatan itu prosesnya beda-beda. Tapi kalau ada ISO kan jelas, misalnya Program Studi (Prodi) akan melakukan akreditasi itu prosedurnya sudah jelas harus bagaimana.
Sumber: Ramdani Miftah
Siapa yang menetapkan prosedur ISO? U n t u k aturannya memang dari pihak ISO, tapi prosedurnya dibuat sendiri oleh instansi yang akan menerapkannya. J a d i
KILAS
KILAS
KILAS
Jam Layanan Skripsi Dikurangi Gedung Pusat Perpustakaan (PP) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah resmi dibuka pada Kamis, 8 September 2016. Namun sayang satu bulan pasca peresmian tepatnya 1 Oktober lalu, PP justru mengurangi jam layanan untuk skripsi. Mulanya, jam pelayanan skripsi dibuka hingga pukul delapan malam. Namun kini PP hanya membuka pelayanan skripsi sampai pukul empat sore saja. Menurut Kepala PP Amrullah Hasbana, pengurangan jam layanan skripsi dikarenakan PP minim tenaga pekerja lebih lagi sekarang gedung perpustakaan memiliki lima lantai. Di satu sisi layanan skripsi sampai pukul delapan malam itu bersifat jam layanan tambahan. Oleh sebab itu, untuk saat ini jam layanan tambahan skripsi ditutup sementara. Ia pun menyarankan bagi mahasiswa yang tengah membutuhkan referensi dianjurkan untuk mengakses skripsi digital dengan mengunjungi repository.uinjkt.ac.id. Dengan begitu banyaknya penggunaan skripsi digital, lanjut Amrullah, diharapkan dapat menaikkan peringkat webometrik UIN Jakarta. “Tapi ternyata pengguna perpustakaan lebih suka skripsi konvensional daripada digital,” tulisnya melalui aplikasi pesan WhatsApp, Rabu (12/10). (Eli Murtiana)
KILAS
sebelum menerapkan ISO, sebuah instansi harus menentukan prosedurnya terlebih dahulu. Setelah prosedur ditentukan, barulah divalidasi oleh Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum Abdul Hamid. Unit mana saja di UIN Jakarta yang pelayanannya sudah berstandar ISO? Baru di empat fakultas, yaitu Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Sain dan Teknologi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Fakultas Dirasat Islamiyah. Kemudian di tingkat universitas, Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian, Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan dan Kerjasama, Biro Akademik, Lembaga Penjaminan Mutu, Perpustakaan, Pusat Bahasa, dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Apa saja syarat yang harus dipenuhi ketika ingin menerapkan ISO? Syarat yang pertama, pemimpinnya harus memiliki komitmen untuk menerapkan ISO. Selanjutnya, sistem manajemen mutu, tanggung jawab manajemen, manajemen sumber daya, Analisis dan peningkatan, terakhir realisasi produk dan pengukuran.
Bagaimana dengan penilaian yang ada di UIN Jakarta ? Dalam penerapan ISO, sebuah instansi harus menentukan target atau sasaran mutu yang akan dicapai. Misalnya UIN Jakarta menargetkan mahasiswa agar lulus tepat waktu dengan IPK 3,5. Jika target sudah ada, UIN Jakarta juga harus menentukan
| 11
batas waktu serta berapa persen yang ingin dicapai, misal 70%. Setelah itu, untuk mencapai target, UIN Jakarta perlu membuat program dalam mewujudkannya. Kemudian di akhir tahun akan dievaluasi, jika ternyata sudah mencapai 70% kemungkinan akan ditambah presentasenya, misal jadi 80%. Sebaliknya, jika kurang dari target akan dicari permasalahannya untuk diperbaiki.
Apa manfaat yang diperoleh UIN Jakarta dari penerapan ISO ? Untuk memberi kepuasan layanan pada mahasiswa dalam mendapatkan pembelajaran. Tiap tahun mahasiswa diberi angket untuk melihat tingkat kepuasan mahasiswa pada layanan yang diberikan UIN Jakarta. Jika ternyata banyak yang belum puas nanti kita perbaiki lagi kedepannya. Pada intinya, dengan ISO kita bisa melakukan perbaikan pelayanan dalam jangka panjang. Selain itu, dengan menerapkan standar yang sudah diakui secara internasional akan mempermudah UIN Jakarta membangun kerjasama. Kemudian, UIN Jakarta juga dapat meningkatkan mutu pendidikan, produktivitas pembelajaran, porduktivitas karyawan dan dosen, hingga efektivitas pengaturan dana universitas. Apa langkah yang dilakukan UIN Jakarta untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas ISO ? Kita sering melakukan pelatihan khusus ISO untuk memberikan kesadaran bahwa ISO itu penting. Selain itu, ada juga auditor dari internal yang selalu memeriksa ke setiap unit apakan penerapan ISO telah berjalan lancar atau belum.
KILAS
KILAS
Jadi Temuan BPK, Tanah Cikuya Disertifikatkan
Sejak 1995 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta membeli tanah di Desa Cikuya, Cisoka, Tangerang melalui PT. Anugrah Cinta Buana. Namun dalam proses pembelian tanah antara pihak PT. Anugrah Cinta Buana dengan pemilik tanah di Desa Cikuya mengalami masalah sehingga sebagian tanah tidak bisa dipakai UIN Jakarta. Menurut Dede Rosyada selaku Rektor UIN Jakarta permasalahannya mungkin dikarenakan calo dari pemilik tanah merasa tidak mendapatkan haknya dari PT Anugrah Cinta Buana. “Calonya itu kan sudah bekerja, tapi dia tidak dibayar. Maka dari itu dia menyegel sebagian tanah yang sudah dibeli UIN Jakarta,” jelas Dede ketika ditemui di ruangannya, Kamis (20/10). Di samping itu, audit Badan Pengawas Keuangan (BPK) mendapati bahwa tanah UIN Jakarta di Desa Cikuya menjadi temuan. Akhirnya tahun ini, pihak universitas segera membuat sertifikat tanah. Dede menambahkan, tanah tersebut menjadi temuan BPK karena termasuk aset milik UIN Jakarta yang tidak terawat. Mengenai rencana ke depannya, lanjut Dede, tanah itu akan digunakan untuk praktik Jurusan Agribisnis Fakultas Sains dan Teknologi. “Mahasiswa Jurusan Agribisnis memang butuh lahan praktik,” katanya. (Yayang Zulkarnaen)
Coming Soon!!! Majalah Institut Edisi 44
Resensi
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
Kiprah Sang Pemikir Rasional
| 12
Zainuddin Lubis Harun Nasution datang dengan teori Islam rasional. Baginya paham modern ini membawa kemajuan bagi umat Islam. Profesor Harun Nasution adalah tokoh intelektual muslim dan pembaru Islam di Indonesia. Ia meyakini Islam adalah agama rasional. Menurutnya, tak ada ajaran Islam yang bertentangan dengan akal. Gagasan tentang ajaran Islam rasional itu ia tuangkan dalam berbagai macam karya tulis. Selain itu, paham rasional juga ia ajarkan kepada mahasiswanya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) — sekarang UIN —Jakarta ketika ia pulang ke Indonesia tahun 1970-an dari McGill University, Montreal, Kanada. Bagi pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara ini wahyu dan akal adalah media untuk memperoleh pengetahuan. Penggunaan akal secara maksimal untuk mengkaji agama dan ilmu pengetahuan terus ia kembangkan. Metode ini diyakini
mampu membawa kebenaran sejati. Tak jarang ia mengkritik paham yang hanya berpijak pada wahyu, tanpa mempertimbangkan akal. Dalam pandangan pria kelahiran 23 september 1919 ini wacana Islam modern berfungsi untuk terwujudnya
Islam sebagai agama yang sesuai pada segala ruang dan waktu (al-Islam Shalihun li kulli zaman wa makan). Guna mewujudkan cita-citanya itu, ia mencari beasiswa. Lalu, 20 September 1962 ia mendapat beasiswa dari Institut of Islamic studies untuk belajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada. “Di sana aku mendapatkan Islam yang luas. Aku tertarik membaca karya orientalis tetapi aku tidak dipengaruhi oleh mereka,” ucapnya. (Hal.195, buku Pengembang Islam dan Budaya Masyarakat Moderat). Selama di McGill ia mengambil studi konsentrasi kajian tentang modernisme dalam Islam. Ketertarikan Harun terhadap modernisme dan rasionalisme disebabkan fenomena keterbelakangan umat Islam. Menurut Harun kemunduran umat Islam disebabkan paham jumud dan taklid buta yang dianut kaum muslimin di Indonesia. Untuk menyebarkan pemikiran modernnya, sepulang dari universitas McGill ia memilih menjadi dosen teologi dan filsafat di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tujuan utamanya ialah memperbaiki mutu pendidikan yang ada di IAIN Syarif Hidayatullah. “Sejak di luar negeri saya telah mendengar kondisi IAIN. Pemikiran yang dikembangkan sangat sempit,” ungkapnya. (Hal. 197. Buku Pengembang Islam dan Masyarakat Moderat). Tepat 1973 Harun Nasution
diangkat oleh Menteri agama, Mukti Ali sebagai Rektor IAIN. Selama menjabat, ia bertekad membawa kampus yang berada di pinggir Jakarta ini untuk mengubah pola pemikiran keagamaan sivitas akademikanya yang tergolong fatalistik saat itu. Ia mengubah metode belajar di IAIN dari fiqih oriented menjadi lebih membuka diri terhadap ilmu filsafat, tasawuf, teologi. Tak hanya itu, Selama menjabat rektor, Harun tergolong sebagai ilmuwan yang produktif menulis karya ilmiah. Setiap buku yang ia terbitkan selalu berisi tentang filsafat, tasawuf dan teologi. Kedua bukunya yang berjudul Islam di Tinjau dari berbagai aspek dan Pembaruan Pemikiran dalam Islam menjadi buku rujukan wajib di seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Tak jarang, kedua buku tersebut mendapatkan kritikan tajam dari tokoh intelektual Islam lainnya. Ketika tak menjabat lagi sebagai rektor, Harun Nasution memiliki gagasan untuk membuka program pascasarjana di IAIN Jakarta. Keinginan itu muncul karena saat itu PTAI dipandang sebelah mata dan belum memiliki program pascasarjana. Setelah berusaha selama satu tahun, akhirnya pada 1982 untuk pertama kali pascasarjana di IAIN dibuka berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI No. KEP/E/422/81. Sosok Lain Harun Nasution Hidupnya jauh dari mewah. Ia hanya
memiliki satu mobil dinas yang reyot. Mobil butut itu menjadi kendaraan Harun Nasution ke mana pun ia pergi, termasuk ke Istana Negara. Biasanya saat di istana mobil butut itu terpaksa terparkir menyendiri, terpisah dari mobil mewah para pejabat lain. Dengan demikian untuk mencapai istana ia terpaksa berjalan kaki lebih jauh. Tak hanya itu, beliau juga sosok pendidik dengan integritas tinggi. Harun Nasution tak pernah telat datang ke kelas. Saban hari pukul 07.15 WIB , mobil dinas sudah memasuki area kampus. Padahal perkuliahan dimulai pukul 08.00 WIB. Selain itu, saat menjabat direktur pascasarjana, disela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri secara langsung untuk membimbing tesis dan disertasi mahasiswanya. Buku Pengembang Islam dan Masyarakat Moderat ini mengungkap kiprah sosok Harun Nasution sebagai intelektual Islam. Buku ini di tulis oleh 19 orang guru besar yang merupakan murid langsung dari Prof. Harun Nasution. Namun, dalam buku ini banyak pengulangan pembahasan dari para penulis. Hal itu membuat buku ini cukup membuat bosan para pembaca.
Judul: Pengembangan Islam dan Budaya Moderat Penulis: Suwito, dkk Halaman: 222 hlm Penerbit: Young Progressive Muslim Tahun: 2016
Mengungkap Invasi Indonesia di Timor Timur Jannah Arijah
Perjuangan Timor Timur untuk mempertahankan kemerdekaannya berujung pada pertumpahan darah. Invasi Indonesia jadi penyebab utama. Pada tahun 1975, Timor Timur—sekarang Timor Leste— mendeklarasikan kemerdekaannya setelah 400 tahun dijajah Portugis. Namun, selang sembilan hari dari pendeklarasian, Indonesia menginvasi negara kecil itu. Indonesia mengklaim Timor Timur adalah wilayah yang tak bertuan, sehingga Indonesia dapat merebutnya untuk menjadi bagian dari bumi pertiwi. Pertumpahan darah terjadi di Balibo, wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Timur. Lima jurnalis dari Australia dikabarkan menghilang ketika sedang meliput kedatangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) —yang sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI)— di Balibo. Kabar menghilangnya lima jurnalis mendorong Roger East (Anthony LaPaglia) yang juga jurnalis dari Australia untuk mencari lima koleganya itu. Roger East mendapat kabar hilangnya jurnalis Australia dari Jose Ramos Horta (Oscar Issac) Pemimpin Griliyawan Fertilin, salah satu faksi yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Timur. Horta meminta Roger meliput kerusuhan yang terjadi di Balibo. Meski mulanya menolak, Roger akhirnya mau setelah tahu Horta adalah Pemimpin Fertilin. Roger mulai mengusut kasus
hilangnya lima jurnalis dari berkas yang diberikan Horta. Berkas itu berisi dokumen-dokumen, foto, dan biodata tentang lima jurnalis yang hilang. Selama mencari informasi Roger selalu ditemani Horta. Kedekatan Roger dengan Horta berbuah manis. Salah satu Pejuang Fertilin, Ximines (Carlos Filipe) mengungkapkan kelima jurnalis itu menghilang setelah pergi ke Balibo tiga minggu lalu. Invasi ABRI membuat rakyat Timor Timur yang berada di wilayah dekat perbatasan pergi ke Dili, tempat markas Fertilin berada. Mendengar hal itu, Horta menyiapkan pasukan agar tetap bersiap saat Indonesia mulai menyerang Dili. Meluasnya invasi Indonesia tak membuat Roger gentar. Ia yakin lima koleganya masih hidup. Dia bertekad untuk pergi ke Balibo, meski Horta mengacam tidak akan menemaninya pergi ke Balibo. Keinginan keras Roger akhirnya membuat Horta setuju dan menemani Roger ke Balibo dengan berjalan kaki. Setelah menempuh jarak 126 kilometer dari Dili ke Balibo, mereka pun sampai di tempat tujuan. Pencarian Roger bersama Horta diselingi adegan lima jurnalis Australia ketika pergi ke Balibo. Saat itu, penyerangan di Balibo baru sekadar ancaman belaka. Kelima
jurnalis itu tetap kekeuh meliput keadaan Balibo walau keselamatan mereka terancam. Akhirnya, saat lima jurnalis itu sedang meliput keadaan Balibo, tiba-tiba mereka diserang granat dari ABRI. Wilayah yang sedang mereka liput seketika hancur lebur. Kelima jurnalis itu berlari untuk mencari tempat persembunyian. Meski tempat persembunyian mereka akhirnya diketahui pula. Kelima jurnalis itu dibantai dan dihabisi. Jenazah-jenazah mereka ditumpuk dan dibakar di dalam rumah persembunyian. Hingga, Roger dan Horta yang datang empat minggu setelahnya hanya menemukan sisa-sisa dari reruntuhan ledakan dan darahdarah yang telah mengering. Penyerangan ABRI ke Dili yang berujung pada kematian Roger di Hotel Turismo menutup film yang dirilis pada 2009 ini. Akhirnya, Timor Timur menyerah pada Indonesia dan gagal mempertahankan kemerdekaannya. Film dengan genre thriller ini merupakan ulasan dari kisah nyata di Timor Timur. Melalui film Balibo, sutradara Robet Connolly mencoba mengungkapkan sejarah yang tersembunyi selama lebih dari 40 tahun. Lewat karyanya, Robet ingin membuka mata dunia agar sadar dengan tragedi yang telah banyak
merenggut hak asasi manusia di Timor Timur. Film yang memenangkan penghargaan Best Australian Film pada Australian Film Critics Association di tahun 2009 dilarang beredar di Indonesia oleh Lembaga Sensor Film. Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, Marty Natalegawa menyatakan pelarangan itu bertujuan untuk menghindari pandangan negatif dunia terhadap Indonesia. ABRI juga mendukung pelarangan itu, lantaran dapat merusak hubungan Indonesia dengan Timor Leste dan Australia. ABRI pun mengklarifikasi kelima jurnalis meninggal karena tertembak dalam baku tembak bukan karena ditembak ABRI.
Judul: Balibo Genre: Thriller Durasi: 111 menit Tahun: 2009
Sosok
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
| 13
Gagal Tak Berarti Harus Menyerah
Yayang Zulkarnaen
Kegagalan menjadi hal biasa guna meraih prestasi. Bersungguh-sungguh adalah satu kunci kesuksesan. Ketertarikan pada Ilmu Hukum, Teguh Triesna Dewa dapat menggapai banyak prestasi di bidang debat. Saking cintanya, mahasiswa kelahiran Denpasar ini rela mengambil dua jurusan di Ilmu Hukum: Jurusan Perbandingan Madzhab dan Jurusan Ilmu Hukum di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sejak tinggal di Pondok Pesantren Modern Gontor, ia sering belajar Ilmu Hukum mulai dari Fiqih, Ushul Fiqih, bahkan Fiqih Kontemporer. Kesukaannya pun berlanjut ketika memasuki perguruan tinggi, ia aktif diberbagai organisasi yang mengadakan kajian di bidang hukum. Seperti Moot Court Community (Komunitas Peradilan Semu), Lembaga Konsultasi dan Bantuan
Nama: Teguh Triesna Dewa Fakultas: Syariah dan Hukum Jurusan: Ilmu Hukum dan Perbandingan Mazhab dan Hukum (Double Degree) Tempat Tanggal Lahir: Denpasar, 19 Maret 1993 Alamat: JL. Raya Muhtar No. 05 RT 03 RW 05 Bojongsari, Depok, Jawa Barat
Hukum FSH, dan Lembaga Kajian Comperative Law Community. Sebelumnya, pria kelahiran 19 Maret 1993 ini bercerita, kemampuan debat yang dimilikinya merupakan hasil diskusi dari komunitas yang diikutinya. Menurutnya belajar yang paling efektif untuk meningkatkan wawasan tidak hanya di kelas, namun ketika ngobrol pun kita bisa sharing. Berkat kecintaannya pada bidang hukum, tahun 2015 Triesna menjadi juara 1 lomba debat konstitusi antar perguruan tinggi seIndonesia di Universitas Jambi. Selain itu, beragam perlombaan debat tingkat nasional pernah ia juarai, seperti juara 1 debat nasional di Universitas Lambung Mangkurat, debat keterbukaan informasi publik, serta Juara 1 debat univertitas tingkat nasional Padjajaran Law Fair di Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad). Selain berprestasi di bidangdebat, Triesna pun mahir di bidang desain
grafis. Hal ini terbukti ketika mengikuti lomba membuat logo di fakultasnya, ia menang dan terbukti hingga sekarang hasil karyanya
dipakai di FSH. Kemudian, di bidang olahraga tahun 2010 ia merahi juara
Foto: Samsul Arifin
Berbagi Rezeki dengan Sebungkus Nasi
Salah satu anggota Komunitas Berbagi Nasi Jakarta memberikan sebungkus nasi kepada orang yang ditemuinya, Jumat (14/10). Komunitas isi mempunyai gerakan sosial berbagi dengan sebungkus nasi.
Eko Ramdani Bersedekah tak melulu harus dengan uang. Komunitas Berbagi Nasi menawarkan cara lain berbagi dengan sesama. Malam hari saat sebagian masyarakat kota telah tertidur, masih ada orang-orang yang terbangun untuk mencari nafkah. Mereka hilir-mudik dari satu tempat ke tempat lain untuk mendapatkan penghasilan. Mengais rezeki dari sampah pun dilakukan oleh sebagian orang yang kurang beruntung mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Berbagai pekerjaan mereka lakukan paling tidak untuk mencukupi makan nasi 3 kali sehari.
Berangkat dari realitas kehidupan yang ada dan tujuan untuk berbagi dengan sesama, Komunitas Berbagi Nasi Jakarta hadir. Dengan membawa nasi beserta lauknya, komunitas ini berkeliling jalan ibu kota untuk membagikan nasi bungkus untuk mereka yang membutuhkan. Komunitas ini berawal dari ide Danang Nugroho, alumni Universitas Parahyangan, Bandung, mengembangkan skripsinya yang menyatakan bahwa keproduktifan
seseorang diukur dari dirinya sudah makan atau belum. Lalu ia mulai melakukan gerakan berbagi nasi di sekitaran Bandung dengan beberapa temannya. Danang kemudian menularkan kepada rekan-rekannya yang ada di Jakarta untuk membentuk komunitas serupa. Dengan tujuan awal bersedekah dan menghapuskan kelaparan di Indonesia, Komunitas Berbagi Nasi berkembang di berbagai kota, bukan hanya Jakarta dan Bandung saja. Terbagi dalam lima regional di Jakarta; Jakarta Selatan, Pusat, Barat, Timur hingga Utara mereka membagikan sebungkus atau sekotak nasi yang terkumpul dari
kekurangannya. Menurutnya kalah bukan berarti gagal, justru dari kekalahan itukita bisa mengevalusai apa yang kurang pada diri kita. “Pada perinsipnya, kekalahan itu membuat kita belajar bahwa kemenangan itu diraih dengan belajar sungguh-sungguh,” katanya. Mahasiswa semester sembilan ini juga berpendapat bahwa kurangnya fasilitas kampus bukan menjadi alasan menghambat prestasi.
Menurutnya dengan semakin canggihnya teknologi, semua bahan mata pelajaran bisa dengan mudah didapatkan. “Jadi enggak ada alasan untuk menghambat prestasi,” katanya. Selain itu, Triesna juga menceritakan bahwa adanya dukungan orang tua, teman, dan dosen juga merupakan hal yang sangat penting dalam menunjang prestasi. Pria yang lebih suka menghabiskan waktu dengan keluarga ini mengemukakan bahwa kesuksesan yang diraihnya merupakan hasil dukungan orang tuanya. “Doa dan izin orangtua, itu adalah hal yang utama,” tuturnya. Dari prestasinya di bidang debat, Triesna sering dipanggil untuk mengisi materi dalam acara seminar. Salah satunya seminar kebangsaan Menghadapi Tantangan MEA yang dilaksanakan di Aula Madya UIN Jakarta. Selain itu juga sebagai pengisi materi metode logika hukum dalam acara Moot Court Community. Pria yang memiliki moto ‘mimpi kita tidak boleh hanya untuk kita sendiri’ ini bercita-cita untuk dapat memberikan kesuksesan terhadap orang yang dicintanya. Menurutnya, cita-citanya tidak hanya untuk kesuksesan diri sendiri tapi juga terhadap orang lain. “Ketika kita berhasil menjadikan orang lain sukses, itulah kesuksesan sesungguhnya,” tukasnya.
dermawan. Namun, jika tak mampu untuk membawakan nasi bungkus, masyarakat yang ingin bergabung dapat langsung datang ke titik kumpul yang telah disepakati untuk membantu membagi nasi bungkus. Salah satu regional yang aktif melakukan kegiatan rutin adalah Jakarta Timur. Bertitik kumpul di Lapangan Parkir Gerai Rabbani, Rawamangun, Jakarta Timur mereka membagikan semua bungkusan nasi kepada orang yang membutuhkan. Pengemudi becak, tukang asongan, pemulung dan mereka yang sedang mencari nafkah hingga larut malam di pinggir jalan adalah target utama pembagian nasi. Mulai bergerak di Jumat malam, sekitar pukul 21.00 WIB, komunitas yang berdiri sejak 13 Desember 2012 ini berkeliling jalan-jalan kota dengan membawa bungkusan nasi. Tak hanya mahasiswa dan masyarakat biasa yang tergabung dalam komunitas ini, kalangan artis pun turut ikut dalam kegiatan tersebut. Sebut saja Giring Ganesha Djumaryo, vokalis band Nidji ini ikut membagikan nasi bungkus di area Jakarta Timur pada Jumat (7/10) pekan lalu. Tak hanya memberi nasi bungkus, mereka juga membagikan air mineral dalam bentuk gelasan. Biasanya, 20 sampai 30 orang ikut membagikan nasi yang telah terkumpul. Mereka biasa membagikan bungkusan nasi hingga tengah malam bahkan dini hari. Saat bulan Ramadan tiba, komunitas Berbagi Nasi tidak hanya membagikan nasi bungkus saja, takjil dan hidangan pembuka juga dibagi kepada para pengendara yang sedang melintas menjelang
berbuka puasa. Sehingga, kegiatan yang dilakukan pada saat bulan ramadan lebih sering dibandingkan dengan waktu lainnya. Menurut salah satu anggota Komunitas Berbagi Nasi Jakarta, Samsul Arifin, mereka tidak memberikan bungkusan nasi kepada pengemis dan pengamen. Namun, pengemis yang telah lanjut usia tetap diberikan nasi bungkus. “Kalau yang masih muda dan sehat kami enggak kasih,” tegas pria yang disapa Jarwo, Jumat (14/10). Di dalam bungkusan nasi yang diberikan, Jarwo mengatakan, lauk yang disertakan sama dengan yang masyarakat makan pada umumnya. Telur, ikan dan ayam adalah lauk yang pada umumnya diberikan oleh dermawan. “Biasanya 150 hingga 200 bungkus nasi kami bagikan,” tambahnya. Komunitas ini memanfaatkan media sosial untuk mengkampanyekan gerakan berbagi dengan sesama. Facebook, Twitter, hingga Instagram mereka jadikan sebagai cara menyebarluaskan kegiatan mereka. Tak hanya itu, media sosial juga mereka jadikan sebagai cara untuk mengajak masyarakat bergabung dalam gerakan yang berawal dari Kota Kembang, Bandung ini. Untuk bergabung dengan komunitas Berbagi Nasi, masyarakat cukup datang langsung ke tempat mereka akan melakukan kegiatan. Berbagi Nasi akan menginformasikan waktu dan tempat mereka berkumpul lewat media sosial mereka. Bagi anggota yang ingin bergabung tidak diwajibkan untuk membawa sumbangan.
2 olimpiade badminton di Gontor. Di balik kesuksesan Triesna, ternyata ia pun pernah beberapa kali mengalami kegagalan. Pertama, dalam lomba debat konstitusi mahasiswa di fakultasnya, padahal waktu itu ia ditunjuk sebagai perwakilan untuk melaksanakan debat nasional di Unpad. Kegagalan kedua ketikalomba debat di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Namun, dua kegagalan itu tidak memadamkan semangatnya, justru dari kekalahan itu ia menyadari
Komunitas
Sastra
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
| 14
Cerpen
Kisah Kecil Ica Oleh Diana Astari*
Sesak terasa di dadaku. Jutaan butiran air, menggumpal di sudut kedua mataku, seakan sesaat lagi akan tumpah dan membentuk aliran sungai air mata di permukaan pipi. “Maa jangan pergi hari ini..... “ gumamku dalam hati tak mampu terucap. Sepeda motor telah siap siaga di halaman rumah nenek yang sangat sederhana ini. Semua sanak saudara berkumpul. Memeluk dan mengucapkan doa. Semua membuat dadaku semakin sesak. Ingin rasanya aku berteriak dan menjerit untuk mencegah kepergian mereka. Tapi aku tak bisa. Aku hanya diam di ambang pintu, menatap sepeda motor yang akan menjauhkan aku dengan mereka. “Mama pergi yaa. Kamu jangan nangis.” Mama memeluk dan menciumku. Seketika, tumpahlah genangan air dimataku memecah keheningan. Hanya sesak dan tangisan yang kudengar. Ingin rasanya aku mencegah kepergian mama, atau aku meminta untuk mereka membawaku bersama ketempat perantauannya. Tapi tidak, sudah satu tahun mereka meninggalkanku bersama nenek. Karena tidak cukup uang untuk bapak dan mama menyekolahkanku di kota tempat mereka mengais rezeki, hingga pada akhirnya memutuskan agar aku sekolah di kampung halaman tinggal bersama nenek, SDN Cikadongdong 1. Sekolah yang sangat sederhana dan tentunya dengan biaya yang amat rendah. Kini aku duduk di bangku kelas 2 SD. Sudah berulang kali aku merasakan kebahagiaan yang besar saat mendengar mereka akan pulang, merasakan kerinduan yang mendalam kala mereka tak kunjung datang menjengukku, dan merasakan sesak ketika akan tiba waktu kepergian mereka. Tidak ada telpon untuk sekedar mendengar suara mereka kala rindu
Puisi
itu datang. Hanya bersabar dengan menyibukkan diri bermain bersama teman. Setiap langkahnya, membuat hatiku semakin teriris. Sesaknya semakin membuat aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Mama kini telah duduk di jok sepeda motor yang sejak tadi aku pandangi. Ia mulai berbunyi. Pengendara mulai memasukan gigi motor itu, dan berjalan perlahan membawa Mama ku semakin jauh. Begitu pun dengan Bapak ku. Ku pandangi lajunya, hingga mengecil, dan sampai tak terlihat lagi. Sebulan berlalu... “Caa.. !” suara Nenek terdengan memanggil dari dapur. “Emm.. hoaamzz.. iya Nek?.” “Bangun. Bukankah hari ini kamu sekolah?.” Ucap nenek ku dengan suaranya yang lembut dan agak sedikit bergetar karena faktor usia. “Emm.. iya Nek.” Aku berusaha membuka mata yang masih sangat terasa berat. Berdiri dan menuju dapur.menghampiri Nenek yang sedang asyik dengan sirihnya. Diam sejenak, memandangi luapan api di tungku. Pikiranku melayang, memikirkan sesuatu yang selalu terasa sulit. Sumur yang jaraknya sangat jauh. “Pasti tidak ada air. Pagi-pagi begini malas sekali rasanya ke sumur. Yasudah tidak usah mandi deh.” Gumam ku dalam hati. “Kenapa ko bengong begitu?.” Heran nenek ku. Aku hanya memandangnya dengan wajah yang sedikit memelas. “Tidak usah mandi. Cuci muka saja sana.” Seakan nenek bisa membaca pikiranku. Aku beranjak dari kenyamanan dudukku dan menuju gelodog (kamar mandi). Kendala terbesar dan tersulit di kampung halaman ku ini adalah air. Sulit sekali mendapatkan air yang dekat dengan rumah. Jarak letak satu-satunya sumur kami, lumayan
Cangkul
cukup jauh dan kondisi jalan yang menurun. Saat kembali dari sumur, tubuh terasa sangat lelah akibat menelusuri jalan yang menanjak. Aku telah selesai mempersiapkan diri. Kembali ke dapur dan ku dapati dua gorengan bakwan telah tersaji di atas permukaan piring dengan didampingi sambal saus yang menggiurkan. Seakan ia memanggil agar segera aku melahapnya. Segera saja aku duduk dan kunikmati kedua dorengan itu. Eemm... “Nek Ica berangkat, assalamu’alaikum.” Ku cium tangan Nenek yang sangat keriput. “Walaikumsalam. Ini uang jajannya.” Nenek menyodorkan selembar uang seharga seribu rupiah. Dengan semangat pagi yang masih menyertaiku, aku berjalan penuh gairah menuju sekolah yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Beberapa menit aku telah sampai dikelas. Bertemu dengan temanteman, lalu berbunyi suara bel yang berasal dari besi yang di pukul dengan palu dan mengeluarkan bunyi yang amat keras. “TENG TENG TENG TENG TENG TENG.....” Ibu guru ku memukulnya berkai-kali. Semua siswa berhamburan memasuki kelasnya masing-masing. Dan kini aku telah duduk rapih menyiapkan diri untuk mengikuti pelajaran pertama. Guruku masuk, dan segera memberikan materi pelajarannya. Matematika, adalah pelajaran kesukaanku. Aku mulai menulis dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru ku. tiba-tiba sesuatu yang selalu mengganggu perutku muncul kembali. Sakit sekali. “aaaww..” keluhku perlahan. Tapi semakin lama, sakitnya semakit terasa. Aku remas-remas perutku, dengan harapan akan sedikit berkurang rasa sakitnya. Tapi tidak. Perutku semakin sakit, seakan ada yang menusuk-nusuk dari dalam. Aku tidak kuat lagi menahannya.
Jingga
Tangis ku pecah. Teman sebangku ku terus bertanya kenapa. Tapi aku terus menangis. Dan Guru ku akhirnya menghampiri. “ Ica kamu kenapa?, hah?. Kenapa menangis?.” Tanya guru ku keheranan. “Sepertinya perutnya sakit lagi Bu.” Jawab Sumi teman sebangku ku. “Ohh. Yasudah. Ica apa kamu mau pulang?. Tidak apa-apa kamu pulang saja ya. obati perut mu.” Ucap Bu Guru. Aku hanya mengangguk dengan masih menahan rasa sakit di perutku. Sumi membantu ku membereskan buku dan memasukannya ke dalam ranselku. “Kamu mau di antar?.” Tanya Bu Guru lagi. “Tidak Bu.” Jawabku. “Yasudah, hati-hati ya. Jangan lupa minum obat ya.” Aku hanya mengangguk dan meraih tangan Bu Guru lalu dengan perlahan aku berjalan menuju rumah. Sesampainya dirumah, segera aku baringkan tubuhku dan menangis terus menerus. Tidak tahu obat apa yang harus aku minum untuk meredakan sakitnya. Beruntunglah, Nenek ku belum berangkat ke ladang. Nenek mulai menguruturut perutku. Sedikit demi sedikit sakitnya reda. Aku mulai merasakan ingin membuang air besar. Tidak ada Toilet apalagi Kloset. aku biasa buang air besar di belakang rumah di bawah sebuah pohon yang sangat besar. “Aduhh.. perutku kenapa selalu sakit kaya gini ya. sebenarnya aku sakit apa?.” keluh ku saat buang air besar. Bukan kotoran yang aku keluarkan, tapi gumpalan darah. sudah hampir dua minggu ini, aku selalu merasakan sakit yang luar biasa di perutku. Tidak bisa menahan saat ingin buang air besar, dan telah beberapa kali aku mengeluarkan gumpalan darah
saat buang air besar. Entah pnyakit apa yang ada diperutku ini. Disini tidak ada puskesmas apalagi Rumah Sakit. Aku hanya menunggu keajaiban dari Allah. “Maa.. Ica sakit apa yah?..” gumamku dalam kerinduan. ***** Aku hanyut mengenang masa lalu. masa kecil yang penuh dengan kerinduan. Masa kecil yang memaksa ku untuk mandiri. Masa kecil yang mengajarkan ku banyak kesabaran. Penyakit radang usus itu, membuatku lemah dan takut. Tapi kini, aku berada disini bersama kedua orang yang dulu selalu aku rindukan. Berjuang memperbaiki derajat keluarga, menggapai cita dan harapan kedua orang tua. Memperjuangkan hidup agar lebih bermanfaat untuk orang banyak dan mendapat penilaian yang jauh lebih baik di mata Allah SWT. “Andai saja Bapak tidak Mnjemput ku dan membawaku mengobati penyakit itu, entah dimana saat ini aku berada. Aku tidak pernah berfikir akan sampai duduk dan bersaing bersama orang-orang hebat di Kampus kebanggaan orang, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ica kecil yang penuh dengan kelemahan dan penyakit yang ia miliki, kini telah sampai pada perjuangan yang amat besar. Ica, beberapa hari lagi, kau akan Menghadapi Seminar itu. jangan takut, semua akan baik-baik saja. kau pasti bisa dan mampu melewatinya dengan baik. Berdoa dan berusahalah semampu mu. Toga telah di hadapan mata. Berjuanglah!” Gumamku dari hati yang terdalam. Seakan ada energi yang membuatku lebih kuat dan meredam rasa kekhawatiran itu. Aku pasti bisa dengan kekuatan dan Ridho Allah SWT. *Mahasiswi Manajemen Pendidikan, FITK, UIN Jakarta
Memento
Oleh Ahmad Fauzi*
Oleh Laras Sekar Seruni*
Oleh Aldy Julio Tahir*
Tanamlah padimu tanamlah jagungmu jangan biarkan besi dan beton tumbuh ambil cangkul dan taburkan benih siramkan asa untuk kami raih
Matahari berkeretap bersama angin suatu tempat di Bima Sakti luruh berserabut jingga yang ada tinggal debu kotoran dan angan yang terbuang bersama bintang yang menyatu dengan malam
Mataku sayu dimakan oleh kata-kata baru beribu sayap kecil mengelilingiku bau puyer dan tanah basah menyaru
Kau adalah penebar kehidupan dari jerih payahmu kami bisa makan tanpamu kami kelaparan dan tebarkan benih harapan Jangan biarkan tanah sawah kering digulung konglomerat asing jerat dan injak tikus-tikus di sawah ganyang mereka sampai menyerah Ambil cangkul dan parang mari kita taburkan genderang perang kepada pria pria berdasi katakan pada meraka berkatku kau makan nasi Hidup hari tani pemakmur tanah ibu pertiwi *Pegiat Komunitas Sastra Pinggiran
Kita masih berpaku berpacu dengan sanggurdi menyimpan renyai dalam tanah berselaput kicauan merpati Pelana itu ada karena ada dalam istal kita bersembunyi dari serpihan kenangan di sebuah tempat yang kerap berbisik melalui celah kayu yang rapuh di negeri yang tetap berpacu dalam laju yang mengaku pilu *Mahasiswi Jurnalistik Fidikom, UIN Jakarta
Kuncup bagai kubah masjid menutupi kepala-kepala kecil Berseru serempak “om, om” ku timpali dengan sunggingan bersama bulu-bulu halus di atasnya tetesan bocoran jerami seperti menyuruhku pergi pindah ke tempat lain yang sepi Susah berpikir mataku sudah dibawa pergi *Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris, FAH, UIN Jakarta
Seni Budaya
Tabloid INSTITUT Edisi XLV / OKTOBER 2016
Foto: Lia/Ins
BermusikTradisional Jaga Budaya
Grup musik Kunokini bersama Svara Liane saat menyanyikan lagu Hey beb. Konser yang bertakjuk Kembali Ke akar Dengan Bebunyian Nusantara ini diselenggarakan di Galeri Indonesia Kaya, Sabtu (15/10).
Lia Esdwi Yani Syam Arif Selain menjadi sarana hiburan,konser musik juga bisa dijadikan ajang pelestarian budaya Indonesia. Melalui konser bertema “Kembali ke Akar Bebunyian Nusantara” grup musik Kunokini dan Svaraliane mencoba melestarikan musik tradisional. Suasana di Auditorium Galeri Indonesia Kaya seketika hening, kemudian lampu ruangan pun dimatikan dan berganti dengan lampu sorot berwarna kuning. Tak lama setelah itu mulai lah terdengar lantunan bunyi gamelan, rebana dan gendang yang dimainkan secara bersamaan. Alunan alat-alat musik tradisional itu merupakan ungkapan selamat datang dari grup musik Kunokini. Kunokini adalah sebuah grup musik yang hampir lima belas tahun konsisten
membawakan lagu kontemporer sembari diringi alat musik tradisional. Selepas Kunokini memainkan musik ucapan selamat datang, diringi dengan tepuk tangan para pengunjung, lampu Auditorium perlahan mulai menyala kembali. Di tengah panggung telah berdiri Bhisama Wharspati, sang vokalis Kunokini. Pria berambut gimbal yang akrab dipanggil Bhismo ini menjelaskan bahwa Kunokini akan membawakan beberapa lagu bersama grup musik Svaraliane.
Lampu sorot berwarna kekuningan kembali menyinari panggung pertanda lagu selanjutnya akan dimainkan. Alat musik gendang, rebana, bass, dan gamelan mulai berbunyi secara bersamaan, ditambah dengan lantunan saxofon dan gitar dari grup musik Svaraliane. Jadilah musik yang diciptakan oleh Kunokini dan Svaraliane ini kolaborasi antara alat musik tradisional dan modern. “Hey...Hey.. Hey baby I love you..” terdengar suara serak vokalis Kunokini melantunkan lagu pertama mereka berjudul Hey Beb. Sambil menyanyi, Bhismo bergoyang dan menggerakkan tangan ke atas layaknya penyanyi reggae. Tak hanya itu beberapa
penonton ikut berpartisipasi dengan ikut berjoget di panggung bersama anggota grup musik Kunokini dan Svaraliane. Setelah lagu Hey Beb selesai dinyanyikan, Bhismo menceritakan lagu kedua yang akan dipersembahkan bersama grup musik Svaraliane. Laki-laki alumni Universitas Paramadina ini menuturkan bahwa ia dan temantemannya akan membawakan lagu berjudul Maritim yang mana menceritakan kekuatan dan kekayaan laut Indonesia. Kemudian lantunan alat musik tradisional dan modern mulai terdengar lagi. Perpaduan kedua
menjadi syarat untuk mendapatkan remunerasi. ”Sisa 350 dosen yang tak mengisi e-LKP takkan saya gaji,“ ujar Dede, Jumat (14/10). Penerapan remunerasi dosen baru diberlakukan September 2016. Padahal menurut Kepala Seksi Remunerasi Kementerian Keuangan Suwignyo, setelah Keputusan Menteri Keuangan turun remunerasi wajib diberikan. Tak seperti yang terjadi di UIN Jakarta, meski telah memiliki dana remunerasi sejak 2014, dosen tak mendapat dana remunerasi kala
itu.
| 15
jenis alat musik itu menggiring penonton ke dalam lagu Maritim. “Coba... cobalah... berpikir dengan mata... Indonesia... Indonesia kaya “ begitulah sepenggal lirik lagu Maritim. walaupun lirik lagu Maritim terkesan lebih khidmat dibandingkan dengan lagu Hey Beb, namun Kunokini berhasil menghidupkan suasana panggung dengan irama musik raggaenya. Selanjutnya Bhismo menjelaskan cerita di balik lagu ketiga berjudul Combat yang akan segera dinyanyikan. Ia memaparkan bahwa pada lagu tersebut mereka hendak menyampaikan berbagai kisah mengenai konflik perbedaan persepsi yang terjadi di Indonesia. “Setidaknya walaupun lagu kita santai tapi tetap ada makna di dalamnya,” ungkap Bhismo, Sabtu (15/10). “Dung...tak..tak...dung......”, suara alat musik kecapi bersahut-sahutan dengan lantunan suara gendang. Selang beberapa menit iringan musik gitar, bass dan gamelan mengikuti alunan irama gendang tersebut. Pada lagu Combat ini Bhisma tak hanya bernyanyi sendiri ia juga ditemani seorang penyanyi wanita bernama Nada. Pada akhir pertunjukan grup musik yang memiliki lima orang anggota ini juga menampilkan permainan alat musik suling, gendang, bass dan kecapi. Sahut–sahutan bunyi dari alat-alat musik tersebut mampu membuat para penonton terpukau dan bertepuk tangan. Salah satu anggota grup musik Kunokini Astrie Acil menjelaskan, kolaborasi alat musik tradisional dengan alat musik modern merupakan sebuah karya seni yang belum banyak ditemukan di Indonesia. Penyatuan dua alat musik tersebut sebenarnya bisa memunculkan karya seni baru dan mendapat sorotan dari penikmat seni yang ada di Indonesia. “Indonesia kan kaya dengan alat musik tradisional, sayang apabila tidak dilestarikan,” papar Astrie Acil, Sabtu (15/10). Menurut salah satu pengunjung Fatih Annisa, konser musik bertajuk Kembali ke Akar Dengan Bebunyian Nusantara ini sangatlah mengesankan dan menginspirasi. Fatih menambahkan, generasi muda juga harus ikut melestarikan musik tradisional. “Kita harus bangga dengan karya bangsa sendiri,”papar Fatih, Sabtu (15/10).
Sambungan dari Kabut Dana Remunerasi....... Rp33.578.424 ribu untuk remunerasi. Sesuai catatan SPI, UIN Jakarta hanya mampu menggunakan sebesar Rp25.251.099.938 ribu atau 72 persen dari alokasi dana remunerasi. Tapi, data itu berbeda dengan data yang diberikan BPK UIN Jakarta yaitu Rp27.436.669.657 ribu. Ketidakserasian jumlah anggaran yang digunakan juga terjadi pada 2015. Berdasarkan hasil penelitian SPI, anggaran yang terpakai tahun 2015 hanya Rp30.588.318.882 ribu. Sedangkan BPK UIN Jakarta mencatat
sebesar Rp36.370.271.746 ribu. Menanggapi sisa dana remunerasi, Dede Rosyada berdalih hal itu disebabkan oleh kinerja pegawai yang belum maksimal. Buktinya, masih banyak pegawai yang lalai untuk mengisi elektronik Laporan Kinerja Pegawai (e-LKP). Tak hanya pegawai, sambung Dede, dosen pun banyak yang tak mengisi e-LKP. hingga batas akhir pelaporan e-LKP pada 5 Oktober lalu, dari 800 dosen di UIN Jakarta, hanya 450 dosen yang mengisi. Padahal mengisi e-LKP
Besaran Dana Remunerasi Dalam Keputusan Rektor UIN Jakarta nomor 611 tahun tentang tarif remunerasi bagi dosen disebutkan, bayaran dosen ditentukan dengan jabatan fungsional yang ia emban. Remunerasi tertinggi diraih guru besar dengan penghasilan Rp6.520 ribu. Kemudian disusul oleh lektor kepala Rp5.080 ribu, lektor Rp3.990 ribu dan terakhir
asisten ahli Rp 2.920 ribu. ”Kalau mereka kerja, setiap tanggal 15 kita bayar,” tutup Dede. Sementara itu terkait besaran tarif pendapatan remunerasi tergantung tingkat jabatan masing-masing pegawai. Terkait dokumen acuan pedoman dan pemberian remunerasi untuk pegawai tertuang di KMK nomor 379 tahun 2013. Sayang, menurut Ady tak bisa di akses. Ia beralasan itu bersifat rahasia dan belum mendapat izin Rektor UIN Jakarta.
Surat Pembaca Saya mahasiswa Jurnalistik, Fidikom, mengeluhkan Lapangan Student Center yang selalu kotor setelah ada acara. Tolong panitia tanggungjawab dengan pekerjaannya. 083851984xxx Saya mahasiswa FEB, semoga aspirasi saya didengar oleh petinggi UIN Jakarta. Kapan paving block di Ruang Terbuka Hijau dicabut kembali? 085602064XXX Saya mahasiswa FAH mengeluhkan kinerja dosen yang seenaknya. Jika mereka (dosen) datang telat, kita sudah biasa. Namun, jika kita (mahasiswa) datang telat, mereka seenaknya mengusir kita. Ingat, mental berbuat adil berawal dari hal kecil! 081146980xxx