Edisi XXXVI / April 2015
Email: lpm.institut@yahoo.com / redaksi.institut@gmail.com
LAPORAN UTAMA
Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311
LAPORAN KHUSUS
Karut-marut Laporan BKD
WAWANCARA
Pionir Setengah Hati
Hal. 3
Terbit 16 Halaman
Fasilitas Dorong Kinerja Dosen Hal. 4
LPM INSTITUT - UIN JAKARTA
Hal. 11
@lpminstitut
www.lpminstitut.com
Ironi Tunjangan Profesi
Nur Hamidah Tunjangan profesi ditahan, sebagian dosen mulai resah dan bertanya-tanya. Pihak LPM hingga keuangan turut angkat suara mengenai penahanan ini. Setelah menunggu selama tiga bulan, dana tunjangan profesi akhirnya turun. Namun, tidak semua dosen tersertifikasi menerima tunjangan tersebut. Sebagian dari mereka menanyakan alasan tunjangan profesinya yang belum juga turun. Marhamah Shaleh, dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) mengaku belum mendapat tunjangan profesinya selama tiga bulan, terhitung sejak Januari hingga Maret 2015. “Saya kira alasan belum turun itu karena memang pembagiannya ke beberapa pihak dulu. Ketika dicek ke pihak Lembaga Penjamin Mutu (LPM), katanya sudah dicairkan semuanya,” ujarnya, Selasa (21/4). Sekretaris Jurusan PAI itu menerangkan, awal 2015 lalu Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) memeriksa penilaian Beban Kerja Dosen (BKD) dan dosen yang bermasalah dipanggil untuk memperbaiki kekurangannya. Na-
mun, ia tidak turut dipanggil. Setelah kembali meminta klarifikasi dari LPM, Marhamah dinyatakan memiliki jabatan tetap di universitas lain sehingga tunjangan profesinya ditahan. Selain Marhamah, Neneng Sunengsih juga belum menerima tunjangan profesinya. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) ini mengaku, telah menyerahkan berkas-berkas sesuai dengan persyaratan BKD. Namun, ia mendapat laporan bahwa dokumennya belum lengkap. “Saya langsung koordinasi dengan Itjen, mereka bilang saya sudah aman. Ketika dosen lain sudah cair tunjangannya, tapi kok saya belum menerimanya,” ujarnya, Kamis (23/4). Neneng mengaku, ia tidak mengunggah data penelitian tahun 2014 yang menjadi salah satu poin penilaian dalam BKD. Neneng tidak dapat mengunggah dokumen melalui sistem online karena sudah lewat batas waktu pengunggahan. Akibatnya,
data tersebut tidak dapat diunggah. Untuk menilai mutu kerja, dosen diharuskan mengunggah dokumen-dokumen yang berkaitan dengan BKD mereka melalui sistem online. Penilaian ini merupakan salah satu syarat agar dosen mendapatkan tunjangan profesinya. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 37 Tahun 2009 pasal 8 ayat 1 mengenai tunjangan profesi, dosen dapat mendapatkan tunjangan profesi jika ia telah memiliki sertifikat pendidik, melaksanakan tridarma perguruan tinggi, dan tidak terikat sebagai tenaga tetap pada satuan kerja lain. Jika terbukti, maka tunjangan profesinya dicabut. Salamah Agung, Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, LPM menjelaskan alasan penahanan tunjangan profesi Bersambung ke hal. 15 kol. 2
Laporan Utama
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
2
Karut-marut Laporan BKD
Salam Sejahtera, hidup mahasiswa! Tak terasa sudah satu bulan berlalu. Akhirnya kami menyapa kembali pembaca sekalian. Di tengah kesibukan rutinitas di ruang redaksi dan masa pendidikan Bakal Calon Anggota (Bacang) LPM INSTITUT tahun 2015, kami tetap berusaha meracik tulisan yang terbaik. Kami tetap untuk pembaca sekalian. Suasana ramai dan padat jadwal sudah menjadi kebiasaan bagi kami. Meski waktu kami banyak tersita untuk mendidik dan menyambut adik-adik baru, kami tak lupa untuk menulis. Kegiatan tahunan yang disebut Training Pers Institut (TPI) tersebut merupakan persiapan kader-kader terbaik kami sebelum siap menjadi reporter yang turun ke lapangan. Akhirnya, di tengah kesibukan itu kami bisa menghadirkan lagi Tabloid INSTITUT ke tangan pembaca sekalian. Tabloid edisi ke-36 ini merupakan hasil kolaborasi antar pengurus dan anggota LPM INSTITUT. Untuk pertama kalinya anggota LPM INSTITUT yang baru dilantik dua bulan lalu menorehkan karyanya di tabloid. Kali ini, tiga laporan utama kami mengangkat tema terkait Beban Kerja Dosen (BKD). Dosen sebagai corong pendidikan perguruan tinggi memiliki tugas dan tanggung jawab penting bagi kemajuan kampus. Makanya, demi menjaga kualitas profesi ini, setiap semesternya diadakan penilain BKD. Hasil penilaian BKD pula yang menentukan dosen berhak menerima tunjangan profesi atau tidak. Pada headline kami menyajikan berita tentang penundaan tunjangan profesi dosen yang disebabkan oleh ketrlambatan penilaian BKD. Tak hanya itu, tunjangan profesi juga tak bisa diberikan bagi dosen yang memiliki jabatan di universitas lain. Sedangkan, laporan utama pertama kami menyajikan berita tentang sistem dokumentasi dan laporan BKD yang kacau. Hal inilah yang membuat kecurigaan saat Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) melakukan audit Maret lalu. Sajian kami pada laporan utama yang berikutnya adalah tentang guru-guru besar yang abai terhadap tugas mengajarnya. Padahal, guru besar memiliki kewajiban untuk mengajar bahkan pada jenjang S1. Di halaman berikutnya, kami menyuguhkan laporan khusus terkait persiapan Pionir ke-7 di Palu yang terkesan terburu-buru. Lalu, kami pun menyampaikan berita terkait penganggaran dana HMJ yang berbeda di tiap fakultas pada rubrik laporan khusus selanjutnya. Edisi April ini juga menampilkan fenomena mahasiswa dan batu mulia di lingkungan kampus. Berita ini kami kemas dalam rubrik kampusiana. Selain itu, kami pun mempersembahkan resensi film biografi salah satu tokoh negeri ini, Tjokroaminoto. Banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah salah satu pejuang keadilan di Indonesia itu. Selama proses pembuatan tabloid ini, kami tak luput dari kendala. Misalnya, data yang sulit diakses. Namun, hal tersebut tak menjadi alasan kami untuk tak menyajikan hasil yang maksimal. Semoga pembaca sekalian puas dengan apa yang kami suguhkan kali ini. Kami juga berharap tulisan-tulisan dalam tabloid ini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian. Selamat membaca!
Foto: Erika/INS
Salam Redaksi
Simulasi dan pelatihan kader Jumantik oleh dosen dan mahasiswa Kesehatan Masyarakat, FKIK UIN Jakarta di Kelurahan Rengas, Kamis (19/2). Kegiatan ini termasuk salah satu aspek Beban Kerja Dosen (BKD) yaitu pengabdian masyarakat.
Erika Hidayanti Audit Itjen Kemenag menyatakan sejumlah dosen UIN Jakarta tak memenuhi BKD. Dosen pun kocar-kacir memperbaiki laporan BKD yang tak lengkap. Awal Maret 2015, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mendadak sibuk dengan kedatangan tim auditor Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) RI yang memeriksa hasil penilaian Beban Kerja Dosen (BKD). Banyak ditemukan kasus dosen tak memenuhi BKD. Dokumen yang tak lengkap menjadi salah satu alasannya. Neneng Sunengsih misalnya. Oleh Itjen, dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini dinyatakan belum memenuhi BKD di tahun 2013 dan 2014. “Dokumen saya di bidang pengabdian masyarakat tahun 2013 dinyatakan kurang. Sedangkan tahun 2014, saya belum mengunggah dokumen di bidang penelitian,” ujarnya, Jumat (24/4). Sama halnya Neneng. Burhanudin Milama, dosen Jurusan Pendidikan Kimia, FITK juga dinyatakan tidak memenuhi BKD di tahun 2014 karena laporannya tidak lengkap. Namun, assessor tak memberi keterangan jelas dokumen apa yang harus ia lengkapi. Seperti yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 37 tahun 2009 ayat 8. Di situ, mengatur bahwa dosen harus memenuhi beban kerjanya minimal 12 SKS dan maksimal 16 SKS di setiap semester. BKD mencakup tiga bidang, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan penulisan karya ilmiah, serta pengabdian masyarakat. Oleh karena itu, laporan BKD menuntut dosen untuk selalu mendokumentasikan surat tugas dan laporan kegiatan yang telah dilakukan. Namun, dalam praktiknya, tak sedikit dosen mengabaikan. “Rata-rata dosen lupa di mana menyimpan dokumen yang dibutuhkan,” tutur Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, Lembaga Penjamin Mutu (LPM) UIN Jakarta, Salamah Agung, Jumat (17/4). Untuk melancarkan proses penilaian, LPM sebenarnya sudah melakukan sosialisasi kepada
dosen terkait pedoman umum laporan BKD online. Di situ, mengatur dosen harus mengunggah laporan BKD-nya ke sistem informasi yang nantinya akan dinilai assessor. Namun, selama proses sosialisasi, Salamah tak menampik banyak dosen yang tidak hadir. Walhasil, saat audit Itjen pertengahan Maret lalu, banyak dosen yang tak memenuhi BKD. Neneng misalnya. Saat sosialisasi, Ia mengaku tak mengikuti hingga akhir lantaran ada jadwal mengajar. Ia juga mengaku, selama ini dirinya sudah terbiasa bekerja tanpa surat tugas. Sehingga oleh Itjen, dokumen BKD-nya di tahun 2013 dinyatakan tidak lengkap. Berangkat dari situ, menurut Neneng, kini dosen mulai harus terbiasa dengan sistem BKD online yang baru diterapkan selama setahun itu. Lain lagi dengan Burhan. Ia mengaku kesulitan mengumpulkan surat-surat tugas laporan BKD yang kegiatannya tak didanai kampus. Pasalnya, surat tugas selama ini hanya diberikan kepada dosen yang menjalankan tugas kampus. Sedangkan jika melakukan sendiri tak ada surat tugas yang terbit sehingga perlu mengumpulkan surat keterangan. “Karena selama ini kita belum biasa,” tutur Burhan, Jumat (24/4). Tak hanya dokumentasi berkas BKD yang kacau, menurut Salamah, selama ini UIN Jakarta memang belum menerapkan sistem penilaian BKD secara komprehensif. Tak ada penilaian yang terstruktur, serta jumlah assessor yang cukup. “Keterbatasan dana membuat kami tak bisa menggaji assessor yang kompeten dengan jumlah yang cukup,” ujarnya. Sebelumnya, Salamah menerangkan, assessor hanya menegur dosen lewat email atau sistem informasi BKD jika terdapat dosen yang tidak melengkapi laporan BKD-nya. Dan tak ada tindak lanjut. Sehingga tak banyak perkembangan dari teguran itu. Baru setelah kedatangan audit Itjen, Salamah mengaku melakukan penilaian komprehensif. “Bahkan untuk tiga semester se-
belumnya,” katanya. Saat ini, UIN Jakarta memiliki 858 dosen yang telah tersertifikasi dengan 89 assessor. Satu assessor dibebani 20 dosen yang telah tersertifikasi untuk dinilai setiap satu semester. Padahal, satu dosen saja diaudit oleh dua assessor. “Bahkan, kalau bisa satu assessor 10 dosen saja, jangan terlalu banyak,” kata salah satu assessor BKD UIN Jakarta, Abdul Halid, Rabu (15/4). Selain itu, persepi antarassessor terkait penilain pun berbeda. Burhan misalnya, ia dinyatakan tak memenuhi BKD karena dari kedua assessor yang menilai laporan BKD-nya berbeda pendapat. Salah satu asessor menyatakan Burhan belum memenuhi BKD. Padahal, yang lain sudah meloloskannya. Ditemui di ruangannya, Senin (20/4), Wakil Rektor (Warek) Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga membenarkan adanya kekurangan berkas pada laporan BKD dosen. Menurut Fadhilah, selama ini dosen belum terbiasa dengan persoalan administrasi seperti itu. Apalagi sesuai dengan Peraturan Rektor UIN Jakarta tahun 2013 tentang Pedoman Pengaturan Beban Kerja Dosen, dosen harus melaporkan dokumen tersebut setiap akhir semester. Ke depan, UIN Jakarta sedikit demi sedikit akan memperbaiki sistem ini. Kampus pun nantinya akan berusaha untuk menambah fasilitas dosen untuk penelitian dan pengabdian masyarakat. “Kami juga mendorong dosen untuk melakukan penelitian yang bekerja sama dengan mahasiswa atau universitas lain,” jelas Fadhilah. Sampai saat ini, data resmi mengenai jumlah dosen yang tak memenuh BKD dan dicabut tunjangan profesi atau yang berkewajiban mengembalikan tunjangannya pada negara belum ada. “Untuk jumlah saya belum bisa sebutkan, namun, jika dilihat dari hasil temuan Itjen kemarin memang ada dosen yang dicabut dan harus mengembalikan tunjangan profesinya,” tutup Fadhilah.
Pemimpin Umum: Adi Nugroho | Sekretaris & Bendahara Umum: Nur Hamidah | Pemimpin Redaksi: Thohirin | Redaktur Online & Web Master: Syah Rizal | Pemimpin Litbang: Erika Hidayanti | Pemimpin Perusahaan: Maulia Nurul Hakim Anggota: Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat Koordinator Liputan: Maulia Nurul Hakim | Reporter: Erika Hidayanti, Maulia Nurul Hakim, Nur Hamidah, Syah Rizal, Thohirin, Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat | Fotografer & Editor: INSTITUTERS | Desain Visual & Tata Letak:Erika Hidayanti, Syah Rizal, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari | Karikaturis & Ilustrator: Syah Rizal, Ika Puspitasari | Editor Bahasa: INSTITUTERS Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 08978325188 | Email: lpm.institut@yahoo.com / redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~
Laporan Utama
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
3
Darma yang Tak Tuntas Thohirin
“Lebih inget nama asisten dosennya dari pada guru besarnya,” ujar Dedeh Herlinawati saat ditanya nama guru besar mata kuliahnya di semester satu, dua tahun lalu. “Soalnya yang (banyak) ngajar asisten dosen (asdos). Penentuan materi juga asdos,” lanjut mahasiswi semester empat Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini, Sabtu (25/4). Dedeh ingat betul, kala itu, guru besar FITK yang mengampu salah satu mata kuliahnya hanya masuk tiga kali dari total 16 kali pertemuan. “Seingat aku, hari pertama dia masuk. Pas ujian, masuk. Bagiin soal. Terus ngumpulin sama asdosnya,” ingatnya. Tak berbeda dengan Reki Prasetyo. Mahasiswa semester empat Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) ini merasa kehadiran asdos lebih sering ketimbang beberapa guru besar yang menjadi pengampu dosen mata kuliah di kelasnya. Reki ingat, tak lebih tiga kali, guru besar memberi mata kuliah di kelasnya. Sisanya, asdos yang aktif masuk. “30% lah,” Reki memperkirakan presentasi kehadiran guru besar yang jarang masuk itu, (Sabtu (25/4). Mengacu pada Peraturan Rektor tentang Pedoman Pengaturan Beban Kerja Dosen (BKD) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013 pasal 15 tentang Asistensi, mengatur bahwa asistensi merupakan proses bimbingan mengajar oleh guru besar terhadap dosen-dosen muda. Namun, dalam praktiknya, tak sedikit kehadiran asdos di kelas lebih banyak ketimbang guru besar yang menjadi pengampu utama mata kuliah. Tak ayal, kehadiran tim audit Ins-
pektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama (Kemenag) awal Maret lalu, cukup membuat kalang kabut civitas akademika UIN Jakarta. Tak hanya dosen yang jadi incaran, guru besar pun tak luput dari bidikan. Konon, tak sedikit guru besar UIN Jakarta yang tidak memenuhi beban kerjanya sebagai guru besar. Ditemui di ruangannya, Kepala Sub Bagian Pengelolaan Hasil Pengawasan Internal, Kamalul Iman Billah bergeming saat dimintai angka pasti guru besar UIN Jakarta yang bermasalah. “Itu rahasia. Lagipula Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)nya juga belum selesai,” ujarnya, Selasa (14/4). Namun, Kamal membenarkan sebagian guru besar UIN Jakarta bermasalah. Sementara itu, Kepala Pusat Audit dan Pengendalian Mutu, Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Jakarta, Salamah Agung menyebutkan, berdasarkan hasil sementara audit Itjen Kemenag yang diterima LPM, dari total 63 guru besar di UIN Jakarta, hanya satu guru besar yang bermasalah. Namun, angka itu tidak menutup kemungkinan berubah karena Itjen Kemenag belum menyerahkan hasil akhir audit. Minimnya kehadiran guru besar mengajar di S1 hanya satu dari sebagian kasus guru besar yang mengemuka selama proses audit BKD. Selain kasus itu, produktivitas di bidang penulisan buku, penelitian, dan penyebarluasan gagasan turut jadi perbincangan hangat civitas akademika UIN Jakarta. Wakil Rektor Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga menyadari minimnya produktivitas menulis buku, penelitian,
Sumber: Internet
Hasil audit BKD oleh Itjen Kemenag menyatakan sebagian guru besar UIN Jakarta tidak memenuhi beban kerjanya. Kesibukan di luar kampus banyak jadi alasan.
Ilustrasi
maupun menyebarluaskan gagasan di kalangan guru besar UIN Jakarta. Padahal, tiga aspek itu menjadi kewajiban bagi guru besar di setiap perguruan tinggi. Terlebih, UIN Jakarta kini tengah berbenah menuju world class university. “Mungkin (produktivitas) hanya sekitar 30%,” ujar Fadhilah, saat ditemui di ruangannya, Selasa (22/4). Beban guru besar mendorong peningkatan akademik memang tak seperti dosen pada umumnya. Dalam buku Pedoman Beban Kerja Dosen dan Evaluasi Pelaksanaan Tridarma Perguruan Tinggi yang diterbitkan Direktorat Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional tahun 2010, beban guru besar meliputi tiga aspek; menulis buku, menulis karya ilmiah, dan menyebarkanluaskan gagasan untuk mencerahkan masyarakat. Untuk memenuhi tiga tugas itu, setiap guru besar diberi waktu tiga ta-
hun. Karenanya, setiap tiga tahun, tim assessor akan meminta buku, hasil penelitian, atau penyebarluasan gagasan sebagai bukti pemenuhan beban kerja guru besar. Waktu tiga tahun terhitung sejak pengangkatan seorang guru besar. Sejak diangkat menjadi guru besar di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) pada 2002, Fathurrahaman Rauf, hingga kini telah menulis dua buku. Profesor di bidang Sastra Arab ini mengaku tak memiliki waktu banyak untuk menulis. “Yang susah itu waktunya,” katanya. Kini, kesibukan Rauf hanya mengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab FAH setiap hari Senin, Rabu, Kamis. Rencananya, Rauf akan menulis beberapa buku lagi sebelum pensiun di umurnya yang ke-70. “Saya enggak tahu berapa (buku),” katanya. Berbeda dengan Rauf. Sejak diangkat menjadi guru besar Fakultas Ilmu
Rencana Anggaran Operasional Pembinaan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2015
Sumber data: Kemahasiswaan UIN Jakarta
Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Yunan Yusuf, telah menulis sembilan buku. Selain itu, di sela-sela kesibukannya mengajar, ia juga menjadi assessor di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Yunan juga tengah menyelesaikan tafsir Al-quran yang sudah digelutinya sejak 2010. Juz 26 tengah digarap. Guru besar bidang pemikiran Islam itu juga tengah menulis tiga buku di bidang filsafat Islam, tasawuf, dan dakwah Rasulullah. Dalam menulis, Yunan katanya biasa bangun pada pukul 3.00 dini hari sampai subuh. “Menulis kalau tidak terbiasa, susah.” Katanya. Kontribusi guru besar untuk memajukan perguruan tinggi memang penting. Untuk itu, Fadhilah menuturkan, saat ini pihak akademik memperbanyak jumlah guru besar di UIN Jakarta. “Paling tidak nambah satulah setiap tahun,” katanya.
INFO GRAFIS
Infografis: Arini, Rizal/INS
Laporan KHUSUS
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
4
Pionir Setengah Hati Syah Rizal
Pekan Ilmiah, Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK) VII 2015 di Palu tinggal menghitung hari. Alih-alih mengharumkan nama kampus, perhatian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta terhadap sebagian atlet dinilai tak serius. Soal keterlambatan dana seleksi contohnya. Uang yang mestinya dialokasikan untuk keperluan selama proses seleksi dan latihan, baru turun Kamis pekan lalu—hampir satu bulan pasca-penutupan seleksi akhir Maret. Walhasil, tak sedikit peserta Pionir merasa kecewa atas keterlambatan pencairan dana tersebut. Cabang bulu tangkis salah satu nya. Sejak proses seleksi hingga sudah menjalani 12 kali latihan, para atlet tepok bulu itu terpaksa merogoh kocek pribadi lantaran dana yang belum turun. “Kadang saya juga nombokin untuk beli kok,” keluh atlet sekaligus pelatih bulu tangkis UIN Jakarta, Naufal Najmuddin, Selasa (21/4). Keterlambatan dana seleksi juga dialami Divisi Futsal Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa) UIN Jakarta. Khairul Irsal bersama beberapa rekannya di divisi futsal, juga harus menggunakan uang pribadi untuk keperluan selama proses seleksi dan latihan lantaran uang yang belum cair. Bahkan tak jarang mereka mengandalkan uluran tangan senior barang hanya membeli minum saat latihan. “Persiapan Pionir yang kurang dari dua bulan itu belum cukup,” kata Irsal, Jumat (23/4) sore.
Bendahara Pengeluaran Pembantu Kemahasiswaan UIN Jakarta, Romdani menjelaskan, keterlambatan pencairan dana disebabkan ada cabang olahraga yang belum menyerahkan laporan pertanggungjawaban hasil seleksi. Penyerahan proposal pengajuan dana seleksi yang tak serentak dari semua cabang, katanya, jadi salah satu faktor terlambatnya pencairan dana. Belum lagi, tambah Romdani, beberapa proposal yang sudah diajukan juga bisa terkena revisi oleh keuangan. Padahal, lanjut Romdoni, sebetulnya semua cabang yang sudah menyelesaikan proposal bisa langsung menerima uang seleksi. “Lebih enaknya semua cabang menyelesaikan revisi terlebih dahulu, jadi dana bisa cair semuanya,” jelas Romdoni, Senin (20/4). Sementara itu, Kepala Sub Bagian Bina Bakat dan Minat Mahasiswa (Kasubag BBMM), Masruri menuturkan, keterlambatan dana seleksi lantaran ada salah satu cabang olahraga yang belum menyelesaikan proses administrasi hasil seleksi. “Keuangan meminta kelengkapan data, kami hanya mengajukan saja,” ujar Masruri saat ditemui di ruangannya, Kamis, (23/4). Meski begitu, menurut Ketua Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan (KMPLHK) Kembara Insani Ibnu Batuta (Ranita), Nur Hidayat, keterlambatan pencairan dana itu tetap berpengaruh pada keuangan organisasi. Karena keterlambatan itu, ia terpaksa memin-
Foto: Hamidah/INS
HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia tengah melaksanakan OPAK di Gedung FITK Agustus 2014 lalu. OPAK merupakan salah satu kegiatan yang rutin diselenggarakan HMJ/HMPS.
Maulia Nurul Dana yang ditetapkan oleh kampus untuk Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) atau Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) lebih sedikit daripada tahun lalu. Beberapa Ketua HMJ/HMPS mempertanyakan hak dananya. Penyaluran dana kegiatan kemahasiswaan telah ditetapkan oleh Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam surat tersebut, pihak kampus menetapkan anggaran dana untuk lembaga fakultas termasuk HMPS atau HMJ. Dana yang dihitung per konsentrasi itu terasa kurang oleh beberapa himpunan.
Salah satunya, HMJ Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Rendy Iskandar. Ia mengatakan, porsi dana yang ditetapkan oleh kampus sebesar Rp6.393.177, tersebut masih jauh dari kebutuhan organisasi. HMPS lainnya di FISIP seperti Ilmu Politik dan Sosiologi pun mendapatkan jumlah dana yang sama.
Dok. Pribadi
UIN Jakarta mengutus 98 atlet dan peserta untuk 45 kategori lomba dalam Pionir 2015 di Palu. Persiapan para atlet dan peserta terkesan buru-buru.
Atlet panjat tebing KMPLHK Ranita sedang mengikuti seleksi panjat tebing di Gelanggang Olahraga Ragunan, Jakarta Selatan, Senin (20/3). Seleksi tersebut merupakan persiapan menghadapi Pionir 2015 di Palu.
jam uang untuk latihan anggota atlet panjat dindingnya. Pria yang akrab disapa Bledig ini menilai pihak Kemahasiswaan UIN Jakarta belum siap menghadapai Pionir. Menurutnya, persiapan Pionir tahun ini terkesan memaksakan. Padahal, pihak kampus tahu jika Pionir merupakan agenda rutin dua tahunan bagi UIN Jakarta. Terkait Pionir yang terkesan buru-buru, Masruri punya alasan. “Untuk persiapan Pionir yang kurang dari dua bulan saja menghabiskan dana Rp700 juta lebih, apalagi lebih dari dua bulan,” jelas Masruri. Lebih dari itu, menurutnya, Pionir bukan hanya ajang cari prestasi, namun juga untuk mempererat silaturahmi dengan PTK lainnya. Menurut Bledig, UIN Jakarta bisa menyelam sambil minum air dalam Pionir yang digelar di IAIN Palu nanti. “Walaupun Pionir bukan hanya ajang cari prestasi, tapi UIN Jakarta harus menunjukkan prestasinya agar bisa meningkatkan rating UIN Jakarta sendiri,” tegas Mahasiswa Fakultas
Ekonomi dan Bisnis (FEB) ini, Jumat (24/4).
makanya belum bisa langsung direalisasikan.
Fasilitas Kurang Memadai Tak hanya waktu persiapan Pionir yang terkesan mepet, fasilitas untuk para atlet juga belum memadai. Divisi Olahraga Bulu Tangkis Forsa UIN Jakarta terpaksa menyewa gedung olahraga di daerah Pamulang setiap kali latihan. Padahal menurut Naufal, jika fasilitas memadai, motivasi atlet untuk menang bisa semakin besar. Serupa Forsa, atlet panjat dinding KMPLHK Ranita juga terpaksa menumpang di tempat lain setiap kali latihan. “Kita juga mengeluarkan biaya lebih untuk ongkos dan makan,” ujar Bledig, salah satu atlet panjat dinding Ranita. Menanggapi berbagai keluhan itu, Masruri mengaku pihak Kemahasiswaan UIN Jakarta sudah capek menuruti keinginan mahasiswa. Katanya, kalau untuk Ranita, sebetulnya pengajuan wall climbing telah disetujui. Tapi, karena waktu yang mepet
Tak Belajar dari Kesalahan Dari Rp700 juta dana yang diusulkan, Kemahasiswaan UIN Jakarta rupanya tak menganggarkan uang protes. Uang protes merupakan uang yang diberikan official dari pihak kampus ke panitia Pionir jika sewaktu-waktu ada kecurangan dalam penyelenggaraan Pionir. Dalam Pionir di Banten 2013 lalu misalnya. Berdasarkan penuturan Bledig, kala itu cabang panjat tebing UIN Jakarta sebenarnya bisa menggondol medali emas. Namun, kemenangan itu kandas setelah Bledig yang melihat kecurangan tak bisa berbuat apa-apa. Masruri membenarkan kejadian itu. Pihak Kemahasiswaan UIN Jakarta yang saat itu menjadi official memang tak melayangkan protes lantaran tidak melihat selisih waktu saat lomba. “Tak adanya protes kala itu hanya ketidakpuasan Ranita. Itu biasa lah,” tutupnya.
Menilik Susutnya Dana HMPS Kerisauan ini juga disampaikan oleh Muhammad Yusuf, Ketua HMPS Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Yusuf menjelaskan, terdapat lima HMPS di FSH, tetapi pendistribusian dananya berbeda satu sama lain. “Jika dibanding empat HMPS di FSH lainnya, HMPS Ilmu Hukum paling sedikit mendapatkan dana,” katanya, Selasa (14/4). Ia menjelaskan, pihak dekanat dan Bagian Keuangan FSH memberi dana kepada HMPS sesuai jumlah konsentrasi yang ada di prodi tersebut. Misalnya, HMPS Hukum Keluarga yang memiliki tiga konsentrasi, mendapat dana sebesar tiga dikali Rp6.393.177. Akan tetapi, HMPS yang dipimpin oleh Yusuf hanya mendapat dana sebesar hitungan satu konsentrasi. Padahal, lanjutnya, Ilmu Hukum seharusnya mendapatkan dana sebesar dua konsentrasi, yaitu kisaran Rp12 juta lantaran Ilmu Hukum memiliki dua konsentrasi saat mahasiswa akan menempuh semester 6. Menanggapi hal tersebut, Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum FSH, Asmawi mengatakan, Ilmu Hukum tidak memiliki konsentrasi. “Hukum Kelembagaan Negara dan Hukum Bisnis yang akan ditempuh mahasiswa Ilmu Hukum semester 6 hanyalah peminatan,” kata Asmawi,
(17/4). Ia melanjutkan, nomenklatur Ilmu Hukum berbeda. Kedua peminatan di Ilmu Hukum tak sama dengan konsentrasi di program studi (prodi) lain. Sementara itu, Dhian Sukmaningsih, Kepala Bagian Kepegawaian dan Keuangan FSH menjelaskan, dana yang diberikan kepada HMPS itu sudah sesuai dengan ketetapan dari rektorat. “Bagian Keuangan hanya menerima data dari rektorat. Kalau pun dana tetap tersebut kurang, kegiatan mahasiswa bisa menggunakan dana rasio yang tersedia,” katanya, Senin (20/4). Dana rasio yang disediakan berjumlah Rp19.635 per kepala mahasiswa. Terkait pendanaan, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) mengambil kebijakan yang berbeda. Hal ini disampaikan oleh Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Maifalinda Fatra. Ia mengatakan, dana yang diterima HMPS berasal dari dana tetap dan dana variatif. Dana variatif dihitung dari dana rasio dikali jumlah mahasiswa aktif di program studi. “Pembagian dana yang diberikan rektorat diserahkan penuh ke fakultas,” ujar Maifalinda, (25/4). Maka, lanjutnya, prodi yang mahasiswanya sedikit akan mendapat dana yang sedikit pula. Selain untuk HMPS, dana rasio pun digunakan untuk kegiatan mahasiswa
lain, seperti Lembaga Semi Otonom (LSO). Distribusi dana dari rektorat ke fakultas juga dijelaskan oleh Kepala Sub Bagian Bina Bakat dan Minat Mahasiswa, Masruri. Penganggaran dana lembaga fakultas berdasarkan jumlah prodi dan jumlah mahasiswa yang ada di fakultas tersebut. “Fakultas memiliki wewenang untuk mengatur pembagiannya kepada lembaga kemahasiswaan di fakultas masing-masing,” ujarnya, Kamis (23/4). Ia menjelaskan, fakultas hendaknya mengetahui keaktifan kegiatan mahasiswa, supaya dana sampai ke mahasiswa secara optimal. Tahun lalu, ada beberapa HMPS yang aktif berkegiatan namun kekurangan dana. Ada pula HMPS yang pasif dan tidak menggunakan dana yang diberikan. Akibatnya, kelebihan dana tersebut harus dikembalikan. Di sisi lain, Masruri memaparkan, Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diterima UIN Jakarta lebih sedikit dibanding tahun lalu. “Tahun 2015, UIN Jakarta menerima Rp1,4 milyar untuk disalurkan ke seluruh fakultas, sedangkan tahun 2014 mencapai Rp2 milyar,” jelas Masruri. Oleh karena itu, dana fakultas yang dibagikan ke lembaga kemahasiswaan juga berkurang.
KAMPUSIANA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
5
Minimnya Antusias Kritik Mahasiswa M. Rizky Rakhmansyah
Terik matahari siang itu tak menyurutkan niat sekelompok mahasiswa untuk berorasi di halte Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka yang berjumlah tak lebih dari 10 orang itu menuntut pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia di tanah Rembang. “Jakarta cinta Rembang. Selamatkan alam, Pulau Jawa dan Rembang, untuk anak dan cucu kita,” demikian tulisan yang tertera di spanduk aksi mahasiswa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Jakarta Menolak Semen, Kamis (16/4). Untuk menarik perhatian orang sekitar, sebagian di antara mereka juga berpakaian ala petani. Sementara sisanya memainkan alat musik rebana yang sudah mereka siapkan sejak malam sebelumnya. Ragam cara dilakukan mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi. Salah satunya lewat berunjuk rasa. Seperti yang dilakukan Selamet Widodo dan teman-temannya dalam membela warga Rembang yang sedang bersengketa tanah dengan PT Semen Indonesia. Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin (FU), Ahmad Bahroin, juga memilih berunjuk rasa sebagai upaya mengkritik kebijakan pemerintah yang kerap tidak pro rakyat. Biasanya, Boim—sapaan akrabnya— menggunakan pamflet,
poster, dan leaflet sebagai sarana saat berunjuk rasa. “Tidak jarang pula kita melakukan aksi teaterikal,” ucap Boim, Rabu (15/4). Menurut Boim, berunjuk rasa adalah cara efektif dalam menyampaikan aspirasi ketimbang kampanye lewat media sosial. Dengan berunjuk rasa, aspirasi yang disuarakan bisa lebih mudah tersampaikan. Sayangnya, kata Boim, banyak mahasiswa yang kini memandang negatif aksi unjuk rasa. Dhorifah, mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) menilai, selain berunjuk rasa, diskusi publik atau memanfaatkan media sosial bisa jadi cara lain mahasiswa menyampaikan aspirasi. “Jika itu dikembangkan mungkin efeknya lebih bagus,” tukas Ifa, Kamis (16/4). Senada dengan Ifa. Muhammad Akbar Thariq, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) menyesalkan tindak anarkis yang kerap terjadi saat unjuk rasa. Menurutnya, itulah sebab banyak mahasiswa enggan berunjuk rasa. “Untuk apa melakukan aksi jika banyak dampak buruk terjadi,” kata Thariq, Jumat (17/4). Seperti yang dilakukan Boim misalnya. Saat berunjuk rasa, ia dan massa aksi memang tidak jarang memblokir
Foto: Rizky/INS
Unjuk rasa yang mahasiswa lakukan kerap menuai respons miring. Tidak heran, partisipasi mahasiswa dengan tujuan menyuarakan aspirasi masyarakat itu semakin berkurang.
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Jakarta Menolak Semen berunjuk rasa di Halte UIN Jakarta, Kamis (16/4). Dalam aksinya, mereka menuntut pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia di Rembang.
jalan. Katanya, itu dilakukan massa aksi sebagai bentuk tekanan untuk pemerintah. “Sayangnya, media lebih menyoroti dampak aksi dibanding tuntutan aksi,” ucap Boim. Boim juga mengeluhkan menurunnya animo mahasiswa dalam berunjuk rasa. Hal itu ia rasakan dari sedikitnya massa saat ia berunjuk rasa. “Paling, hanya sekitar 20 orang,” ujar Boim. Bahkan tak jarang, aksi yang dilaku-
kan Boim juga menuai kritik mahasiswa lain. Padahal, lanjut Boim, sebelum sistem organisasi kampus berganti pada 2010 silam, antusiasme mahasiswa berunjuk rasa cukup tinggi. Hal tersebut diamini oleh Renal Rinoza. Aktivis Lingkar Studi Aksi Demokrasi Indonesia (LS-ADI) ini menuturkan, pasca pergantian sistem organisasi kampus, mahasiswa mulai
kehilangan antusias dalam melakukan unjuk rasa. Padahal, sebelumnya mahasiswa sangat berpengaruh dalam menggerakkan aksi. Renal juga menyayangkan gaya hidup mahasiswa saat ini yang cenderung hedonis. Menurutnya, gejolak mahasiswa dalam menanggapi isu mulai berkurang. “Kini, mahasiswa cuek terhadap situasi yang ada,” ungkap Renal, Senin (13/4).
Batu Mulia di Mata Mahasiswa Yasir Arafat Demam batu mulia kini melanda berbagai kalangan di Indonesia, mulai dari masyarakat hingga mahasiswa. Biasanya, mereka membuat batu mulia jadi beragam perhiasan laiknya cincin, gelang, serta liontin dengan berbagai jenis batu seperti Bacan, Kalimaya, Yaman, dan Giok Aceh. cicin dan liontin. Keluarga Anisa pun mengoleksi batu mulia, seperti Yaman, Safir, Zamrud, Lumut Aceh, Kalsedon, Panca Warna, dan Kecubung Kalimantan. Ia pun sangat tertarik dengan Zamrud dan Yaman.
Setiap batu mulia yang ia miliki berasal dari teman-teman ayahnya yang juga kolektor batu mulia. “Kalau enggak beli batu ya tukeran aja sama kolektor lainnya,” ujar Mahasiswi Jurusan Kesehatan Masyarakat ini, Jumat (17/4).
Foto: Yasir/INS
Salah satu pengagum batu mulia, Anisa Khoerunisa, Mahasiswi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keperawatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, sejak kecil sudah akrab dengan batu mulia. Ia biasa memakai batu sebagai
Mahasiswa FIDIKOM UIN Jakarta sedang membincang tentang batu mulia di lantai dasar FIDIKOM, Kamis (21/4). Mereka membicarakan corak dan keindahan batu mulia.
Anisa bercerita, ia paling suka menyoroti batu mulia dengan sinar lampu yang akan memunculkan bintik cahaya menyerupai bintang. Momen itu membuatnya kagum. “Keindahan batu juga bisa dilihat dari usianya. Semakin tua batu mulia, akan lebih indah dilihat,” tambahnya. Selain menjadi primadona karena keindahannya, batu mulia juga memiliki nilai jual tinggi. Tak sedikit mahasiswa melihat fenomena batu mulia sebagai peluang usaha. Misalnya Gardika Kay Rizka. Sudah hampir setahun Mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) berkecimpung dalam dunia jual beli batu mulia. Berawal dari sang ayah yang gemar mengoleksi batu mulia, ia pun ikut tertarik. Selain itu, intensitas pertemuan Gardika yang rutin dengan penggemar batu mulia lainnya membuatnya lebih mengenal batu mulia. “Banyak ngobrol dengan penggemar batu lainnya juga penting, bisa menambah wawasan, dan jaringan pemasaran batu akik,” ungkap pria yang akrab disapa Togar, Rabu (16/4). Dari segi keindahan, lanjut Togar, batu mulia mampu membuat orang berdecak kagum begitu melihatnya. “Indonesia itu kaya! Akik juga bagian dari kekayaan indonesia, dengan memakainya kita sudah melestarikan kebudayaan tanah air,” katanya. Togar juga memfasilitasi bagi penyuka batu mulia. Ia bersedia mencari berbagai jenis batu untuk pelang-
gannya dengan harga yang disepakati. “Tidak ada harga pasti, harga itu biasa dinilai dari kualitas dan keindahan coraknya,” jelas pria asal Jawa Timur ini. Lebih lagi, Togar mengatakan, batu mulia juga memiliki nilai jual tinggi sehingga banyak orang yang memburunya. Togar pun merasakan manfaat penjualan batu akik, dari setiap penjualan batu, ia bisa mendapatkan uang berkisar Rp100 ribu hingga Rp1 juta. “Lumayan uangnya bisa buat jajan dan biaya hidup sehari-hari,” ujarnya. Sama halnya Togar, Risman Sulaeman Mahasiswa Fakultas Ushuludin (FU) juga menjual batu mulia. Batu mulia yang ia jual berjenis Giok Aceh. Untuk satu bongkah giok bisa terjual Rp800 ribu. Giok itu ia dapatkan dari temannya yang berada di Aceh dengan membelinya langsung. Risman biasa memasarkan gioknya melalui media sosial atau di toko keluarganya. Salah satu penjual batu mulia di Jalan Pesanggrahan, Ciputat, Tangerang Selatan, Tirta Wijaya mengiyakan kalau saat ini mahasiswa juga ikut demam batu mulia. Ia pun beberapa kali mendapati mahasiswa datang ke tempatnya. “Ada yang mau cari batu, cuma ngasah, atau liat-liat saja,” jelasnya, Jumat (17/4). Di sisi lain, Risman menyadari batu tak hanya mempunyai nilai jual. Tapi, juga memiliki nilai sejarah yang lekat dengan kebudayaan Indonesia. “Batu mulia kan warisan alam Indonesia,” tutup Mahasiswa Jurusan Tafsir Hadis ini.
SURVEI
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
Kinerja Dosen di Mata Mahasiswa
Desain Visual: Erika/INS
Peran, tugas, dan tanggung jawab dosen sangat penting dalam menentukan arah dan kualitas perguruan tinggi. Saat ini, UIN Jakarta memiliki 923 dosen yang menjadi corong pendidikan kampus. Divisi Litbang INSTITUT melakukan survei terhadap 352 mahasiswa UIN Jakarta untuk mengetahui gambaran kinerja dosen. Sampel diambil dengan metode non-probability sampling dan teknik pengambilan sampel dengan incidental. Berdasarkan hasil survei yang menanyakan apakah sering ada dosen yang tak hadir, sebanyak 56,4% menyatakan kadang-kadang, 27,6% lainnya menyatakan ya, dan 16% menyatakan tidak. Selain itu, Sebanyak 66,2% responden menyatakan dosen sering tidak hadir tepat waktu dan 33,2% lainnya menyatakan dosen selalu hadir tepat waktu. Tak hanya itu, sebanyak 68,8% responden menyatakan rata-rata dosen sudah menyampaikan materi dengan baik, sedangkan 30,4% berpendapat rata-rata dosen yang mengajar tidak menyampaikan materi dengan baik. Survei ini pun menyatakan sebanyak 50,4% responden tahu beban kerja dosen yang lain selain mengajar, sedangkan 49,6% menyatakan tahu jika dosen memiliki beban kerja lain selain mengajar. Namun, dari responden yang menjawab tahu dosen memiliki pekerjaan lain, rata-rata jawabannya adalah mengajar dan bekerja di tempat lain, studi lanjut, dan melakukan penelitian. Padahal beban kerja dosen terdiri dari pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tapi, hanya sedikit responden yang menjawab dosen memiliki beban untuk pengabdian masyarakat. Dalam survei ini, INSTITUT juga mencoba menghimpun saran dari responden untuk kinerja dosen ke depannya. Rata-rata responden menjawab ingin dosen yang mengajar untuk lebih disiplin dengan jadwal kuliah serta meningkatkan kualitas pengajarannya di kelas.
*Survei ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner ke setiap fakultas di UIN Jakarta. Sampel dihitung berdasarkan perbandingan jumlah mahasiswa di tiap fakultas. Survei ini tidak bermaksud untuk mengevaluasi kinerja dosen secara keseluruhan, namun hanya sebagai gambaran kinerja dosen di mata mahasiswa.
“Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau� Redaksi LPM Institut Menerima: Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email: redaksi.institut@gmail.com Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085693706311 Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.
6
berita foto
7
Foto: Bangke/KALACITRA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
Foto: Aci/INS
Foto: Fakhri/KALACITRA
Penampilan Marjinal dalam acara Emperan Budaya dengan tema Jakarta Lawan Semen di Basement Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (13/4).
Salah satu massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Jakarta Melawan Semen memegang poster tangan sembari menyanyikan lagu Lir-Ilir di depan Halte UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (16/4).
Nasib Gedung Perpustakaan dan Parkir
Pengendara sepeda melintas Banjir Kanal Timur (BKT), Jakarta, Minggu (18/4). Kurangnya Ruang Terbuka Hijau menyebabkan polusi udara jadi masalah yang belum teratasi hingga saat ini.
UIN Darurat Parkir Triana Sugesti
Arini Nurfadilah Pembangunan perpustakaan dan tempat parkir Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta baru mencapai 60%. Padahal, sesuai masterplan, bangunan tersebut akan rampung di akhir 2015. Menurut Kepala Bagian (Kabag) Umum, Muhammad Ali Meha, saat ini, pembangunan tersebut ditunda karena harus mengulang pelelangan proyek pada Maret lalu. Pasalnya, setiap bangunan yang biaya bangunan umum di atas Rp20 miliar, harus dilelang terbuka melalui Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Jadi, terkait biaya dan proyeknya, UIN tidak memiliki dana untuk pembangunan proyek tersebut. Jika mengacu pada perencaan keuangan, bangunan tersebut memerlukan dana kisaran Rp50-60 miliar. Sedangkan, saat ini, UIN baru memiliki dana Rp46 miliar.
Antrian kendaraan bermotor sebelum loket masuk menjadi pemandangan berbeda setiap pagi di UIN Jakarta akhir-akhir ini. Sejak diberlakukannya area parkir di luar kampus (lapangan belakangan SMK Triguna), mahasiswa yang enggan memarkirkan motornya di luar, lebih memilih menunggu berjam-jam, antara pukul 9 sampai 10 pagi hingga petugas parkir membuka area parkir di dalam kampus. Melihat itu, dalam rapat terbuka yang dihadiri perwakilan organisasi kemahasiswaan, Kepala bagian Umum, dan Kordinator satuan pengamanan (satpam) Student Center, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Senin (13/4) Yusron Razak, menjanjikan Gedung parkir baru dapat digunakan awal 2016. Untuk sementara, kata Yusron, area parkir akan dipindahkan ke tujuh titik sekitar area kampus: lahan samping Aula Madya depan UKM MENWA, depan UKM KPA Arkadia, samping Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), depan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), depan Pusat lab. Terpadu, samping Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FITK) dan depan lab FITK. “Kami janji maksimal tiga bulan untuk penggunaan lahan parkir itu.�
Visit www.lpminstitut.com UPDATE TERUS BERITA KAMPUS
opini
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
8
Menghadapi Dosen Korup *Oleh Aditia Purnomo
Dulu sekali, ada seorang anak muda yang punya daya kritis tinggi. Pada masa sekolah, anak ini sempat dipaksa tinggal kelas lantaran mengkritik seorang guru mata pelajaran sastra. Merasa tak senang dengan kritik muridnya, sang guru memberi pilihan pada anak itu, meminta maaf padanya atau tidak naik kelas. Anak muda ini kemudian memilih untuk pindah sekolah. Ia merasa memiliki pemahaman yang cukup dalam mata pelajaran sang guru untuk sekadar naik kelas. Kejadian ini kemudian ia tulis pada buku harian pribadinya, yang kelak diterbitkan sebagai sebuah buku yang cukup fenomenal. Salah satu kutipan yang paling dikenal dari buku itu adalah, “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau”. Nama anak itu adalah Soe Hok Gie. Di bangku kuliah, kelakuan ‘nakal’ Gie tidak berubah. Ia masih saja kritis, bahkan semakin menggila. Gie terus melakukan protes-protes terhadap sesuatu yang ia anggap tidak benar. Karena menurutnya, “mendiamkan kesalahan adalah sebuah kejahatan”. Dia bukan anak kesayangan orde baru yang dengan mudah bilang “asal bapak senang” layaknya mengiyakan apa mau dosen hanya demi nilai. Pernah saat ia menjabat sebagai pimpinan eksekutif mahasiswa di fakultasnya, Gie pernah membuat geger pihak dekanat dengan memajang daftar nama dosen yang bermasalah. Nama-nama ini Ia peroleh lewat sur-
vei yang ia lakukan terhadap mahasiswa dengan bahasan, kinerja dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI). Bagi Gie, “Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan. Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh dosen-dosen korup mereka.” Bahkan, saat menjadi dosen di fakultas tersebut, Gie secara blak-blakan mengungkap dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Oleh dosen itu, hasil terjemahan mahasiswanya digunakan sebagai bahan pengajaran. Karena sang dosen rupanya tak cakap berbahasa Inggris. Sungguh mati mahasiswa yang tak berani melawan. *** Kini, banyak yang bilang zaman sudah berbeda. Ini bukan tahun 60an, zaman Gie hidup. Internet sudah
Sumber: Internet
mengubah kondisi dunia begitu rupa. Menjadi aktivis pun sudah tak lagi digandrungi karena orang-orang lebih suka JKT48. Biaya kuliah semakin mahal. Namun dari semua perubahan itu, masih banyak juga yang tidak berubah. Para pengajar yang korup salah satunya. Di masa-masa awal semester, biasanya perkuliahan dimulai dengan
kontrak belajar. Di situ, dibahas indikator-indikator yang menentukan kelulusan. Di situ juga dibahas berapa kali mahasiswa diperbolehkan tidak hadir perkuliahan, jika lebih tentu tidak diizinkan untuk melanjutkan perkuliahan. Semuanya dibahas. “Lebih dari tiga kali tidak hadir, anda tidak boleh ikut UAS.” Namun dari semua kontrak itu, jarang sekali dibahas hal-hal yang harus dosen lakukan. Tidak pernah ada dalam kontrak misalnya, jika dosen tidak hadir lebih dari tiga kali, maka dosen tidak boleh mengadakan UAS. Atau, jika dosen terlambat lebih 15 menit, maka dosen tidak boleh memberi perkuliahan. Hal-hal seperti itu, biasanya jarang terjadi. Bukan cuma dosen yang jarang masuk dan sering telat, ada juga dosen yang sepanjang mata kuliah cuma membebankan tugas, menyuruh mahasiswnya hanya berdiskusi, kemudian memberi mereka nilai. Belum lagi dosen-dosen yang mengganti jadwal kuliah dengan alasan sibuk. Memangnya cuma dosen saja yang punya aktivitas lain.
Salah Kaprah dalam Bahasa Indonesia
Memang, tidak semua dosen berlaku seperti itu. Ada juga dosen yang taat mengajar. Tapi jangan lupakan keberadaan dosen-dosen korup macam tadi. Ingat, karena nila setitik, rusak susu sebelangga. Jadi, jangan salahkan mahasiswa menggosip di belakang jika masih ada dosen yang korup. Permasalahannya, pihak kampus masih saja alpa dengan hal-hal seperti ini. Ketimbang memperbaiki kualitas dosen, kampus lebih suka menggenjot International Organization for Standardization (ISO) kampus agar masuk jajaran kampus kelas dunia. Ya, zaman memang sudah berubah. Sudah sangat jarang —atau bahkan tak ada— mahasiswa macam Gie yang berani menentang dosen. Kebanyakan mahasiswa lebih suka manut agar bisa lulus ketimbang mengomentari pendapat dosen dan tidak lagi diperbolehkan masuk kelas. Ingat, sekarang kuliah cuma dibatasi 5 tahun, Soe Hok Gie enak boleh lulus 7 tahun. Jadi, bagi mahasiswa yang lebih suka manut sama dosen, ada baiknya tidak banyak bisik-bisik di belakang dosen. Selain karena ngegosipin orang itu tidak diperbolehkan Nabi Muhammad, bergunjing juga tidak akan menyelesaikan masalah. Yang ada dapat dosa. Ingatlah, hanya orang yang berani menyatakan perasaan yang bisa jadian. Dan hanya mereka yang berani menuntut haknyalah, yang pantas diberikan keadilan. *Penulis adalah mahasiswa akhir yang tak kunjung lulus
KOLOM BAHASA
Oleh: Ahmad Bahtiar, M. Hum.*
Penggunaan bahasa Indonesia dengan benar cermin sikap positif yang menimbulkan rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Selain itu, berbahasa Indonesia yang benar merupakan cermin pikiran yang jernih, jelas, logis, dan teratur. Apabila seseorang menggunakan bahasa dengan kacau balau, sudah tentu menggambarkan jalan pikiran yang kacau balau pula. Namun, nyatanya masih banyak kesalahan berbahasa Indonesia yang kerap dilakukan secara sistematis dan konsisten sehingga mencapai tahap salah kaprah. Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan salah kaprah: kesalahan yang umum sehingga orang tidak bisa merasakan sebagai kesalahan, atau dengan kata lain kesalahan yang tidak disadari pemakai bahasa karena pemakai mengikuti kebiasaan yang salah dan kebisaan itu tidak pernah diperbaiki. Hal ini tentu mengkhawatirkan karena yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar. Apabila menjadi karakter bangsa, maka bukan tidak mungkin kita menjadi bangsa yang bukan hanya “salah melulu,” tetapi menjadi bangsa yang “kalah melulu”. Berikut kesalahkaprahan penggunaan bahasa Indonesia yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Penegak hukum yang memiliki satuan atau unit perempuan adalah kepolisian. Satuan tersebut
dikenal Polisi Wanita (Polwan). Penggunaan istilah tersebut merupakan bentuk kesalahkaprahan. Kenapa? Jika beranalogi pada istilah lain yang menggunakan wanita, seperti pengusaha wanita dan wanita pengusaha, Polisi Wanita berarti polisi yang mengurusi wanita seperti halnya Polisi Lalu lintas, Polisi Udara, dan Polisi Militer. Oleh karena itu, hendaknya dipakai Wanita Polisi (Wanpol). Bentuk kesalahan lainnya ialah dikotomi bank di Indonesia. Selain ada bank Syariah, juga dikenal bank konvensional. Bank syariah adalah lembaga kuangan yang sifatnya Islami atau bank yang melakukan transaksi dengan sistem syariah. Kalau mau konsisten, bukankah kata syariah itu harusnya dihadapkan dengan istilah tidak syariah atau nonsyariah, sedangkan konvesional dengan modern. Konsep Islami yang dipakai bank Syariah justru konsep yang lebih awal datang dibandingkan konsep bank yang tidak Islami. Karena itu, bank syariah lebih tepat disebut bank konvensional. Kesalahan berlanjut pada penamaan PDAM, kependekan Perusahaan Daerah Air Minum. Di Indonesia, yang dikenal air minum adalah air setelah direbus masak. Bukan langsung dari keran lalu diminum. Di beberapa negara maju, definisi air minum adalah yang langsung dapat dikonsumsi karena telah memenuhi air sehat.
Orang Indonesia menggunakan air dari PDAM untuk mandi, mencuci pakaian, mencuci mobil dan sebagainya. Air PDAM harus direbus dahulu agar dapat diminum. Oleh karena itu, agar tidak salah kaprah mungkin lebih tepat diganti PDAB kependekan Perusahaan Daerah Air Bersih. Salah satu upaya mengatasi kemacetan, Pemda DKI Jakarta mengadakan bus khusus yang menggunakan jalan khusus. Namun, sepanjang jalan bus atau busway tersebut terdapat beberapa tulisan kecuali busway; lintasan busway, hanya untuk busway, dan khusus busway. Kata busway pada frase di atas salah kaprah karena busway berarti jalan bus. Frase tersebut harusnya diganti dengan nama bus angkutan penumpang untuk busway. Misalnya, bus transjakarta atau bus batavia. Kesalahkaprahan lainnya yang berkaitan dengan kata bus ialah sering kita lihat di media cetak dan elektronik, misalnya “Pemerintah menyediakan 1000 armada bus untuk masyarakat yang akan mudik”. Kalau bus sebanyak 1000 armada berapa jumlahnya? Tentu banyak sekali. Kata armada dalam KBBI berarti 1. rombongan (pasukan) kapal perang; 2. rombongan kapal-kapal dagang; 3. rombongan satu kesatuan. Informasi pada media cetak atau elektronik tersebut terdapat kerancuan berpikir dalam jumlah karena 1000 armada bus berarti terdapat 1000 rombongan atau se-
kumpulan bus. Salah kaprah lagi kalau seseorang minta dikirim satu armada taksi, padahal yang dimaksud hanya satu. Bentuk terikat yang banyak digunakan ialah “poli” yang berarti banyak. Bentuk tersebut melekat pada kata poliklinik yang berarti balai pengobatan umum. Beberapa rumah sakit sering menulis polianak, poli-THT, poli penyakit, dan sebagainya. Dengan demikian berarti banyak anak, banyak THT, banyak penyakit dalam. Mungkin lebih tepat menggunakan klinik anak, klinik THT, dan klinik penyakit dalam. Bentuk poli juga mengandung kesalahparahan pada penggunaan poligami. Selama ini masyakakat mengartikan poligami sebagai sistem pernikahan yang membolehkan seorang pria menikahi beberapa wanita secara bersamaan. Padahal, poligami dalam KBBI bermakna sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya di saat bersamaan. Dengan demikian poligami dapat dilakukan pria atau wanita. Kalau wanita disebut poliandri, sedangkan pria disebut poligini. Salah satu lagu yang mempopulerkan Once berjudul “Aku Mau”. Bait pertama lagu itu terdapat kesalahankaprahan, kau boleh acuhkan diriku/menganggapku tak ada/tapi takkan merubah/perasaanku kepadamu.
Kata acuh selama ini digunakan untuk maksud tidak memperhatikan; tidak peduli. Padahal dalam KBBI berarti peduli; mengindahkan. Larik kau boleh acuhkan diriku berarti kau boleh peduli atau mengindahkan diriku. Padahal maksudnya lagu tersebut harusnya, kau boleh tak acuhkan diriku. Penghilangan kata tak pada kata acuh untuk maksud tidak memperhatikan; tidak peduli dikarenakan pengaruh dialek bahasa Betawi. Orang Betawi cenderung hemat berbahasa sehingga sering disingkat khususnya dalam percakapan sehari-hari. Kalau mereka bicara “tahu’ atau “tau” maksudnya (bukan artinya) tidak tahu, atau “ngerti” maksudnya tidak ”ngerti”. Demikian beberapa kesalahkaprahan bahasa Indonesia yang harus segera diperbaiki atau tidak dipergunakan lagi agar kesalahan tersebut tidak menjadi kekal. Penggunaan Indonesia yang benar akan menambah rasa kesetiaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indoneisa. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik juga menunjukkan kecendekiaan pemakainya. Bukankah bahasa itu menggambarkan identitas seseorang, sehingga ada ungkapan bahasa itu menunjukkan apakah seseorang itu beradab atau biadad. *Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
opini
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
9
Redesain Kepemimpinan Oleh : Muhammad Shofwan Nidhami*
Dalam beberapa bulan ini, realitas politik negeri kian ramai. Hal itu terlihat dari adanya demo di berbagai daerah dan munculnya surat terbuka untuk presiden. Ini semua tidak luput dari tumpang tindihnya kebijakan pemerintah. Sungguh miris menyaksikan karut marut kondisi ini. Padahal, bangsa ini mempunyai potensi besar untuk menjadi negeri adidaya. Dengan semua kekayaan alam yang kita miliki, meminjam istilah Mustofa Bisri bahwa Indonesia sebagai miniatur surga. Pada saat yang sama, friksi antar kubu politik yang tak kunjung padam, tumpulnya hukum, dan instabilitas
Sumber: Internet
perekonomian membuat kita semakin yakin bahwa bangsa ini kini tengah dirundung krisis multidimesional. Karena itu, diperlukan upaya untuk meredesain negeri ini sesuai dengan cita-cita the founding fathers, yaitu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kewajiban ini menjadi tugas pokok presiden dalam menciptakan tatanan bangsa agar sesuai dengan acuan dasar yaitu Pancasila. Karena jika mengacu penggunaan sistem yang berlaku — presidensial— hubungan antara badan eksekutif dan legislatif mempunyai kedudukan yang independen. Presiden juga mempunyai kekuatan yang relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan oleh kekuatan parpol manapun. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak prerogatif yang tidak dipunyai oleh kekuas a a n politik lain, yang bisa digunakan untuk menjalankan kekuasaan negara. Dalam konteks ini, presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif tetapi juga pu-
Editorial Ajang Silaturahmi “Sebenarnya ajang silaturahmi saja.” Penggalan statement kemahasiswaan UIN Jakarta untuk Pionir tahun ini. Kalimat tersebut juga termaktub dalam buku pedoman Pionir VII yang akan dilaksanakan dalam 18-24 Mei 2015 nantinya. Bab 1, Pasal 1 dalam Dasar Pemikiran tertulis “Memperkuat silaturahmi dan kerukunan antar mahasiswa Perguruan Tinggi Keagamaan di lingkungan Kementerian Agama RI.” Statement tersebut mungkin hanya sekadar retoris. Pada dasarnya Pionir merupakan ajang kompetisi yang bergengsi antar Perguruan Tinggi Keagamaan (PTK). Diikuti oleh 55 PTK, dan Pionir merupakan ajang di mana PTK bisa menunjukkan taring. Silaturahmi pada dasarnya merupakan bonus ketika seluruh PTK berkumpul untuk berkompetisi, sudah tentu akan terjalin silaturahmi di antara perserta yang bertanding. “Pionir merupakan ajang penyelenggaraan kompetisi keilmuan, olahraga, seni, dan riset” kalimat tersebutlah yang berada di barisan pertama dalam bab 1, pasal 1. Keberhasilan dalam menyabet gelar Pionir bisa jadi indikator keberhasilan dari hasil ejawantah integrasi keilmuan yang selama ini dilakukan UIN Jakarta. Sudah seharusnya Pionir ditempatkan bukan hanya sebagai ajang silaturahmi. Lebih dari itu, persiapan UIN Jakarta dalam menghadapi kompetisi tersebut harus lebih bersunguh-sungguh. Minimal dari alasan yang digunakan bukan hanya alasan retoris. Jadi, sangat wajar jika atlet yang diikutsertakan dalam Pionir selalu mengalami kendala dalam pendanaan, sarana dan prasarana, dan pendaftaran atlet. “Wajar hanya silaturahmi.”
sat kekuasaan negara. Dan presiden memiliki banyak andil untuk mengatur keteraturan negeri melalui kekuasaannya. Pemimpin Pancasilais Namun, sistem ini tidak efektif bila pemimpinnya non-integritas, non-kualitas dan destruktif. Karena implikasinya terhadap tatanan penegakan hukum, perekomonian, dan lain sebagainya. Untuk itu, kita harus memiliki pemimpin yang mampu bertindak logis dan etis dalam menjalankan kewajibannya. Tujuan dari dipilihnya pimpinan negara agar bisa mengembalikan ketenteraman, kesejahteraan, dan ketertiban yang ada dalam masyarakat. Dan hal ini bisa terwujud bila pemimpin tidak bertindak konspiratif dengan pihak asing manapun. Dengan tetap teguh pada pendirian dan janji-janji awal sebelum terpilihnya yaitu untuk membangun Indonesia hebat. Menyetir titah Tuhan Surat Ash-Shaf ayat 2-3 yang intinya kemurkaan Allah kepada orang yang hanya pandai bersilat lidah namun tidak ada pengamalannya. Dan jika mengacu dari kacamata hukum, maka tujuan dari negara hukum (rechtstaat) itu bisa terwujud salah satunya bila disertai dengan kepemimpinan yang adil. Sebagaimana tertera pada pembukaan UUD 1945 alinea keempat “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Untuk mendapat keadilan itu, kita harus memiliki sebuah pemimpin pancasilais tersebut. Pernyataan yang dilontarkan oleh Prof. Soerjono Soekanto bahwa kutub
citra keadilan ada dua yaitu neminem laedere atau equality (jangan merugikan orang lain) dan Suum Cuique Tribuere atau Equaity (bertindak sebanding). Dari dua kutub keadilan ini bisa kita analisa bahwa pada bagian equality lebih pada tatanan pergaulan hiup. Sedangkan di bagian kedua lebih mengarah penyamaan apa yang tidak berbeda dan membedakan apa yang tidak sama ataupun hal-hal yang lebih konkret dan khusus. Hubungan konsepsi di atas bila kita hubungkan dengan pemimpin pancasilais tampak jelas bahwa salah satu jalan untuk mendapat tujuan itu melalaui torotoar ini. Karena keadilan merupakan bagian asas negara yang harus diejawantahkan dalam menjalankan pemerintahan itu sendiri. Tanpa hal ini, seolah-olah keberadaan negara sedang pincang tidak memiliki pegangan. Yang ada hanya ketidakadilan dalam memutus perkara kenegaraan. Oleh karena itu, sudah saatnya kita sadar realitas bahwa negara sedang berada dalam keadaaan karut-marut. Apakah ini sebuah kutukan ataupun sedang kekosongan kekuasaan yang diakibatkan instabilitas kepemimpinan. Atau bisa dikatakan juga ini implikasi dari kita memiliki presiden sialan, hal ini tergantung dari penilaian masyarakat. Sebutan ini cocok untuk digunakan ataupun malah sebaliknya. Hal ini bukan untuk memprovokasi tapi hanya sebagai perenungan hidup bernegara saat ini. Mempelajari kepemimpinan ala Rasulullah Waba’duh; sebuah pemerintahan dan kepemimpinan yang paling ideal yaitu pada masa Rasulullah.
Pada masa inilah kita menyaksikan kesejahteraan, ketertiban, dan ketenteraman dalam sebuah negara. Karena konsep yang digunakan ala kepemimpinan Rasul yaitu Sidiq, Amanah, Tablig, dan Fatonah (baca:kepemimpinan Rasulullah). Dengan empat kriteria ini pemimpin pancasilais juga dapat terbentuk dan terwujudkan. Dalam konsep kepemimpinan pancasilais dan ala Rasulullah memiliki sebuah kemiripan baik dari segi agamis dan nasionalis. Karena dua konsep model kepemimpinan ini selalu mendahulukan kepentingan umat dari pada pribadi. Dan seorang pemimpin harus memiliki dua kutub konsep tersebut. Meminjam istilah Prof. Oeman Senoadji yaitu penafsiran futuristik atau menafsirakan sesuai deng-an masa depan. Di sini pemimpin pun juga harus mempunyai kemampuan membaca realitas dengan penafsiran futuristik, agar dalam menentukan kebijakan dan memutuskan suatu perkara tidak asal-asalan. Harus ada pertimbang matang dalam menyelesaikan perkara kenegaraan tersebut baik melaui musyawarah dan lain sebagainya. Karena itu, dari berbagai konsepsi di atas berharap pemimpin pancasilais terwujud. Dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai pancasila dan dasar-dasar hukum negara. Pemimpin bukanlah boneka siapa pun. Pemimpin adalah tangan panjang rakyat yang akan mewujudkan negara lebih baik.
*Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum
Bang Peka Seleksi udah kelar duitnya baru cair
TUSTEL
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
10
Kartini Masa Kini Foto dan Teks: LPM INSTITUT dan KMF KALACITRA
Memikul Air
Berorasi
Foto: Husni/KALACITRA
Foto: Yasir/INS
Foto: Thohirin/INS
Foto: Bangke/KALACITRA
Saat ini, kesetaraan gender digaungkan di mana-mana. Pria dan wanita sudah seharusnya diperlakukan adil. Sebagai mahkluk yang sering dipandang sebelah mata, wanita banyak membuktikan ketangguhannya dengan melakukan pekerjaan yang lazim dilakukan pria. Kekuatan itu kadang ia sembunyikan di balik kelembutan yang ditunjukkannya. Tak jarang wanita adalah sosok di balik kesuksesan orang-orang besar di dunia. Ia adalah pendidik dan pengajar pertama bagi anak-anaknya. Pelindung dan payung paling teduh bagi keluarganya. Serta penyayang nomor satu orang-orang yang dicintainya. Namun, wanita tetap wanita. Bagai tulang yang membentuk tubuh, tak berarti jika tak ada daging. Setangguh apa pun kaum hawa ia tetap butuh untuk kembali dilindungi dan disayangi. Meski, tak akan pernah ragu untuk berjuang sampai darah penghabisan demi orang terkasihnya.
Melamun
Ratapan
WAWANCARA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
11
Fasilitas Dorong Kinerja Dosen Dosen yang berkualitas akan menghasilkan mahasiswa yang berkualitas pula. Untuk itu peningkatan kinerja dosen diperlukan.
Sejauh ini, apa saja upaya yang UIN Jakarta lakukan untuk meningkatkan mutu dan kinerja dosen? Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai dosen yaitu melaksanakan pendidikan dan pengajaran, meneliti dan menulis karya ilmiah, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat. Dari ketiga aspek tersebut, melaksanakan pendidikan dan pengajaran, serta meneliti dan menulis karya ilmiah masih harus ditingkatkan lagi. Salah satu program peningkatan kinerja dosen dalam bidang pendidikan dan pengajaran adalah diskusi antar dosen di fakultas masing-masing. Selain itu, dosen juga diberi kesempatan untuk menjadi narasumber dalam acara seminar. Lalu, kegiatan workshop bahasa dan pengembangan kurikulum juga dilakukan demi meningkatkan kualitas mengajar dosen. Ke depan, UIN Jakarta ingin semua dosen yang mengajar minimal merupakan lulusan S3. Oleh karena itu, kami akan mewajibkan dosen untuk melanjutkan studinya. Sedangkan demi meningkatkan penelitian dan penulisan karya ilmiah, dosen didorong untuk melakukan penelitian yang berkolaborasi dengan universitas-universitas lain seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Uni-
versitas Gajah Mada (UGM) baik itu penelitian berbasis publikasi nasional maupun internasional. Apakah tantangan terbesar bagi UIN Jakarta dalam meningkatkan kinerja dosen? Tantangan utamanya yaitu kemauan dan koordinasi dosen terkait penelitian dan penulisan jurnal ilmiah. Sementara itu, kemampuan mengajar dan kepribadian sebagai pendidik pun patut dipertanyakan. Kalau penguasaan materi, saya sudah tidak meragukan lagi. Seharusnya ada semacam workshop atau pelatihan untuk meningkatkan kompetensi-kompetensi tersebut. Saya belum cek di tingkat fakultas, masih adakah kegiatan-kegiatan seperti itu. Kalau dalam bidang pengabdian masyarakat, saya pikir dosen UIN Jakarta sudah banyak melakukan pengabdian kepada masyarakat. Tetapi selama ini kebanyakan masih secara individual. Nah, yang perlu ditingkatkan selanjutnya adalah pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh program studi (prodi) dan fakultas. Sehingga nantinya, para dosen akan berkoordinasi untuk melakukan pengabdian secara bersama-sama. Sampai saat ini, sudah ada beberapa prodi yang melaksanakan desa binaan. Ada yang membantu pembangunan desa dan ada juga yang melakukan pendampingan atau mentoring. Lantas, adakah tantangan lain dalam pelaksanaan program peningkatan kinerja dosen? Keterbatasan dana juga menjadi tantangan bagi UIN Jakarta. Untuk mewujudkan program-program peningkatan kinerja dosen yang sudah
direncanakan, membutuhkan dana yang tidak sedikit. Maka dari itu, untuk mengatasinya UIN Jakarta bekerjasama dalam bidang penelitian dengan berbagai universitas baik dalam maupun luar negeri. Fasilitas atau sarana dan prasarana apa saja yang UIN Jakarta berikan untuk menunjang peningkatan kinerja dosen?
Ada fakultas yang sudah memenuhi kriteria, contohnya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), satu dosen menempati satu ruangan. Sedangkan di Fakultas Psikologi juga
Sarana dan prasarana tentunya akan UIN Jakarta sediakan sesuai dengan kebutuhan dosen masing-masing. Misalnya, jika dosen membutuhkan ruang laboratorium maka akan disediakan dan dilengkapi peralatan pendukungnya seperti komputer. Kemudian fasilitas lain yang akan diupayakan yakni ruang dosen. Selama ini, hampir seluruh fakultas di UIN Jakarta belum menyediakan ruang dosen yang memadai. Biasanya di gedung fakultas, ruang dosen hanya satu dan dipakai bersama. Idealnya, setiap dosen harus mempunyai ruang dosen sendiri.
REKOMENDASI
Kongkow Murah di Merlion Cafe
Foto: Jeannita/INS
sedang diupayakan, satu ruangan besar diberi sekat-sekat untuk ruang dosen. Sekiranya fakultas tak lagi memungkinkan untuk membangun ruang dosen, maka pihak kampus akan menanganinya. Seperti rencana dalam Master Plan, UIN Jakarta akan membangun gedung khusus untuk ruang dosen.
Foto: Jeanni/INS
Lantas bagaimana UIN Jakarta menjalankan program dalam rangka meningkatkan mutu dan kinerja dosen? Berikut petikan wawancara reporter LPM INSTITUT, Jeannita Kirana dengan Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta, Fadhilah Suralaga, Selasa (22/4).
Lagi nyari tempat makan yang enak tapi murah? Mau nongkrong di kafetaria tapi takut enggak sesuai dengan isi dompet? Atau mau internetan sambil ngobrol dan makanmakan sama teman? Anda bisa menjawab semua pertanyaan tadi dengan datang ke Merlion Cafe. Merlion Cafe berlokasi strategis sehingga memudahkan pengunjung menemukan tempat makan ini. Terletak di Jl. W.R. Supratman Gg. Mangga No. 1, Kampung Utan, Ciputat Tangerang Selatan (dekat dengan pom bensin). Merlion Cafe menyediakan berbagai makanan dan minuman dengan harga yang relatif terjangkau. Pengunjung juga bisa menikmati fasilitas Wireless Fidelity (Wi-Fi) secara cuma-cuma. Itulah yang membuat pengunjung betah berlama-lama menghabiskan waktu di tempat makan ini. Menu makanan utama di Merlion Cafe, antara lain mi Aceh, nasi goreng Aceh, roti cane, dan martabak Aceh. Makanan-makanan berat ini selain harganya yang relatif murah, juga disajikan dengan beraneka pilihan. Lalu, ada juga camilan yang ditawarkan, seperti nugget, kentang goreng, dan sosis. Sedangkan untuk minuman, Merlion Cafe menyediakan
aneka jus, milkshake, dan hot drink seperti kopi Aceh, cappuccino, tea-O, teh tarik Singapore, serta Milo Singapore. Tak kalah menarik, ada juga makanan pencuci mulut, misalnya sop buah, pancake, banana split, dan sop duren yang disajikan dengan biskuit cokelat dan potongan buah stroberi. Bahkan, di Merlion Cafe juga ada daging duren Medan yang dijual per kilogram. Selain menyajikan makanan dan minuman, kafetaria yang didirikan oleh pria asli Singapura ini menyediakan Shisha dengan berbagai pilihan rasa beraroma buah-buahan. Shisha adalah gaya merokok asal Timur Tengah menggunakan tabung berisi tembakau yang dipanaskan. Merlion Cafe melayani pengunjung mulai dari jam 10 pagi sampai 2 dini hari. Untuk menghibur dan lebih akrab dengan pengunjung, Merlion Cafe memberikan fasilitas karaoke dan nonton bareng. Jadi, tak perlu ragu dan menunggu lama, langsung saja datang ke Merlion Cafe. Tempat makan enak yang memberikan berbagai variasi menu dengan harga terjangkau. Bagi anda yang memiliki pertanyaan bisa langsung menghubungi Iwan (081285481618).
RESENSI
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
12
Gesekan Budaya Islam dan Lokal di Jawa
Triana Sugesti
Setelah Islam masuk ke Indonesia, percampuran antara budaya lokal dan agama Islam pun tak dapat dihindari. Adanya pencampuran tersebut terlihat dari tindakan dan interpretasi yang berdampak pada pertentangan dalam kehidupan sosial di masyarakat Jawa, khususnya di Senjakarta, Klaten.
Sumber: Internet
Salah satu kecamatan di Jawa Tengah ini kental dengan budaya sinkretis, sebuah sistem budaya yang menggambarkan pencampuran antara budaya Islam pendatang dengan budaya lokal. Sebagai contoh, budaya sinkretis nampak dalam bentuk tradisi selamatan, tahlilan, yasinan, ziarah, sesajen, dan lain sebagainya. Senjakarta yang berkultur agraris ini terletak di antara dua pusat kebudayaan Jawa, yaitu Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakat yang mayoritas bekerja sebagai petani tersebut rutin mengadakan upacara tradisi yang dianggap mengandung takhayul, bidah, dan khufarat (TBK) bagi kelompok gerakan Islam yang dikenal dengan sebutan puritan. Puritan memiliki sistem budaya yang menginginkan kembalinya kehidupan beragama Islam serba autentik (asli). Gerakan Islam puritan yang berpedoman pada Al-quran dan sunah tersebut pertama kali dipelopori oleh pembaru Muhammadiyah sekitar tahun 1930-an. Islam puritan sangat menentang adanya tradisi selamatan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Muhammadiyah. Gerakan Islam puritan bertujuan mempersatukan Islam atas dasar penyeragaman konsep teologis guna memurnikan keyakinan bertuhan. Oleh karenanya, di dalam sistem budaya puritan secara keras berusaha menjauhkan tradisi sinkretis yang mengandung TBK seperti pembakaran kemenyan dan pemanggilan roh-roh leluhur. Hal ini terlihat jelas oleh upacara-upacara Jawa
yang bersifat Hinduisme. Meski begitu, Islam sinkretis berpegang teguh pada keharmonisan antar masyarakat. Namun, hal itu tak terlihat dari kelompok Islam puritan yang dibawa oleh Muhammadiyah karena kelompok tersebut menunjukkan sikap nontoleran dengan tidak menghadiri undangan masyarakat setempat seperti selamatan. Bahkan, gerakan puritan menghancurkan tempat-tempat keramat Islam sinkretis secara radikal. Perseteruan antara kelompok sinkretis dan puritan di Senjakarta ini merupakan benturan budaya yang mendapat perhatian seorang peneliti asal Inggris, Clifford Geertz. Ia datang ke Klaten dan meneliti ritual masyarakat Senjakarta. Dalam tulisannya, Geertz menggambarkan praktik keagamaan di Jawa sebagai suatu budaya yang kompleks. Selain itu, pertentangan dalam memercayai Tuhan juga menyebabkan konflik muncul sebagai akibat perbedaan tipe kebudayaan atau golongan sosial. Geertz juga menyebutkan, pola radikal seperti itulah yang menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat sinkretis untuk menerima pembaruan kaum puritan. Namun, hal tersebut dibantah oleh Sutiyono. Penulis buku kelahiran Blora ini mengatakan, hampir seluruh masyarakat Islam sinkretis di Senjakarta justru terpengaruh oleh paham Islam puritan Muhammadiyah. Setelah beberapa tahun meneliti, akhirnya Sutiyono pun memaparkan hasil penelitiannya, bahwa sebanyak 11 ribu orang
Perlawanan Tjokroaminoto Hapus Penindasan
menganut Islam puritan. Pula, telah berdiri 24 Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) di wilayah Kecamatan Senjakarta. Masyarakat Senjakarta kemudian terbagi dalam dua golongan, kaum puritan yang bertekad untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni dengan radikal dan kelompok puritan moderat. Namun, mayoritas dari masyarakat Islam puritan Senjakarta terkenal dengan golongan radikal lantaran sering menyebabkan konflik dengan kelompok sinkretis. Benturan budaya yang diakibatkan oleh tindakan radikal puritan melawan tradisi sinkretis masih berlangsung sampai saat ini, seperti halnya tradisi ngalap berkah di tempat keramat demi melariskan dagangan. Itu menjadi salah satu pertentangan di Senjakarta yang belum ada penyelesaiannya. Jika dalam agama, fanatisme terlalu kuat sementara toleransi rendah, maka sistem budaya seperti apa yang menjadi penguat? Sebaliknya, jika dalam agama, fanatisme terlalu lemah sementara toleransi tinggi, maka apakah mereka memiliki rasa bangga dengan agama yang dianutnya? Secara keseluruhan, buku setebal 362 halaman ini membahas proses perubahan dari sinkretis ke puritan kalangan masyarakat petani di daerah pedesaan Senjakarta, Klaten. Meski gaya bahasa yang digunakan penulis kurang mudah dipahami oleh pembaca, buku ini tetap menarik untuk dibaca karena pemaparan sejarah bersumber pada data hasil penelitian.
sa ang u B inoto r u : G kroam roho Tjo n Nug ul i Jud Gar h jara ra : 015 a d it 2 i Se a n f r : e t a r u S og 0m un : 16 ama Bi Tah si r D a r : Du re Gen
Ika Puspitasari Kiprah Tjokroaminoto menghapus penindasan pribumi telah tergores dalam sejarah Indonesia. Melalui kerja keras, ia mengobarkan semangat juang masyarakat Indonesia. Dari celah pagar, lelaki muda dengan belangkon dan kain batik menyaksikan seorang buruh disiksa oleh orang Belanda. Kolonialis itu mencambuk kakinya sampai berdarah. Menyaksikan kejadian tersebut, jiwa pemuda itu bergejolak dan ingin melawan. Oemar Said Tjokroaminoto (Reza Rahadian) lahir dari bangsawan Jawa melakukan pergerakan untuk meng-
hapuskan penindasan yang dilakukan Belanda. Pemerintah kolonial Belanda menguasai Indonesia serta merampas hak pribumi pada 1900-an. Kala itu, banyak rakyat yang belum mengenal pendidikan dan hidup miskin sehingga mudah dipengaruhi. Tjokro kemudian bergabung dengan organisasi Serikat Islam (SI) yang pada tahun 1911 bernama Serikat Dagang Islam (SDI) dan dipimpin oleh
Hadji Samanhoedi di Solo. SI merupakan salah satu organisasi yang berjuang melawan penindasan terhadap bumiputra. Pada 1916, SI memiliki 700.000 anggota dengan 181 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Perjuangan Tjokro menjadi awal lahirnya berbagai tokoh nasional di Indonesia seperti Semaoen (Tanta Ginting) dan Soekarno (Deva Mahendra). Tjokro tinggal bersama istrinya,
Judul : Benturan Budaya Islam: Puritan dan Sinkretis Penulis : Sutiyono Penerbit : Kompas Media Nusantara Cetakan : Pertama Tebal : 362 halamam ISBN : 978-979-709-534-5
Sumber: Internet
Soeharsikin (Putri Ayudya) dan beberapa muridnya di Peneleh, Surabaya. Di rumah itu, Tjokro mengajar murid-muridnya ilmu politik dan agama. “Sama rasa, sama rata,� kata Tjokro dalam salah satu pidatonya di depan anggota SI. Hal itu kemudian membuat mereka merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai manusia. Mereka pun berani melawan penindasan yang dilakukan oleh kolonialis. Kian lama, rakyat yang bergabung dengan SI bertambah. Kemajuan itu membuat Pemerintah Hindia Belanda waswas. Menghindari adanya kemungkinan buruk, Pemerintah Belanda meminta Tjokro untuk menjadi anggota Volksraad atau Dewan Rakyat. Beberapa anggota SI tak setuju Tjokro bergabung dengan Volksraad. Terlebih setelah Kongres SI memutuskan Tjokro bergabung dengan Volksraad. Salah seorang yang menentang keras keputusan tersebut ialah Semaoen, ia tak ragu untuk melawan Tjokro yang pernah menjadi gurunya. Begitu juga dengan Semaoen dan Darsono yang berpendapat, untuk mencapai tujuan, SI harus melepaskan semua bentuk kerja sama dengan pemerintah. Namun, banyak anggota SI lain yang beranggapan, salah satu
cara untuk mencapai cita-cita SI ialah bergabung dengan Volksraad. Pada Kongres SI ketiga tahun 1918 di Surabaya, perwakilan SI dari berbagai daerah bekerja sama untuk menambah jumlah anggota SI. Hal tersebut membuat SI semakin berkembang namun, muncul beragam ideologi baru antar anggota yang membuat SI terpecah-belah. Setelah terpecah-belah, SI menjadi dua organisasi, yaitu SI Putih dan SI Merah yang dipimpin oleh Semaoen. Keretakan ini pun menimbulkan kerusuhan. Pada 1921, Pemerintah Belanda menangkap Tjokro yang dituduh menjadi sebab terjadinya kerusuhan. Garin Nugroho menyajikan kisah tokoh pergerakan nasional Tjokroaminoto dalam 160 menit. Salah satu sineas Indonesia ini mengenalkan kita pada tokoh-tokoh yang mempunyai peran penting dalam kemerdekaan Indonesia. Film dengan judul Guru Bangsa Tjokroaminoto itu dirilis pada 9 April 2015. Dalam film ini tokoh Semaoen mengajarkan kepada kita untuk berani mengkritik dan menyampaikan pendapat. Meski film ini menceritakan sejarah perjuangan, kita juga dapat melihat beragam kebudayaan Indonesia seperti batik dan pertunjukan wayang.
SOSOK
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
13
Buah Manis ‘Atlet Tangan Kosong’
Arini Nurfadilah
Tepat pada 31 Juli 1963 di Kauman, Yogyakarta, tapak suci lahir dan berkembang di seluruh Nusantara. Mempelajari seni beladiri berarti ikut melestarikan budaya Indonesia. Demikian tergambar dalam keseharian laki-laki kelahiran Bandung, 21 tahun silam, Muhammad Ali Ibrahim. Kesetiaannya pada olahraga beladiri membuat Ali, panggilannya, tetap menjaga dan melestarikan olahraga asal Indonesia ini. Sejak tercatat sebagai atlet beladiri Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di tahun 2012, Ali selalu meluangkan waktu untuk meningkatkan kemampuannya dengan berlatih. Selain itu, ia pun menjalankan rutinitasnya dengan mengajarkan beladiri di dalam dan luar kampus. Kegiatan tapak suci di UIN Jakarta, cerita Ali, sempat vakum selama dua tahun. Seiring berjalannya waktu, Ali merintis kembali tapak suci di kampus ini juga membimbing anggota-anggota baru untuk menjadi Tim Silat UIN Jakarta. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris ini mengaku, keahliannya dalam bersilat berawal dari kegiatan ekstrakurikuler beladiri yang ia ikuti di Pondok Pesantren Darun Najah. Siapa sangka, konsistensinya menuai hasil. Terbukti hingga kini, Ali berha-
sil menjuarai berbagai event bergengsi, salah satunya peringkat pertama dalam Pekan Olahraga Mahasiswa Daerah Keistimewaan Indonesia (DKI) Jakarta cabang beladiri 2012 lalu. Pengalaman pertama Ali di ajang beladiri terekam dalam perlombaan silat antar pelajar se-Jakarta Selatan (Jaksel) tahun 2007. Dalam acara itu, ia berhasil dinobatkan sebagai pemenang pertama. Dari situ pula Ali mendapat banyak kesempatan untuk mengikuti beragam event. Tahun 2011 menjadi tahun kebanggaan bagi kader muda tapak suci ini karena ia terpilih sebagai pesilat terbaik DKI Jakarta kategori dewasa. Padahal, kala itu, usianya baru menginjak 16 tahun. “Itu adalah momen paling berkesan, karena seorang remaja bisa menang di kejuaraan dewasa,” kenang Ali sambil tersenyum, Selasa (14/4). Kemenangan Ali kali ini mengurangi beban orang tuanya, karena tropi yang ia terima dari ajang pemilihan pesilat terbaik DKI Jakarta. Setelah berprestasi di tingkat nasional, Ali berhasil menjuarai International Open tahun 2012 di Malang, Jawa Timur. Sebenarnya, bukan hanya tapak suci olahraga yang pernah ia geluti, saat duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), Ali sempat mengikuti taekwondo. Namun, ketidakyakinan membuatn-
ya berhenti melanjutkan beladiri asal Korea tersebut. Beladiri, bagi Ali, sudah menyatu dalam jiwanya. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), dia sudah belajar teknik olahraga tangan kosong ini. Passion beladiri dalam tubuh Ali mengalir saat ia berusia 10 tahun. Sejauh ini, Ali tidak merasa kesulitan memahami tapak suci. Ia yakin, keseriusannya dalam belajar sejak kecil hingga berguru pada para pelatih tidak akan sia-sia. Saiful Anwar dan Anwar Hasan merupakan dua di antara pelatih-pelatih silat terbaik bagi Ali, khususnya untuk bidang tapak suci. Kepiawaian Ali dalam memainkan teknik-teknik beladiri membuatnya seringkali terpilih menjadi perwakilan Tim Silat UIN Jakarta, seperti pada Pekan Ilmiah Olahraga, Seni, dan Riset (Pionir) dan Epicentrum. Tak jarang pula pihak sekolah memintanya untuk menjadi pelatih bagi murid SD hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut Ali, atlet beladiri bisa lihai menggunakan teknik-teknik seni tangan kosong meskipun tidak memiliki darah keturunan beladiri. Keseriusan seseorang dalam mempelajari beladiri menjadi kuncinya. “Bakat bukan segalanya, tapi semangat dan niat untuk belajar menjadi yang utama,” tutupnya.
Dok. Pribadi
Usaha yang keras pasti akan membuahkan hasil yang manis. Prinsip itu disimbolkan dalam olahraga beladiri, tapak suci.
Nama : Muhammad Ali Ibrahim Panggilan : Ali Tempat, Tanggal Lahir: Bandung, 22 September 1994 Alamat : Jalan Pondok Cabe Indah nomor 58 C Ci payung, Ciputat-Tangerang Selatan Jurusan : Bahasa dan Sastra Inggris, konsentrasi Litera ture Semester : 6 (enam) Fakultas : Adab dan Humaniora Riwayat Pendidikan : SD Madrasah Pembangunan UIN Jakarta : MTs Pondok Pesantren Darun Najah : MA Pondok Pesantren Darun Najah
Dok. Pribadi
Menjaga Calung Indonesia
Penampilan Komunitas Himalaya Calung Simfoni (HCS) dalam acara Charta Peduli Awards di Radio Republik Indonesia (RII). Mereka membawakan lagu Ondel-ondel dari Betawi, Minggu (14/12).
Ika Puspitasari Di tengah era globalisasi, budaya asing bebas keluar dan masuk ke Indonesia. Demi menjaga budaya Tanah Air, Komunitas Himalaya Calung Simfoni (HCS) mengajak masyarakat lestarikan calung sebagai kebudayaan asli Indonesia. Delapan pemuda memukul batang dari ruas-ruas tabung bambu yang tersusun sesuai tangga nada, susunan bambu tersebut bernama calung. Diiringi lantunan calung, mereka memainkan lagu Lir-ilir dari Jawa Tengah. Kegiatan ini menjadi rutinitas Komunitas HCS saban Sabtu malam di Sekretariat Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (Himalaya) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Walau berada di bawah naungan Himalaya, komunitas ini menerima siapa saja yang minat belajar calung. Tak hanya mahasiswa,
masyarakat sekitar pun bisa bergabung dalam Komunitas HCS. Terhitung sampai saat ini ada 20 anggota yang tergabung dalam komunitas ini. Berdirinya Komunitas HCS berawal dari kegelisahan anggota Himalaya lantaran melihat hanya sedikit pemuda yang minat memainkan calung. Kemudian September 2013 silam, Divisi Kebudayaan Himalaya membentuk Komunitas HCS. Ketua Umum Himalaya, Irfan Sanusi mengatakan, komunitas yang berada di bawah naungan Himalaya ini bertujuan melestarikan budaya Indo-
nesia. Saat ini, lanjut Irfan, pemuda lebih menyukai budaya barat dibandingkan budaya Indonesia. “Sebagian besar, pemain calung di Tasikmalaya adalah orang tua. Biasanya, mereka memainkan calung hanya di acara-acara tertentu seperti hari kemerdekaan Indonesia,” kata Irfan seusai mempraktikkan cara bermain calung kepada INSTITUT, Minggu (19/4). Komunitas yang bergerak di bidang kebudayaan ini tak hanya tampil di dalam kampus, kerap kali mereka juga tampil di luar
KOMUNITAS kampus. Semisal dalam Acara Charta Peduli Awards di Radio Republik Indonesia (RRI) dan dalam Friday Class Pengembangan Diri di kediaman Seto Mulyadi, pada Desember 2014 lalu. Di sisi lain, salah satu anggota Komunitas HCS, Agung Arabian menuturkan, demi menjaga eksistensi alat musik tradisional, calung bisa dipadukan dengan alat musik modern semisal piano atau gitar. “Perpaduan calung dengan alat musik modern membuat calung lebih menarik dan mengajak pemuda untuk mempelajari calung,” ujar Agung, Minggu (19/4). Salah satu upaya agar penonton tidak jenuh dalam menyaksikan pementasan calung, Komunitas HCS juga membawakan lagu-lagu yang telah mereka aransemen di setiap penampilannya. Mereka juga menciptakan lagu sendiri seperti lagu Perkenalan Himalaya dan Sambal Lada. Pemuda asal Cilacap ini menambahkan, pemuda yang tergabung dalam komunitas HCS nantinya mampu meregenerasi dan menjaga calung agar tetap dikenal masyarakat. “Alhasil, generasi muda ke depan dapat menikmati serta mengenal calung,” ungkap Agung. Agung menilai, banyak masyarakat kurang mengenal calung terlihat dari mereka yang tak
dapat membedakan antara musik tradisional calung dan angklung. Kebanyakan masyarakat hanya tahu dua alat musik tradisional tersebut sama-sama terbuat dari bambu. Pelatih Komunitas HCS, Asep Ashly Nugraha menjelaskan, perbedaan calung dan angklung terlihat dari cara memainkannya. Calung dimainkan dengan memukul ruas tabung bambu dan angklung dimainkan dengan menggoyangkan tabung bambu. Perbedaan lainnya terletak pada jenis tangga nada. Calung menggunakan tangga nada pentatonik, sedangkan angklung menggunakan tangga nada mayor. Asep berharap, masyarakat Indonesia dapat menjaga budaya sebagai kearifan lokal dengan cara mengenali budaya dari daerah masing-masing. Pasalnya, sambung Asep, saat ini tidak banyak warga yang mengenal calung. “Bahkan hanya sedikit warga Tasikmalaya yang mengenal calung. Padahal, calung merupakan alat musik tradisional dari Tasikmalaya,” kata Asep. Komunitas yang memainkan jenis calung jinjing ini berencana mengadakan acara dengan melibatkan komunitas di sekitar Ciputat. “Akhir Mei mendatang, kami akan mengadakan acara dengan tema melestarikan budaya Indonesia,” pungkasnya.
SASTRA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
Puisi
14
Cerpen
Buku
Presiden Lusuh untuk Ibu Pertiwi
Oleh: Uus Mustar*
Oleh: Muhamad Adhi Kurnia*
Maafkan atas terpilihnya dia, Bu Katanya dia itu dari kalangan kami golongan miskin, menengah ke bawah rahimnya mungkin benar di sana tapi ibu dan bapak asuhnya adalah gaya megah dan serakah Tampilannya lusuh, kurus, dan lugu dibalut logat yang medok katanya Jawa adalah kunci katanya Solo adalah jiwa nyatanya hanya budak adikuasa partainya demokrasi tapi kuasa rakyat seperti dihukum mati
*Penulis adalah mahasiswa Semester 8, Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora
Negeri Oleh: Iladiena Zulfa*
Belenggu hampa tirani Merebak sebuah aplikasi Dalam sebuah pertikaian Yang terjadi dalam negeri Siapakah tirani itu? Ia yang meracuni otak manusia Merobohkan jiwa sosialisasi Juga menghancurkan sistem yang ada Ya, ia adalah uang Dapat membantu dan dapat pula mengekang Bersama hilangnya sebuah kepercayaan Di dalam satu pemerintahan *Penulis adalah mahasiswi Semester 4, Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Tahmid-Syukur Oleh: Indah Khoiril Bariyyah*
Ku coba mendekap rindu Menyatukan kening dengan lantai di atas hamparan sajadah biru Melepas beban sang waktu Mencoba menterjemahkan semua inginku Mempersamakan perilaku hidup dengan titahMu Ku baca asmaMu dengan Khusyuk Kala ku bangkit Bangun kembali menatap langit Membusungkan dada yang sempat terhimpit Meneriakkan kalimat tahmid Mengucap syukur karna aku keluar dari musibah dunia yang sempit Ingin ku menerjang ombak sang waktu Merangkai tulisan dan sajak-sajak syahdu Mencoba meneriakkan lantunan lagu Bernyanyi dengan ritmik sunyi khas alunanku Ku tatap kembali langit Kembali ku tatap dengan sengit Menatap shubuh di bagian ufuk timur langit Sebingkai cahaya terpendar tanpa sempit Indah terurai, perlahan, melebur, melesat, terbang dan melejit Aku duduk, diam, merenung tak memunculkan kata Menikmati hembusan angin sepi di pinggiran kota Mencoba berucap, berkalam, berkata lewat doa Karena keyakinan doaku menembus batas cakrawala Bertahmid, bersyukur meneriakkan kalimat Tauhid. *Penulis adalah mahasiswi Fakultas Dirasat Islamiyah
Sumber: Internet
Ini nusantara, peristirahatan Ibu Pertiwi Jangan lagi Ibu bersusah hati Jangan bersusah hati, tapi malah seperti jajakan raga pada dunia diperkosa bergilir negara-negara kaya Presiden lusuh ini kupersembahkan jadikan geremo atau waria saja Ia menatap saya. Sorot matanya begitu tajam. Semakin menajam. Saya hanya terdiam. Hening memang paling pandai menyelinap, ia merasuki setiap pori-pori kulit kami, saya dan dia. Tak ada kata bertautan.Tak ada kata. Diam. Hanya Diam dan terdiam, selalu saja kami mendiam dalam nuansa hening denting jam di perpustakaan. Saya diam. Juga dia. Tapi saya selalu lebih setia mendiam dibanding ia. Ia tak mengerti kenapa saya terdiam. Tak pernah. Yang pasti, walau saya bicara. Walau saya berkata. Walau saya bercanda. Walau saya tertawa. Tetap saja saya diam. Tetap saja di mata ia saya hanya pendiam. Saya terdiam. Bukan membisu. Tapi saya bisu. Dan semakin pilu acap kali mata itu, yang mulai memerah, marah. Saya tahu ia marah kepada saya. Dan saya sangat tahu Ia bakal marah ketika lelah, Ketika masalahnya tak kunjung terpecah. Kalau ia marah, saya hanya bisa memasrah. Bersalah atau tidak saya di matanya, sama saja. Ia akan tetap mencampakkan saya. Ia akan pergi begitu saja. Sial! *** Mata itu, di balik lensa tebal, selalu menyetia. Saya suka pemilik matanya. Cantik. Saya mengenalnya. Pemilik mata cantik itu bernama cantik. Mata dan pemiliknya sama-sama cantik. Nama dan matanya cantik. Sama sama. Ia begitu setia. Hanya Ia yang mau mengenal saya sebegitu intim. Ia memang tak lazim dari yang lain, tapi istimewa. Saya mengenalnya sedari dulu, ketika cantik baru duduk di bangku kuliah. Ia yang pertama kali mendekati saya. Ia yang pertama kali menyapa saya. Ia yang pertama kali mengajak saya bercengkrama. Tentang apa saja. Terkadang, ia suka membicarakan cinta. Tapi seringnya ihwal materi perkuliahannya. Sebagai remaja, ia memang suka sekali cerita romansa. Tak terhitung jumlah cerita yang sudah saya bacakan untuknya, teramat banyak. Saking tergila-gilanya Ia dengan cerita, ia bisa melupakan segalanya, kecuali saya. Ia akan selalu kembali memeluk saya. Entah kenapa, sejak semula, mata cantik itu seolah suka menatap saya berlama-lama. Di manapun kami berjumpa. Di taman, di jalan, di kantin, di malam, di siang, di pagi, di sore, dan di di yang lainnya. Pokoknya dimana-mana. Saya jatuh cinta. Atau ia yang jatuh cinta. Entah. Ketika Ia dahaga, Haus akan cerita. Tak segan Ia memaksa saya untuk keluar singgasana. Di taman atau dimana saja, asal Ia suka. Ia memaksa saya untuk menemaninya. Ia selalu menjemput saya usai jam kuliah. Saya biasa menunggunya di perpustakaan. Tak ada alasan untuk kata menolak. Karena memang saya tak punya alasan. Saya hanya bisa memendam diam dalam-dalam. Itu cukup membuat Ia senang. Barang satu sampai tiga malam saya akan menemaninya, untuk sekedar membacakan cerita-cerita romansa atau menjawab tugas-tugas dari dosennya. Kemudian ia mengantar kembali saya ke singgasana. Walau tak jarang, selang sehari setelah kembali dari menemaninya, ia akan menyeret saya lagi. ‘cerita kamu belum kelar’ begitu alasannya, selalu saja.
Lewat pertemuan-pertemuan sederhana itulah saya mengenalnya. Dari pertanyaan-pertanyaan yang pula sederhana, dari cerita-cerita romansa, dan dari tugas-tugas perkuliahannya. Saya mengenal cantik dengan baik. Dan ia mengenal saya teramat baik. Kami saling mengenal sangat baik. Sampai detik-detik akhir ia kuliah. Wisuda di depan mata. Hubungan kami semakin bertambah intim saja. Kami merubah pertemuan-pertemuan sederhana itu menjadi lebih istimewa. Perpustakaan jadi tempat favorit kami berjumpa. Di sana kami nyaman berdua. Tak ada suara-suara gaduh yang merobek telinga. Tak ada mata-mata yang bergerilya merazia. Di sana kami merdeka, tak ada sekat pemisah antara saya dan ia. Tak ada. Kami leluasa bersenggama. Perpustakaan kami pilih sebagai tempat bersua. Untuk membebaskan semua beban kepala, mencairkan seluruh pertanyaan yang mengendap di dasar kepala, lalu temukan jawabnya. Walau semua itu, semua pertanyaan itu. kesemuanya akan ia tumpahkan semaunya kepada saya, semua pertanyaan dan soal-soal itu ia tujukkan kepada saya. tak apa, saya rela. Sungguh. “Kamu hebat. Kamu tahu segalanya. Dunia ada padamu.” Ia memuji. Saya hanya diam. Kalau ia sudah mulai merayu, kalau tanya sudah menyilet otaknya bagai sembilu, maka ia tak segan lagi untuk segera membuka baju saya. Dan tatap mata cantiknya, dengan rona yang begitu menggoda, perlahan tapi pasti mulai bergerilya, menjajah seluruh tubuh saya. tatapnya begitu detail melumat huruf per huruf dari setiap lekuk sudut tubuh saya. Ia begitu gagah dalam memecah masalah. Tak kenal kata menyerah. Walau mata cantiknya akan tampak memerah selepasnya. *** Cantik, gadis dengan paras cantik si pemilik rona mata cantik. Ia tak ingin banyak membuang waktu untuk wisuda. Skripsi adalah momok menyeramkan. Banyak diantara temannya yang tumbang menghadapinya. “Itu karena merekanya saja yang tak mau mengenal kamu” katanya kepada saya. Ia mencintai saya seperti saya mencintainya. Atas nama cinta, saya membantunya, merampungkan tugas akhir kuliah. Skripsi selesai. Sidang lancar. Tinggah menanti waktu wisuda. Tapi ia sudah jarang menginjakan kakinya di kampus. Sedih. Karena tak ada lagi kata jumpa, yang sederhana terlebih yang istimewa. Tak ada lagi cerita romansa. Tak ada lagi cinta. Dan tak lagi bisa kami bersenggama. Saya terlunta. Dalam hening yang tak mengirama. Dengan rindu tatap matanya yang manja. Pada rak di perpustakaan yang dipenuhi debu asmara, ia mencampakkan dan meninggalkan saya begitu saja. Ia melupakan saya. Ciputat, 06-05-2015 : 23:32 WIB
*Penulis adalah mahasiswi Jurusan Bahasa Sastra dan Arab, Fakultas
SENI BUDAYA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVI / April 2015
15
Tapak Tilas Perang Babad Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta menampilkan drama Perang Babat bertajuk Pilihan Pembayun di Hall Student Center, Senin (20/4). Dalam teater tersebut, menceritakan Panembahan Senopati dalam menaklukkan Ki Ageng Mangir Wanabaya sebagai tledek untuk memikat hati Wanabaya.
Aci Sutanti
Seketika, suasana menjadi sunyi. Hanya terdengar uyon-uyon (tembang Jawa) yang diiringi alunan suara gamelan. Kain putih pun tak lagi menutupi panggung. Lampu yang sedari tadi menyorot ke arah panggung, mulai meredup. Satu per satu lampu mulai menyala kembali. Tak lama, muncul laki-laki berkumis mengenakan baju adat khas Jawa Tengah, seorang Raja Mataram bernama Panembahan Senopati. Serta wanita yang mengenakan kebaya berwarna merah, berambut cepol, dan berwajah sedikit keriput. Dialah istri Senopati, Nyi Adisara. Kala itu, Senopati menyampaikan keresahan hatinya kepada istrinya. Ia resah karena Mataram belum mampu menaklukkan wilayah Perdikan Mangir yang subur, makmur, dan gemah ripah loh jinawi. Rakyatnya juga sangat menjunjung tinggi sikap demokratis. Terbukti, mereka sangat menyukai kegiatan rembuk desa sebagai cerminan komunikasi antar Ki Ageng Mangir Wanabaya (pemimpin Perdikan Mangir) dengan rakyatnya.
Banyak faktor yang menyebabkan Senopati sulit menaklukkan Perdikan Mangir. Salah satunya, kekuatan Perdikan Mangir terletak di tangan Nyi Sepuh (ibunda Wanabaya), Baru Klinthing (paman Wanabaya), dan Inten Prawesti (adik angkat Wanabaya sekaligus panglima perang Mangir). Mereka adalah keluarga yang menguasai olah kanuragan dan sangat pandai bersiasat. Di tengah perbincangan, Nyi Adisara yang sedang mengandung anak pertama, merasakan sakit di perutnya. Ia merasa, bayi dalam rahimnya ingin segera keluar. Tak lama, lahirlah putri pertama yang diberi nama Rara Pembayun. Keduanya berharap, Pembayun akan menjadi panutan putri Mataram yang tangguh dan cerdik. Pembayun tumbuh menjadi putri yang cantik. Melihat kecantikan yang dimiliki putrinya, Senopati memerintahkan Nyi Adisara dan Pembayun menyamar sebagai ledek untuk memikat Wanabaya dan menaklukkan Perdikan Mangir. Tak lupa, rombongan ledek lebih dahulu mampir ke Sendang
Kasihan milik Rara Kidul agar Wanabaya tertarik dengan paras Pembayun. Selama menyamar menjadi ledek, Nyi Adisara dan Pembayun mengubah namanya agar penyamarannya berhasil. Nyi Adisara sebagai Nyi Pinjung, sedangkan Rara Pembayun sebagai Ni Mas Madusari. Rombongan ledek berhasil menghibur warga Perdikan Mangir. Terlebih, Madusari sukses membuat Wanabaya jatuh hati padanya. Tak lama, Wanabaya melamar Madusari sebagai istrinya. Merasa tujuannya hampir berhasil, Pembayun memberikan syarat kepada Wanabaya jika serius ingin menikahinya. “Jika kau serius ingin menikahiku, hanya satu pintaku. Setelah menikah dan memiliki momongan, berjanjilah untuk mengantar ke tanah kelahiranku,” pinta Madusari yang langsung disanggupi oleh Wanabaya. Wanabaya merasa permintaan Madusari sangat mudah dan dia berjanji tidak akan mengingkari perkataannya.
Awalnya, pihak keuangan mengajukan dana ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) setiap bulannya. Lalu, KPPN akan langsung mencairkan dana ke rekening setiap dosen. “Jika ada kesalahan atau kekurangan dokumen, pihak KPPN harusnya memberikan retur atau pengembalian dokumen yang nantinya akan diperbaiki,” ujar Sulamah, Jumat (24/4). Namun, jumlah tunjangan yang diterima dosen tidak sesuai dengan permintaan. Padahal, saat itu pihak keuangan tidak mendapatkan retur apapun. Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada menerangkan, penahanan tunjangan sertifikasi disebabkan oleh telatnya penilaian BKD. “Begitu saya diminta untuk mengajukan tunjangan untuk bulan Februari lalu, saya minta LPM untuk melakukan penilaian dosen terlebih dulu,” ujarnya, Jumat (25/4).
Selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Dede menegaskan dosendosen harus dinilai dulu sebelum menerima tunjangan profesinya. 43 dosen, ungkap Dede, belum mendapatkan tunjangan profesi karena mereka memiliki jabatan di universitas lain, sebagai rektor, wakil rektor, atau jabatan lain. Itjen menyimpulkan dosen-dosen tersebut harus menghentikan kegiatan di universitas lain kecuali telah memenuhi tugas mereka di UIN Jakarta, yakni hadir di kampus selama lima hari dalam seminggu dari pukul 07.00-16.00. “Saya tidak mengabaikan hak dosen. Jangan sampai saya memberikan hak-hak dosen tapi mahasiswanya tidak diurus. Saya bukan sedang mengurus dosen, tapi mengurus mahasiswa,” pungkasnya.
Sambungan Ironi Tunjangan Profesi
dosen. “Ba-nyak kasus dosen yang telah menye- rahkan dokumen-dokumen mereka, namun setelah diperiksa Itjen ternyata banyak data yang kurang,” ujarnya, Jumat (17/4). Salamah menerangkan, kekurangan itu membuat beberapa dosen harus mengembalikan tunjangan profesi- nya yang telah diterima semester lalu. Pemberian tunjangan berdasarkan pada hasil audit internal tahun 2014. “Namun, saat ini kita belum mendapatkan data pasti mengenai jumlah dosen yang harus mengembalikan dana tersebut,” katanya. Pihak keuangan angkat suara menanggapi keluhan dosen-dosen yang belum mendapatkan tunjangan profesinya. Sulamah Susilawati, Kepala Bagian Keuangan UIN Jakarta menerangkan, alur pencairan tunjangan profesi belum dilaksanakan dengan baik.
Foto: Ika/INS
Asap putih tebal mengepul tinggi dari Gunung Merapi disertai alunan suara gamelan khas musik Jawa Tengah. Tiba-tiba, kain putih dengan panjang enam meter menutupi hampir seluruh panggung, diikuti suara gemuruh Gunung Merapi yang sedang mengeluarkan lahar. Entakkan tujuh pasang kaki menambah keriuhan suasana di atas panggung saat itu. Pernikahan pun dilangsungkan. Berkat kesaktian Inten, penyamaran Pembayun terbongkar. Wanabaya yang mendapatkan informasi penyamaran tersebut, naik pitam dan langsung mengusir Pembayun dari Mangir. Namun Pembayun menolaknya, ia ingin menagih janji Wanabaya untuk mengantarnya pulang ke Mataram dan menghadap Panembahan Senopati. Keduanya bertengkar hebat. Berkat Nyi Sepuh dan Baru Klinthing, tak terjadi baku hantam antar keduanya. Nyi Sepuh yang ahli dalam berstrategi, memutuskan agar Wanabaya menyamar sebagai Baru Klinthing, begitu pun sebaliknya. Ketika rombongan Mangir sampai di Mataram, Senopati langsung membenturkan kepala Wanabaya ke singgasana. Tiba-tiba, Baru Klinthing yang menyamar sebagai Wanabaya berubah ke wujud asalnya. Terjadilah perlawanan antar keduanya yang dimenangkan oleh Senopati. Senopati sadar, anaknya (Baru Klinthing) yang harus menuntaskan konflik
tersebut karena penyatuan Mataram dan Mangir membutuhkan tumbal. Lantas, Pembayun yang memang mencintai Wanabaya dengan tulus, lebih memilih pergi bersama Wanabaya untuk memulai kehidupan baru. Menghilangnya Wanabaya, menjadi penutup dalam pentas bertajuk “Pilihan Pembayun” yang dimainkan oleh Lembaga Teater Perempuan Yogyakarta di Hall Student Center (SC) UIN Jakarta, Senin (20/4). Dalam pertunjukkan yang disutradarai oleh Yudiaryani itu, ia mencoba mengungkap kejadian Perang Babad yang sebenarnya menurut dokumen yang dipelajari sebelumnya. Dalam kebanyakan buku sejarah, akhir dari Perang Babad adalah terbunuhnya Wanabaya oleh Panembahan Senopati. Hal itu bertolak belakang dengan kisah yang dipentaskan. “Perbedaan tersebut dikarenakan kisah Perang Babad ada di era kolonial Belanda yang ingin mengadu domba Perdikan Mangir dan Kerajaan Mataram saat itu,” ujar Yudiaryani, Senin (20/4).
Surat Pembaca Saya mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi (FIDIKOM). Meminta kepada pengelola Student Center (SC) agar lebih memperhatikan kebersihan dan kelayakan fasilitas kamar mandi SC. Sebab saya merasakan terutama di kamar mandi pria tempat pembuangan urine (urinal) banyak yang rusak , dari tujuh urinal hanya dua yang berfungsi itu pun sepertinya sudah agak mampet. 08981316XXX Saya mahasiswi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) meminta agar lampu toilet wanita diperbaiki. Lampu yang berkedap-kedip membuat pusing. Padahal, tak jarang mahasiswi yang ke toilet saat hari sudah gelap. Tak hanya itu, pintu toiletnya rusak semua. Wastafelnya pun mampet sehingga tak jarang banyak air yang menggenang. 085773011xxx Saya mahasiswi Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Saya mengeluh kurangnya bangku yang ada di beberapa kelas di lantai 4 FAH. Soalnya saya harus mengangkat bangku dari kelas lain karena kelas yang saya tempati kekurangan bangku. 085812348XXX
BACA, TULIS, LAWAN!
MAU TUNJANGAN PROFESI KOK GAK MAU NGAJAR
Pasang Iklan Sejak didirikan 30 tahun silam, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid INSTITUT, Majalah INSTITUT, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.lpminstitut. com.
Iklan layanan mahasiswa ini dipersembahkan LPM INSTITUT
Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya: Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud) INSTITUT Online Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari Majalah INSTITUT Sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester.
CP: Maulia Nurul No HP: 08567231682
AVAILABLE SPACE