TABLOID INSTITUT EDISI 34

Page 1

Edisi XXXIV / November 2014

Email: lpm.institut@yahoo.com / redaksi.institut@gmail.com Telepon Redaksi: 085694801232

LAPORAN UTAMA

LAPORAN KHUSUS

WAWANCARA

Statuta Baru Picu Rektor Bertindak Otoriter

Gara-gara SK Baru, HMJ Ulangi Pemilihan

Dede Rosyada: UIN Jakarta Harus Go International

Hal: 2

Terbit 16 Halaman

Pemenang yang Tak Dijagokan

Hal: 3

www.lpminstitut.com

@lpminstitut

Hal: 12

lpminstitut

Thohirin Sempat tak dijagokan, Dede Rosyada berhasil menepis keraguan publik UIN Jakarta. Kemunduran Bahtiar Effendy ditengarai menjadi faktor kemenangan Dede.

Selasa, 14 Oktober lalu nampaknya menjadi hari bersejarah bagi Dede Rosyada. Bagaimana tidak, Direktur Pendidikan Tinggi Islam (Diktis) itu dipastikan menjadi pengganti Komaruddin Hidayat sebagai orang nomor satu di Universitas Islam Negeri Syarif H i d aya t u l l a h Jakarta. Kepastian itu didapat, pasca Dede meraup suara terbanyak dalam pemilihan rektor (pilrek) UIN Jakarta pada Selasa (14/10). Dalam pemilihan tertutup yang digelar di ruang Diorama itu, Dede yang bersaing dengan d u a

nama lain—Amin Suma (eks Dekan Fakultas Syariah dan Hukum) dan Jamhari (Wakil Rektor IV Bidang Pengembangan Lembaga)—berhasil mengantongi 43 suara dari total 92 suara anggota senat. Sementara Amin dan Jamhari, masing-masing mengantongi 11 dan 38 suara. Mulanya, Dede Rosyada diprediksi bakal menemui jalan terjal lantaran nama Bahtiar Effendy—yang dinilai lebih populer—dikabarkan menjadi lawannya di pilrek. Namun, kabar itu pupus setelah nama Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Potitk (FISIP) itu tak terdaftar sebagai salah satu kontestan pilrek. “Nah, posisi ini yang sebenarnya menguntungkan Pak Dede,” kata salah satu tim pemenangan Dede di pilrek, Yusron Razak, Jumat (7/11). Menurut Yusron, ada tiga faktor utama yang mengantarkan Dede keluar sebagai rektor terpilih. Selain karena mundurnya Bahtiar, menurutnya, pengalaman Dede sebagai Direktur Diktis, juga menjadi alasan kuat eks Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan itu memenangi pilrek. Faktor lain, kata Yusron, sosok Dede lebih diterima oleh mayoritas anggota senat UIN Jakarta karena dinilai lebih akomodatif dan menerima perbedaan. Sementara Jamhari, lanjut Yusron, dipandang muda dan masih memiliki kesempatan. Soal Amin, dosen Program Studi Sosiologi itu menilai, perolehan suara yang terlalu sedikit mengganjal langkah Amin menjadi rektor UIN. Menanggapi kemenangan Dede, Amin dan Jamhari belum bersedia dimintai keterangan. Saat dihubungi melalui pesan singkat, Amin mengaku belum ada waktu untuk diwawancara. Sementara Jamhari masih enggan untuk berkomentar. “Saya kira cukup sama Pak Dede saja,” katanya saat ditemui di ruangannya, Kamis (13/11). Seperti diketahui, sebelum terpilih menjadi rektor, Dede sempat menjabat dekan FITK selama h a m -

pir dua periode (2005-2011) hingga akhirnya hijrah ke Kementerian Agama. Oleh Menteri Agama (Menag), peraih gelar doktor di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta itu diminta memimpin Diktis. Sebelumnya, atas permintaan Menag, Dede juga sempat menjadi rektor sementara di IAIN Jambi pada Maret sampai Oktober 2011. Kini, setelah mengepalai Diktis selama tiga tahun, Dede akan kembali ke UIN Jakarta dengan posisi yang berbeda. Bapak tiga anak ini bakal memimpin UIN Jakarta hingga 2019 mendatang. Menurut Yusron, niat Dede menjadi orang nomor satu di UIN Jakarta sudah ada sejak pilrek 2010. Namun, beberapa orang di internal Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)—organisasi Dede selama menjadi mahasiswa— tak memberinya restu untuk bersaing dengan Komaruddin Hidayat, Amin Suma, dan Abuddin Nata yang kala itu menjadi kontestan pilrek. “Di kalangan HMI terjadi semacam penolakan pada pak Dede untuk maju,” ucap Yusron. Namun, Dede menampik kabar mengenai dirinya yang berniat mencalonkan diri menjadi rektor sejak 2010 silam. Dede mengaku, saat itu dirinya tengah mengikuti pelatihan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) selama delapan bulan dari Februari sampai Oktober. “Jadi, tidak benar itu,” tandas Dede saat dimintai keterangan lewat pesan singkat, Minggu (16/11). Saat pilrek kemarin, primordialisme dan kemitraan sesama organisasi ekstra (oreks) menjadi isu santer di kalangan rektorat UIN Jakarta. Kabar ini juga diamini oleh salah satu anggota senat universitas, Oman Fathurrahman. “Sampai sekarang, saya mendengar kabar itu memang kental,” ujarnya kepada INSTITUT, Selasa (16/9). Namun, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora ini menolak jika kabar mengenai kuatnya primordialisme maupun kemitraan oreks menjadi penyebab nepotisme di kalangan rektorat. Menurut Oman, terpilihnya beberapa orang menjadi rektor ataupun posisi lainnya di kampus hanya kebeBersambung ke hal. 15 kol. 2


LAPORAN UTAMA

Edisi XXXIV / November 2014

Statuta Baru Picu Rektor Bertindak Otoriter

Salam Redaksi Assalamualaikum Wr. Wb Salam sejahtera bagi kita semua. Pembaca budiman, di tangan pembaca kini kami hadirkan kembali Tabloid INSTITUT untuk pembaca sekalian nikmati. Setelah proses peliputan yang panjang, kami harapkan tabloid ini mampu memenuhi hasrat keingintahuan pembaca sekalian. Dengan kesibukan pembaca sekalian, semoga tabloid ini masih memiliki tempat bagi Anda untuk dapat dibaca serta diserap segala informasi di dalamnya. Pada edisi kali ini, dengan pertarungan dialektika dalam rapat redaksi, kami mencoba menghadirkan berbagai informasi. Dalam tabloid edisi 34 ini, menarik bagi kami untuk mengawal jalannya pemilihan rektor. Dari itu, pada rubrik laporan utama, kami ulas mengenai pemilihan rektor bulan lalu. Pemilihan rektor yang tertutup itu pastinya tak dapat didatangi oleh sembarang orang. Agar pembaca budiman dapat mengetahui hasil dari pemilihan rektor tersebut, di halaman muka tabloid ini kami mengulas kembali proses pemilihannya. Selain informasi pemilihan rektor, kami pun memuat informasi mengenai pemberhentian sementara dua mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Pemberhentian sementara tersebut dinilai karena pelanggaran kode etik mahasiswa. Lebih lengkapnya dapat dibaca pada rubrik laporan khusus. Selain berita-berita di atas, sebagai hiburan dan melengkapi pengetahuan budaya pembaca sekalian, kami menghadirkan ulasan mengenai tarian Pa Gellu yang berasal dari tanah Toraja. Tak luput kami juga memuat tulisan kawan-kawan mahasiswa yang memiliki opini untuk kampus. Dalam peliputan tabloid ini, tentunya reporterreporter kami masih menemukan masalah dan kesulitan. Namun, kesulitan itu tidak membuat kami berhenti untuk menyajikan tabloid ini di hadapan pembaca sekalian. Tabloid ini adalah bentuk kerja kami sebagai sebuah lembaga pers di kampus. Juga, sebagai sarana pendekatan kami terhadap pembaca sekalian. Semoga sajian kami ini bermanfaat, selamat membaca.

KIRIM SURAT TERBUKA UNTUK REKTOR TERPILIH Silakan sampaikan gagasan, kritik, dan saran Anda untuk UIN Jakarta yang lebih baik Kirim Email Anda ke: lpm.institut@yahoo.com

Tulisan yang masuk akan diterbitkan di www.lpminstitut.com

Erika Hidayanti Selama bertahun-tahun, perangkat pembantu rektor yang terdiri dari wakil rektor, dekan, dan wakil dekan dipilih oleh senat universitas. Kini, jabatan-jabatan tersebut akan dipilih langsung oleh rektor. Hal itu sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (Permenag) No. 17 Tahun 2014 tentang Statuta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang menyatakan perangkat pembantu rektor diangkat dan diberhentikan oleh rektor. Kepala Sub-Direktorat (Kasubdit) Kelembagaan Diktis, Mastuki, mengatakan perubahan statuta terjadi karena ada peraturan baru. Sebagaimana yang tertera dalam UndangUndang (UU) No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perguruan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Ia menjelaskan, dalam PP No. 4 Tahun 2014, senat universitas memiliki fungsi penetapan dan pertimbangan pelaksanaan kebijakan akademik. Hal inilah yang menurutnya menjadi penyebab tak dilibatkannya senat dalam pemilihan perangkat rektor. Peraturan itu dibuat, kata Mastuki, untuk mengembalikan fungsi senat di bidang akademik yang diabaikan. Karena menurutnya, selama ini senat hanya sibuk mengurus hal-hal yang bersifat politis, seperti pemilihan rektor. “Peraturan ini dibuat untuk memperjelas posisi senat,” tuturnya, Selasa (11/11). Mastuki menambahkan, pemilihan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti perangkat rektor, sepenuhnya kewenangan rektor. Selain itu, perencanaan pembangunan di luar bidang akademik yang ingin dilakukan rektor pun tak perlu atas persetujuan senat. “Selain masalah akademik, senat tidak perlu ikut campur,” katanya. Lebih lagi, kata Mastuki, permainan politik rentan terjadi ketika senat memilih perangkat rektor. Menurutnya, jika tidak dekat dengan anggota senat maka akan sulit untuk menjadi calon rektor atau perangkatnya. “Kampus malah jadi civitas politika bukan civitas akademika,” katanya. Sementara itu, Wakil Rektor (Warek) II Bidang Adminstrasi Umum, Amsal Bakhtiar, berpendapat lain. Ia mengatakan, sistem pemilihan langsung oleh rektor justru menyebabkan permainan politik rentan terjadi. “Bisa saja rektor hanya memilih orang-orang terdekatnya,” tutur Amsal, Selasa (11/11). Bagi Amsal, pemilihan perangkat rektor melalui senat akan lebih demokratis. Apalagi, saat ini banyak isu mengenai kepentingan kelompok tertentu di UIN Jakarta. “Bahayanya, kalau rektor otoriter, dia hanya akan memilih pendukungnya. Jika pilihannya bagus sih enggak apa-apa, tapi kalau salah pilih bisa menurunkan kualitas UIN Jakarta,” paparnya. Mastuki pun menyadari kecenderungan rektor bersikap otoriter

Dok. Institut

akan lebih besar. Namun hal itu, kata Mastuki, dapat diatasi oleh panitia yang membantu rektor dalam proses pemilihan. “Rektor akan membentuk panitia pemilihan perangkat rektor, kalau pun mau meminta pendapat senat boleh-boleh saja,” jelasnya. Sehubungan dengan itu, Rektor UIN Jakarta terpilih, Dede Rosyada mengungkapkan belum berpikir terlalu jauh tentang pemilihan perangkat rektor. Ia akan tetap meminta pendapat para petinggi kampus terkait hal itu. Tak hanya itu, Dede juga tidak akan begitu saja memberhentikan dekan

yang sekarang sedang menjabat. “Jika dekan yang menjabat sekarang masih memenuhi persyaratan, ya bisa saja masa jabatannya dilanjutkan,” ujarnya, Kamis (5/11). Menanggapi hal itu, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Oman Fatturahman, mengatakan jika menyesuaikan masa jabatan rektor, kemungkinan dekan yang menjabat sekarang bisa diberhentikan. “Kalau rektornya semena-mena ditambah tidak ada pengawalan dari senat, secara statuta, rektor bisa melakukan itu,” tuturnya, Rabu (8/10).

Pemimpin Umum: Selamet Widodo | Sekretaris Umum: Gita Juniarti | Bendahara Umum: Dewi Maryam | Pemimpin Redaksi: Muawwan Daelami | Redaktur Cetak: Gita Nawangsari E.P | Redaktur Online: Adea Fitriana | Web Master: Abdurrohim Al Ayyubi | Pemimpin Perusahaan: Azizah Nida Ilyas | Iklan & Marketing: Nur Azizah & Ahmad Sayid Muarief | Sirkulasi & Promosi: Nurlaela | Pemimpin Litbang: Karlia Zainul | Pendidikan: Siti Ulfah Nurjanah | Riset & Dokumentasi: Anastasia Tovita & Adi Nugroho Koordinatur Liputan: Erika Hidayanti Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Adea Fitriana, Adi Nugroho, Ahmad Sayid Muarief, Anastasia Tovita, Azizah Nida Ilyas, Dewi Maryam, Erika Hidayanti, Gita Juniarti, Gita Nawangsari Estika Putri, Karlia Zainul, Maulia Nurul Hakim, Muawwan Daelami, Nur Hamidah, Nurlaela, Nur Azizah, Selamet Widodo, Siti Ulfah Nurjanah, Syah Rizal, Thohirin Fotografer & Editor: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Erika Hidayanti, Syah Rizal Karikaturis & Ilustrator: Nur Hamidah, Syah Rizal, Maulia Nurul Editor Bahasa: Maulia Nurul, Nur Hamidah, Thohirin Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat, Tangerang Selatan 15419. Telp: 0856-948-01232 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apa pun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas. ______

2


3

LAPORAN KHUSUS

Edisi XXXIV / Oktober 2014

Putusan DKA Dinilai Tak Prosedural Nur Hamidah Dalam Buku Saku Panduan Kode Etik Mahasiswa mengenai Standar Operasional Prosedur (SOP) Pemberian Sanksi Kode Etik, ada delapan tahapan yang harus dilewati sebelum vonis dijatuhkan pada pelanggar kode etik. Namun, hal berbeda dirasakan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Habibi Fahmi dan Imam Fitra, akhir September lalu. Mereka menilai, Surat Keputusan (SK) skors dari dekanat terkesan sepihak dan tak prosedural.

Dok. Institut

Dalam SK nomor 17 tahun 2014 tentang pemberian sanksi atas pelanggaran kode etik mahasiswa, Habibi Fahmi dijatuhi skors selama dua semester karena dinilai melanggar pasal 23 Kode Etik Mahasiswa tentang tindak pemalsuan. Sedangkan Imam, melanggar pasal 25 tentang tindakan pencemaran nama baik dan dikenai skors selama satu semester. Sebelum nasib nahas itu menimpa Habibi dan Imam, mereka mengaku saat itu akan mengadakan acara seminar mencegah Islamic State of Iraq and Suriah (ISIS) pada masa orientasi mahasiswa baru. Namun, karena pihak dekanat memiliki acara yang serupa, ditambah lagi tidak adanya konfirmasi dari pihak pembicara, maka Habibi selaku ketua panitia membatalkan acara tersebut. Namun, satu hari sebelum pelaksanaan, pihak undangan dari Polri menghubungi Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim, dan meminta konfirmasi atas acara yang mengatasnamakan BEM FISIP itu. Sedari awal, Sudarnoto yang mengaku tidak mengetahui acara tersebut lantas meminta maaf kepada Polri. Tidak lama kemudian, ia memanggil Habibi dan Imam serta melaporkannya pada pihak dekan FISIP. Menurut Habibi, setelah menghadap Sudarnoto, keduanya diberi waktu untuk mengajukan pembelaan. Tak menunggu lama, Habibi segera menyampaikan surat keberatan pada pihak dekanat, namun belum ada respons sampai akhirnya SK skors tu-

run. Padahal, Habibi dan Imam baru mengikuti proses pengajuan pembelaan diri. “Setelah SK turun, saya mulai pelajari buku kode etik. Sebelum SK turun, ternyata ada tahap wawancara, pengujian bukti-bukti yang bersangkutan, pengajuan hak pembelaan, dan tahap lainnya,” tutur Habibi, Rabu (12/11). Terkait dugaan pencemaran nama baik, Imam mengatakan, tidak merasa mencemarkan nama UIN. “Justru, saya ingin membersihkan nama UIN yang saat itu disebut sebagai sarang ISIS,” ujarnya, Jumat (14/11). Mengenai tahapan penurunan SK yang tidak prosedural, ketua BEMJ HI, Khairi Fuadi turut angkat bicara. Ia menyayangkan adanya tahapan yang dilangkahi oleh Dewan Kehormatan Agung (DKA). “Kalau sudah menjatuhkan hukuman berat tanpa melewati tahapan yang seharusnya, itu namanya bermasalah,” tambahnya, Jumat (14/11). Ahmad Abrori, selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan FISIP menyatakan, proses turunnya SK skors untuk Imam dan Habibi terhitung cepat. Setelah ada pemanggilan dari Sudarnoto, ia beserta jajaran dekan langsung melakukan rapat DKA. Setelah memeriksa data-data yang ada, dua mahasiswa itu dipanggil. Pemanggilan pertama, ujar Abrori, dilakukan oleh Sudarnoto. “Awalnya kita rapat dengan jurusan, lalu mereka dipanggil. Di saat itulah kita memeriksa data, seraya menerima pembelaan yang mereka lakukan,” ungkap-

nya, Jumat (14/11). Setelah pemanggilan kedua, DKA kembali menggelar rapat untuk menjatuhkan vonis hingga turunlah SK. Imam dan Habibi menyerahkan surat keberatan dan telah ditanggapi oleh pihak dekanat. “Namun, keputusan ini sudah bulat, karena berasal dari DKA. Kita hanya mengikuti prosedur yang sudah ada,” tegasnya. Mengenai hal-hal apa saja yang dikategorikan masuk dalam sanksi skors, Abrori menjawab dengan tegas bahwa segala sesuatu yang membuat nama UIN menjadi jelek, itu termasuk pencemaran nama baik dan mendapat hukuman yang berat. Seharusnya, seperti yang tertera dalam SOP, ada delapan prosedur yang harus dilewati. Tahap awal pemberian sanksi pada pelanggar berupa pemanggilan terduga, pengujian terhadap bukti, pengajuan hak membela diri, pengajuan sanksi, penjatuhan sanksi oleh dekan, lalu pengajuan pembelaan oleh mahasiswa. Setelah beberapa tahapan itu, barulah pihak dekan menerima keberatan mahasiswa dan kemudian putusan akhir dijatuhkan. Menanggapi hal ini, Sudarnoto enggan banyak bicara. Menurutnya, semua peraturan mengenai pemberian sanksi telah diatur dalam Buku Kode Etik Mahasiswa. Ia mengharuskan segala keputusan yang dibuat, sesuai dengan kode etik termasuk prosedur pemberian sanksi. “Untuk kasus di dalam fakultas, kami serahkan sepenuhnya pada pihak dekanat,” jelasnya, Kamis (14/11).

Gara-gara SK Baru, HMJ Ulangi Pemilihan Maulia Nurul Hakim

Begitu juga yang dikatakan Amzar Fadliatma, Wakil Ketua Senat Mahasiswa Universitas (SEMA-U) tentang pemilihan ketua dan wakil ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ)/ Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (DEMA-F), Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U), Senat Mahasiswa Fakultas (SEMA-F), dan SEMA-U diadakan serentak pada 25 November mendatang. Namun, beberapa OK jurusan telah menyelenggarakan pemilihan lebih dulu. “Pemilihan Umum Raya (Pemira) yang serentak bertujuan agar seluruh periode kepengurusan berlangsung bersama-sama demi mengikuti tahun periode keuangan,” kata Amzar yang juga mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) itu, Jumat (30/10). Menurut ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hilman A. Hakim, terkait dengan pemilihan dini, hasil

pemilihan tersebut tidak akan diterima di KPU pusat. Salah satu OK yang telah melakukan pemilihan adalah HMJ Bahasa dan Sastra Inggris (HMJ BSI). Ayif Amrullah, ketua HMJ BSI yang baru saja dilantik pada Juni lalu menyayangkan sosialisasi mengenai aturan pergantian kepengurusan OK yang tergolong lambat. Sedangkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART) OK baru saja disahkan pada September lalu. Padahal, kongres sudah dilaksanakan sejak bulan April. Mengacu pada AD/ART jurusan, HMJ BSI melakukan regenerasi kepengurusan pada Agustus lalu. Saat itu, mereka menyangka aturan SEMA-U mengharuskan kepengurusan HMJ dipegang oleh semester tiga. “Maka, agar sempat merasakan kepengurusan, mahasiswa semester 5 maju di HMJ walaupun hanya menjabat hanya beberapa bulan saja,” kata Ayif, Jumat (7/11).

Ia mengatakan, namanya memang belum diakui sebagai pengurus HMJ di struktur DEMA-F maupun DEMA-U. Sejak ia dilantik, ia hanya bertugas sebagai ketua pelaksana di lapangan. Sedangkan, dalam tatanan birokrasi, HMJ BSI masih menggunakan nama seniornya. Meski begitu, HMJ BSI akan tetap mengikuti pemira serentak. Enam dari tujuh jurusan di Fakultas Sains dan Teknologi (FST) juga telah menyelenggarakan pemira dini. Dengan mengacu pada AD/ART masingmasing jurusan, mereka melakukan pemilihan dengan metode tersendiri. Nur Ikhsan Yusuf, ketua DEMA FST mengatakan, aturan SEMA-U yang baru ini berbeda dengan AD/ART OK jurusan. Dalam melakukan pemilihan, jurusan tersebut terbiasa melakukan musyawarah untuk menghasilkan ketua baru. Terkait dengan jurusan yang sudah melakukan pemilihan, lanjutnya, saat itu memang belum ada me-

Foto: Nur Azizah

“Pemilihan Umum Mahasiswa diadakan satu tahun sekali dan dilaksanakan secara serentak.” Itulah Pasal 15, Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta No: UN.01/R/HK. 00.5/548/2014. Aturan itu pun memaksa beberapa Organisasi Kemahasiswaan (OK) jurusan mengulangi pemilihan.

Beberapa mahasiswa sedang menggunakan hak pilihnya pada Pemira FIDIKOM, Selasa (27/3) tahun 2013 silam.

kanisme yang jelas dari pusat. Meski begitu, jurusan-jurusan tersebut akan tetap mengikuti pemira. “Ketua yang telah terpilih akan dinaikkan kembali. Jika hasilnya tidak sesuai, mereka akan melakukan musyawarah,” katanya, Jumat (14/11). Walapun begitu, Nur Ikhsan sepakat dengan pengangkatan yang serentak demi OK UIN yang lebih baik. Himpunan mahasiswa akan lebih terkoordinasi dengan pusat. “Tidak seperti tahuntahun sebelumnya,” tambahnya. Ahmad Akmaludin, ketua HMJ Teknik Informatika yang baru saja dilantik pada Oktober lalu mengatakan, himpunannya terbiasa melakukan pemilihan ketua dengan cara

musyawarah dan voting oleh anggota aktif HMJ. Ia mengaku, saat dilantik, dirinya tidak mengetahui adanya pemira serentak yang akan dilaksanakan SEMA-U. Di pemira serentak nanti, ia telah mendaftarkan dirinya kembali menjadi calon ketua HMJ. Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim pun mengatakan, pemira yang dilakukan serentak merupakan hasil kongres dari mahasiswa perwakilan fakultas dan jurusan. Hasil tersebut telah ditetapkan oleh rektor. “AD/ART yang lama dianggap sudah tidak berlaku. Sekarang berlaku yang terbaru. Itu namanya logika hukum,” katanya, Jumat (14/11).


KAMPUSIANA

Edisi XXXIV / November 2014

4

Ragam Cara Oreks Tarik Mahasiswa Syah Rizal Kala memasuki ajaran baru, organisasi ekstra (oreks) berlomba-lomba merekrut kader baru. Beragam cara mereka lakukan demi mendapat penerus organisasi, mulai dari pendekatan personal hingga menawarkan pelatihan. Mahasiswa baru pun menjadi sasaran utama yang sangat potensial. Hal ini laiknya de javu yang berulang setiap tahun di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. barulah di sela-sela pelatihan, mahasiswa diberikan pemahaman tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Metode seperti itu terbilang efektif,” jelasnya, Selasa (11/11). Tak jauh berbeda dengan Ridho, Arif Darmawan anggota Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) juga melakukan pendekatan melalui pelatihan. Pelatihan yang dibuat seperti pelatihan pembuatan makalah. “Usai pelatihan, kita akan menghubungi mereka agar ikut pelatihan lebih intens lagi. Dari pelatihan itu kami bisa memancing psikologis mahasiswa untuk lebih tahu tentang IMM,” ujar mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), Jumat (13/11). Aditya Dwi Prayudi, salah satu mahasiswa baru Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum mengaku pernah menjadi sasaran salah satu oreks—HMI. Ia kerap didekati secara personal, mulai dari diajak ngopi bareng, futsal, sampai kajian. “Tapi saya tidak ikut bergabung dengan HMI karena saya malas ikut oreks,” ujar Adit, Jumat (7/11).

Hal yang sama juga dialami Muhammad Azmi. Ia diajak seniornya di Jurusan Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) untuk bergabung dengan PMII. “Biasanya sih senior ngajakinnya lewat nongkrong bareng,” tutur mahasiswa semester satu tersebut, Jumat (14/11)

Menanggapi hal itu, Dosen FITK, Rosidah Erowati menilai gerakangerakan perekrutan yang dilakukan oreks adalah kegiatan positif yang bertujuan untuk memperkenalkan dinamika kampus ke mahasiswa baru. “Meskipun banyak cara yang dilakukan oreks dalam perekrutan, mere-

ka harus fair dan cerdas,” tegas Ros, Kamis, (13/11). Ros menambahkan, mahasiswa baru juga harus melihat latar belakang oreks, bersikap kritis, dan memaknai kritisisme mereka sendiri. “Seperti kata Bung Karno, jas merah, jangan sekalikali melupakan sejarah,” tutup Ros.

Acara tahlilan yang diadakan Pengurus Cabang (PC) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Tebo.

Sumber: pmiitebo.blogspot.com

Seperti yang dilakukan Muhammad Afif. Untuk mendapatkan kader baru, anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini, gencar melakukan pendekatan personal kepada mahasiswa baru. “Kita melakukan pendekatan pada mahasiswa baru dengan cara face to face, semisal mengajak ngobrol dan nongkrong bareng,” ungkap mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Senin (10/11). Menurut Afif, mahasiswa baru yang berasal dari pesantren lebih mudah untuk direkrut. “Kalau ada mahasiswa dari persantren, kita tanya dari pesantren mana, diajak tahlilan, lalu kita tunjukkan kalau PMII juga ada tahlilan. Apalagi kalau bertemu mahasiswa yang suka Nadlatul Ulama, lebih mudah diajak,” jelas Afif. Lain Afif lain Ridho Anhar. Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi (SI), Fakultas Sains dan Teknologi itu menawarkan pelatihan ke mahasiswa sesuai dengan jurusan masing-masing. Misalnya, dengan memberikan pelatihan coding ke mahasiswa Jurusan SI. “Setelah kedekatan emosional terjalin,

Ranita Ajak Warga Kurangi Risiko Bencana Maulia Nurul Hakim Demi menarik minat masyarakat dalam mengurangi risiko bencana, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan (KMPLHK) Kembara Insani Ibnu Battuta (Ranita) mengadakan Sekolah Bencana Terpadu (SEBENTAR) sekaligus pesta rakyat di Desa Buni Bakti, Babelan, Bekasi. Acara ini berlangsung dari 24 hingga 26 Oktober 2014 kemarin.

Foto: KMF Kalacitra

Tujuan acara tersebut untuk memperingati Hari Pengurangan Risiko Bencana yang jatuh di setiap bulan Oktober. “Tak hanya memperingati, SEBENTAR juga menjadi wadah pembelajaran bagi masayarakat dalam mengantisipasi bencana banjir yang sering melanda daerah tersebut,” ujar ketua acara KMPLHK Ra-

mereka juga bisa melakukan antisipasi sebelum bencana tiba,” ujar pria yang akrab disapa Bledig itu, Jumat (24/10). Kegiatan di hari pertama dan kedua acara SEBENTAR, dimulai dengan Diskusi Panel bertajuk Peran Lintas Sektor dalam Upaya Pengurangan Risiko Bencana. Pembicara yang hadir di antaranya, Bahrul Alam (Perwakilan Pertamina EP), Andi Suhandi (Dinas Kesehatan Bekasi), dan Hidayatulloh (Kades Buni Bakti). Saat sesi diskusi, Ketua RT 16, Marullah Yakul menceritakan keluhannya. Menurutnya, salah satu penyebab terjadinya banjir di Desa Buni Bakti karena tak ada ruang yang cukup bagi aliran air. Seperti tak adanya tanggul pengatur debit air dan sempitnya sungai yang membuat turunnya air di musim penghujan menjadi tak terkendali. Senada dengan Yakul, perwakilan pemuda Warga Desa Buni Bakti, Babelan, Bekasi mengunjungi pesta rakyat yang diselenggarakan oleh KMPLHK Ranita, Desa Buni Bakti Lukman Minggu (26/10).

nita, Nur Hidayat. Ia menambahkan, akhir Januari kemarin, ketika banjir besar melanda Desa Buni Bakti, beberapa warganya terserang penyakit mulai dari diare hingga gatal-gatal. “Warga tidak tahu harus bagaimana jika terjadi bencana, mereka hanya mengandalkan bantuan dari relawan. Padahal, sebenarnya

Hakim, menyayangkan sikap pemerintah dalam menanggulangi bencana. Khususnya banjir yang sering melanda daerah tempat tinggalnya. “Seharusnya pemerintah mempunyai program yang jelas dalam menanggulangi bencana, agar banjir tak menjadi langganan di daerah sini,” jelasnya, Sabtu (25/10). Pada hari ketiga, digelar pasar murah yang menjual berbagai macam dagangan. Mulai dari pakaian, tas, sepatu, hingga makanan tradisional, dan malam harinya, dilanjutkan dengan pesta rakyat yang dimeriahkan oleh Sujiwo Tejo, Imas Tamborin, dan Kong Guntur. Tak hanya itu, UKM Komunitas Musik Mahasiswa (KMM) Ruang Inspirasi Atas Kegelisahan (RIAK) dan Justino N’ Friends turut serta memeriahkan acara tersebut. Sujiwo Tejo menyampaikan, jangan pernah menganggap banjir yang sering melanda daerah tersebut sebagai bencana, melainkan sabda alam. “Karena bencana itu ada bukan hanya dari faktor alam, tapi juga karena ulah manusia,” tegasnya, Minggu (26/10). Ia menambahkan, pesta rakyat yang diselenggarakan oleh KMPLHK Ranita sangat sederhana dan berkesan norak. Namun, karena kenorakannya itulah yang membuat inti dari aca-ra

itu sampai ke hati warga di sana. “Saya harap, dengan adanya acara ini, warga lebih welcome lagi dengan mahasiswamahasiswa yang berniat membantu,” tutupnya. Sementara itu, dalam sebuah ke-sempatan, Bledig menjelaskan, KMPLHK Ranita merupakan salah satu UKM yang bergerak di bidang kemanusiaan dan peduli terhadap lingku-ngan. Ia juga mengajak kepada seluruh mahasiswa UIN untuk bergabung bersama Ranita. “Jika Anda ingin berpartisipasi, bergabunglah bersama sahabat Ranita. Tapi, jika Anda berminat menjadi anggota atau penggiat lingkungan dan kemanusiaan, ikutilah Training Dasar (Tradas),” katanya. Sahabat Ranita terbuka untuk individu atau organisasi yang peduli terhadap lingkungan dan kemanusiaan. Sedangkan bagi mahasiswa yang berminat menjadi anggota, Ranita tengah mengadakan open recruitment bagi mahasiswa semester satu dan tiga dari 17 November – 19 Desember 2014. Untuk kegiatan Tradas akan dilaksanakan pada 20 Desember 2014 mendatang. Info lebih lanjut, mahasiswa bisa menghubungi 08567727876 (Berpa), 087808644121 (Lina). Atau juga bisa mengikuti Twitter @ranita_uin, dan Facebook KMPLHK Ranita, serta kunjungi www.ranita.org.


5

KOMUNITAS

Edisi XXXIV / November 2014

Jurus Lompat Jumpers Thohirin

Dok. Jumper

Meski serupa dengan olahraga parkour, Jumpers bukanlah parkour. Jumpers mencakup cabang olahraga lain, seperti taekwondo, breakdance, dan gymnastycs.

Aksi front flip (salto depan) salah satu anggota komunitas Jumpers saat latihan di taman depan Aula Madya, Rabu (8/11). Sejak didirikan 7 Januari lalu, komunitas ini mempunyai niat bergabung ke Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa) UIN Jakarta.

Rabu sore, (28/10) sekitar pukul 16.30, taman depan Aula Madya terlihat ramai. Tidak seperti hari-hari biasanya yang ramai oleh mahasiswa duduk melingkar dan sibuk berdiskusi. Sore itu, mereka yang berjumlah sekitar 20 mahasiswa, tengah asyik melompati tanaman yang mengitari taman. Diiringi alunan musik rap, mereka melompat berulangkali secara bergantian dengan teknik yang beragam. Sejak dua bulan terakhir, pada hari Senin, Rabu, dan Jumat jelang sore di taman depan Aula Madya, mereka memang memiliki kesibukan yang berbeda. Pada tiga hari itu, sekelompok mahasiswa yang berjumlah tak kurang dari 20 terlihat akan sibuk memeragakan berbagai teknik lompatan—front flip, back flip dan semacam-nya. Jumpers UIN Jakarta. Begitu mereka menamai komunitasnya. Mulanya, Ridho, bersama temannya Danar, hanya menyalurkan hobi yang sudah keduanya tekuni sejak duduk di bangku SMA. Saban sore, Ridho berlatih parkour di taman Aula Madya bersama Danar. Tak lama kemudian, Agung, Imam, Haikal, Khairul, dan Sidqin mulai bergabung. Sejak itu, mereka akhirnya sepakat untuk mendirikan sebuah komunitas. Tepatnya pada 29 Juli lalu Komunitas Jumpers resmi berdiri di UIN Jakarta. Ridho mengaku, niatnya mendiri-

kan Jumpers tak lain hanya karena hobi. Ridho sendiri belajar parkour sejak duduk di kelas dua bangku SMP. Awalnya, dulu selepas pulang sekolah, ia sering melihat orang-orang melakukan olahraga parkour. Sejak saat itu Ridho mulai tertarik masuk parkour dan berhasil menekuninya hingga lulus SMA. Sejak resmi berdiri, Jumpers cukup mendapat respons positif dari mahasiswa. Mereka yang bergabung awalnya tertarik karena melihat komunitas yang didirikan Ridho ini berlatih. “Mereka penasaran, karena enggak semua orang bisa,” ujar Ridho saat ditemui di sela-sela latihan. Kini, Jumpers yang beranggota tak kurang dari 32 orang ini didominasi laki-laki. Tiga di antaranya perempuan. Meski didirikan di UIN Jakarta, Jumpers juga menerima mahasiswa dari kampus lain yang hendak bergabung. “Kita welcome, yang mau saja,” ujar Ridho yang kini menjadi mahasiswa semester satu Bahasa dan Sastra Arab kepada INSTITUT. Model olahraga Jumpers sebenarnya bukan model olahraga baru. Olahraga ini mirip parkour. Bedanya, Jumpers mencakup bidang olahraga lain seperti beladiri, senam, dan breakdance. Layaknya parkour, push up dan hand stand adalah beberapa olah badan khsusus yang harus dilakukan bagi pemula Jumpers.

Muhammad Ibnu, S.S. Redaktur Foto LPM INSTITUT Periode 2011-2012

Alasanya, kedua olah badan itu dapat menguatkan bahu dan tangan. Menurut Ridho, dibanding kaki, tangan adalah salah satu bagian tubuh manusia yang jarang berolahraga. Oleh karena itu, tangan maupun bahu perlu dilatih secara khusus dalam Jumpers. Selain olah badan, roll (lompat harimau) adalah salah satu trik dasar yang juga harus dikuasai pemula Jumpers agar dapat menguasai trik-trik dalam olahraga Jumpers seperti front flip (salto depan), back flip (salto belakang), maupun side flip (salto sisi). “Ada enam jenis roll yang harus dikuasai pemula Jumpers,” kata Ridho. Meski baru dua bulan berdiri, Jumpers sudah dua kali tampil di luar kampus. Pada 28 Oktober lalu, Jumpers berlaga di Senayan dalam perayaan Sumpah Pemuda. Setelah itu, Jumpers berlaga di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) masih dalam perayaan yang sama. Rencananya, pada perayaan tahun baru 2015 nanti Jumpers juga bakal berlaga di Monumen Nasional dan Kota Tua. Saat ini, Ridho berharap komunitas yang digawanginya ini bisa bergabung ke Unit Kegiatan Mahasiswa Federasi Olahraga Mahasiswa (Forsa) agar bisa menunjang latihan Jumpers ke depannya. Selain itu, ia dan temantemannya juga tengah mengusahakan agar anggota Jumpers memiliki seragam latihan. “Kalo misalnya dapat tanggapan positif, kita bernaung di Forsa. Kan bisa dikasih fasilitas,” ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini.

Muhammad Fanshoby, S.Ud. Pemimpin Redaksi LPM INSTITUT Periode 2011-2012

Abdul Charis, S.Pd. Pemimpin Litbang Periode 2011-2012


SURVEI

Edisi XXXIV / November 2014

Mahasiswa Tak Rasakan Peran DEMA-U & SEMA-U Sejak menggantikan Student Government 2010 silam, penerapan sistem Senat Mahasiswa (SEMA) di UIN Jakarta belum banyak dikenal atau diketahui oleh kebanyakan mahasiswa. Seperti pemilihan ketua di tingkat jurusan, fakultas, dan universitas yang tak serempak dan sistem pemilihan yang berbeda. Penerapan sistem SEMA ternyata belum sepenuhnya diberlakukan sebagai sistem yang utuh di UIN. Sebagai sistem baru, SEMA juga tak banyak diketahui mahasiswa. Guna menilai kinerja Dewan Mahasiswa Universitas (DEMA-U) dan Senat Mahasiswa Universitas (SEMA-U) selama satu periode lalu, Divisi Litbang INSTITUT melakukan survei kepada 348 mahasiswa UIN Jakarta. Berdasarkan hasil survei 74% responden tidak mengetahui sistem senat yang ada di UIN Jakarta saat ini, hanya 26% mahasiswa yang tahu hal itu. Sementara itu, sebanyak

30% responden mengaku sudah mengetahui sistem pemilihan senat baik di jurusan, fakultas, maupun universitas. Sedangkan 70% lainnya tidak tahu. Tak hanya itu, sebanyak 81% responden juga tak mengetahui fungsi DEMA-U dan SEMA-U, hanya 19% responden yang mengetahui fungsinya. Hasil survei juga menunjukkan bahwa 47% responden tidak tahu kinerja DEMA-U dan SEMA-U, sedangkan sebanyak 33% menyatakan biasa saja, 13% tidak baik, dan 7% baik. Bukan hanya kinerja, sebanyak 86% responden juga tak mengetahui apa saja program kerja DEMA-U dan SEMA-U, hanya 14% responden yang mengaku tahu. Hasil survei ini pula menunjukkan sebagian besar responden tidak merasakan manfaat dari program kerja DEMA-U dan SEMA-U. Pada pertanyaan terbuka yang disajikan ratarata responden menjawab tidak ada manfaatnya.

COMING SOON

MAJALAH INSTITUT BACA, TULIS, LAWAN!

6


7

BERITA FOTO

Edisi XXXIV / November 2014

Aep Saeful Bahri tengah membacakan puisi dalam acara Emperan Budaya pertama yang digelar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Selasa (28/10). Emperan Budaya merupakan acara rutin yang diadakan setiap bulan oleh beberapa komunitas, organisasi, dan forum kajian yang ada di UIN Jakarta.

Salah satu adegan dalam pementasan teater Cannibalogy yang diadakan Teater Syahid UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (16/10) di Hall SC. Teater karya Benny Yohannes ini bercerita tentang dua tokoh bernama Suman(to) dan Suhar(to) yang digambarkan sebagai homo homini lopus atau manusia yang menjadi ‘serigala’ bagi sesamanya.

Pementasan Tari Ratoeh Jaroeh dalam Inaugurasi 2014 di Lapangan Parkir Student Center (SC), Sabtu (18/10). Inaugurasi merupakan agenda rutin mahasiswa baru pasca mengikuti Orientasi Pengenalan Akademik dan Kebangsaan (OPAK).

Pasang Iklan Sejak didirikan 30 tahun silam, LPM INSTITUT selalu konsisten mengembangkan perwajahan pada produk-produknya, semisal Tabloid INSTITUT, Majalah INSTITUT, dan beberapa tahun ini secara continue mempercantik portal www.lpminstitut.com. Space iklan menjadi salah satu yang terus dikembangkan LPM INSTITUT. Oleh sebab itu, yuk beriklan di ketiga produk kami! Kenapa? Ini alasannya: Tabloid INSTITUT Terbit 4000 eksemplar setiap bulan Pendistribusian Tabloid INSTITUT ke seluruh universitas besar se-Indonesia dan instansi pemerintahan (Kemenpora, Kemenag dan Kemendikbud)

Hub: Azizah Nida Ilyas Telp: 085717019957 Twitter: @nidailys

INSTITUT Online Memiliki portal online dengan sajian berita seputar kampus dan nasional terbaru dengan kunjungan 800-1000 per hari Majalah INSTITUT sajian berita bercorak investigatif dan terbit per semester


OPINI

8

Edisi XXXIV / November 2014

Editorial Bukan Harapan Utopis Pemilihan rektor (pilrek) UIN Jakarta Oktober kemarin, memang tak seriuh pemilihan presiden. Kampus senyap seolah tak terjadi apa-apa. Satu persatu elit kampus menutup diri dan meredam keran informasi. Dalam pemilihan ini, mahasiswa bagai terselimut gulita dengan kosong kepentingan. Mahasiswa cukup menjadi penonton sebuah adegan pilrek yang eksklusif. Dan menanti hasil perhitungan suara dari salah satu akun di media sosial, Twitter. Begitulah, kiranya suasana kampus saat pilrek kemarin. Mahasiswa tak lagi inklusif dalam beberapa hajatan strategis. Kerap dianggap partisan dan tak perlu ambil peran. Kekuatan sebuah sistem senat tampaknya kian meneguhkan posisi para pimpinan kampus di jabatan istimewa. Bak ingin memberi identitas sebuah perbedaan kelas. Walhasil, besaran jarak antara pimpinan kampus dan mahasiswa pun tambah melebar. Meski begitu, yang perlu kita sadari dan kawal bersama; kini kampus kita sudah memiliki rektor baru. Rektor yang akan memimpin sekaligus menjadi penentu dalam berbagai kebijakan. Soal kebijakan, tentulah menjadi harga mati bagi lestarinya kedaulatan mahasiswa di kampus ini. Bila kita mengingat kembali, dari masa ke masa, rektor UIN Jakarta— mulai dari Mahmoed Joenoes hingga yang terakhir Komaruddin Hidayat— kesemuanya, sedikit-banyak telah mengubah dan menelurkan pelbagai kebijakan. Di usia UIN yang kian meninggi, tak sedikit capaian yang sudah direngkuh. Pastilah, semua pencapaian itu merupakan nilai yang perlu dievaluasi bersama. Lebih lagi, bagi rektor anyar, Dede Rosyada. Kurang lebih dua bulan, Direktur Pendidikan Tinggi Islam itu bakal menempati posnya di ruang rektorat. Tak lama lagi juga, ia yang akan mengambil alih semua kendali kebijakan di kampus ini. Karenanya, salah satu aspek yang tengah disoroti adalah soal kabinet. Berdasarkan permenag nomor 17 tahun 2014 tentang Statuta UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dede memiliki hak prerogatif dalam menentukan siapa yang akan menduduki pos-pos wakil rektor (warek) dan jabatan lain. Pasalnya, penetapan para sosok warek di kabinet Dede nanti, juga menentukan bagaimana visi dan misi rektor baru ini terealisasi. Adanya hak istimewa tersebut, diharapkan bisa dimanfaatkan secara proporsional dan bukan atas kesamaasn warna partai. Terpilihnya rektor baru ini, pula diharapkan tak dibebani dengan hutang politik semasa pilrek. Terlebih, ini menyangkut institusi pendidikan. Sudah sepantasnya, inkubator intelektual ini menjadi persemaian para intelektual bermoral dan bukan persemaian para intelektual hipokrit yang mengedepankan kepentingan golongan di atas kepentingan bersama. Tatkala pemimpin baru terpilih, acap kali teriring harapan yang membuncah. Harapan memang ‘dagangan’ seorang pemimpin, kata Napoleon. Harapan itulah yang mendorong para pengikutnya untuk bergerak. Namun, pergerakan seorang pemimpin adalah ketika mewujudkan harapan menjadi kenyataan dan tidak utopis.

Harapan Sederhana untuk Rektor Oleh: Awang* Setelah dua periode—2006/2010 dan 2010/2014—menduduki pos rektorat, kurang lebih dua bulan ke depan, kejayaan Komaruddin Hidayat sebagai rektor UIN Jakarta bakal berakhir. Tak lama lagi, Komar akan tercatat dalam buku sejarah UIN layaknya nama-nama rektor beken sebelumnya. Jika mengingat kembali, semasa Azyumardi memimpin UIN, Komar pernah menjabat sebagai Direktur Pascasarjana UIN Jakarta hingga akhirnya, di tahun 2006 Komar memenangi kontes pemilihan rektor UIN Jakarta mengalahkan pesaingnya kala itu, Prof. Dr. Masykuri Abdillah dan Prof. Dr. Suwito. Di tangan Komar, UIN sudah banyak mengalami perubahan (nilai saja sendiri). Saya pun salah satu mahasiswa yang merasakan kepemimpinan pria yang meraih gelar doktor bidang Filsafat Barat di Middle East Techical University, Ankara, Turkey ini. Komar memang bukan sosok asing bagi UIN. Dia adalah alumnus UIN Jakarta, Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Selama menjadi mahasiswa, ia diketahui aktif di berbagai organisasi intra maupun ekstra kampus. Karena itu, Komar tentu cukup tahu dan paham bagaimana kultur di kampus Ciputat ini. Selama delapan tahun Komar menjabat rektor, saya hanya separuh jabatan “menikmati” kepemimpinan pria kelahiran Magelang ini. Selama masa baktinya, saya sering mendengar celotehan mahasiswa yang menyoal dirinya dan kepemimpinannya. Pula, tak sedikit mahasiswa yang menanyakan keberadaan sosok rektor satu ini. Dalam beberapa obrolan, salah satu pertanyaan yang seingat

saya tak pernah alpa; “Rektor kita di menjadi perburuan para anggota senat mana sih?,” kicau salah satu maha- belaka. Tapi dalam pelaksanaannya, siswa. Bagi saya, pertanyaan itu cukup dia (rektor) tak siap untuk berperan menarik lagi menggelitik. layaknya orang tua kepada anak Selain sederhana, pertanyaan ini (mahasiswa)—keberadaannya ada, juga yang memang mencerminkan ke- tapi seolah tak ada. beradaan rektor di kampus ini. Setahu Galibnya, setelah terpilih, rektor saya, tak pernah rasanya saya melihat menimbun diri dengan pengawalan rektor sekadar menengok kegiatan ma- para birokrat super ketat sehingga suhasiswa atau cuma bertegur sapa. Ja- lit untuk ditemui. Dia sibuk dengan ngankan bertegur, melihat saja jarang. posisi istimewanya. Tapi, saya harap, Mungkin, satu-satunya kesempatan rektor yang memimpin nanti, bisa mahasiswa bertemu dan bersalaman lebih bersahabat dan bersinergi denlangsung dengan rektor ketika wisuda gan mahasiswa. nanti. Menurut saya, hal ini perlu, sesekali Bak anak yang kering perhatian ayah- rektor mampir ke kelas-kelas untuk kenya. Itulah celotehan yang belakangan mudian berbincang langsung dengan terakhir meninggi di kalangan maha- mahasiswa soal akademis dan nimsiswa. Kini, kampus kita sudah memi- brung bareng mahasiswa yang aktif liki rektor anyar. Rektor yang terpilih di lembaga-lembaga kemahasiswaan. pada pertengahan Oktober lalu mela- Sebab, aktivitas semisal demikian lui sistem senat. Rektor yang juga tak bisa menjadi pijakan bagi rektor unkikuk bagi sivitas akademika UIN Ja- tuk mengetahui benar kondisi dan karta. kebutuhan mahasiswa. Bukan hanya Adalah Direktur Pendidikan Tinggi “duduk” menanti laporan dari para Islam, Dede Rosyada yang nanti akan wakil rektor. “menahkodai” kampus ini. Eks Dekan Mungkin, hal itu terbilang sangat reFakultas Tarbiyah dan Keguruan itu meh. Tapi percayalah, kehadiran dan yang bakal mengambil alih kursi rek- dukungan rektor dalam setiap kegiator Komaruddin. Namun, saya sedikit tan mahasiswa baik akademis maukhawatir, Dede akan bertindak serupa pun nonakademis, bisa memberikan laksana kacang yang lupa kulitnya. kekuatan dan kepercayaan tersendiri Saya juga khawatir, Dede silau de- bagi kami—yang selama delapan tangan jabatan yang didudukinya nanti. hun terakhir ini kering perhatian rekDia justru asyik dengan jabatan baru- tor. Apalagi, kalau tidak salah, tugas nya sebagai rektor UIN Jakarta peri- rektor adalah memimpin kampus baik ode 2015/2019. Namun, saya percaya, di bidang akademik maupun nonakanilai dan jiwa mahasiswa Dede, bisa demik. Karena itu, sudah setepatnya menjadi modal kedekatan dan jami- jika rektor nanti bisa berpadu dengan nan tersendiri bagi kita yang saat ini mahasiswa. masih mengenakan baju kebesaran mahasiswa. Terpenting, janganlah jabatan rek- *Penulis adalah mahasiswa yang ingin tor hanya menjadi posisi prestige yang bersahabat dengan rektor

Bang Peka

REDAKSI LPM INSTITUT Menerima: Tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Opini dan cerpen: 3000 karakter. Puisi 2000 karakter. Kami berhak mengedit tulisan yang dimuat tanpa mengurangi maksudnya. Tulisan dikirim melalui email: redaksi.institut@gmail.com Kirimkan keluhan Anda terkait Kampus UIN Jakarta ke nomor 085694801232. Pesan singkat Anda akan dimuat dalam Surat Pembaca Tabloid INSTITUT berikutnya.

Kalau rumah kebakaran, kamu harus belakangan menyelamatkan diri. Kalau musuh datang menyerang, kamu harus berdiri paling depan untuk menyongsongnya. Kalau panen melimpah, kamu harus belakangan makan. Itulah Pemimpin.

Cak Nun


9

OPINI

Edisi XXXIV / November 2014

Gerakan Mahasiswa dan Permasalahan Sektoral Oleh: Aditia Purnomo* Puluhan mahasiswa terlihat menunaikan ibadah aksi, mereka menolak rencana Presiden Joko Widodo yang berencana mengurangi subsidi BBM. Aksi dilakukan di depan kampus UIN Jakarta, dengan harapan para wartawan mendokumentasikan ibadah itu untuk disajikan pada khalayak bersama ibadah serupa yang dilaksanakan oleh mahasiswa se-nusantara. Sementara itu, di dalam kampus tengah dilaksanakan operasi senyap. Anggota lembaga eksekutif mahasiswa beserta para senator yang juga mahasiswa, tengah mempersiapkan hajat besar demokrasi kampus. Namun sekali lagi, persiapan dilangsungkan dengan senyap, tanpa banyak diketahui aktivis kampus apalagi mahasiswa biasa. Sedari dulu, peran mahasiswa dalam sejarah pergerakan bangsa sangatlah besar. Perubahan-perubahan terjadi di tangan mereka (perihal ini tak perlu banyak dibahas, cukup lihat di internet). Hingga sekarang, beban sejarah

tetap memaksa mahasiswa untuk bergerak, melakukan perjuangan-perjuangan nan heroik untuk menyelamatkan bangsa. Itulah yang terus dilakukan aktivisaktivis mahasiswa di UIN (selanjutnya disebut mereka). Mereka tetap lantang berteriak di jalanan, menuntut kebijakan yang berpihak pada rakyat. Dalam setiap orasinya, dengan tegas mereka menilai pemerintah selalu saja merenggut hak-hak masyarakat. Dan dalam perjuangan yang berat, mereka selalu melawan pemerintah yang tiran. Dalam hal ini, tidaklah salah jika mereka melakukan perjuangan-perjuangan untuk rakyat Indonesia. Karena, dalam setiap ospek yang dijalani mahasiswa, selalu didengungkan bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, karena itu mahasiswa dituntut perlu untuk ikut dalam perjuangan perbaikan nasib bangsa. Namun, ada hal yang terlupakan, mengingat perjuangan yang mereka lakukan, apa

yang sudah dilakukan untuk dirinya? Hal ini sebaiknya menjadi perkara serius untuk diperbincangkan. Karena, berbincang soal pergerakan, harusnya tak lepas dari persoalan sektoral. Karena persoalan sektorallah, mereka yang kebutuhannya tak terpenuhi akhirnya bergerak. Perjuangan yang dilakukan gerakan buruh tentunya takkan jauh-jauh dari kebutuhan sektoralnya, yakni upah layak. Dan isu inilah yang kemudian selalu menjadi alat pemersatu gerakan buruh. Meski begitu, bukan tidak boleh buruh bergerak karena isu BBM, hanya saja perkara sektoral mereka tak pernah lupa untuk diperjuangkan. Inilah yang kemudian tidak berjalan di kampus UIN Jakarta. Gerakan yang dilakukan aktivis mahasiswa dalam setahun terakhir tidak banyak memberikan porsi berlebih pada perjuangan akan kebutuhannya sebagai mahasiswa. Terkait karut-marut lembaga kemahasiswaan, semua terhenti sejak rektorat secara sepihak member-

lakukan sistem senat. Terkait fasilitas, kualitas dosen, dan administrasi kampus terselesaikan asal nilai yang diberikan dosen tidaklah jelek. Padahal, permasalahan-permasalahan terkait kebutuhan mahasiswa di kampus belum juga terselesaikan. Masih ada dosen-dosen yang jarang hadir di kelas, toilet yang kurang layak pakai, kelas yang proyektornya rusak, dan sebagainya. Belum lagi soal lembaga internal kampus. Persoalan dana kemahasiswaan yang entah berapa jumlahnya dan entah dipakai untuk apa dan siapa saja dan berapa sisanya sudah jarang dipermasalahkan. Padahal, saat masih dalam koridor Student Government, mahasiswa sendiri yang berembuk, membagi dana untuk siapa saja, dan nantinya pertanggungjawabannya dibahas lagi dalam rembukan. Detik demi detik terus berjalan, pemilu raya semakin dekat. Semua masih diam, melakukan operasi senyap. Dengan persiapan serba senyap, pemira

yang demokratis pun semakin utopis. Dan kawan-kawan yang melakukan ibadah aksi, telah kembali masuk ke dalam kampus. Entah apa bisa kawan-kawan yang baru kembali ini mendengar adanya operasi senyap pemira. Dan entah, apakah persoalan demokrasi di kampus adalah urusan sektoral mereka juga, atau hanya milik anggota eksekutif mahasiswa dan para senator yang juga mahasiswa. “Dan semoga, teman-teman tidak lupa jika rektor terpilih adalah direktur yang mengesahkah pedoman organisasi kemahasiswaan hingga membuat lembaga kemahasiswaan di UIN menjadi seperti di atas.” Terima kasih.

*Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir yang tak kunjung lulus

Gambaran Pemerintahan Kampus Oleh: Achmad Hifni* Hiruk pikuk aktivitas mahasiswa dalam pemerintahan kampus—Senat Mahasiswa Universitas (SEMA-U) dan Dewan Mahasiswa Universitas (DEMA-U) sebagai bukti konkrit terselenggaranya sistem lembaga pemerintahan mahasiswa (Student Government). Sejak dulu, sudah menjadi rutinitas tahunan kampus menyelenggarakan Pemilihan Umum Raya (Pemira). UIN Jakarta akan menyelenggarakannya pada 25 November mendatang. Momentum ini diharapkan menjadi lahan pembelajaran politik mahasiswa, karena sistem yang digunakan adalah representasi dari pemerintahan nasional. Sistem Pemerintahan Kampus Sistem yang digunakan di dalam pemerintahan kampus, dalam hal ini UIN Jakarta merupakan adopsi dari pemerintahan nasional. Bila sistem pemerintahan di tingkat nasional memiliki lembaga Trias Politica, yakni Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, maka demikian pula di dalam sistem pemerintahan kampus UIN Jakarta. Hanya saja sektor Yudikatif bermuara pada kebijakan Rektorat atau Dekanat bidang kemahasiswaan yang sifatnya mengadili sekaligus memberikan sanksi kepada para penyelenggara pemerintahan kampus apabila terbukti melanggar kebijakan pemerintahan. Peran Eksekutif diisi oleh DEMA-U, yang memiliki posisi strategis sebagai pemangku dan eksekutor kebijakan yang berhubungan dengan dinamika kemahasiswaan di dalam atau di luar lingkungan kampus. Sedangkan peran

Legislatif diisi oleh SEMA-U yang mempunyai peran sebagai pengontrol segala kebijakan Eksekutif. Posisi ini juga strategis, guna mengawasi jalannya roda pemerintahan serta menjaga stabilitas kebijakan agar tidak bertentangan atau melanggar etika kemahasiswaan. Dari deskripsi ini, kampus seringkali dianalogikan sebagai negara kecil (Miniatur of State) sehingga dapat dikatakan lembaga pemerintahan kampus yang dianggap representasi dari pemerintahan nasional. Artinya, segala bentuk aktivitas kenegaraan terwujudkan dalam segala bentuk aktivitas pemerintahan kemahasiswaan kampus sebagai media artikulasi realitas kehidupan bernegara. Kepentingan Sebuah kampus seharusnya bersifat dan berprinsip akademik. Yakni melestarikan berpikir objektif, mengandalkan kejujuran berdasarkan fakta, serta mencintai ilmu pengetahuan, teknologi, seni, serta nilainilai kreativitas, dan akademis lain. Namun, dalam perkembangannya kampus seringkali dijadikan ‘Miniatur Politik’. Memang pada realitanya, kampus tak bisa dilepas dari kepentingan politik. Meskipun dibingkai dengan kegiatan-kegiatan debat, orientasi, kuliah umum, seminar, dan idiom lain yang setingkat dengannya. Namun, perlu diketahui bahwa pada substansinya politik kampus sungguh berbeda dengan politik luar kampus (Politik Nasional). Meskipun pada pengejewantahan pemerintahannya antara politik kam-

pus dan politik nasional hampir sama, tetapi pada substansinya berbeda. Politik kampus adalah pembelajaran mahasiswa bagaimana mengelola pemerintahan yang baik (Good Government), serta berpartisipasi dalam sistem yang dilaksanakan kampus tersebut. Maka seharusnya tidak ada kepentingan politik praktis maupun politik pribadi dan kelompok di dalam pemerintahan kampus. Sedangkan politik nasional adalah politik praktis yang mengedepankan Who is Gets, When and How, atau kepentingan pribadi maupun kelompok yang dijadikan sebagai landasan pragmatis. Faktanya, pemerintahan di kampus selalu dijadikan perebutan kekuasaan organisasi-organisasi ekstra. Hingga melahirkan konflik-konflik baru serta berlanjut pada ketidakharmonisan antar organisasi. Hal inilah kekeliruan besar mahasiswa memahami etika dan substansi politik kampus. Sungguh sangat disayangkan, rutinitas tahunan ini yang seharusnya menjadi lahan pembelajaran politik mahasiswa, berubah menjadi kontes buruk saling menjelekkan, saling gesek-menggesek dan tak jarang menimbulkan konflik. Penyalahgunaan sistem ini merupakan bukti nyata bahwa kampus seringkali dijadikan perebutan politik praktis mahasiswa. Maka, dampaknya adalah bukan pembelajaran pemerintahan yang terjadi, melainkan pembusukan kampus. Saat ini, permasalahan kampus terus saja berkembang di tengah pasang-surutnya kondisi sosial politik negeri ini. Sungguh sangat ironis, permasalahan yang berkembang di kampus hanya

permasalahan yang sama sekali belum menunjukkan kekuatan bersama, melainkan saling unjuk kekuatan untuk memperebutkan kekuasaan kampus. Pernyataan fanatisme kelompok seringkali saya dengar dengan kata-kata “kamu bukan anggota organisasiku, maka kamu musuhku, kamu tidak sealiran denganku, maka kamu salah,” entah siapa yang pertama kali melahirkan teori fanatisme seperti ini. Yang pasti, amal buruk yang ditradisikan pada adik-adik maupun kader organisasi ekstra kampus oleh para senior merupakan tradisi buruk dan dosa-dosanya akan terus mengalir. Sehingga mahasiswa hanya menjadi robot oknum tertentu yang haus kekuasaan. Mahasiswa sebagai konstituen merupakan subjek terpenting bagi Student Government (SG) untuk diperhatikan. SG muncul untuk memberikan pelayanan, menyalurkan aspirasi, perlindungan, pembelajaran, advokasi bagi mahasiswa. Bukan menjadi arena kekuasaan yang menjadi tolak ukur keberhasilan organisasi ekstra kampus. Karena sejatinya, keberhasilan organisasi ekstra kampus adalah menciptakan kader yang berjiwa pemimpin, akademis, intelektual, serta mempunyai moralitas dan idealisme sebagai lokomotif perubahan. Asumsi Tinggal menghitung hari menuju pemira UIN Jakarta. Pertanyaannya, seberapa berhasilkah pemira tahun ini menjadi ajang pembelajaran dan demokrasi bagi mahasiswa? Maka sebagai jawaban ada beberapa kesimpulan yang dapat saya asumsikan.

Pertama, apabila penerapan sistem demokrasi dalam pemerintahan kampus berjalan dengan baik, maka pembentukan ka-rakter mahasiswa yang demokratis akan terbentuk. Itu artinya, UIN Jakarta telah berhasil menjadikan pemilihan raya tahun ini sebagai ajang pembelajaran politik mahasiswa yang damai, adil, transparan, dan tanpa konflik. Kedua, partisipasi mahasiswa dalam pemira tahun ini juga bisa dikatakan menjadi tolak ukur keberhasilan UIN Jakarta menyelenggarakan pemira secara demokratis. Sebagaimana menurut Althof (1971), bahwa partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada berbagai macam tingkatan di dalam sistem politik. Sebaliknya, jika mahasiswa apatis terhadap pemira tahun ini, maka penyelenggaraan demokrasi di UIN Jakarta dianggap gagal dan hanya menjadi formalitas tahunan yang tidak melahirkan pemimpin yang lahir dari partisipasi besar publik. Demikianlah perpolitikan kampus yang setiap tahunnya berjalan sangat dinamis. Maka, meskipun di dalam kampus terdapat rutinitas tahunan yang disebut dengan pemilihan raya, jangan sampai kultur politik lebih dominan dari pada kultur akademik. Karena jika hal itu terjadi, maka kampus yang sejatinya merupakan lembaga pembentukan para intelektual, menjadi lembaga perpolitikan berantakan. *Penulis adalah mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora

AYO! #KawalPemira


TUSTEL

Edisi XXXIV / November2014

Lentera Harapan Foto dan Teks Oleh: Laili Rahmawati Anggota KMF Kalacitra

Berangkat Pahlawan tanpa tanda jasa kiranya pantas ditujukan kepada Ely Indahyani (39), guru di Sekolah Alam Tunas Mulia, Jl. Pangkalan 2 Rt. 02/Rw. 04 Sumur Batu, Bantargebang, Bekasi. Empat tahun sudah sekolah itu berdiri untuk anak-anak pemulung. Hingga saat ini sudah ada 200 murid PAUD, SD, dan SMP. Letak sekolah ini tidak jauh dari Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) sehingga menimbulkan bau yang khas. Namun, hal tersebut tidak menyulutkan semangat mereka dalam belajar. Banyak pelajaran berharga tentang hidup yang saya terima dari kehidupan anak-anak pemulung di sana. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di sana, saya disambut dengan senyuman manis dan keceriaan anak-anak yang ha-ngat. Keramahannya membuat saya akrab dan mengantarkan saya mengenal lebih banyak lagi tentang sekolah ini. Tiga tahun sudah saya mengajar kelas 2 SD dengan 35 anak murid. Satu kilometer mengayuh sepeda ke sekolah, saya jalani dengan harapan anak didik menjadi orang sukses. Semangat mendidik yang tinggi menjadi energi positif tersendiri dan penyemangat anak-anak dalam belajar. Keikhlasan, kesabaran, dan kegigihannya tak pernah rapuh di makan waktu. Ia bagai cahaya bulan terang di tengah kegelapan malam yang sunyi. Laksana lentera yang selalu menerangi langkah menuju terang.

Menulis

Berhitung

Mengajar

Pulang

10


11

SOSOK

Edisi XXXIV / November 2014

Politik Aksi Ray Rangkuti Erika Hidayanti

Salah satu pengamat politik Indonesia ini sering muncul di media untuk mengutarakan pendapatnya. Apalagi sewaktu Pemilu, opininya yang berani diburu banyak pewarta. Namun, siapa tahu pria yang dikenal dengan nama Ray Rangkuti itu sudah menjadi aktivis sejak di bangku kuliah. Pria bernama asli Ahmad Fauzi ini merupakan salah satu aktivis di era 1990-an. Sejak dulu, ia tak pernah takut mengkritik mereka yang sedang berkuasa, baik di arena kampus maupun di luar kampus. Saat masih berstatus mahasiswa, ia aktif di berbagai forum kajian. Antara lain menjadi anggota dalam Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci) dan salah satu pendiri Lingkar Studi Aksi Demokrasi (LS ADI). Menurutnya, pada rezim orde baru organisasi seperti ini lebih bebas ketimbang organisasi formal yang diawasi sangat ketat oleh pemerintah. Melalui forum-forum kajian itulah Ray akhirnya menjadi aktivis. Ia rajin mengkaji isu-isu politik hingga ekonomi dan melakukan aksi bila mengetahui ada sesuatu yang salah. “Ya, seminggu sekali itu pasti saja saya demo,” ujar pria kelahiran 1969 itu, Minggu (5/10). Pada 1997, Ray juga terlibat dalam pendirian Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP). Meski seharusnya organisasi ini bebas melakukan kegiatan, namun ketika itu aktivitasnya justru dipantau oleh militer orde baru. Ray pun semakin merasa pemerintah saat itu terlalu berkuasa dan mengekang hak publik.

Kegelisahan itu kemudian mendorongnya untuk semakin sering melakukan aksi. Hingga pada tahun 1998, ia terlibat dalam aksi penggulingan rezim orde baru. Ia bahkan memimpin ribuan mahasiswa untuk pertama kalinya menduduki gedung DPR-MPR. “Jika anda menjadi mahasiswa IAIN saat itu pasti akan tergerak untuk melakukan perubahan. Kalau tidak seperti itu, saya rasa anda hanya numpang belajar saja di IAIN,” tutur alumni Jurusan Aqidah dan Filsafat, IAIN Jakarta ini. Keruntuhan rezim orde baru tahun 1998 tak lantas membuat perjuangan Ray berhenti. Ia terus terlibat dalam berbagai kegiatan untuk mengawasi jalannya demokrasi di negara ini. Terbukti pada tahun 1999, ia kembali terlibat memantau Pemilu bersama KIPP. Nampaknya, semenjak saat itu Pemilu menjadi arena utama bagi Ray. Bahkan, sampai dengan Pemilu 2014 lalu, Ray masih terus setia memantau jalannya pesta demokrasi tersebut. Ia juga sempat mendaftar menjadi anggota Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu). Namun, karena berbagai hal ia tak lolos. Meski kehidupannya begitu dekat dengan politik, ia tidak pernah tertarik untuk bergabung dengan partai politik.

Sumber: Internet

Ia cukup puas dengan menjadi aktivis dan pengamat politik. Baginya, terjun ke dunia politik bukan berarti harus masuk partai politik. Hingga saat ini, Ray mengaku menjadi aktivis itu rentan terhadap berbagai gangguan. Tak hanya teror yang mengancam namun berbagai sogokan pun sering ditawarkan kepadanya. Namun, ia tak pernah gentar dan tergiur dengan sogokan tersebut. Bagi Ray, menjadi aktivis dan pengamat politik adalah caranya men-

jalankan peran sebagai masyarakat sipil yang baik. Ia juga menilai aksi demonstrasi dengan argumen yang tepat adalah tindakan yang benar. “Berapa banyak aksi yang kau lakukan itu menunjukkan juga berapa banyak ilmu yang kau punya,” kata pria asal Mandailing Natal itu. Identitas Ganda Ada cerita unik ketika ia mendaftar menjadi anggota Banwaslu. Saat itu, beberapa anggota dewan menanyakan

mengapa ia mendaftar dengan nama Ahmad Fauzi bukannya Ray Rangkuti. Orang-orang seakan ragu akan identitasnya. Padahal, Ahmad Fauzi adalah namanya yang asli. “Ahmad Fauzi itu nama asli yang diberikan oleh orang tua saya. Rangkuti itu nama marga karena kepanjangan akhirnya disingkat jadi Ray, namun akhirnya orang-orang malah jadi memanggil saya Ray Rangkuti,” papar Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) itu.

Mahasiswa Difabel Impikan Gelar Sarjana

Foto: Maulia/Ins

Maulia Nurul Hakim Gelar sarjana menjadi sebuah cita-cita bagi mahasiswa yang memiliki keterbatasan pengelihatan kelahiran Bandar Lampung, 11 September 1991, Juanda Saputra. Dengan bangga, kini Juanda telah memasuki tahun keempat berkuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Keberuntungan memihak kepada Juanda sejak ia mendaftarkan diri, melakukan ujian, hingga ia diterima sebagai mahasiswa di UIN tahun 2011. Setelah proses yang panjang di kemahasiswaan kampus, ia pun diringankan dalam hal biaya dan diberi tempat tinggal di Mahad Ali. Rasa syukur tak henti-hentinya ia panjatkan, karena kemudahan yang terus menyertainya. “Saya dari kampung hanya membawa uang satu juta saja. Padahal, untuk biaya masuk (kuliah) memerlukan biaya empat juta,” ujarnya, Selasa (11/11). Empat juta tersebut termasuk biaya kuliah, kontrakan dan lain-lain. Juanda melakukan negosiasi dengan pihak rektorat dan berhasil. Hal ini tercapai berkat keinginannya yang besar dalam menuntut ilmu. Juanda bisa membutikan kegigihannya dalam belajar. Dengan bantuan alat perekam, ia merekam penjelasan dosen selama di kelas, selepas itu ia bisa mengulanginya di rumah. Notebook miliknya pun telah diatur dengan bantuan suara supaya Juanda tetap bisa belajar dan mengerjakan tugas sendiri. Bahkan, dukungan dari dosen pun Juanda peroleh hampir di setiap mata kuliah. “Alhamdulillah, kalau di Fakultas Tarbiyah dosennya baik-

baik,” ujar Juanda ketika ditemui di pelataran FITK. Ia sering kali diberikan pilihan saat ujian dengan lisan atau take home. Bukan hanya belajar di bangku kuliah, namun ia juga menghidupi kebutuhan dirinya tanpa pemasukan dari orang tua. Terbiasa dengan kemandirian, Juanda memang sudah mencari nafkah sejak di bangku sekolah dasar. Berkeliling dari satu gedung fakultas ke fakultas lain, Juanda juga menjajakan makanan ringan selepas kuliah seperti cheese stick dan lanting. Dengan untung yang ala kadarnya, ia tak bosan-bosan menawarkan barang dagangan kepada siapa saja yang ia temui. “Di mana kaki berpijak, ya di situ saya berjualan,” ujarnya sambil tersenyum. Juanda tidak mempermasalahkan untung yang ia dapat setiap harinya, walaupun menjual makanan ringan memperoleh hasil yang sedikit. Jika dihitung, laba penjualan Juanda sebesar seribu per bungkus. Namun, pendapatan tersebut harus dikurangi dengan uang makan, ongkos, keperluan lain hingga membeli modal barang dagangan untuk esok hari. Berbeda ketika di bangku SMA, ia memperoleh banyak laba dari hasil penjualan obat herbal seperti minyak

zaitun, habatussauda, dan sari kurma. Tetapi, konsumen obat herbal tidak sebanyak makanan ringan. Meski kini ia tinggal bersama kedua orang tuanya, tidak berarti Juanda bisa hidup enak. Kemandirian telah terpatri dalam dirinya agar ia tidak membebani siapapun. Selain berjualan, Juanda pun memiliki kemampuan memijat sejak kelas dua di Sekolah Dasar. Tanpa memasang tarif, ia melakukan usaha jasa dengan membuka praktik di rumah hingga berkeliling kampung. Ia merasa percaya diri untuk memperoleh gelar sarjana. Alasannya, Juanda ingin menjadi satu-satunya sarjana di keluarga dari tujuh bersaudara. Keterbatasan memang tidak menjadi penghalang pria ini untuk berkarya. Ia berkali-kali menulis cerpen untuk kemudian diubah menjadi naskah drama meski tulisan tersebut tidak dipublikasi di mana pun. Mahasiswa yang aktif nge-band saat SMA ini berprinsip pada kekuatan, kesabaran, dan kegigihan untuk tidak menyerah dengan keadaan. “Untuk teman-teman yang punya penglihatan normal jangan lupa disyukuri. Saya saja bisa belajar sampai tahap ini, masa kalian enggak bisa,” pesan mahasiswa yang hobi bermain gitar ini.


WAWANCARA

12

Edisi XXXIV / November 2014

Dede Rosyada:

UIN Jakarta Harus Go International Setelah dinyatakan sebagai rektor terpilih UIN Jakarta pada 14 Oktober lalu, nama Dede Rosyada mulai menjadi sorotan segenap sivitas akademika UIN Jakarta. Visi misi yang diusungnya untuk memajukan UIN Jakarta pun tak luput menjadi perhatian. Soal visi misi, Dede menyampaikan dalam masa jabatannya ia akan fokus pada internasionalisasi kampus. “Intinya ialah memperluas jaringan. Bukan jaringan rektor, namun jaringan dosen-dosen,� ujar pria kelahiran Ciamis, 5 Oktober 1957 ini saat ditemui reporter INSTITUT, Nur Hamidah, Kamis (6/11). Berikut petikan wawancaranya. Kalau melihat visi rektor sebelumnya yang lebih fokus pada integrasi keilmuan, lantas visi apa yang Anda fokuskan? UIN Jakarta tidak perlu lagi fokus pada integrasi keilmuan. Saya rasa, integrasi keilmuan sudah cukup di tingkat wacana. Adapun yang akan dilakukan nanti adalah merumuskan kurikulum terintegrasi. Selebihnya, saat ini yang terpenting adalah membuka channel ke luar negeri agar UIN Jakarta diakui oleh dunia. Dengan begitu, alumni UIN akan lebih mudah bersaing di kancah internasional. Pembahasan seputar WCU selalu menjadi bahan perbincangan. Sudah sampai tahap mana soal itu? Sebenarnya, yang disebut WCU merupakan universitas yang masuk dalam peringkat 500 terbaik dunia. Namun, secara universal, standar universitas

terbaik itu tidak ada. Kriteria penilaian selalu bergantung pada lembaga penyelenggara. Misalnya Times Higher Education Supplement (THES), salah satu lembaga yang mengadakan pemeringkatan universitas bertaraf internasional. Bila berdasarkan penilaian THES, terdapat tiga kriteria yang harus dimiliki universitas bertaraf WCU. Kriteria pertama, banyaknya jumlah tulisan dosen yang dikutip para akademisi dunia. Untuk itu, pihak kampus akan mendukung para dosen untuk melakukan penelitian dan memublikasikannya di jurnal ilmiah internasional bereputasi. Kriteria kedua, banyaknya dosen yang mengajar di perguruan tinggi di luar negeri. Kriteria terakhir, banyaknya mahasiswa luar negeri yang kuliah di UIN. Saat tiga kriteria itu terpenuhi, maka rancangan world class akan tercapai. Lantas, UIN akan membuka jaringan di negara mana saja? Demi mewujudkan hal itu, saya akan

berusaha untuk membuka channel di Timur Tengah, Aljazair, Maroko, Australia, dan Amerika dengan mengadakan program kunjungan profesor-profesor UIN Jakarta ke perguruan tinggi

luar negeri untuk mengajar selama beberapa waktu.

Langkah apa saja yang akan dilakukan UIN untuk mewujudkan itu semua? Pertama, saya akan fokus pada upaya peningkatan partisipasi dosen dalam publikasi ilmiah di kancah internasional. Saya akan mendorong dosen untuk berpartisipasi aktif dalam memublikasikan karya ilmiah mereka melalui jurnal internasional bereputasi. Ini bertujuan untuk membuka channel bagi dosen agar dapat ikut serta dalam forum-forum akademik internasional. Kedua, setelah mempunyai jaringan di luar negeri, para dosen di UIN Jakarta diproyeksikan dapat melakukan kunjungan ke perguruan tinggi luar negeri untuk mengajar selama beberapa waktu. Namun, untuk mencapai hal itu, diawali dengan mendorong dosen agar melakukan penelitian. Pada saat Anda menjabat sebagai Dirjen Diktis, ada program 1000 Doktor. Apa maksud dari program itu? Apakah itu bagian dari langkah UIN menuju internasionalisasi? Program 1000 doktor adalah program Kementerian Agama (Kemenag) yang

di dalamnya juga termasuk UIN Jakarta. Program ini merupakan upaya memberikan kesempatan bagi dosendosen PTAIN yang belum berjenjang strata 3 (S3), untuk kuliah kembali di dalam atau luar negeri, dengan biaya dari pemerintah. Pada tahun 2025, saya mempunyai target minimal 60% dari seluruh dosen di PTAIN, harus sudah memiliki gelar Doktor. Diawali tahun 2015 nanti, kami akan mendorong dosen-dosen UIN Jakarta untuk mengambil S3 di dalam dan luar negeri. Menurut Anda, apa yang perlu dibenahi dari masa kepemimpinan rektor sebelumnya? Rektor sebelumnya sudah banyak melakukan langkah progresif dan menghasilkan karya besar. Tapi, yang masih harus dibenahi adalah pemberdayaan dosen. Termasuk di dalamnya penelitian, konferensi, dan kunjungan dosen ke universitas di luar negeri untuk mengajar selama beberapa waktu. Mobilitas dosen-dosen masih berkutat di Ciputat, Karawang, dan Bekasi. Kampus akan membuka akses mereka ke luar negeri dengan fasilitas dari pemerintah. Dengan begitu, pengalaman akademik mereka meningkat dan mahasiwa juga akan diuntungkan.

INFO GRAFIS

Jadwal Pemilihan Rektor UIN Jakarta 2014

l

Info Grafis: Syah Rizal


13

RESENSI

Edisi XXXIV / November 2014

Obsesi Gadis Si Penggila Buku Maulia Nurul Hakim

Aksi Nazi membasmi intelektual berpaham komunis dan yahudi membuat seorang gadis berumur 9 tahun, Liesel Meminger, berpisah dengan orang tuanya yang menganut paham komunis. Partai Nazi yang berkuasa pada saat itu, ingin memberantas “penyakit” yang menjangkiti Jerman selama 20 tahun demi sebuah kejayaan. Sebelum akhirnya Liesel dititipkan oleh ibunya kepada sepasang suami istri di Himmel, kota kecil di Molching, ia menyadari bahwa ibunya telah menyelamatkannya dan membiarkan dirinya diasuh oleh orang lain. Namun dalam perjalanan menuju rumah orang tua asuhnya itu, Liesel terpukul atas kematian adiknya, Werner. Setelah dua hari kematian Werner, Liesel mengambil sebuah buku hitam yang ia temukan di sekitar pemakaman adiknya. Ia selalu mendekap buku itu ketika tidur demi mengenang Werner. Liesel dititipkan di rumah orang tua asuh Hans Hubermann (Geoffrey Rush) dan Rosa Hubermann (Emily Watson). Tipikal ayah angkat yang lembut, berbeda dengan karakter ibu angkatnya yang kasar. Selama pengasuhan keluarga Hubermann, Liesel diajarkan bagaimana cara membaca sebuah buku. Buku yang ia ambil dari makam adiknya pun menjadi buku pertama yang ia pelajari. Sejak saat itulah, akhirnya Liesel terobsesi untuk selalu membaca. Ketika parade revolusi sosial, seluruh penduduk kota berkumpul untuk membakar buku-buku komunis dan yahudi. Revolusi itu bertujuan membasmi intelektual yang berasal dari

musuh Jerman saat itu. Selepas parade berakhir, Liesel menemukan satu buku yang utuh. Buku yang berjudul “The Invisible Man” itu Liesel pelajari seperti buku-buku miliknya yang lain. Kecintaannya pada buku kian bertambah sejak Max Vandenburg (Ben Schnetzer), pemuda beragama Yahudi, datang dan bersembunyi di rumahnya. Pemuda ini merupakan anak seorang pria yang pernah menyelamatkan ayah angkat Liesel saat Perang Dunia Pertama. Namun, keberadaan Max di rumah tersebut menjadi ancaman tersendiri bagi keluarga Hans. Demi keamanan keluarga Hans, Max pun rela tinggal di ruang bawah tanah tempat Liesel belajar. Kedekatan Max dengan Liesel membuat gadis yang hobi bercerita ini semakin cerdas, karena Max memberikan pemahaman tentang buku-buku yang Liesel baca. Melihat minat baca Liesel yang tinggi, Max pun menghadiahinya sebuah buku catatan kosong agar Liesel bisa berkarya setelah membaca banyak buku. Namun, sangat disayangkan, karena buku itulah kemudian Rudy Steiner (Nico Liersch), teman dekat Liesel mengetahui keberadaan Max di rumahnya. Ketika Liesel mengantarkan laundry ke rumah walikota, Tn. Johann, Liesel

diberi kesempatan oleh Ny. Ilsa—istri walikota—untuk memasuki perpustakaan pribadinya. Liesel dipersilakan untuk membaca buku yang tersedia di dalamnya. Namun, kesempatan itu tak berlangsung lama karena keberadaan Liesel tak disukai oleh Tn. Johann. Kesempatan Liesel membaca bukubuku di perpustakaan milik walikota pun akhirnya sirna. Meski begitu, hal tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk terus membaca. Bahkan, ia nekat memasuki ruang perpustakaan melalui jendela untuk kemudian mengambil sebuah buku. Sebagai teman dekat, Rudy berkalikali mengingatkan agar Liesel tidak mengambil buku di perpustakaan. Namun, karena “kegilaan” Liesel pada membaca, ia pun tidak menghiraukan peringatan temannya itu. Akhirnya, Rudy menjuluki Liesel sebagai si pencuri buku. Meski demikian, Liesel tetap menyanggah tuduhan Rudy. Ia mengaku hanya meminjam buku, bukan mencuri. Film yang diangkat dari novel karya Markus Zusak dengan judul yang sama ini, menampilkan adegan terakhir “Malaikat Kematian” yang berbicara tentang kehidupan Liesel dan kematiannya di umur 90 tahun.

“Malaikat Kematian” tersebut berkata bahwa ia telah melihat banyak hal baik dan buruk yang terjadi selama bertahun-tahun. Tetapi, Liesel adalah satu dari sedikit orang yang membuatnya kagum.

val Perci nfelt, n a i r :B Rose dara : Karen ncato a r t u S 13 Bla user Ken ember 20 Prod v n o :8N erma l Rilis Inggris, J ar a g g : Tan a ma, W s : Dra Baha e Genr

REKOMENDASI

Dok. Maroon Institute

Liburan Sambil Belajar Bersama Maroon Institute

Peserta Holiday Program periode ke-2 selepas praktik interaktif di Tanah Lot, Bali pada Januari - Februari 2014.

Bosan dengan liburan yang begitubegitu saja? Ingin liburan Anda menjadi lebih menarik? Maroon Institute menawarkan konsep liburan yang tak biasa. Bersama Maroon Institute Anda akan diajak berlibur sekaligus mencari ilmu. Kali ini, Maroon Institute menawarkan Holiday Program, program belajar bahasa Inggris sekaligus berlibur di Kampung Inggris, Pare, Jawa Timur. Program ini berlangsung selama satu bulan, mulai dari 19 Januari hingga 19 Februari 2015. Selama itu, Anda akan mendapatkan program kursus unggulan seperti speaking, grammar, pronouncation, dan free Test of Foreign Language (TOEFL). Selain itu, Anda akan tinggal di camp dengan program english area dan seorang tutor yang membimbing selepas salat subuh dan magrib. Berbeda dengan program kelas yang diadakan pada Senin-Jumat, program di camp berjalan setiap harinya. Full english area pun membuat Anda semakin lancar berbahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Hanya dengan Rp2 juta Anda bisa mendapatkan liburan yang tak terlupakan. Biaya ini sudah termasuk

asrama, tiket pulang pergi Jakarta – Pare dan Pare – Bali, hotel di Bali, serta biaya kursus selama sebulan. Sementara untuk biaya makan di Pare, hanya berkisar Rp5 ribu sampai Rp20 ribu saja. Tak hanya sekadar liburan, peserta nantinya akan melakukan praktik berbicara langsung dengan orang asing di Bali. Selama di Bali, peserta akan diajak menikmati keindahan Pantai Kuta dan Pantai Sanur. Anda bisa langsung menyaksikan keindahan sunrise dari Pantai Sanur yang sudah mendunia. Tak berhenti pada wisata pantai, Anda juga akan diajak berkeliling Bali untuk berburu oleh-oleh ke Joger, bersahabat dengan satwa di Monkey Forest, menikmati segarnya Danau Bedugul, dan lain sebagainya. Anda pun tak perlu khawatir untuk keperluan akomodasi di sana karena akan menginap di hotel serta dipandu oleh tour guide. Program kursus seperti ini biasa diadakan Maroon Institute setiap libur semester genap dan ganjil. Sungguh waktu yang tepat untuk merasakan pengalaman liburan sambil belajar. (Erika Hidayanti)


SASTRA

14

Edisi XXXIV / November 2014

Wajah dalam Baliho Oleh: Ayu Alfiah Jonas*

Apakah kau tak mendesir? Dulu, kau pernah membuat banjir di sungai kecilnya? Sungai yang tak begitu panjang di bawah usus dan lambungnya, di atas paha dan kakinya. Wanita yang kau puja sekaligus kau hina.

CERPEN

*** Hidupnya baik-baik saja. Sebelum sekarang tentunya. Sebelum kau datang dengan cara yang berbeda. Hidupnya masih baik-baik saja. Sebelum wajahmu terpampang di manamana. Sebelum suaramu menggema di setiap sudut yang disinggahinya. Hidupnya kini tak baik-baik saja. Setelah kau hadir lagi dengan bentuk yang sungguh tak diinginkannya. Setelah kau menjelma menjadi makhluk yang hampir dibencinya. Hidupnya memang sudah tak baik-baik saja. Setelah ia sadar kenangan telah memudarkan segalanya. Setelah kau menganggapnya sudah tak ada. Semenjak ramai pemilihan umum, ia menjadi begitu was-was. Ia mengenal wajah dalam baliho di depan gang dan wajah dalam poster-poster yang ditempel di pangkalan ojek. Ia mengenal lebih dari sekadar bentuk wajahnya. Tapi juga detail lekukan dan tata letak hidung, mata, alis, telinga, bahkan tulang rahang wajah itu. Ia terkejut sekaligus terkesima. Pertama kali melihat wajah itu, ia serasa ingin berteriak dan berjingkrak-jingkrak. Namun, perlahan ia mengetahui dan mengerti, ada yang amat berbeda dari wajah yang dulu dikenalnya dengan baik. Segalanya semakin memburuk. Ia mengenal, namun seperti tak mengenal. Ia tak mengenal, tapi sebenarnya ia memang benar-benar kenal. Ia kenal. Wajah dalam baliho itu. Ia masih mengenalmu. Semuanya terasa begitu menghantui. Berita di televisi, obrolan para tetangga, poster-poster yang ditempelkan

di sembarang tempat, baliho-baliho besar yang merusak pohon-pohon di pinggir jalan, stiker-stiker yang senantiasa mengotori tempat terbuka, juga bisikan jiwa yang berusaha mengutik kembali luka yang hampir binasa. Kenangan berderai, namun energi dalam dirinya mampu mendamik semuanya. Ia memang tersiksa. Masa lalu yang disingkap kembali bukanlah perkara biasa. Sebagian otaknya bekerja menggali lagi lekuk-lekuk lain kehidupan yang telah lama disembunyikan. Tubuhnya menolak. Tapi jiwanya terus menggali hingga tak tersisa penolakan lagi. Setiap melihat wajahmu--entah dalam angkot, warung kopi, atau sepanjang tembok komplek rumahnya-ia akan mengedip dan menelan ludah. Kemudian tertawa sendiri, merasa seolah sedang duduk berdampingan denganmu dan mendengarkanmu berbicara tentang teori Aristoteles. Kau bilang padanya bahwa di mana pun manusia berada, manusia akan selalu ada dalam masyarakat politik dengan jenisnya sendiri. Sedemikian dekatnya keseluruhan hidup manusia terangkai dalam kompleksitas masyarakat. Sehingga akan asing baginya jika manusia tidak menyelidiki apa yang berada di bawah permukaan realitas sosial. Ia tak mengerti. Bahkan menurutnya, apa yang kau kemukakan hanyalah ocehan semata. Celotehan anak kecil yang belum mengerti kehidupan. Ia tertawa sembari menatap gambarmu dalam sebuah poster. Dahulu, matanya adalah mata yang tak pernah lepas memandangmu. Melihat wajahmu dalam baliho lagi, ia seperti kembali mendengarkanmu menjabarkan hal-hal yang kau sukai dari sosok Karl Marx, Machiavelli, John Locke, dan entah siapa lagi. Ia tak begitu hafal tokoh favoritmu. Ia menggelengkan kepala. Menahan airmata, sebetulnya. Menyadari betapa

kau telah benar-benar meninggalkannya begitu saja. Kepentinganmu adalah kepentingan yang mesti dinomorsatukan. Meski kau meninggalkan janji yang senantiasa dipegangnya, bahkan sampai ia memutuskan untuk tidak menikah, sebenarnya ia masih belum lega. Bertahun ia melihatmu berjuang sedemikian rupa. Demi apa yang kau sebut cita-cita. Kini, kau datang lengkap dengan cita-citamu yang hampir nyata. Ia bahagia. Tapi tidak dengan cinta yang ia punya. Kau menggandeng seorang wanita dalam kampanyemu. Kau mengenalkan ia, seorang wanita yang tak dikenalnya dalam riwayat hidupmu. Semua orang tahu, tak terkecuali ia. Sebelum kau mampu berlari sekencang ini, ia ada di sisimu. Ia memapahmu berjalan, jatuh, dan merangkak, bangkit lalu pincang, hingga mampu berjalan kembali seperti yang kau inginkan. Tetapi di matamu, ia bukan siapa pun. Mungkin kau tak menyayanginya, atau sudah tak mencintainya. Ia tak begitu mengerti. Kau kini sungguh terlalu jauh untuk dirangkul lagi, untuk ditemani kembali. Ia hanya bisa tersenyum dan tertawa sendiri, menelan masa lalu yang kau ciptakan dengan duka dan perih. Harimu tiba dan ia masih tidak baik-baik saja. Pernahkah, yang merangkulmu sekarang, mendekapmu sehangat dekapannya? Mampukah, yang kau kasihi kini, bertahan seperti apa yang dipertahankannya? Bisakah, yang selalu di sisimu itu, menemanimu berjuang menggapai cita seperti ia? Berita di radio dan televisi lokal semakin ramai. Sesekali ia membeli koran lokal dan membaca beritamu. Melihat kembali iklan kampanyemu, meski ia telah melihatnya berkali-kali. Kau masih memiliki senyum yang sama sejak berpisah lebih dari satu dasawarsa. Ia melihatmu lebih berka-

risma. Mungkin dari hasil kerasmu menggapai cita dan kegigihanmu melawan segala yang kau anggap salah. Kerutan di wajahmu masih diingatnya. Alis tebal dan bibir tipis dipadu hidung setengah mancung-setengah pesek. Bedanya, jika dulu kau sering memakai kemeja bekas yang dibeli bersamanya di pasar loak, dalam gambar-gambar yang ditemukannya sekarang, kau memakai kemeja putih, dasi, dan peci hitam. Rapi nan menawan. Ia tersenyum, lantas berdiri dan siap menemuimu dengan cara lain. Ia kini telah memegang kertas suara di balik bilik kecil sebuah tempat pemungutan suara dekat rumahnya. Kedua tangannya bergetar. Ia menelisik sesekali mengelus gambar wajahmu di deretan paling atas pojok kanan. Suasana pos begitu hening. Sudah terlalu siang untuk mencoblos sekadar menyalurkan hak suara. Tapi ia tetap melangkahkan kaki, meski kenangan berlesatan di kepalanya, betapapun keraguan berlesakan dalam hatinya. Ia memantapkan diri di dalam bilik. Dengan segenap keutuhannya sebagai warga negara, ia mulai mencoblos pilihannya. Perlahan ia menusuk wajahmu dengan paku. Deretan paling atas pojok kanan. Ia menghela napasnya. Air mata perlahan jatuh, berkemul membasahi wajah dan hatinya. *** Apakah kau sungguh lupa? Ia menggelayut kepadamu, menyerahkan hidupnya dan berkorban untukmu demi cinta. Tapi kau melindasnya. Menguburnya sedalam mungkin demi cita-cita.

*Penulis adalah mahasiswa semester satu, Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas Usluhuddin

PUISI

Bangsa Siapa? Oleh: Imam Budiman*

Nada Semesta Oleh: Ihya Ulumuddin*

Jika bangsamu seluas cangkang telur dan busuknya tercium, biar, itu negerimu. Bukankah kau menyukainya? Selama empat puluh delapan musim disetubuhi penguasa. Tapi, setidaknya kampungku bukan kaum penidur sepertimu! Di sini kami mengolah gambut rawa menjadi ladang pipit dan rempah Menyaring keruh kuning air tanah yang mulai merah di sawah-sawah Kerja bocah-bocah yang mengaduk anak gabus agar si induk menikam Berangkat pagi, saat petang tiba kita justru lupa jalan pintas untuk pulang Sebagian Bapak masih menimbang siul payah agar dibayar sesuai penat Itu di sini, di kampungku–- kampung di lorong tanah yang satu jalan dengan penduduk cacing. Jika bangsamu sekaya rambutan berbuah dengan semut yang memenuhi gendang telinga, Biar, itu negerimu. Pahit yang tak lupa kau sambut setelahnya bukan? Keluh kesah mereka yang tertindih oleh tebalnya dompet pejabat korup, juga rongga mulut politisi dan caleg yang lekat berbuih, beradu, menjaja diri, melacur diri. Menjanjikan kemakmuran umpama Saba’ dalam pangkuan hariba. Mengerti dibodohi, sadar ditipu mentah-mentah kau! Selaku perlu, benakmu justru menampik: “Yang penting cukup untuk dikawani asap kretek!” Atau mereka yang terpaksa: “Bagaimana sekadar mengepul aroma lalap jantung pisang?” Ah, terkadang hidup memang sulit dan terlalu murahan.

Semua jiwa menikmati nada-nada yang keluar dari suara ataupun yang tak bersuara Petik demi petik senar pun menjadi saksi bahwa ini memang dunia nyata Berlumur bahagia dan sengsara, sengsara menjadi bahagia dan bahagia entah itu apa? Dari zaman purba sampai zaman postra Kata itu akan selalu terasa. Bagai air yang menetes di kolam yang diam rasa ini akan berkembang di bentangan alam perlahan tombol piano ditekan Serasa lepas terbang bersama keindahan ketika gila menjadi sesosok teman hanya mengerti yang bisa menjinakkannya Alam raya nan tak terhingga memberi salam kepada kita dan kita pun memeluknya dengan bijaksana. Pandawa, 1 Agustus 2014

Jakarta, Maret 2014

*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Dirasat Islamiyah. Maha santri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

*Penulis adalah pegiat forum diskusi Forum Mahasiswa Ciputat


15

SENI BUDAYA

Edisi XXXIV / November 2014

Pa Gellu, Simbol Penghargaan Pahlawan Toraja Lima penari perempuan (Ma’toding), sedang menari tarian Pa Gellu dari Toraja di Jalan M.H. Thamrin Jakarta Pusat, Minggu (9/11). Acara bertemakan Project on The Moves (PROMs) ini diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi UI.

Foto: Erika/Ins

Nur Hamidah Sebuah permadani tebal berwarna merah digelar di atas aspal. Belasan orang mengerumuni, berkeliling untuk melihat pertunjukan. Ada yang berdiri, duduk, dan berselonjor sambil menanti pentas pagi itu. Tak lama, musik diputar, satu persatu para penari mulai melangkah ke atas permadani, diiringi tepuk tangan penonton. Sebuah gendang bundar diletakkan di tengah-tengah permadani. Dua orang laki-laki duduk di setiap sisinya, sambil membawa dua stik pemukul gendang. Kedua laki-laki berbaju merah mulai memukul gendang bersahutan. Tarian dimulai. Lima orang perempuan melangkah perlahan memasuki lingkaran. Dengan baju dan rok berwarna putih, mereka melangkah perlahan sambil berjinjit mengikuti ketukan gendang yang dimainkan. Gendang yang bernama Issong Pandan itu terus ditabuh. Lima perempuan berkalung emas mulai melenggak-lenggok di atas permadani sambil menunduk. Para penari yang dinama-

kan Ma’toding itu, terus menggerakkan tangan ke atas dan ke bawah. Sinar matahari pukul sembilan pagi memantul lewat kalung keemasan bernama Usuk Tau, yang dikenakan oleh para Ma’toding, membuat kulit putih mereka bersinar. Tabuhan Issong Pandan bertalu-talu diselingi teriakan dua pemuda berbaju merah, yang masih tetap menabuh Issong Pandan. “Ciiiiaaatt!!”, seketika dua pria penabuh gendang itu tersenyum dan memperlihatkan kebolehan mereka dalam menabuh gendang. Lima orang Ma’toding masih menari berjinjit, sambil sesekali meliukkan kedua tangannya.

Tabuhan Isson Pandan terdengar semakin keras, salah satu Ma’toding yang berada di tengah barisan bergerak mundur dan mulai menaiki Issong Pandan. Menari di atas Issong Pandan yang tetap ditabuh. Decak kagum terdengar dari penonton. Ma’toding itu masih tetap menari di atas Issong Pandan. Perlahan Ma’toding yang menaiki gendang mulai turun. Mereka membentuk formasi satu banjar, masih menari berjinjit, kelima Ma’toding merendahkan tubuh mereka hingga duduk. Satu Ma’toding di baris tengah mengeluarkan selembar kain berwarna hijau dan meletakkannya di depan

Menanti Putusan Menteri Di lain waktu, Sekretaris Senat Universitas, Suwito mengucapkan selamat atas kemenangan Dede Rosyada sebagai rektor terpilih UIN Jakarta. Meski begitu, Ketua Jurusan Program Doktor (S3) Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta itu menegaskan, kemenangan Dede di pilrek lalu tidak menjadi keputusan mutlak Dede menjadi pengganti Komaruddin sebagai rektor. Pasalnya, menurut Suwito, sesuai Peraturan Menteri Agama No.17 tahun 2014 pasal 28 ayat 2 tentang Statuta UIN Jakarta, Menteri Agama (Menag)

memiliki hak penuh dalam mengangkat dan memberhentikan rektor. “Jadi, keputusannya tetap terserah menteri nanti,” ujar Suwito. Rencananya, jika Menag Lukman Hakim Saefudin menetapkan rektor UIN Jakarta berdasarkan hasil keputusan pilrek, pengangkatan Dede Rosyada sebagai pengganti Komaruddin bakal digelar pasca berakhirnya masa bakti Komaruddin pada 6 Januari 2015 nanti. Jika tidak, Menag bisa mengangkat satu dari dua nama lain—Amin Suma atau Jamhari—sebagai pengganti Komaruddin.

Sambungan Jawara yang Tak Dijagokan tulan—tak ada hubungannya dengan primordialisme ataupun oreks. “Itu hanya instrumen saja. Tidak ada itu kayak rezim-reziman. UIN kan dibangun bersama-sama,” tandasnya. Menanggapi isu tersebut, Amsal Bakhtiar menepis kabar mengenai kuatnya primordialisme dan kemitraan organisasi ekstra di kalangan rektorat.Saat dihubungi INSTITUT, Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum itu mengaku tak tahu soal desas-desus primordialisme dan semacamnya. “Ya, saya tidak tahu. Tanyakan saja ke sumber lain,” katanya, Minggu (16/11).

penonton. Ia lalu menggerakkan tangan kanannya seperti orang menghalau debu. Kemudian melipat kain itu. Berasal dari Toraja, Sulawesi Selatan, tarian khas ini bernama Pa Gellu. Tarian ini biasanya ditampilkan untuk menyambut para pahlawan yang kembali dari medan perang. Usia tarian ini sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Hingga saat ini, tidak ada yang tahu persis kapan tarian ini lahir. Dengan usia tarian yang sudah lama ini, penonton dapat menyaksikan betapa kaya negeri Indonesia akan budayanya. Tarian Pa Gellu ini merupakan salah satu dari belasan tarian lain yang ditampilkan dalam acara Project

on The Moves (Proms), yang diselenggarakan oleh mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Bertemakan ‘Jelajah Budaya Nusantara, Kenali dan Peduli Warisan Negeri ini’, panitia mengajak agar kita lebih peduli dengan kebudayaan sendiri. Acara yang diselenggarakan di Bundaran Hotel Indonesia (HI) ini, riuh oleh parade belasan kelompok tari dari berbagai sanggar dan SMA di Jakarta. “Tahun ini, kita menyadarkan masyarakat bahwa budaya kita tidak kalah dengan budaya luar. Terutama sasaran kita anak-anak muda,” tutur Syifa Alsakina, Project Officer acara ini, Minggu (9/11).

Surat Pembaca Saya mahasiswa FISIP menginginkan gerbang hitam yang ada di depan gedung FISIP dibuka untuk pejalan kaki agar akses ke FISIP lebih mudah dan tidak perlu memutar lewat gedung Pusat Bahasa. 08812130xxx Saya mahasiswa Fakultas Dakwah meminta agar pengelola perpustakaan fakultas memasang CCTV dan juga membuat loker. Soalnya, sudah ada beberapa kasus kehilangan. 08981316xxx Saya mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum meminta pengelola kebersihan agar tidak mengunci pintu toilet ketika masih berlangsungnya jam kuliah. Karena dikunci lebih cepat, saya harus buang air kecil ke toilet Student Center. 08567231xxx


2 juta

- Gratis sewa sepeda selama di Pare


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.