12 HALAMAN
EDISI V/ Februari/XXIII/ 2008
Pustaka
Permenungan 99
...sesuatu yang tak mungkin terjadi, namun memiliki faedah mentransformasikan kemacetan tata sosial, politik dan budaya, ...
Kampusiana
Cerpen
Pengelola SC Pukul Mahasiswa
Sarjana Di Batu Nisan
Syamsul Arifin; Mari kita buktikan siapa yang akan bertahan di sini (SC), saya atau mereka (UKM)?
Bangsat. Malang benar nasibku. Sudah di hari ketujuh ini, hampir setiap orang yang aku datangi untuk di minta tolong, selalu saja lari terbirit birit seperti melihat hantu bermuka hancur.
Hal. 9
Hal.10
Hal. 7
Wawancara
Budi Rahman Hakim “Jakarta harus punya city plan. Artinya memiliki maket atau miniatur wajah seperti apa Jakarta ke depan.�
Hal. 12
Laporan Utama
KETIKA SEDEKAH DILARANG PEMDA
Pemerintah Tak Serius Sosialisasi Perda Tibum 2007 Tidak Merata “... waktu ditangkap, saya dibawa ke Kedoya. Di sana disuruh baris, kemudian suruh nampar teman sendiri ganti-gantian, kalau nggak keras saya yang ditampar mereka, kata Junaidi.
Baca Hal. 2-4
Laporan Khusus 510; Fenomena Bus Sejuta Umat Baca Hal. 5
Dies natalis ke 23 Napak Tilas LPM INSTITUT
S
ebagai Ibukota Negara dan pusat lalu lintas internasional, Jakarta memiliki fungsi utama sebagai wajah Indonesia. Bila kota ini tertib dan teratur, bayagan Indonesia di mata negara dunia bisa juga demikian. Begitu pula kalau Jakarta kumuh, kotor, semrawut dan sebagainya. Keadaan itu akan menjadi cermin yang disaksikan baik oleh warga Indonesia sendiri maupun warga asing. Oleh karena itu, untuk mewujudkan tata kota yang nyaman, tertib, bersih dan indah, Pemerintah DKI Jakarta membuat Peraturan Daerah No.8 Tahun 2007 Tentang Ketertiban Umum (Perda Tibum). Perda ini merupakan revisi dari Perda No.11 Tentang Ketertiban Umum Tahun 1984. Sebab menurut Pemda DKI, Perda lama ini sudah tak sesuai dengan perkembangan tata nilai kehidupan warga DKI Jakarta. Perda Tibum 2007 terdiri 16 Bab dan 67 pasal yang berisi berbagai tata tertib beserta sanksisanksinya. Bab I Ketentuan Umum menjelaskan devinisi ketertiban umum adalah suatu keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tertib dan teratur. Sementara ketentraman masyarakat adalah suatu keadaan di mana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara tentram dan nyaman. Bab ini juga menjelaskan apa saja yang dimaksud dengan jalan raya tempat umum, kepentingan dinas dan sebagainya. Selanjutnya Bab II Tertib Jalan berisi sepuluh pasal. Hampir tak ada hal baru dalam bab ini. Di dalamnya adalah peraturan yang umum kita ketahui seperti, menyebrang pada tempat-
nya, larangan membuang sampah sembarangan, larangan merokok dan membuang permen karet dalam angkutan umum hingga masalah parkir. Begitupula Bab III Tertib Jalur Hijau dan Tempat Umum berkisar mengenai larangan menempati, merusak, mengotori menebang pohon dan menyalah gunakan jalur hijau. Kemudian Bab IV Tertib Kolam Sungai dan Lepas Pantai. Isinya antara lain, larangan mandi, mendirikan bangunan, kakus di bantaran kali, mengambil pasir, terumbu karang dan sebagainya. Bab VI Tertib Tempat dan Usaha Tertentu merupakan salah-satu bab yang pasal-pasalnya menjadi kontroversi. Isi bab ini ialah setiap orang atau badan usaha yang dalam usahanya menimbulkan dampak lingkungan, wajib memiliki izin tempat usaha dari Gubernur. Kemudian larangan melakukan usaha di trotoar, halte, jembatan penyebrangan, dan tampattempat untuk kepentingan umum. Serta melarang setiap orang membeli dagangan pedagang kaki lima (PKL). Selain itu, setiap orang/badan (restoran, rumah makan dan sebagainya) wajib mencantumkan lebel halal pada makanannya. Bab VII Tertib Bangunan berisi larangan mendirikan bangunan di rel, trotoar bantaran kali dan daerah kawasan SUTET. Bab VIII Tertib Sosial. Diantara isinya yang menjadi kontroversial antara lain larangan meminta amal ditempat tempat umum seperti stasiun, terminal supermarket dan pelabuhan, termasuk bazar amal. Terdapat juga larangan mengamen,
mengemis, berdagang asongan serta larangan memberi uang pada pengamen atau membeli pada pedagang asongan. Menjual minuman beralkohol juga dilarang bila tanpa izin pejabat berwenang. Masih dalam Tertib Sosial ialah setiap orang yang mengidap penyakit meresahkan masyarakat dilarang berkeliaran ditempat umum. Kemudian larangan berbuat asusila di tempat umum, menjadi PSK, menggunakan atau menyuruh orang menjadi PSK. Pada Bab X Tertib Hiburan dan Keramaian antaralain melarang penyelenggaraan hiburan ketangkasan yang bersifat komersil. Mengenai Pembinaan, Pengendalian dan Pengawasan diatur dalam Bab XII. Bab tersebut menjelaskan, pembinaan dilakukan oleh gubernur dan dlaksanakan oleh perangkat daerah dan pengendaliannya dilakukan oleh Satpol PP. Hukuman untuk semua jenis pelanggaran peraturan-peraturan di atas bervariasi, mulai dari kurungan enam bulan atau denda 20 juta hingga 50 Juta rupiah. Mampukah Perda tersebut mengatasi masalah-masalah yang menorehkan citra kurang baik bagi Jakarta dan Indonesia. Atau justru akan menimbulkan masalah baru. Sebab tidak mungkin hanya dengan mengusir atau melarang para objek hukum Jakarta menjadi tertib dan tentram. Setidaknya pemerintah harus memberi solusi dari penerapan Perda ini. Sehingga anggaran dana rapat dan sidang para wakil rakyat tidak malah menyengsarakan rakyat sendiri.[MSW]
Baca Hal. 11
Opini Menegakkan Sekaligus Melenggar
Laporan Utama Hal. 2-3
Laporan Khusus Hal. 4-5
Kampusiana Hal. 8-9
Opini Hal. 6
laporan UTAMA Diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta SK. Rektor No. 23 Th. 1984
Pelindung Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA Penasihat Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Pemimpin Umum Moh. Hanifudin Mahfuds Sekretaris Umum Saumi Rizkianto (non aktif) Bendahara Umum Rosita Indah Sari Pemimpin Redaksi MS. Wibowo Redaktur Pelaksana Akhwani Subkhi Direktur Artistik Dwi Setyadi (non aktif) Direktur Perusaahaan Rosdiana Litbang Ali Masykuri Dewan Redaksi Nanang Syaikhu, Idris Thaha, Budi Rahman Hakim, Alamsyah, M. Djafar, Karno Roso Redaktur Shulhan Rumaru, Agnes, Dede Supriyatna, Rose, Badru, Susi. Lay Out Kems & Tim Kreatif Ilustrator Pandi Merdeka Fotografer Teddy, Badru
editorial Kebijakan yang Tidak Bijak
P
ada September 2007 lalu, Pemerintah DKI Jakarta mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. Perda ini merupakan hasil revisi Perda nomor 11 tahun 1988. Diantara isi peraturan tersebut adalah larangan mengais rejeki atau jualan di tempat umum. Larangan memberikan uang kepada para pengamen, pengemis, dan gelandangan. Bagi yang melanggar, akan dikenakan sanksi berupa hukuman penjara dan denda. Peraturan ini dinilai berbagai kalangan seperti aktivis mahasiswa dan lembaga swadaya masyarakat sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu mereka juga menilai peraturan ini akan mengancam kehidupan orang miskin yang sudah susah dan sulit. Jadi, wajar apabila mereka protes karena peraturan ini tidak bijak. Cara yang ditempuh pemerintah untuk menciptakan ketertiban umum di ibu kota melalui revisi Perda ini memang baik. Namun, kebijakan yang diambil amatlah tidak bijak dimana pemerintah hanya melarang mereka agar tidak beroperasi lagi, tapi tidak memberikan jalan keluar yang tepat. Selain itu, peraturan ini juga mendeskreditkan kaum bawah yang ada di ibu kota. Pertanyaannya adalah apakah untuk menciptakan ketertiban umum harus mengorbankan rakyat kecil dan melanggar hak asasi manusia. Tentu saja tidak. Sebab banyak jalan menuju Roma begitu pun untuk menciptakan ketertiban umum. Kebijakan yang diambil tidak mesti menyingkirkan kaum lemah (gepeng). Sebab mereka bukanlah penyebab tunggal mengapa ketertiban umum di Jakarta belum terwujud[] Alamat Redaksi UIN Syarif Hidayatullah Gd. Student Centre Lt III Ruang 307 Jl. Ir. H. Djuanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419 Careline 0856-7670-315 Homepage http://lpminstitut.blogspot.com/lpminstitut.wordpres.com e-mail lpmisntitute@gmail.com. Redaksi menerima tulisan berupa Opini dan Resensi, ditulis di kertas A4, spasi ganda, font Times New Roman ukuran 12. lebih baik disertai dengan soft copy. Setiap wartawan INSTITUT dibekali tanda pengenal, tidak dibenarkan memberi insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
Pemerintah Tak Serius Sosialisasi Perda Tibum 2007 Tidak Merata Jakarta, INSTITUT-Wakil Ketua Komisi sebagai sopir bajaj, A DPRD DKI Jakarta, Vike Ferry Ponto kebetulan saat itu kepada INSTITUT menjalaskan, dalam masa sedang istirahat satu tahun ini (2008) Pemda DKI Jakarta di kios istrinya akan melakukan sosialisasi Perda DKI No. mengatakan, dari 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum. dulu sejak zaman Tapi hingga saat ini belum terlihat langkah pak Harto juga kongkrit pemerintah mengenai hal tersebut. sudah dilarang. Dari pantauan INSTITUT (26/01) di Tapi kenyataanya kawasan selatan Jakarta, sosialisasi dilakukan para petugas yang tidak merata. Di Lebak Bulus dan Pasar m e n e r t i b k a n Jumat, selasa (15/01) para pedagang asongan, selalu mau diajak pengamen dan para pengemis mengaku kompromi dengan menerima selebaran yang berisi larangan syarat pedagang beroperasi bagi mereka, terhitung sejak m e m b e r i n y a tanggal 14 Januari 2008 berdasarkan Perda uang. Laki-laki Dua orang pengamen bernyanyi dalam metromini di malam hari di atas. Tapi dalam selebaran itu tidak ada asal Slawi, Tegal rincian Perda tersebut. Padahal, sebagimana ini menyatakan tidak masalah waktu ditangkap saya dibawa ke Kedoya. Di ditulis Kompas (edisi 9/1) Kepala Biro Hukum larangan itu diberlakukan asalkan sana disuruh baris, kemudian suruh nampar DKI Jakarta, Journal Siahaan menjelaskan, sama rata dan tidak memandang teman sendiri ganti-gantian, kalau nggak sosialisasi dilakukan agar masyarakat mereka punya uang lebih atau tidak. keras saya yang ditampar mereka,” kata mengerti materi Perda secara jelas, beserta Di pinggir jalan tepat di bawah jembatan Junaidi. Ia juga menceritakan pengasong dengan tujuan dibalik setiap pasalnya. penyebarangan kawasan Mall Pondok Indah, yang ditangkap, dikurung selama tiga bulan Mengomentari selebaran yang seorang pedagang gorengan dengan gerobak dalam penjara, kecuali ada yang menebusnya. diterimanya, Taukit, penjual permen yang dorong mengumpat dan marah-marah ketika Untungnya waktu ia ditangkap, bos agen biasa mangkal di Pom Pertamina Lebak INSTITUT menanyakan pendapatnya tentang korannya mau menebus Junaidi dengan Bulus mengatakan, itu selebaran goblok. Perda Tibum ini. “Kalau dilarang jualan, uang Rp. 300 ribu. Untuk mengganti uang “Lha wong tulisannya kepada para pemilik kita mau makan dari mana? Memangnya tebusan kepada bosnya, Junaidi dan temankios, pengamen, pengasong dan bengkel pemerintah mau ngasih makan? Mana temannya mencicilnya tiap bulan dari uang pinggir jalan dilarang beroperasi dan segera semua harga sekarang mahal. Mas baca hasil jualan. Junaidi juga mengatakan, untuk memindah gerobak atau lapak ke tempat koran nggak kemarin, ada ibu-ibu gantung para pengemis seperti ibu-ibu yang bergiat di yang diizinkan mulai tanggal 14, tapi baru diri gara-gara semua bahan pokok mahal, sekitar lampu merah Mall Pondok Indah itu, disebarkan tanggal 15,” kata Taukit dengan minyak mahal. Mana katanya mahasiswa uang tebusnya lebih mahal. “Mereka kalau logat Jawanya. Taukit mengaku tahu bahwa yang suka demo, buktinya sampai sekarang ketangkap biasanya harus ditebus Rp. 600 kegiatan yang ia lakukan dilarang pemerintah. nggak demo-demo,” ungkap pedagang ribu. Biasanya yang nebus keluarganya, atau Ia juga sering kalau nggak ya ditahan sampai diingatkan satpam “Dulu waktu ditangkap saya dibawa ke Kedoya. Di sana masa tahanannya habis,” papar Pom Pertamina agar Junaidi. Tapi saat ini, sudah disuruh baris, kemudian suruh nampar teman sendiri tidak berjualan di sana. jarang kita ditangkap. Paling ganti-gantian, kalau nggak keras saya yang ditampar Untuk mensiasatinya, kalau ditangkap cuma disuruh ia hanya menjual push up atau diminta korannya. mereka,” kata Junaidi. permennya pada Meski telah berulang kali bus AKAP yang terjaring operasi, tapi Junaidi sedang mengisi bahan bakar. Dan saat gorengan itu dengan napas terengah-engah tak mau beralih profesi menjadi sopir bajaj menunggu bus datang, Taukit biasa menahan marah, sambil membolak-balik atau taksi seperti saudara-saudaranya duduk di pinggir jalan di luar Pom. gorengannya. Bahkan ketika INSTITUT yang dulu juga menjadi pengecer koran. Sementara Siti, seorang bocah menanyakan namanya laki-laki yang Menurutnya, menjual koran lebih santai perempuan kelas IV SD yang sehari-hari mengaku telah 12 tahun menjual gorengan di dari pada menjadi sopir bajaj atau taksi. mengamen di jalanan Lebak Bulus, Cilandak tempat ini tak mau menyebutkannya. “Buat Tak hanya Junaidi, Ano, pedagang dan sekitarnya mengatakan, “Kalau nggak apa nama? Nggak perlu. Tuh, tanya saja asongan di wilayah Pasar Jumat juga pernah ngamen, ya nggak makan,” kata Siti polos. mereka di sana, jangan saya,” katanya terlihat mendekam di LP Maruya selama tiga hari. Di kawasan jalan Radio Dalam, Thoimah, kesal sembari menunjuk beberapa pedagang Ano juga mengaku sering kucing-kucingan yang mengaku telah sepuluh tahun menjadi lainnya di jalanan Pondok Indah itu. dengan petugas saat operasi Trantib pedagang kaki lima, mengatakan belum Di sebuah pertigaan lampu lalu-lintas, berlangsung. ”Saya mah suka kabur-kaburan mengetahui akan ada penerapan Perda masih di area Mall Pondok Indah, beberapa kalau ada razia, kadang di dekat terminal Tibum ini. Ia belum menerima peringatan wanita paruh baya menggendong anaknya Lebak Bulus, kadang di Pasar Jumat,” dari pemerintah akan larangan tersebut. mendatangi satu persatu kendaraan yang ungkap pria yang selalu menggunakan Yasin, suami Thoimah yang berprofesi berhenti menunggu lampu hijau. Berharap handuk sebagai ikat kepala saat berjualan para pengendara mobil memberikan sedekah. ini. Sementara Dedi, pedagang sapu di Pasar Mereka mengaku tak mengetahui dan belum Jumat juga mengeluhkan tindakan Satpol menerima sosialisasi Perda Tibum ini. Ibu- PP yang tidak berprikemanusiaan. Dedi ibu itu juga tak mau menyebutkan namanya merasa kesal dengan tindakan mereka yang dengan alasan sudah sering ditanya, baik oleh biasa menendang semaunya saat melakukan wartawan maupun mahasiswa. Saat ditanya razia para gepeng. “Adanya Perda ini untuk pendapatnya, seorang diantara ibu-ibu itu menertibkan, bukan untuk semena-mena mengatakan, “kita nggak selalu begini mas. Ini menyiksa para gepeng tersebut, bagaimana cuma mengisi waktu luang. Kalau pagi kami akan tercipta suatu ketertiban jika yang jualan sayuran di pasar. Kaya gini (mengemis) menertibkan pun tidak tahu aturan,” tuturnya juga dapetnya dikit,” kata ibu pengemis itu dengan nada kesal. Perlakuan biadab itu sambil meneruskan aktivitas mengemisnya. menurutnya, setidaknya sudah menunjukan Di tempat yang sama, Junaidi dan cukup tertindasnya para gepeng ini. Dullah, pengecer koran juga mengatakan hal “Sudah seharusnya gepeng ditertibkan serupa. “Sampai saat ini (19/1) kami belum tapikan mereka juga harus dikasih kerjaan menerima sosialisasi itu,” kata Junaidi yang atau modalah, misalnya buat dagang,” telah menjadi penjual koran sejak 1997 lalu. tutur Sakti warga Pasar Jumat. Semestinya, imbuh Sakti, rakyat tidak dijadikan bulanKejamnya Para Petugas bulanan sebuah produk hukum. Pemprov juga harus mencari solusi tepat agar Bicara mengenai Petugas Trantib, semuanya tertata rapi dan nyaman serta Junaidi mengungkapkan beberapa kali tidak menambah generasi baru gepeng di ibu tertangkap saat operasi berlangsung. “Dulu kota ini.[MS. Wibowo, Badru, Shulhan]
Dok: INSTITUT
2
Laporan UTAMA
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
3
Perda Tibum 2007
Mengatasi Masalah Dengan Masalah Siahaan yang paling sering menjadi sasaran tanya dan kritik peserta maupun pembicara lainnya. Mayoritas peserta menanyakan solusi dari pemberlakuan Perda tersebut? Apakah dengan menghukum dan memberi sanksi pada gepeng akan menyelesaikan masalah? Bukan hanya tentang gepeng, dalam Perda itu juga terdapat larangan bertingkah laku atau berbuat asusila di jalan raya, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum. Serta larangan menyuruh, memfasilitasi, membujuk, memaksa orang lain menjadi penjaja seks komersial (PSK), menjadi atau memakai jasa PSK. Dalam hal ini pun terjadi perdebatan sengit. Masing-masing (antara yang pro dan yang kontra) mengajukan logika dan ilustrasinya. Menurut Journal, Perda ini justru melindungi hak dan martabat perempuan. “Kita sudah sering coba membina para PSK itu dengan memberikan kursus menjahit selama di panti sosial agar setelah keluar mereka mempunyai keterampilan. Tapi, lanjut Journal, mereka tak mau menggunakan keterampilan yang mereka dapatkan itu. Karena kata mereka jualan daging mentah lebih menghasilkan dari pada menjahit baju. Pernyataan
Journal itu pun disanggah Mita dari LSM Koalisi Perempuan. Menurut Mita tak bijak jika pemerintah hanya bisa menyalahkan para PSK tanpa memberi solusi yang tepat. “Mereka kembali menjalani profesinya semula karena mereka berada dalam kekurangan. Sementara solusi dari pemerintah tak dapat menutupi kebutuhan mereka dan keluarganya,” ujar Mita. Pemerintah Harus Jadi Teladan Di pihak lain, dosen Ilmu Politik Fakultas Ushuludin dan Filsafat (FUF) UIN Jakarta A. Bakir Ihsan mengatakan, sebagimana Perdaperda sebelumnya, implementasi Perda Tibum ini kemungkinan besar juga akan berjalan di awal saja. Hal itu menurutnya karena tidak adanya konsistensi dan keteladanan antara pemerintah sebagai pembuat peraturan dengan masyarakat sebagai sasaran peraturan tersebut. “Seyogyanya pemerintah mampu menjadi teladan bagi masyarakat dalam menjalankan semua peraturan daerah, artinya pemerintah bukan hanya sebagai pembuat an sich tapi juga pelaksana peraturan tersebut,” tutur Bakir. Selain itu, tambahnya, setiap peraturan harus ada evaluasi dan harus banyak melibatkan semua elemen. Di pihak lain, pemerintah mangaku mengalami kendala dalam hal keterbatasan dana untuk mensosialisasikan Perda ini melalui Foto Tedi/INSTITUT (gambar dalam olnhan)
Jakarta, INSTITUT- Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri. Bagi para gelandangan, pengemis, pengamen dan pedagang asongan (gepeng), pameo ini mungkin ada benarnya. Mereka sering merasakan pahitnya menjadi objek peraturan dan kebijakan pemerintah, dengan alasan ketertiban. Pada 10 September 2007 lalu, DPRD DKI Jakarta mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) No. 8 Tahun 2007 sebagai revisi dari Perda No. 11 Tahun 1988 tentang Ketertiban Umum (Tibum). Diantara isinya, tak hanya akan menghukum gepeng yang beroperasi, tapi juga orang yang memberi sumbangan pada mereka. Wakil Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Vike Verry Ponto mengatakan, revisi Perda Tibum merupakan urusan perundangundangan. “Perda merupakan produk hukum, ada jangka waktu untuk merevisi dan mengkaji kembali atau mengevaluasinya. “Sebagai wakil rakrat, kami mendengar jeritan dan masukan mereka. Maka kami menyampaikannya ke pemerintah daerah,” tuturnya ketika ditemui INSTITUT November lalu di gedung DPRD DKI Jakarta. Revisi Perda Tibum ini, lanjut Vike, akan diterapkan satu tahun setelah pengesahan, sebab pemerintah masih harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Meski demikian, tak sedikit kalangan yang menolak Perda ini. Salah-satunya adalah Aliansi Tolak Perda Tibum “Jakarta Untuk Semua” yang merupakan gabungan berbagai LSM, LBH, mahasiswa dan masyarakat. Selain menggelar aksi demonstrasi, aliansi ini juga mengadakan dialog publik bertempat di Perpustakaan Nasional pada 27 November 2007 lalu. Dialaog tersebut menghadirkan kalangan terkait baik dari Pemda DKI Jakarta, LBH, AJI, DPRD, Depdagri, dan LSM. Diantara pembicara yang hadir, Journal
iklan di televisi, radio, dan surat kabar. Karena itu, agar sosialisasi berjalan, Vike berharap pada masyarakat untuk ikut berperan serta mensosialisasinya. Misalnya mahasiswa, mengkajinya dalam forum diskusi publik, bahkan tidak menutup kemungkinan organisasi masyarakat, Nahdalatul Ulama dan Muhammadiyah pun diminta untuk memberikan pengarahan masalah peraturan ini. sebab menurut dia sosialisasi bukan hanya tugas pemerintah, tapi tugas bersama. Solusi tak jelas Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial (Kesos) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Jakarta Budi Rahman Hakim menuturkan, semestinya pemerintah selaku subjek yang mengeluarkan peraturan ini bisa memberikan solusi bagi para pengemis, pengamen atau pun pedagang asongan yang dikenakan peraturan tersebut. sebab hal ini menyangkut masalah sosial ekonomi, kehidupan, dan keberlangsungan hidup seseorang. “Solusi yang ditawarkan bisa berupa mentransmigrasikan mereka, melokalisir, memberikan modal untuk membuka usaha atau memberikan mereka pekerjaan disektor industri yang bersifat low skill (padat karya), pelatihan wirausaha yang dapat memberikan potensi bisnis seperti peluang, tehnik dan strategi marketing,” jelasnya. Dalam hal ini, lanjutnya, tidak hanya diberi modal saja, tetapi dibuatkan pula jaringan pasar. Sehingga mereka bisa mendapat pekerjaan yang layak.[Akhwani, Badru, Susi, MS. Bowo]
Pengamen pun Peduli Oleh MS Wibowo Kantin FUF, INSTITUT-Faizudin (Faiz) salah seorang pengurus di Kelompok Pengamen Jalanan Pondok Indah (KPJPI) mengatakan, larangan dan sanksi bagi pengamen dan orang yang memberi sumbangan dalam Perda Tibum No.8 Tahun 2007 adalah peraturan yang sangat bodoh. Menurut mahasiswa semester akhir Pengembangan Mayarakat Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi (PMI FDK) UIN Jakarta ini, tujuan para pengamen itu hanyalah coba menghibur, berkreasi, berekspresi serta berusaha bertahan hidup di Jakarta tanpa bergantung pada orang tua. Faiz mengakui, sebenarnya aturan ini sudah bagus. Anak-anak jalanan itu, oleh pemerintah diberi pembekalan dan kemampuan kerja. Hanya penerapanya saja kurang tepat. “Bahkan cerita kawan-kawan, mereka pernah ditangkap dalam mobil. Kemudian tahu-tahu mereka sudah berada di daerah Jawa,” kata Faiz saat ditemui di Kantin FUF-FDK (16/01). Kawan-kawan pengamen sering dipukuli ketika ditangkap. Faiz menambahkan, ketika di Balai Latihan Kerja, mereka diperlakukan tidak selayaknya. Baik dalam pemberian makan dan sebagainya. Selain itu, Faiz yang juga bergaul dengan para pedagang kios dan asongan mengatakan,
dalam melaksanakan tugas, Satpol PP sering menawarkan berapa rupiah para pedagang asongan itu berani membayar petugas agar tak dirazia. Karena itu, menurut Faiz peraturan itu tidak akan berjalan efektif. Karena masalah yang dihadapi bukan ketertiban umum, melainkan perekonomian. “Para pengangguran di Indonesia ini, seandainya dikumpulkan pasti bisa untuk menyerang dan menghancurkan Amerika,” tegas Faiz. Faiz juga menolak jika aktivitas para pengamen dianggap mengganggu ketertiban. Ia menuturkan, kawan-kawannya pernah menolong penumpang yang kecopetan. Karena pencopet yang tertangkap basah itu melawan, perkelahian pun tak terhindarkan. Akan tetapi hal ini bisa diselesaikan teman-teman KPJPI karena akhirnya pencopet itu kalah dalam perkelahian. Faiz mengungkapkan, sebetulnya kalau boleh dibilang para pengamen itu banyak jasanya. “Untuk daerah selatan Jakarta, Ciputat-Blok-M misalnya, insya Allah aman dari pencopet. Kalau masih ada bilang ke anak-anak KPJPI, biar kami yang memberantas. Kecuali Koantas Bima 510 (Ciputat-Kp. Rambutan) karena memang pengamen tak bisa di sini, kita tahu 510 selalu penuh,” kata pria asal Pandeglang ini.
Pertama Kali Meneteskan Air Mata Faiz mengenal KPJPI dari M. Rosyid (Ocit), mahasiswa UIN Jakarta yang menjadi salah-seorang pendiri KPJPI. Awalnya Ocit mengajak Faiz ngamen dan menengok kehidupan di jalanan. Faiz mengaku banyak mendapat pelajaran hidup bersama anak-anak jalanan ini. Setahun sebelum bersama KPJPI, Faiz mengaku sangat bengal. “Dulu, siapa di daerah Pesanggrahan, yang nggak kenal nama saya. Dulu setiap melihat orang songong sedikit saja, selalu ingin berkelahi. Hampir setiap malam saya mabok. Di Kampus, isi tas saya bukan buku atau pulpen, tapi golok,” kata Faiz mengenang masa kelamnya. Faiz juga sempat akan dikeluarkan dari kampus garagara pernah mukulin seorang seniornya. Tapi sejak berjumpa dan bergaul dengan teman-teman jalanan, kehidupan Faiz berubah. Di sini pertama kali Faiz menangis menyesali semua kelakuannya. Ia melihat realitas anak-anak jalanan, yang dalam hal ekonomi tak seberuntung dirinya namun tetap berusaha agar tak menyusahkan orang tua. Kesederhanaan, kemandirian dan rasa kesamaan juga temuinya di KPJPI. “Kebanyakan orang-orang umum, ketika
melihat anak-anak jalanan atau orang berpenampilan gembel langsung melihat sebelah mata dan berpikiran negatif, merasa dirinya lebih tinggi. Cobalah datang ke Sanggar KPJPI, pasti mereka akan sadar seperti apa kehidupan ini sesungguhnya,” ungkap Faiz. Di KPJPI Faiz dipercaya duduk di Devisi Pendidikan dan Pelatihan, khususnya pengajaran ilmu keagamaan. Orang tua Faiz sendiri sempat khawatir dengan aktivitas yang ia lakukan. Hingga mereka datang ke Ciputat untuk menemui Faiz. Ditanyalah Faiz, mengapa ikut-ikutan ngamen, bukankah orang tua masih sanggup untuk memenuhi kebutuhannya. Faiz pun menjelaskan, tentang dirinya dan keberadaan teman-teman di KPJPI. Selain itu Faiz juga menuturkan di sini ia mencoba berbagi ilmu dengan ngajar ngaji kepada para anak-anak jalanan. Orang tua Faiz pun akhirnya memahami. Tak hanya Faiz, beberapa teman lain yang kini menjadi anggota KPJPI juga demikian. Diantaranya Rizki. Ia anak seorang pegawai Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bisnis (STIEBI). Lulus SMA, Rizqi tak mau melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. bersambung ke hal 4
4
LAPORAN Khusus
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
SU I Lanjutan Dibuntuti Keributan dia hadir untuk memberikan LPJ,” tuturnya. Namun, hingga SU-III selesai, BEMU tidak kunjung datang. Sidang dilanjutkan dengan SUI tentang restrukturisasi KMU dan DPMU. Pada sesi ini, anggota lege-
berhasil menyingkirkan lawannya, Arafat Helmi Syaefudin dari fraksi PIM. Bayu memperoleh 36 suara dan Arafat 2 suara. SU-I l a n jutan kembali digelar selasa (9/1) di Aula Student Cent e r . Sidang ini pun masih mengalami keterlambatan waktu kurang lebih lima jam. Ketika palu pembuka sidang telah diketok, di awal sidang Ketua KMU Herdi Jaya Kusuma menyatakan permohonan maaf atas molornya waktu sidang. Herdi menjelaskan, hal ini terkait dengan masalah keuangan, birokrasi kampus dan sebagainya. SU-I lanjutan ini dihadiri oleh semua fraksi kecuali dari Partai Progresif dan Partai Boenga. Tetapi selain Fraksi UKM yang memiliki kursi 15, tak semua anggota legeslatif dari tiga fraksi hadir. Anggota dari Fraksi PIM hadir 26 dari 34 kursi yang diperolehnya. Sementara Fraksi PARMA hanya mendatangkan 12 dari 30 wakilnya di legeslatif. Disusul Fraksi PPM dengan 10 dari 22 jatah kursi yang dimiliki. Sebelum melakukan pembahasan AD/ART dan lain-lain, agenda SU-I lanjutan ini adalah pelantikan BEMU oleh KMU. Akan tetapi
Foto Bowo/INSTITUT
Aula SC, INSTITUT- Dua dari lima fraksi anggota Kongres Mahasiswa Universitas (KMU) KBM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tidak menghadiri Sidang Umum (SU) III yang dilaksanakan di Aula Student Center Jumat (7/12). Mereka adalah Fraksi Persatuan Mahasiswa (PPM) dan Fraksi Partai Progressif. Ketidakhadiran dua fraksi ini tak disertai alasan dan informasi yang jelas. Akibatnya pelaksanaan sidang mengalami kemoloran waktu hingga berjam-jam. Menurut jadwal yang telah ditentukan panitia, SU-III dimulai pukul 14.00. Berhubung anggota kongres belum memenuhi quorum, akhirnya panitia melakukan pending beberapa kali. Sekitar pukul 19.00, panitia sidang menghubungi para angggota legeseatif masing-masing partai agar menghadirkan seluruh anggotanya. Tak berapa lama, SU-III pun dimulai. Fenomena ini bukan perkara baru dalam pelaksanaan sidang KMU, baik SU-I, SU-II, maupun SU-III, melainkan sudah menjadi tradisi lama yang hingga saat ini terus terjadi. Agenda utama SU-III ini adalah laporan pertanggungjawaban (LPJ) BEMU dan UKM. Pelaksanaan LPJ tiap-tiap UKM berjalan dengan lancar. Sementara BEMU tidak memberikan LPJ kepada anggota kongres tanpa alasan yang jelas. Padahal menurut Ketua Kongres, Trio Hadi Saputra, Syukron Jamal sudah dikonfirmasi. “Ketika dikonfirmasi Syukron menyatakan berse-
selatif yang hadir hanya dari Fraksi Partai Intelektual Muslim (PIM), Fraksi Partai Reformasi Mahasiswa (PARMA), Fraksi Partai Boenga, dan Fraksi UKM. Masing-masing fraksi mengajukan kadernya sebagai calon ketua. Namun saat pemilihan, calon dari fraksi Boenga tidak hadir, sehingga dinyatakan gugur. Dalam pemilihan ketua KMU yang dilakukan dengan sistem tertutup, Herdi Jaya Kusuma dari Fraksi PIM terpilih sebagai Ketua KMU periode 2007-2008 menggungguli M Towil Akhirudin Fraksi UKM, dan Nida Fadlan Fraksi PARMA. Herdi berhasil mengantongi 46 suara, sedangkan Towil dan Nida masing-masing memperoleh 5 suara dan 2 suara. Sementara itu, pemilihan ketua DPMU dilakukan dengan sistem terbuka. Bayu Prasetyo dari fraksi PARMA terpilih sebagai Ketua DPMU periode 2007-2008. Bayu
BEMU tidak menghadiri Sidang Kongres kali ini. Akhirnya acara dilanjutkan pada agenda selanjutnya. Sebelum berpindah agenda, salah seorang peserta sempat bertanya perihal LPJ Syukron Jamal selaku Presiden BEMU sebelum Ajo. Namun Herdi menjawab, itu bukan lagi menjadi urusan KMU saat ini. BEMU masa Syukron Jamal hanya berurusan dengan KMU sewaktu ia menjabat. Pembahasan AD/ART, GBHO, Rekomendasi dan Budgeting relatif berjalan lancar. Pada sidang komisi yang masing-masing membahas hal tersebut, tak ada hambatan berarti. Tiap komisi hanya meminta waktu tambahan sepuluh dari 15 menit yang disepakati, untuk merampungkan pembahasannya. Kecuali Komisi I yang membahas AD/ART, meminta tambahan waktu sepuluh menit lagi, mengingat banyaknya materi pembahasan. Sidang Pleno juga berlangsung tanpa hambatan berarti. Hanya masalah budgeting yang terpaksa harus diselesaikan dengan voting.
Usulan Komisi V yang membahas budgeting didukung oleh Fraksi UKM, sementara Fraksi PIM, PARMA dan PPM masingmasing punya usulan sendiri. Hasil voting menempatkan usulan Fraksi PIM pada urutan teratas dengan 47 suara. Sementara usulan dari Fraksi UKM satu suara, PPM empat dan PARMA satu. Di akhir acara, setelah sidang ditutup sekitar pukul 03.45, sempat terjadi hal yang tidak diinginkan. Terlihat beberapa anggota Fraksi PPM bersitegang dengan anggota Fraksi PIM. Tak begitu jelas apa penyebab keributan ini. Karena masing-masing pihak tampak tertutup dalam memberi penjelasan. Menurut beberapa peserta sidang, ketegangan itu dipicu oleh salah-seorang anggota Fraksi PPM yang tidak menerima hasil sidang. Untunglah keadaan ini segera dipadamkan. Sejumlah anggota sidang yang masih berada di teras Aula SC ikut mendinginkan suasana. [Akhwani, Wibowo]
Usulan Budgeting Masing-masing Fraksi Dalam SU-I Kongres Mahasiswa Universitas KBM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sumber: Hasil Sidang KMU dalam persen dari dana Rp. 720.350.000. Usulan Fraksi PIM yang disepakati oleh seluruh anggota KMU.
Sambungan Laput Hal 3
Pengamen pun Peduli Pergaulan membawanya dalam dunia hitam. Obat-obatan terlarang ia konsumsi. Hingga Rizqi sempat menjual motor Honda Supra milik ayahnya seharga satu juta, hanya karena ketergantungan obat. Tapi keajaiban mengubah Rizqi. Seringnya ia makan di warung tenda di kawasan Pondok Indah mempertemukannya dengan anak-anak KPJPI yang sedang mengamen. Setelah sering mengajak ngobrol, Rizqi pun kerap berkunjung ke Sanggar KPJPI. Di sana ia terharu dengan sambutan KPJPI terhadapnya. “Kok kalian masih menerima saya? Padahal kehidupan yang saya jalani saperti ini?” Tanya Rizqi pada teman-teman KPJPI. “Karena kita sayang sama kamu,” jawab teman-teman KPJPI. Kebetulan saat itu ada program
dari PBB yang bekerjasama dengan KPJPI tentang penanganan para pecandu narkoba. KPJPI pun mengikutkan Rizqi pada program tersebut selama satu tahun. Akhirnya ia sembuh dan meneruskan studinya di STIEBI. Di Kampus, ia menghidupkan BEM STIEABI dan aktif diberbagai kehidupan yang bersifat positif. Saat ini ia juga punya grup band yang menjadi pengiring acaraacara televisi, salah-satunya Ekstravaganza di TransTV. KPJPI terbentuk pada 18 April 2003 dengan pemrakarsa Heryan Purwoko, Garets Marlon Siwabessy, Chaerul Anwar dan seorang mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, M. Rosyid. Pengamen yang beraktivitas di daerah Fatmawati, Blok A dan Ciputat. Syarat untuk
menjadi anggota, minimal ada tiga. Diantaranya, tidak menggunakan narkoba dan sejenisnya, tidak melakukan perbuatan asusila serta menjaga nama baik organisasi, nilai-nilai agama dan negara. KPJPI memiliki Sanggar yang beralamat di Jl. Sandratex I RT/RW 02/02 Rempoa Ciputat Tangerang. Menurut Faiz mereka sempat mau diusir oleh masyarakat yang mempunyai pikiran buruk terhadap komunitas pengamen ini. Tetapi dengan penjelasan dan bukti nyata, akhirnya masyarakat pun memaklumi bahkan mendukung. Selama ini KPJPI telah banyak melakukan berbagai macam kegiatan, mulai dari pengajian mingguan rutin untuk anak-anak dan remaja dengan mengundang masyarakat sekitar,
menyekolahkan mereka yang putus sekolah, memberi keterampilan dan membuat program pendidikan di daerah Legoso serta kegiatan positif lainnya seperti pembutan website dan sebagainya. Beberapa anak KPJPI juga membuka warung makan Sea Food di daerah Cirendeu, sebererang jalan STIEAD. Belum lama, KPJPI juga mengundang Prof Dr Nazaruddin Umar untuk mengisi ceramah dalam acara pernikahan M. Rosyid. Yang tak kalah hebat, KPJPI juga memiliki website dengan alamat http/:botzq.multiply.com. KPJPI juga sering mengadakan bazar, membuat kaos dan mengadakan beberapa event di gedung milik Dr. Rosita bernama Musola Raharja. Menurut Faiz, Dr. Rosita-lah yang ngemong anak-
anak. Ia setia mendengar keluh kesah dan curhatan anak-anak KPJPI. Dr. Rosita sendiri menyebut kelompok ini, pesantren jalanan. Dari bazar, penjualan kaos dan iuran harian dari anggota yang berjumlah 50 orang sebesar 1.000 rupiah jalan roda organisasi ini berjalan. Faiz mengungkapkan, sebenarnya banyak partai-partai politik yang menawarkan bantuan. Tapi KPJPI menolaknya karena tak ingin organisasi ini dimanfaatkan para politikus tersebut. Faiz menambahkan, saat ini ada tawaran juga beasiswa S2 dari Sampoerna bagi anak KPJPI.[]
laporan Khusus
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
5
510; Fenomena Bus Sejuta Umat Foto Bowo/INSTITUT
Beberapa mahasiswa UIN Jakarta hendak memasuki metromini Kowantas Bima 510
Ciputat, INSTITUT-Setiap ahir pekan, Zulfa Lutfiah Mastur mahasiswa semester VII Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (PPI/FUF) UIN Jakarta beranjak dari rumah kostnya di Jl. Semanggi Cempaka Putih Ciputat untuk melepas rindu dengan keluarganya di daerah Bekasi. Mahasiswi yang akrab dengan sapaan Lulut ini selalu menggunakan jasa angkutan Kowantas Bima (510) dengan trayek Ciputat-Kampung (Kp) Rambutan. Alasannya satu, tak ada bis angkutan dari Ciputat ke Kp. Rambutan yang lebih cepat dari pada 510 Jumat ahir Oktober lalu, sekitar pukul 16.00 WIB Lulut telah bersiap-siap di halte UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tak lama kemudian, Metromini dengan cat kuning hijau itu pun tiba. Kenek 510 tak henti-hentinya berkoarkoar, “Rambutan-rebo, rambutan, rebo, jalan baru langsung tol-langsung tol.” Di dalam 510, penumpang telah penuh sesak hingga mulut pintu. Lulut pun harus naik dengan posisi berdiri. Kowantas Bima 510 ini melaju tanpa halangan berarti. Mendekati area Jalan Baru, Lulut merasa beberapa orang berusaha mendesaknya. Ia segera waspada. Disadarinya, desakan itu berasal dari tiga arah, satu orang di depan dan dua lagi di belakang. Spontan ia menyodokkan siku tangannya dengan sasaran ulu hati salah-orang di belakangnya tersebut. Lulut menatap orang itu dengan tatapan tajam. Terlihat ia menyeringai kesakitan. “Mau Nyopet lo ya?! Awas kalau mendekat lagi gua teriak.” Busik Lulut tegas. Beberapa menit kemudian 510 sampai di Jalan Baru. Lulut turun. Ia melihat satu dari orang yang mendesaknya tadi masih mengikuti. Mahasiswi yang juga aktivis UKM Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini segera meminta perlindungan polisi yang siaga di sana. Setelah merasa aman Lulut pun mengucapkan terima kasih pada aparat keamanan itu dan segera menyetop bus yang searah dengan rumahnya. Kejadian ini bukan yang pertama bagi Lulut. Selain ia sering melihat beberapa orang yang kecopetan di 510. Bahkan saat Lulut
semester III lalu, ia mendapati tasnya telah tersobek. HP 6600, cincin mas 2 gram dan uang senilai Rp.360.000 serta KTP dan kartukartu identitas lainnya telah raip digondol pencopet. “Waktu itu seperti biasa aku naik 510 yang sudah penuh sesak. Dalam perjalanan, ada wanita yang pura-pura pingsan. Sehingga semua tertuju pada wanita berumur tiga puluhan itu,” cerita Lulut. Sampai di Jalan Baru, lanjut Lulut, aku turun. Sebentar langkahku tertahan di pintu Metromini karena merasa tas yang aku tenteng di pundak nyangkut di pintu. Dengan cepat langsung aku tarik saja. Ketika berada di jalanan, ada seorang ibu memanggil saya, ” dek, dek, itu tasnya kebuka.” Aku langsung memeriksa tas, yang ternyata telah sobek terkena benda tajam dan mendapati barang-barangku tadi telah amblas. Dalam keadaan shock aku langsung lapor polisi. Tapi apa boleh buat 510 tetap melaju ke Terminal Kampung Rambutan. Untung aku selalu nyelipin uang cadangan di saku. Sehingga aku masih bisa melanjutkan perjalanan menuju Bekasi. Ahir Desember 2007 lalu tepatnya Sabtu (22/12), Mega, mahasiswa Psikologi semester V, juga mengalami musibah di 510. Siang itu, selepas dzuhur, Mega berada dalam bis dengan kondisi penuh sesak. Ia hendak transit dari Pasar Rebo ke Karawang. Sampai di Pasar Rebo ia baru menyadari bahwa HP-nya telah raib. “Waktu itu di 510 bejubel banget, sampai saya nggak bisa bergerak. Memang sepertinya saat itu ada orang di belakang saya yang bergerak-gerak melulu, tapi saya nggak melihatnya. Sampai di Pasar Rebo,s aya baru sadar kalau HP saya telah hilang,” jelas Mega. Mega dan Lulut hanyalah dua diantara deretan korban pencopetan di 510. Peristiwa ini juga sudah banyak banyak menimpa mahasiswa UIN Jakarta lain maupun penumpang pada umumnya. *** Tak hanya pencopetan, kasus esek-esek juga kerap menjadi keluhan para penumpang wanita. Lulut pernah menjumpai mahasiswi jilbaber yang mengumpat dengan kata-kata kasar karena hendak
dijadikan korban esek-esek. Kejadian semacam itu diakui oleh Daroni, seorang sopir 510. Ia mengakui, esek-esek pernah terjadi saat bapak lima anak ini menjalani rutinitasnya itu. “Sering ada kasus esek-esek di mobil yang saya bawa. Saya tak ingat kapan saja tanggal pastinya. yang jelas waktu itu pelaku ada yang sampai mengeluarkan air mani ketika melakukan aksi esek-esek itu,” papar pria asal Kendal itu. Mendengar teriakan penumpang wanita, Daroni pun refleks menginjak rem mobilnya. Tapi sang penjahat lebih lincah. Begitu metromini berhenti, ia meloncat kabur entah kemana. Sebenarnya, menurut Daroni, ia dan kawan-kawannya di Koantas Bima 510 sudah sering melaporkan peristiwa-peristiwa itu pada pihak kepolisian. Tetapi, tambah Daroni, polisi sulit medeteksi pelaku karena mereka selalu lihai turun dari mobil di saat Metromini melaju di jalan raya.
Demi Kursi, Rela Jalan Sampai Polsek Meski telah terbiasa dengan keadaan penuh sesak dan sengatan bau keringat, para pelanggan 510 tetap merasa tak nyaman. Tia mahasiswi Fakultas Dakwah dan Komunikasi misalnya, tidak jarang sebelum naik, sambil menunggu datangnya 510 ia berjalan dulu sampai ke depan Polsek Ciputat. “Biasanya gue jalan sampai ke depan Polsek sana, biar dapat duduk. Solanya males kalau desak-desakan sambil berdiri,” kata Tia sambil tersenyum memperlihatkan lesung pipitnya. Tak beda dengan Rina, karyawati asal Bekasi yang bekerja di Bank BTN Ciputat. Meski telah tiga tahun Rina setia pulang-pergi dengan jasa angkutan 510, tapi ia tetap kurang nyaman dengan suasana dalam mobil ini. “Abis mau gimana lagi, satu-satunya angkutan yang paling cepat dari Ciputat ke Pasar Rebo cuma 510,” tutur Rina dijumpai INSTITUT dalam keadaan duduk membaca koran di Metromini yang oleh mahasiswa UIN Jakarta sering disebut bus sejuta umat itu. Menurut pendapat Lulut, jumlah Armada 510 perlu ditambah, supaya kondisinya tidak berjubel. Sehingga penumpang pun meresa aman dan nyaman. Berbeda dengan Rina, ia mengatakan armada 510 sudah cukup. “Soalnya saya lihat hampir tiap seperempat jam, 510 selalu ada yang berangkat,” ujar lulusan D3 Poltek UI ini. Mungkin ukuran mobilnya saja yang perlu diperbesar seperti Mayasari misalnya, imbuh Rina. Sependapat dengan Rina, kepa-
da INSTITUT di Pool 510 Ciputat Nurdin, yang salah-seorang sopir 510 menuturkan, jumlah armada Kowantas Bima 510 sudah lebih dari cukup. Ditimbang dari pendapatan hasil kerja di 510 kini berkurang. “Sekarang kita sehari cuma busa jalan tiga rit (PP Ciputan-Kp. Rambutan). Kalau dulu kita busa lima sampai enam rit,” jelas Nurdin. Penurunan pendapatan ini sangat dirasakan paling tidak mulai tahun 2005 lalu. Selain karena kenaikan BBM, banyaknya penumpang yang beralih ke sepeda motor pribadi, turut andil dalam merosotnya income para sopir dan kenek 510. “Dulu nggak ada 510 yang sampai ngetem,” tutur Ipul sambil bermain gaple menunggu giliran jalan Metromininya.
Esek-Esek Asal Cepet Rata-rata penumpang 510 telah mengetahui situasi dan kondisi tersebut di atas. Akan tetapi mereka tak pernah jera dan terus menggunakan jasa 510. Satu alasan yang hampir semua pengguna 510 sepakati, yakni cepat. “Efesiensi waktu. Soalnya kalau naik yang lain, misalnya Kowantas Bima 509 dari Leb-
ak Bulus, waktu tempuhnya bisa dua kali lipat lebih lambat. Belum lagi kalau pas melewati Pondok Indah, pasti macetnya minta ampun, malah bikin stres. Menguras tenaga dan pikiran,” keluh Lulut. Begitu pula Rina, “Lebih baik desakdesakan asal cepat. Dari Ciputat ke Pasar Rebo paling 15-20 menit. Soalnya kan langsung lewat tol. Beda dengan yang lain. Masalah pencopetan, hal itu bisa terjadi kapan dan dimana saja. Untungnya saya naik dari Ciputat. Jadi selalu kebagian tempat duduk,” papar Rina sambil berharap kasus-kasus itu tak menimpa dirinya.
Bus Elek di Kampus Elok Kabag Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Abdul Wadud turut perihatin dengan muatan 510 yang dinilainya telah melebihi kapasitas. Tetapi Wadud menyatakan tak punya wewenang
untuk ikut menangani masalah tersebut. Sebab antara pihak Koantas Bima 510 dan UIN Jakarta tak ada hubungannya sama sekali. Berbicara fasilitas bus antarjemput atau kerjasama dengan perusahaan bus terkait, mengingat tak sedikit mahasiswa UIN Jakarta yang pulang-pergi dan harus desak-desakan di bus umum, Wadud mengungkapkan, pernah ada rencana kerja sama dengan Pemda DKI Jakarta. Tapi hal itu sulit diwujudkan. Mengingat tujauan pulang mahasiswa berbeda-beda. Pasca peristiwa kecelakaan bus yang ditumpangi mahasiswa Hubungan Internasional (HI) Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial (FEIS) yang mengakibatkan meninggalnya dua mahasiswa HI, kritikan tajam banyak tertuju pada birokrasi UIN Jakarta. Tak hanya dari kalangan mahasiswa, tetapi dari para alumni UIN Jakarta, yang kritikan-kritikan itu banyak dilayangkan di website-website mereka. Umumnya kritikan itu menyatakan, kemewahan gedung UIN Jakarta ternyata tak diiringi dengan bus yang lebih buruk dari kampus setingkat IAIN. Hal ini bukan tidak disadari oleh Wadud sebagai Kabag Umum. “Kami mengakui memang bus UIN Jakarta sudah tak layak untuk kampus sekelas UIN Jakarta ini. Namun untuk tahun 2007 ini belum ada anggaran untuk mengganti bus tersebut. Karena biaya untuk membeli sebuah bus tidaklah kecil. Lebihlebih saya orang baru di sini (Kabag Umum). Jadi untuk tahun ini saya masih melanjutkan program-program dari Kabag sebelumnya,” jelas Wadud. Tapi Wadud menyatakan, pihaknya berencana menambah atau mengganti bus UIN Jakarta minimal tahun depan (2008). Wadud juga sedikit menjelaskan prosedur peminjaman bus kampus ini. Ia menolak disebut penyewaan, karena dalam prakteknya mahasiswa UIN Jakarta yang menggunakan bus ini tidak dikenakan uang sewa. Mahasiswa hanya membayar uang untuk membeli solar bus sejauh mereka butuhkan. Selain itu, mereka juga hanya mengeluarkan uang makan untuk sopir.”Sopir bus ini memang mendapat gaji tiap bulannya. Tapi ya masa kita minta tolong orang nganterin, kita tidak mau ngasih makan,” jelas Wadud yang bersedia dengan ramah menerima INSTITUT disela-sela kesibukannya.[MS. Wibowo]
OPINI
6
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
Pendidikan Bukan Milik Rakyat Kecil Oleh Moh Fauzi Ibrahim Mahasiswa Manajemen Pendidikan FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Sekolah Guru Kreatif
A
rus globalisasi di seluruh sektor kehidupan telah menyebabkan terjadinya kapitalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan. Tak terkecuali Indonesia, yang tak luput dari ganasnya dua sistem tersebut. Siap tidak siap, Indonesia sudah berada di lingkungan yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Oleh karena itu yang harus dilakukan bangsa Indonesia adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang handal dan siap melakukan perubahan seirama dengan gelombang globalisasi. Konsekwensi logis dari terbukanya Indonesia terhadap kapitalisme adalah terjadinya industrialisasi pendidikan. Hal ini akan menjadikan pendidikan sebagai barang komuditi yang setiap saat dapat diperjualbelikan para pemilik modal. Kaum kapitalis akan leluasa menancapkan hegemoninya untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi besar-besaran terhadap rakyat Indonesia. Kompetisi global semacam ini perlu disikapi dengan bijak. Sebab keadaan tersebut sangat rentan melahirkan ketimpangan sosial yang tinggi antara si kaya dan si miskin. Prancis Wahono dalam bukunya Kapitalisme Pendidikan; Antara Kompetisi dan Keadilan Sosial berpendapat, “Indonesia dan negara –negara lain pada umumnya telah mengalami pergeseran paradigma pendidikan. Paradigma yang awalnya berbasis keadilan sosial menjadi paradigma yang berbasis pada kapitalisme. Pendidikan seyogyanya dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat pada umumnya. Namun saat ini,
pendidikan hanya bisa diakses orang-orang yang mempunyai modal besar. Sedangkan orang-orang miskin hanya menjadi penonton di rumah sendiri. Fenomena seperti ini dapat kita jumpai di beberapa wilayah Indonesia. Meskipun pemerintah ada program yang ingin menggratiskan biaya sekolah bagi kaum miskin, tapi di lapangan, tak sedikit sekolah yang meminta pembiayaan dari orang tua wali dengan berbagai dalih. Dengan program pemerintah itu juga bukan berarti membuat pendidikan di Indonesia dapat dinikmati dan diakses oleh semua masyarakat, khususnya kaum miskin. Untuk mendapatkan pendidikan berkualitas, kita harus mengeluarkan biaya yang cukup besar. Jadi, bagi yang tak mampu membayar, maka silahkan menjadi orang yang tidak berpendidikan di sekolah. Padahal secara manusiawi dan sebagaimana tertuang dalam UUD ‘45, negara berkewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, semestinya pendidikan tidak hanya dinikmati oleh mereka yang berduit saja. Pemerintah harus memberi ruang dan waktu bagi mereka yang kurang mampu untuk mendapatkan pendidikan. Maraknya kompetisi di era Millenium development Goals (MDGs) telah memberikan kebebasan kepada investor luar untuk berkompetisi dengan leluasa di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan yang menawarkan aneka warna kelebihan dan kualitas, menjadi bagian dari kapitalisasi pendidikan. Karena dengan demikian,
pasar akan menuntut agar output yang akan dihasilkan oleh setiap lembaga harus sejalan dengan kebutuhannya. Tuntutan semacam itu akan berdampak pada mahalnya biaya pendidikan yang berkualitas, dengan logika sederhana, pendidikan yang berkualitas, berarti lulusannya akan mudah masuk ke dunia kerja, dan itulah yang sekarang menjadi keinginan masyarakat abad ini. Dalam istilah Ivan Illich, dengan menjadikan pendidikan sebagai komuditas, berarti pendidikan (sekolah) telah menjadikan anak didik dan orang tua sebagai alat mekanik yang kapan saja dapat mencetak uang dengan jumlah besar. Eksploitasi besar-besaran terhadap pendidikan telah menjauhkannya dari peran kemanusiaan. Paradigma berkeadilan sosial hanya menjadi slogan belaka. Pada kenyataannya, pemerintah dan para pemodal menjadi satu kesatuan yang bekerja sama untuk menindas dan memeras rakyat secara sistematis. Kekuatan swasta yang dimiliki oleh para kapitalis asing dan lokal lebih mendominasi dalam menggerakkan laju pendidikan di Indonesia. Sehingga kontrol biaya pendidikan pun kurang terkendali oleh pemerintah sendiri. Lalu, bagaimana dengan nasib si miskin? Apakah mereka akan hidup dengan kemiskinan dan kebodohan selama-lamanya. Bodoh plus miskin merupakan satu keadaan yang sebenarnya tidak diharapkan oleh mereka. Akan tetapi konstruksi kekuatan globalisasi dan penjajahan kemanusiaan telah menjadikan mereka harus hidup menderita seperti saat ini.
Kalau kita lihat di beberapa pinggiran dan pusat kota Jakarta, masih banyak rakyat yang anak-anak mereka menjadi pekerja di usia dini. Tak jarang mereka menjadi pengemis dan pemulung sampah. Harapan masa depan mereka telah punah dirampas oleh penjahat kemanusiaan kapitalisme global. Hidup kaum miskin kini semakin terjepit, dalam keadaan mereka yang tidak berpendidikan, apa yang dapat mereka lakukan untuk mengubah nasib mereka? Menjadikan Indonesia sebagai negara mandiri dan besar di negeri sendiri, perlu sinergitas dari semua elemen yang ada di negeri ini. Pemerintah, parktisi, pengamat dan pemerhati pendidikan perlu duduk bareng. Kita harus menghilangkan kepentingan individu dan golongan demi menuju Indonesia maju. Perbaikan di tingkat parlemen dan pemerintah juga harus dibenahi. Begitu juga kepedulian masyarakat harus diakomudir oleh pemerintah. Akumulasi ide dan gagasan rakyat mungkin dapat membantu mengeluarkan kondisi pendidikan kita, yang saat ini sangat kacau. Kepedulian dan kesadaran orang-orang kaya juga perlu di bangun. Baik dengan memberikan bantuan beasiswa maupun mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum miskin. Sehingga SDM bangsa Indonesia sedikit demi sedikit dapat dibangkitkan untuk melawan dan mengawal gelombang globalisasi. Apalagi Indonesia mencanangkan MDGs akan dimajukan lebih cepat dari 2020 menjadi 2015.[]
Menegakkan Sekaligus Melanggar Oleh MS Wibowo
I
ronis, mungkin kata itu tepat untuk menggambarkan dunia kemahasiswaan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ahirahir ini. Tak banyak yang tahu memang, kecuali di kalangan mahasiswa yang aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Selama bulan Januari, telah terjadi dua penyerangan fisik dan ancaman pemukulan terhadap mahasiswa. Tak tanggung-tanggung pelakunya adalah seorang dosen yang telah mendapat SK Rektor untuk mengelola salahsatu fasilitas kampus (SC) sendiri. Hal ini tentu bertolak belakang dengan apa yang sering diutarakan Rektor Komaruddin Hidayat dalam berbagai ceramahnya bahwa UIN Jakarta adalah kampus Islam yang berbasis ke-Indonesioaan, yang memiliki budaya ramah, serta sopan santun. Penggunaan kekerasan ini mungkin dengan alasan menegakkan peraturan. Tapi jika demikian, timbul pertanyaan apakah dalam peraturan juga tertuang untuk menegakkannya dengan kekerasan? Bukankah itu berarti Pengelola SC telah melakukan sebuah pelanggaran dengan pemukulan itu sendiri, yang juga berhak menerima sanksi dari Universitas? Atau apakah memang di UIN Jakarta ini, menghalalkan segala cara untuk menegakkan peraturan? Pelaku pemukulan mengatakan, ia akan bertindak dengan caranya sendiri untuk meneggakkan peraturan. Dia akan menghadapi orang sesuai dengan orang yang dihadipi. Bila orangnya seperti preman, dia juga akan menghadapinya dengan cara preman. (Baca hal. 9) Perkataan itu,
hemat penulis tidaklah tepat. Yang ada dihadapannya adalah mahasiswa. Kaum terpelajar.Padahal, konon ceritanya Nabi kita Muhammad saw, yang juga nabinya Pengengelola SC, pernah bersabda agar kita mendidik anak pada usia tujuh tahun ketiga dengan cara menjadi sahabatnya. Sesuaikah tindakan Pengelola SC yang selalu mendasarkan tindakannya pada SK Rektor? Kita semua tahu, bagaimana dan apa akibat dari budaya kekerasan yang ada di IPDN. Apakah kita akan menjadikan UIN sebagai IPDN Cabang Ciputat? Tidakkah kita melihat juga pondokpondok pesantren, baik salaf maupun modern yang dulu menggunakan kekerasan untuk menerapkan peraturan. Banyak dari mereka kini telah mengubah sistemnya. Tapi mengapa kita malah mencoba menerapkannya? Kurang Komunikatif Kejadian-kejadian di atas sebenarnya bisa dihindari asalkan pihak Rektorat sebagai pemegang kebijakan bersedia turun dari singgahsananya untuk berkomunikasi terlebih dulu tentang keberadaan Pengelola SC ini, yang bagi sebagian mahasiswa merupakan sesuatu yang baru. Sehingga semuanya jelas, untuk apa dan siapa Pengelola diberi SK oleh Rektor. Serta apa saja yang menjadi tugas, kewajiban dan
wewenang mereka? Karena meski beberapa waktu lalu ada pertemuan dengan Rektor, tapi ia tak hanya memberi sambutan, dan membiarkan UKM, Pengelola SC dan Purek-Purek bertarung menyelesaikan masalah. Mengenai waktu penutupan sekretaiat UKM yang akan dilakukan pukul 16.00 memang sangat tidak rasional. Kita tahu bahwa semua anggota UKM adalah mahasiswa, yang Syamsul Arifin sendiri entah atas intruksi siapa mewajibkan untuk memperoleh IPK minimal 3,00. Bahkan Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Prof Dr A. Thib Raya hampir dalam tiap sambutannya mengingatkan mahasiswa agar bisa menyeimbangkan antara kuliah dan organisasi. Seperti ungkapan Thib Raya pada saat pelantikan pengurus baru LPM INSTITUT 2007-2008, “mahasiswa yang hanya kuliah tanpa bergelut di organisasi ibarat orang yang punya golok tapi tak tahu bagaimana cara menggunakannya. Begitu pula sebaliknya.� Jika memang sekretariat UKM dibuka hanya sampai pukul 16.00, artinya Rektorat memang tak ingin mahasiswanya bisa menggunakan golok sebagaimana kata Purek III. Karena waktu yang dimiliki mahasiswa pagi dan siang hari digunakan untuk kuliah dan melengkapi serta mencari bahan referensi tugas mereka. Dan sore hari untuk organisasinya. Selain itu penutupan sekretariat pukul 16.00 juga berarti melarang mahasiswa non-reguler untuk aktif di
organisasi sesuai dengan minat bakat mereka. Oleh karenanya hampir semua organisasi, baik ekstra maupun intra menggelar rapat dan kegiatannya pada pukul 15.00 ke bawah. Bila Rektorat menginginkan sekretariat UKM sebagai kantor, maka yang perlu diperhatikan, bentuk organisasi dan kantor UKM tidaklah sama dengan kantor Rektorat, dosen, guru, bank dan sebagainya. Sebagai contoh UKM Menwa. Sekretariatnya merupakan Markas Komando yang memang harus selalu ada anggota yang menjaganya Kemudian layaknya sebuah kantor sebuah media, kantor redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) juga harus 24 jam memantau situasi yang memang selalu berkembang. Begitu pula kantor-kantor sesuai dengan karakteristik UKM masingmasing. Di lain pihak, adanya kritik terhadap UKM, seperti kurang menjaga kebersihan, mandi di toilet masjid menggunakan kain sarung dan lain-lain harus di tanggapi secara arif serta dijadikan bahan evaluasi bagi mahasiswa. Dan tidak semua aktivis UKM seperti demikian. Sebagai catatan, semoga Bapak Rektor beserta jajarannya bersedia duduk bersama berdialog dengan mahasiswa mencari jalan keluar yang tidak merugikan salah-satu pihak. Sebagaimana usul dan ajakan dialog para pakar-pakar UIN dalam menyelesaikan berbagai konflik antar agama dan sebagainya. Sehingga tidak terkesan Rektorat selalu menggunakan tangan orang lain untuk memaksakan kehendaknya pada mahasiswa. []
PUSTAKA
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
7
99 Renungan Oleh Muhammad Ilham Mahasiswa semester VII Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Aktif di Formaci (Forum Mahasiswa Ciputat)
Judul Buku Penulis Penerbit Tebal Edisi
dan yang-lain. “..[b]angsa-bangsa dibuat rapi dengan membuat tembok dan kamp konsentrasi...” tulis Mas Goen, mengutip Walter Benjamin.
: Tuhan Dan Hal-Hal Yang Tak Selesai :Goenawan Muhammad :Katakita Jakarta :162 Halaman : I September 2007
“Tembok” adalah marka pembatas antara Aku dan yang lain di luar sana, “kamp konsentrasi” tak lain dari tempat pembunuhan, pembantaian, ringkasnya ekslusi terhadap yang-lain. Peradaban, Negara, mungkin juga kebaikan, keadilan dan kebenaran, ditafsirkan, dimaknai, didefinisikan, atau dibuatkan “tembok”. Dan, perang terhadap yang-lain, ketidak-adilan, kekufuran, laku amoral, terjadi setelah makna ditetapkan, setelah metafor ditafsirkan, dibuat beku, dan dilaksanakan secara harfiah.
“Katakanlah: sekiranya laut menjadi tinta untuk [menulis] kalimat-kalimat Tuhan-ku, sungguh habislah laut itu sebelum habis [ditulis] kalimat-kalimat Tuhan-ku, meski kami datangkan tambah sebanyak itu pula” (QS. 18:109)
Padahal, bahasa dibentuk oleh “bolong” dan “keinginan”, kata Mas Goen. Keinginan, atau hasrat, untuk merengkuh objeknya, memastikan makna, menggapai Yang Kekal. Bolong adalah penundaan, kealpaan, apa-apa yang luput. Kira-kira, bahasa adalah situs saling silang antara signified dan signifier. “Tapi kesalahan kita selama ini adalah menyimpulkan bahwa jika Yang Kekal mustahil bergabung dengan yang fana, maka ia sebenarnya tak ada. Atau sebaliknya: yang fana dianggap berdosa.” (GM, 2007: 150)
G
oenawan Mohamad bukanlah sebuah nama yang asing dalam dunia filsafat dan kesusasteraan Indonesia. Di tengah usianya yang tak lagi muda, Mas Goen, begitu kawan dan kerabatnya akrab menyapa, justru menunjukkan semangat yang tak henti-hentinya “mencari” dan terus “mencari”, tanpa hasrat untuk “menemukan”. Dan, karyanya yang baru diterbitkan ini menunjukkan kesetiaannya pada “petualangan tanpa henti dan arah yang pasti”. Karya Mas Goen ini memperlihatkan wawasan yang begitu luas dan mendalam pelbagai tradisi pemikiran, baik filsafat, politik, budaya dan kekusasteraan Indonesia, Barat, Cina, Islam, Budha, Hindu dan banyak lagi. Sikap terbuka pada tradisi lain itu sepertinya masih merupakan barang langka di negeri ini. Memang, menjumpai yang-lain dengan sikap terbuka terhadap ke-liyanannya tidaklah mudah. Peristiwa perjumpaan begitu mengguncangkan, mencekam, mengerikan, namun di dalamnya sekaligus terjadi ekstase, penuh kasih; tremendum at fascionosum. Itulah paradoksnya dalam pelampauan batas. Judul karya ini “Tuhan dan Hal-Hal yang Tak Selesai”, berbentuk aforisme-aforisme yang tentu disesaki dengan metafor-metafor yang takkan pernah selesai [dimaknai], dengan jumlahnya yang tak genap, 99, serupa dengan jumlah asma Allah yang termaktub dalam Kitab Suci. Dari gaya pengungkapannya, juga mengingatkan kita atau para pembaca filsafat terkhusus, pada Nietzsche juga mungkin pada Adorno, yang menggunakan gaya aforistik untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Gaya
penulisan ini berlawanan, atau dianggap bertentangan, dengan gaya filsafat sistematik yang menopangkan setiap gagasan pada satu fondasi kokoh tak tergoyahkan, yang menghamba pada kepastian, sebuah filsafat yang berkesudahan. Dengung gugatan khas kaum post-modernis begitu terdengar; anti-fondasionalisme. Pada “tatal” pertama, begitu Mas Goen menamakannya, hal tersebut ditegaskan. “..sebuah mesjid yang ditopang oleh yang terbuang, yang remeh dan yang tak bisa disusun rata –bukan sebuah rumah Tuhan yang berdiri karena pokok yang lurus dan kukuh, dengan lembing dan tahta.” (GM, 2007: 9) Sebuah rumah suci yang terbangun dari “tatal”; “serpihan kayu yang tersisa dan lapisan yang lepas ketika papan dirampat ketam.” (GM, ibid) Serupa dengan apa yang dilakukan Descartes ketika berupaya meneguhkan rasionalitas. Dalam pembacaan Derrida, rasionalitas Cartesian justru dimungkinkan oleh keraguan, kegilaan dan terutama fiksi Malin Genie, si Jahat yang Jenius. “Saya memandangi kembali burung-burung itu. Tiba-tiba saya sadar, tak pernah saya terkesima akan hal yang sebenarnya dahsyat tapi tersisih; warna bulu yang menakjubkan itu, sepasang mata yang seperti merjan itu, sayap yang serba sanggup itu.” (GM, 2007: 59) Pengabaian, peminggiran, bahkan ekslusi, terhadap hal yang remeh-temeh, atau juga terhadap yang-lain, membuat kita lupa akan ketakmungkinan mendirikan sebuah “monumen”, yang tetap, stabil, kekal, atau apapun istilahnya. Teror kaum fundamentalis agama, sebuah ketakutan akan ketidakpastian kiasan, upaya menegakkan “monumen”, Yang Kekal, stabilitas makna, di atas dunia yang fana, cair, dan meleleh. “..[k]ebrutalan dimulai dengan perebutan makna; apa gerangan yang adil, yang benar, siapa yang berupa mala?” (GM, 2007: 148) Kolonialisme, klaim superioritas ‘barat’ atas ‘timur sebagai yang-lain, juga merupakan upaya mendefinisikan, menetapkan makna, “Aku”
Mungkin, kata itu juga seperti nyanyi; “yang kita kirim pergi, ‘agar membawa pulang sesuatu yang mustahil’, dan ia selamanya kehilangan tujuan”. (GM, 2007: 30) Di dalamnya termuat sebuah harapan akan yang mustahil direngkuh sepenuhnya, Yang Kekal. Seperti itulah manusia, makhluk fana yang selalu menginginkan keabadian, yang telah ditakdirkan untuk selamanya gagal, namun tak kunjung jua ia jera. Harapan itu juga sebuah utopia; sesuatu yang tak mungkin terjadi, namun memiliki faedah mentransformasikan kemacetan tata sosial, politik dan budaya, meski bukan dalam kepenuhannya. Dalam kemacetan itu para dewata tak hadir, karenanya “Oedipus dan Antigone bertindak sendiri: menghadapi dan mengatasi kekuasaan duniawi, menaklukkan takut dan kesepian, menyongsong sengsara dan Maut.” (GM, 2007: 63) Mengawali tahun 2008, tentu akan sangat berfaedah merefleksikan kembali apa-apa yang telah lewat, apa-apa yang luput dari perhatian kita selama ini. Gerakan fundamentalisme agama, gerakan separatis Aceh, Papua, dan Maluku, fenomena “Ratu Adil”, bencana-bencana alam yang melanda negeri ini dan pelbagai konflik etnik lain yang pernah terjadi di Indonesia. Di tengah era globalisasi informasi yang bising, akan sangat sulit bagi kita untuk melihat keseharian dengan jernih, mempertanyakan ‘Ada’ kita, membicarakan masa lalu demi mengantisipasi masa depan. Karya Goenawan Mohamad ini telah memberikan sumbangan yang besar bagi perkembangan intelektual di negeri ini. Karya ini juga yang akan mampu mengantarkan kita pada sebuah permenungan filosofis, perbincangan mengenai hal-hal yang tak selesai, sikap bijak dan terbuka terhadap yang-lain, terhadap keragaman yang ada.[]
RISET
Budaya Pacaran Mahasiswa oleh MS Wibowo
H
asil penelitian yang dilakukan mahasiswa Sosiologi Agama FUF UIN Jakarta (Iik Ikrimah, Tuti Alawiyah, Boni Kanpesle Erfan, Syiqil Arafat) menyatakan, sembilan dari 20 mahasiswa dari lima organsasi di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Syariah UIN Jakarta (HMI, PMII, IMM, LDK, Forkot) tidak melakuan pacaran lazimnya budaya di kalangan remaja. Tetapi bukan berarti mereka, yang tak punya pasangan menyatakan bahwa pacaran itu buruk
dan tak perlu. Terbukti tiga dari sembilan mahasiswa itu menganggap hubungan itu adalah sesuatu yang bernilai positif. Survey ini juga menyatakan, hanya enam mahasiswa yang berasumsi bahwa pacaran dilarang agama. Termasuk tiga diantaranya yang mempunyai pacar. Terkait dengan penelitian yang dilakukannya, Syiqil Arafat menjelaskan mengapa enam dari sembilan mahasiswa yang tak punya pacar menilai pacaran itu baik dan perlu. Menurutnya hal itu terjadi karena mereka merasa terasing dengan lingkungan sosialnya. Atau mungkin karena mereka tak menghadapi langsung kendala-kendala dalam praktik pacaran. Atau karena mereka sedang dipenuhi harapan besar mendapatkan kekasih
ideal yang mampu memenuhi semua kebutuhan mereka. Sedangkan masalah mengapa diantara mahasiswa yang menjalin hubungan cinta punya anggapan pacaran dilarang agama. Menurut Syiqil, hal ini menunjukkan struktur mental dalam diri responden, yang terbentuk berdasarkan pengalaman sebelumnya. Ia membiarkan kontradiksi itu terjadi dalam dirinya, karena mungkin mereka tak mandiri atau tak mampu merefleksikan, baik pengalaman-pengalaman yang membentuk struktur mental dan persepsinya sebelumnya, yang entah dari mana ia dapatkan.
KAMPUSIANA
8 Kilas Sulitnya Kaum Muda Berkuasa
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
Workshop Blog dan Jurnalisme Online
Sebuah Laporan Hasil Workshop Pembuatan Blog dan Jurnalisme Online Semanggi II, INSTITUT-Selama masih dikuasai dan didominasi oleh orang lama, maka politik negeri ini tak akan mengalami perubahan signifikan pada tahun 2008, bahkan hingga 2014. Pernyataan itu diungkapkan Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti pada acaralaunching Saung Bambooina milik Abdul Mufallah, Rabu (2/1) malam. Selain kalangan umum, perwakilan berbagai organisasi ekstra kampus dan forum studi juga menghadiri kegiatan tersebut. Ray melanjutkan, electoral threshold partai politik dalam UU Politik juga dirancang ‘secantik’ mungkin untuk membunuh partai atau orang baru. Selain itu proses regenerasi politik sangat lambat serta cenderung hanya mendaur-ulang kaum tua. “Struktur politik negeri ini telah didesain untuk golongan tua, baik di eksekutif maupun legeslatif,” tutur Ray. Meski demikian, alumni Jurusan Aqidah Filsafat FUF UIN Jakarta ini meyakinkan bahwa masih ada harapan bagi kaum muda untuk bisa tampil di pentas politik nasional. “Caranya adalah melalui gerakan mengambil alih kepemimpinan nasional dan menyebarkan isu anti korupsi,” jelasnya.[Akhwani]
Indonesia Butuh Pemimpin Revolusioner Auditorium Utama, INSTITUT- Indonesia saat ini sedang mengindap penyakit komplikasi dan keadaanya sudah kronis. Untuk mengatasinya, kita membutuhkan pemimpin (presiden) yang revolusioner. Pernyataan tersebut dilontarkan Emha Ainun Najib alias Cak Nun pada acara Refleksi Akhir Tahun dan Dialog Kebudayaan bertema “Menentukan Arah, Tujuan, dan Target Bangsa” di Auditorium Utama, Kamis (13/12). Dalam acara ini hadir pula Mantan Panglima TNI Ryamizard Rycudu, Ketua Organisasi Tani Feri Yulianto, Pengamat Intelejen Wawan H Purwanto, Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir, Ketua Umum Partai NKRI Sys NS, dan Ketua Forum Silaturahmi Keraton se-Nusantara Jambe Pamujadan. Acara yang diprakarsai Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) dan pihak Rektorat ini dihadiri sivitas akademika. Grup Kyai Kanjeng dan Novia Kolopaking turut memeriahkan acara ini. Mereka menyanyikan lagu-lagu ciptaannya dan lagu grup Band Letto. Seketika gemuruh tepuk tangan dan teriakan puluhan mahasiswa dan hadirin menyambut penampilan mereka. Acara ini berakhir pada pukul 00.30 WIB. Di penghujung acara, Cak Nun mengajak seluruh hadirin untuk menyanyikan lagu-lagu kebangsaan.[Akhwani]
Oleh MS. Wibowo Pemimpin Redaksi Tabloid Institut Foto Tedi/INSTITUT
Aula Madya, INSTITUTMerayakan Dies Natalis ke-23, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengadakan “Workshop Pembuatan Blog dan Jurnalisme Online” jumat (28/12). Kegiatan yang bertempat di Aula Madya Lt. I ini diikuti lebih 100 peserta yang terdiri dari mahasiswa dan kalangan umum. Workshop itu sendiri merupakan salah-satu rangkain acara selain temu alumni yang digelar Sabtu(12/1) lalu. Panitia membagi workshop dalam tiga sesi. Pertama, Serbaserbi Blog yang menghadirkan Ira Lathief, bloger sekaligus penulis, entrepreneur, dan Broadcaster Journalist. Dalam makalahnya, Ira menerangkan sejarah dan perkembangan Weblog. Selain itu, Ira juga menjabarkan anatomi blog, mulai dari judul hingga
arsip posting dan sebagainya. I r a mengajukan empat alasan mengapa kita ngeblog, pertama bebas (beropini, b e r k a r y a , b e r b i s n i s , bercerita). Kedua langsung (online, dibaca, dikomentari, berinteraksi), k e t i g a otomatis (tersusun, tersimpan, tersindikasi, terindeks), dan terahir gratis (murah, mudah, bloogr.com, wordpress.com) Jurnalisme Online Pada sesi kedua, Desy Saputra, wartawan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara memberikan materi tentang jurnalisme online. Bersama para peserta, Desy mengupas semua seluk-beluk tentang hal tersebut. Dalam makalahnya, Desy juga menjelaskan, jurnalisme online adalah jurnalisme yang menganut proses pencarian, pengolahan dan penyebarluasan informasi melalui fasilitas internet. Serta tak lupa dengan panjang lebar memaparkan keunggulan jurnalisme online dibanding jurnalisme konvensional pada umumnya. Di Indonesia saat ini menurut Desy, media online
makin menjamur. Bahkan surat kabar konvensional pun mempunyai media online. Namun seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Media online memiliki kelemahan dalam akurasinya. Hal itu disebabkan media online lebih mengutamakan kecepatan ketimbang akurasi berita. Pers Mahasiswa Online Untuk lembaga pers kampus, media online, menurut Desy bisa dimanfaatkan untuk mengangkat isu seputar kampus misalnya mengkritisi kebijakan birokrasi, membuka dialog interaktif antara penyedia berita dan pembaca, interaksi dengan kalangan profesional, dan sebagainya.
Pengelolaan pers kampus online membutuhkan SDM yang profesional. Jumlah personil minimal antara lain Pemimpin dan asisten Redaksi, Redaktur/ Editor, Reporter dan Penulis. Didukung dengan pembiayaan infrastruktur, inesiatif reporter, redaktur yang memadai. Satu lagi yang sangat penting adalah menjaga independensi meski bernaung di bawah universitas. Teknik penulisan berita dalam jurnalisme online juga harus memenuhi kaidah jurnalistik (5W+1H, lead, hindari opini, style book, nilai berita), singkat, padat dan ringkas. Ada tambahan foto serta menyediakan kolom respon pembaca, visi editorial, etika media dan lain sebagainya.[]
Gorengan Naik, Mahasiswa Kaget Kantin, INSTITUT-Melonjaknya harga tepung dan kelangkaan kedelai serta minyak goreng membuat sebagian pedagang gorengan kurus produksi. Para pedagang pun memperkecil ukuran gorengan dan menaikkan harganya. Kenaikan harga gorengan berkisar antara 20-30%. Hal ini juga terjadi di kantin-kantin kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Agus Miswaludin, Kepala Penjualan Koperasi UIN Fakultas Tarbiyah mengatakan kenaikan
harga gorengan ini disebabkan harga yang ditawarkan para pedagang gorengan naik. Seperti bakwan yang semula Rp.500 menjadi Rp.700, risol yang biasa dijual koperasi Rp.1000 melonjak menjadi RP.1200 bahkan sampai Rp.1500 perpotong. Tak hanya Tarbiyah, di Kantin Fakultas Dakwah pun harga gorengan melonjak hingga 30%. Harga bakwan dan tahu isi yang semula Rp.500 menjadi Rp.800, harga risol dan jenis gorengan
lainnya dijual sekitar Rp.1500 sampai Rp.1700 per potong. Melani Putri, Mahasiswi Jurusan Perbankan Syariah ini, mengaku kaget atas kenaikan harga gorengan ketika ia jajan di Kantin Fakultas Dakwah,“Waduh pertamanya kaget banget, secara gitu mas, aku cuma bawa 2000 pengen beli gorengan, eh ternyata cuma dapat satu. Ya tapi gimana lagi memang kondisi ekonominya begini,” tutur Melani. Dalam hal ini Agus Miswaludin mengatakan, “Saya kira kampus
ini juga kurang banyak kantinnya. Jadi orang juga mau tidak mau beli juga. Ya beda seratus-dua ratus sih tak apa-apa, kitimbang lapar”. Di singgung mengenai masih relatif stabilnya harga gorengan di luar kampus, Andi Suheri mengatakan kenaikan harga ini semata-mata hanya penyesuaian harga dari peneyetor gorengan. Bahkan ia juga mengaku masih sering membeli gorengan dengan harga Rp.500 perpotong di luar kampus.[Shulhan Rumaru]
Busway Masih Dirundung Masalah Aula SC, INSTITUT- Direktur Keselamatan Transportasi Darat Departemen Perhubungan RI Suripno, MSTT mengatakan penggunaan Transjakarta (Busway) bukan untuk mengatasi kemacetan tapi untuk memperbaiki angkutan umum di ibukota. Perkataan tersebut diungkapkan Suripno ketika menjadi narasumber Seminar Profesi “Safety Transportation;
Safety Busway, No Accident” yang diselenggarakan mahasiswa peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, di Aula Student Center pada (23/1). Menurut Suripno, Busway untuk kepentingan publik bukan untuk kepentingan perusahaan. “Di Indonesia angkutan umum perkotaan digunakan untuk
membuka usaha bukan untuk pelayanan publik,” paparnya. Sedangkan pembicara lain dari Kepala Manajemen Pengendalian BLU Transjakarta Rene Nunumete menegaskan, dalam pengoperasian Busway masih ada hambatan dan tantangan. “Sarana dan prasarana yang dimiliki sekarang masih kurang alias minim, seperti ukuran halte terlalu kecil, belum aman dan nyaman, separator Busway mudah
pecah, dan lainnya,” tegasnya. Acara ini dihadiri juga Dai Faiz dari Audisi Dai TPI sebagai bintang tamu. Pelaksanaan acara ini didukung Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Departemen Kesehatan, Kimia Farma, dan Transjakarta. Meskipun dilaksanakan di saat liburan semester tapi acara ini berlangsung meriah dan dipenuhi peserta yang kebanyakan kaum hawa. [Akhwani]
9
KAMPUSIANA
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
Menepis Stigma Liberal Foto Tedi/KC/INSTITUT
Rektor dan para pembicara seminar Membaca Ulang Orientasi Intelektual UIN
Auditorium Utama, INSTITUTBadan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menggelar Seminar bertema “Membaca Ulang Orientasi Pemikiran Intelektual UIN,” di Auditorium Utama (22/1). Salah satu tujuan acara ini adalah menepis stigma liberal dan anggapan masyarakat tentang adanya pemurtadan di IAIN/ UIN. Pernyataan itu diungkapkan
Jasmadi, selaku ketua pelaksana. Jasmadi menjelaskan, stigma semacam ini sangat mengganggu, khususnya kami sebagai bagian dari sivitas akademika UIN. “Setidaknya, acara ini mampu meminimalisir dan meluruskan sentimen-sentimen masyarakat yang kompleks tentang stigma liberal tersebut,” tandas Jasmadi. Ia juga berharap, setiap mahasiswa yang hadir dalam seminar ini mampu menjelaskan kepada keluarganya tentang stigma liberal yang kurang tepat di sandang UIN, sebagai antisipasi dari anggapan masyarakat yang kurang berkenan. Berkaitan hal ini, Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat dalam pidatonya mengungkapkan, ”Kampus UIN Jakarta selalu dianggap oleh masyarakat umum sebagai kampus liberal
Kilas Diskusi Bareng Qaisra Shahraz
yang disandarkan kepada beberapa tokoh Jaringan Islam Liberal. Tapi masyarakat tidak memandang misalnya, siapa itu Quraisy Shihab, beliau juga orang UIN, ucapnya” Komaruddin juga menegaskan, UIN Jakarta adalah salah satu Universitas Islam yang berbasiskan ke-Indonesiaan. Selain karena banyaknya mahasiswa dari berbagai daerah yang tumpah ruah di sini, letaknya pun strategis, dekat dengan ibukota. Maka tak heran jika anggapan miring itu lebih banyak ditujukan kepada UIN Jakarta. Hadir pada kegiatan ini Menteri Agama, Muhammad Maftuh Basyuni dan Ketua PBNU Masdar Farid Masudi. Sementara Ketua PP Muhammadiyah Dien Syamsudin dan Ketua MUI KH. Sahal Mahfud tidak datang sebagaimana yang telah direncanakan. Kurangnya persiapan panitia, menurut Jasma-
di adalah salah-satu penyebabnya. Panitia pun akhirnya menodong Guru Besar Fakultas Ushuludin dan Filsafat, Amshal Bachtiar untuk menjadi pembicara alternatif. Usai acara, sempat terjadi perebutan sertifikat dan makanan oleh para peserta seminar. “Ya maklum, ini sudah tradisi Indonesia, bukan berarti panitia kurang koordinasi. Namun kita nggak bisa melarang anak-anak UIN yang kebanyakan anak kosan untuk tertib. mereka kan sudah biasa berebut makanan,” ungkap Jasmadi tersenyum. Seminar ini sukses menyedot perhatian mahasiswa. Tak kurang dari 1000 mahasiswa memadati ruangan Auditorium Utama. Bahkan tak sedikit diantara mereka yang rela berdiri selama dua jam untuk mengikuti acara tersebut. [Shulhan, Susi]
kurang menjaga kebersihan sekretariatnya. Hal ini harus menjadi evaluasi bagi teman-teman UKM sendiri. Sependapat dengan Yan, Aib (aktivis UKM Forsa) juga akan mengingatkan beberapa oknum, yang kebetulan anak UKM, yang biasa mandi di toilet SC dengan hanya memakai sarung, sementara sudah banyak orang yang beraktivitas di lingkungan SC. Hal semacam itu bisa membawa citra buruk terhadap UKM sendiri. Menyinggung adanya kompor dalam sekretariat, Aib menjelaskan, tak semua UKM punya kompor/ alat masak. Mereka yang punya, misalnya Ranita atau Arkadia, itu karena alat mereka yang digunakan ketika naik gunung dan kegiatan mereka lainnya. Kalau UKM PSM, Forsa atau LPM punya kompor, itu baru namanya aneh. Karena tidak ada hubungannya dengan mereka. Membahas jam malam, ratarata semua UKM sepakat. “Ya tak masalah, asalkan rasional. Masak jam empat sore tutup. Kita semua tahu bahwa anak-anak UKM kan semuanya mahasiswa. Dan anggotanya tak hanya mahasiswa reguler, tapi juga non reguler yang kuliahnya dimulai pukul empat sore,” jelas Yan. Begitu pula Muex. Ia tidak keberatan dengan adanya jam malam tersebut. Asalkan bukan untuk membatasi ruang gerak mahasiswa. Untuk itu Aib mengungkapkan, jika prosedurnya harus mengajukan surat dahulu tiap kali akan mengadakan kegiatan, maka akan sangat lucu. Sebab hampir tiap hari di UKM ada kegiatan. Tentang rutinitas Syamsul yang tiap jumat mengingatkan mahasiswa untuk segera turun ke masjid, Yan mengatakan mendukung hal tersebut. “Itu bagus. Malah kalau perlu kita buat jadwal azan bergilir untuk tiap UKM,” kata Yan. Mengomentari isu bahwa sekretariat dijadikan tempat
pacaran, Muex dengan tegas membantahnya. “Kalau memang ada siapa orangnya dan di sekretariat mana? Kita siap tuntut untuk membubarkan UKM tertentu yang terbukti menjadikan sekretariatnya demikian. Jangan hanya karena satu UKM, lalu 14 UKM lain kena getahnya. Kalau dijeneralisir, jangan Cuma UKM atau SC saja, termasuk rektorat karena bagian dari UIN juga,” tegas Muex. Yan pun demikian. Menurutnya isu itu sangatlah aneh. Karena tuturnya, di setiap organisasi/UKM harus memisahkan urusan pribadi dan organisasi. Kalau memang ada yang pacaran, kita nggak akan berduan di kampus/SC. Kita malu sendiri sama teman yang lain. Bahkan beberapa UKM seperti Arkadia, Kalacitra dalam AD/ART-nya melarang dan akan memberikan sanksi kepada yang menjalin hubungan sesama anggota. “Mungkin isu itu timbul karena orang melihat dari luar saja. Misalnya ketika ketua sedang bicara dengan bendaharanya. Atau mugkin ada teman yang curhat sampai nangis-nangis. Tentang isu ditemukannya kondom, kalau memang benar, kapan, siapa dan di mana wilayah ditemukannya? Dulu, saat kita melakukan rutinitas lari pagi, Menwa memang pernah menemukan kondom di area Fakultas Adab bukan di SC. Dan itu sudah lama sekali. Aib juga mengungkapkan, semua UKM punya aturan dan kewajiban menjaga nama baik organisasi dan almamater. Setiap anggota yang melanggar akan kena sanksi bahkan bisa dikeluarkan dari organisasi. Aib juga menjelaskan, masalah UKM dengan Pengelola SC belum akan selesai sebelum Rektor bersedia melakukan dialog dengan UKM. Karena terbukti Purek II dan III yang membawahi Syamsul beserta jajarannya tak mampu menangani ini.[MS Wibowo]
Pengelola SC Pukul Mahasiswa Student Center, INSTITUTKekerasan fisik menimpa Muex, aktivis UKM Arkadia, Rabu (28/1). Bermula ketika Muek dan para aktivis UKM di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menghadap para Pengelola Student Center (SC) Syamsul Arifin dan jajarannya. Mereka berniat meminta kejelasan terkait larangan kegiatan dan penutupan seluruh sekretariat UKM mulai pukul 16.00 setiap harinya. Masing-masing UKM mengajukan keberatan atas penutupan sekretariat pada jam 16.00, karena dinilai tidak rasional. Dialog berlangsung alot. Pengelola SC tak bersedia menerima alasan apa pun yang diajukan UKM. Hingga ahirnya Syamsul Arifin, Kepala Pengelola SC mencekik leher Muex. Tindak kekerasan ini bukan yang pertama. Minggu malam (6/1) lalu, Syamsul juga melayangkan tangannya ke arah Aden, mahasiswa Aktivis UKM Kalacitra. Saat Aden mengajak dialog saat Syamsul mengadakan sweeping agar UKM tak beraktivitas di hari libur. Selain Aden, Blanka, aktivis UKM Arkadia juga nyaris menjadi korban pemukulan Syamsul. Tapi yang kedua ini urung terjadi karena hanya sebatas ancaman dari Syamsul. Menanggapi tindakannya itu, kepada INSTITUT di ruang kerjanya (5/2) Syamsul mengatakan, dirinya yang notabene pendidik akan menghadapi/mendidik orang dengan caranya sendiri, sesuai dengan orang yang dihadapi. “Kalau orang yang dididik seperti preman, saya juga akan menghadapinya seperti preman,” terang Syamsul. Dengan kejadian ini saya tidak akan mundur. Mari kita buktikan siapa yang akan bertahan di sini (SC), saya atau mereka (UKM)? Menurut Syamsul, dirinya tidak kaget melihat reaksi dari anak-anak UKM. Selama ini mereka bebas melakukan apa saja. Kemudian saya datang untuk menegakkan peraturan. Pastilah mereka merasa terusik. Pengelola SC, lanjut Syamsul
dibentuk atas dasar keprihatinan pihak rektorat terhadap kondisi SC. “Selama ini SC seperti rumah bedeng, kotor, sekret dijadikan tempat nginap, di situ ada kompor, kurang punya perhatian salat. Bahkan saya pernah menemukan air kencing dalam botol,” terang Syamsul. Nanti saya akan mengganti semua kunci sekret. Kalau sampai ada yang menggandakan kuncinya, saya tidak segan-segan lapor polisi. Karena ini semua adalah fasilitas negara. Di pihak lain, Muex mengaku terbawa emosi ketika menghadap Pengelola SC, sampai Syamsul mencekiknya. Emosi Muex disebabkan karena pihak Rektorat maupun Pengelola SC tak pernah mau merespon suara anak UKM. “Mereka dengan sewenangwenang memaksakan kehendak dengan mengatasnamakan kesepakatan. Kesepakatan yang m a n a ? ” kata Muex.
Sedangkan aktivis UKM Menwa, Yan Wahid Prasetyo mengatakan, inti permasalahan ini ialah kurangnya komunikasi pihak rektorat dengan UKM. Karena mahasiswa tidak lagi seperti anak SMA yang harus selalu menerima sesuatu dari pihak rektorat. Mahasiswa terbiasa berfikir kritis. Tapi Rektorat tak mau mengkomunikasikan secara jelas keberadaaan Pengelola SC ini. Sehingga terkesan otoriter. Terkait persoalan kebersihan, sebagaimana dikatakan Syamsul, Yan mengakui memang ada beberapa UKM yang ia rasa
Aula SC, INSTITUT- Rabu (30/1), UIN Jakarta bekerjasama dengan penerbit Mizan menggelar acara Diskusi Bareng Qaisra Shahraz, di Aula Student Center. Diskusi ini bertema “Excellence in Teaching and Learning”. Dalam diskusi ini Qaisra berbicara seputar British Ofsted seperti peran dan tugas lembaganya. Wanita yang berprofesi sebagai inspektor British Ofsted, konsultan pendidikan, trainer guru, dan novelis ini dalam makalahnya memaparkan mengenai inspeksi pembelajaran. Diantara isi makalahnya adalah kerangka inspeksi, tingkatan/level inspeksi, pengalokasian inspector, dan area inspeksi pembelajaran. “Good College mempunyai 4 inspektor, Satisfactory College 10 inspektor dan Inadequate College 12 inspektor. Sedangkan area inspeksi pembelajaran diantaranya kesehatan dan pelayanan publik, science dan matematika, teknologi informasi dan komunikasi, seni, media dan penerbitan, sejarah, filsafat dan teologi,” tulisnya. Acara yang dilaksanakan dikala liburan semester ini dihadiri para pimpinan universitas, dekanat, dosen, dan mahasiswa. Pembantu rektor bidang akademik Dr Jamhari bertindak sebagai Keynote Speaker acara ini. Usai diskusi, pimpinan universitas meminta Qaisra untuk menanam jambu bool di depan aula SC. [Akhwani]
kilas Jakarta Foto Ghoib/Kalacitra
Foto Ghoib/Kalacitra
Banjir menggenang kawasan IKPN Bintaro Jakarta Selatan Januari lalu. Fenomena ini seperti telah menjadi hajatan rutin tahunan di Jakarta.
BUDAYA
10
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008 cerpen
Sarjana di Batu Nisan Oleh Zaky Mubarok*
A
ku sendiri tidak tahu penyebabnya. Tiba-tiba motor yang aku kendarai dengan kecepatan 110 km/jam oleng dan Brakkkk!!! Kemudian aku tidak sadarkan diri. Ketika aku terbangun, aku kaget dan tersentak, UGD klinik Syahid UIN Jakarta. Di sampingku duduk seorang wanita, aku dapat mengenalinya, dia kekasihku, Sukma. Saat melihatku sadar, wajahnya berseri-seri seperti mendapatkan hadiah kuis dua miliyar. “Kenapa, kok Sukma senyum-senyum sendiri dan menangis?” tanyaku dengan nada sedikit aneh. “Ah…tidak, aku hanya bahagia, sebab sudah dua hari kamu tidak sadarkan diri.” Jawabnya sambil memelukku erat sekali. “Dua hari?” tanyakku terkaget-kaget. “Ya, dua hari, kamu mengalami kecelakaan, tapi kata dokter kamu tidak apa-apa.” Kemudian aku ngobrol agak lama, hingga melakukan adegan dewasa karena merasa aman dan tidak ada yang melihat. Jujur, ini adalah ciuman terhangat dari yang telah ia berikan. Setelah itu, ia pamit pulang, sebab katanya, ia belum pulang sejak aku di UGD. Setelah Sukma meninggalkanku, tibatiba suasana menjadi agak aneh, ruang UGD yang ber-AC terasa seperti sedang hujan salju, dingin sekali. Kemudian lampu yang tadinya tenang tiba-tiba berkedip-kedip. Malam apa ini, kok aneh sekali. Tanyaku dalam hati. Beruntunglah, di ruangan ini ada kalender dan tertera tanggal 2 Maret Jum’at kliwon 2005. “Sial!” Pikirku, mana sepi, sendirian lagi, kenapa tidak aku tahan saja Sukma agar menemaniku sampai pagi. Kemudian wangi-wangian merebak dan memenuhi seluruh ruang, sampai tiba-tiba munculah sosok yang agak aneh. Sebetulnya aku ingin lari, tapi apa daya, aku belum bisa bergerak dan malahan menjadi tidak bisa bergerak sama sekali karena terkesima. Akhirnya sosok itu menampakkan diri. Dengan pura-pura berani, aku mengajaknya berdialog, kemudian ia pun langsung becerita mengenai perihal kenapa ia kemari dan sebab-sebab kematiannya. Tanpa berpikir panjang, aku hajar saja orang itu dengan sebuah balok yang kebetulan tidak begitu jauh dariku. Dan sumpah. Aku tidak tahu kalau balok itu ada pakunya. Ketika balok itu tepat menghantam punggung orang itu, darahnya memuncrat di wajahku. Dan ini sumpahku yang kedua, aku tidak tahu kalau ia membawa senapan. Secara bersamaan dengan darah yang memuncrat berhamburan ke wajahku, peluru pun bersarang tepat di dada sebelah kiri di bawah tulang iga ke lima. Dan setelah itu aku lupa apa yang terjadi hingga aku tersadar kembali. Namun benar-benar di luar dugaan. Ketika aku terbangun, aku berada di tempat lain, padahal aku cuma merasa tertidur sebentar. Aku telah berada di ruangan yang serba putih. Alamak…mati aku, pikirku. Tapi ini agak aneh, kalau di film-film, orang bangun dari mati biasanya berpakaian seperti pakaian haji, tapi aku tidak, aku hanya mengekan piyama warna putih. Aku makin kaget ketika seseorang masuk ke dalam ruanganku dan bertanya kepadaku. “Tuan Anton, anda sudah sadar?” katanya lembut sekali, sebab ia seorang wanita. Pikiranku langsung berjalan, Malaikat kok wanita? Dan sejak kapan namaku jadi Anton. Seingatku beberapa menit yang lalu namaku masih Parman. “Anton? Siapa anton? Na-
maku Parman!” Jawabku tegas. “Tuan Anton, anda baru saja mengalami kecelakaan, wajar kalau anda lupa nama.” Katanya lagi. “Kamu jangan bercanda nona, nama saya Anton? Saya Parman, saya yakin, saya tidak lupa.” Aku semakin kasar. Kemudian ia berkata-kata lagi, tapi tak aku dengarkan, sebab ia masih memanggilku Anton. Hingga tanpa aku sadari aku sebegitu marahnya. Dan tanpa aku bisa terka, gantungan infusan yang berdiri di sampingku sudah menancap di belahan dada wanita itu. Ya, tepat di tengah-tengahnya, setelah sebelumnya aku sempat memperkosanya terlebih dahulu. Kenapa tidak, aku dalam keadaan marah karena dituduh bernama Anton, dan wanita itu, dadanya agak terbuka, hingga belahan ketepel yang indah membuat birahiku naik, apa lagi postur tubuhnya yang bahenol dan montok, ditambah pakiannya yang tipis dengan jelas memberitahuku kalau ia tidak mengenakan BH dan celana dalam. Aku pikir wajar saja bial aku tergoda, dan ku anggap itu bukan kesalahanku. Dalam terkesima aku berdiam diri, sampai-sampai botol obat-obatan yang pecah oleh perlawanan wanita itu ketika kurenggut kegadisannya, tepat menancap di ubun-ubunku. “Ya, dia masih gadis, jika tidak percaya tanyakan saja padanya, sebab sebentar lagi dia akan datang lewat sini,” papar Parman kepadaku, kemudian ia melanjutkan ceritanya. Malam ini, adalah malam ketujuh, tanggal tujuh safar jum’at kliwon aku bel u m tenang. Aku masih harus bolak balik klinik-kuburan setiap malam. Cape. Aku sudah cape. Tetapi jika tidak begini, segalanya belum bisa diproses. Di tempatku yang baru, belum didatangi siapapun, kecuali hari pertama, ketika ada yang memerintahkan aku untuk kembali ke klinik. Aku bingung, kenapa aku harus kembali, lalu ia berkata, “Darahmu belum bersih, masih ada yang tertinggal di klinik”. Begitu juga dengan wanita itu, darahnya masih tertinggal dan belum bersih. Jadi itulah sebabnya wanita itu masih suka datang kemari. Namaku adalah Parman, umurku baru 23 tahun. Pekerjaanku adalah pengukir di salah satu furniture di wilayah ciputat. Waktu itu aku sedang kebagian piket jaga malam. Kebetulan aku baru saja pulang beli kopi, dan ketika tiba di tempatku bekerja, aku melihat sosok yang mencurigakan. Dan benar saja, setelah aku perhatikan beberapa saat, kecurigaanku terbukti, orang itu sedang membongkar pintu furniture. Karena saat itu di tempantku baru saja mendapat kiriman ukiran dari kayu cendana yang hargannya 7 triliyun. Tanpa pikir panjang, aku mengambil balok dan ku hajar saja orang itu. Tapi sungguh, aku tidak tahu kalau dia tidak sendirian. Nah, temannya ini, yang menghajar wajahku sampai tak dikenali, hingga suster yang aku perkosa memanggilku dengan nama Anton karena KTP maling yang bernama Anton itu terjatuh
dan KTPku saat itu sedang tidak bersamaku. Bangsat. Malang benar nasibku. Sudah di hari ketujuh ini, hampir setiap orang yang aku datangi untuk di minta tolong, selalu saja lari terbirit birit seperti melihat hantu bermuka hancur. Padahal aku tidak ada niat jahat, aku hanya ingin minta tolong, agar darahku yang tidak tercuci dibersihkan dan disiramkan di atas kuburanku, begitu juga dengan wanita itu, aku menjadi kasihan karena kelakuannku. Jadi, mau tidak mau, aku juga harus menolongnya agar bisa dia tenang di alam kubur, dan tidak mengejarku terus terusan dengan amarah, meski belakangan dia mulai menyukaiku, sebab aku selalu menemaninya sampai pagi tiba. Kemudian Parman mengajakku ke tempat di mana darahnya dan darah wanita itu masih menempel. Aku yang tadi tidak bisa bergerak tiba tiba seperti mendapat kekuatan, hingga aku bisa turun dari tempat tidurku. Setelah Parman menunjukan tempatnya, ternyata darahnya masih ada, dan sama sekali masih belum kering. Darahnya menempel di bawah ranjang tempatku dirawat. Begitu juga dengan darah wanita itu, ada di situ juga sebelah kanan dari darah Parman. Anehnya, darah wanita itu menyurupai hurup dan dengan jelas aku bisa membacanya. Parman. Ya, darah itu menuliskan
nama Parman yang telah memerkosannya. Seperti yang Parman katakan, bahwa wanita itu sebentar lagi datang, dan benar wanita itu benar benar datang. Aku di perkenalkan kepadanya. Namanya Laras, Laras Wirahadi. Ia Mahasiwi kedokteran yang sedang praktek akhir untuk mendapatkan gelar sarjana kesehatan. Namun ternyata, nasibnya berkahir di tempat praktek dan mendapat gelarnya hanya di batu nisan. Wajahnya cantik sekali. Seandainya ia tidak meninggal, aku siap banting tulang untuk menghidupinya siang malam, sekalipun usiaku terpaut lebih muda dua tahun darinya. Setelah darah keduanya aku bersihkan. Mereka pamit undur diri dan minta pulang. Untung saja tidak minta di antar malam itu. Pesannya cuma minta di antarkan darahnya ke kuburan meraka berdua, Parman di Yogyakarta, dan Laras di Bandung. Mereka memberitahuku lengkap dengan alamatnya sebelum mereka pergi. Dan terakhir Parman bertanya soal perihal malam-malam sebelumnya. Kenapa setiap orang yang ia minta bantuan selalu kabur dan lari terbirit birit ketakutan. Aku pun memberi tahunya dengan berat hati. “Lihat saja di kaca.” Begitu kataku. Kemudian Parman menolehkan wajahnya ke arah kaca. Hanya per sekian detik, Parman men-
jerit keras sekali. Aku pikir wajar, sebab wajahnya memang hancur berantakan, sekalipun ia selamat, para dokter bedah ahli permak wajah akan menghabiskan dua tahun untuk membuat wajah parman kembali ke asalnya. *** Begitu kira-kira perjumpaan pertamaku dengan Parman dua tahun yang silam saat aku masuk klinik Syahid dan dirawat selama tujuh hari. Perjumpaan yang aneh sekaligus mengesankan. Sebab baru sekali seumur hidupku, aku bertemu dengan hantu dan berdialog dengan tenang sekali, seperti halnya kita berdialog saat ini. Beberapa bulan kemudian, setelah aku mengantarkan darah meraka berdua ke kuburannya masing-masing. Aku bertemu dengan meraka dalam mimpi. Dengan seorang anak gadis yang imut, cantik, dan persis seperti Laras. Mereka nampak bahagia, dan ketika aku bertanya mereka mau kemana, mereka menjawabnya. “Hanya ingin mengenang dan berkunjung ke tempat bersejarah buat kami.” Selain itu mereka menceritakan perihal mereka. Kenapa Laras mau hidup dengan Parman dan beranak pinang. Tenyata, Laras memaafkan kelakuan Parman waktu itu dan menerimannya dengan ikhlas sebagai musibah dari yang Maha Kuasa, adapun insiden pembunuhannya hanya efek atas dasar kekhilafan karena merasa teraniyaya, begitu juga dengan Parman kenapa membunuh Laras karena takut dilaporkan. Wajar memang ketika Laras menerima Parman. Sebab ketika aku berkunjung ke kuburannya, foto yang terpampang di nisannya gagah sekali, ganteng dan sedang memakai toga, bertuliskan Raden Suparman Hadikusumo bin Raden Waryono Hadikusumo. Ia adalah lulusan terbaik ITB 2005 jurusan seni rupa. Setelah mimpi itu aku jarang sekali berjumpa dengan keduanya. Sekalipun dalam mimpi. Entahlah meraka pergi kemana, tak ada yang memberi tahuku, angin malam, dan purnama di setiap bulan pun tak pernah beri kabar. *** Aku sendiri bernama Yusuf, lengkapnya Yusuf Faturahman. Asal Sukabumi. Lahir malam kamis pahing tanggal 14 April 1983. Kuliah di UIN Jakarta Jurusan Sastra Arab 2001. Malam ini tanggal 9 maret 2007, malam jum’at kliwon adalah malam ketujuh setelah aku mengalami kecelakaan selepas berkunjung ke kuburan Laras di Bandung dan Parman di Yogyakarta. Entah siapa yang salah, kendaraanku yang sedang melaju dengan kecepatan 60 km/jam di hantam sebuah truk kontainer di jalan kampung utan depan Makro, dan tubuhku terpental hingga tersangkut di pagar sorum Kawasaki, setelah sebelumnya terbentur tiang baligho dan tergilas motor bebek 70 yang sedang dikendarai seorang kakek kakek kira kira berumur 70 tahun yang membuat tanganku patah dan terakhrir kepalaku membetur ujung seng warung kecil pinggir jalan. Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Seingatku, ketika aku terbangun, aku tidak berada pada tubuhku sendiri, dan aku tidak mengenal tubuhku sendiri. Sudah berkali-kali aku mencoba untuk masuk kembali namun sia-sia. Ada beberapa organ yang tidak pas. Kepalaku pecah, kaki dan tanganku tidak terpasang baik. Aku menangis tersedu, sebab aku sadar aku telah mati. Dan sudah tujuh malam, belum ada orang yang mau menolongku, untuk
DIES NATALIS KE 23
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
11
NAPAK TILAS LPM INSTITUT Oleh Akhwani Subkhi
U
ntuk memperbaiki komunikasi dan mempertemukan anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT antar generasi, pada Sabtu (12/1) malam digelar acara “Temu Alumni INSTITUT Lintas Generasi,” di Aula Madya Lt.II. Pertemuan ini merupakan puncak acara peringatan Dies Natalis LPM INSTITUT Ke 23. Acara ini dilaksanakan karena pengurus sekarang merasa komunikasi antar anggota INSTITUT beberapa tahun terakhir (senior dan anggota yang masih aktif) selama ini mengalami missing link dari tiap generasinya. Dimana anggota yang masih aktif tidak mengetahui siapa saja seniornya yang dulu bergiat di organisasi ini. Karena itu, pengurus dengan nahkoda Moh Hanifudin Mahfuds berinisiatif untuk menyambung kembali komunikasi yang terputus dan mempertemukan anggota lintas generasi melalui pertemuan ini. Pelaksanaan acara sangat sederhana dimana hanya diisi dengan pameran produkproduk terbitan lintas generasi dalam beraneka macam bentuk seperti majalah, jurnal, tabloid, dan newsletter. Selain pameran produk pemotongan tumpeng, refleksi dan sharing (brain storming) tentang pengalaman pribadi semasa
aktif di INSTITUT menjadi inti acara ini. Alumni yang hadir dalam pertemuan ini adalah generasi 1990 hingga generasi 2002. Diantara mereka adalah Ade Alawi (wartawan Media Indonesia dan mantan Pemimpin Redaksi Lampung Post), Ahmad Danial (konsultan media dan dosen komunikasi), Eddy A Effendi (mantan wartawan Media Indonesia dan dosen FDK dan FITK), Afriyadi (manajer pemasaran Rakyat Merdeka Book), Ilham Khoiri (wartawan Harian Umum Kompas), A Ilham Aufa (peneliti CERDEV UIN JKT), dan M Nur Mekkah (wartawan Seputar Indonesia). Menurut pemimpin umum, acara ini bertujuan untuk mengenal lebih akrab beberapa nama anggota lembaga pers ini. “Selama ini kita hanya mengenal nama senior melalui media atau produk yang dtinggalkan tapi tidak mengetahui orangnya. Selain itu, kita juga ingin mengenal siapa saja yang pernah berdiri disini dan bergulat di lembaga ini,” ucap Hanif ketika memberikan sambutan. Pada sesi refleksi dan sharing, para senior yang hadir banyak memberikan kritik dan saran kepada pengurus untuk tetap optimis dan maju dalam mengemban amanah. Selain itu mereka juga berharap agar produk terbitan INSTITUT menjadi
lebih baik . Salah satu diantara mereka adalah Ahmad Danial. Dia berkata dalam keadaan bagaimana pun kalian harus tetap optimis dan terus meningkatkan kemampuan kalian. Cerita yang lontarkan para senior dari lintas generasi telah memberikan banyak pengalaman kepada pengurus untuk terus belajar dan berkarya meskipun awak yang ada terbatas Sebab, dari tiap generasi awak INSTITUT memang tidak lebih dari 10 orang. Dengan adanya pertemuan ini pengurus menjadi tahu bagaimana proses perjalanan, perjuangan dan ciri atau karakter dari masing-masing generasi dalam menjalankan roda organisasi. INSTITUT bukan hanya telah mencetak karya berupa lembaran-lembaran tulisan, tapi pula mencetak manusia unggul dalam berbagai bidang. Sebagai UKM yang bergerak dalam bidang tulis menulis selama 23 tahun, INSTITUT telah banyak menghasilkan karya jurnalistik berupa produk terbitan. Produk terbitan yang dihasilkan selama ini bermanfaat bagi sivitas akademika khususnya sebagai media aspirasi dan pengembaraan intelektual mereka. Semenjak berdirinya pada tahun 1984, produk terbitan INSTITUT telah mengalami perubahan terutama dalam
pemilihan tema, bentuk tampilan, kualitas isi dan frekuensi. Perubahan ini terjadi seiring berjalannya waktu dan disesuaikan kebutuhan pangsa pasar (sidang pembaca). Dari generasi ke generasi, ada perbedaan dalam pemilihan isu atau tema dan jenis produknya. Pada masa awal hingga tahun 2004-an, tema-tema yang diangkat berupa isu-isu politik, gerakan mahasiswa, demokrasi, keagamaan, problem kerakyatan, dan isu nasional lainnya. Kemudian tulisan tersebut dikumpulkan dalam bentuk majalah dan newsletter. Sedangkan pada masa sekarang, tema yang dipilih terkait isu-isu lokal kampus dan aktifitas mahasiswa. Bentuk terbitannya berupa tabloid dan jurnal. Untuk tabloid tema yang dipilih seputar kampusiana dan isu aktual lainnya. Sedangkan jurnal berisi gagasan atau pemikiran ilmiah mahasiswa. INSTITUT berusaha untuk terus memperbaiki dan meningkatkan produk terbitannya dengan pemberian informasi yang akurat dan desain lebih menarik. Semoga[]
INSTITUT
LINTAS ZAMAN
23
th
Dok INSTITUT
1984-2008
Sarjana di Batu Nisan Sambungan Cerpen Hal. 10 membersihkan darah yang menempel di pagar pada besi jari-jari ketiga -yang pada saat itu ada tai manusia yang berak sembarangan- dari arah Situ Gintung, di bawah batu bertumpuk tiga. Juga darahku yang masih menempel pada bagian bawah jok sebelah kiri dekat baut yang sudah karatan dan dol salah-
satu mobil ambulan klinik Sahid. Aku benasib sial seperti Laras, mendapat gelar sarjana di batu nisan. Yusuf Faturahman, SS. (alm) bin H. Rabin Sobirin (alm). Sebab dua hari sebelum aku meninggal, aku baru saja melesaikan sidang akhir di bangku kuliah, dengan nilai A untuk Skripsiku. Dan kunjunganku ke tempat Laras dan juga Parman mau melapor-
kan kalau aku sudah selesai kuliah. Sial-sial... Sudah hampir pagi... belum juga ada yang mau menolong, semuannya selalu lari dan kabur ketakutan. Ya sudahlah... aku akan menunggu sampai malam keempat puluh. “O...ya, tolong, cerita ini di-forwad kepada siapa yang masuk UGD syahid. Saya mau pulang dulu. Selamat pagi.”
Sanggar altar, 25 Maret 2007
*Mahasiswa semester VIII Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta. Salah-satu penulis yang aktif di Siklusitu (Masyarakat Seni Ciputat). Aktifis dan termasuk pendiri Sanggar Sastra Sunda Ciputat. Aktif menulis sejak masih di bangku MAN Cipasung, bukunya yang sudah terbit, “Catatan Kencana; Sepak Bola dan Kematian Kakek” (Novel Anak), dan sedang menyusun kumpulan puisinya “catatan perjalanan 2001-2006”.
12
WAWANCARA
EDISI V/Maret/ XXIII/ 2008
Jakarta Harus Punya City Plan Oleh Susi dan Sulhan Sekitar pukul 09.00, pertengahan Desember 2007 lalu, persis di depan kantor redaksi Rakyat Merdeka, kami menunggu Budi Rahman Hakim yang telah sepakat bertemu INSTITUT untuk wawancara seputar penerapan Perda DKI Jakarta No.8 Tentang Ketertiban Umum. Namun setengah jam berlalu BRH, demikian sapaan akrabnya tak kunjung datang. Dengan segera kami layangkan SMS bahwa kami sedang menunggunya di lobi redaksi RM. Dewi fortuna belum berpihak pada kami, satu jam berlalu SMS kami tak jua di balas. Akhirnya sambil menunggu, kami husnudzhon saja barangkali dengan menjabat Pimpinan Perusahaan RM sekarang, Pria kelahiran Garut ini sudah tidak lagi sempat ber SMSan. Setelah dua jam menunggu, tepatnya jam (11.00 wib), ahirnya kami bertemu dan langsung memasuki mobil BMW hitam miliknya menuju sebuah hotel, sebab (12.30) nanti Ia harus mengisi acara disana. Benar dugaan kami tadi, dua puluh menit dalam perjalanan, kami belum bisa melakukan wawancara. Maklum saja, mantan anggota LPM INSTITUT ini sibuk menjawab telepon yang masuk bak operator. Namun tak lama kemudian, di awali obrolan kecil mengenai produk INSTITUT, wawancara dibuka dengan pendapat umum mengenai kota Jakarta dan berikut kutipan wawancaranya. Apa pendapat Anda mengenai kondisi Jakarta saat ini? Saya ingin menarik mundur dari fakta bahwa setiap kota di Indonesia harus punya city plan. Bukan hanya tata ruang kota yang terencana dengan baik. Tapi juga tentang bagaimana dan dimana green area serta penampungan air, kemudian mana daerah sentra bisnis, mana daerah untuk pusat pemerintahan. Kota-kota di negara maju itu sudah mempunyai real plan, mulai dari tata kota sampai tahapan pembangunannya. Jadi tiap area sudah punya komposisi maisng-masing. Contohnya di kota Beijing, Cina. Mereka memiliki miniatur kota sampai 2059. Hal ini dimaksudkan agar segala tata ruang kota bisa teratur dan terencana secara baik. Sebagai Ibu Kota dan pusat perekonomian sudah pasti Jakarta menjadi citra negara serta menjadi lalu lintas internasional. Dalam berbisnis meniscayakan hal-hal seperti tadi (kesemrawutan kota dengan adanya gepeng, pengemis dsb). Oleh Iklan
karena itu, Jakarta harus punya city plan. Artinya memiliki maket atau miniatur wajah seperti apa Jakarta ke depan. Apakah city plan sangat terkait dengan penertiban Gepeng di Jakarta saat ini? Hal harus direncanakan dengan baik dan komprehensif. Kehadiran mereka di sebuah kota modern atau ibu kota negara, secara pencitraan atau image memang kurang baik. Saya kira peraturan ini dapat diterapkan di Jakarta dan sah-sah saja pemerintah menjalankannya. Asal pada tahap penertiban tidak serampangan dan tidak asal main geruk saja tanpa ada kompensasi. Jadi jangan hanya melarang tapi tak ada solusi buat mereka. Solusi seperti apakah yang Anda maksud untuk penertiban para Gepeng? Misalnya mentransmigrasikan para pengemis, atau dilokalisir ke area tertentu, memberikan modal untuk membuka usaha atau memberikan mereka pekerjaan di sektor industri yang bersifat low
skill (padat karya). Dan biasanya ada pula program dari Departemen Sosial berupa program kegiatan usaha bersama dengan melakukan pelatihan interpenership (wirausaha) yang dapat memberikan wawasan dalam potensi berbisnis seperti peluang dan strategi berbisnis, teknik dalam starategi marketing dan jaringan pasar. Sehingga mereka mendapat pekerjaan yang layak. Menurut Anda, apakah penerapan perda Tibum ini melanggar hak asasi manusia? Tergantung cara pandang masing-masing. Dikatakan melanggar HAM ketika mereka dilarang mengemis atau mengamen tetapi tidak diberi solusi karena faktanya hal ini terkait dengan perekonomian masyarakat. Jika diberi solusi yang tepat, tentu tidak melanggar HAM. Pemerintah DKI juga berhak mengeluarkan peraturan ini, tapi harus konsisten dalam pelaksanaanya. Melakukan monitoring dan evaluasi, agar tak terkesan hanya saat awal saja ramai dilaksanakan, setelah itu hilang bak ditelan bumi. Tanpa ada monitoring dan evaluasi pelaksanaan perda
ini mungkin hanya ispan jempol saja. Apakah Perda ini harus menjadi prioritas Pemda DKI Jakarta, dan layakkah Peratutan ini diterapkan saat ini? Kalau sebagai prioritas ya sambil jalan saja. Pelarangan memberi sedekah kepada pengemis yang terkait dengan Perda ini, saya pikir tak harus menjadi prioritas, karena masih banyak hal lain yang menjadi skala prioritas utama Gubernur Fauzi Bowo, diantaranya masalah banjir dan kemacetan. Penerapan peraturan ini dapat berjalan beriringan, namun tidak dalam skala prioritas. Soal layak tidaknya Perda ini diterapkan saat ini, ya layak saja. Namun layak dalam arti pemerintah harus do something untuk memberi solusi ekonomi kepada mereka. Pemerintah harus konsisten dalam menerapkan peraturan ini, tidak bongkar pasang, maksudnya ketika ganti gubernur, maka ganti pula kebijakan, sehingga tidak berjalan efektif.
Foto Internet