Edisi Pemira WWW.LPMINSTITUT.COM
Sistem Pemilu tak Sesuai POK
Penggelembungan Suara di Pemilu DEMA
Laporan Utama > 4
Laporan Khusus > 6
Wakil Mahasiswa Untuk Perubahan Sosok > 7
INSTITUT NEWSLETTER
REKTORAT HAPUS STUDENT GOVERNMENT Sistem Senat yang digunakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun ini menandai terhapusnya sistem Student Government (SG) yang digulirkan sejak 1999. Menurut Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, sistem kedaulatan mahasiswa (SG) dianggap tak lagi sesuai dengan bingkai yang diharapkan rektorat. Bingkai yang diharapkan rektorat, menurut Sudarnoto adalah kembalinya mahasiswa kepada dinamika akademik. Ia menilai, sistem SG membuat mahasiswa haus akan kekuasaan dan bertindak anarkis demi membela partainya. “Lembaga kemahasiswaan seharusnya menjadi tempat edukasi atau pembelajaran, jadi dibentuklah lembaga SEMA dan DEMA itu yang arahnya bukan kekuasaan, melainkan sarana membangun karakter mahasiswa yang akademis,” ungkap Sudarnoto, Senin (29/4). Menanggapi hal tersebut, presiden pertama SG tahun 1999, Tb. Ace Hasan Syadzili mengungkapkan, lahirnya SG bertujuan untuk menegakkan kebebasan setiap mahasiswa yang sebelumnya terkekang Orde
Baru (Orba). Ia menambahkan, jika saat ini terjadi hal-hal yang anarkis, seharusnya rektorat tidak boleh serta-merta menyalahkan sistem SG. “Rektorat harus introspeksi apakah sudah membina mahasiswa secara matang atau belum, begitu juga mahasiswanya, apakah sudah siap untuk berdemokrasi? Misalkan ada kecurangan saat Pemilihan Umum Raya (Pemira), sehingga memicu ketegangan antar mahasiswa, itu adalah hal lumrah. Namun, hal tersebut jangan sampai mengotori nilai luhur demokrasi,” kata alumni UIN angkatan 2000 yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR-RI Fraksi Golkar, Kamis (2/5). Tb. Ace mengaku heran dengan perubahan SG ke Senat, pasalnya rektorat dengan mudah mengintervensi mahasiswa. Hal tersebut menandakan mahasiswa tidak mempunyai semangat kemandirian. “Sepertinya mahasiswa sekarang lebih suka disuapi rektorat,” ujarnya. Terkait perubahan SG ke Senat, mantan anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Institut (MPMI) era SG, Andi Syafrani enggan memberikan penilaian. Pasalnya sistem Senat saat ini masih baru dan belum menunjukkan bentuk yang mapan. Ia me-
ngungkapkan, setiap zaman memiliki tantangan dan persoalan yang berbeda, maka harus disikapi dengan cara dan pola yang berbeda pula. Mantan Ketua KPU FSH 2012 dari PMII Cabang Ciputat, Ahmat Farhan Subhi menuturkan, tahun ini UIN tidak memakai sistem kedaulatan mahasiswa (SG) ataupun Senat. Hal itu terlihat dari Pemira yang tidak ada keseragaman antara fakultas yang menggunakan sistem one man one vote dan universitas yang menggunakan sistem representatif. “Ini bukan sistem Senat murni, kalau menggunakan Senat seharusnya tidak ada istilah one man one vote dalam Pemira. Lalu sistem apa yang dipakai UIN saat ini?” katanya, Selasa (22/4). Senada dengan Farhan, salah satu mahasiswa semester 8 aktivis HMI Cabang Ciput at, Khaerul Saleh mengatakan sistem yang dipakai UIN saat ini masih mengambang. Ia mengharapkan sistem pemilihan dari tingkat fakultas hingga universitas menggunakan sistem one man one vote. Pria yang akrab disapa Iyung tersebut mengatakan lebih memilih SG ketimbang Senat. “Jika berbicara sistem ya SG lagi lah” ujarnya, Selasa (22/4). Bersambung ke halaman 11
2
NEWSLETTER EDISI PEMIRA LAPORAN UTAMA
Jumlah Anggota SEMA Tak Mencapai 55 Pemilihan Anggota Senat Mahasiswa (SEMA) tingkat universitas tahun ini menggunakan sistem distrik, di mana setiap Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F) mengirimkan delegasinya sebanyak 5 orang. Namun, sampai batas akhir pendaftaran, jumlah anggota baru sekitar 20 orang. Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, Mughni Labib, setelah dikonfirmasi ternyata ada beberapa fakultas yang tidak sanggup untuk mencari delegasi SEMA. Semisal, tutur Labib, BEM-F Psikologi kesulitan untuk mencari sosok yang mempunyai pengalaman berorganisasi dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,00. “Kebanyakan, orang yang IPK 3,00 hanya kuliah pulang saja,” jelasnya, Selasa (30/5). Menyoal SEMA, Ketua BEM Fakultas Sains dan Tekhnologi (FST), Nur Ikhsan menerangkan, FST hanya mengirimkam 2 orang delegasi. Menurutnya, syarat yang diajukan KPU UIN Jakarta 2013 terlalu memberatkan karena susah mendapatkan IPK 3,00 di FST. Diakui Nur Ikhsan, mahasiswa FST jarang yang berorganisasi. “Ada yang mau aja sudah bersyukur,” jelasnya, Senin (29/5). Sementara itu, tak adanya delegasi dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) untuk SEMA, menurut Wakil Ketua BEM-F FIDIKOM, Muhammad Damar Yudhistira, terjadi karena BEM-F telat menyerahkan berkas ke KPU UIN Jakarta 2013. “Ya, saat itu BEM-F juga lagi sibuk mengurus pelantikan dan rapat kerja. Selain itu, ada persyaratan yang kurang, seperti surat rekomendasi BEM-F dan tanda tangan Wakil Rektor (Warek) III. Ini memang kelalaian dari pihak BEM-F,” jelasnya. Terkait persyaratan, Labib menerangkan, hal itu telah melalui banyak pertimbangan. SEMA sebagai fungsi legislatif mempunyai peranan yang sangat penting dalam lembaga kemahasiswaan tingkat universitas. “Syarat DEMA saja IPK harus 3,25. Masak, SEMA kurang dari 3,00. Kalau misalkan akademis mereka kurang, sulit juga. Harus seimbang antara akademis dan organisasi,” ujarnya. “Go ahead, lanjutkan saja,” ujar Warek III, Sudarnoto Abdul Hakim saat dimintai tanggapan mengenai anggota SEMA yang kurang dari 55 orang. Labib pun mengatakan, pada rapat SEMA nanti akan dibahas mengenai struktur organisasi, seperti penentuan ketua dan wakil ketua. “Jika mereka (SEMA) merasa 20 orang itu kurang karena perwakilan beberapa fakultas lain belum ada, itu tergantung dari hasil keputusan rapat SEMA, mau ditambah atau tidak anggotanya,” jelasnya. (Anastasia Tovita)
Sistem Dianggap Cacat, Sejumlah Anggota KPU Hengkang Anggota KPU dan Panwaslu sedang melakukan perhitungan suara di Aula Madya, Senin (29/04).
Keputusan Rektor No. Un.01/R/ HK.005/20/2013 Tentang KPU (Komisi Pemilihan Umum) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013 awalnya menetapkan 22 nama mahasiswa dari 11 fakultas, sebagai KPU Lembaga Kemahasiswaan Tingkat Universitas. Namun selang beberapa minggu, jumlah tersebut mengerucut menjadi 17 mahasiswa melalui Keputusan Rektor No. Un.01/R/HK.005/20/2013. Sejumlah nama mengundurkan diri lantaran sistem ini dianggap cacat. Hal ini diungkapkan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Dimas Juniarto, yang sempat menjabat sebagai sekretaris KPU UIN Jakarta 2013. Setelah beberapa kali mengikuti rapat, ia akhirnya mengundurkan diri lantaran tidak setuju dengan sistem final yang ditetapkan KPU UIN Jakarta 2013. Senin (8/4), Dimas tidak menyangka bila ia dan rekan-rekannya di KPU UIN Jakarta 2013 sudah harus menandatangani draft final sistem pemilihan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) dan Senat Mahasiswa (SEMA) tingkat universitas. Bila merunut jadwal, waktu penandatangan ini mendadak maju satu hari dari yang telah disepakati. Saat datang ke sekret KPU UIN Jakarta 2013 pada hari itu (8/4), Dimas awalnya masih berharap bisa merubah sistem pemilih an DEMA dan SEMA yang menurutnya bukan sistem representatif. Namun nyatanya sudah tidak ada kompromi tentang sistem. Untuk itu, Dimas bersama rekannya sesama anggota KPU yang mewakili FISIP akhirnya sepakat hengkang dari KPU UIN Jakarta 2013. Menurut Dimas, sistem di mana DEMA dipilih oleh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diambil dari BEM-F terpilih deng an presentasi 1% dari jumlah mahasiswa aktif itu sudah terlalu jauh dengan sistem representatif yang sebenarnya. Sistem pemilihan calon anggota SEMA yang diusung dari BEM-F juga sama ganjilnya. “Sistem seperti ini tidak pernah ada di dalam aturan sistem representatif
manapun,” ujarnya, Minggu (28/4) Lebih lanjut, Dimas menjelaskan, bila kita ingin menggunakan sistem representatif yang benar seharusnya diadakan pemilihan one man one vote terlebih dahulu di setiap fakultas untuk memilih SEMA universitas. Lalu, SEMA yang akan menentukan DEMA universitas. “Bayangkan ketika SEMA sebagai legislatif harus dipilih langsung oleh BEM-F. Walaupun alasannya ketua BEM-F telah dipilih mahasiswa, pada akhirnya BEM-F lah yang menentukan wakilnya di SEMA. Lantas anggota SEMA ini mewakili BEM-F atau mahasiswa? Konsep keterwakilannya tidak jelas. Saya sudah sampaikan ini berkali-kali namun, pendapat mereka selalu sulit untuk dipatahkan,” ujar Dimas. Tak berhenti sampai di situ, Dimas pun juga berusaha menawarkan opsi lain. Ia pernah memperjuangkan agar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) diberikan hak pilih resmi. Sebagaimana yang tercantum dalam petunjuk pelaksanaan yang diberikan rektorat, HMJ merupakan salah satu organisasi resmi kampus yang berhak mewakili suara mahasiwa untuk memilih DEMA. Namun, lagi-lagi pendapat ini disangkal dengan alasan terdapat sejumlah organisasi kemahasiswaan tingkat jurusan yang nama atau sebutan redaksionalnya tidak sesuai dengan Surat Keputusan (SK). “Kalau ditilik lebih dalam, sebenar nya rektorat kan ingin sistem yang baru. Karena itu, semestinya sah saja bila kita membuat terobosan baru selama sistem yang dibuat itu baik,” jelas Dimas. Anggota KPU lainnya, Muhammad Hanifuddin, perwakilan dari BEM-F Dirasat Islamiyah (FDI) mengungkapkan hal serupa. Hanif pun memperjuangkan agar setiap HMJ atau lembaga setara dilibatkan secara resmi sebagai DPT pemilu DEMA. Adapun perbedaan nama, menurutnya KPU seharusnya memiliki hak prerogatif untuk membuat aturan. “Usulan itu sudah sering ia ajukan, namun kalau melihat model rapat yang seperti itu saya mengakui memang masih selalu ada
NEWSLETTER EDISI PEMIRA LAPORAN UTAMA
3
Sistem Pemilu tak Sesuai POK
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Dj.I/253/2007, tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (POK) Pergururan Tinggi Agama Islam (PTAI), sistem pemilihan yang digunakan PTAI harus melalui sistem musyawarah, baik di tingkat jurusan, fakultas maupun universitas.
FOTO: UMAR/INSTITUT
“Walaupun alasannya ketua BEMF telah dipilih mahasiswa, pada akhirnya BEMF lah yang menentukan wakilnya di SEMA. Lantas anggota SEMA ini mewakili BEMF atau mahasiswa? “ ujar Dimas yang mendominasi dan selalu ada yang dibantah. Ini sudah berlebihan, kita tidak berusaha mencari titik temu tapi saling menafikan,” tutur Hanif, Minggu (28/4). Ketua KPU UIN Jakarta 2013, Mughni Labib membenarkan adanya sejumlah anggota yang mengundurkan diri. Namun, ia menyangkal tentang silang pendapat mengenai sistem yang menjadi pemicu beberapa anggota memutuskan untuk hengkang. “Anggota KPU (UIN Jakarta 2013) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu bukan keluar lantaran masalah sistem, namun mereka memiliki persoalan internal dengan BEM-F mereka. Karena itu, mereka memutuskan untuk keluar dari KPU (UIN Jakarta 2013),” tegas Labib, Selasa (30/4). Selain dua delegasi BEM FISIP yang hengkang lantaran persoalan sistem, salah satu delegasi dari Fakultas Sains dan Teknologi (FST) mengundurkan diri lantaran persoalan pribadi. Labib pun menambahkan, selain yang mengundurkan diri, berkurangnya anggota KPU juga disebabkan dua delegasi BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang diberhentikan lantaran tidak pernah menghadiri rapat. “KPU (UIN Jakarta 2013) sepakat memberhentikan delegasi BEM FEB itu,” ujar Labib. Menanggapi hal diatas, Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan bahwa baik atau buruknya KPU UIN Jakarta 2013 sudah merupakan pilihan mahasiswa sendiri. “Yang memutuskan membentuk KPU (UIN Jakarta 2013) itu kan mahasiswa, yang membentuk pun juga mahasiswa. Karena itu kalaupun ada dominasi, itu menjadi kesalahan mahasiwa sendiri. Saya di sini hanya untuk mengontrol dan memfasilitasi mahasiswa,” paparnya, Senin (29/4). (Adea Fitriana)
Namun, dalam penerapannya, Pemilihan Umum (Pemilu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tidaklah sesuai dengan putusan Dirjen Pendidikan Islam (Diktis) tersebut. Di tingkat universitas, Pemilu diselenggarakan dengan sistem representatif. Sedangkan Pemilu di fakultas, menggunakan sistem one man one vote. Menurut Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) UIN Jakarta 2013 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Ahmad Takdir, sistem yang digunakan untuk Pemilu tahun ini didasarkan pada Surat Keputusan (SK) rektorat bukan POK. Perihal adanya aturan Pemilu dalam POK, ia pun mengaku tidak mengetahuinya. Di pihak lain, Ketua KPU UIN Jakarta 2013, Mughni Labib mengaku tahu tentang sistem POK, namun menurutnya sistem yang dijalankan berdasarkan hasil keputusan KPU UIN Jakarta 2013 (sistem representatif) lebih relevan bagi mahasiswa. “Sistem seperti itu, memanglah bukan yang terbaik, tapi berusaha untuk meredam konflik,” ujarnya, Selasa (30/4). Diakui juga oleh Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, sistem yang diterapkan saat ini, memang tidak sesuai dengan POK. Namun, ia merasa keputusan itu diambil dari keinginan mahasiswa. “Nggak apa-apa nggak sesuai dengan POK, yang penting sekarang jalani dulu saja sistem yang telah ditetapkan,” ucapnya,
Senin (29/4). Selain sistem yang harus digunakan dalam Pemilu, POK juga mengatur agar setiap fakultas memiliki Senat Mahasiswa (SEMA). Kenyataanya, hanya Fakultas Sains dan Teknologi (FST) saja yang menerapkannya. Fungsi SEMA Di dalam POK, ada enam fungsi dari SEMA, antara lain mengawasi Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA), mengakomodir aspirasi mahasiswa, memperjuangkan hak-hak mahasiswa, merumuskan norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan kegiatan mahasiswa, merumuskan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan menetapkan Garis-garis Besar Program Kerja SEMA. Maka dari itu, menurut Ketua SEMA FST, Dimas Istanto, keberadaan SEMA di fakultas adalah penting. Ia merasa, jika pengawasan hanya dilakukan pihak dekanat kurang efektif. Bagaimana dengan SEMA tingkat universitas yang baru terpilih? Ketika ditanya mengenai program apa saja yang akan mereka realisasikan, perwakilan SEMA dari FST, Amzar Fadiatma mengaku sampai saat ini belum ada pertemuan antara angota SEMA. Namun, ia mengatakan ketika pihak rektorat sudah mengeluarkan SK pengangkatan dirinya dan anggota SEMA yang lain. Ia akan langsung mengadakan pertemuan seluruh anggota SEMA untuk membicarakan tugas mereka ke depan. (Karlia Zainul)
KARIKATUR ROHMAN
AKHIRNYA KALIAN TIDAK MAMPU * STUDENT GOVERNMENT
4
LAPORAN UTAMA
Salam Redaksi Pembaca yang budiman Salam sejahtera bagi kita semua. Semoga kita semua selalu dicurahkan kesejahteraan. Musim PEMIRA selalu kami tunggu-tunggu. Ada anggapan di antara kami, belum sah jadi anak INSTITUT kalau belum pernah meliput event PEMIRA. Di terbitan sebelumnya, sudah beberapa kali kami membahas tentang student government. Barangkali ini edisi terakhir kami menyajikan berita yang berkaitan dengan student government. Kami tak lagi membahas student government pada edisi berikutnya. Namun, jika student goverment kembali diterapkan di universitas ini, kami akan sambut. Meskipun kami tak bisa memastikan sambutan kami akan baik. Kami akan menyambut isu-isu yang berkaitan dengan civitas akademika. Apalagi yang merugikan civitas akademika. Selain itu, kami juga menyambut sistem yang baru ini, POK. Tak baik rasanya jika tidak mengikuti perkembangan pemerintahan mahasiswa di UIN Syahid ini. Maka dari itu, kami harap pambaca sekalian juga menyambut sajian kami ini. Kami tak menginginkan apa-apa dari pembaca budiman. Kalau pun pembaca budiman memberi apresiasi dalam bentuk apapun, pasti kami sangat bersenang hati. Selamat menikmati
? coming soon
Majalah INSTITUT Edisi 40, Juni 2013 Kirimkan artikel Anda sebanyak 5000 karakter tanpa spasi ke lpm.institut@yahoo.com dengan tema: -Beragama di era postmodernisme -Mahasiswa dan transformasi sosial -Kiprah UIN Jakarta merawat multikulturalisme Indonesia -Peran perempuan dalam pilpres 2014 Deadline 15 Juni 2013 iklan majalah: Aprilia, 081932276534
Empat Fakultas Tidak Ikut Pendelegasian Calon DEMA Pada Pemilihan Umum Raya (Pemira) tingkat universitas tahun ini, ada empat fakultas yang tidak mengirimkan delegasinya untuk maju sebagai calon Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA). Keempat fakultas yang tidak berpartisipasi itu yakni, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI), Fakultas Sains dan Teknologi (FST), dan Fakultas Psikologi. Menurut Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FDI Bung Ulinnuha, dari jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) FDI—yang hanya 3 orang—tidak memungkinkan untuk ikut dalam pertarungan pemilihan DEMA. “Melihat DPT hanya 3 orang, kemungkinan menang pun sangat kecil,” jelasnya, Selasa (30/5). Lagipula, menurut Ulin angkatan 2009/2010 tidak mempunyai minat untuk ikut dalam pemilihan. Wakil Ketua BEM FEB, Fikri Ismail mengatakan pascapemira fakultas yang berlangsung ricuh, selama beberapa minggu belum ada kejelasan siapa yang menjadi Ketua BEM-F. Surat Keputusan (SK) penentuan ketua baru keluar dua hari sebelum pendaftaran DEMA ditutup. “Jadi, kami bingung mau memilih siapa untuk calon DEMA,” jelasnya, Kamis (2/5). Ia menyayangkan interval waktu yang sempit membuat BEM-F kurang melakukan persiapan. Sementara itu, FST yang memiliki jumlah DPT sebanyak 18 orang juga tidak mengirimkan delegasinya. Ketua DEMA FST, Nur Ikhsan Ramdhani Yusuf mengatakan FST memang mempunyai peluang dalam pemilihan, namun dari hasil musyawarah ternyata tidak ada yang mampu dan siap untuk didelegasikan menjadi calon DEMA Universitas. Ia pun tak setuju dengan sistem representatif yang diberlakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013. Menurutnya, sistem one man one vote adalah yang paling adil dibanding dengan sistem representatif proporsional di mana jumlah DPT ditentukan dari 1% jumlah mahasiswa fakultas. Di sisi lain, calon pasangan DEMA nomor urut dua dari Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) Khaerul Saleh dan dari Fakultas Ushuluddin (FU) Munajat Adi mengundurkan diri sehari sebelum acara debat kandidat DEMA Universitas pada 25 Mei lalu. Khaerul yang akrab disapa Iyung ini menyatakan, ia mengundurkan diri karena kurang setuju dengan sistem Pemira yang representatif. Walaupun sistem representatif bagian dari demokrasi, menurutnya, DPT yang hanya berjumlah 169 orang kurang
mewakili mahasiswa UIN Jakarta yang berjumlah hampir 20.000 orang. Selama tenggat waktu beberapa minggu, ujarnya, masih banyak pihak yang mempertanyakan dan menolak sistem tersebut. Ia mengira, sistem itu masih dapat berubah. “Ya sudah, saya taruh berkas dulu saja ke KPU,” katanya. Namun, saat technical meeting pada 24 Mei ternyata sistem itu tidak dapat diubah lagi. Iyung mengatakan, dalam forum tersebut ia pun secara resmi memutuskan untuk mengundurkan diri. Menanggapi hal tersebut, Ketua KPU UIN Jakarta 2013, Mughni Labib menyatakan, sistem representatif adalah sistem yang paling relevan untuk dilaksanakan. Menurutnya,
hal tersebut bisa meredam konflik yang selalu terjadi saat Pemira. Terkait beberapa fakultas yang tak mengirimkan delegasinya, Labib menegaskan, hal itu merupakan hak prerogratif dari Ketua BEM-F. (Anastasia Tovita)
NEWSLETTER EDISI PEMIRA LAPORAN KHUSUS
5
Tak Ada SEMA-F, Wadek kemahasiswaan Turun Tangan
FOTO: KALACITRA
Dari hasil Penyelenggaraan Pemilu Raya (Pemira) tingkat fakultas akhir Maret lalu, hanya Fakultas Sains dan Teknologi (FST) yang memiliki Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA-F) sebagai lembaga legislatif dan Dewan Mahasiswa Fakultas (DEMA-F) sebagai lembaga eksekutif. Sedangkan Fakultas lain hanya memiliki lembaga eksekutif mahasiswa. Pembentukan SEMA FST sendiri dipilih secara langsung pada saat Pemira Fakultas dengan memilih ketua SEMA-F dan DEMA-F. “Pemira tingkat Fakultas kemarin, KPU Fakultas memilih DEMA dan SEMA” ujar ketua SEMA-F FST Dimas Istanto, Rabu, (1/5). Menurutnya, Keberadaan SEMA-F sendiri sangat
FOTO: JAFFRY/INSTITUT
Anggota KPU saat melakukan verifikasi surat suara di Aula Madya, Senin (29/04).
penting untuk mengawasi DEMA-F karena jika pengawasan dilakukan oleh Dekanat, ia menganggap kurang efektif. Jika mengacu pada Petunjuk Pelaksanaan Organisasi Kemahasiswaan (POK) di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) 2011. Salah satu wewenang SEMA-F adalah mengontrol kinerja DEMA-F, HMJ/HM-PS dalam me laksanakan Garis-garis Besar Program Kerja (GBPK). Salah satu fakultas yang tidak menerapkan SEMA-F adalah Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Ketua DEMA FITK, Arif Nur mengatakan, perihal tugas dan wewenang SEMA-F yang tidak ada di FITK, nantinya akan dialihkan kepada Wakil Dekan Bagian Kemahasiswaan. “ketika tidak ada SEMA-F, pengawasan dilakukan Wakil Dekan Kemahasiswaan” tambahnya, kamis (2/5). Tidak adanya pemilihan SEMA-F karena KPU FITK mengikuti garis intruksi yang diberikan Wakil Dekan Kemahasiswaan. “Pada saat Pemira Fakultas kemarin, Wakil Dekan menginstrusikan untuk memilih ketua DEMA-F seperti tahun kemarin,” ujarnya. Ia menambahkan, saat ini, rektorat memberikan kebijakan sepenuhnya kepada fakultas. Kebijakan seperti itu, menurutnya, pasti menimbulkan perbedaan. “Jadi tiap fakultas ada yang menggunakan SEMA-F dan ada yang ngga.” Kedepannya ia mengharapkan rektorat memberikan ketegasan. “kalo jelas menjalankannya enak, ngga seperti ini.” Kurangnya anggota SEMA universitas Berdasarkan peraturan KPU Universitas, setiap fakultas diwakili 5 mahasiswa untuk menjadi anggota SEMA Universitas. Sampai saat ini jumlah anggota SEMA Universitas masih berjumlah 20 orang. Menggapai hal itu, Wakil Rektor (Warek) III bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, hal
Berapapun jumlah SEMA lanjutkan saja, asal jangan 2 orang,” ujar Sudarnoto tersebut tidak menjadi masalah, “go ahead. Berapapun jumlah SEMA lanjutkan saja, asal jangan 2 orang,” ujarnya, senin (29/4). Senada dengan Sudarnoto, salah satu an ggota SEMA Universitas, Amzar Fadliatama tidak mempermasalahkan jumlahnya. “yang paling penting SEMA Universitas berjalan terlebih dahulu dan jika dirasa perlu penambahan anggota SEMA Universitas yang kurang, nanti akan ditambah dengan syarat yang sama dengan KPU atau syarat yang kita buat sendiri, jadi tidak asal narik lima orang. Kalau tidak kompeten ya kita tidak ambil,” kamis (2/5). Sedangkan untuk pemilihan ketua SEMA Universitas dan jajarannya, menurutnya, akan ditentukan oleh tiap anggota terpilih untuk selanjutnya melakukan rapat pemilihan. Ia juga mengatakan, rapat pemilihan tersebut belum diketahui waktunya dan masih menunggu koordinasi dengan Warek III. (Adi Nugroho & Slamet Widodo)
6
NEWSLETTER EDISI PEMIRA LAPORAN KHUSUS dua pasangan calon yang mendapat surat rekomendasi dari BEM-F yang belum mendapat Surat Keputusan (SK) dari dekanat. Irpan memaparkan, pada 30 April ia meminta transparansi data tentang surat rekomendasi BEM-F dari dua calon pasangan lainnya. “Ternyata SK BEM FITK yang mengusung kandidat Didin Sirojudin dan Tutur baru keluar pada 20 April,” ujar Irpan. Sedangkan penyerahan berkas administrasi calon DEMA Universitas pada 18 April, SK Fakultas Ilmu Kesehatan dan Kedokteran
FOTO: AZIZAH/INSTITUT
Anggota KPU dan Panwaslu sedang melakukan perhitungan suara di Aula Madya, Senin (29/04).
Penggelembungan Suara di Pemira DEMA Pemilihan Ketua dan Wakil Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) tingkat universitas telah usai pada 29 Mei lalu. Namun dalam proses verifikasi surat suara, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013 harus melakukan penghitungan sampai dua kali karena jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang hadir tak sama dengan jumlah surat suara. Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwa slu) Muhbib Abdul Wahab menjelaskan, DPT yang hadir saat pemilihan berjumlah 166 dari 169 DPT, tetapi surat suara berjumlah 199 lembar. Setelah diperiksa, lanjut Muhbib, ada perbedaan tanda tangan pada 33 surat suara tersebut. “Sebagian besar surat suara palsu mengarah pada pasangan calon urut nomor tiga,” ujarnya. Terkait hal itu, calon urut nomor tiga Irpan dari Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang tidak hadir saat penghitungan suara mengaku kaget dan terkejut mendapat kabar seperti itu dari salah seorang temannya. Secara hitungan matematis jumlah DPT, kata dia, pihaknya sudah berada pada posisi kalah. “Jangan-jangan ini black campaigne (kampanye hitam) dari pihak lain untuk menjatuhkan kami,” jelasnya. Berdasarkan hasil rapat evaluasi Pemira Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, Panwaslu, dan KPU, ujar Muhbib, ada indikasi bahwa seseorang dalam tubuh KPU yang juga ikut bermain dalam penggelembungan suara, karena kertas suara dan stempel sama, yang berbeda hanya tanda tangan. Namun, masih mencari bukti-bukti dan motif pelaku melakukan penggelembungan suara. “Dugaan sementara, ada dua motif pelaku. Pertama, untuk mengacaukan pemilu. Kedua, skenarionya yang menang menjadi tidak menang. Tujuannya agar lembaga kemahasiswaan universitas kembali dibekukan,” jelasnya.
Muhbib pun menjelaskan, jika kasus penggelembungan suara ini terbongkar, pelakunya akan dikenai sanksi berdasarkan kode etik berkaitan dengan pemalsuan surat suara dan melakukan tindakan inkonstitusional terkait penggelembungan suara. “Sanksinya bisa mendapat skorsing satu hingga dua semester,” ungkapnya. Ketua KPU UIN Jakarta 2013, Mughni Labib menjelaskan, kemungkinan orang internal KPU terlibat itu ada, namun hal tersebut masih prediksi, karena belum ada bukti yang kuat. “Ini kesalahan kami secara lembaga, karena kurang teliti,” ujarnya, Jumat (3/05). Senada dengan Muhbib, Labib mengatakan, kasus penggelembungan suara ini bukan untuk mencari kemenangan, tujuannya agar perolehan suara dianggap tidak sah dan dilakukan pemilihan ulang. “Atau yang lebih parah, lembaga kemahasiswaan kembali dibekukan,” jelasnya. Menggugat Aturan KPU Pemilihan Ketua dan Wakil DEMA Universitas dimenangkan pasangan dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Didin Sirojudin dan dari Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Tutur Ahsanil Mustofa dengan memperoleh 89 suara. Terkait dengan hasil kemenangan itu, 1 Mei lalu pasangan calon urut nomor tiga Irpan-Aisyah melakukan gugatan kepada warek III dan KPU. KPU UIN Jakarta 2013, menurut Irpan, dianggap melakukan tindakan ilegal dan inkonstitusional karena telah meloloskan kandidat
“Dan sebagian besar surat suara palsu mengarah pada pasangan calon urut nomor tiga,” ujar Muhbib. (FKIK) yang mengusung kandidat Sadam dan Randy sampai 30 April belum mendapat SK dari dekanat. Menurut Irpan, setiap BEM-F terpilih boleh bertindak dan mengeluarkan kebijkan jika telah mendapat SK dari dekanat. “Secara hukum, dua pasangan calon yang batal karena BEM-F mereka belum boleh mengeluarkan surat rekomendasi,” jelasnya. Sedangkan, Irpan menjelaskan, ia dan pasangannya, Aisyah yang diusung oleh FSH sah secara hukum, karena BEM FSH telah mendapat SK dekanat tertanggal 1 April. Sementara itu, Ketua Panwaslu, Muhbib Abdul Wahab menjelaskan, jika merujuk pada pedoman KPU UIN Jakarta 2013, pasangan calon cukup mendapatkan surat rekomendasi dari BEM-F terpilih. Lagipula, lanjut dia, semua saksi sudah menandatangani berita acara Pemira. “Kecuali, kalau ada saksi yang belum tanda tangan, berarti masih ada masalah,” jelasnya. Muhbib mengungkapkan, sesuai kesepakatan hasil rapat, tak perlu ada forum dalam bentuk sidang untuk membahas masalah ini, karena aturan KPU UIN Jakarta 2013 pun sudah jelas. “Jadi, hanya akan dijawab melalui surat dan ditandatangani oleh warek III,” ujarnya. Senada dengan Muhbib, Ketua KPU UIN Jakarta 2013, Labib menjelaskan dalam pedoman aturan KPU UIN Jakarta 2013 tidak tertulis bahwa surat rekomendasi harus berasal dari BEM-F yang telah mendapat SK dari dekanat. BEM-F terpilih mengacu pada Berita Acara Perkara (BAP) Pemira fakultas yang menyatakan, orang tersebut menang dalam pemilihan fakultas. Meski begitu Irpan menegaskan, jika rektorat masih tetap melantik Didin Sirojudin dan Tutur sebagai Ketua dan Wakil DEMA, “Saya menilai, mungkin ada desain besar di balik itu semua dan pihak rektorat dan panwaslu sudah tidak lagi menghargai kebenaran dan keadilan,” tegasnya. (Anastasia Tovita)
SOSOK
NEWSLETTER EDISI PEMIRA
FOTO: DOK.PRIBADI
Wakil Mahasiswa untuk Perubahan Langkah Didin Sirojudin dan Tutur Ahsani Mustofa untuk melakukan perubahan bagi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta kini berada di posisi yang tepat, yaitu sebagai Ketua dan Wakil Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Universitas. Visinya menjadikan mahasiswa UIN Jakarta yang beriman, berilmu, dan beramal. Dengan misi mendorong mahasiswa agar memiliki minat baca, tulis, serta meningkatkan kembali budaya kajian, yang juga bagian dari hobi mereka. Bagi Didin, dari menulis akan banyak wawasan, luas pemikiran, dan rapi dalam me nempatkan kosa kata. Kini, minat baca mahasiswa dapat dilihat dari berkurangnya jumlah toko buku di Jalan Pesanggrahan. Akibatnya, budaya kajian juga semakin berkurang. Jika budaya baca, tulis, dan kajian dapat berkembang di kalangan mahasiswa, tak ayal salah satu misinya membantu UIN Jakarta menjadi World Class University (WCU) akan tercapai. Menurutnya, masih ada hal-hal yang kurang sehingga UIN tidak bisa menjadi nomor satu. “Dari artikel mahasiswanya, artikel
dosennya, skripsinya, dan penghargaan-penghargaan yang belum bisa dipublikasikan,” ujar Didin, Selasa (30/4). Langkah awal yang dilakukan untuk mencapai WCU, menurut Didin dan Tutur dengan menjadikan UIN Jakarta unggul di antara Per-
“Kita sebagai mahasiswa harus menjaga amanah ini, agar tidak timbul lagi pemikiran rektorat yang menganggap mahasiswa tidak bisa dipercaya” guruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Selanjutnya, UIN akan unggul pula di kancah nasional. Meski Didin mendengar dari Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim bahwa UIN baru akan berjaya pada 2020, tapi Didin mengatakan, “Impian yang besar harus diayomi de ngan usaha-usaha yang cukup.” Hal yang ditekankan oleh Didin yang juga mantan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (BEM FITK), manusia tidak tahu mengenai apa yang terjadi di masa depan, karena masa
7
depan akan berbeda dengan hari ini. Maka dengan perbuatan baik di masa kini, akan membuat perubahan baik di masa depan, tambahnya. Pada periode kepemimpinannya, Didin dan Tutur ingin membuat Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) guna membentuk sistem kelembagaan mahasiswa yang lebih profesional sebagai program kerjanya. Ini terlihat saat tidak adanya keseragaman lembaga kemahasiswaan di tingkat fakultas. Bagi mereka, ini merupakan amanah kali kedua yang diberikan rektorat kepada mahasiswa, setelah hampir tiga tahun dibekukan. “Kita sebagai mahasiswa harus menjaga amanah ini, agar tidak timbul lagi pemikiran rektorat yang menganggap mahasiswa tidak bisa dipercaya,” harapnya. Menurut Didin dan Tutur, amanah Ketua dan Wakil DEMA, yakni sebagai tanda Allah menyayangi mereka. Didin menjelaskan, ketika Allah menyayangi makhluknya maka Allah akan terus memberikan proses-proses yang harus dicapai berupa amanah. “Kalau mengatakan ini adalah beban berarti kita tidak bersyukur dan ini merupakan jalan untuk belajar lebih baik lagi,” ujarnya. Selarasnya Ketua dan Wakil Meski mereka mendapatkan suara terbanyak dalam Pemira, tapi mereka tidak merasa besar kepala. Selain visi, misi, serta kerja sama yang baik antara Didin dan Tutur, hal lain seperti pengalaman mereka sebagai ketua BEM-F dan aktif dalam beberapa organisasi membuat mereka dikenal hingga banyak mendulang suara. Selain itu Didin merasa masih harus banyak belajar dari Tutur, karena menurut Didin Program Kerja (Proker) BEM Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) sangat baik saat kepemimpinan Tutur sebagai ketua. Hal serupa juga diucapkan Tutur melihat sosok Didin. Sebagai pasangan DEMA terpilih, mereka berpesan kepada mahasiswa UIN. Baginya, keberadaan mereka bukanlah siapa-siapa jika mahasiswa lain tidak membantu dan tidak menjadi bagian dari masa kepemimpinan Didin dan Tutur. “Kami bukanlah siapa-siapa dan tidak akan menjadi apa-apa tanpa dukungan teman-teman,” ujar Didin. Bukan hanya itu, pesan lain yang tidak kalah pentingnya yang dialamatkan kepada tim sukses Didin dan Tutur yaitu mereka tidak ingin ditinggalkan setelah memenangkan Pemira ini. Mereka ingin terus didukung, dikawal dalam menyukseskan program kerja. Karena bagi mereka, kemenangan ini bukanlah akhir tapi adalah sebuah langkah awal untuk satu tahun ke depan. (Dewi Maryam)
8 WAWANCARA
Sudarnoto Optimis Senat Dapat Menggatikan SG
FOTO: KARLIA/INSTITUT
Seperti halnya masyarakat, mahasiswa juga bersifat dinamis. Perubahan terus terjadi, mulai dari intern mahasiswa hingga lingkungan di sekitar mahasiswa. Begitu pula dengan sistem lembaga kemahasiswaan saat ini, sistem Senat telah menggeser Student Government (SG). Setelah memantau kinerja Komisi Pemilihan Univesitas (KPU) saat pemungutan suara, Senin (29/4), Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim kembali ke ruangannya. Tak lama kemudian, Azizah Nida Ilyas/INSTITUT diperbolehkan masuk ke dalam ruang kerja Sudarnoto untuk wawancara mengenai pergeseran sistem kemahasiswaan dan dinamikanya. Sebagai warek bidang kemahasiswaan, tentu Sudarnoto memiliki pandangan tersendiri tentang dinamika kemahasiswaan saat ini. Bagaimana pandangan tersebut? Dan mengapa SG bisa bergeser menjadi Senat? Berikut petikan hasil wawancara. Apa tanggapan Anda sebagai warek kemahasiswaan tentang kegiatan kemahasiswaan saat ini? Kegiatan mahasiswa saat ini beraneka ragam tapi memang butuh perspektif atau bingkai. Hemat saya secara personal, ada kegiatan kemahasiswaan yang sudah kehilangan bingkainya. Saya menginginkan setiap kegiatan mahasiswa itu ada bingkainya. Bingkai seperti apa yang Anda inginkan? Bingkainya itu harus sejalan dengan mimpi UIN untuk menjadi universitas Islam negeri yang kompetitif, disegani, dihormati, dan diakui secara nasional dan internasional. Ini pekerjaan yang harus diseriusi dan memang tidak gampang. Mahasiswa itu kan sifatnya dinamis, menurut pengamatan Anda dinamika seperti apa yang terjadi? Pada waktu itu, lembaga kemahasiswaan kan dalilnya kedaulatan mahasiswa (SG). Suasana kampus ramai sekali, hiruk-pikuk. Mahasiswa yang kuliah bingung, dosen tidak dapat mengajar dengan baik, dan banyak bendera partai. Apalagi kalau sudah Pemira, tek-tok antar pihak terus ricuh, banyak orang yang tidak nyaman. Saat saya menjadi warek sudah tidak seperti itu lagi. Tidak ada lagi bendera-bendera, keliling-keliling (konvoy) menggunakan sepeda motor, tidak banyak accident yang terjadi karena tidak puas dengan hasil Pemira. Sepenglihatan saya dan beberapa rekan dosen, situasi Pemira sudah berubah. Bahkan, ada yang bertanya pada saya, “Sebenarnya sekarang itu ada Pemira atau tidak sih pak? Dulu kok ramai, sekarang tidak?�. Sistem sekarang ini kan sudah rasional
dengan suasana pesta demokrasi yang berbeda. Sudah tidak ada lagi orasi verbal dengan pengeras suara dan arak-arakan keliling kampus. Perubahan itu terasa sekali. Itulah yang sering saya sebut restrukturisasi atau penataan kembali lembaga supaya lebih rasional dan berada di bingkai yang sesuai. Apa nilai minus SG yang identik dengan Partai Politik (Parpol) di mata Anda? Kampus itu bukan tempat partai politik dan bendera-bendera organisasi ekstra. Kampus itu tempat bagi sivitas akademika, bukan untuk sivitas politika. Sejak awal, istilah SG betul-betul istilah politik, karena memang hal itu hidup atas nama kedaulatan. Itu sangat tidak sehat. Dulu SG itu pernah dijadikan contoh lembaga kemahsiswaan oleh kampus-kampus lain, apa tanggapan Anda? Sudahlah, di kampus ini tempat latihan dan edukasi . Mungkin saja dulu SG seperti itu tapi bangsa ini kan berubah, ada dinamikanya. Di Indonesia saja partai mengalami devisit. Coba kalian pikirkan, mana yang tidak bermasalah di bangsa ini karena politik? Politik itu ruwet. Jangan sampai keruwetan ini ditiru mahasiswa. Jadi Senat Mahasiswa (SEMA) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) itu arahnya bukan kekuasaan, tapi tempat untuk membangun karakter. Belajar kepemimpinan bukan kekuasaan. Apakah penerapan SEMA dan DEMA saat ini sudah mengurangi aktifitas politik di kampus? Sangat. Sebelum Sema dan Dema juga sudah tidak ada partai. Saya memang tidak berhak membubarkan partai, tapi mereka tidak boleh masuk kampus. Begitu juga dengan organisasi ekstra.
Bagaimana dengan kemandirian mahasiswa dalam mengola keuangannya, saat SG berlaku? Mungkin mereka merasa mandiri, tapi tidak sehat dan bermasalah. Makanya, saya katakan harus ada penataan lembaga. Dulu, mahasiswa merasa punya uang di kampus. Mereka undang band-band yang luar biasa, tokoh partai politik untuk pidato, bikin heboh, ini yang saya sebut hiruk-pikuk. Karena mereka merasa punya uang, jadi seakan-akan dengan uang mereka bisa melakukan segalanya. Apa penataan lembaga tersebut menjadi visi dan misi Anda sebagai warek? Ya, itu tugas kelembagaan untuk mencapai mutu yang bagus. Semua lembaga di UIN Jakarta itu harus bermutu. Saya kebetulan mendapat amanah di lembaga kemahasiswaan ini tentu punya pikiran apa yang mau saya kerjakan, agar bisa jadi bagian penting untuk kemajuan UIN Jakarta. Pada tahun 2010 dan 2011, sempat ada demo untuk mempertahankan SG, bagaimana Anda menyikapinya saat itu? Kalau ditanya capek, ya pasti capek. Namanya bekerja pasti melelahkan. Tapi tidak apa-apa, biarkan saja. Mau saya diteriakan atau apa, saya tidak punya beban. Dulu, sewaktu saya menjabat sebagai warek kemahasiswaan, saya sudah pernah bilang pada mahasiswa, partai tidak boleh masuk kampus dan sistem Pemiranya juga sudah berubah. Kemudian mereka para mahasiswa demo. Jika nanti saat sistem Senat ini berjalan, masih ada yang mendemo menuntut untuk mempertahankan SG, bagaimana sikap Anda? Demo itu urusan biasa. Yang tidak boleh itu memfitnah dan merusak. Kalau demonya seperti itu tentu ada tindak lanjutnya. Pasti dikejar dan dikenakan sanksi. Seberapa yakin Anda dengan sistem Senat yang telah menggantikan SG ini? Saya sanga t optimis meneruskan sistem Senat ini. Saya optimis lembaga ini akan besar. Niatnya sudah ada, langkah-lagkahnya sudah ada, meskipun belum sempurna. Penataan kelembagaan ini akan diarahkan agar lembaga kemahasiswaan berada dalam bingkai yang pas. Yaitu sebagai bingkai dari proses pendidikan, bukan untuk kekuasaan dan senang-senang. Itulah pentingnya ada perspektif atau bingkai.
9
NEWSLETTER EDISI PEMIRA Hasil Pemira
Data Hasil Pemilu Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas
Nomor Urut
NamaPasangan
1 2 3 4 Abstain Tidak Sah Total DPT yang Memilih DPT yang Tidak Memilih Total DPT Keseluruhan
Perolehan Suara
Didin Sirojudin (FITK/PAI/8) dan Tutur Ahsanil Mustofa (FAH/ BSA/8) Khaerul Saleh (FIDIKOM/KPI/8) dan Munajat Adi Saputra (FU/ TH/8) * Irpan (FSH/HUKUM/8) dan Aisyah (FISIP/Ilmu Poltik/6) Sadam Husen Falahuddin (FIDIKOM/KPI/6)dan Randy Septiansah (FKIK/KESMAS/6) 20 33 ** 166
89 40 17
3 *** 169
Keterangan: *) Nomor urut 2 mengundurkan diri pada 23 April 2013
**) Terjadi penggelembungan hingga 33 suara dengan kategori tanda tangan dan cap surat yang berbeda.
***) DPT yang tidak memilih dari FU, FIDIKOM, dan FKIK.
021-93721249
10 OPINI EDITORIAL Selamat Jalan, SG Tahun 1998, setelah bercokol lebih dari tiga dasawarsa, rezim Orde Baru (Orba) akhirnya lengser. Pelbagai elemen masyarakat Indonesia, terutama mahasiswa, bersuka cita merayakan peristiwa bersejarah Indonesia tersebut. Angin reformasi pun berhembus ke antero Nusantara. Di tahun-tahun sebelumnya, pergerakan mahasiswa, tak terkecuali mahasiswa IAIN, menurut Orba, mengganggu ‘stabilitas’ nasional. NKK/BKK lahir untuk mengatasinya. Ternyata ia cukup ampuh meredam gerakan-gerakan mahasiswa. Pasca reformasi, mahasiswa IAIN, kala itu, turut meraih tuah. Melalui MKBMI (Musyawarah Keluarga Besar Mahasiswa IAIN), 29 November 1998, mahasiswa IAIN sepakat membubarkan SMI (Senat Mahasiswa Institut). SMI mengungkung otoritas kedaulatan lembaga mahasiswa di bawah rektorat. Senafas NKK/BKK. Pra-pemberlakuan Student Government (SG), beberapa mahasiswa pencetus melakukan studi banding ke UNPAD, ITB, UGM dan UNDIP, terkait pemahaman dan penerapan SG di kampus tersebut. Beberapa waktu setelahnya, Musyawarah Luar Biasa pada 9-16 Desember 1998 melahirkan AD/ART dan peraturan Pemilu. SG harapkan menjadi sistem organisasi dengan tikat independensi tinggi dari siapa pun, baik pemerintah, apalagi rektorat. 12 April 1999 Tb. Ace Hasan Syadzili terpilih menjadi presiden pertama mahasiswa BEMI dalam pemilu perdana di IAIN. Menurutnya, yang kini sebagai anggota DPR-RI, basis filosofis SG adalah demokrasi sebagai pegangan utama mahasiswa dalam berorganisasi, menunjung tinggi nilai kebebasan akademik, dan proses pembelajaran kemandirian serta transformasi sosial. Jaman mengamini takdirnya, perubahan. 2010 menjadi tahun kelam SG di UIN. Kado reformasi ’98 tersebut tercederai oleh ekses dan perilaku ahistoris mahasiswa yang berseberangan dengan nilai-nilai SG. Tahun 2011 dan 2012 lembaga kemahasiswaan meregang eksistensinya. April 2013, pemilihan raya berlangsung dengan sistem lembaga kemahasiswaan dan undang-undang pemilu yang, meminjam istilah Sudarnoto, “masih masa transisi”. Barangkali, kita semua memang tak sanggup lagi memangkuh nilai-nilai luhur SG, seperti kemandirian dan kedewasaan. Atau, kita memang mahasiswa yang perlu dididik, dibimbing, dan didikte rektorat dalam berorganisasi, bak di era Orde Baru yang dulu berkuah darah kita runtuhkan. Selamat jalan, SG.
Peranan Mahasiswa Dalam Pemilu 2014 Oleh: Ery Chandra Berbicara tentang peranan mahasiswa dalam proses perubahan masyarakat menuju tatanan demokratis, maka benak kita akan melayang pada peristiwa di tahun 1966, 1978, dan 1998, dimana pada waktu itu peranan mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral, me nunjukkan eksistensinya. Aktifitas dan gerakan mahasiswa kala itu memiliki kesamaan isu dan musuh, yaitu rezim yang otoriter dan eksploitatif. Kondisi tersebut menjadikan mahasiswa sebagai sebuah gerakan, mampu muncul menjadi kekuatan besar, sehingga mengutip Arief Budiman, bahwa cuma ada satu kata untuk menyebut gerakan mahasiswa waktu itu (1998), yaitu fantastis! Pertanyaannya kemudian, bagaimana pe ranan mahasiswa dalam agenda suksesi, baik di tingkat daerah maupun nasional? Dalam konteks peranan mahasiswa, jika dibandingkan dengan gerakan-gerakan yang bersifat spektakuler, adalah tetap sama, yakni menjaga atau mengawal proses demokratisasi, hanya saja mungkin caranya yang berbeda. Kondisi ini disebabkan agenda suksesi kepemimpinan pemerintah seperti Pemilu, Pilpres dan Pilkada, mahasiswa tidak berhadapan dengan rezim yang otoriter atau yang kesewenangwenangan. Mahasiswa yang dihadapkan pada situasi ini, relatif tidak memiliki “musuh” bersama. Oleh karena itu mahasiswa memiliki peran tersendiri yang berbeda ketika mahasiswa berhadapan dengan penguasa. Ada beberapa peran yang dapat dijalankan oleh mahasiswa dalam proses Pilkada langsung di Bangka Belitung contohnya, baik itu sebagai individu maupun organisasi. Peran tersebut adalah: Mengawal Proses Pelaksanaan Pilkada Langsung Mahasiswa mempunyai peran strategis dalam pengawalan proses pelaksanaan Pilkada bersama aktivis-aktivis masyarakat sipil lainnya, seperti: LSM, Akademisi, Pers, dan Ormas/ OKP. Peran ini diambil, karena mahasiswa merupakan kekuatan masyarakat sipil yang bersifat independen, objektif, dan berlandaskan pada aspek moralitas. Oleh karena itu, pengawalan terhadap proses Pilkada langsung merupakan peran yang strategis untuk dijalankan oleh mahasiswa. Peran pengawalan terhadap proses pilkada
dapat dimainkan oleh mahasiswa sebagai individu maupun oleh lembaga-lembaga mahasiswa, seperti: lembaga intern kampus, lembaga ekstern kampus, dan organisasi mahasiswa kedaerahan. Adapun jalan yang bisa ditempuh oleh mahasiswa dan organisasi kemahasiswaan dalam melakukan peranannya dalam mengawal proses pilkada, antara lain: diskusi, seminar, opini publik, artikel/tulisan di media massa, penyataan sikap, dan demonstrasi. Pendidikan Politik Kepada Masyarakat Pendidikan politik pada masyarakat dilakukan sebagai wujud tanggung jawab mahasiswa kepada masyarakat. Adapun wujud dari peran ini adalah adanya agenda mahasiswa seperti: bedah visi dan misi calon kepala daerah, me lakukan kajian terhadap kapasitas dan integritas calon kepala daerah, membuat kriteria calon kepala daerah versi mahasiswa atau membuat nota kesepakatan dalam bentuk kontrak politik kepada calon kepala daerah. Target dari agenda-agenda ini adalah, masyarakat dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional, bukan berdasarkan kharismatik semata. Dalam pelaksanaan peran ini, etika yang harus dibangun oleh setiap organisasi mahasiswa adalah sikap objektifitas dan akuntabilitas. Objektifitas yang dimaksud ialah pembedahan visi/misi, pembuatan kriteria calon kepala daerah, dilakukan dengan tanpa disusupi oleh kepentingan politik praktis. Hal ini penting, sebab mahasiswa sebagai sebuah gerakan moral, mesti bersikap netral dan berpihak kepada masyarakat luas. Sedangkan akuntabilitas, adalah penilaian yang diberikan oleh sebuah organisasi mahasiswa, yang harus bisa dipertanggungjawabkan kesahihannya. Artinya, bila mahasiswa menilai seorang kepala daerah yang terindikasi melakukan tindak penyelewengan kekuasaan maka data dan fakta yang disampaikan harus dapat dibuktikan, bukan sekedar isu belaka, sehingga kepercayaan masyarakat tetap besar terhadap gerakan mahasiswa. Masuk sebagai Tim Pemenangan Calon Kepala Daerah Keterlibatan mahasiswa dalam tim pemenangan calon kepala daerah, bukanlah sebuah hal yang baru dalam dinamika kemahasiswaan. Contoh yang paling dekat adalah pada Pemilu
Pemimpin Umum: Muhammad Umar | Sekretaris: Rahayu Oktaviani | Bendahara Umum: Trisna Wulandari | Pemimpin Redaksi: Rahmat Kamaruddin | Redaktur Cetak: Makhruzi Rahman | Redaktur Online: Jaffry Prabu | Web Master: Rizqi Jong | Pemimpin Perusahaan: Aprilia Hariani | Iklan & Sirkulasi: Muji Hastuti | Marketing & Promosi: Ema Fitriani | Pemimpin Litbang: Aditia Purnomo | Riset: Aam Maryamah | Kajian: Aditya Putri Koordinatur Liputan: Rahmat Kamaruddin Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Adi Nugroho, Adea Fitriana, Anastasia Tovita, Azizah Nida Ilyas, Dewi Maryam, Karlia Zainul, Selamet Widodo Fotografer & Editor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Makhruzi Rahman Karikaturis: Azizah Nida Ilyas & Rohman Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Tangerang Selatan Kode Pos 15419. Telp: 0856-9214-5881 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com.
Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.
NEWSLETTER EDISI PEMIRA
dan Pilpres 2004, di mana banyak ditemui aktivis mahasiswa yang menjadi tim sukses dari calon anggota DPR/DPRD, DPD maupun calon presiden. Ada beberapa pertimbangan dasar ketika mahasiswa mengambil peran ini: a) Mahasiswa, sebagai individu masyarakat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap proses politik, baik saat pencoblosan maupun dalam menentukan sikap untuk mendukung pasangan calon kepala daerah tertentu. b) Ikut dalam tim pemenangan calon kepala daerah merupakan political proces bagi mahasiswa itu sendiri. Political proces ini adalah bentuk pengaktualisasian kemampuan diri dari mahasiswa itu sendiri sekaligus wadah pembelajaran dalam ruang lingkup politik praktis. Munculnya mahasiswa dalam arena tim pemenangan calon kepala daerah menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak bahkan dari kalangan mahasiswa itu sendiri. Pertama, mahasiswa akan mudah diperalat dan ditunggangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Kedua, saling mendukung calon kepala daerah akan memperlemah gerakan mahasiswa. Karena kemungkinan akan terjadi suatu keadaan di mana sekelompok mahasiswa menyatakan dukungannya kepada calon si A, sementara kelompok mahasiswa yang lain menyatakan mendukung si B, si C dan seterusnya. Hal ini tentu memperlemah persatuan di kalangan mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa akan terkotak-kotak dan mudah untuk diadu domba dan dipecah belah. Beberapa poin kekhawatiran di atas besar peluangnya untuk terjadi. Namun, keikutsertaan mahasiswa dalam tim pemenangan calon kepala daerah, tetap memiliki aspek positif bagi mahasiswa tersebut. Oleh karena itu perlu dirumuskan etika bersama sebagai panduan normatif, menyikapi adanya ambivalensi tersebut, yaitu: 1. Hendaknya kapasitas mahasiswa yang ikut dalam tim pemenangan adalah sebagai individu, bukan mengatasnamakan organisasi kemahasiswaan tertentu. 2. Individu mahasiswa yang ikut dalam tim pemenangan, hendaknya bukanlah mahasiswa yang dalam struktur organisasinya berperan sebagai decision maker, seperti ketua umum, ketua bidang/divisi/departemen. Hal ini untuk menjaga netralitas organisasi mahasiswa tersebut. 3. Individu-individu mahasiswa yang tergabung dalam tim pemenangan calon kepala daerah hendaknya tidak terjebak ke dalam praktik-praktik politik yang tidak bermoral, seperti money politic dan politik dagang sapi. * Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah
11
Bang Peka
*NIDA
Sambungan...Rektorat Hapus SG Substansi SG Andi Syafrani menjelaskan, SG adalah sebuah sistem yang dibangun untuk memberikan ruang gerak dan partisipasi yang lebih baik, terbuka, setara, dan kuat bagi mahasiswa dalam mengelola dan mengatur dirinya sendiri (self governing). Relasi dengan pihak rektorat dan dekanat hanya sebatas konsultasi, pertanggungjawaban moral, administrasi, dan sebagai “orang tua� di kampus. Ia menjelaskan, ketika dirinya menjabat MPMI dulu, rektorat memberikan kepercayaan kepada mahasiswa untuk mandiri. Dengan demikian, ujarnya, komunikasi baik dengan orang tua dan sesama mahasiswa lebih terbuka, karena SG memberikan kanal bagi semua untuk bisa saling kritik, koreksi, dan memberikan nasihat. “Nah, dengan kelembagaan SG, kita mencoba membuat kanal-kanal tersebut se- hingga semua persoalan diharapkan dapat di sele-
saikan secara terbuka, komunikatif, dan transparan dengan mengedepankan logika dan ide, bukan otot, apalagi kekerasan,� paparnya, Kamis (2/5). Adapun tiga dasar filosofis yang melandasi berdirinya SG menurut TB Ace adalah, demokrasi sebagai pegangan utama mahasiswa dalam berorganisasi, menjunjung tinggi nilai kebebasan akademik, dan proses pembelajaran transformasi sosial. Pada masa kepemimpinannya, Tb. Ace membuat partai-partai politik mahasiswa dengan tujuan menciptakan kelembagaan politik yang terbuka. Ia berharap, mahasiswa tidak menghilangkan semangat untuk berpikir demokratis, terbuka, dan mandiri. (Adi Nugroho/ Selamet Widodo).
Testimoni Pemira DEMA 2013 Muhbib Abdul Wahab, Ketua Panitia Pengawas Pemira “Saya merasa senang para mahasiswa bisa menggunakan hak suaranya.”
Siti Nurmalita Sari, mahasiswi FIDIKOM jurusan Manajemen Dakwah “Bagi saya, ini sistem yang buruk.”
Dani Ramdhany, mahasiswa FU jurusan Aqidah Filsafat “Bagi saya sistemnya “memperkosa” kedaulatan dan hak mahasiswa.”
Imung, mahasiswa FSH jurusan Perbankan Syari’ah “Sistem representatif ini lebih aman untuk mahasiswa. Namun, mahasiswa tidak bisa merasakan pemilihan langsung.”
Natasha Nur Afifah, mahasiswi FST jurusan Teknik Informasi “Beritanya kurang sampai, apalagi FST letaknya paling belakang.”
Aksa Dewangga, mahasiswa Fakultas Psikologi “Pemira DEMA (Universitas) kemarin sangat tidak demokratis. Perwakilan suara itu sangat tidak mengaspirasikan mahasiswa UIN Jakarta.”
Anggit Rahmadi Triatmojo, mahasiswa FEB jurusan Manajemen “Seolah ada nepotisme buat satu golongan doang. Jadi, nggak demokrasi.”
Farah Dina Fitria, mahasiswi FISIP jurusan Hubungan Internasional “Saya harapkan sistem sekarang lebih terbuka.”
Hasan, mahasiswa FAH jurusan Bahasa Sastra Arab “Saya kurang begitu tahu. Saya kan bukan aktivis, saya hanya mahasiswa biasa yang kuliah pulang.”
Muhammad Noer Tondo .W, mahasiswa FDI “Mudah-mudahan dengan adanya perubahan sistem ini UIN Jakarta semakin bagus dan bisa termanajemen.”
Tasvia Tur Rahmah, mahasiswi FITK jurusan Pendidikan IPS “Nggak semua orang tahu siapa kandidatnya.”
Erwin Prawi Rodiharjo, mahasiswa FKIK jurusan Farmasi “Saya kaget, kok bisa sistemnya perwakilan.”