Edisi XXII/Oktober 2012 - Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta - www.lpminstitut.com
Editorial Setelah Kode Etik Mahasiswa Dijalankan Ketika OPAK kemarin, mahasiswa baru menerima Buku Saku Panduan Kode Etik Mahasiswa UIN Jakarta. Peraturan itu merupakan hasil revisi dari pihak rektorat. Lalu ada dua pertanyaan yang harus dijawab rektorat, kenapa peraturan itu hanya disosialisasikan pada mahasiswa baru saat OPAK kemarin, tidak secara keseluruhan? Kemudian, mengapa mahasiswa tak dilibatkan dalam perumusan kode etik? Bila rektorat berpendapat dua hal itu sudah dilakukan, pertanyaan selanjutnya kapan dan siapakah mahasiswa yang dilibatkan? Seluruh mahasiswa UIN Jakarta terutama yang menginjak semester menengah ke atas jika ditanya kode etik, mungkin mereka akan menjawab tidak tahu, atau menggelengkan kepala. Tak ada sosialisasi. Mereka tak tahu kalau berbicara kotor, merokok, agitasi, provokasi, dan berpendapat tidak santun itu suatu pelanggaran kode etik. Satu contoh, lucu saja kalau di kantin ada mahasiswa yang berbicara kotor, tiba-tiba langsung diberi sanksi, dan ia sendiri tak menyadari perbuatannya itu pelanggaran suatu kode etik. Belum lagi beberapa pasal dalam kode etik yang ambigu, masih bisa diperdebatkan bersama-sama. Di Buku Saku Panduan Kode Etik Mahasiswa tertulis mengenai hak mahasiswa, salah satunya berpendapat yang santun. Dapatkah diberi rincian ukuran santun seperti apa? Selanjutnya peraturan dilarang berbicara kotor. Sama seperti kata santun, kata apa saja yang dikategorikan kotor? Ini sangat membuka peluang multitafsir atas peraturan itu, apa yang dimaksudkan mahasiswa berbeda dengan rektorat. Tak bisa seenaknya memposisikan mahasiswa sejajar dengan anak sekolah yang menuruti saja peraturan yang ada. Mahasiswa merupakan individu yang berpikir bebas dan kritis. Apalagi iklim di dunia kampus tempat bertarungnya pemikiran. Segala persoalan diselesaikan secara ilmiah. Kita tentu dapat mengikuti peraturan jika peraturan itu dibuat tidak dipandang dari satu sudut pandang saja melainkan semuanya, serta mengganggap bahwa mahasiswa itu bukan lagi anak-anak. Setidaknya persoalan itu akan tereleminir kalau sang penyusun kode etik memperhatikan aspek sosialisasi dan representasi. Rektorat sebagai pihak yang lebih berpengalaman tentu peka melihat aspek ini. Terlihat lebih bijak andaikan kedua aspek itu dipenuhi dalam perumusan kode etik ini, sehingga peraturan yang ada tidak mengecewakan salah satu pihak.
Kode Etik: Adu Perspektif Mahasiswa-Rektorat
Muji Hastuti
Tahun ini, para mahasiswa baru UIN Jakarta dibagikan Buku Saku Panduan Kode Etik Mahasiswa. Buku ini berisi kode etik lama yang telah direvisi rektorat. Namun, terdapat beberapa pasal yang tidak disepakati beberapa mahasiswa karena keredaksiannya yang membingungkan.
Adapun beberapa jenis pelanggaran yang tidak sejalan dengan mahasiswa, pertama, seperti pada pasal 10 poin 2 yang berisi bahwa mahasiswa tidak boleh melanggar standar busana dan penampilan. Bagi Anwar, Ketua Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI), kedetailan pada pakaian mahasiswa yang panjangnya 30 cm dan mahasiswi 20 cm dari pinggang ke bawah terkesan terlalu memaksa mahasiswa. Tak hanya itu, pada pasal 7 poin C dijelaskan, mahasiswa tidak dibe-
narkan berambut gondrong. Anwar mengaku tidak setuju degan pasal tersebut. Baginya, setiap orang itu memiliki karakteristik yang berbeda, apalagi perihal rambut. Selain itu, bisa jadi beberapa mahasiswa merasa lebih percaya diri bila memiliki rambut panjang. “Untuk apa diseragamkan, mahasiswa itu bukan hewan,� tukasnya. Zahrotun Nihayah, salah satu tim perumus buku saku menanggapi pendapat Anwar dengan balik bertanya. Bersambung ke hal. 15 kol. 2
Resensi Baca selengkapnya.. Hal.
13
Narasi Revolusi dalam Facebook
Sosok
Baca selengkapnya... Hal.
Ketika Kebingungan Melahirkan Prestasi
11
Laporan Khusus Baca selengkapnya...
Hal.
3
Sediakan Ruang Khusus Merokok!
2
LAPORAN UTAMA
Salam Redaksi
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Sangat kami sayangkan, Tabloid Edisi XXII bulan Oktober yang berada di tangan pembaca yang budiman merupakan edisi terakhir di semester ini. Berawal dari dana kemahasiswaan yang tidak mencukupi penerbitan cetak sampai akhir semester ganjil, maka kami tidak bisa memaksakan diri untuk terbit seperti biasanya. Faktor dana menjadi sangat signifikan. Andai saja pihak rektorat sebagai stasiun pemberhentian dana kemahasiswaan memberi tahu sejak awal bahwa anggaran dana kemahasiswaan untuk UKM hanya 26 Juta per tahun, kami bisa bersiap sedari awal menghadapi itu. Yang kami tahu, setiap UKM mendapat 26 Juta per semester seperti tahun sebelumnya yang mengacu pada kongres. Memang, seharusnya dana tidak menjadi alasan untuk tidak terbit. Namun, faktanya sekitar 70 persen penerbitan berasal dari uang mahasiswa, sedangkan 30 persen berasal dari iklan. Akan menyulitkan andai saja kami balik menjadi 30 persen dari uang mahasiswa dan 70 persen dari uang iklan, dan kami tetap berikan tabloid gratis! Dari itu semua, kami selalu upayakan yang terbaik bagi pembaca setia yang budiman untuk tetap bisa menikmati sajian berita kami. Pembaca yang budiman bisa tetap menikmati sajian kami lewat media online. Dan sampai sekarang pun, akan tetap kami usahakan agar pembaca yang budiman bisa menjangkau lebih dekat berita kami. Salah satu upaya kami yang terbaru adalah terbitnya Majalah INSTITUT. Saat tabloid tak bisa kami paksakan untuk terbit, tapi majalah kami tetap paksakan untuk terbit. Meski tanpa uang sepeser pun dari mahasiswa, kami tetap cari ke sana-ke mari. Memaksakan diri dikarenakan pracetak majalah sudah rampung 95 persen, tinggal menunggu cetak. Tapi uang tak ada. Maka dari itu, prioritas kami yang realistis adalah memaksakan majalah terbit dan meninggalkan tabloid terbit. Sekali lagi, uang sangat vital. Sebagai salam perpisahan, kami selalu teringat ungkapan Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Demi keabadian, kami tetap menulis. Bekerja untuk kepentingan bersama lewat tulisan. Berteriak untuk yang tertindas lewat tulisan. Mengkritik bagi semena-semena lewat tulisan. Sekali lagi, demi keabadian, untuk dicatat dalam sejarah. Sampai jumpa lagi. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Edisi XXII/Oktober 2012
Mahasiswa Tidak Tahu Kode Etik untuk Siapa?
Kiky Achmad Rizqi & Rahayu Oktaviani
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Nomor: Un. 01/R/HK.005/12/2012 tentang Kode Etik Mahasiswa tahun ajaran 2012-2013 membuat sejumlah kalangan mahasiswa lama kebingungan, karena kurangnya sosialisasi oleh rektorat serta tidak melibatkan mahasiswa dalam penyusunan kode etik tersebut. Sebagai ketua tim revisi kode etik mahasiswa, Muhbib Abdul Wahab menyampaikan, dalam pembuatannya semua tim revisi ikut, dan sebetulnya ini sudah pernah diuji publik. Dalam uji publik tersebut, semua kepala jurusan (kajur) dan pimpinan fakultas diundang. Bahkan, perwakilan mahasiswa juga diundang. “Jadi pada saat itulah halhal yang belum ada di dalam kode etik lama dapat diusulkan, seperti undang-undang (UU) aborsi yang diusulkan oleh dosen kedokteran karena melihat maraknya kasus tersebut, terutama di kalangan anak muda,” jelasnya, Rabu (3/10 ). Mengenai mekanisme pembuatannya, Muhbib menuturkan, kode etik yang lama dibagikan kepada tim revisi, setelah itu barulah tim memberikan usulan, sanggahan, kritikan, dan penambahan. Setelah rapat secara intensif, barulah draf diuji publik terlebih dahulu sebelum diberikan SK rektor. “Dan lahirlah kode etik yang sudah direvisi dan diuji publik itu. Sekalipun uji publik tidak benar-benar uji publik, karena tidak semua dosen dan semua mahasiswa mengikutinya. Tapi yang ikut dirasa dapat mewakili semua mahasiswa dan dosen yang ada di UIN Jakarta,” paparnya. Tujuannya menjadikan mahasiswa yang baik, membuat ketentraman, kenyamanan, dan keadaan kondusif di kampus. Mengenai sosialisasi, Muhbib menjelaskan, pelaksanaan sosialisasi saat OPAK kemarin agar dibaca pada awal perkuliahan. Sedangkan untuk semester lama belum dibagikan, tapi diharapkan bagi yang mengetahui turut menyebarkan. “Bagi yang belum mendapatkan, silahkan unduh di website UIN Jakarta, jadi tidak ada alasan lagi untuk tidak mengetahui kode etik ini. Kebijakan pembagian pedoman kode etik itu sama rektorat, dan saya berharap kode etik ini dapat dibagikan ke seluruh mahasiwa. Tidak hanya dimiliki tapi juga dibaca, dan di-
patuhi,” ungkap Muhbib. Terkait biaya pembuatan Buku Saku Panduan Kode Etik Mahasiswa, Kepala Sub Bagian Pengembangan Mahasiswa dan Alumni, Masruri, menyampaikan biaya pembuatan buku saku tersebut merogoh kocek Rp9.900.000 dana tersebut diambil dari Rancangan Biaya Anggaran OPAK. Buku tersebut dicetak 6000 eksemplar. 5000 eksemplar untuk mahasiswa baru dan sisanya untuk sosialisasi.
Belum layak publik
Buku Saku Panduan Kode Etik mahasiswa berisi 9 bab dan 49 pasal ternyata menurut Masruri, belum dilakukan uji publik ke seluruh sivitas akademik, baru tim revisi saja. Mestinya nanti diadakan workshop sekaligus uji publik. “Kita nanti bisa siapkan anggarannya, siapa saja pesertanya dan di situ kita terima kritik dan saran. Jadi, semuanya mengetahui isinya dengan jelas dari kode etik tanpa ada pro-kontra lagi,” paparnya. Hal serupa juga disampaikan Ketua BEM FITK Didin Sirojudin. Dirinya tidak dilibatkan sama sekali dalam pembuatan kode etik tersebut, bahkan tidak mengetahui adanya revisi kode etik. “Seharusnya rektorat mengajak mahasiswa untuk membuat kode etik, misalnya melalui seminar atau workshop. Setidaknya ada perwakilan mahasiswa untuk memberikan pendapatnya mengenai isi dari kode etik,” katanya. Hadirnya Buku Saku Panduan Kode Etik Mahasiswa merupakan sebuah aturan bagi mahasiswa agar berlaku etis di lingkungan kampus. Sebenarnya, tanpa ada kode etik pun seharusnya mahasiswa dapat melakukan aktivitas yang tidak melanggar etika. Untuk saat ini implementasi kode etik memang belum maksimal. Salah satu penyebabnya adalah belum sadarnya setiap orang, dan masih bertanya-tanya siapakah yang berhak mengatur mahasiswa.
SK Kode Etik Mahasiswa
Pemimpin Umum: Dika Irawan | Sekretaris: Trisna Wulandari | Bendahara Umum: Muji Hastuti | Pemimpin Redaksi: Muhammad Fanshoby | Redaktur Pelaksana: Umar Mukhtar | Redaktur Online: Rahmat Kamaruddin | Web Master: Makhruzi Rahman | Redaktur Foto : Ibnu Affan | Redaktur Bahasa : Ema Fitriyani | Artistik : Hilman Fauzi | Ilustrator : Jaffry Prabu | Desain Grafis: Ahmad Rizqi | Pemimpin Perusahaan: Noor Rahma Yulia | Iklan & Sirkulasi: M. Umar | Marketing & Promosi: Aprilia Hariani, Rina Dwi Fitriyani | Pemimpin Litbang: Abdul Charis | Riset: Aditya Putri | Pendidikan: Egi FA & Iswahyudi | Kajian: Aditia Purnomo | Dokumentasi: Aam Mariyamah & Rahayu Oktaviani
Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa INSTITUT UIN Jakarta SK. Rektor No.23 Th. 1984 Terbit Pertama Kali 1 Desember 2006
Koordinatur Liputan: Trisna Wulandari Reporter: Aam Mariyamah, Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Kiky Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Kamaruddin, Trisna Wulandari Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Jong, Editor: Oby, Egi, Ibnu, Dika, Iswahyudi Ilustrator: Rahman, Ulan Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-133-1241 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.
LAPORAN UTAMA
Edisi XXII/Oktober 2012
3
ADIT/INSTITUT
Sediakan Ruangan Khusus Merokok! Aditia Purnomo
Rokok adalah barang legal. Namun, peredarannya di UIN Jakarta kini dibatasi oleh Kode Etik Mahasiswa terbaru. Terlebih, terdapat hukuman denda Rp50.000 bagi yang melanggar peraturan itu. Jika mengacu pada UU 36/2009 tentang kesehatan, maka tempat-tempat umum harus menyediakan ruangan khusus merokok. Menurut Mulky Hayun, mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam, kebijakan pelarangan merokok ini berlebihan. Mulky yang bukan perokok menganggap perokok memiliki hak untuk merokok. “Selama yang merokok tahu tempat dan yang tidak merokok tahu tempat, sama-sama menjaga hak saja,” katanya (10/10). Ia menambahkan, perokok juga harus punya etika dan kesadaran jika tak semua orang merokok. Lalu, yang bukan perokok juga harus mengatakan jika ia terganggu dengan asap rokok. “Kalau nggak merasa terganggu, nggak masalah,” tuturnya. Keberadaan ruangan bebas asap rokok atas dampak dari peraturan tersebut bagi Mulky, memberi konsekuensi harus disediakannya ruangan khusus merokok. Ia
juga mengusulkan keberadaan ruangan khusus merokok di setiap fakultas. Baginya, jika masyarakat tidak ingin melihat orang kencing sembarangan, harus disediakan toilet yang layak. Jika tidak ingin melihat orang buang sampah sembarangan, sediakan tempat sampah yang layak. Begitu juga jika tidak ingin melihat orang merokok sembarangan, sediakan ruangan khusus merokok yang layak bagi mereka. Saat ini di UIN Jakarta memang hanya terdapat satu ruangan yang diperuntukkan bagi perokok, di kawasan Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Sementara, perokok di UIN Jakarta tak hanya berasal dari fakultas tersebut. Muhammad Ali Meha, Kepala Bagian
(Kabag) Umum menuturkan, ruangan khusus merokok memang digagas oleh FST. Hal itu dilakukan guna memberikan penyadaran bagi mahasiswa agar tidak merokok di gedung dan tidak buang puntung sembarangan. “Daripada mereka dilarang dan ngumpet-ngumpet, coba kita buatkan di luar,” ujarnya (11/10). Keberadaan ruangan khusus merokok, lanjutnya, memang diperlukan. Keinginan untuk menyediakan ruangan itu memang sudah ada. Di kawasan rektorat, misalnya, memang jarang ada orang yang merokok, kalaupun ada hanya para office boy. “Cuma, perokok kan nggak bisa dilarang, jadi mereka ngumpet-ngumpet,” jelasnya. Hal tersebut terjadi karena tidak ada ruangan khusus merokok. Ke depannya, jika keberadaan ruangan khusus merokok memang dianggap perlu, setiap fakultas akan diberikan surat edaran untuk pengadaan ruangan khusus merokok. “Mungkin ruangannya seperti di bandara, agak di pojok,” katanya. Keberadaan ruangan khusus merokok menurut Aulia Astra, mahasiswa FST, memang efektif. Ia yang juga perokok ini menceritakan, sejak disediakan ruangan khusus
merokok di luar gedung FST dua tahun terakhir, mahasiswa lebih memilih merokok di sana dan tidak ada lagi puntung berserakan di gedung fakultas. Soal keberadaan ruangan khusus merokok di fakultas lain, ia menganggap perlu disediakan daripada mengganggu yang tidak merokok. “Mending disediakan daripada orang kena asep. Nggak semua terima,” katanya. Selain itu juga perlu disosialisasikan ruangan khusus seperti ini agar perokok tidak merokok di sembarang tempat. Ketika ditanyakan kepada Kepala Tata Usaha FST (10/10), Zulkifli I Noor, ia tidak mengetahui keberadaan ruangan khusus merokok di FST. Baginya, jika mengacu pada Perda DKI, di lembaga pendidikan tidak diperbolehkan ada asap rokok. Namun kerika dibenturkan pada UU Pendidikan Tinggi yang memberi otonomi pada kampus, ia menjelaskan, jika kampus memang ingin menyediakan ruangan khusus merokok dan itu memang efektif, ia tidak keberatan. Sayangnya, ketika hal ini ingin dikonfirmasi kepada Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan, beliau menolak dikonfirmasi karena sedang “puasa” diwawancara.
4
WAWANCARA
Edisi XXII/Oktober 2012
Muhbib: Kode Etik Sebagai Upaya Preventif Rahmat Kamaruddin
Tahun ajaran 2012-2013 ini, UIN menerbitkan Kode Etik Mahasiswa edisi revisi. Dalam sambutan buku Kode Etik tersebut, Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan Sudarnoto Abdul Hakim mengungkapkan, tujuan kode etik tersebut guna terciptanya suasana kampus yang tertib dan mendukung pelaksanaan program-program akademik dan non-akademik secara lebih baik.
RAHMAT/INSTITUT
Pasal tentang rokok, denda dan implementasinya? Bertahap. Masih sosialisasi. Dalam waktu dekat ini, kalau masih merokok, ya, didenda. Sebenarnya kita lebih murah. Di Universitas Indonesia, kalau kedapatan merokok, menurut kode etik, mereka didenda Rp100.000. Di DKI, kan ada di Perda. Yang jelas ada, walaupun belum Berikut hasil wawancara INSTI- terealisasi. Termasuk di kampus TUT dengan Ketua Tim Penyu- ini. Karena walau bagaimana pun, sun Revisi Kode Etik Mahasiswa Muhbib Abdul Wahab terkait be- yang merokok itu sebenarnya buberapa pasal, yakni pada Bab VII kan hanya mahasiswa, juga ada tentang pasal 26 (rokok), pasal 32 yang lain. Tapi kita perlu mem(berzina), dan pasal 39 (terlibat buat ini supaya lembaga pendidiorganisasi dan atau aliran sesat), kan ini bersih dari asap rokok, karena merokok itu sama sekali Rabu (10/10). tidak mendidik, baik dari sisi kesehatan, kebersihan, maupun ekonomi. Merokok itu tidak ada gunanya kok. Saya sering dialog, coba tunjukkan apa manfaatnya merokok? Tiup, buang lagi, tiup, buang lagi. Coba dipakai buat makan, kenyang. Ngotorin lingkungan. Perokok itu tidak ada yang peduli terhadap kebersihan dan kesehatan. Saya sudah amati semua, nggak dosen, karyawan, mahasiswa, kalau perokok itu tidak ada yang peduli dengan orang lain. Kalau mau merokok, ya, tidak Muhbib Abdul Wahab, Pudek III Bidang Kemahasiswaa FITK sekaapa-apa, tapi jangan ligus Ketua Tim Perumus Kode Etik Mahasiswa. di kampus sini, di
SURVEI Kode etik mahasiswa merupakan pagar penjaga yang membatasi setiap tindak-tanduk mahasiswa yang dinilai negatif dan menyimpang dari norma yang berlaku. Dalam kebijakan pembuatannya diharapkan dapat merepresentasikan tatanan sikap santun para mahasiswa. Maka dari itu, proses pembuatan seyogyanya melibatkan mahasiswa agar dapat dilihat kritik berbagai sisi. Apalagi mahasiswa merupakan subjek yang menjalankan kode etik. Namun dari survei yang dilakukan Litbang LPM INSTITUT pada tanggal 1-5 Oktober 2012 di 11 Fakultas dapat dilihat sebagian besar mahasiswa malah tidak mengetahui siapa pembuatnya. Melalui pertanyaan pertama yang mengindikasi pengetahuan tentang kode etik yang berlaku di
luar saja. Kode etik itu atau aturan apa pun dibuat untuk kepentingan bersama. Kode etik dosen, adakah? Kita sudah usulkan kepada dosen. Supaya adil, supaya sama-sama bisa menjadi contoh. Ya kalau cuma mahasiswa saja yang dilarang merokok, dosennya tidak, itu kan tidak fair. Saya sudah sering usul itu di forum-forum, tapi saya belum tahu hasilnya. Mungkin nanti bisa dikonfirmasi ke lembaga penjaminan mutu di UIN. Ada nggak itu, kalau misalkan nggak ada, atau misalkan hilang di tengah proses, tolong mahasiswa mengawal. Saya sudah himbau dan usulkan itu dalam berbagai rapat bersama para pimpinan dan dosen. Tentang pasal zina, asas pembuktiannya bagaimana? Tentu kita tidak bisa seperti apa yang diminta oleh hadis Nabi, seperti melihat “timba masuk ke dalam sumur”. Itu tidak mungkin di jaman sekarang. Yang bisa dimungkinkan, pertama, ya kalau tertangkap basah, mungkin di suatu kamar, kemudian dua-duanya dimintai surat nikah. Kemudian diminta untuk mengakui, tapi dalam arti menjelaskan. Mungkin juga bukti lainnya seperti spermanya masih ada apa tidak. Salah satunya itu. Dan itu pernah terjadi. Jadi ada mahasiswa digrebek warga, di belakang koperasi UIN, yang bersangkutan mengakui, kemudian dibuatkan surat pernyataan bahwa benar telah melakukan zina. Tidak harus ngintip, mana mungkin di jaman sekarang. Hadis itu berlaku pada jaman dulu karena saat itu rumah penduduk masih tradisio-
nal. Sekarang kan sudah tembok. Rapih. Ya mungkin satu-dua kali nggak ketahuan, tapi kan lama-lama orang mulai curiga. Menyimpan kebusukan itu akan ketahuan. Jadi, pembuktiannya itu adalah pembuktian fisik, atau melalui pengujian. Tapi tidak mungkin sejauh itu. Ngapain kita repot. Orang berzina itu kan pasti ketahuan. Dari sisi penampilannya, fisik. Ini suami istri atau tidak. Banyak kok yang sudah sering digrebek warga seperti itu. Jadi sebetulnya, kita tidak perlu menuntut asas pembuktian, tetapi realitanya seperti apa di masyarakat. Psikologi orang yang bersalah dengan tidak itu kan berbeda. Saya mengatakan bahwa pembuktiannya lebih kepada pembuktian sosial, masyarakat. Saya netral saja. Kalau tidak terbukti secara kode etik, ya tidak apa-apa. Sekali lagi, tidak apa-apa menurut kode etik, ya. Bukan berarti zina itu boleh. Kode etik ini dibuat kalau terjadi pelanggaran, dan kalau pelangarannya diketahui, ada yang melaporkan, dan ada yang melakukan. Kalau tidak ada, ya, aman-aman saja. UIN beberapa kali mengadvokasi aliran yang dianggap sesat oleh masyarakat, misalnya kasus Lia Eden. Terkait pasal aliran terlarang dan sesat di Kode Etik Mahasiswa, standarisasinya seperti apa? Saya kira begini, saya koreksi dulu. Ini jangan UIN yang dibawa-bawa, UIN tidak pernah. Tapi mungkin ada, satu-dua orang atau oknum yang punya pendapat ‘membela’ kesesatan Lia Eden. Membela hak ia untuk meyakini apa yang ia anggap benar. Karena, biasanya, yang menjadi argumen
itu adalah keyakinannya tidak bisa diberangus, dilenyapkan. Mereka tetap punya hak untuk beragama seperti yang ia yakini, walaupun argumen itu tidak terlalu kuat. Argumen tersebut hanya berdasarkan HAM yang lebih menekankan pada aspek hak-hak personalnya, tanpa mempedulikan orang lain yang merasa terganggu dan terusik dengan cara dia mempraktikkan keyakinannya, yang mungkin masih ‘mengatasnamakan’ Islam juga karena dianggap menistai atau menodai agama. Kriteria kesesatan menurut Kode Etik Mahasiswa, seperti apa? Nah, tentang aturan sesat atau tidak, pastinya berdasarkan hukum positif. Ada beberapa aliran yang memang dilarang oleh negara, misalnya PKI dan NII. Kemudian aliran-aliran yang pernah ada misalnya, yah, yang sempalansempalan itu, splinter group, yang oleh MUI maupun pemerintah itu dianggap sesat. Kemudian, aliran-aliran seperti ini kan sifatnya di bawah tanah, susah dideteksi. Termasuk juga terorisme, gerakan, dan aliran sesat. Nah, seperti itu juga dilarang. Sekali lagi, karena keberadaannya bukan untuk membuat umat Islam maju, tapi lebih cenderung memperkaya diri sendiri, meneror orang lain, menimbulkan ketakutan dan kebencian. Jadi, krite-rianya adalah hukum positif yang berlaku. Memang di buku itu tidak ditulis secara detil, tapi kita bisa membaca situasi. Jadi itu saja patokannya, apa yang terlarang adalah yang dilarang undang-undang atau hukum positif Republik Indonesia.
Kode Etik Rancu, Mahasiswa Tetap Setia kampus. Sekitar 74% mahasiswa mengaku tahu dan sisanya 26% mengaku tidak mengetahui tentang kode etik yang berlaku. Namun, jika dikorelasikan dengan hasil pertanyaan ke dua. Mahasiswa hanya mengetahui kode etik tanpa mengetahui siapa pembuat kode etik yang telah dijalankan. Ada sekitar 57% koresponden yang tidak mengetahui siapa pembuat kode etik. Hal ini menunjukkan keapatisan mahasiswa. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, mereka menjalankan peraturan yang tidak diketahui siapa pembuatanya. Tapi tetap setia dan manut tanpa banyak ba, bi, bu. Sebesar 28%, mahasiswa meganggap bahwa pembuat kode etik adalah pihak rektorat dan dekanat. Rektorat, dekanat dan mahasiswa 13%. Kemudian banyak
yang menganggap pembuat kode etik adalah Rektorat dan mahasiswa dengan jumlah sample 2%. Padahal, kode etik dibuat oleh Rektorat dan mengundang mahasiswa. Tapi, undangan rektorat ini tidak jelas ditunjukan kepada mahasiswa yang mana. Sehingga wajar saja mahasiswa menganggap tidak dilinbatkan atau jika dilibatkan pun hanya dalam porsi minim. Dalam pertanyaan selanjutnya, 85% koresponden menyetujui perlunya keterlibatan mahasiswa dalam pembuatan kode etik. Kemudian, 8% menganggap tidak perlu dan selebihnya merasa raguragu. Keberadaan kode etik sebenarnya bertujuan untuk mengatur berbagai kegiatan mahasiswa, baik yang bersifat akademis ataupun non-akademis. Bila dicermati,
keberadaan kode etik juga akan berdampak pada kebebasan mahasiswa. Mengingat, tak sedikit kode etik yang dirasa mengekang mahasiswa. Terlihat dari hasil survei yang berjumlah 34% mahasiswa terkekang dengan adanya kode etik sepihak, selebihnya sekitar 66% mahasiswa setuju menjalankan kode etik yang berlaku. Mahasiswa pun menilai kurang adanya sosialisasi dari pihak rektorat, ada pun yang menilai sudah ada tapi belum maksimal dan kurang jelas. Dalam pertanyaan terbuka, mahasiswa banyak tidak mengetahui bentuk sosialisasi. Namun ada juga yang mengetahui bahwa sosialisasi dilakukan dengan buku kode etik mahasiswa. Walaupun tidak semua mahasiswa memiliki buku tersebut. Untuk menyelesaikan keran-
cuan tersebut, mahasiswa mengharap kan adanya sosialisasi yang jelas agar kode etik ini bisa ditetapkan dan disepakati bersama, bukan hanya atas dasar kesepakatan dosen, dekan atau rektorat saja. Baru penerapannya dapat dilaksanakan secara tegas dan bersamasama.
Metode Survei: Survei ini dilakukan Litbang INSTITUT pada tanggal 7-12 Oktober 2012. Sebanyak 204 responden dari 26 lembaga kemahasiswaan yang terdiri dari 15 UKM dan 11 BEM dipilih secara acak dengan metode Convenience Sampling. Hasil survei ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh mahasiswa UIN Jakarta.
LAPORAN KHUSUS
Edisi XXII/Oktober 2012
Aprilia Hariani
Hilangnya Kanal Kedaulatan Mahasiswa
Seperti halnya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), kanal (saluran) berperan penting dalam upaya mengantisipasi banjir dan menjaga keseimbangan hidrologi. Tak ubahnya peran lembaga kemahasiswaan tingkat universitas seperti Kongres Mahasiswa Universitas (KMU), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas, dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU) bak kanal kedaulatan mahasiswa untuk mengantisipasi semua kebijakan rektorat yang belakangan ini dianggap tidak memberi ruang negosiasi. Sebagai contoh kasus penyegelan sekretariat dan masalah mahasiswa beasiswa BLU belum lama ini. Hal itu diungkapkan Mantan aktivis IAIN Jakarta era’98, Andi Safrani, sebagai imbas belum dibentuknya kanal tersebut. Andi yang saat ini berprofesi sebagai advokat di GIA Law Firm menuturkan, berdasarkan Peraturan Undang-Undang Perguruan Tinggi pasal 19 ayat 2, rektorat wajib memfasilitasi sekaligus mengawasi kebutuhan mahasiswa, termasuk lembaga kemahasiswaan di setiap level. Meskipun pada SK Dirjen Kementrian Agama, nomenklatur Lembaga Kemahasiswa telah berubah. “Rektorat jangan malah menutup kanal dan mengerdilkan lembaga kemahasiswaan, sehingga tidak dapat mengakomodir kebutuhan mahasiswa. Ini perlu di cermati mahasiswa, secara hukum apakah perbuatan rektorat melawan hukum atau tidak,” ujarnya saat ditemui di kantornya (1/10). Ia menambahkan, terkait dengan realita yang ada, mahasiswa sangat perlu memilki pendewasaan berorganisasi untuk mengajukan keberatan terhadap kebijakan yang dianggap semena-mena. Solidaritas mahasiswa penting ditumbukan untuk membagun kanal tersebut. “Mahasiswa berdaulat, bu-
kan hanya formalitas tapi subtansi yang mesti dijunjung tinggi. Kalaupun KMU atau organisasi tingkat universitas dirasa sulit di lahirkan kembali, maka bangun komunikasi informal untuk tujuan bersama. Karena musuh terbesar bukanlah rektorat, melainkan ego organisasi masing-masing,” tambahnya. Terkait kasus penyegelan Sekret Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Arkadia, ketua Arkadia periode 2009-2010, Novrizal Fahmi menuturkan, Arkadia hanya salah satu contoh korban tindakan semenamena dari rektorat. Hal itu lantaran tidak adanya mediasi secara kelembagaan mahasiswa tingkat tertinggi, padahal penyegelan tidak prosedural . “Tidak ada surat penyegelan yang berlandaskan pasal pemberian sanksi. Mediasi pun hanya pada tataran personal dari Akradia dan itu sangat alot. Sehingga sampai saat ini belum ada mediasi kelanjutan dari penyegelan ini,” ungkapnya (2/10). Fahmi atau biasa disapa Blanca menegaskan, semenjak Student Government dihapuskan, lembaga kemahasiswaan dikerdilkan. Dulu, meskipun background politik, oranisasi berbeda, tapi mahasiswa masih berdaulat dengan adanya KMU, DPMU, BMU. “Saat ini rektorat bukan sebagai penganyom atau pendidik maha-
siswa, tapi seakan sebagai penguasa yang nggak mau kehilangan kekuasaannya. Mahasiswa hanya dikekang kreativitasnya,” seru Blanca saat ditemui di depan sekretariat Arkadia. Hal senada di ungkapkan oleh salah satu mahasiswa beasiswa BLU Ushuluddin yang bermasalah, Sintia Aulia. Ia mengatakan ketidakhadiran lembaga tertinggi mahasiswa yang berperan mengadvokasi permasalahan-permasalahan mahasiswa, berdampak negatif pada persoalan yang terjadi pada mahasiswa Ushuluddin. Sedikit mengulas, lantaran BLU kehabisan dana, mahasiswa penerima beasiswa BLU Ushuluddin diwajibkan mengembalikan uang beasiswa DIPA yang awalnya diperbolehkan pihak dekanat untuk mendapatkan beasiswa tesebut. “Manajemen BLU tidak jelas, kenapa mahasiswa yang menanggung. Kebijakan sebelah pihak,
BEM Fakultas pun dalam hal ini tidak andil dalam memediasi permasalahan ini, mau ngadu ke siapa lagi? Toh BMU tidak ada,” ujarnya.
Romantisme sistem
Menilik Garis Garis Besar Haluan Organisasi pada Kongres Mahasiswa Universitas UIN Jakarta 2008-2009, terpapar pada pendahuluan alinea ke tiga, menyebutkan tawaran Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) yang diterapkan oleh Orde Baru bukan saja tidak memberdayakan mahasiswa, bahkan secara fungsional institusi, organisasi tersebut tidak jelas dan hanya besifat imperatif subordinatif. Landasan tersebut membuat Ayip Tayana, ketua KMU priode 2008-2009, terpaksa angkat bicara mengenai dampak pergantian sistem kemahasiswaan yang dinilai subordinatif dengan tidak adanya KMU dan lembaga pengadvokasi
5
tertinggi mahasiswa lainnya. Kemelut atas ketidaksesuaian kebijakan rektorat saat ini adalah perkara tidak saling menjaganya komunikasi antar mahasiswa. “Jika tidak sesuai, tuntutlah. Jangan selalu menyalahkan tidak adannya lembaga mediasi ditataran universitas. Kebenaran majemuk perlu diperjuangkan, jangan melulu sebatas meributkan budgeting,” tuturnya yang juga mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (10/10). Dia menegaskan, KMU secara hukum belum musnah, lantaran belum adanya sidang referendum. “Kenapa mahasiswa baru merasa kehilangan KMU saat ini? Mengapa dari dulu tidak diperjuangkan keberadaannya? Dan seakan memperjuangkan karena hanya banyaknya kemelut yang terjadi pada mahasiswa, kehadiran KMU bukankah hanya romantisme sistem saja? ”ucapnya.
APRIL/INSTITUT
Beberapa anggota UKM Arkadia di depan sekretariatnya yang disegel rektorat (5/10). DOK. INSTITUT
Ema Fitriyani
Reposisi Sekretariat UKM
Tempo lalu (1/10), Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan Sudarnoto Abdul Hakim mengumpulkan para ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) untuk membicarakan perubahan konsep sekretariat UKM yang ada. Ia pun ingin mereposisi sekretariat antar UKM. Sudarnoto beranggapan, perubahan itu sebagai salah satu bentuk program rektorat untuk mengakreditasi UKM sebagaimana pengakreditasian jurusan dan fakultas. “Utamanya adalah mengejar International Standarization for Organisation (ISO),” katanya. Rencana rektorat ini mendapat respon dari masyarakat UKM. Menurut mereka, perubahan konsep sekretariat ke kantor versi Sudarnoto sama saja menghilangkan nilai-nilai luhur dalam berkreativitas. “Ketika dibenturkan dengan alasan untuk mengejar akreditasi atau universitas kelas dunia, di
Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan universitas mana pun yang sudah mendapat gelar itu, sekretariatnya sama seperti yang ada di sini,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Forum UKM Faris Bimantara. Dan ketika Faris menanyakan konsep kantor versi Sudarnoto seperti apa, Purek III itu mengatakan belum ada konsep jelas mengenai hal itu. Kemudian, Forum UKM mengajukan konsep tandingan kantor sekretariat versi masyarakat UKM. Konsep tandingannya adalah masing-masing UKM mendapat jatah sekretariat seluas 5x4 m
se-perti bentuk ideal yang ditempati UKM LPM INSTITUT dan UKM Pramuka. Sedang untuk luas sekretariat seperti Arkadia, Teater Syahid, Kalacitra, Ranita, Forsa, PSM, LDK, maupun Menwa, saat perbaikan nanti, harus menyesuaikan dengan ukuran ideal sesuai konsep tandingan. Adapun sekretariat Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU) dan Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) akan dijadikan ruang sidang atau rapat (student lounge). Disediakan juga tempat penyimpanan inventaris masing-masing UKM, misalnya, di sekretariat Teater Syahid dan LDK. Konsep ini dipresentasikan Plt di antaranya di depan Purek III, Purek II Bidang Administrasi Umum Amsal Bachtiar, kontraktor, dan konsultan perencanaan pada Selasa lalu (9/10) di ruang
sidang utama dan disetujui forum. Dalam rencana reposisi, Sudarnoto mengatakan agar dibuat partisi atau semacam pembatas antar UKM sebagai connecting door (pintu penghubung) untuk mendobrak sekat dan ekslusivitas antar UKM. Tetapi Faris menilai, jika pintu penghubung tetap diadakan justru tidak efektif dalam membangun kebersamaan antar UKM. “Pun dengan konsep kantor menurut rektorat, hanya akan menghilangkan budaya silaturahmi di UKM,” ujarnya. Menyesuaikan anggaran Menanggapi rencana membuat partisi antar UKM, Amsal mengatakan, tujuan utama perbaikan adalah mempercantik Student Center (SC) dengan mengecat semua sisi gedung. Memasang atap yang menghubungkan gedung SC
dengan masjid al-Jami’ah, membenahi toilet dan tempat wudhu, serta memasang lampu penerang lapangan SC di 24 titik. “Perihal partisi nanti akan disesuaikan dengan anggaran yang ada. Anggarannya sekitar Rp2 Milyar yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk Pembangunan (APBNP),” kata Amsal secara terpisah di ruangannya (11/10). Selain harus menyesuaikan dengan anggaran, rektorat pun dikejar deadline perbaikan SC hingga akhir tahun ini. “Dengan waktu yang sangat mepet, pembangunan harus selesai dalam tiga bulan. Tahun depan insya Allah sudah bisa digunakan siang-malam,” tambahnya.
6
LAPORAN KHUSUS
Edisi XXII/Oktober 2012
Mahasiswa Minim Kesadaran Rawat Buku Perpustakaan Aam Mariyamah Hasil stock opname (pendataan koleksi) Perpustakaan Utama (PU) UIN Jakarta tahun 2010 menyebutkan sebanyak 613 eksemplar buku ditarik ke meja pemeliharaan. Sebagian kecil karena buku tak terjamah, sebagian besar lainnya harus mengalami ‘operasi’ sebab rusak. Tiga penyebab kerusakan buku yang terjadi di perpustakaan yaitu, pertama, tangan-tangan jahil pemakai. Kedua, frekuensi keterpakaian suatu bahan pustaka. Ketiga, rendahnya kualitas baik kertas maupun jilidan dari penerbit. Seperti yang disampaikan Kepala PU Nuryudi. Faktor pertamalah yang menjadi penyebab kerusakan terbesar di perpustakaan, tangan jahil pemakai. “Ada buku yang dirobek, dicoret-coret, digambar-gambar, buku dipakai
sebagai penadah hujan, hingga tega ‘membawa’ keluar isi bukunya saja. Orang yang seperti itu hanya mementingkan diri sendiri. Kalau halaman tertentu dalam buku sudah dirobek, kan tidak bisa dipakai lagi,” kata Nilzami Lubis, Kepala Urusan
Andi Wijaya sedang menjilid buku yang rusak di ruang pemeliharaan (4/10). Ada tiga faktor kerusakan buku, yakni ulah jahil pemakai, frekuensi keterpakain yang tinggi, dan kualitas kertas dan jilidan dari penerbit.
(Kaur) Pemeliharaan PU (4/10). Pun perilaku mahasiswa dalam pencarian buku secara acak, menyebabkan buku cepat rusak. “Mahasiswa itu sering asal-asalan saat ngambil buku. Main ‘hajar’ saja. Ambil satu nggak cocok, diletakkan di sembarang tempat. Ambil lagi yang lainnya, akhirnya bertumpuk-tumpuk, nggak rapi,” imbuhnya. “Cara mengambil buku yang benar, jangan menarik bagian ujung punggung bukunya. Hal itu dapat melonggarkan rekatan lem dan robeknya jilidan. Tariklah bagian punggung buku dan badan bukunya. Jangan pula menjejalkan buku ke dalam rak buku yang padat. Mengambil bukunya juga pelanpelan. Setelah itu dikembalikan lagi ke posisi semula,” jelasnya sambil memperagakan pengambilan buku yang benar dari rak. Yang tak kalah penting menurutnya adalah mahasiswa terlebih dahulu harus mencari buku melalui sarana penelusuran, Online Public Acces Catalogue (OPAC), sehingga tidak perlu mengacak-acak rak buku. Kemudian faktor perusak lain, tingginya frekuensi keterpakaian menyebabkan buku cepat rusak. Menurut Nuryudi, hal itu terjadi sebab setiap tahunnya, perpustakaan me-
ngalami peningkatan jumlah pengunjung. Tahun ini, mahasiswa yang mengunjungi PU per harinya bisa mencapai 2000 orang. Dengan kondisi demikian, buku menjadi semakin banyak pemakainya. Ia berharap, perpustakaan fakultas bisa mengimbangi kebutuhan masing-masing mahasiswanya. Sehingga, pengunjung PU pun terbagi dan PU bisa melayani mahasiswa dengan maksimal sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Faktor terakhir, rendahnya kualitas kertas dan jilidan dari penerbit menyebabkan mahasiswa banyak yang mengeluh buku di perpustakaan jelek-jelek. Kebanyakan penerbit sekarang menggunakan kertas kuning dan jilidannya tidak kuat sehingga mudah lepas. Nilzami menjelaskan, buku yang tetap dipertahankan adalah buku langka, seperti buku terbitan Balai Pustaka, sedangkan buku itu masih dibutuhkan oleh mahasiswa. “Jadi, walau fisiknya kurang bagus, tetap kita display (tetap ada di rak),” ujarnya. Senada dengan Nuryudi, Supani, Kaur Sirkulasi merasa belum bisa mengawasi secara ketat mahasiswa yang berkunjung ke perpustakaan. “Padatnya siklus pengunjung membuat kita sulit untuk memeriksa satu per satu isi buku yang dikembalikan. Terlalu lama. Sulit juga membuktikannya. Kita sebenarnya butuh satpam untuk patroli, agar mahasiswa lebih
terawasi,” ujarnya. Meski begitu, Nuryudi menganggap pada dasarnya mahasiswa itu baik. Menjadi tidak baik karena pada saat mencari buku dengan OPAC, buku tidak ada di rak. Mereka pun langsung mencari ke rak yang lain. Oleh karena itu, mahasiswa harus diberi literacy information (pendidikan pemakai). Selain itu, pihak PU berencana membuat perpustakaan hibrid, dengan tetap mempertahankan yang cetak, sekaligus membuat versi digital, sehingga mengurangi keterpakaian buku perpustakaan. Muhammad Syafiq Kumala Putra, mahasiswa Ilmu Perpustakaan menanggapi kegiatan merusak buku sebagai tindakan yang bisa mengurangi nilai informasi dalam buku tersebut. “Kesadaran diri itu bukan hanya pada mahasiswa sebagai pemustaka (pengguna perpustakaan) terbesar, namun para pustakawan dan petugas perpustakaan juga harus sadar akan pentingnya merawat buku,”ujarnya. Darti, mahasiswi Ilmu Tarjamah, mengatakan perpustakaan kurang pengawasan. Seharusnya, saat buku dikembalikan, dicek satu per satu. Bagi mahasiswa yang mengembalikan buku dalam kondisi rusak, diberi sanksi. “Kalau bukunya rusak kan nggak enak dibaca,” katanya sambil menunjukkan buku yang jilidannya sudah lepas.
fokus pada prioritasnya. “Tekniknya rektorat itu lihai. Kita juga nggak tahu bisa bertahan berapa lama,” ujarnya. Senada dengan Rizal, Pemimpin Litbang (Pemlit) LPM INSTITUT Abdul Charis berpendapat, rektorat memang bermain cerdik dengan mahasiswa. Waktu pembuatan kebijakan seringkali didekatkan dengan masa-masa krusial mahasiswa sebagai akademisi. “Misalnya dekat waktu UTS dan UAS,” ujar Charis. Selain itu, menurutnya, kebijakan rektorat untuk membuat sekretariat UKM layaknya ‘kantor’ juga menyusahkan konsolidasi dan diskusi antar pegiat UKM. Dengan begitu, mereka ditakutkan akan sibuk sendiri-sendiri. Selama di ruang sidang bersama pegiat UKM lainnya, Faris berpendapat, jawaban dan bahasan Sudarnoto selaku Pembantu Rek-
tor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan bersifat normatif. Tapi ketika di luar rapat, ia tetap melaksanakan kebijakannya. Salah satunya saat rapat pertama tentang relokasi sekretariat UKM. Dalam surat undangan rapat tersebut, disebutkan akan diadakan musyawarah tentang pemindahan sekretariat. Namun, ketika rapat tersebut digelar, ternyata sudah ada kontrak dengan kontraktor. “Kita sudah diarahkan, seakan dia (Sudarnoto) bilang kalau kamu (mahasiswa) harus ikut apa yang kita (rektorat) mau,” katanya. Faris mengatakan, UKM yang menjadi salah satu bagian lembaga kemahasiswaan yang tersisa, sudah berkali-kali menggunakan soft diplomacy menghadapi rektorat. Berdialog, baginya, menjadi cara yang kuat untuk menuntaskan masalah-masalah yang kini dihadapi mahasiswa, khususnya
lembaga kemahasiswaan, termasuk UKM. Selain itu, menurut Rizal, menyebarkan wacana tentang lembaga kemahasiswaan adalah pekerjaan rumah bagi tiap UKM dan unsur BEMF karena masingmasing organisasi nantinya akan mengalami regenerasi. Dengan begitu, diharapkan para anggota baru akan dapat merapatkan barisan dalam menyikapi kebijakankebijakan yang ada. Faris pun menambahkan, unsur-unsur UKM mestilah mementingkan UKM secara keseluruhan. “Jangan mentingin UKM sendiri-sendiri,” tukasnya. Untuk bergerak bersama organisasi ekstra (oreks), ia tak merasa begitu perlu melakukannya. Bagi Faris, UKM seringkali ditinggalkan oreks yang cari aman di masing-masing fakultas.
Diskusi
Lembaga Kemahasiswaan ke Depan, Seperti Apa? Trisna Wulandari
Setelah sistem Student Government hanya tinggal nama, kebijakan terkait lembaga kemahasiswaan sepenuhnya diatur rektorat. Salah satunya pemilu BEM fakultas beberapa waktu lalu. Kebijakan tersebut menyisakan masalah yang tak kunjung usai. Tengoklah pemilu BEM Universitas yang hingga kini belum terlaksana. Ketiadaan lembaga tertinggi universitas ini berimbas pada kebijakan terkait mahasiswa dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), salah satunya perihal penganggaran dana. Beda halnya ketika Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU) masih aktif. Mahasiswa kala itu punya wadah untuk beraspirasi dan mengkritisi. Lantas kini, akan dikemanakan langkah pergerakan mahasiswa selanjutnya? Dalam diskusi bulanan LPM INSTITUT bertajuk ‘Ke Mana Arah Gerakan Kita?’, Selasa (9/10), Pelaksana Tugas (Plt) Forum UKM Faris Bimantara mengungkapkan, dengan ketiadaan badan eksekutif dan legislatif di tubuh lembaga kemahasiswaan, pembuatan kebijakan oleh rektorat tak lagi melibatkan mahasiswa. Lihat saja dalam pembuatan kode etik yang tidak mengikutsertakan mahasiswa. Padahal, DPMU lah yang semestinya merumuskan kode etik. Sejumlah perwakilan mahasiswa dalam beberapa rapat bersama rektorat pun nyatanya hanya
dapat menjadi pendengar kebijakan yang dibuat rektorat. Beberapa usulan dari pihak UKM dimentahkan. Dalam hal ini, menurut Faris, UKM tidak dapat mengambil alih fungsi badan eksekutif dan legislatif karena memiliki koridor wewenang yang berbeda. Faris mengatakan, BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) sempat memintanya untuk mengumpulkan BEMF se-UIN selaku badan eksekutif yang tersisa. “Tapi kita males, soalnya masingmasing (fakultas) sibuk sama urusannya sendiri,” ujarnya. Baginya, banyak pihak BEMF yang setelah mengadakan perbincangan, ujungujungnya malah nurut dengan rektorat. Ketua Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup (KMPLHK) Ranita Syamsurizal berpendapat, UKM akhir-akhir ini ‘dihajar’ dengan masalah dana dan relokasi sekretariat. Dengan demikian, sulit bagi pegiat UKM
ULAN/INSTITUT
Workshop lembaga kemahasiswaan yang dihadiri rektorat dan lembaga kemahasiswaan (23 Mei 2011). Saat itu, KMU dan DPMU masih aktif.
7
LAPORAN KHUSUS Anggaran Dana UKM Tak Konsisten
Edisi XXII/Oktober 2012
Aditya Putri
Anggaran dana Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang seharusnya berjumlah Rp26 juta per semester kini diubah menjadi Rp26 juta per tahun. Sosialisasi rektorat yang dilaksanakan di akhir semester pun membuat sebagian besar UKM kewalahan mengatur keuangan mereka. Seperti yang diungkapkan Ketua UKM Pramuka Achmad Irfan Setiawan, “Sisa dana pramuka cuma Rp2,5 juta sedangkan agenda banyak yang belum dilaksanakan. Ujung-ujungnya kita harus ngepres pengeluaran, nyari sponsor sana sini, dan meniadakan program kerja yang penting,” Senin, (8/10). Dampak peniadaan dana tidak hanya dirasakan oleh UKM Pramuka saja tetapi juga UKM Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT yang setiap bulannya harus mengeluarkan dana untuk terbitan tabloid, “Program INSTITUT seharusnya masih tiga tabloid dan satu majalah lagi,” pungkas Dika Irawan, Pimpinan Umum LPM INSTITUT, Jumat, (12/10). Kini program tersebut harus dihilangkan karena saldo dana mereka sudah habis. Kenyataan yang harus diterima, bahwa LPM INSTITUT hanya dapat menerbitkan satu tabloid dan satu majalah lagi, “Ini kan mematikan organisasi namanya.” Ketua Arkadia, Fajar Ismail juga menuturkan kekesalan, menurutnya sosialisasi di akhir periode merupakan suatu kebodohan yang dilakukan pihak rektorat, “Kalau dikasih tahu dari awal kan bisa prepare. Ini masalah duit, sensitif! Seharusnya diselesaikan dengan forum, bukan secara sepihak,” Selasa, (9/10).
Padahal, mengutip Pembantu Rektor (Purek) III bidang kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, dalam liputan Tabloid LPM INSTITUT edisi XXI/September 2012, Laporan Utama ‘Dana Mahasiswa Belum Transparan’ budgeting dana UKM masih mengacu hasil kongres terakhir. Dilihat pada kongres di tahun 2010 lalu, seharusnya UKM mendapat bagian sebesar 39,6% dari total dana kemahasiswaan yang saat itu berjumlah sekitar 1,2 milyar rupiah. Jadi, tiap UKM seharusnya mendapat dana sebesar 30 juta rupiah per semester, bukan 26 juta rupiah per semester atau malah 26 juta rupiah per tahun. Hasil tersebut merujuk jumlah mahasiswa di tahun 2010 yang berkisar 20 ribu orang. Sedang di tahun 2012 ini ada beberapa jurusan baru yang dibuka, tentu jumlah DKM akan bertambah. Pernyataan serupa muncul dari pelaku kongres mahasiswa terakhir, Novrizal Fahmi, “Dengan logika sederhana, ketiadaan BEMU, KMU, DPMU, DPMF, dan DPMJ seharusnya menambah alokasi DKM.” Kecarutmarutan DKM sebenarnya sudah tercium di awal tahun, sekitar bulan Februari, Kepala Sub Bagian (Kassubag) Pengembangan Mahasiswa dan Alumni, Masruri pernah meminta ketegasan Kepala Bagian
Keuangan, Subarja tentang jumlah pasti DKM, namun Barja hanya menjawab, “Tenang, anggaran ada.” Hal ini yang membuat dirinya menyatakan di awal tahun bahwa DKM masih mengambang kejelasannya. Malah dalam rapat penyusunan anggaran DKM jumlah 26 juta sempat mau diperkecil. Namun, Masruri belum berani mengambil resiko penolakan keras dari mahasiswa, Senin, (8/10). Kedepannya, akan diusulkan rapat kerja pembagian DKM, dalam rapat tersebut diterapkan budgeting proporsional. Tiap-tiap UKM harus mengajukan program kerja selama setahun, lalu akan diseleksi program mana yang dirasa perlu dan tidak perlu untuk dilaksanakan. Bagi UKM yang mempunyai program kerja sedikit maka kemungkinan dana 26 juta rupiah per tahun akan turun, begitu juga sebaliknya, “Tapi, kemungkinan dana naik sangat kecil,” tegas Masruri. Terkait sosialisasi yang dirasa mendadak, ia mengaku sudah mewacanakan dari awal, “Menyusun anggaran itu satu tahun bukan satu semester. Mungkin karena kita (rektorat, red) bilang mengacu pada konggres terakhir dan dulu konggres diadakan tiap semester, jadi semua berpresepsi 26 juta rupiah per semester.” Sisa dana potongan akan dialokasikan untuk kegiatan mahasiswa lainnya, seperti pengiriman kontingen dan apresiasi mahasiswa berprestasi. Hal ini kembali membuat pertanyaan besar bagi
Pembagian anggaran lembaga tingkat universitas 1. KMU 2. DPMU 3. BEMU 4. UKM Per-UKM
: 2% : Rp1.164.700.000 : 2% : Rp1.164.700.000 : 0.1% : Rp1.164.700.000 : 39.6% : Rp1.164.700.000 : Rp461.221.200 x 15
: Rp23.291.000 : Rp23.294.000 : Rp1.164.700 : Rp461.221.200 : Rp30.748.100
*Sumber: Buku Kongres Mahasiswa tahun 2010
teman-teman UKM, “Kemana dana dari APBN?” ujar Novrizal. “Kalau emang dialihkan ke delegasi kenapa kemarin kita (KPA. Arkadia, red) minta dana pendelegasian masih dipres lagi? Dari 3,9 juta jadi 1,2 juta,” tuntut Fajar. Masruri juga tidak mengerti mengapa DKM tiba-tiba habis, ia mengaku belum pernah berkoordinasi langsung dengan bagian keuangan dan Purek III, “Tugassaya cuma mengusulkan, yang membuat Rancangan Belanja Anggaran (RBA) kan perencanaan.” Seolah bermain bola ping-pong, H. Hamid Solihin, Kepala Biro Perencanaan Keuangan dan Sistem Informasi memberi pledoi
bahwa dirinya hanya bekerja berdasar justifikasi pimpinan, “Saya ini hanya dapur yang mengolah bahan. Mereka membuat list anggaran, saya menjadikan satu. Tidak ada pembuatan kebijakan di sini,” Senin, (8/10). Yang aneh, jika Masruri masih menyatakan ketidakjelasan DKM di awal tahun, Hamid malah mengaku hal tersebut sudah dibahas pada pembuatan RBA 2012, “Dari awal sudah ditentukan untuk satu tahun!” Baginya masalah sosialisasi terlambat merupakan urusan Purek III. Ketika dikonfirmasi ulang, Sudarnoto enggan berkomentar, “Saya sedang puasa wawancara,” singkatnya, Senin, (8/10).
Kampusiana
IKALUIN Jakarta Untuk Menaikkan Akreditasi
Jaffry P. Prakoso
Tiang-tiang terpancang tegak di halaman Auditorium Utama Harun Nasution. Tiang tersebut digunakan sebagai tumpuan terpal besar untuk menutupi para tamu yang hadir dari terik matahari. Lagulagu Islam mengiringi tamu yang hadir pada acara silaturahmi Ikatan Alumni UIN (IKALUIN) Jakarta, Minggu (30/9). Di depan meja tamu, penerima tamu bersiap menanti para undangan. Mereka sudah berdiri sebelum acara dimulai. Senyum sumringah dilemparkan pada tamu yang bertemu dengan kawan lamanya. Mereka berpelukan seakan sudah lama tidak bertemu. Acara silaturahmi ini turut mengundang Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat yang juga alumni UIN tahun ’80-an. Pada sambutannya, Komaruddin menyatakan sangat penting mengumpulkan data para alumni UIN Jakarta. “Untuk menaikkan akreditas UIN, yaitu dengan mengetahui kehidupan alumni setelah lulus,” katanya. Komaruddin menambahkan, alumni yang sukses di dunia kerja akan menambah baik akreditasi UIN Jakarta. “Makanya para alumni dimohon untuk mengisi biodata yang telah diberikan panitia,” jelasnya. Ketua IKALUIN Jakarta periode 20122016, Ahmad Zacky Siradj pun menyatakan begitu penting mengumpulkan alumni UIN Jakarta baik sejak Akademi Kedi-
nasan Ilmu Agama hingga menjadi UIN Jakarta. Ahmad yang juga alumni UIN Jakarta tahun ’70-an menuturkan, fungsi dibentuknya IKALUIN Jakarta pada 2002, salah satunya untuk mengembangkan pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dalam acara IKALUIN Jakarta, turut hadir Ketua Umum BAZNAS Didin Hafiduddin, pendakwah Nurma Nugraha, Ustad Yusuf Mansur sebagai pembicara, dan komedian Mucle sebagai moderator. Acara ini merupakan bincang-bincang santai dengan para alumni lintas generasi. Di sela-sela perbincangan, Nurma mengatakan alumni UIN Jakarta dibutuhkan sebagai panutan masyarakat. Itu disebabkan masih kurang pendakwah-pendakwah di Indonesia yang berkompeten pada bidang dakwah. “Mubaligh UIN juga dinanti dan ditunggu oleh masyarakat,” katanya. Alumni tahun ’80-an, Abdul Azia merasa yakin program yang dicanangkan IKALUIN Jakarta akan terlaksana. Ia optimis para alumni dapat mengumpulkan kembali potensi yang terpendam di kalangan umat Islam. “Menuju kemaslahatan umat di masa yang akan datang,” tuturnya.
Menjadikan Jamu Sebagai Brand Indonesia
Jaffry P. Prakoso
Saat ini, jamu tradisional masih dipandang sebelah mata di Indonesia. Padahal, jamu sudah ada dan digunakan masyarakat Indonesia ratusan tahun lalu. Sudah waktunya negeri ini memanfaatkan sumber daya alam di negeri yang kaya akan keanekaragaman hayati. Itulah yang diucapkan pembicara kunci pada Simposium Nasional Kimia Bahan Alam (Simnas KBA) Agus Purwadianto, Selasa (9/10) di teater lantai II Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Acara yang diselenggarakan Program Studi Kimia dan Farmasi UIN Jakarta ini mengambil tema ‘Peran Kimia Bahan Alam dalam Meningkatkan Potensi dan Saintifikasi Tanaman Obat Indonesia’. Agus yang juga Staf Ahli Menteri Bidang Teknologi dan Globalisasi berharap, jamu bisa menjadi brand Indonesia. “Dengan mengacu pada Undang-Undang nomor 36 tahun 2009, semoga bisa tercapai,” tuturnya. Cara lain yang digunakan Agus untuk menjadikan jamu sebagai brand Indonesia, dengan mempromosikan melalui jejaring sosial. Dengan begitu, masyarakat Indonesia mulai mencintai jamu. “Bagaimanapun jamu harus jadi tuan rumah di negeri sendiri,” tegasnya. Di jaman modern, 57% jamu dikonsumsi dan 98% dipercayai khasiatnya oleh masyarakat Indonesia. Kendati demikian, Agus menyayangkan para ahli masih be-
lum menyetujui manfaat produk jamu. “Padahal sudah diakui,” jelasnya. Selain Agus sebagai pembicara, hadir pula 12 pembicara dari dalam dan luar negeri. Dalam rangkaian acara juga ditampilkan presentator yang makalahnya akan dipublikasikan pada Jurnal Himpunan Kimia Bahan Alam Indonesia. Ketua Himpunan Mahasiswa Kimia Muhammad Rafi Hudzaifah menjelaskan, tahun ini UIN Jakarta mendapatkan kesempatan menjadi tuan rumah pada Simnas KBA. Ia berharap agar acara ini lebih sukses dari tahun sebelumnya. Mahasiswa FKIK, Widya Larasati mengungkapkan kepuasannya setelah mengikuti acara yang berlangsung selama dua hari ini, terlebih karena pembicara yang tidak diragukan kompetennya. “Padahal, mereka susah sekali kalau di acara seminar biasa,” katanya. Setelah mengikuti acara tersebut, Widya mengaku mendapat banyak ilmu. Walaupun tiket masuk yang tergolong mahal bagi mahasiswa, tapi ia tidak merasa rugi menghadiri acara tahunan ini. Meski demikian, Widya merasa waktu yang diberikan panitia cukup singkat. Moderator pun terkadang harus mengingatkan pembicara yang sedang memberikan ilmunya kepada peserta. “Tapi secara keseluruhan acaranya exciting banget,” pungkasnya.
OPINI
Edisi XXII/Oktober 2012
Upaya Pengerdilan Lembaga Kemahasiswaan
9
Oleh Novrizal Fahmi*
P
ada 5 September lalu terjadi penyegelan sekretariat Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelompok Pencinta Alam (KPA) Arkadia yang dilakukan pihak rektorat dengan alasan menginap di sekretariat. Pihak rektorat pun memaksa anggota Arkadia yang ada pada saat itu untuk meninggalkan sekretariat dan membawa barangbarangnya keluar. Pengusiran ini pun membuat malu karena Arkadia tengah kedatangan dua orang tamu dari Jawa Timur. Sanksi ini terlihat aneh dan memaksakan. Jika memang ada sanksi untuk mahasiswa yang menginap di sekretariat, maka sebaiknya ada klarifikasi persoalan ini terhadap mahasiswa yang bersangkutan, bukan dengan cara penyegelan sekretariat. Tindakan represif pihak rektorat pun ditambah dengan penebangan pohon-pohon di sekitar sekretariat KPA Arkadia pada akhir September lalu. Entah apa yang salah dari pohon-pohon itu. Berbagai upaya untuk pencabutan segel itu pun dilakukan oleh pihak Arkadia, mulai dari negosiasi dengan pihak rektorat, penggalangan dukungan, sampai pada pelayangan surat ke Rektor pun telah dilakukan. Tetapi, hasil dari upaya pembelaan itu tak membuat pihak rektorat berbesar hati untuk mendengarkan aspirasi dan membuka segel tersebut. Malah, surat keputusan (SK) Rektor tentang penyegelan itu baru keluar pada tanggal 5 Oktober lalu, dan itu
pun tidak ada nomor suratnya. Intervensi tidak hanya dilakukan terhadap lembaga kemahasiswaan. Pada 20 September lalu, ada pengiriman surat dari Pembantu Rektor III kepada salah seorang penulis opini Tabloid INSTITUT edisi XXI bulan September. Inti dari surat tersebut ialah penulis dituntut untuk meminta maaf dan bila tidak, maka ancamannya adalah skorsing. Sikap ini mencerminkan bahwa hak-hak berpendapat dan berekspresi juga seakan mulai dibatasi, bahkan dilarang. Ketidakjelasan sistem Jika kita flashback beberapa waktu yang lalu, yaitu tepatnya pada tanggal 13 Januari lalu, terjadi aksi yang dilakukan Keluaga Besar Mahasiswa (KBM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menuntut hak berdemokrasi dalam lingkungan kampus berupa mempertahankan sistem Student Government (SG). Aksi ini pun berakhir bentrok dengan karyawan dan keamanan kampus, serta berujung dengan adanya korban dari mahasiswa yang dilarikan ke rumah sakit. Aksi yang menjatuhkan korban ini tak menyurutkan keinginan pihak rektorat untuk meniadakan SG. Pihak rektorat menginstruksikan pihak dekanat untuk mengadakan pemilihan umum ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) dan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) yang sebelumnya memiliki sebutan BEMJ. Mahasiswa menilai, sistem
yang ditawarkan pihak rektorat tidak jelas dan masih banyak yang rancu. Sistem senat tersebut tidak lain merupakan bentuk pengerdilan dari lembaga kemahasiswaan. Dengan adanya sistem baru itu, mahasiswa merasa seperti didikte dan terbelenggu dalam setiap kebijakan maupun keinginan rektorat. Hingga kini, sistem baru ini tidak jelas. Alur struktural dan hal yang mendasari terbentuknya sistem ini seperti Undang-Undang atau Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) juga belum ada. Hubungan antar lembaga, tugas, fungsi, dan kewenangan, serta hal-hal lain yang menaungi sistem ini juga masih mengambang. Apalagi BEMUniversitas yang merupakan salah
satu komponen penting dalam lembaga kemahasiswaan ini juga belum terbentuk dikarenakan belum adanya sistem yang mengatur proses pemilihan yang demokratis. Akhir-akhir ini, UKM juga disibukkan oleh pihak rektorat dengan isu relokasi dan renovasi sekretariat dengan alasan untuk menuju World Class University. Selain itu juga akan ada akreditasi UKM guna menunjang alasan tersebut. Yang masih membingungkan kawan-kawan UKM adalah seberapa besar pengaruhnya bangunan fisik terhadap penilaian akreditasi menuju World Class University dan penilaian UKM sendiri. Indikator dan persyaratan dalam akreditasi UKM itu pun tidak jelas dasar dan acuan penilaiannya. Mahasiswa sebenarnya lebih mengharapkan sistem yang jelas dan dukungan dalam peningkatan prestasi dari masing-masing lembaga maupun individu. Renovasi sekretariat harus dipikirkan lebih matang lagi, penting atau tidaknya. Jangan sampai, uang yang digunakan ini menjadi mubazir. Renovasi bisa difokuskan pada perbaikan fasilitas yang mulai rusak atau penambahan sesuatu yang dikira perlu. Bukan perombakan total, karena pegiat UKM saat ini masih merasa nyaman dengan sekretariatnya. Kalaupun terlihat kotor, ini merupakan otokritik pada masingmasing UKM untuk berbenah diri agar bisa dipandang bersih dan teratur.
Anggaran terpangkas Dalam periode ini, baik UKM maupun BEMF mengeluhkan berkurangnya Dana Kegiatan Mahasiswa (DKM). Ketidakjelasan sistem pada saat ini juga memangkas anggaran yang ada. Contoh, anggaran UKM pada kongres SG terakhir mendapat pos anggaran masing-masingnya sekitar Rp30 juta per semester. Saat ini, tiap UKM hanya mendapat sekitar Rp26 juta per tahun. Dengan ketiadaan lembaga saat sistem SG seperti BEMU, Kongres Mahasiswa Universitas (KMU), Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPMU), dan lembaga lain pada tingkat fakultas dan jurusan, seharusnya dapat terakumulasi lebih besar kepada lembaga-lembaga yang masih ada. Toh, jika tidak ingin diakumulasikan ke lembaga yang masih ada bisa dimusyawarahkan dan dialihkan ke hal lain yang lebih bermanfaat. Ketidakjelasan anggaran ini juga harus dikritisi bersama. Ke mana saja aliran anggaran tersebut? Jika masih ada, tentu bisa dimusyawarahkan oleh lembaga kemahasiswaan itu sendiri. Pengerdilan lembaga kemahasiswaan bukan jawaban dari suatu hal menuju perubahan, melainkan jawaban dari arogansi kekuasaan. *Mahasiswa Tingkat Akhir Fakultas Sains dan Teknologi
SG, Riwayatmu Kini
B
erkaca pada beberapa kasus yang terjadi hampir tiga tahun belakangan ini dan imbasnya pada kehidupan kampus, saya ingin sedikit bercerita tentang keresahan hati saya. Cita-cita untuk mendirikan sebuah pemerintahan mahasiswa yang mirip sebuah negara telah tercapai 1999 silam, pemerintahan itu disebut Student Government (SG). Format yang mengambil konsep trias politica dengan tiga fungsi kelembagaan (eksekutif, legeslatif, yudikatif) yang berjalan seimbang. Kelahiran SG adalah hasil nyata perjuangan mahasiswa yang kala itu menjadi eskalator politik di negeri ini. Penerapan sistem SG sebagai laboratorium for democracy di IAIN (UIN) Jakarta juga disambut baik oleh Mantan Rektor Azyumardi Azra, bahkan untuk pertama kalinya sepanjang sejarah IAIN, Rektor melibatkan mahasiswa dalam menentukan kebijakan forum tertinggi universitas (senat universitas). Pada perjalanannya, demokrasi memang tidak selamanya mulus, dengan adanya sistem kepartaian yang menghendaki agar mahasiswa sadar bahwa dirinya mempunyai suara untuk diaspirasikan dan menghormati perbedaan pendapat, justru memunculkan ajang siapa lu siapa gue. Partaipartai kampus secara tidak langsung menjadi basis organisasi ekstra dengan merobohkan tembok besar yang melarang organisasi
Oleh Egi Fajar Nur Ali*
ekstra masuk kampus. Fenomena ini tidak bisa dinafikan, hanya saja primodialisme buta pada golongannya membuat konsepsi SG harus ternodai. Pertentangan antar kader partai membuat mahasiswa terfaksionalisasi dalam beberapa ideologi yang mereka yakini. Puncaknya terjadi saat pemilu raya 2009, Partai PPM (PMII) dan Partai Parma (HMI) sama-sama kekeuh memperebutkan kursi presiden universitas. Asas demokrasi hilang, dan prioritas kepentingan golongan lebih diutamakan. Atas konflik yang berkepanjangan ini, muncul usulan di seluruh PTAI untuk menerapkan Pedoman Organisasi Kemahasiswaan (POK). Ini adalah permulaan tarik-ulur untuk mempertahankan SG atau menggantinya dengan senat. Hingga kemarin, saya mengamati pergolakan antara perubahan SG ke senat. Kenyataan yang pahit namun nyata, dari beberapa pihak yang setuju dan mengatakan SG masih sangat relevan untuk ditegakan di kampus ini bisa dibilang omong kosong belaka. Toh ketika melihat di lapangan realita yang ada sangat memalukan dan tidak ada perhatian sama sekali. Saya sempat berpikir, apakah mahasiswa sudah terserang virus apatis, Isu-isu sosial politik bahkan yang menyangkut dirinya sendiri tidak menarik bagi mereka, atau mungkin mereka sudah terjebak pada sistem pendidikan yang menekankan pada ukuran normatif
dengan IPK tinggi plus lulus cepat, lantas mereka menikmatinya? Vacuum of Power Hilangnya lembaga-lembaga tingkat universitas seperti BEMU, KMU, dan DPMU yang menjadi uswah kedewasaan berpolitik dan mediator mahasiswa untuk menyampaikan keluhkesahnya, membuat aspirasi dan berbagai unekunek mahasiswa mandeg pada tataran individu dan kelompok. Maka jangan salah bila aspirasi ini lari dari dialek musyawarah antara mahasiswa dan rektorat, berpindah ke di dunia maya yang isinya tendensius dan cendrung menjelek-jelekan. Apa yang tertulis di opini saudara Dika dengan judul “Cara Rektorat Menjinakan UKM�, menyebut rektorat sekarepe dewek (semaunya sendiri) memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Itu sebuah opini, subyektifitas untuk menyampaikan aspirasi salah satu pihak memang dibenarkan. Boleh jadi tidak adanya lembaga yang menjembatani kepentingan kedua belah pihak, membuat kedua pihak merasa paling benar. Padahal kita tahu dalam penyelesaian sebuah konflik dibutuhkan lembaga/pihak netral sebagai agen of solution. Kekosongan pemerintah di tingkat universitas juga menjalar ke masalah anggaran, Dana Kegiatan Mahasiswa (DKM) yang pada mulanya di tentukan oleh kongres mahasiswa dengan mempertemukan 5 partai dan UKM untuk menentukan persentase
anggaran menjadi tidak jelas. DKM bebas diotakatik rektorat tanpa diketahui mahasiswa, walhasil pemangkasan 50% lebih dari anggaran tahun lalu menghapus setengah dari program kerja UKM, dengan kata lain UKM yang sudah habis dananya “mati segan, hidup tak mau�. Saya jadi teringat beberapa tahun lalu saat pergolakan perubahan SG menjadi Senat, salah seorang penasehat organisasi mengatakan kepada saya, perubahan SG menjadi senat akan mengancam anggaran UKM. Perkataan itu terbukti dan menjadi mimpi buruk bagi UKM. Berbagai keluhan semata-mata tidak datang dari UKM saja, anak BEM yang saya tanya menyatakan saat ini susah untuk mengajukan sebuah acara. Para pembaca mungkin bisa membandingkan sendiri beberapa tahun lalu kegiatan seminar hampir setiap minggu minimal ada 2-3 seminar, lantas sekarang? Dari apa yang tertulis saya ingin menyampaikan, kekosongan pemerintah jangan sampai mencetak kelembagaan kampus menjadi sarang birokratis. Apa-apa yang dilakukan mahasiswa harus terlebih dahulu mendapat arahan dan persetujuan dari atas, mahasiswa tidak diberi inisiatif sendiri untuk belajar mengurus dirinya. Lebih jauh lagi, saya takut mahasiswa hanya menjadi penonton pasif yang hanya menangkap berbagai derama kehidupan politik di pentas nasional melalui media
masa. Mahasiswa hanya menanggkap apa yang sudah jadi, tanpa harus melalui sekenario dimana dirinya bisa terlibat langsung sebagai aktor di dalamnya (paling tidak di kampus). Maka jangan heran di kampus akan muncul budaya plagiat, tidak kritis, tidak kreatif, miskin produktif, karena sejatinya civitas didalamnya dibentuk menjadi mahasiswa instan yang hanya tahu teori melalui teks-teks historis, jauh dari saluran realitas kehidupan yang ada disekitarnya. Mobilisasi perubahan Tulisan ini tidak bermaksud memojokan salah satu pihak, tulisan ini hanya refleksi untuk kalangan mahasiswa yang masih peduli akan kampusnya. Cepat atau lambat kita tidak bisa berdiam diri terus di posisi stagnan seperti ini, keberadaan pemerintahan di tingkat universitas adalah suanatullah dan mutlak diperlukan. Secara pribadi saya mengajak seluruh mahasiswa UIN dari berbagai aliran, organisasi ektra, organisasi intra bersama-sama merapatkan barisan untuk secepatnya menata ulang kembali bentuk pemerintahan yang ideal bagi kampus kita tercinta. Ini sematamata untuk kebaikan kita bersama, ya kebaikan bersama bukan golongan. Hidup Mahasiswa! *Mahasiswa FEB
10 WISATA KULINER & KONSULTASI Tiga Tempat yang Paling Bikin Kenyang Noor Rahma Julia
Edisi XXII/Oktober 2012
2.Bintaro Sektor 9 Sama halnya dengan pnggir jalan Poin square, Bintaro sektor 9 juga menawarkan menu jajan yang beragam. Dari sisi kenyamanan, Bintaro sektor 9 terletak di kawasan yang tenang dan jauh dari keramaian kendaraan. Dengan begitu, pecinta kuliner yang mampir di sana akan merasakan sensasi relaksasi pikiran yang damai. Kabarnya, pedagang yang ada di sekitar Bintaro sektor 9 berjumlah kurang lebih 80 orang. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Ucu, salah seorang penjual disana.“Bisa sampai puluhan atau ratusan mungkin, banyak banget, apalagi sekarang diperluas,” katanya.
3.Waroeng Makan Sambal Spesial (SS)
W
isata kuliner merupakan serangkaian aktivitas atau hobi yang sangat menyenangkan. Mengapa? Karena lidah itu bersifat dinamism, selalu ingin mencari rasa baru dalam setiap objek kudapan. Setiap orang akan merasa bosan jika dihadapkan dengan makanan yang ‘itu-itu saja’ atau ‘di situ-situ saja’. Oleh karena itu, INSTITUT edisi kali ini memberikan bocoran mengenai tiga tempat berburu kuliner di sekitar UIN.
Ini dia, warung makan yang menjadi surga para pecinta sambal . Tempat ini sangat cocok bagi Anda yang ingin berkumpul bersama keluarga, teman atau sekadar makan malam berdua dengan orang spesial. Warung yang menyediakan sekitar 25 jenis sambal ini sangat diminati para pemburu kuliner karena keragamannya uang unik seperti sambal gobal-gabul, sambal mangga, sambal leunca, sambal belut, dan sambal teri. Selain itu, sambal Warung Makan SS juga sangat pedas. Pastinya, akan membuat Anda keringetan dan menangis. Bagi Anda yang tidak suka pedas, jangan cemas. Di sana, disediakan juga sambal dengan berbagai macam level pedas, mulai dari level satu, level dua, dan seterusnya. Soal harga, jangan ditanya. Di SS, sambalnya sangat murah dan sesuai dengan saku mahasiwa. Harga sambalnya mulai dari seribu rupiah saja. Berminat? Silahkan melancong ke Jl Bintaro Utama 3 Blok AP no 57.
1.Pinggir Jalan Poins Square Jika sore tiba, taman ini seakan disulap menjadi tempat kuliner. Deretan pedagang yang menjajakan macam-macam kudapan bisa Anda temui di sana. Pengunjung tempat ini pun datang dari berbagai level, mulai dari pelajar sampai orang kantoran. Letaknya yang di pinggir jalan sama sekali tidak mengurangi minat orang untuk berkunjung. Bahkan, ratarata pengunjung mengaku merasa nyaman dengan pinggiran jalan raya Poins Square ini, seperti halnya pengakuan Dimyati. Wanita yang bekerja di daerah Fatmawati ini selalu menyempatkan diri turun di pinggiran Poin Square, “Tempatnya asyik, romantis, banyak cahaya lampu jalannya,” ujarnya sambil tertawa (12/10).
Konsultasi...
Konsultasi Kecantikan Dokter Wiwit Andhika Rubrik ini bekerjasama dengan klinik Angel
1.Dok, rambut saya kusam, kering dan agak ikal. Saya ingin rambut saya hitam danl urus. Apakah ada perawatan rambut khusus untuk mendapatkan rambut yang saya inginkan? Kira-kira, nutrisi seperti apa yang harus saya gunakan untuk merawat kulit kepala? Rina, (08587650xxxx) Jawab: Dear Rina, Untuk masalah kesehatan rambut memang tidak kalah penting. Jenis rambut Anda yang ikal mungkin memang ada riwayat genetik atau keturunan dari keluarga, hal itu dapat diatasi dengan melakukan teknik pelurusan rambut, dan memang teknik ini tidak membuat hasil rambut Anda lurus permanen. Seiring waktu dan pertumbuhan
sel-sel rambut, keadaan rambut akan kembali ikal setelah beberapa waktu. Mengenai kondisi rambut yang kering dan agak kusam, anda harus merawat rambut baik dari dalam maupun dari luar. Sel-sel rambut sama dengan sel yang lain, mereka butuh nutrisi yang didapat dari semua yang kita makan atau minum. Oleh karena itu hendaklah mengatur pola makan kita agar semua sel mendapat nutrisi yang baik. Serta harus melakukan perawatan rambut secara benar dan teratur dipusat perawatan rambut terpercaya. Beberapa sayur dan buah secara natural dapat membantu menyehatkan kondisi kulit kepala dan rambut, tentunya harus diaplikasikan dengan cara yang baik dan benar, seperti lidah buaya dan jeruk nipis, atau dapat menggunakan vitamin rambut yang ada di pusat pera-
watan rambut. Jadi untuk mengatasi permasalahan tersebut kita harus melakukan pola hidup yang sehat dan seimbang serta merawat rambut. Karena apa yang kita makan akan terpancar oleh kulit dan rambut kita. Semoga telah menjawab pertanyaan mbak Rina, terimakasih 2.Salam dok. Saya ingin mengkonsultasikan permasalahan kulit tangan saya. Kenapa ya di tangan saya banyak bermunculan jerawat-jerawat minyak? Padahal wajah saya bersih.
Sayang sekali putri tidak menjelaskan secara lengkap keluhan yang ada di tangannya, kapan munculnya, hilang timbul atau tidak, apakah terasa gatal dan lainnya. Masalah-masalah kulit seperti jerawat banyak sekali jenis dan kemungkinannya, memang sekilas terlihat seperti jerawat yang seperti pada umumnya, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa itu adalah suatu infeksi virus atau alergi kontak dengn bahan tertentu. Saran saya, sebaiknya putri mengunjungi dokter spesialis kulit untuk mengetahui penyebab dari keluhannya sekaligus mengatasinya, terimakasih
Putri, Ciputat Jawab: Dear Putri di ciputat,
Silakan Kirim Pertanyaan Anda ke Rubrik Konsultasi ini Melalui email lpm.institut@yahoo.com
SOSOK Ketika Kebingungan Melahirkan Prestasi
Edisi XXII/Oktober 2012
11
Ema Fitriyani Marom tertegun. Ia tak percaya saat seseorang menanyakan berapa nomor pesertanya dalam perlombaan kaligrafi se-Jawa Timur di Universitas Negeri Malang (UMN). Syahdan, ia justru mendapat nilai tertinggi dalam perlombaan itu. Perlombaan pertama yang diikutinya yang membuat ia mantap menggeluti dunia seni menulis huruf Arab.
APRIL/INSTITUT
Husnul Marom
Biodata singkat Nama: Husnul Marom Tempat & tanggal lahir: Lamongan, 28 Agustus 1991 Pendidikan: -Pesantren di Malang, Jawa Timur -Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) UIN Jakarta Organisasi: Lembaga Kaligrafi al-Qur’an (Lemka) Prestasi: -Juara pertama lomba kaligrafi se-Jawa Timur di Universitas Negeri Malang -Juara kedua kaligrafi di perlombaan MTQ kecamatan di Malang -Juara kedua se-Jabodetabek dalam Pekan Arabic Pendidikan Bahasa Arab UIN Jakarta -Peserta Sayembara Kaligrafi Lemka Golongan Murni -Delegasi JQH 2012 di Kalimantan -Saat ini peserta dalam Lomba MTQ se-Jawa Timur yang mewakili Malang
Tidaklah mudah bagi pria kelahiran Lamongan 21 tahun silam ini untuk bisa memenangkan perlombaan. Di awal persiapan lomba, ia ditinggal gurunya pergi mendampingi kawankawannya yang juga mengikuti lomba kaligrafi di tempat lain. Lantaran Marom termasuk pemula dan tidak semahir kawan-kawannya, ia akhirnya diajari menulis kaligrafi dengan guru pengganti. Saat itu, kemampuan kaligrafi Marom tidak sepandai sekarang. “Malah di awal-awal latihan itu, tulisan Arabku jelek,” katanya. Pada mulanya adalah kebingungan. Suatu malam, dirinya diharuskan latihan soal bahasa Inggris dan Matematika untuk ulangan esok hari. Marom malah melalukan yang tidak seharusnya dilakukan untuk menghadapi ulangan. Ia mencorat-coret kertas, menulis huruf-huruf Arab. Terus menulis dan menulis.“Ketika menulis itu, seperti ada sesuatu,” ucapnya sambil tak bisa menjelaskan sesuatu apa yang dirasakannya malam itu. Dibilang tulisan Arabnya sulit dibaca oleh para guru, ia dengan nekat, mengikuti perlombaan kaligrafi di PUSPEDA, semacam perlombaan seni daerah di
Jawa Timur. “Awalnya hanya ingin tahu kemampuan saja, benar-benar tidak ada paksaan.” Tetapi, baru akan daftar sebagai peserta di PUSPEDA, ia ditolak. Sebab ia kelahiran 1991 dan saat itu kriteria peserta lomba adalah mereka yang kelahiran 1992-1993. Tak patah arang, ia pun mengikuti lomba di UMN yang membuatnya menjadi juara. Padahal, ia mengaku pada malam hari sebelum lomba esok pagi, ia ketiduran. Belum lagi, ketika lomba, tak ada guru yang mendampinginya. Lebih dari itu, ia pun harus membiayai sendiri perlombaannya. “Saat itu uang yang kukeluarkan habis sekitar Rp150.000 untuk belanja peralatan lomba,” katanya, mengenang. Apa yang dikeluarkan Marom ternyata sebanding dengan apa yang didapatnya pada pengumuman pemenang perlombaan. “Aku malah dapat 2 kali lipat dari biaya yang kukeluarkan. Dan itu semua tidak disangkasangka sebab aku tidak berharap jadi pemenang. Sungguh, hanya ingin tahu saja kemampuanku, bisa atau tidak.” Berani membuktikan Pasca kemenangannya pada lomba itu, Marom seperti kecanduan mengikuti banyak lomba. Di antaranya Lomba Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) di Kecamatan di tempatnya nyantri, dan kembali mendapat juara. Marom terus berlatih. Suatu keputusan dibuatnya. Ia mendaratkan dirinya ke UIN Jakarta. Tujuan utamanya bukan untuk belajar sebagai mahasiswa di Fakultas Dirasat
Islamiyah. Misi besar Marom karena ada Lembaga Kaligrafi al-Qur’an (Lemka) yang berpusat di Ciputat. “Kalau saja pas tes di UIN ini gagal, mungkin aku akan ke Sukabumi, di sana perkembangan Lemka maju pesat,” ungkapnya. Kemantapan Marom mengambil
“Kalau kita berani membuktikan, pasti akan ada imbalannya.” langkah untuk hijrah dari Jawa Timur ke Jakarta, bukan sepenuhnya untuk kuliah, melainkan untuk tahu dan masuk ke dalam Lemka adalah langkah pembuktian keberaniannya. Setelah menjadi bagian dari Lemka, Marom tak menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang kaligrafi. Praktis, setiap malam sehabis salat Isya, ia rutin mengukir huruf-huruf Arab di kamarnya. “Terpenting itu selalu latihan, setoran, latihan, setoran. Seperti itu. Dari situ kemudian materi itu ada, pengalaman bertambah.” Kegigihannya membuat ia terus mengikuti kompetisi kaligrafi. Di antaranya juara 2 se-Jabodetabek dalam lomba Pekan Arabic yang diadakan Jurusan Pendidikan Bahasa Arab di UIN Jakarta. Lalu, ia juga menjadi peserta Sayembara Kaligrafi Lemka golongan murni. Belum lama ini menjadi delegasi Jam’ul Qurra’ wal Huffadz (JQH) di Kalimantan. Juga saat ini sebagai peserta dalam Lomba MTQ se-Jawa Timur yang mewakili Malang.
LiSEnSi: Membumikan Islam di Bidang Ekonomi
Komunitas
Muhammad Umar
Ekonomi syariah yang berkembang begitu pesat membuat banyak orang sering mengkaji dan mendiskusikannya, tak terkecuali mahasiswa dalam forum-forum diskusi. Salah satu forum yang mengkajinya di lingkungan UIN Jakarta adalah Lingkar Studi Ekonomi Syariah (LiSEnSi). Karena idealismenya yang ingin membumikan Islam melalui ekonomi, membuat LiSEnSi tetap bertahan selama dua belas tahun. Pada awal pendiriannya di tahun 2000, lingkar studi ini hanya
terdiri dari beberapa mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang peduli dan ingin memperdalam ekonomi Islam. Seiring perkembangan jaman, LiSEnSi pun sudah memperoleh
DOK.LiSEnSi
LiSEnSi dalam kegiatan temu ilmiah regional jabodetabek. Ketika itu LiSEnSi memperoleh juara 3 lomba Olimpiade Ekonomi Islam.
badan hukum dan berprestasi di tingkat Jabodetabek maupun nasional. Ada beberapa prestasi yang telah diraihnya. Ketua LiSEnSi periode 2012-2013 Asep Saefullah menuturkan, LiSEnSi menjadi juara 3 dalam Olimpiade Nasional ekonomi Islam di Medan. “Terus ada lagi, kemarin kita juara 3 lagi di Temu Ilmiah regional kampus se-Jabotabek,” ungkapnya (8/10). Ada berbagai kegiatan dilakukan LiSEnSi, seperti kajian mingguan di FSH dan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB). Mereka membahas tentang ekonomi syariah terkini. Selain itu, ada riset klub yang diadakan setiap Selasa. Riset tersebut terkait dengan penelitian ekonomi syariah maupun ekonomi konvensional. Selain itu, ada intensive class yang mengajarkan tentang ekonomi syariah secara lebih spesifik, baik akuntansi syariah maupun perbankan syariah. Ada juga LiSEnSi consulting yang baru saja dilakukan tes pasar untuk menentukan segmentasinya. Kegiatan itu pun mendapat respon positif dari mahasiswa FEB semester tiga. LiSEnSi juga mempunyai agenda tahunan di bulan Mei yaitu
Kampanye Nasional (Kamnas) dengan melakukan aksi. Dimulai dari kampus dan dilanjutkan ke bundaran HI. Sedangkan untuk acara terkini, LiSEnSi baru saja mengadakan Kajian Ekonomi Islam Syawal (KEISA). Asep menuturkan, program itu diadakan di bulan Syawal saat masuk kuliah untuk memperkenalkan ekonomi Syariah kepada mahasiswa baru. Untuk menarik mahasiswa bergabung menjadi anggota, LiSEnSi mempunyai tradisi tersendiri yang sudah bertahun-tahun dijalankan yaitu dengan membuka diklat ekonomi islam. Diklat tersebut untuk menyeleksi mahasiswa yang antusias terhadap ekonomi syariah. Banyak dari anggota LiSEnSi berasal dari mahasiswa FSH dan FEB karena basisnya ekonomi. “Hanya dua fakultas itu saja yang berperan. Kalau untuk partisipan, itu ada dari FIDIKOM, FST, dan FITK. Tapi mereka tidak antusias, sekadar pengen tahu ekonomi syariah.” Sedangkan untuk pendanaan kegiatan, ungkap Asep, LiSEnSi mengandalkan sponsorship dan donasi dari alumni. Meskipun LiSEnSi berada di bawah naungan Pusat Pengembangan dan Pengkajian Ekonomi Islam (P3EI),
LiSEnSi tidak diberi dana, tapi hanya mendapat dukungan dan arahan. Pada 19 Oktober nanti, Asep mengatakan, LiSEnSi akan mengadakan Sharia Economic Innovation in Unity Event (RE-VENUE) di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Dalam acara tersebut, akan ada soft launching aplikasi android berbasis edukasi yang diberi nama Sharia Economic Education (Shree). Aplikasi tersebut membantu pengguna android untuk mengetahui ekonomi syariah.
12 SASTRA
Puisi...
Edisi XXII/Oktober 2012
Cerpen...
Oleh Irawan Kartosentono*
Lukisan di AtasTembakau Kuntum-kuntum bunga yang pernah kau tanam Di atas tembakau dan kertas Kini telah mekar sepanjang kemarau Bersama matahari yang tertinggal Bersama dengan rindu dan kesepian Berderik setiap detik: jangkrik musimkemarau yang bawa suaramu Di atas kuntum-kuntum bunga yang kau tanam
Sajak yang Terlipat Tentang benda yang kau genggam di tanganmu, apakah itu pesawat kertas yang samadengan yang biasa kulipat dari lembarlembar saja kusang yang pernah kutulis? Apakah itu sajak-sajakku yang kaugenggam di antara sela-selaj arimu, ataukah itu rindu yang kelak kau biarkan terbang bersama pesawat kertasku? Dan jika kau masih menggenggamnya, maka kau akan selalu mampu menyelami saja kusangku dan rindu yang terlipat di dalamnya.
Kertas Pesawat Kertas Engkau harus lihat pesawat kertas Yang kubuat terjepit di antara dua jendela Di atas gedung kampus Engkau harus tahu tentang pesawat kertas: Ia tidak butuh cetak biru huruf-huruf angka dan matematika engkau hanya butuh selembar dari buku-buku diktatmu: lipat: terbangkan! Maka kelak aku akan lihat Pesawat kertas yang kau buat terjepit di antara dua jendela Di atas gedung kampus Bersama semua teori-teori yang kau lipat Bersama terali jendela yang berkarat Dan, tak hanya kita yang tahu Pesawat kertasku sudah lebih dulu tersangkut Di antara dua jendela di seberang jendelamu
*Penulis adalah mahasiswa FAH, jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
SUBUH Oleh Putera Nuib Sihise*
Sudah sepuluh menit azan dikumandangkan dari mushalla ini. Namun Pak Imam, imam musala An-Nuur, belum juga mau untuk memulai salat subuh berjamaah ini. “Sabar ya.... Kita tunggu lima menit lagi,” begitu kata beliau pada Sholih, dan Pak Shodiq. “Ah, itu dia Pak Joko. Ayo kita mulai, silahkan yang mau iqomat.” Pak Joko tampak tergesa melangkah setengah berlari mendekati pintu mushalla. “Allaahu akbar.” * “Apakah harus benar-benar pindah, Pak?”, Pak Imam tampak sangat gelisah. “Iya, Pak. Isteri saya baru saja melahirkan. Anggota keluarga bertambah satu lagi. Ya kami harus mendiami rumah yang lebih besar lagi tentunya.” “Betul itu kata Pak Joko. Kalau tidak mencari rumah yang lebih besar, bisa seperti pepes keluarga Pak Joko. Bukan begitu, Pak?” “Ahahahaha.. Bapak ini bisa saja,” Pak Joko menyambut gurauan Pak Shodiq. “Ya Allah...,” Pak Imam memelas. “Eh, kenapa Pak Imam? Sedang sakit?” respon Pak Joko melihat air muka Pak Imam. Pak Imam menghela nafas. “Tidak apa-apa, Pak Joko. Semoga bapak mendapatkan tempat tinggal yang lebih baik.” “Aamiin…. Terima kasih doanya, Pak Imam”. * Subuh kali ini Pak Imam tidak lagi mengulur waktu seperti yang sering beliau lakukan. Selesai salat sunah qobliyah, Pak Imam langsung mempersilahkan salah seorang dari dua jamaah tetapnya untuk iqomat. Tidak ada lagi lima belas menit dari azan ke takbiratul ihram, kali ini cukup tujuh menit. “Waduuh, selamat kalau begitu. Hebat kamu.” “Aah, ini bukan apa-apa, Pak Imam. Teman saya ada yang lebih hebat lagi”, Sholih merendah. “Ngomong-ngomong, kamu jadi kuliah di UNJ kan?” “Hmm. Tadinya sih begitu, Pak.” “Lho. Memangnya sekarang?” “Saya memutuskan akan kuliah di IPB saja, di Bogor.” “Bukannya kamu sedari kecil bercitacita jadi guru? Mengapa tidak masuk UNJ?” “Kalau itu, saya masih tetap ingin jadi guru. Tapi saya juga sangat tertarik di bidang pertanian, makanya saya mau masuk IPB dan mudah-mudahan bisa menjadi dosen pertanian.” Pak Imam terdiam, ia termenung sampai kemudian Sholih menegurnya. “Pak Imam?” “Eh, iya. Semoga kamu sukses ya.” “Aamiin.” Pak Imam, menjadi murung, bahkan lebih murung ketika Pak Joko pindah rumah. Tarikan nafasnya pun sangat dalam dan berhembus perlahan seperti ada yang mengganjal tenggorokannya. Namun, yang terganjal bukanlah tenggorokan ataupun kerongkongannya, melainkan pikirannya. “Yaa Allah. Siapakah lagi yang akan berkenan bangun untuk berjamaah shalat shubuh di rumah kecilmu ini? Hamba tak ingin kampung ini sepi dari semarak ibadah dan malah ramai oleh dengkuran yang lebih nyaring. Kau pun tahu, hamba telah berupaya semampu daya mengajak warga kampung ini untuk shalat shubuh. Yaa Allah” *
“Maaf Pak Shodiq, anak isteri semua sehat, Pak?” “Alhamdulillah, Pak. Sehat-sehat.” “Maaf, Pak Shodiq. Hmm. Saya bingung mau mulai dari mana. Begini. Seperti yang telah Pak Shodiq tahu sendiri. Kalau shalat subuh selalu saja sepi. Bahkan sekarang hampir tiap hari hanya kita berdua saja kalau tak ada musafir yang singgah menginap di musala. Sebagai orang yang sudah tua, jujur saya sangat khawatir.” “Iya, saya juga khawatir dengan keadaan ini. Padahal konon katanya jika jamaah shalat shubuh tidak lebih banyak dari shalat jumat, Islam belum akan menjadi maju. Tapi, saya bingung juga.” “Bingung kenapa, Pak?” “Saya sangat ingin sekali menjadikan masjid kita ramai, khususnya ketika shalat subuh itu. Tapi, bagaimana caranya ya? Apakah kita harus mencari sponsor untuk hadiah umroh bagi jamaah shalat shubuh yang beruntung? Atau kita undang ustadz-ustadz ternama untuk mengisi kuliah shubuh di musala kita? Atau…” Belum sempat Pak Shodiq menyelesaikan pembicaraannya, Pak Imam memotong, “Itu usul yang bisa dipertimbangkan, Pak. Tapi...” “Tapi apa, Pak Imam?” “Ada baiknya kalau kita mulai dengan yang paling dekat di hati dan mata kita” “Maksud Pak Imam? Saya kurang paham.” “Anak dan isteri kita.” Pak Shodiq tertegun. “Saya kira akan sangat baik jika kita mengajak anak dan isteri kita untuk shalat berjamaah di musala ini. Setelah itu, kita bisa melakukan pula hal lainnya termasuk saran-saran yang tadi Pak Shodiq sampaikan.” Pak Shodiq masih tertegun. Melihat itu Pak Imam jadi merasa tidak enak hati. Beliau merasa mungkin dirinya terlalu langsung dan menyinggung perasaan Pak Shodiq. “Maaf Pak Shodiq. Saya tidak bermaksud…” “Bukan itu, Pak. Justru saya merasa malu kepada Bapak. Saya selama ini telah membiarkan keluarga yang seharusnya saya pimpin untuk bersama mencapai kasih tuhan, terlena dan lalai di shubuh hari. Astaghfirullaahal’azhiim,”Pak Shodiq tertunduk dan menutup wajahnya. Ia amat menyesal. * Pak Imam kembali berbunga. Jamaah tetapnya bertambah tiga orang selain Pak Shodiq, musala kedatangan pula Fauzan, Rizki dan Bu Aini yang tak lain ialah anak-anak dan isteri Pak Shodiq. Pak Imam berdoa lebih lama dari sebelumnya. Tampaknya, beliau sangat bergembira, bergembira sekali. “Alhamdulillaahirobbil’aalamiin. Aku percaya Kau akan mengganti dengan yang lebih baik lagi Yaa Allah. Jamaah shalat shubuh mushalla ini lebih banyak satu orang dari yang sebelumnya. Aku sangat bergembira wahai Robbku, bergembira sekali.” * “Tampaknya kita harus benar-benar melakukannya, Pak.” “Melakukan apa?” “Mengundang ustadz ternama atau memberikan hadiah umroh.” “Bapak yakin? Lagipula dananya darimana?” “Urusan itu, saya bisa mengusahakannya, Pak.” “Besok saya akan bertemu dengan Bos saya. Saya akan mencobanya. Mungkin dia bisa membantu. Tolong doanya, Pak Imam.” “Baiklah kalau Pak Shodiq yakin.
Saya tidak berkeberatan. Saya juga tidak tahu lagi apa yang harus saya lakukan untuk meramaikan masjid ini, khususnya saat salat shubuh.” Masih terekam dengan cukup jelas percakapan dengan Pak Shodiq tiga hari lalu itu di dalam pikiran Pak Imam. Apalagi saat melihat orang-orang yang datang bertakziyah membuka kain penutup jenazah Pak Shodiq di hadapan matanya. Pak Imam merasakan sedih akan meninggalnya Pak Shodiq dalam perjalanannya ke Semarang kemarin untuk bertemu Bosnya. Namun, kesedihan terbesarnya bukanlah itu. Lebih-lebih sedih karena ia akan kehilangan jamaah tetapnya. Bukan hanya satu, tapi seluruhnya. Karena kelurga Pak Shodiq akan pindah ke kampung Isterinya, Bu Aini, di Tasikmalaya. Pak Imam merasa bersedih, bersedih sekali. * Sepertinya subuh ini Pak Imam akan melakoni semua prosesi salat shubuh sendiri, dari mulai azan, iqomat dan salat pun akan sendiri. Tidak akan ada lagi Pak Imam yang mempersilahkan salah seorang jamaahmya untuk iqomat, tiada lagi Pak Imam yang menunggu koor ‘aamiin’ untuk melanjutkan membaca surat pendek dan nantinya ketika berdoa. Semuanya akan menjadi lebih cepat, mungkin hanya lima menit saja. Sebelum ia iqomat sendiri, Pak imam sempatkan untuk melirik keluar mushalla mungkin ada orang yang akan mampir di mushalla untuk shalat shubuh. Hhh. Tapi di luar sana sangat sepi, mungkin warga lebih memilih shalat berjamaah di rumah tanpa tertusuk udara dingin subuh hari. Begitu prasangka Pak Imam. “Allaahu akbar. Allaahu akbar..”, Pak Imam melengking mengumandangkan iqomat sambil masih berharap akan ada orang ikut shalat shubuh dengannya di mushalla AnNuur yang sudah sembilan tahun diimaminya. Setelah itu, ia pun memulai shalat subuhnya sendirian. “Aamiin…” Pak Imam sedikit terkejut ada suara yang menyahutinya setelah ia selesai mebacakan al-Fatihah. Ah, Pak Imam senang bukan kepalang, entah mengapa ia pun merasa lebih dekat dengan makmum barunya. “Muslim? Yaa Gusti Allah,” Pak Imam langsung memeluk makmumnya tersebut tanpa berdoa dulu seperti biasanya. “Iya, Pak. Maaf tidak bilang-bilang. Muslim mau cari kerja di sini, Pak. Gak apa-apa kan?” “Oh, iyalah. Gak apa-apa. Alhamdulillaah,” Pak Imam sekali lagi memeluk Muslim dengan amat erat. “Ya Allah Tuhanku. Hamba yakin Kau akan selalu menghadirkan orangorang yang akan selalu meramaikan rumahMu ini. Kini, kau hadirkan orang yang tidak ku sangka-sangka kedatangannya untuk menjadi jamaah mushalla ini. Terima kasih pula, yaa Allah. Karena telah mengirimkan anakku ini menemani hari tuaku. Aku sangat berbahagia, berbahagia sekali.” *** Sanggar Teater Syahid, Ciputat, 17 – 18 Mei 2012 * Sebuah nama pena dari seorang mahasiswa FSH UIN Jakarta, aktif di Koperasi Mahasiswa dan Teater Syahid. Burhani As-Siddhiqi
RESENSI Narasi Revolusi dalam Facebook
Edisi XXII/Oktober 2012
Buku
Judul
Rahmat Kamaruddin
S
Kutipan di atas merupakan bagian inti mengapa buku ini ditulis. Tak dipungkiri, sosok pemimpin merupakan hal yang terpenting guna kemajuan sebuah negara. Saat status seorang pemimpin Indonesia justru seringkali kontradiksi dengan peranan yang sewajibnya ia laksanakan—terlebih atas apa yang telah ia janjikan—sosok penulis, Acep Iwan Saidi (Ais), mempunyai cara unik tersendiri merespon realitas tersebut. Ironi memang. Ketika dalam perjalanan intelektualnya, seorang putra bangsa, Ais justru menghantarkannya kepada rasa frustasi, karena melihat kondisi negaranya dipenuhi abnormalitas dalam berbagai aspek bangsa ini. Secara garis besar, buku ini membincang budaya, politik, sejarah, pendidikan, sosial, pun pada ranah agama yang kesemuanya tentu saja melalui perspektif kebudayaan.
: Surat Malam untuk Presiden
Penulis : Acep Iwan Saidi
aya seorang dosen, Pak Presiden. Nyaris setiap hari saya membicarakan hal-hal ideal dengan mahasiswa. Kepada para mahasiswa saya selalu mengajarkan mimpi tentang Indonesia yang lebih baik di masa depan. Jadi, tolong saya, Pak Presiden, tolong bantu saya untuk menjadikan ajaran itu bukan ilusi, apalagi dusta. Maka jawablah permohonan ini dengan sebuah tindakan: bahwa besok pagi, saat fajar tuntas memintal malam, Anda akan menjadi presiden yang revolusioner. Atas nama apa pun yang bernama kuasa, jadikanlah diri Anda Arok, Sang Pembangun itu! (h. 280).
Penerbit : Gradien Mediatama, 2012 Hal
: 4000 hlm; 14 x 21 cm
ISBN
: 978-602-208-090-9
dari panggung diskusi. Buku ini terdiri dari delapan narasi besar. Masing-masing narasi, dengan pola penyampaian yang ringan dan menarik, berkelindan merangkai sebuah narasi besar, Revolusi sosial (h. 165). “Aku bukan ahli agama, tapi dari perspektif kebudayaan, aku berani mengatakan bahwa agama ini sangat ‘demokratis’. Jika tidak, mana mungkin lahir kota Madinah, sebuah ‘kota berbasis masyarakat sipil (civil society)’,” tulisnya pada status 345 (h. 219). Menjadi orang yang ‘terlanjur’ tahu dan merasakan himpitan batin terhadap realitas tersebut, sebagai upaya konstruktif, Ais mengajak publik mendiskusikan serangkaian abnormalitas tersebut melalui akun Facebooknya. Rupanya Ais tidak sendiri. Statusnya banyak mendapat respon dari berbagai kalangan yang juga gelisah terhadap situasi bangsa. Berbagai komentar hampir dapat dijumpai di setiap statusnya. Buku yang terhimpun dari narasi 501 statusnya di Facebook ini akan menggugah kesadaran kita tentang hal yang selama ini luput
13
Menyoal pendidikan Indonesia Jika pengarang tidak mati (Foucault), maka Ais merupakan simbol perlawanan. Perlawanan terhadap sistem pendidikan yang, menurutnya, mengerdilkan bangsa Indonesia (h. 323). Lama bergelut di dunia pendidikan, Ais banyak menemukan kebobrokan sistem kurikulum kita. Melalui narasi ringkas padat, buku ini membongkar genealogi sistem pendidikan Indonesia yang berimplikasi memproduksi manusiamanusia pragmatis. “…Dekade 60-an…Salah satu hal menarik, yang kiranya tidak tampak di permukaan karena tertimbun hingar bingar politik, adalah bergesernya orientasi pendidikan, yakni dari pendidikan yang berorientasi pada eropa kontinetal (Belanda) ke studi terpimpin (guided study system)— yang kemudian kita kenal dengan SKS—Amerika…” (h. 296). “Sudah menjadi rahasia umum
bahwa kemenangan Orde Baru juga identik dengan kemenangan Amerika. Barangkali tidak ada yang salah dengan SKS. Akan tetapi, peluang sistem ini untuk mencetak peserta didik menjadi manusia pragmatis memang sangat terbuka. Dan, dalam perkembangannya Orde Baru memang menginginkan masyarakatnya menjadi manusia pragmatis sedemikian…” “…Sedangkan di tingkat perguruan tinggi, SKS telah memaksa mahasiswa untuk menjadi individu yang taat administratif dan pengejar sertifikat belaka. Tentu, dari perspektif politik, sistem itu mudah dibaca: Kuasa pendidikan adalah Kuasa Raja, individu tidak boleh punya suara di hadapannya (h. 300). Terkait dengan sistem ujian nasional, seseorang berkomentar, “Saya seorang guru di sebuah SMAN, sudah kering air mata, menangisi keadaan ini. Hanya sekali saya ikut mengawas pelaksanaan UN. Selanjutnya, saya selalu menolak untuk jadi pengawas UN, karena saya tidak mau bertolong-tolongan dalam kebatilan. Efek yang sekarang terasa, semangat belajar siswa terus merosot. Mereka berpikir tidak perlu belajar, toh kakakkakak kelas yang paling ‘aneh’ sekalipun bisa lulus dengan nilai-nilai yang fantastis. Ingin rasanya saya hidup di
Indonesia yang lain” (h. 223). Ide besar dalam kemasan ringan Menelusuri rangkaian narasi buku ini akan menggelitik kita agar segera bangkit dari kemapanan atas kejumudan merespon realitas bangsa kita. Rangkaian bualan Ais senantiasa segar dikonsumsi siapa saja yang merindukan perubahan tatanan sosial yang lebih baik. Meski kemudian pada beberapa percakapan terlihat sedikit jenaka, laiknya pengguna fasilitas Facebook pada galibnya, namun perbincangan yang diwarnai nuansa satire yang sarat pesanpesan filosofis menjadikan diskusi alam maya ini berbeda. Bernas dan berdaya konstruktif. Ais dengan baik mengartikulasikan kompleksitas realitas yang tengah merundung bangsa ini ke dalam percakapan ringan, sembari menyemai bibit-bibit perlokusi agar pembaca harus tetap optimis mengupayakan perubahan, sekecil apa pun upaya itu. Tak terkecuali melalui jejaring sosial Facebook. Buku ini bak miniatur kota yang dihuni penduduk yang merindukan perubahan ke arah yang lebih baik. Kekuatan buku ini adalah kesederhanaannya dalam menarasikan ide-ide besar. Sebagai budayawan, yang pula telah malang melintang di dunia tulis-menulis, Ais akan membawa pembaca hanyut dalam perbincangan besar melalui narasi-narasi ringan, sederhana dan bersahaja.
Film
Looper: Memanusiakan Manusia Trisna Wulandari
D
Judul: Looper Sutradara: Rian Johnson Dirilis: Oktober 2012 Pemain: Bruce Willis, Joseph Gordon-Levitt, Emily Blunt, dll
alam satu momen di kehidupan, pernahkah Anda merasa menyesal telah melakukan sesuatu? Bila sudah begitu, apa yang Anda pikirkan? Berandai-andai bisa kembali ke masa lalu? Atau mencoba mengambil hikmahnya, karena tahu tak akan kembali lagi ke masa itu? Di Looper (2012), kesempatan untuk kembali ke masa lalu itu menjadi nyata. Mengangkat tema perjalanan waktu, Rian Johnson menghadirkan sosok looper, sekumpulan pembunuh di tahun 2044 yang diutus untuk menghabisi ‘sesama’ penjahat di tahun 2074. Dengan mesin waktu, penjahat itu seketika mucul dengan kepala berselubung di hadapan looper. Tugas looper tidaklah sulit, mereka cukup menembak lalu memusnahkan jasad si penjahat, dan yang terpenting, memastikannya tidak lari dari ‘waktu kematiannya’. Masalah kemudian muncul saat Seth (Paul Dano), salah satu looper, membiarkan ‘korbannya’ kabur karena tak tega melihat yang akan ditembaknya adalah dirinya sendiri di masa depan. Seorang looper memang sudah dikontrak untuk
dapat hidup hingga tiga puluh tahun ke depan, terhitung dari tahun 2044. Kebijakan tiga puluh tahun ini diatur Rainmaker, manusia dari tahun 2074 yang ternyata berniat untuk melenyapkan seluruh looper. Selama tiga puluh tahun, mereka yang belum menyadari motif di balik kebijakan itu digaji dan berhak mengambil batangan perak murni yang diikatkan ke punggung para korbannya. Namun, Seth yang saat itu telah gagal menjalankan misi meminta perlindungan pada temannya, Joe (Joseph Gordon-Levitt), karena dalam aturan mainnya, seorang
looper yang gagal harus dibunuh. Masalah lain muncul ketika Joe harus membunuh korban selanjutnya yang tidak lain adalah dirinya sendiri di masa depan. Namun, Joe ‘tua’ (Bruce Willis) berhasil kabur dari Joe ‘muda’ yang sudah bersiap menembaknya. Usut punya usut, ternyata Joe tua tidak rela melihat istri yang begitu dicintainya di masa depan dihabisi oleh suruhan Rainmaker saat waktu kematiannya tiba. Berbekal kode tentang asal-usul Rainmaker, Joe tua berniat untuk mengajak Joe muda bekerjasama melenyapkan sosok misterius itu. Dengan melenyapkan Rainma-
ker muda di tahun 2044, Joe tua berharap dapat menyelamatkan nyawa istrinya di tahun 2074. Sayangnya, Joe muda memiliki ambisi lain. Alih-alih mendukung dirinya sendiri di masa depan, ia pun mencari Rainmaker untuk menuntaskan hasrat masa mudanya sendiri. Di perjalanan, ia menemukan sebuah rumah milik Sara (Emily Blunt) dan Cid (Pierce Gagnon) di balik padang tebu yang dicurigainya sebagai rumah Rainmaker muda. Di rumah ini, keinginan, logika, dan rasa kemanusiaan Joe bergumul untuk mempertanyakan satu hal, apakah makna hidupnya
sebagai manusia selama ini? Diawali dengan banyak adegan penuh dentum tembakan, Looper seolah membawa Anda ke film science fiction berbalut action khas pria. Belum lagi dengan banyaknya percikan darah yang mengawal babak demi babak. Tengok saja adegan saat para ‘korban’ dihabisi dan tangan salah satu looper dipalu yang mengultus film ini sebagai salah satu karya thriller yang menegangkan. Namun di tengah pemutarannya, cerita perlahan merambat ke masalah yang lebih manusiawi, tentang hidup, cinta, dan perjuangan. Anda akan disuguhi adegan di mana Joe tua kembali ke masa lalu dan mencoba mempertahankan hidupnya untuk seorang wanita paling berarti di hidupnya. Tak hanya itu, ada pula Sara yang mati-matian melindungi Cid layaknya anak sendiri, meski tahu Cid tidak pernah menganggapnya sebagai ibu. Walau mengangkat tema time traveling, yang sudah berkali-kali diolah sineas dalam Terminator hingga kartun macam Doraemon, Rian Johnson berhasil membentuk kesatuan cerita yang mengesankan dengan alur dan kronologi yang detil, mengukuhkan Looper sebagai salah satu film yang paling layak ditonton tahun ini.
14 SENI BUDAYA
Edisi XXII/Oktober 2012
TRA
KALACI
WAFA/
WAFA/KALACITRA
Perahu Putih, Ironi Kejayaan Nenek Moyang Aditya Putri Pria itu menggenggam tangan kekasihnya, suara desah lautan membuatnya kembali berjanji membawa bintang laut persegi empat. Ia bilang akan melompati cakrawala biru, melarutkan perak buih dengan pasir emas. Layung, gadisnya, menatap masygul kepergian Ponte mengarungi samudra sebab laut tengah marah. Malam sebelumnya, anak-anak pantai masih riuh menyanyikan kidung kebanggaan mereka, Nenek moyangku seorang pelaut/ Gemar mengarung luas samudra/ Menerjang ombak tiada takut/ Menempuh badai sudah biasa// Lagu yang selama ini dilantun-
kan seperti romantisasi belaka, bagaimana tidak? Hanya Ponte yang berani melaut menggunakan perahu kecil dan dayung di saat nelayan lainnya absen melaut karena tak ada solar, karena cuaca buruk, dan masih banyak karena-karena yang lain. Mereka nyaman menjadi anakanak kesayangan kemiskinan dan penderitaan, padahal laut tak butuh solar, padahal alam selalu menunjukkan pertanda. Tapi kepercayaan mereka terhadap laut hilang tergerus kata’modern’. Sedang mereka lagi mengalah pada alam, kapal-kapal pencuri ikan berbendera asing sedikit demi sedikit membinasakan laut dengan pukat harimau. Tak mau terjaring jala orang lain, para nelayan ini ikut-ikutan menggunakan bom untuk menangkap ikan. Nelayan tak jadi nelayan kerena
pemerintah mulai mencanangkan daerah wisata yang berujung pada perbudakan di tanah sendiri. Iming-iming impian menjadi kaya di negeri orang, ditambah lagi hutang yang menggerayangi tiap detik dalam hidup mereka, seolah menambah anak panah kematian nelayan kecil. Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) menjadi tempat berlayarnya ‘Perahu Putih’ pada tanggal 11-12 Oktober lalu. Selama lebih kurang dua jam, para penonton dinahkodai oleh sutradara Aries Budiono dan dibawa mengikuti arus cerita karya Eddie ‘Klenk’ Pablo. Ika, salah seorang penonton menuturkan bahwa ‘Perahu Putih’ cocok dijadikan referensi menonton di akhir pekan, “Selain bagus juga sarat akan pesan sejarah dan kehidupan, tapi mungkin durasinya agak lama,
Pasar Malam
nontonnya sedikit ngantuk.” Teater Syahid dalam masa perak ke-25 tahun menghadirkan pementasan yang berbeda. Coba saja tilik naskah, proses produksi, pelakon, hingga pekerja, semuanya seperti familiar bagi kita. Ya, pementasan kali ini hampir 100% made in Syahid. “Realitanya dibutuhkan pemain musik di luar Syahid. Jadi, kita kerjasama dengan Bengkel Teater Rendra,” ungkap Sir Ilham Jambak selaku pimpinan produksi. Sir juga mengaku sempat mengalami kendala pendanaan dalam proses produksi. Namun, kendala tersebut dapat teratasi berkat kerjasama kuat lintas generasi, mulai dari generasi pendiri hingga generasi berjalan di tahun 2012. Selain faktor dana, proses pembagian waktu pun melintangi para pemain.
Nurma Elita Sari yang berperan sebagai Zumroh menceritakan sulitnya membagi waktu antara kuliah dan latihan, “Apalagi kita (para aktor) banyak yang double job sebagai pekerja. Kayak aku, jadi pemain sekaligus ticketing. Karena ada jadwal kuliah, latihan, dan ngurusin tiket, pendalaman karakternya agak susah.” Walaupun banyak hal yang mengarali prapementasan selama tiga bulan, penonton tetap disuguhkan imaji perjuangan mengarungi lautan lepas dan pesan kutipan dari Bung Karno agar Indonesia menjadi bangsa pelaut dalam arti seluas luasnya dan bukan hanya menjadi jongos. Bangsa pelaut yang kesibukannya di laut, menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.
K
eceriaan yang pecah di wajah anak-anak pengunjung pasar malam di komplek Molek jalan Legoso Raya Ciputat, sebuah pemandangan yang bisa dijumpai setiap Senin malam. Aneka jajanan pasar, pakaian, dan pernak-pernik aksesoris tersedia di sana. Hiburan murah-meriah bagi warga dan anak-anaknya setelah seharian beraktivitas. Pasar Kaget, masyarakat sekitar menyebutnya. Yani mengawasi anaknya yang sedang bermain pancingan di kolam yang berisi ikan mainan dan bola. Setelah puas di satu arena permainan, mereka pun beranjak ke permainan yang lain sembari melihat-lihat dagangan yang dijajakan para pedagang. Sesampainya di arena permainan lainnya, sudah ada beberapa orang tua dan anaknya yang antusias menunggu giliran bermain kereta-keretaan.
Foto Pilihan
Ibnu Affan
Mahasiswa Ilmu Tarjamah, FAH.
Tema Foto Selanjutnya
“?” Kirim foto Anda ke lpm.institut@yahoo.com untuk dipamerkan di rubrik Tustel, foto dalam format JPEG beserta narasinya.
TEKNO
Edisi XXII/Oktober 2012
15
WINDOWS 8, THE NEXT OPERATION SYSTEM Oleh Nimas Ayu Mailani*
S
aat ini, komputer merupakan barang yang tidak asing lagi bagi banyak orang. Seiring perputaran waktu, komputer tidak lagi menjadi barang mewah yang dulu hanya dapat dimiliki oleh beberapa orang. Bahkan, banyak orang kini tak lagi menjadikan komputer sebagai kebutuhan krusial. Bicara tentang komputer berarti juga membicarakan ‘sesuatu’ yang membuat komputer tersebut terlihat menarik dan bagus bagi masing-masing orang yang membutuhkannya. Mungkin selama ini beberapa orang hanya menggunakan komputer tanpa tahu apa yang membuat performa komputer menjadi lebih menarik. Mari kita menguak lebih lanjut ‘sesuatu’ dalam komputer yang membuat banyak orang dapat tergila-gila dengan hal-hal mengenai di dalamnya. Komputer tidak akan dapat berjalan dan digunakan tanpa adanya sistem operasi yang
ditanamkan dalam komputer itu sendiri. Apa itu sistem operasi? Sistem operasi merupakan suatu software (perangkat lunak) yang mengatur perangkat keras serta operasi-operasi dasar sistem, termasuk menjalankan software aplikasi seperti program-program pengolah kata, angka ,dan web browser. Sistem operasi sendiri memiliki banyak macam yang masing-masing memiliki kelebihan tersendiri dan membuat suatu hal unik untuk dinikmati pengguna komputer. Beberapa sistem operasi yang banyak digunakan di antaranya XP Professional, XP Home Edition, Windows 7, Ubuntu, dan masih banyak lagi sistem operasi. Dalam artikel ini akan dibahas sistem operasi baru dari Windows, yakni Windows 8. Windows 8 adalah nama dari sistem operasi yang diproduksi oleh Microsoft Windows untuk digunakan pada personal computer (PC), termasuk komputer
rumah, komputer bisnis, netbook, tablet PC, dan komputer media. Akan tetapi, kelebihan ini hanya dapat dinikmati oleh pengguna tablet, laptop, dan
Sistem operasi ini memiliki fitur-fitur baru yang belum dimiliki sistem operasi besutan Microsoft Windows sebelumnya, seperti peng-optimalan layar sentuh. desktop yang mengusung monitor dengan fasilitas touch screen (layar sentuh). Selain itu, waktu booting (pada demo Windows 8 selama 8 detik) yang semakin cepat juga membuat Windows 8 berbeda dengan sistem operasi lainnya. Terlebih lagi dengan
dukungan port USB 3.0. Sistem operasi ini memiliki AppStore sendiri yang menyediakan aplikasi-aplikasi yang dikembangkan untuk Windows 8. Sederetan kelebihan dari fiturfitur yang dimiliki Windows 8 masih kurang tanpa penyebutan Near Field Communications (NFC) yang kegunaannya antara lain untuk transaksi keuangan digital. Sistem operasi ini tidak seperti sistem operasi Microsoft Windows sebelumnya yang memaksa pengguna membuka aplikasi satu demi satu. Pada Windows 8 mulai diterapkan kolaborasi antar aplikasi. Misalnya lewat fitur yang memungkinkan pengguna mengakses informasi berupa E-mail, Twitter, Facebook dan jejaring sosial lainnya dalam satu tampilan. Pihak Microsoft Windows pun menjanjikan keamanan pada sistem operasi ini dengan meningkatkan Windows Defendernya. Selain kelebihan, Windows 8 juga memiliki kelemahan yang
dapat dilihat dari power option seperti restart, shut down, hibernate, dan lain-lain. Tidak adanya akses langsung ke power options membuat pengguna sistem operasi ini harus mengakses opsi tersebut dari setting charm. Untuk spesifikasi komputer dalam penginstalan sistem operasi ini, Microsoft menyatakan komputer dengan sistem operasi Windows 7 dapat menjalankan Windows 8 tanpa upgrade PC. Selain prosesor Intel Atom dan RAM 1 GB, Windows 8 juga dapat berjalan baik dengan mikroprosesor ARM yang biasa digunakan pada tablet. *Penulis adalah Mahasiswa Teknik Informatika
Rubrik Tekno bekerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Teknik Informatika (HIMTI) UIN Jakarta
Sambungan.... Kode Etik: Adu Perspektif Mahasiswa-Rektorat “Rasa percaya diri mahasiswa berambut gondrong itu untuk kepantasan sosial, agama, atau normatif ?” ujarnya. Menurut Nihayah, kode etik dibuat berdasarkan aturan agama dan sosial, bukan hanya untuk kepentingan mereka semata. Selanjutnya, pasal 10 poin 15 tentang pelarangan merokok. Tanwir, anggota Forum Diskusi Piramida Circle, tidak setuju akan pelarangan tersebut. Baginya, merokok adalah hak asasi manusia (HAM), “Mengapa HAM harus dilarang?” tanyanya. Senada dengan Tanwir, Anwar mengatakan, rokok bagi para perokok tidak hanya untuk bergaya saja. Tapi dengan merokok, biasanya mereka bisa semangat dalam menjalani kegiatannya. Muhbib Abdul Wahab, salah satu tim perumus menjelaskan, pihak terkait sudah berusaha merevisi kode etik dengan sebaikbaiknya. Mereka pun membuat kode etik bertujuan untuk menciptakan suasana kondusif saat berlangsungnya belajar-mengajar di UIN Jakarta
Selain itu, tujuannya untuk memelihara harkat, martabat, dan kewibawaan UIN sebagai perguruan tinggi Islam. Juga menjadikan sarjana UIN Jakarta sebagai sarjana muslim yang berakhlak mulia, unggul, kompetitif, profesional, dan berintegritas tinggi. Namun, di sisi lain, Anwar tidak menyukai beberapa pasal yang dibuat pihak rektorat. Menurutnya kode etik yang direvisi tersebut terlalu mengekang mahasiswa. “Memang peraturan itu buat ketertiban, tapi cenderung memaksa,” paparnya kecewa Herni Ali, salah satu tim perumus kode etik menjelaskan, terkadang peraturan itu harus sedikit memaksa. Tujuannya agar para mahasiswa menjalaninya. Baginya, mahasiswa kalau tidak dipaksa biasanya melakukan tindakan yang seenaknya sendiri. “Dikasih tata tertib seperti kode etik saja masih banyak yang melanggar. Apalagi jika tidak diberi tata tertib, ya pasti mereka malah jadi mahasiswa yang tidak sela-
yaknya mahasiswa,” tuturnya saat ditemui di ruangannya. Tak hanya itu, ia pun menjelaskan, mahasiswa perlu pengaturan, karena pengaturan tersebut nantinya akan berdampak positif bagi para mahasiswa yang ada di UIN Jakarta. Tapi, jika mereka tidak setuju dengan peraturan yang telah diberikan pihak rektorat, carilah universitas lain. Ketidakselarasan pemikiran mahasiswa dengan pihak rektorat, menurut Tanwir disebabkan karena mahasiswa dalam perevisian kode etik tidak diikut sertakan. Baginya, keikutsertaan mahasiswa sangat penting agar kode etik yang direvisi rektorat bisa selaras dengan pemikiran mahasiswa. Menanggapi hal tersebut, Muhbib mengatakan, dalam perevisian kode etik, mereka sengaja tidak mengikutsertakan mahasiswa. “Ngapain mahasiswa diikutsertakan? Drafnya kan sudah ada dan tinggal direvisi,” jelasnya. Muhbib menuturkan, meskipun dalam perevisian mahasiswa tidak diikutsertakan, mereka tetap diikutsertakan saat uji pub-
lik. “Saya suka bingung sama mahasiswa, mereka selalu ingin ikut-ikutan. Padahal, hal itu tidak perlu karena pada akhirnya, mereka tetap diikutsertakan dalam uji publik,” katanya. Pengawasan kode etik Dalam Pedoman Kode Etik Mahasiswa, pengawasan pelaksanaan terhadap kode etik mahasiswa terdiri dari pimpinan, dosen, dan karyawan. Namun, karyawan dalam hal ini, tidak seluruh karyawan, tapi hanya beberapa staf yang memang berkepentingan terkait pengawasan. Tanwir tidak setuju akan hal tersebut. Ia setuju jika dalam pengawasan, mahasiswa diikutsertakan juga. “Nggak fair dong, masa karyawan diikutsertakan,” imbuhnya. Menanggapi masalah ini, Herni Ali mengatakan, baginya mahasiswa tidak perlu ikut campur dalam masalah rumah tangga universitas, seperti perevisian kode etik ini. Meskipun mahasiswa boleh mengetahui hal itu, bukan berarti harus ikut campur.
16 IKLAN
Edisi XXII/Oktober 2012
Hub. 085781157788