Edisi XXXIII/September 2014
Email lpm.institut@yahoo.com / redaksi.institut@gmail.com
LAPORAN UTAMA Mempertanyakan Kualitas Buku Ajar
Terbit 16 halaman
LAPORAN KHUSUS Menanti Raja Baru UIN Jakarta
Hal: 2
www.lpminstitut.com
Telepon Redaksi 085694801232
KAMPUSIANA Hal: 4
Gawat! Antusias Diskusi Mahasiswa Hilang
lpminstitut
Hal: 5
@lpminstitut
Hidup Segan Mati Tak Mau Erika Hidayanti Sebagai organisasi pendukung menuju universitas riset, kondisi UIN Jakarta Press tak terurus karena tidak termasuk dalam struktur formal. Lantas, bagaimana cita-cita UIN Jakarta menjadi universitas berbasis riset? Terhitung sejak 2003, UIN Jakarta ingin bergeser dari teaching university menjadi research university atau universitas riset. Bagi universitas riset, kegiatan riset dan publikasi karya tulis dosen menjadi prioritas. Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, menyatakan untuk mewujudkan UIN Jakarta menjadi universitas riset, kampus harus mampu menerbitkan artikel ilmiah dosen baik di dalam maupun luar negeri. Karenanya, perlu pendanaan yang lebih besar dan teratur untuk penerbitan di UIN Jakarta. Sama halnya Azra, Direktur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta, Irfan Abubakar, mengungkapkan publikasi ilmiah merupakan jendela bagi perguruan tinggi. Riset dan publikasi ilmiah menjadi tantangan terberat UIN Jakarta ke depan. “Makanya, UIN perlu mengevaluasi dua hal tersebut,” kata Irfan, Rabu (1/10). Alih-alih menjadi universitas riset, UIN Jakarta Press sebagai organisasi pendukung malah tidak termasuk dalam struktur formal. Hal ini, mengakibatkan UIN Jakarta Press minim staf dan karya karena tak mendapat dana operasional. Terlihat dari jumlah terbitan yang tidak menentu di setiap tahun.
Berbeda dengan UIN Jakarta, UIN Malang memasukkan UIN Malang Press ke dalam struktur formal. Faktor inilah yang membuat UIN Malang Press lebih berkembang dibanding UIN Jakarta Press. Padahal, kedua universitas ini sama-sama berstatus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Usaha (BLU). Status dan kondisi UIN Malang Press yang berkembang turut membantu UIN Malang mewujudkan citacitanya menjadi universitas riset. Tak hanya membantu, UIN Malang Press juga bisa menjadi sarana promosi akademik yang baik. “Apalagi karya-karya dosennya dipasarkan,” tutur Abdul Halim, salah satu staf redaksi UIN Malang Press, Jumat (26/9). Menanggapi perbedaan itu, Direktur UIN Jakarta Press tahun 20022006, Abudin Nata, mengatakan UIN Jakarta Press memang tidak termasuk struktur formal karena pemerintah ingin membentuk lembaga yang miskin struktur tapi kaya fungsi. “Sebab struktur akan berimplikasi pada anggaran,“ kata Dekan Fakultas Dirasat Islamiyah (FDI) itu, Selasa (23/9). Namun, kata Abudin, kondisi UIN
Jakarta Press yang tak masuk dalam struktur formal bisa menghambat mimpi UIN Jakarta menuju universitas riset. Meski bukan satu-satunya faktor, UIN Jakarta Press merupakan lembaga yang penting untuk mendorong hal tersebut. “UIN Jakarta Press harus dihidupkan dan mampu bekerja sama dengan penerbit dalam dan luar negeri,” ungkapnya. Senada dengan Abudin, Direktur Bersambung ke hal. 15 kol. 2
Darurat Penerbitan Kampus
2
Laporan Utama
Edisi XXXIII/September 2014
Salam Redaksi Salam sejahtera, pembaca budiman.
Mempertanyakan Kualitas Buku Ajar
Untuk kali kesekian, demi memenuhi tanggung jawab sebagai Lembaga Pers Mahasiswa, kami hadirkan kembali Tabloid INSTITUT ke hadapan pembaca budiman. Selain memenuhi rasa tanggung jawab, keinginan untuk terus menggali informasi dan menulis juga telah mendarah-daging di jiwa kami.
Pembaca budiman, LPM INSTITUT sangat terbuka dalam hal kritik maupun saran. Kami yakin, kritik dan saran dari pembaca budiman bertujuan untuk membangun LPM INSTITUT lebih maju. Untuk itu, selain membaca, kami juga mengharapkan kesediaan pembaca sekalian untuk memberi masukan-masukan kepada lembaga ini. Pada edisi kali ini, Tabloid INSTITUT menghadirkan informasi mengenai organisasi nonstruktural milik UIN Jakarta, yaitu UIN Jakarta Press. Sedikit banyaknya, kami menulis tentang keinginan UIN Jakarta menjadi universitas riset. Namun, dalam pelaksanaannya masih ditemui berbagai masalah. Selain hambatan-hambatan yang ditemui dalam pengembangan UIN Jakarta Press, Tabloid INSTITUT edisi 33 ini juga membahas soal Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membatasi masa studi mahasiswa selama lima tahun. Dalam peliputan edisi kali ini, reporter kami banyak me-nemui kesulitan. Mulai dari kesulitan membagi waktu dengan tugas-tugas lain, juga kesulitan menemui beberapa narasumber. Namun, kesemuanya tidak menjadi alasan bagi kami untuk tidak serius dalam melaksanakan tugas. Kami sebagai salah satu lembaga yang berada di bawah naungan UIN Jakarta, selalu ingin membantu universitas ini untuk terus maju dan berkembang. Demi mewujudkan itu semua, kami juga mengajak pembaca budiman untuk turut serta mewujudkan impian-impian itu. Tabloid INSTITUT adalah wujud bakti kami terhadap kampus ini. Selain itu, Tabloid INSTITUT juga yang mendekatkan kami kepada pembaca sekalian. Untuk itu, mari membaca Tabloid INSTITUT. Salam mahasiswa, salam perjuangan!
Seorang mahasiswi tengah melihat buku ajar yang dipajang dalam lemari kaca di lobi Fakultas Ilmu Tarbiyah & Keguruan (FITK), Jumat (4/10). Beberapa di antaranya yaitu buku terbitan UIN Jakarta Press.
Dok. Hamidah/INS
Seusai libur semester lalu, kami hadirkan Newsletter edisi Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) yang memang menjadi terbitan rutin LPM INSTITUT setiap tahun ajaran baru. Kami mengerahkan adik-adik calon anggota LPM INSTITUT untuk meliput dan menuliskan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama OPAK tersebut. Meskipun sebagai calon anggota, mereka telah kami bekali ilmu kejurnalistikan, termasuk Kode Etik Jurnalistik. Sebagai lembaga resmi, kami sangat serius dalam hal peliputan. Meskipun waktu kami masih terbagi dengan urusan perkuliahan dan hal lain.
Nur Hamidah Berdasarkan Rancangan Undang-undang (RUU) tahun 2014 tentang sistem perbukuan, ketentuan pembaca ahli adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang bertugas memeriksa substansi naskah buku cetak sesuai dengan keahlian atau kepakarannya. Pembaca ahli biasanya terlibat dalam sebuah penerbitan. Sebagai lembaga penerbitan, UIN Jakarta Press tidak memiliki pembaca ahli yang terstruktur. Hal ini dikeluhkan oleh salah satu dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Rosida Erowati. Pada 2011, ia dan rekannya sesama dosen menerbitkan buku ajar berjudul Sejarah Sastra Indonesia. Namun, setelah proses penerbitan, ia menemukan banyak kesalahan ketik. Rosida menuturkan, dirinya kapok dan kecewa atas penerbitan yang memakai nama kampus itu. “Setelah selesai menulis, ternyata salah ejaan, salah judul. Dibandingkan dengan Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah mada (UGM), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Bayangkan, kampus ini tidak menggunakan tim pembaca ahli,” katanya, Selasa (16/9). Selain karena persoalan pembaca ahli, proses penyuntingan hingga percetakan buku ajar di UIN Jakarta Press memakan waktu selama enam bulan. Selama kurun waktu itu, Rosida merasa tidak maksimal, karena tidak ada komunikasi saat proses penyuntingan dari pihak penerbit terkait kelayakan naskah yang ia tulis. “Kita sudah berusaha menulis sebaik mungkin, tapi pertanyaannya apakah layak kalau dipublikasikan secara lebih luas. Aku jadi enggak bangga kalau diterbitin sama UIN Jakarta press,” tukasnya. Tidak adanya pembaca ahli diakui oleh editor UIN Jakarta Press, Hamid Nasuhi. Ia menyatakan, pada tahun 2000-an, tim pembaca ahli te-
lah dibentuk sesuai Surat Keputusan (SK) Rektor. “Editor yang dulu itu bekerja secara sukarela, karena enggak ada dana dari kampus, jadi mana mau orang bekerja secara sukarela. Harusnya sih ada editor, tapi di sini enggak ada,” keluhnya, Kamis (26/9). Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ini merasa kewalahan karena tidak ada editor. Untuk meminta pembaca ahli dari luar, ia ragu karena proses penyuntingan akan berlangsung lama dan membutuhkan dana sendiri. Hamid juga menyayangkan tidak adanya pembaca ahli dari berbagai bidang. “Untuk buku-buku yang khususnya bidang eksak, kita langsung layout saja tanpa edit,” ungkapnya. Saat ini, hanya ia dan Direktur UIN Jakarta Press, Idris Thaha yang menjalankan penerbitan. Biaya penerbitan buku berasal dari kantung pribadi penulis yang ingin menerbitkan buku ajarnya. Selain itu, dana lainnya berasal dari hibah universitas. Menanggapi kualitas buku ajar, salah satu pengamat pendidikan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rusydi Zakaria memaparkan, mekanisme untuk pembakuan buku ajar di UIN belum begitu baik. Salah satunya tidak ada pembaca ahli dalam penerbitan di UIN Jakarta Press. Oleh karenanya, ia menilai kualitas buku ajar yang diterbitkan pun perlu dipertanyakan. Tambahnya, info dan nilai buku ajar yang diterbitkan tidak akurat tanpa melewati proses validasi dan penyuntingan. Jika hal ini terus ter-
jadi, mahasiswa akan terkena dampak negatif. “Ketika mahasiswa membuat skripsi dan buku sumbernya belum tervalidasi, ya nanti kalau ditanya pendapat sahih dari mana, bagaimana? Secara keilmuan pun, mutu skripsinya menjadi rendah,” tutur Rusydi, Rabu (1/10). Lain hal dengan UIN Jakarta Press, staf redaksi UIN Malang Press, Abdul Halim menyatakan proses penyuntingan naskah dilakukan oleh tim konsultan dan selanjutnya oleh editor. Tim ini bertugas mendiskusikan sebuah naskah yang memiliki potensi untuk diterbitkan tanpa edit, diterbitkan dengan proses edit, atau tidak diterbitkan sama sekali. Proses penerbitan di UIN Malang Press diawali dengan pengajuan naskah pada bagian redaksi, lalu dibahas oleh tim konsultan mengenai kelayakan naskah untuk diterbitkan. Setelah diuji kelayakan, penulis mengirimkan kembali naskahnya pada penerbit untuk diedit oleh editor. Manajer redaksi penerbit Mizan, Suhindrati Sinta menuturkan vitalnya pembaca ahli atau yang disebut editor ahli di sebuah penerbitan buku. Ia menentukan apakah sebuah naskah layak untuk disunting, diterbitkan, atau malah ditolak. Untuk menjadi editor ahli diperlukan ketelitian, penguasaan Ejaan yang Disempurnakan (EyD) yang baik, serta pengalaman. “Selain itu, editor juga disesuaikan dengan naskah yang masuk. Jadi dilihat juga latar belakang orangnya,” ungkapnya, Jumat (26/9).
Pemimpin Umum: Selamet Widodo | Sekretaris Umum: Gita Juniarti | Bendahara Umum: Dewi Maryam | Pemimpin Redaksi: Muawwan Daelami | Redaktur Cetak: Gita Nawangsari E.P | Redaktur Online: Adea Fitriana | Web Master: Abdurrohim Al Ayyubi | Pemimpin Perusahaan: Azizah Nida Ilyas | Iklan & Marketing: Nur Azizah & Ahmad Sayid Muarief | Sirkulasi & Promosi: Nurlaela | Pemimpin Litbang: Karlia Zainul | Pendidikan: Siti Ulfah Nurjanah Riset & Dokumentasi: Anastasia Tovita & Adi Nugroho
Koordinatur Liputan: Thohirin Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Adea Fitriana, Adi Nugroho, Ahmad Sayid Muarief, Anastasia Tovita, Azizah Nida Ilyas, Dewi Maryam, Erika Hidayanti, Gita Juniarti, Gita Nawangsari Estika Putri, Karlia Zainul, Maulia Nurul Hakim, Muawwan Daelami, Nur Hamidah, Nurlaela, Nur Azizah, Selamet Widodo, Siti Ulfah Nurjanah, Syah Rizal, Thohirin Fotografer & Editor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Erika Hidayanti, Syah Rizal Karikaturis & Ilustrator: Nur Hamidah, Syah Rizal Editor Bahasa: Maulia Nurul, Nur Hamidah, Thohirin Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 085694801232 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas. ______
Laporan Utama
Edisi XXXIII/September 2014
3
Penerbit Nonstruktural Telantar Maulia Nurul
Demi meningkatkan integritas keilmuan, UIN Jakarta menerbitkan buku ajar melalui UIN Jakarta Press. Buku ajar berfungsi sebagai buku utama dan penunjang kuliah mahasiswa. Sebagai penerbit nonstruktural, UIN Jakarta Press hanya mampu menerbitkan buku sekitar 200 eksemplar. Jumlah itu dibagikan kepada dosen, perpustakaan utama dan fakultas. Karena kuantitas terbitan minim, mahasiswa terpaksa memfotokopi buku ajar.
”
UIN Jakarta Press harus mandiri karena tidak mempunyai apa-apa, sedangkan jika ingin menjadi unit usaha sendiri akan berat
juta untuk kelompok melalui UIN Jakarta Press. Sedangkan untuk tahun ini, UIN Jakarta Press tak mendapat kucuran dana sepeser pun. “Karena tahun ini wakil rektor bidang akademik tak mengadakan program penerbitan buku ajar,” ujarnya, Senin (22/9). Idris menambahkan, tak adanya dana penerbitan buku ajar menyebabkan seluruh pengelola UIN Jakarta Press seperti editor dan pembaca ahli tak digaji. Kondisi ini diamini oleh Direktur UIN Jakarta Press tahun 20022006, Abudin Nata. Ia menjelaskan, sejak berdirinya lembaga penerbitan, universitas tidak pernah menganggarkan sedikit pun dana untuk biaya operasional. Hal tersebut karena UIN Press merupakan lembaga otonom yang tidak masuk satuan kerja universitas. Sebagai lembaga otonom, UIN Jakarta Press dapat mencari dana untuk keberlangsungan hidupnya. Tapi nyatanya, UIN Jakarta Press dilarang mencari keuntungan dari usahanya
Dok. Maulia/INS
Menanggapi hal tersebut, Direktur UIN Jakarta Press Idris Thaha menjelaskan, minimnya jumlah buku yang diterbitkan karena tidak ada anggaran dari universitas. Berbeda pada tahun 2013, UIN Jakarta menganggarkan dana untuk percetakan dan hibah dosen, Rp10 juta untuk individu dan Rp15
lantaran lembaga penerbitan ini menggunakan nama UIN Jakarta. Ketiadaan dana tetap membuat UIN Jakarta Press tak berhenti menerbitkan buku. Salah satu strategi yang dilakukan saat itu yakni menjalin kerja sama dengan penerbit lain. “UIN Jakarta Press harus mandiri karena tidak mempunyai apa-apa, sedangkan jika ingin menjadi unit usaha sendiri akan berat,” kata Abudin, Kamis (23/9). Semasa Abudin menjabat, lembaga penerbitan ini bekerja sama dengan beberapa penerbit yang kredibel, di antaranya Raja Grafindo, Angkasa, dan penerbit lain yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). Namun, bentuk kerja sama ini tidak berlanjut hingga saat ini. Sebab, selepas Abudin menjabat, tidak ada lagi
staf yang mengurus. Pengajuan UIN Jakarta Press untuk masuk ke dalam struktur universitas sudah pernah dilakukan. Namun, perdebatan terjadi karena beban anggaran akan lebih besar jika struktur UIN Jakarta semakin gemuk. Selain itu, diperlukan pula proses yang lama dalam pembentukan lembaga jika ingin berdiri sendiri. Penerbit Baru Mulai tahun 2014, Lembaga Penerbitan dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) dipercayai oleh universitas dalam penerbitan buku ajar karena memiliki Pusat Penelitan dan Pener-
“
Info Grafis
Akreditasi Jurusan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Info Grafis: Syah Rizal / Sumber: BAN PT
bitan (Puslitpen). “LP2M telah masuk ke dalam struktur universitas, sehingga memiliki anggaran untuk memproses penerbitan buku,” kata salah satu editor UIN Jakarta Press, Hamid Nasuhi (29/9). LP2M sendiri telah mendesain program penerbitan buku mulai tahun ini. Naskah yang masuk akan diproses oleh editor dan pembaca ahli. Ini juga dijelaskan oleh Husnul Khatim, Staf Pengelola LP2M. Ia menuturkan, “buku ajar tahun ini sudah berada pada tahap evaluasi. Naskah yang kita terima diproses oleh editor untuk dikoreksi hingga menjadi draf.” Rabu (1/10).
4
Laporan Khusus
Edisi XXXIII/September 2014
Menanti Raja Baru UIN Jakarta Thohirin Tiga nama calon pengganti Komaruddin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, sudah muncul. Tak kurang dua minggu, satu nama akan keluar sebagai penguasa baru UIN Jakarta.
saat ditemui di gedung Kementrian Agama, akhir Juli lalu. Nama terakhir yang dipastikan maju di pilrek adalah Jamhari. Meski mulanya tak diprediksi bakal maju, namun nama Wakil Rektor IV Bidang Pengembangan Lembaga UIN Jakarta itu dipastikan melenggang di pilrek nanti. Sama halnya dengan dua calon lain, Jamhari juga enggan bicara saat dimintai keterangan. Awalnya, nama Bahtiar Effendy sempat digadang-gadang menjadi salah satu kandidat calon pengganti Komaruddin. Namun, hingga akhir masa penyerahan formulir, nama Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) itu tak terdaftar menjadi salah satu kontestan pilrek. Menurut salah satu anggota senat, Oman Fathurrahman, Jumat (19/9), masalah kesehatan membuat Bahtiar mengurungkan niatnya maju di bursa pilrek. Kepada INSTITUT, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pilrek UIN Jakarta, Reti Indarsih mengatakan, selama 18 hari masa penjaringan calon
dari 64 guru besar (profesor), 25 perwakilan dosen dari seluruh fakultas, dan enam pejabat kampus bukan guru besar. Selanjutnya, satu nama peraih suara terbanyak akan diserahkan ke menteri agama untuk dilantik menjadi rektor baru UIN Jakarta. Pelantikan akan dilaksanakan pasca masa jabatan rektor sebelumnya, Komar uddin Hidayat, berakhir pada 5 Januari 2015. Rencananya, pada 14 Oktober nanti pemilihan rektor bakal d ige la r. Sesuai ke putusan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2014 Pasal 6 ayat 2 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Rektor, pemilihan rektor UIN/IAIN dilakukan oleh senat uni-
versitas secara tertutup dengan tidak melibatkan mahasiswa.
pengangguran saja, tapi harus memperbaiki kualitas pendidikan,” tandasnya.
jelas Illah, Selasa (23/9) malam. Saat ini, UIN Jakarta belum menerapkan Permendikbud No.49 Tahun 2014. Apalagi, saat ditemui reporter INSTITUT, Wakil Rektor I Bidang Akademik, Mohamad Matsna, belum mengetahui peraturan itu. Tapi, ia mengatakan, UIN pasti akan memberlakukan peraturan tersebut kalau sudah menjadi Permendikbud. Di sisi lain, jelas Matsna, jika peraturan tersebut diterapkan akan banyak mahasiswa UIN yang di-drop out. “Dulu kan 7 tahun, itu aja keteteran, banyak yang di-drop out apalagi lima tahun,” tuturnya, Senin (29/9).
Mampu Menjaga Identitas Pasca dilantik, seabrek permasalahan bakal menanti rektor baru kampus peradaban ini. UIN Jakarta selama ini dikenal khalayak lantaran mampu memproduksi wacana keislaman di Indonesia. Karena itu, menurut Direktur Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Jakarta, Irfan Abubakar, tantangan bagi rektor baru nanti adalah mampu menjaga dan memelihara identitas UIN Jakarta sebagai pusat studi kajian Islam di Indonesia. Lebih-lebih, menurut Irfan, rektor baru nanti bisa menjadi kiblat pemikiran keislaman Indonesia yang toleran dan universal. Karena menurutnya, kelahiran UIN Jakarta tidak lepas dari semangat umat Islam Indonesia dalam memelihara nilai-nilai Islam Indonesia yang khas. Persoalan lain, mengenai niat UIN Jakarta menuju universitas bertaraf internasional. Irfan mengatakan, peningkatan kuantitas dan kualitas riset perlu perhatian serius dari rektor baru nanti. “Bukan hanya bermutu, tapi juga punya relevansi dan manfaat bagi masyarakat,” katanya, Rabu (1/10).
Dua Mata Pisau Percepatan Masa Studi Syah Rizal Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 49 Tahun 2014 Pasal 17 Ayat 3 Huruf D tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi mengharuskan mahasiswa strata satu (S1) menyelesaikan kuliah maksimal 5 tahun. Hal tersebut laiknya dua bilah mata pisau lantaran menuai pro-kontra dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga pengamat pendidikan.
Padahal organisasi menuntun mahasiswa jadi lebih disiplin, mengatur waktu, dan membangun karakter
Sementara itu, Muhammad Nu’man, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta setuju dengan adanya batas kuliah lima tahun. “Percepatan masa studi akan membuat mahasiswa termotivasi untuk lebih cepat menyelesaikan studinya,” ucap Nu’man, Rabu (1/10). Namun, menurut pengamat pendidikan, H.A.R. Tilaar, lulus strata satu (S1) dalam lima tahun bukanlah hal yang mudah. Hal itu disebabkan budaya akademis yang belum ada di Indonesia. “Ilmu pengetahuan memang semakin berkembang cepat, namun apakah ini mudah ditempuh mahasiswa dengan metode pembelajaran saat ini? Apalagi fasilitas kampus juga masih kurang,” terangnya, Kamis (25/9). Menanggapi respons negatif, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan, Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Kemendikbud, Illah Sailah, menjelaskan, Permendikbud bertujuan mencapai pendidikan bermutu. Ia juga percaya, aturan tersebut tidak akan membatasi mahasiswa untuk berorganisasi. “Untuk lulus, mahasiswa harus mencapai 144 SKS. Jika satu semester 18 SKS, itu hanya 48 jam,
masih ada waktu luang 60 jam untuk mahasiswa berorganisasi,” paparnya. Banjir Pengangguran Berpendidikan Dilansir dari republika.co.id, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim mengatakan Permendikbud ini harus diberlakukan untuk mendorong para mahasiswa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. “Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) kalau tidak luluslulus kuliah, misalnya sampai tujuh tahun akan menjadi beban negara,” pungkasnya, Selasa (19/8). Akan tetapi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2014, pengangguran bergelar sarjana mencapai 398.298 orang. H.A.R Tilaar mengatakan, jika Permendikbud diterapkan, pengangguran dari kalangan sarjana semakin banyak dan itu juga akan menjadi beban pemerintah. Ia menambahkan, semua itu terjadi karena saat ini universitas hanya mencetak pekerja, bukan meluluskan mahasiswa yang mampu membuat lapangan pekerjaan. “Alhasil, pendidikan kita hanya mencetak robot yang mempunyai ijazah, tapi tidak tahu ijazahnya untuk apa. Harusnya universitas jangan hanya mencetak
Dok. INSTITUT
Salah satu mahasiswa yang keberatan dengan adanya aturan baru ialah Virdika Rizky Utama. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu tak setuju dengan peraturan yang memaksa mahasiswa menyelesaikan kuliah dalam waktu 5 tahun. Virdi menilai, adanya peraturan tersebut akan menurunkan minat mahasiswa untuk berorganisasi. Pasalnya, sejak 2010 UNJ menerapkan batas studi mahasiswa menjadi enam tahun, minat mahasiswa UNJ untuk aktif berorganisasi menurun. “Padahal organisasi menuntun mahasiswa jadi lebih disiplin, mengatur waktu, dan membangun karakter,” katanya, Kamis (25/9).
Paling Lambat Diterapkan Pada 2016 Kesimpangsiuran informasi mengenai realisasi Permendikbud sempat terjadi. Tapi, Illah mengatakan, setiap universitas diberi tenggang waktu sampai 2016 untuk menerapkan aturan tersebut. “Peraturan itu kan peraturan peralihan, jadi para rektor diberikan waktu dua tahun sampai 2016 untuk menimbang kapan akan memberlakukan peraturan tersebut,”
Sumber Foto: Internet
Sekretaris Senat Universitas, Suwito, Rabu (1/10) mengatakan bahwa tiga nama–Amin Suma, Dede Rosyada dan Jamhari–dipastikan maju pada pemilihan rektor (pilrek) UIN Jakarta 14 Oktober mendatang. Namun, kepada INSTITUT, ketiga nama tersebut enggan angkat bicara perihal pencalonannya menjadi rektor. Setelah kandas pada pilrek 2010 silam, kini, Amin Suma kembali menjadi kandidat calon rektor UIN Jakarta periode 2015-2019. Namun, saat dihubungi melalui pesan singkat, mantan dekan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) itu belum mau komentar mengenai kabar pencalonannya. “Untuk soal itu, mohon maaf. Lain kali saja,” katanya, Senin (29/9). Di lain kesempatan, eks Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Dede Rosyada juga tak berkomentar banyak seputar desas desus dirinya menjadi salah satu kontestan pilrek. “Nanti saja. Itu kan belum resmi. Akan saya obrolkan dulu dengan tim internal saya,” ujar Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) itu,
rektor (12-30 September), KPU menerima sembilan formulir pendaftaran dari 37 lembar formulir yang dibagikan. Sebelumnya, 37 formulir tersebut dibagikan KPU pilrek kepada semua guru besar (profesor) UIN Jakarta yang dinilai telah memenuhi syarat menjadi calon rektor. Dari sembilan formulir yang diterima KPU, enam di antaranya menyatakan tak bersedia menjadi calon rektor. Sedangkan tiga formulir lainnya menyatakan bersedia. Namun, Reti ogah menyebut kesembilan nama itu. “Sebaiknya tanya ke ketua senatnya saja,” ujarnya, Rabu (1/10). Reti menuturkan, para nama calon rektor yang telah disahkan oleh senat bakal bersaing memperoleh suara terbanyak pada 14 Oktober mendatang. Ketiga nama calon rektor akan dipililh secara tertutup oleh 95 anggota senat UIN Jakarta yang terdiri
“
”
Kampusiana
Edisi XXXIII/September 2014
5
Gawat! Antusias Diskusi Mahasiswa Hilang Adi Nugroho Berdiskusi dan membaca dirasa tak lagi menjadi kebutuhan. Kesadaran akan pentingnya kebutuhan tersebut digalakan berbagai forum diskusi untuk menjaga nilai intelektual dan akademis mahasiswa. Undangan untuk mengikuti forum diskusi pun dilakukan, ajakan perseorangan, menyebar pamflet dan leaflet secara langsung maupun media sosial juga sudah dilakukan, tetapi hasilnya nihil. Hal demikian dialami anggota aktif Forum Diskusi Ciputat (Formaci) Abdallah, menurutnya, forum diskusi dan kajian di UIN Jakarta terancam punah. “Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) misalnya, hanya 10 sampai 15 orang saja anggota yang aktif mengikuti diskusi. Padahal di UIN Jakarta ada sekitar 22.000 mahasiswa aktif, itu sisanya pada ke mana?” ujar mahasiswa semester 11 Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora, Rabu (1/10). Pergantian Student Government (SG) ke Senat dirasakan Abdallah sangat berpengaruh terhadap gairah berdiskusi mahasiswa. Saat masa SG, kata Abdallah, semarak kajian sangat terasa. Tapi, sistem perkuliahan saat ini dengan beban SKS yang padat menuntut mahasiswa untuk cepat lulus. “Saya melihat sistem kampus yang seperti itu berimbas pada forum diskusi” paparnya. Senada dengan Abdallah, Kordinator forum diskusi Komoenitas Lesehan Keboedajaan (Kolekan), Azami menjelaskan, sejak pergan-
tian SG ke senat, Kolekan vakum beregenerasi. “Hampir setengah tahun kita mati suri atau collapse pada 20102011,” jelas mahasiswa jurusan Sejarah Kebudayaan Islam, Rabu (1/10). Sedangkan Andi Kristianto, Pembina Lembaga Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjelaskan, forum diskusi mesti meninjau kembali metode dan pola berdiskusi agar mahasiswa mau bergabung. Menurutnya, forum diskusi perlu memanfaatkan semua saluran komunikasi saat megundang mahasiswa untuk berdiskusi. “Harus kreatif saat mengajak orang lain,” paparnya ketika dihubungi INSTITUT, Rabu malam (1/10). Inovasi dan perubahan telah dilakukan oleh Kolekan dan Formaci dalam menarik mahasiswa untuk ikut serta dalam forum diskusi. Azami mengatakan, Kolekan telah mengubah gaya diskusi yang bersifat ortodoks. Selain itu, lanjut Azami, menyambangi tempat kajian baru seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) juga menjadi inovasi Kolekan. “Saat mengadakan diskusi,
Sumber: www.sadargiz.com
Kolekan juga mengundang teman-teman Institut Kesenian jakarta (IKJ) agar memantik motivasi peserta diskusi,”paparnya. Berbeda dengan Kolekan, untuk mengajak mahasiswa mengikuti forum diskusi, Formaci menggunakan media sosial dalam menyebarkan pamflet dan leaflet. Namun, menurut Abdallah, mahasiswa sekarang tidak peduli akan berdiskusi, ketertarikan mereka terhadap diskusi sangat kurang. “Padahal, diskusi itu ke-
Mahasiswa JANCUK!
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka tengah memimpin karnaval UKM EXPO di Kampus 1 UIN Jakarta, Rabu (24/9).
Dok. KMF Kalacitra
Ahmad Sayid Muarief “Jancuk, Jancuk, jangan cuma kuliah!” teriak mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta saat karnaval keliling kampus pada hari pertama UKM EXPO. Acara tersebut merupakan agenda tahunan UKM yang diselenggarakan untuk mahasiswa baru saat masa Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK). Namun, tahun ini berbeda. Acara istimewa UKM itu digelar setelah OPAK. Dengan tema JANCUK (Jangan Cuma Kuliah) Be Creative and Innovative, UKM EXPO berlangsung dari 24-26 September di lapangan parkir Student Center (SC). “UKM EXPO tahun ini sangat berbeda dengan ta-
hun-tahun sebelumnya,” ujar ketua panitia UKM EXPO, Oky Primadeka, Rabu (1/10). Selain diisi dengan acara-acara yang edukatif, kata Oky, UKM EXPO kali ini juga lebih interaktif.
“Seperti seminar seni Islam, talk show handicraft, lomba nyanyi dan stand up comedy, penampilan-penampilan UKM, operasi bersih, dan nonton bareng,” jelas mahasiswa yang tergabung di UKM Foriegn Language As-
butuhan dan harus didasarkan oleh kesadaran, saya sendiri tidak bisa memaksa mahasiswa lain untuk ikut berdiskusi,” jelasnya. Pentingnya mengikuti diskusi diakui oleh Andi Kristianto. Ia memaparkan, berdiskusi dapat melatih kecakapan berkomunikasi maupun beradu argumentasi dengan orang lain dalam berbagai hal. Sejatinya, ujar Andi, kesadaran dapat muncul dan tumbuh secara alami dalam diri seseorang. “Kesadaran itu mudah
menular, sebagaimana kemalasan yang juga mudah menjadi wabah yang merusak kita,” ungkapnya. Abdallah bercerita, rezim represif yang membayangi pada tahun 80an membuat mahasiswa lebih kritis dengan membentuk forum-forum diskusi. Namun, pascareformasi ia mempertanyakan daya kritis mahasiswa. “Bagaimana bisa kritis kalo mahasiswa sekarang dininabobokan di Seven Eleven dan Starbucks?” tegas Adballah.
sociation (FLAT) tersebut. Menurutnya, UKM EXPO sangat penting bagi mahasiswa baru yang ingin tahu lebih dalam tentang UKMUKM di UIN Jakarta. Meski demo UKM saat OPAK sudah dilakukan, bagi Oky itu saja belum cukup. Karena menurutnya, UKM EXPO juga menjadi ajang pembuktian atas pandangan miring terhadap mahasiswa yang terlibat di UKM. “Banyak yang berpikir bahwa masuk UKM itu buruk, padahal tidak sedikit anggota UKM yang berprestasi secara akademis maupun non-akademis,” jelasnya. Namun, Oky merasa kurang didukung oleh bagian kemahasiswaan dalam menyelenggarakan kegiatan tersebut. Sehingga, panitia UKM EXPO harus mengumpulkan dana swadaya dari masing-masing UKM dan harus bersusah payah mencari tempat. “H-1 kami baru dapat tempat, itu pun separuhnya masih digunakan untuk parkir,” keluhnya. Sementara itu, ketua Forum UKM, Fadilla Anwar mengatakan, UKM EXPO adalah sarana untuk menjaring mahasiswa baru agar tertarik bergabung dengan UKM. Ia menuturkan, UKM EXPO kali ini sengaja dibuat lebih interaktif agar mahasiswa baru tertarik untuk berkunjung. Berkaitan dengan tema, Fadil menjelaskan, “JANCUK” Be Creative and Innovative merupakan bentuk keprihatinan UKM terhadap mahasiswa baru. Ia memaparkan, tema tersebut dipakai untuk mengajak
mahasiswa baru aktif berorganisasi. “Jangan sampai mereka cuma kuliah pulang kuliah pulang (kupu-kupu), padahal organisasi itu penting,” katanya. Meski UKM EXPO terselenggara dengan dana yang minim, Fadil merasa senang karena anggota tiap UKM sangat antusias dengan kegiatan-kegiatan UKM EXPO. “Mulai dari karnaval, seminar, lomba, operasi bersih, nonton bareng, mereka sangat antusias,” kata Ketua Forum UKM itu. Fadil berharap, UKM lebih solid dalam membangun kerjasama agar setiap kegiatan yang dilakukan sukses. Ia juga menghimbau agar mahasiswa baru ikut bergabung dengan UKM. Karena baginya, UKM merupakan tempat mahasiswa mengasah bakat dan kreatifitas. Salah satu mahasiswa baru yang berkunjung, Khori Bhaktiar Rahman mengatakan, UKM EXPO sangat membantunya mengenal kegiatan dan jenis UKM. Selain itu, lanjut Khori, UKM EXPO juga membuatnya tahu prestasi-prestasi UKM di dalam maupun luar negeri. Namun, Khori menyayangkan lokasi UKM EXPO yang menurutnya tidak menarik. Stan-stan UKM yang sempit pun membuatnya tidak fokus saat mendengar informasi dari UKM yang ia kunjungi. “Terlalu sempit, bahkan satu tenda dua UKM,” ungkap mahasiawa baru Jurusan Kesejahteraan Sosial (Kessos) Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM).
Survei
Edisi XXXIII/September 2014
Mahasiswa Setuju Kuliah Lima Tahun Pada 9 Juni lalu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Permendikbud No. 49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional. Di mana pada Pasal 17 Ayat 3 Poin D, isinya menerangkan bahwa masa studi jenjang pendidikan S1 dibatasi menjadi 4-5 tahun saja dan masa studi jenjang pendidikan S2 dibatasi menjadi 2 tahun. Sebelumnya, batas waktu masa studi mahasiswa S1 ada-
lah 7 tahun. Untuk melihat respons mahasiswa terhadap peraturan tersebut, Divisi Litbang INSTITUT melakukan survei kepada 100 orang mahasiswa UIN Jakarta semester 3,5,7, dst. Berdasarkan hasil survei, 51% mahasiswa UIN Jakarta sudah mengetahui adanya aturan baru tersebut, 42% mahasiswa belum mengetahui adanya pembatasan masa studi jenjang pendidikan S1, dan 7% si-
sanya tidak menjawab. Sementara itu, 19% mahasiswa mendapat informasi tersebut dari media sosial, 17% dari teman, 14% dari media massa, dan 5% dari dosen. Berdasarkan hasil suvei, 67% mahasiswa UIN Jakarta berpendapat, aturan baru Kemendikbud tidak membatasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan di luar perkuliahan, seperti berorganisasi, kerja part time, wirausa-
ha, dan lainnya. 78% mahasiswa mengatakan, lima tahun cukup bagi mahasiswa untuk menyelesaikan kuliah. Bahkan, menurut mereka, peraturan ini bagus untuk memotivasi mahasiswa untuk cepat menyelesaikan kuliah. Di sisi lain, 19% orang mahasiswa UIN menolak Permendikbud, karena dianggap membatasi mahasiswa untuk mengembangkan diri di luar kegiatan perkuliahan.
Grafis: Ahmad Sayid Muarief
6
Kilas
Kilas
Kilas
Nur Laela
Petugas Parkir Panggul Motor UIN Jakarta- Peralihan lokasi gedung parkir sementara di lapangan belakang SMK Triguna pun dipadati kendaraan bermotor setiap harinya. Hal tersebut menjadi pemandangan biasa bagi seluruh civitas akademika UIN Jakarta hingga proses pembangunan gedung parkir utama rampung. Lantaran lokasi parkir berada di luar area kampus, tentunya UIN Jakarta menyiapkan tingkat keamanan ekstra. Hal itu seperti yang diungkapkan Rahmat Hidayat selaku Koordinator Parkir UIN. “Pokoknya parkir di sini diberlakukan dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore,” tegasnya, Kamis (2/10). Peraturan tersebut diberlakukan agar semua kendaraan bisa masuk area kampus ketika malam hari. Namun, bagi Rahmat, masih ada saja mahasiswa yang membandel, membiarkan motornya berada di lapangan parkir hingga larut malam. “Ya kadang-kadang para petugas terpaksa manggul motor sampai masuk ke dalam gerbang (area kampus),” jelasnya. Ia menyarankan, jika suasana parkir di area kampus mulai sepi sebaiknya mahasiswa memasukkan motornya ke dalam. “Semua itu kan demi keamanan juga,” tutur Rahmat.
Kemahasiswaan Selenggarakan Workshop UIN Jakarta-, Bagian Kemahasiswaan dan Alumni menyelenggarakan Workshop Manajemen Organisasi Kemahasiswaan yang diselenggarakan di Hotel Ria Diani, Puncak, Bogor. Acara tersebut dihadiri oleh Ketua UKM, Ketua Dema, Ketua Sema, dan Pembina UKM. Acara yang diselenggarakan pada (28-30/9) ini terkait penguatan dalam hal manajemen organisasi. Hal itu diungkapkan oleh Abdul Jalil, salah satu perwakilan UKM KMF Kalacitra. “Intinya sih lebih ke pembekalan dalam pembenaran website,” jelasnya, Kamis (2/10).
Berita Foto
Edisi XXXIII/September 2014
7
Pojok Seni Tarbiyah (Postar) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengangkat secuil kisah getir rakyat kecil dalam pentas bertajuk ‘Nyanyian Punakawan’ di Hall Student Center, Sabtu (13/9). Dalam teater tersebut, gejolak hati seorang ibu miskin yang dilanda kesusahan digambarkan dalam sebuah tarian modern.
Edy Fajar Prasetyo tengah menyampaikan materi pelatihan handycraft dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Expo, Kamis (25/9). UKM Expo merupakan agenda rutin yang diadakan oleh Forum UKM UIN Jakarta untuk memperkenalkan UKM-UKM yang ada di UIN Jakarta kepada mahasiswa baru.
REDAKSI LPM INSTITUT Menerima: Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Salah satu pemain mencoba memasukkan bola ke ring dalam sebuah pertandingan UIN Basketball Competition (UBC), Jumat (3/10). UBC merupakan kompetisi basket tahunan di UIN Jakarta yang diadakan oleh Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa).
Tulisan dikirim ke email: redaksi.institut@gmail.com Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085694801232. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.
8
Opini
Edisi XXXIII/September 2014
Bertanya Soal Civil Society Kamis 25 September yang lalu, Auditorium Harun Nasution seharian dipenuhi oleh peserta Seminar Nasional. Seminar yang bertemakan “Islam dan Politik Indonesia Mendatang” ini dihadiri oleh mayoritas mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan beberapa perguruan tinggi lainnya, serta sejumlah pimpinan fakultas dan dosen. Arahnya, bagaimana kita membangun kebudayaan yang berkarakter. Asumsinya, kebudayaan kita ini adalah kebudayaan hybrida, pertemuan, perpaduan dan proses dialog yang kreatif dari berbagai kebudayaan masyarakat. Hingga saat ini, proses ini terus berlangsung, tidak berhenti. Dari sisi keberagamaan, Indonesia tidak saja mendapatkan pengaruh dari berbagai agama besar seperti Islam, Kristen, Hindu dan Budha. Bahkan, tak sedikit kita jumpai perpaduan, integrasi atau akomodasi antar nilainilai atau tradisi dari berbagai agama yang ada, bahkan dengan local tradition sekalipun. Sebagai sebuah kebudayaan besar, tidaklah mudah untuk menjaga, melangsungkan dan apalagi membangun. Corak kebudayaan seperti ini menjadi basis penting bagi kehidupan dan pembentukan tradisi/corak politik kita. Inilah yang menjadi argumen penting bagi teori politik aliran (po-
litical stream theory). Teori ini menegaskan bahwa arus kebudayaan kita akan besar sekali mewarnai arus politik. Jika mengacu basis teoritis klasiknya Clifford Geertz tentang Trikotomi Priyayi (nasionalis), Santri (Islam), dan Abangan (komunis), sebagaimana diterapkan pada masa Orde Lama, banyak penolakan dari berbagai kalangan. Akan tetapi, itulah yang juga menjadi keyakinan Soekarno selaku presiden RI kala itu. Bagaimana dengan aliran kebudayaan dan politik Indonesia saat ini, tentulah tidak sama. Demokrasi di Indonesia sangat unik dan khas karena mencakup soal agama, local wisdom, termasuk tradisi ketimuran. Meski ide awalnya dari Barat, demokrasi telah mengalami proses domestikasi yang sangat berarti di negara yang mayoritas muslim. Tentu saja sebagai proses kultural sekaligus sebagai isu akademik, ini juga tidak gampang mempertemukan, berdialog antara Islam dengan demokrasi. Perdebatan panjang telah berlangsung dan melibatkan tidak sedikit tokoh dan pemimpin sosial keagamaan dan politik serta akademisi. Mengapa panjang perdebatan ini? Karena, tidak saja menarik secara akademik akan tetapi juga penting dalam rangka mencari dan menemukan model Islam dan demokrasi
Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim* yang applicable untuk Indonesia. Pertanyaannya tidak lagi boleh (halal) atau tidaknya (haram) menerapkan demokrasi untuk orang Islam, tidak sekadar menolak demokrasi karena produk Barat sebagaimana keyakinan atau pandangan kawan-kawan Hizbut Tahrir Indonesa (HTI). Islam dan demokrasi, bukanlah kulit akan tetapi substansi dan esensi. Hajriyanto Y. Thohari, salah seorang pembicara seminar Islam dan politik tempo hari itu. Mengajukan pertanyaan: “milih yang mana partai dengan simbol-simbol Islam tapi kotor karena korupsi, atau partai apa pun tanpa simbol Islam tapi memperjuangkan sesuatu yang substansinya tidak bertentangan dengan ajaran Islam” misalnya kejujuran, keadilan dan sebagainya. Inilah salah satu persoalan pokok Islam dan politik di Indonesia, memperjuangkan apa dan untuk apa? Sebetulnya, banyak yang mengakui sebetulnya bahwa dari sisi prosedur, demokrasi di Indonesia berjalan dengan sangat baik. Pemilu sebuah negara berpenduduk muslim terbesar di dunia kemarin menunjukkan bahwa Indonesia telah sukses melampaui aspek prosedural. Soal puas dan tidak puas, ada tuduhan kecurangan dan sebagainya, bisa diselesaikan dengan prosedur yang tersedia. Memang ma-
hal procedural democracy ini. Tak semua negara bisa selenggarakan pemilu besar dengan aman dan stabil. Saya kira, ini ada soal awareness, ada komitmen untuk tetap bersahabat dengan baik meskipun tajam perbedaan pilihan ideologi politiknya. Hal lain yang juga penting untuk dicatat dari soal pemilu ini, ialah soal partai Islam. Ternyata, perolehan suara partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu mengalami penurunan yang sangat signifikan. Pemilih yang mayoritas beragama Islam ternyata sangat sedikit menentukan pilihannya kepada partai-partai Islam ini. Jadi, tidak ada korelasi antara anutan atau kepercayaan kepada kebenaran ajaran Islam dengan pilihan kepada partai Islam. Kalaupun ada, jumlahnya sedikit. Apa yang dikatakan almarhum Cak Nur soal ‘Islam Yes, Partai Islam No’ benar-benar nampak dengan kasat mata. Partai-partai Islam semakin kehilangan trust. Pasti ada yang salah dari partai-partai Islam ini. Kasus yang sangat mencolok tentu saja, antara lain; (1) keterlibatan aktivis dan tokoh penting partai Islam dalam kasus korupsi. Kasus ini tidak saja memperpuruk partai, akan tetapi juga menampar dan membuat malu orang Islam. (2) Tidak seriusnya partai Islam untuk memperjuangkan sesuatu
untuk kemaslahatan masyarakat. Partai-partai Islam telah gagal memanfaatkan demokrasi sebaik-baiknya secara prosedural untuk memenangkan pemilu. Tentu saja ini tidak sekadar mencederai partai, akan tetapi juga syariat Islam bahkan Islam itu sendiri. Atas nama kesucian agama dan syariat, ternyata syahwat kekuasaan dan ekonomi yang dicari. Uraian di atas tentu peran civil society menjadi sangat penting dan strategis. Civil society ini adalah kekuatan orang-orang secara personal maupun kelompok yang sadar sesadarsadarnya bahwa pemerintahan itu dibentuk untuk melayani masyarakat, mengayomi masyarakat, menciptakan keadilan, ketenangan, keamanan dan ketertiban. Pemerintah harus menjadi teladan yang mengarahkan masyarakat kepada tujuan moral yang luhur. Kekuatan civil society itu banyak, ada pers, kalangan profesional, akademisi, ulama, lembaga pendidikan, ormas, dan juga partai. Mereka harus kerja sama untuk memperkuat posisi dan peran-peran mulianya agar tidak terjadi penyelewengan.
*Penulis adalah Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan
Demokrasi di Pangkuan Elit Politik Diabsahkannya undang-undang pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat adalah bentuk paling nyata dari pengingkaran wakil rakyat terhadap hak politik orang banyak. Kekalahan Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden Juli lalu membuat persekongkolan yang apik dengan partai-partai untuk menarik mundur jarum sejarah, mengembalikan kedaulatan rakyat ke pangkuan golongan tertentu. Keberhasilan Koalisi Merah Putih yang mendukung pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada voting di Senayan itu mengakhiri pemilihan langsung yang dibangun sembilan tahun silam. Alhasil, setelah RUU usulan pemerintah yang diundang-undangkan, para politikus partai telah menjadi penentu tunggal kepemimpinan di 34 provinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota di Indonesia. Jumlah itu akan terus bertambah karena politikus juga terus membentuk daerah otonomi baru. Tak bisa dipungkiri lagi keputusan itu jelas mempertebal tembok yang memisahkan kepentingan partai dengan hajat orang banyak. Sejatinya, sejumlah jajak pendapat telah menyimpulkan mayoritas rakyat masih menginginkan pemilihan
langsung kepala daerah. Kita semua sepakat pemilihan langsung kepala daerah masih jauh dari kata sempurna, kritik terbesar adalah besarnya ongkos politik. Bukan hal yang tabu fenomena kandidat harus membeli pencalonan ke partai atau koalisi partai, menyogok pemilih menjelang pemungutan suara hingga menyediakan pengacara jika muncul sengketa hasil pemilihan. Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi, menyimpulkan mahalnya ongkos politik menjadi biangnya korupsi. Dalih Bos Besar di Kementerian Dalam Negeri itu sebenarnya gampang dipatahkan. Ongkos politik yang tinggi malah muncul akibat ‘kegagalan’ partai-partai politik dalam mengusung kandidat yang tangguh dan disukai masyarakat. Di sejumlah daerah kandidat yang mempunyai track record baik tak mengeluarkan ongkos tinggi untuk memenangi pemilihan. Tengok saja Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta, Tri Rismaharini di Surabaya, dan Ridwan Kamil di Bandung merupakan sebagian kecil dari pemimpinpemimpin daerah yang tak banyak mengeluarkan biaya politik. Bahkan, Gamawan pun tak perlu ongkos banyak dalam memenangkan pemilihan Gubernur Sumatera Barat pada
Oleh: Don Jong*
2006 lalu. Perihal ongkos politik yang tinggi sebenarnya bisa ditekan dengan berbagai macam perbaikan. Misalnya, pelaksanaan pemilihan secara serentak, pembatasan biaya kampanye, juga menentukan kandidat yang memiliki track record yang baik. Mengembalikan pemilihan ke DPRD tak menjamin bakal menghilangkan ongkos tinggi. Justru potensi suap dan politik uang akan makin merajalela. Bahkan politik uangnya lebih sistematis karena cukup diberikan kepada beberapa ratus anggota DPRD agar sang kandidat bisa terpilih. Mungkin bahasa sederhananya siapa yang paling banyak menyuap anggota DPRD dialah yang jadi pemenang. Berbeda dengan pemilihan langsung. Jika diamati, politik uang kepada pemilih dapat diragukan efektivitasnya karena tak menjamin politik uang bisa membeli suara. Atau kalau menurut istilah orang Jawa dikenal dengan sebutan ‘madep mungkur ati’. Artinya masyarakat menerima apa yang telah dikasih (kandidat) tapi belum tentu memilih. Menyerahkan pemilihan kepala daerah kembali ke tangan DPRD tak hanya menarik jarum sejarah, tapi juga membahayakan demokrasi di Indonesia. Hampir semua partai di-
kuasai oligarki. Pada akhirnya partai hanya menjadi semacam kartel. Para pemilik modal mempengaruhi keputusan-keputusan penting partai dan bisa dipastikan kelak termasuk penentuan calon kepala daerah. Raja-raja kecil akan menjadi pelayan bagi DPRD. Padahal jika anggota dewan sempat membaca dan memahami risalah Bung Karno yang berjudul ‘Mencapai Indonesia Merdeka’, tergambar jelas bahwa prinsip kedaulatan di tangan rakyat itu bermakna rakyat sebagai pemegang kekuasaan meliputi pemerintahan rakyat itu semua urusan politik, urusan diplomasi, urusan onderwijs (pendidikan), urusan bekerja, urusan seni, urusan kultur, urusan apa saja dan terutama urusan ekonomi, haruslah di bawah kecakrawatian (kekuasaan tertinggi) rakyat. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan tidak bisa direduksi hanya sekadar hak memilih, baik memilih badan perwakilan maupun pejabat eksekutif dalam bilik suara setiap lima tahun sekali. Namun, rakyat sebagai pemegang kekuasaan mengisyaratkan adanya partisipasi rakyat dalam berbagai proses pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat orang banyak. Karena itu, perdebatan soal kualitas demokrasi di
pilkada tidak serta merta hanya berhenti pada soal teknis memilih pemimpin, tetapi juga menyangkut penciptaan ruang bagi partisipasi rakyat dalam membuat kebijakan dan memastikan pelaksanaannya. UU Pilkada sejatinya menjadi pelajaran penting bagi kita semua terutama mahasiswa. Sebagai agen perubahan mahasiswa sejatinya harus sadar bahwa demokrasi yang telah dibangun di atas genangan darah dan keringat rakyat telah dibunuh oleh orang-orang yang katanya mewakili rakyat. Marco Kartodikromo pernah bilang ‘didik masyarakat dengan pergerakan, didik penguasa dengan perlawanan.’ Penulis berharap UU Pilkada ini menjadi pemantik bagi bangkitnya gerakan mahasiswa untuk satu tujuan bersama yakni ‘mengembalikan kedaulatan rakyat’. Mengutip puisi Wiji Thukul, bila rakyat berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah, kebenaran pasti terancam. Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan, dituduh subversif dan mengganggu keamanan, maka hanya ada satu kata: LAWAN! *Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta
Kunjungi website kami di www.lpminstitut.com PORTAL BERITA MAHASISWA UIN JAKARTA
Opini Pemasungan Kesadaran ‘Mahasiswa’ 2016 serentak seluruh universitas di Indonesia menerapkan Permendikbud No. 49 Tahun 2014. Peraturan yang mengatur mahasiswa strata satu (S1) harus menyelesaikan kuliahnya maksimal 5 tahun. Alasannya, agar mahasiswa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu. “Kalau kuliah tidak lulus-lulus akan menjadi beban negara,” kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim. Pro-kontra pun bermunculan. Mahasiswa yang setuju menjadikan Permendikbud sebagai motivasi agar cepat lulus. Orientasi yang terbangun selama ini, kuliah untuk mencari pekerjaan yang layak. Jadi bisa dilihat betapa lakunya Job Fair yang diadakan berbagai perusahan untuk menjaring para Fresh Graduate. Berharap, dengan bekal ijazah dan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) amat baik atau bahkan cumlaude para sarjana dapat mendapat pekerjaan yang diinginkannya. Namun jika melihat Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2014, pengangguran bergelar sarjana mencapai 398.298. Bak lagu Iwan Fals “Sarjana Muda” yang menenteng ijazah dari satu perkantoran ke perkantoran lainnya. Jika meminjam perkataan H.A.R Tilaar pendidikan kita mencetak robot yang mempunyai ijazah, tapi tidak tahu untuk apa dipergunakan. Dalam teori nilai tenaga kerja, tenaga kerja atau buruh merupakan sumber seluruh kekayaan. Keuntungan yang didapat oleh kapitalis men-
Oleh: Adi Nugroho*
jadi dasar eksploitasi tenaga kerja, sederhananya membayar upah buruh kurang dari selayaknya yang diterima. Kemudian nilai surplus itulah yang disimpan dan diinvestasikan kembali oleh kapitalis. Lalu jika diibaratkan robot atau mesin, maka robot tersebut telah dipersiapkan selama 5 tahun untuk menjadi basis eksploitasi. Basis eksploitasi yang tersedia bukan sedikit, malah ada 398.298 yang menunggu untuk dieksploitasi. Kapitalis tak perlu sulit mencari, bahkan setiap harinya akan ada yang datang untuk dieksploitasi. Setelah mengatur lamanya studi apakah pemerintah mengatur lamanya seseorang menganggur dan memastikan setiap lulusan S1 dengan ijazahnya mendapat kepastian untuk mendapat pekerjaan? Jika tidak kita dapat melihat indikasi bahwa pemerintah hanya menghasilkan sapi perah dari sistem pendidikan 2016 nanti. Kemudian patut dipertanyakan, ke mana arah pendidikan saat ini? Apakah hanya dipersiapkan menjadi robot atau seperti yang dicita-citakan Ki Hajar Dewantara bahwa esensi pendidikan adalah memanusiakan manusia. Pertanyaan tersebut diri kita sendirilah, “mahasiswa” yang dapat menjawabnya. Dilihat dari etimologi, mahasiswa berasal dari dua suku kata yaitu, kata ‘maha’ dan ‘siswa’. Kata ‘maha’ berarti besar, paling, ter, sangat. Seda-
ngkan siswa berasal dari kata ‘murid’ dari kata ‘iradatan’ yaitu orang yang mencari pengetahuan di tingkat sekolah dasar, menengah. Jadi, sebagai seorang yang tingkatannya paling tinggi dalam mencari pengetahuan seharusnya, mahasiswa dapat dengan sendirinya menentukan kapan dirinya akan lulus. Bangku perkuliahan tidaklah sama dengan masa studi SD sampai SMA. Kuliah bukan hanya duduk manis dan mengerjakan tugas makalah, kemudian mendapat IPK amat baik bahkan cumlaude. Pentingnya proses kesadaran seseorang akan kebutuhan ilmu yang tidak didapatnya dari bangku perkuliahan sangatlah penting. Jika mahasiswa sudah disibukkan dengan pelbagai tugas bagaimana proses kesadaran tersebut terbangun. Membangun sebuah proses penyadaran dalam 5 tahun tidaklah cukup. Pembatasan studi menjadi salah satu bentuk pengekangan jika alasannya menjadi beban negara. Beban negara adalah koruptor bukan mahasiswa yang lama lulusnya! Bisa dilihat apakah politisi yang duduk di DPR RI dahulu hanya kuliah saja? Dan Apakah dahulu reformasi dibangun hanya dengan duduk manis di dalam kelas?
*Penulis adalah mahasiswa UIN Jakarta yang menjadi beban negara
Bang Peka
Edisi XXXIII/September 2014
9
Editorial Krisis Kredibilitas Gairah UIN Jakarta menjadi universitas berbasis riset, nampaknya bakal terganjal. Sebab, salah satu peranti pendukung research university ini posisinya hilang dari radar pantauan para pimpinan kampus. Kondisinya memprihatinkan. Tak terurus bagai pepatah, habis manis sepah dibuang. Jika dulu, UIN Jakarta Press terasa hidup, kini sinarnya mulai redup seiring kemunculan lembaga baru yang orientasinya nyaris serupa. Bahkan, di setiap fakultas telah bercokol lembaga-lembaga penerbitan. Tentu, bukan hal yang ganjil, jika kondisi ini pun kian menggeser posisi UIN Jakarta Press sebagai lembaga penerbitan. Bukannya terintegrasi, UIN Jakarta Press malah terisolasi. Tak hanya terisolasi, lembaga penerbitan milik universitas ini juga bisa dibilang hidup segan mati tak mau. Keberlangsungannya tak menentu karena kekosongan ongkos operasional. Sehingga, kekosongan ini pula yang berimplikasi pada merosotnya fungsi UIN Jakarta Press sebagai penyokong research university. Apalagi, pilihan menjadi universitas riset, seharusnya dapat mendorong UIN untuk lebih memperhatikan infrastruktur dan sarana penunjang riset, bukan malah membuatnya ’gembel’. Karena itu, sudah sepantasnya, bila kampus Ciputat ini masih ngotot memburu cap research university, tengoklah sarana pendukungnya. Karena bukan tidak mungkin, amburadulnya sistem dan manajemen di tubuh UIN Jakarta Press akan mereduksi kualitas buku ajar yang biasa dikonsumsi mahasiswa. Apalagi, tak jarang dosen yang ‘merekomendasikan’ terbitan buku asal UIN Jakarta Press ini sebagai referensi. Bukan tak percaya, tapi apa mau dikata? Ditambah lagi, minimnya staf dalam struktur UIN Jakarta Press, semakin memperpanjang derita lembaga yang dipimpin Idris Thaha ini. Jika kondisi ini dibiarkan dan tanpa ada upaya perbaikan, relakan saja UIN Jakarta Press menjadi lembaga yang tak berkredibilitas. Tak berbeda dengan UIN Jakarta Press, kini nasib mahasiswa asal perguruan tinggi negeri pun di ambang krisis kredibilitas. Pasalnya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 49 Pasal 17 Ayat 3 Huruf D mengenai standar proses pembelajaran, memunculkan polemik baru. Pelbagai respons positif dan negatif menghujani penetapan Permendikbud ini, tak terkecuali dari kalangan mahasiswa. Satu sisi, mahasiswa menilai, peraturan ini bakal memotivasi mahasiswa lulus cepat. Sementara sisi lain, mahasiswa juga menganggap, peraturan ini akan memperkecil dimensi mahasiswa untuk berkegiatan. Ya. Konsekuensi-konsekuensi anyar ini memang lazim terjadi ketika lahirnya peraturan baru. Namun, yang pasti, jangan sampai penerapan Permendikbud ini malah menyamankan kita pada stigma intelektual individualis dan kering kredibilitas akibat dicekoki tuntutan kuliah lima tahun. Jangan pula, masa kuliah yang disunat ini kian menjauhkan kita dari tujuan pendidikan ala John Dewey, bahwa tujuan pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri. Karenanya, mahasiswa perlu bersikap. Itulah yang kita butuhkan, kawan. Pilihannya sekarang, maksimalkan jatah kuliah lima tahun atau tenggelam pada ruang apatis. (MD)
Selamat dan terus berjuang Calon Anggota LPM INSTITUT 2014
Marco Kartodikromo
“
Quote of the Month
Didik rakyat dengan pergerakan,
didik penguasa dengan perlawanan
”
10
Edisi XXXIII/September 2014
Semarak OPAK 2014
Foto & teks: Muhammad Ibnu & Thohirin Orientasi Pengenalan Akademik dan Kebangsaan (OPAK) merupakan agenda yang tak pernah absen diikuti mahasiswa baru (maba) UIN Jakarta saban tahunnya. Di situ, mahasiswa tak hanya dikenalkan dengan tetek bengek persoalan akademik kampus, namun mahasiswa juga dibekali dengan nilainilai luhur keindonesiaan. “Penanaman nilai-nilai kebangsaan bagi mahasiswa baru dalam OPAK bertujuan untuk menguatkan posisi kampus dari pelbagai ancaman ideologi radikal yang dapat menghancurkan nilai luhur Pancasila,� kata Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim. Hal itu tak berlebihan. Mengingat posisi UIN Jakarta sebagai salah satu universitas Islam negeri terbesar berada di jantung Ibu Kota. Beda era, beda cerita. Begitu pun dengan OPAK. Sejak 2001, pagelaran tahunan maba ini telah mengalami empat kali perubahan nomenklatur–OSPEK, PROPESA, OAK, dan OPAK. Tentu saja, transformasi itu juga diiringi substansi yang berbeda. Terbaring Lemah
Upacara
Berdoa
Terlambat
Yel-yel
Tustel
Sosok
Edisi XXXIII/September 2014
11
‘Spiderman’ Duta Pariwisata Kota Tangerang Nur Azizah September menjadi bulan penuh berkah bagi pria kelahiran 27 Oktober, 22 tahun silam, Fajar Fuady. Baru-baru ini, tepatnya 13 September kemarin, pria asal Banten itu resmi dinobatkan sebagai Kang wakil 1 Kota Tangerang 2014. yak pengalaman dan cerita-cerita yang tak bisa dilupakan. Salah satunya, saat semua finalis berkumpul di rumah karantina, di sana ia menemukan satu keluarga baru yang memiliki banyak potensi. Dari keluarga barunya itu Fajar banyak mendapat pengetahuan yang tak ia miliki serta bisa belajar dari kelebihan masing-masing peserta. Terpenting baginya adalah saling menghargai satu sama lain karena peserta terdiri dari berbagai umur dan lingkungan yang berbeda. Pria yang pernah menjadi delegasi dalam Interfaith Youth Summit di Bali ini percaya, apa pun masalah dan tantangannya pasti bisa dihadapi. “Kita tidak boleh menyerah sebelum berperang. Jangan takut kepada tantangan. Jalani, karena kita akan jadi pemenang,” itulah kata-kata yang mampu menyihir dirinya hingga menjadi seperti sekarang ini. Mahasiswa yang mencintai dunia bahasa ini berharap selalu bisa menolong orang lain. Jika diberi kesempatan untuk menjadi tokoh super hero ia berkeinginan menjadi Spiderman. “Saya mau seperti Spiderman. Dia sosok yang sederhana tapi selalu bisa menolong banyak orang,” tuturnya sambil melepas tawa.
Dok. Pribadi
Sebuah informasi dari media sosial membawanya berkenalan dengan ajang kontes duta pariwisata Kota Tangerang tersebut. Awalnya, ia tak tahu apa itu Kang dan Nong kota Tangerang. Rasa penasarannya membawa Fajar untuk mengunjungi laman resmi kota Tangerang. “Oh, ternyata itu pemilihan duta parwisata kota Tangerang,” batinnya kala itu. Pria penyuka tantangan ini pun segera mendaftarkan diri di ajang pencarian Duta Parwisata itu. Setelah melewati audisi dan serangkaian seleksi yang menguji wawasan serta keterampilan yang dimiliki, Fajar akhirnya berhasil menyingkirkan sekitar 170 peserta dan masuk sebagai 40 finalis Kang dan Nong Kota Tangerang. Meski hanya menjadi juara dua, raut kegembiraan tetap terpancar dari wajah mahasiswa jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum (FSH). Rasa syukur tak hentihenti ia panjatkan. “Tetap bersyukur walaupun nggak terpilih menjadi juara pertama. Yang penting sudah berusaha dengan maksimal,” ucapnya saat ditemui INSTITUT, Jumat (2/10) sore. Fajar masih ingat betul masa-masa karantina bersama 10 grand finalis Kang dan Nong kota Tangerang. Ban-
Promosi Budaya Sebelum terpilih menjadi Kang Wakil I kota Tangerang 2014, Fajar memang sudah gencar mempromosikan kota Tangerang pada temanteman kampus dan rumahnya. Tak hanya mempromosikan secara lisan, Fajar juga aktif mempublikasikan tulisan dan gambar lewat akun Twitter dan Instagram-nya. Salah satu tempat yang pernah dipromosikan Fajar adalah Bendungan Pintu Sepuluh, Pasar Baru. Di akun Twitter @fajarcrush, Fajar juga mencoba membagi informasi tentang tempat-tempat pariwisata Kota Tangerang yang patut dikunjungi. “Sebisa mungkin saya memberikan informasi tentang budaya dan pariwisata Tangerang kepada publik,” tuturnya. Pria yang memiliki tinggi badan 172 cm ini berharap generasi muda mulai rajin mengunjungi objek wisata yang memiliki nilai historis. Seperti mengunjungi Museum Benteng Heritage atau Masjid al-Adzom di Tangerang. Mahasiswa yang juga aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) FLAT ini mengajak kepada seluruh anak muda untuk melestarikan dan mempromosikan budaya pariwisata Indonesia. “Enggak susah kok untuk melestarikan budaya dan mempromosikan pariwisata di daerah kita. Yang paling mudah dengan menjaga kebersihan dan kenyamanan objek wisata,” tutupnya.
Tiga Benda Bermakna
Cerita OPAK
Oleh: Sinta Amelia (Fak. Ekonomi & Bisnis)* Sebuah benda mungkin dinilai dari kegunaannya. Namun, Orientasi Pengenalan Akademik (OPAK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 membuat beberapa benda yang kini saya miliki menjadi sesuatu yang bermakna. Beberapa benda yang saya miliki tersebut mungkin biasa saja bagi kebanyakan orang. Tetapi bagi saya, benda-benda tersebut bersejarah dan bermakna. Ada tiga benda berbeda yang bermakna bagi saya dan menyatu dalam kegiatan OPAK. Tiga benda tersebut mempunyai cerita yang berlainan, namun tetap berhubungan dengan kemeriahan pelaksanaan OPAK. Benda-benda itu adalah batu, kaleng minuman, dan novel. 1. Batu (Rasa Gugup) Sebuah batu yang saya ambil di
sekitar gerbang samping UIN mempunyai cerita tersendiri bagi saya. Sebuah batu berbentuk segitiga telah menjadi pelampiasan rasa gugup yang saya rasakan saat melakukan geladi resik upacara pembukaan OPAK Tahun 2014. Meski bukan acara utama, rasa gugup itu hadir karena saat itulah pertama kalinya saya bersama teman dalam Pasukan Pengibar Bendera UIN yang lain tampil di hadapan kurang lebih 4500 mahasiswa baru. Tidak ada waktu untuk merasa gugup, karena rasa itu hanya akan mengganggu konsentrasi. Itulah alasan, kenapa saya mencari sebuah batu untuk menyalurkan rasa gugup saya--selain untuk mengeratkan kepalan tangan. Hingga saat ini, batu itu tetap saya simpan untuk mengingatkan pengalaman yang pernah saya alami itu.
2. Kaleng (Rasa Berani) Cerita ini terjadi saat OPAK Fakultas 29 Agustus 2014 lalu. Saya mendapat sebuah hadiah minuman kaleng produk susu, setelah saya berani bertanya. Saat itu, tengah diadakan pengenalan dan penjelasan mengenai tugas dekan dan wakil dekan. Seusai menjelaskan, panitia menyilakan para peserta OPAK untuk bertanya soal hal yang belum jelas. Tak banyak yang mengangkat tangan untuk bertanya, mungkin karena takut atau ragu, seperti saya. Awalnya, hanya satu orang yang mengangkat tangan, namun karena saya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, akhirnya saya juga mengangkat tangan dan menjadi orang kedua yang bertanya, disusul satu orang teman lainnya. Untuk mengajukan pertanyaan, kami bertiga maju ke podium dan
berhadapan langsung dengan para petinggi fakultas. Rasa gugup mungkin ada, namun saya memantapkan hati untuk berani bertanya. Sesuatu yang tidak dapat saya lupakan. Setelah itu, kami para penanya diberikan hadiah oleh dekan satu kaleng minuman susu. Meski ragu, apakah saya tidak salah dengar? Itu suatu kesempatan yang langka, menurut saya pribadi sebagai mahasiswa baru. 3. Novel (Rasa Penasaran) Saya suka membaca. Saya senang dengan buku, terlebih novel. Oleh karenanya, benda inilah yang paling berkesan bagi saya. Saya mendapat novel saat acara sharing alumni berprestasi dalam OPAK Jurusan tanggal 29 Agustus 2014. Sungguh hal yang tidak pernah saya duga, karena saya mendapatkannya lantaran rasa pena-
saran yang saya tanyakan langsung kepada alumni. Saya sedikit kaget mendengar beliau menyebut nama saya agar maju ke depan untuk menerima novel karena telah bertanya. Bagi saya, inilah kejadian sekaligus benda yang paling berkesan saat OPAK tahun 2014 ini, apalagi buku adalah hadiah terbaik yang pernah diberikan. Itulah cerita mengenai ketiga benda yang bersejarah bagi saya dalam pelaksanaan OPAK. Mungkin terlihat terlalu naif atau berlebihan, namun setiap orang memiliki pandangan berbeda. Inilah pengalaman yang paling berkesan bagi saya dalam OPAK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 ini. *Penulis adalah pemenang lomba esai #CeritaOPAK
SEMPURNAKAN STATUS MAHASISWAMU DENGAN BERORGANISASI DAN MEMBACA PRODUK
LPM INSTITUT
12
Wawancara
Edisi XXXIII/September 2014
Azyumardi Azra:
UIN Jakarta Butuh Rektor Populer Tak kurang dua minggu UIN Jakarta bakal punya rektor baru. Seabrek persoalan–baik intern maupun ekstern–sudah menunggu calon orang nomor satu di kampus peradaban ini. Terlebih, UIN Jakarta kini tengah berbenah menuju kampus bertaraf internasional (WCU).
Bagaimana Anda melihat kondisi UIN Jakarta saat ini? Kondisi UIN Jakarta, menurut saya, cukup berkembang. Jumlah mahasiswa dan lulusan juga terus meningkat. Situasi kemahasiswaan juga cukup kondusif dalam menunjang proses pembelajaran. Lantas, apa tantangan terbesar bagi rektor baru UIN Jakarta nanti? Tantangan utama bagi rektor baru nanti adalah meningkatkan kualitas akademik. Menambah jumlah profesor dan Dr./Ph.D., meningkatkan kerapian dan kebersihan kampus. Dan memperkuat jaringan kerjasama dengan pihak dalam dan luar negeri. Oleh karena itu, UIN kini perlu sosok akademisi terkemuka. Bukan
hanya dikenal lingkungan perguruan tinggi Indonesia, namun juga di luar negeri. Sekaligus juga bisa menjadi semacam CEO (Chief Operating Officer) untuk mengelola UIN. Rektor baru nanti juga harus memiliki jaringan dengan berbagai pihak baik di dalam maupun luar negeri. Salah satu syarat utama menjadi WCU, UIN Jakarta harus meningkatkan publikasi ilmiah. Namun, kondisi yang terjadi malah sebaliknya. Menurut anda, langkah apa yang harus diambil rektor UIN Jakarta nanti? Soal penelitian, UIN seharusnya bisa membentuk kelompok peneliti handal yang dapat melakukan riset serius dalam menghasilkan artikel ilmiah untuk diterbitkan pada jurnal dalam dan luar negeri. Karena itu, perlu pendanaan lebih besar dan penerbitan jurnal di lingkungan UIN secara lebih teratur. UIN Jakarta kerap dikaitkan dengan isu-isu radikalisme agama. Apa tanggapan Anda? Isu ini tidak perlu dibesar-besarkan. Jika ada yang terlibat radikalisme, itu hanya satu dua orang yang sudah tidak ada kaitan langsung dengan UIN. Pimpinan UIN mendatang harus lebih waspada mengawasi berbagai lembaga. Khususnya masjid dan fasilitas lain yang kerap dimanfaatkan pihak luar– kelompok radikal. Menurut saya, UIN Jakarta tetap merupakan PTAIN progresif yang me-
madukan keislaman, keindonesiaan dan kemodernan serta menjadi benteng akademis Islam wasatiyah. Sebagian kalangan menilai kebijakan Kemendikbud soal masa percepatan studi S1 bakal berimbas pada menurunnya kualitas lulusan S1. Tak terkecuali UIN Jakarta? Banyak kebijakan Kemendikbud yang menciptakan masalah, termasuk percepatan masa studi yang tidak jelas, kewajiban menulis di jurnal, dan sebagainya. Seharusnya percepatan studi itu harus dilakukan dengan penyederhanaan kurikulum dan pemberian fasilitas Proses Belajar Mengajar (PBM) yang lebih lengkap. Karena itu, pemerintah mendatang sepatutnya melakukan reformasi pada pendidikan tinggi, pendidikan dasar dan menengah. Pendidikan tinggi di Indonesia harus kembali mendapat otonominya. Tidak dikolonisasi Kemendikbud. Jadi, harus ada dekolonisasi perguruan tinggi. Sebenarnya, ‘percepatan studi’ juga tidak jelas. Karena itu, sebaiknya penerapan kebiijakan itu ditunda dulu sampai terbentuknya kabinet baru yang sedikit banyak mengambil kebijakan baru. Termasuk dalam bidang pendidikan—dasar, menengah dan tinggi. Pasca konversi IAIN menjadi UIN, fakultas-fakultas agama kurang diminati mahasiswa baru. Seperti Dirasat dan Ushuluddin. Terbukti, dua fakultas itu membuka jalur khusus untuk menarik mahasiswa baru?
Sumber: Internet
Kepada reporter INSTITUT, Thohirin, Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Azyumardi Azra, mengatakan persoalan utama bagi rektor baru nanti yakni harus mampu meningkatkan kualitas akademik. “UIN Jakarta harus mampu meningkatkan jumlah profesor, Dr. ataupun Ph.D.,” katanya, Kamis (2/10). Tak hanya itu, rektor UIN Jakarta periode 1998-2006 ini juga menyampaikan pandangannya soal kebijakan Kemendikbud tentang masa percepatan studi mahasiswa S1. Menurutnya, Kemendikbud semestinya tidak mendikolonisasi perguruan tinggi. Namun sebaliknya, Kemendikbud harus mengembalikan otonomi perguruan tinggi.
Saya kira, hal itu tidak perlu dikhawatirkan karena itu terkait dengan persepsi masyarakat pada lapangan kerja. Namun, yang perlu dilakukan Kemenag dan pesantren adalah kembali mendirikan dan memperbanyak Madrasah Aliyah Program Khusus Keagamaan (MA PK) yang menjadi sumber asupan bagi jurusan, prodi, dan fakultas semacam itu. Sangat disesalkan penutupan MA PK oleh Kementerian Agama beberapa tahun lalu. Kenapa Anda tidak kembali mencalonkan diri menjadi rektor? Sejak selesai periode kedua sebagai
KKN Kebangsaan 2014, Tantangan Mengabdi di Garis Perbatasan 6 Agustus lalu, UIN Jakarta memberangkatkan lima orang mahasiswanya untuk mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan 2014 di Kalimantan Barat. Mereka adalah Abdul Muslih (Tafsir Hadis), Azizah Nida Ilyas (Jurnalistik), Basit Zainurrohman (Tafsir Hadis), Gita Nawangsari (Jurnalistik), dan Irfan Sanusi (Tafsir Hadis). Kelima orang tersebut bergabung dengan 545 peserta KKN lain yang berasal 34 universitas di seluruh Indonesia. Mereka mendapatkan pembekalan KKN sejak tanggal 7 hingga 10 Agustus di Markas Komando Paskhas TNI AU Pontianak. Pembekalan KKN diisi dengan berbagai macam materi. Mulai dari materi tentang pemberdayaan masyarakat perbatasan hingga pengenalan budaya suku dayak dan melayu. Selepas masa pembekalan, mereka diberangkatkan ke wilayah perbatasan Indonesia–Malaysia yang terletak di tiga kabupaten, Sanggau, Sambas, dan Bengkayang. Selama satu bulan mereka melaksanakan program KKN di wilayah-wilayah perbatasan tersebut. Program-program mereka terdiri dari pendampingan pelayanan ad-
ministrasi terpadu kecamatan, bimbingan administrasi desa, pemberantasan buta aksara, bimbingan kader posyandu, sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS), penyuluhan kesehatan, pertanian, peternakan, dan perkebunan. Program kerja mereka juga mencakup bimbingan sosial keagamaan, pembuatan penampungan air hujan, dan pembangunan infrastruktur jalan dan desa. Namun, dari seluruh program tersebut tiap kelompok KKN dapat menyesuaikan kembali program mereka dengan kebutuhan masyarakat desanya masing-masing. Kelima orang delegasi dari UIN Jakarta ini ditempatkan di desa-desa yang berbeda. Mereka dikelompokkan dengan mahasiswa dari universitas lain. Sehingga tantangan mereka
bukan hanya memberdayakan perbatasan tetapi juga menjalin kebersamaan dengan kawan-kawan yang berbeda suku, ras, dan budaya. Bukan hal yang mudah berbaur dengan masyarakat perbatasan di Kalimantan Barat. Terlebih lagi mayoritas penduduk perbatasan beragama non-muslim dan bersuku dayak. Namun, hal itu mampu membuat delegasi-delegasi UIN ini menjadi pribadi yang lebih toleran. Suka dan duka mengabdi di jalur perbatasan pun mewarnai kisah mereka. Program KKN Kebangsaan ini diadakan tiap tahun oleh Badan Kerja Sama (BKS) Perguruan Tinggi Negeri (PTN) wilayah barat dan Kementerian Pendidikan. Tahun sebelumnya, KKN Kebangsaan diadakan di Sulawesi Selatan. Bagi mahasiswa yang berminat mengikuti kegiatan KKN Kebangsaan, tahun depan akan diadakan di provinsi Riau. Akan ada lebih ban-
rektor (2006), saya sudah memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi. Meski pada pilrek tahun tersebut, ada petisi dari sejumlah anggota senat yang meminta saya maju lagi karena mereka berpendapat saya baru sekali menjadi rektor UIN (2002-2006). Sebelumnya kan saya hanya jadi rektor IAIN (19982002). Saya juga pernah diminta mencalonkan diri pada 2010, tapi saya menolak dan menyatakan, “I am already history (saya sudah menjadi sejarah).” Bagi rektor mendatang, lebih baik generasi muda yang mendapat kesempatan dan tanggung jawab untuk memajukan UIN.
Rekomendasi
yak tantangan dan pengalaman yang akan kalian dapatkan jika mengikuti KKN Kebangsaan. Untuk mengeta-
hui info lebih lanjut bisa up date terus web BKS PTN wilayah barat dan cari infonya di PPM UIN Jakarta.
Lima orang delegasi UIN Jakarta berfoto bersama Yayan Sopyan dan Eva Nugraha Ketua dan staf PPM UIN Jakarta di Pendopo Gubernur Kalimantan Barat dalam acara Malam Ramah Tamah, Sabtu (9/08).
Komunitas
Edisi XXXIII/September 2014
13
WPAP, Gaya Wedha Kotak-Kotak Muawwan Daelami Keinginan menciptakan sesuatu yang baru, menarik, dan berkarakter menjadi pemicu perupa asal Kota Cirebon, Wedha Abdul Rasyid untuk berinovasi di dunia desain grafis. Kebiasaan Wedha membuat karya seni realis, kartun, dan manga, perlahan menggerus daya penglihatan pria kelahiran 10 Maret 1951. Bosan yang hinggap di pikirannya, memaksa Wedha memutar otak untuk menciptakan karya seni grafis yang baru. Pengalamannya di dunia ilustrasi tak perlu diragukan lagi. Apalagi, 40 tahun bekerja sebagai ilustrator tentu memberinya banyak pelajaran. Sehingga, pelajaran dan pengalamannya pula yang memuluskan Wedha untuk menelurkan seni grafis gaya anyar, Wedha’s Pop Art Portrait (WPAP). Gaya WPAP merupakan cara baru Wedha dalam menggambar ilustrasi wajah. Mengingat, di usianya yang tak lagi muda, pria yang dijuluki Bapak Ilustrasi Indonesia ini kesulitan untuk menggambar bentuk yang realistis dan detail. Sebenarnya, sebelum populer dengan nama WPAP, lebih dulu, Wedha menamai gayanya dengan Foto Marak Berkotak (FMB). Namun, FMB ini tak berusia lama. Hanya delapan tahun, terhitung dari 1990 hingga 1998. Selama delapan tahun itu pula, dalam satu minggu Wedha rutin mengisi editorial picture di beberapa majalah, salah satunya Majalah Hai. Seiring intensitasnya mengisi editorial picture, karyanya pun semakin dikenal masyarakat. Namun, karena pengerjaan FMB yang masih manual, karya Wedha pun sempat menuai kritik dari salah satu perupa terkemuka Indonesia. Wedha disebut perupa akal-akalan
yang hanya melakukan facetting (pembidangan) pada sebuah karya seni. Mendengar kritikan itu, niat Wedha pun perlahan mengendur. “Saya pengennya bikin sesuatu yang baru, malah dibilang begitu. Kan jadi repot,” ungkap bapak tiga anak ini saat ditemui INSTITUT di kediamannya, Permata Puri Media, Kembangan Utara, Jakarta Barat. Kalau pembuatan FMB dianggap mudah dan disukai banyak orang– pikir Wedha–jangan-jangan karya model ini, sebelumnya pernah dibuat oleh orang lain. Hanya saja ia belum mengetahuinya. Akhirnya, daripada malu di kemudian hari, FMB pun ia tutup pada tahun 1998. “Enggak mengusik lagi, enggak mikirin lagi, pokoknya FMB saya tinggal,” katanya, Rabu (24/9). Hingga akhir 2007, nampaknya Tuhan mempunyai rencana lain. Ia dipertemukan dengan orang-orang yang berpengaruh di dunia desain grafis Indonesia. Dari pertemuan itu, tak sedikit perupa handal yang memuji dan mendorong Wedha untuk sesegera mungkin menamai gaya kubismenya (kotak-kotak) dengan nama Wedha’s style. Nama Wedha semakin melambung menyusul respons positif yang ia peroleh dari masyarakat. Ragam pujian dan dukungan tak henti terlontar dari mulut para pecinta seni foto kotak-kotak ini, tak terkecuali dari media sosial Facebook. Salah satunya, Itok Sukarso. Penggemar karya WPAP ini berinisi-
atif membentuk WPAP Community untuk mengakomodasi para penggemar karya seni rupa model ini. Sebenarnya, kata Itok, Komunitas WPAP ini lahir dari interaksi sesama penggemar gaya melukis portrait yang bergaya pop art. Komunitas ini awalnya hanya berkegiatan melalui jejaring sosial Facebook. Namun, lambat laun berkembang ke seluruh wilayah Indonesia, bahkan mancanegara Melihat respons positif tersebut, akhirnya Wedha bersama anggota komunitas WPAP menggelar pameran perdana di Mall Grand Indonesia. Walhasil, pameran itu pun dibanjiri pengunjung.
Menurut Itok, pameran perdana yang digelar pada 27 September 2010 itu sekaligus menandai peresmian komunitas WPAP. Total hinga awal tahun 2014, anggota dan penggemar WPAP mencapai lebih dari 20.000 orang. Untuk lebih mengembangkan WPAP, komunitas yang bermukim di Bintaro sektor satu ini bersosialisasi melalui event pameran karya dan aktivitas lain. Serangkaian kegiatan yang telah diselenggarakan menjadi gambaran dinamika ekspresi komunitas WPAP. Tujuan dari komunitas WPAP ini, jelas Itok, untuk menampung hasil
kreativitas anggota WPAP agar memiliki daya jual di pasaran. Dalam jangka panjang, Itok berharap para kreator WPAP bisa menjadi pengusaha WPAP mandiri. Soal komunitas, sebagai founder, Wedha memberi keleluasaan tata laksana keseharian kepada ketua komunitas di daerahnya masing-masing. Kegiatan komunitas ini, mengadakan pameran, workshop, dan kursus gratis di House of WPAP, Bintaro. “Untuk recruitment cukup mengikuti www. wpapcommunity.com atau di Facebook, ‘Belajar WPAP Yuk’,” tutupnya.
Dok. Pribadi
Universitaria
UIN Perlu Terapkan K3 Sebagai lembaga pendidikan, kampus seharusnya bisa menjadi tempat yang memberikan rasa nyaman dan aman bagi setiap orang dari keadaan bahaya. Apalagi, di dalam kampus begitu banyak aktivitas yang dilakukan mahasiswa, dosen, dan karyawan. Karenanya, untuk mengantisipasi kampus dari beragam bahaya, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta perlu menerapkan sistem tanggap darurat dalam melakukan pembangunan gedung UIN Jakarta.
Seperti yang diungkapkan dosen Kesehatan Keselamatan Kerja (K3) UIN Jakarta, Iting Shofwati dalam workshop “Sistem Tanggap Darurat Gedung Tinggi”. Acara tersebut diselenggarakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) yang bekerja sama dengan Badan Eksekutif Jurusan (BEMJ) Kesehatan Masyarakat, di Aula Madya lantai 1, Senin (23/6). Menurut Iting, tujuan perlunya menerapkan sistem tanggap darurat di kampus UIN Jakarta, agar terhindar dari berbagai bahaya. Ia mencontohkan, seperti kasus yang pernah terjadi pada Oktober 2013 lalu, Laborato-
rium Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) rusak dan berantakan akibat dihantam angin kencang. Hal itu disebabkan kurangnya perencanaan manajemen keadaan darurat yang disesuaikan dengan potensi kondisi gedung yang ada. Iting menambahkan, selain kurangnya perencanaan, UIN pun masih kurang dalam sosialisasi manajemen keadaan darurat. “Di UIN Jakarta ini terdapat 20 ribu mahasiswa, dan kurang lebih 130 orang karyawan. Tapi, nyatanya mereka belum punya ahli dalam bidang kebakaran,” paparnya. Wakil Rektor (Warek) III, Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul
Hakim, menyatakan, kampus UIN Jakarta sekarang perlu menerapkan sistem tanggap darurat. Hal ini karena gedung UIN Jakarta terdiri dari tujuh lantai. “Dulu, UIN belum memerlukan sistem tanggap darurat karena gedungnya belum banyak, jadi tidak banyak masalah,” ujarnya. Dalam melakukan penyempurnaan kemajuan UIN, kata Sudarnoto, maka perlu diadakannya penyeimbangan antara fasilitas dan perawatan gedung. “Kan semakin tahun, kebutuhan UIN semakin besar dan bertambah. Selain itu, sumber daya manusianya juga mengalami perkembangan,” tutur Sudarnoto, Senin (23/6). Senada dengan Sudarnoto, ketua panitia Rahma Chairunisa, menjelaskan, diadakannya workshop tersebut berdasarkan observasi lapangan panitia terhadap sistem K3 di UIN Jakarta. Menurutnya, sistem keselama-
Dok. Pribadi
Wakil Rektor(Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, sedang menyampaikan sambutan dalam workshop di Aula Student Center, Senin (23/6).
tan UIN Jakarta belum memenuhi standar prosedur K3. Sehingga masih berpotensi terkena bahaya. Selain itu, tujuan diselenggarakannya acara
tersebut juga untuk menyadarkan dan mensosialisasikan kepada masyarakat UIN terhadap potensi bahaya. (ADV)
Sastra
Edisi XXXIII/September 2014
PUISI
14
Doa Siswa Nakal
Cukai
Oleh: Ali Dafir*
Oleh: Ali Dafir*
Pada setiap hari aku masuk di ruang kelas Tempatnya di lantai dua di atas Di sepanjang jalan aku meihat para pemulung sedang berebutan Merebut jas lusuh di kantor-kantor kusam, atau Di sampah-sampah ber-AC Sementara di tangga yang ketinggian satu kilo meter Aku melihat huruf-huruf berserakan yang belum kita paham, dan suara hura-hura di sela-sela bangku nakal “ayo pulang, kita santai-santai atau ke pasar-pasar, Semoga guru sesat di jalan!” ada yang nyeletuk berteriak “amin”
LAGU MALAM IV
Kami adalah cukai yang menempel di pintu rumah megah kedua kaki kami dipenggal dijadikan lorong oleh jari-jari nakal Kami hanya bisa diam walau badan kami sering diangkat dari kaki yang meringkik kemudian disambung dan diangkat kembali Ciputat, 2012
Oleh: @hydesyarif*
Perempuanku, usahlah kau jaga padahal malam semakin lelap dan jam melamatkan detik. Ada yang ingin memejamkan mata adalah penyair yang terasing dari hibuk distrik. Perempuanku, lekaslah kau tidur sebab kau kelak percaya akan suatu muslihat indah: Sebaris mimpi telah dirangkai dari frasa-frasa yang berbeda dan beberapa imaji yang tak biasa di setiap larik ada sebaris diatonik menjelma partitur J. S. Bach yang selalu kuputar tatkala malam tiba. Dan kau tak perlu mangkir dari doa. Kunyanyikan “Lagu Malam III” Perempuanku, Muthianissa, tidurlah.
Madura, 2012
19 Mei 2014 *Penulis adalah mahasiswa Jurusan Akidah Filsafat
Cerpen
Kau menyebut dirimu petani. Kulitmu legam. Wajahmu kusam. Kau hidup dari kasih sayang Tuhan lewat alam. Keluargamu tumbuh besar dalam derai cinta yang alam berikan lewat kesuburannya. Kau bergantung pada irama musim. Salah satu musim yang membuatmu tersenyum lebih dari sekadar biasanya adalah musim yang menunjang tumbuh besarnya kami; anak-anak tembakau. Sejak dulu kau dan kami memang punya hubungan istimewa. Kau rawat kami dengan segenap rasa cinta. Kita seperti sepasang anak dan orang tua. Memang tak pernah kau menyebut kami anak-anakmu. Sekali pun! Tapi dari caramu merawat dan membesarkan kami dengan kerja kerasmu tiap hari, bermandi keringat, air mata harapan dan kesedihan, rasanya tak perlu kami mempertanyakan kepastian status itu. Kami tak perlu merepotkanmu dengan pertanyaan itu. Kau anggap kami sebagai anakanakmu atau bukan, itu tak penting. Kerja kerasmu telah cukup menjawab segala teka-teki sunyi itu. Kami tak perlu berebut status sebagai anak-anakmu. Kami tak perlu merepotkan istrimu untuk membagi status cintanya kepada kami dan anakmu. Cukup kami adalah anakanakmu yang rajin kau rawat dan tak perlu kau beri kami pengakuan yang sah. Kami masih ingat, di ladang ini kami tumbuh besar dalam perawatanmu. Sewaktu kami masih bibit muda, melalui serangkaian kasih sayangmu, yang katamu beginilah tradisi yang berlaku di kampung sini cara membesarkan kami semua, tiap hari kau biarkan kami disinari terik matahari agar kami tumbuh bagus. Sembari itu, kau beri kami siraman air secukupnya tiap hari agar kami tak kering.
*Penulis adalah pegiat Forum Majelis Kantiniyah
Nasib Kami, Tembakau dan Petani Kau begitu peduli terhadap kondisi kami. Matamu tak pernah sangsi untuk mengawasi perkembangan kami tiap hari. Kau pupuk kami secukupnya agar pertumbuhan kami bagus. Manakala ada di antara kami yang tumbuh kurang sehat atau terserang penyakit, kau segera mencari bantuan untuk memperoleh pengobatan. Jika kau temui seseorang hendak mengganggu kami atau tak sengaja mengakibatkan kami terganggu, kau pasti marah besar. Bahkan kau tak segansegan membikin perhitungan dengan orang itu. Begitulah kau, begitu besar pembelaanmu kepada kami. Semakin kami tambah mantap untuk tak perlu merepotkanmu untuk menjawab status kami denganmu. Kami juga masih ingat waktu itu di tempat ini manakala kau bilang kami adalah bibit-bibit masa depan. Bibitbibit emas. Kami adalah pembawa keberuntungan untuk keluargamu. Sebabnya, sambil mengucapkan itu kau tersenyum bangga sumringah. Waktu itu, kami tidak mengerti apa maksudmu. Kami hanya diam dan sesekali mengikuti irama rayuan angin ke mana ia berhembus. Dan sejauh kau merasa bahagia, kau bangga terhadap kami semua, kau perlakukan kami semua begitu istimewa. Itu sudah cukup. Tak perlu kami semua mengerti apa maksud perkataanmu waktu itu. *** Kini kami tumbuh semakin dewasa dan besar. Kini kau tak lagi perlu bersusah payah menyiram kami sebab kami sekarang sudah tak dahaga lagi. Kami sudah terbiasa bergaul dengan terik matahari. “Kami sekarang bisa tahan”, kata kami, “sudah berapa waktu bukan kanak lagi”.1 Daun-daun kami sebagian sudah menguning berkibaran menjanjikan.
Oleh: Putra Gangga*
Kami menyambut senyummu tiap pagi saat kau mengunjungi kami. Senyum, yang menurut kami tak pernah berubah, masih tampak seperti dulu meskipun garis usia dan legam akibat terik jelas di wajahmu. Dan caramu memberi kami perhatian, kerja keras dan kepedulian yang berlebihan, masih seperti beberapa bulan yang lalu. Kini kami makin menua dan siap dipanen. Kau bilang nanti pada saat yang tepat, kau akan petik daun-daun kami untuk didiamkan di rumahmu barang beberapa hari demi menjalani proses pematangan khusus. Lalu setelah itu, dalam proses yang bertahap, kau akan dengan bangga mengatakan pada pembeli, “lihatlah tembakau kami, coba resapi aromanya. Tembakau ini bakal membikin produksi rokokmu makin meroket, diminati banyak perokok dunia ini. Kau pasti suka.” Ucapan itu membuatmu tersenyum meski pembeli menanggapi geli. Pembeli hanya perlu sedikit tersenyum untuk menghargai senyum puasmu dan selebihnya banyak menilai kelemahan-kelemahan kami, tembakaumu yang siap dijual. Ucapanmu juga membuat kami mengerti akhirnya mengapa kau mencintaiku terlampau besar dan kerja keras untuk merawatku. Kami benar-benar harapan kesejahteraan keluargamu. Namun, tiba-tiba kau malah sunyi. Garis senyum di wajahmu hilang seketika. Kau sempat bersitegang dengan sang pembeli. Katamu dengan meyakinkan, “ini daun emas, bagaimana mungkin kau patok harga semurah itu?” Di wajahmu jelas tergurat marah. Harga yang diberikan pembeli tak sesuai dengan kerja keras dan kualitas tembakau ini, begitu katamu dengan tegas.
“Tembakau-tembakau musim ini tak sebagus musim lalu,” kau dengar itu dari pembeli. “Kalau kau bersikukuh dengan harga itu, jelas pabrik rokok kami akan memilih yang lain. Toh, banyak yang mau seharga itu.” Kau tampak kesal dengan sikap dan cara pembeli menghargai tembakaumu. Kami lihat kau masih hendak bersitegang. Tapi …. “Kau coba tawarkan ke pabrikpabrik rokok yang lain,” kau lihat bagaimana ekspresi sang pembeli. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dia melanjutkan, “tak akan ada yang mau menerima di atas harga itu.” Kau tak bisa berbuat banyak. Kebutuhanmu untuk segera melunasi hutang-hutang selama masa penanaman, proses panen dan sampai siap jual sekarang lebih mendesak. Terbayang untuk segera membiayai sekolah anak-anakmu dan keperluan dapur istrimu. Kini kau berada di antara pertimbangan menjual murah agar segera memperoleh duit atau mempertahankan harga yang menurutmu ideal tapi kau ragu benarkah harga tembakau sekarang sedang anjlok? Beberapa hari lalu kau sempat tersenyum. Kau bilang ada demonstrasi mahasiswa yang menuntut agar keberadaan nasib petani diperhatikan. Kau juga bilang mereka, para mahasiswa, mengatakan bahwa masa depan petani terletak pada masa depan kami. Masa depan kami adalah penentu kesejahteraan para petani. Mereka juga mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah tentang kami, tembakau, yang lebih menguntungkan pembeli daripada petani. Entahlah seterusnya kritik itu. Yang pasti, akhirnya kau memilih pertimbangan yang pertama, menjual dengan harga murah demi memperoleh duit segera meskipun tak cukup
menguntungkan bila dihitung dari kerja kerasmu dan pembiayaan lainnya. Kami begitu kasihan padamu yang telah merawat dan membesarkan kami. Kalau akhirnya kau tak memiliki kemerdekaan untuk menentukan harga kami, apalah artinya kau sebagai pemilik kami. Kau dan kami sudah dipermainkan. Kalau saja kami bisa bicara, kami akan memberimu pertimbangan bahwa sesungguhnya kaulah yang lebih berhak tentukan harga. Kami akan meyakinkanmu bahwa pabrik atau pemerintah sekalipun tak berhak begitu saja menentukan harga kami. Kalau saja kami bisa berontak, kami akan berpihak kepadamu. Kami akan melawan kebijakan-kebijakan pabrik. Kami akan bergabung dengan mahasiswa dalam irama demonstrasi yang sampai kini masih terus berlanjut menuntut pemerintah. Sayangnya, kami hanyalah anakanak tembakau yang kau rawat dan besarkan sejak bibit hingga tumbuh besar dan siap dijual. Kami hanyalah anak-anak tembakau yang sepenuhnya pasrah pada permainan harga pabrik, calo, dan pemerintah. Kau, petani, sebagai pemilik sah, sayangnya tak bisa berbuat banyak. Kau kehilangan kemerdekaanmu, hai petani tembakau. Kata-kata ini berasal dari puisi Chairil Anwar, Derai-Derai Cemara. Sebagian kata saya modifikasi untuk keperluan cerpen. 1
(Cerpen ini dihaturkan untuk masyarakat tani tembakau di tengah permainan para tengkulak dan kebijakan pemerintah)
* Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir FISIP UIN Syarif Hidayatullah dan penyuka dongeng
Seni Budaya
Edisi XXXIII/September 2014
15
Kriya dalam Seni Kontemporer Dok. Gita/INS
Gita Juniarti
Salah satu karya kriya Roslan Ahmad, Mysterius Rhytm, yang dipamerkan pada JCCB#3 di Galeri Nasional, Kamis (25/3).
“Kriiiing…Kriiiing…,” terdengar suara stik yang bergetar di dalam badan cangkir sehingga menimbulkan bunyi nyaring. Gelombang bunyi tersebut amat memekakkan telinga para pengunjung di dalam ruang pameran Galeri Nasional. “Wah, belnya bunyi,” ucap pria berkemeja biru sambil menekan kembali tombol-tombol kuning yang terhubung dengan seutas kabel listrik yang bermuara ke kotak sebesar koper-koper kecil. Lima tombol kuning itu membunyikan stik plastik yang memukul badan cangkir warna-warni. Pria muda itu tampak sibuk dengan alat yang baru ditemukannya. Siapa sangka, cangkir kecil warnawarni itu merupakan salah satu seni kriya kontemporer yang bertajuk Propitious 13. Buah karya seniman muda Indonesia, Bagus Pandega itu mampu mengintegrasikan fungsi suara dan getar stik dalam berbagai komponen elektronik. Seni keramik itu mengaplikasikan sisi modern dari sejumlah seni dengan genre keramik di Indonesia.
Selain seni cangkir warna-warni, masih ada seni kriya berbau tradisional yang menarik untuk diamati. Salah satunya keramik berbentuk wajah-wajah manusia berpahatkan tanah liat yang ditumpuk menyerupai gunung di dekat pintu masuk galeri. Tampak wajah yang memamerkan senyum bahagia, gurat sedih, hingga tersirat ekspresi ketakutan. Karya kriya milik Dadang Christanto bertajuk Java ini bersifat subjektif. Ia mengguratkan ekspresi suka dan dukanya di tanah Jawa yang menjadi tempatnya meraih eksistensinya di atas keramik-keramik tersebut. Dua dari karya yang dibahas di atas hanyalah sekelumit dari puluhan karya seniman Indonesia yang dipamerkan di Galeri Nasional. Pada pameran bertajuk Jakarta Contemporary Ceramics Biennale 3 (JCCB#3), peng-
unjung dapat melihat geliat seniman muda Indonesia dan seniman kancah internasional yang menghasilkan karya kriya kontemporer. Salah satu penggagas pameran JCCB#3, Asmudjo Jono Iriyanto, menyatakan, ide dari JCCB#3 adalah memberikan ruang baru bagi seniman keramik sebagai medium utama maupun medium pilihan dalam berkarya. “JCCB#3 juga sebagai bagian dari langkah besar untuk menjaga kekayaan tradisi keramik dan gerabah di Indonesia,” ucap pria yang akrab disapa Kang Mudjo ini, Kamis (25/9). Salah satu kriya yang menarik perhatian para pengunjung adalah Untitled karya seniman dari Thailand, Wasinburee Supranichvoraparach. Kriya berupa durian emas yang terbelah itu berdiri dengan
formal. Keinginan serupa juga disampaikan Warek II Bidang Administrasi Umum, Amsal Bakhtiar. Namun, sampai saat ini pihak KemenPAN-RB belum menyetujui usulan tersebut. “Butuh proses panjang dan melelahkan,” katanya, Kamis (25/9). Tak hanya itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Hamid Nasuhi, membenarkan minimnya staf di UIN Jakarta Press. “Sulit mencari staf yang bekerja tanpa pamrih. Siapa sih yang mau bekerja tanpa gaji?” tuturnya, Jumat (26/9). Hamid menambahkan, dulu UIN Jakarta Press pernah memiliki struktur staf yang jelas, namun karena tak ada kegiatan dan gaji, struktur itu pun tidak berjalan. Saat ini, menurutnya, hanya ia dan Idris yang aktif di UIN Jakarta Press. “Semuanya, kami yang mengerjakan mulai dari manajerial sampai pengeditan naskah,” ungkap pria yang juga aktif sebagai editor di UIN Jakarta Press itu. Sementara itu, Amsal menambahkan, tidak bisa begitu saja memberi
gaji kepada pegawai yang berada di lembaga non struktural karena aturan pemerintah yang tidak menyediakan anggaran. “Bahaya, kalau ketahuan Badan Pengawas Keuangan menggaji pegawai lembaga non struktural. Makanya, sampai saat ini saya sedang mencari solusi terbaik supaya bisa menggaji mereka,” ujarnya, Kamis (25/9).
anggun di tengah ruang pameran. Kriya tersebut bermakna durian emas yang berarti menjadi awal kebahagiaan manusia, namun akan berakhir menjadi bencana akibat keserakahan manusia. Selain Thailand, sebanyak 35 seniman dari berbagai belahan dunia juga berlomba memamerkan seni kriya mereka di Galeri Nasional. Salah satunya, seniman dari Cina, Wan Li Ya, menggagas karyanya berupa deretan keramik berwarna putih yang dibentuk sangat apik menyerupai guci kecil. Berbeda dengan seniman dari Malaysia, Shamsu Mad yang membangun genre horor untuk tembikarnya yang berbalut rantai dan cat merah kecoklatan menyerupai darah. Salah satu kurator JCCB#3, Rifky Effendy mengatakan, tampak
perbedaan karya kriya Indonesia dengan negara-negara Asia Timur, seperti Jepang, Korea, dan Hong Kong. Indonesia jarang menerapkan tradisi keramik canggih, seperti memamerkan keramik yang didampingi dengan berbagai efek dari komputer sehingga tampak seperti keramik empat dimensi. Penyebabnya dimulai dari modal kultural, teknologi, dan apresiasi masyarakat di Indonesia terhadap seni keramik masih rendah. Namun, bagi kurator kelas internasional, tanpa sentuhan efek teknologi juga menjadi berkah bagi kesenian di Indonesia. “Keasrian keramik Indonesia masih terjaga sehingga menimbulkan ciri khas tersendiri. Bangga rasanya tiap pengunjung yang datang berkata ‘ini pasti keramik karya orang Indonesia’,” tuturnya, Kamis (25/9).
Sambungan Hidup Segan ... UIN Jakarta Press saat ini, Idris Thaha, mengungkapkan ketiadaan dana membuat UIN Jakarta Press tidak beroperasi secara maksimal. Selama ini, UIN Jakarta Press hanya menjadi jembatan antara dosen dan tempat percetakan. Semisal pada 2013 kemarin, UIN Jakarta Press pernah menerima dana untuk menerbitkan 30 buku ajar dari program Wakil Rektor (Warek) I Bidang Akademik. Namun, jelas Idris, dalam program tersebut UIN Jakarta Press hanya sebagai pelaksana dan tidak mengambil keuntungan apa pun. “Bukunya pun tidak dijual,” tambah Idris, Rabu (17/9). Terkait hal itu, Warek I Bidang Akademik, Mohammad Matsna, mengatakan sejak awal UIN Jakarta Press termasuk lembaga otonom sehingga ia tidak bisa secara langsung memberikan intervensi. Meski begitu, pihaknya tetap berusaha mengajukan kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) agar UIN Jakarta Press masuk ke dalam struktur
Penerbit Kampus Lain Menurut Abdul Halim, UIN Malang Press bisa rutin menerbitkan 60 sampai 70 buku setiap tahun karena telah menjadi lembaga struktural di universitas. “Penerbitan kami bersumber dari dana DIPA universitas,” katanya ketika dihubungi via telepon. Lebih lagi, ujar Halim, keberlangsungan UIN Malang Press didukung dengan kebijakan Warek I Bidang Akademik yang meminta dosen untuk menerbitkan buku di UIN Malang Press. Selain itu, mereka juga diberi keleluasaan untuk mengikuti pameran dan melakukan pemasaran di tokotoko buku.
Surat Pembaca Saya mahasiswa Jurusan Pendidikan IPS, menyarankan kepada pengelola Auditorium Harun Nasution agar bisa memberikan regulasi dan karakteristik yang jelas terkait kegiatan yang bisa diselenggarakan di gedung tersebut. Hal ini dilakukan agar tidak memunculkan nuansa diskriminatif. 08596667xxx Saya mahasiswa Jurusan PBSI, mengeluhkan koneksi wifi yang berada di setiap fakultas. Saat kuliah berlangsung, semisal saat pagi dan siang hari, koneksi wifi malah terbatas. Padahal, saat-saat tersebut merupakan waktu yang urgen dan tepat bagi mahasiswa untuk menikmati koneksi wifi fakultas. 08978325xxx Saya mahasiswa Jurusan Kesehatan Masyarakat, meminta agar kunci loker perpustakaan FKIK segera diganti. Supaya aman saat meninggalkan tas di loker. 089653138xxx
COMING SOON! DEBAT CALON REKTOR
Pasang Iklan Sejak didirikan 30 tahun silam, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid INSTITUT, Majalah INSTITUT, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www. lpminstitut.com.
Kuliah lima tahun? Tujuh tahun aja nganggur
Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya: Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud) INSTITUT Online Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari Majalah INSTITUT sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester
Iklan layananan mahasiswa ini dipersembahkan
LPM INSTITUT
Hub: Azizah Nida Ilyas Telp: 085717019957 Twitter: @nidailys