Majalah Jejak Islam Edisi 2 (Des 2015)

Page 1

Menelusuri Torehan Sejarah Islam di Indonesia

NO. 2 - DESEMBER 2015

untuk Bangsa

Kiprah Muslimah di Panggung Sejarah

Mukaddimah Kartini dan Pintu Masuk Feminisme di Indonesia

Syajarah

Kisah

Rekam

Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

Cinta Patje dan Matje

Tentang Perempuan: Rahmah El- Yunusiyah


Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press


Dari

Ke

Hati Hati

THE FOUNDING Mothers

“Selalu ada wanita hebat di balik pria hebat,” begitulah kata pepatah kuno. Sejarah selalu mengajarkan bahwa “There always the tough woman behind a great man.” Sejarah telah mencatatnya. Tak cukup waktu jika kita urai satu per satu di sini, namun mungkin pepatah itu hadir di tengah-tengah kita, bahkan kita rasakan sendiri. Pembaca, jika para Bapak-bapak Bangsa (The Founding Fathers) menghiasi sampul muka edisi perdana Majalah Jejak Islam ‘Di Balik Layar Kemerdekaan’, kini giliran kami tampilkan ‘Ibu-ibu hebat’ di balik ‘bapak-bapak bangsa’, dan tentunya di balik berdirinya bangsa ini. Para perempuan di balik lelaki hebat. Para muslimah yang berkiprah di panggung sejarah negeri ini. “The Founding Mothers”. Bertepatan dengan momen Hari Ibu, kami berusaha tampilkan kembali sosok-sosok Ibu Bangsa (The Founding Mothers). Kedengaran aneh mungkin, tapi tak berlebihan memang, jika kita sematkan istilah The Founding Mothers kepada mereka. Silakan nikmati lembar demi lembar untuk mengetahui kiprah mereka. Siapa tak mengenal Haji Agus Salim? Semua orang mengakui Agus Salim sebagai salah satu The Founding Father bangsa ini. Namun, mungkin kita tak akan menyangka bahwa di balik nama besar Haji Agus Salim, muncul sosok Zainatun Nahar, istrinya yang selalu setia mendukung setiap keputusan dan menemani Agus Salim ke mana pun ia pergi. Dari mulai tinggal di sudut gang becek, bilik mungil, rumah reyot, mengontrak dari satu gang ke gang lain, dari satu kota ke kota lain, dari London hingga Boston, dari Cornell hingga Buckingham, sang istri dengan setia mendampingi suami kebanggaanya. Silakan nikmati lembar demi lembar dalam tulisan Paatje dan Maatje dalam rubrik ‘Kisah’, sajian redaksi ciri khas tulisan Rizki Lesus dengan gaya penulisan sejarah sastrawinya. Pembaca pun sudah tak asing dengan nama besar Buya Hamka. Namun, siapakah wanita hebat di baliknya? Simak tulisan Sarah Mantovani dalam Siti Raham, Antara

Peran Politik dan Penjaga Kehormatan Buya Hamka. Jika G. S. Wood dalam The Public Intellectual bilang the founding fathers adalah “men of ideas and thought & leading intellectual”, maka mungkin kita dapat sematkan istilah the founding mothers pada dua tokoh muslimah intelek yang bergerak di dunia pendidikan: Nyai Khoiriyah dan Rahmah El Yunusiyah. Simak tulisan Beggy Rizkiansyah dalam Nyai Khoiriyah, Ulama yang Terlupakan, tentang puteri ulama besar Nusantara ini KH Hasyim Asyari. yang mendirikan sekolah perempuan pertama di Tanah Suci. Adapaun Rahmah El Yunisiyah ialah muslimah pertama yang mendirikan sekolah perempuan pertama di Tanah Air, tentunya selain membidani laskar muslimah juga aktif berpolitik di Partai Masyumi. Selain dua tokoh intelektual tersebut, tak ketinggalan kiprah seorang jurnalis muslimah pertama di Negeri ini yang membidani surat kabar Soenting Melajoe (Perempuan Melayu) yang berjuang lewat dunia pers. Simak tulisan Tristia Riskawati dalam Jalan Jihad Uni Roehana. Simak pula tulisan Andi Ryansyah tentang perjuangan panjang jilbab di negeri ini hingga perjuangan muslimat NU mempertahankan negeri ini dari penjajah dan komunisme. Pembaca, jika sebelum Islam datang peradaban dunia memandang sebelah mata makhluk wanita, maka Islam justru sebaliknya. Wanita dalam pandangan Islam adalah makhluk nan mulia. Darinya lahir generasi pelanjut citacita. Dari rahimnya, para founding father itu melanjutkan perjuangan. Karenanyalah, sejarah mencatat kiprah mereka. Terakhir, syukur Alhamdulillah, di penghujung 2015, edisi ke-2 ini dapat kami rampungkan. Atas segala kekurangan, kami mohon kritik, saran, dan juga dukungan selalu agar kami dapat menghadirkan kembali torehan jejak Islam untuk bangsa ini dengan data dan fakta yang kokoh. Selamat menikmati.


TBS

R E D A K S I

No. 2 Desember 2015/ Rabiul Awwal 1437 H

PEMIMPIN REDAKSI

Beggy Rizkiyansyah

REDAKTUR AHLI

Tiar Anwar Bachtiar Alwi Alatas

KONTRIBUTOR

Susiyanto

Sarah Mantovani Tristia Riskawati

REDAKTUR

Rizki Lesus

TIM REDAKSI

M. Rizki Utama Andi Ryansyah

ARTISTIK

NZI

ILUSTRASI SAMPUL

Qbenk

JIB

Jejak Islam Untuk Bangsa

PENERBIT

Jejak Islam untuk Bangsa Septian Anto W.

Jl. Taman Malaka E No.13 Jakarta Timur E jejakislambangsa@gmail.com www.jejakislam.net


D A F TA R

isi

06

Mukaddimah

Kartini & Pintu Masuk Feminisme di Indonesia Tiar Anwar Bachtiar

10

Syajarah

Kartini Menurut M. Natsir Sarah Mantovani

14

Syajarah

Nyai Khoiriyah: Ulama Perempuan yang terlupakan Beggy Rizkiyansyah

20

Syajarah

Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu Sarah Mantovani

24 3 6 Syajarah

Syajarah Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia Andi Ryansyah

Rahmah El-Yunusyah: Pejuang Perempuan, Perempuan Pejuang Susiyanto

48

Buku

Kedudukan Perempuan dalam Islam Buya Hamka

50

Kisah Cinta Patje dan Matje Rizki Lesus

62

Syajarah

Muslimat NU: Dedikasi untuk Negeri Andi Ryansyah

69

Kisah

Siti Raham, Antara Peran Politik & Penjaga Kehormatan Buya Hamka

75

78

Dari Perbendaharaan lama

Menjaga Martabat Islam

Syajarah

Jalan Jihad Uni Roehana

72

Rekam

Tentang Perempuan: Jejak Rahmah El-Yunisiyah dalam Gambar

78

Catatan Punggung

Cut Nyak Dien dan Gambar

KH Hasyim Asy’ari

Tristia Riskawati


6

Berkah Kemerdekaan Bagi Dakwah Islam di Indonesia

Mukaddimah

Kart &

Pintu Masu Feminism


Tiar Anwar Bachtiar

tini

uk me di Indonesia

Mukaddimah

Oleh : Tiar Anwar Bachtiar Doktor Sejarah Universitas Indonesia

Gerlombang liberalisme di Indonesia masuk lewat berbagai pintu. Salah satu pintu yang boleh dikatakan sukses adalah pintu isu kesetaraan gender. Isu ini bahkan telah berhasil menembus kebijakan negara. Alhasil, gender mainstreaming menjadi salah satu program penting dalam semua lini program yang dicanangkan pemerintah. Selain itu, pemerintah juga meratifikasi MDGs (Milenium Development Goals) yang salah satu indikatornya adalah pengarus-utamaan gender. Targetnya sangat telanjang: menyamakan peran laki-laki dan perempuan. Artikel ini tidak akan membicangkan masalah ini. Yang akan menjadi fokus adalah asal-muasal dari mana gerakan ini muncul di negeri ini? Apakah tepat konteks sosial Indonesia? Gerakan perempuan di Indonesia mulai menyeruak ke permukaan setelah terbit buku kompilasi suratmenyurat Kartini dengan teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dll) bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi populer ketika Armin Pane, pujangga angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dan memberinya judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku ini dianggap memberi inspirasi


8

Kartini & Pintu Masuk Feminisme di Indonesia

Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia…

Mukaddimah

bagi kaum wanita di Indonesia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya agar sejajar dengan laki-laki. Alhasil kata “emansipasi wanita” menjadi kata-kata yang sangat familiar di negeri ini; dan Kartini pun didaulat sebagai salah seorang pahlawan wanita kebangga bangsa ini. Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak-wanita seorang priyayi Jawa (Bupati). Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang, sekalipun akhirnya ia harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang. Atas pengalaman yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa wanita Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Untuk bangkit itu, “Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, terutama budi pekerti, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur, yang dapat berdiri sendiri mencari nafkah sehingga mereka tidak perlu kawin kalau mereka tidak mau.” (Sulastin Sutrisno, Surat-Surat Kartini, Djambatan, 1985: xvii).

Kartini bersama Raden Adipati Djojoadiningrat. Sumber foto: KITLV DIgital Media Library (http://media-kitlv.nl/all-media/indeling/ detail/form/advanced/start/10?q_ searchfield=kartini)

Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang, walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat “diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan oleh temanteman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini. Kartini sendiri tidak terlihat sama sekali merasa


Tiar Anwar Bachtiar

tertindas atas pernikahan poligaminya itu. Bahkan beberapa saat setelah pernikahannya Kartini menulis surat kepada J.H. Abendanon dan istrinya yang menunjukkan bahwa pernikahannya, sekalipun pernikahan keempat bagi suaminya, sama sekali baikbaik saja. “Kawan-kawan yang baik dan budiman. Saya tahu betulbetul, bagaimana surat ini diharap-harapkan, surat saya yang pertama dari rumah saya yang baru. Alhamdulillah, di rumah itu dalam segala hal keadaan saya baik dan menyenangkan; di situ yang seorang dengan dan karena yang lain bahagia‌â€? (Surat-Surat Kartini, hal. 348).

Mukaddimah

Pengaruh feminis yang paling meyakinkan dalam surat-suratnya adalah teman-teman korespondensinya sendiri. Stella Zeehandelar adalah salah seorang yang paling feminis dibanding teman-temannya yang lain. Usianya lebih tua 5 tahun dari Kartini, anak dari orang tua Yahudi-Belanda. Ia penganut sosialis yang sangat kuat dan aktivis feminis sejak masih di Belanda sampai bekerja di Indonesia. Kartini berkenalan dengan Stella pada tahun 1899 melalui redaksi De Hollandse Leile, majalah wanita yang saat itu sangat populer. Temantemannya yang lain pun rata-rata berpaham liberal seperti pada umumnya orang-orang yangd atang dari Belanda pada abad ke-19 dan 20.

*** Mencermati perjalanan hidup Kartini seperti itu, patut dipertanyakan dari mana Kartini punya pikiran feminis pada awal-awal suratnya? Padahal, sejatinya Kartini adalah wanita Jawa yang ternyata lebih menghayati kehidupan budayanya. Kesenangannya justru lahir dalam harmoni mengikuti ritme budaya tempat sekian lama ia hidup dan sudah mendarah daging sejak lahir. Ia tidak pernah senang menjadi wanita pemberontak seperti yang diajarkan para feminis. Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab kalau kita tidak mencermati di mana Kartini bersekolah dan dengan siapa ia berkirim surat. Kartini bersekolah di sekolah Belanda karena ia seorang anak bupati yang bisa menikmati sekolah bersama dengan anak-anak Belanda. Menjelang abad ke-20 saat Kartini bersekolah adalah saat ide-ide politik etis yang dipengaruhi kelompok liberal di Belanda tengah menjadi arus wacana utama di Hindia Belanda (baca: Indonesia). Selain karena arus wacana politik etis, karena bersekolah di sekolah Belanda sudah tentu Kartini akan menyerap berbagai paham yang tengah berkembang di Barat. Salah satu yang tidak bisa dihindari adalah liberalisme. Pandangannya tentang kedudukan laki-laki dan perempuan pun hampir bisa dipastikan banyak terpengaruh pandangan-pandangan liberal yang diajarkan guru-guru belandanya di sekolah. Dari sekolah Belanda ini pula Kartini bertemu dengan buku-buku dan surat kabar yang berhaluan liberal.

Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa Kartini sesungguhnya tidak benarbenar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki. Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia 25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya. Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H. Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminismeliberal ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam hubungan lakilaki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini. Wallâhu A’lam.


10

Kartini Menurt Natsir

Syajarah

KAR NATSI

men

Oleh : Sarah Mantovani

Alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

“Vote for Women!�, begitu isi seruan dari kelompok Suffragettes yang tertulis di gedung-gedung pemerintahan Inggris. Mereka tidak hanya puas dengan menulis seruan tersebut, namun juga berdemonstrasi ke jalan untuk menarik opini publik, bahkan sampai melempari rumah Menteri Dalam Negeri dengan batu sehingga banyak kaca yang pecah. Cara ini dilakukan agar pihak pemerintah saat itu takut kepada mereka sehingga mereka akan diberikan kiesrecht (hak memilih dan dipilih), karena tuntutan inilah maka mereka dinamakan kelompok Suffragettes atau kelompok feminis yang menuntut hak pilih untuk perempuan. Kelompok Suffragettes merupakan kelompok feminis beraliran Marxis yang dipimpin oleh feminis bernama Sylvia Pankhurst.[1] Oleh salah satu pengurus Istri Sedar, S. Pringgodigdo dalam koran Sedar edisi Juni-Juli 1931, Sylvia Pankhurst dinilai sebagai perempuan yang sangat dicintai oleh ratusan ribu perempuan dan dibenci oleh pihak kuno. [2] Gerakan yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-19 tersebut pada akhirnya menjalar ke negara-negara lain, kemudian masuk hingga mempengaruhi pemikiran maupun sikap perempuan Indonesia pada tahun 1930-an. Mohammad Natsir, salah satu tokoh yang juga vokal terhadap bahaya komunisme di Indonesia, menceritakan hasil pengamatannya terkait feminisme yang telah mempengaruhi pemikiran dan sikap perempuan Indonesia. Salah seorang debater dari kalangan kaum istri yang terkemuka di Semarang saat Kongres Jong Islamieten Bond


Sarah Mantovani

Syajarah

RTINI NATSIR

nurut

(JIB), mengungkapkan pemikirannya tentang mahar dalam Islam yang disebutnya bukan memuliakan perempuan, melainkan salah satu penghinaan karena dengan mahar tersebut, perempuan telah dibeli laki-laki. Tokoh JIB saat itu Mohammad Natsir menulis: “Diwaktu penulis beberapa tahun jang silam mengemukakan sedikit perbandingan antara hak-hak perempuan menurut Qur’an dan menurut undang-undang Burgerlijk Wetboek jang berlaku dalam masjarakat bangsa Eropah dalam salah satu Kongres “Jong Islamieten Bond” dikota Semarang, salah seorang debater dari kalangan kaum isteri jang terkemuka dikota itu, melahirkan perasaannja bahwa “mahr” itu bukanlah suatu kemuliaan bagi perempuan, melainkan salah satu penghinaan, sebab dengan itu kaum perempuan itu dibeli oleh laki-laki……..!”.[3] Tidak hanya menceritakan hasil pengamatannya, mantan Presiden Liga Muslim se-dunia ini juga memberikan pandangannya terkait emansipasi yang pernah digaungkan Kartini di awal kehidupannya dalam surat-suratnya untuk teman-teman Belandanya. Emansipasi yang digaungkan Kartini disebabkan kerasnya adat Jawa saat itu yang tidak mengizinkan perempuan untuk menempuh pendidikan.’ “Diwaktu R.A Kartini memulai perdjuangannja memperbaiki nasib kaum perempuan pada permulaan abad ini, dia


12

Kartini Menurut Natsir

berhadapan dengan tradisi-Djawa jang amat keras mengukung langkah-langkah kaum perempuan. Mereka terpaksa tinggal dalam dunia jang sempit, tinggal bodoh dan sontok pemandangan, tidak diberi kesempatan untuk menuntut ilmu-pengetahuan walaupun sekedar jang tak dapat tidak harus ada, untuk pentjukupkan peri kemanusiaan mereka”. Natsir menilai, perjuangan yang dilakukan Kartini terhadap kaum perempuan tidak lain agar mereka menjadi perempuan yang terdidik, karena jika kaum perempuan terdidik, maka mereka bisa melakukan kewajibannya sebagai istri dan ibu. “Supaja mendjadi perempuan jang terdidik untuk melakukan kewadjiban mereka sebagai isteri dan ibu dalam arti jang “sepenuh-penuhnja”, inilah tudjuan hidup jang dibajangkan srikandi ini untuk bangsanja kaum perempuan”. Cita-cita emansipasi, papar alumni Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) ini, yang disebut Kartini dalam bukunya Habis Gelap Terbitlah Terang merupakan cita-cita yang sesuai dengan fitrah dan watak kaum perempuan. “Para pembatja jang memperhatikan surat-suratnja jang terkumpul dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” tidak dapat tidak akan merasa sendiri bahwa tjita-tjita emansipasi jang dikemukakannja itu, tidak lain dari pada satu tjita-tjita jang schot (tepat sasaran) dan berdasar kepada fitrah dan watak kaum perempuan semata-mata”.[4] Tentu, hal ini diperkuat dengan suratnya yang tidak diterbitkan pada bulan Januari 1903, cita-cita yang ia perjuangkan agar perempuan mendapatkan pendidikan semata-mata bukan karena keseteraan gender, melainkan karena agar perempuan dapat menjadi ibu dan ibu merupakan pendidik pertama umat manusia. “Sebagai ibu, dialah pendidik pertama umat manusia. Di pangkuannya anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, berbicara. Dan dalam kebanyakan hal pendidikan yang pertama-tama ini bukan tanpa arti untuk seluruh hidupnya. Tangan ibu lah yang pertamatama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang

Syajarah

hidupnya. Tidak tanpa alasan orang mengatakan, bahwa kebaikan dan kejatan diminum bersama air susu ibu dan bagaimana sekarang ibu-ibu Jawa dapat mendidik anakanaknya, kalau mereka sendiri tidak dididik? Peradaban dan kecerdasan bangsa Jawa dalam hal itu terbelakang, tidak mempunyai tugas”.[5] Setelah semangat politik etis berhasil dipertahankan oleh Belanda, antara lain oleh Van Deventer, mendapatkan kemenangan, maka pengajaran dan pendidikan Barat yang diberikan pada penduduk Indonesia, semakin bertambah banyak. Hal ini mengakibatkan kaum perempuan saat itu mengubah keadaan dirinya dari yang awalnya dianggap tidak mempunyai hak dan kekuasaan hingga menjadi seseorang yang oleh Natsir disebut orang yang mempunyai “kemerdekaan atas diri dan mata penghidupannya”, dalam waktu yang singkat. Mereka, lanjut Natsir, tidak hanya merasa “merdeka dari perlindungan laki-laki” dan perlindungan tersebut dianggap merendahkan derajat perempuan, namun juga sampai pada kesimpulan bahwa dalam hal apapun, perempuan itu sebenarnya sama dengan laki-laki. Perasaan seperti ini diperkuat juga dengan berbagai pengajar dari pergerakan feminisme Barat yang menyampaikan cita-cita emansipasi, agar kaum perempuan bisa berjuang pada ranah laki-laki. “Perasaan jang sematjam ini diperkuat oleh berbagai lektur dari pergerakan feministen Barat jang djuga sampai ke negeri kita ini. Jakni pergerakan feministen jang mengemukakan tjita-tjita emansipasi, supaja kaum perempuan bisa berdjuang di medan pekerdjaan lakilaki, bukan dalam dunia keperempuanannja sendiri di samping laki-laki itu”.[6] Kemudian Natsir menceritakan kembali pengamatannya bahwa ia pernah menemukan tulisan seorang perempuan dalam Fikiran Rakyat yang memaparkan satu teori tentang keharusan perempuan untuk menuntut persamaan hak dan kesempatan yang sama di antara laki-laki dan perempuan. “Salah seorang dari penulis perempuan dalam madjalah Fikiran Rakjat, pernah membentangkan satu teori jang menerangkan, apakah sebabnja maka kaum perempuan sekarang tampaknja kurang dari laki-laki, baik tentang


Sarah Mantovani

Syajarah

Tumbuhnja pun amat subur, apalagi sebagai reaksi terhadap “minderwaardigheldcomplex” (rasa rendah diri), perasaan kurang-harga, jang telah dialami oleh kaum perempuan selama ini”

kemadjuan djasmani maupun ruhani. “tubuh perempuan lebih lemah dari laki-laki, katanja, hanja lantaran perempuan tidak mempunjai kesempatan untuk sport seperti laki-laki. Dalam ilmu pengetahuan perempuan tidak banjak jang sepandai kaum laki-laki, katanja, lantaran kaum perempuan selama ini tidak dapat kesempatan untuk menuntut ilmu seperti laki-laki. Sekarang perempuan harus bergerak menuntut hak dan kesempatan jang sama dengan hak-hak jang ada pada laki-laki. Nanti kaum perempuan akan membuktikan bahwa dalam semua hal perempuan sama dengan laki-laki………”. Demikianlah kesimpulan dan keputusan jang diambil oleh penulis tersebut”. Teori yang dipaparkan merupakan salah satu hasil dari berbagai pengajaran feminisme di Barat yang diterima dan dicontoh oleh kaum perempuan Indonesia tanpa filter sedikit pun. “Walhasil teori jang sematjam itu ialah salah satu dari hasilnja pelbagai lektur feminisme di Barat jang sampai kenegeri kita ini, dan – sebagaimana djuga dengan hal jang lain – diterima dan ditjontoh dengan tidak memakai saringan sedikit djuga. Tumbuhnja pun amat subur, apalagi sebagai reaksi terhadap “minderwaardigheldcomplex” (rasa rendah diri), perasaan kurang-harga, jang telah dialami oleh kaum perempuan selama ini”.[7] [1] Anonim, Women’s Liberation Movement, https://marxist.org/glossary/events/w/o.htm. Diakses pada 03 Maret 2015. [2] S. Pringgodigdo. Kewadjiban dan Pekerdjaan Kaoem Istri Menoeroet Kemaoean Zaman. Sedar Juni-Juli 1931. [3] Mohammad Natsir, Capita Selecta Jilid I, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1973), hlm. 51. [4] Ibid, hlm. 53. [5] J.H Abendanon, Surat-Surat Kartini: Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya (terj: Sulastin Sutrisno), (Bandung: Penerbit Djambatan, 1981), hlm. 368. [6] Mohammad Natsir, Capita…, hlm. 53-54. [7] Ibid, hlm. 54 dan 56.


14

Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan

Syajarah

NYAI

KHOIRIY Ulama Perempuan yang Terlupakan Oleh : Beggy Rizkiyansyah Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa


Beggy Rizkiyansyah

YAH

Penulisan sejarah perempuan di Indonesia, khususnya muslimah semakin marak. Berbagai tokoh, diulas dalam berbagai bentuk tulisan. Namun sayangnya, penulisan sejarah muslimah di Indonesia seringkali disajikan dalam bingkai feminsme.[1] Persoalan ini jelas meninggalkan masalah, karena seakan, perjuangan muslimah di masa lampau dinaungi oleh semangat feminisme. Pembahasan feminisme yang satu tarikan nafas dengan kesetaraan gender memang mengundang kontroversi dan penolakan, termasuk dari kalangan umat Islam itu sendiri.[2] Titik tolak yang bermasalah inilah yang seringkali menimbulkan kesimpulan yang bermasalah pula. Perjuangan muslimah di masa lampu hendaknya tidak perlu kita kenakan kepada bingkai feminisme. Peninjauan yang adil, akan melihat bahwa perjuangan muslimah di Indonesia pada masa lampau tidak berlandaskan pada semangat dan tujuan yang sama dengan gerakan atau pemikiran feminism. Pendidikan untuk perempuan (muslimah) di Indonesia sendiri tak bias dibatasi oleh pendidikan formal belaka. Islam mengajarkan bahwa baik laki-laki dan perempuan

Syajarah

diwajibkan menuntut ilmu. Ada pun cara menuntut ilmu pada masa lampau bagi muslimah di nusantara, tak harus di bawah naungan institusi pendidikan. Pendidikan bagi muslimah di masa lalu, seringkali dianggap tidak ada karena dibatasi hanya pada pendidikan di institusi pendidikan belaka. Kita dapat menilai bahwa para pendidikan bagi muslimah sejatinya dimulai dari lingkup keluarga, dan diberikan oleh orang tua atau kerabat keluarga mereka. Contoh ini dapat terlihat misalnya seorang muslimah pada abad ke 18-19, yaitu Raden Ayu Danukusuma. Putri dari Sultan Hemengkubwana I ini disebut memiliki kitab terjemahan berbahasa jawa al Tuhfa al-mursala ila ruh al-nabi karya Muhammad Fadlallah al-Burhanpuri. [3] Meski kala itu belum dikenal pesantren khusus perempuan, tetapi sosok Raden Ayu Danukusuma telah membaca sebuah kitab tasawuf yang cukup berbobot tersebut. Kitab yang sempat menimbulkan polemik di nusantara ini bukan bacaan satu-satunya milik Raden Ayu Danukusuma.[4] Ia pun dicatat memiliki kitab Bustan us-Salatin. Raden Ayu Danukusuma yang hidup di kalangan bangsawan sekaligus dekat dengan kalangan


16

Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan

santri membuatnya lebih mudah untuk menimba ilmu tentang Islam. Kenyataan bahwa perempuan di masa itutelah dapat mengakses kitab-kitab yang beragam, membuktikan bahwa pendidikan telah di tuai oleh muslimah sejak masa lampau. Contoh lain adalah hadirnya kitab fiqih yang dikarang oleh seorang ulama perempuan di dunia melayu pada abad ke 19(?). Kitab itu ditulis oleh Fatimah, cucu dari ulama besar Kalimantan, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary. Fatimah yang lahir dari putri Syekh Arsyad Al Banjary, yaitu Syarifah, yang menikah dengan ulama bernama Abdul Wahab Bugis. Kitab yang ditulis Fatimah adalah Perukunan Jamaluddin. Kitab ini berisi tentang persoalan fiqih seperti Sholat, puasa dan penyelenggaraan jenazah.[5] Kisah perjumpaan Kartini dengan Kiyai Shaleh Darat, juga dapat memberikan petunjuk pada kita bahwa kehidupan Kartini, sebelum berjumpa dengan Kiyai Shaleh Darat, awalnya adalah kehidupan yang justru terhalang dari cahaya Islam.[6] Kehidupan perempuan bangsawan Jawa yang terkurung oleh beragam aturan dan pemahaman, seperti ‘sowarga nunut, neraka katut’ (ke surga ikut, ke neraka terbawa) yang justru menghalanginya dari menerima cahaya Islam sejati. [7] Kiyai Saleh Darat membukakan mata hati dan pikiran Kartini akan kebenaran agama Islam yang tidak menghalangi perempuan untuk memperoleh pendidikan. Maka ketika memasuki abad ke 20, gerakan Islam di tanah air memperoleh momentumnya dengan

D

Syajarah

membentuk perkumpulan-perkumpulan, termasuk perkumpulan bagi muslimah pertama yaitu Aisyiyah dari Muhammadiyah. Ketika arus utama penulisan sejarah gerakan perempuan (muslimah) di Indonesia selalu diteropong dari kacamata feminisme, maka kita akan menemukan kontradiksi-kontradiksi. Kontradiksi tersebut disebabkan lahirnya gerakan muslimah di Indonesia, bukan berdiri diatas tujuan-tujuan ala feminisme semisal kesetaraan gender. Tetapi gerakan muslimah tersebut lahir untuk memajukan perempuan dari keterbelakangan yang diakibatkan rintangan adat, kolonialisme ataupun kesalahpahaman terhadap ajaran Islam. Malah gerakangerakan muslimah tersebut tetap setia membela ajaran Islam yang kerap dipandang secara timpang oleh feminis, yaitu poligami.[8] Contoh pembelaan kepada poligami oleh gerakan muslimah, semisal Aisyiyah adalah sebuah contoh betapa gerakan muslimah tidak berpijak kepada ide-ide feminisme, melainkan berpegang teguh kepada Islam. Pada 1920-an ketika poligami dicemooh oleh kalangan nasionalis sekuler, maka Aisyiyah melakukan pembelaan. Mereka tidak menganjurkan poligami, tetapi juga menolak penghapusan pembolehan soal poligami dalam Islam.[9] Gerakan muslimah di Indonesia sejatinya tetap jalan dalam koridor agama Islam. Mereka bertujuan untuk membentuk perempuan sebagai ibu yang siap mendidik generasi penerus. Menjadikan ibu sebagai posisi yang mulia. Bukan hendak menjungkirbalikkan institusi

i Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa lepas dari dunia pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah Darul Ulum di Mekkah, menggantikan ulama besar nusantara, Syekh Yasin Al-Fadany, tercetuslah ide untuk membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci.


Beggy Rizkiyansyah

Syajarah

Masjid Tebu Ireng tahun 1950-an Sumber foto: AM Yasin & Fathurrahman Karyadi, Profil Pesantren Tebu Ireng, Pustaka Tebu Ireng:2011

rumah tangga dengan jargon kesetaraan gender dan sebagainya. Jargon-jargon ini justru ditolak oleh organisasi perempuan semacam Aisyiyah dan JIBDA dalam koran Isteri di tahun 1929.[10]

oleh KH Hasyim Asy’ari tanpa membaur dengan santrisantri KH Hasyim Asy’ari. Terkadang dari balik tabir Nyai Khoiriyah mendengar penjelasan dari KH Hasyim Asy’ari mengenai agama Islam.[11]

Pendidikan Islam maupun umum, ketrampilan, berwirausaha menjadi nafas gerakan perempuan yang senantiasa mengiringi langkah gerakan muslimah pada saat itu. Maka selain Aisyiyah, kita juga mengenal Perempuan Sarekat Islam, Rahmah el-Yunisyiah dengan Madrasah Diniyah Puteri pada tahun 1923, Rohana Koeddoes dengan Sekolah Kerajinan Amal Setia dan surat kabar Soenting Melajoe pada 1912.

Pada usia 13 tahun ia menikah dengan santri KH Hasyim Asy’ari, yaitu Maksum Ali dari keluarga pesantren Maskunambang, Gresik. Tahun 1921, Seperti lazimnya dalam dunia pesantren, maka KH Maksum Ali kemudian membuka Pesantren Seblak, sekitar 200 m dari Tebuireng, di atas tanah yang pernah dibeli oleh KH Haysim Asy’ari. KH Maksum Ali kemudian memimpin sendiri pesantren tersebut.[12]

Dunia pesantren sesungguhnya bukan dunia yang timpang kepada perempuan. Pendidikan kepada perempuan, bukan berarti tak hadir ketika pesantren khusus perempuan belum ada hingga akhir abad ke 19. Pendidikan kepada perempuan tetap diberikan oleh para Kiyai-kiyai kepada keluarga mereka. Ketika pendidikan bersifat massal kepada perempuan muncul dalam lingkungan pesantren pun, hal itu lahir juga dari tangan para Kiyai. Bukan karena campur tangan dari luar. Selain lahirnya pendidikan pesantren khusus perempuan, kita pun akan melihat lahirnya sosok ulama perempuan di dunia pesantren di Jawa. Ia adalah Nyai Khoiriyah Hasyim.

Ketika tahun 1933, KH Maksum Ali wafat. Maka diusia yang masih muda, 27 tahun, Nyai Khoiriyah Hasyim mengambil alih kepemimpinan pesantren tersebut. Selama lima tahun ia memimpin Pesantren Seblak (1933-1938). Di tahun 1938, ia menikah dengan Kiyai Muhaimin. Mengikuti sang suami, ia pun pindah ke Mekkah. Selain untuk menunaikan ibadah haji, kepergian sang suami ke Mekkah adalah untuk menuntut ilmu dari para ulama di Tanah Suci.[13]

Lahir tahun 1906, sebagai putri kedua dari ulama besar, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, Khoiriyah Hasyim hidup dalam naungan tuntunan Islam. Ia didik langsung

Di Tanah Suci, Nyai Khoiriyah tak bisa lepas dari dunia pendidikan. Saat sang suami menjadi kepala Madrasah Darul Ulum di Mekkah, menggantikan ulama besar nusantara, Syekh Yasin Al-Fadany, tercetuslah ide untuk membentuk madrasah putri pertama di Tanah Suci. Pada tahun 1942 rencana tersebut akhirnya terwujud. Sebuah madrasah khusus perempuan pertama di Tanah


18

Nyai Khoiriyah, Ulama Perempuan yang Terlupakan

Syajarah

Pondok Salafiyah Syaiiyah Seblak, Jombang di masa kini. Sumber foto : www.seblak.net

Suci akhirnya dibuka. Madrasah tersebut bernama Madrasah Banat, yang menjadi bagian dari Madrasah Darul Ulum. Hal ini tentu menjadi prestasi tersendiri bagi umat Islam asal Indonesia yang mampu membuka madrasah perempuan pertama di Mekkah.[14] Kiprah Nyai Khoiriyah tak selamanya di Mekkah. Tahun 1956, suaminya, Kiyai Muhamin wafat. Ia pun akhirnya kembali ke tanah air setelah hampir 20 tahun di Mekkah. Kepulangannya ke Indonesia juga untuk memenuhi ajakan Presiden Soekarno saat itu, untuk mengembangkan pesantren di Indonesia. Ia memang bukan perempuan biasa. Kedalaman ilmunya diakui banyak pihak. Mantan pemimpin Pesantren Tebuireng, KH Yusuf Hasyim, menyebutnya Kiyai Putri. Dan karena keluasan dan kedalaman ilmu beliau pula, Nyai Khoiriyah menjadi satu-satunya perempuan yang mampu duduk di jajaran Bahtsul Masail Nadhlatul Ulama. Bersama-sama dengan kiyai sepuh lain di NU, Bashul Mashail menjadi otoritas di NU yang bertugas membahas masalahmasalah maudlu’iyah (tematik) dan waqi’iyah (aktual) yang akan menjadi Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.[15] Di katakan oleh KH. Yusuf Hasyim, Nyai Khoiriyah mampu untuk berargumen dengan kiyai-kiyai lain di Bahtsul Masail NU.[16] Kapasitas ilmunya memang tak diragukan lagi. Di Pesantren Salafiyah Seblak, Nyai Khoiriyah-lah yang

menguji kemampuan para calon Imam sholat Jumat di sana. Ia menguji bacaan surat Al-Fatihah para calon imam tersebut. Dan tidak semuanya bisa lolos dari ujian tersebut. Ia pun aktif menulis mengenai Islam ke media massa. Salah satunya adalah tulisannya yang berjudul “Pokok Tjeramah dan Pengertian Antar Mazahib dan Toleransinya” yang dimuat di majalah Gema Islam tahun 1962. Dari tahun 1957 hingga tahun 1968, figurnya tak bisa dilepaskan dari dunia pesantren. Di pesantren Seblak sendiri berdiri Pesantren khusus putri. Lahirnya Pesantren Seblak khusus putri ini tak lepas dari dukungan KH Haysim Asy’ari. Adalah putri Nyai Khoiriyah Hasyim, Nyai Abidah dan suaminya Kiyai Machfudz Anwar, yang memelopori berdirinya pesantren putri tersebut, saat Nyai Khoiriyah berada di Mekkah. Tak heran jika jiwa pendidik menurun kepada putrinya, Nyai Abidah. Dengan tangan dingin Nyai Khoiriyah, Nyai Abidah digembleng dengan pendidikan agama.[17] Kiprahnya di Nadhlatul Ulama pun amat berpengaruh, terutama di Muslimat NU. Muslimat NU didirikan bertujuan untuk melaksanakan tujuan NU dikalangan wanita, untuk melaksanakan syariat Islam menurut haluan Ahlussunnah wal Jamaah. Di Nadhlatul Ulama ia menjadi salah satu anggota Badan Syuriah PBNU. Sebuah posisi yang hanya diiisi oleh kiyai-kiyai senior.[18] Hingga akhir hayatnya, hidupnya selalu dipenuhi


Beggy Rizkiyansyah

Syajarah

panggilan berdakwah. Ia mengisi berbagai majelis taklim. Di pesantren, ia menekankan pada santriwati untuk menuntut aurat. Ia sendiri yang menjadi contoh para santriwati dalam menutup aurat, dengan mengenalkan Kerudung Rubu.’ Sebuah model kerudung yang menutup aurat, dan menyerupai jilbab. Namun sayang, Kiprah dan perjuangan Nyai Khoiriyah sebagai ulama perempuan kini seperti terlupakan. Kiprahnya sebagai ulama perempuan membuktikan bahwa kehadiran perempuan tetap bermakna besar bagi pesantren dan pendidikan di Indonesia. Benih ilmu yang ditaburnya merentang dari Jombang hingga Mekkah. Nyai Khoiriyah hanyalah salah satu dari banyak muslimah pembawa perubahan di Indonesia. Berbagai partisipasi dan prestasi muslimah di Indonesia bertitik tolak bukan dari argumen kesetaraan gender yang berhawa feminisme. Kiprah mereka, justru bertolak dari kecintaan pada Islam dan tetap berjalan di jalan Islam.

[1] Lihat misalnya Muttaqien, Farid. 2015. Early Feminist Consciousness and Idea Among Muslim Women in 1920s Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun Vol. 3 No. 1.dan Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS [2] Ayub. 2015. Misrepresentasi Muslimah dalam Wacana Feminisme. HYPERLINK “http://thisisgender.com/ misrepresentasi-muslimah-dalam-wacana-feminis-1/” http://thisisgender.com/misrepresentasi-muslimah- dalam-wacana-feminis-1/ diunduh pada 24 April 2015. [3] Carey, Peter. 1975. A Further Note on Professor Johns Gift Addressed to The Spirit of The Prophet. Leiden: Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 131 No: 2/3 [4] Fathurrahman, Oman. Sejarah Pengkafiran dan Marjinalisasi Paham Keagamaan di Melayu dan Jawa. Analisis, Vol. 11, No. 2, Desember 2011 [5] Van Bruissen, Martin. Kitab Kuning dan Perempuan, Perempuan dan Kitab Kuning (Makalah Pembanding dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS [6] Umam, Saiful. 2013. God’s Mercy is Not Limited To Arabic Speakers: Reading Intellectual Biography of Muhammad Saleh Darat and His Pegon Islamic Texts. Studia Islamika Vol. 20 No. 2 [7] Kuntowijoyo. Arah Pengembangan Organisasi Wanita Islam Indonesia: Kemungkinan-kemungkinannya (makalah utama) dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS [8] Ro’fah. 2000. A Study of ‘Aisyiyah: An Indonesian Women Organization (1917-1998). Canada: Insititute of Islamic Studies, McGill University. Tesis tidak diterbitkan. [9] Ibid. [10] Mantovani, Sarah. Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu. Jejak Islam untuk Bangsa. HYPERLINK “http:// jejakislam.net/?p=544” http://jejakislam.net/?p=544 diunduh pada 24 April 2015. [11] Srimulyani, Eka. 2012. Women from Islamic Education Institutions in Indonesia: Negotiating Public Spaces. Amsterdam: Amsterdam University Press. [12] Ibid. [13] Ibid. [14] Ibid. [15] http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,14-t,lembaga-.phpx [16] Ibid. [17] Ibid. [18] Baidlowi, Asiyah Hamid. Profil Organisasi Wanita Islam: Studi Kasus Muslimat NU (Makalah Utama) dalam Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual., Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: INIS


20

Syajarah

HARI IBU MENOLAK FEMINISME SEJAK DAHULU Oleh : Sarah Mantovani Alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

76 tahun yang lalu atau pada tahun 1938, organisasi-organisasi perempuan Indonesia mengadakan Kongres Perempuan di Bandung. Kongres tersebut memutuskan agar setiap tanggal 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu dengan semboyan “Merdeka Melaksanakan Dharma�. Maka, tulis Sujatin Kartowijono dalam bukunya Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia, kaum wanita mulai menghayati cita-cita Ibu Keluarga, Ibu Masyarakat, dan Ibu Bangsa.[1]


Sarah Mantovani

Adanya Hari Ibu, fungsi dan peran perempuan, oleh organisasi-organisai perempuan Indonesia, dikembalikan pada tempatnya semula karena pada tahun-tahun tersebut telah lahir gerakan-gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, seperti Poetri Merdika[2] yang didirikan pada tahun 1912 di Jakarta dengan bantuan Budi Utomo dan mempropagandakan gagasan-gagasannya mengenai emansipasi melalui koran mereka Poetri Merdika, kemudian Istri Sedar, didirikan di Bandung pada tahun 1930, yang akhirnya berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) setelah sembilan tahun Indonesia merdeka.[3] Corak feminis yang melekat pada Istri Sedar terlihat dari berbagai tulisan para anggotanya yang dimuat dalam koran mereka bernama Sedar, salah satunya dalam tulisan berjudul “Persamaan Hak dan Persamaan Kewadjiban”, bulan September-Oktober 1931, “Apakah kewadjiban dari perempoean Indonesia sekarang? Ialah bekerdja soepaja sebagai manoesia sepenoehpenoehnja sebagai manoesia, jaitu soepaya diakui bahwa haknja haroes sama dengan lelaki”. Kemudian seiring dengan pergantian rezim dan semakin berkembangnya pergerakan perempuan Indonesia yang ditandai dengan munculnya organisasi, lembagalembaga maupun pusat studi wanita yang beraliran feminisme, Hari Ibu seakan-akan telah tergantikan dengan Hari Perempuan Sedunia yang diperingati setiap tanggal 08 Maret. Hari perempuan lebih patut diperingati daripada Hari Ibu, karena kata “ibu” sendiri mencerminkan penindasan bagi perempuan dan dianggap mempersempit ruang gerak perempuan. Penolakan feminis terhadap domestikasi perempuan atau peran perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga menuai dukungan dari seorang feminis Indonesia dengan melahirkan istilah “Ibuisme negara”. Istilah ini juga disebut-sebut sebagai respon atas Pancadharma yang dibuat pada era pemerintahan Soeharto. Pemerintahaan pada era Soeharto saat itu, sebagaimana yang ditulis Dewi Candraningrum, dalam makalahnya Negara, Seksualitas dan Pembajakan

Syajarah

P

enolakan feminis terhadap domestikasi perempuan atau peran perempuan sebagai Ibu Rumah Tangga menuai dukungan dari seorang feminis Indonesia dengan melahirkan istilah “Ibuisme negara”

Narasi Ibu, merumuskan peran kaum wanita ke dalam lima kewajiban (Pancadharma, pen), yaitu: Pertama, wanita sebagai istri pendamping suami. Kedua, wanita sebagai ibu pendidik dan pembina generasi muda. Ketiga, wanita sebagai pengatur ekonomi rumah tangga. Keempat, wanita sebagai pencari nafkah tambahan. Kelima, wanita sebagai anggota masyarakat, terutama organisasi wanita, badan-badan sosial, dan sebagainya yang menyumbangkan tenaga kepada masyarakat.[4] Ibuisme negara dalam perspektif feminis merupakan Weltanschauung (pandangan dunia, pen) yang memangkas identitas eksistensial perempuan sebagai manusia seutuhnya. Darinya perempuan dibonsai, dipangkas, dikerdilkan, direduksi, pada arena domestik – sebagai istri, sebagai ibu, sebagai pendidik dan penanggung jawab terhadap anak, dan penyokong negara. Memenjara Ibu hanya pada fungsi-fungsi di atas juga dianggap feminis bersifat sangat Freudian, ekslusif, tidak egaliter, subordinatif dan represif terhadap perempuan.[5]


22

Hari Ibu: Menolak Feminisme Sejak Dahulu

Syajarah

“Djadi semestinja bagi kita kaoem pere tentangan jang hendak madjoe dalam itoe, hendaklah djangan sampai sebag (perempoean Barat)”

1932

Padahal, faktanya, gerakan-gerakan perempuan Indonesia dulu menolak persamaan hak berbungkus emansipasi, di sisi lain mereka tidak merasa disubordinasi, di eksklusifkan, diperlakukan represif, direndahkan maupun ditindas karena peran mereka sebagai Ibu Rumah Tangga maupun sebagai Ibu Pendidik. Penolakan ini tercermin dalam koran-koran yang mereka tulis, seperti Soenting Melajoe pada edisi 31 Desember 1914, koran yang didirikan oleh Ruhana Kudus – Jurnalis Muslimah pertama di Indonesia asal Sumatra Barat. Intinya tertulis bahwa memuliakan perempuan tidak boleh melebihi martabat laki-laki, “Maka dari sebab itoe haroeslah pada pikiran saja yang hina lagi bodoh ini soepaja kita bersama-sama memoeliakan perempoean kita itoe (tetapi) tidak boleh melebihi martabat laki-laki, soepaja perboeatan maasiat itoe tiada dilakoekan dengan begitoe gampang sekali dan dengan demikian ini terselamat bangsa kita dari pada kehinaan doenia dan nista bangsa-bangsa lain serta terpelihara mereka itoe daripada hoekoeman achirat jang siksa dan sengsara itoe”. Kemudian koran Isteri edisi Desember 1929 milik Perikatan Perempuan Indonesia (PPI), dimana Jong Islamieten Bond Dames Afdeeling (JIB perempuan) dan Aisiyah tergabung di dalamnya, ikut menolak feminisme, “Dari sebab orang perempoean itoe di titahkan halus


Sarah Mantovani

Syajarah

empoean m pergerakan gai mereka

badannja, lemboet pikirannja, lemah perasaannja, tidak sama dengan laki-laki, adalah kasar, koewat, keras, teristimewa perempoean itoe mengoeroes kewadjibannja sendiri seperti: mengandoeng anak, melahirkan, memberi air soesoe anak, mengasoeh, mendidik, dsb, maka tentoelah tidak dapat sempoerna akan mendjalankannja kewadjibannja sendiri. apakah baik kesehatan iboe jang sedang sedang dirinja mengandoeng anak, dengan beres bolehnja bekerdja di goedang-goedang? Apa kiranja bisa menggali goenoeng dengan berhenti melahirkan anak?? Apakah dapat berbaris dengan memberi air soesoe anaknja??? Apakah sempoerna bolehnja mengasoeh anaknja djika ia mendjadi poelitie (Polisi, red) atau resisir???. Soedahlah soedah!! Soenggoeh moestahil sekali dan tidak dapat, karena bertentangan dengan natuur.” Selain itu, Pengurus Ibu Sibolga, Medan, melalui korannya Soeara Iboe edisi Juni 1932 juga menekankan agar pergerakan perempuan Indonesia jangan sampai seperti perempuan Barat.“Djadi semestinja bagi kita kaoem perempoean tentangan jang hendak madjoe dalam pergerakan itoe, hendaklah djangan sampai sebagai mereka (perempoean Barat)”. Lalu salah satu Panitia Peringatan Hari Lahir R.A Kartini, Soekarsih, menuturkan dalam artikelnya di koran Merdeka edisi 20 April 1946, bahwa perempuan Indonesia tidak perlu mengejar emansipasi. “Kini kita tidak begitoe perloe mengedjar “emansipasi”

atau “persamaan hak” karena sebagian besar dari masjarakat kita telah menghargai kedoedoekan wanita”. Penolakan-penolakan tersebut memperlihatkan bahwa organisasi-organisasi perempuan Indonesia yang pada tahun 1938 mengadakan kongres di Bandung membawa semangat anti-feminisme, selain menyerukan semangat anti imperalisme dan kolonialisme. Kalaulah para organisasi perempuan saat itu tidak membawa semangat anti-feminisme, pastilah mereka tidak menamakan hari perempuan dengan hari ibu. Sumber Pustaka: [1] Sujatin Kartowijono, Perkembangan Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1977), hlm. 7. [2] Mr. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1960), hlm. 34. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, et. al., Sejarah Nasional Indonesia, (Solo: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 248. [3] Ibid., hlm. 184. Lihat juga Sartono Kartodirdjo, et. al., Sejarah…, hlm. 250. [4] Dewi Candraningrum. Negara, Seksualitas dan Pembajakan Narasi Ibu, hlm. 9. Makalah disampaikan dalam seminar Great Thinkers: Mengkaji Kembali Gagasan Julia Suryakusuma: State Ibuism di Era Pasca Orde Baru, Ruang Seminar lantai lima, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Rabu 24 April 2013. [5] Ibid, hlm. 4.


24

Syajarah

PERJALANAN PANJANG

JILBAB DI INDONESIA


Tri Shubhi A.

Syajarah


26

Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

Syajarah

“Orang harus berpakaian sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampa kaki harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung. Ketjantikan dan masuk angin sudah terdjaga dengan sendirinya. Kepalanja harus ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri.”

Oleh : Andi Ryansyah Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa

Berbicara mengenai jilbab di Indonesia, terutama mengenai sejarahnya bukan perkara mudah. Tak banyak tulisan yang memuat khusus mengenai itu. Sumbersumber sejarah yang menyingkap perjalanan jilbab di tanah air pun tidak melimpah, setidaknya jika berkaitan dengan sumber sejarah sebelum abad ke 20. Namun mengingat pentingnya jilbab sebagai bagian dari syariat Islam dalam kehidupan umat Islam saat ini, tulisan ini akan menelusuri perjalanan jilbab di tanah air. Kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslim amat mungkin sudah diketahui sejak lama. Sebab telah banyak ulama-ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Tanah Suci. Ilmu yang ditimba di tanah suci, disebarkan kembali ke tanah air oleh para ulama tersebut. Kesadaran untuk menutup aurat sendiri, pastinya dilakukan setidaknya ketika perempuan sedang sholat . G.F Pijper mencatat, istilah ‘Mukena’, setidaknya telah dikenal sejak tahun 1870-an di masyarakat sunda. Meskipun begitu, pemakaian jilbab dalam kehidupan sehari-hari tidak serta merta terjadi di masyarakat. [1] Satu hal yang pasti, sejak abad ke 19, pemakaian jilbab telah diperjuangkan di masyarakat. Hal itu terlihat dari sejarah gerakan Paderi di Minangkabau. Gerakan revolusioner ini, turut memperjuangkan pemakaian jilbab di masyarakat.[2] Kala itu, mayoritas masyarakat Minangkabau tidak begitu menghiraukan syariat Islam, sehingga banyak sekali terjadi kemaksiatan. Menyaksikan itu, para ulama paderi tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk menerapkan syariat Islam di Minangkabau, termasuk


Andi Ryansyah

Syajarah

Ilustrasi perempuan pada masa Paderi Sumber foto: Dobbin, Christiine. 1983. Islamic Revivalism in Changing Peasant Economy; Central Sumatera 1784-1847. Curzon Press: London and Malmo

aturan pemakaian jilbab. Bukan hanya jilbab, aturan ini bahkan mewajibkan wanita untuk memakai cadar.[3] Akibat dakwah Islam yang begitu intens di Minangkabau, Islamisasi di Minangkabau telah meresap sehingga syariat Islam meresap ke dalam tradisi dan adat masyarakat Minang. Hal ini dapat kita lihat dari bentuk pakaian adat Minangkabau yang cenderung tertutup. Di Aceh, seperti juga di Minangkabau, di mana dakwah Islam begitu kuat, pengaruh Islam juga meresap hingga ke aturan berpakaian dalam adat masyarakat Aceh. Adat Aceh menetapkan, “orang harus berpakaian sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampa kaki harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung. Ketjantikan dan masuk angin sudah terdjaga dengan sendirinya. Kepalanja harus ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri.” [4] Di Sulawesi Selatan, Arung Matoa (penguasa) Wajo, yang di panggil La Memmang To Appamadeng, yang berkuasa dari 1821-1825 memberlakukan syariat Islam. Selain pemberlakuan hukum pidana Islam, ia juga mewajibkan kerudung bagi masyarakat Wajo.[5] Menjelang abad ke 20, teknologi cetak yang telah lazim di tanah air turut membantu penyadaran kewajiban perempuan untuk berjilbab di masyarakat. Sayyid Uthman, seorang ulama dari Batavia menulis persoalan jilbab ini dalam bukunya Lima Su’al Didalam Perihal Memakai Kerudung yang terbit pada Oktober 1899. [6]

Tidak hanya perkembangan teknologi cetak, gerakan reformasi Islam dari timur tengah, khususnya dari Mesir turut mempengaruhi dakwah di Indonesia. Salah satunya yang terdapat di Sumatera Barat. Gerakan yang dipelopori oleh ‘Kaoem Moeda’ ini menggemakan kembali kewajiban jilbab di masyarakat Minangkabau. Syaikh Abdul Karim Amrullah yang biasa dikenal dengan nama Haji Rasul ini, amat vokal menyuarakan kewajiban wanita muslim menutup aurat. Menurutnya, aurat wanita itu seluruh tubuh.[7] Ayah Buya Hamka ini mengkritik keras kebaya pendek khas Minangkabau. Kritik beliau dapat kita lihat dalam bukunya,Cermin Terus. Kritik keras terhadap pakaian wanita ini kemudian menjadi polemik di masyarakat. [8] Diceritakan oleh Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Ayahku; Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera bahwa ayahnya menentang kebaya pendek itu karena tidak sesuai dengan hadits Nabi dan pendapat ulamaulama. Memang, lanjut Buya, ada kebaya pendek yang sengaja digunting untuk menunjukkan (maaf) pangkal salah satu bagian tubuh wanita. [9] Di pulau Jawa, banyaknya wanita muslim yang tidak menutupi kepala, mendorong gerakan reformis muslim menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan aktif menyiarkan dan menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim sejak 1910-an. Ia melakukan dakwah jilbab ini secara bertahap.


28

Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

Awalnya ia meminta untuk memakai kerudung meskipun rambut terlihat sebagian. Kemudian ia menyarankan mereka untuk memakai Kudung Sarung dari Bombay. Pemakaian kudung ini dicemooh oleh sebagian orang. Mereka mencemoohnya dengan mengatakan,“Lunga nang lor plengkung[10], bisa jadi kaji” (pergi ke utara plengkung, kamu akan jadi haji). Namun KH. Ahmad Dahlan tak bergeming. Ia berpesan kepada muridmuridnya,“Demit ora dulit, setan ora Doyan, sing ora betah bosok ilate,” (Hantu tidak menjilat, setan tidak suka yang tidak tahan busuk lidahnya). Upaya menggemakan kewajiban jilbab ini terus berjalan. Tak hanya itu, ia mendorong wanita untuk belajar dan bekerja sesuai potensinya, semisal menjadi dokter, ia tetap menekankan wanita untuk menutup aurat dan melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. [11] Organisasi Muhammadiyah sendiri pernah mengungkapkan aurat wanita adalah seluruh badan, kecuali muka dan ujung tangan sampai pergelangan tangan.[12] Organisasi Al Irsyad juga turut menyuarakan kewajiban jilbab bagi para wanita. Di Pekalongan, Jawa Tengah, kongres Al Irsyad telah membahas isu-isu wanita yang berjudul Wanita dalam Islam Menurut Pandangan Golongan al-Irsyad. Salah satu hasil kongresnya menyarankan anggota wanitanya untuk menutupi kepala dan tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan.[13] Selain Muhammadiyah dan Al Irsyad, Persis menjadi organisasi yang amat gigih dan aktif menyuarakan kewajiban jilbab bagi wanita. Melalui majalah AlLisaan tahun 1935, Persis secara tegas menyatakan tubuh wanita yang boleh kelihatan hanya muka dan pergelangan tangan. Itu artinya rambut dan kepala wanita harus ditutup. [14] Tokoh Persis, Ahmad Hassan menulis syiar pertamanya tentang kewajiban jilbab bagi wanita Muslim pada tahun 1932. Anggota wanita dari Persis pun mengenakan gaya jilbab yang berbeda. Mereka benar-benar menutupi kepala mereka dan hanya menunjukkan wajah. Rambut, leher, telinga dan bagian dada tertutup oleh jilbab. Mereka memakainya tidak hanya ketika melakukan perayaan atau kegiatan keagamaan, tapi juga sebagai pakaian sehari-hari. Ini

Syajarah

sebuah kebiasaan baru dan disertai keyakinan bahwa bila wanita yang tidak menutupi kepalanya, maka akan masuk neraka. Hal ini mengundang reaksi sebagian masyarakat. Bahkan akibat memakai jilbab sesuai arahan Persis ini, di Pamengpeuk, seorang muslimah dilempari batu.[15] Kegigihan memperjuangkan jilbab, tak hanya dilakukan oleh organisasi muslim reformis. Nahdlatul Ulama (NU) menyuarakan hal yang sama. Saat Kongres Nahdlatoel Oelama ke-XIII yang digelar pada Juni tahun 1938, di Banten, NU Cabang Surabaya mengusulkan agar kaum ibu dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Alasannya agar kaum ibu menutup auratnya sesuai syariat Islam.”Berhubung dengan jang dibilang aurat dari perempoean itu adalah seloeroeh badannja, teroetama ramboet, tangan, dsb. Itoe telah diketahoei oleh oemoem, maka itoelah sebabnja, Soerabaja tetap mempertahankan pendiriannja, karena jang dimaksoed oleh oesoel itu, hanjalah penoetoepan rambut sadja (dan dengan sendirinja leher tertoetoep djoega oleh keadaan jang sangat memaksanja). Soerabaja tak akan merobah pendiriannja itoe.”[16] Lebih dari itu, KH. Tohir Bakri mengungkapkan alasan cabang tersebut karena sesuai dengan hukum-hukum Islam dan terdorong untuk mencegah timbulnya korban dari kaum ibu pada zaman modern. Mendengar hal ini, HBNO (PBNU) mendukung usul itu, sebab kaum ibu akan menjadi contoh bagi orang awam, kemudian turut menjaganya dari kemaksiatan, dan menghargai kaum ibu di tengah kemaksiatan yang merajalela.[17] Akhirnya, Voorzitter memutuskan ustadzah-ustadzah dan murid-murid Madrasah Banaat NO memakai kudung model Rangkajo Rasuna Said. Keputusan ini diambil berdasarkan pertimbangan keadaan dan kebiasaan suatu tempat yang berbeda-beda serta belum ada organisasi khusus bagi kaum ibu NU.[18] Dalam keputusan Muktamar NU ke-8 di Jakarta, tanggal 2 Muharram 1352 H/ 7 Mei 1933, diungkap bahwa menurut pendapat yang paling shahih dan terpilih, seluruh anggota badan wanita merdeka itu aurat kecuali wajahnya dan kedua telapak tangannya, baik bagian


Andi Ryansyah

Syajarah

dalam ataupun luarnya.[19] Tahun 1940 di Solo, dua orang tokoh keturunan Bani Alawi, Idrus Al-Mansyhur dan Ali Bin yahya mulai menggerakkan dakwah pemakaian ‘berguk’ bagi wanita. ‘Berguk’ berasal dari kata Burqa. Di sebuah pertemuan yang dihadiri 60 orang, terdapat keprihatinan di kalangan mereka akan degradasi moral kaum wanita. Ketika itu dibicarakan, sudah banyak wanita yang keluar tanpa kerudung. Sebagai keturunan Rasulullah SAW, mereka merasa telah mengkhianati beliau. Ahmad bin Abdullah Assegaf, Segaf Al Habsyi dan Abdul Kadir Al Jufri sependapat untuk mewajibkan Berguk kepada wanita dikalangan Alawiyyin. Dakwah ini tidak hanya di Solo, namun mulai merebak ke Surabaya dan menimbulkan pertentangan. Namun akhirnya kampanye pemakaian‘Berguk’ surut dengan sendirinya. Upaya memperjuangkan jilbab tak sedikit mendapat pertentangan. Perang kata-kata melalui media massa mewarnai era 1930-40an. Majalah Aliran Baroe yang berafiliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tidak mendukung kewajiban jilbab. Majalah ini berseteru dengan beberapa pihak. Sikap PAI yang tidak mengurusi soal jilbab ini mendapat kritikan dari Siti Zoebaidah melalui majalah Al Fatch. Lewat majalah milik Aisyiyah –organisasi perempuan yang menginduk pada Muhammadiyah- ini[20], Siti Zoebaidah menegaskan bahwa wajib bagi kaum muslimat memakai jilbab. [21] Kaum Aisyiyah memang dikenal selalu memakai jilbab. Hal ini diungkap dalam Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 bahwa, “Rambut kaum Aisyiyah selalu ditutup dan tidak akan ditunjukkan, sebab termasuk aurat.”[22] Perjuangan Berat di Masa Orde Baru Jika pada masa sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai polemik di media massa, namun di orde baru perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat Islam khususnya muslimah mendapat tentangan keras dari pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan pihak militer. Militer, dalam hal ini Angkatan Darat, muncul sebagai kekuatan yang sangat dominan dalam panggung politik

ATAS : Rasuna Said TENGAH : Salah satu iklan kerudung di Majalah Mingguan Muhammadiyah, Adil. BAWAH: Ilustrasi ‘Berguk’ (burqa) di Majalah Aliran Baroe, “Mana Dia? Bergoeknya Toean Bin Yahya Masyhoer,” No. 21 (1940), p. 19

ATAS: Sumber Foto: Majalah Pedoman Masjarakat 1 September 1937/ Dokumentasi Sarah Mantovani TENGAH: Sumber Foto: Tantowi, Ali , The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010 BAWAH: Sumber: Tantowi, Ali , The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010


30

Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

Syajarah

Ilustrasi perempuan di Majalah Aliran Baroe Sumber Foto: Tantowi, Ali , The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010

orde baru. Militer Indonesia mendominasi posisi-posisi strategis baik eksekutif, legislatif, maupun birokrasi. Pada tahun 1972, 22 dari 26 gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67 % dari bupati dan camat serta 40% dari kepala desa.[23] Selama dua dekade pemerintahan orde baru, terhitung 71,4 % posisi-posisi strategis dalam birokrasi pusat yang tertinggi diduduki militer. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sendiri untuk tahun 1982 terdiri dari 44 % militer. Sejarawan Alwi Alatas menilai salah satu tujan utama dominasi militer ini adalah untuk mengawal tercapainya tujuan orde baru. Pemerintah orde baru mencita-citakan suksesnya program pembangunan yang mereka canangkan dan untuk itu dibutuhkan kestabilan politik dan ekonomi yang ditopang kuat oleh kestabilan pertahanan dan keamanan.[24]

yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab di kalangan pelajar putri. Salah satu hal yang menggelitik untuk dikaji lebih jauh adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakankebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 tampaknya mengindikasikan hal itu. Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah di SMA-SMA Negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah, maka harus secara keseluruhan pelajar puteri di sekolah memakai jilbab.

Hal senada juga diungkapkan oleh sejarawan Tiar Anwar Bachtiar. Menurutnya, dalam membangun stabilitas politik dan keamanan serta pemulihan ekonomi negara, Soeharto dikelilingi tentara dan teknokrat. Tentara digunakan sebagai kekuatan untuk pemulihan keamanan nasional, sedangkan teknokrat dimanfaatkan untuk mewujudkan target ekonomi pemerintah orde baru. [25]

Dengan kata lain hanya ada satu paket seragam saja di sekolah. Dan pilihan untuk pelajar-pelajar muslimah: pakai jilbab seluruhnya atau tidak sama sekali? Tentu tidak aneh bila hal ini menimbulkan tanda tanya, terutama di kalangan yang mendukung jilbab. Apakah ini sebuah bentuk penerapan budaya militer di sekolahsekolah menengah negeri atau hanya sekadar keinginan mengenakan jilbab menjadi mustahil bagi kebanyakan pelajar muslimah? [26]

Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer

Upaya yang dilakukan pemerintah lewat pihak sekolah dalam menyelesaikan masalah larangan jilbab juga memperlihatkan pendekatan militer di dalamnya. Contohnya, ketika Ratu, salah seorang pelajar putri


Andi Ryansyah

Syajarah

yang berusaha memakai jilbab maka hal ini menjadi bermasalah dengan pihak sekolah. Muttaqien, salah seorang anggota keluarga Ratu menganggap bahwa pemerintah pada saat itu menghadapi munculnya jilbab di SMA-SMA Negeri dengan security approach (pendekatan keamanan). Ketika datang ke SMAN 68 untuk membicarakan masalah adiknya, ia menemui Kepala Sekolah, Subandio. Namun pada saat itu Subandio didampingi oleh seorang Kolonel Ass. Intel Kodam Jaya. Ketika itu ia diancam akan ditangkap kalau “macam-macam.” SMAN 68 sendiri pada saat ia datang, dijaga oleh mobil militer. Tetapi Muttaqien mengakui juga bahwa keadaan itu terjadi karena anak buahnya di PII-di luar pengetahuannya- telah menteror Subandio, bahkan dengan ancaman “Bapak besok akan mati!”

yang dituntut oleh ayat-ayat tersebut perlu disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dan bukan menurut kebiasaan di tempat Islam berasal. Guru olah raga ini mewajibkan murid-muridnya mengenakan hot pants (celana pendek diatas lutut) pada saat pelajaran olah raga. Siswi-siswi berjilbab yang bertahan ingin mengenakan training pack diancam mendapat nilai 2 di rapor untuk mata pelajaran olah raga.[28]

Selain itu, rumah para siswi berjilbab, atau orang-orang yang dianggap memengaruhi siswi-siswi berjilbab, didatangi oleh intelijen. Ketua RT mereka ditanyai dan diberi peringatan untuk berhati-hati terhadap mereka. Pihak keluarga didatangi dan diberi ancaman.[27]

Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya tidak bisa menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab. Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena dicurigai sebagai anggota ‘Jamaah Imron’. Jilbab pada saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah.

Terlihat juga ketidakpahaman guru maupun pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud/ P dan K) terhadap masalah hukum Islam dalam hal pakaian muslimah. Sebagai contoh, tidak lama setelah kemunculan SK 052, terjadi kasus pelarangan jilbab di SMAN 3 Bandung pada tahun 1982. Wargono, guru olah raga di sekolah itu mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan menyatakan masalah pakaian dikembalikan kepada ciriciri (tradisi setiap bangsa). Menurutnya, penutup aurat

Awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan atau konflik antara Islam dan pemerintah. Kedua pihak kerap bersitegang. Politik Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan ini. [29]

Maret 1984, pihak Depdikbud mengeluarkan penjelasan tentang pakaian seragam sekolah (bagi keperluan intern jajaran Depdikbud). Di dalamnya secara jelas menguraikan sudut pandang Depdikbud terhadap bermunculannya jilbab di sekolah-sekolah negeri serta protes-protes sekelompok masyarakat terhadap SK 052. Sikap sekelompok masyarakat tersebut dimanfaatkan

Guru olah raga ini mewajibkan murid-muridnya mengenakan hot pants (celana pendek diatas lutut) pada saat pelajaran olah raga. Siswi-siswi berjilbab yang bertahan ingin mengenakan training pack diancam mendapat nilai 2 di rapor untuk mata pelajaran olah raga.


32

Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

Syajarah

oleh golongan tertentu untuk menentang pemerintah, antara lain memperalat siswi di beberapa sekolah pada beberapa kota besar untuk mengenakan sejenis pakaian yang menyimpang/tidak sesuai dengan ketentuan pakaian seragam sekolah. Terutama sekali perlu ditegaskan, bahwa pakaian seragam sekolah tidak menentang ajaran Islam. Dan sebaliknya bahwa “aksi jilbab” yang dilancarkan oknum-oknum tertentu, bukan suatu gerakan agama, melainkan merupakan gerakan politik.

Depdikbud sendiri, dengan jelas menyatakan, Keputusan yang mengatur ketentuan Pakaan seragam sekolah secara nasional ini adalah suatu “Pedoman”, bukan instruksi atau surat perintah, sehingga tidak memuat sanksi atau bersifat paksaan. Jadi sanksi hukum tidak ada, namun besar kemungkinan yang akan terjadi adalah sanksi sosial yang datang dari sekolah lain yang telah menerapkan atau dari tim penilai sekolah teladan yang memasukkan kategori yang belum dapat memenuhi kriteria.

Cara pandang seperti ini tampaknya menurun pada sebagian guru, sehingga sikap mereka tidak ramah atau bahkan membenci siswi-siswi yang memakai jilbab. Seorang guru SMAN 31 Jakarta pernah menuding siswi berjilbab di sekolah itu bahwa cara berpakaian mereka “mewakili gerakan tertentu.” Namun ketika ditanya gerakan apa yang dimaksud, sang guru diam, tidak bisa menjawab.

Pada kenyataannya, bukan seperti itu yang terjadi. Sanksi umumnya datang dari pihak Kepala sekolah dan guru-guru dalam bentuk sindiran-sindiran, tekanan, larangan belajar, hingga pengembalian pada orang tua. Walaupun tidak ada pernyataan yang jelas-jelas melarang jilbab atau jilbab, SK 052 segera menjadi landasan bagi pihak sekolah untuk mengharamkan pemakaian jilbab oleh siswi-siswi di sekolah tersebut.[30]

Salah satu siswi berjilbab di SMAN 68 Jakarta, di dalam catatan hariannya, menuliskan perkataan salah seorang guru agamanya, “Kalau kalian berjilbab karena Allah, maka Bapak tidak dapat melarang kalian, tapi kalau kalian berjilbab karena ada unsur-unsur politik dan sebagainya, maka hal ini kami serahkan pada pihak sekolah.”

Tanggapan beberapa ormas Islam serta masyarakat mulai bermunculan. Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) mengirimkan suratnya pada pengurus MUI pada tanggal 8 Desember1982. Dalam surat setebal empat halaman itu, DDII mengungkapkan keprihatinannya atas masalah-masalah jilbab yang sedang terjadi. DDII juga mengusulkan diadakannya “Musyawarah Ukhuwah Islamiyah” yang melibatkan pemimpin ormas-ormas di bidang pendidikan Islam untuk membicarakan masalah tersebut. DDII terus berkorespondensi dengan MUI. Pada akhir Desember mereka mengirimkan informasi tambahan pada MUI tentang masalah yang sama, dan sebulan berikutnya kembali mengirimkan informasi tambahan yang mereka kumpulkan.

Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, maka tidak mengherankan bila SK ini segera memakan korban. Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar kepala “robot” sekolah yang selalu berlindung di balik kalimat, “Saya hanya melaksanakan perintah atasan”, kemudian dimaki-maki oleh orang tua sendiri, dan lain sebagainya. Hal ini sebetulnya tidak perlu terjadi, bila pihak Depdikbud konsisten dengan apa yang dinyatakannya. Di dalam SK 052, tertulis adanya masa peralihan dua tahun untuk menerapkan aturan seragam sekolah nasional secara penuh. Jadi baru pada tahun ajaran 1984/1985 pakaian seragam ini baru digunakan secara penuh. Sementara dalam Wartasiswa yang dikeluarkan

Pengurus PII Wilayah Jakarta mengirimkan surat pernyataan, (pada tanggal 8 Januari 1983) kepada semua pihak yang berwenang dan terlibat, antara lain ditujukan kepada Ketua MPR-DPR, Menteri-menteri, dan MUI, untuk ikut menuntaskan masalah jilbab. Pada tanggal 17 Januari 1983, Pimpinan Pusat Badan Pembela Masjidil Aqsho (BPMA) menyampaikan, “Teriakan hati kepada semua pihak yang menangani pendidikan.” Mereka menyatakan bahwa memakai jilbab merupakan kewajiban bagi kaum mukminah,


Andi Ryansyah

Syajarah

Sekolah Guru Putri. Foto diperkirakan dari tahun 1950-an. Muh. Natsir dan Nasroen A.S, Hidup Bahagia. Penerbitan Vorkink-Van Hoeve: Bandung

pemakainya dijamin oleh konstitusi, dan pelarangannya akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Pengurus Pusat Wanita Muslim juga memberi perhatian terhadap masalah ini dengan mengirim surat pada tanggal 21 Januari 1983 yang ditujukankepada Menteri P dan K. Dalam surat ini, Mendikbud diminta untuk “mengambil kebijaksanaan dengan memberi kelonggaran kepada mereka yang ingin berbusana sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya dan untuk tetap dapat mengikuti pelajaran.” Media massa Serial Media Dakwah dan Harian Pelita turut membantu perjuangan jilbab. Mereka banyak meliput pihak yang merasa dirugikan oleh permasalahan jilbab ini. Pemberitaan Tempo pada tanggal 11 Desember 1982, yang berjudul “Larangan Buat Si Kudung” walaupun hanya sekali memberi dukungan tersendiri bagi pelajar-pelajar berjilbab. Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan

tetap mengenakan pakaian muslimah.[31] Pada masa-masa berikutnya, terjadi komunikasi yang semakin intensif antara umat Islam yang diwakili MUI dengan pemerintah (Depdikbud). Meskipun dialog tak kunjung hasil dan pelarangan jilbab terus terjadi, tapi tidak membuat MUI menyerah memperjuangkan jilbab. Tekanan dari masyarakat, media massa, dan MUI justru semakin kuat. Depdikbud dibawah menteri dan Dirjen Dikdasmennya, Fuad Hasan dan Hasan Walinono, mau tidak mau mempertimbangkan kembali peraturan seragam yang ada. Sementara di tingkat nasional, berdirinya ICMI, telah merubah haluan Pemerintah menjadi lebih akomodatif terhadap Islam. Fuad Hasan, pada awalnya terlihat enggan untuk mengubah peraturan seragam, boleh jadi karena sikap pemerintah Orde Baru yang selama ini cenderung anti Islam. Namun, bandul telah bergeser, dan Depdikbud pun mau tidak mau harus mengikuti bandul itu. Akhir 1989 atau awal 1990, MUI mengadakan Munas


34

Perjalanan Panjang Jilbab di Indonesia

Syajarah

dan menghasilkan keputusan perlunya meninjau kembali peraturan tentang seragam sekolah. Menindaklanjuti hasil Munas tersebut, MUI beberapa kali menemui Depdikbud, terutama dengan Hasan Walinono, Dirjen Dikdasmen. Pada pertemuan di sebuah restoran di kawasan Monas, bulan Desember 1990, kedua belah pihak sepakat untuk menyempurnakan peraturan seragam sekolah. Akhirnya, saat yang ditunggu-tunggu itu tiba. Pada tanggal 16 Februari 1991, SK seragam sekolah yang baru resmi ditandatangani, setelah melalui proses konsultasi dengan banyak pihak, termasuk Kejaksaan Agung, MENPAN, Pimpinan Komisi XI, DPR RI, dan BAKIN. Dalam SK yang baru itu, SK No. 100/C/Kep/D/1991, tidak disebutkan kata jilbab, tetapi yang digunakan adalah istilah “seragam khas.” Dalam peraturan tersebut, dinyatakan ”Siswi (SMP dan SMA) yang karena keyakinan pribadinya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan rancangan sesuai lampiran III dan IV.” Pada lampirannya bisa dilihat bentuk seragam khas yang dimaksud, yang tidak lain adalah busana muslimah dengan jilbab atau jilbabnya. [32] Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di Indonesia. Perjuangan syariat jilbab memang bukan perkara mudah. Semenjak masuknya Islam ke nusantara, terjadi proses bertahap dalam menjadikan jilbab sebagai bagian dari masyarakat di nusantara. Proses bertahap ini berbeda-beda di setiap wilayahnya. Di daerah dikenal Islam berpengaruh amat kuat seperti Aceh dan Minangkabau, Islam telah meresap jauh ke adat masyarakat hingga ke soal berpakaian sehingga membuat masyarakatnya lebih mudah untuk berpakaian lebih tertutup. Kebijakan-kebijakan kolonial yang kerap mencoba memisahkan Islam dari masyarakat memperberat perjuangan ini. Jilbab dalam kehidupan sehari-hari pun sempat menjadi sesuatu yang asing dari hati umat Islam. Namun Jilbab tak pernah benar-benar lepas dari hati wanita di nusantara. Ibadah sholat lima waktu yang mewajibkan menutup aurat wanita, membuat jilbab tetap hadir meski tidak setiap saat. Terus bertambahnya arus umat dan ulama yang pergi ke tanah suci, menggelorakan dakwah di tanah air. Perjuangan ulama yang memanfaatkan media massa turut menghidupkan dakwah jilbab di Indonesia. Peran-peran ormas Islam semacam NU, Muhammadiyah, Al irsyad, dan Persis yang dengan gigih menanamkan kesadaran berjilbab di masyarakat, perlahan tapi pasti, mampu mengubah rupa wanita Indonesia dalam teduhnya kemuliaan jilbab. Tekad baja para muslimah muda dalam memperjuangkan jilbab di masa orde baru akhirnya mendobrak halangan berjilbab. Bagaimana pun, bagi muslimah, pemakaian jilbab adalah proses yang melibatkan dua aspek yang saling bertalian, yaitu kesadaran pribadi sekaligus contoh di masyarakat. Semakin banyak yang berjilbab, bagaimanapun akan semakin mudah bagi muslimah lain untuk ikut memakainya. Maka para muslimah pelopor Jilbab di masyarakat di masa lalu adalah para pelopor yang akhirnya menyemarakkan pemakaian Jilbab di masyarakat kita saat ini. Melihat situasi saat ini - saat tulisan ini dibuat -, perjuangan jilbab di beberapa lingkungan termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) membutuhkan perhatian dan dukungan kita. Pemakaian Jilbab bagi muslimah dalam TNI sepatutnya tidak perlu menjadi kekhawatiran pihak mana pun. Terlebih, Kepolisian Republik Indonesia telah memulainya. Tentu kita tidak bisa hanya menunggu. Perjuangan kita untuk merebut kemerdekaan berjilbab di negeri mayoritas muslim ini masih panjang. Dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan dari TNI dan dukungan besar ormas-ormas Islam, MUI, dan media massa, dan segenap umat Islam demi terwujudnya kemerdekaan itu.


Andi Ryansyah

Syajarah

[1] Ali Tantowi, The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s, Journal of Indonesian Islam, The Circle of Islamic and Cultural Studies: Jakarta, Volume 04, Number 01, June 2010, hlm.69 [2] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 63 [3] Muhamad Radjab, Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1838), Balai Pustaka:Jakarta, 1964, hlm.23 [4] Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Atjeh:Aceh, 1970, hlm 152-153 [5] Pelras, Christian. Religion, Tradition and the Dynamics of Islamization in South-Sulawesi, Archipel, Volume 29, 1985, hlm107-135. [6] Ali Tantowi, Ibid, hlm.71 [7] Hamka. Muhammadiyah di Minangkabau, Nurul Islam: Jakarta, 1974, hlm. 49 [8] Ali Tantowi, Ibid, [9] Hamka. Ayahku Riwayat Hidup Dr H Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, Umminda:Jakarta, 1982, hlm. 192 [10] Lokasi rumah KH. Ahmad Dahlan berada di selatan dari perempatan Jalan Kauman. Di setiap sudut jalan terdapat gerbang yang dihiasi plengkung. [11] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 71 [12] PP Muhammadijah Madjlis ‘aisjijah, Tuntunan Mencapai Isteri Islam Jang Berarti Hasil dari Putusan Kongres Muhammadijah Bahagian ‘Aisjijah ke-26 di Jogjakarta [13] Majalah Aliran Baroe No.36 Tahun Juli 1491 hlm.10 [14] Majalah Al-Lisaan No.2 Madjallah Boelanan Orgaan Persatoean Islam, Toedoeng Kepala, 1935, hlm. 11-16 [15] Ali Tantowi, Ibid, hlm.74 [16] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII 11/12 t/m 16/17 Juni tahun 1938 di Banten, hlm. 55-56 [17] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII, Ibid, hlm. 45-46 [18] Verslag-Congres Nahdlatoel Oelama ke-XIII , Ibid, hlm. 56 [19] Pengantar Dr. KH. MA Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas, Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 M, Khalista:Surabaya, 2011, hlm.131 [20] Ali Tantowi, Ibid, hlm. 79 [21] Majalah Aliran Baroe No. 17 Desember 1939 hlm.11 dan 15 [22] Majalah Berita Tahunan Muhammadiyah Hindia Timur 1927 diterbitkan Pengurus Besar Muhammadiyah. Nafakah dari Hoofd Comite Congres Mohammadijah Djokjakarta, hlm. 13-14 [23] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Revolusi Jilbab Kasus Pelarangan Jilbab di SMA Negeri se-Jabodetabek, 1982-1991, Al-I’TISHOM:Jakarta, 2001, hlm. 17 [24] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18 [25] Tiar Anwar Bachtiar, Lajur-lajur Pemikiran Islam Kilasan Pergulatan Intelektual Islam Indonesia, Komunitas NuuN:Depok, 2011, hlm. 54 [26] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.18-19 [27] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti,Ibid, hlm. 18-20 [28] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.15 [29] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm. 31 [30] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.31-32 [31] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.34-36 [32] Alwi Alatas dan Fifrida Desliyanti, Ibid, hlm.73-75


36

Syajarah

RAHMAH EL YUNUSIYAH

PEREMPUAN PEJUANG, PEJUANG PEREMPUAN Oleh : Susiyanto, M.Ag Dosen IAIN Semarang


Susiyanto

Syajarah

KIPRAHNYA UNTUK PENDIDIKAN, TERUTAMA BAGI KAUM PEREMPUAN BEGITU LUAR BIASA. DAN TAK HANYA PENDIDIKAN. IA TURUT MEMPERJUANGKAN KEMERDEKAAN INDONESIA. AGAMA TETAP ERAT DIGENGGAMNYA. NAMUN NAMANYA TAK BANYAK DIKENAL. KALAH POPULER DIBANDINGKAN KARTINI.

S

ituasi sosial Sumatra Barat sedang berubah di awal abad XX. Penduduk Minangkabau berkembang menjadi masyarakat yang secara intensif mengalami proses modernisasi. Dalam kerangka pembaharuan Islam masyarakat Minang tidak saja menyaksikan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan modern menggantikan lembaga pendidikan tradisional sistem surau, namun juga tampilnya sejumlah ulama yang mengetengahkan pemikiran baru yang disemangati oleh perubahan dan modernisasi.1

Arus pembaharuan ini selain dimotori oleh Sekolah Adabiyah di Padang pada tahun 1909 dan Sumatra Thawalib di Padang Panjang – dan selanjutnya di beberapa kota lain di Sumatra Barat, juga diperkuat dengan kedatangan sejumlah ulama dari Timur Tengah. Penyebaran ide pembaharuan ini secara massif juga disuarakan melalui jurnal al-Munir (terbit tahun 1911-1916), menggantikan al-Imam yang sebelumnya terbit di Singapura.2 Rahmah adalah seorang berjiwa pejuang yang memiliki idealisme kokoh, cita-cita tinggi, dan pandangannya yang jauh ke depan. Ia berharap kedudukan kaum wanita dalam masyarakat tidak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak-anak dan keturunan semata, akan tetapi lebih dari itu dia menginginkan terangkatnya derajat kaum wanita ke tempat yang lebih wajar dan pantas. Wanita juga mampu memberikan peran dan kontribusi terhadap peradaban. Kaumnya harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu dan sebagai anggota masyarakat. Kaum wanita harus dapat menjalankan peranannya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam. Semua yang harus diketahui oleh kaum wanita itu tidak bisa terjadi secara serta-merta. Semuanya harus melalui pendidikan dan pengajaran, Wanita harus dituntut untuk terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan yang ada di sekitar mereka. Selama mereka masih berada dalam kebodohan, maka nasib kaum wanita itu tidak akan berubah. Oleh karena itu Rahmah berpendapat bahwa wanita itu harus mendapatkan akses pendidikan, sebagaimana kaum pria mendapatkan kesempatan yang sama. Hak untuk mempunyai ilmu pengetahuan dan pendidikan antara pria dan wanita adalah sama.


38

Rahmah El-Yunusiyah: Perempuan Pejuang, Pejuang Perempuan

Syajarah

Panitia gedung perguruan Diniyah Puteri yang pertama berpose didepan gedung tersebut, pada Agustus 1929 Sumber foto: Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan Perjuangannya, Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Perwakilan Jakarta,1991.

Sistem pendidikan yang sebelumnya bercorak tradisional kurang memberikan akses bagi perempuan. Selain itu kurang penekanannya terhadap akses untuk masuk dunia kerja dan kesempatan lain. Dalam situasi masyarakat yang sedang bertumbuh inilah Rahmah El-Yunusiah tergugah untuk berkiprah. Ia menaruh perhatian khusus terhadap pendidikan kaum perempuan. Ia menyadari bahwa pendidikan menjadi sarana utama bagi peningkatan posisi kaumnya.

Sedangkan kakeknya adalah Syaikh Imaduddin, ulama dan tokoh tarekat Naqsyabandi yang terkenal di Tanah Minang.3

Riwayat Hidup

Pendidikannya ia dapatkan dari ayahnya. Namun hal ini hanya berlangsung singkat karena ayahnya meninggal saat ia masih muda. Kakak-kakaknya yang telah dewasa kemudian melanjutkan bimbingan kepada Rahmah. Awalnya ia belajar membaca dan menulis pada kedua kakaknya yakni Zainuddin Labay El-Yunusiy dan M. Rasyad. Zainuddin adalah salah seorang tokoh pembaharu di Sumatra Barat. Zainuddin Labay sendiri adalah pendiri Diniyat School di Sumatra. Kakaknya itu menguasai beberapa bahasa asing seperti Inggris, Arab, dan Belanda sehingga banyak membantu Rahmah mengakses sejumlah literatur asing. Rahmah sangat menyegani dan mengagumi kakaknya ini. Baginya Labay adalah seorang pemberi inspirasi, pendukung cita-cita, dan seorang guru baginya.

Rahmah El-Yunusiah lahir Padang, Sumatra Barat pada 1 Rajab 1318 Hijriyah atau 29 Desember 1900. Rahmah adalah anak bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Syaikh Muhammad Yunus (dari Pandai Sikat) dan Rafi’ah (dari Si Kumbang). Jadi dari sisi silsilah, Rahmah berasal dari suku Sikumbang. Ayahnya adalah seorang qadhi dan ahli ilmu falak di Pandai Sikat.

Rahmah hanya belajar selama 3 tahun di tingkat sekolah dasar. Ia merasa pendidikan ini kurang mencukupi bagi perkembangan dirinya. Menurutnya, pendidikan seperti ini kurang terbuka kepada siswa putri mengenai persoalan khusus perempuan. Oleh karena itu ia kemudian juga belajar pada sejumlah ulama di Minangkabau, seperti Haji Karim Amrullah (ayah Buya

Tidak diragukan lagi, Rahmah El-Yunusiah merupakan salah satu tokoh yang menggagas pendidikan untuk kaum perempuan. Ia sendiri berjuang untuk mewujudkan gagasan tersebut melalui berbagai upaya yang ditempuh. Makalah ini disajikan untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana konsep dan corak pendidikan Rahmah El-Yunusiah ?


Susiyanto

Hamka), Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pemimpin sekolah Thawalib Padang-Panjang), Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Syaikh Abdul Latif Rasyidi, dan Syaikh Daud Rasyidi. Rahmah el-Yunusiah menjalani hidupnya dengan perjuangan untuk mengentaskan kaum perempuan. Ia hidup hingga usia 68 tahun lewat 2 bulan. Tepat pada jam 18.00 tanggal Rabu tanggal 9 Zulhijjah 1388 H atau 26 Februari 1969, pelopor pendidikan kaum perempuan itu wafat. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan keluarga di samping rumahnya yang juga di samping Perguruan yang ia dirikan. Setiap orang yang melewati rumah dan perguruannya akan dapat melihat nisan kuburannya di pinggir jalan Lubuk Mata Kucing. Ia merupakan satusatunya syaikhah Indonesia yang diakui oleh dunia. Kiprah Pendidikan Rahmah Keluarga yang memiliki latar belakang taat beragama dan aktif dalam gerakan pembaharuan menjadi ladang bagi bersemainya kesadaran pembaharuan dalam diri Rahmah. Ia menilai bahwa kaum perempuan sebagai tiang negara mestinya mendapatkan pendidikan yang baik sebagai halnya kaum lelaki. Keterbelakangan pendidikan kaum perempuan ini menurutnya berakar dari persoalan pendidikan dan melalui bidang ini dapat terselesaikan. Rahmah El-Yunusiah menulis: “Diniyah School Puteri ini selalu akan mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya daripada kaum lelaki … inilah yang menyebabkan terjauhnya perempuan Islam daripada penerangan agamanya sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan”.4 Rahmah El-Yunusiah merupakan pendiri perguruan untuk wanita Islam pertama di Indonesia yakni Madrasah Diniyah Puteri (Madrasah Diniyah li al-Banat) di Padang Panjang, Sumatra Barat. Madrasah ini didirikannya pada tanggal 1 November 1923. Semangat untuk mengangkat harkat kaum muslimah

Syajarah

ini rupanya telah terpatri dengan mendapat landasan yang kokoh dalam ajaran Islam yang secara tegas menyebutkan: “Menuntut ilmu itu wajib bagi tiaptiap orang Islam laki-laki dan perempuan”. Jika kaum perempuan tidak mendapatkan ilmu yang memadai, maka bahaya akan datang dalam lingkungan masyarakat. Namun jika pendidikan yang diberikan kepada mereka itu keliru, maka tidak sedikit pula malapetaka yang akan menimpa bagi segenap masyarakat manusia. Berhubung dengan itu maka pendidikan terhadap kaum wanita hendaknya disertai dengan berbagai macam kebijaksanaan, tidak boleh dilakukan secara serampangan.5 Oleh karena itu maka Rahmah El-Yunusiah berupaya untuk menggunakan landasan ideal dari pelaksanaa cita-citanya yaitu berpegang kepada Al-Qur`an dan As-sunnah. Sedangkan tujuan pendidikan Diniyah Puteri yang ia kembangkan adalah sebagai berikut: “Membentuk puteri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta betanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air atas dasar pengabdian Allah Subhanahu wata’ala”. Selain itu ia juga mendirikan lembaga pendidikan untuk kaum ibu yang belum bisa baca tulis, Menyesal School. Pendirian sekolah untuk kaum ibu ini tetap berjalan meski mendapat cemoohan. Pandangan sebagian masyarakat adat Minang pada masa itu memang agak memarginalkan kaum perempuan. Bagi mereka perempuan tidak layak berkutat pada buku, melainkan berhabitat di dapur. Menyesal School ini terpaksa dihentikan karena tempat yang diperuntukkan untuk pengajarannya rusak akibat gempa bumi pada tahun 1926.6 Untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kurikulum sekolah, Rahmah melakukan studi banding melalui kunjungan-kunjungan sekolah ke Sumatera dan Jawa (1931). Selanjunya ia juga mendirikan Freubel School (Taman Kanak-kanak), Junior School (setingkat HIS). Sekolah Diniyah Putri sendiri diselenggarakan selama 7 tahun secara berjenjang dari tingkat Ibtidaiyah (4 tahun) dan Tsanawiyah (3 tahun). Pada tahun 1937 berdiri program Kulliyat al-Mu’alimat al-Islamiyah (3


40

Rahmah El-Yunusiyah: Perempuan Pejuang, Pejuang Perempuan

Syajarah

Rahmah bersama empat orang alumni perguruannya yang ada di Batavia tahun 1935 Sumber foto: Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan Perjuangannya, Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Perwakilan Jakarta,1991.

tahun) yang diperuntukkan bagi calon guru. Ia juga memiliki peran dalam pendirian Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatra Barat.7 Rahmah El Yunusiyah juga aktif dalam pergerakan menentang praktik-praktik penindasan ataupun pergerakan oleh penjajah Belanda. Hal itu dilakukan antara lain dengan mendirikan Perserikatan Guru-Guru Poetri Islam di Bukittinggi, menjadi ketua panitia penolakan Kawin Bercatat, dan ketua Penolakan Organisasi Sekolah Liar. Pada tahun 1933 Rahmah El Yunusiyah memimpin rapat umum kaum ibu di Padang Panjang, hal ini menyababkan dia didenda pemerintah Belanda 100 gulden karena dituduh membicarakan politik.8 Rahmah El Yunusiyah juga pernah menjadi anggota pergurus Serikat Kaum Ibu Sumatra (GKIS) Padang Panjang, organisasi yang itu berjuang menegakkan harkat kaum wanita dengan menerbitkan majalah bulanan. Aktivitasnya yang lain adalah mendirikan Khuttub Khannah ( taman bacaan) untuk masyarakat. Pada tahun 1935 Rahmah El Yunusiah sempat mewakili kaum ibu Sumatra Tengah dalam kongres perempuan yang diselenggarakan di Jakarta. Dalam kongres ini Rahmah El Yunusiyah bersama Ratna Sari memperjuangkan kaum wanita Indonesia untuk memakai selendang. Selesai kongres ia tinggal di Jakarta agak lama untuk mendirikan pendidikan untuk kaum putri di Gang Nangka, Kwitang, Kebon Kacang, Tanah Abang, Jatinegara, dan jalan Johar di Rawasari.9 Rahmah sendiri merupakan pribadi yang giat mencari ilmu. Selain belajar agama kepada sejumlah ulama, ia juga


Susiyanto

mempelajari dan menekuni berbagai ketrampilan yang mestinya dimiliki oleh kaum perempuan. Memasak, menenun, dan menjahit merupakan keterampilan yang ia miliki. Ia juga berupaya menularkan ketrampilan ini kepada kaum perempuan yang ada di sekitarnya. Bahkan Rahmah kemudian mendirikan sebuah sekolah kejuruan yakni,sekolah tenun pada tahun 1936. Untuk memenuhi tenaga pengajar perempuan, Rahmah mendirikan sebuah sekolah guru untuk perempuan pada tahun 1937. Dalam masa penjajahan Jepang ia turut menentang sejumlah kebijakan yang ditelorkan oleh Tentara Jepang. Rahmah bersama para rekannya menggawangi berdirinya organisasi sosial politik yang dinamakan “Anggota Daerah Ibu” (ADI) di Sumatera Tengah. Tujuan pendirian ADI ini adalah untuk menentang aktivitas pengerahan kaum perempuan Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur) bagi tentara Jepang. Berkat keaktifannya, nama Rahmah El-Yunusiah cepat dikenal secara luas dikalangan pergerakan di Jawa. Sampai-sampai setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno memasukkan namanya sebagai Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Namun Rahmah batal pergi ke Jakarta karena tak bisa meninggalkan ibunya yang sedang sakit di Padang Panjang Jiwa patriot seorang Rahmah El-Yunusiah tergerak tatkala mendengar berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Kebeteluan ia merupakan anggota Chuo Sang In yang diketuai Engku Syafe’i sehingga mudah mengakses berita-berita tentang perubahan konstelasi politik di tanah air. Segera ia mengibarkan bendera merah putih di sekolahnya.Konon ia adalah orang yang pertama kali mengibarkan bendera merah putih untuk menyambut kemerdekaan di Sumatra Barat. Hal itu terjadi karena jaringan komunikasi saat itu masih banyak dikuasai oleh Jepang sehingga kaum muslimin masing jarang yang bisa mengakses. Begitu bendera berkibar di Perguruan Diniyah Puteri, lantas aktivitas ini diikuti oleh massa yang mengibarkan bendera di kantorkantor layanan public. Tentara Jepang tidak mampu

Syajarah

memberi tindakan atas gerakan masyarakat Minang ini. Meski demikian masyarakat telah siap dengan berbagai kemungkinan yang bisa saja terjadi.10 Dalam peran sertanya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, Rahmah El-Yunusiah terjun dalam berbagai kegiatan. Antara lain terlibat langsung dalam berbagai aktivitas sebagai berikut: Pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Sumatra Barat. Anggotanya terdiri dari pemuda-pemuda yang telah terlatih dalam lascar Gyu Gun Ko En Kai (laskar rakyat) yang sebelumnya dibentuk oleh Jepang. Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang rata-rata masih muda usia. Rahmah sendiri ditunjuk menjadi ketua Haha no Kai (organisasi perempuan) di Padang Panjang, untuk membantu pemuda-pemuda indonesia yang terhimpun dalam Gyu Gun (laskar rakyat) agar mereka kelak dapat dimanfaatkan dalam perang revolusi perjuangan bangsa. Ikut mengayomi laskar-laskar barisan Islam yang dibentuk oleh sejumlah organisasi Islam pada waktu itu seperti Laskar Sabilillah dan Laskar Hizbulwathan. Oleh karena itulah para pemuda pada masa itu menjuluki Rahmah El-Yunusiah sebagai “ibu kandung perjuangan”. Semasa perang asia-pasifik, gedung sekolah Diniyah Putri dua kali dijadikan rumah sakit darurat untuk menampung korban kecelakaan kereta api. Atas peristiwa ini Diniyah School Putri mendapat Piagam Penghargaan dari Pemerintah Jepang.11 Rahmah juga tercatat sebagai salah seorang pendiri partai Masyumi di Minangkabau. Rahmah cukup aktif dalam mengembangkan Masyumi. Sampai pada pemilu tahun 1955, Rahmah dicalonkan oleh partainya dan terpilih menjadi anggota Parlemen (DPR) mewakili Sumatra Tengah (1955-1958). Upaya pengembangan pendidikan yang dilakukan Rahmah selanjutnya adalah merintis program pendidikan tingkat perguruan tinggi. Sejak 1964, Rahmah telah merintis pendirian Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Tiga tahun kemudian, tepatnya pada


42

Rahmah El-Yunusiyah: Perempuan Pejuang, Pejuang Perempuan

Syajarah

Selepas menghadiri Kongres Pendidikan Antar Indonesia di Yogyakarta tahun 1949 Sumber foto: Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan Perjuangannya, Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Perwakilan Jakarta,1991.

22 November 1967, kedua fakultas tersebut diresmikan oleh Gubernur Sumatera Barat waktu itu, Prof. Drs. Harun Zein.

siapa pun sebelumnya. Gelar yang baru disandangnya itu setara dengan gelar Syeikh Mahmoud Syalthout, salah seorang mantan rektor al-Azhar.

Upaya-upaya Rahmah dalam mendirikan dan mengembangkan Diniyah School Puteri, yang bertujuan untuk mencerdaskan kaum perempuan mendapatkan perhatian secara khusus dari dunia Islam. Keberhasilan Rahmah ini menarik perhatian Syaikh Abdurrahman Taj, Rektor Universitas al-Azhar Cairo Mesir. Bahkan pada tahun 1955, Syaikh Abdurrahman mengadakan kunjungan ke sekolah yang terletak di Padang Panjang ini. Beliau tertarik dengan sistem pembelajaran khusus yang diterapkan kepada putri-putri Islam di Indonesia. Ia banyak menimba pengalaman dari sekolah yang didirikan Rahmah. Pada waktu itu, al-Azhar belum memiliki lembaga pendidikan khusus bagi kaum perempuan. Tak lama setelah kunjungan, Universitas Al Azhar membuka pendidikan khusus perempuan yang bernama kulliyyât al-banât. Sebagai rasa terima kasih, Syaikh Abdurrahman mengundang Rahmah ke Universitas al-Azhar. Tahun 1957 Rahmah menunaikan haji, dan pulangnya mampir ke Kairo untuk menghadiri undangan Sang Rektor. Tak diduga sebelumnya, Rahmah ternyata mendapat anugrah berupa gelar Syaikhah oleh Universitas itu. Pemberian gelar ini belum pernah diberikan kepada

Keterpautannya dengan pendidikan kaum perempuan nampak telah mengurat dalam nadinya. Ia yakin hal ini merupakan bagian dari dakwah yang menjadi tanggung jawabnya untuk menjadikan kaum perempuan setara dengan kaum lelaki dalam mengakses berbagai bidang keilmuan. Bahkan sehari menjelang akhir hayatnya yaitu tanggal 25 Februari 1969 ia masih sempat meminta perhatian kepada Harun Zein, Gubernur Sumatra Barat, dalam suatu pembicaraan yang ia sampaikan: “Nafas saya sudah hampir habis dan kepada bapak Gubernur saya mintakan perhatian atas sekolah saya”. Hal ini ditanggapi oleh Gubernur sebagai sebuah wasiat.12 Aktivitas Rahmah El-Yunusiah dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia telah mendapatkan pengakuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelumnya usulan untuk memasukkan sosok Rahmah El-Yunusiah ke dalam deretan nama Pahlawan Indonesia telah mengalami kegagalan. Atas usulan dan usaha Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) yang merupakan federasi 55 organisasi wanita di Indonesia, akhirnya Rahmah El Yunusiah resmi menjadi salah satu Pahlawan Indonesia.13


Susiyanto

Corak dan Konsep Pendidikan Usaha-usaha Rahmah El Yunusiah dalam memperjuangkan pendidikan untuk kaum perempuan, tidak diragukan lagi, bercorak agamis. Ia menggunakan ajaran Islam sebagai landasan perjuangannya. Al Qur’an dan Ash Shunnah ia tampilkan sebagai madah perjuangan yang harus diaplikasikan dalam gagasan dan aktivitasnya terkait bidang pendidikan. Dengan dasar agama ini pula ia ingin agar kaum perempuan bisa menjadi mitra yang sejajar bagi kaum lelaki dalam menjalani kehidupan berdasarkan ajaran Islam. Corak agamis yang dimiliki Rahmah El-Yunusiah ini terbentuk melalui interaksi secara intensif dengan kebudayaan dimana ia hidup. Keluarga secara khusus dan alam Minangkabau secara umum telah memberi banyak dasar bagi Rahmah untuk menjadi sosok yang agamis dan menggunakan agama sebagai tuntunan hidup. Dari sisi keluarga, ia menyerap sebuah semangat baru yang digambarkan sebagai bentuk “pembaharuan” Islam di Sumatra Barat. Kakaknya – Zainuddin Labay El-Yunusiy, sebagai sosok pengganti orang tua dan sekaligus guru baginya, merupakan pendiri Sekolah Adab dimana gagasan-gagasan pembaharuan pendidikan Islam banyak ia kembangkan untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada dalam sistem pendidikan lama yang berkutat di sekitar surau. Dari sang kakak inilah Rahmah El-Yunusiah menyerap pemikiran baru yang kemudian ia kembangkan lebih lanjut menjadi ide dan aktivitas pendidikan yang berupa mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Rahmah El Yunusiah sendiri juga banyak berguru pada sejumlah ulama yang mengampu kajiannya berbasis surau. Dengan demikian, Rahmah boleh dikatakan merupakan sosok yang mengalami dua model pendidikan sekaligus yaitu pendidikan surau yang bersifat tradisional dan melalui madrasah yang dianggap lebih “modern”. Berada pada dua model pendidikan itu sendiri membuat Rahmah bisa menyelami kelebihan dan kekurangan masing-masing entitas. Oleh karena itu meskipun pada akhirnya Rahmah ElYunusiah mengambil sistem pendidikan Madrasah, ia

Syajarah

tetap mengembangkan gagasan-gagasan dan aktivitasaktivitas posistif yang ia dapatkan dari sistem surau. Dengan demikian surau sebagai lingkungan pendidikan tidak ditinggalkan dalam gagasan pendidikan Rahmah. Kata “surau” sendiri diduga berasal bahasa sansekerta swarwa yang artinya segala, semua, macam-macam. Hal ini berarti surau yang telah ada sejah era Indianisasi merupakan sebuah pusat pendidikan dan pelatihan. Jelas awalnya surau memiliki latar belakang HinduBudha. Awalnya Surau menjadi tempat peribadatan, pertemuan warga, dan untuk belajar pengetahuan agama maupun ketrampilan tertentu.14 Setelah mengalami proses Islamisasi, satusatunya fungsi surau yang berubah adalah hal yang terkait dengan pengaruh keagamaannya. Surau di Mingangkabau berada di dalam struktur kepemimpinan adat yang terdiri dari: imam, khatib, bilal, amil (zakat), dan jamaah, yang dalam bahasa Minang dikatakan “Urang nan ampek jinih (penghulu, manti, malin, dubalang) berada di malin.”15 Dari sini dapat diketahui bahwa surau memiliki fungsi sebagai lembaga pengembangan dakwah Islam dan menjadi salah satu lembaga kemasyarakatan yang penting peranannya bagi rakyat Minangkabau. Penduduk Minang, dimana Rahmah El-Yunusiah tumbuh juga dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Masyarakat ini memang pernah terbelah dalam era Perang Padri (1821-1837), dimana terjadi konflik antara kelompok pemangku adat yang ingin melestarikan tradisi lama – berlawanan dengan kaum padri yang ingin mengembangkan kehidupan keagamaan secara totalitas. Rekonsiliasi terjadi pada tahun 1840 setelah kedua belah pihak menyadari kekeliruannya. Kesepakatan kedua belah pihak dikukuhkan dalam bai’at yang dikenal dengan nama Piagam Bukit Marapalam yang isinya mengaskan bahwa adeik basandi syara’- syara’ basandi kitabullah (Adat bersendi syara’ – Syara’ bersendi kitabullah). Syara’ yang dimaksud adalah ajaran Islam dan kitabullah menunjuk pada Al Qur’an. Ungkapan yang dihasilkan dalam kesepakatan ini, lagi-lagi ini menunjukkan bahwa pada


44

Rahmah El-Yunusiyah: Perempuan Pejuang, Pejuang Perempuan

dasarnya masyarakat Minang adalah religius.16 Meskipun Rahmah El-Yunusiah sempat mengenyam pendidikan agama dari model Surau, namun tetap saja perempuan memiliki keterbatasan dalam lingkungan pendidikan yang terakhir ini. Perempuan tidak bisa sebebas kaum laki-laki dalam menuntut ilmu di Surau. Kaum lelaki Minang memang dikenal sangat santun terhadap kaum wanita. Bahkan menjadi aib apabila ada seorang pria tidur di rumah, sementara di rumah yang sama saudara wanitanya juga tidur. Wanita juga mendapat kekhususan yang lebih utama dari laki-laki dalam hal harta pusaka (warisan). Alam Minang sendiri mengenal tradisi matrilineal, dimana kaum perempuan dianggap memiliki keutamaan dalam hal tertentu.17 Meskipun demikian akses perempuan untuk mendapat ilmu agama tetap terbatas. Keterbatasan dalam hal akses keilmuan inilah yang nampaknya mendorong Rahmah ikut terlibat dalam arus “pembaharuan” bagi kaum perempuan. Meskipun demikian Rahmah nampaknya tidak memiliki gagasan bahwa kondisi keterbelakangan kaumnya ini terjadi sebagai akibat kondisi sosial yang cenderung patriarkhis atau bahkan buah penindasan yang terjadi karena kaum lelaki. Pijakan awal pembaharuan yang dibawa oleh Rahmah dalam konsepnya tentang pendidikan kaum perempuan jelas berbeda dengan asumsi dasar kaum feminis yang menganggap bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi.18 Apalagi dengan melihat kembali budaya alam Minangkabau yang dari beberapa sisi cenderung memuliakan kaum perempuan, maka perbedaan antara kesadaran awal Rahmah El-Yunusiah dengan asumsi feminisme semakin kentara. Wacana yang diusung Rahmah El-Yunusiah bukanlah upaya “membebaskan” atau bahkan “memerdekakan” sebagaimana yang ada dalam konsep emansipasi Barat, sebab hakikatnya wanita di ranah Minang memang tidak dalam kondisi diperbudak atau terjajah oleh pria. Ia hanya menginginkan agar wanita mendapatkan posisinya sebagaimana ajaran Islam menempatkan kaum perempuan. Pandangan Rahmah El-Yunusiah terhadap perempuan terlihat jelas bertolak dari ajaran Islam. Fakta sosial

Syajarah

tentang adanya ketimpangan atau penindasan yang kadang terjadi di kalangan masyarakat Islam lebih banyak terjadi disebabkan oleh praktik dan tradisi masyarakat yang bersangkutan, ketimbang oleh ajaran Islam. Pandangan demikian tentu berbeda dengan konsep kesetaraan gender yang dipahami oleh kalangan feminis radikal yang menganggap bahwa ajaran Islam adalah sumber budaya patriarkhis, oleh karena itu ajaran Islam itu sendiri adalah salah karena menampakkan misogyny (bias gender) dan harus dikoreksi.19 Rahmah menilai bahwa posisi kaum perempuan dalam Islam cukup sentral, dalam hal ini tidak ada perbedaan dengan kaum laki-laki. Perbedaan peran memungkinkan terjadi, namun hal ini bukan merupakan wilayah yang kemudian dijadikan pembenaran sebagai bukti adanya suatu diskriminasi. Ia hanya berupaya memperbaiki kondisi kaumnya melalui bidang pendidikan, sebab menurutnya wanita pada akhirnya akan berperan sebagai seorang ibu. Ibu merupakan madrasah awal bagi anak-anaknya sebelum terhubung dengan alam pandang (worldview) yang lebih luas di lingkungan sekitarnya. Melalui ibu inilah corak pandang dan kepribadian awal seorang anak akan terbentuk. Oleh karena itu menjadi penting bagi Rahmah untuk memberikan bekal bagi kaum perempuan ilmu-ilmu agama dan ilmu terkait lainnya sehingga bisa memiliki pengetahuan yang sama dengan mitra sejajarnya, kaum lelaki. Di sini pula akan terbentuk pandangan bahwa wanita merupakan tiang negara. Kajian ilmiah modern dan data-data akurat telah mengungkapkan bahwa ibu memegang peranan sangat penting dalam perkembangan anak-anak. Perkembangan ini mencakup badan, kesehatan, kemampuan intelektualitas, serta perkembangan kejiwaan dan perilakunya, hingga hal-hal yang lainnya.20 Intinya ibu memiliki peran tertentu dalam mendidik anakanak, termasuk dalam pemahaman keagamaan. Pada wilayah inilah nampaknya Rahmah El-Yunusiah bergerak, tentu saja terlepas dari fakta hasil kajian ilmiah modern dan data-data terkait yang baru ada setelah masa sesudahnya. Dilihat dari aktivitas yang dilakukannya, nampaknya Rahmah El-Yunusiah ingin menerapkan “pembelajaran sepanjang hayat” dalam konsep pendidikan yang


Susiyanto

digagasnya. Hal ini tercermin dalam model pendidikan yang dimulai dari masa anak-anak dengan mendirikan Freubel School (semacam Taman Kanak-kanak). Ia kemudian juga menggagas pendidikan lanjutannya berupa Junior School (setingkat HIS), Madrasah Diniyah Putri yang mencakup Ibtidaiyah danTsanawiyah, dan program untuk calon guru Kulliyat al Mu’alimat alIslamiyah. Pada masa selanjutnya, Rahmah pun mengagas pendirian perguruan tinggi untuk kaum perempuan. Perguruan tinggi ini hanya terdiri dari satu fakultas yakni Fakultas Dirasah Islamiyah. Bagi ibu-ibu yang tidak terjaring dalam pendidikan formal dan belum bisa membaca atau menulis, Rahmah pernah mendirikan Menyesal School. Ia juga sempat menggagas semacam sekolah kejuruan yakni, sekolah tenun. Nampak bahwa ia menyediakan lapangan yang luas bagi kaum perempuan yang ingin mengamalkan ajaran Rasulullah bahwa menuntut ilmu itu tidak sekedar “kewajiban bagi kaum muslimin dan muslimat”, namun juga “menuntut ilmu itu dari buaian sampai liang lahat”. Corak agamis konsep pendidikan Rahmah El-Yunusiah teruji ketika institusi pendidikannya agak terseret dalam puasaran arus politik. Rasuna Said, seorang politikus perempuan yang populer di Minangkabau, pernah tergabung dalam institusi pendidikan Rahmah El-Yunusiah. Disebabkan kepopuleran Rasuna Said ini, sebagian dari murid-murid Rahmah ada yang tertarik dalam kegiatan politik. Akibat arus politik tersebut, Rahmah mengamati bahwa sejumlah peraturan yang dikeluarkan terkait pelaksanaan kewajiban agama di sekolahnya, seperti pelaksanaan shalat, sering diabaikan. Rahmah kemudian mengadakan pertemuan dengan Rasuna untuk membicarakan permasalahan namun tanpa hasil yang berarti. Sebuah panitia yang diketuai Inyik Basa Bandaro kemudian dibentuk sebagai perantara. Mereka juga menyadari bahwa institusi pendidikan Rahmah pada masa itu mengalami kemunduran dalam aktivitas agama akibat terbawa urusan politik. Panitia yang terbentuk akhirnya menyetujui Rahmah. Kebijakan dalam mengemudikan sekolah haruslah terletak pada pendiri atau direktur sekolah. Oleh karena itu Rasuna Said

Syajarah

menarik diri dan pindah dari Padang.21 Dari peristiwa ini dapat dipahami bahwa Rahmah ElYunusiah sangat memperhatikan dan menekankan penanaman nilai-nilai agama dalam konsep pendidikan yang ia gagas. Hal ini bukan berarti ia menganggap aktivitas politik tidak penting. Ia sendiri merupakan praktisi politik dimasanya. Ia mengamati bahwa pemimpin-pemimpin politik di Minangkabau terdiri daro orang-orang yang dimasa mudanya tidak mendapat pendidikan politik, tetapi telah mengenyam pendidikan agama di lembaga-lembaga yang mereka masuki. Dari sini Rahmah menyimpulkan bahwa para murid tidak perlu secara khusus diberikan pelajaran yang menekankan pada teori atau praktik politik.22 Penutup Dari pembahasan di atas dapat di ambil berbagai kesimpulan terkait pribadi wanita pejuang Rahmah ElYunusiah sebagai berikut: Pertama, Rahmah El-Yunusiah merupakan tipologi wanita yang pantang menyerah. Dalam kasusnya terkait akses kaum perempuan yang terbatas untuk menikmati dunia pendidikan, ia merupakan salah satu pendobrak tradisi yang berhasil. Ia sendiri hanya berhasil mendapat pendidikan dasar, namun kemauannya belajar dan keinginannya untuk memajukan kaumnya telah mengantarkan dirinya mampu menciptakan kesempatan bagi kaumnya untuk mendapat akses yang sama dengan kaum lelaki dalam mereguk ilmu. Kedua, Rahmah El-Yunusiah adalah wanita pertama yang mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan. Berkat prestasinya ini bahkan Universitas Al-Azhar tidak bisa tidak harus mengakui kepeloporannya dan mengikuti jejaknya dengan membuka program kulliyyât al-banât di Mesir. Ia juga merupakan orang yang pertama mendirikan layanan kesehatan (Rumah Sakit) khusus untuk kalangan perempuan. Ketiga, Sebagai seorang pejuang ia memiliki jiwa dan semangat perjuangan yang kuat. Hal ini terbukti dari keikutsertaannya dalam barisan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia juga turut hadir dan


46

Rahmah El-Yunusiyah: Perempuan Pejuang, Pejuang Perempuan

menyumbang peran dalam berbagai aktivitas yang bermanfaat bagi perjuangan dan hajat kaum muslimin. Keempat, Atas kiprah dalam lapangan keilmuan dan lapangan lainnya ia telah mendapat penghargaan yang selayaknya diperoleh. Ia mendapat gelar (honoris causa) “Syaikhah” dari Universitas Al-Azhar, Mesir atas perhatiannya dalam memajukan pendidikan kaumnya. Pemberian gelar ini belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya. Kelima, corak perjuangan Rahmah El-Yunusiah bersifat agamis dimana ia menggunakan ajaran Islam sebagai dasar dan penegakannya menjadi cita-cita perjuangan. Dengan perjuangan ini ia mengharapkan kaum wanita akan bisa mengembangkan peran yang lebih baik sebagai mitra sejajar kaum pria. Peran perempuan bahkan cukup sentral dalam pembentukan awal sikap mental dan kepribadian generasi baru di lingkungan keluarga karena ia bergerak dalam wilayah domestik

[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]

Syajarah

tersebut. Dalam kancah aktivitas yang lebih luas kaum perempuan pun tak kurang perannya. Penyiapan kaum perempuan secara berkelanjutan akan membentuk mereka dalam menyiapkan kaum ibu sebagai tiang negara dan pendidik bangsa. Dari kisah kehidupannya dapat diketahui bahwa Rahmah El-Yunusiah merupakan pejuang perempuan dengan motivasi yang tinggi dan pantang menyerah dalam memperjuangkan pendidikan kaum perempuan. Ia berjuang berdasarkan ide-ide yang ia yakini yang bersumber dari ajaran Islam yang berlandaskan Al Quran dan As-Shunnah. Pejuang tangguh selalu mewariskan nilai dan semangat yang bisa diteladani oleh generasi sesudahnya. Rahmah El-Yunusiah sendiri telah memberikan sebagian bukti bahwa harkat dan martabat manusia bisa terangkat ketika mereka menyadari tentang pentingnya ajaran agama diamalkan secara konsekuen.

Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan, Grame dia, Jakarta, 2004, hlm. 19; Dalam catatan A.A. Navis, pembaharuan Islam di Minangkabau terjadi dalam 3 gelombang. Gelombang pertama, datang dari kalangan padri, yang diarsiteki oleh 3 serangkai haji yakni Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Gelombang kedua, datang setelah gerakan kaum padri ini kandas dalam perjuangan melawan senjata modern selama 34 tahun. Gelombang pembaharuan kedua yang berasal dari Makkah ini ditandai dengan penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah secara massif di bawah pimpinan Tuanku Ismail dari Simabur, yang kemudian bergelar Syaikh Ismail Simabur. Lima puluh tahun kemudian, muncul gelombang ketiga yang lagi-lagi digagas oleh 3 serangkai haji yang terdiri dari H. Ab dullah Ahmad, H. Abdul Karim Amrullah, dan H. Muhammad Jamil Jambek. Golongan ini menamakan diri sebagai “kalangan muda” yang ingin memebrsihkan Islam dari pengaruh mistik dan tarikat. Lihat A.A. Navis, Alur Kebudayaan dalam Tingkah Laku Gerakan Politik di Minangkabau, dalam Jurnal Analisis Kebudayaan No. 1 Tahun III/ 1982-1983, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, hlm. 76 Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam …, hlm, 19-20 Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan Perjuangannya, Jakarta: Pengurus Perguruan Diniyyah Puteri Perwakilan Jakarta,1991, hlm. 35-37 Lihat Junaidatul Munawaroh, Rahmah El – Yunusiyah: Pelopor Pendidikan Perempuan, hlm. 1 dalam Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam …, hlm. 19 Moenawar Kholil, Nilai Wanita, Cetakan IX, Surakarta: CV. Ramadhani, 1989, hlm. 115 Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2002, hlm. 10 Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hlm. 29; Jajat Burhanudin dan Oman Fathurrahman (ed.), Tentang Perempuan Islam …, hlm, 18-19 Aminuddin Rasyad, et. all, H.Rahmah El Yunusiyyah …, hlm. 59


Susiyanto

Syajarah

[9] Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Citra Budaya Indonesia,2010, hlm. 427 [10] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan …, hlm. 26 [11] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan …, hlm. 26 [12] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan …, hlm. 30 [13] Jajat Burhanudin (ed.), Ulama Perempuan …, hlm. 30 [14] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat Islam di Minangkabau: Peranan Ulama Sufi dalam Pem baharuan Adat, Bandung: Marja, 2007, hlm. 170 [15] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat …, hlm. 172 [16] Febri Yulika, Epistemologi Minangkabau: Makna Pengetahuan dalam Filsafat Adat Minangkabau, Yogyakar ta: Gre Publishing, 2012, hlm. 3 [17] Tuanku Kayo Khadimullah, Menuju Tegaknya Syariat …, hlm. 171-172; Hal-hal terkait masalah adat seperti misalnya tentang harta pusaka yang pembagiannya lebih mengutamakan kaum perempuan juga mendapat sejumlah kritikan. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan hukum Islam tentang pembagian harta warisan (fara’id). Diantara kritik yang paling keras terhadap masalah ini berasal dari Syaikh Akhmad Khatib Al-Mi nangkabawi. Ia menganggap bahwa hukum warisan berdasarkan adat semacam itu bersifat haram dan pelakunya bisa dianggap melakukan perbuatan haram. Lama-kelamaan sistem fara’id Islam mulai diterima. Meskipun demikian hal ini juga melalui proses yang panjang. Perubahan dimulai dengan mengadopsi sistem hibah. Selengkapnya baca A.A. Navis, Alur Kebudayaan dalam …, hlm. 78-80 [18] Dilihat dari latar belakangnya, feminisme merupakan suatu gerakan yang diawali dengan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi. Gerakan ini merupakan upaya untuk mengatasi diskriminasi tersebut. Lihat: Gillian Howie, Between Feminism and Materialism: A Ques tion of Method, New York: Palgrave Macmillan, 2010, hlm. 27-28; Mansour Fakih, et.all., Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2000, hlm. 38; A. Nunuk P. Mur niati, Getar Gender: Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM, Jilid 1, Magelang: IndonesiaTera, 2004, hlm. xxviii. Gerakan feminisme yang lahir di Barat sebenarnya merupa kan bentuk respons dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan masyarakat di sana, terutama menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Gerakan ini lahir karena adanya anggapan bahwa di Barat kaum perempuan memang dipandang ‘sebelah mata’ (misogini). Pandangan ini telah diawali oleh tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles serta diikuti Gereja yang memposisikan wanita tidak setara dengan kaum lela ki. Lihat: Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008, hlm. 103-107 [19] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme …, hlm. 113 [20] Studi yang dimaksud dilakukan oleh Dr. Rene Sebitern, Dr. Widdowson, dan Dr. Weidz Haitez-rolf. Lihat: Nuruddin ‘Itr, Hak dan Kewajiban Perempuan: Mempertanyakan Ada Apa Dengan Wanita?, Yogyakarta: Bina Media, 2005, hlm. 156-157 [21] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan …, hlm. 32-33 [22] Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan …, hlm. 33


48

BUYA hamka, PEREMPUAN, DAN ISLAM “Dalam saat-saat golongan lain melihat kulit luar, kaum muslimin sedang lemah, dapat dikutak-katikkan, disaat itulah ditonjolkan orang suatu RUU Perkawinan yang pada pokok, azas dan prinsipnya ialah jalan memaksa kaum muslimin, golongan mayoritas dalam negeri ini, meninggalkan syariat agamanya sendiri tentang perkawinan supaya menggantinya dengan suatu peraturan perundang-undangan lain yang maksudnya menghancurkan azas Islam sama sekali‌.,,Karena kalau RUU semacam itu hendak digolkan orang di DPR, semata-mata karena mengandalkan kekuatan pungutan suara, kegagah-perkasaan mayoritas, dengan segala kerendahan hati inginlah kami kami memperingatkan, kaum muslimin tidak akan memberontak, tidak akan melawan, karena mereka terang-terangan lemah. Tetapi demi

kesadaran beragama, undang-undang ini tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan ulama-ulama yang merasa dirinya sebagai pewaris nabi-nabi akan mengeluarkan fatwa haram nikah kawin Islam berdasarkan undang-undang tersebut dan hanya kawin berkawin secara Islam. Dan barangsiapa kaum muslim yang menjalankan undang-undang itu sebagai ganti rugi peraturan syariat Islam tentang perkawinan, berarti mengakui lagi satu peraturan yang lebih baik dari peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan yang demikian, kafirlah hukumnya.� Itulah ultimatum Buya Hamka ketika kontroversi RUU Perkawinan di tahun 1973 merebak. Komentar keras Buya Hamka memang pantas diletuskan saat itu.


BUKU

RUU Perkawinan yang amat merugikan umat Islam tersebut disuarakan pengusung sekularisme. Mereka beranggapan ajaran Agama Islam merugikan kaum perempuan. Demi meluruskan pendapat itulah buku ini diterbutkan Pustaka Panjimas pada tahun 1973. Buku ini sejatinya merupakan karangan bersambung Buya Hamka di Majalah Panji Masyarakat. Permintaan dari pembaca yang menghendaki karangan tersebut dibukukan, menjadi awal penerbitan buku ini. Tentu saja kontroversi RUU Perkawinan turut mendukung diterbitkannya buku ini. Bukan Buya Hamka jika tak mampu menyentuh hati lewat tulisan-tulisannya. Kelihaiannya sebagai sastrawan, menjadikan buku ini mampu menyajikan kalimat-kalimat yang menyentuh hati dan renyah untuk dibaca. Namun yang terpenting adalah pokok-pokok pembicaraan dalam buku ini yang mampu menerangkan kedudukan perempuan dalam Islam. Buya Hamka mampu menerangkan baik hati dan akal pembaca mengenai pandangan Islam mengenai perempuan. Ia tak terjebak, sebagaimana sebagain buku-buku lain mengenai perempuan, dalam dalil-dalil semata, sehingga seringkali terasa kering. Buya, tak hanya menyajikan dalil, namun mampu menjelaskannya secara memikat hati dan menawan pikiran. Tema-tema yang diangkat , seperti; Perempuan yang dimuliakan, Penghargaan yang Sama, Dia Mendapat Harga Diri Kembali, Jaminan Hak Milik, Pandangan Orientalis, dan Hak-Hak Istimewa Perempuan, mendapatkan pijakannya dalam persoalan yang terjadi di masyarakat. Lihatlah, ketika Buya menjelaskan tentang pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan dalam Islam, ia menghidangkan kesimpulannya dengan memikat, “Orang-orang perempuan modern tidak usah cemas. Islam tidaklah memerintahkan orang sujud kepada yang selain Allah. Perempuan tidak diperintahkan sujud kepada suaminya. Yang diperintahkan hanyalah kesetiaan, sebagai imbangan dari perintah Rasulullah kepada laki-laki tadi, kalau hendak dimasukkan hitungan orang yang muliawan, setiawan, hendaklah anggap mulia ahlinya, isterinya. Dan kalau ahlinya dan isterinya dianggapnya hina, tanda dialah yang hina!”

Tengok pula luasnya wawasan Buya Hamka ketika dalam buku ini ia berani untuk membandingkan penghargaan Islam terhadap perempuan dengan peradaban lain, semisal peradaban Yunani, “Marilah kita pakai cara kartu-terbuka, kalau di dunia ini hasil ilmu dan penyelidikan dari riset yang akankita pegang teguh. Adakah peradaban Eropa sejak zaman Yunani dan Romawi sampai ke zaman modern sekarang ini mempunyai penghargaan sejelas ini kepada perempuan? Mengapa Plato mengucapkan perkataannya yang terkenal “Saya bersyukur kepada Dewa-dewa karena saya dilahirkan merdeka bukan budak, laki-laki bukan perempuan!”” Buya mampu menepis kekeliruan pemahaman mengenai perempuan. Meski tidak berurutan, tetapi dengan menelusuri untaian paragraf satu demi satu, maka akan terasa bagi kita, Buya menjelaskan dari pokok persoalan, yaitu mengenai perempuan dalam pandangan Islam. Baru kemudian Buya perlahan menjejakkan pondasi pemahaman mengenai perempuan ke dalam hak dan kewajibannya, hingga aturan-aturan yang menjaganya. Buku ini menjadi semakin penting ketika pada masa itu, dan hingga masa kini, kesalahpahaman terhadap Islam terutama oleh umat islam itu sendiri, karena mereka mengenal atau mendalami Islam bukan oleh tuturan ulama Islam itu sendiri, melainkan dari para orientalis. “Tetapi untuk mengetahui peraturan-peraturan Agama Islam secara ilmiah, tidaklah akan dapat kalau tidak diselami dalam lubuk Islam itu sendiri. Jangan dengan perantaraan orang lain.” Pendekatan beragam dari Buya Hamka dalam menerangkan kedudukan perempuan dalam Islam memberikan pencerahan yang bermanfaat bahkan hingga kini. Meski buku ini tergolong tipis (hanya 98 halaman) namun tak mengurangi arti penting buku yang telah cetak ulang hingga lebih dari tiga kali ini. (BR) Judul : Kedudukan Perempuan dalam Islam Penulis: Buya Hamka Penerbit : Pustaka Panjimas, Jakarta Jumlah Halaman: 98 halaman Cetakan 6, 1986


50

Cinta Patje dan Matje

Kisah

PAATJE & MAAT Oleh : Rizki Lesus Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa

S-E-N-Y-A-P Sejoli itu saling menatap. Tak terasa, empat puluh dua tahun berlalu berkelebat sangat cepat, kini tiba di penghujungnya. Perjumpaan terakhir. Helaian rambut boleh memutih. Keriput memang dapat membungkus raut hingga berkerut. Namun, cinta tetap bergelora di dalam dada. Sulit diungkapkan memang, rasa yang begitu membuncah memenuhi sepotong hati. Dua jasad terpisah, namun dalam satu ikatan cinta. Sejoli itu saling menatap. Tatapan ketika silam saat pertama kali bersua. Berulang. Tatapan ketika dulu melewati hari-hari yang begitu bahagia. Sejoli itu saling menatap. Tatapan yang tak kan pernah terlupakan. Tatapan yang hanya diberikan kepada sang Belahan Jiwa. Tak kan pernah lepas sekejap pun. Entah apa sebabnya, mendadak air mata sudah meleleh melewati pipi. Paatje hanya bisa menangis.

Amat memilukan, Maatje menatap wajah lembut Paatje menangis. Wajah itu amat sendu membuat hati semakin gerimis. Waktu berjalan lambat. Keduanya saling membisu. Keduanya menangis. H-e-n-i-n-g. Entah apa sebabnya, Paatje berusaha tersenyum. Keduanya tak melepaskan pandangan. Paatje tak kuasa berucap. Hanya senyumnya yang sederhana yang kini tersimpul. Senyum yang begitu bersahaja. Maatje tak kuasa berucap. Berusaha membalas senyum Paatje yang sederhana. Waktu berjalan lambat. Keduanya saling menatap: tangis dalam senyum. Senyum penuh arti. Senyum penuh kenangan. Senyum yang kembali membangkitkan ingatan. Waktu berjalan lambat. Keduanya seolah melihat jelas dalam rona mata masing-masing. Masa-masa yang membuat tersenyum. Menepuk kembali memori. Tak ada kata terlambat memang, untuk mengenang. Keduanya hanya bisa saling menatap. ***


Rizki Lesus

Kisah

TJE Paatje dan Maatje Sumber foto: Dokumentasi keluarga yang diunggah oleh akun putrasinggih di youtube. (https://www.youtube.com/watch?v=5V80biC7aI4)

Entah sudah kesekian kalinya, Agus Salim menatap Zainatun Nahar dari kejauhan. Tatapan yang penuh arti. Ah, setiap pria pasti pernah merasakannya bukan? Pandangan pertama yang membuat hati dag dig dug. Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta?? Entahlah‌yang pasti tatapan itu bukan tatapan biasa. Keduanya saling menatap. Zainatun Nahar membalas tatapan pemuda berusia 22 tahun itu. Malu? Panik? Agus Salim hanya bisa menunduk, melepaskan pandangannya, kikuk, sembari menyimpan rasa yang sulit diungkapkan dalam hati. Gadis belia itu membuat hatinya bergetar hebat. Inikah yang namanya cinta? Lagi-lagi pertanyaan itu menyeruak. Gadis di sudut sana pun hanya tersipu malu. Keduanya saling memendam. Merindu. Tapi Agus Salim bukanlah pria biasa yang hanya memendam rasa, baper, hingga menggalau. Ia yakin, bahwa pernikahanlah jalan terbaik menautkan dua insan yang saling merindu. Zainatun Nahar bukanlah wanita asing bagi Agus Salim. Keduanya saling bersua dalam pertemuan keluarga, karena Zainatun Nahar anak pamannya Agus Salim. Tak ada drama ala detektif, mencari siapa sosok wanita impian seperti di film-film. Tak ada pula modus berkenalan dengan sang wanita idaman. Semuanya berjalan secara

alami. Tak sulit menemukan Zainatun Nahar, sepupunya sendiri. Seiring berjalannya waktu, keduanya sesekali berinteraksi. Berbekal tekad bulat, Agus Salim akhirnya menyatakan perasaanya kepada Zainatun Nahar. Keduanya hanya bisa membisu. Saling menunduk tersipu. Gayung pun bersambut. Malu-malu, Zainatun Nahar pun mengungkapkan perasaan sukanya kepada sang Uda. “Bahkan Uda ingin melamar engkau, Diak. Uda ingin menikah dengan Jaja,� kata Agus Salim tanpa berani memandang langsung wajah Zainatun Nahar. Gadis belia itu kaget bukan kepalang. Senyum merekah. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu seorang wanita? Ketika ada pria impian yang melamarnya? Ah, yang benar saja? Serius kau Uda? Zainatun Nahar hanya diam seribu bahasa. Bukankah itu sudah cukup untuk menyatakan persetujuannya? Rona bahagia nampak dari wajah memerah keduanya. Sebentar lagi, gerbang pernikahan akan terbuka lebar. Agus Salim akan menyatakan maksud pernikahannya kepada paman Almatsier dan bibi Siti Maryam. Hari-hari bahagia sudah terbayang jelas dan begitu dekat.


52

Cinta Patje dan Matje

Namun, takdir berkata lain. Agus Salim harus berangkat ke Jazirah menjadi Konsulat Belanda di Jeddah. Kabar ini bak petir di siang bolong. Lalu, bagaimana dengan ikrar Agus Salim? “Berapa lama?” Tanya Zainatun Nahar dengan mata berkaca-kaca. Agus Salim hanya terdiam membisu. Ingin sekali rasanya memberikan penjelasan se—detail-detailnya. Orang tua Agus Salim memang mewajibkan Agus Salim ke Jeddah, selain keinginan kuat dirinya untuk memperdalam ilmu agama di Tanah Suci.

Kisah

“Bagi orang Koto Gadang saat itu, berhenti dari dinas pemerintah adalah bencana besar,” kata Zainatun Nahar. “Kira-kira sama seperti mendengar kematian keluarga.”

Tapi, kapan Engkau akan kembali? Selama apa aku harus menanti? Akankah janji suci itu akan tertunaikan? Haruskan waktu yang menjawabnya?

hanya diberikan kepada sang Belahan Jiwa. Tak kan pernah lepas sekejap pun.

Pertanyaan yang tersimpan dalam-dalam di sudut kalbu. Keduanya merindu. Takdir membawa Agus Salim pergi ke Jeddah meninggalkan Zainatun Nahar dengan harapnya.

Entah apa sebabnya, mendadak air mata sudah meleleh melewati pipi. Agus Salim hanya bisa menangis bahagia. Zainatun Nahar tak kuasa membendung tangis haru usai akad itu tertunai. SAH!

Berat memang, meninggalkan sang gadis pujaan, gadis yang selama ini diidam-idamkan. Tapi, sejarah berkata bahwa Agus Salim bukanlah pria tipe PHP. Lima tahun bukan waktu yang singkat. Ternyata ikrar itu tak pernah dikhianati pemuda yang kini sudah bergelar Haji. Haji Agus Salim pulang! Ya, kini dia benar-benar pulang! “Sekembali dari Jeddah, Opa benar-benar melaksanakan niatnya (menikah),” kata Maryam Subadio, cucu Agus Salim menirukan ucapan Zaninatun Nahar dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim. Dengan pendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, anak orang terpandang dan sudah berhaji, menjadikan Salim sangat popular di kampungnya Koto Gadang. Namun, hatinya sudah bertaut pada cinta setianya: Zainatun Nahar. Takdir pun mempertemukan keduanya dalam ikatan pernikahan. Ya Rabb, kami benar-benar telah menikah! Janji itu tertunaikan jua! Tak ada hari paling membahagiakan ketika pernikahan itu terwujud. Wajah keduanya berseri-seri. Agus Salim mengenakan baju merah menyala dan kuning keemasan, kepalanya berbalut sorban. Zainatun Nahar begitu gembira, dengan baju kurung dengan tilakuang, penutup kepala berbahan beludru bersulam, khas Koto Gadang.

Ya Rabb, aku benar-benar telah menikah! Mulai detik ini, sungguh, tujuan hidupku begitu sederhana. Hanya satu: berbakti kepada suami. Semoga suamiku ridha apa yang aku lakukan! Waktu berjalan lambat. Keduanya saling membisu. Keduanya menangis. Tak lama, Agus Salim menunjukkan kemesraanya dengan menggendong Zainatun Nahar dan meninggalkan undangan meloncat naik ke delman. Hadirin hanya melongo melihat kelakuan Salim yang dianggap tak sesuai adat. Hari itu kami benar-benar bahagia. Tak ada kebahagiaan ketika Allah mempertautkan kami di hari itu. Kalender menunjukkan 12 Agustus 1912. Suasana begitu meriah di kediaman Paman Almatser di Pisang, Koto Gadang. Ada arak-arakan dan tabuhan rebana. Di tengah upacara, tiba-tiba Agus Salim menyerahkan uang kepada Zainatun sebagai bukti tanggung jawab suami ke istri. Lagilagi para sesepuh geleng-geleng kepala. Berikutnya, mara pulai alias mempelai pria -yang seharusnya diam- tiba-tiba angkat suara saat musyawarah ninik-mamak. Agus Salim meminta kebebasan menentukan keluarga mana yang harus dikunjungi pengantin.

Sejoli itu saling menatap.

Aku tahu, ia hanya ingin menjadikanku benar-benar seorang istri, dan dia benar-benar seorang suami. Lepas dari status anak-kemenakan ninik-mamak.

Tatapan yang tak kan pernah terlupakan. Tatapan yang

Kehebohan pun terus berlanjut. Ia meninggalkan rumah

Semuanya tampak indah sekali, ya Rabb!


Rizki Lesus

yang sudah disediakan keluarga Zainatun Nahar di Koto Gadang dan pindah ke Batavia. Sang Istri hanya menghela nafas. Bagaimanapun kini, pria di hadapannya adalah suaminya. Salim memboyong Zainatun Nahar ke Jakarta. Baru lima hari menikah, Salim kembali membuat kehebohan. Ia memutuskan keluar dari pekerjaannya di Bureu voor Openbare Warken atau Dinas Pekerjaan Umum Hindia Belanda karena merasa tak sesuai dengan prinsipnya. “Bagi orang Koto Gadang saat itu, berhenti dari dinas pemerintah adalah bencana besar,” kata Zainatun Nahar. “Kira-kira sama seperti mendengar kematian keluarga.” Kenang Zainatun Nahar. Hanya dua pekan di Jakarta, Salim pun memutuskan pulang ke kampungnya untuk menjadi guru. Setibanya di Koto Gadang, mata-mata memincing. Kasakkusuk keluarga semakin menusuk. Beribu pertanyaan terlontar. Mengapa kembali? Mengapa keluar? Baru berapa hari, mengapa sudah kembali? Pertanyaan yang tak kunjung usai dijawab. Ketika keluarga besar menentang Salim, hanya ada satu orang yang mendukung penuh keputusan suami: Zainatun Nahar! Sungguh jawabannya sederhana. Berjuta pengalaman, setelah pulang Haji, Salim merenung. Salim menilai kala itu pendidikan inlander jauh tertinggal dibandingkan kaum penjajah. Sederhana memang, ia kembali ke kampungnya untuk mendirikan sekolah khusus kaum pribumi, agar kelak, negeri Ini merdeka, kaum terdidik ini bisa mengisinya. Sepasang kekasih ini benar-benar memulainya dari nol. Meyakinkan warga, mereka harus menikmati jua pendidikan tinggi. Agus Salim dan Zainatun Nahar turun langsung sebagai pengajar HIS Studiefonds. Seiring berjalan waktu, anak-anak kampung pun mendaftar ke sekolah Salim dan Nahar. Zainatun Nahar nampak bahagia sekali, jauh melebihi saat Salim mengenakan pakaian dinas kantor Pekerjaan Umum Belanda. Kebahagiaan semakin lengkap, setelah Salim memiliki momongan. Anak pertama yang ia namakan Theodora Atia. Dua tahun waktu melesat sangat cepat. Sikap keluarga yang menentang, kini memaklumkan aktivitas Salim sebagai guru. Sebagai pendidik, Salim pun terus belajar. Bacaan demi bacaan ia lahap. Ketertarikannya pada dunia Islam sekembali dari Jazirah menggerakkanya untuk terus berbuat. Islam, menurut Salim mengajarkan untuk

Kisah

mereformasi keadaan sekitar menjadi lebih baik. Pemikiran tokoh-tokoh Islam pun terus ia amati, hingga suatu saat ia membaca lamat-lamat :TJOKROAMINOTO. Entah apa yang membuat Salim tertarik kepada nama di atas. Nama Tjokroaminoto melambung seiring naik daunnya Sarekat Islam. Sarekat Islam melepas sekat-sekat ketat, menautkan semua kelas, menjadikan siapapun dapat berjuang bersama. Berita demi berita tentang Sarekat Islam Salim ikuti, hingga terbesit ingin bersama berjuang dengan sang Raja Tanpa Mahkota tersebut. Keputusan bulat pun diambil. Agus Salim memutuskan untuk kembali ke Jawa. Sontak, keputusan ini membuat Zainatun Nahar kaget. Pasalnya, kehidupan Salim kini bisa dibilang sudah cukup. Dapat gaji bulanan dari hasil kerjaan, apa yang kurang? Apalagi keluarga besar Salim semakin ngedumel mendengar keputusan Salim. Pertanyaanpertanyaan sejurus terlontar. Apa yang ada dalam benakmu nak? Di Jawa mau kerja apa? Dulu ke Jawa dan kembali, mengapa sekarang kembali lagi? Sebenarnya kamu mau apa? Bagaimana dengan istri anakmu? Kamu mau kasih makan apa mereka? Zainatun Nahar sembari menggendong Theodera si mungil kembali bertanya, apakah sang suami telah memikirkan matang –matang? “Engkau tak perlu cemas istriku. Serahkan semuanya kepada Allah. In Syaa Allah, semuanya akan baik-baik saja,” Agus Salim meneguhkan. Sejoli itu saling menatap. H-e-n-i-n-g. “Apakah engkau tak percaya dengan jalan keputusan yang telah saya ambil istriku?” Zainatun Nahar hanya menghela nafas. Tersenyum, Wajahnya bersinar. “Saya percaya dan tak pernah meragukan kemampuan Kakanda. Ke mana pun engkau mengajak saya pergi, saya akan tetap setia menemani. Sebab saya tau, insya Allah itulah keputusan yang terbaik untuk kita,” kata Zainatun Nahar mantap. Sejoli itu saling menatap. Pelukan hangat sang suami dengan lembut membungkus sang belahan jiwa. Keduanya tergugu. Entah apa yang akan menanti di hadapan sana. Babak baru segera di mulai. Ya Rabb…Sungguh, perjuangan hidup setelah ini akan


54

Cinta Patje dan Matje

Kisah

Rumah di Koto Gadang Sumber foto: Koleksi Digital Tropen Museum (http://collectie. tropenmuseum.nl/default. aspx?lang=en)

semakin berat. Kuatkanlah kami ya Rabb. Bukankah sesederhana itu tujuan hidup hambaMu? Mengabdi kepadaMu dan berbakti kepada suami. Tapi mengapa serasa berat perjuangan ini ya Rabb. Kuatkanlah kami… *** Di dalam gang sempit itu, berkelok dari jalan utama, menyelusup gang pada perkampungan di sudut kota , di tempat becek, di kawasan kumuh, di sanalah Agus Salim dan Zainatun Nahar mengisi hari-hari mereka. Dari satu kota ke kota lain, dari satu gang ke gang lain, dari satu bilik ke bilik lain, Agus Salim berpindah. Entah sudah tak terhitung, berapa kali Agus Salim pindah kontrakkan, Zainatun Nahar selalu setia menemani, seperti janjinya. Kustiniyati Mochtar menyebutkan dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, bahwa keluarga muda ini hidup dalam kemelaratan selama puluhan tahun, bersama ke depalan anaknya. Bukan karena Salim tak mampu bekerja di perusahaan bergengsi berkelas dunia yang kesohor. Bukan pula karena ia tak mampu bekerja menjadi pegawai negeri (Belanda) dengan kewajiban mendukung kolonialisme. “Agus Salim yang berpendidikan tinggi dan berkemampuan tinggi sesungguhnya dapat hidup enak, andai kata ia mau bekerja pada pemerintah Hindia Belanda. Namun ia malah menujukkan sikap kritis kepada kebijakan kolonial. Akibatnya tentu kesulitan mencari nafkah dan kehidupan penuh derita bagi keluarga,” tulis Kustiniyati Mochtar dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim. Masa itu, Agus Salim berkali-kali menjadi wartawan hingga pemimpin redaksi suatu surat kabar. Dari sana, ia mendapatkan uang sekadarnya, menghidupi istri dan anaknya. Tak jarang, ia menulis kolom yang honornya digunakan untuk mengebulkan dapur sehari-hari.

“Apabila keadaan lagi lumayan, ia mempunyai penghasilan tetap misalnya sebagai pemimpin redaksi (hoofdredactur) suatu surat kabar, maka keluarga Salim tinggal di rumah yang cukup baik juga,” lanjut wartawan harian Indonesia Raya Kustiniyati Mochtar. Begitu Agus Salim kritis pada Kolonialisme, tak jarang ia diminta melunak. Namun, prinsipnya yang kukuh membuatnya memilih mengundurkan diri dari perusahaan pers yang ia pimpin. Muridnya, Mohammad Roem pernah berkisah, bahwa tak perlu waktu lama bagi Salim untuk mundur. “Mengapa reaksinya begitu kontan? Mengapa tidak berusaha mencari waktu agar tidak tergesa-gesa mencari pindah rumah, karena pendapatan sekonyong-konyong berhenti dnn tidak dapat membayar sewa rumah lagi?” Agus Salim menjawab, “Kalau saya terus menulis, hanya ada dua kemungkinan: saya tidak mempedulikan permintaan pemilik harian atau saya menyerah dan berkompromi dengan hari nurani saya,” ujar Salim (Mohamad Roem: 1977). Karenanya, entah sudah tak terhitung berapa kali Agus Salim pindah rumah mencari harga yang paling ringan bagi koceh. Dari satu gang becek ke gang sempit lain, dari satu kota ke kota lainnya. Tercatat, ia memboyong istri dan anaknya menuju Bogor, Yogyakarta, Majalengka, Surabaya, bahkan hingga Madura. Di Jakarta, sejoli ini pernah menikmati masa-masa indah di daerah Tanah Abang, Karet, Petamburan, Jatinegara, di gang-gang Kernolong, Tuapekong, gang Listrik dan masih banyak lagi. Khusus gang Listrik, menjadi kenangan tersendiri bagi sejoli ini. Di gang Listrik, justru Haji Agus Salim dan Zainatun Nahar hidup tanpa listrik gara-gara tak sanggup membayar


Rizki Lesus

iuran listrik. Anak keempat Salim, Adek, mengingatnya dulu ia harus membersihkan lampu setiap sore. Siti Asiah, anak ke-8 Haji Agus Salim masih mengingat betul, sampai tuanya ayahnya selalu mengongtrak rumah, bahkan ada masa ia harus memboyong barang-barang lebih dari satu kali dalam sebulan! “Sebab, begitu keadaan lebih baik, ada penghasilan pindah ke tempat yang lebih bagus,” katanya seperti dikutip Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik. Ia masih ingat betapa ia harus ikut ayahnya dari gang Nangka di Kwitang, pindah ke Krukut, Jalan Karet, hingga Jalan Gereja Theresia. Siti Asiah yang karib disapa Bibsy ini mengatakan keluarganya pernah tinggal cukup lama di Jalan Karet Petamburan. “Banyak sekali kamarnya, tujuh barangkali, seperti kereta api,” tawanya mengisahkan kontrakkan yang diisi beberapa keluarga lain. Walaupun begitu, menurut Bibsy, ibunya tak pernah memperlihatkan kesusahan di depan anak-anaknya, semuanya selalu gembira. Penulis riwayat hidup Haji Agus Salim, Kustiniyati Mochtar bilang, mungkin orang-orang akan geleng-geleng kepala mendengar kehidupan mereka. Seorang tokoh Nasional, pemimpin parpol hidup mengontrak tanpa listrik, tanpa perabot, tanpa penghasilan tetap, tanpa gaji memadai, tanpa pembantu rumah tangga, tanpa…tanpa..bahkan pernah dalam satu bulan harus pindah lebih dari sekali. “Orang tertawa sambil geleng-geleng kepala, tetapi ini bukanlah lelucon. Terutama untuk si ibu rumah tangga yang pada hakikatnya harus memecahkan banyak persoalan sekaligus.,” kata Kustiniyati Mochtar (1984) Bahkan, menurut pengakuan Agus Salim, bersamaan dengan masa pindah-pindah rumah, mereka hidup dalam keadaan serba sulit. Keadaan yang tak mungkin tak terbayangkan di era kini. Bayangkan, ketika salah satu anaknya wafat, tak kuasa membeli kafan, Agus Salim menutupnya dengan taplak meja.

Kisah

kacau, tegang, dan semrawut,” tambah Kustiniyati. Namun, ternyata bayangan Kustiniyati salah. “Ternyata tidak demikian keadaanya,” katanya. Serba kekurangan, kesulitan, kemelaratan tak menjadikan Agus Salim dan Zainatun Nahar tidak menikmati kebahagiaan. Justru, kebahagiaan begitu terasa dalam lakon sehari-hari keluarga sederhana ini. Kesulitan dan penderitaan menjadikan kami begitu mesra, semakin dekat denganMu ya Rabb…Tiada kata terindah kecuali Alhamdulillah… Para kolega terdekat seperti Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Sjamsurijal, dll merasakan betul suasana hangat keluarga ini ketika berkumpul bersama. Dolly sapaan karib Theodora yang sudah besar bertugas menjahit, adiknya Jojet memasak, adiknya lagi bersih-bersih rumah. Keluarga bersahaja namun tetap bahagia. Dari sini, Kustiniyati mengatakan bahwa materi bukanlah sumber kebahagiaan. Barangkali, dengan memiliki banyak materi, membuat mereka repot berpindah kontrakkan, tulisnya melucu. Cucu Haji Agus Salim Maryam Subadio menyuguhkan kisah dari Neneknya tentang Kakeknya. “Opa dan Oma sering hidup dalam kesusahan. Kalau pencaharian opa sedang baik, mereka tinggal dalam rumah yang besar. Kalau sedang nasib apes, mereka pindah lagi ke rumah yang kecilan. Entah berapa kali pindah tak tahu,” kata Maryam Subadio menirukan cerita Zainatun Nahar dalam Oma Cerita tentang Opa. Lalu, dengan hidup sebegitu melarat, di mana kunci kebahagiaan mereka? Biarkan mereka menjawabnya mashing-masing. “Walaupun penuh masa –masa bokek dan gawat. Tapi penuh kebahagiaan karena selalu optimis,” lanjut Zainatun Nahar mengisahkan kepada Maryam Subadio.

“Buat pasangan suami istri muda zaman sekarang, keadaan ini mungkin tak terbayangkan. Keluarga besar, tempat tinggal tak tetap, uang belanja minim. Wah, ibu rumah tangga mana yang tak menjadi uring-uringan kepada suami yang sok pegang prinsip?” tulis Kustiniyati Mochtar.

Cinta, kemesraan, dan keimanan yang kukuh membuat keluarga ini bahagia dalam kondisi apapun. “Jawabannya harus dicari dalam watak dari Paatje dan Maatje (panggilam Mesra masing-masing untuk ayah dan ibu) dalam keluarga ini. Paatje adalah orang yang tawakal, pasrah dan bersyukur kepada Allah, di sampng punya watak bawan optimis dan penuh humor,” kenang Kustiniyati Mochtar.

Belum lagi, perlu diketahui bahwa seluruh anak Agus Salim tidak ada yang duduk di bangku sekolahan. Zainatun Nahar dan Agus Salim mendidik anaknya langsung di kontrakkanya. “Bayangan orang pasti suasana rumah itu

“Ia kuat beribadah dan mampu menunjukkan kasih sayang serta perhatian cukup kepada istri dan anak-anaknya. Maatje adalah orang yang percaya penuh kepada suami dan perjuangannya, membiasakan diri menerima keadaan


56

Cinta Patje dan Matje

Kisah

Paatje dan Maatje di Amerika Serikat Sumber foto: Dokumentasi keluarga yang diunggah oleh akun putrasinggih di youtube. (https://www.youtube. com/watch?v=5V80biC7aI4)

sebagaimana adanya, tabah tanpa mengeluh. Dengan ketenangan luar biasa , Maatje dapat menyesuaikan keadaan rumah tangga pada perkembangan atau perubahan yang silih berganti,” lanjutnya. Kasih sayang, optimisme, tawakal dan perjuangan Paatje dan Maatje terekam apik dalam cuplikan kisah-kisahnya. Dalam Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional disebutkan saat menumpang taksi yang menembus malam Jakarta, Agus Salim melihat istrinya kedinginan. “Maatje, dinginkah?” Tanpa menunggu jawaban, ia membuka mantel dan menjadikannya penutup kaki Zainatun Nahar. Dan kini, Zainatun Nahar itu memanggilnya Paatje. Salim memanggilnya Maatje Kemesraan Paatje dan Maatje berwujud menjadi pengorbanan. Suatu saat, dikisahkan di salah satu kontrakkan, toiletnya mampet. Setiap Agus Salim menyiram WC, air dari dalam meluap. Sang istri pun menangis sejadijadinya, karena baunya yang meluber dan air yang meleber. Zainatun Nahar istrinya, tak kuat lagi menahan jijik sehingga ia muntah-muntah. Agus Salim akhirnya melarang istrinya membuang kakus di WC dan ia sendiri yang membuang kotoran istirnya menggunakan pispot. Paatje juga tak segan menjalankan tugas mengasuh anaknya yang masih kecil. Mengganti popok dan membuat susu di malam hari sudah biasa baginya. Salim tak tega membangunkan istrinya yang terlelap pulas karena kelelahan sepanjang siang mengasuh anak. “Pembagian waktu kerja merawat bayi menunjukkan kesayangan Opa pada keluarganya. Oma mengurus di waktu siang, Opa di waktu malam: membuatkan susu, menggantikan popok, dan lain-lain. Bukankah ini menunjukkan bahwa Opa benar-benar bukan egois?” kata

Maryam Subadio mengenang kisah Zainatun Nahar. Tawakal dan optimisme, selalu hadir bahkan dalam detikdetik kritis. Keyakinan akan pertolongan Allah membuat keluarga ini menikmati setiap episode kehidupan. Kustiniyati mengisahkan saat Agus Salim harus didepak dari kontrakkanya, ia tak tahu harus melangkah ke mana, karena kantong kosong melompong. “Allah Maha Besar, kita tentu akan diberiNya jalan,” kata Agus Salim. Pada saat itu juga, entah mengapa datanglah kiriman uang yang tak pernah terduga. “Opa amat percaya akan kemurahan Tuhan. Pernah keadaan sedang gawat dan keluarga sudah harus pindah rumah. Semua barang sudah siap untuk berangkat, tetapi uang untuk ongkos gerobak tak ada. Opa kelihatan tenang.” “Benar saja, tak lama kemduan datang tukang pos membawa sebuah pos wesel dari seorang kawan yang pernah tertolong oleh Opa yang ingin membalas budi dan baru sekarang dapat mengirimkan uang. Memang sesungguhnya Tuhan selalu melindungi kita,” Maryam menirukan kisah Zainatun Nahar. Tiada hari tanpa kejutan demi kejutan. Semuanya dilewati berbekal keimanan yang tebal, bahkan sampai masa-masa paling melarat, hingga untuk makan pun sangat sulit, keluarga ini masih tetap berbahagia. Dikisahkan, suatu waktu uang belanja telah tipis. Tak segan-segan mereka menikmati sagu dan jagung. Jika beruntung, mereka dapat menikmati nasi tanpa lauk pauk. Paatje tak kehilangan akal. Dibumbui humor, Paatje seolah mentraktir anak-anaknya nasi goreng hanya dengan minyak dan kecap. “Paatje sediri menyingsingkan lengan baju, beramai-ramai


Rizki Lesus

membuat nasi goreng. Dalam suasana ceria, sekeluarga makan nasi goreng sementara anak-anak benar benar mendapat ‘traktiran’ ang istimewa dari Paatje,” kenang Kustiniyati. Pada kesempatan lain, nasi panas hanya dicampur kecap, mentega atau susu. Keluarga sederhana ini melahap dalam suasaan riang. “Kami makan nasi garam, nasi mentega dan susu adalah semacam ‘traktir’ begitulah Opa memberikan kesan dahulu. Padahal itu adalah makanan yang murah,” kata Maryam. “Dalam keadaan gawat, Opa akan membuatkan nasi goreng hingga suasana terasa ada pesta. Bawang goreng dan samin, semua doyan. Biasa sederhana, kalau ada uang beli makan enak, dimasak bersama,” tambahnya. Ruang kebahagiaan terus mengisihari-hari mereka. Saat hujan turun, pernah air itu menetes deras melewati gentengnya yang bocor. Air menetes sana-sini. Mungkin, kita akan sangat kesal dengan genteng yang bocor, namun lihatlah keluarga ini. Zainatun Nahar bukannya sedih. Ia malah mengajak anak-anaknya berkumpul, membuat perahu-perahuan dari kertas. Ember yang menampung air digunakan sebagai ‘laut’ dan mereka merasa senang dengan perahu kertas mereka. Sungguh, kami merindukan masa-masa seperti itu. Walau dalam rumah mungil dan sederhana, kehangatan terus terjadi. Kita simak penuturan Mohammad Roem bersama kawan-kawannya organisasi pemuda Islam Jong Islamieten Bond (JIB) ketika mengunjungi mentornya ini. Sepenggal 1925, Agus Salim sudah menjadi tokoh Partai Islam terbesar di Indonesia. Sebagai Pembina JIB, ia kerap disambangi anak-anak muda ke kontrakkanya di jalan Tanah Tinggi. “Naik sepeda seperti perahu di atas air,” kenang Roem. Jalannya rusak, tanah, berlubang. Kalau hujan, entah mereka bisa sampai atau tidak karena tanah akan menjadi lumpur. Di dalam rumahnya itu, Roem pertama kali berkenalan dengan keluarga Paatje. “Rumah kampung dengan meja kursi sangat sederhana,” kenang Roem. Agus Salim seperti biasa berpakaian nyentrik dengan peci khasnya. Dalam ruang mungil itu, terlihat kehangatan keluarga. “Datang anak empat tahun, Syauket, bercelana monyet, badannya gatal minta digaruk ayahnya dengan bahasa Belanda,” kenang Roem. Setelah menggaruknya, Agus Salim pun memanggil kakaknya Syauket agar menuntunnya

Kisah

kembali bermain. Di sana pula, dengan getir Kasman Singodimedjo (kelak Tokoh Muhammadiyah, Ketua KNIP dan Jaksa Agung RI pertama) berucap lirih, melihat kondisi gurunya yang sangat menghawatirkan. Kasman berucap: “leiden is lijden” (memimpin itu menderita). Ya, memimpin adalah menderita! Leiden is lijden. Berselang beberapa bulan, Agus Salim harus pindah lagi ke Gang Toapekong, dekat pintu besi depan Gereja Ayam. “Meskipun rumahnya tidak kurang besar dari rumah di Tanah Tinggi, tapi jauh kurang baik. Di Gang Toapekong pernah satu atau dua kali kami datang untuk mendapat pejaran agama Islam. Di ruang luar ada meja kursi, tapi di dalam hampir kosong dan waktu kami berkumpul di ruang itu kami duduk di atas tikar,” kenang Roem. “Rumah itu menunjukkan rumah keluarga yang kurang berada,” Roem mengenang orang nomor dua di Partai Sarekat Islam ini. Roem prihatin, melihat gurunya hidup dengan kekurangan. Namun, ia tetap merasakan rasa yang sulit diungkapkan. “Di Gang Toapekeong itu kami sudah memulai berkenalan dengan keluarga Haji Agus Salim dengan istrinya dan anakanaknya yang dari tahun ke tahun tambah erat tiap kali kami datang, baik sebagai anggota JIB yang mendatangi penasehatnya, maupun sebagai murid dan kawan dari anak-anaknya,”kenangnya. “Kami bergabung bersama keluarganya, bersenda gurau bersama, hingga beberapa bulan kemudian beliau pindah ke rumah kawannya Saeroen di Jatinegara,” kata Roem. Agus Salim diminta Seoroen memimpin salah satu surat kabar di Jakarta. Rumah ini lebih bagus dan lebar dari sebelumnya, namun ada satu keunikan. “Akan tetapi waktu kami dipersilakan ketemu, maka seluruh ruangan keluarga hanya satu ruangan, koporkopor bertumpuk di pinggir ruangan, serta beberapa kasur digulung sedangkan di tengah ada tempat bebas untuk duduk-duduk dan menerima tamu,” lirih Roem mengiris hati. Ya Rabb…inikah rumah pemimpin negeri ini? Kontrakkan hanya dengan satu ruangan, semuanya tumplek blek dalam satu ruangan? Dengan kasur-koper-dan semuanya dalam satu ruangan? Di mana lagi kami menemukan sosok mereka? Tapi, kata Roem, semua sangat menikmatinya. “Kami


58

Cinta Patje dan Matje

Kisah

mendapatkan diri dalam suasana bergembira, anakanak yang kami sudah kenal sedang bersenda gurau,” kenangnya. Tak lama, karena tugas Sarekat Islam, Agus Salim harus menjadi ‘kontraktor’ lagi ke Bogor dengan keadaan lebih buruk.

Manusiawi memang, hidup di antara himpitan realita. Sesekali Zainatun Nahar menangis sendu, namun ingatan akan janji suci dan komitmen bersama menyirnakan segalanya. Bahwa akan datang pertolongan Allah dalam masa-masa sangat sulit sekalipun.

Saat itu, Agus Salim mengajar cum menjadi anggota Volksraad (DPR kini). Menjadi anggota Dewan Volksraad, tak lantas Agus Salim memiliki rumah, mobil, atau saham perusahaan. Ia tetap ke stasiun Bogor naik sepeda. “Kegembiraan bersama anak-anak Haji Agus Salim di Bogor menutup mata untuk ikut meraskan betapa melaratnya keluarga HA Salim,” kenang Roem.

Ya Rabb..kapankan datang pertolonganMu?

Kebahagiaan itu terus berlanjut. Kalau sedang buru-buru mengejar rapat anggota Dewan, Agus Salim naik delman menuju Stasiun Bogor, melesat. “Bayarnya nanti di rumah,” kata Agus Salim sambil meninggalkan wajah tukang delman langganan yang hanya melongo. Kalau senggang, ia biasa berangkat dengan sepeda. Terkadang semua berangkat ramai-ramai mengantarkan Agus Salim ke stasiun. Pernah saat itu semua sudah mengantar, ketika pulang Zainatun Nahar kaget karena di kamar suaminya sedang berbaring. Rupanya, rapat Volksraad ditunda. Agus Salim buruburu pulang, menyusup ke kontrakkanya lewat jendela. Keisengan-keisengan suaminya menjadi kenangan manis tersendiri. “Opa suka sekali bergurau,” kenang cucunya, Maryam. Pernah, Agus Salim memaksa dirajutkan peci oleh istrinya, bahkan sampai menunda keberangkatan jadwal kereta. “Waktu pulang peci itu tak nampak. Katanya dihadiahkan kepada orang yang mengaguminya,” kata Maryam. Zainatun Nahar lagi-lagi geleng-geleng kepala. “Memberi benda yang amat kita sayangi itulah sebenar-benarnya pemberian,” kata Agus Salim. Hidup bersama Agus Salim memang nampak menderita secara fisik, namun kebahagiaan tetap menyelimuti keluarga ini. Memang, rumah tangga tak pernah sepi dari pelbagai kejadian yang mengiris hati. Namun, kesabaran dan ketawakalan yang teguh membuat rasa menderita itu seakan sirna. Bahwa kelak akan ada sebaik-baiknya pembalasan. “Hubungan opa dan oma, istimewa dan mesra. Sesekali Opa marah, dan kalau sedang marah, suaranya keras sekali. Tetapi selebihnya, betapa dekat hubungan mereka,” kenang Maryam.

Dalam detik-detik krusial itu, keduanya saling menguatkan. Tak jarang dalam malam panjang, Paatje tergugu dalam tangis, takut apa yang dilakukannya menzalimi keluarganya. Dalam shalat panjang, ia tak luput memohon kepada sang Maha, agar selalu dikuatkan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Maatje pun sebagai manusia biasa, tak luput dari rasa jenuh. Namun, lagi-lagi sejoli ini telah berkomitmen menyusun bata rumah tangga menjadi bangunan yang kokoh. Keputusan menikahi Agus Salim dan hidup bak roller coaster menjadi kenangan manis tersendiri. “Ah bagi Oma, opa memang menarik. Lain dari pada yang lain, pakaiannya lain, lebih gembira dan berani. Keputusan yang tak pernah disesalinya, menerima dengan hati terbuka. Membawa kebahagiaan meski ada pula penderitaannya,” kata Maryam menuturkan kisah Zainatun Nahar. Keduanya melewati malam bersama, saling menyimak bacaan Quran dengan logat khas. Kala senggang bermain kartu bersama. Tertawa bersama, hingga menangis bersama. Mengadukan keluh kepada sang Maha. Bukan sekali, Paatje meminta maaf kepada Maatje. Keduanya saling menatap. Maatje selalu tersenyum. Senyuman penuh arti. Senyuman yang meneguhkan. Berkali-kali dilanda sulit, Paatje selalu terngiang-ngiang ucapan Maatje. “Jalan hidup yang harus kita lalui ini memang sangat sulit dan berliku-liku Paatje! Tapi karena Paatje meminta saya untuk melewati jalan hidup yang seperti ini, maka tak ada yang dapat saya perbuat selain menuruti apa yang menjadi kemauan engkau, Paatje.” “Sebagai seorang istri, saya harus pandai-pandai berbuat baik kepada suami. Sebagaimana janji pernikahan kita, bahwa saya akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Paatje.“ “Meskipun dengan hal-hal yang sederhana, barangkali Paatje menganggapnya tak penting. Tapi percayalah, Saya ikhlas melakukan karena rasa cinta dan sayang pada


Rizki Lesus

Kisah

Paatje, akan menjadikan hal-hal yang terlihat sederhana itu sebagai suatu yang istimewa. Mungki tidak saat ini. Tapi, nanti suatu saat kita sudah tak bersama lagi,” kata Maatje. Mendengarnya, hati ini bergetar hebat. Inikah janji setia seorang istri kepada suami? Ya Rabb..aku ridha atas istriku… Kemesraan Paatje dan Maatje dalam mengarungi pelbagai ujian terus nampak, direkam oleh putra-putrinya. “Paatje sangat protektif terhadap Maatje,” kata Siti Asiah, dalam Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik. Paatje bisa melabrak siapa pun yang ia anggap melukai hati kekasihnya, bahkan jika hal itu dilakukan anakanaknya sendiri. Sikap Siti Asiah dan saudara-saudaranya menaikkan nada bicara di hadapan sang Ibu, Salim – yang biasanya lembut – langsung menghardik. “Kalian jangan bicara kasar kepada istriku!” Paatje dan Maatje. Keduanya terus membangun cinta dari masa ke masa. Sepuluh, dua , tiga, empat puluh tahun terlewat. Dari satu gang ke gang lain. Dari wartawan sampai Menteri. Hingga penghujungnya, Paatje dan Maatje hidup dalam keadaan mengontrak: tinggal di Jalan Theresia –kini jalan H Agus Salim- statusnya masih sewa. Keduanya selalu bersama. “Tak pernah mereka berpisah. Opa membawa Oma kemanapun dia pergi, ke dalam gang-gang sempit di Jakarta, ke Yogyakarta, Bogor, Sumenep, dan kota – kota lain di Indonesia. Dan tempat-tempat hebat di London pada waktu penobatan Ratu Elizabeth. Perjalanan pulang dari Amerika di atas sebuah kapal pesiar,” kenang Maryam Subadio. Berkali-kali Allah memberikan ujian dan cobaan, berkalikali pula pertolonganNya menghampiri mereka. Tak terasa, kemesraan kini tiba di penghujungnya. Perjumpaan terakhir. Satu hal yang kami yakini dalam hidup ini bahwa Allah tidak akan memberi ujian di luar batas kemampuan hamba yang bersangkutan. Setidaknya , komitmen yang telah kami bangun dalam rumah tangga itu memperingan beban hidup yang harus kami tanggung Kepedihan dan kesedihan ini yang membuat kami semakin mesra dalam cinta dan kasih sayang. Sehingga tidak ada kata lain yang bisa kami ucapkan selain memperbanyak puja dan puji kepada Allah. *** Maatje memijat lembut jemari Paatje. Kini, Paatje hanya

“Kalian jangan bicara kasar kepada istriku!” bisa terbaring sangat gontai di atas kasur. Anak-anak menepi sesaat, melihat orang tua mereka saling menatap dalam syahdu. S-e-n-y-a-p. Sejoli itu saling menatap. Tak terasa, empat puluh dua tahun berlalu berkelebat sangat cepat, kini tiba di penghujungnya. Perjumpaan terakhir. Helaian rambut boleh memutih. Keriput memang dapat membungkus raut hingga berkerut. Namun, cinta tetap bergelora di dalam dada. Sulit diungkapkan memang, rasa yang begitu membuncah memenuhi sepotong hati. Dua jasad terpisah, namun dalam satu ikatan cinta. Sejoli itu saling menatap. Tatapan ketika silam saat pertama kali bersua. Berulang. Tatapan ketika dulu melewati hari-hari yang begitu bahagia. Sejoli itu saling menatap. Tatapan yang tak kan pernah terlupakan. Tatapan yang hanya diberikan kepada sang Belahan Jiwa. Tak kan pernah lepas sekejap pun. Entah apa sebabnya, mendadak air mata sudah meleleh melewati pipi. Paatje hanya bisa menangis. Amat memilukan, Maatje menatap wajah lembut Paatje menangis. Wajah itu amat sendu membuat hati semakin gerimis. Waktu berjalan lambat. Keduanya saling membisu. Keduanya menangis. H-e-n-i-n-g. Entah apa sebabnya, Paatje berusaha tersenyum. Keduanya tak melepaskan pandangan. Paatje tak kuasa berucap. Hanya senyumnya yang sederhana yang kini tersimpul. Senyum yang begitu bersahaja. Maatje tak kuasa berucap. Berusaha membalas senyum Paatje yang sederhana. Waktu berjalan lambat. Keduanya saling menatap: tangis dalam senyum. Senyum penuh arti. Senyum penuh


60

Cinta Patje dan Matje

Kisah

kenangan. Senyum yang kembali membangkitkan ingatan.

Anak-anak memanggil mereka Paatje dan Maatje.

Waktu berjalan lambat. Keduanya seolah melihat jelas dalam rona mata masing-masing. Masa-masa yang membuat tersenyum. Menepuk kembali memori. Tak ada kata terlambat memang, untuk mengenang. Keduanya hanya bisa saling menatap.

Wajahnya yang riang, wajahnya yang lelap. Saling memainkan pipi. Saling menarik-narik baju. Saling menggelitiki. Terlelap di atas karpet, ditindih anak-anak yang masih kecil. Wajahnya yang memelas, dan riang saat mengocek nasi goreng, nasi yang hanya digoreng tanpa lauk.

Paatje berusaha membisikkan sesuatu. Hanya seucap maaf dengan susah payah ia ucapkan. Mendengarnya, hati semakin Saling meledek, dalam tawa dan canda. Bermain kartu sembilu. Maatje mendekap tubuh Paatje erat-erat. Keduanya malam-malam. Melewati malam panjang bersama. Hingga tergugu. Keduanya menangis. menikmati santapan sepiring berdua. “Maatje, dinginkah?” Tanpa menunggu jawaban, ia membuka mantel dan Sering kali sudut matanya tergenang bulir-bulir bening. menjadikannya penutup kaki Zainatun Nahar. Diusapnya lembut dengan kaus putih yang telah usang. “Apakah engkau tak percaya dengan jalan keputusan yang Ya Rabb…Kami menangis…Akankah sudah tiba waktunya? telah saya ambil istriku?” Sejoli itu saling menatap. Zainatun Nahar hanya menghela nafas. Tersenyum, Tangisan itu kini mendera hati. Keduanya membisu. Melewati Wajahnya bersinar. “Saya percaya dan tak pernah empat puluh dua tahun bersama yang indah: meragukan kemampuan Kakanda. Ke mana pun engkau mengajak saya pergi, saya akan tetap setia menemani. Paatje. Wajahnya yang tersipu malu terlukis di pelupuk. Udara segar pegunungan. Bukit-bukit yang berbaris. Gunung Sebab saya tau, insya Allah itulah keputusan yang terbaik Singgalang dan Ngarai Sianok begitu indah tiada tara. Tanduk- untuk kita,” tanduk kerbau di Koto Gadang. Tatapan pertama mereka. Wajah merah itu.

Bersama di mana pun. Di dalam gang sempit nan becek. Di atas kereta. Di atas sepeda. Di dalam lorong-lorong pasar. Keduanya saling menatap. Zainatun Nahar membalas tatapan Saat hujan gerimis menyapa di Kauman Yogyakarta. “Jojet ini hanya senang hujan Maatje, janganlah dilarang,” Paatje pemuda berusia 22 tahun itu. malah basah kuyup menikmati hujan bersama putranya. Paatje tersenyum malu. Wajahnya yang serius saat bersua Maatje hanya geleng-geleng kepala gemas. dengan paman Almatsier dan bibi Maryam. Saat keduanya Menjadi Ibu Menteri, diasingkan oleh Belanda. Mengasuh bertemu keluarga besar, dag dig dug terasa. Akhirnya bersimpul dengan senyum riang saat pernikahan. Bedaknya cucu satu per satu. Menaiki pesawat ke Amerika. yang tak rata di kedua pipinya. Paatje menggendong Maatje Mengunjungi Cornel University. “Opamu itu benar-benar mengajak Oma ke manapun.” Menikmati lembayung dan orang-orang terheran-heran. Inilah istri kebanggaanya. senja berdua di atas jembatan London hingga bersua “Bahkan Uda ingin melamar engkau, Diak. Uda ingin menikah dengan Ratu Elisabeth di Istana Buckingham, tak pernah dengan Jaja,” terbayangkan sebelumnya. Ah, yang benar saja? Serius kau Uda? Gadis itu memanggilnya Paatje Dia memanggilnya Maatje

“Aku hanya mau pergi jika engkau memenuhi syarat ini: Aku hanya pergi jika bersama istriku,” tegas Paatje saat mendapat undangan sebagai dosen tamu di Amerika

Menjadi Ibu Menteri, diasingkan oleh Belanda. Men

Amerika. Mengunjungi Cornel University. “Opamu i

Menikmati senja berdua di atas jembatan London h

Buckingham, tak pernah terb


Rizki Lesus

Serikat. Tuan Kahin hanya bisa mengangguk tanda menyetujui. Melewati musim semi indah di bawah langit Tokyo, duduk di atas tikar bertaburan dedaunan sakura yang merebak, saat mampir pulang dari Amerika. Berdua menikmati angin laut di atas pesiar. Wajah jenakanya, menarik perhatian. “Benarbenar tak terlupakan. Opamu menarik perhatian penghuni kapal.” Sungguh, kami merindukan masa-masa seperti itu. Sejak kami menikah, maka tujuan hidup ini menjadi amat sederhana: “Bagiku kau ikhlas dengan semua yang kulakukan untukmu. Ridha atas perlakuanku padamu. Itu sudah cukup.. Sesederhana itu bukan?” Maatje tak pernah melepaskan pandangannya sedetik pun. Pandangan penuh cinta: Aku mencintainya Dia mencintaiku

Kisah

Mendengarnya, hati ini bergetar hebat. Inikah janji setia seorang istri kepada suami? Ya Rabb..aku ridha atas istriku… Paatje berusaha tersenyum. Paatje m-e-n-g-a-n-g-g-u-k pelan. Mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lancar. Ya Rabb, aku benar-benar telah menikah! Mulai detik ini, sugguh, tujuan hidupku begitu sederhana. Hanya satu: berbakti kepada suami. Semoga suamiku ridha apa yang aku lakukan! Maatje tak kuasa menahan tangis. Mata indah suaminya perlahan menutup. Pergi. S-e-l-a-m-a-n-y-a. Aku merasa dia tak pernah melepakan pandangannya kepadaku. Pandangan penuh cinta. Aku mencintainya… Dia mencintaiku…..

Hatinya benar-benar bergetar. Kau tau, kehilangan itu memang menyakitkan bukan? Namun ada perjumpaan, bukankah akan perpisahan? Empat puluh dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun, hampir setiap manusia pasti pernah merasakan kehilangan orang-orang yang dicintainya. Kenangan manis itu kembali terbuka satu persatu. Seakan ingin mengingatkan bahwa suatu saat, hal-hal sederhana sekecil apapun begitu berharga. “Meskipun dengan hal-hal yang sederhana, barangkali Paatje menganggapnya tak penting. Tapi percayalah, Saya ikhlas melakukan karena rasa cinta dan sayang pada Paatje, akan menjadikan hal-hal yang terlihat sederhana itu sebagai suatu yang istimewa. Mungkin tidak saat ini. Tapi, nanti suatu saat kita sudah tak bersama lagi,” “Apakah kau ridha kepada ku Paatje” bisik Maatje menggenggam erat Paatje. Mata Paatje menanti.

ngasuh cucu satu per satu. Menaiki pesawat ke

itu benar-benar mengajak Oma ke manapun,”

hingga bersua dengan Ratu Elisabeth di Istana

bayangkan sebelumnya.

“Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak….” (An Nisa: 19)

Tulisan ini hanyalah cerita pendek yang di ambil dari kisah-kisah yang tercecer di pelbagai literatur. Sumber: Seri buku Tempo: Agus Salim Diplomat Jenaka Penopang Republik (KPG: 2013) Seratus Tahun Haji Agus Salim, Panitia Peringatan 100 Tahun Haji Agus Salim (Sinar Harapan: 1984) Cahaya dari Koto Gadang, Haidar Musyafa (Spirit Grow: 2015) Hadji Agus Salim Hidup dan Perjuangannya, Solichin Salam (Djajamurni: 1961)


62

Muslimat NU: Dedikasi untuk Negeri

Syajarah

MUSLIMAT

NU Oleh : Andi Ryansyah

Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa

Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia berkumandang, kuku-kuku tajam penjajah rupanya masih mencengkeram. Semangat kemerdekaan yang meluap-luap dalam diri rakyat, menggolakkan pertempuran di berbagai tempat. Salah satu Ormas Islam, Nahdlatul Ulama (NU) bahkan sampai mengeluarkan resolusi jihadnya, “bahwa mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Islam termasuk sebagai suatu kewadjiban mutlaq bagi tiap2  orang Islam laki2 dan perempuan.� Perlawanan rakyat 10 November 1945 pun akhirnya meletus di Surabaya. Kaum Nahdiyyin dan Nahdiyyat ikut


Andi Ryansyah

Syajarah

mempertahankan kemerdekaan dengan segala apa yang ada. NU bergabung dalam pasukan-pasukan pejuang Hizbullah dan Sabilillah memanggul senjata melawan musuh.[1] Semangat perjuangan fi sabilillah (di jalan Allah) dihidupkan para ulama dengan menerjunkan anak-anak muda dan kaum ibu NU ke gelanggang perjuangan. Jika kaum laki-laki berjuang di garis depan, maka kaum ibu berjuang di garis belakang. Kaum ibu bekerja di di berbagai lapisan seperti dapur umum, palang merah, mengumpulkan pakaian dan makanan, memberi penerangan ke sana sini, serta menghidupkan semangat perjuangan melawan musuh.[2] Sebagaimana organisasi-organisasi perjuangan yang diikuti perempuan Indonesia, sebut saja GPII Putri, Muslimat Masjumi, BPRI, dan Pesindo, maka NU pun mengorganisir perempuan-perempuannya. Kaum perempuan disusun NU agar menjadi barisan imaadul bilaad karena perempuan itu laksana tiang negeri.

Apabila dia baik, negerinya baik. Dan apabila dia rusak, negerinya pun rusak binasa.[3] Perempuan-perempuan ahlussunnah wal jamaah digerakkan NU menurut ajaran Islam agar turut menyerahkan darma baktinya membela tanah air, berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw, “Perempuan memikul kewajiban-kewajibannya seperti kewajibannya laki-laki,” dan “Laki-laki mendapat bagian dari usahanya, perempuan pun mendapat bagian dari hasil kerjanya.” Oleh karena itu, meski negara dalam keadaan diserang, maka Muslimat NU pun diwajibkan berjuang mempertahankan kemerdekaan sesuai dengan kodrat dan iradat sebagai perempuan.[4] Setelah kaum ibu Muslimat NU turut menyingsingkan lengan baju mempertahankan kemerdekaan, tiba masanya mereka menjalani peran dalam organisasi. Maka pada Kongres NU ke XVI di kota Purwokerto, tanggal 23-26 Rabiul Akhir 1365, bertepatan dengan tanggal 26-29 Maret 1946, rencana menjadikan Muslimat bagian dari NU dimajukan dalam Kongres. Kongres itu secara aklamasi (suara bulat) memutuskan

DEDIKASI UNTUK NEGERI Perempuan-perempuan ahlussunnah wal jamaah digerakkan NU menurut ajaran Islam agar turut menyerahkan darma baktinya membela tanah air, berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw, “Perempuan memikul kewajiban-kewajibannya seperti kewajibannya laki-laki,” dan “Laki-laki mendapat bagian dari usahanya, perempuan pun mendapat bagian dari hasil kerjanya.


64

Muslimat NU: Dedikasi untuk Negeri

Muslimat termasuk bagian dari NU dan diresmikan dalam rapat pleno terakhir, 26 Rabiul Akhir 1365/ 9 Maret 1946, dengan singkatan nama NUM (Nahdlatul Ulama Muslimat).[5] Ketua NUM Nj. Chadidjah saat itu kemudian menjelaskan dasar perjuangan mereka, “… sebenarnya kita perempuan Islam terutama zaman pembangunan sebagaimana sekarang ini tidak boleh tinggal diam, dan tidak boleh menonton para kaum laki-laki yang sedang berjuang untuk meluhurkan agama Allah. Tetapi juga kaum perempuan harus membantu dan memperkuat barisan NU. Karena apa NU harus dibantu? Ya karena memang lapangan pekerjaan itu luas sekali dan berat…Ketahuilah bahwa setengah dari kekawatiran yang besar ialah orang yang menjauhkan diri dari mengumpuli ‘Ulama, tentu jauh pula ia dari pada agama, sebagaimana orang-orang yang tinggal di desa-desa yang tiada orang ‘Alimnya yang mereka tidak tahu pada orang ‘Alim, pun begitu sebaliknya dan sebagai pula penggembala lembu atau para pekerjapekerja yang hanya mengetahui pekerjaannya saja serta tidak mau pada lainnya, atau dalam golongan mereka itu terdapat orang ‘Alimnya, tetapi mereka tidak mau mencampurinya, atau mereka tidak mau tunduk padanya dan tidak mau memetik ilmunya. Sesungguhnya mereka itu dalam umumnya tidak mengetahui Tuhan. Tidak pula Rasul dan tidak pula Agama…maka kewajiban yang dihadapi NU itu besar sekali, minta tenaga yang cukup banyaknya guna

Syajarah

beramar ma’ruf dan nahi munkar, dan menuntun ummat Islam yang demikian sifatnya itu… Kalau menilik ummat Islam Indonesia ini begitu besar jumlahnya yang tidak mengerti urusan agamanya, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan kaum perempuan lebih banyak yang kurang perhatiannya pada agama, maka tepat benar Nahdlatul ‘Ulama membentuk bagian perempuan. Al-Mukminuuna wal mukminatu ba’dluhum auliyau ba’di ta’muruna bil ma’rufi wa tanhauna ‘anilmunkar al ayat.”[6] Lahirnya NUM tidak bisa dipisahkan dari KH. Wahab Hasbullah dan KH.M Dahlan. Ibarat bayi yang baru lahir, maka mereka berdualah yang menjadi dokter dan bidan NUM. Mereka mengerti dan terus mengamati kapan bayi itu akan lahir. Maka saat tiba waktunya, mereka mendorong, memimpin, dan membimbing dengan tidak menghiraukan rintangan dari kanan dan kiri. Kini bayi NUM telah lahir sehat dan segar bugar. Sebagai dokter dan bidan, mereka tidak tega meninggalkan bayi NUM yang baru lahir itu sendirian. Maka diasuhlah NUM, diberi petunjuk, dipimpin, dan dibimbing, diluruskan jalannya, ditolong kalau mau jatuh, dibesarkan hatinya, dikobarkan semangatnya, sehingga NUM dapat berjalan sedikit demi sedikit.[7] Dalam kiprahnya untuk negeri tak sedikit yang telah mereka curahkan. Dari politik sampai pendidikan. Menumpas PKI


Andi Ryansyah

Syajarah

KIRI: Ibu Djuaisih dari Bandung. Perintis Muslimat NU KANAN: Sukarelawati Muslimaat NU Sumber foto: Tim Penyusun, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama,PP Muslimat NU Jakarta:Jakarta, 1979

Menjelang peristiwa pemberontakan PKI di tahun 1965, NUM terlibat dalam kegiatan ekstra sejak tahun 1964. Pimpinan-pimpinan NUM mengikuti kursus-kursus kader revolusi dan kursus kader lain-lainnya. Secara khusus sekitar bulan November 1964, NUM menyelenggarakan latihan sukarela bertempat di pusat pendidikan HANSIP PUSAT di Jalan Salemba Raya dan diikuti oleh pimpinan Muslimat dan Fatayat NU se-Indonesia, dengan pimpinan latihan Ny. Saifuddin Zuhri dan pimpinan asrama Ny. Chadidjah Imron Rosjadi. Dalam latihan ini, selain mendapat pelajaran kemiliteran seperti baris berbaris, pelajaran menggunakan senjata (latihan tembak di lapangan tembak Cibubur), bongkar pasang senjata dengan mata tertutup, dan lain sebagainya.[8]

Indonesia (KOWANI). Pada 8 November 1965, perempuan ibu kota yang tergabung dalam Front Pancasila menyelenggarakan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dan mantel organisasinya. Seperti diketahui, seksi perempuan Front Pancasila dipimpin Ny.H.Asmah Sjachruni dari NUM dan Ny.Arudji Kartawinata dari perempuan PSII. Ny.H. Asmah Sjachruni juga menjadi salah satu pimpinan di Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI). KAWI telah melakukan gerakan “Perjuangan Hanura” dengan TRITURA-nya yaitu: bubarkan PKI, bubarkan kabinet, dan turunkan harga. KAWI akhirnya bubar seiring tuntutan prinsipil terwujud, dan semua anggota serta pimpinannya kembali ke induk organisasinya masing-masing.[9]

Pada 2 Oktober 1965 NUM menyatakan sikapnya atas peristiwa Pemberontakan 30 September. Mereka mengutuk pelaku-pelakunya sebagai pengkhianat dan meminta pemerintah menindak pelakunya. Kemudian pada 5 Oktober 1965, NUM diwakili oleh Ny. Hj. Solehah A Wahid Hasjim menandatangani pernyataan PBNU yang isinya mengutuk pengkhianatan G 30 S PKI. Lebih dari itu, Ny. Hj. Solehah A Wahid Hasjim meminta agar menindak dan membubarkan PKI beserta mantel organisasinya. Pada bulan Oktober, NUM juga membuat pernyataan agar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) membubarkan Taman KanakKanak “Melati”(milik Gerwani) dan supaya Pemerintah mengambil alih TK itu. Usul NUM itulalu disetujui oleh Menteri P&K dan didukung Kongres Perempuan

Menentang Penyimpangan RUU Perkawinan Atas inisiatif Ny. Sumari dkk., pada tahun 1957, diajukan kepada DPR sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkawinan. Usui ini oleh fraksi NU dan fraksi lainnya ditentang karena isinya secara keseluruhan dianggap menyimpang dari hukum-hukum perkawinan yang telah diatur dalam Islam. Ny. H. Machmudah Mawardi dari fraksi NU dan Ny. Sunaryo Mangunpuspito dari fraksi Masyumi tampil sebagai juru bicara yang menolak usul tadi. Sementara itu Ny. Sutiyah dari PNI dan Umi Sarjono dari PKI mendukung RUU Perkawinan tersebut. Akhirnya RUU perkawinan usulan Ny. Sumari dkk. itu berhasil dikandaskan.


66

Muslimat NU: Dedikasi untuk Negeri

kita perempuan Islam terutama zaman pembangunan sebagaimana sekarang ini tidak boleh tinggal diam, dan tidak boleh menonton para kaum lakilaki yang sedang berjuang untuk meluhurkan agama Allah. Tetapi juga kaum perempuan harus membantu dan memperkuat barisan NU. Karena apa NU harus dibantu? Ya karena memang lapangan pekerjaan itu luas sekali dan berat...

Syajarah

Upaya-upaya menggulung Hukum Islam di tanah air tak pernah surut. Termasuk kembali melalui UU Perkawinan. Sewaktu DPR hasil pemilu 1971 membicarakan RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah (Menteri Agama Prof Dr Mukti Ali), kembali organisasi perempuan mengalami pergolakan antara yang pro dan kontra. RUU ini oleh umat Islam dinilai memuat pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Islam (mengubah hukum Islam) dan membuat ketentuan-ketentuan yang memungkinkan laki-laki dan perempuan dapat hidup bersama di luar pernikahan. Fraksi PPP dalam DPR tampil dengan juru bicaranya Ny. H. Asmah Scahruni (Ketua Umum PP NUM) sebagai pihak yang menentang RUU tersebut, sedangkan Golkar dengan juru bicara Ny. Nelly Adam Malik mendukung RUU ini. Keputusan akhir dari perdebatan ini adalah diterimanya RUU Perkawinan tersebut setelah seluruh pasal yang bertentangan dengan agama Islam disesuaikan dengan hukum yang sah.[10] Setelah diterima, maka lahirlah UU No.1 tahun 1974 atau dikenal dengan nama Undang-Undang Perkawinan. Keberhasilan lahirnya UU Perkawinan yang direvisi ini tentu saja buah kerja keras, termasuk dari Muslimat NU. [11] Memajukan Pendidikan NUM telah mendirikan “Yayasan Pendidikan Muslimat�. Programnya meliputi pendidikan formal dan pendidikan non formal. NUM mendirikan Sekolah Taman KanakKanak di setiap ranting. Muslimat NU memandang taman kanak-kanak adalah lembaga pendidikan yang pertama membimbing dan membina rohani dan jasmani untuk perkembangan anak di bawah tujuh tahun secara sistematis. Karena peran guru TK sangat diperlukan pada saat itu, dirasa perlu mencetak guru TK Muslimat NU yang memenuhi syarat untuk dapat menjangkau perkembangan TK selanjutnya. Pada tahun 1951, PP Muslimat NU mengadakan kursus Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak bertempat di Surakarta, Jawa Tengah dan diikuti oleh cabang-cabang yang berminat,


Andi Ryansyah

Syajarah

dengan tugas belajar selama 1 tahun. Selepas masa pendidikan, mereka menerima ijazah sebagai guru TK yang memenuhi syarat. Kursus tersebut telah membawa manfaat besar bagi kehidupan TK muslimat NU. Mereka yang telah pulang membawa ijazah, langsung mengembangkan berdirinya TK di cabangnya masing-masing dan mengadakan kursus kader guru TK, yang diikuti oleh anak cabang dan ranting-ranting setempat. Dengan demikian berkembanglah sekolah TK-TK Muslimat NU sampai di ranting-ranting yang tersebar di pelosok tanah air. Untuk mengadakan keseragaman mata pelajaran TK Muslimat NU, PP Muslimat menyusun kurikulum dan dibentuklah ikatan guru tk muslimat yang disingkat igtk sampai di daerah-daerah. Sedangkan gedung sekolah diwuujudkan dengan gotong royong baik melalui pembangunan gedung TK itu sendiri, maupun dari anggota muslimat yang merelakan sebagian ruangannya untuk belajar. Bagi wilayah/cabang yang telah mampu, mereka mendirikan sekolah kejuruan. Pendidikan non formal tak luput dari kerja keras Muslimat NU. Mulai dari pemberantasan buta huruf arab dan latin serta keterampilan. Pada tahap pertama kursus pemberantasan buta huruf arab dan latin mengalami hambatan karena kurangnya minat ibu-ibu rumah tangga untuk belajar membaca dan menulis. Namun berkat kerajinan ibu-ibu guru mengaji, maka pemberantasan buta huruf arab maupun latin sedikit demi sedikit mengalami kemajuan. Pada umumnya para peminat datang ke pondok puteri di mana guru mengaji perempuan tinggal. Tersadarkan akan pentingnya pemberantasan buta huruf ini, maka tidak sedikit para guru mengaji yang masih muda mendatangi para kelompok keluarga secara rutin, atas kehendak keluarga yang bersangkutan. Kursus keterampilan juga digalakan. Mulai dari, menjahit, menyulam dengan tangan maupun mesin, merangkai bunga segar, bunga kering, dan janur, memasak, merias pengantin, dan lan-lain. Bagi ibuibu yang berpenghasilan rendah, kursus keterampilan tersebut sangat berharga, karena sedikit banyak bisa menambah pemasukan untuk keperluan rumah tangga.

Sukarelawati Muslimaat NU “Angkatan Dwikora� berlatih menembak, tahun 1964 Sumber foto: Tim Penyusun, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama,PP Muslimat NU Jakarta:Jakarta, 1979 [12]

Menyiarkan Dakwah Setiap warga NUM dengan ilmu yang dimilikinya, merasa wajib berdakwah amar ma’ruf dan nahi munkar. Maka dalam waktu yang singkat kader-kader mubalighah NUM telah tersebar di pelosok-pelosok kampung di Tanah Air. Mereka mengadakan pengajian rutin yang isinya pembacaan Alquran, ilmu tauhid, fikih, peribadatan, pembinaan mental, dan lain-lain yang diperlukan daerahnya. Kemudian ada pengajian umum yang biasanya diselenggarakan di tempat terbuka, lalu ceramah-ceramah yang bersifat pengetahuan yang dibutuhkan kaum ibu seperti kesehatan jasmani dan rohani, kesehatan lingkungan, ilmu gizi, kesejahteraan keluarga, perawatan keluarga, dan lain-lain. NUM juga menerbitkan Risalah Muslimat, Gema Harlah Muslimat untuk memelihara kelangsungan komunikasi antara pusat dan daerah.[13] Kepedulian terhadap Sesama NUM membentuk Yayasan Kesejahteraan Muslimat pada 11 Juni 1963. Yayasan ini telah mengelola rumah bersalin/BKIA/Klinik KB dan panti asuhan yatim piatu. [14] Selain itu NUM juga telah memberikan beasiswa kepada sebagian anak-anak yang membutuhkan.[15] Ada juga kegiatan yang sepanjang tahun dijalankan baik oleh pusat, maupun daerah, seperti menghibur anakanak yatim piatu padapekan sosial NUM, mengadakan khitanan bagi anak-anak yang tidak mampu,


68

Muslimat NU: Dedikasi untuk Negeri

Syajarah

membagikan zakat fitrah kepada fakir miskin setempat pada hari raya idul fitri, beranjangsana menghibur dengan membawa bingkisan-bingkisan ke lembaga-lembaga sosial seperti panti asuhan yatim piatu, penampungan Lansia/ jompo, lembaga pemasyrakatan, penampungan anak-anak nakal/korban narkotika, dan membantu korban bencana alam. Pendidikan rohani pada perempuan tuna susila juga dilakukan dengan memberikan buku-buku agama, memberikan ceramah-ceramah keagamaan dan lain-lain. [16] Demikian cara NUM mengarahkan perempuan Indonesia. NUM berusaha menyatukan perempuan ahlussunnah wal jamaah, meningkatkan kecerdasan wanita tentang ajaran-ajaran Islam dan ketinggian akhlak, menyiarkan agama Islam di kalangan perempuan, menggiatkan amal sosial, dan memberikan tuntunan tentang kerajinan tangan dan jalan memperoleh rezeki yang halal. Perempuan memang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan kaum laki-laki, kecuali beberapa hal yang berlainan menurut kodratnya. Dalam mendapatkan haknya itu, NUM mempunyai tujuan yang murni dan mulia yaitu menyadarkan para perempuan Indonesia akan hak dan kewajibannya agar menjadi ibu sejati, ibu yang shalihah, sehingga dapat memperkuat dan membantu NU dalam menegakkan syariat Islam.[17] NUM mengejar hak-hak perempuan bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga kepentingan agama dan masyarakat. Inilah keutamaan NUM dan membedakannya dari pergerakan-pergerakan perempuan yang tidak berdasarkan agama. Kehadiran Muslimat Nadhlatul Ulama menjadi cermin gerakan muslimah di Indonesia yang bertolak dari semangat untuk mendakwahkan agama, bukan dari pandangan kesetaraan gender atau semacamnya. [1] Aisjah Dachlan, Sedjarah Lahirnja Muslimat Nahdlatul ‘Ulama di Indonesia, Jamunu: Djakarta, 1955, hlm. 45 [2] Ibid, hlm. 47 [3] Moeslimat Soekaradja. Menjoesoen Barisan Kaoem Poetri Islam, Majalah Berita Nahdlatoel Oelama, No.1 Th.10 November 1940, hlm.14 [4] Ibid, hlm.46 [5] Ibid, hlm.47 [6] Tim Penyusun, Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama,PP Muslimat NU Jakarta:Jakarta, 1979, hlm.58-57 [7] Ibid, hlm. 46 [8] Ibid, hlm.67 [9] Ibid, hlm. 68-69 [10] Ibid, hlm. 70-71 [11] Aisyah Hamid Baidlowi di bawah redaksi Lies M.Marcoes-Natsir dan Johan Hendrik Meuleman, Perempuan Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual pada Makalah Profil Organisasi Perempuan Islam: Studi Kasus Muslimat NU, Jakarta:INIS, 1993, hlm.88 [12] Tim Penyusun ,Ibid, hlm. 133-135 [13] Ibid, hlm.135-136 [14] Ibid, hlm.136 [15] Ibid, hlm.139 [16] Ibid [17] Dalam Anggaran Dasar Muslimat pasal III, Aisjah Dachlan, Ibid, hlm.77


SITI RAHAM Syajarah

ANTARA PERAN POLITIK & PENJAGA KEHORMATAN BUYA HAMKA


70

Siti Raham: Antara Peran Politk & Penjaga Kehormatan Buya Hamka

Oleh : Sarah Mantovani Alumni Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

Syajarah

Di belakang laki-laki hebat pasti selalu ada perempuan hebat di belakangnya. Pepatah ini bukan hanya sekedar omong kosong belaka atau pun hanya rangkaian kata tanpa makna, namun nyata, salah satunya terjadi pada Hamka. Siapa orang yang tidak mengenal sang otodidak multitalenta bernama Hamka? Selain dikenal sebagai Pejuang Kemerdekaan, ia juga dikenal sebagai Budayawan, Wartawan, Politikus, Filsuf, Tokoh Pergerakan maupun sebagai Pujangga. Namun adakah yang mengenal sosok dan peran Siti Raham binti Endah Sutan? Sosoknya memang tidak begitu terlihat, namun bukan berarti ia tanpa peran, karena bersamanyalah Hamka merasakan ketentraman, darinya pula keputusan politik Hamka ditentukan. Siti Raham binti Rasul Endah Sutan atau yang biasa disebut dengan Siti Raham merupakan anak kedua dari empat bersaudara. Puterinya, anak keenam Hamka, Azizah Hamka tidak begitu ingat kapan ibunya - Siti Raham- ini lahir, hanya ingat “ummi� – panggilan Azizah dan sembilan anak Hamka lainnya untuk ibunya – lahir pada tahun 1914, terpaut enam tahun dengan Hamka yang lahir pada tahun 1908. Menikahnya Hamka dengan Siti Raham mempunyai latar belakang yang unik. Pada waktu itu, paman Hamka yang berada di kampung, Yusuf Amrullah, mengajak Hamka untuk berbicara empat mata. Awalnya pamannya ini menceritakan pada Hamka mengenai kesulitankesulitan yang menimpa ayahnya, seperti rumahnya yang berada di Padang Panjang telah hancur karena gempa bumi, para pelajar Sumatera Thawalib yang banyak membangkang dan Belanda yang memata-matai gerakgerik ayahnya. Karena sebab itulah, pamannya meminta Hamka untuk menjadi pelipur lara, untuk mengobati


Sarah Mantovani

Syajarah

Siti Raham binti Endah Sutan, wanita bersahaja dibalik Buya Hamka. Sumber foto : Dokumentasi Keluarga


72

Siti Raham: Antara Peran Politk & Penjaga Kehormatan Buya Hamka

hati ayahnya yang sedang dirundung duka, yaitu dengan menikahi seorang gadis di Kampung Buah Pondok, anak dari Angku Rasul bergelar Endah Sutan.[1] Akhirnya pada tanggal 05 April 1929, hanya bermodalkan honor dari hasil menulis roman Minangkabau dengan huruf Arab Si Sabariyah, Hamka menikahi Siti Raham, saat itu usianya masih baru 21 tahun sementara istrinya berusia 15 tahun.[2] Dari istrinya lah, Hamka memperoleh 12 anak bernama Hisyam Hamka, Husna Hamka, Zaki Hamka, Rusydi Hamka, Fachry Hamka, Azizah Hamka, Irfan Hamka, Aliyah Hamka, Fathiyah Hamka, Hilmi Hamka, Afif Hamka dan Shaqib Hamka. Dua anak Hamka lainnya, Hisyam dan Husna Hamka meninggal saat masih balita.[3] Halus Perasaan Selain dikenal pintar memasak, Siti Raham juga dikenal karena perasaannya yang halus dan murah hati. Pernah saat bulan puasa, ada tukang susu yang datang ke samping rumah mereka ingin konsultasi dengan Hamka, rupanya tukang susu itu terlihat lemah karena belum makan, Siti Raham kemudian dengan sigap menyuruh “Icah” – panggilan kecil untuk Azizah – untuk mengambilkan makan. “Icah, tolong sediakan makan, kasih nasi dan teh panas manis”, suruh umminya seperti yang dituturkan Azizah. “Kenapa tukang susu itu disuruh makan dulu, ummi?”, Azizah bertanya dengan polosnya. “Icah kan tau, tukang susu itu kelaparan, kalau tukang susu itu kelaparan mana bisa dia ngomong sama ayah, kalau dia sudah kenyang barulah ia bisa konsultasi ke ayah”, jawab umminya lembut. Ia sungguh tidak tega melihat tukang susu itu kelaparan. Azizah mengakui, perasaan ibunya itu sungguh halus sekali. Peran Politik Meski tidak pernah terlibat langsung dalam politik dan tidak mengecap bangku pendidikan tinggi, namun peran Siti Raham dalam menentukan pilihan politik Hamka begitu besar. Ini pernah terjadi sekitar tahun

Syajarah

1959, saat pemerintah Sukarno mengeluarkan Peraturan Pemerintah menyuruh Hamka untuk memilih antara jabatan pegawai negeri golongan F dengan anggota partai, maka istrinya memilihkan agar Hamka melepaskan jabatannya sebagai pegawai negeri. Rusydi Hamka memberikan kesaksian, tidak ada tandatanda kecemasan yang keluar dari raut wajah ibunya yang dikenal tabah dan sabar menghadapi segala penderitaan itu. “Kita kan tak pernah menjadi orang kaya dengan kedudukan ayah sebagai pegawai itu. Jadi Hamka sajalah!”, hibur Siti Raham dengan senyum yang biasa. Ucapan-ucapan ibunya, diakui Rusydi, telah menguatkan hati ayahnya sebagai seorang pejuang yang harus menentukan keputusan pasti. Tidak hanya itu, ibunya juga mengingatkan saudara-saudaranya Rusydi yang lain agar jangan meminta yang tidak-tidak karena kondisi ayahnya tidak begitu cerah di hari yang akan datang dan yang sudah dewasa, usahakan untuk mencari pekerjaan.[4]

“Lebih angku tetap be di Masjid Al-Azha terho di had Alla

Sikap Sukarno yang mengeluarkan peraturan ini diduga kuat karena pidato Hamka yang menentang konsepsi presiden Sukarno dengan keras dan berani pada Sidang Konstituante yang dilaksanakan di Bandung. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 1950, Hamka menjadi Pegawai Tinggi di Kementerian Agama golongan F dan menjadi anggota Konstituante fraksi Partai Masyumi.[5] Peran Siti Raham tidak hanya sampai di situ saja, pada tahun 1960, Hamka diundang oleh Jenderal Nasution ke kantornya. Selain sebagai Panglima ABRI, Jenderal Nasution merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan. Dalam pertemuan tersebut, melalui Jenderal Nasution Hamka ditawari


Sarah Mantovani

Syajarah

pangkat Mayor Jenderal Tituler oleh pemerintah, karena pemerintah sangat menghargai jasa dan perjuangan Hamka dalam menghimpun kekuatan rakyat Sumatera Barat dan Riau pada waktu itu dan oleh karenanya pemerintah ingin memberikan Hamka, yang disebut Irfan Hamka dalam bukunya, pangkat kehormatan. Kemudian Hamka berunding dengan istrinya, namun apa disangka? istrinya menyarankan agar Hamka tidak menerima tawaran tersebut.

h baik u Haji erperan d Agung ar, lebih ormat dapan ah”

“Lebih baik angku Haji tetap berperan di Masjid Agung Al-Azhar, lebih terhormat di hadapan Allah”, kenang Irfan setelah mendapatkan cerita tersebut dari kakak perempuannya, Azizah Hamka yang menirukan ucapan ibunya. Tidak lama kemudian, Hamka menemui Jenderal Nasution dan secara halus ia menolak tawarannya sebagai Jenderal Mayor Tituler, setelah mendengar saran dari istrinya. “Saya sudah dianggap sebagai ulama oleh masyarakat dan hobi saya hanya menulis, tentu akan hal-hal tersebut sedikit banyak akan menghambat tugas-tugas saya sebagai seorang Mayor Jenderal walaupun Tituler”, Hamka memberikan alasannya kepada Jenderal Nasution dan Jenderal Nasution bisa memaklumi alasan Hamka.[6]

Irfan menilai, dari peristiwa tersebut bahwa ibunya bukanlah seorang perempuan yang ambisius, mencari popularitas atau ingin menambah kekayaan melalui jabatan yang ditawarkan oleh pemerintah. Menurut Irfan, sebenarnya bisa saja ayahnya langsung menolak kedua penawaran tersebut dan Irfan yakin, ayahnya pun pasti akan lebih memilih untuk tetap menekuni kesibukannya di bidang syiar Islam yang sudah mendarah daging dalam diri ayahnya. Terlebih sejak dari muda, ayahnya itu bukan orang

yang suka makan dari gaji pemerintah dan bukan pula pedagang seperti mayoritas laki-laki di kampungnya. Sumber kehidupan ayahnya hanya bergantung pada menulis buku dan saat pindah dalam suasana revolusi ke Padang Panjang, ia tidak punya sumber kehidupan yang tetap setiap bulannya[7]. Selain itu, irfan juga yakin, bahwa ayahnya juga sudah bisa menduga apa pendapat istrinya tersebut. Hal ini karena bukan hanya cinta, tetapi karena ayahnya itu sangat menghargai istri yang sangat dicintainya. Irfan begitu yakin, ini karena hasil pergaulan ibunya dengan ayahnya, sehingga ibunya mengetahui persis kepribadian dan watak ayahnya dengan baik[8]. Penjaga Kehormatan Walau dalam keadaan yang serba kekurangan, Siti Raham tetap mempertahankan kehormatan suaminya dan begitu teliti dalam menjaganya, salah satunya dengan memperhatikan pakaian yang akan dipakai Hamka setiap ia akan keluar rumah, salah satunya dengan mencegah Hamka menjual kain-kain Bugisnya.

Buya Hamka dan Siti Raham Sumber foto : Dokumentasi Keluarga


74

Siti Raham: Antara Peran Politk & Penjaga Kehormatan Buya Hamka

Syajarah

“Kain angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena angku Haji sering keluar rumah. Di luar jangan sampai Angku Haji kelihatan sebagai orang miskin”, cegah Siti Raham. Kertas-kertas yang berserakan di meja atau buku-buku yang berantakan di kamar juga selalu dijaga agar tidak ada yang hilang. Kerapkali Siti Raham juga menegur Hamka akan hal-hal kecil, seperti kopiah yang hendak dipakai untuk dibersihkan dulu[9]. Hamka bercerita pada anak keempatnya, Rusydi Hamka, bahwa istrinya merupakan wanita yang setia dan tidak meminta sesuatu di luar kemampuan suaminya. Setelah menjalani pernikahan selama beberapa tahun, Hamka begitu mensyukuri bahwa ayahnya telah memilihkan seorang wanita yang begitu mulia dan rendah hati[10]. Kesetiaan istrinya dalam menemani Hamka suka maupun duka akhirnya harus dipisahkan oleh maut, darah tinggi dan diabetes yang menyerang tubuh Siti Raham tak kuasa lagi ia tahan. Pada 01 Januari 1971, Siti Raham dipanggil oleh Rabbnya dan tiga hari sebelum meninggal, Siti Raham meninggalkan wasiat, “Pandai-pandailah kau bercermin, kalau kau pandai bercermin maka selamatlah kau dunia akhirat”. Seakan-akan wasiat itu seperti pertanda bahwa ia akan dipanggil.

Sumber Pustaka : Wawancara dengan Azizah Hamka 12 Februari 2015 Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, Jakarta, Pustaka Panjimas, 1993 Irfan Hamka, 2013. Ayah… Kisah Buya Hamka Masa Muda, Dewasa, Menjadi Ulama, Sastrawan, Politisi, Kepala Rumah Tangga Sampai Ajal Menjemputnya. Jakarta. Penerbit Republika. [1] Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), hlm. 21. [2] Ibid, hlm. 3. [3] Irfan Hamka, Ayah…, hlm. 295. [4] Rusydi Hamka, Pribadi…., hlm. 26. [5] Ibid, hlm. 25-26. [6] Irfan Hamka, Ayah…, hlm. 199-200. [7] Rusydi Hamka, Pribadi…, hlm. 23. [8] Irfan Hamka, Ayah…, hlm. 201. [9] Rusydi Hamka, Pribadi…, hlm. 24 dan 27. [10] Rusydi Hamka, Pribadi…, hlm. 22.pedagang seperti mayoritas laki-laki di kampungnya. Sumber kehidupan

ayahnya hanya bergantung pada menulis buku dan saat pindah dalam suasana revolusi ke Padang Panjang, ia

tidak punya sumber kehidupan yang tetap setiap bulannya.[9]


Dari Perbendaharaan Lama

MENJAGA MARTABAT ISLAM kh hasyim asy ’ ari

Tulisan berikut ini adalah Pidato dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, salah satu ulama besar di tanah air. Selain pesan beliau terhadap umat, namun yang tak kalah penting adalah memahami situasi pada saat pidato ini disampaikan. Pidato ini disampaikan ketika masa pendudukan Jepang di tanah air. Situasi yang serba sulit karena Jepang begitu represif dan kejam terhadap pihak-pihak yang menentangnya. Maka para tokoh Islam bersiasat dengan ‘bekerja sama’ dengan pemerintah Penjajah Jepang. ‘Kerja sama’ ini dipakai untuk menggalang kekuatan yang akhirnya nanti untuk merebut kemerdekaan. Suatu hal yang tak mudah, mengingat Jepang amat kejam kepada rakyat dikala itu. Akan membingungkan mungkin bagi generasi saat ini memahami kenapa para tokoh Islam memilih untuk ‘bekerjasama’ dengan pemerintah Jepang. Namun pencerahan akan kita dapatkan jika menelusuri penjelasan yang memadai, salah satunya dari tokoh yang aktif dipergerakan saat itu, yaitu, KH Saifuddin Zuhri, dari Nadhlatul Ulama. Melalui biografinya yang tebal nan bernas, Berangkat dari Pesantren, KH Saifuddin Zuhri memberikan kesaksiankesaksian siasat politik dari para tokoh Islam untuk memperdayai Jepang, terutama dan terpenting adalah siasat yang diungkapkan oleh KH Wahid Hasyim. Maka membaca pidato KH Hasyim Asy’ari ini pun akan mudah jika kita melihat dari bingkai siasat tadi, sehingga tak menimbulkan tanda tanya. Tak mudah untuk mengumpulkan karya beliau terutama yang bukan karya beliau yang terkait dengan pengajaran Islam dalam bentuk kitab. Tulisan beliau yang non-kitab tersebut terserak di media massa, dan sepanjang pengetahuan kami, belum ada yang mengumpulkan semua tulisan beliau di media massa. Maka artikel ini adalah salah satu upaya menghadirkan kembali karya beliau kepada generasi saat ini, yang mungkin sudah asing dengan tulisan-tulisan beliau.


76

Dari Perbendaharaan Lama

Alhamdulillahi rabil alamin wasalatu wa salam ala asrafil anbiya mursalin.

Bahwa umat Islam yang dahulu

Dengan nama Allah, Maha pengasih dan penyayang, sekalian puji bagi Allah Tuhan sekalian isi alam. Rahmat dan kesejahteraan bagi junjungan besar Nabi Muhammad Saw. dan keluarga serta sahabatnya. Saya menyampaikan kehadapan tuan-tuan sekalian, syukur dan ucapan selamat datang atas kesediaan tuan-tuan mengabulkan undangan guna menghadiri pertemuan ini. Yang mendorong tuan-tuan hadir pada rapat ini, tidak laindari pada kemauan yang sungguhsungguh akan bekerja yang berisi dan bersama-sama dengan pemerintah Balatentara Dai Nippon. Dan keinginan yang betul-betul mempertinggi martabat Islam dan memperhatikan kepentingan kaum muslimin, sebagaimana yang telah diperintahkan junjungan besar kita Nabi Muhammad Saw.

jaya, melainkan karena mereka

Hari ini disini ulama-ulama dari Jawa Tengah berkumpul, sebagaimana dulu ulama-ulama Jawa Timur berkumpul di kota Surabaya. Saya mohon pada Allah Swt. agar pertemuan kita ini dijadikannya pertemuan yang membawa berkah, dan dari padanya mendapat kebaikan dunia dan pahala di akhirat. Amin. Disini patutlah saya meminta perhatian tuan-tuan akan seesuatu hal yang penting ialah berkaitan dengan halnya sikap pemerintah Balatentara Dai Nippon terhadap agama Islam. Pemerintah telah berulang-ulang menerangkan, bahwa ia menghormati dan menghargai agaama Islam. Dan paduka yang mulia Gunselkan sendiri telah menerangkan kepada saya akan hal itu, ketika saya menghadap beliau di Jakarta pada 18 Maret. Saya memandang bahwa sikap yang demikian ini, yakni sikap menghormati dan menghargai agama Islam dari pihak pemerintah adalah suatu nikmat yang besar dari Allah. Maka wajiblah kita menjalani syukur atasnya dan wajib berbuat menurut mestinya kenikmatan itu. Sesungguhnya nikmat itu adalah percobaan Allah Azza Wajalla, agar dapat diketahui, orang yang bersyukur dan orang yang berhati atau (tidak mau bersyukur). Juga rencana adalah percobaan dari Allah Swt. untuk mengetahui mana yang bersabar dan yang berputus asa.

tidaklah menjadi mulia dan berpegangan pada petunjuk Islam. Maka seharusnya kita sekalian mensyukuri Allah Ta’ala atas nikmat ini. Allah telah menjanjikan bagi orang-oran yang bersyukur akan ditambah kenikmatannya dan Allah akan mangancam orang yang berhati atau (tidak mau bersyukur) akan disiksanya dengan siksa yang sangat berat. Telah difirmankan dalam surat Ibrahim ayat 7: “Demi sesungguhnya, jika kamu semua bersyukur, Kami pasti akan menambah (nikmat) bagi kamu sekalian; dan demi sesungguhnya jika kamu semua kufur (tak bersyukur), maka sesungguhnya siksaKu adalah sangat”. (QS:Ibrahim Ayat 7). Maka kita sekalian, pertama kali barulah berbesar hati kepada sikap pemerintah, yaitu sikap menghargai agama Islam dan kaum muslimin dan kedepannya kita sekalian haruslah membuktikan bahwa kita sekalian adalah patut dihormati dan dihargai, dan haruslah kita sekalian menunjukkan pada orang akan kecakapan dan kepandaian kita untuk bekerja guna kebaikan dunia dan akhirat. Sebenarnya sikap pemerintah ini sikap menghormati dan menghargai agama Islam dan kaum muslimin, yakni sikap yang bijaksana adalah sesuai dengan tabi’at agama Islam. Betapa tidak demikian, sedang agama Islam adalah agama yang disebutkan oleh Nabi Muhammad Saw. “Islam itu luhur dan tidak ada yang mengungguli”. Dunia pada waktu ini terbakar oleh api peperangan. Bumi-bumi ini dari ujungnya sampai ujungnya adalah merupakan medan peperangan yang dahsyat. Sudah ttabi’at peperangan adalah membawa kesukaran dan kesusahan. Maka tidaklah heran, jika kita sekalian sekarang melalaui masa hidup yang sukar dan susah. Tetapi kita melaluinya haruslah sambil sabar dan


Dari Perbendaharaan Lama

tahan. Karena keluh kesah dan putus asa tidaklah ada gunanya. Dalam pada itu, kita haruslah mengekalkan do’a kehadirat Allah, mudah-mudahan ia mentakdirkan sesudah kesukaran timbullah kemakmuran, dan sesudah kesempitan timbullah kegembiraan. Sesungguhnya Allah berkuasa atas perkara yang dikehendakinya. Sebagaimana tidak asing lagi bagi tuan-tuan, bahwa kita sekarang ini adalah dalam masa pembangkitan dan pebangunan masyarakat. Artinya bahwa kita sekalian ini memulai giliran baru dari pada giliran-giliran riwayat. Karena riwayat yang lama sudah ditutup dan bersama dengan ditutupnya riwayat itu, ditutup juga riwayat Pemeritah Belanda yang telah lalu itu. Dan kini kita memulai riwayat baru. Maka dalam masa ini, Pemerintah Balatentara memuat usaha yang bermacam-macam, ada Seinendan, Keiodan, Fujika, Tentara Pembela Tanah Air, Jawa Hookoo Kai dan lain-lainnya. Itu semua ditujukan kepada maksud akan menjadikan masyarakat menjadi kuat kokoh, dan menyesuaikan penghidupan sehari-hari dengan suasana peperangan. Hal ini penting betul. Maka kita haruslah berdiri dibelakang pemerintah dan haruslah kita bersungguh-sungguh membantu usaha-usahanya yang bagus. Inilah kewajiban kita terhadap pemerintah dan masyarakat tempat kita ini. Selain itu adalah kewajibankewajiban kita sebagai muslim. Di depan tadi telah saya sebutkan, bahwa pemerintah Balatentara telah berulang-ulang menerangkan bahwa sikapnya adalah menghargai dan menghormati agama Islam dan kaum muslimin adalah bergantung pada pekerjaan kita kaum muslimin saja. Karena kitalah yang dituju dengan pemerintah yang memuat syari’at (Allah) Swt. dan sesungguhnya tidaklah patut kita meminta orang lain memikul hal-hal yang khusus bagi kita, padahal mestinyakita sndiri memikulnya. Sesungguhnya junjungan kita adalah teladan baik bagi kita, jika kita mengharap nikmat Allah dan pertolongan di hari kiamat. Maka kita haruslah mencontoh perjalanan Nabi kita yang bagus dan berakhlaq dengan budi pekerti

yang terpuji. Dan haruslah kita mempersatukan kalimat (golongan) kita dan janganlah hendaknya kita merepotrepotan dalam mengusahakan kepentingan kita. Allah Swt. telah berfirman dalam surat Al-An’am ayat 153: “Jangan kamu sekalian turut bermacam-macam jalan, maka tentulah menjadikan kamu sekalian bercerai-berai (jauh) dari jalan Allah”. (QS : al-An’am 153). Marilah kita senantiasa ingat, bahwa umat Islam yang dahulu tidaklah menjadi mulia dan jaya, melainkan karena mereka berpegangan pada petunjuk Islam. Menjalani kewajiban-kewajibannya dan menjauhi larangan-larangannya. Dan anak cucu mereka tidaklah hina dan nista melainkan karena mereka menjauhi jalan keislaman, karena menyia-nyiakan kewajibankewajibannya dan melanggar larangan-larangan. Maka wajiblah kita bergembira karena sikap pemerintah menghormati Islam dan kaum muslimin. Dan haruslah kita bekerja dengan sungguh-sungguh mempertinggi martabat Islam yang dihormati dan dihargai pemerintah itu. Dan haruslah kita membuang sifat bermalasmalasan dan berlemah-lemah, karena jika kita bermalasmalasan dan berlemah-lemah, begitu pula segan bekerja memperingati martabat Islam, tentu akan tetaplah bagi kita firman Allah yang berbunyi: “Dan banyak dari penduduk negeri yang merusak perintah Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya, maka kami beri perhitungan dengan siksaan yang berat dan kami siksa dengan siksaan yang dahsyat”. (QS: At-Talaq ayat 8). Mudah-mudahan dalam perjuangan Asia Timur, Allah memberi taufiq (pertolongan) dan hidayah (petunjuk) ke arah keadaan yang dirilai-Nya dan disukai-Nya. Dan mudah-mudahan ia mentakdirkan kemenangan akhir di pihak kita. Amin. Naskah pidato Ketua Besar Masyumi KH. Hasyim Asy’ari dari buku Menjaga Martabat Islam oleh Kiai Tebuireng (kumpulan tulisan pidato dan artikel media) ini ditulis ulang oleh Muhammad Cheng Ho, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB). Tulisan di artikel ini menghilangkan kutipan huruf arab ayat Al Qur’an semata-mata karena keterbatasan teknis.


78

Jalan Jihad Uni Roehanna

JALAN JIHAD

UNI ROEHANNA Oleh : Tristia Riskawati Alumni Fakultas Komuniskasi Universitas Padjadjaran

Syajarah


Tristia Riskawati

Syajarah

“Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah, yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan memiliki ilmu pengetahuan” – Rohana Koeddoes ; Jurnalis muslimah pertama di tanah air.

Perempuan melakoni pekerjaan sebagai jurnalis sudah bukan hal yang tabu. Namun secara persentase jumlah jurnalis perempuan masih sedikit ketimbang jurnalis pria. Dari semua jumlah jurnalis yang ada di Indonesia, hanya tercatat 17 persen saja jurnalis perempuannya. Di Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara “liberal” saja, hanya 36 persen dari keseluruhan pekerja media yang berjenis kelamin perempuan. Kuantitas pekerja media berjenis kelamin perempuan bukanlah sesuatu yang esensial. Perlu diperhatikan pula, apakah perempuan yang membanjiri ladang pekerjaan kewartawanan kian bermanfaat bagi masyarakat? Dengan jumlah sedikit pun, sejarah mencatat beberapa jurnalis perempuan yang membawa perubahan bagi masyarakat. Sebut saja Veronica Guerin. Guerin merupakan jurnalis Irlandia yang memiliki kepedulian untuk meliput skandal narkotika di Irlandia pada tahun 1900-an. Tragisnya, nyawa Guerin akhirnya raib akibat ditembak oleh mafia narkotika Irlandia yang tak suka dengan ulahnya. Namun, semenjak peristiwa tersebut, pemerintah dan masyarakat Irlandia pun mulai secara serius memberantas kasus narkotika.[1]


80

Jalan Jihad Uni Roehanna

Syajarah

Pada 10 Juli 1912, terbitlah surat kabar yang Ro

Soenting Melajoe. Soenting Melajoe se Beralih ke wilayah Timur Tengah, dunia mencatat nama Tawakkol Karman. Muslimah asal Yaman ini ditetapkan Komite Nobel meraih Hadiah Nobel Perdamaian 2011. Tawakkol mengangkat derajat perempuan di Yaman yang masih diperintah secara kesukuan. Ia juga berjuang memberantas buta huruf di kalangan perempuan. Tawakkol juga merupakan jurnalis yang kritis. Ibu dari tiga orang anak itu pada 2005 mendirikan Perhimpunan Wanita Jurnalis Tanpa Belenggu.[2] Ditanya mengenai apakah jilbab yang dikenakannya mengekang aktivitas jurnalistiknya, Tawakkol tak setuju bukan main. Baginya, praktik mengenakan jilbab dalam Islam merupakan perlambang peradaban yang tinggi, “Manusia di masa lalu hampir telanjang. Kemudian, kecerdasan manusia berkembang manusia mulai mengenakan pakaian. Apa yang saya hari ini dan apa yang saya kenakan merupakan tingkat tertinggi pemikiran dan peradaban yang manusia telah capai, bukan sebuah pengekangan. Jika manusia sekarang perlahan mengurangi bahan pakaian pada tubuhnya, ia kembali ke zaman purba dahulu!�[3] Indonesia pun memiliki jurnalis perempuan penabuh genderang perubahan bagi masyarakat. Ia hidup di era dan lingkungan di mana perempuan tak terbiasa mengecap pendidikan baik formal maupun informal. Keresahan serta asanya terhadap nasib perempuan yang dimarjinalkan acapkali ia abadikan dalam pelbagai tulisan. Dialah Roehana Koeddoes. Roehana Koeddoes lahir di Kotogadang, Minangkabau, 20 Desember 1884. Muslimah dengan nama asli SIti Roehana adalah putri pertama dari perkawinan Moehamad Rasjad Maharadja Soetan dengan Kiam. Ia adalah saudara sebapak dengan Sutan Sjahrir. Beruntunglah ia. Sejak kecil, Roehana mendapatkan perhatian dan dapat memenuhi kebutuhan dirinya

dengan layak. Ayahnya memiliki beragam buku, majalah, dan surat kabar. Roehana pun, dengan restu sang ayah, melahap bacaan-bacaan ayahnya tersebut.[4] Tumbuh di lingkungan keluarga yang tidak membedabedakan pendidikan untuk anak lelaki dan perempuan membuat Roehana tumbuh sebagai pribadi terpelajar. Kendati demikian, karena kaum perempuan di tanah kelahirannya tak akrab dengan pendidikan[5], Roehana pun dianggap aneh dengan segala pengetahuan yang ia miliki. Sejak kecil ia memang pandai, dan rajin mebaca surat kabar secara lantang dengan bahasa arab dan melayu. Ia pun akhirnya menjadi guru mengaji cilik bagi teman-teman sebaya, bahkan bagi para remaja. [6] Namun, berkat kegigihan Roehana dalam mengubah keadaan perempuan Minangkabau—situasi pun perlahan terbalik. Dengan meyakinkan masyarakat setempat melalui proses yang berliku, didirikanlah Sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) yang mengajarkan keterampilan tangan serta pendidikan dasar seperti menulis, membaca, berhitung, agama dan akhlak[7]. Amai setia juga mengajarkan bahasa arab dan latin bagi kaum wanita.[8] Di KAS ia dipercaya oleh lebih dari 60 perempuan dalam musyawarah, yang mendaulat dirinya menjadi pemimpin KAS. Ia kembali menjadi pengajar untuk sekolah di perkumpulan tersebut. KAS menjadi perkumpulan yang amat berkembang sehingga menjadi unit usaha perempuan pertama di minangkabau. Termasuk di dalamnya usaha simpan pinjam. Bahkan tahun 1916 ia pun pernah mendirikan Rohanna School di Bukittinggi.[9] Kiprah Roehana memang diawali dari dunia pendidikan. Namun ternyata ia tak terhenti hingga di situ. Roehana gemar menulis. Berbagai buah pemikirannya serta saripati dari hasil bacaannya sering ia tuliskan. Jenis


Tristia Riskawati

Syajarah

oehana idam-idamkan selama ini dengan nama

endiri bermakna “Perempuan Melayu” tulisannya beragam, mulai dari artikel, surat, serta puisi yang berisi keinginan untuk memajukan kaum perempuan. Roehana ingin agar buah pemikirannya dapat menjangkau luas tak terbatas pada muridnya saja. Akhirnya, tercetuslah ide dalam benak Roehana untuk merintis surat kabar. Upaya yang ia lakukan selanjutnya ialah menghubungi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Oetoesan Melajoe, Datuk Soetan Maharadja. Datuk Soetan Maharadja dikenal sebagai salah satu tokoh pers di minangkabau. Sebelumnya ia pernah mendirikan Pelita Ketjil, sebagai surat kabar pertama berbahasa melayu dan didirikan oleh orang melayu minangkabau. Sumatera Barat, khususnya padang, menjadi salah satu kota pelopor serta penggerak dunia pers di Indonesia. Berbagai media massa dapat ditemukan dengan beragam latar, mulai dari agama (Al Moenir, Al Itqan, Al bayan) adat (Berito Minangkabau, Berito adat, Oetoesan Minangkabau), sastra (Surya) bahkan untuk anak-anak (Pelipoer Hati). [10]

Melalui surat kepada Datuk Soetan Maharadja, Rohanna Koeddoes mengungkapkan nasib perempuan di Kotogadang. Ia menyampaikan, tujuannya menulis adalah semata-mata agar perempuan bisa mendapat pendidikan yang layak. Suratnya yang panjang dan menyentuh itu akhirnya menggugah Soetan untuk menawarkan bantuan. Soetan pun akhirnya meminta anaknya Zubaedah Ratna Juwita bersama Roehana merintis dan mengelola surat kabar yang khusus mewartakan tentang perempuan. Pada 10 Juli 1912, terbitlah surat kabar yang Roehana idam-idamkan selama ini dengan nama Soenting Melajoe. Soenting Melajoe sendiri bermakna “Perempuan Melayu”.[11]

Ragam tulisan di Soenting Melajoe adalah artikel, syair yang berisikan imbauan kepada perempuan di mana saja berada. Terdapat pula sejarah, biografi dan berita dari luar negeri yang disadur Roehana dari mediamedia berbahasa Belanda. Selama menulis di Soenting Melajoe, Roehana tetap tinggal di Kotogadang dan mengirimkan dua artikel per minggu kepada Ratna Juwita di Padang. Ada dua tujuan yang hendak dicapai oleh Roehana dalam keterlibatannya di bidang jurnalistik. Pertama, Roehana memiliki keinginan yang kuat untuk mengomunikasikan kepada khalayak tentang pembebasan perempuan dari keterbelakangan, terutama akses terhadap pendidikan. Di sini Roehana ingin mengubah image masyarakat tentang perempuan, dimana perempuan itu tidak sebagai kaum yang terjajah tetapi harus dimerdekakan. Kedua, terlihat adanya “proyek” besar dari Roehana untuk mengeluarkan perempuan dari keterbelakangan ilmu pengetahuan, keterpinggiran yang dikontruksi oleh budaya, dan keterjajahan perempuan dari berbagai ketidakadilan, termasuk dalam bidang pendidikan.[12] Ragam tema tulisan Roehana ihwal perempuan beragam. Umumnya, tulisan Roehana lebih banyak menyoroti kehidupan perempuan dari lapisan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Ia merasakan bagaimana penderitaan perempuan dari kalangan menengah ke bawah karena ia sendiri merasakan hidupnya yang penuh perjuangan. Roehana juga menyinggung sistem matriarchaat di Minangkabau, di mana warisan pusaka dan keluarga jatuh pada garis keturunan anak perempuan. Melalui pembahasan sistem ini, tampak pula pembelaan Roehana terhadap kaum lelaki. Dengan adanya matriarchaat, seorang nenek lebih banyak memberikan


82

Tri Shubhi A. Jalan Jihad Uni Roehanna

kasih sayang pada cucu dari anak perempuannya. Sedangkan kasih sayang untuk cucu dari anak lelaki sangat kurang. Bagi Roehana, cucu dari anak jenis kelamin apapun patut mendapat kasih sayang yang layak. Nasib perempuan-perempuan Jawa pun ia bahas. Ia menyimpan keprihatinan terhadap perempuanperempuan yang mau dijadikan istri simpanan secara tidak sah oleh petinggi Belanda. Bahkan, ada pula yang ditelantarkan setelah lahir anak dari hubungan mereka. Ada pula yang anaknya diambil dan dikirim di Belanda, dan ibunya tak pernah diberi kabar nasib anaknya hingga akhir hayat. Bahkan Soenting Melajoe yang digawangi Rohanna pernah memuat berita penindasan terhadap perempuan di perkebunan karet di Deli Serdang. Soenting Melayoe mengkritik keras pemerintah colonial yang membiarkan perempuan bekerja berat dengan upah yang sangat rendah. Situasi ini menyebabkan maraknya pelacuran di Deli Serdang. Berita ini dimuat oleh Soenting Melayoe, No. 22, 14 Juni 1915.[13] Roehana tumbuh dan berkembang dengan adat istiadat serta pengajaran Islam. Biasanya anak perempuan hanya belajar agama tentang shalat dan menghafal Al Quran, namun mereka tidak bisa baca tulis huruf arab. Roehana tidak mau hanya sekadar menghafal saja. Ia

Syajarah

ingin belajar baca tulis Al Quran, dan tahu pula tafsirnya. [14] Ketika telah mempelajarinya, kemudian ia mengajari nilai-nilai Al Quran pada muridnya. Ia menekankan bahwa agama adalah tiang dari segala ilmu.[15] Memang, nilai-nilai keislaman pada saat itu terkontaminasi ajaran adat istiadat Minangkabau yang bertentangan dengan Islam. Hal ini dapat dilacak dari distorsi ajaran Islam oleh Kerajaan Pagaruyung di Batusangkar, Tanah Datar. Batusangkar merupakan asal keberadaaan nenek moyang masyarakat Minangkabau. Setelah nilai-nilai Islam diterapkan secara baik oleh Kerajaan Pagaruyung, kerajaan tersebut diperintah oleh raja yang menafsirkan kaidah Islam seenaknya. Sang raja tak segan-segan untuk berpoligami sebanyakbanyaknya, berjudi, sabung ayam, mabuk-mabukan, dan lain sebagainya.[16] Kembali pada kisah Roehana, semangat memajukan nasib kaum perempuan pun berkobar tak hanya di kalangan perempuan saja. Pria pun turut menyatakan dukungannya kepada Roehana. Pada awalnya, penulis Soenting Melajoe adalah perempuan. Namun, pada perkembangannya laki-laki pun turut menyumbangkan tulisan untuk menyokong kemajuan perempuan.[17] Rupanya, upaya perjuangan Roehana untuk memajukan kaum perempuan memunculkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Beberapa ketakutan karena Roehana dianggap akan menyuruh istri untuk tak patuh pada


Tristia Riskawati

Syajarah

Surat Kabar Soenting Melajoe Sumber foto: Dokumentasi Sarah Mantovani

keterampilan. Maka, ia pikir sangatlah diperlukan pendidikan untuk perempuan.[21] Soenting Melajoe bahkan seringkali bersiteru dengan surat kabar perempuan lain, yaitu Soeara Perempoean (1917 – 1919). Soeara Perempoean yang berhaluan liberal, dengan tidak mengikat dirinya pada adat, menyuarakan kebebasan perempuan yang setara dengan perempuan Eropa. Salah satu polemiknya adalah memuat kritik terhadap perempuan yang kebablasan dalam kebebasan, yang dimuat dalam Soenting Melajoe (Jumat, 23 April 1920),

suami, tidak mau ke dapur, dan tidak memiliki anak. Merupakan sesuatu yang tak layak jika perempuan terlibat aktif dalam pergerakan-pergerakan politik.[18] Roehana menepis anggapan tersebut. Istri dari Abdoel Koeddoes ini dengan tegas berpendapat, berputarnya zaman tidak akan pernah mengubah perempuan untuk menyamai laki-laki. Perempuan tetap perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Hal yang harus berubah adalah pendidikan dan perlakuan yang layak bagi perempuan.[19] Berikut pernyataannya: “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakuan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah, yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan memiliki ilmu pengetahuan”[20] ‘Emansipasi’ yang Roehana maksudkan tidaklah menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dengan laki-laki. Namun, ia ingin mengukuhkan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodrati. Roehana berpandangan, untuk dapat menjadi perempuan sejati tentulah membutuhkan ilmu pengetahuan dan

“Sebaliknja kalau ditilik poela kepada kemadjoean bangsakoe perempoean di Alam minangkabau ini, adoehai hantjoer loeloeh hatikoe, karena meingat kemadjoean mereka itoe tidaklah tambah mengharoemkan namanja Alam Minangkabau ini, hanjalah seolah-olah sebagai menanam ratjoen boeat menghinakan perempoean2 Melajoe di Alam Minangkabau ini di mata bangsa lain., kemadjoean mereka itoe soedahlah melebihi watasnja lagi memakaikan sebagaimana hak perempoean.” [22] Roehana pun dikenal sebagai pribadi yang seimbang dalam menjalankan tugas-tugas dan tugas rumah, serta antara waktu bekerja dan beristirahat. Barangkali inilah yang membuat suaminya segenap hati mendukung Roehana, di samping karakter Abdul yang pada dasarnya berwawasan luas. Semenjak Soenting Melajoe, Roehana tiada pernah berhenti berkiprah di dunia jurnalistik. Ia senantiasa berjuang melalui dunia ini. Misalnya ketika dia hijrah ke Medan, Roehana menjadi redaksi pada surat Kabar Perempuan Bergerak yang diterbitkan di Medan. Pada tahun 1924 Rohana kembali pulang ke kampung halaman. Meski demikian, eksistensinya sebagai “orang pers” mendapat sambutan yang luas. Roehana pun dibidik oleh surat kabar Radio yang diterbitkan oleh Cina Melayu Padang untuk menjadi redakturnya. Selain itu, buah pikiran Rohana tersebar hingga lintas pulau melalui tulisan. Tidak hanya pada media massa terbitan lokal, tapi sudah merambah ke media yang


84

Jalan Jihad Uni Roehanna

Syajarah

Selain itu, buah pikiran Rohana tersebar hingga linta Tidak hanya pada media massa terbitan lokal, tapi su media yang terbit di pulau Jawa. Berkat dedikasinya dinobatkan sebagai wartawati atau jurnalis perempu yang bergerak memperjuangkan kaumnya terbit di pulau Jawa. Berkat dedikasinya di dunia pers, Roehana dinobatkan sebagai wartawati atau jurnalis perempuan pertama di negeri ini yang bergerak memperjuangkan kaumnya. Pemerintah Sumatera Barat menobatkan Rohana sebagai wartawati pertama di Minangkabau, dengan diberikannya penghargaan kepada Roehana Koeddoes pada tanggal 17 Agustus 1974. Penghargaan ini diterima setelah dua tahun Roehana meninggal dunia pada tanggal 17 Agustus 1972.[23] Jurnalisme Berpihak Sudah lebih dari setengah abad kemerdekaan Indonesia berumur. Keleluasaan perempuan dalam berkiprah telah jauh lebih baik dibandingkan dengan pada masa Uni Rohana. Secara umum tiada halangan berarti bagi perempuan untuk bekerja sebagai jurnalis. Namun industri media yang kini cenderung berpihak pada kepentingan politik dan kapitalis membuat kiprah jurnalis—baik lelaki maupun perempuan—kian memudarkan mata hati masyarakat untuk tertuntun cahaya fitrah Islam. Jurnalisme yang dilakoni Roehana adalah jurnalisme yang memihak. Secara teoritis, jurnalis dituntut untuk bersikap netral. Namun pada kenyataannya, media tentu memiliki kepentingan masing-masing baik secara

terselubung ataupun secara jelas dinyatakan. Seperti itulah yang dijalankan oleh Rohanna Koeddoes yang memilih untuk memihak pada nasib perempuan, namun berada dalam naungan agama. Roehana Koeddoes, di satu sisi tak pernah bercita-cita menjadi jurnalis. Tujuan utamanya semata-mata adalah sebuah jihad dalam menyampaikan ilmu yang ia miliki. Menjadi jurnalis adalah media untuk menyampaikan ilmu. Berbeda dengan kecenderungan masyarakat sekarang yang lebih mengejar titel, tanpa menetapkan dengan pasti tujuan hidup mereka. Roehana mengajarkan kita untuk menetapkan tujuan mulia di segala mula tindakan kita. Tak hanya itu, dara Minangkabau ini sangat percaya akan kekuatan mimpinya. Jika percaya serta konsisten dalam mewujudkan mimpi mulia kita, maka Allah akan mencarikan jalan agar kita menggapainya. Tantangan antara zaman Roehana dan zaman kita tentu berbeda. Dulu, perempuan begitu dikekang atas nama tradisi. Roehana memperbaiki keadaan tersebut dengan kembali menegaskan posisi perempuan yang sesungguhnya dalam Islam. Kini, perempuan begitu liar tak terkendali atas nama modernitas. Menjadi sebuah tantangan bagi pejuang Islam kini, termasuk jurnalis, untuk kembali menegaskan jati diri perempuan sesuai dengan nur Islam.


Tristia Riskawati

Syajarah

as pulau melalui tulisan. udah merambah ke di dunia pers, Roehana uan pertama di negeri ini

Sumber: [1] http://biography.yourdictionary.com/veronica-guerin [2] http://www.britannica.com/EBchecked/topic/1796326/Tawakkul-Karman [3] http://dailymuslims.com/2012/04/28/hijab-is-a-symbol-of-the-highest-level-of-civilization-says-noble- prize-winner/ [4] Fitriyanti, Roehana Koeddoes: Perempuan Sumatera Barat, Yayasan Jurnal Perempuan : Jakarta, 2001, hlm. 17-19 [5] Fitriyanti, Ibid, hlm. 11 [6] Hanani, Silfia. 2012. “Rohana Kudus dan Pendidikan Perempuan”. Bukittinggi: STAIN Syech M. Djamil Djambek. Hlm 5 [7] Fitriyanti Ibid, hlm. 57-58 [8] Sunarti, Sastri. Kelisanan dan Keberakasaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859- 1940an), Kepustakaan Populer Gramedia : Jakarta, 2013. [9] Hanani, Silfia. 2012. “Rohana Kudus dan Pendidikan Perempuan”. Bukittinggi: STAIN Syech M. Djamil Djambek. Hlm 6-7 [10] Sunarti, Sastri. [11] Fitriyanti, Ibid, hlm. 69-71 [12] Hanani, Silfia. 2012. “Rohana Kudus dan Pendidikan Perempuan”. Bukittinggi: STAIN Syech M. Djamil Djambek. Hlm 9 [13] Sunarti, Sastri. Hal 184. [14] Fitriyanti, Ibid, hlm. 24 [15] Fitriyanti, Ibid, hlm. 35 [16] Fitriyanti, Ibid, hlm. 6 [17] Fitriyanti, Ibid, hlm. 6 [18] Fitriyanti, Ibid, hlm. 6 [19] Fitriyanti, Ibid, hlm. 6 [20] Sunarti, Linda. 2013. Islamic Women’s Movement in Indonesia in The Beginning of The 20th Century. Universitas Indonesia. Hlm. 393-394 [21] Sunarti, Linda. 2013. Ibid, hlm 394 [22] Sunarti, Sastri. [23] Hanani, Silfia. ibid


86

Rekam

TENTANG PERE

Jejak Rahmah El Yunusiyah dalam G


EMPUAN:

Gambar

Rekam


88

Rekam

Foto terakhir Rahmah El Yunusiyah, sehari sebelum wafat, tahun 1969

Ketika PRRI Usai: Rahmah di muka gubuk tempat tinggal dan rombongan yang menjemputnya kembali ke Padang


Rekam

K

etika kata-kata diperkaya gambar, maka seakan-akan kita kembali ke masa lampau, menelusuri kiprah Rahmah ElYunusiyah dalam panggung sejarah. Gambar-gambar ini mampu bercerita, bahwasanya perempuan dengan jilbabnya, bukan sesuatu yang asing di negeri ini sejak lama. Perempuan bergerak di tengah derap perjuangan menjadi sesuatu yang lazim.

semua foto dari buku H.Rahmah El Yunusiyyah dan Zainuddin Labay El-Yunusy: Dua Tokoh Bersaudara Tokoh Pembaharu Sistem Pendidikan di Indonesia Riwayat Hidup, Cita-Cita, dan Perjuangannya,

El Yunusiyah saat menjadi tahanan kota padang tahun 1949 bersama murid-muridnya

lnya bersama masyarakat kampung g Panjang, tahun 1961

Zainuddin Labay El Yunusy, kakak kandung tertua Rahmah El Yunusiyah yang juga tokoh pendidikan

Rahmah El Yunusiyah bersama murid-murid Diniyyah Puteri kelas terakhir, tahun 1931


90

Catatan Punggung

Cut Nyak Dien, Fotografi, dan Kolonialisme Konon perempuan di foto tersebut adalah Cut Nyak Dien. Gambar tersebut beredar luas di jejaring sosial. Dibubuhkan klaim : “Cut Nyak Dien sebenarnya berjilbab.” Namun jika kita hendak bersabar dan mencoba memeriksa kembali kabar tersebut, nyatanya dengan terang benderang foto tersebut bukanlah Cut Nyak Dien. Penjelasan tersebut dapat kita temukan di situs KITLV Digital Image Library yang bisa diakses siapa pun. Foto tersebut adalah istri Teuku Panglima Polem Sigli. Persoalannya bukanlah kita tak ‘ingin’ Cut Nyak Dien berjilbab, tetapi soal verifikasi. Foto memang menjadi unsur yang penting. Di era jejaring sosial seperti ini, foto bisa bercerita banyak tentang sejarah. Ia bahkan membantu membangun imajinasi kita tentang tokoh. Ilustrasi Sisimangaraja XII misalnya, dilukis Agustin Sibarani puluhan tahun setelah tokoh itu wafat. Agustin melukis hanya berdasarkan penuturan orang lain yang mengingat wajahnya. Kita paham, Sisingamangaraja XII tak pernah meninggalkan sehelai foto pun. Teknologi fotografi memang menjadi salah satu sumber yang dapat bercerita tentang sejarah. Betapa banyak foto-foto di masa lalu membantu kita memberikan gambaran yang lebih luas. Namun sayangnya, fotofoto tersebut juga menyisakan persoalan. Teknologi fotografi yang dipakai khususnya pada masa kolonial merupakan monopoli orang-orang asing, terutama

pegawai pemerintah jajahan. Narasi yang mereka bentuk lewat foto merupakan narasi pihak penjajah memandang yang dijajah. Fotografi juga bagian dari etnografi kolonial. Dengan fotografi, mereka merekam objek yang mereka anggap eksotis. Orang-orang pribumi yang dianggap sebagai orang-orang yang biadab, buas, lalu mereka abadikan sebagai manusia yang tak berperadaban, di bawah manusia-manusia kulit putih. Di Bali, perempuan-perempuan Bali yang (maaf) telanjang dada menjadi objek memenuhi nafsu eksotisme dan erotisme di benak fotografer barat. Melalui fotografi, mereka menggambarkan Bali yang sesuai keinginan mereka, yaitu ‘surga di timur.’ Tentu saja, keadaan masyarakat Bali yang amat merana karena kemiskinan tak tampil dalam foto-foto mereka. Fotografi kolonial biasanya juga menggambarkan antara tuan-tuan kulit putih dan pekerja-pekerja pribumi mereka. Fotografi kolonial juga tergambar jelas seketika kita mengamati foto-foto perang aceh. Foto pasukan penjajah yang (tampak) gagah, disandingkan dengan mayat-mayat syuhada perang aceh yang dahsyat itu. Demikian, fotografi menjadi salah satu cara untuk bercerita tentang masa lalu. Meski ia sarat dengan kepentingan kolonialisme. Maka melakukan kajiankajian terhadap foto masa lalu menjadi penting bagi generasi saat ini untuk menyusun kepingan-kepingan sejarah dengan perspektif baru. (BR)


Sumber foto: Carey, Peter (2008) The Power of Prohecy. Prince Dipanegara and The End of an Old Order in Java 1785-1855, Leiden: KITLV Press


92

JIB

Jejak Islam Untuk Bangsa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.