MODUL
PEMBEKALAN SANTRI KELAS XII OLEH: DRS. MAKMUN PITOYO, M.PD MADRASAH ALIYAH AL-MU’MIN MUHAMMADIYAH TEMBARAK Pondok Pesantren Al-Mu’min Muhammadiyah Tembarak Temanggung
MODUL
PEMBEKALAN SANTRI KELAS XII OLEH: DRS. MAKMUN PITOYO, M.PD
MADRASAH ALIYAH AL-MU’MIN MUHAMMADIYAH TEMBARAK Pondok Pesantren Al-Mu’min Muhammadiyah Tembarak Temanggung
KATA PENGANTAR
Bismillahir Rohmanir Rohim. Segala puji bagi Allah, Robb Semesta Alam, atas rahmat dan hidayah-Nya, semoga kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu „Alaihi Wa Sallam, keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Waktu terus berjalan bagaikan sebuah pedang yang terus menebas seluruh perjalanan hidup kita. Tiga tahun telah berlalu ketika para santri datang memulai lembaran hidup di madrasah ini dengan penuh harap dan cita-cita, mengisi hidup dengan penuh cita rasa keilmuan bersama para ustadz dan ustadzah, mengisi hari-hari penuh makna kebersamaan dan persahabatan sesama santri di asrama maupun madrasah, dan kini semua itu akan segera beralih pada lembaran hidup baru yang lain, yang akan mengantarkan para santri pada kehidupan nyata di tengah-tengah kampus atau masyarakat luas, yang sangat majemuk dengan aneka ragam kultur dan pandangan hidup, maka perlu kiranya madrasah, khususnya pribadi saya selaku kepala madrasah, membekali mereka dengan suatu bekal yang insyaAllah sangat bermakna dalam menghadapi kemajemukan itu agar tetap istiqamah berada di atas jalan yang benar dengan tetap menjunjung tinggi kebhinekaan serta fleksibelitas dan moralitas pergaulan. Modul pembekalan ini merupakan bentuk tanggungjawab saya atas keberhasilan para santri menyelesaikan studinya di madrasah ini. Semoga bermanfaat dunia dan akhirat dan i
menjadi bagian dari amal ibadah di sisi Allah Subhanahu Wa Taâ€&#x;ala. Amin Ya Robbal „Alamin. (Makmun Pitoyo)
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................ i DAFTAR ISI .................................................................................... iii BAB I FAHAM AGAMA DALAM MUHAMMADIYAH: Manhaj Muhammadiyah dalam Memahami Al-Qur‟an dan Sunnah .............. 1 1.1 Kitab Al-Masā‟il al-Khams .................................................... 2 1.2 Matan Keyakinan dan Cita-Cita Muhammadiyah ................ 10 1.3 Penutup ................................................................................. 22 BAB II PANGGILAN DA‟WAH ................................................... 25 2. 1. Pengertian Dakwah .............................................................. 25 2. 2. Materi Da‟wah dan Tujuannya ............................................. 28 2. 3. Manhaj dan Strategi Da‟wah ................................................ 32 2. 4. Siapa yang Wajib Berda‟wah dan yang di Da‟wahi ............. 33 2. 5. Bagaimana Kita Berda‟wah ................................................. 35 2. 6. Dimanakah Medan Da‟wah .................................................. 36 2. 7. Apa Manfaat dan Keutamaan Berda‟wah ............................ 37 2. 8. Daftar Pustaka ...................................................................... 38 BAB III MEMBENTUK MASYARAKAT MUSLIM YANG SEBENAR-BENARNYA MELALUI MANHAJ DAKWAH PARA NABI ............................................................................................... 41 BAB IV SEKILAS TENTANG METODOLOGI PENGAMBILAN HUKUM ISLAM ............................................................................ 49 BAB V NASEHAT UNTUK PARA SANTRI ............................... 61 5. 1. Adab Pertama: Mengikhlaskan Niat Untuk Allah „Azza wa Jalla ...................................................................................... 66 5. 2. Adab Kedua: Bertujuan untuk Mengangkat Kebodohan Diri Sendiri dan Orang Lain ........................................................ 67 5. 3. Adab Ketiga: Bermaksud Membela Syariat ......................... 67 5. 4. Adab Keempat: Berlapang Dada dalam Masalah Khilaf...... 68 5. 5. Adab Kelima: Beramal dengan Ilmu .................................... 69 5. 6. Adab Keenam: Berdakwah di Jalan Allah............................ 70 5. 7. Adab Ketujuh: Bersikap Bijaksana (Hikmah) ...................... 70 5. 8. Adab Kedelapan: Bersabar dalam Menuntut Ilmu ............... 71 5. 9. Adab Kesembilan: Menghormati Ulama dan Memosisikan Mereka sesuai Kedudukannya .............................................. 72 5. 10. Adab Kesepuluh: Berpegang Teguh dengan Al Qur‟an dan As Sunnah Al Maqbulah ...................................................... 73 5. 11. Adab Kesebelas: Meneliti Kebenaran Berita yang Tersebar dan Bersikap Sabar ............................................................... 75 iii
iv
BAB I FAHAM AGAMA DALAM MUHAMMADIYAH: Manhaj Muhammadiyah dalam Memahami AlQur’an dan Sunnah Syamsul Hidayat Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Kaprodi Ilmu al-Quran dan Tafsir Universitas Muhammadiyah Surakarta Metodologi pemikiran Islam dalam Muhammadiyah disebut Pokok-pokok Manhaj Majelis Tarjih yang secara bahasa bermakna metodologi bertarjih, yakni meneliti, mengkaji dan mengambil istinbat atas suatu masalah berdasarkan dalil-dalil syar'i (al-Qur‟an dan al-Sunnah al-Maqbūlah), yang ditopang dengan kajian ilmu pengetahuan dan teknologi yang terkait. Pemikiran keislaman meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan tuntunan kehidupan keagamaan secara praktis, wacana moralitas publik dan discourse keislaman dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia. Masalah yang selalu hadir dari kandungan sejarah tersebut mengharuskan adanya penyelesaian. Muhammadiyah berusaha menyelesaikannya melalui proses triadik atau hermeneutis (hubungan kritis/komunikatif dialogis) antara normativitas aldīn (al-rujū‟ ilā al-Qur'ān wa al-sunnah al-maqbūlah), historisitas berbagai penafsiran atas al-dīn, realitas kekinian dan prediksi masa depan. Mengingat proses hermeneutis ini sangat dipengaruhi oleh asumsi (pandangan dasar) tentang agama dan kehidupan, di samping pendekatan dan teknis pemahaman terhadap ketiga aspek tersebut, maka Muhammadiyah perlu merumuskannya secara spesifik. 1
Dengan demikian, diharapkan ruh ijtihad dan tajdid terus tumbuh dan berkembang. Urgensi dan kebutuhan terhadap manhaj tarjih dan pemikiran Islam sebagai kerangka metodologis memang telah lama dirasakan, bahkan semenjak organisasi ini didirikan. Tanpa kerangka metodologis yang jelas, gerakan dakwah Muhammadiyah tidak mungkin dapat berjalan secara optimal, karena akan terjadi perbedaan-perbedaan yang tajam satu sama lain dalam tubuh persyarikatan, sehingga akan menghambat perkembangan Persyarikatan. Dalam sejarah perkembangnnya, Muhammadiyah telah beberapa kali mencoba merumuskan kerangka metodologi pemikiran keagamannya. Bahkan mencoba merumuskan Risalah Islamiyah, konsep Masyarakat Islam, konsep Dakwah Islam dan sebagainya. Dalam konteks pembentukan kerangka metodologi pemikiran keislamannya (manhaj al-fikr al-Islāmī) dapat dikaji beberapa rumusan penting berikut ini. 1.1 Kitab Al-Masā’il al-Khams Kerangka metodologis pemikiran Islam dicoba oleh tokoh pendiri Majelis Tarjih, yaitu K.H. Mas Mansur, dengan menyampaikan lima masalah penting dalam pemahaman agama Islam, yaitu: (1) apakah agama itu, (2) apakah dunia itu, (3) apakah ibadah itu, (4) apakah sabilillah, dan (5) apakah qiyas itu. (HPT Muhammadiyah, 1983 : 276278) Pidato Mas Mansur pada tahun 1942, pada masa-masa akhir kepemimpinannya di PP Muhammadiyah, tentang lima masalah tersebut kemudian dirumuskan sebagai Putusan Majelis Tarjih yang kemudian dikenal dengan sebutan Kitab Masalah Lima (al-Masā`il al-Khams). Lima 2
masalah ini disempurnakan dan diputuskan pada Sidang Khususi Tarjih pada tanggal 29 Desember 1954 sampai dengan 3 Januari 1955 di Madrasah Mu'allimaat Muhammadiyah, dengan rumusan sebagai berikut.
a. Konsep "al-dīn" ()الدين أى الدين االسالمي ِبٛ٘ ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝ جبء ثٗ ِذّذ طٜ اٌزِٝٓ االعال٠ اٌذٜٓ أ٠اٌذ ) ٌخٛ اٌغٕخ اٌّمجٜذخ (أ١ِب جبءد ثٗ اٌغٕخ اٌظذٚ ْ اٌمشاٝأٔضٌٗ هللا ف ِبٛ٘ ٓ٠اٌذٚ ،ُ٘أخشاٚ ُ٘ب١ٔ ٌظالح اٌؼجبد دٝ٘إٌٛاٚ اِشِٚٓ األ ُ٘ب١ٔ ٌظالح اٌؼجبد دٝ٘إٌٛاٚ اِشٚبئٗ ِٓ األ١ششػٗ هللا ِٓ ٌغبْ أٔج .ُ٘أخشاٚ "Agama(dalam makna khusus) yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ialah apa-apa yang diturunkan Allah di dalam Al-Qur-an dan yang tersebut dalam sunnah ÎaÍiÍah, berupa perintah-perintah, larangan-larangan dan petunjuk-petunjuk bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat. Sedangkan agama (dalam arti umum) ialah apa yang disyariatkan Allah dalam perantaraan nabi-nabiNya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat."
b. Konsep Urusan Dunia ()األمور الدنيويت "أٔزُ أػٍُ ثأِش: ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٌٍٝٗ طٛ لٝب " ف١ٔاٌّشاد "ثأِش اٌذ .بء١ب األٔجٍٙجؼث ألج٠ ٌُ ٝس اٌزِٛ األٛ٘ ُبو١ٔد “Yang di maksud "urusan dunia" dalam sabda Rasulullah saw., "Kamu lebih mengerti urusan duniamu" ialah segala 3
perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi (yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia).” c. Konsep ʿIbādah ()العبادة
اٌؼًّ ثّبٚ ٗ١٘اٛٔ اجزٕبةٚ ٖاِشٚ هللا ثبِزثبي أٌٝ اٌزمشة اٝ٘ اٌؼجبدح ، فبٌؼبِخ وً ػًّ أرْ ثٗ اٌشبسع،خبطخٚ ػبِخٝ٘ٚ أرْ ثٗ اٌشبسع .طخٛبد ِخظ١ف١وٚ ئبد١٘ٚ بد١اٌخبطخ ِب دذدٖ اٌشبسع ثجضئٚ “Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan mentaati segala perintah-perintahNya, menjauhi larangan-laranganNya dan mengamalkan segala yang diidzinkan Allah. Ibadah ada yang umum dan yang khusus. Ibadah umum adalah segala amal yang diidzinkan Allah, dan ibadah khusus ialah apa yang telah ditetapkan Allah akan rincian-rinciannya, tingkah dan cara-caranya tertentu.” d. Konsep Sabīlillāh (ً هللا١)عج
شضبٖ هللا ِٓ وً ػًّ أرْ ثٗ هللا٠ ِبٌٝطً اٌّٛك ا٠ اٌطشٛ٘ ً هللا١عج . ٖ َز أدىب١رٕفٚ ٗثٗ إلػالء وٍّبر “Sabilillah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridaan Allah, berupa segala amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan kalimat-(agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.” e. Konsep Qiyās (بط١)اٌم
ف٠ث اٌشش٠ اٌذذٛ٘ اإلطالقٍٝ ػِٝغ اإلعال٠ اٌزششٝ أْ األطً ف-1 4
دػذ اٌذبجخٚ لؼذٚ سِٛخ أٙاجِٛ ف ػٕذٚ اعزذػذ اٌظشِٝزٚ -2 ٝشد ف٠ ٌُٚ س اٌؼجبداد اٌّذضخِٛ ِٓ أٝ٘ غذ١ٌٚ بٙ اٌؼًّ ثٌٝا ٌٝي اٛطٌٛ فب،ذخ١ اٌغٕخ اٌظذٚخ ِٓ اٌمشاْ أ٠ب ٔض طشّٙدى اسدحٌٛص اٛاالعزٕجبط ِٓ إٌظٚ ب دٙك االجز٠ب ػٓ طشِّٙؼشفزٗ دى ٗ اٌؼًّ ػٕذ ػٍّبء اٌغٍف١ٍ ػٜ اٌؼًٍ وّب جشٜٚ أعبط رغبٍٝػ .اٌخٍفٚ (1) Bahwa dasar mutlaq untuk berhukum dalam agama Islam adalah al-Qur‟an dan al-Hadis. (2) Bahwa di mana perlu dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tidak bersangkutan dengan „ibādah maḥḍah, padahal untuk alasan atasnya tiadaterdapat dalam al-Qur`an atau al-Sunnah al-Ṣaḥīḥah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbat daripada nash-nash yang ada melalui persamaan „illah, sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama salaf dan khalaf. Kitab Masalah Lima di atas cukup lama menjadi pijakan Muhammadiyah dalam merumuskan pandangan keagamaannya, meskipun dalam perkembangannya kekayaan pemikiran para tokoh Muhammadiyah telah melengkapi kerangka metodologi pemikiran Islam dalam Muhammadiyah. Yusron Asrofi, seorang aktivis dan pimpinan Muhammadiyah, mengatakan bahwa rumusan resmi tentang hakikat Muhammadiyah dan paham keagamaannya memang selalu disusun secara sederhana, dan terasa tidak lengkap. Namun, nyatanya rumusanrumusan semacam itu begitu sangat berguna bagi perjalanan Muhammadiyah. Katakanlah, dalam konteks pemikiran keislaman, di samping Masalah Lima, terdapat 5
rumusan penting lainnya, seperti Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian, serta Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH), yang semuanya disusun dalam bentuk yang singkat dan sederhana, tetapi sangat padat ini, sehingga dalam perjalanan Muhammadiyah sangatlah bermanfaat. Ahmad Azhar Basyir, mantan Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah tahun 1985-1990 dan Ketua PP Muhammadiyah tahun 1990-1994, memandang rumusan Masalah Lima sebagai rumusan yang strategis pada zamannya, sehingga boleh dikatakan sebagai cerminan alam pikir Muhammadiyah tentang Islam yang mencakup lima persoalan fundamental. Masalah cukup urgen dalam al-Masail al-Khams itu adalah konsep al-dīn, dan konsep al-dunya. Konsep al-dīn menunjukkan bahwa dalam pandangan Muhammadiyah, Islam adalah agama Allah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul ʿalaihim al-ṣalātu wa al-salām, yang disempurnakan oleh kerasulan Nabi Muhammad ṣallallāhu „alaihi wa sallam, dengan kesempurnaan wahyu al-Quran dan penjelasan-penjelasannya dalam sunnah-sunnahnya, baik qawliyyah, fiʿliyyah maupun taqrīriyyah, berisi perintah, larangan dan petunjukbimbingan untuk kesejahteraan hamba-Nya dunia dan akhirat. Penegasan di atas didasarkan pada firman Allah yang berbunyi, “Hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan Aku genapkan nikmat-Ku atas mu dan Aku rida Islam sebagai agamamu”. (Al-Maidah 3) Islam juga merupakan satu-satunya agama yang diridai-Nya, juga satu-satunya petunjuk hidup yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. 6
Demikian ditegaskan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Pengertian tersebut meniscayakan bahwa sebagai muslim, baik secara individu maupun jamaah harus melakukan empat hal terhadap Islam: (1) al-ʿilm, yakni mengenal Allah, mengenal Nabi-Nya (Muhammad saw) dan mengenal agama-Nya beserta dalil-dalilnya. Di dalam ilmu ini terdapat persoalan iman dan aqīdah ṣaḥīḥah. (2) al-„amal, yakni upaya sadar dan sikap komitmen untuk mengamalkan pengetahuannya tentang Allah, pengetahuan tentang Nabi-Nya dan pengetahuannya tentang dīn al-Islām. (3) al-daʿwah, yakni komitmen untuk menyampaikan kebenaran Islam dan mengajak umat manusia untuk menegakkan syariat Islam. (4) alṣabr, yakni senantiasa tabah, teguh pendirian, dan tekun dalam mendalami ilmu Islam, mengamalkannya, dan mendakwahkannya. Sabar dapat berupa sabar dalam menerima dan menjalankan perintah Allah, sabar dalam meninggalkan larangannya, dan sabar terhadap ketetapan atau ketentuan Allah, baik yang menyenangkan maupun menyedihkan. (KHR. Hadjid) Islam, sebagaimana namanya memiliki makna penyerahan total hanya kepada Allah, dengan cara mentauhidkannya, tunduk, dan taat kepada-Nya, membersihkan diri dari syirik. Inilah apa yang disebut sebagai Islam Ideal. Islam yang menjadi tujuan setiap Muslim untuk memahami, mengamalkan, dan mendakwahkannya. Dengan Islam ideal inilah Muhammadiyah berdiri, sebagai bentuk kritik sosio-kultural umat Islam yang sudah terlalu jauh menyimpang dari Islam ideal tersebut. Muhammadiyah berdiri membawa idealisme untuk 7
mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yaitu Islam murni yang bersumber dari al-Qur`an dan alSunnah, bersih dari segala hal yang mengotorinya, takhayyul, bid‟ah dan c(k)hurafat (TBC). Pada konsep al-dunya, ada kekhawatiran akan terjadi pemisahan secara diametral antara urusan al-dīn dan urusan dunia, sehingga akan melahirkan paham sekular. Kekhawatiran ini juga melanda sebagian pemimpin dan pemikir Muhammadiyah. Syafii Maarif misalnya, pernah mengungkapkan kekhawatiran tersebut. Menurutnya definisi tersebut bertentangan dengan Q.S. al-An'am [6]: 162. Namun kekhawatiran itu dijawab oleh Azhar Basyir dan Abdul Munir Mulkhan. Baik Azhar maupun Mulkhan sepakat bahwa yang dimaksud dengan al-dunya atau alumūr al-dunyawiyyah tidak sama dengan konsep "alḥayah al-dun-yā". Karena itu pemahamannya harus dikembalikan kepada hadis Nabi yang menjadi rujukan konsep tersebut. Al-umūr al-dunyawiyyah adalah soal-soal teknis dan teknologis kehidupan dunia, bukan nilai-nilai kehidupan dunia. Bahkan Munir Mulkhan menolak pandangan Syafii Maarif yang menyatakan bahwa rumusan Masalah Lima disusun sebagai gagasan besar yang kering nuansa, karena rumusan itu disusun berdasarkan konteks jaman, sehingga pemahaman masa kini harus melihat konteks disusunnya, namun isinya memiliki pokok-pokok pikiran yang bersifat fundamental, padat, dan universal. Meski demikian, Munir Mulkhan memandang perlu untuk penyempurnaan redaksional. Masih berbicara tentang Masalah Lima, K.H. Djarnawi Hadikusuma, memberikan penjelasan, rumusan tersebut menegaskan bahwa agama tidak mengatur atau memberikan tuntunan terhadap kehidupan manusia yang 8
berkenaan dengan masalah keduniaan. Tetapi, itu juga berarti bahwa sesuatu masalah keduniaan yang ternyata diatur juga oleh agama, maka itu berarti telah diangkat menjadi masalah agama, sehingga pelaksanaannya wajib sesuai dengan tuntunan atau peraturan dari Allah atau Rasul; misalnya tentang pembagian waris, perkawinan dan hutang-piutang. Dengan pengertian semacam itu, ajaran Islam membagi masalah keduniaan menjadi dua. Pertama, yang diberi tuntunan oleh ajaran Islam seperti hal pembagian waris dan perkawinan, maka pelaksanaannya wajib sesuai dengan tuntunan Islam itu. Kedua, masalah keduniaan yang sama sekali tidak diatur oleh agama, seperti cara bertani, bertukang, membuat peralatan rumah tangga, membuat pakaian dan sebagainya, kesemuanya itu terserah kepada keinginan manusia sendiri, namun satu hal wajib dijaga, yakni tidak melanggar hukum Allah. Dengan kebebasan semacam itu, maka setiap orang Islam dapat keluasan meningkatkan segi kehidupan dunianya dengan mempertinggi ilmu pengetahuan dan karya ilmiah yang bermanfaat. Dengan batasan tidak boleh melanggar hukum Allah, maka setiap ilmu, teknologi dan penemuan oleh intelektualitas Islam tidak akan berbahaya bagi manusia dan bahkan akan sejalan dengan ajaran akhlak yang tinggi. (H Djarnawi HK, 1985) Azhar Basyir menyimpulkan dengan adanya konsep dīn, ibadah, dunia, sabilillah dan qiyas di atas justru menjadi lebih jelas mana bagian-bagian dari kehidupan ini yang kita hanya samʿan wa ṭā'atan kepada al-Qur`an dan alSunnah, sebagai suatu yang baku (al-thawābit) dan disepakati banyak pihak (mujmaʿʿalayh), dan mana pula 9
yang menjadi wewenang akal pikiran manusia secara bebas merumuskannya (al-mutaghayyirÄ t) dan memungkinkan kita untuk banyak berbeda (mukhtalaf Ężalayh) meskipun tetap memperhatikan rambu-rambu akhlak Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat. (Azhar Basyir, 1993) 1.2 Matan Keyakinan dan Cita-Cita Muhammadiyah Rumusan yang dipandang mengandung kerangka metodologi pemikiran keislaman Muhammadiyah adalah apa disebut Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup (MKCH) Muhammadiyah yang awalnya dirumuskan pada Muktamar ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta, dan ditetapkan dalam sidang Tanwir tahun 1969 di Ponorogo. Rumusan in lahir untuk membekali warga Muhammadiyah secara ideologis, khususnya dalam menghadapi lalu lintas alam pikiran yang makin terbuka saat itu. Karena sifat sebuah matan, maka ia hanya memuat rumusan-rumusan singkat, tetapi mencerminkan pendirian dalam menjalani hidup dan menunjuk kepada harapan yang ingin dicapai dalam melaksanakan pegangan hidup. Sebagai orang yang mengikuti proses dan dinamika perumusan matan tersebut, Azhar Basyir mengemukakan bahwa setelah kelahiran Orde Baru, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mulai membahas permasalahan mendasar yang memang terkait dengan perkembangan jaman yang diwarnai oleh lalu lintas dan pluralitas alam pikiran, terutama pemikiran keagamaan, yang semakin bebas dan terbuka. Dengan matan keyakinan ini, Pimpinan dan warga Muhammadiyah diharapkan tetap memiliki pijakan yang jelas, sehingga tidak terjadi 10
perpecahan dan polarisasi, baik pada tataran pemikiran maupun dan apalagi pada strategi gerakan dakwah Muhammadiyah. Yang menarik, dalam konsep atau rumusan tersebut adalah istilah Keyakinan dan Cita-cita Hidup, sebagai istilah yang digunakan oleh Muhammadiyah. Pada hal isi dari matan tersebut adalah materi ideologis (worldview) dalam gerakan Muhammadiyah. Dijelaskannya, bahwa kebijakan pemerintah Orde Baru, yang ingin melakukan penataan kehidupan sosial politik di negeri ini adalah dengan pemantapan ideologi Pancasila. Implikasinya penggunaan kata ideologi itu sendiri hanya boleh digunakan untuk ideologi Pancasila. Dengan demikian, apabila Muhammadiyah menggunakan kata "ideologi" dalam rumusan ideologi gerakannya, dikhawatirkan akan terjadi bias pengertian yang seolah-olah Muhammadiyah memiliki ideologi sendiri selain Pancasila. Ini tidak bisa diterima oleh pemerintah. Oleh sebab itu dalam penyusunan MKCH Muhammadiyah sebagai usaha yang bersifat internal untuk melakukan tajdid di bidang ideologi dengan tidak menggunakan kata "ideologi". Muatan MKCH mengandung lima pokok pikiran tentang masalah-masalah fundamental dalam Muhammadiyah, yaitu: Pokok pikiran pertama, mengandung pokok-pokok persoalan substansial, esensial, dan ideologis tentang penegasan hakekat Muhammadiyah dan hakekat Islam menurut pandangan Muhammadiyah. Penegasan ini merujuk pada Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang telah dirumuskan terdahulu, namun dalam MKCH ini lebih dimantapkan, bahwa 11
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang melaksanakan kewajiban agama dengan membentuk wadah organisasi, di mana organisasi termasuk kategori urusan dunia yang diperlukan adanya untuk melaksanakan kewajiban agama. Oleh sebab itu pembentukan organisasi sering dikategorikan termasuk dalam kaidah: "mā lā yatimmu al-wājib illā bihī fa huwa wājib." Dengan demikian, wujud organisasi Muhammadiyah dapat dijadikan sebagai wadah jihād fīsabilillah, yangbernilai ibadah, yaitu berjuang untuk tegaknya kalimat Allah yang ditempuh melalui berbagai macam usaha Muhammadiyah. Pokok pikiran kedua, mengandung penegasan tentang hakikat agama Islam dan keyakinan Muhammadiyah atas agama Islam itu. Rumusan ini berkaitan dengan kitab Masalah Lima pada rumusan mā huwa al-dīn?. Namun, di sini ditekankan bahwa Islam adalah agama yang dibutuhkan manusia sepanjang masa untuk pemenuhan tercapainya dambaan hidup sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Ungkapan tersebut sejalan dengan pernyataan bahwa agama Islam itu bagi kehidupan manusia adalah sebagai raḥmatan lī al-ʿālamīn. Dijelaskan pula bahwa Muhammadiyah berkeyakinan bahwa agama Islam adalah agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim dan seterusnya sampai kepada Rasul terakhir Nabi Muhammad saw sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa dan menjamin kesejahteraan hidup materiil-spirituil, duniawi dan ukhrawi. Untuk menegaskan batasan agama Islam ini Azhar Basyir menegaskan: "Kita tidak menyebut Yahudi sebagai nama agama wahyu resmi dan Kristen sebagai 12
nama agama wahyu resmi. Agama wahyu hanyalah Islam, Inna al-dÄŤna 'inda AllÄ hi al-Islam.". Lebih jauh, Djindar Tamimy menegaskan bahwa Muhamadiyah berkeyakinan, Dinul Islam adalah risalah (pesan-pengarahan) Allah yang mengandung satu kesatuan ajaran yang utuh dan terpadu, penuh keseimbangan dan keserasian. Risalah itu mengandung: (a) petunjuk mengenai pola hidup dan kehidupan yang benar yang diridai Allah swt, (b) petunjuk Allah mengenai pedoman pokok pelaksanaan untuk terwujudnya pola hidup dan kehidupan yang dimaksud, (c) petunjuk Allah mengenai sistem kepemimpinan dalam pelaksanaan pedoman pokok dalam rangka mewujudkan pola hidup dan kehidupan yang dimaksud. Pokok pikiran ketiga, membahas masalah sumber ajaran Islam. Dalam matan itu disebutkan bahwa Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan kepada al-Qurâ€&#x;an dan Sunnah Rasul dengan menggunakan akal pikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Dengan pandangan tersebut, Muhammadiyah menunjukkan komitmen kuat kepada al-Quran dan Sunnah Rasul, tetapi sekaligus bersifat kritis dan selektif. Selain al-Quran dan Sunnah Rasul bukanlah sumber. Menggunakan akal pikiran memang merupakan keharusan sesuai garis ijtihad yang tidak boleh ditutup. Penggunnaan akal fikiran adalah untuk mengembangkan pemahaman dan pengamalan ajaran al-Qurâ€&#x;an dan alSunnah. Pendirian ini sesuai dengan putusan Majelis Tarjih sebagaimana tertuang dalam Masalah Lima. Rumusan MKCH ini juga sekaligus menunjukkan bahwa Muhammadiyah tidak selalu dan tidak harus mengikuti 13
secara penuh pendirian Ahmad Dahlan selaku pendirinya, yang masih mengikuti umumnya pendapat umat Islam, bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qurâ€&#x;an, Sunnah Rasul, ijma, dan qiyas. Ijma dan qiyas dalam pandangan Muhammadiyah setelah dirumuskannya Masalah Lima dan MKCH termasuk dalam cakupan perangkat ijtihad, bukan sumber ajaran Islam, karena pemikiran Islam harus terus berkembang sesuai dengan perkembangan kemampuan akal pikiran dan perkembangan kehidupan masyarakat. Dengan demikian, bagi Muhammadiyah, ijtihad mutlak diperlukan bagi umat Islam seluruhnya. Pintu ijtihad, bagi Muhammadiyah, tetap terbuka, tidak pernah dan tidak boleh ditutup oleh siapa pun, hanya saja diperlukan perangkat ilmu dan metodologis sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Pokok pikiran keempat, membahas bidang ajaran Islam. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaranajaran Islam yang meliputi bidang-bidang akidah, akhlak, ibadah dan muamalah duniawiah. Akidah Islam, menurut Muhammadiyah bersumber kepada al-Qurâ€&#x;an dan Sunnah Rasul. Akal diperlukan untuk mengukuhkan kebenaran nash (al-Qurâ€&#x;an dan Sunnah), bukan untuk mentakwil ajaran akidah yang memang di luar jangkauan akal, seperti apakah surga itu kekal atau tidak. Itu bukan wewenang akal, maka jangan dibicarakan. Dalam mengimplementasikan akidah, harus senantiasa merujuk kepada ajaran Islam, sehingga tegaklah akidah Islam yang murni, bersih dari gejala kemusyrikan, takhayul, bid'ah, dan khurafat (TBC), namun tetap menumbuhkan sikap tasamuh terhadap penganut paham lain dan agama lain, 14
serta tidak memaksakan ajaran Islam kepada orang lain, dengan tetap memberikan gambaran bahwa agama yang menjamin kesejahteraan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat hanyalah Islam, bahwa "inna al-dīna 'inda Allāhi al-Islām", harus dimaknai "agama yang benar dan diridai Allah hanyalah agama Islam". Pandangan Muhammadiyah tentang akidah, agaknya merujuk kepada pandangan ulama salaf, sebagaimana dikemukakan oleh Imam Malik, ketika ditanya tentang ayat ( )الرحمن على العرش استوى, bagaimana istiwa'-nya Allah. Imam Malik menjawab: " االستواء غٌر مجهول والكٌف
واجب والسؤال عنها بدعة وما أدراك إال غٌر معقول واإلٌمان به "ضاال. Ini dapat dilihat dalam teks yang tertuang dalam Himpunan berbunyi:
عقل
Putusan
Tarjih
Muhammadiyah
yang
ما كلفنا هللا بالبحث فى االعتقاد بما التصل إلٌه عقولنا ألن االنسان ال ٌستطٌع أن ٌصل الى معرفة ذات هللا وكٌفٌة اتصافه
أفى هللا شك،بصفات فال تبحث عنه ولٌس فى وجود هللا تعالى شك )10 :فاطر السماوات واألرض (ابراهٌم Allah tidak menyuruh kita membicarakan hal-hal yang tidak tercapai akan dalam hal akidah (kepercayaan. Sebab, akal manusia tidak mungkin mencapai pengertian tentang Zat Allah dan hubungannya dengan sifat-sifat yang ada pada-Nya. Maka, janganlah membicarakan hal itu. Tak ada kesangsian tentang wujud Allah. "Adakah orang yang ragu tentang Allah, Yang Maha Menciptakan langit dan bumi?" (Q.S. Ibrahim [14] : 10). Bidang akhlak, Muhammadiyah memandang bahwa 15
sumber akhlak Islam hanyalah al-Qur‟an dan al-Sunnah, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia. Meskipun al-Qur‟an dan as-Sunnah mengakui adanya sumber "qalb", atau "basirah", yakni hati nurani, namun tolok ukurnya tetap al-Quran dan as-Sunnah. Ahmad Azhar Basyir, ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah periode 1985-1990, mengakui bahwa pada aspek akhlak ini, Muhammadiyah dirasa kekurangan pedoman. Para ulama begitu semangat membahas masalahmasalah hukum, baik ubudiyah maupun masalah sosial, tetapi masalah akhlak kurang mendapat perhatian yang memadai. Sehingga, konsep-konsep akhlak Islam dalam produk-produk putusan tarjih sangat langka. Bidang ajaran Islam berikutnya yang dibahas adalah bidang ibadah. Yang dimaksud dengan istilah ibadah ini adalah „ibādah maḥḍah. Ditegaskan bahwa Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan Rasulullah saw tanpa tambahan,
pengurangan
dan
perubahan
dari
manusia.
Sehingga, dalam Muhammadiyah selalu diadakan penelitian terhadap
dalil-dalil
yang
berkaitan
dengan
ibadah,
konsekuensinya apabila ditemukan dalil yang lebih kuat (rājiḥ), maka Muhammadiyah akan memperbaiki pendapat lamanya. Seperti Majelis Tarjih dalam muktamarnya di Wiradesa memutuskan bahwa berdasar hadis-hadis sahih, shalat malam atau tarawih adalah sebelas rekaat. Keputusan itu merevisi pandangan K.H. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah, yang berpendapat dan mengamalkan 16
bahwa tarawih itu 23 rakaat. Oleh karena itu, jangan digugatgugat, bahwa Tarjih bertentangan dan tidak menghargai pendirinya. Ini jelas tidak proporsional. Aspek yang berkaitan dengan ibadah, dalam makna ibÄ dah 'Ä€mmah, adalah aspek muamalah duniawiah, yang titik beratnya pada pengelolaan dunia dan pembinaan masyarakat dan termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan keahlian. Muhammadiyah dalam wilayah ini berpendapat bahwa Islam memberikan wewenang kepada akal seluas-luasnya, sehingga warga Muhammadiyah harus menguasai ilmu pengetahuan dan berbagai profesi dalam kehidupan yang dinamis ini, di samping tetap menguasai ilmu-ilmu agama. Dengan demikian, ilmu-ilmu agama dapat membimbing akal dan hati nurani dalam berkarya dan menjalani profesi. Pokok pikiran kelima, berkaitan dengan fungsi dan misi Muhammadiyah dalam masalah kemasyarakatan dan kebangsaan. Disebutkan, Muhammadiyah mengajak kepada segenap elemen umat Islam dan bangsa Indonesia untuk mensyukuri anugerah Allah berupa tanah air yang memiliki sumber-sumber kekayaan dan kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfalsafahkan Pancasila, dengan terus berusaha menjadikan negara yang adil makmur dan diridai Allah swt, "baldatun ášayyibatun wa rabbun ghafĹŤr". Pernyataan ini menunjukkan kesadaran dan tanggung jawab kebangsaan Muhammadiyah menuju kehidupan berbangsa dan 17
bernegara yang tertib, disiplin, berakhlak, dan bermartabat, serta diridai Allah. Sehingga, setiap ada ketimpangan yang terjadi di dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan bangsa ini, Muhammadiyah selalu prihatin dan ikut andil dalam mencari penyelesaian. Dalam memahami lima pokok pikiran tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah atas kuasa Tanwir tahun 1970 mengelompokkannya menjadi 3 kelompok fundamental, yaitu: a. Kelompok pertama: mengandung pokok-pokok persoalan ideologis, mencakup pokok pikiran pertama dan kedua, b. Kelompok kedua: mengandung karakteristik paham agama (metodologi pemikiran keislaman) menurut Muhammadiyah, mencakup pokok pikiran ketiga dan keempat. c. Kelompok ketiga: mengandung visi dan misi kemasyarakatan dan kebangsaan Muhammadiyah. Pokok-pokok manhaj Majelis Tarjih terdapat 18 (delapan belas) poin, yang secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah al-ṣaḥīḥah (al-maqbūlah). Ijtihad dan istinbat atas dasar ʿillah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan, sepanjang tidak menyangkut bidang taÑabbudī, dan memang hal yang dihajatkan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Ijtihad, termasuk qiyas dapat digunakan sebagai cara menetapkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya secara langsung.
18
2. Ijtihad dilaksanakan secara jamāʿī, dengan jalan musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan di atas kebenaran. Pendapat pribadi tidak dipandang kuat. 3. Tidak terikat dan mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi aqwāl al-mazāhib dapat menjadi pertimbangan dalam penetapan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur‟an dan al-Sunnah atau dasar-dasar lain yang kuat. 4. Berprinsip terbuka, toleran, dan tidak memandang pendapat Majelis Tajih yang paling benar. Menerima koreksi dari siapa pun, selama diberikan dalil-dalil yang kuat. Majelis dimungkinkan untuk mengubah pendapat yang pernah diputuskan. 5. Dalam masalah akidah, hanya menggunakan dalil-dalil yang mutawatir, yakni al-Quran dan Sunnah shahihah (hadis-hadis shahih).. 6. Tidak menolak ijma' sahabat sebagai dasar sesuatu keputusan. 7. Tentang dalil-dalil yang tampak mengandung ta'arudl, digunakan cara: al-jamʿu wa al-tawfīq, dan kalau tidak dapat dilakukan tarjih. 8. Menggunakan asas sadd al-dharā´iʿ, untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah. 9. Menta'lil dapat dilakukan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur‟an dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syariat. Adapun qaidah al-ḥukmu yadūru maʿa al-„illah wujūdan wa „adaman dalam hal tertentu dapat berlaku. 10. Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat, tidak terpisah. 11. Dalil-dalil umum al-Qur‟an dapat ditakhsis dengan Hadith Ahad, kecuali dalam bidang „Akidah. 12. Dalam mengamalkan agama Islam menggunakan prinsip "al-taysir". 19
13. Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuanketentuannya dari al-Quran dan al-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, namun tetap diakui akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nas dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi. 14. Dalam hal-hal yang termasuk al-umūr al-dunyawiyyah yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat dihargai demi tercapainya kemaslahatan umat. 15. Untuk memahami nash musytarak, paham sahabat dapat diterima. 16. Dalam memahami nas, maka Ẓahir didahulukan dari ta'wil dalam bidang akidah. Dan ta'wil sahabat dalam hal ini tidak harus diterima. 17. Jalan ijtihad yang telah ditempuh meliputi: a. Ijtihād bayānī, yaitu ijtihad terhadap nas yang mujmal, baik karena belum jelas makna lafal yang dimaksud, maupun karena lafal itu mengandung makna ganda, mengandung arti musytarak ataupun karena pengertian lafal dalam ungkapan yang konteksnya mempunyai arti jumbuh (mutasyābih) ataupun adanya beberapa dalil yang [tampak] bertentangan (ta„āruḍ). Dalam hal yang terakhir digunakan jalan ijtihad dengan jalan tarjih. b. Ijtihād Qiyāsī, yaitu menyeberangkan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan „illah. c. Ijtihād istiṣlāhī yaitu ijtihad terhadap masalah yang tidak ditunjuki nash sama sekali secara khusus, maupun tidak adanya nash mengenai masalah yang ada kesamaannya. Dalam masalah yang demikian penetapan hukumnya dilakukan berdasarkan „illah untuk kemaslahatan. 20
18. Dalam menggunakan hadis, terdapat beberapa kaidah yang telah menjadi keputusan Majelis Tarjih sebagai berikut: a. Hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujah. Yang dimaksud hadis mauquf adalah apa yang telah disandarkan kepada sahabat, baik ucapan maupun perbuatan dan semacamnya baik bersambung maupun tidak. b. Hadis mauquf yang dihukum marfu dapat menjadi hujah. Hadis mauquf dihukum marfu' apabila ada qarinah yang dapat dipahami daripadanya bahwa hadis itu marfu'. c. Hadis mursal shahabi dapat dijadikan hujah apabila ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanad. d. Hadis mursal tabi'i semata, tidak dapat dijadikan hujah, kecuali jika ada qarinah yang menunjukkan persambungan sanadnya kepada Nabi. e. Hadis-hadis dhaʿif yang kuat menguatkan, tidak dapat dijadikan hujah, kecuali jika banyak jalan periwayatannya, ada qarinah yang dapat dijadikan hujah serta tidak bertentangan dengan al-Quran dan hadis sahih. f. Dalam menilai perawi hadis, jarḥ didahulukan daripada ta„dīl setelah adanya keterangan yang mu'tabar berdasarkan alasan-alasan syar'i. g. Periwayatan orang yang dikenal melakukan tadlīs dapat diterima riwayatnya, apabila ada petunjuk bahwa hadis itu muttaṣil, sedangkan tadlis tidak mengurangi keadilan.
21
1.3 Penutup Dengan kaidah-kaidah sebagaimana disebutkan, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam memahami dan melaksanakan al-Qur‟an dan as-Sunnah, menurut Asymuni Abdurrahman, sejalan dengan anjuran para imam mazhab yang empat. Jadi yang dilakukan Muhammadiyah tidak mengikat diri kepada mazhab tertentu, tetapi terikat atau mengikat diri kepada sumber yang digunakan oleh mereka, yaitu al-Qur‟an dan alHadis. Pemikiran dan pandangan para imam tersebut menjadi acuan dalam mendalami al-Qur‟an dan al-Hadis, sehingga kesinambungan ilmu tetap terjaga. Kemudian Asymuni Abdurrahman menunjukkan beberapa pesan A‟immah al-Mazẓāhib, sebagai berikut. a. Imam Abu Hanifah (al-Nu'man bin Tsabit):
ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝي طٛخجش اٌشعٚ ٌٝخبٌف وزبة هللا رؼب٠ الٛإرا لٍذ ل ٌٝٛا لٛفبرشو "Apabila aku mengatakan sesuatu perkataan (pendapat), menyelisihi al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad saw, maka tinggalkanlah pendapatku tersebut." b. Imam Malik bin Anas:
ٚ افك اٌىزبةٚ فىً ِبٝ٠ سأٝا فٚ فبٔظش،ت١أطٚ إّٔب أٔب ثشش أخطئ .ٖٛاٌغٕخ فبرشوٚ افك ايوزبةٛ٠ ٌُوً ِبٚ ٖٚاٌغٕخ فخز "Sesungguhnya aku manusai biasa, mungkin salah dan mungkin pula benar. Maka, perhatikanlah pendapatku, selama pendapatku itu sesuai dengan al-Kitab dan al-
22
Sunnah. Dan, apabila pendapatku tidak sesuai dengan alKitab dan al-Sunnah, maka tinggalkanlah." c. Imam al-SyafiÑi (Muhammad bin Idris) :
اٌٛٛعٍُ فمٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝي هللا طٛ خالف عٕخ سعٝ وزبثٝجذرُ فٚ إرا ا ِب لٍذٛدػٚ ٍُعٚ ٗ١ٍ هللا ػٍٝي هللا طٛثغٕخ سع “Apabila engkau menemukan dalam kitabku (pendapatku) menyelisihi Sunnah Rasulullah saw, maka katakanlah (ikutilah) Sunnah Rasulullah saw, dan tinggalkanlah pendapatku itu.” d. Imam Ahmad bin Hanbal:
ال تقلدنً وال تقلد مالكا وال الشافعً وال األوزاعً وال الثوري وخذ من حٌث أخذوه “Janganlah kalian bertaklid kepadaku, juga kepada Imam Malik, Imam Syafii, Imam al-Auza‟i dan Imam al-Tsuri, tetapi ambillah sumber yang mereka ambil.” Pandangan Muhammadiyah ini sejalan dengan penegasan Rasulullah saw dalam muqadimah khutbahnya seperti diriwayatkan oleh Nasa´i sebagai berikut.
هٝطٍه ُي هُٛهللاِ لَب َي َوبَْ َسع ػ َْٓ َجبثِ ِش ْث ِٓ َػ ْج ِذ ه ِٟ ُي فَُٛم٠ َُ َعٍهَٚ ِٗ ١ْ ٍَهللاُ َػ َ ِهللا ْ ُخ ِذ ِٖ هْٙ َ٠ ْٓ َِ ُيَُٛم٠ ُ أَ ٍُُْ٘ٗ ثُ هَٛ ُ٘ ِٗ ثِ َّب١ْ ٍَ َػِٟٕ ُْث٠َٚ َهللا َذْ َّ ُذ ه٠ ِٗ ِطجَز ٌَُٗ ًض ه ِ ُِ هللاُ فَ َال ث ِوزَبةُ ه ٞ ُ َ٘ ْذٞ َ ٌَُٗ إِ هْ أَطْ َذٞ َ ُضْ ٍِ ٍُْٗ فَ َال َ٘ب ِد٠ ْٓ َِ َٚ ِ ٠ق ْاٌ َذ ِذ ِ َ ْذٌٙأَدْ غََٓ ْاَٚ ِهللا ُ ًُّ ُوَٚ ٌض َالٌَخ َ ُوًُّ ثِ ْذ َػ ٍخَٚ ٌ ُوًُّ ُِذْ َذثَ ٍخ ثِ ْذ َػخَٚ َبُٙس ُِذْ َذثَبرٛ ِ ُِ شَشُّ ْاألَٚ ُِ َذ هّ ٍذ إٌهبسِٟض َالٌَ ٍخ ف َ 23
“Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah bersabda dalam khutbahnya, memuji Allah dengan pujian yang menjadi hakNya, kemudian mengatakan, barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan-Nya tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebaikbaik pembicaraan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruk perkara adalah mengada-ada (dalam urusan agama). Setiap perbuatan mengada-ada adalah bid‟ah dan setiap bid‟ah adalah kesesatan, dan kesesatan itu tempatnya di neraka.” Dalam memandang konsep bidʿah dan taḥdīth di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Djarnawi Hadikusuma, Muhammadiyah sangat teliti dalam memilahkan antara urusan ibadah (ʿibādah khāṣṣah), termasuk di dalamnya masalah akidah dan urusan muamalah (ʿibādah ʿāmmah), sehingga tidak semua yang tidak terdapat contoh dari Nabi SAW dipandang bid‟ah. Dalam bukunya, Ahlussunnah wal Jamaah, Bidah, dan Khurafat, Djarnawi mengemukakan perlunya pemilahan masalah bid‟ah dan masalah maslahah mursalah. Wallahu A‟lam
24
BAB II PANGGILAN DA’WAH Oleh: Makmun Pitoyo (Pernah disampaikan dalam Kajian Para Dosen dan Karyawan Universitas Magelang Tahun 2016) 2. 1. Pengertian Dakwah a. Tinjauan Bahasa: Kata dakwah berasal dari kata حٛدػ-ٛذػ٠-ٝ دػyang berarti mengundang, seperti kata فالٔخٌٝ دػب فالْ اatau ٌٝاٌذػبء ا
ئ١ش Dari sisi bahasa ini kata dakwah bisa berarti mengundang ke arah yang positif tetapi bisa juga ke arah yang negatif. Makna yang positif bisa kita temukan dalam QS. Yunus : 25
هَٚ )ٕ٘( ُ١ٍ ِط َشا ٍط ُِ ْغزَم ِ ٌََِٝشَب ُء إ٠ ْٓ َِ ٞ ِذْٙ َ٠َٚ َهال ِ َاس اٌغ ِ دٌَِٝ إَُٛ ْذػ٠ ُهللا
“Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam)”.[*]. [*] Arti kalimat darussalam Ialah: tempat yang penuh kedamaian dan keselamatan. pimpinan (hidayah) Allah berupa akal dan wahyu untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. (wallahu a‟lam). Dalam suratnya, Rasulullah saw berbicara kepada Heraclius, “saya mengajak kamu kepada di‟ayah (dakwah),” maksudnya dakwah Islam, yaitu kalimah syahadat dan ajaran Allah. (Fiqih Dakwah, hal. 24). 25
Sedang makna yang negatif bisa kita temukan dalam QS. Yusuf: 33
ْ إِال رَظْ ِشَٚ ِٗ ١ْ ٌَِ إََُِٟٕٔٛ ْذػ٠ ِِ هّبٞ لَب َي َسةِّب اٌغِّبجْ ُٓ أَ َدتُّ إِ َي ه ُٓ َذ٘ ه١ْ َوٟف َػِّٕب )ٖٖ( َٓ١ٍِِ٘ أَ ُو ْٓ َِِٓ ْاٌ َجبَٚ ٓ هِٙ ١ْ ٌَِأَطْ تُ إ “Yusuf berkata: "Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh." Maksud dari kata dakwah (َُٛ ْذػ٠) dalam ayat ini adalah kepatuhan kepada wanita-wanita dan terjerumus dalam dosa, sebagaimana sabda Rasulullah saw kepada kaum Aus dan Khazraj ketika mereka bersiap-siap untuk berperang, “apakah (kalian menyeru) dengan dakwah Jahiliyah, sedangkan aku masih berada di tegah-tengah kalian ?”. Dikatakan oleh Jum‟ah Amin Abdul Aziz bahwa dengan ayat-ayat tersebut, jelaslah bagi kita bahwa ada dakwah menuju surga dan ada pula dakwah ke neraka. (Jum‟ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah, hal. 25). Orang yang mengajak (menyeru atau mengundang) disebut dengan da‟i (untuk laki-laki) dan da‟iyah (untuk perempuan).
26
b. Tinjauan Istilah Dari sisi istilah, dakwah diartikan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk mengajak diri sendiri dan orang lain kepada Allah swt untuk mengikuti dan mengamalkan syari‟at-Nya. Seperti tersebut dalam QS. Yusuf: 108
ُع ْج َذبَْ هَٚ ِٟٕ َِ ِٓ ارهجَ َؼَٚ ش ٍح أََٔب١ هٌَِٝ إُٛ أَ ْدػٍِٟ١ِلًُْ َ٘ ِز ِٖ َعج َ ظ ِهللا ِ َ ثٍَٝهللاِ َػ )ٔٓ٨( َٓ١ َِب أََٔب َِِٓ ْاٌ ُّ ْش ِش ِوَٚ “Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orangorang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada Termasuk orang-orang yang musyrik". Juga dalam QS. An-Nahl: 125
ُ ا ْد َٟ ِ٘ ُِٟ ُْ ثِبٌهزٌْٙ َجب ِدَٚ ْ ِػظَ ِخ ْاٌ َذ َغَٕ ِخَّٛ ٌ ْاَٚ ه ثِ ْبٌ ِذ ْى َّ ِخ َ ًِ َسثِّب١ِ َعجٌَِٝع إ ْ َ َ َٓ٠زَ ِذْٙ ُّ ٌ أ ْػٍَ ُُ ثِبَٛ َُ٘ٚ ِٗ ٍِ١ِض هً ػ َْٓ َعج َ أَدْ َغُٓ إِ هْ َسثه َ ْٓ َّ ِ أ ْػٍَ ُُ ثَٛ ُ٘ ه )ٕٔ٘( “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah [*] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”. [*] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
27
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, dikatakan: “barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, ia berhak mendapat pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa mengajak kepada kesesatan, ia berhak mendapat dosanya seperti dosa orang-orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HR.Muslim). 2. 2. Materi Da’wah dan Tujuannya Islam adalah agama yang paripurna, ia mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dari perkara yang dianggap paling kecil seperti buang air ke toilet sampai kepada perkara besar yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas, seperti kepemimpinan. Itu semuanya sebenarnya menjadi materi dakwah yang harus disampaikan oleh para da‟i kepada masyarakat. Namun demikian jika dikategorikan ke dalam beberapa masalah, berdasarkan urutan kepentingan utamanya, maka materi dakwah dapat meliputi: a. Ajaran Tauhid Materi ini merupakan sisi terpenting dari dakwah para nabi dan Rusulullah, sehingga melalui materi ini dapat dibedakan mana para pengikut Allah swt dan RasulNya dan mana pula mereka yang menentang. Firman Allah swt dalam QS. Asy-Syura: 13 menyebutkan:
َِبَٚ ه َ ١ْ ٌََِٕب إ١ْ ْ َدَٚ أٞاٌه ِزَٚ ًدبُٛٔ ِٗ ِ ثٝطهَٚ ِٓ َِب٠َش َش َع ٌَ ُى ُْ َِِٓ اٌذِّب هَٚ ِٗ ١ِا فُٛال رَزَفَ هشلَٚ َٓ٠ا اٌ ِّبذُّٛ ١ِ أَ ْْ أَلٝ َغ١ ِػَٚ ٝ َعُِٛ َٚ َُ ١ِ٘ َٕب ثِ ِٗ إِ ْث َشا١ْ ط ْ ه ْ َ َ َ ا ُء َ َ٠ ْٓ َِ ِٗ ١ْ ٌِ إَِٟجْ زَج٠ ُ ِٗ هللا١ْ ٌُِ٘ ُْ إَُٛٓ َِب رَ ْذػ١ اٌ ُّش ِش ِوٍَٝوجُ َش َػ )ٖٔ( ُت١ُِٕ٠ ْٓ َِ ِٗ ١ْ ٌَِ إٞ ِذْٙ َ٠َٚ 28
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, Yaitu: Tegakkanlah agama [*] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orangorang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).�. [*] Yang dimaksud: agama di sini ialah meng-Esakan Allah s.w.t., beriman kepada-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhirat serta mentaati segala perintah dan larangan-Nya. Jika ajaran tauhid ini telah menghunjam tertanam dalam jiwa seseorang, maka insyaAllah hidupnya akan lurus dalam kondisi apapun, suka maupun duka. Orang yang bertauhid adalah orang meyakini betul lahir batin akan Rububiyah Allah swt dan Uluhiyah-Nya. Yaitu mereka mengakui bahwa hanya Allah swt saja Dzat yang maha mencipta mahluk-Nya, mengatur, memelihara, memberikan rizki, menyayangi dan melindunginya. Serta hanya kepada Allah swt saja mereka menyembah (beribadah), mereka juga meyakini bahwa Allah swt memiliki nama-nama yang baik dan sifat-sifat kesempurnaan yang sama sekali berbeda dari mahluk-Nya. Orang yang bertauhid semacam ini (yakni, al-muwahhidun), maka selama hidupnya dia akan menjadi baik dan selamat duniaakhirat. 29
b. Ibadah Materi pokok kedua yang harus disampaikan oleh para da‟i/da‟iyah kepada masyarakat adalah tentang ibadah. Yaitu menyembah, menghambakan diri, hanya kepada Allah swt semata. Sebagaimana firman Allah swt dalam QS. An-Nahl: 36
ا هُٚال أَ ِْ ا ْػجُذُٛ ُو ِّبً أُ هِ ٍخ َسعٌَِٟمَ ْذ ثَ َؼ ْثَٕب فَٚ َدٛا اٌطهب ُغُٛاجْ زَِٕجَٚ َهللا هَُٜ ُْ َِ ْٓ َ٘ذْٕٙ َِف ْ ُ ُْ َِ ْٓ َدمهْٕٙ ِِ َٚ ُهللا ِٟا فُٚش١ ِٗ اٌضهالٌَخُ فَ ِغ١ْ ٍَذ َػ ِ ْ ُ ِّب ُ ْ )ٖٙ( َٓ١ِفَ َوبَْ ػَبلِجَخ اٌ ُّ َىزث١ْ ا َوُٚع فَبٔظش ِ ْاألس “dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut [*] itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”. [*] Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t. Ibadah meliputi ibadah mahdlah (juga dikenal dengan ibadah khusus) dan ghairu mahdlah (yang dikenal dengan ibadah umum). Ibadah mahdhah yaitu ibadah tertentu yang sudah ditetapkan kaifiyatnya oleh syari‟at, seperti; shalat, puasa, zakat, haji, umrah, dan lain-lain. Sedang yang ghairu mahdlah adalah ibadah dalam bentuk perilaku apa saja yang disukai/diridlai oleh Allah swt, seperti; menolong orang lain, menghormati orangtua, dan lain-lain. 30
خشح٢ اٝثٗ فٛطٍجب ٌثٚ جٗ هللاٌٛ ذ اثزغبء٠ِب أ ّد Segala bentuk ketaatan yang dikerjakan untuk mencapai keridlaan Allah swt. dan mengharapkan pahalaNya di akhirat (Rahman Ritonga dkk., Fiqih Ibadah (Jakarta: Gama Media Persada, 2002), hlm. 3).
ّب١ٍ فؼال جٚال وبْ اٛشضبٖ ل٠ٚ ذجٗ هللا٠ ٌّٓ اعُ جبِغٛ٘ اٌؼجبدح ٗاثٛطٍجب ٌثٚ ٌٗ ّب١ب رؼظ١ خفٚوبْ ا Ibadah adalah isim jamik (semua hal) yang Allah menyukai dan meridlainya baik berupa perkataan atau perbuatan, yang terlahir maupun tersembunyi dalam rangka mengagungkan Allah dan mencari pahala dariNya. (Hasbi ash Shidiqiey, Kuliah Ibadah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 2-6). Jika ibadah seseorang telah benar sesuai tuntunan Allah swt dan Rasul-Nya, maka ia juga telah berada di atas kebenaran yang akan mengantarkannya kepada golongan orang-orang yang bertaqwa, yang dijanjikan surga. c. Ahlak dan muamalah Materi ini sebenarnya bisa dipisahkan, akan tetapi kami beralasan bahwa ahlak seseorang akan tampak jelas pada saat dia bermuamalah dengan orang lain dalam berbagai perkara, itulah mengapa kami mejadikannya dalam satu materi. Ahlak adalah perilaku seseorang baik perbuatan lisan maupun anggota badannya. Perbuatan lisan dan anggota badan ini merupakan cermin dari apa yang tersembunyi dalam batin, jika antara batin dan lahirnya berbeda, maka pada kondisi yang demikian seseorang telah membohongi diri, dan orang yang seperti ini 31
sebenarnya telah merusak dirinya dengan sebuah penyakit kemunafikan. Pada umumnya apa yang terlahir itulah sebenarnya apa yang ada di dalam diri seseorang. Maka jika hati/batinnya baik insyaAllah akan baik pula seluruh amal lahirnya, tetapi sebaliknya jika buruk maka akan buruk pula perangai seseorang. Materi ahlak ini penting dan menjadi materi dakwah dalam Islam karena Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan ahlak yang muliaâ€? Suatu ahlak akan dianggap sebagai ahlak yang baik apabila sesuai dengan Al-Qurâ€&#x;an dan Sunnah Rasulullah saw. Dan ahlak ini akan tampak jelas pada diri seseorang ketika ia berhubungan dengan orang lain (bermuamalah), seperti dalam perniagaan, sewamenyewa barang, perserikatan, pinjam-meminjam, membangun keluarga, berjihad dan lain-lain dari suatu perkara kepada perkara yang lainnya. Mereka yang berahlak baik, akan memperoleh balasan kebaikan dari orang lain dan dari Allah swt. 2. 3. Manhaj dan Strategi Da’wah Manhaj adalah sebuah metode, jalan yang ditempuh dalam usaha mencapai tujuan akhir. Sedangkan strategi lebih bersifat tehnis daripada manhaj. Dalam Islam, manhaj dakwah ini telah dicontohkan oleh para nabi dan pendahulu kita, sehingga tugas kita sekarang adalah mengambil pelajaran dari mereka dan mencontohnya. Jika kita simak dengan seksama sejarah perkembangan Islam, maka kita akan menemukan bahwa jalan yang mereka tempuh untuk memulai dakwah ini adalah pertama menitikberatkan pada penanaman ajaran tauhid, baru kemudian ibadah, dan yang terakhir adalah ahlak dan muamalah. Dalam kalimat lain, dakwah ini secara berurutan membutuhkan kesatuan aqidah, kesatuan 32
ibadah, dan baru kemudian kesatuan syari‟at. Allah swt berfirman dalam QS. Saba: 46:
ا َِبُٚ ثُ هُ رَزَفَ هىشَٜفُ َشادَٚ َٕٝا ِ هّلِلِ َِ ْثُِٛ ُٛا ِد َذ ٍح أَ ْْ رَمَٛ ِلًُْ إِٔه َّب أَ ِػظُ ُى ُْ ث )ٗٙ( ٍذ٠ة َش ِذ ٍ ْ َػ َزاَٞ َذ٠ َٓ١ْ َ ٌش ٌَ ُى ُْ ث٠ إِال َٔ ِزَُٛ ٘ ْْ ِبدجِ ُى ُْ ِِ ْٓ ِجٕه ٍخ إ َ ِث ِ ظ “Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri (*); kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.”. [*] Berdua-dua atau sendiri-sendiri, maksudnya ialah bahwa dalam menghadap kepada Allah, kemudian merenungkan Keadaan Muhammad s.a.w. itu sebaiknya dilakukan dalam keadaan suasana tenang dan ini tidak dapat dilakukan dalam keadaan beramai-ramai. 2. 4. Siapa yang Wajib Berda’wah dan yang di Da’wahi Apakah kewajiban berdakwah itu terletak bagi mereka yang dikenal sebagai para kyai, para ustadz, muballigh, ataupun guru ngaji?. Tidak demikian. Memang, jika dilihat dari keumuman umat, maka berdakwah merupakan kewajiban kifayah, yaitu apabila di antara umat sudah ada yang berdakwah maka gugurlah kewajiban yang lainnya, tetapi jika dilihat dari kepentingan dan kekhususan individu, maka berdakwah adalah kewajiban individu setiap muslim sesuai dengan kemampuannya masingmasing. Hal ini bisa dilihat dari hadits dan ayat berikut ini. 33
ٞاٖ اٌجخبسٚ س.خ٠ آٌٛٚ ٟٕا ػٛثًغ “sampaikan tentang diriku walaupun hanya satu ayat”. HR. Bukhari
َِٓ ْ َْ ػَْٕٛٙ َ٠َٚ فُٚ ِ َْ ثِ ْبٌ َّ ْؼشَُٚأْ ُِش٠َٚ ِْش١ ْاٌ َخٌََِْٝ إَٛ ْذ ُػ٠ ٌ ٌْزَ ُى ْٓ ِِ ْٕ ُى ُْ أُ هِخَٚ )ٔٓٗ( َُْٛه ُ٘ ُُ ْاٌ ُّ ْفٍِذ َ ٌَِئُٚأَٚ ْاٌ ُّ ْٕ َى ِش “dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar [*]; merekalah orangorang yang beruntung.”. (QS.Ali Imran: 104) [*] Ma'ruf: segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya. Yunahar Ilyas, dalam tulisannya –Revitalisasi Dakwah Intern Muhammadiyah- mengemukakan bahwa; “dakwah adalah kewajiban setiap muslim, baik individual maupun kolektif.”. (Dakwah Islam Kontemporer, Tantangan dan Harapan, hal. 7). Dengan demikian, masing-masing kita memilki kewajiban berdakwah menyampaikan kebenaran Islam sesuai kemampuan dan tingkatan kita masingmasing. Bagi mereka yang sudah tahu tata cara shalat dan tahu pula bahwa shalat itu wajib ain bagi setiap muslim, maka mereka wajib mendakwahi dirinya untuk melaksanakannya dan mengajak orang lain, paling tidak keluarga yang menjadi tanggungannya untuk shalat, demikian seterusnya sampai pada perkara-perkara yang besar menjadi kewajiban mereka yang memiliki kapasitas untuk itu. 34
Lantas kepada siapa kita berdakwah? kita berda‟wah kepada diri kita sendiri, kemudian kepada keluarga yang menjadi tanggungjawabnya dan yang berikutnya kepada umat/masyarakat luas. Namun demikian, urutan ini tidak berarti bahwa kita mesti menunggu sempurnanya diri kita dulu baru kemudian kepada orang lain, sebab tidak mungkin kita mendapati kesempurnaan diri kita sebagaimana kita juga tidak mungkin menunggu kesempurnaan orang lain, termasuk para da‟i. Jadi bersamaan dengan usaha memperbaiki diri semua kita wajib berdakwah 2. 5. Bagaimana Kita Berda’wah Al-qur‟an dan Sunnah Nabi telah memberikan penjelasan kepada kita tentang cara-cara kita berdakwah, sehingga para ulama fiqih mengambil dari keduanya berbagai kaidah dalam berdakwah, di antaranya adalah: a. Memberi keteladanan sebelum berdakwah b. Mengikat hati sebelum menjelaskan c. Mengenalkan sebelum meberi beban d. Bertahap dalam pembebanan e. Memudahkan bukan menyulitkan f. Mengutamakaan yang pokok sebelum yang cabang g. Membesarkan hati sebelum memberi ancaman h. Memahamkan bukan mendikte i. Mendidik bukan menelanjangi j. Muridnya guru, bukan muridnya buku Dalam buku “Model Dakwah Pencerahan Berbasis Komunitas”, pada Muktamar ke 47, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyampaikan; “Dakwah Islam dilaksanakan dengan cara-cara dakwah sebagaimana 35
perintah Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah. Allah swt memberikan pesan agar dalam berdakwah disampaikan dengan bil-hikmah wa al-mauidhat alhasanah wa jadil-hum billati hiya ahsan (QS An-Nahl: 125). Hikmah adalah hal yang utama dari segala sesuatu baik lisan maupun perbuatan, yang lahir dari perpaduan ilmu dan kearifan. al-mauidhat al-hasanah yakni uaraian yang menyentuh hati yang mengantar kepada kebaikan. wa jadil-hum billati hiya ahsan yakni berdialog dengan argumentasi paling baik (Shihab, 2009). Rasulullah berdakwah selama 23 tahun dengan cara-cara yang bertahap dalam pembinaan aqidah, ibadah, akhlaq, dan muâ€&#x;amalah sehingga tercapai kehidupan al-Madinah alMunawwarah, yakni suatu peradaban yang tercerahkan.â€?. (Model Dakwah Pencerahan Berbasis Komunitas, hal. 7) 2. 6. Dimanakah Medan Da’wah Hakekatnya medan dakwah ada di semua lini kehidupan manusia, dimana saja mereka berada. Namun demikian karena sifat keterbatasan manusia, maka perlu kiranya medan dakwah itu dikelompokkan ke dalam beberapa macam tergantung dari pandangan mana kita ingin mengelompokkannya. Jika kita ingin mengelompokkan berdasarkan jenis kebutuhan masyarakat atau komunitas guna efektifitas dakwah dengan strategi yang tepat, maka Muhammadiyah, dalam Muktamar ke 47, telah mengelompokkan ke dalam 6 kelompok. a. Dakwah bagi komunitas atas b. Dakwah bagi komunitas menengah c. Dakwah bagi komunitas bawah d. Dakwah bagi komunitas marjinal e. Dakwah bagi komunitas virtual, dan f. Dakwah bagi komunitas khusus. 36
Meskipun materi pokok serta urutan dakwahnya sama bagi mereka, namun pembagian itu akan mempermudah strategi apa yang akan ditempuh sehingga pesan-pesan dakwah tersampaikan. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka Amal Usaha Muhammadiyah merupakan bagian penting yang tidak bisa kita abaikan, inilah panggilan dakwah. Di dalamnya terdapat suatu komunitas yang cenderung homogen, jumlahnya hampir pasti, pola hidupnya mudah diidentifikasi, kebersamaannya juga kontinyu, forum komuikasinya lebih mudah dirancang. Dengan demikian, maka AUM seharusnya menjadi lahan dakwah yang utama. Bisa dibayangkan, seandainya 10 persen saja dari tiap amal usaha setiap tahunnya melahirkan kader dakwah yang militan, maka penyebaran nilai-nilai Islam akan segera terwujud, dan bangsa ini akan tercerahkan 2. 7. Apa Manfaat dan Keutamaan Berda’wah Manfaat serta keutaamaan dakwah dapat kita lihat dalam ayat-ayat dan hadits berikut:
هٌَِْٝ ال ِِ هّ ْٓ َدػَب إَٛ َِ ْٓ أَدْ َغُٓ لَٚ َِِٓ ِٟٕبي إِٔه َ َلَٚ طبٌِ ًذب َ ًَ ِّ َػَٚ ِهللا )ٖٖ( َٓ١ِّ ٍِْاٌ ُّ ْغ “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orangorang yang menyerah diri?". (QS. Fushilat: 33)
هًٌَِٝب إ١دَا ِػَٚ )ٗ٘( ًشا٠َٔ ِزَٚ ُِجَ ِّبش ًشاَٚ إِٔهب أَسْ َع ٍَْٕبنَ شَب ِ٘ذًاُّٟ َِب إٌهجُّٙ٠ََب أ٠ ِهللا )ٗٙ( شً ا١ُِِٕ ِع َشا ًجبَٚ ِٗ ِٔثِئ ِ ْر
37
“Hai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi, dan pembawa kabar gemgira dan pemberi peringatan. Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya dan untuk jadi cahaya yang menerangi.”. (QS. Al-Ahzab: 45-46)
ُي َ هُٛ لَب َي َسع: هللا ػٕٗ لَب َيٟ ٍد سضُٛ َِ ْغؼِٟػ َْٓ أَث ٗ١ٍ هللا ػٍٝهللاِ ط ٌُ ٍِ فٍََُٗ ِِ ْث ًُ أَجْ ِش فَب ِػٍِ ِٗ ) أَ ْخ َش َجُٗ ُِ ْغ, ٍْش١ َ خٍَٝعٍُ ( َِ ْٓ َد هي َػٚ “Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa menunjukkan (seseorang) kepada kebaikannya, ia memperoleh pahala seperti pahal orang yang melakukannya." (Hadits Riwayat Muslim) Rasulullah saw pernah bersabda kepada Ali Bin Abi Thalib ra.: “Demi Allah, sungguh Allah memberi petunjuk kepada seseorang karenamu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (HR. Muttafaqun Alaihi). Wallahu A’lam Bis Shawab. 2. 8. Daftar Pustaka 1. Abdurahman, Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Pustaka Pelajar, 2003. 2. Al-Asqolani, Ibnu Hajar, Bulughul Marom, Darussalam, Riyadl, 2004. 3. Al-Madkhali, Rabi‟ bin Hadi, Cara Para Nabi Berdakwah, terjemahan, Pustaka Sumayyah, 2007. 4. Abdul Aziz, Jum‟ah Amin, Fiqih Dakwah, Intermedia, 2003.
38
5. PP Muhammadiyah, Dakwah Islam Kontemporer Tantangan dan Harapan,Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus,2004. 6. PP Muhammadiyah, Model Dakwah Pencerahan Berbasis Komunitas, GramaSurya, 2015.
39
40
BAB III MEMBENTUK MASYARAKAT MUSLIM YANG SEBENAR-BENARNYA MELALUI MANHAJ DAKWAH PARA NABI Oleh: Makmun Pitoyo (Pernah dimuat di Majalah Tabligh Edisi Mei 2012)
Persoalan umat Islam tampaknya memang tidak pernah selesai. Jangankan persoalan dengan orang-orang di luar Islam, persoalan internal saja masih sangat banyak yang harus diselesaikan. Kita menyadari bahwa di satu sisi mengurai persoalan ini dapat menjadi lahan kita untuk senantiasa bergerak meraih jannah, tetapi di sisi yang lain persoalan ini membuat kita bertanya-tanya ada apa sebenarnya dengan kita, umat Islam. Adakah sesuatu yang salah yang dilakukan umat Islam? Jika ya, pada aspek apa sehingga persoalan ini tampak semakin ruwet untuk diurai? Persoalan baru yang kita hadapi, walaupun sebenarnya persoalan ini sudah ada sejak lama, adalah munculnya istilah “Salafi Wahabi” yang dipicu oleh terbitnya buku-buku karya Syekh Idahram yang menambah persoalan di kalangan internal umat Islam. Tulisan ini tidak bermaksud untuk membahas masalah yang berkaitan dengan istilah itu karena sudah jelas salahnya, tetapi hendak mencoba membahas salah satu aspek perjalanan dakwah Islam, yaitu manhaj dakwah. Penulis berusaha untuk menyampaikan manhaj dakwah Nabi Ibrahim „Alaihis Salam dan Nabi Muhammad Shallallhu „Alaihi Wa Sallam untuk kita jadikan rujukan dalam berdakwah dengan harapan agar dapat mengurai berbagai persoalan yang kita hadapi. Mengapa tema ini yang kita 41
ambil? Karena kita menyaksikan banyak manhaj dakwah yang saat ini berjalan tidak sejalan dengan metode yang dicontohkan oleh para nabi kita, padahal Allah Tabaraka wa Ta‟ala telah memberitahukan bahwa; “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Qur‟an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” (Q.S.Yusuf : 111). Nabi Ibrahim „Alaihis Salam adalah bapaknya para nabi dan pemimpin orang-orang bertauhid yang lurus. AllahTabaraka Wa Ta‟ala memerintahkan pemuka para rasul dan penutup para nabi yakni Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi Wa Sallam serta umatnya untuk mengikuti ajaran beliau, meneladani dakwahnya serta mengambil petunjuk dan manhajnya. Ini diperintahkan dalam Al Qur‟an; “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): „Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif‟ dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Q.S. An Nahl : 123) “Katakanlah: „Benarlah (apa yang difirmankan) Allah‟. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Ali Imran : 95). Kedua ayat di atas, Wallahu a‟lam, jelas memerintahkan kita untuk mengikuti millah (agama) Nabi Ibrahim, termasuk manhaj beliau dalam berdakwah. Dakwah beliau adalah dakwah yang membara, kuat dan terpancar kepada Tauhidullah (mengesakan Allah Swt) dan 42
mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya serta membuang dan menolak segala macam bentukkemusyrikan. Dakwah beliau adalah dakwah yang dimulai dari diri sendiri, keluarga dan baru kemudian menyebar kepada umat. Dakwah yang berjalan di atas jalan yang lurus, kokoh menghunjam ke dalam, rimbun dan tinggi menjulang ke atas. Sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. Al An‟am : 74-79; “Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, „Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.‟ “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (Kami memperlihatkannya) agar dia termasuk orang yang yakin.” “Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: „Inilah Tuhanku,‟ tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: „Saya tidak suka kepada yang tenggelam.‟ “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: „Inilah Tuhanku.‟ Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: „Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.‟ “Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: „Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar‟. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: „Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.‟ “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” Dakwah Nabi Ibrahim as adalah dakwah untuk memahamkan umat tentang Rububiyah Allah Swt dan Uluhiyah-Nya agar 43
mereka berjalan di atas kebenaran dengan menyembah hanya kepada-Nya semata. Dakwah yang memberikan peringatan keras kepada setiap orang yang sombong dan congkak lagi berbuat lalim/aniaya baik dari kalangan rakyat maupun penguasa.“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: „Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,‟ orang itu berkata: „Saya dapat menghidupkan dan mematikan.‟ Ibrahim berkata: „Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, Maka terbitkanlah dia dari barat,‟ lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Q.S. Al Baqarah : 258) Dakwah Nabi Ibrahim as adalah dakwah yang memberantas tuntas segala macam kebudayaan dan faham-faham yang bertentangan dengan tauhid, meskipun kebudayaan itu telah berurat berakar di tengah-tengah masyarakat dari sejak nenek moyang mereka. Allah Swt menjelaskan dalam Q.S. Al Anbiya‟ : 51-56 “Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan adalah Kami mengetahui (keadaan)nya. (Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: „Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?‟ Mereka menjawab: „Kami mendapati bapak-bapak Kami menyembahnya.‟ Ibrahim berkata: „Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu berada dalam kesesatan yang nyata.‟ Mereka menjawab: „Apakah kamu datang kepada Kami dengan sungguh-sungguh ataukah kamu termasuk orang-orang yang bermain-main?‟ Ibrahim berkata: „Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah menciptakannya. Dan 44
aku termasuk orang-orang yang dapat memberikan bukti atas yang demikian itu.” Melihat manhaj dakwah Nabi Ibrahim as yang demikian itu, maka kita dapat mengambil pelajaran bahwa manhaj dakwah yang benar adalah dakwah tidak dimulai dari hukum dan kekuasaan, dakwah juga tidak dimulai dari seni dan kebudayaan, dakwah tidak dimulai dari memperbanyak amalan ibadah dan akhlak, akan tetapi dakwah dimulai dari penanaman aqidah tauhid yang kuat hingga merasuk ke dalam kalbu masing-masing individu, tertanam kuat dalam jiwa mereka sehingga tidak tergerus oleh berbagai iming-iming duniawi, godaan dan rayuan syetan berupa jin dan manusia. Dakwah semacam ini telah terbukti sukses dan mendapatkan ridlo Allah Swt. Dalam periode sejarah berikutnya, yaitu terbentuknya masyarakat muslim yang sebenar-benarnya di kota Yatsrib yang kemudian dikenal dengan nama Madinah An-Nabawiyah. Nabi Muhammad Saw dan para sahabatnya, juga tidak memulai dakwahnya dari hukum dan kekuasaan tetapi dengan menanamkan aqidah tauhid. Suatu saat, sebelum hijrah ke Madinah, beliau ditawari oleh seorang Quraisy bernama Utbah bin Rabi‟ah berbagai kemudahan termasuk jabatan dan kekuasaan bahkan juga ditawari wanita mana saja yang beliau kehendaki, tetapi beliau tidak menerimanya bahkan tetap kokoh berjalan di atas ajaran Tauhid. Di kota Madinah An-Nabawiyah itu beliau membai‟at (mengadakan janji setia) para sahabatnya di atas tauhid, sebagaimana diberitakan Al Qur‟an surat Al Mumtahanah ayat 12, “Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuanperempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anakanaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan 45
antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Prof. Dr. Rabi‟ bin Hadi Al-Madkhali dalam bukunya “Minhajul Anbiya‟ Fi Dakwati Ilallah Fiihil Hikmah Wal Aql,”menyatakan bahwa meskipun ayat ini menjelaskan tentang bai‟at para wanita, namun Rasulullah Saw juga membai‟at kaum lelaki di atas kandungan ayat ini. Sebagaimana diriwayatkan dari „Ubadah bin As-Shamit r.a. dia berkata, “Dahulu Rasulullah Saw berada dalam suatu majelis, lalu beliau bersabda: „Berbai‟atlah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak mencuri, tidak berzina, dan tidak membunuh anak-anak kalian, dan berbai‟atlah kepadaku atas ayat yang wanita diambil perjanjian dengannya.‟ (Q.S. Al Mumtahanah : 12). Barangsiapa yang menepati janji di antara kalian, Allah akan memberikan pahala kepadanya. Dan barangsiapa melakukan salah satu hal itu lalu dihukum (di dunia), maka itu merupakan kaffarat baginya. Dan barangsiapa melakukan salah satu hal itu lalu Allah menutupinya, maka urusannya kembali kepada Allah, jika berkehendak Allah akan mengampuninya dan jika berkehendak Allah akan mengadzabnya.” Dakwah yang beliau (Nabi Muhammad Saw) lakukan adalah dakwah yang menjadikan seseorang benar-benar bertauhid kepada Allah Swt sehingga tidak ada sesuatupun yang berhak disembah kecuali hanya Allah Swt. Orang yang mendapat dakwahnya akan menjadi orang yang berkeyakinan kuat bahwa Allah Swt adalah Dzat yang menciptakan alam seisinya termasuk manusia. Dialah Dzat yang memberi rizki, yang mengatur dan memelihara kehidupan sehingga seluruh 46
hak-hak hamba-Nya terpenuhi tanpa ada sesuatupun yang terluput dari-Nya. Mereka berkeyakinan kuat bahwa hidup ini cukup dengan pemberian Allah swt yang halal dan baik tanpa harus bersusah payah mencari yang haram apalagi mengupayakan dengan cara-cara yang dzalim karena mereka berkeyakinan bahwa negeri akhirat lebih utama dan kekal, mereka juga berkeyakinan kuat bahwa hanya Allah Swt sajalah tempat mereka berlindung dan menggantungkan segala urusannya tanpa harus merengek-rengek mencari perlindungan dan ketergantungan kepada makhluk Allah Swt yang menentang dan memusuhi syariat-Nya. Mereka berkeyakinan bahwa syariâ€&#x;at Allah Swt dan Rasul-Nya telah cukup sempurna dan paripurna untuk mengatur kehidupan tanpa harus mengada-adakan syariat baru. Memahami realitas sejarah yang dilakukan kedua Nabiyullah Ibrahim as dan Muhammad Saw, maka patut kita menyampaikan nasehat Syekh Rabiâ€&#x; sebagai berikut, “Bila orang-orang yang berakal melihat seekor macan yang siap menerkam dan sekelompok tikus yang menyerang mereka, mereka tentu akan serentak menangkis serangan macan. Mereka akan melupakan tikus-tikus itu walaupun bersamanya ada kelompok lain, misalnya katak. Bila perjalanan musafir terhenti di suatu jalan bercabang dan tidak ada pilihan lain bagi mereka; pertama, jalan yang di sana terdapat gunung berapi yang memuntahkan panas dan apinya, serta meluluhlantakkan pepohonan dan bebatuan, dan yang kedua, jalan yang disana terdapat duri, padang pasir yang panas membakar dan panas matahari yang menyengat. Niscaya akal mereka tidak akan memilih kecuali jalan yang kedua. Sekarang kita mengambil contoh yang lebih rusak –yang saya maksud adalah kerusakan-kerusakan politik, sosial dan 47
ekonomi– dan yang paling parah di antaranya adalah kerusakan hukum, untuk kita bandingkan dengan kerusakan aqidah. Apakah keduanya sama dalam timbangan Allah Swt dan timbangan para nabi? Ataukah salah satunya lebih berbahaya, lebih celaka dan lebih pahit akibatnya? Dalam timbangan Allah dan timbangan para NabiNya, yang lebih berbahaya dan lebih pantas untuk berkonsentrasi terhadapnya sepanjang masa dan zaman serta dalam setiap risalah adalah syirik berikut fenomenanya. Dimana tidak ada kerusakan yang sebanding dengannya, sebesar apapun kerusakan itu. Berdasarkan hal ini, kita kembali dan mengatakan: Sesungguhnya permulaan dakwah seluruh nabi (adalah) dengan memperbaiki sisi aqidah dan memerangi syirik serta fenomenanya, merupakan konsekuensi hikmah dan akal.â€? Demikianlah nasehat syeikh Rabiâ€&#x;, oleh karena itu marilah kita kembali mengkaji secara sungguh-sungguh bagaimana Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad saw melakukan dakwahnya sehingga kita faham betul dan mencontohnya untuk diri kita pribadi, keluarga kita dan masyarakat pada umumnya. Kita hindarkan diri kita, keluarga dan masyarakat kita dari segala macam bentuk kemusyrikan dan semua fenomena yang melingkupinya agar Allah Swt segera menolong kita dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa dan umat ini. Semoga Allah Swt senantiasa meridhai terhadap apa yang kita lakukan. Drs. Makmun Pitoyo, M.Pd. Kepala MA (Pondok Pesantren) Al-Muâ€&#x;min Muhammadiyah Tembarak Temanggung . 48
BAB IV SEKILAS TENTANG METODOLOGI PENGAMBILAN HUKUM ISLAM Oleh: Makmun Pitoyo (Wakil Ketua PDM Temanggung dan Pengasuh Pondok Pesantren Al-Mu‟min Muhammadiyah Tembarak Temanggung) Islam adalah satu-satuya agama yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wa Ta‟ala. Ia merupakan agama yang mengajarkan kebenaran, yang syumul (paripurna) mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dunia dan akhirat. Islam memberi petunjuk kepada manusia bagaimana cara mengarungi hidup di dunia ini agar selamat dan bahagia. Petunjuk itu ada di dalam Kitabullah Al-Qur‟anul Karim dan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya, tetapi ayat-ayat di dalam Al-Qur‟an itu ada yang sudah jelas pengertiannya dan tinggal mengamalkan, ada pula yang memerlukan penjelasan lebih lanjut dari Sunnah Nabi atau para shahabatnya melalui para ahlinya yang dikenal dengan sebutan „Ulama agar manusia, ketika mengambil hukum daripadanya, tidak mengalami kesalahan. Pada saat para ulama menjelaskan (memahamkan) beberapa ayat Al-Qur‟an dan Sunnah/Hadits Nabi itulah terkadang menemukan perbedaan (dari maksud syari‟ah) sesuai dengan faktor-faktor penyebabnya. Agar perbedaan itu tidak terlalu menganga atau bahkan jauh menyimpang dari kebenaran, maka para ulama sekitar abad 2 dan 3 Hjriyah memunculkan gagasan untuk membuat standar cara (metode/manhaj) mengambil hukum dari Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang kemudian dikenal dengan istilah ushul fiqih, sehingga hasil 49
keputusan hukum yang diambil menjadi benar sesuai maksud syari‟ah atau paling tidak mendekati kebenaran. Prof. Abdul Wahhab Khallaf (seorang penulis kitab Ushul Fiqih) mendefinisikan ushul fiqih sebagai himpunan kaidah dan bahasan yang menjadi sarana untuk mengambil dalil hukum-hukum syara‟ mengenai perbuatan manusia dari dalildalilnya yang terinci. Dalil-dalil yang terinci yang dijadikan dasar hukum syar‟iyah mengenai perbuatan manusia secara berurutan adalah; AlQur’an, kemudian As-Sunnah (serta Ijma’ dan Qiyas dimana ijma‟ dan qiyas merupakan bagian dari ijtihad para ulama mujtahidun yang dalam konteks Muhammadiyah Ijma‟ dan Qiyas bukanlah sumber hukum itu sendiri tetapi hasil dari ijtihad para ulama mujtahidun dalam mengambil sebuah hukum dari sumber Al-Qur‟an dan As-Sunnah). As-Sunnah yang dijadikan dasar hukum syar‟iyah adalah AsSunnah As-Shahihah atau dalam istilah Tarjih Muhammadiyah As-Sunnah Al-Maqbulah, yaitu As-Sunnah yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai hujjah yang meliputi hadits mutawatir (termasuk hadits masyhur), hadits ahad yang shahih ataupun hasan. Sedangkan Ijma‟ pada hakekatnya adalah hukum yang keluar (dihasilkan) dari musyawarah jam‟aah, bukan dari pendapat masing-masing orang, demikian dikatakan oleh Prof. Abdul Wahhab Khallaf, adapunqiyaspada hakekatnya adalah pengambilan hukum berdasarkan “persamaan” suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang sudah ada nash hukumnya karena illat (alasan) hukum yang sama, yangdalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah qiyasdiistilahkan dengan Ijtihad melalui persamaan illah, seperti tertulis dalam Himpunan 50
Putusan Tarjih bahwaBilamana perlu dalam menghadapi soalsoal yang telah terjadi dan dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdah padahal untuk alasannya tidak terdapat nash yang sharih di dalam al-Qur‟an atau Sunnah shahihah, maka jalan untuk mengetahui hukumnya adalah melalui ijtihad dan istinbat dari nash-nash yang ada berdasarkan persamaan „illat sebagai mana telah dilakukan oleh ulama salaf dan khalaf). Namun demikian, disamping empat dasar di atas, masih ada enam macam dasar hukum dalam Islam yang lain yang masih diperbincangkan di kalangan para mujtahid (ada yang menggunakannya ada yang tidak), yaitu; istihsan, mashalih mursalah, istishhab, „urf, mazhab shahabi, dan syari‟ah man qoblana. Hadits dhaif tidak dapat dijadikan hujjah syar‟iyah. Namun, ada suatu perkecualian di mana hadits dhaif bisa juga menjadi hujjah (sebagaimana diterangkan Prof.Dr. Syamsul Anwar, MA dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah), apabila hadits dhaif tersebut: 1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan, 2) ada indikasi berasal dari Nabi Shallallahu „Alaihi Wa Salllam,3) tidak bertentangan dengan Al-Qur‟an,4) tidak bertentangan dengan hadits lain yang sudah dinyatakan shahih,dan 5) kedhaifannya bukan karena rawi hadits bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu hadits. Dalam Putusan Tarjih (HPT, hal. 301) ditegaskan;
51
ُ ٠األَدب َ ِد َبِٙب َ إِاله َِ َغ َو ْث َش ِح طُ ُشلُِٙذْ زَجُّ ث٠ َضب ال ْث اٌ ه ً بَ ثَ ْؼُْٙض ُذ ثَ ْؼض َ َؼ٠ ُفَخ١ْ ض ِؼ َ ٠ ْاٌ َذ ِذَٚ َْع ْاٌمُشْ آ ْث اٌ ه . َْخ١ظ ِذ ِ ُْٛ ثُجٍََٕٝخٌ رَذُيُّ َػ٠ْ ب َ لَ ِشْٙ١ِفَٚ ِ ٌَ ُْ رُؼبَ ِسَٚ َ بٍِٙ ْد أَط “Hadits-hadits dhaif yang satu sama lain saling menguatkan tidak dapat dijadikan hujjah kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah yang menunjukkan keotentikan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadits shahih.”. Jadi sangat jelas bagi kita, jika terjadi suatu peristiwa (yang menyangkut hukum Islam), maka pertama kali harus dilihat di dalam Al-Qur‟an, jika ditemukan hukumnya maka tinggal melaksanakan. Namun jika hukumnya tidak ditemukan di dalam Al-Qur‟an, maka dilihat di dalam As-Sunnah. Jika di dalam As-Sunnah ditemukan hukumnya maka hukumnya dilaksanakan. Jika di dalam As-Sunnah tidak ditemukan hukumnya, maka dilihat apakah dalam suatu masa tertentu para mujtahid pernah bersepakat (ber-ijma‟) mengenai hukumnya atau tidak, jika pernah ber-ijma‟, maka hukumnya dilaksanakan, sedang jika tidak ditemukan, maka seseorang harus berijtihad untuk menghasilkan hukumnya dengan cara meng-qiyas-kannya dengan hukum yang telah ada nashnya. (Penjelasan ini bisa dilihat dalam buku-buku ushul fiqih). Contoh hukum yang sudah ada dalam Al-Qur‟an adalah haramnya daging babi berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 3 yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS. AlMa`idah: 3). 52
Contoh hukum yang tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an tetapi ditemukan dalam As-Sunnah adalah haramnya anjing berdasarkan As-Sunnah sebagai berikut: Sahabat Abu Tsa‟labah Al-Khusyany -radhiallahu „anhu- berkata:
اا صيي سصل نَأ َأي َأنْن ُك ِّلو ِذ ْن ا ِذمنَأ ال ِّل ً نَأا ٍب لبَأ ِذ
صي
أَأ َّن رسوو
“Sesungguhnya Rasulullah -Shallallahu „alaihi wasallammelarang dari (mengkonsumsi) semua hewan buas yang bertaring”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim) Haramnya binatang buas itu juga terdapat dalam riwayat Muslim darinya dengan lafazh, “Semua hewan buas yang bertaring maka memakannya adalah haram”.Maksud yang diinginkan hadits ini adalah semua hewan buas yang bertaring dan menggunakan taringnya untuk menghadapi dan memangsa manusia dan hewan lainnya. Bisa dilihat dalam Al-Ifshoh (1/457) dan I‟lamul Muwaqqi‟in (2/117).Jumhur ulama berpendapat haramnya berlandaskan hadits di atas dan haditshadits lain yang semakna dengannya.[Asy-Syarhul Kabir (11/66), Mughniyul Muhtaj (4/300), dan Syarh Tanwiril Abshor ma'a Hasyiyati Ibnu 'Abidin (5/193)]. Maka berdasarkan sunnah ini anjing termasuk haram meskipun tidak disebut dalam Al-Qur‟an. Contoh yang tidak ditemukan dalam Al-Qur‟an maupun AsSunnah tetapi ditemukan dalam ijma‟ para mujtahid (setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi Wa Sallam) adalah Ijma‟ perbuatan para salaf dalam berbisnis model mudharabah, sehingga dapatlah dikatakan bahwa mudharabah tersebut boleh menurut ijma‟. Contoh lain hukum dari ijma‟ adalahijma‟ tentang standarisasi penulisan Al-Qur‟an di zaman 53
khalifah Utsman sehingga memunculkan Al-Qur‟an seperti yang kita kenal sekarang ini. Contoh hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an, Assunnah maupun dalam ijma‟ tetapi bisa kita temukan melalui qiyas adalah halalnya membayar zakat fitrah dengan beras/jagung yang diqiyaskan dengan gandum/kurma, dan haramnya minuman keras/narkoba yang diqiyaskan dengan khamr. Kemudian yang juga perlu saya sampaikan dalam tulisan singkat ini adalah bagaimana jika kita dapati seakan-akan ada pertentangan/kontradiksi antara ayat yang satu dengan ayat lainnya, atau antara ayat dengan hadits, atau antara hadits yang satu dengan hadits lainnya (yang dalam istilah ushul fiqh disebut dengan ta‟arudh)?. Prof. Abdul Wahhab Khallaf, dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqih, hal. 361 lebih lanjut mengatakan bahwa pertentangan akan mungkin terjadi antara dua ayat, antara dua hadits mutawatir, antara ayat dan hadits mutawatir, antara dua hadits yang tidak mutawatir, atau antara dua qiyas. Jika ta‟arudh itu terjadi, maka; Pertama, harus kita yakini bahwa sesungguhnya tidak mungkin terjadi ta‟arudh itu secara hakiki, yang ada hanyalah seakan-akan terjadi pertentangan secara lahiriah. Kedua, dalam mengoperasionalisasikan sumber dan metode pemahamannya dilakukan berdasarkan istiqra‟ ma„nawi. Artinya ijtihad tidak dilakukan berdasarkan satu atau dua hadits, melainkan untuk menemukan hukum satu masalah harus dilakukan penelitian terhadap berbagai sumber syari‟ah yang ada. Dengan kata lain, ijtihad tidak dilakukan dengan berdasarkan kepada satu atau dua hadits saja, melainkan seluruh nash dan metode ijtihad terkait dihadirkan secara serentak(demikian menurut Prof. Dr. Syamsul Anwar, 54
MA). Karena itu jalan yang harus ditempuh adalah diselesaikan dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Al-jam„u wa at-taufiq (mengumpulkan dan mempertemukan), yakni sikap menerima semua dalil walaupun zahirnya ta„arudh (kontradiksi). Sedangkan pada dataran pelaksanaan diberi kebebasan untuk memilihnya (takhyir). 2. At-tarjih, yakni memilih dalil yang lebih kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil yang lemah. 3. An-naskh, yakni mengamalkan dalil yang munculnya lebih akhir.Dengan cara antara lain mengetahui Asbabun Nuzul Ayat atau Asababul Wurud Hadits. 4. At-tawaqquf, yakni menghentikan penelitian terhadap dalil yang dipakai dengan cara mencari dalil baru. (Prof.Dr. Syamsul Anwar, MA, Manhaj Tarjih dan Metode Penetapan Hukum dalam Tarjih Muhammadiyah. Makalah disampaikan beliau pada Acara Pelatihan Kader Tarjih Tingkat Nasional Tanggal 26 Safar 1433 H / 20 Januari 2012 di Universitas Muhammadiyah Magelang). Al-Jam’uWat Taufiq berarti penggabungan atau mempertemukan dan menyesuaikan. Termasuk dalam metode ini adalah penyesuaian antara ayat yang „Amm (umum) dengan yang khash (khusus)yakni yang khash mengkhususkan yang „am, serta yang mutlak dengan yang muqayyad, yakni dalil yang muqoyyad membatasi yang mutlak.Contoh penggabungan adalah firman Allah “hudan lil muttaqina”dalam QS. Al-Baqarah: 2 dengan “hudan linnasi” dalam QS. Al-Baqarah: 185. Hudan pada ayat yang pertama dimaknai sebagai “hidayah taufiq” (untuk menyambut kebenaran), sedangkan hudan pada ayat kedua adalah “hidayah penjelasan dan keterangan” (demikian menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Muhammad 55
bin Jamil Zainu dalam Bagaimana Memahami Al-Qur‟an, hal. 78). Contoh lain adalah penggabungan antara hadits tentang kewajiban membaca al-Fatihah dalam setiap raka‟at shalat dengan hadits tentang kewajiban mengikuti imam (mendengarkan bacaan imam saat shalat dengan bacaan jahr). Ibnu Hajar Al-Asqolani memberikan dua cara kompromi/penggabungan. Pertama, perintah mendengarkan bacaan imam selain ketika makmum membaca al-Fatihah. Hal ini juga didukung adanya kebolehan makmum membaca alFatihah ketika imam sedang membaca suatu bacaan sebagaimana hadits “dari Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah Shallallahu „Alaihi Wasallam shalat shubuh maka merasa terganggu oleh pembacaan makmum. Setelah selesai, beliau bersabda: “Aku melihat kamu sama membaca di belakang imammu, “Ya Rasulallah, demi Allah benar begitu!”. Maka sabda Nabi, “janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali bacaan Ummul Qur‟an/Al-Fatihah” (HR.Ahmad, Daruquthni, dan Baihaqi- shahih atau hasan). Kedua, makmum mendengarkan imam ketika bacaannya keras, dan membaca al-Fatihah ketika imam diam. Untuk itu imam perlu berdiam sejenak dari bacaan kerasnya untuk memberi kesempatan kepada makmum agar dapat membaca al-Fatihah, sehingga makmum tidak membaca sesuatu ketika imam sedang mengeraskan bacaannya. (Fathul Bari, II: 242 dalam Cara Shalat, Dr. Agung Danarta, M.Ag. hal.50).Berkaitan dengan wajibnya bacaan Al-Fatihah dalam setiap raka‟at ini dan adanya hadits riwayat Bukhari Muslim serta yang diriwayatkan Imam Ad-Daruquthny yang menyatakan bahwa barangsiapa yang mendapatkan ruku‟nya imam maka dia telah mendapatkan shalat, juga bisa menjadi contoh metode aljam‟u wat taufiq ini, yaitu wajibnya membaca Al-Fatihah jika makmum mendapati imam dalam keadaan berdiri dan masih sempat membacanya, sedangkan jika mendapati imam sedang 56
rukuâ€&#x; dan tentu tidak sempat membaca Al-Fatihah maka ia tetap mendapat satu rakaâ€&#x;at karena posisi hadits itu menjadi takhshih (pengkhususan) atas kasus seorang makmum seperti itu (lihat buku Tanya Jawab Agama 1, hal. 73-77 oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah). Contoh lain metode ini adalah penggabungan antara ayat 234 dalam surat Al-Baqarah dengan ayat 4 surat At-Thallaq tentang masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, maka hukum yang diambil adalah bahwa masa iddahnya diberlakukan yang lebih jauh, yaitu jika melahirkan sebelum masa empat bulan sepuluh hari maka masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari, tetapi jika melampaui empat bulan sepuluh hari belum melahirkan maka yang diberlakukan adalah sampai melahirkan anaknya. Tetapi jika iddahnya karena cerai, maka masa iddahnya adalah sampai melahirkan. Adapun contoh dalil yang „am (umum) adalah tersebut dalam QS. Ali Imran 86-87 tentang semua orang kafir tidak mendapat petunjuk dan akan mendapat siksa, dikhususkan oleh ayat yang khash (khusus) berikutnya ayat 89 yang menyatakan bahwa orang kafir jika mereka bertaubat, beriman, dan beramal shalih maka Allah akan mengampuni. Atau hukum potong tangan bagi semua pencuri (QS. AlMaidah: 38) yang kemudian dikhususkan bagi yang melebihi seperempat dinar (Hadits). Kemudian contoh dalil yang mutlak dibatasi oleh yang muqoyyad/pembatas adalah tentang larangan menerima upah dari pekerjaan bekam secara mutlak tetapi kemudian sesekali menerima dibolehkan atau dimakruhkan (Hadits tentang berbekam dari Anas dan dari Abu Hurairah tersebut dalam buku Manhaj Tarjih Muhammadiyah oleh Prof.Drs.H.Asjmuni Abdurrahman, hal. 208). 57
At-Tarjih, ini merupakan salah satu istilah dalam ushul fiqih (jadi tidak hanya di Muhammadiyah, dan tolong bedakan dengan fungsi Majelis Tarjih dan Tajdid dalam Muhammadiyah) yang berarti mencari dalil yang lebih kuat (dalam istilah Manhaj Tarjih Muhammadiyah maksud “yang lebih kuat” adalah As-Sunnah Al-Maqbulah, yaitu mencari hadits yang dapat diterima sebagai hujjah; hadits mutawatir termasuk yang masyhur atau hadits ahad yang shahih atau hasan atau dha‟if dengan syarat-syarat) untuk dijadikan sandaran hukum suatu peristiwa atau amalan. Contoh penggunaan metode At-Tarjih adalah penelitian terhadap hadits-hadits yang berkaitan dengan qunut shubuh secara mudawamah (terus-menerus). Sebagian ulama‟ memandang bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan pelaksanaan qunut shubuh secara mudawamah tidak lebih kuat dari yang meniadakan karena adanya kelemahan dalam sanad, khususnya berkaitan dengan nama seorang perawi hadits Abu Ja‟far Ar-Razi yang masih diperbincangkan tentang kapasitas hafalannya walaupun beliau seorang yang jujur. Karena itu hadits-hadits yang dipandang lebih kuat derajatnya diambil sebagai sandaran hukum untuk tidak melaksanakan qunut shubuh secara terus-menerus. (Dalam hal ini, kita tidak boleh memungkiri adanya sebagaian ulama‟ yang memandang perawi tersebut kuat sehingga memasukkan qunut shubuh sebagai suatu amalan sunnah yang berhukum sunat). An-Naskh, yaitu mencari ayat yang lebih akhir datangnya sehingga yang datang lebih awal dimansukh (dihapus) oleh ayat yang kemudian (harus dipahami juga bahwa ada nashnash yang tidak bisa dimansukh). Contoh penggunaan metode ini adalah ayat yang berkaitan dengan larangan minum khamr yang awalnya hanya menyebutkan madharatnya lebih besar 58
daripada manfaatnya, kemudian larangan shalat dalam keadaan mabuk karena khamr, dan akhirnya larangan secara jelas/sharih minum minuman khamr. (Prof. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, hal. 347). Wallahu Aâ€&#x;lam Bis Shawab, semoga bermanfaat. (Ditulis oleh : Makmun Pitoyo wakil ketua PDM Temanggung periode Muktamar 47 dan Pengasuh Pondok Pesantren AlMuâ€&#x;min Muhammadiyah Tembarak).
59
60
BAB V NASEHAT UNTUK PARA SANTRI AHAD, 10 APRIL 2016 Oleh : Drs. Makmun Pitoyo, M.Pd.
Bismillahirrohmanirrohim. Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada Rasulullah Muhammad Shallahu „Alaihi Wa Sallam, amma ba‟du. Wahai para santri, berikut saya sampaikan nasehat dari tulisan saya sendiri dan duplikat tulisan orang lain yang sedikit dirubah redaksinya agar sesuai dengan keadaan untuk menjadi pelajaran bagi kalian. Ketahuilah wahai para santri, bahwa setan selalu berusaha mempengaruhi manusia agar mereka jauh dari ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta‟ala. Cara mereka menyesatkan manusia ada dua cara, yaitu dengan tadhlil (menyesatkan) dan takhwif (menatkut-nakuti). Tadhlil meliputi cara-cara sebagaimana berikut ini: Pertama, waswas atau bisikan: seperti dalam surat an-nas 1-6
اط ِ ٍَِِ )ٔ( بط ِ َْٛ عَٛ ٌبط (ٖ) ِِ ْٓ َششِّب ْا ِ بط (ٕ) إٌَِ ِٗ إٌه ِ ه إٌه ِ ُر ثِ َشةِّب إٌهُٛلًُْ أَػ ٘( بط ُ ِٟطُ فِْٛ عَٛ ُ٠ ٞبط (ٗ) اٌه ِز ِ س إٌهُٚ ِ ْاٌ َخٕه ِ طذ )6( إٌبطٚ ِٕٗٓ اٌج 1. Katakanlah: "Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. 2. raja manusia. 3. sembahan manusia. 4. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, 5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, 61
6. dari (golongan) jin dan manusia. Kedua, nisyan atau lupa: seperti dalam surat al-an‟am 68
ِٟا فُٛضَٛ ُخ٠ ُٝ ُْ َدزهْٕٙ َبرَِٕب فَأ َ ْػ ِشعْ َػ٠ آَِْٟ فُٛضَٛ ُخ٠ َٓ٠ْذَ اٌه ِز٠َإِ َرا َسأَٚ َٓ١ِّ ٌِْ َِ اٌظهبَٛ َِ َغ ْاٌمٜطَبُْ فَال رَ ْم ُؼ ْذ ثَ ْؼ َذ اٌ ِّبز ْو َش١ْ ه اٌ هش َ َٕه١ُ ْٕ ِغ٠ إِ هِبَٚ ِٖ ِْش١ث َغ ٍ ٠َد ِذ )ٙ٨( “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” Ketiga, tamanni atau angan-angan: seperti dalam surat Annisa 119
ك َ ٍْ َِّبش هُْ خ١ُ َغ١ٍََُ ُْ فٙ ُِ َشٔه٢َٚ َُجَزِّب ُى هٓ آ َراَْ األ ْٔ َؼ ِب١ٍََُ ُْ فٙ ُِ َشٔه٢َٚ ُْ َُٕٙه١أل َِِّٕبَٚ ُْ ُٙضٍهٕه ِ ألَٚ ه ه ً ه َ ه ُ ً ً َ َ ْ ْ ْ )ٔٔ٩( ٕب١َِغ َش خ ْغ َشأب ُِج ِ ِْ هللاِ فمذ خُّٚب ِِٓ د١ٌَِٚ َْطب١ْ َز ِخ ِز اٌش٠ َِٓ َٚ ِهللا “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya[*], dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka meubahnya[**]". Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.” [*] Menurut kepercayaan Arab jahiliyah, binatang-binatang yang akan dipersembahkan kepada patung-patung berhala, haruslah dipotong telinganya lebih dahulu, dan binatang yang 62
seperti ini tidak boleh dikendarai dan tidak dipergunakan lagi, serta harus dilepaskan saja. [**] Merubah ciptaan Allah dapat berarti, mengubah yang diciptakan Allah seperti mengebiri binatang. ada yang mengartikannya dengan meubah agama Allah. Keempat, tazyin atau memandang baik perbuatan: seperti surat al-hijr 39-40
ٖ) إِال٩(
َٓ١ُ ُْ أَجْ َّ ِؼَٕٙه٠ِٛ أل ْغَٚ ع ِ ْ األسُِٟ ُْ فٌَٙ َِّٓبٕ ه٠ أل َصَِٟٕز٠ْ َٛ لَب َي َسةِّب ثِ َّب أَ ْغ )ٗٓ( َٓ١ظ َ ِػجَب َد ِ ٍَُ ُُ ْاٌ ُّ ْخْٕٙ ِِ ن
“iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya,” “kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis[*] di antara mereka". [*] Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t. Kelima, wa‟dun atau janji palsu seperti dalam surat Ibrahin 22
األ ِْ ُش إِ هْ هَٟ ض ْػ َذ ْاٌ َذ ِّبَٚ ُْ َػ َذ ُوَٚ َهللا ُْ َػ ْذرُ ُى ُْ فَأَ ْخٍَ ْفزُ ُىَٚ َٚ ك ِ ُطَبُْ ٌَ هّب ل١ْ لَب َي اٌ هشَٚ َ ْ ُ ُ َ ُ ُ َ َ ْ َ ْ ْ ُِِٟٔٛ ٍٛ فال رٌِٟ ُْ ْ رى ُْ فبعز ََججزَٛ ُى ُْ ِِ ْٓ عٍُطب ٍْ إِال أْ َدػ١ْ ٍَ َػٌِٟ َْ َِب َوبَٚ ُ ْ َوفَشٟ إِِّٔبٟ َِب أَ ْٔزُ ُْ ثِ ُّظْ ِش ِخ هَٚ ُْ ا أَ ْٔفُ َغ ُى ُْ َِب أََْ ا ثِ ُّظْ ِش ِخ ُىُِٛ ٌَُٛٚ د ثِ َّب )ٕٕ( ٌُ ١ٌَُِ ُْ َػ َزاةٌ أٌَٙ َٓ١ِّ ٌِ ِِ ْٓ لَ ْج ًُ إِ هْ اٌظهبُِّٟٔٛ ُأَ ْش َش ْوز “Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku 63
menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu". Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih”. Keenam, kaidun atau tipudaya seperti dalam An-Nisa 76
ًِ ه١ِ َعجَِْٟ فٍُُِٛمَبر٠ إَُِٛ َٓ آ٠اٌه ِز د َ َٓ٠اٌه ِزَٚ ِهللا ِ ٛ ًِ اٌطهب ُغ١ِ َعجَِْٟ فٍُُِٛمَبر٠ اُٚن فَش )٧ٙ( فًب١ض ِؼ َ َْبْ َوب ِ َط١ْ َذ اٌ هش١ْ بْ إِ هْ َو ِ َط١ْ َب َء اٌ هش١ٌِ َْٚا أٍُِٛفَمَبر “Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” Ketujuh, shoddun atau hambatan seperti dalam An-Naml 24
ْ هُٚ ُْ ٌَُٙطَبُْ أَ ْػ َّب١ْ ُ ُُ اٌ هشٌَٙ َٓه٠ َصَٚ ِهللا ِ ظ ِِ ْٓ د ِ ّْ َْ ٌٍِ هشَٚ ْغ ُج ُذ٠ َبَِٙ َْٛلَٚ َبُٙ َج ْذرَٚ )ٕٗ( َْٚزَ ُذْٙ َ٠ ُ ُْ الَٙ ًِ ف١ِظ هذُ٘ ُْ ػ َِٓ اٌ هغج َ َف “Aku mendapati Dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk.” Kedelapan, „Adawatun atau permusuhan seperti dalam AlMaidah 91
َ ١ْ ُذ اٌ هش٠ ُِش٠ إِٔه َّب ِْغ ِش١َّ ٌ ْاَٚ ْاٌخَ ّْ ِشِٟضب َء ف َ ْاٌجَ ْغَٚ َحَٚا َ َٕ ُى ُُ ْاٌ َؼذ١ْ َلِ َغ ثُٛ٠ ْْ َطبُْ أ َ ه ْ )٩ٔ( ًَََُْْٛٙ أ ْٔزُ ُْ ُِ ْٕزَٙػ َِٓ اٌظهال ِح فَٚ ِظ هذ ُو ُْ ػ َْٓ ِرو ِش هللا ُ َ٠َٚ 64
“Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” Sedangkan cara takhwif (menakut-nakuti) dilakukan setan agar manusia menjadi takut setan dan tidak takut kepada Allah Tabaraka Wa Ta‟ala. Coba lihat QS. Ali Imran: 175 berikut:
َٓ١ِِِٕ ْ إِ ْْ ُو ْٕزُ ُْ ُِ ْؤٛ ِ ُخَ بفَٚ ُْ َُُ٘ٛب َء ُٖ فَال رَخَ بف١ٌِ َْٚفُ أُٛخَ ِّب٠ ُْطَب١ْ إِٔه َّب َرٌِ ُى ُُ اٌ هش )ٔ٧٘( “Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orangorang musyrik Quraisy), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benarbenar orang yang beriman.” Lantas bagaimana seharusnya seorang pelajar/santri berperilaku agar setan tidak mampu menggoda/merayu mereka?. Berikut saya sampaikan adab seorang pelajar/santri: Wahai para santri, menuntut ilmu agama adalah sebuah tugas yang sangat mulia. Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam hal agamanya.” (HR. Bukhari). Oleh sebab itu sudah semestinya kita berupaya sebaik-baiknya dalam menimba ilmu yang mulia ini untuk bisa meraih apa yang kita idam-idamkan. Kita harus tahu adab/etika yang harus diperhatikan agar ilmu yang kita peroleh kelak 65
membuahkan barakah, menebarkan rahmah dan bukan sebaliknya. Adab itu adalah:
5. 1. Adab Pertama: Mengikhlaskan Niat Untuk Allah ‘Azza wa Jalla Yaitu dengan menujukan aktivitas menuntut ilmu yang dilakukan hanya untuk mengharapkan ridha Allah dan negeri akhirat, sebab Allah telah mendorong dan memotivasi untuk itu. Allah ta‟ala berfirman yang artinya, “Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak ada sesembahan yang hak selain Allah dan minta ampunlah atas dosadosamu.” (QS. Muhammad: 19). Oleh sebab itu maka kita harus mengikhlaskan diri dalam menuntut ilmu hanya untuk Allah, yaitu dengan meniatkan menuntut ilmu itu hanya untuk mengharapkan ridha Allah „azza wa jalla. Apabila dalam menuntut ilmu seseorang mengharapkan untuk memperoleh persaksian orang lain atau gelar demi mencari kedudukan dunia atau jabatan maka Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam telah bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu yang seharusnya hanya ditujukan untuk mencari wajah Allah „azza wa jalla tetapi dia justru berniat untuk meraih bagian kehidupan dunia maka dia tidak akan mencium bau surga pada hari kiamat.” yakni tidak bisa mencium aromanya, ini menunjukkan suatu ancaman yang sangat keras. Akan tetapi berbeda apabila seseorang yang menuntut ilmu memiliki niat memperoleh persaksian/ijazah/gelar sebagai sarana agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang dengan mengajarkan ilmunya melalui sekolah, pengajian dan sebagainya, maka insyaAllah niatnya bagus dan tidak bermasalah, karena ini adalah niat yang benar. 66
5. 2. Adab Kedua: Bertujuan untuk Mengangkat Kebodohan Diri Sendiri dan Orang Lain Bila berniat dalam menuntut ilmu demi mengangkat kebodohan dirinya sendiri dan orang lain, oleh sebab pada asalnya manusia itu bodoh, “Allah lah yang telah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, dan kemudian Allah ciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati supaya kalian bersyukur.” (QS. An Nahl: 78), maka yang demikian adalah tujuan yang sangat mulia. Karena itu niatkanlah menuntut ilmu untuk mengangkat kebodohan dari umat, hal itu bisa dilakukan dengan pengajaran melalui berbagai macam sarana, supaya orang-orang bisa memetik manfaat dari ilmu yang kita miliki. 5. 3. Adab Ketiga: Bermaksud Membela Syariat Yaitu dalam menuntut ilmu, hendaklah kita berniat juga untuk membela syariat, sebab kitab-kitab adalah benda mati yang tidak mungkin bisa membela syariat (dengan sendirinya). Tidak ada yang bisa membela syariat kecuali si pembawa syariat. Seandainya ada seorang ahlul bid‟ah datang ke perpustakaan yang penuh berisi kitab-kitab syariat yang jumlahnya sulit untuk dihitung lantas dia berbicara melontarkan kebid‟ahannya dan menyatakannya dengan lantang, maka saya pastikan tidak ada sebuah kitab pun yang bisa membantahnya. Akan tetapi apabila dia berbicara dengan kebid‟ahannya di sisi orang yang berilmu demi menyatakannya maka si penuntut ilmu itu akan bisa membantahnya dan menolak perkataannya dengan dalil al-Qur‟an dan as-Sunnah AlMaqbulah. Oleh sebab itu salah satu hal yang harus 67
senantiasa dipelihara di dalam hati penuntut ilmu adalah niat untuk membela syariat. Umat manusia itu saat ini sangat membutuhkan keberadaan para ulama, supaya mereka bisa membimbing mereka kepada jalan yang benar serta membantah tipu daya musuh-musuh Allah „azza wa jalla. 5. 4. Adab Keempat: Berlapang Dada dalam Masalah Khilaf Hendaknya penuntut ilmu berlapang dada ketika menghadapi masalah-masalah khilaf yang bersumber dari hasil ijtihad. Sebab perselisihan bisa saja terjadi dalam permasalahan yang boleh berijtihad di dalamnya, maka yang seperti ini orang yang menyelisihi kebenaran diberikan uzur. Dan perkataan kita tidak bisa menjadi argumen untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan kita dalam masalah itu. Yang saya maksudkan di sini adalah perselisihan yang terjadi pada perkara-perkara yang diperbolehkan bagi akal untuk berijtihad di dalamnya dan manusia boleh berselisih tentangnya. Tetapi perselisihan yang ada di antara para ulama yang bisa saja terjadi dalam perkara yang tidak boleh untuk berijtihad, maka yang demikian ini tidak ada seorang pun yang menyelisihinya diberikan uzur untuk berbeda. Seperti dalam permasalahan akidah atau rukun iman maka dalam hal ini tidak ada seorang pun yang diperbolehkan untuk menyelisihi pemahaman para shahabat, tabiâ€&#x;in dan tabiâ€&#x;ut tabiâ€&#x;in (salafush shalih), akan tetapi pada permasalahan lain yang termasuk medan pikiran, tidaklah pantas menjadikan khilaf semacam ini sebagai alasan untuk mencela orang lain atau menjadikannya sebagai 68
penyebab permusuhan dan kebencian di kalangan kaum muslimin. Maka menjadi kewajiban para penuntut ilmu untuk tetap memelihara persaudaraan meskipun mereka berselisih dalam sebagian permasalahan furuâ€&#x;iyyah (cabang), hendaknya yang satu mengajak saudaranya untuk berdiskusi dengan cara yang baik dengan didasari kehendak untuk mencari ridha Allah dan demi memperoleh ilmu, dengan cara inilah akan tercapai hubungan baik dan sikap keras dan kasar yang ada pada sebagian orang akan bisa lenyap, bahkan yang terkadang terjadi pertengkaran dan permusuhan di antara merekapun insyaAllah bisa lenyap. Perlu difahami bahwa pertengkaran umat tentu saja membuat gembira musuh-musuh Islam, sedangkan perselisihan yang ada di antara umat ini merupakan penyebab bahaya yang sangat besar, Allah taâ€&#x;ala berfirman yang artinya, “Dan taatilah Allah dan RasulNya, dan janganlah kalian berselisih yang akan menceraiberaikan dan membuat kekuatan kalian melemah. Dan bersabarlah sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.â€? (QS. Al-Anfaal: 46) 5. 5. Adab Kelima: Beramal dengan Ilmu Yaitu hendaknya penuntut ilmu mengamalkan ilmu yang dimilikinya, baik itu akidah, ibadah, akhlaq, adab, maupun muamalah. Sebab amal inilah buah ilmu dan hasil yang dipetik dari ilmu, seorang yang mengemban ilmu adalah ibarat orang yang membawa senjatanya, bisa jadi senjatanya itu dipakai untuk membela dirinya atau justru untuk membinasakannya. Oleh karenanya terdapat 69
sebuah hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Al-Qur‟an adalah hujjah untukmu atau untuk menjatuhkanmu.” 5. 6. Adab Keenam: Berdakwah di Jalan Allah Yaitu dengan menjadi seorang yang menyeru kepada agama Allah „azza wa jalla, dia berdakwah pada setiap kesempatan, di masjid, di pesantren, di sekolah, di tempat kuliah, di pertemuan-pertemuan, di pasar-pasar, serta dalam segala kesempatan. Perhatikanlah Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, beliau setelah diangkat menjadi Nabi dan Rasulullah tidaklah hanya duduk-duduk saja di rumahnya, akan tetapi beliau mendakwahi manusia dan bergerak ke sana kemari. Kita tentu tidak menghendaki adanya seorang penuntut ilmu yang hanya menjadi penyalin tulisan yang ada di buku-buku, namun yang kita inginkan adalah mereka menjadi orang-orang yang berilmu dan sekaligus mengamalkannya. 5. 7. Adab Ketujuh: Bersikap Bijaksana (Hikmah) Yaitu dengan menghiasi dirinya dengan sifat bijaksana, di mana Allah berfirman yang artinya, “Hikmah itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan barang siapa yang diberi hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang sangat banyak.” (QS. al-Baqarah: 269). Yang dimaksud hikmah ialah seorang penuntut ilmu menjadi pembimbing orang lain dengan akhlaknya dan dengan dakwahnya mengajak orang mengikuti ajaran agama Allah „azza wa jalla, hendaknya dia berbicara dengan setiap orang sesuai dengan keadaannya. Apabila kita tempuh cara ini niscaya akan tercapai kebaikan yang banyak, sebagaimana yang difirmankan Allah „azza wa 70
jalla yang artinya, “Dan barang siapa yang diberikan hikmah sungguh telah diberi kebaikan yang amat banyak.” Seorang yang bijak (Hakiim) adalah yang dapat menempatkan segala sesuatu sesuai kedudukannya masing-masing. Maka sudah selayaknya, bahkan menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk bersikap hikmah di dalam dakwahnya. Allah ta‟ala menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah di dalam firman-Nya yang artinya, “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. anNahl: 125). Dan Allah ta‟ala telah menyebutkan tingkatan dakwah yang keempat dalam mendebat Ahli kitab dalam firman-Nya, “Dan janganlah kamu mendebat ahlu kitab kecuali dengan cara yang lebih baik kecuali kepada orang-orang zhalim diantara mereka.” (QS. al„Ankabuut: 46). Maka hendaknya penuntut ilmu memilih cara dakwah yang lebih mudah diterima oleh pemahaman orang. 5. 8. Adab Kedelapan: Bersabar dalam Menuntut Ilmu Yaitu hendaknya kita sabar dalam belajar, tidak terputus di tengah jalan dan merasa bosan, tetapi hendaknya terus konsisten belajar sesuai kemampuan karena apabila seseorang telah merasa jemu maka dia akan putus asa dan meninggalkan belajar. Akan tetapi apabila dia sanggup menahan diri untuk tetap belajar ilmu niscaya dia akan meraih pahala orang-orang yang sabar; ini dari satu sisi, dan dari sisi lain dia juga akan mendapatkan hasil yang baik. Sabar adalah bagian dari ibadah kita kepada Allah Ta‟ala, termasuk sabar dalam menuntut ilmu. Allah 71
berfirman: “...dan minta tolonglah (kepada Allah) dengan cara sabar dan shalat...â€? (QS. 2: 153) 5. 9. Adab Kesembilan: Menghormati Ulama dan Memosisikan Mereka sesuai Kedudukannya Sudah menjadi kewajiban bagi para penuntut ilmu untuk menghormati para ulama dan memosisikan mereka sesuai kedudukannya, dan melapangkan dada mereka dalam menghadapi perselisihan yang ada di antara para ulama dan selain mereka, dan hendaknya hal itu dihadapinya dengan penuh toleransi di dalam keyakinan mereka bagi orang yang telah berusaha menempuh jalan (kebenaran) tapi keliru, ini catatan yang penting sekali, sebab ada sebagian orang yang sengaja mencari-cari kesalahan orang lain dalam rangka melontarkan tuduhan yang tak pantas kepada mereka, dan demi menebarkan keraguan di hati orangorang dengan cela yang telah mereka dengar, ini termasuk kesalahan yang terbesar. Apabila menggunjing orang awam saja termasuk dosa besar maka menggunjing orang berilmu lebih besar dan lebih berat dosanya, karena dengan menggunjing orang yang berilmu akan menimbulkan bahaya yang tidak hanya mengenai diri orang alim itu sendiri, akan tetapi mengenai dirinya dan juga ilmu syarâ€&#x;i yang dibawanya. Sedangkan apabila orang-orang telah menjauh dari orang alim itu atau harga diri mereka telah jatuh di mata mereka maka ucapannya pun ikut gugur. Apabila dia menyampaikan kebenaran dan menunjukkan kepadanya maka akibat gunjingan orang ini terhadap orang alim itu akan menjadi penghalang orang-orang untuk bisa menerima ilmu syarâ€&#x;i yang disampaikannya, dan hal ini bahayanya sangat besar dan mengerikan. Maka, hendaknya 72
para penuntut ilmu memahami perselisihan-perselisihan yang ada di antara para ulama itu dengan anggapan mereka berniat baik dan disebabkan ijtihad mereka dan memberikan toleransi bagi mereka atas kekeliruan yang mereka lakukan, dan hal itu tidaklah menghalanginya untuk berdiskusi dengan mereka dalam masalah yang mereka yakini bahwa para ulama itu telah keliru, supaya mereka menjelaskan apakah kekeliruan itu bersumber dari mereka ataukah dari orang yang menganggap mereka salah ?! Karena terkadang tergambar dalam pikiran seseorang bahwa perkataan orang alim itu telah keliru, kemudian setelah diskusi ternyata tampak jelas baginya bahwa dia benar. Dan demikianlah sifat manusia, “Semua anak Adam pasti pernah salah dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang senantiasa bertaubatâ€?. Adapun merasa senang dengan ketergelinciran seorang ulama dan justru menyebar-nyebarkannya di tengah-tengah manusia sehingga menimbulkan perpecahan maka hal ini bukanlah termasuk jalan yang baik. 5. 10. Adab Kesepuluh: Berpegang Teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah Al Maqbulah Wajib bagi penuntut ilmu untuk memiliki semangat penuh guna meraih ilmu dan mempelajarinya dari pokokpokoknya, yaitu perkara-perkara yang tidak akan tercapai kebahagiaan kecuali dengannya, perkara-perkara itu adalah : 1. Al-Qur’an Al-Karim Oleh sebab itu wajib bagi penuntut ilmu untuk bersemangat dalam membacanya, menghafalkannya, memahaminya serta mengamalkannya karena al-Qurâ€&#x;an itulah tali Allah yang kuat, dan ia adalah landasan 73
seluruh ilmu. Para salaf dahulu sangat bersemangat dalam mempelajarinya, dan diceritakan bahwasanya terjadi berbagai kejadian yang menakjubkan pada mereka yang menunjukkan begitu besar semangat mereka dalam menelaah al-Qur‟an. Dan sebuah kenyataan yang patut disayangkan adalah adanya sebagian penuntut ilmu yang tidak mau menghafalkan al-Qur‟an, bahkan sebagian di antara mereka tidak bisa membaca al-Qur‟an dengan baik, ini merupakan kekeliruan yang besar dalam hal metode menuntut ilmu. Karena itulah saya, yang dituakan dalam madrasah kita ini, senantiasa mengulang-ulang bahwa seharusnya penuntut ilmu bersemangat dalam menghafalkan alQur‟an, mengamalkannya serta mendakwahkannya, dan untuk bisa memahaminya dengan pemahaman yang selaras dengan pemahaman salafush shalih. 2. As Sunnah yang shahihah (As-Sunnah AlMaqbulah) Ia merupakan sumber kedua dari sumber syariat Islam, dialah penjelas al-Qur‟an al Karim, maka menjadi kewajiban penuntut ilmu untuk menggabungkan antara keduanya dan bersemangat dalam mendalami keduanya. Penuntut ilmu sudah semestinya menghafalkan as-Sunnah, baik dengan cara menghafal nash-nash hadits atau dengan mempelajari sanadsanad dan matan-matannya, membedakan yang shahih dengan yang lemah, menjaga as-Sunnah juga dengan membelanya serta membantah syubhat-syubhat yang dilontarkan Ahlu bid‟ah guna menentang as-Sunnah
74
5. 11. Adab Kesebelas: Meneliti Kebenaran Berita yang Tersebar dan Bersikap Sabar Salah satu adab terpenting yang harus dimiliki oleh penuntut ilmu adalah tatsabbut (meneliti kebenaran berita), dia harus meneliti kebenaran berita-berita yang disampaikan kepadanya serta mengecek efek hukum yang muncul karena berita tersebut. Di sana ada perbedaan antara tsabaat dan tatsabbut, keduanya adalah dua hal yang berlainan walaupun memiliki lafazh yang mirip tapi maknanya berbeda. Ats tsabaat artinya bersabar, tabah dan tidak merasa bosan dan putus asa. Sehingga tidak semestinya dia mengambil sebagian pembahasan dari sebuah kitab atau suatu bagian dari cabang ilmu lantas ditinggalkannya begitu saja. Sebab tindakan semacam ini akan membahayakan bagi penuntut ilmu serta membuangbuang waktunya tanpa faedah. Dan cara seperti ini tidak akan membuahkan ilmu. Seandainya dia mendapatkan ilmu, maka yang diperolehnya adalah kumpulan permasalahan saja dan bukan pokok dan landasan pemahaman. Contoh orang yang hanya sibuk mengumpulkan permasalahan itu seperti perilaku orang yang sibuk mencari berita dari berbagai surat kabar dari satu koran ke koran yang lain. Karena pada hakikatnya perkara terpenting yang harus dilakukan adalah taâ€&#x;shil (pemantapan pondasi, ilmu ushul) dan pengokohannya serta kesabaran untuk mempelajarinya. (Disadur dari kitab Thiibul Kalim al-Muntaqa Min Kitaab al-„Ilm Li Ibni Utsaimin karya Abu Juwairiyah oleh Abu Mushlih Ari Wahyudi dan sedikit perubahan redaksi.
75
Wahai para santri, perlu saya sampaikan juga agar kalian menghormati dan menghargai para Ulama dan Guru kalian. Hendaklah para penuntut ilmu menghormati dan menghargai para ulama dan guru mereka dan berlapang dada dalam menyikapi mereka. Hendaklah kalian wahai para santri, menghormati majlis (ilmu) dan menampakkan kesenangan terhadap pelajaran serta mengambil faedahnya. Apabila seorang guru melakukan suatu kesalahan atau kekeliruan maka janganlah hal itu membuatnya jatuh martabat dihadapanmu, karena hal ini menjadikanmu tidak lagi mendapatkan ilmunya. Sesungguhnya tidak ada orang yang tidak pernah berbuat kesalahan. Jangan sekali-kali memancing kemarahannya dengan “Perang urat syaraf�, yaitu menguji kemampuan ilmu dan kesabarannya. Apabila hendak berguru ke orang lain maka mintalah ijin kepadanya, karena hal ini menjadikannya selalu menghormatimu, semakin cinta dan sayang kepadamu.� (Hilyah Tholibil „Ilmi, Bakr Abu Zaid hal: 36). Akhirnya, teriring doa Ya Allah Ya Rahman Ya Rahim, dengan perantara nama-namaMu yang terindah dan sifat-sifatMu yang tertinggi ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba-Mu ini dan para santri semuanya. Begitu banyak nikmat telah hamba sia-siakan. Umur, kesempatan, waktu luang, kesehatan dan keamanan. Semuanya telah Engkau curahkan, namun hamba selalu lalai dan tidak pandai mensyukuri pemberianMu. Ya Allah bimbinglah hamba-Mu ini dan para santri, untuk meraih kebahagiaan pada hari di mana tidak ada lagi hari sesudahnya, ketika kematian telah disembelih di antara surga dan neraka. Ketika para penduduk surga semakin bergembira 76
dan para penghuni neraka bertambah sedih dan merana. Ya Allah, limpahkanlah kepada kami ilmu yang bermanfaat, dan lindungilah kami dari ilmu yang tidak bermanfaat. Ya Allah, kami mohon kepada-Mu hidayah, ketakwaan, terjaganya kehormatan dan kecukupan. Wa shallallahu „ala Nabiyyinaa Muhammad, walhamdulillaahi Rabbil „alamiin. Sumber :
1. Al Qur‟anul Karim dan Terjemahannya, hadiah dari kerajaan Saudi Arabia. 2. Kitab Al Ilmi, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin 3. Hilyah Tholibil Ilmi, karya Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid 4. Hilyatul „Alim Al Mu‟allim Wa Bulghatu Ath Thalib Al Muta‟allim, karya Syaikh Salim bin Ied al Hilaliy 5. „Audah „Ila As Sunnah, karya Syaikh Ali Hasan al Attsariy 6. Washiyyatu Muwaddi‟, karya Syaikh Husain bin „Audah al „Awayisyah Walhamdu lillahi Raobbil ‘Alamin. Wallahu A‟lam Bis Shawab. Semoga bermanfaat. Amin. (Disampaikan oleh Makmun Pitoyo, Kepala MA Al-Mu‟min Muhammadiyah Tembarak Temanggung).
77