ISSN 1979-5599
MADRASAH JURNAL PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DASAR
Vol. 7 No. 1 Juli - Desember 2014
MADRASAH
JURNAL PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DASAR Vol. 7 No. 1 Juli-Desember 2014
Mitra Bestari Mudjia Rahardjo (UIN Maliki Malang) Ibrahim Bafadlal (Univ. Negeri Malang) Umar Nimran (Univ. Brawijaya Malang) Rohmat Wahab (Univ. Negeri Yogyakarta) Dede Rosyada (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Penanggungjawab Nur Ali Pimpinan Redaksi Ruma Mubarak Penyunting Agus Mukti Wibowo Bintoro Wibowo Design Grafis Igif Rizekiya Suprayogi Sekretariat Ayu Muhayyinah
Madrasah adalah jurnal Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah (PGMI) Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, terbit berkala semester sekali (Juli dan Januari), sebagai wahana komunikasi insan akademik dalam bidang kependidikan dan pembelajaran dasar. Redaksi mengundang para pakar dan akademisi untuk menyumbangkan naskah, baik berupa hasil penelitian, opini mendalam, maupun book review yang sesuai dengan disiplin ilmu kependidikan dan pembelajaran dasar. Naskah yang dimuat adalah naskah asli dan belum pernah dipublikasikan di media massa lain.
DAFTAR ISI Evaluasi Program Pembelajaran Tematik di MI Mitra PGMI STAIN Ponorogo Athok Fu’adi = 1-26 Total Physical Response (TPR) untuk Meningkatkan Teknik Maharah Al-Kalam Pada Siswa Madrasah Ibtidaiyah Rodifatul Chasanah = 27-52 Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada Materi Pendidikan Agama Islam (PAI) di MI Hidayatul Islam Mentoro Tuban I’anatut Thoifah = 53-70 Antara Profesi, Kompetensi dan Tugas Kependidikan Seorang Guru Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh = 71-88 Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya di SD/MI Bintoro Widodo = 89-100 Pengembangan Buku Ajar Tematik dengan Pendekatan Integrasi Sains dan Agama di Kelas 4 Sekolah Dasar Islam Raudlatul Jannah Sidoarjo Nuril Nuzulia = 101-112 Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Civil Society di Madrasah Baharuddin = 113-136 Pengembangan Buku Ajar Tematik Integratif Semua Mata Pelajaran di Sekolah Dasar Islam Sulistyowati = 137-162 Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 dengan Multiple Intellegences dan Emotional Intelligence Pada Madrasah Ibtidaiyah Nur Ali = 163-182
EVALUASI PROGRAM PEMBELAJARAN TEMATIK DI MI MITRA PGMI STAIN PONOROGO Athok Fu’adi1 Abstract The purpose of this research is to evaluate thematic learning in Islamic School that becomes partner of PGMI (Education of Islamic Elementary School Teachers) that includes: 1) teachers’ context in thematic learning, 2) implementation of thematic learning, 3) supporting and inhibiting factors of thematic learning. This research is a qualitative research and the subject of research is teacher in the lower class. The research instrument in this research is the researcher itself. The data is collected through conducting interview, observation, and documentation. Data validation is collected through conducting triangulation and observation continuously. Data analysis is done since collected data using interactive model that consist of three steps, such as data reduction, input data, and make conclusion. The result of this research shows that the teachers’ context in thematic learning for beginner class is already appropriate, whereas for their teaching experience is still less. However, from the result of training, it can be concluded that teachers actually could implement thematic learning well. The implementation of thematic learning is already good; it can be seen from the existence of lesson plans, display of students’ tasks, and also portfolio assessment which includes a lot of students’ practices and discussions. The supporting and inhibiting factors in the thematic learning is resulted from the teachers, the students, and the environment but those factors could be solved and finally the result is the thematic learning could be done well.
Keywords: Evaluation, thematic learning.
A. Latar Belakang Kegiatan pembelajaran di MI untuk setiap mata pelajaran dilakukan secara terpisah untuk kelas atas (IV-VI), sedangkan untuk 1 Dosen Tetap STAIN Ponorogo, Jl. Pramuka No. 156 Ronowijayan, Siman, Ponorogo 63471, Telp: 0352-481271.
1
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
kelas bawah (1-3) dengan pembelajaran tematik. Menurut BSNP (2006: 35), penetapan pendekatan tematik dalam pembelajaran di MI/SD dikarenakan perkembangan peserta didik pada kelas rendah Sekolah Dasar pada umumnya berada pada tingkat perkembangan yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta baru mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Oleh karena itu proses pembelajaran masih bergantung kepada objek konkret dan pengalaman yang dialami secara langsung. Pembelajaran yang dilakukan dengan mata pelajaran terpisah akan menyebabkan kurang mengembangkan anak untuk berpikir holistik dan membuat kesulitan bagi peserta didik mengaitkan konsep dengan kehidupan nyata mereka sehari-hari. Akibatnya, para siswa tidak mengerti manfaat dari materi yang dipelajarinya untuk kehidupan nyata. Sesuai dengan prinsip perkembangan bahwa perkembangan fisik anak tidak bisa dipisahkan dari perkembangan mental, sosial, dan emosionalnya. Perkembangan itu akan terpadu dengan pengalaman, kehidupan, dan lingkungan. Anak usia SD/MI menurut Piaget masih berada pada tahap berfikir operasional konkrit. Pada tahap ini penerapan pendekatan pembelajaran terpadu (tematik) dipandang tepat dan sesuai sebagai model pembelajaran siswa di SD/MI, terutama di kelas awal. Di dalam pembelajaran tematik dapat dikembangkan beberapa kecerdasan sekaligus secara holistik, dimana model tematik tidak hanya menekankan pada ranah kognitif saja, tetapi juga meliputi afektif, dan psikomotor. Menurut beberapa ahli pembelajaran model tematik (terpadu) dianggap sesuai dengan karakteristik perkembangan anak SD/ MI. Siswa-sisiwi pada madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar pada kelas satu, dua, dan tiga termasuk pada rentangan usia dini yang seluruh aspek perkembangan kecerdasan (IQ, EQ, dan SQ) tumbuh dan berkembang sangat luar biasa. Pada umumnya tingkat perkembangannya tersebut masih memandang bahwa segala sesuatu itu sebagai keutuhan (holistik) dan mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Proses pembelajarannya masih tergantung pada objek-objek kongkrit dan pengalaman yang dialami siswa-siswi secara langsung.
2
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
Padahal pada usia pendidikan dasar/madrasah ibtidaiyah lebihlebih pada kelas awal (kelas 1, 2, 3) perkembangan pemikiran siswa masih bersifat holistik (keutuhan) sehingga pembelajaran terpisah tersebut akan menyulitkan mereka. Hal tersebut banyak menyebabkan secara nasional masih tingginya angka siswa mengulang kelas bahkan putus sekolah hingga dewasa ini. Data tahun 1999/2000 memperlihatkan bahwa angka mengulang kelas satu 11,6 %, kelas dua 7,5 %, kelas tiga 6,13 %, kelas empat 4,64 %, kelas lima 3,1%, dan kelas enam mencapai 0,37 %. Pada tahun yang sama angka putus sekolah kelas satu sebesar 4,22 %, masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelas dua 0,83 %, kelas tiga 2,27 %, kelas empat 2,71 %, kelas lima 3,79 %, dan kelas enam 1,78 %. Di samping itu, kondisi yang memprihatinkan tersebut juga disebabkan oleh variabel lain yakni salah satunya kurangnya pendidikan prasekolah atau Taman Kanak-kanak di daerah-daerah plosok dan terpencil. Sehingga masih banyak sebenarnya para siswa yang belum siap masuk MI meskipun usia mereka sudah 6 tahun lebih. Berdasarkan pertimbangan pemikiran tersebut di atas dan guna implementasi standar isi (SI) pendidikan yang termuat dalam Standar Nasional Pendidikan, maka pelaksanaan pembelajaran pada kelas awal (klas 1, 2, 3) MI akan lebih tepat jika dikelola dengan pembelajaran terpadu/terintegrasi melalui pendekatan Pembelajaran tematik untuk semua mata pelajaran. Maka untuk memberikan gambaran kongkrit tentang pembelajaran tematik untuk menjadi acuan maka perlu disiapkan model pelaksanaan pembelajaran tematik bagi MI kelas 1, 2, dan 3. Pelaksanaan pembelajaran tematik sudah dilaksanakan pada MI Mitra PGMI STAIN Ponorogo, karena madrasah-madarsah tersebut didampingi untuk melaksanakan pembelajaran sesuai dengan kurikulum KTSP, yaitu pembelajaran tematik untuk kelas awal. Salah satu MI Mitra yang telah melaksanakan sepenuhnya adalah MI Ma’arif Setono, maka penelitian evaluasi ini dilakukan di MI Mitra untuk melihat hasil yang telah dilakukan selama didampingi PGMI STAIN Ponorogo.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
3
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah konteks guru pada kelas awal di MI Mitra Ma’arif Setono?
2.
Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran tematik di MI Mitra Ma’arif Setono yang meliputi perencanaan, media, metode pembelajaran?
3.
Bagaimanakah hambatan dan dukungan pada implementasi pembelajaran tematik di MI Mitra Ma’arif Setono?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui konteks guru di kelas awal karena kelas awal dengan pembelajaran tematik mempunyai karakteristik pembelajaran tersendiri.
2.
Mengetahui hasil dari perencanaan, media, metode pembelajaran tematik yang telah dilaksanakan.
3.
Mengetahui hasil pembelajaran tematik di MI Mitra Ma’arif Setono.
D. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Hasil penelitian dapat memberikan dorongan dan masukan bagi guru-guru pengajar pembelajaran tematik di MI Mitra Ma’arif Setono.
2.
Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai masukan untuk stakeholder yang terlibat dalam pendidikan di MI Mitra Ma’arif Setono.
3.
Bagi peneliti lain, penelitian ini dapat dilakukan dengan semakin mendalam hal-hal yang belum diteliti.
4.
Penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan di dunia pendidikan.
4
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
E. Tinjauan Pustaka & Landasan Teori 1.
Pembelajaran Tematik
Istilah pembelajaran tematik sering juga disebut dengan pembelajaran terpadu dan dipersamakan dengan integrated teaching and learning, integrated curriculum approach, a coherent curriculum approach. Konsep ini telah lama dikemukakan oleh John Dewey sebagai upaya untuk mengintegrasikan perkembangan dan pertumbuhan siswasiswi dan kemampuan pengetahuannya. (Sa’ud, Udin Syaefuddin, dkk, 2006: 4). Ia memberikan pengertian bahwa pembelajaran terpadu adalah pendekatan untuk mengembangkan pengetahuan siswa-siswi dalam pembentukan pengetahuan berdasarkan pada interaksi dengan lingkungan dan pengalaman kehidupannya. Hal ini membantu siswa-siswi untuk belajar menghubungkan apa yang telah dipelajari dan apa yang sedang dipelajari. Pembelajaran terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswasiswi secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan otentik. (Puskur, 2006: 7). Pembelajaran terpadu adalah pembelajaran yang diawali dengan suatu pokok bahasan atau tema tertentu yang dikaitkan dengan pokok bahasan lain, konsep tertentu dikaitkan dengan konsep lain, yang dilakukan secara spontan atau direncanakan, baik dalam satu bidang studi atau lebih, maupun dengan beragam pengalaman belajar siswa, maka pembelajaran menjadi lebih bermakna. (Subroto, Tisno Hadi dan Ida Siti Herawati, 2003: 9). Maka pada umumnya Pembelajaran Tematik/terpadu adalah pembelajaran yang menggunakan tema tertentu untuk mengaitkan antara beberapa isi matapelajaran dengan pengalaman kehidupan nyata sehari-hari pebelajar sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna bagi pebelajar. Pengemasan pengalaman belajar yang dirancang oleh guru yang demikian akan sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman siswa-siswi dan menjadikan proses pembelajaran lebih efektif dan menarik. (Depdiknas, 2006: 10) Pembelajaran tematik akan menjadi suatu keterkaitan dengan pengalaman konseptual yang dipelajari dengan isi bidang studi lain yang relevan akan membentuk skema, sehingga akan diperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Perolehan keutuhan belajar, pengetahuan, dan kebulatan pandangan , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
5
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat direfleksikan melalui pembelajaran terpadu. (Sa’ud, Udin Syaefuddin, dkk, 2006: 5) 2.
Tujuan Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik memiliki banyak keuntungan yang dapat dicapai sebagai berikut: a.
Memudahkan pemusatan perhatian pada satu tema tertentu.
b.
Siswa-siswi mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar isi mata pelajaran dalam tema yang sama.
c.
Pemahaman materi mata pelajaran lebih mendalam dan berkesan.
d. Kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa. e.
Lebih dapat dirasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas.
f.
Siswa-siswi lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatau kemampuan dalam suatu mata pelajaran dan sekaligus dapat mempelajari mata pelajaran lain.
g.
Guru dapat menghemat waktu sebab matapelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus, dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, dan waktu selebihnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan materi. (Tim Pustaka Yustisia, 2007: 253)
3.
Ruang Lingkup Pembelajaran Tematik
Ruang lingkup pembelajaran tematik meliputi seluruh mata pelajaran inti pada kelas 1, 2, dan 3 Madarasah Ibtidaiyah (Sekolah Dasar). Yaitu meliputi Pendidikan Agama Islam, Bahasa Indonesia, Sains, IPS, Pendidikan Kewarganegaraan, Seni Budaya dan Ketrampilan, dan Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan. Landasan yuridis bagi pembelajaran tematik berkaitan dengan berbagai kebijakan atau peraturan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran tematik di sekolah dasar. Landasan yuridis tersebut adalah 6
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Pembelajar yang menyatakan bahwa setiap pembelajar berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). Undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (bab V pasal 1 B) menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. (UUSPN 2003) 4.
Model Kurikulum Pembelajaran tematik
Model kurikulum pembelajaran terpadu menurut beberapa ahli kurikulum yang termasuk di dalamnya pembelajaran tematik dipaparkan meliputi (1) pengorganisasian dan (2) klasifikasinya sebagai berikut: (Trianto, 2007: 35) a.
Pengorganisasian Kurikulum
Organisasi kurikulum pada umumnya, ada tiga tipe kurikulum pembelajaran, yakni: Separated Subject Curriculum, Correlated Curriculum, dan Integrated Curriculum. (Sanjaya, 2004: 167)
b.
Separated Subject Curriculum
Tipe ini bahan dikelompokkan pada mata pelajaran yang sempit, di mana antara mata pelajaran yang satu dengan yang lainnya menjadi terpisah-pisah, terlepas dan tidak mempunyai kaitan sama sekali, sehingga banyak jenis mata pelajaran menjadi sempit ruang lingkupnya.
c.
Correlated Curriculum
Correlated Curriculum adalah suatu bentuk kurikulum yang menunjukkan adanya suatu hubungan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya, tetapi tetap memperhatikan ciri [karakteristik] tiap bidang studi tersebut. Hubungan [korelasi] antar mata pelajaran tersebut dapat dilakukan melalui beberapa cara, antara lain: 1) Insidental, artinya secara kebetulan ada hubungan antar mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran lainnya. Sebagai contoh; bidang studi IPA [baca Sains] juga disinggung tentang Geografi, Anthropologi, dan sebagainya.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
7
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
2) Hubungan yang lebih erat. Misalnya, suatu pokok permasalahan yang diperbincangkan dalam berbagai bidang studi. 3) Batas mata pelajaran disatukan dan difungsikan, yaitu dengan menghilangkan batasan masing-masing mata pelajaran tersebut, disebut dengan Broad Field. (Sanjaya, 2004: 167) d.
Integrated Curriculum
Secara istilah, integrasi memiliki sinonim dengan perpaduan, penyatuan, atau penggabungan dari dua objek atau lebih. (Mamik, Sutirjo Sri Istuti, 2005: 26) Selanjutnya, pengertian integrasi, adalah perpaduan, penyatuan, atau penggabungan dari dua objek atau lebih. Hal ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Sukandi yakni integrasi adalah penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh. Sarana dan prasarana yang kurang memadai yang dapat menunjang pelaksanaan kurikulum tersebut. (Sukandi, 2003: 50)
5. Kompetensi Guru a. Guru
Guru adalah seseorang yang mempunyai kewajiban dalam membimbing dalam proses pembelajaran. Sebagai komponen yang sangat penting, guru harus mempunyai suatu kemampuan yang sesuai dengan fungsi dan tujuan sekolah. Mengetahui kondisi siswa adalah suatu keharusan bagi guru dalam pembelajaran. Oleh karena itu, guru juga diharapkan mengetahui materi pelajaran yang harus dipelajari dan didalami, dalam kondisi apa harus disajikan. Dengan demikian, guru dituntut untuk profesional dan mampu mengetahui apa yang merupakan kemajuan dalam diri siswa.
Guru yang baik harus lebih dalam dalam berbagai masalah, lebih mengerti, lebih memiliki ilmu pengetahuan, lebih sempurna daripada orang-orang pada umumnya. (Gordon, 1986: 26) Sedangkan dalam Noeng Muhadjir dalam telaah histories penelitian tentang efektivitas keberhasilan guru dalam menjalankan tugas kependidikannya, Medley menemukan beberapa asumsi
8
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
keberhasilan guru, yang pada akhirnya dijadikan titik tolak dalam pengembangannya, yaitu: pertama, asumsi sukses guru tergantung pada kepribadiannya; kedua, asumsi sukses guru tergantung pada penguasaan metode; ketiga, asumsi sukses guru tergantung pada frekuensi dan intensitas aktivitas interaktif guru dengan siswa; dan keempat, asumsi bahwa apapun dasar dan alasannya penampilan gurulah yang terpenting sebagai tanda memiliki wawasan, ada indikator menguasai materi, ada indikator menguasai strategi pembelajaran. (Noeng Muhadjir, 1987: 56)
Seorang guru harus memiliki kemampuan untuk melaksanankan tugasnya secara tepat dan bertanggung jawab. Jadi, kompetensi profesionalisme guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya, artinya, guru yang piawai dalam melakukan profesinya. (Muhibbin, 1997: 229) Oleh karena itu, guru harus dapat menunjukkan kemampuan yang lebih baik dibanding dengan yang diajar, baik pada penguasaan keahliannya maupun pada metode dan strategi belajar mengajar yang dipilihnya. Guru harus senantiasa belajar dengan mengikuti perkembangan zaman. Dalam pembelajaran di sekolah pemilihan sumber daya guru harus dilakukan atas dasar kompetensi guru. Melihat semakin majunya kondisi sekarang ini, dibutuhkan penguasaan kemampuan yang lebih luas, kepribadian yang baik dengan diikuti kompetensi pada keilmuannya.
b. Karakteristik Kompetensi Guru
Raka Joni mengemukakan dan merumuskan tiga kemampuan yang harus dimiliki oleh guru yang profesional. Ketiga kemampuan itu dikenal dengan tiga kompetensi, yaitu: kompetensi profesional, kompetensi personal, dan kompetensi sosial. 1). Kompetensi Profesional adalah kompetensi guru dalam memiliki pengetahuan yang luas serta dalam tentang subject matter (bidang studi) yang akan diajarkan kepada peserta didik, menguasai metodologi, dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoritik, mampu memilih metode yang tepat, serta mampu menggunakannya dalam proses pembelajaran.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
9
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
2). Kompetensi Personal, adalah kompetensi guru dalam memiliki sikap dan kepribadian yang mantap, sehingga menjadi sumber intensifikasi bagi subjek. Guru harus memiliki kepribadian yang patut diteladani seperti yang dikemukaan oleh Ki Hajar Dewantara: ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani. Dalam proses pendidikan yang demokratis, guru berfungsi sebagai fasilitator dan motivator. Guru lebih banyak bersifat tut wuri handayani, dengan memberikan dorongan dan motivasi agar siswa dapat memperluas kemampuan pandangan untuk mengembangkan berbagai alternatif dalam aktivitas kehidupan. 3). Kompetensi Sosial, artinya bahwa guru harus memiliki kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid maupun dengan sesama rekan guru, kepala sekolah, karyawan, dan anggota masyarakat sekolah lainnya. (Suharsimi, 1990: 239) 6. Klasifikasi Pengintegrasian Tema Pembelajaran terpadu dibedakan berdasarkan pola pengintegrasian materi atau tema. Berdasarkan pola tersebut, digemukakan bahwa terdapat sepuluh model pembelajaran terpadu, yaitu: (1) the fragmented model (model tergambarkan), (2) the connected model (model terhubung), (3) the nested model (model tersarang), (4) the squenced model (model terurut), (5) the shared model (model terbagi), (6) webbed model (model terjaring), (7) the threaded model (model tertali), (8) the integrated model (model terpadu), (9) the immersed model (model terbenam), dan (10) the networked model (model jaringan). (Fogarty R, 1991: 15) Secara umum dari kesepuluh model pembelajaran terpadu tersebut dapat dikelompokkan menjadi klasifikasi pengintegrasian kurikulum, yakni: pertama, pengintegrasian di dalam satu disiplin ilmu; kedua, pengintegrasian beberapa disiplin ilmu; dan ketiga, pengintegrasian di dalam dan beberapa disiplin ilmu. Menurut Samani (2007: 3) ada tiga model yang dipandang layak untuk dikembangkan dan mudah dilaksanakan pada pendidikan formal MI. Ketiga model tersebut yang banyak kaitannnya dengan
10
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
pembelajaran tematik adalah model keterhubungan (connected), model jaring laba-laba (webbed), dan model keterpaduan (integrated). 7.
Prinsip-prisip Pembelajaran Tematik
Dalam uraian materi prinsip pembelajaran tematik akan dibahas meliputi prinsip dasar, prinsip pelaksanaan, dan langkah pelaksanaannya. a.
Prinsip Dasar
Pembelajaran tematik memiliki prinsip-prinsip dasar (Tim Penulis, 2007: 31) : penggalian tema, pengelolaan pembelajaran, prinsip evaluasi, dan prinsip reaksi. Prinsip-prinsip ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1). Penggalian tema. Prinsip ini merupakan prinsip utama dalam pembelajaran tematik. Artinya, tema-tema yang saling tumpang tindih dan ada keterkaitan menjadi target utama dalam pembelajaran. Dengan demikian, dalam penggalian tema tersebut hendaklah memperhatikan beberapa persyaratan: a) Tema hendaknya tidak terlalau luas, namun dengan mudah digunakan untuk memadukan banyak mata pelajaran b) Tema harus bermakna, maksudnya adalah tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya c)
Tema harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan psikologis anak
d) Tema harus mewadahi sebagian besar minat anak e) Tema hendaknya berkaitan dengan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi di dalam rentang waktu belajar f)
Tema hendaknya sesuai dengan kurikulum yang berlaku serta harapan masyarakat (asas relevansi)
g) Tema hendaknya sesuai dengan ketersediaan dengan sumber belajar. (Depdiknas, 2005: 56)
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
11
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
1) Prinsip Pengelolaan Pembelajaran. Dalam pembelajaran tematik, guru hanya fasilitator dan mediator maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (a) guru tidak menjadi single actor yang mendominasi pembicaraan dalam proses pembelajaran; (b) pemberian tanggung jawab individu dan kelompok harus jelas dalam setiap tugas yang menuntut adanya kerjasama kelompok.; dan (c) guru harus mengakomodasi terhadap ide-ide yang terkadang sama sekali tidak terpikirkan dalam perencanaan. (Depdiknas, 2005: 56) 2) Prinsip Evaluasi. Berkaitan dengan evaluasi ini diperlukan langkah-langkah positif antara lain: (a) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk; dan (b) mengevaluasi diri sendiri (self evaluation) di samping bentuk evalauasi lain; (c) guru perlu mengajak para siswa untuk mengevaluasi perolehan belajar yang telah dicapai berdasarkan kriteria keberhasilan pencapaian tujuan. 3) Prinsip Reaksi. Pada umumnya dampak pengiring yang penting bagi perilaku secara sadar belum tersentuh dalam pembelajaran. Karena itu guru dituntut agar mempu merencanakan dan melaksanakan pembelajaran tercapai secara tuntas tujuan-tujuan pembelajaran. Guru harus bereaksi terhadap aksi siswa alam semua peristiwa serta tidak mengarahkan aspek yang sempit melainkan ke suatu kesatuan yang utuh dan bermakna. Pembelajaran tematik memungkinkan hal ini dan guru hendaknya menemukan kiat-kiat untuk memunculkan ke permukaan hal-hal yang dicapai sebagai dampak pengiring. 8.
Evaluasi Program Pembelajaran Tematik
Evaluasi program pembelajaran tematik dilakukan dengan melihat bagaimana proses perekrutan sehingga akan diketahui bagaimana latarbelakang guru yang mengajar tematik. Hasil evaluasi program pembelajaran tematik ini akan menyangkut guru, siswa, sarana-prasarana, sumber media, sebagai berikut: Pembelajaran tematik memerlukan guru yang kreatif, baik dalam menyiapkan kegiatan pengalamanan belajar bagi anak, juga
12
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
maupun dalam memilih kompetensi dari berbagai mata pelajaran dan mengaturnya agar pembelajaran menjadi lebih bermakna, menarik dan menyenangkan, serta utuh. Siswa harus siap mengikuti pembelajaran yang dalam pelaksanaannya dimungkinkan untuk bekerja, baik secara individual, pasangan, kelompok kecil maupun klasikal. Pembelajaran tematik pada hakikatnya menekankan pada siswa baik secara individual maupun kelompok tuntuk aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik. Maka dalam pelaksanaannya memerlukan berbagai sarana dan prasarana belajar. Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran tematik perlu melakukan pengaturan ruang agar suasana belajar menyenangkan. Sesuai dengan karakteristik pembelajaran tematik, maka dalam pembelajaran yang dilakukan perlu disiapkan berbagai variasi kegiatan dengan menggunakan multi metode. Misalnya percobaan, bermain peran, tanya jawab, demonstrasi, dan bercakap-cakap. Untuk dapat melihat perkembangan pembelajaran maka perlu diadakan evaluasi, yang dalam hal ini menggunakan model evaluasi Stake. Model evaluasi yang dikembangkan oleh Stake menekankan pada dua jenis deskripsi (descriptions) dan pertimbangan (judgements) serta membedakan tiga jenis fase dalam evaluasi program, yaitu: 1) Persiapan atau pendahuluan (antecedents) 2) Proses/transaksi (transaction-processes) 3) Keluaran atau hasil (outcomes, output)
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik Di Mi Mitra PGMI STAIN Ponorogo Intents
Rationale
Observation
Standards
Judgements
Antecendents Transactions Outcomes
Descriptions matrix berhubungan dengan Intens (goal = tujuan) dan observations (effect = akibat). Judgement berhubungan dengan standar (tolok ukur 13
, Vol. 7,(pertimbangan). No. 1, Juli-Desember 2014 = kriteria) dan judgement Stake menegaskan bahwa ketika
evaluator menimbang-menimbang dalam menilai suatu program pendidikan, tentu melakukan perbandingan realatif (antara suatu program dengan yang lain) dan/atau
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
Descriptions matrix berhubungan dengan intens (goal = tujuan) dan observations (effect = akibat). Judgement berhubungan dengan standar (tolok ukur = kriteria) dan judgement (pertimbangan). Stake menegaskan bahwa ketika evaluator menimbang-menimbang dalam menilai suatu program pendidikan, tentu melakukan perbandingan realatif (antara suatu program dengan yang lain) dan/atau perbandingan absolut (suatu program dengan standar). Penekanan paling besar pada model ini adalah pendapat bahwa evaluator membuat keputusan tentang program yang sedang dievaluasi. Stake menunjukkan bahwa description adalah berbeda dengan pertimbangan (judgment). Dalam model ini, data tentang Antecendent (input), Transaction (Proses) dan outcomes (product) tidak hanya dibandingkan untuk menentukan kesenjangan antara yang diperoleh dengan yang diharapkan, tetapi juga dibandingkan dengan standar yang mutlak agar diketahui dengan jelas kemanfaatan kegiatan dalam suatu program. Dengan tegas Stake menegaskan bahwa bukanlah evaluasi jika tanpa pertimbangan. (Suharsimi Arikunto, 1998: 203) F.
Metode Penelitian
1.
Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian evaluasi, model evaluasi yang digunakan adalah Stake’s Countenance Model, Center for Instructional Research and Curriculum Evaluation University of Illinois. Model Stake’s sama dengan model CIPP dan CSE-UCLA (Center for Study of Evaluation at the University of California at Los Angeles) di mana ketiganya cenderung komprehensif dan mulai dari proses evaluasi selama tahap perencanaan dari pengembangan program (Kaufman and Susan, 1980:123). Stake mengidentifikasi tiga tahap dari evaluasi program pendidikan dan faktor yang mempengaruhinya yaitu: 1. Antecedents phase; sebelum program diimplementasikan: Kondisi/ kejadian apa yang ada sebelum implementasi program? Apakah kondisi/kejadian ini akan mempengaruhi program? 2. Transactions phase; pelaksanaan program: Apakah yang sebenarnya terjadi selama program dilaksanakan? Apakah program yang sedang dilaksanakan itu sesuai dengan rencana program? 3. Outcomes phase, mengetahui akibat implementasi pada akhir program. Apakah program itu dilaksanakan 14
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
sesuai dengan yang diharapkan? Apakah klien menunjukkan perilaku pada level yang tinggi di banding dengan pada saat mereka berada sebelum program dilaksanakan?.(Issac, Stephen and William B Michael, 1982: 123) Setiap tahapan tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu description (deskripsi) dan judgment (penilaian) Model Stake akan dapat memberikan gambaran pelaksanaan program secara mendalam dan mendetail. Oleh karena itu persepsi orang-orang yang terlibat dalam sistem pendidikan seperti perilaku guru, peran kepala sekolah, perilaku siswa dan situasi proses belajar mengajar di sekolah adalah kenyataan yang harus diperhatikan. 2.
Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian evaluasi dilakukan dalam konteks yang menyeluruh dalam pembelajaran tematik di MI Mitra. Kegunaannya adalah untuk menggali data yang dibutuhkan dalam rumusan masalah seperti yang dapat dilihat dalam Bab I. Subjek penelitian diambil dari penelusuran data dengan cara memilah sesuai dengan data yang diinginkan. Karena penelitian ini difokuskan dalam evaluasi pembelajaran tematik, subjek penelitian diperlakukan sebagai masukan dalam memperoleh kesimpulan. Sedangkan infrormasi dari kepala sekolah lewat wakil kepala sekolah urusan kurikulum, petugas perpustakaan, guru bidang studi lain, kepala TU, sebagai data pendukung. 3.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah angket, observasi, wawancara dan dokumentasi. 1.
Angket, merupakan seperangkat pertanyan tertulis yang diberikan kepada kepala sekolah, guru dan siswa dengan maksud mengungkapkan keadaan atau kesan yang ada pada diri responden maupun di luar dirinya.
2.
Observasi, digunakan untuk cross cek data mengenai pembelajaran tematik.
3.
Wawancara, digunakan untuk mendapatkan data tentang proses pembelajaran tematik, dalam hal ini perencanaan, media, dan metode pembelajaran. Pengumpulan data dengan wawancara ditujukan pada informan terpilih yang pertimbangannya adalah relevansi dengan tujuan penelitian. Wawancara dilakukan untuk
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
15
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
melengkapi data observasi dan sebagai bentuk triangulasi data. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan terstruktur dan bebas. 4.
Dokumentasi, digunakan untuk mendapatkan data mengenai kesiapan sarana dan prasarana, perencanaan kegiatan, siswa, jumlah guru, dan kondisi sekolah serta hal-hal lain yang berkenaan dengan penelitian ini.
4.
Instrumen Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif dengan peneliti sebagai key instrument. Dalam kapasitasnya sebagai key instrument, peneliti bertindak sebagai perencana, dan pelaksana pengumpulan data di lapangan, dan juga sekaligus analis dan pelapor hasil penelitian. Peneliti mengandalkan pemahaman yang mendalam terhadap fenomena-fenomena perilaku yang ada di lapangan melalui pedoman pengamatan dan pedoman wawancara yang didukung dengan formulir dokumentasi. 5.
Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, langkah berikutnya adalah mengorganisasi data dan menganalisis data melalui data melalui analisis data melalui analisis dinteraktif. Teknik analisis kualitatif yang digunakan adalah model interaktif sebagai berikut: Reduksi data digunakan untuk memilih dan menyederhanakan data-data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data digunakan untuk menyajikan sekumpulan data/ informasi dengan sistematis dan tersusun agar mudah dipahami secara utuh dan integral. Verifikasi (menarik kesimpulan) didasarkan pada hasil pembahasan dan hasil analisis dengan memperhatikan problem penelitian sehingga dapat memberikan arti penting temuan penelitian, dengan maksud mencari makna tentang data yang dikumpulkan. Setelah data di lapangan terkumpul, peneliti langsung melakukan analisis untuk menghindari bertumpuknya data yang mengakibatkan tereduksinya validitas dan kredibilitas data. Jenis analisis yang dilakukan adalah analisis interaktif, yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang berjalan secara simultan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. (Miles, & Huberman, 1992: 16-19)
16
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
G. Hasil Penelitian Evaluasi Pembelajaran Tematik di MI Mitra PGMI 1. Konteks Guru Kelas Awal a. Latar Belakang pendidikan
Latar belakang pendidikan guru rata-rata s1 tetapi sudah ada yang S1 pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, adapun jumlah guru ada tiga orang, yang satu orang sudah S1 yang dua baru lulusan S1.Pengalaman kerja pada guru di bawah lima tahun, tetapi untuk strategi mengajarnya baik.
b. Pelaksanaan Pembelajaran Tematik
Untuk persiapan pembelajaran guru-guru membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan membuat tema, jaringjaring tema, dan menyusunnya menjadi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Sementara itu, hasil observasi guru sudah membuat RPP tetapi sedikit yang membuat RPP secara lengkap. Hasil tema jaringan untuk persiapan sudah ada, karena guru diberi bantuan buku-buku yang sudah ada program dan materi tematik. Silabus dapat dilihat di meja guru-guru di lembaga, dan persiapan pelaksanaan pembelajaran. Guru hanya siap dalam satu atau dua pertemuan saja untuk RPPnya sedangkan selama semester atau setahun belum siap.
Guru melaksanakan pembelajaran tematik dengan variasi dengan menggunakan berbagai macam strategi pembelajaran dan media yang dipakai untuk dapat melaksanakn kurikulum KTSP, yaitu Tematik. Metode ceramah digunakan guru untuk memberikan pengertian dan juga penugasan. Tugas kelompok digunakan untuk pembelajaran yang aktif yang tematik dan agar cepat bekerjasama dengan siswa lainnya. Formasi kursi di kelas ditata sesuai dengan formasi yang membuat siswa dapat aktif dengan tematik. Pembelajaran tematik yang aktif dengan memanfaatkan pengelolaan kelas guru membuat pembelajaran semakin menarik.Pajangan dalam kelas dapat dilihat ketika kita masuk ruangan kelas. Didalam kelas, alat peraga hanya sedikit. Sebagian ditaruh di perpustakaan dan ruangan khusus.
Proses pelaksanaan penilaian guru menerapkan tes dan tes, kalau non tes guru membuat penilaian portofolio, sehingga dapat melihat keaktifan siswa dalam mengumpulkan tugas portofolio. , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
17
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
c. Dukungan dan Hambatan
Dukungan yang ada berasal dari komite madrasah, kepala sekolah, dan gurunya sendiri dengan tekun belajar sesuai dengan pelatihan yang diikuti selama dilakukan oleh PGMI sebagai mitra. Hambatan sedangkan nya, adalah waktu yang terjadi masih kurang karena banyaknya waktu untuk keluarga dan halhal lainnya. Selain itu, pada waktu sore kelas tersebut dipakai kelas lain sehingga pajangan hilang.
H. Pembahasan Evaluasi Pembelajaran Tematik di MI Mitra PGMI 1. Latar Belakang Pendidikan Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa latar belakang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh guru pada kelas awal adalah S1 dan lulusan dari Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). Latar belakang pendidikan yang dimiliki oleh guru saat ini tentunya sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan model pembelajaran tematik. Karena untuk pembelajaran di kelas awal membutuhkan guru yang sesuai dengan kompetensi pada pendidikan dasar, adanya guru-guru lulusan pendidikan dasar maupun madrasah ibtidaiyah maka akan memberikan modal pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum KTSP 2006. a. Pengalamam Guru Mengajar
Pengalaman guru mengajar menjadikan kendala dalam pembelajaran di kelas awal, karena kemampuan guru akan mempengaruhi dalam penyampaian pembelajaran. guru yang menjadi subjek penelitian rata-rata kurang di bawah lima tahun dalam pengalaman mengajar. Kondisi ini mempengaruhi keberhasilan penerapan model pembelajaran tematik. Hal ini terutama berhubungan dengan tingkat kepahaman guru akan karakteristik siswa madrasah ibtidaiyah dan penguasaan guru terhadap keterampilan mengajar.
2. Pelaksanaan Pembelajaran Tematik a. Persiapan Pembelajaran Temtik 18
Pengembangan desain model pembelajaran tematik yang , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
digunakan dalam penelitian ini mengacu pada model pembelajaran tematik yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). 1). Pemetaan Kompetensi Dasar
Kegiatan pemetaan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh dan utuh akan semua standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator dari berbagai mata pelajaran yang dipadukan dalam tema yang dipilih. Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah :
2). Penjabaran Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) ke dalam Indikator
Pada penjabaran SK dan KD ke dalam indikator yang perlu dipertimbangkan adalah kesesuaian antara indikator dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Selain itu juga indikator harus dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan atau dapat diamati.
3). Menentukan Tema
Menurut BSNP (2006) cara untuk menentukan tema dapat dilakukan dengan dua cara yaitu; (1) mempelajari SK dan KD yang terdapat dalam masing-masing mata pelajaran, dilanjutkan dengan menentukan tema yang sesuai; dan (2) menetapkan terlebih dahulu tema-tema pengikat keterpaduan, untuk menentukan tema tersebut, guru dapat bekerjasama dengan peserta didik sehingga sesuai dengan minat dan kebutuhan anak.
Penentuan tema dilakukan berdasarkan minat dan kedekatan tema tersebut dengan diri dan lingkungan siswa. Menurut Meinbach, dkk (1995) penentuan tema dapat berasal dari berbagai sumber, di antaranya : a) Topik-topik yang ada dalam kurikulum (Kompetensi Dasar) Contohnya : binatang-binatang, pengenalan musim, cuaca, tanaman, hidup sehat, matahari dan bulan, mesin sederhana, cahaya dan panas, bertetangga, bermasyarakat, transportasi, kehidupan keluarga, tumbuh menjadi besar dan berolahraga b) Isu-isu yang langsung menimpa diri siswa. Contohnya : pekerjaan rumah, kejadian dalam keluarga, saudara kandung, aturan-aturan, masalah sampah , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
19
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
c)
Masalah-masalah yang lebih cenderung kepada sesuatu yang sifatnya umum. Contohnya : penggunaan energi, kriminalitas, sumber-sumber alamiah, lingkungan dan makanan
d) Kejadian khusus. Contohnya : ulang tahun, liburan, nonton sirkus dan perjalanan wisata. e)
Minat siswa, berkenaan dengan kegemaran atau aktivitas. Contohhnya : teman dan tetangga, liburan, eksplorasi ruang angkasa, naik pesawat terbang atau kapal laut, sesuatu yang menakutkan siswa, alam laut atau pegunungan dan tema-tema yang berasal dari film (dinosaurus, monster, shark).
f)
Ketertarikan pada bacaan. Contohnya : kisah petualangan, fiksi, puisi, kisah misteri, cerita-cerita dongeng, cerita-cerita olah raga, dan buku-buku dari penulis favorit
g) Lebih lanjut Meinbach, dkk (1995) menyatakan beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemilihan tema, yaitu : h) Tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk memadukan banyak bidang studi i)
Memperhatikan lingkungan yang terdekat dengan siswa.
j)
Bermakna, maksudnya bahwa tema yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi siswa untuk belajar selanjutnya
k) Tema yang dipilih harus memungkinkan terjadinya proses berpikir pada diri siswa. l)
Ruang lingkup tema disesuaikan dengan usia dan tingkat perkembangan psikologis anak, termasuk minat kebutuhan dan kemampuannya.
3) Identifikasi dan Analisis Standar Kompetensi Dasar (KD) dan Indikator
Kompetensi
(SK),
Melakukan identifikasi dan analisis untuk setiap SK, KD dan indikator yang cocok untuk setiap tema sehingga semua SK, KD dan indikator terbagi habis, akan tetapi jika terdapat kompetensi yang tidak tercakup pada tema tertentu tetap diajarkan melalui tema lain ataupun disajikan secara tersendiri. Artinya untuk SK, KD dan indikator yang tidak dapat dipadukan dengan mata pelajaran lain disajikan secara tersendiri.
20
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
Selain itu pula dimungkinkan untuk dilakukannya penggabungan kompetensi dasar lintas semester, dengan tetap memperhatikan organisasi materi pelajaran yang diberikan kepada siswa. a.
Menetapkan Jaringan Tema
Jaringan tema dibuat untuk menghubungkan KD dan indikator dengan tema pemersatu. Dengan jaringan tema tersebut akan terlihat kaitan antara tema, KD dan indikator dari setiap mata pelajaran. Jaringan tema ini dikembangkan sesuai dengan alokasi waktu setiap tema.
b. Penyusunan Silabus
Hasil seluruh proses yang telah dilakukan pada tahap-tahap sebelumnya dijadikan dasar dalam penyusunan silabus. Komponen silabus terdiri dari SK, KD, indikator, pengalaman belajar, alat/sumber dan penilaian
c. Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP merupakan realisasi dari pengalaman belajar siswa yang telah ditetapkan dalam silabus pembelajaran. Komponen RPP tematik meliputi : a) Identitas mata pelajaran (nama mata pelajaran yang akan dipadukan, kelas, semester dan waktu/banyaknya jam pertemuan yang dialokasikan). b) Kompetensi dasar dan indikator yang akan dilaksanakan. c)
Materi pokok beserta uraiannya yang perlu dipelajari siswa dalam rangka mencapai kompetensi dasar dan indikator.
d) Strategi pembelajaran (kegiatan pembelajaran secara konkret yang harus dilakukan siswa dalam berinteraksi dengan materi pembelajaran dan sumber belajar untuk menguasai kompetensi dan indikator. Kegiatan ini tertuang dalam kegiatan pembukaan, inti dan penutup) e)
Alat dan media yang digunakan untuk memperlancar pencapaian kompetensi dasar, serta sumber bahan yang digunakan dalam kegiatan pembelajaran tematik sesuai dengan KD yang harus dikuasai.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
21
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
f)
2.
Penilaian dan tindak lanjut (prosedur dan instrumen yang akan digunakan untuk menilai pencapaian belajar peserta didik serta tindak lanjut hasil penilaian).
Pelaksanaan Pembelajaran Tematik
Pelaksanaan pembelajaran tematik merupakan inti dari aktivitas pembelajaran, yang dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan ramburambu yang telah disusun dalam perencanaan sebelumnya. Pada tahapan ini dapat diketahui kekuatan dan kelemahan dari rancangan desain yang telah disusun. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan guru dalam melaksanakan model pembelajaran tematik. Kemampuan guru dalam menerapkan pembelajaran tematik yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pada kemampuan guru untuk menerapkan langkah-langkah pembelajaran yang telah ditetapkan. Peningkatan kemampuan guru ini tidak lepas dari meningkatnya pemahaman dan keterampilan guru dalam mengembangkan materi pembelajaran yang terkait dengan tema. Kemampuan guru dalam mengembangkan materi pembelajaran ini erat hubungannya dengan pemilihan tema yang menjadi fokus pembelajaran. Menurut pengakuan guru, pemilihan tema yang dekat dengan diri dan lingkungan siswa sangat membantu guru dalam mengembangkan materi pembelajaran. Di samping itu pula, pemilihan tema juga sangat mempengaruhi motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran. Selain itu juga tema yang menjadi fokus pembelajaran membuat siswa tidak merasa dibebani dengan adanya pemilihan bidang studi yang ketat, karena melalui pembelajaran tematik membuat mereka belajar sesuatu yang utuh dan padu. Menurut Dunkin ada sejumlah aspek yang dapat mempengaruhi kualitas proses pembelajaran dilihat dari faktor guru yaitu (1) Formative experience, meliputi jenis kelamin serta semua pengalaman hidup yang menjadi latar belakang sosial mereka (2) Teacher training experience, meliputi pengalaman-pengalman yang berhubungan dengan aktivitas dan latar belakang pendidikan guru, (3) Training properties , segala sesuatu yang berhubungan dengan sifat yang dimiliki guru, seperti sikap guru terhadap siswa, kemampuan dan intelegensi guru baik dalam kemampuan guru dalam pengelola pembelajaran maupun kemampuan guru dalam penguasaan materi pembelajaran. (Wina Sanjaya, 2006) 22
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
Evaluasi terhadap proses pembelajaran terutama ditujukan untuk melihat dampak pengiring yang dihasilkan dari penerapan pembelajaran tematik terhadap siswa, seperti kemampuan bertanya, mengeluarkan pendapat dan bekerjasama. Sedangkan evaluasi terhadap produk pembelajaran dilakukan untuk mengetahui tingkat ketercapaian terhadap penguasaan materi yang diajarkan. Hal ini dilakukan dengan penilaian portofolio. 3. Dukungan dan hambatan Keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah guru, siswa, sarana dan prasarana serta lingkungan. a. Guru
Guru merupakan komponen yang sangat menentukan dalam implementasi model pembelajaran tematik. Keberhasilan penerapan model pembelajaran tematik ini terutama berhubungan dengan kualitas atau kemampuan yang dimiliki oleh guru.
b. Faktor siswa
Perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungan, sehingga jika guru dapat menguasai lingkungan pembelajaran maka akan dapat menerapkan pembelajaran tematik yang ada.
c. Sarana dan prasarana
Untuk sarana prasarana sudah cukup memadai apalagi Madrasah Ibtidaiyah Setono ini merupakan madrasah mitra PGMI STAIN Ponorogo, sehingga sarana prasaran sangat mencukupi untuk melakukan pembelajaran di sekolah.
I.
Kesimpulan Dan Saran
1. Kesimpulan a.
Konteks guru dalam pembelajaran tematik untuk kelas awal sudah sesuai, sedangkan untuk pengalaman mengajar kurang, tetapi hasil dari pelatihan yang ada hasilnya guruguru dapat menerapkan pembelajaran Tematik dengan baik.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
23
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
b.
Pelaksanaan pembelajaran tematik sudah berjalan baik, dengan indikasi adanya RPP, dan juga pajangan dari hasil kerja siswa serta menggunakan penilaian portofolio untuk yang banyak praktek dan kerja kelompok.
c.
Dukungan dan hambatan dalam pembelajaran Tematik berasal dari guru, siswa dan lingkungan, tetapi hal-hal tersebut dapat dilalui dan hasilnya pembelajaran tematik dapat dilaksanakan dengan baik.
2. Saran a.
Untuk guru-gurunya agar ditingkatkan kemampuan pembelajaran dengan melalui pelatihan-pelatihan dalam rangka untuk meingkatkan kapasitas guru.
b.
Untuk pelaksanakaan pembelajaran tematik agar dilakukan diskusi-diskusi kecil dengan guru lainnya agar pembelajaran tematik semakin lancar.
c.
Dukungan dari komite maupun kepala sekolah digunakan dengan sebaik-baiknya untuk mengembangkan kemampuan guru.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan.2006.Model Kurikulum Satuan Pendidikan dan Model SilabusMatapelajaran MI/SD. Jakarta: BP Cipta Jaya. Depdiknas. 2006. Strategi Pembelajaran yang Mengaktifkan Siswa Siswi. Jakarta: Depdiknas. Depdiknas. 2005. Pembelajaran Tematik Kelas Awal Sekolah Dasar. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan. Fogarty R,1991. The Mindfull School: How to Integrate the Curricula. Palatine, Illinois: Skylight Publishing, inc. Gordon, Thomas. 1986. Guru yang Efektif: Cara untuk Mengatasi Kesulitan dalam Kelas. (penyadur: Mudjito). Jakarta: Rajawali. Hurlock, Elizabets. (1978). Perkembangan anak. Jakarta: Gelora aksara pratama Hurloch, Elizabeth. (1980). Developmental Psychology.New York: Mc. Graw Hill. Inc 24
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
Hurlock, Elizabeth B. (1996). Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga -----------------------. (1991). Perkembangan Anak Jilid 1, Jakarta: Erlangga _______________. Erlangga
(1991). Perkembangan Anak Jilid 2, Jakarta:
Hilgard, E.R., & Bower, G.H. (1975). Theory of learning (5nd ed). Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Inggridwati Kurnia. (2007). Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: Depdiknas Issac, Stephen and William B Michael. 1982. Handbook in Research and Evaluation. 2nd edition, San Diego: California, Edits Publisher Kaufman, Roger. and Susan Thomas,1980. Evaluation Without Fear, London Mamik, Sutirjo Sri Istuti. 2005. Tematik: Pembelajaran Efektif dalam Kurikulum 2004. Malang: Bayumedia Publishing Muhadjir, Noeng. 1987. Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial, Suatu Teori Pendidikan. Yogyakarta: Rake Sarasin Muhibbin Syah. 1997. Psikologi Pendidikan: Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Miles, M.B., & Huberman, A.M.1992. Analisis data kualitatif. (Terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia (UIPress). Puskur Balitbang. 2006. Pembelajaran Tematik.Jakarta: Depdiknas. Sanjaya, W. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media. Sanjaya, Wina. 2004. Pengembangan Kurikulum dan Proses Pembelajaran. Bandung: San Grafika. Sa’ud, Udin Syaefuddin, dkk. 2006. Pembelajaran Terpadu. Bandung: UPI Press. Subroto, Tisno Hadi dan Ida Siti Herawati. 2003. Pembelajaran Terpadu, Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
25
Athok Fu’adi - Evaluasi Program Pembelajaran Tematik...
Sukandi, U. 2003. Belajar Aktif & Terpadu. Surabaya: Duta Graha Pustaka. Samani, Muchlas. 2007. Menggagas Pendidikan Bermakna: Integrasi Life Skill-KBK-CTL-MBS, Surabaya: SIC. Suharsimi Arikunto.1998. Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Rineka Sukmadinata. (2003). Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung: Rosdakarya Sumantri, Mulyani, dan Nana Syaodih. (2007). Perkembangan Peserta Didik. Cet.XVII. Jakarta: Universitas Terbuka Syamsu Yusuf LN. (2006). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Cet.VII. Bandung: Remaja Rosdakarya Tim Pustaka Yustisia. 2007. Panduan Lengkap KTSP. Pustaka Yustisia.
Yogyakarta:
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka. Tim Penulis. 2007. Model Silabus Tematik Sekolah Dasar Kelas 1. Jakarta: Grasindo. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 2003 Tim Penulis 2009.Pembelajaran Tematik. Jakarta: LAPIS-PGMI
26
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
TOTAL PHYSICAL RESPONSE (TPR) UNTUK MENINGKATKAN TEKNIK MAHARAH AL-KALAM PADA SISWA MADRASAH IBTIDAIYAH Rodifatul Chasanah 1 Abstrak Teach Arabic to motivated Arabic learning students in tpr. While usually thought of as a powerful language learning approach for beginning students, TPR actually has great potential for learners at any level of ability. The basic idea behind Total Physical Response is that a language learner learns to hear something in the language and then physically respond to it. This method was designed to accelerate listening comprehension of a foreign language by having subjects give a physical response when they heard a foreign utterance. This suggested that perhaps listening training should be continued for a long time without an attempt to speak before the student is asked to make any utterance in the foreign language.
Key note : Total Physical Response, Maharah Al-Kalam di Madrasah Ibtidaiyah
A. Pendahuluan Bahasa masih diyakini menjadi salah satu instrumen yang cukup fundamental dalam menentukan pencapaian beragam keberhasilan dan memiliki peran sentral khususnya dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional seseorang. Cukup beralasan manakala dalam dunia pendidikan, bahasa diharapkan membantu peserta didik mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat, menemukan serta mengkonstruksi kemampuan analitis dan imaginatif dalam dirinya. Pada titik inilah betapa tidak dapat dihindari tindakan pertama dan paling penting dilakukan manusia sebagai makhluk sosial melalui bahasa adalah berkomunikasi yang berguna sebagai media 1 Dosen PPBA Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, email:diefa_ el-fath@yahoo.com
27
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
mempertukarkan pengalaman, mengemukakan dan menerima pikiran, mengutarakan perasaan, atau saling mengekspresikan maupun menyetujui sebuah pendirian. Pada gilirannya, bahasa pun menjadi alat komunikasi paling dominan, yang karenanya penyelenggaraan kegiatan pembelajaran bahasa melalui beberapa keterampilannya seperti mendengar, berbicara, membaca, dan menulis menjadi kompetensi yang harus dikuasai karena diyakini akan sangat menunjang seseorang dalam berbagai sektor kehidupan terlebih lagi di era global ini. Menjadi terang bahwa salah satu fungsi utama bahasa adalah sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan perasaan kepada orang lain. Melalui bahasa manusia dapat saling berhubungan (berkomunikasi), saling berbagai pengalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual. Sungguhpun demikian penguasaan dan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi yang baik dan benar belum selalu memuaskan. Dalam perhatian Larry, Gilbert King, & Bill (2004: 78) masih ada sejumlah peserta didik yang selalu ragu untuk berbicara. Ada rasa takut berbicara kalau mengatakan hal yang salah atau mengatakan hal yang benar dengan cara yang salah. Adalah kian meyakinkan, dalam komunikasi lisan, dari sekian keterampilan dalam pembelajaran bahasa itu, keberadaan keterampilan berbicara seperti diyakini (Fachrurrozi, dan Mukhshon : 14) menjadi keterampilan khusus, dan menempati peran paling strategis, karena bereduksi menjadi suatu bentuk perilaku manusia yang memanfaatkan faktor-faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif, secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. Setidaknya berangkat dari penjelasan yang cukup reasionable inilah menurut Iskandarwassid, dan Dadang Sunendar (2008 : 241) menjadikan keterampilan berbicara harus dimiliki peserta didik sehingga memiliki kemampuan untuk mereproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginannya kepada orang lain. Demikian halnya dengan keterampilan berbicara dalam Bahasa Arab, terlihat misalnya selain keberadaannya termasuk dalam rumpun bahasa Semit yang maju, bahasa arab seperti ditegaskan
28
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
Umam (2006:9) juga sebagai bahasa al-Qur’an, bahkan kosakata dalam bahasa Indonesia juga banyak yang menyerap dari bahasa Arab, dan disinilah keberadaanya berpengaruh dalam pasang surut peradaban dunia. Menjadi sangat beralasan apabila Bahasa Arab menjadi salah satu pelajaran dalam kegiatan pendidikan di negeri ini, yang kemudian secara konseptual, pembelajaran Bahasa Arab didefinisikan dengan:
كما هّأنا أداة, ومجع كلمة افردها.اللغة هي الوسيلة العظمى لضم صفوف االمة الواحدة ّ عما وهي وسيلة التفاهم بني إفراد اجلما عة الوا حدة, والة لعرض ما ينتجه العقل.يفكر املرأ ّ للتعبري )V, املرجع ىف اللغة العرا بية ىف حنوها وصرفها,(على رضا Melalaui definisi tersebut secara sederhana dapat dipahami bahwa pembelajaran bahasa Arab adalah proses interaksi peserta didik dengan lingkungannya (dalam hal ini adalah bahasa Arab) sehingga terjadi perubahan perilaku siswa dimana mereka dapat memahami, mengerti, dan menguasai keterampilan bahasa Arab yang meliputi menulis, membaca, mendengarkan, berbicara dengan baik dan benar. Kian terang bahwa Bahasa Arab merupakan mata pelajaran yang mengembangkan ketrampilan berkomunikasi lisan dan tulisan untuk memahami dan mengungkapkan informasi, pikiran, persaaan serta mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Keseluruhan aspek pembelajaran Bahasa Arab meliputi menyimak, berbicara, membaca dan menulis saling berhubungan, misalnya, ketrampilan mendengarkan memberikan kontribusi terhadap perkembangan berbicara, kedua kemampuan tersebut diperkuat oleh kemampuan membaca, semantara ketrampilan menulis memberikan kontribusi pada ketrampilan membaca daam bentuk teks atau dokumentasi. Keterampilan berbicara dalam pembelajaran bahasa yang diyakini menempati peran utama dalam komunikasi juga tidak dapat dihindari dalam pembelajaran bahasa Arab yang disebut dengan Maharah al-Kalam, yang secara bahasa sepadan dengan istilah speaking skill dalam bahasa Inggris dimana arti sederhananya dipahami sebagai keterampilan berbicara. Sementara berbicara dimaknai sebagai
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
29
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, maka Maharah al-Kalam adalah kemampuan seseorang untuk mengucapkan artikulasi bunyi-bunyi Arab (ashwath ‘arabiyyah) atau kata-kata dengan aturan-aturan kebahasaan (qawa’id nahwiyyah wa sharfiyyah) tertentu untuk menyampaikan ide-ide dan perasaan. Karena itu pengajaran bahasa Arab bagi non-Arab pada tahap awal seperti digambarkan Fachrurrozi dan Erta (2011 : 129-130) bertujuan, antara lain, supaya siswa bisa mengucapkan bunyi-bunyi Arab dengan benar (khususnya yang tidak ada padanannya pada bahasa lain) dan dengan intonasi yang tepat, bisa melafalkan bunyibunyi huruf yang berdekatan, bisa membedakan pengucapan harakat panjang dan pendek, mampu mengungkapkan ide dengan kalimat lengkap dalam berbagai kondisi, mampu berbicara dengan kalimat sederhana dengan nada dan intonasi yang sesuai, bisa berbicara dalam situasi formal dengan rangkaian kalimat yang sederhana dan pendek, serta mampu berbicara dengan lancar seputar topik-topik yang umum. Sementara itu, keberhasilan belajar bergantung pada beragam faktor pendukung, seperti siswa, guru dan metode yang digunakan dalam pembelajaran untuk mempermudah dalam menguasai ilmu pengetahuan kebahasaan, sehingga tidak jarang dijumpai kesulitan jika dalam proses belajar tidak sesuai dengan karakteristik metodenya. Berangkat dari itu, metode pembelajaran Bahasa Arab mendapat perhatian para ahli pembelajaran Bahasa dengan melakukan berbagai kajian dan peneitian untuk mengetahui efektifitas berbagai metode pembelajaran. B. Konstruksi Maharah al-Kalam; Formulasi, Teknik dan Strategi Pembelajaran 1.
Pengertian Maharah al-Kalam
Secara terminologi, Maharah al-Kalam adalah kemampuan mengungkapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan pikiran berupa ide, pendapat, keinginan, atau perasaan kepada lawan bicara. Dalam makna yang lebih luas, berbicara Tarigan & Heri Guntur (1994 : 15) menurut merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar dan dilihat yang memanfaatkan 30
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia untuk menyampaikan pikiran dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Pada hakekatnya maharah al-kalam merupakan kemahiran menggunakan bahasa yang paling rumit, yang dimaksud dengan kemahiran berbicara adalah kemahiran mengutarakan buah pikiran dan perasaan dengan kata-kata dan kalimat yang benar, ditinjau dari sistem gramatikal, tata bunyi, di samping aspek maharah berbahasa lainnya yaitu menyimak, membaca, dan menulis. Kemampuan berbicara (maharah al-kalam) dijelaskan Imam (2009 : 22) didasari oleh; kemampuan mendengarkan (reseptif), kemampuan mengucapan (produktif), dan pengetahuan (relative) kosa-kata dan pola kalimat yang memungkinkan siswa dapat mengkomunikasikan maksud/fikirannya. Secara umum maharah al-kalam bertujuan agar mampu berkomunikasi lisan secara baiok dan wajar dengan bahasa yang mereka pelajari. Secara baik dan wajar mengandung arti menyampaikan pesan kepada orang lain dalam cara yang secara sosial dapat diterima. Sasaran teknik ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan bahasa Arab pada situasi yang alami dengan sikap spontanitas kreatif, disamping penguasaan tata bahasa. Lebih fokusnya adalah menyampaikan makna atau maksud yang tepat sesuai dengan tuntunan dan fungsi komunikasi pada waktu tertentu. Kemahiran berbicara (maharah al-kalam) merupakan salah satu kemahiran berbahasa yang aktif-produktif, kemampuan berbicara menuntut penguasaan terhadap beberapa aspek dan kaidah penggunaan bahasa (Djiwandono, 1996). Secara umum, proses pembelajaran maharah kalam tidak jauh berbeda dengan pembelajaran kemahiran berbahasa lainnya yang bersifat gradual. Namun masingmasing dari maharah memiliki ciri dalam proses pembelajarannya. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas secara umum tentang Pendekatan, Metode, Strategi, dan Teknik Pembelajaran Maharah Kalam yang diharapkan mampu memberikan kemudahan dan pemahaman bagi para pendidik maupun peserta didik dalam proses pembelajaran Maharah al-kalam.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
31
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
2.
Pendekatan Pembelajaran Maharah al-kalam
Pendekatan (Madkhal/ approach) adalah seperangkat asumsi berkenaan dengan hakikat bahasa dan belajar mengajar bahasa bersifat aksiomatis. Berikut adalah paparan tentang macam-macam pendekatan, diantaranya adalah : 1) Pendekatan Humanistik (Humanistic Approach)
Pendekatan ini memberi tempat yang utama pada peserta didik karena mereka adalah subjek utama dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini berasumsi bahwa peserta didik memiliki potensi, kekuatan, dan kemampuan untuk berkembang serta memiliki kebutuhan emosional, spiritual, dan intelektual yang harus diperhatikan. Penyampaian materi tidak dijadikan sebagai suatu yang menekan, membebani, melainkan bagaimana penguasaan bahasa menjadi kebutuhan peserta didik sebagaimana kebutuhan lainnya. Langkah pertama untuk merealisasikan tujuan hal itu adalah memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bercakap tentang diri dan perasaannya serta bergantian mengungkapkan berbagai hal mengenai diri mereka. Proses ini bisa memenuhi kebutuhan pembelajar untuk aktualisasi diri.
2) Pendekatan Teknik (Media-Based Approach)
Pendekatan yang didasarkan pada pemanfaatan media pembelajaran dan teknik-teknik pendidikan. Pendekatan ini berpendapat bahwa media dan teknik pembelajaran sangat berperan dalam menyampaikan pengalaman belajar serta bisa mengubah pengalaman belajar menjadi pengalaman yang nyata (terindra). Pendekatan ini bertujuan untuk memberikan cara untuk menjelaskan materi – materi dengan menggunakan gambar-gambar, peta, lukisan, menghadirkan contoh yang nyata, kartun dan lain sebagainya yang sekiranya dapat membantu memahamkan siswa tentang pesan-pesan kata bahasa asing.
3) Pendekatan Mendengar-Mengucapkan (Aural Oral Approach)
32
Pendekatan ini mengandaikan bahwa bahasa adalah apa yang didengar dan diucapkan, bukan simbol. Sedangkan tulisan hanyalah representasi dari ujaran. Dari asumsi ini dapat dikatakan bahwa bahasa adalah ujaran. Pembelajaran bahasa harus dimulai dengan mendengarkan bunyi-bunyi bahasa yang berbentuk kata
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
dan kalimat. Jadi pendidik meminta peserta didiknya menirukan pelafalan kata/kalimat untuk dihafal, sebelum membaca dan menulis diajarkan. Asumsi lain dari pendekatan ini bahwa bahasa adalah kebiasaan. Suatu prilaku akan menjadi kebiasaan apabila diulang berkali-kali. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Arab dengan pendekatan aural oral approach ini menuntut adanya kegiatan pembelajaran bahasa yang dilakukan dengan teknik pengulangan atau repetisi. 4) Pendekatan Komunikatif (Communicative Approach)
Pendekatan yang menitikberatkan pengajaran bahasa secara konunikatif artinya pengajaran yang dilandasi oleh teori komunikatif atau fungsi bahasa. Tujuan pengajaran bahasa dalam pendekatan ini adalah untuk mengembangkan kemampuan komunikatif serta prosedur pengajaran ketrampilan berbahasa yang saling memiliki ketergantungan antara bahasa dan komunikasi. Menurut Hymes, terdapat empat faktor yang menjadi pembangun dan menjadi ciri penanda kompetensi komunikatif ini, yaitu kegramatikalan (penguasaan tata bahasa secara baik), keberterimaan (saling dapat dipahami dan memahami), ketepatan (konteks dengan situasi yang berkembang), dan keterlaksanaan (praktik yang dilakukan secara terus-menerus). Tujuan pengajaran bahasa adalah untuk menolong pembelajar mencapai kemampuan komunikatif.
3.
Metode Pembelajaran Maharah al-kalam
Metode (Thariqah/Method) dijelaskan Murtadho (2008 : 221) adalah perencanaan secara menyeluruh yang terkait dengan penyajian bahan ajar bahasa secara sistematis dan bersifat prosedural digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Berikut metodemetode yang telah berkembang dalam pembelajaran, yaitu 1) Metode Nahwu wa tarjamah
Penerapan metode ini banyak menekankan pada penggunaan nahwu (tata bahasa) dan praktik penerjemahan dari bahasa dan ke dalam bahasa sasaran. Metode ini bahkan harus kita akui sebagai metode yang paling populer digunakan dalam pembelajaran bahasa baik di sekolah, pesantren maupun di perguruan tinggi.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
33
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
2) Thariqah Mubassyaroh (Metode Langsung/Direct Method)
Metode ini lahir sebagai reaksi terhadap penggunaan metode nahwu wa tarjamah yang mengajarkan bahasa seperti bahasa yang mati. Metode ini memberikan banyak waktu untuk melatih keterampilan berbicara sebagai ganti dari keterampilan membaca, menulis, dan menterjemahkan. Dalam prakteknya, metode ini selalu mengaitkan antara kata-kata yang diajarkan menggunakan model meniru dan menghapal dengan objek-objek yang ditunjuk oleh kata-kata tersebut, antara suatu kalimat dengan situasi yang diungkapkannya. Dengan demikian metode ini dinamakan metode langsung.
3) Thariqah Sam’iyah Syafawiyah (Audio Lingual Method)
Beragam asumsi yang mendukung dalam metode ini antara lain : a) Essensi bahasa adalah berbicara. Sedangkan menulis merupakan bagian dari gambaran berbicara. Oleh karena itu perhatian dalam pengajaran bahasa asing hendaklah dicurahkan untuk tercapainya keterampilan berbicara, bukannya keterampilan membaca atau menulis. b) Proses pengajaran bahasa hendaklah mengikuti urutan – urutan tertentu, yaitu : mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. c)
Metode pemerolehan bahasa adalah dengan pembentukan kebiasaan-kebiasaan dalam bahasa, yaitu dengan jalan berlatih secara bertahap.
4) Metode Eklektik
Metode ini muncul sebagai respon atas munculnya ketiga metode di atas. Asumsi-asumsi metode ini adalah : a) Tak ada satu metode pun yang sempurna, sebagaimana halnya tidak ada satu metode pun yang salah total, sehingga setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangannya masing-masing. b) Prinsip utama dalam pengajaran terpusat pada pembelajar dan kebutuhannya. Bukannya kepada metode tertentu tanpa memperhitungkan kebutuhan pembelajar. Seorang guru hendaklah merasa bebas dalam memilih metode
34
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
yang akan digunakannya sesuai dengan kondisi siswa, dan dengan tidak menutup mata dari berbagai penemuan baru dalam metodologi pengajaran. Seorang guru mungkin dapat memilih satu metode atau beberapa metode yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan situasi belajar-mengajar. 4.
Strategi Pembelajaran Maharah al-kalam
Poin penting dalam mendefinisikan belajar telah digariskan Slamet (2003:2) sebagai proses usaha yang diupayakan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dengan lingkungannya. Sebaliknya, mengajar pada hakikatnya adalah suatu proses, yakni proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada disekitar siswa sehingga dapat menumbuhkan dan mendorong siswa melakukan proses belajar mengajar. Pada tahap berikutnya mengajar didefinisikan Nana Sudjana (1989: 29) sebagai suatu proses memberikan bimbingan atau bantuan kepada siswa dalam proses belajar mengajar.. Ehlers dan Lee (1963 : 27) dalam bukunya mengatakan bahwa: Good theaching will have to aspect. It will include the communication of positive knowledge and accepted principles a long with an analysis of the line of reasoning, or wherever appropriate, the repetition, or at least the description of the experiments by wich the conclusions were reached. The other aspect discussion of diverse view on issues stiil unstelled. Dapat dimengerti bahwa mengajar yang baik meliputi dua aspek, yaitu terciptanya komunikasi atau memberikan suatu ilmu pengetahuan yang positif dan diterimanya sebuah analisis sebagai dasar pemikiran atau merupakan sedikit gambaran dari suatu percobaan (penelitian) yang mana kesimpulannya dapat dijangkau. Aspek yang lain adalah mendiskusikan macam-macam pendapat atau pendengaran dalam suatu hal yang belum pasti kebenarannya. Sementara itu, kegiatan belajar mengajar dideskripsikan Suryatna Rafi’i (1985 : 52) suatu kondisi yang sengaja diciptakan, gurulah yang menciptakan nya guna membelajarkan siswa. Guru yang mengajar dan siswa belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru dan siswa
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
35
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
terlibat dalam interaksi dengan bahan pelajaran sebagai medianya. Kegiatan belajar mengajar adalah proses yang bertujuan. Tujuannya tersebut dinyatakan dalam rumusan tingkah laku yang diharapkan dimiliki siswa setelah menyelesaikan pengalaman belajarnya. Perlu diketahui bahwa proses belajar yang bermakna adalah proses belajar yang melibatkan berbagai aktivitas siswa. Untuk itu guru harus berupaya untuk mengaktifkan siswa. Sebagai salah satu komponen pembelajaran, metode mempunyai peran yang sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar. Bahkan dapat dikatakan bahwa dalam kegiatan belajar mengajar semuanya menggunakan metode. Karena metode menurut Abdul Hamid (2008 : 3) merupakan suatu alat untuk menyajikan bahan atau materi pelajaran dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Sedangkan menurut Zakiyah Daradjat (tt:1) metode adalah suatu cara kerja yang sistematis dan umum, seperti cara kerja ilmu pengetahuan. Disamping itu perlu ditegaskan bahwa pembelajaran sendiri merupakan suatu upaya yang disengaja dan direncanakan sedemikian rupa oleh pihak guru, sehingga memungkinkan terciptanya suasana dan aktivitas belajar yang kondusif bagi para siswanya. Sehingga Radliyah Zaenudin (2005 : 92) menyimpulkan bahwa proses pembelajaran merupakan dua rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang pendidik yang hal ini disebut mengajar disusul oleh kegiatan yang disebut belajar yang berlangsung pada waktu yang telah ditentukan guna mencapai tujuan tertentu. Dari uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran merupakan cara yang sistematis dalam menyampaikan materi kepada siswa guna mencapai tujuan yang diinginkan, dengan melihat definisi tersebut diatas, maka tujuan metode pembelajaran adalah : a) Memberi jalan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran yang ditempuh oleh guru dan siswa. b) Memberi gambaran rencana secara meyeluruh dalam pencapaian tujuan pembelajaran secara sistematis c)
36
Memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
Melihat dari definisi dan tujuan metode pembelajaran diatas, maka dapat disimpulkan pula metode ialah cara atau jalan yang ditempuh oleh guru untuk meyampaikan materi pelajaran kepada siswa. Karena itu setelah guru memikirkan bahan pelajaran, maka hendaklah ia memikirkan cara penyampaian bahan tersebut dalam pikiran siswa. Guru menurut Abu Bakar Muhamad (1981 : 8) harus memikirkan metode yang paling baik untuk menyusun bahan itu, dan menjadikan susunanan bahan mata pelajaran itu sebagai mata rantai sambung menyambung. Dengan metode pembelajaran yang digunakan dapatlah memudahkan siswa belajar sesuatu yang berguna dan bermanfaat, bagaimana memadukan antara isi dan nilai yang terkandung dalam pembelajaran, dan belajar diharapkan dapat membentu siswa untuk meningkatkan kemampuan yang sesuai dengan tujuan instruksional yang ingin dicapai. Strategi merupakan rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus. Sedangkan dalam konteks pembelajaran, strategi adalah kemampuan internal seseorang untuk berpikir, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Artinya bahwa proses pembelajaran akan menyebabkan peserta didik berpikir untuk menganalisis, memecahkan masalah dalam mengambil keputusan. Peserta didik akan mempunyai kontrol yang tinggi yaitu analisis yang tajam, tepat dan akurat. Strategi sebagai dasar pembelajaran khususnya Bahasa Arab meliputi empat komponen utama yaitu: 1) Mengefektikan tujuan pembelajaran
Keaktifan belajar siswa dalam bahasa menjadi kunci, baik aktif belajar maupun pengembangan materi kebahasaan. Strategi yang diambil harus senantiasa bermuara untuk menciptakan keaktifan, baik secara fisik maupun mental, akan tetapi aktif mental lebih diutamakan.
2) Menentukan kembali pendekatan pembelajaran
Dalam belajar bahasa, seseorang diberi kebebasan untuk menggunakan strategi yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah strategi yang dapat menggugah semangat untuk mengembangkan ilmu yang telah diterima. Sehingga peserta didik setelah belajar merasa ilmu yang sedang dipelajari bermanfaat dan mempunyai keberanian untuk mengekspresikan ide atau gagasan kepada teman , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
37
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
4) Menetapkan langkah-langkah yang ditempuh sejak awal sampai akhir.
Belajar bahasa Arab khususnya maharah al-kalam harus mengikuti pola tadarruj (dari yang mudah sampai ke yang sulit).
5) Menetapkan ukuran keberhasilan
Dalam strategi pembelajaran suatu kegiatan pembelajaran yang dikerjakan pendidik dan peserta didik dilakukan secara optimal agar pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien atau sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai sebelumnya.
C. Mengimplementasikan Total Physical Response (TPR) dalam Pembelajaran Maharotul Kalam pada Madrasah Ibtidaiyah 1.
Pemahaman Konsep Total Physical Response (TPR)
Total Physical Response seperti dipahami Ghazali (2010 : 96) merupakan metode pembelajaran bahasa yang menggunakan perintah-perintah lisan dengan tujuan agar siswa dapat menunjukkan pemahamannya terhadap maksud dari perintah-perintah lisan itu. Secara teknis, guru memberikan beberapa contoh melalui gerakan maupun tindakan yang diperintahkan itu sehingga siswa secara tidak langsung mendapatkan struktur tatabahasa dan kosakata dari bahasa target. Selama periode latihan menyimak, siswa diminta untuk merespon perintah dari guru, kemudian siswa berganti peran dengan gurunya memproduksi bahasa dengan cara memberikan perintah kepada teman sekelasnya bahkan dengan gurunya. Kemampuan membaca dan menulis digunakan untuk menunjang komponen lisan/ menyimak ini. Para siswa diminta untuk menuliskan semua kosakata dan struktur tatabahasa yang telah diajarkan dalam pertemuan itu pada buku tulis mereka pada akhir pelajaran. Metode ini sangat membantu untuk mempermudah guru dan siswa dalam proses pembelajaran kosakata karena metode ini juga dapat dikombinasikan dengan gambar/benda nyata dan juga gerakan tubuh, agar siswa dapat memahami dan mengekspresikannya. Berangkat dari beberapa pengalaman yang berhasil dihimpun, diyakini bahwa pembelajaran bahasa dengan metode TPR ini disukai sebagian besar siswa, terlihat misalnya ketika siswa diminta memperagakan makna kosakata dalam proses pembelajaran, mereka 38
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
dengan meresponnya dengan berdiri dari tempat duduknya untuk memperagakan kosakata tersebut. Selain itu, siswa juga tidak merasa bosan karena mereka belajar sambil melakukan (learning by doing), dan menurut Nurhidayati dan Ridwan (2005:10), sejalan dengan dengan salah satu karekteristik anak-anak dalam pembelajaran bahasa yaitu anak-anak belajar sambil bekerja/learning by doing. Melalui penerapan metode TPR dalam pengajaran kosakata bahasa Arab, siswa secara langsung dapat mengetahui makna kosakata tersebut tanpa harus meraba-raba makna kosakata itu sendiri. Betapa tidak, dengan peragaan secara otomatis siswa secara langsung dapat mengetahui makna kosakata tanpa melaui metode terjemah. Disinilah nampaknya relevan dengan dengan teori perkembangan kognitif Piaget, yaitu anak-anak pada usia Madrasah Ibtidaiyah, perkembangan kognitifnya masih berada pada tahap operasi konkrit (concrete operational). Sejauh ini telah ada beberapa macam metode yang biasa digunakan seorang guru atau instruktur dalam meningkatkan kemampuan belajar peserta didiknya seperti metode diskusi, ceramah, inquiry dan lain-lain. Dengan maksud meyakinkan, dalam pembelajaran Bahasa Arab nampaknya metode Total Physical Response dirasa cukup efektif untuk mencapai kualitas hasil belajar yang jauh lebih baik khusunya dalam Maharotul Kalam. 1.
Pengertian Metode TPR (Total Physical Response) Richards J, mendefinisikan TPR dengan:
“a language teaching method built around the coordination of speech and action; it attempts to teach language through physical (motor) activity�. Metode pembelajaran bahasa yang disusun pada koordinasi perintah (command), ucapan (speech) dan gerak (action); dan berusaha untuk mengajarkan bahasa melalui aktivitas fisik (motor). Sedangkan menurut Larsen dan Diane dalam Technique and Principles in Language Teaching, TPR atau disebut juga �the comprehension approach� atau pendekatan pemahaman yaitu suatu metode pendekatan bahasa asing dengan instruksi atau perintah. Secara historis, metode ini dikembangkan oleh James J. Asher di Universitas San Jose California dan sukses dalam pengembangan metode ini pada pembelajaran bahasa asing pada anak-anak. Ia , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
39
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
berpendapat bahwa pengucapan langsung pada anak mengandung suatu perintah, dan selanjutnya akan merespon kepada fisiknya sebelum mereka memulai untuk menghasilkan respon verbal atau ucapan. Tidak mengherankan apabila kemudian metode pembelajaran ini kemudian lebih akrab sering disebut Asher Method yang artinya memakai masa waktu yang cukup untuk mendengar dan mengamati perintah sebelum seseorang diajak berbicara dalam bahasa Asing. Secara aplikatif, metode TPR ini sangat mudah dan ringan dalam segi penggunaan bahasa dan juga mengandung unsur gerakan permainan sehingga dapat menghilangkan stress pada peserta didik karena masalah-masalah yang dihadapi dalam pelajarannya terutama pada saat mempelajari bahasa asing, dan juga dapat menciptakan suasana hati yang positif pada peserta didik yang dapat memfasilitasi pembelajaran sehingga dapat meningkatkan motivasi dan prestasi siswa dalam pelajaran tersebut. Guru atau instruktur memiliki peran aktif dan langsung dalam menerapkan metode TPR ini. Menurut Asher �The instructor is the director of a stage play in which the students are the actors�, yang berarti bahwa guru (instruktur) adalah sutradara dalam pertunjukan cerita dan di dalamnya siswa sebagai pelaku atau pemerannya. Guru yang memutuskan tentang apa yang akan dipelajari, siapa yang memerankan dan menampilkan materi pelajaran. Siswa dalam TPR mempunyai peran utama sebagai pendengar dan pelaku. Siswa mendengarkan dengan penuh perhatian dan merespon secara fisik pada perintah yang diberikan guru baik secara individu maupun kelompok. Adapun inti dari pendekatan awal yang digunakan adalah membuat peserta didik diam, mendengarkan perintah lalu sejalan dengan apa yang dilakukan oleh pendidik, mereka menuruti apa saja yang diperintahkan oleh pengajar tersebut. Peserta didik belajar dengan cara melakukan perbuatan secara fsik berdasar atas perintah pendidik, kemudian atas perintah teman sejawat. 2.
Bentuk Aktivitas dengan Metode TPR dalam Proses Belajar Mengajar.
Dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode TPR ini banyak sekali aktivitas yang dapat dilakukan oleh guru dan siswa antara lain: a) Latihan dengan menggunakan perintah (Imperative Drill ), merupakan aktivitas utama yang dilakukan guru di dalam kelas 40
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
dari metode TPR. Latihan berguna untuk memperoleh gerakan fisik dan aktivitas dari siswa. b) Dialog atau percakapan (conversational dialogue). c)
Bermain peran (Role Play), dapat dipusatkan pada aktivitas sehari-hari seperti di sekolah, restoran, pasar, dan sebagainya.
d) Presentasi dengan alat peraga. e)
Aktivitas membaca (Reading) dan menulis (Writing) untuk menambah perbendaharaan kata (vocabularies) dan juga melatih pada susunan kalimat berdasarkan tenses dan sebagainya.
3.
Teori pembelajaran TPR
Teori pembelajaran bahasa melalui TPR yang diterapkan pertama kali oleh Asher menyajikan beberapa hipotesa pembelajaran yang berpengaruh yaitu: 1) Terdapat bio-program bawaan yang spesifik untuk pembelajaran bahasa yang menggambarkan sebuah alur yang optimal untuk pengembangan bahasa pertama dan kedua. 2) Lateralisasi otak menggambarkan fungsi pembelajaran yang berbeda pada otak kiri dan kanan. 3) Stres mempengaruhi aktivitas pembelajaran dan apa yang akan dipelajari oleh peserta didik, stress yang lebih rendah kapasitasnya maka pembelajaran menjadi lebih baik. Demikian tentang metode pembelajaran TPR yang saat ini kemungkinan besar agak asing sekalipun sesungguhnya bukanlah metode baru yang sekiranya lebih baik diantara metode-metode pembelajaran yang lain. Betapapun demikian ada baiknya jika metode ini dipergunakan dengan sumsi akan memberikan manfaat dalam meningkatkan motivasi belajar terutama dalam pelajaran bahas. 2.
Implementasi Total Physical Response (TPR) dalam Pembelajaran Maharotul Kalam pada Siswa Madrasah Ibtidaiyah
Dimana setiap lembaga pendidikan mempunyai perbedaan dalam menentukan tujuan tersebut. Adapun mata pelajaran bahasa arab di madrasah ibtidaiyah memiliki tujuan sebagai berikut:
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
41
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
a) Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa arab, baik lisan maupun tulis yang mencakup empat kemahiran berbahasa, yakni menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah), dan menulis (kitabah). b) Menumbuhkan kesadaran pentingnya bahasa arab sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam mengkaji sumber-sumber ajaran islam. c)
Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antara bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian, peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.
Adapun tema materi bahasa arab di madrasah ibtidaiyah adalah: a) Kelas lV Semester l : At-Ta’âruf, al-Adawâtul-madrasiyyah, dan alMihnah; dan Semester 2: Al-‘Unwân, Usratî, dan A’dlâ ul-insân; b) Kelas V Semester 1: Fil-Bait, Fil-Hadîqah dan al-Alwân; dan Semester 2: Fil-Madrasah, fil-Ma’mal, fil-Maktabah dan fil-mqshaf; c)
Kelas VI Semester l : As-Sâ’ah dan al-Af’âlul-yaumiyyah; dan Semester 2: Al-Wâjibul-manziliy.
Berkenaan dengan tujuan dan materi penyelenggaran pembelajaran bahasa arab di Madrasah Ibtidaiyah tersebut, teknik (Uslub/Technique) merupakan implementasi perencanaan pembelajaran di dalam kelas berupa berbagai macam strategi untuk menyajikan bahan ajar dalam rangka mencapai tujuan khusus pembelajaran. Beberapa teknik Maharah al-kalam dalam pembelajaran bahasa Arab antara lain : 1) Prakomunikatif dipahami sebagai pola aktivitas pembelajaran Maharah al-kalam yang menuntut guru lebih banyak menyediakan materi secara lebih variatif yang pada gilirannya akan membawa siswa lebih merasa belajar. Dengan beragam teknik pada tahapan prakomunikatif ini diprediksikan siswa dapat memahami pembelajaran dasar maharah al-kalam yang secara bertahap dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Al-hifz ala al-hiwar (hafalan dialog)
42
Dalam teknik ini latihan meniru dan menghafalkan dialogdialog mengenai berbagai macam situasi dan kesempatan.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
Melalui latihan ini diharapkan pelajar dapat mencapai kemahiran yang baik dalam percakapan dan latihan tersebut dilakukan secara terus-menerus. b) Al-hiwar bil al-shuwar (dialog melalui gambar)
Melalui teknik ini diharapkan dapat memahami fakta melalui gramar yang diungkapkan secara lisan sesuai dengan tingkatan siswa, guru dalam hal ini membawa gambar-gambar dan menunjukkkan satu persatu kepada siswa dengan menggunakan metode tanya jawab sehingga terciptalah kondisi yang sesuai diinginkan maksud dari media gambar tersebut.
هذا كثاب ما هذا ؟ هذه كراسة ما هذه ؟ ذلك باب ما تلك ؟ تلك جملة ما تلك ؟
c)
Al-hiwar al-muwajjah (dialog terpimpin)
Pada teknik ini diupayakan siswa dapat melengkapi pembicaraan yang sesuai dengan situasi tertentu dengan keadaan yang dilatihkan. Pada prakteknya guru dapat memberikan contoh tanya jawab dalam bahasa Arab, misalnya tentang shalat tarawih. Dalam tanya jawab ini guru memberikan kalimat-kalimat untuk dapat direspon oleh siswa, misalnya:
انا اريد أن أذهب اىل مسج الكرامة مبرتافورا معك اريد أن أدهب اىل مسجد و أنت ؟, الكرامة مبرتافورا هدالليل لصالت الرتاويح بل أذهب اىل املصلى قريب من املدرسة, ال أدهب اىل هاك, ال
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
43
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
d) Al-tamtsil al-suluki (dramatisasi tindakan)
Pada teknik ini diharapkan siswa dapat mengungkapkan suatu aktivitas secara lisan. Guru melakukan upaya tindakan tertentu seperti tersenyum, tertawa duduk, dan sebagainya, kemudian siswa dapat memberikan jawaban sesuai dengan tindakan guru tersebut.
أنت تتبسم ماذ أعمل ؟ أنت تضحك e) Tathbiq al-namadzij
أنت جتلس على الكرسي
Pada teknik ini diharapkan siswa dapat mengungkapkan kalimat lengkap melalui pola-pola kalimat yang belum disempurnakan. Melalui praktik pola dengan menyempurnakan kalimat tertentu yang didahului soal-soal yang tidak lengkap, acak, atau penambahan yang sudah lengkap. Dalam prakteknya dapat melalui pola kalimat antara lain penambahan, penyisipan, substitusi, integrasi, menyusun, melengkapi dan lain-lain.
2) Komunikatif adalah pola aktivitas dalam pembelajaran Maharah al-kalam yang lebih mengandalkan kreativitas para pelajar dalam melakukan latihan. Pada tahap ini keterlibatan guru secara langsung mulai dikurangi untuk memberi kesempatan kepada mereka mengembangkan kemampuan sendiri. Para pelajar pada tahap ini ditekankan untuk lebih banyak berbicara daripada guru. Sedangkan penyajian latihan diberikan secara bertahap dan dianjurkan agar materi latihan dipilih sesuai dengan kondisi kelas. Teknik yang dapat diterapkan dalam aktivitas komunikatif secara bertahap adalah sebagai berikut: a) Percakapan kelompok (al-hiwar al-jama’i)
44
Dalam satu kelas para pelajar dibagi ke dalam kelompokkelompok sesuai kebutuhan. Setiap kelompok diberi judul cerita yang sederhana.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
b) Bermain peran (al-tamtsil)
Pada aktivitas ini guru memberikan tugas peran tertentu yang harus dilakukan oleh para pelajar. Peran yang diberikan harus disesuaikan dengan tingkat penguasaan bahasa para pelajar.
c)
Praktik ungkapan sosial (tathbiq al-tabirat al-ijtima’iyyah)
Ungkapan sosial maksudnya adalah priaku-prilaku sosial saat berkomunikasi yang diungkapkan secara lisan, misalnya memberi hormat, mengungkapkan rasa kagum, gembira, ucapan perpisahan, dan lain-lain.
d) Praktek lapangan (al-mumarasah fi al-mujtama’) Praktik lapangan disini adaah bercakap-cakap dengan penutur asli bahasa Arab di luar kelas. 5.
Aktivitas dan Teknik dalam Pembelajaran Maharah Al-Kalam
Kalam diidentikkan dengan penggunaan bahasa secara lisan. Faktor-faktor yang mempengaruhi berbicara secara langsung adalah : 1) pelafalan, 2) pilihan kata, 3) isi pembicaraan, 4) intonasi, 5) struktur kata dan kalimat, 6) sistematika pembicaraan, 7) cara memulai dan mengakhiri pembicaraan, dan 8) penampilan yaitu seperti gerak-gerik atau penguasaan diri. Aktivitas latihan prakomunikatif adalah latihan-latihan yang memberikan maksud agar peserta didik dapat mempelajari kemampuan-kemampuan dasar dalam kegiatan maharah al-kalam seperti latihan penerapan pola dialog, kosakata, kaidah, mimik muka, dan sebagainya. Pada aktivitas ini keterlibatan guru dalam latihan cukup banyak berperan aktif dalam memberikan latihan yang di setiap unsur memerlukan banyak contoh. Teknik yang dapat diterapkan dalam aktivitas prakomunikatif secara bertahap adalah sebagai berikut:
latihan
a. Al-hifz ala al-hiwar (hapalan dialog)
Dalam teknik ini latihan meniru dan menghapalkan dialog-dialog mengenai berbagai macam situasi dan kesempatan. Melalui latihan ini diharapkan pelajar dapat mencapai kemahiran yang baik dalam percakapan yang dilakukan secara wajar dan tidak
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
45
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
dibuat-buat. Kendatipun pada awalnya latihan ini dibuat secara pola berdasarkan hapalan, namun akan mencapai kemampuan berkomunikasi secara wajar jika hal ini dilakukan secara terusmenerus. b. Al-hiwar bil al-shuwar (dialog melalui gambar)
Melalui teknik ini diharapkan dapat memahami fakta melalui gamar yang diungkapkan secara lisan sesuai denga tingkatan siswa, guru dalam hal ini membawa gambar-gambar dan menunjukkkan satu persatu kepada siswa dengan menggunakan metode tanya jawab sehingga terciptalah kondisi yang sesuai diinginkan maksud dari media gambar tersebut.
هذ تلميذ
من هذا ؟
هذا كثاب
ما هذا ؟
هذه استاذة
من هذه ؟
هذه كراسة
ما هذه ؟
ذلك فالح
من ذلك ؟
ذلك باب
ما تلك ؟
تلك طبيبة
من تلك ؟
تلك جملة
ما تلك ؟
امسي عائشة
ِ ما امسك
امسي يوسف
ً ما امسك
c. Al-hiwar al-muwajjah (dialog terpimpin)
Pada teknik ini diupayakan siswa dapat melengkapi pembicaraan yang sesuai dengan situasi tertentu dengan keadaan yang dilatihkan. Pada prakteknya guru dapat memberikan contoh tanya jawab dalam bahasa Arab, misalnya tentang shalat tarawih. Dalam tanya jawab ini guru memberikan kalimat-kalimat untuk dapat direspon oleh siswa, misalnya:
اريد أن أدهب اىل مسجد انا اريد أن أذهب اىل مسج الكرامة مبرتافورا معك بل أذهب اىل املصلى قريب, ال أدهب اىل هاك,الكرامة مبرتافورا هدالليل لصالت ال من املدرسة d. Al-tamtsil al-suluki (dramatisasi tindakan)
46
و أنت ؟,الرتاويح
Pada teknik ini diharapkan siswa dapat mengungkapkan suatu aktivitas secara lisan. Guru melakukan upaya tindakan tertentu seperti tersenyum, tertawa duduk, dan sebagainya, kemudian , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
siswa dapat memberikan jawaban sesuai dengan tindakan guru tersebut.
أنت تتبسم
ماذ أعمل ؟
أنت تضحك أنت جتلس على الكرسي e. Tathbiq al-namadzij
Pada teknik ini diharapkan siswa dapat mengungkapkan kalimat lengkap melalui pola-pola kalimat yang belum disempurnakan. Melalui praktek pola dengan menyempurnakan kalimat tertentu yang didahului soal-soal yang tidak lengkap, acak, atau penambahan yang sudah lengkap. Dalam prakteknya dapat melalui pola kalimat antara lain penambahan, penyisipan, substitusi, integrasi, menyusun, melengkapi dan lain-lain. 1.
Al-tazyid (penambahan)
قرأ أمحد اجمللة صباحا
قرأ أمحد اجمللة
قرأ أمحد اجمللة مساء قرأ أمحد اجمللة ليال 2.
Al-takhlil (penyisipan)
ذهب التلميذ اليوم اىل املكتبة
ذهب التلميذ اىل املكتبة
ذهب التلميذ بعد الظهر اىل املكتبة ذهب التلميذ قبل العصر املكتبة 3.
Al-tabdil (substitusi)
الدكان كبري البيت كبري الغرفة واسعة احلديقة واسعة , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
املسجد كبري املكتبة واسعة
47
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
4.
5.
Al-tadmij (integrasi)
عرفت أن التعلم مفيد
عرفت – التعلم مفيد
ذهب علي ا السوق
Al-tartib (menyusun)
Kata tersusun
Kata Acak
للعمرة – اسافر – انا اسافر اىل مكة و املدينة مع اسريت- مكة – اىل للعمرة
انا-اسريت – املدينة – مع – و
اىل – التجارية – ذهب – أصحابه ذهب حممد اىل املكتبة التجارية مع أصحابه 6.
مع- – املكتبة – حممد
Takmil al-jumlah (melengkapi kalimat)
Pelengkap
Kalimat tak lengkap املوز
.... عثمان حيب الربتقال ولكن حيي حيب
رخيص
.... وهذا الكراسة,هذا الكتاب غلي
Pola aktiftas pembelajaran maharah al-kalam pada tingkatan prakomunikatif menuntut pengajar/guru lebih dapat menyediakan materi yang lebih bervariatif sehingga akan membawa siswa lebih merasa belajar. Dengan teknik-teknik yang pada tahapan prakomunikatif diharapkan siswa dapat memahami pembelajaran dasar maharah al-kalam, sehingga dapat dilanjutkan dengan pembelajaran dengan teknik komunikatif. D. Kesimpulan dan Saran Pembelajaran bahasa Arab di Madrasah Ibtidayah juga mengembangkan keterampilan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan, secara reseptif dan ekspresif untuk memahami, dan mengungkapkan informasi, perasaan serta pengembangan ilmu pengetahuan agama dan umum. Pengusaan empat skill merupakan target setiap pembelajaran bahasa termasuk bahasa Arab. 48
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
Dalam pembelajaran bahasa arab, keterampilan berbicara mutlak sangat diperlukan, termasuk keterampilan menyimak dan berbicara saling berkaitan. Pola aktiftas pembelajaran maharah alkalam pada tingkatan prakomunikatif menuntut guru lebih dapat menyediakan materi yang lebih bervariatif sehingga akan membawa siswa lebih merasa belajar. Dengan teknik-teknik yang pada tahapan prakomunikatif diharapkan siswa dapat memahami pembelajaran dasar maharah al-kalam, sehingga dapat dilanjutkan dengan pembelajaran dengan teknik komunikatif. Teknik pembelajaran berbicara atau maharah al-kalam perlu dibina dan dikembangkan serta banyak latihan sehingga menumbuhkan minat siswa dalam berbicara (kalam). Guru seyogyanya hendaklah membuat setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan setidaknya memberikan kegairahan belajar bagi siswa, dan TPR dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk direkomendasikan dalam pembelajaran bahasa Arab. DAFTAR PUSTAKA Acep Hermawan, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2011 Abd al-Rahman bin Ibrahim al-Fauzan, dkk, al-Arabiyyah Baina Yadaik, (Riyadh; Mu’assasat al Waqaf al-Islami, 2003) Abdul Hamid, dkk. 2008, Pembelajaran Bahasa Arab, UIN Malang Press Abu Bakar Muhamad, 1981, Metode Khusus Pengajaran Bahasa Arab, Surabaya: Usaha Nasional. Ali Ridho, ttt املرجع فى اللغة العرا بية فى نحوها وصرفهاBeirut : Darul Fiqri Jus Awal Ahmad Fuad Effendy, 2005, Metodologi Pengajaran Bahasa Arab, Malang: Fachrurrozi, Aziz dan Mukhshon Nawawi. 2010. تدريس أساليب العرب ّية اللغوية املهارات. Jakarta.
Chatibul Umam, 1980, Aspek-Aspek Fundamental Dalam Mempelajari Bahasa Arab, Bandung: PT Al-Ma’arif
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
49
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
Desmita. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Effendy, Ahmad Fuad. 2009. Metodologi Pengajaran Bahasa Arab. Malang: Misykat. Ehlers and Lee,1963, Crucial issues in education, united states America : Holt Rinehart and Winston Fachrurrozi, Aziz dan Erta Mahyuddin. 2011. Teknik Pembelajaran Bahasa Arab. Tangerang. Ghazali, Abdus Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: Refika Aditama. Hasan, Muhammad Iqbal. 2002. Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hidayah, Aina Khusnul. 2008. Pengaruh Penggunaan Metode Total Physical Response (TPR) terhadap Pemahaman Kosakata Bahasa Jerman pada Anak Usia Dini di TK Akademika Tahun Ajaran 2007-2008. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Heri Guntur Tarigan, Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung: Angkasa, 1994 Imam Makruf, Strategi Pembelajaran Bahasa Arab Aktif, Need’s Press, Semarang, 2009 Iskandarwassid dan Dadang Sunendar. 2008. Strategi Pembelajaran Bahasa. Bandung. Kurnia, Fulan Dwi. Penggunaan Lagu untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Bahasa Arab Siswa Kelas V SDI Surya Buana Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Loise Ma’luf, Al Munjid fil Lughoh wal A’laam, Beirut: Dar el-Mashreq, 2005) Cet. 41. Misykat. Mulyanto Sumardi,1974, Pengajaran Bahasa Asing (Sebuah Tinjauan Dari Segi Metodologis) Jakarta: Bulan Bintang Murtadho, Nurul. 2008. Penyelarasan Materi dan Model RPP Bahasa Arab untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jurnal Bahasa, Sastra, Seni (tahun 36, no 2) hal 221.
50
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
Nurhidayati & Ridwan, Nur Anisah. (Eds.). 2005. Strategi Pembelajaran Bahasa Arab untuk Anak. Malang: Program Due-Like Jurusan Sastra Arab Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Nana Sudjana, 1989, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung : Sinar Baru Radliyah Zaenudin, 2005, Metodologi dan Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab, Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group Sri Utari Subyakto-Nababan, Metodologi Pengajaran Bahasa, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 1993) Slamet, 2003, Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya Jakarta : Rineka Cipta Suja’i, 2008, Inovasi pembelajaran Bahasa Arab, Semarang : Walisongo Press Suryatna Rafi’i, 1985, Teknik Evaluasi, Bandung : Angkasa Tarigan, H. G, DR, Prof. 1993. Pengajaran Kosakata. Bandung: Angkasa. Tayar Yusuf Dan Syaiful Anwar, 1995, Metodologi Pengajaran Agama Dan Bahasa Arab, Jakarta: Raja Grafindo Persada Zakiyah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta :Bumi Aksara Zubaidah, Siti. 2009. Tarqiyyatu Mahaaratul Kitaabah Bistikhdaami Usluub al Kitaabah Addarbiyah (Derby Writing) fil Madrasah al Muthawassithah al Islaamiyyah Nurul Huda Malang. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Zuriah, Nurul. 2009. Metodologi Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
51
Rodifatul Chasanah - Total Physical Response (TPR)...
52
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
EFEKTIVITAS PEMBELAJARAN TEMATIK PADA MATERI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI) DI MI HIDAYATUL ISLAM MENTORO TUBAN I’anatut Thoifah1 Abstract Learning is a process two-way communication, teaching performed by the teacher, as an educator the students learned performed by a student. It is a model that a many forms, between one to the other to have different characteristics. That can be appropriated with characteritics every student all that is already deeply affect the quality of learning process and the result of the students. This research is to find out how the thematic and what steps the thematic on a learn in elementary school of MI Hidayatul Islam Mentoro. And this research is able to identify the effectiveness of thematic To get the data needed, researchers use some method is the observation, the interview, documentation.While for the accumulated data processing using descriptive analysis by researchers.Research shows that models basically thematic ‘ s learning Islamic Education (PAI) in elementary school of MI Hidayatul Islam Mentoro Tuban.
Key world: Efektivity, Learning, Thematic
A. Pendahuluan Salah satu tugas sekolah adalah memberikan pengajaran kepada anak didik. Mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari sekolah, disamping mengembangkan pribadinya. Pemberian kecakapan dan pengetahuan kepada siswa disebut dengan proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar diberikan oleh guru di sekolah dengan pendekatan-pendekatan, cara-cara, atau metodemetode tertentu. Dalam proses belajar mengajar, guru tetap menduduki posisi yang penting sebab mulai dari perencanaan pembelajaran sampai pada pelaksanaan pembelajaran bahkan sampai pada proses evaluasi guru yang mendesainya. Meskipun demikian, keberhasilan pembelajaran 1 Dosen Tetap UNISLA Lamongan. Alamat Jalan veteran No.53A Lamongan Telp. 0322-324706.
53
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
tidak mutlak terfokus pada guru, karena masih ada komponen lain dalam proses belajar mengajar. Sebagaimana yang disampaikan E. Mulyasa (2007:35) bahwa semua orang yakin bahwa guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Keyakinan ini muncul karena manusia adalah makhluk lemah, yang dalam perkembanganya senantiasa membutuhkan orang lain, sejak lahir bahkan pada saat meninggal. Semua itu menunjukan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam perkembanganya. Demikian halnya peserta didik, ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal. Minat, bakat, kemampuan, dan potensi-potensi lain yang dimiliki oleh peserta didik tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam hal ini guru perlu memperhatikan peserta didik secara individual, karena antara satu peserta didik dengan yang lain memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung telah terjadi interakasi yang bertujuan. Guru dan anak didiklah yang menggerakkanya. Interaksi yang bertujuan itu disebabkan gurulah yang memaknainya dengan menciptakan lingkungan yang bernilai edukatif demi kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin memberikan layanan yang terbaik bagi anak didik, dengan menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan menggairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah yang harmonis antara dua yakni penggerak kegiatan belajar mengajar, guru dengan anak didik. Ketika kegiatan belajar mengajar itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat, serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Semua kendala yang terjadi dan dapat menjadi penghambat jalannya proses belajar mengajar, baik yang berpangkal dari perilaku anak didik maupun yang bersumber dari luar diri anak didik, harus guru hilangkan, dan bukan membiarkanya. Karena keberhasilan belajar mengajar lebih banyak ditentukan oleh guru dalam mengelola kelas.
54
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
Sebelum proses belajar mengajar berlangsung terlebih dulu guru juga membuat program, mulai dari program tahunan, program semester, rencana pekan efektif, silabus, rencana pembelajaran sampai pada penggunaan pendekatan yang akan diterapkanya, sebab dengan pendekatan guru akan tahu keberadaan anak didik, mungkin dari bakat atau minat secara dini akan diketahui oleh guru. Hal tersebut dilakukan oleh seorang guru agar proses pembelajaran itu dapat mencapai target. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain bahwa dalam mengajar, guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana, bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Pandangan guru terhadap anak didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran. Guru yang memandang anak didik sebagai pribadi yang berbeda dengan anak didik lainnya akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk yang sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Maka adalah penting meluruskan pandangan yang keliru dalam menilai anak didik. Sebaiknya guru memandang anak didik sebagai individu dengan segala perbedaan, sehingga mudah melakukan pendekatan dalam pengajaran. (Syaifil Bahri Djamarah dan Aswan Zain, 2006: 54) Adapun pendekatan yang dipilih, yang terpenting dalam pembelajaran adalah menempatkan peserta anak didik sebagai pusat aktivitas. Peserta didik tidak hanya terbatas “mempelajari tentang suatu hal�, melainkan bagaimana proses belajar mengajar itu mampu memperkaya khazanah pengalaman belajar dan mempelajari bagaimana cara belajar. Proses pengalaman belajar tersebut dituangkan dalam kegiatan belajar mengajar dan mengembangkan fenomena alam sekitarnya. Dalam pembelajaran tematik, pembelajaran tidak semata-mata mendorong peserta didik untuk mengetahui (learning to know), tapi belajar juga untuk melakukan (learning to do), belajar untuk menjadi (learning to be), dan belajar untuk hidup bersama (learning to live together). Oleh karena itu, kurikulum nasional membutuhkan pengembangan dan penyesuaian dengan kebutuhan serta kultur madrasah dan
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
55
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
masyarakat. Pembelajaran tematik dalam hal ini, menjadi salah satu alternatif menyiasati kurikulum yang padat dan muatan kegiatan yang banyak dengan berbagai mata pelajaran. Pendekatan tematik tidak mengesampingkan kurikulum nasional, justru merupakan upaya strategis untuk mengembangkan dan melaksanakanya secara efisien dan efektif. Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran tematik mengandalkan infrastruktur dan tenaga pendidik, serta fasilitas yang memadai. Pembelajaran tematik dimaksudkan sebagai kegiatan pembelajaran dengan memadukan materi beberapa mata pelajaran dalam satu tema.(Departeman Agama, 2005: 4) Guru dituntut untuk mampu menyampaikan dan membuat pembelajaran yang efektif. Efektivitas di sini bermakna ketepatan guna, hasil guna, menunjang tujuan. (Iyus Apartanto dan M. Dahlan Al Bahri, 1994: 128) Sedangkan menurut W.J.S. Purwodarminto (1987: 219) berpendapat bahwa Efektifitas adalah: keberhasilan guna atau keberhasilan dan kegunaan dari suatu pekerjaan yang lebih tepat dan mantap. Sejalan dengan hal tersebut, Syaiful juga menjelaskan bahwa pembelajaran ialah proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik sebagai murid. (Syaiful Sagala, 2006: 61) Menurut Najib Sulhan (2006: 7), pembelajaran adalah suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang direncanakan atau didesain, dilaksanakan dan dievaluasi secara sistematis agar subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuantujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Sejalan dengan hal tersebut, pembelajaran adalah suatu proses yang dinamis, berkembang secara terus menerus sesuai dengan pengalaman siswa. Semakin banyak pengalaman yang dilakukan siswa, maka akan semakin kaya, luas, dan sempurna pengetahuan mereka. (Wina Sanjaya, 2005: 194) Dari beberapa pengertian di atas peneliti menyimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran tematik adalah keberhasilan proses belajar mengajar dengan mengintegrasikan materi dari beberapa mata pelajaran dalam satu topik pembicaraan yang disebut dengan tema.
56
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
Dalam kegiatan belajar mengajar yang melahirkan interaksi unsur-unsur manusiawi adalah sebagai suatu proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Guru dengan sadar berusaha mengatur lingkungan belajar agar siswa semakin bergairah dan bersemangat. Dengan seperangkat teori dan pengalaman yang dimiliki, guru menggunakannya untuk mempersiapkan program pengajaran dengan baik dan sistematis. Sedang dalam menyampaikan materi banyak model pembelajaran yang diterapkan oleh guru, karena model pembelajaran saat ini banyak bentuknya, yang antara yang satu dengan yang lain mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Hal itu dapat disesuaikan dengan karakteritik setiap siswa. Semua yang sudah didesain sangat mempengaruhi kualitas proses dan hasil belajar siswa. Dari sekian banyak model pembelajaran itu diantaranya adalah model pembelajaran tematik. Sedang makna dari pembelajaran tematik tersebut akan peneliti uraikan berikut ini. Dalam buku dari Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Pelaksanan Pembelajaran Tematik mengatakan bahwa pembelajaran tematik adalah pembelajaran tematik merupakan pola pembelajaran yang mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, kreativitas, nilai dan sikap pembelajaran dengan menggunakan tema. Pembelajaran tematik dengan demikian adalah “pembelajaran terpadu atau terintegrasi� yang melibatkan beberapa pelajaran bahkan lintas rumpun mata pelajaran yang diikat dalam tema-tema tertentu. Pembelajaran ini melibatkan beberapa kompetensi dasar, hasil belajar, dan indikator dari suatu mata pelajaran atau bahkan beberapa mata pelajaran. Keterpaduan dalam pembelajaran ini dapat dilihat dari aspek proses atau waktu, aspek kurikulum, dan aspek belajar mengajar. Diterapkanya pendekatan tematik dalam pembelajaran, membuka ruang yang luas bagi peserta didik untuk mengalami sebuah pengalaman belajar yang lebih bermakna, berkesan, dan menyenangkan. Pengertian yang sama yang disampaikan Najib Sulhan dalam bukunya Pembangunan Karakter Anak Manajemen Pembelajaran Guru Menuju Sekolah Efektif bahwa model pembelajaran tematik ini memungkinkan terintegrasinya antar konsep, antar pokok bahasan , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
57
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
dalam satu mata pelajaran atau bahkan antar pokok bahasan/tema pada mata pelajaran yang lain. Dalam hal ini, guru harus mampu membangun bagan keterpaduan melalui tema. Model pembelajaran tematik juga sering disebut dengan model pembelajaran terpadu. Pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep yang merupakan pendekatan proses belajar mengajar yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu ini anak-anak diajak untuk memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang sudah mereka pelajari. Hakikat pembelajaran terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa (secara individu maupun kelompok) aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan autentik. Dalam pengembangan pembelajaran tematik atau terpadu di sekolah dasar ada beberapa hal yang mendasari, yaitu: 1.
Sesuai dengan penghayatan dunia kehidupan anak yang bersifat holistik
2.
Sesuai dengan pemetaan mata pelajaran-mata pelajaran di sekolah dasar sehingga mampu membuahkan penguasaan isi pembelajaran secara utuh.
3.
Idealisasi pelaksanaan kurikulum dikembangkan secara integratif.
1994
yang
selayaknya
Pelaksanaan model pembelajaran tematik ini mempunyai tiga sasaran utama, yaitu: keterpaduan materi pengajaran, keterpaduan prosedur penyampaian, dan keterpaduan pengalaman belajar. Keterpaduan materi pelajaran merupakan suatu pendekatan atau bentuk organisasi materi pelajaran sebagai suatu stimulus yang akan dipelajari siswa. Keterpaduan materi ini dapat dilakukan dengan mengelompokkan materi yang mempunyai kedekatan. Keterpaduan prosedur penyampaian mempunyai pengertian bahwa langkah dalam proses belajar mengajar bukan sekedar menyampaikan informasi. Siswa harus banyak terlibat dalam setiap 58
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
kegiatan pembelajaran. Pembelajaran lebih diarahkan pada proses pemberian bantuan agar siswa mampu belajar untuk mengolah informasi secara maksimal. Keterpaduan pengalaman belajar merupakan konsekuensi logis dari keterpaduan materi dan keterpaduan penyajian yang dilakukan guru. Hasil belajar siswa harus terbentuk dalam suatu akumulasi total. Hasil belajar bukan hanya ditandai oleh pengetahuan, ketrampilan, dan sikap secara sempit, melainkan harus menyangkut fungsi dan kemakmuran dari pengalaman belajar. Artinya siswa harus dapat memanfaatkan pengalaman tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum baru yang menekankan kompetensi dilakukan untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik. Untuk mencapai harapan tersebut perlu dikembangkan strategi belajar yang tepat. Dari sekian banyak strategi belajar dan konsep pembelajaran harus dipilih yang paling efektif dan kontekstual. Salah satu strategi pembelajaran tersebut adalah pembelajaran kontekstual yang sekarang sedang dikembangkan, seperti pembelajaran efektif, CTL (Contevtual teaching Learning), AJEL (Active, Joyful, and Effective Learning), dan sebagainya. Prinsipnya, sebagai sebuah pembelajaran yang memiliki karakteristik pemberdayaan peserta didik, aktivitas, pemodelan, demontrasi, bernyanyi, menghasilkan karya, dan terintegrasi dengan kehidupan nyata peserta didik (kontekstual), maka dalam prakteknya pembelajaran tematik sekuat mungkin meminimalkan penerapan metode ceramah. Adapun karakteristik pembelajaran tematik adalah sebagai berikut: 1.
Terintegrasi dengan lingkungan atau bersifat kontekstual, artinya pembelajaran dikemas dalam sebuah format keterkaitan antara “kemampuan peserta didik dalam menemukan masalah� dengan “memecahkan masalah nyata yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari�.
2.
Memiliki tema sebagai alat pemersatu beberapa mata pelajaran atau bahan kajian.
3.
Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan (joyful learning).
4.
Pembelajaran memberikan pengalaman langsung yang bermakna bagi peserta didik.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
59
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
5.
Menanamkan konsep dari berbagai mata pelajaran atau bahan kajian dalam satu proses pembelajaran tertentu.
6.
Pemisahan atau pembedaan antara satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lain sulit dilakukan.
7.
Pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minat peserta didik.
8.
Pembelajaran bersifat fleksibel.
9.
Penggunaan variasi metode dalam pembelajaran.
Dalam pemaparan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa pembelajaran tematik diarahkan agar proses pembelajaran menjadi lebih bermakna bagi peserta didik. Dengan menerapkan pembelajaran tematik, peserta didik dan guru banyak mendapatkan manfaat, di antara manfaat tersebut adalah (Departeman Agama, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, Pedoman, 17): 1.
Pembelajaran mampu meningkatkan pemahaman konseptual peserta didik terhadap realitas sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya, disadari atau tidak, setiap anak selalu memanipulasi objek dan berinteraksi dengan orang lain. Pada saat itu, mereka memperoleh informasi yang relevan, kemudian memadukan dengan pengetahuan dan pemahaman yang telah mereka miliki sebelumnya. Dari proses tersebut, anak-anak mengembangkan sejumlah pengalaman, membangun pengetahuan, dan pada akhirnya mengembangkan konsep baru tentang suatu realitas.
2.
Pembelajaran tematik memungkinkan peserta didik mampu mengeksplorasi pengetahuan melalui serangkaian proses kegiatan pembelajaran. Melalui pembelajaran tema, proses mental anak bekerja secara aktif dalam menghubungkan informasi yang terpisah-pisah menjadi satu kesatuan yang utuh. Pembelajaran tema memudahkan peserta didik untuk menghubungkan halhal lain yang mereka pelajari dalam kegiatan lain, juga dalam pembelajaran ini peserta didik diarahkan untuk mengintegrasikan isi dan proses pembelajaran lintas kompetensi sekaligus, misalnya antara pengembangan kognisi, estetika, dan bahasa. Penggalian pemahaman peserta didik dilakukan dengan cara mendorong terfungsikanya berbagai gaya belajar peserta didik, baik melalui
60
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
pengalaman mendengar (audio), melihat (visual), interaksi interpersonal (hubungan sosial), maupun gaya belajar lainnya. Ketika pembelajaran dipandu oleh tema, tentu pengalamanpengalaman tersebut akan membuat peserta didik semakin tertarik untuk lebih mengetahui suatu persoalan (tema) secara lebih mendalam. Sehingga, secara psikologis proses pembelajaran seperti ini mampu menjawab kebutuhan dan keinginan peserta didik terhadap problem (tema-tema khusus) yang ada di benak mereka. 3.
Pembelajaran tematik mampu meningkatkan keeratan hubungan antar peserta didik. Tema-tema pembelajaran yang erat hubunganya dengan pola kehidupan sosial, sangat membantu peserta didik agar mampu beradaptasi dan berganti peran dalam melakukan pekerjaan yang berbeda. Misalnya, tema “organisasi� memungkinkan peserta didik mempunyai peran yang berbeda satu sama lain. Dalam tema ini saja, antara peserta didik dengan peserta didik yang lain dapat berganti peran dan fungsi yang berbeda. Belum lagi ketika peserta didik bekerja sama dalam melakukan kegiatan lainya, tentu setiap peserta didik selalu belajar beradaptasi dan dihadapkan dengan peran-peran yang berbeda.
4.
Pembelajaran tematik membantu guru dalam meningkatkan profesionalismenya. Pembelajaran tematik membutuhkan kecermatan dan keseriusan guru, mulai dari menemukan tema yang kontekstual, merancang rencana pembelajaran, menyiapkan metode pembelajaran yang tepat, merumuskan tujuan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran secara konsisten dengan tema pembelajaran, sampai menyusun instrumen penilaian (evaluasi) yang relevan dengan kegiatan pembelajaran. Serangkaian kegiatan ini tentu membutuhkan bukan hanya ketekunan dan kesungguhan dalam merancang desain pembelajaran, melainkan juga secara tidak langsung membuat guru tertantang untuk mempelajari hal-hal baru yang dibutuhkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai seorang pendidik. Sehingga, dengan proses tersebut guru selalu memperbaharui wawasan dan kompetensinya.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
61
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
Menurut Najib Sulhan (2006 :58) ada beberapa langkah untuk menyusun program model pembelajaran tematik, antara lain: 1.
Membuat pemetaan kompetensi dasar pada tema-tema
2.
Menentukan tema sentral
3.
Memetakan pokok bahasan berdasarkan GBPP dan kurikulum yang berlaku
4.
Mengalokasikan waktu dalam pembelajaran
5.
Membuat bagan/skema keterpaduan melalui tema sentral
6.
Merumuskan tujuan pembelajaran
7.
Membuat skenario pembelajaran
8.
Menentukan alat dan media pembelajaran
9.
Merencanakan evaluasi
Dalam suatu urusan, keberhasilan merupakan tujuan mutlak yang ingin dicapai, baik itu tujuan jangka pendek, menegah, maupun jangka panjang. Untuk mencapai keberhasilan tersebut biasanya seseorang melakukan usaha-usaha, cara-cara tertentu dengan semangat yang tinggi agar apa yang diharapkan dapat terwujud dan sesuai dengan yang diharapkan. Begitu pula guru, sebelum guru memulai proses belajar mengajar terlebih dulu membuat perangkat pengajaran. Perangkat pengajaran tersebut dibuat sedemikian rupa, mulai dari program tahunan, program semester, silabus sampai pada rencana pembelajaran. Hal itu semua dilakukan dan disiapkan guna untuk mencari out put pada anak didik atau keberhasilan yang ingin dicapainya. B. Metodologi Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pembelajaran tematik pada materi PAI di MI Hidayatul Islam Mentoro Tuban. Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah field research, yaitu untuk penelitian yang dilakukan di kancah atau di medan terjadinya gejala-gejala. (Sutrisno Hadi, 2001: Jilid 1,10) Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua anak yang berada di kelas III pada MI Hidayatul Islam Mentoro Tuban yang berjumlah 21 siswa. Adapun variabel dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: 62
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
a) Efektivitas Pembelajaran tematik sebagai variabel X dengan indikator sebagai berikut: -
Kelayakan dan kualifikasi guru terhadap keberhasilan pembelajaran tematik
-
Sistem dan media yang dapat menunjang pembelajaran tersebut
b) Hasil belajar siswa sebagai variabel Y dengan indikator sebagai berikut: -
Nilai hasil belajar anak dalam raport
-
Prestasi siswa.
Dalam hal ini metode pengumpulan data digunakan untuk memperoleh data yang diperlukan, baik yang berhubungan dengan studi literatur maupun yang dihasilkan dari data empiris melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Sedangkan angket dan kuesioner digunakan untuk mendapatkan data-data dari obyek penelitian yang berupa data-data tentang model-model pembelajaran yang dipakai oleh guru, termasuk juga data-data tentang kegiatan belajar anak-anak. Penskoran dilakukan untuk memasukan data-data angket yang telah diperoleh kemudian dijumlahkan masing-masing jawaban yang telah diberikan responden dalam angket penelitian yang terdiri atas 10 item soal dengan alternatif jawaban dan bobot nilai sebagai berikut: 1) Untuk alternatif jawaban a dengan skor 4 2) Untuk alternatif jawaban b dengan skor 3 3) Untuk alternatif jawaban c dengan skor 2 4) Untuk alternatif jawaban d dengan skor 1 Menentukan kualifikasi dan interval nilai dengan menggunakan rumus: R = H – L + 112 Keterangan: R
= Jarak pengukuran range
H = Nilai tertinggi L
= Nilai terendah
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
63
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
1
= Bilangan konstan Jumlah interval
Adapun untuk menginterpretasikan nilai data yang telah diperoleh adalah sebagai berikut: Interval (i) Antara 81 sampai dengan 100 Antara 61 sampai dengan 80 Antara 41 sampai dengan 60 Antara 21 sampai dengan 40
Interpretasi Baik sekali Baik Cukup Kurang
-
Menentukan table frekuensi dan mencari nilai rata-rata (mean dari variabel (x) dan variabrl (y)
Untuk variabel (x) Mx=∑x
N
Untuk variabel (y) My=∑y
N
b.
Analisis uji hipotesis
Analisis uji hipotesis digunakan untuk mengolah data yang telah terkumpul dari hasil penelitian yang bersifat kuantitatif, maka pada tahapan ini peneliti menempuh langkah untuk mencari teknik antar prediktor dan krioteroium melalui teknik korelasi produk momen dengan rumus:
rry=Σxy
(Σx2) (Σy2)
di mana:
Σxy=Σxy – (Σ x X Σ y)
N
Σx2 = Σx2 – Σx2
Σy2 = Σy2 – Σy2
64
N N
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
C. Hasil Penelitian Dalam pembelajaran tematik dapat dikatakan efektif adalah ketika nilai yang diperoleh siswa sesudah menggunakan tematik lebih meningkat bila dibanding sebelum menggunakan tematik. Hasil dan analisa data ini dibuat berdasarkan data yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran tematik yang dilaksanakan di MI Hidayatul Islam Mentoro Kec. Soko Kab. Tuban pada mata pelajaran fiqih. Pada pelaksanaan ini peneliti menggunakan kelas III yang terdiri dari 21 siswa. Dalam analisis statistik t hitung lebih besar dari pada t tabel (3, 844 > 2, 021). Dengan demikian, Ho ditolak dan Ha diterima.Pengujian hipotesis menyimpulkan bahwa perhitungan nilai antara variabel (x) yaitu pembelajaran sebelum menggunakan metode tematik dengan variabel (y) sesudah menggunakan pembelajaran tematik diperoleh nilai yang signifikan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efektivitas pembelajaran tematik dapat meningkatkan hasil belajar siswa atau Ha diterima itu berarti terdapat perbedaan prestasi siswa antara sebelum menggunakan pembelajaran tematik dan sesudah menggunakan pembelajaran tematik. Sedangkan hasil analisis non-statistik menunjukkan bahwa dari observasi dapat disimpulkan bahwa kelas anggota populasi mempunyai karakteristik yang sama sehingga memungkinkan untuk diadakan teknik sampling secara random. Sedangkan dari data observasi dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Siswa semakin aktif dalam pembelajaran (2) Interaksi antar siswa lebih hidup (3) Dalam pembelajaran siswa menjadi lebih semangat (4) Siswa lebih peka terhadap lingkungan, baik fenomena alam maupun realitas sosial yang terjadi di sekitar. Pernyataan tersebut diperkuat oleh data angket yang diperoleh dianalisis berdasarkan prosentase hasil jawaban angket siswa berjumlah 21 anak. Hasil jawabannya adalah sebagai berikut: (1) 47,6 % dari siswa merasa terkesan dan senang terhadap perpaduan dari beberapa mata pelajaran dalam satu tema, 23.8 % kadangkadang, 14,3 % tidak terkesan, dan 14,3 %tetap tidak terkesan dengan perpaduan beberapa mata pelajaran dalam satu tema. , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
65
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
(2) 33,4 % siswa merasa mudah mengaitkan hubungan suatu materi pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain, 47,6 % siswa kadang-kadang mudah, dan 19 % tidak merasakan (3) 42,8 % siswa selalu berkelompok dalam mengerjakan tugas, 38, % siswa sering berkelompok, 9,6 % kadang-kadang, dan 9,6 % tidak pernah. (4) 28,6 % siswa merasa sangat cukup waktu yang diberikan guru untuk berfikir dan bertanya, 28,6 % merasa cukup, 23,8 % tidak cukup, dan 19 % merasa kurang. (5) 57,2 % siswa selalu tidak senang dengan metode ceramah dan 42,8 % siswa lagi mengatakan senang dengan metode ceramah. (6) 47,6 % siswa merasa tidak ada perbedaan antara satu mata pelajaran dengan pelajaran yang lain, 23,8% siswa merasa kadangkadang, 23,8 % merasa tidak ada perbedaan satu pelajaran dengan pelajaran yang lainya, dan hanya 4,8 % siswa yang menyatakan tetap tidak ada perbedaan. (7) 38 % siswa merasa selalu terdorong giat belajar setelah berdiskusi, 19,1 % siswa merasa sering terdorong giat belajar, 19,1 % siswa kadang-kadang, dan 23,8 % tetap tidak merasa terdorong setelah berdiskusi. (8) 47,6 % siswa sangat merasa sedang belajar sambil bermain, 23,8 % siswa sering merasa, 14,3 % kadang-kadang, dan 14,3 % tidak pernah merasa. (9) 42,8 % siswa menyatakan bahwa pembelajaran sangat sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa, 9,6 % kadang-kadang sesuai, 33,4 % siswa tidak sesuai, dan 14,2 % sangat tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. (10) 71,4 % siswa merasa sangat terdorong untuk bekerjasama, toleransi, dan komunikasi dengan teman, 19 % siswa kadangkadang terdorong, dan 9,6 % siswa tidak terdorong untuk kerjasama, toleransi maupun berkomunikasi. Dari penjelasan tersebut d iatas, dapat diketahui bahwa efektivitas pembelajaran tematik pada mata pelajaran fiqih adalah dapat meningkatkan hasil belajar di MI Hidayatul Islam Mentoro Soko Tuban. Nilai-nilai tersebut menjadi bukti bahwa efektivitas pembelajaran tematik menjadi pendorong siswa dalam belajar. 66
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pembelajaran model tematik berdampak pada keberhasilan belajar siswa. D. Pembahasan Setelah data terkumpul dan diinterpretasikan sebagai berikut:
dianalisis,
maka
dapat
1.
Berdasarkan hasil analisis statistik yang dilakukan, karena terhitung t hitung lebih besar dari pada t tabel (3,844 > 2,021) maka Ho ditolak yang berarti Ha diterima atau terdapat perbedaan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran sebelum menggunakan metode tematik dan sesudah menggunakan tematik. Hal ini berarti hipotesis penelitian ini diterima.
2.
Berdasarkan hasil analisis data observasi, dapat diinterpretasikan bahwa dalam pembelajaran tematik keaktifan siswa lebih tampak dibandingkan dengan sebelum menggunakan metode tematik.
3.
Berdasarkan hasil analisis angket, dapat diinterpretasikan bahwa pembelajaran tematik sesuai diterapkan di kelas III MI Hidayatul Islam Mentoro Soko Tuban, karena hampir 85% siswa merasa: a) Terkesan dan senang dengan perpaduan beberapa mata pelajaran dalam satu tema. b) Mudah mengaitkan hubungan suatu materi pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain. c)
Selalu berkelompok dalam mengerjakan tugas.
d) Cukup waktu untuk berfikir dan bertanya. e)
Kurang tepat dengan hanya memakai metode ceramah.
f)
Tidak ada perbedaan antara mata pelajaran yang satu dengan pelajaran yang lain.
g) Terdorong giat belajar setelah berdiskusi. h) Bermain sambil belajar. i)
Telah sesuai dengan minat dan kebutuhan.
j)
Terdorong untuk kerja sama, toleransi, dan komunikasi terhadap teman.
Dalam penelitian ini, peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata kesempurnaan, sebab masih banyak kekurangan , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
67
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
dan kendala uang menjadi penghambat bagi terlaksananya penelitian ini. Hal ini terjadi karena keterbatasan kemampuan peneliti dan juga sarana pra-sarana yang kurang, baik dari waktu, sampel maupun indikator. Pada saat peneliti mengadakan penelitian ini, yaitu penelitian tentang efektivitas pembelajaran tematik pada materi Pendidikan Agama Islam (PAI), yang dalam hal ini adalah Madrasah Ibtidaiyah Hidayatul Islam Mentoro Kecamatan Soko Tuban, hasilnya menunjukkan signifikan. E. Kesimpulan Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep yang merupakan pendekatan proses belajar mengajar yang melibatkan beberapa mata pelajaran untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada anak didik. Dikatakan bermakna karena dalam pembelajaran terpadu ini anak-anak diajak untuk memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan menghubungkan dengan konsep lain yang sudah mereka pelajari. Sedangkan langkah-langkah pembelajaran tematik diantaranya: a.
Membuat pemetaan kompetensi dasar pada tema-tema
b.
Menentukan tema sentral
c.
Memetakan pokok bahasan berdasarkan GBPP dan kurikulum yang berlaku.
d. Mengalokasikan waktu dalam pembelajaran e.
Membuat bagan/skema keterpaduan melalui tema sentral
f.
Merumuskan tujuan pembelajaran
g.
Membuat skenario pembelajaran
h. Menentukan alat dan media pembelajaran i.
68
Merencanakan evaluasi
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
DAFTAR PUSTAKA Djamarah, Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta. Departeman Agama, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam. 2005 Pedoman PelaksanaanPembelajaran Tematik. Jakarta. Apartanto, Iyus dan M. Dahlan Al Bahri. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya PT Arkola. Purwodarminto, W.J.S. . 1987 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Sagala, Syaiful. 2006. Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta. Sulhan, Najib. 2006. Pembangunan karakter anak manajemen pembelajaran guru menuju sekolah efektif. Surabaya: SIC. Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran dalam implementasi kurikulum berbasis kompetensi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hadi, Sutrisno.2001. Metodologi Research. Jilid 1. Yogyakarta: Andi Offset.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
69
I’anatut Thoifah - Efektivitas Pembelajaran Tematik Pada...
70
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
ANTARA PROFESI, KOMPETENSI DAN TUGAS KEPENDIDIKAN SEORANG GURU Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh1 Abstract Experts of education introduce various theory of learning, so that learning can run effective and efficient, and it is no needs many times. In fact, there is no any theory that shows strategy of learning completely. There are many factors that must be considered, both of internal and external factors. The most influential of external factors is teacher. Whether students able to receive material well or not is influenced by teacher. At home, the responsibility of student in the hand of parents, but at school the responsibility of student taken by teacher. In the daily activity, society put high expectation to teacher, since they want their children experience positive -constructive changes.
Keywords: profession, competence, teacher.
A. Pendahuluan Permasalahan belajar sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius’. Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan dengan bertahan dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak. Namun, sampai saat ini belum ada satu pun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas. Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Ketika berada di rumah, para siswa berada dalam tanggung jawab orang tua, tetapi di sekolah tanggung jawab 1 Dosen Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Nahdlatul Ulama Surabaya Jl. Raya Jemursari 51-57 Surabaya (RSI Jemursari Surabaya) Telp. 031-8479070, 8472040 Fax. 031-8433670.
71
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
itu diambil oleh guru. Sementara itu, masyarakat menaruh harapan yang besar agar anak-anak mengalami perubahan-perubahan positifkonstruktif akibat mereka berinteraksi dengan guru. Harapan ini menjadi suatu yang niscaya terutama ketika dikaitkan dengan mutu pendidikan. Pembahasan mutu pendidikan betapapun akan terfokuskan pada input-proses-output. Input terkait dengan masyarakat sebagai “pemasok�, sedangkan output terkait dengan masyarakat sebagai pengguna. Adapun proses terkait dengan guru sebagai pembimbing. Dataran proses inilah yang paling determinan dalam mewujudkan situasi pembelajaran di sekolah baik yang membelenggu maupun sebaliknya membebaskan, membangkitkan dan menyadarkan. B. Profesionalisme Guru Profesionalisme menjadi taruhan ketika mengahadapi tuntutantuntutan pembelajaran demokratis karena tuntutan tersebut merefleksikan suatu kebutuhan yang semakin kompleks yang berasal dari siswa; tidak sekedar kemampuan guru menguasai pelajaran semata tetapi juga kemampuan lainnya yang bersifat psikis, strategis dan produktif. Tuntutan demikian ini hanya bisa dijawab oleh guru yang professional. Oleh karena itu, Sudarwan Danim menegasakan bahwa tuntutan kehadiran guru yang profesional tidak pernah surut, karena dalam latar proses kemanusiaan dan pemanusiaan, ia hadir sebagai subjek paling diandalkan, yang sering kali disebut sebagai Oemar Bakri. (Sudarwan Danim, 2003: 191-192) Istilah professional berasal dari profession, yang mengandung arti sama dengan occupation atau pekerjaan yang memerlukan keahlian yang diperoleh melalui pendidikan atau latihan khusus. Ada beberapa pengertian yang berkaitan dengan professionalisme yaitu okupasi, profesi dan amatif. Terkadang membedakan antar para professional, amatir dan delitan. Maka para professional adalah para ahli di dalam bidangnya yang telah memperoleh pendidikan atau pelatihan yang khusus untuk pekerjaan itu. (Yamin, Martinis: 2006). Kemudian bagaimanakah hubungan profesional dengan kompetensi? M. Arifin menegaskan bahwa kompetensi itu bercirikan tiga kemampuan profesional, yaitu kepribadian guru, penguasa 72
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
ilmu dan bahan pelajaran, dan ketrampilan mengajar yang disebut the teaching triad. Ini berarti antara profesi dan kompetensi memilki hubungan yang erat: profesi tanpa kompetensi akan kehilangan makna, dan kompetensi tanpa profesi akan kehilangan guna. (M. Arifin, 1991: 105) Untuk memahami profesi, penulis mengenalinya melalui ciricirnya. Adapun ciri-ciri dari suatu profesi adalah: 1.
Memiliki suatu keahlian khusus
2.
Merupakan suatu panggilan hidup
3.
Memiliki teori-teori yang baku secara universal
4.
Mengabdikan diri untuk masyarakat dan bukan untuk diri sendiri
5.
Dilengkapi dengan kecakapan diagnostik dan kompetensi yang aplikatif
6.
Memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaannya
7.
Mempunyai kode etik
8.
Mempunyai klien yang jelas
9.
Mempunyai organisasi profesi yang kuat
10. Mempunyai hubungan dengan profesi pada bidang-bidang yang lain. (Martinis, 2006). Ciri-ciri tersebut masih general, karena belum dikaitkan dengan bidang keahlian tertentu. Bagi profesi guru berarti ciri-ciri itu lebih spesifik lagi dalam kaitannya dengan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran baik di dalam maupun di luar kelas. Seorang guru yang mendidik harus memiliki kompetensi. Kompentensi yang harus dimiliki di antaranya adalah : 1.
Kompetensi Pribadi
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu, pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus digugu dan ditiru). Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan pengembangan kepribadian (personal competencies), di antaranya: (1) kemampuan yang berhubungan dengan pengalaman ajaran agama sesuai dengan keyakinan , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
73
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
agama yang dianutnya; (2) kemampuan untuk menghormati dan menghargai antar umat beragama; (3) kemampuan untuk berperilaku sesuai dengan norma, aturan, dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat; (4) mengembangkan sifat-sifat terpuji sebagai seorang guru, misalnya sopan santun dan tata karma dan; (5) bersikap demokratis dan terbuka terhadap pembaruan dan kritik. 2.
Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting., sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi sebagai berikut: (1) kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan, misalnya paham akan tujuan pendidikan yang harus dicapai baik tujuan nasional, institusional, kurikuler maupun tujuan pembelajaran; (2) pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan, misalnya paham tentang tahapan perkembangan siswa dan paham tentang teori-teori belajar; (3) kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya; (4) kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran; (5) kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar; (6) kemampuan dalam melaksanakan evaluasi pembelajaran; (7) kemampuan dalam menyusun program pembelajaran; (8) kemampuan dalam melaksanakan unsur penunjang, misalnya administrasi sekolah, bimbingan dan penyuluhan dan; (9) kemampuan dalam melaksanakan penelitian dan berpikir ilmiah untuk meningkatkan kinerja.
3.
Kompetensi Sosial Kemasyarakatan
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan sebagai makhluk sosial, meliputi: (1) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (2) kemampuan untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemasyarakatan dan; (3) kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara
74
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
kelompok. (Mulyasa, 2008) Kemudian ada empat pilar pendidikan yang akan membuat manusia semakin maju: 1) Learning to know (belajar untuk mengetahui), artinya belajar itu harus dapat memahami apa yang dipelajari bukan hanya dihafalkan tetapi harus ada pengertian yang dalam. 2) Learning to do (belajar, berbuat/melakukan), setelah kita memahami dan mengerti dengan benar apa yang kita pelajari lalu kita melakukannya. 3) Learning to be (belajar menjadi seseorang). Kita harus mengetahui diri kita sendiri, siapa kita sebenarnya? Untuk apa kita hidup? Dengan demikian kita akan bisa mengendalikan diri dan memiliki kepribadian untuk mau dibentuk lebih baik lagi dan maju dalam bidang pengetahuan. 4) Learning to live together (belajar hidup bersama). Sejak Allah menciptakan manusia, harus disadari bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi saling membutuhkan seorang dengan yang lainnya, harus ada penolong. Karena itu manusia harus hidup bersama, saling membantu, saling menguatkan, saling menasehati dan saling mengasihi, serta tentunya saling menghargai dan saling menghormati satu dengan yang lain. Pada butir ke 4 di atas, tampaklah bahwa kompetensi sosial mutlak dimiliki seorang guru. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar (Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir d). Karena itu guru harus dapat berkomunikasi dengan baik secara lisan, tulisan, dan isyarat; menggunakan teknologi komunikasi dan informasi; bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik; bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar. Memang guru harus memiliki pengetahuan yang luas, menguasai berbagai jenis bahan pembelajaran, menguasai teori dan praktek pendidikan, serta menguasai kurikulum dan metodologi pembelajaran. Namun sebagai anggota masyarakat, setiap guru harus
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
75
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
pandai bergaul dengan masyarakat. Untuk itu, ia harus menguasai psikologi sosial, memiliki pengetahuan tentang hubungan antar manusia, memiliki keterampilan membina kelompok, keterampilan bekerjasama dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas bersama dalam kelompok. Sebagai individu yang berkecimpung dalam pendidikan dan juga sebagai anggota masyarakat, guru harus memiliki kepribadian yang mencerminkan seorang pendidik. Guru harus bisa digugu dan ditiru. Digugu maksudnya bahwa pesan-pesan yang disampaikan guru bisa dipercaya untuk dilaksanakan dan pola hidupnya bisa ditiru atau diteladani. Guru sering dijadikan panutan oleh masyarakat. Untuk itu guru harus mengenal nilai-nilai yang dianut dan berkembang di masyarakat tempat melaksanakan tugas dan bertempat tinggal. Sebagai pribadi yang hidup di tengah-tengah masyarakat, guru perlu memiliki kemampuan untuk berbaur dengan masyarakat, misalnya melalui kegiatan olahraga, keagamaan, dan kepemudaan. Keluwesan bergaul harus dimiliki, sebab kalau tidak, pergaulannya akan menjadi kaku dan berakibat yang bersangkutan kurang bisa diterima oleh masyarakat. Bila guru memiliki kompetensi sosial, maka hal ini akan diteladani oleh para murid. Sebab selain kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual, peserta didik perlu diperkenalkan dengan kecerdasan sosial (social intelegence), agar mereka memiliki hati nurani, rasa perduli, empati dan simpati kepada sesama. Pribadi yang memiliki kecerdasan sosial ditandai adanya hubungan yang kuat dengan Allah, memberi manfaat kepada lingkungan, dan menghasilkan karya untuk membangun orang lain. Mereka santun dan peduli sesama, jujur dan bersih dalam berperilaku. Sumber kecerdasan adalah intelektual sebagai pengolah pengetahuan antara hati dan akal manusia. Dari akal muncul kecerdasan intelektual dan kecerdasan bertindak yang memandu kecerdasan bicara dan kerja. Sedangkan dari hati muncul kecerdasan spiritual, emosional dan sosial. Sosial inteligensi membentuk manusia yang setia pada kebersamaan. Apabila ada satu warganya yang menderita merupakan penderitaan bersama. Sebaliknya, apabila ada kebahagiaan yang dialami salah satu warga merupakan kebahagiaan seluruh masyarakat. 76
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
Dalam tingkatan nasional, sosial intelegensi membimbing para pemimpin untuk selalu peka terhadap kesulitan rakyatnya dengan mengutamakan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Cara mengembangkan kecerdasan sosial di lingkungan sekolah antara lain: diskusi, hadap masalah, bermain peran, kunjungan langsung ke masyarakat dan lingkungan sosial yang beragam. Jika kegiatan dan metode pembelajaran tersebut dilakukan secara efektif maka akan dapat mengembangkan kecerdasan sosial bagi seluruh warga sekolah, sehingga mereka menjadi warga yang peduli terhadap kondisi sosial masyarakat dan ikut memecahkan berbagai permasalahan sosial yang dihadapi oleh masyarakat. Mengenai kompetensi, di Indonesia telah ditetapkan sepuluh kompetensi yang harus dimiliki oleh guru sebagai instructional leader, yaitu: (1) memiliki kepribadian ideal sebagai guru; (2) penguasaan landasan pendidikan; (3) menguasai bahan pengajaran; (4) kemampuan menyusun program pengajaran; (6) kemampuan menilai hasil dan proses belajar mengajar; (7) kemampuan menyelenggarakan program bimbingan; (8) kemampuan menyelenggarakan administrasi sekolah; (9) kemampuan bekerja sama dengan teman sejawat dan masyarakat; dan (10) kemampuan menyelenggarakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran. Dengan begitu, tugas guru menjadi lebih luas lagi dari pada proses mentransmisikan pengetahuan, membangun afeksi, dan mengembangkan fungis psikomotorik, karena di dalamnya terkandung fungsi-fungsi produksi. Guru yang mogok mengajar apapun alasannya merupakan counter productive proses pendidikan dan pembelajaran yang bermisi kemanusiaan universal itu. dari sisi etika keguruan juga tidak layak terjadi sebab figur guru menjadi panutan di kalangan masyarakat setidaknya bagi para siswanya sendiri. Disini predikat guru sebagai pendidik itu berkonotasi dengan tindakan-tindakan yang senantiasa memberi contoh yang baik dalam semua perilakunya. Sebagai pendidik, guru harus professional sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bab IX pasal 39 ayat 2:
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
77
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada mayarakat, terutama bagi pendidikan pada pergurua tinggi. (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional: 6) Ketentuan ini mencakup tipe macam kegiatan yang harus dilaksanakan oleh guru yaitu pengajaran, penelitan, dan pengabdian masyarakat. Beban ini tidak ada bedanya dengan beban bagi dosen. Tiga macam kegiatan tersebut secara hierarkis melambangkan tiga upaya berjenjang dan meluas gerakannya. Pengajaran melambangkan pelaksanaan tugas rutin, penelitian melambangkan upaya pengembangan profesi, sedang pengabdian melambangkan pemberian kontribusi sosial kepada masyarakat akibat prestasi yang dicapai tersebut. Dari ketiga kegiatan tersebut, terutama penelitian menuntut sikap guru dinamis sebagai seorang professional. Seorang profesional adalah seorang yang terus menerus berkembang atau trainable. Untuk mewujudkan keadaan dinamis ini pendidikan guru harus mampu membekali kemampuan kreativitas, rasionalitas, ketrlatihan memecahkan masalah, dan kematangan emosionalnya. Semua bekal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan guru yang berkualitas sebagai tenaga profesional yang sukses dalam menjalankan tugasnya. Keberhasilan guru dapat ditinjau dari dua segi proses dan dari segi hasil. Dari segi proses, guru berhasil bila mampu melibatkan sebagian besar peserta didik secara aktif baik fisik, mental maupun sosial dalam proses pembelajaran, juga dari gairah dan semangat mengajarnya serta adanya rasa percaya diri. Sedangkan dari segi hasil, guru berhasil bila pembelajaran yang diberikannya mampu mengubah perilaku pada sebagian besar peserta didik ke arah yang lebih baik. Sebaliknya,dari sisi siswa, belajar akan berhasil bila memenuhi dua persyaratan: (1) belajar merupakan sebuah kebutuhan siswa, dan (2) ada kesiapan untuk belajar, yakni kesiapan memperoleh pengalamanpengalaman baru baik pengetahuan maupun keterampilan. Hal ini merupakan gerakan dua arah, yaitu gerakan profesional dari guru dan gerakan emosional dari siswa. Apabila yang bergerak 78
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
hanya satu pihak, maka tentu tidak akan berhasil, yang dalam istilah sehari-hari disebut bertepuk sebelah tangan. Sehebat-hebatnya potensi guru selagi tidak direspons positif oleh siswa, pasti tidak berarti apaapa. Jadi gerakan dua arah dalam menyukseskan pembelajaran antara guru dan siswa itu sebagai gerakan sinergis. Bagi guru yang profesional, dia harus memiliki kriteria-kriteria tertentu yang positif. Gilbert H. Hunt menyatakan bahwa guru yang baik itu harus memenuhi tujuh kriteria: 1) Sifat positif dalam membimbing siswa 2) Pengetahuan yang mamadai dalam mata pelajaran yang dibina 3) Mampu menyampaikan materi pelajaran secara lengkap 4) Mampu menguasai metodologi pembelajaran 5) Mampu memberikan harapan riil terhadap siswa 6) Mampu merekasi kebutuhan siswa 7) Mampu menguasi manajemen kelas. (Gilbert H. Hunt, 1999: 1516) Disamping itu, ada satu hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi guru yang profesional yaitu kondisi nyaman lingkungan belajar yang baik secara fisik maupun psikis. Undangundang Sistem Pendidikan Nasional pasal 40 ayat 2 bagian 2 di muka menyebut dengan istilah menyenangkan. Demikian juga E. Mulyasa menegaskan, bahwa tugas guru yang paling utama adalah bagaimana mengondisikan lingkungan belajar yang menyenangkan, agar dapat membangkitkan rasa ingin tahu semua peserta didik sehingga timbul minat dan nafsunya untuk belajar. (Mulyasa, 2002: 187). Adapun Bobbi Deporter dan Mike Hernachi menyarankan agar memasukkan musik dan estetika dalam pengalama belajar siswa. karena musik berhubungan dan mempengaruhi kondisi fisiologis siswa yang diiringi musik membuat pikiran selalu siap dan mampu berkonsentrasi. Dalam situasi otak kiri sedang bekerja, musik akan membangkitkan reaksi otak kanan yang intuitif dan kreatif sehingga masukannya dapat dipadukan dengan keseluruhan proses. (Bobbi Deporter, 2002). Terkait dengan suasana yang nyaman ini, perlu dipikirkan oleh guru yang profesional yaitu menciptakan situasi pembelajaran yang
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
79
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
bisa menumbuhkan kesan hiburan. Mungkin semua siswa menyukai hiburan, tetapi mayoritas mereka jenuh dengan belajar. Bagi mereka belajar adalah membosankan, menjenuhkan, dan di dalam kelas seperti di dalam penjara. Dari evaluasi yang didasarkan pada pengamatan ini, maka sangat dibutuhkan adanya proses pembelajaran yang bernuansa menghibur. Nuansa pembelajaran ini menjadi “pekerjaan rumah”bagi para guru khususnya guru yang profesional. C. Pembelajaran Demokratis Sebagai upaya untuk keluar dari pembelajaran yang membelenggu tersebut menuju pada pembelajaran yang membebaskan dibutuhkan keterbukaan dan sikap lapang dada dari guru untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa guna mengekspresikan gagasan dan pikirannya. Freir mengatakan,” pendekatan yang membebaskan merupakan proses di mana pendidikan mengondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkapkan kehidupan yang senyata secara kritis. Dalam pendidikan yang membebaskan ini tidak ada subjek yang membebaskan atau objek yang dibebaskan karena tidak ada dikotomi antara subjek dan objek. Guru dan siswa sama-sama subjek dan objek sekaligus. Keduanya dimungkinkan saling take and give (menerima dan memberi). Hanya saja, jika guru sebagai pembelajar senior, maka siswa sebagai pembelajar junior,jadi tetap ada perbedaan pengalaman dan karena perbedaan inilah sehingga guru tetap lebih banyak memberi kepada siswa dari pada siswa memberi kepada guru. Namun pemberian guru kepada siswa itu sifatnya dorongan, rangsangan atau pancingan agar siswa berkreasi sendiri, bukan sebagai stimulus. (Paulo Freire, 2002: 28) Aliran ini sesungguhnya telah berpandangan progresif. Peran siswa telah dimaksimalkan jauh melebihi peran-peran tradisionalnya dalam himpitan pengajaran model gaya komando. Upaya memaksimalkan peran siswa ini sebagai bentuk riil dari misi pembebasan siswa dari keterbelengguan akibat penindasan guru. Melalui pembebasan ini, diharapkan siswa memiliki kemandirian yang tinggi dalam memberdyakan potensi yang dimiliki untuk berpendapat, bersikap dan berkreasi sendiri. Oleh karena itu, mesti ada dialog. “ciri aksi budaya yang memperjuangkan kebebasan adalah dialog, sedangkan yang mengarah pada dominasi justru anti dialog dan mendomistifikasikan 80
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
rakyat.� (Djohar, 2003). Tangung jawab guru yang menempatkan diri sebagai teman dialog bagi siswa lebih besar dari pada guru yang hanya memindahkan informasi yang harus diingat siswa (Tilaar, 2000: 137). Sebab guru sedang memupuk sikap keberanian, sikap kritis, dan sikap toleran terhadap pandangan yang berbeda bahkan bertentangan sekalipun, melalui tradisi saling tukar pandangan dalam menyiapkan suatu masalah. Tradisi dialogis ini sebagai salah satu bentuk suasana yang mendukung pembelajaran demokratis, yaitu suasana yang melibatkan para siswa dalam proses pembelajaran secara maksimal dengan memperhatikan sepenuhnya terhadap inisiatif, pemikiran, gagasan, ide, kreativitas, dan karya siswa. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi subjek dalam proses pembelajaran. Mengingat pentingnya dialog ini, maka pemerintah mengamanatkan melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan sebagai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Amanat itu terdapat pada pasal 40 ayat 2. Isi dari pasal tersebut adalah: Pendidikan dan tenaga kependidikan berkewajiban: 1.
Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis dan dialogis.
2.
Mempunyai komitemen secara professional untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan,
3.
Memberikan teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya. (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, : 6)
Seiring dengan demokrasi politik. Ada tuntutan demokrasi pendidikan dalam prakteknya berimplikasi pada demokrasi pembelajaran dengan indikasi menciptakan suasana dialogis. Dengan demikian, peranan guru dalam penyampaian pengetahuan menjadi sangat berkurang yang digantikan oleh peranan siswa yang semakin menguat. Tuntutan dialog belakangan ini sebagai suatu yang tak terelakkan lagi dalam kehidupan pendidikan demokratis, sekaligus membuktikkan adanya pergeseran posisi siswa dari posisi objek ke posisi subjek dalam berbagai kesempatan.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
81
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
Demikian pula, pergantian istilah anak didik, terdidik maupun objek didik menjadi peserta didik bahkan pembelajar bukan hanya persoalan semantik, melainkan perubahan paradigma pembelajaran yang banyak dipengaruhi oleh aliran-aliran pendidikan yang berorientasi pada kondisi demokratis dan emansipatoris, dengan memerankan siswa agar lebih produktif,progresif dan pro-aktif dibandingkan peran masa lampaunya. Bagaimana istilah peserta didik apalagi pembelajar akan selalu mengesankan kondisi aktif pada istilah anak didik, terdidik maupun objek didik. Oleh karena itu, belakangan ini pengertian perencananaan untuk memberi peluang pada siswa-siswanya mengembangkan aktivitas belajar, serta mengeksplorasi berbagai pengalaman baru untuk mencapai berbagai kompetensi yang diidealkannya, dan telah menjadi kesepakatan-kesepakatan kelas bersama dengan gurunya. (Gilbert H. Hunt, 1999: 15-16). Guru tidak banyak ikut campur dalam mereka mengatur dan menegur pekerjaan anak, akan tetapi membiarkan bekerja menurut kemampuan dan cara masing-masing Sikap in cocok dengan kurikulum ‘student centered�. Selanjutnya, perkembangan paling menarik terjadi sejak 25 tahun terakhir bahwa guru-guru di berbagai sekolah di Amerika melakukan transaksi kurikulum dengan para siswanya. Guru menawarkan berbagai kompetensi pada siswanya, sedang siswa memilih serta menentukan sendiri apa yang mereka pelajari dengan gurunya itu. Implikasi adalah terjadi kajian dari sesama siswa untuk menentukan berbagai bahan materi pelajaran yang akan mereka pelajari dalam masa tertentu. Inilah yang disebut sebagai curriculum as transaction and curriculum as inquiry. (S.K Kockar, 1967: 28) Kasus ini benar-benar menggambarkan pembelajaran demokratis lantaran melibatkan siswa dalam menentukan sendiri kompetensi maupun bahan pelajaran sesuai dengan selera dan kebutuhan mereka sendiri tanpa paksaan maupun intervensi guru. Keterlibatan siswaseperti ini makin mendesak untuk direalisasikan, sehingga dibutuhkan guru yang benar-benar professional. D. Proses Pembelajaran yang Membelenggu Ada ungkapan yang menarik dari Emille Durkheim. Dia melukiskan dua fungsi pendidikan yang saling bertentangan yaitu
82
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
pendidikan sebagai pembelenggu dan pendidikan sebagai pembebas individu. (Sodiq. A Kuntoro, 1985: 34). Letak daya tarik dari pernyataan ini terdapat pada fungsi pendidikan sebagai pembelenggu. Selama ini, kebanyakan masyarakat hanya memahami fungsi pendidikan sebagai pembebas individu. Ternyata pendidikan bisa berfungsi sebaliknya, sebagai pembelenggu. Hal ini memberi pemahaman berikutnya bahwa pendidikan bisa juga “berbahaya”bagi kemandirian, kreativitas, dan kebebasan siswa sebagai individu. Dalam kaitannya dengan fungsi negatif, yakni pendidikan sebagai pembelenggu ini agaknya dapat dilacak dari model-model pembelajaran yang dilaksanakan guru di dalam kelas. Jika kita adakan evaluasi, di kalangan kita sendiri memang terdapat gejalagejala perilaku guru dalam pembelajaran di kelas yang tidak kondusif mengakibatkan daya kritis siswa, bahkan dalam batas-batas tertentu membahayakan masa depan siswa seperti sikap guru yang sinis terhadap jawaban yang salah. Dalam suatu kelas tidak jarang guru melempar suatu pertanyaan yang harus dijawab siswa. Ada seorang siswa yang berani menjawab pertanyaan dengan penuh keyakinan dan harapan mendapat simpati guru. Apa yang terjadi justru di luar dugaan dengan jawaban itu teman-temannya di sekitar tertawa sedang guru mengatakan, “tidak, itu salah. Saya heran melihatmu”. Kasus ini menurut Bobbi Deporter and Mike Hernacki, adalah awal terbentuknya citra negatif diri. Sejak saat itu belajar menjadi tugas sangat berat. Keraguan tumbuh dalam dirinya, dan dia mulai mengurangi resiko sedikit demi sedikit, sebab dia merasa malu dan dipermalukan di hadapan banyak anak. Kesan negatif ini terus membayangi dalam perkembangan lantaran komentar itu. (Bobbi Deporter, 2002). Komentar negatif selama ini seringkali diterima anak bukan saja di sekolah, melainkan juga di rumah atau di lingkungan masyarakat. Pada 1982, seorang pakar masalah kepercayaan diri, Jack Canfield melaporkan bahwa hasil penelitian dalam sehari setiap anak rata-rata menerima 460 komentar negatif atau kritik dan hanya 75 komentar positif yang bersifat mendukung. Jadi, komentar negatif enam kali lebih banyak dari pada komentar positif. (Jerry Aldridge And Renetta Soldman, 2002: 77). Suasana seperti ini berbahaya bagi masa depan
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
83
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
anak, mereka bisa merasa tegang dan terbebani ketika misalnya disuruh belajar. Dinding-dinding kelas dirasakan sebagai dindingdinding tempat penjara. Model pembelajaran berikutnya yang dapat membelenggu dan menindas siswa adalah sebagaimana yang disebut Paulo Freire sebagai pendidikan ”gaya bank”. Model ini menurut pengamatan Freire, menjadi sebuah kegiatan menabung: para murid sebagai celengannya sedangkan guru sebagai penabungnya. (Freire: 51-52). Ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat dan menyimpan. (Mska Masstlon, 1972: 43). Semakin banyak murid yang meyimpan tabungan, semakin kurang mengembangkan kesadaran kritisnya. (Donald P. Kauchosck And Paul D. Eggen, 1998: 6). Sesungguhnya, belajar itu merupakan pekerjaan yang cukup berat, yang menuntut skap kritis sistemik (sistemic critical attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktek langsung. Sikap kritis sama sekali tidak dapat dihasilkan melalui pendidikan yang bergaya bank (banking action) ini. (Freire: 51-52). Dalam pendidikan model ini, yang dibutuhkan bukan pemahaman isi, tetapi sekedar hafal (memorization). Bukan memahami teks, tetapi hanya menghafal dan jika siswa siswa melakukannya berarti siswa telah memenuhi kewajibannya. (Dede Rosyada, 2004: 92). Padahal hafalan hanya akan menumpuk pengetahuan dalam arti pasif, karena tanpa upaya pengembangan sama sekali sebagai yang menjadi karakternya selama ini. Selanjutnya pembelajaran model bank ini telah menempatkan guru dan siswa dalam posisi berhadap-hadapan. Guru sebagai subyek dan siswa sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan siswa yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siswa sebagai yang diperankan. Secara ekstrim bahkan dapat dikatakan guru sebagai penindas sedang siswa sebagai tertindas. Freire setidaknya telah mengungkapkan peran yang kontras itu sebagai berikut: a.
guru mengajar, murid diajar
b.
guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
c.
guru berfikir, murid dipikirkan
d. guru bercerita, murid patuh mendengarkan
84
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
e.
guru menentukan peraturan, murid diatur
f.
guru memilih menyetujuinya
g.
guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melaui perbuatan gurunya.
dan
memaksakan
pilihannya,
murid
h. guru memiliki bahan dan isi pelajaran, murid (tanpa diminta pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu. i.
guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
j.
guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka. (Freire: 51-52)
Pengajaran model demikian ini memosisiskan guru sebagai pihak yang �menang�, sedangkan siswa sebagai pihak yang “kalah�, suatu dikotomi yang mestinya tidak layak terjadi, mengingat pengajaran bukan proses perbandingan sehingga ada yang menang dan ada yang kalah. Dengan istilah lain, pengajar ini terkadang disebut pengajaran model komando. Seorang komandan dalam militer posisinya selalu diatas, memegang perintah yang harus ditaati. Pengajaran model gaya komando ini memerankan guru, yang oleh S. Nasution disebut guru yang bertipe dominatif sebagai lawan dari tipe integratif. (Nasution, 1999: 116). Pengajaran tersebut mendapat kritik keras karena mematikan semangat demokratisasi dan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan keagamaannya. Guru merasa memiliki wewenang apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran dan tidak boleh diganggu gugat oleh siswa maupun pihak lain, praktis, pengajaran model tersebut hanya menjadikan guru pandai sepihak sedangkan siswa tetap bodoh, pasif, kering ide atau gagasan, stagnan, tertindas dan terbelenggu. Upaya pembelajaran yang ternyata berbalik membelenggu ini tidak lepas begitu saja, karena akibat demikian tidak pernah disadari guru dominatif tersebut-selagi belum ada gugatan secara maksimal untuk mewujudkan pembelajaran yang benar-benar demokratis sebagai kebutuhan pendidikan secara mendesak.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
85
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
E. Kesimpulan Permasalahan belajar sebenarnya memiliki kandungan substansi yang “misterius’. Berbagai macam teori belajar telah ditawarkan para pakar pendidikan supaya belajar dapat ditempuh secara efektif dan efisien, dengan implikasi waktu cepat dan hasilnya banyak. Namun, sampai saat ini belum ada satupun teori yang dapat menawarkan strategi belajar secara tuntas. Masih banyak persoalan-persoalan belajar yang belum tersentuh oleh teori-teori tersebut. Kompleksitas persoalan yang terkait dengan belajar inilah yang menjadi penyebab sulitnya menuntaskan strategi belajar. Ada banyak faktor yang mesti dipertimbangkan dalam belajar, baik yang bersifat internal maupun yang eksternal. Diantara sekian banyak faktor eksternal terdapat guru yang sangat berpengaruh terhadap siswa. Sukses tidaknya para siswa dalam belajar di sekolah, sebagai penyebab tergantung pada guru. Selama ini, model pembelajaran dalam pendidikan masih seperti ungkapan paul Freire, pendidikan ”gaya bank” yang bersifat penindasan pada siswa. Keadaan ini harus diubah menjadi pendidikan (pembelajaran) yang demokratis yang membawa misi pembebasan bagi mereka. Untuk mewujudkan model pendidikan yang emansipatoris itu dibutuhkan guru yang profesional. Profesionalitas guru tercermin dalam berbagai keahlian yang dibutuhkan pembelajaran baik terkait dengan bidang keilmuan yang diajarkan,”kepribadian”, metodologi, pembelajaran, maupun psikologi belajar. DAFTAR PUSTAKA Bobbi Deporter dan Mieke Hernachi, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, (Bandung: Kaifa, 2002). Donald P. Kauchosck And Paul D. Eggen, Learning And Teaching Research Basic Methods,(Baston: Allya And Baron, 1998). Djohar, Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: LESFI, 2003). Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Pelibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: Prenada Media, 2004). 86
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementas, (Bandug: PT Remaja Rosdakarya,2002). Mulyasa, E. Standart Kompetensi dan Sertifikasi Guru. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008). Gilbert H. Hunt, Et Al. efectie Teaching, Preparation And Implementation, Illnois: Charless C. Thomas Publiesher, 1999). H. A. R. Tilaar, Paradigma Baru PendidikanNasional, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000). Jerry Aldridge And Renetta Soldman, Current Issues And Trends In Education, (Boston, USA: Allya And Baron, 2002). Mska Masstlon,Tracking from Command to Discovery, (California; Wadsworth Publishing Company, 1972). M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan(Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991). Paulo Freire, Politik Pendidikan dan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, (Yogyakarta: Kerjasama Pustaka Pelajar dengan ead, 2002). S.K Kockar, Methods And Technique of Teaching, (Delhi India: Sterling Publisher, 1967). Sodiq. A Kuntoro, Dimensi Manusia dalam Pemikiran Indonesia. Yogyakarta: CV Bur Cahaya, 1985). S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Ttp: Pustaka Widyatama, Tt). Sudarwan Danim, Agenda Pemabruan Sistem Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Yamin, Martinis. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. (Jakarta: Gaung Persada, 2006).
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
87
Nurul Lail Rosyidatul Mu’ammaroh - Antara Profesi, Kompetensi dan...
88
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
PENDIDIKAN KESEHATAN DAN APLIKASINYA DI SD/MI Bintoro Widodo1 Abstract Health education is part of the overall efforts of health (promotive, preventive, curative and rehabilitative) which focuses on efforts to increase healthy living behaviors. In the concept of health education is an effort to influence / encourage others (individuals, groups and communities) in order to behave in a healthy life. Operationally in health education are all activities to provide / improve the knowledge, attitudes and practices of communities in maintaining and improving health. Health education is synonymous with health counseling because both of them are expected behavior changeoriented which is healthy behaviors, so it has the ability to recognize health problems himself, his family and his group in improving health. Health education is a part of health promotion is a process to improve the ability of communities to maintain and improve their health and not just relate themselves to increase the knowledge, attitudes and practices of health, but also increase or improve the environment (both physical and non-physical) in order to maintain and improve health.
Keywords: health education, school, environment.
A. Latar Belakang Pendidikan merupakan segala upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok maupun masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan oleh pelaku pendidikan. Pendidikan kesehatan mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan manusia yang sehat. Kesehatan merupakan dambaan setiap manusia. Manusia yang sehat dapat melakukan aktivitasnya dengan optimal. Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui pendidikan formal maupun non formal. Di lingkungan sekolah pendidikan kesehatan dapat dimasukan dalam mata pelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan atau mata pelajaran lainnya yang relevan. Selain itu, dapat dilakukannya melalui program usaha kesehatan sekolah. Pendidikan kesehatan penting untuk menunjang program-program kesehatan yang lain. 1 Dosen PGMI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Maliki Malang
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
89
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
Istilah pendidikan kesehatan telah dirumuskan oleh para ahli pendidikan kesehatan dalam berbagai pengertian, tergantung pada sudut pandang masing-masing. Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari keseluruhan upaya kesehatan (promotif, prefentif, kuratif, dan rehabilitatif) yang menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan prilaku hidup sehat. Secara konsep pendidikan kesehatan merupakan upaya mempengaruhi/mengajak orang lain (individu, kelompok , dan masyarakat) agar berprilaku hidup sehat. Secara operasional pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan/ meningkatkan pengetahuan, sikap dan praktek masyaarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmojo, 2003). Pendidikan kesehatan identik dengan penyuluhan kesehatan karena keduannya berorientasi pada perubahan perilaku yang diharapkan, yaitu prilaku sehat, sehingga mempunyai kemampuan mengenal masalah kesehatan dirinya, keluarga dan kelompoknya dalam meningkatkan kesehatannya. Pendidikan kesehatan merupakan bagian dari promosi kesehatan, yaitu suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya dan tidak hanya mengaitkan diri pada peningkatan pengetahuan, sikap dan praktek kesehatan saja, tetapi juga meningkatkan atau memperbaiki lingkungan (baik fisik maupun non fisik) dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka (notoatmodjo, 2007). Menurut Nyswander yang di kutip Notoatmodjo (1997), menyatakan bahwa pendidikan kesehatan adalah proses perubahan perilaku yang dinamis bukan proses pemindahan materi dari seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur. Hal itu dapat dilihat dari definisi yang dia kemukakan, yaitu: pendidikan kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri seseorang yang dihubungkan dengan pencapaian tujuan kesehatan individu dan masyarakat. Pendidikan kesehatan tidak dapat diberikan kepada seseorang atau orang lain, bukan seperangkat prosedur yang harus dilaksanakan atau suatu produk yang harus dicapai, tetapi sesungguhnya merupakan suatu proses perkembangan yang berubah secara dinamis, yang di dalamnya seseorang menerima atau menolak informasi, sikap maupun praktek baru, yang berhubungan dengan tujuan hidup sehat. Menurut Committee President on Health Education 90
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
yang di kutip oleh Notoatmodjo (1997), pendidikan kesehatan adalah proses yang menjembatani kesejangan antara informasi kesehatan dan praktek kesehatan, yang memotivasi seseorang untuk memperoleh informasi dan membuat sesuatu sehingga dapat menjaga dirinya menjadi lebih sehat dengan menghindari kebiasaan yang buruk dan membentuk kebiasaan yang menguntungkan kesehatan. Pendidikan kesehatan menurut Wahid dkk, (2007) adalah proses perubahan perilaku yang dinamis, di mana perubahan tersebut bukan sekedar proses trasfer materi/teori dari seseorang ke orang lain dan bukan pula seperangkat prosedur, akan tetapi perubahan tersebut terjadi adanya kesadaran dari dalam diri individu, kelompok atau masyarakat sendiri. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan adalah proses membantu seseorang, dengan bertindak secara sendiri-sendiri ataupun secara kolektif, untuk membuat keputusan berdasarkan pengetahuan mengenai hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pribadinya dan orang lain untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya dan tidak hanya mengaitkan diri pada peningkatan pengetahuan, sikap dan pratik kesehatan saja, tetapi juga meningkatkan atau memperbaiki lingkungan (baik fisik maupun non fisik) dalam rangka memelihara dan meningkatkan kesehatan dengan penuh kesadaran. B. Tujuan Pendidikan Kesehatan Tujuan pendidikan kesehatan merupakan domain yang akan di tuju dari pendidikan kesehatan. Tujuan pendidikan kesehatan adalah mengubah perilaku dari yang merugikan kesehatan atau tidak sesuai dengan norma kesehatan ke arah tingkah laku yang menguntungkan kesehatan atau norma yang sesuai dengan kesehatan. Pendidikan kesehatan memiliki beberapa tujuan antara lain: 1.
Tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam membina dan memelihara perilaku sehat dan lingkungan sehat, serta peran aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.
2.
Terbentuknya perilaku sehat pada individu, keluarga, dan masyarakat yang sesuai dengan konsep hidup sehat baik fisik, mental maupun sosial sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian. , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
91
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
3.
Menurut WHO, tujuan penyuluhan kesehatan adalah untuk mengubah perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam bidang kesehatan (Effendy, 1998).
Tujuan utama pendidikan kesehatan adalah agar orang mampu menerapkan masalah dan kebutuhan mereka sendiri, maupun memahami apa yang dapat mereka lakukan terhadap masalahnya, dengan sumber daya yang ada pada mereka ditambah dengan dukungan dari luar, dan mampu memutuskan kegiatan yang tepat guna untuk meningkatkan taraf hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Undang-undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 dan WHO, tujuan pendidikan kesehatan adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajad kesehatan; baik secara fisik, menta,l maupun sosialnya, sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial, pendidikan kesehatan di semua program kesehatan; baik pemberantasan penyakit menular, sanitasi lingkungan, gizi masyarakat, pelayanan kesehatan, maupun program kesehatan lainnya (Wahid, 2007). Tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk mengubah pemahaman individu, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan agar menjadikan kesehatan sebagai sesuatu yang bernilai mandiri dalam mencapai tujuan hidup sehat, serta dapat menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada dengan tepat dan sesuai (Herawati dkk, 2001). Jadi tujuan pendidikan kesehatan adalah untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman akan pentingnya kesehatan untuk tercapainya perilaku kesehatan sehingga dapat meningkatkan derajatkesehatan fisik, mental, dan sosial, sehingga produktif secara ekonomi maupun sosial untuk mengubah perilaku masyarakat yang tidak sehat menjadi sehat. Secara khusus tujuan pendidikan kesehatan dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan, 2. Menjadikan kesehatan sebagai kebutuhan utama di masyarakat, 3. Meningkatkan pengembangan dan penggunaan sarana dan prasarana kesehatan secara tepat, 4. Meningkatkan tanggung jawab dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, 5. Memiliki daya tangkal atau pemberantasan terhadap penularan penyakit, 6. Memiliki kemauan dan kemampuan masyarakat terkait dengan promotif (peningkatan kesehatan), preventif (pencegahan), kuratif dan rehabilitative (penyembuhan dan pemulihan). 92
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
C. Ruang lingkup Pendidikan Kesehatan Ruang lingkup pendidikan kesehatan dapat dilihat dari berbagai dimensi, antara lain dimensi sasaran pendidikan, tempat pelayanan pendidikan kesehatan, dan tingkat pelayanan kesehatan. Berdasarkan dimensi sasaran pendidikan kesehatan dibagi menjadi: 1. Pendidikan kesehatan individu dengan sasaran individu, 2. Pendidikan kesehatan kelompok dengan sasaran kelompok, 3. Pendidikan kesehatan masyarakat dengan sasaran masyarakat. Berdasarkan dimensi pelaksanaannya, pendidikan kesehatan dibagi menjadi: 1. Pendidkan kesehatan di sekolah dengan sasaran murid atau siswa, yang pelaksanaannya diintegrasikan dalam Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Implementasi yang lain dapat dilakukan pula melalui kegiatan Palang Merah Remaja (PMR), bahkan dalam kurikulum juga dimasukkan dalam mata pelajaran tertentu misalnya saja mata pelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan, 2. Pendidikan kesehatan di pusat kesehatan masyarakat, balai kesehatan, rumah sakit dengan sasaran pasien dan keluarga pasien, 3. Pendidikan kesehatan ditempat-tempat kerja dengan sasaran buruh atau karyawan. Berdasarkan dimensi tingkat pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan dapat dibagi: 1. Promosi kesehatan (health promotion) yaitu peningkatan derajad atau setatus kesehatan masyarakat yang dilakukan melalui pendidikan, penyuluhan ataupun pelatihan kesehatan, 2. Perlindungan umum dan khusus (general and specific protection) yaitu usaha untuk melindungi masyarakat untuk memberikan perlindungan ataupun pencegahan terhadap terjangkitnya suatu penyakit contohnya dengan program imunisasi, 3. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment) yaitu suatu usaha awal untuk mendeteksi suatu penyakit akibat rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan penyakit, 4. Pembatasan kecacatan (disability limitation) yaitu suatu usaha mencegah terjadinya kecacatan akibat pengobatan yang kurang tuntas akibat ketidak tahuan masyarakat atau menganggap bahwa penyakitnya sudah sembuh, dan 5. Rehabitasi (rehabitation) yaitu suatu usaha untuk memulihkan akibat sakit atau cedera yang terkadang orang enggan atau malu untuk melakukannya.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
93
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
Saat ini istilah pendidikan kesehatan lebih di kenal dengan istilah promosi kesehatan. Promosi kesehatan merupakan revitalisasi pendidikan kesehatan pada masa lalu. Promosi kesehatan merupakan program kesehatan yang dirancang untuk membawa kebaikan yang berupa perubahan perilaku, baik di dalam masyarakat maupun lingkungan, sedangkan pendidikan kesehatan merupakan pemberian informasi mengenai perubahan perilaku hidup sehat. D. Pengertian kesehatan lingkungan Kesehatan lingkungan berasal dari dua kata yaitu kesehatan dan lingkungan yang pengertiannya sebagai berikut. Sehat (menurut WHO) adalah suatu keadaan yang baik dari fisik, mental, sosial dan bukan hanya terhindar dari penyakit atau. Lingkungan adalah sesuatu yang berada di alam sekitar baik berupa bahan, kekuatan, kehidupan , maupun zat yang memiliki potensi menyebabkan penyakit. Kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah sesuatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula. Kesehatan lingkungan adalah suatu keseimbangan ekologis yang harus ada antara manisia dengan lingkungannya agar dapat menjamin keadaan sehat dari manusia. Kesehatan lingkungan menurut himpunan ahli kesehatan lingkungan adalah suatu kondi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologis yang dinamis antara manusia dan lingkungan untuk mendukung tercapainya realitas hidup manusia yang sehat, sejahtera dan bahagia. Kesehatan lingkungan adalah upaya untuk melindungi kesehatan manusia melalui pengelolaan pengawasan dan pencegahan faktor-faktor lingkungan yang dapat mengganggu kesehatan manusia. Menurut July Soemirat tahun (2011), kesehatan lingkungan dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari interaksi antara lingkungan dengan kesehatan manusia, tumbuhan, dan hewan dengan tujuan untuk meningkatkan faktor lingkungan yang menguntungkan (eugenik) dan mengendalikan faktor yang merugikan (disgenik), sedemikian rupa sehingga resiko terjadinya gangguan kesehatan dan keselamatan jadi terkendali. Kesehatan lingkungan adalah ilmu dan seni untuk mencegah pengganggu menanggulagi kerusakan dan meningkatkan/memulihkan fungsi lingkungan melalui pengelolaan unsur-unsur/faktor-faktor lingkungan yang beresiko terhadap 94
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
kesehatan manusia dengan cara identifikasi, analisis, interfensi/ rekayasa, sehingga tersedianya lingkungan yang menjamin bagi derajad kesehatan manusia secara optimal. Ilmu kesehatan lingkungan diberi batasan sebagai ilmu yang mempelajari dinamika hubungan interaktif antara kelompok penduduk atau masyarakat dengan segala macam perubahan komponen lingkungan hidup seperti spesies kehidupan, bahan, zat atau kekuatan di sekitar manusia, yang menimbulkan ancaman, atau berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan masyarakat, serta mencari upaya-upaya pencegahan (Umar Fahmi Achmadi 1991). Dengan demikian kesehatan lingkungan adalah keseimbangan dalam ekologis terhadap berbagai masalah kesehatan sebagai akibat dari hubangan interaktif antara berbagai bahan, kekuatan, kehidupan, dan zat yang memiliki potensi penyebab sakit yang timbul akibat adanya perubahan lingkungan dengan masyarakat, serta menerapkan upaya pencegahan gangguan kesehatan yang ditimbulkannnya. Kesehatan lingkungan merupakan faktor penting dalam kehidupan sosial kemasyaratan, bahkan merupakan salah satu unsur penentuan dalam kesejahteraan penduduk. Lingkungan yang sehat sangat dibutuhkan bukan hanya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarkat, tetapi juga untuk kenyamanan hidup dan meningkatkan efisiensi kerja dan belajar. E. Ruang Lingkup Kesehatan Lingkungan Menurut WHO ada 17 ruang lingkup kesehatan lingkungan, antara lain: 1) Penyediaan air minum, 2) Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran, 3) Pembuangan sampah padat, 4) Pengendalian vektor, 5) Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta manusia, 6) Higiene makanan termasuk higiene susu, 7) Pengendalian pencemaran udara, 8) Pengendalian radiasi, 9) Kesehatan kerja, 10) Pengendalian kebisingan, 11) Perumahan dan pemukiman, 12) Aspek kesehatan lingkungan dan trasportasi udara, 13) Perencanaan daerah dan perkotaan, 14) Pencegahan kecelakaan, 15) Rekreasi umum dan periwisata, 16) Tidakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan keadaan epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan penduduk, 17) Tindakan pencegahan yang di perlukan untuk menjamin lingkungan. Menurut Pasal 22 ayat 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992, ruang lingkup kesehatan , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
95
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
lingkungan: 1) Penyehatan air dan udara, 2) Pengamanan limbah padat/sampah, 3) Pengamanan limbah cair, 4) Pengamanan limbah gas, 5) Pengamanan radiasi, 6) Pengamanan kebisingan, 7) Pengaman vektor penyakit, 8) Penyehatan dan pengamanan lainnya: misalnya pasca bencana. 1.
Penyediaan air minum
Air minum merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kualitas dan keberlanjutan kehidupan manusia. Oleh karenanya air minum mutlak harus tersedia dalam kualitas dan kuantitas yang memadai. Untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut diperlukan sistem penyediaan air minum yang berkualitas, sehat, efisien, dan efektif, terintregasi dengan sektor-sektor lainnya terutama sektor sanitasi, sehingga masyarakat dapat hidup sehat dan produktif. Sumber-sumber air minum pada umumnya dan di daerah pedesaan khususnya tidak terlindung sehingga air tersebut tidak atau kurang memenuhi persyaratan kesehatan. Untuk itu perlu pengolahan terlebih dahulu. Agar air minum tidak menyebabkan penyakit, maka air tersebut hendaknya diusahakan memenuhi persyaratan-persyaratan kesehatan, setidaknya diusahakan mendekati persyaratan tersebut. Air yang sehat menurut Notoatmodjo (2003) harus mempunyai persyaratan sebagai berikut: a.
syarat fisik; persyaratan fisik untuk air minum yang sehat adalah bening (tak berwarna), tidak berasa, tidak berbau, suhu antara 1025 °C dan tidak meninggalkan endapan. Cara mengenal air yang memenuhi persyaratan fisik ini dapat dengan mudah diamati.
b.
syarat bakteriologis; air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas dari segala bakteri, terutama bakteri patogen. Cara untuk mengetahui apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri patogen adalah dengan memeriksa sampel (contoh) air tersebut.
c.
syarat kimia; air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu di dalam jumlah yang tertentu pula, tidak mengandung bahan kimiawi yang mengandung racun, tidak mengandung zatzat kimiawi yang berlebihan, cukup yodium, pH air antara 6,5 – 9,2. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat kimia di dalam air akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia.
96
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
d. syarat radiologi; konduktivitas atau daya hantar, pesistivitas, dan PTT atau TDS (kemampuan air bersih untuk menghantarkan arus listrik). Penyediaan air harus memenuhi kuantitas dan kualitas, yaitu: aman dan higienis, baik dan layak minum, tersedia dalam jumlah yang cukup, dan harganya relatif murah atau terjangkau oleh sebagian besar masyarakat. Batasan-batasan penyediaan air yang bersih dan aman, antara lain: bebas dan kontaminasi kuman atau bibit penyakit , bebas dari substansi kimia yang berbahaya dan beracun, tidak berasa dan tidak berbau, dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan domestik dan rumahtangga, serta memenuhi standar minimal yang ditentukan oleh WHO atau Departemen Kesehatan RI. 2.
Pengendalian pencemaran udara
Pencemaran udara adalah kondisi udara yang tercemar dengan adanya bahan, zat-zat asing atau komponen lain di udara yang menyebabkan berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran udara mempengaruhi sistem kehidupan makhluk hidup seperti gangguan kesehatan, ekosistem yang berkaitan dengan manusia. Pencemaran udara dibedakan menjadi pencemaran primer dan pencemaran sekunder. Pencemaran primer adalah subtansi pencemaran yang ditimbulkan langsung dari sumber pencemaran udara. Karbon monoksida adalah sebuah contoh dari pencemaran udara primer karena ia merupakan hasil dari pembakaran. Pencemaran sekunder adalah subtansi pencemar yang terbentuk dari reaksi pencemarpencemar primer di atmofer. Sumber pencemaran udara akibat kegiatan manusia antara lain: transportasi, industri, pembangkit listrik, pembakaran (perapian, kompor dan berbagai jenis bahan bakar) gas buangan pabrik yang menghasilkan gas berbahaya seperti (CFC). Sumber pencemaran udara alami antara lain: gunung berapi, kebakaran hutan, dan denitrifikasi biologi. Pengendalian pencemaran udara dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu pengendalian pada sumber pencemaran dan pengeceran limbah gas. Pengendalian pada sumber pencemaran merupakan metode yang lebih efektif, karena hal tersebut dapat mengurangi keseluruhan limbah gas yang akan diproses dan yang pada akhirnya dibuang ke lingkungan. Di dalam , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
97
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
sebuah pabrik kimia, pengendalian pencemaran udara terdiri dari dua bagian yaitu penanggulangan emisi debu dan penanggulangan emisi senyawa pencemar. F.
Tujuan pemeliharaan kesehatan lingkungan
Tujuan pemeliharaan kesehatan lingkungan menurut Sumantri (2010) adalah: 1.
Melakukan koreksi atau perbaikan
Terhadap segala bahaya dan ancaman pada kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia.
2.
Melakukan usaha pencegahan
Dengan cara mengatur sumber-sumber lingkungan dalam usaha meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraan hidup manusia.
3.
Melakukan kerjasama dan menerapkan program terpadu
Diantara masyarakat dan institusi pemerintah serta lembaga non pemerintah dalam menghadapi bencana alam atau wabah penyakit.
4.
Mengurangi pemanasan global
Dengan menanam tumbuhan sebanyak-banyaknya pada lahan kosong, maka kita juga ikut serta mengurangi pemanasan global, karbon, zat O2 (oksigen) yang dihasilkan tumbuh-tumbuhan dan zat tidak langsung zat CO2 (carbon) yang menyebabkan atmosfir bumi berlubang ini terhisap oleh tumbuhan dan secara langsung zat O2 yang dihasilkan tersebut dapat dinikmati oleh manusia tersebut untuk bernafas.
5.
Menjaga kebersihan lingkungan
Agar lingkungan sehat maka harus dijaga kebersihannya, karena lingkungan yang sehat adalah lingkungan yang bersih dari segala penyakit dan sampah.
98
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
DAFTAR PUSTAKA Efendi, Feri. 2009. Keperawatan kesehatan komunitas. Jakarta: Salemba Medika. Herawati, dkk. 2001. Pendidikan kesehatan dalam keperawatan, Jakarta: EGC Juli Soemirat, 2011. Kesehatan lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Notoatmodjo, Soekidjo, 1993.Pengantar pendidikan dan prilaku kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset. Umar Fahmi Achmadi. 1991. Transformasi kesehatan lingkungan dan kesehatan kerja di Indonesia. Jakarta: UI Press Wahid dkk. 2007. Promosi kesehatan. Yogyakarta: Graha ilmu
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
99
Bintoro Widodo - Pendidikan Kesehatan dan Aplikasinya...
100
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
PENGEMBANGAN BUKU AJAR TEMATIK DENGAN PENDEKATAN INTEGRASI SAINS DAN AGAMA DI KELAS 4 SEKOLAH DASAR ISLAM RAUDLATUL JANNAH SIDOARJO Nuril Nuzulia1 Abstract Purpose of this development is to fulfill the needs of learning material especially in the Islamic Elementary School. In fact, thematic learning separated from religion; therefore continuity of learning model that will be applied is needed. This day, general subject different with religion subject, therefore in this research, researcher integrated between general subjects with religion subject. This development of teaching material is using Dick and Lou Carey model. The result of this development is Thematic Book for student 4th grade of Islamic Elementary School. Product of this development is tested in a series such as: (1) validation of contents, learning design, and learning, (2) Tested on small group and tested on class.
Keywords:Development, Teaching Material, Thematic, Integration between Sciences and Religion
A. Pendahuluan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan, (Sistem Pendidikan Nasional no 20, 2003) bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertaggung jawab. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu perubahan atatu perkembangan pendidikan adalah hal yang memang 1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
101
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
seharusnya terjadi sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Perubahan dalam arti perbaikan pendidikan pada semua tingkat perlu terus menerus dilakukan sebagai antisipasi kepentingan masa depan (Trianto, 2010: 2) Pendidikan yang mampu mendukung pembangunan di masa mendatang adalah pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan problem kehidupan yang dihadapinya. Pendidikan harus menyentuh potensi nurani maupun potensi kompetensi peserta didik. Konsep pendidikan tersebut terasa semakin penting ketika seseorang harus memasuki kehidupan di masyarakat dan dunia kerja, karena yang bersangkutan harus mampu menerapkan apa yang dipelajari di sekolah untuk menghadapi problema yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari saat ini maupun yang akan datang. Mencermati bahan uji publik kurikulum 2013 dapat disimpulkan bahwa kurikulum ini bukanlah formula pendidikan yang baru, tetapi merupakan tahap lanjutan dari kurikulum sebelumnya yaitu 2004 (KBK) dan 2006 (KTSP). Hal ini dapat dilihat dari target pembelajaran yang masih mengacu pada kompetensi sikap, pengetahuan dan ketrampilan secara terpadu (KBK) dan setiap satuan pendidikan diharuskan menyusun kurikulum sendiri dengan mempertimbangkan kondisi satuan pendidikan, kebutuhan peserta didik, dan potensi daerah (KTSP) (Trianto, 2010: 14). Target kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan peserta didik yang berakhlak mulia (afektif), berketrampilan (psikomotorik) dan perpengetahuan (kognitif) yang berkesinambungan. Materi pembelajaran akan diarahkan pada target pencapaian kompetensi yang tepat guna dengan materi pembelajaran yang esensial dan sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Proses pembelajaran diharapkan mengarah pada active student center dan kontekstual dengan dipandu buku teks yang berisi materi dan proses pembelajaran (tutorial). Guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator pembelajaran. Kurikulum ini sangatlah ideal karena sesuai dengan teori pendidikan modern seperti students center active learning, contectual learning, contructivisme theory, democtratic dan humanis learning. Konsep ini bukanlah sesuatu yang asing bagi pendidik dan pemegang kebijakan pendidikan karena sudah lama dikenal. Namun konsep 102
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
yang sangat logis, sederhana dan manusiawi ini pada akhirnya hanya akan menjadi sebuah teori di meja kerja jika tanpa didukung sumber daya yang memadai dan perjuangan keras, karena pada prakteknya akan ditemui banyak kendala. Atas dasar pemikiran di atas dan dalam rangka implementasi Standar Isi yang termuat dalam Standar Nasional Pendidikan, maka pembelajaran pada Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyyah lebih sesuai jika dikelola dalam model pembelajaran terpadu melalui pendekatan pembelajaran tematik yang merupakan salah satu dari model pembelajaran inovatif, konstrukstif, dan progresif. Akan tetapi pada kenyataannya, masih terdapat masalah dalam penerapan kurikulum baru tersebut, antara lain: 1.
SDM guru belum berkembang sesuai dengan harapan kurikulum 2013.
2.
Pembelajaran belum terpusat sepenuhnya kepada siswa
3.
Buku dari Kemendikbud, materi agama dan umum masih terpisah.
4.
Belum adanya buku tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama
Masyarakat Indonesia dengan mayoritas penduduk muslim, dituntut untuk memberikan perhatian lebih terhadap Al Qur’an dan Hadis yang merupakan pedoman dan petunjuk hidup. Sejauh mana perhatian dari pemahaman masyarakat Indonesia terhadap Al Qur’an dan Hadis serta kemampuan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya merupakan tolak ukur kuwalitas keislaman mereka. Sehingga merupakan sebuah konsekuensi yakni upaya pemenuhan terhadap hak-hak Al Qur’an maupun hadis untuk didekati secara ilmiah, apalagi oleh para pendidik dan peserta didik dalam mempelajari buku tematik. Namun yang terjadi, pembelajaran di Sekolah Dasar Islam tidak jauh beda dengan pembelajaran di Sekolah Dasar. Kebanyakan pembelajaran dalam buku tematik di SDI tidak menyertakan pemahaman terhadap kandungan ayat-ayat Al Quran maupun Hadis (Sultan Ahmed, 2010: 25-57). Al Qur’an dan as Sunnah sesungguhnya tidak pernah membedakan ilmu agama dan sains (umum). Adapun ilmu yang pernah termaktub dalam kitab al Qur’an adalah ilmu yang bersifat universal. Sedangkan , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
103
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
pembagian adanya ilmu agama dan sains (umum) adalah hasil dari sumber-sumber objek kajiannya. Buku ajar sebagai salah satu media pembelajaran, mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran, yaitu sebagai acuan bagi siswa dan guru untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran. Bagi siswa buku ajar menjadi bahan acuan yang diserap isinya dalam proses sehingga dapat menjadi pengetahuan. Sedangkan bagi guru, buku ajar menjadi salah satu acuan penyampaian ilmu kepada siswa. Hal ini penting sebagaimana diatur dalam UU Sisdiknas 11 tahun 2005 yakni : “Buku pelajaran merupakan buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan dan ketaqwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kemampuan dan kepekaan estesis, potensi fisik dan kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.� Ada banyak buku yang tersedia di pasaran, ada juga buku paket bahan ajar yang sudah disusun secara nasional oleh Depdiknas. Namun demikian tetap merupakan sebuah tanggung jawab professional bagi guru maupun pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan sendiri buku ajar yang dibutuhkan untuk pembelajarannya. Hal ini dikarenakan dunia pendidikan adalah dunia yang dinamis, sedinamis manusia sebagai subjek belajarnya dengan berbagai konteks sosial, ekonomi, budaya, politik yang selalu melatarbelakangi sepanjang waktu (Andi Prastowo, 2011: 2). Pemilihan topik pengembangan dalam penelitian ini, ditujukan pada buku ajar tematik yang sudah ada dan dipakai dalam pembelajaran oleh satuan pendidikan Sekolah Dasar Islam Raudlatul Jannah Sidoarjo khususnya kelas 4. Penelitian pengembangan ini dipilih karena setelah mencermati bentuk fisik dan muatan materi serta desain yang ditampilkan oleh buku tersebut, dapat dikatakan belum memenuhi semua unsur atau faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan buku ajar baik dari segi materi maupun desainnya, serta belum adanya integrasi dengan agama. Hal ini adalah tepat ketika pembelajaran tematik di Sekolah Dasar Islam mulai dipraktikkan dengan integrasi sains dan agama, supaya pengetahuan terhadap materi dengan disertai ayat-ayat Al 104
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Qur’an dan Hadis akan menumbuhkan pemahaman secara umum dan agamis yang dapat menginternalisasi dalam kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik. B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian dan pengembangan atau research and development. Pengembangan atau research and development adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2011: 257). Dalam pengembangan bahan ajar ini, pengembang menggunakan model desain pengembangan Dick and Lou Carey. Prosedur pengembangan model ini terdiri dari sepuluh tahap yaitu: (1) Identifying Instructional goal (mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran), (2) Conducting Instructional Analysis (Melaksanakan analisis pembelajaran), (3) Identifying Entry Behaviors, Characteristics (Mengenal tingkah laku masukan dan karakteristik siswa), (4) Writing Performance Objectives (Merumuskan tujuan khusus pembelajaran), (5) Developing Criterion-Referenced Test (Mengembangkan butir tes acuan), (6) Developing Instructional Strategy (mengembangkan strategi pembelajaran), (7) Developing and Selecting Instruction(menyeleksi dan mengembangkan bahan pembelajaran), (8) Designing and Conducting Formative Evaluation (merancang dan melaksanakan evaluasi formatif), (9) Revising Instruction (Merevisi bahan pembelajaran). C. Hasil Penelitian 1.
Uji Ahli Isi
Berdasarkan hasil penilaian ahli isi terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama sebagaimana dicantumkan dalam (lamp. 1) , maka dapat dihitung prosentase tingkat pencapaian buku ajar sebagai berikut:
persentase = 85 x 1 x 100 % = 85 x 100 % = 85 %
20 x 5
100
2.
Uji Ahli Desain Pembelajaran
Berdasarkan hasil penilaian ahli desain pembelajaran terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
105
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
agama sebagaimana dicantumkan dalam, maka dapat dihitung prosentase tingkat pencapaian buku ajar sebagai berikut:
persentase = 91 x 1 x 100 % = 91 x 100 % = 91 %
20 x 5
100
3.
Uji Ahli Pembelajaran
a.
Penyajian Data
Berdasarkan hasil penilaian ahli pembelajaran terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama sebagaimana dicantumkan dalam, maka dapat dihitung prosentase tingkat pencapaian buku ajar sebagai berikut:
persentase = 61 x 1 x 100 % = 61 x 100 % = 93, 84 %
13 x 5
65
1.
Uji Coba Kelompok Kecil
Berdasarkan hasil uji coba kelompok kecil terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama sebagaimana dicantumkan dalam tabel 4.4, maka dapat dihitung prosentase tingkat pencapaian buku ajar sebagai berikut:
persentase =
2.
305 x 1
x 100 % = 93,84 %
13 x (5) x 5
Uji Coba Lapangan a.
Penyajian Data
Berdasarkan hasil uji coba lapangan terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama sebagaimana dicantumkan tabel, maka dapat dihitung prosentase tingkat pencapaian buku ajar sebagai berikut:
persentase = 1432 x 1
x 100 % = 88,12 %
13 x (25) x 5
3.
Penyajian Data Pre- Test dan Post- Test
Tabel nilai pre-test dan post-test yang didapat dari siswa kelas 4 B pada saat uji coba lapangan adalah sebagai berikut:
106
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Tabel 4.6 Hasil Uji Coba Lapangan pada Pre-Test Kriteria <75 >75
N 10 15
P (%) 40 % 60 %
Keterangan Tidak tuntas Tuntas
Tabel 4.7 Hasil Uji Coba Lapangan pada Post-Test Kriteria <75 >75
N 0 25
P (%) 100 %
Keterangan Tuntas
Tabel 4.8 Paired Sampel t-test Paired Samples Statistics Mean Pair 1 sebelum 73.40 sesudah 87.440
N 25 25
Std. Deviation 3.742 3.831
Std. Error Mean .748 .766
Paired Samples Correlations Pair 1
sebelum & sesudah
N 25
Correlation .487
Sig. .014
Paired Samples Test Paired Differences
Mean
95% Confidence Std. Interval of the Std. Error Difference Deviation Mean Lower Upper t
Pair 1 sebelum -14.04 3.819 sesudah
.764
-15.576
df
Sig. (2-tailed)
-12.424 -18.350 24 .000
Dalam mengambil keputusan, dapat dilihat dari sig (2 tailed) , apabila sig < 0,05 maka Ho ditolak dan Ha diterima. D. Pembahasan 1.
Analisis Pengembangan Buku Ajar
Prosedur pengembangan buku ajar ini ditempuh melalui beberapa tahap yaitu: 1) tahap studi pendahuluan dengan melakukan penilaian kebutuhan dan analisis kurikulum, 2) tahap pengembangan buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama yang menggunakan model Dick and Carrey dan tahap uji coba atau validasi produk. , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
107
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Produk pengembangan buku ajar ini telah dilakukan penyempurnaan secara bertahap melalui review, penilaian dan uji coba ahli isi, penilaian dan uji coba ahli desain pembelajaran, penilaian dan ahli pembelajaran yang dilakukan oleh guru tematik dan siswa SDI kelas 4 SI Raudlatul Jannah Sidoarjo. Aspek yang diungkap untuk melakukan revisi meliputi unsur-unsur kelengkapan dan kelayakan komponen, ketepatan isi, keefektifan pembelajaran dan kemenarikan pembelajaran. Hasil review dan uji coba menjadi bahan penyempurna produk pengembangan untuk di uji cobakan di lapangan. 2.
Analisis Tingkat Efektifitas, Efesien, Kemenarikan Buku Ajar Tematik dengan Pendekatan Integrasi Sains dan Agama di Kelas 4 SDI Raudlatul Jannah Sidoarjo
Pengembangan buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama ini telah divalidasi oleh ahli isi, ahli desain pembelajaran, ahli pembelajaran sehingga dapat dipakai oleh siswa. Berdasarkan hasil penilaian ahli isi terhadap buku ajar sebagaimana dicantumkan pada bab IVprosentase tingkat pencapaian buku ajar 85 %. Hal ini membuktikan bahwa buku ajar ini sudah baik untuk digunakan menurut ahli isi. Menurut ahli desain pembelajaran terhadap buku ajar sebagaimana dicantumkan pada bab IV prosentase tingkat pencapaian buku ajar 91 %. Hal ini membuktikan bahwa buku ini sudah baik untuk digunakan menurut ahli desain pembelajaran. Menurut ahli pembelajaran terhadap buku ajar sebagaimana dicantumkan pada bab IV prosentase tingkat pencapaian buku ajar 93, 84 %. Hal ini membuktikan bahwa buku ini sudah baik untuk digunakan menurut ahli pembelajaran. Adapun data uji coba kelompok kecil dan uji coba lapangan yang juga membuktikan bahwa buku ini sudah baik untuk digunakan. Adapun data prosentase tingkat pencapaian data uji coba kelompok kecil 93, 84 %, uji coba kelompok besar 88, 12 %. Hal ini juga membuktikan bahwa buku ini sudah baik untuk digunakan. Berdasarkan skor penilaian dari seluruh penilaian, baik dari uji ahli maupun hasil uji kelompok terhadap buku ajar adalah baik. Maka secara umum produk pengembangan buku ajar itu telah memenuhi kelayakan. Meskipun demikian, ada saran dan masukan berupa perbaikan cover dan tata bahasa yang dapat dijadikan bahan revisi.
108
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Pretest merupakan langkah awal yang dilakukan guru, karena digunakan untuk menjajahi proses pembelajaran ilmu pengetahuan umum yang dikembangkan dengan pendekatan integrasi sains dan agama dalam pembelajaran. Adapun hasil dari pretes ini memang kurang memuaskan, dan nampak bahwa siswa masih kesulitan menjawab soal-soal yang sederhana. Setelah diadakan post tes, dilakukan proses pembelajaran ilmu pengetahuan umum yang telah diintegrasikan dengan pendekatan sains dan agama dengan pembelajaran scientific. Dalam mempelajari buku ajar ini siswa banyak disuguhkan ceritacerita islami yang dapat membuat siswa lebih faham tentang manfaat ilmu agama untuk kehidupannya, sehingga siswa diharapkan tidak hanya cerdas dalam hal pelajaran umum, namun juga agama yang dapat menginternalisasi dalam kognitif, afektif, dan psikomotorik peserta didik. Guna mencapai sikap aktif siswa di kelas, terbukti bahwa peran guru tidak membiarkan kondisi di kelas berjalan apa adanya dalam berdiskusi atau berpikir kritis. Akan tetapi guru berusaha mengembangkan pengetahuan ilmiah mereka dengan berdiskusi, tanya jawab dari contoh-contoh peristiwa yang sudah disiapkan. Kemajuan keefektifan siswa ini dapat dilihat dalam kesehariannya yang aktif dan dalam hasil akhirnya di post test. E. Penutup Berdasarkan proses pengembangan dan hasil uji coba terakhir terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama untuk kelas 4 ini dipaparkan sebagai berikut: 1.
Pengembangan buku ajar ini menghasilkan produk berupa buku tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama untuk siswa.
2.
Hasil uji coba pengembangan buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama memiliki tingkat keefektifan dan kemenarikan yang tinggi berdasarkan hasil tanggapan dan penilaian guru dan uji coba kelompok kecil dan uji coba kelompok besar, yakni siswa kelas 4 SDI Raudlatul Jannah Sidoarjo
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
109
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
a.
Tanggapan penilaian ahli isi terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama adalah 85 % dengan kualifikasi baik
b.
Tanggapan penilaian ahli desain pembelajaran terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama adalah 91 % dengan kualifikasi sangat baik.
c.
Tanggapan penilaian ahli pembelajaran terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama adalah 93,84 % dengan kualifikasi sangat baik.
d. Tanggapan penilaian uji coba kelompok kecil terhadap buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama adalah 93,84 % dengan kualifikasi sangat baik. e.
3.
Tanggapan penilaian Uji coba lapangan terhadap buku ajar tematik dengan pendeatan integrasi sains dan agama adalah 88, 12 % dengan kualifikasi baik.
Perolehan hasil belajar berdasarkan uji coba lapangan yang diukur menggunakan ters pencapaian hasil belajar yaitu dengan merujuk Sign (2-tailed) sebesar 0,000, maka ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor tes awal (pre-test) dengan tes akhir (post-test) setelah menggunakan buku ajar hasil pengembangan.
Dengan demikian, buku ajar tematik dengan pendekatan integrasi sains dan agama bagi siswa kelas 4 ini dapat dikatakan mempunyai kualitas baik. Hal ini dikarenakan penggunaan buku ajar ini dapat membantu meningkatkan keefektifan dan kemenarikan pembelajaran dan membantu mempermudah siswa belajar serta membantu meningkatkan perolehan belajar siswa dalam proses pembelajaran tematik. DAFTAR PUSTAKA Abdulhameed, Sultan. 2010. Al-Quran Untuk Hidupmu.Jakarta:Penerbit zaman. Belawati, Tian.2003. Materi pokok Pengembangan Bahan Ajar Edisi ke satu, Jakarta : Universitas Terbuka. Buseri, Kamrani, 2003. Antologi Pendidikan Islam dan Dakujah. Yogyakarta, UII Press, 2003.
110
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Creswell, John W. 2012. Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Mixed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Depdiknas.2006. Strategi Pembelajaran yang Mengaktifkan Siswa. Jakarta: Depdiknas. Lou Carey, Walter Dick , 1978. The Systematic Design of Instruction. USA: Scott, Foresman and Company. Nata , Abuddin. 1993. Al-Quran dan Hadist. Jakarta: Rajawali Press. Natsir , Muhammad. 1973. Kapita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang. Nata , Abuddin.2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Pannen. 2001. Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: Pusat antar Universitas. Prastowo , Andi. 2011. Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta:Diva Press. Prabowo, 2010. Konsep Pembelajaran Terpadu: Konsep, Strategi, dan Implementasisinya dalam KTSP. Jakarta: Bumi Aksara. Sukandi. 2003. Belajar Aktif dan Terpadu. Surabaya: Duta Graha Pustaka, 2003. Trianto. 2001. Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: Prestasi Pustaka. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wahid, Abdurrahman. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi, The Wahid Institute. Jakarta. Abdul Aziz, Pengembangan Bahan Ajar Mata Pelajaran Fiqh Dengan Pendekatan Kontekstual Berbasis Masyarakat Petani, Tesis. Program studi PGMI. Universitas Islam Negeri MALIKI Malang, 2011.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
111
Nuril Nuzulia - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
112
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai Civil Society di Madrasah Baharuddin1 Abstrac In an effort to realize the civil society (civil society) need for serious efforts to build and develop civic cultur (cultural refinement). Compressive point, the social aspect and the social networks that are considered a weak point for the creation of a strong horizontal social entities. With an emphasis on that aspect, is expected madrasa can lead to cooperation among citizens in resolving public issues around it. The existence of social change in valuesbased education civil society produces promising practices, but not a few social changes it gave birth to the contrary, become more childbirth social practices that â&#x20AC;&#x153;do not educateâ&#x20AC;?. Where the importance we look back at how the process of social change in education based on the values of civil society could bring about a change in the desired direction.
Keyword: Madrasah, Civil Society, learning Society
A. Pendahuluan Di Indonesia, istilah civil society telah lama menjadi perbincangan di antara para ilmuan atau pun para pakar. Beragam istilah mereka gunakan dalam perbincangannya. Ada yang menggunakan istilah civil society, masyarakat sipil, ada pula yang memakai istilah masyarakat madani. Perbincangan istilah tesebut tidak lain mengarah pada bagaimana melakukan usaha-usaha penguatan masyarakat, â&#x20AC;&#x153;Masyarakat yang berkeadilan, yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), memahami nilai-nilai pluralisme, dan berkeadaban (civility)â&#x20AC;?. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia dituntut pula mampu memainkan peran dalam membentuk tatanan civil society. Proses pengembangan kapasitas fungsional lembaga pendidikan seperti madrasah dalam ikut serta memberikan kontribusi dalam membentuk tatanan civil society dilakukan dengan cara (1) 1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144.
113
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
kegiatan pembelajaran diintegrasikan dengan nilai-nilai yang menjadi pilar pokok civil society, dan (2) proses pembelajaran didukung pula dengan kemampuan guru mengaitkan mata pelajaran dengan isu-isu civil society. Dalam konteks ini, pembelajaran civil society di madrasah menjadi suatu proses perencanaan dan penyusunan sistem pembelajaran civil society yang dapat menjadi bahan ajar dan acuan yang digunakan untuk memperkaya dan mmperkuat tujuan pendidikan nasional dalam aspek kemanusiaan (Suparlan, 2011: 79). Perlunya pengarusutamaan wacana pemikiran civil society dalam dunia pendidikan Islam terutama madrasah dikarenakan isu seputar civil society, yang di Indonesia telah diterjemahkan menjadi “masyarakat sipil” atau “masyarakat madani”, sebenarnya merupakan imbas dari perkembangan pemikiran yang terjadi di dunia Barat, khususnya di negara-negara industri maju, tepatnya Eropa Barat dan Amerika Serikat (Dawam, 1999:133). civil society merupakan terjemahan dari bahasa latin, “civilis societas”. Masyarakat Madani adalah masyarakat yang dapat mengaktualisasikan Islam dalam kebersamaan atau pewujudan tauhid sosial penuh keterbukaan, meminjam istilahnya Damardjati Supadjar (Widodo, dkk, 2000: 34). Kata “Madani” itu sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya civil atau civilized (beradab). Istilah Masyarakat Madani adalah terjemahan dari civil society (Qodri, 2004: 126). Akan tetapi, walaupun di Indonesia istilah masyarakat madani telah memasyarakat, dan maknanya “sejalan” dengan semangat Al-Qur’an, sampai saat ini belum ada respon yang “positif” dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, pengelola madrasah perlu merespon keberadaan civil society dalam bentuk mengakomodasi nilai dan materi civil society dalam sistem pembelajaran yang dianut. Operasional pengintegrasian pembelajaran civil society di madrasah memang perlu dilakukan secara cermat. Paling tidak Hamalik sudah menegaskan tigal hal penting dalam mengembangkan kurikulum madrasah yang disisipi dengan nilai-nilai civil society, yakni: a) Prinsip keseimbangan; keseimbangan secara proporsional dan fungsional, antara materi keislaman dan materi civil society, antara semua mata ajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan.
114
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
b) Prinsip keterpaduan; dengan melibatkan semua pihak, baik di tingkat sekolah maupun intersektoral dalam merumuskan kesepakatan tentang pengimplementasian nilai-nilai civil society di madrasah. Keterpaduan juga dalam proses pembelajaran civil society, baik dalam interaksi antara siswa dan guru maupun antara teori dan praktek. c)
Prinsip mutu; berorientasi pada pendidikan mutu dan mutu pendidikan. Pendidikan mutu berarti pelaksanaan pembelajaran yang bermutu, sedangkan mutu pendidikan berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas.
Melalui penanaman nilai-nilai civil society diharapkan memunculkan kesadaran perlunya civil society di kalangan umat Islam. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi stereotip tentang civil society sebagai produk impor dari luar negeri yang mengancam tatanan kebangsaan dan kemasyarakatan. Agar kesadaran masyarakat terus meningkatkan tentang penting nilai-nilai civil society maka perlu dilakukan langkah kongkret mengembangkan nilai-nilai civil society dalam dunia pendidikan Islam. Hal ini sebagaimana dikatakan Magnis Suseno (Widodo dkk, 2000:55) yang mengatakan keberadaan masyarakat madani sejatinya didekati secara faktual dan bukannya dengan pendekatan normatif. Langkah-langkah kongkrit tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: (1) pemilihan penyusunan tujuan pendidikan nilai-nilai civil society baik itu tujuan jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek. (2) Pemilihan isi pendidikan nilai-nilai civil society yang harus sesuai dengan tujuan Islam serta mencakup ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan. Setiap unit kurikulum nilai-nilai civil society harus disusun berdasarkan urutan yang logis dan sistimatis. (3) Pemilihan proses belajar mengajar nilai-nilai civil society dengan menggunakan metode yang sesuai. (4) Pemilihan dan penentuan media dan alat pengajaran nilai-nilai civil society diharuskan baik dan tepat, serta (5) Pemilihan kegiatan penilaian ataupun tes yang tepat sesuai dengan tujuan dan isi nilai-nilai civil society tersebut (Syaodih, 2002: 132-134). Namun, yang terpenting adalah adanya wacana pembelajaran masyarakat madani di madrasah, melainkan bagaimana masyarakat memahami wacana masyarakat madani di Indonesia secara lebih komprehensif. Secara normatif dapat ditanyakan: bagaimana
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
115
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
masyarakat madani dalam perspektif Islam dapat diperkuat apalagi diwujudkan? Kemana sebaiknya pendidikan nilai-nilai civil society dalam pandangan Islam diarahkan? Maka, “Masyarakat Madani” tentu bukan gagasan yang “diimpor” maupun gagasan yang “tidak diimpor”, karena ia sama sekali bukan sebuah gagasan, melainkan sebuah kenyataan yang ada atau tidak ada, atau untuk sebagian ada tetapi tidak peduli apakah kita menggagasnya atau tidak. B. Kesadaran Nilai-Nilai Civil Society di Madrasah Pada hakekatnya masyarakat madani (mengikuti faham Hegel, 1770-1851 M) adalah kehidupan masyarakat di luar lingkungan keluarga, primordial atau lingkungan kenalan pribadi yang diminati secara pribadi, di satu pihak dan di lain pihak (barang kali diatur, tetapi) tidak ditentukan, diadakan oleh negara. Jadi, secara filosofis, masyarakat madani dikembangkan dalam madrasah karena dinamikanya sendiri, bukan karena dorongan, apalagi inisiatifinisiatif dari negara. Input-input dari negara (yang tentu terusmenerus ada) ditampung dengan respon yang mandiri (hubungan negara-masyarakat madani bukan generatif), melainkan menurut ideal type-nya dialogal dialegtis. Pernyataan ini senada dengan apa yang ditegaskan oleh Luqman Hakim dalam Widodo Usman dkk, (Ed) 2000:132, bahwa masyarakat sipil (civil society), bermula dari pergumulan masyarakat Barat untuk mengurangi peranan negara (state) terhadap kehidupan masyarakat. Hikam (1996:3) menilai pemahaman yang akurat mengenai masyarakat Madani memiliki kepentingan agar masyarakat Indonesia memahami wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain; kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generation), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan normanorma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Dengan demikian, untuk menumbuhkan kesadaran tentang nilai-nilai civil society di madrasah tanpa ada kesalahpahaman, meminjam konsep Hamalik, dapat dilakukan dengan: a) Merumuskan tujuan penanaman nilai-nilai civil society yang selaras dengan filsafat dan pendidikan nasional. Hal inilah yang menjadikan nilai-nilai civil society sebagai bahan dalam merumuskan tujuan institusional dan tujuan kurikulum pada 116
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
madrasah. b) Penyusun materi dan nilai-nilai civil society dilakukan atas landasan sosial budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat, lebih pada masyarakat dimana madrasah berada. c)
Penyusunan materi dan nilai-nilai civil society dilaksanakan dengan mempertimbangkan perkembangan peserta didik di madrasah, secara fisik dan psikologi
d) Penyusunan materi dan nilai-nilai civil society didasarkan atas keadaan lingkungan madrasah yang meliputi, lingkungan manusiawi, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lingkungan hidup serta lingkungan alam. e)
Penyusunan materi dan nilai-nilai civil society bersumber kepada kebutuhan pembangunan, yang mencakup semua aspek pembangunan.
f)
Penyusunan materi dan nilai-nilai civil society dikembangkan dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistim nilai dan kemanusiawian serta budaya bangsa. (Hamalik: 2009: 34).
Sebagai sebuah ruang politik dan kajian pendidikan di madrasah, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, dan tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, serta terserap dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi. Oleh karena itu, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society di madrasah, tersirat pentingnya pemahaman masyarakat madani. Hal itu berimbas kepada tumbuhnya kesadaran warga madrasah dalam memposisikan diri di ruang publik yang bebas, di mana tempat komunikasi bisa dilakukan oleh warga masyarakat, juga dipahami sebagai sesuatu bukan sebagai sesuatu yang jadi. Keberadaan pembelajaran masyarakat madani di madrasah, tidak lain dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa upaya merealisasikan atau mewujudkan wacana masyarakat madani harus dilakukan semenjak di bangku sekolah. Hal ini diperlukan prasyarat-prasyarat yang menjadi nilai universal dalam penegakan masyarakat madani khususnya di lingkungan masyarakat muslim. Prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain atau hanya mengambil salah satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani di lingkungan
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
117
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
masyarakat muslim. Karakteristik tersebut antara lain adalah adanya Free Public Sphere, demokrasi, toleransi, pluralisme, keadilan sosial (social justice) dan berkeadaban (Rozak, dkk. (Ed) 2003:247) Upaya mewujudkan civil society di lingkungan madrasah, tentunya beragam cara dapat dilakukan. Di antaranya dengan mengagendakan politik dan ekonomi dalam format reformasi oleh Riswanda Imawan, keadilan dan kesetaraan gender oleh Mary Astuti, wudlu konseptual dan eksistensial oleh Darmadjati Supadjar (Widodo, dkk (Ed):34, 103, 219) dan lain sebagainya. Namun, dari sekian usaha dan upaya yang mencoba diterapkan pada hakekatnya tidak terlepas dari kondisi dan peran madrasah yang ada di Indonesia. Oleh karenanya penulis memandang konsep masyarakat belajar (learning society) cukup strategis dan berpeluang dalam upaya mewujudkan masyarakat madani (civil society) khususnya di lingkungan masyarakat muslim khususnya dengan mengoptimalkan peran madrasah sebagai ujung tombak pendidikan. Pertanyaannya, kenapa harus masyarakat belajar (learning society)? Pendidikan berbasis nilai-nilai civil society di madrasah merupakan tonggak kehidupan manusia dalam mengamalkan nilainilai masyarakat madani dengan mudah dan benar. Pendidikan berbasis nilai-nilai civil society memiliki potensi kuat untuk mendorong timbulnya kesadaran memanusiakan manusia, sehingga mampu mengelola bumi beserta isinya (khalifah fi al-ardh). Serta dengan pendidikan berbasis nilai-nilai civil society-lah, bangsa ini bisa â&#x20AC;?terjajahâ&#x20AC;? oleh diskiriminasi, konflik, demoralisasi dan sebagainya. Sayangnya, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society belum dianggap sebagai salah satu faktor pokok penyebab terpuruknya bangsa ini, walaupun hal ini termasuk keprihatinan bersama, meminjam istilah Indra Djati Sidi (2001:13). Tudingan-tudingan sebagian besar pengamat bahkan para politisi yang mengatakan bahwa ekonomi dan politiklah yang menentukan baik buruknya suatu bangsa, merupakan salah satu contohnya. Bangsa ini lupa, bahwa sesuatu harus dimulai dengan pendidikan berbasis nilai-nilai civil society yang baik. Pendidikan berbasis nilai-nilai civil society di negeri ini selalu dijadikan alat politik dan alat mencari popularitas (Djauzak Ahmad, Kompas, 17/01/2005).
118
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
Faktanya, masalah pendidikan berbasis nilai-nilai civil society, kelihatannya tidak ada habis-habisnya menjadi wacana publik. Karena besaran masalah dan implikasinya terhadap kelangsungan eksistensi bangsa, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society terlalu besar untuk diselesaikan oleh salah satu komponen sistem masyarakat kita, apakah itu pemerintah yang dalam hal ini â&#x20AC;?bertindakâ&#x20AC;? sebagai pembuat kebijakan (public policy), lembaga pendidikan (sekolah), para pakar pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau komponen lainnya, semisal keluarga. (Syafnir, dkk. 2003:v). Bahkan, Syafnir Ronisef, (2003: viii), mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana strategis untuk meningkatkan kualitas bangsa. Oleh karenanya, kemajuan suatu bangsa dan kemajuan pendidikan adalah suatu determinasi; kebetulan, rangkaian yang terputuskan (Kamus Populer, 1994:106). Meminjam konsep al-Ghazali, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society dapat dijadikan sebagai proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya, melalui pelbagai ilmu pengetahuan, yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua (yang melahirkan dan yang mendidik, guru dan masyarakat) menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi menusia yang sempurna (Ibnu Rusn, 1998:68). Pendapat Al-Ghazali di atas, secara konstektual semakna dengan apa yang ditegaskan oleh Indra Djati Sidi (2001:4) yang mengatakan bahwa persoalan pendidikan berbasis nilai-nilai civil society tidak hanya menjadi persolan â&#x20AC;?individuâ&#x20AC;?-sekolah semata-, melainkan menjadi masalah masyarakat secara keseluruhan. Pemahaman akan dunia pendidikan berbasis nilai-nilai civil society yang terfokus pada sistem pembelajaran madrasah pada aspek formal saja sejatinya tidaklah tepat. Konsep pendidikan (mendidik) yang ada seyogyanya diartikan secara luas. Hal ini dipahami untuk menyebut semua upaya guna mengembangkan tiga hal, yaitu: pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup, dalam mengembangkan pendidikan berbasis nilai-nilai civil society. Sedangkan cara untuk mencapai ketiga-tiganya adalah ketika tiga jenis pendidikan dapat berjalan seperti yang diharapkan, pendidikan formal, informal, dan non formal.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
119
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
Noercholish Madjid mengatakan bahwa membincang pendidikan, tentu melibatkan banyak hal yang harus direnungkan. Oleh karena itu, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society meliputi keseluruhan tingkah laku manusia yang dilakukan demi memperoleh kesinambungan, pertahanan dan peningkatan hidup dalam mewujudkan nilai-nilai civil society di dalam masyarakat. Dengan proses tersebut, keseluruhan tingkah laku tersebut membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (berakhlak karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan bertanggung jawab pribadi di hari kemudian serta kesadaran untuk memahami nilai-nilai civil society sebagai sebuah kesalehan sosial (Indra, 2001:xi). Pandangan Noercholish Madjid di atas, tampaknya sesuai dengan pemikiran Naquib Al-Attas dalam tulisannya tentang ”Islamisasi Ilmu” (Pemikiran Islam Kontemporer, 2003:344) yang mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk membentuk dan menghasilkan manusia yang ”baik”. Dengan kata lain, pendidikan berbasis nilainilai civil society adalah sesuatu yang secara bertahap ditanamkan ke dalam diri manusia dalam usaha membentuk tatanan kehidupan yang menghargai nilai-nilai perbedaan dan harmonisasi keragaman. Manusia adalah makhluk rasional, sehingga mereka mampu merumuskan makna-makna nilai-nilai civil society yang melibatkan penilaian, pembedaan, dan penjelasan. Kehidupan manusia tidak dapat dikekang atau dibelenggu oleh manusia yang lainnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan segala aktivitas yang dikehendakinya dengan tidak menghilangkan esensi serta nilai-nilai kemanusiaannya. Oleh karena itu, konsep berbasis nilai-nilai civil society seyogyanya dipahami oleh peserta didik di madrasah tidak hanya menjadi obyek, tapi juga menjadi subyek yang akan menciptakan suasana yang lebih kondusif dalam lingkungan pendidikan Islam dan dapat mencapai tujuan pendidikan berbasis nilai-nilai civil society secara komprehensif (Freire: 2001:60). Dalam hal pendidikan berbasis nilai-nilai civil society, kita tidak mungkin hanya bertumpu pada madrasah atau yang lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah-dengan tetap ’berwajah’ lama-, apalagi madrasah ”diminta untuk bertanggung jawab atas tercipta dan lahirnya peserta didik yang dapat mengintegralkan tiga
120
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
dimensi-kemampuan-, Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ) berbasis nilai-nilai civil society. Oleh karena itu, masalah pendidikan berbasis nilai-nilai civil society tidak hanya menjadi masalah â&#x20AC;?individuâ&#x20AC;? madrasah, melainkan menjadi masalah seluruh stakeholders pendidikan. Madrasah memiliki posisi strategis dalam menginternalisasi nilainilai civil society di tengah masyarakat. Maka, sepatutnya, madrasah tidak hanya diartikan secara formal-institusional, melainkan ada di mana-mana, terutama dalam keluarga dan lingkungan masyarakat sekitar. Melalui proses tersebut, suasana pembelajaran berbasis nilainilai civil society yang diharapkan dapat melahirkan iklim kondusif bagi lahir dan berkembangnya, yang menurut Indra Djati Sidi, disebut â&#x20AC;?learning societyâ&#x20AC;? (masyarakat belajar). Pembicaraan tentang konsep pendidikan berbasis nilai-nilai di madrasah bertujuan pada membentuk paradigma peserta didik yang sesuai dengan nilai-nilai kewajaran dan keadaban (civility). Semua umat muslim pasti mempunyai harapan dan cita-cita bagaimana sebuah kehidupan menuju kepada yang lebih baik. Karena itu, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society pada gilirannya berperan mempersiapkan setiap peserta didik untuk selalu berprilaku penuh keadaban (civility). Keadaan inilah yang secara praktis sangat dibutuhkan dalam setiap gerak dan perilaku peserta didik dalam menghayati nilai-nilai civil society sebagai realitas sosial. Pada sisi lain, kita sering menyaksikan adanya beberapa kasus yang berkorelasi dengan penindasan rakyat yang dilakukan oleh penguasa. Hal tersebut merupakan realitas yang sering dilihat, diamati dan didengar dalam setiap pemberitaan pers, baik media elektronika maupun media cetak. Misalnya, kasus penindasan yang terjadi di Indonesia, tatkala Orde Baru masih berkuasa, yakni penindasan terhadap keberadaan hak tanah rakyat yang diambil oleh penguasa dengan alasan pembangunan. Pengekangan dan pembungkaman pers dengan adanya pemberedelan beberapa media massa oleh penguasa, serta pembantaiaan para ulama (kyai) dengan dalil dukun santet sekitar tahun 1999 yang dilakukan oleh kelompok (oknum) yang tidak bertanggung jawab. Apabila ini yang sering terjadi, masihkah ada harapan terciptanya masyarakat madani di negeri ini?.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
121
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada akhirnya akan bermuara pada perlunya dikaji kembali kekuatan rakyat atau masyarakat (civil) dalam konteks ”inteksirelationship”, baik antara rakyat dengan negara, maupun antara rakyat dengan rakyat. Kedua pola hubungan interaktif tersebut akan memposisiskan rakyat sebagai bagian integral dalam komunitas negara yang memiliki kekuatan bargaining dan menjadi komunitas masyarakat sipil yang memiliki kecerdasan, analisa kritis yang tajam serta mampu berinteraksi di lingkungannya secara demokratis dan berkeadaban (Rosyada, dkk. 2003:237-238). Pendidikan berbasis nilai-nilai civil society pada akhirnya akan berperan menciptakan masyarakat berkeadaban (civilize culture society), yaitu suatu masyarakat yang anggota-anggotanya mengetahui dan bisa terus menjalankan aturan dan mekanisme yang sudah dibuat dan disepakati bersama. Secara kontras–yang membedakannya dari kultur masyarakat primitif (primitif culture society)–budaya masyarakat berkeadaban cenderung memandang bahwa pemuasan kebutuhan dan hasrat (nafsu) itu tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting untuk mempertahankan hidup. Budaya masyarakat berkeadaban dan mengorbankan kesenangan sementara demi meraih hidup kedepan yang lebih maju. Karena itu, kelompok masyarakat yang sudah ”civilize” akan sangat menghormati aturan bersama yang sudah disepakati. C. Realitas Pendidikan Civil Society di Madrasah Selama ini, model pendidikan dan proses belajar di madrasah selalu berjalan tidak seimbang (not balance), antara kemauantujuan-pembuat kebijakan (public policy), pelaksana kebijakan, dan stakholders. Akibatnya, realitas pendidikan di madrasah dengan peserta didik “berjalan sendiri-sendiri”. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkesan dengan rasa percaya diri yang cukup tinggi, melakukan “bongkar pasang” kebijakan (policy) ‘hanya’ demi menghindari anggapan “tambal sulam” kebijakan pendidikan, yang hal itu diasumsikan sebagai pikiran-pikiran “inovatif”, pergantian kurikulum pendidikan misalnya–yang berdampak tidak “baik” dalam kacamata publik. Pemerintah “tidak mau” melibatkan “publik terdidik” dalam membahas bagaimana sebaiknya sistem pendidikan itu dirancang dan diterpkan di negara ini. Bahkan mungkin, penyebab utama 122
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
ketertinggalan kita dari negara lain dalam pelbagai kehidupan, entah ekonomi, hukum, pendidikan, dan lain-lain disebabkan oleh menkulturnya “sentralisasi” pengelolaan negara yang berlebihan (Kompas, 14/02/2005). Akhirnya, sampai saat ini kebijakan pendidikan (public policy), masih terkesan “demi menghabiskan proyek”, bila sudah seperti ini, bagaimana nasib pendidikan kita ke depan? Tentunya, nasib pendidikan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, melainkan menjadi tanggung jawab kita semua. Satu yang menjadi keniscayaan, masyarakat mesti selalu kritis melihat setiap kebijakan yang kerap kali tidak memihak terhadap masyarakat dan sering memihak pada “masyarakat elit kapitalis” di sana. Dalam konteks pendidikan berbasis nilai-nilai civil society, pelaksana kebijakan termasuk para guru dituntut mampu mengembangkan materi pembelajaran yang memosisikan siswa sebagai subjek pembelajaran. Misalnya metode dan suasana pengajaran di madrasah, peserta didik dipersiapkan mau menerima seluruh informasi sekaligus untuk menelaah, mengkaji dan bahkan menghasilkan hasil belajar yang mampu melahirkan kreatifitas. Sayangnya, tatkala yang dipelajari di madrasah ternyata tidak integratif dengan kehidupan atau realitas sehari-hari, yang mereka saksikan bertolak belakang dengan pelajaran di madrasah. Budaya dan mental semacam ini pada gilirannya membuat siswa tidak mampu mengaktifkan kemampuan otaknya dalam memahami berbasis nilai-nilai civil society. Akibatnya, mereka tidak memilki keberaniaan menyampaikan pendapat, lemah dalam penalaran dan lain sebagainya dalam mengupas problematika pendidikan berbasis nilai-nilai civil society. Demi membangun paradigma dan visi pendidikan berbasis nilai-nilai civil society yang mampu menjawab tantangan zaman, maka stakeholders madrasah harus menempuh dua gagasan, pertama: hendaknya mengubah paradigma teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Dengan perubahan ini, proses pendidikan berbasis nilai-nilai civil society menjadi “proses bagaimana belajar bersama antara guru dan anak didik” dalam memahami realitas sosial sebagai sebuah kekayaan harmoni. Dalam konteks ini, guru juga termasuk dalam proses belajar berbasis nilai-nilai civil society, sehingga lingkungan madrasah menjadi learning society (masyarakat belajar). Hal ini sesuai dengan empat visi
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
123
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
UNISCO (United Ntions Educational Scientif And Cultural Organization), sebagaimana dikutip Indra Djati Sidi dalam buku Menuju Masyarakat Belajar (2001: 25-26). Keempat visi dimaksud adalah [1] Learning to think (belajar berpikir) yang berarti pendidikan berbasis nilai-nilai civil society berorientasi pada pengetahuan yang logis dan rasional, sehingga anak didik mampu bersikap kritis serta memiliki semangat (ghirah) yang tinggi, [2] Learning to do (belajar berbuat atau hidup) yang berarti bagaimana anak didik memiliki keterampilan menyelesaikan problem keseharian dalam konteks masyarakat madani, [3] Learning to life together (belajar hidup bersama) yang berarti bagaimana anak didik dapat memahami bahwa ia hidup di dunia ini tidak sendirian, termasuk makhluk sosial. Keempat visi tersebut pada akhirnya menjadi “Learning how to learn” (“belajar bagaimana belajar”). Alhasil, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society di madrasah tidak hanya berorientasi pada nilai akademik yang bersifat pemenuhan aspek kognitif saja, melainkan juga berorientasi pada bagaimana “mencipta” anak didik yang bisa belajar dari lingkungan, dari pengalaman dan kehebatan orang lain, dari keaktifan dan luasnya hamparan alam-sehingga mereka mampu-untuk mengembangkan sikap-sikap kreatif dan daya berpikir imaginatif. Kedua, gagasan dimaksud adalah berkaitan dengan metode pengajaran yang tidak lagi mementingkan subjeck matter (pokok intinya) seperti yang tetuang dalam Garis-Garis Besar Progam Pelajaran [GBPP yang rigid] dari pada siswa itu sendiri. Sebab, pola seperti ini secara tidak langsung “memaksa” anak didik untuk menguasai pengetahuan dan melahap pelbagai informasi yang terkait dengan nilai-nilai civil society dari guru, tanpa memberi peluang pada anak didik untuk melakukan perenungan sescara kritis, guru memberi sesuai GBPP, anak didik menerima. Inilah sebenarnya yang biasa disebut dengan model “gaya bank” (banking system), meminjam istilah Paulo Freire. Teinspirasi dari Freire mengatakan bahwa pendidikan berbasis nilainilai civil society tidak hanya menekankan pada kesadaran kritis tapi juga kreatif, sanggup menciptakan terobosan penting dalam menjawab pelbagai persoalan masyarakat yang mengitarinya (Freire, 2004:10). Pertanyaanya adalah apakah anak didik akan berstatus sebagai objek atau klien, dan ia berstatus sebagai subjek atau warga dalam 124
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
pendidikan berbasis nilai-nilai civil society? (Zamrani, dalam Suyudi, 2005:279). Inilah sebenarnya yang harus ditelusuri sescara lebih mendalam. Selanjutnya, “status” inilah yang akan mengkonstruk anak didik menuju proses “menjadi”, menjadi lebih baik atau sebaliknya! Dengan demikian sebuah metode yang lebih cocok dan relevan bagi anak didik madrasah di masa sekarang dan akan datang, mutlak ditemukan untuk kemudian diterapkan. Apapun nama metode tersebut, bukan hal yang “penting”, asalkan lebih menekankan peran aktif anak (peserta) didik. Guru tetap dianggap berpengalaman dan lebih banyak pengetahuannya, tapi ia bukan pemegang satu-satunya kebenaran, sebab kebenaran bisa jadi datang dari siswa. Jadi, metode tersebut bersifat dialogis menjadi suatu hal yang niscaya. Negara berkembang seperti Indonesia, pengembangan pendidikan berbasis nilai-nilai civil society seyogyanya dilihat sebagai suatu proses kelangsungan peradaban bangsa. Oleh karena itu, faktor-faktor psiko budaya juga penting untuk diikutsertakan dalam merancang pendidikan, dan penting segera diciptakan karena situasi dan kodisi untuk kemudian keberhasilan suatu proses belajar akan semakin tercipta pula. Masyarakat Indonesia, masih dalam proses dan pasca industri, sekaligus pasca reformasi-mengalami pelbagai macam tranformasi-, terutama menyangkut pelbagai aspek sosial psikologis dan budaya dalam kehidupan pribadi dan keluarga serta masyarakat. Pada dasarnya, transformasi sosial dan budaya dapat dikendalikan, khususnya dalam sektor pendidikan. Transformasi tersebut selalu dikaitkan dengan masyarakat industri. Adapun ciri-ciri masyarakat industri, menurut Torstern Husen (tanpa tahun, hlm.38 dan 94) sebagai berikut: [1] Tingginya mobilitas penduduk dari pedesaan ke perkotaan. [2] Perubahan struktur dan jumlah keluarga dari keluarga besar dan luas ke keluarga inti, ditandai dengan banyaknya perempuan bekerja di luar rumah, sehingga pendidikan anak menjadi terbengkalai, padahal kerjasama antara orang tua dan sekolah menjadi penting demi kesuksesan pendidikan anak. [3] Kondisi ekonomi nasional sangat ditentukan oleh hubungan dagang dengan pasar internasional yang semakin kompetitif. [4] Pendidikan formal hanya dijadikan wahana untuk meraih keinginan memperbaiki nasib, wahana untuk bergerak ke atas mencapai kehidupan sosial ekonomi
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
125
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
yang lebih baik. Sistem seleksi tenaga kerja cenderung menentukan syarat tingkat pendidikan formal tertentu, yang karena persyaratan itu, tenaga kerja kurang terdidik semakin tersisih. Berkaitan dengan masalah ini, terdapat tiga orientasi yang berkembang dalam dunia pendidikan. Pertama, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society hanya berorientasi ijazah, sehingga banyak lembaga yang bertindak sebagai produsen ijazah (pabrik ijazah) dengan aneka harga (Kompas, 09/12/1999). Kedua, madrasah hanya berorientasi pada sekolah tanpa peduli apakah madrasah itu akan mengembangkan potensi yang dimilkinya atau malah menghasilkan out put yang memahami zaman dan ujung-ujungnya menambah angka pengangguran (Azra, 1999: 164). Ketiga, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society hanya berorientasi pada pendidikan itu sendiri, tanpa peduli apakah pendidikan itu formal, non formal ataupun informal, yang penting pendidikan dapat berlangsung, meminjam istilah Ivan Illich atau bahasanya Roem Topatimasang, “Sekolah itu Candu” (1999 cet. II). Jadi, apabila pelbagai orientasi pendidikan berbasis nilai-nilai civil society di atas masih “berlaku” dalam kontek kekinian dan ke-disini-an, maka sulit kiranya-peluang-bagi masyarakat belajar (learning society) yang fokus kepada penanaman nilai-nilai civil society untuk tercipta. Kemudian, manusia moden saat ini, tidak sedikit yang menyukai “hal-hal yang berbau instan. Tidak mau menempuh pendidikan sebagaimana jalur yang “diundangkan”, membeli gelar misalnya, yang hal ini didukung lembaga penjual gelar yang semakin menggila dan merajalela. Akan tetapi, apabila minimal tiga orientasi di atas tereliminir, maka peluang bagi masyarakat belajar (learning society) semakin besar-akan tercipta bahkan bisa jadi mudah terwujud. D. Masyarakat Belajar sebagai Saranan Penciptaan Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai civil society Dalam proses penciptaan masyarakat belajar (learning society) yang memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai civil society, perlu dilakukan, yaitu: [1] lingkungan atau jalur madrasah dan luar madrasah [2] dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat [3] kegiatan yang tidak pernah putus atau disebut juga pendidikan seumur hidup (life long education). Sedangkan upaya-usaha lain yang relatif bisa dilakukan dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar (learning society) ada dua hal 126
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
vital yang perlu menjadi perhatian, yakni: [1] pemberdayaan keluarga menjadi keluarga yang gemar membaca. Keluarga mengarahkan proses tumbuh beerkembangnya generasi muda dalam masyarakat madani. Keluarga menjadi tempat pertama dan utama dalam menumbuhkan berbasis nilai-nilai civil society untuk selalu mencoba, berpikir kritis, inovatif dan lain sebagainya. Kenapa keluarga? Karena keluarga mempunyai banyak fungsi, antara lain: fungsi keagamaan, cinta kasih, reproduksi, pendidikan, sosial dan lain-lain. [2] peningkatan partisipasi masyarakat. Bagaimana masyarakat dapat berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap penerapan nilai-nilai civil society di tengah masyarakat. Dalam masyarakat belajar (learning society), pendidikan berbasis nilai-nilai civil society diharapkan berasal dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan demikian, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society diharapkan dapat mempertebal rasa saling memiliki terhadap keadaan yang ada dalam masyarakat dan negara, yang pada gilirannya akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat yang mengelilinginya. Akhirnya, dengan masyarakat belajar (learning society) diharapkan akan terwujud apa yang disebut masyarakat madani (civil society). Perubahan adalah sebuah keniscayaan sejarah. Ia hadir mengiringi perjalanan hidup kita. Jatuh bangunnya peradaban manusia di masa lalu mengindikasikan bahwa proses perubahan selalu berjalan secara dinamis dan dialektis, tidak deterministik (bersifat menentukan). Perubahan, dengan demikian merupakan gambaran yang ideal dari sebuah cita-cita, dan refleksi kesadaran serta imaji dari masyarakat. Kehadirannya mampu membangkitkan energi terpendam dalam diri Muhammad Saw., Karl Mark, hingga Osama bin Laden. Energi yang misterius inilah yang kemudian menjadi tenaga pendorong perubahan yang sangat dasyat dibelahan dunia ini. Luther King sempat memimpikan perubahan sosial, â&#x20AC;?keluar dari sebuah situasi yang membuat terasing (alienasi) dari dunianya, â&#x20AC;?pendidikanâ&#x20AC;?. Disana ada nuansa ketidakadilan, ketimpangan, penindasan, dan lain sebagainya. Mengubah situasi sosial memang bukan pekerjaan yang mudah, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa manusia seperti Muhammad mampu berbuat sesuatubahkan merubah situasi Arab, menghapus perbudakan, misalnya
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
127
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
dan seterusnya menuju kemerdekaan yang hakiki dan manfaatnya dirasakan sampai saat ini. Pendidikan berbasis nilai-nilai civil society diyakini memiliki unsur perubahan sosial. Pendidikan berbasis nilainilai civil society memiliki faktor-faktor penting yang mengiringi perubahan itu sendiri. Menurut Dr. Ausuf Ali (1998), seorang perintis sains-sains sosial Islam, mengatakan bahwa faktor- faktor perubahan pendidikan berbasis nilai-nilai civil society, meliputi: [1] munculnya kritik terhadap realitas dan praktik sosial yang ada, yang dilakukan oleh mereka cenderung terhadap tatanan baru [2] adanya paradigma baru tentang nilai-nilai, norma, dan sistem penjelas yang berbeda [3] partisipasi sosial yang dipilih oleh mereka yang cenderung dengan tatanan baru tersebut dalam mentransformasi masyarakat. Masyarakat Madani tentunya bukan hanya sebuah gambaran ideal tentang cita praktik kehidupan bersama, tetapi lebih dari itu, ia merupakan sesuatu â&#x20AC;? yang ada disiniâ&#x20AC;?, yang dekat dengan kehidupan kita. Tentunya bagaimana membangun masyarakat yang memilki tiga ciri: kebebasan, persamaan, dan toleransi. Merujuk pada Malik Fadjar (1999), masyarakat madani (civil society) yang ingin diwujudkan di Indonesia berorientasi pada: [1] masyarakat yang religius dan bermoral, [2] demokrasi pluralistik yang menghargai perbedaan pendapat, keanekaragaman suku, agama, dan budaya [3] tertib dan sadar hukum serta menjunjung tinggi hukum sebagai aturan tertinggi yang mengikat kehidupan bermasyarakat [4] mengakui mejunjung tinggi HAM, egalitarianisme, dan tidak diskriminatif [5] profesional dan skilful, memiliki keunggulan intelektual, keterampilan, dan profesionalisme yang komperatif dan kompetitif, dalam persaingan global [6] masyarakat yang terbuka dan memiliki tradisi belajar (learning). Dengan demikian, dalam rangka mewujudkan masyarakat madani (civil society) diperlukan proses yang panjang dan kesabaran yang tak pernah henti. Dalam kontek kehidupan bangsa sekarang ini, dimana moralitas dan akhlak sudah hampir terkubur dalam gempita konsumerisme dan hedonisme, maka kehadiran pendidikan berbasis nilai-nilai civil society yang membebaskan menjadi suatu hal yang niscaya. Pendidikan yang berbasis nilai-nilai civil society membebaskan masyarakatnya dari; kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Hal ini akan dapat tercipta tatkala pendidikan berbasis nilai-nilai civil society mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada siswa 128
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
sebagai manusia dengan harkat dan martabatnya, unque individual; individu yang unik atau tak sama (John dan Hassan, 1995:616), yang bebas memberikan layanan agar mereka mampu melakukan aktualisasi diri, meminjam istilah Maslow, ilmuan psikologi. Perwujudan masyarakat madani (civil society) di Indonesia, didorong melalui penciptaan masyarakat belajar (learning society). Inilah inti dan makna yang terkandung dalam masyarakat belajar. Sesungguhnya hakikat learning society merupakan ”ruh” masyarakat madani. Masyarakat Belajarpun adalah proses menuju pendidikan yang membebaskan. Dalam masyarakat belajar, tidak ada obyektifikasi terhadap peserta didik, yang ada adalah subyektifikasi, peserta didik diposisikan sebagai warga dalam pendidikan. Apabila iklim ini tercipata, maka proses belajar mengajar menjadi lebih hidup dan lebih bermakna. Pada akhirnya, belajar adalah proses menyenangkan, menuju pada perubahan sikap yang lebih ”baik”. Disinilah pendidikan berbasis nilai-nilai civil society memiliki peranan yang sangat penting. Sebab pada dasarnya pendidikan berbasis nilai-nilai civil society yang membuat peserta didik ”bring educated”. Hal ini berimplikasi kepada pendidikan berbasis nilainilai civil society yang dianggap bisa berperan mengkikis habis semua indikasi-indikasi ”primitive culture”. Dengan demikian akan terwujudlah apa yang disebut masyarakat madani (civil society). Sedangkan kemungkinan adanya kekuatan ”civil” sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni masyarakat madani. Wacana masyarakat madani di madrasah, merupakan wacana yang mengalami proses yang sangat panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi dan demokratisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat Barat modern, yang pada saat itu dikenal dengan istilah civil society. Di tengah lemahnya peran negara (state) dalam menciptakan harapan masyarakat yang berbasis demokrasi, maka penguatan civil society merupakan agenda yang sangat penting (urgen). Secara teoritis, menurut Larry Diamond seperti dikutip Hasan Syadzly (Azra, 2003: iv) mengatakan bahwa civil society dapat memberikan kontribusi yang cukup besar bagi tumbuh kembangnya demokrasi. Pertama, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society menyediakan
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
129
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk menjaga dan mengawasi keseimbangan negara. Asosiasi independen dan media yang bebas memberikan dasar bagi pembatasan kekuasaan negara melalui kontrol publik. Kedua, beragam dan pluralnya dalam masyarakat sipil dengan pelbagai kepentingannya, bila diorganisir dan terkelola dengan baik, maka hal ini dapat menjadi dasar yang penting bagi persaingan yang demokrartis. Ketiga, pendidikan berbasis nilainilai civil society juga akan memperkaya peranan partai-partai politik dalam hal partisipasi politik, meningkatkan evektifitas politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan (citizenship). Keempat, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society ikut menjaga stabilitas negara. Dalam arti bahwa pendidikan berbasis civil society, karena kemadiriannya terhadap negara, mampu menjaga independensinya yang berarti secara diam-diam mengarungi peran negara. Kelima, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society sebagai wadah bagi seleksi dan lahirnya para pemimpin politik yang baru. Keenam, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society menghalangi dominasi rezim otoriter. Keprihatinan bangsa yang telah dilanda krisis multidimensi dan pelbagai aspek kehidupan-membuat peran pendidikan berbasis nilainilai civil society, khususnya di madrasah, dipertanyakan. Bahkan pendidikan berbasis nilai-nilai civil society secara tidak langsung diminta uintuk â&#x20AC;&#x2122;bertanggung jawabâ&#x20AC;&#x2122;. Pendidikan pada dasarnya sangat berperan terhadap terwujudnya masyarakat madani (civil society), masyarakat yang gandrung akan adanya keadilan, egalitarianisme (persamaan) dan demokrasi. Prinsip masyarakat belajar (learning society) adalah memberdayakan peran masyarakat dan keluarga dalam bidang pendidikan. Sedangkan civil society ditejemahkan sebagai masyarakat madani yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban, dan perkotaan. Disini agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya (Widodo,dkk (Ed) 2002:30). Dalam rangka mewujudkan masyarakat madani (civil society), maka konsep masyarakat belajar (learning society) menjadi suatu hal yang niscaya dan bisa jadi merupakan â&#x20AC;&#x2122;satu-satunyaâ&#x20AC;&#x2122; cara strategis dalam upaya mewujudkan masyarakat madani (civil society). Karena untuk mencipta masyarakat madani, dasarnya adalah pendidikan
130
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
yang berbasis nilai-nilai civil society dan learning society (masyarakat belajar). Maka, untuk memastikan pernyataan di atas dan melihat secara rigit serta menemukan â&#x20AC;&#x2122;ruhâ&#x20AC;&#x2122; masyarakat belajar (learning society) sebagai titik kejelasan-dalam upaya mencipta dan mewujudkan memiliki kesadaran yang tinggi akan pentingnya nilai-nilai civil society. Tanpa harus digerakkan oleh institusi dalam bentuk apapun dan meniscayakan peran keluarga dan lingkungan. Masyarakat Belajar, menitikberatkan pada bagaimana pendidikan berbasis nilainilai civil society dapat diperoleh dari mana saja dan kapan saja, tidak terikat dengan ruang dan waktu. Setiap aktivitas yang dilakukan dalam pendidikan berbasis nilainilai civil society selalu dipahami sebagai proses belajar. Karenanya, madrasah itu ada di mana-mana, tidak hanya ada dalam madrasah yang sering disebut dengan formal institusional. Dalam masyarakat belajar, pendidikan berbasis nilai-nilai civil society dilaksanakan dalam keluarga dan lingkungan masyarakat termasuk penentu sukses tidaknya men-konstruk anak didik menuju pembentukan yang berpotensi memiliki tiga bidang kompetensi; pertama, bidang kognitif kedua, afektif, dan ketiga, psikomotorik. Sehingga pendidikan menjadi tanggung jawab bersama. Prinsip-prinsip yang sering diambil dari masyarakat belajar (learning society) dalam menanamkan pendidikan nilai-nilai civil society antara lain: Pengetahuan dibangun oleh anak didik secara aktif, tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa, mengajar adalah membantu siswa belajar, tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir dan guru atau pendidik bertindak sebagai fasilitator. Pada intinya, masyarakat madani (civil society) adalah masyarakat yang berperadaban, masyarakat yang hidupnya didasarkan pada ruh Islam, masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, masyarakat yang cinta keadilan, masyarakat yang menghargai persamaan hak, dan prinsip agalitarianime. Untuk mewujudkan masyarakat madani, madrasah harus mampu menciptakan masyarakat belajar di dalam dan di luar kelas. Dengan lahir dan terciptanya masyarakat belajar di madrasah, sesungguhnya dengan sendirinya masyarakat madani akan tercipta tidak hanya di madrasah namun juga masyarakat luas.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
131
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
E. Simpulan Terbentuknya masyarakat belajar (learning society) di madrasah sebagai upaya mewujudkan masyarakat madani (civil society), dilakukan mensinergikan kesamaan visi antara pihak terkait; pembuat kebijakan publik (public policy), pemerintah, pelaksana kebijakan publik, â&#x20AC;?institusi atau lembaga pendidikanâ&#x20AC;?, para pendidik, orang tua, anak didik, pemerhati pendidikan dan atau para pakar pendidikan, lembaga atau organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat pada umumnya. Dalam mengembangkan masyarakat belajar (learning society), seyogyanya dipahami sebagai usaha dan kebutuhan bersama. Oleh karenanya, kerjasama antar pihak terkait, merupakan hal yang niscaya. Dalam usaha mencipta iklim masyarakat belajar (learning society) terutama di madrasah, sebaiknya seorang pendidik tidak lagi bertindak sebagai subjek, akan tetapi, pendidik bertindak sebagai motivator dengan tidak menafikan pendidik sebagai teman berpikir anak didik yang senantiasa memiliki pengetahuan yang lebih, anak didik diposisikan sebagai subjek. Pendidik hendaknya mengubah paradigma â&#x20AC;?mengajarâ&#x20AC;? (teaaching) menjadi belajar (learning), sehingga tercipta masyarakat belajar (learning society). Masyarakat hendaknya meninggalkan paradigma bahwa pendidikan itu hanya ada di madrasah, apalagi memasrahkan atau bahkan mengasumsikan madrasalah yang bertanggung jawab atas masa depan putra-putrinya, termasuk moralnya. Pada gilirannya, civic culture (budaya keadaban) dapat mendorong terciptanya iklim kondusif masyarakat madani (civil society). Disampng itu, pemerintah dan masyarakat, hendaknya memahami ruh masyarakat madani sebagai langkah dalam mewujudkan: nilainilai persamaan antar warga, keadilan, pluralisme, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM) serta terbangunnya keadaban (civility). Hendaknya, pendidikan politik warga negara (civic education) bukan hanya ditekankan pada aspek peningkatan kesadaran dan pengetahuan, tetapi juga dengan melakukan fasilitasi peserta didik maupun warga negara dengan tujuan mendorong agar lebih menguatkan partisipasi masyarakat dengan secara langsung melibatkan mereka dalam melakukan kontrol kebijakan publik (public polcy).
132
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
DAFTAR PUSTAKA Ali Hasan, M., dan Mukti Ali, 2003, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya. Azra, Azyumardi, 1999a, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos. _____________, 1999b, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos. Azizy, Qodry, 2004, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Burhanuddin, (ed), 2003, Mencari Akar Kultural Civil Society di Indonesia, Jakarta: INCIS CSSP-USAID. Daradjat, Zakiah, dkk. 1996, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara dan Depag RI. DePorter, Bobbi dan Hernack, Mike, 2002, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung: Kaifa. Djati Sidi, Indra, 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Paramadina. Echols, John M, dan Shadily, Hassan, 1995, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Fadjar, A. Malik, et al.,1999, Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, Depag RI. Furqan, Arief. 1992, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: Usaha Nasional. Freire, Paulo, 2004, Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo Freire, Yogyakarta: Resist Book. Hadi, Sutrisno, 1987a, Metode Researh I, Yogyakarta: Afsed. __________, 1987b, Metode Researh I, Yogyakarta: Afsed. Hikam, Muhammad A.S., 1996, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES _______________, 1999, Pengantar (1) Nahdlatul Ulama, Civil Society, dan Proyek Pencerahan, dalam Ahmad Baso, Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran Civil Society Dalam Wacana , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
133
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah dan Lakpesdam NU. Husen, Torsten, 1995, Masyarakat Belajar, terj. Surono Hergsewono, Jakarta: Raja Grafindo Persada. ..........................,2000, Islam, Demokratisasi dan Pemberdayaan Civil Society, Jakarta: Erlangga. Khudari shaleh, A., (Ed.) 2003, Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta, Jendela. Nadjib Zuhdi dan Williem Kehelay, 2000, Kamus Lengkap Praktis, Surabaya, Fajar Mulya. Nurhadi dan Agus Gerrad Senduk, 2003, Pembelajaran Kontekstual, Malang: UM PRESS. Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Arkola: Surabaya. Rahardjo, Dawan, 1999, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES Indonesia. Ronisef, Syafnir, dkk., (Ed.) 2003, Menggugat Benang Kusut Pendidikan, Jakarta: Transformasi UNJ dan Pustaka Pelajar. Rozak, Abdul, dkk.., (Ed.) 2003, Civic Education: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, Masyarakat Madani, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Subhan, Imam, (Ed.) 2003, Siasat Gerakan Kota: Menuju Masyarakat Baru, Yogyakarta, Penerbit Shalahuddin. Sidi, Indra Djati, 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Paramadina dan PT.Logos Wacana Ilmu. Soejono dan Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian: Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta, Rineka Cipta. Sufyanto, 2001, Masyarakat Tamaddun: Kritik Hermeneutik Masyarakat Madani Noercholis Madjid, Pustaka Pelajar dan YLP2IF, Yogyakarta. Suharsono, ”Ideologi Intelektual”, dalam Warta Himpunan, Edisi Juni-Agustus 1998. Surachmad, Winarno, 1990, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik. Bandung. Suyadi, 2005, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur’an, Yogyakarta: Mikraj. 134
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
Topatimasang, Roem, 1999 cet. II, Sekolah itu Candu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Usman, Widodo, dkk.., (Ed) 2000, Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Suparlan. 2011. Tanya Jawab Pengembangan Kurikulum dan Materi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Nana Syaodih Sukmadinata. 2002. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Bandung : Remaja Rosda Karya, Cet. V.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
135
Baharuddin - Menggagas Pendidikan Berbasis Nilai-Nilai...
136
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
PENGEMBANGAN BUKU AJAR TEMATIK INTEGRATIF SEMUA MATA PELAJARAN DI SEKOLAH DASAR ISLAM Sulistyowati1
Abstract Development of the first class textbook using a thematic approach to integrative learning in Islamic primary school (SDI) based on the fact that the unavailability of special thematic textbook for students who attend school in Islamic institutions that accommodate all subjects including PAI and manners. The approach chosen thematic learning because students in the early grades still think holistically. They see something to make a whole, so that the thematic approach is the right approach to use.In this textbook development, developers use development methods in general, the planning, development, validation, testing, and dissemination. Development design model used is a model of Dick and Lou Carey. The results showed that the textbook class I by using thematic integrative learning approach has a level of effectiveness, efficiency, and attractiveness high. This is indicated by the test results are in good category according to a scale of 5 and an increase in student scores of 7.38. Thus, it can be said the development has contributed to the settlement of problems that arise in schools, especially on thematic integrative learning all subjects, including religion in class I. The product of this development can be disseminated to students who have the same characteristics.
Keywords: Development, Textbook, Thematic Integrative Learning
A. Pendahuluan Pemerintah telah mengupayakan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan melakukan pengembangan kurikulum pendidikan, terutama untuk pendidikan tingkat dasar. Dari zaman ke zaman, kurikulum pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dengan berbagai landasan filosofis yang mendasarinya. 1 Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Jl. Gajayana No. 50 Malang 65144
137
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Mulai tahun 2004, dengan diluncurkannya KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), corak kurikulum yang dikembangkan sudah mulai mengarah pada landasan teori belajar konstruktivisme, yakni menekankan pada pembangunan pengetahuan pada diri siswa. Dua tahun kemudian pembaruan kurikulum dilakukan oleh pemerintah dengan menetapkan KTSP sebagai kurikulum pendidikan nasional. KTSP ini cukup lama dijalankan sebelum akhirnya pemerintah menetapkan kurikulum baru, yakni Kurikulum 2013. Secara umum, khususnya pada pendidikan dasar (SD/MI) terdapat beberapa perubahan muatan kurikulum dari KTSP ke Kurikulum 2013. Jika pada KTSP pembelajaran berbasis tema atau pembelajaran tematik hanya dilakukan di kelas bawah, maka dalam kurikulum 2013 semua pembelajaran pada jenjang kelas dilakukan secara tematik. Untuk melancarkan penerapan kurikulum 2013, pemerintah telah menyiapkan paket kurikulum beserta bahan ajarnya. Pemerintah juga meluncurkan bahan ajar tematik untuk kelas I dan IV demi melancarkan penerapan kurikulum baru ini. Pendekatan tematik integratif dipilih dan digunakan dalam penerapan kurikulum 2013 dengan alasan untuk menyesuaikan dengan tingkat berpikir siswa, khususnya siswa kelas awal yang berusia antara 6-8 tahun. Perkembangan tingkat berpikir anak pada usia 6-8 tahun berada pada tahap operasional konkret, yakni anak mampu memahami suatu pengetahuan yang nyata. Piaget menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya (Monks, 2004: 208). Menurut Piaget, setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata, yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai pemahaman terhadap objek yang ada di lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimiliasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara demikian, secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan 138
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
karena proses belajar memang terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan lingkungan. Siswa pada kelas awal masuk pada rentangan usia dini. Pada usia tersebut seluruh aspek perkembangan kecerdasan seperti IQ, EQ, dan SQ tumbuh dan berkembang sangat luar biasa. Pada umumnya mereka masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (berpikir holistik) dan memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Proses pembelajaran masih bergantung pada objek-objek konkret dan pengalaman yang dialami secara langsung (Monks, 2004: 215). Tema pengembangan kurikulum 2013 adalah dapat menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap (tahu mengapa), keterampilan (tahu bagaimana), dan pengetahuan (tahu apa) yang terintegrasi (Kemendikbud, 2013). Pengembangan kurikulum 2013, selain untuk memberi jawaban terhadap beberapa permasalahan yang melekat pada kurikulum 2006, bertujuan juga untuk mendorong siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang diperoleh atau diketahui setelah siswa menerima materi pembelajaran. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang jauh lebih baik, mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif. Sedikitnya ada lima entitas, masing-masing siswa, pendidik dan tenaga kependidikan, manajemen satuan pendidikan, negara dan bangsa, serta masyarakat umum, yang diharapkan mengalami perubahan. Pada diri guru, sedikitnya ada empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013, yaitu kompetensi pedagogi; kompetensi akademik (keilmuan); kompetensi sosial; dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan. Inti dari Kurikulum 2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu , kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan. Adapun objek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan jauh
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
139
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di zamannya, memasuki masa depan yang lebih baik. Kenyataan yang ada di lapangan sekarang ini, uji coba kurikulum masih di beberapa sekolah tertentu, khususnya Sekolah Dasar. Untuk wilayah MI belum ada penerapan kurikulum 2013 secara resmi dari pemerintah. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan oleh peneliti, sejauh ini madrasah yang ada di bawah naungan Kementrian Agama belum ada yang menerapkan kurikulum 2013. Hal ini karena dari pihak Kemenag juga belum mengeluarkan pengumuman resmi tentang perubahan kurikulum di pendidikan Islam. Kemenag baru memberikan wacana terkait dengan penerapan kurikulum baru sehingga MI pun masih belum menerapkan kurikulum 2013. Mereka masih menggunakan KTSP sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran. SDI As-Salam merupakan salah satu contoh sekolah yang sudah menerapkan kurikulum 2013 untuk kelas I dan IV. Mata pelajaran yang ditematikkan adalah semua mata pelajaran umum kecuali PAI dan Bahasa Daerah. Buku ajar yang digunakan masih terpisah antara tematik umum dan agama. Beberapa guru tematik menuturkan bahwa, untuk SDI yang bukan sekolah fullday cukup kerepotan dengan beberapa beban pelajaran yang diberikan dengan waktu yang cukup singkat. Satu kali pembelajaran, seyogyanya selesai secara tuntas dalam sehari. Akan tetapi, pada kenyataannya jam pelajaran satu hari tidak full untuk tematik. Ada beberapa jam untuk mata pelajaran lain seperti PAI, mata pelajaran agama tambahan, dan muatan lokal. Kendala yang dalami oleh guru tematik adalah lamanya waktu pelaksanaan pembelajaran yang dirasa kurang maksimal pada setiap pertemuan. Masalah teknis lain yang muncul adalah belum adanya bahan ajar, khususnya buku teks untuk guru dan siswa dalam melaksanakan pembelajaran yang khusus untuk SDI. Tentunya SDI mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan siswa MI, di mana nuansa islami menjadi penting untuk dihadirkan dalam pembelajaran melalui buku ajar yang digunakan. Selama ini buku tematik integratif yang digunakan sebagai penunjang pembelajaran menggunakan kurikulum 2013 hanya buku tunggal yang diterbitkan oleh Kemendikbud. 140
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Buku tematik integratif yang diterbitkan oleh Kemendikbud masih terpisah antara tematik mata pelajaran umum dan agama. Realita tersebut didukung dengan asumsi bahwa latar belakang keagamaan siswa di sekolah umum berbeda-beda tidak semua beragama Islam. Berdasarkan realitas tersebut, seyogyanya pemerintah mengeluarkan buku tematik yang berbeda bagi tipe sekolah yang berbeda seperti SDI dan MI yang semua siswanya beragama Islam. Pembelajaran tematik integratif merupakan metode yang tepat untuk mengintegrasikan semua mata pelajaran termasuk agama. Hal ini sekaligus menghapus paradigma dikotomi ilmu pengetahuan. Asumsi tersebut diperkuat oleh pendapat Menteri Agama Suryadharma Ali yang menegaskan bahwa kini sudah saatnya para tenaga pendidik atau pun guru mengerahkan perhatian untuk mengintegrasikan ilmu agama dengan ilmu lainnya. Dengan demikian, ke depan tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan lain, tetapi saling melengkapi. â&#x20AC;&#x153;Para guru agama sudah saatnya dapat mengimplementasikan dan menjadikan penerapanan kurikulum 2013 sebagai momentum mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu lainnya,â&#x20AC;? demikian pernyataan yang dikeluarkan oleh Menag saat mengisi sebuah acara. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa sudah saatnya penggerak pendidikan Islam melakukan perubahan dalam menyiapkan bahan ajar sebagai sarana pelaksanaan pembelajaran. Dikotomi ilmu pengetahuan harus dihapuskan, mata pelajaran umum bisa disandingkan dan ditematikkan dengan mata pelajaran agama sebagai sebuah upaya membentuk akhlak siswa. Berdasarkan kondisi tersebut, penulis berinisiatif untuk melakukan penelitian pengembangan buku ajar kelas I dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran Tematik Integratif khusus untuk siswa SDI atau MI. Hal ini diperlukan karena karakteristik siswa SDI dan MI berbeda dengan karakteristik siswa SD. Selain itu, penelitian pengembangan ini juga diharapkan mampu memberikan solusi masalah yang muncul di masyarakat. Buku ajar yang dikembangkan dalam penelitian pengembangan ini berbasis pada pendekatan saintifik sebagaimana tuntutan kurikulum 2013. Subjudul yang ada di buku ajar langsung spesifik pada komponen saintifik, seperti mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan mengkomunikasikan.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
141
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Rumusan masalah dalam penelitian ini tentu mencakup produk apa yang akan dihasilkan dan mampukah produk hasil pengembangan tersebut meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kemenarikan pembelajaran tematik integratif. Tujuan penelitian ini untuk menghasilkan produk yang mampu meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kemenarikan pembelajaran tematik integratif. B. Metode Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan penelitian pengembagan ini adalah dengan melakukan perencanaan terlebih dahulu. Penulis atau pengembang menganalisis kebutuhan pembelajaran yang muncul di sekolah. Dari hasil analisis tersebut muncul draft pengembangan buku yang disusun berdasarkan masalah yang ada dengan menggunakan pendekatan yang sesuai untuk mengatasi masalah tersebut. Dalam penelitian ini pendekatan pembelajaran tematik integratif dipilih untuk menyelesaikan beberapa permasalahan yang sudah diuangkap dalam latar belakang. Setelah produk buku ajar dikembangkan, produk tersebut divalidasi dan diujicoba untuk mengetahui tingkat efektifitas, efisiensi, dan kemenarikannya. Dari hasil validasi dan uji coba tersebut, buku ajar direvisi untuk selanjutnya didesiminasikan untuk digunakan pada siswa yang memiliki karakteristik yang sama. Adapun secara rinci tahapan pengembangan buku ajar sebagaimana berikut. 1.
Identifying Instructional Goal (mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran)
Langkah pertama yang dilakukan mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran tematik integratif dengan melakukan analisis kebutuhan untuk menentukan tujuan. Langkah ini berarti menentukan apa yang diinginkan untuk dapat dilakukan peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tematik integratif. Tujuan umum adalah pernyataan yang menjelaskan kemampuan apa saja yang harus dimiliki oleh siswa setelah selesai mengikuti suatu pelajaran. Tujuan umum diidentifikasi berdasarkan hasil analisis kebutuhan, kurikulum 2013, masukan dari para ahli materi.
142
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
2.
Conducting Instructional Analysis (melaksanakan analisis pembelajaran)
Setelah mengidentifikasi tujuan pembelajaran, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk mengidentifikasi keterampilanketerampilan bawaan yang harus dipelajari peserta didik dalam rangka untuk mencapai tujuan pembelajaran khusus.
3.
Identifying Entry Behaviors, Characteristics (mengenal tingkah laku masukan dan karakteristik siswa)
Dalam mengidentifikasi isi materi yang akan dimasukkan dalam pembelajaran, hal ini membutuhkan identifikasi atas keterampilanketerampilan spesifik dan pengetahuan awal yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk siap memasuki pembelajaran dan menggunakan buku ajar. Demikian karakteristik umum peserta didik juga sangat penting untuk diketahui dalam mendesain pembelajaran.
4.
Writing Performance Objectives (merumuskan tujuan khusus pembelajaran)
Tujuan pembelajaran khusus adalah rumusan mengenai kemampuan atau perilaku yang diharapkan dapat dimiliki oleh para siswa sesudah mengikuti suatu program pembelajaran tertentu. Kemampuan atau perilaku tersebut harus dirumuskan secara spesifik dan operasional sehingga dapat diamati dan diukur. Dengan demikian, tingkat pencapaian siswa dalam perilaku yang ada dalam tujuan pembelajaran khusus dapat diukur dengan tes atau alat pengukur yang lainnya. Penulisan tujuan pembelajaran khusus digunakan sebagai dasar dalam mengembangkan strategi pembelajaran dan menyusun kisi-kisi tes pembelajaran.
5.
Developing Criterion-Referenced Test (mengembangkan butir tes acuan patokan)
Instrumen tes penilaian dapat dirumuskan berdasarkan rumusan tujuan-tujuan khusus pembelajaran yang telah disusun.
6.
Developing Instructional Strategy (mengembangkan strategi pembelajaran)
Langkah ini merupakan upaya memilih, menata, dan mengembangkan komponen-komponen umum pembelajaran dan , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
143
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
prosedur-prosedur yang akan digunakan untuk membelajarkan peserta didik sehingga peserta didik dapat belajar dengan mudah sesuai karakteristiknya dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. 7.
Developing and selecting Instruction mengembangkan bahan pembelajaran)
Langkah pokok dari kegiatan desain pembelajaran tematik integratif ini adalah langkah pengembangan dan pemilihan bahan pembelajaran. Adapun hasil produk pengembangan ini berupa printed material yang berupa buku ajar pembelajaran tematik integratif mata pelajaran umum dan agama kelas I tema â&#x20AC;&#x153;Benda, Binatang, dan Tumbuhan di Sekaitarkuâ&#x20AC;? untuk SDI.
8.
Designing and Conducting Formative Evaluation (merancang dan melaksanakan evaluasi formatif)
Setelah bahan-bahan pembelajaran dihasilkan, dilakukan evaluasi formatif. Evaluasi formatif dilakukan untuk memperoleh data guna merevisi bahan pembelajaran yang dihasilkan untuk membuat lebih efektif. Evaluasi formatif dilakukan pada dua kelompok, yaitu evaluasi oleh para ahli dan evaluasi penggunaan buku ajar bagi peserta didik.
9.
Revising Instruction (merevisi bahan pembelajaran)
Langkah terakhir ini menurut Dick and Carey adalah langkah merevisi bahan pembelajaran. Data yang diperoleh dari evaluasi formatif dikumpulkan dan diinterpretasikan untuk memecahkan kesulitan yang dihadapi siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran juga untuk merevisi pembelajaran agar lebih efektif.
(menyeleksi
dan
Setelah bahan selesai dikembangkan, tahap selanjutnya adalah penilaian. Tahap penilaian yang dilaksanakan dalam pengembangan ini adalah tahap konsultasi, tahap validasi ahli, dan tahap uji coba lapangan berskala kelompok besar. Masing-masing tahap ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
144
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
1.
Tahap Konsultasi
Tahap konsultasi terdiri dari beberapa kegiatan berikut. a.
Dosen pembimbing melakukan pengecekan terhadap buku ajar yang dikembangkan. Dosen pembimbing memberikan arahan dan saran perbaikan buku ajar yang kurang.
b.
Pengembang melakukan perbaikan buku ajar tema “Benda, Binatang, dan Tanaman di Sekitarku” kelas I dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran Tematik Integratif (buku siswa dan guru) berdasarkan hasil konsultasi yang dilakukan.
2.
Tahap Validasi Ahli
Tahap validasi ahli terdiri dari beberapa kegiatan berikut. a.
Ahli materi, ahli desain pembelajaran, ahli bahasa, dan ahli pembelajaran (guru kelas I) memberikan penilaian dan masukan berupa kritik dan saran terhadap buku ajar tema “Benda, Binatang, dan Tanaman di Sekitarku” kelas I dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran Tematik Integratif yang dihasilkan.
b.
Pengembang melakukan analisis data penilaian dan masukan berupa kritik dan saran.
c.
Pengembang melakukan perbaikan buku ajar berdasarkan kritik dan saran.
3.
Tahap Uji Coba Lapangan
Uji coba lapangan terdiri dari beberapa kegiatan berikut. a.
Pengembangan mengamati siswa yang sedang belajar menggunakan buku ajar tema “Benda, Binatang, dan Tanaman di Sekitarku” kelas I dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran Tematik Integratif hasil pengembangan.
b.
Siswa memberikan penilaian terhadap buku ajar tema “Benda, Binatang, dan Tanaman di Sekitarku” kelas I dengan menggunakan Pendekatan Pembelajaran Tematik Integratif hasil pengembangan.
c.
Pengembang melakukan analisis data hasil penilaian.
d. Pengembang melakukan perbaikan buku ajar berdasarkan hasil analisis penilaian. , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
145
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
C. Paparan Hasil Produk yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini berupa buku teks panduan panduan pelaksanaan pembelajaran beserta evaluasinya atau yang disebut buku guru. Buku panduan ini berisi langkah-langkah praktis sebagai acuan pelaksanaan pembelajaran. Selain itu, penelitian pengembangan ini juga menghasilkan buku teks untuk siswa atau yang disebut buku siswa. Buku ini berfungsi sebagai sarana pelaksanaan pembelajaran tematik sehari-hari untuk siswa. Buku ini mencakup materi dan kegiatan aktif siswa yang dikemas melalui tahapan saintifik untuk membangun pengetahuan siswa. Adapun validasi yang akan dipaparkan adalah validasi oleh ahli materi, ahli desain/media pembelajaran, dan ahli bahasa. Uji coba yang dipaparkan adalah uji coba kepada siswa dan guru tematik kelas I. 1.
Uji Ahli Materi
Berikut ini akan dipaparkan data hasil validasi atau penilaian terhadap buku ajar yang dikembangkan. a.
Muatan isi buku ajar sangat sesuai dengan rumusan SKL yang ditetapkan oleh pemerintah.
b.
Muatan isi buku ajar sangat sesuai dengan rumusan KI yang ditetapkan oleh pemerintah.
c.
Muatan isi buku ajar sangat sesuai dengan rumusan KD yang harus dicapai dalam pembelajaran.
d. Materi/isi buku ajar sangat sesuai dan mendukung pencapaian kompetensi inti dan kompetensi dasar. e.
Materi dan isi bahan ajar sangatsesuai dengan tema.
f.
Buku ajar memuat aspek yang perlu dikembangkan yaitu: sikap, pengetahuan, dan keterampilan dengan baik.
g.
Materi/isi buku ajar memadai untuk kompetensi siswa dalam pembelajaran.
mengembangkan
h. Penyajian materi/isi mampu menumbuhkan motivasi untuk mengetahui lebih jauh. i.
Informasi pembelajaran sesuai dengan standar proses.
j.
Informasi keterpaduan: Penerapan model pembelajaran tematik
146
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
terpadu sudah baik dengan didampingi beberapa metode pembelajaran activelearning. k.
Strategi yang digunakan sangat sesuai dengan pendekatan saintifik.
l.
Instrumen penilaian sesuai dengan standar penilaian autentik.
Adapun saran perbaikan buku ajar yang diberikan oleh ahli materi adalah sebagai berikut. a.
Penulis dan editor sebaiknya tidak sama, agar lebih objektif dalam penilaian.
b.
Penerbit tidak perlu dicantumkan.
2.
Uji Ahli Desain/Media Pembelajaran
Validasi ahli media/desain pembelajaran yang diberikan oleh Bapak Agus Maimun mencakup seluruh bagian produk pengembangan, baik desain visual, tata bahasa, maupun muatan buku ajar. Validasi diberikan untuk menilai kelayakan buku ajar yang dikembangkan. Secara umum, buku ajar yang dikembangkan sudah baik, hanya perlu beberapa revisi demi perbaikan buku ajar yang dikembangkan tersebut. Berikut ini akan dipaparkan data hasil validasi atau penilaian terhadap buku ajar yang dikembangkan. a.
Tata letak kulit buku ajar tematik integratif bagian depan, punggung, dan belakang serasi dan mempunyai satu kesatuan.
b.
Pada kulit buku ajar tematik integratif memiliki pusat pandang (point center) yang jelas.
c.
Ukuran unsur-unsur tata letak pada kulit buku ajar tematik integratif proporsional (judul, sub judul, pengarang, ilustrasi, logo).
d. Tata letak kulit buku ajar tematik integratif mempunyai irama (rhythm) yang jelas. e.
Buku ajar tematik integratif memiliki tata letak konsisten antara kulit dan isi buku.
f.
Buku ajar tematik integratif memiliki tata letak pada isi tematik integratif konsisten antara bagian depan, isi (pokok bahasan), dan bagian belakang demikian juga tata letak antarbab.
g.
Buku ajar tematik integratif memiliki kontras yang cukup. , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
147
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
h. Buku ajar tematik integratif memiliki tata warna dan kombinasi yang harmonis, sesuai karakter materi dan sasaran pembaca. i.
Ilustrasi buku ajar tematik integratif mampu merefleksikan isi buku.
j.
Ilustrasi isi buku ajar tematik integratif sesuai dengan tuntutan materi bahasan.
k.
Ilustrasi buku ajar tematik integratif mampu mengungkapkan karakter objek.
l.
Ilustrasi buku ajar tematik integratif mempunyai garis/raster yang tajam/jelas.
m. Ilustrasi buku ajar tematik integratif foto memiliki detail yang jelas/tajam. n. Warna ilustrasi buku ajar tematik integratif sesuai kenyataan (natural), dengan kombinasi yang menarik. o.
Kualitas ilustrasi buku ajar tematik integratif serasi dalam satu buku.
p. Jenis huruf yang digunakan pada kulit buku ajar tematik integratif dan isi buku sama, dan sesuai dengan karakter materinya dan tingkat usia pembacanya; sederhana dan mudah dibaca. q.
Judul buku ajar tematik integratif lebih dominan dibandingkan sub judul, nama pengarang, maupun nama penerbit.
r.
Ukuran huruf isi buku ajar tematik integratif sesuai dengan forma/ukuran dan tingkat usia pembacanya.
s.
Variasi huruf pada buku ajar tematik integratif tidak lebih dari 2 jenis huruf, dengan efek huruf tidak berlebihan dan tidak menggunakan huruf hias.
Adapun saran perbaikan buku ajar yang diberikan oleh ahli media/desain pembelajaran adalah sebagai berikut. a.
Kata sapa kamu diganti dengan kata ananda. Akan tetapi untuk kata ganti boleh menggunakan kata â&#x20AC;&#x201C;mu, misal kata rumahmu.
b.
Penggunaan kata tanya tidak boleh di tengah kalimat.
c.
Muatan ditambah dengan integrasi agama.
148
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
3.
Uji Ahli Bahasa
Validasi ahli bahasa yang diberikan oleh Ibu Siti Anniyat mencakup seluruh bagian produk pengembangan, baik tata bahasa, font, warna huruf, maupun muatan buku ajar. Validasi diberikan untuk menilai kelayakan buku ajar yang dikembangkan. Secara umum, buku ajar yang dikembangkan sudah baik, hanya perlu beberapa revisi demi perbaikan buku ajar yang dikembangkan tersebut. Berikut ini akan dipaparkan data hasil validasi atau penilaian terhadap buku ajar yang dikembangkan. a.
Bahasa yang digunakan sangat etis, komunikatif, mudah dipahami, tidak mengandung unsur ambigu, sesuai dengan sasaran pembaca.
b.
Bahasa (ejaan, tanda baca, kosa kata, kalimat dan paragraf) sesuai dengan kaidah, istilah yang digunakan baku.
c.
Ejaan yang digunakan dalam buku ajar tematik integratif ini sesuai dengan kaidah tata bahasa.
d. Paragraf yang digunakan pada buku ajar tematik integratif ini sesuai dengan tema. e.
Kalimat yang digunakan pada buku ajar tematik integratif ini efektif.
f.
Tanda baca yang digunakan pada buku ajar tematik integratif ini sesuai dengan kaidah tata bahasa.
g.
Kosa kata yang digunakan pada buku ajar tematik integratif ini sesuai.
h. Bahasa yang digunakan dalam buku ajar tematik integratif ini komunikatif Adapun saran perbaikan buku ajar yang diberikan oleh ahli bahasa adalah sebagai berikut. a.
Pengguanaan tanda baca lebih dicermati lagi.
b.
Latihan di rumah perlu ditinjau ulang mengingat ideal waktunya hanya ½ kali tatap muka.
c.
Penggunaan warna huruf pada background yang terang sebaiknya memilih warna huruf yang gelap.
d. Doâ&#x20AC;&#x2122;a diusahakan bervariasi dalam satu tema.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
149
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
4.
Validasi dan Uji Coba Guru Tematik Kelas I
Berikut ini akan dipaparkan data hasil validasi dan uji coba terhadap buku ajar yang dikembangkan. a.
Muatan isi buku ajar sudah sesuai dengan rumusan SKL yang ditetapkan oleh pemerintah.
b.
Muatan isi buku ajar sudah sangat sesuai dengan rumusan KI yang ditetapkan oleh pemerintah.
c.
Muatan isi buku ajar sudah sesuai dengan rumusan KD yang harus dicapai dalam pembelajaran.
d. Materi/isi buku ajar sesuai dan mendukung pencapaian kompetensi inti dan kompetensi dasar. e.
Materi dan isi bahan ajar sesuai dengan tema.
f.
Buku ajar memuat aspek yang perlu dikembangkan yaitu: sikap, pengetahuan, dan keterampilan dengan baik.
g.
Materi/isi buku ajar memadai untuk kompetensi siswa dalam pembelajaran.
mengembangkan
h. Penyajian materi/isi mampu menumbuhkan motivasi untuk mengetahui lebih jauh. i.
Informasi pembelajaran sesuai dengan standar proses.
j.
Informasi keterpaduan: Penerapan model pembelajaran tematik terpadu sudah cukup baik dengan didampingi beberapa metode pembelajaran activ elearning.
k.
Strategi yang digunakan sesuai dengan pendekatan saintifik.
l.
Instrumen penilaian sesuai dengan standar penilaian autentik.
m. Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan pembelajaran cukup. n. Menghemat waktu belajar dengan adanya PAI dan Budi Perkerti dalam tematik. o.
Desain buku dan isi menarik minat belajar.
Adapun saran perbaikan buku ajar yang diberikan oleh guru tematik kelas I adalah sebagai berikut. a.
150
Gambar perlu ditinjau ulang untuk unsur keselarasan dan kemenarikan. , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
b.
Beberapa kolom/tabel yang menggunakan model tanpa border tengah sebaiknya diganti dengan model yang umum menggunakan garis.
5.
Uji Coba Perorangan
Berikut ini akan dipaparkan data hasil uji coba perorangan terhadap buku ajar yang dikembangkan. Sampel acak yang diambil adalah tiga siswa. a.
Materi yang ada di buku ajar tematik integratif sangat mudah dipahami satu orang, mudah dipahami satu orang, dan cukup mudah dipahami satu orang.
b.
Daya tarik menggunakan buku ajar tematik integratif sangat senang belajar menggunakan buku ajar ini dua orang dan satu orang menyatakan kurang senang.
c.
Motivasi belajar menggunakan buku ajar tematik integratif sangat bersemangat menggunakan buku ajar ini dua orang dan satu orang menyatakan kurang bersemangat.
d. Bahasa yang digunakan dalam buku ajar mendapat penilaian sangat mudah dipahami satu orang, mudah dipahami satu orang, dan kurang mudah dipahami satu orang. e.
Penggunaan kata-kata dalam buku ajar tematik integratif ini tidak menemukan kata-kata sulit dalam buku ajar ini dua orang dan satu orangmenyatakan sering menemukan kata sulit.
f.
Perintah/petunjuk mengerjakan soal sangat mudah dipahami dua orang dan satu orang menyatakan mudah dipahami.
g.
Soal/latihan yang ada pada buku ajar tematik integratif ini sangat mudah dipahami tiga orang.
h. Gambar yang ada pada buku ajar tematik integratif ini sangat menarik dua orang dan satu orang menyatakan cukup menarik. i.
Jenis dan ukuran huruf dalam buku ajar sangat mudah dibaca satu orang, mudah dibaca satu orang, dan satu orang menyatakan cukup mudah dibaca.
j.
Buku ajar tematik integratif mengakomodasi kemampuan bekerjasama dengan teman dan lingkungan sangat membantu dua orang dan satu orang membantu siswa untuk mampu bekerjasama dengan teman dan lingkungan.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
151
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
6.
Uji Coba Kelompok Kecil
Berikut ini akan dipaparkan data hasil uji coba kelompok kecil terhadap buku ajar yang dikembangkan. Sampel acak yang diambil enam orang. a.
Materi yang ada di buku ajar tematik integratif sangat mudah dipahami dua orang, mudah dipahami tiga orang, dan cukup mudah dipahami satu orang.
b.
Daya tarik menggunakan buku ajar tematik integratif sangat senang belajar menggunakan buku ajar ini tiga orang, dua orang menyatakan senang, dan satu orang menyatakan cukup senang.
c.
Motivasi belajar menggunakan buku ajar tematik integratif sangat bersemangat menggunakan buku ajar ini tiga orang dan tiga orang menyatakan bersemangat.
d. Bahasa yang digunakan dalam buku ajar sangat mudah dipahami dua orang dan empat orang menyatakan mudah dipahami. e.
Penggunaan kata-kata dalam buku ajar tematik integratif ini tidak menemukan kata-kata sulit dalam buku ajar ini lima orang dan satu orang menyatakan sering menemukan kata sulit.
f.
Perintah/petunjuk mengerjakan soal sangat mudah dipahami dua orang dan empat orang menyatakan mudah dipahami.
g.
Soal/latihan yang ada pada buku ajar tematik integratif ini sangat mudah dipahami lima orang dan satu orang menyatakan mudah dipahami.
h. Gambar yang ada pada buku ajar tematik integratif ini sangat menarik tiga orang, satu orang menyatakan menarik, dan dua orang menyatakan cukup menarik. i.
Jenis dan ukuran huruf dalam buku ajar sangat mudah dibaca dua orang, mudah dibaca tiga orang, dan satu orang menyatakan kurang mudah dibaca.
j.
Buku ajar tematik integratif mengakomodasi kemampuan bekerjasama dengan teman dan lingkungan sangat membantu empat orang dan membantu siswa untuk mampu bekerjasama dengan teman dan lingkungan dua orang.
152
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
7.
Uji Coba Lapangan
Berikut ini akan dipaparkan data hasil uji lapangan terhadap buku ajar yang dikembangkan. Siswa yang menilai berjumlah 21 orang. a.
Materi yang ada di buku ajar tematik integratif sangat mudah dipahami dua belas orang, mudah dipahami enam orang, dan cukup mudah dipahami tiga orang.
b.
Daya tarik menggunakan buku ajar tematik integratif sangat senang belajar menggunakan buku ajar ini tiga belas orang, lima orang menyatakan senang, dua orang menyatakan cukup senang, dan satu orang menyatakan kurang senang.
c.
Motivasi belajar menggunakan buku ajar tematik integratif sangat bersemangat menggunakan buku ajar ini empat belas orang, enam orang menyatakan bersemangat, dan satu orang menyatakan cukup bersemangat.
d. Bahasa yang digunakan dalam buku ajar sangat mudah dipahami sebelas orang, delapan orang menyatakan mudah dipahami, dan dua orang menyatakan cukup mudah dipahami. e.
Penggunaan kata-kata dalam buku ajar tematik integratif ini enam belas orang tidak menemukan kata-kata sulit dalam buku ajar ini, dua orang menyatakan jarang menemukan, satu orang menyatakan sedikit menemukan, satu orang menyatakan banyak menemukan, dan satu orang menyatakan sering menemukan kata sulit.
f.
Perintah/petunjuk mengerjakan soal sangat mudah dipahami sebelas orang, sembilan orang menyatakan mudah dipahami, dan satu orang menyatakan cukup mudah dipahami.
g.
Soal/latihan yang ada pada buku ajar tematik integratif ini sangat mudah dipahami lima belas orang, tiga orang menyatakan mudah dipahami, dua orang menyatakan cukup mudah dipahami, dan satu orang menyatakan kurang mudah dipahami.
h. Gambar yang ada pada buku ajar tematik integratif sangat menarik enam belas orang, dua orang menyatakan menarik, dan tiga orang menyatakan cukup menarik.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
153
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
i.
Jenis dan ukuran huruf dalam buku ajar sangat mudah dibaca sebelas orang, mudah dibaca tujuh orang, dua orang menyatakan cukup mudah dibaca, dan satu orang menyatakan kurang mudah dibaca.
j.
Buku ajar tematik integratif mengakomodasi kemampuan bekerjasama dengan teman dan lingkungan sangat membantu lima belas orang, lima orang menyatakan membantu, dan satu orang menyatakan cukup membantu.
Rekapitulasi nilai yang diperoleh siswa selama uji coba, baik nilai pre-test maupun post-test adalah sebagai berikut. Tabel Rekapitulasi Nilai Pre-test dan Post-test No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Nama Siswa Abi Haidar Aida Intan Farras Azza Najwa Syarif Hafizh Izzan Humam Yafi Harits Nashwan Naufal Najwa M Giza Atiya Soraya Umar Zidan Fatih
88 86 85 87 80 82 96 83 89 93 89 88 81 81 92 74 92 85 67 82 89
pre-Test
Nilai
Post-Test 100 89 100 84 84 100 100 95 100 100 100 68 100 95 100 89 100 78 89 84 89
D. Pembahasan Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan semua pendapat, saran dan tanggapan validator yang didapat dari lembar kritik dan saran. Data dari angket merupakan data kualitatif 154
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
/�$
*� ��
6E
6E
�$ �$ �"(��&���% �$ �"(��&���% �"(��&���% )�������������� )�������������� ��� �������������� ������������������ )�������������� ��� �������������� ���������������������������������������� ��� �������������� ���������������������������������������� Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
���������� ���������'����� �������������� ���������������� ���������������� �������� ���������� ���������'����� �������������� ���������������� ���������� ���������'����� �������������� ���������������� ���������������� �������� yang dikuantitatifkan menggunakan skala Linkert yang berkriteria ������������ ������� � �������������� � � ������������������������?����� ���������� ������������ ������� � �������������� � � ����������������� ������������ ������� � �������������� � � ������������������������?����� ���������� empat tingkat kemudian dianalisis melalui perhitungan persentase
���� �� ����� �� �������� �� ���������� � ������� �� ����� ����� �� ������ ��� ������� �� � �� ���� � ����� � �������� � ���������� � ������� ����� ����� � ����� ���� ����� �������� ���������� ����� ����� ������ ��� ���� � �� �� ���� ���� skor item pada setiap jawaban dari� ������� setiap pertanyaan dalam angket. &�(������������ ������� ������������������ ��+� ������� ����������� ���� ������ � Untuk menetukan persentase tersebut dapat dipergunakan rumus &�(������������ ������� ������������������ ��+� ������� � &�(������������ ������� ������������������ ��+� ������� ����������� ���� ������ � sebagai berikut (Arikunto, 2003: 313):
��������������������������������� �$:����� ���� 2��212%� ��������������������������������� �$:����� ���� ��������������������������������� �$:����� ���� 2��212%� � � � � ��� � �� �� ��� �� �� �� ��� � � �� � �� �� 1���������2� 1���������2� 1���������2�
2��212%�
Keterangan:
���������3������������������� ���������3������������������� ���������3������������������� P adalah prosentase kelayakan
� � 2��������������������� �����4���������5������ �jawaban 2��������������������� �����4���������5�����������6 : jumlah total skor validator (nilai nyata) � �� 2��������������������� �����4���������5�����������6 : jumlah total skor tertinggi (nilai harapan) � � � 2��������������������� ���������������5������ �jawaban 2��������������������� ���������������5����������3��6 � �� �� 2��������������������� ���������������5����������3��6
Dalam pemberian makna� dan pengambilan keputusan untuk ����� �� 3�������� ����� ��� �� 3���������� ��3������ �� � ����� � ��3�������� � ����� ��� ��� � 3����� ����� 3�������� � ����� ��� 3���������� ��3������ � merevisi buku ajar digunakan kualifikasi yang memiliki kriteria ����4��� �� ���� ��������� �� �����7���� �� ���� �� �������� �� ��� sebagai berikut: � ���� � ���� � ��������� � �����7���� � ���� �� ����4��� ���� �� ���� ���� ������4��� ��������� �����7���� ���� �� �������� �������� �������� ��� Tabel Kualifikasi Tingkat Kelayakan Berdasar Persentase Rata-rata �������2 �������2 �������2
Tingkat pencapaian Kualifikasi Keterangan 90 – 100 % Sangat baik Tidak perlu revisi #��� 75 – 89 % ���"�������*�+������%)+����"����+�%��" Baik Tidak perlu revisi��" �"%���"�����< #��� ���"�������*�+������%)+����"����+�%��" ���"�������*�+������%)+����"����+�%��" #��� ��" �"%���"�����< ��� ��� �� 65 – 74 % Cukup Direvisi �������� ��������������������������������������� �����*�+��� �"�" �%)�% ��%)+���-"%!�-���% �����*�+��� 55 – 64 %��%)+���-"%!�-���% Kurang Direvisi ������������������� ��%)+���-"%!�-���% �����*�+��� �"�" �%)�% EE �I�1 )�������������'��� 0 – 54 % Sangat kurang ����� ����� E �I�1 Direvisi �J ����� ����� �I�1 �J �J ����� ����� )�������������'���
F/�I�6E�J
#���
)�������������'���
F/�I�6E�J #��� F/�I�6E�J #��� dikumpulkan)�������������'��� Sedangkan untuk data uji coba lapangan dengan ������������������ ���&������������������� 0/�I�F!�J @���� ����'��� @���� @����(post-test) dalam rangka ����'��� menggunakan0/�I�F!�J tes awal (pre-test) dan tes0/�I�F!�J akhir //�I�0!�J "����� ����'��� �(�� � $���+ �� % � ��� � �� � ����� � $��� + �� % //�I�0!�J "����� //�I�0!�J "����� ����'���� ����� � ���� untuk mengetahui hasil belajar kelompok uji coba sasaran yakni siswa �I�/!�J ����� ������� ����'��� �I�/!�J ����� ������� ����� ������� ����'��� kela 1 sebelum �I�/!�J dan sesudah ����������&������������������������(�������1�������� menggunakan produk pengembangan buku ajar. Teknik analisa datanya menggunakan Dependent Sample ������������ � ���� � �&���� )����� � ������� � �� ���� � �� Test. Kriteria ujinya adalah uji-t pada Dependent Sample Test.
"�� ������&�������������&�5 �������������� ��������"�� ! Adapun rumus yang digunakan dengan tingkat kemaknaan 0,05% adalah: ��� ���!"�#��$�%"�&�$��"�'����(����������)*�+����������������������������������������� :���������������������������������� ����� ���
��� ���!"�#��$�%"�&�$��"�'����(����������)*�+��� ��� ���!"�#��$�%"�&�$��"�'����(����������)*�+����������������������������������������� �� �� � ��
:������������������������������� �������������� �� �$ �������%�������7���#�����&������" �
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
155
#������������� ����������������������� �����
������������������������ �����������;��������� ��&�
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Adapun rincian hasil analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.
Hasil analisis validasi ahli materi
Berdasarkan data hasil penilaian, dapat diketahui bahwa buku ajar secara umum sudah baik dari segi muatan isinya. Hal ini ditunjukkan dari persentase yang diperoleh dari data penelitian. Skor yang didapatkan adalah 57 dengan skor maksimal 60, maka diperoleh persen validitas sebesar 95%. Berdasarkan konversi skala 5, maka buku ajar tidak perlu revisi. Semua item kriteria yang dinilai valid.
Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh dari kritik dan saran ahli materi, perlu dilakukan perbaikan mengenai bagian pendahuluan buku ajar. Untuk editor sebaiknya bukan penulis sendiri agar penilaian terhadap buku ajar lebih objektif. Untuk bagian penerbit tidak perlu ditulis. Saran-saran perbaikan dari ahli materi dijadikan bahan pertimbangan penulis untuk menyempurnakan produk pengembangan yang dihasilkan.
2.
Hasil analisis validasi ahli media
Berdasarkan data hasil penilaian, dapat diketahui bahwa buku ajar secara umum sudah baik dari segi desain medianya. Hal ini ditunjukkan dari persentase yang diperoleh dari data penelitian. Skor yang didapatkan adalah 84 dengan skor maksimal 95, maka diperoleh persen validitas sebesar 88,42%. Berdasarkan konversi skala 5, maka buku ajar tidak perlu revisi. Semua item kriteria yang dinilai valid.
Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh dari kritik dan saran ahli media/desain pengembangan, perlu dilakukan perbaikan mengenai tata bahasa dan penggunaan kata sapaan pada teks percakapan. Muatan isi sebisa mungkin dikaitkan dengan keagamaan. Untuk kata sapaan kamu diganti dengan kata ananda agar lebih sopan dan akrab dengan siswa. Akan tetapi, untuk kata ganti â&#x20AC;&#x201C;mu tetap boleh digunakan. Saran-saran perbaikan dari ahli media/desain pembelajaran dijadikan bahan pertimbangan penulis untuk menyempurnakan produk pengembangan yang dihasilkan.
156
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
3.
Hasil analisis validasi ahli bahasa
Berdasarkan data hasil penilaian, dapat diketahui bahwa buku ajar secara umum sudah baik dari segi bahasa. Hal ini ditunjukkan dari persentase yang diperoleh dari data penelitian. Skor yang didapatkan adalah 35 dengan skor maksimal 40, maka diperoleh persen validitas sebesar 87,50%. Berdasarkan konversi skala 5, maka buku ajar tidak perlu revisi. Semua item kriteria yang dinilai valid.
Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh dari kritik dan saran ahli bahasa, perlu dilakukan perbaikan mengenai penggunaan tanda baca dan warna huruf. Tinjauan kembali untuk latihan di rumah, sebisa mungkin tidak lebih dari ½ kali tatap muka dan doâ&#x20AC;&#x2122;a diusahakan yang bervariasi dalam satu tema. Saransaran perbaikan dari ahli bahasa dijadikan bahan pertimbangan penulis untuk menyempurnakan produk pengembangan yang dihasilkan.
4.
Hasil analisis validasi dan uji coba gurutematik kelas I
Berdasarkan data hasil penilaian, dapat diketahui bahwa buku ajar secara umum sudah baik dari segi bahasa. Hal ini ditunjukkan dari persentase yang diperoleh dari data penelitian. Skor yang didapatkan adalah 60 dengan skor maksimal 75, maka diperoleh persen validitas sebesar 80%. Berdasarkan konversi skala 5, maka buku ajar tidak perlu revisi. Akan tetapi, jika melihat analisis tiap item pernyataan angket validasi, ada satu item yang kurang valid, yakni item 10. Berdasarkan konversi skala 5, maka perlu dilakukan revisi pada item yang dimaksud, yakni mengenai unsur keterpaduan tematik, khususnya konsistensi pada unsur saintifiknya.
Berdasarkan data kualitatif yang diperoleh dari kritik dan saran guru tematik kelas I, perlu dilakukan perbaikan mengenai penggunaan gambar dan tabel. Selain itu, konsistensi subjudul lebih dispesifikkan ke dalam unsur saintifik. Saran-saran perbaikan dari guru tematik kelas I dijadikan bahan pertimbangan penulis untuk menyempurnakan produk pengembangan yang dihasilkan.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
157
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
5.
Hasil analisis uji coba perorangan
Berdasarkan analisis data pada tabel 5.5, dapat diketahui bahwa buku ajar secara umum sudah baik untuk digunakan sebagai media pembelajaran. Hal ini ditunjukkan dari persentase yang diperoleh dari data penelitian. Skor yang didapatkan adalah 124 dengan skor maksimal 150, maka diperoleh persen validitas sebesar 82,67%. Berdasarkan konversi skala 5, maka buku ajar tidak perlu revisi. Akan tetapi, bila ditinjau dari item kriteria yang dinilai, maka perlu ada revisi pada item 4 dan 5. Beberapa siswa menemukan kata sulit sehingga menghambat pemahaman. Dengan demikian, perlu ditinjau ulang mengenai pemilihan atau penulisan kata dalam buku supaya mudah dipahami oleh siswa.
6.
Hasil analisis uji coba kelompok kecil
Berdasarkan analisis data pada tabel 5.6, dapat diketahui bahwa buku ajar secara umum sudah baik untuk digunakan sebagai media pembelajaran. Hal ini ditunjukkan dari persentase yang diperoleh dari data penelitian. Skor yang didapatkan adalah 264 dengan skor maksimal 300, maka diperoleh persen validitas sebesar 88%. Berdasarkan konversi skala 5, maka buku ajar tidak perlu revisi. Semua item kriteria yang dinilai valid.
7.
Hasil analisis uji coba langan
Berdasarkan analisis data pada tabel 5.7, dapat diketahui bahwa buku ajar secara umum sudah baik untuk digunakan sebagai media pembelajaran. Hal ini ditunjukkan dari persentase yang diperoleh dari data penelitian. Skor yang didapatkan adalah 945 dengan skor maksimal 1050, maka diperoleh persen validitas sebesar 90%. Berdasarkan konversi skala 5, maka buku ajar tidak perlu revisi. Semua item kriteria yang dinilai valid.
8.
Analisis pre-test dan post-test
Data yang ada pada tabel nilai selanjutnya dimasukkan dalam program SPSS 16 untuk dianalisis menggunakan uji-t sampel berpasangan. Adapun H0 dan H1 dari penelitian ini adalah sebagai berikut. H0 = tidak ada perbedaan prestasi siswa sebelum dan sesudah menggunakan buku ajar tematik integratif.
158
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
H1 = ada perbedaan prestasi siswa sebelum dan sesudah menggunakan buku ajar tematik integratif. Signifikansi < 0,05 maka H0 ditolak. Berdasarkan tabel 5.8 dan hasil analisis SPSS 16 di atas, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata siswa sebelum dan sesudah menggunakan buku ajar terdapat perbedaan. Nilai rata-rata siswa meningkat dari 85,19 menjadi 92,57. Dengan demikian kesimpulannya dalah buku ajar yang dikembangkan mampu meningkatkan prestasi atau hasil belajar siswa. Berdasarkan hasil analisis SPSS 16 uji-t sampel berpasangan menunjukkan bahwa signifikansi yang diperoleh sebesar 0,002. Hal ini bisa dilihat pada bagian Paired Samples Test Sig. (2-tailed) sebesar 0,002. Karena signifikansi kurang dari 0,05 maka H0 ditolak dan H1 diterima. Kesimpulan dari hasil analisis SPSS 16 adalah adanya perbedaan prestasi belajar atau hasil belajar siswa sebelum dan sesudah menggunakan buku ajar yang dikembangkan. Dari paparan analisis rata-rata nilai siswa sebelum dan sesudah menggunakan buku ajar pada tabel 5.8 dan analisis nilai menggunakan SPSS 16 dapat disimpulkan bahwa, buku ajar yang dikembangkan mampu memfasilitasi dan membantu siswa meningkatkan prestasi belajar. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai ratarata siswa sebelum dan sesudah menggunakan buku ajar. Dengan demikian, buku ajar tematik integratif mata pelajaran umum dan agama yang dikembangkan menggunakan pendekatan saintifik ini dapat meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kemenarikan pembelajaran. E. Kesimpulan Dan Saran Berdasarkan proses pengembangan dan hasil uji coba terhadap buku ajar pembelajaran tematik integratif kelas I, dapat dipaparkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.
Pengembangan buku ajar ini telah menghasilkan produk berupa: (1) buku siswa dan (2) buku guru tematik integratif kelas I dengan pendekatan saintifik dan tematik semua mata pelajaran termasuk PAI dan Budi Pekerti.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
159
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
2.
Hasil uji coba pengembangan buku ajar tematik integratif kelas I memiliki tingkat efektivitas, efisiensi, dan kemenarikan yang cukup tinggi berdasarkan tanggapan dan penilaian guru tematik kelas I dan siswa kelas I SDI As-Salam Kota Malang pengguna buku ajar sebagaimana berikut: a.
Tanggapan penilaian guru tematik kelas I terhadap hasil pengembangan buku ajar tematik integratif sebagai berikut:
Penggunaan buku ajar hasil pengembangan memiliki tingkat keefektifan, efisiensi, dan kemenarikan yang cukup tinggi, berdasarkan penilaian guru tematik terhadap semua komponen mencapai 80% (baik).
b.
Tanggapan penilaian siswa kelas I SDI As-Salam sebagai objek uji coba terhadap buku ajar tematik integratif mendapatkan hasil sebagai berikut:
Penggunaan buku ajar hasil pengembangan memiliki tingkat keefektifan, efisiensi, dan kemenarikan yang tinggi, berdasarkan rata-rata penilaian siswa terhadap semua komponen mencapai 90% (sangat baik). Perolehan hasil belajar berdasarkan uji coba lapangan yang diukur menggunakan tes pencapaian hasil belajar setelah dianalisis menunjukkan: a.
Rata-rata perolehan hasil belajar pada tes akhir 92,57 lebih baik bila dibanding dengan tes awal yang mencapai nilai 85,19. Peningkatan perolehan rata-rata hasil belajar siswa mencapai 7,38 setelah menggunakan buku ajar hasil pengembangan.
b.
Merujuk pada hasil analisis SPSS 16, signifikansi yang diperoleh adalah 0,002. Signifikansi yang diperoleh kurang dari 0,05 sehingga diperoleh kesimpulan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara rata-rata skor tes awal dan skor tes akhir. Dengan demikian, ada perbedaan perolehan hasil belajar siswa setelah menggunakan buku ajar yang dikembangkan.
Berdasarkan paparan di atas, dapat ditarik kesimpulan umum yang menyatakan bahwa buku ajar yang dikembangkan mempunyai kualitas yang baik. Penggunaan buku ajar hasil pengembangan membantu meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan kemenarikan pembelajaran sekaligus membantu meningkatkan hasil belajar siswa. 160
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
Adapun beberapa saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini, masih banyak materi yang komponen pembelajaran lainnya yang belum dikembangkan, sehingga peneliti-peneliti selanjutnya perlu melakukan pengembangan terhadap komponen pembelajaran lainnya. Penelitian pengembangan ini belum sampai pada tahap ujicoba produk secara keseluruhan, sehingga peneliti selanjutnya akan lebih baik lagi jika melakukan uji coba secara keseluruhan. DAFTAR PUSTAKA Dick, Walter and Lou Carey. 1978. The Systematic Design of Instruction. USA. F.J. Monks, A.M.P. Knoers. 2002. â&#x20AC;&#x153;Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta; Gajah Mada University Press. Fogarty R. 1991. The Mindfull School: How to Integrate the Curricula. Palatine, Illinois: IRI/Skylight Publishing. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaa. 2013. Kumpulan Dokumen Kurikulum 2013. Jakarta: Kemendikbud Woodford, Kate. 2003. Cambridge Advanced Learnerâ&#x20AC;&#x2122;s Dictionary. USA: Cambridge University Press
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
161
Sulistyowati - Pengembangan Buku Ajar Tematik...
162
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
SUPERVISI PEMBELAJARAN KEPALA MADRASAH DALAM PELAKSANAAN KURIKULUM 2013 DENGAN MULTIPLE INTELLEGENCES DAN EMOTIONAL INTELLIGENCE PADA MADRASAH IBTIDAIYAH Oleh: Nur Ali 1 Abstract One of the principalâ&#x20AC;&#x2122;s responsibility as an instructional supervition toward the teachers at Islamic Secondary School (Madrasah Ibtidaiyah) is to improve teacherâ&#x20AC;&#x2122;s competencies in implementing thematic-scientific approach in teaching learning process. Supervisor must held supervition well. Generally the principals of Madrasah as supervisor had not implemented the principles of supervitin yet in implementing an instructional supervition. Beside that he/she didnot also used persuasive approach. Therefore to improve the quality of persuasive, the supervisor should to understand about multiple intellegences dan belong to hight Emotional Intelligence becouse the activities of supervition were related to the oportunity of the teachers and students to develop the interest, talent and social interaction beetwen supervisor and teachers of islamic secondary school. This article is to describe about the principal instructional supervition of islamic secondary school (ISS) in implementing the curriculum 2013 with using multiple intellegences and emotional intelligence at ISS. The Principal of Islamic Secondary School who had understood the multiple intellegences well and belong to the hight emotional Intelligence more success in implementing instructional supervition and be able to develop the interpersonal, intrapersonal intellegences and can also develop selfmotivation and the teachers of ISS to implement thematic-scientific approach well.
Key Word: Thematic, saintific, multiple intellegences, Emotional Intelligence, Instructional supervition.
1 Dosen Tetap pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Maliki Malang, email; nurali.uinmalang@gmail.com
163
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
A. PENDAHULUAN Pelaksanaan kurikulum 2013 terutama pada aspek implementasi pendekatan tematik-saintifik pada madrasah ibtidaiyah masih menyisakan banyak masalah. Hal ini nampak sekali ketika para guru sedang mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan guru (PLPG) sebagai peserta sertifikasi dalam jabatan. Padahal tinggi rendahnya mutu pendidikan banyak dipengaruhi oleh kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Untuk itu, peningkatan kemampuan guru dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran di madrasah menjadi tanggungjawab kepala madrasah sebagai supervisor, pembina dan atasan langsung guru. Karena itu ia harus melaksanakan supervisi secara baik dan benar sesuai dengan prinsipprinsip supervisi serta teknik dan pendekatan yang tepat. Supervisi yang dilakukan kepala madrasah, antara lain untuk meningkatkan kompetensi guru-guru dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga diharapkan dapat memenuhi misi pembelajaran yang diembannya, atau misi pendidikan nasional dalam lingkup yang lebih luas. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa masalah profesi guru dalam mengembankan kegia足tan belajar mengajar akan selalu ada dan terus berlanjut seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga bimbingan dan pembinaan yang profesional dari kepala madrasah selalu dibutuhkan guru secara berkesinam足bungan. Pembinaan tersebut, disamping untuk meningkatkan semangat kerja guru, juga diharapkan dapat memberi dampak positif terhadap munculnya sikap profesional guru. Oleh karena itu sepervisi yang dilakukan oleh kepala sekolah/ madrasah memiliki dampak positif dalam menumbuhkan dan men足gembangkan profesi guru, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya para kepala sekolah / madrasah sebagai supervisor dalam melaksanakan supervisi belum sesuai dengan prinsip-prinsip supervisi dan kebanyakan pendekatannya kurang persuasive, padahal cara pendekatan yang tepat sangat menentukan keberhasilan supervisi, karena menyangkut interaksi sosial antara supervisor dengan guru. Hasil penelitian Nursalim, M. (2001) menunjukkan bahwa tinggi rendahnya keterampilan mengajar guru banyak dipengaruhi oleh kepala madrasah sebagai supervisor bukan sebagai administrator, 164
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
demikian pula hasil penelitian Hadi (1992) mengenai kefektifan guru dan keefektifan pola pendekatan supervisi kepala sekolah menunjukkan bahwa sebagian besar guru-guru STM se-Malang mempunyai persepsi bahwa pola pendekatan supervisi kolaboratif dan non-direktif merupakan pola yang paling efektif yang dapat diterapkan oleh kepala madrasah. Pola direktif kurang efektif menurut persepsi sebagian besar guru. Hasil penelitian Mantja (1989) menyimpulkan bahwa nilai-nilai budaya mendasari pemilihan implementasi teknik supervisi pengajaran. Karena itu Mantja menyarankan agar dalam pelaksanaan supervisi pengajaran nilainilai budaya yang positif digunakan dalam membangun komunikasi supervisi. Di samping nilai-nilai budaya yang positif, Pidarta (1992) menyarankan bahwa seyogyanya supervisor memiliki kompetensi yang sama dengan guru, hanya bobotnya harus lebih tinggi. Namun, kondisi tersebut sulit dite足mui, dengan kata lain tidak semua bidang studi dikuasai oleh kepala madrasah sebagai supervisor. Seba足liknya faktor dari para guru terutama para guru yang kurang mampu dan merasa malu untuk menghadap kepala sekolah/ madrasah juga menjadi kendala pelaksanaan supervisi pembelajaran. Kondisi seperti ini dapat dimengerti karena ada beberapa orang guru merasa segan meminta bantuan secara langsung kepada kepala sekolah/ madrasah, sebaliknya mereka merasa lebih senang meminta bantuan kepada teman sekerjanya yang memiliki kemampuan lebih baik dari dirinya. Kenyataan di atas mengindikasikan bahwa pelaksanaan supervisi pembelajaran kepala sekolah/madrasah belum dapat berjalan secara optimal, di samping itu, realitas di atas juga mengindikasikan bahwa proses pembinaan yang dilakukan oleh kepala sekolah/madrasah sebagai supervisi untuk membantu guru belum dapat berjalan secara efektif. Untuk itu perlu dicarikan cara pemecahannya sehingga kepala madrasah dapat melaksanakan tugasnya sebagai supervisor pembelajaran secara optimal. Berdasarkan pada uraian di atas, maka permasalahannya adalah bagaimana sebaiknya kepala sekolah/madrasah sebagai supervisor pembelajaran melaksanakan tugasnya secara efektif dalam membantu guru meningkatkan kemampuan pengelolaan kegiatan pembelajaran secara professional terutama dengan diberlakukannya pendekatan tematik saintifik pada kurikulum 2013 di lingkungan madrasah ibtidaiyah . , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
165
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
B. PEMBELAJARAN TEMATIK SAINTIFIK Pembelajaran merupakan kegiatan terstruktur yang didesain oleh pendidikan/guru untuk para siswanya agar mereka belajar baik melalui tatap muka maupun non-tatap untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Untuk mencapai target pembelajaran tersebut pemerintah telah menetapkan standar proses pembelajaran melalui peraturan pemerintah nomor 65 tahun 2013 tentang standar proses yang mencakup perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran dan pengawasan proses pembelajaran. Dari keempat proses tersebut perencanaan proses pembelajaran memiliki peran cukup strategis karena di dalamnya terdapat model dan pendekatan pembelajaran yang akan digunakan perlu di sesuaikan lebih dulu dengan karakteristik peserta didik. Berdasarkan pada kurikulum 2013, pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk pendidikan madrasah ibtidaiyah yaitu pendekatan tematik yang biasanya juga disebut dengan pembelajaran tematik terpadu sebagaimana yang diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2013 tentang standar proses. Pendekatan tematik merupakan pola pembelajaran yang mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, kreativitas, nilai dan sikap pembelajaran dengan menggunakan tema dalam beberapa pelajaran bahkan rumpun mata pelajaran yang diikat dalam tema-tema tertentu (Kemendikbud; 2013; 3). Perlunya digunakan pembelajaran tematik terpadu tersebut karena disinyalir oleh para ahli bahwa pelaksanaan pembelajaran tematik pada kurikulum sebelumnya lebih cenderung disipliner, sarat beban kognitif. Dengan pendekatan pembelajaran tematik terpadu diharapkan kegiatan pembelajarannya senantiasa mengintegrasikan perkembangan yang terjadi disekelilinganya, pertumbuhan dan kemampuan pengetahuan siswanya berdasarkan pada hasil interaksi dengan lingkungan dan pengamalannya serta pengalaman dalam kehidupannya. Oleh karena itu, apa yang sedang dipelajari para siswa di madrasah akan memiliki hubungan dan relevan dengan apa yang sedang terjadi pada saat ini di lingkungan sekitarnya. Menurut Trianto, 2009;81-83 bahwa pembelajaran tematik terpadu akan terjadi ketika peristiwa dari sebuah topik menjadi faktor pendorong dalam pelaksanaan kurikulum karena dalam pembelajaran tematik terpadu diawali dengan tema tertentu dan kemudian dari tema 166
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
tersebut dikaitkan dengan beberapa pokok bahasan atau sub pokok bahasan lain, semua hal tersebut dilakukan secara terdesain sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Badan standar nasional pendidikan (BSNP) sebagaimana yang dikutip oleh Madjid (2014; 66) menjelaskan bahwa pendekatan pembelajaran tematik dilakukan pada pembelajaran pada jenjang SDMI dikarenakan perkembangan peserta didik khususnya pada kelas rendah masih memandang bahwa segala sesuatu itu adalah suatu keutuhan (holistik) yang proses pembelajarannya menggunakan objek konkrit dan pengalaman. Karena itu kurikulum 2013 juga masih tetap menekankan pada pembelajaran tematik untuk jenjang pendidikan sekolah dasar-madrasah ibtidaiyah serta menjadi salah satu pembelajaran alternatif dengan pertimbangan antara lain; anakanak di tingkat SD-MI masih melihat dunia sebagai suatu yang terhubung tidak terpisah-pisah serta dengan adanya keterkaitan antar mata pelajaran pada sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah dapat meningkatkan hasil pembelajaran siswa. Untuk mewujudkan peningkatan hasil pembelajaran siswa melalui pembelajaran tematik terpadu diperlukan pemahaman tentang prinsip-prinsip pembelajaran tematik terpadu. Dalam modul pelatihan kurikulum 2013 yang dikeluarkan oleh Kemendikbud (2013;189) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran tematik terpadu terdapat tujuh prinsip dalam menentukan tema yaitu (i) tema hendaknya tidak terlalu luas dan dapat dengan mudah digunakan untuk memadukan banyak bidang studi, mata pelajaran atau disiplin ilmu, (ii) tema yang dipilih dapat memberikan bekal bagi peserta didik untuk belajar lebih lanjut, (iii) tema disesuaikan dengan tingkat perkembangan peserta didik, (iv) tema harus mampu mewadahi sebagian besar minat anak, (v) tema harus mempertimbangkan peristiwa-peristiwa otentik yang terjadi dalam rentang waktu belajar, (vi) tema yang dipilih sesuai dengan kurikulum yang berlaku, dan (vii) tema yang dipilih sesuai dengan ketersediaan sumber belajar. Dengan menggunakan prinsip-prinsip tersebut dalam pembelajaran tematik terpadu yang didukung dengan standarisasi proses yang dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) disebut dengan istilah eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi (EEK) baik konfirmasi sejawat maupun konfirmasi dari guru serta dilengkapi
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
167
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
dengan penggunaan pendekatan saintifik yang dalam kurikulum 2013 disebut pula dengan istilah lima atau enam M (5/6-M) yakni mengamati, menanya, mencoba atau mengumpulkan informasi, menalar dan menyimpulkan, serta mengkomunikasikan, maka kualitas pembelajaran pada jenjang MI-SD dapat meningkat. Implikasi dari kegiatan pembelajaran tersebut adalah ada beberapa kompetensi siswa madrasah ibtidaiyah (MI) yang dapat dikembangkan dan akan menjadi modal dasar untuk pendidikan selajutnya yang antara lain; (i) dengan mengamati, siswa MI terelatih kesungguhannya dan memiliki kompetensi ketelitian dan terbiasa mencari informasi, (ii) dengan menanya siswa MI dapat mengembangkan kreativitas dan rasa ingin tahunya serta memperoleh kompetensi merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat, (iii) dengan mengumpulkan informasi dan mencoba, siswa MI mampu mengembangkan sikap teliti, jujur,sopan, serta terbiasa menghargai pendapat orang lain. Dengan modal sikap tersebut siswa MI memiliki kompetensi untuk berkomunikasi dan menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari dan mengembangkan kebiasaan belajar serta belajar sepanjang hayat. (iv) Dengan menalar dan menyimpulkan, siswa MI akan memiliki kompetensi pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai pada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan serta kompetensi untuk menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif dan deduktif, dan (v) dengan mengkomunikasikan, siswa MI dapat mengembangkan sikap jujur, teliti dan toleransi serta memiliki kompetensi untuk berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, serta mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. C. Implementasi Emotional Intelligence dan Multiple Intellegences dalam Pembelajaran 1.
Emotional Intelligence
Emotional intelligence adalah kemampuan untuk menyadari diri sendiri, memotivasi diri, mengatur diri sendiri, empati dan
168
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
membina hubungan dengan orang lain atau disebut dengan istilah lain keterampilan social (Goleman (1999). Kemampuan dalam menyadari diri sendiri, memotivasi diri dan mengatur diri sendiri dimasukkan dalam kategori kecakapan pribadi yaitu kecakapan untuk menentukan bagaimana seseorang atau kita mengelola diri sendiri (interpersonal), Sedangkan kemampuan dalam berempati dan membina hubungan dengan orang lain dimasukkan dalam kategri kecakapan sosial yaitu kecakapan untuk menentukan bagaimana seseorang atau kita menangani suatu hubungan dengan orang lain. Gardner (1993) menyebut dengan istilah inteligensi antarpersonal (bagian dari multiple intellegences) yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan mereka. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki emotional intelligence cukup bagus, maka ia memiliki kecakapan dalam mengetahui dan menangani perasaannya sendiri serta mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain secara efektif serta memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan karena mampu bekerja sama dengan orang lain. Menurut Goleman (1999) Empati merupakan unsur pokok emotional intelligence yang memiliki peranan penting dalam kehidupan social manusia. Kemampuan berempati yaitu kemampuan seseorang untuk memahami perasaan orang lain. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka kita kepada emosi diri sendiri, semakin terampil pula kita membaca perasaan orang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa empai menjadi faktor yang sangat menentukan keberhasilan seseorang untuk mencapai prestasi terutama dalam kelompok social seperti misalnya seseorang yang menjadi anggota dari ikatan guru di madrasah, seseorang menjadi anggota suatu organisasi tertentu, dan atau supervisi pembelajaran dll. Dengan dimilikinya empati, maka seseorang dapat membaca dan memahami perasaan-perasaan sesama anggota kelompok lainnya, dan selanjutnya ia dapat menempatkan diri secara proporsional di dalam kelompok tersebut, dan biasanya situasi seperti ini akan membantu orang dalam berkomunikasi dengan baik dan mencapai sukses.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
169
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
2.
Multiple Intellegences
Dalam konsep tradisional, Intelegensi yang biasa juga disebut dengan kecerdasan yaitu kemampuan untuk menjawab berbagai jenis tes kecerdasan yang hasilnya dijadikan sebagai ukuran untuk menetapkan bahwa seseorang itu kecerdasannya tinggi atau rendah. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) dan dampak yang ditimbulkan di masyarakat maka konsep tersebut belum mampu mengukur kemampuan seseorang yang cukup banyak dan bervariasi. Karena itu konsep intelegensi tersebut dikembangkan oleh Gardner (1993) sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah atau menghasilkan produk yang dinilai tinggi dalam budaya masyarakat tertentu. Konsep ini ternyata juga masih mengalami kendala dan belum seimbang ketika digunakan pada masyarakat yang budayanya sudah tinggi karena pengukurannya hanya menekankan pada kemampuan problem solving dan mengabaikan kemampuan untuk menghasilkan produk. Oleh sebab itu Gardner (1999) menyempurnakan konsep intelegensi sebagai potensi biopsikologis untuk memproses informasi yang bisa diaktifkan dalam suatu latar budaya untuk memecahkan masalah atau menghasilkan produk yang dihargai tinggi dalam suatu buadaya tertentu. Oleh karena itu dia kemudian mendefinisasikan intelegensi sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Berdasarkan pada definisi yang kedua tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam diri manusia terdapat potensi biopsikologis yakni kemampuan seseorang tidak hanya terbatas pada olah pikir yang sifatnya skolastik, karena itu Gardner berpendapat bahwa manusia memliki multiple intellegences yang terdiri atas (i) Linguistic, (ii) Logicalmathematical, (iii) SPATIAL (ruang visual), (iv) Bodily-kinesthetic, (v) Musical, (iv) Interpersonal, (vii) Intrapersonal, (viii) Naturalist, dan (ix) Existential. Untuk mengembangkan kecerdasan-kecerdasan tersebut dalam lingkup pendidikan dan pembelajaran diperlukan berbagai pusat Belajar atau kegiatan intra kurikuler dan ekstra kurikuler. Kaitan antara jenis intelegensi dan kegiatan yang perlu dikembangkan dalam pendidikan dan pembelajaran dapat disimpulkan pada bagan berikut ini;
170
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
MATERI NO
INTELEGENSI
TEMATIK
Linguistic 1. Logical2.
mathematical
3.
SPATIAL (ruang visual)
4.
Bodily-kinesthetic
5.
Musical
6.
Interpersonal
7.
Intrapersonal
8.
Naturalist
9.
Existential
Terkait dengan Bhs, ips, sejarah, agama, Terkait dengan Matematika, IPA, ekonomi, fikih, dll Terkait dengan Keg. menggambar Terkait dengan Olah raga Terkait dengan Musik, seni suara
Biologi
KEMAMPUAN YANG DIKEMBANGKAN
KEGIATAN EKSTRA KURIKULER
PUSAT BELAJAR YANG DIPERLUKAN Pusat Membaca
Skill berpikir, logika, komputer, dll
Mading, public speak, klpk pidato, dll. Group Sains , lomba sains
Skill melukis, menggambar, baca peta Skill tari, berbagai olah raga, dll.
Group lukis, catur, bangunan, dll Group drama, tari, dll
Skill musik dan sejarahnya
Group band, koor, dll
Studi lapangan dll.
Osis, dll
Refleksi dll.
Tugas renungan di rmh Kemping, pencinta alam Penelitian
Skill berbicara, menulis, komunikasi, drama
Lingk. Berkebun, berternak dll. Pembiasaan, latihan kritis
Pusat MIPA
Sanggar Seni Buadaya dan Olah Raga Pusat Seni
Pusat Diklat Kepri-badian
Pusat Riset
Diadaptasi dari dari P. Suparno (2002, hal. 54) hal. 54) Diadaptasi P. Suparno (2002, Berdasarkan padabagan bagan didi atas,atas, maka pembejaran yang Berdasarkan pada maka pembejaran yang menggunakan pendekatan tematik saintifik pada madrasah ibtidaiyah menjadi menggunakan pendekatan tematik saintifik pada madrasah ibtidaiyah menjadi mudah untuk dan pengembangkan mudah untuk merancang danmerancang pengembangkan kegiatan pembelajarannya.kegiatan pembelajarannya. Seperti misalnya guru madrasah ibtidaiyah yang Seperti misalnya guru madrasah ibtidaiyah yang akan mengajar dengan tema akan mengajar dengan tema diriku, maka dia dapat mengubah ruang diriku, maka dia dapat mengubah ruang kelas menjadi ruang pusat membaca kelas menjadi ruang pusat membaca dimana para siswa dapat belajar dimana para siswa dapat belajar tema tersebut dengan intelegensi linguistik, tema tersebut dengan intelegensi linguistik, spatial, interpersonal, intrapersonal, sepertiintrapersonal, kegiatan membaca buku,membaca peta, menulis, melukis, spatial, interpersonal, seperti kegiatan buku, peta, bercerita, dan sebagainya menulis, melukis, bercerita, dan sebagainya
D. Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah Pembinaan kepada guru merupakan bentuk bantuan professional yang diberikan oleh kepala madrasah dalam supervisi pembelajaran. 9
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
171
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan kompetensi professional dan pedagogik guru di samping kompetensi sosial, kepribadian dan kepemimpinan guru madrasah. Untuk mewujudkan tugas tersebut, maka kepala madrasah dipersyaratkan untuk memiliki kompetensi. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah dinyatakan bahwa kepala madrasah perlu memiliki lima (5) yaitu kompetensi Kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial. Terkait dengan kompetensi supervisi kepala madrasah, ada tiga domain kompetensi yang perlu dimiliki oleh kepala madrasah yaitu; (i) merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru, (ii) melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat, dan (iii) menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru. Dengan tiga domain kompetensi tersebut kepala madrasah dimungkinkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pembinaan program pembelajaran yang dilakukan. Ada beberapa indikator yang menunjukkan keberhasilan suatu madrasah sebagai dampak dari pembinaan program pembelajaran yang dilakukan oleh kepala madrasah yaitu; (i) keterikatan yang tinggi kepala madrasah terhadap perbaikan pembelajaran, (ii) partisipasi yang kuat dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas, (iii) pemantauan terprogram terhadap penggunaan efektifitas waktu pembelajaran, (iv) memiliki sikap positif ke arah para guru, tenaga kependidikan, pustakawan, laboran, dan para siswa. Ada beberapa tahapan dalam proses pembinaan program pembelajaran yang dapat diadaptasi oleh kepala madrasah dalam melaksanakan supervisi pembelajaran yaitu; 1.
Penilaian sasaran program, dalam tahap ini kepala madrasah dapat menguji keadaan program pembelajaran yang ada dengan tuntutan masyarakat dan kebutuhan mereka yang belajar.
2.
Merencanakan perbaikan program, dalam tahap ini kepala madrasah dapat membentuk struktur yang tepat, mengusahakan dan memanfaatkan infrastruktur serta mengadakan spesifikasi sumber-sumber yang diperlukan untuk program.
172
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
3.
Melaksanakan perubahan program, diantaranya memotivasi para guru, tenaga kependidikan, membantu program pembelajaran dan melibatkan masyarakat.
4.
Melakukan evaluasi perubahan program, dalam tahap ini kepala madrasah perlu memperhatikan kegiatan perencanaan evaluasi dan penggunaan alat ukur yang tepat untuk hasil pembelajaran (Wahjosumidjo, 1999; 208)
Tahap-tahap tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut;
TAHAP I
TAHAP II
MENILAI TUJUAN PROGRAM 1. Tuntutan masyarakat 2. Tuntutan siswa 3. Menghubungkan tujuan dengan siswa
Apakah Kebutuhan dg tujuan sejalan
tidak
tidak
Menjamin Program Baru
ya
ya
MERENCANAKA N PERUBAHAN PROGRAM 1. Menyusun struktur 2. Mencari informasi 3. Spesifikasi input
tidak
tidak
TAHAP IV
Bagaimana hasil yg dicapai
MENILAI HASIL PROGRAM - Merencanakan evaluasi - Mempergunakan instrumen evaluasi - Alat ukur
ya
Apakah Perencanaan Program tepat
TAHAP III MELAKSANA KAN PERUBAHAN PROGRAM - Memotivasi staf - Membnatu program pembelajaran - Pekerja dg masyarakat
ya
Apakah Program dilaks sesuai rencana
Diadaptasi dari james M Lipham dalam Wahjosumidjo, (1999; 208).
Diadaptasi dari james M Lipham dalam Wahjosumidjo, (1999; 208). Berkaitan dengan kompetensi guru SD/MI yang akan menjadi sasaran
program supervisi pembelajaran oleh Kepala Sekolah, pemerintah dalam dalam ini
Berkaitan dengan kompetensi guru SD/MI yang akan menjadi sasaran program supervisi pembelajaran oleh Kepala Sekolah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik pemerintah dalam dalam ini kementerian pendidikan telah menetapkan Indonesia Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan kualifikasi dan kompetensi guru sebagaimana diatur dalam Peraturan Kompetensi Guru menjelaskan bahwa ada beberapa Indonesia kompetensi pedagogik Menteri Pendidikan Nasional Republik Nomorguru 16 Tahun MI-SD yang perlu dimiliki yaitu (i) menguasai karakteristik peserta didik dari 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru aspek fisik, moral, sosial, ada kultural, emosional,kompetensi dan intelektual, pedagogik (ii) menguasai teori menjelaskan bahwa beberapa guru MISDbelajar yangdan perlu dimilikipembelajaran yaitu (i) menguasai karakteristik peserta didik prinsip-prinsip yang mendidik, (iii) mengembangkan kementerian pendidikan telah menetapkan kualifikasi dan kompetensi guru
kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, (iv) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (v) memanfaatkan teknologi
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (vi) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, (vii) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan
173
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (ii) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (iii) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, (iv) menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, (v) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran, (vi) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki, (vii) berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik, (viii) menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar, (ix) memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran, dan (x) melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran. Sedangkan kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh guru MI-SD yaitu; (i) menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu, (ii) menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang diampu, (iii) mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif, (iv) mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif, dan (v) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri. Kompetensi yang perlu dimiliki guru MI tersebut cukup strategis karena terkait dengan bagaimana proses pembelajaran itu dimulai dan bagaimana pula cara mengelola kegitannya. Oleh karena itu kemampuan mengelola kegiatan pembelajaran bagi guru MI menjadi keniscayaan terutama dengan adanya amanah kurikulum 2013 yang memuat diantaranya tentang penggunaan pendekatan tematik dan saintifik. Untuk itu orientasi supervisi pembelajaran bagi guru MI yang akan dilakukan oleh kepala madrasah harus sesuai dengan target dan kebutuhan guru. Glickman (1981) membagi orientasi supervisi pembelajaran menjadi tiga berdasarkan kemampuan guru yaitu; (1) direktif, (2) non-direktif, dan (3) kolaboratif. Pertama, orientasi direktif diterapkan manakala supervisor menemukan guru yang dalam mengembangkan dirinya sendiri sangat rendah, sehingga supervisor (kepala madrasah) harus banyak memberikan petunjuk dengan contoh-contoh kongrit disertai dengan tugas-tugas. Kedua, orientasi non-direktif digunakan apabila tanggungjawab guru dalam mengembangkan dan membina dirinya sendiri tinggi. 174
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
Supervisor (kepala madrasah) hanya sekedar fasilitator. Ketiga, orientasi kolaboratif digunakan apabila tanggungjawab antara guru dengan supervisor seimbang. Supervisor (kepala madrasah) bersamasama saling memberi dan saling meminta melalui diskusi, sehingga diperoleh kesepakatan. Oliva (1984) membagi orientasi supervisi menjadi dua yaitu; (1) orientasi langsung, dan (2) tidak langsung. Pertama, orientasi langsung didasarkan pada asumsi bahwa (i) pengawasan dilakukan atas dasar kewenangan seseorang yang memiliki posisi dalam hirarkhi organisasi, (ii) orang yang lebih tinggi dan ahli, (iii) penghargaan yang penting adalah eksternal terutama dari atasan, (iv) bekerja itu sifatnya rasional sehingga dalam supervisi tidak perlu membicarakan perasaan dan hubungan antar pribadi. Kedua, orientasi tidak langsung didasarkan pada asumsi bahwa; (i) pengawasan terhadap situasi tergantung pada tuntutan masalah, (ii) Keahliann didasarkan pada ilmu dan pengalaman bukan pada jabatan, (iii) hasil kerja guru merupakan alat evaluasi terbaik bagi pengukuran performansi, (iv) penghargaan instrinsik adalah penting disamping penghargaan ekstrinsik, (v) guru harus didengar dan dipahami oleh supervisor, (vi) bekerja tidak hanya rasional tetapi juga emosional, (vii) perlu penyelesaian masalah secara kolaboratif. Sergiovanni (1982) membedakan pendekatan supervisi pembelajaran menjadi tiga yaitu; (1) pendekatan ilmiah, (2) pendekatan artistic, dan (3) pendekatan klinis. Pendekatan ilmiah berpandangan bahwa pembelajaran dipandang sebagai ilmu. Karena itu perbaikan pembelajaran harus dilakukan dengan menggunakan metodemetode ilmiah, yaitu merumuskan masalah berdasrkan kerangka teori pembelajaran, menyusun hipotesis, mengumpulkan data, menganalisis data dengan menggunakan teknik analisis yang relevan, menguji hipotesis dan menarik kesimpulan. Pendekatan artistic merekomendasikan agar pembina turut mengamati, merasakan dan mengapresiasi pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Supervisor (kepala madrasah) harus mengikuti mengajar guru dengan cermat, telaten dan utuh. Sedangkan pendekatan klinis diangkat dari model hubungan diagnosis terapi dalam melaksanakan pembinaan guru. Dalam pendekatan klinis pembinaan dilakukan secara kolegial antara pembina dengan guru. Melalui hubungan kolegial atau sejawat diharapkan kemampuan mengajar guru dapat ditingkatkan. , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
175
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
Dari berbagai orientasi dan pendekatan di atas tampak bahwa pada hakikatnya kegiatan supervisi melibatkan hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain, yaitu supervisor dengan guru untuk mencapai suatu tujuan. Karena keterkaitannya dengan pola hubungan antar manusia itulah maka sulit untuk dilepaskan dari sikap, motivasi, emosi dan tata nilai yang dianut oleh dua orang atau lebih yang berinteraksi. Untuk itu dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran Kepala Madrasah diperlukan penerapan multiple intellegences dan Emotional Intelligence terutama domain kecakapan sosial (Goleman (1999) atau dengan istilah Gardner (1993) Inteligensi interpersonal dan intrapersonal dan penyediaan pusat-pusat belajar bagi penyaluran dan peningkatan masing-masing intelegensi yang dimiliki oleh masing-masing guru dan siswa. E. Implementasi Emotional Intelligence Dan Multiple Intellegences Dalam Pelaksanaan Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah Tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan kemampuan, pengetahuan, keterampilan dan sikap anak didik secara optimal. Banyak instrumen yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan diantaranya, ketersediaan sumber belajar yang handal, adanya bahan belajar yang relevan, tersedianya sarana dan prasarana yang memadai, terciptanya suasana yang kondusif didukung dengan pembiayaan yang mencukupi. Diantara instrumen tersebut di atas, yang sangat berpengaruh adalah kepemimpinan kepala madrasah terutama supervisi pembelajarannya kepada para guru. Kepala madrasah sebagai supervisor pada intinya adalah mengajak para guru dan tenaga kependidikan lainnya untuk menjalankan tugas kependidikan secara efektif. Ketidak mampuan kepala madrasah menjalin hubungan antar pribadi dapat membuat kinerja setiap orang rendah, seperti misalnya memunculkan permusuhan dan apatis, menurunkan motivasi, kurang dapat dipercaya, dan lain-lainnya. Kekuatan dan kelemahan kepala madrasah dalam emotional intelligence (kecakapan pribadi dan kecakapan sosial) dapat diukur antara lain dari suasana kondusif atau tidak dari madrasah yang dipimpinnya. Karena suasana madrasah sangat berpengaruh terhadap kegiatan belajar mengajar yang pada gilirannya nanti berpengaruh juga pada prestasi belajar siswa. Indikator suasana madrasah dan belajar, diantaranya mencakup; komunikasi yang transparan, fleksibilitas dalam proses pembelajaran, 176
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
kesempatan menemukan inovasi, rasa kepemilikan dan tanggung jawab terhadap proses pendidikan, dan penetapan standar belajar yang tinggi. Pola pendekatan supervisi kepala madrasah juga sangat berpengaruh terhadap kinerja para guru dan keberhasilan belajar siswa. Madrasah yang dipimpin oleh kepala madrasah yang memiliki pola direktif kurang efektif dalam pelaksanaan supervisi. Hasil penelitian Hadi (1992) mengenai kefektifan guru dan keefektifan pola pendekatan supervisi kepala madrasah menunjukkan bahwa sebagian besar guru-guru STM se-Malang mempunyai persepsi bahwa pola pendekatan supervisi kolaboratif dan non-direktif merupakan pola yang paling efektif yang dapat diterapkan oleh kepala madrasah. Pola direktif kurang efektif menurut persepsi sebagian besar guru. Hasil-hasil penelitian di Amerika mengenai 3 model supervisi tersebut menunjukkan bahwa guru-guru lebih berpikir positif jika kepala madrasahnya menerapkan model supervisi kolaboratif dan non-direktif (Blumnerg, 1974). Senada dengan hal itu, hasil penelitian Nursalim, M. (2001) juga menunjukkan bahwa tinggi rendahnya keterampilan mengajar guru banyak dipengaruhi oleh kepala madrasah sebagai supervisor bukan sebagai administrator. Berkaitan dengan pentingnya peran kepala madrasah itu, maka wajar jika banyak pihak menyatakan bahwa keberhasilan kepala madrasah juga bergantung pada tanggungjawabnya kepada kejadian sehari-hari di madrasah. Oleh karena itu, Kepala madrasah juga perlu berempati kepada para guru, staf dan anggota timnya. Kepala madrasah juga dituntut mampu mengemukakan harapannya berkaitan dengan masalah-masalah yang dihadapi supaya lebih baik dikemudian hari. Dalam kaitannya dengan empati ini, Goleman (1999) menyatakan bahwa empati merupakan salah satu kecakapan sosial yang perlu dimiliki oleh seseorang yang pekerjaanya berkaitan dengan orang lain. Sedangkan kemampuan berempati antara pria dan wanita berbeda-beda. Hasil penelitian Goleman (1999) tentang gender dan empati menunjukkan bahwa (i) wanita lebih cenderung mengalami penyesuaian perasaan (berempati) terhadap orang lain dari pada pria, (ii) wanita lebih baik dalam mendeteksi perasaan yang disembunyikan orang lain dari pada pria.
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
177
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
Dengan demikian, kepala sekokah sebagai supervisor pembelajaran yang berhubungan dengan para guru yang cukup variatif perlu memiliki kecakapan sosial yang berupa â&#x20AC;&#x153;empatiâ&#x20AC;? yang merupakan salah satu domain dari emotional intelligence dan interpersonal-intrapersonal yang merupakan dua domain dari multiple intellegences. Dengan dimilikinya empati dan interpersonal-intrapersonal, maka kepala madrasah dapat membaca dan memahami perasaanperasaan para guru yang disupervisi dan tenaga kependidikan lainnya, dan selanjutnya ia dapat menempatkan diri secara proporsional di dalam kelompok tersebut serta mengabil keputusan sesuai dengan kebutuhan para guru dan siswa yang cukup variatif. Kondisi yang demikian itu memungkinkan seseorang dapat berkomunikasi dengan baik dan mencapai sukses. Implementasi Emotional Intelligence dan multiple intellegences dalam supervisi pembelajaran kepala madrasah dapat dilakukan dengan cara antara lain (1) menghayati dunia perasaan guru yang disupervisi serta dapat melihat dunia luar menurut pola acuan guru (2) mengkomunikasikan penghayatannya dengan menunjukkan bahwa dirinya memahami perasaan, tingkahlaku, dan pengalamanpara guru serta kebutuhan mereka yang disupervisi secara pribadi Dari domain yang ada pada Emotional Intelligence dan multiple intellegences yang secara teknis mudah untuk diterapkan dalam pelaksanaan supervisi pembelajaran Kepala Madrasah yaitu â&#x20AC;&#x153;empaty dan interpersonal dan intrapersonalâ&#x20AC;?. Domain tersebut dapat dilakukan dalam bentuk antara lain; yaitu; (1) mendeskripsikan perasaan yang diungkapkan guru yang disupervisi (2) menghayati perasaan dan emosi sendiri (3) menghayati disupervisi
dan
mengidentifikasi
perasaan
guru
yang
(4) mengidentifikasi pengalaman dan tingkahlaku guru yang disupervisi. Terkait dengan interpersonal dan intrapersonal dalam kegiatan supervisi pembelajaran oleh kepala madarasah, seorang individu bisa 178
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
dikatakan memiliki intelegensi bila telah bergaul/berkomunikasi dengan individu lainnya. Karena itu istilah self dalam psikologi memiliki dua arti yaitu; sikap dan perasaan seseorang terhadap dirinya sendiri dan suatu keseluruhan proses psikologis yang menguasai tingkah laku dan penyesuaian diri. Gardner (1999) mengartikan interpersonal intellegence sebagai kemampuan seseorang untuk memahami dirinya sendiri, memiliki model bekerja efektif sendiri, rasa khawatir, dan kemampuan-kemampuan yang lain serta menggunakan pengetahuan tersebut secara efektif untuk mengatur hidupnya sendiri. Sedangkan intrapersonal intellegence adalah kemampuan seseorang untuk memahami maksud, motivasi, dan kebutuhan orang lain, dan konsekwensinya serta mampu bekerja sama dengan orang lain. Implementasi â&#x20AC;&#x153;empaty dan interpersonal dan intrapersonal intellegenceâ&#x20AC;? yang merupakan domain dalam Emotional Intelligence dan multiple intellegences turut berperan dalam pencapaian prestasi kerja. Penelitian yang dilakukan Cooper (1999;2004) menyatakan bahwa orang yang tingkat Emotional Intelligence -nya tinggi, lebih berhasil dalam pekerjaannya, dapat membangun hubungan personal dengan baik, dan dapat memotivasi dirinya dan orang lain. Cooper juga mengemukakan bahwa orang yang memiliki Emotional Intelligence (EI) tinggi dapat meningkatkan kekuatan intuisi, senantiasa percaya dan dipercaya orang lain, memiliki integritas, dapat menemukan solusi pemecahan masalah dalam keadaan darurat, sehingga dapat melakukan kepemimpinan secara efektif. Menurut Goleman (1999) Domain Emotional Intelligence yang paling sering mengantar orang berhasil yaitu; inisiatif, semangat juang (motivasi) dan kemampuan menyesuaikan diri, kemampuan memimpin tim, percaya diri dan empati. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa semakin baik multiple intellegences dan Emotional Intelligence terutama pada domain â&#x20AC;&#x153;empati dan interpersonal-intrapersonalâ&#x20AC;? seseorang, semakin efektif dalam melaksanakan pekerjaannya. Gilmore (1974) Fromn, E.M. (1975) menyatakan bahwa individu yang produktif memiliki ciri-ciri sebagai berikut; (1) tindakannya konstruktif, (2) memiliki kepercayaan diri, (3) bertanggung jawab, (4) memiliki rasa cinta terhadap pekerjaan (empati), (5) mempunyai pandangan ke depan, (6) kreatif, imajinatif dan inovatif. Cici-ciri orang produktif itu, pada , Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
179
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
hakikatnya sudah masuk ke dalam Emotional Intelligence dan multiple intellegences . Dengan demikian, untuk menjadi orang yang produktif, perlu memiliki emotional intelligence dan multiple intellegences. C. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut; 1.
Pola Pendekatan dan orientasi supervisi Kepala Madrasah memiliki pengaruh terhadap kinerja para guru dan keberhasilan belajar siswa.
2.
Tinggi rendahnya kualitas pengelolaan kegiatan mengajar guru banyak dipengaruhi oleh kualitas kepala madrasah sebagai supervisor, bukan sebagai administrator.
3.
Emotional Intelligence dan Multiple intellegences kepala madrasah banyak berperan dalam pencapaian prestasi kerjanya.
4.
Kepala Madrasah yang memiliki Emotional Intelligence dan Multiple intellegences tinggi, lebih berhasil dalam melaksanakan tugasnya dan dapat meningkatkan empati dan membangun hubungan interpersonal dan intrapersonal serta memotivasi dirinya dan para guru dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Blumberg, A. 1974. Superavision on Teacher: A Private Supervision in Seceondary School. Cambridge: Massachusets, Houghton Mifflin Company Cooper, B.S.,& Randall, E.V., 1999. Accuracy or Advocacy: The Politics of research in education. Thousand Oaks, CA: Corwin Press. Cooper, B.S., Fusarelli, LD, & Randall, E.V., 2004. Better Policies, Better School: Theory and Aplications: Boston: Pearson Education, Inc. Fromn, E.M. 1975. Man for Him Self. Fawest Premier Book. Gardner, H., 1993, Frame of Mind: The Theory of Multiple intelligences, New York: Basic Books Gardner, H., 1999, Intelligence refremed: Multiple intelligences for the 21 th century, New York: Basic Books. Gardner, H., 1999, The disciplined mind: What all students should understand, New York: Simon & Schuster Inc. 180
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
Gardner, H., 1991, The unschooled mind: How children think and how schools should teach, New York: Basic Books. Gardner, H., 1999, Multiple intelligences: Kecerdasan Majmuk Teori dalam Praktek. Batam: Interaksara Gilmore, J.V. 1974. The Productive Personality. San Fransisco, Albion Publishing Glickman, C.D. 1981. Developmental Supervision: Alternative Practices for Helping Teacher Improve Instruction. Alexandra: ASCD. Goleman, D. (1999). Working with Emotional Intelligence. London: Bloomsbury Publishing Plc. Hadi, H. 1992. Persepsi Guru STM Se-Kab. Malang tentang Kefektifan Guru dan Keefektifan Pola-pola Pendekatan Supervisi Kepala Madrasah. Tesis tidak diterbitkan , Malang: Fakultas Pascasarjana UM Malang. Kemendikbud, 2013. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013, Jakarta: BPSDM dikbud dan Penjaminan Mutu Pendidikan. -----------, 2013. Pembinaan SD, Buku Teknis buku Siswa dan buku Guru, Jakarta: Kemendikbud Majid, Abdul. 2014. Pembelajaran Tematik Terpadu, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mantja, W. 1989, Supervisi Pengajaran: Kasus Pembinaan Profesional Guru SD Negeri Kelompok Budaya Etnik Madura di Krajan, Disertasi tidak dipublikasikan. Malang: Fakultas Pascasarjana IKIP Malang. Nursalim, M. 2001. Peranan Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah, Keterampilan Mengajar Guru dan Prestasi Belajar Siswa SLTPN Kota Malang: Suatu Kajian Korelasional, Tesis tidak diterbitkan , Malang: Fakultas Pascasarjana UM Malang Lipham, dkk.1985, The Principalship Concepts, Competencies and Cases. London: Longman, Inc. Oliva, P.E, 1984. Supervision for Today Schools. New York: Longman Inc. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
181
Nur Ali - Supervisi Pembelajaran Kepala Madrasah...
Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2013 tentang Standar Proses. Pidarta, M. 1992. Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Sergiovanni, T.J., & Starrat, R.J.1979. Emerging Pattern of Supervision: Human Perspectives. New York: McGraw Hill Book, Co. Sergiovanni, T.J. 1982. Supervision of Teaching. ASCD. Suparno, P. 2002. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah. Yogjakarta: Kanisius. Trianto, 2009, Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik, Jakarta: PT, Prestasi Pustaka Karya Wahjosumidjo, 1999, Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada
182
, Vol. 7, No. 1, Juli-Desember 2014
PEDOMAN PENULISAN
A. Tulisan berupa hasil penelitian/kajian konseptual tentang studi Islam yang belum pernah dipeblikasikan (orisinil) B. Sistematika dan Teknis Penulisan : 1.
Hasil Penelitian mencakup : judul, nama penulis, alamat penulis dan lembaga, abstrak, key words, pendahuluan, metodologi, paparan hasil, pembahasan, kesimpulan dan saran, dan references
2.
Kajian Konseptual mencakup: Judul, nama penulis, alamat penulis dan lembaga, abstrak, keywords, pendahuluan, Isi atau pembahasan (terbagi atas bagian/sub-sub bagian), kesimpulan dan saran, dan references
3.
Judul terdiri dari 5-14 kata (bahasa Indonesia) 5-10 (bahasa Inggris), mencerminkan isi artikel
4.
Nama penulis tanpa gelar, dilengkapi alamat korespondensi, No. Telp. dan alamat e-mail dan nama lembaga tempat kerja atau tempat penelitian dilakukan dan alamat lembaga
5.
Abstrak berisi paparan singkat tujuan, metode, ringkasan hasil dan kesimpulan, ditulis dalam satu alinea berbahasa Inggris, paling banyak 200 kata, ada kata kunci (key words) yang berisi konsep-konsep penting yang dibahas dalam artikel yang berbentuk kata atau frase
6.
Hasil kajian dipaparkan dalam bentuk yang mudah dipahami (tabel dan/atau gambar), selain dalam bentuk verbal, sehingga mudah diingat
7.
Hasil analisis telah ditafsirkan secara subtantif,dibandingkan dengan temuan sebelumnya yang sejenis, dibandingkan dengan teori terkait untuk mengarah pada verifikasi teori tersebut
8.
Kesimpulan mengandung sesuatu yang baru, terkait langsung dengan masalah penelitian yang telah dirumuskan, memberikan kontribusi pada perkembangan ilmu terkait
9. Cara pengacuan menggunakan innote (dalam teks) dengan memberikan senarai kemuktakhiran pustaka yang diacu contoh: â&#x20AC;˘
Ibrahim Bafadlal (2001:25) mengemukakan bahwa syariat Islam bersifat Universal untuk semua bangsa di Dunia
â&#x20AC;˘
Syariat Islam bersifat Universal untuk semua bangsa di dunia (Ibrahim Bafadlal, 2001:25)
C. Pustaka yang diacu harus relevan dengan masalah yang dikaji;lebih banyak berasal dari sumber primer daripada sekunder; lebih banyak dari sumber yang diterbitkan 10 tahun terakhir (kecuali kajian historis); lebih banyak dari jurnal ilmiah; disusun berdasar urutan abjad; tanpa nomer; nama belakang didahulukan tanpa koma, bila dua orang atau lebih dipisahkan dengan koma (,) menggunakan sistem; nama.tahun. judul buku. Kota penerbit; nama penerbit.