Majalah intervensi tak kasat mata 2016

Page 1

INTERVENSI TAK KASAT MATA

UIN SGD

Rp

Rp Rp

Rp

a

B ndun g

Rp



Dari Redaksi

Assalamu’alaikum

O

rganisasi ekstra kampus telah lama bersemayam di UIN SGD B a n d u n g , t e r l a l u n ya m a n berada di ruang yang sebenarnya bukan 'rumah' mereka. Berbagai tatanan dikendalikan oleh orang-orang yang terlibat di organisasi ekstra tersebut, parahnya almamater keorganisasian ekstranya turut andil dalam mengendalikan kampus. Dampaknya masif, nepotisme lebih berpeluang dalam berbagai sisi, perebutan kekuasaan untuk kepentingan kelompok 'ekstra' pun terjadi. Bahkan tidak jarang organisasi intra kampus terkorbankan karena problem antar organisasi ekstra kampus ini. Mengenai hal tersebut, Suaka merangkum informasi seputar organisasi ekstra dalam laporan utama Majalah Suaka. Dimulai persoalan, hingga solusi yang ditawarkan perihal posisi dan sikap yang harus dimiliki oleh organisasi ekstra di dalam bahkan luar kampus. Dilatarbelakangi pembubaran paksa kegiatan mahasiswa oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan organisasi masyarakat (Ormas), menyebabkan ruang mahasiswa di ranah non akademik terancam, pelaku pembubaran hanya berlandaskan pasal-pasal yang masih abu-abu. Maka dari itu, rubrik Laporan

Khusus Majalah Suaka mengangkat polemik tersebut. Kemudian permasalahan sampah kota yang tidak kunjung usai, terutama di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang menjadi tempat bersemayam berton-ton sampah setiap harinya. Mengingat tragedi longsor sampah di Leuwi Gajah, rubrik Sorot turut menyorotinya. Tentang pengelolaan sampah oleh pemerintah yang masih diragukan kesungguhannya, komentar dan saran dari aktivis lingkungan, serta cuplikan kisah warga yang tinggal di area TPA juga menggantungkan hidupnya di lokasi itu. Rubrik Sosok diisi oleh Irfan Amalee, alumni UIN SGD Bandung yang tak hentinya membangun perdamaian melalui Peace Generation (PeaceGen). Pelbagai penghargaan hingga level internasional juga ia raih. Rubrik lainnya diisi dengan beragam informasi penting dan direkomendasikan untuk dibaca menjadi bahan diskusi. Semisal Selisik yang mengupas soal life style berbasis syar’i, serta Mimbar dengan bahasan agama Islam yang dirasa kurang membumi. Fanatisme bola juga dibahas dalam rubrik Stetoskop, masih dalam rubrik yang sama dengan isu seputar bola, ada bahasan mengenai istilah

persepakbolaan yang minim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Masih banyak isu-isu lainnya yang tidak kalah menarik untuk dibaca tersaji dalam rubrik Sisi Kampus, Sisi Kota, Mata Media, Paguyuban, Mozaik, Pendidikan, Selisik, Proyektor, Resensi Buku dan Film, serta Teater. Majalah Suaka juga mengapresiasi berbagai karya, kontribusi tersebut tercantum dalam rubrik Opini, Cerpen, Karikatur, Vakansi serta Surat Pembaca. Tigapuluh tahun telah berlalu, Suaka, dengan kesungguhannya terus berusaha membangun dunia literasi di kampus UIN SGD Bandung ini. Meskipun ada banyak yang merasa terganggu dengan informasi yang tersaji, para pemburu berita tak putus asa, tetap mencari fakta untuk disajikan kepada pembaca. Media bukan hanya sebagai pemberi informasi, tapi juga edukasi dan alat kontrol sosial. Maka, kami berharap tulisan dalam majalah ini berperan dalam membawa kampus ke arah yang lebih baik. Salam Pers Mahasiswa! Suaka

Pemimpin Umum : Robby Darmawan Sekretaris Umum : Anjar Martiana Bendahara Umum : Nuru Fitry Pemimpin Redaksi : Isthiqonita Sekretaris Redaksi : Desti Nopianti Redaktur Tabloid : Ibnu Fauzi, Ima Khotimah Redaktur Online : Ibnu Fauzi, Edi Prasetyo Redaktur Fresh : Ulfah Choirun Nissa, Rendy Muhamad Muthaqin Redaktur Foto : Mochammad Aziz Pratomo Redaktur Ar s k : Ricky Priangga Subastiyan Reporter : Ridwan Alawi, Awallina Ilmiakhanza, Hasna Salma, Yulita Bonita, Akbar Gunawan Wadi, Dadan Muhammad Ridwan Fotografer : Elya Rhafsanzani Layouter : Ismail Abdurrahman Azizi, Nolis Solihah Pemimpin Perusahaan : Purna Irawan Sekretaris Perusahaan : Firly Yunanda Damanik Iklan : Fitriani Utami Dewi, Delvia Yosa Amanda, Andini Muslimah Kerjasama dan Promosi : Nida Fikriyatul Jannah, Isma Dwi Ardiyanti, Nunung Nurhayati Suwanda Produksi dan Sirkulasi : Ari Gunawana, Gisna Maulida Q, Fani Nabilah Farsi Kepala Litbang : Dede Lukman Hakim Sekretaris Litbang : Restia Aidila Joneva Riset Data dan Informasi : Nizar Al Fadilah, Fantyana Huwaida'a, Puji Fauziah, Ayu Isnaini Pengembangan Sumber Daya Manusia : Muhammad Iqbal, Anisa Dewi Anggri Aeni, Laura Hilmi, Muhammad Machally, Galih Muhamad *** TIM MAJALAH SUAKA 2016 Pemimpin Redaksi : Isthiqonita. Redaktur Pelaksana : Ibnu Fauzi, Ima Khotimah, Ridwan Alawi, Edi Prasetyo, Ulfah Choirun Nissa, Rendy Muhamad Muthaqin. Reporter : Hasna Salma, Puji Fauziah, Awallina Ilmiakhanza, Galih Muhammad, Ismail Abdurrahman Azizi, Akbar Gunawan Wadi, Laura Hilmi, Nunung Nurhayati, Elya Rhafsanzani, Gisna Maulida Q, Yulita Bonita, Ulfah Choirun Nisa, Ricky Priangga Subastiyan, Nuru Fitry, Anjar Martiana, Purna Irawan, Nida Fikriyatul Jannah, Ibnu Fauzi, Ima Khotimah, Dadan Muhammad Ridwan, Muhammad Machally, Edi Prasetyo, Robby Darmawan, Isthiqonita, Isma Dwi Arianti, Delvia Yosa Amanda, Fantyana Huwaida'a, Anisa Dwi Anggri Aeni, Firly Yunanda Damanik, Fani Nabilah Farsi, Nida Fikriyatul Jannah, Fitriani Utami Dewi, Dede Lukman Hakim, Ayu Isnaini, Nizar Al Fadillah, Muhammad Iqbal, Desti Nopianti, Restia Aidila Joneva, Andini Muslimah, Mochammad Aziz Pratomo, Nolis Solihah. Fotografer : Mochammad Aziz Pratomo, Elya Rhafsanzani, Rendy Muhamad Muthaqin. Layouter dan Ilustrator : Ricky Priangga Subastiyan, Ismail Abdurrahman Azizi, Nolis Solihah. Sampul Majalah : Ricky Priangga Subastiyan. Alamat : Gedung Student Center, Lt. 3 No.15 Kampus UIN SGD Bandung Jl. A.H Nasution No. 105, Cibiru-Bandung. Email : redaksi.suaka@gmail.com Web : suakaonline.com, fresh.suakaonline.com, lensa.suakaonline.com Facebook : LPM Suaka Twitter : @lpmsuaka Instagram : @lpmsuaka_ Line : @ouy7950e

Majalah Suaka 2016

1


indeks

LAPORAN UTAMA #8

SOSOK #22

LAPORAN KHUSUS #28

SOROT #46

pendidikan #24

STETOSKOP #58 #60

MIMBAR #64

MUSIK #68

DARI REDAKSI#1 INDEX#2 TAJUK#3 SURAT PEMBACA#4 OPINI#18 #36 #80 RANA#40 CERPEN#42#74 SISI KAMPUS #68 RESENSI FILM#70 RESENSI BUKU#72 MATA MEDIA#76 paguyuban#78 mozaik#82 selisik#84 vakansi #86 teater #90 sisi kota #92 proyektor#66 Kolom#92 2

Majalah Suaka 2016


tajuk

MENGGIRING ORGAN EKSTRA KE JALAN YANG BENAR

M

enghujat organisasi ekstra kampus di lingkungan UIN SGD Bandung tampaknya merupakan hal yang tabu. Apapun persoalan yang 'mereka' lakukan, hanya selesai dengan kasak kusuk di tempat nongkrong mahasiswa. Nongkrong selesai, persoalan pun dianggap usai. Tak ada yang mau mengambil resiko untuk secara terang-terangan menyatakan bahwa kekacauan internal kampus, salahsatu penyebabnya adalah mereka. Sehingga tindakan untuk mencegah kekacauan tidak digaungkan, dampaknya kekacauan terus berulang. Anggap saja, posisi di Dema-U/Sema-U merupakan posisi strategis organisasi internal mahasiswa kampus UIN SGD Bandung. Pertengkaran berawal dari sana, ada organisasi ekstra kampus yang saling keukeuh untuk menduduki jabatan strategis itu. Setelah mendapatkan posisi, apa pun yang diinginkan aman terkendali. Menjadi kepanitiaan Orientasi Pengenalan Akademik (Opak), mendapat peluang lebih dekat dengan birokrasi kampus dari background organisasi yang sama, mendapat beasiswa tanpa syarat yang rumit, hingga jaminan kerja. Pembahasan mengenai kekosongan Dema-U/Sema-U beberapa kali diangkat, jawabannya sama, bahwa ada peraturan keorganisasian internal kampus yang berubah, POKI menjadi POK dan kembali menjadi POKI. Kemudian berujung pada kekosongan kepengurusan. Tidak lama kemudian Opak menjadi tanggung jawab bersama, pembagian jatah dimulai. Siapa yang menjadi ketua, sekretaris, bendahara, dan penanggungjawab ini penanggungjawab itu. Tugas penting tidak menjadi prioritas utama, dampaknya pelayanan terhadap peserta Opak terbengkalai, penyerahan almamater, sertiďŹ kat, dan fasilitas Opak lainnya tidak maksimal terjadi setiap tahun. Lebih parahnya lagi, laporan pertanggungjawaban kepanitiaan siapa yang tahu, Opak selesai, tanggungjawab dinyatakan usai. Panitia -yang mayoritas terdiri dari ogranisasi ekstra itu- pergi entah kemana, bahkan cenderung lari dan enggan mengakui bahwa Opak masih menyisakan pekerjaan. Jika ada yang bertanya perihal 'anu' seputar Opak, maka jawabannya 'maaf bukan tanggungjawab saya, tapi si anu'. Apatis terhadap politik tidak dibenarkan, sejak lama mahasiswa selalu terlibat dengan aktivitas politik. Namun, kinikhususnya di UIN SGD Bandung- terjadi pergeseran peran. Mahasiswa yang terlibat dalam politik lebih memperlihatkan persaingan untuk kekuasaan dalam kelompoknya sendiri. Padahal, pergerakan mahasiswa di dunia politik memiliki tujuan yang lebih besar. Semisal gerakan Boedie Oetomo yang

mereeksikan sikap kritis dan keresahan. Hingga gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Dalam skala kecil yakni skala kampus, mahasiswa yang mendedikasikan dirinya untuk tidak apatis terhadap politik bisa menjadi penyeimbang. Menjadi garda terdepan dalam melakukan advokasi atas kebijakan kampus yang merugikan mahasiswa. Jam malam, pembatasan ruang terbuka mahasiswa, kenaikan biaya kuliah, dana yang tidak transparan, pemberian beasiswa terhadap yang bukan haknya dan kebijakan lainnya. Namun, yang terjadi di UIN SGD Bandung ialah 'politisi' mahasiswa menyerang 'politisi' mahasiswa yang dianggap oposisi untuk mendapat kekuatan dan posisi strategis dan lebih dekat dengan birokrasi kampus. Ada kebiasaan unik yang terjadi di kalangan aktivis organisasi ekstra UIN SGD Bandung. Kebiasaan unik itu terlihat dari aksi atau demonstrasi. Anggap saja organisasi ekstra sebagai partai politik, maka ketika partai politik A sedang menduduki posisi kuasa di kampus (ditandai dengan menduduki Dema-U/Sema-U) maka partai A sangat amat jarang melakukan aksi. Sebaliknya, jika si A menjadi oposisi dari si partai B yang tengah berkuasa dalam organisasi tertinggi mahasiswa, maka si partai A dengan mengatasnamakan mahasiswa kerap berunjuk rasa dan banyak mempermasalahkan persoalan-persoalan kampus. Begitu pula sebaliknya. Sarannya sederhana, organisasi ekstra kampus berhenti melakukan tindakan politik praktis di lingkungan kampus. Menyoal pengkaderan, tidak menjadi masalah tatkala setiap pengkaderan tidak mengganggu stabilitas kampus termasuk organisasi intra. Organisasi ekstra cukup melakukan aktivitas politik di luar kampus, seperti yang dilakukan mahasiswa di zaman kemerdekaan, Orde Lama dan Orde Baru. Mahasiswa, melalui organisasi ekstra melakukan peran penting dalam ruang lingkup yang lebih luas. Mahasiswa, harus memperjuangkan politik menjadi sesuatu yang bersih. Terakhir, organisasi ekstra harus menggaungkan kembali identitas ideologi yang beragam. Kanan, kiri bahkan tengah. Kampus merindukan perdebatan sengit akan hal itu, berbagai kajian berseliweran di sudut-sudut gedung kuliah. Bukan perdebatan yang diulang satu tahun sekali setiap Musyawarah Mahasiswa Universitas (MMU), dan secara langsung mengganggu stabilitas organisasi intra. [Redaksi] Majalah Suaka 2016

3


SUAKA/Ismail Abdurraman A

surat pembaca

SURAT TERBUKA UNTUK REKTOR UIN BANDUNG Kepada Yth: Rektor UIN SGD Bandung, Bapak Prof. Dr. H. Mahmud, M. Si. Di Tempat Assalamualaikum wr.wb, Dengan hormat kami sampaikan surat terbuka untuk bapak Rektor, bahwa di lingkungan kampus yang kita cintai ini masih terdapat banyak kekurangan dalam hal sarana dan prasarana kampus. Berbicara mengenai sarana masih terdapat kekurangan, seperti kurangnya kelas bagi para mahasiswa untuk belajar dan mendapat pembelajaran. Hal ini menyebabkan para mahasiswa harus ditempatkan dan dialihkan kelasnya di gedung Pascasarjana dan Lecture Hall. Khususnya mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum; Tarbiyah dan Ushuluddin. Selain itu tempat parkir kampus kita kurang memadai dan teratur sehingga seringkali menyebabkan kemacetan sepanjang jalanan kampus khususnya di sekitar kampus depan dan SC (student center). Dalam hal fasilitas pendukung kelas seperti air conditioner dan bangku kurang mencukupi. Ada beberapa kelas di dalam satu gedung perkuliahan tidak terdapat fasilitas yang sesuai dengan kelayakan. Mengenai prasarana di kampus kita

4

Majalah Suaka 2016

seperti kelayakan bangunan perkuliahan beserta isi di dalamnya sangat kurang memadai dan layak pakai. Tengoklah sedikit mengenai keadaan toilet dan mushola setiap fakultas di universitas tercinta kita kurang terawat dan terjaga. A l a n g k a h b a i k n ya a d a r e n o va s i bangunan yang sudah lama dan kurang terlihat estetis. Khususnya bangunan perkuliahan Fakultas Syariah dan Hukum; Tarbiyah dan Keguruan serta Ushuluddin. Lalu melihat kondisi perpustakaan kampus kita walaupun dari kemudahan administrasi yang menyangkut peminjaman, pengembalian dan keramahan karyawannya sudah dikatakan baik. Namun alangkah baiknya bila koleksi buku-buku perpustakaan kita ditambah dan dilengkapi sesuai kebutuhan mahasiswanya yang kian hari kian bertambah. Sebelumnya kami memohon maaf kepada seluruh staf pengajar atau para dosen kampus UIN SGD Bandung ini bila menyinggung kapasitas dan kompetensi pengajarannya. Tetapi kami ingin sedikit berkomentar bahwa sebaiknya dosen-dosen ditempatkan sebagai pengajar sesuai keahlian di bidangnya, jangan sampai ada dosen yang mengajar diluar bidang keahliannya. Misalnya di fakultas Sains d a n Te k n o l o g i a d a d o s e n y a n g

seharusnya mengajar mata kuliah keguruan atau pendidikan tetapi mengajar matakuliah diluar kapasitas keilmuannya. Atau ambil contoh lain dalam Fakultas Syariah dan Hukum ada dosen yang seharusnya mengajar mata kuliah Sosiologi, tetapi beliau malah mengajar mata kuliah Hukum. Jadi kepada bapak Rektor UIN SGD Bandung yang kami hormati, dengan adanya pernyataan surat terbuka ini kami mohon pertimbangan dan perhatiannya. Semoga dengan adanya surat terbuka ini bapak Rektor dapat memahami dan mengerti keadaan kampus tercinta kita dewasa ini. Dan bapak segera menangani dan memperbaiki keadaan kampus kita secara berangsur. Kalau bukan saat ini kapan lagi? Kalau bukan kita yang memulai siapa lagi? Sekian dan terima kasih atas perhatian dan pengertian bapak Rektor.

Bandung, 23 Oktober 2016 Sifa Nurhidayah, Jurusan Ilmu Hukum


SUAKA/Galih Muhamad

Iklan layanan masyarakat ini dipersembahkan oleh LPM SUAKA Majalah Suaka 2016

5


laporan utama

POLEMIK ORGANISASI EKSTRA DI KAMPUS HIJAU

Organisasi Ekstra Kampus mestinya turut andil dalam pengembangan akademik di kampus. Sayangnya, oknum organisasi ekstra di kampus UIN SGD Bandung cenderung mengepankan praktik politik praktis. Organisasi ektra ikut campur hampir dalam seluruh aktivitas intra kampus. Dampaknya tatanan organisasi intra menjadi sarang ‘politisi’ kampus yang mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan umum apalagi kemajuan pendidikan.

SUAKA/Elya Rhafsanzani


Majalah Suaka 2016

7


laporan utama

Organ Ekstr

BIAS FUNGSI ORGAN EKSTRA SUAKA/Nolis Sholihah, Ismail Abdurraman A

Oleh Hasna Salma

Dalang bagi beberapa persoalan di kampus UIN SGD Bandung masih disematkan kepada oknum organisasi ekstra kampus. Masalah itu berupa perebutan kekuasaan di organisasi intra, namun membawa kepentingan kelompok ekstranya, akibatnya fatal, melakukan berbagai cara untuk menduduki posisi kuasa tersebut. Tak jarang, cara yang dilakukan melabrak idealismenya sebagai mahasiswa.

S

ejak pagi, kampus UIN SGD Bandung telah ramai dengan lalu lalang mahasiswa, baru juga lama, mempersiapkan diri mengikuti hajat akbar tahunan kampus, Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) 2016. Sepanjang jalan dari gerbang menuju Aula Anwar Musaddad, di mana Opak dihelat, berbagai organisasi menunjukan eksistensinya, organisasi intra kampus bahkan ekstra kampus. Menjelang siang, peserta Opak dipersilahkan untuk istirahat. Seorang mahasiswa keluar dari aula, ketika ia tengah berjalan, tiba-tiba tangannya ditarik dan diperintahkan untuk mengisi formulir oleh seseorang. Ia menduga yang melakukannya ialah mahasiswa

8

Majalah Suaka 2016

senior di kampusnya. Sebagai mahasiswa baru, ia tak mengenal orang yang menyuruhnya mengisi formulir setengah memaksa tersebut, yang ia tahu simbol yang terpampang ialah dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). “Katanya khusus buat fakultas Ushuluddin dan itu resmi. Nanti dipermudah buat nilai dan semuanya,” ujar mahasiswa baru yang enggan disebutkan namanya, Rabu (28/09). Meskipun dipaksa, namun ia menolak untuk mengisi formulir itu. Kondisi tersebut kerap terjadi setiap tahunnya, memaksa atau pun tidak, oknum organisasi ekstra kampus memiliki kuasa untuk mempromosikan

o r g a n i s a s i n ya . S i v i t a s a k a d e m i k kampus UIN SGD Bandung telah terbiasa dengan rutinitas itu. Bahkan dalam berbagai kesempatan, tidak jarang organisasi ekstra kampus mempengaruhi sistem internal kampus. Salah satu kader PMII, Nawa Nur Arif angkat bicara, ia menilai bahwa perilaku tersebut bukan pelanggaran. Berbicara soal politik pengkaderan itu diperlukan, “Kalau di Jakarta (UIN Syarif Hidayatullah-Red) bendera itu tidak diizinkan masuk kampus tapi di sini bendera-bendera itu masuk kampus, kan ranah normatif,” ujar Nawa. Nawa berdalih jika organisasi ekstra dilarang masuk ke ranah kampus, ada banyak petinggi kampus yang memiliki latar belakang organisasi ekstra. “Yang tidak boleh itu ketika birokrat kampus melakukan kaderisasi di kelas. Kalau sesama mahasiswa itu tidak apa-apa. Kalau ditawarin formulir ya silahkan mau diterima atau tidak. Jadi saya tidak menafikan hal itu karena ada yang harus diperjuangkan, meskipun persepsi dari luar itu beragam tidak jadi masalah,” tambah Nawa. Padahal, ada peraturan baku yang menyatakan larangan organisasi ekstra masuk kampus atau aktivitas politik praktis dalam kehidupan


laporan utama

Berikan kursi itu pada yang mampu. Daripada lembaga hancur. Berikan pada HMI, PMII, selagi mereka mampu dan amanah.

kampus. Peraturan tersebut tercantum pada Keputusan Direktur Jendral Pendidik an Ting g i Depart emen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 26/Dikti/Kep/2002 pada poin pertama yang berbunyi “Melarang segala bentuk organisasi ekstra kampus dan partai politik, membuka Sekretariat (Perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di kampus.” Selain itu, oknum kader organisasi ekstra juga terindikasi melanggar kode etik dan tata tertib mahasiswa UIN SGD Bandung berdasarkan keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam No: DJ.I/255/2007 BAB IV Pasal 5 mengenai larangan melakukan tindak campur tangan kepentingan organisasi ekstra kampus dalam pengambilan kebijakan organisasi intra kampus. Perilaku oknum organisasi ekstra kampus secara terang terangan melanggar dua peraturan tersebut. pasalnya Opak merupakan agenda intra kampus. Tumpang Tindih Kepentingan Secara berulang, Musyawarah Senat Mahasiswa (Musema) yang kemudian berubah nama menjadi Musyawarah Mahasiswa Universitas (MMU) 2015 berakhir buntu, tak ada nama ketua Dema-U yang keluar. Kepengurusan organisasi mahasiswa intra pun kembali tak terisi. Masalah Peraturan Organisasi Kampus Intra terus dikambinghitamkan. Konflik kerap terulang dalam berbagai sidang, AD/ART juga LPJ. Adu mulut antar peserta sidang tak bisa dihindari, bahkan beberapa Satuan Pengaman (Satpam) kampus turut berjaga mengamankan kondisi, sebelum bentrok fisik terjadi. MMU menjadi ajang perebutan posisi meraih jabatan tertinggi nan strategis. Diakui oleh Nawa, MMU molor karena ada kepentingan organisasi ekstra di dalamnya. Menurut Nawa, PMII menginginkan pemilu raya sedangkan mahasiswa dengan background HMI biasanya masuk melalui birokrasi dan menolak pemilu raya. “Cuman sekarang yang lagi kuat power-nya PMII Kota Bandung,” ujar mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab tersebut Oktober lalu. Nawa menambahkan bahwa keberpihakan selalu ada. Termasuk ia

Ali Anwar Yusuf yang memiliki keberpihakan. “PMII itu baik menurut saya, tapi orang-orangnya yang membuat buruk PMII itu sendiri.” S a ya n g n ya , K e p a l a B a g i a n Kemahasiswaan, Asep Saepudin Malik enggan berkomentar perihal organisasi ekstra di kampus. Menurutnya, organisasi ekstra di luar tanggungjawabnya. ”Saya lebih baik ditanya yang POKI saja. Kalau saya menjawab dan dikutip, nanti saya yang salah. Nanti mereka demo ke Kabag Kemahasiswaan,” katanya, Rabu (5/10). Sejak 2015 Dema-U/Sema-U kampus UIN SGD Bandung vakum, kepanitiaan Opak tetap dibentuk dari delegasi Senat Fakultas, Himpunan Mahasiswa Jurusan, serta UKM/UKK. Organisasi ektra kampus kembali memainkan perannya di sini. Nawa pun mengakui, pada Opak 2015 lalu ia m e wa k i l i P M I I s e b a g a i penanggungjawab urusan Alat Tulis kantor (ATK), sedangkan jas almamater Oleh HMI. “ATK sama PMII, almamater sama HMI,” tegas Nawa. Sedangkan ketua pelaksana Opak 2015, Adim Mughni menyangkal adanya keterlibatan organisasi ekstra di kepanitiaan Opak. “Saya akui saya dari organisasi ekstra cuman di sisi lain ngomongin permasalahan Opak sendiri, saya melepaskan atas nama organ ekstra,” kata Adim Selasa (11/10). Ia menggarisbawahi bahwa delegasi panitia Opak itu dari Senat dan UKM/UKK, bukan HMI atau PMII. Salah satu alumni UIN SGD Bandung mengkhawatirkan kekosongan

Sema-U/Dema-U, ia adalah Ali Anwar Yusuf, lelaki yang semasa kuliahnya pernah bergabung dengan HMI dan PMII. Selama ia menjalani kuliah di UIN SGD Bandung, atmosfir pengaruh organisasi ekstra terasa di berbagai lini, salah satunya masuk ke organisasi intra kampus. “Gara-gara kedua ini berseteru, dua tahun UIN SGD Bandung enggak punya presiden mahasiswa. Ini ya n g s a ya s o r o t i s e r i u s . S e g e r a selamatkan UIN SGD Bandung. Secara prinsip syariah kalau mahasiswa UIN SGD Bandung membiarkan hal ini, itu sudah jadi dosa,” papar Ali tegas. Ali menambahkan, terlepas apapun background organisasinya, pemimpin harus segera dipilih. “Berikan kursi itu pada yang mampu. Daripada lembaga hancur. Berikan pada HMI, PMII, selagi mereka mampu dan amanah,” katanya. Bagi Ali, perjuangan mahasiswa saat ini adalah mendirikan presiden mahasiswa. Lembaga internal kampus yang harus dijaga. Dampak dari perilaku oknum organisasi ekstra kampus juga terjadi di tingkat jurusan. Mei lalu, Musyawarah Komisariat (Muskom) untuk memilih ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Tasawuf Psikoterapi Fakultas Ushuluddin, terjadi keributan. Bahkan disinyalir ada peserta Muskom yang membawa senjata tajam akibat tidak menerima hasil keputusan Muskom. Muskom Tasawuf Psikoterapi diikuti oleh empat kandidat. Dua kandidat yang bersaing ketat, Asrizal A. Upe dan Rizke Rahmawaty. Menurut Ketua Jurusan Tasawuf Psikoterapi, Hasan Mud'is saat itu nyaris terjadi keributan besar. Suaka mengonfirmasi kepada semua yang bersangkutan, Hasan, Rizke, Asrizal dan Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin, Engkos Kosasih. Asrizal menyatakan bahwa Tasawuf Psikoterapi tidak memiliki HMJ karena dibekukan oleh Ketua Jurusan, meskipun dalam versinya ia berkesempatan unggul ketika Muskom. Hasan pun mengamininya, alasannya demi kemaslahatan jurusan itu sendiri. Sedangkan Rizke berkata lain, ia menyatakan dirinya sebagai ketua HMJ terpilih yang akhirnya menang secara aklamasi. Rizke mendapat SK langsung dari Engkos. “Al-Jamiah pun masih Majalah Suaka 2016

9


SUAKA/Rendy M Muthaqin

laporan utama

m e n a g i h L P J ( L a p o r a n Pertanggungjawaban-red) ke saya, berarti kepengurusan saya diakui dong,” ujar Rizke, Selasa (22/11). Rizke m e n ya ya n g k a n k e p u t u s a n H a s a n dengan membekukan HMJ. Jika memang diperlukan Rizke meminta Hasan menempuh prosedur yang jelas, tidak hanya secara lisan. Padahal tertera jelas pada POKI pasal 8 ayat 2 menyatakan bahwa pengurus organisasi kemahasiswaan disahkan dan dilantik oleh pimpinan sesuai dengan kedudukan/tingkat organisasi yang bersangkutan; Ketua Jurusan/Ketua Prodi untuk tingkat Jurusan/Prodi. Namun keputusan Engkos dinilai menyalahi aturan, meski POKI belum disahkan saat itu. Engkos mengonfirmasi kejadian ini, bahwa saat itu ia khilaf karena kurang mengerti dengan peraturan yang tertera dalam POKI mengenai pengesahan dan pelantikan ketua HMJ. “Saya akui saat itu saya khilaf, dalam POKI pasal 8 ayat 2 disitu menggunakan garis miring jadi saat itu saya yang meng-SK-kan padahal seharusnya Ketua Jurusan,” ujarnya, Kamis (10/11). Menanggapi hal tersebut Hasan

10

Majalah Suaka 2016

enggan berkomentar ketika dikonfirmasi perihal kondisi HMJ Tasawuf Psikoterapi yang simpang siur. “Saya tidak bisa mengungkapkan alasannya, yang jelas ada kepentingan organisasi di dalamnya. Karena jika berpikir untuk kepentingan jurusan hal ini tidak akan terjadi,” ujarnya saat ditemui Suaka di ruangannya, Kamis (10/11). Hasan juga enggan menjelaskan kepentingan organisasi apa yang dimaksud. Asrizal harus menerima k e p u t u s a n b a h w a H M J Ta s a w u f Psikoterapi divakumkan selama satu tahun oleh Ketua Jurusan, dengan alasan demi kemaslahatan bersama. Padahal menurutnya ia memiliki kesempatan untuk di-SK-kan. “Saya mendapat tiga pilihan, pertama saya di-SK-kan tapi pihak dia (Rizke-Red) akan marah, kedua jika rival saya di-SK-kan pihak saya yang marah, ketiga dibekukan. Saya, jika menuruti ego saya, ya saya SK-kan tapi itu pasti ada konflik,” terang Asrizal, Senin (21/11). Adanya indikasi keterlibatan organisasi ekstra dalam kekacauan Muskom HMJ Tasawuf Psikotepi diakui oleh Asrizal. Dua kandidat Ketua HMJ Ta s a w u f d a n P s i k o t e r a p i

dilatarbelakangi organisasi ekstra yang berbeda. Asrizal dari PMII Cabang Kabupaten Bandung, sedangkan Rizke dari PMII Cabang Kota Bandung. “Sudah sama-sama tahu lah. Tapi begini, ketika di ekstra ya tempatkan diri sedang di ekstra, di intra ya tempatkan diri sedang di intra. Saya background organisasi PMII (Cabang Kabupaten Bandung-Red), tapi mengapa yang dari Hijau (HMI-Red) berpihak kepada saya, dan yang netral juga.” Meski demikian Asrizal mengaku menempatkan porsinya secara benar, ketika tengah berada di lingkungan kampus, maka ia menanggalkan background organisasi ekstranya. Lain halnya dengan Rizke, ia m e n i l a i p e r s o a l a n n ya b u k a n d i organisasi ekstra, pasalnya sebelumnya ia telah merundingkan dengan Asrizal, ”Kalau ini masalah organisasi ekstra, kita telah berunding. Siapa yang akan mewakili PMII, karena saya dan Asrizal memiliki latar belakang organisasi ekstra yang sama,” kata Rizke. Namun nyatanya perundingan tersebut tidak membuahkan hasil. Persaingan tetap berlanjut dan Rizke kebingungan perihal alasan pasti persoalan ia dan


laporan utama

Indikasi Pemaksaan Seorang mahasiswi jurusan Pengembangan Masyarakat Islam (PMI) yang enggan disebutkan namanya, mengaku dipersulit saat akan mengikuti seleksi untuk menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ). Alasannya ia tidak mengikuti PMII, kala itu HMJ PMI diketuai oleh kader PMII. “Jadi kalau misalnya PMII yang menang, nah itu tuh kabidnya bakal diisi sama mereka juga. Pokoknya mereka itu kaya yang haus akan jabatan dan kekuasaan, yang netral ada tapi cuma sedikit karena emang didominasi sama mereka,” jelasnya, Kamis (10/11). Akhirnya ia terpaksa mengubur harapan untuk menjadi anggota himpunan di jurusannya. Hal serupa terjadi di Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek). Ketika salah satu kelas di jurusan Biologi tengah melangsungkan kuliah, beberapa anggota HMJ Biologi meminta ijin kepada pengampu untuk membagikan formulir kepada mahasiswa. Formulir tersebut ternyata formulir keanggotaan HMI, dan anggota HMJ memperkenalkan diri sebagai anggota HMI. Seorang mahasiswa enggan untuk bergabung dengan HMI dan menolak mengisi formulir tersebut, anggota HMI tetap menyuruhnya. “Udah enggak apa-apa isi aja dulu,” kata mahasiswa yang enggan disebutkan identitasnya menirukan interuksi anggota HMI, Senin (14/11). Intruksi itu didukung oleh pengampu yang tidak lain adalah Ketua Jurusan Biologi, Tri C a h ya n t o . “ S o k e n g g a k a p a - a p a berorganisasi saja. Saya juga dari organisasi ini (HMI-Red),” ujarnya

mengulang perkataan Tri. Terpaksa ia pun mengisi formulir itu, tanpa berniat bergabung dengan HMI. Ia mengaku hal serupa juga terjadi di kelas lainnya. Satu bulan yang lalu oknum kader HMI itu kembali mendatangi kelasnya dan mengintruksikan untuk mengikuti salah satu kegiatan HMI, yaitu screening. Kader HMI itu pun memberikan soft file yang berisi nama-nama dari angkatannya dan nama-nama tersebut diklaim sebagai kader HMI. Ia pun termasuk di dalamnya. Cerita berbeda muncul dari Tri. Ia mengatakan kader HMI tersebut sudah berada di dalam kelas. Tak lama berselang mereka pun meninggakan kelas. Tri juga mengatakan ia tak pernah mengintervensi mahasiswanya untuk masuk HMI. “Secara prinsip saya enggak nyuruh. Dan mahasiswa saya boleh masuk organisasi yang diminatinya,” kata Tri, Selasa (15/11). Tri mengatakan ia hanya ingin mahasiswanya untuk mengembangkan potensinya di luar kelas dan tidak melulu membahas mata kuliah. “Walaupun saya punya background organisasi tertentu (HMI, Red), enggak etis jika saya seperti itu. Saya hanya mendorong mahasiswa mengembangkan potensinya,” tambahnya. Hal ini juga terindikasi

Politik kampus seharusnya membekali mahasiswa perspektif kritis untuk menentang kapitalisasi kampus.

Asrizal yang menyebabkan simpang siur status HMJ Tasawuf Psikoterapi. Tahun ini, Muskom Jurusan Tasawuf Psikoterapi dinyatakan sebagai Muskom terlama sepanjang sejarah di Jurusan tersebut. Terjadi beberapa kali Muskom dengan versi pemenang yang berbeda, bahkan menghasilkan keputusan Muskom yang berbeda. Asrizal menganggap HMJ dibekukan melalui pernyataan Ketua Jurusan, sedangkan Rizke menilai ia terpilih secara sah melalui aklamasi dan di SKkan oleh Wakil Dekan III.

Arif Novianto

melanggar kode etik dan tata tertib mahasiswa UIN SGD Bandung berdasarkan keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam No: DJ.I/255/2007 BAB IV Pasal 5, karena kepentingan organisasi ekstra kampus turut andil dalam pengambilan kebijakan organisasi intra kampus.

P o l i t i k M a h a s i s wa u n t u k Kepentingan Bersama Keterlibatan dalam perjuangan politik baik di dalam dan di luar kampus a d a l a h h a l ya n g s e j a t i n ya h a r u s dilakukan oleh mahasiswa. Artinya mahasiswa menjadi penting untuk mengerti tentang politik dan terlibat dalam dunia perpolitikan, karena dengan cara tersebut permasalahan bangsa dapat diatasi. Hal tersebut diungkapkan oleh A s i s t e n Pe n e l i t i d i I n s t i t u t e o f Governance and Public Affair (IGPA), U n i ve r s i t a s G a j a h M a d a ( U G M ) Yogyakarta, Arif Novianto. Dengan berpolitik di kampus seharusnya membekali mahasiswa perspektif kritis untuk menentang kapitalisasi kampus. Mengkritisi kecenderungan kampus yang menjadi market-oriented, melawan pembangunan yang cenderung menjadi pionir ketimpangan, menentang kampus yang malahan menjadi sarang para motivator untuk menjadi pengusaha sukses dibanding mengedepankan pengabdian untuk rakyat. Mahasiswa juga mestinya mengkritisi dosen yang sibuk proyek dibanding mengajar, menentang kurikulum kuliah yang bias kelas, dan juga kekritisan yang lain. “Jika kamu tidak mendapat itu ketika terlibat perpolitikan di kampus maka berarti ada yang salah dengan organisasi mahasiswa yang kamu geluti,” ujar Arif saat dihubungi via email, Selasa (18/11) Arif menilai kecenderungan antipati terhadap gerakan ektra kampus akhir-akhir ini mengemuka diberbagai universitas di Indonesia. Itu dapat dipahami sebagai akibat ketidakmampuan organisasi ekstra seperti HMI, PMII, KAMMI, GMNI, GMKI untuk menjadi pelopor perubahan dari kebekuan politik yang terjadi. Mereka seringkali hanya disibukan dengan perebutan posisi strategis di organ intra kampus akan t e t a p i m e n g a b a i k a n p e r a n ya n g seharusnya dilakukan mahasiswa dalam kehidupan sosial politik dan dalam menjaga marwah pendidikan tinggi. [Kru Liput: Puji Fauziah, M. Machally, Ridwan Alawi]

Majalah Suaka 2016

11


laporan utama

Eksistensi Organisasi Ekstra Perspektif Mahasiswa Organisasi Ekstra Kampus Dikenalkan Saat Sesi Mentoring pada Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) 2016. 74% 26%

Ya tidak

Keberadaan Organisasi Ekstra Kampus 86% 14%

tahu tidak tahu

Organisasi Ekstra Kampus yang Diketahui 37% 38% 9% 16%

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

tidak tahu

Pembenahan Organisasi Ekstra Kampus 53,4% 10,3% 36,3%

setuju tidak setuju tidak tahu

Ajakan untuk Masuk Organisasi Ekstra Kampus 83,27% 16,37% 0,36% 12

Ya tidak tidak menjawab

Majalah Suaka 2016

E

ksistensi organisasi ekstra di kampus UIN SGD Bandung amat tak bisa terbantahkan. Di setiap fakultas pastilah akan ditemui adanya komisariat–komisariat organisasi ekstra kenamaan itu. Karena kehadirannya yang amat kental ini, tidak salah jika UIN SGD Bandung dijuluki kampus politik. Padahal dalam SK Dirjen Dikti Kemenbud No. 26/Dikti/Kep/2002 sudah jelas bahwa “melarang segala bentuk organisasi ekstra kampus dan partai politik membuka sekretariat (perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di kampus.� Ya n g m e n g e j u t k a n , d a l a m pelaksanaan Orientasi Pengenalan Akademik (Opak), pada sesi mentoring, menjadi kesempatan beberapa pementor mengenalkan keorganisasian ekstra kepada mahasiswa baru. Ini dibuktikan oleh 74% responden yang mengaku mengetahui organisasi ekstra karena dikenalkan pada sesi mentoring. Selain itu, 84% mahasiswa baru mengaku diajak untuk bergabung organisasi ekstra. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia Nomor: Dj.I/254/2007 Tentang Pedoman Umum Orientasi Pengenalan Akademik Perguruan Tinggi Agama Islam, BAB I Pasal 1 disebutkan bahwa Orientasi Pengenalan Akademik yang selanjutnya disebut Opak adalah serangkaian kegiatan bagi mahasiswa baru untuk memberikan pengenalan proses pendidikan di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam. L a n t a s , j e l a s a d a n ya b a h wa pengenalan keorganisasian ekstra kampus pada saat Opak tidak diperkenankan, karena Opak merupakan kegiatan yang fokus mengenalkan keakademikan internal kampus.


BIAS FUNGSI ORGANISASI EKTSRA KAMPUS DALAM GRAFIS

Indikasi pemaksaan kepada mahasiswa baru saat pelaksanaan Orientasi Pengenalan Akademik (Opak) 2016, dengan menjanjikan dipermudah urusan nilai diperkuliahan. (Narasumber adalah dari mahasiswa yang enggan disebutkan identitasnya)

Terhambatnya MMU yang berakibat pada kekosongan Dema-U dan Sema-U selama hampir dua tahun. Kondisi tersebut diakibatkan oleh perebutan kekuasaan organisasi ekstra di kampus, HMI dan PMII. (Sumber dari Nawa Nur Arif, ketua Cabang PMII Kota Bandung)

Mencampuradukan urusan organisasi intra dengan organisasi ekstra di tingkat jurusan, bahkan tidak mengindahkan mahasiswa yang ingin menjadi bagian Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) karena tidak mengikuti organisasi ekstra. (Narasumber adalah mahasiswa jurusan PMI yang enggan disebutkan identitasnya)

Peraturan yang mengatur pelarangan organisasi ekstra turut campur dalam organisasi intra kampus. Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 26/Dikti/Kep/2002 pada poin pertama yang berbunyi: “Melarang segala bentuk organisasi ekstra kampus dan partai politik, membuka sekretariat (perwakilan) dan atau melakukan aktivitas politik praktis di kampus.� Kode etik dan tata tertib mahasiswa UIN SGD Bandung berdasarkan keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam No:DJ.1/255/2007 BAB IV Pasal 5 mengenai larangan melakukan tindak campur tangan kepentingan organisasi ekstra kampus dalam pengambilan kebijakan organisasi intra kampus.

Pera tura n K a a mpu n r u s at us r Pe mp Ka

M e l a k u k a n p e n g k a d e r a n keorganisasiekstraan di ruang organisasi intra kampus. (Narasumber adalah mahasiswa jurusan Biologi yang enggan disebutkan identitasnya)

ah

lih

/ KA

o sS

li

No

A

SU

Data diolah dari berbagai sumber dan laporan utama Majalah edisi 2016.

laporan utama

Hasil riset ini dak dimaksudkan untuk menggeneralisasi opini dari seluruh mahasiswa baru UIN SGD Bandung 2016. Riset ini hanya mencoba menunjukan opini publik di sebagian populasi mahasiswa baru UIN SGD Bandung 2016.

Majalah Suaka 2016

13


laporan utama

Batas Ruang Gerak Organisasi Ekstra Oleh Puji Fauziah

SUAKA/Elya Rhafsanzani

G

ejala gerakan organisasi ekstra kampus yang memperebutkan posisi strategis organisasi intra kampus tidak hanya terjadi sekarang ini. Akan tetapi telah terjadi sejak tahun 1960-an. Pada tahun itu hampir semua gerakan mahasiswa memiliki afiliasi politik langsung dengan partai politik (parpol), seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dengan Pa r t a i K o m u n i s I n d o n e s i a ( P K I ) , Himpuan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Majelis Syuro Indonesia ( M a s y u m i ) , G e r a k a n M a h a s i s wa Nasional Indonesia (GMNI) dengan Partai Nasional Indonesia (PNI), Gerakan Mahasiswa Sosialais (Gemasos) dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dengan Nahdlatul Ulama (NU). “Posisi strategis di organisasi intra kampus bagi mereka menjadi penting sebagai kendaraan pergerakan, mempermudah mendapatkan kader, dan menjadi penting untuk menggapai citacita organisasi masing-masing,” ujar Asisten Peneliti di Institute of Governance and Public Affair (IGPA)

14

Majalah Suaka 2016

Universitas Gajah Mada (UGM), Arif Yuniarto. Arif menjelaskan, situasi seperti itu tidak hanya terjadi di Indonesia, di Chile organisasi seperti Front Mahasiswa Libertarian (FEL), Persatuan Mahasiswa Nasional (UNE), dan organisasi kiri yang lain saling memperebutkan kepemimpinan di Federasi Mahasiswa Cile (FECh). Organisasi seperti FECh dan organisasi intra kampus yang lain di Chile menjadi penting bagi mereka karena sebagai alat pergerakan. Revolusi Penguin yang didorong oleh jutaan mahasiswa Chile dan berhasil memaksa pemerintah menerapkan kebijakan pendidikan gratis sampai perguruan tinggi adalah karena pergerakan politik serta berhasil didorongnya organisasi intra kampus untuk turut dalam perjuangan tersebut. ”Harusnya para mahasiswa di Indonesia dapat belajar banyak dari gerakan mahasiswa Chile,” ujar Arif, Jumat (18/11) Organisasi Ekstra Tidak Masuk Kampus Pe n g u r u s C a b a n g H i m p u n a n Mahasisiswa Islam Dipo Universitas

Maritim Raja Ali Haji (Umrah) Tanjungpinang, Muhammad Arifin mengatakan dalam organisasi ekstra, mahasiswa tetap memiliki ruang dan bebas untuk menentukan pilihan dan berkegiatan sesuai dengan disiplin ilmu, minat dan kemampuan masing-masing. Akan tetapi, menurutnya yang harus digarisbawahi bahwa organisasi ekstra kampus juga harus memperhatikan aturan. “Kehadirannya di kampus dengan memasang bendera itu tidak diperbolehkan, apalagi berkegiatan di kampus,” katanya, Jumat (23/9). Lanjut Arifin, dengan adanya Keputusan Direktur Jenderal Pe n d i d i k a n T i n g g i D e p a r t e m e n Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang Pelarangan Organisasi Ekstra Kampus di dalam K e h i d u p a n K a m p u s , s e h a r u s n ya menjadi pemikiran bersama. Semakin banyaknya organisasi ekstra di dalam kampus, menurutnya menjadi kekhawatiran akan adanya ketidakkompakan dalam satu almamater. Selaras dengan Arifin, aktivis Himpunan Mahasiswa Islam Majelis


laporan utama Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Mohammad Fadhli mengungkapkan organisasi ekstra harus mengembangkan wacana keilmuan agar organisasi ekstra tidak kehilangan roh untuk memunculkan pemikiran dan gagasan baru. Perihal peraturan larangan mengenai a k t i v i t a s o r g a n i s a s i e k s t r a ya n g melakukan kegiatan politik praktis di kampus, telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor : 26/Dikti/Kep/2002. Namun, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Islam (Dirjen Diktis), Amsal Bakhtiar mengatakan bahwa kampus memiliki hak penuh untuk menindaklanjuti peraturan tersebut. Lebih lanjut, Amsal mengatakan bahwa pihaknya tidak bisa memberi sanksi kepada organisasi ekstra yang melanggar aturan. Akan tetapi, menurutnya harus ada tindakan tegas dan sanksi yang diberlakukan oleh pimpinan kampus. “Agar tidak terjadi konflik dari yang tidak berkepentingan di dalam kampus. Namanya juga organisasi ekstra, ya harus di luar kampus,” terang Amsal saat diwawancarai Suaka, September lalu. Suaka kemudian menemui Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan Muhtar Solihin. Dirinya mengetahui adanya aturan larangan tersebut, namun menurutnya kampus belum mempunyai wewenang tersendiri. Ia juga mengakui bahwa kampus UIN SGD Bandung belum mempunyai peraturan yang jelas terkait organisasi ekstra kampus. “Kalau mengenai peraturan, kita sudah jelas menjadi fakta integritas, jadi tidak boleh organisasi ekstra kampus itu ikut campur atas kebijakan organisasiorganisasi intra kampus atau mahasiswa. Kita pasti akan tertibkan,” jelasnya, saat ditemui Suaka di ruang kerjanya, Rabu (5/10). Lanjut Muhtar, pihak kampus sedang mengevaluasi dan akan menjadi bahan pertimbangan menyoal tindakan organisasi kampus yang saat ini lebih dikuasai oleh organisasi ekstra, bukan organisasi intra. “Kita juga banyak laporan-laporan bahkan kita juga sampai ada kiriman WhatsApp tentang bagaimana simbol-simbol dari organisasi

ekstra,” katanya. Saat ini pihaknya masih mengacu kepada peraturan dari Dirjen. Ia tidak melarang keberadaan organisasi ekstra di kampus. Namun, jika sudah di luar jalur batas kewajaran pihaknya akan memberikan tindakan. Lain halnya dengan UIN SGD Bandung, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mempunyai aturan jelas terkait l a r a n g a n o r g a n i s a s i e k s t r a ya n g beraktifitas di dalam kampus. Wakil Rektor Bagian Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah, Yusron Razak mengaku telah mengeluarkan dan menyebarkan surat pemberitahuan tentang Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi Kemahasiswaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Surat tersebut berisi larangan pemasangan bendera, lambang, atribut dan simbol/identitas yang mencirikan organisasi ekstra kampus. Serta mencakup bentuk kata, nyanyian dan gambar, bendera yang dikibarkan, dipajang dan disebarkan di dalam kampus. Menurutnya, jika terbukti melanggar, sanksi pertama yang akan diberlakukan adalah teguran dan akan dibubarkan oleh Satuan pengamanan (Satpam). Sanksi selanjutnya berupa pelarangan mengikuti semua kegiatan di UIN Jakarta atau skorsing selama satu semester. Jika diketahui ada dosen yang terlibat atau melegalkan, maka dapat diadili di mahkamah etik dosen. Yusron menyarankan agar UIN SGD Bandung pun mempunyai aturan yang jelas dan sanksi yang tegas mengenai larangan organisasi ekstra tersebut. Karena sudah dijelaskan dalam Keputusan Dirjen Dikti bahwa organisasi ekstra dilarang berada di dalam kampus dan pihak Dikti pun menyerahkan sepenuhnya kepada pimpinan kampus terkait sanksi yang seharusnya diberlakukan. Langkah Alternatif Jika keberadaan organisasi ekstra itu lebih banyak madaratnya dibanding manfaatnya bagi pengembangan Tri Darma Perguruan Tinggi, maka perlu langkah politik alternatif. “Di Fisipol UGM sekitar tahun 2003-an, Dema Fisipol UGM dibubarkan karena dijadikan ajang perebutan dua gerakan organisasi ekstra kampus,” kenang Arif.

Baru pada tahun 2012 dibentuk kembali Dema Fisipol UGM dengan mekanisme pergantian kepemimpinan tidak melalui pemilu mahasiswa, akan tetapi dengan sistem kolegial kolektif yang mana masing-masing perwakilan pemimpin ditunjuk secara musyawarah di masingmasing jurusan. Arif melanjutkan, organisasi ekstra menjadi penting untuk mengasah kesadaran politik mahasiswa, kemampuan intelektual, dan menjadi alat pergerakan untuk memperjuangkan dan mempertahankan kehidupan yang layak bagi masyarakat. Medan pergerakan dan organisasi itu yang akan mampu memberi pelajaran yang tidak akan pernah didapat di ruang-ruang kuliah. Mahasiswa harus bergelut dengan teori dan praktis. “Namun apabila organisasi ekstra tertentu yang diikuti tidak mampu mengarahkan mahasiswa menjadi kritis, progresif, dan membumi di dunia manusia yang nyata, maka sudah selayaknya membutuhkan organisasi yang lain atau organisasi baru,” pungkasnya. Organisasi ekstra kampus juga memiliki peran di dalam kampus sebagai alat kontrol. “Dan sesekali memberi tekanan terhadap kebijakankebijakan kampus yang melenceng terhadap Tri Darma Perguruan Tinggi dan sebagai pengkaji keilmuan,” ujar Ketua Bidang Organisasi Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, yang juga mantan aktivis HMI dan PMII,Ali Anwar Yusuf, Selasa (21/11). Menurut Ali gerak politik mahasiswa ada di dimensi yang mencerahkan dan tidak melenceng dari dimensi akidah dan akademik. “Politik yang harus dijalankan itu politik netral, tawazun, dan tawasuth. Artinya harus berpihak pada kemurnian dan kebenaran yang absolut. Berkiblat pada ajaran Allah. Memang susah. Karena berbasis kesabaran dan keikhlasan untuk melakukannya.” Organisasi ekstra memiliki ruang gerak tersendiri di dalam perguruan tinggi. Keberadaannya bukan untuk memporakporandakan kampus terutama organisasi intra, tetapi sebagai penyelamat ruang akademik dari campur tangan kepentingan birokrasi. [Kru Liput: Ridwan Alawi]

Majalah Suaka 2016

15


laporan utama

Organisasi Ekstra jangan campuri urusan intra kampus

P

ersoalan eksistensi organisasi ekstra di kampus, jelas dilarang oleh keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Nomor: 26/Dikti/Kep/2002. Namun di sisi lain, organisasi ekstra di UIN SGD Bandung seperti tak mengindahkan keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi tersebut. Berawal dari latar belakang tersebut, Reporter Suaka Ridwan Alawi pada Senin (21/11) menghubungi Ketua Bidang Organisasi Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, Ali Anwar Yusuf untuk menemukan titik terang fungsi dan peran sebenarnya di ranah perguruan tinggi, terutama UIN SGD Bandung. Apa tujuan pembentukan organisasi kemahasiswaan ekstra terutama PMII dan HMI? Keduanya enggak ada tujuan untuk kaderisasi perjuangan Islam. Bedanya HMI untuk semua golongan. Sepertinya HMI berjuang untuk semua umat Islam, nyatanya tidak seperti itu. Dan PMII u n t u k s a t u g o l o n g a n . Tu j u a n pembentukan HMI untuk mencetak insan akademik dan kaderisasi. Kaderisasi untuk HMI itu sendiri. Sementara PMII itu dibentuk dengan ideologi Islam Indonesia. Secara substansi sama-sama kawah candradimuka. Apa benar anda pernah menjadi kader dari kedua organisasi itu? Saya pernah ngalamin ikut keduanya. Waktu itu ingin tahu HMI seperti apa. Saya ikut Maperca, kemudian keluar karena enggak sreg. Saya orang pesantren, mereka Islam tapi tampilannya beda, kemudian mundur. Kemudian ikut Mapaba. Kemudian saya merasa bosan di Mapaba. Di PMII monoton ketika itu. . Ketika kuliah di Ushuluddin IAIN Bandung (UIN SGD Bandung) dari tukang sapu sampai dekan semuanya HMI. Saya juga punya teman PMII dan sekelas. Saya enggak mau di kelas itu benturan. Akhirnya saya ambil

16

Majalah Suaka 2016

keputusan untuk tidak ikut keduanya. Apa dampak terlibatnya mahasiswa dalam politik praktis? Dampaknya enggak bagus. Nilai akademik akan terganggu. Itu memburu yang sunnah sementara fardhu ditinggalkan. Seperti itu kalau terjebak dalam politik praktis. Ini memang aroma, romantika dan dinamika perjuangan, bukan berarti kecil hati untuk membiarkan, tapi sampai kapan seperti ini akan dibiarkan? Apakah etis bila organisasi ekstra kampus masuk pada ranah kampus dan melibatkan diri di organisasi intra kampus dengan membawa identitas organisasi ekstranya? Jelas tidak etis, apa lagi manuver mahasiswa itu dimotori dosen, baik HMI atau pun PMII. Saya enggak akan sebut siapa oknum dosen itu. Bermainlah dengan cantik dan rahasiakan. Tapi sebelumnya digodok dulu di kawah candradimuka. Sebut saja ada HMI dan PMII, tapi ketika tampil jangan membawa bendera mereka. Kalau mendahulukan PMII karena r e k t o r n y a P M I I i t u w a j a r . Ta p i pertanyaanya adalah apakah porsi itu proporsional? Kan banyak dosen-dosen yang enggak bagus diangkat dengan alasan kelompok. Saya juga menyaksikan sendiri, ada yang bukan HMI itu terpental dari struktural UIN SGD Bandung padahal dia mampu. Mengapa terjadi demikian? Fanatik yang salah. Barang siapa yang membela kelompok secara membabibuta itu sama dengan mati jahiliyyah. Dari ketika kuliah saya berpikir; jika demikian apa bedanya kita dengan Abu Jahal? Saya gak mau membela kelompok dan teman dalam kelompok yang melakukan kesalahan. Itu idealisme saya. Kebanyakan mereka itu buta ideologinya. Jika seperti itu janganjangan organisasi itu bisa jadi berhala baru. Karena hatinya bukan membela Islam, tetapi kelompok. Kelompok boleh

Dok.Pribadi

Wawancara Langsung dengan Ali Anwar Yusuf

dibela, dengan catatan masih pada jalur yang benar. Masih ada Al-Quran, Sunnah, Ijma, dan Qiyas-nya. Mereka mengatasnamakan organisasi Islam. Islam itu Rahmatan Lil 'Aalamin, keberkahan bagi alam semesta, bukan Rahmatan Li Firqotiyyin, bukan keberkahan bagi kelompok. Kalau digunakan untuk jembatan pribadi, itu tujuannya bukan lagi membela agama. Apakah hal ini akan mengganggu tatanan sistem organisasi intra kampus? Enggak bakal bagus. Rusak. Kultur akademis akan hilang. Karena yang dijunjung itu bukan kebenaran dan sains tapi ego. Baik ego sentris atau pun kelompok. Hati hati itu bisa deďŹ asi dari niat awal. Dan anomali bisa menggelayuti jati diri mahasiswa itu sendiri. Seharusnya malu. Itu berarti udah merusak dan mengganggu sistem organisasi kampus. Jika disebabkan oleh kedua itu berarti itu udah ego sentris dan ego kelompok dari mereka. Di mata saya, dosen dan pejabat kampus itu sudah arogan intelektual karena sudah ego sentris. Tolong dong jangan dikotori dengan kepentingan-kepentingan. Jangankan kelompok, pribadi juga enggak boleh. Jika terus seperti ini, dua kelompok ini bisa menjadi penghancur. Hari ini lembaga rusak. Apakah tidak malu dengan kampus lain. Gara-gara kedua ini


laporan utama berseteru, dua tahun UIN SGD Bandung enggak punya presiden mahasiswa. Ini yang saya soroti serius. Segera selamatkan UIN SGD Bandung. Secara prinsip syariah kalau mahasiswa UIN SDG Bandung membiarkan hal ini, itu sudah jadi dosa. Terlepas apa pun background-nya, segera pilih pemimpin. Berikan kursi itu pada yang mampu. Dari pada lembaga hancur. Berikan pada HMI, PMII, selagi mereka mampu dan amanah. Apabila dianalogikan UIN Bandung adalah negara, bagaimana negara itu? Negara tanpa pemimpin meski satu hari itu dosa. Ini dua tahun. Janganjangan nanti UIN ambruk gara-gara ini. Membiarkan kedurhakaan dari kacamata politik. Di UIN SGD Bandung itu ada politik dendam, dendam politik. Apa iklim itu yang akan kita kembangkan sebagai generasi penerus? Tragedi dua tahun ini korban dari perebutan penguasa. Yang lebih bahaya rektor yang abu-abu di depan ngaku organisasi A di belakang B. Masa pemimpin seperti itu. Lebih baik pemimpin yang mengakui background mereka dan amanah. Berbicara substansi perjuangan, kini perjuangan itu adalah adanya presiden mahasiswa. Siapa pun yang akan jadi presiden mahasiswa, saya tidak akan prokontra. Siapa pun. Mohon maaf, kalo bahasa gambling saya, meskipun iblis yang sudah taubat, beriman, saya ikut. Pilih dia. Ini dosa. Hidup tanpa pemimpin. Dalam koridor kawah candradimuka ini tidak sah. Di UIN kamu ber-HMI, PMII, KAMMI, IMM tanpa pemimpin itu hambar. Kamu berorganisasi di Hima, BEM, UKM, tanpa pemimpin itu hambar. Dalam metodologi ďŹ qh itu berdosa. Al-'aadah Al-hakamah. Budaya menjadi hukum. Bagaimana anda bisa menghadapi BEM se-Indonesia, jangan kan se-Indonesia, se-Bandung pun akan malu. Mengapa pihak birokrasi kampus dan kader dari kedua organisasi itu kerap sekali mengatakan bahwa itu adalah kesalahan oknum. Padahal terus berulang dilakukan oleh organisasi ekstra? Mereka (birokrasi kampus) udah enjoy sama jabatannya. Oknum itu selalu ada. Apa mereka sama dengan partai

politik? Sebutan partai politik itu terlalu halus. Saya sebut mereka Gang (Bandit) karena kelakuannya. Udah kayak gang motor mereka itu. Itu sindiran saya. Partai itu teralu halus. Bahkan sistem partai itu udah dipakai di berbagai kampus. Ada juga sistem perdana menteri dan presiden pun sudah ada. The Gang. Karena apa yang mereka lakukan itu rusuh di kampus. Memecat orang, kudeta peran, nepotisme. Oke Lo rektor tapi kebijakan ada di Gue. Kuat adat batan warah berpoitiknya. Sampai guru besarnya menasehati pun gak akan luluh egonya. Atau watak bergang-nya kuat. Kalau seperti apa b e d a n ya d e n g a n l i n g k u n g a n l u a r kampus. Kampus itu kawah candradimuka yang menyebarkan dan menegakan nuansa keadilan, kebenaran, dan kearifan lokal dan antar lokal. Di UIN itu awet rajet. Berkumpul di UIN tapi rajet parasea terus. Enggak karuan. Buat apa ada kampus, S1 sampe S3, kalo bertengkar lebih parah dari gang. Kejahatan intelektual lebih bahaya dari pada kejahatan ďŹ sik. Kalau seperti itu apa bedanya sama Barbar. Barbarian itu unsur dari The Gang. Berbicara etika kan sudah tidak etis m e n g a t a k a n T h e G a n g . Ta p i i n i kebenaran. Saya tidak boleh menyembunyikan kenyataan. Apa perbuatan itu melenceng dari Tri Dharma Pendidikan Tinggi? Sudah melenceng. Lebih melencneg lagi, dan ini lebih substansial, adalah melenceng dari pembentukan kader kader ulama bangsa dan negara. Perjuangan mahasiswa saat ini adalah mendidirikan presiden mahasiswa. Ini lembaga yang harus dijaga. Bagaimana mereka harus bermanuver? Mereka keluar dari jalur dan khi ah. Mengacu pada khi ah mereka; sebagai kawah candradimuka dan kaderisasi. Idealnya seperti itu. Itu salah mereka. Mereka sudah bersalah atas apa yang mereka lalukan di UIN. Metode yang benar bagi mereka adalah metode on the track. Dari keduanya gak ada yang mengajarkan hal yang salah. Yang salah itu oknum. Jika salah kedua-duanya jangan diikuti. Ekstrimnya bubarkan keduanya dari UIN. Kalau memang sudah tidak kondusif, harus ada keberanian pembubaran.

Supaya insyaf dan sadar bahwa yang mereka lakukan salah. Saya alumni IAIN. Gak bisa IAIN dikoyak-koyak. Ironis. Ngapain kita ngebubarin yang prinsip dan pokok; Sema dan Dema. Yang ekstra itu bukan fardhu 'ain, tapi fardu kifayah. Yang fardu 'ain itu yang intra; Sema dan Dema. Dimanakah dimensi politik mahasiswa? Ada di dimensi yang mencerahkan. Politik yang harus dijalankan itu politik netral, tawazun, dan tawasuth. Artinya harus berpihak pada kemurnian dan k e b e n a r a n ya n g a b s o l u t . K e m a n a kebenaran absout itu berkibat? Berkibat pada ajaran Allah. Memang susah. Karena berbasis kesabaran dan keikhlasan untuk melakukannya. Apakah ada fungsi organisasi ekstra di kampus? Alat kontrol. Sesekali memberi tekanan terhadap kebijakan-kebijakan kampus yang melenceng terhadap Tri Dharma Perguruan Tinggi dan sebagai pengkaji keilmuan. Tanpa keilmuan Tri Dharma tak akan ada. Atau dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Sebagai agent of change tehadap status quo yang tak kondusif 2. Kelompok kontrol terhadap pelaksanaan birokrasi kampus 3. Menjadi penengah, pencerah, dan pencegah terhadap berbagai fenomena yang tidak on the track 4.Sebagai pressure group ketika diperlukan 5 . M e n j a d i p r o s e s p e n ya d a r a n terhadap para tenaga pendidik dan kependidikan di UIN, bahwa keberadaan mahasiswanya -seperti apa pun wujudnya- adalah sebuah niscaya sebagai cerminannya. Bagaimana mengatasi pelbagai masalah di atas hingga ke akar? Penyadaran top to down. Dari rektor s a m p a i e s e l o n b a wa h - b a wa h n ya . Dimulai dari evaluasi diri hingga orangorang di sekitarnya. Jangan ajarkan mahasiswa yang macam-macam, karena mahasiswa itu kan pendatang dan pencari ilmu. Kemudian sadar diri bahwa di UIN itu bukan tempat untuk Islam kelompok tertentu. Memang pada kenyataannya kompetitif, boleh saja asal persaingan yang sehat.

Majalah Suaka 2016

17


RESEARCH UNIVERSITY DAN

FIKSI DETEKTIF

SUAKA/Nolis Solihah

opini

Oleh Irfan M Zain*

P

ada tahun 2006 buku yang berjudul Research University bertebaran di meja-meja birokrat dan dosen UIN SGD Bandung. Buku bersampul merah-kecoklatan itu diterbitkan oleh Suguda Press, sebuah lembaga penerbitan milik kampus yang namanya belum terdengar lagi. Buku tersebut berisi artikel-artikel dosen dan pakar-pakar jebolan UIN SGD Bandung dari berbagai disiplin ilmu. Semua artikel itu pada dasarnya mengandung harapan yang sama, yaitu mewujudkan kampus UIN SGD Bandung -yang mulanya IAIN SGD Bandung- menjadi kampus berbasis riset. Tahun berganti tahun, wacana itu semakin tak terdengar lagi, seolah-olah slogan reseach univesity hanya media pencitraan saja dalam perpolitikan kampus waktu itu. Artikel-artikel dan buku-buku bertema reseach university pun hanya jadi pajangan di perpusperpus jurusan. Te r l e p a s d a r i m o t i v a s i a p a sebenarnya yang mendorong lahirnya konsep research university tersebut, yang jelas, riset merupakan ruh bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Cik Hasan Bisri dalam makalahnya yang berjudul “Menata Penelitian Antardisiplin dan Multidisiplin di Kalangan Sivitas Akademika UIN Bandung” menjelaskan bahwa pengetahuan yang dituturkan dan disebarkan secara tulisan dapat dipelajari, direproduksi, dikoreksi, dan dijadikan sumber bagi pencarian pengetahuan lebih lanjut (Research University, 2006: 64). Berkenaan dengan akibat lumpuhnya budaya riset, ia mengatakan dalam makalahnya yang sama bahwa suatu ilmu hanya akan menjadi pusaka yang pantas dilestarikan, tetapi tidak memiliki daya untuk memahami dan menjelaskan

18

Majalah Suaka 2016

kehidupan yang semakin rumit. Dengan itu, sampai kapan pun wacana research university tidak akan pernah kehilangan momentum. Kurang lebih sepuluh tahun slogan research university tak terdengar lagi. Pasca pergantian rektor tahun lalu, birokrat tampak sibuk dengan peralihan jabatan mereka. Di sisi lain, mahasiswa masih berkutat dengan persoalan basi ya i t u p e r c a t u r a n p o l i t i k D e wa n Mahasiswa. Kampus UIN Bandung seakan sudah kehilangan jati dirinya. Pada buku Research University Moh. Najib dalam makalahnya “Research University: Paradigma Baru Pengembangan UIN SGD Bandung” menuturkan beberapa ukuran untuk menilai kultur riset sebuah kampus. Ukuran-ukuran tersebut di antaranya adalah: sistem pengajaran, pola pembelajaran dan metode pembelajaran. Semuanya itu harus bersumber dan berorientasi pada pengembangan riset. Dengan itu, sebenarnya untuk mengetahui kultur riset sebuah kampus bisa dilakukan dengan pengamatan ukuran-ukuran tersebut. Pada tataran kurikulum universitas, entah apa dasarnya, mata kuliah yang membahas penelitian justru dipelajari mahasiswa pada semester-semester akhir, di mana mahasiswa sudah kurang bergairah untuk menekuni hal-hal baru. Pa d a s e m e s t e r - s e m e s t e r a wa l , mahasiswa justru lebih diarahkan pada ragam kegiatan seremonial jurusan dan organisasi-organisasi. Akibatnya, banyak mahasiswa semester empat atau lima yang belum mengenal sama sekali riset. Namun anehnya, dosen-dosen sudah menugaskan mahasiswa semester satu untuk membuat makalah, sementara mata kuliah tentang bagaimana menyusun laporan ilmiah yang benar ada pada tingkat akhir.

Kali ini soal metode pembelajaran. Di kelas, dosen-dosen mengenalkan riset kepada mahasiswa tingkat akhir dengan cara menyuguhkan definisidefinisi yang rumit dan prosedurprosedur yang melelahkan. Mahasiswa akhir itu umumnya kebingungan ketika mendengar istilah-istilah penelitian, seperti kualitatif, kuantitatif, eksperimen, korelatif, komparatif dan sebagainya. Mengapa kebanyakan dosen tidak mengenalkan penelitian dengan sederhana? Bukankah lebih dapat diterima oleh mahasiswa jika seorang dosen, di awal pembelajarannya, mengintruksikan kepada mahasiswa untuk mencari tahu berapa jumlah teman sekelasnya yang menggunakan sepeda motor, berapa yang menggunakan mobil dan berapa orang yang berjalan kaki menuju kampus? Tidak malah membuat penelitian menjadi sesosok monster yang menyeramkan. Intinya penelitian tidak harus selalu dikenalkan dengan penjelasan yang kompleks. Sudah jatuh tertimpa tangga. Mahasiswa semester akhir—yang baru mengenal penelitian itu—ujug-ujug diarahkan untuk menyusun skripsi. Jelas mereka kebingungan, karena mereka masih prematur dalam dunia riset. Akibatnya banyak dari mereka yang menempuh “jalan pintas”. Tak sedikit dari mereka yang mendatangi senior-seniornya untuk meminta file skripsi. Hanya dengan mengedit file skripsi milik orang lain, si peneliti prematur itu pun mendapat gelar sarjana. Lalu, di warung-warung kopi mereka berkelakar, “Ah, nu penting, lulus we” (Ah, yang penting lulus-Red). Setelah lulus, sarjana-sarjana prematur itu justru semakin geram saja dengan riset atau penelitian. Banyak


opini dari mereka menyumpahi dirinya untuk tidak akan melakukan riset lagi. Lulus dari universitas dalam keadaan membenci riset. Bukankah ini malapetaka? Usaha untuk mewujudkan research university harus dihadapi dengan langkah-langkah kreatif. Pasalnya, perubahan aturan dan pergantian birokrat saja sudah terbukti tidak bisa diandalkan. Lebih dari itu, usaha tersebut harus menyentuh aktivitas sehari-hari mahasiswa. Sehingga riset yang pada awalnya dipandang sebagai ‘monster’ mengerikan, diharapkan dengan sendirinya akan berubah menjadi ‘makanan ringan’. Desakralisasi Riset. Mayoritas mahasiswa UIN SGD Bandung saat ini lebih berorientasi pada kesenangan. Mereka gemar melakukan aktivitas yang penuh canda tawa, mendiskusikan hal-hal yang sifatnya hiburan, dan membaca buku-buku yang menyenangkan. Karena itu untuk memasyarakatkan aktivitas riset di tengah mahasiswa UIN SGD Bandung, harus melakukan pendekatan sesuai dengan karakter mahasiswanya. Jika dosen atau para aktivis kampus ujug-ujug mengkampanyekan riset dengan mengajak mahasiswa untuk menulis artikel atau laporan-laporan penelitian, kemungkinan besar mahasiswa akan menolaknya mentahmentah. Coba saja ajak mahasiswa untuk membicarakan buku-buku Azyumardi Azra, misalnya banyak dari mereka akan buru-buru pergi, tak peduli. Atau coba saja ajak mereka untuk membaca koran, paling juga mereka akan melihat kolom jadwal sepak bola atau jadwal pemutaran film bioskop. Inilah yang terjadi, dan inilah yang harus kita siasati. Memang benar, penelitian merupakan aktivitas logis dan sistematis yang menuntut kecerdasan dan kecermatan. Namun dihadapkan pada karakter mahasiswa saat ini, mau tidak mau dosen harus mengenalkan penelitian sedini mungkin sebagai sesuatu yang menyenangkan. Begitu juga para mahasiswa penggiat literasi, mau tidak mau harus mendakwahkan syi'ar literasinya dengan nuansa yang lebih segar, jangan ujug-ujug mendiskusikan teori filsafat.

Fiksi Detektif Akhir-akhir ini, film-film detektif kembali bermunculan. Di antara yang paling populer ialah serial detektif Sherlock Holmes dan detektif Julies Maigret. Tahun ini, fiksi detektif seolah mendapatkan momentumnya kembali. Tidak hanya film, cerpen dan novel-novel detektif pun kembali banyak diperbincangkan. Novel yang akhir-akhir ini ramai dibicarakan di dunia maya ialah novel karya Dan Brown, Inferno. Novel tersebut mengisahkan seorang pakar simbologi dalam memecahkan teka-teki puisi epik seorang maestro asal Florence, Dante Alighieri. Inferno-nya Brown tersebut diangkat menjadi film layar lebar, dan rencananya akan diputar di Indonesia pada bulan Oktober ini. Di dunia maya, blog-blog yang berisi artikel-artikel fiksi detektif pun banyak bermunculan, salah s a t u ya n g t e r b i l a n g m a s i f i a l a h detectivestoryid.wordpress.com. Berkaitan dengan kultur riset mahasiswa UIN SGD Bandung, euforia fiksi detektif tersebut bisa menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan research university. Sekali lagi, mahasiswa sekarang lebih berorientasi pada hal-hal yang menyenangkan. Seperti fenomena m e n j a m u r n ya k o m u n i t a s p e c i n t a kebudayaan Korea akibat film serial dramanya, fiksi detektif pun bisa dijadikan pijakan awal. Cerpen-cerpen atau novel ber-genre detektif hampir semuanya menggunakan bahasa sederhana dan lugas. Selain itu tokoh detektif selalu berhasil memecahkan kasusnya, meski ada beberapa detektif yang awalnya melakukan kesalahan, namun pada akhirnya selalu berhasil. Dengan ini cerpen-cerpen atau novel detektif sangat mungkin untuk dimasyarakatkan kepada mahasiswa UIN SGD Bandung yang mayoritas gemar membaca ceritacerita yang “menyenangkan”. Fiksi detektif, mempunyai ciri khas tersendiri di antara jenis fiksi lainnya. Dalam sebuah cerita detektif, selalu terdapat unsur-unsur penelitian, seperti: metode penyelidikan, kemungkinankemungkinan, kesimpulan dan modus pelaku. Dalam cerpen detektif Sherlock Holmes yang berjudul Rancangan Kapal Bruce Parington, tokoh rekaan Arthur Conan Doyle tersebut memperlihatkan

kemampuan deduksinya yang sangat detail. Dengan mengamati posisi tubuh korban, Holmes mampu mengetahui pelaku kejahatan sekaligus modus si pelaku. Ini sangat baik jika diketahui oleh banyak mahasiswa. Setidaknya jika suatu hari dosen mereka menerangkan unsur-unsur penelitian, seperti latar belakang, rumusan masalah, metode penelitian, hipotesis dan kesimpulan, mahasiswa tidak akan terlalu kebingungan. Tokoh detektif lainnya yang menjadi ‘tandingan’ Sherlock Holmes ialah Hercule Poirot tokoh rekaan Agatha Cristhie. Cerpen-cerpen dan novelnovel Hercule Poirot dirilis antara tahun 1920-1975. Berbeda dengan Holmes yang senang ‘keluyuran’ di TKP, Poirot lebih sering duduk santai sambil menggunakan ketajaman logikanya untuk mengungkap pelaku kejahatan, seperti dalam cerpen yang berjudul Murder in Mews. Dari kedua detektif di atas saja, setidaknya mahasiswa yang membacanya akan mengetahui adanya dua jenis pola berpikir: deduktif dan induktif. Selain itu, ketika dosen menjelaskan berbagai jenis observasi, seperti pengamatan langsung dan wawancara, mahasiswa sudah mengetahui teknik itu dari tokoh-tokoh detektif favoritnya. Bahkan sangat mungkin mereka telah melakukan apa yang tokoh-tokoh detektif sering lakukan dalam memecahkan kasuskasus misteri. Setelah wacana fiksi detektif menjadi buah bibir mahasiswa, mereka dengan sendirinya membangun sebuah peradaban baru di kampusnya, yaitu budaya investigasi. Memasyaratkan fiksi detektif diharapkan menjadi langkah awal menuju kampus berkultur riset. Tidak mustahil, jika pada akhirnya, mahasiswa justru sangat bersemangat untuk melakukan penelitian. Meski pada awalnya mereka masih terbawa suasana fiksi detektif, namun itu sudah merupakan kemajuan, ketimbang menganggap penelitian sebagai hal yang menyeramkan. *Penulis adalah alumni UKM LPM SUAKA UIN SGD Bandung Majalah Suaka 2016

19


EST. 2013

Aneka kue basah tradisional dan modern Halal, murah & higienis, kualitas nomor satu

Layanan antar bagi pesanan di atas 100 dus Gra s ongkos kirim sekitar UIN SGD Bandung Lebih dari 5 km dikenakan 5% dari biaya transaksi

Jln. AH. Nasu on No. 495 Cipadung UIN Bandung (Halaman Masjid Kifayatul Achyar) 081394600701 / 083829216011 | 08818251572


sosok

Irfan Amalee

Membangun Peradaban Perdamaian Oleh Elya Rhafsanzani

SUAKA/M Aziz Pratomo


sosok

SUAKA/M Aziz Pratomo

T

ahun 1998 lalu, seorang mahasiswa merasa ada yang tidak beres dengan setiap aksi yang dilakukan oleh mahasiswa ketika mengkritik kebijakan pemerintah di bawah rezim Soeharto. Aksi tersebut kerap mengandung unsur kekerasan. Kondisi tersebut didukung oleh peran media, jika kekerasan tidak terjadi, maka media enggan melakukan publikasi. Mahasiswa itu ialah Irfan Amalee, jebolan Jurusan Tafsir Hadits UIN SGD Bandung dan juga merupakan Alumni Lembaga Pers Mahasiswa Suaka periode 1997-2000. Irfan adalah instruktur perdamaian yang peduli pada pola pengasuhan dan perkembangan remaja, CO-Founder Peace Generation dan pernah dinobatkan menjadi Chief Executive Officer (CEO) termuda di Indonesia tersebut. “Juga terjadi banyak kekerasan etnis antar agama, seperti di Ambon dan Poso, waktu itu di UIN juga ada pemutaran film kerusuhan di Ambon yang memperlihatkan pembantaian umat Islam oleh umat Kristen. Langsung semuanya jadi marah, saya melihat situasi seperti itu, mengerikan,” ujar Irfan saat di temui Suaka di Sekretariat Peace Generation, di Jalan Suling Kota

22

Majalah Suaka 2016

Bandung, Rabu (22/9). Hasil pemikirannya tersebut berbuah manis, ia menilai tidak semua gerakan harus mengandung unsur kekerasan. Di antara banyak gerakan, Irfan menemukan sebuah gerakan yang tidak mempraktikan kekerasan dalam kegiatannya, yakni gerakan Active Non Violance. “Gerakan itu artinya mahasiswa bisa aktif tanpa menggunakan kekerasan, jadi, kekerasan bukanlah solusi,” tambah pria berkacamata itu. Masih di Indonesia, pasca tragedi di Ambon, Irfan melihat sisi gelap dari media di tanah Manise tersebut yang terpecah menjadi dua. Di satu sisi mendukung Islam, sisi lainnya mendukung Kristen. Meskipun sudah muncul kode etik jurnalistik tentang perdamaian pada kala itu, pemberitaan di media masih saja saling memprovokasikan, bukannya memunculkan isu perdamaian. Ta h u n 2 0 0 0 , I r f a n m e n j a d i perwakilan Indonesia untuk hadir dalam acara Escamp di Kamboja. Disana Irfan melihat banyak insan muda yang masih berseragam tingkat Sekolah Menengah At a s ( S M A) m e n g k a m p a n y e k a n perdamaian. Saat itu, negara Kamboja tengah berada dalam kondisi perang

saudara. “Selaku Mahasiswa, melihat hal yang seperti itu saya tersanjung. Karena anak muda di sana sudah berpikir untuk membuat negaranya maju dan tidak mengulangi kejadian seperti itu. Kalo di Vietnam dan Kamboja sudah sadar akan perdamaian, di Indonesia malah belum,” lanjut Irfan. Saat kembali ke Indonesia, dengan keresahan masih ada dan pengalaman yang didapat dari Kamboja, Irfan dan kawan-kawannya berinisiatif untuk lebih mengembangkan Gerakan Active Non Violance dalam kampanye perdamaian di Indonesia. Mengawali Gerakan Perdamaian Langkah awal yang dilakukan Irfan adalah dengan membuat komik tentang perdamaian yang bertajuk Tujuh Jurus Perdamaian, dan menerbitkan majalah bernama Retas. Majalah yang bermanuver tentang perdamaian tersebut sempat terbit selama dua tahun dan menjadi suplemen untuk sebuah majalah remaja. Bahkan, majalah Retas pernah menjadi suplemen bagi majalah Hai yang sangat popular di kalangan remaja pada masa itu. “Di UIN sendiri, Suaka sempat bikin


sosok turunan dari Retas namanya Momentum. Tapi karena di Suaka sendiri terbitnya lama sementara kalau hal seperti itu perlu terbit cepat dan juga dulu Suaka ada di bawah kendali rektorat, kita jadi susah untuk mengembangkannya,” tutur pria yang terobsesi dengan tokoh Peter Parker tersebut. Irfan semakin serius dalam mengembangkan ide perdamaian dengan berkeliling ke sepuluh kota yang ada di Indonesia untuk menyampaikan pesan-pesan tentang perdamaiannya. Irfan sempat vakum dari dunia aktivis sebagai agen perdamaian karena pekerjaan sebagai editor buku anak Mizan. Sebagai aktivis yang bermetamorf menjadi pekerja, Irfan tetap mengembangkan ide perdamainannya. Ia terus menyampaikan pesan-pesan perdamaian melalui tulisan-tulisannya tentang agama Islam yang damai. Salah satu karyanya adalah Islam For Kids yang menjelaskan Islam dari sisi humanis dan damai. Buku Ensiklopedi Bocah Muslim yang menjadi ensiklopedia pertama karya asli dari Indonesia terbit Tahun 2004. Irfan garap bersama berbagai ahli dikarenakan tema yang sangat luas. Ide tersebut muncul ketika Irfan melihat banyaknya keluarga muslim yang ada di Indonesia berkiblat kepada ensiklopedia buatan negara lain. Kemudian, dengan bekal ilmu yang didapat ketika menjadi mahasiswa jurusan Tafsir Hadits, Irfan juga menggarap sebuah tafsir Al-Qur'an bergambar untuk anak. Tafsir tersebut menjadi tafsir bergambar pertama di dunia. Sempat menjadi kontroversial karena menggunakan gambar dalam tafsir Al-Qur'an, Irfan pun di sidang oleh Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Tahun 2006. Meskipun kala itu sudah banyak tafsiran Juz'Amma yang bergambar, tetapi untuk tafsir Al-Qur'an yang 30 Juz belum ada. Sehingga, Irfan pun harus naik banding ke Imam Syekh Al-Azhar untuk meminta persetujuannya. “Dari pihaknya mengizinkan, tapi di sini tetap s a j a d i t a h a n p e n e r b i t a n n ya o l e h Kemenag waktu itu, tapi pada akhirnya bisa terbit dua tahun kemudian dengan persyaratan terbit terpisah menjadi dua versi, versi Al-Qur'an dan tafsirnya, dan Insya Allah di tahun 2016 ini kita naik

banding lagi dan bisa segera menerbitkan versi originalnya,” tutur pria yang masuk menjadi 500 most influental muslim kategori pemuda tahun 2011. Namun, dengan adanya kontroversi tersebut, jabatannya di Mizan pun naik. Irfan yang tadinya hanya editor, dipercaya untuk mengurus turunan dari Mizan yang bernama Pelangi Mizan di Tahun 2005. Karena sudah memiliki anak buah dan otoritas, Irfan memiliki waktu luang yang lebih banyak. Dengan begitu, ia bisa kembali lagi ke dunia aktivisnya sebagai agen perdamaian. Dari Modul ke Peace Generation Pada tahun 2006, Irfan bersama dengan rekannya yang berasal dari Amerika, Eric Clinton, menggarap sebuah karya yang fenomenal, yaitu buku Pedoman 12 Nilai Dasar Perdamaian. Buku modul pendidikan yang sederhana, interaktif dan aplikatif, namun memberikan impact yang besar untuk hidup Irfan dan khalayak luas. Diterbitkan dan diterapkan pertama kali di Aceh Tahun 2007. Terbit bukan hanya sebagai buku komersil, buku itu digunakan oleh berbagai organisasiorganisasi Internasional seperti United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) dan Save The Children. Buku tersebut juga diendorse oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah fenomena buku itu, Irfan dan Eric pun sering memberikan training ke berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri. Dari pendidikan perdamaian ini, a k h i r n ya l a h i r K o m u n i t a s Pe a c e Generation yang dipelopori Irfan dan berhasil merambah ke berbagai daerah seperti Aceh, Gorontalo, Banjarmasin, Palu, Bali, dan masih banyak lagi. Pada awal mula terbentuknya, Peace Generation melakukan pergerakan secara gerilya seperti yang dilakukan tentara Vietnam saat menghadapi Amerika pada saat perang dingin di masa lalu. Dari pintu ke pintu, sekolah ke sekolah, bahkan Irfan pernah tidak diizinkan masuk ke sebuah kantor organisasi. Untuk menembus Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) pun perlu perjuangan. Setelah mengalami masa sulit, pada tahun 2008, Peace Generation berhasil

menjuarai kejuaraan nasional Young Creative Entrepreneur yang diadakan oleh The British Council. Banyak media yang menyorot, sehingga banyak pula yang mulai mengenal Peace Generation. B e r b a g a i o r g a n i s a s i s wa s t a d a n pemerintahan mulai tertarik untuk bekerjasama. Dari situ, pihak Diknas mulai menghubungi Irfan untuk memberikan pelatihan guru-guru di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Tak cukup sampai di situ, Irfan kembali dikirim ke Inggris, dan menerima penghargaan sebagai wirausahawan muda kreatif di bidang social communication. Di mana ide sosial menjadi sebuah produk. “Berbeda dengan LSM, yang baru berjalan jika ada proyek. Tapi karena hidup kaki kanan saya di industri yang harus membuat produk yang harus bisa dijual dan kaki kiri saya bergerak di bidang sosial, harus bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat juga, saya gabungkan dan jadilah namanya Social Enterpreunership,” kenang Irfan. Di tahun 2010, Irfan diberi dukungan dari salah satu organisasi internasional, Ashoka cabang Bandung untuk lebih mengembangkan Social Entrepeneurnya. Hingga kini, Agent-agent of Peace b e s u t a n S o c i a l E n t e r p r i s e , Pe a c e Generation yang dikomando langsung oleh Irfan Amalee sudah tersebar di seluruh Indonesia dan bahkan tersebar di Vietnam, Malaysia, dan Australia untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaiannya. Dengan menggabungkan minat di kepenulisan yang didapat saat menjadi editor di Mizan atau pun di Suaka, ilmu agama yang didapat dari jurusan Tafsir Hadits, atau pun pesantren, dan pengalaman di dunia industri kreatif untuk anak, aktifitas perdamaian yang digeluti oleh Irfan terbilang sangat sukses. “Jadi kita harus bisa memposisikan diri kita untuk melakukan hal yang baru. Melakukan sesuatu yang orang lain lain belum lakukan. Perdamaian bukanlah hal yang baru, dan anak-anak juga bukan hal yang baru, tetapi ketika keduanya digabungkan otomatis itu akan menjadi sesuatu yang baru,” pungkas Irfan.

Majalah Suaka 2016

23


pendidikAN

IGS, MERAWAT BUMI

Dok.Net

B

erawal dari kekhawatiran akan globalisasi yang tidak mungkin ditampik keberadaannya, seorang lelaki asal Kabupaten Sumedang menggagas sebuah lembaga pendidikan bersifat Internasional dalam sebuah lembaga pendidikan lokal. Lelaki itu adalah Soni Abunawas Anhar, bersama beberapa rekannya, menggagas terbentuknya sekolah alam yang kini dikenal dengan International Green School. International Green School (IGS) merupakan Sekolah Dasar yang sama dengan sekolah – sekolah lain, dengan kurikulum nasional sebagai acuan. Konsep sekolah alam yang lebih ditonjolkan mampu membuat IGS menjadi lembaga pendidikan alternatif yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensi dirinya secara holistik. IGS mulai dibangun pada tahun 2010 berlokasi di Kp. Cigasari, Ranca Mulya, Sumedang

24

Majalah Suaka 2016

Mengenal teknologi Oleh Firly Yunanda Damanik

Utara. Awalnya Soni tidak terpikirkan untuk membangun IGS, pemilik lahan pun merencanakan ingin membangun sebuah pondok pesantren. Namun berkat dukungan teman – teman serta sedikit pengalaman dan pemikiran kritis terhadap lingkungan, maka Soni pun bertekad membuka sekolah yang menjurus pada satu bidang. Maka dari itu, mereka menyusun dan mengajukan p r op os a l k e p a da ya ya s a n b e r i s i penjelasan mengenai lembaga pendidikan di masa depan. Akhirnya, pada awal bulan Maret 2010 dibangunlah sebuah sekolah dasar dengan menggunakan lahan sekitar empat hektar di atas bukit. Konsep alam

yang diterapkan oleh IGS ditambah kurikulum Nasional yang diintegrasikan pada 29 karakter dalam setiap indikator pembelajaran. Serta program pengembangan diri dipandu dengan konten Internasional. Hasil dari penggabungan ini menjadi ciri khas yang dimiliki oleh IGS. FilosoďŹ Green sebagai nama dari sekolah ini, mencerminkan proses pertahanan akan pembangunan kota. Sejak siswa duduk di bangku SD akan diajarkan untuk bisa menjaga lingkungan,terutama yang berhubungan dengan alam. Selain itu, Green disini juga menunjukan proses pembelajaran dimana 75% siswa akan belajar di ruang terbuka.


pendidikAN Konsep pembelajaran Sistem pembelajaran yang diterapkan IGS tidak jauh berbeda dengan sekolah lainya, kurikulum yang d i g u n a k a n p u n s a m a s a j a , ya i t u kurikulum 2013. Tetapi ada beberapa hal yang menjadi ciri khusus, seperti mata pelajaran muatan lokal. Setiap hari Sabtu para siswa akan diajak untuk bercocok tanam atau hal-hal yang berhubungan dengan konsep penghijauan. Meskipun berkonsep sekolah alam, bukan berarti sekolah ini menolak perkembangan teknologi. “Kita tetap menggunakan konsep alam, tapi bukan berarti kita juga meninggalkan konsep teknologi. Internasional di sini menunjukan, bahwa IGS harus mengenalkan teknologi masa kini kepada para siswa dan menerapkan pembelajaran bahasa Inggris yang terbilang aktif ,” ujar Soni, Rabu (05/10). Outdoor adalah hal unik lainnya yang ditemukan dari IGS, 75 persen siswasiswi diwajibkan belajar di ruang terbuka untuk kondisi normalnya. Walaupun yang diajarkan adalah mata pelajaran umum seperti matematika, IPA dan IPS, tetap saja para siswa akan diajak belajar di luar ruangan atau alam bebas. Hal lain yang membedakan sekolah ini dengan sekolah dasar biasa, dari segi jumlah siswanya. Setiap angkatan hanya menampung sepuluh orang siswa, jika dihitung jumlah keseluruhan dari siswa kelas satu sampai enam, hanya terdapat 60 siswa saja. Hal tersebut dilakukan karena komunikasi antara siswa dan guru cukup maksimal serta proses pembentukan karakter akan semakin cepat terwujud. Sedangkan untuk jumlah guru yang mengajar di IGS berjumlah 18 orang. Para pendidik di IGS umumnya tidak berlatar belakang Sarjana Pendidikan, namun berasal dari jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Hanya ada satu pendidik yang berasal dari Pendidian Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia (PGSD UPI). Setiap harinya semua guru di IGS harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) harian atau biasa disebut juga Rencana Kegiatan Harian (RKH) yang baik, bagus dan kreatif, karena ini menyangkut gaji yang akan diterima. Selama proses pengajaran semua

guru akan datang pada pukul 06.30 untuk evaluasi awal. Sampai pukul 14.00 para guru kemudian mengajar dan dilanjutkan dengan kerja bakti hingga pukul 16.30. Setelah itu, komunikasi dengan orangtua dan siswa hingga pukul 20.00 melalui media sosial. Dilanjutkan kembali dengan membuat RKH yang harus disetor pada esok harinya. Dalam benak Soni, pendidikan bukan tentang banyak atau populernya sebuah sekolah. Melainkan bagaimana siswa tersebut mampu berprestasi hingga kancah internasional dari apa yang siswa t e r s e b u t d a p a t k a n d i s e k o l a h n ya terdahulu. “Ada kebanggaan tersendiri jika kita berhasil melihat anak-anak didik kita sukses,” ungkap Soni dengan nada semangat. Hubungan antara guru dan orang tua di IGS juga sangat penting. Sehingga sekolah kerap mengadakan pertemuan rutin bersama orangtua. Tidak hanya di sekolah, di rumah anak juga harus mendapat pendidikan dari orangtuanya. Hal inilah yang menjadi nilal tambah tersendiri bagi IGS, karena sekolah lain sangat jarang mengadakan program seperti ini. Persoalan kerap menimpa IGS, terutama di awal pembentukan, dan biasanya mempermasalahkan konsep. Seperti di tahun pertama ketika IGS dibuka, yaitu permasalahan dengan Dinas Pendidikan. Pada saat itu Dinas Pendidikan membuat soal dalam bentuk kertas, tetapi soal yang digunakan oleh IGS berbentuk digital karena telah berbasis teknologi. Selain itu permasalahan dengan orangtua siswa yang tidak sepaham, misalnya pembelajaran di IGS sudah berbasis digital dan tidak menggunakan buku. Maka orangtua yang tidak paham akan hal itu akan protes, karena tidak adanya buku atau hasil belajar siswa. Tetapi setelah diberi pengertian bahwa hasil pembelajaran siswa dapat diakses melalui media sosial, barulah orangtua mengerti dan proses belajar bisa berjalan lancar. Beragam apresiasi dan prestasi diraih oleh IGS, di antaranya IGS mendapat apresiasi dari Dinas Pedidikan Kabupaten Sumedang untuk menjadikan IGS sebagai sekolah percontohan. Sebelumnya IGS telah banyak

mendapatkan prestasi, tahun 2013 mendapatkan penghargaan dari UNESCO sebagai sekolah yang peka terhadap lingkungan. Pada akhir 2015 menjadi sekolah induk dari salah satu sekolah terkenal di Jepang. Pada Oktober lalu, IGS juga diundang menjadi salah satu tamu kehormatan Festival HAM di Semarang. Sebelumnya sekolah alam sudah banyak ditemukan, seperti Sekolah Alam Bandung yang belokasi di Dago dan sekolah-sekolah alam lainnya yang a d a d i I n d o n e s i a . N a m u n ya n g membedakan IGS dengan sekolah lain, adalah dalam mata pelajaran khusus seperti muatan lokal yang menjurus kepada alam. Sedangkan untuk sekolah alam yang banyak ditemui hanya melibatkan proses pembelajaran di alam bebas saja. Serta tidak mencantumkan mata pelajaran menjurus di mata pelajaran yang disediakan. Dosen Agrikultur Sofia Hasni juga setuju mengenai sekolah yang berbasis kejuruan atau menjurus pada satu bidang. Pada dasarnya sekolah seperti itu, lebih mampu membentuk karakter anak dengan pendekatan yang matang dan tahu arah dari keinginan siswanya. “Jika sekolah yang menjurus pada satu bidang contohnya sekolah alam, pasti pembelajaran mengenai alam dan tumbuhan akan lebih diutamakan. Hal tersebut sangat bagus, pasalnya saat ini perkembangan zaman dan teknologi sangat pesat, pembangunan serta eksploitasi hutan pun dapat merusak alam.Hadirnya sekolah alam memungkinkan pembentukan generasi baru yang cinta dan menjaga lingkungan,” ungkap Sofia Hasni dosen Agrikultur, saat diwawancarai Suaka, Kamis (03/10). Guru dan staf yang mengelola IGS juga merupakan generasi muda asli Sumedang. Mereka merupakan orangorang terpilih yang fokus dan memiliki perhatian lebih di bidang pendidikan. Untuk menjaga kualitasnya, lembaga membuat beberapa penilaian berbasis kinerja, sehingga guru-guru dan staf tersebut bisa meningkatkan kemampuannya.

Majalah Suaka 2016

25


laporan khusus

MELAWAN AKSI SI PENGGANGGU AKADEMISI Pendidikan tinggi dicurigai berdampak pada pemberangusan kegiatan mahasiswa oleh Ormas keagamaan bahkan TNI Jika hal ini dibiarkan, maka secara perlahan akan membatasi ruang keilmuan mahasiswa. SUAKA/M Aziz Pratomo


Majalah Suaka 2016

27


laporan khusus

Prasangka Di Ruang Intelektual Oleh Awallina Ilmiakhanza

A

wal Mei lalu, Azmi Ro'yal Aeni dibuat galau, satu jam menjelang Diskusi Lintas Madzhab dimulai, ia mendapat kabar bahwa salah satu pemateri diskusi batal hadir. Pemateri tersebut ialah Ulil Abshar Abdalla, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL). Azmi mencoba memberi penjelasan bahwa keamanan Ulil terjamin, namun Ulil bersikeras menolak untuk hadir, dengan alasan tak pasti. Meski Ulil membatalkan kehadirannya diskusi tetap digelar. Cobaan terhadap panitia tidak berhenti sampai di sana, ketika diskusi berlangsung di Aula Anwar Musaddad, massa yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Islam UIN, melakukan aksi. Istilah jihad dijadikan sebagai alasan. Perayaan hari jadi jurusan dengan acara Diskusi Lintas Madhzab yang telah siap untuk dilaksanakan, namun suasana berubah menjadi tegang. Azmi selaku ketua pelaksana tak m a m p u b e r b u a t b a n ya k , b a h k a n berbagai teror dan ancaman menjelang diskusi pun berdatangan, namun tidak membuatnya gentar. Azmi bersikeras menggelar diskusi, ia berani menghadapi semua yang keberatan dengan kegiatan tersebut. Sebelumnya kerap terdengar ada yang menjelek-jelekan diskusi tersebut, dari organisasi yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa UIN Pendidikan Bahasa Inggris (PBI), melalui broadcast BBM, Whatsapp, dan menolak kegiatan Diskusi Lintas Mazhab. Azmi tak tinggal diam, ia mengkonďŹ rmasi dan seketika membuatnya heran karena pesan tersebut bukan dari jurusan PBI, namun mengatasnamakan seorang mahasiswa yang aktif di Lingkup Dakwah Kampus. Tak henti di sana, ada pihak yang mengirim surat kepada Azmi mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Islam UIN. Diskusi yang mengundang empat narasumber lintas mazhab Islam. Mereka adalah Ulil dari JIL, Jalaluddin Rahmat d a r i S y i ' a h , M a r z u k i Wa h i d d a r i

28

Majalah Suaka 2016

SUAKA/M Aziz Pratomo Nahdlatul Ulama (NU) serta Ayat Dimyati dari Muhammadiyah, banyak menuai penolakan. Azmi pun m e n ya ya n g k a n s a a t o r a n g - o r a n g menyangka diskusi lintas madhzab akan mendoktrin ajaran-ajaran Syi'ah dan JIL kepada publik. Seperti yang telah Azmi pikirkan, ia telah siap dengan berbagai konsekuensi. Azmi sebelumnya sudah mempersiapkan berbagai strategi demi mengamankan kedua tokoh tersebut. Penyelenggara juga bekerjasama dengan Gerakan Pemuda (GP) Anshor sebanyak dua orang untuk mengamankan kegiatan massa. Malam hari sebelum acara, Azmi masih mendapat kabar bahwa Ulil dan Jalaluddin Rahmat bersedia hadir untuk

diskusi esok hari. Tak berselang lama, Azmi mendapat telepon dari orang tak dikenal, mengaku akan menolak keras kegiatan diskusi, Azmi tak peduli. Ketika panitia tengah mendekorasi aula yang akan digunakan, tiba-tiba seorang petugas satuan pengamanan (Satpam) kampus mendatangi Azmi. Mereka sempat berdebat mengenai legalitas diskusi. Petugas satpam mengatakan diskusi itu ilegal karena tidak memiliki perizinan dari Polisi, p a s a l n ya K a p o l s e k Pa n y i l e u k a n mendapat teguran dari Kapolres Bandung atas diskusi tersebut. “Padahal kami sudah mengirim surat resmi ke bagian keamanan kampus, masa disebut ilegal? Aneh, ini ranah kampus loh yang tidak seharusnya


laporan khusus

ada campur tangan polisi mengenai ini,” ujar Azmi kepada Suaka, Kamis (22/09). Pada 9 Mei 2016, Azmi mengaku didatangi orang berseragam rapi pada pagi hari, dari pakaian yang dikenakan, Azmi menebak itu dari TNI. “Tidak pantas kalian mengadakan acara ini, Ulil tidak berani datang ke sini,” Azmi mengatakan ulang perkataan orang yang menemuinya tersebut, tidak ada dialog lagi setelah itu. Azmi tetap tidak menghiraukan, ia bersama rekannya tengah memantau kesiapan acara. Pukul 07.00 WIB, saat itu Azmi mendapatkan kabar yang membuatnya terkejut. Ulil dan Jalaluddin Rahmat membatalkan kedatangannya sebagai pembicara diskusi. Azmi melangkah menuju

mimbar, terpaksa ia mengumumkan bahwa dua pemateri berhalangan hadir. Azmi cukup kecewa dengan pembatalan tersebut, kendati diskusi terus berjalan tanpa kehadiran pembicara utama. Diskusi terus berlangsung, namun halaman Aula Anwar Musaddad ramai dengan teriakan yang menuntut kegiatan diskusi harus diberhentikan. Ia memberanikan diri menghadap massa yang telah menunggu kehadirannya. Massa yang hadir tidak hanya menuntut pembubaran kegiatan diskusi, mereka bahkan meminta agar Ulil dan Jalaluddin berdampingan dengan Buya Yahya. Hal tersebut langsung disanggah oleh pihak penyelenggara diskusi. “Kok kamu mau campur tangan dengan kami?

Buat saja acara sendiri kalau ingin mengundang Buya Yahya, Jalaluddin dan Ulil dalam satu waktu, jangan di acara kami,” cerita Azmi. Selang sehari setelah kejadian di UIN SGD Bandung, Institusi Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung mengalami kejadian serupa. Pasalnya LPM Daunjati mengadakan Sekolah Marx dan menuai kontra. Mohamad Chandra Irfan selaku Pemimpin Umum LPM Daunjati, m e n g u n g k a p k a n k e k e c e wa a n n ya mengenai persoalan ruang otonom yang berhasil dimasuki Ormas. Awalnya 9 Mei malam, Hilmie Zein selaku ketua pelaksana Sekolah Marx sudah ditelepon oleh pihak Front Pembela Islam (FPI), bertanya soal Sekolah Marx mengenai jam pelaksanaannya. Hilmie memberitahukan bahwa Sekolah Marx tidak jadi dilaksanakan karena pembicara tidak bisa hadir. Sayangnya FPI tetap tidak percaya, mereka tetap datang dengan mengatasnamakan 11 ormas Islam se-Jawa Barat. Tepat pada 10 Mei, pukul 08.00 WIB pihak kepolisian datang ke kampus ISBI Bandung dan menemui pihak lembaga untuk memberitahu akan ada ormas FPI datang ke kampus. FPI datang satu persatu dan mulai mengadakan dialog dengan Daunjati ihwal kegiatan Sekolah Marx. Adu mulut yang diwarnai kericuhan pun terjadi. Dengan peci putih di kepalanya, seorang dari FPI menghampiri sambil berteriak. “Sudah bubarkan saja, kalian PKI!,” amarah tidak lepas dari nada dan mukanya. Lalu Chandra membalas teriakan tersebut, “Siapa yang PKI? Anda jangan menuduh orang seenaknya!.” Situasi semakin memanas, FPI sontak mengusir mahasiswa keluar kampus. Namun Chandra masih bertahan dan membela. Adu mulut pun berlanjut, dan Polisi ikut mengamankan pada saat itu. Namun, tidak dapat ditahan, ketika kontak fisik terjadi di antara keduanya. Setelah itu, pihak kampus memberikan surat pernyataan pemberhentian kegiatan Sekolah Marx kepada pihak FPI dan ditandatangani oleh Wakil Rektor III Bidang Kerjasama, Suhendi Afriyanto. Masih terngiang dalam ingatan Chandra, massa FPI Majalah Suaka 2016

29


laporan khusus kerap meneriakan takbir juga kata-kata kasar, “Kadieu anjing! (Kesini Anjing,Red),” bentak FPI kepada Mahasiswa. Ta k m a u k a l a h M a h a s i s wa ya n g dipimpin oleh Chandra dan kedua rekannya membalas dengan teriakan,” Hidup Mahasiswa!.” Chandra menganggap massa memaksakan ideologi kampus harus dimasuki oleh ideologi mereka. Kendati telah dijelaskan secara rinci mengenai sekolah tersebut, namun massa enggan mendengar sehingga Chandra mulai kesal. “Namanya juga ruang pendidikan mau belajar satanis, belajar atheis, sahsah saja. Tetap mereka tidak mau dengar. Karena mereka sudah didoktrin, nah bajingannya mereka seperti itu. Mereka tidak menegakan amal ma'ruf nahi munkar,” tegasnya. Pe g i a t Pe r p u s t a k a a n J a l a n a n Bandung yaitu TN, TI dan RH mengalami kejadian tidak menyenangkan. Beberapa lelaki berpakaian preman, berseragam lengkap, serta beberapa di antaranya membawa senjata laras panjang dan membawa pentungan rotan. Lain dari hari biasanya, 10 Mei 2016 lapak beserta isinya malam itu dibereskan satu jam lebih awal sekitar pukul 23.00 WIB. Salah satu dari tujuh puluh lelaki yang datang menggunakan dua truk, satu mobil Polisi militer, dua mobil preman dan tiga motor mendatangi sekumpulan pemuda yang tengah membaca dan berdiskusi. Jalan Cikapayang menjadi lokasi pilihan pada malam itu. Seorang lelaki berperawakan tinggi mendatangi empat pemuda, tiba-tiba lelaki tersebut memukul salah seorang pemuda. Teman pemuda tersebut bangkit, dan bertanya.“Ini kenapa?” tanyanya. Lelaki itu menoleh ke arah suara, lalu kembali lelaki tersebut memukul pemuda yang bertanya. Melihat kedua rekannya menahan sakit, kedua pemuda lainnya menjelaskan, “Pak kita harus beres-beres dulu gak mungkin langsung pergi juga,” ia mencoba meminta waktu. Sialnya, lelaki tersebut enggan menanggapi, kembali memukul pemuda yang lain, malam itu membuat suasana semakin karut-marut. “Teman berdiri dipukul lagi perutnya, sambil dari mereka teriak-teriak apa kamu? Mentang-

30

Majalah Suaka 2016

mentang badan kamu gede, kamu nantangin!,” Indra bercerita malam itu kepada Suaka, Sabtu (24/9). Tanpa berpikir lama, keempat pemuda tersebut pergi membereskan seluruh buku beserta merchandise yang juga produk mereka. Namun lelaki yang diduga TNI tersebut terbakar emosi dan kembali terjadi pemukulan. Sempat menjawab untuk membela diri, kepalan tangan terasa menghantam ke sekujur tubuh pemuda tersebut. Akhirnya semua lelaki berpakaian rapi tersebut pergi tanpa alasan yang jelas. Dasar pembubaran malam itu karena keamanan, sweeping geng motor menjadi titik masalah yang diungkit saat pembubaran. Beberapa minggu sebelumnya, memang ada anggota TNI yang tewas akibat ditikam. FPI dan TNI Tidak Masuk Ranah Akademis Setiap masyarakat berhak melaksanakan kegiatan akademis non formal seperti tercantum dalam UU No 20 tahun 2003 ayat 1 menyatakan 'Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat'. Namun hal tersebut ditentang oleh FPI, Sekretaris FPI Kota Bandung Ahmad Kurniawan mengatakan pihaknya tetap tidak menerima jika di ranah pendidikan diselipkan paham yang menyesatkan, “Meskipun dalam acara tersebut tidak memaparkan pikiran Karl Marx tentang komunisme, tapi hanya memaparkan pemikiran Karl Marx tentang seni dan berada dalam kategori ruang pendidikan, akan tetapi FPI tetap saja menolak akan adanya kegiatan-kegiatan seperti itu,” ujar Ahmad, Selasa (11/10). Menanggapi hal tersebut Chandra angkat bicara, menurutnya kampus adalah ranah akademis yang tidak seharusnya dimasuki Ormas maupun TNI. Ia berpandangan, Ormas dan TNI tidak mempunyai pegangan hukum secara jelas. Dengan bermotif melanggar aturan tahun 1966 tentang komunisme, namun mereka tidak mengetahui konteks, karena Chandra bersikeras bahwa kampus bukan ranah publik yang

siapapun bisa ikut campur di dalamnya. Chandra merasa FPI seakan-akan dijadikan strategi untuk merawat isu, melanggengkan teror bagi masyarakat bahwa komunis-komunis itu jahat. Kepala Penerangan Kodam (Kependam) III Siliwangi Mokhamad Desi Ariyanto menanggapi, pihaknya masuk keranah publik hanya untuk membantu keamanan masyarakat. Ketika ditanya perihal pembubaran Perpustakaan Jalanan, Desi berdalih pada saat tersebut bukan membubarkan Perpustakaan Jalanan namun geng motor yang di sebelahnya. “Begini, kita ngomong hak, berhak, dan tidak, kita melakukan patroli hanya mem-backup, tanya ke Polisi bisa engga mereka mem-backup seluruhnya? Emang kita TNI tidak punya hak untuk membubarkan? dari pada jadi korban geng motor boleh tidak? konteksnya dulu. Hanya satu tujuannya membantu keamanan masyarakat dan mem-backup kepolisian,“ ujarnya, Kamis (20/10). Namun Indra pun menyayangkan, kepada pihak yang membubarkan Perpustakaan Jalanan pada malam itu, beberapa rekannya yang terkena imbas fisik pun bungkam setelah mendapat tindakan represif dari pihak yang seharusnya tidak berada di wilayah sipil. Berbeda dengan pembubaran sebelumnya, bagi Indra dan kawankawan pada 10 Mei menjadi pembubaran yang meninggalkan trauma saat ada kontak fisik dalam pembubaran tersebut. Tak hanya individu bahkan seluruh anggota perpustakaan jalanan. Namun Desi menyangkal hal tersebut, anak buahnya tidak melakukan pemukulan pada saat pembubaran. Indra mengatakan dirinya beserta rekan Perpustakaan Jalanan yang lain tidak berniat membawa hal tersebut ke ranah hukum, pasalnya akan menyangkut kemajuan perpustakaan ke depannya. Berbeda dengan Chandra, ia berniat membawa ke meja hijau jika sampai terjadi pemukulan. “Toh ada kamera, kita foto ya kita pukul balik dengan hukum. Karena ring satu itu posisinya di depan, mereka orang-orang yang sudah siap kalau dipukul,” tutup Chandra. [Kru Liput: Galih Muhamad).


SUAKA/M Aziz Pratomo

laporan khusus

PENERTIBAN MINIM LANDASAN Oleh Galih Muhamad

P

erlakuan Front Pembela Islam (FPI) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terkait pembubaran paksa kegiatan di lingkungan pendidikan, selaiknya lempar batu sembunyi tangan. Keduanya menganggap tindakannya adalah kebenaran, melakukan tindakan represif dengan alasan keamanan dan terhindar dari paham yang dianggap 'menyesatkan'. FPI yang memiliki kelompok Laskar Pembela Islam tersebut tak jarang melakukan aksi-aksi 'penertiban' ataupun sweeping terhadap kegiatankegiatan yang 'dianggap' maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam. Setali tiga uang, TNI pun turut terlibat dalam pembubaran. Dalihnya untuk keamanan masyarakat, namun dinilai tidak sejalan dengan tugas seorang TNI, yang seharusnya berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan dan menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan serta keputusan politik. Namun, FPI dan TNI kini masuk ke ranah pendidikan. Melakukan tindakan represif atau pengekangan terhadap kegiatan mahasiswa. Campur tangan keduanya menjadi halangan bagi mahasiswa dalam berekspresi. Bak orang lain di kampus sendiri, begitulah ibarat pembubaran di sekolah Marx ISBI

(Institut Seni Budaya Indonesia), diskusi lintas madzhab di UIN SGD Bandung, serta pembatasan hak perpustakaan jalanan di Dago sehingga pembubaran terjadi, bahkan pemukulan pun tak bisa dihindari. Oktober lalu, Suaka mewawancarai Kependam III Siliwangi, Mokhamad Desi Aryanto, menurutnya pihak TNI tidak melakukan pembubaran paksa. Namun, membubarkan segerombolan geng motor yang sedang berkumpul di sebelah perpustakaan jalanan. Selain itu, Desi pun menyangkal jika TNI melakukan pemukulan terhadap personil perpustakaan jalanan, ia mengatakan anak buahnya mengklariďŹ kasi pada saat melakukan sweeping geng motor tidak sedikitpun berencana membubarkan bahkan sampai diduga melakukan pemukulan. Lanjut Desi, pada saat itu TNI sedang berpatroli bersama kepolisian untuk menjaga keamanan masyarakat dari ulah geng motor. “Tidak ada yang membubarkan, misalkan 'hey bubar, bubar' bukunya saya acak acak, engga kok, pada saat itu kita tidak ada urusan dengan pihak perpustakaan jalanan, mereka bilang jam 11 atau setengah 10. kita nyampe di situ jam setengah satu dini hari. Kita dapat informasi di taman Cikapayang itu

b a n ya k g e n g m o t o r . Te r u s ya n g dibubarkan itu orang geng motor bukan perpustakaan jalanan,â€? ujar Desi, Kamis (20/10). Ia menyayangkan terhadap perpustakaan jalanan yang membuka lapak pada malam hari, menurutnya kurang nyaman jika membaca dalam kegelapan sekitar pukul satu dini hari. Dari sana pihaknya berniat ingin melindungi tidak untuk mengintimidasi, namun setelah meminta baik-baik ia kecewa terhadap sikap personil perpustakaan jalanan yang tidak merespon dengan baik maksud dan tujuan TNI pada saat itu. Selain itu, jika pemukulan tersebut memang terjadi, harap Desi untuk dilaporkan dengan segera. Namun, sampai saat ini perpustakaan jalanan masih bungkam tidak melakukan pelaporan kepada pemerintah terkait dugaan pembubaran tersebut. Desi pun siap untuk menghukum anak buahnya ketika terbukti adanya pemukulan. Dosen Ilmu Sosial dan Politik Universitas Padjajaran, Muradi menilai tindakan represif hingga kontak ďŹ sik yang dilakukan oleh TNI harus mengacu kepada tugas dan fungsi TNI secara konstitusi. Berdasarkan UndangUndang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Majalah Suaka 2016

31


laporan khusus Pada UU tersebut dijelaskan bahwa tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. Jadi, bisa menjadi absah untuk masuk ke ranah sipil jika ada surat tertulis dari pemerintah setempat. Prosedur pembubaran pun harus resmi dan tertulis, semisal surat menyurat dari Pemerintah Daerah. “Kalau tidak ada, itu bisa jadi informal atau mengarah ke ilegal. Kalau terbukti ilegal itu bukan wewenang mereka untuk melakukan hal tersebut,” ujar lelaki pemerhati pemerintahan dan militer itu. Ia menambahkan yang seharusnya melakukan pengamanan Polisi atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), seksi Ketrentraman dan Ketertiban (Trantib) dan Keamanan dan Ketertiban M a s ya r a k a t ( K a m t i b m a s ) k a r e n a merupakan tugas pengamanan wilayah nasional. Muradi berpendapat bahwa perpustakaan jalanan dianggap tidak ada masalah, karena tidak mengganggu ketertiban umum. Jadi, pembubaran yang dilakukan TNI tersebut sifatnya c e n d e r u n g i n f o r m a l ya n g d a p a t mengarah ke tindakan ilegal, bahkan bisa digugat ke ranah hukum. Perihal substansi buku ilegal, TNI juga harus punya perspektif yang membebaskan. Buku-buku yang dianggap ilegal ada banyak di toko buku ternama dan tidak diperlakukan setara dengan perpustakaan jalanan. Kelas Marxis di ISBI dan Diskusi Lintas Madzhab yang diselenggarakan oleh mahasiswa Jurusan Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) UIN SGD Bandung, juga terkena imbas dari Organisasi Masyarakat (Ormas) Islam, Front Pembela Islam (FPI). Ditemui Suaka ketika melaporkan kasus penistaan agama Islam ke Polda Jabar, Jalan Soekarno Ha a Kota Bandung, FPI menjelaskan alasan paksaan pembubaran yang mereka lakukan di lingkungan kampus. Sekretaris FPI kota Bandung, Ahmad Kurniawan angkat bicara terkait kasus tersebut. Ia mengatakan FPI merasa keberatan karena Sekolah Marx yang diselenggarakan oleh LPM Daunjati tersebut membawa paham komunis di dalamnya. Ahmad menilai umat muslim

32

Majalah Suaka 2016

keberatan jika paham tersebut dihidupkan kembali. “Selama ini kami enggak masalah perguruan tinggi Islam atau negeri pun bikin satu seminar atau acara apapun kami ga masalah tapi ketika acara itu telah disusupi oknum JIL atau komunis maupun oknum yang mengatakan Islam tapi sesat makanya kami mengadakan aksi untuk menolak makanya kami keberatan kampus disusupi oleh mereka yang menurut pandangan kami adalah sesat,” terangnya, Selasa (11/10). Dasar Hukum yang Simpang Siur FPI bersikeras tindakannya benar, bahkan ia menyatakan mengacu pada hukum yang berlaku. Ahmad yakin bahwa FPI melakukan pembubaran karena ada alasan jelas. “Dasar hukumnya TAP MPRS No 7 tahun 1973 belum dihapus dan belum dicabut itu jelas sekali tentang pelarangan komunisme,” ujarnya yakin. Padahal tidak ada peraturan TAP MPRS No 7 tahun 1973, tetapi TAP MPR Nomor 7 tahun 1973 mengenai keadaan presiden atau wakil presiden republik indonesia berhalangan. Senada dengan FPI, Desi juga mengatakan bahwa TNI melakukan 'pengamanan' atas dasar hukum konstitusi yang jelas. Sayangnya Desi lupa tentang pasal yang mengatur alasan TNI melakukan pembubaran. Selain itu, ia mengatakan kegiatan patroli tersebut sudah salah satu tugas TNI untuk membantu pemerintahan daerah selain perang. Jika terjadi kejahatan maka harus segera ditindak, tidak pandang bulu mau dari pihak Polisi dan TNI. Bahkan jika masyarakat umum membiarkan kejahatan tetap terjadi, tercatat menjadi tindak pidana. Setiap peristiwa pembubaran paksa yang terjadi sangat disayangkan oleh Ilyas, mahasiswa UIN SGD Bandung jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI), ia berpendapat, perpustakaan adalah bentuk pendidikan bagi masyarakat umum dengan membuka perpustakaan gratis serta mudah diakses. Ia juga mengatakan peristiwa yang terjadi di ISBI sangat tidak setuju dengan perlakuan Ormas yang terlalu a r o g a n . M e n u r u t n ya p e m a h a m a n tentang konteks harus diterapkan terlebih dahulu sebelum akhirnya

dibubarkan. “Peristiwa ISBI dibubarkan ormas, padahal kita harus tahu dulu konteks diskusinya apa? terus disampaikan kepada siapa? yang saya tahu acara di ISBI itu kan diskusi tentang pemikiran Karl Marx tentang kesenian, dan yang menerimanya juga pasti setidaknya orang orang yang paham tentang pemikiran Karl Marx dalam seni itu sendiri,” ujar Ilyas, Selasa (1/11). Bertentangan dengan Ilyas, Bobby Rizky Hakiki berpendapat bahwa persitiwa yang terjadi di ISBI itu sangat wajar dilakukan oleh FPI, karena pemikiran Karl Marx yang identik dengan komunisme itu sangat berbahaya, dan masyarakat Indonesia mayoritas yang berideologi Islam akan sangat wajar apabila acara-acara yang berbau komunisme ditolak oleh masyarakat muslim. Selain itu, mahasiswa yang aktif di organisasi Hizbut Tahrir Indonesia ini memberikan tanggapan mengenai acara diskusi lintas madzhab yang diadakan oleh jurusan perbandingan agama. Bobby menuturkan bahwa dirinya juga ikut serta dalam aksi menolak kedatangan tokoh syiah Jalaluddin Rakhmat dan Ulil Abshar Abdalla. Ia berpendapat bahwa paham Syiah dan Liberalisme itu bisa meracuni pemikiran mahasiswa. “Kami takut dengan adanya tokoh tokoh tersebut akan meracuni pemikiran mahasiswa UIN Bandung, dan apabila sudah teracuni oleh paham liberal dan lainnya, maka akan sangat sulit sekali untuk menyampaikan pemikiran pemikiran Islam kepada mahasiswanya,” jelasnya, Selasa (15/11). Kampus adalah tempat di mana ruang gerak pemikiran dipelajari dan dikaji. Muradi menambahkan, pemaksaan mahasiswa untuk mengikuti salah satu aliran atau golongan di lingkungan kampus merupakan pelanggaran di ruang akademis. Kampus semestinya menjadi di atas itu semua. Tidak melibatkan diri dari kepentingan hegemoni atau p r a g m a t i s . [ K r u L i p u t : A wa l l i n a Ilmiakhanza dan Ismail Abdurrahman Azizi]


laporan khusus

Membangun Marwah Toleransi di Pendidikan Tinggi

SUAKA/Ismail Abdurraman A

Oleh Ismail Abdurrahman Azizi

A

khir-akhir ini kebebasan akademik di tingkat perguruan tinggi tengah mengalami ancaman. Dari aparat keamanan juga Organisasi Masyarakat (Ormas) berbasis keagamaan. Alasannya klasik, beberapa kegiatan dianggap melenceng dari norma pancasila dan agama. Padahal ruang akademik adalah ruangnya untuk berekspresi, mencari kebenaran untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Berawal dari diskusi lintas madzhab di UIN SGD Bandung, terjadi penolakan dari pihak internal kampus, bahkan polisi setempat pun turut mengamankan. Kedua, pembubaran kelas marxisme di Institusi Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, dimana terdapat Ormas Front Pembela Islam ( F P I ) ya n g i n t o l e r a n m e l a k u k a n demonstrasi untuk menghentikan kelas tersebut. Ketiga, tindakan represif dalam pembubaran perpustakaan jalanan di Cikapayang, Dago yang dilakukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) tanpa prosedur yang jelas bahkan ada tindakan fisik yang tidak seharusnya terjadi. Menurut pengamat pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Mahmud Fasya mengatakan peristiwa di ISBI terdapat indikasi bahwa mereka

berpikiran sentralistik. Dalam istilah filsafat dikenal positivisme yang berarti sukar menerima perbedaan bahkan t o l e r a n s i . K e j a d i a n i n t o l e r a n n ya kelompok tertentu di wilayah kebebasan mimbar akademik dan kebebasan masyarakat mendapatkan pendidikan informal cukup mengekang. Terlebih saat terjadi di kampus yang berbasis Islam, dimana Islam sendiri justru menjunjung tinggi toleransi. Menurutnya, mimbar akademik harus steril dari dominasi penguasa kepentingan politik praktis, termasuk pertentangan antara madzhab atau kelompok tertentu. Ia menyayangkan kelas atau pelatihan oleh lembaga-lembaga akademik yang sengaja dibubarkan dan kampus dinilai sebagai lembaga yang paling kritis. Karena Mahmud memahami hal tersebut sebagai mimbar akademik. Dalam mimbar-mimbar akademik yang demikian, seharusnya bebas berdiskusi dan bebas membicarakan apapun, namun tetap dalam kerangka akademik. Jika sebatas diskusi antar madzhab ataupun kelas marxisme dalam diskusi akademik, hal itu dapat dianggap sah. “Tapi sekali lagi, yang disebut mimbar

akademik itu memang tidak bersifat provokatif, agitatif, propaganda, mobilisasi, serta menebarkan kebencian,” ujar Mahmud di ruang dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) UPI Bandung, Rabu (28/9). Diskusi antar madzhab ataupun kelas marxis harus disikapi dengan keberagaman berfikir. Marxis, kapitalis, atau diskusi Islam, mempunyai tafsir berbeda yang mempunyai kafa'ah dan kecocokan masing-masing untuk memahami suatu konteks tertentu. Karena dengan memahami semua itu, bisa menimbulkan rasa saling menghargai. Dosen Ilmu Sosial dan Politik U n i v e r s i t a s Pa d j a j a r a n , M u r a d i menegaskan, selama diskusi atau kelas itu digelar di ruang terbatas, maka tidak akan menjadi masalah. Dirinya menilai, tindakan ormas justru berlebihan jika melakukan pemberhentian diskusi, karena tidak ada hak untuk hal itu. “Kiri boleh diwaspadai, tapi jangan sampai malah fobia. Ini kan fobia, seolah-olah kiri adalah hal yang benarbenar harus diberantas. Padahal saya pernah ke Cina, Hanoi, Thailand, Hongkong, Vietnam. Tidak ada suasana kiri seperti di Indonesia, cuma ada palu Majalah Suaka 2016

33


laporan khusus arit aja, iya sebagai simbolik aja di kepala mereka, tidak pernah mempersoalkan hal itu. Karena justru orang-orang yang fobia harus diajak ke luar, lihat suasana lain,” kata Muradi, Rabu (7/9). Jika membahas tindakan represif hingga kontak fisik yang dilakukan oleh TNI, maka harus mengacu kepada tugas dan fungsi TNI secara konstitusi, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pada UU tersebut dijelaskan bahwa tentara adalah warga negara yang dipersiapkan dan dipersenjatai untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer maupun ancaman bersenjata. Jadi, bisa menjadi absah untuk masuk ke ranah sipil jika ada surat perintah tertulis dari pemerintah setempat. “Jadi pastikan dulu ada surat menyurat enggak? Ada permintaan dari Pemda enggak? Kalau tidak ada, itu bisa jadi informal atau mengarah ke ilegal. Kalau terbukti ilegal itu bukan wewenang mereka untuk melakukan hal tersebut,” ujar Muradi yang dikenal sebagai pakar pemerintahan dan militer itu. Ia menambahkan yang seharusnya melakukan pengamanan Polisi atau Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), seksi Ketrentraman dan Ketertiban (Trantib) dan Keamanan dan Ketertiban M a s ya r a k a t ( K a m t i b m a s ) k a r e n a merupakan tugas pengamanan wilayah nasional. Muradi berpendapat bahwa perpustakaan jalanan dianggap tidak ada masalah, karena tidak mengganggu ketertiban umum. Jadi, pembubaran yang dilakukan TNI tersebut sifatnya informal yang dapat mengarah ke tindakan ilegal, bahkan bisa digugat ke ranah hukum. “Terkait substansi buku ilegal, itu kan pandangan TNI. TNI juga harus punya perspektif yang membebaskan. Dan itu tidak ada hubungannya, kita kalau mau baca-baca buku kiri juga banyak di Gramedia. Kalau begitu ceritanya, itu sepihak,” jelas Muradi. Untuk memahami substansi tindakan TNI dalam pembubaran perpustakaan jalanan, harus kembali lagi ke persoalan regulasi dan perijinan. Walaupun pihak TNI memiliki surat permintaan dari Pemerintahan Daerah (Pemda), jika

34

Majalah Suaka 2016

m e n j a l a n k a n f u n g s i ya n g b u k a n b i da n g n ya , i t u di a n g g a p se b a g a i kesalahan prosedur bukan miss komunikasi. Jika salah prosedur, pihak pimpinan mempunyai hak untuk mengganti prosedur tersebut. “Kalau tidak ya hukumannya sebatas internal. Karena dalam UU tugas nomor 34 tahun 2004, tugas perbantuan itu diminta oleh Pemda setempat,” tambah Muradi. Senada dengan Muradi, Mahmud juga menegaskan bahwa tindakan TNI dalam membubarkan perpustakan jalanan tidak tepat. Karena tugas utama TNI adalah pertahanan dan keamanan Negara. Sedangkan untuk keamanan wilayah adalah tugas Polisi atau Satpol P P . S e l a i n i t u , p e n d e k a t a n ya n g dilakukan harus menggunakan pendekatan sipil. Seperti pendekatan persuasif dan musyawarah dengan pihak yang akan ditertibkan. Karena menurut Mahmud, dengan cara tersebut sedikit demi sedikit akan tercapai pendekatan yang diinginkan. Tentunya dengan wilayah ketertiban umum dan wilayah keamanan, bukan wilayah pertahanan. Secara konstitusi, tidak ada hak TNI dalam wilayah tersebut. Polisi bisa meminta bantuan TNI, pada saat Polisi mengalami kesulitan dalam konteks tertentu. Tapi Mahmud mengingatkan, harus dipahami terlebih dahulu. Karena jika dipaksakan, konteksnya tidak akan sesuai. Keterbukaan dan Semangat Toleransi Membahas tentang bagaimana mahasiswa atau masyarakat harus bertindak, sebenarnya hal itu lebih ke ranah kampanye pemikiran. Ranahnya pun bergerak ke wilayah-wilayah penyadaran. Bukan persoalan fisik, tapi pemikiran. Mahasiswa harus menjadi contoh, menjadi garda depan yang mengkampanyekan soal prinsip bahwa setiap orang harus toleransi dan menerima keterbukaan. Hal tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan haknya, agar tidak berbenturan dengan hukum. Mahmud juga menegaskan bagi mahasiswa yang begerak di kampanye penyadaran, untuk menjangkau masyarakat luas, dapat memanfaatkan sosial media. Tetapi hanya untuk hal-hal

tertentu yang berada di luar ranah agama. Kampanye pemikiran adalah wilayah gerak mahasiswa, kalaupun ingin ada bentuk-bentuk protes atau bersifat mengkritisi, ada metode yang lebih elegan, seperti lewat petisi online. “Tidak cocok jika berontak-berontak, karena itu bukan urusan fisik, itu urusan pemikiran,” tutur Mahmud. M u r a d i m e n a m b a h k a n b a h wa Ormas tidak berhak mengintervensi kegiatan mimbar akademik semisal tindakan yang dilakukan terhadap kelas marxis di ISBI dan paksaan pembubaran diskusi lintas madzhab di UIN SGD Bandung. Ia menghimbau terhadap mahasiswa yang akan menggelar acara harus meninjau kuat atau tidaknya dukungan publik, karena menyangkut persepsi khalayak. Apabila dukungan dari publik dirasa kuat, tentu hal itu tidak menjadi masalah. Selain itu, Muradi juga menjelaskan bahwa pihak kampus juga harus mempunyai semangat menjaga toleransi dan keragaman perbedaan. Jika dalam ranah ilmu pengetahuan, kampus harus bisa menjaga marwah pengetahuan. Lalu, kampus pun harus steril dari pihak yang tidak berkepentingan. Kepentingan kampus adalah ilmu pengetahuan dan kebangsaan. “Jika suatu kelompok tertentu bermaksud mengakuisisi dan mengambil ide besar dari kebangsaan, kemudian ilmu pengetahuan, ya harus dilawan,” kata Muradi. Kampus sebagai lembaga juga harus bebas dari kepentingan yang bersifat pragmatis, dan ideologi yang mempersempit ruang gerak pemikiran. Salah satu basis utama dari kampus adalah bebas nilai, tetapi dengan menggunakan pandangan yang luas. “Saya bilang titik pijak kampus cuma dua, pengetahuan dan kebangsaan. Kalau di luar itu ya harus tau diri lah. Memaksakan kampus jadi hijau, atau kampus jadi merah itu gak boleh. Secara normatif memang tidak ada regulasi, t a p i k a m p u s p u n ya p a k e m . J a d i membatasi hagemoni. Kampus harus menjadi di atas itu semua, bebas dari kepentingan yang pragmatis atau hagemonis,” pungkas Muradi. [Kru liput: Awallina Ilmiakhanza dan Galih Muhamad]


laporan khusus

PENGKERANGKENGAN KEBEBASAN BERPENDIDIKAN

Pembubaran diskusi lintas madzhab pada Senin 9/5 di UIN SGD Bandung dan pembubaran kelas Marxis pada Selasa 10/5 di kampus ISBI oleh ormas FPI

Pembubaran perpustakaan jalanan oleh TNI pada Selasa 10/5 di taman Cikapayang

ga

ng

ky

Ric

/ KA

a Pri

S

A

SU

Mengekang demokrasi pendidikan dan menutup kesempatan seseorang mengembangkan pendidikan sepanjang hayat yang dilakukan secara informal. (UU NO 20 Tahun 2003 Bab III Pasal 4, 5, dan pasal 10)

Mengekang kebebasan mimbar akademik (UU No 12 Tahun 2012 Pasal 8 ayat 3), dan Mengekang kebebasan otonomi keilmuan (UU No 12 Tahun 2012 pasal 9 ayat 3)

Melanggar HAM karena TNI dan FPI telah membatasi hak sekelompok orang untuk berpendidikan dan pengajaran, serta melakukan perkerjaan sosial (UU HAM No 39 Tahun 1999,Bab I Pasal 1 ayat 6, dan Bab III pasal 16)

Sebagaimana UU pengadilan HAM No 26 Tahun 2000 pasal 9 pelanggaran yang dilakukan oleh TNI dan FPI merupakan perampasan kemerdekaan yang tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan. Sanksi yang diberlakukan sesuai pasal 37 adalah dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun dan paling singkat 10 tahun. Sumber : Litbang LPM Suaka

Majalah Suaka 2016

35


opini SUAKA/Nolis Solihah

Agama Indonesia: Harmoni Spiritual Kebangsaan Oleh Muhammad Zidni Nafi'* Faktor-faktor yang melatarbelakangi

E

ra globalisasi saat ini, nampaknya agama dalam posisi yang sulit. Agama menghadapi berbagai macam persoalan yang kompleks. Apalagi, agama merupakan entitas yang multidimensi, sehingga ia masuk di semua sendi-sendi kehidupan. Tak jarang, kepentingan yang dilandaskan agama melahirkan imbas yang kontradiksi dengan spirit subtansi agama itu sendiri. Di satu sisi, ia diharapkan tampil sebagai pembawa kearifan atau pemecahan persoalan. Di sisi lain, ia justru terus menerus tampil sebagai salah satu penyebab terbesar munculnya berbagai persoalan. Di satu pihak, umumnya para pemeluknya meyakini agama sebagai dasar penting demokrasi dan humanisasi. Di pihak lain, secara de facto, agama cenderung justru tampil sebagai ancaman bagi demokrasi dan humanisasi. Di satu pihak, agama dianggap penting bagi hidup bernegara. Daftar dilema ini tentu bisa diperpanjang tak habis-habisnya. Posisi agama hari ini memang tidaklah mudah. Radikalisme: Ancaman Kemanusiaan Problematika agama dewasa ini adalah radikalisme. Dunia internasional memberi perhatian lebih terhadap tindak kekerasan oleh individu atau kelompok yang mengatasnamakan agama itu. Radikalisme agama seringkali dimunculkan melalui ungkapan kebencian (hate speech) berupa idiom “sesat”, “kafir”, “musyrik”. Tak jarang juga dilakukan hingga mengangkat senjata untuk membumihanguskan pihak-pihak yang dianggap 'halal darahnya'.

36

Majalah Suaka 2016

bertentangan dengan nilai keagamaan,

radikalisme agama paling tidak terdapat

demikian pula nilai keagamaan mustahil

empat faktor. (1) Kesehatan mental yang

berlawanan dengan nilai kemanusiaan.

ada pada diri kaum muda sebagai posisi

Agama tidak dibuat sebagai penghalang

sangat rentan, sehingga gampang

kemanusiaan. Untuk itu, pemandangan

mengalami guncangan jiwa (depresi)

kekerasan, pengeboman, pembantaian

yang disebabkan faktor dalam hidup.

atas nama agama jelas-jelas melanggar

Depresi keagamaan akal muncul secara

nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian,

intrinsik sebagai religious involvement

kemerdekaan dan nilai-nilai lain yang

yang kemudian berkembang menjadi

seharusnya dikumandangkan secara

public involvement dalam keagamaan. (2)

lantang dan ditegakan secara sepenuh

Faktor ekonomi yang timpang yang

hati oleh (pemeluk) agama.

menyebabkan kesenjangan ekonomi

Bisa jadi, hari ini kita 'bisu', 'buta' dan

yang akan menciptakan kegalauan dan

'tuli' soal sejarah founding father bangsa

kecemburuan sosial mendorong

Indonesia, tanpa membeda-bedakan

seseorang melakukan protes. (3) Kondisi

agama atau suku, satu sama lain saling

sosial politik berpengaruh pada

berjuang untuk melepaskan diri dari

perubahan perilaku dan bentuk

cengkraman penjajah.

organisasi keagamaan yang bentuknya berupa aktivitas perlawanan. (4) Religious

Harmoni Cinta, Agama dan Bangsa

commitment dari pemahaman keagamaan.

Keragaman keagamaan Indonesia

Agama tidak bisa dilihat dalam

sangat rentan tersulut konflik, jika tidak

perspektif antara profan dan sakral.

dikelola dengan baik. Bukan tidak

Seluruh dimensi keagamaan dianggap

mungkin Indonesia akan menjadi ladang

sebagai sesuatu yang sakral. Sebagai kawasan yang disebut 'pusat'

peperangan –sebagaimana yang terjadi di Timur-Tengah.

atau 'kiblat' Islam, Timur-Tengah

Soekarno menegaskan nasionalisme

m e n j e l m a m e n j a d i k a wa s a n ya n g

itu suatu iktikad; suatu keinsyafan

“mengerikan”. Kelompok/aliran dari

rakyat, bahwa rakyat itu ada satu

warisan historis Islam semacam Sunni

golongan, satu “bangsa”! Rasa

dan Syiah sepanjang sejarah Islam terus

nasionalistis itu menimbulkan suatu rasa

menggelorakan 'kompetisi' yang tidak

percaya akan diri sendiri, rasa yang

sehat, sampai-sampai menyulut perang

mana adalah adalah perlu sekali untuk

saudara atau pertumpahan darah yang

mempertahankan diri dalam perjuangan

dibalut motif teologi, politik, hingga

menempuh keadaan-keadaan, yang mau

ekonomi.

mengalahkan kita. Tidak heran apabila

Tidak hanya itu, muncul Islamic State

Presiden pertama Indonesia itu

of Iraq and Syiria (ISIS), mereka menyerang

menyatakan agama wajib bekerja untuk

kelompok di luar ISIS serta menghalalkan

keselamatan orang negeri yang di

segala cara untuk menegakan negara

tempatinya.

Islam, dengan dalih membela syariat

Sebagian besar kalangan umat Islam

yang digariskan Tuhan. Sementara itu,

terkadang ”sibuk” dan “membuang-

sejak 2002 hingga 2009, Indonesia

buang energi” mempersoalkan Pancasila

mengalami berbagai serangan bom

sebagai dasar negara. Kata Emha Ainun

dengan membawa isu agama (Islam).

Najib (Cak Nun) Rukun Islam dan

Nilai kemanusiaan tidak mungkin

Pancasila itu pada prinsipnya sama,


opini cuma bentuk ungkapannya beda. Tidak

mendalam, dimaksudkan sebagai

Agar Indonesia sebagai bangsa dan

ada yang menyuruh umatnya bangsat-

pengakuan positif kepada

negara tetap utuh dan bertahan lama,

bangsatan, maling, korupsi. Semua pasti

keanekaragaman orientasi keagamaan

jangan sampai dibinasakan oleh tangan

kemuliaan, keluhuran, kebaikan, dan

dalam masyarakat, karena hakikat dan

anak-anaknya sendiri. Bangsa ini wajib

kebahagiaan. Tidak heran apabila

tujuan semuanya itu satu dan sama, yaitu

dibela secara jujur dan

keragaman keagamaan di Indonesia

berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa

bertanggungjawab. Bukan malah sibuk

dikatakan bisa sebagai “agama cinta”

dan berbuat baik kepada sesama

bertengkar dengan sesama anak bangsa

yang mengedepankan subtansi, bukan

makhluk.

serta menghabiskan tenaga dan pikiran

saling berkompetisi menampilkan watak

Bhinneka Tunggal Ika harus terus

legal-formal bahkan semangat

digali, sebab mempunyai kedalaman

–mengandung kekerasan dan

spiritual berupa nilai dan makna

Di tangan para intelektual umat yang

kejahatan— atas nama agama.

kehidupan bangsa Indonesia yang

berkualitas, persenyawaan antara Islam

untuk 'mengeksploitasi' agama demi kepentingan kelompok.

Sebagaimana dicontohkan dalam

multidimensi. Bagi Nurcholish Madjid

yang didukung oleh agama-agama lain

universalisme Islam, terdapat lima buah

(Cak Nur), usaha menggali nilai-nilai

yang hidup di Tanah Air, dengan

jaminan dasar yang diberikan agama

spiritual yakni menempatkan agama

semangat ke-Indonesiaan dan

samawi terakhir ini kepada warga

sebagai sumber kesadaran makna.

kemanusiaan, bangsa ini akan

masyarakat baik secara perorangan

Sehingga paham kemajemukan

menemukan jati dirinya yang sejati.

maupun sebagai kelompok. Kelima

masyarakat adalah bagian amat penting

Pancasila dengan diberi fondasi spiritual yang tahan banting.

jaminan dasar itu, yaitu jaminan dasar

dari tatanan masyarakat maju. Mengingat

akan (1) k eselamatan fisik warga

juga kemajemukan bangsa Indonesia

Agama Indonesia itu agama

masyarakat dari tindakan badani di luar

sebagai sebuah keniscayaan yang

mengedepankan subtansi, membumi

ketentuan hukum (hifdhu an-nafs); (2)

melimpah 'potensi diri', tapi rentan pula

dengan budaya lokal, memanusiakan

keselamatan keyakinan agama masing-

disintegrasi.

manusia serta saling toleransi antar

masing, tanpa ada paksaan untuk

Agama merupakan tonggak nilai

berpindah agama (hifdhu ad-din); (3)

yang secara kuat atau pun lemah, telah

Kecerdasan otak dapat melahirkan

keselamatan keluarga dan keturunan

sangat mewarnai sikap dan cara hidup

ilmuan yang belum cukup untuk

(hifdhu an-nasl); (4) keselamatan harta

manusia. Nilai-nilai fitrah manusia,

mengelola suatu bangsa, apalagi konteks

benda dan milik (hifdhu al-mal); dan (5)

dengan tatanan keagamaan yang bersifat

Indonesia. Tidak hanya taat ritual

keselamatan hak milik dan profesi (hifdhu

anjuran maupun doktrin, pada akhirnya

beragama, harus didampingi pula

mencari suatu kesatuan wujud dalam

dimensi spiritual berupa kecerdasan hati

al-aqli).

sesama.

Kalau bukan karena harmoni lintas

kebudayaan manusia. Dengan

yang akan membuahkan kearifan,

dimensi, mana mungkin agama-agama di

pernyataan ini, bangsa Indonesia hendak

keadilan dan keharmonisan dengan

Indonesia berperan serta mengajarkan

mengukuhkan pentingnya “agama dan

menyadari dan memaknai dalam

software power yang subtansi untuk

spiritualitas” dalam kehidupan

menjalani kehidupan bangsa Indonesia

menjaga perdamaian, untuk

berbangsa dan bernegara. Sila pertama

yang plural yang punya identitas ajaran “Bhinneka Tunggal Ika”.

menciptakan tatanan kehidupan yang

Pancasila secara nyata menunjukkan

taat dalam beragama dan integritas

bagaimana cara berpikir Indonesia dalam

dalam berbangsa.

kaitan dengan spiritual.

Kesadaran hati yang berawal dari ruang privat ini baiknya menjadi

Spiritual yang mengandung

kesadaran hati bersama oleh segenap

kejernihan hati menyadari akan makna,

elemen bangsa Indonesia untuk masa

nilai dan realitas kemajemukan entitas

kini dan mendatang. Kalau tidak ada

E m p u Ta n t u l a r , s e o r a n g fi l s u f

masyarakat Indonesia dalam identitas

kesadaran seperti itu, bagaimana bangsa

Majapahit yang mewariskan ajaran luhur

bersama, yakni “kebangsaan”. Sehingga

Indonesia mampu bertahan mengarungi

“Bhinneka Tunggal Ika”, melakukan

'spiritual kebangsaan' ini merupakan

kehidupan yang semakin kompleks?

rekonsiliasi antara berbagai aliran

suara hati segenap elemen bangsa untuk

keagamaan yang ada, dalam semangat

mengharmonikan perasaan yang sama-

Bhinneka Tunggal Ika: Spiritual Kebangsaan

Penulis adalah mahasiswa jurusan

paham kemajemukan atau pluralisme

sama sebagai makhluk Tuhan yang ingin

Tasawuf

atas dasar keyakinan tentang adanya

kedamaian, saling mengasihi, dan hidup

CSSMoRA (Community of Santri Scholars

kesatuan esensial di balik perbedaan

sejahtera. Tanpa terusik oleh pihak-pihak

of Ministry of Religious Affairs) Nasional.

formal. Semuanya beraneka ragam,

yang melakukan gerakan yang hendak

namun hakikatnya satu jua. Ungkapan

menggerus integritas bangsa Indonesia.

tersebut apabila dipahami lebih

Tegaskan Diri, Inilah Indonesia!

Psikoterapi semester VII, Ketua

Majalah Suaka 2016

37


Manusia peduli pada sifatmu, bukan organisasimu.

Apapun organisasi yang menaungimu, selama kamu berbuat baik, orang tak akan peduli terhadap organisasimu itu.

Iklan layanan masyarakat ini dipersembahkan oleh LPM SUAKA

38

Majalah Suaka 2016


QUA

Bandung

Melayani Pesan Antar Jemput Air Isi Ulang, Aqua Asli, dan Laundry Karpet, Seprei, Bed Cover, Selimut, Sepatu, Boneka, Tas, Pakaian, dll...


rana

BERTARUH NYAWA DI REL KERETA Foto dan Teks Oleh M. Aziz Pratomo

M

asyarakat Kelurahan Kebonjati dan Kelurahan Babakansari, Kiaracondong, Kota Bandung sudah terbiasa beraktivitas di area rel kereta api aktif, malah sudah menjadi lumrah. Daerah tersebut memang berdekatan dengan stasiun kereta api terbesar kedua di Kota Bandung, yaitu stasiun Kiaracondong. Mereka seakan tidak takut dengan bahaya yang akan terjadi. Berjalan menyusuri area rel dengan alasan mempersingkat rute perjalanan, menyeberangi rel tanpa rasa khawatir dan bahkan anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sering menghabiskan waktu sorenya untuk bermain bola di lapangan samping rel yang tanpa pengamanan itu. Pa d a h a l , d a l a m U n d a n g - U n d a n g Perkeretaapian Nomor 23 Tahun 2007 pasal 181 disebutkan Setiap orang dilarang berada di ruang manfaat jalur kereta api, menyeret, menggerakan, meletakan, atau memindahkan barang di atas rel atau melintasi jalur kereta api, dan menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain, selain untuk angkutan kereta api. Hal tersebut dapat mengundang kecelakaan yang fatal. Bagi yang melanggar, berdasarkan pasal 199 diberi sanksi pidana penjara paling lama tiga bulan atau membayar denda paling banyak Rp. 15 juta.

40

Majalah Suaka 2016


rana

Majalah Suaka 2016

41


SUAKA/Ismail Abdurraman A

cerpen

HILANG Oleh Mila Nur Azizah*

J

uli 2000, setelah pemotretan itu semakin banyak orang yang hilang, entah kemana, entah hidup atau tidak. Orang-orang yang hilang itu adalah aktivis-aktivis yang menentang pemerintahan Orde Baru. Suara mereka selalu lantang, tubuh mereka selalu tegar, pikiran mereka adalah satu. Lawan! Lawan! Semenjak mereka hilang, tidak pernah ada kabar ditemukan. Mati apalagi hidup. Istri-istri mereka menggugat bersama isak tangis yang tak kunjung berhenti. Anak-anak mereka menggugat melalui tulisan yang dimuat di seluruh surat kabar, “Bapakku Hilang,” begitu judulnya. Melalui puisi yang mendayu-dayu, melalui diksi yang mencakar-cakar. Juli 1992, seseorang datang kepada Anggada, malam-malam. Anggada t e r s e n y u m l e b a r k e p a d a n ya d a n menyerunya untuk masuk, ke sebuah ruangan yang gelap. Anggada adalah seorang pemuda yang cerdas di bidang teknologi, merupakan ilmuwan dan professor muda. Dia bisa saja menciptakan sesuatu yang tidak pernah diciptakan oleh orang lain, seperti misalnya menciptakan robotrobot kecil yang ditaruh di urat-urat saraf manusia, kemudian diam di sana dan bertugas untuk meluruskan urat-urat saraf yang kusut. Namun, Anggada bukanlah sosok yang mudah berbaur dengan semua orang, kemampuan berintuisinya sangat

42

Majalah Suaka 2016

hebat. Anggada memiliki wajah yang buruk rupa. Wajah sebelah kanannya terbakar ketika melakukan percobaan. Te t a p i A n g g a d a d e n g a n i d e - i d e dahsyatnya, dia berhasil menciptakan topeng dari silikon berupa cetakan wajah dirinya sendiri. Kini ia memiliki banyak topeng dari cetakan wajah-wajah orang lain. Lalu seseorang itu duduk di hadapan Anggada, di bawah terik lampu yang redup, di bawah keresahan yang begitu deras, bibirnya berkutik, “Aku meminta sesuatu darimu, yang bisa menyebabkan negeri ini terguncang,” kata seseorang itu kepada Anggada sambil menyodorkan sebuah kertas yang berisi dokumen biografi orang-orang yang akan menjadi sasaran. Senyuman dari bibir keduanya terlihat harmonis, mereka berdua saling mengerti satu sama lain. Setelahnya mereka berdua menyulut lisong yang asapnya mengepul-ngepul di ruangan itu. Tidak keluar, hanya menumpuk di setiap penjuru ruangan. Bias. Hingga menjadi awan yang padat. Juli 1993, seseorang berorasi di depan Istana Negara, berteriak-teriak meminta keadilan. Ini adalah demonstrasi tunggal yang dilakukan oleh seorang bapak b e r a n a k d u a , p e n g e r a s s u a r a n ya dipegang dengan erat, air ludahnya kerap kali muncrat ke permukaan pengeras suara itu, “Keadilan adalah kenikmatan seks dengan uang! Engkau adalah pelacur yang mengacak-ngacak negeri ini!” Seorang bapak yang rambutnya bergelombang sebahu itu terus-terusan mengulang kalimat tersebut. Dia begitu lelah menjadi kaum tertindas, menjadi kaum minoritas, menjadi seseorang yang dipandang sebelah mata oleh kaum berkelas. Dia adalah pejuang keadilan yang selalu mencoba dengan keras agar orang-orang menjadi sedikit waras. Lalu dia berpuisi sendirian, di tengahtengah tentara yang tengah mengepungnya, di antara lingkaran itu dia menjadi salah satu noda yang harus segera dibumihanguskan. Tentaratentara itu geram melihat kakinya yang berjinjit-jinjit, menyaksikan wajahnya yang kumal, dan bajunya yang compangcamping, apalagi memelototi rambutnya yang terlihat tak keramas dua bulan. “Masturbasi Polemik Negeri,” dia menyebutkan judul puisi ciptaannya

yang ke sembilan, yang akan dibacakannya di hadapan orang-orang berpakaian loreng, yang memakai tameng di tubuhnya, dan yang telah siaga senjatanya ditembakkan kepada dia. “Pergi dari sini!” salah satu tentara geram kepadanya. Bringas! “Masturbasi Polemik Negeri!!!” nadanya semakin meninggi. Pengeras suara itu dia dekatkan ke telinga yang telah meneriakinya untuk lekas pergi. Dia memonyong-monyongkan bibirnya ke hadapan orang-orang bersenjata itu, memberinya mata kesedihan yang memerah, perih. Tulang bahunya begitu menyembul, hingga m e m b u a t l e k u k a n - l e k u k a n ya n g kekeringan. Tetes keringat dari kepalanya membasuh dedebuan yang sedang berkemah di pipinya, menyapunya lagi dengan tetesan air mata yang menggelayut di dagu bapak dua anak itu. Menyedihkan. Dia mengingat pekerjaannya setiap hari, bekerja di sawah, bersabar menanti padi berbunga. Tapi hidupnya kunjung sejahtera. Sedangkan, melihat pekerjaan orangorang yang sedang mengepungnya, hanya menanti dia segera mati. Tidak adil. Dan, di antara tentara-tentara itu ada sosok Anggada yang menyelinap, dia bertopeng. Juli 1995, bapak beranak dua itu bernama Harun, dua tahun yang lalu matanya dioperasi, karena di pertengahan jalan menuju pulang dia dikeroyok orang-orang berbadan kekar, memakai jaket kulit, dan tenaganya sangat besar. Hampir saja Harun harus kehilangan mata kanannya, namun sekarang telah pulih. Selama dua tahun itu setiap malam Harun menciptakan puisi-puisi yang berisikan keresahan. Seusai kesehatannya pulih, Harun mengumpulkan orang yang senasib dengannya, sebanyak-banyaknya. “Ini harus kita lawan, kami bertahuntahun menjadi kaum tertindas, keadilan yang mereka bicarakan adalah sebuah drama, mari bergerak, bersatu melawan semua ini!!!” ajak Harun kepada para pengikutnya. “Allahu Akbar!!!” tangan kanannya dikepalkan ke arah langit, lalu semua massanya bergegas menirukan suara Harun yang menggebu-gebu itu. Kini


cerpen semua tangan mereka dikepalkan ke arah langit secara serempak. Berkali-kali menyenandung takbir dalam intonasi yang meninggi, menggebu-gebu, dan bersinergi. *** Di kediaman Anggada, di hadapan cerminnya itu dia melepas topeng yang telah dipakainya ketika berpura-pura menjadi massanya Harun. Anggada melihat wajahnya yang menjadi monster, meraba-rabanya dalam linu. “Apa yang harus aku lakukan k e p a d a m e r e k a ya n g t e r t i n d a s ? ” tanyanya seorang diri. Kemudian seseorang yang memberikan janji kepadanya di tiga tahun lalu datang menghampiri, menepuk bahu Anggada, “Ini harus selesai sebelum 1998,” Anggada menunduk, hatinya berkecamuk, di sisi lain Anggada setuju kepada suara-suara lantang orang-orang lusuh, di sisi lain hati Anggada harus tercabik-cabik tatkala menyaksikan orang-orang itu menghina keji jerih p a ya h b a p a k n ya , s e s e o r a n g ya n g memberikan janji kepadanya tiga tahun lalu. Ya, dia adalah bapak Anggada, seseorang yang memiliki kepentingan di dalam sistem pemerintahan negeri ini. “Bapak, engkau telah terlanjur memberiku ASI dari ibu Pertiwi,” “Lakukanlah selagi engkau bisa nak,” “Melalui ini, sama saja dengan membiarkan air mata ibu Pertiwi terus berlinang, mereka juga memiliki hak, mereka kaum tertindas,” “Enyahkan mereka! Enyahkan!!!” Bapak Anggada mendorongnya dan mengangkat tubuh Anggada dengan kuat, lehernya tercekik, suaranya terbatabata. “Ampun, ampun,” lirih Anggada. Juli 1997, pasukan Harun bersemangat tunggang langgang menuju Istana Negara, mereka berteriak-teriak, berkoar-koar mencari keadilan. Sebuah poster yang bergambar bapak Anggada diacungkan, wajahnya diberi tanda silang. Puluhan ban bekas dibakar, semuanya berontak. Asap hitam mengepul-ngepul, menemui awan-awan di langit sana, massa Harun sangat banyak. Sedangkan Istana Negara terlihat adem-ayem seperti tak terjadi apa-apa. “Engkaulah yang selalu mendengarkan kami Tuhan!” seseorang berteriak dengan lantang, hingga urat-

urat di lehernya hampir keluar. Gema takbir membumi, mengepung sebuah istana yang bisu, tuli, dan mati. Pasukan Harun masih mengibarngibarkan sang pusaka, di tengah-tengah asap yang hitam, legam, pengap, dan sesak. Api terus membara, menyirami pita suara. Bernyanyi-nyanyi tiada yang mendengar, permintaan mereka tiada yang mengamini, semacam secuil upil, kotor, menjijikkan. Sampai sore, sampai lelah, sampai kelaparan dan kehausan. Sebuah bangunan yang putih itu tetap tertutup rapat, apalagi orang-orang yang ada di dalamnya masih saja menutup mata, mulut, dan kedua telinga mereka. Lalu gas air mata menyembur ke arah mereka, ampuh membasmi jalanan bersih lagi. Semuanya menangis. Histeris. Juli 1998, untuk pertama kalinya kelompok Harun menerima sebuah surat secara rahasia dari pemerintah, dalam rangka silaturahmi dan permintaan maaf atas tindakan yang tidak adil ini. Kelompok Harun menyetujui atas perjamuan itu, karena inilah yang dinanti-nanti. Seminggu kemudian kaum pejuang keadilan itu telah sampai di gerbang Istana Negara tanpa sepengetahuan sanak saudara mereka. Mereka dituntut memakai pakaian formal, mereka memaksakan mengutang kepada toko baju yang dibelinya. Mereka merasa senang, seakan-akan dihargai dan dipeluk erat-erat. Sesampainya di ruang perjamuan, mereka disambut dengan sangat baik dan ramah. Hati mereka merekah-rekah, bahagia. Kebencian mereka kepada petinggi-petinggi ini lenyap seketika. Mereka ber-haha-hihi selama makan, berbincang-bincang ria tak ada beban. Setelahnya, satu-persatu dari mereka melakukan pemotretan tepat di bawah gambar orang nomor satu di negeri ini, mereka bersukacita. Namun seusai itu satu-persatu dari mereka hilang, termasuk Harun. Harun merasakan langit seolah-olah runtuh kepadanya dan menjadikannya jubah yang membawanya kepada suatu dimensi yang kosong, hampa, dan sendirian. Ya, diakhir tahun 1997, Anggada berhasil menciptakan sebuah kamera yang membuat objeknya menjadi hilang. Tidak pernah kembali. Sedangkan di kampung, sanak saudara, tetangga, dan para warga tidak

menyadari bahwa para pejuang keadilan itu telah hilang. Mereka baru tersadar ketika berminggu-minggu, berbulanbulan, bahkan bertahun-tahun tidak ada sosok yang pulang, pulang dari sawah, dari pangkalan ojek, dari tempat pembangunan, dari berkelena menjadi sopir angkot, tidak ada satu pun yang pulang menuju kampung. Tidak ada kabar dari media, koran, radio, televisi, semuanya bungkam. Juli 2016, Aku adalah Merah, sebuah nama yang bagus dari seorang bapak. Aku adalah Merah, yang telah kehilangan seorang bapak. Aku adalah Merah, seonggok mani yang menjelma m a n u s i a , d i s i n i t i d a k a d a ya n g m e n d e n g a r , b e r p u i s i t i a d a ya n g mengerti, marah menjadikanku tiada arti. Bapakku hilang. Tenggorokan bumi membuncah menata sore menjadi sebuah timbre, di lekukan tubuh gunung aku bersandar diselimuti akar-akar yang lembut. Bantalku lapis lazuli yang empuk, menengadahkanku pada langit yang sakit karena influenza. Aku sebatang makhluk lupa berkokok, lupa menggigit, dan lupa tertidur. Aku manusia yang sering lupa kepada yang Esa. Lalu semua ciptaanNya menjauh dariku, maka aku pun sendirian menatap hujan, meraba angin, dan membelai fatamorgana Semakin larut Tuhan menata soreNya menjadi sebuah amarah yang menggila, Aku pun bergita puja dalam sanubariku. Oh semesta, sepertinya malam akan segera kusembunyikan di dalam tenggorokanku. Agar sore tak cepat menghilang. Tapi aku ingin menghapus ingusnya langit, lalu terus kuhapus hingga langit menjadi tipis dan berlubang, lantas aku ingin bersembunyi di dalamnya, biar semua huru-hara hidup ini tak kuingat lagi, terlebih sore pada punggung bapakku itu. Bapak, bertahun-tahun engkau tidak pernah pulang, rinduku sudah menggunung. Bapak, orang mati masih bisa kujumpai kuburannya, tapi orang hilang harus aku temui di mana? Bandung, 28 September 2016 *Penulis adalah Mahasiswa Jurnalistik semester V. Aktif di Jaringan Anak Sastra (JAS).

Majalah Suaka 2016

43


sorot

Sampah Bandung,

Kian Menggunung Bandung tidak lagi menjadi lautan api yang melawan penjajah negeri. Kini Bandung banyak dicemari, terutama masalah sampah yang berlarut belum juga menemukan titik solusi yang pasti. SUAKA/Laura Hilmi


SUAKA/Laura Hilmi


SUAKA/Laura Hilmi

sorot

mencari celah, tak usainya masalah sampah Oleh Akbar Gunawan Wadi

D

i n i h a r i i t u wa r g a m a s i h terlelap, tanpa tahu tumpukan sampah yang menggunung tak mampu lagi membendung, 175 jiwa h a r u s m e r e g a n g n ya wa d a n d u a kampung lenyap dari peta. Tepatnya pukul dua dini hari, gunung sampah dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah meluluhlantahkan pemukiman Kampung Cilimus dan Kampung Pojok. Musibah tersebut tercatat dan terus diingat dalam sejarah peradaban manusia, bahwa ada banyak nyawa yang menjadi korban atas kelalaian pengelolaan sampah. Kondisi tersebut terjadi sebelas tahun lalu pada 21 Februari 2005. Tidak banyak yang tahu, tanggal 21 Februari kini kerap diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN). Pemilihan tanggal itu sebenarnya merupakan peringatan atas t r a g e d i l o n g s o r s a m p a h d i T PA Leuwigajah. Kini TPA beralih ke Sarimukti, Cipatat, Bandung Barat. Sebelumnya, selama 22 tahun Leuwigajah menjadi penampung sampah. Pengelolaan sampah secara optimal kini menjadi tantangan besar bagi kotakota besar di Indonesia, khususnya Bandung. Peningkatan jumlah penduduk yang meninggi, pun diikuti dengan meningkatnya jumlah sampah. Peningkatan jumlah sampah seyogyanya diikuti dengan pengelolaan sampah secara optimal. Berdasarkan data Final JICA Report tahun 2010, tumpukan sampah di Kota Bandung mencapai 1.549 ton per hari dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 2.748.732 orang. Sampah yang terangkut ke TPA hanya 1.100 ton, dengan komposisi 0,2 persen sampah

46

Majalah Suaka 2016

logam, 57 persen organik, 7,4 persen kain, 10,6 persen kertas, 0,1 persen B3, 18,5 persen plastik dan karet, 6,2 persen sampah jenis lain. Sementara sampah yang tak terangkut dalam seharinya masih dibiarkan menumpuk. Selain itu, berdasarkan data BPSR Jabar, sampah yang dibuang ke TPA Sarimukti untuk setiap harinya mencapai 3.000 meter kubik atau sekitar 1.500 ton (dengan asumsi satu meter kubik sama dengan 500 kg). Dari jumlah itu, Kota Bandung menjadi daerah dengan kontribusi terbesar yang membuang sampah ke Sarimukti dengan jumlah sampahnya yang mencapai 2.250 meter kubik/hari. Sementara Kota Cimahi sebanyak 450 meter kubik/hari, Kabupaten Bandung Barat sebanyak 250 meter kubik/hari dan ditambah pihak swasta (perusahaan dari ketiga wilayah) sebanyak 160 meter kubik. Permasalahan sampah ini banyak menuai kritik dari masyarakat. Salah satunya kritikan dari warga Bulgaria yang tinggal di Bandung bernama Inna Savova. Kritiknya ia tulis dalam blog venusgotgonorrhea.wordpress.com yang berjudul Bandung the City of Pigs dan sempat ramai diperbincangkan pada Februari 2014. “Bandung, kota tempat orang berpikir bahwa daging babi dianggap terlalu kotor untuk dimakan, tetapi orang-orangnya hidup dalam lingkungan yang lebih kotor dari babi,� kalimat ini menjadi pembuka tulisan Savova. Dalam tulisannya ia mengeluhkan betapa Bandung dipenuhi oleh sampah, sementara warganya tak peduli dan tetap merasa nyaman hidup di lingkungan kotor itu.

Fasilitas Pengelolaan Sampah Tidak Memadai Kepala Seksi Hubungan Masyakarat (Humas) Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung, Engkom juga mengkhawatirkan peningkatan sampah yang dihasilkan Kota Bandung. Ia juga mengaku jumlah armada truk dan petugas kebersihan yang dimiliki masih belum memadai untuk mengangkut sampah dari Tempat Pembuangan Sampah (TPS) di seluruh Kota Bandung m e n u j u T PA . M e s k i p e m e r i n t a h mengalokasikan dana sebesar Rp 105 miliar untuk menangani sampah, itu masih belum menutupi segala kebutuhan seperti perawatan truk dan gaji petugas. Kini Kota Bandung memiliki 105 truk sampah dan 97 truk yang laik pakai. Sementara jumlah petugas kebersihan kisaran 1600 orang. Kondisi inilah yang menjadi penyebab lambannya pengangkutan sampah dari TPS hingga ke TPA. “Memang armada kurang, tapi kita paksakan untuk mengangkut. Dengan truk dan kontener kita ngambil ke TPS dengan satu supir dan satu petugas. Dan kalau dari sisi prosedur emang kurang,� terangnya, Rabu (5/10). Engkom mengatakan pihaknya pun telah bekerjasama dengan RT dan RW setempat untuk meminta petugas tambahan selain dari PD Kebersihan. Kemudian sejak ditutupnya TPA Babakan pada Juni 2016, Kota Bandung m e m b u a n g s a m p a h n y a k e T PA Sarimukti di Desa Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Sarimukti menjadi TPA tunggal Kota Bandung. TPA ini bukanlah milik Kota Bandung melainkan milik


sorot Pemerintahan Kabupaten Bandung yang digunakan oleh Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Belum lagi kontrak pembuangan sampah Pemkot di Sarimukti akan habis pada Februari 2017. “Kalo dari kontrak di Sarimukti hanya sampai Februari 2017, kemungkinan akan diperpanjang,” kata Engkom. Kalau pun habis, lanjutnya ,TPA Legok Nangka di Nagreg akan menjadi TPA baru. Legok Nangka dapat menampung sampah hingga 1.500 ton per hari. Jumlah itu pun akan dibatasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat agar Kota dan Kabupaten mengurangi sampahnya. Tak hanya Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Garut pun akan membuang sampah ke TPA ini. Masalah sampah ini akan lebih kronis serta berdampak buruk dalam banyak hal. Deputi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, Rena Rully mengatakan beberapa dampak tersebut. “Problem yang paling utama pasti banjir, yang kedua pasti penyakit, penyakit itu paling mengerikan, kalau kita lihat kondisi setelah banjir di Gedebage banyak sampah dimana-mana,” ujarnya, Rabu (21/9). Selain itu, nilai estetika dari kota itu sendiri akan berkurang karena sampah yang berserakan. Program Nihil Berlabel Kota Kreatif, ternyata sampah bukan hal yang mudah ditangani Pemerintah Kota Bandung. Sejak Ridwan Kamil menjadi Wali Kota pada 2013, Pemkot telah membuat serangkaian program penanganan sampah. Hingga kini program-program itu belum berjalan efektif dan seringkali berhenti di tengah jalan. Pemkot pernah membuat program sejuta Lubang Resapan Biopori (LRB) yang berfungsi untuk menapung air tanah, pencegah banjir, dan memanfaatkan sampah organik sebagai penyubur tanah, namun program ini nihil. Rena Rully mendukung program LRB kala itu. “Gerakan itu sangat menarik, karena langkah awal memulai mengelola sampah juga, tapi sekarang gerakan ini kemana?,” tandasnya. Rena pun mengkritisi program pemisahan tempat sampah organik dan non-organik yang dirasa tak efektif.

Program ini menjadi tak karuan, karena kurangnya sosialisasi pemerintah pada m a s ya r a k a t m e n g e n a i p e m i l a h a n sampah. Namun, menurut Rena problem sampah yang masih belum terselesaikan ini bukan hanya sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi menjadi milik bersama. Kesadaran dan kemauan masyarakat ikut andil dalam bagian ini bukan hanya mementingkan egoisme masing-masing. “Pemerintah tidak bisa bilang saya sudah menyediakan infrastrukturnya, melalui cara buang, itu gak bisa, kalo saya lihat pemerintah hanya dari sekedar proyek, terutama tentang edukasi ke masyarakat kurang,” tambah Rena. Ia juga berharap agar orang-orang yang mengerti tentang persoalan sampah, ikut andil turun ke lapangan agar memberikan sosialisasi lebih dari sekedar gerakan memungut sampah. Analisis Lingkungan Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bandung, Dety Yulianti juga mengatakan Bandung akan membangun Biodigester yang didatangkan dari Jerman. Biodigester ini mampu mengubah sampah 200 ton per hari menjadi gas yang dapat dimanfaatkan. Tapi menurut Dety, sampah yang bisa masuk ke Biodigester ini hanya sampah organik. “Ini yang jadi tantangan kota Bandung, untuk memilah sampah, karena input sampah harus murni,” ujarnya, Rabu (9/10). Sebelum Biodigester, Bandung pernah berencana membuat Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSA) berbasis Insenelator di Gedebage. Hal ini ditolak mentah-mentah oleh Rena yang mewakili warga Gedebage. Menurutnya, cara kerja PLTSA tidak melakukan proses pemilahan, melainkan langsung dibakar. “Kita gak tau sampah jenis apa saja, karena kalau mau ngomongin secara ilmu, sampah yang dibakar dibawah 800 derajat celcius akan muncul racun yang dinamakan bioksin,” jelasnya . PLTSA juga akan memakan banyak biaya karena membutuhkan bahan bakar minyak. “Dikaji dari sisi keungannya, APBD tidak akan cukup untuk mengalokasikan itu, apalagi butuh bahan bakar, bukan malah menghasilkan energi, tapi boros energi,” terangnya. Terhitung PLTSA membutuhkan biaya

sebanyak Rp 350.000 per ton sampah, jika sampah yang diangkut sebesar 700 hingga 1000 ton per hari, maka biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp 245 hingga 350 juta per hari di luar biaya pengangkutan. Alasan terakhir yang dikemukakan oleh Rena, karena lokasi PLTSA hanya 300 meter dari pemukiman warga dan gedung olahraga. “Itu tujuannya matiin o r a n g d e n g a n p o l u s i , ” u j a r n ya . Insenerator membutuhkan banyak air u n t u k m e n d i n g i n k a n b o i l e r n ya . Mengingat daerah rumahnya pun masih sulit dengan air bersih. Namun, jika pemerintah ingin menggunakan B i o d i g e s t e r , Wa l h i a k a n s a n g a t mendukung langkah tersebut. Kontoversi Piala Adipura Warga Bandung boleh berbangga hati, karena pada 2015 lalu, setelah menanti selama 17 tahun Piala Adipura kembali ke Kota dengan julukan Paris Van Java ini. Namun hal tersebut yang menjadi sorotan, mewakili Walhi Jabar. Rena mengatakan Bandung sebenarnya belum layak mendapatkan penghargaan bergengsi tersebut. “Kita nyebutnya Adi pura-pura,” ujarnya terkekeh. Rena sangat menyayangkan penilaian dari Adipura sendiri yang hanya mengandalkan titik-titik tertentu berdasarkan penempatan tim pengawas yang terkesan se ing. “Sebenarnya ini PR besar bagi pemerintah Bandung sendiri, ini buat saya penilaian macam apa, gak usah pake titik pantau langsung aja keliling Kota Bandung,” sarannya. Pemerintah hanya fokus membenahi pusat kota. Bahkan, secara terangterangan Walhi sempat meminta ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk meniadakan Piala Adipura. Mengenai wacana Indonesia Bebas Sampah 2020 yang dideklarasikan Presiden Joko Widodo pada Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) Februari lalu, Rena dan Engkom optimis Bandung dapat turut serta mewujudkannya. Dengan catatan ada keseriusan dari masyarakat dan pemerintah mengenai hal ini.

Majalah Suaka 2016

47


sorot

TAK PATAH ARANG

SUAKA/Laura Hilmi

MEMBANTING TULANG Oleh Laura Hilmi

T

ampak seorang bocah mengenakan kaos lusuh berwarna biru dengan aksen garis hitam dan memakai topi warna coklat berada di tengah perbukitan sampah. Kucuran keringat nampak jelas di atas kulit wajah dan tangannya yang legam terkena paparan sinar matahari. Bocah itu tak bisa berkompromi, urusan kebutuhan hidup yang kian tinggi memaksanya untuk bergelut dengan bau dari sampah setiap hari. Saat itu matahari berada tepat di atas kepala. Bocah tersebut tengah bersiap menunggu kedatangan truk pengangkut sampah. Kemudian dengan sigapnya ia menghampiri tumpukan sampah yang baru diturunkan dari truk. Dengan piawainya ia memilah sampah meski tanpa sarung tangan membalut jemari kecilnya. Tangan kanannya sibuk mengais sampah kemudian memasukannya ke dalam karung coklat yang berada di tangan kirinya. Satu dua langkah, kaki mungilnya berpindahpindah menyusuri bukitan sampah. Ia adalah Rendy, bocah berumur 12 tahun ini adalah siswa kelas 5 di SDN Sarimukti pun terpaksa memecah batu dengan menjadi pemulung di Tempat

48

Majalah Suaka 2016

Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Desa Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat. Memulung sudah menjadi rutinitasnya sepulang sekolah untuk membantu ayahnya dalam satu tahun ini. Ia sadar akan pentingnya sekolah. Namun dengan kondisi keuangan keluarganya Rendy terpaksa memulung untuk sekedar membeli peralatan sekolah karena penghasilan ayahnya hanya cukup untuk membuat dapur tetap ngebul. “Buat beli buku, sepatu, dan makan,” ujar Rendy Selasa (18/10). Rendy telah terbiasa dijamu lalatlalat ketika mengais sampah, juga saling mendahului dengan pemulung lainnya. Diusianya yang terbilang muda, ia terpaksa menanggalkan kebiasaan anakanak pada umumnya, belajar dan bermain. Ia juga mengaku tak pernah disuruh memulung oleh kedua orangtuanya. Orangtua Rendy, Dudung membenarkan. Ia pernah melarang Dudung untuk memulung, meski Dudung mengerti niat baik anaknya. Tapi Rendy tak mengindahkan larangan ayahnya. “Rendy sendiri yang pengen mulung,” ujar Dudung, Selasa (18/10).

Rendy mengaku sering menemukan barang-barang layak pakai dan ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Seperti, pakaian, handphone, bahkan uang rupiah. Bagi Rendy, TPA tak hanya sebagai lahan mengais rezeki, tapi juga tempat bermain yang asyik bersama teman-temannya. Sepakbola menjadi permainan yang sering Rendy dan teman-temannya mainkan. Mereka memilih lahan sampah yang rata. Dan bermain sepakbola menggunakan bola yang mereka temukan di TPA. Di balik kesenangannya, Rendy terkadang merasakan dampak buruk kesehatan selama ia tinggal di sana. Berbagai gejala penyakit turut menghantui Rendy. Terutama penyakit kulit yang membuat badannya gatalg a t a l d a n t e r g a n g g u n ya s a l u r a n pernapasan sehingga tidak jarang ia sering batuk-batuk. “Udah biasa,” katanya singkat. Di dalam saku celana Rendy terlihat sebuah boneka barbie. Barbie itu mengenakan length sleeve dress berwarna pink dengan motif bunga. “Ini buat adik saya kak,” kata Rendy dengan nada lugunya. Rendy menemukan boneka tersebut di antara tumpukan sampah.


sorot Dudung bukan warga asli Sarimukti, pria asal Purwakarta ini sudah lima tahun tinggal dan bekerja sebagai pemulung di TPA Sarimukti. Bekerja sebagai pemulung dan tinggal di rumah yang jarak dengan gunungan sampah hanya beberapa langkah kaki ini terpaksa dilakukan. Karena 'nyawa' keluarga ini hanya digantungkan dengan hasil memilah sampah yang bisa dijual ke pengepul. Ia selalu berdoa agar k e l u a r g a n ya s e l a l u d i l i m p a h k a n kesehatan, meski dia khawatir akan ancaman kesehatan, dia berharap Tuhan selalu melindungi kesehatan keluarganya. Kesehatan menjadi hal yang m e n g k h a wa t i r k a n d i S a r i m u k t i . Dudung mengaku kakinya pernah terlindas buldoser dan tertimpa pintu belakang dump truck atau tabeng. “Saya masih bersyukur masih hidup. Bekas ketiban itu masih ada,” ujar Dudung sambil memperlihatkan bekas lukanya. Bantuan keringanan biaya berobat dari puskesmas setempat pun tak diterima Dudung. Katanya kecelakaan yang terjadi pada pemulung itu tidak dalam pengawasan dan di luar sistem p e n g e l o l a T PA . D u d u n g p u n menanggapi hal itu sebagai kewajaran. Dan memandangnya sebagai resiko menjadi pemulung. Bau tak sedap pun terkadang membuat Dudung malas memulung sampah. Namun apa daya, inilah sumber kehidupan Dudung. Setiap harinya Dudung memperoleh sekitar 150 ribu rupiah. Dengan uang itu Dudung mampu menghidupi dua orang anak dan istrinya. Terkadang Dudung pun mengeluh dengan harga beli sampah daur ulang dari pengepul. per kilo sampah pengepul membeli sampah dari pemulung dengan harga antara 1000 hingga 1200 rupiah. Dari balik rumah yang terbuat dari kayu dan terpal seadanya, Dudung tak pernah pernah berhenti berharap. Dudung ingin sekali menyekolahkan anaknya ke pesantren. “Saya berharap anak saya Rendy bisa mengenyam pendidikan dan saya berniat untuk membawanya ke pesantren,” ujar Dudung. Cerita lainnya muncul dari salah satu karyawan Tempat Pengelolaan Kompos (TPK) Bagian Penataan di TPA Sarimukti,

Mamat. Ia mengatakan pada mulanya warga Sarimukti menolak desanya dijadikan lahan pembuangan sampah. Namun setelah negosiasi pemerintah dan perangkat desa setempat, warga pun menyetujui. “Kesepakatan itu warga meminta untuk dilibatkan menjadi karyawan TPK, dan ada perhatian khusus terhadap dampak yang dirasakan. Maka dari itu warga mendapat dana kompensasi dampak negative setiap bulannya,” ujar Mamat yang juga menjabat sebagai Perangkat Desa Sarimukti, Selasa (4/10). Dana kompensasi itu dialokasikan pada sektor kesehatan, kebersihan, dan pendidikan bagi warga sekitar. Desa Sarimukti mendapatkan dana kompensasi sebesar 60 persen, serta Mandalasari dan Rajamandala 20 persen. Pembagian dana kompensasi dibagikan dengan rasionalisasi jarak desa dengan TPA. Setiap Senin dan Kamis diadakan pengobatan gratis di Pusat Pelayanan Desa. Mamat mengatakan kesehatan yang kerap kali dirasakan warga. Sesak napas, gatal-gatal, dan batuk-batuk menjadi penyakit yang biasa dirasakan warga. Berdasarkan data statistika dari Balai Desa Sarimukti, jumlah warga sebanyak lima ribu penduduk, dan 300 orang sebagai pemulung dari berbagai macam daerah. Dari 30 persen pemulung merupakan warga asli Desa Sarimukti. Kota Sampah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti mulai digunakan sejak 28 Februari 2006. Sarimukti menjadi pelarian sebagai TPA pasca longsornya TPA Leuwigajah. Kini TPA Sarimukti digunakan untuk menampung sampah dari Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung , Kabupaten Bandung Barat, dan Pasar Induk Caringin. Koordinator Badan Pengeloaan Sampah Regional (BPSR) Jawa Barat Iwan Syarifuddin mengatakan Pe m e r i n t a h P r o v i n s i J a wa B a r a t melakukan kerjasama dengan Direktur Perhutani dan Pemerintah Kota/Kabupaten untuk penggunaan lahan di Sarimukti sebagai TPA dari 2006 hingga 2008. “Perjanjian kerjasama dilanjutkan kembali oleh Pemprov Jabar

dengan Direktur Perhutani untuk penggunaan TPA Sarimukti yang dikelola oleh BPSR Jabar dari tahun 2008 hingga 2018,” ujar Iwan. Iwan juga mengatakan standarisasi luasnya lahan TPA yakni sekitar 50 hektar. Sedangkan lahan Sarimukti hanya tersedia setengahnya, yaitu 21,2 hektar tanah Perhutani dan empat hektar tanah warga yang dibebaskan Pemkot Bandung, Cimahi, dan Pemkab Bandung Barat kala itu. Ketinggian sampah di TPA sejak pertama digunakan sudah mencapai 50 meter dari dasar tanah. Iwan menjelaskan hal ini disebabkan meningkatnya volume pembuangan sampah yang mencapai 10 hingga 15 persen per tahun. Kini 70 persen lahan TPA digunakan untuk pembuangan sampah (landfill) dan sisanya digunakan untuk pengelolaan air resapan dan pengelolaan kompos. P e n g e l o l a a n s a m p a h d i T PA Sarimukti menggunakan sistem Landfill yang merupakan pengembangan dari sistem Open Dump untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang disebabkan di sekitar TPA. Dengan Landfill sampah akan ditimbun lapisan tanah setiap minggunya dan berulang. Untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan lahan dan kestabilan permukaan TPA, maka dilakukan pula perataan dan pemadatan sampah. Di Sarimukti juga dilakukan pemilihan sampah untuk didaur ulang menjadi kompos. Berdasarkan data BPSR Jawa Barat, jumlah truk pengangkut sampah hingga periode 9 Agustus 2016 Kota Bandung menempati peringkat pertama pengirim sampah terbanyak dengan 227 truk per hari, volume sampah mencapai 2.490 voltase. Kemudian diikuti Kabupaten Bandung Barat dengan 47 truk per hari, dengan volume sampah mencapai 360 voltase. Kabupaten Bandung berada di posisi ketiga dengan 61 truk per hari, volume sampah mencapai 468 voltase. Selanjutnya Kota Cimahi dengan 53 truk per hari dengan volume sampah mencapai 489 voltase. Terakhir, sampah dari Pasar Induk Caringin sebanyak 16 truk per hari. [Kru Liput : Muhammad Iqbal]

Majalah Suaka 2016

49


DAUR ULA MENJADI

sorot

Berdasarkan Undang-undang

No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah 1. Daur Ulang Sampah Perkotaan ● Pisahkan antara sampah organik dan sampah anorganik. Sampah organik dapat ditumpuk dan dikomposkan sedangkan sampah anorganik dikirim ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). ● Sampah organik yang terkumpul ditumpuk di bak penampung sampah yang bagian dasar nya memiliki saluran udara untuk sirkulasi udara. ● Se ap minggu, tumpukkan sampah dibalik, agar suhu tetap berkisar antara 55-600 C . ● Dalam waktu 6-8 minggu, tumpukan sampah itu hancur dan nggal diayak. ● Hasil pengayakan itu siap digunakan sebagai pupuk kompos yang bermanfaat. Pengomposan sampah kota dapat dilakukan dengan sistem tumpukan terbuka.

SUAKA/Ismail Abdurrahman A

Atap

Tiang

Sampah Organik

Bak Sampah

Maksudnya, sampah ditumpuk di tempat terbuka, namun tetap beratap. Proyek pembuatan kompos ini pun bisa menjadi lahan pekerjaan yang mengurangi pengangguran di kota. Dengan dibekali la han teknis membuat kompos, dapat menghasilkan kompos sekitar 1,75 ton/hari dengan memanfaatkan lahan seluas 850 m².

Sirkulasi Udara

TEMPAT DAUR ULANG

2. Daur Ulang Sampah Rumah Tangga ● Simpan sampah organik ke dalam komposter, kecuali kulit telur. Sebab kulit telur sukar menjadi kompos. ● Tutup komposter dan biarkan selama 3-4 bulan. ● Selama proses pengomposan akan muncul belatung, tutup tong atau drum dengan rapat agar belatung dak bertebaran. ● Setelah kompos berwarna hitam dan gembur, ambil dan keluarkan. ● Angin-anginkan kompos selama satu minggu ● Kompos siap digunakan Tempatkan komposter jauh dari sumur, agar sumber air bersih dak tercemar.

50

Majalah Suaka 2016


NG SAMPAH KOMPOS

sorot

1. Produsen sampah (rumah tangga, industri, pasar dan lain-lain) ikut memilah antara sampah organik dan sampah anorganik serta bahan limbah berbahaya. 2. Sampah masuk ke TPS (Tempat Penampungan Sementara), sampah dipilah kembali bertujuan untuk mengurangi volume sampah anorganik yang masuk ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) dengan memilah sampah yang masih bisa didaur ulang, digunakan kembali dan dimaanfaatkan kembali. 3. Setelah dari TPS sampah diangkut ke TPST (Tempat Pembuangan Sampah Terpadu), dilaksankan kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, pendauran ulang, pengolahan dan pemrosesan akhir sampah. 4. Tahap pemrosesan akhir (TPA), memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.

Cara Membuat Komposter

KOMPOSTER

Tutup Tong

Lubang Pipa Pipa 4 inci

SUA

KA/I

smail

Kasa Plas k

Abdu

rrahm

an A

a.Bahan-bahan yang dibutuhkan : ●Tong plas k atau drum yang bertutup ● Pipa paralon berdiameter sekitar 4 inci ● Kain kasa Kerikil ● Kasa plas k ● Batu kerikil. b.Langkah pembuatan ● Lubangi bagian atas tong plas k atau drum, sebanyak empat lubang dengan diameter masing-masing 4 inci. Keempat lubang itu berfungsi untuk memasang pipa. Bagian bawah drum atau tong juga dilubangi dengan diameter sama. Buatlah lubang tersebut sebanyak 4-5 lubang. Kemudian. Tutuplah dengan kain kasa agar air bisa mengalir. Lubang 4 inci ● Ujung pipa bagian luar ditutup kasa plas k untuk sirkulasi udara. ● Se ap jarak 5 cm, lubangi pipa dengan bor Kerikil sebesar 5mm. Lubangi pula tong atau drum selebar 5mm untuk sirkulasi udara, dengan jarak 10cm. ● Pasang pipa pada empat sudut tong. Kemudian tanam di dalam tanah . Tempatkan pada bagian yang terlindung dari hujan. ●Tutuplah sepanjang tepi tong atau drum dengan batu kerikil setebal 15cm. Tutup juga sekeliling pipa dengan kerikil, lalu ditutup dengan tanah. Hal ini pen ng dilakukan agar bau busuk tak menyebar dan mengganggu lingkungan sekitar.

Tong Plas k

Pipa 4 inci (dalam)

Untuk sampah anorganik dapat didaur ulang menjadi barang yang bernilai ar s k atau komersial, seper tas dari kemasan plas k atau instalasi dari botol bekas. Majalah Suaka 2016

51


SUAKA/M Aziz Pratomo

sorot

Berinovasi Menaklukan Sampah Kota Oleh Nunung Nurhayati

I

novasi perihal menyelesaikan persoalan sampah terus dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kota Bandung. Namun tak jarang, program tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal dan pada akhirnya berhenti. Sampah tetap menyebar di ruas-ruas jalan, dan terus menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). “Persoalan sampah ini tidak bisa diselesaikan secara instan,” ujar Deputi Walhi Jaba, Rena Rully saat ditemui di kediamannya, Gedebage, Minggu (21/9). Ia mengatakan bahwa harus ada kerja s a m a a n t a r a m a s ya r a k a t d e n g a n pemerintah, karena sampah ini merupakan masalah bersama. Perusahaan Daerah (PD) Kebersihan Kota Bandung pun menyatakan bahwa permasalahan sampah di Kota Bandung saat ini sudah tidak bisa dianggap masalah kecil lagi. Tingkah laku masyarakat yang belum mempunyai kesadaran dalam menjaga lingkungan, khususnya pengelolaan sampah. Serta upaya pemerintah yang belum maksimal, menjadi faktor pendukung masalah sampah di Kota Bandung. Volume sampah yang ditampung di TPS-TPS setiap harinya dianggap berlebihan dan di luar batas tampung. Pengangkutan dari TPS ke TPA pun menjadi salah satu yang harus disoroti. “Ya, memang benar tidak semua sampah di TPS bisa diangkut ke TPA. Armadanya kurang memadai. Secara oprasional pun tidak memungkinkan,” ujar Humas PD Kebersihan Kota Bandung, Engkom saat ditemui di ruang kerjanya, jum'at (7/10). Berbagai program Kebersihan dari

52

Majalah Suaka 2016

pemerintah pun sudah dijalankan. Namun, semuanya belum begitu efektif. “Program-programnya sudah berjalan semua. Tapi ya, memang belum efektif. harus banyak inovasi baru lagi. terutama penyuluhan untuk masyarakat,” kata Engkom. Ia juga menerangkan bahwa program terbaru dari pemerintah adalah dalam hal pemberantasan pembuang sampah liar. Sudah banyak yang tertangkap dan dikenakan sanksi. Berbagai solusi ditawarkan pemerintah, terutama isu mengenai pembangunan PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di Gedebage, Bandung, yang menjadi salah satu perhatian masyarakat. Isu ini sudah muncul saat masa pemerintahan Walikota Dada Rosada. Pro dan kontra s a n g a t t e r l i h a t j e l a s . Pe n o l a k a n masyarakat sekitar lokasi didukung penuh oleh Walhi. Hal ini dikarenakan b e r b a g a i f a k t o r ya n g m e r u g i k a n masyarakat. “Tidak ramah lingkungan, biayanya juga sangat besar. APBD Kota Bandung tidak cukup. Membahayakan masyarakat juga, karena dekat sekali dengan pemukiman,” tegas Rena. Edukasi merupakan hal yang sangat penting saat ini. Rena pun mengkritisi pemerintah yang hanya menyediakan fasilitas tanpa ada edukasi terlebih dahulu kepada masyarakat. “Saya yakin kalau dibarengi dengan edukasi yang cukup, masyarakat bisa menanggulangi sampahnya sendiri.” jelasnya. Ia juga menyatakan kalau nantinya masyarakat bisa mengerti cara pengolahan sampah dari rumahnya sendiri, bukan hanya tumpuk, lalu buang.

Selain menekankan edukasi kepada masyarakat, Walhi juga menyarankan agar pemerintah bisa membangun rumah kompos dan bank sampah disetiap kelurahan di kota Bandung. Hal ini di karekan pengolahan sampah yang terpusat dan masih jarang ditemui di lingkungan masyarakat. Mengandalkan Biodigester Teknologi pengolahan sampah lain yang disoroti sebagai upaya pemerintah menanggulangi sampah di Kota Bandung adalah teknologi biodigester. Pakar lingkungan hidup Institut Te k n o l o g i B a n d u n g ( I T B ) , E n r i mengulas perihal teknologi insenerator dan biodigester. Menurutnya, teknologi insenerator ini teknologi yang paling rakus dalam memakan sampah. Semua jenis sampah bisa diolah dengan alat ini. Hasilnya pun hanya berupa abu. Tapi, teknologi ini sangat dibenci oleh lingkungan. Sebaliknya, biodigester merupakan teknologi pengolahan sampah yang ramah lingkungan. Hanya saja, jenis sampah yang bisa diolah terbatas. Kapasitasnya pun lebih kecil dari insenerator. Hasil olahan sampah dari biodigester pun menghasilkan sampah sisa yang nantinya harus dipikirkan pengolahannya seperti apa. “ S a ya s e t u j u j i k a p e m e r i n t a h menggunakan biodigester. Karena teknologi ini lebih ramah lingkungan dibanding insenerator,” ujar Rena. Ia menyatakan Walhi siap mendukung dan memberikan edukasi penuh mengenai teknologi biodigester kepada masyarakat.


sorot Menurut keterangan dari pihak Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH Kota Bandung), saat ini terdapat sekitar 24 biodigester yang sudah beroperasi di beberapa wilayah di Kota Bandung. 24 biodigester ini terdiri dari biodigester berkapasitas 25 kg (Skala rumah tangga), 250 kg, dan satu ton. Untuk biodigester kapasitas 25 kg, ditempatkan di area atau wilayah yang diajukan oleh pemerintah setempat. Untuk kapasitas 250 kg, ditempatkan di tempat yang bisa menjadi percontohan. Seperti, kampus Universitas Pendidikan indonesia (UPI), Pindad, Rumah Sakit Dr. Salamun, dan Bank Sampah Kiaracondong. Sedangkan untuk kapasitas satu ton, saat ini hanya ada di Pasar Induk Gedebage. Baru-baru ini juga, pemerintah kota Bandung membeli 210 biodigester berkapasitas 25 kg atau skala rumah tangga yang sudah disebarkan di beberapa wilayah di Kota Bandung. Pembagian wilayah ini berdasarkan k e c a m a t a n a t a u p u n t e m p a t ya n g memang membutuhkan dan direkomendasikan oleh pemerintah setempat. “Nantinya, biodigester ini akan menampung sampah rumah tangga dari 5 sampai 10 rumah,” jelas Staf BPLH Kota Bandung, Sugeng saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (14/11). S e t i d a k n ya , b i o d i g e s t e r i n i b i s a mengurangi pengangkutan sampah dari rumah tangga ke TPS atau TPA. Biodigester merupakan alat untuk mengelola sampah yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan bakteri sebagai pengurainya. Jenis sampah yang bisa diolah dengan alat ini adalah jenis sampah organik. Dalam hal ini, masyarakat dituntut untuk bisa memilah sampah organik dan anorganik. Biodigester mengolah sampah menjadi gas atau listrik. Untuk saat ini, biodigester yang ada di Kota Bandung hanya biodigester yang menghasilkan gas. “Tetapi rencana pembangunan biodigester yang menghasilkan listrik, akan segera dibangun di daerah Pasir Impun,” tambah Sugeng. Dalam pengoperasian biodigester, BPLH sudah melakukan penyuluhan kepada masyarakat dan pemerintah setempat. Baru-baru ini, BPLH mengadakan penyuluhan mengenai biodigester di daerah Karangsetra.

SUAKA/M Aziz Pratomo

Penyuluhan tersebut bekerjasama dengan pemerintah setempat, profesional dari perusahaan yang memproduksi alat biodigester (biometagrin), serta akademisi dari Universitas Padjajaran (Unpad) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). “Penyuluhan tentang biodigester biasanya lebih ke masalah teknis pengoperasiannya,” ujar Sugeng. Petugas yang mengoperasikan biodigester merupakan orang yang dipilih dan dipercaya oleh pemerintah setempat. Menurut penjelasan Sugeng, pemanfaatan biodigester secara optimal akan menghasilkan profit yang tinggi. gas yang dihasilkan biodigester sama saja dengan gas yang dipakai untuk bahan makar memasak di rumah-rumah. Selain itu, air dari sisa pengelolaan sampahnya bisa digunakan untuk pupuk kompos. Enri berharap nantinya akan ada tenaga profesional yang dapat mengoperasikan biodigester secara berkelanjutan. Karena biodigester ini merupakan teknologi pengolahan sampah yang disediakan pemerintah untuk masyarakat. Edukasi kepada masyarakat dan pemantauan langsung dari pemerintah sangat penting, agar teknologi biodigester ini beroperasi dengan baik dalam menanggulangi sampah di Kota Bandung. Untuk saat ini, memang harus sering a d a e d u k a s i k e p a d a m a s ya r a k a t mengenai pengolahan sampah, agar mereka mau mengolah sampah dari mulai rumahnya. “Yang plastik bisa dikumpulkan di bank sampah. Untuk organik bisa dikompos di rumahnya,”

terang Rena. Ia juga memberikan saran untuk pemerintah bisa membuat pengolahan-pengolahan sampah yang tidak tersentralisasi atau tidak terpusat. Bank sampah dan rumah kompos disetiap kelurahan di Kota Bandung, “Ya, saya yakin itu bisa mengurangi sampah. Meskipun yang residu tetap menjadi tanggung jawab pemerintah, sesuai dengan Undang-undang yang ada,” pungkas Rena. Adapun Undangundang yang menjelaskan tanggung jawab pemerintah terhadap sampah residu tertera pada Undang-undang No. 18 Tahun 2008. Salah satu program pemerintah dalam mengurangi sampah di Kota Bandung adalah program Bandung Resik yang dikelola oleh PD Kebersihan. Program ini berbentuk investasi sampah atau menabung dengan sampah. Setiap kilo sampah yang disetorkan kepada bank sampah, bisa tukar dengan uang. “Nanti, setiap orang yang ikut program ini akan punya buku tabungannya sendiri,” jelas Humas PD Kebersihan Kota Bandung, Asep Koswara. Program lainnya adalah program operasional yang merupakan program rutinitas menyapu jalan. Ada sekitar 1100 petugas kebersihan penyapu jalan yang bertugas setiap harinya tersebar di seluruh Kota Bandung. “Untuk jam kerjanya, ada dua shift. Dari jam 4 pagi sampai 11 siang, dan dari jam 11 siang sampai 5 sore. Beda lagi kalau ditempat ramai seperti alun-alun. Jam kerjanya b i s a l e b i h l a m a l a g i , ” j e l a s n ya . Setidaknya 160 kg sampah perharinya bisa dikumpulkan oleh para petugas penyapu jalan ini.

Majalah Suaka 2016

53


SUAKA/Elya Rhafsanzani

sisi kampus

Meredam Masalah Tanah Hibah Oleh Fani Nabilah Farsi dan Muhamad Iqbal

A

mbisi Ridwan Kamil untuk mengalihkan pemerintahan Kota Bandung ke Gedebage, memberi dampak terhadap kampus UIN SGD Bandung. Khususnya bagi tanah ya n g b e r l o k a s i d i G e d e b a g e d a n diperuntukan sebagai kampus dua. Beberapakali pertemuan antara pihak kampus dengan Pemkot Bandung dilakukan. memperbincangkan kesepakatan dengan harapan menghasilkan keuntungan bagi keduanya. Pe r t e n g a h a n N o ve m b e r l a l u , Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Bandung Yossy Irianto bersama Kepala Dinas Perencanaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Dadang Supriatna dan jajarannya memenuhi ruang rapat di gedung tengah B3 Balai Kota Bandung perihal pembahasan kelanjutan hibah lahan Pemkot dengan Kemenag dan UIN SGD Bandung. Bersama dengan Kepala Biro Keuangan dan BMN Kemenag, Syihabuddin Latief didampingi Rektor UIN SGD Bandung Mahmud ikut hadir dalam rapat tersebut. Hadir pula Wakil Rektor II Bagian Keuangan Oyo Sunaryo Mukhlas, Wakil Rektor IV Bagian Kerjasama Muhammad Ali Ramdhani, Karo Administrasi Usaha Perencanaan

54

Majalah Suaka 2016

Keuangan Jaenudin, Kabag Keuangan & IBMN Wardija dan Kabag Umum Fathujaman serta Kasubag Tata Usaha dan Rumah Tangga Ramdan. Yossi Irianto membuka rapat, ia mengungkapkan keinginan Pemkot Bandung untuk segera pindah di kawasan Gedebage. Pasalnya Pemkot telah memiliki komitmen bahwa di tahun 2017 ingin menyegerakan perpindahan pusat pemerintahan Kota Bandung ke wilayah Gedebage. Namun terkena hambatan, salah satunya kawasan yang masih dimiliki oleh UIN SGD Bandung. Kawasan yang dimaksud adalah lahan seluas kurang lebih 28 hektar yang akan dijadikan kampus II UIN SGD Bandung. “Kami menyediakan 50 miliar, 10 miliar di antaranya untuk Detail Engineering Design (DED)” terang Yossi Irianto dalam rapat tersebut, Kamis (20/10). Sesuai dengan kesepakatan antara Menteri Agama Lukman Hakim dan Ridwan Kamil, bahwa lahan yang akan dihibahkan ke Pemkot sekitar 10 hektar yang pada awalnya hanya delapan hektar. UIN SGD Bandung akan mendapat beberapa keuntungan dari pertukaran lahan tersebut. Pertama pembangunan ikon kampus, di dalamnya ada tiga fakultas yang

disatukan dan tiap fakultas memiliki luas sekitar tiga hektar, bila ditotalkan ada sekitar sembilan hektar untuk ikon kampus II. Bukan hanya itu, biaya tiga gedung itu akan ditanggung oleh Pemkot Bandung, UIN SGD Bandung juga akan mendapatkan lahan seluas dua hektar yang ada di belakang Fakultas Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Rencananya, lahan dua hektar itu akan digunakan untuk lahan parkir. “Insya Allah kalau lahan yang dua hektar ini terealisasi, kampus di sini akan terbebas dari kemacetan. Hampir setiap hari di kampus dipusingkan dengan masalah lahan parkir, jika pertukaran sudah terealisasi maka akan menjadi suatu keuntungan yang besar,” ujar Fathujaman saat ditemui Suaka di ruang kerjanya, Rabu (28/09). Keuntungan yang akan dimiliki oleh UIN SGD Bandung selanjutnya perihal pembebasan kontrak lahan dari hotel Kanira. Menurut Fathujaman bila lhan dari Hotel tersebut menjadi milik kampus, maka akan menjadi sumber dana yang besar dan benar-benar membantu keberlangsungan kampus. “Karena pada awalnya lahan yang dipakai oleh hotel Kanira itu milik Pemkot Bandung, namun bangunannya


sisi kampus resmi milik UIN SGD Bandung hal tersebut sudah punya sejarah lama dari tahun 1960-an,” tambah Fathujaman.

setelah itu saya lepas tidak tahu menahu lagi tentang yayasan,” jelas Didi Rabu (02/11).

Sejarah Hotel Kanira Jauh sebelumnya Hotel Kanira dipakai untuk Balai Diklat Pelatihan, namun tidak mendapatkan keuntungan dan antusias dari masyarakat hingga akhirnya bekerjasama dengan Ikatan Keluarga Alumni (IKA) IAIN dan berganti fungsi menjadi sebuah wisma. Te t a p i d i k a r e n a k a n p e r a t u r a n pemerintah berupa pelarangan adanya wisma karena ketidakjelasan sistem pembayaran pajaknya, maka IKA IAIN mencoba membenahi bangunan tersebut dan dijadikan hotel dengan mengusung nama Kanira.

Permasalahan Kontrak Hotel Kanira Hotel Kanira merupakan sebuah aset milik UIN SGD Bandung yang berdiri di atas lahan yang dimiliki oleh Pemkot Bandung, seluas 2,7 hektar. Hotel yang beralamatkan di Jalan Pelajar Pejuang '45 nomor 10 ini merupakan penyebab penghambat penyerahan aset atau perhibahan antara Pemkot Bandung dengan Kemenag dan UIN SGD Bandung. Pada awalnya yang menjadi masalah adalah perizinan yang sudah mengalami habis kontrak pada Februari 2015 dan kewajiban UIN SGD Bandung membayar hutang ke Pemkot senilai 261 juta. Kabar keterlambatan ini didapatkan dari rapat yang diadakan pada tanggal 20 September lalu, rapat berlangsung di gedung tengah B3 Balai Kota Bandung. Dalam rapat tersebut membahas kelanjutan dari kerjasama yang sudah disetujui antara Kementerian Agama dan Wali Kota Bandung 21 Juni lalu atas permohonan Wali Kota Bandung perihal hibah aset negara kepada Pemerintah Kota Bandung tanggal 27 Februari 2015. Kontrak Hotel Kanira baru akan habis di tahun 2020 sedangkan kontrak UIN SGD Bandung dengan Pemkot habis di tahun 2015. Permasalahan inilah yang dibahas dalam rapat di Balai Kota. Jelas bahwa UIN SDG Bandung dengan Pemkot sudah habis kontrak, namun karena kontrak UIN SGD Bandung dengan Hotel Kanira baru akan berakhir 2020, maka dari itu harus diselesaikan. “Kami menyarankan untuk diperpanjang dulu,” ujar Dadang dan Yossi. “Kami beri waktu kepada UIN sampai 26 September 2016, apa akan dilanjutkan atau tidak,” saran Yossi pada saat rapat. Kepala bagian keuangan, Wardija membenarkan bahwa sejak tahun 2014 kemarin masa sewa kontrak lahan Hotel Kanira sudah habis dan sampai tahun ini belum dibayar kembali oleh pihak UIN SGD Bandung. “Kita enggak bayar di sana karena lahannya mau diserahkan sama kita jadi kalau sudah diserahkan sama kita, lahan itu jadi milik kita dan kita mendapatkan uang. Contohnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki

Menurut Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang dahulu menjabat sebagai pembantu rektor dua juga selaku kepala Yayasan Kesejahteraan IAIN Sunan Gunung Djati, Didi Mashudi mengatakan bahwa dulunya bangunan tersebut dipakai untuk Balai Diklat Pelatihan tetapi tidak mendapatkan keuntungan. Akhirnya bekerjasama dengan ketua IKA IAIN dan dijadikanlah sebuah wisma. Tetapi sesuai dengan peraturan pemerintah daerah, terkait tidak boleh ada wisma, maka ditahun 2005 dijadikan sebuah hotel. “Kerjasama hotel Kanira dengan IKA IAIN tidak berlangsung lama, karena ditahun berikutnya IKA IAIN dibubarkan dan hotel tersebut diserahkan ke pihak kampus UIN SGD Bandung,” ujar Didi Mashudi saat ditemui Suaka. Dulu saat hotel Kanira bekerjasama dengan pihak IKA IAIN mendapatkan penghasilan dan biaya akomodasi. Didi menceritakan, pernah satu kali dalam setahun yayasan mendapat dana kurang lebih 115 juta setahun dari hotel tersebut. Uang tersebut digunakan untuk membayar retribusi ke Pemkot Bandung sebesar 22 juta, kurang dari 100 juta bisa dikantongi untuk menambah biaya pengembangan UIN SGD Bandung. “Tetapi sangat disayangkan Yayasan IKA IAIN tidak bertahan lama, setelah dinyatakan bubar ditahun kedua, kemudian diinstruksikan oleh Rektor untuk diserahterimakan dengan pihak UIN SGD Bandung dalam hal ini Kepala Biro Administrasi dan Keuangan Umum,

sebuah rumah sakit dan pendapatannya puluhan miliar, sedangkan kita belum punya aset yang seperti itu,” jelas Wardija, Kamis (22/09). Staf ahli hotel Kanira Didin Alifudin juga menjelaskan masalah perizinan yang tidak ditindaklanjuti, karena pada saat itu ia telah mengajukan perizinan beroperasi ke Badan Perizinan Terpadu (BPT). Tetapi tidak ditindaklanjuti oleh BPT-nya sendiri karena ada beberapa persyaratan yang belum terpenuhi. Salah satunya Pajak Bumi Bangunan (PBB) Hotel Kanira untuk hak aset pemerintah. Ia tidak menahu masalah adanya pajak kerena lahan tersebut m a s i h m e r u p a k a n l a h a n Pe m k o t Bandung. “Jadi kemarin ia tidak memperpanjang perizinan karena terbentur dengan hal tersebut. Pertama izin PBB yang tidak bisa diakses, karena yang seharusnya membayar pajak itu pihak dari UIN. Pihak hotel hanya membayar kontraknya saja pertahun ke UIN,” ungkap Didin saat ditemui di ruang penerimaan tamu hotel, Rabu (02/11). “Memang kemarin kami ada keterlambatan saat membayar kontrak tahunan ke UIN jadi pihak UIN tidak bisa membayar uang sewa lahan ke Pemkot Bandung karena ada keterlambatan dari pihak kami. Kebetulan owner Hotel Kanira sedang ke luar negeri. Maka dari itu belum a d a n ya p e m a s u k a n d a r i p e m i l i k perusahaan membuat UIN belum bisa membayar pajak ke Pemkot Bandung dan sekarang sedang diproses pengajuan ulang,” lanjut Didin. Didin juga menceritakan saat bulan April ia datang ke BPT untuk mengajukan perpanjangan perizinan heregistrasi karena persyaratan yang belum lengkap yaitu pembayaran PBB. Tetapi menurut Didin lahan Hotel Kanira itu milik negara dan tidak memiliki bukti pembayaran PBB, kecuali bukti pembayaran kontrak ke pihak UIN SGD Bandung. Selanjutnya, UIN SGD Bandung yang nanti membayar uang sewa lahan ke Pemkot. Setelah itu bisa keluarlah bukti pembayaran yang nantinya akan dibuat untuk persyaratan pembayaran pengganti PBB. Maka, nanti akan ada surat perpanjangan kontrak UIN SGD Bandung dengan Pemkot Bandung. Majalah Suaka 2016

55


Narahubung: 089670685327 Muhammad Iqbal

email: suaka.institute@ gmail.com instagram: Suaka Institute

Suaka Institute membuka pintu bagi Anda dan organisasi Anda untuk belajar, berbagi, dan berdiskusi mengenai kejurnalistikan.


085719354510 / LINE : purnaaditya purnaditya35


Dok.Net

stetoskop

Fanatisme EKSPRESI Cinta Penggila Bola Oleh Nizar Al Fadillah

S

epakbola, adalah olahraga paling populer seantero penjuru bumi. Di seluruh belahan benua dan ratusan negara, pasti mengenal olahraga yang pencetusnya masih sering diperdebatkan ini. Sepakbola adalah candu bagi rakyat. Begitulah kalimat kritikus Marxis, Terry Eagle on. Sepakbola memang selalu menarik dan mempesona. Kendati muncul kriminalitas, perang, krisis, skandal permainan, suap – menyuap perwasitan, pengaturan skor yang jamak terjadi serta penuh campur tangan politik. Namun sepakbola tidak pernah habis dan mati. Olahraga ini selalu ada untuk menghibur seluruh penjuru dunia dengan memainkan si kulit bundar. Sepakbola bukan menjadi olahraga yang nomor wahid di dunia jika tidak ada dukungan terhadap kesebelasan – kesebelasan sepakbola itu sendiri. Baik dari tingkat klub maupun negara. Dukungan ini, tidak lain dan tidak bukan adalah dari kumpulan orang bernama suporter. Suporter, seperti asal katanya Support berarti mendukung kesebelasan dengan fanatik. Bahkan, Suporter juga sering disebut sebagai “pemain kedua belas” dari sebuah kesebelasan, karena mereka memiliki andil besar pada sebuah pertandingan. Suporter – suporter inilah yang pada akhirnya menjunjung tinggi fanatisme sebagai pondasi kecintaanya terhadap sebuah klub. Namun seiring berjalanya waktu dan berkembangnya zaman, fanatisme masa kini mengalami banyak perubahan makna dan rasa. Hingga arti fanatisme terhadap sepakbola memiliki banyak arti dan tafsir. Makna fanatsime Sepakbola

58

Majalah Suaka 2016

Menurut penulis sekaligus pengamat Sepakbola, Zen Rahmat Sugito atau yang akrab disapa Zen RS, fanatisme sepakbola itu tak memiliki standar atau rumus baku harus bagaimana dalam bersikap dan berperilaku. “Fanatisme yang baik yaitu tumbuh secara alami. Karena berdasarkan interaksi yang tumbuh di lingkungan dan masyarakat,” terang pendiri situs panditfootball.com tersebut, Jum'at (07/10). Zen lebih menekankan fanatisme sebagai hal yang tumbuh dengan wajar, tanpa direka – reka yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang ada, dengan kata lain fanatisme sepakbola yang baik adalah perilaku untuk mencintai klub lokal yang ada dilingkungan kita. Dengan fanatisme yang tumbuh secara alami di masyarakat, harapanya sepakbola tidak hanya akan jadi sebuah permainan. Karena kecintaaanya terhadap kota, ia akan menempatkan kesebelasan sebagai bagian persoalan kota. Sehingga kalau kesebelasan bermasalah, itu akan dibuat sebagai masalah kota, bukan dari sektor kehidupan yang lain. Namun, ketika seseorang memiliki ketertarikan terhadap sebuah kesebelasan diluar lingkunganya, atau kebanyakan tertarik terhadap kesebelasan di Eropa sana, berarti ada fanatisme yang tumbuh tidak alami disana. Fanatisme itu dilatarbelakangi oleh bujuk rayu gaya hidup. Sehingga meskipun mereka amat jauh dari kesebelasan yang ia dukung, namun ia bisa merasa seolah – olah dekat dengan mereka. “Jangankan menginjak rumput Old Traffod (Stadion Manchester United) atau San Siro (Stadion AC Milan), keluar

negeri pun mereka belum pernah. Tapi mereka bisa demikian fanatiknya,” paparnya saat di temui di Gedung Indonesia Menggugat (GIM). Meski fanatisme tersebut terkesan tidak alami, bukan berarti itu adalah fanatisme yang buruk. Sebab, di Indonesia sendiri tak semua daerah memiliki kesebelasan sepakbola masing – masing. Jadi wajar, ada banyak orang ya n g f a n a t i k d a l a m m e n d u k u n g kesebelasan di luar Indonesia, k h u s u s n ya E r o p a s e b a g a i k i b l a t sepakbola masa kini. Berbeda dengan Zen, menurut Pengamat Sosial, Dulkiah menyatakan bahwa fanatisme Sepakbola kurang lebih sama dengan makna fanatisme pada umumnya. “Fanatisme dalam sepakbola yaitu suatu sikap yang menghendaki identitas tertentu dengan berlebihan dalam mengekspresikan sikap serta melihat dengan mata sebelah,” ungkap Dosen Sosiologi UIN SGD Bandung itu. Menurut Dosen lulusan S2 dan S3 di Universitas Indonesia (UI) tersebut, Fanatisme sepakbola itu menarik karena ada unsur kecintaan serta efek yang ditimbulkan. Efek yang di timbulkan ini bermacam – macam, dari hal yang positif seperti solidnya ikatan sesama s u p o r t e r , h i n g g a ya n g b i a s a n ya berkonotasi negatif seperti merusak fasilitas stadion, melakukan kekerasan terhadap supporter lain, yang tak jarang memakan korban jiwa. Ketika Para Suporter Destruktif Ketika harap tak sesuai nyata, maka kekecewaan yang akan terasa. Ketika tim didukung kalah, maka kecewalah yang juga akan dirasa. Rasa kecewa yang dirasakan suporter ini kadang di lampiaskan dengan cara yang bermacam – macam. Namun cara yang paling menganggu adalah dengan melakukan kerusuhan dan bersifat Destruktif atau merusak. Tak jarang ada banyak fasilitas – fasilitas umum yang hancur karena keliaran para suporter ini yang mencoba mengobati pedihnya kekalahan, meski perusakan seperti ini tentu saja tidak akan memberikan kemenangan bagi klubnya. Para Suporter yang destruktif ini menurut kacamata Sosiolog adalah


stetoskop sebuah fanatisme yang disintegrasi atau keadaan terpecah belah. “Fanatisme akan berakibat perpecahan jika pada akhirnya mereka melakukan perusakan,” jelas Dosen asal Majalengka itu. Ia pun memaparkan bahwa ada faktor – faktor yang dapat mempengaruhi mengapa suporter melakukan hal – hal seperti itu. Pertama, karena kurangnya pendidikan. Dalam sepakbola, semuanya menjadi sama dan berbaur, tak ada sekat yang berbeda antara suporter yang berpendidikan maupun tidak. Inilah yang menyebabkan dimana kerusuhan terjadi. Karena minimnya tingkat pendidikan para suporter yang kebanyakan didominasi oleh kaum bawah yang sudah merasa kalah di seluruh aspek kehidupannya, dan hanya di stadionlah mereka bisa merasa menjadi orang yang 'paling – paling'. Faktor lainnya adalah kecintaan terhadap klub namun pengendalian diri yang tak berimbang. Tata tertib yang masih belum tegas dan kontrol sosial dari negara yang masih kurang. Faktor – f a k t o r i n i l a h ya n g m e n ye b a b k a n destruktifnya para pemain kedua belas tersebut. Faktor-faktor tersebut sepertinya diamini oleh suporter Persib sekaligus pentolan Viking Persib Club (VPC), Mulyana. Pria yang sapa akrab di sapa Yana Bool ini berpendapat bahwa sumber daya manusia di Indonesia (khusunya suporter) level pengendalian dirinya masih kurang. “Untuk hal – hal seperti itu (merusak-Red), karena kualitas sumber daya manusia di Indonesia masih rendah, tidak seperti di Eropa sana,” terangnya saat di temui Suaka, Jumat (12/11). Meski demikian, Yana tak menampik bahwa para suporter haruslah berselisih dan menjalin rivalitas. Itu menurutnya yang memberikan warna pada sepakbola dan menjadilah sepakbola menjadi istimewa. Namun rivalitas itu terjadi hanya 90 menit saat pertandingan berlangsung, tidak sampai keluar lapangan yang ujung – ujungnya menjadi perbuatan kriminal. “Jangan sampai R i va l i t a s a n t a r s u p o r t e r m e n j a d i tindakan kriminalitas,” tutur pria yang jatuh cinta pada persib sejak kelas 3 SD ini. Makna Suporter yang Destruktif

dalam kacamata Zen cukup berbeda dengan penjabaran di atas. Menurut Zen, Suporter ketika timnya kalah, memang harus kecewa dan melakukan tindakan. “Ketika tim yang kita bela kalah, otomatis kita harus marah, dan ekspresi ini macam – macam, dari pada hanya bersikap 'legowo' karena takut memberi efek buruk bagi klub yang didukung,” ujar pria kelahiran Cirebon ini. Kefanatikan dalam sepakbola yang mengharuskan kita 'legowo' saat tim pujaan kita kalah, adalah suatu proses yang buruk. Karena artinya suporter telah ditundukan oleh peraturan – peraturan yang menuntut keprofesionalan sehingga para suporter tak bisa benar – benar membela kesebelasanya. Bukankah menjadi anomali ketika suatu kesebelasan yang dibela kalah, namun sebagai pendukungnya kita tak bisa melakukan apa – apa dan hanya pasrah. Ketika ingin melampiaskan kekecewaan, namun ' d i a n c a m ' o l e h d e n d a ya n g a k a n merugikan klub kita sendiri. “Padahal sabodo teuing, itu bukan urusan suporter, denda nya denda weh,” ungkap Zen berapi – api. Zen juga berbicara tentang potensipotensi perlawan terhadap apa yang disebut tatanan. Ketika suporter sudah ditundukan habis-habisan dengan ancaman hukuman dan denda, itulah etika tatanan memenangkan perang. Perang dalam menguasi atau memonopoli sepakbola. “Kerusuhankerusuhan kecil, perlawan-perlawanan k e c i l h a r u s t e r u s d i r a wa t , u n t u k memastikan naluri memandang tatanan dengan kecurigaan, itu harus dirawat. Ketika tatanan tidak dicirugai, kita sangat sulit memabangun perlawan. Itulah cara saya sepakbola dari kacamata suporter.” Aturan – aturan yang mengecilkan ruang gerak suporter inilah yang akhirnya membuat para suporter sendiri tak berdaya dan kefanatikannya berubah rasa. Ketika ruang gerak suporter yang terbatas di tempat yang lain, ada banyak elit politik sepakbola yang bebas bergerak karena aturan – aturan seperti ini yang bisa menguntungkan bagi mereka. Tetap Manusiawi Fanatisme bola kerap berujung

memakan korban jiwa, terutama permusuhan mengatasnamakan klub sepakbola yang dibela. Pemerhati kultur dan subkultur tribun sepakbola, Randy Aprialdy dalam artikelnya di panditfootball.com menyatakan permusuhan antar supporter di Indonesia sudah terlalu barbar. Randy menyayangkan satu per satu nyawa karena kekerasan antara suporter di Indonesia semakin berjatuhan. Randy menilai perkelahian tersebut dilatarbelakangi sosial dan ekonomi. Indonesia masih identik dengan tawuran antar kampung, geng motor, ras, kedaerahan yang selalu melibatkan senjata. Yang selalu mengutamakan melukai bahkan membunuh lawannya adalah kemenangan. 'Padahal s e j u j u r n ya , s e p a k b o l a b u k a n l a h pertarungan untuk nyawa'. Suporter Harus Melek Politik Pa r a s u p o r t e r a t a u j u g a p a r a penikmat sepakbola Indonesia sepertinya sepakat, bahwa politik adalah sumber carut – marutnya persepakbolaan Indonesia. Dalam istilah Zen, semakin lama, para suporter semakin jijik pada politik dan menjauhi ranah itu, karena politik adalah sumber dari segala permasalahan sepakbola Indonesia. Karena demikian, seharusnya ketika suporter sudah muak terhadap politik, mau tak mau suporter harus lebih melek politik. “Padahal justru karena politik adalah penyebab persoalan sepakbola yang akut, suporter justru harus semakin melek politik,” tegasnya. Ia menambahkan, bahwa bagaimana mau melakukan analisis dan memecahkan persoalan, ketika persoalan politik dijauhi oleh suporter. Masih menurut pandangan Zen, ketika para suporter menjauhi ranah politik, maka semakin bebaslah para oknum – oknum pengelola sepakbola di Indonesia. Karena sepakbola, adalah tempat di mana perputaran uang berada. Tanpa ada kontrol yang kuat yang dilakukan oleh salah satunya suporter, maka mereka bebas dari segala tekanan. Padahal, selain mendukung suatu kesebelasan, suporter harus memiliki rasa kecurigaan terhadap tatanan negara. Ketika tatanan tidak dicurigai, suporter akan sangat sulit membangun perlawanan. Majalah Suaka 2016

59


stetoskop

false nine

Anak tiri itu adalah Istilah Sepakbola Oleh Nizar Al Fadillah

traquesta

A

da banyak catatan sejarah yang beragam mengenai asal muasal sepakbola, Benua Eropa lah dengan negara Inggris yang pada akhirnya menjadi kiblat sepakbola karena mereka memutakhirkan olahraga ini dengan peraturan – peraturan. Dan dari Eropa juga pula lahirnya istilah – istilah khusus yang digunakan untuk membahasakan sepakbola, baik dari peraturan permainan, strategi dan taktik, posisi pemain bahkan hingga ucapan komentator. Di mana lagi mendengar kata 'kick off', 'starting eleven', 'false nine', 'traquesta' ataupun 'fergie time' jika bukan dari sepakbola. Istilah – istilah sepakbola ini semakin hari semakin berkembang, semakin banyak istilah dan kosakata baru. Namun, di Indonesia seiring berkembangnya istilah sepakbola ini tak diimbangi oleh proses 'membasakan' bahasa sepakbola itu sendiri. Sehingga ada (sangat) banyak istilah sepakbola yang belum diserap menjadi bahasa Indonesia. Sepakbola sebagai Korpus Pengetahuan Banyaknya istilah – istilah sepakbola, menurut pandangan penulis sepakbola, Zen RS dalam esai yang berjudul 'bertukar tangkap dengan lepas' di buku Simulakra Sepakbola, menjadikan sepakbola bukan hanya sebuah permainan, namun juga korpus pengetahuan. Sepakbola telah menjadi bidang ilmu pengetahuan karena ada banyak yang dimiliki dan bisa dipelajari dari sepakbola. Dan kepopuleranya di seantero negeri, tak

60

Majalah Suaka 2016

kickoff

terkecuali Indonesia, pun seakan menegaskan bahwa sebagai suatu korpus pengetahuan, sepakbola tidak boleh di pandang sebelah mata. Pada perkembanganya pula, para penikmat sepakbola kini sudah benar – benar sangat bisa menikmati sepakbola dengan berbagai cara, selain dengan menonton pertandingan sepakbola, salah satunya menikmati sepakbola dari tulisan. Masih menurut Zen, jika dulu tulisan sepakbola hanya sekedar sebuah berita, pada perkembangan masa kini, para penggila sepakbola bukan hanya di uguhkan tulisan yang membahas 'hasil' pertandingan, namun juga 'proses' dalam suatu pertandingan, ulasan mendalam tentang pertandingan yang dilengkapi dengan statistik dan infografis yang bisa memuaskan syahwat m e r e k a a k a n r i n c i a n t a k t i k ya n g diperagakan oleh para pelatih. Syahwat pecandu sepakbola inilah yang segendang-sepenarian benar – benar menjadikan sepakbola sebagai sebuah korpus pengetahuan. Dengan adanya ( hal luar biasa yang bernama) internet yang bisa membuat akses berbagai macam tulisan sepakbola dengan amat sangat mudah, makin – makinlah syahwat penggila terpenuhi. Mereka bisa melihat rincian statistik sepakbola dari situs – situs yang memang resmi dan mumupuni dalam bidang ini, salah satunya Opta, yang merupakan situs statistik sepakbola terbesar di dunia. dan bisa melihat tulisan – tulisan dari para penulis sepabola di Eropa macam Jonathan Wilson ataupun komentar – komentar para pundit

starting eleven

fergie time SU

AK

A/I

sm

ail

Ab

du

rra

hm

an

sepkbola seperti Jamie Redknapp dan Jamie Carragher. Data statistik, tulisan wartawan sepakbola, komentar pundit, penjelasan taktik hingga peran permain di lapangan adalah bukti shahih bahwa sepakbola telah menjadi korpus pengetahuan, sejajar dengan ilmu – ilmu pengetahuan yang kita pelajari di sekolah. Namun, alfa nya bangsa Indonesia terhadap istilah – istilah asing dalam sepakbola ini agaknya dipengaruhi juga oleh pandangan orang – orang mengenai sepakbola. Masih menurut Zen dalam esai nya, Meskipun sepakbola diminati dan digilai, tapi agaknya tidak pernah dianggap serius sebagai suatu korpus pengetahuan. Purbasangka terhadap aktivitas fisik sebagai hal yang kotor, tekel keras dan adu badan agaknya dianggap tidak sepenting akvitas berpifikir dan dunia ide – ide seperti agama, teknologi, film, sastra ataupun seni. Contoh shahih nya adalah teknologi. Perkembanganya yang memang gencar, membuat kepedulian terhadap penetrasi istilah – istilah asing dalam dunia digital lebih baik dan cepat di padankan. Munculah kata unduh untuk download, unggah untuk upload dan tetikus untuk mouse. Sedangkan bagi sepakbola sendiri masih kekurangan dan cenderung tidak diperjuangkan. Sepakbola bak anak tiri yang dikucilkan oleh pasangan suami istri dalam keluarga perbahasaan. Ia karena melibatkan banyak kegiatan jasmani, berbeda dengan kebanyakan anak

A


stetoskop lainya yang lahir dari segi pemikiran, diperlukan tidak sama dan semena – mena. Istilah sepakbola seperti Cinderella yang bahkan tak memiliki sepatu kaca di saat sang raja mengadakan pesta. Sekelumit Masalah dalam Istilah Sepakbola Syahwat para penggila sepakbola ini tidak akan sempurna jika istilah – istilah asing dari sepakbola masih belum di bahasa Indonesiakan. Karena kata – kata sepakbola yang sudah dipadanankan s u d a h t i d a k l a g i r e l e va n d e n g a n berkembangnya istilah sepakbola tersebut. Ini tentunya menjadi sekelumit masalah dalam istilah sepakbola bahasa Indonesia. Perbendaharaan kata tentang sepakbola yang bisa dikatakan masih 'kurang' kemudian secara terus menerus dibantai dengan istilah asing yang semakin hari (dipastikan) akan selalu berkembang. Contohnya adalah penyebutan istilah gelandang bertahan. Secara pengertian gelandang bertahan adalah peran seorang pemain yang bertugas memotong aliran penyerangan tim lawan di area tengah lapangan yang posisinya berada di depan para bek (pemain bertahan). Gelandang bertahan amat identik dengan istilah destroyer midfielder yang memilik tubuh kekar yang bertugas menghadap serangan musuh dengan adu fisik, baik badan ataupun dengan tekel – tekelnya. Dalam bahsa Indonesia, pemain tipe ini dikenal dengan Gelandang Perusak. Namun pada berkembangnya taktik, tidak semua pemain yang berpostur besar yang menjadi gelandang bertahan. Gelandang bertahan yang tadi disebutkan adalah tipe gelandang perusak, namun ada beberapa lagi tipe gelandang bertahan yakni dinamai Deep Lying Midfielder. Meskipun berposisi sebagai gelandang bertahan tipe ini adalah gelandang yang tidak mengunggulkan fisik, tapi mengandalkan teknik untuk mencuri bola dan secara oportunis bisa mengintersepsi serangan lawan serta bisa mengirim umpan kunci untuk penyerangan tim. Jika gelandang bertahan tipe perusak terwakili oleh Fellaini-nya Manchester United yang berbadan tinggi dan kekar, maka deep

lying playmeker amat cocok disematkan terhadap Andrea Pirlo, pemain timnas Italia yang berbadan kecil. J i k a d e s t r o ye r m i d fi e l d e r s u d a h terwakili dengan gelandang perusak, bagaimana cara bahasa Indonesia mewakili istilah 'Deep Lying Playmeker' ? Dengan tidak adanya padanan bahasa Indonesia tentang istilah – istilah sepakbola, secara tidak langsung akan membuat kesulitan bagi para penulis maupun penikmat dalam tulisan sepakbola. Seperti yang dirasakan oleh penulis sepakbola yang merupakan jajaran penulis dari panditdfootball.com, Dex Glenzia. Ia mengutarakan dengan belum adanya padanan bahasa Indonesia, membuat dia bekerja dua kali untuk menuliskan kalimat asing tadi dan kemudian diterjemahkan ke pengertian basaha Indonesianya. “Ya, karena sepakbola bukan produk Indonesia, maka akan banyak istilah asing. Karena belum adanya padanan katanya, saya biasanya menuliskan dulu istilah bahasa Inggris, kemudian memberikan keterangan setelahnya,” ucapnya saat ditemui kantor Panditfootball, Rabu (05/10). Jangan Salahkan Bahasa Tak adanya istilah – istilah sepakbola dalam bahasa Indonesia memang menyulitkan. Namun, menurut ketua Balai Bahasa Jawa Barat, Abdul Khak, jangan pernah untuk menyalahkan bahasa sebagai sebab tak terindonesiakanya istilah sepakbola. “Bukan bahasanya yang salah, tapi bangsa kita yang salah,” ucapnya dengan tegas. Abdul menilai dengan bangsa yakni mereka yang menekuni bidang tertentu. Karena untuk memadankan bahasa, adalah ahlinya yang pantas untuk memadankan bahasa asing ke bahasa Indonesia. “Sedangkan kita sebagai ahli bahasa hanya mendampingi, baik dari pemilihan huruf maupun ejaan.” Ia pun menambahkan bahwa wajar jika bangsa Indonesia masih kesulitan dan sering terus menerus digempur oleh bahasa asing, tidak lain karena jumlah kata bahasa Indonesia masih kalah jauh oleh jumlah kata bahasa asing. Contohnya antara Indonesia dan Inggris. Dalam kamus besar, Indonesia memiliki

kurang lebih 100.000 kata, sedangkan Inggris dalam kamus Oxford nya, sudah memiliki 800.000 kata. Jumlah kata yang jomplang inilah yang –bisa dikatakanmembuat peradaban Inggris lebih maju dari Indonesia. “Semakin banyak bahasa yang dimilikii suatu negara, maka semakin panjang juga peradaban negera tersebut,” ungkapnya dengan luwes. Maka, mau tak mau dikatakan wajar jika bangsa Indonesia masih amat tertinggal dari bangsa lain, baik dari peristilah bahasa sepakbola maupun aspek lainya, kepemilikan kata Indonesia masih berbanding 1:8 dengan Inggris. Memulai lewat tulisan Meskipun kenyataanya menyesakan b a h wa I n d o n e s i a m a s i h b a n ya k pekerjaan rumah dalam membahasakan istilah asing, setidaknya anak bangsa harus tetap optimis dan juga memulai pergerakan dengan memberi ruang untuk membicaran sepakbola melalui tulisan. Tak bisa ditampik memang bahwa bangsa ini amat menggilai sepakbola , tak terkecuali para tokoh, kalangan terpelajar, penulis, hingga seniman. Sayangnya sedikit sekali dari penggila s e p a k b o l a i t u ya n g m e n t r a n s k i p kecintaanya sepakbola dengan tulisan. Namun setidaknya sudah banyak portal yang memuat banyak tulisan sepakbola yang lebih dari sekedar berita, seperti Panditfootball, fourfourtwo Indonesia ataupun kanal about the game nya detiksport. Dengan menulis, akan semakin menguatkan bahwa sepakbola sudah bukan hanya sebuah permainan, tapi sudah menjadi korpus pengetahuan, setara dengan perkembangan sosial budaya ataupun teknologi hingga akan sampai pada suatu titik bahwa istilah sepakbola yang notabene kegiatan jasmani tak kalah penting dengan hal – hal yang berbau akademis. *Tulisan ini dilatarbelakangi dan juga banyak sumber yang dimuat (disini) dari Esai Zen RS yang berjudul Bertukar Tangkap dengan Lepas dalam buku Simulakra Sepakbola. [Kru Liput: Muhammad Iqbal]

Majalah Suaka 2016

61



mimbar

MEMBUMIKAN ISLAM Oleh Gisna Maulida Q

SUAKA/Elya Rhafsanzani


mimbar

SUAKA/Elya Rhafsanzani

A

gama mestinya menjadi solutif bagi setiap persoalan yang menimpa umatnya, tak terkecuali Islam. Sayangnya, tafsiran teks-teks agama Islam masih sebatas kajian yang dilakukan cendekiawanc e n d e k i a wa n m u s l i m d a n b e l u m menyentuh umat secara komprehensif. Islam transformatif merupakan sebagian kecil dari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. Menurut Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang) di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung, Hasan Ridwan mengatakan, banyak tokoh dunia Islam yang menawarkan model Islam transformatif seperti Hassan H a n a fi d e n g a n t e o r i Te o l o g i Transformatif. Dengan pemahaman bahwa teologi sebagai pembebasan, pencerahan, memanusiakan manusia dan transendensi politik. Islam lahir dalam kerangka pembelaan dan pemihakan terhadap kelompok tertindas. Agama juga yang mengajarkan tentang solusi yang fa ashlihu baina akhwaikum. Teoriteori Islam transformatif pun banyak

64

Majalah Suaka 2016

digagas oleh tokoh-tokoh di Indonesia, seperti Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman. Salah satu dosen di Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung, Iu Rusliana menegaskan perlunya melakukan tafsir terhadap teks-teks agama yang lebih dinamis. “Jadi merubah dulu teologi yang cenderung melangit menjadi teologi membumi untuk menyelesaikan problem-problem kemanusiaan,” katanya, Kamis (22/09). Iu berpendapat bahwa Islam transformatif sesungguhnya ingin merubah struktur epistemologi nalar bayani menuju nalar burhani dengan membangkitkan tafsir sosial yang lebih kontekstual dan dinamis. ”Bagi saya gerakan ini positif, sepanjang tidak melabrak syariah Islam,” lanjut Hasan. Islam transformatif merupakan suatu wacana yang dikembangkan oleh Moeslim Abdurrahman. Yakni, suatu ijtihad berupa wacana yang coba ditawarkan sekaligus menjadi kritik bahwa beragama bukan hanya sekedar ritual, tetapi juga harus mendorong pemeluknya untuk melakukan kebaikan.

“Jadi kalau menurut saya, Islam transformatif itu baru sebatas wacana yang coba digaungkan. Tentu saja sebagai sebuah wacana dia harus mendorong kesadaran sekelompok orang atau sejumlah orang untuk bertindak, untuk bergerak, serta mengimplementasikan gagasangagasan Islam transformatif,” tambah Iu, Kamis (22/09). Iu pun menilai organisasi masyarakat (ormas) seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis) dan lainnya, merupakan suatu bentuk implementasi gagasan-gagasan Islam transformatif. Hanya saja ormas-ormas tersebut tidak menggaungkannya. Begitu pula dengan gerakan lembaga-lembaga zakat semisal Dompet Dhuafa. Ada pula pesantrenpesantren yang mampu melakukan perubahan-perubahan sosial budaya di lingkungan sekelilingnya. Namun sekali lagi, hal tersebut belum bisa dibunyikan sebagai Islam transformatif. Iu berpendapat bahwa masing-masing pihak memiliki coraknya tersendiri, tetapi tetap pada


mimbar kerangka yang esensial. Iu mengakui, secara essensial Islam transformatif sangat penting agar umat Islam terdorong untuk melakukan perubahanperubahan. Iu menganalogikan Islam tranformatif seperti ketika Muhammadiyah menggagas Islam berkemajuan yang menyelesaikan persoalan kebodohan dengan mendirikan sekolah. Lalu, menyelesaikan persoalan kemiskinan dengan mendirikan rumah sakit dan panti asuhan, sehingga ada ribuan amal usaha yang berkembang. Ia juga menambahkan bahwa Islam merupakan agama rahmatan lil'alamin, rahmat bagi seluruh alam. Sehingga Islam tidak hanya ritual, yang hanya sekedar menjalankan shalat, zakat, haji, puasa dan baca Al-Qur'an. Tetapi tidak ada implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, alumni jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung, Faiz Zawahir mengungkapkan bahwa sebenarnya dari zaman Rasulullah, Islam sudah transformatif. Akan tetapi setelah Rasul wafat, terjadi percatutan budaya politik Islam yang tersebar ke seluruh dunia. Sehingga Islam hanya dipahami sebagai ritual saja. “Kalau namanya Islam transformatif baru, itu hanya pada Islam saat orde baru saja, tetapi kalau inti gagasannya itu dari zaman dahulu. Hanya penamaan Islam transformatif itu pada zaman orde baru,” kata Faiz, Senin (12/09). Terlepas dari semua itu, gagasangagasan Islam transformatif sudah banyak dilakukan di Indonesia. Faiz pun mengatakan bahwa Islam pernah diakomodir oleh pemerintah pada tahun 1998. Hal itu merupakan salah satu bentuk fenomena Islam transformasi ya n g b e r k e m b a n g d i m a s ya r a k a t . Contohnya adalah, didirikannya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan disahkannya kompilasi Hukum Islam. Hingga kemudian masuklah Islam pada tatanan negara. Karena pada awal Orde Baru, Islam dianggap sebagai sesuatu yang berbahaya. Alhasil dunia politik sama sekali jauh dari nilai-nilai Islam. Barulah pada akhir Orde Baru sesuai dengan pembaharuan pemikiran Islam, Islam mulai masuk pada wilayah politik,

wilayah sosial dan wilayah budaya. “Jadi gagasan Islam transformatif untuk perkembangan Indonesia tentu saja ada. Apa yang disuarakan oleh tokoh-tokoh pembaharu, salah satunya Moeslim Abdurrohman itu mulai terasa, mulai ada. Sampai masuk ke perdaperda, meskipun overdosis. Sesuatu yang tidak harus diatur oleh pemerintah kan diatur juga,” jelas Faiz. Kemudian dalam Islam transformatif, Islam berperan juga sebagai teologi perubahan. Islam mestinya merubah tatanan sosial dan bertauhid itu harus dalam wilayah sosial. Sehingga tidak sah bahkan tidak bermakna ibadah seseorang jika tidak ada kesalehan sosial. “Menurut Dr. Moeslim Abdullah jika tidak ada ritual sosial, jika tidak ada aplikasi riil untuk merubah tatanan sosial, di mana tempat dia hidup,” tambah Faiz. Perlu Tauladan Mengenai hal tersebut, cendekiawan muslim lulusan pesantren Miftahul Hasanah, Fery Hadiyatulloh pun mengamini bahwa Islam transformatif bisa dilaksanakan sebagai solusi permasalahan umat Islam hari ini. Tetapi jika dilihat dari sejarah, Nabi Muhammad SAW selalu mengawali dakwahnya dengan suri tauladan dari orang yang mengajak. Menurutnya para cendekiawan muslim di Indonesia terlalu mengedepankan tekstual dan filosofi, tetapi kurang dalam ketauladanan. F e r y j u g a m e n u t u r k a n b a h wa keadaan Islam saat ini sebagai agama mayoritas di Indonesia, namun umat Islam masih belum memahami Islam itu sendiri. Hal tersebut disebabkan karena banyak dari umat Islam di Indonesia yang berfikir dengan berlandaskan apa yang sudah turun temurun dari orangtua mereka. Konsep awal Islam yang mereka pahami pun datang dari keluarga. Sehingga saat orang tua mereka tidak sepenuhnya paham mengenai Islam, wawasan mereka mengenai Islam pun menjadi tidak menyeluruh. Kedangkalan wawasan inilah yang akhirnya membuat Islam tidak terimplementasikan seutuhnya pada kehidupan sehari-hari. Maka bisa dilihat bahwa pelaksanaan riil ke-Islamannya masih kurang.

Fery menyetujui bahwa Islam sudah jauh-jauh hari melakukan transformasi. Saat Rasulullah mengatakan laqod kana lakum fi rosulillah uswatun hasanah, di dalam diri Rasul pun terdapat suri tauladan yang baik yang dapat menjadi contoh umat Islam. Kemudian di bawah para Rasul, terdapat para sahabat yang mengetahui gerak-gerik Rasul. “ S e b e t u l n ya I s l a m t r a n s f o r m a t i f merupakan bahasa modern. Para ulama mengatakan, jika kita ingin tahu tafsir alQuran dan tafsir hadist lihatlah perilaku Nabi Muhammad SAW,” tutur Fery, Selasa (20/09). Hal tersebut menunjukan bahwa dalam setiap gerak-gerik Rasul terdapat tafsir Al-Quran dan tafsir hadist, sehingga Rasul dapat disebut sebagai Al-Quran yang hidup. Setelah perilaku Nabi diikuti oleh sahabat, maka sahabat pun memiliki akhlak yang baik, benar dan dimuliakan. Rasul mengatakan “ashabi kannujum, biayyihim iktadaitum ihtadaitum” yang artinya sahabat-sahabatku seperti bintang kepada siapapun kamu mengikuti kamu pasti akan mendapatkan petunjuk. Setelah itu ada pengikut sahabat, yakni tabi'in sampai akhir zaman ada para wali dan ulama. Fery menegaskan bahwa pada dasarnya Islam transformatif perlu ada tauladannya dahulu agar dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. “Jadi Islam transformatif itu sebetulnya bisa, tapi perlu contoh yang riil dari orang-orang yang menjelaskan tentang Islam. Bahkan istilahnya bahasa Rasul dari sananya mengajak orang dengan contoh, perilaku, itu lebih baik daripada hanya dengan ucapan,” jelasnya saat ditemui Suaka. Selanjutnya, Iu juga mengatakan bahwa tingkat pendidikan umat Islam masih rendah, dari kemandirian ekonomi masih kurang. Kewirausahaan seharusnya menjadi nilai dan menjadi mentalitas di kalangan umat Islam . “Dua hal itu saya kira jadi persoalan mendasar mengenai umat Islam. Akibat dari kemiskinan dan pendidikan yang rendah umat Islam mudah diadu domba juga tidak punya ukhuwah Islam yang kuat,” pungkasnya.

Majalah Suaka 2016

65


SUAKA/Ismail Abdurrahman A

proyektor

Warkop, Kritisi orba Berbalut Tawa Oleh Delvia Yosa Amanda

F

ilm Warung Kopi (Warkop) Dono, Kasino, Indro (DKI), merupakan film komedi yang dikenal dengan tiga lakonnya yang khas. Mereka adalah almarhum Wahyu Sardono, almarhum Kasino Hadiwibowo dan Indrojoyo atau yang dikenal sebagai Dono, Kasino dan Indro. Film tersebut sangat digandrungi pada masanya, bertepatan dengan rezim Orde Baru tengah berkuasa. Tujuan film Warkop DKI dibuat tidak semata untuk hiburan, namun ada banyak pesan dan kritik terhadap pemerintah Orba meskipun banyak yang tidak menyadari akan hal tersebut. Dilatarbelakangi oleh pengekangan pemerintah terhadap aktivitas m a h a s i s wa , m e m b u a t m a h a s i s wa mengalihkan perlawanannya dalam bentuk folklor atau bahasa rakyat pada masa itu. Seperti teka-teki, puisi rakyat, dan nyayian rakyat untuk menyindir pemerintah. Tahun 70an folklor yang berkembang berbentuk lisan berupa humor. Dalam humor ini terdapat tekateki, nyanyian dan lelucon. Hal tersebut dibenarkan oleh mahasiswa Universitas Indonesia (UI) jurusan Sejarah, Wahyu Tri Laksono. Menurut Wahyu ketika dikeluarkan Surat Keputusan 028/1978 mahasiswa dilarang untuk melakukan kegiatan atau aktivitas yang berbaur dengan politik. Mahasiswa tak bisa diam, berbagai cara dan strategis dilakukan untuk mengkritisi pemerintah. N a m a Wa r u n g K o p i ( Wa r k o p ) terinspirasi dari warung yang ada di Medan dan warung Tegal di Tanah Abang. Kedua warung tersebut memiliki kesamaan yaitu tempat berkumpulnya para cowok dengan obrolan yang beragam. Diinisiasi oleh ketiga mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yaitu Kasino Hadiwibowo dan Nanu Mulyono yang berlatarbelakang sebagai

66

Majalah Suaka 2016

mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial, serta Rudy Badil merupakan mahasiswa Fakultas Sastra. Ketiga aktivitis kampus ini dipertemukan di salah satu p e r k a m p u n g a n m a h a s i s wa U I d i Cibubur sebelum terjadi peristiwa malaria, merekalah cikal bakal terbentuknya komedi Warung Kopi (Warkop). Mulanya, mereka menyampaikan pesan sindiran dibalut dengan humor melalui siaran radio. Kemudian mereka bertemu dengan Dono dan Indro sehingga anggota Warkop bertambah. Melalui siaran radio, mahasiswamahasiswa itu memulai leluconnya dengan permasalahan urbanisasi yang terjadi di Jakarta yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi pada masa Orde Baru. Seiring dengan populernya Warkop melalui siarannya, kemudian Warkop banyak mendapat panggilan untuk mengisi panggung ke panggung. Materi yang disampaikan ketika on air berbeda, Warkop menyaring lelucon dan menjaga kritik mereka. Akibat dari berbagai lelucon yang diselipkan Warkop, ketika mereka siaran radio pihak keamanan berulang kali memanggilnya agar tidak menggunakan lelucon yang mengkritik pemerintah. Meskipun kerap mengalami tekanan karena mengkritisi pemerintah Warkop tidak pantang menyerah. Warkop kemudian mendapat petunjuk yang lain agar tetap bisa menunjukan eksistensinya, yaitu melalui media kaset. Kaset ini dicetak sebanyak dua buah tajuk, yang pertama cangkir kopi yang terinspirasi dari perjalanan Warkop ketika ke daerah Palembang. Tajuk selanjutnya yaitu warung tenda yang diangkat ketika tour di beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung dan Kalimantan. Setelah kedua kaset ini masuk ke pasaran Warkop mendapat

banyak tawaran dari berbagai produser untuk melangkah ke dunia perfilman. Keputusan tawaran ini tak diambil begitu saja, begitu banyak pertimbangan yang dipikirkan untuk kedepannya. Perbincangan dengan beberapa pihak membuat Warkop menerima proposisi dari pihak Bola Dunia Film. Dibanjiri Penghargaan Menurut dosen Film dan Televisi Ikatan Kesenian Jakarta (IKJ) Kusen Dony, beberapa Penghargaan diraih Warkop di Film Mana Tahan pada awal tahun 1980-an mampu menyedot 400.816 penonton. Film Pintar Pintar Bodoh juga meraih penghargaan, film yang diproduksi tahun 1980 dan disutradarai oleh Arizal, film ini berhasil mendapat piala Antemas dan dinobatkan sebagai Film Terlaris versi Muri. “Kesuksesan ini bukan hal yang sepele bagi Warkop, ini merupakan hasil pemikiran dari pengamatan di masyarakat. Berbagai macam argumen dan kritikan dilakukan untuk menentukan bahan yang akan dilontarkan disetiap pertunjukan,” papar Dony saat dihubungi Suaka via telepon, Sabtu (24/09). Dony menambahkan, bagi anggota Warkop tindakan semacam ini merupakan suatu tanggung jawab pemuda terhadap kepincangan sosial yang terjadi di negeri ini. Kekhasan inilah yang selalu dipertahankan oleh Warkop ditengah tuntutan selera pasar. Meskipun film Warkop merupakan film yang diproduksi masa 70-90an, tetapi hingga kini film Warkop tetap mewarnai industri film Indonesia. Seperti dilansirkan dari data perfilman komedi Indonesia. Tercatat sebanyak lebih dari 20 judul film Warkop dalam kurun waktu 1980-1990 dengan kritik


proyektor dan adegan yang bervariasi. Film yang di produksi oleh Bola Dunia Film ialah Mana Tahan (1979), Gengsi Dong (1980), dan Gede Rasa (1980). Film produksi Parkit Film yaitu Pintar-Pintar Bodoh (1980), Dongkrak Antik (1983), Maju Kena Mundur Kena ( 1983), Pokoknya Beres (1983), Tahu Diri Dong (1984), Itu Bisa Diatur (1984), Kesempatan Dalam Kesempitan (1985), Gantian Dong (1985). Soraya Intercine Film yang paling banyak memproduksi film Warkop, tercatat sebanyak 17 buah yaitu, Atas Boleh Bawah Boleh (1986), Depan Bisa Belakang Bisa (1986), Makin Lama Makin Asyik (1987), Saya Suka Kamu Punya (1987), Malu-Malu Mau (1988), Godain Kita Dong (1989), Sabar Dulu Dong (1989), Mana Bisa Tahan (1990), Lupa Aturan Main (1991), Sudah Pasti Tahan (1991), Bisa Naik Bisa Turun (1992), Masuk Kena Keluar Kena (1992), Salah Masuk (1992), Bagi-Bagi Dong (1993), Bebas Aturan Main (1993), Saya Duluan Dong (1994), Pencet Sana Pencet Sini (1994). Beberapa film lainnya Manusia 6.000.000 Dollar (1981), IQ Jongkok (1981), Setan Kredit (1982), Chips (Cara Hebat Penanggulangan Masalah Sosial), (1982), Sama Juga Bohong (1986), Jodoh Boleh Diatur (1988). Setiap film ini memiliki genre yang berbeda yaitu drama, aksi, horor, romantis, fiksi ilmiah, dan mengandung kritik sosial. Kritik Sosial Warkop Dari awal terbentuknya film Warkop begitu banyak kritik dalam setiap lakonnya. Kritik tersebut mengarah pada pemerintah juga masyarakat. Salah satu film yang mengarah sindiran terhadap pemerintah yaitu Chips (Cara Hebat Penanggulangan Masalah Sosial) sangat banyak permasalah sosial yang terjadi di negara ini. Menurutnya, menilai bahwa pesan yang disampaikan dalam film komedi ini menunjukan ada kesenjangan sosial, karena banyak pihak-pihak di setiap instansi yang korupsi. “Chips ini bukan hanya diselipkan adegan konyol, namun disetiap adegan itu banyak tindakan yang sangat mengkritik pemerintah. Perhatikan saja dalam adegan Kasino, Indro, Dono yang berperan sebagai kelompok pelayanan masalah sosial,” ujar Wahyu. Dalam lakon Dono sebagai salah satu karyawan ia menggunakan fasilitas

kantor secara diam-diam untuk kepentingan pribadi. Ia lebih mementingkan dirinya, ketika ada yang membutuhkan pertolongan dengan fasilitas tersebut ia memberikan alasan yang tak wajar. Begitu juga adegan Kasino ketika menemukan atasannya berbuat tidak senonoh dengan seorang wanita, ia tidak mengungkap kebenaran tetapi lebih memilih diam hanya karena diberi uang dan rokok. Kekuasaan bisa menindas kejujuran, dalam setiap adegan ini sangat terlihat bagaimana l e m a h n ya m e n t a l d a n k e s a d a r a n masyarakat terhadap kebenaran juga sikap jujur yang bisa di bilang sangat lemah. Umumnya, disetiap film Warkop banyak diselipkan adegan korupsi. “Tujuan film ini mengkritik programprogram yang banyak terjadi di berbagai provinsi. Banyaknya proyek yang lolos dari mengecekan program kerja Dinas Pekerjaan Umum (PU). Proyek tersebut tak ada dalam program kerja yang sudah direncanakan, karena banyak faktor proyek ini tetap bisa berjalan.” S e l a i n k o r u p s i , Wa h y u j u g a mengamati bagaimana gaya hidup masyarakat juga banyak disindir Warkop di dalam filmnya. Tata cara masyarakat dalam bertingkah laku sangat buruk. Kesadaran terhadap budaya Indonesia menipis, hanya karena berbagai aspek perubahan sistem kehidupan yang terpengaruh terhadap lingkungan. Gaya hidup yang tak lagi mencintai produk dalam negeri, mode pakaian yang tak senonoh juga tak sesuai dengan norma kesopanan yang ada di negara ini. Pola hidup seperti luar negeri begitu banyak terlihat hingga saat ini, seperti membuka aurat, kumpul kebo, dan sikap-sikap yang tak selayaknya terlihat oleh umum s a a t i n i m e n j a d i h a l ya n g b i a s a . Pergeseran budaya lokal pun sangat terlihat. Film yang menggambarkan fenomena gaya hidup ini terlihat dalam film Maju Kena Mundur Kena dan Tahu Diri Dong. Judul ini diangkat karena ketika tahun 1983 begitu banyak tindakan kumpul kebo marak terjadi, berbagai media memberikan informasi. Hingga saai ini para remaja menganggap hal ini adalah perbuatan yang sepele, dan dinilai sudah biasa. Kegilaan terhadap produk asing juga menjadi inspirasi bagi Warkop dalam

filmnya, masyarakat indonesia saat itu lebih banyak mengkonsumsi produk asing dibanding produk dalam negeri. Mulai dari hal kecil hingga yang besar. Jika diamati justru produk dalam negeri lebih berkualitas dibanding produk luar. Nasionalisme tak kunjung ditanamkan dalam diri. Ini terlihat pada masa Orde Baru, masyarakat begitu menyukai produk luar hingga mengorbankan banyak hal,” ujar mahasiswa jurusan Sejarah ini. Sayangnya, menurut Dony masyarakat sebenarnya lebih menggunakan film komedi ini sebagai fungsi eskapisme, penonton banyak yang tidak sadar terhadap kritik yang ada dalam cerita Warkop tersebut. Alhasil, masyarakat lebih mengingat kelucuan fim ini dibanding kritik yang ada. Adapun ingatan itu adalah hasil dari seringnya TV Nasional m e n a ya n g k a n k e m b a l i fi l m - fi l m Warkop. “Kritik yang sangat bagus terlihat didalam film Mana Tahan. Sangat nampak bagaimana kesenjangan sosial terjadi. Permasalahan kelas sosial sangat ditampakan. Dono orang yang kaya malah bersikap seperti orang yang tidak mampu. Namun berbeda dengan Kasino dan Indro yang lebih seperti orang kaya padahal mereka melarat. Mentalitas yang tak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Banyak masyarakat yang menyadari kritik Warkop ini ketika keluar dari gedung bioskop.” Dony menambahkan, awalnya film ini memang memiliki kualitas kritik yang bagus, namun ketika disutradarai oleh Arizal ,film ini banyak memiliki kemiripan dengan film 'Benny Hill Show' yang juga banyak selipi kutipan menyindir. Film Warkop cenderung komedi saja, kritik menjadi minim. “Lebih anehnya film Warkop yang terakhir lebih jauh dari kata minim kritik namun lebih ke arah seksualitas,” kata Dony menyayangkan. Dony menyarankan seharusnya sutradara membuat film baru, namun setara dengan film Warkop yang awal.

Majalah Suaka 2016

67


musik

Mengenang Tragedi PKI MELALUI MUSIK KIRI Oleh Fitriani Utami Dewi

SUAKA/Rendy Muhamad M

“Wajah yang hilang berkisar di angka 500 ribu jiwa Perkaranyapun Praduga, Gugurkan tujuh sekawan Kabar ditebar terpapar membakar kesumat seluruh rumah Hingga mulai bernyali langkahi peran ilahi Warta Fana ......... Warta Fana .........”

L

irik lagu tersebut bersenandung dengan lantunan alat musik flute mengalun lembut beriramakan musik tanah Priangan yang khas dengan seruling mendayu. Petikan gitar akustik yang diiringi gesekan biola dan cello perlahan membuat suasana menjadi k h i d m a t . Pe n o n t o n t e r p a k u d a n pandangan mereka tertuju pada Tigapagi, band indie asal Bandung. Dalam acara A ractive Movement Enterpreneurship (Atmosfere) yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa (Hima) Jurusan Teknik Industri. Sejumlah mahasiswa dan penikmat musik Tigapagi turut melebur di area parkir lapang tenis Institute Teknologi Nasional (Itenas), Sabtu (15/10). Band ini sekejap meredam bisingnya penonton yang sempat riuh. Namun, saat petikan gitar pertama dimainkan mampu membuat siapa saja yang mendengarnya termenung.

68

Majalah Suaka 2016

Empat buah lagu yang dinyanyikan oleh Tigapagi, diantaranya The Way, Batu Tua, Alang-alang dan yang terakhir Sembojan. Sebelum lagu penutup dinyanyikan yaitu Alang-alang, penonton ikut bernyanyi dengan lantang ketika masuk pada penggalan lirik “Anakku yang hilang tak kembali...”Apalagi ketika Tigapagi membawakan lagu terakhir yang berjudul Sembojan, para penonton kian merapat ke dekat panggung. Sebagian lagi ada yang ikut bernyanyi, melantunkan penggalan lirik “Warta Fana...” pada lagu Sembojan ini. Semobojan merupakan lagu Tigapagi yang diidentikan dengan peristiwa G30S. Tergambar pula dari liriknya perihal penculikan, pembunuhan, korban, serta berusaha mengangkat ulang sejarah tersebut supaya tidak lagi ada rekayasa sejarah. Suaka mewawancarai vokalis, sekaligus pencipta lirik lagu Sembojan, Sigit Agung Pramudita. Melalui percakapanya via surel, Sigit mengungkapkan alasan mengapa Tigapagi turut pula mengangkat lagu yang berceritakan sejarah. “Selain karena sejarah ditulis oleh pemenang, banyak kejanggalan dalam sejarah Indonesia,” ungkapnya, Jumat (4/10). Lagu Sembojan dirilis dalam album p e r d a n a T i g a p a g i ya n g b e r t a j u k Roekmana's Repertoire tahun 2013 lalu. Album ini diluncurkan pada tanggal 30 September, bertepatan dengan peringatan hari G 30-S. Mengusung karakter musik Experimental Folk Acoustic Pop, Tigapagi menjadi salah satu band

indie yang menganggat isu sejarah pada beberapa lagu mereka. Meski memang yang paling kentara pada lagu Alangalang dan Sembojan. Peristiwa ini, diceritakan kembali dalam syair yang cukup menggambarkan apa yang sebenarnya terjadi. Isu soal G 30-S sering dipahami oleh masyarakat awam sebagai peristiwa yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa yang direkonstruksi oleh 'pemenang' dalam rezim pada zaman itu pun akhirnya menciptakan cerita sejarah yang mempropagandakan satu kelompok. Melalui musik, tergugahlah keinginan untuk menjelaskan kembali tentang pemahaman sejarah awam yang sebenarnya janggal. Musik menjadi alternatif dalam menyampaikan pesan yang efektif. Semuanya dikemas dalam simbol bahasa syair agar mudah diresap. Sehingga membentuk pemahaman baru tentang kebenaran suatu sejarah, salah satunya yang terjadi pada peristiwa G 30-S. Di balik peristiwa G 30-S, ada sisi lain yang bisa diangkat, bahkan soal musik pun ternyata dapat ditemukan. Entah musik itu sendiri menjadi penerjemah peristiwa sejarah, maupun sebagai instrumen yang mengiringi berbagai rangkaian kejadian. Musik dapat mewakili itu ketika ada yang menciptakannya. Istilah musik kiri dibentuk ketika sebuah pemahaman membentuk satu korelasi yang pada akhirnya akan


musik bertemu pada satu kesimpulan. Bahwa musik kiri identik dengan masyarakat kiri dan sejarah yang telah dialami negeri ini menciptakan PKI sebagai salah satu yang mewakili. Tentang cerita kalangan grassroots, kemudian direfleksikan ke dalam karya seni musik. Tak hanya Genjer-genjer yang dikatakan sebagai musik kiri. Ada pula lagu Serumpun Padi ciptaan Sudharnoto, Tumbuh Padi, Darah-darah Rakyat, Panon Hideung, Tanam Jagung hanya beberapa contoh dari sekian musik yang menggambarkan kalangan kiri. Genjer-genjer dan PKI Jauh sebelum peristiwa tahun G 30-S terjadi, musik telah ikut dalam membalut peristiwa dan keadaan pada masa itu. Ada sebuah lagu yang menjadi identik dengan PKI, kemudian dianggap kiri. Ialah Genjer-genjer, lagu ciptaan Muhamad Arief, seorang seniman asal Banyuwangi, Jawa Timur. Pada awal lagu ini tercipta, Arief tidak pernah mendeklarasikan lagu ciptaannya sebagai lagu PKI. Banyak yang melatarbelakangi, terutama soal cerita di balik lagu ini dibuat. Suaka menemui seniman asal Yogyakarta, Yayak Yatmaka untuk mengetahui lebih dalam tentang lagu ini. Kemudian Yayak menjelaskan mengapa lagu Genjer-genjer menjadi sangat identik dengan lagunya orang kiri. “Genjer-genjer sering dipakai Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dalam mementaskan tari dan musik, lagu ini turut dinyanyikan pada tiap peringatan hari berdirinya PKI,” tuturnya, Kamis (9/29). Genjer-genjer diciptakan pada Tahun 1942 dengan menggunakan bahasa Osing yang merupakan bahasa rakyat Banyuwangi. Lagu ini menceritakan tentang kondisi masyarakat bawah yang hidup dalam kesulitan dan penderitaan. Pada masa itu, masyarakat tak mampu membeli beras. Kebutuhan pangan menjadi hal yang sangat sulit untuk didapat. Istilah kelaparan di lumbung padi memang benar terjadi. Menurut Yayak, masyarakat kiri atau kaum kiri ialah masyarakat yang saling bersetia kawan dengan masyarakat senasib dari korban kapitalis. Selain itu, masyarakat kiri juga menggambarkan kerakyatan dan kondisi rakyat yang hidup berlumpur-lumpur dan kotor.

“Mengapa dikatakan demikian? Karena masyarakat bawah merupakan pribumi yang bekerja sebagai petani, buruh, dan pekerja rendah lainnya,” tambah Yayak. Judul lagu yang memakai nama tanaman ini menyimbolkan tanaman yang menjadi makanan pokok masyarakat bawah. Genjer merupakan sejenis tanaman air yang hidup di perairan dangkal. Biasanya tanaman ini tumbuh di lahan-lahan pesawahan. Terutama pada masa sesudah panen, tanah yang akan digemburkan dibiarkan tergenang untuk waktu yang cukup lama. Kemudian, pada saat itulah genjer pun mulai tumbuh. Lirik dari lagu ini memiliki kecenderungan untuk mengajak orang untuk bergembira. Iramanya memiliki lima ketukan yang dalam istilah musik dikenal dengan pentatonik. Jadi dengan kedua unsur tersebut membuat lagu ini memiliki sifat yang gembira meski pada arti liriknya menggambarkan kesulitan rakyat terpinggirkan. Sehingga, pada lagu ini terkandung sebuah makna yaitu meski hidup susah dan hanya mampu memakan genjer tetapi hati mereka tetap gembira dan semangat. Kemudian lagu ini pun menjadi populer saat dinyanyikan oleh Lilis Suryani dan Bing Slamet pada tahun 1 9 6 3 . K e d u a p e n ya n y i k e n a m a a n tersebut membuat Genjer-genjer menjadi lebih dikenal lagi secara luas. Sebelum peristiwa tahun G 30-S 1965 pecah di Jakarta, tak ada yang dianggap tabu dalam lagu ini. Namun, sejak peristiwa itu pecah di Jakarta, lagu Genjer-genjer pun menjadi dilarang peredarannya. Musik pun ikut dibantai dan dipropagandakan bila berkaitan dengan PKI, Genjer-genjer disebutkan sebagai pengiring tarian Harum Bunga ketika Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) menyayat kemaluan jenderal-jenderal Angkatan Darat (AD). Maka, tak hanya PKI, sang pencipta lagu pun menjadi sasaran. Rumah Muhamad Arief dibakar dan sampai saat ini keberadaan Arief tidak diketahui. Ya y a k Ya t m a k a k e m u d i a n memberikan pernyataannya ketika ditanyai Suaka soal keterkaitan penulis lagu Genjer-genjer dengan PKI dan Lekra. “Dia (Muhamad Arief-Red), apa hanya simpatisan atau anggota saya belum tahu yang pasti dia lahir dari keluarga

muslim, bila dilihat dari namanya kan,” katanya, Kamis (9/29). Lekra Muncul Setelah Lagu Genjergenjer Lekra adalah organiasasi di bawah naungan PKI yang bergerak di bidang seni. Munculnya Lekra justru setelah lagu Genjer-genjer diciptakan. Jadi, bila digambarkan usia Genjer-genjer lebih tua bila dibandingkan dengan Lekra. Tujuan berdirinya Lekra ialah menyadarkan rakyat untuk mensetarakan diri secara budaya, membangun budaya kolektif dan untuk menghidupkan seni tradisional. Sekat antara kelompok masyarakat yang hidup di kalangan atas dan bawah sangat kentara. Maka dari itu, dalam seni pun sekat tersebut mempengaruhi jenis seni atau hiburan bagi masyarakat pada masa itu. Yayak Yatmaka kembali menuturkan soal jenis-jenis seni tradisional berdasarkan penggolongan kasta. Seni tradisional tersebut terbagi menjadi tiga yaitu kesenian Adi Luhung, Pedagang, dan Rakyat. Kesenian Adi Luhung merupakan kesenian untuk orang-orang istana, pejabat, dan konglomerat. Sementara itu kesenian untuk para pedagang biasanya berupa wayang sedangkan hiburan untuk rakyat biasa yang merupakan petani dan buruh ialah tarian dan musik. Maka dari itu Lekra dihadirkan oleh PKI untuk menghidupkan kesenian dan menghibur masyarakat. Organisasi ini hadir dengan memberikan suguhan kesenian berupa tarian dan lagu-lagu. Salah satunya lagu Genjer-genjer. Karena Lekra dan Genjergenjer menjadi sangat dekat, akhirnya lagu ini pun menjadi melekat dan disebut sebagai lagu milik PKI. Meski demikian, musik hanya sebagai penyalur dari ekspresi menusia dalam bentuk seni untuk meluapkannya. Terlepas musik itu dikaitkan dengan propaganda, tetapi musik memang terlibat dalam sebuah peristiwa. Menjadi salah satu unsur darinya yang tidak bisa dilepaskan. Karena musik itulah yang turut dalam membentuk peristiwa lain terjadi.

Majalah Suaka 2016

69


Judul : Colonia Genre : Thriller Sutradara : Florian Gallenberger Pemeran : Emma Watson, Daniel Brühl, Michael Nyqvist, Richenda Carey, Vicky Krieps, Martin Wu ke, Julian Ovenden, Jeanne Werner, August Zirner, Lucila Gandolfo, Stefan Merki, Katharina MüllerElmau, Alexia Moyano, Justina Bustos, Pedro Merlo, Melania Lenoir, Cuco Wallraff, Iván Espeche, Stephan Szasz Durasi : 110 menit

Colonia, Sejarah Kelam Penjara di Chile Oleh Nuru Fitry

70

Majalah Suaka 2016









Dok.Pribadi

PAGUYUBAN

78

MENJAGA WARISAN BUDAYA ALA PUNKLUNG Oleh Ricky Priangga Subastian

Majalah Suaka 2016




WWW.

WWW.

LENSA

WWW. .SUAKAONLINE

.COM


SUAKA/Elya Rhafsanzani

mozaik

82

MEMBAWA KESAN SAAT KEMATIAN

Majalah Suaka 2016

Oleh : Edi Prasetyo



SUAKA/Elya Rhafsanzani

SUAKA/Ismail Abdurrahman A

selisik

saat pasar melirik LABEL halal Oleh Nolis Solihah

84

Majalah Suaka 2016



vakansi

Dok.Pribadi

prestasi

berawal dari mimpi Oleh Devi*

86

Majalah Suaka 2016



SUAKA/Elya Rhafsanzani

teater

88

Sandiwara berdampak nyata Oleh Yulita Bonita

Majalah Suaka 2016





SUAKA/Nolis Solihah


Majalah Suaka 2016



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.