INSTITUT NEWSLETTER PEMIRA 2014

Page 1

Edisi Pemira 2014 www.lpminstitut.com

Golput, Tak Tahu atau Tak Mau Tahu? Laporan Utama > Hal 4

Pamflet Beraroma Kampanye Hitam Laporan Khusus > Hal 5

Ulum Janji Perbaiki Hubungan Internal Kampus Sosok > Hal 7

KPU Tak Transparan Erika Hidayanti Sebagai lembaga publik, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta belum menyajikan data yang diperlukan publik secara transparan. Bahkan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun tidak bisa leluasa mengakses data KPU. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Fakultas Psikologi, Astuti Jovitasari salah satunya. Ia mengatakan pada beberapa kegiatan, kewenangan Bawaslu masih dibatasi oleh KPU. “Kalau kita mau ke ruangan KPU itu masih dibatasi, padahal tugas kita mengawasi kinerja mereka, entah mereka yang kurang paham atau memang ada yang disembunyikan,” jelas gadis yang sering disapa Jojo itu, Rabu (26/11). Data KPU yang sulit diakses pun dirasakan oleh Kandidat Ketua Dewan Mahasiswa Universitas (Dema-U) nomor 2, Muhammad Ahsan Ridhoi. Ia mengatakan sempat kesulitan untuk mendapatkan daftar hadir dan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT). Padahal, saat itu dirinya hendak

melakukan gugatan terkait adanya indikasi penggelembungan suara. “Saya hanya ingin minta daftar hadirnya sebagai bukti, begitu saja tidak boleh!” keluh Ahsan, Jumat (5/11). Sehubungan dengan itu, Ketua KPU, Hilman A. Halim menjelaskan, memang tidak ingin memberikan daftar hadir pemilih ke sembarang orang. Bahkan menurutnya, meski pun ketua Bawaslu yang meminta jika alasannya tak jelas ia tak akan memberi. Hilman menambahkan, ada beberapa data rahasia KPU yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun termasuk Bawaslu. “Memang Bawaslu mengawasi KPU, tapi siapa yang mengawasi Bawaslu? Lagi pula di sini kedudukan kami sejajar,” katanya, Jumat (5/12). Ditemui di tempat berbeda, Ketua Bawaslu, Cena Aprilian menjelaskan, seharusnya Bawaslu punya hak untuk memiliki data yang ada di KPU. Saat itu, ia ingin menyelidiki terkait adanya isu penggelembungan suara di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM). “Saya mau menyelidiki, tapi daftar hadir saja tidak diberi, untuk apa sih daftar hadir?” tirunya,

Kamis (4/12). Selama ini, tambah Cena, transparansi data KPU dinilai masih kurang baik. Apalagi terkait daftar hadir dan jumlah DPT. “Bukan hanya kemarin, saat dulu mau minta daftar hadir di hari pemberkasan saja sulit sekali, kami hanya diperbolehkan memotret data tersebut, itu pun dengan lobi yang lama,” papar mahasiswa Hubungan Internasional (HI) itu. Simpangsiur Hasil Verifikasi Tim sukses kandidat Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Agama Islam (PAI) nomor 2, Hasan Habibi mengalami kesulitan saat ingin mengetahui alasan di balik tak lolosnya kandidat yang ia dukung. “Menurut KPU, jumlah Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) yang dikumpulkan tak mewakili 10% dari DPT, tapi tidak diberi penjelasan lebih lanjut,” kata Habibi, Jumat (5/12). Akhirnya, Habibi dan timnya mencari kebenaran terkait hal itu. Mereka merasa telah menggunakan data DPT yang valid dari daftar hadir mahasiswa di administrasi

Bersambung ke Hal. 11 Kol. 1

Foto: Thohirin/INS

INSTITUT NEWSLETTER


2

Laporan Utama

INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014

Assalamualaikum Wr. Wb Puja dan puji syukur selalu kita haturkan kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Hiruk-pikuk pesta demokrasi di kampus kembali terasa dengan diadakannya pemiliha umum raya (pemira). Kami segenap tim LPM INSTITUT turut menyambut datangnya pesta mahasiswa tersebut. Kami menyiapkan tim yang tangguh untuk dapat seharian terjun di lapangan guna memenuhi keingintahuan pembaca sekalian terhadap Pemira kali ini. Sebagai mahasiswa, tentunya kami ingin pesta demokrasi ini dapat dirasakan pula oleh seluruh mahasiswa. Pada tahun sebelumnya, pemilihan ketua Dewan Mahasiswa Universitas (Dema-U) dipilih secara representatif, namun pada tahun ini dipilih secara langsung. Dengan diadakannya pemira, bukan hanya Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan calon-calon ketua Dema fakultas dan univeristas yang dirundung kesibukkan. Kami sebagai pewarta kampus turut ambil andil. Kami tidak ingin kehilangan satu momen pun untuk kami wartakan kepada seluruh sivitas akademika di kampus ini. Kami membagi tim untuk disebar di setiap fakultas untuk memantau jalannya pemira. Saat pemira berlangsung, kami menginformasikan setiap momen dalam pemira—mulai dari pemilihan hingga penghitungan suara—di Twitter kami @lpminstitut. Pascapemira, kami hadirkan Newsletter Edisi Pemira 2014 ini agar seluruh informasi dapat pembaca terima dengan baik. Hadirnya Newsletter ini adalah sebagai kepedulian kami terhadap pesta demokrasi di kampus. Tentunya, kami ingin pembaca dapat menikmati informasi kami dari segala sisi. Dalam menegakkan kode etik jurnalistik, kami mengedepakan asas cover both side. Dalam peliputan, ada saja halangan yang reporter kami dapatkan. Salah satu reporter kami mendapatkan ancaman terkait peliputan pemira ini. Namun, hal tersebut tidak melunturkan niat kami untuk tetap meliput. Apapun bentuk ancamannya, sebagai pewarta, kami serius dalam menjalankan kode etik jurnalistik. Untuk ketua yang terpilih, kami sangat berharap akan adanya perubahan yang lebih baik dari kampus ini. Siapapun pemimpin mahasiswa di kampus ini, kepercayaan kami tetap, baca, tulis, lawan!

INSTITUT NEWSLETTER

Koordinasi Buruk KPU-KPPS

Pedoman Umum Tata Tertib KPU Tentang Pemilihan Umum Raya 2014, BAB II tentang Tugas dan Kewenangan KPPS pasal 3 poin 7. Poin itu menerangkan KPPS membuat aturan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan fakultas yang disetujui oleh KPU.

Dok. INS

Salam Redaksi

Syah Rizal Pesta Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah usai. Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak kekurangan. Salah satunya, buruknya koordinasi antara Komisi Pemilihan Umun (KPU) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang tersebar di setiap fakultas. Berawal dari kotak suara dan surat suara yang telat, akhirnya seluruh pemungutan suara di setiap KPPS ikut molor dari jadwal yang diberikan KPU. Pemungutan suara di seluruh KPPS yang semestinya dimulai pukul 8.00 berakhir 15.00. Namun, berdasarkan pantauan INSTITUT, pemungutan suara paling cepat baru dimulai pukul 9.30 di KPPS Fakultas Psikologi dan paling lambat pukul 11.00 di KPPS Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Keterlambatan logistik dari KPU membuat jadwal penutupan antrean pemilih diundur. Seperti di Fakultas Psikologi. “Kita mengusulkan untuk memundurkan jadwal antrean ke pukul 16.20 karena logistik molor satu jam,” kata Denny Sekar Taji, Ketua KPPS Fakultas Psikologi, Jumat (5/12). Khalil Noveri Setiawan, Ketua KPPS

Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) juga mengusulkan pemunduran penutupan antrean ke KPU. “Saya melihat tak sedikit mahasiswa FEB yang belum memilih, dan akhirnya meminta waktu tambahan ke KPU,” ujar Khalil, Jumat (5/12). Setelah KPU setuju menutup antrean pukul 16.00, KPU malah memberi instruksi lagi agar seluruh KPPS menutup antrean pukul 17.00 lantaran masih banyak mahasiswa yang belum memilih. Ketua KPU, Hilman A. Halim mengatakan setelah rapat bersama tim kemahasiswaan mengenai keterlambatan dan pendistribusian logistik, hasilnya KPU membatasi antrean sampai pukul 17.00. Akan tetapi, tak semua fakultas mengi-

Bersambung ke Hal. 11 Kol. 2

Pemimpin Umum: Selamet Widodo | Sekretaris Umum: Gita Juniarti | Bendahara Umum: Dewi Maryam | Pemimpin Redaksi: Muawwan Daelami | Redaktur Cetak: Gita Nawangsari E.P | Redaktur Online: Adea Fitriana | Web Master: Abdurrohim Al Ayyubi | Pemimpin Perusahaan: Azizah Nida Ilyas | Iklan & Marketing: Nur Azizah & Ahmad Sayid Muarief | Sirkulasi & Promosi: Nurlaela | Pemimpin Litbang: Karlia Zainul | Pendidikan: Siti Ulfah Nurjanah Riset & Dokumentasi: Anastasia Tovita & Adi Nugroho

Koordinatur Liputan: Thohirin Reporter: Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Erika Hidayanti, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, Maulia Nurul Hakim, Nur Hamidah, Nur Lailatul Ni’mah, Rizky Rakhmansyah, Syah Rizal, Thohirin, Triana Sugesti Yasir Arafat Fotografer & Editor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Syah Rizal Editor Bahasa: Nur Hamidah, Thohirin Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085694801232 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apa pun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas. ______


Laporan Utama

3

INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014

Kinerja KPU Tak Memuaskan

Foto:Hamidah/INS

Panitia Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) tengah menghitung surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) FSH, Selasa (2/12).

Nur Hamidah Berbagai masalah menghiasi Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diselenggarakan awal Desember lalu, yakni molornya jadwal pemilihan, jadwal penutupan Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berubah-ubah, dan kesalahan cetak surat suara. Permasalahan itu mengakibatkan kerugian bagi beberapa pihak. Kesalahan cetak surat suara terjadi di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), berupa tertukarnya nama pasangan calon ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Agama Islam (PAI) antara nomor urut satu dan dua. Selain itu, ditemukan juga kesalahan penempatan foto antara calon ketua dan wakil HMJ Pendidikan Fisika. Karena kesalahan tersebut, pihak KPU mencetak kembali surat suara yang cacat. Tidak hanya di FITK, kesalahan surat suara juga terdapat di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Selain cacatnya surat suara, kesalahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dikeluhkan oleh beberapa pihak terjadi pada jadwal pemungutan suara yang tak jelas. Sigit Purwanto, Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) FITK, menyayangkan keterlambatan pembukaan TPS. Seharusnya, pencoblosan dimulai pukul 08.00, namun pemilih baru dapat melakukan pencoblosan pukul 10.00. “Sebenarnya panitia KPPS sudah hadir sejak pagi. Tapi ternyata ada hal-hal yang belum diselesaikan oleh KPU pusat. Pihak KPU juga terlambat memberitahu KPPS terkait keterlambatan jadwal,” keluhnya, Rabu (4/12). Sigit menambahkan, seharusnya KPU dapat tepat waktu. “Dalam hal ini, saya rasa KPU pusat sebagai pembuat regu-

lasi dan kebijakan kurang siap dalam menyelenggarakan pemira,” terang Sigit. Kekecewaan atas KPU tidak hanya dirasakan Sigit. Salah satu pemilih menyayangkan keputusan KPU tentang jadwal pembukaan dan penutupan TPS yang dinilai tidak konsisten. Muhammad Sulaiman, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) mengatakan itu suatu kesalahan bagi KPU. “Seharusnya pihak KPU konsisten dalam membuat keputusan, sehingga mahasiswa tidak dibingungkan dengan jadwal yang berubah-ubah,” tuturnya, Jumat (5/12). Molornya jadwal pemilihan di TPS, berakibat pada panjangnya antrean pemilih. Hal ini terlihat di Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Akibatnya, beberapa mahasiswa memutuskan tidak memilih, salah satunya Ika Rianti. “Sebenarnya saya sudah antre, tapi karena terlalu lama hingga masuk waktu zuhur, jadinya saya salat dulu dan setelah kembali, antrean masih panjang,” dalihnya, Senin (1/12). Ketua KPU, Hilman A. Halim menjelaskan alasan keterlambatan dibukanya TPS di setiap fakultas. Awalnya, surat suara seharusnya didistribusikan dari pukul 3.00 sampai 7.00 pagi. Namun, karena surat suara terakhir tiba pukul 7.30, maka distribusi ke setiap fakultas juga ikut terhambat. Mulanya, pihak percetakan punya waktu empat hari untuk mencetak surat suara. Na-

mun, ada beberapa data yang tidak terbaca ketika saksi menyerahkan berkas calonnya. Sehingga butuh waktu untuk menghubungi calon agar menyerahkan berkasnya ulang. “Karena kendala tersebut, kita juga terlambat memberikan desain pada pihak percetakan,” ungkap Hilman. Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) ini juga mengatakan tidak ada waktu khusus yang disediakan KPU untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan berkas para calon. Menanggapi kinerja KPU, ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Cena Aprilia, menganggap keterlambatan itu disebabkan oleh tidak matangnya persiapan KPU. Selain karena keterlambatan dari percetakan, sehingga surat suara tidak terdistribusi secara serempak. Cena menuturkan, setelah sebagian surat suara datang, pihak KPU langsung mendistribusikannya ke TPS yang dirasa sudah siap. “Kami dari Bawaslu ikut menghitung surat suara yang datang pukul tiga malam hari bersama KPU. Namun, pihak percetakan mendatangkan surat suara secara bertahap. Jadi surat suara terakhir datang pukul 7.30 pagi,” jelasnya (4/12). Melihat hal itu, salah satu tim sukses pasangan kandidat Dema-U, Caesal Regia menyatakan KPU tidak siap menyelenggarakan pemira ini. Ia menilai dengan adanya keterlambatan dibukanya TPS dan kesalahan teknis lain, pemira kali ini tidak tertib. “Sumber daya manusia dari KPU sendiri sangat kurang, sehingga kinerjanya kurang maksimal. Bandingkan saja, 30 anggota KPU terpusat mengurus 19.000 lebih Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang beredar di UIN Jakarta,” papar Caesal (5/12).


INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014 4 Golput, Tak Tahu atau Tak Mau Tahu?

Laporan Utama

Thohirin Angka golongan putih (golput) pada Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mencapai 5.947 atau sekitar 34,5% dari 17.254 total Daftar Pemilih Tetap (DPT). Ada beragam alasan yang mendasari mahasiswa memutuskan untuk tidak menggunakan hak suaranya. bukan karena minim sosialisasi pemira dari pihak KPPS, namun, padatnya jadwal kuliah dan kegiatan-kegiatan praktikum membuat sebagian besar mahasiswa FST enggan antre untuk mencoblos. “Kita itu (mahasiswa FST) tugas praktikum aja hampir setiap hari,” ujarnya, Jumat (5/12). Lain FST, lain lagi dengan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Meski hanya mengumpulkan total 2.143 suara atau sekitar 63,3 % dari 3.387 jumlah DPT, menurut Ketua KPPS FITK, Sigit Purwanto, angka itu meningkat dari pemira sebelumnya yang hanya mengumpulkan total 1.700-an suara dari sekitar 4.000 DPT. Jumlah itu sudah termasuk mahasiswa di atas semester 7. Berbeda dengan tahun ini yang dibatasi hanya sampai mahasiswa semester 7. “Jadi, menurut saya, naiknya sudah lumayan signifikan,” katanya, Kamis (4/12). Menurut Ketua KPU Pemira 2012, Mughni Labib, ada dua faktor yang membuat beberapa mahasiswa enggan menggunakan hak suaranya pada pemira kali ini. Pertama, Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai syarat memilih yang dibebankan kepada mahasiswa, dinilai Labib, agak berat. Kedua, jadwal pembukaan TPS yang molor hingga hampir dua jam juga memicu mahasiswa malas mencoblos. “Antrean panjang kan karena jadwalnya molor,” ka-

tanya, Jumat (5/12). Meski menyayangkan dua faktor tersebut, namun, Labib mengapresiasi kinerja KPU pada pemira tahun ini. Menurutnya, pihak KPU telah berupaya maksimal meski diberi waktu satu bulan untuk mempersiapkan semua proses pemungutan suara mulai dari tingkat jurusan, fakultas, dan universitas. Berbeda dengan tahun lalu yang diberi waktu hampir dua bulan untuk dua pemungutan di jurusan dan fakultas. Senada dengan Labib, Ketua Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) 2009, Ayip Tayana, juga angkat bicara terkait animo mahasiswa memilih dalam pemira. Menurutnya, ada dua faktor utama yang menyebabkan mahasiswa enggan berpartisipasi dalam demokrasi kampus. Pertama, mahasiswa memang apatis alias tidak peduli dengan organisasi kampus. Kedua, sikap apolitis ditimbulkan karena kekecewaan mahasiswa terhadap kinerja Dema maupun Sema sebelumnya. Oleh karena itu, lanjut Ayip, tugas ketua HMJ, Dema-F, Sema-F, Dema-U, maupun Sema-U terpilih nanti adalah memberikan pemahaman pada mahasiswa agar lembaga kemahasiswaan tak lagi dipandang sebelah mata. “Jangan sampai momen tahunan ini sekadar momen pergantian jabatan yang kerjanya hanya begitu-begitu saja,” pungkasnya, Jumat (5/12).

Sumber: http://img.lensaindonesia.com

“Maju atau enggaknya sama aja deh. Kita enggak ngerasain. Saya lihat kegiatan mereka (Dema-U dan Sema-U) paling OPAK. Jadi, enggak ada feedback buat kitanya juga,” begitu ujar Ika Riyanti, mahasiswa semester III Program Studi (Prodi) Fisika Fakultas Sains dan Teknologi (FST) saat ditanya perihal alasannya memutuskan golput pada Pemira UIN Jakarta 2014, Senin (1/12) lalu. Serupa dengan Ika, Ibnu Yahya, juga lebih memilih tinggal di rumah ketimbang harus pergi ke kampus hanya untuk memberikan suaranya dalam pemira. Saat ditanya alasannya, mahasiswa semester III Prodi Sistem Informasi FST ini mengaku tidak tertarik dengan pemira. “Biasa aja sih. Enggak minat juga,” katanya, Jumat (5/12). Lain lagi dengan Ahmad Saefurrahman. Mahasiswa Prodi Teknik Pertambangan Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan (FSDAL) ini tidak mencoblos lantaran tidak mengenal kandidat yang harus dipilih. Padahal, Ipung, begitu ia dipanggil, mengaku berminat memilih jika ada salah salah satu calon yang mensosialisasikan diri. “Cuma ada spanduk doang. Enggak ada yang sosialisasi (kampanye) ke kita,” ujarnya, Jumat (5/12). Ika, Yahya, dan Ipung hanya tiga dari lima ribuan mahasiswa yang tidak menggunakan hak suaranya saat pemira lalu. Berdasarkan data yang dihimpun INSTITUT selama tiga hari pelaksanaan pemira, FSDAL, FST, dan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) tercatat sebagai fakultas yang memiliki persentase angka golput tertinggi di antara fakultasfakultas lainnya. Dari total 1.780 jumlah DPT FIDIKOM, hanya 60,3% atau 1.073 suara yang terkumpul. Sisanya, 39,7% atau 707 mahasiswa golput. Sementara FST, dari total 1.997 jumlah DPT, suara yang terkumpul hanya 52,7% atau 1.053 suara. Sisanya, 47,3% atau 944 mahasiswa golput. Sedang-kan FSDAL, dari total 97 jumlah DPT, hanya 4,1 % atau empat mahasiswa yang menggunakan hak suaranya. Dengan kata lain, 95,9% mahasiswa FSDAL golput. Angka golput di ketiga fakultas tersebut tidak termasuk jumlah suara tidak sah dan abstain. Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) FST, Azkiya Banata, menyadari minimnya angka partisipasi mahasiswa FST saat pemira lalu. Menurutnya, tingginya angka golput di FST


Laporan Khusus

INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014

5

Pamflet Beraroma Kampanye Hitam Maulia Nurul

Agung Hidayat mengatakan, saat pemira berlangsung, sejumlah pamflet beredar di kelas mahasiswa semester satu dan tiga. “Tim sukses saya pun segera menarik selebaran sebelum tersebar luas” kata kandidat ketua HMJ AF yang jadi tumbal kabar tak sedap itu. Pamflet berwarna biru muda itu, menurut Agung telah menjatuhkan martabatnya lantaran ia dituduh bermalam dengan wanita yang bukan mahrom di indekosnya. Ia juga merasa menjadi korban kampanye hitam dari kubu lawan. “Selebaran ini menyangkut nama baik saya. Berita ini tidak benar,” ungkap Agung, Selasa (2/12). Pamflet tersebut merupakan hasil tulisan beberapa saksi mata yang mengetahui peristiwa penggerebekan tindak asusila Agung. Dalam tulisannya, penulis menceritakan kronologi kejadian pada Kamis, 24 Oktober 2014 mulai dari pengaduan Mawar—nama samaran salah satu saksi—kepada Agus Yasir, ketua Rukun Tetangga (RT) setempat hingga proses penyelesaian peristiwa yang dilakukan secara kekeluargaan. Namun, Agus Yasir menampik berita di pamflet tersebut. Agus yang menjadi salah satu narasumber menegaskan, berita yang tertulis dalam pamflet itu rekayasa. Selama empat tahun menjabat sebagai ketua RT 001/04, ia tidak menemukan kasus miring di wilayahnya. “Dalam catatan saya, kejadian ini tidak pernah ada. Di lingkungan sini kondusif untuk mahasiswa UIN Jakarta,” kata Agus, ketika ditemui di rumahnya, Kamis (4/12). Ia bertanggung jawab atas warga yang bertempat tinggal di wilayahnya. Lain Agus, lain lagi Nur Aini, warga yang rumahnya berhadapan dengan indekos Agung ini menuturkan, pernah melihat Agus menegur mahasiswa asal Bekasi ini lantaran ada seorang wanita dalam indekosnya. Namun, kata Nur, peristiwa ini terjadi di waktu yang berbeda dengan yang tertulis di pamflet. Di sisi lain, kandidat nomor urut 1, Bahriyadi, mengaku kaget soal pamflet yang tersebar di FU. Saat hari pemilihan, ia didatangi Agung dan dituduh telah melakukan kampanye hitam. “Sebelum pamflet tersebar, saya memang sudah tahu kejadian ini. Tapi, saya

Dok. INS

Kampanye hitam mewarnai pemilihan umum raya (pemira), Senin (1/12) lalu. Pamflet berisi kabar asusila kandidat nomor urut 2 ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Akidah Filsafat (AF)— Agung Hidayat—tersebar di Fakultas Ushuluddin (FU).

Pamflet biru berjudul “Tolak Capres Cabul” yang berisikan kabar burung tentang salah satu kandidat ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin. Selebaran tersebut tersebar di hari pemilihan berlangsung. tidak mau menjatuhkan pesaing saya dengan cara yang tidak sehat,” kata Bahriyadi, Sabtu (6/12). Sebelum perhitungan, ia kembali didatangi Agung. Namun, kedatangan Agung kali ini bermaksud meminta maaf atas tuduhan yang pernah dilakukannya. Dengan legowo, Bahriyadi pun menerima permintaan maaf tersebut. Meski begitu, Bahriyadi juga berbalik meminta maaf kepada Agung karena ia merasa kampanye hitam itu berasal dari kubunya. Hal itu kian didukung dengan hasil penelusuran INSTITUT yang menemukan beberapa nama dari kubu Bahriyadi yang diduga “bermain” dalam penyebaran pamflet tersebut. “Secara pribadi, saya tidak melakukan itu,”

tegas pria yang akrab disapa Adi ini. Hingga saat ini, kebenaran isi pamflet masih dipertanyakan. Jika berita itu hasil rekayasa, penulis akan terkena Pasal 8 Nomor 8 dan 13 tentang Kampanye Pemilu Mahasiswa dalam jenis-jenis pelanggaran yang dikelompokkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sedangkan, jika berita itu benar, Agung bisa terjerat hukuman dalam kode etik mahasiswa. Ketua Bawaslu, Cena Aprilian, mengatakan tidak mendapat laporan soal kampanye hitam dari Panwaslu FU, sehingga perkara ini tidak bisa diproses. “Setiap pelanggaran pemira yang dilaporkan akan diproses oleh Bawaslu. Kemudian, disampaikan ke tim arbitrase,” kata Cena, Kamis (4/12).


INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014 Laporan Khusus 6 Wewenang Pemberi Sanksi Dipertanyakan Arini Nurfadilah & Triana Sugesti Sesuai tata tertib Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, waktu pelaksanaan kampanye diadakan pada 22-28 November. Namun, beberapa kandidat masih melanggar peraturan tersebut. Wewenang pemberi sanksi bagi pelanggar kampanye pun tidak jelas sampai saat ini. Pada 29 November lalu, sebuah banner berukuran 4x6 meter masih terpampang di samping Masjid Fatullah. Banner tersebut berisikan foto dan slogan kandidat Dewan Mahasiswa Universitas (Dema-U) nomor 2, Muhammad Ahsan Ridhoi dan Ahmad Khoeri. Keberadaan banner tersebut memicu kecaman dari Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Panwaslu mengategorikan tindakan kandidat melanggar aturan kampanye dan menahan surat suara pasangan nomor 2. Panwaslu juga menyerahkan foto banner tersebut kepada ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar ditindaklanjuti. Menanggapi hal tersebut, Ahsan Ridhoi mengajukan banding ke Bawaslu karena merasa tindakan yang dilakukannya tidak melanggar. Setelah kedua belah pihak menyerahkan data masing-masing, Ahsan dinyatakan bebas dari gugatan Panwaslu. Sesuai dengan aturan kampanye, pemasangan banner pada masa kampanye hanya berlaku di dalam kampus. “Saya kecewa dan merasa dirugikan karena dituduh melanggar aturan kampanye,” ujar Ahsan, Jumat (5/12). Senada dengan Ahsan, kandidat Dema-U nomor 3, Waldan Mufathir dan Fikri Abdillah juga mendapat teguran dari Panwaslu Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Mereka terindikasi berkampanye di hari pencoblosan karena menyalami beberapa mahasiswa. Berdasarkan tata tertib kampanye pasal 12, kegiatan tatap muka termasuk bagian dari kampanye. Namun menurut Waldan, menyalami mahasiswa bukan bagian dari proses kampanye, melainkan ajang perkenalan. “Lagi pula, tidak ada kejelasan secara rinci tentang pelanggaraan kampanye,” katanya, Jumat (5/12).

Berbeda dengan Ahsan dan Waldan, kandidat Dema-U nomor 1, Muhammad Ulum dan Dedi Eka Setiawan tidak mengeluhkan persoalan di atas. Ulum mengatakan, mereka telah mendapat kejelasan dari KPU terkait kampanye. “Semua kandidat kan mendapat pemberitahuan berupa pesan singkat,” jelas Ulum, Kamis (4/12). Saat INSTITUT mengkonfirmasi perihal sanksi, baik KPU maupun Bawaslu tidak berkomentar banyak. Ketua KPU, Hilman A. Halim mengatakan, pihaknya sudah mensosialisasikan aturan perihal kampanye pada setiap kandidat. Lanjutnya,semua masalah, terkait pelanggaran kampanye menjadi wewenang Bawaslu. “KPU hanya membuat aturan, kalau ada masalah terkait kampanye, Bawaslu yang akan menindaklanjuti,” tambah Hilman, Kamis (4/12). Menyusul perkataan Hilman, ketua Bawaslu, Cena Aprilian menyatakan, baik KPU maupun Bawaslu tidak berwenang memberikan sanksi bagi pelanggar. “Semua jenis pelanggaran akan ditindaklanjuti oleh tim independen,” katanya, Kamis (4/12). Sementara itu, ketua tim independen universitas, Nurul Irfan menjelaskan, tugas dan wewenangnya hanya menyelesaikan sengketa yang terjadi saat pemira. “Pelanggaran kam-

COMING SOON

Banner Kandidat Dema-U nomor 2 (Ahsan-Khoeri) terpampang di samping Masjid Fatullah, Sabtu (29/11). panye akan ditindaklanjuti oleh Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan,” ujarnya, Sabtu (6/12). Akan tetapi, Warek III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim menuturkan, pelanggaran kampanye sudah termasuk aturan yang dibuat KPU. Maka, pihak yang berwenang untuk memberi sanksi adalah KPU. “Tidak mungkin rektor atau warek yang memberi sanksi, kan KPU sudah punya AD/ ART,” tutupnya, Sabtu (6/12).

MAJALAH INSTITUT edisi 43 BACA, TULIS, LAWAN!


Jeannita Kirana

7 Ulum Janji Perbaiki Hubungan Internal Kampus

INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014

Bermula dari pengalaman berorganisasinya di Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Muhammad Ulum, membulatkan tekadnya untuk mencalonkan diri sebagai ketua Dewan Mahasiswa Universitas (Dema-U). Selama satu periode kepengurusan di HMJ, ia berada di bawah divisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang). Memasuki tahun kedua perkuliahan, Ulum mengikuti open recruitment Dewan Mahasiswa Fakultas (Dema-F) dan diterima sebagai anggota divisi litbang. Karena masa jabatan yang cukup lama, Ulum beralih jabatan dari anggota litbang menjadi wakil sekretaris jenderal (wasekjen) di fakultasnya. Tak berselang lama, Ulum diminta untuk menjadi sekretaris di Dema-U. Dengan pengalaman organisasi di dalam kampus yang cukup mumpuni, Ulum mengajak Dedi Eka Setiawan untuk mendampinginya sebagai wakil ketua di Dema-U. Dengan visinya yang bertujuan untuk memajukan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di bidang keilmuan, berkarakter islami, dan membawa nilai-nilai keindonesiaan, pria kelahiran Jakarta ini berhasil menjadi ketua Dema-U terpilih. Ia mendapat perolehan suara sebanyak 4.144 suara di Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2014 ini. Selaras dengan misinya yang ingin menjalin, mempererat, dan memperkokoh hubungan dengan seluruh civitas akademika UIN Jakarta, Ulum ingin memperbaiki hubungan antara Dema-U, organisasi internal kampus, dan seluruh mahasiswa. Ia menyadari, selama ini Dema-U kurang menjalin komunikasi dengan lembaga kemahasiswaan lainnya. “Saya harap nanti Dema-U bisa diterima dan dapat mewadahi aspirasi serta kreativitas mahasiswa,” papar mahasiswa semester tujuh ini, Kamis (4/12). Sebagai langkah awal untuk mewujudkan visi dan misinya, pria kelahiran 4 Juni 1993 ini berencana untuk membuat kegiatan yang akan menyatukan fakultas dan jurusan di UIN Jakarta. Ulum menyatakan, masih terdapat gap dalam hubungan antara fakultas dan jurusan. Ulum memaparkan, bentuk kegiatan yang akan ia laksanakan untuk mempererat hubungan antara mahasiswa yaitu berupa olimpiade di

bidang olahraga dan kesenian. Ia menambahkan, sebagai wadah dalam menyalurkan minat dan bakat mahasiswa, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) pun akan diikutsertakan dalam kegiatan tersebut. “Dema-U akan memperbaiki komunikasi dan koordinasi dengan UKM,” kata mahasiswa jurusan Manajemen Keuangan ini. Selain olimpiade, Dema-U juga akan mengadakan forum diskusi yang akan dihadiri oleh forum fakultas, forum jurusan, forum primordial, dan UKM. Rencananya forum tersebut diadakan satu atau dua minggu sekali. “Dalam forum itu akan membahas ide serta gagasan mahasiswa dalam rangka memajukan UIN Jakarta,” tutur Ulum. Nantinya, Dema-U akan lebih mendengarkan dan menyalurkan aspirasi mahasiswa. “Pastinya Dema-U akan lebih mengutamakan kepentingan mahasiswa daripada rektorat. Ada hal apa pun dari rektorat Dema-U akan segera memberitahu

fakultas, jurusan, dan UKM, ” kata Ulum. Selain itu, apabila ada keputusan rektorat yang represif, Ulum mengatakan, lembaga internal UIN Jakarta harus memperbaiki pola komunikasi terlebih dahulu demi menyatukan suara mahasiswa. Ia menambahkan, setelah adanya komunikasi, barulah diadakan diskusi bersama untuk memutuskan apakah mahasiswa akan bertindak pro atau kontra. Lalu, lanjutnya, keputusan tersebut akan dibicarakan dengan pihak rektorat. Dalam masa jabatannya sebagi ketua Dema-U, ia ingin lebih memublikasikan fakultas dan jurusan umum yang ada di UIN Jakarta. “Merupakan suatu kebanggaan tersendiri apabila fakultas dan jurusan umum bisa lebih maju dan terkenal daripada saat ini,” ujar Ulum. Menurut Ulum, tanpa harus dipublikasikan ke masyarakat, fakultas keagamaan di UIN sudah terkenal. “Jika ada kegiatankegi-atan di luar UIN saya akan memperkenalkan fakultas dan jurusan umum seperti FEB, Fakultas Sains dan Teknologi (FST), dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), tapi bukan berarti mengesampingkan fakultas keagaaman,” jelas Ulum.

Dok. Pribadi

Foto: Erika/INS

Sosok


INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014 8 One Man One Vote Suguhkan Pemira Berdemokrasi

Wawancara

Menyoal demokrasi kampus, erat kaitannya dengan pemilihan umun raya (pemira). Berbagai macam sistem pun digunakan agar tercipta pemira yang adil dan damai.

Bagaimana sistem pemilihan pada pemira tahun ini? Pemira tahun ini menggunakan sistem one man one vote, di mana setiap mahasiswa semester satu sampai tujuh bisa menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin lembaga kampus dari semua tingkatan, baik jurusan (HMJ/HMPS), fakultas (Sema-F dan Dema-F), hingga universitas (Sema-U dan Dema-U). Kenapa sistem pemilihan tahun ini berbeda dengan tahun lalu? Setelah ditinjau kembali, sistem keterwakilan dinilai tidak bisa mengakomodir hak suara mahasiswa dengan baik. Tak hanya itu, mahasiswa pun tidak bisa merasakan euforia demokrasi di kampus. Hal itu dikarenakan hanya mahasiswa tertentu saja yang dapat memilih di tingkatan universitas. Terlebih, demokrasi itu sebaiknya melibatkan seluruh mahasiswa. Oleh karena itu, sistem yang digunakan pada tahun ini adalah one man one vote. Sistem tersebut disepakati pada kongres yang diselenggarakan 27-29 April lalu dan dilanjutkan pada 3-4 Mei 2014. Apa yang menjadi landasan sistem one man one vote diterapkan pada pemira tahun ini? Penerapan sistem one man one vote pada

Pemira tahun ini mengacu pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Organisasi Kemahasiswaan. Dalam AD/ ART tersebut ditulis, Pemilihan Umum Raya, selanjutnya disebut Pemira, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan mahasiswa yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berdasarkan Pancasila dan AD/ART Organisasi Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lalu, bagaimana dengan sistem pemilihan sebelumnya, apakah sudah memakai sistem one man one vote? Mengenai pemira tahun lalu, sistem yang digunakan adalah keterwakilan untuk tingkatan universitas seperti Sema-U dan Dema-U, serta sistem one man one vote untuk tingkat jurusan dan fakultas seperti HMJ/HMPS, Sema-F, dan Dema-F. Maksud dari keterwakilan di sini, UIN Jakarta mengambil suara satu persen dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) setiap fakultas untuk memilih Sema-U dan Dema-U. Semisal, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) memiliki DPT sebanyak 4.000, maka satu persen jumlah tersebut adalah 40 mahasiswa. Menurut Anda, apakah penerapan sistem one man one vote berhasil pada pemira tahun ini? Bagi saya, yang menjadi tolak ukur keberhasilan bukan hanya terselenggaranya pemira. Tapi, bagaimana proses pemira bisa berjalan dengan baik. Hanya saja, jika dilihat dari partisipasi pemilih, pemira tahun ini terlihat belum maksimal. Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya mahasiswa yang golput.

Dok. Pribadi

Berbeda dengan pemira tahun lalu yang menggunakan sistem keterwakilan pada tingkatan universitas, Pemira 2014 menggunakan sistem one man one vote secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan, sistem tersebut dipercaya dapat mengakomodir hak pilih mahasiswa dengan baik. Bagaimana tanggapan Akhmad Yusuf selaku ketua Senat Mahasiswa (Sema) sebagai lembaga yang membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam Pemira 2014. Berikut wawancara reporter INSTITUT, Aci Sutanti dan Yasir Arafat dengan Yusuf, Rabu (3/12).

Dengan persiapan yang hanya memakan waktu kurang dari satu bulan, apakah itu menjadi salah satu faktor pemira kali ini tidak berjalan maksimal? Tak bisa dipungkiri, persiapan yang hanya sebulan membuat pemira kali ini tidak berjalan maksimal. Terbukti dari adanya permasalahan yang terjadi saat pemira. Namun, jika dinilai secara keseluruhan, pemira kali ini sudah berjalan dengan lancar, adil dan damai. Apa harapan Anda selaku Ketua SEMAU terhadap pemira pada tahun selanjutnya? Berkaca pada pemira tahun ini, saya harap ke depannya tidak ada lagi keterlambatan dari segi apapun, mulai dari molornya jadwal pemilihan sampai terlambatnya pendistribusian logistik pemilihan. Jika hal seperti itu terulang kembali, maka keseluruhan acara akan kena getahnya. Selain itu, untuk mendapatkan hasil maksimal, persiapan pemira membutuhkan waktu yang panjang dan dalam pelaksanaannya membutuhkan dukungan dari semua pihak.


Hasil Pemira

9

INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014

Perolehan Suara Dema-U

Perolehan Suara Sema-U

Info Grafis: Ika Puspitasari & Nur Lailatul Ni’mah / Sumber: Rekapitulasi KPU Pusat

Perolehan Suara Dema-F


10

Opini

INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014

Editorial Kesadaran Kolektif Pekan lalu, suhu politik kampus memuncak. Beberapa titik strategis kampus menjadi sasaran legit para kandidat—Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2014 untuk mempromosikan diri di hadapan para konstituen (mahasiswa). Beberapa kandidat juga terlihat sibuk singgah ke sana-kemari menggalang dukungan. Ragam visi-misi dan janji pun diumbar bak laku calon pemimpin masa kini. Pola tingkah pemimpin masa kini, tampaknya telah merembes ke tingkah para kandidat pemira di kampus. Perlahan, beberapa kandidat mulai mengidentitaskan diri sebagai kawanan mahasiswa elit. Kerap kali, menjadi cikal para birokrat hipokrit yang di kemudian hari berbangga diri. Begitulah, kiranya kultur pemimpin masa kini. Cenderung menempatkan tampilan dan keindahan sebagai esensi. Pemira tahun ini memang bukanlah kali pertama di kampus ini. Gelaran pemira sudah berlangsung pascareformasi dulu. Namun, permasalahan pemira hari ini seolah tak beranjak dari permasalahan masa lalu. Golput, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak transparan, dan kampanye hitam masih meronai perjalanan hajatan demokrasi kampus. Perubahan sistem pemilihan—dari representatif ke one man one vote—tampaknya juga tak direspon girang oleh mahasiswa. Niat mahasiswa memilih masih kendur dan acuh. Padahal, ajang pemira mestinya bisa menjadi kans bagi kita untuk turut menentukan nasib perpolitikan mahasiswa di kampus ini. Apalagi, jika diingat, setahun silam sebagian besar hak pilih kita dikebiri dengan balutan sistem representatif. Hingga saat ini pun, sebagai penyelenggara, KPU belum berhasil menyuguhkan pemira ideal. Karut-marut masih terus menghiasi perjalanan pemira. Akibatnya, mahasiswa tak lagi antusias menyambut pesta demokrasi kampus bahkan cenderung apolitis. Selain karena sistem pemilihan yang tergolong ribet, rasa keterwakilan mahasiswa pula dinilai menjadi alasan elementer urungnya mahasiswa dalam memilih. Boleh jadi, mahasiswa masih ragu terhadap kapabilitas dan integritas para kandidat. Terlebih, pemira memang lekat dengan muatan politis atau populis. Kembalinya sistem one man one vote memang bukanlah hal absurd. Tapi, kualitas proses pemilihan tampaknya masih menjadi hal utopis. Perlu kesadaran kolektif untuk menghidupkan kembali pemilihan demokratis nan berkualitas. Janganlah, kontes pemira ini, lagi dan lagi hanya dinikmati segelintir mahasiswa guna memenuhi kepentingan belaka.

Potret ‘Pengabdian’ Hari Ini Oleh: I. Sulistiana* “Pengabdian” kata itu begitu sakral, begitu luhur, begitu agung, namun kini hanya sebuah keniscayaan semu yang tak kunjung nyata kutemui. Entah pada siapa, entah apa, entah di mana kata itu bersemayam. Langit seolah hanya berhias awan dusta nestapa. Bumi hanya tampak debu-debu kemunafikan. Harus kah kumenangis meratapi semua ini, atau hanya diam? TIDAK! Kini, di zamanku yang sudah modern, tiada lagi manusia pengabdi yang sepenuhnya rela berkorban atas panggilan hati nurani. Semua insan terbuai, lalai. Semua tampak dibudaki oleh akal kotor dan nafsu pragmatis dengan orientasi hanya untuk memperkaya diri akan materi. Para pahlawan yang mengorbankan darah, air mata, dan cinta kini telah punah menjadi fosil-fosil sejarah di museum-museum hikayat bangsa. Jasa mereka untuk menjadikan bangsa ini merdeka cukuplah sebatas kenang yang redup di awang-awang. Tak lagi ada pemuda ataupun pemudi yang diharap menjadi penerus, memanjangkan tangan-tangan para pejuang terdahulu. Generasi ini telah dibuat buta, tuli, dan bisu oleh virus-virus kemutakhiran zaman. Generasi ini telah mati suri dan harus ada yang membangunkannya. Abdi-abdi pendidikan bangsa telah berbelok dari apa yang biasa kita sebut “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Guruguru yang dahulu diguguh dan ditiru baik dari ilmu maupun perilaku, kini lebih pantas disebut pengajar daripada pendidik. Ya, tentu dari kaca mata mereka yang masih memiliki nurani. Kini para pengajar itu condong mengejar apa yang disebut “gaji”, bayaran bulanan yang diterima oleh mereka para karyawan, buruh, dan pekerja. “Mengajar bila dibayar”, jika boleh aku cantumkan gelar akan terpampang di wajah mereka “pengajar bayaran”. Sungguh hati ini tersayat melihatnya. Bukan lagi mencerdaskan kehidupan, ataupun menyadarkan bangsa, tapi tak lebih dari mencerdaskan akal yang sebatas pengejaran target nilai kurikulum semata. Pendidikan sekarang tak lebih dari kemunafikan formalisasi-birokratis. Lain hal dengan mereka sang pendidik, yang mungkin sekarang hanya bisa kita temui di pasar-pasar loak pinggir jalan. Mereka tak banyak dikenal tapi senantiasa dicari dan dibutuhkan. Tentu kini pendidik itu telah bermetamorfosa sebagai barang langka bernilai tinggi. Begitu luhur pangkatnya, namun luhur pula jerih keringatnya. Mereka rela korbankan jiwa, raga, waktu, dan hidupnya untuk “kehidupan bangsa”, untuk murid-muridnya, demi melahirkan generasi penopang bangsa.

Mereka tak harapkan gaji, jabatan, ataupun prestise yang lenyap tertelan waktu. Tapi mereka punya cita-cita agung yang diteruskan dari tongkat estafet para pengabdi terdahulu. Semboyan “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” itulah yang mereka tuju. Tut Wuri Handayani yang berarti mendorong dari belakang, yang dulu menjadi tujuan utama, betapa pun kini di atas dunia formalisasi-birokratis, semboyan itu hanya tinggal pajangan di seragam, topi, atau dasi anak-anak sekolahan. Para aktor pendidikan sekarang bukan mendorong dari belakang, tetapi maju jauh ke depan, berebut nilai-nilai material yang akan pupus ditelan masa. Wahai abdi pendidikan, pulanglah! Drama yang digelar di atas panggung politik pun menggambarkan potret demikian. Abdi-abdi negara tak lagi tampak jelas, kian kabur tertutup kabut kursikursi jabatan. Sekarang, dan dulu belum nyata terbukti mereka yang benar-benar “membangun”-kan Indonesia dari tidur panjangnya. Telah nyata memang progres pembangunan dari segi infrastruktur di kota-kota metropolis semisal Jakarta, Bandung, Yogyakarta, atau Surabaya. Namun pada nyatanya, bangsa ini belum sepenuhnya merdeka, bangsa ini masih terjajah! Siapa yang menjajah? Ialah mereka para koloni Barat dan mereka koloni pribumi yang mengkhianati titahnya sendiri. Fenomena politik hari ini tak lebih dari kemunafikan real para politisi, yang mungkin tak pantas disebut negarawan. Cobalah tengok model general election atau yang biasa kita sebut pemilu. Pemilihan presiden atau pejabat negara itu bak adu gladiator di tanah Roma, “yang kuatlah yang menang, yang liciklah yang berkuasa”. Saling sikut sana-sini, sekarang kawan besok lawan, tak terang mana nurani. Mereka korbankan harta dan harga diri untuk merebut “kursi”. Kampanye umbar janji di sanasini. Serangan fajar dan manipulasi kadang menjadi strategi jitu. Setelah terpilih habis manis sepah dibuang, janji-janji pun hanya isapan jempol belaka. Tentu loyalitas, kredibilitas, integritas, lebih-lebih “pengabdian” para politisi pada negara tentu dipertanyakan. Negara ini, kapal yang kita naiki bersama untuk pecahkan ombak, menerjang badai, hingga sampai ke pulau impian, kini mereka gerogoti geladaknya sedikit demi sedikit hingga berlubang dan tenggelam ke dasar samudera. Dan rakyat selaku penumpang tak bersalah akan ikut tenggelam. *Penulis adalah Mahasiswa Sosiologi, FISIP, UIN Jakarta


Sambungan

INSTITUT NEWSLETTER Edisi Pemira 2014

11

Kandidat Ketua Dema-U nomor 3 itu sempat dinyatakan tidak lolos verifikasi karena dianggap membawa 700 KTM yang sama dengan kandidat nomor 1. Padahal menurutnya, saat itu KPU belum selesai melakukan verifikasi berkas miliknya. “Menurut info yang saya dapat, keputusan KPU itu berdasar pada SMS seseorang yang ditujukan untuk ketua KPU,” kata Waldan, Jumat (5/11). Waldan menambahkan, pihak KPU akhirnya melanjutkan verifikasi karena ia melakukan mediasi. “Menurut saya aneh, masa verifikasi belum selesai tapi sudah dinyatakan tak lolos, berarti di sana kan ada sesuatu yang disembunyikan,” papar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) itu. Di sisi lain, Hilman mengatakan pihaknya sudah berusaha semaksimal mungkin dalam transparansi verifikasi. “Saat itu kami membuka kesempatan untuk kandidat mengajukan keberatan dan kami verifikasi ulang seobjektif mungkin,” jelas Hilman, Jumat (5/11). Sehubungan dengan alasan tak lolosnya Waldan pada verifikasi pertama, Hilman enggan banyak bicara. “Kalau mengenai alasan saat itu kan saya tidak ada di tempat jadi saya tidak tahu pasti,” ujarnya.

Senada dengan Hilman, tim verifikasi KPU pun tidak mau banyak bicara. Saat dihubungi INSTITUT, Ahmad Naufal me-ngaku bukan dirinya yang melakukan verifikasi berkas Waldan, melainkan dua rekannya, Garsha Trisaputra dan Johan. Sementara itu, Garsha dan Johan sendiri enggan dimintai keterangan. Begitu juga dengan Sekretaris KPU, Fadli Noor M. Azizi tidak mau menjawab secara tegas terkait hal itu.“Pokoknya saat itu berkas milik Waldan masih harus diselidiki karena beberapa hal yang tidak bisa saya sebutkan,” kata Fadli, Sabtu (6/11). Menanggapi hal tersebut, Cena mengatakan dirinya pun sempat merasa janggal dengan keputusan KPU terkait tak lolosnya Waldan. “Saat itu saya dengar alasannya langsung dari ketua KPU, padahal saat verifikasi ia tidak ada karena katanya sedang sakit,” jelas Cena, Rabu (26/11). Cena menambahkan, verifikasi dilakukan sangat tertutup oleh pihak KPU. Di ruang verifikasi hanya ada 8 orang yaitu 3 orang tim verifikasi KPU, 3 orang tim verifikasi kemahasiswaaan, dan 2 orang Bawaslu. “Ketika saya bertanya pada KPU bagaimana mekanisme verifikasinya, jawaban mereka tak jelas,” papar Cena.

Sambungan KPU Tak Transparan jurusan. Setelah ditelusuri, diketahui ada 90 mahasiswa yang sudah tidak aktif tetapi masih masuk dalam DPT Khusus. “Awalnya KPU tidak mau tahu masalah ini, namun setelah kami telusuri dan terbukti mereka salah, akhirnya mereka mau melakukan verifikasi ulang,” ujarnya. Selain itu, ungkap Habibi, KPU tidak memberikan alasan yang jelas mengapa mahasiswa tidak aktif masih masuk dalam daftar DPT. Tim verifikasi KPU, Ahmad Naufal mengatakan, KPU sudah mensosialisasikan jumlah DPT yang digunakan pada setiap koordinator Komisi Penyelengara Pemungutan Suara (KPPS) untuk disampaikan pada semua kandidat. “Data yang kami berikan dan yang mereka pakai itu tidak sama, makanya terjadi perbedaan,” kata Naufal, Jumat (5/11). Namun, Habibi membantah jika KPU telah melakukan sosialiasi terkait jumlah DPT. Menurutnya, ia tidak pernah menerima sosialisasi jumlah DPT yang digunakan. “Bukan jumlah DPT saja yang kami tak tahu, syarat tes baca Alquran juga kami tak tahu dan saya rasa KPU tak pernah menyampaikan informasi itu secara langsung,” paparnya. Lain Habibi, lain lagi Waldan Mufathir,

Sambungan Koordinasi Buruk KPU-KPPS kuti aturan KPU seperti KPPS Fakultas Psikologi. Denny menuturkan, KPPS Fakultas Psikologi tak mengikuti aturan KPU karena di Fakultas Psikologi sudah tak ada mahasiswa lagi yang memilih lebih dari pukul 16.00. “Kita sudah mengecek ke gedung fakultas tapi sudah enggak ada mahasiswanya,” terangnya. KPPS Fakultas Psikologi menambah 15 menit untuk menunggu mahasiswa sesuai kesepakatan dengan saksi-saksi dan Wakil Dekan. “Kami menunggu sampai pukul 16.20 untuk menutup antrean,” papar Denny, mahasiswa semester sembilan Fakultas Psikologi. Menanggapi kasus KPPS Fakultas Psikologi itu, KPU mengesahkan tindakan KPPS Fakultas Pskikologi. Hilman menjelaskan dalam Pedoman Umum Tata Tertib KPU Tentang Pemilihan Umum Raya 2014, BAB II tentang Tugas dan Kewenangan KPPS pasal 3 poin 7, menerangkan KPPS membuat aturan tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan fakultas yang disetujui oleh KPU.

Hilman juga membolehkan KPPS Fakultas Psikologi tutup antrean pukul 16.20. “Soalnya setiap KPPS berhak mengambil keputusan sesuai dengan kondisi fakultas masing-masing dan harus ada persetujuan dari KPU,” Selasa, (2/12). Menurut Denny setiap fakultas memiliki kondisi yang berbeda dengan fakultas lainnya. Ia menilai sistem pemira terpusat kali ini buruk. “Gue lebih suka adanya KPU Fakultas karena KPU fakultas akan lebih tahu kondisi fakultasnya masing-masing,” keluh Denny. Ia menambahkan, pemira terpusat kali ini menyulitkan KPPS dalam berkoordnasi dengan KPU. Pemusnahan Sisa Surat Suara Tak Serempak Tak hanya aturan mengenai penutupan antrean, kejelasan mengenai pemusnahan sisa surat suara juga tak seragam di setiap KPPS. Pada pemira lalu, ada tiga KPPS yang memusnahkan saat hari pertama di antaranya KPPS Fakultas Psikologi, KPPS FEB, KPPS Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi (FIDIKOM), dan KPPS Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Sedangkan di KPPS lainnya memilih untuk tak memusnahkan sisa surat suara pascapemilihan, Senin (1/12). Denny menyebutkan, di KPPS Fakultas Psikologi membakar sisa surat suara pascapemilihan karena mengikuti instruksi KPU. “Kita hanya dapat instruksi dari KPU, tapi enggak dikasih tahu waktunya kapan,” tandas Denny. Sementara itu, Khalil menjabarkan dalam aturan mengenai sisa surat suara KPU memang menginstruksikan untuk memusnahkan sisa surat suara asalkan telah sepakat dengan saksi yang ada di KPPS. Di sisi lain, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Cena Aprilian menuturkan kurangnya koordinasi antara KPU dengan KPPS yang ada di setiap fakultas. “Itu dibuktikan dengan tidak segaramnya penerapan aturan KPU di setiap KPPS,” terang Cena, Kamis (4/12). Ketika KPU melakukan kesalahan, tambah Cena, Bawaslu hanya bisa memberikan teguran langsung.

Segenap pengurus, anggota, dan calon anggota LPM INSTITUT mengucapkan Selamat menjalankan Ujian Akhir Semester (UAS) ganjil 2014


Testimoni Pemira 2014 Amajida Hassyati, Jurusan Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Selama masa pemira, saya menerima sms dari nomor enggak dikenal yang isinya menjatuhkan salah satu calon DEMA Fakultas.

Ayu Utami Saraswati, Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM) Melalui Pemira, mahasiswa mendapat pendidikan politik seperti mekanisme pemilihan sampai penghitungan surat suara.

Mustaftih Irsal Ul-Haq, Teknik Informatika, Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Penyelenggaraan pemira terkesan buru-buru dan kurang persiapan, mulai dari sosialisasi, dan waktu yang diundur.

Farhan Julanna, Teknik Perminyakan, Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan (FSDAL) Saya tidak bisa berpartisipasi dalam pemira karena minim sosialisasi. Khususnya di FSDAL.

M. Nur Azami, Sejarah Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Pelaksanaan pemira oleh KPU enggak maksimal, enggak ada koordinasi antara KPPS dan KPU pusat, terbukti jadwal pemiranya diundur.

Muhammad Akbar Thariq, Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Hasil akhir pelaksanaan pemira tahun ini tidak sesuai harapan. Kerusuhan masih terjadi di beberapa fakultas karena banyak mahasiswa yang tidak setuju dengan hasil pemira.

Destina Sriyono,Pendidikan Biologi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Mekanisme pemilihan tidak efektif, karena syarat mencoblos harus bawa KTM dan KTP. Akhirnya, ada mahasiswa yang terpaksa pulang ambil kartu identitas.

Cakra Yudiputra, Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Penghitungan surat suara dilakukan di tempat umum, secara transparan. Dan diketahui mahasiswa, saksi, dan khalayak umum.

Zaky Mumtaz Ali, Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) Saya tidak setuju pemira dilaksanakan di semester ganjil, karena mahasiswa baru langsung dihadapkan dengan politik kampus.

Riski Indrawan, Hubungan Internasional (HI), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Mundurnya jadwal pemira bikin mahasiswa enggak bisa mencoblos. Bahkan, sebagian mahasiswa memilih pulang karena kelamaan menunggu. Kotak suara juga datang telat. Padahal, mahasiswa sudah menunggu sampai pukul 11.00.

Zainurrahman, Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin (FU) Pemira tahun ini mengalami perkembangan yang bagus, tapi kampanye tidak sehat masih menjadi kelemahan pemira.

Raudha Sabila, Fakultas Psikologi Sosialisasi prosedur pemilihan Senat Mahasiswa Fakultas dan Universitas (Sema-F dan Sema-U) masih kurang. Pemilihan keduanya juga berlangsung tertutup.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.