Edisi XXXVII / Mei 2015
Email: lpm.institut@yahoo.com / redaksi.institut@gmail.com
LAPORAN KHUSUS
LAPORAN UTAMA
Ongkos Mahal Fasilitas Abal-abal
FSDAL Terancam Tak Terima Mahasiswa Baru
Hal. 3
Terbit 16 Halaman
Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311
WAWANCARA
Kelas Internasional Minim Perhatian
Hal. 4
LPM INSTITUT - UIN JAKARTA
@lpminstitut
Hal. 11
www.lpminstitut.com
Aci Sutanti Keberadaan kelas internasional sebagai langkah UIN Jakarta menuju WCU kini tak ubahnya dengan kelas reguler. Terpaksa gulung tikar. Satu ruangan bersama mahasiswa dari berbagai negara merupakan bayangan awal Muhammad Ghiyast Farisi tentang kelas internasional di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun, ekspektasi mahasiswa Teknik Informatika (TI) kelas Internasional Fakultas Sains dan Teknologi (FST) tahun 2009 itu bak panggang jauh dari api. Jangankan satu kelas bersama mahasiswa mancanegara, fasilitas yang mestinya didapat mahasiswa internasional saja kini sudah tak nampak bukti fisiknya. Tak hanya Ghiyast, mahasiswa semester 6 TI Internasional, Faiqul Azmi pun merasakan hal serupa. Intensive class (kelas intensif) yang seharusnya ia dapatkan, kini juga sudah tidak lagi dirasakannya. Padahal, menurutnya, intensive class penting bagi mahasiswa kelas internasional agar bisa aktif berbahasa Inggris lantaran menjadi syarat sidang untuk menyandang gelar Sarjana Komputer (S. Kom). Terhitung sejak 2013, Mahasiswa TI Internasional memang tak lagi mendapat fasilitas berupa, student lounge (ruang diskusi), lobi khusus, komputer di setiap ruangan, staf administrasi, dan dosen yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Pun double degree (gelar ganda), visiting study (pertukaran pelajar), dan field trip (karyawisata) yang jadi program unggulan di kelas
internasional. Ruang di lantai empat FST, yang awalnya dikhususkan untuk kelas internasional, beberapa di antaranya kini juga digunakan untuk kelas reguler dan ruang dosen magister Jurusan Agribisnis. Tak tinggal diam, beberapa mahasiswa TI Internasional FST pada akhir 2014 kemudian melayangkan surat keberatan kepada pihak dekanat sebagai bentuk kekecewaan atas fasilitas yang tak mereka dapatkan. Namun, dekanat memberikan alasan bahwa pihak fakultas ingin menginternasional FST. “Tapi, alasan itu tidak masuk akal,� tukas Faiq, Senin (11/5). Lain FST lain FEB. Sejak 2011, mahasiswa di Prodi Manajemen Internasional dan Prodi Akuntansi Internasional juga sudah tak mendapat haknya sebagai mahasiswa kelas internasional. Namun beruntung, karena dua prodi internasional itu masih menggunakan pengantar Bahasa Inggris di kelas meski hanya 80 persen. Berbeda dengan FST yang kini sama sekali tak menggunakan bahasa wajib kelas internasional itu. Dekan FST, Agus Salim, tak menampik ketiadaan beberapa fasilitas seperti laptop atau double degree yang seharusnya didapat mahasiswa kelas internasional. Kata Agus, beberapa fasilitas itu memang seharusnya Bersambung ke hal. 15 kol. 2
Laporan Utama
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
2
Ramai-ramai ‘Angkat Kaki’
Salam Redaksi Di sela kesibukan kuliah, kami bersyukur bisa hadir kembali. Bulan Mei ini banyak hari penting yang diperingati. Di antaranya, hari buruh internasional, Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), dan Hari Kebangkitan Nasional (Hardkitnas). Tiga momen penting itu menjadi motivasi tambahan kami untuk terus berkarya. Agenda rutin kami setiap bulan yakni rapat redaksi dan deadline kali ini terasa lebih padat dari biasanya. Lantaran Bakal Calon Anggota (Bacang) yang telah selesai menempuh Training Pers Institut (TPI) mulai menulis berita di portal kami. Deadline dan rapat redaksi pun menjadi lebih sering dari biasanya. Belum lagi kegiatan diskusi kami adakan setiap minggunya. Kepadatan ini tak lantas membuat kami menurunkan kualitas Tabloid Institut untuk pembaca sekalian. Kali ini, tabloid kami masih tetap digarap oleh anggota dan pengurus LPM Institut. Namun, untuk pertama kalinya anggota kami menulis rubrik-rubrik utama pada karya kali ini. Bulan ini kami menyajikan tiga laporan utama terkait kelas internasional di UIN Jakarta. Headline kami memaparkan bagaimana perjalanan kelas internasional dan tahun ke tahun. Pengelolaan mulai dari pelayanan hingga fasilitas yang cenderung semakin menurun setiap tahunnya. Kami mencoba menelisiknya hingga tahu apa alasannya. Pada dua laporan utama lain kami membahas mengenai biaya kelas internasional yang tiga kali lipat lebih besar dibanding kelas reguler namun, tak memiliki fasilitas memadai. Sederet fasilitas yang dijanjikan kampus tak lagi dirasakan mahasiswa kelas internasional kini. Selanjutnya, kami pun membahas respons mahasiswa kelas internasional yang tak puas dengan pelayanan kampus sehingga hengkang ke kelas reguler. Sajian kami selanjutnya adalah pada laporan khusus yang mengupas pelanggaran UIN Jakarta karena membuka Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan (FSDAL) tanpa adanya izin Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti). Hal ini pun menyebabkan UIN Jakarta tak lagi membuka pendaftaran mahasiswa baru untuk FSDAL. Laporan khusus lainnya kami menyuguhkan bagaimana ketidakselarasan janji kampus untuk mahasiswa program Center for Computing and Information Technology (CCIT). Sejumlah fasilitas dan status yang dijanjikan seakan omong kosong belaka karena hal-hal itu tak dirasakan mahasiswa CCIT. Bahkan, mereka sempat tak bisa mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Edisi ke-37 ini pun menyajikan resensi buku Indonesia X-files yang mengupas misteri di balik kematian beberapa tokoh besar di Indonesia seperti kematian aktivis buruh Marsinah, Munir Said Thalib, dan Soekarno. Ada pula komunitas yang kami angkat kali ini adalah komunitas 1000 Guru yang bergerak di bidang pendidikan. 1000 Guru menjadi salah satu komunitas peduli pendidikan yang datang ke beberapa sekolah di pelosok untuk mengajar dan memberi bantuan saran pendidikan. Selama proses liputan kami kembali menemui kesulitan untuk mendapatkan data-data terkait keuangan dan narasumber yang tak mau banyak berbicara. Namun, hasil maksimal tetap kami sajikan. Semoga karya ini bermanfaat bagi pembaca sekalian. Akhirnya, di antara tumpahan kopi dan kertas yang berserakan di sekretariat kami, Tabloid Institut Edisi 37 (Mei) ini bisa selesai dan hadir di hadapan pembaca sekalian. Selamat membaca, selamat bangkit!
Foto: Yasir/Ins
Salam sejahtera pembaca sekalian!
Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) hendak memasuki ruang Lobby dan Koridor di lantai 4 FST, Rabu (27/5). Ruangan tersebut merupakan salah satu fasilitas untuk mahasiswa kelas internasional.
M. Rizky Rahmansyah Mahasiswa kelas internasional yang merasa tak puas memilih hengkang. Fasilitas yang tak berbeda dengan kelas reguler jadi alasan. Kekecewaan tampak di raut wajah Ajrina Ziezie saat keluar dari ruang dekanat fakultasnya. Baru saja, keinginannya untuk pindah dari kelas internasional ke kelas reguler tidak disetujui dekan. Ia, yang kala itu bersama Sang Ibu, walhasil harus memupus keinginannya untuk mendapat biaya kuliah yang lebih murah. Niat Ajrina itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, ia yang terhitung sebagai mahasiswi semester delapan kelas internasional di Program Studi ( Prodi) Teknik Informatika (TI), Fakultas Sains dan Teknologi (FST) merasa dirugikan lantaran sudah dua tahun tidak lagi mendapat haknya sebagai mahasiswa kelas internasional. Padahal, setiap semester Ajrina harus mengeluarkan biaya kuliah lebih dari Rp 10 juta—lima kali lipat lebih mahal dari mahasiswa kelas reguler di jurusan yang sama. Ajrina tidak sendiri. Beberapa temannya bahkan sudah terlebih dulu memutuskan hengkang dari kelas internasional. Terhitung sampai saat ini, sudah sembilan orang temannya yang hengkang. Dari total 11 mahasiswa kelas internasional di jurusan TI, kini hanya Ajrina dan satu temannya yang masih bertahan. “Angkatan aku cuma sisa dua orang,” ungkapnya, Senin (18/5). Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Litbang Institut kepada semua mahasiswa kelas internasional, sebanyak 82% responden menyatakan ketidakpuasannya terhadap kelas internasional. Tommy Putra, misalnya. Mantan mahasiswa kelas internasional Prodi TI ini mengaku, merasa beruntung dapat pindah dari kelas internasional. Tommy yang kini terdaftar sebagai Mahasiswa Prodi Sistem Informasi (SI) bercerita, keputusannya dulu untuk pindah lantaran biaya kelas internasional yang terlalu mahal. “Dosennya juga lokal sih,” tambahnya, Kamis (21/5). Sesuai peraturan, bagi mahasiswa yang ingin
pindah jurusan memang diwajibkan untuk kembali mengikuti ujian masuk tak ubahnya mahasiswa baru. Tak terkecuali bagi mahasiswa kelas internasional seperti Ajrina yang berniat pindah ke kelas reguler. Bagi ia yang lulus mengikuti ujian masuk, kemudian akan diringankan dengan konversi nilai. Jadi, beberapa mata kuliah yang sudah diambil mahasiswa yang pindah jurusan tidak harus diambil kembali pasca masuk di jurusan baru. Kekecewaan terhadap fasilitas kelas internasional juga dirasakan Rifqi Syahrizal, mahasiswa semester delapan kelas internasional Prodi Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Menurutnya, fasilitas yang didapat kelas internasional tidak sebanding dengan uang kuliah yang harus ia bayar tiap semester. Bahkan, tak jarang Rifqi juga terpaksa mengikuti perkuliahan di kelas reguler. Merasa tak puas, ia dan teman-temannya lantas melayangkan tuntutan kepada pihak fakultas. Mereka sempat mempertanyakan, fasilitas yang tidak sebanding dengan uang perkuliahan yang harus mahasiswa keluarkan. “Sebaiknya anggaran dan laporan yang sudah ada dapat diketahui dengan jelas,” saran Rifqi, Rabu (19/5). Menanggapi hal itu, Dekan FST, Agus Salim berharap, rektorat dapat segera meninjau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) agar kebijakan anggaran mahasiswa kelas internasional dapat disamakan dengan reguler. “Sesuai hasil rapat Senat niversitas, hanya rektorat yang bisa mengubah kebijakan anggaran itu,” tegas Agus, Selasa (19/5). Namun seperti diketahui, empat keseluruhan fakultas yang membuka kelas internasional memang sudah tidak menerima mahasiswa baru. Pada tahun 2012, kelas internasional di FISIP sudah resmi dihapus. Begitu juga dengan kelas internasional di FST, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis (FEB) serta Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) yang dihapus di tahun selanjutnya. Wakil Dekan Bidang Akademik FISIP, Dzuriyatun Toyibah bercerita, Prodi HI kelas internasional mulai dikelola semenjak menjadi bagian Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) pada tahun 2005. Dan dihapus pada tahun 2012 ketika sudah berada di bawah naungan FISIP. Penutupan itu, kata Dzuriyatun, lantaran ada beberapa dosen fakultas yang menilai mahasiswa HI kelas internasional tidak memenuhi kriteria. “Bahasa Inggrisnya tidak mencapai Test of English as a Foreign Language (TOEFL) 500 di kelas. Diajar juga tidak nyambung, malah lebih bagus mahasiswa regular,” tandasnya. Namun, hingga saat ini, dekanat masih terus mencari solusi tentang kelanjutan mahasiswa kelas internasional Prodi HI FISIP. Senada dengan Dzuriyatun, Agus juga menilai tidak terpenuhinya standar menjadi salah satu alasan dihapusnya kelas internasional. Sebagai jalan keluar, beberapa fakultas akhirnya memindahkan mahasiswa kelas internasional ke kelas reguler. “Kasihan juga yang udah jalan,” ucap Agus. Terkait TOEFL, Ajrina mempertanyakan hasil tes TOEFL yang menjadi syarat penerimaan mahasiswa kelas internasional. Pasalnya, saat ujian masuk UIN Jakarta dulu, ia merasa tidak pernah diberi tahu tentang standar TOEFL yang harus dipenuhi calon mahasiswa kelas internasional. “Padahal, TOEFL aku rendah, tapi bisa masuk,” kata Ajrina. Hal tersebut juga dibenarkan Rifqi Syahrizal. Saat itu, ia yang masuk lewat jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) Mandiri UIN Jakarta, juga tidak mengikuti seleksi khusus agar diterima di kelas internasional HI FISIP. “Tidak ada itu (prosedur khusus), semua sama,” katanya.
Pemimpin Umum: Adi Nugroho | Sekretaris & Bendahara Umum: Nur Hamidah | Pemimpin Redaksi: Thohirin | Redaktur Online & Web Master: Syah Rizal | Pemimpin Litbang: Erika Hidayanti | Pemimpin Perusahaan: Maulia Nurul Hakim Anggota: Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat Koordinator Liputan: M. Rizky Rakhmansyah | Reporter: Erika Hidayanti, Maulia Nurul Hakim, Nur Hamidah, Syah Rizal, Thohirin, Aci Sutanti, Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat | Fotografer & Editor: INSTITUTERS | Desain Visual & Tata Letak:Erika Hidayanti, Ika Puspitasari, Syah Rizal | Karikaturis & Ilustrator: Syah Rizal, Aci Sutanti | Editor Bahasa: Nur Hamidah, Arini Nurfadilah Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 08978325188 | Email: lpm.institut@yahoo.com / redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~
Laporan Utama
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
3
Sumber: www.uinjkt.ac.id
Ongkos Mahal Fasilitas Abal-abal
Arini Nurfadilah Fasilitas yang didapat mahasiswa kelas Internasional tak sebanding dengan biaya kuliah yang dibayarkan. Mahasiswa pun mempertanyakan haknya. Pengantar bilingual, Bahasa Inggris atau Bahasa Arab dalam kegiatan belajar mengajar sudah tak lagi dirasakan Mahasiswa Manajemen kelas internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Muhammad Anugrah Asshidiq. Padahal, Bahasa Inggris menjadi pengantar wajib di kelas internasional. Sejak dua tahun terakhir, Didit, sapaan akrabnya, memang sudah tak lagi mendapati dosen yang menggunakan pengantar Bahasa Inggris saat belajar di kelas. Itu tak sebanding, mengingat biaya kuliah yang harus Didit bayar Rp6 juta—dua kali lipat lebih besar dari
mahasiswa kelas reguler—tiap semesternya. Ketidakselarasan antara fasilitas dan biaya juga dirasakan Mahasiswa Teknik Informatika (TI) Internasional Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Muhammad Fadil Lubis. Sedangkan, ia harus membayar uang semester lebih dari Rp10 juta tiap semesternya, lebih mahal Rp8 juta dari kelas reguler. Laptop yang harusnya ia peroleh di semester satu juga hanya sebatas wacana. “Padahal, laptop jadi fasilitas kelas internasional jelas tertera di brosur,” katanya, Senin (18/5).
Perolehan Medali Kontingen UIN Jakarta Pionir Ke-VII Palu 18-24 Mei 2015
Sumber data: Pionir Palu
Sebagai salah satu program unggulan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menuju World Class University (WCU), kelas internasional memang punya tarif khusus bagi para mahasiswanya. Dari total 12 fakultas, UIN Jakarta hanya membuka enam prodi kelas internasional di empat fakultas: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) di Prodi Hubungan Internasional (HI), FST di Prodi TI dan Sistem Informasi (SI), FEB di Prodi Manajemen dan Akuntansi, dan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) di Prodi Perbandingan Mazhab Hukum Khusus
(PMHK). Dari enam prodi di empat fakultas itu masing-masing memiliki biaya kuliah berbeda-beda. Di FST, prodi TI dan SI sebesar Rp10.625.000 per semester nya. Sedangkan di FEB, prodi Manajemen dan Akuntansi mematok biaya Rp5.840.000. Dan Rp5.840.000 untuk biaya kuliah prodi HI di FISIP. Dalam brosur kelas internasional, disebut beberapa fasilitas yang harus nya didapat para mahasiswa, seperti ruang kelas ber-AC, laptop, student lounge (ruang diskusi), dan pengantar Bahasa Inggris atau Bahasa Arab. Selain itu, mereka juga bisa visiting study (studi ke luar negeri), memperoleh double degree (memperoleh dua gelar), dan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di beberapa negara mitra seperti Malaysia, Australia, dan Jerman. Namun, lebih dari satu tahun belakangan semua fasilitas tak dirasa semua mahasiswa kelas internasional. Menanggapi hal itu, Dekan FST, Agus Salim mengatakan, sebenarnya pihak fakultas sudah menganggarkan biaya pembelian laptop. Namun, pihak Keuangan UIN Jakarta menolak ajuan dari fakultas. Hal ini lantaran menyalahi aturan Kementerian Keuangan RI nomor 53/PMK.02/2014. Dalam aturan tersebut, dilarang adanya biaya pengadaan barang non konstruksi termasuk laptop. Di sisi lain, Agus pun tak menampik ketiadaan laptop bagi Mahasiswa Internasional FST. Menyoal program double degree, Mahasiswa TI Internasional, Isyroqi Rahmanul Galby mengaku kecewa dengan program yang ditawarkan. Selama tiga tahun lebih, ia tak mendapat pemberitahuan dari pihak kampus tentang biaya double degree dan student exchange yang harus ia tanggung. “Saya tahu dari senior,” kata Galby, Kamis (21/5). Terkait hal itu, Agus menjelaskan, sejak awal perkuliahan, pihak fakultas
sudah memberitahu mahasiswa kelas internasional bahwa biaya program double degree ditanggung masing-masing mahasiswa. “Baik fakultas maupun universitas, tak memiliki biaya untuk double degree,“ terang Agus, Jumat (22/5). Ketiadaan dana double degree juga dibenarkan Kepala Bagian Keuangan, Sulamah Susilawati. Ia mengatakan, universitas hanya mengurus administrasi akademik yang syarat-syaratnya sudah dilengkapi mahasiswa. Sulamah melanjutkan, semestinya fakultas lebih memperjelas isi kerja sama dengan negara mitra. Misalnya, terkait biaya student exchange dan double degree akan menjadi tanggung jawab siapa nantinya. Bagaimanapun, menurut Sulamah, mahasiswa kelas internasio nal harus studi ke luar negeri, “Kalau di kandang sendiri, namanya bukan internasional,” ujar Sulamah, Jumat (22/5). Ia menambahkan, anggaran kelas internasional tiap fakultas berbeda-beda, tergantung dari jumlah mahasiswa. Karena, pemasukan dana kelas internasional hanya berasal dari uang kuliah yang dibayar oleh mahasiswa. “Kecuali, fakultas meminta dana untuk mengadakan seminar atau workshop,” tutur Sulamah. Sementara itu, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Abdul hamid menjelaskan, prosedur penganggaran biaya untuk fasilitas kelas internasional, pihak fakultas harus memasukkannya dalam Rencana Biaya Anggaran (RBA), nantinya diusulkan ke Bagian Perencanaan universitas. Setelah itu, akan diajukan dalam rapat pimpinan untuk diputuskan hasilnya. Terakhir, data akan dibawa ke bagian keuangan. Anggaran yang dikeluarkan UIN Jakarta untuk kelas internasional, lanjut Abdul Hamid, tergantung fakultas masing-masing. “Pengeluaran fakultas akan disesuaikan jumlah mahasiswanya,” tutupnya, Sabtu (23/5).
INFO GRAFIS
Infografis: Rizal
Laporan KHUSUS
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
4
Sumber: Internet
FSDAL Terancam Tak Terima Mahasiswa Baru
Mahasiswa FSDAL tengah mengikuti kegiatan Orientasi Pengenalan Akademik dan Kebangsaan (OPAK) di lantai lima gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Sabtu (30/8/14).
Ika Puspitasari Niat kekeuh UIN Jakarta membuka FSDAL mendapat teguran dari Dikti. Tahun ini, tiga prodi di fakultas tersebut terancam tak buka pendaftaran. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun ini kemungkinan tidak membuka pendaftaran pada tiga Program Studi (Prodi) di Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan (FSDAL): Teknik Geologi, Teknik Pertambangan, dan Teknik Perminyakan. Keputusan
itu didapat setelah menggelar rapat senat pada April 2015 lalu. Wakil Rektor Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga menyatakan, keputusan UIN Jakarta tak membuka pendaftaran di tiga prodi FSDAL lantaran sudah beberapa kali mendapat teguran lisan dari Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi (Dikti). “Kami harus menutup pendaftaran FSDAL karena pembentukan prodi baru tanpa izin dari Dikti itu melanggar hukum,” tegas Lala saat ditemui di ruangannya, Selasa (19/5). Berbeda dengan Lala, Ketua Tim Pembentuk FSDAL, Untung Sur
yanto menuturkan, UIN Jakarta akan tetap membuka pendaftaran mahasiswa baru FSDAL meski izin operasional dari Dikti belum turun. Ia berharap Dikti akan mengeluarkan izin dalam waktu dekat sebelum Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB ) Mandiri ditutup pada 2 Juni nanti. Namun, jika perizinan dari Dikti belum turun sampai Juni nanti, ketiga prodi itu tidak terdaftar di pendaftaran jalur SPMB Mandiri. Guna mengantisipasi kemungkinan terburuk itu, kata Untung, pendaftaran Mahasiswa FSDAL akan dibuka melalui Fakultas Sains dan Teknologi (FST) pada Jurusan Fisika. “Lagi pula, rektor sudah menyetujui pendaftaran FSDAL melalui FST terlebih dulu,” tutur Untung, Jumat (15/5). Menurut Untung, FSDAL harus membuka pendaftaran untuk mahasiswa baru pada tahun ajaran 2015/2016. Bagaimanapun, ia bersama Tim Pembentuk FSDAL sudah menerima mahasiswa baru pada tahun ajaran 2014/2015. Sehingga untuk tahun ajaran ini, FSDAL harus membuka pendaftaran. Menyikapi persoalan tersebut, Untung meminta, rektor bertanggung jawab dan mempertimbangkan dibuka atau tidaknya FSDAL. “Sejauh ini, rektor sudah berusaha untuk mengurus berkas perizinan prodi baru. Hal itu menunjukkan bahwa rektor juga sungguh-sungguh dalam izin pendirian FSDAL,” terangnya. Walaupun pihak kampus telah mengetahui status FSDAL yang belum memiliki izin dari Dikti, namun proses pembelajaran mahasiswa tahun ajaran 2014/2015 telah ber-
langsung selama dua semester ini. Sementara itu, Dekan FST, Agus Salim angkat bicara mengenai hal ini. Ia meminta rektor untuk berterus terang pada 78 Mahasiswa FSDAL itu mengenai status mereka sekarang. “Saya menyarankan rektor untuk memberikan dua pilihan kepada mahasiswa FSDAL; dipindahkan ke universitas lain dengan prodi yang sama atau tetap kuliah di UIN Jakarta dengan memilih prodi yang sudah mendapat izin,” papar Agus, Selasa (19/5). Menanggapi hal tersebut, Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada menegaskan, saat ini pihaknya masih berusaha agar FSDAL mendapatkan izin dari Dikti. Sementara, keputusan Dikti baru bisa keluar Juli mendatang. “Kemungkinan buruknya, kami belum dapat membuka pendaftaran jika belum ada izin dari Dikti agar sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2012 mengenai Izin Pendirian Prodi Baru di Perguruan Tinggi,” ujarnya. Mendengar kabar FSDAL tak membuka pendaftaran mahasiswa baru, salah satu Mahasiswa Prodi Teknik Pertambangan, Rendy Adrista mengungkapkan kekecewaannya apabila hal tersebut benar terjadi. “Sudah banyak uang yang keluar, masa FSDAL mau ditutup. Saya membayar uang pendaftaran sebesar Rp20 juta dan Rp10 juta per semesternya,” kata Rendy, Rabu (20/5). Lain Rendy lain pula Adji Dwi, Mahasiswa Prodi Teknik Pertambangan ini optimis, FSDAL akan membuka pendaftaran mahasiswa baru pada tahun ajaran 2015/2016. “UIN Jakarta pasti mempunyai solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut,” pungkasnya, Rabu (20/5).
Ingkar Janji Kerjasama CCIT Jeannita Kirana
Harapan Mohamad Hilmy Zhafrani untuk lulus kuliah empat tahun sepertinya bakal terganjal. Mahasiswa program CCIT semester enam Program Studi (Prodi) Teknik Informatika (TI)Fakultas Sains dan Teknologi (FST) ini harus menjalani satu setengah tahun lagi kuliahnya dari tiga tahun masa kuliah yang sudah ia tempuh—setengah tahun lebih lama dari mahasiswa pada umumnya. Bukan lantaran Hilmy gagal atau mengulang mata kuliah, namun karena program yang ia ikuti. Berbeda dengan mahasiswa umumnya, program pendidikan yang dijalani Hilmy, merupakan program kerjasama antara Pusat Pengembangan Sains dan Teknologi (Pusbangsitek) UIN Jakarta dan FST dengan Center for Computing and Information Technology (CCIT) Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FTUI). Melalui program itu, Hilmy dijanjikan oleh CCIT FTUI dan Pusbangsitek UIN Jakarta dapat mengambil kuliah masing-masing selama dua tahun di UI dan UIN Jakarta. Namun, setelah menjalani satu tahun kuliahnya di UI, pihak CCIT FTUI menyatakan Hilmy ha-
rus menjalani tiga setengah tahun lagi kuliahnya di UIN Jakarta. “Waktu itu saya masih di SMA, dan yang mempromosikan adalah Pusbangsitek UIN Jakarta dan CCIT FTUI. Tapi saat promosi, mereka (Pusbangsitek UIN Jakarta dan CCIT FTUI) tidak menjelaskan detail lebih lanjut mengenai sistem perkuliahan yang dipakai,” ungkapnya, Kamis (21/5). Lain lagi dengan Syafran Nurrahman. Mahasiswa program CCIT Prodi TI FST ini harus menjalani satu tahun lagi kuliahnya di UIN Jakarta. Padahal, terhitung sudah empat tahun ia mengikuti program pendidikan di CCIT FTUI dan UIN Jakarta sejak tahun 2010. Setelah menempuh empat semester di UI dan pada 2012 masuk UIN Jakarta, ia kaget karena untuk bisa menyelesaikan kuliahnya, ia harus mengambil enam semester lagi. Sesuai ketentuan, mahasiswa program CCIT harus menyelesaikan 144 Sistem Kredit Semester (SKS) selama di UI dan UIN Jakarta agar bisa memperoleh gelar S1. Jumlah itu sama seperti yang ditempuh mahasiswa reguler. Persoalannya, sistem SKS yang berbeda antara CCIT dan UIN Jakarta membuat masa studi
mahasiswa program CCIT lebih lama dibanding mahasiswa reguler umumnya. Syafran mendapat kabar itu dalam sebuah rapat bersama dekanat. “Kami dijelaskan bahwa kurikulum di CCIT dan di UIN berbeda. Maka dari itu, mahasiswa enggak bisa lulus dua tahun di UIN karena SKS dan mata kuliahnya juga beda,” kata mahasiswa program CCIT yang masuk UIN Jakarta pada 2011 ini, Senin (18/5). Kepala Pusbangsitek UIN Jakarta sekaligus pihak yang menangani kerjasama CCIT, Ujang Maman membenarkan, masa studi yang ditempuh mahasiswa program CCIT memang tidak seperti yang dijanjikan. “Teorinya dua tahun di UI dan dua tahun di UIN, tapi kalau memang nilai mahasiswa masih kurang (SKS), ya, harus lanjut menyelesaikan S1-nya,” Kamis (22/5). Sementara itu, menurut Dekan FST UIN Jakarta, Agus Salim, sesuai Memorandum of Understanding (MoU), mahasiswa program CCIT sebenarnya bisa lulus dua tahun di UIN Jakarta jika nilai mata kuliah mereka memenuhi standar (B). Sebaliknya, mahasiswa program CCIT akan lebih lama menempuh masa studi jika nilai mereka di bawah standar.
Sumber: Internet
Iming-iming kuliah empat tahun di dua universitas bagi mahasiswa CCIT hanya sebatas janji. Mimpi kuliah cepat pun harus kandas di tengah jalan.
Suasana kelas mahasiswa CCIT FTUI saat masih berkuliah di UI.
Kerjasama Tak Diperpanjang Berdasarkan surat perjanjian kerjasama antara FST dengan FTUI nomor Un.01/F9/PP.0010/9/2009 dan CCIT FTUI dengan Pusbangsitek nomor 005/SP/PSBK-UIN, kontrak kerjasama program pendidikan berakhir di tahun 2015. Dekan FST, Agus Salim juga mengungkapkan, bahwa UIN Jakarta tidak akan melanjutkan kerjasama dengan CCIT FTUI. Pasalnya, kata Agus, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) belakangan telah melarang kerjasama antara UIN Jakarta dan CCIT FTUI. Adapun jika ingin melanjutkan kerjasama, Agus menuturkan, pihak CCIT FTUI harus mengubah MoU dengan tidak menyertakan Pusbangsitek
di dalamnya. Itu lantaran keberadaan Pusbangsitek sebagai lembaga non-struktural di UIN Jakarta. “Jadi tidak boleh ikut campur dalam masalah akademik fakultas,” paparnya. Sedangkan menurut Maman, sebagai lembaga non-struktural Pusbangsitek hanya memberikan dukungan teknis agar program kerjasama berjalan lancar. Seperti membantu persoalan administratif, monitoring, dan sosialisasi. Persoalan administratif yang ditangani itu misalnya, melakukan pencatatan pembayaran uang kuliah. Sedangkan monitoring yang dimaksud yakni memantau kehadiran dosen dan ketepatan waktu lulus mahasiswa. Soal sosialisasi, Pusbangsitek semisal mendampingi pihak CCIT FTUI saat promosi.
KAMPUSIANA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
Demam Pendaki Gunung Dadakan Triana Sugesti
Laiknya magnet, pegunungan belakangan seperti memiliki daya tarik sendiri bagi banyak orang. Tak hanya bagi pecinta alam, namun kini juga menjamur di kalangan mahasiswa. Bagi sebagian mahasiswa itu, mendaki gunung menjadi salah satu alasan untuk melepas penat di tengah kejenuhan tugas kampus. Salah satunya Siti Masithoh. Mahasiswi Pendidikan Kimia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang baru kali pertama mendaki gunung itu, menuturkan kegiatan mendaki gunung dapat menyegarkan otak karena udara asri di pegunungan. Terlebih lagi, ia bisa menemukan hal-hal baru di alam bebas secara langsung seperti halnya merasakan indahnya alam ciptaan Tuhan. Dengan mendaki gunung, Mashitoh merasa cukup mengobati kebosanannya setelah menjalani tugas praktikum di kampus. “Alasan aku mendaki sih ngilangin sejenak tugas kuliah dan memanfaatkan sedikit waktu kosong. Lagi pula mendaki gunung kali ini menjadi pengalaman pertama,” ujarnya, Kamis (14/5). Masithoh bercerita, tanggal 19 April menjadi hari bersejarah bagi hidupnya
lantaran ia bersama teman-temannya berhasil mancapai puncak Gunung Gede. Menurutnya, untuk mencapai puncak dan turun dengan selamat, ia harus benar-benar kompak dengan satu timnya. Sama halnya Masithoh, Mahasiswa Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin (FU) Amirul Akbar mengatakan, mendaki gunung merupakan salah satu kegiatan yang menyenangkan. Selain bisa melihat keindahan alam, ia dan teman-temannya juga dapat mempererat persahabatan mereka. Amirul bercerita, kala itu, sebelum melanjutkan perjalanan mendaki di Gunung Gede, salah satu temannya mengalami demam tinggi. Semua teman-temannya panik, tapi beruntung karena salah satu dari tim kelompoknya berinisiatif mencari obat-obatan herbal untuk menurunkan demam teman sekelompoknya. Lalu, di hari berikutnya temannya sembuh dan kembali meneruskan pendakian ke puncak Gunung Gede. “Kegiatan mendaki gunung menjadi pengalaman yang tak bisa dilupakan, lebih lagi bersama sahabat. Meskipun, persiapan kami belum maksimal, “ ungkapnya (16/5).
Dok. Pribadi
Mendaki gunung mendadak jadi tren belakangan di kalangan mahasiswa. Sayang, tak sedikit di antara mereka abai pada esensi dan aturannya.
Beberapa mahasiswa UIN Jakarta sedang mendaki di Gunung Gede, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cipendawa, Cianjur Jawa Barat, Sabtu (18/4). Sebagian dari mereka merupakan pendaki pemula.
Tak hanya modal nekat, mendaki gunung juga membutuhkan persiapan matang. Namun, sebagian mahasiswa beranggapan persiapan mendaki gunung yang matang sebenarnya tidak terlalu penting. Misalnya, Yolanda Afiata Mawadati. Kegiatan mendaki di Gunung Papandayan pada 4 Januari lalu, menjadi yang kedua kalinya bagi Mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidahiyah (PGMI) meski tanpa persiapan khusus. Ia mengaku, hanya melakukan joging beberapa hari saja sebelum pendakian. “Teman kan ngasih tahunya mendadak, jadi cuma sempat joging beberapa hari dan itu udah cukup kok,“ katanya, Jumat (20/5). Sebenarnya, kata Yolanda, banyak manfaat yang ia dapat sehabis pulang mendaki gunung. Tak hanya menik-
mati keindahan alam, di sana ia juga belajar kehidupan melalui alam. Beberapa manfaat yang telah ia rasakan seperti, belajar hidup mandiri, tidak ceroboh, dan bagaimana bertindak cepat dalam situasi apapun. Oleh sebab itu, mendaki gunung menjadi wisata alam paling menarik bagi mahasiswi semester enam ini. Menanggapi maraknya mahasiswa yang mendaki gunung, ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelompok Pecinta alam (KPA) Arkadia Muhammad Yunus menekankan, mereka yang baru mendaki gunung belum bisa dikatakan pecinta alam. Ia beranggapan, mahasiswa yang demam mendaki gunung saat ini hanya memiliki jiwa penikmat alam saja. Terbukti, tambah Yunus, mahasiswa lebih memedulikan keindahan alam saja dan masih banyak sampah
5
yang menumpuk di setiap pos peristirahatan, mereka pun masih saja mengambil sembarang Bunga Edelweis. Jika masih melakukan hal tersebut, mereka te lah melanggar kode etik pecinta alam. Menurut Yunus, pendaki harus belajar dan menerapkan kode etik pecinta alam, karena hal itu menjadi hukum alam yang sangat penting. “Dalam kode etik pecinta alam, pendaki dilarang mengambil apapun kecuali gambar, membunuh apapun kecuali waktu, dan meninggalkan apapun kecuali jejak kaki,” tegas pria yang akrab disapa Gobet itu, Senin (18/5). Gobet menyayangkan, maraknya pendaki dadakan malah menimbulkan beberapa dampak, seperti halnya keselamatan diri dari jalan yang terjal jika tidak berhati-hati dan juga kelestarian lingkungan. “Namanya juga alam, setiap perbuatan biasanya langsung dibalas, makanya perlu hati-hati, “ katanya. Sementara itu, ketua Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup Kemanusiaan (KMPLHK) Kembara Insani Ibnu Battuta (Ranita) NurHidayat menjelaskan, ada dua faktor yang menjadi catatan penting bagi seorang pendaki gunung. “Pertama, faktor internal seperti kesehatan fisik, mental dan ilmu pengetahuan. Sedangkan yang kedua meliputi faktor eksternal seperti perlengkapan logistik dan faktor alam,” ujar lelaki yang akrab disapa Bledig, Senin (18/5). Kedua faktor tersebut, lanjut Bledig, harus benar-benar dipersiapkan sebaik mungkin. Pasalnya, lanjut Bledig, hal itu akan sangat bermanfaat di setiap mendaki gunung. “Perencanaan yang matang merupakan setengah keberhasilan guna mencapai tujuan,” tutupnya.
Asah Keterampilan Seni Mahasiswa Yasir Arafat
Tak hanya mencari ilmu pengetahuan, di kampus mahasiswa juga bisa menggali potensi lain, termasuk dalam bidang kesenian. Dengan berkesenian, mahasiswa turut serta melestarikan kebudayaan. Oleh karenanya, beberapa fakultas di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memfasilitasi mahasiswa untuk belajar kesenian. Senja itu, sekelompok mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Jakarta tengah asik memegang bambu simetris dengan tangan kiri dan menggetarkan ujung batang penyangga bambu dengan tangan kanan. Bambu tersebut memiliki bermacam bentuk dari kecil hingga besar. Dari getarannya menghasilkan alunan nada yang harmonis. Angklung FAH, berlatih setiap Selasa dan Kamis. Namun, bila ada jadwal untuk tampil di sebuah pertunjukan mereka berlatih setiap hari. Banyak lagu yang biasa dimainkan, mulai dari pop sampai lagu tradisional daerah Indonesia macam Apuse, Manuk Dadali, dan Si Patokaan. Sudah hampir tiga tahun Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) FAH UIN Jakarta memasukkan beberapa unsur kesenian dalam bidang minat dan bakat mahasiswa. Selain angklung ada pula tarian tradisional seperti Gayo dan Ranup Lampuan sampai kesenian timur tengah seperti Marawis dan Hadrah. Di sela kesibukkan kuliah, dua
kali dalam seminggu Damas Maghfur Pratama bersama 34 rekannya menyempatkan diri berlatih kesenian. “Khusus untuk angklung biasanya liat-liat di youtube, setelah itu langsung dipraktikkan saat latihan,” ucap pria asli Banyumas yang juga Ketua Divisi Minat dan Bakat Dema FAH ini, Rabu (20/5). Sama halnya Dema FAH, Pojok Seni Tarbiyah (Postar) pun mewadahi Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) yang ingin menuangkan minat pada kesenian. Postar mempelajari beberapa kesenian antara lain Gamelan (Degung), tarian tradisional, Lingkar Sastra Tarbiyah, Band, serta Paduan Suara. Terdapat dua jenis gamelan yang dipelajari di Postar yakni Gamelan Sunda dan Jawa atau Karawitan. Perbedaan kedua jenis gamelan terletak pada tangga nada. Jika Gamelan Sunda bernama Pelog dan Karawitan itu Slendro. Selain itu, ada juga tari-tarian tradisional seperti, Kundaran, Ratoh Jaroeh, Lenggang Nyai, dan Jaipong. Selasa, Rabu, dan Kamis sore tim gamelan Postar FITK biasa berlatih. Sedangkan Jumat adalah waktunya berlatih tim tarian tradisional. Pemain gamelan Postar langsung belajar dari seniman asli Tasikmalaya, sedangkan tarian biasanya mendatangkan pelatih dari Taman Mini Indonesia Indah (TMII) atau sanggar tari sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
“Seenggaknya lulusan FITK punya keterampilan lain selain mengajar,” ujar Ketua Postar, Rizal Hanif Masyhur, Senin (18/5). Di sisi lain, adanya Postar adalah bentuk dukungan nyata mahasiswa untuk melestarikan kesenian Indonesia. Terlebih, animo mahasiswa untuk belajar kesenian sangat tinggi. Terbukti banyak yang ikut bergabung dengan lembaga ini. Lain lagi dengan Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS) Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Fakultas Ilmu Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Prihatin melihat alat Marawis yang terbengkalai. Pada 2010 Nova Rizky Prakoso, Ahmad Afif Mauludi, dan Meitama Arief Budhiman ingin menghidupkan kembali kesenian marawis di jurusannya. Mulanya, Marawis Kesmas kurang diminati mahasiswa. Meskipun begitu, Nova, Afif dan Meitama tak patah arah, dengan semangat tinggi mereka pun intens mengajak mahasiswa Kesmas untuk bergabung. Kini, tercatat sudah ada 30 anggota Marawis Kes-
Dok. Pribadi
Kesenian mempunyai daya tarik tersendiri bagi pemuda. Mahasiswa pun antusias belajar kesenian di fakultasnya masing-masing.
Mahasiswa FITK sedang bermain gamelan dalam Artchipelago Postar di Loby Barat FITK. Acara ini menampilkan kolaborasi antara Karawitan dan Marawis, Selasa (12/5).
mas dan saban Rabu sore berlatih di taman sekitar FKIK. Selain melestarikan kesenian, kata Nova, adanya marawis bisa mempererat hubungan persaudaraan antar mahasiswa Kesmas. “Mengenalkan marawis ke masyarakat khususnya mahasiswa ialah bukti mahasiswa peduli kesenian,” katanya, Rabu (20/5). Menanggapi hal demikian, Wakil Dekan (Wadek) Kemahasiswaan FAH, Zubair menuturkan, semua fakultas di UIN Jakarta ingin menja-
di yang terdepan dalam soal melestarikan kesenian Indonesia. Bahkan, fakultas dengan senang hati membantu pendanaan dan pengarahan kegiatan kebudayaan. “Pendanaan dan pendampingan akan disediakan,” jelas Zubair, Selasa (19/5). Ia melanjutkan, baiknya tak hanya dilestarikan, tapi juga melakukan penelitian terkait kesenian nusantara. Mahasiswa diharapkan bisa memahami makna kesenian sebenarnya. Agar tumbuh rasa nasionalime dan harga diri bangsa.
SURVEI
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
6
Suara Mahasiswa Kelas Internasional
*Survei ini dilakukan dengan menyebarkan kuesioner ke 133 sampel mahasiswa internasional UIN Jakarta di empat fakultas di antaranya FST, FISIP, FEB, dan FSH. Survei ini dilakukan hanya untuk mengetahui respons mahasiswa internasional bukan untuk mengevaluasi secara keseluruhan.
Ralat
TABLOID INSTITUT EDISI XXXVI halaman 7 kolom dua tertulis biaya bangunan umum berjumlah di atas ‘Rp20 miliar’, seharusnya tertulis ‘Rp200 juta’. TABLOID INSTITUT EDISI XXXVI halaman 5 kolom dua tertulis nama narasumber ‘Risman Sulaeman’, seharusnya ‘Riswan Sulaeman’ dan tertulis Fakultas Kedokteran dan Ilmu ‘Keperawatan’, seharusnya ‘Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan’.
Redaksi LPM Institut Menerima: Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email: redaksi.institut@gmail.com Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085693706311 Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.
Desain Visual: Ika, Erika/INS
Setidaknya, empat fakultas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta membuka kelas internasional. Namun, nasibnya kini seperti ada dan tiada. Untuk melihat respons mahasiswa kelas internasional, divisi Litbang Institut melakukan survey terhadap 133 mahasiswa kelas internasional di empat fakultas. Sampel diambil dengan metode non-probabilty sampling dan teknik pengambilan sampel dengan insidental. Berdasarkan hasil survei 82% responden merasa fasilitasyang disediakan tidak memadai, hanya 12% sisanya yang menyatakan fasilitasnya sudah memadai. Selanjutnya, 64% responden menyatakan pengajaran yang diterimanya di kelas internasional tak sesuai, sedangkan 36% lainnya menyatakan sudah sesuai. Lebih lagi, 89,5% responden menyatakan biaya kuliah yang telah dibayarkan tak sebanding dengan sarana dan prasarana yang diterimanya, hanya 10,5% yang merasa sebanding. Bukan hanya itu, dari 133 responden, 82% menyatakan tak puas dengan pelayanan kelas internasional, sisanya sebanyak 12% menyatakan sudah puas. Dalam survei ini, Litbang Institut juga mencoba menanyakan apa yang diinginkan mahasiswa kelas internasional, mayoritas responden mempertanyakan status internasional yang mereka sanding. Tak hanya itu mereka juga ingin fasilitas yang memadai dan dosen yang kompeten. Lebih dari itu, responden juga ingin kejelasan ke mana uang yang selama ini mereka bayarkan dan juga kejelasan ijazah double degree.
berita foto
7
Foto: Hamidah/Ins
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
Foto: Aci/Ins
Penampilan Anggota Muda Paduan Suara Mahasiswa UIN Jakarta dalam Acara Recital Antares PSM UIN Jakarta bertemakan Supernova Timeless Time Line, Kamis (14/5).
Foto: Rizal/Ins
Mahasiswa melakukan aksi di depan Halte Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rabu (20/5). Aksi tersebut merupakan bentuk mahasiswa memperingati Hari Kebangkitan Nasional 2015.
Tiga presidium sidang sedang memimpin Musyawarah Perwakilan Mahasiswa Universitas (MPMU) di Aula Madya, Kamis (14/5). MPMU ini dihadiri oleh SEMA-U, SEMA-F, DEMA-U, DEMA-F, dan UKM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Hasil MPMU Tak Final Musyawarah Perwakilan Mahasiswa Universitas (MPMU) telah berlangsung di Aula Madya lantai dua pada 11-17 Mei. Rapat dihadiri oleh seluruh lembaga kemahasiswaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, mulai dari Senat Mahasiswa Universitas (SEMA-U), Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U), SEMA Fakultas (SEMA-F), DEMA Fakultas (DEMA-F), dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Ketua SEMA-U, Eko Siswandanu mengatakan, hasil MPMU hanya bersifat usulan dan tak serta merta disetujui rektor. Meskipun begitu, sudah ada pembicaraan dengan Wakil Rektor (Warek) Bidang Kemahasiswaan dan Rektor UIN Jakarta bahwa pihaknya tak akan merevisi hasil MPMU. Sampai saat ini hasil MPMU belum disahkan rektor. MPMU merupakan forum tertinggi di tingkatan mahasiswa UIN Jakarta yang membahas Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO), dan mengusulkan rekomendasi di bidang kemahasiswaan. “Tak bisa dipungkiri mahasiswa memiliki peran besar dalam perkembangan UIN menuju World Class University,” kataya, Rabu (20/5). (Yasir Arafat)
Inaugurasi Wakil Dekan Periode 2015-2019 Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada memutuskan, empat Wakil Dekan (Wadek) dilantik bersyarat. Keputusan itu diambil dalam rapat senat yang digelar pada Rabu (29/4). Menurut Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Sukron Kamil, empat wakil dekan yang dilantik bersyarat itu karena belum memenuhi tiga syarat wakil dekan. “Pertama, wakil dekan harus bergelar doktor. Kedua, sudah menjadi lektor, dan terakhir, berpengalaman dalam memimpin,” kata Kamil, Rabu (20/5). Adapun empat wakil dekan tersebut yakni Wadek Bidang Administrasi Umum dan Wadek Kemahasiswaan, Alumni, dan Kerjasama dari Fakultas Psikologi (FPsi). Pun, Wadek Bidang Akademik Fakultas Dirasat Islamiah (FDI) dan Wadek Bidang Administrasi Umum Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK). Lantaran itu, Kamil menambahkan, wadek terpilih bersyarat belum dapat dicantumkan dalam susunan pengurus organisasi UIN Jakarta periode 2015-2019. (Ika Puspitasari)
Visit www.lpminstitut.com UPDATE TERUS BERITA KAMPUS
opini
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
8
Aksi dalam Demokrasi ; Sebuah Kritik Oleh: Fitra Aditya Irsyam* lihan umum, atau membangun jalur aspirasi melalui partai politik untuk mengintervensi partai politik yang ada di parlemen dalam pembuatan kebijakan. Dalam demokrasi pula. partai berperan menjadi kendaraan politik. Artinya, untuk mencapai kepentingan dengan cara yang demokratis harus melalui partai politik. Masyarakat harus mer umuskan kepentingannya ke dalam partai. J i k a partai sudah tidak bisa mengakomodir kepentingan masyarakat, atau ada keadaan di mana partai sudah tidak bisa mengaspirasikan kepentingan. Masyarakat HARUS membuat partai baru sampai partai tersebut dapat menyampaikan kepentingannya. Pola seperti ini akan terus berjalan di negara demokrasi. Oleh karena itu, pemimpin sebuah negara yang terpilih secara demokrasi—yakni melalui pemilihan umum langsung—seharusnya ia hanya bisa diturunkan dengan cara yang demokratis pula. Atau bahkan pemimpin sebuah negara yang dipandang tidak adil, bisa di intervensi oleh partai-partai yang ada di parlemen. Idealnya partai seharusnya menjadi keran demokrasi. Pemimpin yang diturunkan dengan
aksi, atau aksi yang dilakukan untuk menyampaikan aspirasi, itu merupakan proses yang tidak demokratis dan sekaligus mengkhianati demokrasi. Kita semua memang
sepakat bahwa aspirasi harus diakomodir dan kebebasan berpendapat ialah hak yang dilindungi oleh konstitusi di Indonesia. Namun ketika aksi jadi sebuah cara penyampaian aspirasi, secara tidak langsung perbuatan tersebut telah memangkas kegiatan-kegiatan demokratis lainnya. Aksi telah mengkhianati pemilu yang esensinya ialah proses penyampaian aspirasi secara langsung. Aksi telah melangkahi hasil musyawarah-musyawarah yang dilakukan oleh para wakil rakyat. Bagi saya, mengkritisi kinerja partai dan mengoptimalkan fungsi partai ialah jalan yang demokratis. Seperti memperbaiki sistem rekrutmen partai, sistem verifikasi pencalonan dalam
partai dan mendorong partai untuk melakukan pendidikan politik secara benar. Dan hal tersebut tentunya masyarakat harus terlibat di dalam partai. Keadaan hari ini justru terbalik. Kita berbondong-bondong antipati terhadap partai, masyarakat menganggap partai selalu mempunyai kepentingan-kepentingan politis, dan juga masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap partai. Namun dengan keadaan yang demikian masyarakat tidak mau membentuk partai atau sekedar memperbaiki partai. Salah satu contoh fenomena mahasiswa yang sok menjaga idealismenya dan menjaga independensinya namun tidak mau membentuk partai mahasiswa atau partai yang berbasiskan ideologi mereka. Tidak mau terlibat di dalam hanya karna anggapan masuk ke dalam partai sama dengan menjual idealisme, sekalipun partai tersebut mempunyai idealisme yang sama dengan mahasiswa. Ini hal yang Aneh. Pola pikir yang menganggap partai politik hanya sebagai wadah kegiatan-kegiatan politis inilah yang menjadikan konstruksi berpikir masyarakat terhadap partai menjadi pesimis.
Mereka terlalu menggeneralisir bahwa partai tak akan pernah mengakomodir kepentingan rakyat jelata tanpa ada usaha membentuk partai yang mengakomodir kepentingan rakyat jelata atau bahkan terlibat dalam partai yang berpihak terhadap rakyat jelata. Sehingga pola pikir demikianlah yang menganggap bahwa aksi seolah wadah yang bisa mengakomodir seluruh kepentingan dan aspirasi masyarakat. Menganggap aksi seolah jauh dari kegiatan yang sifatnya politis, bahkan percaya bahwa aksi satu-satunya kegiatan yang independen, idealis dan sangat demokratis. Padahal tidak juga! Menurut Jack Sneyder (Guru besar Ilmu Politik Universitas Colombia) dalam bukunya From Voting to Violence Democratization and Nasionalist Conflict (2000) demokrasi harus menuntut partisipasi politik. Dan partisipasi politik harus bersifat demokratis yaitu dengan cara pemilu atau melalui partai politik dan semua tanpa kekerasan. Jika tidak ada partisipasi politik yang demokratis, maka proses demokratisasi hanya akan membawa sebuah negara demokrasi ke arah perpecahan (disintegrasi). Inilah kenapa aksi bukanlah partisipasi politik yang demokratis dan sangat berbahaya bagi proses demokratisasi di Indonesia.
Sumber: Internet
Era reformasi memang telah membuka keran aspirasi selebar-lebarnya. Media telah menjadi pilar demokrasi dan semua warga negara punya hak yang sama di dalam hukum. Pemerintah dituntut untuk menjalankan seluruh kepentingan atas nama rakyat. Dan masyarakat menjadi kontrol berjalannya pemerintahan. Menanggapi aksi yang terjadi tanggal 20 - 21 Mei 2015 dengan tuntutan menurunkan Presiden Jokowi atau sebagainya, bagi saya itu merupakan bentuk aspirasi masyarakat. Dan pemerintah patut untuk mengakomodirnya. Aspirasi rakyat di Indonesia memang dilindungi oleh konstitusi. Tapi bentuk aksi tersebut bagi saya, sebagai mahasiswa Ilmu Politik, merupakan bentuk aspirasi yang tidak demokratis. “Aksi reformasi tahun ’98 ialah bentuk aspirasi”. Itu boleh dan bahkan sangat boleh dilakukan. Namun hal tersebut tetaplah tidak demokratis. Begitupun aksi tanggal 20 - 21 Mei 2015 kemarin. Kita seharusnya paham dengan makna demokrasi dan demokratis. Demokrasi juga mempunyai aturan mainnya, tidak sekadar penyampaian aspirasi semata. Demokrasi memang sebuah sistem yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, namun dalam mencapai kedaulatannya, rakyat perlu bersifat demokratis. Dalam demokrasi, mengaspirasikan kepentingan idealnya harus melalui prosedur-prosedur yang sifatnya demokratis, seperti membuat partai politik untuk mengikuti pemi-
*Penulis adalah Mahasiswa Semester 2 UIN Jakarta
Pendidikan Karakter Berbasis Kesastraan: Sebuah Refleksi Hari Pendidikan Nasional Oleh : Arief D. Hasibuan*
Sumber: Internet
Hari Pendidikan Nasional. Akrab kita sapa Hardiknas, Sabtu 2 Mei kemarin berlalu begitu saja. Anehnya, pendidikan yang katanya sebagai aset terpenting masa depan negara itu tak lagi menarik dan diperbincangkan secara serius. Melalui momentum ini, Hardiknas sepertinya kalah menjual dengan hukuman mati kasus narkoba dan Hari Buruh di mata media. Padahal, memperbincangkan dan mengevaluasi pendidikan di Indonesia akan sangat berpengaruh dalam meretas dekadensi moral yang saat ini merajai bangsa.
Pendidikan selalu saja menjadi bahan tumpuan setiap orang untuk menatap masa depannya yang lebih baik. Kita bisa mengambil pelajaran dari pengalaman Amerika, Jerman, Jepang, dan lainnya yang pernah mengalami keterpurukan. Namun mereka mampu mengatasi keterpurukan itu setelah mereka memperbaiki pendidikannya. Oleh karena itu, kita semua sepakat bahwa pendidikan memang menjadi sebuah kekuatan utama bagi suatu bangsa. Kondisi pendidikan Indonesia sangat beragam. Perubahaan kurikulum
sering kali dilakukan lebih dahulu sebelum buku teks penunjangnya tersedia. Akibatnya, buku-buku teks kemudian dikeluarkan oleh banyak penerbit dengan tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan pasar, mengingat ketergantungan guru terhadap buku teks sangat tinggi. Karena buku teks dibuat tergesa-gesa untuk memenuhi kebutuhan guru di lapangan, maka dalam banyak hal hasilnya sering kali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Seperti kasus-kasus buku yang tak layak dikonsumsi oleh para peserta didik Sekolah Dasar (SD) beberapa waktu lalu. Dihadapkan dengan persoalan seperti itu, mengharuskan peran guru tidak hanya sebagai agent of information saja, melainkan juga berperan sebagai inspirator, motivator, dan fasilitator bagi siswa sebagai pemeran utamanya. Dengan demikian, pembelajaran diharapkan berjalan kreatif dan bergerak dinamis sehingga fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal saja, melainkan mengolah dan mengembangkan keterampilan dan karakter (akhlak). Sumbangsih Sastra Sebagai seorang penikmat sastra yang membaca kehidupan dengan sastra, timbul kesadaran untuk memikirkan bagaimana cara melepaskan bangsa ini dari belenggu karakter yang lusuh, dan dekadensi moral yang tak berkesudahan. Yudi Latif dalam
bukunya Menyemai Karakter Bangsa mengatakan bahwa kesusastraan bisa menjadi wahana persemaian nilai dan praktis moralitas yang efektif. Pendidikan karakter bisa diintroduksikan ke dalam kelas lewat medium kesusastraan dengan keteladanan para pahlawannya. Pada intinya, untuk menanamkan nilai-nilai dasar, siswa harus bisa menemukan teladan yang baik dalam semua aspek kehidupan sekolah. Pengaruh kesusastraan terhadap kehidupan tidak boleh diremehkan. Tokoh-tokoh dalam karya fiksi kerap kali memengaruhi hidup, standar moral masyarakat, mengobarkan revolusi, dan bahkan mengubah dunia. Di Inggris, puisi-puisi Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak SD dalam rangka menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakatnya. Di Swedia, aneka spanduk dibentangkan di hari raya berisi kutipan dari karyakarya kesusastraan. Di Prancis, sastrawan-sastrawan agung menghuni pantheon jejak-jejak singgahnya di beberapa tempat dan diberi tanda khusus. Lantas bagaimana di Indonesia? Dalam sebuah tulisan Putu Wijaya mengatakan bahwa di tahun 1960-an sastra masih menjadi mata pelajaran wajib yang diujikan, digeluti juga oleh para pelajar SMA. Tetapi kini, sastra mendapat ruang sempit dalam kurikulum, sastra seolah menjadi penumpang gelap dalam pelajaran bahasa Indonesia. Seakan diakui namun tidak jelas
keberadaannya. Padahal, bukan tidak mungkin sastra yang dedaktik mampu berkontribusi dalam membangun moral bangsa di tengah pengikisan globalisasi yang bebas nilai ini. Hal sedemikian sangat jelas, mengapa sastra harus dipelajari dan bukan hanya dinikmati, apalagi hanya untuk dihafal. Sastra adalah salah satu peran utama di dalam kehidupan, baik untuk individu-individu/manusia pribadi atau selaku bangsa dalam negara.
“Pendidikan selalu saja menjadi bahan tumpuan setiap orang untuk menatap masa depannya yang lebih baik.” *Penulis adalah Ketua HMJ PBSI UIN Jakarta, Mahasiswa Semester 6 PBSI
opini
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
9
Fenomena Arabisasi Oleh: Waki Ats Tsaqofi*
Sumber: Internet
Di Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) ini, saya ingin meluangkan waktu untuk menulis tentang fenomena arabisasi yang marak di kalangan kelompok-kelompok Islam fundamental radikal. Apalagi, menilik banyaknya perhatian yang tercurah pada isu pembacaan Alquran dengan langgam Jawa akhir-akhir ini, saya kadang berpikir, kok sampai segitunya? Padahal tidak ada yang salah dengan pembacaan Alquran dengan cara seperti itu. Banyak pula orang Sudan, Yaman, Mali, juga melakukan hal serupa. Hal itu tidak diprotes oleh ulama-ulama setempat, bahkan pembacaan Alquran dengan cara ini pernah dilakukan di depan Imam Masjid Nabawi tanpa protes. Jadi kalau dipikir, yang protes itu bukan karena agama, melainkan karena selera. Ahsin Sakho Muhammad menegaskan, cara membaca Alquran merupakan hasil karya seni manusia yang dirangkum dalam kalamullah. Hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam melainkan lahir dari seni budaya masyarakat tertentu. “Ini adalah perpaduan yang baik antara Kalamullah dari langit yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. “Itu sah dan diperbolehkan,” kata Sekretaris Lajnah Pentashih Mushaf
Alquran Kementrian Agama RI, yang juga pimpinan Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon itu, kepada ROL, Ahad (17/5/2015). Terkadang, mereka melihat sesuatu yang diasosiasikan Arab lalu diasosiasikan pula ke Indonesia, mereka tidak nyaman dibuatnya. Selera mereka terusik. Sebetulnya hal itu tidak aneh, mengingat bahwa protes itu datang dari orang yang lebih nyaman memakai sorban dibanding peci. Untuk meneliti akar permasalahannya, saya coba membuka situs radikal untuk mencari alasan kenapa mereka mengutamakan budaya Arab dan benci budaya sendiri? Di situs radikal itu, dikatakan bahwa dalam kelompok radikal, pemimpin pasti orang Arab, karena orang Arab berwatak “pemimpin”. Berarti orang Indonesia dan non-Arab dianggap berwatak babu kali ya? Jadi ingat kisah warga India yang bergabung dengan ISIS,
namun kecewa lantaran malah disuruh bersih-bersih toilet. Pantas saja, giliran butuh umpan peluru komandan ISIS, orang Indonesia diletakkan paling depan dijadikan pengantin bom bunuh diri. Sedangkan orang Arab? Enak-enakan nonton dari monitor. Mungkin terlintas dalam pemikiran kita, kok mau ya? Harus dilihat, fenomena arabisasi ini muncul di kalangan orang-orang yang malu jadi orang Indonesia. Mereka sudah tidak mau memakai peci maupun sarung, lebih cocok
memakai sorban atau kupluk Afghanistan. Bahkan FPI memandang budaya Jawa sebagai “Budaya barbar Ken Arok”. Sehingga tidak aneh bila mereka murka melihat pembacaan Alquran dengan langgam Jawa tersebut. Karena ujung-ujungnya mereka “tidak nyaman”, mereka benci sekali dengan budaya asli Indonesia. Langgam Jawa sudah dinilai sah oleh banyak ulama, asalkan tajwidnya benar (baca http://www.islamtoleran. com/bagaimana-hukum-bacaan-al-quran-dengan-langgam-jawa-menurut-ulama-al-azhar/). Beda dengan pengikut arabisasi. Momen Harkitnas ini sangat tepat agar kita bangkit sebagai muslim Indonesia (Islam Nusantara) dan menolak kepicikan penganut arabisasi. Hingga para korban arabisasi m e n g a takan bahwa semua manusia merupakan keturunan bangsa Arab. Memang Rasulullah dan para nabi dilahirkan di
Editorial
Salam Hari Kebangkitan Nasional
* Penulis adalah Mahasiswa Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora
BANg Peka
Buru-buru WCU Niat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menuju universitas kelas dunia (UKD) tampaknya menemui jalan terjal. Belum lama ini, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) melayangkan teguran lantaran putusan UIN Jakarta yang membuka fakultas baru (FSDAL) tanpa izin. Imbasnya, UIN Jakarta tahun ini sepertinya tidak akan menerima mahasiswa baru di fakultas baru tersebut. Merujuk opini di Tabloid Institut edisi 28, Maret 2013 berjudul “Menyoal Demam Kampus Kelas Dunia” yang ditulis Fahrus Zaman Fadhli, dosen Universitas Kuningan, menarik untuk dicermati. Fahrus yang juga mengutip pernyataan Profesor Conrad W. Watson tentang “demam kampus kelas dunia” itu mempersoalkan kesalahan yang kerap dilakukan banyak pemimpin di negeri kita. Tulisan itu, akhirnya mengerucut pada sebuah pernyataan: tidak mampu menempatkan prioritas terpenting dan mendesak, dari kebutuhannya sendiri. Menyoal Fakultas Sumber Daya Alam dan Lingkungan (FSDAL), tentu tak lepas dari rencana strategis (renstra) UIN Jakarta sampai 2021 yang hendak menuju World Class University (WCU). Pertanyaannya, apakah langkah membuka FSDAL itu benar menjadi prioritas yang harus terlebih dulu diambil UIN Jakarta? Dan jika merujuk pada pernyataan Prof. Watson, ada dua pilihan yang juga harus diambil UIN Jakarta, pemerataan atau pertumbuhan? Kiranya dua pertanyaan itulah yang harus terlebih dulu terjawab. Memang, sebagai universitas berakreditasi A, UIN Jakarta berhak membuka fakultas atau prodi baru. Namun dengan melihat skala prioritas, langkah itu patut mendapat perhatian khusus. Pasalnya, tak mudah memenuhi standar untuk menyandang universitas kelas dunia. Beberapa standar yang harus terpenuhi itu misalnya, 40% tenaga pendidik bergelar Ph.D., minimal dua artikel yang harus dipenuhi staf pengajar per tahunnya, jumlah mahasiswa pasca yang harus 40% dari total populasi mahasiswa, anggaran riset minimal Rp 1,5 miliar per staf setiap tahunnya, jumlah mahasiswa asing lebih dari 20%, dan sebagainya. Sementara dengan melihat UIN Jakarta yang hanya mampu bertengger di posisi 20 nasional, memenuhi semua kriteria UKD itu tidaklah mudah. Posisi itu masih terbilang jauh untuk ukuran nasional. Universitas Indonesia, yang di nasional berada di posisi kedua, hanya mampu bertengger di posisi 400-an di level internasional. Wajar, jika langkah UIN Jakarta membuka fakultas baru, dianggap belum mampu mendahulukan prioritas. Tingkat penelitian dosen misalnya. Kini, UIN Jakarta masih terbilang rendah di wilayah itu. Mengambil sampel tahun 2014 lalu, dosen UIN Jakarta hanya mampu meloloskan 108 proposal penelitian dosen dari total 284 yang disediakan. Belum lagi melihat kualifikasi dan jumlah profesor, jumlah mahasiswa asing yang hanya berjumlah 102 dari sekitar 25.000 ribu mahasiswa UIN Jakarta, pula dosen yang tak memenuhi beban kerja, dan lain-lain. Bak panggang jauh dari api. Begitu kira-kira. Indonesia pernah mencatat sejarah kelam di masa Orde Baru lantaran Soeharto harus memilih pertumbuhan negara ketimbang pemerataan di semua sektor kerakyatan. Banyak kalangan yang menilai, pilihan itulah yang akhirnya membawa Indonesia pada krisis ekonomi pada Juli ’98. Akankah UIN Jakarta tertimpa nasib yang sama?
Jazirah Arab. Tapi perlu diingat, Jibril dan para Malaikat bukanlah orang Arab. Ukuran Muslim adalah takwa, bukan Arab. Orang Arab belum tentu lebih kaffah ilmunya dibanding kiai dari Indonesia. Penganut arabisasi sebetulnya memiliki misi penghapusan budaya. Kenapa? karena bangsa tanpa identitas lebih mudah untuk mereka ambil alih. Budaya Indonesia yang heterogen memancarkan toleransi dan moderat, tidak sesuai dengan misi kelompok-kelompok radikal Arab tersebut. Karena itu mereka membencinya. Akhir kata, saya sarankan agar kita semua menuruti nasehat Gus Dur berikut ini. ‘Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk Aku jadi ana, Sampean jadi antum, dan sedulur jadi akhi. Kita pertahankan budaya kita, ambil ajarannya bukan budayanya.
“Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.” H.O.S Tjokroaminoto (1882-1934)
TUSTEL
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
10
Pendidikan Anak Bangsa Foto dan Teks: Erika Hidayanti
Pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun, di negeri merdeka ini masih banyak anak-anak yang belum bisa mengenyam pendidikan. Bahkan, di jalanan kota bisa dengan mudah kita temukan anak yang putus sekolah. Entah salah siapa. Sanggar Kreatif Anak Bangsa (SKAB) adalah salah satu sekolah non-formal bagi anak-anak jalanan. Sekolah yang sudah beberapa kali digusur ini, kini mengadakan kegiatannya di dekat jalan layang, Pasar Ciputat. Empat kali sudah sekolah anak jalanan ini mesti berpindah tempat. Bahasa Inggris, teater, seni lukis, menulis, dan agama adalah hal-hal yang dipelajari murid SKAB setiap minggunya. Di sela-sela waktu mengamennya mereka menyempatkan diri untuk belajar. Semangat tinggi mereka untuk menikmati pendidikan terlihat di antara sorot mata polosnya. Pendidikan non-formal seperti ini adalah salah satu jalan mencerdaskan anak bangsa. Mereka tak perlu banyak sorotan yang sesaat. Harapan mereka tak muluk-muluk, hanya ingin belajar di tempat yang layak.
Menulis
Berdialog Bahasa Inggris
Foto: Erika/Ins
Foto: Erika/INS
Foto: Erika/INS
Membimbing
Mengajar
WAWANCARA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
11
Kelas Internasional Minim Perhatian Sudah hampir dua tahun kelas internasional di beberapa fakultas dihapuskan. Kualitas mahasiswa jadi alasan. mendapat haknya seperti laptop. Apa tanggapan Anda? Kalo soal laptop, itu disesuaikan dengan kebijakan Kementrian Keuangan (Kemenkeu) yang melebihi pagu yang ditentukan, seperti laptop. Kalau dulu apa saja boleh, tapi sekarang uang untuk itu tidak di-
Sebenarnya apa alasan UIN Jakarta membuka kelas internasional ? Kelas internasional dibuka karena UIN Jakarta ingin menjadi World Class University (WCU). Tahun 2007, baru empat fakultas di UIN Jakarta yang bisa merealisasikan adanya kelas internasional yakni, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB), FST dan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Bedanya dengan kelas reguler? Perbedaan yang paling menonjol yaitu ruang kelas ber-AC. Ada juga ruang khusus public speaking di lantai 4 atau student lounge. Tak hanya itu, mahasiswa kelas internasional juga akan mendapatkan double degree. Misalnya, ada salah satu mahasiswa kelas internasional dari FST yang melanjutkan kuliah ke Amerika. Selain itu, ada juga fasilitas wi-fi untuk mahasiswa kelas internasional di lantai 4 ruang khsusus kelas internasional. Mahasiswa kelas internasional juga mendapatkan bahasa pengantar Bahasa Inggris di kelas. Mahasiswa kelas internasional
Belanja Aksesoris Trendi dan Nyablon Kaos Cepat Aksesoris digunakan sebagai perhiasan dan menambah keindahan bagi pemakainya. Aksesori juga pelengkap untuk memaksimalkan penampilan. Begitu pun ketika Anda kuliah. Jika Anda ingin tampil fashionable tanpa harus menguras kocek yang banyak, Annisa Accessories hadir untuk memberikan solusinya. Annisa Accessories menjual aneka pernak-pernik handmade seperti kalung dan gelang. Aksesoris ini memiliki khas tersendiri dan bergaya trendi, sehingga cocok dipakai untuk siapa saja dan untuk busana apa saja. Selain itu, penjual juga menyediakan souvenir lain seperti gantungan kunci. Merek aksesoris hasil tangan salah satu mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini terjangkau bagi kantong mahasiswa yaitu kisaran Rp15.000 sampai Rp120.000. Tak perlu khawatir, dengan tangan yang terlatih, Annisa Accessories menyediakan lebih dari 30 jenis model. Model kalung dan gelang tersebut antara lain, gelang kristal setengah
anggur, gelang payet, gelang mutiara anggur, kalung dan gelang batu pirus dan lain sebagainya. Jika Anda masih belum puas, model pernak-pernik, warna dan ukuran yang Anda inginkan pun dapat di-request langsung. Hasil kreatifitas tangan Annisa, sang pemilik online shop, sudah tak diragukan lagi karena produknya kerap menjadi sponsor untuk acara-acara yang diselenggarakan oleh mahasiswa UIN Jakarta. Merek aksesoris yang menjadikan Putri Muslimah 2014, Melly Baskarani, sebagai brand ambassador ini, juga membuka lowongan untuk menjadi reseller. Mudah saja, syaratnya hanya melakukan pemesanan minimal Rp150.000 dan setelah itu langsung terdaftar sebagai reseller baru. Jika Anda tertarik untuk membeli atau sekedar bertanya, Anda bisa mengecek katalog di akun Instagram @annisa_ accessories. Pemiliknya ini pun dapat langsung dihubungi di 08132005-4655 (Annisa) atau pin BBM 53703CEE.
TomBriant.com Anda mencari tempat penyablonan kaos dengan harga terjangkau? Atau mencari jasa penyablonan cepat? TomBriant.com kini menjadi jalan keluar bagi Anda. Berlokasi di Pasar Modern Pondok Cabe Blok D2 no. 9, Tangerang Selatan, TomBriant.com menyediakan jasa sablon kaos digital. Teknik yang digunakan dalam usaha sablon kaos ini ialah digital printing sehingga proses penyablonan dapat berjalan dengan cepat dengan kualitas yang memuaskan. Ada empat jenis kaos yang ditawarkan yakni v-neck, o-neck, raglan, dan kaos anak. Semua jenis kaos yang disediakan berbahan 100% katun sehingga nyaman dipakai. Kisaran harga sablon kaos juga terjangkau yaitu Rp60.000-Rp120.000. Menariknya, kita bisa sablon kaos menggunakan foto pribadi dan juga dapat mendesain kaos sendiri. Bagi anda yang ingin bertanya atau melakukan pemesanan bisa menghubungi 0852-2205-8683 atau pin BBM 794906C5.
bolehkan. Sejak kali pertama dibuka, bagaimana Anda melihat kelas internasional saat ini? Semakin hari, peminat kelas internasional di FISIP, FEB, dan FSH semakin sedikit. Berbeda dengan di FST yang tiap tahunnya masih stabil dan tidak mengalami penurunan. Meskipun, di tahun 2013, FST akhirnya menutup kelas internasional. Hal itu karena kebijakan yang diterapkan di FST yakni menginternasionalkan kelas reguler. Jadi, mahasiswa kelas reguler saat ini bisa memiliki kesempatan untuk mendapatkan fasilitas dengan mahasiswa kelas internasional. Misalnya, student exchange, joint double degree, dan riset ke luar negeri. Alasannya, mahasiswa reguler mampu membuktikan bahwa mereka mampu menguasai bidang tersebut. Di FST, sejak 2013 kelas internasional dihapus, apa alasannya? Ada tiga alasan. Pertama, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) mahasiswa yang kurang bagus, kami juga punya rencana menginternasionalkan kelas reguler di FST. Kemudian, ada pula mahasiswa yang masuk kelas internasional bukan karena kelas internasional menjadi pilihan
utama, tapi cadangan. Penutupan kelas internasional yang di FST ini juga berdasarkan keputusan para dekan untuk meregulerkan kelas internasional. Belum lagi, banyak mahasiswa yang akhirnya pindah ke kelas reguler. Artinya, kelas internasional akan diregulerkan? Nah itu, karena sudah lama ditutup hampir dua tahun. Jadi, nuansanya sudah tidak ada. Paling nanti kami ingin menginternasionalkan kelas reguler biar kualitasnya semakin baik. Jadi, nantinya kelas reguler akan menjadi kelas internasional baru. Tapi biayanya masih sama seperti kelas internasional atau kelas reguler? Mengenai hal itu, masih belum bisa dibicarakan sekarang. Saat ini, kami masih mengurus hal-hal teknis, setelah itu baru dekan-dekan yang memiliki kelas internasional akan mendiskusikan masalah biaya. Lalu, bagaimana dengan nasib mahasiswa kelas internasional saat ini ? Mahasiswa kelas internasional yang ingin pindah bisa menggunakan salah satu cara, yaitu mengikuti daftar ulang dan ujian mandiri. Nantinya, mahasiswa internasional itu mengulang dari awal, tapi nilai dapat dikonversi jika mata kuliahnya sama. Biasanya nilai yang masih bisa dikonversi hanya mata kuliah kasar umum (MKDU) seperti Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Selain MKDU, mahasiswa kelas internasional dianjurkan mengulang pada semester sebelumnya. Selain itu uang kuliah kelas internasional lambat laun akan disesuaikan. Meski hal itu juga masih harus didiskusikan kembali.
Sumber: internet
tersebut biasanya juga mengikuti Praktik Kerja Lapangan (PKL) di negara mitra, seperti Internasional Islamic University of Malaysia (IIUM) dan Deakin University, Australia. Ditambah adanya kegiatan unggulan dari kelas internasional yaitu, visiting study dan field trip. Tentang beberapa pengakuan mahasiswa kelas internasional yang tidak lagi
REKOMENDASI
Foto: Jeannita/INS
Delapan tahun sudah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullh Jakarta membuka kelas internasional. Namun, nasibnya tak tentu arah. Enam prodi dari empat fakultas yang membuka kelas internasional itu kini sudah resmi ditutup. Fakultas Sains dan Teknologi (FST) salah satunya. Namun, bagaimana sebenarnya perjalanan kelas internasional sampai akhirnya harus gulung tikar? Berikut hasil wawancara Reporter Institut dengan Dekan Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Agus Salim, Rabu (20/5).
RESENSI
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
12
Menyusuri Cerita Pahit di Balik Kematian Erika Hidayanti Di balik mereganganya nyawa seseorang kadang masih tersimpan banyak misteri: terbunuh atau dibunuh. Melalui pisau tajam forensik, Mun’im Idries mencoba mengupasnya satu per satu.
Sumber: Internet
Judul : Indonesia X-Files, Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno Sampai Kematian Munir Penulis : dr. Abdul Mun’im Idries, Sp.F Penerbit : Noura Books Cetakan : Juni, 2013 Tebal : 334 hlm
Tubuh Marsinah, buruh wanita itu ditemukan tewas di hutan wilayah Nganjuk, Jawa Timur pada 8 Mei 1993 silam. Oleh banyak pihak, kematian buruh di PT. Catur Putra Surya (CPS) masih menyimpan misteri sampai 21 tahun pascakematiannya. Masih belum jelas siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kematian Marsinah. Mayat Marsinah yang saat itu penuh luka kemudian diautopsi. Rumah Sakit Umum daerah (RSUD) Nganjuk dan RSUD Dr. Soetomo terlibat dalam pemeriksaan mayat Marsinah. RSUD Nganjuk menerbitkan visum et repertum (VR) yang menyimpulkan aktivis buruh Orde Baru itu tewas karena pendarahan dalam rongga perut. Sedangkan RSUD Dr. Soetomo, mengatakan Marsinah tewas karena kekerasan benda tumpul. Dalam VR, mestinya dijelaskan jenis kekerasan yang dialami korban, bukan bendanya. VR juga harus menyebut penyebab kematian, seperti tusukan atau cekikan, bukan cara kematian seperti pendarahan, kehabisan nafas, atau kecacatan organ tubuh dalam. Simpulannya, hasil VR yang diterbitkan RSUD Nganjuk dan RSUD Dr. Soetomo dinilai tak lazim. Seorang dokter ahli forensik Indonesia, Abdul Mun’im Idries kemudian memiliki kesimpulan berbeda dengan kedua VR yang diterbitkan kedua rumah sakit itu. Mun’im, menyimpulkan tulang kemaluan Marsinah hancur berkeping-keping karena luka tembak,
bukan kekerasan benda tumpul seperti yang yang disimpulkan RSUD Dr. Soetomo. Lain lagi dengan kasus kematian Soekarno. Presiden Indonesia pertama ini meninggal di Wisma Yaso pada Juni 1970. Kesimpulan tim dokter yang menangani Bung Karno menyatakan, ia meninggal karena penyakit ginjal yang sudah lama dideritanya. Menurut mereka, fungsi ginjal yang hanya tinggal 25% menyebabkan Soekarno semakin lemah karena terus menerus mengonsumsi obat-obatan. Bukan hanya faktor kesehatan fisik yang ternyata menjadi penyebab kematian Sang Proklamator, Mun’im menyimpulkan, pengucilan dan perhatian yang kurang juga menjadi salah satu penyebab kematian Bapak Proklamator itu. Saat itu, Bung Karno memang seolah sengaja diabaikan dengan tinggal di wisma. Dengan kata lain, Bung Karno sengaja dibunuh perlahan dengan cara penekanan secara psikologis. Kedokteran forensik adalah cabang ilmu kedokteran yang digunakan dalam membantu penyidik mengungkap penyebab kematian seseorang. Inilah salah satu cara ilmiah untuk mengungkap kebenaran dalam proses peradilan. Mun’im Idries banyak menangani kasus kematian tak wajar. Melalui keahliannya, ia mencoba menjadi saksi ahli dan memberikan penilaian tentang suatu tindak pidana. Dalam perjalanannya, tak jarang pernyataannya menimbulkan kontroversi.
Selain kematian Marsinah dan Soekarno, dalam buku X-Files, Mun’im juga memberi kesimpulan berbeda terhadap kematian salah satu pejuang Hak Asasi Manusis (HAM), Munir Said Thalib yang meninggal dalam perjalanan menuju Amsterdam Belanda ketika hendak melanjutkan studi S2-nya di sana, 2004 silam. Menurut Mun’im, dalam bukunya, Munir meninggal karena racun arsenik yang dituangkan dalam kopinya ketika singgah di bandara Changi, Singapura. Kesimpulan itu berbeda dengan kesim pulan awal, bahwa racun arsenik itu dituangkan dalam jus jeruk saat Munir berada dalam pesawat. Mun’im juga melakukan penelusuran terhadap kasus yang terkesan ditutup-tutupi itu. Misalnya, ia merasa janggal pada Pollycarpus yang saat itu mengaku ditugaskan mengecek keadaan peswat, padahal ia seorang pilot, bukan teknisi. Selanjutnya, dari sekian banyak kamera CCTV di bandara Soekarno-Hatta hanya dua yang berfungsi, Mun’im kemudian menjelaskan adanya keterlibatan pihak Garuda dan pihak lain dalam kasus ini. Dalam buku setebal 334 halaman ini, Mun’im Idris juga mengungkap bagaimana kejamnya psikotropika dapat merenggut nyawa banyak orang. Tak lama setelah pengungkapan kasus-kasus janggal dalam buku yang terbit pada Juni 2013 , Mun’im meninggal pada Oktober 2013—lima bulan pasca buku itu terbit.
Kisah Rakyat di Perbatasan Thohirin Hidup di perbatasan dan jauh dari pusat kota, membuat sebagian besar penduduk Entikong lebih banyak mendapat akses kehidupan dari negeri seberang—Malaysia. Film ini mengisahkan sebuah dikotomi hitam-putih kehidupan rakyat di perbatasan.
Sumber: Internet
sekolah. Ia hanya dibantu satu staf yang bertugas mengontrol kelas jika Martini memberi pelajaran di kelas lainnya. Tiga ruangan kelas yang ada di sekolah itu,disekat oleh pintu untuk keluar masuk. Dengan itu, Martini bisa
dengan mudah memberikan pelajaran pada seluruh kelas.
“Saya (mengajar) di sini karena memang betul-betul membutuhkan seorang guru. Betul-betul membutuhkan seorang pendidik,” ujar Martini yang sudah delapan tahun menjalani profesinya itu. Martini asli warga Semanggit, Kecamatan Entikong. Dari semanggit menuju Badat, Martini harus menempuh perjalanan sungai selama 8-12 jam dengan menggunakan sampan yang menjadi satu-satunya alat transportasi yang menghubungkan beberapa desa di Kecamatan Entikong. Di Badat, ia tinggal di sebuah rumah kayu hampir lapuk yang tidak jauh dari sekolah tempatnya mengajar. Hanya berjarak beberapa meter dari sekolah. Rumah itu Martini dapat dari dinas pendidikan setempat karena rumah tempat ia tinggal berada jauh dari sekolah. Pendidikan, adalah sedikit dari sekian banyak persoalan bagi warga di banyak dusun di Entikong. Kisah lain datang dari Kusnadi, suami Martini yang berprofesi sebagai mantri. Kusnadi adalah warga Dusun Suru Enkaduk, Prapatsam, Entikong. Berbeda dengan sang istri yang banyak mengabdikan diri dalam ruangan, sebagai mantri, Kusnadi harus pergi dari satu desa ke desa lainnya dengan berjalan kaki. Seperti halnya pendidikan, keseha-
l Bata Tapa i Dari d Cerita : Wisnu A l: u d Ju dara Sutra hun: 2012 it a T men si: 57 menter Dura u : Dok re n e G
tan juga menjadi barang mahal di banyak dusun di Entikong. Dusun Gun Jemak salah satunya. Minimal sekali dalam sebulan, Kusnadi mendatangi dusun itu untuk memberi pelayanan kesehatan pada warga. Karenanya, kedatangan Kusnadi ke dusun itu telah menjadi anugerah tersendiri bagi warga di sana. Betapa tidak, untuk memperoleh pelayanan kesehatan saja, warga Gun Jemak harus pergi ke pusat Kecamatan Entikong dengan berjalan kaki, dan menyusuri sungai selama 4-5 jam. Dalam sekali perjalanan itu, mereka harus mengeluarkan uang Rp 1-2 juta. Mulai untuk membayar transportasi perahu, ojek, makan, dan minum selama perjalanan. Cerita dari Tapal Batas merupakan film dokumenter yang meneropong kehidupan warga di beberapa dusun di Kecamatan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat. Film produksi Keana Production ini mengangkat sebuah pola hidup, budaya, dan tradisi kehidupan warga negara Indonesia di daerah perbatasan. Lewat film berdurasi 57 menit ini, Wisnu Adi, sang sutradara melihat
Sumber: Internet
s
Martini, pagi itu sudah duduk di muka pintu rumah kayunya sambil melihat murid-murid sekolah dasar yang mulai berdatangan. Sesekali ia melempar senyum pada mereka yang tak lain adalah anak didiknya. Para murid itu, datang mengenakan seragam putih yang sudah agak kecoklatan dengan kaki yang dialasi sandal jepit. “Jadi kita adalah negara Indonesia atau disebut NKRI. Apa itu NKRI?” tanya Martini pada mereka dalam sebuah upacara bendera pagi itu. “Negara Kesatuan Republik Indonesia,” sebagian kecil di antara mereka menjawab, sementara sisanya hanya diam. melongo. Tak memperhatikan. Atau memang tidak mengerti apa yang ditanyakan gurunya itu. Sekolah Dasar Negeri 14 Badat— begitu tertulis di papan nama yang menempel di dinding sekolah—berada di dusun Badat Baru, Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat—sebuah dusun terluar di perbatasan Indonesia-Malaysia. Bangunan sekolah itu sebagian besar berbahan dasar kayu. Memiliki tiga ruangan yang masing-masing sekat ruangannya terdapat pintu untuk keluar-masuk Martini memberi pelajaran pada semua kelas. Di sekolah itu, Martini menjadi satu-satunya pengajar, sekaligus menjabat kepala
bahwa pendidikan, transportasi, atau kesehatan hanya beberapa dari sekian banyak masalah itu. Wajar, jika yang demikian itu berpengaruh pada perekonomian warga di sana. Merasa terisolir, walhasil tak sedikit penduduk yang akhirnya mencari akses ke negeri tetangga (Malaysia) untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masalah infrastruktur menjadi persoalan lumrah bagi banyak warga di sana. Sayangnya, bukan hanya kebutuhan pokok yang mereka cari di sana, bahkan tak sedikit warga dusun sekitar perbatasan yang akhirnya beralih warga negara. Pada 2011 silam, Equator, salah satu media lokal di Pontianak, Kalimantan Barat mencatat sebanyak 61 penduduk Dusun Gun Jemak, Desa Suruh Tembawang, Entikong, berpindah menjadi warga negara Malaysia. Dan benar, faktor minimnya infrastruktur di negeri sendiri menjadi sebab utama banyak di antara mereka yang akhirnya kepincut pada negara tetangga. “Saya memang warga negara Indonesia, tapi saya tidak kenal Indonesia,” ujar salah satu warga yang tidak disebutkan namanya itu.
SOSOK Bunga Ade Tama
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
13
Melawan Rasa Takut
Nur Hamidah
dengan menggunakan bahasa asing,” tambahnya. Menguasai dua bahasa asing –Inggris dan Jepang— membuat gadis bungsu dari empat bersaudara ini pun semakin memukau di mata juri. Selain kemampuan berbahasa asing, ia menampilkan tari Praben Radin yang dipadukan dengan gerakan Taekwondo dalam malam bakat. Gadis yang mengagumi sosok Soekarno ini berujar, tarian berasal dari Jawa Timur itu memiliki gerakan-gerakan yang dibuat kaku, sehingga menyerupai taekwondo. Demi pertunjukkan yang sempurna, Bunga butuh waktu satu minggu untuk mempersiapkan penampilannya. “Awalnya sih sempat minder juga karena peserta lain punya banyak bakat yang keren. Ditambah malam bakat itu menjadi titik poin seorang peserta masuk 10 besar atau tidak. Tapi aku coba menampilkan tari Praben Radin dengan baik.” Tak banyak yang tahu, gadis kelahiran 17 September ini telah menekuni dunia taekwondo sejak SMP. Ia juga sudah meraih sabuk biru slip merah. Sebelumnya, emas dan perak telah ia raih pada Modus Open yang diselenggarakan di Popki, Cibubur tahun 2010. “Dulu sempat ikut Hapkido—gabungan dari Jujitsu, takewondo, dan karate—sampai sabuk biru, tapi keluar. Sebelumnya juga masuk ke kelompok taekwondo sampai sabuk kuning,” ujar-nya. Sebelum akhirnya vakum dari
dunia beladiri, Bunga sebenarnya sangat ingin melanjutkan ke tingkat sabuk yang lebih tinggi. Namun, kini ia hanya dapat latihan beberapa kali saja dalam satu minggu karena kesibukannya yang lain. Memiliki bentuk fisik yang ideal dan pengetahuan yang luas belum juga membuat Bunga percaya diri menghadapi kontes ini. Ia mengaku rasa minder yang kerap kali datang membuatnya tidak bersemangat. Namun, ia teringat sosok sang ibu yang selalu menyema- ngatinya dan ikut berjuang dari awal kontes hingga masuk masa karantina. “Cuma Ibu, yang bisa memompa semangat aku sampai saat ini,” tegasnya. Di saat peserta lain memimpikan kemenangan dalam kontes ini, tidak halnya dengan Bunga. Awalnya ia tidak berniat mengikuti ajang Putri Muslimah Indonesia ini. Namun, orang tua dan teman-temannya menyarankan agar ia juga ikut mendaftar. Akhirnya, setelah melalui proses seleksi dan masuk dalam tiga besar, Bunga mendapat banyak pelajaran. “Aku jadi paham bagaimana menghargai waktu. Dengan bertemu banyak orang yang memiliki potensi yang bagus, Aku juga belajar bagaimana menimbulkan rasa percaya diri,” terang-nya. Selain menjadi runner up 2 Putri Muslimah Indonesia, Bunga juga pernah mengikuti ajang Muslimah Model Icon di Indonesia Fashion Week tahun 2015. Ajang ini merupakan pertama kalinya ia terjun ke dunia fashion.
Pengajar Muda Peduli Anak Pedalaman Maulia Nurul
Pendidikan hakikatnya dibutuhkan oleh semua insan tanpa kenal jarak dan waktu. Pula, posisi pengajar menjadi sosok penting dalam kegiatan belajar mengajar.
Keramaian suara siswa di kelas berdinding bambu itu terdengar jelas. Antusias kedatangan guru-guru baru menjadi daya tarik tersendiri bagi para siswa di sekolah pedalaman. Para guru baru tersebut berkenalan, bercerita, mengajar, dan membagikan hadiah berupa peralatan sekolah. Rona kegembiraan terlihat dari wajah para siswa karena dihadiahi buku tulis dan pensil baru. Semangat untuk belajar semakin tergambar dari nada bicara siswa pada para guru barunya yang masih muda. Bagi guru-guru tersebut, usia belia tak menjadi penghalang untuk mengajar di daerah pedalaman yang minim infrastruktur dan jauh dari akses informasi serta transportasi. Bagaimana tidak, pendidik berusia 17-35 tahun itu sampai harus merogoh kocek sendiri untuk biaya akomodasi perjalanan dan keperluan mengajar. Awalnya founder komunitas ini, Jemi Ngadiono membagikan cerita tentang kehidupan anak sekolah pedalaman saat dirinya bertugas menjadi videographer film dokumenter di luar kota. Respon
positif pun diterima Jemi dari masyarakat pengguna media sosial setelah ia membagikan video tersebut melalui Youtube, Twitter, dan Instagram. Komunitas 1000 Guru didirikan untuk mengajak anak muda agar menjadi pengajar di pelosok negeri. Salah satu program komunitas ini adalah program Teaching and Travelling (TNT), di mana para guru dapat mengajar anakanak pedalaman sambil jalanjalan berwisata alam. “Anak muda sekarang banyak yang suka travelling, tapi mereka enggak memikirkan bahwa di sekitar tempat travelling ada yang membutuhkan uluran tangan,” jelas Tuti Alawiyah, salah satu tim inti komunitas yang berdiri sejak Agustus 2012 itu, Rabu (20/5). Konsep komunitas ini ditujukan untuk pemuda-pemudi yang memiliki rasa kepedulian tinggi. Meski biaya program dibebankan kepada peserta, tak sedikit orang yang ingin bergabung. Program TNT yang ditargetkan rutin setiap bulan, kata Tuti, melibatkan 30 peserta untuk satu kali acara. Untuk mengatasi banyaknya pe-
serta, pendaftaran hanya dibuka dalam waktu singkat, misalnya dua atau tiga hari. Tak ada penyeleksian untuk peserta pendaftar menjadi pengajar. Namun, mereka yang sehat fisiknya, peduli pada pendidikan dan memiliki penghasilan, maka peserta itu berpeluang untuk bergabung dalam komunitas ini. Tuti mengatakan, “Kalau orang mau daftar, berarti ia ingin membantu dan berbagi. Jadi kita tidak menyeleksi peserta dengan ketat.” Hal itu pula yang dijadikan prinsip oleh founder komunitas yang berpusat di Jakarta ini. Program TNT paling tidak menghabiskan waktu 3 hari yaitu pada Jumat, Sabtu, dan Minggu. Pada program TNT, peserta dibagi menjadi enam kelompok yang masing-masing terdiri dari lima orang. Setiap kelompok ditugaskan mengajar di kelas yang berbeda-beda. Materi ajar yang diberikan pun bebas dan selalu menggunakan alat peraga. Setiap pengajar melakukan pendekatan kepada para siswa dengan menggunakan metode dis kusi dan sharing. Pengajar juga memotivasi semua siswa di kelas
Nama : Bunga Ade Tama Ttl : Jakarta, 17 September 1993 Jurusan : Psikologi (2011) Fakultas : Psikologi Semester :8 Riwayat pendidikan : - Mts 3 Pondok Pinang - SMAN 29 Jakarta - UIN Jakarta
Komunitas agar terus semangat belajar. Hadiah seperti buku dan alat tulis pun dibagikan cuma-cuma kepada siswa. Selain TNT, 1000 Guru juga memiliki program lain yaitu Beasiswa Guru Pedalaman dan Hormati Gurumu. Beasiswa tersebut ditujukan untuk guru lokal yang berdedikasi tinggi di sekolah pelosok namun tak mendapat gaji layak. Sedangkan program Hormati Gurumu dilaksanakan untuk anak-anak sekolah di Jabodetabek. Program ini merupakan moral campaign yang menekankan bagaimana siswa-siswa menghormati guru saat di sekolah. Niat mulia peserta rupanya tak sebatas sampai program dilaksanakan. Beberapa alumni 1000 Guru tetap memantau kondisi sekolah yang pernah dikunjunginya.
Hal itu dapat dilakukan secara pribadi atau mengatasnamakan komunitas 1000 Guru. Tak hanya itu, banyak peserta yang dulunya bergabung menawarkan diri untuk membuka cabang regional 1000 Guru. Itulah yang kemudian menyebabkan komunitas ini kini mempunyai 16 cabang yang tersebar di beberapa kota di Pulau Jawa, Sumatera, dan NusaTenggara Timur (NTT). Tak cukup 16 cabang, saat ini alumni peserta tengah membuka cabang di Papua. Dengan tersebarnya cabang di beberapa kota, Tuti mengharapkan eksistensi komunitas ini tetap terjaga. “Menjaga eksistensi setiap cabang membutuhkan usaha yang susah. Maka, kita tak menargetkan banyak cabang yang berdiri,” jelas Tuti saat ditemui di kantornya.
Sumber: instagram.
Terpilih menjadi runner up 2 Putri Muslimah Indonesia tahun 2015 merupakan pengalaman berharga bagi gadis kelahiran Jakarta, 22 tahun lalu itu. Bunga Ade Tama mengaku ditantang agar memiliki mental yang kuat dan pengetahuan yang luas. Selain itu, ia juga merasa bakatnya terasah dengan kontes tersebut. Bunga, biasa ia dipanggil, menjadi salah satu perwakilan dari Jakarta pada kontes yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta. Setelah mendaftar pada ajang itu, ia mengikuti tahap demi tahap tes yang harus dijalani. Pada tahap awal, ia menjalani tes tulis berisi 25 soal pilihan ganda dan lima soal esai. Ia mengatakan, pertanyaan yang diberikan seputar tajwid, surat dalam Alquran, dan pengetahuan umum. Sedangkan, soal esai itu berisi pendapat tentang isu-isu terkini seputar jilboobs, ISIS, dan lainnya. “Sebenarnya dalam tes tulis ini aku enggak kesulitan. Tapi ketika hanya diberikan waktu 10 menit, kita semua kelabakan,” ceritanya, Jumat (22/5). Setelah dinyatakan lolos pada tahap tulis, ia langsung menjalani tahap wawancara dengan pihak produksi. Wawancara ia mulai dengan memperkenalkan diri sebagai Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Jakarta. Lalu, juri bertanya mengenai pengetahuannya sesuai dengan latar pendidikannya. Salah satu kasus psikologi yang ditanyakan terkait anak autis. “Selain itu, mereka juga memintaku untuk berbicara
Dok. Pribadi
Rasa minder sempat membuatnya tidak semangat menjalani masa karantina. Namun seiring dukungan yang terus berdatangan, akhirnya ia melaju ke babak final.
Anak-anak SD Moro Dewe, Kabupaten Mesuji, Lampung menyambut hangat kedatangan pendidik dari komunitas 1000 Guru. Komunitas ini rutin mengadakan program bersama anak-anak sekolah.
SASTRA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
Palsu
14
Cerpen
Oleh: Uus Mustar*
halus kulitnya, lekak-lekuk tubuhnya, getaran suaranya sampai kau mengerti benar akan dirinya. Kau begitu dekat dengan Valla. Hampir tiap hari kau relakan waktu bersama untuknya, di antara padat aktivitas harianmu. Setengah hingga dua jam, waktu yang lumayan banyak untuk menemuinya, menurutmu. Kau bahkan menyesal jika dalam sehari tak bertemu, bermesraan dengannya. Begitu tuturmu. Sejumlah orang yang tak begitu kenal baik dengan Valla, selalu kagum padamu. Betapa besar cintamu padanya. Kau disanjung, dipuja-puja. Kau nikmati pujian itu, melayangkanmu entah kemana. Kebersamaan tanpa syarat, komentar mereka. Namanya juga cinta, ujarmu mencoba merendah. Empat bulan, lebih barangkali, kau sudah akrab dengannya. Kau juga sering bepergian besamanya. Tanpa malu, tanpa ragu. Katamu, kau sudah lihai membelai lehernya dengan rambut ekor kuda. Kau pun bangga akan hal itu. Cintamu pada Valla kian ber-
bunga. Tiba di sore di mana kau terburu-buru karenanya. Mengejar waktu untuk menemui dokternya, dokter alat musik gesek. Jam dua, dokter akan beranjak pergi dari tem-
Sumber: Internet
Kau jatuh cinta padanya sejak pandangan pertama, entah berapa tahun yang lalu. Valla, namanya—nama yang kau berikan padanya—sebuah viola. Ya, agaknya memang terdengar tak wajar. Kau jatuh cinta pada viola, sebuah alat musik gesek yang berasal dari dunia Barat. Bukan jatuh cinta pada manusianya, tapi instrumen musik. Namun, bukankah setiap orang memiliki cintanya masing-masing? Kau pun begitu, kau berhak mencintai Valla, sebuah viola. Kini usahamu untuk mendekatinya telah berhasil. Bersama dengan seseorang yang kau pandang sebagai dokter alat musik gesek, kau membeli viola dari sebuah toko musik di mall kota. Mahal memang, maka itu kau anggap sebagai salah satu bentuk pengorbananmu untuknya. Uang yang terkumpul dari hasil kerja selama setahun rela kau keluarkan, untuk membuatnya menjadi dekat padamu. Agar kau dapat bercumbu mesra dengan Valla. Valla sudah berada di tanganmu. Kau amati detail tentangnya, lembut
p a t yang telah ditentukannya. Kau kayuh sepeda secepat yang kau mampu, berusaha sampai sebelum dokter meninggalkan tempat kerja, pindah ke klinik lain, kata dokter. Beruntung, waktu memberikan
kemurahan hati. Kau datang saat dokter tampak hendak pergi, meski memang waktu belum memperlihatkan angka dua. Mendung, jawab dokter saat kau bertanya mengapa tergesa. Sebenarnya, kau tak hendak memeriksakan dirinya pada dokter. Kau datang untuk memenuhi panggilannya. Tapi tanpa kau minta, dokter mengambil Valla dari wadah dan mengamatinya, seolah sedang memeriksa pasien. Ia mengambil bow, penggeseknya. Lalu dokter membunyikan setiap senar, memastikan bunyi yang dihasilkan pas dengan nada. Dengan tiba-tiba dokter memberikan Valla kepadamu. Kau tahu apa maksudnya. Ia ingin tahu cintamu pada Valla. Aura tegang dan canggung menyelimuti. Di waktu yang sempit itu kau harus yakinkan dokter bahwa kau benar-benar mencintainya. Gugup, kau pun membuktikan cintamu padanya. Selesai, tak sampai satu menit. Dokter berujar sederhana, menang-
gapi bukti cintamu. “Dia masih menutup diri.” Dokter diam sebentar, lalu melanjutkan, “Ataukah kau yang belum sepenuhnya ada untuknya?” Bagai tersiram ribuan debit hujan di mendung yang masih menggantung. Kau terjaga dari tidur hasil buaian semilir angin di bawah pohon rindang, sedang sekitar panas membakar. “Ini pr-mu, buatlah ia mencintaimu. Tak sekadar cinta remaja picisan, cinta monyet.” Tambah dokter. Lalu dokter pun berlalu, meninggalkanmu yang masih termangu. “Nikmati saja,” ucap teman padamu. Sedang kamu tertawa menanggapi ucapan kawan yang bermaksud menghiburmu. Tawa getir atas hati yang tertusuk sembilu. Kau mengerti maksud dokter. Itu berarti kau perlu jalin hubungan dengannya mulai dari nol lagi. Kau sadar, cintamu pada Valla, instrumen musik itu, masih palsu. Tayu, 30 Januari 2015 *Penulis adalah mahasiswi Jurusan Bahasa Sastra dan Arab, Fakultas
Puisi
Baju Kotor Indonesia Oleh: Ihya Ulumuddin*
Koma Oleh: Indah Khairil Bariyah*
Kurasa tak cukup kata untuk menyanjungmu dan mencelamu. Tanah mana yang kaya akan sumber daya Tanah mana yang kaya akan budaya Tanah mana yang kaya akan agama Tanah mana yang tak sadar orang-orangnya Tanah mana yang selalu melarat rakyatnya
Entah berapa episode dibumbui dengan tangisan yang pahit Menelusuri jejak-jejak nestapa yang menyelimuti diri Mengenang untaian bunga dan tepuk tangan riuh sang zaman Mengingat memoar manis jepretan kameramen ternama Untaian nada indah yang sempat ku dendangkan
Aku berkata: Indonesia milikku dan milikmu Warisan orang terdahulu. Manusia mana yang terbuka dadanya Manusia mana yang bermoral mulia Manusia mana yang tak pantas berkata: “Kamilah pemilik tunggal negara ini” Itu dia Indonesia dengan baju kotornya Tanah surga di tengah bara neraka.
Mengisi dan mengelabui hati para pendengar Para penikmat rasa Para pemuja nafsu Tanpa helaan nafas untuk mundur
Komunal adalah jiwanya Tak pernah ada pagar di depan rumah dan pesantrennya Aku adalah kamu, kamu adalah aku Silakan ambil itu Keganasan, tantangan, hutan, lautan, adalah rumah dan hidupnya. Indonesia tidak lagi menjadi dirinya Dirinya sudah tak terupa Rupa yang mana? Para manusia yang selalu mencium tanahmya yang basah Para manusia dengan jiwa maritimnya Para manusia yang bersahabat dengan senyum dan tawa Ternyata mereka sedang kerasukan bengisnya hantu-hantu barat Dengan senjata teknologi di tangannya Kerasnya tipu daya padang pasir Dengan baju agamanya Menjadikan lautan kering kerontang bening air laut menjadi keruh penuh darah para simbolis
Berfikir bahwa hidup tak ada koma Terus panjang sampai bertemu titik Namun, saat ku temukan kehidupan jalanan Koma menjadi jembatan yang menyadarkan Di antara reruntuhan bangunan dan bongkahan batu kasar, besar Aku terhimpit, dada terasa sakit Dan ku temui jalan menuju kematian Namun ku sadari, ini bukan jalan yang indah untuk pulang Tanpa kemenangan Tanpa sertifikat peserta ujian kehidupan Tanpa medali tanda kemenangan Tanpa apapun bentuk penghargaan Setetes darah suci pun tak hadir, tak ada di tubuh Hanya bau busuk tumpukan sampah menghiasi badan Karena ... jika ku dapati kata lulus itu sangat mudah Namun untuk mencapai kejujuran itulah sulit Mati dengan cara yang jujur Meninggalkan kenangan tanpa kebohongan Tanpa syarat membayar catatan kematian mulia Atau membayar petugas gali kuburan palsu Hanya mungkin bukan aku sendiri yang menikmati koma menuju kehidupan abadi.
Manusia Indonesia yang sedang tak sadar Sadarlah kau, padang cahaya mencarimu mencari jiwa dahulu
*Penulis adalah anggota Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci)
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiah (FDI)
Belasungkawa, Kembang Api, dan Pesta Pora Oleh: M. Adhi kurnia*
Rabu dini hari menuju pukul 12 Kembang api, petasan dan polusi Aku duduk dengan buku tokoh dekonstruksi Betapa pilunya langit malam ini Berita duka dari seberang sana Masih hangat tapi tak sepanas api kembang api Tak sepanas bara panggangan malam ini Aku hanya mengumpat, maafkan kami Selamat jalan saudara sebangsa kami Maafkan saudaramu yang angkuh ini Bukannya doa yang kami lepaskan ke atas awan Malah bunga-bunga api dengan kebanggaan duniawi Maafkan kami yang terlena Aku berharap dalam doa, semoga Kalian tenang di alam sana Mereka tabah dengan dunia Aamiin.
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH).
Surat Pembaca Saya Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiah dan Keguruan (FITK) merasa terganggu dengan toilet fakultas yang belum juga diperbaiki. Petugas kebersihan mungkin bisa lebih cepat menanganinya. 085642537XXX Saya Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) meminta agar wi-fi di fakultas tidak dimatikan. Pasalnya, mahasiswa sangat membutuhkannya untuk mengerjakan tugas. 083895696XXX Saya Mahasiswi Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) berharap agar stop kontak di kelas diperbanyak. Hal ini kami butuhkan saat hendak presentasi. 083182491XXX
SENI BUDAYA
Tabloid INSTITUT Edisi XXXVII / Mei 2015
15
Cinta Irasional
Foto: Arief/JL
Otong dan Wilem hanya menunduk saat melihat Nyonya memarahi Tuan. Begitulah salah satu adegan drama Kisah Cinta Dan Lain-Lain karta STMANIS di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta, Rabu (20/5).
Syah Rizal Setiap orang mempunyai arti cinta masing-masing. Begitu pun cinta Nyonya pada Tony. “Maaf tuan,” ujar dokter kepada Tuan. “Tak ada jalan lain dokter?” Tuan berharap dokter bisa menemukan jalan lain demi kesembuhan Tony. “Tidak ada. Ini bukan karena penyakit, tapi karena usianya yang sudah tua,” terang dokter. Mendengar percakapan suaminya dengan dokter, Nyonya sangat kesal. “Pokoknya sembuhin dia!” bentak Nyonya pada suaminya. Nyonya berdebat hebat dengan sang suami. Ia begitu kesal karena Tony terbaring sakit dan tak kunjung sehat. Sorot lampu mulai meredup dan bersinar kembali menyoroti panggung, menandakan hari telah berganti. Profesor berambut putih dan berkacamata tebal dengan kedua asisten wanita ber-makeup tebal mengunjungi rumah Tuan dan Nyonya. Nyonya langsung melontarkan pertanyaan, “Apa Prof. bisa menyembuhkannya?” profesor kemudian
menyarankan Tuan dan Nyonya agar percaya akan adanya harapan untuk kesembuhan Tony. “Tuan dan Nyonya harus percaya Tony akan sembuh. Kalo percaya Tuhan, kita harus pasrahkan semua ini kepada-Nya. Mungkin sembuh,” terangnya kepada Tuan dan Nyonya. Dari dokter, profesor, hingga dukun mereka datangkan demi menyembuhkan Tony. Tapi, semua usaha yang mereka tempuh tak membuahkan hasil. Tony adalah seekor anjing yang sakit lantaran usianya tak lagi muda. Tony jadi anjing setia menemani Nyonya karena Tuan selalu sibuk dengan pekerjaannya setiap hari. Meski Tony sudah tua, Nyonya amat cinta dengan anjingnya itu. Tidur bersama Tony pun jadi hal biasa. Sedikit demi sedikit Nyoya mulai tak waras. Ia tak henti berharap agar Tony terus hidup dan dapat kembali menemani keseharian Nyonya. Walhasil, Tuan sedih melihat ting-
kah laku istrinya. Sesekali ia pasrah kepada Tuhan akan kelakuan istrinya yang irasonal karena terlalu sayang pada seekor anjing. Lebih dari itu, sebetulnya Tuan sangat sayang pada Nyonya. Setiap pekerjaan yang ia lakukan hanya untuk membuat istrinya hidup dengan layak. Semakin hari, kemarahan Nyonya semakin memuncak. “Apa yang terjadi denganmu? Sepertinya kamu sudah berubah sekarang. Kamu terlihat menyeramkan!” bentak Nyonya pada suaminya. Tuan pun terdiam. Sementara itu, di balik cek-cok Tuan dan Nyonya, hidup pula Otong dan Wilem, dua orang pembantu yang setia pada Nyonya dan Tuan. Mereka sempat-sempatnya menjalin cinta di tengah kesedihan dan keluh kesah majikannya. Meski begitu, Otong dan Wilem jadi sosok yang membuat penonton Teater Kecil Taman Ismail Marzuki tertawa karena kocaknya tingkah laku mereka.
Gara-gara terlalu sibuk melayani majikan dan menggoda Wilem, Otong lupa dengan istri dan bayinya yang sedang sakit keras. Seketika, pengunjung dibuat terkejut ketika muncul seorang pemuda mengabari Otong jika bayinya meninggal. Tak hanya itu, seorang gadis juga meminta Otong untuk menikahinya karena sedang mengandung buah hati Otong. Otong pun memutuskan menjadikan gadis tersebut istri kedua dan Wilem sebagai istri ketiganya. Tingkah laku Otong yang menghebohkan penonton tak dihiraukan Nyonya. Kondisi Nyonya semakin terpuruk karena kematian anjing kesayangannya. Setelah kepergian Tony, Nyonya tetap meminta Tuan untuk mengumumkan kematian Tony kepada tetangga, kerabat, hingga wartawan. Drama berjudul Kisah Cinta Dan Lain-Lain (KCDLL) itu ditutup dengan tangisan Nyonya yang tak bisa merelakan kepergian Tony.
Salah satu pemain KCDLL, Bimo Ardev mengatakan, drama yang memakan tiga bulan persiapan tersebut mengadaptasi naskah karya Arifin C. Noer. “Drama yang kami pentaskan ingin menyampaikan jalinan cinta pada setiap mahluk,” ujar pemeran Tuan dalam KCDLL ini, Rabu (20/5). Bimo menambahkan, makna cinta yang ditampilkan bukan hanya menampikan cinta sesama manusia. Lebih dari itu, lanjutnya, drama tersebut juga menyampaikan pesan akan kasih sayang kepada setiap makhluk hidup. Salah satu pengunjung, Ali Furon, mengaku kagum dengan pementasan pementasan ke-46 Seni Teater Mahasiswa Bina Nusantara (STMANIS) ini. “Meski baru pertama kali nonton teater, pementasan tadi sih keren. Saya bisa menangkap pesan apa yang ingin disampaikan,” ujar Mahasiswa Teknik Infomatika, Bina Nusantara itu, Rabu (20/5).
Itu pun hanya untuk memperjelas. Tercatat, TI Internasional sempat mengalami masa keemasan saat Ghiyast dan rekannya pada 2011 mendirikan Himpunan Internasional (Himter). Saat itu, mereka menuntut dekanat menyediakan fasilitas yang seharusnya diperoleh mahasiswa internasional. Semisal, AC dan jaringan internet di lobi, serta field trip tiap tahunnya. “Waktu itu angkatan gue field trip-nya ke CISCO, Indonesia Data Center (IDC), dan LIPI Bandung,” terang Ghiyast. Nahas, masa itu tak bertahan lama. Satu tahun berikutnya, saat Ghiyast dan rekannya mengikuti visiting study ke IIUM Malaysia, satu per satu fasilitas sudah mulai tak dirasakan. Di sisi lain, semangat anggota Himter untuk mempertahankan fasilitas juga mulai menurun. Puncaknya saat pergantian dekan pada 2013:
staf administrasi diberhentikan, mahasiswa TI Internasional hanya sekali melakukan field trip ke Universitas Gajah Mada (UGM), bahkan kelas internasional dihapuskan. Nasib kelas internasional Dari total 12 fakultas, UIN Jakarta memiliki empat fakultas yang membuka kelas internasional, yakni TI dan Sistem Informasi (SI) di FST, Manajemen dan Akuntansi di FEB, Perbandingan Mazhab Hukum Khusus (PMHK) di Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), serta Hubungan Internasional (HI) di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Namun, seperti diketahui semua kelas internasional itu kini sudah dihapuskan di tahun yang berbeda. Semisal, HI dihapuskan pada 2012, TI dan SI pada 2013, Manajemen dan Akuntansi pada 2014, dan PMHK pada 2015. Meski begitu, penghapu-
san itu tetap tidak menghilangkan hak mahasiswa kelas internasional yang masuk sebelum tahun penghapusan itu. Menurut Agus, penghapusan kelas internasional di UIN Jakarta dikarenakan fakultas belum memiliki pedoman pengelolaan yang seragam. Selain itu, menurut Agus, calon mahasiswa kelas internasional juga tak memiliki kualitas mumpuni. Mereka hanya menjadikan kelas internasional sebagai cadangan. Faktor lain, sebagai Dekan FST Agus katanya, juga berniat menginternasional kelas reguler. Sehingga, kelas reguler pun bisa mengikuti student exchange dan double degree dengan syarat mampu membiayai biaya hidup dan kuliah di negara mitra. “Agar tak ada kesan dikotomi kelas internasional,” kata Agus, Selasa (19/5).
Sambungan Servis Lokal Kelas Internasional ...
didapat mahasiswa kelas internasional. Selain itu, tambah Agus, mereka juga seharusnya dapat Praktik Kerja Lapangan (PKL) di negara mitra (Malaysia, Australia, dan Jerman), serta double degree di International Islamic University of Malaysia (IIUM) dan Deakin University Australia. Terkait pengantar Bahasa Inggris yang tidak digunakan dosen di kelas internasional FST, lanjut Agus, itu karena beberapa dosen kelas internasional belakangan merasa keberatan lantaran gaji yang diterima sepadan dengan besaran gaji yang diterima dosen reguler. “Terakhir dosen-dosen kelas internasionalnya pada komplain karena mereka sudah english addict (sepenuhnya berbahasa Inggris) tapi gaji yang diterima sama saja dengan dosen reguler,” papar Agus. Namun, salah satu dosen TI Inter-
nasional, Yuditha Ichsani, mengaku dirinya hingga kini masih menggunakan pengantar Bahasa Inggris bagi mahasiswa internasional di kelasnya. Hanya saja, ada perbedaan antara mahasiswa semester atas dan semester bawah. Bagi mahasiswa semester atas, saat mengajar, Yuditha sepenuhnya menggunakan pengantar Bahasa Inggris, sedangkan bagi mahasiswa semester awal dengan bilingual (dua bahasa). “Soalnya mahasiswa baru belum fasih berbahasa Inggris baik pasif maupun aktif,” ujar Yuditha, Jumat (22/5). Sama halnya Yuditha, menurut salah satu dosen Prodi Manajemen Internasional FEB, Sri Hidayati, dosen yang mengajar di kelas internasional wajib sepenuhnya berbahasa Inggris. Kecuali, jika mahasiswa kesulitan untuk memahami materi, maka ia akan menerapkan bilingual.
BACA, TULIS, LAWAN!
Pasang Iklan Sejak didirikan 30 tahun silam, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid INSTITUT, Majalah INSTITUT, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.lpminstitut.com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya: Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud) INSTITUT Online Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari Majalah INSTITUT Sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester.
CP: Maulia Nurul No HP: 08567231682