Cerita rasa dari kaki lima kota Jakarta
food, travel, and good living
05
SEJARAH “SI KAKI LIMA”
03
INFOGRAFIK STREET FOOD
09
FEATURE: SISI EKSTREM KULINER JALANAN JAKARTA
14
WHAT THEY SAY SANDRA DJOHAN - SANTHI SERAD SISCA SOEWITOMO - NORMAN SIMAIL
12 KULINER JALANAN TERBAIK DI JAKARTA 1
FARRAGO.CO.ID
Editor’s Note “Huah jam empat nih! Patungan dong beli gorengan!” Kalimat itu meluncur di tengah suasana salah satu kantor di Jakarta; dan mungkin di banyak tempat lainnya. Jajan sore semacam itu sudah jadi hal lumrah, setidaknya untuk penduduk Jakarta; sembari jeda dari rutinitas kegiatan sehari-hari. Meski ibukota sudah dipadati restoran mentereng dan deretan mal, pedagang jalanan masih ramai peminatnya (bisa jadi untuk kebanyakan orang). Dan tak hanya di sore hari; sarapan pagi, makan siang, hingga bersantap malam, makanan kaki lima (street food) kerap diandalkan untuk menambal rasa lapar. Jenisnya pun beragam. Mulai dari yang umum seperti nasi goreng, sate, bubur ayam; hingga hidangan khas dari berbagai daerah di Indonesia, seperti Coto Makassar, Nasi Rawon, sampai Ketoprak khas Betawi. Meski memang, persoalannya juga masih banyak: seperti tentang kebersihan dan kadar gizi, juga soal praktik bisnis yang kurang digarap rapi. Kami pun tertarik melihat lebih dekat geliat street food, terutama di Jakarta. Beberapa pelaku atau pedagang, konsumen, hingga pengamat dan pengusaha kuliner kami ajak berbincang soal topik ini. Hasilnya, silakan simak laporan kami dalam majalah ini. Dan satu lagi, ada komentar salah satu narasumber yang paling kami ingat dan bikin geli saat mengerjakan ulasan khusus ini; yaitu, “Street food juara! Seenak apa pun nasgor restoran, nggak bakal ngalahin nasgor abang-abang. Soalnya campur keringet dan ketek abangnya! Hahaha!” Happy reading! Syarief Hidayatullah (@bangaip) Editor-in-Chief
EDITORIAL General Manager Bunga Sirait Editor-in-Chief Syarief Hidayatullah Managing Editor Fadly Yanuar Iriansyah
Graphic Designer Adi Guna Muhammad Dyda
Published by MAGPRO NETWORK Cityloft Sudirman Apartment Lt. 20 unit 2022 Citywalk Jl. K.H. Mas Mansyur No. 121 Jakarta 10220 T: +6221-25558760
Reporter Agung Rusmana, Toshiko Potoboda, Monica Nainggolan Photography (Relevant photography, icons and imagery courtesy of Apple Inc.)
2
Publisher Eddy M Ghozali Associate Publisher Rizky Francisco
STREET FOOD
T
ahun 1816, Belanda mulai memperkenalkan konsep street food di jalanan utama Batavia. Saat itu Gubernur Thomas Stamford Rafless memerintahkan pemilik gedung di jalan utama untuk menyediakan trotoar selebar lima kaki (five foot way) untuk pejalan kaki. Sayangnya, setelah lewat masa penjajahan, ruas itu justru dimanfaatkan untuk berjualan. Sempat dijuluki pedagang emperan, para pedagang memilih untuk melabeli diri mereka sebagai pedagang kaki lima. Padahal, seharusnya yang benar adalah pedagang lima kaki—bukan kaki lima. Pada penghujung abad ke-19, dikutip dari Susan Blackburn dalam “Jakarta Sejarah 400 Tahun�, pemerintah kota tidak menyukai kehadiran PKL yang semakin parah setelah kemerdekaan dengan jumlah PKL yang meningkat drastis.
VOL #01 FARRAGO.CO.ID DEC.2014
Citra PKL makin buruk pada era 1960-an. Semua pihak setuju kalau mereka merusak keindahan kota, primitif, dan menjadi cemong bagi negara di mata tamu asing. Tindakan tegas akhirnya muncul dari Gubernur Ali Sadikin dalam menindak PKL bandel. Layaknya pemimpin bijak, Ali Sadikin juga tidak lantas mematikan rejeki warganya yang baru mampu berjualan di kaki lima. Ia menyediakan lahan baru yang lebih rapih dan kondusif. Keputusan tersebut tertulis pada Pengumuman Gubernur DKI Jakarta tanggal 27 Juli 1971 No. Ib. 1/1/11/1970. Dari zaman ke zaman, makanan jalanan di Jakarta juga mengalami perubahan. Beberapa dekade lalu, makanan jalanan yang sering ditemui mungkin tak jauh dari kerak telor, asinan betawi, bubur ase, atau ketoprak. Namun, kini variasi makanan jalanannya sudah tak terhitung 3
FREE
lagi. Mulai dari kuliner lokal dan peranakan seperti nasi goreng, bakso, atau mi ayam, hingga menu-menu internasional seperti taco, bagel, dan churros. Alat berjualan yang dipakai para pedagang untuk berkeliling pun kini sudah mengalami banyak perkembangan. Kalau dulu hanya kenal pada pikul dan gerobak, kini ada gerobak motor atau food truck yang didesain menarik dan kekinian. Hal itu menjadi gambaran transformasi makanan jalanan yang semula kelas bawah menjadi naik kelas. Hingga saat ini, meski hampir setiap hari ada restoran dan kafe yang baru saja buka, tetapi makanan jalanan tidak pernah kehilangan penikmatnya. Harga yang murah, akses parkir di pinggir jalan yang praktis, dan suasana yang lebih kasual membuat makanan jalanan tetap jadi pilihan.
FARRAGO.CO.ID
Format Dagangan 02 01
Alat pikul biasanya digunakan untuk berjualan Sagurangi, Rujak Bebeg, atau Kerak Telor.
Dengan muatan lebih besar, gerobak digunakan untuk membawa alat masak lebih banyak. Contoh dagangan seperti Nasi Goreng, Siomay, dan Bakso.
03 04
Warung tenda biasanya berlokasi tempat yang lebih permanen dari gerobak atau pikul. Makanan yang dijual seperti Pecel Ayam dan makanan laut.
Gerobak sepeda jadi alternatif yang baik untuk para pedagang yang sering berpindah tempat yang cukup jauh. 05
Food truck adalah format modern dari kaki lima dengan tampilan yang menarik. Menu yang disajikan pun lebih internasional, seperti Taco, Nachos, dan Sandwich.
4
Sandra Djohan
Street food,
heart of Indonesia Popularitas Chef Sandra Djohan di industri kuliner dunia sudah tidak perlu diragukan lagi. Pengetahuan dan ilmunya seputar kuliner lokal dan internasional sudah diakui oleh berbagai negara. Namun, apa jadinya jika kita bicara banyak hal soal kuliner street food dengannya?
Bagaimana peran street food di industri kuliner Indonesia? Indonesia punya makanan yang sangat variatif. Dari Sabang sampai Merauke; same ingredient, same technic, but different taste. Makanan di Jawa lebih manis, Bali lebih pedas. Pada dasarnya, street food adalah salah satu produk kuliner yang sangat kental dengan kultur kita. Kuliner Indonesia itu family oriented. Kuliner Indonesia adalah kuliner yang jujur dan tidak “pura-pura”. Di mana pun kita makan sate, bentuk dan presentasinya akan sama. A plate that we served is plat that family eat. Street food lah yang mengembangkan makanan Indonesia. Saat makan di luar,
kita tidak bisa setiap hari makan di restoran. That’s the reason of street food are.
bergerobak di satu tempat, pasti rapi dan menyenangkan.
Bagaimana potensi street food Indonesia sejauh ini? Street food adalah hati dari kuliner Indonesia. Ia mampu menawarkan makanan yang belum pernah kita coba sebelumnya. Ketika berkunjung ke kawasan Petak Sembilan pasti kita akan tertarik untuk mencicipi mi babi karena menarik. Padahal, di sana juga terdapat soto daging terlezat di Jakarta. Pokoknya, makanan jalanan itu “The Heart of Indonesia” lah. Kalau datang ke Indonesia tapi belum coba makanan jalanannya, kamu belum ke Indonesia.
Apa harapan Anda untuk street food di Indonesia? Lebih ditata, bersih, dan harus lebih variatif. Selain itu, konsumen juga harus lebih selektif, biar industrinya berkembang. Kita bisa makan semua street food, tetapi kita tidak pernah tahu tingkat kebersihannya. Nampaknya, para pedagang jalanan juga harus belajar administrasi yang baik supaya teratur, profesional, dan semakin baik. Kalau begitu, orang seperti saya yang bosan di dapur jadi semakin semangat coba makanan jalanan.
Bagaimana dengan invansi food truck di Indonesia? Menurut saya, food truck itu gaya Amerika. It’s different whole thing. Saya suka food truck, tapi kita orang Indonesia. Jadi ketika bicara soal street food, berarti kita bicara gerobak. Coba saja kumpulin semua pedagang
Apa street food favorit Anda? Siomay! Kalau dihitung, mungkin sudah lebih dari seribu siomay pernah saya coba. Pedagang siomay favorit saya ada di Senayan dan siomay babi di Petak Sembilan. Selain itu, ada juga ketoprak setan di Ampera.
5
FARRAGO.CO.ID
Santhi Serad
Sanitasi
makanan street food
S
ebagai salah satu pendiri dari komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia, Santhi Serad tentu akrab dengan berbagai masakan di Indonesia. Berbagai program membawanya berpetualang mencicipi masakan khas tiap daerah. Berkecimpung di komunitas pecinta kuliner Indonesia membuat Santhi harus mencicipi masakan dari kelas hotel, rumahan hingga pinggiran. Namun sebagai Food Scientist, Santhi juga memperhatikan soal kebersihan makanan yang ia rasa masih belum memenuhi standar. Salah satu makanan yang mendapat sorotan khusus Santhi adalah siomay. Sebagai penyuka siomay pinggiran, ia sangat cemas mengingat masyarakat harus mengantisipasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang mungkin mengandung berbagai bahan tidak baik untuk kesehatan. “Sebenarnya BTP itu ada peraturannya dari Kementerian Kesehatan. Misalnya seperti
pewarna, pemanis, pengental, penggumpal, dan sebagainya. Padahal sudah ada standarnya. Hanya saja di Indonesia masih banyak penjual yang bandel,” jelas Santhi. Menurutnya, kerap kali produsen makanan berani melanggar standar BTP karena telah mengonsumsinya sendiri dan tidak merasakan efek samping. Padahal, efek dari BTP yang tidak sesuai dengan standar justru terjadi akibat akumulasi konsumsi makanan tersebut secara berkala. Santhi menekankan agar masyarakat berpikir ulang ketika dihadapkan dengan makanan pinggiran Ia menambahkan masyarakat harus menimbang apakah harga yang ditawarkan sesuai dengan kualitas bahan. Saran Santhi, konsumen harus pintar memilih pedagang yang bersih. “Street food di Indonesia itu banyak sekali goreng-gorengan. Coba perhatikan kalau kita ke terminal atau warung, semua gorengan. Harapan saya harus ada standar yang jelas, misalnya kalau ingin berjualan gorengan 6
di outdoor harus ditutupi. Kita kan tidak pernah tahu siapa yang menjamah gorengan itu. Mungkin habis dari toilet atau pegang uang. Rasanya tidak higienis,” ungkap Santhi Serad. Sementara itu, Santhi juga mengharapkan agar Kementerian Kesehatan lebih giat memberikan penyuluhan atau presentasi baik bagi produsen atau konsumen. Penyuluhan ini juga harus menyentuh street food yang keberadaanya mungkin tidak diperhatikan. Selain penyuluhan, Santhi juga menyarankan agar pemerintah menyediakan tempat tertentu dengan ketersediaan air bersih untuk makanan pinggiran. “Kalau kita perhatikan, setiap kali ada perkantoran, pasti ada street food. Bisa jadi pengelola gedung tidak memiliki cukup dana untuk membuat kantin. Oleh karena itu pemerintah harus menyediakan spot tertentu. Bisa kok, buktinya di Jalan Perintis bisa bersih dari pedagang liar,” tambah Santhi.
Sisca Soewitomo
Promosi sajian tradisional lewat kaki lima
H
ingga saat ini, jenis makanan yang ditawarkan oleh street food masih didominasi oleh kuliner Nusantara. Selain karena sajian tersebut sudah akrab di lidah, para pedagang pun lebih kenal dengan resep dan teknik memasaknya. Jika bicara soal sajian Nusantara, akan terasa lebih lengkap jika kita berbincang dengan Sisca Soewitomo, pakar kuliner sekaligus penulis ratusan judul buku resep makanan Nusantara. Uniknya, meski sudah menulis lebih dari seribu resep makanan Nusantara, Sisca masih enggan disebut sebagai spesialis sajian Nusantara. “Saya tidak pernah membuat imej bahwa saya adalah juru masak spesialis Nusantara. Saya bisa masak apa saja. Spaghetti, pizza, pasta, dan banyak lagi
jenisnya. Satu-satunya alasan saya menyajikan makanan Nusantara adalah karena itu warisan yang harus dilestarikan,” jelasnya. Ia juga menuturkan bahwa kuliner Indonesia sedang “galak” di dunia. Terbukti dari terpilihnya rendang sebagai sajian terlezat di dunia, nasi goreng yang makin tersohor, dan lain-lain. Hanya butuh sedikit usaha dan promosi lagi supaya (kuliner) kita bisa mendunia seperti Japanese food dan Thai food. Salah satu etalase yang paling cocok untuk promosi sajian tradisional di dalam negeri adalah kaki lima. Sayangnya, ada satu kendala yang mengganjal sinergi baik tersebut. Masih ada beberapa pedagang yang kurang kesadaran dalam menjaga kebersihan dan penyajian lebih menarik. Kendala itu pun disadari 7
oleh Sisca, instansi kuliner, dan pihak berkaitan di lembaga pemerintahan. Dalam sebuah program kerja, mereka merangkul para pedagang kaki lima untuk bisa menyajikan makanan dengan standar bintang lima. Lewat berbagai seminar, diharapkan gol yang ditargetkan bisa tercapai. Para pedagang kaki lima dan chef hotel kini punya lebih banyak kesempatan untuk bicara dan belajar. “Para chef hotel harus belajar rasa khas makanan dari pedagang kaki lima yang sudah dipelajari turun temurun. Sebaliknya, para pedagang kaki lima harus belajar cara penyajian dari bintang lima. Saya rasa akan jadi simbiosis mutualisme yang hebat dan menguntungkan untuk industri kuliner Indonesia,” tutup Sisca.
FARRAGO.CO.ID
Norman Ismail
C
hef Norman Ismail terbukti berhasil menghadirkan kuliner Perancis yang “mewah” menjadi sajian kaki lima yang “ramah” di bilangan yang berlokasi sebuah di Jalan Ampera, Jakarta Selatan, ia mendirikan warung Chez Norman bersama dengan warung-warung lainnya.
“ready to eat” atau “ready to drink” jadi tidak harus menunggu dan terlalu rumit masaknya, misalnya hotdog. Secara pertumbuhan, street food maju pesat pada 2007. Saat itu banyak orang yang berpikir bisa mendapat makanan bersih, enak, dan murah. Alhasil, peluang bisnis street food pun menjadi sangat menggiurkan bagi banyak orang.
Meski tampil sederhana dengan kursi-kursi kayu dan udara terbuka, tetapi menu-menu yang disajikan tetap “jempolan.” Dengan harga yang tidak terlalu mahal, kita bisa menikmati steak salmon dan berbagai sajian Perancis yang biasa ditemui di restoran fine dining. Di sela waktu sibuknya, host program kuliner Sendok Garpu yang mengaku senang masak sejak sekolah dasar ini memiliki pandangannya sendiri tentang street food.
Apa yang membuat street food semakin berkembang saat ini? Mungkin karena street food jadi pilihan untuk orang yang malas masak tapi tidak mampu ke restoran atau kafe setiap hari. Sesekali mereka masih bisa saja ke restoran, tapi kalau terlalu sering agak sulit juga. Namun belakangan ini orangorang ke street food karena tren. Semua balik lagi karena makanan di sana juga enak dan praktis.
Bagaimana chef melihat perkembangan street food di Indonesia? Menurut saya street food di Indonesia melenceng dari harusnya. Kalau di luar negeri street food itu makanan yang
Dari pengamatan Anda, di mana kawasan street food yang paling ideal di Jakarta? Pasar Santa, Jakarta Selatan, adalah contoh cukup baik. Dari pasar biasa disulap jadi tempat hang out kekinian. Banyak yang
Pertumbuhan
datang ke sana untuk makan berlama-lama dan jadi tempat nongkrong. Salah satu faktor yang bikin Pasar Santa berkembang dan tumbuh seterkenal saat ini adalah berkat omongan dari mulut ke mulut. Promosi yang sangat baik dan menguntungkan. Selain itu, ada juga street food di Pasar Modern Bintaro, Tanggerang Selatan. Koleksi street food yang lengkap dan paling lezat. Apa harapan Anda untuk street food di Indonesia? Sebaiknya pemerintah ikut memperhatikan street food, karena itu adalah lahan pekerjaan yang ada sendiri dan memiliki potensi bagus. Mereka harus memperhatikan para pedagang tidak hanya mengejar harga murah, tetapi juga faktor kesehatan. Lalu, sebisa mungkin dipikirkan solusi dari macet yang 02 ditimbulkan dari pembeli atau penjual di kaki lima.
street food Indonesia 8
INFOGRAFIK STREET FOOD Kawasan street food favorit
33,1%
Makanan kaki lima paling digemari
28%
30,7%
23,7%
Sabang
Blok S
Pecel Ayam
Sop
12,6%
7,5%
26,8%
19,9%
Gajah Mada
Rawamangun
Nasi Goreng
Sate
Jumlah uang yang diberikan untuk pengamen
Menu sop Paling Favorit 28,2%
Rp.10.000
2,5%
Rp. 5.000
5,1%
Rp. 2.000 Rp.1.000 Rp.500
15,3%
Sop Ayam
Sop Kambing
12,8% 2,5% 2,5%
30,7% 9
Sop cekerAyam
Sop Sapi
25,6% FARRAGO.CO.ID
Sate favorit
Sate Sapi
7,6%
Sate Kambing
Sate Ayam
20,5%
71,7%
Olahan tektek favorit
43,5% Mie Goreng 35,8% Kwetiau 12,8% Bihun 7,6% Nasi
Jenis martabak favorit
46,2%
53,8%
Martabak Manis
Martabak Telur
10
“Salah kostum� adalah situasi ketika kita gagal mencocokkan apa yang dipakai dengan situasi dan tempat sekitar. Berada dalam situasi tersebut tentu menimbulkan ketidaknyamanan, atau bahkan ketidakamanan pada hal-hal tertentu. Dari survei yang kami lakukan beberapa hari di kaki lima, berikut adalah contoh paling “salah kostum� yang ditemui. Selamat introspeksi!
#OOTDFAIL iPhone selalu di tangan meski tas masih kosong. Padahal, bisa mengundang niat jahat, lho!
Tampil all out dengan aksesoris bisa mengurangi tingkat kenyamanan saat makan di pinggir jalan
Bibir merah merona yang selalu dipoles tiap sepuluh menit. Padahal bakal hilang kena bumbu sate juga.
Hotpants/rok mini yang bisa bikin pengamen tetap nyanyi meski sudah dikasih uang.
Baju crop yang bisa bikin masuk angin kalau makan di jalan.
Tas furla yang berisiko jatuh lecet atau terguyur kuah sop saat makan.
Wedges di atas 7 cm yang bikin sengsara ketika harus jalan dari ujung ke ujung Jalan Sabang.
11
FARRAGO.CO.ID
Kuliner jalanan terbaik di Jakarta Sate Pak Heri Untuk pilihan jenis sate, tempat makan ini menyajikan satu yang cukup berbeda, sate telur dan kulit ayam. Sebagai pelengkap, Anda bisa memesan seporsi lontong atau nasi untuk mengenyangkan perut.
1
Alamat: Pusat Kuliner Malam Sabang (depan Studio Foto Dunia) Jl. H. Agus Salim, Jakarta
Rekomendasi lain : • Sate H. Romli (RSPP) Jl. Kyai Maja No. 21 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan • Sate Ayam Madura HM Azis Jl. Balai Pustaka (Apotek Rini) Rawamangun, Jakarta Timur
2
Bakmi Keriting Benhil Semangkok mi keriting bertekstur lembut dan kenyal disajikan dengan bumbu sederhana. Pesanlah tambahan bakso dan pangsit goreng untuk menemani santap lezat.
Alamat: Jl. Bendungan Hilir (seberang Pasar Benhil), Jakarta Pusat
Rekomendasi lain : • Bakmi Roxy Jl. Biak No.23, Jakarta Pusat • Bakmi Kepiting 78 Jl. Mangga Besar Raya No.78E Jakarta Barat
12
FARRAGO.CO.ID
Bubur Ayam Barito
3
Sajian bubur hangat dengan taburan cakwe, daun bawang, keripik dan taburan ayam dadu ini menggugah selera. Belum lagi ketika kita mengaduk buburnya, kita akan menemukan telur setengah matang di dalamnya. Alamat: Jl. Gandaria Tengah III No.46, Gandaria, Jakarta
Rekomendasi lain : • Bubur Ayam Cikini Alamat: Jl. Cikini Raya, Cikini, Jakarta • Bubur Ayam Senopati Alamat: Jl. Senopati Raya no.58
4
Martabak Pecenongan
Siapa tak kenal martabak manis dengan bongkahan Toblerone, selai Nutella, keju, dan kacang mede ini. Martabak Pecenongan juga terkenal dengan kelembutan kulit martabaknya walaupun disimpan untuk pagi hari. Alamat: Jl. Pecenongan Raya No.65A, Gambir, Jakarta Pusat
Rekomendasi lain : Martabak Favorit Alamat: Jl. Balai Pustaka Timur, Jatinegara Kaum, Pulo Gadung, Jakarta Timur Martabak 999 Alamat: Jl Pos Pengumben No.38, Jl.Joglo Raya No.41
5
Siomay Pink
Tak hanya spesial secara warna, Siomay Pink juga menawarkan porsi yang lebih besar. Pada suapan pertama, kelembutan tekstur siomay dan saus kacang yang pedas langsung memanjakan lidah. Alamat: Jl. Tentara Pelajar No. 48 Jakarta Barat
Rekomendasi lain : Siomay Aceng Jl. Cipinang Jaya (depan Alfamidi) Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur 13
Siomay Menteng Pak Aris Depan Bank Lippo, Jl HOS Cokroaminoto, Menteng
Sisi ekstrem kuliner jalanan
Jakarta
Pada sore sehabis hujan yang lembab di kawasan Mangga Besar, Jakarta, para pedagang mulai menata bangku-bangku kayu, menurunkan tenda, dan menyiapkan perlengkapan berjualan mereka. Pukul enam sore nanti, pelanggan setia mereka akan mulai berdatangan. Di salah satu banjar, berderet rapih tenda-tenda dengan berbagai jenis sajian. Mulai dari nasi goreng, makanan laut, jus buah, dan salah satu yang cukup menarik perhatian adalah sebuah tenda bertuliskan “Cobra 39” dengan tagline, “Menerima
pesanan ular kobra, kelinci, monyet, dan biawak”. Satu jenis makanan yang sering luput dari obrolan seputar street food di Jakarta. Masuk dalam kategori ekstrem, kuliner jenis ini tak hanya menjadi pengenyang lambung, tetapi juga uji nyali, obat tradisional, dan pengalaman baru. Kalau biasanya hanya mencicipi sate daging ayam atau kambing, Cobra 39 menawarkan olahan daging ular, kelelawar, dan biawak. Untuk menuntaskan penasaran, kami menyambangi tenda 14
yang sudah dipenuhi beberapa pembeli tersebut. Tantri (43 tahun), pelanggan tetap Cobra 39, memesan satu ekor ular kobra untuk mengobati penyakit kulit yang ia derita. “Jangan lupa sumsum-nya dicampur ke darah, ya,” pesan Tantri pada karyawan yang sedang sibuk memilih ular di dalam kandang di samping tenda. Ia yakin kalau sumsum ular kobra bisa menyembuhkan sakit pinggang yang ia derita. Tanpa menunggu lama, segelas darah segar dari kobra yang baru saja dipenggal tersaji di FARRAGO.CO.ID
dalam gelas. Di dalamnya juga ditambahkan empedu, sumsum, dan arak putih untuk menghilangkan aroma anyir.
Setelah mencicipi racikan darah kobra, pembeli akan disajikan seporsi sate daging ular berbumbu kecap, cabe rawit, serta irisan tomat dan bawang merah. Pada gigitan pertama, daging ular terasa sangat gurih dan teksturnya mirip daging kambing. Ternyata cita rasa daging ular tidak semenyeramkan yang ada di kepala sebagian orang. Seusai melayani pembeli, kami mendapat kesempatan untuk berbincang dengan Ummi, pemilik warung Cobra 39 yang sudah beroperasi sejak 2002, silam. Ia
mengaku kalau bisnis kuliner ekstremnya adalah usaha keluarga yang sudah turun temurun. Bahkan, 12 warung yang menjajakan dagangan serupa di Mangga Besar dipastikan memiliki hubungan keluarga dengannya. Soal omset, dalam satu bulan ia bisa menghabiskan lebih dari 300 ekor dengan harga jual Rp60.000/ ekor. Untuk ular King Cobra berbobot 3—5 kilogram, harga yang dipatok jauh lebih mahal, yakni Rp300 ribu perkilo. “Dulu, sebelum banyak saingan seperti sekarang, omset perbulan saya bisa tiga kali lipat,” ujar Ummi yang mendapat ilmu bisnis kuliner ekstrem langsung dari Ujang, ayahnya yang juga memiliki warung Cobra 34 di Jalan Mangga Besar 8, Jakarta. Meski terletak di pusat kota, tetapi sebagian besar pelanggan Cobra 39 justru berasal dari luar kota dan luar negeri. Para pembeli dari Korea dan Jepang bahkan tak segan mengonsumsi dua sampai tiga ular sekali datang. Mereka percaya mengonsumsi daging ular dan biawak bisa memberikan kesehatan dan kulit halus. “Kalau dapat ular jantan, bukan cuma sehat dan kulit mulus, tapi
15
juga bisa meningkatkan vitalitas lelaki,” tambah Ummi yang percaya kalau darah atau daging binatang yang tidak biasa diternakkan itu bisa meningkatkan libido pria. Namun seperti bisnis lain, menjalankan usaha kuliner ekstrem pun memiliki rintangan dan tantangan tersendiri. Selama 12 tahun, tantangan yang dihadapi Ummi tak pernah berubah, yakni persediaan. Pada masamasa tertentu, ia sering kesulitan mendapat stok ular dari tengkulak langganannya. Terlebih, jika musim kemarau tiba. Ummi terpaksa wara-wiri sampai Serang, Kerawang, Inderamayu, dan kampung-kampung di Jawa Barat untuk memenuhi persediaan ular untuk dijual. Bila persediaan ular benar-benar tidak ada, ia harus pasrah menjual daging biawak yang lebih mudah didapat. Saat ditanya alasannya menjual kuliner ekstrem tersebut, Ummi mengaku kalau ia dan keluarga suka dan menikmati khasiat dari sate kobra tersebut. “Saya minum darah ular seminggu sekali, dan sate ular dua minggu sekali. Khasiatnya bagus untuk kulit saya,” tutur Ummi yang memang memiliki kulit mulus dan licin.