Edisi Mei 2012
Laporan Utama...
Laporan Khusus...
Menyimpangnya Sasaran Beasiswa DIPA
Sanksi Rektorat Memberatkan ARKADIA
Hal.
Kampusiana...
2
Hal.
Menantang Kebijakan Berbagai macam kebijakan dari rektorat sudah mulai terasa belakang ini, terlebih persoalan kebijakan SKS sebenarnya sudah terlalu lama kita biarkan tanpa protes, tanpa minta penjelasan. Padahal, kebijakan apapun perlu dikritisi, khususnya mengenai kepentingan mahasiswa, apakah ada yang merasa dirugikan di sini? Entah UIN Jakarta memakai kebijakan apa, yang diperlukan adalah alasanalasan mengapa pembayaran SPP tidak sesuai dengan jumlah SKS yang diambil? Di sana kita mempertanyakan sebuah transparansi. Dan sebuah alasan tidak bisa begitu saja diterima, apakah sudah masuk akal? Mengenai SKS, meski kita mengklaim bahwa pembayaran SPP UIN Jakarta termasuk murah, setidaknya ada tranparansi dengan jelas, ke mana larinya uang pembayaran itu semua. Tidak sampai di situ, kita harus bisa mengkritisi secara mendalam tentang aliran-aliran pembayaran kita bermuara di mana. Jika uang SPP mengalir untuk membayar pegawai UIN non-PNS, kita patut mempertanyakan, apakah tidak ada alokasi khusus untuk membayar pegawai non-PNS sampaisampai menggunakan uang SPP kita? Bolehlah kita hitung-hitung seberapa murah pembayaran SPP UIN. Tetapi ingat, kita tidak bisa berapologi dengan mengatakan bahwa kebijakan SKS setimpal dengan apa yang dibayar. Pemenuhan hak dari apa yang dibayar perlu diperjuangkan. Meski dengan alasan dapat berlomba-lomba dalam mendapatkan IP. .tinggi, dan IP rendah tidak mendapat hak sama. Konsekuensi jika kita membiarkan pembayaran SPP tanpa ada transparansi, tak perlu kaget kalau ada oknum yang mencoba menyelewengkannya. Memang tak boleh su’udzon, paling tidak ketika ada kesempatan untuk menyelewengkan uang, mana tahan untuk tidak mengambilnya. Sekurang-kurangnya, terjadi pencucian uang atau penggelembungan dana. Tentu kita tidak mau itu terjadi.
6
Hal.
8
Seni Budaya...
Mengukir Karya Seni Islami Melalui FSI
EDITORIAL
Hal.
Perang Batin Sang Prajurit
7
SKS Dibatasi, Biaya Semester Tetap Sama
FOTO:RAHMAN/INSTITUT
Spanduk yang bertuliskan protes mahasiswa terhadap sistem pembayaran dan SKS yang terpampang di Jalan Pesanggrahan, Ciputat, Kamis (10/5).
UIN Jakarta, INSTITUT- Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Indonesia Central Committee (GMI CC) UIN Jakarta, Senin (30/4), memprotes kebijakan pembatasan Sistem Kredit Semester (SKS) bagi mahasiswa yang Indeks Prestasi (IP)-nya kurang dari 2,50. Protes tersebut disebabkan mahasiswa tidak dapat mengambil SKS penuh, padahal biaya semester tetap sama. Menurut ketua GMI CC UIN Jakarta, Muhammad Haikal, kebijakan tersebut mengurangi hak mahasiswa. “Kewajiban bayar uang semesternya kan sama, tapi kok SKSnya dibatasi?” katanya, Kamis (10/5). Ia mengatakan, hak memperoleh pendidikan yang sama tidak merata. Selain itu, menurutnya dosen sudah digaji dari pemerintah, karena UIN Jakarta termasuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Menanggapi hal itu, Pembantu Rektor (Purek) II Bidang Administrasi Umum, Amsal Bachtiar mengatakan, pembayaran biaya semester di UIN bukan berdasarkan SKS, tetapi per semester. “Beban operasional untuk 10 mahasiswa dan 40 mahasiswa itu sama saja, jadi tidak didasarkan beban SKS
yang diambil mahasiswa,” ujarnya, Rabu (16/5). Ia menambahkan, biaya semester itu juga berlaku bagi mahasiswa semester 8 yang tengah menyusun skripsi, sedangkan bobot untuk skripsi hanya 6 SKS. “Mereka itu bayarnya juga tetap kok,” ujarnya. Lebih lanjut, ia mengatakan persentase mahasiswa yang nilainya di bawah 2,50 juga sedikit. Senada dengan Amsal, Purek I Bidang Akademik, Moh. Matsna mengatakan, biaya semester mahasiswa tetap digunakan untuk operasional pendidikan, gaji karyawan, dan dosen tidak tetap yang belum menjadi PNS. “Jumlahnya (karyawan dan dosen) kalau dihitung ada ratusan,” jelasnya, Selasa (15/5). Matsna menuturkan, biaya semester di UIN Jakarta lebih murah dibandingkan dengan universitas lainnya. “Coba dihitung. SPP yang Rp400 ribu itu bisa untuk 24 SKS bagi yang IP-nya tinggi, berarti per SKS-nya kurang dari Rp20 ribu kan? Sementara jika dibagi lagi, katakanlah Rp20 ribu per SKS, dibagi 16 pertemuan, uang sebesar itu untuk bensin saja masih kurang,” ujarnya.
Bersambung ke hal.6 kol 3
2
Laporan Utama
Menyimpangnya Sasaran Beasiswa DIPA FOTO:GITA
Seorang mahasiswi sedang memasuki Bank BRI Kantor Cabang UIN Syarif Hidayatullah. Ia membuat ATM guna memenuhi persyaratan beasiswa DIPA, Senin (21/5).
UIN Jakarta, INSTITUT- Mekanisme beasiswa DIPA tahun ini berbeda dengan mekanisme tahun-tahun sebelumnya. Diberlakukannya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang menjadi syarat baru DIPA diharapkan tidak salah sasaran. Realitanya, pemberlakuan SKTM tidak cukup efisien untuk mengukur kemampuan ekonomi mahasiswa tidak mampu. Ketidakefesienan SKTM terlihat dari Fakultas Sains dan Teknologi (FST). Kepala Sub-bagian (Kasubbag) Akademik FST, Sukmayeti menuturkan, mahasiswa yang mengajukan dirinya untuk mendapatkan beasiswa diharuskan membuat dan menandatangani surat pernyataan tidak mampu secara ekonomi. Selanjutnya, fakultas membuat SKTM atas nama mereka, lalu diberikan pada akademik pusat untuk diseleksi. “Saya memang membuatkan SKTM untuk mahasiswa yang mengaku tidak mampu. Soal keadaan ekonomi mereka yang sebe-
narnya, saya sendiri kurang tahu. Mahasiswa sendiri yang nantinya bertanggung jawab apabila ketahuan bahwa mereka sebenarnya mampu, tetapi membuat SKTM di fakultas,“ papar Sukmayeti, Senin (21/5). Kasubbag Akademik Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Karnilis menegaskan, bukan sekali dua kali DIPA jatuh ke tangan orang yang salah. “Sayangnya, mahasiswa yang kurang mampu biasanya terlambat mengetahui informasi mengenai beasiswa DIPA, sehingga beasiswa tersebut jatuh ke tangan mereka yang berada di kelas menengah ke atas,” tuturnya, Senin (21/5). Ia menambahkan, pembuatan SKTM langsung dari fakultas tidak sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Pemerintah terkait mekanisme DIPA. Padahal, menurut Amelia Hidayat, Bagian Pelayanan Beasiswa, peran SKTM adalah pemenuhan syarat untuk mahasiswa yang miskin dan berprestasi. “Apabila mahasiswa memiliki prestasi yang dibuktikan dengan IPK di atas 2,75, maka SKTM adalah bukti mahasiswa tidak mampu secara ekonomi,“ tutur Amelia, Rabu (16/5). Menurut mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Jurusan Jurnalistik, Semester 2, Nada Rohmah mengatakan, beasiswa DIPA yang didapatkannya tidak digunakan untuk urusan akademis, melainkan modal bisnis yang hendak dikembangkannya. “Menurut saya, SKTM itu formalistas. SKTM bukan satu-satunya pengukur keadaan ekonomi yang sebenarnya,” papar Nada, Minggu (20/5). Menyimpangnya sasaran beasiswa DIPA juga dirasakan oleh mahasiswi FST, Jurusan Kimia, Semester 2, Meliana Ningrum. Menurutnya, mereka yang mengikuti DIPA adalah mahasiswa yang benar–benar memenuhi syarat, yaitu mahasiswa tidak mampu dan berprestasi, semisal Bidik Misi. “Peserta Bidik Misi menunjukkan potret rumah masing–masing, atau pihak dari universitas mengunjungi rumah–rumah mereka yang mengajukan untuk membuktikan keadaan ekonomi mereka yang sebenarnya,” papar Meliana, (19/5). Terkait uang dari beasiswa yang didapatnya digunakan sebagai tabungan pribadi untuk membayar uang kos ke depannya. (Gita/Reza)
Salam Redaksi Assalamualaikum Wr. Wb Salam INSTITUT Sekian lama bergelut dengan dunia tulis-menulis, tapi memang harus disadari, regenerasi memang perlu dilakukan. Hal itu tentu bukan tanpa alasan. Demi kelancaran roda organisasi dan terciptanya karya yang akan semakin banyak dari LPM INSTITUT. Karena itu pula sebagai ajang pembelajaran bagi para tunas INSTITUT, kali ini kami hadirkan kepada Anda, News Letter TUINS (Tunas INSTITUT). Mereka, para bakal calon anggota INSTITUT, untuk pertama kalinya merasakan suasana rapat redaksi. Perdebatan, kebosanan, rasa kantuk, semuanya bercampur menjadi satu hingga terciptalah news letter ini. Betapa tidak, rapat redaksi tersebut diadakan ketika matahari mulai terbenam, sampai terbit kembali matahari. Waktu mungkin mengharuskan kami untuk selesai. Tapi, kala waktu masih dirasakan manusia, kami akan terus berusaha berkutat di dalamnya, demi menghasilkan laporan-laporan yang kritis dan penting untuk kita semua. Bagi beberapa mahasiswa, merasakan hal seperti itu butuh sedikit kegilaan. Sifat seperti inilah yang justru kami arahkan agar menjadi sosok manusia yang menghadapi tantangan yang tak terelakkan. Saat pasir-pasir bumi menjadi debu, kami akan menangkapnya untuk diserahkan kepada publik. Akhir kata, segala usaha kami bukan kesempurnaan. Tapi kami hanya proses menuju kesempurnaan. Karenanya, kritikan dan saran kami terima dengan baik. Wassalamualaikum Wr. Wb
Pemimpin Umum: Dika Irawan | Sekretaris: Ibnu Affan | Bendahara Umum: Muji Hastuti | Pemimpin Redaksi: Muhammad Fanshoby | Redaktur Pelaksana: Umar Mukhtar | Redaktur Online: Rahmat Kamaruddin | Web Master: Makhruzi Rahman | Redaktur Foto : Jaffry Prabu | Redaktur Bahasa : Ema Fitriyani | Artistik : Hilman Fauzi | Ilustrator : Trisna Wulandari | Desain Grafis: Ahmad Rizqi | Pemimpin Perusahaan: Noor Rahma Yulia | Iklan & Sirkulasi: M. Umar & Rahayu O | Marketing & Promosi: Aprilia Hariani, Rina Dwi Fitriyani & Fajar I | Pemimpin Litbang: Abdul Charis | Riset: Egie FA & Aditya Putri | Pendidikan: Iswahyudi | Kajian: Aditia Purnomo | Dokumentasi: Aam Mariyamah. Koordinatur Liputan: Slamet Widodo Reporter: Abdurrohim Al Ayubi, Ade Muhimah, Adea Fitria, Adi Nugroho, Ahmad Sayid M, Amzar Fadliatma P, Anastasia T, Ardyansyah, Azizah Nida I, Dewi Maryam, Gita Juniarti, Gita Nawangsari, Imam Arifin, Karlia Zainul, Khairur Rozi, Listiani Fansela, Maulana Fityan, Muawwan Daelami, Nur Azizah, Nurlela, Nurmalisa Nazarani, Ratu Shodfatul M, Reza Abdul A, Siti Ulfah N, Sri Wahyuni, Taopik Muarip, Yadi Mulyadi Fotografer: INSTITUTERS Desain Visual & Tata Letak: Rizqi Jong Java Editor: Aam Mariyamah, Aditia Purnomo, Aditya Widya Putri, Aprilia Hariani, Ema Fitriyani, Jaffry Prabu Prakoso, Achmad Rizqi, Makhruzi Rahman, Muhammad Umar, Muji Hastuti, Rahayu Oktaviani, Rahmat Kamaruddin, Trisna Wulandari Ilustrator: Omen, Ulan. Alamat Redaksi: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Gedung Student Center Lt. III Ruang 307, Jln. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Selatan 15419. Telp: 0856-133-1241 Web: www.lpminstitut.com Email: lpm.institut@yahoo.com. Setiap reporter INSTITUT dibekali tanda pengenal serta tidak dibenarkan memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada wartawan INSTITUT yang sedang bertugas.
Laporan Utama
3
Tak Ada Transparansi Dana, Pembayaran KKN Berlebih UIN Jakarta, INSTITUT- Data dana Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang merupakan rahasia negara tidak transparan, mengakibatkan beberapa mahasiswa yang akan melakukan KKN mengeluhkan biaya berlebih. Yayan Sofyan, Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) menuturkan, “Hanya UIN Jakarta yang tidak memungut biaya KKN, di Universitas Gajah Mada (UGM) mahasiswa dipungut biaya satu juta, Universitas Andalas (UNAND) dipungut 700 sampai 800 ribu, di Universitas Bengkulu (UNIB) dipungut biaya 500 sampai 700 ribu,” ujarnya, Selasa (15/7). Ia melanjutkan, seharusnya ada anggaran biaya KKN melalui SPP sebesar 50 ribu per SKS, namun rektorat tidak menghitung per unit SKS. Sedangkan KKN itu ada tiga sampai empat SKS, “Rektorat hanya menghitung honor untuk dosen,” tandasnya. Ia menjelaskan, di wilayah Tangerang Selatan (Tangsel) dosen mendapatkan uang transport 100 ribu. Sedangkan di Bogor, dosen mendapatkan 400 ribu. Namun LPM hanya memberikan subsidi 100 ribu, selebihnya dibayar mahasiswa. Yayan mengatakan, dana dari rektorat untuk KKN berkisar 200 juta, “Dana diperuntukan bagi mahasiswa yang KKN di wilayah Tangsel. Jika tersisa akan dikembalikan ke negara,” katanya. Namun hal ini disangkal Sultan Muhammad Yus, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum. Jika 200 juta itu untuk mahasiswa yang KKN di wilayah Tangsel. Tapi realitasnya hanya untuk dana transportasi dosen
saja. Itu pun sangat sedikit KKN di wilayah Tangsel. “Mahasiswa yang KKN, kenapa dosen yang dibayar? Dosen datang tiga kali dan itu pun terkadang sebentar. Mana buktinya kalo uang itu dikembalikan ke negara?” ujarnya, Senin (7/5). Kemudian Yayan menegaskan, bagi mahasiswa yang melaksanakan KKN di luar Tangsel, harus membayar uang transport di muka untuk menghindari terulangnya kasus di mana banyak mahasiswa tidak bisa membayar, akibatnya akomodasi dosen tidak terpenuhi. “Sekarang izin hanya diberikan untuk pembayaran di muka,” tegas Yayan. Di sisi lain, Indra Tri Septiana, mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), diwajibkan membayar pelaksanaan KKN yang ia laksanakan di Bogor, “Pihak LPM meminta 3 juta, tapi saya nggak tahu untuk apa,” ujar Indra, Rabu (16/5). Namun Yayan menyangkal anggapan tersebut, menurutnya pihak LPM menggratiskan biaya KKN, “Kalau memang suruh bayar, buktinya harus ada,” jelasnya. Selain 3 juta untuk LPM, ia pun harus mengeluarkan dana tambahan sebesar 1 juta per orang untuk operasional KKN. Seperti bayar kosan dan makan sehari-hari. Indra menambahkan, seharusnya LPM memberikan dana bantuan, “Kita kan bawa nama baik UIN,” tegasnya. Fitri Hadiyani, mahasiswi jurusan KPI mengatakan, jumlah peserta KKN di Tangsel sedikit. Ia menilai, banyak anggaran yang tidak terkonstribusikan secara penuh. “Seharusnya anggaran itu dialokasikan bagi ma-
hasiswa yang KKN di Jabodetabek,” Rabu (16/5). Berbeda pada 2010 lalu, setelah melakukan berbagai macam proses demonstrasi dan mediasi kepada LPM. Akhirnya, mahasiswa yang KKN di Tangsel dan Jabodetabek mendapatkan anggaran minimal 2 juta per kelompok dari LPM. Senada dengan Fitri, Muhammad Riadul Muslim, lulusan UIN Januari 2012 lalu yang ikut melakukan demonstrasi mengatakan, hal itu terjadi karena ada unsur politik taktis antara kubu Airin Walikota Tangsel de-ngan pihak LPM, sehingga mahasiswa tidak boleh KKN di luar Tangsel. Namun, menurut Yayan itu disebabkan akibat anggaran berlebih, “Akhirnya dialokasikan untuk KKN di Jabodetabek.” (Fityan/Awank) FOTO: FITYAN
Mahasiswi UIN Jakarta sedang melengkapi pendaftaran Kuliah Kerja Nyata (KKN) di ruangan Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM), Rabu (16/5).
Perubahan Jadwal Wisuda Merugikan Mahasiswa UIN Jakarta, INSTITUT- Jadwal wisuda yang semula setahun 4 kali kini diubah menjadi setahun 3 kali. Perubahan tersebut menimbulkan kerugian di kalangan mahasiswa, baik dari segi ekonomi, waktu, maupun psikologis. Seperti yang dialami mahasiswa jurusan Ilmu Ekomomi dan Studi Pembangunan (IESP) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Saifullah. Ia merasa perubahan ini sangat merugikan dirinya. Pasalnya, ia pernah ditolak oleh salah satu perusahaan karena belum mempunyai ijazah.“Semakin lama mahasiswa diwisuda, semakin lama pula mendapat ijazah,” ucapnya, Selasa (1/5). Hal tersebut juga dirasakan oleh mahasiswa Jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), Rakhma Diana Bustami. Ia terpaksa tidak mengambil beasiswa S2 di UGM karena belum mendapatkan ijazah. “Pihak UGM (Universitas Gajah Mada) membutuhkan ijazah dan mereka tidak menerima SKL (Surat Keterangan Lulus). Tapi, karena saya belum mendapatkan ijazah, saya terpaksa mencari kerja dan tidak mendapatkan beasiswa,” jelasnya, Senin (7/5). Hal tersebut tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomi seperti yang dirasakan Rakhma dan Saiful. Namun, hal tersebut juga berdampak pada psikologis, seperti
yang dirasakan mahasiswa jurusan Akuntansi FEB, Nadyya Hayatun Nufus. Ia merasa dirugikan dari segi psikologi karena tekanan dari orang-orang di sekitarnya. “Saya selalu ditanya oleh teman-teman dan orang tua, kapan wisuda?” ujarnya, Sabtu (5/5). Menanggapi hal tersebut, Dekan FSH, Muhammad Amin Suma menjelaskan, perubahan jadwal ini memang memiliki banyak dampak terhadap mahasiswa, baik dari segi psikologis, waktu, ekonomi, dan pendidikan. Ia berharap, jadwal seperti ini jangan sampai terulang kembali. “Jadwal wisuda tahun ini memang tidak nyaman, dan jangan sampai terulang kecuali ada alasan syar’i, misalnya, bencana alam atau urusan negara,” tegasnya, Senin (14/5). Ia menambahkan, bukan hanya mahasiswa yang mengeluhkan kebijakan tersebut, namun para orang tua mahasiswa juga mengeluhkan perubahan jadwal wisuda. “Sampai-sampai ada beberapa orang tua mahasiswa yang menelpon atau SMS ke dekan masing-masing,” tambahnya. Di lain pihak, Pembantu Dekan I Bidang akademik, Moh. Matsna menjelaskan, perubahan jadwal menjadi 3 kali setahun dikarenakan pihak rektorat juga mengurusi hal lain selain wisuda. “Lagipula wisuda hanya seremonial,” tegasnya (15/5). Menanggapi keluhan-keluhan maha-
FOTO: DOK.PRIBADI
Suasana daftar ulang para wisudawan, dalam acara wisuda UIN Jakarta ke-86 di Aula Student Center (SC), Sabtu (28/1).
siswa, Mastna menjelaskan, mahasiswa boleh saja mengeluh, karena hal tersebut merupakan hal yang wajar. Namun,ia meminta mahasiswa jangan egois dan hanya memikirkan diri sendiri. “Mereka juga harus memikirkan teman mereka yang sedang menyelesaikan skripsi,” imbuhnya. (Ratu/Azizah)
4
Laporan Utama
Permintaan Satpam Asrama Belum Terealisasi sudut asrama. Adanya CCTV memungkinkan satpam untuk memantau para mahasiswa yang keluar-masuk kamar dan Aspa. Ini diharapkan dapat meminimalisir kehilangan. Satpam Asrama Putri (Aspi), Doni Donlay pun memiliki permasalahan yang sama dengan Ghufron. Mereka juga telah mengajukan pengadaan CCTV pada DPA. Sama halnya dengan pengajuan personil, hingga saat ini realisasinya belum ada. “Sudah beberapa kali (diajukan). (DPA hanya mengatakan) iya-iya saja,” ujar Doni, Senin (14/5). Satpam Aspi Kedokteran, Fuad juga menginginkan seperti yang diharapkan Guf-ron mengenai penambahan personil. Namun, ia mengkhususkan pada penjaga perempuan. Dengan alasan satpam perempuan diperbolehkan memasuki asrama untuk mengkontrol keadaan. Ia juga menginginkan pengadaan CCTV agar bisa memantau berbagai tempat dalam satu waktu. Menanggapi keluhan satpam asrama, Pengurus DPA Dja’far Sanusi sudah mengajukan keluhan tersebut pada Biro Administrasi Umum dan Kepegawaian (AUK). Namun, pengajuan itu terhambat masalah dana. “Tapi kita tidak boleh bosan mengajukan (panambahan personil pengamanan dan pengadaan CCTV),” tambahnya. Mengenai penambahan satpam di Ma’had, menurut Kepala Biro AUK, Abd. Shomad, tinggal menunggu waktu. Saat ini pihaknya tengah memproses penerimaan satpam baru.
UIN Tidak Bisa Ikuti PIMNAS Dikti
Pertanyaan Sudarlin dalam kolom tanya jawab yang disediakan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti), diunduh dari website dikti.go.id, Senin (21/5).
UIN Jakarta, INSTITUT - UIN tidak bisa mengikuti Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) yang diadakan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Dikti) pada tahun lalu. Hal itu mungkin dikarenakan anggaran PIMNAS dibiayai oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sedang UIN mempunyai anggaran sendiri dari Kementrian Agama (Kemenag). Pernyataan tersebut diutarakan Bahrun, selaku Kepala Sub-direktorat (Kasubdit) Kreatifitas dan Pengabdian Kepada Masyarakat. “Kalau UIN mau mengadakan, ya dari de-
partemennya (Kemenag),” ucap Bahrun, Rabu (16/5). Ia mengatakan, selama ini yang masuk seleksi dalam lomba PIMNAS, biasanya dari Perguruan Tinggi (PT) di lingkungan Kemendikbud. Menanggapi hal tersebut, Pembantu Dekan (Pudek) Akademik Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Agus Salim menjelaskan, kerjasama UIN dengan Dikti hanya dibidang pembinaan, kurikulum, dan disertasi. “Tapi kalau sudah terkait dengan anggaran, tidak bisa disetujui,” jelas Agus ketika diwawancarai via telepon, Jumat (18/5). Berkaitan dengan lomba PIMNAS, Mahasiswi FST, Jurusan Kimia, Peza Batamarlia Reko menuturkan, ia dan teman-temannya pernah mengajukan proposal penelitian kepada Dikti tahun lalu untuk diikutsertakan dalam lomba PIMNAS. Tetapi, dari sekitar lima proposal yang diajukan, tidak ada satupun yang lolos dalam seleksi. Hal itu disesalkan oleh Peza, karena proposal penelitian yang lolos seleksi akan dibiayai penelitiannya oleh Dikti. “Saya merasa kecewa dengan label Universitas yang ada di UIN. Cita-cita UIN ingin menjadi World Class University, tetapi tidak bisa bersaing secara nasional dengan perguruan
Namun, untuk asrama yang lain tidak diperlukan, karena menurutnya jumlah personil sudah cukup. Untuk pengadaan CCTV, Shomad menjelaskan pemasukan dana asrama tidak memadai untuk pembelian CCTV “Kita juga pengen ada CCTV. Tapi harga CCTV tidak murah,” tukasnya, Senin (21/5). Penanggung jawab Asrama Kedokteran, Farida Hamid memaparkan, kalau permintaan penambahan personil dan pengadaan CCTV diajukan di pertengahan tahun, tidak mungkin dapat terlaksana. “Karena anggaran dibuat di awal tahun,” paparnya Senin (21/5). (Sri/Ulfah) FOTO:SRI
Asrama UIN, INSTITUT- Demi terciptanya keamanan yang lebih optimal, satpam di berbagai asrama yang dimiliki UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengajukan permintaan ke Dewan Pembina Asrama (DPA). Salah satunya adanya penambahan personil keamanan atau pengadaan Closed Circuit Television (CCTV). Namun, hingga saat ini, keinginan itu belum terealisasikan. Satpam Ma’had UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Syahyudi menuturkan, sejak Ma’had diresmikan ia bekerja sendirian. Oleh sebab itu, dibutuhkan personil keamanan tambahan agar ada pergantian jam kerja untuk mengawasi Ma’had. “Saya hanya bekerja dari pagi sampai sore. Sedangkan jam kerja malam tidak ada yang bekerja,” tuturnya, Senin (14/5). Bagi Syahyudi, idealnya satpam berjumlah 5-6 orang, dengan harapan adanya waktu libur dan ia telah mengajukan permasalahannya kepada DPA. Namun, hingga kini belum terlaksana. Satpam Asrama Putra (Aspa), Ahmad Gufron pun merasakan kurangnya personil. Meski ada pergantian jam kerja, kinerjanya masih belum maksimal, karena Satpam Aspa hanya berjaga seorang diri saat bertugas. Seharusnya ketika bertugas, ada satpam yang mengontrol asrama dan ada satpam lain menjaga pos keamanan Jika permintaan di atas tidak dikabulkan, Ghufron meminta pilihan lain, yaitu pengadaan CCTV di pintu masuk dan setiap
Seorang penghuni asrama putra sedang menitipkan kunci kamar di pos keamanan Asrama Putra UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Senin (21/5).
Laporan Khusus
tinggi lain dalam PIMNAS,” tutur Peza yang juga pengurus Himpunan Mahasiswi Kimia (HIMKA), Kamis (10/5). Peza menjelaskan, ia tetap mengirimkan proposal penelitian untuk ikut lomba PIMNAS karena dianjurkan oleh dosennya “Kata dosen saya, kirimkan saja proposalnya karena UIN masih ada kerja sama dengan Dikti,” tuturnya. Menanggapi hal tersebut, Bagian Kemahasiswaan, Ja’far Sanusi mengatakan, ia tidak tahu mengapa UIN tidak dapat mengikuti PIMNAS. “Tidak pernah ada undangan dari Dikti mengenai hal tersebut,” ujarnya, Senin (21/5). Baginya, bila ada mahasiswa FST yang merasa kecewa, hal itu wajar. Mahasiswa dapat mencari lomba lain yang dapat diikuti. “Bukan hanya Dikti yang tidak memperbolehkan mahasiswa di bawah Kemenag mengikuti lomba PIMNAS, tetapi dari Kemenag juga memiliki kewenangan untuk menentukan siapa saja yang boleh mengikuti lomba yang diadakan Kemenag. Semua sesuai dengan proposal kegiatan yang tertulis, karena dikhawatirkan ada kebocoran anggaran,” jelasnya. (Dewi/Nurmalisa)
Laporan Khusus
Ma’had: Belum Ada Sosialisasi, Eksekusi Sanksi Diberlakukan Ma’had UIN, INSTITUT- Peraturan mengenai sanksi pelanggaran terhadap 36 mahasantri Ma’had putra dan putri pada kategori sedang, uang living cost akan tetap diberikan disertai surat pernyataan. Sedangkan untuk 26 mahasantri terkait pelanggaran kategori berat, living cost akan diberikan dengan mempertimbangkan presentase kehadiran pada bulan Maret dan April. Hal tersebut disampaikan oleh Dja’far Sanusi, Kepala Bagian Kemahasiswaan,Senin (14/5). Hal tersebut menuai protes dari beberapa mahasantri karena keterlambatan sosialisasi. Ketua Mahasantri Ma’had, Samsul Ma’arif, penerima beasiswa BUMN yang dijatuhkan sanksi tersebut mengatakan, eksekusi atas sanksi finansial pada Maret dan April, dilakukan sebelum adanya peraturan tertulis yang menerangkan mengenai sanksi tersebut. Menurutnya, baru pada Mei peraturan tertulis mengenai kategori persentase kehadiran beserta sanksinya diketahui saat duduk bersama Dja’far Sanusi, serta Pembantu Rektor III Bagian Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim di Ruang Sidang Utama, Senin (7/5). “Belum ada peraturan tertulis mengenai penahanan uang living cost sebagai sanksi yang akan diterapkan apabila persentase kehadiran tidak memenuhi jumlah tertentu,” ujar Samsul. Dia juga mengakui, peraturan itu dilakukan secara sepihak, serta tidak mendengarkan aspirasi mahasantri. Selama ini peringatan yang disampaikan oleh Kyai Ma’had, HD Hidayat, beserta wakilnya,
Utob Thabroni, hanya terkesan sebuah imbauan atau tanpa kejelasan peraturan tertulis yang mereka tanda-tangani dan sepakati. Keterangan lainnya diungkapkan Wakil Ketua Ma’had putra, Yusuf Ahmadi, penerima beasiswa BUMN yang tidak menerima sanksi pelanggaran. Dia mengatakan, peringatan akan penahanan serta pencabutan uang living cost sering disampaikan secara lisan melalui kyai dan wakilnya, tetapi secara tertulis peraturan itu belum pernah dia ketahui. Dja’far Sanusi, menanggapi tuduhan atas pemberlakuan sepihak tindak eksekusi penahanan living cost terhadap 62 mahasantri Ma’had putra dan putri dengan kasus pelanggaran berat dan sedang. Menurut Dja’far, UIN memiliki otoritas yang diberikan oleh Angkasa Pura II dan Bidik Misi untuk mengatur beasiswa dan memberikan sanksi. “Ini kewenangan UIN untuk me-lakukan sanksi dan mengatur beasiswa agar beasiswa dapat tersalurkan de- ngan memenuhi syarat dan berhasil mencetak mahasiswa unggulan. Ini wewenang, meskipun tidak ada sosialisasi sekalipun,
5
mereka harus siap menerima,” ungkapnya. Dia menambahkan, pemberian sanksi itu merupakan kebijakan pimpinan. Kyai Ma’had, HD Hidayat, beserta wakilnya, Utob Thabroni, yang meminta agar mahasantri Ma’had diberikan sanksi finansial. “Kalau secara tertulis, memang benar baru disampaikan saat sidang kemarin, tetapi secara lisan sudah lama,” tegas Dja’far. Namun pada saat ingin dikonfirmasi kepada Kyai Ma’had, HD Hidayat mengenai keterlibatannya dalam pemberian sanksi living cost, dia enggan untuk memberikan pernyataan karena menurutnya permasalahan ini bukan merupakan wewenangnya. (Adea/ Oji)
Gedung Ma’had
Kurang Optimalnya Pemanfaatan Skripsi Digital di PU Perpustakaan Utama, INSTITUT- Sejak September 2011, Perpustakaan Utama (PU) menerapkan sistem baru, yaitu digitalisasi multimedia, yang bertujuan mempermudah akses skripsi lama dalam bentuk digital. Namun, sistem tersebut kurang dioptimalkan kegunaanya oleh mahasiswa, hal ini diutarakan Kepala Perpustakaan Utama UIN, Nur Yudi (16/5). “Mungkin sosialisasinya memang kurang,” ujar Nur Yudi. Pihak PU masih memikirkan bagaimana format pasti untuk memberi layanan yang lebih baik ke depannya. “Kalaupun kita (pihak PU) melakukan sosialisasi, kemudian mahasiswa membludak ke skripsi digital, kita belum bisa memberikan pelayanan yang optimal, karena masih banyak keterbatasan,” papar Nur Yudi di ruangannya, Rabu (16/5). Nur Yudi mengakui, sosialisasi yang dilakukan memang belum maksimal. Kalaupun sosialisasi dilakukan dengan kapasitas yang besar, PU belum memiliki ruangan yang cukup untuk menampung pengguna skripsi digital. Senada dengan Nur Yudi, Kusaeri, Bagian Otomasi dan Multimedia PU mengatakan, skripsi digital ini baru tahap persiapan karena belum diresmikan. Sosialisasinya pun
langsung dari petugas ruang skripsi di lantai tiga. Jika mahasiswa tidak menemukan skripsi dalam bentuk fisik yang dicari, barulah petugas PU memberikan informasi mengenai skripsi berbentuk digital. Selain itu, kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan sarana pendukung juga menjadi hambatan belum maksimalnya pelayanan skripsi digital. Hardware yang disediakan saat ini lima komputer, sedangkan jumlah yang ada belum memadai jika layanan tersebut digunakan semua mahasiswa, jelas Kusaeri (16/5). Kusaeri menambahkan, Pelayanan PU memang masih kurang, belum ada persiapan seperti layout tempat, pengaturan print out, dan persyaratan layanan. “Koleksi dan tempatnya saja belum siap, bahkan belum ada kebijakan dari atasan,” lanjutnya. Sayangnya, sosialisasi yang dilakukan petugas PU secara langsung belum optimal. mahasiswi Manajemen Dakwah semester 8, Sumiyati, mengaku tidak mendapatkan sosialisasi langsung dari staf PU. “Malah saya disuruh cari langsung ke fakultas, dan nggak ada pemberitahuan mencari nya (skripsi) melalui multimedia digital,” tandasnya. Sementara itu, mahasiswa Manajemen Pendidikan (MP) semester 10, Didik Se-
FOTO:ELA
Sejumlah mahasiswa mencari referensi skripsi di ruang skripsi manual lantai tiga Perpustakaan Utama (PU), Rabu (16/5).
tiawan, mengaku tidak tertarik menggunakan skripsi digital. “Dari segi isi tidak ada bedanya, hanya bentuknya yang berbeda, skripsi digital dalam bentuk print out.” Menanggapi sempitnya ruang skripsi digital, Nur Yudi mengatakan, pihak PU berencana akan merombak tempat. Warung Internet (warnet) dan ruang skripsi digital akan disatukan agar mempermudah akses pencarian.(Ana/Ela)
6
Laporan Khusus Sanksi Rektorat Memberatkan ARKADIA
FOTO:DOK.ARKADIA
UIN Jakarta, INSTITUT - Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) ARKADIA keberatan atas keputusan rektorat yang memberi sanksi kepada pihaknya, untuk tidak melakukan kegiatan di luar kota selama satu periode kepengurusan, dan kegiatan lain yang melibatkan pihak luar. Sanksi tersebut diberikan karena ARKADIA tidak melampirkan bukti persetujuan orangtua/wali, pada acara memperingati Hari Bumi dan Pusat Informasi Nasional Muktamar Kenal Medan (PIN MKM) yang diadakan oleh ARKADIA di Badui, Banten (26-29 Mei). Ketua ARKADIA, Muchsin Sapto Adi, menyayangkan atas sanksi yang diberikan se-
UKM KPA ARKADIA sedang mengadakan rapat dan klarifikasi kinerja panitia pada acara peringatan Hari Bumi dan Pusat Informasi Nasional Muktamar Kenal Medan (PIN MKM) di Badui, Banten (26,4)
cara tiba-tiba tanpa ada pemanggilan terlebih dahulu. Hal tersebut dinilai salah olehnya, karena ARKADIA tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan permasalahan tersebut. Adi mengakui kesalahan yang dilakukan oleh pihaknya. Terkait dengan pembohongan yang dinyatakan oleh rektorat, dia menambahkan, “Mereka boleh menafsirkan seperti itu, kesalahan itu berawal dari miss komunikasi antara panitia dengan pengurus,” ujarnya. Namun, ia akan mengajukan banding pada pihak rektorat, guna menuntut kebijakan lain yang sesuai. “Pasalnya untuk pembinaan calon anggota harus diaplikasikan dilapangan seperti mendaki gunung, arung jeram, caving, dan lainnya, yang semua ini sulit dilakukan di Jakarta karena fasilitas pendukung sulit dijumpai di dalam kota,” papar Adi. Menanggapi hal tersebut, Pembantu Rektor (Purek) III Bidang Kemahasiswaan, Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan, sanksi yang diberikan tidak boleh dibicarakan lagi. “Mereka tidak sesuai dengan prosedur. Dimana-mana kan ada etikanya. Masuk dan keluar rumah saja ada etikanya. Mereka keluar kota dengan membawa nama UIN dan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, nantinya akan merusak nama baik UIN
juga,” lanjutnya. Menurut dia, ARKADIA telah membohongi bidang kemahasiswaan. Karena sehari sebelum acara, pihak ARKADIA menyatakan kepada bidang kemahasiswaan bahwa berkas persyaratan telah dipenuhi. Namun, pada saat berkas tersebut diperiksa kembali, ternyata bukti persetujuan orangtua/wali tidak dilampirkan. Bagi lembaga mahasiswa yang akan melakukan kegiatan di luar kota, harus memenuhi prosedur yang ditetapkan rektorat, termasuk melampirkan bukti persetujuan orangtua/wali dari anggota yang mengikuti kegiatan tersebut. Namun, jika melanggar akan dijatuhkan sanksi sebagai bentuk penegakan disiplin dan ketegasan pihak rektorat. Sudarnoto menambahkan, dia tidak mau terkait dengan urusan internal lembaga mahasiswa, termasuk ARKADIA yang simpang siur dalam memberikan pernyataan. “Antara ketua dan pengurus berbeda dalam memberikan pernyataan, maka sulit dicari mana yang benar,” katanya. Di samping itu, pihak ARKADIA tetap berusaha untuk meminta pertimbangan kembali, “Selama kita masih berjuang untuk kebaikan kita, kenapa tidak, karena sanksi itu akan mematahkan kreasi kami,” tutur Adi. (Taopik/Ardiyansyah)
UIN Jakarta, INSTITUT- Pembangunan gedung FISIP yang belum terselesaikan hingga saat ini menyebabkan pihak rektorat belum memprioritaskan pengembangan fasilitas Perpustakaan Umum (PU) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Hal tersebut dibenarkan Pembantu Rektor (Purek) II Bidang Administrasi Umum, Amsal Bachtiar. Ia mengatakan, pihaknya tidak kurang dalam memprioritaskan PU. Ia mengaku rektorat bertahap dalam menangani kebutuhan universitas. “Sama halnya dengan pembangunan gedung FISIP, pihak rektorat juga berencana membangun gedung PU dengan tujuh lantai. Dua lantai untuk parkir di bawah dan lima lantai untuk PU, misalnya,” jelasnya, Rabu (16/5). Lain halnya dengan Amsal, ketua PU, Nur Yudi menjelaskan, sejauh ini pihak rektorat kurang merespon dan belum merealisasikan usulan-usulan yang telah diajukan pihaknya, terkait pengembangan PU. “Rektorat mendengarkan usulan kami, tapi belum ada tanggapan tentang usulan tersebut,” katanya, Kamis (10/5). Yudi menambahkan, pihaknya mendapat-
kan dana Rp1 Milyar dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya untuk pembelian buku dan nantinya akan dibagikan ke setiap perpustakaan fakultas. Terkait dengan anggaran Rp1 milyar dari APBN, Amsal membenarkan pernyataan dari Nur Yudi. Dana tersebut dialokasikan untuk koleksi buku dan jurnal perpustakaan. Berbeda dengan perpustakaan di Universitas Paramadina, Kania Aranda, Supervisor Perpustakaan Paramadina mengatakan Rektorat Universitas Paramadina memberikan dana sebesar Rp10 juta setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dan operasional perpustakaan. “Untuk kemajuan perpustakaan, pihak rektorat mewajibkan para mahasiswa yang telah diwisuda menyumbangkan minimal dua buku untuk perpustakaan, otomatis koleksi buku perpustakaan akan terus bertambah,” tambahnya. Di samping itu, Pustakawan UIN Jakarta, Heru Widodo, menuturkan, fasilitas PU masih kurang memadai dibandingkan perpustakaan Universitas Pelita Harapan Serpong, yang menurutnya lebih bagus. “Kurangnya pustakawan menyebabkan pe-
Dua mahasiswi sedang mencari buku di Perpustakaan Utama (PU) UIN Jakarta, Senin, (21/5).
FOTO:NIDA
Rektorat Belum Memprioritaskan PU
layanan terhadap pengunjung PU belum maksimal,” tegasnya, Kamis (10/5). Heru menambahkan, bertambahnya koleksi buku setiap tahun menyebabkan ruangan PU semakin sempit. Kondisi tersebut membuat suasana kurang kondusif saat pengunjung PU sedang ramai. Menanggapi hal tersebut, Yudi tidak berani memberi kesimpulan perihal ruangan PU, ia mengatakan pihaknya harus mensurvei keadaan ruangan dan bertanya kepada para pengunjung perihal keadaan PU saat ini, guna mengetahui apakah pengunjung merasa ruangan PU sempit atau tidak. (Widodo/ Nida)
Sambungan.. SKS Dibatasi, Biaya Semester Tetap Sama Ia mengatakan, pembatasan itu juga bertujuan agar mahasiswa belajar lebih giat lagi, untuk mendapatkan nilai yang lebih baik di semester selanjutnya. “Kalau nilainya bagus kan bisa dapat SKS penuh,” tandasnya. Selain itu, menurutnya, kebijakan tersebut dibuat bukan untuk memberatkan mahasiswa. Menanggapi perihal tersebut, mahasiswa
Fakultas Sains dan Teknologi (FST), jurusan Sistem Informasi (SI) semester 4, Ahmad Fakri Saukani mengatakan, ia keberatan dengan sistem pembayaran yang seperti itu. “Itu berarti kita membayar dosen yang tidak kita ikuti matakuliahnya dong?” ujarnya, Senin (21/5). Berbeda dengan Fakri, Ahmad Khudori, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
(FITK) jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) semester 2 mengatakan, kebijakan tersebut tidak merugikan, bahkan dapat membuat mahasiswa berlomba-lomba mendapatkan IP yang bagus. “Jika tidak begitu mahasiswa pasti bermalas-malasan,” ungkapnya, Selasa (17/5). (Atep/Amzar)
Kampusiana Dua Surga dalam Cintaku UIN Jakarta, INSTITUTNovel ini mengisahkan tokoh yang tidak putus asa dalam mencari karunia cinta dan keturunan. Serta tentang tokoh lain, yaitu seorang perempuan yang berjuang kembali ke jalan Allah, karena sebagian orang memandang dirinya tidak bersih akibat kehormatannya telah direnggut. Begitulah, Sukron Kamil menjelaskan novelnya dalam acara launching dan bedah buku “Dua Surga dalam Cintaku” karya Atho Al-Rahman, yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pramuka, Rabu (16/5). Bertempat di ruang teater lantai empat Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menghadirkan Dosen UIN Jakarta Sukron Kamil, aktor dan budayawan Ray Sahetapy, pemenang Muslimah Beauty 2011 Dika Restiyan, wartawan sekaligus alumni UKM Pramuka sebagai moderator, Ratih Sanggarwati dan Hayat Fakhrurozi, Acara ini dibuka oleh Dadang Sofyan. Ia mewakili Airin Rachmi Diani, walikota Tangerang Selatan yang tidak bisa hadir dalam acara launching bedah buku. Sukron menuturkan, novel ini merupakan karya sastra populer dan dikategorikan novel romantis islami. Judul buku ini dipengaruhi hadis nabi yang berbunyi Bayti Jannati yang artinya mengatakan, bagaimana menjadikan rumah itu surga bagi istri maupun suaminya. Ia menambahkan, novel tersebut mempunyai konsep tentang kriteria utama bagaimana cara menjadi calon mempelai. “Konsep rumah
tangga dalam novel ini tentang keikhlasan yang menjadikan rumah tangga sakinah, mawadah, warohmah,” jelasnya. Berbeda dengan Sukron, Ray Sahetapy tidak setuju adanya bedah buku. Menurutnya, jika sebuah buku dibedah, maka yang tersisa dari buku itu hanya intinya saja. “Sama halnya seperti orang yang dibedah, hanya tinggal jantung dan organ lainnya,” ujar Ray. Di sisi lain, Ratih Sanggarwati selaku salah satu pembicara menilai, novel ini menghina kaum perempuan, “Di dalam novel ini perempuan yang meminta untuk dinikahi,” paparnya. Lili Layliyah, mahasiswi FAH Jurusan Tarjamah semester IV menjelaskan, novel yang berjudul Dua Surga dalam Cintaku sangat menarik untuk dibaca. Baginya, bahasa novel tersebut ringan, sehingga memudahkan pembaca dalam menggambarkan isi novel tersebut. Dika Restiyani, salah satu mahasisiwi yang melanjutkan studinya di Singapura menanggapi, menurutnya novel ini merupakan bacaan ringan bagi yang tidak mengerti tentang sastra, serta di dalamnya terdapat nilai–nilai islami yang bisa diambil manfaatnya. Siti Humairoh, selaku ketua panitia dari acara tersebut merasa senang. Ia mengatakan senang sekali mengadakan acara bedah novel ini, selain untuk memperluas pengetahuan bacaan, juga untuk lebih memperkenalkan masyarakat kampus secara umum, “Semoga akan ada acara seperti ini lagi,” ucapnya. (Imam/Adi N)
FOTO:ADI
Launching dan bedah buku dihadiri Ratih Sanggarwati (kiri), Ray Sahetapy (kedua dari kiri), Atho al-Rahman (tengah), Prof. Dr. Sukron Kamil (pembicara), Dika Restiyani (kanan), Rabu (16/5).
7
Mengukir Karya Seni Islami Melalui FSI FOTO:DOK.HIQMA
Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan Sudarnoto (paling kanan) memukul gong, sebagai tanda pembukaan acara Festival Seni Islam (FSI) di Aula Student Center, Selasa (8/5).
UIN Jakarta, INSTITUTTiga lomba digelar pada Festival Seni Islam (FSI). Acara yang digelar dua tahun sekali oleh UKM Himpunan Qori dan Qoriah Mahasiswa (HIQMA) ini berlangsung dari 8-11 Mei 2012. Dalam acara tersebut, mata lomba yang digelar di antaranya Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat mahasiswa nasional, Musabaqah Syarhil Qur’an (MSQ) tingkat mahasiswa nasional, dan Marawis tingkat umum se-Jawa. Perlombaan ini meraup peserta sebanyak 40 mahasiswa pada mata lomba MTQ, 25 mahasiswa pada mata lomba MSQ, dan 27 grup Marawis. Selain lomba, dalam FSI juga dilaksanakan seminar bertema Design Attack: Care and Awarness. Seminar yang diisi oleh komunitas Visual Arts Pandorasquad ini dilaksanakan di Aula Madya UIN Jakarta, Kamis (10/5). Dalam seminar ini, ditegaskan bahwa seni desain diproses secara murni tanpa plagiarisme dan mudah dibuat. Ketua Pelaksana FSI, Fajar Mahbub mengatakan, tahun ini adalah kali kelima HIQMA menggelar FSI sejak diselenggarakan pada 2002. Ia menambahkan, FSI tahun ini diadakan untuk tingkat nasional, sedangkan tahun sebelumnyahanya dalam tingkat Jabodetabek. Fajar menjelaskan, acara ini bertujuan untuk membangkitkan karya seni Islam, karena menurutnya, karya seni Islam hampir tergerus seni modern. Dengan melibatkan sekitar 60 panitia dari anggota HIQMA,
ia berharap agar seni Islam tetap terjaga eksistensinya. Muhamad Nur Rifa’i, peserta lomba marawis berpendapat, festival ini bagus, karena dapat menggali bakat seni Islamnya. Ia menyarankan, pada FSI selanjutnya, perlu digelar lomba untuk tingkat sekolah. Rangkaian festival tersebut ditutup dengan berbagai penampilan seni Islam pada malam puncak yang digelar di Auditorium Harun Nasution, Jumat (11/5). Penampilan pertama dibuka oleh Masrur Ichwan, Qari Internasional yang membawakan Haflah Tilawah. Setelah itu, penampilan kedua diisi dengan lantunan Doa Khatmil Qur’an yang dipersembahkan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UIN Jakarta. Selanjutnya, pentas panggung diisi mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, serta para alumni dan anggota baru HIQMA. Maritsa Nova, pengunjung pada malam puncak FSI dari Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi (FST), merasa puas dengan acara yang disajikan. Menurutnya, panitia mampu mengemas acara ini dengan kreatif, sehingga tidak membuat penonton jenuh. “Jika diadakan lagi, persiapan teknis harus lebih matang,” ujarnya. (Nawang/Ade)
Seni Budaya
Hasan Sang Komandan berdoa agar dapat bertahan dalam medan pertempuran, setelah menangisi anggotanya yang mengundurkan diri dari Barak Militer, Sabtu (12/5).
Di suatu malam, tiba-tiba terdengar suara gemuruh pertempuran yang begitu dahsyat. Dengan serentak musuh menyerang sebuah basecamp militer, kemudian menyisakan trauma bagi Narto, salah seorang tentara di barak itu. Hasan, sang komandan militer merasa aneh melihat Narto kebingungan. “Aku tidak bisa hidup seperti ini terus, aku harus pergi. Aku muak dengan tempat ini, aku muak dengan orang-orang ini. Aku ingin bebas,” gumam Narto sambil mondar-mandir. Tak lama, ia pun mengutarakan keinginannya untuk berhenti menjadi prajurit perang. Si komandan tentu tak ingin Narto berhenti. Berbagai siasat dilakukan Hasan
Perang Batin Sang Prajurit untuk menahan keinginan anggotanya itu, namun Narto tetap bersikeras dengan keputusannya. Hasan pun kecewa, ditembakkannya senjata ke udara, menggelegarkan suara peluru hingga suasana semakin memanas. Sementara itu, Abdul dan Hakim, anggota militer lainnya bersiaga untuk mengantisipasi serangan musuh. Seraya duduk di kursi, Hakim berujar bahwa perang akan berakhir bila kiamat tiba. Mendengar ucap rekannya, Abdul pun tercengang. “Kiamat adalah ketika semua orang tidak ada lagi pilihan dan menyerah. Kemudian Tuhan datang dengan kehendaknya,” ucap Hakim dengan lantang di atas menara kayu barak mereka. Tegak telinga Abdul mendengar pidato temannya yang ia anggap ngawur. Demi menumpahkan kekesalannya, ditodongkannya senapan ke arah Hakim. Namun, kicau Hakim ternyata tak bergurau. “Akan kutebas musuh-musuh itu dengan pedang ini, demi membela lambang ini, Dul,” lanjut Hakim sambil menggenggam emblem militer di dadanya, membuat semangat Abdul kembali berkobar. Malam harinya, Hasan sang komandan menyendiri dan terisak menangis karena sedih kehilangan anggotanya, sampai terdengar oleh Abdul. Dengan polosnya Abdul bertanya, “Komandan, perasaan ada yang menangis?” Komandan pun menjawab dengan suara yang lemas dan hampa, “Narto telah pergi, dia telah meninggalkan kita.” Tiba-tiba, musuh serentak menyerang
Sang Juara Tanpa Juara “Seseorang menjadi juara bukan ketika ia memegang medali dan piala, tapi ketika ia bisa mengendalikan emosi dan menguatkan mental.” Begitulah sepenggal kalimat bijak diucapkan Djaelani Manock, sutradara Teater Lorong Junior bertajuk Sang Juara yang digelar di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM), Kamis (17/5). Kisah Sang Juara yang menjadi pemenang di Festival Teater Anak Jakarta 2011 ini menceritakan sebuah kampung yang mengadakan perlombaan membaca puisi. Tak seperti kebanyakan perlombaan yang berakhir dengan euforia kemenangan, perlombaan ini malah bubar sebelum ditemukan sang juara. Para peserta yang terdiri dari bocahbocah kampung tampil lugu melantunkan rangkaian kata-kata. Akbar Cungkring, peserta pertama melantunkan bait puisi dengan syair terbolak-balik. Kontan ia menuai sorakan dari penonton. Akbar pun malu dan meninggalkan panggung. Begitupun dengan peserta kedua, Nana Kelana. Seiring melantunkan puisi bersyair ‘kemana… kemana’ khas lirik lagu Ayu Tingting, Alamat Palsu, bocah berambut keriting itu malah ngeluyur meninggalkan panggung. Saat penonton bersorak me-
manggil, Nana tak acuh dan menghilang di balik kerumunan penonton. Tak lama suasana jadi hening saat Mela, peserta ketiga lomba baca puisi mulai membacakan puisi dengan khidmat. Penonton pun seperti tersihir karena terpukau. Sayang, peserta selanjutnya, Ujang Ngantuk, terpaksa didiskualifikasi karena tak berani tampil sendirian. Tak pelak, kejadian ini membuat Ujang jadi merengut. Setelah panggung ditinggal Ujang, tibatiba seorang bocah lelaki diikuti dua pria berbadan kekar dengan kacamata hitam melenggang menuju panggung. Wajahnya yang sumringah bak kilauan mutiara yang melingkar di pergelangan tangannya menjadi pusat perhatian penonton. Bocah tersebut ternyata artis dari Malaysia. “Pa kabar kalian ne?” sapanya dengan logat khas orang-orang Melayu sambil melambaikan tangan. Tahu yang datang artis, para penonton lomba malah berhamburan menghampirinya untuk foto bersama. Suasana pun menjadi ricuh dan tidak dapat dikendalikan oleh panitia lomba. Saking ricuhnya, sang artis ditarik dari panggung. Perlombaan pun bubar bersama dengan bubarnya para penonton. Hening. Panggung kini gelap. Alunan musik me-
mereka. Seketika Abdul tertembak. Hasan yang panik berusaha membangunkan Abdul. Hakim pun datang menolong, sayangnya peluru panas tak pelak ikut bersarang di tubuhnya. Sang komandan mencoba untuk menolong keduanya tapi sia-sia, karena saat ingin menolong, ia pun turut tertembak. Begitulah akhir dari pementasan Teater Abis yang diselenggarakan di Lapangan Parkir Bina Sarana Informatika (BSI) Fatmawati, Sabtu (12/5) lalu. Pentas bertajuk Perang ini ditampilkan sekaligus merayakan ulang tahun Teater Abis yang ke-11. Ahmad Amet selaku sutradara menjelaskan, perang dalam pentas ini bukanlah perang secara lahir, tapi perang secara batin. Bagi Amet, yang ingin ia sorot adalah konflik-konflik antar individu, khususnya dalam sebuah organisasi. Ketika ditanyai perihal biaya, ia menjelaskan, pementasan kali ini dibiayai oleh dana seikhlasnya dari temanteman. Chandra L. Purba, pemeran tokoh Hasan mengatakan, persiapan pementasan kali ini membutuhkan waktu satu bulan. Ia bercerita, hambatan yang ditemuinya berkisar pada proses latihan yang begitu singkat dan proses alam yang dialami para aktor. Selain itu, kevakuman teaternya selama beberapa waktu membuat pentas mereka sempat kesulitan mendapatkan lokasi untuk tampil. Namun, akhirnya teater mereka berhasil dipentaskan. (Ayub/Yadi)
lankolis bergaung di segala penjuru ruangan. Secercah sinar kemudian menyoroti Ketua Panitia perlombaan, Boby Faisal, dengan satu titik lampu. Ia duduk termenung sambil memeluk piala. Ia hanya diam melihat sekitar ruangan tanpa seorangpun, seolah menyesali semua yang terjadi. Acara yang sudah ia persiapkan hancur begitu saja tanpa sang juara. Pementasan yang digelar untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional dan Pesta Seni Anak Jakarta ini berakhir dengan tepukan meriah penonton. “Tidak tahu pesannya apa, karena tiba-tiba selesai sebelum ada juaranya. Tapi penampilan mereka sangat bagus, cukup menghibur,” ujar Yunas Septiani, salah satu penonton. Sang sutradara pun berkomentar, teater seperti ini bertujuan membina anak agar berkarya sejak dini. (Karlia/Listiani) FOTO:KARLIA
FOTO:DOK.PRIBADI
Salah satu anak sedang membacakan puisinya pada pagelaran teater kesenian anak Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Kamis (17/5).