TABLOID INSTITUT EDISI 19

Page 1

!

S GRATI

Edisi XIX/Mei 2012 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com Ilustrasi: Hilman

Menelisik Implementasi dari Integrasi Keilmuan UIN

Editorial Kecacatan Proyek Integrasi Keilmuan Hasil dari integrasi keilmuan UIN Jakarta, idealnya dapat menciptakan Ibnu Sina baru yang memiliki kemampuan keagamaan dan pengetahuan non agama. Namun rasanya, kita harus berhenti berkhayal atas itu semua karena dalam pelaksanaannya masih butuh banyak pembenahan. Pendekatan kurikulum yang dilakukan, sepertinya belum tersampaikan secara sempurna tentang proyek integrasi kepada dosen pengajar di fakultas umum. Efeknya, para dosen umum yang seharusnya memberi pemahaman agama malah kadang melupakan itu. Jelas kecacatan proyek integrasi semakin terlihat. Evaluasi secara menyeluruh pun belum pernah dilakukan. Bagaimana kita bisa tahu sejauh mana proses integrasi keilmuan itu bisa terwujud tanpa adanya evaluasi menyeluruh? Akhirnya, integrasi keilmuan sebatas jargon, sedangkan dalam implementasinya, nonsense! Padahal, di awal konvergensi IAIN ke UIN, banyak sekali angan-angan akan terciptanya islamisasi ilmu pengetahuan, hilangnya dikotomi keilmuan, sampai membangun kembali kejayaan keilmuan Islam yang dulu hancur. Secara teoritis memang sudah gamblang dijelaskan bahwa integrasi keilmuan merupakan keniscayaan bagi kita, tapi dalam tataran praktis, ternyata banyak kesulitan yang perlu dihadapi secara serius. Harusnya, pihak universitas melakukan kajian khusus menyoal integrasi keilmuan dalam tataran praktis. Secara teoritis sudah gamblang, tapi dalam mempraktekkannya harus benar-benar teliti karena menyangkut efektivitas dari integrasi keilmuan. Sehingga nanti kita punya landasan filosofis yang jelas, demi menciptakan cara belajar yang sesuai dengan proyek integrasi keilmuan.

Dinamika Paham Keagamaan Perlu Diakomodasi

UIN Jakarta Perlu Optimalisasi Integrasi Keilmuan

Laporan Utama

Hal.

Makhruzi Rahman Integrasi keilmuan dalam tataran praktis di UIN Jakarta memang masih belum terlaksana dengan optimal. Namun usaha-usaha untuk mengintegrasikan terus dilakukan. Di UIN Malang, ketika berbicara integrasi keilmuan mereka memiliki apa yang disebut dengan pohon ilmu. “Pohon ilmunya bagus, akarnya adalah ilmu dasar, salah satunya bahasa, kemudian batangnya adalah Al-Quran dan hadits, kemudian dahannya ialah ilmu sosial, sains. Kemudian akhirnya munculah ranting, dan hasilnya itu berupa applied science (sains terapan),” ujar Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah, Abuddin Nata, (3/5). Sedangkan UIN Jakarta masih mencari model yang tepat untuk mengimplementasikan integrasi keilmuan. ”Kita masih butuh waktu panjang un-

tuk benar-benar menemukan bentuk yang ideal,” ujar Abudin Nata. Ada 4 pendekatan untuk integrasi ilmu itu sendiri, Abuddin Nata menuturkan, pendekatan pertama ialah model kurikulum, model Timur Tengah, model dosen itu sendiri, dan model team teaching. Sedangkan pendekatan yang diterapkan UIN Jakarta sebenarnya menggunakan pendekatan kurikulum. Pendekatan ini maksudnya, mata kuliah umum dibarengi dengan mata kuliah agama, jadi mahasiswa umum dari ekonomi atau kedokteran ikut mendapatkan mata kuliah agama.

Dan maksud model kedua yaitu model Timur Tengah, di sini mahasiswa fakultas umum ikut menghafal Al-Quran kemudian menerapkannya dengan ilmu umum. Sedangkan model ketiga, yakni lebih menitikberatkan kepada dosen itu sendiri, artinya materi diserahkan kepada dosen. Ada pula yang terakhir dengan model team teaching, artinya dosen mata kuliah umum dengan dosen mata kuliah agama menyatu membuat konsep. Menurut Abudin Nata, seharusnya mahasiswa sendiri yang mengintegrasikan keilmuannya. “Paling tidak ada pada landasan aksiologisnya, misalkan menjadi dokter tapi tidak menggunakan ilmunya untuk membunuh orang. Jadi, ilmu yang diperoleh tidak disalahgunakan,” katanya.

3

Mengupas Gagasan Kontroversi Pram

Kampusiana

Hal.

8

Menelusuri Proyek Khilafah

Resensi

Hal.

Bersambung ke hal.19 kol. 2

9

Syekh Siti Jenar, Cinta Tuhan dalam Kemurtadan

Seni Budaya

Hal.

18


2

LAPORAN UTAMA

Edisi XIX/Mei 2012

Strategi Fakultas Agama Menarik Calon Mahasiswa

FOTO: AYU/INSTITUT

Rahayu Oktaviani Jumlah mahasiswa peminat fakultas keagamaan memang tidak sebanyak peminat fakultas umum. Banyaknya calon mahasiswa yang berorientasi mendapat pekerjaan setelah lulus, menjadi alasan utama untuk memilih fakultas umum. Hal ini tidak berbanding lurus dengan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang mempunyai ciri khas keislamannya, yang justru luntur oleh keberadaan fakultas umum. Menghadapi hal itu, beberapa fakultas agama mempunyai strategi tersendiri untuk menarik perhatian calon mahasiswa, seperti Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI). Mereka tidak merasa khawatir bila kurang peminat yang mendaftar di FDI. Seperti yang disampaikan Dekan FDI, Abuddin Nata, fakultasnya mempunyai pasar tersendiri, yaitu masyarakat agraris seperti di daerah Jawa Timur dan Madura yang masih terdapat pesantren berkembang. “Di Jakarta lebih banyak masyarakat urban, sehingga menganggap pendidikan agama bukan sebagai salah satu disiplin ilmu, melainkan sikap, nilai dan pandangan hidup,” ungkapnya (4/5). Abuddin menambahkan, fakultas keagamaan dapat dikatakan sebagai moderenisasi madrasah. Hal ini terlihat, mahasiswa fakultas tersebut yang dapat memper-

tahankan dan mengembangkan ilmu keagamaannya. Contohnya, mahasiswa fakultas umum yang tak terbiasa bicara dengan bahasa arab, di mana dapat menurunkan kualitas mahasiswa yang berasal dari pesantren. Senada dengan Abuddin, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF), Zainun Kamaluddin Fakih, mempunyai strategi untuk menarik calon mahasiswa dengan beasiswa. Bahkan pada tahun 2010, Ushuluddin mengadakan beasiswa terbuka untuk 100 mahasiswa bebas biaya pendidikan dan 20 mahasiswa dari beasiswa Bidik Misi. Selain itu, Ushuluddin tetap menjaring mahasiswa yang mendaftar. “Beasiswa itu diutamakan untuk lulusan pesantren dan tidak mampu, tetapi memiliki kemampuan yang tinggi, seperti hafal beberapa juz dari Al-Quran,” ungkap Zainun, Rabu (9/5). Zainun menambahkan, Ushuluddin juga mengubah kurikulum menjadi lebih kekinian. Dikarenakan pembahasan masalah agama seperti iman dan akhlak merupakan persoalan yang substansial. Menurutnya, umat manusia tidak pernah rukun dan damai karena banyak orang tidak mengkaji ajaran-ajaran yang lebih mendasar. Dalam permasalahan ini, Ushuluddin berperan sebagai

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, salah satu fakultas keagamaan yang mempunyai strategi khusus untuk menarik calon mahasiswa, Jumat (11/5).

jantung UIN yang mencoba membahas persoalan teologi demi kerukunan beragama. Mengintegrasi kurikulum antara mata kuliah agama dengan umum, juga dilakukan oleh FDI. Abuddin menjelaskan, agama yang dulu mempunyai persepektif akhirat saja kini sudah bergeser ke aspek duniawi. “Jika melihat jaman dulu, Ibnu Sina selain ahli agama, ia juga ahli dalam bidang kedokteran. Jadi, pergeseran ini jangan dilihat sebagai kekhawatiran, namun kemajuan,” tambahnya. Melihat hal itu, Pembantu Rektor I Bidang Akademik, Moh. Matsna, mendukung penuh

strategi yang dilaksanakan fakultas agama untuk menarik calon mahasiswa. Namun, Matsna tidak sependapat jika mahasiwa fakultas agama tidak diminati oleh calon mahasiswa. “Buktinya, sekarang ini kelas jurusan-jurusan agama terisi penuh,” tambah Matsna. Sekalipun ada beasiswa yang ditawarkan, penyeleksian itu tetap dilakukan kepada peserta. Matsna juga menambahkan, beasiswa tersebut diperuntukan bagi mahasiswa yang kurang mampu dengan syarat dapat membaca kitab kuning, kemampuan bahasa Arab dan Inggris baik serta hafal beberapa juz dari Al-Quran.

Pembinaan Mahad UIN Tidak Jelas

Salam Redaksi Assalamualaikum Wr. Wb Salam INSTITUT Dalam hidup ini tak ada kata yang lebih indah selain ungkapan rasa syukur akan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Semoga kita pun akan dicurahkan rahmat dan taufik oleh-Nya. Karena dengan begitu, kita sebagai makhlukNya yang mungkin sedang berada dalam kegagalan, kesedihan, kesenangan, maupun segala dinamika lainnya, ditunjukkan jalan yang akan mengarah kepada tindak perilaku yang lebih baik. Kala waktu tak menunjukkan jalan, manusia diberikan wewenang berkehendak untuk menentukan sendiri jalannya. Manusia yang menjalani, dan merekalah yang menanggung. Ungkapan optimis tak ada artinya bila tanpa tindakan yang memiliki dua kutub, baik dan buruk. Terlepas dari itu semua, dalam konteks kemahasiswaan kekinian, mahasiswa perlu mengevaluasi diri dan sekitarnya. Menganalisis hal yang tak biasa, dan memperoleh hal yang luar biasa. Begitu banyak ketakbiasaan dalam kampus ini. Keislaman, sebagai poros dalam universitas Islam, memiliki beragam aspek yang menarik untuk dibahas. Terlebih dengan menggunakan cara pandang kemahasiswaan. Karenanya, tabloid kali ini kami menyajikan rasa-rasa yang mungkin tak dirasa, di mana kemudian kami kulik kembali menjadi sebuah berita yang membuka mata. Dengan adanya landasan keislaman dalam kampus ini, muncul pertanyaan soal efektivitas pendidikan keislaman yang sering kita temukan. Hal yang paling mungkin terjadi, dasar keislaman di sebuah kampus memicu formalisasi kurikulum yang berlandaskan keislaman pula di semua lini kampus ini, khususnya fakultas. Pada akhirnya, formalisasi itu berujung ke arah formalitas yang tak dibendung dengan kekuatan kualitas kurikulum. Semua hal di atas akan kami bahas dalam tabloid edisi ke-19 ini, dari pelbagai segi. Semoga dengan pemberitaan tersebut membuat sivitas akademika melakukan refleksi atas realitas pendidikan di sekitarnya, untuk mewujudkan integrasi nilai keislaman yang didambakan banyak kalangan. Wassalamualaikum Wr. Wb

Ema Fitriyani

Gedung Ma’had yang terletak di kawasan Legoso, sebagai asrama bagi mahasiswa yang mendapatkan beasiswa BUMN dan Bidik Misi.

Peribahasa Jawa mengatakan Ati karep, tenaga cupet. Artinya hati ingin, tapi tenaga tidak sanggup. Begitulah kondisi pembinaan asrama (mahad) UIN Jakarta saat ini yang belum sanggup merealisasikan niatnya mencetak mahasantri berpengetahuan bahasa, berkarakter, dan berintelektual. Realisasi yang belum tercapai itu antara lain pembentukan kuri-

kulum. Guru besar bahasa Arab UIN Jakarta HD Hidayat yang belum lama menjabat sebagai pimpinan asrama (Kyai Mahad), merasakan pembentukan kurikulum di mahad belum menyeluruh. Kurikulum yang ada hanya sebatas program pengajian dan bahasa asing yang berjalan dua semester. “Saya baru dapat proposal workshop pembentukan kurikulum dari bagian kemahasiswaan belum lama ini,” katanya, Jumat (11/5). Mahasantri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Ardhy Dinata Sitepu mengatakan, yang masih terkendala adalah program pembinaan yang belum jelas tujuannya. Program pembinaan yang ada semisal baca Al-Quran dan tilawah, belajar bahasa Inggris, bahasa Arab, dan qiraatil qutub. Menurut Ardhy, tak hanya dirinya yang sulit menerima program pembinaan, mahasantri lain juga begitu. “Karena saya sendiri dari sekolah umum,” katanya pada Kamis lalu (10/5). Kesu-

litan mahasantri memahami pembinaan bersifat agama itu menurut Hidayat karena heterogenitas mahasantri di dalamnya. Jadi, menurutnya banyak mahasantri yang bermasalah dengan pembinaan yang ada. Kalau program bentukan pesantren, mereka itu banyak sekali yang tidak sesuai kriteria, tapi rektorat mau bagaimana bersikap ke pihak pemberi beasiswa (BUMN dan Bidik Misi), “Akhirnya banyak mahasantri yang dipertahankan, pertanggungjawaban mahasantri lebih kepada pemberi beasiswa, bukan kepada pembinaan pesantren,” tegas Hidayat. Ia dan temannya pun belum lama ini menerima surat sanksi lantaran tidak mengikuti kegiatan di mahad. Sebelumnya, Ardhy dan yang lainnya tidak tahu bahwa ketidakhadiran mereka berdampak pada turunnya sanksi. “Langsung ekseskusi begitu saja,” ungkapnya. Mahasiswa semester enam ini menuturkan para musyrif di sana sering pula datang terlambat un-

tuk mengajar. “Idealnya musyrif itu tinggal di dalam mahad,” ujarnya. Kondisi saat ini, musyrif yang tinggal di mahad hanya satu, yakni Wakil Kyai Mahad Utop Thobroni. Menilik UIN Malang Jika melihat UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, secara ideal musyrif tinggal di mahad. Dalam wawancaranya kepada INSTITUT via email menuturkan ada 10 unit rumah dewan pengasuh. Setiap pengasuh dibantu seorang murrabi, yaitu dosen muda, alumni terbaik UIN Malang dari berbagai fakultas yang memiliki kompetensi dan kualifikasi yang dibutuhkan; yaitu kemampuan manajerial dan kecakapan dalam berbahasa asing. “Seorang murrabi bertanggung jawab atas pelaksanaan program kemahadan,” jelas Direktur Mahad UIN Malang Isrooqunnajah, Rabu (9/5). Keberadaan musyrif yang tinggal di luar mahad, menurut Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Sudarnoto Abdul Hakim,

dikarenakan kondisi ruang mahad yang tidak memungkinkan untuk ditempati para musyrif. “Kita tahu sendiri bagaimana kondisi tanah UIN,” ucap Sudarnoto (9/5). Perihal fasilitas, Hidayat pun merasa heran kenapa tidak ada mesjid di dalam mahad padahal salat berjamaah menjadi hal wajib di sana. “Ini yang sedang saya ajukan pada kemahasiswaan untuk difungsikan tempat yang ada menjadi mesjid,” tegasnya. Selain tidak adanya mesjid, keberadaan perpustakaan, tempat fitnes, pun dengan pengamanan tidak tersedia. “Jadi kita bebas saja mau pulang jam 2 pagi juga,” ungkap Ardhy. Kendala-kendala yang menjadikan tersendatnya realisasi niat mencetak mahasantri berpengetahuan bahasa, berkarakter, dan berintelektual menurut Sudarnoto sebagai hal yang biasa. Katanya, mahad baru saja dibangun, jangan berharap sempurna, “Karena ini bukan sulapan, jadi jangan komplen,” tandasnya.

Pemimpin Umum: Dika Irawan | Sekretaris: Ibnu Affan | Bendahara Umum: Muji Hastuti | Pemimpin Redaksi: Muhammad Fanshoby | Redaktur Pelaksana: Umar Mukhtar | Redaktur Online: Rahmat Kamaruddin | Web Master: Makhruzi Rahman | Redaktur Foto : Jaffry Prabu | Redaktur Bahasa : Ema Fitriyani | Artistik : Hilman Fauzi | Ilustrator : Trisna Wulandari | Desain Grafis: Ahmad Rizqi | Pemimpin Perusahaan: Noor Rahma Yulia | Iklan & Sirkulasi: M. Umar & Rahayu O | Marketing & Promosi: Aprilia Hariani, Rina Dwi Fitriyani & Fajar I | Pemimpin Litbang: Abdul Charis | Riset: Egie FA & Aditya Putri | Pendidikan: Iswahyudi | Kajian: Aditia Purnomo | Dokumentasi: Aam Mariyamah.

Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta SK. Rektor No.23 Th. 1984 Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006

Koordinatur Liputan: Rahayu Oktaviani Reporter: Aam Mariyamah, Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Kamaruddin, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Rizqi, Editor: Oby, Umar, Hilman, Haris , Egi, Fajar, Ibnu, Dika Ilustrator: Omen, Ulan. Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-133-1241 Web: www.lpminstitut. com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.


LAPORAN UTAMA

Edisi XIX/Mei 2012

3

Metodologi Pengajaran Bahasa Arab di UIN Belum Tertata Muji Hastuti Metodologi pengajaran bahasa Arab di UIN Jakarta belum tertata. Mahasiswa yang berlatar belakang pendidikan umum pun sulit untuk memahami mata kuliah tersebut. Sebab, pihak rektorat tidak memberikan arahan kepada para dosen, sehingga para dosen mengajar sesuai dengan keinginannya. Salah seorang dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Arab (PBA), Aziz Fahrurozi menyatakan, metodologi pengajaran di kampus ini tak jelas. Para dosen, katanya, tidak pernah diberikan arahan dan evaluasi dari pihak rektorat. Karena itu, menurut Syamsul Arifin yang juga dosen jurusan PBA, seharusnya rektorat mengarahkan para dosen dalam memberikan metodologi pengajaran, agar lebih terarah dan tertata. Ia pun mengakui, metodologi pembelajaran yang tidak tertata ini disebabkan latar belakang pendidikan mahasiswa yang berbeda, seperti SMA dan Pesantren. “Hal ini sangat menyulitkan para dosen untuk menggunakan metodologi apa yang akan dipakai,” ujar Syamsul. Terlebih, dengan tidak adanya arahan tersebut, membuat para dosen mengajar sesuai selera masingmasing. Meski demikian, Pembantu Rektor (Purek) I Bidang Akademik, Moh. Matsna, menjelaskan masalah metodologi pembelajaran bahasa Arab, diserahkan ke-

pada dosen yang terkait. “Dosen mau memakai metodologi seperti apa, ya terserah mereka. Lah kan, yang menerapkan itu dosen,” jelasnya. Bagi Syamsul, metodologi lebih penting dari materinya sendiri. Meski memahami materi bahasa Arab, ujar Syamsul, akan percuma jika tidak mengetahui cara pengajarannya, dan hasilnya pun tidak maksimal. “Paham metode itu adalah hal penting sekali dalam pengajaran,” tandasnya. Dalam pernyataannya, ia menyadari metodologi pengajaran dulu dan kini sangat berbeda. “Dulu pada tahun 90-an, bahasa Arab lebih terarah. Dosen dan mahasiswa juga suka bertemu di luar jam kuliah. Tapi jika dilihat saat ini, tidak ada,” ungkap Syamsul mengenang. Hamam Faizin, dosen bahasa Arab di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) mengakui, sebelumnya ia pernah mengajak mahasiswa untuk bertemu di luar jam kuliah. Tapi, dari mahasiswa yang diajaknya tidak ada yang mau.

Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Dicky Renaldi juga mengeluhkan tentang cara pengajaran dosennya. Karena menurut Dicky, sebagian dosen bahasa Arabnya mengajarkan mata kuliah bahasa Arab dengan menyamaratakan cara pengajarannya. Padahal, ada beberapa mahasiswa yang berlatar belakang SMA. “Saya melihat, dari beberapa dosen bahasa Arab di Dakwah (FIDIKOM), terkadang mengajar seenaknya, tanpa melihat latar belakang. Jadi, mahasiswa umum (berlatar belakang SMA) yang tidak paham, semakin tidak paham,”

keluh Dicky. Ria, mahasiswa FEB, pun merasa metodologi pengajaran bahasa arab di UIN tidak sesuai dengan Sistem Kredit Semester (SKS) yang diberikan. Padahal, untuk mengikuti Test of Arabic as a Foreign Languange (TOAFL), mahasiswa harus memahami bahasa Arab. Tapi jika melihat dari jumlah SKS dan pengajaran yang diberikan, ini sama sekali tidak sesuai. Untuk bisa belajar bahasa Arab, menurut Matsna, sebenarnya tidak harus mengandalkan dari kelas. “Belajar di luar kelas pun bisa, jika mahasiswa memang benar-benar mau memahami bahasa

Arab tersebut,” ujarnya. Lebih lanjut, Matsna menambahkan, rektorat hanya memberikan sekian SKS saja, sedangkan fakultas dapat mengurangi dan menambahkan SKS yang diberikan rektorat. “Keterbatasan SKS yang diberikan ini agar tidak terlalu membebani dan memberatkan mahasiswa,” imbuhnya. Memang, kata Dekan FEB, Abdul Hamid, fakultas juga berperan mengatur SKS. Selain itu, fakultas pun membuat kurikulum. Tapi, mekanisme kurikulum bahasa Arab di FEB kini telah berubah. Keefektifan kurikulum yang ada, belum bisa diukur.

Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Jurusan Pendidikan Bahasa Arab sedang belajar di kelas, Jumat (11/5).

Ragam Paham Keagamaan Perlu Diakomodasi Aam Mariyamah Menurutnya, terjadi perubahan pada kondisi mahasiswa yang masuk ke UIN, di mana dulu banyak mahasiswa dari kalangan santri dan ekonomi menengah ke bawah. Namun saat dibentuknya fakultas-fakultas umum, maka banyak mahasiswa perkotaan dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas hingga paham keagamaan nonsantri pun mulai masuk ke UIN. “UIN menjadi lebih terbuka bagi kelompok atau aliran-aliran, baik yang radikal, moderat, maupun konservatif, semuanya ada di UIN,” katanya. Sementara itu, menyikapi keberagaman pemahaman yang ada, dosen Pemikiran Islam Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Halid Alkaf mengatakan, mahasiswa mesti bersikap pluralis, yakni menerima pandangan lain, tidak mengklaim paling benar dan saling menghargai.

Beberapa mahasiswa melewati gedung rektorat menuju ruang Auditorium Harun Nasution. Mereka hendak mengikuti tes ujian beasiswa ke Sudan, Sabtu (12/5).

Munculnya fakultas-fakultas umum berdampak pada terjadinya diferensiasi dan pluralitas dalam cara berpikir serta merespon paham-paham keagamaan di UIN jakarta. Hal tersebut diungkapkan Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Zaki Mubarak, Senin (7/5).

UIN harus mengakomodasi Walaupun UIN memberikan ruang yang bebas untuk mengekspresikan paham, menurut Zaki perlu ada akomodasi dan pemantauan oleh UIN. “Tidak boleh dibiarkan seperti pasar bebas, sehingga orang bisa melakukan apa saja, mungkin juga termasuk bisa menerapkan paham keagamaan yang menjurus pada tindak kekerasan,” ujarnya. Ia menambahkan, perlu ada database paham-paham atau aliran kegamaan yang berkembang di UIN. Hal itu penting

untuk memberikan petunjuk bagi para mahasiswa yang ingin berkiprah dalam organisasi keagamaan. “Database juga penting bagi orang tua mahasiswa dalam memantau putra-putrinya yang aktif di organisasi,” lanjutnya. Senada dengan Zaki, Ketua Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat (PPIM) Ali Munhanif mengatakan, beberapa hasil penelitian PPIM yang mengungkapkan adanya kecenderungan mahasiswa UIN untuk menjadi radikal. “Hal ini perlu lebih diperhatikan oleh pimpinan UIN,” katanya. Menanggapi hal tersebut, Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat menjelaskan, pertama, begitu mahasiswa keluar dari kampus, itu menjadi kehidupan pribadi mereka (mahasiswa). Dengan begitu, pihak kampus sulit untuk mengawasi satu persatu mahasiswanya. Ia menambahkan, karakter mahasiswa telah dibentuk oleh orang tua dan pendidikan sebelumnya, sedangkan perguruan tinggi hanya berfungsi untuk transfer ilmu. Hal kedua, menurut Komaruddin, Islam itu sangat luas. Ditambah lagi hubungan kampus dengan masyarakat serta politik juga sangat dekat di kampus. “Makanya yang penting adalah menegakkan etika dan meningkatkan disiplin pembelajaran. Untuk database, saya setuju sebagai bahan penelitian untuk mengamati perkembangan,” ujarnya. Bagaimana aliran-aliran

yang ada di UIN merespon keberagaman? Bagi aktivis Muhammadiyah, Fahmi Syahiroel A, selama ajaran Islam masih berdasarkan Al-Quran dan As-sunnah itu baik. “Bermasalah ketika ada golongan yang tidak mengakui adanya keberagaman di Indonesia, sehingga memaksakan hukum Islam diberlakukan,” ujar Fahmi saat dihubungi via sms. Senada dengan pendapat Fahmi, Sunarto, salah satu aktivis Nahdatul Ulama mengatakan, munculnya aliran merupakan sunatullah. “Kalau di kampus, mahasiswa mengikuti suatu aliran atau golongan biasanya tergantung dengan siapa dia berteman,” katanya. Begitu pun dengan salah satu dosen aliran Syiah, Muhammad Zuhdi, memandang perbedaan dalam Islam merupakan sebuah keindahan. “Saya tidak mengembangkan ajaran syiah di UIN, namun saya kenalkan Syiah sebagai salah satu khasanah kekayaan intelektual,” ungkapnya, Kamis (10/5). Aktivis Hizbut Tahrir UIN Jakarta Khoirudin pun berkomentar, keberagaman dalam Islam adalah sebuah keniscayaan. “Keberagaman itu bagus selama tidak menyimpang dari akidah. Selain itu bagus karena menjadi ladang dakwah buat aktivis HTI untuk menjalankan visi dan misinya untuk memajukan kehidupan umat Islam,” katanya, Jumat (9/5).


4

Survei

Edisi XIX/Mei 2012

Mata Kuliah Agama Belum Efektif Gagasan integrasi keilmuan muncul akibat adanya dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Terjadilah transformasi IAIN atau STAIN menjadi UIN yang dipelopori UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002 merupakan buah dari gagasan tersebut. Namun, sejauh ini mahasiswa di fakultas umum menilai ilmu agama yang disampaikan kepada mereka masih belum efektif. Hasil survei yang dilakukan INSTITUT di lima fakultas umum, lebih dari setengah responden mengungkapkan pandangannya bahwa mata kuliah yang sifatnya agama belum berjalan efektif. Ketidakefektifan pembelajaran dapat disebabkan oleh teknik penyampaian dosen, materi yang rumit, atau kurangnya jam kuliah. Keluhan paling banyak yang menjadi hambatan mahasiswa dalam memahami mata kuliah agama, yakni penyampaian dosen yang terlalu menyerahkan materi kepada mahasiswanya dan tidak memberikan pemahaman lebih lanjut diakhir pembelajaran. Terlebih lagi dari jumlah mahasiswa di lima fakultas umum

79 persen berlatarbelakang pendidikan SMA, tentu ini akan berimbas pada sejauh mana pemahaman mereka terhadap materi yang sedang dipelajarinya. Teknik penyampaian dosen yang baik akan memberikan pemahaman mendalam bagi mahasiswanya, salah satu responden menyatakan ketertarikannya pada mata kuliah agama. Namun, teknik penyampaian dosen yang hanya menerangkan secara garis besar (subtansi) dari materi yang diajarkan menjadikan hambatan baginya untuk lebih mendalami. Kalau dilihat dari antusias mahasiswa 78 persen responden sangat tertarik untuk mempelajari mata kuliah agama. Ketertarikan ini mungkin dapat dijadikan implikasi awal bahwa mimpi mengintegrasikan ilmu umum dan agama bukanlah halusinasi belaka. Lebih jauh lagi dengan saling bergandengannya ke- dua ilmu tersebut, diharapkan akan muncul rumusan baru tentang ilmu keislaman yang multidisipliner-integrative sehingga tujuan UIN menciptakan sarjana umum yang berakhlak islami dapat tercapai.

Metode Survei: Survei ini dilakukan Litbang INSTITUT pada 5-8 Mei 2012. Sebanyak 90 responden dari semester awal hingga akhir dipilih secara acak dengan metode Convenience Sampling. Jumlah kuesioner yang disebarkan ke lima fakultas (FEB, FST, FISIP, FKIK, dan Fakultas Psikologi) disesuaikan dengan persentase jumlah mahasiswa. Hasil survei ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh mahasiswa UIN Jakarta.

Jangan biarkan gambar ini tetap ada, makanya pasang iklan hubungi: 085781157788


LAPORAN KHUSUS

Edisi XIX/Mei 2012

Maba Kecewa ESQ Tak Terlaksana

5

FOTO: RAHMAT/INSTITUT

Aditia Purnomo

Tidak terlaksananya kegiatan Emotional and Spiritual Quotient (ESQ) pada acara Orientasi Akademik dan Kebangsaan (OAK) tahun lalu masih menjadi permasalahan bagi beberapa mahasiswa baru (Maba). Mereka yang dijanjikan kegiatan tersebut saat mengikuti OAK kecewa karena merasa tidak pernah diberi penjelasan terkait gagalnya pelaksanaan ESQ. Bayu Priyomukti, mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, yang mengikuti pelaksanaan OAK mengatakan, kegiatan ESQ diinformasikan kepada maba saat ia mengisi formulir kegiatan tersebut ketika pendaftaran ulang masuk UIN. Namun kenyataannya, dalam pelaksanaan OAK tidak terdapat kegiatan ESQ. Ia juga merasa kebingungan ketika ingin mempertanyakan kejelasan dari pelaksanaan kegiatan tersebut. “Di web UIN nggak ada infonya, jadi bingung mau cari tahu kemana, panitianya aja nggak tahu,” ujar Bayu. Ketidakjelasan acara tersebut menurut Bayu, membuat citra panitia pelaksana OAK menjadi buruk. Baginya, panitia tidak menjalankan tugasnya secara profesional karena gagal melaksanakan acara dan terkesan lepas tang-

gung jawab karena tidak memberi penjelasan kepada maba. Meski begitu ia berharap acara ini tetap terlaksana. “Kalaupun diundur, ESQ harusnya tetap dilaksanakan,” tegasnya Senada dengan Bayu, Patra Rusdianto, mahasiswa baru yang juga mengikuti OAK merasa kecewa dengan tidak dilaksanakannya kegiatan ESQ. Ia merasa tidak terima karena tidak ada pemberitahuan tentang peniadaan kegiatan itu sebelumnya. “Ya nggak terima lah, soalnya bayar juga kan,” ungkapnya. Tegasnya, ia masih menginginkan kegiatan tersebut dilaksanakan. Di sisi lain, Jafar Sanusi, Kepala bagian Kemahasiswaan menjelaskan, kegiatan ESQ memang menjadi bagian dari agenda acara OAK. Namun, kekurangan dana untuk penyelenggaraan kegiatan itu menjadi penyebab utama tidak terlaksananya ESQ pada saat OAK. Ia menjelaskan, dalam perencanaan agenda acara OAK, ESQ merupakan kegiatan yang akan diselenggarakan bersama pihak luar yang menyelenggarakan acara ini. Pada awalnya, pihak tersebut menyanggupi walaupun dana yang disediakan UIN minim, dan mereka bersedia mencari spon-

Pelaksanaan Orientasi Akademik dan Kebangsaan yang gagal menyelenggarakan ESQ pada September lalu.

sor untuk menjadi donatur pendukung kegiatan ini. Namun, karena tidak tersedianya donatur untuk mendukung kegiatan dan waktu acara semakin dekat, pihak penyelenggara tidak sanggup melanjutkan pelaksanaan acara ini. Selain itu ketersediaan dana yang ada juga tidak mencukupi pelaksanaan kegiatan ESQ.

Pada akhirnya, dana yang sebelumnya disiapkan untuk mendukung acara ESQ, digunakan untuk mendukung kegiatan OAK yang dilaksanakan oleh fakultas. Dana tersebut digunakan untuk membayar narasumber yang diundang oleh panitia di fakultas yang memberi materi saat pelaksanaan OAK. Menanggapi masalah dana,

Kepala Bagian Keuangan UIN, Subarja menjelaskan, alokasi dana untuk OAK telah diserahkan kepada panitia pelaksana. Sedangkan masalah penggunaan dana menjadi urusan panitia. “Acara sudah terlaksana, SPJ (surat pertanggungjawaban) pun sudah diterima dan tidak ada permasalahan lagi,” tegasnya.

Kebijakan Lulus TOEFL dan TOAFL Berbeda-beda Jaffry Prabu Prakoso Demi mencapai World Class University, UIN Jakarta mensyaratkan kelulusan nilai Test of English as a Foreign Languange (TOEFL) dan Test of Arabic as a Foreign Languange (TOAFL), sebagai salah satu kelulusan program strata satu dengan standar yang sudah diberlakukan. siswa dapat berbicara bahasa Inggris maupun Indonesia. “Karena kita sudah jadi UIN, bukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN),” jelasnya, Selasa (8/5). Hasil wawancara yang didapat, fakultas memiliki kebijakan mas-

FOTO: JAFFRY/INSTITUT

Keterangan tersebut tertera dalam Surat Keputusan (SK) Rektor nomor 241 tahun 2005. Pembantu Rektor I Bidang Akademik, Moh. Matsna menerangkan, adanya peraturan tersebut karena ingin membuat maha-

Sejumlah mahasiswa sedang mengikuti test TOEFL yang diadakan pusat bahasa dan budaya. Tes TOEFL diadakan setiap Rabu dan Jumat.

ing-masing untuk mempermudah mahasiswanya menyelesaikan standar kelulusan TOEFL dan TOAFL. Pembantu Dekan (Pudek) III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Muhbib Abdul Wahab menuturkan, fakultas membolehkan mahasiswanya untuk lulus salah satu dari TOEFL dan TOAFL. Kebijakan tersebut bagi Muhbib tidak serta merta membuat mahasiswa FITK melupakan kewajibannya untuk menyelesaikan kelulusan TOEFL dan TOAFL. Walau nilai keduanya tidak mencapai standar kelulusan, pihak fakultas tetap meminta kedua sertifikat dari Pusat Bahasa dan Budaya (PBB). Muhbib menuturkan, bagi mahasiswa yang sudah tiga kali tes tapi belum lulus, fakultas akan memberikan pelatihan untuk bahasa yang ingin didalami. Tapi pelatihan tersebut tidak membuat mahasiswa lulus tes bahasa dan sifat pelatihan hanya memberikan pendalaman saja. “Karena tidak semua mahasiswa pantas lulus,” tegasnya, Senin (7/5). Mahasiswa FITK, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Azhar Fakhri Khalid menyayangkan ketidakadilan

kebijakan yang ada di fakultasnya. Karena sudah lebih dari sepuluh kali tes bahasa dan tidak lulus, tapi tidak ada kemudahan dari fakultas. “Ada ketimpangan antara Fakultas Tarbiyah dengan yang lainnya,” tukasnya, Rabu (2/5). Fakultas Usuluddin dan Filsafat (FUF) tidak terlalu memperhatikan masalah TOEFL dan TOAFL. Dekan FUF, Zainun Kamaluddin Fakih, berpendapat jika ingin menjadikan World Class University, tidak harus dengan bahasa, tapi perbanyak penelitian. Karena percuma fasih berbahasa tapi penelitiannya minim. Bagi Zainun, nilai TOEFL dibutuhkan saat seseorang ingin melanjutkan pendidikan ke luar negeri. “Kalau ingin ke luar negeri baru kita fokuskan bahasanya,” jelasnya, Rabu (9/5). Zainun menambahkan, tidak cukup mahasiswa belajar dua semester pandai berbahasa arab, karena yang belajar bertahuntahun saja belum tentu bisa. Konsultan Teknik Informasi PBB, Syahirul Alim kebingungan dengan kebijakan fakultas yang berbeda-beda. Karena tugas PBB hanya mengadakan tes dan memberikan sertifikat. “Makanya kami (PBB) minta solusi juga dari

rektorat,” tuturnya, Jumat (11/5). Solusi yang diminta juga memberikan penyelesaian atas kendala yang dihadapi mahasiswa. Syahirul juga mempertanyakan kenapa kebijakan tarbiyah begitu sulit. Bahkan sampai ada yang memalsukan sertifikat TOEFL dan TOAFL yang dikeluarkan PBB, walaupun akhirnya ketahuan oleh pihak fakultas. “Karena FITK memang suka menelepon ke mari (PBB), untuk keaslian nilai,” tambahnya. Muhbib menjelaskan Fakultas Tarbiyah memang berbeda dengan fakultas lain. “Dari peraturan pakaian saja sudah beda,” tuturnya, Kamis (10/5). Ia menambahkan untuk menjadikan fakultas yang lebih baik, maka harus dibuat peraturan yang tegas. Matsna sebenarnya tidak mengijinkan fakultas melanggar SK Rektor mengenai TOEFL dan TOAFL. Namun, jika memang mahasiswa sudah tes lebih dari 10 kali, maka diperbolehkan diberikan keringanan, seperti tes membaca. Menurutnya, dengan nilai TOAFL 375, skor tersebut sangat ringan. “Sambil merem juga bisa,” tambahnya.


6

LAPORAN KHUSUS

Edisi XIX/Mei 2012 FOTO: ULIS

Pembangunan Gedung Parkir Tidak Pasti Muhammad Umar Kepala Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian, Abd. Shomad menyadari, volume kendaraan bermotor di UIN Jakarta semakin lama, semakin bertambah. Sedangkan, jumlah lahan parkir tetap. Oleh karena itu, pimpinan UIN Jakarta mencanangkan untuk membuat gedung parkir. Namun, ia mengaku jika pembangunan belum bisa dilakukan tahun ini karena dananya belum tersedia. “Kalau dari uang SPP nggak mungkin, kita harus ke pemerintah,” ucapnya, Rabu (9/5). Wacana pembangunan gedung parkir sudah berkembang sejak 2010. Bahkan, Pembantu Rektor (Purek) II Bidang Administrasi Umum, Amsal Bakhtiar pernah mengatakan bahwa bila pembangunan gedung parkir yang bertempat di area parkir atas, depan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komikasi (FIDIKOM), akan selesai akhir tahun lalu (baca: TUINS edisi I/ Januari 2011). Menanggapi tentang pembangunan gedung parkir, Amsal mengatakan, dana dari pemerintah seret. “Mungkin karena BBM nggak jadi naik,” katanya, Rabu (9/5). Pembangunan tersebut tergantung kepada keuangan negara, jadi tidak bisa dipastikan.

“Kalau keuangan negara bagus ya bisa direalisasikan, kalau tidak kita kan nggak bisa merealisasikan,” ucapnya. Untuk membangun gedung parkir, menurutnya, membutuhkan dana sekitar Rp30 Miliar. Pihak UIN Jakarta sedang berusaha mencari dana. “Ya kita, sudah lobi-lobi,” ujarnya. Tetapi, dana tersebut tidak gampang karena yang menentukan bukan hanya pihak UIN atau Kementrian Agama (Kemenag). Tapi lembaga keuangan, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berperan. Di samping itu, Koordinator UIN Parking, Rahmat Hidayat berharap pembangunan gedung parkir bisa segera dibangun karena bisa mengakomodir kendaraan yang berada di lingkungan UIN jakarta. Sehingga, pemantauan kendaraannya lebih enak. Pembangunan gedung parkir juga

meminimalisir kehilangan. “Terutama helm,” tuturnya, Kamis (10/5). Selain itu, menurutnya, dengan adanya gedung parkir akan membuat nyaman pengguna. Dalam artian, pengguna gedung parkir tidak perlu resah bila kendaraan dan helmnya basah karena hujan. Adanya Gedung parkir, tutunya akan mengurangi polusi udara, karena pengendara tidak mungkin untuk memarkirkan motornya di luar gedung. Jadi, dengan sendirinya mereka akan berjalan bila ingin ke pintu kecil. Meski begitu, Rahmat memahami bila pembangunan gedung ini terkendala dengan dana. Untuk sekarang, ia meminta kerjasamanya kepada mahasiswa. “Jangan ketika Anda parkir, Anda bayar Rp500, lalu parkir seenaknya,” ungkapnya. Ia juga meminta kepada karyawan dan dosen untuk ikut aturan. “Jangan pintu masuk dijadikan pintu keluar,” pintanya. Apabila pembangunan gedung tersebut tidak mengakibatkan kemalingan dan tambahan biaya, Tri Widarso, mahasiswa jurusan

Dua baris kendaraan terparkir di depan gedung Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK).

Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), setuju. “Kalau mengeluarkan biaya lagi mending nggak usah, mending kayak gini aja,” ucapnya ketika ditemui di parkir atas, Kamis (10/5). Selain itu, mahasiswa semester 8 jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah Dan Hukum (FSH),

Fahmi Putra Martin pun setuju dengan pembangunan gedung parkir yang sesuai kapasitas. Karena bisa mengatasi parkiran yang semrawut. Tetapi, dana pembangunannya tidak diambil dari mahasiswa. “Dananya pun harus trasnparan,” ucapnya, Kamis (10/5).

FOTO: DOK PRIBADI

MPU Tiada, Pengaduan Pemilu Langsung ke Fakultas Trisna Wulandari kan dalam laporan kejanggalan tersebut di antaranya mempermasalahkan dua anggota KPU yang menggunakan kartu identitas milik orang lain dan tanpa nama, mendadaknya pelaksanaan pemilu, penghitungan suara yang diundur hingga Senin (26/3), dan diizinkannya seorang Ahmad Fatah Yasin (kanan) menunjukkan bukti kejanggalan pemilu di samping Purek bidang Kema- pemilih untuk mencoblos di luar waktu hasiswaan Sudarnoto (tengah), Kamis (22/3). pemilihan. Menurut Fatah, Pada pemilu UIN Jakarta 2010 lalu, Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) laporan tertulis yang diserahkanyang kala itu diketuai Ayip Tayana membentuk Majelis Pemilihan Umum nya pada Muhbib Abdul Wahab, (MPU). Lembaga ini menangani tiap aduan kejanggalan dan kecurangan Pembantu Dekan (Pudek) III Biyang ditemukan pada pelaksanaan pemilu tahun itu. Salah satu masalah dang Kemahasiswaan FITK dan yang ditangani MPU saat itu ialah kasus Partai Boenga dan Partai Reformasi Sudarnoto tak kunjung mendapatkan tanggapan dari pihak fakulMahasiswa (Parma) di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) tas. “Setidaknya kami dipanggil, yang disidang hingga berujung pada pendiskualifikasian Partai Parma. Nadipertemukan, jangan dibiarkan mun, di pemilu tahun ini, MPU tidak lagi dibentuk. begini saja,” ujarnya, Rabu (2/5). Menyikapi laporan ini, Ketiadaan MPU pada pemili- Ibtidaiyah (PGMI) Fakultas Ilmu Muhbib berpendapat, tidak ada han umum (Pemilu) UIN Jakarta Tarbiyah dan Keguruan (FITK). yang perlu ditindaklanjuti. Ba2012 membuat setiap laporan dan Fatah membuat Laporan Bentuk ginya, dalam poin-poin tersebut pengaduan terkait pemilu ditin- Kejanggalan Pemilu FITK yang tidak ada yang sangat substansial. daklanjuti oleh pihak fakultas. dilaksanakan pada 22 Maret Mengenai mendadaknya pelakNamun, putusan yang dikemuka- 2012, mewakili Badan Eksekutif sanaan pemilu, Muhbib mengaku kan Pembantu Rektor (purek) III Mahasiswa(BEM) jurusan IPA, sudah memberitahu mahasiswa Bidang Kemahasiswaan, Sudar- Pendidikan Agama Islam (PAI), untuk membentuk kepanitiaan noto, ini mengecawakan beberapa Pendidikan Bahasa Arab (PBA), KPU jauh-jauh hari. kalangan mahasiswa. dan Manajemen Pendidikan (MP) Terkait penghitungan suara Salah satunya Ahmad Fatah yang menurutnya kurang dilibat- yang diundur hingga Senin, Yasin, mahasiswa semester 4 ju- kan pada pemilu lalu. Muhbib memutuskan karena rusan Pendidikan Guru Madrasah Beberapa poin yang dicantum- pada Kamis (22/3), pencoblosan

sudah melewati jam kerja (pukul 17.00) dan Jum’at (23/3) bertepatan dengan hari libur nasional. Sementara itu, mengenai pemilih yang mencoblos di luar waktu pemilihan (pukul 17.25) dikarenakan adanya pengecualian. “Namanya sudah dicontreng pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebagai pemilih yang sudah mencoblos, padahal belum,” terang Muhbib, Kamis (3/5). Intinya, bagi Muhbib, kekurangan tersebut tidak dapat mengubah hasil pemilu. “Pemilu sudah selesai dan pemenangnya sudah dilantik. Info yang diterima akan menjadi bahan perbaikan,” ujarnya. Tanggapan senada dilayangkan pada surat penolakan hasil pemilu yang diajukan tim sukses pasangan M. Fahdun Najib dan Riski Fitrianto, calon presiden dan calon wakil presiden BEM Fakultas Syari’ah dan Hukum (FSH). Dalam surat penolakan tersebut, menurut Ahmad Aminudin, anggota tim sukses Fahdun dan Riski dari jurusan Pidana Islam FSH, meliputi surat suara yang tidak sah tanpa tanda tangan dekan, penghitungan suara yang dilaksanakan di area tertutup (teater lantai enam FSH) dan tidak menghadirkan pihak-pihak terkait dalam teater tersebut. Selain itu, pihaknya mempertanyakan kembali dua poin yang terkesan bertentangan dalam putusan dari Dewan Kehormatan

Sivitas Akademika FSH. Dalam putusan tersebut, poin pertama menyebutkan, tidak ada yang menang dan yang kalah pada pemilu. Sementara itu, di poin kedua tertulis, pemenang pemilu mengakomodir semua pihak. Isnawati Rais, anggota Dewan Kehormatan Sivitas Akademika FSH menjelaskan, pemakaian teater lantai enam yang diusulkan Pudek bidang Kemahasiswaan FSH, JM Muslimin dimaksudkan untuk keamanan, meski pada landasan pemilu yang jujur dan adil seharusnya dilaksanakan di lantai dasar. Pihak-pihak yang diperbolehkan masuk ke dalam teater lantai enam pun sudah ditetapkan, namun beberapa di antaranya keluar. Sementara itu, terjadi ributribut di lantai dasar, sehingga pihak-pihak yang anggotanya berlebih dipersilahkan keluar untuk mengkondisikan keadaan. Mengenai surat suara, ia mengaku ketiadaan tanda tangan tidak disengaja pihak fakultas. Isnawati menambahkan, sudah dilakukan penyortiran surat suara yang tidak bertanda tangan, namun mungkin masih ada yang terlewatkan. Perihal sidang putusan yang tidak menghadirkan pihakpihak terkait, ia mengatakan, hal tersebut disengaja karena setelah dipelajari, tidak ada gugatan yang memerlukan pengkonfrontiran pihak-pihak tersebut.


FOTO: APRIL/INSTITUT

International Office, Mahasiswa Asing Belum Terlayani Aprillia Hariyani

khususnya pembelajaran di bangku perkuliahan dan pelayanan pembinaan bahasa Indonesia. “Saya tahu International Office sebagai lembaga untuk mengurusi surat kerjasama dan bahasa Inggris saja,” ujarnya ketika ditemui di kantin Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Mahasiswa asing jurusan Manajemen Internasional ini menambahkan, kesulitan menangkap ilmu yang disampaikan tenaga pengajar karena hambatan bahasa, dan diselesaikan dengan membuat kelompok belajar dengan teman sekelas. Sementara itu, Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, pelayanan pembinaan bahasa Indonesia wajib dilakukan untuk proses penyesuaian diri bagi mahasiswa asing.

“International Office sebagai media komunikasi mahasiswa asing, mereka itu butuh motivator untuk survive di sini,” jelasnya. Menanggapi hal itu, Kepala Divisi kemahasiswaan International Office, Ahmed Alfajri mengatakan, mengenai pembinaan bimbingan belajar untuk mahasiswa asing, masih ada dalam proses perencanaan. Lantaran hal yang lebih penting adalah membuat keriteria khusus bagi calon mahasiswa asing yang ingin kuliah di UIN Jakarta. “Sampai saat ini kurang lebih terdapat 200 mahasiswa asing yang semua itu melalui proses seleksi. Untuk pembinaan akademik, saat masih terus kita upayakan,” tuturnya saat ditemui di ruang IO (7/5). Terkait dengan pelayanan pembinaan bahasa Indonesia, ia menjelaskan, mahasiswa asing yang lolos seleksi kemudian dibimbing di pusat bahasa melalui pembinaan bahasa Indonesia. Ditemui Jumat siang (11/5) di Gedung Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Jakarta, Administrasi Pusat Bahasa, Arbas

Menanam Badui, Mencintai Bumi Aditya Putri Lestari alamku lestari desaku Di mana Tuhanku menitipkan aku Nyanyi bocah-bocah di kala purnama Nyanyikan pujaan untuk nusa Mengapa tanahku rawan ini Bukit-bukit telanjang berdiri Pohon dan rumput enggan bersemi kembali Burung-burung pun malu bernyanyi

Itulah gambaran alam yang diterjemahkan Gombloh dalam salah satu kidungnya yang berjudul ‘Lestari Alamku’ ia menafsirkan, bumi semakin lama semakin renta pula usianya. Layaknya manusia dan makhluk hidup lain ketika tua ingin dimanja dan dijaga, begitu pula bumi. Karena kesadaran menjaga bumi itulah Kelompok Pecinta Alam (KPA) ARKADIA mengadakan acara Peringatan Hari Bumi dan PIN MKM (Pusat Informasi Nasional Muktamar Kenal Medan) pada 26-29 April lalu. Acara ini diikuti seluruh Mahasiswa Pecinta Alam Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (MAPALA PTAIN) seIndonesia. Acara sosial yang mengambil lokasi di Badui Luar dan Badui Dalam. Terdiri dari rangkaian acara bakti sosial pengobatan gratis, kerja bakti lingkungan, pembagian sembako, dan penanaman bibit pohon. Dalam sambutan, Kepala Desa Jaro Dainah mengungkapkan kegembiraannya, “Di sini, kalau panas itu kering, kalau hujan longsor. Jadi kami senang ada acara penanaman pohon seperti ini,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang sedikit terata-bata, Jumat (27/4). Di hari pertama, para peserta Peringatan Hari Bumi dan PIN MKM sudah siap dengan sapu, kain pel, dan alat pembersih

Salah satu mahasiswa asing memasuki International Office, tepat di gedung rektorat lantai 1, (11/5 ).

Taufan menuturkan, PBB memiliki fasilitas kursus bahasa Indonesia yang di dalamnya terdapat mahasiswa asing. “Kursus bahasa Indonesia itu bukan merupakan bagian dari

progam International Office yang diberikan secara gratis, melainkan mahasiswa asing kursus sendiri di pusat bahasa,” tandasnya.

lainnya. Mereka bergotong-royong membersihkan mushola yang terdapat di luar Badui. Terlihat juga antrean masyarakat Badui Luar yang antusias memeriksakan dirinya di pos pe-ngobatan gratis. Aidah, salah seorang penduduk asli Badui Luar yang baru saja memeriksakan dirinya. Turut meluapkan emosi Seorang penduduk Badui Luar (duduk dengan tangan menjulur) memeriksakegembiraan kan dirinya di acara Baksos Pengobatan Gratis, Jumat (27/4) akibat tidak perlu jauh-jauh ke puskesmas. buah. Menurut Ketua Pelaksana, Noer “Kalau ke puskesmas pasti bayar. Ini Alamsyah yang akrab disapa Jampe, Bakan gratis,” ungkapnya tersenyum lebar, dui diambil sebagai sasaran dan tujuan Jumat (27/4). acara dengan pertimbangan aksi serupa Saat matahari telah melewati belum pernah diadakan di sana. akhir petala langit, para peserta bersiap Lanjutnya, tidak banyak orang tahu, menuju Badui Dalam dengan jarak penduduk Badui jarang makan buah tempuh tiga sampai dengan empat jam karena jarangnya pohon buah di sana. berjalan kaki. Sepanjang jalan peserta “Jadi, kita mau tanam yang berguna disuguhkan berbagai pemadangan alam buat mereka juga,” jelasnya, Jumat yang masih terjaga keasriannya. (27/4). Meminum air langsung dari aliranPria bermata tajam ini kembali bernya dengan bejana telapak tangan lebih tutur tentang rencana pemeliharaan semenyegarkan dibandingkan meminum lanjutnya, ARKADIA tidak akan lepas air kemasan dari Gunung Salak. Seperti tangan setelah penanaman. Biasanya yang diceritakan Ryan Hadi, peserta setiap tiga bulan sekali mereka selalu dari MAHARIPAL Lampung, ia kesana, “Kedepannya setiap main ke merasa pengalaman pertamanya ke Basini ya ngecek apa pohonnya tumbuh dui sangat berkesan, “Keren. Acaranya baik,” ungkapnya. menarik banget deh,” Minggu (29/4). Didin Sobiruddin, dosen pembimbing Sesampainya di Badui Dalam, yang turut mengikuti acara Peringatan semburat keemasan matahari menutup Hari Bumi dari awal, menaruh rasa sajian pemandangan hari itu, sebab bangga dan mengapresiasi kegiatan ini, lampu, alat elektronik, sabun, dan foto “Menurut saya setiap kegiatan mereka dilarang di area tersebut. Itulah salah harus ada baksosnya apalagi ini temansatu cara masyarakat Badui menjaga ya pas. Selain harus menjaga alam, juga keperawanan alamnya melalui aturan harus berkontribusi ke masyarakatnya,” adat. tandas Didin, Jumat, (27/4). Keesokan harinya, para peserta bersiap untuk penanaman bibit pohon

FOTO: TYA/INSTITUT

Surat Keputusan (SK) Rektor UIN Jakarta Nomor Un. 01/R/ HK.005/2011 tentang pedoman penyelenggaraan kelas internasional, khususnya pada pasal 34 menyebutkan, mahasiswa (kelas) Internasional yang warganegara asing berhak mendapatkan pelayanan non-akademik oleh Universitas, pusat pengembangan kelas dan kerjasama Internasional (international office) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembantu Rektor I Bidang Akademik, Moh. Mastna mengatakan, pembinaan non-akademik tersebut adalah pembinaan dalam proses belajar mahasiswa asing. “International Office (IO) harus membina mahasiswa asing yang kesulitan dalam mencerna pelajaran di kelas,” ujarnya saat ditemui di ruangannya, Rabu (9/5). Dia menambahkan, IO didirikan sebagai lembaga yang melakukan pembinaan akademik yang menunjang proses belajar mahasiswa asing dan mengatur nota kerjasama antara UIN Jakarta dengan berbagai lembaga baik nasional maupun international. Namun, menurut mahasiswa asing asal Somalia, Mohamed Omar Lukman, IO belum mengadakan pelayanan akademik,

7

LAPORAN KHUSUS

Edisi XIX/Mei 2012


8

KAMPUSIANA

Mengupas Gagasan Kontroversi Pram Achmad Rizqi FOTO: RIZQI/INSTITUT

Toga Tambunan (berdiri) sedang memberikan materi pada acara Seminar dan Bedah Buku “Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia di Aula Student Center, Senin (30/4).

UIN Jakarta, INSTITUT - Pramoedya Ananta Toer yang akrab disapa Pram oleh rekan sejawatnya, memang selalu menjadi sosok kontroversial dan menimbulkan banyak tanda tanya, baik pada pihak pro maupun pihak kontra. Bagi pram, menulis adalah jalan sunyi untuk berbakti. Berbakti kepada jiwa yang masih murni dengan kemanusiaan. Begitulah pembuka perbincangan sewindu kepergian Pram yang dirangkai dalam bentuk seminar dan bedah buku “Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia” yang merupakan karya dari Pramoedya Ananta Toer, Senin (30/4). Bertempat di Aula Student Center Kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menghadirkan pembicara, Toga Tambunan (Budayawan), Okky Tirto (Mata Budaya), Akhmad Zakky (Dosen UIN), dan Irvan Nawawi (Majelis Kantiniyah) sebagai Moderator. Wafatnya Pram enam tahun lalu, meninggalkan sebuah gagasan tentang sastra yang sebenarnya kontroversial yaitu “Realisme Sosialis”. Diawali dengan sambutan dari Mahmudah Fitriyah yang bercerita tentang skripsinya pernah ditolak gara-gara mengangkat Pram membuat mahasiswa semakin antusias untuk terus menyimak acara tersebut. Zakky mengawali materi pembicaraan mengenai siapa itu Pramoedya Ananta Toer. Sama halnya dengan membicarakan sastra. “Karena ketika kita berbicara tentang Pram, berarti sama halnya dengan berbicara tentang sastra,” ujarnya. Sedangkan Toga Tambunan yang saat itu sempat terlambat hadir, dalam materinya menuturkan bahwa paham realisme sosialis telah mengilhami Pram, dan Pram sendiri sering kali melahirkan pemikiran-peikiran kritis terhadap fenomena yang sedang terjadi saat itu. “Semangat terhadap perlawanan sistem kolonialisme dapat dirasakan dalam karya Pram, penulis hidup di tengah-tengah masyarakat. Yang dimaksud dengan masyarakat adalah

orang yang secara ekonomi tertindas dan mereka memerlukan dorongan semangat untuk melakukan perubahan ekonomi,” kata Toga, penyair kiri Indonesia. Sementara itu, tokoh muda dari Mata Budaya, Okky Tirto menjelaskan secara langsung bahwa Pram tidak pernah mengakui karyanya adalah Realisme Sosialis, karena pada saat itu masih bisa dikatakan jaman kolonial. “Realisme Sosialis mulai muncul saat memasuki orde baru. Kita tidak bisa mengatakan bibit Realisme Sosialis merupakan produk barat sebagai hal yang negatif. Karena bisa saja bibitnya bagus namun jika berada di lingkungan yang tidak cocok maka tidak akan menghasilkan sesuatu yang sempurna,” ungkapnya. Kegiatan yang diselenggarakan atas kerjasama Majelis Kantinyah (angkringan diskusi sastra), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta, Kedai Pemikiran dan Mata Budaya, mendapat antusias yang baik dari kalangan penggemar Pram. Sedikitnya 150 mahasiswa dan penggemar Pram turut menghadiri acara tersebut. Abdi (25), salah satu peserta dan aktif di Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia (SeBUMI), baginya acara tersebut patut diapresiasi, mengingat kaum muda sekarang terutama pelajar sudah jarang mengenal sosok Pram. “Saya senang sekali hadirnya beberapa mahasiswa yang cukup banyak, kegiatan ini jarang diselenggarakan di kampus, dan bagi saya Pram adalah sosok sosialis,” ungkap pria yang aktif di komunitas SeBUMI.

Edisi XIX/Mei 2012

Pengembaraan Leon Ema Fitriyani

Aku pergi Tak tahu bagaimana megucapkan salam perpisahan Aku hanya mendengar suara burung, disahuti oleh pagi Gemanya mengiring angin melintasi gelombang Cintaku berlayar sampai jauh Rindu bisa tak sampai, sampai tak bisa rindu. Kutipan puisi berjudul “Maninjau Kampung Halaman” menjadi ikon dari awal mula penggambaran diri Leon Agusta pada acara Diskusi dan Bedah Buku “Gendang Pengembara” karya Leon Agusta dalam rangka pementasan teater puisi Kapal Penyebrangan HUKLA. Acara yang dimoderatori Rosida Erowati diadakan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UIN Jakarta pada 1 Mei lalu di Teater 3 FITK. Puisi bertema kepergian itu telah ditulis Leon Agusta sebelum benar-benar pergi meninggalkan Sigiran, desa kelahirannya di Maninjau, Sumatera Barat. Baginya, meninggalkan kampung kelahiran merupakan keputusan yang berat. Ia dirundung rindu berpisah dengan sanak keluarga. Sembari membawa wajah muram, ia menulis tak tahu bagaimana mengucapkan salam perpisahan. Ia pun mengembara. Banyak hal dan alasan yang menyertai pengembaraan seorang Leon. Penyair dan juga pemain teater ini mengembara lantaran terlalu banyak hal yang menyertai kehidupannya di Sigiran. Perang PPRI Semesta yang menyababkan 22 orang keluarganya tewas, hingga dirinya yang ditahan karena dituduh membakar kitab umat Islam. “Demi Tuhan, saya tidak pernah membakar Al-Quran, saya tidak mungkin melakukan hal sekeji itu. Ayah saya kyai di kampung.” Setelah pada 14 Oktober 1969 dirinya menjadi terdakwa, Leon sudah melakukan grasi, namun ditolak. Ia mendekam di penjara. Karya-karyanya antara lain ia ciptakan di dalam tahanan. Setelah bebas, ia meninggalkan Padang dengan hati terluka. Tempat di mana ia dilahirkan, di situ pula ia tidak memiliki teman padahal sebelumnya ia pernah menjadi wartawan Haluan. “Orang-orang keluar dari tahanan itu tidak punya teman.”

Ia lalu mengembara ke Jakarta, selama di sana pun tiada berteman lantaran ia salah seorang yang menandatangani adanya pembentukan Manifesto Kebudayaan, sebuah organisasi kebudayaan tandingan Lembaga Kebudayaan (Lekra) milik orang-orang Komunis saat itu di Indonesia. “Selama di Jakarta, saya 13 kali pindah rumah dan ratusan puisi hilang.” Bagi Leon, manifes kebudayaan tidaklah bertentangan dengan Lekra, begitu pun sebaliknya, bersahabat. Hanya saja, “Ketika politik berbicara, rusaklah semua. Politik itu seperti kapak, membelah lalu membagi.” Pengembaraan Leon dilanjutkan. Setelah benar-benar meninggalkan dunia kewartawanannya, Leon berangkat ke Perancis untuk mengikuti festival teater internasional, saat itu tahun 1977. Setahun berikutnya, ia mengikuti acara sejenis di California. Belum lagi, ia kerap diundang untuk mengikuti workshop teater di berbagai negara seperti India. Workshop berjalan hingga berbulan-bulan. “Itu lama sekali, karena harus diakhiri dengan pementasan teater, melelahkan.” Pengembaraan Leon kemudian coba dijabarkan melalui apresiasi sastra seorang Jamal D Rahman, Dosen UIN Jakarta yang juga pemimpin redaksi Majalah Sastra Horison. Semisal, dalam buku Gendang Pengembara, ia katakan ... Segera setelah senja, sayangku, kita bisa beristirahat/ Menjemput cerita baru, menyanyikan senandung pengembara...yang ia maksudkan bahwa bagi seorang pengembara, pengembaraan adalah dendang yang senantiasa menghibur, bahkan meskipun dendang itu adalah nyanyian yang pahit. Dan pada akhirnya, Leon menulis:... Engkau pun tak dapat mengatakan/ tetaplah di sini, jangan pergi/ Sebab aku harus kembali pergi ... . Lebih lanjut dikatakannya: ... Andaikan di sinilah tempat tujuanku/ Andaikan di sanaalh tempat tujuanku/ Dalam kalbu masih terbentang/ Rasa tak sampai di mana-mana. Leon terus mengembara, karena kembara sesungguhnya adalah waktu. Raganya kembali ke Indonesia setelah lama mengitari berbagai negara. Kembali ke tanah air adalah keharusan, “Karena di sanalah kehormatan seorang penyair,” begitu kata Leon. Acara puncak kemudian dilanjutkan di Taman Ismail Marzuki pada 8-9 Mei 2012 dengan pementasan teater puisi Kapal Penyebrangan HUKLA. Hukla adalah salah satu puisi Leon yang kerap dipentaskan lantaran tema yang diangkat dalam puisi itu adalah tema sosial. FOTO: EMA/INSTITUT

Leon Agusta (ketiga dari kiti) tengah menjawab pertanyaan mahasiswa UIN pada acara Diskusi dan Bedah Buku “Gendang Pengembara” karya Leon Agusta, 1Me


RESENSI

Edisi XIX/Mei 2012

Buku

Menelusuri Proyek Khilafah

Muhammad Umar Judul Penulis Penerbit Terbit Halaman ISBN

9

: Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir Di Indonesia : Ainur Rofiq al-Amin : LKis : I, 2012 : xiiv + 228 Halaman : 978-979-25-5366-6

P

ada masa orde baru, pemerintah merasa khawatir terhadap organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang bisa melakukan suatu gerakan. Sehingga, banyak perkumpulan yang dibatasi ruang geraknya atau dibubarkan secara paksa oleh pemerintah. Pasca tumbangnya orde baru, kelahiran reformasi ditandai dengan bebasnya masyarakat untuk mengekspreikan diri, baik dalam berorganisasi maupun

berpendapat. Bersamaan dengan itu, munculah banyak gerakan di masyarakat yang sebelumnya terbungkam, mulai menunjukan eksistensinya. Tak terkecuali gerakan-gerakan yang aktif menuntut pemberlakuan syariah. Kebebasan berpendapat itu memunculkan suatu perdebatan ideologi untuk menjalankan suatu negara. Setelah itu mucul banyak literatur yang mencoba mebongkar setiap ideologi yang ada. Salah satunya adalah buku Membongkar Proyek Khilafah Ala Hizbut Tahrir di Indonesia. Dalam buku ini dijelaskan, menegakan khilafah di muka bumi ini merupakan kewajiban. Dalam konteks ini, Hizb al-Tahrir berpijak pada tiga landasan pokok, yaitu, filosofis, normatif, dan historis. Namun, dari hasil kajian dan pengalamannya, Dr. Ainur Rofiq al-Amin selaku penulis, mencurigai gerakan khilafah yang diklaim sebagai kewajiban agama sebenarnya merupakan cermin dari proses modifikasi dan politisasi agama (Islam) dalam proses sosial. Menegakkan khilafah bukan merupakan suatu kewajiban jika ditelaah secara filosofi, normatif, maupun konteks sosial. Sekalipun

pada jaman Nabi Muhammad SAW dan Khaulafa’ al-Rasyidin yang di klaim kalangan aktivis HT sebagai model ideal negara Islam. Dalam bukunya, Ainur Rofik juga menuliskan, khilafah sebagai unchangeable sistem sejak berdiri hingga saat ini, ternyata struktur dan kewenangannya telah mengalami banyak perubahan. Sistem khilafah ini tidaklah baku dari Nabi ataupun mutlak dari Tuhan. Sebab, bisa berubah sesuai dengan perkembangan pemahaman yang terjadi dalam internal HT. Tidak absolut. Di dalam buku yang ditulis oleh dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel ini juga tertera bila khilafah model HT berpotensi bermetamorfosis menjadi sistem politik semi absolut-autokratis. Tidak semua konsep negara khilafah sama persis dengan sistem politik absolut-autokratis. Namun, ada beberapa prinsip, saling menyerap, bahkan tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Khilafah akan mereduksi keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Dampaknya merugikan dan mengingkaran cita-cita para founding father negara Indonesia yang mendasarkan pada kebhinekaan dan kearifan budaya

Skenario Sang Psikopat

lokal. Meski begitu, pemaparan dalam buku ini kurang tajam tidak seperti judul bukunya. Tetapi buku ini bisa menjadi referensi tambahan bagi pembaca yang ini mengetahui konsep khilafah ala Hibut Tahrir. Selain itu, pemaparan dalam buku ini juga terdapat banyak istilah yang sulit dimengerti oleh pembaca awam. Jadi, perlu mengkaji istilah itu lebih lanjut. Memang telah banyak buku yang membahas mengenai HT, namun buku ini menjadi penting mengingat belum banyak karya tulis yang membahas mengenai gerakan HTI yang masif. Karya ini pun mendapat apresiasi dari ketua PP Muhammadiyah, Prof. Syafiq Mughni. “Sudah banyak tulisan tentang Hizbut Tahrir, baik yang menerima maupun yang menolak idenya tentang khilafah. Namun buku ini unik. Ia ditulis oleh mantan aktivis HT dalam bentuk karya akademik yang menjunjung objektivitas tapi tidak kehilangan perspektif historis dan ideologisnya. Hizbi maupun non-hizbi perlu membaca buku ini.”

Film

Jaffry Prabu Prakoso

E

ntah kenapa John Evans (Rio Dewanto) terkubur hidup-hidup di sebuah hutan. Saat menyadari dirinya masih hidup, ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Di te-lepon genggamnya, tak ada satu pun nomor kontak di sana. Dihubunginya call center. Ia memberitahu petugas bahwa dirinya tersesat di sebuah hutan. Namun, ia tak mengetahui namanya saat ditanya petugas. John baru mengetahui namanya saat menggeledah isi di dalam kantong. Di sana ada sebuah kartu identitas yang menyebutkan bahwa dirinya sudah menikah. Tak puas dengan itu, ia mencari petunjuk lain. John menemukan sebuah foto yang bergambarkan seorang wanita dewasa, serta anak laki-laki dan perempuan. Di belakang foto itu tertulis ‘we love you’. Ingin mencari kebenaran, John berlari menyusuri petunjuk lain, sampai di mana ia menemukan sebuah pondok dan mobil yang terparkir di luar. Di dalamnya terdapat sebuah video perekam, yang tersambung ke televisi. Setelah menekan tombol ‘play’, ia menyaksikan wanita dewasa yang ada di fotonya, sedang di tusuk perutnya dalam keadaan hamil oleh orang yang tak terekam wajahnya. John terbelalak saat menemukan wanita hamil itu, saat menoleh ke belakang sudah tak tersadarkan diri. Ia lalu mencari

petunjuk lain di video perekam. Di akhir rekaman, ia melihat sosoknya yang mengungkapkan, ia dan anak istrinya menikmati liburan. Beberapa menit tercenung, John mencari petunjuk lain di dalam mobil. Namun, ia tak menemukan apa pun. John berlari mencari anaknya yang mungkin masih hidup dari serangan si pembunuh. Ia menyusuri hutan sekuatnya, sampai kemudian tak tersadarkan diri hingga malam hari. Di malam hari, saat John tersadar dan mengingat apa yang telah dilakukan, ia kembali mencari anaknya. Hingga akhirnya, John menemukan sebuah gubuk kecil tak berpenghuni. Tersadar sedang diikuti, John bersembunyi di dalam peti agar tak diketahui orang itu. Pengintai yang diduga pembunuh, menyadari John ada di dalam. John tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa bersembunyi di dalam peti. Si pembunuh mengunci peti mencoba membakarnya. Menyadari kobaran api, John menendang peti. Setelah terbebas, ia mencoba membebaskan diri dengan menggali tanah dan menyelinap di antara gubuk yang terkunci agar terbebas dari jilatan api. John yang selamat dari maut, berlari menyelamatkan diri, khawatir si pembunuh mengejar. Sejauh ia berlari, John malah bertemu orang yang ingin mem-

bunuhnya. Tak sanggup melawan, ia berlari sekuat tenaga. Tapi lengan kirinya tertancap panah yang dilesatkan pembunuh. John masih berlari agar selamat dari ancaman. Ingin mengakhiri teror, John membuat jebakan untuk membunuh orang yang mencoba membunuhnya. Selesai dibuat, ia berteriak memancing pembunuh menghampiri. John berlari setelah pembunuh mengejar. Ia berlari menuju tempat jebakan. Merasa ada yang terperangkap, ia memastikan pembunuh yang terjebak. John termangu saat melihat anak perempuannya masuk jebakan. John tak tahan dengan semuanya. Ia teriak sambil mencari pembunuh dan anaknya. Jauh ia berjalan hingga ia menemukan sehelai baju yang diduga anaknya. John hanya berdiri dan terpekur mencium baju anaknya. Saat ia merasakan seseorang dibelakangnya, dengan reflek John menebas orang di belakangnya tanpa menoleh. Saat melihat, leher anaknya sudah bersimbah darah. Merasa sudah tak memiliki orang yang berharga, John berjalan berkulai hingga ia mendengar jam alarm yang terkubur. Ia menggali dan melihat sesosok mayat pria. Di tubuhnya tertera kembali ke awal. John kembali ke tempat ia terkubur dan menyadari ada sesuatu menyembul. Di sana ada kotak berisi cairan suntikan bertuliskan ‘the truth’. Setelah me-

nyuntik, ia kejang tak tersadarkan diri. Setelah tersadar, John bergegas ke mobil yang sudah ia sembunyikan. Ia kendarai menuju pondok lain tempat orang baru berlibur, berisikan pasangan suami istri dengan dua anak. John menghabisi ayah dan membuat pingsan istri anaknya. John merekam adegannya membunuh si istri tanpa terekam wajahnya. Ia memberikan pesan ke kedua anak untuk tidak melapor ke polisi dan membunuhnya agar selamat. Lalu John menyuntikkan diri sambil mengubur tu-

buhnya hidup-hidup. Film Modus Anomali besutan Joko Anwar, membawa penonton untuk tidak melewatkan bagian demi bagian yang ditampilkan. Karena jika lewat beberapa bagian, akan tertinggal alur cerita. Bagi Anda yang menyukai film thriller, Modus Anomali bisa dijadikan rencana film anda selanjutnya. Walaupun alur cerita agak membosankan, karena hampir seluruhnya menyajikan John Evans yang selalu berlari. Film ini memberikan seluruh jawaban atas pertanyaan dari berbagai anomali dalam kehidupan.

Judul : Modus Anomali Tanggal liris: 26 April 2012 Sutradara : Joko Anwar Skenario : Joko Anwar Produksi : Lifelike Pictures Durasi : 86 Menit Pemain: Rio Dewanto, Hannah Al Rashid, Izzi Isman Aridh Tritama, Marsha Timothy, Surya Saputra, Sadha Triyudha, Jose Gamo


10

GALER


RI FOTO

11


12

KOLOM

Edisi XIX/Mei 2012

Akademis Semu Muhammad Fanshoby*

W

acana menjadikan kampus UIN lebih akademis sudah timbul semenjak adanya Orientasi Akademik dan Kebangsaan (OAK) yang diadakan di fakultas masing-masing pada pertengahan 2011 lalu. Kemudian secara simultan, pihak rektorat menggemborkan wacana melalui intervensinya terhadap sistem lembaga kemahasiswaan. Kita sedang digiring untuk menjadi mahasiswa yang condong tak acuh kepada hal yang bukan akademis. Namun, justru dalam pandangan saya muncul pertanyaan, apa sebenarnya yang dimaksud akademis di sini? Secara umum, akademis dapat diartikan sebagai sikap yang bersifat ilmiah atau teoritis. Dalam tataran praktis, makna itu sedikit meluas bagi sebagian orang, dan menyempit bagi sebagian orang lainnya. Terlepas dari itu, makna akademis tidak akan lari jauh dari sifatnya yang teoritis dan ilmiah. Maksud tulisan ini pun tak akan jauh dalam pembahasan mengenai akademis, cuma di sini akan coba diurai sekiranya apa saja sebenarnya yang menjadi polemik dalam memahami makna akademis. Dalam ranah kampus UIN Jakarta, terjadi persoalan yang dianggap menjadi masalah yang terus berlarut sejak masa lalu yaitu politik kampus, kebebasan berkreativitas, dan kerapihan berpakaian. Hal di atas dianggap mencederai keelokan akademis yang seharusnya menjadi prioritas dan tujuan dalam membangun kampus yang akademis. Pada urusan politik, bagi mahasiswa apatis kerap memandangnya sebagai hal yang tidak

penting dan membuang waktu. Anggapan itu seharusnya dipikir ulang ketika kita ingat seberapa besar uang mahasiswa yang dihabiskan untuk mengurusi kepemimpinan kampus? Namun, masih ada juga mahasiswa yang peduli, bahkan kelewat peduli sampai menjadikan politik kampus ini bukan sekadar eksperimen, tapi juga menjadikannya profesi, padahal belum waktunya. Antara ketidakpedulian dan kepedulian dalam berpolitik sama-sama membuat anggapan politik di kampus harus diberangus karena mengganggu kefokusan akademis. Perlu diketahui bahwa urusan kepemimpinan kampus juga bagian dari proses akademis. Di sana kita bisa belajar mengomparasikan antara teori kepemimpinan yang secara gamblang tertulis di buku dengan kepemimpinan yang ada di lapangan. Dengan harapan kelak ketika turun di masyarakat menjadi hal yang biasa. Hanya saja, dalam praktik mengomparasikannya sering mendapat kendala, yaitu terlalu larut dalam politik. Alasannya sederhana, dalam kepemimpinan bisa dipastikan akan selalu ada perpolitikan, cuma apakah kita mau terang-terangan atau sembunyi-sembunyi? Saya kira, untuk persoalan ini masih lebih baik terang-terangan, karena akan lebih mudah diawasi ketimbang sembunyi-sembunyi. Dan yang lawas terjadi sudah terang-terangan, tinggal tindakan yang tegas jika ada permasalahan. Bukan cuma persoalan politik kampus, kebebasan berkreativitas juga kadang dianggap mengganggu nilai-nilai akademis, yang

kemudian pada akhirnya, pihak rektorat mengeluarkan kebijakan yang dirasa mempersempit ruang kreativitas dan hobi. Seperti jam malam, tidak boleh kegiatan di luar kota, sampai tidak boleh menginap di kampus. Memang, sudah banyak perguruan tinggi menerapkan kebijakan seperti itu, dan sudah banyak pula mahasiswa yang menentangnya. Artinya, kebijakan ini kontroversial. Harus diakui, kebijakan seperti itu bukan tanpa sebab turun dari langit, ada sebab-musababnya. Mulai dari rata-rata mahasiswa yang aktif berkreativitas terlalu lama lulus dalam perkuliahan, sampai kondisi kampus yang tidak kondusif. Saya kira, semua itu memang sebuah konsekuensi logis. Persoalannya apakah konsekuensi itu sebanding dengan hasil kreativitasnya? Ini menjadi pukulan telak bagi mahasiswa

yang aktif berkreavifitas, untuk lebih memprioritaskan efektivitas berupa karya atau prestasi. Akan tetapi, ini menjadi hal aneh seandainya penyempitan ruang kreatifitas terus dilakukan,bisa dipastikan efektivitas berupa karya atau prestasi tidak akan tercapai, jika tanpa ada kegiatan kreatifitas yang tak tanggungtanggung, artinya tanpa ada penyempitan ruang! Semua orang tahu, membangun kreativitas bagian dari meningkatkan nilai akademis, jadi seharusnya tidak perlu mencederainya. Tinggal dipantau secara serius. Ditambah juga kerapihan berpakaian menjadi cerminan akademis. Sebenarnya saya raguragu, apakah kerapihan bisa betul-betul menjadi cerminan nilai akademis? Karena yang dimaksud dari nilai-nilai akademis adalah sikap ilmiah yang bertujuan membuat hidup kelak lebih baik. Bukankah kita juga telah melihat, di samping orang-orang yang “berantakan� sering membuat hidup tidak baik, pun orang rapi juga sering membuat hidup tidak baik. Artinya, kerapihan tidak bisa menjadi tolak ukur akademis. Memang seharusnya, penampilan luar dibarengi dengan penampilan dalamnya. Kegamangan prioritas akademis Kebijakan-kebijakan pihak rektorat di atas, yang dianggap menjunjung tinggi nilai-nilai akademis terlihat gamang. Kebijakan yang dijalankan malah justru mereduksi nilai-nilai akademis yang sejak dahulu ada. Padahal persoalannya, kendala-kendala dan permasalah-permasalah yang terjadi, tinggal dibenahi

saja. Bukan mengubah sekaligus. Memang, mengubah sekaligus secara sepihak lebih mudah ketimbang membenahinya. Apalagi punya otoritas penuh. Ibaratnya, lebih mudah membeli mobil baru daripada membenahi mobil yang sudah lama. Apalagi punya uang banyak. Jika sikap demikian masih dipertahankan, kita dapat melihat di sini siapa yang cuma mau instan. Padahal, seharusnya di perguruan tinggi yang akademis seperti ini membimbing mahasiswa dengan sabar dan menghargai proses, demi mengejawantahkan nilai akademis. Apakah kita memang dibimbing untuk menjadi mahasiswa yang instan? Saya kira, instan bukan bagian dari cara bersikap ilmiah. Makin terlihat gamang. Perlu diperhatikan juga, menjadikan kampus UIN akademis tidak bisa melulu mempersoalkan mahasiswa. Urusan dosen, kelas, sampai kurikulum pun ikut andil dalam menjadikan kampus akademis. Berapa banyak dosen yang kurang cakap menjalankan tugasnya, bagaimana keadaan kelas dalam menampung mahasiswa, dan seperti apa kurikulum yang mendukung nilai akademis. Saya kira, di sana kita masih banyak kekurangan dan perlu dibenahi. Artinya, semua harus ikut andil jika mau menjadikan kampus UIN yang akademis, tidak dari satu sisi saja. Jika tetap begitu, akademis yang selama ini diklaim, hanya akademis semu. *Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Gadget, Kebutuhan atau Gaya Hidup Hilman Fauzi*

P

erkembangan teknologi memang sudah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Semua hal sudah dibuat mudah dan dibuat cepat dengan teknologi. Bisa dibilang semua manusia sudah mengalami ketergantungan terhadap teknologi. Seperti yang telah saya pelajari, bahwa teknologi bukan hanya berkaitan dengan gadget atau barang elektonik, melainkan dengan bagaimana orang mempelajari sebuah ilmu tentang sebuah cara. Seperti misalnya perkembangan masyarakat Indonesia dewasa ini tentang cara melakukan sarapan atau makan sehari-hari. Sebelum mengenal kebudayaan negara lain, banyak masyarakat Indonesia kurang afdhol jika belum memakan nasi dalam satu hari. Namun, sekarang perilaku tersebut sedikit berbeda. Tanpa makan nasi, masyarakat Indonesia sudah tidak kaku dalam memenuhi kebutuhan karbohidratnya. Yang

penting, sudah memenuhi karbohidrat meski tanpa memakan nasi. “Global Village� ini yang disebut oleh Marshal Mcluhan, seorang teoritikus asal Kanada. Perkembangan cara atau persamaan perilaku yang dilakukan masyarakat dunia, ini menurutnya dikarenakan oleh media. Tentu kita mengetahui dan paham bagaimana sekarang media sudah bisa memenuhi otak setiap manusia dalam berbagai hal dan presepsi. Itulah yang membuat tidak ada jarak antara masyarakat Amerika dengan masyarakat Australia, Inggris. Bahkan, di negara ini sendiri, cara kehidupan antarsesama manusianya sudah tak ada yang bisa dibedakan. Apalagi perkembangan sosial media yang sudah berbagai macam jenisnya, dan aksesnya pun bisa ditemukan dimana saja. Kemudahan berkomunikasi inilah yang membuat tak ada jarak antarmasyarakat dunia. Kita

bisa mengetahui berbagai macam informasi hanya dengan melototi sebuah Personal Computer (PC) atau sebuah laptop, bahkan dengan sebuah telepon seluler. Masyarakat sudah bergantung pada teknologi, dan kemudian teknologi memiliki peranan penting dan pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupannya. Pada kenyataannya memang sulit dipungkiri. Sebagai contoh, dalam aktivitas sehari-hari kita selalu bersentuhan dengan teknologi. Alarm yang membangunkan kita setiap pagi, kendaraan yang kita gunakan, televisi yang kita jadikan sebagai salah satu sumber informasi, komputer, telepon selular, dan masih banyak lagi Dan barang-barang yang menunjang ini pula yang membuat gaya hidup manusia berubah. Banyak masyarakat semakin membutuhkan teknologi, khususnya gadget untuk menunjang terpenuhinya informasi. Namun, seiring waktu kebutuhan itu berubah menjadi sebuah gaya

hidup, tanpa memikirkan fungsi atau kinerja gadget. Inilah yang jadi fenomena sekarang. Bahkan ironisnya lagi masyarakat rela antre hingga beberapa dari mereka ada yang jatuh pingsan, hanya demi berebut promo ponsel pintar. Tanpa harus meneliti atau menganalisa, kita tahu bahwa masyarakat bukan memilih gadget karena fungsi, melainkan karena gaya hidup. Benar teori yang dikemukakan Mcluhan tentang determinism, bagaimana teknologi menjadi faktor yang sangat vital dan menjadi agen dalam perubahan sosial pada masyarakat. Dalam hal ini teknologi baru seperti gadgetlah yang berkuasa. Kemudian pertanyaan lain adalah bagiamana kita memfilter informasi yang beredar di dunia maya, yang sangat mudah diakses melalui gadget tersebut. Kita tahu banyak konten yang tidak layak dikonsumsi publik yang gentayangan di dunia maya, sebut saja pornografi, atau tin-

dak kekerasan. Indonesia belum lama ini, mengeluarkan UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun, apakah dengan adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elekrtonik (UU ITE) sudah bisa mengontrol? Atau adanya UU ITE malah menjadi boomerang terhadap pengguna dunia maya? Pertanyaan ini berpacu pada kasus prita yang menurut saya menjadi korban UU ITE. Kelemahannya memang pada pasal yang harus diperbaiki, karena dapat merugikan pengguna internet. Inilah pekerjaan rumah yang dimiliki pemerintah kita dalam mengontrol tanpa membatasi pengguna dunia maya, agar perkembangan gadget atau teknologi tidak serta-merta membuat bangsa kita menjadi bodoh. *Penulis adalah Divisi Artistik LPM INSTITUT


13

OPINI

Edisi XIX/Mei 2012

Bang Peka....

Redaksi LPM INSTITUT Menerima: Tulisan berupa opini, esai, tekno, puisi, dan cerpen. Opini, cerpen, tekno dan esai: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter. Untuk esai, temanya seputar seni dan budaya. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email: lpm.institut@yahoo.com Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085718363281. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.

Budaya Bangsa di tengah Penetrasi Budaya Asing Jamal Arifansyah* Rasa-rasanya tidak ada negara lain di dunia ini yang sekompleks dan selengkap Indonesia. Terdiri atas beberapa suku bangsa (etnis), agama, ras yang kemudian menyatu menjadi satu nama yaitu “Indonesia”, negara ini pantas bangga, karena tidak ada dominasi antara suku, ras, maupun agama yang satu dengan yang lainnya. Semuanya sama. Jika kita lihat Amerika yang sekarang misalnya, Suku Indian malah menjadi minoritas di tanahnya. Hal yang sama juga dialami oleh Suku Aborigin. Inca, Maya, malah lebih parah. Indonesia beruntung, terlebih semenjak jatuhnya kekuasaan penguasa Orba membuka jalan demokrasi sehingga indonesia terlepas dari masalah diskriminasidiskriminasi (seperti kasus etnis tionghoa yang tidak diakui keberadaannya, dll) yang begitu subur tumbuh pada masa orde baru. Bahkan Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia juga tidak mampu melenyapkan sukusuku asli Indonesia, sementara Cortez dan Pizarro berhasil menyingkirkan Inca dan Maya dari tanah mereka sendiri. Sekali lagi, Indonesia patut berbangga dengan apa yang dimiliki. Terlepas dari hal-hal di atas, sebenarnya tantangan bangsa Indonesia saat ini ada pada halhal yang sebetulnya ringan. Beberapa tahun lalu, sebelum demam K-Pop seperti sekarang ini, masyarakat Indonesia tergila-gila dengan segala sesuatu yang berbau Amerika. Mulai dari musik sampai mode pakaian. Sementara sekitar dua tahun belakangan ini, masyarakat Indonesia khususnya kaum muda-mudi mulai tergila-

gila dengan budaya Korea. Hal ini ditandai dengan menjamurnya grup musik boyband dan girlband yang seakan semakin menyingkirkan kesenian-kesenian khas Indonesia seperti tembang juga musik dangdut yang merupakan asli produk Indonesia. Bagaimana nasib kebudayaan Indonesia? Apakah ini pertanda manusia Indonesia saat ini sudah tidak mampu lagi menjaga kearifan lokal (local wisdom) akibat penetrasi budayabudaya asing yang dibawa oleh arus globalisasi? Almaghfurlah Gus Dur pernah menyatakan bahwa “Kaum muda Indonesia harus mengapresiasi karya sastra Indonesia, hal itu (sastra Indonesia) sedikit lebih dapat dipahami daripada kebudayaan Indonesia.” Kebudayaan Indonesia itu adalah kebudayaan yang mengadopsi keuletan suku Jawa dan kesantunan Sunda, Dayak, atau Bali, kemudian dikombinasikan dengan keberanian dari Madura, lalu ketegasan dari Batak, dan dicampur lagi dengan semangat dari Bugis, dan juga kekuatan adaptasi yang luar biasa dari Papua. Itu baru segelintir suku, hanya suku-suku besar, belum semuanya. Itulah Kebudayaan Indonesia (dalam hal ini penulis lebih tertarik menggunakan kalimat Kebudayaan Indonesia daripada kalimat Kebudayaan di Indonesia). Namun, yang menjadi permasalahan adalah kaum mudamudi Indonesia merasa bingung harus bersikap seperti apa. Karena ketika mereka ingin bersikap sebagaimana tuntunan budaya yang tertanam pada sukunya, akan dianggap ketinggalan jaman, jadul, kuno, dan sebutan-sebutan lain-

Surat Pembaca 08381332xxxx

Masih banyak sekali kecurangan dalam pemilu termasuk dalam hal kepanitiaan serta pascaperhitungan suara terutama dalam pemilu HMJ Ilmu Politik. Banyak sekali kejadian yang seharusnya tidak perlu dilakukan seperti menendang tong sampah dan melempar botol air mineral ke salah satu kelompok,

jamansemana.com

nya yang cukup merendahkan. Sementara dalam kebudayaan Indonesia, saat ini sudah sangat jarang tokoh yang bisa dijadikan contoh dalam berperilaku sesuai dengan budaya asli Indonesia. Jika dulu ada Bung Karno yang berani mempopulerkan peci hitam khas Indonesia lalu Gus Dur dengan pakaian batiknya yang me-Nusantara, sekarang tren budaya kita bergeser ke arah kiblat budaya asing. Orang-orang lebih suka menggunakan baju-baju minim dan seksi ala barat, yang demikian itu menurut mereka agar dianggap modern dan sesuai dengan perkembangan jaman. Lebih parahnya lagi, wakil-wakil rakyat yang diharapkan bisa memberikan contoh yang baik terhadap rakyatnya malah bertingkah laku yang bukan merupakan produk budaya asli Indonesia, seperti: perilaku Korupsi,

dan terlihat seperti anak TK. Selain itu, kabarnya juga ada intervensi dari dosen yang terlihat membela salah seorang kandidat calon ketua HMJ. Masih ada embel-embel partai di sini yang justru berimplikasi pada kesenjangan di antara mahasiswa/i sebelum dan sesudah pemilu.

08577661xxxx

Proses open recruitment keanggotaan BEM FISIP ngawur, hal ini dilihat dari proses awal sampai akhir. Dimulai dari

Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merupakan warisan dari budaya para penjajah yang pernah menjajah indonesia. Maka, ketika para stakeholders pemerintahan meminta kaum muda agar tidak melupakan budaya bangsa sendiri, tampaknya mereka harus berkaca terlebih dahulu kemudian memberi contoh bagaimana berperilaku “Indonesia” agar kaum muda mempunyai figur yang bisa dicontoh. Alex Inkeles mengungkapkan tentang 9 ciri manusia modern yaitu : “Menerima hal-hal baru, Menyatakan pendapat baik tentang lingkungannya sendiri maupun luar, Menghargai waktu, Memiliki perencanaan dan pengorganisasian, Percaya diri, Perhitungan, Menghargai harkat hidup orang lain, Lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi, Menjunjung tinggi suatu sikap di mana imbalan sesuai dengan prestasi yang diberikan.” Dan tidak satupun dari sembilan ciri manusia modern tersebut menurutnya harus diperoleh dari kebudayaan asing (entah itu budaya arab, barat, dsb). Sehingga manusia Indonesia harusnya dapat bangga dengan budaya bangsa, turut serta dalam pemeliharaannya, meskipun harus dikemas dengan balutan budaya asing yang lebih relevan. Ketika kaum muda berperilaku sesuai dengan budaya asalnya (suku aslinya), entah dari suku mana, sebenarnya pada suatu titik mereka akan bertemu dalam sebuah tempat yang di situ bersemayam kebudayaan yang bernama Indonesia, karena Indonesia terbentuk dari saripati ke-

minimnya informasi yg didapat para mahasiswa FISIP sampai dengan kasus nepotisme yang menghinggap pada diri ketua BEM. Hal ini dibuktikan dan dipertegas dengan adanya mahasiswa yang tidak melakukan interview tetapi ia ke dalam struktur BEM. Ini merupakan sebuah penghinaan besar bagi seorang pemimpin yang diproses debat kandidat menjanjikan hal manis yaitu akan merangkul seluruh golongan. Tapi mana? Bullshit!

budayaan-kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Jika kita ingat puisi yang pernah dilantunkan oleh Bung Karno berjudul Aku Melihat Indonesia, yang penggalannya sebagai berikut: “Jikalau aku mendengar pangkur palaran, Bukan lagi pangkur palaran yang kudengarkan, Aku mendengar Indonesia” Pangkur palaran merupakan salah satu bentuk penyajian tembang jawa, yang merupakan salah satu bentuk kesenian khas di daerah Jawa. Namun, Bung Karno “mendengarnya” sebagai kesenian Indonesia, Khasanah Kebudayaan Indonesia yang harus dihargai dan dilestarikan. Prinsip seperti Bung Karno itulah yang seharusnya menjadi pola pikir (mindset) generasi-generasi muda Indonesia saat ini. Terutama para intelektual muda yang diharapkan sebagai pejuang ideologi bangsa, seharusnya mampu memelihara kebudayaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita yang sudah disepakati sebagai tuntunan hidup dari sejak dahulu kala. Dan para mahasiswa sebagai intelektual muda sah-sah saja memanfaatkan bantuan teknologi super canggih yang saaat ini sebagian besar merupakan produk asing, namun untuk menjadi mahasiswa modern bukan berarti malah meninggalkan apalagi sampai acuh tak acuh dengan budaya negeri sendiri. Bila hal itu yang terjadi, jangan pernah kecewa bila suatu saat atau bahkan sekarang budaya lokal kita sudah diakui oleh negara lain. *Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pend. IPS, Semester 8.

08577062xxxx

Menyoroti perihal beasiswa DIPA yang kemarin baru saja berakhir pendaftaran tahap 2. Namun, saya melihat banyak mahasiswa yang sebetulnya mampu, tapi rela untuk mengaku MISKIN dengan membuat SURAT KETERANGAN TIDAK MAMPU untuk syarat DIPA, apakah itu patut dilakukan oleh mahasiswa yang bisa dikatakan itu adalah pembohongan atau manipulasi data dan merupakan TITIK AWAL KORUPSI.


14

SENI BUDAYA

Edisi XIX/Mei 2012

Aku adalah engkau adalah aku adalah engkau Seperti engkau, aku telah diperlakukan tidak adil, Kau mengambil jalan lurus tapi kau dianggap murtad, Kau selamatkan dirimu sendiri tapi kau dianggap celaka, Kau merindukan dan mencintai Tuhanmu , Kau hormat pada nabimu, Tapi kau dianggap pemberontak!

Syekh Siti Jenar, Cinta Tuhan dalam Kemurtadan Aditya Putri

i

blis terus bersilat lidah, memojokkan Jenar. Mendogma, sesungguhnya Syekh Siti Jenar bagian dari dirinya, yang tak terpisahkan dan tak terbatas sehelai rambut pun. Dalam ketenangan persemediannya, Jenar terus mengelak dengan mengatakan sesungguhnya ia dan iblis berbeda. Ia bersikukuh, konsep Manunggaling Kawula Gusti bukan berarti memurtadkan Tuhan, melainkan turunan Wahdatul Wujud yang dicetuskan ulama sufi Al Hallaj dan Ibn Arabi. Artinya, Manunggaling Kawula Gusti adalah Wahdatul Wujud versi Jawa dan Siti Jenar adalah Al Hallaj Jawa. Tetapi Jibril tiba-tiba datang dan menuduh ia telah murtad karena tidak percaya pada konsep surga dan neraka. “Neraka Jahanam

tak lagi akan menghanguskanku, nyalanya yang berkobar-kobar telah aku padamkan dalam hatiku. Telah kuredakan api amarah, kudinginkan iri dengki dan cemburu benci dengan kesadaran dan belas kasih.” Bagian di atas adalah penggalan dari sesi latihan Teater Syahid dalam rangka menghadapi pementasan Syekh Siti Jenar Babad Geger Penging yang akan dilaksanakan di TIM 25-27 Mei nanti. Arie Batubara sang sutradara mengatakan, cerita Syekh Siti Jenar yang selama ini masih kontroversial coba ditampilkan Teater Syahid dalam sisi yang berbeda, “Jenar di sini bukanlah Jenar yang sesungguhnya, begitupun dengan para wali, tidak ada hubungannya sama sekali dengan sejarah,” Kamis (10/5).

Arie yang dikenal tegas dalam membimbing anak didiknya beralasan, Syahid mengambil pementasan ini untuk memperlihatkan kepada masyarakat tentang penganalogian kekuasaan, banyak keputusan dan suara hati nurani terdikte oleh mainstream yang ada. Jenar yang memilih mati ketimbang mengaku bersalah pada akhirnya muncul sebagai pemenang dalam pertarungan pemikiran. Sebaliknya, ia menjadi sosok kalah di tataran kekuasaan. Inilah yang dijadikan ekspresi pemikiran akan pandangan realitas hidup sekarang. Ketika jarum jam mulai mengarah ke angka sebelas malam, para aktor mengakhiri sesi latihan. Seorang pria terlihat melepas jubah yang selama dua jam dipakai, ia Iman Hamdani, orang yang

berperan sebagai Syekh Siti Jenar. Iman antusias bercerita, adegan bersemedi yang paling menantang baginya. Karena cara berkomunikasi dengan Tuhan melalui katakata berbeda antara sembahyang atau doa, “Seperti sembahyang sih, tapi sembahyangnya didialogkan,” katanya. Masa tiga bulan persiapan ternyata juga mencuatkan berbagai macam kisah di baliknya, “Dalam sebuah pagelaran, penyatuan emosi merupakan hal yang paling sulit,” tutur Rizky Kamil, pria yang didapuk menjadi Pangeran Darmacaraka. Kamil mengaku Teater Syahid berani mengambil tantangan dari Arie untuk pentas di TIM karena ingin mengaktualisasikan kemampuan, “Kita nggak ingin cuma dipandang jago kandang karena

Kunjungi...

hampir dua tahun pentas di dalam kampus.” Di sisi lain dari persiapan yang matang, pagelaran yang hanya tinggal hitungan minggu ini masih memiliki kendala yang cukup krusial. Dana yang dikumpulkan masih sebesar nol rupiah dari yang seharusnya Rp25 juta. Arie mengakui pementasan ini cukup bermodal nekat. “Walaupun begitu, kami tetap akan menampilkan sesuatu yang maksimal dan profesional,” ungkapnya optimis. Penonton akan dipastikan bertanya-tanya karena suguhan pertikaian benak antara pilihan yang tidak pas atau sinkron dan mengada-ada. Tertarik menonton? Datanglah pada 25-27 Mei mendatang.


SASTRA

Edisi XIX/Mei 2012

Cerpen...

Puisi... Oleh Kismayeni*

Kesendirian... Terlelap Diri Dalam Malam... Tak satu nada dan irama yang menemani... begitu sepi dan sunyi... bahkan gelap pun selalu membayangi... hitam... ya mungkin saja hitam... yang sebagian mungkin simbolis kesepian... apa yang terjadi ini... kesepian??? cekam aku... sadarkan aku... dari sepi, sunyi, kelam, dan sendiri bangunkan aku... aku ingin berlari dan berteriak... hingga apa yang terbelenggu bukan lagi pijakan tapi menjadi kapas2 kecil yang berterbangan menyusuri kebebasan...

Waktu Waktu terus berlari tanpa hentinya... Tanpa menunggu siapapun atau untuk sebuah janji... Semua berjalan sesuai keinginannya... Tak perduli siapa aku, kamu, dan yang lainnya... Semua akan sama, tuk hari ini, esok atw seterusnya... sesuai kemauannya... Aku mendekap dalam waktu... Berlari mundur dan berhenti... Mungkinkah aku berada dalam ketiadaan tanpa beban dan ketidakperdulian... Hampa...mati...dan gelap... Semua ternoda dengan tinta... Kapan ketiadaan itu bisa diisi menjadi sebuah permulaan...sedangkan senyuman tlah terkikis oleh waktu dan tangisan terbeku oleh dinginya deru angin... Menjadi sebuah ketidaknyataan tuk sebuah ilusi dan fiksinya catatan hidup...

Waktu Aku berdiri termangu dihadapan langit tak bertuan Memandang dan penuh tanya... Siapa aku... Berteriak Mengeluarkan Aroma Vokal... Tapi terkadang tak didengar, diindahkan, bahkan tak berasalan Memiliki ribuan ilusi pun terkadang tak kesampaian... Apa aku seorang yang lemah? Berada dalam pusaran kodrat yang selalu dipandang dibawah Apa aku tak mampu untuk berdiri beriringan? Semua tak seindah dengan puncak kemajuan dunia Semua hanya mampu berkoar untuk haknya... aku adalah aku yang selalu berada dalam pusaran kodrat... yang ingin bangkit tapi selalu tak mampu... karena mungkin selalu dipandang bawah olehnya... Mampukah aku?? Aku ingin juga berdiri...

*Penulis adalah mahasiswi FISIP dan aktif di UKM Teater Syahid

15

Boneka Hayatun Nufus*

Aku bisa melihat awan di wajahnya yang dingin, berarak-arak memenuhi setiap kerut dan cekungan mata yang terlihat tua, entah sudah berapa malam gelap tak sanggup menidurinya. Senja terlalu cepat turun di parasnya. Kita selalu memanifestasikan lukaluka dengan kesedihan, rasa yang layu kemudian mati. “Aku Cuma mau jadi orang kuat!” katamu, dengan seringai aku mengerlingkan mata kepadamu, aku tau Nitri kau lemah! Jasadmu yang berbicara. Aku tidak tau sesungguhnya seberapa dalam lukamu tapi aku memposisikan diri untuk jadi orang sok tahu. Tiap pagi sebelum kau bangun, aku telah menyiapkan air hangat, memanggang roti, dan menghangatkan susu vanilla rendah lemak. Kau selalu bilang, “ Aku takut gemuk.” Tapi kau telah jadi begitu kurus, Nitri. * Belum genap sebulan kau kecap manis hidup dengannya, dalam sebuah jalinan yang indah yang selalu kau banggakan di depanku. Matamu berbinar-binar setiap kali menyebut namanya. Kau juga tak akan mencuci wajahmu dua tiga hari lamanya, “Ada bekas bibirnya di wajahku, hangat.” Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan membuang wajahku jauh keluar jendela. Ada air yang merembes di kedua mataku, Nitri akan mendekatiku kalau sudah begitu, minimal pelukkan hangat mendarat di tubuhku lalu menyeka air mataku dengan bibirnya. Aku diam saja sampai separuh diriku sadar aku sedang dipermainkan Nitri Sebulan yang bagimu indah, ya… baru sebulan Nitri, senyummu padat dan murah. Tidurpun kau tersenyum. Tawamu renyah dan riang. Menonton film horor pun kau tertawa Nitri, sebahagia itukah kau? “Teddy, Sam memberiku cokelat, lihat demi Tuhan aku tidak akan memakannya, oh yah tolong belikan aku formalin untuk mengawetkan cokelat ini!” Kau tertawa riang, renyah… tiga hari yang lalu Sam memberimu bunga dan kau menangis seharian demi melihat semut yang entah dari mana datangnya merubungi tangkai bungabungamu, kau juga menyalahiku karena tidak menjaga bunga-bunga itu. Tiga hari kau mengabaikanku hingga cokelat ini, karena cokelat yang akan kau awetkan ini sirna gundahmu akan bunga-bunga dan ratusan semut. “Teddy, adakah yang lebih indah dari cinta dan ciuman pertama?” Senyummu padat! Aku selalu menyediakan telingaku untuk mendengarmu, telinga yang jika sedih selalu kau jewer-jewer bahkan kau gigit. Aku tidak menolak Nitri sedemikian kau permainkan aku. * Nitri, aku bertanya padamu, “Adakah yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kau cintai menderita?” kau diam Nitri, wajahmu menua. Senja terlalu cepat jatuh di parasmu. Aku menderita Nitri demi

melihat kau. “Sebulan itu tidak lama Nitri, ayo bangkit, seka air matamu!” “Teddy, kau tidak tahu apa arti sebulan!” “Aku tahu Nitri, waktu yang singkat!” “Teddy sebulanku penuh, sebulanku manis, sebulanku bergairah, sebulanku tertawa, sebulaku lupa diri, sebulaku sangat bahagia!” “Tapi Cuma sebulan Nitri, ayo keluar, jalan masih panjang!” “Teddy….” Kau tidak meneruskan kata-katamu. Kau bergegas keluar memutuskan perbincangan sore ini. Aku mengikutimu. “Teddy aku sedang ingin sendiri, pulanglah!” “Tidak Nitri, kau tak akan kubiarkan sendiri!” “Kau memang yang terbaik Teddy, tapi kau bukan Sam. Kau tidak tampan seperti Sam, kau tak pandai memetik gitar, kau tak … ahh Teddy mengapa Sam tidak sepertimu total mencintaiku!” “Ah.. Nitri.” “Sini berjalanlah di sampingku, aku selalu butuh engkau!” Aku mempercepat langkahku menyebelahimu. “Kita mau kemana Nitri?” “Kita akan ke bukit itu Teddy.” “Bukit? bukit yang mana Nitri, ada puluhan bukit disini!” “Bukit itu Teddy, bukit pertemuan terakhirku dengan Sam, Sam tinggal di sana, aku ingin ke rumah itu Teddy, rumah yang menolakku, Sam ada disana, aku akan…!” “Kau mau apa Nitri, ayo kita pulang saja, kau tidak akan baik-baik saja di sana!” “Tidak Teddy, Sam ada di sana, aku takut Sam sama sepertiku, patah dan menderita” “Tidak Nitri, Sam yang memutuskanmu, Sam akan baik-baik saja, ayo pulang Nitri, rumah itu akan membunuhmu!” Aku memelas memohon Nitri untuk tidak menghancurkan dirinya sendiri, demi Tuhan tak ada yang lebih menyakitkan selain melihat orang yang kau cintai perlahan-lahan menjadi gila. Dengan susah payah kucegah Nitri ke bukit itu menenmui Sam. Hal bodoh itu akan lebih menyakitinya. Aku tidak akan sanggup melihat Sam mengusir Nitri, rumah itu pasti akan mengunci rapat seluruh pintunya untuk Nitri. Aku membujuk Nitri untuk mengikutiku. “Nitri, aku punya tempat favorit kalau sedang patah hati, kau ingatkan

ketika Viona mencampakkanku, aku pergi ke tempat itu dan aku merasa lebih baik.” Nitri menurutiku, aku bimbing ia ke sebuah bukit yang lain jauh dari bukit Sam. “Lihat Nitri kau bisa melihat rumah kita dari sini, kau lihat itu rumah Viona, kita juga bisa melihat peternakkan Paman Oger yang menikahi Viona. Si gendut jelek itu memang brengsek! Kau juga bisa melihat rumah yang menolakmu, rumah Sam. Jangan bersedih Nitri, dari sini kita bisa berdoa petir akan menyambar rumah mereka. Kau bisa membayangkan Sam keluar dari rumahnya, wajahnya hangus tersambar petir, hahaha… aku juga akan membayangkan Viona dan suaminya yang jelek itu terbirit-birit mengejar ternaknya yang lari ketakutan karena petir menyambar-nyambar. Asik sekali kan Nitri, hahahah..” Kau tidak bergeming, tolonglah Nitri… tersenyumlah… “Teddy ayo kita pulang!” “Ya Nitri kita akan pulang.” Kau melingkarkan tanganmu di pinggangku. Kita begitu intim, kenapa kau tidak pernah bisa sepenuh hati melihatku. Ketahuilah Nitri, aku yang paling mengerti engkau, total mencintai engkau. “Sam si bajingan itu tahu apa tentang cinta?” “Tidak Teddy, jangan panggil Sam-ku bajingan!” “Apa namanya kalau bukan bajingan? Dia mencampakkanmu Nitri!” Kau menangis. “Teddy, apa ada yang lebih menyakitkan saat kau mulai belajar terbang seseorang memotong sayapmu? Aku baru saja melihat keindahan, Sam merenggutnya dariku tapi apa lantas aku harus membencinya? Menyumpahinya tersambar petir? Tidak Teddy, aku terlalu banyak mencintainya hingga jadi seperti ini. Masuklah ke kotakmu, aku ingin sendiri!” Nitri… biarkan aku menemanimu. * “Teddy… aku ingin membunuh seseorang!” Aku melihat belati di balik tangan yang kau sembunyikan, kau mendekatiku “Teddy… aku ingin membunuh…!” Slebb kau tikamkan belati itu tepat di dadaku. “Nitri… kau…!” * “Teddy maafkan aku, aku tidak akan pernah bisa membunuh Sam. Membunuhnya dari hatiku pun aku tidak mampu. Kau sangat baik Teddy, tapi aku ingin membunuh…!” * “Nitri, mengapa Teddy rusak begini? Kamu apakan dia?” “Aku bosan dengan Teddy Mah, belikan aku yang baru, aku mau kelinci atau panda Mah, aku tidak mau beruang lagi!” *** Tangerang, 3 Juli 2011 Hayatun Nufus


16

ESAI

Edisi XIX/Mei 2012

English Fever Toni Nur Ardiansyah*

S

ince the last century, English has become a very influential mean of communication. It is important to be noted that the dawn of English as global mean of communication cannot be avoided. English is one of important school subjects in many countries including Indonesia; its terms are used in every aspect of our lives, and even this article is written in English. We may have heard a saying that says “with English, you will have better future”; it seems that English has entered our veins and run along together with our blood, so it cannot be separated from our lives. The internet is the obvious example of the dominance of English in the world; in 1999, more than 75% of websiteswere in English. Employee seekers are likely to include English as one of their requirements. Whether we admit it or not it is a fact that we live in the world where English is an important language, and it has serious effect in our lives. The need of English has become a kind of disease which Stephen Krashen called as English fever, and like any other diseases, it has symptoms that indicate the disease.The fever will cause people to have great desire to master English and make sure that their children master it for their brighter future.We can say that almost everyone in this country has showed the symptoms; you can find English courseseverywhere, and it is even integrated to our education system. The use of English to explain lessons in RSBI/ SBI school is the proof of the fever; there are also playgroups, kindergartens, and elementary

schools that provide English as one of their leading subject. The idea to teach English since childhood is considered as the best option because people believe that the younger will learn better than the older, and it takes years to master a language, so it is better to start earlier. However, learning foreign language since childhood may cause different problem; that is, it may decrease students’ ability in Bahasa Indonesia as the national language. We have to realize the goal of English learning (especially in school) is not native-like accent; we don’t need our children to be able to speak English fluently because they don’t live in English speaking country. Every child has different future, and not all of their future is related with English. It means that our children have different needs in English, so our school job is to prepare our children to be competent enough to develop their own competence based on their needs. However, the fact is, after learning English since junior high school, we still have no enough competence in English and to develop our competence by ourselves. In this case, Krashen said that there are better ways to learn English rather than forcing our children to acquire it earlier. He pointed out that although younger learner may achieve native-like proficiency, and those who began in the adult may not, it doesn’t mean that adult cannot achieve high competent level. We, adult who still lack competence, still have a chance to improve our English efficiently; it requires two important ways; they are, getting a lot of comprehensible input and

reading for pleasure. It is important to understand that there are two terms used to explain two different ways in developing new (second) language; they are, acquiring and learning. The first one is acquisition, a similar way to the children’s way developing ability in their first language, and this is a subconscious process. The consequence of this way is also subconscious; we are generally not aware that we have acquired the rules of the language. We usually have a “feeling” for correctness about a grammatical structure; we just know that the sentences “sound” or “feel” right although we don’t know the name of the rule, and why it is right. The second way to develop competence in second language is learning. It means conscious knowledge of a language, knowing the rules, being aware, and being able to talk about them. With this way, we can explain why a sentence is grammatically right or wrong. These two different ways are responsible in two different things in our language performance. Acquisition is responsible for our utterances (speaking) and fluency, while learning is responsible for one function; that is, monitoring or editing our language production. Learning plays very limited role in our language performance because it has three necessary conditions to be met. The first is time; in order to use our conscious knowledge, we must have sufficient time to think, and it will disturb communication when people monitor their statements in conversation. The second is focusing on form; time is not

enough because when we monitor our language production, we think about grammatical correctness. The last is knowing the rule; we can monitor if only we know the rule.Therefore, there are people who are too hesitant to speak because they monitor their statements, but they fail because one of those requirements is not fulfilled. Based on that, we can conclude that the first thing we should do is acquiring and then learning. Just like when we were children, we acquired Bahasa Indonesia in our houses, and we learned consciously in schools. Then, the question is how do we acquire a language? We can acquire a language through extensive comprehensible input. We expose ourselves to English language through listening and reading, but it must be comprehensible. It means if we were in basic level, we must not listen and read something far beyond our level, so children books is the best input for basic level.Through recreational reading, we can get a lot of input; recreational reading here means reading for pleasure. It helps us acquire better because it fulfills psychological requirements needed to enhance acquisition. According to Krashen, p s yc h o l o g i c a l factors play important role in acquisition process. In his affective filter hypothesis, krashen explained that there are three fac-

tors which help someone to acquire better; they are motivation, self-confidence, and low-anxiety. When we read for pleasure, we have a high motivation to understand the meaning, not the structure; we don’t feel anxious of anything because we enjoy what we read, and we have the confidence and good self-image that we are able to understand the meaning of the book. To sum up, we must deal with English fever whether we like it or not because it has been an international language, but it doesn’t mean that we must sacrifice our children’s self-identity as an Indonesian because we force them to learn English very early. There are better ways to learn English; that is by strengthening our acquisition through comprehensible input and recreational reading. *Student of Tarbiyah and Teaching Sciens Faculty. He actives on Foreign Languange Asosiation (FLAT) organization.

Paradigma Film dan Eksistensi Budaya Eropa

B

eberapa waktu lalu saya sempat berkunjung ke pameran film di Jakarta yang diselenggarakan sebuah komunitas film Jakarta. Tema-tema film yang diusung pun kebanyakan bergenre Indie, dengan durasi film beragam, antara yang sangat pendek, setengah panjang, hingga sangat panjang. Pada hari pertama saya datang, film yang diputar adalah film Spanyol, di hari keduanya film Belanda, film Perancis di hari ketiga, dan yang diputar di hari keempat adalah film Jerman, yang bercerita seputar NAZI. Saya sempat bertanya-tanya, kenapa film dalam negeri tidak diputar di hari pertama sebagai film pembuka? Kenapa harus didominasi oleh film berlatar benua Eropa? Kenapa begitu banyak peminat dan penikmatnya? Pe r t a n ya a n - p e r t a n ya a n ‘Kenapa’ itu sulit dihentikan sampai saya mendengar seorang penonton berceletuk, “Bagus nih pameran, banyak film tentang budaya Eropanya, dari pada film Indonesia banyak esek-eseknya.”

Noor Rahma Julia* Heran! Itu sikap mental pertama yang saat itu hadir di sudut pikir saya. Penonton justru sangat senang dengan kehadiran film-film luar (padahal film luar pun belum tentu terbebas dari nilai esek-esek). Mereka merasa bangga bisa terlibat sebagai penonton, bahkan mulai memberikan penilaian seputar kualitas pameran film tersebut dengan kalimat pemantik “Bagus nih pemeran.” Memang tak bisa ditampik, fenomena budaya Eropa semakin menjamur di Indonesia. Bukan hanya dalam hal film, melainkan juga saat ini di Indonesia banyak didirikan institusi Eropa seperti Goethe Institut (Jerman), Erasmus Huis (Belanda), Instituto (Italy), dan CCF (Perancis) yang tentunya tidak luput dari citra budaya masingmasing. Berbicara masalah Budaya adalah berbicara mengenai manfaatnya. Dalam term Politik International, Josep Nye mengatakan budaya adalah Soft Power yang merupakan kebalikan dari bentuk kekuatan militer yang identik dengan penggunaan hard

power. Soft power digunakan untuk menggambarkan kemampuan elemen politik, seperti negara yang secara tidak langsung mempengaruhi perilaku dan kepentingan elemen politik lainnya. Bangsa Eropa memiliki kecenderungan superioritas budaya dibanding bangsa lainnya. Mereka sangat menjunjung tinggi identitas dan eksistensi negaranya, sehingga munculah istilah pembeda antara European dan Non-European. Bagi orang Eropa, kredibilitas budaya menunjukan kredibilitas identitasnya, dan juga sebagai ukuran sukses tidaknya Eropa membangun Sphere Influence (ruang pengaruh)-nya di suatu bangsa. Film, oleh bangsa Eropa tidak semata bertumpu pada persoalan etika audio visual. Lebih dari itu, film merupakan suksesi dari Sphere Influence cultural di Indonesia. Indikatornya adalah adanya komentar dari penonton yang sangat mengapresiasi film Eropa dan sebaliknya justru memarginalkan film Indonesia. Padahal, seyogyanya film

merupakan bagian dari karya bangsa yang mungkin menjadi aset dan warisan budaya generasi berikutnya. Film bukan hanya ditujukan untuk kepentingan industri hiburan, melainkan padanya tertanam nilai-nilai dan karakter peradaban. Jenis cerita dalam film merupakan representasi ide si pembuat film yang berisi seperangkat gagasan, pesan, nilai dan etika. Kekuatan ide dalam film bisa menghipnotis penonton dan menancapkan kesan mendalam tentang film yang bersangkutan. Masyarakat lebih mudah mengadopsi dan menginduksi nilainilai yang ada dalam film ketimbang nilai-nilai yang berasal dari kegiatan akademis atau institusi formal. Oleh sebab itulah, film menjadi bagian dari elemen budaya yang sangat diperhitungkan. Lantas, sudahkah film Indonesia merepresentasikan budaya bangsa? Dalam hal ini, tidak ada seorang pun yang bisa disalahkan jika budaya kita memang meng-alami dekadensi yang kemu-

dian berimbas pada segala hal, termasuk kualitas film. Tetapi juga, tak seorang pun berhak menyimpulkan bahwa film kita memiliki kualitas buruk dan sarat akan konten cabul, sehingga kalah saing dengan film luar. Dan itu tidak berarti kita harus bersikap pesimis dengan menomorduakan karya bangsa sendiri. Cinta film luar artinya cinta budaya luar. Yang harus kita lakukan saat ini adalah samasama memperbaiki dan memaksimalkan kualitas budaya kita agar dapat menjadi kekuatan bangsa yang diperhitungkan di kancah internasional, tentunya dengan cara yang santun dan etis. Bukan dengan sikap sinis dan apatis atau bahkan mencaci. Sedemikian pentingnya arti budaya bagi sebuah bangsa maka muncul suatu pameo bahwa “Cultur represents the third way of getting “want what you want”. *Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional, FISIP


Sosok

Edisi XIX/Mei 2012

Tak Usah Berharap Menjadi Pemenang

17

FOTO: DOK PRIBADI

Aprillia Hariani Di antara tatanan buku yang berjejer pada rak coklat kehitaman dalam sebuah kosan di kawasan Semanggi II, Ciputat. Dua penghargaan tegak berdiri mengukir nama M. Agung Raharja sebagai peraih Anugerah Jurnalistik Adinugeroho, kategori Jurnalistik Foto dan Aperesiasi Jurnalistik Jakarta dari Aliansi Jurnalis Independent (AJI). Seperti salah satu teori Filsafat mengenai Exitenz yang dikemukakan oleh Bochenski, bahwa Exitensi ada untuk menekankan keunikan individu. Agung, sapaan akrabnya mencoba mengkombinasikan eksistensi dari sebuah foto yang dapat menceritakan seribu makna, sebagai suatu keunikan. Menurutnya, foto dapat dikatakan unik jika dapat berbicara dengan ribuan makna yang terkandung di dalamnya. “Apapun sudut pandang yang diambil foto itu pasti dapat melahirkan katakata kepada setiap penikmatnya,” tutur Fotografer Antara yang mengalahan ratusan finalis pada penghargaan Adinugeroho ini. Agung bercerita, foto yang terpilih sebagai peraih penghargaan bergengsi itu diambil saat razia gelandangan. Dalam momen itu, terdapat anak kecil yang ditangkap kemudian dimasukan kedalam box satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP). “Fotografer yang lain mungkin

terus memburu kejadian di mana satpol PP menangkap gelandangan dan saya justru motret si anak ini di mobil box itu,” ujarnya yang mengaku menyukai foto lepas yang dapat mengeksplorasi sebuah momen. Pria kelahiran 10 September 1983 ini mengaku , ketertarikannya di dunia fotografi sudah sejak ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), saat itu pertama kalinya ia memiliki kamera jenis Single Lens Reflex (SLR), dan mulai mengeksplorasi hobinya tersebut dengan kameranya. Memasuki dunia kampus, Agung melihat ada salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang menarik minatnya, UKM itu bergerak di bidang fotografi. Demi mengasah hobinya, pada semester enam, ia terjun dalam UKM Fotografi Kalacitra. “Fotografi bukan dunia asing bagi saya, tapi untuk meraih dan fokus terhadap bidang itu, kita harus serius dalam menjalaninya. Kalacitra lah yang mem-

Foto karya Agung Raharja yang meraih pengharhargaan Adinegoro, katagori foto single dengan judul Razia PMKS.

bentuk saya untuk itu,” tuturnya, yang dulu bercita-cita menjadi fotografer, lantaran ingin keliling dunia secara gratis. Setelah mendapatkan tempaan pendidikan di Kalacitra dan menyelesaikan studi Filsafat di UIN Jakarata, ia langsung terjun menjadi fotografer di media nasional yang ternyata membuatnya mendapatkan beberapa penghargaan. Selain Adinegoro, dia juga pernah meraih berbagai penghragaan, salah satunya kategori Foto

Jurnalistik dari salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia. Saat ditemui INSTITUT di kosannya, ia menceritakan penghargaan yang telah diraihnya tidak perlu dibanggakan secara berlebihan. “Sebenarnya prinsip saya adalah kirim lalu lupakan. Artinya, rajinlah hunting kemudian potret, kirim keberbagai kompetisi lalu lupakan, jadi tidak berharap muluk untuk menang.” ujarnya sembari menampilkan beberapa

foto hasil karyanya. Kemudian, satu hal yang menarik dari Agung, ia tidak begitu penting foto dirinya ditampilkan INSTITUT. Lantaran ia menganggap bahwa karyanya lah yang perlu dikenal, bukan sosoknya. Sekali lagi ia berpesan bahwa karya mempunyai esensi yang dapat mempengaruhi. Maka motretlah menggunakan hati.

Komunitas

Peduli Sesama Lewat G-Publishing Achmad Rizqi

Gema Sukmawati bersama anak-anak pemulung saat mengedakan lomba mewarnai.

Desain mendesain bukan merupakan hal asing bagi mahasiswa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sudah banyak berdiri komunitas bahkan individu yang menggeluti dunia desain, meskipun pada dasarnya jarang yang mepunyai latar belakang jurusan desain. Desain grafis merupakan metode menyampaikan pesan visual berupa teks maupun gambar. Proses desain pada umumnya memperhitungkan aspek fungsi,

estetik dan berbagai macam aspek lainnya. G-Publishing, mungkin saat ini nama G-Publishing belum banyak terdengar di telinga para mahasiswa khususnya di UIN. Namun, salah satu pendiri komunitas ini mendapat penghargaan Wining Indonesia sebagai wanita yang menginspirasi banyak orang karena karyanya. Komunitas ini bergerak di bidang desain, seperti mem-

buat gambar Manga Muslim, mendesain kaos-kaos distro, menyediakan jasa web desain, membuat undangan pernikahan, dan juga bergelut di dunia fotografi. Ditemui INSTITUT di sebuah rumah makan, Gema Sukmawati sebagai pendiri, menceritakan tentang berdirinya G-Pulishing, berawal dari iseng-iseng pribadi belaka, dan kesukaannya dalam dunia desain, yang membuatnya sering membuat brand sendiri setiap desainnya. Kemudian, akhirnya terpikir untuk membuat suatu komunitas di bidang desain. Dibantu dengan tujuh orang temannya yang sama-sama menyukai dunia desain, mereka mendirikan komunias ini. Dan nama G-Publishing dipilih sebagai nama tetap komunitas ini. “Mengenai arti nama GPublishing, sebetulnya tidak begitu banyak mempunyai makna filosofis, kebetulan nama saya Gema jadi saya ambil saja huruf “G” dari nama saya,” ungkap

mahasiswi Jurusan Pendidikan Fisika, FITK, Minggu lalu. Tapi, bukan hal desain yang membuat komunitas ini istimewa. Ternyata komunitas ini mempunyai jiwa sosial yang cukup tinggi, salah satu yang sering dilakukan adalah mengadakan aksi bakti sosial yang membuat komunitas ini berbeda. uang hasil dari mendesain digunakan untuk membantu masyarakat yang kurang mampu. “Tak hanya mendesain kami juga sering mengadakan aksi-aksi bakti sosial kepada anak-anak desa binaan. Terakhir, kami mengadakaan lomba mewarnai di kampung pemulung,” kata mahasiswi semester 6 ini. Untuk mengadakan kegiatan bakti sosial, seringkali mereka bekerja keras. Sekitar 20-40% dari penghasilan yang didapat, mereka sumbangkan kepada orang yang kurang mampu. Namun, saat ini G-Publishing belum bisa menjadi donator tetap, mengingat penghasilan yang di dapat juga belum tetap. Komunitas G-Publishing dituntut untuk lebih belajar mandiri, dan berbagi ke orang lain. munculnya jargon Always Motivation, membuat komunitas ini terus berjuang dan terus bekembang.

Sampai saat ini, jumlah anggotanya sudah mencapai 19 orang. Untuk memperkenalkan GPublishing lebih jauh, mereka juga membuat jaringan, mereka membuat jaringan bersama Lembaga Dakwah Kampus (LDK) UIN untuk memperkuat jaringan kampus, sedangkan di luar kampus mereka membuat jaringan dengan Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Puskomda Banten, Forum Indonesia Muda, Media Frontline, Lembaga Pelatihan dan Pengembangan Diri SMILE for INDONESIA, Aksi Cepat Tanggap (ACT), dan Pos Solidaritas Umat. Gema pun berharap semoga G-Publishing terus berkembang luas, “Semakin banyak penghasilan G-Publising, semakin banyak pula sumbangan yang diberikan kepada orang yang membutuhkan,” ujar wanita kelahiran Sukabumi 21 tahun yang lalu.


18

TEKNO

Edisi XIX/Mei 2012

Merasakan Suasana dengan Virtual Reality 360º apan terakhir Anda ke museum? Belum pernah berkunjung ke museum karena lokasinya jauh? Atau Anda belum pernah melihat keindahan panorama daerah di Indonesia? Saat ini Anda bisa berkunjung ke museum atau melihat suatu tempat seakanakan melihatnya langsung tetapi anda tetap berada di tempat Anda sekarang. Teknologi yang bisa menghadirkan museum atau suatu tempat dalam sebuah simulasi komputer ini bernama Virtual Reality 360º (VR 360º). Menurut Wikipedia, virtual reality sendiri merupakan teknologi yang membuat pengguna dapat berinteraksi dengan suatu lingkungan yang disimulasikan oleh komputer (computer-simulated environment), suatu lingkungan sebenarnya yang ditiru atau benar-benar suatu lingkungan yang hanya ada dalam imajinasi. Dengan teknologi Virtual Reality 360º ini suatu ruangan dapat dipetakan dengan foto secara 360 derajat, sehingga orang yang mengakses layanan tersebut dapat melihat dan merasakan dengan jelas kondisi fisik sesungguhnya dari ruangan tersebut. Seseorang dapat mengeksplorasi suatu lokasi melalui komputer, lap-

K

Kata Ahli...

top, tablet, ataupun ponsel pintar secara interaktif seolah-olah berjalan dari suatu ruangan ke ruangan yang lain. Cukup dengan akses internet, browser, dan bandwidth yang lumayan untuk mengakses layanan tersebut. Di Indonesia salah satu yang sudah menghadirkan layanan VR 360º yaitu www.indonesiavirtual.com yang didukung oleh Smarta Indonesia. Anda dapat melihat panorama Pantai Penyusuk di Bangka Belitung dalam fotografi 360 derajat. Anda juga dapat melihat beberapa tempat yang dikemas dengan teknik yang sama disana. Teknologi fotografi Virtual Reality 360º ini juga cocok sebagai media promosi kafe, hotel, tempat wisata, atau bahkan universitas. Ursa Madjor merupakan salah satu yang mendukung fasilitas tersebut digunakan sebagai media promosi para pelaku bisnis. Ada lagi layanan lain yang membawa museum ke dalam media ini yaitu The Museum Project yang dibesut oleh idVR360. The Museum Project hadir untuk memudahkan semua orang untuk mengeksplorasi museum-museum di Indonesia dengan lebih menarik. Diharapkan masyarakat dapat mengenal

museum-museum di Indonesia dengan lebih baik. Dengan hadirnya VR 360º dari museum tersebut tidak ada alasan kendala geografis lagi untuk tidak mengunjungi museum meskipun tidak langsung. Saat ini yang sudah berhasil dibuatkan virtualnya adalah Museum Konferensi Asia-Afrika yang ada di Bandung dan Museum Negeri NTB. Menurut situs wujudkan.com, diharapkan akan ada 10 museum lagi yang siap terdokumentasikan dalam idvr360.com dan akan terus bertambah. Ini salah satu manfaat positif dari teknologi yaitu hadir untuk mempermudah mendapatkan informasi. Tentunya semua aplikasi teknologi diatas tidak dapat menggantikan pengalaman langsung berkunjung ke museum, melihat panorama pantai, dan keindahan alam di Indonesia. Namun, setidaknya orang-orang terpicu untuk mengunjungi tempattempat tersebut secara langsung dan mendapatkan informasi yang lebih banyak. * Mahasiswa Semester 8 – Jurusan Teknik Informatika

Konsultasi Kecantikan Dokter Wiwit Andhika

Rubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel

Dok, saya Denias. Saya mau tanya dok, apakah bibir kita punya potensi ganti kulit dan warna? Soalnya, saya pernah dengar bahwa bibir juga bisa berganti warna. Kalau benar demikian, bagaimana caranya? Adakah tips khusus agar bibir kita terlihat lebih merah? Kalau dengan cara medis, seperti apa penangannya? Terima kasih Jawab Dear Denias, Perubahan dapat terjadi pada semua bagian tubuh, baik fungsi, bentuk ataupun warnanya. Bibir memiliki kulit yang lebih sensitif dibandingkan dengan bagian tubuh lain. Oleh karenanya, kita harus lebih berhati-hati dalam merawatnya. Perubahan warna dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya gaya hidup, merokok, dan penggunaan kosmetika bibir (pelembab, lipstick, foundation, dll) yang kurang tepat. Bila telah terlanjur terjadi kerusakan pada bibir seperti kering atau berwarna lebih gelap, pertama kali harus dicari faktor pe-

nyebabnya dan dihentikan semua pemicu kerusakan tersebut. Penanganan oleh dokter kadang diperlukan, di mana akan diberikan nutrisi ataupun obatobatan yang dapat mengembalikan keadaan kulit bibir agar sehat kembali. Tips khusus adalah jagalah asupan nutrisi tubuh sehingga sel-sel kulit selalu dapat beregenerasi dan tetap menjaga hidrasi kulit dengan banyak minum air putih atau cairan alami lain seperti jus buah, hindari faktor pemicu kerusakan dan gunakan kosmetika yang baik dan sesuai dengan kondisi kulit. Penggunaan madu telah banyak diteliti untuk menjaga kelembaban dan kesehatan kulit bibir. Salam dokter. Terlebih dahulu perkenalkan nama saya juga Wiwit. Dok, dulu teman saya pernah mengikuti perawatan suntik agar kulit terlihat lebih bersih dan putih. memang hasilnya pada saat itu kulit teman saya terlihat lebih mulus, rata, dari kaki sampai muka kaya

artis-artis. Lalu dia pun menyarankan saya untuk mengikuti hal yang sama, karena mungkin melihat warna kulit saya yang sedikit gelap. Namun saya merasa hawatir kalau ada efek samping nya di kemudian hari? Apakah perawatan suntik pemutih seperti itu aman dok? Lalu bagaimana caranya agar kulit kita terlihat mulus dan bersih seperti artis-artis secara alami? Terima kasih atas perhatiannya. Jawab Halo Wiwit, Perawatan dengan tindakan suntik putih memang banyak diminati karena dianggap cepat memberikan hasil yang kita inginkan. Pada dasarnya, obat-obatan yang digunakan termasuk dalam katagori vitamin yang berfungsi sebagai antioksidan. Seperti kita ketahui, antioksidan berperan penting dalam melawan radikal bebas penyebab kerusakan sel yang mengakibatkan penuaan dini dan tampak sebagai, salah satunya, kulit yang kusam. Juga banyak faktor lain yang mem-

pengaruhi kondisi kulit seperti lingkungan dan pola hidup, seperti polusi, sinar matahari, stres dan lain sebagainya. Tubuh kita sebenarnya sudah mempunyai pertahanan terhadap kondisi/bahan yang merusak, tetapi seiring bertambahnya usia pertahanan tersebut makin berkurang, di situlah peran vitamin tambahan yang kita berikan. Bila dilakukan dalam pengawasan dokter tindakan suntik seperti itu aman, apabila tidak ditemukan reaksi sensitifitas atau alergi dan dengan dosis yang benar. Efek samping selalu ada untuk sebuah tindakan medis, oleh karenanya harus dilakukan dibawah pengawasan dokter. Untuk mendapatkan kulit yang sehat dan bercahaya secara alami kita harus menjaga kebersihan kulit, menjalankan pola hidup sehat, dibantu dengan tindakan khusus seperti lulur, masker serta penggunaan lotion pelembab yang mengandung bahan alami seperti bengkoang, licorice, arbutin, dan lain-lain yang sesuai dengan kondisi kulit.

Silakan Kirim Tulisan Anda ke Rubrik Konsultasi ini Melalui email lpm.institut@yahoo.com


WISATA

Edisi XIX/Mei 2012

KAMPUS

19

Hosen Culinary: Berkah dengan Bismillah Noor Rahmah Julia

P

ernahkah Anda mencicipi penganan tanpa campuran penyedap rasa petsin dan semacamnya? Jika jawaban Anda belum pernah, maka Anda wajib datang ke Hosen Culinary, rumah makan ayam dan bebek yang semua menunya bersih dari campuran penyedap rasa. Upi, sang pemilik restoran memang sengaja tidak memasukan campuran itu demi menjaga agar makanan selalu sehat tanpa bahan kimia. Walaupun demikian, masakan Upi tetap saja jempolan. Bagi perempuan keturunan Jogja-Bangka ini, memperkuat fondasi rasa dalam masakan itu adalah wajib hukumnya. Karena itu, ia kerap mencicipi masakannya terlebih dahulu sebelum dihidangkan di meja pelanggan, “Sebelum kita ngerasaian enak ke orang lain, kita bikin enak dulu di lidah kita,” tuturnya bersemangat. Pernah suatu ketika, tempat makan Upi didatangi laki-laki gondrong yang berpenampilan mirip preman. Setelah selesai makan, pria tersebut terlihat bulak-balik di sekitar restoran. Upi sempat curiga dengan gerak-gerik sang pria. Namun, tak disangka ternyata sang pria hanya ingin mengatakan bahwa masakan Upi sangat enak. “Dikira mau ngapain, kan penampilannya kaya preman. Ternyata bulak-balik cuma pengen bilang masakan saya enak banget,” ujar Upi sambil tertawa senang. Untuk bisnis penganannya yang satu ini, Upi jelas tidak main-main. Walaupun baru dibuka 7 bulan, namun Upi tetap ingin melayani pelanggannya sebaik mungkin, “Saya selalu bertanya sama pelanggan, bagaimana makanannya dan apa yang kurang. Prisnsipnya saya tidak ingin mengecewakan pelang-

gan.” Saking mengutamakan kualitas, Upi sampai-sampai selalu menyediakan stok makanan yang masih segar, mulai dari bebek, ayam, ikan sampai sayuran yang kondisi nya dijamin masih fresh, “Di sini cara ngolahnya sehat, biar bebek sama ayamnya nggak amis. Bahkan, sambel pun kita bikinnya dadakan. Karena saya suka yang fresh,” katanya.

Sebagai pengusaha restoran pemula ia harus bekerja keras mengatasi berbagai kendala yang datang. Terutama untuk menyediakan bahan dasar penganannya. Terkadang, Upi harus sampai memesan ke Bekasi. Bebek misalnya, akan sangat sulit dicari ketika musim panen tiba, karena unggas ini akan dilepas petani untuk memakan gabah sisa panen, “Sehingga petani tidak sibuk lagi mencari

makan buat si bebek,” terang wanita yang pernah menekuni usaha butik ini. Lain halnya ketika musim paceklik tiba, justru bebek banyak dijual, karena petani kebingungan mencari makan untuk bebek. Namun, tidak hanya menyoal kendala bahan makanan, Upi juga menemui kendala eksternal lainnya. Tak jarang Upi menemukan sikap kecemburuan orang terhadap tempat makannya. Bahkan, Upi sempat menerima sms dengan nada ancaman. Pernah suatu ketika, restoran Upi didatangi banyak lalat selama 3 hari berturut-turut, “Itu lalat nggak ilangilang padahal udah saya kasih lilin. Akhirnya, saya baca salawat sambil nangis sama Allah. Alhamdulillah besoknya itu lalat ilang semua,” kenangnya lalu tersenyum. Ujian tersebut memang tidak mudah bagi Upi. Namun dalam bisnisnya ini, ia tak luput memanjatkan doa pada sang Ilahi, “Saya setiap mau nyambel bismillah dulu, mau masak juga pake bismillah dulu, biar berkah,”katanya. Sekalipun dihantam banyak ujian, restoran Upi tetap saja laku. Traffick pengunjung jarang berkurang, dan rata-rata pengunjung yang datang selalu ketagihan dengan makanannya. Bebek yang menjadi menu andalan restoran ini selalu menjadi primadona, “Peminatnya banyak, dan yang ketagihan juga banyak,” ujarnya. Di restoran Upi ini, harga bebek di patok 27 Ribu per porsi, tapi tidak usah khawatir, karena harga sesuai rasa, dan rasa yang akan menentukan selera. Jika Anda berkunjung ke sini, dijamin Anda akan kembali lagi! Selamat ber-yummi ria..

Iklan

Sambungan.... UIN Jakarta perlu Optimalisasi Integrasi Keilmuan Ketika mempertanyakan efektivitas integrasi bagi mahasiswa sendiri, Pembantu Dekan (Pudek) I Bagian Akademik, Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Agus Salim mengatakan, belum ada evaluasi resmi tentang efektivitas integrasi ilmu terhadap mahasiswa, “Ya, paling menyebar angket kepuasan mahasiswa terhadap mata kuliah itu belum ada. Tetapi secara pribadi, ketika saya mengajar mata kuliah dengan ayatisasi, bagi mahasiswa itu menarik.” Agus Salim mengatakan, salah satu upaya integrasi di FST adalah dengan mencantumkan mata kuliah yang bernuansa Islami yaitu filsafat sains dan ekologi. Ada dua model yang diharapkan oleh Agus Salim, yaitu secara ontologi dan ayatisasi. Model ontologi artinya dosen harus menguasai hakikat ilmu, “Artinya ilmu itu dari mana asalnya,” katanya. Dosen-dosen di FST pun dalam mengajar diharuskan menam-

bah buku-buku referensi agama mereka dan memasukan ajaran Islam ke dalam silabus. Kemudian dihubungkan antara pelajaran umum dengan agama, hal tersebut dinamakan model ayatisasi Al-Quran. “Misalkan ketika membahas suatu jenis molekul, itu bisa dijelaskan dengan ayat ayat Al-Quran. Namun, hal tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan dosen,” tegasnya. Dia mengaku tahap ini masih terus diperbaiki oleh pihaknya. “Integrasi itu kan gampang diucapkan tapi susah dilaksanakan,” kata Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Abdul Hamid, (10/5). Sedangkan FEB sendiri berupaya mengintegrasikan ilmu dengan menggunakan dosen umum dan agama. Upaya yang sudah dilakukan itu ternyata tidak cukup efektif, dosen umum juga harus bisa memberikan nilai-nilai agama dalam mengajar. “Misalkan untuk mata kuliah ekonomi

mikro, dosen harus bisa menjelaskan integrasi agamanya. Artinya, dosen-dosen umum juga mempelajari ilmu agama,” ujar Abdul Hamid. Integrasi ilmu dalam tahapan ontologi Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan integrasi keilmuan pada tahapan ontologis, ilmu itu hanya satu. Cabang ilmu yang menonjol ada empat. Ilmu alam, semua ini, aspek-aspek tersebut, semuanya termasuk ilmu alam. Yang kedua, humaniora, seperi psikologi, filsafat. Yang ketiga, ilmu sosial: sosiologi, ilmu politik itu. Begitu pula dengan fakultas kedokteran, yaitu, campuran antara ilmu alam dan humaniora. “Ilmu alam karena berbicara ilmu eksak, humaniora karena menyangkut manusia. Kalau fakultas adab, nah itu kandungannya ilmu sosial, bicara sejarah,” ujar Komarudin.

Baca!


20

Edisi XIX/Mei 2012

Pemuda dan Perjuangan Foto Oleh: Achmad Rizqi FITK, Pendidikan IPS ... Kenapa maksud baik tidak selalu berguna/ Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga/ Orang berkata. “Kami punya maksud baik,” dan kita bertanya. “Maksud baik untuk siapa?” Ya. Ada yang jaya, ada yang terhina/ Ada yang bersenjata, ada yang terluka. Ada yang duduk, ada yang diduduki/ Ada yang berlimpah, ada yang terkuras/ Dan kita di sini bertanya. “Maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak yang mana?” ... (Sajak Pertemuan Mahasiswa-WS Rendra)

Kirim foto Anda ke lpm.institut@yahoo.com untuk dipamerkan di rubrik Tustel, foto dalam format JPEG beserta narasinya. Tema tustel untuk tabloid selanjutnya adalah ‘Wanita dan Perjuangan’.

“Barisan Polisi”

“Menuju Perubahan”

“Petasan Aparat”

Iklan

“Presiden Perdamaian”

Masang iklan? Siapa takut!!! Hub. 085781157788

“Berjuang”


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.