Edisi XIII/Mei 2011 - diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com
•Laporan Khusus
Akankah Situkuru Berakhir?
•Pustaka Hal. 6
•Wawancara
Kiat Menulis Buku Fiksi, non
Surya Vandiantara Hal. 12
Hal. 4 FOTO: Rizqi/INSTITUT
EDITORIAL
Merekonstruksi
Sudarnoto Abdul Hakim memberi peringatan kepada Rotibul Umam setelah Bachtiar Effendy walk out dari ruang Audiorama, (13/05).
Bukan Soal SG, tapi Kedaulatan Mahasiswa Aditia Purnomo
Diskusi serial pra workshop mengenai lembaga kemahasiswaan telah terlaksana. Namun hasil diskusi yang akan dijadikan landasan untuk perumusan sistem lembaga kemahasiswaan di UIN Jakarta itu sendiri belum terlihat secara kongkret. Menanggapi hal tersebut, Purek III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, mengungkapkan, diskusi tersebut adalah salah satu tahap menuju workshop yang akan diadakan pada 5 Juni. “Workshop bukanlah puncak, tetapi diharapkan mampu melahirkan draft yang matang,” ujarnya (26/5). Di lain pihak, Surya Vandiantara, anggota tim perumus Fraksi Boenga, mengatakan Student Government (SG) masih
layak dipertahankan berdasarkan hasil dari pra workshop. ”Dari semua pembicara yang ada, tidak ada satu bantahan pun yang menyatakan bahwa apalah itu bentuknya, baik itu Pedoman umum Organisasi Kemahasiswaan (POK), maupun Senat Mahasiswa yang lebih baik dibandingkan SG,” tegasnya (26/5). Ia menambahkan, kini tim perumus tengah membaca kekurangan dari SG. Demi menyempurnakan sistem yang
ada, tim perumus sedang melakukan perbaikan celah-celah hukum di SG. Hal itu dilakukan untuk mempertanyakan kedaulatan mahasiswa. Senada dengan Surya, Iman Lesmana, Ketua Tim Perumus menyatakan SG masih menjadi format yang layak bagi lembaga kemahasiswaan. Ia menjelaskan hal yang sekarang mesti dilakukan ialah memberi draft matang yang diminta rektor (26/5). Bersama Tim Pendamping Untuk menindaklanjuti hasil dari pra workshop tersebut, Sudarnoto menjabarkan jika Dirjen Pendidikan Islam telah
membuka peluang bagi mahasiswa untuk memberikan draft yang nantinya akan dimatangkan kembali untuk dijadikan pedoman organisasi kemahasiwaan bagi PTAI se-Indonesia. “Diharapkan bisa dijadikan prototype,” tegasnya. Ia menjelaskan, yang bertugas membuat gagasan untuk draft tersebut adalah tim perumus. Namun dalam pembuatannya, tim perumus akan dibantu tim pendamping yang dibentuk rektorat. “Tim pendamping itu bertugas untuk meyakinkan bahwa acara berjalan lancar dan membantu manajemennya,” tambahnya. Bersambung ke hal 11 kol 2
Saat-saat ini, sedang berlangsung acara; entah itu krusial atau tidak; demi kebaikan mahasiswa semuanya. Dibuatnya sebuah sistem kemahasiswaan yang baru. Inginnya mengubah lebih baik dari sistem sebelumnya, tapi hasilnya masih belum jelas. Terlepas dari itu semua, sebagian kecil mahasiswa harap-harap cemas tentang masa depan sistem kemahasiswaan nanti. Kita tunggu. Merekonstruksi sistem kemahasiswaan yang baru memang susahsusah gampang. Susah mengatur mahasiswanya, gampang mengatur sistemnya. Namanya juga mahasiswa, banyak dialektika, retorika, sampai adu muka. Yang ada, sistem belum selesai, chaos duluan. Ya, mudah-mudahan kejadian itu tak bakal terulang terus-menerus. Workshop yang bakal dilaksanakan 11 juni nanti, menjadi masa-masa yang menentukan sistem kemahasiswaan kedepannya. Sebelum workshop, ada pra workshop. Yang padahal isinya tidak jauh berbeda, sekali lagi tidak jauh berbeda dengan workhop Student Government (SG), buang-buang duit saja. Kejadian itu bukan tanpa sebab, penyebab utama pra workshop sia-sia itu adalah belum pahamnya mahasiswa tentang SG, kelembagaan, dan kemahasiswaan. Jika begitu, siapa yang bodoh? Dari semua rentetan acara dalam rangka merekonstruksi sistem kemahasiswaan, yang terpenting adalah rumusan-rumusan yang menjadi cikal-bakal sistem yang ideal buat mahasiswa. Tim perumus bisa menjadi malaikat sekaligus dajjal tergantung rumusannya sesuai atau tidak dengan yang dimau mahasiswa. Biarkan rektorat mau kata apa, yang terpenting mahasiswa punya tanggungjawab, berdasarkan hak dan kewajibannya sebagai mahasiswa. Dan satu hal, jika fenomenafenomena ke-chaos-an terus terjadi seperti dulu, mahasiswa benar-benar sudah masuk ke dalam dunia sisifus. Jatuh di lubang yang sama. Percuma rentetan acara merekonstruksi itu, jika hasilnya tetap merubuhkan bangunan kemahasiswaan. Sia-sia berdialektika, retorika, sampai adu muka, semuanya dapat pepesan kosong. Untuk itu, mari kita merekonstruksi dengan serius.
2
Laporan Utama
Edisi XIII/Mei 2011
Format Ideal Lembaga Kemahasiswaan Foto: Ibnu/INSTITUT
Aam Mariyamah
Para Pembicara diskusi serial pra workshop (21/05), dengan tema “Format Ideal Lembaga Kemahasiswaan”. di ruang audiorama
Bila muncul pertanyaan, lembaga kemahasiswaan seperti apakah yang layak diterapkan di UIN Jakarta. Maka, baik pihak rektorat maupun mahasiswa, memiliki konsep yang dianggap ideal. Faktanya, kedua belah pihak, mampu memberikan rasionalisasi bagi konsep yang diajukan. Rektorat dengan konsep Dewan Mahasiswa dan mahasiswa bertahan dengan Student Government (SG). Lembaga kemahasiswaan, menurut Abuddin Nata, Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah, sekaligus perancang konsep Dewan Mahasiswa, merupakan the second university, sehingga sudah sepantasnya diberdayakan. Ia menilai, perlu ada transformasi lembaga kemahasiswaan ke arah yang le-
bih kredibel, unggul tangguh, dan berwibawa dalam mengembangkan bakat dan kreatifitas mahasiswa. Di dalam draft Rencana Pengembangan Lembaga Kemahasiswaan yang ia susun, ada lima alasan yang mendasari perlunya pengembangan lembaga kemahasiswaan. Pertama, lembaga kemahasiswaan belum memperlihatkan kejelasan visi dan misiya. Kedua, lembaga kemahasiswaan belum memainkan peran dan fungsi secara optimal sebagai mitra fakultas. Ketiga, mahalnya ongkos politik yang dikeluarkan untuk memilih pemimpin lembaga kemahasiswaan. Keempat, kurangnya kewibaan tokoh lem-
baga kemahasiswaan. Dan yang terakhir ialah kurangya peran serta dukungan dari pimpinan UIN. Sebagai pembuat konsep Dewan mahasiswa, ia pun memandang keberadaan partai di kampus UIN Jakartalah yang sangat memberikan dampak negatif terhadap lembaga kemahasiswaan. Adanya isu-isu money politic di kalangan partai, kericuhan saat pemira, dan ketegangan antar partai, dianggap telah menodai nilai- nilai SG. Hal- hal di atas sangat disadari telah menuai persepsi berbeda dari pihak mahasiswa, yang merasa bahwa tetap SG-lah yang paling pantas menjadi sistem lembaga kemahasiswaan kampus. Seperti yang diungkapkan Rotibul Umam, fraksi DPP PPM dan salah satu tim perumus konsep lembaga kemahasiswaan, ketika ditemui INSTITUT (25/5), konsep yang diajukan oleh Abuddin Nata, hanya mengekang kreatifitas mahasiswa, membunuh demokratis mahasiswa, dan mengkerdilkan kedaulatan mahasiswa. Lain hal dengan Aswin Suhendar, Ketua BEMF Syariah dan Hukum, berpendapat bahwa jika konsep yang ditawarkan lebih baik dari SG hari ini, maka ia men-
dukung. Karena bukan masalah perubahan, tapi esensinya. Umam mengakui, kini SG kurang dewasa dalam berpolitik dan ada praktek-praktek yang “menyimpang” dari spirit SG dan demokrasi. Seharusnya, bukan perpolitikan di Indonesia kemudian dibawa ke UIN, tapi kita menciptakan perpolitikan yang baik di UIN, kemudian kita terapkan di negara kita ini. Kini, DPP Progessive pun, mendukung penerapan kembali sistem SG, yang sebelumnya sempat pesimis dalam mempertahankan SG (lihat INSTITUT, edisi XI Maret 2011), “Yang terpenting itu kedaulatan mahasiswa dan aspirasi mahasiswa tersampaikan,“ ujar Ian, Ketua DPP Progessive. Untuk memberi nasehat dan penjelasan tentang lembaga kemahasiswaan, Dirjen PTAI, Mohammad Ali, hadir dalam diskusi serial pra workshop (21/5), point terpenting yang harus digaris bawahi adalah mahasiswa harus mampu mengambil nilai- nilai positif yang ada dalam SG dan mengeleminasi ekses-ekses yang tidak diinginkan. Serta menyiapkan mahasiswa sebagai pemimpin umat, penerus umat bangsa yang akan datang.
Ketentuan Peserta Pra workshop Tidak Terpenuhi Foto: Adit/INSTITUT
Muji Hastuti
Banyaknya peserta yang tidak hadir saat diskusi serial pra workshop (14 mei) di ruang audiorama
Di ruangan berwarna putih yang sudah mulai luntur oleh waktu itu sedang diadakan rapat persiapan pra workshop. Ruang yang dulunya dikenal sebagai sekretariat BEMU (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas) itu menjadi saksi ditentukannya 60 orang peserta untuk hadir dalam acara pra workshop. Peserta pra workshop itu, terdiri dari masing-masing fraksi berjumlah 5 orang, BEM Fakultas 2 orang, dan Organisasi Ekstra non partai 2 orang. Namun, ketentuan itu tak dipenuhi oleh beberapa lembaga kemahasiswaan dengan berbagai alasan. “Rata-rata memang hadir, tapi ada dari beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas
(BEMF) yang nggak hadir, dan saya tidak tahu juga mengapa mereka tidak hadir, padahal dari pihak panitia itu sudah menginfomasikan melalui surat maupun pesan yang disebar via sms,” ujar Surya Vandiantara selaku tim perumus sambil menghisap sebatang rokok, Senin (23/05). Senada dengan Surya, Pantden Muhammad Noor, Ketua Komite Mahasiswa Universitas (KMU), memaparkan bahwa pihak Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU), tidak datang dihari kedua dan ketiga diskusi serial pra workshop. “Mereka hanya hadir dihari pertama aja,” ujar Pantden saat ditemui INSTITUT di Pesangrahan, Minggu (22/05).
Menanggapi pernyataan Pantden, di sofa berwarna cokelat muda di lobi rektorat, Varhan Abdul Aziz, ketua DPMU menjelaskan, untuk acara pra workshop dia menyerahkan kepada Tabrizi selaku sekjen DPMU, karena ia sedang mengurusi milad UIN. Namun, saat INSTITUT ingin memastikan apakah benar Tab-rizi datang saat pra workshop tersebut, dia mengatakan tidak bisa diwawancarai dan ia pun tak menjelaskan mengapa tidak bisa untuk diwawancarai. Menurut Surya, selain DPMU, beberapa BEMF juga tidak menghadiri diskusi serial pra workshop. Seperti BEM Fakultas Adab dan Humaniora (BEM FAH) dan BEM Fakultas Sains dan Teknologi (BEM FST) Ketika ditemui di sekretariat BEM FAH, Ervan Anwarsyah, ketua BEMF Adab dan Humaniora mengatakan, bahwa dia tidak bisa menghadiri diskusi pra workshop karena alasan skripsi dan tidak mau ambil pusing masalah ini “Saya akan mengikuti acara itu, kalau acara pra workshop benar-benar membahas Student Government (SG), bukan Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK),” tandasnya. Bahkan, Muchamad Iqbal, Sekjen BEM FAH pun hanya hadir saat pra workshop kedua dan
keempat, untuk mewakili ketua BEM FAH. Hal itu disebabkan karena berbenturannya dengan acara lain dan dia khawatir akan ketidak jelasan pra workshop pertama akan terulang, jadi lebih baik dia mengikuti acara lain. Seperti mengadakan Latihan Kader (LK) yang ada di fakultasnya. Dalam menanggapi hal ini, Sekertaris BEM FITK (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan) menyanggahi atas pemaparan Surya yang mengatakan, kalau dari pihak mereka tidak pernah terlihat sama sekali. Padahal sekretaris BEM FITK Sofyan Adenansi atau biasa dipanggil dengan sebutan Ipay itu datang bersama Johan, tapi untuk pra workshop yang terakhir pada hari senin dia tidak bisa datang, disebabkan karena hari senin dia sedang ke puncak untuk menghadiri workshop pendidikan. Namun walaupun dia tidak menghadiri pra workshop, dia sudah mengirimkan delegasi ke acara tersebut. Menanggapi masalah hadir dan tidak hadir Syifa U Rachman Ketua PIM (Partai Intelektual Muslim) mengatakan “tidak hadir itu merupakan masalah personal, karena kuliah itu pasti memiliki kesibukan yang berbeda,” ujar Syifa saat ditemui INSITUT.
Salam Redaksi Assalamualaikum Wr. Wb Salam INSTITUT Semoga kesejahteraan selalu tercurah untuk kita semua. Dalam kondisi apapun, baik atau buruk, yang kita butuhkan hanyalah ‘kehendak’ yang berakhir dengan daya agar mendapat keputusan yang yang baik untuk diri kita dan sekitarnya. Dengan kekuatan daya itu, mereka telah menempuh pendidikan dari awal masuk ke LPM INSTITUT hingga sekarang, di mana kini menggarap Tabloid INSTITUT. Ya, mereka adalah para calon anggota yang kian kemari mendapat proses pengalaman yang tiada nilai harganya. Melalui karya yang di hadapan Anda ini, mereka telah berusaha mengaplikasikan Pendidikan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTL) yang telah diberikan sebelum tabloid ini diproses. Melalui itu semua, tentu saja diharapkan mereka dapat bertahan terhadap “genjatan” yang dialami masing-masing. Kala waktu maju, kami pun akan maju dengan kekuatan kami. Kala waktu menekan, kami pun balik menekannya dengan segala daya yang lekat pada kami. Saat ini, permasalahan sistem pemerintahan mahasiswa masih terus dipertanyakan. Mau dibawa ke mana sistem tersebut? Seakan tak pernah kunjung usai. Kini, para wakil mahasiswa kampus ini, telah “beradu tatap” dengan rektor dan jajarannya. Pada akhirnya, keputusan tentang sistem pemerintahan kampus kita akan ditentukan pada 11 Juni. Masalah inilah yang kami jadikan tema sentral dalam tabloid INSTITUT ke-13 ini. Seiring perjalanan Student Government, tak pelak hujaman-hujaman selalu muncul. Kini puncaknya hidup-mati sistem pemerintahan mahasiswa yang terbentuk saat kata ‘reformasi’ didengungkan. Kekuatan keyakinanlah yang menjadi penentu. Sebagai kalimat terakhir dalam pembukaan ini, kami ucapkan selamat membaca. Wassalammulaikum Wr. Wb.
3
Laporan Utama
Edisi XIII/Mei 2011
Tim Perumus Penentu Sistem Organisasi Kemahasiswaan Rifki Sulviar Diskusi serial pra workshop Pedomam Umum Organisasi Kemahasiswaan (POK) memberikan kejelasan penting, mengenai kewenangan mahasiswa dalam merumuskan sistem organisasi kemahasiswaan. Dari diskusi serial pra workshop yang diadakan empat kali tersebut, terutama pada diskusi yang ke-4 (23/5) dijelaskan bahwa mahasiswa berhak menentukan sendiri konsep dari sistem organisasi kemahasiswaan. Hal tersebut mempunyai landasan hukum yang kuat, Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (SK Mendikbud) No. 155/U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi yang ditandatangani oleh Mendikbud yang saat itu menjabat, Juwono Sudarsono. Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa. Hal tersebut tercantum pada SK Mendikbud No. 155/U/1998, bab I Ketentuan Umum, pasal 2. Hingga berita ini diturunkan, SK menteri tersebut masih berlaku. Seperti yang dikatakan oleh Andi Syafrani, salah satu pembicara dalam diskusi serial pra workshop ke-4, “Sampai sekarang seingat
saya SK Mendikbud No. 155 belum dicabut dan belum ada keputusan baru.” Andi juga menambahkankan, dari SK Mendikbud itu keluarlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 66 tahun 1999. Kemudian dia menjelaskan, secara tidak langsung SK
organisasi kemahasiswaan. Dia juga mengatakan, dia tidak ingin mencampuri secara detail karena menurutnya itu, masalah organisasi kemahasiswaan, mahasiswa yang langsung berhubungan. “Saya tunggu konsep dari teman-teman (tim perumus, red) di
Http://www.dikti.go.id/Archive2007/OrgMhs.html
Dirjen No. DJ.I/253/2007 berada di bawah SK menteri karena posisi Dirjen berada di bawah menteri. Sehingga organisasi kemahasiswaan diatur oleh menteri bukan setingkat Dirjen. Di samping itu, dalam kesempatan yang sama Rektor UIN Jakarta, Komaruddin Hidayat mengungkapkan bahwa dia menghargai wilayah mahasiswa, kebebasan dalam merumuskan sistem
meja saya,” tegas Komaruddin. Tak jauh berbeda dengan Komaruddin, Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) Abuddin Nata yang ditemui INSTITUT di ruangannya menuturkan, rektorat tidak usah terlibat.”Saya tidak ingin mengintervensi mahasiswa, karena itu tidak mendidik,” ungkap Abuddin. Puncaknya (26/5), dalam rapat yang dihadiri oleh tim perumus
dan pihak rektorat untuk membahas persiapan workshop 11 Juni mendatang disepakati bahwa perumusan sistem organisasi kemahasiswaan diserahkan pada tim perumus yang terdiri dari dua belas orang mahasiswa yang merupakan perwakilan dari seluruh elemen Student Government (SG). Dengan berpegang pada SK Mendikbud dan wewenang yang diberikan oleh pihak rektorat, tim perumus memiliki keleluasaan dalam merumuskan sistem organisasi kemahasiswaan tanpa campur tangan pihak rektorat. Meskipun begitu, tim perumus harus mempertimbangkan masukan dan bimbingan dari pihak lain, dalam hal ini bisa dikatakan pihak rektorat. Seperti kata Abuddin yang menyebutkan, mahasiswa sebaiknya tidak hanya mengkritik tetapi juga harus mau menerima kritikan. Selain itu, merujuk pada SK Mendikbud No. 155/U/1998, bab II Bentuk Organisasi Kemahasiswaan, pasal 3, ayat 3, konsep tersebut harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan statuta perguruan tinggi. Menaggapi hal ini, Dirjen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI)
Mohammad Ali yang berkesempatan hadir dalam diskusi serial pra workshop ke-4 mengatakan, “Tak mungkin ada kegiatan mahasiswa tanpa ada campur tangan rektor.” Terkait dengan apa yang dikatakan Ali, Abuddin yang menawarkan konsep Dewan Mahasiswa pada diskusi serial pra workshop ke-3 menuturkan, “Dengan suasana mudanya, anak muda sebagai lokomotif penggerak, tapi penyelesaiannya orang tua harus ikut.” Menurutnya, ketika idealisme anak muda, mahasiswa, mau direalisasikan, uang, tempat, dan fasilitas lainnya minta pada orang tua, rektorat. Lalu, demi terjaganya konsep yang akan dibentuk oleh tim perumus, Rotibul Umam yang merupakan salah satu anggota tim perumus dari fraksi Partai Pergerakan Mahasiswa (PPM) menegaskan, semua fraksi akan mengawal konsep tersebut sampai keluar SK dari rektor dan Dirjen. “Kami (tim perumus, red) mengharapkan kepada seluruh mahasiswa UIN untuk mendukung kami secara moril dan mental agar tetap optimis dan berani mengawal konsep yang akan ditawarkan hingga diterapkan di kampus kita,” imbuhnya (25/5).
Respon Mahasiswa Terhadap Lembaga Kemahasiswaan UIN Jakarta Dari hasil survai yang INSTITUT lakukan keseluruh mahasiswa UIN Jakarta, ternyata SG masih menjadi pilihan mahasiswa sejumlah 56 % koresponden masih memilih SG sebagai sistem organsiasi kemahasiswaan. Hanya 27 % yang memilih senat dan selebihnya mengatakan tidak tahu dan tidak mau tahu. Perbedaan tipis antara mahasiswa yang memilih SG dan senat, bisa disebabkan minimnya pendidikan SG dari para elit berkuasa yang disibukan dengan berbagai event yang mereka adakan, sehingga lupa untuk mengkader para anggotanya untuk memahami sistem SG. Atau mahasiswa telah bosan melihat sistem SG yang disetiap pemilu raya selalu terjadi konflik antar partai yang sangat tidak mencerminkan kedewasaan berpolitik. Sebesar 45% koresponden
menolak penerapan senat dan sebesar 40% menyetujuinya. Pembelajaran berpolitik bisa didapat mahasiswa dengan adanya partai kampus, namun apa jadinya ketika partai ditiadakan, mahasiswa tentunya akan kehilangan wadah mereka. Dari survai menunjukan koresponden yang sangat setuju dengan penghapusan partai sebesar 18%, setuju sebesar 34%, tidak setuju sebesar 37% dan sangat tidak setuju sebesar 11%. Angka tersebut akan mencengangkan bilamana koresponden yang sangat setuju dan setuju digabungkan, yang menujukan sebanyak 52% koresponden menghendaki penghapusan partai. Melihat hasil survai ini, tugas rumah bagi partai politik kampus untuk cepat berbenah diri baik dari sistem perekrutan yang hanya gencar meningkatkan kuantitas anggota ketika akan dilaksan-
akannya pemira saja, juga menunjukan bentuk real dari pendidikan perkaderan yang nantinya akan melahirkan para politikus kampus yang berwibawa. Berkaitan dengan keikutsertaan rektorat dalam mencampuri organisasi kemahasiswaan, koresponden yang menyatakan sangat setuju menunjukan sebesar 3%, setuju 45%, sangat tidak setuju 41%, dan tidak setuju 11%. Sedangkan untuk siapa yang berhak mengurus organisasi kemahasiswaan sebanyak 87% koresponden menghendaki mahasiswalah yang mengurus organisasinya sendiri. Data diambil dari mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan sampel sebanyak 161 mahasiswa yang diambil dari tiap fakultas berdasarkan persentase banyaknya mahasiswa.
Sumber: Litbang LPM INSTITUT
Pemimpin Umum:Khalisotussurur Sekretaris Umum: Egi Fajar Nur Ali Bendahara Umum:Rina Dwihana Fitriani Pemimipin Redaksi:Muhammad Fanshoby Redaktur Pelaksana: Umar Mukhtar Artistik: Dika Irawan Penelitian & Pengembangan: Hilman Fauzi, Abdul Kharis, Iswahyudi Perusahaan & Periklanan: Noor Rahma Yulia, Ibnu Afan, Fajar Ismail. Koordinatur Liputan: Muji Hastuti Reporter: Aam Mariyamah, Achmad Faruq A., Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Jojon Suhendar, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Mustaqiim, Rahayu Oktaviani, Rahmat Komaruddin, Rifki Sulviar, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Dika, Rizqi, D.N Adit Editor: Oby, Umar, Lilis, Hilman, Haris , Egi, Fajar, Rina Ilustrator: Omen, Trisna Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085-697-091-557 Web: www.lpminstitut.com Email: lpminstitut@yahoo.com.
Setiap wartawan INSTITUT dibekali Tanda Pengenal serta tidak dibenarkan memberikan Insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.
4
Laporan Khusus
Situsiasi Situkuru yang terletak di dekat bangunan megah UIN Jakarta
Akankah Kekumuhan Situ Kuru Berakhir? Jojon Suhendar Setelah rektor UIN Sarifhidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat meminta Pemerintah Daerah agar Situ Kuru dibersihkan, Ketika itu Situ pun mendadak menjadi bersih.Tapi bagaimana keadaannya saat ini? Apakah masih layak sebagaimana fungsinya? dan apakah pemerintah berkaitan tidak mampu mengurusi Situ tersebut? Akankah UIN mengambil tindakan untuk mengelolanya? lalu bagaimana masa depan Situ Kuru yang saat inipun sudah dipenuhi sampah, dengan air limbah yang keruh menghitam?
Ditengah terik matahari, terlihat seorang laki-laki paruh baya sibuk membersihkan tumpukan sampah yang mengapung di sekitar Situ Kuru yang terletak tidak jauh dari kampus satu UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan (19/5). Ia adalah Niman (65) yang lebih akrab disapa “pak mandor” petugas kebersihan Situ Kuru yang mengeluhkan keadaan situkuru saat ini. Ia memaparkan tentang keadaan Situ Kuru yang menurutnya jarang terjamak oleh
pemerintah Pusat atau Departemen Pekerjaan Umum (PU), dan Pemerintah Daerah (PEMDA) bahkan UIN yang yang secara geografis lebih dekat dengan Situ Kuru. “Dulu sekitar tahun 1990-an Situ Kuru airnya masih bersih, dan dulu luasnya nyampe pinggir jalan raya,” ungkap laki-laki berbadan kurus keturunan betawi ini mengenang. Niman juga menambahkan, selain karena pemerintah terkait yang kurang peduli terhadap
Edisi XIII/Mei 2011
Situ Kuru, kumuhnya Situ ini juga disebabkan karena oknum masyarakat yang mendirikan bagunan di area Situ sehingga mempersempit kawasan situ. “Ya kan orang-rang yang punya duit enak-enak aja tinggal patok-patok terus diurug, akhirnya kan lama kelamaan jadi sempit” imbuhnya. Sementara itu, kepala Bidang Sumber Daya Air (KABID SDA) Tangerang Selatan Yudiyanto mengaku pemerintah daerah tidak memiliki hak untuk mengurusi Situ Kuru, dengan alasan Situ Kuru merupakan aset negara yang kewenangannya hanya ada pada pemerintah pusat. Sehingga, pemerintah daerah tidak ada kewenangan untuk mengurus. “untuk Situ Kuru ini asetnya pemerintah pusat, yang kebetulan aja ada di Tanggerang Selatan” ujarnya meyainkan. Yudi juga menambahkan, pengelolaan Situ Kuru pihaknya menyerahkan pada pusat dan pusat bisa menyerahkan sebagian atau keseluruhan kewenangannya kepada pihak yang lain termasuk UIN Jakarta “pemerintah pusat bisa memberikan sebagian atau keseluruhan kewenangan atau pendelegasiannya ke pihak lain selagi memenuhi syarat” tambahnya dengan tatapan mata serius. Dilain pihak, Pengurus Lembaga Pengabdian Masyaraka (LPM) yang juga anggota tim tanah UIN, Yayan Sofyan saat dikonfirmasi diruangannya (24/05) mengatakan , bahwasannya pihak UIN siap untuk mengurusi Situkuru “Seandainya pemerintah pusat memberikan wewenang, dari pihak UIN sudah sangat siap
untuk mengelola,” ujarnya. Yayan juga menambahkan, mengenai tindakan jangka pendek dan panjang pihaknya akan coba untuk terus mengembalikan Situ Kuru seperti awalnya “kalau tindakan jangka pendek dan panjang, untuk sementara ini pihak UIN akan menunggu reaksi pemerintah khususnya yang baru dilantik dan selanjutnya kami akan terus mencoba untuk mengembalikan Situ Kuru sebagaimana awalnya,” ungkapnya menambahkan. Disisi lain, Ahmad Ma’ruf (21) mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Mahasiswa Pencinta Lingkungan Hidup dan Kemanusaiaan (KMPLHK) ikut prihatin perihal masalah ini. Pasalnya, tempat penampungan air yang bernama Situ Kuru ini kini berubah menjadi tempat menjijikan. “ya kalau dulu airnya bersih kenapa sekarang kotor, udah gitu kumuh lagi tapi menurut saya, ini tergantung pada kesadaran masyarakat itu sendiri akan kebersihan,” ujarnya mengeluarkan statement dengan nada tegas. Ma’ruf juga menyinggung pemerintah yang hingga saat ini dinilai tidak bertindak. “Peme rintah dalam hal ini harusnya bertanggung jawab atas Situ tersebut. Karena, pengelolaan Situ itu di tangan pemerintah,” tambahnya tegas dengan sorotan mata tajam Menurut Ma’ruf Situ Kuru juga merupakan adik daripada situ gintung yang jebol beberapa tahun silam dan memakan banyak korban.
gagal, maka akan kembali lagi ke negara dan susah untuk mencairkannya lagi,” lanjut Amel. Sedangkan untuk rekening yang tidak bermasalah, setelah SP2D dikirim ke departemen keunganan, uang beasiswa tersebut akan ditransfer ke rekening mereka melalui BRI Cabang UIN yang sebelumnya dikirim terlebih dahulu ke BRI Cut Mutia. Permasalahaan tabungan rekening pasif, memang selalu terulang hampir dari tiga tahun yang lalu, disampaikan oleh Jafar Sanusi, selaku Kepala Bagian Kemahasiswaan. Hal-hal yang menyebabkan sehingga rekening menjadi pasif biasanya kerena saldo akhir berjumlah dibawah jumlah minimum. Seperti yang dialami Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Amel menceritakan, pada saat awal pengajuan beasiswa, FEB mengajukan 830 mahasiswa. Setelah divalidasi oleh BRI, ternyata rekening tabungan yang aktif hanya 460, sisanya reke-
ning pasif dan mati (non aktif). Kemudian setelah SK turun (19/5), dan dicek kembali oleh BRI, terdapat 60 mahasiswa lagi yang tabungan rekeningnya pasif. Sehingga nama-nama yang diajukan ke KPPN hanya sekitar 400 mahasiswa, dan sisanya masih tertahan di bagian kemahasiswaan.
Proses Pencairan DIPA Terlambat Rahayu Oktaviani Beasiswa untuk mahasiswa miskin dan berprestrasi atau yang lebih dikenal dengan beasiswa DIPA (Daftar Isian Pelaksana Anggaran), tahun ini UIN Syarif Hidayatullah mendapatkan kenaikan kuota dari kisaran 6220 menjadi 6573 mahasiswa. Dana yang dianggarkan oleh APBN pun bertambah menjadi Rp.8.048.400.000,- hal ini disampaikan oleh Subarja, selaku kepala bagian keuangan, yang ditemui di ruangannya. Banyak proses yang harus dilalui agar dana tersebut bisa cair, hal ini disampaikan oleh Mahmudah, selaku Kepala Sub Bagian Kesejahteraan Mahasiswa. Setelah diseleksi oleh pihak fakultas, berkas pengajuan beasiswa di kirim ke bagian kemahasiswaan. Bagian Kemahasiswaan pun ikut mengecek kembali berkas tersebut sebelum dikirim ke BRI untuk divalidasi. selain itu pihak BRI pun menyortir nama-nama mahasiswa yang mempunyai rekening tabungan bersaldo akhir dibawah Rp.100.000,- (rekening pasif).
Amelia Hidayat, selaku Pegawai bagian Kesejahteraan Mahasiswa menuturkan, Bagi mahasiswa yang mengajukan beasiswa tetapi rekening tabungannya pasif, akan tertahan di bagian kemahasiswaan. Sehingga tidak dapat diajukan ketahap selanjutnya. Oleh karena itu, daftar nama mahasiswa yang memiliki rekening tabungan pasif, dikirim ke fakultas masing-masing. Agar setiap fakultas menghimbau kepada mahasiswamahasiswa tersebut untuk segera mengaktifkan kembali rekening tabungannya agar dapat segera di proses kembali. Sementara itu rekening tabungan yang bersaldo diatas Rp.100.000,- (rekening aktif) dapat melanjuti proses berikutnya. Amel pun menambahkan, setelah terkumpul daftar nama mahasiswa calon penerima beasiswa, kemudian daftar tersebut ditandatangani oleh Kepala Biro Keuangan, Kepala Bagian Kemahasiswaan, dan Pembantu Rektor bagian Administrasi dan
keuangan. Setelah lengkap ditandatangai, Pembantu Rektor bagian Administrasi dan Keuangan, Amsal Bakhtiar, membuatkan surat keputusan (SK) mengenai permintaan beasiswa Setelah mendapatkan SK, kemudian SK tersebut dikirim kembali ke BRI. proses itu akan berlanjut dikirim ke KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara). Jika KPPN sudah menerima SK tersebut, KPPN selanjutnya akan membuat SP2D (Surat Permintaan Pencairan Dana). SP2D akan dikirim ke Departemen Keuangan sebelum dicairkan. Saat mengirim SP2D ke departemen keuangan, tugas bagian mahasiswa adalah memastikan bahwa nama mahasiswa yang tertera sebagai calon penerima beasiswa tidak bermasalah dan layak. “Jika terdapat mahasiswa yang bermasalah (rekening tabungannya pasif) pada tahap ini, uang yang akan dikirim ke rekening tabungannya akan gagal. Kalau uang yang dikirim
5
Laporan Khusus
Edisi XIII/Mei 2011
Sewa Lahan Kantin Kopma dengan Alasan Keadilan
Foto: Prabu/INSTITUT
Jaffry Prabu Prakoso
Lahan Kantin Kopma yang diinginkan pihak rektorat untuk disewa
Sore hari itu kampus terasa sedikit lengang setelah para mahasiswa telah selesai melakukan perkuliahan. Namun tampak berbeda dengan kondisi di kantin Koperasi Mahasiswa (Kopma). Terlihat masih banyak mahasiswa yang sedang menikmati suasana senja di sana. di tengah keramaiannya itu, ternyata terdapat permasalahan yang sedang mendera UKM yang bergelut di bidang kewirausahawan itu. Permasalahan yang terjadi adalah adanya penarikan biaya sewa lahan kantin, yang ditempati Kopma untuk berjualan oleh pihak rektorat. Hal tersebut sebagai bentuk keadilan antara Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kopma dengan UKM lain yang hanya memiliki satu ruangan.
“Sebenarnya UKM itu sudah mendapatkan satu ruang masingmasing, tapi Kopma mendapatkan satu ruang lagi, dan itu tidak adil,” tegas Syamsul Arifin selaku pengelola Student Center (SC) saat ditemui di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) kamis (20/05). Pria pemilik jenggot tebal ini menambahkan, walaupun UKM Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (RIAK) atau UKM lain ada yang memiliki dua ruangan, tapi mereka menggunakannya sebagai kantor. berbeda dengan Kopma yang menggunakan lahan satunya untuk berdagang. Inti dari adanya biaya sewa tersebut ditujukan agar Kopma dapat belajar mencari modal
sendiri. Seperti yang diungkapkan Kepala Bagian (Kabag) Keuangan, Subarja. “Untuk proses pembelajaran sehingga mereka (Kopma) berfikir mencari modal itu,” jawabnya saat diwawancarai di ruangannya (25/05). Persoalan harga untuk sewa tempat, Syamsul menargetkan Rp 15 juta pertahun disesuaikan dengan pasaran warung Pesangrahan. sedangkan Barja mengaku harga masih bisa dibicarakan secara kekeluargaan dengan pihak Kopma. Menurutnya, mahasiwa itu anaknya, sehingga semua dapat dibicarakan dengan baik, dan dari kedua belah pihak yang dirugikan. Tapi ketua Kopma, Asep Ali Hasan, menyatakan bahwa pihaknya tidak mau membayar biaya sewa karena Kopma itu untuk berwira usaha. Ia juga menambahkan tidak berguna jika hanya mendapat teori tentang wira usaha tapi tidak dipraktikkan. Pria berkaca mata itu mengaku mengetahui bahwa uang sewa tersebut nantinya disimpan di Badan Layanan Umum (BLU) dan BLU itu umum, sedangkan Kopma itu UKM. Sehingga ketika Kopma menyetujui hal itu, besar kemungkinan kantin Kopma
bisa diambil alih oleh rektorat. “Seperti halnya Dumparking yang berubah menjadi UIN Parking,” ungkapnya. Sudah beberapa kali pihak Kopma dipanggil oleh pihak rektorat untuk menandatangani surat persetujuan sewa. Namun panggilan tersebut tak dihiraukan oleh Asep, sebab tak ada surat resmi yang turut menyertai. Barja juga merasa keberatan dan sangat tidak setuju jika yang berjualan di sana adalah orang lain yang bukan dari anggota Kopma. “Kalau seperti itu saja, semua orang juga dapat melakukan hal tersebut,” tegasnya. Namun hal tersebut dibantah oleh Asep Ali Hasan, ketua Kopma. “Kita kan mahasiswa, tidak bisa sepenuhnya untuk berjualan, dan kami harus kuliah,” ungkapnya. Ia juga menegaskan kalau Kopma tidak hanya fokus pada berjualan, tapi juga manajemen dan tata cara pengelolaannya. Mengenai serah terima lahan, sudah terdapat surat perjanjian tahun 2003 antara Kopma dengan pihak rektorat. dalam surat perjanjian tersebut tidak ada poin larangan untuk menjual makanan dan minuman. Sedangkan dalam surat perjanjian baru tibatiba terdapat poin bahwa Kopma
tidak boleh menjual makanan atau minuman. Mengenai permasalahan yang terjadi pada Kopma, Ja’far Sanusi, Kabag Kemahasiswaan berkata lain. Dirinya tidak mengharuskan membayar sewa tempat. asalkan antara lahan kantor dengan ruang jualan, lebih besar kantor daripada untuk jualan. Namun pada kenyataannya perbandingannya lebih besar ruang jualan daripada kantor. Walaupun perselisihan terus memanas antara Kopma dengan pihak rektorat, kantin Kopma tak pernah sepi oleh pembeli. layaknya tak terjadi apa-apa. salah satu pelanggan Kopma Fajar Fuady, mahasiswa Perbankan Syariah semester II contohnya. ia mengaku sudah menjajal makanan di kantin tersebut sejak pertama kali masuk UIN. Di sela-sela menunggu pesanannya yang dipesan tersaji, ia menuturkan. “Kalau males pergi ke Pesanggrahan bisa ke sini. Apalagi saya kan orang syariah, jadi jalan aja deket,” ujarnya. Alasan lain memilih kantin Kopma karena murah dan juga terjangkau bagi para mahasiswa.
Kontroversi Kenaikan Biaya Kuliah Muhammad Umar Berdasarkan Peraturan Rektor No.Un.01/R/HK.00.5/1/2011, menunjukan biaya masuk kuliah dan biaya semester naik pada tahun ajaran 2011/2012. Hal itu mengakibatkan beberapa mahasiswa yang tegabung dalam Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) UIN, melakukan aksi demonstrasi pada 2 Mei lalu, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Dalam aksinya mahasiswa menolak adanya komersialisasi pendidikan dan salah satu tuntutannya tidak ingin adanya kenaikkan biaya kuliah. Meskipun mendapat penolakan dari mahasiswa, Amsal Bakhtiar, Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum saat ditemui di ruangannya (20/5) menjelaskan bahwa kenaikkan itu diperuntukan bagi mahasiswa baru, sedangkan mahasiswa lama tidak ada kaitanya. Ia melanjutkan, secara umum kenaikkan tersebut untuk meningkatkan sarana dan prasarana kampus serta untuk biaya karyawan karena tidak semua PNS. Tambahya, kenaikkan tersebut tidak seberapa. ”Lagi pula mahasiswa itu setuju-setuju saja, malah ada yang sudah bayar,” ungkap-
nya. Berbeda dengan Amsal, Tataq Adji, mahasiswa semester 8, Fakultas Sains dan Teknologi Jurusan Agribisnis menyatakan meskipun kenaikkan itu untuk mahasiswa baru, perlu ada kejelasan serta ditunjang dengan fasilitas yang memadai dari kampus. “Kalau fasilitasnya masih sama saja, seperti kita kalau kuliah kekurangan ruangan terus fasilitas segala macam masih sulit, ya buat apa ada kenaikkan,” pungkasnya (18/5). Senada dengan Tataq Adji, Afrian Rahardyaning Pangestu mahasiswa semester 2, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, mengatakan tidak setuju dengan kenaikkan biaya kuliah. Menurutnya, alasan mahasiswa masuk UIN karena biaya yang terjangkau. “Tolong jangan dinaikkan lah, demi membantu mencerdaskan kehidupan bangsa. kalau bayarannya naik, mau jadi apa bangsa kita bila bayar sekolah mahal,” paparnya ketika ditemui di masjid SC (18/5). Adapun kenaikkan biaya yang
tercantum dalam Peraturan Rektor, diantaranya yaitu Dana Kesehatan Mahasiswa (DKM), Dana Operasional Pendidikan (DOP) dan Dana Praktikum Laboratorim (DPL). Secara keseluruhan DKM naik sebesar Rp. 15 ribu per mahasiswa. Adapun DPL dan DOP tidak naik pada semua jurusan dan berbeda jumlah kenaikkannya. Untuk kenaikan DKM, Amsal menjelaskan, kenaikkan disebabkan karena UIN defisit sebesar Rp. 300 juta untuk membayar rumah sakit pada 2010. “Dana kita hanya Rp. 1,1 M sedangkan claim dari rumah sakit Rp. 1,4 M, berati kita kan defisit,” imbuhnya. Semetara itu untuk kenaikkan DPL dan DOP, Amsal tidak tahu mengenai rinciannya sebab pihak fakultas yang mengajukan besar kenaikkan. Adapun beberapa Prodi yang menaikkan biaya DOP seperti Akuntansi dan Manajeman (FEB), Sistem Informasi dan Teknik Informatika (FST), Fakultas Psikologi. Sedangkan Prodi
yang hanya menaikan DPL hanya Pendidikan Dokter (FKIK). Sementara itu yang menaikkan keduanya adalah Ilmu hukum dan Perbankan Syariah (FSH). Sedangkan untuk rincian kenaikan biaya bisa dilihat pada AIS. Kenaikan biaya tersebut menu-
rut Jaenal Aripin, Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum FSH, untuk meningkatkan kualitas dan tidak beorientasi kepada kuantitas mahasiswa, serta meningkatkan keilmuan dan kapasitas praktikum.
6
Laporan Khusus
Edisi XIII/Mei 2011
Kebebasan Persma Sama Dengan Pers Nasional Aditya Putri Waktu masih menunjukkan pukul dua dini hari ketika INSTITUT menemui Jabbar Ramdhani, salah seorang anggota Forum Pers Mahasiswa Jakarta (FPMJ) sekaligus Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) DIDAKTIKA UNJ. Rabu (18/5). Di tengah gerimis yang masih saja mengguyur Kota Jakarta kala itu, Jabbar masih antusias menceritakan tentang kekerasan yang menimpa rekan kerjanya di LPM DIDAKTIKA UNJ. “Tindak kekerasan yang menimpa jurnalis kebanyakan tidak pernah diselesaikan tuntas.” Ketika itu Khafi, seorang jurnalis media online sekaligus alumni LPM DIDAKTIKA sedang meliput aksi unjuk rasa KTT ASEAN yang dilakukan Alliance Peoples Againt Neoliberalism (APAN) di Bundaran HI. Namun setelah itu para aparatur kepolisian melakukan pemberengusan terhadap beberapa aktivis APAN. Dirinya pun ikut diberengus dan mendapatkan tindak penganiayaan berupa pencekikan dan penendangan. Kasus ini pun berlanjut hingga ke jalur hukum. “Sampai saat ini (21/5) sudah buat BAP (Berita Acara
Pemeriksaan, red) cuma belum ada perkembangan lagi,” ujarnya saat dihubungi INSTITUT via telepon. Di ruangan lantai tiga gedung G UNJ yang dikenal sebagai sekretariat LPM DIDAKTIKA, Jabbar kembali menambahkan bahwa FPMJ hanya bisa membantu melakukan aksi-aksi solidaritas ketika salah seorang anggotanya mengalami tindak kekerasan. Karena FPMJ hanya merupakan sebuah perkumpulan pers kampus, maka jalur hukum pun harus ditempuh secara terpisah. “Di sini kita berbicara masalah forum, yang merupakan tempat berdiskusi. Sedangkan untuk masalah advokasi kita punya AJI (Aliansi Jurnalis Independen),” tutur pria berperawakan sedang ini. Ia melanjutkan sambil sedikit tertawa ketika ditanya mengenai pencegahan yang bisa dilakukan agar tidak mendapat tindakan kekerasan serupa, “Tindakan pencegahannya ya hati-hati. Kita baru bisa bertindak ketika telah terjadi peristiwa.” Di pihak lain sebagai salah satu orang yang seringkali menjadi narasumber, Abuddin Nata selaku dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) mengaku memang ada informasi
yang tidak langsung diberikan kepada khalayak dikarenakan belum adanya kesiapan dari khalayak untuk menerima informasi tersebut. Ketika diwawancarai INSTITUT di ruangannya, sambil bersandar pria berkacamata ini mengungkapkan, “Dalam birokrasi ada saat dimana informasi bisa dipublikasi dan belum dipublikasi karena masih adanya proses pengelolaan.” Sedangkan AJI yang diwakilkan oleh Eko Maryadi, Pengurus Pusat Divisi Advokasi AJI Indonesia menyatakan bahwa kedudukan persma
dengan pers nasional adalah sama ketika menjalankan kegiatan jurnalistik. “Persma dan pers umum harus mengacu pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.” Sehingga perlindungan di jalur hukum yang diberikan pun sama. Bahkan AJI bersedia mendampingi pers yang menjadi korban kekerasan ke aparat penegak hukum atau melakukan pembelaan melalui pemberitaan pers umum. FPMJ sendiri sebagai perkumpulan pers kampus, akhirnya mengadakan pertemuan pada Jumat malam (12/5) di pelataran parkir Student Center UIN Jakarta guna membahas kebebasan pers. “Kemungkinan karena narasumber dan pihak-pihak yang terkait dalam peliputan dan pencarian data tidak mengerti bahwa kita (wartawan, red) berhak mendapatkan informasi yang dibutuhkan,” ujar Rifki Sulviar salah seorang anggota FPMJ berapi-api. Dengan aspal yang masih menempel sebagai alas duduk, malam itu para anggota FPMJ berencana akan mensosialisasikan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berisi sanksi pidana dua ta-
hun dan denda sebanyak 500 juta kepada pihak-pihak yang menghalang-halangi, melakukan kekerasan maupun pembredelan di ruang lingkup kejurnalistikan. Melalui seminar, acara-acara dan media jurnalistiknya masing-masing, diharapkan objek peliputan dapat mengerti isi dan sanksi baik pidana maupun perdata yang tertera dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Di sisi yang sama, AJI sebagai organisasi wartawan tidak hanya mensosialisasikan kebebasan pers, tapi juga turut mempraktekkan dan menjaga melalui program advokasi kebebasan pers. Pembelaan terhadap prinsip kebebasan pers oleh AJI berlaku universal, yakni meliputi anggota AJI, jurnalis non-AJI, maupun kalangan penggiat pers komunitas dan pers kampus. Jadi, sekarang para pihak yang berkaitan dengan peliputan dapat memilih, memberikan data yang dibutuhkan atau mendapat denda 500 juta.
Komunitas
Siklusitu: Sebuah Panggung Apresiasi Jangan kau peluk kami, jika pelukanmu membatasi kata-kata kami Jangan kau peluk kami, jika pelukanmu menjelma penjara pandangan kami Jangan kau peluk kami, jika pelukanmu borgol pikiran kami Jangan kau peluk kami, jika pelukanmu memasung langkah kami Jangan kau peluk kami, jika pelukanmu pagar imajinasi kami Jangan kau peluk kami, jika pelukanmu momok masa depan kami Itulah penggalan puisi karya salah satu penyair Siklusitu, Elex SW. Siklusitu, sebuah wadah bagi masyarakat seni Ciputat untuk mengekspresikan kreativitasnya. Di saung yang berdiri tak jauh dari kediaman Rektor, mereka bergulat sampai malam dengan puisi, cerpen, tari, musik, dan teater. Di tahun 1998, Siklusitu merupakan tempat melepas penat para anak Teater Tonggak. Di sana mereka memvisualisasikan berbagai masalah kehidupan secara spontan dengan bernyanyi, berpuisi, bermonolog, mendongeng, atau sekedar berteriak-teriak. Se-
cara naluriah kegiatan ini berjalan dari hari ke hari dengan semangat mereka dan mendapat sambutan hangat para teman. Dari situ mereka sepakat menamai aktivitasnya dengan Siklusitu, karena kegiatan itu biasa mereka lakukan di pinggiran Situ dan rutin digelar tiap malamnya, menjadi siklus bagi mereka. Hari ke hari semakin banyak yang berdatangan, menyaksikan aksi panggung mereka. Sebutlah Teater IKJ, Teater Syahid, dan para penikmat seni dari Bandung dan Jogja pun turut hadir. Sayang, pada tahun 2000 kegiatan mereka lambat laun berkurang seiring vakumnya Teater Tonggak. Di tahun 2004 lah Siklusitu kembali hidup, diusung anak-anak Tonggak yang mendirikan Sanggar Altar. Di masa itulah, mereka membangun lagi panggung apresiasi. Bergabunglah Zaky Mubarok, yang akrab mereka sapa dengan Kojek, lalu diiringi dengan hadirnya Hendri Yetus Siswono, Elex SW dan Kingking. Pada era itu, mereka kerap bermain di Aula Insan Cita. Karena bertempat di aula dan banyak anggotanya berasal dari Teater Altar, penampilan yang dibawakan sering beru-
DOK. PRIBADI
Trisna Wulandari
salah satu penampilan dari sanggar Tonggak
pa teater. Tahun 2005 warga Siklusitu pindah ke Pujasera dan di tahun 2006, penampilan yang mereka bawakan mulai beralih ke sastra. Setelah pindah ke saung El Na’ma, penampilan mereka lebih diisi puisi, cerpen, dan musik. Mereka bercerita, malammalam pertemuan mereka diisi dengan penampilan dari kawankawan yang hadir. Dahulu sistemnya main tuduh, namun kini penampillah yang mengajukan dirinya. Setelah itu, dibedah oleh pembahas yang ditunjuk, lalu
dikomentari teman-teman lainnya. “Sama dengan seminar, bedanya ini nonformal. Di sini kita samasama belajar, dapat masukan, tahu mana bagus, mana yang jelek. Itu mungkin yang nggak bisa didapat di kampus,” terang Hendri. Di masa-masa itu, mereka mengadakan acara Kolak Sastra (2006), disusul Osmosa Situ Kuru (2008) dan Pasar-pasaran: Revitalisasi Pasar Tradisonal (2008), bekerjasama dengan BEMF Adab. Mereka pun sempat menerbitkan dua buku, Jejak Siklus Itu 1 dan
disusul Jejak Siklus Itu 2 pada 2008. Buku itu tak sekedar berisi kumpulan puisi, namun juga komentar para teman. Album musikalisasi puisi pun pernah mereka rilis. Sayang, Siklusitu kembali vakum pada tahun 2009. “Dulu Hendri yang mengurus, karena sibuk di bengkel, nggak langsung ada yang mengambil alih,” jelas Rahmawati Basri, warga Kampung Siklus yang aktif di Teater El Na’ma. Di tahun 2010, mereka kembali aktif dengan para anggotanya yang hingga kini loyal berkarya. Tanpa label ketua atau anggota, mereka merasa memiliki tanggungjawab yang sama. Bagi Basri, kini mereka berbenah diri, seperti mengatur penampil sebelum acara dimulai, juga memaksimalkan publikasi. Hendri mengatakan, Siklusitu itu memang tidak terlihat,namun tetap ada. “Yang tahu Siklusitu umumnya anak-anak yang bergelut di kesenian, lalu menyebar ke teman-teman, jadi orang umum tidak begitu tahu,” ujar Hendri.
7
Opini
Edisi XIII/Mei 2011
Menjernihkan Kembali Hubungan Agama Dengan Negara Yunal Isra*
C
endikiawan muslim seperti Azyumardi Azra menuturkan bahwa perdebatan mengenai hubungan negara dengan agama sampai saat ini masih belum berakhir selama lebih dari satu abad. Menjamurnya organisasi kemasyaratan berfaham radikal konservatif berusaha untuk mendapatkan banyak pengikut dengan modus “pencucian otak” seperti yang dilakukan oknum NII terhadap para korbannya. Hal ini mendorong para pemikir muslim klasik maupun kontemporer seperti Ibnu Abi Rabi’, Abu Nasir al-Farabi, Abu Hasan Ali bin Habib Al-Mawardi, Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Rasyid Ridho membahas dan mengkaji ulang tema ini dengan melakukan penelitian keberadaan dari usaha mewajibkan syariat Islam sebagai konstitusi legal dan formal bagi sebuah lembaga kenegaraan ataukah lebih mengu-
tamakan substansi atau ruh-ruh ajaran Islam itu sendiri. Secara umum terdapat tiga paradigma yang timbul dari relasi antara negara dengan agama sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. M. Bambang Pranowo dalam pengantarnya terhadap buku Dr. Abdul Aziz yang berjudul “Chiefdom Madinah Salah Paham Negara Islam”. Pertama, penegakan syariat Islam adalah suatu perintah agama yang wajib sehingga membentuk suatu sistem global dibawah satu kekuatan politik Islam yang bersifat absolut. Kedua, negara harus dipisahkan dari campur tangan agama. Konsep ini meyakini kebaikan negara sekuler yang memisahkan urusan dunia dengan agama karena tidak mungkin orientasi agama dengan negara itu bantar keduanya dapat diselaraskan secara akur dan optimal. Ketiga, negara dengan agama ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu
sama lain. Namun, Islam seharusnya dijadikan ruh bagi kehidupan bernegara. Selain pernyataan diatas, muqaddimah dari kitab Ilmu Ushul Fiqh, Syekh Abdul Khalaf Wahhab mengatakan bahwa sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa segala yang timbul dari manusia, baik perkataan maupun perbuatan, ibadat ataupun muamalah, hukum komunal ataupun perorangan, melainkan semuanya itu diatur oleh syariat Islam. Di samping itu, Amien Rais dalam Panji Masyarakat mengatakan bahwa Negara Islam atau “Islamic State” tidak ada dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah karena tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan Negara Islam. Pengelaborasian dari berbagai pandangan di atas seperti diterapkannya ideologi di suatu negara yang heterogen. Hal ini dianalogikan seperti negara Indonesia menampung perbedaan yang ada dengan Pan-
casila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika dengan makna tetap satu meskipun dalam perbedaan. Kemudian, pemaksaan penegakan hukum Islam tidak akan membuahkan kedamaian me-lainkan menimbulkan mafsadat (kehancuran) yang lebih besar dibandingkan dengan manfaatnya. Dapat dicontohkan apabila Indonesia diterapkan hukum Islam secara menyeluruh akan menimbulkan pertikaian dan pemberontakan dari kalangan agama lain merasa tertindas haknya sebagai warga Negara. Kita juga harus merenungkan perjuangan kaum nasionalis muslim seperti Muhammad Natsir, H.Agus Salim, K.H. Mas Mansur, dan K.H. Wachid Hasyim yang telah menyuarakan aspirasi Islam sebagai dasar Negara bagi Indonesia merdeka. Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah negara sekuler dilihat dari adanya sila yang pertama dalam pancasila “ketuhanan yang maha esa” yang
merupakan perwujudan dari prinsip fundamental dalam Islam yaitu tauhidullah (mengesakan Allah sebagai tuhan). Terakhir, penulis mengutip perkataan Robert N. Bellah, seorang sosiolog agama bahwa masyarakat di zaman modern belum siap dengan kehadiran prasarana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu tatanan sosial modern seperti yang dirintis oleh Nabi Muhammad SAW. Wacana khilafah pada dasarnya adalah suatu cita-cita yang baik untuk mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul dengan begitu Islam mengembalikan kejayaan yang pernah dicapainya pada masa lampau.
* Penulis sedang menempuh perkuliahan di Fakultas Dirasat Islamiyah semester 2
Kolom...
Demokrasi ala Mahasiswa Muhammad Fanshoby*
T
ertatih-tatih Indonesia ini membangun rakyatnya, sudah beberapa dekade keadaan ini belum terselesaikan; bahkan mungkin tak akan pernah selesai; banyak lubang di sanasini yang mau tidak mau harus dihindari, bagaimanapun caranya, entah itu zig-zag atau jika mau; dilompati sekaligus. Demokrasi acapkali mendatangkan anugerah luar biasa, kadang pula menyekik dengan petaka. Kesalahan yang besar bukan hal lain, selain ternyata Indonesia belum siap untuk berdemokrasi. Menelisik layar pandang ke dunia kampus, wahananya mahasiswa, tak tanggung-tanggung ikut pula mencicipi rasa sistem pemerintahan demokrasi. Bukan mustahil, demokrasi yang akan datang, bisa diprediksi, bisa disangka, atau mungkin bisa diramal, berdasarkan demokrasi yang dimainkan oleh mahasiswa sekarang-sekarang ini. Cerdas atau bodohnya berdemokrasi di Indonesia nanti, dapat diamati dan dicermati ketika mahasiswa memainkannya di panggung kampus saat ini. Barangkali bencana, jika saja mahasiswa tak diberi wahana untuk bermain dalam demokrasi. Bisa
jadi mahasiswa-mahasiswa itu akan mati suri, tahu apa itu demokrasi, tapi tak tahu bagaimana memainkannya. Dan barangkali bencana pula, jika mahasiswa sudah diberi wahana, alih-alih dijadikannya wahana itu tak lebih dari lumpur kotor tempat kerbau, lumpur-lumpur politik kepentingan pribadi dan golongan. Apabila demikian adanya, dapat diketahui bahwa Indonesia belum siap, sekali lagi belum siap, untuk berdemokrasi. Nampaknya skenario yang harus dimainkan sekarang ini adalah celotehan anak kecil, sudah tahu mainannya rusak, bukan mencoba
memperbaikinya dengan baik, malah ingin langsung mengganti mainannya dengan yang baru. Ada yang kecewa dengan demokrasi, ada pula yang skeptis terhadap demokrasi, merasa demokrasi sudah rongsokan, tak bisa dipakai, suka tidak suka harus diganti sekarang juga. Sedari dulu sudah tersedia berbagai macam sistem pemerintahan Indonesia, seperti Parlementer, Terpimpin, sampai Pancasila. Pun demikian sistem pemerintahan mahasiswa, mulai dari Senat Mahasiswa, Dewan Mahasiswa sampai Badan Eksekutif Mahasiswa.
Sudah dicoba satu persatu, karena penasaran layaknya ABG (Anak Baru Gede) atau ABK (Anak Bau Kencur), mencoba dan merasakannya langsung. Namun nampaknya belum dicoba untuk bisa belajar dan dipahami, dari impresi-impresi yang sudah dirasakan sebelumnya berupa pengalaman, untuk dipilah sistem apa yang paling cocok, khususnya untuk mahasiswa dan umumnya Indonesia. Bukan malah tergesagesa mengganti sistem secara utuh, cukup benahi saja sistem yang telah ada. Alasan tergesa-gesa dan tidak mau membenahinya bukan lain selain karena masih ada dan belum tercerabutnya kepentingan pribadi dan golongan. Ujung-ujungnya, melihat kejadian itu, yang dibutuhkan bukan sistem, sekali lagi bukan sistem, tapi aktor-aktor yang bisa memperbaiki sistem yang telah ada. Aktor-aktor itu juga tidak sembarang mencarinya, tidak bisa ditemukan di kubangan babi atau di parit-parit sawah. Aktor itu harus digembleng dengan pendidikan, bukan pula dari kalangan gembel pendidikan. Institusi pendidikan punya peran di sini, bagaimana diajarkan nilai dan asas moral. Lingkungan pun seharusnya tak mau kalah,
bikin atsmosfer sekuat mungkin, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan macam tindakan nonetis dan batu sandungan untuk memprioritaskan kepentingan bersama. Dan tentu yang terakhir, yang terpenting, dan yang tak bisa diganggu gugat, adalah kesadaran-kesadaran tentang moral, etika, dan memprioritaskan kepentingan bersama, tetap terpatri dalam sanubari aktor-aktor itu, sampai kapan pun. Sudah bukan hal baru dalam perbincangan-perbincangan manapun, seperti sebuah keniscayaan. Sistem yang sudah diatur sedemikian rupa, bisa dipastikan tidak sesuai dengan praktiknya. Bagaimana pun itu demokrasi, tetap saja selalu tidak sesuai harapan. Seperti perkataan Shakesphare, mengidamkan dunia ideal hanya ada di dunia dongeng. Terlepas dari itu, tak ada salahnya terus-menerus memperbaiki harapan-harapan yang tidak sesuai menjadi harapan-harapan yang paling tidak mendekati sesuai. Tinggal tunjukan, bahwa demokrasi ala mahasiswa lebih baik dari demokrasi mana pun. Semoga Tuhan tak berniat jahat dengan demokrasi kita. *Redaktur LPM INSTITUT
Iklan Layanan Masyarakat LPM INSTITUT UIN Jakarta
Hadapilah Ujian Akhir Semester (UAS) dengan prestasi
8
Seni Budaya
Edisi XIII/Mei 2011
Nafsu Dendam Si Licik Kembar Tiga Trisna Wulandari Foto: ULAN/INSTITUT
Sangkuni sedang merayu Dewi Kunthi
“Selama Sangkuni masih hidup, dunia tidak akan tenteram. Hidup tanpa kelicikan dan kebohongan adalah semu!” geram Sangkuni sambil menghilang dalam gelap. Itulah sepetik monolog Sangkuni I, yang diperankan KRMH Kusumobudoyo dalam pentas bertajuk Kebar Eram Kawuryan (Trigantalpati). Pergelaran Agung Wayang Orang yang digelar di Dewan Kesenian Jakarta (24/5) ini mengangkat kisah tentang dendam Sangkuni, atau Trigantalpati, atau Harya Suman yang teren-
dam dalam nafsunya akan Dewi Kunthi. Dengan bantuan Bathari Durga sang Dewi Malapetaka, ia pun menjelma raga, cipta dan karsa dalam tiga sosok. Dengan keberadaan wujudnya yang menjadi tiga ini, tak kurang dari enam keluarga kerajaan yang ia adu demi memuaskan hasrat, mendapatkan Dewi Kunthi. Kemudian terciptalah prahara antara Raja Mandura Prabu Baladewa dengan Wrekudara, Raja Mandaraka dengan Penguasa Lesanpura Setyajid, serta Bur-
iswara dan Setyaki. Tak hanya itu, Sankuni pun menghembuskan dendam pada Prabu Kridakawaca dari Kerajaan Hima-Himataka untuk menculik Dewi Kunthi. Sebagai akibatnya, sang prabu menenculik Dewi Kunthi, yang menjadi spirit bagi para pandhawa demi tujuannya membalaskan dendam pada Arjuna. Dengan demikian, harapnya, pandhawa dapat dilumpuhkan. Memasuki tengah cerita, dikisahkan cantrik dan mentrik
sedang bersenda gurau khas Jawa dengan para punakawan Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong, memecah suasana tegang yang tersisa dari lakon Sangkuni. Namun banyolan itu tak berlangsung lama, karena Pancawala, Dewi Pancawati dan Abimanyu datang membawa kabar bahwa Lingkungan Amerta tak lagi aman, dan meminta punakawan untuk pulang. Di tengah hutan, mereka dihadang para raksasa berambut keriting hingga betis dan bercat wajah merah menyala. Namun, dengan kekuatan pusaka Pancawala, para raksasa binasa tak bersisa. Gambang pun berdenting kencang meningkahi lincah tangan pengrawit. Dari balik tirai kelam, Prabu Baladewa muncul bersama Wrekudara melakonkan tarian konflik dengan Prabu Kridakawaca, Patih Singanebah, dan Patih Bandhilori. Atas pengakuan Prabu Kridakawaca, terkuaklah bahwa prahara yang menimpa keluarga Amarta, Mandura, Mandaraka, dan Lesanpura itu ternyata didalangi Sangkuni. Sementara itu, di taman Sari Kepatihan Plasajenar, Sangkuni I, II, dan III berusaha memperdaya Dewi Kunthi yang berhasil ia culik. Beruntung, Pandhawa dan putranya segera datang bersama Prabu Baladewa dan
Prabu Kresna, sehingga gagallah Sangkuni dalam melancarkan dendamnya. Pergelaran wayang yang dikemas dalam bahasa Jawa ini ternyata tak hanya dinikmati orang dewasa, namun juga remaja. Salah satunya Putri Nura, yang menyaksikan pementasan hingga selesai. Siswa kelas SMA Al Azhar Jakarta ini mengaku , ia sendiri yang ingin menonton pagelaran tersebut dan cukup mengerti kisah yang ditampilkan. “Ceritanya seru, senang menontonnya,” ujarnya sambil menggurat lesung pipi. Adapun menurut Irnanda Laksanawan Wironegoro, ketua panitia, Pergelaran Agung Wayang yang diangkat Paguyuban Kusuma Handrawina tidak untuk diteladani, namun lebih sebagai cermin hidup untuk melakukan instropeksi bagi penontonnya. Ditambahkannya, pertunjukan ini memberi kebebasan seluas-luasnya kepada kita untuk memilih tokoh mana yang hendak diteladani; apakah Bhima yang lugas dan jujur, Arjuna yang tangguh, Kresna yang cendekia, Duryudana yang serakah, ataukah Sangkuni yang licik dan culas?
Upaya Penyelamatan Peradaban Melalui Kliping Massal Foto: Rifki/INSTITUT
Aprilia Hariani
Peserta memulai aksi kliping
Minggu pagi (22/5) halamanPusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin dipenuhi sekitar 200 orang peserta Aksi Kilping Massal dari Gerakan Koin Sastra. Sebelummelakukan aksi kliping massal, peserta berbaris rapi untuk men-
dapatkan kaos bertuliskan ‘AKU Penyelamat Peradaban’.Dengan mendalami makna tema yang tepajang tegas dikaos itu, para peserta terlihat semakin antusiasmengikuti acara tersebut. Aksi kilping massal ini menda-
pat dukungan dari banyak pihak. Dihadiri oleh para seniman, penulis dan satrawan ternama, salah satunya penulis buku Jakarta Undercover Moammar Emka. Acara ini juga dimeriahkan oleh artis ibukota Olga Lydya, Djenar-
Maesa Ayu dan Anjie Drive. Tepat puku l10.10, Olga Lydia membuka acara Aksi Kliping Massal tersebut. Kemudian, para peserta disuguhi aksi duet Musikalisasi puisi oleh penulis novel, Djenar Maesa Ayu dan sang vokalis Anji Drive. “Ludahnya masih terasa basah, sambil meraih tubuhku untukmenikmati alunan koin-koin itu. Ting tong, ting tong koin-koin itu bernyanyi seakan mengajak untuk bersama,” demikian kutipan kata pada puisi berjudul ‘basah’ yang dibawakan Djenar. Nada petikan gitar berhenti, pertanda musikalisasi puisi telah usai. “Aksi Kliping Massal ini merupakan salah satu gerakan Koin Sastra yang dimaksudkan untuk mengajak masyarakat peduliterhadap sastra Indonesia.Karena sastra merupakan salahsatu aset yang menjadi karekter sebuah bangsa,” ujar Ahmad Maki dalam sambutan acara Duapuluh relawan yang didominasi oleh mahasiswa mengeliping koran terbitan tahun 1970-an hingga 2011 dari berbagai media cetak. Seminggu sebelum acara, para relawan sudah
menandai artikel yang berkaitan dengan sastra. Acara inti pun dimulai, tigapuluh peserta pertama memasuki ruangan H.B.Jassin untuk menggunting dan menempel potongan karya sastra dari berbagai sastrawan dan melakukan pencantuman nama para pengarangnya. Peserta secara bergantianmelakukan aksi kliping sebanyakdelapan sesi. Tepat pukul 03.00 sore sekitar ribuan kliping karya sastra telah selesai dikerjakan. Hasil kliping dimasukan kedalam tiga macam box berdasarkan jenis sastra, pengarang, dan jenisnya untuk disimpan di Pusat Dokumentasi Sastra. Rencananya setelah acara ini, para relawan akan melakukan kliping setiap hari di PDS H.B. Jassin. “Aperasiasi banget sama aksi ini, karna kalau kita yang nggak peduli sama sastra Indonesia lalusiapa lagi,” tutur Dina mahasiswi jurusan Jurnalistik PNJ sebagai peserta kliping massal. Kegiatan berakhir dengan renungan para peserta untuk peduli kepada sastra dan berusaha menjaganya.
Foto: Ulan/INSTITUT
Pentingnya Keterbukaan bagi Pencegahan Tindak Korupsi Aula Madya, INSTITUTDalam Seminar Kriminologi: Mencegah Kejahatan Korupsi menurut Krimonologi dan Fiqh Jinayah (18/5) di Aula Madya, Kriminolog Trully Hitosoro menjelaskan, keterbukaan mengenai kasus-kasus kriminal itu perlu, agar masyarakat tahu mana yang harus diwaspadai dari bentuk-bentuk kejahatan korupsi di lingkungannya. Ia menyayangkan media yang seharusnya dapat mengupas dan membongkar seperti apa kronologi korupsi, ternyata tidak mampu membuat masyarakat paham bagaimana sebuah kasus korupsi sebenarnya terjadi. “Seperti kasus Malinda, banyak media yang mengupas hidup glamornya saja, harta-hartanya saja, atau fisiknya saja,” imbuhnya. Sementara itu, Komisioner Informasi Publik Republik Indonesia Ramly Amin Simbolon pemberantasan korupsi tak cukup hanya diberantas, namun juga harus dicegah semua pihak. Dengan jalur keterbukaan informasi, korupsi yang mencengkram dan membuat miskin bangsa Indonesia dapat dicegah. Namun lanjutnya, pemberantasan korupsi tak cukup hanya diberantas, namun juga dicegah semua pihak. Perlu diingat, tekannya, KPK tidak mampu masuk ke sistem pengelolaan Negara, dalam hal ini (keuangan), pengelolaan belanja dan penda-
9
Kampusiana
Edisi XIII/Mei 2011
Para pembicara di Seminar Krimonologi (18/5)
patan. Dengan jalur keterbukaan informasi, korupsi yang mencengkram dan membuat miskin bangsa Indonesia dapat dicegah . Mendukung pernyataan Ramly, Komisaris Polisi Budi Wicaksono mengatakan, banyak hal yang dapat memengaruhi individu, khususnya polisi, dalam melakukan korupsi. Tekanan untuk berbuat ‘nakal’ dari atasan, pengacara, keluarga, atau ketertarikan pribadi sendiri menentukan sejauh mana polisi dapat bertahan untuk tidak ikut terjerat kejahatan bersimbol tikus ini. Sementara itu, Ajun Komisaris Polisi Budi Wicaksono mengatakan, Polri akan terus mengupayakan pemberantasan korupsi dengan mengingat kultur dan cap negatif polri di mata masyarakat, dan indikator keberhasilan pelayanan polri yang ditentukan oleh penerima jasa polri, bukan oleh atasan. Ia melanjutkan, banyak hal
yang dapat memengaruhi individu, khususnya polisi, dalam melakukan korupsi. Tekanan untuk berbuat ‘nakal’ dari atasan, pengacara, keluarga, atau ketertarikan pribadi sendiri menentukan sejauh mana polisi dapat bertahan untuk tidak ikut terjerat kejahatan bersimbol tikus ini. Ia menambahkan,pemberian hukuman pidana seberat-beratnya pernah dilontarkan, dengan harapan mampu memberikan efek penggentarjeraan bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya, korupsi tak juga habis. Hal ini dibenarkan Dosen Kriminolog UI Iqrak Sulhin. Ia mengatakan, posisi permasyarakatan menjadi dilematis, karena di satu sisi masyarakat menghendaki hukuman seberatberatnya bagi koruptor, namun politik pemenjaraan mengharuskan perlindungan hak para narapidana (ulan)
Pentingnya Pendidikan Moral bagi Pemuda FEB, INSTITUT –Seminar bertema Revitalisasi Pendidikan Agama Islam sebagai ancaman atau solusi berdasarkan perspektif pemuda, Selasa (24/5), menghadirkan Drs. H. Supriyatin SY. MM sebagai staf Administrasi bidang Pendidikan DKI Jakarta dan Iskandar Muda, SE, alumni Fakultas Ekonomi & Bisnis UIN Jakarta. Tema tersebut dilatarbelangi oleh mulai memudarnya nilai nilai akhlaq dan degradasi moral dalam berbagai aspek kehidupan. Bertepatan dengan moment Hari Pendidikan Nasional ini, diharapkan pendidikan dapat menjadi garda terdepan dalam pengembangan moralitas. Pada perbincangan awal Supriyatin menerangkan, pendidikan moral sangat penting dalam membangun karakter bangsa yang jujur.Selain itu, Ia juga mengulas sedikit alasan pemerintah yang peduli terhadap seminar bertanjuk moralitas pendidikan. Alasannya ialah pemerintah merasa bertanggung jawab terhadap universitas-universitas yang menjadi pusat kepakaran. Hal tersebut berkaitan dengan bagian tata kota yang tak terpisahkan, sehingga moral harus dibangun untuk menciptakan SDM yang baik dalam mengatur tata kota suatu Negara. Kembali ke tema seminar, lanjutnya dia menerangkan bahwa ada lima hal yang harus ditransformasi dalam pendidikan
Pustaka
Kiat Menulis Buku Fiksi, non fiksi, dan Faksi Egi Fajar Nur Ali
M
enulis tidaklah sesulit yang kita pikir, menulis juga bukan faktor keturunan yang hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Ada banyak alternatif untuk menumbuhkan minat kita agar bisa menulis menjadi penulis produktif, dari sekian banyak alternatif yang ada, seorang menulis buku termotivasi untuk mendapatkan uang. Bayangkan bila harga jual buku Rp. 50.000 dan kita mendapat royalti 10% dari harga buku tersebut, kita akan mendapat Rp. 5.000 untuk satu buku. Andai dalam waktu dua bulan buku kita terjual 1.000 eksemplar kita akan mendapat Rp. 5.000.000 dari penjualan buku tersebut. Belum lagi bila buku kita menjadi best seller dan dibuatkan film, tentunya kita akan berhasil secara financial dan dikenal banyak orang. Buku ini menyajikan kepada pembaca kiat menjadi seorang
penulis hebat yang diawali dengan memberi motivasi dari keuntungan menulis, cara mencari ide, sampai cara mengirim tulisan kepada editor dan mekanisme pembayarannya. Selain itu, dilengkapi pula berbagai solusi dari setiap pembahasan yang akan memudahkan pembaca dalam menyelesaikan penulisan. Menulis dan membaca adalah sebuah paket yang tidak bisa terpisahkan begitu saja. Keduanya saling bersinergi dan saling melengkapi. Orang yang tidak suka membaca tapi ingin menulis ibarat memakan buah jeruk tapi tidak mau memasukan buah jeruk kemulutnya. Dalam kutipan buku tersebut, Andrea Hirata mengatakan jika ada penulis yang mengaku produktif tanpa pernah membaca sama sekali, artinya ia berhenti belajar dan hanya ada dua kemungkinan. Pertama ia sudah mencapai tingkat maha guru atau kedua ia pembohong dan ini mungkin yang
paling masuk akal. Kendala yang sering dialami penulis adalah sulit untuk memulai dan mengakhiri tulisannya. Sebelum menulis alangkah baiknya kita memikirkan terlebih dahulu akhir dari tulisan agar apa yang kita tulis memiliki penggambaran tentang akhir penulisan. Kesulitan dalam memulai penulisan bisa jadi disebabkan ada masalah dalam mengakhiri tulisan. Untuk memecahkahkan kebutuhan dalam mengakhiri dan memulai sebuah tulisan kita perlu banyak membaca, berlibur ke sebuah tempat, bertemu dengan rekan-rekan penulis dan pikirkan output yang ingin kita sampaikan kepada pembaca. Langkah-langkah untuk menemukan ide menulis non-fiksi bisa dimulai dengan melihat kebutuhan pasar, teknik observasi diri, mematahkan pemikiran orang lain. Sedangkan untuk mencari ide menulis fiksi menggunakan panca
Judul Penulis Penyunting Cetakan Penerbit Tebal
berkarakter. Pertama ialah kemapuan Konigtif, yaitu kemampuan untuk berfikir sistematis berdasarkan analis. Sebagai mahasiswa umumnya berfikir sistematis harus menjadi pola hidup yang menjadi tonggak pemikiran yang jujur. Poin kedua, pendidikan berkarakter harus mampu menjawab masalah terkait afeksi, mahasiswa khususnya harusberperilaku yang sesuai dengan norma-norma agama. Selanjutnya sebagai poin ketiga ialah mengenai pendidikan Skillyang harus dikembangkan. Lalu, pendidikan berkarakter harus dapat mengimplementasikan agama melalui pendekatan akademik, contohnya ialah dalam bidang Ekonomi harus diterapkan pendidikan moral kejujuran agar tidak ada kasus korupsi. Dalam poin terakhir, transformasi, pendidikan harus mengembangkan kreativitas, tak hanya mengembangkan tetapi juga melakukan inovasi yang dapat mengangkat suatu bangsa menjadi lebih baik. Lanjutnya, Islam seharusnya menjadi solusi untuk membangun moralitas bukan sebagai ancaman untuk kaum muda. “ Sangat miris saya pernah mendengar penelitian yang dilakukan untuk anak SMA, dengan hasil kontribusi agama hanya 5 % untuk membentengi remaja dalam hal mengkonsumsi narkotika dan sejenisnya,” tegasnya. (April)
: 88 kiat menjadi penulis hebat : Syamsa Hawa dan Irawan Senda : Tina Leoni : Ferbruari 2011 : Tangga Pustaka : xii + 248 Hal : 21 cm
indra untuk merekam kejadian, mencatat, meniru yang sudah ada dan penguasaan materi. Alternatif lainnya bisa menggunakan trik ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) teknik ini bisa digunakan oleh para pemula dan professional. Lihat saja bagaimana Asma Nadia membuat banyak buku La Tahzan setelah buku La Tahzan Aidh Al Qani keluar. Agar buku tersebut bisa diserap pembaca tanpa harus dituduh sebagai plagiator kita harus memodifikasi hingga akhirnya keluarlah sebuah buku dengan ide yang segar. Kunci sukses dari ide ATM adalah sering berjalan-jalan ke toko buku dan mengunjungi situs toko buku online untuk mencari buku apa yang sedang menjadi tren. Setelah menentukan ide dan menganalisisnya, masuklah pada teknik penulisan. Buku ini membeberkan tiga macam teknik penulisan yakni
penulisan fiksi, non-fiksi, dan faksi. Pertama, penulisan fiksi diawali dengan me-latih imajinasi, menulis narasi, deskripsi, menentukan sudut pandang, dan yang tak kalah penting yakni konflik dan suspensi (kejutan) agar alur cerita tidak monoton. Kedua, penulisan non-fiksi bisa diawali dengan merumuskan tujuan dari penulisan dan pembaca yang kita tuju, kemudian menentukan gagasan, dan gaya bahasa. Terakhir, metode penulisan faksi adalah gabungan dua metode penulisan antar fiksi dan non-fiksi. Penulisan faksi disajikan dengan gaya berce-rita, faksi sendiri merupakan kisah yang berdasarkan data atau fakta sebenarnya. Jenis-jenis faksi yang sering kita temui berupa memoar, kumpulan kisah nyata, biografi, sejarah, dan kisah nabi.
10 Cerpen...
Sastra
Edisi XIII/Mei 2011
Nisa Aku Terjatuh di Surgamu
Puisi...
Tiang Langit
Harsono* “Jika hati adalah kejujuran maka keyakinan adalah ketulusan yang abadi Karena cinta bukanlah sebatas nawala Melainkan air mata dan tarian nafas yang menyanyi syahdu dalam ruang jiwa” Hars menatap wajah Nisa, masih senyap. Terasa ada kesunyian di hulu matanya. Tanpa berkedip ia memandang ke segala arah, mungkin dia sedang membayangkan sesuatu. Tidak biasanya dia seperti itu. Sementara lelaki yang berdiri di sampingnya terdiam sunyi, seakan tidak tahu harus berbuat apa. Padahal hatinya bergetar ingin mengungkapkan sesuatu. Tapi rasa malu membuatnya kaku dan bingung. Dia hanya bisa menatap seraut wajah cantiknya tak bersuara dengan selayang pandang. Tapi gadis itu sendiri terasa paham apa arti tatapan, hanya diam tak ada sekelumit suara yang terdesah dari bibir mereka berdua. Semuanya serba bisu. “Nisa! Bolehkah aku...”, kalimatnya terpotong. “Aku tahu apa yang mau kau ungkapkan”, suara Nisa memotong. Dia sudah terasa paham yang akan diungkapkan Hars. Hars hanya diam, kepalanya tertunduk. Terasa semakin sulit untuk menguraikan lagi. Tapi apa boleh buat jika semua adalah permintaan Tuhan, hatinya tak mungkin mengkhianati, walau rasa kecewa akan menakwil di kemudian! Matanya pun semakin berani lagi menatap wajah Nisa. Nisa angkat kepala dan menatap wajah Hars. “Aku sangat bangga jika kamu jujur, karena kejujuran adalah kekasih tuhan,’’ tuturnya masih lembut selembut desir angin waktu itu. “Aku pun akan mendengarkan dan akan menghargai perasaanmu, walau akhirnya kau tak dapat memilikiku. Karena aku sudah punya tunangan. Dan semoga tak ada penyesalan yang membuatmu tersiksa”, tanganya memegang pundak Hars. Sebenarnya dia sudah lama menutup pintu hatinya untuk laki-laki lain selain Yufa, tunangannya. Karena dia tidak ingin kisah dua bulan yang lalu meng-hibridis hidupnya kembali dengan kecewa. Pernah dijanjikan ketulusan cinta dari seorang laki-laki yang satu kelas dengannya jurusan Aqidah filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tapi setelah hubungan itu diketahui tunangan-
nya, lelaki itu tidak bertanggung jawab, malah kabur entah kemana. Hari semakin menari menumbangkan wajahnya ke telunjuk malam. Hars hanya diam seribu bahasa. Terasa tak ada pilihan lain kecuali bersandar pada kesabaran dan pasrah sepenuhnya pada takdir. Apakah perempuan itu akan menjadi miliknya? Atau hanya sebatas bayang-bayang saja? Setelah akhirnya tak dapat dimiliki. Hatinya bagaikan terhunus sebilah pedang, setelah mendengar jawaban Nisa yang benar-benar jujur. Kelembutan jiwanya membuat Hars terjatuh di pelukannya dan ingin memiliki. Terasa tak ada wanita lain selain Nisa yang dia kenal pertama kali. Bahkan bidadari surga sekalipun. ”Nisa, seandainya Tuhan memberikan pilihan lain maka lebih baik aku memenggal diri dan memilih mati daripada harus terkubur perasaan sendiri”. “Jangan menyiksa diri sendiri dari ketidakpastian hidup. Masih banyak wanita lain, bukan hanya aku. Apalagi kau seorang sastrawan aku yakin dengan satu karyamu mampu memetik seribu wanita di kampus ini”. Nisa semakin melarutkan kata-kata, mencoba merayu berkata manis, agar dia tidak terlalu dalam pengharapan. Walau hatinya sedikit punya perasaan. Kasihan Hars! Nisa sudah terikat cinta dengan lelaki pasar minggu. “Hanya kamu wanita yang aku pilih dari jutaan mahluk tuhan”, lirih Hars sambil mendekat. “Perasaanmu salah memilih wanita yang sebentar lagi akan get-married,” jawab Nisa datar. Hars semakin terperanjat mendengar ucapannya. Matanya menerka ke sosok perempuan itu apakah bermain-main atau...? Ah! Dia seolah tidak percaya kalau Nisa akan married. Lama terdiam, sunyi kembali sepi lagi. “Aku tidak percaya”. “Aku mohon jangan begitu tulus mengharapkanku untuk menjadi milikmu. Lepaskan saja perasanmu pada yang lain, agar kamu tidak menyesal nanti,” Nisa masih mencoba menjelaskan dengan sabar. Lengkap sudah bagi Hars sampai detik ini. Dia cukup merasakan hal yang menyedihkan. Baru sebulan ditinggal pacarnya,
Eko Indrayadi* Elis. Ia minta putus karena menganggap Hars seorang cowok yang suka mempermainkan wanita. Padahal alasannya tidak logis dengan terpaksa Hars memenuhi permintaanya walau dia sangat keberatan terhadap keputusan pacarnya dan kata putus mengakhiri. Padahal sama-sama cinta. Kali ini Nisa yang diharapkan menjadi teman hidupnya dalam menempuh karir sebagai seorang penyair yang mengisi kepenulisan sastra dan teater di Jakarta, bahkan di tempat-tempat lain. “Oke, jika memang ini jawaban yang sempurna darimu. Aku rela menjadi Majnun yang kedua”. “Aku tidak bermaksud membuatmu menderita,” lirih Nisa dengan perasaan menyesal. Inilah hidup berjalan bersama takdir. Menari sunyi membilas sepi dalam jiwa, terpaku sesaat ketiadaannya. *** Serempak suara geruman orang, suara nyalang membelah dinding rumah dengan hati yang masih mengelingis. Hars semakin ingin tahu siapa yang mereka maksud. Mau kemana orang itu? Siapa yang dimaksud mau menikah? Nisakah? Bukan dia. Bukannya cuma kemarin aku ngomong dengan dia? Lalu siapa? Hatinya kian menggerutu. Orang-orang kian ramai menuju jalan itu. Hars memang melihat lampu bagai yel seperti tahun baru disertai rias panggung pernikahan dan lagu pengantin baru. Bahkan samar-samar melihat perempuan itu. Adakah? Aku tidak yakin. Tapi siapa dia? Perempuan yang membawa bunga. “Saya tidak habis pikir kalau Nisa meni.....!” “Nisa? Benarkah dia perempuan itu, Nisa?” Dia hanya menggeleleng kepala linglung. Hatinya terbakar dan menderita. Benarkah? Kemudian Nisa? Wajah malam semakin tersulap pekat, menari bertubuh sunyi mendaki sepi tanpa ada kenyataan yang pasti. Jakarta, 2011 *Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat semester II. Aktif di Poros Senja kala, Pemuda Sastra Kampus Uin.
S
ungai-sungai yang mengalir biru. Detik-detik syahdu yang lalu. Kuteringat dirimu, Ibu. Ketika dulu engkau selalu disampingku. Nun jauh kini aku pergi, Berlari . . . Tancapkan cita-cita dan mimpi. Bukannya tiada berkaca diri. Anak udik dari desa terpencil. Hanya berharap memutar nasib. Mengubah anggapan kampung terhadap sanubari. Terkadang ananda teringat kisah. Bagaimana buah kelapa hanyut di sungai. Terbawa arus hingga ke samudera luas. Dan tumbuh menjadi tanaman baru. “Begitulah hidup”, ujarmu. Melangkah dalam perdu dan terus maju! Pangestu, Bunda. . . Ananda berjuang legowo menantang takdir, Mengayuh sauh-memutar nasib. Ananda maklum hamba sahaya. Bapa tiada berpangkat. Bunda tiada berharta. Namun, nasehat tiada berputus hamba dicerahkan. Sekarang jaman akan berubah, Waktu terus berjalan memaki mereka yang diam. Biarlah ananda terbuang dan hilang. Mereguk pahit dan perih perjuangan. Menatap kenyataan pada dunia. Bukan kesemuan yang ditawarkan heroin. Serta rasa sakit yang hilang akibat kateter. Cukuplah aku melangkah! Tanpa sandal, dengan setali 2,5 sen. Aku terus berjalan . . . Tiada putus niat dan semangat. Ananda pasti pulang dengan kebanggaan ... Djakarta, 16 Maret 2011 *Mahasiswa jurusan ilmu politik semester 4 Dalam perjuangan menggugah nurani Tuhan
Surat Pembaca...
P
ara pegawai yang bekerja sebagai birokrat UIN Jakarta bukanlah bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kepentingan bersama dan berdedikasi tinggi. Pasalnya saya sering melihat beberapa pegawai di bagian kemahasiswaan yang main game saat jam kerja dan bekerja semaunya. Masih di situ, tepatnya di bagian yang mengurusi beasiswa Dipa, saya sempat mengalami pelayanan yang benar-benar tidak menyenangkan hati saya. Malah menyakitkan hati. Para mahasiswa yang meminta pelayanan seakan menjadi kuli atau narapidana. Ada pelayan di sana yang saat melayani mahasiswa yang ingin mengurusi beasiswa, wajahnya begitu masam dan marah-marah terus. Jujur saya sangat kesal padanya. Bukan-
nya membaik-baikkan saya, eh malah marahin saya melulu. Rasanya ia tak ikhlas menjalankan pekerjaannya. Saat itu saya sedang mengurusi beasiswa. Saat mengisi formulir, saya melakukan kesalahan. Akibatnya, saya habis dimarahi tidak henti-hentinya seakanakan manusia itu tidak boleh melakukan kesalahan. Ini mental-mental yang benarbenar tak layak dicontohkan. Itu hanya sebagaian dari buruknya pelayanan birokrasi di kampus ini. Masih banyak pegawai yang benar-benar tidak bisa melayani mahasiswa dengan baik. Saya harap hal tersebut sebaiknya segera diminimalisir. Sebab, kampus ini bukanlah sebuah universitas kampungan. Bagaimana menjadi universitas kelas dunia jika pelayanannya saja masih seperti pelayanan orang di desa-desa. Malah di desa lebih baik dari ini. Nama penulis ada pada redaksi
Redaksi LPM INSTITUT menerima tulisan berupa opini, esai, puisi, cerpen dan surat pembaca. Opini, cerpen dan Esai: 3000 karakter. Puisi dan Surat Pembaca 2000 karakter Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya.
Tulisan dikirim melalui email lpm.institut@yahoo.com
Masang iklan? Siapa takut!!! Hub. 085781157788
11
Sosok
Edisi XIII/Mei 2011
Bambang, Konsisten Menuntut Keadilan Aprilia Hariani
meter. Itu kan tidak sesuai. Dan sebenarnya KK yang lainnya pun tidak setuju,’’ ungkap mahasiswa yang gemar orasi tersebut. Lanjutnya Ia menjelaskan alasannya tentang harga tanah yang ditawarkan Pemerintah Depok, tidak sesuai karena tanah tepat berada di tengah kota. Selain itu, Bambang merasa ketidakadilan terletak juga pada pengambilan keputusan sepihak yang dilakukan Pemerintah Kota Depok. Karena langsung menetapkan harga tanpa bernegosiasi terlebih dahulu dengan masyarakat. “Dari pihak (Pemerintah, red) Depok nggak ada tekad baik buat musyawarah “ ungkapnya. Ia pernah meminta bantuan kepada sesama mahasiswa aktifis di UIN Jakarta, dan sempat di respond serta didukung atas penolakannya terhadap penggusuran tersebut. Dukungannya mengalir dari Organisasi Intra kampus, Ekstra serta beberapa UKM UIN Jakarta. Dan kemudian membentuk Aliansi Mahasiswa Peduli Rakyat. Dukungan tersebut berupa kumpulan tanda tangan. Setelah itu Bambang mengirimnya kepada Pemerintah Kota Depok sebagai upaya penolakan ketidakadilan, namun tetap tak ada tanggapan. Sejak saat itu Bambang mencoba berjuang sendiri, pada pertengahan Febuari lalu Bambang beserta keluarganya mendantangi rumah walikota Depok untuk bernegosiasi dan
musyawarah terkait kasusnya. Tapi dari pihak walikota tidak menanggapi aduan tersebut dengan alasan semua masalah penggusuran sudah diserahkan ke Departement yang terkait. Bukan tidak ada permasalahan yang ia rasakan ketika memperjuangkan kasusnya ini. Ia beserta keluarganya sering mendapatkan intimidasi ancaman lewat telepon yang menyatakan bahwa rumahnya akan digusur paksa, lalu telepon rumahnya sekarang sudah diputus tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Selain itu genteng belakang rumanya sudah dihancukan oleh alat berat. Tembok belakang rumahnya pun dihiasi dengan kalimat ‘ Hancurkan Rumah ini’. Hingga saat ini pembangunan jalan altenatif itu pun sudah hampir selesai, kondisi rumah Bambang yang hanya tinggal sendiri, terletak ditengah tengah jalanan yang sudah siap untuk dilintasi oleh kendaraan “Kami bertahan bukan hanya diam saja, kami sudah berupaya musyawarah dengan pihak Kota Depok, negosiasi itu ada jika ada musyawarah, nah ini dari pihak Depok tidak ada tekad baik buat musyawarah. Sampai keluarga kami menemui Walikota Depok, tapi dari pihak Walikota bekerjasama dengan tim pembangunan Kota Depok mengelak bahwa dana tersebut sudah cukup,’’ tuturnya mengerutkan alis sambil tersenyum kecil. Bambang berharap, masyarakat khususnya ma-
hasiswa dapat menjadi Agent of Control atau sebagai pengawas terhadap pemerintah. Karena sesuai dengan Tridarma perguruan tinggi yang ketiga yaitu, pengabdian pada masyarakat. Oleh sebab itu mahasiswa diharapkan dapat membela rakyat yang sedang menuntut keadilan. “ Saya tegaskan sejak masih
kan ruangan, Fuad menyatakan bahwa ia baru pertama kali berada di forum dengan attitude seperti itu. Akhirnya diskusi dihentikan. Namun, Rotibul Umam, mahasiswa yang menginterupsi pembicaraan Fuad menyatakan, ia bermaksud meluruskan narasumber karena pembicaraannya melebar dari tema yang ada. Ia menyayangkan sikap pembicara yang seperti itu. “Hanya dengan interupsi sekali saja kok langsung disikapi dengan walk out, mestinya diberikan arahan dulu,” tambahnya. Pada diskusi kedua (14/5), Burhanudin Muhtadi dan Andikey Kristianto, yang merupakan aktivis ‘98, dihadirkan sebagai pembicara. Burhanuddin mengungkapkan kekurangan dari SG dan memberi kritik pada aktivis sekarang yang kurang mengedepankan akademis. “Dulu yang dijual itu intelektualitas,” ungkapnya. Senada dengan Burhanu-
din, Andikey juga memaparkan kekurangan SG. Ia mengkritik kurang baiknya manajemen konflik yang diterapkan mahasiswa. “Dulu itu kalau ada masalah diselesaikan dengan baik, sambil ngopi ngerokok bareng lah,” tegasnya. Namun ia menambahkan jika lebih baik memperbaiki sistem yang ada daripada menggantinya. Pertemuan selanjutnya (21/5), Abuddin Nata dengan konsep Senat Mahasiswa yang dibawanya, mencoba memperbaiki kekurangan SG dengan konsep yang dibawanya. “Itu (POK, red) tawaran saya, tapi kalau kalian mau yang lain ya terserah, gitu aja kok repot” ujarnya. Sedangkan Rifki Arsilan, aktivis ‘98, menyayangkan bila SG milik UIN yang ditiru banyak universitas di Indonesia justru diganti dengan sistem yang lain. “Disayangkan jika justru mengalami kemunduran.”tegasnya.
ada pembangunan di Indonesia, berarti penggusuran rumah masih tetap akan berlangsung. Jadi sebaiknya masyarakat mampu mempertahankan haknya sesuai dengan hukum negara tentunya,” ungkap mahasiswa yang hobi membaca ini.
Foto: RIFKI/INSTITUT
“Saya tegaskan sejak masih ada pembangunan di Indonesia, berarti penggusuran rumah masih tetap akan berlangsung. Jadi sebaiknya masyarakat mampu mempertahankan haknya sesuai dengan hukum” “Kita jangan pernah gentar untuk menuntut keadilan atas hak kita,” ungkapan yang keluar dari bibir Bambang Rizki, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) UIN Jakarta ini menandakan semangatnya untuk tetap mempertahankan keadilan di Negeri ini. Bukan tanpa sebab ia berkata seperti itu. Pasalnya ia salah satu korban ketidakadilan yang masih ada di negeri yang sudah lama merdeka ini. keluarganya beserta 43 kepala keluarga (KK) lain yang berada di Jalan Arief Rahman Hakim No 44, Depok dipaksa meninggalkan tanah lahirnya. Lantaran, Pemerintah Kota Depok memaksa warga untuk menjual tanah yang berada di pusat Kota Depok tersebut, untuk dijadikan jalan alternatif. Jalan itu menghubungkan Jalan Dewi Sartika dengan jalan Arief Rahman Hakim. Namun, di antara 44 Kepala Keluarga, hanya Bambang beserta keluarganya yang masih tetap bertahan. Karena aktivis Komunitas Pencinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan (KMPLHK) Ranita tersebut menilai ini adalah sebuah penindasan yang dilakukan pemerintah Depok. “Dari pihak Pemerintah hanya menganggarkan Rp 650.000/
Bambang, di depan rumahnya yang terancam digusur. (24/5)
Sambungan.. Bukan Soal SG, tapi Kedaulatan Mahasiswa. Hal tersebut dibenarkan Surya, namun dengan tambahan bahwa keputusan tetap ada di tangan mahasiswa. “Kalau di tataran teknis, tim pendamping itu mempermudah kita dalam pencairan dana, mengundang pembicara, dan memberi masukan, sekadar itu saja,” jelas Surya. Meskipun begitu, Sudarnoto menjelaskan mahasiswa ha-nya diberikan kewenangan dalam pembuatan draft, tapi semua keputusan tetap berada di tangan Dirjen Pendidikan Islam. “Kita ini berada dibawah Kementrian Agama, jadi segala keputusan di tangan Dirjen,” tegasnya. Menanggapi hal tersebut, Surya menjelaskan jika pada akhirnya keputusan Dirjen tidak sesuai dengan keinginan mahasiswa, ia bersama aktifis mahasiswa lainnya akan terus memperjuangkan kedaulatan mahasiswa. “Yang kita perjuangkan kan bukan SG-
nya, tapi kedaulatan mahasiswa,” ujarnya. Jalannya pra workshop Diskusi pra workshop yang berjalan selama empat hari dilaksanakan di ruang Audiorama. Acara yang diselenggarakan KMU dan DPMU difasilitasi Rektorat dalam pengadaan pembicara, ruangan, dan pencairan dana. Diskusi pertama (13/5) menghadirkan pembicara Fuad Djabali dan Bachtiar Effendy. Diskusi ini bertema peran lembaga kemahasiswaan dalam membangun peradaban ilmu pengetahuan. Pada tengah pembicaraan, seorang mahasiswa melakukan interupsi. Namun karena hal itu, tiba-tiba Bachtiar berdiri dan meninggalkan ruangan. “Saya tidak suka dengan cara interupsi seperti ini,” ujarnya. Hal tersebut langsung diikuti Fuad. Kejadian selanjutnya berlangsung tegang karena sebelum meninggal-
Pada pertemuan terakhir (23/5) dihadirkan Dirjen Pendidikan Islam, Muhammad Ali dan Rektor UIN, Komaruddin Hidayat. Komaruddin mengungkapkan, ia tidak ingin mencampuri urusan ini karena mahasiswalah yang berhubungan secara langsung. ”Masalah SG saya menghargai itu, dan itu adalah wilayah mahasiswa,” tegasnya. Sedangkan M. Ali menyatakan, Dirjen sedang mengkaji kembali SK No: DJ.I/253/2007. “Ambil yang positif dan ekses-ekses negatif harus kita eliminir,”ujarnya. Namun Andi Syafrani dan Ridwan Darmawan, pembicara dari pihak mahasiswa mengungkapkan, SK Dirjen itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat karena SK Mendikbud No. 155/U/1998 masih berlaku. “Organisasi kemahasiswaan diatur oleh setingkat menteri, bukan oleh setingkat dirjen,” tegasnya.
12
Wawancara
Edisi XIII/Mei 2011
Memperbaiki Celah Hukum SG Jaffry Prabu Prakoso
S
ekarang adalah waktunya tim perumus untuk membuat konsep lembaga kemahasiswaan. Dengan harapan Sudent Government (SG) tetap ada di UIN Jakarta. Namun apa yang akan dilakukan tim perumus dalam membuat draft lembaga kemahasiswaan? Lalu apakah langkah-langkah dan perjuangan tim perumus dalam mempertahankan SG? Berikut petikan wawancara Jaffry Prabu Prakoso, reporter INSTITUT (26/05) di sebelah sekertariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Syahid, dengan Surya Vandiantara, salah satu anggota tim perumus. Menurut tim perumus bagaimana hasil diskusi serial pra workshop kemarin? Kalau pendapat tim perumus intinya SG masih layak untuk dipertahankan. Dan dari semua pembicara yang ada, tidak ada satu bantahan pun yang menyatakan bahwa apalah itu bentuknya baik itu POK, maupun Senat Mahasiswa, yang lebih baik dibandingkan SG. SG memang masih layak. Tapi dengan SG yang sudah revisi? Ya memang kalau masalah revisi itu kan berbicara sempurna. Sebenarnya tidak ada yang sempurna, semua itu kan tergantung ketetapan dialektik yang sedang kita jalani hari ini. Ketika kita membaca ada kekurangan dalam SG maka kita akan perbaiki.
Apa langkah kedepan tim perumus? Yang jelas memperbaiki celahcelah hukum di SG, sehingga kedaulatan mahasiswa dipertanyakan. Karena sebaik apapun sistem yang sedang berjalan hari ini, sistem SG juga pasti memiliki celah. Nah celah itu yang sekarang sedang kita godok, kita buat semacam tambalan lah supaya semakin menyempurnakan sistem. Kapan target jangka waktu penyelesaian tim perumus? Mengingat pemerintahan mahasiswa ini kan sudah lama digoyang oleh rektorat, dalam artian ada lembaga yang tidak berjalan sesuai dengan konstitusi. Ya, targetnya sebelum semester depan kita sudah menjalankan peran SG yang sudah diperbaiki. Apa harapan dari tim perumus dan panitia kedepannya terhadap lembaga kemahasiswaan? Harapan ideal kita demokrasi di UIN tercipta, kedaulatan mahasiswa itu benar-benar dirasakan, hak-hak yang menjadi milik mahasiswa itu teraspirasikan. Lalu kewajiban-kewajiban baik dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif itu dijalankan. Karena terkadang ada yang mengambil hak-hak tersebut. Dari pihak rektorat menginginkan tim pendamping, apa fungsi tim pendamping itu? Kalau dalam teknis tim pendamping itu mempermudah kita dalam pencairan dana, mengun-
dang pembicara, memberikan masukan. Tapi tetap saja keputusan tetap berada di tangan mahasiswa. Tapi draft yang nanti diajukan mahasiswa ke universitas akan digojlok oleh dirjen, dan dirjen yang mengeluarkan. Universitas harus tunduk kepada SK tersebut. Bagaimana dengan hal tersebut? Dari hasil diskusi bersama dirjen kemarin itu bahwa memang SK POK itu tidak memiliki hasil yang jelas, dalam artian payung hukumnya nggak ada. Dan SG tidak menyalahi payung hukum yang lebih tinggi, termaksud SK Mendikbud tahun 1998. Yang kita pertanyakan kenapa POK ini malah bertentangan dengan SK Mendikbud itu. Dan kita sebagai mahasiswa yang sadar dan mempelajari hukum, mengikuti keputusan menteri daripada SK Dirjen. Bagaimana kalau hasil akhir tidak seperti yang diinginkan mahasiswa? Kita kan berbicara tentang perjuangan, kalau tidak sesuai dengan keinginkan mahasiswa secara keseluruhan ya kita akan terus perjuangkan. Sampai kapan pun kita akan terus perjuangkan. Dan polanya itu bisa beragam. Bisa kita menolak hasil workshop, walk out dari lembaga kemahasiswaan, membuat memorandum dengan rektorat, membuat aksi besar. Yang kita perjuangkan kan bukan SG-nya tapi kedaulatan mahasiswa.
Halaman Depan 1/6 Halaman Halaman Belakang ½ Halaman Ÿ Halaman 1/8 Halaman Halaman Dalam ½ Halaman Ÿ Halaman` 13cm x 7cm 10cm x 5 cm 6cm x 5cm 5cm x 5cm
Tarif Rp. 700.000 Tarif Rp. 850.000 Rp. 750.000 Rp. 550.000 Tarif Rp. 550.000 Rp. 400.000 Rp. 350.000 Rp. 300.000 Rp. 250.000 Rp. 200.000
Iklan Mini Display Kolom Baris (minimal 3 Baris, Maksimal 5 Baris, 1 ter)
Tarif RP. 5000,-/mmk RP. 7000,-/brs Baris 32 Karak-
TARIF IKLAN LPM INSTITUT