Edisi XV/Oktober 2011 - diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com
•Laporan Utama
•Laporan Khusus
Tunggu Draf, Masa Kepengurusan Diperpanjang
Memahami Media Melalui Semiotika
UIN Jakarta Tetap di Kemenag
Halaman
2
Halaman
•Sosok
•Pustaka
3
Eko Khotib
Halaman
7
Mencoba Memanusiakan Manusia
Halaman
12
FOTO: RAHMAT/INSTITUT
EDITORIAL Menunggu Bola
Mahasiswa Belum Siap Pertahankan SG Kiky Achmad Rizqi & Aditia Purnomo Perjuangan dalam mempertahankan Student Government (SG) yang selama ini dilakukan mahasiswa kini tak tampak lagi. Justru sebagian dari mereka, kini menyatakan tak yakin bahkan merasa putus asa dapat mempertahankan SG. Ketidakyakinan tersebut disebabkan ketidaksolidan mahasiswa dalam menghadapi persoalan lembaga kemahasiswaan. Ketidakyakinan tersebut diungkapkan Pantden Mohammad Noor, Ketua Kongres Mahasiswa Universitas (KMU). Menurutnya, tidak adanya tekanan yang dilakukan mahasiswa dalam menindak-
lanjuti permasalahan SG yang menjadi faktor utama ketidakyakinan dirinya untuk mempertahankan SG. “Kalau pressure group-nya (kelompok penekan, red) tidak ada, ya jangan harap SG bakalan gol,” tambahnya (5/10). Ia melanjutkan, kalau dikalangan mahasiswanya tidak ada dukungan dalam mempertahankan SG maka semua yang dilakukan akan sia-sia. Senada dengan Pantden, Fadli Ferryansyah, Anggota Tim Perumus dari Fraksi Partai Progresif, menyatakan tidak yakin draft tersebut akan disetujui, karena melihat kurangnya audiensi yang dilakukan setelah selesainya workshop. Ia menambahkan, jika draf lembaga
kemahasiswaan tidak disetujui, maka mahasiswa yang aktif di lembaga kemahasiswaan akan berkurang karena tidak adanya ruang untuk beraktifitas. Menanggapi hal tersebut, Ahmad Tabrizi, Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU), menya-yangkan sikap mahasiwa yang sulit untuk diajak berkonsolidasi untuk menyelesaikan masalah tersebut. “Kalau kita mau maju, ayo kita maju bareng. Kalaupun kita demo, ayo kita demo bareng. Namun, kenyataannya ketika diajak kumpul, yang datang hanya beberapa orang saja,” tegasnya. Bersambung ke halaman 15 kol 2
SEMUA DIAM. Semua menunggu keputusan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis), tentang Draft Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK). Setelah berjibaku dengan pra-workshop, workshop, sampai perumusan Undang-undang Student Government (SG) yang baru. Para elit mahasiswa tiba-tiba lelah dengan semuanya. Mereka memilih diam, terserah apapun nanti yang terjadi. Tak ada kelanjutan dalam memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Tinggal tunggu saja, apakah bolanya akan jatuh ke kaki? Atau malah masuk ke gawang sendiri? Ketika secara tidak langsung rektorat mem-pressure lembaga kemahasiswaan dengan adanya kebijakan yang aneh-aneh, alih-alih para elit mahasiswa dan jajarannya terlihat berjalan sendiri-sendiri. Tak ada kolektifitas demi kepentingan mahasiswa. Ternyata benar, mereka akan peduli hanya untuk kepentingan mereka sendiri. Jika begitu, persetan dengan bola itu masuk ke gawang sendiri. Ingin belajar dewasa, tapi tidak mau bekerja sama? Sisi lain, ada yang optimis, ada pula yang pesimis. Seharusnya dua kata itu tidak perlu ada. Karena memang cuma bisa harap-harap cemas, tak ada upaya penyelesaian sampai akhir persoalan carut marut Student Government. Padahal mahasiswa tak mau yang muluk-muluk, sekedar ada ruang aktivitas di luar perkuliahan, dengan diberikan kebebasan untuk berkarya, yang biasanya rektorat memandang sebelah mata. Apa para elit mahasiswa bodoh, sampai-sampai tak tahu hal sederhana itu? Banyak persoalan rumit tentang nasib Student Government di kampus ini. Salah satunya tentang ditunggunya draf dari Diktis itu. Bukankah dalam POK sendiri, tiap kampus bebas menentukan lembaga kemahasiswaan apapun? Jadi untuk apa kita menunggu yang tak jelas juntrungannya? Ketika ditelusuri pun, di Kementrian Agama (Kemenag) tidak ada surat-surat tentang draf Pedoman Lembaga Kemahasiswaan. Ada apa ini? Apa masih mau diam dengan keadaan seperti itu? Mungkin, kita harus kena batunya dahulu, baru kemudian kita bangun dan sadar bahwa kita telah ditimpuk. Lucu sekali teman-teman para elit mahasiswa ini. Yang jelas, ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bersama. Tinggal kita lebih suka mana, mau menyelesaikan sendiri-sendiri, atau bersama-sama? Tenang saja, tidak ketahuan dosen. Tidak berlebihan, pada dasarnya kita sedang belajar membangun sebuah budaya demokrasi mahasiswa. Kita tak bisa terus disuapi bak anak bayi baru lahir. Kita sudah bisa jalan sendiri. Bukan congkak, tapi maksud baiknya adalah menimbulkan kemandirian yang dewasa. Tanpa arogansi. Jika melihat fakta di lapangan, belajar kita baru sebatas mengeja, belum bisa membaca. Apakah kita masih ingin diam dan menunggu bola?
LAPORAN UTAMA
2
Tunggu Draf, Masa Kepengurusan Diperpanjang
Edisi XV/Oktober 2011
Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta SK. Rektor No.23 Th. 1984 Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006 Pemimpin Umum: Khalisotussurur | Sekretaris: Egi Fajar Nur Ali | Bendahara Umum:
Makhruzi Rahman & Rifki Sulviar
Rina Dwihana Fitriani | Pemimpin Redaksi: Muhammad Fanshoby | Redaktur Pelaksana:
Surat edaran nomor Un.01/R/PP.03.1/628/2011 tentang kepengurusan BEMFA
Rektorat mengeluarkan surat edaran untuk memperpanjang masa jabatan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMFA), periode 20102011, yang seharusnya sudah habis. Surat edaran tersebut dikeluarkan karena belum ditetapkannya mekanisme baru untuk pemilihan pengurus lembaga kemahasiswaan. Pada surat edaran tersebut tertulis, masa jabatan pengurus BEMFA diperpanjang hingga Desember 2011 sambil menunggu ditetapkannya Pedoman Lembaga Kemahasiswaan UIN yang baru. Sabir Laluhu, Presiden BEM Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDKOM), menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan isi surat edaran nomor Un.01/R/ PP.03.1/628/2011 perihal Pengurus BEMFA. Menurutnya, secara de facto masa kepengurusan BEMFA sudah berakhir sejak Mei 2011 lalu, satu periode masa kepengurusan itu satu tahun semenjak dia dilantik. Dengan tegas dia menambahkan, “Apa hak rektorat memperpanjang itu? Bukan dia
yang memilih kita. Tapi kalau mahasiswa yang meminta, why not?” Sosialisasi perpanjangan masa jabatan BEMFA tidak merata. Hal tersebut diketahui ketika INSTITUT menemui Presiden BEMFA Sains dan Teknologi (FST) Evan Fernandez, (14/10). Dia mengungkapkan, “Saya sih sudah dengar ada isu tentang perpanjangan masa jabatan, tapi saya belum tahu kalau ada suratnya.” Meskipun belum mengetahui dengan jelas mengenai hal tersebut, Evan mengatakan bahwa dia kurang setuju. Karena menurutnya sistem kepengurusan akan kacau dan akan banyak orang yang mempertanyakan statusnya yang masih menjabat sebagai presiden BEMFA. Namun, karena masih banyak program yang belum terealisasikan, dia mengakui bahwa di sisi lain dia juga menyetujui perpanjangan masa jabatannya. “Saya pribadi akan tetap menjalankan tugas saya secara moral sebagai pertanggungjawaban saya,”
tuturnya.
Umar Mukhtar | Artistik : Dika Irawan | Pem-
Nasib draf Student Government (SG) Penyebab adanya surat edaran tentang perpanjangan masa kepengurusan BEMFA tidak lepas dari belum jelasnya nasib Pedoman Lembaga Kemahasiswaan UIN. Hal tersebut dikarenakan belum adanya kepastian dari Kementerian Agama (Kemenag) mengenai pembahasan tentang draf SG yang telah dirumuskan di UIN Jakarta. Terkait dengan draf SG, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Bidang Kemahasiswaan Ja’far Sanusi yang ditemui INSTITUT di kantornya mengatakan, pihaknya sedang menunggu Surat Keputusan Direktorat Jenderal (SK Dirjen) mengenai Pedoman Lembaga Kemahasiswaan yang baru. Ja’far menjelaskan bahwa Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) meminta masukanmasukan dari perguruan-perguruan tinggi yang lain melalui diskusi dan pembicaraan langsung. Kemudian dibuatlah draf yang sesuai dengan hasil diskusi dan pembicaraan yang didapatkan. “Yang diharapkan bukan keputusan Dirjen Pendis melainkan keputusan Menteri Agama (Menag) langsung,” tutur Ja’far. Draf yang disahkan Menag akan menjadi lebih kuat karena sama dengan keputusan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tentang organisasi mahasiswa, tambah Ja’far, (11/10). Kemudian ketika INSTITUT menelusuri kejelasan draf yang diajukan oleh UIN Jakarta ke Kementerian Agama (Kemenag), ditemukan bahwa draf yang dimaksudkan tidak ada di bagian Tata Usaha (TU). “Tidak ada surat yang masuk dari UIN mengenai draf seperti yang anda maksud, (draft pedoman lembaga kemahasiswaan, red),” tutur Restu, salah seorang staf TU Direktorat Pendidikan Tinggi Islam (Diktis). Dia menambahkan, surat yang masuk dari UIN Jakarta hanya surat-surat permohonan beasiswa, (13/10). Lalu, INSTITUT mencoba menelusuri lebih lanjut ke Direktur Diktis yang baru dilantik, Dede Rosyada, dengan via telepon tidak mendapatkan jawaban dikarenakan nomor kontak yang didapatkan INSTITUT tidak aktif. Pembantu Dekan (Pudek) Kemahasiswaan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Raden Yaniah Wardani optimis bahwa draf tersebut akan disahkan pada bulan Desember 2011. Namun di lain pihak, Ketua Kongres Mahasiswa UIN (KMU) Pantden M. Noor mengungkapkan, “Saya nggak yakin draf itu (pedoman lembaga kemahasiswaan, red) nggak akan goal,” (9/10).
Sirkulasi: Ibnu Affan | Marketing & Promosi:
impin Perusahaan: Noor Rahma Yulia | Iklan & Fajar Ismail | Pemimpin Litbang: Hilman Fauzi | Penelitian & Riset: Abdul Kharis | Pengembangan SDM: Iswahyudi.
Salam Redaksi Assalamualaikum Wr. Wb Salam INSTITUT Seiring waktu berjalan, kami terus menjumpai Anda para pembaca setia kami, melalui Tabloid INSTITUT ini. Tentu intensitas ini bukan hanya dari jerih payah kami, tapi justru kepercayaan Andalah yang membuat kami terus ada sampai kapan pun. Adanya kami karena adanya kampus ini, jiwa kami selalu terbang ke langit mencari puing-puing awan yang mulai menghitam. Selama pers mahasiswa hidup, awan itu akan terus diputihkan oleh jiwa dan raga. Yang pasti, kami ada karena kegelisahan, bukan gelisah karena cinta yang selalu dibuat kecil manusia. Atau juga bukan karena hal yang menguntungkan diri semata, tapi kami mengejar kedamaian bersama. Di sinilah kedamaian begitu berguna. Ketika manusia merasakan ketidakdamaian, mereka mencari yang berbeda dan berlawanan. Dalam proses itulah, kami mengambil posisi di antara keduanya. Lalu bertanya kenapa dan selalu kenapa. Rasa ingin tahu terus bergulir dalam diri kami, dan tak tahu sampai mana rasa ini ada batasnya. Mungkin hanya ajal yang berperan sebagai garis batasnya. Melalui tabloid INSTITUT edisi XV ini pula, kami memberikan buah dari perasaan tersebut. Terkait dengan berita-berita seputar kampus kita dan sekitarnya, disajikan ragam info dari berbagai nuansa. Pada halaman depan, berhubungan dengan tindakan mahasiswa terhadap sistem kelembagaan yang masih tidak jelas seperti sekarang. Memang, sistem kelembagaan ini membuat gamang beberapa pihak. Akhirnya, dengan edisi ini bukan berarti kami tidak memiliki kekurangan. Karenanya, kami selalu membuka ruang kritik dan saran dari berbagai pihak. Kami hanya manusia yang sedang berusaha menjalankan roda ini. Selayaknya membaca ini dengan teman diskusi lainnya dan tentunya kopi atau minuman jenis lainnya. Terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb Koordinatur Liputan: Ema Fitriyani Reporter: Aam Mariyamah, Achmad Faruq A, Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Komaruddin, Rifki Sulviar, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Dika, Rizqi Editor: Oby, Umar, Lilis, Hilman, Haris , Egi, Fajar, Rina Ilustrator: Omen, Trisna Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085-697-091-557 Web: www.lpminstitut.com Email: lpminstitut@yahoo.com.
Setiap reporter INSTITUT dibekali Tanda Pengenal serta tidak dibenarkan memberikan Insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.
LAPORAN KHUSUS
Edisi XV/Oktober 2011
3
UIN Jakarta Ingin Tetap di Kemenag Jaffry Prabu Prakoso
Namun, pada 2011 ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) komisi X sedang merencanakan perpindahan seluruh UIN yang ada di Indonesia, ke bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas). Tapi, pihak UIN Jakarta berkeinginan tetap di bawah naungan Kemenag. Keinginan tersebut diucapkan oleh Pembantu Rektor (Purek) I bagian akademik Matsna. Alasannya terkait dengan historis UIN Jakarta. “UIN bisa ada karena sebelumnya berbentuk institut yang berada di bawah Depag,” tuturnya (10/10). Selain soal sejarah, juga karena melihat sedikitnya universitas Islam yang berstatus negeri. Masih menurut Matsna, UIN Jakarta juga ingin membantu siswa yang
kurang mampu karena kuliah di UIN Jakarta termasuk murah. Matsna mengatakan, yang membedakan UIN dengan universitas lain adalah pemahaman tentang agama. Matsna membandingkan Fakultas Kedokteran UIN dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI). “Moral pendidikan agama kedokteran UIN Jakarta bisa diadu dengan kedokteran UI, itu yang menjadi nilai lebih dari UIN Jakarta,” ujarnya. Namun berbagai pernyataan di atas dibantah oleh Ahmad Danial, selaku staf ahli wakil ketua komisi X DPR RI, yang juga alumni IAIN JAkarta. Menurutnya, setelah IAIN Jakarta berubah menjadi UIN Jakarta, mahasiswa tidak memerdulikan sejarah IAIN. Ia mengatakan, mahasiswa UIN Jakarta sekarang yang mengenakan jilbab, pakaiannya seperti tak berjilbab. “Jadi sekarang kita nggak bisa lagi melihat sejarah IAIN Jakarta,” tegasnya (11/10). Dengan berpindahnya UIN ke Kemendiknas, itu tidak akan menghilangkan pendidikan tentang keagamaan. “Sebenarnya itu bukan alasan yang tepat,” tambah Danial.
Danial yang merupakan staf Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti), sebenarnya menginginkan kemudahan untuk UIN sendiri. Hal tersebut karena banyak keuntungan yang didapat setelah di bawah naungan Kemendiknas. “Keuangan yang didapat juga lebih besar,” ungkapnya (12/10). Hal tersebut dikarenakan keuangan yang diberikan pemer-
intah untuk Kemendiknas khusus untuk pendidikan saja. Namun, berbeda dengan Kemenag, uang tersebut dibagikan lagi ke berbagai bagian. Itulah yang menyebabkan uang pendidikan dari Kemendiknas lebih besar dari Kemenag. Selain keuangan yang lebih besar, prosedur untuk mendirikan jurusan umum lebih mudah. UIN yang masih di bawah Kemenag, harus mendapatkan persetujuan dulu dari Depag, kemudian diberi-
FOTO: JAFFRY/INSTITUT
Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta telah resmi menjadi sebuah universitas beberapa tahun silam. Sebelum menjadi sebuah universitas, kampus ini dikenal dengan sebutan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan status kedudukannya di bawah Kementrian Agama (Kemenag) sampai sekarang.
Moh. Matsna pembantu rektor 1 bidang akademik
kan Kemendiknas, lalu ke Kemenag lagi. “Jadi kita ingin memutus prosedur itu, sehingga langsung mengajukan saja ke Kemendiknas,” tukas Danial. Danial mengakui saat terjadi perpindahan dari Kemenag ke Kemendiknas, akan terjadi sedikit perubahan yang terjadi di UIN. Seperti status kepegawaian yang masih di Depag. Tapi menurutnya itu adalah masalah teknis, dan hal tersebut dapat diselesaikan kurang dari dua tahun. “Pemerintah sudah biasa mengurusi hal tersebut,” paparnya. Matsna pun mengakui, meski UIN menolak untuk pindah ke Kemendiknas, tapi jika RUU telah disahkan, maka UIN harus mengikuti RUU tersebut. “Hanya saja kan di Kemendiknas sendiri tidak ada orang yang ahli dalam pendidikan agama,” tukas Matsna. Ia khawatir, karena pembinaan fakultas-fakultas agama yang ada di UIN belum dipahami betul oleh Kemendiknas, maka UIN seharusnya berada di bawah Kemenag. “Anggota DPR tidak paham persoalan seperti ini, makanya membuat RUU seperti itu,” jelasnya.
Kelas Internasional Kurang Maksimal Aprilia Hariani Yurizka Nur Rahmah menilai, kelas internasional memang sangat perlu menyosialisasikan progamprogam yang ada pada kelas internasional agar mahasiswa tidak salah penafsiran dalam memahami progam-progam tersebut Selain itu, kekecewaan mengenai kelas internasional datang pula dari mahasiswi jurusan Manajemen kelas internasional, Vera Suciati. Mahasiswi ini mengaku, fasilitas yang diberikan untuk mahasiswa internasional hampir sama dengan mahasiswa reguler. ”Pembedanya hanya bahasa pengantar aja, bahasa Inggris. Selebihnya sama saja kayak mahasiswa reguler. Padahal bayaran kita itu lebih tinggi beberapa kali lipat dengan mahasiswa reguler,” tuturnya. Menanggapi hal tersebut, Ria Hari Gusmita selaku koordinator teknis program internasional FST menuturkan, pihak fakultas telah berupaya memberikan fasilitas yang sesuai untuk mahasiswa kelas internasional. “Dalam hal progam, kami hanya memfasilitasi kerjasama dengan universitas luar negeri, seperti yang sudah kita lakukan dengan International Islamic University of Malaysia (IIUM). Untuk masalah finansial, itu sepenuhnya ditanggung oleh mahasiswa,” tuturnya. Friane Aurora, koordinator teknis kelas internasional FISIP menuturkan, pihak fakultas mera-
FOTO: ULAN/INSTITUT
Kinerja program kelas internasional di beberapa fakultas dinilai kurang maksimal. Hal ini bertolak belakang dengan isi SK Rektor Nomor Un.01/R/HK.005/199/2011 mengenai Pedoman Penyelenggaraan Kelas Internasional UIN Jakarta, yang bertujuan mempercepat internasionalisasi program tersebut. Di UIN Jakarta, terdapat tiga fakultas yang memiliki kelas internasional, yaitu Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Fakutas Ilmu Sosial Politik (FISIP), dan Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Menurut Dimas Seto Pujionto, mahasiswa jurusan Teknik Informatika (TI) kelas internasional, pihak penyelenggara Kelas internasional harus lebih detil merencanakan semua aspek yang terkait dengan kelas internasional. Hal tersebut dimaksudkan agar mahasiswa kelas internasional merasa terfasilitasi dengan baik. “Semuanya harus terencana dengan jelas. Misalkan, kelas internasional itu ada program double degree, visiting students dan sandwich program. Pihak penyelenggara kelas internasional harus merincikan atau menyosialisasikan juga biaya kuliah di sana, biaya hidup dan lain-lain,” tutur mahasiswa yang beberapa bulan lalu baru selesai mengikuti progam visiting di Universitas Malaysia. Senada dengan Dimas, mahasiswa jurusan Hubungan Internasional (HI) kelas internasional
Salah satu fasilitas ruangan kelas internasional di Fakultas Sains dan Teknologi yang dirasa kurang maksimal
sa tidak pernah menyosialisasikan bahwa progam studi keluar negeri sepenuhnya ditanggung pihak universitas. “Saat orientasi mahasiswa, kami seluruh jajaran dekanat sudah menyosialisasikan mengenai fasilitas, tenaga pengajar, hingga mengenai studi keluar negeri. Mahasiswa entah di mana kupingnya,” jelasnya ketika ditemui INSTITUT di ruangannya (11/10). Menurut Suwito, mantan Pembantu Rektor bidang Pengembangan Lembaga tahun 2007 yang vokal dalam mempertahan-
kan kelas internasional di UIN semasa menjabat, mengatakan, pihak fakultas seharusnya memiliki konsep yang serius dalam hal merancang suatu progam studi ke luar negeri. Mahasiswa pun harus mempersiapkan diri ketika masuk kelas internasional. “Mahasiswa yang ingin masuk kelas internasional harus memiliki TOEFL lebih dari lima ratus. Lalu peran orang tua dalam menyediakan biaya juga perlu. Nah, lebih penting lagi, pihak fakultas perlu memaparkan semua hal, termasuk biaya dan sarana untuk studi ke
luar negeri. Jika demikian, saya yakin UIN nantinya akan mampu menjadi universitas bertaraf internasional,” ujarnya. ”Memang sih banyak mahasiswa yang mengartikan program studi ke luar negeri, berdasarkan beasiswa atau biaya tidak sepenuhnya ditanggung sendiri, untuk itu perlu ada penjelasan lebih tentang itu dari pihak fakultas,” tambahnya.
LAPORAN KHUSUS
4
Edisi XV/Oktober 2011
Status Facebook Menyebabkan Skorsing FOTO: UTAMI BAROROH
Ema Fitriyani
Status facebook yang ditulis Jazima Fajrina alias Ririn Fajrna pada 7 Sempteber 2011 yang menyebabkan dirinya diskorsing semester ini.
Pepatah lama mengatakan bahwa mulutmu adalah harimaumu. Nampaknya kini mengalami pergeseran kata menjadi facebookmu adalah harimaumu. Maraknya tulisan kasar yang dipublikasikan di akun jejaring sosial nampaknya tidak lagi mengherankan. Lantas bagaimana jika perkataan amoral itu dilakukan oleh anak UIN Jakarta yang terkenal Islaminya? Pada 16 Maret 2010 saat hari raya Nyepi berlangsung, umat
Hindu dikagetkan Ibnu Rachal Farhansyah yang menulis “Nyepi sepi sehari kaya (maaf) tai” di laman facebooknya. Nama Ibnu pun mendadak menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO) oleh kepolisian Bali, seperti yang ditulis Ahmad Fuady pada Kompasiana. Pemilik nama Jazima Fajrina pun mendadak menjadi sorotan fakultasnya lantaran menuliskan status kekecewaannya terhadap Kepala Jurusan Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan (Kajur IESP) yang merupakan Pembimbing Akademiknya. Di statusnya, Ririn, begitu panggilan akrabnya, menulis kata umpatan pada Rabu, 7 September lalu. Status Ririn akhirnya sampai ke telinga Utami Baroroh, Sekretaris Jurusan (Sekjur) IESP. “Awalnya orang dari jurusan Manajemen menelpon saya, katanya ada yang menulis status kasar tentang Kajur di facebook oleh pemilik akun bernama Ririn Fajrina,“ lanjutnya (12/10). “Mengkritik boleh saja tetapi tidak dengan kata-kata yang kasar seperti itu, jelas tidak pantas sama sekali,” geram Utami. Akan tetapi, Ririn sendiri mengaku pada saat itu dirinya memang kecewa atas sikap Kajurnya yang sukar ditemui. “Hari Jumat gue datang sekitar pukul 09.00, kata orang jurusannya tunggu sampai pukul 13.00 siang. Tapi ternyata sampai pukul 13.00 bapaknya sudah pulang. Terus Senin dan Selasa gue datang lagi karena batas waktu pengumpulan KRS hanya dari tanggal 5-9 September untuk jurusan IESP, sampai akhirnya Rabu
gue posting status itu,” ungkapnya. Menurut Indoyama, salah satu dosen FEB yang juga merasa pernah dihujat oleh Ririn di facebook me-ngatakan bahwa kalau Ririn mau dihargai oleh orang lain, dia juga harus mau menghargai orang lain dengan ucapannya. “Apalagi ini di lingkungan UIN, kami dari pihak dosen pun mempunyai beban dalam mendidik mahasiswa. Masak anak UIN bicaranya kasar seperti itu sih? Sangat disayangkan,” tandasnya (12/10). Secara moril, Ririn pun mengaku sudah pasrah kalau memang tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan perkuliahan pada semester ini, “Gue memang sudah menerima kalau diskors,” katanya sehabis menyelesaikan surat mediasinya di Kajur IESP. Sementara Ririn menerima sanksi yang dijatuhkan kepadanya, Reksa Ardiansyah, ketua BEM-FEB mengatakan sangat menyayangkan pemutusan sementara perkuliahan Ririn. Pasalnya, menurutnya jika Ririn membicarakan ke BEM terlebih dahulu pasti masih bisa dipertimbangkan sanksi skors tersebut.
“Ini memang kelalaian kita yang terlambat mengetahui kasus ini. Terlebih waktu itu ketua BEMJIESP Syaifullah sudah bertemu ibu Utami sembari menunjukan pasal-pasal mengenai pelanggaran mahasiswa,” ungkapnya (14/10). Tentang pelanggaran yang dilakukan Ririn sebenarnya terdapat dalam BAB V Pasal 9 yakni a. berkata dan/atau berbuat amoral yang bentuk sanksinya terdapat dalam BAB VI Pasal 11 yakni Berkata dan Berbuat Amoral Pelanggaran terhadap ketentuan pasal 9 a dikenakan sanksi berupa teguran secra lisan an/atau tertulis. Terkait pasal tersebut, Indoyama mengatakan apa yang diterima Ririn saat ini (skors, red) menurutnya sudah pantas dalam hal untuk mendidik Ririn. “Terima dan syukuri saja, karena sebenarnya perkataan Ririn itu membawa institusi dan sebenarnya dia bisa saja dilaporkan ke kepolisian terkait pencemaran nama baik, tetapi kampus tidak ingin ia diperkarakan hukumnya,” ucapnya.
Dialihkan ke Reguler, SPP Nonreguler HI Tetap Trisna Wulandari mahasiswa program nonreguler, karena untuk menjadi mahasiswa reguler, mereka harus mengikuti ujian ulang. Selain itu, pihak akademik beralasan, NIM yang mereka miliki masih dalam susunan nonreguler (diawali dengan angka 2) dan bukan dengan susunan seperti mahasiswa reguler (diawali dengan angka 1). Sementara itu, Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Agus Nilmada Azmi mengatakan, nonreguler HI kini telah berstatus reguler, terhitung sejak penerapan jadwal perkuliahan mereka ke pagi. Ia pun mengungkapkan, masalah perpindahan status progam perkuliahan tersebut telah dikomunikasikannya dengan mahasiswa. Dikarenakan mahasiswa yang bekerja hanya beberapa orang, maka yang tidak bisa mengikuti jadwal baru memilih keluar, namun 90% di antaranya menyetujui kebijakan tersebut. Agus menjelaskan, sebenarnya mahasiswa tersebut malah diuntungkan, karena tidak perlu banyak kompetisi untuk masuk ke reguler. Namun, meski secara akademik sudah tercatat sebagai mahasiswa reguler, mereka masih dicatat sebagai mahasiswa nonreguler di bagian keuangan pusat, sehingga jumlah biaya
perkuliahan yang harus mereka bayar tidak dapat disamakan dengan mahasiswa HI reguler lainnya. ”Perihal keuangan, dari FISIP sendiri tidak ada kewenangan untuk mengubah jumlah SPP, itu kewenangan bagian keuangan pusat. Namun prosedurnya kan sulit. Saya saja tidak tahu apakah bisa diubah atau tidak,” ujar Agus. Pembantu Rektor bidang Akademik Muhammad Matsna menambahkan, kesenjangan jumlah SPP yang harus dibayarkan dengan fasilitas yang diterima merupakan ketetapan yang sudah berlaku dari awal. Selain itu, kebijakan mengenai jumlah SPP yang tidak berubah merupakan bentuk dispensasi dari penjadwalan perkuliahan menjadi pagi hari. “Perubahan jadwal kuliah menjadi pagi itu kan agar mempermudah proses pembelajaran,” tukasnya. Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Dede Rosada mengatakan bahwa fakultasnya kini menerapkan kebijakan passing out. Dengan kata lain, program nonreguler yang tengah berlangsung dijalankan sesuai dengan peraturan awal berlakunya hingga angkatan noreguler terakhir ini lulus.
Menurut Muhammad Rokib, mahasiswa nonreguler semester 7 jurusan IPS FITK, dahulu mahasiswa jurusannya pernah dikumpulkan untuk pemberitahuan wacana mengenai pengalihan jadwal ke pagi. Namun, karena di antara mereka banyak yang bekerja, kebijakan tersebut tidak jadi diterapkan. ”Memangnya pihak kampus mau memberi beasiswa (untuk membayar perkuliahan, red)?” ujarnya. Lagi pula, menurut Rokib, kelas yang tersedia tidak mencukupi, sehingga wacana itu tidak mungkin direalisasikan. Senada dengan Rokib, mahasiswa nonreguler semester 7
jurusan Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Vicky Fadillah mengungkapkan, beberapa tahun yang lalu, sempat ada wacana mengenai pemindahan program ke reguler dan pengalihan jadwal ke pagi. Namun, karena terbentur masalah mahasiswa yang bekerja, wacana tersebut tidak jadi direalisasikan. Sama halnya dengan kondisi kelas di FITK, Kepala Sub Bagian Akademik FEB Rahmatullah mengatakan, alasan lain batalnya pemindahan jadwal perkuliahan mahasiswa nonreguler di FEB adalah tidak cukupnya jumlah kelas di fakultas tersebut.
FOTO: ULAN/INSTITUT
Program nonreguler yang dilaksanakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sedikit berbeda dengan yang dilaksanakan fakultasfakultas lainnya. Pasalnya, fakultas ini menerapkan jadwal perkuliahan yang dimulai pagi hari, layaknya program reguler. Menurut Ahmad Sodik, mahasiswa semester 7 jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP, ketika menginjak semester 3 lalu, dirinya dan teman-teman sesama program nonreguler diberitahu bahwa akan dipindahkan ke program reguler, karena jadwal perkuliahannya akan dipindahkan ke pagi. Dengan adanya kebijakan tersebut, banyak mahasiswa nonreguler yang bekerja memilih untuk tidak melanjutkan kuliah. Sodik pun kini tidak bekerja lagi. Namun, ketika meminta pemotongan biaya perkuliahan (yang sedianya berjumlah Rp 2,55 juta ) untuk menjadi setara dengan biaya perkuliahan mahasiswa jurusan HI program reguler (yang berjumlah Rp 1,7 juta) mereka menghadapi birokrasi yang sulit, padahal jadwal perkuliahannya tidak bisa dikembalikan lagi ke malam hari. Pun ketika ditinjau kembali ke pihak fakultas saat mereka sudah memulai perkuliahan pagi, status mereka dikatakan tetap sebagai
Jurusan Hubungan Internasional Program Nonreguler Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang dialihkan ke Reguler.
LAPORAN KHUSUS
Edisi XV/Oktober 2011
5
Parkir Semerawut, Rektorat Janji Bangun Gedung Parkir Seorang wanita berjilbab putih, berbalut jaket merah, menghampiri salah satu sepeda motor yang berada di lapangan parkir Student Center (SC), Senin (10/10). Ia sedikit tertegun melihat posisi motornya diapit dua motor lain. Sempit. Membuat motor milik wanita bernama Witri Amillah ini susah keluar. Ia mencoba mengeluarkan motornya secara perlahan. “Parkirnya berantakan, banyak motor yang keluar dari jalur yang telah ditandai, jadi motor susah keluar deh, padahal sedang buru-buru mau jemput adik. Udah gitu, motor pada lecet- lecet tergores motor lain,” ungkap mahasiswa semester VII Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Jurusan Fisika ini dengan kesal. Kekecewaan pun dirasakan A. Harun Ar Rasyid, mahasiswa FITK yang jarak parkir motornya tak jauh dari Witri. Ia merasa bahwa perlu perluasan lahan perparkiran karena jumlah kendaraan sepeda motor kian banyak. “Jam 8 saja, di depan Tarbiyah udah penuh,” ujarnya. Selain itu, ia berharap agar keamanan dapat ditingkatkan. Alih-alih pernah dua kali ke-
hilangan helm, ia tak mau lagi memarkirkan motor di depan gedung FITK. “Sekarang kalo mau aman, ya helmnya dititipin ke kantin (KOPMA, red),” ujar pemilik Jupiter MX ini sambil memasang sarung tangan. Masalah itu pun dirasakan mahasiswa di kampus II. Seperti Nadidah Zahrani, mahasiswa Psikologi semester V, ia menyebutkan belum ada pengontrolan dalam perparkiran. Sambil menunjuk motor-motor yang diparkir sembarangan. Ia menambahkan, seharusnya pihak perparkiran lebih peduli dengan kondisi perparkiran di kampus II. Rahmat Hidayat, koordinator lapangan UIN Parking mengatakan, pihak parkir perlu kerja sama dengan mahasiswa maupun dengan pihak security. “Kawan-kawan (mahasiswa, red) yang salah kan kalau kita tegor, eh malah galakan dia. Selain itu, kita kekurangan tenaga untuk pengamanan. Makanya, dibutuhkan bantuan security, apalagi di kampus II, butuh pengontrolan dari security karena di sana karyawan UIN Parking sangat minim,” (11/10) paparnya sambil tersenyum. Menanggapi semua keluhan
tersebut, Abdul Shomad, Ketua UIN Parking, menjelaskan bahwa dibanding dengan Dumparking, UIN Parking sudah jauh mengalami perubahan. “Kalau masalah lecet- lecet, susah untuk membuktikannya. Siapa yang buat lecet? Petugas kan tidak berbuat apaapa,” katanya. Menurutnya, perparkiran di UIN Jakarta, sudah tercapai 3 K, yakni Keteraturan yang dibuktikan dengan sudah satu arah. Keindahan parkir sudah ada dan sudah nyaman. Keamanan yang meningkat karena jumlah kehilangan lebih sedikit. Amsal Bakhtiar, Pembantu Rektor II Bidang Adminstrasi pun menambahkan, “Pembangunan gedung parkir sebenarnya bisa terlaksana tahun ini, tapi karena negara punya kebijakan lain, dananya diambil lagi. Dan nggak jadi dibangun. Diusahakan tahun depan. Konsepnya, lapangan sepak bola di belakang Triguna akan dibangun gedung bertingkat dua. Bawahnya untuk arena parkir. Atasnya untuk lapangan sepak bola. Jadi itu, sebagai stadion mini. Kita sedang mengusahakan dana dari APBN.” Amsal belum bisa menjamin
FOTO: AAM/INSTITUT
Aam Maryamah
Kondisi Perparkiran UIN Jakarta, Kamis (13/10)
pembangunan diselesaikan dengan cepat. Mengingat dana yang dikeluarkan besar, 30 milyar. “Mungkin dua tahun baru selesai,” tandasnya. Ia menginginkan setelah dibangun gedung parkir. Tidak ada lagi mahasiswa, dosen, maupun pimpinan yang membawa kendaraan ke dalam kampus. “Semua parkir di luar. Nah, orang-orang jalan kaki ke sini. Supaya di sini
bebas polusi, kan sehat. Kalo bisa ya nanti disiapkan sepeda. Seperti di UI,” tandasnya. Untuk Kampus II, Amsal menerangkan, parkiran akan dilokasikan di depan gedung Psikologi lama. Yang nantinya akan diberi blok-blok di bawah pohon-pohon. Diperkirakan memuat 500 unit motor.
Menyambangi Kawan Persma di Semarang DOK. INSTITUT
Muhammad Umar
Foto bersama LPM INSTITUT dengan Badan Penerbitan Pers Mahasiswa (BP2M) di Universitas Negeri Semarang (23/7).
Siang hari, matahari masih terik, 20 orang anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta, menunggu kereta jurusan Jakarta-Semarang di Stasiun Tanah Abang, Jakarta (22/7). Keberadaan kami disana berniat untuk mengunjungi beberapa Pers Mahasiswa (Persma) di kota Semarang. Perjalanan ini dilakukan terutama untuk anggota baru LPM INSTITUT. Tujuannya agar mereka mengetahui dapur keredaksian
dan keorganisasian dari Persma yang dikunjunginya sebagai pembelajaran. Selain itu, kunjungan ini juga untuk menjalin tali silaturahmi sesama insan Persma. Untuk menuju semarang, kami menggunakan kereta kelas ekonomi Tawang Jaya. Perjalanan dari Jakarta menuju Semarang memakan waktu kurang lebih 12 jam sehingga kami tiba di stasiun Poncol Semarang pada Jumat (23/7) dini hari. Karena hari sudah hampir pagi, kami memutuskan untuk
beristirahat di stasiun. Saat fajar merekah, kami berbenah untuk menuju sekretariat Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang terletak di gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Unnes lantai dua. Dua mobil angkutan umum disewa untuk mengantar kami menuju kecamatan Gunung Pati, kampus Unnes. Sekitar Pukul 09.00, kami tiba di Unnes. Di sana kami disambut dengan hangat oleh beberapa anggota BP2M Unnes. Setelah penyambutan selesai, kita bertukar informasi mengenai keredaksian dan keorganisasian. Mereka pun memaparkan beberapa terbitan BP2M Unnes antara lain yaitu News Letter Express, Tabloid Nuansa, dan Majalah Kompas Mahasiswa. Namun mereka tak mau meyebut jumlah anggaran yang tersedia untuk menerbitkannya. Setelah itu, kami meneruskan perjalanan menuju LPM EDUKASI IAIN Walisongo. Perjalanan memakan waktu lebih dari satu jam, dan kami tiba sekitar pukul dua siang. Lalu disambut secara resmi di sekretariat LPM EDUKASI.
Sesudah penyambutan, mereka lalu menjelaskan bahwa LPM EDUKASI adalah LPM tingkat fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah. Terbitan mereka diantaranya News Letter EDUKASI, Majalah EDUKASI, Jurnal EDUKASI, dan Bulletin Sastra EDUKASI. Kami berdiskusi banyak disana sehingga tak terasa sudah menghabiskan waktu tiga jam, sampai Akhirnya diskusi yang menarik itu disudahi sekitar pukul lima sore. Sehabis magrib, kami berangkat menuju Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT yang juga persma IAIN Walisongo. Perbedaannya yaitu SKM AMANAT merupakan LPM tingkat universitas. Dalam kunjungan ini kami tidak hanya membicarakan mengenai keorganisasian dan keredaksian tetapi juga tentang posisi Persma dalam konteks pers mainstream. Setelah itu mereka menjelaskan beberapa terbitan mereka seperti tabloid AMANAT dan buletin sastra Soeket Teki. Sehabis berbincang dengan anggota SKM AMANAT, kami berpamitan dan kembali ke sekretariat LPM EDUKASI untuk bermalam di sana. Saat pagi tiba, Sabtu (24/7) sekitar pukul 08.00 kami bersiap-siap
untuk melanjutkan perjalanan menuju LPM Manunggal, Universitas Diponegoro, Semarang. Sebelumnya kami memberikan cinderamata kepada kepada LPM EDUKASI dan berpamitan. Pukul 10.00, kami telah sampai di sekretariat LPM Manunggal. Kami sampai satu jam lebih awal dari yang sudah dijanjikan se-hingga kami hanya disambut oleh satu anggota LPM Manunggal. Sambil menunggu anggota LPM Manunggal yang lain, kami beristirahat sejenak di kantor sekretariatnya. Ketika sudah berkumpul, seperti biasa, kami membicarakan hal yang sama yaitu mengenai keredaksian dan keorganisasian. Dalam diskusi itu mereka membeberkan beberapa terbitannya antara lain news letter Joglo post, tabloid Manunggal dan majalah Manunggal. Usai diskusi, kami ditemani beberapa anggota LPM Manunggal melihat karnaval seni budaya karena bersamaan dengan HUT kota semarang. Sampai akhirnya kami pamit pulang setelah menyaksikan karnaval itu. Dan besyukur, kami tiba di kampus UIN Jakarta, minggu (25/7) dini hari.
KAMPUSIANA
6
Edisi XV/Oktober 2011
Meluruskan Isu Hubungan Indonesia-Malaysia Ahmad Faruk FOTO:INSTITUT
NICT, INSTITUT- Seminar Internasional dengan tema ”The Future Of Indonesia-Malaysia Relations and ASEAN”, Kamis (13/10). Yang menghadirkan Drs Hasyim Jalal, Expert on Interntional Law. Syaiful Hadi, Editor In-Chief Berita ANTARA, H,E.Abasador Dato Redzuan Khusairi, Deputy Chairman FPSG dan Prof.Dr BA Hamzah, Dosen University Malaya. Prof. Bahtiar Effendy, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menyambut acara dengan sangat antusias, ia berharap dengan terlaksananya acara seminar yang merupakan seminar lanjutan dari Kuala Lumpur tersebut bisa menghasilkan hubungan antara IndonesiaMalaysia menjadi lebih baik. Dalam seminar tersebut, Hasyim Djalal menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendasari terjadinya kerenggangan hubungan antara Indonesia-Malaysia. Batas dasar laut yang tidak jelas, isu Tenaga Kerja Indonesia (TKI), keragaman budaya yang hampir sama dan faktor ekonomi yang sama-sama berpotensi lebih baik. Ia juga menyarankan, sejak
Ujang Suparman, salah satu pengunjung tengah memerhatikan foto Bung Karno di Galeri Cipta II TIM Jakarta, (19/6)
20 tahun terahir ini kita harus hati-hati dengan isu-isu yang bergelembung, ”Mostly, pandangan kita kurang tepat, makanya di sinilah pentingnya seminar ini,” ungkapnya. Hal ini sependapat dengan Hamzah yang menyatakan ada permainan media terhadap kurang baiknya hubungan Indonesia-Malaysia yang terlalu menggembar-gemborkan isu yang kurang benar.
”Di Malaysia juga banyak terdapat permasalahan-permasalahan kekerasan, pembunuhan dan lain sebagainya, tapi media disana tidak membesar-besarkannya,” ungkapnya. Sehubungan dengan peran media, Saiful Hadi menjelaskan bahwa media itu adalah industri. ”Jika mereka menulis yang biasabiasa saja tidak akan ada yang lihat dan otomatis tidak laku, kita tahu media itu juga diisi oleh
orang-orang yang mencari panggung,” tuturnya. Ia juga menambahkan saat ini media Indonesia sudah menikmati deretan pers yang sangat baik jadi tidak perlu ada kontrol dari pemerintah, yang perlu adalah kontrol oleh masyarakat, ada kode etik dan ada masyarakat memiliki hak untuk mengontrol. Namun, ia juga menjelaskan bahwa wartawan IndonesiaMalaysia mempunyai hubungan yang sangat baik, terbukti pada pertemuan terakhir di Bukit Tinggi beberapa minggu kemarin yang pada intinya mereka membuat kode etik bersama dan yang jelas dengan kondisi apapun media mereka tetap akan terus berjalan. Saiful juga berharap ada semacam juru bicara yang bisa menengahi hubungan antar kedua negara tersebut dan samasama mempunyai kedutaan besar yang berani dan bisa turun langsung ketika ada suatu permasalahan. Sementara itu, Ambasador Dato mengungkapkan pentingnya menumbuhkan sepemahaman antara pemuda-pemudi Indonesia-Malaysia yang menu-
rut pandangannya pemudalah yang nantinya bisa meneruskan hubungan antara kedua negara tersebut. Menanggapi beberapa usul di atas, ia berharap organisasi, NGO, asosiasi dan beberapa instansi yang lain dapat membantu Malaysia lebih baik, dan dari rekomendasi tersebut juga bisa disampaikan langsung kepada pihak kerajaan. Menurut Syaiful Hadi, pihaknya juga terus akan melakukan terobosan baru demi terciptanya hubungan yang baik antara dua negara tersebut, “Kemarin kami mengundang sepuluh pasukan Islam atau beberapa ormas dari Indonesia ke Malaysia mulai dari perwakilan NU, Muhammadiah, HMI, PMII, IMM dan beberapa ormas lainnya untuk dipertemukan dengan pihak Malaysia untuk mengikis kebuntuan politik”. Acara tersebut mendapat respon positif dari Malaysia. Dan, ia sangat berharap hal yang serupa juga bisa dilakukan oleh Malaysia untuk dipertemukan dengan ormas-ormas di Indonesia yang bertujuan demi kesepemahaman antara dua negara.
Bedah Novel “Muhammad: Para Pengeja Hujan” Rahmat Kamaruddin UIN, INSTITUT. “Jika suatu saat nanti dengan buku ini akan timbul perbedaan pendapat, orang akan mencaci maki saya, melempari saya dengan batu, saya akan meyakini bahwa mereka melakukan itu karena mereka mencintai Nabi, dan saya juga menulis buku ini karena hal yang sama,” ujar Tasaro GK, di tengah diskusi bedah novel biografis karyanya yang berlangsung ramai di Aula Student Center (8/10). Pria bernama asli Taufik Saptoto Rohadi ini, selain bercerita tentang sisi kehidupan di Mekkah dan Madinah, juga mengangkat kisah dua imperium yang ada pada saat itu, Romawi dan Persia. “Persia memiliki blue print sangat luar biasa dalam membangun peradaban, dan itu menarik bagi saya, dan saya memilih Persia untuk memunculkan tokoh yang melakukan pencarian sosok Akhir Zaman Terakhir,” terangnya. Alkisah, tokoh utama lelaki bernama Kashva. Kashva diceritakan oleh penulis dengan latar waktu hidup sejaman dengan Nabi Muhammad, semasa hidupnya Kashva melakukan pencarian terhadap sosok Akhir Zaman, Maitreya atau sang Al-Amin yang ternyata telah dikisahkan oleh kitab sucinya. Pria asal desa Gunung Kidul, Yogyakarta, yang juga mantan Warta-
wan tersebut mengatakan buku ini menyuarakan pesan perbedaan dan toleransi, karena di dalam berbagai kitab baik dari agama Hindu, Budha, Kristen, maupun Yahudi terdapat kisah Nabi Muhammad. Dan hal tersebut menjadi benang merah yang sangat menarik dari novel ini sehingga dapat memunculkan sebuah dialog antar agama. Buku novel biografis “Muhammad: Para Pengeja Hujan” adalah novel kedua dari “Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan”. Tasaro menjelaskan bahwa hujan adalah analogi dari wahyu. Para pengeja hujan yang dimaksud pada novel kedua di sini ialah para sahabat yang mencoba memahami wahyu dengan konteks mereka masing-masing, sehingga menimbulkan berbagai perbedaan dan perpecahan. Saat beberapa peserta bertanya tentang kebenaran kisah Muhammad dalam novel tersebut, Tasaro menjawab meskipun ditulis dalam bentuk sebuah novel dan menghadirkan dua tokoh fiktif dari Persia, namun seluruh kisah yang menceritakan Muhammad tetap sesuai dengan fakta sejarah, “Seluruh hal yang berbicara tentang Muhammad dalam buku ini, itu bukan fiktif, tidak ditulis dengan pendekatan fiktif, tidak!” tegasnya.
Rosida Erowati, Dosen Bahasa dan Satra Indonesia FITK, sebagai narasumber dalam acara tersebut berpendapat bahwa novel ini memiliki teknik bertutur orang kedua dengan fokalisasi pada tokoh Nabi Muhammad dan Fathimah, sehingga mengantarkan misi sang penulis pada batas yang penulis inginkan, yaitu menulis kisah Muhammad sebagai wujud kecintaannya pada sang Nabi. Menurut Rosida, novel tersebut sangat terkesan ambisius, karena memasukkan tiga tokoh dan ruang waktu dalam satu cerita, Muhammad, Kasvha dan Atusa atau Astu. Tapi di satu sisi, daya kreatifitas dalam menggunakan diksi terutama pada sisi morfologis telah menjadikan karya Tasaro tersebut lebih berkualitas. Sakti Wibowo, Novelis dan Penulis naskah skenario, sebagai pembicara juga mengatakan tentang banyaknya tokoh dalam karya Tasaro, “Saya kurang suka karena setiap momen itu, pelakunya itu satu RT, pembantunya, tetangga pembantunya dikasih nama semua,“ ujar Sakti sembari melirik, melempar canda ke arah Tasaro, suasana diskusi pun berubah cair oleh ramai suara tawa penonton. Satu hal berbeda dengan pe-
nulisan ini, menurut Sakti, keberaniannya menghadirkan tokoh Kasvha menyebabkan sudut pandang lebih maju dan lengkap dari yang sudah ada sebelumnya, sebab selama ini Muhammad banyak diketahui hanya dari kisah yang dituturkan oleh sahabat Nabi. “Ini semakin memperkaya, keberaniannya menghadirkan sosok
Kasvha akan menambah referensi kita,” ujar Sakti. “Muhammad tampak lebih total, Muhammad tampak lebih dekat dengan orang Indonesia. Buku tentang Muhammad untuk orang Indonesia itu ya buku ini, karena pendekatan kultur dan emosinya Indonesia banget!” imbuhnya semangat.
Penulis, Tasaro GK (bertopi) saat diskusi bedah novel “Muhammad: Para Pengeja Hujan” berlangsung di Aula Student Center (8/10).
RESENSI
Edisi XV/Oktober 2011
7
Memahami Media Melalui Semiotika Umar Mukhtar
Judul Buku Teks Asli Penerjemah Penulis Penerbit Cetakan Tebal ISBN
P
semiotika dan antropologi linguistik, menyajikan pelbagai tipe media masa kini ditinjau dari sudut semiotika melalui buku karangannya ini.
: Pengantar Memahami Semiotika Media : Understanding Media Semiotics (London: Arnold Publisher, 2002) : A. Gunawan Admiranto : Marcel Danesi : Jalasutra, Yogyakarta : I, 2010 : xii + 308 halaman : 978-602-8252-50-8
elbagai tipe media memiliki makna tersendiri yang dibungkus dengan cermat, lalu dibuang ke masyarakat. Bungkusan itu bisa berupa isi dari televisi, media cetak, film, iklan, dan semacamnya. Masyarakat pun jadi lebih mudah memperoleh dan mengakses informasi, serta mendapatkan pengetahuan yang luas. Lalu, apakah kita sadar akan pengaruh informasi
tersebut? Di tengah zaman informatika ini, pelbagai informasi dapat memengaruhi pikiran manusia secara tidak langsung. Pada akhirnya, manusia dapat tereduksi identitasnya. Hal ini pulalah yang menjadi kekhawatiran Marshall McLuhan, bahwa media dapat membangkitkan adanya alienasi pada banyak orang. Karenanya, Marcel Danesi, seorang profesor
Semiotika dan Media Massa Di buku ini penulis memaparkan bahwa dalam teori semiotika, bentuk fisik sebuah representasi, pada umumnya disebut penanda. Lalu, makna yang dibangunnya, disebut petanda. Makna yang berpotensi untuk diambil dari representasi ini dalam sebuah lingkungan budaya tertentu, disebut sebagai sistem penandaan. Dalam proses pembuatan penanda, digunakanlah medium berupa gambar, suara, dan sebagainya untuk menampilkan ulang sesuatu yang diindra, dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik. Proses inilah di mana media berusaha membangun sesuatu (bentuk X) dalam rangka mengalihkannya ke sesuatu yang lain (bentuk Y) baik itu material atau pun konseptual. Dengan kalimat lain, mereka berusaha agar X = Y. Untuk mencapainya, si pembuat bentuk penanda memasukkan konteks historis, sosial, atau segala hal yang terkait dengan pembuatan bentuk ini. Marcel memberikan contoh tentang representasi ini. Seks, secara semiotika, dapat dijadikan
sebagai referen (sesuatu yang dirujuk), karena menjadi hal yang ingin kita rujuk. Referen ini bisa direpresentasikan dalam bentuk yang lain; misal ada yang merepresentasikan seks dengan film-film erotis; ada yang representasinya berupa potret dua orang yang sedang berciuman dengan mesra; atau bisa juga melalui puisi-puisi yang berisi aspek-aspek seks secara vulgar. Dalam memaknai representasi ini, tidak bisa terpatok pada satu makna saja, atau memilah pelbagai makna untuk diberlakukan pada satu kelompok tertentu. Begitu banyak hal lain seperti konvensi sosial, pengalaman komunal, dan faktor kontekstual lainnya yang membatasi pelbagai pilihan makna. Karena, analisis semiotika adalah upaya untuk menggambarkan pelbagai pilihan makna yang tersedia. Semiotika cenderung menggunakan interperetasi untuk memaknai gambaran tertentu (hal.5). Penulis juga menjelaskan tentang tipe-tipe media, mulai dari media cetak, media audio, film, televisi, komputer dan internet, dan iklan. Fokus dari tiap bab ini menjelaskan awal mula kemunculan dan perkembangan dari tiap media tersebut. Dari aspek perkembangan itu, dilihat dari sudut pandang semiotika un-
tuk menguraikan pengaruh-pengaruhnya terhadap tatanan kehidupan masyarakat. Melalui buku ini pula, penulis memaparkan dampak-dampak sosial media dengan disertai contohcontoh kasus di Amerika Utara. Sekaligus menunjukkan bahwa media massa secara langsung bisa memengaruhi perilaku manusia, yang dinamakan ‘Teori jarum suntik’. Sebagai pengantar, buku ini bagus bagi yang ingin memulai mempelajari semiotika secara praktis terkait dengan media. Karena penulis tidak banyak memberikan teori, tapi lebih kepada studi kasus berdasarkan sudut pandang semiotika yang dijelaskan secara ringkas. Meski begitu, buku ini menyajikan perbedaan pandangan beberapa tokoh semiotika seputar pemahamannya terhadap perkembangan media. Hal ini yang terkadang membuat para pembaca pemula bingung untuk memilih mana pandangan yang lebih baik. Tetapi, dalam keadaan demikian penulis mengambil posisi dengan memberikan pandangannya yang menengahi perbedaan tersebut. Bagi yang ingin memahami struktur makna yang disebarkan media ke dalam sistem kehidupan modern sehari-hari, buku ini dapat dijadikan rujukan.
dara. Potongan cerita dalam film Rise of the Planet of the Apes ini, menjadi sebuah pesan kepada umat manusia untuk tidak melakukan eksploitasi terhadap binatang-bi-
natang, dengan memperlakukan seenaknya. Dengan menitikberatkan pada penggambaran pertumbuhan Caesar dari kecil hingga besar.
Perlawanan Sekawanan Kera Rahayu Oktaviani Apa yang terjadi jika ratusan kera berkeliaran di tengah kota, hingga membuat petugas keamanan kerepotan. Tidak sampai disitu, ratusan kera tersebut berusaha sekuat tenaga membuat sebuah revolusi untuk mengambil ahli dunia. Dimana sebelumnya, kera-kera tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak layak seperti diperlakukan kasar oleh umat manusia pada mereka. Mungkin, banyak yang mengira bahwa film Rise of the Planet of the Apes ini merupakan sebuah sekuel dari film Planet of The Apes. Padahal tidak ada kesangkutpautan film ini dengan film sebelumnya. Film arahan Rupert Wyatt ini hanya merupakan reboot dari film Planet of the Apes. Diperankan oleh James Franco, Freida Pinto, John Lithgow, Brian Cox, Tom Felton dan Andy Serkis Kisah ini diawal dari Will Rodman (James Franco), seorang Ilmuan yang menghabiskan lebih dari lima tahun terakhir, untuk mencari obat untuk penyakit Alzheimer (Penyakit pikun berat) yang diderita ayahnya, Charles Rodman (John Lithgow).
Komposisi obat yang Will ciptakan akan diuji coba pada seekor kera. Akhirnya seekor kera yang Will jadikan uji coba membuahkan keberhasilan dan kemajuan. Namun, tanpa diketahui kera tersebut sedang hamil. Setelah melahirkan, insting keibuan kera tersebut menjadi lebih agresif dan protektif kepada anaknya. Saat kera tersebut dilihat perkembangannya oleh peneliti, kera itu marah dan membuat kerusuhan di ruang laboratorium, serta menghancurkan kandang kera yang ada. Dengan terpaksa, untuk mengembalikan keadaan semula, semua kera dibunuh. Kecuali Caesar (Andy Serkis – lewat penggunaan performancecapture technology), kera yang baru saja lahir saat kejadian berlangsung, diselamatkan oleh Will. Tanpa diduga, Ceasar mengalami penurunan genetik dan mengalami peningkatan kecerdasan, sebagai efek dari obat yang pernah diberikan kepada ibunya. Caesar tumbuh bahagia dengan ayah Will, Namun kesenangan itu hanya berlangsung singkat. Saat Caesar berumur enam tahun, ia dipisahkan dari keluarga
Will ke tempat penampungan kera. Disebabkan karena caesar menyerang tetangga Will, saat tetangganya sedang memukuli Charles yang tidak sengaja menabrak mobilnya. Ditempat penampungan itulah, Caesar mendapatkan perlakuan buruk manusia, sehingga menjadikannya depresi dan sedih. Merasa dirinya diperlakukan dengan tidak sewajarnya, Caesar yang mempunyai kecerdasan layaknya manusia berkonspirasi dengan kera lainnya yang juga dikurung dalam penampungan tersebut. Caesar dan para kera lainnya mencoba menyusun kekuatan untuk menggulingkan ras manusia yang dianggapnya sebagai musuh dari kaum kera. maka terjadilah pergolakan besar-besaran yang terjadi di pusat kota. Animasi yang digunakan cukup membuat film ini lebih hidup, ditambah dengan efek suara yang ditimbulkan yang membuat penonton lebih merasa terbawa dalam suasana film tersebut. Tidak hanya itu, penonton dapat mencerna dengan mudah pesan yang diharapkan sutra-
Judul Genre Dirilis
: Rise of the Planet of the Apes : Fiksi Ilmiah : 5 Agustus 2011
Pemain: James Franco, Freida Pinto, John Lith gow, Brian Cox, Tom Felton, Andy Serkis
KOLOM
8
Edisi XV/Oktober 2011
Krisis Kritis (2) Iswah Yudi*
Belum lama ini, saya mendengar kabar bahwa ada mahasiswi UIN Jakarta yang dicutikan mendadak oleh pihak fakultasnya sendiri. Alasannya cukup sederhana, karena si mahasiswi melakukan komplain atas sistem akademik -yang terkadang tidak bisa diakses, terkadang juga masih tetap susah diakses di hari kemudiannya- di sebuah jejaring sosial. Saya sendiri cukup kaget ketika mendengarnya, kok bisa ya mahasiswi itu dicutikan mendadak? Padahal dia hanya mengungkapkan kekesalannya berupa kritik atas kinerja sistem yang memang patut di’kritik’. Kok bisa? Kisah di atas hanya sebagai contoh kecil saja mengenai krisis yang tengah terjadi di kampus kita ini. Kenapa saya menyebutnya sebagai sebuah krisis? Karena memang dalam kurun dua tahun belakangan ini berbagai persoalan silih ganti menerpa kampus. Dari mulai kekisruhan dalam pelaksanaan pemira yang telah berlalu, tidak jelasnya sistem lembaga kemahasiswaan yang sedang dan akan diterapkan, sampai pada persoalan pelaksanaan propesa atau
sekarang menjadi OAK yang bisa dibilang “lucu”, bahkan “aneh”, dan masih banyak lagi yang tak mungkin saya sebut satu persatu di dalam tulisan yang terbatas ini. Berangkat dari sana, terlihat bahwa dewasa ini yang namanya “kritik” itu sangat mahal, karena begitu langka dan begitu besar ongkos yang akan dikeluarkan nantinya. Bila kita membuka mata, hati dan pikiran kita dengan seksama, maka kita akan melihat banyak persoalan yang perlu dikritisi pada kampus ini. Dalam hal ini tentu mahasiswalah yang harus berperan aktif dalam melakukan kritik kepada pemegang kebijakan kampusnya. Tentunya dengan mengkritisi sesuatu dengan objektif dan tiada maksud untuk memperkeruh keadaan, tapi demi mencapai suatu yang baik pada akhirnya. Apa lacur sebuah penerapan kebijakan yang katakanlah masih rabun, lalu kita diam tiada kritik? Saya kira sebuah hal yang lumrah ketika mahasiswa mengkritisi para elit kampusnya. Tak ada yang tabu dalam hal ini, apa lagi untuk dita-
kut i . Jangan sampai mahasiswa menjadi tiada daya, mengikuti arahan yang diberikan tanpa ada satu dua kritikan. Kesannya mahasiswa itu seperti kerbau saja, manut pada si pemegang pecut. Apa mau disebut kerbau? Saya kira tentu tidak ingin. Sebagai mahasiswa yang dituntut mengatur diri dalam segala
hal, selayaknya kondisi ini kita jadikan momen untuk mencoba melakukan pembenahan terhadap kesemerawutan yang terjadi selama ini. Selain itu perlu juga untuk turut aktif dalam menyuarakan berbagai aspirasi, serta aktif mengawasi dan mengkritisi secara masif kebijakan-kebijakan yang diterapkan dalam kampus. Kita perlu tegaskan di sini, bahwa sebuah universitas merupakan bagian dari masyarakat. Sehingga kebijakan-kebijakan sampai persoalan penentuan masa depan universitas tidak hanya berasal dari pihak rektor, lembaga-lembaga pemerintah, dan akademisi. Tetapi juga para mahasiswa, bila perlu sejumlah organisasi masyarakat sipil turut serta. Dari hal itu akan terlihat sebuah upaya demokratisasi kampus, sehingga segala kebijakan yang diputuskan diambil secara demokratis. Tentunya ini demi penentuan masa depan sebuah universitas yang baik. Tentu bukanlah suatu yang mudah demi menciptakan kondisi
yang kondusif dan tertata dengan baik, karena tidak bisa dikesampingkan akan adanya sebuah konflik. Kritik sendiri menunjukkan adanya gejala ke arah sana, tapi tidak semua konflik itu buruk. Tidak terlalu salah juga kita untuk menjalankan sebuah peran, karena kehidupan kampus menuntut kita untuk bergerak lebih dari sekarang. Mengenai kritik sendiri, saya teringat dengan kutipan dari Soe Hok Gie (1942-1969), pemuda yang sangat kritis pada masanya. Semenjak dari bangku sekolah dasar hingga bangku kuliah sangat aktif dalam mengkritisi segala hal yang menurutnya patut untuk dikritisi. Menurutnya, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau.” Selamat mengkritik.
*Mahasiswa dari tegal yang kuliah di UIN Jakarta, dan PSDM LPM INSTITUT
Korupsi Dari Masa ke Masa Egi Nur Fajar Ali* Dalam lintasan sejarah nusantara, praktik korupsi telah berlangsung. Di era kerajaan, para pembesar istana memperkaya dirinya dengan saling menjatuhkan saudaranya untuk memperebutkan kekuasaan. Diikuti tingkah para pejabat bawahannya, yang mematok pungutan liar pada rakyat kecil. Tidak berhenti di situ saja. Di masa pendudukan Belanda, momok korupsi diperlihatkan dengan bangkrutnya VOC, orga-nisasi dagang Belanda yang telah menduduki Indonesia ratusan tahun. Kebangkrutannya tidak lain disebabkan skandal korupsi di antara para pegawainya. Sesudah Indonesia berdaulat dan merdeka, korupsi kian menggila di masa pemerintahan orde baru. Para oknum yang korup memodifikasi dan menginovasi praktik korupsi warisan zaman kerajaan dan penjajah Belanda. Jika di masa kerajaan dan era 50-an, korupsi dilakukan secara individu, di masa orde baru, Suharto telah membuat praktik korupsi sebagai sistem yang sifatnya berjamaah. Pegawai Negeri Sipil (PNS) sengaja diberi gaji kecil dan proyekproyek untuk menambah penghasilan mereka di luar gaji pokok. Akibatnya, selama 32 tahun Suharto berkuasa, dan tidak ada satu pun lembaga pemerintah yang berani menegur. Tak ada maling
yang teriak maling. Sebab mungkin, karena pada dasarnya semua maling. Kekayaan negara telah dikuras habis-habisan oleh Suharto dan kroni-kroninya. Hal terparah sepeninggalan rezim orde baru,
yakni kehancuran moral bangsa, dengan menganggap wajar praktik korupsi yang ada di masyarakat. Beberapa bulan ke belakang saya kehilangan buku tabungan, karena buku itu sangat dibutuhkan, saya melapor ke kantor polisi terdekat.
Di situlah kenyataan dari pelegalan korupsi saya buktikan sendiri. Tanpa basa-basi, seseorang yang kehilangan motor di samping saya menjelaskan, setiap orang yang melapor sebenarnya tidak dikenakan biaya. Tapi untuk memperlancar registrasinya, atau istilahnya uang ketik, kertas dan sebagainya, sepantasnyalah memberi uang. Saya hanya menelan ludah mendengarnya. Wajar saja banyak orang kehilangan kendaraan, tapi tak mau berurusan dengan polisi. Jika melapor, maka akan dua kali lipat kehilangannya. Iklim perkorupsian di Indonesia kian subur karena banyak hal yang mendasari perkembangannya. Di berbagai sendi kehidupan, praktik ini seperti lumrah dilakukan. Dari masalah keterlambatan masuk kerja, tidak antri, uang pelicin, sogok, perjalanan fiktif, mark up harga sampai penggarongan uang negara secara besar-besaran. Saya sedikit pesimis dengan keadaan sekarang ini. Walaupun ada lembaga superbody seperti KPK yang siap menangkap para perampok negara, tapi lembaga ini tidak akan menjangkau korupsi di tingkatan bawah seperti di masyarakat. Akar korupsi tidak lagi berada pada tingkat penguasa saja. melainkan juga merambah ke dalam sendi kehidupan masyarakat.
Akar itu menghujam kuat ke alam bawah sadar setiap orang. Karenanya, tanpa mengedukasi masyarakat, pemberantasan korupsi hanya terkesan seperti mencukur rumput ilalang yang dalam sekejap akan tumbuh kembali. Pada akhirnya, generasi mudalah yang bertanggung jawab memberi pengertian pada masyarakat. Rasanya sudah cukup kita membusungkan dada, mengaku sebagai bangsa yang dikenal dengan budaya luhur, nilai kesopanan, ramah tamah, penuh kekeluargaan, dan entah apalagi. Sebagai orang yang sadar akan dampak yang ditimbulkan korupsi, kita jangan sampai mengikuti arus yang sudah ada, Setiap orang harus punya keberanian untuk menjalankan hidup bersih dari korupsi. Seperti petuah karuhun Sunda “Urang aya di dieu lain palid ku cikih, tapi ku wawanen”. Artinya, kita berada di sini bukan hanyut bersama air kencing, melainkan dengan keberanian. * Mahasiswa Jurusan Manajemen, FEB, dan Sekretaris Umum LPM INSTITUT
OPINI
Edisi XV/Oktober 2011
9
Bang Peka
Stagnanisasi Demokrasi
S
ejak lengsernya Orde Baru pada tahun 1998 terbuka pula kekangan yang selama kurun waktu tiga puluh dua tahun menghantui dan membajak negara bangsa yang kita sebut Indonesia, pemerintahan demokratis biasanya dibangun di atas puing-puing pemerintahan otoriter yang merupakan proes transisi menuju kegerbang konsolidasi demokratisasi. Proses perjalanan negara bangsa dari pemerintahan otoriter ke pemerintahan demokratis tidak semudah membalikkan telapak tangan, lihat saja kejadian di negara bangsa ini, pada tahun 1998 yang merupakan titik tolak dari demokratisasi. Ada beberapa tahap dimana demokratisasi akan berlaju dan menuju kearah yang lebih baik atau mungkin sampai pada apa yang kita angan-anagankan bersama. Samuel P. Hantington dalam bukunya Gelombang Demokrasi Ketiga menyebutkan bahwa perjalanan demokrasi akan mengalami dua tahap, tahap pertama proses transisi demorasi dan tahap kedua konsilidasi demokrasi yakni demokrasi yang diyakini dan dipatuhi sebagai peraturan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Samuel proses transisi demokra-
Moh. Halil*
si diawali dengan runtuhnya pemerintahan otoriter yang diatas puing-puingnya dibangun pemerintahan demokratis, transisi demokrasi merupakan hal yang paling penting yang kritis karena merupakan titik awal dari demokratisasi, walaupun fase tersebut tidak memberikan geransi menuju kearah yang lebih baik. Ketika suatu negara sudah berada pada keadaan transisi demokrasi dan menjalankan prosedur-prosedur baku yakni salah satunya adalah pemilihan umum dan merupakan has dari pemerintahan demokratis, selanjutnya menurut tesis Samue P. Hantington akan berlabuh ke tahap Konsolidasi demokrasi yang akan tercapai ketika suatu prosedur demokratisasi sudah dialami yang kedua kalinya, yakni pemilihan umum lima tahunan seperti di Indonesia. Pemilihan umum di negara bangsa sudah dijalankan sebagai salah satu prosedur demokratisasi bahkan sudah beberapakali dilaksanakan, akan tetapi seolah-olah Konsolidasi Demokrasi yang dibayangkan Samuel P. Hantington bahwa setelah tercapai pemilu yang kedua kalinya maka konsolidasi demokrasi akan tercapai, namu seakan telah terbantahkan oleh demokratisasi
yang dialami negara bangsa, karena fase konsolidasi demokrasi masih terlalu jauh dan bahkan tidak sedikitpun mendekatinya. Stagnanisasi demokrasi yang terus-menerus berkutat pada fase transisi demokrasi yang bahkan cenderung hancur merupakan gambaran bagaimana pembenahan dalam tubuh pemeritahan tidak secara sungguh-sungguh diperbaiki, lihat saja korupsi yang sudah menjalar ke segala lembaga pemerintahan, seperti halnya di tubuh perpajakan yang dibintangi Gayus Tambunan walau mungkin masih banyak GayusGayus yang berkeliaran, bahkan yang menyebut dirinya sebagai Pemberantas korupsi tidak luput dari penyakit tersebut. Reformasi yang terjadi pada tahun 1998 telah berhasil menumabangkan simbol keotoriteran di negara bangsa, namun sakanakan tidak berhasil mengantarkan kearah kesejahteraan yang dibayangkan oleh masyarakat arus bawah, hal ini ditandai pula penyalah gunaan kekuasaan yang sudah menjalar kesegala lini, bahkan seakan-akan sudah biasa menjadi sarapan mentah setiap media masa yang membeberkan kelakuan tidak bermural petinggi-petinggi negara bangsa. Keber-
hasilan demokratisasi selalu diukur dengan bentuk formal saja, demorasi prosedural yakni pemilihan umum lima tahunan yang menjadi tolak ukur demokratisasi seakan-akan berjalan dengan semastinya, walaupun banyak para demagog yang tampil dan seolaholah menyuarakan kepentingan rakyat akan tetapi ada agenda terselebung yakni memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Kiranya salah satu hal paling urgen yang mengancam eksistensi negara bangsa adalah kebobrokan moral yang ditandai dengan korupsi berantai. Salah satu mengapa kelakuan yang kurang terpuji seperti korupsi yang menjangkit pada banyak partai politik saat ini ialah, kecenderungan para wakil rakyat mementingkan diri sendiri ketimbang mendengarkan keluhan rakyat dan menjembatani kebutuhannya, walau pun masih ada segelintir wakil rakyat yang konsisten menyuarakan aspirasi rakyat ketika ikut serta mengambil kebijakan, namun yang tidak kalah penting dan sangat berpotensi mengarah kepada perilaku yang sangat merugikan bangsa (korupsi) ialah Higt kost perjalanan partai politk yang semakin melunjak dan merupakan hal penting yang perlu dibenahi, li-
hat saja ketika seseorang dalam sekop daerah saja mencalonkan bupati atau gubernur sudah memakan biaya milliyaran rupiah untuk menggolkannya, apalagi presiden. Terlepas dari banyak hal yang perlu dibenahi kembali dalam tubuh negara bangsa ini, salah satunya adalah memberantas korupsi sampai keakarnya tampa memandang bulu, seperti konsep medis yang dikemukakan filosof Machiavelli bahwa segala yang mengancam eksistensi negara harus dipotong,walau pun tidak dapat dihapus secara bersih setidaknya diberantas sampai mendekati titik nol demi kelangsungan negara dan perlu sesungguhnya pemerintah memberi batasan biaya kampanya partai politik, sebab ini merupakan salah satu yang paling berpotensi korupsi. Sehingga cita-cita demokrasi akan berjalan mengalir dengan semastinya, dan hal tersebut bukan mustahil tidak terwujud dengan catatan pemerintah baik yang ada di ekskutif atau yang lainnya bersungguhsungguh dalam membenahi negara bangsa kearah yang lebih baik. *Mahasiswa Ilmu Politik, UIN Jakarta
Surat Pembaca...
Sulitnya Mencairkan Dana
P
ada tanggal 19-21 Oktober 2011, Forum Unit Kegiatan Mahasiswa akan menggelar acara “UKM EXPO� acara tersebut bertujuan untuk memperkenalkan UKM-UKM yang ada di kampus ini kepada mahasiswa baru. Karena selama ini, mahasiswa baru belum mengenal apa itu UKM dan apa saja kegiatan UKM. Acara ini juga tidak hanya mengenal UKM saja, seminarseminar yang bertujuan menanamkan jiwa kebangsaan akan ada selama tiga hari berturut-turut. Untuk mensukseskan acara ini yang jelas tidak terlepas dari keuangan. Dalam pencairan dana
kepada retorat, entah kenapa kami merasa disulitkan dengan beriburibu alasan yang tidak jelas dari rektorat, apakah ini bukti kesengajaan bahwa rektorat ingin mematikan kreatifitas mahasiswa? Atau ada proyek dibalik semua itu? Semoga saja tidak. Dan harapan kami dari forum UKM agar rektorat mau mencairkan dana sebagai bentuk dukungan terhadap kegiatan kami mengingat acara tinggal menghitung hari. Rizki Mulia Pradana, Ketua Pelaksana UKM EXPO dan Perwakilan Forum UKM.
Sistem AIS Masih Manual
S
aya ingin mengeluhkan Sistem AIS, yang sudah satu tahun ini digunakan Kampus UIN. Sebenarnya cukup banyak persoalan, apalagi pasca Ujian Akhir Semester (UAS). Mulai dari belum masuknya nilai, SKS, dan sebagainya. Namun ada beberapa menurut saya penting untuk diketahui bagian Sistem Informasi. Pertama, tentang AIS yang masih sering error, apalagi buat yang sekarang, ketika kemaren, masuk semester
ganjil. Kesannya AIS itu masih manual. Jika begitu, buat apa ada sistem online? Kedua, tentang pembayaran SKS, di FST, masa yang ambil SKS lebih sedikit, bayaran sama dengan SKSnya yang banyak. Harap persoalan seperti ini mendapat perhatian bagi yang bertanggung jawab. Terima Kasih. Endang S., Fakultas Sains dan Teknologi, Jurusan Sistem Informasi. Semester V.
Redaksi LPM INSTITUT Menerima: Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, cerpen dan surat pembaca. Opini, cerpen, tekno dan Esai: 3000 karakter. Puisi dan Surat Pembaca 2000 karakter Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email : lpm. institut@yahoo.com
SASTRA
10 Cerpen...
Edisi XV/Oktober 2011
Serupa 9 Bintang Aam Maryamah*
Langit malam ini benar- benar mencuri perhatian. Ada Sembilan titik terang, berkerling genit padaku. Seperti digerakkan sebuah remote control jarak jauh, perlahan titik- titik itu mulai bergerak, bergeser. Masing- masing titik mencari koordinat sudut laiknya rasi bintang. Secercah sinar tiba- tiba menghinggapi mataku, silau. Kuangkat telapak tangan kiriku menghalau hempasan sinar itu. “Sebenarnya apa ini?” keluh hatiku penasaran. Mencoba memahami apa yang terjadi, kubuka kelopak mata dan takjub dengan apa yang terjadi. Kusadari, sinar itu membentuk siluet garis, merangkai sembilan titik menjadi ukiran sebuah bentuk, sebuah nama…. “Hrgggggghhh,,,,,” rutukku. Spontan aku bangkit dari posisi tidur. Mimpi. Detak jantung berpacu dengan kencangnya. Dahiku mulai bercucuran keringat. Kurasakan tanganku dingin, membeku. Perasaan aneh mulai merayap dalam diri. Membakar aliran darah di arteri. Kuluapkan semua kesakitan itu dengan isakan tangis. Perih. Rapuh. Ku harap pagi cepat menjelang. Saat bola mata ini mulai terbuka, ngilu kurasakan di seluruh sendi tubuhku. Rupanya, guncangan mimpi semalam membuatku tertidur dalam posisi bungkuk. Dengan lunglai, kupaksakan bangkit. Ku pandangi diri di cermin. Lingkaran hitam di sekeliling mata dan rona lebam pipi menghiasi wajah yang kini terlihat tak berdaya. “I don’t believe in You!” makiku pada cermin yang tak berdosa. Kurasakan amarah itu muncul lagi. Refleks tanganku bergerak mengambil sebuah gelas, kuhantam penuh emosi ke arah cermin. “praangg!!” cermin tinggal jadi serpihan kaca. Kuabaikan. Kubiarkan dingin air memanjakan tubuhku. Dan mengkikis cerita sendu malam ini. “Persetan semuanya!” mencoba menguatkan hatiku. Kutunjukkan aku tegar. Kuambil kemeja kerjaku. Rapi. Dengan senyum yang dipaksakan ku langkahkan kaki ini meninggalkan kosan
yang telah dua bulan aku tempati di Jakarta. Aku berhenti tepat di depan warung Bi Inang. Wanita pemiliki warung bertubuh tambun itu, sedang sibuk memotong wortel saat kuhampiri. “Sarapan, Ndun?” ucapnya tanpa menoleh kepadaku. “Nda, Bi,” acuhku sambil berlalu. Ku ambil kursi yang masih tersusun rapi di pojok ruangan. Kupilih posisi menghadap ke jalan. Memandang jalanan yang masih sepi. Ada yang menarik. Sembilan lelaki berdiri di seberang jalan. Putih. Bercahaya. Sorot mataku menajam. Sembilan cahaya. Pikirku melayang masuk dimensi malam itu. Aku terperanjat. Bangkit. Dan mundur beberapa langkah. Kurasakan punggungku menyentuh sebuah tubuh. Bi Inang. “Ada apa, Ndun?” tanyanya. Terdiam. Dia melirik ke belakangku untuk melihat apa yang terjadi. “Kamu lihat apa? Astaghfirullah, wajahmu pucet, Ndun?” tangannya meraih pipiku. “Kamu sakit?” aku tetap diam. “Sarapan dulu yuk!” ia menarik tanganku. “Nda, Bi, Ndun mau berangkat kerja. Permisi!” kulepaskan tangan Bi Inang dan pergi. Kutinggalkan Bi Inang yang menatapku dengan cemas. Walau baru dua bulan kenal, Bi Inang sudah seperti ibu kandungku. Bahkan aku merasa, dia lebih baik dari itu. Kupercepat langkah kaki menuju tempat kerja. Lari. Tepat di depan pintu, seorang wanita berkerudung menghampiriku. Menyerahkan selembar brosur berwarna biru. Kuperhatikan setiap kata yang tertulis dalam wujud brosur itu. Mataku terpaku pada sebuah lambang. Perisai biru berbintang sembilan. Bercahaya. Badanku bergetar. Kurobekrobek kertas itu penuh emosi. Tidak, tidak, tidak bisa!. Mustahil. Ingin sekali kumaki wanita itu. Mataku berputar mencarinya. “Apa?” pekikku kaget. Sembilan lelaki bercahaya. Memandangku. Tersenyum. Tiba- tiba dunia gelap. Aku membuka mata. Pusing. Sadar, sudah tak berada di toko.
“Dimana ini?” ujarku serak. “Ndun, wes sadar?” Bi Inang membelai rambutku. “Astaghfirullah, Ndo, ndo, kok bisa pingsan depan toko. Kenapa toh ndo?” masih membelai rambutku. Air mataku pun meledak di pelukan Bi Inang. Kuluapkan semua yang ada dalam otakku. Sakit. “Itu hidayah, Ndun. Bukan hal buruk. Allah SWT tunjukan kuasa-Nya. Piye, masi ra percoyo ?” celoteh Bi Inang sambil menatapku dalam- dalam. “Lah, pikir, sopo sing gawe tampang ayumu iku? Sopo sing gawe lubang irungmu loro? Gayus? Hah, sembrono!!! Pikir Ndun!!” kini nada bicaranya berat, seberat timbunan lemak diperutnya. Tetap membelaiku. Sejak kecil, aku telah dihadapi dengan pergulatan hidup manusia- manusia dewasa. Ayahku yang suka mengaji siang malam, masuk penjara karena menggelapkan dana pembangunan masjid. Ibuku yang selalu hilir mudik dari satu masjid ke masjid lain dalam bentuk pengajian, tiap harinya hanya menggunjing janda muda yang kebetulan tinggal di samping rumah. Itulah agama menurutku. Tak punya fungsi pasti dalam mengatur perilaku manusia. Tak berguna. Nike, sahabatku. Aku tak pernah tahu apa agamanya. Bahkan dia tak pernah melakukan ritualritual keagamaan seperti yang selalu dituntut orang tuaku. Dia baik. Sopan. Jujur. Dan tampan. Itu pula agama menurutku. Tak dibutuhkan. Karena menurutku yang terpenting adalah bagaimana kita berhubungan dengan individu yang lain. Aku ingin seperti dia. Aku pun pengagum karyakarya Nietzsche. Bahkan aku mengadopsi salah satu slogannya sebagai motto hidupku. “Tuhan telah mati”. Aku tak pernah ingin menghadirkan bentuk Tuhan dalam diriku. Menurutku, ada atau tidak adanya Tuhan tak pernah mempengaruhi duniaku. Aku membangun duniaku sendiri. Aku tak butuh Tuhan untuk memuaskan hatiku. Namun, sembilan lelaki itu, serupa sembilan bintang, bercahaya. Mengusik ketenangan hidupku. Kini keberanianku terengguh. Kuresapi celotehan Bi Inong. Diam. Otakku terus kupacu. Benarkah Tuhan ada? Benarkah itu nabi dan para sahabatnya? sengaja menyampaikan pesan padaku agar aku mengakui keberadaan-Nya. Seperti yang dikatakan Bi Inang? Ah, mustahil!!! Tapi,,, “Argggahhhh.” Kurebahkan lagi tubuhku. Lunglai. Nada dering handpondku berbunyi, kuraih, kulihat satu panggilan. Nomor yang yak
tak kukenal. “Ya, Halo?? Siapa?” sapaku lemah. “Assalamualaikum, Ndun!!” terdengar jawaban dari sebrang. Lelaki. “Siapa ya?” tak ku gubris salam itu. Penasaran. “Ini aku, ukhti!! Sahabat kecilmu,” tuturnya membuatku gugup. “Nike???? Kamu kah disana?” tanyaku gagap, tak menyangka ia sahabatku. Sahabatku yang atheis. Mungkinkah dia sudah? Jantungku terasa lemah. Mungkinkah? “Ndun, aku merindukanmu.”ucapnya hangat. Sama hangatnya, seperti dulu, ketika aku pulang berlibur dari rumah kakekku. “Kamu ????” suaraku parau. “Oh, Ndun, maaf aku baru memberimu kabar. Se-
Puisi...
lama ini aku tinggal di pesantren. Ternyata pencarianku selama ini ada hasilnya. Aku menemukan ketenangan dari-Nya, Ndun, bagaimana kabarmu?” “Apa yang kamu temukan, Nike?” jawabku tanpa memperdulikan pertanyaannya. “Ketenangan jiwa, Ndun. Kebahagiaan hakiki.” Mantap ia menjawab. Perih. Tak mampu lagi kubendung air mata ini. “Aku ingin ketenangan itu, Nike.” Ku tahu Nike tersenyum.“ “Kamu sudah mendapatkannya, ukhti. Alhamdulillah.”
*Mahasiswa
Semester V Jurusan Ilmu Perpustakaan, FAH.
Aku dan kau Rizqi Kamil*
Kalau saja kau bukan kau pasti aku sudah aku seperti bintang menerima pantulan cahaya menari-nari di sisi rembulan dan kita, menari dalam kemilau rasa-rasa rasa aku, rasa kamu mungkin waktu yang melemahkan atau yang justru menguatkan Hanya saja suasana waktu yang sulit ditebak sering tercium abstrak karena rasa selalu saja tak tetap membuat tubuh kita terlalu kaku untuk memberontak memberontak terhadap takdir yang sudah sekian abad terlekat akankah kita bisa laksana perisai ? tatapmu sambaran petir membelah bumi dadaku perutku tubuhku sel-sel darahku otakku urat sarafku fikiranku aku ingin kau kau aku ingin ingin aku kau mungkin kau ingin pun aku kini kau tak hanya hisapi jemari tapi mencairkan emosi sudahkah kau ikuti kata hati ? Dan kalau saja kau bukan kau pasti aku sudah aku.
*Anggota Teater Syahid
SENI BUDAYA
Edisi XV/Oktober 2011
11
Asyiknya Jakarta, Asoynya Kampung Metropolitan Aditya Putri macet. Seperti di beberapa lukisannya yang berjudul “Persahabatan” dan “Aku dan Dunia Udara”, penikmat seolah disuguhi gambaran keakraban anak-anak dan masyarakat kota Jakarta yang sudah sangat sulit ditemui sekarang ini. Akidah Gauzillah, salah seorang penikmat yang ditemui INSTITUT (9/10) mengatakan bahwa lukisanlukisan karya Yakub Elka seperti refleksi kehidupannya. “Saya suka lukisan di ruang pertama, mengingatkan masa kecil dulu.” “Namun, ketika menuju ruang kedua, saya melihat mungkin alur hidup dari Yakub sudah mulai kompleks karena lukisannya juga mulai abstrak. Seperti cerminan diri saya sekarang, mulai kompleks memikirkan hidup,” ujarnya terkekeh. Selain menampilkan kehidupan yang jauh dari image Jakarta sekarang ini, beberapa lukisan Yakub juga memperlihatkan sisi aktual yang tetap dipadukan gaya klasik kota Jakarta. Terlihat pada lukisan berjudul “Generasi Megapolitan” dan “Aku dan Dunia Udara II”. Dalam lukisan tersebut, Jakarta sudah mulai terlihat padat. Dengan latar belakang gedung-ge-
FOTO:TYA/INSTITUT
Asoy geboy ngebut di jalanan ibukota. Dipayungi lampu kota di sekitar kita. Sepenggal lirik lagu Naif tadi rupanya sangat menggambarkan keadaan Jakarta yang sumpek, Jakarta yang macet, Jakarta yang kotor, dan kompleks. Namun bagaimana jadinya jika kota metropolitan tadi disulap menjadi sebuah perkampungan yang jauh dari keriuhan dan kepadatan kota? Itulah yang coba dituangkan Yaqub Elka dengan percikan-percikan cat airnya dalam kanvas. Jelang 19 Dari Titik Nol adalah suatu perjalanan dirinya yang berkesenian kurang lebih 19 tahun lamanya. Baginya, pameran tunggal ke-14 ini mempunyai arti yang sangat luas, di mana dirinya melakukan perbandingan luar dalam, keseimbangan kanan-kiri, kontemplasi, dan perenungan untuk melihat sejauh mana ia melangkah dari titik awal. Dalam liukan kuasnya, Yakub mencoba menampilkan sisi lain dari Kota Jakarta, di mana ia mencoba membuat kisah sebuah kota yang nyaman, asri, teduh, dan sepi. Anak-anak bermain hampir di tiap jalan-jalannya yang belum
Seorang pengunjung tengah menikmati lukisan Yakub Elka di Galeri Cipta II (9/10).
dung bertingkat dan pesawat yang berseliweran di sekitar subjek manusia membuat alur cerita dalam lukisan Yakub tetap up to date. Walau begitu, lukisan tadi masih menghadirkan subjek manusia yang harmonis dan riang. Jauh dari segala ke-stres-an yang biasa menghimpit masyarakat kota. Ia mencoba memberi pemahaman bahwa meskipun objek kehidupan sekitar banyak berubah, sebuah subjek harus tetap dinamis dan tidak meninggalkan hakikat diri sebagai mahluk sosial.
Pameran yang diadakan di Galeri Cipta II selama sepuluh hari itu telah menyedot banyak perhatian penikmat seni lukis, khususnya para mahasiswa. “Kita (pengurus Galeri Cipta II, red) mau memfasilitasi pameran ini dengan tujuan memberi wawasan dan pengajaran kepada masyarakat luas,” tutur Bambang Subagiono, pengurus Galeri Cipta II. Menurut pria setengah baya ini, seni lukis harus menjadi sumber pendidikan di masyarakat, karena
seni adalah penyeimbang kehidupan. Terlebih lagi, latar belakang si pelukis adalah seorang dosen yang juga harus mengabdikan ilmunya kepada masyarakat. Dan, tampaknya hal tersebut sukses ditanamkan Yakub lewat lukisan-lukisannya. Terbukti dengan semangat Akidah meneruskan bakat lukisnya setelah melihat pameran. “Saya yakin bisa lebih dari ini. Kelak saya juga akan buat pameran tunggal,” tuturnya dengan mata berbinar.
Komunitas...
Semangat yang diwarisi dari Pejuang Seni Rupa DOK. PRIBADI
Muji Hastuti
“Membela kebenaran dan keadilan kemudian berjuang untuk menyelesaikan revolusi tahun 1945 sampai tuntas”. Itulah visi misi yang diharapkan para pejuang dari komunitas Sanggar Bumi Tarung (SBT). Anggota SBT menyosialisasikan visi misinya melalui lukisanlukisan yang kemudian dipamerkan kepada orang banyak. Dalam hal ini, anggota SBT mengharapkan agar para generasi muda
bisa menjalankan dan mengembangkan semangat mereka untuk membangun negeri ini. Tutur Misbach Tamrin, salah satu anggota SBT. Sejarahnya, Amrus Naltasyalah yang memberikan nama Bumi Tarung. Karena menurut perupa Bumi Tarung tersebut, dunia ini ada dua unsur, yaitu baik dan buruk, penindas dan yang ditindas. Ini sesuai teori revolusioner Bumi Tarung tentang kontradiksi.
Mereka percaya kalau dua unsur itu selalu berlaku untuk saling bertarung, dan akan selalu begitu. Maka dari itu dinamakan Sanggar Bumi Tarung. Komunitas SBT berdiri setelah negara Indonesia merdeka, yaitu sejak tahun 1961 di Yogyakarta. Komunitas ini bergerak dibidang seni dan sastra. Orang-orang yang berkecimpung di komunitas ini biasanya seperti pelukis, perupa, pematung, dan pencukil (orang yang membuat lukisan dengan teknik menyungkil). Sanggar Bumi Tarung Fans Club (SBTFC) juga bagian dari komunitas SBT. SBTFC ini generasi terbaru dari SBT, karena SBT anggotanya sudah lanjut usia, maka bergantilah dan diteruskan kepada generasi muda. Dari SBT ke SBTFC. Sholahuddin Al-Ayyubi, biasa dipanggil Yubi, dia sebagai anggota Sanggar Bumi Tarung Fans Club (SBTFC) senang bisa mengikuti komunitas tersebut. Bagi Yubi semangat orang tua seperi Misbach Tamrin seperti anak muda, sehingga dengan mengikuti SBTFC maka dia bisa mengambil semangatnya.
Tak berbeda halnya dengan Yubi, Saeful Bachri yang saat ini mengikuti SBTFC, ia pun meng-ikuti komunitas ini karena ingin melihat semangat dari anggota SBT. Serta ingin mempelajari semangat yang dilakukan anggota SBT. Kendati demikian, Yubi tak hanya mengambil semangatnya saja, namun ilmunya di bidang rupa, serta lukisan Bumi Tarung yang mempunyai aliran realis, sehingga apa yang dilihat oleh mata itu langsung dituangkan ke dalam lukisan. Selain melukis, pameran lukisan juga salah satu kegiatan yang dilakukan SBT maupun SBTFC. Dan dalam pameran ini mereka menampilkan lukisan yang bertujuan untuk menyosialisasikan visi misi SBT. Tak hanya pameran, SBT juga sudah membuat beberapa buku untuk mengenalkan tentang perjuangan visi misi SBT itu sendiri. Komunitas SBT menerima siapa saja yang ingin masuk kedalamnya, namun tak banyak mahasiswa yang mengikuti komunitas tersebut. “Kurang lebih sepuluh mahasiswa UIN yang
mengikuti komunitas ini, dari kampus I lima orang dan kampus II juga lima orang,” ujar Yubi selaku anggota SBTFC. Dalam hal ini SBT tidak mengadakan pascagenerasi. Selanjutnya, generasi yang ingin mengikuti komunitas ini tidak disebut SBT melainkan SBTFC. SBTFC pun tak harus membawa nama SBT, namun semangatnyalah yang harus dibawa. Ungkap anggota SBT, Misbach Tamrin. Sifat dari komunitas ini sebenarnya untuk memperjuangkan seni kerakyatan, yang menyatakan bahwa revolusi pada tanggal 17 Agustus 1945 masih belum selesai reformasi. Hal itu merupakan sebuah landasan dari sifat komunitas ini. Sesuai dengan bidang seni rupa mereka pun mempunyai motto, “Seni adalah akhlak untuk memenangkan revolusi.” Dikarenakan revolusi belum selesai, mereka pun mewakili bangsa Indonesia di mana mereka mempunyai argumen bahwa negara ini harus diperjuangkan. “Karena revolusi belum selesai,” papar Firdaus Akbar selaku ketua SBTFC sambil tersenyum.
SOSOK
12
Edisi XV/Oktober 2011
Mencoba Memanusiakan Manusia Aditia Purnomo FOTO: ADIT/INSTITUT
Memulai hidup di dunia teater sejak 1995, Achmad Chotib atau yang lebih akrab dengan panggilan Eko Chotib, kini dikenal sebagai salah satu sutradara yang cukup disegani dalam lingkup teater di Jakarta Selatan. Berbagai karya yang telah dipentaskan diberbagai ajang membuat namanya semakin dikenal. Karyanya yang terbaru ialah pementasan “Kapai-kapai” bersama sebuah teater independen, eL-Na’ma, mampu lolos dalam babak regional Jakarta selatan untuk mengikuti Festifal Teater Jakarta tahun ini. FOTO. ADIT/INSTITUT
Melalui sebuah ciri khas religius yang telah melekat dalam setiap karyanya, ia berusaha menampilkan sesuatu yang berbeda dari karya yang sudah pernah ditampilkan teater lain. Baginya, karena setiap orang memiliki ciri khas masingmasing, maka karya yang dihasilkan pun akan berbeda satu sama lainnya. “Tergantung bagaimana pribadi mampu meng-
hadirkan dirinya dalam suatu karya,” ujarnya (12/10) Selain itu, melalui karyanya, ia juga berusaha menyampaikan sebuah pesan kepada masyarakat. Baginya teater adalah sebuah sarana untuk memanusiakan kembali manusia. Melalui karyanya, ia kerap menampilkan hal-hal yang mengingatkan kembali bagaimana manusia berhubungan dengan sesama manusia dan berhubungan dengan Tuhannya. “Menguatkan kembali hablun minallah dan hablun minannas,” tegasnya. Hal tersebutlah yang membuatnya tertarik pada dunia teater. Baginya, melalui teater ia mampu menyadari bahwa manusia itu berbeda dan memiliki ciri khas.dan melalui teaterlah ia mengalami pengalaman yang luar biasa dalam mengenal dirinya sebagai manusia. Oleh karena kecintaannya pada dunia teater, setelah ia menyelesaikan pendidikannya di kampus, ia bersama istri mendirikan sebuah grup teater independen eL-Na’ma. Dedikasi yang begitu tinggi juga ia tunjukan ketika ia memilih untuk
bekerja di sebuah production house. Pada saat itu, ia diharuskan mampu membagi waktu antara pekerjaan dan kecintaannya pada teater. Namun hal tersebut mampu ia lewati dengan memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Baginya, hal tersebut juga dapat dijalani dengan manajemen waktu yang baik. Ia menambahkan, bahwa manusia sebenarnya memiliki potensi yang luar biasa. Namun, potensi tersebut tertutupi oleh rasa malas dan takut yang dimiliki seseorang. Meskipun Eko Chotib telah banyak memiliki pengalaman dalam dunia teater, namun ia masih belum puas dengan apa yang telah ia lakukan. Ia menambahkan, dengan segala keterbatasan dalam setiap pementasan menjadi tantangan bagi seorang sutradara untuk membuatnya menarik. Baginya, ada tiga hal yang mesti diperhatikan dalam setiap pementasan, yaitu baik, bagus, dan benar. “Baik pesan yang disampaikan, bagus estetika, dan benar metode pementasannya,” ucapnya.
Penelitian...
Survei AIS UIN Jakarta
K
ampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta telah memberikan porsi besar terhadap kemajuan teknologi dengan menerapkan Akademik Informasi Sistem (AIS) untuk menunjang tata kelola data dengan baik. Namun selama 2 tahun terakhir sejak diterapkannya AIS, banyak nada yang sumbang yang keluar dari mahasiswa maupun dosen terhadap sistem yang ada. Guna memberikan masukan terhadap sistem yang ada, Litbang LPM INSTITUT melakukan survai kepada seluruh civitas akademika UIN untuk memberikan kritik dan saran terhadap perbai-
Penggunaan AIS bagi dosen
kan AIS kedepannya. Hasil survai yang didapat sebanyak 62% koresponden menyatakan pelayanan AIS sudah cukup baik, 22% baik, dan 16% buruk. Hal ini berbanding terbalik ketika mengukur tingkat kepuasannya, 58% mahasiswa mengatakan kurang puas dengan sistim sekarang, dari kebanyakan mahasiswa mengeluh akses masuk web yang sering error pada waktu pengisian KRS berlangsung, prosedur pengisian yang dipersulit dengan harus tatap muka ke dosen PA dan kajur, perbedaan antara nilai yang diberikan dosen dengan yang
ada di AIS, singkatnya waktu pengisian, dan sering terjadi perubahan jadwal secara sepihak dari kampus. Pergantian SIMPERTI ke AIS bertujuan untuk mengejar ketertinggalan dari kampus lain tapi karena kurangnya sosialisasi dan persiapan yang matang membuat shock culture bagi mahasiswa. Sebanyak 57% mengaku tidak pernah mendapatkan sosialisasi penggunaan AIS secara detail sehingga sebagus apapun sistem yang ada manakala sumberdaya manusianya tidak menguasasi dengan baik akan percuma saja.
Selain mahasiswa survai juga dilakukan kepada dosen dari setiap fakultas, sebesar 76% dosen mengatakan AIS mempermudah bagi dosen untuk melayani mahasiswa, dan hampir seluruh dosen di UIN juga dapat dipastikan mampu mengoprasikan AIS dengan baik. Hanya 16% dosen yang tidak dapat menggunakan AIS dan kebanyakan dari mereka termasuk dosen yang telah lanjut usianya.
Penggunaan AIS bagi mahasiswa
Sumber: Litbang INSTITUT
Survai dilakukan oleh Litbang LPM INSTITUT dengan metode Random sampling acak terhadap 150 mahasiswa dari setiap Fakultas yang disesuaikan dengan jumlah mahasiswa, dan 55 dosen yang ada di fakultas masing2. pertanyaan yang diajukan bersifat tertutup dan terbuka,. Lama waktu penelitian 12-14 Oktober 2011. Estimasi error sebesar 0.01%
Edisi XV/Oktober 2011
WAWANCARA
13
Pressure Group Untuk SG
Bagaimana kelanjutan dari draft workshop lembaga kemahasiswaan yang dikirim ke rektorat? Kalau hasil obrolan kawan-kawan yang lain masih melalui jalur hukum, karena kan kita sama-sama tahu rektorat itu maunya apa. Sudah jelas rektorat tidak menginginkan pemira sementara kita masih berharap mengirim surat ke Departemen Agama (Depag) supaya ditanda tangan, kan lucu. Memang hasil workshop kemarin dibentuk suatu draft dan diserahkan langsung ke rektorat dengan harapan rektor menyerahkan ke Depag. Sempat mendapatkan info sebelum lebaran, draft itu belum diserahkan ke Depag
Sebenarnya, apa yang menjadi inti permasalahan? Masalahnya itu kan tergantung pressure group-nya (kelompok penekan, red), seharusnya kita ada gerakan yang ekstra parlemen jangan melalui jalur hukum. Kalaupun dibilang tidak mungkin, iya, tapi kalaupun dibilang putus asa, iya juga. Kalau tidak ada yang melakukan dorongan dari bawah dan
di luar jalur hukum, omong kosong juga lah semuanya, walaupun mau mengadakan seminar beberapa kali.
FOTO: RIZKY/INSTITUT
Student Government yang dulu menjadi harga mati bagi mahasiswa saat ini telah menjadi slogan kosong yang tak berarti. Draft yang dihasilkan dari workshop lembaga kemahasiswaan, telah dipegang rektorat. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut yang kongkret untuk lembaga kemahasiswaan yang selama ini mengalami Vacum of power. Berikut petikan wawancara Ahmad Rizqi, reporter INSTITUT di Cafe Cangkir dengan Pantden Mohammad Noor, selaku Ketua Kongres Mahasiswa Universitas.
Lalu, bagaimana sistem yang berlaku di lembaga kemahasiswaan sekarang? Kalau ditanya sistem yang berlaku sekarang, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan draft workhop kemarin, itu pun hanya ada beberapa penambahan seperti Lembaga Semi Otonom (LSO).
Bagaimana tindakan selanjutnya? Dalam waktu dekat ini, akan ada sidang kongres KMU didorong untuk evaluasi agenda-agenda yang sudah dilalui misalnya, tentang workshop. Dan workshop ini secara teoritis, SG paling layak untuk dijalankan tinggal menunggu follow up-nya. Terus mengenai budgeting keuangan seperti apa dan menentukan Pemilu Raya (Pemira) juga.
Bagaimana menurut anda, melihat mahasiswa yang tidak ada pergerakannya bahkan diam saja? Selama ini dari pertemuan-pertemuan yang pernah saya jalani, sebagian dari mahasiswa masih menginginkan supaya kita berpikiran positif terhadap jajaran rektorat. Dan secara pribadi saya tidak yakin kalau SG bisa dipertahankan. Tapi ini kan berbicara lembaga, lalu bagaimana cara mengakomodir mahasiswa yang masih berpikiran positif, semuanya masih ingin mempertahankan SG dan semuanya masih ingin mempertahankan kedaulatan. Pantden Mohammad Noor, Kongres Mahasiswa Universitas (KMU)
Baca!
Cp: 087884907104
TEKNO
14
Edisi XV/Oktober 2011
What’s Up dengan WHATSAPP !!! Kukuh Tri Asmoro*
http://t2.gstatic.com
Majunya teknologi abad ini membuat kita selalu merasa dekat dengan orang di sekitar kita. Meskipun keberadaan mereka jauh, berkirim pesan merupakan cara alternatif untuk mendekatkan kita. Aplikasi messenger dewasa ini makin memanjakan kita sebagai pengguna handphone, terutama smartphone. Menjamurnya demam smart-
phone, makin menjadikan lahan subur bagi developer (pengembang, red) untuk saling berlomba memproduksi aplikasi yang user friendly (bersahabat, red) bagi para pengguna gadget pintar satu ini. Saat ini, ada lima aplikasi messenger yang mengadopsi sistem seperti pada BBM (Blackberry Messenger), yaitu Pingchat,
Cnectd, LiveProfil, pMessenger, dan WhatsApp. Namun aplikasi yang sedang booming yaitu Whatsapp. Apa itu Whatsapp? Whatsapp awalnya hanya disediakan untuk Iphone saja. Akan tetapi, sekarang dapat berjalan di Blackberry, Android dan Symbian. Dilihat dari integrasi sistem, fitur, stabilitas system serta pengembangan, Whatsapp masih yang terbaik
saat ini dari lima aplikasi di atas. Berbagai fitur terdapat pada aplikasi Whatsapp. Pertama, “not text only� (tidak hanya teks, red). Aplikasi ini dapat mengirim gambar, video, suara, dan lokasi Global Positioning System (GPS) via hardware GPS atau Gmaps. Media dapat ditampilkan secara langsung tidak berupa link atau hortlink. Kedua, terintegrasi langsung ke dalam sistem sehingga kita tidak perlu membuka aplikasi tersebut untuk menerima sebuah pesan. Tentunya aplikasi ini harus ter-install dahulu di handphone anda. Walaupun handphone kita off, chat kita akan masuk saat handphone kita hidup. Pemberitahuannya sangat simple, seperti Short Message Service (SMS). Ketiga, status pesan. Whatsapp akan menunjukkan lambanglambang saat kita mengirim pesan. Misalnya, jam merah untuk proses loading, tanda centang satu jika chat atau pesan terkirim ke jaringan, tanda centang ganda jika pesan sudah terkirim ke teman kita. Namun jika pesan gagal di kiri maka muncul silang merah. Keempat, kita bisa buat group chat di dalam Whatsapp untuk berbagi informasi ke sesama
group atau komunitas. Kelima, Whatsapp ini irit dalam bandwith. Aplikasi ini akan melakukan standby jika aplikasinya di tutup dan hanya akan hidup jika ada pesan masuk. Meskipun akan terkoneksi ke internet, Whatsapp hanya menyerap sedikit bandwith. Dalam proses standbynya, biasanya hanya akan menyedot 10kb/ jam bahkan bisa 30kb/12jam di handphone tertentu. Whatsapp ini menggunakan jaringan internet GPRS/ EDGE/3G/WIFI. Jika di BBM anda akan dimintai pin di Whatsapp anda hanya akan menggunakan nomor handpone sebagai pin, dan Whatsapp ini akan mentrasfer kontak secara otomatis di phonebook anda. Ibarat pepatah banyak pilihan menuju Roma, begitu pun dalam messenger. Banyak pilihan aplikasi yang bisa kita gunakan. Pilihan terakhir ada ditangan anda.
*Penulis adalah mahasiswa fakultas Sains dan Teknologi jurusan Teknik Informasi Semester 5
Kata Ahli...
KonsultasiKecantikanDokterAngel dr Angela W, Dipl. CIBTAC (Cosmetologist)
Rubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel
K
ulit bersih dan bebas jerawat pasti didambakan setiap perempuan maupun laki-laki. Namun, seringkali sengatan matahari dan kosmetik yang digunakan menyebabkan timbulnya flek di wajah. Flek tersebut akan membuat wajah tampak kusam dan tidak menarik. Namun, ada beberapa cara agar flek dan noda hitam di wajah tak kembali. Dok, umur saya 20 tahun, tetapi sudah ada flek hitam di wajah saya. Apakah flek hitam memang muncul pada umur 20 tahun? Apa penyebabnya? Dan bagaimana solusinya? Terima kasih. (Jayu Juliastuti, Mahasiswi FEB) Dear Jayu, Salah satu yang berperan dalam pembentukan warna kulit manu-
sia adalah melanin. Pembentukan melanin yang berlebihan dapat bermanifestasi sebagai flek hitam. Penyebabnya bersifat multifaktorial mulai dari faktor genetik, paparan sinar matahari, perubahan hormonal, pemakaian kosmetika, obat-obatan, dan lain-lain. Jadi, perlu ditelusuri dahulu apa yang menjadi penyebab flek pada kulit Jayu. Solusinya, Yang pertama adalah mengetahui penyebab utama terjadinya flek tersebut dan kemudian menghindari/mengatasi penyebabnya. Selanjutnya, melakukan pencegahan yaitu dengan menghindari pajanan matahari, menggunakan topi atau pakaian yang tertutup, dan menggunakan tabir surya pada pagi sampai sore hari bahkan dalam keadaan mendung sekalipun
Sebagai pilihan terakhir dapat dipertimbangan suatu bahan atau produk yang dapat menghilangkan flek tersebut, tentunya setelah dipastikan keamanannya. Semoga bermanfaat. Dok, kulit saya cepat sekali kusam apabila terkena sinar matahari, padahal kulit muka saya terbilang putih bersih. Bagaimana cara menyegarkan kembali kulit muka yang kusam?Terima kasih. (Hanifah, Mahasiswi FISIP) Dear Hanifah, Sinar matahari matahari yang sampai ke bumi mengandung sinar ultraviolet. Pajanan kronis terutama dengan intensitas tinggi dapat merusak sel, jaringan, dan enzim-enzim tertentu pada kulit, sehingga menimbulkan berbagai keluhan seperti kulit kering, ter-
bakar, kusam, permukaan kulit kasar, dan lain-lain. Cara mengatasinya: 1.Menjaga pola makan dan pola hidup yang teratur 2.Banyak minum air putih (minimal 2 L/hari) 3.Lakukan perawatan kulit wajah dengan langkah sebagai berikut: -Bersihkan wajah dengan pembersih yang sesuai jenis kulit. Untuk pencerahan gunakan yang mengandung essence vitamin C. -Gunakan moisturizer untuk menjaga kelembaban kulit -Gunakan tabir surya 15-30 menit sebelum beraktifitas. -Pada malam hari gunakan krim malam untuk memberi nutrisi pada kulit. -Lakukan eksfoliasi/scrub/peeling satu kali seminggu untuk membantu proses regenerasi kulit. Selamat mencoba.
Edisi XV/Oktober 2011
WISATA KAMPUS
15
Bendungan Situ Gintung Kenyataan lahirkan kesadaran Menghalau keraguan.. Saat ini kita menuai cinta Maka biarkanlah waktu berjalan Apa adanya...
FOTO: RAHMAT/INSTITUT
Alunan lagu Tony Q. Rastafara menghangatkan suasana santai Jarot (20) dan beberapa kawannya di bibir Situ Gintung. Aziz (19) dengan rancak memetik gitar, terus bersenandung bersama indah matahari sore yang sedang terbenam. Sesekali menyeruput kopi hitam di sampingnya, lalu menghisap rokok di tangannya (13/10). “Kopi, Bro!” tutur Hasan (19) kepada orang berlalu di sekitarnya sembari kembali bernyanyi. Matanya menatap jauh ke arah danau Situ Gintung. Sekelompok mahasiswa Universitas Pamulang yang sedang duduk santai tersebut mengatakan sering berkumpul bersama di Bendungan Situ Gintung. “Lagi cari angin, ya, sambil nongkrong bareng teman-teman”. Situ Gintung, setelah direnovasi akibat tragedi jebolnya bendungan pada 27 Maret tiga tahun silam, kini kembali diminati oleh pengunjung dari berbagai daerah Tangerang dan sekitarnya. Pengunjung dapat bersantai menikmati
pemandangan Situ Gintung dan membeli berbagai makanan dan minuman di sekitar bendungan tersebut. Bendungan Situ Gintung terletak di Tangerang Selatan, Ciputat, tepatnya di desa Cirendeu. Akses menuju ke sana cukup mudah. Dari depan kampus UIN Jakarta, pengunjung dapat menggunakan angkutan umum arah Lebak Bulus, cukup dengan Rp 2000, minta turun di lampu merah Situ Gintung. Bagi pengunjung bersepeda motor, di sana harus membayar biaya parkir sebesar Rp 2000. Tempat ini seringkali digunakan nongkrong oleh pengunjung dari berbagai usia. Jika cuaca sedang cerah, setiap sore Bendungan Situ Gintung ramai, terlebih di hari Minggu pagi, hal itu disampaikan Indah (15), siswi kelas 1 SMK Thamrin Cirendeu, yang tengah duduk santai bersama teman-temannya sepulang sekolah. “Kalau mau yang ramai, malam Minggu ke sini aja,” imbuh Yanni (15), teman Indah. Pengunjung Situ Gintung juga banyak yang datang untuk memancing ikan. Biasanya mereka membawa perlengkapan pancing dari rumah. Bagi yang ingin menyewa perlengkapan pancing, di hari Minggu ada beberapa warga setempat yang menyewakan jasa alat pemancin-
Bendungan Situ Gintung
Sambungan.... Mahasiswa Belum Siap Pertahankan SG Upaya Mempertahankan SG Sementara itu, Wasis Handoko, Anggota Tim Perumus dari Fraksi Parma, berkeyakinan akan disetujuinya draf yang dikirim ke Departemen Agama (Depag). “Saya pernah bertanya kepada orang Depag, keputusan kelembagaan mahasiswa itu semua ada di rektorat, tidak ada lagi kaitannya sama Departemen Agama yang penting bagaimana rektor itu mau menandatangani kelembagaan yang baru ini,” tegasnya (13/10). Ia menambahkan, seandainya draf tersebut tidak di setujui, maka semua lembaga kemahasiswaan akan melakukan konsolidasi ke pihak rektorat. Ia melanjutkan, ada kesan meremehkan dari pihak rektorat terhadap draf yang dikirim mahasiswa. Hal itu dibuktikan ketika pihak
rektorat meminta kembali draf yang telah diberikan sebelumnya. Di lain pihak, Surya Vandiantara, Anggota Tim Perumus dari Fraksi Partai Boenga juga mengungkapkan keyakinannya terhadap disetujuinya draf tersebut. “Saya merasa yakin SG bisa dipertahankan, karena membangun SG kan bukan sekadar dari obrolan-obrolan yang sederhana, melainkan sudah melalui proses yang panjang,” ungkapnya (14/10). Namun, menurut Nofrizal Fahmi, Anggota Tim Perumus dari Fraksi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), yang terpenting untuk mempertahankan SG adalah langkah dari lembaga kemahasiswaan. “Elit-elit yang duduk di KMU dan DPMU harus dige-rakin,” tegasnya (13/10).
FOTO: RAHMAT/INSTITUT
Rahmat Kamaruddin
Beberapa pengunjung tengah bercengkrama menikmati pemandangan Danau Situ Gintung (12/10)
gan. Di sepanjang Bendungan Situ Gintung dapat dijumpai penjual makanan dan minuman seperti somay, bakso, mie ayam, cimol, roti bakar, tahu petis, kopi susu, es kelapa, es teh dan lain sebagainya. Menurut Ibu Eva (43), penjual
minuman, pada hari Sabtu sore bendungan ini juga ramai didatangi oleh pengunjung, terutama kalangan muda mudi. “Hari minggu pagi paling ramai, di dekat tugu ada acara senam bersama, olahraga pagi, jogging, bersepeda, tapi kalau cuaca buruk ya sepi,” tuturnya.
TUSTEL
Edisi XV/Oktobwe 2011
Air
16
Foto Oleh: Makien Kamaludien
Mahasiswa Jurusan Akuntansi Semester Akhir
Kirim foto Anda ke lpm.institut@yahoo. com untuk dipamerkan di rubrik Tustel, foto dalam format JPEG beserta narasinya. Tema tustel untuk tabloid selanjutnya adalah ‘Pahlawan’. Refleksi UIN dalam air Situ Kuru.
UIN dalam rintik hujan.