TABLOID INSTITUT EDISI 14

Page 1

Edisi XIV/Juni 2011 - diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com

•Laporan Khusus Dugaan Penyelewangan Dana Beasiswa Berprestasi Hal. 5

•Pustaka Hal. 6 Hypnolearning, Belajar cara Belajar

•Wawancara Andi Syafrani Hal. 15

FOTO: RAHMAT/INSTITUT

EDITORIAL Intelektual yang Kering

Sekelompok mahasiswa sedang berdiskusi di lapangan parkir FITK, (25/6).

Forum Kajian dan Diskusi Mahasiswa, masihkah? Rahmat Kamaruddin Semua orang tahu bila mahasiswa identik dengan dunia intelektualitas. Hal tersebut adalah wajar mengingat posisi mahasiswa sebagai pemangku gelar agent of change. Aktivitas berdiskusi merupakan instrumen penting dalam iklim kampus yang seharusnya menjadi weltanschauung (pandangan hidup) , terutama dalam mengasah intelektualitas, menumbuhkan rasa percaya diri, dan kepekaan sosial di tengah derasnya arus teknologi dan informasi. Menanggapi stigma arus teknologi dan informasi kini yang menjadikan mahasiswa terkesan lebih individualis, Dede Rosyada, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), saat ditemui di ruangannya oleh INSTITUT (14/6) mengatakan hal tersebut tidak seekstrem demikian, namun memang ada peluang ke situ. Untuk selevel mahasiswa, menurutnya, secara psikologi mereka masih membutuhkan teman untuk sharing walaupun memang informasi mudah di-

dapatkan. “Jaman saya kuliah dulu, kami sering melakukan diskusi dan belajar kelompok dan sebagainya, kebutuhan kepada teman itu memang sangat tinggi, karena kita ingin saling memperoleh informasi dari yang lain, sebab memang sumber informasi kami terbatas,” kenangnya. “How to be a good listener is more difficult than a good speaker,” ujar Dede. Menurutnya diskusi merupakan aktivitas yang sangat urgen. Hal itu membentuk karakter mahasiswa agar bersikap openness (terbuka), sehingga

dapat menerima berbagai pandangan dan tidak tertutup dengan perubahan. Sikap keterbukaan merupakan ciri-ciri orang modern dan dengannya orang dapat melakukan changing (perubahan). Siswo Mulyantoro, Ketua Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), mengatakan pentingnya diskusi selain wadah aktualisasi diri, juga menambah pengalaman, teman serta bisa membentuk karakter mahasiswa. “Kegiatan berdiskusi di luar jam perkuliahan itu sangat menunjang segala yang bersifat akademis, mengingat waktu perkuliahan cenderung sangat terbatas”, tutur pria asal Brebes tersebut kepada INSTITUT (20/6). Senafas dengan hal itu, be-

rangkat dari ketidakpuasan atas kurikulum di kelas, Forum Kajian Rasional Ilmu Politik dan Keindonesiaan Jakarta (KRITIS) terbentuk. Hal tersebut diungkapkan Muhammad Kholil Ikhwan, Ketua Umum KRITIS periode 2010-2011. Dia mengatakan lebih banyak mendapatkan wawasan dari luar kelas. “Kalau di bangku kuliah saya lebih banyak canda dan tawa, di forum luar kelas saya banyak mendapatkan wawasan dan pengetahuan,” tutur Kholil (21/6). Dia juga mengatakan budaya diskusi mahasiswa saat ini cenderung merosot, ini disebabkan tidak adanya kekompakan, persatuan, dan kerjasama diantara satu mahasiswa dengan lainnya. Bersambung ke hal 15 kol 2

Jelas, terlalu larut dengan masa lalu sangat tidak baik, namun paling tidak, masa lalu bisa menjadi tolak ukur, nilai, bahkan standar yang relatif baik dengan melihat fakta sekarang. Dan buktinya, perjalanan intelektual UIN Jakarta ketika dahulu, banyak menitiskan orang-orang berintelektual tinggi. Pertanyaannya, apa yang sudah dicapai sekarang ini? Apakah pencapaian sekarang, mampu melampaui pencapaian masa lalu? Semangat jaman selalu menjadi biang keladi. Yang bisa membentuk mau bagaimana dan seperti apa pelakunya. Jaman sekarang, mahasiswa kerap dipandang tidak mapan. Ada yang sekedar kuliah demi titel, ada kuliah demi pekerjaan, dan ada pula yang benar-benar mencari intelektualitas. Tentu jaman dahulu pun sudah ada seperti itu, tapi kita harus bersikap, jika memang ingin melampui pencapaian masa lalu. Mahasiswa bukan robot, apalagi mesin photocopy, yang acapkali mengikuti apapun secara membabi buta, tanpa pertimbangan. Mahasiswa adalah manusia, manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Tidak hanya sekedar mengikuti kemauan dosen demi nilai kognitif yang tinggi, yang dipercaya bisa menjamin masa depan. Ada nilai lain di samping nilai kognitifitas, ada nilai moralitas, kolektifitas, dan spritualitas. Itu hampir tak tersentuh. Maka jangan heran, ada mahasiswa yang malah suka foyafoya, tawuran, plagiat, bahkan terorisme. Itu kesalahan dalam berintelektual. Bukan juga salah dosen atau institusi pendidikan, namun, dosen dan institusi punya kesempatan untuk memperbaiki itu. Apa mau disia-siakan? Pembentukan karakter adalah salah satu kesempatan itu. Menjunjung tinggi nilai kognitif dan mengabaikan nilai yang lainnya, menjadikan mahasiswa hidup dengan intelektualitas yang kering. Ada, tapi tak sejuk. Tak ada manfaat buat orang lain, hanya keinginan dan kepuasan pribadi, muncul manusia-manusia individualis. Bahkan lebih sadis, mahasiswa hedonis, materialistis, dan jauh dari idealis. Jika mau serius, dimulai dari yang sederhana, dengan menciptakan budaya-budaya intelektual. Meramaikan forum-forum kajian, membuat komunitas yang punya kontribusi buat orang lain, atau mungkin, aktif dengan organisasi yang mengajarkan kolektifitas. Mari sejukkan intelektual kita. (MF)


Laporan Utama

2

Edisi XIV/Juni 2011

Mahasiswa Miskin Proses Belajar

Salam Redaksi

FOTO.INSTITUT

Aam Mariyamah dan Trisna Wulandari

Seorang mahasiswa sedang membaca buku di Perpustakaan Utama UIN Jakarta (24/06). Membaca merupakan tahap awal dalam proses pembelajaran.

Miskinnya proses pembelajaran yang menghantui di masa Ujian harus mempersiapkannya dari di UIN Jakarta pun dirasakan Tengah Semester (UTS) dan Uji- awal. Mengenali potensi diri, di Rusydy Zakaria, Ketua Jurusan an Akhir Semester (UAS). Keta- mata kuliah mana yang menjadi Kependidikan Islam FITK. Bah- kutan-ketakutan seperti itu yang kekuatannya, dan di mata kuliah kan menurutnya, mahasiswa UIN membuat mahasiswa melakukan mana dia lemah. masih minim dalam hal budaya ketidakjujuran selama ujian. Se“Di mata kuliah yang lemah, membaca. “Seharusnya, ketika perti prilaku mencontek. hendaknya mereka harus ledosen telah memberikan silabus Dalam hal ini, H.A.R Tilaar, bih keras belajar. Untuk memmata kuliahnya, mahasiswa aktif pakar pendidikan Indonesia, perkuatnya, bisa lewat tutorial, mencari referensi berdasarkan si- mengungkapkan, mahasiswa itu otodidak, membaca, atau konsullabus tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya harus memiliki tasi-konsultasi. Lalu, mereka tata ketika jam kuliah berlangsung, karakter yang bermoral dan ber- target keberhasilan studinya tiap mahasiswa telah memiliki materi. landaskan pancasila, sehingga semester. Dengan begitu, pasti Dengan banyaknya bacaan, mere- tahu mana yang benar dan harus dapat menggapai apa yang dia tarka akan memiliki banyak argu- dilakukan, bukannya membenar- getkan. Atau bila prosesnya diikumentasi yang dapat diungkapkan, kan apa yang jamak dilakukan ti secara baik, maka mereka akan sehingga di kelas dapat terjadi orang-orang di sekitarnya. menjadi sarjana yang berkualisuasana diskusi yang akademis,” Idealnya, tambah Rusydy, ma- tas,” tutupnya. (24/6) ujarnya. hasiswa harus meAkan tetapi Mohammad Mats- rencanakan bena, Purek bidang Akademik, me- tul bagaimana nuturkan bahwa tidak semua ma- pendidikannya hasiswa berorientasi ke penilaian b e r l a n g s u n g . kognitif. Banyak di antara mereka Mereka henyang idealis, mau mengejar ke- daknya sumampuan akademisnya, bukan dah memisekedar penilaian kognitif semata. liki mimpi, Ia menuturkan, banyak faktor akanjadi yang menyebabkan bergesernya a p a pemahaman yang dianut mahasiswa sehingga menomorsatukan nantinya. penilaian kognitif daripada proses Bila ingin dalam meraih penilaian kognitif m n j a d i tersebut. Salah satunya adalah pe- s a r j a n a nilaian kognitif yang mementing- d e n g a n kan ‘hitam di atas putih’, bukan kelu- lusbagaimana ia berkreasi. “Kita itu an terbaik, hanya mengevaluasi (nilai-nilai m a k a red) dari tes saja, yang nontes i a tidak,” (20/6) ujarnya. Ditambahkannya, paradigma penilaian kognitif adalah yang terpenting di atas segalanya, acapkali ditafsirkan sebagai penghalalan berbagai cara untuk mendapatkannya. Bayangan mendapatkan penilaian kognitif di bawah standar menjadi momok Prof. Dr. Dede Rosyada, Dekan FITK UIN Jakarta

dederosyada.com

Maraknya kasus plagiat dan sikap anti diskusi di kalangan mahasiswa adalah implementasi dari ‘miskin’nya proses pembelajaran. Pun, kini mahasiswa memiliki kecenderungan yang berorientasi pada penilaian kognitif semata tanpa memahami substansi dari sebuah proses pembelajaran itu sendiri. Proses belajar, menurut Dede Rosyada, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), sejatinya tidak sekadar membaca literatur-literatur. Lebih dari itu, proses belajar menuntut mahasiswa agar mempresentasikan hasil membaca tersebut kepada orang lain dalam sebuah forum diskusi, meninjau ulang hasil diskusi, dan mendengarkan pendapat orang lain. Ia menambahkan, perlu adanya kesadaran dari mahasiswa dalam mencapai kesempurnaan proses belajar. Mereka hendaknya tidak hanya mengutamakan lulus dalam waktu yang cepat, namun juga menyelesaikan tahap-tahap proses belajar denga baik. Menurut BAN-PT, kelulusan mahasiswa idealnya dalam jangka waktu 8-10 semester. Dalam masa itu, mereka perlu waktu untuk merefleksi dan membina diri sebagai persiapan transisi dari dunia perkuliahan ke lingkungan masyarakat. “Dikhawatirkan, mahasiswa yang lulus dalam waktu singkat atau kurang dari jangka waktu tersebut akan memiliki jiwa sosial yang belum matang dan belum siap untuk diterjunkan ke masyarakat. Maka, bila mereka tidak melalui proses belajar yang sempurna mereka tidak akan bisa mempertanggungjawabkan angka-angka dalam ijazahnya tersebut,” jelas Dede.

Assalamu’alaikum Wr. Wb. Salam INSTITUT. Semoga kasih sayang Tuhan selalu tercurahkan kepada kita, teman, sanak saudara, dan orang tua kita. Alhamdulillah, Tabloid edisi XIV ini bisa hadir ke tangan pembaca yang budiman. Itu merupakan salah satu kebahagian kami, di samping kebahagian mendapat hasil UAS pada semester ini. Benar, para awak kami harus berjibaku dengan kegiatan akedemisnya, bahkan waktu ini merupakan waktu krusial dalam perkuliahan, yaitu UAS. Namun, kami punya kewajiban, sebagai seorang aktivis pers, jurnalis sekaligus penulis yang dituntut untuk produktif dalam keadaan apapun. Dan keadaan kami, tak bisa menjadi alasan, untuk kemalasan kami dalam menulis. Menulis adalah jiwa kami. Jika Tsubasa bilang, bola adalah teman. Tapi kami bilang, menulis adalah orang tua. Tabloid kali ini, berangkat dari keresahan, kegelisahan, dan niat baik tentunya. Tentang iklim budaya intelektual di kampus tercinta UIN Jakarta ini. Kami memotret fenomena kampus sekarang-sekarang ini, sebagai upaya menghidupkan kembali, dari yang telah hampir mati. Kami menyajikan itu semua lewat Headline, Laput Satu dan Dua. Tak pula lupa, sebagai social control, kami mencoba memanfaatkan potensi kejurnalistikan dengan menguak fakta-fakta yang kami rasa penting diangkat agar kehidupan kampus UIN sehat, seimbang, dan baik. Se-perti, kasus dugaan penyelewe-ngan dana beasiswa, molornya workshop SG, sampai carut marut media kampus. Kami mencoba meliput sesuai profesi kami, sesuai fakta, benar dan berimbang. Itu asas utama. Kami sadar, kami masih di bumi, tidak bisa merasa hebat atau bangga dengan berlembarlembar tulisan ini. Tak lebih dari, dan tentu jauh dari sempurna. Sepertinya kuping kami harus kebal kritikan. Siapa yang tahu persepsi terhadap kami seperti apa, jika tak mau mendengar kritik itu semua. Dan karenanya, kami memanggil, menunggu pembaca budiman, dan siap sedia tentunya, dengan berbagai macam kritikan yang membangun. Demi kebaikan kami, dan demi kebaikan semuanya, jika kita tahu. Sajian ini merupakan sajian saat Anda ada di kampus, mungkin bisa menemani sajian pengisi perut, dan kami adalah sajian pengisi wacana pemikiran. Semoga bermanfaat. (MF) Salam INSTITUT. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Laporan Utama

Edisi XIV/Juni 2011

3

Pentingnya Profesionalisme Dosen Bagi Mahasiswa Jaffry Prabu Prakoso & Faruq

FOTO:JAFRRI/INSTITUT

Mahasiswa tarbiyah sedang menunggu dosen yang telat hadir, jumat (246)

Membentuk mahasiswa yang berkarakter dan berkualitas, tidak lepas dari sikap dan profesionalitas seorang dosen, salah satu penilaiannya adalah pada cara dosen bagaimana ia bisa berperan aktif dalam membentuk mahasiswa yang berkarakter. Namun, nyatanya Profesional tersebut secara umun masih jauh dari harapan. Dede Rosyada, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) mengungkapkan bahwa kurangnya profesional Dosen adalah tidak adanya rasa bangga dan rasa memiliki menjadi

dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Disisi lain, Rusydy Zakaria, Kepala Jurusan Kependidikan Islam, menambahkan bahwa salah satu penyebab kurangnya profesional dosen yaitu minimnya komitmen dosen untuk mengajar dalam satu universitas. Terkadang Dosen juga lebih mementingkan panggilan untuk menjadi pembicara dalam acara seminar, karena menurut Rusydy penghasilan yang didapat menjadi pembicara tersebut lumayan besar, sehingga dosen lebih mementing-

kan menjadi pembicara ketimbang melakukan tugasnya untuk mengayomi mahasiswanya. Selain itu, dosen yang ideal seharusnya mendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan ke mahasiswa. Serta yang paling penting lagi menanamkan nilai kepada mahasiswanya agar terbangun kerangka berpikir yang logis, sistematis, dan argumentatif. Itulah yang menyebabkan perguruan tinggi lain lebih baik daripada UIN Jakarta, contohnya saja Universitas Gajah Mada (UGM). Lulusan mahasiswa itu banyak

dicari karena tidak diragukan kualitasnya, terciptanya kualitas baik karena dosennya yang professional. “Dosen itu harus punya tanggung jawab penuh terhadap mahasiswa,” tambah Rusydy. Sebagian mahasiswa pun merasakan masih kurangnya kinerja dosen di UIN dalam mengajar, Ulumuddin, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Sosiologi Semester IV, mengomentari kinerja dosen yang kurang memberikan motivasi, mengayomi serta belum bisa menyelektif mahasiswa berdasarkan kualitas. Lain halnya dengan Wasil, mahasiswa Perbandingan Agama, Fakultas Ushuludin, semester XII menyatakan bahwa sistem pendidikan di UIN ini sudah bagus. Namun sayangnya, kinerja dosen yang belum memuaskan. “Cuma masuk, absen, presentasi, abis presentasi sedikit memberikan komentar abis itu beres,” tukasnya (24/6). Padahal menurut Ja’far Sanusi (23/6), Kepala Bagian Kemahasiswaan, menuturkan bahwa dosen memegang peran penting dalam proses belajar mahasiswa, karena nilai kognitif mahasiswa berada pada tangan dosen tersebut. Sehingga mahasiswa bisa mengikuti apa yang dikatakan dosen yang memang sudah profesional. Rusydy menjelaskan apa yang

dimaksud dengan Profesional. “Tidak hanya sekedar memberikan ilmu yang normatif, semua orang bisa memberikan ilmu yang normatif. Tanpa dosen juga bisa mendapatkan ilmu yang normatif, tapi teori yang membentuk sikap, cara berpikir dan perilaku para mahasiswa, dan itu yang disebut dengan dosen yang professional,” tegasnya. Tidak Adanya Pengamat Pendidikan di UIN Krisis pengamat pendidikan merupakan salah satu penyebab pendidikan kurang baik, padahal dengan adanya pengamat pendidikan universitas dapat memperbaiki sistem atau kerja dosen itu sendiri. Jajat Baharuddin, ketua Lembaga Penelitian (Lemlit), mengakui bahwa di UIN sendiri tidak memiliki pengamat pendidikan. Tidak adanya pengamat pendidikan di UIN sudah ada sebelum ia menjabat sebagai ketua Lemlit. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) seharusnya dapat menciptakan pengamat pendidikan. Namun sayangnya Program Studi (Prodi) yang mengkhususkan lulusan tersebut tidak ada di FTIK. “Karena setelah saya cermati di berbagai universitas, Prodi tersebut kurang peminatnya,” tutur Rusydy.

Bang Peka

Pemimpin Umum:Khalisotussurur Sekretaris Umum: Egi Fajar Nur Ali Bendahara Umum:Rina Dwihana Fitriani Pemimipin Redaksi:Muhammad Fanshoby Redaktur Pelaksana: Umar Mukhtar Artistik: Dika Irawan Penelitian & Pengembangan: Hilman Fauzi, Abdul Kharis, Iswahyudi Perusahaan & Periklanan: Noor Rahma Yulia, Ibnu Afan, Fajar Ismail. Koordinatur Liputan: Aditia Purnomo Reporter: Aam Mariyamah, Achmad Faruq A., Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Komaruddin, Rifki Sulviar, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Dika, Rizqi, D.N Adit Editor: Oby, Umar, Lilis, Hilman, Haris , Egi, Fajar, Rina Ilustrator: Omen, Trisna Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085-697-091-557 Web: www.lpminstitut.com Email: lpminstitut@yahoo.com.

Setiap wartawan INSTITUT dibekali Tanda Pengenal serta tidak dibenarkan memberikan Insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.


Laporan Khusus

4

Edisi XIV/Juni 2011

Minggu Tekun Tak Jelas Pemanfaatannya Aam Mariyamah

Menenangkan diri baik pikiran maupun badan perlu dilakukan sebelum menghadapi ujian akhir semester (UAS), demi mencapai hasil yang maksimal. Oleh karena itulah ada minggu tekun. Namun, minggu tekun seakan menjadi waktu bagi dosen untuk memenuhi jadwal mengajar mereka yang terabaikan pada masa aktif perkuliahan. Mohammad Matsna selaku

Pembantu Rektor (Purek) Bidang Akademik mengatakan, tidak ada peraturan tertulis mengenai minggu tekun. Namun, ketika INSTITUT menemui Ja’far Sanusi, Kepala Bagian (Kabag) Kemahasiswaan UIN Jakarta, Ja’far menyebutkan bahwa ada peraturan mengenai minggu tekun yang terkait dengan dosen dan perkuliahan.

Ja’far membacakan surat edaran yang ia dapatkan dari dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang berbunyi, “Bagi para dosen yang belum memenuhi perkuliahan minimal 14 kali tatap muka atau pertemuan sampai tanggal 4 Juni 2011, dapat memanfaatkan minggu tekun untuk memenuhi kekurangan tatap muka atau pertemuan dari tanggal 6 Juni 2011 hingga 10 Juni 2011.” Isi dari peraturan tersebut tak sependapat dengan apa yang dikatakan oleh Rusydy Zakaria, Ketua Jurusan (Kajur) Manajemen Pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Ia beranggapan, “Idealnya minggu tekun tidak dipakai untuk mengajar.” Hal tersebut dapat terjadi jika memang dosennya punya komitmen dalam mengajar sesuai dengan jadwal yang telah diatur, tambahnya, (24/6). Tak jauh berbeda dengan Rusydy, Kabag Biro Admisnistrasi dan Kemahasiswaan UIN Jakarta Sumuran Harahap menuturkan, kuliah tidak ada lagi ketika sudah minggu tekun. “Minggu tekun itu sangat penting, dalam rangka supaya mahasiswa lebih mendalami materi-materi yang diberikan,” tambahnya. Meskipun ada pihak-pihak yang berpendapat bahwa minggu tekun

sebaiknya tidak digunakan untuk perkuliahan. Namun, kenyataannya masih ada dosen-dosen yang menggunakan minggu tekun untuk perkuliahan. Ja’far yang juga merupakan dosen FEB mengakui bahwa kesibukannya sebagai Kabag Kemahasiswaan kerap kali membuatnya terpaksa harus meninggalkan kelas. “Ketika saya mengajar, ada acara rektor, saya terikat dengan jabatan,” tuturnya. Ia menambahkan, ketika ia menunda kelas, ia mengganti kelas tersebut pada lain waktu termasuk di saat minggu tekun. Mengganti jadwal perkuliahan dikarenakan kesibukan dosen disesalkan oleh mahasiswa. Salah satunya Sigit Aji Pambudi, Mahasiswa FEB Jurusan Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP) mengungkapkan, Minggu tekun membuat mahasiswa tidak tenang. ”Dosen seharusnya aktif mengajar sesuai jadwal yang sudah ada, jadi ketika minggu tekun mahasiswa bisa refreshing sebelum UAS,” tandasnya. Sama halnya dengan Sigit, Faris Bimantara, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Jurusan Hubungan Internasional mengungkapkan, ia tidak setuju jika dosen mengganti jadwal perkuliahannya karena

alasan yang tidak jelas. Namun, ia bisa memaklumi ketidakhadiran dosen yang bersangkutan jika alasannya masih logis dan jelas. Menanggapi apa yang diungkapkan oleh mahasiswa, Rusydy mengatakan, sekarang ini para dosen cukup dinamis dan banyak kegiatannya. ”Dalam tingkat tertentu hal tersebut boleh selama tidak mengganggu UAS dan jadwal perkuliahan mata kuliah lain,” jelasnya. Terkait dengan pemanfaatan minggu tekun oleh dosen, Sumuran berpendapat semestinya dosen tidak memanfaatkan adanya minggu tekun untuk mengisi jadwal kuliah yang tertunda. Ia juga menjelaskan selama pemanfaatan minggu tekun oleh dosen tidak mengganggu ujian dan tidak ada unsur pemaksaan, mahasiswa juga mau, mengapa tidak diganti saja jadwal yang tertunda ke minggu tekun. Namun, ada yang berbeda, Muhammad Mujadid, mahasiswa yang aktif di Foreign Language Association (FLAT) menuturkan minggu tekun sebaiknya digunakan untuk kuliah seperti biasa saja. ”Mendingan belajar seperti biasa saja, soalnya kalau di rumah belum tentu belajar,” tegasnya, (22/6).

Carut Marut Media Publikasi Kampus Muhammad Umar Selain itu, pulikasi itu juga dilarang ditempel di tembok dan kaca, terlebih menggunakan lem. Muhammad, Komandan Regu (Danru) Satpam menagatakan publikasi itu akan dirobek bila terlihat oleh satpam. “Cuma kita kan sama mahasiswa seperti main kucing-kucingan, kalau enggak ada kita, dia (mahasiswa, red) tempel, kalau ada kita enggak ditempel,” ungkapnya ketika ditemui di Kantor satpam Rektorat (22/6). Pria berpostur tegap ini melanjutkan tidak bermasalah bila pemasanganya sesuai prosedur dan pemasangnya tertib. “Yang masang pun bukan anak kecil, maksudnya mahasiswa,” imbuhnya. Manggapi hal itu Faris Bimantara, selaku ketua UKM RIAK (Ruang Inspirasi atas Kegelisahan) menilai mahasiswa yang menempel di dinding gedung kerena dianggap strategis untuk dibaca orang. Ia juga mengakui UKM Riak tertib bila ada fasilitas yang memadai seperti mading. “Riak kalau nempel pamflet di fakultas tertib di mading” ungkapnya ketika dikonfirmasi melalui pesan singkat (24/6). Sedangkan di SC terpaksa pihaknya menempel pamflet di

tembok karena tak ada mading. ”Enggak ada tempat lain yang lebih strategis, kita juga kan mahasiswa, ingin acaranya sukses, yang penting bisa dibaca orang,” ucapnya saat diwawancarai di lorong Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Sependapat dengan Faris, Muhammad Mujadid, divisi Kaderisasi UKM FLAT (Foreign Language Association), mengatakan belum ada fasilitas yang memadai. Menurutnya di SC sangat

pelu untuk adanya mading yang bersifat umum untuk semua, sehingga semua bisa melakukan pulikasi. Kurangnya fasilitas yang memadai juga menjadi faktor lain penyebab kurang tertatanya media publikasi. Ali Meha, mengakui bila di SC tak ada mading. Ia sendiri meminta saran kepada kepada teman-teman UKM untuk menentukan tempat yang cocok untuk penempatan mading Ali meha juga menyadari Se-

harusnya tugas kabag juga menjaga kebersihan, kerapian, dan keamanan. Tetapi dengan keterbatasan pegawainya sehingga hal itu dibagi ke fakultas. Disamping itu Faris menyarankan sebiknya media publikasi kampus itu berada di tempat-tempat strategis, selain di fakultas dan di tempat yang terpusat. Ia juga menyarankan agar diperbaiki lagi manajemen dan diminta kesadaran dari semua untuk menjaga kebersihan. FOTO.INSTITUT

Media publikasi di kampus I UIN jakarta masih belum tertata dengan baik. Ini terlihat dari pemasangan spanduk-sapnduk yang masih berantakan dan banyak bekas tempelan kertas pamflet hampir di semua dinding fakultas. Keadaan seperti ini sudah menjadi pemandangan yang lumrah di kampus UIN Jakarta. Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya kurang tertibnya mahasiswa dalam pemasangan spanduk dan pamflet. Abdul Somad, Kepala Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian (15/6) mengatakan bahwa penempatan publikasi seharunya di tiang-tiang besi dan di papan yang telah disediakan, serta penempatan itu juga tidak boleh sembarangan. Senada dengan Somad, Muhammad Ali Meha, Kepala Bagian (Kabag) umum mengemukakan pemasangan spanduk harus mendapat izin dari Kabag Umum. “Sejujurnya izinnya akan kita berikan bila itu menyangkut kegiatan akademika dan kegiatan itu diadakan oleh intra kampus, yang enggak kita tolerir yaitu organ ekstra termasuk bimbingan test,” paparnya saat ditemui diruanganya (23/6).

Seorang perempuan sedang melintas di depan jendela yang ditempeli banyak famplet di gedung FITK (23/06).


Laporan Khusus

Edisi XIV/Juni 2011

5

Dugaan Penyelewengan Dana Beasiswa Berprestasi Kiky Achmad Rizqi & Muji Hastuti Dana beasiswa yang diberikan oleh Kementrian Agama yang ditujukan khusus kepada mahasiswa lulusan Madrasah Aliyah (MA) berprestasi pada bulan November 2010 tidak sesuai dengan dana yang diterima mahasiswa. Dugaan adanya tindakan penyelewangan terhadap dana beasiswa berprestasi melibatkan mantan Subag Kesejahteraan Mahasiswa yang berinsial HS dan TP. Adanya dugaan tersebut diketahui ketika INSTITUT mewawancarai Doni Purwanto, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) semester 8, salah satu penerima beasiswa tersebut. “Ada kejanggalan dalam penerimaan beasiswa. Beasiswa yang seharusnya 17 juta dipotong menjadi 8 juta”. Ia pun menambahkan, potongan dana tersebut akan dikembalikan ke Departemen Agama (Depag) oleh TP selaku pihak yang memanggil Doni, TP meminta dana tersebut untuk dikembalikan setelah Doni mengambil uang 17 juta dari Kantor Pos. Dugaan tersebut, diperkuat oleh pernyataan Rody Hariska, mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) semester 8. “Waktu itu saya melihat sekilas lembaran kertas dengan nama saya sendiri dan tertera angka 17 juta, tapi ketika

diminta untuk tanda tangan hanya tertera 8 juta. Untuk mengetahui kejelasan dana tersebut, INSTITUT melakukan penelusuran ke kantor Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Islam Kementrian Agama, yang terletak di sekitar Lapangan Banteng Jakarta Pusat untuk mengetahui kejelasan dana tersebut. Setelah ditelusuri di ruang Subdit Akademik dan Kemahasiswaan ternyata ditemukan salah satu nama yang mendapatkan beasiswa, Doni Purwanto tercatat sebagai salah satu mahasiswa yang mendapat beasiswa berprestasi dengan jumlah 17 juta. Namun, mengenai data tersebut, pihak Depag tidak bisa memberikan kepada INSTITUT dikarenakan hal tersebut menyangkut pencitraan nama baik lembaga UIN Syarif Hidayatullah. Kejanggalan pun semakin jelas ketika Nurul Huda selaku Kasubag TU Direktorat Pendidikan Islam mempertegas tidak ada pengembalian dana menyangkut beasiswa tersebut, dana itu dicairkan melalui kantor pos dan pengambilannya dilakukan langsung oleh mahasiswa yang bersangkutan. Hal senada pun dilontarkan oleh Ahmad Thib Raya yang

pada waktu itu menjabat sebagai Pembantu Rektor (Purek) Bidang Kemahasiswaan. “Memang benar ada beasiswa tersebut yang berasal dari Depag, tapi mengenai jumlahnya saya tidak tahu karena beasiswa itu ditujukan langsung kepada pihak yang terkait dan dana tersebut tidak melalui pihak rektorat,” jelasnya. Menurut penuturan Doni, TP memerintahkan Doni agar hal ini tidak diberitahukan kepada Thib

setelah pemotongan dana itu, kejadian tersebut terjadi di McDonald samping kantor pos Ciputat. Selain itu juga, sekitar 2 bulan yang lalu, HS sempat menghubungi Rody melalui via telepon untuk menagih potongan beasiswa. Menanggapi hal tersebut, TP yang diwawancarai INSTITUT melalui via telepon sempat tidak mau menjawab tentang hal tersebut, tapi setelah dikaitkan dengan informasi dari Doni, di akhir

pembicaraan, ia menjawab tidak melakukan pemotongan terhadap dana beasiswa tersebut. Berbeda dengan HS, ketika diwawancarai ia hanya menjawab tidak ada beasiswa dari Depag. Doni menambahkan, “Waktu itu saya ingin mangangkat masalah tersebut. Berhubung HS dan TP sudah tidak ada dan teman-teman pun tidak ada jadi ya sudahlah,” imbuhnya.

Di lain pihak, Cukong, panggilan akrab Sukron, mengungkapkan molornya workshop juga berdampak kepada persiapan yang harus dilakukan panitia. Seperti proses sosialisasi draft yang dirancang tim perumus kepada peserta Workshop karena kondisi kampus

yang memasuki masa liburan. Ia berharap agar segala sesuatu yang dibicarakan hari Senin tidak berlangsung lama agar workshop dapat segera dilaksanakan pada akhir juni.

Workshop POK Terus Diundur Aditia Purnomo Workshop Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK) yang harusnya dilaksanakan tanggal 11 Juni hingga kini belum dilaksanakan. Berbagai alasan dikemukakan oleh pihak yang terkait mengenai keterlambatan dan terus mundurnya acara workshop POK. Keterlambatan ini juga berdampak langung terhadap lembaga kemahasiswaan di UIN Jakarta dan kegiatan yang harus dilaksanakannya. Menurut Pembantu Rektor bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, keterlambatan tersebut disebabkan belum siapnya tim perumus dalam menyelesaikan draft yang akan dibahas dalam workshop tersebut. “Macammacam lah alasan teman-temanmu itu (tim perumus, red),” ungkapnya ketika ditemui INSTITUT di ruangannya (15/06). Di lain pihak Akhmad Sukron, Ketua Panitia pelaksana workshop mengungkapkan molornya workshop disebabkan belum tersedianya hal-hal teknis yang dibutuhkan. “Dana belum dicairkan karena bagian keuangan sedang sibuk untuk persiapan workshop lain di Ciawi,” ujarnya (23/06). Selain itu ia menyatakan keterlambatan juga disebabkan tertundanya rencana pertemuan tim

perumus dengan tim pendamping dari rektorat pada Jum’at lalu. Hal tersebut terjadi dikarenakan pihak rektorat tengah mempersiapkan diri guna menghadiri workshop di Ciawi. “Jadi pertemuannya diundur hingga Senin (27/06),” ucapnya. Namun ia mengungkapkan kepastian tentang pelaksanaan workshop akan ditentukan pada pertemuan hari senin (27/06). Pada pertemuan tersebut akan dimatangkan kembali draft yang dirancang tim perumus untuk dikaji bersama tim pendamping.” Pertemuan juga membahas masalah tanggal, teknis, dan tempat workshop,” imbuhnya. Dampak Molornya Workhop Menurut Surya Vandiantara, salah satu anggota tim perumus draft POK, keterlambatan workshop ini dapat berdampak pada semakin lamanya pengesahan kekuatan hukum Student Government dan molornya pelaksanaan Pemira. Hal senada diungkapkan Purek III, menurutnya apabila workshop terus diundur, maka kevakuman yang terjadi pada lembaga kemahasiswaan akan bertambah lama. Selain itu draft yang akan dima-

tangkan pada saat workshop itu telah diminta oleh pihak Direktorat Pendidikan Islam untuk segera dibahas di lingkup nasional. “No more time. Rektor meminta sebelum puasa draft sudah selesai dan sudah diberikan kepada menteri,” lanjutnya.


Seni Budaya

6

Edisi XIV/Juni 2011

Menelusuri Jejak Soekarno Melalui Foto Ema Fitriyani FOTO:INSTITUT

Anakku, simpan segala yang kau tahu, jangan ceritakan deritaku dan sakitku kepada rakyat, biarkan aku menjadi korban asal Indonesia tetap bersatu. Ini aku lakukan demi kesatuan, persatuan, keutuhan, dan kejayaan bangsa. Itulah petikan kalimat terakhir Bung Karno kepada anak-anaknya, berjudul “Amanat Akhir Hayat”. Selama dua minggu, 13-25 Juni 2011, kalimat itu terpampang gagah di sudut ruangan Galeri Cipta II TIM Jakarta. Font Color-nya yang merah nampak menujukan ketegasan dan kepeduliannya kepada negeri ini. Meski sudah di akhir hayat, Soekarno masih saja menujukkan paham Marhaenisme-annya. Ketegasan dan kepedulian kepada bumi pertiwi lainnya ditujukkan pada 150 foto yang terpampang di sepanjang Galeri Cipta II. Foto-foto itu berbicara seperti penutur. Ceritanya di mulai dari kelahiran sang presiden, masa sekolahnya, hingga aksi Turun ke Bawah (turba) menyentuh rakyatnya. Meski agak buram lantaran fotonya hitam-putih, kharismanya masih tetap terpancar. Penggemarnya masih saja setia

Ujang Suparman, salah satu pengunjung tengah memerhatikan foto Bung Karno di Galeri Cipta II TIM Jakarta, (19/6)

memandangi setiap kisah yang terlihat dalam foto. Beberapa pengunjung nampak asik berbincang dengan orang disebelahnya, membicarakan salah satu foto tentang kehidupan Bung Karno ketika sekolah di HBS (Hogere Burger School) di Surabaya. Sayup-sayup terdengar salah seorang dalam perbincangan di depan pameran foto itu yang berkata dirinya pernah juga ke sana (HBS Surabaya), sambil menunjuk pada foto bergambar bangungan tua HBS. Di sudut lain ruangan Galeri Cipta II nampak Ujang Suparman, salah satu karyawan Univesitas Bung Karno (UBK) Jakarta, terpana melihat salah satu foto Soekarno yang sedang membersihkan halaman kediamannya bersama istrinya

Kampusiana...

di Jalan Pengangsaan no. 56 Jakarta. “Terlihat jelas bahwa Bung Karno itu nggak cuma bicara marheanisme tapi juga merealisasikannya,” ungkap Ujang sambil melanjutkan pandangannya ke foto sebelahnya, minggu (18/06). Kemudian Ujang kembali menuturkan kisah foto berikutnya, terlihat gambar Bung Karno yang sedang menyantuni seorang nenek tua di depan rumahnya. Dari awal kedatangannya ke pameran itu, pria sederhana ini memang sudah bermaksud melihat foto idola-nya, “Saya memang kagum padanya,” ujarnya sambil nyengir. “Dari foto ini (Bung Karno menyantuni nenek tua) menunjukan kalau dia orang baik. Makanya jangan hanya melihat

beliau dari sisi buruknya terus. Seperti dalam buku-buku sejarah yang beredar luas di sekolah-sekolah banyak di antaranya yang memutarbalikan fakta.” Di sisi lain ruangan, tampak seorang pengunjung tengah mengabadikan foto-foto Bung Karno. Saat dihampiri, Pandji Kiansantang, mengatakan bahwa mengenang Bung Karno memberikan inspirasi untuk membangun bangsa. Tepat di belakang galeri foto Bung Karno lainnya, ada sebuah ruangan berbentuk persegi panjang berukuran agak luas. Jika menengok ke dalamnya, akan terlihat kursi berwarna merah beraturan terpampang bisu. Ba’da magrib, diputar sebuah film dokumenter mengenai Bung Karno yang berisikan perjalanannya dalam memperjuangkan Indonesia baik di dalam dan luar negeri. Terlihat dalam film itu, Soekarno berpidato di depan para pemimpin dunia, di Amerika Serikat. Tepuk tangan riuh mengalir untuknya. Pun ketika dia turun dari podium, banyak yang ingin berjabat tangan dengannya. Film ini mampu menyedot perhatian pengunjung, mereka duduk dengan fokus seolah tak ingin melewatkan satupun sekuelnya.

Lampu dalam ruangan itu sengaja digelapkan seperti suasana dalam bioskop. Cahaya yang timbul berasal dari lighting yang memantul bayang layar, warna karpet dan tirai merah. Jalan untuk menelusuri jejak Soekarno di Galeri Cipta masih panjang. Di antaranya ruangan di belakang penyetelan film dokumenter terdapat beberapa foto lagi. Foto-foto yang terpampang masih mengisahkan banyak lagi tentang kehidupan Soekarno, yaitu ketika ia bercengkrama dengan anak kecil di kampung, berpelukan dengan Jendral Soedirman dengan raut muka yang sedu, dan Soekarno yang tampil dengan beberapa rekan perjuangannya ketika diasingkan di Ende, Flores, serta foto tentang dirinya dengan istri dan anakanaknya (yang berbeda-beda). Diantara foto-foto penuh historis itu terdapat beberapa poster besar berwajah dirinya dengan jargon yang akrab di te-linga “Aku Melihat Indonesia.” Semua foto yang dipamerkan berasal dari koleksi Prananda Prabowo/ Dokumentasi Keluarga dan Yayasan Bung Karno.

Pentingnya Pendidikan Multikultural di Madrasah

Pancasila, Pijakan Pemersatu Keberagaman

Penafsiran Pancasila oleh bangsa Indonesia seharusnya dijadikan sebagai sumber ideologi. Sumber ideologi yang dimaksud adalah ideologi terbuka. “Ideologi terbuka artinya ideologi yang mampu berinteraksi dengan situasi dan kondisi lebih dinamis, yang dialami oleh setiap generasi bangsa,” ungkap Lukman Hakim Syaifudin selaku Wakil Ketua MPR RI, sekaligus pembicara di Stadium General berjudul Menghidupkan Kembali Pancasila Sebagai Akar Jati Diri Bangsa, Auditorium Harun Nasution (15/6). Ia menambahkan, tidak sepantasnya generasi bangsa Indonesia sekarang ini menafsirkan Pancasila seperti yang pernah dilakukan oleh presiden yang terdahulu, yaitu adanya indoktrinasi (pemberian paham atau doktrin yang kebenarannya dari arah tertentu, red), dan penafsiran tunggal terhadap Pancasila. “Padahal penafsiran satu sila dengan sila yang lainnya tidak terlepas kaitannya,” paparnya. Setelah era reformasi tahun 1997-1998, kondisi bangsa Indonesia sangat transparan. Kondisi ini diiringi dengan masuknya era

“Pendidikan mulitikultural bukan lagi suatu ketimpangan sosial. Pendidikan multikultual adalah pendidikan untuk atau tentang keberagaman kebudayaan dalam merespon perubahan demokratis dan kultur lingkungan masyarakat tertentu bahkan dunia,” jelas Akhmad Shadiq, salah seorang pembicara Seminar Nasional berjudul, “Pendidikan Islam Multikultural”, teater lt.3 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (15/6). Menurutnya, ada lima komitmen yang harus dipegang untuk mengembangkan pendidikan multikultural. “Pertama, harus adanya konten multikultural ke dalam kurikulum yang diajarkan pada mata pelajaran atau disiplin ilmu tertentu. Kedua, harus adanya proses yang membuat seseorang mengerti akan multicultural lewat proses belajar,” paparnya. Ia menambahkan, komitmen selanjutnya harus ada metode yang diselaraskan. “Seorang pengajar harus mempunyai suatu metode pengajaran yang dapat diterima oleh peserta didik dengan latar belakang yang berbeda. Sedangkan komitmen keempat, kurangi ber-

globalisasi. Dampak globalisasi sendiri bagi bangsa Indonesia terlihat dengan menolak nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Penyebabnya karena adanya suatu trauma yang dialami bangsa Indonesia pada zaman orde baru. “Nilai-nilai Pancasila pada saat itu sangat bersifat sakral, yang idetik dengan cara penafsiran tunggal. Padahal nilai-nilai pancasila itu luar biasa, tidak hanya untuk kita (bangsa Indonesia, Red), melainkan dunia Internasional. Dunia Internasional sangat mengagumi Indonesia yang memiliki suatu dasar atau pijakan untuk menegakan bangsa negaranya,” jelasnya. Ditengah-tengah suasana bangsa Indonesia yang beragam, Indonesia juga memiliki potensi yang besar untuk pecah. Namun semua itu dapat diminimalisir karena terbentuknya Pancasila. “Pancasila memang dibuat sebagai sebuah utusan yang telah disepakati bersama yang dijadikan sebuah pijakan untuk menyatukan keberagaman yang terjadi,” pungkasnya sambil berdiri di tengah podium Auditorium Utama. (Ayu)

buruk sangka kepada orang lain. Terakhir, adanya sebuah interaksi di setiap perbedaan yang ada,” pungkasnya. Di akhir penuturannya, ia mengatakan bahwa seharusnya pendidikan multikultural dapat memfasilitasi proses belajar mengajar yang dapat mengubah persepektif monokutural. “Perspektif ini secara esensial penuh prasangka dan diskriminasi ke persepektif multikultural yang menghargai keanekaragaman dan perbedaan,” tambahnya. “Pendidikan Islam multikultural dapat meningkatkan kontribusi madrasah dalam pendidikan nasional,” ungkap Abdul Kardi Karing, anggota DPR komisi VIII. Madrasah merupakan perpaduan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Sehingga para lulusan madrasah seharusnya dapat menjadi kader-kader bangsa yang tetap menjaga empat pilar di Indonesia. “Empat pilar tersebut Pancasila, Undang-Undang Dasar, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika,” ungkapnya. Ia mengatakan, multikultural

adalah kesadaran kita terhadap keragaman serta perbedaanperbedaan yang ada dengan penuh keikhlasan dan keterbukaan pikiran kita dalam menerima perbedaan tersebut. “Multikultural terjadi karena adanya kemajuan teknologi yang berkembang,” paparnya. “Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, bangsa, agama, serta budaya yang berbeda. Jika perbedaan ini dipandang sebagia suatu yang negatif, pastilah hal tersebut menjadi suatu konflik yang berkepanjangan,” ungkap Armai Arief, yang juga Guru Besar UIN. Ia mengungkapkan, sebaliknya jika perbedaan tersebut dipandang sebagai suatu ynag positif, bangsa Indonesia akan berkembang karena memiliki keanekaragaman. “Pendidikan multikultural bagi peserta didik sangat bermanfaat karena siswa mampu menginterpretasikan nilai-nilai multikultural dalam kegiatan sehari-hari. Selain itu siswa juga mempunyai pengetahuan tentang agama lain tanpa meninggalkan agamanya,” tambahnya (Ayu)


Pustaka

Edisi XIV/Juni 2011

7

Hypnolearning, Belajar cara Belajar Hilman Fauzi Sadarkah, bahwa anda adalah orang yang paling pintar? Mungkin anda sedikit kurang mengerti bahwa anda dapat menjadi seperti Albert Einstain yang menemukan Teori Relativitas atau Thomas Alfa Edison penemu bola lampu, Ilmuan pintar yang hingga saat masih dikenang karena kejeniusannya. Pada dasarnya otak manusia diciptakan sama. Namun, apakah kita sudah mengunakannya secara optimal seperti para ilmuan tersebut?. Karena perlu anda tahu bahwa kapasitas memori otak manusia setara dengan seluruh perpustakaan di muka bumi. Bahkan Gordon Dyren menyatakan bahwa “Anda adalah pemilik computer paling hebat di dunia,� Tapi, Mungkin kita hanya sedikit malas untuk belajar, karena pola yang digunakan untuk belajar sangat kuno dan membosankan. Dalam buku ini kita diajak mempelajari Hypnolearning, belajar dengan cara menyenangkan yang membuat kita ketagihan dan kecanduan untuk selalu belajar. Mengajarkan kita untuk mengoptimalkan kerja otak. Namun cara yang digunakan adalah cara yang tidak membuat kepala kita pusing. Mencoba menghentikan

sikap sikap pelajar yang putus asa, minder dan kecewa. Sekaligus menghentikan nilai buruk yang diperoleh pelajar. Selama ini kita berpikir bahwa ada hal yang lebih menarik dibanding belajar, mungkin kita hanya kurang percaya diri untuk belajar. Kalau selama ini kita selalu berpikiran seperti itu dibuku ini kita diajak untuk menguasai diri kita untuk selalu berpikir positif, untk selalu berpikir bahwa diri kita bisa!. Apakah selama ini anda selalu ingin menjadi yang nomor satu, selalu ingin mendapatkan nilai sempurna yaitu 100 (A), anda bisa mencapai hasil tersebut, seperti dijelaskan diatas bahwa kejeniusan berasal dari keyakinan diri kita sendiri. Rahasianya akan diurai dalam buku ini, bagaimana tahap yang harus anda lakukan untuk meraih nilai tersebut. Disini penulis yaitu Farida Yunita sari dan Mr. Mukhlis menerangkan secara detail dan sangat mudah bagaimana cara menghafal yang membuat kita mudah mengingat pelajaran yang selama ini dianggap sulit dan membosankan. Contoh saja disini penulis memberitahu bagaimana cara

mengingat Tabel Periodik dalam pelajaran kimia, tabel yang selama ini dianggap membuat pelajar bosan bahkan membuat malas belajar. Dibuku setebal 127 halaman ini diajak untuk mempelajarinya dengan cara yang bisa dibilang menyenangkan. seperti mengaitkannya dengan film-film favorit atau joke-joke yang mudah kita ingat. Penggabungan kerja otak kiri dengan otak kanan memang selama ini jarang digunakan bersamaan, padahal jika kita menggunakan kekuatan kedua otak tersebut anda tidak akan mendapatkan kesulitan untuk memahami apapun. Kita juga bisa memanfaatkan seluruh pancaindra indra kita untuk memudahkan belajar kita, seperti kita tahu penerimaan informasi yang paling efektif sesuai pancaindra yang kita miliki. Atau disini di jelaskan bagaimana mengenali Learning Channel-mu. Buku ini sangat bagus untuk penerapan dalm bagaimana mempelajari cara belajar. Bagaimana kita menguasai skill yang kita miliki. Buku ini sangat praktis dan tidak terlalu teoritis. Bisa dimanfaakan untuk belajar sehari-hari.

Judul Penulis Penerbit Tahun terbit Tebal

: Hypnolearning : Farida Yunita Sari & Mr. Mukhlis : Visimedia : April 2011 : xx+127 Halaman

Budaya Diskusi di UIN Jakarta Diskusi merupakan bentuk kegiatan mahasiswa untuk mencari wawasan baru di luar bangku kuliah, meski kegiatan ini terlihat hanya berkumpul dalam menyampaikan gagasan dan pemikiran, sejarah telah mencatat bagaimana kegiatan semacam ini dapat melahirkan sosok manusia yang sanggup mewarnai peradaban. Misalnya saja, kita bisa melihat perkumpulan mazhab frankfrut di Jerman, forum yang di dalamnya hanya terdiri dari beberapa orang, namun karya-karyanya menjadi rujukan bagi kaum cendikiawan di belahan dunia. Melihat konteks sejarah UIN Jakarta, kita pernah memiliki mazhab Ciputat, mazhab yang melahirkan berbagai pemikiran, baik dalam bidang keagamaan maupun sosial. Mazhab ini dapat tumbuh dan berkembang karena memiliki tradisi kajian yang kuat oleh para mahasiswa yang tergabung dalam forum diskusi. Kondisi ini bergeser 180 derajat, forum kajian yang ada di UIN saat ini begitu memperihatinkan disebabkan minimnya minat mahasiswa untuk aktif dalam kajian yang ada. Tidak usah jauh-

jauh, forum kajian seperti Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) yang dulu melahirkan beberapa tokoh seperti Azyumardi azra dan Ray Rangkuti, saat ini hanya ada belasan mahasiswa yang aktif. Kontras dengan kondisi waktu mazhab Ciputat belum redup, mahasiswa begitu antusias berbondong-bondong mengikuti kajian. Untuk mengetahui berapa besar antusiasme mahasiswa dalam mengikuti forum diskusi, LPM INSTITUT mengadakan survai pada mahasiswa UIN Jakarta. Hasil survai ini menunjukan 62% koresponden menyatakan tidak mengikuti forum kajian. Hal ini bisa disebabkan oleh dua kemungkinan. Pertama, tidak adanya orang tua yang mau membimbing mahasiswanya untuk mengembangkan pemikiran baru. Mahasiswa membutuhkan sosok seperti bapak Harun Nasution sebagai orang tua yang mau membimbing dan dekat dengan anak didiknya. Kedua, kehadiran teknologi sebagai bentuk modernitas membuat banyak mahasiswa terlena. Teknologi memang dapat memu-

dahkan dalam hal apapun namun di sisi lain berdampak pada sikap individualis, akibat informasi yang dapat diakses tanpa harus berinteraksi dengan orang lain. Sebanyak 38% mahasiswa yang ikut forum kajian mengatakan, tema yang sering dibahas seputar sosial, politik, dan budaya sebesar 53%, agama 26%, dan tema lainnya yang berkenaan dengan mata kuliah 21%. Pertemuan diskusi umumnya dilakukan satu minggu sekali sebesar 67%, sebulan sekali 8% dan tidak menentu disesuaikan dengan kondisi sebanyak 25%. UIN merindukan lahirnya para pemikir baru, kami berharap dengan adanya survai dapat menjadi stimulus untuk menggiatkan kembali forum-forum diskusi di dalam dan di luar kampus. Survai ini diambil dengan metode sampling acak dari populasi mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan sampel sebanyak 125 mahasiswa, diambil dari setiap fakultas berdasarkan persentase banyaknya mahasiswa.

Yang diskusi 2 bln 1 orang, 3 tidak menentu, 6 lainnya kosong.


Kolom

8

Edisi XIV/Juni 2011

Pendekatan Militer dalam Resolusi Konflik Multikultural Khalisotussurur* Indonesia sebagai negara yang memiliki keragaman etnis dan agama telah tepat memilih demokrasi sebagai sistem pemerintahan. Hal itu dikarenakan demokrasi dapat menjamin hak-hak warga negaranya. Namun, pelaksanaan demokrasi secara utuh tak dapat diukur dengan eksistensi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan terselenggaranya pemilu. Pelaksanaan demokrasi harus kembali pada tujuan awal dengan melihat konteks Indonesia sebagai bangsa yang plural. Pluralitas tersebut harus dijamin oleh negara sebagai penyelenggara pemerintahan. Dalam hal ini, birokrasi yang paling dekat dalam berinteraksi dengan masyarakat adalah polisi. Pasca reformasi, terdapat pemisahan ABRI menjadi TNI dan Polri. Pemisahan tersebut brtujuan untuk mengembalikan posisi militer berada di bawah kepemimpinan sipil. Singkat kata, pemerintah pasca reformasi mencoba untuk mendepolitisasi militer. Depolitisasi militer tersebut berupaya untuk mengem-

balikan profesionalitas militer. Dalam pemisahan tugas TNI lebih berperan terhadap pertahanan dari ancaman luar negeri. Sementara itu, polri lebih condong untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Secara spesifik, polri memiliki tugas untuk melindungi, melayani, dan mengayomi masyarakat. Hal penting lain yang menjadi faktor pendukung demokrasi adalah penegakan hukum. Penegakan hukum yang terjadi di Indonesia tentunya

harus selaras dengan terjaminnya hak-hak individu secara asasi. Namun, kasus-kasus yang seringkali terjadi belakangan ini secara tidak langsung telah mencederai demokratisasi di Indonesia. Permasalahan kebebasan pers dan keyakinan beragama secara tidak langsung telah menimbulkan tindakan kekerasan. Hal tersebut seharusnya menjadi wewenang polri sebagai pemegang otoritas dalam menggunakan kekerasan. Sebagai contoh, kasus pemuku-

lan terhadap wartawan media online Komhukum (8/5) oleh polisi. Hal tersebut menunjukkan polisi kurang memahami bagaimana ketika berhadapan dengan insan pers. Padahal, polisi seringkali berinteraksi dengan wartawan seperti dalam momen demontrasi tersebut. Hal lain terkait dengan persoalan agama. Agama menjadi hal yang sangat sensitif di masyarakat. Peristiwa Tanjung Priok dan Ahmadiyah merupakan contoh bahwa polisi kurang menjalankan

fungsinya sebagai penegak hukum. Dalam melaksanakan konsolidasi demokrasi, penegakan hukum tanpa melanggar HAM. Seharusnya polisi mendapatkan pendidikan mengenai HAM dan bagaimana menangani konflik dengan berbagai motif baik dalam hal agama, media, dan hal lain. Tentu hal ini tidak dapat dilepaskan dari konteks Indonesia yang multikultural. Maka, polisi perlu memahami bagaimana menangani berbagai macam konflik dengan berbagai macam pendekatan. Sehingga reformasi TNI dan polri dalam menuangkan nilai-nilai demokrasi tidak sekedar reformasi birokrasi. Tapi hal itu juga dikembalikan ke tujuan awal untuk menjamin hak-hak individu. Perlu ada interaksi yang lebih intensif dan pemahaman fungsional antara aktor-aktor negara demi terjaminnya demokrasi. *Pemimpin Umum LPM INSTITUT

Kronisme Dika Irawan*

Karikatur:web toon 36 dean and denys barrow copy

Malam hari lalu saya berkesempatan ngobrol dengan seorang lelaki tua, saat itu ia bercerita mengenai karir mengajarnya di suatu lembaga penidikan tinggi yang penuh dengan persaingan yang tak sehat. “Yang minoritas selalu tertindas, nah saya ini orang minoritas,” katanya sembari mengerutkan kening. Lelaki itu merasa terpinggirkan dan dipersulit di tempatnya mengajar. Alasannya pun sederhana, hanya karena tak termasuk dari golongan mayoritas yang ada di perguruan tinggi itu. Menurutnya, ada orang yang belum teruji loyalitasnya tapi dengan mudah mendapatkan posisi yang strategis di sana. Sebab orang itu termasuk dari bagian mayoritas tersebut. Mungkin praktik semacam itu bisa diistilahkan dengan Kronisme sinonim Nepotisme. Pasalnya memberikan kedudukan kepada orang-orang yang se-identitas, segolongan, atau se-kerabat dengannya. Sejarah bangsa ini mencatat, bagaimana Orde Baru yang dikenal dengan praktik korupsinya pun melakukan praktik kronisme. Soeharto pada waktu itu memasukkan kerabat, saudara, serta teman dekatnya untuk mengisi pos-pos jabatan di bangku peme-

rintahan. Ketika berakhirnya rezim itu kemudian muncul istilah untuk memerangi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Tapi di antara kita tak dapat menafikan kronisme, dan mungkin tak menolaknya pula, andaikan berada dalam kondisi yang diuntungkan. Sama halnya seperti korupsi, banyak orang yang berkoar-koar serta turun ke jalanan, namun ketika dihadapkan pada posisi yang mengenakan apalagi ditambah dengan kondisi ekonomi yang sulit seperti saat ini, dengan malu-malu kita pun terpaksa menerimanya. Mendengar cerita lelaki itu

rasanya kondisi ini tak jauh berbeda dengan masa-masa Orba. Seorang teman pun pernah bercerita, jika sebuah instansi pemerintah atau swasta yang sudah dikuasai mayoritas orang-orang tertentu, sulit bagi yang lain untuk bisa ‘masuk’ di sana. Akhirnya keluar ungkapan dari mulut orang-orang seperti, “Sekarang kalau enggak punya orang dalam atau kenalan maka susah untuk masuk ke lembaga ini dan lembaga itu”. Jadi, rasanya percuma saja memiliki kompetensi yang tinggi jika pada akhrinya yang bermain adalah kronisme atau nepotisme. Bila sesuai maka boleh masuk, tapi bila

tidak maka coba lain kali. Memang sudah lumrah, dan bisa saja menerimanya sebagai suatu kewajaran. Tapi setidaknya, hal itu telah mengurangi nilai keprofesionalan dan penghargaan pada kompetensi seseorang. Karena cara-cara itu tak memandang kapasitas seseorang untuk menempati sebuah posisi, tapi lebih kepada ‘nilai’ kedekatannya. Dalam arti, kedekatan dengan pejabat atau pemangku wewenang suatu lembaga. Dan akhirnya seperti yang tertulis dalam hadits Nabi SAW, bila kedudukan dipegang oleh bukan orang yang sesuai dengan bidangnya, maka tunggulah kehancurannya. Kehancuran terjadi karena tak tahu cara mengendalikan posisi, serta tak mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Contoh kerugian dari kronisme, para tenaga pendidik yang dikerahkan itu kurang kompeten, dalam arti tidak memliki kecakapan mengajar, tidak menguasai metode pengajaran, pengelolaan pengajaran serta pengelolaan kelas dan lain-lainnya. Sehingga pada akhirnya merugikan peserta didik itu sendiri, disebabkan mereka tak mampu menyerap dengan

baik ilmu-ilmu yang diberikan dan hasilnya kualitas anak didik rendah. Padahal Allah SWT sendiri melalui al-Qur’an al-Karim menghendaki orang-orang yang berada di sisinya dengan syarat memiliki ketaqwaan atau kompetensi yang memadai. Posisi itu tak diberikan bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan seperti yang telah ditetapkan. Artinya melakukan persaingan secara sehat, sematamata mengandalkan kemampuan dan tidak mengandalkan yang lain. Pada akhir perbincangan dengan lelaki tua itu, tiba-tiba ia menganjurkan saya untuk bersegera menjadi bagian dari yang mayoritas itu. “Sekarang jamannya udah beda, enggak apa-apa melakukan itu, sulit kalau jadi minoritas. Sering ditindas,” ungkapnya sambil tertawa. Lantas saya hanya tersenyum, dalam hati saya sendiri masih mempertimbangkannya “Sepertinya menggiurkan”. *Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, jurusan Pendidikan Bahasa Arab, semester enam. UIN Jakarta


Opini

Edisi XIV/Juni 2011

9

Mengimani Islam Pancasila, Mengingkari Islam Kontra Pancasila Dino Munfaidzin Imamah* Tanggal satu Juni tahun ini terasa begitu bernyawa, untaian kenangan panjang tentang perjalanan republik ini, tentang kelamnya malam lukisan Indonesia Kita yang penuh cerita kelabu, telah lama hanyut ditelan masa, tapi tetap menggugah. yakni hari lahirnya Pancasila. Di tengah krisis kebangsaan, radikalisme laskar teroris, dan prahara bencana yang menimpa bangsa ini, lalu kapan kesejahteraan akan menjadi nyata secara lahir dan batin masyarakat? Pancasila pada hakikatnya adalah religiously friendly ideology, istilah mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, yang memiliki makna sebagai rahmat senyap dan terselubung bagi Indonesia. Takkan ada lagi alasan kuat untuk mengganti dengan ideologi lainnya. Berbagai konspirasi untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain, khususnya ideologi yang berbaju agama seperti Daulah Islamiyah, NII, Khilafah Islamiyah, ataupun Negara Madinah Indonesia (NMI), takkan mendapat dukungan mayoritas umat beragama Indonesia. Sehingga pasti gagal dan akan diga-

galkan. Ledakan globalisasi membawa pengaruh yang sangat kompleks terhadap batang tubuh republik ini, yaitu kembang api demokrasi dengan segala pernak-perniknya. Pengaruh itu adalah mendunianya kekuatan-kekuatan politik radikal yang melandaskan diri pada ideologi dan cita-cita politik tertentu yang kontra dengan The nation state of Indonesia. Kekuatankekuatan radikal itu meliputi atau

mewakili faham ultra-liberal dan radikal agama. Group-group ini telah berkembang luas terutama menyusup bak ninja di malam hari di tengah hingar-bingarnya pergaulan kontemporer, dandanan gaulnya kaum muda mahasiswa. Penyusupan amuba radikalisme secara clandesteine (Kompas/10/5/2011) dengan siasat ‘cuci otak dan hipnotis faham Islam Kontra Indonesia’.

Berdzikir dan ikhtiar mengima-ni kembali Pancasila dapat kita awali dengan menjadikan Pancasila deconfessional ideology, sebagai wacana publik, berbagai pilar-pilar bangsa. Pancasila adalah rumah kita bersama, pelita, jalan hidup dan peredam konflik (Conflict Defuser). Mengimani Pancasila dengan situasi saat ini, menjadi jimat tersendiri secara koloni (jama’ah), demi kebangkitan kembali kesadaran untuk

saling menghargai pluralitas anak bangsa. Republik ini harus tetap digerakkan kembali dengan tindakan nyata mengaktualkan semangat, prinsip, dan nilai-nilai Pancasila yang segar dan menyegarkan. Kaum muda seperti kita sudah saatnya mempersiapkan diri dengan bekal wasiat guru bangsa KH. Abdurrahman Wahid yaitu akumulasi pengetahuan (Modified Capitalism), membaca dan mengantisipasi sejarah masa depan, demi menyelamatkan ekspedisi pelayaran terbesar perahu retak yang bernama Indonesia menuju pulau kebahagiaan bersama. Kini yang mungkin kita lakukan adalah berpegang kepada tali temali Pancasila. Berenang di tengah gelombang besar Beautiful Imperalism. Hidup ini adalah pilihan, dan itulah pilihan kita: berenang atau tenggelam. Pancasila adalah jalan kita. Demi pertarungan yang kita menangi, dan pertempuran yang belum kita jalani *Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah & Ketua Jaringan Alumni PB PMII 2011-2013 Pengurus Besar-Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Surat Pembaca...

Redaksi LPM INSTITUT Menerima: Tulisan berupa opini, esai, puisi, cerpen dan surat pembaca. Opini, cerpen dan Esai: 3000 karakter. Puisi dan Surat Pembaca 2000 karakter Untuk esai, temanya seputar seni dan buMaulana Ainul Asry, FISIP, Smester II, Ilmu Politik Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ternyata ada hal mengganjal yang terdapat di dalam kampus. Hal mengganjal itu biasa disebut sebagai diskriminasi. Ada sebuah ruangan di gedung “Sementara” FISIP, yang di dalamnya terdapat fasilitas tergolong lengkap. Sebut saja seperti komputer berkemampuan akses internet, TV cable, lesehan berkarpet merah yang cukup nyaman, dan ber-AC pula!. Tapi ternyata ruangan seluas 3x3 meter itu hanya diperuntukkan

bagi mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI), kelas Internasional. Padahal, di depan ruangan hanya terpampang tulisan “Student Lounge, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, UIN Syarif Hiayatullah Jakarta”. Jelas tak ada kata-kata “Berisme” jurusan disitu. Hanya belakangan “Aksesoris” penanda HI dibubuhkan: beragam bendera negara-negara sahabat. Fakta itu didapati melalui tragedi memilukan yang baru-baru ini terjadi, pada Kamis, pertengahan Mei 2011. Kala itu tiga mahasiswa termasuk saya “Divonis” tidak boleh menikmati semua fasilitas tersebut.

Dua orang mahasiswa HI kelas Internasional secara tidak langsung melarang kami. Setelah dikonfirmasi kepada karyawan kampus yang ada di dalam ruangan sebelahnya. Hasilnya, karyawan kampus membenarkan “Vonis” itu. Imbasnya, selain “Melukai” kondisi psikologis mahasiswa, praktek tak demokratis itu secara tidak langsung juga mendidik mahasiswa untuk bersikap tak adil. Maka dari itu, tanpa bermaksud memojokkan salah satu jurusan, saya berharap agar diskriminasi ini tidak terus “dilestarikan”, dan segera dibumihanguskan.

daya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email lpm.institut@yahoo.com


Sastra

10 Cerpen...

Di Tepi Batas Waktu Eko Indrayadi*

“Segores puisiku untukmu, teriring melalui deru dan lengangnya sepi malam ini. Sesepi diriku, sesunyi kehidupanku. Di antara ketiadaan yang mulai hilang. Akankah engkau mengingatku ketika nanti aku terlelap-membisu bersama aliran udara yang tak mungkin lagi masuk ke dalam paru-paruku. Sehingga aku bisa leluasa menatap dan mengenangmu, kekasihku . . .” Begitulah isi puisi kegundahan hati yang kutulis beberapa waktu lalu. Ketika semuanya masih bisa berkumpul dan tersenyum bersama dengan hangatnya pelukan cahaya senja di kota ini. Aku akan selalu mengenangmu, mengingat semua hal tentang dirimu: indah matamu, lebat rambutmu, hingga hangat dan bersahabatnya senyumanmu yang selalu memandang-ku sebagai sahabat terbaikmu. Namun, aku sadar semua hanya kefatamorganaan belaka. Mungkinkah ini yang namanya takdir tentang sebuah siklus daur hidup manusia yang ada di muka bumi: lahir, tumbuh, remaja, dewasa, tua, lalu mati. Terkadang sakit dan kematian tak pernah dapat diterka kapan datangnya. Kapan dia akan menjemput kita dari keadaan fana’ dalam dunia yang semakin tua ini. Pikiranku melayang jauh tentang kisah seorang lelaki yang kini menanti ajalnya di tengah kebimbangan waktu yang berbuat semacam candu yang menggerogoti tubuhnya. Dokter bilang ia penderita kanker stadium 3 dan teramat sulit untuk disembuhkan. Ia hanya bisa pasrah memandang nasib, melihat pada bayang-bayang waktu dan maut yang siap memeluk dirinya kapanpun. Mengajak dirinya menuju sebuah negeri yang kekal-abadi. Hanya sebuah kepasrahan pada takdir yang mesti diikuti. Berjalan mengalir bersama derasnya aliran keputusan takdir dalam kepastian yang pasti terjadi. Lalu, setiap insan punya cara berbeda-beda dalam memahami arti, ketika maut bersiap dalam hitungan langkah menjemput dengan pasti. Tanpa bisa dilakukan peninjauan ulang kembali. Berceritalah seorang sahabat dari lelaki tersebut kepada seorang teman, tentang betapa tegar dan kuat laki-laki itu menghadapi maut. Ia selalu tersenyum di setiap waktu, selalu bersemangat di setiap kesempatan, dan tak kenal takut untuk berhadapan dengan tantangan. Tapi tahukah manusia lain? Selain diri dan Tuhan. Lelaki itu selalu menangis dalam setiap tawa dan canda yang keluar dengan ikhlas dalam dirinya. Tatkala beberapa waktu yang lalu, ia berkesempatan men-

genal sebuah rasa “cinta” atas sebuah karunia sebagai seorang manusia yang mengajarkan dirinya tentang arti kehidupan dengan penuh semangat untuk tetap tegar, lalu membuang jauhjauh perasaan sunyi dan pilu dalam hati. Bukan jawaban salah ketika cinta menjadikan orang gila mencari-cari perhatian sekelilingnya. Bukannya tak berperasaan ketika maksud menghilangkan kesepian. Inilah yang dilakukan olehnya, setiap waktu yang berlalu dihabiskannya dengan mencari perhatian sekelilingnya. Berpura-pura menjadi orang bodoh yang membuang sebagian rasa malu yang meng-hinggapi kodrat seorang manusia. Tapi tahukah kita keadaan di dalam hatinya: kesunyian dan kegelisahan mengingat sebentar lagi ia akan dijemput dan takkan pernah pulang untuk kedua kalinya. “Aku akan tetap menunggu dan mengharapkanmu. Sekalipun kau benci aku dengan segala sikap dan sifat aneh ini. Sikap yang membawa ketenangan bagi diriku, sayangku. Dan selama 7 tahun kanker ini menggerogoti getah beningku, tak sedikit pun aku mengetahui apa arti kehidupan bagiku. Apa arti senyuman dengan semangat yang tak pernah padam untuk meraih mimpi dan cita-citaku. Semua tak bosan memandang bodohnya aku. Semua menghardikku, sementara kerisauan mulai menjadi kabut yang menutup cahaya harapanku.” Sementara malam mulai jauh meninggalkan pagi, rembulan sepi dan langit hujan rintik-rintik dengan hembusan angin yang mengetuk-ngetuk jendela kamar melati tempat yang sudah dua minggu ini menjadikanku sebagai seonggok sampah yang tak bisa berbuat apa-apa. Lalu, samarsamar kembali aku mendengar

suara-suara kekosongan dari hujan yang berjatuhan di atas genting rumah sakit ini. “Sudahlah, tak berapa lama lagi engkau akan terbebas dari rasa sakit itu! Tak seorang pun yang peduli dengan kebodohan yang kau perbuat selama 7 tahun ini. Aku sudah tak sabar menyelesaikan tugas terakhirku mencabut nyawamu.” ujar sebuah suara yang menggema di gendang telingaku. Semua memang mengha-rapkan ketidakhadiranku. *** Hari mulai pagi. Semburat lazuard merah saga mulai muncul di langit dengan penuh kesenduan hati. Para dokter sibuk menghampiri ruanganku. Terdengar bising-bising suara kepasrahan dari monitor yang merekam setiap detak jantungku. Dokter bersiap untuk memasang sebuah alat pacu denyut jantung di dadaku. Semua orang tampak pucat dengan butiran keringat sebesar jagung mengalir dari muara pori wajah mereka. Entah aku tak sempat untuk berpikir apa yang telah terjadi. “Bukankah itu aku? Mengapa mereka tampak seperti itu ketika melihat tubuhku? Lalu, bukankah itu kedua orang tuaku dan adik-adiku. Mengapa pula mereka tampak berkumpul di sekeliling ranjang tempat aku berbaring selama dua minggu ini?”. Terlalu sulit bagiku untuk menerjemahkan keadaan. Kucoba untuk menghampiri mereka semua, melihat wajah kedua orang tuaku. Kuperhatikan guratanguratan kasar yang terpahat di wajah mereka, hasil kikisan waktu yang kejam. Ibuku mencoba mengajak adik-adikku untuk pergi ke masjid yang ada di rumah sakit ini. Mencoba tegar dengan butiran kristal hangat yang tak terbendung me-ngalir dari kedua matanya. Mata yang selalu menatap dan mengawasiku dengan kehangatan, mata yang selalu membelaiku.Sementara ibu pergi, ayah mencoba tegar dan tetap sabar berada di ruangan ini. Melihat dengan tatapan yang miris dan kosong kepada tubuhku yang mulai perlahanlahan pucat kehilangan napas kehidupan. Beberapa saat setelah itu, dokter memanggil kedua orang tua-ku untuk melaporkan sebuah kepasrahan terhadap kekuatan Tuhan yang berkuasa atas segala manusia. Namun, hanya ayah yang ditemuinya. Ibuku tidak ada disini, beliau masih khusuk berdoa khusuk-ikhlas melepas diriku. “Maaf Pak, kami sudah berusaha sekeras mungkin. Kami sudah mengupayakan yang terbaik untuk anak Bapak. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain”. Kulihat wajah ayahku mencoba tegar dan tenang dalam kesedihannya. Mencoba bertahan dalam seruan batinnya. Ia

Edisi XIV/Juni 2011 hanya berujar pelan dan hampir tak kudengar. “Iya, dok. Saya ikhlas. Tuhan punya kuasa. Tuhan yang mempertemukan kita. Tuhan yang memisahkan kita. Innalillahiwainailahirojiun.” Begitulah akhirnya dan begitu pula awalnya. Lelaki itu menatap bintang yang berkedip dan tak pernah mampu ditatapnya kembali. Begitulah adanya, semua tak mampu menebak isi hati seorang manusia, bukan? *** Suatu pagi sebuah kertas kumal ditemukan oleh para juru rawat ketika membersihkan kamar rumah sakit bekas lelaki itu. Kertas itu tampak lusuh dan kotor terkena debu yang berterbangan. Sama halnya dengan ketegaran yang tertutup senyum milik lelaki yang telah pergi. Dan di lembar kertas itu tertulis,

“Segores puisiku untukmu, ter-iring melalui deru dan lengangnya sepi malam ini. Sesepi diriku, sesunyi kehidupanku. Di antara ketiadaan yang mulai hilang. Akankah engkau mengingatku ketika nanti aku terlelapmembisu bersama aliran udara yang tak mungkin lagi masuk ke dalam paru-paruku. Sehingga aku bisa leluasa menatap dan mengenangmu, kekasihku . . .” **** Ciputat, 25 Februari 2011 Dalam kekosongan menanti hari-hari *Mahasiswa Fisip UIN Jakarta, Jurusan Ilmu Politik, Semester 4.

Puisi...

Buta??? Asfi* Jika cinta itu buta Maka cinta merasa iba Sahabat ??? Terasa indah mengenalnya Terasa sejuk bersamanya Terasa riang bercanda tawa dengannya Beribu jarak tertempuh namun langkahnyaselalu ada di keliling Hidup Terucap cinta Namun lebih dari cinta Terucap kasih Terdua diabtara hati Cerah mentari mengiringi bentuk wajahnya Kias semangatnya terbentuk dalam tingkahnya Duhai kau yang selalu terjaga senyumannya Tak terlupa iringan setiamu Duhai kau penyemangat jiwa Permayaan ini tak terganti dengan materi Duhai kau yang secerah mentari Kehangatan budimu selalu dank an selalu terkenang Kaulah penerang Kaulah penyebar Kaulah penyejuk Senja dunia membolak balik hidupmu Fana kehidupan tertantang di harimu Senyum selalu perpanar di setiap keadaan mu Jika air berhenti mengalir Namun kasih saying dan sayangmu tak terhenti Jika awan menggelapkan dunia Kehadiranmu membawa cahaya Dan kaulah sahabat tercinta

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora Semester empat.


Seni Budaya

Edisi XIV/Juni 2011

11

Sesal Cinta pada Sang Pelacur Ema Fitriyani

Lelaki dalam penjara itu masih saja menundukan kepalanya, lalu berdiri dengan menyibakan rambut ubannya dan ia berbicara sendiri. Berbicara penyesalan. Itu yang selalu diocehkannya seperti orang sedang berzikir. Apa yang ia tanyakan pada ocehannya? “Su, perempuan biasa tapi punya daya tarik luar biasa,” “Su, pelacur!” “Su, kenapa aku mau menikah denganmu?” “Su.” Begitulah petikan kalimat yang dilontarkan seorang lelaki gondrong beruban diatas panggung sederhana di lantai dua Aulamadya UIN Jakarta, Rabu (16/06) lalu. Pria berpakaian serba hitam yang diperankan Nur Rahmat SN ini membawakan lakon utama dalam drama monolog bertajuk Cermin.

Lelaki bermimik keruh itu menampilkan jiwa penyesalannya yang semakin kuat menggerayangi hati rentanya tatkala teringat kembali akan cintanya kepada sang istri, si pelacur. Karena cintanya, ia rela menunggu ketika istrinya melacurkan diri. Karena cintanya pula, ia rela mendekap raga yang tak memiliki hati padanya. Bayang-bayang cinta istrinya yang terbagi dengan para lelaki hidung belang mengantarkannya pada gelap mata, membunuh sosok yang ia pertahankan matimatian hingga usia senja. Dalam sesalnya, ia berteriak merindu cahaya dalam gelap dirinya. Penjara yang mencekamnya akan dosa membunuh sang istri, tiga anaknya, dan lelaki-lelaki penikmat istrinya. Lampu-lampu pada pertunjukan itu menjadi cahaya dalam pengharapannya pada ruang penjara, ia masih saja mengungkit-ungkit cintanya pada istrinya, tentang ketiga anaknya yang dilahirkan bukan dari darah dagingnya. Lalu sedetik kemudian dia meracau, menunduk hingga rambutnya menyentuh lantai. Lalu, dayang-dayang dari balik tubuhnya mengelilingi aktor itu,

FOTO:INSTITUT

Lelaki tak bernama itu terus saja meraung dalam ruangan sumpek dan gelap: Penjara. Dirinya sa-ngat ketakutan karena kesendirian dan kegelapan. Cinta pada istri lacurnya, yang memberinya cahaya, kini terasa getir setelah kesabarannya hilang karena telah menikahi seorang perempuan bekas pelacur. Dan, dia menyesal.

Tokoh utama dalam Drama Monolog CERMIN nampak sedang menyesali nasibnya. Teater ini dipentaskan oleh Teater Pentas Gumbira Jakarta Pusat di Aulamadya lt. 2, rabu (15/6)

ber-koor bersama membentuk suatu irama kesedihan untuk lelaki tua. Mengelilinginya samba, membawa bayi yang mengingatkan si lelaki pada ketiga anaknya yang ia bunuh dengan belati miliknya. Tak lama, ingatannya kembali pada wanita yang ia sebut “Su” itu, sosok biasa dengan daya tarik luar biasa. Adegan berakhir dengan meninggalkannya dalam rintihan memanggil belahan jiwa

yang dirindukan. Dalam drama cermin ini tidak sama sekali menggunakan cermin (kaca). Alat kaca yang dikiranya akan menjadi alat vital, menurut Kang Nur sengaja tidak ditampilkan. “Itu karena aku menganggap pertunjukan seni ini adalah telanjang. Seni yang apa adanya,” tuturnya menjawab pertanyaan dari salah seorang penonton yang bergiat di Teater El-Nama Jakarta.

Salah satu penonton yang merasa gelisah dengan lampu blitz pada kamera penonton sepanjang acara juga menanyakan kepada para pemain, dan Budi Sobar dari Konsultan produksi Teater Gumbira sudah memperingatkan penonton yang membawa kamera agar tidak menggunakan blitz, ”Sudah saya colek-colek (tegur) tapi masih saja ada yang seperti itu (menggunakan blitz),” tegasnya.

UIN yang identik dengan Islam. Menurut Fitroy yang lebih mengeksplor kemampuannya dalam beatboxing ini asal isi dari music itu sendiri tidak membawa pada kemusyrikan, jenis musik itu masih bisa dinikmati. Apalagi SHC lewat Bintang sebagai seorang rapper telah menelurkan lagu-lagu bernafaskan Islam yang merupakan curahan isi hatinya. Pemuda yang mengaku rajin menulis lirik dan puisi ini mengungkapkan bahwa pada dasarnya nge-rap itu mudah, “Seperti kita sedang ngobrol saja, cuma bedanya diselipkan sedikit rima, atau kalau mau freestyle dengan tidak mengandalkan rima juga bisa.” Tidak hanya berkonsentrasi pada komunitas Hip-Hop di dalam kampus namun SHC juga turut bertukar pikiran dengan komunitas Hip-Hop di luar UIN seperti Indobeatbox, “Tiap malam minggu nongkrong bareng mereka di Taman Menteng,” tutur pria berkacamata ini. Begitu pula dengan Bintang, pemuda berambut plontos ini untuk kedua kalinya ditemui INSTITUT, Kamis sore (23/6). Sama seperti kamis-kamis sore sebelumnya ketika para anggota SHC berkumpul

rutin di pelataran SC. Bintang yang kala itu mengenakan kaos berwarna hitam sudah siap dengan lirik-lirik lagunya yang akan diperdengarkan melalui speaker yang sengaja ia bawa di dalam tas. “Wah, sayang laptopnya enggak ada,” ujarnya sedikit kecewa. Namun acara kala itu tetap berjalan dengan memperdengarkan sebuah lagu yang baru saja selesai ia garap lewat sebuah handphone. “Ini baru rilis kemarin, barengan rapper asal Aceh,” celotehnya bersemangat. Ketika disinggung mengenai gaya bermusik mereka yang terkadang dinilai berbeda dari yang lain, Saddam hanya menegaskan bahwa semua itu kembali lagi pada persepsi pribadi masingmasing. “Sama saja kalau biasa dengar dangdut terus disetelin musik rock pasti juga terdengar aneh di telinga,” ujar pemuda yang menyukai break dance ini. Lalu sambil sedikit tersenyum ia kembali meneruskan pembicaraan, “Tapi yang jelas buat saya Hip-Hop itu simpel, asik, dan masuk kemana saja.”

Komunitas...

Hip-Hopku, Lifestyleku Aditya Putri

FOTO:INSTITUT

Salah satu penampilan break dance SHC, Saddam di depan kelas FST

Tak pernah terpikirkan tentang uang. Dalam ruang kita pun ikut bersulang. Saling share about anything, everything. Ketika marah it’s all just kidding. Itulah sepenggal lirik yang dibawakan oleh Syahid Hip-Hop

Community (SHC) saat didatangi INSTITUT, Kamis (16/11). Sore itu, matahari masih menunjukkan keangkuhannya pada kami ketika berbincang-bincang di pelataran Aula Serbaguna SC (Student Centre). Sebagian mahasiswa terlihat letih karena UAS yang baru mereka hadapi, dan sebagian lain mulai beringsut ke rumahnya masing-masing. Namun keenerjikan masih terlihat jelas menggelayuti tiga anggota SHC. Muhammad Bintang Agassi, N. Fitroni Mandela, dan Saddam Muammar. Energi positif berhasil mereka tularkan ke sekeliling dengan alunan nada rap yang diiringi beatboxing. Bintang yang terlihat paling bersemangat diantara keti ganya mulai menjelaskan tentang komunitas yang mereka bentuk pada tanggal 7 April 2011 ini, “Awalnya kita (anggota SHC, red) ketemu secara enggak sengaja. Dikenalin teman, dan makin bertambahlah orang yang mempunyai kesukaan di bidang yang sama” “Lalu kita berinisiatif untuk membentuk sebuah komunitas yang dapat menampung, menyalurkan, dan menjawab keingin-

tahuan seputar dunia Hip-Hop khususnya untuk mahasiswa UIN sendiri,” ujarnya dengan tempo berbicara yang cepat. Sebagai suatu lifestyle, HipHop tidak seperti aliran musik lain yang hanya monoton dan berfokus pada satu genre. Namun, menurut raper yang satu ini HipHop terdiri dari lima elemen yang mendasarinya. Selain beatboxing dan rapping yang lebih dikenal sebagai aliran musik yang mempunyai melodi dan tempo cepat dalam pembawaannya, masih ada disc jocking, breakdancing, dan graffiti sebagai suatu seni menulis indah ala HipHop. Ada satu motto yang mereka junjung untuk membangun SHC adalah mengutamakan kebersamaan dan solidaritas, “Kita enggak mau berbicara masalah uang, sejauh mana kita berkreatifitas itulah yang penting.” Desingan knalpot motor masih terus berlalu lalang ketika kami membicarakan Hip-Hop sebagai suatu lifestyle yang lebih mengiblat ke barat dibadingkan dengan jenis musik lain seperti nasyid, pop, dan marawis yang sudah terlebih dulu akrab di telinga mahasiswa


12

Sosok

Edisi XIV/Juni 2011

Cerpen...

Memperkenalkan Islam Plural di California Makhruzi Rahman “Kita tidak bisa mengatakan agama lain itu jelek dan mengatakan agama yang kita peluk itu sempurna, pemahaman yang kita trima terhadap agama lain itu cenderung subjektif. Seharusnya kita memahami agama mereka sebagaimana mereka melaksanakan ritual agamanya,” ungkapan tersebut disampaikan oleh Muhamad Ali kepada mahasiswanya pada perkuliahan studi agama di California.

Baca!

Dok. Pribadi

Ditemui di kediamannya di bilangan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan (24/06). Ali menggunakan kaos Guess merah muda dan sarung yang terkesan sederhana sebagai ciri khas orang Indonesia. Ia menceritakan bagaimana mendapat jabatan sebagai asisten profesor di University Of California, Riverside, USA. “Saya mendaftar menjadi asisten profesor di universitas itu. Kemudian dipanggil untuk wawancara oleh pihak universitas disana. Nggak nyangka juga,” ujarnya sambil tersenyum. Ia mengajar di jurusan, studi agama, khususnya bagian Asia Tenggara. Mengajar di lingkungan akademis Amerika merupakan sebuah tantangan. Karena pertama kalinya Ali mengajar di Amerika yang terdiri dari berbagai agama, ras, dan budaya. Dia membandingkan antara orang yang muslim dengan nonmuslim saat mengajar. Orang muslim cenderung sudah tahu dan dalam belajar ia tidak serius. Berbeda dengan non-muslim yang sama sekali belum tahu tentang Islam, karena mereka memiliki motivasi yang kuat untuk mengetahui apa Islam itu. Selama mengajar di Amerika Ali merasakan sering terjadi perdebatan mengenai Islam diantara mahasiswanya. Ada muslim yang menghargai non-muslim dan sebaliknya ada non-muslim yang menghargai Islam. Seperti halnya dengan agama Islam yang dianggap masyarakat barat dengan stigma negatif. Begitu juga masyarakat timur dalam menyikapi Yahudi. Masyarakat timur merasa tahu tentang agama Yahudi. Padahal belum mengenal agama tersebut lebih dalam. Menurut ulama salafi, Yahudi yang benar

itu seperti di dalam Alquran, yaitu pada masa nabi. Setelah itu terjadi korupsi, distorsi, dan lain sebagainya. seolah olah umat yahudi pada masa setelah nabi muhammmad itu sama. Sehingga dimanapun dan sampai kapanpun kalau dia seorang Yahudi pasti sama, dengan stigma negatif. Selain mengajar, Ali juga melakukan penelitian. Dari hasil penelitian itu Ali telah menelurkan beberapa buku seperti, Mengapa Membumikan Kemajemukan dan Kebebasan Beragama di Indonesia. Ia lebih mengkaji Islam di kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Menurutnya di Indonesia banyak hal yang sangat menarik, misalnya ketika ia meneliti tentang Islam saat masa kolonialisme. Kolonialisme tidak selalu bersifat destruktif terhadap islam. “Karena itu saya bisa dianggap tidak nasionalis,” ujarnya sambil tertawa. Tapi dalam perspektif historis, kolonialisme memberikan iklim organisasi yang memungkinkan islam itu tumbuh subur dan berkembang. Bersamaan dengan konflik agama yang terjadi belakangan ini. Di tahun ini ia siap meluncurkan buku tentang pluralisme agama di Indonesia. Karena seringnya terjadi konflik antar agama di Indonesia, menurutnya kita sulit untuk menerima perbedaan. Masyarakat cenderung melihat perbedaan sebagai alat ukur apakah seseorang itu layak diterima di lingkungannya atau tidak. Itu yang membuat orang sulit menerima perbedaan kayakinan. Walaupun konflik antara Islam dengan agama lain sering terjadi, sebenarnya ajaran islam itu inklusif dan menghargai agama-agama lain. “Al-Quran itu yang paling inklusif karena di dalamnya membahas beberapa agama, jika dibandingkan dengan kitab suci agama lain yang hanya membahas dalam konteks agama itu saja,” tuturnya. Semester ini ia mengajar di Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah dan dalam waktu dekat ini akan kembali lagi ke Amerika. “Apa yang saya dapat di Indonesia akan saya transfer ke Amerika, begitu pula sebaliknya.” tuturnya.


Tekno

Edisi XIV/Juni 2011

13

Peluang Pada Industri Smartphone

Kenaikan pengguna ponsel di Indonesia terbilang sangat cepat. Jumlah pengguna ponsel di Indonesia hingga Juni 2010 diperkirakan mencapai 180 juta pelanggan, atau 80 persen dari total penduduk Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa ponsel bukan lagi barang mewah dan bahkan kini menjadi bagian kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam berkomunikasi.

Berkembangnya industri smartphone beberapa tahun belakangan ini membuka peluang besar bagi para developer aplikasi berbasis smartphone untuk mendapatkan penghasilan yang besar. Salah satu teknologi operating system smartphone yang kini sedang booming ialah Android. Android yang merupakan operating system berbasis smartphone memiliki jum-

Resensi Film..

Judul Fim Genre Dirilis Pemain

Sanctum Minye Cave adalah sebuah Gua bawah laut Esa’ala Cave yang terletak di Papua Nowa Gwinea. Gua ini menyimpan keindahan yang luar biasa hebatnya. Bayangkan, sebuah gua vertikal dengan lubang hampir sempurna bulat, dengan diameter 350 m, dan Kedalaman sinkhole 400-510 m. Ruang terbesar di gua ini adalah Tuke chamber - salah satu ruang gua terbesar di dunia. Ini adalah 240 m panjang, 200 m dan lebar 180 m tinggi. Daerah Lantai ruangan ini adalah 48.000 m², volume 6.240.000 mÂł. Gua ini memiliki sambungan langsung menuju pantai. Keindahannya itulah yang

lah pengguna terbesar di dunia dalam market share smartphone dan diprediksi jumlah ini akan terus bertambah dalam beberapa tahun ke depan. Selain itu, teknologi ini pun berlisensi open source atau tidak berbayar. Hal inilah yang memicu banyak perusahaan ponsel menjadikan Android sebagai operating system mereka karena praktis mereka tidak

menginspirasi James Cameron, sang Eksekutif Produser, untuk mengabadikan keajaiban Minye Cave kedalam sebuah film, yang berjudul Sanctum. James Cameron selalu sukses mencetak film-film box office dan menyabet penghargaan Oscar lewat film Titanic dan Avatar, Terminator, True Lies, serta sebuah film fiksi sukses berjudul Alien. Pria asal Kanada ini kemudian menunjuk Alister Grierson untuk menyutradai film ini. Sanctum adalah sebuah film yang bercerita tentang ekspedisi gua bawah laut yang dilakukan oleh Frank McGuire (Richard Roxburgh) bersama timnya.

Frank adalah seorang yang sangat berpengalaman dalam bidang Cave Diving. Hasratnya menjelajahi Sanctum adalah untuk menemukan sambungan jalan dari gua menuju pantai. Ketegangan dimulai ketika Frank berebut tabung oksigen bersama temannya Judes (Allison Cratchley) saat mereka memulai ekspedisi Cave Diving untuk menemukan pantai. Judes kemudian menemui ajalnya, karena Frank tidak memberikan tabung oksigennya. Ketegangan berikutnya, adalah ketika di tengah perjalanan, Frank dan Timnya dihadang Badai besar, hingga mereka tertahan dalam

mengeluarkan biaya lisensi untuk operating system tersebut. Selain itu, Android merupakan peluang besar untuk para developer aplikasi berbasis mobile mengingat umur Android yang masih muda tapi sudah berkembang sedemikian pesat. Oleh karena, itu Saya dan dua orang teman saya mengambil keputusan untuk menciptakan sebuah aplikasi berbasis mobile yang berjalan pada platform Android. Aplikasi tersebut Kami beri nama Imotrans (Integrated Mobile Tranportation Information System based on Social Media). Imotrans merupakan aplikasi yang akan membantu anda menemukan informasi angkutan transportasi secara cepat, tepat dan akurat. Imotrans sangat bergantung pada teknologi internet, data informasi yang didapatkan pada ponsel 100% didapatkan atas bantuan teknologi internet. Untuk dapat menggunakan aplikasi ini, Anda tidak membutuhkan internet dengan kecepatan tinggi, dalam membuat aplikasi ini kami memikirkan pula faktor kecepatan internet yang ada di indonesia. Jadi, walaupun pada tingkat kecepatan rendah, misalnya: teknologi GPRS, Imotrans tetap masih bisa beroperasi dengan baik. Imotrans memberikan berbagai kemudahan informasi bagi penggunanya. Berbagai informasi, seperti: informasi

angkutan kota, bus, taxi, busway, dan kereta api. Semua informasi tersebut dapat pengguna dapatkan dalam satu aplikasi, yang bernama Imotrans, di manapun dan kapan pun selama terdapat koneksi internet. Pengguna juga dapat berbagi informasi mengenai angkutan transportasi dalam bentuk komentar maupun tips. Komentar dan tips tersebut juga kami tampilkan di website sehingga pengguna website dapat melihat komentar dan pengguna dari website. Kemudian data ini juga kami berikan kepada pengiklan agar mereka dapat memiliki feedback yang berguna untuk evaluasi kinerja perusahaan. Aplikasi yang kami kembangkan, sejauh ini Alhamdulillah telah berhasil menjadi juara III System Design Competition di ITB 2011 dan pada sisi bisnisnya aplikasi ini berhasil masuk finalis online entrepreneur award CIMB NIAGA 2011. Itulah peluang dan tantangan pada industri smartphone, yang saya jelaskan barusan ialah hanya sekelumit dari beribu-ribu peluang yang ada. Mari kita manfaatkan sebaik mungkin peluang yang ada sehingga menghasilkan produk yang baik. Abdullah Abdullah0813@live.com

:Sanctum : Thriller : 4 Februari 2011 : Richard Roxburgh, Rhys Wake field, Alice Parkin son, Daniel Wyllie, Loan Gruffudd

gua dan sulit untuk keluar. Kondisi semakin memburuk ketika Frank harus menghadapi satu-persatu kematian temannya akibat tak mampu bertahan hidup. Diakhir cerita, Frank menemui kematiannya akibat dihunus tumbuhan beracun ketika berkelahi dengan Carl (Ioan Gruffudd) yang kesal kepada Frank atas kematian kekasihnya, Victoria (Alice Parkinson). Setelah kematian Frank, Perjalanan dilanjutkan oleh , Josh (Rhys Wakefield),yang merupakan anak kandung Frank. Josh kemudian berhasil menemukan titik temu lautan yang menjadi ambisi ia dan ayahnya, Frank.

Film ini terinspirasi dari kisah nyata tentang Andrew Wright yang sempat terjebak di Esa’ala Cave salama 2 hari bersama 14 orang lain. Film ini terasa menegangkan, sedih, haru, dan menantang. Grierson mengadaptasi kisah tersebut tanpa memberikan tambahan hal lain, sehingga setiap sekuelnya selalu memompa adrenalin penonton agar terus menikmati alur cerita nya hingga akhir. Sampai sekarang, film ini masih diputar di bioskop-bioskop terjauh dari Ciputat, seperti di Paris Van Java (Bandung), Grand Indonesia, Pasific Place, Mall of Indonesia, Teras Kota, dan Central Park. (ULI)


Wisata Kampus

14

Edisi XIV/Juni 2011

Bali Qui: Santapan Etnis yang Tak Pasaran Noor Rahma Yulia FOTO:IBNU&ULI/INSTITUT

M

elepas lelah di sore hari memang tak mudah. Aktivitas ngantor, sekolah, sampai kuliah terkadang menguras tenaga hingga tak sisa. Jika sudah demikian, tentunya kita akan dibayangi pada santap malam yang tak biasa.

Memang tidak salah jika seorang Karim menorah ide membuka tempat makan di sekitar kawasan Ciputat. Ini dia tempat makan yang dimaksud tak biasa. Dari mulai sekilas mata memandang, lalu menapakan kaki, sampai menyantap masakannya, Anda akan dibuat terkesan oleh performance tempat makan yang bergaya etnik Bali. Baik Musik, makanan, desain interior, aksesoris, hingga nama tempat dirancang sepadan tema pulau dewata. Bali Qui, yang berarti Bali Kuno adalah tempat makan yang sudah dirintis Karim sejak tahun 2004. “Sebenarnya pusatnya ada di jalan Haji Narawiya, di sini adalah cabangnya,” ujar Karim di selasela istirahatnya. Ragam dan gaya hidup Jakarta yang serba modern terkadang membuat jenuh orang. Untuk mengatasi hal tersebut, Karim sengaja membuat konsep lesehan

yang dipadankan dengan cahaya lilin remang, serta tampilan unsur etnis Bali, supaya tidak terkesan pasaran, “Kalau orang kebanyakan kan hanya sekedar buka, kalau saya biar enggak formil harus ada unsur etniknya,” katanya Walaupun tampilan Bali Qui ini terlihat cukup mewah, namun harga makanannya ternyata murah. Tak heran jika pengunjung yang datang berasal dari semua kalangan, baik pelajar, mahasiswa, dan keluarga “Disini itu yang datang berasal dari semua kalangan, kalau hari libur baru banyak keluarga,” tutur pria kelahiran Purwokerto ini. Pelayanan yang diberikan pun sangat memuaskan. Kali pertama datang, Anda akan langsung disapa ramah. Makanan yang disantap saat itu adalah Ayam bakar Bumbu Bali. Dari rasanya, lidah kita bisa langsung mendeteksi adanya keterlibatan sereh, kunyit

dan cabe dalam masakan ini. Kendatipun tidak bisa menggambarkan detail rasa lainnya seperti yang dilakukan Bondan Winarno, namun kesimpulan akan makanannya adalah sama, “Maknyusss!” “Ini makanannya sudah saya modifikasi, kalau saya ambil dari Bali langsung, khawatirnya orang tidak suka, karena bumbunya terlalu berani,” kata Karim sambil tersenyum Oleh karena itu, Bali Qui tidak melulu menyajikan makanan khas Bali. Anda juga dapat menyantap makanan khas barat, seperti Pizza, Burger, dan Pasta. Harga makanan yang ditawarkan sangat terjangkau, kisaran 15.000-25.000 Tertarik? Silahkan sambangi Bali Qui di Jalan Pahlawan No 9 A Ciputat, Tangerang.

Kata Ahli...

Jaga Daya Tahan Tubuhmu dengan Madu! INTITUTERS, ternyata masih banyak dari kita yang belum memahami arti penting sehat, betapa indahnya sehat, betapa bahagia nya, dan betapa menariknya hidup sehat itu. Apalagi bagi anda yang sangat aktif dan menyenangi kegiatan luar, tentunya mengerti kesehatan dan menjaga nya adalah wajib hukumnya. Nahh, saya akan berbagi tips dari para pakar kesehatan dunia tentang zat dan makanan yang dapat membuat tubuh kita bugar, dan selalu prima. Zat ini tidak sulit didapat, bahkan kita bisa menemukannya di swalayan atau toko-toko terdekat. Namun kerap kali kita meng-

abaikan keberadaannya karena memang dirasa tidak penting. Zat itu tak lain adalah Madu. Madu memiliki banyak jenisnya. Dan setiap jenis memiliki khasiat masing-masing. Hal ini bukan sekedar iklan promosi produk madu, melainkan memang sudah termaktub dalam ayat Al-Quran, “Dan Tuhanmu mewahyukan (mengilhamkan) kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukitbukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia (peternakan lebah). Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam

warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. [QS. An-Nahl: 68-69] Madu juga memiliki keistimewaan dibandingkan zat pemanis lainnya. Salah satu keunggulan madu dibanding pemanis lain adalah dapat langsung dikonsumsi setelah diambil dari sarangnya tanpa melalui proses pengolahan terlebih dulu. Hal ini dimungkinkan karena kandungan gula sederhana yang terdapat di dalamnya, yaitu glukosa dan fruktosa dengan kadar yang cukup tinggi. Berbeda dengan gula tebu yang harus diolah sebelum dikonsumsi.

Sekilas tentang madu Hypocrates, ahli ilmu fisika membiasakan diri makan madu secara teratur yang menyebabkan dia dapat mencapai usia 107 tahun, demikian juga halnya Aristoteles, bapak dari “Natural Science” beranggapan bahwa madu memiliki sifat yang unik yang dapat meningkatkan kesehatan manusia dan memperpanjang usia, dalam arti dalam usia tua masih mempunyai stamina yang kuat dan gangguan penyakit sangat jarang dijumpai. Demikian juga Ibnu sina (Avicenna), ilmuwan yang tersohor itu menganjurkan kita mengkonsumsi madu, karena dapat menjaga kekuatan sehingga masih mampu bekerja pada usia tua (senja). Dia juga menganjurkan agar manusia yang telah berusia 45 tahun sebaiknya mengkonsumsi madu secara teratur. Semakin tinggi tingkat teknologi suatu negara, semakin tinggi kesadaran akan arti madu dalam menu masyarakat sehari-hari. Mereka semakin mendambakan lebih banyak mengkonsumsi “natural foods”. Madu buan saja termasuk kategori “natural foods”, tetapi juga dalam “natural health foods”. Dari berbagai negara yang paling gemar mengkonsumsi madu adalah masyarakat Jerman Barat dan Swiss. Dua negara tersebut negara paling rewel terhadap persyaratan keamanan makanan bagi rakyatnya. Mereka rata-rata mengkonsumsi madu 800 gram 1,4 kg/orang/tahun. Amerika Serikat dan Inggris termasuk lebih rendah konsumsi madunya, yaitu

berturut-turut rata-rata 400 – 500 gram dan 250 – 350 gram/orang/ tahun. Berbeda dengan gula biasa yang terdapat dalam permen atau gula yang dapat merusak gigi (carries) yang diakibatkan oleh tumbuhnya bakteri pembusuk yang disebut bakteri asam laktat, madu mengandung antibiotika. Meskipun pH-nya rendah, tetapi karena kandungan mineralnya tinggi mempunyai potensi bersifat basa, dan karenanya dapat berfungsi sebagai desinfeksi terhadap rongga mulut. Nenek moyang kita sering menganjurkan berkumur madu encer (± 15%) untuk menyembuhkan radang rongga mulut. Dari hasil berbagai penelitian menyatakan bahwa daya antibakteri madu tidak ada sangkut pautnya dengan kadar gula tinggi maupun rendahnya kadar air, tetapi oleh adanya suatu senyawa sejenis lysozyme yang memiliki daya antibakteri. Senyawa tersebut lebih popular dengan nama ‘inhibine’. Bakteri gram negatif lebih peka terhadap ‘inhibine’ daripada gram positif. Inhibine sangat peka terhadap panas. Pada suhu 600C keaktifan inhibine dalam madu hilang hanya dalam waktu 15 menit. Sudah tahukan betapa madu sangat bermanfaat bagi kesehatan harian? Segera perbaiki pola hidup Anda, jaga daya tahan tubuh kita dengan mengkonsumsinya setiap hari. Honey give the best for ur body (Uli)


Wawancara

Edisi XIV/Juni 2011

15

Pengetahuan, Perlu Didiskusikan Melalui Kajian Aprilia Hariani Dewasa ini, semangat mahasiswa untuk mengikuti forum kajian terlihat tak bergairah, berbeda dengan semangat mahasiswa beberapa dekade dulu. Benarkah saat ini mahasiswa tak bergairah untuk aktif di forum kajian? Bagaimana komentar aktivis tahun ‘98 menanggapi hal tersebut? Berikut ini petikan wawancara Aprilia Hariani, reporter INSTITUT (17/07) di kediaman Andi Syafrani, Komp. Grand Puri Laras Blok G-50 Legoso. Alumni sekaligus aktivis UIN Jakarta. Di era tahun 90-an saat Anda menjadi seorang mahasiswa, bagaimana minat mahasiswa terhadap forum kajian/ forum forum diskusi pada saat itu ? Pada era itu saya rasakan betul mahasiswa sangat bergairah. Di Ciputat sendiri saya rasakan pada tahun 1996-1998 gairah intelektualitas sangat tinggi sekali. Pada saat itu saya pun bergabung juga di forum kajian Formaci, ada juga forum kajian / diskusi lainnya, Pyramida Cyrcle dan lain lain. Apa yang menyebabkan sangat bergairahnya minat mahasiswa terhadap forum kajian saat itu ? Dulu itu jika kita terlibat dalam forum kajian seakan ada image tesendiri. Kita itu seperti elit mahasiswa, karena ada judge sebagai mahasiswa pemikir yang dituntut untuk membaca buku dan otamatis membawa buku tebal-tebal gitu. Saya tidak ingin membandingkan mahasiswa sekarang itu seperti apa, karena memang situasinya pun berbeda. Entah mahasiswa sekarang tertanam image apa ketika aktif dikajian, tapi di zaman saya elit mahasiswa adalah judge untuk mahasiswa yang aktif di forum kajian atau diskusi. Apa forum kajian saat itu terus

mengalami peningkatan peminat? Forum kajian atau diskusi setahu saya sempat mengalami tingkat puncak peminat itu sekitar kira kira tahun 1999-2000, yaitu 60 orang lebih setiap kajian. Minat tinggi tersebut karena tema-tema yang diangkat sangat aktual, serta pembicaranya pula merupakan tokoh-tokoh ternama. Dan mungkin penurunan terjadi setelah reformasi sampai sekarang. Menurut Anda, apa yang menyebabkan menurunnya gairah mahasiswa saat ini terhadap forum kajian atau diskusi ? Mungkin karena teknologi, sehingga itu merupakan salah satu faktor penurunan minat. Tapi tetap saja diskusi langsung saya kira penting, yang namanya dialog itu perlu lawan untuk mendialogkan ide atau gagasan kita sebagai mahasiswa. Kalau dari internet atau buku saja yang kita jadikan patokan meningkatkan intelektualitas, ya enggak berkembang, informasi kan harus didiskusikan agar ada dialektika untuk memecahkan masalah. Seberapa pentingkah kajian atau diskusi di tengah arus teknologi sekarang ini? Saya rasa sangat penting, mahasiswa adalah masa mencari dan terus mencari informasi. Jika masih fase mencari saya rasa harus ada sosok atau lawan diskusi, sehingga kita menemukan fase berdialektika dengan apa yang kita pelajari atau di akses . Bagaimana cara untuk membangkitkan gairah minat mengikuti forum kajian atau diskusi pada zaman dulu terhadap generasi saat ini ? Kita realisasikan saja, seseorang yang memiliki ide desain sebuah

cangkir akan sangat dibayar tinggi dibandingkan dengan pekerja yang membuat cangkir tersebut. Di sini kita dapat menarik benang merah bahwa, kita sebagai mahasiswa harus membangkitkan sendiri kesadaran. Dengan forum kajian atau diskusi adalah wadah untuk menemukan ide atau gagasan baru yang nantinya akan lebih dihargai tinggi dibanding dengan orang yang hanya menjalankan ilmu atau ide yang sudah ada, karena tidak mengembangkan dengan interaksi. Saya rasa ada cara lain selain mengikti forum kajian, untuk meningkatkan intelektualitas mahasiswa. Salah satunya ya di organisasi lain, baik intra maupun ekstra. Apa pesan Anda untuk mahasiswa saat ini dalam menyeimbangkan pola fikir tersebut, hal ini juga untuk membangkitkan minat mahasiswa dalam forum kajian atau diskusi ? Pertama, Saya tegaskan tantangan saat ini sangat besar untuk bertindak global, nah konteks global yang sangat kompetitif , kreativitas menjadi salah satu nilai. kita bisa kreatif harus memiliki pula pengetahuan yang banyak pula. Setelah itu pengetahuan harus dapat kita interaksikan melalui berbagai diskusi. Tentunya sekarang jangan terbelenggu dalam model pembelajaran didalam kampus saja. Kedua, saya tekankan kembali fikiran atau ide itu harus didialogkan melalui berbagai kajian. Karena memang interaksi adalah wadah kita meningkatkan nilai plus pengetahuan kita lebih meningkat, Dengan aktif di forum kajian ataupun organisasi lainnya, kita akan tahu siapa diri kita, jati diri diri kita sebenarnya. Saya percaya untuk mencapai kesuksesan ilmu hanya berperan 40 %, selebihnya ialah interaksi.

Sambungan..Forum Kajian dan Diskusi, masihkah?. Rawan indoktrinasi paham radikal Terkait urgensi forum kajian dan diskusi, Zaki Mubarok, Sekprodi Ilmu Politik dan Peneliti Radikalisme di kampus UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan banyak mahasiswa yang belum mempunyai background yang cukup, mereka kebanyakan anak semester awal yang disasar, sehingga belum memiliki pemikiran matang. Mereka ini yang disalahgunakan, diberikan materi-materi yang sangat tidak kondusif. “Kelompok Islam radikal menggunakan instrumen kebijakan akademik untuk mencari pengikut, jadi memang dalam demokrasi seperti itu, permasalahannya mereka mengajarkan hal yang menentang konstitusi,” katanya saat ditemui oleh IN-

STITUT usai mengisi seminar ‘Membongkar Jaringan Teroris di Kampus’ di Student Center(22/6). Dirinya menghimbau UIN harus bisa masuk ke dalam berbagai diskusi maupun kajian forum seperti itu agar dapat mendeteksi paham-paham dan ajaran-ajaran apa yang berkembang dalam forum diskusi tersebut. “UIN juga harus mensosialisasikan kegiatan yang berwawasan kebangsaan, toleran dan pluralis kepada para mahasiswanya. Hal terburuk pada pemahaman radikal yang diajarkan pada forum kajian maupun diskusi tersebut bisa menjerumuskan ke dalam kasus terorisme,” tambahnya. Konteks mahasiswa ideal lebih berpeluang di masa kini

Bagi Taufik Rigo, alumni IAIN dan mantan aktifis ‘98, dirinya merasa kurang beruntung dari pada mahasiswa pasca reformasi. Menurutnya, era tersebut jauh lebih hedonis, dan relatif tergiur karena mall dan plaza baru berkembang. Tekanan tirani begitu represif terhadap segala kegiatan mahasiswa yang dinilai menentang rezim kala itu tidak memungkinkan adanya idealisme. Jika ada yang menentang rezim saat itu, harus siap berhadapan dengan operasi intelijen dan lebih berat resikonya. “Adik-adik (mahasiswa kini, red) lebih beruntung, jadi masalah idealisme adalah pilihan,” tuturnya kepada INSTITUT (15/6).

Ralat Tabloid Edisi XIII/Mei 2011 Halaman 2, Kolom 2 Komite Mahasiswa Universitas (KMU) seharusnya Kongres Mahasiswa Universitas (KMU)


Edisi XIV/Juni 2011

Tustel

16

Susur malam Fly Over Ciputat Foto: Ibnu Affan & Iswahyudi

Saat malam hari dapat ditemukan suatu hal yang unik dan menarik, selain itu terdapat suatu kepuasan tersendiri jika momen tersebut bisa diabadikan. Berikut ini beberapa foto pilihan redaksi LPM INSTITUT saat menyusuri tiap sudut jalan di sekitar pasar Ciputat (25/6), dengan tema “Susur Malam Fly Over Ciputat”.

Kirim foto Anda ke lpm.institut@yahoo.com untuk dipamerkan di rubrik Tustel, foto dalam format JPEG beserta narasinya. Tema tustel untuk tabloid selanjutnya adalah ‘Air’.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.