Edisi XXXIX/ Oktober 2015
Email: lpm.institut@yahoo.com / redaksi.institut@gmail.com / Telepon Redaksi: 08978325188 / 085693706311
Laporan utama
Pembuatan SOP Plagiarisme Tak Kunjung Rampung
Laporan khusus
Dosen UIN Bergelar S1
SOP Plagiarisme Jadi PR Komisi Etik
Hal. 4
Hal. 11
Hal. 2
Terbit 16 Halaman
wawancara
www.lpminstitut.com
@lpminstitut
LPM INSTITUT - UIN JAKARTA
Berang Dituding Plagiat
Arini Nurfadilah Salah satu dosen Jurusan PBSI dituding telah melakukan tindak plagiarisme. Belum ada aturan, penyelesaian kasus tak temui titik terang. “Ini fitnah! Saya mengajar Pragmatik sudah lama. Kalaupun ada yang sama, ya mana saya tahu.” Kalimat itu terlontar dari mulut Hindun sesaat setelah Institut, Jumat (23/10) menanyakan perihal tindak plagiarisme yang ditudingkan padanya. Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu menampik tudingan kalau dirinya telah melakukan tindak plagiarisme dalam buku Pragmatik yang ditulisnya. “Jadi orang jangan sok tahu, apalagi kalau hanya hipotesis. Lagipula, satu-satunya orang yang berhak menuntut plagiarisme adalah pengarang atau penulis buku tersebut,” sambung nya. Dugaan tindak plagiarisme yang diduga dilakukan Hindun dalam buku Pragmatik karyanya memang tengah santer dibi- carakan di lingkungan dosen dan mahasiswa PBSI sejak bebe- rapa bulan terakhir. Semuanya bermula saat sebuah pesan elektronik diterima
Ketua Jurusan (Kajur) PBSI, Makyun Subuki awal Juni lalu. Pesan elektronik itu berisi catatan bukti dugaan tindak plagiarisme dalam buku Pragmatik karya Hindun. Dalam catatan yang dijadikan bukti dugaan tindak plagiarisme itu di antaranya menyebutkan, tertera ketiadaan catatan kaki dan daftar pustaka di buku Pragmatik karya Hindun saat mengutip dari Jurnal Religia Vol.15 No.1 karya Muhammad Jaeni. Di halaman bukunya yang lain sesuai draf catatan itu, Hin-dun juga tidak mencantumkan sumber laman http:// tianfatmanuraini.blogspot.co.id/2011/06/pragmatik-dalam-kegiatan-berbahasa.html. Padahal, pada pembahasan tentang prinsip pemakaian bahasa dengan pendekatan Pragmatik di halaman 33 buku Hindun, persis sama seperti dalam laman blog itu. Ia hanya mengganti pembagian poin berdasarkan huruf (a,b,c,d) menjadi penomoran (1,2,3,4). “Menurut saya itu dapat dikatakan plagiarisme. Tapi menurut LPM (Lembaga Penjaminan Mutu) takutnya berbeda, walaupun menurut bukti sudah pasti dikatakan plagia-
risme,” kata Makyun yang enggan menyebutkan identitas si pengirim pesan elektronik itu, Selasa (20/10). Ia kemudian membawa kasus itu ke LPM UIN Jakarta untuk ditindaklanjuti. Ditemui Institut, Ketua LPM UIN Jakarta, Sururin tak menampik dugaan kasus plagiarisme oleh dosen yang ia terima. Namun, ketika ditanya nama dosen tertuduh, Sururin enggan bicara. “Iya, ada satu kasus (plagiarisme) yang kami terima 4 bulan lalu,” katanya, Rabu (21/10). Hingga kini atau terhitung hampir lima bulan berjalan, dugaan kasus plagiarisme oleh Hindun masih dalam proses penanganan dan belum ada kejelasan soal sanksi yang akan dijatuhkan. Pihak LPM dan Komisi Etik UIN Jakarta masih bekerjasama menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) dan pedoman yang rencananya baru rampung akhir tahun ini. Menyinggung kasus ini, Wakil Dekan (Wadek) I Bidang Akademik FITK, Muhammad Zuhdi mengaku tak tahu meBersambung ke hal. 15 kol. 2
LAPORAN LAPORANUTAMA UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
Salam sejahtera pembaca sekalian! Kali ini kami bisa kembali hadir ke hadapan pembaca sekalian. Kemarau panjang di tahun ini tak menjadikan kami pun kering karya. Alhamdulillah Tabloid Edisi ke-39 ini bisa hadir ke hadapan pembaca sekalian. Pun kami berharap bisa menjadi pengisi kegiatan pembaca sekalian di kemarau panjang ini. Sebulan terakhir ini kami terus disibukkan de-ngan berbagai kegiatan redaksi mulai dari cetak hingga online. Tak hanya itu, kegiatan diskusi antar pengurus, anggota, maupun calon anggota pun terus berjalan setiap minggunya. Ini pun kami lakukan agar bisa terus menyajikan produk yang terbaik bagi pembaca sekalian. Tabloid edisi kali ini memiliki tema besar tentang plagiarisme yang masih belum jelas sanksi dan peraturannya di UIN Jakarta. Padahal, berbagai kasus plagiarisme hingga kini berulang kali terjadi. Seperti yang dibahas pada headline yang menyajikan kasus dugaan terbaru plagiarisme di kalangan dosen. Lalu, laporan utama kami yang pertama membahas aturan plagiarisme yang belum jelas di UIN Jakarta. Sampai saat ini pembuatan Standar Operasional Prosedur (SOP) plagiarisme belum juga rampung dikerjakan oleh Komisi Etik Senat UIN Jakarta. Padahal melihat keadaan yang ada kampus ini butuh segera SOP tersebut. Sedangkan rubrik laporan utama kami selanjutnya menghadirkan berita terhangat terkait persiapan Pemilian Umum Raya (Pemira). Beberapa waktu yang lalu terjadi keributan antar Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas dan SEMA Universitas. Hal ini disebabkan oleh tak dilibatkannya SEMA F dalam sidang pleno pembahasan Petunjuk Teknis (Juknis) untuk komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu). Berbeda lagi dengan rubrik laporan khusus kami mengenai asingnya mahasiswa terhadap repository UIN Jakarta. Selama ini, tempat kumpulan karya ilmiah UIN Jakarta ini masih tak begitu terkenal di kalangan mahasiswa. Padahal adanya repository akan membantu mahasiswa dalam menambah referensi berbagai tugas hingga skripsi. Laporan khusus lainnya yang kami sajikan adalah berita mengenai masih adanya dosen UIN Jakarta yang bergelar S1. Padahal, dalam Undang-undang dosen harus berkualifikasi akademik minimal magister. Tak hanya itu, edisi kami kali ini pun akan menghadirkan profil mengenai komunitas Hammocker. Komunitas ini menjadi warna baru bagi para pecinta kegiatan alam atau outdoor. Selain itu, ada juga ulasan buku Samin yang menceritakan masyarakat Samin yang masih tetap mempertahankan kehidupan budaya aslinya. Dalam proses pembuatan tabloid edisi ke 39 ini pun kami berjuang menyajikan yang terbaik untuk pembaca sekalian. Meski, dalam perjalanannya kami menemui beberapa kesulitan seperti narasumber yang sulit dimintai keterangan dan sulit ditemui. Namun, semua proses itu selalu kami nikmati dan kami jadikan pelajaran agar lebih baik lagi ke depannya. Suasana sekretariat kami yang penuh rasa mulai dari suka hingga duka pun menjadi hiasan tersendiri dalam proses pembuatan edisi kali ini. Keakraban dan kedekatan kami juga adalah salah satu motivasi dalam menyajikan karya terbaik. Namun, utamanya pembaca sekalian yang sudah percaya dan selalu menunggu kami hadir adalah semangat terbesar yang kami miliki. Akhirnya, kami selalu berharap Tabloid Institut menjadi kerinduan yang candu dan bermanfaat bagi pembaca sekalian. Baca, tulis, lawan!
Pembuatan SOP Plagiarisme Tak Kunjung Rampung
Foto: Jeanni/INS
Salam Redaksi
2
Salah satu mahasiswa sedang melihat buku-buku yang dipajang di Lobby Fakultas Adab dan Humaniora (FAH). Buku-buku tersebut merupakan karya ilmiah para dosen dan guru besar UIN Jakarta, Sabtu (24/10).
Jeannita Kirana Pembuatan SOP plagiarisme berlarut-larut. Keseriusan UIN Jakarta tangani plagiarisme dipertanyakan. Hingga kini, Komisi Etik Senat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta masih merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) plagiarisme yang recananya bakal rampung akhir 2015 ini. Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Jakarta, Sururin menjelaskan sebelum SOP diterapkan, harus ada Surat Keputusan (SK) Rektor terlebih dulu. “SOP bisa dianggap sebagai pedoman penanganan plagiarisme jika sudah ada SK Rektor,” jelasnya, Rabu (21/10). Sururin menjelaskan, Tak adanya SOP mampu memicu persoalan dalam mengukur tingkat plagiarisme. “Kita kan enggak tahu berapa besar persentase suatu karya ilmiah bisa dikatakan sebagai plagiarisme. Makanya sanksi pun belum bisa ditentukan,” ungkapnya. Sejauh ini, untuk menangani plagiarisme di lingkungan kampus, UIN Jakarta hanya mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Republik Indonesia (RI) Nomor 17 Tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiarisme di perguruan tinggi. Dalam pasal 1 ayat 1 Permendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 menjelaskan plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kre-dit atau nilai untuk suatu karya ilmiah dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Lalu pasal 2 ayat 1 poin a menyatakan plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada mengacu dan/atau mengutip istilah kata-kata dan/ atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan
sumber secara memadai. Empat bulan yang lalu, LPM menerima satu laporan tindak plagiarisme oleh dosen UIN Jakarta. Tapi kasus plagiarisme tersebut belum dapat disahkan sebagai tindakan plagiarisme. “SOP-nya masih dalam proses. Kami ingin membuat payung hukum untuk menyelaraskan semua aturan penanganan plagiarisme di UIN Jakarta,” papar Sururin. Menyoal proses pembuatan SOP, Sekretaris Komisi Etik Senat UIN Jakarta, Amany Lubis menuturkan, tahun ini ada empat hal yang sedang dirancang Komisi Etik Senat UIN Jakarta yakni kode etik mahasiswa, dosen, karyawan, dan kelembagaan UIN Jakarta. Sebenarnya, jelas Amani, kode etik sivitas akademika sudah ada, namun perlu disesuaikan lagi karena belum ada aturan rinci mengenai plagiarisme. Meski belum punya aturan tersendiri terkait plagiarisme, Amani memaparkan UIN Jakarta sebetulnya mengikuti peraturan Permendiknas nomor 17 tahun 2010. “Kalau ada kasus plagiat, fakultas serta rektorat dan jajarannya harus bisa bertindak dengan menjatuhkan sanksi meski tak ada aturan dari kampus,” katanya, Jumat (18/9). Menurut Wakil Rektor I Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga, sanksi sosial dan sanksi moral akan diberikan untuk tindak plagiarisme yang bukan berkaitan dengan perolehan gelar. Sanksi tersebut misalnya pelaku plagiarisme tidak akan mendapat kepercayaan lagi dari sivitas akademika lainnya. “Kemudian kalau menyangkut gelar, sanksi bisa berupa penundaan kenaikan pangkat atau pemberhentian,” jelas Fadhilah. Sedangkan menurut Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada, Komisi Etik Senat UIN Jakarta tak punya wewenang mengajukan sanksi kepada pihak rektorat untuk pelaku plagiarisme. Maka, lanjut Dede, secepatnya UIN Jakarta akan membentuk Mahkamah Etik yang berwenang memberi rekomendasi sanksi. “Rektorat menerima rekomendasi sanksi dari
Mahkamah Etik. Walaupun begitu, rektor hanya bisa memberi sanksi teguran lisan dan peringatan tertulis saja. Selebihnya diserahkan kepada Kemenag,” papar Dede. Cara Jitu Cegah Plagiarisme Kasus plagiarisme memang kerap terjadi di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Pada 2013 silam, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mencatat 808 kasus plagiarisme dalam proses sertifikasi dosen. Memasuki akhir 2014 lalu, Rektor UIN Maliki Malang, dalam 80 persen isi bukunya dituding telah menjiplak dari sembilan makalah mahasiswa pasca sarjana UIN Malang. Banyaknya kasus plagiarisme membuat Universitas Indonesia (UI) punya cara sendiri dalam mencegah tindak plagiarisme. UI mempunyai perangkat lunak yang dipakai untuk mendeteksi karya ilmiah seluruh sivitas akademika kampus. Pun, mengenai peraturan, UI sudah memiliki Surat Keputusan Rektor Universitas Indonesia Nomor 208/SK/R/UI/2009 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Plagiarisme. Menanggapi hal itu, Dede mengatakan, UIN Jakarta sesegera mungkin akan membeli perangkat lunak anti-plagiarisme. “Sebenarnya, untuk mendeteksi plagiarisme bisa dengan cara manual yaitu memeriksa karya ilmiah yang dimaksud. Tapi kami usahakan pada 2015 ini atau awal 2016 UIN Jakarta sudah memiliki perangkat lunak pendeteksi plagiarisme,” katanya, Jumat (23/10). Selain membeli perangkat lunak anti-plagiarisme, upaya pencegahan yang paling efektif menurut Dede adalah pemberian sanksi kepada pelaku plagiarisme. Menurutnya, efek jera akan timbul setelah pelaku menerima hukuman. “Plagiarisme itu kejahatan akademik karena mengambil karya orang tanpa menyebutkan sumber. Dia (pelaku) mau kelihatan pintar tapi sebenarnya enggak,” tutupnya.
Pemimpin Umum: Adi Nugroho | Sekretaris & Bendahara Umum: Nur Hamidah | Pemimpin Redaksi: Thohirin | Redaktur Online & Web Master: Syah Rizal | Pemimpin Litbang: Erika Hidayanti | Pemimpin Perusahaan: Maulia Nurul Hakim Anggota: Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat Koordinator Liputan: Triana Sugesti | Reporter: Arini Nurfadilah, Ika Puspitasari, Jeannita Kirana, M. Rizky Rakhmansyah, Triana Sugesti, Yasir Arafat Editor: Adi Nugroho, Erika Hidayanti, Maulia Nurul Hakim, Nur Hamidah, Syah Rizal, Thohirin | Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Syah Rizal, Ika Puspitasari, Yasir Arafat | Ilustrator: Syah Rizal, Jeannita Kirana, Yasir Arafat | Karikaturis: Ika Puspitasari | Editor Bahasa: Nur Hamidah, Arini Nurfadilah, M. Rizky Rakhmansyah Alamat Redaksi: Gedung Student Center Lantai 3 Ruang 307 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Djuanda No.95 Ciputat, Tangerang Selatan 15412 Telepon: 08978325188 | Email: lpm.institut@yahoo.com / redaksi.institut@gmail.com | Website: www.lpminstitut.com ~~~Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada reporter INSTITUT yang sedang bertugas~~~
LAPORAN LAPORANUTAMA UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
3
Sosialisasi Lamban Picu Keributan
Foto: Rizal/Ins
Triana Sugesti
Tiga presidum sidang sedang memimpin Musyawarah Perwakilan Mahasiswa Universitas (MPMU) di Aula Madya, Kamis (14/5). MPMU ini dihadiri oleh SEMA-U, SEMA-F, DEMA-U, DEMA-F, dan UKM UIN Syarif Jakarta.
Tak kunjung ada sosialisasi juknis Pemira 2015. Mahasiswa ramai-ramai mendatangi sekretariat Sema-U. Rabu (21/10) malam lalu, Sekretariat Senat Mahasiswa Universitas (Sema-U) mendadak ramai kedatangan sejumlah mahasiswa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Keadilan. Mereka yang terdiri dari beberapa perwakilan Senat Mahasiswa Fakultas (Sema-F) itu menuntut kejelasan soal sosisalisasi hasil rapat pleno membahas petunjuk teknis (juknis) Pemilihan Umum Raya (Pemira) 2015 yang dijanjikan Rabu seminggu sebelumnya. Anggota Sema-U yang kebetulan
malam itu tengah menggelar rapat pleno lanjutan pun terpaksa harus berhenti lantaran kedatangan sejumlah mahasiswa Sema-F membuat gaduh. Usut punya usut, puluhan mahasiswa Sema-F yang mendatangi sekretariat Sema-U malam itu rupanya juga menuntut adanya rapat pleno lanjutan tersebut. Rapat lanjutan yang digelar Sema-U malam itu oleh beberapa mahasiswa Sema-F dinilai mengingkari hasil rapat yang digelar seminggu sebelumnya, Kamis (15/10).
Dalam rapat yang digelar bersama Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Yusran Razak serta beberapa perwakilan dari jajaran kemahasiswaan lainnya itu telah menyepakati juknis Pemira 2015 serta sosialisasi yang diberi batas hingga satu minggu setelahnya. Alih-alih melakukan sosialisasi, Sema-U malah mengadakan rapat internal. Ketua Sema Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Ade Prasetio merasa janggal saat diadakan rapat internal oleh Sema-U. Apalagi yang dibahas mengenai juknis untuk Pemira 2015. “Masalah juknis dirasa sudah selesai karena sudah disepakati oleh Warek III pada rapat minggu lalu dan tinggal disosialisasikan,” ujarnya. Namun, hingga hari Rabu sejak digelarnya rapat, belum juga ada informasi lanjutan. Lalu tepat saat Sema-U mengadakan sidang pleno Rabu malam, Ade bersama sejumlah mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya sebagai Aliansi Mahasiswa Keadilan mendatangi sekretariat Sema-U, guna mengklarifikasi pelaksanaan sidang pleno dan kejanggalan hasil rapat malam itu. Terhitung hingga 200 mahasiswa datang dari anggota Sema-F dan mahasiswa lainnya. Anggota Komisi Kelembagaan Sema-U Gita Syardiana mengamini adanya keganjilan dari hasil sidang pleno yang dirasanya mendadak, yakni perubahan hasil juknis terkait posisi antara Sema-F dan Dema-F. Padahal, hasil rapat sebelumnya menyatakan bahwa tugas yang dimi-
liki oleh Sema-F dan Dema-F adalah sejajar. Saat itu, opsi ketua Sema-U yang menyatakan bahwa Sema-F tidak diikutsertakan dalam Pemira mendatang, juga menjadi perdebatan di dalam ruang sidang. “Kalau memang tidak setuju Sema-F diikutsertakan, kenapa tidak mengajukan protes saat sidang minggu lalu,” serunya, Sabtu (24/10). Sementara itu, massa yang memadati halaman sekretariat menunggu penjelasan dari ketua Sema-U. Malam yang semakin larut tak membuat massa membubarkan diri. Mereka masih menunggu rapat internal yang diadakan secara mendadak untuk mengklarifikasikan hasil sidang pleno Sema-U. Ketua Sema Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Faiq Alhaq mengatakan Aliansi Mahasiswa Keadilan ini hanya menginginkan transparansi juknis yang sudah dirapatkan oleh Warek III sebelumnya.“Kalau ketua Sema-U ingin mengubah ya konfirmasi ulang dulu, biar jelas masalahnya,” tuturnya, Sabtu (24/10). Akhirnya, setelah menunggu hingga hampir tiga jam, Sema-U mengadakan rapat internal dengan beberapa ketua Sema-F dan perwakilan Sema-U yang diberi wewenang. Karena tidak semua ketua Sema-F berada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) saat itu, ketua Sema-F yang ikut terlibat hanya terdiri dari FISIP, FSH, FAH, dan FEB. Beberapa hasil sidang pleno juga dipaparkan oleh ketua Sema-U dalam rapat internal. Ketua Sema
Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Khairul Atma mengatakan, ada beberapa pihak yang tidak menyetujui kewenangan Sema-F ikut serta dalam juknis Pemira. “Padahal, berdasarkan hasil rapat bersama Warek III sudah sangat jelas kalau Sema-F ikut,” katanya, Rabu (24/10). Di sisi lain, ketua Sema-U Eko Siswandanu mengaku pihaknya memang lambat dalam sosialisasi juknis Pemira 2015. Hal itu karena rapat yang diadakan Warek III hanya membahas draf juknis bukan tugas atau wewenang Sema-F dan Dema-F secara rinci. “Kita (Sema-U) menyempurnakan hasil rapat warek dalam sidang pleno ini,” tegasnya, Sabtu (24/10). Sidang pleno Sema-U, yang membahas Pemira 2015, lanjut Eko, bukan semata ingin mengubah hasil yang dirapatkan Warek III. Namun, Eko bermaksud memperjelas juknis Sema-F dan Dema-F dalam penyeleksian KPU dan Banwaslu. Maka dari itu, perlu diadakan rapat internal Sema-U. “Memang Dema-F dan Sema-F itu sejajar tapi, keduanya memiliki tugas yang berbeda seperti halnya legislatif dan eksekutif,” ujarnya. Menanggapi kericuhan di depan sekretariat Sema-U, Warek III Bidang kemahasiswaan Yusron Rozak mengatakan ini hanya masalah sosialisasi yang belum menyeluruh. “Kita sudah membahas di rapat sebelumnya. Intinya Sema-F dan Dema-F ikut terlibat dalam Pemira,” tutupnya, Jumat (23/10).
INFO GRAFIS
20
Sumber data: Kepegawaian UIN Jakarta
21
Infografis: Jeanni
LAPORAN LAPORANKHUSUS UTAMA
M. Rizky Rakhmansyah
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
4
Dosen UIN Bergelar S1
Sudah hampir 32 tahun Banadjid menjadi dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Akan tetapi, dalam Buku Pedoman Akademik tahun ajaran 2014/2015 Banadjid masih menyandang gelar sarjana Strata Satu (S1). Padahal, saat ini ia sudah bergelar Magister Manajemen di Universitas Islam Indonesia (UII). Dosen Ekonomi program studi (prodi) Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) ini menceritakan, sebelum menjadi dosen, ia hanya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di bagian keuangan pusat. Minimnya pengajar berlatar belakang pendidikan umum menjadi alasan ia diterima menjadi dosen tetap di UIN Jakarta. Tekadnya untuk menjadi pendidik semakin jelas terlihat tatkala melanjutkan studi S1 di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) pada tahun 1983. Sama halnya dengan Banadjid. dosen Prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), FITK, Wahdi Sayuti juga tak tercatat dalam daftar dosen yang sudah bergelar magister di Buku Pedoman Akademik. Sedangkan, 2014 lalu ia sudah menyandang gelar Magister Pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Wahdi mengungkapkan, pasca menyandang gelar Magister Pendidikan
ia segera melakukan penelitian di Papua selama sembilan bulan. “Saya lamban dalam memproses pendaftaran gelar ijazah,” ucapnya, Jumat (24/10). Pada Desember 2014 ia mulai memproses pendaftaran tersebut. Sementara itu, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Kepegawaian UIN Jakarta, Suhendro Tri Anggono mempertanyakan alasan dosen tak melaporkan perkembangan gelar studinya. “Mohon kasih informasi yang jelas, siapa dosen tersebut?” tanyanya, Minggu (24/10). Suhendro mengakui terdapat dosen bergelar PNS S1 di UIN Jakarta. Ia menganggap diterapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon PNS menjadi keuntungan bagi dosen bergelar S1 di kampus. Alhasil, saat itu dosen dapat direkrut berdasarkan jalur reguler dan honorer. Ketua Lembaga Penjamin Mutu (LPM), Sururin menyatakan, saat ini Academic Information System (AIS) UIN Jakarta sudah terintegrasi dengan Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD Dikti). Melalui PD Dikti, kumpulan data perguruan tinggi dapat dilihat oleh masyarakat. “Dosen yang masih S1 akan tertolak dalam sistem tersebut,” ujarnya, Sabtu (24/10). Namun, ia mengakui peraturan dosen wajib magister masih belum terealisasikan di UIN Jakarta. Setiap perguruan tinggi masih diberi kesem-
patan untuk mengusahakan dosen untuk menyandang gelar magister secepatnya. Salah satu anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Bambang Suryadi menerangkan, kualifikasi dosen tercantum jelas pada Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. “Kualifikasi dosen harus bergelar magister itu amanat dari peraturan,” tegasnya, Rabu (21/10). Menurutnya, masyarakat akan mempertanyakan kualitas perguruan tinggi yang tak menjalankan amanat dari peraturan tersebut. “Nanti akan berpengaruh terhadap penilaian akreditasi perguruan tinggi juga,” katanya. Ia menyarankan, rektor segera melakukan sosialisasi peraturan ini kepada dosen. Menanggapi hal tersebut, Wakil Rektor I Bidang Akademik, Fadhillah Suralaga juga mendukung dosen untuk segera meningkatkan mutu pendidikannya. Ia bercerita, berubahnya kiblat pendidikan turut mengubah gelar sarjana di Indonesia. “Dulu ada namanya Doktorandus (Drs.), Insinyur (Ir.), dan Doktoranda (Dra.),” paparnya, Rabu (21/10). Terkait kualifikasi akademik, Wahdi mengungkapkan, saat UIN Jakarta masih bernama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) masih banyak dosen yang bergelar S1 dan berinisiatif melanjutkan studi. Sayangnya, banyaknya penelitian yang ia kerjakan
Foto: Rizky/INS
Data kepegawaian UIN Jakarta tahun 2015 menyatakan 18 dosen PNS UIN Jakarta masih bergelar S1. Padahal, berdasar UU dosen harus berkualifikasi akademik minimal magister.
Dosen tengah mengajar mata kuliah Psikologi Dakwah di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Senin (26/10). Kegiatan belajar mengajar merupakan salah satu beban kerja dosen.
membuat studi magisternya tertunda. “Sampai sekarang saya aktif di pusat penelitian,” katanya. Kinerja Dosen Kurang Optimal Hasil survei yang dilakukan Litbang Institut tentang kepuasan mahasiswa terhadap kinerja dosen terhadap 352 responden mahasiswa pada Maret lalu, sebanyak 30,4% menyatakan dosen tak menyampaikan materi perkuliahan dengan baik. Tak hanya itu, 66,2% responden juga menyatakan dosen tidak datang tepat waktu untuk mengajar. Berdasarkan data kepegawaian, tercatat dosen PNS UIN Jakarta saat ini berjumlah 920 orang. Dari jumlah itu, 18 di antaranya bergelar S1,
630 bergelar magister, dan 272 dosen bergelar doktor. Jumlah itu belum termasuk dengan 66 guru besar atau dosen yang bergelar profesor. Mahasiswa semester 7 prodi PAI, FITK, Nur Habibi menyampaikan terdapat beberapa dosen yang seenaknya mengubah jadwal kuliah mahasiswa. “Kadang juga ada dosen yang malah gak datang ke kelas,” tandasnya, Minggu (24/10). Senada dengan Habibi, mahasiswa semester 5 prodi Pendidikan IPS, FITK, Muhammad Farhan Fathurahman juga mengungkapkan terdapat dosen yang jarang masuk ke kelas. “Ada yang jarang masuk bahkan hingga dua pertemuan hilang kabar,” tandasnya, Kamis (22/10).
Foto: Yasir/INS
Sosialisasi Repository Belum Optimal
Beberapa mahasiswa sedang membaca serta mencari referensi karya tulis ilmiah di lantai 2 PU UIN Jakarta, (24/10). Mahasiswa banyak mencari referensi untuk memenuhi materi dalam membuat skripsi.
Yasir Arafat Sosialisasi yang tak menyentuh seluruh mahasiswa, pengelolaan yang buruk, serta fasilitas yang kurang memadai membuat Institusional Repository UIN Jakarta kurang peminat. Tuntutan menyelesaikan skripsi untuk meraih gelar sarjana, membuat mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Dendy Harmadi kian intens mengunjungi Perpustakaan Utama (PU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Akan tetapi sering kali buku yang ia cari tak tersedia di PU maupun Perpustakaan Fakultas (PF). Demi memperkaya referensi serta bahan materi skripsi, Dendy pun beberapa kali mengunjungi Perpustakaan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta di Kuningan, Jakarta. Padahal sebenarnya UIN Jakarta telah memiliki Institutional Repository UIN Jakarta, fasilitas bagi mahasiswa
dalam mencari referensi secara bebas dan terbuka berbasis online. Akan tetapi, Dendy baru tahu keberadaan repository UIN Jakarta setelah lima bulan terakhir ini. Repository merupakan kumpulan ragam karya ilmiah digital mulai dari skripsi, tesis, sampai disertasi. Adanya repository pun mempermudah masyarakat khususnya mahasiswa untuk mencari referensi karya ilmiah secara online. Namun, Dendy mengatakan, koleksi karya ilmiah di repository UIN Jakarta masih minim dibanding universitas negeri lainnya, seperti Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Indonesia (UI), Universitas Pen-
didikan Indonesia (UPI). Selain itu, beberapa bahan skripsi di laman Institutional Repository UIN Jakarta pun kadang tak bisa dikunjungi. “Kecewa sih, pas liat Repository eh gak bisa,” ujarnya, Rabu, (21/10). Serupa Dendy, mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom), Mira Rachmalia mengaku, baru sebulan lalu ia mengetahui adanya repository UIN Jakarta. Lebih lagi, tiga kali ia mencoba mengunjungi repository UIN Jakarta, namun, layanan website tidak tersedia. Walhasil ia justru mencari referensi bahan skripsi di repository universitas lain seperti Universitas Bina Nusantara (Binus), Mercu Buana, dan Esa Unggul. Mira pun berharap, pengelola PU lebih menyeluruh ke semua fakultas dalam mensosialisasikan repository di UIN Jakarta. Dengan begitu mahasiswa dapat dengan mudah mengakses sembari mencari referensi tanpa harus mendatangi langsung perpustakaan. “Baiknya repository juga gencar dikenalkan oleh pengelola PF semua fakultas” katanya, Kamis (22/10). Berdasarkan survei yang dilakukan Litbang Institut tentang pengetahuan mahasiswa terhadap keberadaan repository UIN Jakarta tercatat 62,4 % dari 352 responden mahasiswa mengaku, tidak mengetahui adanya repository UIN Jakarta. Sementara 83,4 % mahasiswa belum memahami fungsi repository, 87,1 % mahasiswa kurang dari tiga kali mengunjungi repository, dan 49,7 % mahasiswa masih mencari referensi di blogblog khususnya dalam membuat karya tulis ilmiah. Bagi sebuah lembaga pendidikan khususnya perguruan tinggi, repository sangat diperlukan mahasiswa.
Selain bisa membantu mempermudah mencari referensi dalam penyelesaian tugas akhir, repository juga menjadi salah satu poin penilaian akreditasi bagi sebuah perguruan tinggi. Selain itu, keberadaan repository juga dapat membantu mencegah terjadinya tindak plagiarisme. Menanggapi hal itu, Kepala PU UIN Jakarta, Amrullah Hasbana memaparkan, sebenarnya sosialisasi repository UIN Jakarta menurutnya sudah maksimal. Sejak awal Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK), lanjut Amrullah, pengelola PU juga sudah memperkenalkan repository pada mahasiswa baru. Informasi mengenai repository dapat diketahui melalui website UIN Jakarta, brosur PU sampai workshop di setiap fakultas. “Hanya saja banyak mahasiswa acuh dengan sosialisasi dan pemberitahuan dari PU,” paparnya, Jumat, (23/10). Di sisi lain, Amrullah pun mengiyakan masih banyak kekurangan dalam pelayanan repository bagi mahasiswa. Lambannya proses memasukan karya ilmiah digital ke repository adalah salah satunya. Ia menyadari PU tak memiliki petugas yang cukup untuk mengelola repository. Fasilitas dan sarana pun kurang memadai. ”Software repository harus diperbaharui dan komputernya juga mesti bagus,” katanya. Hal serupa diutarakan Staf Teknik Informasi (TI) dan Otomasi PU UIN Jakarta, Lutfie Irhason, dalam mendigitalisasi karya ilmiah memang butuh waktu lama. Apalagi petugas yang mengerjakan repository terbatas, oleh karenanya sejak 2014 hingga sekarang, PF bisa memasukan karya ilmiah mahasiswanya sendiri. Namun, sebelum ada dalam repository karya
ilmiah tersebut harus diverifikasi ulang oleh petugas PU. Akan tetapi, menurut Kepala PF Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Ade Abdul Hak repository malah menjadi pekerjaan tambahan bagi pengelola PF di antara minimnya petugas. Maka dari itu, untuk mengoptimalkan pengelolaan perpustakaan, dirinya berkerjasama dengan Jurusan Ilmu Perpustakaan (IP) FAH dalam mengelola repository UIN Jakarta. “Jadi, kini petugas repository dari mahasiswa IP,” jelasnya, Kamis (22/10). Senada dengan Ade, Staf Pelayanan dan Sirkulasi PF Fidikom, Nuryadi Fasah menerangkan, lambannya kinerja PF banyak disebabkan sedikitnya petugas dan juga kurangnya pelatihan pengelolaan repository untuk petugas PF. “Inisiatif aja, dateng langsung ke staf PU buat belajar pengelolaan repository,” terangnya. Jumat, (23/10). Terkait hal itu, Lutfie menanggapi, sebelumnya PU telah mengadakan pelatihan pengelolaan repository kepada seluruh pengelola PF di UIN Jakarta. Di sisi lain, ia pun tak menampik ada beberapa PF yang kurang maksimal dalam mengelola repository, terutama lambat dalam memasukan karya ilmiah ke repository. “Kami hanya bisa mengingatkan tidak untuk menyalahkan,” jelasnya, Jumat, (23/10). Ade juga mempertanyakan fungsi repository UIN Jakarta yang tak lebih dari website serupa yakni, tulis. uinjkt.ac.id. “UIN harus tegas mau pakai sistem repository atau tulis,” tambahnya, Jumat, (23/10). Sebab bila keduanya tetap dijalankan maka tidak maksimal dan akan saling tumpang tindih sistem.
KAMPUSIANA LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
5
Sulap Tempat Tinggal Jadi Wadah Belajar
Arini Nurfadilah
Mengajar kerap kali menjadi rutinitas sebagian mahasiswa. Banyak dari mereka yang menyulap tempat tinggalnya menjadi wadah anak-anak untuk menimba ilmu. Membuka tempat kursus di tempat tinggal pun turut dilakukan Ahmad Nabhan. Tak seperti kebanyakan mahasiswa yang menjadikan teras rumahnya sebagai tempat nongkrong, mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) ini juga memanfaatkannya sebagai tempat kursus bagi siswa-siswi SD dan SMP. Menurut Nabhan, dengan mengajar, ia dapat mengimplementasikan kompetensinya sebagai mahasiswa. Di tengah padatnya jam kuliah, ia tetap menyempatkan waktu untuk mengajar di tempat kursusnya, Rumah Bimbel Surya Gama, Pulogadung Jakarta Timur. Ia mengajar setiap hari mulai pukul 14.00-18.00 WIB. Tak hanya mengajar bersama teman-teman satu kampusnya, mahasiswa semester 7 ini juga ditemani teman-teman dari kampus lain, yaitu Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Haji Ahmad Karim Amrullah (UHAMKA). Sampai saat ini, sudah hampir 100 anak yang menjadi anak didik Rumah Bimbel Surya Gama. Selain itu, Nabhan juga ingin menyediakan tempat belajar yang nyaman bagi anak-anak sekitar rumahnya. Para pengajar di sana pun tak segan memberikan pendidikan di luar jam belajar. “Jika ada siswa yang ingin konsultasi belajar di luar jam kursus, baik bertemu langsung mau-
pun via sms pasti kami respons,” kata Nabhan, Jumat (16/10). Kepedulian mahasiswa terhadap pendidikan juga turut melatarbelakangi terbentuknya Maroon English Course. Tempat kursus yang digagas oleh Siti Mualiyah ini berlokasi di Semanggi 2 Ciputat, Tangerang Selatan. Menurut Alya, biasa ia disapa, pendidikan menjadi tanggung jawabnya sebagai sivitas akademika, di-
Berdiri sejak September 2012, Maroon English Course juga membuka kelas Test of English as Foreign Language (TOEFL). Untuk TOEFL, sambung Alya, Maroon English Course menggunakan metode kombinasi antara Oxford dan Cambridge. Sedangkan untuk metode pembelajaran, Alya mengaku jarang men-
gadakan kegiatan belajar mengajar di dalam ruangan karena terkesan formal. “Kadang di taman UIN, kadang juga di Situ Gintung. Pokoknya agar mereka bebas dan gak jenuh,” kata Alya. Hingga saat ini, tercatat sekitar 100 siswa di Maroon English Course. Berbeda dengan Nabhan, Alya hanya fokus mengajar satu mata pelajaran, ya-itu Bahasa Inggris. Ketika ditanya alasan, dara kelahiran Jawa ini mengaku ingin fokus pada Bahasa Inggris, baik speaking, reading, listening, writing, dan grammar.
Dok. Pribadi
Terik matahari tak menyurutkan niat Hevi Indriani untuk mengajar anak-anak. Lima hari dalam seminggu, Hevi selalu menyiapkan materi yang akan diberikan pada siswa-siswinya. Sejak 2012, ia mengubah teras tempat tinggalnya di Jalan Puskesmas, Pondok Aren menjadi tempat kursus bagi siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Materi yang diajarkan Hevi pun beragam, mulai dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sampai Bahasa. Tempat kursus yang digagas oleh mahasiswi Prodi Bahasa dan Sastra Inggris (BSI) ini terbilang sukses. Terbukti, sampai saat ini sudah hampir 30 siswa-siswi SD dan SMP sekitar tempat tinggalnya resmi menjadi murid Hevi. Meski hanya mendapat Rp50 ribu persiswa tiap bulannya, kecintaanya terhadap anak-anak membuat Hevi tak merasa rugi. “Saya gak mempermasalahkan keuangan, malah senang karena bisa bertemu dan mendidik anak-anak secara langsung,” ujarnya, Jumat (16/10). Adanya tempat ini, lanjut Hevi, bermula dari ibu-ibu di sekitar rumah yang memintanya membantu Pekerjaan Ru-mah (PR) putra-putri mereka. “Awalnya cuma Bahasa Inggris, lama-lama semua mata pelajaran kecuali Olahraga dan Seni Budaya.”
tambah lagi identitasnya sebagai mahasiswi Fakultas Ilmu Tabiyah dan Keguruan (FITK). “Kalau kita punya ilmu, gak usah mikir-mikir untuk berbagi,” pungkasnya, Jumat (16/10).
Siswa-siswi Rumah Bimbel Surya Gama sedang belajar di Pulogadung, Jakarta Timur, September 2015. Tempat ini sekaligus tempat tinggal Ahmad Nabhan, penggagas Rumah Bimbel Surya Gama.
Sambilan Jadi Penonton Panggilan Ika Puspitasari Menjadi penonton di program acara televisi menjadi salah satu kegiatan baru beberapa mahasiswa saat ini. Sebagian di antara mereka karena alasan uang. Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) yang menghadiri acara Stand Up Comedy adalah Indah Muazdin. Sehari sebelumnya, ia ditawari lewat pesan singkat oleh salah satu seniornya untuk menjadi penonton di acara itu dengan iming-iming uang Rp50 ribu dan makan gratis. Menjadi penonton panggilan untuk program televisi sudah kali kedua bagi Indah. Sebelumnya, ia juga pernah menghadiri Konser Musik Trio
Lestari di Trans TV karena tawaran salah satu temannya. Meski begitu, tak semua program televisi Indah mau hadiri, ada alasan yang menjadi pertimbangan Indah. “Kalau acara yang kaya Facebookers aku enggak mau, apalagi kalau harus memakai jas almamater,” tutur Indah, Minggu (18/10). Sama halnya Indah, Melpi Nuryanti juga pernah menjadi penonton panggilan untuk salah satu pro-
Dok. Pribadi
Gelak tawa dan riuh tepuk tangan terdengar dari sejumlah penonton acara Stand Up Comedy di Studio 1 Indosiar, Senin (5/10) malam itu. Sebagian dari mereka adalah para mahasiswa dari beberapa kampus yang mengenakan jas almamater masing-masing. Termasuk di antaranya mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Salah satu Mahasiswa semester 3 Jurusan Bahasa dan Sastra Arab
Beberapa mahasiswa sedang mendapat arahan dari Floor Direction (FD) sebelum acara Stand Up Comedy di Studio 1 Indosiar, Minggu (5/10). Acara tersebut diadakan 6 kali dalam sebulan dan jumlah mahasiswa UIN Jakarta yang hadir dapat mencapai 30 orang.
gram televisi. Saat itu, ia bersama teman-temannya di Jurusan Ilmu Perpustakaan (IP) FAH diminta oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) IP untuk menghadiri Talk Show Kick Andy di Metro TV. Namun tak seperti indah, Melpi kala itu tak mendapat tawaran uang. Lain lagi dengan Rusnul Nur’ahlina Hanifi. Mahasiswa semester 5 Jurusan Tafsir Hadis (TH) Fakultas Ushuluddin (FU) itu sudah terhitung dua tahun aktif menjadi penonton panggilan di banyak acara televisi. Antara lain Mata Najwa di Metro TV, Debat Mahasiswa di Trans TV, dan Acara Stand up Comedy di Indosiar. Dalam sebulan, ia bisa 4-6 kali menjadi penonton panggilan. Dari setiap acara yang hadiri, biasanya Lina memperoleh uang kisaran Rp25-50 ribu plus makan gratis untuk satu kali acara. Bahkan sudah sebulan terakhir, Lina juga diminta menjadi koordinator untuk mencari mahasiswa yang terta- rik menjadi penonton panggilan. Untuk satu mahasiswa yang ia dapat, Lina dibayar Rp5 ribu. “Biasanya saya mendapat Rp125 ribu dalam sekali nonton,” ujar-nya, Jumat (16/10) Bukan tanpa alasan Lina masih aktif menjadi penonton panggilan sekaligus koordinator menarik penonton untuk acara-acara televisi, selain mendapat uang, ia juga merasa senang dapat mengenal orang-orang yang bekerja di sana. Lina berharap, di kemudian hari ia bisa juga berprofesi di dunia pertelevisian. Sudah sebulan terakhir, Puput Fauzia diminta menjadi koordinator untuk mencari penonton panggilan
dari kalangan mahasiswa di program acara Stand Up Comedy di Indosiar. Untuk satu kali tayangan, Puput bisa menarik 10-50 mahasiswa untuk menjadi penonton. Dengan jumlah itu, ia bisa mendapat uang Rp50-250 ribu. Sama halnya Lina, mulanya Puput juga aktif menjadi penonton panggilan di acara-acara televisi. Dan hingga kini, terhitung sudah dua tahun mahasiswa semester 5 Jurusan TH FU itu menjalani aktivitas sambilannya itu. Meski demikian, tak jarang Puput me-nemui kendala menarik mahasiswa untuk menjadi penonton. Umumnya, mereka yang menolak karena tidak mendapat uang. Padahal, tak semua acara televisi yang mencari penonton dari kalangan mahasiswa menyediakan uang. “Tergantung acaranya, kalau acara Mata Najwa meskipun mereka enggak dapat duit, peminatnya banyak,” kata Puput Sementara itu, Ketua Senat Mahasiswa Universitas (Sema-U) UIN Jakarta, Eko Siswandanu berharap, mahasiswa bisa selektif memilih acara televisi yang akan ditonton. Misalnya, acara-acara yang dapat memberi wawasan dan pembelajaran kepada mahasiswa. Pasalnya, kata Eko, mahasiswa meru pakan perwakilan kampus terlebih ketika mengenakan jas almamater di acara televisi. Eko juga berharap, ke depannya pihak kampus bisa menentukan acara-acara televisi yang layak untuk ditonton mahasiswa. “Kampus kita bisa dinilai buruk apabila melihat mahasiswa mengenakan jas almamater menghadiri acara komedi ataupun konser musik,” tutupnya, Rabu (21/10).
SURVEI LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
Pengetahuan Mahasiswa Tentang Repository UIN Jakarta Di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini, masyarakat bebas menerima, menyimpan dan, mengelola informasi dari berbagai sumber. Demi mendukung itu, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memfasilitasi mahasiswanya agar lebih mudah mencari referensi untuk membuat karya tulis ilmiah, seperti skripsi, disertasi, dan tesis dengan membuat Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sudah tiga tahun repository hadir di UIN Jakarta. Namun nyatanya, hingga kini keberadaannya tidak banyak diketahui mahasiswa. Padahal manfaat yang diperoleh dari repository sangat bisa membantu mahasiswa. Selain itu, jika dibandingkan dengan universitas negeri lainnya, semisal Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Diponegoro, karya tulis ilmiah yang sudah dipublis dalam repository UIN Jakarta masih sangat minim.
6
Berdasarkan hasil survei divisi litbang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Institut UIN Jakarta. 62,4 % mahasiswa tidak mengetahui Institutional Repository UIN Jakarta. Maka berimbas pada 87,1 % mahasiswa kurang dari tiga kali dalam mengunjungin Repositoriy UIN Jakarta. Bukan hanya itu, 83,4 % mahasiswa juga belum memahami pasti kegunaan dari repository itu sendiri. Dalam membuat karya tulis ilmiah 49,7 % mahasiswa mencari referensi dari bukan website resmi UIN Jakarta. Pengelola Perpustakaan Utama (PU) UIN Jakarta pun sudah maksimal untuk mensosialisasikan Institutional Repository UIN Jakarta, mulai dari pengenalan di Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK), pengadaan brosur PU, hingga mengadakan seminar pengenalan repository tiap fakultas di UIN Jakarta. Tapi cukup disayangkan sosialisasi yang dilakukan PU tak menyentuh seluruh mahasiswa. Terlebih tingkat kepedulian mahasiswa masih minim.
*survei dilakukan oleh Litbang Institut pada 22-24 Oktober 2015 di kampus UIN Jakarta kepada 352 responden dari seluruh mahasiswa UIN Jakarta. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam survei ini adalah simple ramdom sampling dengan derajat kepercayaan 95%. Hasil survei ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi repository UIN Jakarta secara keseluruhan namun hanya sebagai gambaran saja
Pasang Iklan Sejak didirikan 30 tahun silam, LPM Institut selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid Institut, Majalah Institut, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.lpminstitut.com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM Institut. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya: Tabloid Institut Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid Institut ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud) Institut Online Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari Majalah Institut Sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester.
CP: Maulia Nurul No HP: 08567231682
BERITA FOTO LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
7
Foto: Yasir/INS
Foto: Yasir/INS
Foto: Yasir/INS
Pertunjukan teater dari Yayasan Kelola bertajuk I Think Thonk di Hall Student Center UIN Jakarta, Kamis (22/10). Pertunjukan ini menjadi rangkaian parade PANORAMA: Respon Urban dalam Ruang Eksploratif oleh Teater Syahid UIN Jakarta.
Beberapa penggalang pramuka tengah berkumpul dalam Festival Kepramukaan Giat Prestasi Penggalang dan Penegak di lapangan parkir SC UIN Jakarta, Minggu, (18/10). Festival ini sebagai perayaan HUT Pramuka UIN Jakarta dan dihadiri penggalang dan penegak dari DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) dan Transmigrasi, Marwan Ja’far sedang menyampaikan materi dalam seminar nasional Priodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) bertema Pembangunan Berbasis Desa : Prospek dan Tantangan, Rabu, (21/10). Acara tersebut merupakan seminar maraton dari 19-22 Oktober, Fidikom UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Koperasi di FITK Ikut Direlokasi
FISIP Batasi Kegiatan Mahasiswa
Koperasi Tarbiyah dan Koperasi Dharma Wanita Persatuan yang berada di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta kini beralih fungsi. Nantinya, ruang koperasi itu akan dijadikan laboratorium bagi Program Studi Pendidikan Agama (PAI). Alasan pemindahan koperasi tersebut sama seperti koperasi di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (Fidikom) yang direlokasi pada awal Oktober si-lam. Latar belakang relokasi koperasi bertujuan memenuhi syarat akreditasi ASEAN University Network Quality Assurance (AUN-QA) yang merupakan lembaga akre- ditasi tingkat Asia Tenggara. Menurut Kepala Bagian (Kabag) Umum UIN Jakarta, Muhammad Ali Meha, salah satu syarat akreditasi AUN-QA, setiap universitas harus mempunyai laboratorium di setiap jurusan, Senin (12/10). Koperasi di FITK, lanjut Ali Meha, akan dipindahkan ke tempat yang sudah tersedia di Komplek Perumahan Dosen UIN Jakarta. “Kemungkinan koperasi akan dipindahkan ke komplek perumahan dosen atau Kafe Cangkir lantai dua,” ujarnya. (Jeannita Kirana)
Menyoal dengan kegiatan mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, di setiap fakultas memiliki ragam kebijakan untuk mengatur kegiatan mahasiswa. Tak terkecuali Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta. Belum lama ini tertera di LED running text aturan yang melarang mahasiswa merayakan ulang tahun dan berdagang di FISIP. Menurut Kepala Bagian (Kabag) Tata Usaha (TU) FISIP, Muhammad Noer, secara tertulis peraturan terkait larangan merayakan ulang tahun dan berdagang belum dibuat. Hanya saja, dekanat menghimbau mahasiswa agar selalu izin dalam melakukan kegiatan. Ia pun seringkali mendapati mahasiswa lalai dan tidak disiplin dalam hal keamanan terutama kebersihan. “Dekanat sendiri menginstruksikan tidak ada kegiatan apapun setelah maghrib,” ujarnya, Jumat (16/10). Alasan lain FISIP membatasi kegiatan mahasiswa karena kurangnya petugas kemanan. “Gedung sebesar FISIP hanya diawasi satu satpam,” tambah Noer. Bukan hanya itu, ia juga menyayangkan kinerja petugas kemanan yang masih belum maksimal. Maka dari itu, ia menyarankan agar kedepannya tiap fakultas memiliki minimal tiga petugas kemanan, ditambah lagi FISIP akan memasang CCTV di setiap lantainya. (Yasir Arafat)
Visit www.lpminstitut.com UPDATE TERUS BERITA KAMPUS
OPINI
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
Hari Santri Nasional; Resolusi Jihad Jilid II
8
Oleh Muhajjalul Muna* Kaum sarungan patut berbangga diri atas ditetapkannya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Bagaimana tidak, disahkannya HSN mau tidak mau adalah buah dari- pada penantian panjang saat wacana ini santer digulirkan sejak kepemim-pinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) 2013 silam. Penetapan Hari Santri—yang baru menemukan momennya—ini pun melengkapi upaya kaum sarungan untuk mengambil posisi sebagai bagian dari entitas masyarakat Indonesia setelah sebelumnya juga santer wacana Gerakan Ayo Mondok awal 2015 lalu. Namun, sebelum terlalu larut dalam euforia ini, agaknya kita juga perlu menengok ke belakang untuk melihat narasi sejarah hingga akhirnya santri mendapat posisi tersendiri bagi bangsa ini. Dari narasi itu pula setidaknya kita bisa melihat dengan objektif sejauh mana kaum sarungan memberi kontribusi atas berdirinya republik Indonesia hingga hari ini. Seperti diketahui, naskah proklamasi yang dibacakan Soekarno pada 17 Agustus 1945—yang juga menandai Indonesia telah merdeka secara de facto—tidak serta merta melepaskan Indonesia dari praktik kolonialisme. Hingga beberapa tahun sesudahnya, Indonesia bahkan masih dihinggapi rasa cemas akan tetap menjadi negara jajahan. Setelah 3,5 abad hidup dalam bayang-bayang pemerintahan asing, masa-masa 1945-1949 juga tidak bisa dianggap biasa bagi bangsa Indonesia. Bahkan, menurut penulis, masa itu juga sangat menentukan Indonesia di mata dunia; bahwa Indonesia sebagai negara yang baru saja merdeka, dituntut untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Dan dalam kurun waktu itulah, salah satu kelompok masyarakat yang dianggap udik, kuno, dan ketinggalan zalam mengambil perannya untuk mempertahankan negerinya sendiri. Pemantik Semangat Berjuang Tak kurang dari satu bulan sejak Soekarno menyatakan Indonesia sebagai Bangsa yang merdeka, niat Belanda untuk kembali merebut pemerintahan resmi rupanya tak juga padam. Pasca Jepang menyerah tanpa syarat pada 14 Agustus 1945, yang
menandai Indonesia merdeka secara de facto, Belanda kembali berupaya mengambil alih pemerintahan resmi Indonesia lewat tentara sekutu mereka yang disebut Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) dan bantuan Inggris. Apa yang dilakukan Belanda lewat NICA, tentu telah mengganggu stabilitas nasional Indonesia. Kare-
na pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945, telah menandai babak baru Indonesia sebagai bangsa mandiri dan berdaulat. Dan oleh karena itu, upaya NICA tidak bisa dibenarkan. Menyadari hal itu, KH.Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober akhirnya mengeluarkan sebuah pernyataan agar rakyat Indonesia melakukan perlawanan terhadap NICA yang tengah mencoba kembali merebut kedaulatan Indonesia. Dan inilah isi dari pernyataan itu atau yang umum disebut Resolusi Jihad:
“Berperang menolak dan melawan penjajah itu hukumnya fardu ‘ain (harus dikerjakan oleh setiap muslim. Balik laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak). Bagi yang berada dalam jarak 94 kilometer dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardu kifayah
(cukup dikerjakan oleh sebagian orang saja)” Oleh sebagian pihak, Resolusi Jihad itu pun dirasa penting. Bukan hanya menjadi pemantik api perlawanan para kaum sarungan khususnya kala itu, lebih jauh, Resolusi Jihad Mbah Hasyim juga dinilai sebagai pemicu semangat arek-arek Surabaya lewat pidato Bung Tomo pada pertempuran melawan Belanda 10 November sesudahnya. Di lingkungan pesantren, semangat jihad yang dimaknai dengan mengangkat senjata, sebenarnya sudah ada sejak beberapa tahun sebelumnya. Sejak masa pendudukan Jepang, dilingkungan santri dan pesantrem dikenal istilah Laskar Hizbullah (kader-kader santri) dan Laskar Sabilillah (dari kalangan ulama dan kyai). Mereka mendapat pelatihan di daerah Cibarusah, Bogor sejak 1943. Di kurun waktu 1945-1949, merekalah yang menjadi representasi kaum santri dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bukan Sebuah Seremonial Di antara sekian isu pro-kontra adanya Hari Santri, yang paling banter barangkali saat mantan Ketua PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin menyatakan penolakan atas ditetapkannya Hari Santri sebagai hari nasional. Seperti dikutip Tempo.co, menurut Din, adanya Hari Santri akan semakin memecah persatuan bangsa. Islam Indonesia akan semakin terpolarisasi. Tentu tidak keliru alasan Pak Din untuk menolak adanya Hari Santri, mengingat kasus-kasus sentimen beragama di Indonesia yang terus terulang. Namun kurang adil rasanya, jika santri kemudian hanya dikono-
tasikan kepada mereka yang pernah mengenyam pendidiakan di pesantren, apalagi dengan kelompok organisasi massa Islam tertentu. Di antara sekian banyak definisi santri yang mafhum disampaikan kyai-kyai pesantren seperti orang yang mempelajari kitab suci ataupun mereka yang tinggal di pesantren dan meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniaan Gus Mus menyatakan, bahwa Santri bukan hanya milik mereka yang pernah tinggal di pesantren, namun, juga milik semua orang yang memiliki akhlak-akhlak mulia sebagai santri. Sekali lagi, kaum sarungan patut berbangga atas pengakuan ini. Terlepas dari berbagai kontroversi yang menyelimuti di belakanganya, Hari Santri pada dasarnya merupakan sebuah upaya refleksi untuk mengenang perjuangan kaum sarungan mempertahankan kedaulatan Indonesia. Baik dari sisi tradisi, dan budaya, terlebih dalam menanamkan nilai-nilai Islam yang lebih humanis dan toleran. Dan tepat pada perayaan Hari Santri 22 Oktober lalu, kaum sarungan juga seolah ditampar dengan bencana asap yang tengah menyerang warga Sumatra, Kalimantan, dan sekitarnya. Bentuk perayaan apapun yang akan dilakukan kaum santri setiap menjelang 22 Oktober kedepannya, sejatinya hanya waktu untuk mengingat apa yang pernah terjadi dan dilakukan santri untuk mempertahankan kedaulatan negara ini.
*Penulis adalah Mahasiswa Semester 7 Fakultas Ushuluddin (FU) dan Ketua Ikatan Mutakharrijin Madrasah Aliyah Negeri (IMMAN) Cab. Jakarta
UIN, McDonalisasi dan Kartu Kredit Oleh Adi Nugroho* Apa kabar agen perubahan? Selamat menempuh gelar Strata Satu (S1) di kampus tercinta UIN Jakarta. Dalam menempuh jenjang S1 tak ubahnya seperti menempuh jenjang pendidikan lain. Bahkan, banyak yang mengatakan mendapat gelar sarjana hanya seremonial bagi orang tua yang telah berhasil melihat anaknya lulus menjadi tukang insinyur. Namun, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2015 ada sekitar 400 ribu jumlah pengangguran yang mempunyai gelar S1. Sedikit melihat UIN Jakarta—pabrik akademis yang tiap tahunnya mengolah 5 ribu produk siap saji—dan konsep McDonalisasi (McD). Pertama dari konsep efisiensi bagaimana cara yang terbaik mencapai tujuan. Salah satunya dengan mengulurkan sajian melalui jendela untuk mempertinggi efisiensi dalam mendapatkan makanan. Ada sekitar 5 ribu mahasiswa baru yang terus memadati gedung perkuliahan dan “mengobral” mahasiswa yang sudah lawas agar cepat lulus atau bahkan dipermudah untuk pindah (ke pabrik
lainnya). Tak pelak, pendidikan hanya diisi oleh gedung gedung bertingkat untuk terus menambah barang siap sajinya. Salah satu caranya dengan menjadikan ruangan jurusan atau mungkin ruangan lainnya untuk menyelenggarakan sidang skripsi, bukan tidak adanya ruangan sidang melainkan membeludaknya ruangan yang dipergunakan untuk sidang skripsi tersebut. Menjadikan jadwal wisuda 4 kali dalam setahun. Dan tips agar diberikan kemudahan adalah dengan mengikuti saja kehendak pembimbing untuk mengubah skripsi yang disukainya agar cepat mendapat ijazah. Cepat saji. Kedua, Predictability (kemampuan yang dapat diprediksi). Perkuliahan yang ha nya 6 tahun dapat di prediksi sama halnya dengan kemudahan kartu kre dit, orang dapat berbelanja tanpa uang di tangan yang membuat konsumsi menjadi lebih diprediksi. Mahasiswa hanya akan disibukkan dengan membuat makalah yang kemudian berorientasi kepada nilai. Padahal dalam dunia kerja, hal yang dipelajari belum tentu akan li-
near dengan apa yang menjadi pekerjaannya tersebut. Perkuliahan 6 tahun tersebut keluaran dari kementrian lalu bagaimana dengan UIN? Tahun 2010 sistem Student Government (SG) dihapuskan. Diganti dengan sistem senat. Gampangnya, dahulu UIN menjadi barometer universitas lain dalam hal berorganisasi. Hal itu karena seluruh kegiatan dilakukan dari, oleh dan untuk mahasiswa. Mahasiswa dapat berdikari atas keuangan, pemilihan umum, dan minimal membuat runtutan acara pada Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan (OPAK). Berbeda dengan sistem Senat yang keuangan bahkan runtutan acara OPAK dibuatkan oleh Wakil Rektor bahkan Wakil Dekan (Wadek). Bisa jadi mahasiswa saat ini diprediksi pandir oleh pemangku kebijkan, hingga hal tersebut dianggap tidak mampu membuatnya dan mesti dibuatkan. Kemampuan produk tersebut tentu dapat diprediksi akan selalu pandir. Ditambah pembatasan ruang gerak, misalnya dengan adanya jam
malam yang tidak memperbolehkan melakukan kegiatan hingga larut malam. Hal tersebut sama ketika saat proses pembelajaran dibatasi sekitar 3-4 jam perhari. Pembatasan ruang gerak dengan jam malam sudah terbukti dengan banyak- nya mahasiswa yang anomi. Terakhir cenderung menekankan pada kuantitas, biasanya lebih menekankan kuantitas ketimbang kualitas. Kapasitas produksi yang sangat minim tentu keuntungan akan minim pula, maka dari itu harus ada peningkatan dalam proses produksi. Pembangunan yang di gadanggadang “master plan” yang saat ini berlangsung misalnya gedung parkir sementara harus menghancurkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan dengan memperluas parkiran tentu akan memperbanyak orang yang akan dan terus parkir. Lalu apa yang membuat penekanan dalam kualitas? Setidaknya saat ini sedang berlangsung dan terus berupaya membuat fakultas baru yang legal, membuka jurusan-jurusan baru, dan terpenting adalah dengan harapan UIN Jakar-
ta yang terus menerus menaikkan jumlah pemasukan keuangan. Lucu ketika tenaga pengajar yang kurang, ruang belajar tidak memadai, dan bahkan yang menjadi permasalahan saat OPAK adalah ketidaktersediaan lahan yang menampung mahasiswa baru dalam pegelaran tahuanan tersebut namun masih tetap tiap tahunnya menerima jumlah peserta didik yang sama. Panggang jauh dari api. Bahkan memanusiakan manusia menjadi utopis. Pendidikan akan dan ke mana arah tujuannya hanya berada di tangan pemangku kebijakan (penguasa). Pendidik menerima dan mengajarkan apa yang telah diterimanya walau dengan gaya yang dianutnya baik konservatif atau tidak dari penguasa. Saya tahu penguasa sedang membuat atau menciptakan pola pendidikan untuk memenuhi pasarnya masing-masing.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Jakarta.
KOLOM BAHASA LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
Jonru
EDITORIAL
Oleh Rahmat Kamaruddin*
Senat Mahasiwa, Apa Kabar? Tak kurang dari dua bulan Pemilihan Umum Raya (Pemira) akan kembali digelar. Pesta demokrasi bagi mahasiswa UIN Jakarta itu menandakan sistem oraganisasi kemahasiswaan kita yang sudah menginjakkan kakinya di usia kelima sejak disahkan pada 2010 silam walaupun di dua tahun awal perayaannya juga tak bisa dikatakan sempurna. Lalu, apa kabar para aktivis yang digadang-gadang menjadi pemimpin masa depan ini? Tentu tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang. Kecuali Senat Mahasiswa (Sema) memang dilihat sebagai bagian dari upaya rektorat agar menjadikan atmosfer organisasi kemahasiswaan lebih lebih bernuansa akademis. Setidaknya begitulah yang dikatakan mantan Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim tiga tahun silam. Upaya rektorat yang sudah ada sejak 2004 silam itu agaknya memang tidak sia-sia. Buktinya, lihat saja, kini mahasiswa lebih rajin kuliah. Tidak ada lagi itu geger-geger karena urusan perebutan kursi jabatan tertentu. Kalau pun ada, itu tak seberapa dibandingkan dulu ketika Studen Government masih ada. Mahasiswa juga tidak lagi disibukkan aktivitas-aktivitas praktik politik kampus yang kotor dan menjijikan itu. Mereka, mahasiswa juga tak lagi gontok-gontokan dalam bicara soal uang, dan mereka juga tidak berhak tahu soal itu. Itu uang negara, dan yang berhak tahu hanyalah mereka yang mendapat amanat dari negara. Mahasiswa juga tidak perlu sok-sok memperebutkan jabatan, karena yang berhak melakukan hal itu hanya mereka aristokrat negara dan mereka yang mendapat mandat dari negara. Tugas mahasiswa hanya belajar. Tidak lain. Kini bukan Orde Baru, ketika kampus menjadi kepanjangan tangan dari obsolutivitas kekuasaan. Karena di era ini, mahasiswa harus sadar, bahwa kritik tak lebih penting dari mahasiswa yang lebih bersinergi dan kooperatif dengan kampus untuk memperbaiki kondisi negara. Mahasiswa tak usah memiliki anggapan, kampus menjadi lembaga yang sarat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Karena sekali lagi, ini bukan era Orba. Praktik KKN hanya ada di instansi-instansi pemerintah, bukan di kampus. Kampus adalah tempat suci. Satu-satunya tempat yang mampu memproduksi para pemikir handal dan selalu membela nasib rakyat. Terlebih UIN Jakarta dengan label ‘Islam’-nya. Karena itu, mahasiswa tak usah terus menanamkan stereotip negatif terhadap kampus. Sepertinya, rektorat harus lebih mengajari mahasiswanya agar tidak diam dalam kejumudan dan sempit pikir. Lihatlah, beberapa perguruan tinggi besar di luar negeri, apakah mereka seperti mahasiswa kita yang latah untuk turun ke jalan? Latah memberi komentar terhadap kondisi negara? Dengan panjang lebar bicara soal kondisi politik, ekonomi, dan sosial negaranya? Mahasiswa Indonesia, khsususnya UIN Jakarta harus sadar diri. Apalagi mereka, para mahasiswa, dengan status Strata Satu (S1) yang juga urung rampung. Sekali lagi mahasiswa harus sadar khittahnya, kalau tugas mereka adalah belajar, belajar, dan belajar. Bukan tukang kritik atau pengamat. Mahasiswa pun tak usah sok-sok membela rakyat karena rakyat sudah ada yang membela. Rakyat sudah ada yang mengurusi. Dan tak kurang dua bulan, UIN Jakarta bakal memilih presiden mahasiswa baru mereka. Dan selama setahun ke depan, presiden juga sebaiknya mengisi program-programnya agar lebih memfasilitasi harapan mahasiswa ke depannya. Job Fair misalnya?
Penikmat dunia maya (netizen) tentu tak asing dengan Jonru. Kader PKS yang juga seorang muallaf itu kian masyhur berkat kegemarannya menebar informasi provokatif di media sosial, terutama pada Pemelihan Presiden (Pilpres) 2014 silam. Kiprahnya di jagat maya Indonesia menarik tak sedikit perhatian netizen. Jonru berarti menghalalkan fitnah ke pihak yang tak disukai. Begitulah Akhmad Sahal, seorang netizen, menciptakan kosakata baru atas laku Jonru yang dinilai meresahkan. Tak terima, Jonru melaporkan hal itu ke Polda Metro Jaya. “Sesungguhnya menjonru itu lebih kejam dari pembunuhan,” retweet Sahal, sebagaimana dilansir Kompas.com. Rivan Heriyadi, netizen asal Malang, Jawa Timur, pun mengamini Sahal. Rivan membuat screenshot tampilan Kamus Besar Bahasa Indonesia berisi dua “kosakata” baru: jonru dan menjonru. Jon.ru: Perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang) dan men.jon.ru: menjelekkan nama orang. (menodai nama baik, merugikan kehormatan). Berawal dari peristiwa di atas, para netizen yang merasa terganggu oleh ulah Jonru pun ramai menggunakan kosakata jonru sebagai pengganti fitnah. Pasalnya, Jonru dianggap kerap menebar isu hoax, mengandung
SARA dan memantik perdebatan kontraproduktif publik. Di antara secuil isu yang disebarkan Jonru yakni Quraisy Shihab sebagai penganut Syiah dan orang tua Jokowi Cina sekaligus PKI. Agaknya, Jonru adalah sosok yang telah dengan baik merepresentasikan isi kepala, impian dan keyakinan para penggemarnya. Saban saat puluhan ribu penggemar dengan giat menekuni serta menyebarkan informasi yang disampaikan Jonru melalui akun twitter dan facebook-nya. Jonru dan fitnah dua hal berbeda, namun bukan tak punya relasi. Jonru nama panggilan dari Jon Riah Ukur Ginting. Fitnah sendiri kata benda (noun) yang berarti, menurut KBBI, “Perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)”. Orang Indonesia, terutama kalangan Muslim, kerap menyematkan “konsekuensi metafisis-teologis”, be-
Rapat sendiri, pemira aja sendiri
TABLOID INSTITUT EDISI XXXVIII halaman 8 kolom dua tertulis ‘G-30 S/PKI: Bukan Sekadar Mempertanyakan Dalang’, seharusnya tertulis ‘G-30 S: Bukan Sekadar Mempertanyakan Dalang’ TABLOID INSTITUT EDISI XXXVIII halaman 2 kolom pertama tertulis nama Zaini Tafrikhan Jurusan Tafsir Hadist, Seharusnya tertulis Jurusan Akidah Filsafat.
Ketika aku putus asa, aku ingat, bahwa sepanjang sejarah, kebenaran dan cinta selalu menang. Ada banyak tirani dan pembunuhan, dan sejanak mereka seolah tak terkalahkan. Tapi, pada akhirnya, mereka selalu kalah. Pikirkan itu. Selalu. "
Mahatma Gandhi 1869-1948
rupa bobot dosa, kepada perbuatan fitnah dengan mengutip ayat, “Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan (Al-fitnah asyaddu min al-qatl [2:191])”. Ini adalah salah kaprah yang entah bermula sejak kapan. Sebab Alquran sendiri menyebutkan istilah fitnah dalam pelbagai pengertian, hanya saja sama sekali berbeda dari arti fitnah dalam bahasa Indonesia. Sekali waktu Alquran menyebut istri, anak-anak dan harta benda kita adalah fitnah (Innama amwalukum wa aula dukum fitnah [64:15]). Pada kesempatan lain istilah fitnah dalam Alquran bermakna siksaan (8:25). Sementara itu, pengertian fitnah pada surat 2:191 di atas, menurut Tafsir Jalalain, bermakna syirik. Lalu, bagaimana bila ada orang yang masih ingin mencari padanan kata fitnah dalam pengertian bahasa Indonesia di Alquran? Alquran menggunakan kata buhtan, yakni tuduhan keji tanpa dasar atau fitnah kepada Siti Maryam, perempuan suci ibunda Nabi Isa (4:156), kata inilah kiranya lebih sepadan dengan fitnah. Atau, barangkali, Anda lebih tertarik dengan usulan dua netizen di atas? ***
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi LPM Institut Periode 2013 dan Mahasiswa Akidah Filsafat semester akhir.
BANG PEKA
Ralat
Quote of The Month
9
Belum pemira aja ribut, apalagi pas pemira?
Sema-F
TUSTEL LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
10
Surga dari Timur Indonesia Foto: Aprilia Hariani Teks: Yasir Arafat Alam merupakan sahabat dekat manusia, bila manusia terus menjaga keasrian tanpa merusaknya sudah barang tentu alam akan selalu memanjakan mata dengan keindahan yang dimilikinya. Indonesia negeri yang kaya akan hasil bumi dan panorama alam ini, banyak menyimpan surga-surga dunia yang belum banyak diketahui masyarakat dunia. Semestinya bisa menjadi destinasi terbaik untuk dikunjungi. Salah satunya terletak di Timur Indonesia, lebih tepat lagi di Pantai Senggigi, pesisir Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB), 12 kilometer sebelah barat laut Kota Mataram ini memang objek wisata yang terkenal dengan keindahan dan kealamian pantainya. Ribuan butiran pasir putih nan halus, desiran angin pantai kan dapat selalu menyejukkan hati dan pikiran. Barisan perahu kayu siap sedia mengantar pengunjung berkeliling pulau, dan mulai memainkan perannya sebagai penggerak perekonomian nelayan setempat. Bukan hanya di daratan, keindahan pulau Senggigi juga terasa hingga tenggelam ke dasar laut. Warna-warni terumbu karang dan kumpulan ikan-ikan kecil bawah laut seperti Moorish Idol, Butterfly Fish, Angel Fish, Anthias, serta Lion Fish, dapat pula terlihat dari permukaan air laut. Sebab jernihnya air laut Senggigi tidak ada duanya. Tak terasa, senja pun tiba. Hangatnya terik mentari kini perlahan memudar memasuki malam. Terlihat sun set begitu eksotis dan romantis, detik yang tepat untuk melepas penat, sembari meremajakan tubuh selepas seharian menjelajah Senggigi pulau dengan sejuta keindahan.
Berkaca Pada Alam
Menikmati Gili Nanggu
Berlabuh
Hamparan Pasir
Senja
WAWANCARA LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
11
SOP Plagiarisme Jadi PR Komisi Etik SOP plagiarisme yang dirancang oleh LPM UIN Jakarta dan Komisi Etik Universitas belum disahkan. Sehingga beberapa tindak kasus plagiarisme tak kunjung ditindaklanjuti. Adakah peraturan khusus untuk menangani kasus plagiat di UIN Jakarta? Saat ini, undang-undang mengenai plagiarisme sedang kami bentuk dan termasuk dalam rumusan kode etik. Pembentukan SOP Plagiarisme diberlakukan dan wajib dipatuhi oleh semua sivitas akademik. SOP plagiarisme di UIN Jakarta belum ada karena Komisi Etik sendiri baru dibentuk pada April 2015.
Kini, LPM dan Komisi Etik Senat UIN Jakarta tengah bekerjasama guna merumuskan SOP Plagiarisme. Berikut hasil wawancara reporter Institut, Ika Puspitasari dengan Sekretaris Komisi Etik Senat UIN Jakarta, Amany Lubis, Jumat (18/9).
Sebelumnya UIN Jakarta menggunakan peraturan apa dalam menindak kasus plagiarisme? Undang-undang mengenai plagiarisme dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) ataupun Peraturan Kementerian Pendidikan Nasional (Permendiknas) tentang pencegahan dan penanggulangan plagiarisme itu sudah jelas. Namun alangkah baiknya jika ada peraturan khusus mengenai plagiarisme di setiap universitas. Salah satu tujuan dibentuknya Komisi etik adalah untuk mengawasi, menindak, dan memberi sanksi pelaku plagiarisme di tingkat unversitas.
Bagaimana pandangan Anda terkait kasus plagiarisme di UIN Jakarta? Plagiarisme merupakan tindakan mencuri, menjiplak, atau mengambil karya orang lain. Itu tindakan yang dilarang dan berlaku untuk semua sivitas akademika UIN Jakarta, entah itu mahasiswa, dosen, karyawan, dan rektor serta jajarannya. Apabila terjadi tindak plagiarisme, maka pelakunya harus mendapat sanksi. Apalagi di UIN sendiri merupakan kampus yang bernotabene Islam, maka setiap sivitas akademika harus mencerminkan perbuatan yang baik. Plagiarisme itu kan termasuk dalam kejahatan akademik.
Kapan target SOP plagiarisme itu disahkan? Penyusunan SOP plagiarisme termasuk dalam program kerja Komisi Etik yang bekerjasama dengan LPM UIN Jakarta tahun 2015. Sehingga, kita targetkan Undang-Undang (UU) tersebut rampung dan disahkan pada akhir 2015.
Jadi selama ini bagaimana prosedur pelaporan kasus plagiarisme? Pertama harus ada buktinya. Misalnya ada suatu karya ilmiah yang memiliki tulisan atau halaman yang sama persis dengan buku tertentu namun tidak mencantumkan referensinya, itu sudah jelas dikatakan plagiat. Setelah terbukti karya tersebut sebagai kasus plagiarisme bisa dilaporkan ke senat fakultas. Dalam setiap fakultas, senat fakultas bertugas dalam menangani kasus plagiarisme. Mereka berwenang dalam memutuskan serta memberi sanksi terhadap pelaku plagiarisme. Apabila dari fakultas tidak menangani kasus tersebut, baru kasus plagiat itu diserahkan ke universitas melalui rapat senat universitas. Seberapa besar wewenang fakultas dalam menindak kasuk plagiarisme? Sangat besar, pimpinan fakultas itu berhak menindaklanjuti adanya kasus plagiarisme. Namun, setiap fakultas berbeda-beda dalam mengangani kasus plagiarisme ini. Oleh karena itu kita sedang membentuk SOP Plagiarisme agar semua fakultas seragam dalam menindak kasus plagiarisme. Tindak kasus plagiarisme dapat selesai di fakultas masing-masing. Namun, ketika senat fakultas tak dapat melanjutkan kasus plagiarisme, baru kasus itu dibawa ke universi-
tas. Dari senat universitas sendiri bagaimana prosedur pelaporan kasus plagiarisme? Itu yang sedang kita rundingkan, kalau yang dulu-dulu apabila ada laporan plagiarisme dari fakultas baru diserahkan ke rapat senat dan dipaparkan kasusnya. Rapat senat juga menjadi tempat untuk memutuskan dan menjatuhkan sanksi. Apa sanksi yang diberikan untuk pelaku tindak plagiarisme? Sanksi bagi pelaku plagiarisme sendiri ada sanksi moral dan administratif. Untuk mahasiswa, mereka bisa diskors atau keluar dari sebuah universitas. Bagi alumni bisa dicabut gelar S1 atau S2-nya. Sedangkan bagi dosen sendiri bisa diturunkan dari jabantan-
nya, diskors untuk tak mengajar selama beberapa tahun, bahkan yang paling ekstrim bisa dikeluarkan. Biasanya, apabila bentuk plagiarismenya buku, buku tersebut diambil dari edaran. Dosen tersebut diminta untuk merevisi ulang dan meminta maaf kepada pihak yang merasa dirugikan. Apabila kasus plagiarisme selesai dengan minta maaf, dan pihak yang merasa dirugikan sudah memaafkan, itu bisa langsung selesai. Sebab, pelaku plagiarisme sudah mendapat sanksi moral dan malu setelah adanya laporan plagiarisme.
Dok. Pribadi
Pelanggaran kasus plagiarisme kembali terjadi di Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam tiga tahun terakhir, Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) UIN Jakarta menerima dua tindak kasus plagiarisme yang dilakukan oleh dosen. Namun, saat ini LPM UIN Jakarta belum menindak kasus tersebut lantaran tidak ada Standar Operasional Prosedur (SOP) Plagiarisme.
REKOMENDASI
Dok. Pribadi
U’L CEE: Kursus Cerdas dan Hemat
Bahasa merupakan alat komunikasi bagi manusia. Dengan bahasa, ses-
eorang dapat menyampaikan maksud kepada lawan bicaranya. Karena itu,
dapat menguasai lebih dari satu bahasa menjadi poin tambahan bagi ses-
eorang. Terlebih, untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di akhir tahun mendatang. Melihat banyaknya kebutuhan akan bahasa, Udrus Learning Center (U’L CEE) Institute hadir dengan membuka kelas bahasa asing (Inggris, Arab, Prancis, Turki, dan Thailand). U’L CEE juga memiliki beberapa program seperti bimbingan Test of Arabic as Foreign Language (TOAFL), Test of English as Foreign Language (TOEFL), kajian islam komprehensif, dan jasa penerjemahan dalam berbagai bahasa. Biaya kursus U’L CEE juga terbilang ekonomis. Dengan biaya Rp 500-600 ribu, anda sudah bisa kursus selama dua bulan untuk 20 kali pertemuan, termasuk biaya pendaftaran serta biaya modul pembelajaran. Sedangkan biaya TOAFL dan TOEFL dibandrol Rp 650 ribu per dua bulan. Selain itu, bagi anda yang ingin belajar privat, tak perlu khawatir, U’L CEE Institute juga membuka kelas privat bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Biaya untuk privat berbeda-beda tergantung
jenjang sekolah masing-masing. Untuk siswa-siswi SD, Rp 80 ribu untuk sekali pertemuan. Siswa-siswi SMP Rp 90 ribu dan Rp 100 ribu untuk siswa-siswi SMA atau sederajat. Pengajar lembaga kursus yang berdiri pada 1 Juni 2015 ini berjumlah sekitar 10 orang. Kebanyakan dari mereka merupakan alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Keuntungan lembaga kursus yang beralamat di Jalan Ir. H. Juanda No. 102 Ciputat Timur, Tangerang Selatan ini juga memberikan kelas gratis Bahasa Thailand, Turki dan Prancis. Kelas ini dibuka secara bebas tanpa ada daftar hadir peserta layaknya kursus berbayar. Ditambah lagi, bagi pelajar TOAFL dan TOEFL yang ingin mengulang karena belum mencapai angka 450-500, bisa mengulang tanpa harus membayar lagi. U’L CEE juga menyediakan kelas belajar yang nyaman karena dilengkapi dengan AC. Para pengajar U’L CEE pun tak segan memberikan pendidikan jika ada pelajar U’L CEE yang bertanya di luar kelas.
BACA, TULIS, LawAN!
RESENSI LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
Melacak Jejak AS di Iran
12
Triana Sugesti Iran 1979 adalah puncak dari gejolak politik yang menimpa negara itu. Tahun yang menjadi awal sejarah konflik berkepanjangan dengan negara-negara seterunya hingga kini. enam di antaranya berhasil lolos. Mereka yang lolos kemudian bersembunyi di kediaman Ken Taylor, seorang Duta Besar Kanada di Iran selama 444 hari. Mendapati kabar tersebut, Pemerintah AS melalui Departemen Luar Negeri berunding mencari upaya untuk memulangkan keenam staf kedubes tersebut. Akhirnya diputuskan anggota CIA bernama Tony Mendez (Ben Affleck), yang dikirim ke Iran. Tony Mendez terpilih lantaran ia terkenal ahli menyelundupkan orang keluar dari negaranya. Ide yang ditawarkan yakni dengan membuat sebuah film palsu fiksi ilmiah berjudul “Argo”. Mendez dibantu atasannya di CIA, Jack O’Donnell (Bryan Cranston) yang kemudian mengontak John Chambers (John Goodman), seorang penata rias Hollywood untuk membantu menggarap film tersebut. Untuk lebih menyempurnakan kebohongan Argo, ia juga meminta Lester Siegel (Alan Arkin), seorang produser terkenal dari Hollywood untuk berperan sebagai produser gadungan dalam pembuatan Studio Six dan mempublikasinya di majalah. Selang dua hari di Iran, Mendez yang memimpin penyamaran tim produksi film, meminta Staf
Kedubes AS untuk segera mendalami peran yang dirancang jauh hari sebelumnya. Namun, di hari keberangkatan, Pemerintah AS membatalkan misi tersebut dan menarik pemesanan tiket pulang. Kabarnya, CIA menerima informasi bahwa tentara Iran mengendus keberadaan enam pegawai AS yang lolos. Meski begitu, dengan keyakinan penuh, Mendez tetap berhasil meyakinkan bahwa misinya akan berhasil. Mendengar kabar enam tawanan yang lolos, tentara Iran langsung meningkatkan penjagaan, terlebih di Bandara. Mereka beranggapan, Bandara merupakan satu-satunya tempat jalan keluar yang bisa digunakan tawanan meninggalkan Iran. Maka, penjagaan pun diperketat dan pos pemeriksaan ditambah. Di saat publik Iran mendesak Pemerintah AS agar mengembalikan Reza untuk diadili, mereka meminta Perdana Menteti Iran, Ayatullah Khomeini untuk memimpin tampuk kekuasaan Iran sementara waktu. Pada akhir film, Mendez berhasil membawa enam Staf Kedubes AS kembali ke Negeri Paman Sam.
Sumber: Internet
Semuanya bermula sejak naiknya Reza Pahlavi sebagai Shah (raja) Iran pada 1953. Lalu mulailah era kekejaman Shah dengan dibantu polisi intelejennya, SAVAK. Di bawah Shah, Iran mengalami masa kediktatoran hingga puncaknya terjadi pada 4 November 1979 dengan meletupnya Revolusi Iran. Warga yang berontak, memenuhi ruas-ruas jalan Kota Teheran, khususnya di depan Gedung Kedutaan Amerika Serikat (AS). Mereka menuntut agar Shah turun dari jabatannya. Saat itu, AS memang disebut-sebut menjadi dalang atas semua yang terjadi di Iran termasuk naiknya Reza Pahlavi menjadi Shah (raja) Iran. Sebagai bentuk kekecewaan, mereka akhirnya menyandera 50 Staf Kedutaan Besar AS. Namun,
Karena keberhasilannya, Mendez pun menerima penghargaan dari Pemerintah AS berupa Bintang Intelijensi. Perkara ini berhasil terekspos ke publik pada 1997. Film Argo didasarkan pada kisah nyata Tony Mendez dalam buku The Master of Disguise pada tahun 1979. Film yang dirilis tahun 2012 ini, juga sempat termuat dalam artikel Joshuah di majalah Wired berjudul The Great Escape. Kondisi di mana Iran yang kala itu sedang kacau oleh politik pemerintahannya. Krisis penyanderaan Iran berakhir pada 20 Januari 1981. Lolosnya enam warga AS yang bersembunyi di kediaman Kedubes Kanada melengkapi misi CIA. Belum setahun pasca rilis, Argo telah menyabet beberapa penghargaan, seperti Golden Globe Awards dan British Academy Film Awards (BAFTA). Puncaknya, pada tahun 2013, film garapan Ben Afleck ini memenangi Piala OSCAR untuk tiga kategori sekaligus; Film Terbaik,
Editing Film Terbaik, dan Naskah Adaptasi Terbaik. Meski telah berhasil dengan banyak torehan, film ini tidak luput dari ketidakakuratan. Ada beberapa informasi yang dinilai tidak sesuai fakta dari kisah nyata film ini. Misalnya, dalam informasi awal, tahun 1950 Iran memilih Mohammad Mosaddegh sebagai perdana menteri. Lalu di tahun 1953, AS dan Inggris menggerakan kudeta untuk menggulingkan Mossaddegh dan menunjuk Reza Pahlavi sebagai Shah muda. Padahal, faktanya Reza Pahlavi telah lama menjadi Shah di Iran sejak 1941-1979. Saat itu, Iran menganut sistem pemerintah Monarki Konstitusional dengan Shah sebagai kepala negara dan kepala pemerintah disebut perdana menteri. Pada tahun 1951, Mossadegh terpilih menjadi Perdana Menteri Iran. Namun, tahun 1953, AS dan Inggris berhasil melakukan kudeta dan menggugurkan Mossadegh.
Foto: Jeanni/Ins
Mengenal Falsafah Hidup Wong Sikep
Jeannita Kirana Wong Sikep berlaku jujur dan bersikap apa adanya kepada alam dan sesama manusia. Walau menjunjung tinggi budaya asli, mereka kerap mendapat stigma negatif. Wong Sikep weruh teke dhewe begitulah ungkapan yang dapat menggambarkan pokok ajaran Samin. Ungkapan dalam bahasa Jawa tersebut bermakna orang sikep tahu miliknya sendiri. Pengertian ini menegaskan orang sikep seharus- nya saling menghargai sesama manusia dan mengetahui hak serta kewajiban mereka. Orang Sikep atau Wong Sikep adalah sebutan bagi pengikut ajaran Samin. Ajaran yang berkembang di
sekitar Jawa Tengah pada 1890 ini dimulai ketika Samin Surosentiko mengajar ilmu kebatinan. Samin adalah seorang petani kelahiran 1859 di Randublatung, Blora. Tak sedikit orang yang tertarik mengikuti ajarannya. Beberapa aturan dalam ajaran tersebut mengenai moral dan etika yang harus diikuti. Misalnya berperilaku sabar, jangan berbohong, mencuri, berzina, jika dihina tetap diam,
tidak meminta uang atau makanan dari siapapun, serta membantu satu sama lain. Tanpa disadari ajaran Samin terus menyebar luas dan pengikutnya meningkat secara signifikan. Berdasarkan laporan yang dibuat Residen Rembang pada 1903, pengikut Samin baru mencapai 722 orang. Lalu dua tahun kemudian bertambah pesat, menurut koran Het Nieuws Van Den Dag 29 Agustus 1905 pengikut ajaran Samin telah mencapai 2.600 orang. Banyaknya pengikut ajaran Samin didorong oleh adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah kolonial Belanda yang dinilai merugikan rakyat. Sementara itu ajaran Samin lebih memilih melakukan perlawanan, seperti tidak mengikuti aturan mengenai pajak, kepemilikan tanah garapan dan tempat tinggal serta kepemilikan hewan ternak. Sebelum Blora dan Grobogan menjadi wilayah milik negara (houtvesterijen), rakyat boleh mengambil kayu dari dalam hutan dengan seizin kepala desa bila ada kebutuhan yang mendesak. Setelah adanya houtvesterijen rakyat tak bisa mengambil kayu seenaknya. Menyikapi hal itu, Samin dan pengikutnya punya sebuah ungkapan tersendiri yakni lemah padha duwe, banyu phada duwe, kayu padha duwe yang berarti tanah, air dan kayu milik semua orang. Oleh karena itu, Samin Surosentiko sempat keluar masuk penjara
karena kasus pencurian kayu di hutan. Samin menganggap, hutan memang milik negara, namun sebenarnya kayu tersebut adalah hak setiap orang yang membutuhkan. Seiring berjalannya waktu, ajaran Samin menerima respons negatif dari kalangan masyarakat dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Mereka menilai Wong Sikep susah diatur dan berperilaku ngeyel terhadap aturan dan otoritas pemerintah. Pada 1907 Samin beserta enam pengikutnya ditangkap dalam perjalanan memenuhi undangan Bupati Blora untuk menghadap. Setelah itu Samin serta pengikutnya ditahan dan dibuang ke luar Jawa. Tujuh tahun kemudian pada 1914 Samin pun meninggal. Meski Samin dikabarkan meninggal, Wong Sikep tetap setia pada ajarannya. Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Wong Sikep tidak melibatkan kekerasan fisik, bisa dibilang gerakan tersebut bersifat defensif. Kekhawatiran akan meluasnya ajaran Samin, membuat pemerintah menggali informasi lebih jauh me-
ngenai ajaran ini. Peneliti banyak yang kewalahan ketika mewawancarai Wong Sikep karena permainan kata dan model komunikasi mereka. Wong Sikep suka memelesetkan atau memberikan arti kata berlapis pada kata yang umum digunakan. Ini dilakukan sebagai alat pertahanan saat berada dalam tekanan karena pengikut ajaran Samin dituntut untuk selalu menjaga ajaran mereka. Maka dari itu beberapa orang cen derung menganggap Wong Sikep buta huruf dan ajarannya tidak terorganisasi dengan baik. Pemahaman tersebut membuat ajaran Samin seolah-olah berupa aksi spontan dan dadakan terhadap realitas yang menekan mereka sebab perubahan kebijakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Buku Samin menceritakan awal mula ajaran Samin dari waktu peme- rintahan kolonial Belanda hingga pada masa sekarang yang mulai menghilang karena tergerus arus perkembangan zaman. Sampai saat ini, pengikut ajaran Samin terus mempertahankan budaya asli dan laku ajaran mereka.
Penulis : Anis Sholeh Ba’asyin dan Mu hammad Anis Ba’asyin Penerbit : Gigih Pustaka Mandiri Cetakan : Maret 2014 Tebal : 218 halaman
SOSOK LAPORAN UTAMA Tanti Tifani Aulia
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
13
Menari Bukan Ajang “Unjuk Gigi”
Ika Puspitasari Tari tradisional merupakan kebudayaan yang harus dijaga. Menari bukan untuk dikenal tapi mengenalkan budaya Indonesia.
Dok. Pribadi
Kegemaran menari Tanti Tifani Aulia terlihat sejak ia mengenyam pendidikan di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD) 01
Nama Alamat Tempat, Tanggal Lahir Riwayat Pendidikan
Sawangan, Depok, Jawa Barat. Berawal dari keinginan orangtua, Tanti akhirnya bergabung di Sanggar Tari Trisna Manggala, Depok. Tarian pertama yang ia pelajari ialah Tari Topeng dari Betawi, tarian tersebut menjadi pijakannya dalam mempelajari berbagai macam tarian nusantara. Setahun setelah bergabung di Sanggar Tari Trisna Manggala, Tanti berhasil memenangkan beberapa perlombaan tari di ber-bagai daerah. Tak hanya lomba, ia juga menampilkan tari di berbagai acara meski masih duduk di kelas 5 SD. “Setelah menang beberapa lomba tari,
: Tanti Tifani Aulia : Jl. Raya Muhtar no. 44, Sawangan, Depok, Jawa Barat : Bogor, 12 Juni 1994 : SDN 01 Sawangan SMP 09 Depok SMA 01 Parung
saya mengisi berbagai acara, salah satunya di Televisi Republik Indonesia (TVRI),” kata Tanti ketika di temui di Lobi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Senin (12/10). Saat masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Ia lebih memilih ekstrakurikuler karate dibandingkan tari. Ia pun aktif di ekstrakurikuler karate hingga menjadi salah satu atlet karate Jawa Barat. “Waktu itu sempat bosan menjadi penari dan kepikiran untuk berkarier di karate,” paparnya. Meski sempat berhenti menari, Tanti tak lupa dengan kecintaannya terhadap tari tradisional Indonesia. Terbukti ketika gadis kelahiran 12 Juni 1994 ini duduk di kelas 2 SMA, menjadi salah satu finalis IM3 Mobac Academy, acara tersebut mencari remaja yang menampilkan berbagai bakatnya. “Semenjak menjadi finalis IM3 Mobac Academy, saya jadi sering latihan menari lagi,” tutur Tanti. Seusai meninggalkan bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), ia melanjutkan kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan benar-benar kembali berkecimpung di dunia tari. Terlebih setelah Tanti bergabung dengan Komunitas Pecinta Tari Tradisional (Kontras) Akuntansi, FEB. Selang setahun ia bergabung dengan Kontras, ia lalu dipercaya untuk menjadi ketua
Kontras. Di masa kepemimpinan Tanti, Kontras Akutansi mewakili UIN Jakarta dipilih menjadi penari pada acara ulang tahun Tangerang Selatan (Tangsel) yang ke-5. Ia dan kawankawan-nya bergabung dalam 116 penari dari seluruh Tangsel untuk menarikan Tari Puspa Pesona yang sengaja dipersembahkan untuk merayakan ulang tahun Tangsel. “Saya sangat senang karena bisa tampil di depan Airin Wali Kota Tangsel,” ungkap gadis yang juga pernah tampil tari di program musik Dahsyat di Rajawali Citra Indonesia (RCTI) ini. Selain menjadi ketua Kontras Akuntansi, Tanti juga bergabung di Sanggar Tari Lestari. Awalnya, Tanti hanya ingin belajar menari, tapi kemudian diminta untuk menjadi salah satu pelatih tari di sanggar tersebut. Sehingga, ia pun menjadi pelatih tari untuk anak-anak berusia 3 tahun sampai remaja. “Untuk melatih tari kepada anak kecil itu benar-benar membutuhkan kesabaran,” tuturnya. Di Sanggar Tari Lestari, Tanti sering menjadi perwakilan penari dari Depok dalam berbagai perlombaan dan acara di berbagai kota. Salah satunya Festival Apeksi di Ambon, acara tersebut merupakan acara besar dan diikuti oleh seluruh wilayah Indonesia. Ia juga menjadi juara 1 lomba
Lepas Lelah Ala Hammocker
tari tradisional se-kota Depok. “Hal itu menjadi pengalaman yang tak bisa terlupakan, karena saya dapat melihat kebudayaan dari daerah lain pula,” ujar gadis yang juga menjadi MC di acara tertentu ini. Bagi Tanti, ada tiga unsur yang perlu diperhatikan seorang penari. Pertama, Wiragayang merupakan dasar keterampilan gerak tubuh penari. Kedua Wirama yang berarti suatu pola untuk mencapai gerakan harmonis serta terakhir Wirasa yang menggambarkan tingkat penghayatan dan penjiwaan dalam tarian. Tak hanya itu, Tanti juga memiliki pandangan bahwa tari bukanlah ajang memperlihatkan kelihaian dalam menari. Tanti mengungkapkan, saat ini banyak penari yang asal menari tanpa menghiraukan ketiga unsur penting yang harus diperhatikan seorang penari. “Jadi penari juga enggak asal nari, bukan cuma pamer kalau di bisa nari biar eksis,” ungkapnya. Menurut Tanti, tari tradisional merupakan budaya Indonesia yang wajib dijaga. Tanti menyayangkan anak muda yang tak acuh terhadap budaya Indonesia. Ia menginginkan adanya pemuda yang bersama-sama membangun, mengembangkan, dan mengenalkan budaya Indonesia. “Jangan hanya peduli ketika ada salah satu kebudayaan kita sudah diambil negara lain,” pungkasnya.
KOMUNITAS
Yasir Arafat Bagi sebagian masyarakat, ketinggian merupakan hal yang menakutkan. Berbeda dengan Hammockers ketinggian malah menjadi teman untuk menghilangkan keletihan selepas seharian beraktifitas. Melepas lelah dan penat akibat rutinitas seharian sembari bersantai di antara sejuknya pepohonan rindang di atas hammock merupakan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi dilakukan tak sendiri. Ditemani sahabat membuatnya semakin mengasyikkan. Rasanya akan terasa lebih nyaman dan tenang. Tak banyak masyarakat yang familier dengan istilah hammock. Hammock ialah sehelai kain tebal atau jaring dari simpulan tali perusik tempat bersantai laiknya ayunan. Ragam jenis hammock yang terdapat di Indonesia, di antaranya parasut, rope, tent, chair, dan sleeping hammock. Ukurannya pun ada single dan double. Single idealnya ditempati oleh satu orang saja, sedangkan double ataupun king size yang bisa ditempati dua orang atau lebih. Kedua sisi hammock terikat di antara dua badan pohon. Pemasangan hammock perlu memperhatikan jarak antar satu pohon dengan pohon lainnya. Sebab, bila jarak pohon terlalu jauh atau dekat maka hammock tidak akan nyaman dipakai. “Selain memperhitungkan jarak, simpul ikatan hammock pada pohon harus kuat dan erat,” ujar Andi Haryanto Ketua Komunitas Hammockers Indonesia wilayah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Jumat (16/10). Biasanya Hammockers mulai
menggantung hammocknya sore hari seusai beraktivitas di area Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Hammockers berbincang dan berbagi pengalaman hingga larut malam, yang sudah barang tentu kemanapun komunitas ini berada pasti membawa hammock. “Pokoknya kita dapet kesenangan sendiri deh bisa nyantai di atas Hammock,” tambah Andi. Bulan Januari 2015, Andi bersama delapan kawan lainnya mulai membentuk Hammockers Indonesia di Obyek Wisata Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat. Setelah itu, demi menjaga komunikasi, dibuat juga grup Hammockers Indonesia di media sosial Facebook sebulan setelahnya. Bak gayung bersambut, masyarakat pun menyambut positif kehadiran komunitas ini. Meski belum genap setahun, komunitas ini sudah dibanjiri 2.941 anggota yang terbagi ke dalam tujuh wilayah di Indonesia. Mulai dari DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, dan Makassar. Andi bercerita, untuk lebih mempererat tali persaudaraan antar anggota, terselenggaralah acara pertemuan perdana seluruh anggota komunitas Hammockers Indonesia di Bumi Perkemahan Down Hill Cikole, Sukabumi, Jawa Barat pada awal Juli
lalu. Bersamaan dengan pertemuan perdana tersebut, terlaksana pula donasi bantuan untuk anak yatim dan kurang mampu. Tak hanya itu, beberapa kegiatan kerap dilakukan komunitas ini. Mendaki gunung dan berkunjung ke pantai adalah salah satunya. Lebih lagi saban minggu pagi Hammockers biasa berolahraga bersama di area Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta. Berlanjut di sore harinya ada diskusi sembari bertukar informasi. Hammockers Indonesia telah berhasil memecahkan rekor dunia yang sebelumnya dipegang oleh komunitas Hammock di Swiss. Dengan Hammock Tower, Hammockers Indonesia menyusun 30 tingkatan hammock yang menjadi tertinggi di dunia. Susunan hammock tersebut mencapai 25 meter di Bumi Perkemahan Down Hill Cikole. Aksi pemecahan rekor ini didukung oleh tim Indonesia Climbing Expedition. Salah satu anggota Hammockers Indonesia, Rio Candra Kusuma memaparkan, siapapun bisa bergabung dengan komunitas ini, tidak ada batasan usia, pekerjaan, maupun keterampilan. “Yang penting sama-sama suka hammock,” paparnya, Jumat, (16/10). Cukup dengan bergabung di Facebook dan terdaftar dalam grup
Whatsapp sesuai dengan wilayah domisilinya, bila terpenuhi maka sudah tercatat menjadi anggota Hammockers Indonesia. Terlebih Rio berharap, ke depannya komunitas ini mampu mewadahi para pegiat pencinta alam khususnya pengguna hammock untuk saling bekerjasama dalam membuat kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat, baik di wilayahnya sendiri maupun secara nasional. Ia juga memahami, kemajuan sebuah komunitas memerlukan waktu yang tak sebentar. Maka dari itu, sedari awal hammockers saling bahu membahu dan saling melengkapi agar Hammockers Indonesia bisa terus eksis di Indonesia. “Entah siapa, bagaimana dan kapan, semua itu akan mudah jika dijalankan bersama-sama,” ujarnya.
Dok. Pribadi
Hammock Tower setinggi 30 tingkatan berhasil disusun Hammockers Indonesia di Bumi Perkemahan Down Hill Cikole, (7/6). Aksi ini memecahkan rekor dunia yang sebelumnya dipegang oleh komunitas Hammock di Swiss.
SASTRA LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
14
Cerpen
Puisi Inca Murca Oleh: Tri Wibowo* keheningan meraja: seberapa besarkah kemungkinan tercipta dari ketiadaan? kesabaran terjaga: seberapa besarkah kemungkinan ada untuk selamanya? kesadaran adalah jalan panjang: titik berliku yang tak kenal akhir, beban akal dan pengecap rasa yang tak pandai bercerita rahasia. matamu sepasang masa kini dan nanti: kotak konyaku yang berputar ajaib. tempat bagi jiwa jiwa pencipta pergoki dirinya sendiri. kehampaan tegak berdiri jadi semacam kaki kaki kosmos dalam panggung atraksi kata kita tak bisa dipisahkan saling lahir dilahirkan saling lahir melahirkan oleh rahim teka teki tanpa pernah tiba pada pengertian *Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta.
Cinta dan Mata Oleh: Andriansyah Nur Hidayat* Bila Cinta diserahkan kepada Mata, Bagaimana kau mencintai Tuhan yang tak pernah kau sua? Bila Cinta diserahkan kepada Mata, Lalu, apa guna hati, rasa dan telinga? Bila Cinta diserahkan kepada Mata, Apa yang terjadi bila wajah menua? Bila Cinta diserahkan kepada Mata, Coba tanya, mungkin nurani telah terbuta. * Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta.
Ironi di Balik Kesucian Oleh: Iladiena Zulfa Ketika dunia mencoba mencengkram Secercah cahaya menyusup tak kuasa menghadang Apakah semua kan menjadi arang? Terbakar karena kehidupan yang kelam Ketika jari jemari gemar menghitung Mereka kan selalu merasa beruntung Masyarakat pun menjadi buntung Diam membisu tatkala pikiran mulai mematung Ialah gumpalan noda kotoran Menimpa tinta kesucian Di balik amanat dan nilai agama yang diemban Praktik korupsi itu terus mereka lakukan Jumlah yang fantastis Bumbu sedap yang dramatis Tampilan kesucian yang tak logis Kehidupan, kini menjadi miris
Ketika Ku Tak di Rumah Oleh Novi Yulia Anggraini* Aku mengeluh dan menjatuhkan semua barang-barang yang ku bawa ketika sampai di depan pintu rumah. Aku menatap sekitar, selalu ada yang janggal dan membuatku merasa tidak nyaman. Ini bukan rumah orangtuaku dan tentu juga bukan rumahku. Ini adalah rumah tante Pram, dan sekarang menjadi tempat tinggalku. Hampir satu bulan aku hidup jauh dari orangtua untuk berkuliah. Mama menitipkanku kepada sahabat lama- nya, tante Pram yang tinggal tak jauh dari kampusku. Tante Pram sangat baik, sayang sekali karena dia menjadi orangtua tunggal untuk anak laki-laki berusia delapan tahun bernama Caraka. Suaminya meninggal saat dia masih mengandung anak satu-satunya itu. Aku tersentak dari lamunanku ketika pintu rumah tetangga terbuka tiba-tiba. Ku lirik rumah yang berjarak hanya beberapa langkah dari rumahku itu. Seorang wanita tinggi berbalik dan tersenyum padaku, dia menenteng begitu banyak sketsa gambar. Dia Anna, tetangga yang akhir-akhir ini sering mengabarkan hal-hal aneh tentang rumahku. “Melukis kemana lagi, Mbak?” Pertanyaanku hanya dijawab dengan senyuman dan kemudian dia mengangkat bahu. Wanita itu melirik rumahku sejenak lalu mengernyit aneh. Aku mengikuti arah pandangnya dan menatap bingung, “Apa yang salah dengan rumah ini sebenarnya?” kadang, mungkin bahkan sering aku bertanya tentang hal itu. Aku menyadari waktuku tidak banyak untuk menyiapkan makan siang. Caraka sebentar lagi akan pulang dan aku tidak mau melihat bocah kecil itu mengamuk karena kelaparan. Saat aku kembali melirik rumah Anna, dia sudah pergi. Kadang aku berpikir Anna mengidap penyakit psikis. Ia terlihat baik-baik saja hari ini, namun besok aku tidak bisa memastikan dia akan memilki kepribadian yang sama. Rumah terlihat sepi seperti biasa, aku melihat kearah Closed Circuit Television (CCTV) yang ada di sudut kiri ruang tamu. Tante adalah orang orang penting di pemerintahan, terlebih lagi dia lebih suka tinggal berdua dengan Caraka dan mengurus anaknya sendiri dari pada memiliki seorang pengasuh, hal itu menjadi alasan kenapa tante memasang CCTV di beberapa ruang yang ada di rumah ini. Aku memakai kamar tidur tamu yang sebelumnya jarang dipakai, sehingga tidak ada CCTV di sana. Aku pernah melihat-lihat ruang kontrol CCTV yang ada di sebelah
kamar tante. Ruang itu bukan privasi, jadi aku diperbolehkan masuk kapan saja aku mau. Kadang, dengan iseng aku memutar kembali apa yang telah aku lakukan selama seharian. Terakhir kali aku melakukannya adalah tiga hari yang lalu, aku berencana melihatnya lagi nanti. Mungkin aku bisa menghilangkan rasa penasaranku soal tatapan Anna tadi dan perasaan aneh yang aku rasakan. *** Aku sedikit kesulitan saat memasak tadi karena tidak bisa menemukan pisau yang biasa aku pakai. Namun beruntung Caraka pulang saat aku selesai dengan masakanku, dia tampak lusuh seperti biasa, kadang lucu melihat wajahnya yang tertekuk kare-
na kesal. Namun aku senang dia menjadi anak laki-laki yang mandiri dan sa-ngat menghargai tante Pram. Dia tidak banyak bicara denganku, namun aku tahu dia menerima kehadiranku di sini dari awal. Dia paling antusias dengan makanan yang aku masak, meskipun tidak seenak masakan tante, tapi setidaknya dia menghabiskan masakanku dengan lahap. Seperti hari ini, setelah mengganti pakaian, Caraka dengan khidmat menghabiskan makanannya. Tidak butuh waktu lama untuk ukuran bocah laki-laki yang sedang kelaparan. “Mbak, aku mau tidur siang aja, ya,” dia berlalu tanpa menginginkan ba- lasanku. Setelah membereskan meja makan, aku masuk ke ruang kontrol CCTV, memutar rekaman hari ini. Aku tersenyum melihat wajah Caraka yang baru bangun tidur, sangat lucu dengan piama Power Ranger kesayangannya. Semuanya terlihat normal sampai aku selesai membantu Caraka membawa tas sekolahnya dan mengunci pintu depan. Harusnya, rekaman itu terlihat
baik-baik saja hingga seseorang memasuki rumah dengan mudah, saat itu sekitar jam sembilan pagi. Apakah dia orang yang tante Pram kenal atau bagaimana, karena dia pasti punya kunci rumah ini, karena jelas-jelas aku telah mengunci pintu depan pagi tadi. Seorang pria tinggi dengan jaket hitam, kepalanya ia tutupi dengan tudung jaket sehingga aku tidak dapat mengenali siapa dia. Pria itu terlihat aneh, dia berjalan dengan berjinjit. Langkahnya cepat dan pasti melintasi ruang tamu dan menuju ruang TV. Kemudian dia tiba-tiba melompat ke arah sofa dan berdiri dengan satu kaki, memutar-mutar tubuhnya dan kemudian tertawa. Aku bergidik ngeri, ia menyalakan TV dan menari di atas sofa. Mengerikan. Dengan kakinya yang panjang, langkahnya terlihat sangat cepat melintasi ruang demi ruang hingga ia sampai di dapur. Pria itu menengadah dan menatap CCTV dengan muka yang sangat datar. Ini adalah pertama kalinya aku melihat wajahnya dengan penuh, senyum miringnya tersirat kebencian. Aku sama sekali tidak mengerti namun yang aku rasakan hanyalah rasa takut dan tanpa sadar jemariku gemetar. Tanganku dengan refleks mempercepat rekaman, pria itu berada di depan kamar Caraka. Ruangan itu tepat di sebelah kamar tante Pram. Ia menari dengan tawa yang sangat menakutkan. Aku melihat waktu rekaman itu jam satu siang, tepat saat aku baru saja pulang. Ada yang mengganjal saat pria itu masuk ke kamar Caraka, aku melihat rekaman di ruang lain yang memperlihatkan apapun yang aku kerjakan sampai akhirnya Caraka pulang dan berlalu ke kamarnya. Aku menarik nafas dan meremas tanganku dengan kuat, namun aku tahu sebentar lagi Caraka akan keluar dengan
baju santainya. Hal itu terjadi, Caraka keluar dengan baik-baik saja. aku menarik napas dan mempercepat rekaman itu lagi. Namun, tidak lama aku kembali tersentak ketika pria itu keluar dan melambai ke arah kamera. Di tangannya, ada sebuah benda kecil yang berkilau. Aku terbelalak ketika menyadari yang dipegang pria itu adalah pisauku yang hilang. Dia kembali masuk ke kamar Caraka dan tidak pernah keluar, sampai Caraka kembali masuk ke ka- marnya setelah makan. Tidak mung-kin, kalau begitu…. “KAK ICA TOLOOOOONG!” Ya tuhah, apa yang harus aku lakukan?
*Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Jakarta.
* Penulis adalah Mahasiswi Universitas Islam Negeri Jakarta.
Redaksi LPM Institut Menerima: Tulisan berupa Opini, Puisi dan Cerpen. Opini dan Cerpen: 3500 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui: redaksi.institut@gmail.com
Kirimkan juga keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 08563706311 Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid Institut berikutnya.
SENI BUDAYA LAPORAN UTAMA
Tabloid Institut Edisi XXXIX / Oktober 2015
Seni Hidup Perfeksionis
15
garis persegi yang menjadi pembatas panggung utama dan tempat para penonton duduk lesehan. Dua kali ia menggesek kedua kakinya sebelum memasuki panggung. Para penonton keheranan melihat tingkah lakunya. Setelah memasuki panggung, penonton kembali heran melihat gerak-gerik pria itu. Bagaimana tidak, ia berjalan kembali menuju belakang panggung. Seketika, lampu di setiap sudut ruang mulai meredup, menyisakan lampu di panggung utama yang masih bersinar. Ternyata, pria itu baru saja memutus arus listrik lampu. Pria berkulit putih itu kembali menggesek kakinya di atas garis persegi sebelum memasuki panggung. Langkah kakinya tertuju ke meja kecil
dan mengambil wadah lilin berwarna hitam, semangkuk marshmallow, dan majalah dari laci meja. Lalu, ia memasak air dengan menghubungkan pemanas air portable ke arus listrik. Sambil menunggu air matang, Etienne Manceau, nama pria asal Perancis itu, mengambil kursi lipat yang terbuat dari kayu yang tersimpan di laci meja dan segera merebahkan badannya di kursi lipat. Untuk mengusir kebosanan ia juga mengganti kacamata untuk membaca majalah. Bukannya ingin membaca, sang pria malah merobek beberapa lembar majalah tersebut. Mata pria paruh baya itu hanya menajam melihat ke penjuru ruang teater ketika mendengar gemuruh tawa penonton terde-
ngar menertawakan aksinya. Setelah itu, Pria berkewarganegaraan Perancis ini hendak menyalakan lilin yang tersaji di atas meja. Nahas, saat ingin menyalakan lilin, batang korek api yang ingin diambil tumpah membuat meja kerjanya berantakan. Alhasil, ia terpaksa memungut satu persatu batang korek api dan berusaha menyusunnya hingga rapi. Merasa kesal karena batang korek api tak habis-habisnya dipungut, ia buang sisa batang korek api tanpa diketahui penonton. Merasa masalah sudah terselesaikan, ia segera menyalakan lilin dengan batang korek api yang sebelumnya sudah ia susun. Ide konyolnya kembali terlihat ketika ia mengambil petasan dan mem-
Sambungan Berang Dituding Plagiat...
pada senat fakultas terkait kasus ini. Berbeda dengan Zuhdi, Sekretaris Komisi Etik UIN Jakarta, Amany Lubis mengatakan bahwa fakultas memiliki wewenang untuk menindak kasus plagiarisme. Penanganan kasus plagiarisme baru ditangani komisi etik, jika tidak terselesaikan di tingkat fakultas. “Kalau tetap dibiarkan saja, ya, itu namanya tidak ada political will (niat baik pemimpin),” katanya, Jumat (18/9). Sementara itu, Rektor UIN Jakarta, Dede Rosyada mengaku belum menerima laporan adanya kasus plagiarisme, baik dari LPM mau-
pun para wakil rektor (warek). Soal plagiarisme, kata Dede, UIN perlu segera membuat aturan agar kasus serupa tidak terulang kembali. Untuk itu, perlu ada sanksi tegas. “Plagiat itu kejahatan akademik. Plagiat itu jahat. Jahat sekali,” tegas Dede, Jumat (23/10). Namun untuk soal ini, kata Dede, universitas tetap tidak berhak menjatuhkan hukuman seperti mencabut gelar atau memberhentikan tersangka plagiat dari jabatannya. Katanya, menurunkan pangkat jabatan adalah kewenangan kementerian. Pernyataan berbeda keluar dari
Warek I Bidang Akademik, Fadhilah Suralaga. Menurutnya, ada beberapa tahapan yang mesti dilalui sebelum penjatuhan sanksi terhadap tersangka plagiarisme, yakni pemanggilan untuk mengklarifikasi. “Jika benar dosen tersebut melakukan plagiarisme maka universitas berhak mencabut gelar dan jabatannya,” katanya, Senin (12/10). Sejauh ini, untuk mengatur kasus plagiarisme, UIN Jakarta masih mengacu pada Buku Panduan Kode Etik. Dalam buku tersebut ada beberapa bentuk hukuman yang akan dijatuhkan pada pelaku plagiarisme. Antara lain, dinyatakan gugur atau tidak
lulus dalam penulisan karya ilmiah, dikeluarkan, dan atau dicabut gelar dan karya ilmiahnya. Perbedaan penjatuhan sanksi disesuaikan tingkat plagiarisme yang dilakukan. Sayangnya, Buku Pedoman Kode Etik tidak mengatur secara rinci tingkat plagiarisme yang terdapat dalam sebuah karya ilmiah plus bentuk sanksi yang dijatuhkan. Menurut Ketua LPM, Sururin, karena itu UIN Jakarta hingga kini belum bisa menjatuhi sanksi kepada Hindun atas tuduhan tindak plagiarisme yang dilakukannya. “Saya belum baca keseluruhan. Tapi sepertinya sudah masuk plagiarisme,” jelas Ketua LPM, Sururin.
Sumber: http://www.touloucope.frcope.fr
Sebuah meja kecil yang terbuat dari kayu berada di depan panggung ruang Teater Salihara. Sebuah radio portable, gelas yang terbuat dari kaca, dan pemanas air portable terletak di atas-nya. Lantunan musik western terdengar saat pengunjung memasuki ruang teater. Seorang pria berjenggot tebal tampak berjalan menuju panggung diiringi lantunan musik yang terdengar dari radio portable. Tatapan mata pria berkacamata itu kosong. Langkah kaki- nya bergerak dengan sangat perlahan. Sembari berjalan menuju panggung utama, tak henti-hentinya ia menoleh ke setiap penjuru ruang teater. Sebelum memasuki panggung, ia menggesek-gesek kakinya di atas
bakarnya dengan lilin. Setelah menyalakannya, ia taruh petasan itu di laci meja dan ia tutup rapat-rapat. Pria itu lalu menutup kupingnya dengan tangan agar bunyi ledakan tak ia dengar. “Blamm!!” meja belajar milik pria berkacamata itu goyang untuk beberapa detik saja. Sontak para penonton kaget mendengar suara itu. Asap bekas ledakan mulai menyembul dari laci meja. Segera ia mengambil pipa untuk menghisap asap yang timbul dari ledakan kecil tersebut. Gumpalan asap kembali terlihat di tengah panggung. Air yang ia panaskan untuk membuat kopi sudah cukup lama mendidih. Namun, ia tak menyadarinya. Pria itu tak ubahnya penonton yang panik melihat asap tersebut. Bedanya, ia sedang berusaha melepas stop kontak untuk mematikan pemanas air portable. Ketenangan mulai tersirat di wajah pria itu ketika stop kontak berhasil dilepaskan. Sementara itu, para penonton tertawa riang melihat kepanikan yang baru saja terjadi di tengah panggung. Namun, lelaki tersebut memilih untuk menyeduh teh dan tak menghiraukan keramaian yang dibuat para penonton. Aksi yang dilakukan Etienne Manceau, Minggu (18/10) dalam acara Pentas Teater Obyek VU ini merupakan kerjasama antara Komunitas Salihara dan l’Institut Franchaise d’Indonesie (IFI). IFI adalah organisasi yang melaksanakan seluruh aksi kerjasama dalam bidang budaya antara Perancis dan Indonesia. Perwakilan IFI, Dwi Setyowati mengatakan, pertunjukkan teater VU yang dibawakan oleh Compagnie Sacekripa ingin menggambarkan karakter seseorang maniak yang sering memperhatikan kejadian kecil secara detail. Menurutnya, setiap manusia memiliki karakter tersebut. Dwi menuturkan, Cie Sacekripa— sapaan akrab Compagnie Sacekripa, mencoba memadukan unsur badut dengan beberapa rutinitas yang biasa dilakukan manusia. “Aktor lebih fokus mengolah tingkah lakunya dan melakukan aksi dengan gaya yang unik,” tambahnya.
Etienne Manceau sedang mencermati gelas yang berada tepat di hadapnya, Minggu (18/10). Ia sedang melakukan monolog dalam Pentas Teater Objek VU yang merupakan hasil kerjasama antara Komunitas Salihara dan IFI.
M. Rizky Rakhmansyah Mengerjakan suatu hal secara detail menjadi keuntungan bagi semua orang. Nyatanya, tak semua orang dapat melakukan hal itu.
nahu tentang kasus dugaan plagiarisme yang dilakukan dosen di fakultasnya. “Belum ada yang dilaporkan dan belum ada yang dibahas di senat fakultas,” ujar Zuhdi, Rabu (21/10). Sekalipun ada kasus plagiarisme yang dilakukan dosen FITK, Senat Fakultas, kata Zuhdi, tak memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi. “Semua tergantung keputusan rektor. fakultas hanya menjalankan”. Menurutnya, tidak ada aturan dekan untuk memberhentikan dosen. Namun, Zuhdi tetap menyayangkan ketiadaan laporan dari pihak jurusan
Surat Pembaca Saya Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora yang juga aktif di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Sebagai mahasiswa yang sering menggunakan kamar mandi Student Center (SC) meminta pengelola SC untuk bekerja lebih maksimal. (08589218****) Saya Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) meminta pada pengelola parkir UIN Jakarta untuk meyediakan tempat parkir yang layak. Jika benyaknya kendaraan membuat parkir UIN padat maka solusinya jangan menerima mahasiswa baru terlalu banyak (08962367****)