Zine 2/2016

Page 1


Hari Pers (?) oleh: Wisang

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Rabu 10 Februari 2016, unitku, Majalah Ganesha merayakan Hari Pers yang jatuh pada satu hari sebelumnya. Berkolaborasi dengan unit-unit media lain, kami mengadakan acara nonton bareng film tentang pers berjudul ?Revolution will not be televised?. Film tersebut bercerita tentang pemberontakan di Venezuela yang berusaha menggulingkan Presiden Hugo Chavez. Menariknya, kup tersebut berhasil karena peran pers yang menguasai opini publik. Ya meski hanya bertahan sebentar. Aku bukan mau bahas filmnya, tapi perayaan hari pers itu sendiri. Aku, yang merupakan anggota dari unit media bahkan tidak mengetahui pada bulan apakah diantara 12 nama bulan yang berjejer rapi di kalender, hari pers diperingati. Sepertinya aku cuma anggota abal-abal yang kurang baca.

Lazimnya mahasiswa kampusku yang sudah memiliki himpunan, aktivitasku tak lebih dari memakmurkan himpunanku dengan permainan kartuku yang payah. Yang lebih menarik adalah aku datang saja tanpa repot-repot mencari tau asal usul hari pers. Baru setelah aku pulang dari diskusi selepas nonton aku terpikir untuk mencari tau. Dan jadilah ini. Opini singkat dan ngawurku tentang hari pers. Yang kutau, Hari Pers selalu diikhtiarkan untuk dirayakan dengan meriah. Tidak tanggung-tanggung, Presiden langsung yang akan hadir, bukan sekretarisnya atau ajudannya. Pun juga tahun ini, perayaan Hari Pers Nasional (HPN) digelar di Lombok, NTB. Bahkan tahun ini diadakan sail of journalist dimana para jurnalis berlayar dari Makassar menuju Lombok dengan mengadakan berbagai seminar jurnalistik. Ironisnya adalah, ditengah

majalah ganesha zine #02 | 01


megahnya perayaan HPN, koran cetak yang merupakan bagian dari pers Indonesia tengah dilanda badai hebat revolusi digital. Tiras menurun drastis. Bahkan, koran legenda seperti Sinar Harapan pun mengumumkan tidak akan lagi menelurkan harian cetak. Ada lagi yang menurutku lebih ironis di HPN. Saat kutelisik lebih jauh mengenai sejarah ditetapkannya, ternyata 9 Februari dipilih berdasarkan lahirnya sebuah organisasi wartawan bernama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), yang berdiri pada 9 Februari 1946. Sebuah organisasi yang niat awal pembentukannya adalah untuk mengimbangi berita-berita kolonial yang menyudutkan. Sampai disini tidak ada masalah bagiku. Namun ternyata penetapan hari lahir PWI sebagai hari pers dilakukan pada masa orde baru, tepatnya pada tahun 1985. Pada masa itu pers telah dibekuk dan PWI telah menjadi organisasi pemerintah. Disinilah masalah muncul, seolah-olah pemerintah ingin memanfaatkan momentum penetapan hari pers ini untuk memberikan legitimasi kepada PWI sebagai organisasi wartawan yang mendukung pemerintah. Lagi, adalah bahwa PWI merupakan sebuah organsasi wartawan yang keanggotaannya harus dilamar. Tidak semua wartawan merupakan anggota PWI.

organisasi wartawan? Mengapa bukan hari lahir Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) yang lahir berdekatan dengan PWI yaitu pada tanggal 8 Juni 1946? Padahal tujuan pendiriannya juga untuk mengimbangi pemberitaan kolonial sehingga PWI dan SPS sering disebut kembar siam. Mengapa? Jangan tanya aku, karena aku pun tak tau. Seharusnya hari pers diperingati dengan mengambil momentum lahirnya pers Indonesia yang benar-benar Indonesia. Dalam artian pendirinya orang Indonesia dan mewakili suara rakyat dan perjuangan Indonesia. Singkatnya, hari pers seharusnya diperingati dengan momentum lahirnya pers nasional, bukan lahirnya organisasi wartawan yang terbatas. Lagipula penetapan hari pers pada momentum lahirnya PWI pada 1946 seolah mengangkangi sejarah pers sebelum kemerdekaan. Pada awal abad 20, menurutku sudah lahir pers nasional yang pertama, yaitu koran cetak bernama ?Medan Prijaji? yang dirintis oleh Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Meski tidak bertahan sampai kemerdekaan, ?Medan Prijaji? telah memunculkan gelumbang perlawanan baru dan lebih mematikan terhadap kolonialisme Belanda. Medio 1912-1945 menjadi saksi akan pentingnya peran pers nasional dalam memperjuangkan kemerdekaan. Menilik statusnya sebagai ?yang pertama? dan dampak pendirian serta suaranya dalam memperjuangkan kepentingan bangsa, mungkin tanggal penerbitan ?Medan Prijaji? yang pertamalah yang seharusnya dijadikan sebagai momentum untuk peringatan Hari Pers Nasional. Ah aku terlalu banyak membaca Pram. Aku ralat, mungkin tanggal berdirinya Majalah Ganeshalah yang seharusnya dijadikan momentum Peringatan Hari Pers Nasional.

Logikanya menurutku seperti ini, wartawan merupakan bagian dari pers, dan PWI merupakan bagian dari wartawan. Jadi agak aneh jika menjadikan momen munculnya yang sebagian itu menjadi peringatan kelahiran suatu kesatuan yang utuh. Toh peringatan Ulangtahun Ofek tidak dilakukan ketika dia menjadi Ketua Majalah Ganesha, atau peringatan ulang tahun Rey tidak dilakukan saat ia terpilih menjadi Ketua TPBersatu. Ulangtahun mereka diperingati pada hari dimana mereka baru saja mbrojol Eh ngomong-ngomong, kapan dari perut emak masing-masing. ya ulang tahun Majalah Ganesha? Mengapa harus hari lahirnya

majalah ganesha zine #02 | 02


Apasih definisi itu? Ketika kita belajar tentang suatu hal, tak jarang kita harus memulainya dengan memahami definisi hal tersebut. Apalagi dalam pembicaraan suatu ilmu, sudah pasti diawali dengan pembahasan mengenai definisi obyek ilmu tersebut. Definisi adalah pengetahuan yang kita perlukan untuk menjelaskan pengertian kata agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penggunaannya. Mendefinisi adalah menyebut sekelompok karakteristik suatu kata sehingga kita dapat mengetahui pengertiannya serta dapat membedakan kata lain yang menunjuk pada obyek yang lain pula.1 Mendefinisi harus dimulai dengan mengenali karekteristik kata. Karakteristik tersebut tidak lain adalah genera (jenis) dan

burung, mendefinisi ?mawar? harus dimulai dari bunga, dan seterusnya. Salah satu hal yang dapat dijadikan differentia (pembeda) adalah sifat yang melekat pada obyek yang akan didefinisikan. Dalam logika ada sebuah batasan yang sangat terkenal tentang manusia yakni ?binatang yang berpikir?.2 Definisi yang seperti ini sudah sah secara logika karena telah memiliki unsur genera dan differentia. Sesuai dengan contoh definisi diatas genera bagi manusia adalah binatang dan differentianya adalah ` yang berpikir?. Sifat yang dimiliki manusia, yaitu berpikir dipilih sebagai differentia karena tidak ada binatang lain yang berpikir. Sehingga dengan memilih binatang sebagai genera, kita langsung sampai pada pengertian manusia.

differentia (pembeda). Mengapa perlu genera? Genera dibutuhkan untuk mendekatkan kita pada obyek yang akan didefinisikan. Oleh karena itu pemilihan genera harus dalam lingkup yang terkecil sehingga saat kita beri differentia (pembeda) kita langsung sampai pada pengertian obyek yang akan kita definisikan. Misalnya mendefinisi ?elang? harus dimulai dengan

M anusia itu Apa?

Seharusnya. Tapi aku jadi berpikir, apa benar binatang lain tidak bisa berpikir? Mungkin saja mereka bisa berpikir, namun dengan cara mereka sendiri. Mungkin saja, apa yang disebut manusia sebagai insting adalah cara berpikir binatang yang tidak manusia mengerti. Jangan-jangan mereka sedang menertawai kesombongan manusia yang berpikir hanya manusia sahajalah yang dapat berpikir. Mungkin dalam setiap embikan kambing, kokokan ayam jantan saban subuh, dan eongan kucing yang sering kena tendang manusia, terselip nada ejekan akan definisi manusia yang didefinisikan oleh manusia sendiri dengan penuh kesombongan. Apalagi sekarang jaman sudah semakin edan. Manusia dengan sombongnya

majalah ganesha zine #02 | 03


menyakiti binatang lain, bahkan makhluk lain. Tak ketinggalan bumi milik bersama pun dirusak semena-mena. Atas nama takhta, wanita, dan tentunya harta. Aku bayangkan pasti sekarang binatang bukan hanya mengejek saja, tapi sudah pada tahap menertawai manusia, yang mendefinisikan diri sebagai binatang yang berpikir namun tidak menggunakan pikirannya untuk bertindak. Kelakuan si binatang yang berpikir ini memang sudah keterlaluan, perang dimana-mana, hutan ditebangi, binatang-bintang diburu, bumi dikeruk habis, yang kuat menindas yang lemah, kejahatan dimana-mana, dan masih banyak lagi kelakuan buruk si binatang yang berpikir ini. Salah satu manusia yang menyadari kelakuan buruk golongannya adalah penyair favoritku, Mas Dwi Danto, dalam tembangnya yang berjudul ?Bebal? mencoba mengingatkan kita semua akan kelakuan buruk kita sebagai binatang berakal, salah satu bait liriknya seperti ini : ?? ? .Jika bumi adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik Jika laut adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik Jika hutan adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya

melihat kelakuan manusia yang bertindak tanpa berpikir. Hanya mengikuti nafsu belaka. Jika para binatang dapat bertemu dalam suatu kongres akbar, tentu mereka akan menyusun gerakan protes dan perlawanan terhadap manusia si binatang yang berpikir. Para binatang, dengan cara pikir masing-masing, mungkin akan membikin definisi baru yang lebih cocok buat manusia. Binatang yang bernafsu? Kupikir binatang lain juga memiliki nafsu, sehingga ?yang bernafsu?tidak cocok dijadikan sebagai differentia. Mungkin ?binatang yang berpakaian? akan menjadi salah satu calon kuat sebagai definisi manusia menurut binatang. Soalnya binatang lain kan tidak ada yang berpakaian dan semua manusia, sepanjang yang kutau, berpakaian meski hanya sepotong kain kecil sebagai cawat. Sehingga ?yang berpakaian? akan cocok digunakan sebagai differentia. Tapi definisi tersebut juga akan menimbulkan permasalahan, kata kawanku yang menemani soreku ketika aku menyelesaikan tulisan ini. ?Bagaimana jika manusia mandi? Ia tidak berpakaian? Berarti jika menggunakan definisi ?binatang yang berpakaian?, manusia yang mandi sudah keluar dari definisi tersebut??, begitu katanya. Kala itu kujawab ?Lalu apa bedanya dengan definisi ?binatang yang berpikir?? Toh banyak manusia yang sudah tidak lagi berpikir . Berarti yang seperti itu bukan termasuk manusia??. Ia hanya tertawa.

Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik? ? ..? Mungkin binatang, tumbuhan dan bumi sedikit terhibur menyaksikan masih ada anak manusia yang sadar akan perilakunya, bahkan membikin tembang untuk menyadarkan saudara-saudaranya yang lain. Aku juga senang ada Mas Dwi Danto yang menyuarakan isi hatiku lewat petikan gitarnya. Soalnya, akhir-akhir ini aku sering berpikir, tentang aku yang seorang manusia, tentang alam, tentang binatang, tentang tumbuhan, tentang bagaimana seharusnya manusia sebagai binatang yang berpikir berperilaku. Mungkin definisi binatang yang berpikir hanya berlaku di kalangan manusia. Aku jadi geli sendiri membayangkan para binatang memprotes definisi sombong itu majalah ganesha zine #02 | 04


Kampus sebagai perguruan tinggi seharusnya dijalankan berdasarkan prinsipnya yaitu tempat bagi pencarian kebenaran ilmiah oleh sivitas akademika. Kampus semestinya menjadi tempat yang paling tepat bagi diskusi ilmiah, baik itu soal ilmu sosial atau ilmu sains/ eksak, tidak peduli isu yang dibahas adalah isu kontroversial atau bukan. Karena diharapkan, jika diskusi diadakan di lingkungan kampus, diskusi tersebut akan terbebas dari pengaruh yang non ilmiah seperti kepentingan politik kelompok tertentu dan sebagainya.

Lalu jika pihak LK ITB beralasan bahwa pelarangan diskusi ini karena narasumber yang didatangkan terlalu memihak di satu sisi, dalam hal ini pro kaum LGBT, bagaimanakah jadinya jika yang penyelenggara datangkan adalah mereka yang menolak keras keberadaan LGBT. Kita yakin dan tahu pasti bedanya reaksi kampus jika narasumber yang dihadirkan SGRC UI dan reaksi kampus jika narasumber yang dihadirkan Felix Siauw. Menarik untuk dilihat bagaimana reaksi LK ITB jika unit yang kental nuansa Arabnya itu mengadakan diskusi di lingkungan kampus dengan tema yang serupa. Atau memang sudah dilaksanakan ya?

Tapi itu kan hanya ?seharusnya?. Kenyataannya tentu berbeda. Di Institut Tarbiyah Teknologi Bandung, keadaannya dibalik 180 derajat. Pihak kampus, dalam Maka, jika sikap pelarangan diskusi kasus ini Lembaga Kemahasiswaan ITB (LK yang ditunjukkan oleh ITB dimaksudkan ITB) beserta ?kawan ? kawannya? , justru untuk tetap menjaga nama baik kampus dari menekan ruang bagi diskusi ilmiah yang isu kontroversial dan berusaha bersikap hendak diadakan oleh Unit Institut Sosial netral terhadap isu yang hadir di masyarakat, Humaniora ?Tiang Bendera? dan Unit Majalah justru ITB malah menodai nama baiknya Ganesha. Tema yang hendak diangkat, yaitu sebagai perguruan tinggi karena telah ingkar ?Kampus dan LGBT?. Memang terdengar dari tujuan dan prinsipnya sebagai perguruan kontroversial tinggi yaitu saat pertama sebagai tempat terdengar, bagi pencarian namun kebenaran semestinya tidak ilmiah. Lebih akan terlalu jauh lagi, Oleh: Kudiw kontroversial pelarangan ini apabila LK ITB mungkin saja terlebih dahulu mengajak obrol dan mencari hanya awal dari pelarangan-pelarangan tahu lebih lanjut soal diskusi ini dari pihak diskusi ilmiah yang lain, misalnya tema yang panitia penyelenggara lalu memutuskan menentang ideologi Pancasila dan demokrasi apakah akan memberi izin atau tidak. seperti konsep negara islam. Eh. Itu sih Bukannya sebaliknya, memutuskan untuk mestinya dibuka ruang seluas-luasnya. tidak memberikan izin baru menceramahi, eh Karena satu-satunya cara memajukan bangsa mengajak obrol panitia penyelenggara. ini adalah memperjuangkan negara Islam. Perjuangkan Khilafah Islamiyah! Perkuat Padahal, seandainya LK ITB mau persaudaraan Muslim! Demi masa depan meluangkan sedikit saja dari waktunya untuk Indonesia, Allahu Akbar! mengajak obrol pihak penyelenggara,

Cacat Pikir

Lembaga Kemahasiswaan ITB

barangkali beliau-beliau ini baru akan tahu bahwa yang hendak kami diskusikan tidaklah sesempit apakah perilaku LGBT itu benar atau salah (sekiranya inilah hal yang mereka maksud kontroversial dan mereka hindari). Melainkan lebih luas lagi, bagaimana seharusnya kampus bersikap tentang LGBT. Bagaimana kiranya jika seorang mahasiswa yang mengaku LGBT mencalonkan diri sebagai pejabat strategis di struktur kemahaiswaan? Bagaimana peluang dan kesempatan yang dimilikinya? Atau, bagaimana, seharusnya dan realitanya, reaksi massa kampus terhadap hal ini?

Lalu seperti diketahui, meski tanpa izin dari LK, penyelenggara tetap mengadakan diskusi yang bersifat tertutup pada hari dan jam yang sama, dengan meminjam tempat yang tentunya tanpa izin dari yang berkuasa. Seberapa tertutup? Tertutup di sini ada pada level: tempat diskusi dirahasiakan, calon peserta diskusi mesti menghubungi narahubung terlebih dahulu untuk tahu tempat diadakannya diskusi, tapi sebelum itu narahubung terlebih dahulu menyeleksi calon peserta diskusi dengan mengecek profil facebook mereka, karena siapa tahu intel ITB juga menyamar jadi calon peserta majalah ganesha zine #02 | 05


diskusi. Ya, kampusmu pun punya intel. Nah, setelah kamu bisa menyindir kampus ini sebagai korporasi, sekarang kamu juga bisa menyebut kampus ini badan intelijen. Ah, inikah rasanya hidup di zaman orde baru? Dan LK ITB tentunya sadar bahwa orang-orang seperti kami ini tidak akan berhenti hanya karena tidak diberi izin sehingga mereka meningkatkan keamanan pada jam-jam menjelang diskusi dengan menaruh satpam dan intel lebih di titik tertentu di kampus. Kami pun sadar bahwa mereka hanya menjalankan tugasnya sebagai lembaga yang mengawasi kegiatan kemahasiswaan kalau-kalau ada kegiatan yang berpotensi mencoreng nama baik kampus. Namun yang tidak mereka sadari adalah dengan cara pengawasan yang berlebihan, terutama pelarangan dan pembubaran diskusi, mereka telah menyamakan derajat mereka setingkat dengan ormas-ormas anak kandung orde baru yang senang membubarkan diskusi berbau kekirian atau ormas-ormas ?yang mengaku beragama? yang gemar mengganggu kebebasan beragama dan kebebasan hidup orang yang mereka anggap tidak sejalan dengan mereka. Jauh lebih buruk dari itu, nama ITB yang dikenal sebagai kampus yang paling nyaring dalam menentang kekuasaan orde baru dulu, justru masih memelihara dengan baik nilai-nilai yang rezim tersebut tanamkan sampai sekarang. Ironinya, nilai-nilai itulah yang mereka tentang pada waktu dulu. Maka, apakah pelarangan dan pembubaran diskusi ilmiah ini adalah awal dari neo orde baru ala ITB? Atau mereka cuma memasuki masa pubertas lagi di usianya yang ke-57?

majalah ganesha zine #02 | 06


AKU DAN PENA Oleh: Babe GS Tahu tak kau ku kenapa? Tak ku tahu kau kenapa Tahu tak ku kau kenapa? Tak kau tahu ku kenapa

JERUJI BENANG Oleh: Babe GS Secarik kert as hendak dirampas Set et es tint a menghindar dari dusta Pena gelap bangkit dari lelap Dat uk duduk merajuk Mabuk

majalah ganesha zine #02 | 07


Salah Arti

oleh Ayu Nurhuda

Ketika kekalahan sengaja diperangkan, ketika diam menjadi senjata, ketika semua itu disalah-artikan. Pendapat setiap kepala jelas tak mungkin bisa selalu satu suara. Sirkulasi darah di dalam setiap otak yang memiliki akal itu memiliki ?jenis arus? yang tak sama. Dan fatalnya ketika seseorang keliru mengartikan makna dari kata mengalah. ?Kalau mau menjadi pemimpin itu harus pandai berdebat. Kalau ga pandai berdebat, Andai saja orang yang berbicara sedemikian rupa tersebut memahami bahwa diamnya seseorang itu tak selalu mencerminkan kekalahan. Ketika dunia sudah penuh dengan orang-orang yang senang berbicara, diam bisa menjadi suatu kemenangan, setidaknya jalan untuk menuju kemenangan. Orang diam bukan berarti dia bodoh atau tidak mengetahui (misalkan sesuatu perkara tertentu). Bahkan di balik diamnya seseorang, kau tidak pernah tahu, mungkin saja ia berkonotasi dengan sebuah danau yang nampak tenang dan terlihat setidaknya tidak membahayakan. Namun pada kenyataannya, kita tidak pernah tahu, apa saja yang sudah dilahap habis dan disimpan di dalamnya. Kita tidak bisa melihatnya, tentu saja. Terkecuali ketika keadaan mendesak datang, ia dapat dengan mudahnya memutahkan beberapa isinya dari dalam, bahkan seluruhnya. Atau ketika keadaan mendesak tersebut tak kunjung datang, maka tak ada cara lain selain kita menyelaminya, melihatnya dan menyentuhnya secara langsung.

Tak terduga? Mungkin. Maka, jangan salahkan ketika orang-orang asyik berbicara, semua selak beluknya dapat sangat tampak dengan sendirinya. Ketika ada orang yang asyik berbicara, padahal dia sedang berbicara satu sama lain (antar

SUBmaka -HEAD LINE sesama yang suka berbicara) tak jarang ego muncul kepermukaan dan ?rasa saling tak mau mengalah? di gembor habis habisan. Jika menilai suatu benda berdasarkan apa yang tampak muncul ke permukaan sebagai panutan, maka tak heran jika hal tersebut sangat sering terjadi timbulnya kesalahan pahaman. Mungkin benar adanya, bahwa pada penilaian awal yang sempat terbesit di dalam neufron-neufron bisa menjadi salah satu acuan. Namun pada akhirnya, itu tentu masih dalam bentuk hipotesa yang bisa jadi hanyalah sebuah kumpalan asap jika tidak dilanjutkan ke dalam sesi selanjutnya. Mengigit kuku mungkin bisa menjadi salah satu solusi jika hal setengah matang tersebut naik ke permukaan. Jika kalian melihat bagaimana kepemimpinan seseorang dapat dilihat dari bagaimana ia lihai dalam perdebatan, maka itu adalah suatu keliruan. Karena orang bijak pada umumnya akan diam ketika situasi masih dalam keadaan yang dapat diatasi oleh permbicaraan damai dan terbuka. Karena perdebatan tak jauh dari panasnya kepala dan kerasnya hati. Maka, hal tersebut jarang mendekati sosok yang bijak. Debat tentu saja boleh dilakukan ketika hal tersebut memiliki ujung yang nyata. Tanpa melahirkan masalah baru. Karenanya, kiasan ?Diam itu emas? memang ada benarnya. Namun ketika diam saat keadaan genting, dan diamnya tersebut semakin membuat pemasalahan menjadi ?runyam?, maka menjadi diam itu tidak dianjurkan, sangat tidak.

majalah ganesha zine#02 | 08


fot o oleh : Ayu Nurhuda

Biarpun pagi tak disambut oleh kesegaran pandangan gradasi warna yang terefleksikan dari hamparan samudra di cakrawala kala itu, namun tetap saja kawanan burung takkan bisa lepas dari rutinitas hariannya, menebarkan output biologis mereka, yang nyatanya juga memberikan suatu efek lumrah, ?membangunkan? makhluk berakal dari bunga tidurnya. Sudah jelas semua itu bukanlah sebuah tujuan utama dari kicauan dan kepakan sayap yang mereka tebarkan dari balik dahan-dahan cemara atau bentangan kabel-kabel hitam yang dipautkan dengan puncak tiang baja setinggi kurang lebih lima sampai enam meter yang berjajar di setiap sisi jalan beraspal, atau bahkan dari balik celah di dalam sebuah atap rumah yang cocok untuk memandu kasih dengan pasangan dan menjaga kehangatan telur-telur mereka.

Sudah sejak lama sih, sosok itu mengagumi makhluk bersayap tersebut. Entah sejak kapan ia baru sadar, yang mungkin sebuah refleksi dirinya yang akhir-akhir ini sering menamparnya. Kepercayaan adalah sebuah landasan yang sudah dibentuk sejak dini pada sosok itu, yang tentu saja lahir dari lingkungan pertamanya, keluarga. Sudah mendarah daging sepertinya, menjadi sebuah kebiasaan layaknya sebuah kamuflase yang menjelma dari sebuah layang-layang. Dilepas bebas namun tetap dalam jangkauan. Walau petang menyambutnya dengan penampilan semenarik mungkin, lagi pesonanya yang begitu terlukiskan di bentangan cakrawala saat itu dan sayangnya tak bisa dideskripkan dengan kata-kata. Sosok itu masih tertegun dan rupanya masih berkaca diri. Ia termenung dan bertanya, sebenarnya bagaimana proses ia menjadi tumbuh dan berkembang sampai ia menjadi sekarang ini.

majalah ganesha zine#02 | 09


Pada akhirnya batu akan menjadi legok juga jika ia terus ditetesi air pada suatu ?spot?tertentu.

Perumpamaan yang sebenarnya tidak terlalu cocok sih, tapi itu salah satu kalimat inti pribahasa yang selalu terenyam di nadinya. Ia sadar, bahwa selama ini perjalananlah yang membawanya ke dalam sebuah perkembangan. Perjalananlah yang membawanya pada kacamata baru dari pandangannya yang mulai menjadi keruh kembali jika ia lama tak membawa kedua langkahnya ke ?tanah baru?. Benar apa yang dikatakan oleh Mark Twain mengenai penyesalan yang akan kamu raih terhadap apa yang tidak kamu lakukan pada masa muda di dua puluh tahun ke depan.

sangkar, ia akan bertanya pada pemiliknya. Mengatakan seperti, ?Hewan bersayap dan bisa terbang itu berasal dari dunia liar, kenapa dimasukan ke dalam sangkar? Keahliannya akan menurun nanti..?

Walau percakapan penuh rasa empati, tawa, diskusi, saling bertukar pikiran, bekerjasama menuntaskan permasalahan yang sedang melanda dengan sosok-sosok lainnya, pada akhirnya ia sangat sadar, bahwa energi yang ia dapatkan semua itu berasal dari rumahnya, kediamannya, keluarganya. Sekuat apapun mengubah proses penyerapan energi itu untuk ditukar, sampai pada titik persentasi tertinggi yang pernah diraihnya, tetap saja semua akan kembali. Mengenai burung dan layang-layang, itu adalah salah satu cara yang sejauh ini memberikan sumbu koordinat yang cukup jauh di atas rata-rata dalam dirinya. Dibebaskan namun tetap terkait pada tali yang diulurkan dan tentu masih dalam jangkauan. Kadang sosok itu jika melihat makhluk bersayap yang berada dalam suatu

majalah ganesha zine#02 | 10


Seorang PENGECUT ULUNG

Jujur saja, sebenarnya aku yang sekarang adalah seorang pengecut. Aku berlindung di balik institusi agar keberadaanku ada. Agar aku memiliki nilai. Bukan karena karyaku. Bukan karena perbuatanku. Bukan karena manfaatku pada orang lain. Aku memang seorang pengecut. Padahal, yang menentukan nilai seseorang adalah apa yang sudah diperbuatnya. Karena pengecut tetaplah pengecut sampai dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Tanpa tembok organisasi yang melindungi. Aku tetaplah pengecut sampai aku tak lagi membawa-bawa tempat pendidikanku dulu dengan apa yang kuperbuat pada sesama. Karena, pelaku yang seharusnya melakukan perbuatan itu adalah, bukan aku sebagai mahasiswa dari suatu kampus. Tapi aku, aku yang mewakili diriku sendiri.

Himpunan yang itu. Juga bukan sebagai aktivis majelis keagamaan yang di sana. Aku yang sekarang ini memang pengecut. Tapi, aku akan terus mencari pembelajaran. Sampai akhirnya aku telah menjadi aku yang bukan pengecut, aku sebagai aku yang berjalan dengan kakiku sendiri. Pada akhirnya, aku yang sebenarnya adalah aku saat diriku mati. Dan aku adalah apa yang sudah kuwariskan pada dunia.

- Farhad Zamani STEI ITB 2015 16515327

Dan aku ingin menjadi diriku sendiri. Bukan sebagai anggota komunitas ini. Bukan sebagai Ketua

majalah ganesha zine#02 | 11


FEMINISMEDALAMPRIDEANDPREJUDICE: SUBJEKDANBUKANOBJEK oleh : praditaaprilia

Isu feminisme memang acap kali dijadikan tema utama dalam suatu karya sastra. Bahkan jauh sebelum A Room of One?s Own (1929)-nya Virginia Woolf yang disebut-sebut sebagai pelopor lahirnya isu feminisme ini, seabad sebelumnya, Jane Austen dalam novelnya yang berjudul Pride and Prejudice sudah terlebih dahulu mencoba menyampaikan pesan mengenai kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki ini. Pride and Prejudice sendiri telah berusia lebih dari 200 tahun dan hingga kini masih menjadi salah satu novel klasik terpopuler di tanah Britania Raya itu, tentunya hal ini menjadi prestasi tersendiri bagi suatu karya sastra.

Sekilas novel ini memang hanya menawarkan kisah roman klasik antara seorang gadis bernama Elizabeth Bennet dan seorang bangsawan kaya raya, Mr Darcy, dengan latar abad pertengahan. Tapi,

justru di sanalah perbedaan mendasar diciptakan olehnya. Austen, bukan hanya mencoba membongkar prespektif cinta sebagai tragedi yang telah mendarah daging sejak zaman Romeo and Juliet-nya Tuan Shakespeare, tetapi, lebih jauh lagi? melalui Elizabeth Bennet? Austen juga mengusung gagasan feminisme, suatu hal yang luar biasa mengingat Pride and Prejudice ditulis pada masa-masa krusial setelah meledaknya Revolusi Perancis yang menuntut adanya persamaan dan kesetaraan hak. Secara etimologis, feminis sendiri berasal dari kata femme, berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai suatu kelas sosial. Tujuan feminis adalah tercapainya keseimbangan interelasi gender.

majalah ganesha zine#02 | 12


Dan di dalam Pride and Prejudice, Elizabeth Bennet sebagai tokoh sentralnya, mewakili sudut pandang masyarakat Inggris pada abad ke-19. Dimana pada masa itu, wanita masihlah dianggap sebagai objek dan, secara semena-mena, sebagai alat balas budi. Lahir dalam sebuah keluarga dengan lima anak perempuan, termasuk dirinya sendiri, tanpa memiliki saudara laki-laki kandung seorang pun, membuat Bennet bersaudara dipaksa untuk mencari suami yang kaya raya dan dari golongan terpandang oleh ibu mereka. Namun, Elizabeth secara keras menentang hal itu. Perlawanannya terhadap pandangan bahwa perempuan hanyalah objek dari laki-laki dalam suatu pernikahan, jika ditinjau dengan pendekatan teori Woolf, termasuk dalam gerakan feminisme liberal yang berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Feminisme ini berusaha memperjuangkan agar perempuan mencapai persamaan hak-hak yang legal secara sosial dan politik. Mampu membawa kesetaraan bagi perempuan dalam semua instansi publik untuk memperluas penciptaan pengetahuan bagi perempuan agar isu-isu tentang perempuan tidak lagi diabaikan. Feminisme liberal mengajukan gugatan agar diadakan pengendalian agar perempuan tidak dirugikan dalam suatu sistem yang ada.

Elizabeth meyakini bahwa dalam suatu pernikahan, seharusnya pihak perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk memilih dan menentukan, bahwa pihak perempuan tidak seharusnya menyerahkan hidupnya kepada seorang laki-laki yang tidak dicintainya hanya demi memenuhi tuntutan sosial dalam masyarakatnya. Dengan karakter kuatnya inilah yang akhirnya membuat Elizabeth Bennet menjadi salah satu tokoh fiksi perempuan yang paling dicintai dalam literatur Inggris. Kekuatan pemikiran dari Elizabeth ini, tampaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh buku-buku bacaannya, yang mana, pada zaman itu, aktivitas membaca lazimnya dilakukan oleh kaum laki-laki kelas atas. Pride and Prejudice memiliki kekuatan yang bagus untuk sebuah buku sastra klasik yaitu pengambaran karakter dan plot yang bagus, penceritaan kondisi sosiologis dan politik yang menarik pada saat itu, hingga pesan yang ingin disampaikan secara tersirat melalui sebuah buku yaitu feminisme. Sebagai sebuah novel yang berhasil menciptakan romantisme dalam kondisi sosiologis masyarakatnya pada abad ke-19, Pride and Prejudice sangat layak untuk dibaca dan dipelajari tidak hanya untuk orang-orang yang ingin tertarik pada sastra namun juga yang tertarik dengan sejarah dan sosiologi, dan tentu saja, feminisme itu sendiri.

Dan hal itulah yang diyakini Elizabeth saat menolak lamaran Mr Collins, sepupunya sendiri yang berhak atas seluruh kekayaan keluarga Bennet karena hukum waris di Inggris pada saat itu tidak memperbolehkan anak perempuan untuk mewarisi kekayaan ayahnya. Elizabeth menolak pernikahan yang hanya dilangsungkan untuk memberikan status sosial yang lebih baik kepada pihak perempuan, yang mana tentu saja, menempatkan perempuan hanya sebagai objek dan pihak laki-laki yang lebih superior sebagai subjek dalam pernikahan itu.

majalah ganesha zine#02 | 13



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.